Pencarian

Hina Kelana 15

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 15


Sehabis dahar malam, masing-masing lantas hendak tidur. Hujan masih terus turun, sebentar deras, sebentar gerimis, tak berhenti-henti.
Karena perasaan kusut, Lenghou Tiong tak bisa tidur. Kira-kira sejam-dua jam, terdengarlah suara mendengkur para Sutenya di sana-sini, semuanya sudah tidur nyenyak.
Sekonyong-konyong dari jurusan barat daya berkumandang suara derapan kuda yang ramai, jumlahnya ada belasan dan sedang mendatang melalui jalan raya.
Lenghou Tiong terkesiap. Pikirnya, "Di tengah malam buta dan hujan mengapa ada orang mengebut kudanya secepat itu" Jangan-jangan rombongan kita ini yang dituju?"
Segera ia bangun duduk. Pada saat itulah terdengar Gak Put-kun telah membentak dengan suara tertahan, "Ssst, semua jangan bersuara!"
Tidak lama belasan penunggang kuda itu telah lewat di luar kelenteng. Sementara itu anak murid Hoa-san-pay sudah mendusin dan masing-masing telah menyiapkan senjata untuk menghadapi musuh. Mereka merasa lega mendengar suara kuda lari itu sudah jauh melalui kelenteng.
Baru mereka hendak tidur kembali, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang ramai itu berputar balik. Belasan penunggang kuda telah sampai di luar kelenteng, lalu berhenti.
Segera terdengar suara seorang yang keras dan nyaring berseru, "Apakah Gak-siansing dari Hoa-san-pay berada di dalam kelenteng" Ada suatu urusan kami ingin minta keterangan."
Sebagai murid Hoa-san-pay yang tertua, biasanya Lenghou Tiong yang mewakilkan perguruannya melayani orang luar. Segera ia menuju ke pintu, ia tarik palang pintu dan menjawab, "Tengah malam begini entah kawan dari manakah yang datang kemari?"
Ketika pintu terbuka, ia lihat di luar kelenteng telah berbaris 15 penunggang kuda, beberapa orang di antaranya membawa Khong-beng-ting (lampu Khong Beng, yaitu sejenis lampu seperti lampu kapal zaman sekarang), serentak mereka menyorotkan sinar lampu mereka ke muka Lenghou Tiong.
Di tengah malam gelap mendadak disoroti cahaya lampu yang terang, sudah tentu Lenghou Tiong merasa silau. Perbuatan demikian sesungguhnya sangat kasar, tidak tahu adat.
Dari kejadian ini saja sudah dapat diketahuinya maksud pendatang-pendatang itu terang bersifat permusuhan.
Waktu Lenghou Tiong memerhatikan, ternyata orang-orang itu semuanya memakai kedok kain hitam, hanya sepasang mata saja yang kelihatan, kedok itu mungkin dipakai sebagai penahan air hujan, tapi maksud tujuannya yang jelas agar orang lain tidak dapat mengenali muka asli mereka.
Tergerak hati Lenghou Tiong, pikirnya, "Orang-orang ini kalau bukan sudah dikenal, tentunya khawatir wajah mereka terlihat dan diingat-ingat oleh kami."
Begitulah, maka seorang di antaranya lagi berkata pula, "Diharap Gak Put-kun, Gak-siansing suka keluar menjumpai kami."
"Siapa tuan?" tanya Lenghou Tiong. "Tolong beri tahukan she dan namamu yang mulia agar dapat kulaporkan kepada Suhuku."
"Tentang siapa kami rasanya kau tidak perlu tanya lagi," sahut orang itu. "Boleh kau katakan kepada gurumu bahwa kami mendengar Hoa-san-pay telah mendapatkan Pi-sia-kiam-boh asal milik Hok-wi-piaukiok di Hokkian itu. Maka kami ingin meminjam dan melihatnya."
Lenghou Tiong menjadi gusar, jawabnya, "Hoa-san-pay kami mempunyai ilmu silat kebanggaannya sendiri, buat apa kami menginginkan Pi-sia-kiam-boh orang lain" Jangankan kami memang tidak mendapatkan kitab itu, seumpama didapat oleh kami, bila tuan memintanya secara begini, apakah sikapmu ini dapat dikatakan menghargai Hoa-san-pay kami?"
Orang itu terbahak-bahak, dan belasan kawannya juga ikut mengakak. Suara tertawa mereka berkumandang jauh di tengah malam sunyi itu, dari suara mereka yang keras nyaring itu teranglah Lwekang setiap orang tidaklah lemah.
Diam-diam Lenghou Tiong terkejut dan sadar lagi berhadapan dengan musuh tangguh, ke-15 orang itu jelas adalah jago-jago pilihan semua, cuma tidak diketahui dari mana asal usulnya.
Di tengah suara gelak tertawa orang banyak itu lantas terdengar seorang di antaranya berseru lantang, "Selama ini kami kenal Gak-siansing yang bergelar Kun-cu-kiam itu memiliki ilmu pedang yang sakti dan jarang ada bandingannya, terhadap Pi-sia-kiam-boh segala sudah tentu tidak sudi mengincarnya. Tapi kami adalah Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama, artinya kaum keroco), maka kami benar-benar sangat ingin melihat kitab ilmu pedang itu, diharap Gak-siansing suka memperlihatkannya."
Suara orang ini dapat terdengar jelas di tengah gelak tawa orang banyak dan bahkan tetap lantang, ini menandakan Lwekang pembicara ini lebih kuat setingkat lagi daripada kawan-kawannya.
"Sebenarnya siapakah tuan" Kau ...." baru Lenghou Tiong bertanya sekian saja, suara sendiri sedikit pun tak terdengar dan tenggelam di tengah suara tertawa orang-orang itu.
Terkesiap hati Lenghou Tiong dan tidak melanjutkan ucapannya. Diam-diam ia merasa cemas terhadap Lwekang sendiri yang terlatih selama belasan tahun kini ternyata tiada gunanya lagi.
Sebenarnya sejak meninggalkan Hoa-san, sepanjang jalan beberapa kali ia pernah coba meyakinkan inti Lwekang perguruannya sendiri, tapi setiap kali mengerahkan tenaga, selalu hawa murni dalam badan bergolak dengan hebatnya dan sukar dikuasai, rasanya sesak tak tertahan, kalau tidak berhenti berlatih bisa jadi lantas pingsan.
Karena itu ia pernah minta nasihat kepada gurunya, tapi Gak Put-kun hanya memandangnya dengan sorot mata dingin tanpa menjawab.
Tatkala itu Lenghou Tiong menganggap hidupnya toh takkan lama lagi, buat apa meyakinkan Lwekang pula. Maka ia pun tidak meneruskan latihannya lebih lanjut. Akhir-akhir ini badannya telah sehat kembali, gerak-geriknya sudah biasa, tak tersangka suara bicaranya sekarang ternyata tiada membawa suara sedikit pun dan hilang di tengah suara tertawa musuh.
Tapi segera terdengar suara Gak Put-kun yang nyaring berkumandang keluar dari dalam kelenteng, "Kalian adalah tokoh persilatan ternama, mengapa merendah hati dan mengaku sebagai Bu-beng-siau-cut" Selamanya orang she Gak tidak pernah omong kosong, tantang Pi-sia-kiam-boh keluarga Lim itu tidak berada padaku."
Ia menggunakan Ci-he-sin-kang yang sakti untuk mengantarkan suaranya, maka di tengah suara tertawa belasan orang di luar kelenteng itu suara Gak Put-kun masih terdengar dengan sangat jelas, baik bagi orang-orang di luar maupun bagi orang Hoa-san-pay sendiri yang berada di dalam kelenteng.
Apalagi cara bicaranya kedengaran acuh tak acuh dan tidak menggunakan tenaga, nyata jauh benar bedanya dengan pembicara tadi yang mesti bicara dengan suara keras. Dari sini pun dapat dinilai bahwa Lwekang Gak Put-kun jauh di atas orang itu pula.
Lalu terdengar lagi suara seorang lain dengan nada serak, "Kau mengapa tidak memegang Kiam-boh itu, lalu ke mana perginya kitab itu?"
"Berdasarkan apa saudara berhak mengajukan pertanyaan demikian?" sahut Put-kun.
"Urusan di dunia ini setiap orang berhak ikut mengurusnya," teriak orang itu.
Tapi Put-kun hanya mendengus saja dan tidak menjawab.
"Orang she Gak, terus terang saja, kau mau menyerahkan kitab itu atau tidak?" teriak pula orang itu dengan suara kasar. "Janganlah diberi arak suguhan tidak mau, tapi minta dicekoki. Jika kau tidak mau menyerahkan terpaksa kami main kasar dan menggeledah ke dalam."
Melihat gelagat jelek, segera Gak-hujin membisiki anak muridnya, "Para murid wanita berkumpul menjadi satu, masing-masing punggung menempel panggung. Murid laki-laki siapkan pedang!"
Serentak terdengar suara "sret-sret" yang ramai, semua orang sudah melolos pedang masing-masing.
Waktu itu Lenghou Tiong masih berdiri di ambang pintu, tangan memegang gagang pedang dan belum lagi dicabut, tapi dua orang lawan sudah melompat turun dari kuda terus menerjang ke arahnya.
Sedikit mengegos ke samping segera Lenghou Tiong bermaksud melolos pedangnya, tapi terdengarlah seorang di antaranya telah membentak, "Minggir!"
Berbareng sebelah kakinya lantas mendepak sehingga Lenghou Tiong jatuh terguling sejauh beberapa meter.
Alangkah cemasnya Lenghou Tiong, sudah terang barusan ia menggunakan Kim-na-jiu-hoat dengan jurus "Hwe-hong-sau-liu" (angin puyuh menyambar pohon) untuk memegang lawan, jurus serangan ini bukan saja dapat menghindarkan depakan musuh, bahkan akan dapat membanting lawan ke samping.
Tapi aneh, biarpun tepat mengenai sasarannya toh serangannya tidak mempan, sebaliknya diri sendiri malah terdepak jatuh, padahal tenaga depakan orang juga tidak terlalu keras, mengapa kuda-kuda sendiri begitu kendur seakan-akan tak bertenaga sehingga mudah terjatuh.
Ia meronta bangun hendak duduk, sekonyong-konyong darah bergolak dalam rongga dadanya, tujuh atau delapan arus hawa murni berputar-putar dalam badan, saling tumbuk dan saling terjang kian kemari, akibatnya dia tersiksa setengah mati, sampai satu jari tangan saja sukar bergerak.
Keruan Lenghou Tiong terperanjat ia membuka mulut bermaksud menggembor, tapi tak bisa mengeluarkan suara. Keadaannya mirip benar orang yang bermimpi buruk, otaknya cukup jernih hanya sama sekali tak bisa bergerak.
Dalam pada itu telinganya dapat mendengar suara nyaring beradunya senjata yang ramai. Suhu, Sunio dan para Sutenya sudah menerjang keluar kelenteng dan mulai bertempur dengan beberapa orang berkedok hitam itu. Sebaliknya beberapa orang berkedok itu sudah menerjang ke dalam kelenteng, terdengar suara bentakan berkumandang dari dalam kelenteng diseling suara jeritan kaum wanita beberapa kali.
Waktu itu hujan kembali turun dengan lebatnya, beberapa buah lampu telah terlempar dengan mengeluarkan cahayanya yang remang-remang, sinar pedang tampak berkilauan dan bayangan orang berkelebat di sana-sini.
Tidak lama kemudian terdengar pula suara jeritan ngeri seorang wanita di dalam kelenteng.
Lenghou Tiong tambah gelisah. Telah diketahui semua musuh itu adalah kaum lelaki, dengan sendirinya jeritan ngeri itu disebabkan salah seorang Sumoaynya mengalami cedera.
Tertampak Suhunya memutar pedang dengan kencang, seorang diri melawan empat orang musuh. Sedangkan ibu gurunya juga menandingi dua orang. Ia tahu ilmu pedang guru dan ibu gurunya ingat lihai, biarpun dikeroyok musuh juga takkan kalah.
Lo Tek-nau juga satu melawan dua dan sedang melabrak musuh dengan sengit. Kedua lawannya memakai golok, dari suara benturan senjata dapat diketahui tenaga kedua orang itu sangat kuat, lama-kelamaan tentu Tek-nau akan payah.
Jadi di pihak berdiri hanya tiga orang melawan musuh sebanyak delapan orang, sudah tentu keadaan rada berbahaya. Apalagi keadaan di dalam kelenteng tentu lebih runyam lagi. Musuh yang masuk ke dalam kelenteng hanya tujuh orang saja, para Sute dan Sumoaynya walaupun berjumlah banyak, namun tidak ada yang tergolong jago kelas tinggi.
Sementara itu suara jeritan masih terus terdengar, mungkin beberapa Sumoaynya telah roboh pula. Jika kawanan musuh membunuh habis para Sute dan Sumoaynya, lalu keluar lagi untuk mengerubut Suhu, Sunio dan Lo Tek-nau, tatkala mana guru dan ibu gurunya paling-paling hanya dapat menyelamatkan diri saja, sebaliknya pasti tidak mampu membunuh musuh dan menuntut balas.
Makin cemas dan makin gelisah perasaan Lenghou Tiong, semakin lemas pula badannya. Tiada hentinya ia berdoa, "Semoga Tuhan memberkati sedikit tenaga padaku, cukup dalam waktu singkat saja asal dapat masuk ke dalam kelenteng, tentu Lenghou Tiong dapat atau akan melindungi keselamatan Siausumoay, sekalipun aku sendiri akan dicencang oleh musuh dan mengalami siksaan badan yang paling kejam juga aku rela."
Sekuatnya ia meronta dan mengerahkan tenaga dalam lagi, sekonyong-konyong enam arus hawa murni menerjang naik ke atas dada, menyusul ada dua arus hawa murni yang lain menyalur dari atas ke bawah sehingga keenam arus tadi dapat ditekan turun lagi. Habis itu sekujur badan terasa enteng hampa, seakan-akan seluruh isi perutnya sudah hilang entah ke mana, kulit daging juga lenyap tanpa bekas.
Diam-diam ia mengeluh, "O, kiranya demikian halnya, sungguh celaka!"
Kiranya ia menjadi paham duduknya perkara, bahwa ketika Tho-kok-lak-sian berlomba menyembuhkan lukanya, enam arus hawa murni yang disalurkan keenam tokoh aneh itu telah menyusup masuk melalui urat nadi yang berbeda, luka dalam tidak tersembuhkan, sebaliknya keenam arus hawa murni itu tertahan di dalam badan dan sukar dikeluarkan.
Jika dia meyakinkan Lwekang sakti menurut isi Ci-he-pit-kip tentu ia dapat memunahkan keenam arus hawa murni aneh itu, celakanya dia bertemu dengan Put-kay Hwesio yang memiliki Lwekang sangat tinggi, tapi wataknya kasar dan tak bisa berpikir, secara paksa ia kerahkan dua arus hawa murninya untuk menekan hawa murni Tho-kok-lak-sian itu, seketika itu kesehatan Lenghou Tiong seperti pulih kembali, tapi sebenarnya di dalam badan telah bertambah pula dengan dua arus hawa murni yang lain dan masing-masing saling terjang setiap kali ia bermaksud mengerahkan tenaga. Hal ini mengakibatkan Lwekang sendiri yang pernah dipupuk oleh Lenghou Tiong menjadi tak tertinggal sedikit pun, jadi praktis sekarang Lenghou Tiong mirip seorang lumpuh.
