Hina Kelana 21
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 21
Hiang Bun-thian tidak menjawab, ia hanya menjengek sambil angkat cawan arak dan diminum seceguk. Berbareng itu terdengarlah suara gemerencingnya logam.
Lenghou Tiong dapat melihat jelas di antara kedua tangan orang tua itu ternyata terikat oleh seutas rantai besi. Keruan ia sangat heran, "Kiranya dia baru melarikan diri dari kurungan sehingga rantai tangannya belum sempat dihilangkan."
Seketika rasa simpatinya timbul lebih meluap, pikirnya, "Orang tua ini sudah tidak mampu melawan, biarlah aku membantu dia menahan musuh-musuhnya dan masa bodoh jiwaku jika mesti melayang di sini."
Dengan ketetapan pikiran itu segera ia berdiri, sambil bertolak pinggang ia berseru lantang, "Hiang-locianpwe ini masih terantai, mana dia bisa bertempur dengan kalian" Aku sudah minum tiga cawan araknya yang enak, apa boleh buat terpaksa aku membantu dia melawan musuh-musuhnya. Nah, siapa saja yang mengganggu orang she Hiang harus membunuh dulu Lenghou Tiong ini!"
Melihat kelakuan Lenghou Tiong yang angin-anginan dan seperti orang sinting itu, tanpa sebab terus tampil ke muka untuk membelanya, keruan Hiang Bun-thian sangat heran dan tertarik, dengan suara perlahan ia tanya, "Nak, kenapa kau membantu aku?"
"Melihat ketidakadilan angkat golok membantu," sahut Lenghou Tiong singkat.
"Mana golokmu?" ujar Hiang Bun-thian.
"Aku memakai pedang," jawab Lenghou Tiong. "Cuma sayang tidak ada pedang."
"Bagaimana ilmu pedangmu?" tanya Hiang Bun-thian. "Kau adalah murid Hoa-san-pay, kukira ilmu pedangmu juga cuma begitu-begitu saja."
"Memang cuma begitu-begitu saja, apalagi sekarang aku terluka dalam, tenaga sudah punah, lebih-lebih tak keruan lagi," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Kau ini benar-benar aneh," ujar Hiang Bun-thian. "Tapi baiklah, akan kucarikan sebilah pedang bagimu."
Mendadak bayangan putih berkelebat, tahu-tahu Hiang Bun-thian sudah menerjang ke tengah-tengah kerumunan orang itu. Dalam sekejap tertampaklah sinar senjata yang menyilaukan mata, berpuluh macam senjata memapak kedatangannya, tahu-tahu Hiang Bun-thian menyusup ke samping dan menubruk ke arah si tosu dari Thay-san-pay tadi.
Kontan pedang si tosu menusuk, tapi Hiang Bun-thian berkelit ke belakangnya, sikut kiri terus menyodok, "bluk", dengan tepat punggung si tosu kena disodok. Waktu tangan Hiang Bun-thian terangkat, pedang si tosu kena dibelit oleh rantainya berbareng kaki lantas menggenjot, seperti anak panah terlepas dari busurnya ia melayang kembali ke dalam gardu tadi.
Beberapa gerakan itu terjadi dengan cepat luar biasa, baru saja para jago cing-pay berniat mengejar, namun sudah terlambat. Seorang laki-laki paling cepat memburunya, ia sempat menyusul sampai dua-tiga meter di luar gardu, goloknya diangkat terus membacok.
Namun punggung Hiang Bun-thian seolah-olah ada matanya, tanpa menoleh sebelah kakinya terus mendepak ke belakang, dengan telak dada penyerang itu kena didepak. Orang itu menjerit dan mencelat, saking keras goloknya tadi membacok sehingga sebelah kaki sendiri sampai terkutung oleh senjatanya sendiri.
Sedangkan tosu Thay-san-pay tadi seperti orang mabuk arak, ia terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terkapar, darah segar tiada hentinya mengucur keluar dari mulutnya.
Pada saat itulah terdengar anggota Mo-kau sama bersorak gemuruh, berpuluh orang sama berteriak, "Hebat benar kepandaian Hiang-yusu."
Hiang Bun-thian tampak tersenyum, ia angkat kedua tangannya sebagai tanda terima kasih atas pujian anggota-anggota Mo-kau itu. Waktu ia ayun tangannya, "cret", pedang yang terbelit di rantainya itu menancap di atas meja.
"Nah, pakailah?" katanya.
Alangkah kagum Lenghou Tiong, katanya di dalam hati, "Orang ini menerjang musuh seakan-akan memasuki daerah tak berpenduduk, ternyata dia memiliki kepandaian yang benar-benar luar biasa."
Ia tidak mencabut pedang yang menancap di atas meja itu, tapi katanya, "Ilmu silat Hiang-locianpwe sedemikian hebat, rasanya Wanpwe tidak perlu ikut-ikut lagi."
Lalu ia memberi salam hormat dan berkata pula, "Aku mohon diri saja."
Tapi sebelum Hiang Bun-thian bersuara, sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, tiga batang pedang tahu-tahu menyambar ke dalam gardu. Kiranya adalah murid Jing-sia-pay, Kau Jin-hong bertiga telah menyerang berbareng.
Ketiga pedang itu semuanya mengancam tubuh Lenghou Tiong, yang satu mengarah punggungnya dan yang dua menusuk kanan kiri pinggang bagian belakang. Jaraknya tidak lebih dari belasan senti saja.
"Berlututlah Lenghou Tiong!" bentak Kau Jin-hong, berbareng itu ujung pedangnya terus mendesak maju sehingga menempel kulit daging Lenghou Tiong.
"Biarpun mati juga tidak sudi mati di tangan murid Jing-sia-pay yang pengecut seperti kalian ini," demikian pikir Lenghou Tiong. Ia tahu dirinya sudah terkurung di bawah ancaman ujung pedang lawan, asal putar tubuh segera ujung pedang yang satu akan menancap di dada dan kedua pedang yang lain menusuk ke dalam perutnya.
Mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, "Baiklah, berlutut juga boleh!"
Sebelah kaki kanan sedikit bertekuk seperti hendak berlutut, tapi secepat kilat tangan kanan terus menyambar pedang yang menancap di atas meja tadi dan berbareng diputar ke belakang.
Tanpa ampun lagi tiga tangan ketiga murid Jing-sia-pay itu terkurung sebatas pergelangan dan jatuh ke lantai dengan masih mencengkeram pedang.
Muka Kau Jin-hong bertiga pucat bagai mayat, mereka tidak pernah membayangkan bisa terjadi demikian. Setelah tertegun sejenak barulah mereka melompat mundur. Seorang di antaranya adalah anak murid Jing-sia-pay yang masih sangat muda, umurnya paling-paling baru 16-17 tahun, saking kesakitannya dia sampai menangis dan menjerit-jerit.
Lenghou Tiong merasa menyesal, katanya, "Maaf adik cilik, kau sendirilah yang lebih dulu bermaksud membunuh aku!"
"Kiam-hoat bagus!" terdengar Hiang Bun-thian bersorak memuji. Lalu katanya pula, "Pedangnya kurang kuat, tenaga dalamnya terlalu lemah!"
"Bukan saja tenaga dalam lemah, pada hakikatnya memang tidak bertenaga dalam lagi," ujar Lenghou Tiong tertawa.
Bab 62. Kesaktian "Tokko-kiam-hoat"
Pada saat itulah sekonyong-konyong Hiang Bun-thian membentak-bentak, menyusul terdengar suara gemerencing rantai, kiranya dua orang laki-laki baju hijau telah menerjang ke dalam gardu dan menyerang Hiang Bun-thian.
Kedua orang ini menggunakan senjata yang aneh, yang satu memakai sepasang tameng, semuanya merupakan senjata yang berat. Waktu berbentur dengar rantai terbitlah suara nyaring disertai letikan lelatu api.
Beberapa kali Hiang Bun-thian hendak menyelinap ke belakang orang yang bersenjata tongkat itu, tapi ilmu silat orang itu sangat tinggi, ia bertahan dengan sangat rapat, kedua tangan Hiang Bun-thian sendiri masih terikat oleh rantai sehingga gerak-geriknya kurang leluasa.
Mendadak terdengar pula suara bentakan ramai, kembali dua orang Mo-kau menerjang ke dalam gardu. Kedua orang ini sama-sama memakai godam bersegi delapan, begitu maju mereka terus memukul dan mengetuk serabutan. Dengan demikian si pemakai tongkat tadi dari bertahan sekarang sempat balas menyerang.
Namun dengan amat gesit Hiang Bun-thian masih terus menyelinap kian kemari di antara empat musuh, cuma sukar juga untuk merobohkan salah seorang lawannya. Setiap kali bila rantainya digunakan menyabat salah seorang musuh, segera tiga orang yang lain menubruk maju dengan berani mati.
Kira-kira belasan jurus kemudian, laki-laki kurus kecil tadi berseru, "Delapan tombak maju semua!"
Segera ada delapan laki-laki baju hijau dan bertombak menerjang maju dari empat jurusan gardu, setiap jurusan diperkuat dengan dua batang tombak yang panjang dan besar, dengan cepat mereka menghujani tusukan ke arah Hiang Bun-thian.
"Sobat cilik, lekas pergi saja!" seru Hiang Bun-thian kepada Lenghou Tiong.
Belum lenyap suaranya, mendadak kedelapan tombak telah menyambar sekaligus ke tubuhnya, tidak peduli dia berkelit ke jurusan maka pasti tubuh akan tertusuk oleh ujung tombak. Lebih celaka lagi pada saat yang sama kedua orang yang bersenjata godam astakona (segi delapan) juga telah menghantam kepalanya, bahkan pemakai tongkat juga lantas menyabet dari bagian bawah dan tameng besi tahu-tahu juga mengepruk mukanya. Benar-benar segala penjuru terancam oleh senjata musuh.
Hendaklah maklum bahwa kedudukan Hiang Bun-thian dalam Mo-kau adalah sangat tinggi, betapa tinggi ilmu silatnya juga bukan rahasia lagi. Orang-orang Mo-kau itu mendapat perintah untuk menangkapnya, namun mereka tahu kepandaian mereka masih selisih jauh dibanding Hiang Bun-thian, adalah mahasulit untuk menangkapnya bila tidak lebih dulu melukainya. Dan bisa melukainya betapa pun harus main kerubut.
Sebab itulah maka sekaligus 12 jago Mo-kau pilihan lantas maju berbareng dan sama-sama mengeluarkan segenap tenaga mereka tanpa kenal ampun, sebab mereka insaf adalah teramat berbahaya bertempur dengan Hiang Bun-thian, tertunda lebih lama sedetik berarti setindak lebih mendekati pintu neraka bagi mereka.
Melihat cara pengeroyokan yang tidak pantas itu dan tampaknya sukar bagi Hiang Bun-thian untuk meloloskan diri, Lenghou Tiong lantas berteriak, "Sungguh tidak tahu malu!"
Pada saat itu mendadak Hiang Bun-thian berputar tubuh dengan amat cepat, rantai di tangannya terus berputar seperti kitiran sehingga senjata musuh terbentur dan menerbitkan suara gemerantang nyaring.
Begitu cepat Hiang Bun-thian berputar laksana gasingan sampai pandangan lawan serasa kabur. Maka terdengarlah suara "trang-treng" dua kali, kedua tameng besi musuh terbentur oleh rantainya, tameng-tameng itu terlepas dari cekalan dan mencelat keluar gardu. Kini Hiang Bun-thian tidak ambil pusing lagi kepada jurus-jurus serangan musuh, ia masih terus berputar semakin cepat sehingga delapan tombak musuh terguncang ke samping.
