Pencarian

Hina Kelana 16

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 16


Sebagai murid Hoa-san-pay yang tertua, di antara tamu-tamu lelaki, kecuali Gak Put-kun, adalah Lenghou Tiong terhitung paling tinggi derajatnya. Tapi demi melihat bajunya yang kotor, semangatnya lesu, diam-diam semua orang sama terheran-heran. Cuma di dunia persilatan memang banyak juga tokoh kosen yang aneh, seperti jago-jago Kay-pang hampir semuanya berpakaian compang-camping. Jika pemuda ini benar murid utama Hoa-san-pay tentu juga mempunyai kepandaian yang luar biasa. Karena pikiran ini, maka tiada orang berani memandang hina pada Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong duduk di meja kedua dan diiringi Ong Pek-hun merasa dongkol karena sikap Lenghou Tiong yang dingin, bila diajak bicara tampaknya juga sungkan menjawab seakan-akan tidak memandang sebelah mata padanya. Segera ia sengaja bicara tentang ilmu silat, ia coba memancing-mancing dan mengemukakan beberapa pertanyaan untuk minta petunjuk kepada Lenghou Tiong.
Tapi pemuda itu hanya menjawab ya atau tidak secara singkat saja, sama sekali tidak mau memberi komentar apa-apa.
Sesungguhnya bukanlah Lenghou Tiong kurang simpatik pada Ong Pek-hun, yang benar adalah karena ia merasa rendah diri, dilihatnya keluarga Ong begini mewah hidupnya, sebaliknya diri sendiri adalah anak yatim yang miskin, kalau dibandingkan boleh dikata langit dan bumi bedanya.
Setiba di rumah kakeknya Peng-ci lantas ganti pakaian yang bagus-bagus dan mewah, dasarnya tampang Peng-ci memang cakap, setelah berdandan menjadi lebih elok lagi.
Begitulah dengan sendirinya Lenghou Tiong merasa rendah diri, pikirnya, "Jangankan Siausumoay memang sudah sangat rapat bergaul dengan Lim-sute, seumpama dia tetap cinta padaku seperti sediakala, lalu apa dia akan bahagia ikut pada anak miskin seperti diriku?"
Karena pikirannya hanya dicurahkan mengenai diri Gak Leng-sian sehingga segala apa yang dibicarakan Ong Pek-hun padanya dengan sendirinya tak diperhatikan olehnya. Padahal di wilayah Tiongciu setiap orang Bu-lim sangat segan kepada Ong Pek-hun siapa pun ingin mengambil hati jago keluarga Ong yang ternama itu, tapi malam ini dia selalu menghadapi muka kecut dari Lenghou Tiong, kalau menuruti wataknya yang biasa, sungguh sejak tadi ia sudah mengumbar rasa dongkolnya itu.
Tapi mengingat mendiang kakaknya (ibu Peng-ci), pula sang ayah tampak sangat menghargai kaum Hoa-san-pay, maka sedapat mungkin ia menahan perasaannya dan berulang-ulang masih menyuguh arak kepada Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong juga tidak menolak, setiap cawan arak yang disuguhkan selalu ditenggak habis sehingga tanpa merasa 40-an cawan sudah dihabiskan olehnya.
Sebenarnya Lenghou Tiong sangat kuat minum arak, sekalipun ratusan cawan juga takkan membuatnya mabuk. Tapi sekarang Lwekangnya sudah punah sehingga kekuatan minumnya banyak berkurang, ditambah hatinya lagi murung maka lebih mudah menjadikan mabuknya, baru saja 50-an cawan ia minum sudah mulai sinting.
Diam-diam Ong Pek-hun berkata di dalam hati, "Kau bocah ini terlalu tidak tahu adat. Keponakanku adalah Sutemu, seharusnya kau menyebut aku paman, tapi sama sekali kau memanggil, tidak menjadi soal, bahkan sikapmu acuh tak acuh terhadapku. Biarlah kucekoki sehingga mabuk, supaya membikin malu nama Hoa-san-pay kalian di depan perjamuan ini."
Sementara itu mata Lenghou Tiong sudah kelihatan merah, mabuknya sudah ada tujuh-delapan bagian. Dengan tertawa Ong Pek-hun berkata, "Lenghou-laute adalah murid utama Hoa-san-pay, nyatanya memang seorang kesatria muda sejati, bukan saja ilmu silatnya tinggi, kekuatan minumnya juga sangat hebat. Ayo pelayan, bawakan mangkuk besar, tuangkan arak untuk Lenghou-toaya."
Pelayan keluarga Ong mengiakan dengan suara keras, lalu datang menuangkan arak.
Selama hidup Lenghou Tiong belum pernah menolak arak yang dituangkan baginya, maka setiap mangkuk arak yang dituangkan untuknya selalu ditenggaknya habis sehingga sekaligus lima-enam mangkuk besar telah diminumnya lagi, ketika pengaruh alkohol mulai bekerja, tanpa terasa mangkuk dan cawan di depannya tersampuk oleh lengan bajunya dan jatuh berantakan.
"Ah, Lenghou-siauhiap telah mabuk, minumlah secangkir teh panas sebagai penawar," kata seorang yang duduk semeja di sebelahnya.
"Mana bisa, orang adalah murid tertua Hoa-san-pay, masakah begitu gampang lantas mabuk?" kata Pek-hun. "Mari Lenghou-laute, kita habiskan ini!"
Dan kembali mereka bersama-sama menuang penuh semangkuk besar.
"Mas ... masakah mabuk" Mari ... minum!" kata Lenghou Tiong sambil angkat mangkuk arak terus ditenggak lagi, tapi ada sebagian besar isi mangkuk berceceran membasahi bajunya.
Sekonyong-konyong badannya bergeliat, mulur terbuka dan tumpah-tumpah, seluruh makanan dan minuman yang sudah masuk perut dimuntahkan semua sehingga mengotori meja.
Tamu-tamu yang semeja dengan dia sama kaget dan berbangkit menyingkir. Sebaliknya Ong Pek-hun hanya tertawa dingin, diam-diam ia senang karena maksud tujuannya berhasil.
Karena muntahnya Lenghou Tiong itu, serentak pandangan beratus orang tamu sama diarahkan kepadanya. Gak Put-kun dan istrinya juga berkerut kening, pikir mereka, "Bocah ini memang tidak cocok bergaul dengan tingkatan atas, membikin malu saja di depan tamu sebanyak ini."
Dalam pada itu Lo Tek-nau dan Peng-ci sudah memburu maju untuk memayang Lenghou Tiong. "Toasuko, marilah kubawa mengaso saja ke kamar," kata Peng-ci.
"Aku ... aku tidak mabuk, aku mau minum lagi, amb ... ambilkan arak?" sahut Lenghou Tiong dengan tak lancar.
"Baik, baik, akan kuambilkan arak," ujar Peng-ci.
Dengan matanya yang merah cepat Lenghou Tiong melirik Peng-ci, katanya, "Kau ... kau ... Siau-lim-cu, kenapa tidak pergi mengawani Siausumoay, buat apa memegangi aku?"
Cepat Lo Tek-nau membujuk dengan suara perlahan. "Toasuko, marilah kembali ke kamar saja, di sini orang terlalu banyak, jangan sembarangan bicara lagi."
"Aku sembarangan bicara apa?" sahut Lenghou Tiong dengan gusar. "Hm, Suhu menugaskanmu mengawasi aku dan ... bukti apa yang kau temukan?"
Khawatir sang Suheng yang sudah mabuk itu semakin tak keruan mengocehnya, cepat Tek-nau dan Peng-ci memayangnya masuk ke kamar dengan setengah paksa.
Ketika mendengar ucapan Lenghou Tiong yang mengatakan "Suhu menugaskanmu mengawasi aku dan bukti apa yang telah kau temukan", sungguh gusar Gak Put-kun tak terkatakan sehingga mukanya sampai pucat.
"Gak-laute," kata Ong Goan-pa dengan tertawa, "ocehan anak muda pada waktu mabuk buat apa digubris" Mari, mari minum!"
"Anak desa yang tidak berpengalaman, hanya membikin malu saja," terpaksa Put-kun menanggapi dengan menyeringai.
Mabuknya Lenghou Tiong itu baru sadar kembali pada esoknya lewat tengah hari, apa yang telah dia ucapkan waktu mabuk sama sekali tak teringat olehnya. Sebaliknya sesudah mendengar ucapan Lenghou Tiong, diam-diam Gak Put-kun memberi pesan kepada Lo Tek-nau agar selanjutnya jangan mengikuti Lenghou Tiong lagi, cukup mengawasi secara diam-diam saja.
Sesudah sadar kembali, Lenghou Tiong merasa kepalanya sakit seakan-akan pecah. Terlihat dirinya menempati sebuah kamar sendirian dengan perabotan yang resik dan indah.
Ia melangkah keluar kamar, tiada seorang Sutenya kelihatan. Ia coba tanya pelayan, kiranya sama berkumpul di ruang latihan di belakang bersama anak murid keluarga Ong dan sedang saling belajar ilmu silat.
"Buat apa aku berkumpul bersama mereka" Lebih baik aku pesiar keluar saja," demikian pikir Lenghou Tiong. Segera ia berangkat seorang diri.
Lokyang adalah kota raja beberapa dinasti masa lampau, kotanya cukup megah, tapi keramaiannya kurang.
Lenghou Tiong tidak pandai membaca, pengetahuannya tentang sejarah dan kebudayaan kuno sangat terbatas. Karena itu ia tidak tertarik biarpun di dalam kota banyak terdapat tempat-tempat bersejarah yang terkenal.
Ia terus berjalan tanpa tujuan. Ketika sampai di suatu kedai arak, dilihatnya di situ ada tujuh-delapan orang gelandangan penganggur sedang main dadu. Ia lantas ikut mendesak maju, ia membawa beberapa tahil perak, segera dikeluarkannya dan ikut main dadu bersama mereka. Sampai hari sudah petang ia lantas minum arak di kedai itu sehingga mabuk, habis itu barulah pulang dengan langkah sempoyongan.
Beberapa hari berturut-turut ia terus minum arak dan main dadu bersama kawanan gelandangan itu. Hari-hari pertama masih mujur baginya, dia menang beberapa tahil perak. Tapi hari keempat ia kalah habis-habisan sehingga isi saku kosong melompong. Dengan sendirinya para gelandangan melarangnya bertaruh lebih jauh.
Dengan marah Lenghou Tiong masih terus pesan arak, semangkuk demi semangkuk ditenggaknya sehingga menghabiskan belasan mangkuk.
"He, anak muda, kau kalah judi, uangmu sudah ludes, cara bagaimana kau membayar uang arak ini nanti?" demikian tanya pelayan kedai arak.
"Utang dahulu, teken bon, besok akan kubayar," sahut Lenghou Tiong.
"Tidak bisa," kata si pelayan sambil menggeleng. "Modal kedai kami kecil, baik kenalan maupun keluarga, semuanya tidak boleh utang."
Lenghou Tiong tambah gusar, bentaknya, "Kurang ajar! Apa kau kira tuanmu tidak punya uang?"
"Aku tak peduli apakah kau tuan atau nyonya, pendek kata ada uang ada arak, dan utang harus bayar," sahut si pelayan ketus.
Pakaian Lenghou Tiong memang sudah dekil dan jelas bukan potongan hartawan, saat itu hanya pada pinggangnya masih menggelantung sebatang pedang, selain itu tidak punya barang berharga lagi. Terpaksa ia menanggalkan pedangnya dan ditaruh di atas meja, katanya, "Ini, gadaikan saja ke pegadaian sana!"
Salah seorang gelandangan di situ rupanya ingin mencari keuntungan lagi, cepat ia menukas, "Baik, biar aku menggadaikannya untukmu."
Terus saja ia bawa pedang itu dan berlari pergi.
Benar juga ada uang dan arak, segera pelayan membawakan dua poci arak lagi untuk Lenghou Tiong.
Belum lagi Lenghou Tiong menghabiskan araknya, si gelandangan tadi sudah pulang dengan membawa beberapa potong perak pecah, katanya, "Kugadaikan tiga tahil empat uang."
Berbareng ia menyerahkan uang perak dan surat gadai kepada Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong juga tidak menghitung, cuma dari bobotnya ia merasa uang perak itu paling banyak hanya tiga tahil saja, terang sisanya telah dicatut gelandangan itu. Tapi ia pun tidak banyak bicara dan kembali main dadu lagi.
Sampai hari sudah petang, untuk bayar dan kalah judi, tiga tahil perak hasil gadai pedangnya itu kembali lenyap semua.
"Beri pinjam tiga tahil, kalah menang akan kukembalikan lipat," kata Lenghou Tiong kepada seorang gelandangan di sebelah yang bernama si Tembong.
"Dan kalau kalah bagaimana?" tanya si Tembong dengan tertawa.
"Kalau kalah akan kukembalikan besok," sahut Lenghou Tiong.
"Huh, melihat macammu masakah di rumahmu ada uang," jengek si Tembong. "Apa barangkali kau akan menjual binimu atau menjual adik perempuanmu?"
Lenghou Tiong menjadi murka, "plok", kontan ia gampar muka si Tembong, beberapa tahil perak di depan orang segera dirampasnya pula.
"Aduuh! He, kau merampok?" jerit si Tembong sambil mendekap mulutnya yang mengeluarkan darah.
Para gelandangan itu memangnya satu komplotan, tanpa bicara lagi mereka terus mengerubut maju, kepalan mereka menghujani tubuh Lenghou Tiong tanpa kenal ampun.
Jika dalam keadaan biasa, jangankan cuma beberapa orang gelandangan yang tidak mahir ilmu silat, sekalipun jago silat yang lihai juga belum tentu mampu menyerangnya. Tapi kini Lenghou Tiong sudah tidak membawa pedang, pula kehilangan tenaga, percumalah dia mahir ilmu silat karena sama sekali tak dapat dikeluarkan.
Begitulah Lenghou Tiong dibekuk oleh kawan gelandangan itu dan dihujani pukulan dan tendangan tanpa mampu melawan sedikit pun. Benar-benar "harimau kesasar dikerubut anjing", hanya sekejap saja ia sudah babak belur, mata matang biru dan hidung keluar kecapnya.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derapan kaki kuda, ada beberapa penunggang kuda kebetulan lalu di situ.
Seorang penunggang di antaranya sedang membentak, "Ayo, minggir, minggir!"
Berbareng pecutnya disabetkan, kawanan gelandangan itu dihalau lari semua.
Lenghou Tiong sendiri tergeletak tak sanggup bangun lagi. Mendadak suara seorang wanita berteriak, "He, bukankah ini Toasuko?"
Ternyata suara Leng-sian.
Lalu seorang lain berkata, "Coba, biar kuperiksanya!"
Ini suara Peng-ci yang telah melompat turun dari kudanya dan mendekati Lenghou Tiong, setelah tubuh Lenghou Tiong dibalik, Peng-ci berseru kaget. "Toasuko, ke ... kenapakah engkau?"
Lenghou Tiong menggeleng kepala, sahutnya dengan tersenyum ewa, "Mabuk dan kalah judi!"
Segera Peng-ci memondong Lenghou Tiong ke atas kuda.
Penunggang kuda itu selain Peng-ci dan Leng-sian masih ada empat orang lagi. Mereka adalah dua putri Ong Pek-hun dan dua putra Ong Tiong-kiang, mereka terhitung saudara misan Peng-ci.