Setelah paham persoalannya, Lenghou Tiong menjadi pedih, tanpa terasa air matanya berlinang, pikirnya, "Nasib malang yang menimpa diriku ini sama dengan memusnahkan sama sekali ilmu silatku. Hari ini perguruanku menghadapi kesulitan, tapi sedikit pun aku tak bertenaga, sebagai murid tertua Hoa-san-pay aku hanya menggeletak di sini dan menyaksikan Suhu dan Sunio dihina orang dan para Sute serta Sumoay dibantai musuh tanpa berbuat apa-apa, sungguh sia-sia aku menjadi manusia. Ya, biarlah aku masuk ke sana dan mati di suatu tempat bersama Siausumoay saja."
Ia tahu bila sedikit mengerahkan tenaga tentu kedelapan arus hawa murni di dalam tubuhnya akan bergolak lagi dan akan membuatnya tak bisa bergerak. Maka ia coba menahan napas, sedikit pun tidak berani mengerahkan tenaga dalam, dengan demikian dapatlah ia mengangkat kakinya dan dapatlah bergerak, perlahan ia berdiri dan perlahan melolos pedang, selangkah demi selangkah ia menggeremet ke dalam kelenteng.
Begitu masuk ke dalam pintu segera hidungnya kesampuk bau anyir darah. Di atas altar arca masih diterangi oleh dua buah lampu, mungkin musuh yang menaruhnya di situ. Nio Hoat, Si Cay-cu, Ko Kin-beng dan para Sute yang lain sedang melawan musuh dengan berlumuran darah. Beberapa Sute dan Sumoay yang lain tampak menggeletak di lantai dan entah sudah mati atau masih hidup.
Leng-sian dan Peng-ci tampak sedang melawan seorang musuh berkedok. Rambut Leng-sian yang panjang terurai kusut. Peng-ci memegang pedang dengan tangan kiri, nyata tangan kanan terluka.
Musuh mereka itu bersenjatakan tombak pendek, tampaknya sangat lihai. Berulang tiga kali Peng-ci menyerang, tapi selalu luput mengenal sasarannya. Sebaliknya mendadak tombak pendek musuh terangkat, "cret", tiba-tiba bahu kanan Peng-ci terluka pula.
Lekas-lekas Leng-sian menyerang dua kali sehingga musuh terpaksa melangkah mundur. "Siau-lim-cu, lekas membalut lukamu dahulu," teriak Leng-sian.
"Tidak apa-apa," sahut Peng-ci dengan pedang menusuk pula, namun langkahnya sudah sempoyongan.
Orang berkedok itu tertawa panjang, tombak mendadak menyabet dari samping, "bluk", dengan tepat pinggang Leng-sian terpukul. Saking sakitnya sampai Leng-sian menungging dan pedang terlepas dari pegangan.
Keruan Lenghou Tiong sangat kaget, dalam keadaan demikian yang dia pikirkan hanya menolong si nona, bahaya apa yang akan dihadapinya sudah tak dihiraukan lagi.
Segera ia menerjang maju, sekuatnya pedang menusuk. Tapi baru setengah jalan pedang menyelonong ke depan, sekonyong-konyong hawa murni dalam tubuhnya bergolak, tangan kanan seketika lemas dan terjulai ke bawah.
Ketika diserang, orang berkedok itu sudah siap-siap hendak mengegos, lalu akan balas menyerang dengan tombak secara jitu dan ganas, bukan mustahil sekaligus dada pemuda itu akan ditembus oleh tombaknya, siapa tahu baru setengah jalan Lenghou Tiong menusukkan pedangnya, tiba-tiba tangan terjulur kembali ke bawah.
Sudah tentu orang berkedok itu rada heran. Seketika ia pun tidak sempat berpikir apa sebabnya, kontan kakinya menyapu sehingga Lenghou Tiong ditendang keluar kelenteng lagi. Dalam keadaan lemas dan tak berdaya, "byurr", tubuh terbanting di tengah air pecomberan di luar kelenteng itu.
Di bawah hujan yang masih lebat, seluruh muka Lenghou Tiong penuh dengan lumpur, seketika ini masih tidak dapat bergerak. Segera dilihatnya Jisute Lo Tek-nau telah roboh ditutuk orang, dua lawan yang mengeroyoknya tadi kini ikut mengerubut Gak Put-kun dan istrinya. Tidak lama kemudian dari dalam kelenteng berlari keluar tujuh orang, sedangkan Gak-hujin menandingi tiga orang musuh.
Sejenak kemudian terdengarlah teriakan dan bentakan Gak-hujin bersama seorang musuh, ternyata kaki kedua orang telah sama-sama terluka. Musuh itu lantas mengundurkan diri. Meski musuhnya berkurang seorang, tapi kakinya terbacok golok, lukanya tidaklah ringan. Maka setelah bergebrak lagi beberapa jurus, kembali pundaknya kena diketok oleh punggung golok musuh, seketika ia jatuh terkapar.
Cepat dua orang musuh berkedok itu menutuk beberapa Hiat-to penting di punggung nyonya Gak agar dia tidak dapat bangun lagi untuk melawan.
Dalam pada itu para murid Hoa-san-pay di dalam kelenteng berturut-turut juga telah banyak yang terluka, satu per satu mereka dirobohkan.
Rupanya kawanan penyerang berkedok itu mempunyai maksud tujuan tertentu, mereka hanya merobohkan dan menawan anak murid Hoa-san-pay saja, ada yang dilukai kaki atau tangannya dan yang lain ditutuk Hiat-to yang membuatnya tak bisa berkutik, tapi jiwa mereka tidak diganggu.
Begitulah kelima belas orang lalu mengurung di sekeliling Gak Put-kun, delapan jago di antaranya berdiri di delapan penjuru untuk menempur Gak Put-kun, sisa tujuh orang yang lain sama memegang lampu Khong-beng-ting untuk memberi penerangan.
Betapa pun tinggi kepandaian ketua Hoa-san-pay itu, namun kedelapan lawannya semuanya adalah jago-jago pilihan, tujuh sorot sinar lampu terlebih-lebih membuat matanya merasa silau.
Namun Gak Put-kun bukanlah tokoh utama salah satu pemimpin Ngo-gak-kiam-pay bila mudah menyerah begitu saja. Biarpun menghadapi bahaya dia tidak menjadi gugup. Ia sadar bahwa Hoa-san-pay hari ini jelas sudah kalah habis-habisan, boleh jadi segenap rombongannya akan terbunuh semua di dalam kelenteng bobrok. Tapi dia tetap putar pedang dan bertahan dengan rapat, makin lama makin tangkas, tenaganya bertahan lama, ilmu pedangnya tambah lihai. Bila sinar lampu menyorot ke arahnya ia lantas memandang ke bawah, dengan demikian kedelapan lawannya itu menjadi tak bisa mengapa-apakan dia dalam waktu singkat.
"Gak Put-kun, kau mau menyerah atau tidak?" tiba-tiba seorang di antaranya berseru.
"Biarpun mati orang she Gak pantang menyerah, kalau mampu membunuh aku silakan bunuh saja," sahut Put-kun tegas dan lantang.
"Kau tidak mau menyerah, biar kutebas dulu tangan kanan istrimu," kata orang itu sambil angkat goloknya yang tebal dengan ujung berbentuk kepala setan. Di bawah pantulan cahaya lampu goloknya mengeluarkan sinar mengilap kehijau-hijauan, mata golok sudah mengancam di atas pundak Gak-hujin.
Gak Put-kun menjadi ragu apakah mesti terima menyaksikan lengan sang istri ditebas kutung oleh musuh. Tapi kalau menyerah begitu saja toh nanti juga akan dihina oleh mereka. Kehormatan Hoa-san-pay yang sudah bersejarah ratusan tahun mana boleh runtuh di tanganku sekarang"
Karena pikiran demikian, mendadak ia menarik napas panjang-panjang, warna ungu mukanya mendadak menebal, serentak pedangnya lantas menebas ke arah laki-laki yang mengancam istrinya tadi.
Untuk mencari selamat dengan sendirinya orang itu menangkis dengan goloknya, Tak terduga serangan Gak Put-kun ini disertai dengan Ci-he-sin-kang, tenaga saktinya mahadahsyat, golok laki-laki itu ikut tertolak balik sehingga pedang dan golok sekaligus membacok lengan kanannya, tapi dia belum lagi mengutungi lengan Gak-hujin, sekarang lengan sendiri sudah terkutung lebih dulu, maka darah pun muncrat berhamburan. Orang itu menjerit dan roboh terguling.
Sekali serang berhasil, menyusul pedang Gak Put-kun menyambar pula, kembali kaki seorang musuh tertusuk. Orang itu mencaci maki sambil cepat mengundurkan diri.
Musuh telah berkurang dua orang, tapi sisa enam orang lagi adalah jago pilihan semua, baik Lwekang maupun Gwakang. Bila satu lawan satu pasti Gak Put-kun akan menang, tapi kini mereka maju berbareng, betapa pun Put-kun repot juga menghadapi mereka. "Plok", mendadak punggungnya tertimpuk sekali oleh "Lian-cu-tay" musuh, yaitu senjata gandin berantai.
Kontan Gak Put-kun juga balas menyerang tiga kali sehingga musuh terpaksa sama melompat mundur. Namun darah segar sudah lantas tersembur dari mulutnya.
Musuh-musuh berkedok itu sama bersorak gembira, "Aha, si tua sudah terluka, saking letihnya juga dia akan mampus sendiri nanti."
Karena yakin kemenangan pasti akan berada di pihak mereka, maka keenam orang itu menjadi adem ayem saja dan memperlambat serangan. Dengan demikian Gak Put-kun menjadi mati kutu malah, ia tidak punya kesempatan buat membinasakan lawannya lagi.
Dari ke-15 orang berkedok yang menyerang di tengah malam hujan lebat itu sudah ada tiga orang dilukai oleh Gak Put-kun dan istrinya, satu di antaranya lengan terkutung dan terluka agak parah, sedangkan dua orang yang lain hanya terluka ringan saja, mereka masih dapat mengangkat lampu membantu penerangan bagi kawan-kawannya sambil tiada hentinya mencaci maki.
Dari logat bicara mereka itu Gak Put-kun menduga mereka adalah orang dari daerah perbatasan antara Sucwan dan Soasay, tapi kota Wi-lim-tin yang baru saja dilalui siang tadi sudah termasuk wilayah Holam barat, logat bicaranya sama sekali berbeda dengan orang-orang berkedok itu.
Ilmu silat orang-orang itu pun bercampur, terang bukan terdiri dari suatu golongan yang sama. Tapi pada waktu bertempur mereka selalu bantu-membantu dengan baik, agaknya bukan rombongan yang baru saja bergabung. Lalu bagaimanakah asal usul kawanan penyatron ini, sungguh sukar diperkirakan.
Yang paling mengherankan adalah ke-15 orang itu tiada satu pun yang lemah, semuanya lihai. Berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya sendiri yang luas tidak seharusnya sama sekali tak mengenali seorang pun di antara ke-15 orang musuh lihai ini. Tapi nyatanya memang demikian, sama sekali Gak Put-kun tidak tahu siapakah mereka.
Hanya satu hal ia merasa pasti, yaitu sebelumnya musuh tidak pernah bertempur dengan dirinya sehingga pasti juga tiada permusuhan dan dendam apa pun. Tapi apakah mungkin demi mengincar sejilid "Pi-sia-kiam-boh" saja perlu memusuhi Hoa-san-pay secara besar-besaran seperti ini"
Biarpun hatinya berpikir, tapi tangan Gak Put-kun tidak menjadi kendur. Sekali Ci-he-sin-kang dikerahkan, ujung pedang lantas memancarkan sinar kemilauan. Belasan jurus kemudian kembali pundak seorang musuh tertusuk oleh pedangnya sehingga senjata yang berwujud ruyung baja terlepas jatuh.
Seorang kawannya yang berdiri di luar kalangan segera melompat maju untuk menggantikan lowongannya. Orang baru ini bersenjatakan "Kun-gi-to", golok bergigi gergaji. Bobot senjata ini sangat berat, ujung golok melengkung pula, yang dia incar selalu hendak menggantol pedang Gak Put-kun.
Tapi Lwekang Gak Put-kun sangat kuat, makin bertempur makin bersemangat. Mendadak tangan kirinya menghantam ke belakang sehingga mengenai dada seorang lawan. "Krek", tulang rusuk orang itu patah dua buah, tongkat baja yang dipegang sampai tergetar jatuh.
Namun orang itu benar-benar sangat berani dan nekat, dengan kalap mendadak ia menubruk maju ke bawah seperti bola, ia pentang kedua tangan untuk mendekap kaki Gak Put-kun.
Keruan ketua Hoa-san-pay itu terkejut. Tanpa pikir pedangnya menikam ke punggung musuh. Tapi dari samping dua golok telah menangkisnya.
Gerakan Gak Put-kun amat cepat, pedang gagal menikam, secepat kilat kaki kanan lantas menendang dagu orang yang nekat itu.
Tak terduga orang itu ternyata juga ahli Kim-na-jiu, sekali tangannya menyambar, kaki kanan Gak Put-kun berbalik kena dipegangnya, hampir berbareng orang itu lantas menggelinding ke samping. Dalam keadaan demikian betapa pun sulit berdiri tegak lagi. Seketika ia terseret jatuh. Hanya sekejap saja berbagai macam senjata musuh sama mengancam tempat mematikan di atas tubuhnya.
Gak Put-kun menghela napas panjang, ia lepaskan pedang dan pejamkan mata menunggu ajal. Tapi segera terasa beberapa Hiat-to di bagian pinggang, dada dan tempat lain yang penting telah ditutuk musuh dengan Kim-kong-ci-lik (tenaga jari raksasa). Menyusul dua orang berkedok itu telah memayangnya bangun.
Bab 43. Si Baju Kuning Co Hui-leng Putra Sulung Co-bengcu
"Ilmu silat Kun-cu-kiam Gak-siansing memang tidak bernama omong kosong," demikian suara seorang tua lagi bicara. "Dengan kekuatan kami belasan orang mengerubutmu malahan beberapa orang kami sampai terluka, dengan demikian akhirnya baru dapat menangkapmu, sungguh kami harus mengaku tidak becus. Hehe, kami benar-benar sangat kagum padamu. Bila aku harus satu melawan satu padamu terang takkan mampu menang. Tapi kalau dipikir kembali mesti jumlah kami ada 15 orang, namun rombongan kalian bahkan berjumlah 20 orang lebih, kalau dibandingkan toh Hoa-san-pay kalian tetap lebih banyak. Jadi malam ini dengan jumlah sedikit kami telah menangkap pihak Hoa-san-pay yang berjumlah lebih banyak. Pertarungan ini telah kami menangkan dengan tidak mudah, betul tidak kawan-kawan?"
"Ya, memang kemenangan kita diperoleh tidak mudah," seru beberapa orang berkedok di belakangnya.