"Perlambat serangan dan bertahan rapat habiskan tenaganya!" tetua Mo-kau yang kurus kecil tadi berseru.
Kedelapan pemakai tombak tadi sama mengiakan sambil melangkah mundur setindak dan berdiri tegak dengan tombak siap di tangan. Pertempuran cara demikian pasti akan berakhir dengan tenaga Hiang Bun-thian terkuras dan bila ada kesempatan segera mereka menyerang pula dengan tombaknya.
Dalam keadaan demikian, penonton yang sedikit berpengalaman saja segera akan dapat menarik kesimpulan bahwa betapa pun tinggi ilmu silat Hiang Bun-thian juga tidak mungkin berputar terus tanpa berhenti. Pertempuran cara demikian pasti akan berakhir dengan Hiang Bun-thian kehabisan tenaga dan tiada jalan lain kecuali diringkus oleh musuh.
Mendadak terdengar Hiang Bun-thian bergelak tertawa, tubuh mendak ke bawah dan rantainya menyabat, kontan mengenai pinggang seorang yang bersenjata godam tadi, orang itu menjerit, godamnya menghantam balik dan mengenai batok kepalanya sendiri, seketika kepalanya pecah dan otak berhamburan.
Kedelapan orang bersenjata tombak itu rupanya sudah terlatih masak sekali, sekaligus tombak mereka menusuk Hiang Bun-thian dari berbagai penjuru.
Hiang Bun-thian sempat menangkis dua batang tombak itu, tapi tombak-tombak itu benar-benar sangat lihai, enam tombak yang lain laksana ular hidup saja berbareng mengancam iganya.
"Mati aku?" diam-diam Hiang Bun-thian mengeluh. Dalam keadaan begitu, biarpun tombak yang satu sempat dihindarkan toh tombak kedua, ketiga atau keempat juga sukar dielakkan, apalagi enam tombak mengancam sekaligus.
Sekilas Lenghou Tiong juga menyaksikan keadaan Hiang Bun-thian yang menghadapi jalan buntu itu. Tiba-tiba benaknya terkilas pula jurus keempat dari "Tokko-kiu-kiam" ajaran Hong Jing-yang yang disebut "jurus penghancur tombak" itu. Maka tanpa pikir panjang lagi segera ia turun tangan, pedang menyambar ke depan, terdengarlah suara mendering nyaring panjang, delapan batang tombak jatuh semua ke lantai dan menerbitkan suara gemerantang yang keras satu kali, maka dapatlah diketahui bahwa kedelapan batang tombak itu jatuhnya seperti bersamaan waktunya.
Padahal pedang Lenghou Tiong sekali tusuk mengarah pergelangan tangan delapan orang, dengan sendirinya terjadi secara berturut-turut, soalnya gerakannya teramat cepat sehingga jatuhnya kedelapan tombak secara susul-menyusul itu hampir-hampir sukar dibedakan.
Sekali Lenghou Tiong sudah turun tangan maka sukar dihentikan lagi, segera jurus kelima yang disebut "Boh-pian-sik" (jurus penghancur ruyung) kembali dilontarkan pula. "Boh-pian-sik" ini gerak perubahannya teramat luas, pendeknya segala senjata misalnya ruyung baja, godam, boan-koan-pit, tongkat, cundrik, kapak, dan senjata-senjata pendek sebangsanya akan dapat dipatahkan semua oleh jurus ini.
Maka tanpa ampun lagi, di tengah berkelebatnya sinar pedang tahu-tahu sepasang tongkat, sepasang godam telah jatuh semua. Dari ke-12 jago Mo-kau yang menyerbu ke dalam gardu itu, terkecuali seorang telah dibunuh oleh Hiang Bun-thian dan seorang senjata tamengnya terlepas dari tangan, selebihnya sepuluh orang pergelangan tangan masing-masing tertusuk oleh pedang Lenghou Tiong, senjata mereka terlepas dari cekalan. Sambil menjerit takut beramai-ramai ke-11 orang itu lantas lari kembali ke barisan mereka tadi.
Serentak para kesatria dari golongan cing-pay lantas memuji, "Kiam-hoat bagus! Cepat amat gerakannya! Baru hari ini kita menyaksikan Hoa-san-kiam-hoat yang hebat!"
Di sebelah sana Mo-kau-tianglo yang kurus kecil tadi telah memberikan komando singkat lagi dan segera ada lima orang menyerbu ke dalam gardu.
Seorang wanita setengah umur bersenjata sepasang golok yang diputar bagai kitiran terus menerjang ke arah Lenghou Tiong, sedangkan empat orang laki-laki yang lain lantas mengerubut Hiang Bun-thian.
Serangan golok si wanita setengah umur itu sangat cepat sehingga Lenghou Tiong tidak sempat melihat orang macam apakah keempat laki-laki yang mengeroyok Hiang Bun-thian dan senjata macam apa yang mereka gunakan. Yang jelas golok-golok wanita itu menyerang dengan cepat secara bergantian, bila golok sebelah kanan menyerang maka golok sebelah kiri dipakai menjaga diri dengan rapat dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian jadi setiap jurus serangan si wanita sekaligus juga berarti menjaga diri dengan ketat.
Pada umumnya kelemahan dalam pertarungan yang sering tampak ialah waktu menyerang pihak sendiri biasanya lantas terlihat lubang sehingga digunakan oleh musuh dengan baik.
Ilmu golok wanita ini benar-benar suatu kepandaian yang jarang terlibat di dunia persilatan, dia dapat menjaga diri dengan rapat, serangannya juga sangat cepat dan ganas. "Sret-sret-sret-sret" empat kali, karena tidak jelas akan cara serangan lawan, terpaksa Lenghou Tiong mundur empat tindak berturut-turut.