Pagi-pagi mereka berenam sudah keluar pesiar ke tempat terkenal di seluruh kota Lokyang dan sekarang baru pulang, tak terduga di gang yang kecil ini dapat menemukan Lenghou Tiong lagi dihajar orang hingga babak belur.
Sudah tentu putra-putri Ong Tiong-kiang dan Ong Pek-hun itu terheran-heran. Pikir mereka, "Hoa-san-pay mereka terhitung anggota Ngo-gak-kiam-pay terkemuka, biasanya kakek juga sangat mengagumi mereka. Selama beberapa hari ini anak murid Hoa-san-pay mereka suka berlatih dan tukar pikiran dengan kami, kenyataannya mereka memang luar biasa. Padahal Lenghou Tiong ini adalah murid pertama Hoa-san-pay, mengapa dia tidak dapat melawan beberapa bicokok yang tak berarti itu" Apakah dia sengaja pura-pura. Namun melihat keadaannya yang babak belur terang bukan pura-pura. Sungguh aneh?"
Sepulangnya di rumah Ong Goan-pa, terpaksa Lenghou Tiong harus istirahat beberapa hari baru pulih kesehatannya. Lantaran mendengar bahwa Lenghou Tiong berjudi dan berkelahi dengan kaum bicokok, diam-diam Gak Put-kun dan istrinya sangat marah, maka mereka tidak datang menjenguknya.
Sampai hari kelima, Ong Kah-ki, putra Ong Tiong-kiang yang terkecil, dengan penuh semangat masuk ke kamar Lenghou Tiong dan memberi tahu, "Lenghou-toako, hari ini aku telah melampiaskan rasa dendammu. Beberapa bicokok yang menyerangmu tempo hari telah kucari dan telah kuhajar mereka sepuas-puasnya."
Terhadap peristiwa itu sebenarnya Lenghou Tiong tidak ambil pusing lagi, maka dengan hambar saja ia menjawab, "Ah, sebenarnya juga tidak perlu begitu. Peristiwa tempo hari itu adalah salahku karena aku sedang mabuk."
"Mana boleh jadi," ujar Ong Kah-ki. "Lenghou-toako adalah tamu keluarga Ong kami, orang tidak menghormatimu juga harus menghormati tamu keluarga Ong, mana boleh sembarangan dipukul orang di kota Lokyang ini tanpa dibalas" Jika kami tidak hajar kembali kaum bicokok itu, ke mana lagi muka keluarga Ong kami harus ditaruh?"
Sedikit-sedikit dia menonjolkan, "keluarga Ong", seakan-akan golok emas keluarga Ong adalah keluarga penguasa di dunia persilatan yang harus dihormati. Dasar di dalam hati Lenghou Tiong sudah kurang puas terhadap "Golok emas keluarga Ong", lebih-lebih selama beberapa hari ini perasaannya lagi murung, maka tanpa terasa tercetuslah ucapan dari mulutnya, "Terhadap beberapa bicokok begitu masakah diperlukan anggota keluarga Ong ikut turun tangan?"
Begitu kata-kata ini diucapkan barulah Lenghou Tiong merasa menyesal, namun sudah kasip.
Bab 46. Siau-go-kang-ouw-kik = Lagu Hina Kelana
Dengan wajah kurang senang segera Ong Kah-ki menjawab, "Lenghou-toako, apa maksud ucapanmu ini" Kalau tempo hari aku tidak bantu membubarkan kaum bicokok itu apakah jiwamu dapat diselamatkan sampai sekarang?"
"Ya, untuk itu aku harus mengucapkan terima kasih," sahut Lenghou Tiong dengan tersenyum hambar.
Dari nada ucapan orang, Ong Kah-ki tahu yang dimaksudkan Lenghou Tiong adalah kebalikannya dari makna kata-katanya, tentu saja Kah-ki tambah mendongkol. Segera ia berseru, "Lenghou-toako adalah murid pewaris Hoa-san-pay, sekarang ternyata tidak mampu menghadapi beberapa bicokok keroco di kota Lokyang, hehe, kalau diketahui orang luar bukankah akan dianggap bernama kosong belaka?"
Dalam keadaan iseng dan sungkan Lenghou Tiong juga tidak urus ucapan yang menyinggung itu, jawabnya tak acuh, "Ya, memangnya nama kosong saja aku tidak punya, dianggap atau tidak juga sama saja."
Pada saat itu juga di luar jendela ada orang menyela, "Adik, kau sedang bicara apa dengan Lenghou-toako?"
Ketika kerai pintu tersingkap, masuklah seseorang lagi. Kiranya Ong Kah-cun, putra Ong Tiong-kiang, yakni saudara tua Ong Kah-ki.
Melihat kedatangan saudaranya, dengan marah-marah Kah-ki berseru, "Koko, dengan maksud baik aku mewakilkan dia menghajar kaum bicokok itu, setiap bicokok itu telah kucambuki dengan babak belur, siapa tahu Lenghou ... Lenghou-tayhiap ini malah mengatakan aku suka cari perkara."
"Ah, tentu adik belum tahu," kata Ong Kah-cun. "Tadi aku mendengar dari Gak-sumoay, katanya Lenghou-toako ini sesungguhnya sangat lihai. Ketika di kelenteng Yo-ong-bio tempo hari, hanya dengan sebatang pedang saja sekaligus ia telah membutakan mata 15 musuh kelas berat dalam satu jurus, ilmu pedangnya benar-benar mahasakti dan jarang ada bandingannya di dunia ini. Haha, sungguh hebat, haha!"
Ia tertawa dengan nada mengejek, nyata dia sama sekali tidak percaya terhadap cerita Gak Leng-sian itu.
Ong Kah-ki juga ikut mengakak tawa, katanya, "Ya, boleh jadi ke-15 lawan kelas berat itu kalau dibandingkan kaum bicokok kota Lokyang kita masih selisih sekian jauhnya. Hahahaha!"
Ternyata Lenghou Tiong sama sekali tidak gusar, malahan dia ganda tertawa sambil bersimpuh dengkul dan digoyang-goyangkan, sedikit pun ia tidak pandang sebelah mata kepada kedua saudara Ong itu.
Kedatangan Ong Kah-cun ini sebenarnya atas perintah ayah dan pamannya yang menyuruhnya coba-coba menanyai Lenghou Tiong. Pek-hun dan Tiong-kiang suruh dia tanya dengan cara baik dan sekali-kali jangan membikin marah kepada tamu. Tapi sekarang demi melihat sikap Lenghou Tiong yang angkuh itu, diam-diam Kah-cun naik pitam. Dengan suara keras ia lantas menegur, "Lenghou-heng, ada suatu urusan ingin kuminta keterangan padamu."
"Ah, jangan sungkan-sungkan," sahut Lenghou Tiong.
"Begini," kata Kah-cun, "menurut cerita Peng-ci Piauhia (kakak misan), katanya pada saat paman dan bibi kami wafat, hanya Lenghou-heng seorang saja yang menunggui kedua beliau itu."
"Memang benar," sahut Lenghou Tiong.
"Dan pesan tinggalan paman dan bibiku itu juga Lenghou-heng yang menyampaikan kepada Peng-ci bukan?"
"Tidak salah!" "Jika begitu, di manakah Pi-sia-kiam-boh pamanku itu?" tanya Kah-cun lebih lanjut.
"Apa katamu?" teriak Lenghou Tiong sambil melonjak bangun seketika.
Khawatir kalau orang mendadak menyerang, Kah-cun melangkah mundur dua tindak, lalu berkata, "Pi-sia-kiam-boh yang diminta supaya engkau menyampaikannya kepada Peng-ci Piauhia mengapa sampai sekarang belum engkau serahkan padanya?"
Sungguh gusar Lenghou Tiong tak terkatakan karena kata-kata fitnah itu, badannya sampai gemetar. "Siapa ... siapa yang bilang ada Pi-sia-kiam-boh yang dikatakan harus kuserahkan kepada ... kepada Lim-sute?" tanyanya kemudian dengan suara terputus-putus.
"Jika tidak benar urusan ini, mengapa engkau menjadi khawatir, bicara saja gemetar?" ujar Kah-cun dengan tertawa.
Sedapatnya Lenghou Tiong menahan perasaannya, tanyanya, "Kedua saudara Ong, saat ini aku adalah tamu keluarga kalian, apa yang kau lakukan ini adalah suruhan kakekmu, ayahmu atau pendirian kalian berdua sendiri?"
"Aku cuma tanya sambil lalu saja, kenapa mesti panik?" ujar Kah-cun. "Ini tiada sangkut pautnya dengan kakek dan ayahku. Cuma Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim di Hokciu sangat termasyhur dan disegani kawan maupun lawan. Secara mendadak paman meninggal dunia dan kitab pusaka yang selalu dibawanya itu hilang pula, sebagai keluarga terdekat dengan sendirinya kami ingin tanya dan mengusutnya."
"Apa Siau-lim-cu yang menyuruhmu tanya padaku" Dia kenapa tidak datang sendiri saja?" tanya Lenghou Tiong pula.
"Hehe, Peng-ci Piauhia adalah Sutemu, masakan dia berani tanya secara blak-blakan padamu?" sahut Kah-cun sambil mengekek tawa.
Padahal Peng-ci tidak pernah bicara tentang Pi-sia-kiam-boh kepada kedua saudara Ong itu. Lantaran jawaban Kah-cun itu, tentu saja membikin Lenghou Tiong tambah sirik lagi kepada Peng-ci. Dengan tertawa dingin ia berkata pula, "Dengan dijagoi oleh golok emas keluarga Ong yang termasyhur di Lokyang ini, kini kalian serentak boleh memaksa pengakuanku. Silakan memanggil dia kemari."
"Kau adalah tetamu keluarga Ong kami, kata-kata 'memaksa pengakuanmu' sekali-kali tidak berani kami terima," sahut Kah-cun. "Kami bersaudara hanya terdorong oleh rasa ingin tahu saja, maka kami tanyakan secara iseng. Syukurlah kalau Lenghou-heng mau memberi jawaban, kalau tidak mau, ya apa boleh buat."
"Ya, aku tak mau menjawab dan kalian apa boleh buat, sekarang silakan pergi saja," kata Lenghou Tiong ketus.
Kah-cun dan Kah-ki saling pandang sendiri. Sama sekali mereka tidak menduga Lenghou Tiong akan menjawab secara ketus dan tegas sehingga pintu bicara telah ditutup.
Begitulah mereka menjadi kikuk sendiri. Sesudah batuk dua kali, Kah-cun coba mengalihkan pokok pembicaraan. Katanya, "Lenghou-heng, katanya sekali serang engkau telah membutakan, mata 15 orang musuh tangguh. Jurus serangan pedang yang begitu sakti besar kemungkinan baru saja kau dapat belajar dari Pi-sia-kiam-boh bukan?"
Sungguh kejut Lenghou Tiong tak terkatakan, seketika keringat dingin membasahi sekujur badannya, kedua tangan sampai gemetar semua. Pahamlah sekarang baginya bahwa sang guru, ibu guru dan para Sute dan Sumoaynya tidak berterima kasih padanya yang telah menyelamatkan jiwa mereka, sebaliknya mereka malah menaruh curiga padanya. Kiranya mereka menganggap dirinya telah menggelapkan Pi-sia-kiam-boh tinggalan Lim Cin-lam.
Pikir Lenghou Tiong, "Selamanya mereka tidak kenal Tokko-kiu-kiam, aku tidak mau menerangkan pula rahasia Hong-thaysiokco, sudah tentu mereka heran mengapa ilmu pedangku maju sepesat ini, sampai-sampai tokoh paling lihai dari sekte pedang seperti Hong Put-peng juga bukan tandinganku, kepandaianku ini kalau bukan diperoleh dari Pi-sia-kiam-boh itu lalu didapat dari mana" Ya, maklum juga, tentang ajaran Hong-thaysiokco kepadaku itu memang terlalu mendadak dan tak tersangka-sangka, sedangkan waktu Lim Cin-lam meninggal dunia juga melulu aku sendiri yang menunggui dia, dengan sendirinya setiap orang akan berpikir bahwa Pi-sia-kiam-boh yang diincar oleh setiap jago silat itu pasti jatuh di tanganku. Bila orang lain berprasangka demikian dapat dimengerti, namun Suhu dan Sunio cukup kenal watakku bagai anak kandung, mengapa mereka pun tidak memercayai aku lagi" Hehe, mereka benar-benar terlalu memandang rendah padaku!"
Karena begitu pikirannya, dengan sendirinya wajahnya memperlihatkan rasa penasaran.
Ong Kah-ki sangat senang, segera ia berkata pula, "Nah, ucapanku tadi kena benar bukan" Di manakah Pi-sia-kiam-boh itu" Bukan maksud kami juga mengincarnya, soalnya benda itu harus kembali kepada pemilik yang sebenarnya, silakan kau serahkan Kiam-boh itu kepada Lim-piauko dan selesailah urusan ini."
"Tidak, selamanya aku tidak pernah melihat Pi-sia-kiam-boh segala," sahut Lenghou Tiong sambil menggeleng. "Lim congpiauthau dan istrinya berturut-turut pernah ditawan oleh orang Jing-sia-pay dan si bungkuk Bok Ko-hong. Jika padanya tersimpan Kiam-boh apa segala tentu juga lebih dulu sudah diambil orang lain."
"Benar juga," seru Kah-cun. "Betapa bernilainya Pi-sia-kiam-boh itu, masakah pamanku mau menyimpannya di saku dan dibawa ke mana pun beliau pergi" Sudah tentu kitab pusaka itu disimpan beliau pada suatu tempat yang dirahasiakan. Sebelum mereka wafat, karena merasa sayang bila Kiam-boh itu lenyap begitu saja, maka kau yang diberitahukan tempat penyimpanannya agar menyampaikannya pula kepada Peng-ci Piauko, siapa tahu ... siapa tahu, hehe ...."
"Siapa tahu secara diam-diam kau telah pergi mengambil kitab pusaka itu dan mengangkanginya sebagai milikmu sendiri," sambung Kah-ki.
Makin gusar Lenghou Tiong mendengar tuduhan itu, sebenarnya ia tidak mau berdebat, cuma soal ini sangat penting, dirinya tidak sudi menerima fitnahan itu dan mendapat nama kotor, segera ia berkata, "Jika betul Lim-congpiauthau memiliki Kiam-boh sehebat itu, beliau sendiri seharusnya tiada tandingan pada masa hidupnya, tapi mengapa dia tidak mampu melawan beberapa anak murid Jing-sia-pay bahkan ditawan mereka?"
"Ini ... ini ...." Ong Kah-ki gelagapan tak bisa menjawab.
Sebaliknya Ong Kah-cun adalah seorang pandai putar lidah, katanya, "Kejadian di dunia ini memang sering-sering sangat kebetulan. Lenghou-heng sendiri sudah berhasil mempelajari Pi-sia-kiam-hoat yang sakti, tapi terhadap bicokok keroco saja tidak mampu melawan sehingga kena dihajar oleh mereka sampai babak belur. Apa sebabnya bisa terjadi demikian" Haha, haha, sandiwaramu ini agak keterlaluan sedikit, Lenghou-heng masakah seorang murid pewaris Hoa-san-pay bisa dihajar oleh beberapa bicokok di kota Lokyang, setiap orang pasti tidak percaya kepada kepalsuanmu itu" Dan kalau tidak dapat dipercaya, tentu di balik kejadian itu ada apa-apanya. Nah, Lenghou-heng, kukira lebih baik kau mengaku terus terang saja."