Maka orang itu melanjutkan lagi, "Gak-siansing, selamanya kami tiada permusuhan apa pun denganmu, kami hanya ingin pinjam lihat itu Pi-sia-kiam-boh saja. Sesungguhnya Kiam-boh itu juga bukan milik Hoa-san-pay kalian, dengan segala tipu daya kau pancing anak muda keluarga Lim dari Hok-wi-piaukiok itu masuk perguruanmu, maksud tujuanmu sebenarnya kurang gemilang, para kawan Bu-lim merasa penasaran juga atas perbuatan itu. Sekarang ingin kuberi nasihat secara baik-baik, lebih baik kau keluarkan Kiam-boh itu."Gak Put-kun sangat gusar, jawabnya, "Aku sudah jatuh di tanganmu, hendak bunuh boleh lekas bunuh, apa gunanya mengoceh tak keruan. Bagaimana pribadi orang she Gak ini cukup dikenal setiap orang Kangouw, adalah mudah kau membunuhku, tapi hendak merusak nama baikku, hm, jangan mimpi!"
"Hahahaha! Apa susahnya merusak namamu?" mendadak salah seorang berkedok itu bergelak tertawa. "Istrimu, putrimu dan anak muridmu yang perempuan semuanya cantik-cantik, ayu-ayu. Kami masing-masing dapat membaginya dan mengambilnya sebagai istri muda. Dengan demikian kutanggung nama Gak-siansing pasti akan semakin tersohor di Bu-lim."
Kata-kata ini membuat orang-orang berkedok yang lain sama ikut tertawa keras, bahkan suara tertawa mengandung nada kotor dan rendah.
Saking marahnya sampai seluruh badan Gak Put-kun gemetar. Langkah kotor yang dikatakan orang itu sungguh tak pernah terpikir olehnya. Ia melihat beberapa orang berkedok itu benar-benar mulai menggiring anak muridnya keluar dari kelenteng. Para muridnya sama tertutuk, ada yang berjalan sampai di luar kelenteng lantas jatuh terkapar, terang bagian kaki terluka.
"Gak-siansing," terdengar orang tua berkedok tadi bicara pula, "tentang asal usul kami boleh jadi kau sudah dapat menduga-duga. Kami bukan kaum kesatria atau pahlawan segala di dunia persilatan, tiada sesuatu yang tidak dapat kami lakukan. Lebih-lebih kawan ini, banyak yang gemar paras cantik, main perempuan adalah acara mereka sehari-hari. Bila mereka sampai mengganggu istri dan putrimu, bagaimana pun kurang baik."
"Sudah, sudahlah, jika kau tatap tidak percaya, silakan menggeledah badan kami saja, coba lihat apakah terdapat Pi-sia-kiam-boh yang kalian cari atau tidak?" sahut Gak Put-kun.
"Kukira lebih baik kau mengeluarkan sendiri saja kitab itu," kata seorang berkedok yang lain dengan tertawa, "bila kami harus menggeledah satu per satu, kalau binimu dan putrimu juga kami geledah, tentu akan kurang sedap dipandang."
Sekonyong-konyong Peng-ci berkata, "Biar kukatakan terus terang kepada kalian, keluarga Lim kami di Hokkian pada hakikatnya tidak punya Pi-sia-kiam-boh apa segala. Percaya atau tidak terserahlah kepada kalian."
Habis berkata ia terus jemput sebatang tongkat besi yang terjatuh di tanah tadi terus menghantam batok kepala sendiri. Cuma Hiat-to di bagian kedua lengannya juga tertutuk sehingga tangannya tak bertenaga. Meski tongkat itu mengenai juga kepalanya, namun hanya membuat kulitnya lecet dan berdarah dan tidak sampai menghancurkan kepalanya.
Maksud tujuan tindakan Peng-ci itu dapat dimengerti oleh semua orang. Pemuda itu sengaja hendak mengorbankan jiwa sendiri untuk menyatakan dengan tegas bahwa Pi-sia-kiam-boh segala benar-benar tidak berada di tangan orang Hoa-san-pay.
"Hehe, bocah ini ternyata cukup setia kawan, gurumu ini percuma saja berjuluk Kun-cu (laki-laki sejati), nyatanya dia tidak punya jiwa seorang laki-laki sejati," jengek orang tadi. "Bocah she Lim, lebih baik kau pindah menjadi murid kami saja, tanggung kau akan memperoleh kepandaian tinggi yang cukup untuk malang melintang di dunia Kangouw."
"Kentut makmu!" Peng-ci memaki. "Orang she Lim ini sekali sudah menjadi murid Hoa-san-pay masakan sudi mengangkat manusia rendah macammu sebagai guru?"
"Jawaban bagus!" teriak Nio Hoat. "Hoa-san-pay kita ...."
"Hoa-san-pay kalian ada apa?" mendadak salah seorang berkedok itu menyela sambil mengayun goloknya, kontan kepala Nio Hoat dipenggalnya bulat-bulat, darah segar lantas menyembur keluar.
Beberapa orang murid Hoa-san-pay sampai menjerit kaget. Sedangkan di dalam benak Gak Put-kun timbul macam-macam pikiran, tapi selalu tidak ingat bagaimana asal usul kawanan penyatron ini. Jika ditilik dari ucapan orang tua tadi besar kemungkinan mereka adalah tokoh-tokoh kalangan Hek-to (kaum penjahat) atau pemimpin berbagai perkumpulan atau gerombolan yang biasa berbuat jahat. Holam, Soasay dan Sucwan pada umumnya cukup diketahuinya dan sekali-kali tiada terdapat jago-jago lihai sebanyak ini. Orang tadi sekali tebas memenggal kepala Nio Hoat, betapa kejamnya sungguh jarang terlihat.
Bahkan sesudah membunuh Nio Hoat, orang itu tertawa seperti orang gila, ia mendekati Gak-hujin, golok yang berlumuran darah itu diayunkan kian kemari dan pura-pura menebas beberapa kali di atas kepala nyonya Gak.
"Jangan ... jangan mencelakai ibuku!" jerit Leng-sian, hampir-hampir saja ia jatuh kelengar saking khawatirnya.
Sebaliknya Gak-hujin memang seorang kesatria wanita, sedikit pun ia tidak gentar. Ia pikir kalau musuh membunuhnya dengan sekali tebas akan kebetulan malah, dengan demikian tidak perlu khawatir dan dianiaya dan dihina pula. Maka dengan bersitegang ia memaki, "Bangsat, kalau berani bunuhlah aku!"
Pada saat itulah tiba-tiba dari jurusan timur laut sana ada suara derapan kuda lari yang ramai, puluhan penunggang kuda sedang mendatang dengan cepat.
"Siapa itu" Coba pergi lihat!" seru si orang tua berkedok.
Dua orang kawannya mengiakan dan segera mencemplak ke atas kuda dan memapak ke sana.
Terdengar suara derapan kuda yang riuh itu tidak pernah berhenti dan langsung dilarikan ke kelenteng, menyusul terdengar suara "trang-tring" beberapa kali, suara beradunya senjata dan jeritan orang pula. Terang para pendatang itu telah bergebrak dengan kedua orang berkedok yang memapak ke sana itu dan ada orang terluka terguling dari atas kuda.
Sungguh girang Put-kun dan lain-lain tak terkatakan, mereka tahu telah kedatangan bala bantuan. Di bawah cahaya lampu samar-samar terlihat dari kejauhan ada 30 sampai 40 penunggang kuda sedang mendatang dengan cepat, hanya sekejap saja sudah berhenti di luar kelenteng dengan mengelilingnya.
"Kiranya sahabat dari Hoa-san-pay. He, itu kan Gak-heng?" demikian seorang penunggang kuda itu berseru.
Waktu Gak Put-kun memandang pembicara itu, seketika ia merasa kikuk dan serbasalah.
Kiranya orang itu adalah Theng Eng-gok, tokoh kelima dari Ko-san-pay yang beberapa hari lalu pernah datang ke Hoa-san dengan membawa Leng-ki (panji perintah) dari ketua Ngo-gak-kiam-pay. Bahkan orang yang berada di sebelahnya jelas adalah Hong Put-peng, itu murid Hoa-san-pay dari golongan Kiam-cong (sekte pedang), selain itu jago-jago Thai-san-pay, Heng-san-pay dan Hing-san-pay, yang ikut datang ke Hoa-san tempo hari juga terdapat di antara mereka, malahan sekarang telah bertambah tidak sedikit orang baru yang sukar dikenali di bawah cahaya lampu yang remang-remang.
"Gak-heng," demikian terdengar Theng Eng-gok bicara pula, "tempo hari kau tidak mau terima perintah Co-bengcu, hal ini membuat Co-bengcu merasa tidak senang. Maka kini beliau sengaja mengutus putranya yang tertua hendak mengunjungi engkau pula di Hoa-san dengan membawa Leng-ki. Siapa duga di tengah malam buta begini ternyata berjumpa di sini, sungguh tak terduga sama sekali."
Waktu Gak Put-kun memandang sebelah Theng Eng-gok pula, terlihat di atas seekor kuda hitam yang tinggi besar dan gagah ada seorang penunggang laki-laki tinggi besar berusia antara 30-an tahun, berbaju panjang warna kuning dan sedang mengangguk perlahan padanya, sikapnya sangat angkuh.
Gak Put-kun tahu ketua Ko-san-pay, Co Leng-tan, mempunyai dua orang putra. Putra sulung bernama Co Hui-eng dan sudah memperoleh ajaran segenap kepandaian sang ayah, betapa tinggi ilmu silatnya sudah boleh dijajarkan beserta para paman gurunya. Dan mungkin orang tinggi besar di hadapan inilah Co-toakongcu itu. Padahal dirinya sama tingkat dengan ayahnya, seharusnya dia mesti menyapa dengan sebutan "paman" dan memberi hormat, biarpun sekarang Gak Put-kun sendiri dalam kesukaran juga merasa kurang senang atas sikap pemuda itu.
Dan sebelum Gak Put-kun membuka suara, tiba-tiba si orang tua berkedok tadi telah bicara, "Kiranya Co-toakongcu dari Ko-san-pay telah datang, sungguh beruntung sekali dapat berjumpa di sini. Dan kesatria berjenggot ini tentunya Theng-loenghiong, tokoh kelima dari Ko-san-pay bukan?"
"Ah, saudara terlalu memuji saja," sahut Theng Eng-gok. "Dan siapakah nama saudara yang mulia, mengapa tidak sudi memperlihatkan wajah kalian yang asli?"
"Saudara-saudara kami ini semuanya adalah Bu-beng-siau-cut dari kalangan Hek-to, bila nanti julukan jelek kami ini diperkenalkan mungkin akan membikin kotor telinga Co-toakongcu dan Theng-loenghiong, terhadap Gak-hujin dan Gak-siocia sudah terang kami tidak berani berbuat kasar lagi, hanya ada suatu urusan kami ingin minta keadilan kepada kalian menurut hukum persilatan."
"Urusan apa" Tiada alangannya kau sebutkan agar kami pun ikut mengetahui," sahut Theng Eng-gok.
Maka orang tua itu lantas berkata, "Gak-siansing ini mempunyai gelaran sebagai Kun-cu-kiam, konon tutur katanya setiap hari selalu mengutamakan budi pekerti dan kebajikan, kabarnya paling taat kepada peraturan Bu-lim. Akan tetapi akhir-akhir ini telah terjadi suatu peristiwa, Hok-wi-piaukiok di Hokciu telah bangkrut dihancurkan orang. Congpiauthau Lim Cin-lam dan istrinya juga dibunuh orang. Tentang ini tentu tuan-tuan juga sudah mendengar."
"Ya, kabarnya yang berbuat adalah Jing-sia-pay dari Sucwan," sahut Theng Eng-gok.
Orang tua itu menggeleng kepala beberapa kali, katanya, "Walaupun demikian berita yang tersiar di kalangan Kangouw, tapi hal yang sesungguhnya belum tentu begitu. Marilah kita bicara secara blak-blakan saja. Setiap orang Bu-lim tentu tahu bahwa keluarga Lim dari Hok-wi-piaukiok itu memiliki satu jilid kitab pusaka Pi-sia-kiam-boh yang berisikan pelajaran ilmu pedang yang sangat hebat. Siapa yang berhasil meyakinkannya dengan sempurna akan menjagoi dunia persilatan tanpa tandingan. Sebabnya Lim Cin-lam dan istrinya terbunuh juga karena ada orang mengincar Pi-sia-kiam-boh itu."
"Lalu bagaimana?" tanya Theng Eng-gok.
"Tentang siapa yang membunuh Lim Cin-lam dan istrinya tidak diketahui, kami hanya mendengar bahwa Kun-cu-kiam Gak-siansing ini telah menggunakan tipu muslihat, putra Lim Cin-lam ditipu sehingga dengan sukarela mau masuk menjadi murid Hoa-san-pay. Tentang Pi-sia-kiam-boh itu dengan sendirinya juga ikut dibawa ke dalam Hoa-san-pay. Setelah kami saling tukar pikiran, kami menarik kesimpulan bahwa Gak Put-kun benar-benar sangat licin, dia tidak dapat merebut secara terang-terangan dan lantas menggunakan tipu daya. Coba pikir, berapakah usia bocah she Lim itu" Berapa luas pengalamannya" Sesudah dia menjadi murid Hoa-san-pay bukankah dengan mudah dia akan dipermainkan oleh rase tua she Gak itu dan akan mempersembahkan Pi-sia-kiam-boh tanpa diminta."
"Pendapatmu mungkin kurang tepat," ujar Theng Eng-gok. "Ilmu pedang Hoa-san-pay sendiri cukup bagus, Ci-he-sin-kang yang dibanggakan Gak-siansing juga tiada bandingannya di dunia persilatan dan merupakan jenis Lwekang paling tinggi, guna apa lagi dia mau mengincar ilmu pedang dari golongan lain?"
"Hahahaha!" orang tua itu bergelak tertawa, "Agaknya Theng-loenghiong telah menggunakan jiwa kesatria untuk menilai hati manusia rendah. Ilmu pedang bagus apa yang dipunyai Gak Put-kun" Sejak kedua sekte Khi dan Kiam dari Hoa-san-pay mereka berpecah belah, selama ini sekte Khi telah mengangkangi Hoa-san, yang diutamakan mereka hanya berlatih Khi saja, tentang ilmu pedang mereka adalah terlampau rendah dan tiada nilainya. Orang Kangouw umumnya cuma segan kepada nama kosong Hoa-san-pay dan menyangka dia benar-benar mempunyai kepandaian sejati, padahal, hehe, hehe ...."
Sesudah tertawa dingin mengejek beberapa kali, lalu orang tua itu melanjutkan, "Menurut pantasnya, sebagai ketua Hoa-san-pay, ilmu pedang Gak Put-kun mestinya tidak rendah, namun para hadirin telah menyaksikan sekarang, saat ini dia tertawan oleh kami sebangsa keroco. Pertama, kami tidak memakai racun; kedua, tidak menggunakan Am-gi (senjata gelap rahasia); ketiga, kami pun tidak menang lantaran berjumlah lebih banyak, kami menang berdasarkan kepandaian sejati, kami telah labrak dan membereskan segenap orang Hoa-san-pay ini dari guru sampai muridnya tanpa kecuali. Maka dapatlah dibayangkan sampai di mana ilmu silat sekte Khi dari Hoa-san-pay, untuk ini kiranya tak perlu penjelasan pula. Sudah tentu Gak Put-kun tahu akan dirinya sendiri, pastilah dia buru-buru ingin mendapatkan ilmu pedang sekte agar namanya yang kosong tidak terbongkar. Tapi pada saat dia menghadapi kami, maka boroknya sukar lagi ditutup-tutupi."