Pada saat itulah terdengar suara menderu angin kencang seperti ada orang pedang menempur Hiang Bun-thian dengan senjata lemas. Di tengah segala kerepotannya Lenghou Tiong coba melirik ke sana, dilihatnya dua orang bersenjata gandin berantai dan dua orang menggunakan ruyung lemas, dengan sengit lagi melawan rantai besi yang diayun-ayunkan Hiang Bun-thian.
Rantai besi yang menggandengkan kedua gandin orang itu cukup panjang, beberapa kali gandinnya melayang lewat di atas kepala Lenghou Tiong. Baru beberapa jurus saja lantas terdengar Hiang Bun-thian mengumpat maki, sebaliknya seorang laki-laki bersenjata gandin berantai itu berkata, "Maaf, Hiang-yusu!"
Kiranya sebelah gandin berantai itu telah berbelitan dengan rantai di tangan Hiang Bun-thian. Dalam sekejap itulah ketiga orang kawannya tidak sia-siakan kesempatan baik itu, tiga macam senjata berbareng menyambar ke tubuh Hiang Bun-thian.
Ketika Hiang Bun-thian mengerahkan tenaga dan menarik sekuatnya sambil menggertak, kontan orang yang bersenjata gandin itu kena diseret mentah-mentah ke badannya, maka kedua ruyung lemas dan sebuah gandin yang menyambar tiba tadi semuanya mengenai punggung orang itu.
Pada saat itu pula pedang Lenghou Tiong juga menusuk dan tepat mengenai pergelangan tangan si wanita setengah umur, tapi yang terdengar adalah suara "creng" yang nyaring, pedang orang malah menebas dari samping.
Lenghou Tiong terperanjat, tapi segera ia paham duduknya perkara, tentu wanita itu memakai bebat baja pelindung pergelangan tangan sehingga pedang tidak mempan melukainya. Sambil berkelit secepat kilat pedangnya menyungkit ke atas pula, "sret" sekali ini dengan tepat "koh-cing-hiat" di bahu kiri wanita itu tertusuk.
Wanita itu terkejut, namun dia sangat gagah berani, meski bahu kiri terluka toh golok sebelah kanan masih membacok lagi. Ketika pedang Lenghou Tiong berkelebat, kembali bahu kanan wanita itu tertusuk pula. Kedua bahunya terluka semua pada hiat-to yang sama, ia tidak sanggup memegang senjata lagi, sekuatnya ia menimpuk ke arah Lenghou Tiong, cuma sayang kedua tangan sudah tak bertenaga sehingga sepasang goloknya jatuh setengah jalan.
Baru saja Lenghou Tiong mengalahkan wanita itu, menyusul seorang tojin dari kalangan cing-pay melompat maju dengan pedang terhunus, katanya, dengan wajah masam, "Kukira Hoa-san-pay tidak pasti mempunyai kiam-hoat iblis semacam ini!"
Sekali pandang Lenghou Tiong lantas tahu tojin ini adalah angkatan tua dari Thay-san-pay, mungkin karena dia merasa penasaran lantaran salah seorang golongannya dibinasakan Hiang Bun-thian tadi, maka sekarang ia hendak menebus kekalahannya itu.
Walaupun Lenghou Tiong telah dipecat oleh gurunya, tapi sejak kecil ia sudah bernaung di Hoa-san-pay, Ngo-gak-kiam-pay terjalin seranting dan senapas, maka demi melihat angkatan tua Thay-san-pay itu mau tak mau timbul rasa hormatnya.
Lenghou Tiong putar balik ujung tangannya ke arah bawah, lalu memberi hormat dan menjawab, "Tecu tidak berani melawan Supek dari Thay-san-pay."
Tojin itu bergelar Song-it, adalah saudara satu angkatan dengan Te-coat, Thian-bun dan tojin yang lain, hanya saja tidak sama guru.
Dengan nada dingin ia berkata, "Ilmu pedang apakah yang kau mainkan itu?"
"Ilmu pedang yang Tecu mainkan ini ajaran Locianpwe dari perguruan Hoa-san sendiri," jawab Lenghou Tiong.
"Hm, omong kosong, entah di mana kau telah mengangkat guru pada kaum iblis," jengek Song-it. "Lihat pedang!"
Berbareng itu pedangnya terus menusuk ke dada Lenghou Tiong dengan mengeluarkan suara mendengung. Melulu serangan ini saja sekaligus beberapa hiat-to di dada Lenghou Tiong sudah terkurung semua, tak peduli cara bagaimana dia berkelit tentu salah satu tempat akan tertusuk. Jurus serangan ini disebut "Jit-sing-lok-khong" (tujuh bintang runtuh di langit), termasuk suatu jurus inti ilmu pedang Thay-san-pay paling lihai.
Dengan serangan ini lawan hanya dapat menghindar bilamana memiliki ginkang yang mahatinggi dengan berjumpalitan ke belakang sejauh beberapa meter, untuk itu diperlukan mengenal jurus serangan ini ketika baru saja pedang musuh mulai bergerak, sesudah berjumpalitan serangan lain akan datang beruntun dengan ganas.
Karena sudah menyaksikan ilmu pedang Lenghou Tiong sangat lihai, Song-it Tojin khawatir didahului lebih dulu, maka begitu maju segera menggunakan jurus "Jit-sing-lok-khong" itu.
Lenghou Tiong juga terkejut ketika sinar pedang lawan berkelebat dan tahu-tahu beberapa tempat di dada sendiri terancam. Sekonyong-konyong teringat olehnya jurus serupa yang pernah dilihatnya pada ukiran dinding dalam gua puncak Hoa-san dahulu, tatkala itu dirinya juga pernah mempelajari jurus ini untuk digunakan melawan Dian Pek-kong, cuma saja pelajarannya dahulu masih mentah sehingga tidak dapat mencapai kemenangan yang diharapkan. Namun permainan jurus ini sudah hafal baginya, maka tanpa pikir lagi segera pedangnya membarengi menusuk perut Song-it Tojin.