Kalau menuruti watak Lenghou Tiong, sebenarnya ia tidak ambil pusing terhadap Kim-to (golok emas) tiada tandingan dan keluarga Ong apa segala. Soalnya ia tidak sudi dirinya dicurigai guru, ibu guru dan Sumoaynya. Maka dengan tegas ia berkata pula, "Selama hidup Lenghou Tiong tidak pernah melihat Pi-sia-kiam-boh segala. Pesan Lim-congpiauthau sebelum wafat juga telah kusampaikan kepada Lim-sute tanpa mengurangi satu kalimat pun. Jika Lenghou Tiong ternyata bohong dan menipu, dosa ini pantas dihukum mati dan terkutuklah dia."
Habis berkata ia berdiri tegak dengan sikap kereng.
Ong Kah-cun tersenyum, katanya, "Urusan penting yang menyangkut dunia persilatan begini jika cukup diselesaikan dengan bersumpah saja, hah, rasanya Lenghou-heng terlalu kekanak-kanakan dan orang lain semuanya tolol."
"Habis bagaimana kalau menurut pendapatmu?" tanya Lenghou Tiong dengan menahan rasa gusarnya.
"Maaf, kami ingin coba menggeledah badanmu," sahut Kah-ki. Setelah merandek sejenak, lalu menyambung pula dengan cengar-cengir, "Anggap saja seperti tempo hari waktu Lenghou-heng dibekuk oleh kawanan bicokok itu dan tak bisa berkutik, mereka tentu juga akan menggerayangi badanmu."
"Hm, kalian ingin menggeledah badanku" Memangnya kau anggap Lenghou Tiong ini maling?" jengek Lenghou Tiong.
"Mana kami berani beranggapan demikian," ujar Kah-cun. "Tapi kalau Lenghou-heng menyatakan tidak pernah ambil Pi-sia-kiam-boh itu, lalu kenapa mesti takut digeledah orang" Sesudah digeledah, jika memang betul tiada Kiam-boh itu, tentu kau pun akan bersih dari segala tuduhan, cara demikian bukankah sangat baik?"
"Baik," sahut Lenghou Tiong mengangguk. "Coba panggil dulu Lim-sute dan Gak-sumoay, biar mereka berdua ikut menjadi saksi."
Tapi Ong Kah-cun khawatir kalau dirinya pergi jangan-jangan adiknya seorang diri akan disergap Lenghou Tiong atau kalau mereka pergi berduaan kesempatan itu tentu akan digunakan oleh Lenghou Tiong untuk menyembunyikan Pi-sia-kiam-boh dan takkan ditemukan lagi bila digeledah.
Maka dengan ngotot Kah-cun berkata, "Kalau mau geledah harus segera geledah, bila Lenghou-heng tidak berdosa, kenapa mesti banyak alasan lagi?"
Namun Lenghou Tiong menggeleng, jawabnya, "Jika cuma kalian berdua saja rasanya tidak sesuai untuk menggeledah badanku."
Semakin Lenghou Tiong tidak mau digeledah semakin yakin kedua saudara Ong itu bahwa pasti Lenghou Tiong mengangkangi Kiam-boh itu. Karena ingin mencari pahala dan mendapat pujian kakek dan ayahnya, pula mereka sudah lama mendengar Pi-sia-kiam-hoat itu sangat lihai, bila kitab itu nanti diketemukan tentu Peng-ci akan memberi pinjam kepada mereka.
Segera Kah-cun memberi isyarat kepada adiknya, lalu berkata, "Lenghou-heng, janganlah kau tidak mau diajak bicara secara halus tapi minta digunakan kekerasan, bila sampai terjadi apa-apa tentu akan kurang baik bagi hubungan kita."
Sembari bicara kedua saudara itu terus mendesak maju. Dengan membusungkan dada Ong Kah-ki lantas menerjang ke depan.
Ketika Lenghou Tiong mengangkat tangan menolaknya, Kah-ki berteriak teriak, "Aduh, kau berani memukul orang?"
Berbareng kedua tangannya terus mengunci lengan lawan.
Sebenarnya pengalaman Lenghou Tiong sudah sangat luas, kepandaiannya juga jauh lebih tinggi daripada kedua pemuda she Ong itu. Ketika Kah-ki menerjang maju segera ia tahu anak muda itu tidak bermaksud baik, maka tangannya yang menolak ke depan itu sebenarnya sudah siap dengan berbagai gerakan susulan yang tersembunyi.
Celakanya dia sudah kehilangan tenaga dalam, walaupun tangan tetap bergerak menurut rencana, tapi sama sekali tak bertenaga, maka dengan gampang saja Ong Kah-ki dapat melaksanakan maksud kejinya, "krek", tahu-tahu Lenghou Tiong merasa lengan kesakitan tangan telah dipegang oleh Kah-ki dan dipuntir, nyata ruas tulang lengannya telah terlepas, keseleo.
"Lekas geledah, Koko!" seru Kah-ki cepat.
Segera Kah-cun menjulurkan sebelah kakinya untuk menahan bawah perut Lenghou Tiong untuk berjaga jaga kalau Lenghou Tiong menendang. Menyusul tangan lantas menggerayangi baju Lenghou Tiong dan mengeluarkan seluruh isinya.
Mendadak sebuah buku kecil kena dirogoh keluar. Serentak kedua orang bersorak gembira, "Ini dia, Pi-sia-kiam-boh milik Lim-kohtio (paman Lim) sudah ditemukan!"
Buru-buru Kah-cun dan Kah-ki membuka buku kecil itu. Tertampak pada halaman pertama tertulis "Siau-go-kangouw-kik" (lagu Hina Kelana) dalam bentuk huruf kembang.
Kedua saudara Ong juga tidak tinggi sekolahnya, jika huruf-huruf itu ditulis dalam huruf biasa tentu akan dapat mereka baca, tapi sekarang huruf kembang yang aneh itu tak dikenal oleh mereka. Waktu mereka membalik halaman lain, semuanya juga tertulis dalam huruf-huruf yang aneh.
Mereka tidak tahu buku itu berisi not lagu bagi permainan kecapi dan seruling, yang mereka pikir adalah buku ini pasti Pi-sia-kiam-boh. Maka tanpa ragu lagi mereka terus berteriak-teriak, "Pi-sia-kiam-boh! Ini dia Pi-sia-kiam-boh!"
"Ayo lekas bawa dan perlihatkan kepada kakek!" seru Kah-cun. Dan buku not musik itu lantas buru-buru dibawa lari pergi.
Kah-ki masih belum puas, sebelum pergi ia tendang pula pinggang Lenghou Tiong sambil memaki, "Tidak punya malu, maling cilik!"
Bahkan ia meludahi pula muka Lenghou Tiong.
Mula-mula dada Lenghou Tiong serasa hampir meledak saking marahnya. Tapi sesudah dipikir lagi, ia percaya Ong Goan-pa pasti bukan manusia kasar dan hijau seperti kedua cucunya yang kurang ajar itu, sebentar bila buku itu diketahui adalah buku not musik tentu dia akan datang sendiri dan minta maaf padanya.
Cuma kedua tulang lengannya yang keseleo itu terasa sakit tidak kepalang. Pikirnya, "Tenagaku sudah punah, terhadap beberapa bicokok saja tak mampu melawan, keadaanku mirip seorang cacat, apa artinya pula hidup di dunia ini?"
Ia berbaring di tempat tidurnya, sampai agak lama barulah terdengar suara tindakan orang, kedua saudara Ong muda itu datang lagi.
"Ayo pergi menemui kakekku," jengek Ong Kah-cun.
"Tidak mau!" bentak Lenghou Tiong dengar gusar. "Kakekmu tidak datang minta maaf padaku, untuk apa aku pergi menemui dia?"
Kah-cun dan Kah-ki terbahak-bahak geli. "Minta kakek mohon maaf padamu" Hahahaha, jangan kau mimpi di siang bolong! Ayo, berangkat!" seru Kah-ki.
Berbareng mereka terus menarik bangun Lenghou Tiong dan diseret keluar.
Sungguh gusar Lenghou Tiong tak terlukiskan, kontan ia mencaci maki, "Huh, golok emas keluarga Ong sok sombong mengaku sebagai kaum kesatria, tapi perbuatan sewenang-wenang begini pada hakikatnya teramat kotor dan tidak tahu malu."
"Plok", Kah-cun terus menggambar muka Lenghou Tiong sehingga mengeluarkan darah.
Namun Lenghou Tiong sangat keras kepala, ia masih terus mencaci maki sampai akhirnya kedua saudara Ong itu menyeretnya ke ruangan besar di bagian belakang.
Tertampak Ong Goan-pa dan Gak Put-kun serta istrinya sudah duduk di situ. Ong Pek-hun dan Ong Tiong-kiang duduk di sebelah Ong Goan-pa.
Lenghou Tiong masih terus memaki, "Golok emas keluarga Ong ternyata juga kotor dan rendah seperti ini di dunia persilatan."
"Tutup mulut, Tiong-ji," bentak Gak Put-kun sambil menarik muka.
Karena bentakan sang guru barulah Lenghou Tiong berhenti memaki. Walaupun demikian ia tetap bersikap angkuh dan melotot ke arah Ong Goan-pa.
Tangan Ong Goan-pa tampak memegangi buku not musik yang dirampas dari Lenghou Tiong itu. Katanya kemudian, "Lenghou-hiante, Pi-sia-kiam-boh ini dari mana memperolehnya?"
Lenghou Tiong tidak menjawab, sebaliknya ia menengadah dan mengakak tawa, sampai lama ia masih bergelak tertawa.
"Tiong-ji, orang tua mengajukan pertanyaan padamu harus kau jawab dengan sejujurnya, mengapa kau bersikap kurang sopan begini" Macam apa ini?" omel Gak Put-kun.
"Suhu," jawab Lenghou Tiong, "dalam keadaan terluka parah, badan Tecu sedikit pun tidak bertenaga, tapi cara bagaimana kedua bocah ingusan itu memperlakukan diriku, hehe, apakah ini caranya keluarga Ong memerhatikan tetamunya"
"Jika tamu terhormat dan sahabat baik betapa pun keluarga Ong kami tidak berani berlaku kurang adat," ujar Ong Tiong-kiang, "Tapi kau mengingkari pesan orang, ini kan perbuatan sebangsa maling dan rampok, sebagai keluarga terhormat mana kami dapat menganggapmu sebagai sahabat lagi?"
"Kalian kakek dan cucu tiga turunan berkeras mengatakan buku itu adalah Pi-sia-kiam-boh, tapi apakah kalian sendiri pernah melihat Kiam-boh itu" Dari mana kalian dapat mengetahui buku itu adalah Pi-sia-kiam-boh?" tanya Lenghou Tiong dengan angkuh.
Saking gusarnya Lenghou Tiong berbalik tertawa, katanya, "Jika kau katakan buku itu adalah Pi-sia-kiam-boh, maka kebalikan anggap betul buku itu memang Kiam-boh. Semoga keluarga Ong kalian dapat meyakinkannya menurut petunjuk kitab itu sehingga berhasil memiliki Kiam-hoat yang tiada tandingan di dunia ini, selanjutnya keluarga Ong di Lokyang akan disegani karena ilmu pedang dan goloknya yang tiada taranya di dunia persilatan ini. Haha, hahaha!"
"Lenghou-hiante," Ong Goan-pa, "jika ada kesalahan cucuku kepadamu, hendaknya kau pun jangan menyesal. Setiap manusia tentu mempunyai kesalahan, tapi kalau sadar akan kesalahannya dan mau memperbaiki, inilah yang baik. Sesudah kau menyerahkan Kiam-boh ini, mengingat Suhumu masakah kami masih sampai hati untuk mengusut lebih jauh padamu" Persoalan ini selanjutnya siapa pun jangan mengungkatnya lagi. Sekarang biarlah kusambung dulu lenganmu."
Habis bicara ia terus berbangkit dan mendekati Lenghou Tiong hendak memegang tangannya.
Namun Lenghou Tiong lantas mundur dua-tiga tindak, teriaknya, "Tidak perlu! Lenghou Tiong tidak sudi menerima kebaikanmu!"
"Aku memberi kebaikan apa?" kata Goan-pa melengak.
"Aku Lenghou Tiong bukanlah patung yang tidak punya perasaan," teriak Lenghou Tiong. "Lenganku ini tidak dapat diperlakukan sesuka hati kalian, mau dipatahkan lantas dipatahkan, ingin disambung lantas disambung, huh!"
Ia terus melangkah ke hadapan Gak-hujin dan berkata, "Sunio, lenganku ini ...."
Sebelum habis ucapannya Gak-hujin sudah tahu maksudnya. Nyonya Gak itu menghela napas gegetun, ia lantas membetulkan kedua tulang lengan Lenghou Tiong yang terlepas ruasnya itu.
Lengan Lenghou Tiong itu hanya keseleo saja, tulangnya tidak patah, setiap orang persilatan yang pernah belajar Kim-na-jiu-hoat tentu paham cara menyambung tulang, maka dengan mudah saja Gak-hujin dapat membetulkan lengan yang keseleo itu.
Kemudian Lenghou Tiong berkata pula, "Sunio, sudah terang buku itu adalah buku not musik kecapi tujuh senar dan seruling, tapi rupanya keluarga Ong mereka buta huruf semua dan ngotot mengatakan buku itu adalah Pi-sia-kiam-boh segala. Sungguh suatu lelucon mahabesar di dunia ini."
"Ong-loyacu," kata Gak-hujin kemudian, "apakah buku itu boleh coba kulihat?"
"Silakan Gak-hujin melihatnya," sahut Ong Goan-pa sambil mengangsurkan buku not musik itu.
Sesudah membalik-balik beberapa halaman, Gak-hujin sendiri juga tidak paham isinya, katanya kemudian, "Tentang not musik kecapi dan seruling aku tidak paham, tapi kalau kitab ilmu silat sih sering kubaca. Buku kecil ini agaknya tidak mirip Kiam-boh segala. Ong-loyacu, apakah di kediaman kalian ini ada orang yang mahir memetik kecapi dan meniup seruling, boleh coba mengundangnya keluar dan mencobanya, tentu segala persoalan akan mudah dipecahkan."
Goan-pa merasa sangsi sebab khawatir buku itu jangan-jangan memang betul adalah buku not musik dan jika demikian berarti dia akan malu besar.
Sebaliknya Ong Kah-ki adalah pemuda yang bodoh, tanpa disuruh ia sudah berteriak, "Yaya (kakek), Ih-suya, juru tulis kita itu biasanya mahir meniup seruling, apa perlu kita memanggilnya ke sini untuk mencobanya. Sudah terang buku itu adalah Pi-sia-kiam-boh, masakah dikatakan buku musik?"
"Jenis kitab pusaka ilmu silat di kalangan Bu-lim banyak macam ragamnya, sering kali orang ingin merahasiakan kepandaian tunggalnya dan sengaja menuliskan pelajaran ilmu silat sebagai not musik dan cara lain, hal demikian sebenarnya juga tidak perlu diherankan," ujar Ong Goan-pa.
"Jika di sini ada seorang Ih-suya yang mahir meniup seruling, maka buku itu Kiam-boh atau Siau-boh (buku seruling) tentu akan segera diketahui sesudah dilihat olehnya," ujar Gak-hujin.
Tiada jalan lain, terpaksa Ong Goan-pa menurut dan menyuruh Kah-ki pergi memanggil Ih-suya.
Juru tulis she Ih itu ternyata seorang laki-laki kurus berusia 50-an, berkumis ala kumis tikus, pakaiannya cukup rajin.