"Ya, uraianmu cukup beralasan juga," ujar Eng-gok.
"Sebenarnya kepandaian kami kaum keroco dari Hek-to ini tiada harganya bagi kalian kaum kesatria ternama. Pi-sia-kiam-boh itu pun kami tidak berani menaruh minat apa-apa," demikian si orang tua melanjutkan. "Cuma selama belasan tahun ini kami telah banyak mendapat kebaikan dari Lim-congpiauthau dari Hok-wi-piaukiok, setiap kali kereta barangnya lalu di wilayah kekuasaan kami, tiada seorang pun di antara kami mau mengganggunya. Kami ini demi mendengar Lim-congpiauthau mengalami nasib malang, keluarga hancur dan orangnya binasa. Hal ini membikin kami merasa penasaran, maka beramai-ramai kami lantas datang buat bikin perhitungan dengan Gak Put-kun."
Sampai di sisi ia berhenti sejenak, ia pandang para penunggang kuda itu, lalu berkata pula, "Yang datang malam ini tampaknya adalah kaum kesatria ternama, bahkan terdapat tokoh-tokoh Ngo-gak-kiam-pay yang ada ikatan perjanjian dengan Hoa-san-pay, maka cara bagaimana harus memutuskan perkara ini boleh silakan kalian menentukan saja, aku dan kawan-kawan pasti akan menurut belaka."
"Saudara ternyata sangat baik hati, biarlah kami terima maksud baikmu," sahut Eng-gok. "Co-hiantit, bagaimana pendapatmu tentang persoalan ini?"
"Menurut pesan ayah, katanya, kedudukan ketua Hoa-san-pay harus dipegang oleh Hong-siansing, sekarang Gak Put-kun ternyata melakukan perbuatan yang rendah dan memalukan pula, maka biarlah Hong-siansing sendiri yang menyelesaikan urusan dalam perguruannya."
"Benar, keputusan Co-bengcu memang sangat bijaksana," demikian sokong beberapa penunggang kuda yang lain.
"Urusan Hoa-san-pay memang seharusnya diselesaikan oleh ketua Hoa-san-pay sendiri, dengan demikian kita dapat pula menghindarkan tuduhan yang tak diharapkan di kemudian hari oleh kawan-kawan Kangouw."
Segera Hong Put-peng melompat turun dari kudanya, ia memberi hormat sekeliling kepada para hadirin, lalu bicara, "Sungguh aku sangat berterima kasih atas penghargaan kalian padaku. Hoa-san-pay kami telah cukup lama dikangkangi oleh Gak Put-kun, nama baik Hoa-san-pay telah runtuh habis-habisan di dunia Kangouw lantaran perbuatannya yang menyeleweng. Bahkan sekarang telah membunuh ayah orang dan merebut kitab pusakanya, memaksa orang menjadi muridnya dan macam-macam perbuatan yang tidak pantas. Cayhe sebenarnya tidak punya kepandaian apa-apa dan mestinya tidak sesuai menjabat ketua Hoa-san-pay. Cuma mengingat berapa sukarnya para leluhur mendirikan Hoa-san-pay yang sudah bersejarah ratusan tahun ini dihancurkan oleh murid khianat macam Gak Put-kun ini, maka terpaksa sebisa mungkin aku menerima tugas ini, untuk mana masih diharapkan bantuan-bantuan dari para sahabat."
Dalam pada itu beberapa penunggang kuda itu sudah menyalakan obor. Hujan masih belum reda, cuma sekarang hanya gerimis saja. Di bawah cahaya obor itu wajah Hong Put-peng tampak berseri-seri, senangnya tak terkatakan. Terdengar dia melanjutkan pula pidatonya, "Dosa Gak Put-kun sudah teramat besar dan tak bisa diampuni, untuk mana harus dihukum mati sesuai dengan undang-undang perguruan. Pau-sute, silakan kau melaksanakan hukum perguruan kita, bunuhlah murid murtad Gak Put-kun dan istrinya."
Terdengar seorang laki-laki berusia 50-an telah mengiakan sambil melolos pedangnya, lalu mendekati Gak Put-kun, katanya dengan menyeringai, "Orang she Gak, kau telah merusak perguruan kita, hari ini kau harus menerima ganjaran yang setimpal."
Gak Put-kun menyedot napas dalam, katanya, "Bagus, bagus! Karena ingin merebut kedudukan ketua, ternyata Kiam-cong (sekte pedang) kalian tidak segan-segan menggunakan tipu keji demikian. Pau Put-ki, hari ini kau membunuh aku, tapi di alam baka apakah kau ada muka untuk menjumpai para leluhur Hoa-san-pay kita?"
"Hahahaha! Orang yang banyak kejahatan tentu akan mampus sendiri, kau sendiri telah banyak berbuat dosa, jika aku tidak membunuh kau, tentu juga kau akan mati dibunuh orang, jika demikian kan kurang baik malah?" demikian Pau Put-ki sambil tertawa.
"Pau-sute," bentak Hong Put-peng, "tiada gunanya banyak omong, laksanakan hukuman!"
Pau Put-ki mengiakan. Segera ia angkat pedangnya. Di bawah cahaya obor terpantullah sinar pedang yang gemilap.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Gak-hujin berteriak, "Tentang Pi-sia-kiam-boh itu sebenarnya berada di mana" Tangkap maling harus dengan bukti, kalau cuma memfitnah orang, ini bukan sifat seorang kesatria."
"Tangkap maling harus dengan bukti, bagus sekali istilah ini," jengek Pau Put-ki sambil mendekati Gak-hujin dengan cengar-cengir. "Kukira Pi-sia-kiam-boh itu benar kemungkinan disembunyikan di dalam bajumu, biarlah aku menggeledah kau agar tidak menuduh kami memfitnah." Habis berkata sebelah lengannya hendak meraba ke dada Gak-hujin.
Sesudah kakinya terluka, Gak-hujin telah ditutuk pula dua tempat Hiat-to yang membuatnya tak bisa bergerak. Dilihatnya tangan Pau Put-ki sedang diulurkan ke arahnya, bila badannya sendiri sampai tersentuh, maka ini benar-benar suatu penghinaan yang sukar dibersihkan, tiba-tiba ia mendapat akal dan segera berseru, "Co-toakongcu!"
Sama sekali Co Hui-eng tidak menduga nyonya Gak akan berteriak memanggilnya. Maka ia lantas menjawab, "Ada apa?"
Cepat Gak-hujin berkata, "Ayahmu adalah ketua perserikatan Ngo-gak-kiam-pay, merupakan teladan bagi setiap orang Bu-lim, tapi kau ternyata membiarkan manusia tidak tahu malu begini menghina kaum wanita di depan umum. Apakah memang demikian kau dididik oleh ayahmu?"
"Hal ini ...." Co Hui-eng menjadi ragu-ragu.
Segera Gak-hujin berseru pula, "Bangsat tadi sembarangan mengoceh, katanya mereka tidak menang dengan jumlah orang banyak. Coba sekarang kedua murid khianat Hoa-san-pay ini, asal salah satu mampu menangkan suamiku dengan satu lawan satu, maka dengan sukarela kami akan menyerahkan kedudukan ketua Hoa-san-pay dengan kedua tangan, dengan demikian mati pun kami takkan menyesal, kalau tidak rasanya tindakan kalian ini sukar untuk diterima oleh beratus-ratus ribu kesatria Bu-lim yang mengutamakan keadilan dan kebenaran."
Habis berkata mendadak ia meludah ke muka Pau Put-ki, "crot", tepat sekumur riak kental hinggap di pipi Pau Put-ki. Karena berdirinya terlalu dekat, pula diludah secara tiba-tiba sehingga Pau Put-ki tidak sempat menghindar. Keruan ia sangat gusar. Ia mengusap ludah itu sambil mencaci maki, nenek moyang tujuh belas keturunan Gak-hujin diumpatnya habis-habisan.
Dengan gusar Gak-hujin memaki pula, "Kaum pengkhianat dari Kiam-cong kalian semuanya tidak becus, sebenarnya tidak perlu suamiku turun tangan sendiri, cukup aku seorang wanita saja juga tidak sukar untuk membinasakan kau bila aku tidak tertutuk oleh musuh yang pengecut tadi."
"Baik," tiba-tiba Co Hui-eng berseru, kedua kakinya mengempit, ia melarikan kudanya dan mengitar ke belakang Gak-hujin, sekali cambuk kudanya mengayun, "tar-tar-tar" tiga kali, ujung cambuk sama menyabat tiga tempat Hiat-to di punggung nyonya Gak.
Gak-hujin hanya merasa badan bergetar, kedua tempat Hiat-to yang tertutuk itu lantas terbuka. Keruan saja ia terperanjat. Dalam pada itu kuda hitam Co Hui-eng telah mengitar balik ke tempatnya semula, mata terdengarlah suara sorak puji orang banyak.
Cambuk kuda sebenarnya adalah benda lemah, tapi dengan ujung cambuknya Co Hui-eng sanggup membuka Hiat-to orang yang tertutuk, maka betapa hebat tenaga dalamnya sungguh jarang ada bandingannya, apalagi sekaligus menyabat tiga tempat Hiat-to berbareng, betapa jitu caranya mengincar tempat Hiat-to juga benar-benar jarang terdengar.
Setelah anggota badannya dapat bergerak, Gak-hujin tahu maksud Co Hui-eng ialah membiarkan dirinya bertanding dengan Pau Put-ki. Jadi pertandingan ini tidak melulu menyangkut jiwa sendiri serta suami dan putrinya, tetapi juga akan menentukan mati-hidup Hoa-san-pay selanjutnya. Jika dirinya dapat mengalahkan Pau Put-ki, meski belum tentu akan mengubah keadaan bahaya menjadi selamat, paling tidak hal ini akan berarti suatu titik balik. Sebaliknya kalau dirinya kalah, maka tamatlah segalanya.
Tanpa bicara segera ia jemput pedang sendiri yang terpukul jatuh tadi, ia lintangkan pedang di depan dada dan pasang kuda-kuda. Tapi mendadak kaki kiri terasa lemas, hampir-hampir saja ia jatuh berlutut. Rupanya luka kakinya tidaklah ringan, sedikit menggunakan tenaga saja sukar ditahan.
"Hahaha!" Pau Put-ki bergelak tertawa. "Kau menganggap dirimu bukan kaum wanita yang lemah, sekarang kau pura-pura kaki terluka pula, lalu buat apa bertanding lagi" Seumpama aku menang juga tidak gemilang ...."
"Lihat pedang!" bentak Gak-hujin mendadak sambil menusuk tiga kali, dengan membawa tenaga dalam yang hebat pedangnya mengeluarkan suara mencicit, tiga kali serangan itu satu lebih cepat daripada yang lain, semuanya mengincar tempat fatal di tubuh musuh.
"Bagus!" teriak Pau Put-ki sambil menyurut mundur dua langkah.
Sebenarnya Gak-hujin dapat menggunakan kesempatan itu untuk menyerang lebih jauh, tapi dia tidak berani menggeser kakinya yang terluka itu, terpaksa ia tetap berdiri di tempatnya.
Sudah tentu Pau Put-ki tidak tinggal diam, segera ia balas menyerang. Tiga kali beruntun-runtun ia menyerang dengan cara keji. Tapi semuanya kena ditangkis Gak-hujin, menyusul nyonya Gak itu melancarkan tusukan ke perut musuh dan begitu seterusnya silih berganti mereka saling menyerang.
Gak Put-kun yang tak bisa berkutik itu dapat menyaksikan sang istri melawan musuh dengan menanggung luka pada kakinya, sebaliknya gerak serangan pedang Pau Put-ki sangat lincah dan banyak ragam perubahannya, terang musuh lebih pandai daripada istrinya. Setelah lebih 20 jurus, bagian kaki Gak-hujin mulai payah.
Sebenarnya Khi-cong atau sekte Khi (hawa kekuatan dalam) dari Hoa-san-pay biasanya mengutamakan tenaga dalam untuk menguasai musuh. Tapi sejak terluka Gak-hujin merasa hawa murni dalam tubuhnya kurang lancar sehingga permainan pedangnya sekarang lambat laun kena diatasi oleh Pau Put-ki.
Keruan Gak Put-kun menjadi gelisah. Lebih celaka lagi ia melihat sang istri memainkan pedangnya semakin cepat. Diam-diam ia berpikir, "Kiam-cong mereka mengutamakan permainan pedang, tapi kau malah melabrak dia dengan gerakan pedang, ini berarti menggunakan kelemahan sendiri untuk melawan keunggulan musuh, tentu saja akan kalah."
Sebenarnya Gak-hujin cukup mengetahui akan hal kelemahan pihak sendiri dan keunggulan pihak lawan. Soalnya dia punya kaki terluka, sesudah itu lantas tertutuk pula sehingga selama itu tidak sempat membalut lukanya. Malahan sampai saat ini darah juga masih mengucur keluar, dalam keadaan demikian mana dapat mengerahkan tenaga dalam untuk mengatasi gerak pedang musuh" Saat ini dia hanya bertahan dari sedikit semangatnya yang masih ada, meski gerak pedangnya tampak kencang, tapi tenaganya sudah mulai berkurang dan makin lemah.
Beberapa jurus kemudian Pau Put-ki sudah dapat melihat kelemahan lawan, ia sangat girang. Tidak perlu lagi dia menyerang untuk mencari menang secara cepat, sebaliknya ia bertahan dengan rapat.
Di sebelah sana Lenghou Tiong juga sedang mengikuti pertarungan kedua orang itu. Dilihatnya gerak pedang Pau Put-ki sejak tadi tampaknya sangat lihai, tapi sesungguhnya tidak punya tenaga, hal ini berlawanan dengan ajaran gurunya yang mengutamakan tenaga dalam daripada gerakan. Tiba-tiba hatinya tergerak, pikirnya, "Pantas perguruan sendiri terbagi menjadi Khi-cong dan Kiam-cong, kiranya haluan ilmu silat yang dianut oleh kedua sekte memang berlawanan sama sekali."
Perlahan ia coba merangkak bangun, ia pun berhasil meraba sebatang pedang yang kebetulan berada di sampingnya. Pikirnya pula, "Perguruan sendiri hari ini benar-benar telah kalah habis-habisan, tapi nama baik Sunio dan Sumoay yang suci bersih sekali-kali tak boleh dinodai oleh kawanan bangsat itu. Tampaknya Sunio sudah tak bisa mengalahkan lawannya, sebentar biar kubunuh Sunio lebih dulu dan Sumoay, kemudian aku akan membunuh diri untuk mempertahankan nama baik Hoa-san-pay."
Sementara itu permainan pedang Gak-hujin tampak mulai kacau. Sekonyong-konyong pedangnya berputar secepat kilat terus menusuk ke depan. Serangan ini adalah "jurus tunggal tiada bandingan" yang menjadi kebanggaannya itu.
Pau Put-ki terkejut juga oleh serangan lihai itu, lekas-lekas ia melompat mundur, hanya terpaut sedetik saja, untung dia dapat menghindarkan tusukan maut itu.