Serangan Lenghou Tiong ini persis menirukan ukiran dinding yang dilihatnya, yaitu cara gembong Mo-kau mematahkan ilmu pedang Thay-san-pay. Caranya sepintas pandang mirip mengajak gugur bersama musuh, tapi sebenarnya tidak, sebab jurus "Jit-sing-lok-khong" dari Thay-san-pay itu terbagi dalam dua tingkat, pertama gerak pedangnya mengancam tujuh hiat-to di dada musuh, tatkala musuh terkejut dan menjadi gugup, menyusul pedang lantas menusuk salah satu hiat-to yang dipilih. Tapi meski hiat-to musuh yang terancam itu tujuh tempat, tapi untuk membinasakannya cukup satu tusukan saja pada satu hiat-to itu.
Lantaran serangan itu terbagi dalam dua tingkat sehingga kelihatan jurus ini dapat ditemukan titik kelemahannya oleh gembong Mo-kau, yaitu ketika serangan tingkat pertama dilontarkan, berbareng perut penyerang itu balas diserang, dengan demikian jurus "Jit-sing-lok-khong" dapat dipatahkan dan tamat riwayatnya.
Dan benar juga, Lenghou Tiong menusukkan pedangnya, sungguh kaget Song-it Tojin tidak kepalang, ia menjerit keras disangkanya perut sendiri sudah tembus oleh pedang lawan.
Sebagai seorang tokoh Thay-san-pay, begitu melihat gerak pedang Lenghou Tiong yang hebat dan tak terelakkan itu, ia menduga perut sendiri pasti sukar terhindar dilubangi. Di tengah pertempuran ia pun tidak bisa merasakan sakit, pikirannya menjadi kacau dan mengira diri sendiri sudah mati, kontan ia roboh terjungkal.
Padahal ketika ujung pedang Lenghou Tiong hampir mengenai perutnya segera ia tahan sekuatnya, ia pikir lawan adalah tokoh angkatan lebih tua dari Thay-san-pay yang tiada permusuhan apa-apa dengan dirinya, buat apa mesti membunuhnya" Siapa tahu saking cemasnya Song-it Tojin sendiri sampai jatuh pingsan.
Melihat robohnya Song-it, anak murid Thay-san-pay mengira jago mereka telah dicelakai oleh Lenghou Tiong, beramai-ramai mereka lantas mencaci maki, segera ada lima orang tojin muda memburu maju. Mereka ini adalah murid Song-it, saking bernafsu hendak menuntut balas pedang mereka terus menyerang secara membadai ke arah tubuh Lenghou Tiong.
Namun hanya sekali bergerak saja, dengan satu jurus ilmu pedang "Tokko-kiam-hoat" pergelangan tangan kelima tojin muda itu sudah kena ditusuk oleh ujung pedang Lenghou Tiong, pedang lawan jatuh semua dan menerbitkan suara nyaring.
Untuk sejenak kelima tojin muda itu sampai tertegun, tapi mereka lantas melompat mundur. Dalam pada itu terlihat Song-it Tojin telah bangkit dengan sempoyongan dan berteriak-teriak seperti orang gila, sungguh kejut dan khawatir sekali anak muridnya.
Sesudah berteriak-teriak beberapa kali, tubuh Song-it Tojin tampak sempoyongan, lalu jatuh terkulai lagi. Lekas-lekas dua muridnya memburu maju untuk membangunkan dia dan diseret mundur.
Para kesatria menjadi kebat-kebit, semua menyaksikan Lenghou Tiong hanya menggunakan setengah jurus saja seketika seorang tokoh terkemuka Thay-san-pay dirobohkan dalam keadaan entah mati atau hidup, maka untuk sementara mereka menjadi kuncup.
Sementara itu orang-orang yang mengeroyok Hiang Bun-thian sudah berganti beberapa orang baru. Dua laki-laki berpedang adalah jago Heng-san-pay, gerak pedang mereka sangat cepat dan selalu mengincar lubang di tengah putaran rantai Hiang Bun-thian.
Seorang lagi bersenjata golok dan tameng, jelas adalah jago Mo-kau. Dengan berlindung di balik tamengnya orang ini bergelindingan mendekati Hiang Bun-thian, lalu goloknya menebas kaki lawannya. Meski rantai Hiang Bun-thian beberapa kali menghantam tameng, tapi tak bisa melukainya. Sebaliknya golok yang selalu menyambar dari balik tamengnya itulah yang sangat berbahaya.
Dari samping Lenghou Tiong dapat melihat kerapatan penjagaan tameng orang itu, tapi pada waktu menyerang mau tak mau lantas kelihatan lubang kelemahannya, yaitu kedua lengannya dengan mudah dapat dipatahkan.
Hendaklah maklum bahwa letak kelihaian "Tokko-kiu-kiam" adalah pada ketajaman mengenai titik kelemahan musuh, lalu dengan cara yang tidak mungkin dihindarkan lawan untuk menyerang titik kelemahan itu sehingga cukup hanya sekali serang saja lantas menang.
Ia lihat rantai yang diputar Hiang Bun-thian itu sebenarnya cukup diturunkan ke bawah terus disabetkan melalui lubang di bawah tameng musuh, namun kesempatan bagus dan sungguh sayang sekali tidak digunakan oleh Hiang Bun-thian.
Tengah Lenghou Tiong mengikuti pertarungan sengit itu, sekonyong-konyong terdengar di belakangnya ada orang membentak, "Kau inginkan jiwamu tidak bocah!"
Meski suara itu tidak terlalu keras, tapi jaraknya jelas sangat dekat, barangkali cuma belasan senti di tepi telinganya.