"Ih-suya," kata Ong Goan-pa, "silakan periksa apakah ini buku not musik?"
Ih-suya itu membalik-balik beberapa halaman bagian not kecapi lalu katanya sambil menggeleng kepala, "Untuk ini hamba tidak terlalu paham!"
Ketika ia membalik-balik lagi bagian not seruling, tiba-tiba wajahnya berseri-seri, mulutnya mulai bernyanyi-nyanyi kecil, dua jarinya ketuk-ketuk di atas meja menurut irama.
Sesudah bernyanyi nyanyi kecil sejenak, tiba-tiba ia menggeleng kepala pula dan berkata, "Ah, tidak, tidak betul!"
Lalu mulutnya mulai mengiang-ngiang lagi, mendadak nadanya meninggi, sekonyong-konyong berubah menjadi rendah sekali sampai suaranya serak dan tak bisa diteruskan. Ia berkerut kening dan berkata, "Tidak, tidak mungkin begini, ini sungguh sukar ... sukar dimengerti ...."
"Apakah isi buku ini ada bagian-bagian yang menyangsikan" Adakah perbedaan mencolok dengan buku musik biasa?" tanya Goan-pa.
Ih-suya membalik kembali halaman permulaan bagian not seruling dan berkata, "Silakan Loya melihat ini, di sini dimulai dengan nada sedang, lalu mendadak berubah tinggi, kemudian berubah lagi nada paling rendah, ini benar-benar sangat bertentangan nada tinggi dan rendah demikian."
"Kau sendiri tidak becus, apakah orang lain juga tiada seorang pun mampu?" jengek Lenghou Tiong.
"Ya, betul juga ucapanmu," sahut Ih-suya sambil manggut-manggut. "Cuma di dunia ini kalau betul ada orang yang mampu membawakan lagu demikian, maka aku sungguh kagum tak terhingga, kagum tak terkatakan. Ya, kecuali ... kecuali ...."
"Apa kau maksudkan ini bukan not seruling biasa, lagu di dalamnya pada hakikatnya tidak dapat dibunyikan dengan seruling?" demikian Ong Goan-pa menyela.
"Ya, memang lain daripada biasa," sahut Ih-suya, "yang pasti aku tidak mampu memainkan lagu ini kecuali ...."
"Kecuali siapa" Apakah di sini ada seorang ahli yang mampu membawakan lagu ini?" Gak-hujin menegas.
"Sesungguhnya aku pun tidak berani tanggung, cuma ... cuma ... Lik-tiok-ong (si kakek bambu hijau) di kota timur itu, beliau mahir memetik kecapi dan pandai meniup seruling pula, mungkin beliau dapat membawakan lagu ini. Kepandaiannya meniup seruling jauh lebih mahir daripadaku, bedanya benar-benar sangat jauh."
"Kalau bukan not seruling biasa, di dalamnya tentu ada sesuatu yang ganjil," kata Ong Goan-pa.
Ong Pek-hun yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini mendadak membuka suara, "Ayah, pelajaran Liok-hap-to dari Pat-kwa-bun di Thociu sana bukankah juga tertulis di dalam sejilid buku not musik?"
Semula Ong Goan-pa melengak, tapi segera ia paham bahwa putranya itu sengaja membual, sebab Pat-kwa-bun di Thociu itu ada hubungan famili dengan keluarga Ong, namun selama ini tidak pernah terdengar tentang ajaran ilmu goloknya tertulis di dalam buku musik segala. Ia percaya Gak Put-kun juga tak mengetahui akan hal ini, maka dengan mengangguk ia menjawab, "Ya, benar juga. Beberapa tahun yang lalu Bok-cinken dari Pat-kwa-bun juga pernah menyinggung tentang hal ini. Sebenarnya ilmu silat ditulis dalam not musik adalah sangat jamak, sedikit pun tidak perlu diherankan."
"Huh, jika tidak perlu diherankan, maka numpang tanya, macam apakah Kim-hoat yang tertulis dalam not musik ini, silakan Ong-loyacu memberi keterangan," jengek Lenghou Tiong.
"Tentang ini ... ai menantuku itu sudah meninggal dunia, rahasia dalam not musik di dunia selain Lenghou-laute sendiri agaknya tidak orang kedua lagi yang tahu," demikian jawab Ong Goan-pa.
Nyata bukan saja ilmu golok Ong Goan-pa sangat lihai, bahkan bicaranya juga sangat tajam. Di balik ucapannya itu kembali ia menuduh Lenghou Tiong yang telah menggelapkan Pi-sia-kiam-boh dan telah mempelajari isi kitab itu.
Sebenarnya kalau Lenghou Tiong mau membela diri secara mudah dan tepat, dengan terus terang ia dapat menerangkan asal usul buku "Hina Kelana" itu. Tapi bila ia beri tahukan, akibatnya akan sangat luas, sebab terpaksa ia juga harus menceritakan terbunuhnya jago Ko-san-pay, yaitu Hui Pin, oleh Bok-taysiansing dari Heng-san-pay. Dan kalau gurunya mengetahui lagu itu ada sangkut pautnya dengan gembong Mo-kau yang bernama Kik Yang, tentu juga buku itu akan dimusnahkan. Jika hal ini terjadi, maka berarti dia telah mengingkari tugas yang diterimanya dari orang yang menyerahkan buku itu.
Segera ia berkata pula, "Tadi Ih-suya bilang di kota timur ada seorang Lik-tiok-ong yang mahir seni musik, kenapa kita tidak memperlihatkan buku musik ini padanya dan minta pertimbangan."
Goan-pa menggeleng, katanya, "Lik-tiok-ong itu sangat aneh, suka angin-anginan dan seperti orang sinting, terhadap orang lain sikapnya selalu acuh tak acuh. Orang demikian mana dapat dipercaya omongannya?"
"Tapi urusan ini betapa pun juga harus kita bikin terang," ujar Gak-hujin. "Tiong-ji adalah murid pertama kami, Peng-ci juga murid kami, kami tidak boleh pilih kasih dan membela salah satu pihak. Sebenarnya siapa yang salah, tiada jeleknya kita coba-coba minta pertimbangan Lik-tiok-ong itu."
Gak-hujin tidak enak untuk mengatakan buku itu adalah sebab pertimbangan antara Lenghou Tiong dan keluarga Ong, tapi dialihkannya pihak yang berselisih kepada Lim Peng-ci.
Segera Gak Put-kun menyokong usul sang istri, "Benar! Ih-suya, bagaimana kalau engkau mengirim orang membawa tandu pergi memapak Lik-tiok-ong ke sini?"
"Sifat orang tua itu sangat aneh," sahut Ih-suya. "Jika orang lain ingin minta pertolongannya, bila dia tidak mau, biarpun menyembah padanya juga dia takkan gubris. Sebaliknya kalau dia sudah mau ikut campur, maka hendak ditolaknya juga tidak dapat."
"Sifat demikian sama dengan kaum kita," kata Gak-hujin. "Agaknya Lik-tiok-ong ini adalah Cianpwe kalangan Bu-lim. Suko, kita benar-benar terlalu picik dan kerdil."
"Lik-tiok-ong bukan orang Bu-lim melainkan cuma seorang tukang bambu yang kerjanya hanya pandai membuat keranjang bambu dan tikar bambu," tutur Goan-pa sambil tertawa. "Cuma dia pun mahir memetik kecapi dan pandai meniup seruling, pula dapat melukis, mengukir bambu, sebab itulah penduduk setempat rada menghormat padanya."
"Tokoh demikian mana boleh kita lewatkan begini saja," ujar Gak-hujin, "Ong-loyacu sudilah engkau mengiringi kami pergi menyambangi si tukang bambu yang istimewa itu."
Karena Gak-hujin sudah mengajak, terpaksa Ong Goan-pa menurut, dengan anak cucunya dan Gak Put-kun suami istri serta anak murid Hoa-san-pay mereka lantas berangkat ke kota timur dengan Ih-suya sebagai petunjuk jalan.
Sesudah melalui beberapa jalan besar dan kecil, akhirnya sampai di suatu gang yang agak sempit. Ujung gang itu penuh semak-semak bambu yang rimbun dan luas, pemandangan cukup indah.
Baru saja mereka memasuki gang itu sudah terdengar suara kecapi yang merdu. Di tengah sunyi itu sungguh amat berbeda keramaian di jalan lain di kota Lokyang.
"Lik-tiok-ong ini benar-benar dapat menikmati kehidupannya yang tenteram," bisik Gak-hujin kepada sang suami.
Pada saat itu juga mendadak terdengar suara kecapi lantas berhenti juga. Terdengar suara seorang tua bertanya, "Tamu agung yang sudi berkunjung ke gubuk yang kotor ini, entah ada sejilid not kecapi dan seruling yang aneh ingin minta pendapatmu."
"Ada not seruling ingin minta pendapatku" Hehe, ini benar-benar terlalu menghargai si tukang bambu tua," sahut Lik-tiok-ong.
Belum Ih-suya bersuara lagi, buru-buru Ong Kah-ki sudah menimbrung, "Ong-loyacu dari keluarga golok emas datang berkunjung."
Ia sengaja menonjolkan merek sang kakek yang termasyhur dan disegani di kota Lokyang dan mengira seorang tukang bambu tua tentu akan cepat ke luar menyambut.
Tak tersangka Lik-tiok-ong itu malah mendengus, katanya, "Hm, golok emas atau golok perak segala, apa gunanya kalau tidak lebih berharga daripada golok pembelah bambuku dari besi rongsokan ini. Tukang bambu tua tidak pergi menyambangi Ong-loyacu, maka Ong-loyacu yang perlu berkunjung pada si tukang bambu tua."
Kah-ki menjadi gusar, teriaknya, "Yaya, tukang bambu tua ini adalah orang tidak tahu adat, buat apa bertemu dengan dia" Lebih baik kita pulang saja!"
Tapi Gak-hujin lantas berkata, "Toh kita sudah datang di sini, tiada alangannya kita minta pendapat Lik-tiok-ong tentang not musik ini."
Ong Goan-pa hanya mendengus saja tanpa menjawab. Sedangkan Ih-suya lantas menerima buku not dan melangkah masuk ke tengah semak bambu yang rimbun itu.
Terdengar suara Lik-tiok-ong berkata, "Baiklah, boleh kau taruh di situ!"
"Tolong tanya Tiok-ong, apakah ini benar-benar not musik atau rumus rahasia dari sesuatu ilmu silat yang sengaja ditulis dalam bentuk not musik?" tanya Ih-suya.
"Rumus rahasia ilmu silat apa" Sudah tentu ini adalah not kecapi," jawab Lik-tiok-ong. Lalu suara kecapi mulai menggema, mengalun merdu. Sejenak Lenghou Tiong mendengarkan, segera teringat olehnya lagu yang dibunyikan kecapi ini memang benar adalah lagu yang dipetik oleh Lau Cing-hong tempo hari. Sekarang lagunya masih ada, tapi orangnya sudah meninggal, tanpa terasa hatinya merasa pilu.
Bab 47. Lenghou Tiong Belajar Main Kecapi
Tidak lama kemudian mendadak suara kecapi itu meninggi, makin keras makin tinggi, suaranya teramat tajam melengking, setelah lebih tinggi pula beberapa iramanya, sekonyong-konyong "cring", senar kecapi itu putus lagi seutas.
Terdengar Lik-tiok-ong bersuara heran, katanya, "Aneh, not kecapi ini sungguh sangat aneh dan sukar dimengerti."
Seketika Ong Goan-pa saling pandang dengan anak cucunya, diam-diam mereka merasa senang.
Dalam pada itu terdengar Lik-tiok-ong sedang berkata, "Biar kucoba lagi not seruling ini."
Menyusul suara seruling lantas berkumandang pula dari tengah-tengah semak bambu.
Semula suara seruling itu sangat merdu menawan hati. Tapi waktu nadanya berubah menjadi rendah, bahkan makin lama makin rendah sampai hampir-hampir tak terdengar, lalu irama seruling itu menjadi parau dan tidak enak didengar lagi.
Lik-tiok-ong menghela napas, katanya, "Ih-laute, kau sendiri dapat meniup seruling, tapi nada yang begini rendah mana dapat ditiup keluar" Not kecapi dan seruling ini rasanya tidak palsu, tapi orang yang menggubah lagu ini rupanya sengaja mengada-ada dan bergurau dengan orang lain. Boleh kau pulang dulu, biar aku coba-coba lagi mempelajarinya lebih mendalam."
"Mana Kiam-bohnya?" tanya Ong Tiong-kiang.
"Kiam-boh?" Ih-suya melengak. "O, Lik-tiok-ong bilang, sementara ditinggalkan di sini dan akan dipelajarinya lebih mendalam."
"He, lekas mengambilnya kembali," seru Tiong-kiang. "Itu adalah Kiam-boh yang tak ternilai, entah berapa banyak orang persilatan selalu mengincar dan ingin memilikinya, mana boleh sembarangan ditinggalkan pada seorang yang tidak berkepentingan?"
Ih-suya mengiakan lagi dan baru saja ia hendak putar balik ke tengah semak-semak bambu sana, tiba-tiba terdengar seruan Lik-tiok-ong, "Eh, Kokoh (bibi), mengapa engkau keluar?"
Keruan semua merasa heran. "Berapa kira-kira umur Lik-tiok-ong itu?" tanya Ong Goan-pa kepada Ih-suya dengan suara bertanya.
"Lebih dari 70 tahun, mungkin sudah hampir 80 tahun," sahut Ih-suya.
Diam-diam semua orang berpikir, "Seorang kakek berusia hampir 80 tahun dan masih punya seorang bibi, maka nenek ini mungkin sudah ada seratus tahun umurnya?"
Dalam pada itu terdengar suara seorang perempuan sedang menjawab, ditilik dari suaranya toh belum terlalu tua.
"Bibi, silakan lihat, buku musik ini rada-rada aneh," demikian terdengar Lik-tiok-ong lagi berkata.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali terdengar perempuan tua itu bersuara "ehm", lalu suara kecapi mulai berbunyi, agaknya iramanya sedang disetel dulu, lalu berhenti sejenak, mungkin senar yang putus tadi sedang disambung, habis itu disetel lagi dan akhirnya baru mulai dipetik.
Semula irama kecapi itu sama dengan permainan Lik-tiok-ong tadi, tapi kemudian mulai berbeda, nada kecapi itu makin lama makin tinggi, namun irama yang dibawanya itu berjalan lancar dan gampang saja dapat mengikuti nada yang tinggi itu.
Sungguh girang Lenghou Tiong tak terkatakan, sayup-sayup suara kecapi itu seperti keadaan pada malam itu ketika Lau Cing-hong memetik kecapi dan membawakan lagu Hina Kelana ini.
Walaupun Lenghou Tiong tidak paham seni musik, tapi merasa lagu yang dibawakan nenek itu sama dengan lagu yang dibawakan Lau Cing-hong dahulu, cuma iramanya agak berbeda. Irama kecapi yang dipetik si nenek ini ulem meresap, kedengarannya sangat menyegarkan, sedikit pun tidak menimbulkan semangat yang bergolak-golak seperti irama yang dibawakan Lau Cing-hong.
Tidak lama kemudian suara kecapi mulai lompat seakan-akan semakin menjauh, mirip si pemetik kecapi itu telah pergi belasan meter jauhnya, lalu makin menjauh seakan-akan sudah beberapa li dan akhirnya makin perlahan dan makin lirih sehingga tak terdengar pula. Lagu itu belum selesai dipetik, hanya saja suaranya terlalu rendah dan jauh sehingga sukar didengar.