Jika kaki Gak-hujin dalam keadaan sehat tentu dia dapat melancarkan serangan susulan yang lebih hebat dan musuh pasti sukar menyelamatkan diri. Tapi sekarang wajahnya sudah pucat, bahkan ia harus menggunakan pedang sebagai tongkat, napasnya tampak terengah-engah.
"Bagaimana Gak-hujin" Tenagamu sudah habis bukan" Apakah sekarang boleh kugeledah badanmu?" demikian Pau Put-ki mengejek dengan tertawa. Sebelah tangannya dipentang, selangkah demi selangkah ia mendesak maju.
Gak-hujin ingin angkat pedang untuk menyerang lagi, tapi lengannya seperti diganduli oleh benda yang berat, betapa pun sukar diangkat lagi.
"Nanti dulu!" mendadak Lenghou Tiong berseru. Ia melangkah ke depan Gak-hujin dan memanggil, "Sunio!"
Habis itu ia bermaksud mengangkat pedangnya menusuk mati sang ibu guru untuk menjaga kebersihan namanya.
Gak-hujin rupanya tahu maksud Lenghou Tiong, sorot matanya memantulkan sinar rasa senang, ia mengangguk dan berkata, "Ehm, bagus, anak baik!"
Tapi tiba-tiba Pau Put-ki membentak, "Enyah kau!"
Berbareng pedang terus menusuk ke tenggorokan Lenghou Tiong.
Melihat serangan itu, Lenghou Tiong tahu tangan sendiri tiada bertenaga sedikit pun, jika menangkis dengan pedang tentu senjata sendiri akan tergetar mencelat. Tanpa pikir lagi segera ia pun angkat pedang dan menusuk tenggorokan lawan.
Serangan ini adalah cara untuk gugur bersama dengan musuh, gerak pedangnya tidak terlalu cepat, tapi tempat yang diarah sungguh sangat bagus dan tepat, tipu serangan lihai ini adalah jurus "Boh-kiam-sik", gerakan mengalahkan ilmu pedang lawan, yaitu salah satu jurus serangan hebat dari Tokko-kiu-kiam yang pernah dipelajarinya di dalam gua di puncak Hoa-san tempo hari. Keruan serangan balasan ini membuat Pau Put-ki terperanjat, sama sekali ia tidak menduga bahwa pemuda yang badannya kotor penuh lumpur ini mendadak bisa melancarkan serangan lihai demikian. Dalam keadaan kepepet tanpa pikir cepat ia menjatuhkan diri terus menggelinding ke samping hingga beberapa meter jauhnya, habis itu baru melompat bangun.
Melihat Pau Put-ki menghindarkan serangan lawannya dengan cara yang konyol itu, sampai-sampai muka, tangan dan seluruh badan penuh berlumuran air lumpur, saking gelinya ada beberapa orang bergelak tertawa. Tapi bila dipikirkan secara mendalam, untuk menghindarkan serangan Lenghou Tiong itu memang tiada jalan lain kecuali menjatuhkan diri seperti Pau Put-ki.
Bagaimanapun Pau Put-ki menjadi malu karena menjadi buah tertawaan orang, dengan murka segera ia menerjang ke arah Lenghou Tiong berikut pedangnya.
Lenghou Tiong sendiri cukup paham bahwa kini dirinya sekali-kali tidak boleh menggunakan tenaga dalam supaya berbagai arus bawa murni di dalam tubuh itu tidak bergolak, untuk menghadapi musuh cukup mengeluarkan "Tokko-kiu-kiam" ajaran Thaysusiokco dahulu itu.
Memangnya dia sudah cukup masak mempelajari cara memecahkan ilmu pedang lawan menurut ajaran orang tua itu, maka dapatlah dia mematahkan berbagai macam serangan musuh yang betapa pun anehnya.
Ketika dilihatnya Pau Put-ki menyeruduk tiba seperti orang gila, segera Lenghou Tiong tahu di mana letak kelemahan serangan musuh itu. Langsung ia memapak dengan ujung pedangnya yang diacungkan miring ke depan, yang dinantikan adalah perut lawan.
Dengan cara serudukan Pau Put-ki itu, kalau lawannya bukan Lenghou Tiong tentu akan berusaha berkelit ke samping atau pasti juga akan menangkis dengan senjata. Sebab itulah Pau Put-ki membiarkan perutnya terbuka tanpa mengadakan penjagaan.
Tak terduga Lenghou Tiong sama sekali tidak menghindar dan juga tidak menangkis, ujung pedang memapak datangnya perut lawan untuk ditumbukkan sendiri ke ujung pedang yang dipasang miring ke depan itu. Keruan Pau Put-ki terkejut, lekas-lekas ia meloncat ke atas sambil pedang menebas ke bawah dengan maksud menghantam jatuh pedang Lenghou Tiong.
Namun lebih dulu Lenghou Tiong sudah memperhitungkan akan gerakan Pau Put-ki itu, tiba-tiba tangannya sedikit menggeser dan pedang terangkat lebih tinggi, ujung pedang membalik ke atas, maka tebasan pentang Pau Put-ki tadi hanya mengenai tempat kosong.
Sungguh sama sekali tak terpikirkan oleh Pau Put-ki bahwa mendadak Lenghou Tiong bisa ganti serangan demikian. Sudah pedang menebas tempat kosong, tubuhnya yang terapung di atas udara dan sedang menurun ke bawah itu tepat jatuh di atas ujung pedang lawan. Keruan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, ia berkaok-kaok tak berdaya sambil jatuh ke bawah.
Segera Hong Put-peng melompat maju, sebelah tangan terus mencengkeram punggung Pau Put-ki dengan maksud menahan jatuhnya sang Sute.
Namun tindakannya tetap terlambat sedikit, terdengarlah suara "crat" disertai muncratnya darah, bahu Put-ki tertembus oleh ujung pedang.
Karena tidak berhasil menyelamatkan Sutenya, tanpa pikir Hong Put-peng melolos pedang terus menebas ke leher Lenghou Tiong.
Menurut akal sehat seharusnya Lenghou Tiong melompat mundur untuk mengelakkan serangan maut itu. Tapi karena dia tidak berani mengerahkan tenaga, untuk melompat sudah tentu tidak sanggup. Dalam keadaan terpaksa tiada jalan lain baginya kecuali mengeluarkan pula jurus serangan Tokko-kiu-kiam yang lihai itu, pedangnya berputar ke samping dan segera belas menusuk ulu hati Hong Put-peng.
Serangan ini kembali memperlihatkan cara nekatnya yang hendak gugur bersama musuh. Tapi karena arah tujuan pedangnya sangat aneh, pedangnya ternyata dapat mengenai sasarannya lebih dulu baru kemudian senjata musuh akan mengenai dia. Selisih waktu hanya sekejap, namun bila pemain pedang itu adalah tokoh lihai tentu akan dapat menggunakan kesempatan sesingkat itu dengan baik, yaitu melalui musuh dan menghindarkan dari serangan lawan.
Dalam hal ilmu pedang sesungguhnya Hong Put-peng terhitung salah satu jago paling lihai di antara jago pedang pada zaman ini yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Ia yakin serangannya tadi pasti sukar ditangkis oleh musuh. Siapa duga sekenanya Lenghou Tiong bisa balas menyerang ke arah yang tak terduga-duga. Cepat ia menyurut mundur. Ia tarik napas panjang-panjang, sekaligus ia melancarkan tujuh kali serangan pula secara berantai dan membadai.
Melihat serangan lawan yang sangat lihai dan sukar dilayani, namun kini Lenghou Tiong sudah nekat dan tidak pikirkan mati-hidup lagi, yang teringat olehnya adalah macam-macam ilmu pedang ajaran Hong Jing-yang di puncak gunung tempo hari, terkadang terkilas pula lukisan ilmu pedang yang terukir di dinding gua itu, lalu sekenanya lantas dikeluarkan sesukanya, dengan demikian ia dapat bergebrak sampai 60-70 jurus dengan Hong Put-peng, pedang kedua orang selama itu tak pernah kebentur, serang-menyerang mereka semuanya menggunakan ilmu pedang yang bagus.
Para penonton sampai bingung menyaksikannya. Diam-diam mereka pun sama memuji. Dalam pada itu mereka mendengar napas suara Lenghou Tiong yang mulai memburu, terang tenaganya tidak tahan lagi. Namun dalam hal tipu serangan yang hebat masih terus-menerus dilontarkan dengan gerak perubahan yang sukar diraba.
Bab 44. Sekali Serang Lenghou Tiong Membutakan 15 Orang Musuh
Hong Put-peng bertenaga lebih besar dari lawannya, setiap kali bila sukar mengelakkan serangan Lenghou Tiong selalu ia gunakan pedangnya membabat dan menebas secara keras lawan keras, sebab ia tahu lawannya takkan mengadu senjata dengan dia. Dengan demikian ia selalu dapat terhindari dari posisi yang kepepet.
Di antara penonton itu sudah tentu tidak kurang jago-jago ternama, ketika melihat cara pertarungan Hong Put-peng lama-kelamaan menjurus kepada cara licik dan cara bajingan, diam-diam mereka tidak puas. Seorang Tosu dari Thay-san-pay lantas menyindir, "Ilmu pedang murid Khi-cong lebih tinggi, sebaliknya paman guru dari Kiam-cong bertenaga dalam lebih kuat, bagaimana bisa jadi demikian" Khi-cong dan Kiam-cong dari Hoa-san-pay ini bukankah telah berputar balik sama sekali!"
Muka Hong Put-peng menjadi merah, ia putar pedangnya semakin kencang dan melancarkan serangan lebih gencar. Pertama, dia memang tokoh nomor satu dari sekte pedang Hoa-san-pay, ilmu pedangnya sesungguhnya memang sangat lihai. Kedua, keadaan Lenghou Tiong sangat lemah, untuk berdiri saja sangat dipaksakan, maka dia banyak kehilangan kesempatan baik. Ketiga, baru untuk pertama kalinya Lenghou Tiong menggunakan Tokko-kiu-kiam untuk melawan musuh tangguh, sudah tentu perasaannya rada jeri, permainannya belum terlalu lancar pula. Karena semuanya inilah maka sudah bertempur sekian lamanya masih belum dapat ditentukan siapa yang kalah atau menang.
Setelah berlangsung 30 jurus lagi, Lenghou Tiong merasa setiap kali bila dirinya semakin sembarangan melancarkan serangan, maka lawannya juga semakin sukar menangkisnya dan memperlihatkan tingkah yang gugup dan kelabakan. Tapi kalau tanpa sengaja dirinya mengeluarkan jurus serangan dari ilmu pedang perguruannya sendiri, maka Hong Put-peng selalu dapat mematahkan serangannya dengan baik, bahkan satu kali dirinya hampir-hampir termakan pedang lawan itu. Pada saat berbahaya itulah tiba-tiba satu kalimat ucapan Hong Jing-yang dahulu mengiang dalam benaknya, "Pedangmu tiada gerak serangan, tentu musuh takkan dapat mematahkannya. Tanpa gerakan untuk mengalahkan gerakan adalah puncak kesempurnaan ilmu pedang."
Dalam pada itu sudah ratusan jurus mereka bergebrak, pengertian Lenghou Tiong terhadap intisari Tokko-kiu-kiam sudah semakin mendalam, tak peduli Hong Put-peng menyerang dengan jurus betapa pun kejinya, sekali pandang saja ia sudah dapat melihat di mana letak kelemahan serangan musuh dan sekenanya ia balas menyerang, kontan Hong Put-peng terpaksa harus menarik kembali pedangnya untuk menjaga diri.
Setelah beberapa jurus pula, lambat laun batinnya bertambah berani, ia merasa kepandaian pihak lawan tidak lebih juga cuma sekian saja, untuk mengalahkan dia sebenarnya tidak sulit. Tiba-tiba terkilas pula belasan jurus tipu serangan. Tanpa terasa ia terus menusuk miring ke depan, gerakan ini tidak termasuk sesuatu tipu serangan, tampaknya enteng tak bertenaga, ujung pedang seperti mengarah ke timur dan seperti ke barat tak menentu.
Hong Put-peng sampai tertegun, ia merasa heran, tipu serangan jenis apakah ini" Karena tidak kenal dan tidak tahu cara bagaimana mematahkannya, terpaksa Hong Put-peng putar kencang pedangnya untuk melindungi tubuh bagian atas.
Tapi karena gerakan pedang Lenghou Tiong itu tiada menentu, setiap gerakannya dapat berubah setiap saat menurut keadaan, sekarang lawan menjaga diri bagian atas, seketika ujung pedangnya menusuk ke bawah pinggang.
Keruan Hong Put-peng terkejut dan lekas melompat mundur.
Lenghou Tiong tak sanggup ikut melompat buat mendesak lebih jauh, setelah bertempur sekian lama mau tidak mau juga banyak makan tenaga, karena itu napasnya mulai memburu, tangan memegang dada sambil tersengal-sengal.
Melihat pemuda itu tidak mendesak maju sudah tentu Hong Put-peng tidak tinggal diam, berturut-turut ia menyerang beberapa kali pula ke dada, perut dan pinggang lawan.
Tapi mendadak pedang Lenghou Tiong bergerak pula secara seenaknya, yang ditusuk adalah mata kiri Hong Put-peng. Sungguh kaget Hong Put-peng tak terkatakan, ia menjerit dan kembali melompat mundur untuk menyelamatkan diri.
Terdengar seorang Nikoh setengah umur dari Hing-san-pay berkata, "Aneh, sungguh aneh. Ilmu pedang tuan ini benar-benar sangat mengagumkan."
Sudah tentu yang dia maksudkan bukan ilmu pedang Hong Put-peng melainkan Lenghou Tiong. Bagi pendengaran Hong Put-peng ucapan itu dirasakan cukup menyinggung. Sebagai pemimpin sekte pedang yang ingin menjabat ketua Hoa-san-pay, jika dalam hal ilmu pedang ternyata dikalahkan oleh seorang murid dari sekte Khi, maka ambisinya akan merebut ketua sejak kini akan buyar dan tiada muka buat tancap kaki lagi di dunia Kangouw.
Berpikir demikian, diam-diam ia mengeluh apa mau dikata lagi. Mendadak ia mendongak dan bersuit nyaring, ia melangkah miring ke depan, pedang terus menebas dari samping dengan cepat luar biasa. Sekaligus ia menyerang beberapa kali sehingga pedang mengeluarkan suara deru angin yang keras.
Kiranya ilmu pedang ini disebut "Hong-hong-gway-kiam" (pedang kilat angin puyuh), hasil karya kebanggaan Hong Put-peng selama dia menyepi 15 tahun di atas gunung. Jurus-jurus serangan yang satu lebih cepat daripada yang lain dan makin keras pula deru angin yang diterbitkan oleh sambaran pedangnya.
Ilmu pedang ini sebenarnya merupakan ilmu simpanannya yang akan digunakan sebagai bekal dalam perebutan Bengcu dari Ngo-gak-kiam-pay mendatang, sebenarnya ia enggan memperlihatkan ilmu pedang simpanannya itu di hadapan tokoh-tokoh Ngo-gak-kiam-pay yang lain.
Tapi sekarang karena sudah kepepet, kalau tidak dapat mengalahkan Lenghou Tiong tentu namanya akan bangkrut habis-habisan, maka terpaksa ia keluarkan juga ilmu pedangnya.