Dalam kagetnya cepat Lenghou Tiong membalik tubuh, tahu-tahu ia berhadapan muka dengan muka bersama satu orang. Hidung kedua orang hampir-hampir saling cium. Selagi ia hendak menghindar, tahu-tahu kedua telapak tangan orang itu sudah menahan di dadanya, terdengar orang itu berkata dengan nada dingin, "Sekali tenaga tanganku dikerahkan, seketika tulang rusukmu akan patah semua."
Lenghou Tiong tahu apa yang diucapkan orang itu bukan bualan belaka. Maka ia lantas berdiri tegak dan tidak berani bergerak. Jantungnya serasa ikut berhenti berdetak.
Kedua mata orang itu menatap Lenghou Tiong dengan tajam, cuma disebabkan jaraknya terlalu dekat sehingga Lenghou Tiong sukar melihat wajahnya malah. Hanya sinar mata orang itu tampak mengilat berwibawa, diam-diam ia membatin, "Kiranya aku akan mati di tangan orang seperti ini!"
Teringat kematiannya akhirnya akan menjadi kenyataan, tiba-tiba hatinya menjadi lapang malah.
Semula orang itu melihat sinar mata Lenghou Tiong menampilkan rasa kaget dan khawatir, tapi dalam sekejap saja lantas timbul sikapnya yang tidak gentar dan tak acuh, sekalipun tokoh Bu-lim terkemuka juga jarang yang mampu menguasai diri menghadapi detik-detik kematian demikian.
Tanpa terasa timbul juga rasa kagum orang itu. Sambil tertawa orang itu lantas berkata, "Aku berhasil menyergap dirimu dari belakang sekalipun aku membunuhmu tentu kau tidak tunduk."
Habis berkata ia terus tarik kembali kedua tangannya dan mundur beberapa tindak.
Baru sekarang Lenghou Tiong dapat melihat jelas orang itu, potongannya pendek gemuk, kulit mukanya bengkak kekuning-kuningan, usianya kira-kira baru 50-an, kedua tangannya yang gemuk itu sudah kecil lagi tebal, yang satu terangkat agak tinggi dan yang lain rada rendah dalam sikap "Tay-ko-yang-jiu" yang lihai.
"Kiranya adalah Locianpwe dari Ko-san-pay," kata Lenghou Tiong dengan tersenyum. "Mohon tanya siapakah nama Locianpwe yang terhormat, mengapa berlaku murah hati padaku?"
"Aku Lim Ho," jawab orang itu. Sejenak kemudian ia menyambung lagi, "Ilmu pedangmu sangat tinggi, tapi pengalamanmu di medan tempur ternyata sangat kurang!"
"Memang benar," kata Lenghou Tiong. "Cepat amat gerakan Lim-supek tadi."
"Panggilan Supek tidak berani kuterima," sahut Lim Ho, menyusul tangan kiri diangkat dan tangan kanan lantas memotong ke depan.
Bentuk lahirnya Lim Ho memang jelek, tapi sekali ia mulai memukul, seketika seluruh badannya penuh kekuatan dan gayanya sangat indah.
"Pukulan bagus," Lenghou Tiong memuji ketika melihat kehebatan serangan lawan. Pedang lantas menyungkit ke atas. Karena dia belum melihat titik kelemahan Lim Ho, maka gerakan ini lebih banyak merupakan pancingan dan bertahan daripada serangan.
Tokko-kiu-kiam, sembilan jurus ilmu pedang ciptaan Tokko, benar-benar luar biasa lihainya. Sejak sekaligus membutakan 15 orang di kelenteng bobrok tempo hari belum pernah mengambil sikap bertahan. Tapi kini saking rapatnya ilmu pukulan Lim Ho itu sehingga dia terpaksa mesti menjaga diri saja, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat ciang-hoat (ilmu pukulan dengan telapak tangan) jago Ko-san-pay itu.
Tapi dengan menyungkit ke atas tak peduli pukulan Lim Ho menyerang ke bagian mana, telapak tangannya akan dengan sendirinya dipapak oleh ujung pedang. Karena itu baru setengah jalan segera Lim Ho menarik tangannya kembali tangannya dan melompat mundur sambil berseru, "Kiam-hoat bagus!"
"Ah, terlalu memuji!" sahut Lenghou Tiong.
Setelah termenung sejenak, mendadak Lim Ho membentak, "Awas!"
Berbareng kedua tangannya lantas menolak ke depan, suatu arus tenaga mahadahsyat lantas membanjir.
"Celaka!" Lenghou Tiong. Dalam keadaan tenaga sudah punah, hanya berkat ilmu pedangnya yang bagus dapatlah ia mengalahkan musuh. Sekarang Lim Ho menghantamnya dengan pukulan kuat, jaraknya teramat dekat pula sehingga sukar ditangkis dengan pedang. Baru saja bermaksud mengelak, namun terasa hawa dingin telah menyerang tubuhnya sehingga membuatnya menggigil.
Kiranya tenaga pukulan kedua tangan Lim Ho itu tidak sama satu sama lain, yang satu positif dan yang lain negatif, panas dan dingin. Lim Ho berjuluk "Thi-im-yang-jiu", tenaga pukulan im dan yang itu adalah kepandaian yang paling diagulkannya.
Ketika Lenghou Tiong tertegun sejenak saja menyusul suatu arus hawa panas sudah menyambar tiba pula sehingga napasnya serasa sesak, tubuh pun terhuyung-huyung.
Pukulan tenaga im dan yang itu sebenarnya tidak kenal ampun bagi sasarannya, meski tenaga dalam Lenghou Tiong sudah punah, namun hawa murni dalam tubuhnya masih penuh dan banyak ragamnya, ada hawa murni dari Tho-kok-lak-sian, ada hawa murni Put-kay Hwesio, ketika di Siau-lim-si mendapat tambahan lagi hawa murni Hong-sing Taysu, setiap hawa murni itu sangat kuat.