Ong Goan-pa, Gak Put-kun dan lain-lain juga tidak paham seni musik, namun tanpa terasa mereka pun tenggelam dalam lamunan suara kecapi itu seakan-akan ikut terbawa ke tempat yang amat jauh oleh suara musik itu. Ketika suara kecapi itu berhenti, seketika terdengar suara seruling yang halus mulai berbunyi di samping suara kecapi.
Suara seruling itu mengalun merdu dan perlahan makin mendekat. Tiba-tiba pada seruling itu berubah melengking tinggi, lalu merendah pula, sekonyong-konyong berubah perlahan, lalu berbunyi keras lagi.
Tiba-tiba suara seruling seakan-akan sekaligus memancarkan macam-macam suara yang berbeda, tapi lambat laun macam-macam suara itu berkurang satu per satu dan akhirnya lenyap semua, suara seruling itu telah berhenti.
Lama juga suara seruling itu berhenti barulah semua orang seperti baru sadar dari bermimpi, sungguh sukar dipercaya bahwa sebuah kecapi tujuh senar dan sebatang bambu kecil itu mampu mengeluarkan macam-macam nada suara yang begitu aneh.
Gak-hujin menghela napas panjang penuh kekaguman, katanya, "Sungguh hebat. Lagu apakah itu tadi, Tiong-ji?"
"Lagu itu disebut 'Lagu Hina Kelana'," sahut Lenghou Tiong. "Kepandaian nenek itu sungguh sangat hebat, baik kecapi maupun seruling telah dimainkannya dengan bagus sekali."
"Meski lagu itu sangat bagus dan aneh, tapi memang diperlukan seorang ahli musik seperti si nenek baru dapat memperdengarkan keindahan lagu itu," kata Gak-hujin "Musik sebagus ini agaknya kau pun baru pertama kali ini mendengarnya "
"Tidak, apa yang Tecu dengar dahulu jauh lebih bagus daripada barusan ini," kata Lenghou Tiong.
"Mana mungkin!" ujar Gak-hujin. "Masakah di dunia ini masih ada orang yang lebih mahir daripada nenek ini dalam hal memetik kecapi dan meniup seruling?"
"Lebih pandai sih memang tidak," sahut Lenghou Tiong. "Cuma yang pernah Tecu dengar dahulu adalah paduan suara dari dua orang pemain, yang satu memetik kecapi dan yang lain meniup seruling, yang dibawakan juga lagu Hina Kelana ini ...."
Belum habis ucapannya, rupanya si nenek yang tak kelihatan di balik semak bambu itu pun mendengar apa yang dikatakan Lenghou Tiong, terdengar suara kecapi dibunyikan perlahan beberapa kali dan sayup-sayup terdengar suaranya berkata, "Paduan suara kecapi dan seruling, di dunia ini ke mana lagi untuk mencari seorang demikian ini?"
Kemudian terdengar Lik-tiok-ong berseru, "Ih-suya, buku ini memang betul berisi not kecapi dan seruling, ini baru saja dimainkan oleh bibiku, sekarang boleh kau ambil kembali buku ini."
Ih-suya mengiakan, lalu masuk ke tengah semak bambu, waktu keluar lagi dia sudah membawa buku musik itu.
Terdengar Lik-tiok-ong berkata pula, "Betapa bagus lagu yang tertulis itu sungguh tiada bandingannya di dunia ini. Buku ini adalah benda pusaka dan jangan sekali-kali jatuh ke tangan orang biasa. Kau tidak dapat memainkannya dan jangan sekali-kali memaksakan diri mencobanya, kalau tidak menurut tentu akan merugikan kau sendiri."
Kembali Ih-suya mengiakan, lalu buku not musik itu diserahkannya kembali kepada Ong Goan-pa.
Dengan telinga sendiri Goan-pa sudah mendengar permainan kecapi dan seruling, ia percaya isi buku itu memang betul adalah not musik, segera ia pun mengembalikan buku itu kepada Lenghou Tiong dan berkata, "Maaf!"
Lenghou Tiong mendengus dan sebenarnya hendak melontarkan beberapa patah kata ejekan, tapi Gak-hujin keburu mengedipinya sehingga dia urung membuka mulut.
Karena merasa kehilangan muka, Ong Goan-pa dan anak cucunya mendahului meninggalkan tempat itu disusul oleh Gak Put-kun. Sebaliknya Lenghou Tiong masih berdiri termangu-mangu di situ sambil memegangi buku not musik itu.
"Tiong-ji, apa kau tidak ikut pulang?" tegur Gak-hujin.
"Sebentar lagi segera Tecu akan pulang," sahut Lenghou Tiong.
"Hendaknya lekas pulang untuk mengaso," pesan Gak-hujin. "Lenganmu baru saja keseleo, tidak boleh menggunakan tenaga keras."
Lenghou Tiong mengiakan. Sesudah orang lain sudah pergi semua, suasana di gang kecil itu menjadi sunyi senyap. Hanya suara berkereseknya daun bambu bertiup angin mengiringi Lenghou Tiong yang masih berdiri melamun di situ sambil memegangi buku musik.
Teringat olehnya dahulu di tengah malam Lau Cing-hong bertemu dengan Kik Yang, di sanalah kedua tokoh itu telah menciptakan lagu yang ajaib ini. Sekarang walaupun si nenek di tengah semak-semak bambu itu juga mahir memetik kecapi dan meniup seruling dengan sama menakjubkan, namun sayang dia hanya memainkan kedua jenis alat musik itu secara terpisah dan Lik-tiok-ong itu ternyata tidak mampu memainkannya bersama dia. Agaknya paduan suara kecapi dan seruling dalam membawakan lagu Hina Kelana ini selanjutnya akan tamat riwayatnya dan tidak dapat didengar lagi untuk kedua kalinya.
Kemudian Lenghou Tiong berpikir pula, "Lau-susiok dan Kik-tianglo sebenarnya adalah musuh, yang satu adalah tokoh golongan Cing-pay dan yang lain adalah gembong Mo-kau, tapi akhirnya mereka merasa sepaham dan mengikat persahabatan sehidup semati, bahkan menciptakan 'Lagu Hina Kelana' yang bagus ini bersama. Ketika mereka berdua meninggal dunia bersama, jelas mereka tidak merasa menyesal sedikit pun, jauh lebih senang daripada hidupku sebatang kara di dunia. Laksute yang paling menghormat dan cinta padaku itu malah terbinasa oleh tutukanku sendiri."
Teringat akan kematian Liok Tay-yu yang mengenaskan itu, tanpa terasa Lenghou Tiong berduka, air matanya menetes jatuh di atas buku musik itu, akhirnya suara tangisnya yang tersenggak-sengguk terdengar pula.
Tiba-tiba suara Lik-tiok-ong terdengar berkumandang dari balik semak-semak bambu sana, "Sebab apakah sobat itu tidak pergi dan malah menangis di sini?"
"Wanpwe berduka akan nasib sendiri yang malang dan terkenang pula kepada kematian kedua Locianpwe yang menggubah lagu ini sehingga tanpa sadar telah mengganggu ketenangan Losiansing, harap dimaafkan," habis berkata segera Lenghou Tiong hendak melangkah pergi.
"Sobat kecil, ada beberapa patah ingin kuminta keteranganmu, apakah sudi masuk kemari untuk omong-omong?" kata Lik-tiok-ong.
Tadi Lenghou Tiong mendengar sendiri cara bicara kakek tukang bambu itu sangat ketus dan angkuh terhadap Ong Goan-pa, sungguh tidak tersangka bahwa dia justru berlaku begitu ramah terhadap dirinya seorang pemuda yang tak terkenal. Maka jawabnya kemudian, "Cianpwe ingin tanya apa, tentu Wanpwe akan memberi penjelasan."
Lalu ia pun melangkah ke depan menyusuri hutan bambu itu.
Jalanan kecil itu membelok beberapa kali di tengah hutan bambu, kemudian tertampaklah di depan sana ada lima buah gubuk kecil. Di sebelah kiri dua dan di sebelah kanan tiga. Semuanya terbuat dari bambu. Terlihat seorang kakek melangkah ke luar dari gubuk di sebelah kanan dan memapaknya dengan tertawa.
"Silakan masuk untuk minum teh, sobat kecil!" demikian sapa orang tua itu.
Lenghou Tiong melihat badan Lik-tiok-ong itu rada bungkuk, kepala botak, rambutnya jarang-jarang. Tangan lebar dan kaki besar, semangatnya sangat kuat. Segera ia memberi hormat dan berkata, "Wanpwe Lenghou Tiong memberikan salam hormat!"
Kakek itu bergelak tertawa, sahutnya, "Aku cuma kebetulan lebih tua beberapa tahun, kita tidak perlu banyak adat. Marilah silakan masuk, silakan!"
Sesudah Lenghou Tiong ikut masuk ke dalam pondok kecil itu, terlihat meja kursi, balai-balai dan lemari, semuanya terbuat dari bambu. Di sana-sini terdapat pula hiasan ukiran bambu dengan tulisan yang indah, di atas meja tertaruh sebuah kecapi dan sebatang seruling, keadaan ruangan itu menjadi lebih mirip kamar tulis kaum sastrawan daripada rumah seorang tukang bambu.
"Silakan minum, sobat cilik," kata Lik-tiok-ong sesudah menuangkan secangkir teh dari sebuah kendi porselen hijau.
Dengan penuh hormat Lenghou Tiong menerima cangkir teh itu.
"Sobat kecil, buku not musik ini entah kau dapatkan dari mana" Apakah sudi memberi keterangan?" tanya Lik-tiok-ong lebih lanjut.
Lenghou Tiong melengak atas pertanyaan itu. Buku musik itu banyak mengandung rahasia, sebab itulah sang guru dan ibu gurunya saja belum pernah diberi tahu.
Dahulu maksud tujuan Lau Cing-hong dan Kik Yang menyerahkan buku itu padanya harapannya adalah semoga buku itu dapat diturunkan kepada angkatan baru dan supaya tidak lenyap begitu saja lagu ciptaan mereka. Sekarang Lik-tiok-ong dan bibinya ternyata juga ahli seni musik dan dapat memainkan lagu itu sedemikian bagusnya, biarpun usia mereka sudah tua, tapi selain mereka rasanya di dunia ini tiada orang lain lagi yang sesuai untuk diserahi lagu indah itu. Seumpama di dunia ini ada yang lebih pandai, tapi jiwa sendiri takkan bertahan lebih lama lagi dan tentu tidak sempat buat menemukan ahli musik yang lain.
Setelah berpikir sejenak, kemudian katanya, "Kedua Cianpwe yang menggubah lagu ini, yang seorang mahir memetik kecapi dan yang lain ahli meniup seruling, kedua orang telah mengikat persahabatan dan bersama-sama menciptakan lagu ini, cuma sayang mereka mengalami malapetaka dan telah meninggal dunia bersama. Menurut pesan kedua Cianpwe itu, lagu yang diserahkan kepadaku ini diharapkan akan mendapatkan ahli waris yang tepat agar supaya tidak sampai lenyap begitu saja di dunia ramai ini."
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Tadi dapat kudengar bibi Locianpwe memainkan kecapi dan seruling secara amat indah, Tecu sangat bersyukur lagunya telah menemukan tuannya, maka mohon Locianpwe sudi menerima buku musik ini dan sampaikan kepada Popo (nenek) supaya Tecu tidak sia-siakan maksud tujuan kedua Cianpwe menggubah lagu ini, dengan demikian pun terkabul juga cita-citaku ini."
Habis berkata ia terus mempersembahkan buku lagu itu dengan penuh khidmat.
Lik-tiok-ong tidak berani menerimanya begitu saja, katanya, "Aku harus tanya dulu kepada Kokoh, entah beliau sudi menerima atau tidak?"
Maka terdengarlah suara si nenek dari gubuk sebelah sana, "Maksud luhur Lenghou-siansing yang ingin memberikan lagu bagus itu, untuk menolaknya akan kurang hormat, jika menerimanya merasa malu. Entah kedua Cianpwe penggubah lagu itu bernama siapa, dapatkah Lenghou-siansing memberitahukan?"
"Jika Cianpwe ingin mengetahui sudah tentu akan kuterangkan," sahut Lenghou Tiong. "Kedua penggubah lagu itu adalah Lau Cing-hong Susiok dan Kik Yang, Kik-tianglo."
"Ah ... kiranya mereka berdua," demikian terdengar si nenek bersuara, agaknya sangat heran dan terkejut.
"Apakah Cianpwe kenal pada mereka?" tanya Lenghou Tiong.
Nenek itu tidak menjawab. Sejenak kemudian barulah ia berkata, "Lau Cing-hong adalah tokoh Heng-san-pay, sebaliknya Kik Yang adalah gembong Mo-kau, kedua pihak adalah musuh bebuyutan, mengapa mereka bisa menggubah lagu bersama" Sungguh hal ini sukar untuk dimengerti."
Walaupun Lenghou Tiong belum pernah tahu muka nenek itu, tapi sesudah mendengar permainan kecapi dan serulingnya tadi, ia merasa si nenek tentu adalah seorang tokoh angkatan tua yang baik budi dan welas asih, pasti takkan menipu dirinya apalagi orang mengetahui pula asal usul Lau Cing-hong dan Kik Yang, terang juga kaum persilatan yang sama.
Maka tanpa ragu lagi ia terus bercerita tentang Lau Cing-hong ingin "cuci tangan", tapi dirintangi Co-bengcu dari Ko-san-pay, dan pertemuan Lau Cing-hong dengan Kik Yang di pegunungan sunyi di sana kedua orang bersama memainkan kecapi serta seruling, akhirnya gugur bersama dibunuh oleh Hui Pin, jago terkemuka Ko-san-pay. Sebelum mengembuskan napas penghabisan kedua orang itu minta pertolongannya agar mencari orang yang paham seni musik dan menyerahkan lagu itu padanya. Begitulah ia menuturkan semua pengalamannya itu dengan sejujurnya.
Selama itu si nenek terus mendengarkan dengan cermat tanpa bersuara.
Selesai Lenghou Tiong bicara barulah nenek itu bertanya, "Sudah terang ini adalah buku musik mengapa si golok emas Ong Goan-pa itu mengatakannya sebagai kitab pusaka ilmu silat segala?"
Maka Lenghou Tiong bercerita pula tentang tertawannya Lim Cin-lam dan istrinya oleh orang Jing-sia-pay dan kemudian ditolong oleh Bok Ko-hong, sebelum ajalnya orang tua itu memberi pesan agar disampaikan kepada Lim Peng-ci, tapi hal ini telah menimbulkan rasa curiga keluarga Ong dan sebagainya.
"O, kiranya demikian," kata si nenek. "Seluk-beluk urusan ini jika mau kau katakan terus terang kepada guru dan ibu-gurumu, bukankah segala prasangka itu seakan lenyap dengan sendirinya" Sebaliknya aku adalah orang yang belum pernah kau kenal, kenapa kau malah bicara sejujurnya kepadaku?"
"Tecu sedikit pun tidak tahu apa sebabnya?" sahut Lenghou Tiong. "Mungkin sesudah mendengar permainan kecapi Cianpwe yang indah tadi lantas timbul rasa kagum dan hormatku atas keluhuran Cianpwe sehingga tidak merasa sangsi apa pun."
"Jika begitu, tadi kau malah sangsi kepada guru dan ibu-gurumu?" tanya si nenek.