Daya tekanan Hong-hong-gway-kiam itu memang mahadahsyat, tenaga yang terpancar dari ujung pedangnya makin lama makin luas sehingga bagi penonton yang berdekatan merasakan muka dan tangan kesakitan tersambar oleh angin pedang, mau tak mau mereka sama mundur lebih jauh, maka kalangan pertempuran kedua orang juga tambah luas.
Kini biarpun jago-jago terkemuka dari Ko-san, Heng-san, Thay-san dan Hing-san-pay juga tidak berani menilai rendah lagi atas diri Hong Put-peng. Mereka merasa ilmu pedang itu memang sangat lihai sehingga cukup memenuhi syarat untuk menjadi ketua Hoa-san-pay.
Terlihat sumbu api obor yang dipegangi beberapa orang penunggang kuda itu makin lama makin tertarik panjang oleh sambaran angin yang diterbitkan oleh pedang Hong Put-peng, bahkan deru angin itu lambat laun bertambah keras pula.
Jika Lenghou Tiong menempur Hong Put-peng dengan tenaga tentu tak mampu melawan ilmu pedang yang diyakinkan selama belasan tahun dan amat dahsyatnya itu, di dalam Hoa-san-pay hanya Gak Put-kun saja dapat menandingi Hong-hong-gway-kiam dengan menggunakan Ci-he-sin-kang yang sakti.
Untung sekarang Lenghou Tiong sama sekali tidak bertenaga, setiap kali bila serangan Hong Put-peng tiba selalu ia dapat mematahkannya dengan cara sembarangan saja. Betapa pun lihainya serangan Hong Put-peng juga tak dapat memancing keluar tenaga dalam Lenghou Tiong.
Bagi penglihatan para penonton keadaan Lenghou Tiong menjadi mirip sebuah sampan kecil yang terombang-ambing di tengah gelombang ombak raksasa, tapi sampan itu selalu naik turun mengikuti damparan gelombang ombak dan tak tertenggelamkan. Semakin cepat serangan Hong Put-peng semakin membikin Lenghou Tiong paham akan intisari petunjuk Hong Jing-yang dahulu tentang ilmu pedang.
Pada waktu mulai belajar Tokko-kiu-kiam, lawannya itu adalah Dian Pek-kong. Ilmu golok Dian Pek-kong sudah tergolong tingkat atas di dunia persilatan, tapi kalau dibandingkan Hong Put-peng sekarang selisihnya sangat jauh pula.
Sebentar-sebentar dalam benak Lenghou Tiong terkilas pengetahuan yang baru menghadapi serangan lawan. Pikirnya, "Ahli pedang seperti ini sungguh jarang terdapat di dunia ini. Jika aku melukainya mungkin selanjutnya akan sukar memperoleh lawan ahli pedang sebaik untuk menambah pengetahuanku."
Semakin jelas memahami macam-macam inti tipu serangan ilmu pedang, semakin kuat pula kepercayaannya kepada diri sendiri. Maka ia tidak buru-buru ingin menang lagi, tapi terus mencurahkan perhatiannya untuk meneliti macam-macam perubahan ilmu pedang lawan yang lihai itu.
Hong-hong-gway-kiam itu meliputi 108 gerakan dan hanya sebentar saja sudah habis dimainkan. Hong Put-peng menjadi gelisah karena tetap tak bisa mengapa-apakan lawan. Ia membentak-bentak murka dan menyerang terlebih sengit pula dengan maksud memancing tangkisan pedang Lenghou Tiong.
Namun Lenghou Tiong hanya sedikit acungkan pedangnya, berturut-turut "crit-crit-crit-crit" empat kali suara perlahan, kontan kedua lengan dan kedua paha Hong Put-peng tertusuk semua. "Trang", pedang terlepas dari cekalan dan jatuh ke lantai.
Lantaran tidak sengaja hendak melukai orang, pula tangannya tak bertenaga, maka empat kali tusukan Lenghou Tiong itu dilakukan dengan sangat enteng.
Meski Hong Put-peng tidak terluka parah, tapi dengan kedudukannya mana bisa dia melanjutkan pula pertandingan itu. Seketika wajahnya menjadi pucat, serunya, "Sudah, sudahlah!"
Lalu ia memberi salam kepada Co Hui-eng, katanya, "Co-toakongcu, harap sampaikan salamku kepada ayahmu, katakan aku merasa sangat berterima kasih atas bantuannya. Cuma ... cuma kepandaianku masih tak sanggup menandingi orang, aku ... aku ... tidak ...."
Ia tidak sanggup meneruskan ucapannya karena tenggorokannya serasa tersumbat. Segera ia melangkah pergi dengan cepat. Kira-kira belasan tindak mendadak ia berhenti dan berteriak, "He, anak muda, ilmu pedangmu sungguh sangat lihai, aku mengaku kalah. Tapi ilmu pedang demikian rasanya bukan ajaran Gak Put-kun. Numpang tanya siapakah namamu yang mulia, ilmu pedang itu ajaran dari tokoh kosen siapa?"
"Aku Lenghou Tiong adanya, murid tertua dari guruku yang berbudi Gak-siansing," sahut Lenghou Tiong. "Ilmu pedang yang sepele ini hanya secara kebetulan dapat menang sejurus-dua, buat apa mesti dipikirkan?"


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar Hong Put-peng menghela napas panjang, suaranya penuh rasa masygul dan patah semangat, perlahan ia melangkah pergi dan akhirnya menghilang dalam kegelapan.
Co Hui-eng saling pandang sekejap dengan Theng Eng-gok, mereka sama pikir, "Bicara tentang ilmu pedang besar kemungkinan kita sendiri masih bukan tandingan Hong Put-peng dan sudah tentu lebih-lebih bukan tandingan Lenghou Tiong. Kalau beramai-ramai mengerubutnya tentu dengan gampang dapat membunuh pemuda itu. Tapi berbagai tokoh terkemuka sekarang sama hadir, betapa pun tidak dapat melakukan perbuatan yang begitu rendah dan pengecut."
Karena pikiran yang sama kedua orang saling manggut, lalu Co Hui-eng membuka suara, "Lenghou-heng, ilmu pedangmu sungguh hebat dan benar-benar banyak menambah pengalamanku. Sampai berjumpa pula!"
Sekali kakinya mengempit, seketika kudanya membedal cepat ke depan dan segera diikuti orang-orang lain. Hanya sebentar saja mereka pun sudah menghilang di malam kelam, yang terdengar sayup-sayup hanya derap kaki kuda yang makin menjauh.
Sekarang yang berada di luar kelenteng itu selain orang-orang Hoa-san-pay hanya tertinggal para berandal yang berkedok kain hitam tadi. Si orang tua tadi mengekek tawa, lalu berkata, "Lenghou-siauhiap, betapa hebat ilmu pedangmu, sungguh kami merasa kagum tak terhingga. Kepandaian Gak Put-kun masih selisih sangat jauh denganmu, pantasnya kau yang cocok untuk menjabat ketua Hoa-san-pay. Melihat ilmu pedangmu yang hebat itu seharusnya kami mesti tahu diri dan mundur teratur. Cuma kami sudah telanjur mengganggu Hoa-san-pay kalian, bencana di kemudian hari tentu akan timbul, terpaksa hari ini kami harus babat rumput sampai akar-akarnya. Tampaknya kau sudah terluka, tiada jalan lain kami harus mengerubutmu dengan jumlah banyak."
Habis berkata, sekali bersuit segera kawan-kawannya ikut mengurung maju.
Walau Co Hui-eng dan rombongannya pergi, obor yang mereka buang sekenanya masih belum padam, maka bagian bawah setiap orang tersorot dengan terang, sedangkan bagian pinggang ke atas hanya remang-remang. Senjata ke-15 berandal berkedok itu gemilapan terhunus dan mendesak maju selangkah demi selangkah.
Sesudah menempur Hong Put-peng tadi, walaupun tidak memakai tenaga dalamnya, tidak urung Lenghou Tiong juga mandi keringat. Sebabnya dia dapat mengalahkan tokoh nomor satu dari sekte pedang itu adalah berkat Tokko-kiu-kiam yang aneh itu. Sekarang ke-15 kawanan berandal itu menggunakan 15 macam senjata yang cara permainannya tentu berbeda-beda pula, bila sekaligus mereka menyerang, cara bagaimana dia mampu mematahkannya satu per satu"
Dalam keadaan tak bisa mengerahkan tenaga dalam, ia menjadi putus asa. Ia menghela napas dan coba memandang ke arah Gak Leng-sian. Ia tahu ini adalah pandangan terakhir pada ajalnya hampir tiba, ia berharap akan mendapat sedikit tanda-tanda mesra dari si nona sebagai pelipur lara. Benar juga, dilihatnya sepasang mata Leng-sian yang jeli itu sedang memandangnya dengan penuh rasa cemas dan khawatir.
Sungguh girang Lenghou Tiong tak terkatakan. Tapi di bawah cahaya obor sekilas dilihatnya pula sebelah tangan Leng-sian terjulur ke samping dan ternyata saling genggam dengan tangan seorang lelaki. Dilihatnya lelaki itu bukan lain adalah Lim Peng-ci.
Orang-orang Hoa-san-pay sebenarnya telah dibekuk oleh kawanan berandal berkedok itu dan tak bisa berkutik, tapi kini para berandal berkedok itu sedang siap-siap hendak mengerubut Lenghou Tiong sehingga Peng-ci dan Leng-sian dengan sendirinya mendapat kesempatan untuk saling bersandar menjadi satu dan tangan menggenggam tangan.
Seketika perasaan Lenghou Tiong seperti disayat-sayat, patahlah semangat tempurnya, segera ia bermaksud membuang senjata dan membiarkan dirinya dibantai musuh sesukanya.
Di tengah kegelapan malam itu tertampak ke-15 orang berkedok perlahan sedang mendesak maju. Rupanya orang-orang itu masih jeri terhadap kelihaian Lenghou Tiong yang telah mengalahkan Hong Put-peng tadi, maka siapa pun tidak berani menyerang lebih dulu.
Perlahan Lenghou Tiong putar tubuhnya, dilihatnya 30 biji mata ke-15 orang itu berkedip-kedip di balik lubang kain kedoknya, tersorot oleh cahaya obor yang remang-remang itu ke-I5 pasang mata mereka itu mirip mata binatang buas.
Sekonyong-konyong dalam benak Lenghou Tiong terkilas sesuatu ingatan, "Di dalam Tokko-kiu-kiam itu ada satu jurus yang khusus digunakan untuk mematahkan macam-macam serangan senjata rahasia musuh. Biarpun betapa banyak dan macam apa pun senjata musuh yang dihamburkan, asal jurus serangan itu dikeluarkan, serentak senjata rahasia musuh akan dapat disapu jatuh semua."
Saat gawat itu segera timbul, terdengar si orang tua berkedok tadi lagi membentak, "Maju semua, cincang dia!"
Sadar posisi yang berbahaya pada saat itu, tanpa pikir lagi pedang Lenghou Tiong mendadak bergerak, ujung pedang bergetar terus menutul kepada ke-15 pasang mata musuh. Dalam waktu yang sangat singkat terdengar suara jeritan di sana-sini, menyusul terdengar pula suara gemerantang nyaring jatuhnya macam-macam senjata. Dalam sekejap saja 30 biji mata ke-15 orang berkedok itu sekaligus ditusuk buta oleh serangan kilat Lenghou Tiong yang mahalihai.
Jurus serangan yang digunakan Lenghou Tiong mestinya khusus digunakan untuk menyapu bersih hamburan senjata rahasia musuh, tapi kini digunakan untuk menusuk mata musuh, hasilnya ternyata sangat menakjubkan.
Sesudah menyerang segera Lenghou Tiong menerobos lewat di antara orang banyak dengan langkah sempoyongan, ia mendekati Lo Tek-nau dan memegang pundaknya dengan muka pucat dan badan gemetar. Menyusul pedangnya lantas terlepas dari cekalan.
Ke-15 orang berkedok itu tampak kelabakan menutupi mata masing-masing, dari celah-celah jari mereka tampak merembes keluar darah segar. Ada yang berjongkok merintih, ada yang menjerit-jerit dan berlari seperti lalat tak berkepala, ada yang terguling-guling di tengah air lumpur.
Sesudah mata mereka tertusuk buta, pandangan mereka seketika menjadi gelap gulita dan terasa sakit sekali. Saking kaget dan takutnya yang teringat oleh mereka adalah menutupi mata yang buta itu sambil berteriak dan menjerit. Padahal kalau mereka bisa berlaku tenang dan tetap mengerubut maju, tentu Lenghou Tiong akan tercencang menjadi daging cacah oleh senjata ke-15 orang itu.
Tapi maklum juga, siapa pun dan betapa pun tinggi ilmu silatnya jika mendadak mata tertusuk buta, mana bisa lagi berlaku tenang dan mana sanggup meneruskan serangan kepada musuh.
Begitulah ke-15 orang itu menjadi kelabakan dan tak keruan entah apa yang harus mereka lakukan lagi.
Pada detik yang berbahaya tadi Lenghou Tiong lantas menyerang dan berhasil dengan baik, tapi demi melihat keadaan ngeri ke-15 orang itu, tanpa terasa ia menjadi tidak tega dan menaruh belas kasihan kepada mereka.
Mendadak Gak Put-kun membentak, "Tiong-ji, putuskan otot kaki mereka, nanti kita periksa dan tanya mereka."
"Ya ... ya ...." sahut Lenghou Tiong sambil berjongkok hendak menjemput pedangnya. Tak terduga serangannya tadi telah mengerahkan tenaga dalamnya sehingga mengakibatkan badan gemetar dan tidak sanggup menjemput pedang.
Dalam pada itu si orang tua berkedok tadi lagi berseru, "Kawan-kawan, lekas jemput senjata masing-masing, sebelah tangan pegang ikat pinggang teman, semuanya pergi mengikuti aku!"
Ke-14 orang kawannya memang sedang kelabakan dan bingung, demi mendengar seruan si orang tua, serentak mereka berjongkok dan meraba-raba tanah, tak peduli senjata siapa yang mereka sentuh segera dijemputnya. Ada yang mendapatkan senjata dengan mudah, tapi ada pula tidak memperoleh sesuatu. Buru-buru mereka memegangi ikat pinggang temannya sehingga menjadi satu barisan dan ikut pergi bersama si orang tua dengan langkah tak menentu.
Para murid Hoa-san-pay kecuali Lenghou Tiong, yang lain semuanya tertutuk Hiat-to yang membikin tak bisa bergerak sedikit pun. Sedangkan Lenghou Tiong sendiri dalam keadaan tak bertenaga dan menggeletak lumpuh di atas tanah, maka mereka hanya menyaksikan kaburnya ke-15 orang berandal dan tak bisa mencegah.
"Lenghou Tiong, Lenghou-tayhiap, mengapa engkau belum mau membuka Hiat-to kami, apa perlu menunggu kami memohon pertolonganmu?" tiba-tiba Gak Put-kun berkata.
Keruan Lenghou Tiong terkejut. Katanya dengan suara gemetar, "Su ... Suhu, mengapa engkau ber ... berkelakar dengan Tecu" Segera akan ... akan kubuka Hiat-to Suhu."
Segera ia merangkak bangun dan mendekati Gak Put-kun dengan terhuyung-huyung. Tanyanya kemudian, "Su ... Suhu, harus kubuka Hiat .. Hiat-to yang mana?"