Sebab itulah ketika tenaga pukulan panas dingin itu mengenai tubuh Lenghou Tiong, dengan sendirinya hawa murni yang tertimbun dalam tubuhnya itu memberi reaksi sehingga isi perutnya tidak sampai terluka. Cuma hawa murni berbeda daripada tenaga dalam yang dapat digunakan pula untuk menyerang musuh, sebab itulah badannya tergetar beberapa kali dan rasanya sangat menderita.
Khawatir kalau Lim Ho menyusulkan pukulan lagi, cepat-cepat Lenghou Tiong keluar dari gardu itu, lalu pedang cepat menusuk.
Setelah berhasil dengan pukulannya, Lim Ho menyangka Lenghou Tiong sekalipun tidak mati juga terluka parah dan akan roboh, siapa duga pemuda itu masih dalam keadaan aman sentosa, bahkan sinar pedang berkelebat, ujung pedang Lenghou Tiong mengacung telapak tangannya lagi. Dengan rasa heran dan waswas Lim Ho pentang kedua tangannya, yang satu menabok ke muka Lenghou Tiong dan yang lain memukul perutnya.
Tapi baru saja tenaga pukulannya dikerahkan sekonyong-konyong ia merasa kesakitan luar biasa, ternyata kedua telapak tangannya atau sepasang telapak tangannya sendiri yang menghantam ujung pedang orang.
Sambil menjerit keras-keras sekuatnya Lim Ho mencabut kedua tangannya terus melompat mundur, lalu melarikan diri secepat terbang.
Lenghou Tiong merasa menyesal, serunya, "Maaf!"
Apa yang digunakan tadi adalah salah satu jurus sakti dari Tokko-kiu-kiam yang disebut "Boh-ciang-sik" (cara mematahkan pukulan tangan), jurus ini belum pernah tampak lagi di dunia Kangouw sejak penciptanya wafat, yaitu Tokko Kiu-pay.
Mendadak terdengar suara gedubrakan ramai, waktu Lenghou Tiong menoleh, dilihatnya ada tujuh-delapan laki-laki sedang mengerubut Hiang Bun-thian. Tenaga pukulan dua orang di antaranya sangat dahsyat sehingga tiang gardu dan genting emper ikut terhantam jatuh berserakan.
Pada saat itulah ada tiga orang kakek bersenjata mengepung Lenghou Tiong dari tiga jurusan. Seorang di antaranya memakai sepasang boan-koan-pit yang mengilap, seseorang lagi menggunakan golok dan orang ketiga bertangan kosong, hanya memakai sarung tangan.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Suhu pernah pesan padaku harus hati-hati menghadapi lawan yang memakai sarung tangan, sebab lawan demikian biasanya suka menggunakan senjata rahasia beracun."
Lenghou Tiong tidak sempat banyak berpikir karena sepasang boan-koan-pit musuh sudah segera mengancam hiat-to di kanan kiri iganya sedangkan golok besar yang lain juga menebas diri samping.
Diam-diam Lenghou Tiong mendongkol pada lawan-lawan itu, selamanya tidak kenal dan tiada permusuhan, tapi serangan mereka ternyata begini ganas, begitu maju lantas menyerang dengan cara mematikan tanpa kenal ampun.
Segera pedangnya menyabet miring menyerempet batang kepala musuh, menyusul lantas ke atas. Kontan empat jari lawan yang bergolok itu tertebas putus, sedangkan sepasang boan-koan-pit musuh yang lain juga tersungkit mencelat ke udara.
Ia khawatir orang yang bersarung tangan itu menghamburkan senjata rahasia berbisa, sebab ia merasa dirinya belum menguasai jurus "Boh-gi-sik" (mematahkan serangan senjata rahasia), jika dihujani macam-macam senjata rahasia berbisa tentu akan kerepotan, sebab itulah pedangnya segera menusuk pula ke tengah telapak tangan kanan orang itu.
Akan tetapi aneh sekali, ujung pedang sudah mengenai sasarannya dengan tepat, namun tidak dapat masuk. Keruan Lenghou Tiong terkejut. Dalam pada itu dengan cepat orang itu telah membalik tangannya, mata pedang yang tajam itu dipegang olehnya dengan kencang. Baru sekarang Lenghou Tiong sadar sarung tangan orang itu tentu terbuat dari benang emas. Ia coba menarik sekuatnya, tapi sukar terlepas.
Waktu sebelah tangan orang itu terhantam, "blang", dengan tepat dada Lenghou Tiong terpukul sehingga tubuhnya mencelat. Belum lagi dia jatuh ke tanah sudah ada beberapa orang memburu ke arahnya hendak mencencangnya.
"Bagus, kebetulan!" kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Tapi belum lenyap suara tertawanya, sekonyong-konyong pinggangnya terasa kencang dililit sesuatu, seutas rantai besi telah menyambar tiba dan tubuhnya lantas terbawa melayang ke udara.
Orang yang menyelamatkan jiwanya kiranya adalah gembong Mo-kau Hiang Bun-thian. Dalam keadaan kepepet karena dikejar dan dikerubut oleh jago Mo-kau dan pihak cing-pay, mendadak tampil ke muka seorang pemuda yang tidak takut mati untuk membelanya, dengan sendirinya Hiang Bun-thian merasa sangat berterima kasih dan anggap dia sebagai teman sejati.
Dengan pengalaman dan kepandaian Hiang Bun-thian yang tinggi, begitu menyaksikan cara Lenghou Tiong menghalau musuh tadi segera ia tahu meski ilmu pedang Lenghou Tiong sangat tinggi, tapi tenaga dalamnya teramat kurang, pengalaman tempur juga sedikit, bila mesti menghadapi lawan sebegitu banyak akhirnya pemuda itu tentu akan terbunuh.