"Sekali-kali Tecu tidak berani punya pikiran demikian," sahut Lenghou Tiong cepat. "Cuma ... cuma Suhu diam-diam sudah mencurigaiku. Tetapi, ai, ini pun tak dapat menyalahkan beliau."
"Dari suaramu dapat diketahui tenagamu sangat lemah, orang muda tidak seharusnya begitu, entah apa sebabnya" Apakah kau baru sakit payah atau pernah terluka parah?"
"Ya, pernah menderita luka dalam yang amat berat," sahut Lenghou Tiong.
"Tiok-hiantit, coba kau bawa anak muda itu ke pinggir jendelaku, biar kuperiksa nadinya," kata nenek itu.
Terdengar Lik-tiok-ong mengiakan, lalu Lenghou Tiong diajaknya ke pinggir jendela gubuk kecil di sebelah kiri sana dan menyuruh dia menjulurkan tangan kiri ke dalam gubuk melalui bawah kerai bambu. Di balik tirai bambu itu teraling-aling pula selapis tirai sutera yang halus. Samar-samar Lenghou Tiong hanya melihat ada bayangan orang, tapi bagaimana mukanya sama sekali tidak kelihatan. Segera dirasakan ada tiga buah jari yang dingin memegang nadi pergelangan tangannya, ujung ketiga jari itu terasa halus dan licin, tidak mirip anggota badan perempuan.
Setelah memegangi sebentar nadi Lenghou Tiong, terdengar nenek itu bersuara kejut dan berkata, "Aneh, sungguh sangat aneh!"
Selang sejenak, lalu katanya pula, "Coba ganti tangan kanan!"
Selesai memeriksa nadi kedua tangan Lenghou Tiong, sampai agak lama nenek itu tertegun diam.
Lenghou Tiong tersenyum, katanya, "Harap Cianpwe tidak perlu khawatir bagi keselamatanku. Tecu sadar tidak lama lagi hidup di dunia ini, sudah lama Tecu tidak pikiran soal ini lagi."
"Mengapa kau tahu jiwamu tak bisa hidup lebih sama lagi?" tanya si nenek.
"Tecu telah salah membunuh Sute sendiri dan menghilangkan Ci-he-pit-kip milik perguruan, diharap selekasnya kitab pusaka itu dapat diketemukan habis itu Tecu akan segera membunuh diri untuk menyusul Sute di alam baka."
"Ci-he-pit-kip katamu?" si nenek menegas. "Ini pun sesuatu benda yang luar biasa. Dan cara bagaimana kau bisa salah membunuh Sutemu sendiri?"
Segera Lenghou Tiong bercerita pula tentang maksud Tho-kok-lak-sian hendak menyembuhkan lukanya, tapi enam arus hawa murni mereka malah tertinggal di dalam badannya dan perang tanding di antara arus hawa murni itu sendiri. Lalu Sumoaynya mencuri kitab pusaka dengan maksud hendak membantu menyembuhkan lukanya, namun dirinya telah menolak menerima kitab pusaka itu lalu Liok-sute sengaja membacakan isi kitab itu kemudian dirinya menutuk roboh sang Sute, mungkin tutukannya terlalu keras sehingga mengakibatkan kematiannya. Semua itu diceritakan pula dengan jelas.
Habis mendengar mendadak nenek itu berkata, "Sutemu itu bukan terbunuh olehmu."
Lenghou Tiong terkesiap. "Bukan aku yang membunuhnya?" ia menegas.
"Ya, waktu itu tenagamu sendiri sangat lemah, hanya tutukan kedua Hiat-to saja pasti takkan mampu membinasakan dia," kata si nenek. "Sutemu itu dibunuh oleh orang lain dan bukan olehmu."
"Lalu ... lalu siapakah yang membunuh Liok-sute?" demikian Lenghou Tiong seperti bergumam sendiri.
"Walaupun orang yang mencuri Ci-he-pit-kip itu belum tentu adalah si pembunuh Sutemu, tapi di antara keduanya sedikit banyak mungkin ada hubungannya," kata si nenek lebih lanjut.
Lenghou Tiong menghela napas lega, rasa batinnya yang tertekan selama ini seketika menjadi enteng.
Sebenarnya dia adalah seorang yang sangat pintar dan cerdik, semula ia pun sudah berpikir bahwa tutukannya yang tak bertenaga itu mana bisa mengakibatkan kematian Liok Tay-yu" Cuma saat itu dalam hati kecilnya terasa sangat menyesal, ia merasa Liok Tay-yu biarpun bukan mati tertutuk olehnya, paling tidak Sute itu mati lantaran dia. Ia merasa seorang laki-laki sejati mana boleh mencari alasan untuk mengelakkan tanggung jawab dan membersihkan kesalahan sendiri"
Apalagi akhir-akhir ini sikap Gak Leng-sian semakin dingin padanya, saking pedih dan kecewanya ia menjadi putus asa dan bosan hidup, yang terpikir selalu olehnya hanyalah "mati" melulu, lain tidak.
Tapi kini demi si nenek mengingatkan dia, seketika terbangkit rasa penasarannya, "Balas dendam! Ya, balas dendam! Harus membalas dendam Liok-sute!"
Dalam pada itu terdengar si nenek berkata pula, "Kau mengaku di dalam tubuhmu ada enam arus hawa murni sedang saling gontok sendiri, tapi dari denyut nadimu tadi aku merasa ada delapan arus hawa murni. Mengapa bisa demikian?"
Maka tertawalah Lenghou Tiong, segera menerangkan pula tentang Put-kay Hwesio yang juga memaksa hendak menyembuhkan dia itu.
"Sifatmu sebenarnya sangat periang," kata si nenek pula. "Walaupun denyut nadimu agak kacau tapi tiada tanda-tanda sesuatu kelemahan. Bagaimana kalau aku memetik kecapi dan membawakan satu lagu pula agar kau suka memberi penilaian?"
"Perhatian Cianpwe kepada diriku tentu akan kuterima dengan penuh rasa terima kasih," sahut Lenghou Tiong.
Sejenak kemudian, suara kecapi pun mula menggema pula.
Kini lagunya sangat halus dan merdu, seperti nyanyian seorang ibu yang lagi meninabobokan anaknya, tidak lama mendengar, sayup-sayup Lenghou Tiong merasa mengantuk. Katanya di dalam hati, "Jangan tidur, jangan tidur! Kau sedang mendengarkan permainan kecapi nenek itu, jika tertidur akan terasa tidak sopan."
Namun begitu matanya terasa semakin sepat dan makin merapat sehingga akhirnya sukar terbuka lagi, tubuhnya lantas lemas terkulai, lalu tertidur.
Di tengah impiannya dia masih terus mendengar suara kecapi yang merdu itu, seperti ada sebuah tangan yang halus sedang mengelus-elus kepalanya terasa seperti belaian kasih ibunda pada waktu masih kanak-kanak.
Agak lama juga, ketika suara kecapi berhenti, seketika Lenghou Tiong juga terjaga dan cepat ia merangkak bangun. Keruan ia merasa malu dan berkata, "Tecu benar-benar tidak tahu aturan, tidak memerhatikan permainan kecapi Cianpwe, sebaliknya malah tertidur, sungguh perasaan Tecu tidak enak."
"Tak perlu kau menyesali diri sendiri," kata si nenek. "Lagu yang kubawakan barusan ini memang mempunyai pengaruh tidak sedikit dengan harapan dapat mengatur kembali hawa murni dalam tubuhmu itu dengan baik. Sekarang coba mengerahkan sedikit tenaga, apakah rasa muak dan sesak itu sudah berkurang atau tidak?"
Lenghou Tiong sangat girang dan mengucapkan terima kasih. Cepat ia duduk bersimpuh dan coba mengerahkan tenaga dalam. Ia merasa kedelapan arus hawa murni itu masih terus saling terjang di dalam badan, tapi rasa sesak karena bergolaknya darah di rongga dada telah banyak berkurang.
Akan tetapi hanya bertahan sebentar saja kembali kepalanya terasa pusing dari badan lemas dan terkapar di atas tanah.
Melihat itu lekas Lik-tiok-ong mendatangi dan memayangnya masuk ke dalam rumah, sesudah ditidurkan sekian lama baru rasa pusing kepalanya hilang.
"Lwekang Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Taysu itu teramat tinggi, hawa murni yang mereka tinggalkan itu sukar diatur oleh suara kecapi yang lemah ini sehingga membikin kau lebih menderita, sungguh aku merasa tidak enak hati," kata nenek itu.
"Janganlah Cianpwe berkata demikian," ujar Lenghou Tiong cepat. "Dapat mendengar lagu yang merdu tadi sudah tidak sedikit manfaat yang diperoleh Tecu."
Tiba-tiba ia melihat Lik-tiok-ong menyodorkan secarik kertas yang baru saja ditulis olehnya, waktu Lenghou Tiong membaca isinya, kiranya tertulis, "Mintalah agar diajarkan lagu itu sekalian."
Tergerak juga hati Lenghou Tiong, segera ia pun memohon, "Bilamana tidak menjadi keberatan Cianpwe sungguh Tecu ingin mempelajari lagu penyembuhan tadi agar lambat laun Tecu dapat mengatur hawa murni yang bergolak di dalam tubuh ini."
Nenek itu tidak lantas menjawab, selang sejenak baru membuka suara, "Sudah berapa jauh kepandaianmu memetik kecapi" Coba mainkan satu lagu."
Wajah Lenghou Tiong menjadi merah, katanya, "Selamanya Tecu belum pernah belajar maka sama sekali tidak paham. Memang Tecu terlalu sembrono ingin belajar permainan kecapi yang amat tinggi dari Cianpwe ini, harap suka dimaafkan kebodohan Tecu."
Sebenarnya sifat Lenghou Tiong biasanya sangat angkuh kecuali terhadap guru, ibu-guru dan Siausumoaynya, jarang sekali dia bersikap rendah hati kepada orang lain.
Tapi sejak dia mendengar permainan kecapi dan seruling si nenek, pula mendengar tutur katanya yang ramah tamah dan berbudi luhur, tanpa terasa ia menjadi sangat menghormatinya. Segera ia pun berkata kepada Lik-tiok-ong, "Biarlah sekarang Tecu mohon diri saja."
Lalu ia membungkuk tubuh dan hendak melangkah pergi.
"Nanti dulu," terdengar si nenek menahannya. "Aku tidak dapat membalas apa-apa atas pemberian lagu indah ini, sebaliknya lukamu sukar disembuhkan hal ini pun membuat aku tidak tenteram. Tiok-hiantit, mulai besok boleh mengajarkan pengantar dasar memetik kecapi kepada Lenghou-siansing, jika dia cukup sabar dan dapat tinggal agak lama di Lokyang sini, maka tiada alangannya juga akan kuajarkan laguku 'Jing-sim-boh-sian-ciu' ini padanya."
Begitulah mulai esok paginya Lenghou Tiong lantas datang ke rumah bambu itu untuk belajar main kecapi. Lik-tiok-ong telah mengeluarkan kecapi tua dan mulai memberi petunjuk tentang dasar-dasar seni suara.
Sebenarnya Lenghou Tiong boleh dikata buta huruf dalam hal musik, tapi dia adalah seorang cerdik, sekali diberi tahu lantas paham berikutnya, sekali dengar tak pernah lupa lagi. Tentu saja Lik-tiok-ong sangat senang, sengaja ia mengajarkan cara memetik kecapi, lalu Lenghou Tiong disuruh coba membawakan satu "Pik-siau-kim" yang paling cekak dan sederhana.
Hanya belajar main beberapa kali saja Lenghou Tiong sudah biasa menguasainya, bahkan irama permainannya sedemikian merdu seperti pemusik saja.
Selesai mengikuti lagu permulaan yang dimainkan Lenghou Tiong itu, tanpa merasa si nenek di gubuk sebelah menghela napas gegetun. Katanya, "Lenghou-siansing, sedemikian pintar kau belajar kecapi, rasanya dalam waktu singkat saja kau sudah dapat belajar laguku 'Jing-sim-boh-sian-ciu' (lagu penyebar bajik dan pemurni batin) ini."
"Banyak terima kasih atas pujian Cianpwe," sahut Lenghou Tiong dengan rendah hati. "Tapi entah kapan Tecu baru sanggup memainkan lagu Hina Kelana seperti cara Cianpwe memainkannya kemarin."
"Kau ... kau juga ingin memainkan 'Lagu Hina Kelana' itu?" tanya si nenek.
Muka Lenghou Tiong menjadi merah, sahutnya, "Karena Tecu sangat kagum terhadap permainan kecapi dan seruling Cianpwe kemarin, maka timbul juga impian muluk-muluk ingin belajar lagu itu. Padahal Lik-tiok Cianpwe saja tidak sanggup memainkan lagu itu, apalagi Tecu yang masih hijau pelonco ini."
Nenek itu tidak bersuara pula. Sampai agak lama baru terdengar ia berkata dengan suara perlahan, "Jika kau dapat memainkan lagu itu, hal ini tentu saja sangat baik ...."
Tapi suaranya makin lama makin lirih sehingga tak terdengar lagi apa yang diucapkan selanjutnya.
Begitulah berturut-turut belasan hari Lenghou Tiong selalu datang ke perumahan bambu itu untuk belajar kecapi, petangnya baru pulang, makan siang juga dilakukan di tempat Lik-tiok-ong. Biarpun makanannya sangat sederhana, tapi rasanya jauh lebih lezat daripada ayam daging yang dimakannya di rumah Ong Goan-pa.
Ada beberapa hari Lik-tiok-ong sibuk membikin alat-alat bambu, maka si nenek sendiri yang memberi pelajaran. Lama-kelamaan Lenghou Tiong merasa kepandaiannya sudah banyak maju, sering kali Lik-tiok-ong tidak mampu memberi penjelasan bila diajukan pertanyaan sehingga perlu si nenek memberi petunjuk. Tapi bagaimana wajah si nenek sebegitu jauh belum dilihatnya.
Hari itu si nenek mengajarkan sebuah lagu "terkenang" padanya. Sesudah mendengarkan beberapa kali, lalu Lenghou Tiong mulai memetikkan lagu itu. Tanpa terasa ia pun terkenang kepada kejadian masa lampau waktu dia bermain bersama Gak Leng-sian, tatkala mana si nona benar-benar mencurahkan kasih mesranya kepada dirinya, tapi entah mengapa sesudah munculnya Lim Peng-ci, sikap Siausumoaynya lantas semakin dingin kepadanya. Karena pikirannya melayang-layang, maka irama kecapi yang dipetiknya itu menjadi agak kacau. Tapi segera ia sadar dan lekas berhenti.
Dengan ramah si nenek bertanya, "Sebenarnya lagu 'terkenang' ini caramu membawakannya sangat baik, tapi mendadak nadanya berubah, tentu hatimu sendiri tiba-tiba terkenang kepada pengalamanmu dahulu."
Dasar Lenghou Tiong memang seorang yang suka terus terang, tanpa ragu lagi ia lantas menuturkan isi hatinya yang sudah tercekam lamanya itu, ia ceritakan tentang cintanya pada Gak Leng-sian, sebaliknya gadis itu penujui pemuda lain.
Ia sendiri tidak tahu mengapa dia bercerita segala rahasia pribadinya kepada si nenek yang dianggapnya seakan-akan nenek dan ibu sendiri. Baru setelah selesai bercerita ia merasa malu.
Si nenek lantas menghiburnya, "Tentang jodoh memang tidak dapat dipaksakan. Kata peribahasa, setiap orang mempunyai jodoh sendiri-sendiri dan jangan iri kepada orang lain. Meskipun hari ini Lenghou-siansing patah hati, lain hari bukan mustahil akan mendapatkan jodoh yang lebih setimpal."