Di dalam hati sungguh gusar Gak Put-kun tak terkatakan, ia mengira Lenghou Tiong sengaja melepaskan ke-15 berandal berkedok tadi, sekarang sengaja mengulur waktu dan tak mau cepat membuka Hiat-to yang tertutuk. Dengan gusar ia lantas menjawab, "Tak perlu lagi!"
Diam-diam ia mengerahkan Ci-he-sin-kang dengan lebih kuat untuk menggempur bagian Hiat-to yang tertutuk itu.
Sejak ditutuk dan tak bisa berkutik, terus-menerus Gak Put-kun mengarahkan Lwekang untuk menggempur Hiat-to yang tertutuk itu. Cuma orang yang menutuknya tadi adalah tokoh pilihan dan memiliki tenaga yang sangat kuat. Beberapa Hiat-to yang tertutuk itu adalah tempat penting pula, karena itu seketika Ci-he-sin-kang tidak dapat memunahkan Hiat-to yang tertutuk.
Lenghou Tiong sendiri tak bertenaga sehingga mungkin lebih lemas daripada anak kecil, ia ingin membuka Hiat-to sang guru yang tertutuk itu, tapi sedikit pun tak bisa mengeluarkan tenaga. Beberapa kali ia coba mengerahkan tenaga, tapi setiap kali matanya berkunang-kunang, telinga mendengung-dengung, hampir saja jatuh pingsan. Terpaksa ia duduk di sebelah Gak Put-kun dan menunggu sang guru membuka Hiat-to sendiri.
Sementara itu hujan sudah berganti gerimis dan masih turun tak berhenti-henti, keruan seluruh badan semua orang basah kuyup tak terkecuali.
Menjelang fajar barulah hujan berhenti. Muka semua orang pun remang-remang mulai terlihat jelas. Leng-sian dan beberapa anak muda yang Lwekangnya lebih rendah menggigil kedinginan tertiup angin pagi yang semilir.
Sebaliknya ubun-ubun kepala Gak Put-kun tampak mengepulkan asap putih, air mukanya yang bersemu ungu semakin tandas. Sekonyong-konyong ia bersuit panjang, seluruh Hiat-to yang tertutuk telah terbuka semua. Ia melompat bangun, kedua tangan bekerja dengan cepat, ada yang ditepuknya, ada yang diremasnya, hanya sekejap saja setiap orang yang tak bisa berkutik itu telah dibebaskan semua dari siksaan.
Gak-hujin dan para muridnya lantas berbangkit, Ko Kin-beng, Si Cay-cu dan lain-lain sama meneteskan air mata. Beberapa murid wanita bahkan menangis sedih. Beberapa orang di antaranya berkata, "Beruntung ilmu pedang Toasuko mahasakti dan dapat mengalahkan kawanan berandal itu, kalau tidak entah bagaimana jadinya kita ini?"
Saat itu Lenghou Tiong masih telentang di atas tanah berlumpur, lekas Ko Kin-beng membangunkan dia.
Air muka Gak Put-kun tidak memperlihatkan sesuatu, dengan dingin ia tanya, "Kau tahu asal usul ke-15 orang berkedok itu?"
"Tecu ... Tecu sendiri tidak tahu," sahut Lenghou Tiong.
"Apa kau tidak kenal mereka?" Put-kun menegas.
"Suhu, sebelum ini Tecu tidak pernah kenal salah seorang di antara mereka," sahut Lenghou Tiong dengan takut atas penegasan sang guru.
"Jika demikian, mengapa perintahku agar kau menahan mereka untuk diperiksa, tapi kau anggap tidak mendengar dan tak menggubris?" tanya Put-kun pula.
"Tecu ... Tecu sama sekali tak bertenaga lagi, seluruh tubuh terasa lemas, kini ... kini ...." sambil berkata badannya juga tergoyang-goyang, untuk berdiri saja tidak kuat rasanya.
"Hm, pandai benar kau main sandiwara!" jengek Put-kun.
Lenghou Tiong berkeringat dingin seketika, cepat ia tekuk lutut di hadapan sang guru, katanya, "Sejak kecil Tecu sudah yatim piatu, atas budi kebaikan Suhu dan Sunio sehingga Tecu dirawat sampai besar, selama itu Tecu juga tidak berani membangkang perintah Suhu atau sengaja mendebat Suhu dan Sunio."
"Kau tidak berani mendustai Suhu dan Sunio" Hm, lantas ilmu pedangmu itu diperoleh dari mana" Apakah ajaran malaikat di dalam mimpi atau mendadak jatuh dari langit?"
Berulang Lenghou Tiong menjura, katanya, "Tecu pantas dihukum mati. Soalnya Cianpwe yang mengajarkan ilmu pedang ini mengharuskan Tecu berjanji takkan memberitahukan kepada siapa pun juga tentang asal usul ilmu pedang ini, karena itu terpaksa kepada Suhu dan Sunio juga tak dapat Tecu beri tahukan."
"Ya, sudah tentu, sudah setinggi ini ilmu silatmu, masakah kau masih pandang sebelah mata kepada Suhu dan Suniomu?" jengek Put-kun. "Memangnya sedikit kepandaian Hoa-san-pay yang tak berarti ini mana tahan sekali gempur oleh ilmu pedangmu yang sakti" Kakek berkedok itu memang tepat ucapnya, jabatan ketua Hoa-san-pay kita ini seharusnya kau yang mendudukinya."
Lenghou Tiong tak berani menjawab, ia hanya menjura terus. Pikiran bergolak hebat, "Jika aku tidak menuturkan pengalaman tentang diperolehnya ajaran ilmu pedang dari Hong-thaysusiokco, tentu Suhu dan Sunio takkan memberi maaf. Namun seorang laki-laki sejati harus bisa pegang janji, sedangkan seorang maling cabul sebagai Dian Pek-kong saja tidak mau membocorkan rahasia jejak Thaysusiokco biarpun menghadapi siksaan Put-kay Hwesio, apalagi aku Lenghou Tiong telah menerima budi kebaikannya, sekali-kali aku tidak boleh ingkar janji, rasa setia dan baktiku kepada Suhu dan Sunio adalah tulus dan jujur, untuk ini dapat kupertanggungjawabkan kepada siapa pun juga. Kalau untuk sementara ini aku menanggung penasaran apakah artinya bagiku?"
Maka katanya kemudian, "Suhu dan Sunio, sekali-kali bukan Tecu sengaja membangkang kepada perintah guru, sesungguhnya ada kesukaran Tecu yang tak dapat dijelaskan. Kelak Tecu akan mohon maaf kepada Suhu dan Sunio, tatkala mana Tecu akan memberi laporan kepada Suhu dan Sunio dan bercerita terus terang selengkapnya."
"Baiklah, boleh bangun," kata Put-kun.
Lenghou Tiong menjura tiga kali lagi, segera ia bermaksud berbangkit, tapi baru saja kakinya menegak sebelah, kembali ia lemas dan jatuh berlutut pula. Kebetulan Peng-ci berdiri di sebelahnya, cepat ia bantu menariknya bangun.
"Hm, ilmu pedangmu hebat, caramu main sandiwara terlebih bagus pula," ejek Gak Put-kun.
Lenghou Tiong tidak berani menjawab, pikirnya, "Betapa pun besarnya budi Suhu yang dicurahkan padaku, hari ini beliau sudah salah paham, kelak segala persoalan pasti akan kubikin terang. Urusan ini memang agak janggal, pantas juga kalau beliau merasa curiga."
Begitulah biarpun menahan penasaran, tapi ia pun tidak dendam sedikit pun.
Sementara itu para murid Hoa-san sedang sibuk pada tugasnya masing-masing, ada yang menanak nasi, ada yang menggali liang untuk mengubur jenazah Nio Hoat.
Sesudah sarapan pagi, semua orang sama mengeluarkan baju kering untuk ganti pakaian mereka yang basah dan kotor. Habis itu mereka sama memandang Gak Put-kun untuk menunggu perintah. Pikir mereka, "Apakah kita masih mau meneruskan perjalanan ke Ko-san?"
"Sumoay, ke mana kita harus pergi menurut pendapatmu?" tanya Put-kun kemudian kepada sang istri.
"Ke Ko-san kukira tidak perlu lagi," sahut Gak-hujin. "Tapi kita sudah telanjur keluar dari rumah rasanya juga tidak perlu buru-buru pulang kembali ke Hoa-san."
"Ya, toh tiada pekerjaan apa-apa, boleh juga kita pesiar ke sana-sini supaya dapat menambah pengalaman para murid," kata Put-kun.
Yang paling senang adalah Leng-sian, cepat ia bersorak, "Baik sekali! Ayah ...."
Tapi lantas teringat olehnya tentang kematian Nio Hoat, adalah tidak pantas ia memperlihatkan rasa girang begitu cepat, maka hanya ucapan itu saja lantas berhenti.
"Huh, bicara tentang pesiar kau lantas kegirangan ya?" omel Put-kun dengan tersenyum. "Baiklah, kali ini ayah akan mengikuti sifat kesukaanmu. Coba katakan sebaiknya kita pergi ke mana, anak Sian?"
Sambil berkata pandangnya ditujukan kepada Peng-ci.
"Ayah, jika mau pesiar sepuas-puasnya dan makin jauh makin baik, janganlah kepalang tanggung, janganlah belum seberapa jauh dan baru beberapa hari sudah sibuk mau pulang lagi," kata Leng-sian. "Bagaimana umpamanya kalau kita pergi ... pergi ... ke rumah Siau-lim-cu. Dia bilang buah lengkeng Hokkian besar-besar dan manis-manis, katanya jeruk di sana juga sangat tersohor dan macam-macam barang lain."
Gak-hujin melelet lidah, katanya, "Dari sini ke Hokkian jauhnya beribu-ribu li, dari mana kita mempunyai biaya sebanyak itu untuk rombongan sebanyak ini. Jangan-jangan Hoa-san-pay kita harus menjadi Kay-pang dan meniru cara mereka berkelana sambil mengemis."
Tiba-tiba Peng-ci berkata, "Suhu dan Sunio, besok juga kita sudah bisa memasuki wilayah Holam. Nenek luar Tecu bertempat tinggal di kota Lokyang."
"Ya, benar, kakek-luarmu Kim-to-bu-tek, (golok emas tiada tandingan) Ong Goan-pa memang betul orang Lokyang," kata Gak-hujin.
"Ayah-bunda Tecu telah wafat semuanya, sungguh Tecu ingin berkunjung kepada Gwakong dan Gwapoh (kakek dan nenek luar) untuk memberi lapor segala sesuatu," kata Peng-ci pula. "Apabila Suhu, Sunio dan para Suko dan Suci sudi ikut mampir ke tempat kediaman Gwakong dan tinggal di sana barang beberapa hari, tentu Gwakong dan Gwapoh akan merasa mendapat kehormatan besar. Habis itu barulah kita melanjutkan perjalanan ke Hokkian, tentang ongkos perjalanan ...."
Ia merandek sejenak, lalu menyambung, "Di sepanjang jalan toh ada cabang Piaukiok kami, segala sesuatu tentu akan mendapat pelayanan dari mereka, maka mengenai hal ini kukira tidak perlu khawatir."
Sejak Gak-hujin melukai Tho-sit-sian, senantiasa ia dirundung rasa khawatir kalau-kalau Tho-kok-lak-sian akan datang menuntut balas. Keberangkatannya dari Hoa-san kali ini alasannya saja hendak menuntut kebenaran dan keadilan ke Ko-san, tapi sebenarnya adalah melarikan diri untuk menghindari bencana.
Tadi sesudah sang suami mengarahkan pandangnya kepada Peng-ci, lalu pemuda itu mengundang semua orang berkunjung ke Hokkian. Kalau dipikir, untuk mengungsi memang lebih jauh lebih baik. Apalagi dirinya dan sang suami juga tak pernah berkunjung ke daerah selatan, sekarang tiada jeleknya jalan-jalan ke sekitar Hokkian.
Karena pikiran itu ia lantas berkata kepada sang suami, "Suko, Siau-lim-cu telah menyatakan akan tanggung makan dan tanggung tempat tinggal, kita mau pergi dengan biaya gratis atau tidak?"
Put-kun tersenyum, jawabnya, "Hokkian adalah tempat asal Siau-lim-si sekte selatan, selama ini banyak menghasilkan tokoh-tokoh persilatan. Jika kita dapat mengikat beberapa kawan karib barulah tidak sia-sia perjalanan kita ini."
Mendengar gurunya sudah mau pesiar ke Hokkian, keruan para murid sangat gembira. Para murid, baik laki-laki maupun wanita kecuali Lo Tek-nau, rata-rata umur mereka belum ada yang lebih dari 30 tahun. Dengan sendirinya mereka sangat tertarik dan bersemangat mengenai pesiar ke daerah selatan yang indah permai itu. Lebih-lebih Peng-ci dan Leng-sian, mereka berdua yang paling girang.
Sebaliknya hanya Lenghou Tiong seorang saja yang muram durja. Pikirnya, "Suhu dan Sunio tidak mau pergi ke mana-mana dan justru lebih dulu pergi ke Lokyang untuk bertemu dengan kakek luar Lim-sute, habis itu baru akan berangkat ke Hokkian yang jauh itu, tak usah dijelaskan lagi terang dia sudah menjodohkan Siausumoay kepada Lim-sute, boleh jadi setiba di Hokkian mereka akan lantas dinikahkan di rumah Lim-sute. Aku sendiri adalah anak piatu, tanpa sanak tiada kadang, mana aku dapat dibandingkan dengan putra juragan Hok-wi-piaukiok yang kantor cabangnya tersebar di mana-mana tempat. Melulu kakek luarnya Kim-to-bu-tek Ong Goan-pa saja biasanya juga sangat mendapat penghargaan dari Suhu. Sekarang Lim-sute ingin pergi ke Lokyang untuk berkunjung kepada kakek dan neneknya, buat apa aku ikut pergi ke sana?"
Diam-diam ia pun mendongkol demi melihat para Sute dan Sumoaynya bergembira ria seakan-akan semuanya sudah melupakan kematian Nio Hoat yang mengerikan itu. Pikirnya pula, "Malam nanti kalau menginap di suatu tempat biarlah tengah malam seorang diri aku tinggal pergi saja. Masakah aku harus ikut semua orang ke sana dan ikut makan nasi Lim-sute dan tinggal di rumahnya dulu menahan perasaan sambil mengucapkan selamat kepada pernikahan Lim-sute dan Siausumoay?"
Ketika semua orang berangkat melanjutkan perjalanan, dengan semangat lesu dan badan lemas Lenghou Tiong ikut dari belakang, tapi makin lama makin lambat jalannya sehingga tertinggal agak jauh oleh rombongan.
Dekat tengah hari keadaannya tambah payah, ia tidak tahan lagi dan duduk mengaso di atas batu di tepi jalan dengan napas tersengal-sengal.
Tiba-tiba tertampak Lo Tek-nau berlari balik dan berseru padanya, "Toasuko bagaimana keadaanmu" Apakah lelah" Biar kutunggu engkau. Sunio telah menyewa sebuah kereta besar di kota depan sana dan sebentar lagi akan datang memapak dirimu."
Diam-diam Lenghou Tiong merasa terima kasih, biarpun sang guru timbul curiga padanya, tapi ibu gurunya ternyata masih tetap sangat baik.