"Tapi selama hidup Tecu ini sudah pasti takkan menikah," kata Lenghou Tiong.
Nenek itu tidak bicara pula, tapi lantas memetik kecapi dan memainkan lagu "Jing-sim-boh-sian-ciu". Hanya sebentar saja mendengarkan Lenghou Tiong lantas merasa mengantuk.
Si nenek lantas menghentikan suara kecapi dan berkata, "Mulai hari ini juga aku akan mengajarkan lagu ini padamu. Kira-kira dalam waktu sepuluh hari sudah cukup. Selanjutnya setiap hari lagu ini dimainkan satu kali, meski tak bisa memulihkan seluruh tenagamu masa lalu, sedikitnya akan berguna juga bagimu."
Lenghou Tiong mengiakan dan si nenek lantas memberi petunjuk tentang seluk-beluk lagu itu serta cara memetiknya. Dengan penuh perhatian Lenghou Tiong mengingatnya dengan baik.
Hari ketiga ketika Lenghou Tiong hendak berangkat belajar main kecapi pula, tiba-tiba Lo Tek-nau datang memberi tahu padanya, "Toasuko, Suhu bilang besok juga kita akan berangkat."
Keruan Lenghou Tiong melengak. "Besok juga kita akan pergi dari sini?" ia menegas.
"Ya," sahut Tek-nau. "Sunio menyuruhmu berbenah seperlunya agar besok pagi bisa lantas berangkat."
Lenghou Tiong menyatakan baik. Lalu bergegas-gegas ia datang ke pondok bambu dan memberitahukan si nenek, "Popo, besok juga Tecu akan mohon diri."
Agaknya si nenek juga melengak. Sampai agak lama baru dia berkata dengan perlahan, "Mengapa begini terburu-buru, sedangkan ... lagu ini belum selesai kau pelajari."
"Tecu pun berpikir demikian," ujar Lenghou Tiong. "Cuma perintah guru tak bisa dibantah. Sebagai tamu juga tak bisa tinggal di rumah orang selamanya."
"Ya, benar juga," kata si nenek. Lalu ia mulai memberi petunjuk pula cara memetik kecapi seperti hari-hari sebelumnya.
Lenghou Tiong adalah seorang yang berperasaan halus. Walaupun belum pernah melihat muka si nenek, tapi dari percakapan melalui suara kecapi dapatlah diketahui orang tua itu sangat memerhatikan dia seperti anggota keluarga sendiri. Hanya saja si nenek juga sungkan bicara, cuma beberapa kalimat saja lantas diseling dengan soal lain, terang ia pun tidak ingin Lenghou Tiong mengetahui perasaannya.
Orang yang paling memerhatikan Lenghou Tiong di dunia ini adalah Gak Put-kun dan istrinya, Gak Leng-sian serta Liok Tay-yu. Kini Tay-yu sudah mati, Leng-sian telah penujui Peng-ci, guru dan ibu gurunya menaruh curiga pula padanya, maka kini ia merasa orang yang paling akrab hubungannya dengan dia hanyalah Lik-tiok-ong serta si nenek yang belum kenal muka itu.
Bab 48. "Tabib Sakti Pembunuh" Namanya Peng It-ci
Pada hari terakhir ini berulang kali mestinya Lenghou Tiong hendak menyatakan kepada Lik-tiok-ong agar diperbolehkan tinggal di hutan bambu situ untuk belajar main kecapi dan seruling. Tapi bila terkenang kepada bayangan Gak Leng-sian, betapa pun ia merasa berat untuk berpisah.
"Sekalipun Siausumoay tidak menggubris padaku, asal setiap hari aku dapat melihatnya dan mendengar suaranya juga sudah puas aku. Apalagi dia toh bukannya tidak menggubris padaku?" demikian pikirnya.
Menjelang magrib waktu mau berpisah, sungguh Lenghou Tiong merasa sangat berat. Ia mendekati jendela gubuk kediaman si nenek dan menyembahnya beberapa kali.
Samar-samar dilihatnya di balik kerai bambu sebelah dalam si nenek juga berlutut membalas hormatnya. Terdengar si nenek berkata, "Meski aku mengajarkan cara bermain kecapi padamu, tapi ini adalah untuk membalas kebaikanmu yang telah menghadiahkan lagu padaku. Kenapa engkau menjalankan penghormatan setinggi ini padaku?"
"Perpisahan sekarang ini entah sampai kapan baru dapat berkunjung lagi kemari untuk mendengarkan permainan kecapi Popo, asalkan Lenghou Tiong tidak mati, kelak tentu akan datang lagi ke sini untuk menyambangi Popo dan Tiok-ong," demikian kata Lenghou Tiong.
Tapi tiba-tiba terpikir olehnya tentang usia kedua orang tua yang sudah amat lanjut itu, bilamana kelak datang lagi ke Lokyang entah masih dapat bersuara atau tidak dengan mereka. Teringat bahwa hidup manusia ini seakan-akan mimpi belaka tanpa terasa suaranya menjadi parau.
"Lenghou-siansing," kata si nenek, "sebelum berpisah aku ingin memberi pesan sepatah kata padamu."
"Baik, atas petuah Popo sampai mati pun takkan kulupakan," sahut Lenghou Tiong.
Tapi sampai lama nenek itu tidak bicara lagi. Selang sekian lama, akhirnya dia baru berkata dengan perlahan, "Banyak bahaya dan kepalsuan orang Kangouw, hendaknya kau menjaga diri dengan baik."
Lenghou Tiong mengiakan, hati menjadi pilu. Ia memberi hormat pula kepada Lik-tiok-ong untuk mohon diri. Dalam pada itu terdengar dari dalam gubuk suara kecapi menggema merdu, yang dibawakan adalah lagu kuno "terkenang" itu.
Esok paginya Gak Put-kun dan anak muridnya sama mohon diri kepada Org Goan-pa untuk berangkat dengan menumpang perahu. Goan-pa dan anak-cucunya mengantar sampai di tepi sungai Loksui, memberi bekal sangu dan macam-macam makanan untuk persediaan di tengah perjalanan.
Sejak tempo hari lengan Lenghou Tiong dipuntir keseleo oleh Ong Kah-cun dan Ong Kah-ki, maka Lenghou Tiong tidak pernah bicara pula dengan anggota keluarga Ong itu. Pada saat berpisah sekarang ia pun tidak mengucapkan apa-apa, sebaliknya cuma mendelik saja kepada mereka seakan-akan di depan matanya pada hakikatnya tiada jago golok emas dari keluarga Ong itu.
Gak Put-kun cukup kenal perangai muridnya itu. Jika anak muda itu dipaksa memberi hormat dan mohon diri kepada Ong Goan-pa, untuk sementara terpaksa Lenghou Tiong menurut, tetapi kelak besar kemungkinan akan mencari perkara kepada keluarga Ong itu untuk membalas dendam. Sebab itulah ia sendiri memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada Ong Goan-pa, sebaliknya sikap Lenghou Tiong yang kurang sopan itu ia pura-pura tidak tahu.
Lenghou Tiong melihat banyak oleh-oleh pemberian keluarga Ong itu, terutama oleh-oleh yang diberikan kepada Gak Leng-sian. Nona itu tampak sangat senang dan sibuk menerima macam-macam oleh-oleh itu.
Tengah sibuk, tiba-tiba seorang tua berbaju rombeng naik ke pinggir perahu mereka dan berseru, "Lenghou-siaukun (tuan muda)!"
Waktu Lenghou Tiong berpaling, kiranya adalah Lik-tiok-ong, keruan ia melengak.
"Bibi menyuruh aku menyerahkan bungkusan ini kepadamu, Lenghou-siaukun," kata Lik-tiok-ong sembari mempersembahkan sebuah bungkusan panjang.
Bungkusan itu dibebat dengan kain kembang biru. Dengan penuh hormat Lenghou Tiong menerimanya dan berkata, "Atas hadiah Cianpwe yang berharga ini Tecu menerimanya dengan terima kasih."
Sambil berkata berulang-ulang ia pun membungkuk tubuh memberi hormat.
Terhadap tukang bambu tua bersikap sedemikian menghormat, sebaliknya terhadap Kim-to-bu-tek Ong-loyacu yang namanya termasyhur di dunia Kangouw sedikit pun tidak menggubris, keruan sikap Lenghou Tiong ini membikin Kah-cun dan Kah-ki merasa gusar. Coba kalau tidak di depan orang banyak tentu mereka sudah menyeret turun Lenghou Tiong menghajarnya sepuas-puasnya.
Dalam pada itu sesudah menyerahkan bungkusan panjang tadi, Lik-tiok-ong lantas melangkah ke atas papan loncatan dan hendak turun kembali ke daratan.
Melihat ada kesempatan, sesudah saling memberi isyarat, segera Kah-cun dan Kah-ki sengaja memapak dari bawah papan loncatan perahu, mereka terus mendesak maju, yang satu menggunakan bahu kanan dan yang lain memakai bahu kiri, asal ditumbuk sedikit saja mereka percaya kakek itu umpama tidak sampai mati tenggelam sedikitnya juga akan membikin Lenghou Tiong kehilangan muka.
Melihat apa yang akan terjadi itu, cepat Lenghou Tiong berseru, "He, awas!"
Tapi ia sudah tidak bertenaga sehingga sama sekali tak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu tampaknya kedua saudara Ong muda itu sudah menerjang tiba pada sasarannya.
"Jangan!" segera Ong Goan-pa juga berteriak. Sebagai seorang yang punya harta benda di kota Lokyang, kalau kedua cucunya sampai menumbuk mati seorang kakek, tentu akibatnya takkan menguntungkan bila sampai pihak yang berwajib ikut turun tangan. Perkara jiwa bukanlah soal kecil.
Tapi karena dia sedang duduk dalam kamar perahu besar itu dan lagi bicara dengan Gak Put-kun sehingga tidak sempat mencegah lagi.
Maka terdengarlah suara "bluk", bahu kedua anak muda itu sudah membentur tubuh Lik-tiok-ong. Menyusul dua sosok tubuh orang sama mencelat dan "plung-plung", tahu-tahu kedua anak muda itu sama kecemplung ke dalam sungai, sebaliknya Lik-tiok-ong tampak masih tenang-tenang saja dan terus berjalan ke daratan. Tubuhnya mirip bola saja, setiap diseruduk oleh kedua saudara Ong muda itu segera mengeluarkan daya membalik sehingga kedua anak muda itu terpental sendiri.
Keruan suasana menjadi kacau, semua orang sibuk memberi pertolongan kepada Kah-cun dan Kah-ki, beberapa orang lantas terjun ke dalam sungai untuk menyeret mereka ke atas. Tatkala itu baru permulaan musim semi, air sungai sedingin es, apalagi kedua anak muda itu tidak bisa berenang, mereka sudah telanjur minum air sungai sampai beberapa ceguk, gigi mereka berkertukan menggigil dingin, keadaannya sangat runyam.
Sesudah diperiksa, sungguh kejut Ong Goan-pa tidak kepalang. Ternyata lengan kedua cucunya itu semuanya keseleo, tulang lengan terlepas dari ruasnya, sama halnya seperti tempo hari kedua anak muda itu memuntir tangan Lenghou Tiong sehingga keseleo.
Melihat kedua putranya kecundang, segera Ong Tiong-kiang melompat ke daratan dan mencegat di depan Lik-tiok-ong.
Kakek itu tampak masih terus berjalan ke depan dengan kepala merunduk, memangnya badannya juga bungkuk.
"Orang kosen dari manakah ingin coba-coba pamer kepandaian di Lokyang sini?" bentak Ong Tiong-kiang.
Tapi Lik-tiok-ong seperti tidak mendengar saja dan tetap jalan ke depan, perlahan ia sudah berhadapan dengan Tiong-kiang. Keruan perhatian semua orang di atas perahu sama dipusatkan kepada mereka berdua.
Kedua tangan Ong Tiong-kiang tampak sedikit dipentang, ketika Lik-tiok-ong maju selangkah lagi, mendadak Tiong-kiang membentak, "Pergi!"
Kedua tangannya terus mencengkeram pundak si kakek.
Tapi baru saja jarinya hampir menyentuh tubuh sasarannya, sekonyong-konyong badannya yang tinggi besar itu mencelat ke udara sampai beberapa meter jauhnya. Di tengah jerit kaget orang banyak Ong Tiong-kiang berjumpalitan satu kali, selagi terapung di udara lalu dapat menancapkan kali kembali di atas tanah.
Jika terjadinya tabrakan itu dilakukan kedua orang yang sama-sama berlari cepat dari arah berlawanan, lalu salah seorang terpental, ini sih tidak mengherankan, yang aneh sekarang adalah Ong Tiong-kiang berdiri tegak di tempatnya, sedangkan Lik-tiok-ong hanya berjalan sangat perlahan, tapi mendadak Ong Tiong-kiang tergetar mencelat, sekali pun tokoh-tokoh terkemuka sebagai Gak Put-kun dan Ong Goan-pa juga tidak tahu dengan cara bagaimana si kakek reyot itu membikin orang terpental.
Hanya saja waktu Ong Tiong-kiang tancapkan kakinya kembali di atas tanah tampaknya juga sewajarnya saja sehingga orang yang tidak mahir ilmu silat malah mengira dia sengaja meloncat sendiri untuk pamerkan Ginkangnya yang lihai, maka ada sebagian centeng keluarga Ong salah wesel dan memberi sorak puji kepada majikan muda mereka.
Memangnya Ong Goan-pa sudah heran ketika tanpa bergerak Lik-tiok-ong dapat menggetar lengan kedua cucunya sehingga keseleo, kini ia tambah kaget demi melihat putranya juga tergetar mencelat secara aneh. Padahal ia tahu putranya itu sudah memperoleh segenap ajaran ilmu silatnya, tapi belum satu gebrak saja sudah dientak mencelat oleh lawan, ini benar-benar belum pernah terjadi selama hidup. Dilihatnya sesudah kecundang Ong Tiong-kiang masih hendak melabrak maju lagi cepat ia berseru, "Tiong-kiang, kemari!"
Tiong-kiang putar tubuh dan melompat ke haluan perahu dengan enteng. "Tua bangka itu besar kemungkinan bisa ilmu sihir!" ia mencemooh.
"Bagaimana keadaanmu, tidak terluka?" tanya Goan-pa dengan perlahan.
Tiong-kiang menggeleng. Diam-diam Goan-pa menimbang, biarpun dengan kemampuannya sendiri juga belum tentu dapat melawan kakek bungkuk itu, apalagi kalau sampai perlu minta bantu Gak Put-kun, sekalipun menang juga kurang cemerlang.
Maka ia sengaja tidak mempersoalkan itu lebih lanjut, paling tidak kakek itu pun sudah memberi muka padanya tanpa merobohkan putranya. Dilihatnya Lik-tiok-ong sudah pergi semakin jauh, sungguh tak enak perasaannya. Pikirnya, "Kakek itu terang adalah kawan Lenghou Tiong, lantaran para cucu mematahkan lengannya, maka kakek itu pun datang mematahkan lengan mereka sebagai pembalasan. Selama hidupku malang melintang di kota Lokyang ini, masakan sampai hari tua terbalik akan terjungkal habis-habisan?"
Dalam pada itu Ong Pek-hun sudah membetulkan lengan kedua keponakannya yang keseleo itu, dua buah tandu lantas membawa kedua anak muda yang basah kuyup itu pulang lebih dulu.
"Gak-tayciangbun, orang macam apakah kakek tadi" Agaknya mataku yang tua ini sudah lamur dan tidak kenal orang kosen demikian," tanya Ong Goan-pa kepada Put-kun.
"Siapakah dia, Tiong-ji?" Put-kun bertanya kepada Lenghou Tiong.
"Dia itulah Lik-tiok-ong," sahut Lenghou Tiong.
Goan-pa dan Put-kun bersama mengeluarkan suara "Ooo". Kiranya tempo hari meski mereka juga datang ke hutan bambu sana, tapi mereka tidak sampai kenal muka Lik-tiok-ong, sedangkan Ih-suya yang kenal Lik-tiok-ong tidak ikut mengantar ke dermaga ini, sebab itulah tiada seorang pun yang kenal si kakek bambu hijau.
"Barang apa yang dia berikan padamu?" tanya Put-kun pula sambil menuding bungkusan panjang tadi.
"Tecu sendiri belum tahu," sahut Lenghou Tiong sambil membuka bungkusan itu.
Maka tertampaklah isinya adalah sebuah kecapi antik, pada ujung kecapi itu terukir dua huruf kembang "Yan-gi". Selain itu ada pula satu buku kecil, pada sampulnya tertulis "Jing-sim-boh-sian-ciu". Kiranya adalah lagu yang diajarkan si nenek kepada Lenghou Tiong itu. Keruan Lenghou Tiong bersuara kejut dan terharu.
"Ada apa?" tanya Put-kun sambil memandang tajam.
"Kiranya Cianpwe itu selain memberikan sebuah kecapi padaku, bahkan menyertakan not kecapi pula," kata Lenghou Tiong.
Ia coba membalik-balik buku kecil itu, ternyata berisi lengkap ajaran cara memetik kecapi dengan petunjuk-petunjuk yang sangat jelas. Dari tulisannya dan kertasnya yang masih baru itu terang baru saja selesai ditulis oleh si nenek. Teringat kepada kebaikan Locianpwe itu Lenghou Tiong sangat terharu sehingga matanya berkaca, air mata hampir-hampir menetes.
Melihat buku itu berisi not kecapi, walaupun Ong Goan-pa dan Gak Put-kun merasa curiga tapi juga tak bisa bicara apa-apa.
"Lik-tiok-ong itu ternyata seorang kosen di dunia persilatan yang tidak mau menonjolkan diri, apakah kau tahu dia dari aliran atau golongan mana, Tiong-ji?" tanya Gak Put-kun.
Ia sudah menduga andaikan Lenghou Tiong tahu asal usul Lik-tiok-ong juga takkan mengaku secara terus terang. Soalnya Kungfu si kakek bambu hijau itu terlalu hebat, kalau tidak ditanyakan betapa pun rasanya tidak tenteram.
Benar juga, segera Lenghou Tiong menjawab, "Tecu hanya belajar kecapi kepada Locianpwe itu, sesungguhnya tidak tahu bahwa dia juga mahir ilmu silat."
Begitulah Gak Put-kun lantas memberi hormat tanda perpisahan dengan Ong Goan-pa, perahu layarnya yang besar itu lantas mengangkat jangkar dan berlayar ke hilir.
Di dalam kapal ramailah anak murid Hoa-san-pay itu membicarakan Lik-tiok-ong, ada yang memuji kepandaian si kakek yang mahatinggi, ada yang anggap Lik-tiok-ong itu belum tentu punya kepandaian sejati, mungkin kedua saudara Ong muda kecemplung ke dalam sungai karena mereka sendiri kurang hati-hati. Sedangkan Ong Tiong-kiang dikatakan tidak sudi bertengkar dengan kakek yang sudah loyo itu, maka sengaja meloncat menyingkir.
Lenghou Tiong duduk sendirian di buritan dan tidak menghiraukan percakapan para Sute dan Sumoaynya itu. Ia asyik membaca not kecapi. Karena khawatir mengganggu gurunya, maka ia tidak berani membunyikan kecapinya.
Gak-hujin merasa tidak tenteram ketika teringat kepada potongan tubuh Lik-tiok-ong serta gerak-geriknya yang aneh. Ia coba naik ke haluan perahu itu melihat pemandangan.
Tiba-tiba terdengar sang suami bicara di sebelah, "Sumoay, bagaimana pendapatmu tentang Lik-tiok-ong itu" Begitu aneh caranya membikin terpental tiga jago keluarga Ong itu, tampaknya kepandaiannya itu bukan ilmu silat aliran yang baik."
"Tapi dia tiada maksud jahat terhadap Tiong-ji, pula tampaknya tidak sengaja hendak mencari perkara kepada keluarga Ong," ujar Gak-hujin.
"Ya, semoga urusan ini selesai sampai di sini saja, kalau tidak, jangan-jangan kehormatan Ong-loyacu selama ini akan berakhir dengan buruk," kata Put-kun. Sejenak kemudian ia menyambung pula, "Kita juga harus waspada walaupun kita mengambil jalan air ini."
"Apa kau maksudkan ada kemungkinan orang akan mencari perkara pada kita?" tanya sang istri.
"Sampai saat ini kita masih tetap belum jelas orang macam apakah ke-15 musuh berkedok tempo hari itu. Mengingat kejadian itu, perjalanan kita ini rasanya masih banyak rintangan yang akan kita hadapi."
Begitulah mereka lantas pesan para muridnya agar selalu waspada.
Di luar dugaan, setelah perahu mereka keluar dari muara Kiat-koan dan memasuki sungai Tiangkang dan meluncur ke hilir pula ke arah timur, ternyata sama sekali tidak terjadi sesuatu.
Semakin jauh meninggalkan Lokyang, semakin berkurang pula rasa waswas mereka. Hari itu mereka sudah dekat dengan kota Kayhong. Gak Put-kun dan istrinya membicarakan tokoh-tokoh Bu-lim di kota itu. Menurut pendapat Gak Put-kun di kota Kayhong boleh dikata tiada jago silat yang berarti.
Tapi Gak-hujin berkata, "Ada seorang tokoh ternama di sini, mengapa Suko melupakan dia?"
"Tokoh ternama" Sia ... siapa yang kau maksudkan?" tanya Put-kun.
"Mengobati seorang bunuh seorang, bunuh seorang mengobati seorang, bunuh orang mengobati orang sama banyaknya, dagang rugi tak mau. Siapa dia itu?" ucap Gak-hujin dengan tertawa.
"Aha, 'Sat-jin-beng-ih' (tabib sakti pembunuh orang) Peng It-ci memang benar sangat ternama," ujar Gak Put-kun tertawa. "Tapi biarpun kita berkunjung padanya juga belum tentu dia mau menemui kita."
"Sungguh aneh, sudah disebut tabib sakti, mengapa pembunuh pula" Apa sebabnya, ibu?" tanya Leng-sian heran.
"Peng-losiansing itu adalah seorang ajaib di dunia persilatan," tutur Gak-hujin. "Ilmu pengobatannya memang mahasakti, betapa pun berat penyakit seorang asalkan dia mau mengobati ditanggung pasti akan sembuh kembali. Cuma dia mempunyai suatu sifat yang aneh. Ia bilang manusia hidup di dunia ini sudah ditentukan oleh takdir, bila dia terlalu banyak menyembuhkan orang sehingga mengurangi orang mati, tentu akibatnya dunia akan terlalu banyak orang hidup dan sedikit orang mati, kelak jika dia sendiri mati tentu Giam-lo-ong (raja akhirat) akan minta pertanggungjawabannya ...."
Sampai di sini anak muridnya sama tertawa geli. Tapi Gak-hujin telah melanjutkan, "Sebab itulah dia mengadakan suatu ketentuan, setiap kali menyembuhkan seorang, maka dia juga harus membunuh satu orang sebagai imbalannya. Sebaliknya kalau dia membunuh satu orang tentu pula akan menghidupkan seorang sakit sebagai gantinya. Dengan demikian supaya Giam-lo-ong tidak dibikin rugi."
Kembali para muridnya sama tertawa. Leng-sian bertanya pula, "Tabib sakti Peng It-ci itu benar-benar sangat kocak. Tapi mengapa dia pakai nama It-ci (satu jari), memangnya apakah dia hanya punya sebuah jari tangan?"
"Tidak, Peng-tayhu (tabib Peng) punya sepuluh jari seperti orang biasa," tutur Gak Put-kun, "dia mengaku bernama It-ci, maksudnya baik membunuh orang atau mengobati orang cukup memakai sebuah jari saja."
"O, kiranya demikian. Jika begitu tentu ilmu Tiam-hiat sangat lihai?" kata Leng-sian.
"Jarang sekali ada orang bergerak dengan Peng-tayhu itu," sahut Gak Put-kun. "Yang terang setiap orang Bu-lim mengetahui ilmu pertabibannya sangat lihai, boleh jadi setiap waktu memerlukan pertolongannya, maka setiap orang rada segan padanya. Tapi kalau tidak sangat terpaksa juga tak berani minta pengobatan padanya."
"Sebab apa?" tanya Leng-sian.
"Habis kalau menurut ketentuannya menyembuhkan seorang harus membunuh pula seorang sebagai imbalannya, bilamana orang itu kebetulan adalah sanak kadang atau sobat handainya, bukankah hal ini akan membuatnya serbasulit?"
"Ya, Peng-tayhu itu benar-benar sangat aneh perangainya," kata para murid.
"Jika demikian, penyakit Toasuko tak dapat minta pertolongannya," ujar Leng-sian.
Sejak tadi Lenghou Tiong hanya mendengarkan cerita sang guru dan ibu gurunya tentang tabib sakti pembunuh yang aneh itu. Demi mendengarkan ucapan Siausumoay, ia hanya tersenyum hambar dan berkata, "Ya, jangan-jangan dia sudah menyembuhkan aku, lalu menyuruh aku membunuh Siausumoayku sendiri."
Para murid Hoa-san-pay kembali tertawa riuh. Leng-sian juga tertawa dan berkata, "Peng-tayhu itu tidak kenal aku, buat apa dia menyuruhmu membunuh aku?" Lalu ia berpaling kepada Gak Put-kun dan bertanya, "Ayah, sebenarnya Peng-tayhu itu tergolong orang baik atau jahat?"
"Menilik sifatnya yang aneh dan kelakuannya yang tak menentu, dia boleh dikata berada di antara yang baik dan yang jahat," ujar Put-kun.
"Ah, mungkin orang Kangouw sengaja membesar-besarkan persoalannya," kata Leng-sian. "Setiba di Kayhong nanti aku ingin berkunjung pada Peng-tayhu itu."
"Hus," bentak Put-kun dan istrinya berbareng. "Jangan kau cari gara-gara. Orang aneh begitu masakah dapat kau kunjungi sesukamu" Kedatangan kita ini adalah untuk pesiar dan bukan ingin mencari perkara."
Melihat ayah-bundanya marah, Leng-sian tidak berani bicara lagi walaupun penuh keheranan terhadap si tabib sakti pembunuh itu.
Besok paginya lewat tengah hari perahu mereka sudah sampai di dermaga Kayhong, cuma untuk masuk ke kota masih ada beberapa li jauhnya.
"Di sebelah barat daya Kayhong ada suatu tempat, di mana leluhur Gak kita pernah sangat terkenal, tempat itu harus kita kunjungi," demikian kata Put-kun dengan tertawa.
"Ya, betul, tempat itu pasti Cu-sian-tin adanya," seru Leng-sian sambil tertawa senang. "Di situlah kakek moyang kita Gak Peng-ki (Gak Hui) mengalahkan tentara Kim secara besar-besaran."
Dan begitu perahu mereka merapat ke dermaga, segera Leng-sian mendahului melompat ke daratan dan berseru, "Ayo, lekas berangkat ke Cu-sian-tin, lalu makan malam di kota Kayhong."
Beramai-ramai semua orang lantas ikut mendarat. Sebaliknya Lenghou Tiong masih tetap duduk di buritan perahu.
"Ayo, Toasuko, apa engkau tidak ikut?" seru Leng-sian.
Sesudah kehilangan tenaga dalam Lenghou Tiong selalu merasa lelah dan malas bergerak, maka kepergian semua orang itu kebetulan baginya untuk belajar memetik kecapi. Apalagi dilihatnya Lim Peng-ci berdiri di sisi Leng-sian dengan sangat mesra, semakin dinginlah hatinya, maka jawabnya, "Tidak, aku tidak sanggup berjalan terlalu lama."
"Baiklah, boleh mengaso saja di sini, dari kota nanti akan kubawakan beberapa kati arak enak," kata Leng-sian pula.
Begitulah dengan perasaan pedih Lenghou Tiong menyaksikan keberangkatan si nona yang didampingi Peng-ci itu, Jing-sim-boh-sian-ciu yang dilatihnya itu sudah berhasil menyembuhkan luka dalamnya, tapi apa artinya lagi hidup di dunia ini" Seketika itu ia merasa segala macam pahit getir orang hidup seakan-akan membanjir tiba, dadanya terasa sesak, napas tersengal-sengal, segera perutnya kesakitan pula ....
Sementara itu Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci yang jalan bersama itu asyik bicara dengan kasih mesra sehingga tanpa terasa mereka sudah jauh meninggalkan rombongan.
Gak-hujin mengedipi sang suami dan memandang kedua muda-mudi yang berjalan jauh di depan itu. Gak Put-kun tahu maksud sang istri, ia tertawa sambil mempercepat langkahnya. Hanya sekejap saja suami istri itu sudah menyusul sampai di belakang Leng-sian dan Peng-ci. Dengan tindakan mereka yang cepat, mereka tanya arahnya kepada orang di tepi jalan, lalu empat orang mendahului menuju ke Cu-sian-tin.
Ketika hampir sampai di kota kecil itu, terlihat di tepi jalan ada sebuah kelenteng, papan di atas pintu kelenteng itu tertulis "Nyo-ciangkun-bio" (kelenteng panglima Nyo).
"Ayah, kutahu kelenteng ini adalah tempat pemujaan panglima Nyo Cay-hin yang kejeblos di dalam sungai Siau-sian-ho yang beku itu sehingga mati dihujani panah pasukan musuh," kata Leng-sian.
"Betul," sahut Put-kun. "Nyo-ciangkun gugur di medan bakti, sungguh membikin orang kagum padanya. Marilah kita masuk ke dalam untuk melihatnya."
Karena muridnya yang lain masih ketinggalan jauh di belakang, tanpa menunggu lagi mereka berempat lantas masuk ke dalam kelenteng. Patung Nyo Cay-hin yang dipuja itu tampak sangat gagah dan tampan, Leng-sian memandang sekejap ke arah Peng-ci, diam-diam timbul maksudnya membandingkan Toapekong yang tampan itu dengan Lim Peng-ci.
Belum lagi mereka sempat bicara, pada saat itu juga di luar kelenteng tiba-tiba ada suara orang berkata, "Aku tahu Toapekong yang dipuja di dalam kelenteng panglima Nyo ini pasti Nyo Cay-hin adanya."
Mendengar suara orang itu, seketika air muka Gak Put-kun dan istrinya berubah pucat berbareng mereka sama meraba pedang yang tergantung di pinggang masing-masing.
Dalam pada itu terdengar seorang lain lagi bicara, "Di zaman dahulu panglima she Nyo teramat banyak, dari mana kau yakin Toapekong yang dipuja ini adalah Nyo Cay-hin dan bukan Nyo Leng-kong dan panglima Nyo yang lain?"
Maling Budiman Berpedang Perak 1 Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Pedang Asmara 2
^