Selang tidak lama, benar juga sebuah kereta keledai sedang mendatang dengan cepat. Segera Lenghou Tiong naik ke atas kereta dengan didampingi Lo Tek-nau.
Bab 45. Macan Kesasar Dikeroyok Anjing
Malamnya waktu menginap di hotel Lo Tek-nau juga tinggal sekamar dengan Lenghou Tiong. Dan begitu seterusnya beberapa hari berturut-turut Lo Tek-nau selalu mendampinginya dan tak terpisahkan.
Lenghou Tiong mengira Lo Tek-nau bermaksud baik merawatnya karena keadaan dirinya yang lemah itu. Siapa tahu pada malam ketiga ketika Lenghou Tiong sedang istirahat di tempat tidur, tiba-tiba didengarnya Sute yang kecil bernama Su Ki sedang bicara di luar kamar dengan suara berbisik, "Jisuko, Suhu menanyakan padamu apakah hari ini Toasuko memperlihatkan sesuatu gerak-gerik yang mencurigakan?"
Lalu terdengar Lo Tek-nau berdesis, "Ssst, jangan keras-keras! Mari keluar saja!"
Hanya kedua kalimat itu pun sudah membuat perasaan Lenghou Tiong tergetar. Baru sekarang ia tahu gurunya sesungguhnya telah curiga padanya, bahkan Lo Tek-nau sengaja disuruh mengawasinya secara diam-diam.
Dalam pada itu terdengar Su Ki sedang melangkah pergi dengan berjinjit-jinjit, sedangkan Lo Tek-nau lantas mendekati tempat tidur untuk memeriksa Lenghou Tiong apakah sudah pulas atau tidak.
Sebenarnya Lenghou Tiong sangat gusar dan segera hendak melonjak bangun untuk mendamprat Lo Tek-nau, tapi lantas terpikir olehnya Jisute itu hanya menerima perintah sang guru saja, kenapa mesti marah kepada orang yang tidak berdosa" Maka sedapat mungkin ia menahan perasaannya dan pura-pura tidur nyenyak.
Sejenak kemudian Lo Tek-nau lantas melangkah keluar juga. Lenghou Tiong tahu tentu dia hendak pergi melapor kepada sang guru tentang gerak-geriknya, diam-diam ia sangat mendongkol. "Hm, aku toh tidak berbuat sesuatu apa yang berdosa, sekalipun kalian mengawasi aku siang dan malam juga aku tidak takut asal perbuatanku cukup dapat dipertanggungjawabkan," demikian pikirnya.
Karena perasaannya bergolak sehingga mengguncangkan tenaga dalam, seketika ia merasa dada sesak dan sangat menderita, ia mendekam di atas bantal dengan napas tersengal-sengal. Sampai agak lama baru tenang kembali. Ia coba berbangkit dan mengenakan baju dan sepatu. Katanya di dalam hati, "Jika Suhu tidak pandang aku sebagai murid lagi dan mengawasi aku seperti maling buat apa lagi aku tinggal di Hoa-san, lebih baik kutinggal pergi saja. Kelak syukurlah kalau Suhu sudi memahami diriku, kalau tidak ya terserahlah."
Memangnya sejak salah membunuh Liok Tay-yu, dalam hati kecilnya selalu dirundung rasa berdosa, lebih-lebih mengenai Gak Leng-sian yang telah mengalihkan cintanya kepada orang lain, hal ini semakin melukai perasaannya, sudah lama ia merasa bosan hidup lagi. Sekarang diketahui pula sang guru menaruh curiga dan menyuruh orang mengawasi gerak-geriknya, keruan ia tambah sedih dan putus asa.
Pada saat itulah mendadak di luar jendela ada orang bicara dengan suara tertahan, "Ssst, jangan bergerak!"
Lalu ada lagi seorang lain menjawab, "Ya, Toasuko seperti sudah bangun."
Suara bicara kedua orang itu sangat perlahan, tapi di tengah malam yang bunyi itu cukup jelas didengar oleh Lenghou Tiong, terang itulah dua orang Sutenya yang kecil. Agaknya mereka sengaja sembunyi di luar sana untuk mengawasi dirinya kalau-kalau melarikan diri.
Sungguh Lenghou Tiong mendongkol tak terkatakan, ia mengepal sehingga ruas tulangnya bekertakan. Katanya di dalam hati, "Jika saat ini juga aku tinggal pergi tentu akan berbalik memperlihatkan aku berdosa dan sengaja kabur. Baik, baik, aku justru takkan pergi, terserah cara bagaimana kalian akan berbuat terhadap diriku."
Mendadak ia berteriak-teriak, "Pelayan! Pelayan! Ambilkan arak!"
Sampai agak lama baru terdengar jawaban pelayan hotel datang membawakan arak yang diminta. Terus saja Lenghou Tiong minum arak sepuas-puasnya sampai mabuk dan tak sadarkan diri.
Esok paginya waktu akan berangkat Lenghou Tiong masih belum sadar sehingga perlu bantuan Lo Tek-nau memayangnya ke atas kereta.
Beberapa hari kemudian rombongan mereka sampai di Lokyang dan bermalam di suatu hotel yang besar. Seorang diri Lim Peng-ci lantas berkunjung ke rumah neneknya.
Gak Put-kun dan lain-lain sudah salin pakaian bersih semua. Sebaliknya Lenghou Tiong masih tetap memakai baju panjang yang berlepotan lumpur waktu bertempur di luar kelenteng tempo hari.
Dengan membawa seperangkat pakaian bersih Leng-sian mendekati Lenghou Tiong, katanya, "Toasuko, maukah ganti pakaian ini?"
"Pakaian Suhu mengapa mesti diberikan padaku?" sahut Lenghou Tiong.
"Sebentar kita diundang berkunjung ke rumah Siau-lim-cu, maka lekas kau ganti pakaian yang lebih bersih ini," ujar Leng-sian.
"Ke rumah kan apa harus pakai baju yang bagus," jawab Lenghou Tiong sambil mengamat-amati sang Sumoay.
Ternyata Leng-sian sudah berdandan rapi, memakai baju sutera bungkus kapas tipis dan berkain satin warna hijau pupus. Mukanya berbedak dan bergincu tipis sehingga makin menambah kecantikannya. Rambutnya yang hitam pun tersisir dengan mengilap, pada samping gelungnya dihias dengan tusuk kundai bermutiara.
Seingat Lenghou Tiong, pada masa lampau, hanya kalau tahun baru Leng-sian berdandan sedemikian rupa. Tapi sekarang hendak bertamu ke rumah Lim Peng-ci saja si nona juga berdandan serapi itu, sudah tentu pedih hati Lenghou Tiong.
Segera ia bermaksud mengucapkan kata-kata ejekan, tapi lantas terpikir olehnya seorang laki-laki sejati kenapa mesti berjiwa begitu sempit" Maka urung ia membuka mulut.
Sebaliknya Leng-sian menjadi rikuh sendiri karena dipandang dengan sorot mata yang tajam, segera katanya, "Jika engkau tidak mau ganti pakaian, ya sudahlah."
"Ya, terima kasih! Aku tidak biasa memakai baju baru, lebih baik tidak ganti pakaian saja," kata Lenghou Tiong.
Leng-sian tidak bicara lebih jauh, ia membawa kembali pakaian itu ke kamar ayahnya.
Tidak lama kemudian terdengarlah suara seorang yang nyaring keras sedang berseru di luar pintu, "Jauh-jauh Gak-tayciangbun berkunjung kemari, tapi Cayhe tidak melakukan penyambutan sebagaimana mestinya, sungguh terlalu tidak sopan."
Gak Put-kun saling pandang dengan sang istri dan tersenyum senang, mereka tahu Kim-to-bu-tek Ong Goan-pa sendiri telah datang menyambut. Cepat mereka memapak ke luar.
Tertampak usia Ong Goan-pa sudah 70-an tahun, tapi mukanya merah bercahaya, jenggotnya putih panjang, semangatnya masih menyala-nyala Sebelah tangannya memainkan dua buah bola emas sebesar telur angsa sehingga menerbitkan suara nyaring bergeseknya dua benda logam itu.
Adalah umum orang persilatan memainkan bola besi, tapi biasanya bola logam demikian adalah buatan besi biasa atau baja murni. Sebaliknya sekarang yang dipegang Ong Goan-pa adalah dua biji bola emas sehingga bobotnya berlipat-lipat lebih berat daripada besi, bahkan memperlihatkan kemewahannya yang lain daripada yang lain.
Begitu melihat Gak Put-kun segera jago tua itu bergelak tertawa dan berseru, "Selamat bertemu! Nama Gak-tayciangbun menggema di dunia persilatan dengan gilang-gemilang, hari ini Gak-tayciangbun sudi berkunjung ke Lokyang, sungguh merupakan suatu kehormatan besar dan peristiwa yang menggembirakan bagi kawan-kawan Bu-lim di daerah Tiongciu ini."
Sembari berkata ia terus melangkah maju dan menjabat tangan Gak Put-kun serta diguncang-guncangkan dengan penuh gembira, sikapnya sangat tulus dan simpatik.
Gak Put-kun menjawab dengan tertawa, "Cayhe suami-istri bersama para murid sengaja berkelana keluar dan berkunjung pada para sahabat untuk mencari pengalaman, justru tokoh pertama yang kami kunjungi adalah Tiongciu-tayhiap Kim-to-bu-tek Ong-loyacu di sini. Kedatangan kami belasan tamu yang tak diundang ini benar-benar terlalu mendadak dan sembrono."
Dengan suara keras Ong Goan-pa berkata, "Sebutan 'Kim-to-bu-tek' siapa pun dilarang mengucapkannya lagi di hadapan Gak-tayciangbun. Barang siapa menyebutnya lagi tidak berarti menyanjung diriku, tapi suatu penghinaan padaku. Gak-siansing, engkau sudi menerima cucu luarku, budi kebaikan ini sungguh sukar dibalas, sejak kini Hoa-san-pay dan Kim-to-bun adalah satu keluarga, harap tinggal di rumahku satu atau setengah tahun, siapa pun jangan meninggalkan kota Lokyang ini. Gak-siansing, biarlah kubawakan barang-barangmu dan marilah berangkat."
"Ah, jangan, mana aku berani membikin repot Ong-loyacu," sahut Gak Put-kun cepat.
Segera Ong Goan-pa berpaling dan berkata kepada kedua putranya yang berdiri di belakangnya, "Pek-hun, Tiong-kiang, lekas kalian menjura kepada Gak-susiok dan Gak-subo!"
Ong Pek-hun dan Ong Tiong-kiang berbareng mengiakan, terus memberi sembah dan hormat.
Lekas-lekas Gak Put-kun dan istrinya berlutut membalas hormat mereka. Katanya, "Kita adalah satu tingkatan, sebutan 'Susiok' mana berani kuterima" Selanjutnya biarlah kita anggap sama tingkatan menurut hitungan Peng-ci."
Sesungguhnya nama Ong Pek-hun dan Ong Tiong-kiang (kedua putra Ong Goan-pa) sudah cukup gilang-gemilang di dunia persilatan wilayah Oupak. Meski mereka mengagumi Gak Put-kun, tapi disuruh menjura betapa pun mereka merasa enggan, cuma perintah sang ayah tak bisa dibantah terpaksa mereka berlutut memberi hormat. Kini melihat Gak Put-kun juga menjura membalas hormat mereka, dengan sendirinya mereka berdiri kembali.
Waktu Gak Put-kun mengamat-amati Pek-hun dan Tiong-kiang, ternyata perawakan kedua bersaudara itu sangat tinggi, hanya Ong Tiong-kiang agak lebih gemuk. Pelipis kedua orang itu sama-sama melembung, otot tulang tangan menonjol, terang baik Lwekang maupun Gwakang mereka pasti sangat tinggi.
Segera Gak Put-kun juga mengucapkan kata-kata pujian dan menyuruh anak muridnya memberi hormat kepada Ong Goan-pa dan jago-jago Kim-to-bun yang lain.
Seketika itu di ruangan hotel menjadi ramai orang saling memberi hormat disertai kata-kata sanjung puji dari masing-masing pihak.
Kemudian Peng-ci memperkenalkan anak murid Hoa-san-pay satu per satu kepada kakeknya.
Waktu memperkenalkan Gak Leng-sian, dengan berseri-seri Ong Goan-pa berkata kepada Gak Put-kun, "Gak-laute, putrimu ini benar-benar gadis rupawan, apakah sudah berbesanan?"
"Ah, anak perempuan masih kecil, pula keluarga Bu-lim seperti kita ini hanya dikenal suka main golok dan putar pedang melulu, bicara tentang kepandaian putri seperti menyulam atau menjahit dan memasak segala sama sekali tidak becus, tentu saja tidak ada yang mau kepada budak liar seperti dia," demikian sahut Gak Put-kun dengan tertawa.
"Ah, ucapan Gak-laute terlalu merendah diri," ujar Ong Goan-pa. "Putri tokoh termasyhur sudah tentu tidak sembarangan diberikan kepada pemuda dari keluarga biasa saja. Cuma anak perempuan memang juga tiada jeleknya belajar sedikit pekerjaan tangan kaum wanita."
Bicara sampai di sini suaranya menjadi perlahan dan rawan.
Put-kun tahu pasti jago tua itu terkenang kepada putrinya (ibu Peng-ci) yang meninggal itu, segera ia mengiakan dengan wajah prihatin.
Ong Goan-pa ternyata seorang yang periang, segera ia dapat mengatasi perasaannya dan berseru dengan tertawa pula, "Gak-laute, Lwekang dari Ngo-gak-kiam-pay sangat hebat, tentu kekuatanmu minum arak sangat hebat. Marilah kita pergi minum sepuluh mangkuk bersama."
Habis berkata ia terus gandeng tangan Gak Put-kun dan diajak berangkat.
Gak-hujin, Ong Pek-hun, Ong Tiong-kiang dan anak murid Hoa-san-pay lantas ikut dari belakang. Di luar hotel ternyata siap sedia kereta dan kuda. Kaum wanitanya disilakan menumpang kereta dan yang lelaki naik kuda. Hanya dalam waktu tiada satu jam sejak perginya Peng-ci ke rumah kakeknya ternyata segala sesuatu telah dapat disiapkan dengan cepat, dari sini saja sudah dapat dibayangkan betapa kaya raya dan pengaruh keluarga Ong di kota Lokyang.
Sampai di rumah keluarga Ong, tertampak pintu gedung yang megah itu bercat merah, dua buah gelangan tembaga pada tiap-tiap daun pintu itu tergosok bersih sehingga mengilap, delapan laki-laki tegap telah menanti di luar pintu dengan sikap sangat hormat.
Begitu masuk ke dalam pintu tertampaklah di atas belandar terpampang sebuah papan besar cat hitam bertuliskan empat huruf "Kian-gi-yong-wi" (berani membela keadilan) yang dihadiahkan oleh gubernur Holam. Ternyata Ong Goan-pa tidak cuma tokoh persilatan saja tapi juga mempunyai hubungan baik dengan pembesar negeri setempat.
Malamnya Ong Goan-pa mengadakan perjamuan besar-besaran untuk menghormati Gak Put-kun dan rombongannya serta mengundang orang-orang terkemuka di kota Lokyang.
Kisah Si Bangau Putih 3 Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga 21
^