Sebab itulah sembari bertempur senantiasa ia memerhatikan keadaannya Lenghou Tiong, begitu melihat pedangnya kena digenggam lawan dan dada terkena pukulan, seketika ia mengayun rantainya untuk membelit tubuh pemuda yang terus dibawa lari
Karena menggunakan ginkang yang tinggi, maka lari Hiang Bun-thian ini laksana terbang, hanya dalam sekejap saja sudah meninggalkan musuh sejauh beberapa puluh meter.
Dari belakang ada beberapa puluh orang telah memburunya, beberapa orang di antaranya malahan berteriak-teriak, "Thian-ong Locu melarikan diri! Aha, Thian-ong Locu melarikan diri!"
Hiang Bun-thian menjadi gusar, mendadak ia berhenti lari dan putar balik seakan-akan hendak menerjang para pengejarnya. Keruan para pengejar itu terkejut dan serentak berhenti. Ada di antaranya seorang terlalu bernafsu larinya dan tidak sempat mengerem, ia masih terus menyelonong ke arah Hiang Bun-thian, keruan celaka baginya, sekali Hiang Bun-thian angkat kakinya, kontan orang itu ditendang mencelat kembali ke tengah gerombolan kawan-kawannya.
Waktu Hiang Bun-thian memeriksa Lenghou Tiong, tampak mulut pemuda itu masih mengucurkan darah. Ia hanya menjengek perlahan, lalu putar tubuh dan lari lagi.
Segera orang-orang tadi mengejar pula, tapi sekarang mereka sudah kapok, tiada seorang pun berani menguber terlalu dekat sehingga jarak mereka makin lama makin jauh dari Hiang Bun-thian.
Kiranya julukan Hiang Bun-thian disebut "Thian-ong Locu" (si Nenek Raja Langit), perangainya angkuh dan tinggi hati, selama hidupnya tidak pernah melarikan diri meski ia pernah juga dikalahkan orang dalam pertandingan, jadi dia mempunyai sifat yang pantang menyerah.
Dengan ginkang yang sangat tinggi itu mestinya tidak sulit bagi Hiang Bun-thian untuk mengelak kejaran jago-jago cing-pay dan orang-orang Mo-kau, tapi dia justru tidak sudi menyembunyikan diri sehingga ditertawai musuh, akhirnya dia terkepung di tengah gardu itu. Sekarang demi keselamatan Lenghou Tiong untuk pertama kalinya ia melarikan diri, maka rasa dongkol dan kesalnya sungguh tidak kepalang.
Sembari lari diam-diam ia pun menimbang-nimbang sendiri, "Jika aku sendirian tentu aku akan melabrak kawanan kura-kura itu dengan mati-matian, betapa pun pasti akan kubunuh beberapa puluh orang untuk melampiaskan rasa dongkolku, soal aku akan hidup atau mati aku tidak ambil pusing. Tapi sekarang muncul pemuda yang selamanya tak kukenal ini, dia telah sudi korban jiwa bagiku, teman simpatik begini ke mana lagi dapat kucari" Demi teman baik biarlah aku melarikan diri dan melanggar kebiasaanku, ini namanya setia kawan lebih utama, terpaksa aku harus menekan perasaanku. Yang penting sekarang cara bagaimana aku dapat mengelakkan uberan kawanan kura-kura itu."
Bab 63. Gip-sing-tay-hoat = Ilmu Mengisap Bintang
Setelah berlari-lari pula, tiba-tiba ia ingat suatu tempat yang baik, ia menjadi girang. Tapi lantas terpikir olehnya, "Untuk pergi ke sana jaraknya terlalu jauh, entah aku kuat lari sampai di sana atau tidak" Tapi tidak menjadi soal. Jika aku tidak kuat, kawanan kura-kura itu lebih-lebih tidak kuat."
Ia menengadah memandang sang surya dan membedakan arah, segera ia membelok dan melintasi sawah ladang terus lari ke jurusan timur laut sana.
Kira-kira belasan li jauhnya, kembali ia sampai di jalan besar. Tiba-tiba ada tiga penunggang kuda membalap lewat di sebelahnya.
"Persetan!" maki Hiang Bun-thian, segera ia menyusul dengan cepat.
Sampai di belakang kuda itu, sekali loncat ke udara, sekali tendang ia depak seorang penunggang itu hingga terjungkal, menyusul ia lantas hinggap di punggung kuda rampasan itu. Ia taruh Lenghou Tiong di atas pelana, waktu rantainya diayun ke depan, kedua penunggang kuda yang lain dihantam jatuh semua.
Ketiga orang itu adalah rakyat jelata dan bukan orang persilatan, mereka hanya sial ketemu malaikat maut dan tanpa sebab jiwa mereka telah melayang.
Meski penunggangnya sudah jatuh, tapi kedua ekor kuda itu masih terus lari ke depan, segera Hiang Bun-thian ayun rantainya untuk membelit tali kendali.
Rantai besinya seakan-akan benda hidup saja dalam permainan Hiang Bun-thian sehingga dia seakan-akan memiliki lengan yang mahapanjang. Namun diam-diam Lenghou Tiong merasa gegetun juga menyaksikan cara Hiang Bun-thian sembarangan membunuh orang tak berdosa.
Sebaliknya Hiang Bun-thian tampak sangat senang dan bersemangat setelah berhasil merampas tiga ekor kuda, ia menengadah dan bergelak tertawa. Katanya demikian, "Adik cilik, kawanan celurut itu tidak mampu menyusul kita lagi."
Lenghou Tiong tersenyum hambar, sahutnya, "Hari ini tidak mampu, jangan-jangan besok akan dapat menyusul kita."
"Persetan, biar mereka menyusul kemari dan akan kubunuh bersih mereka," demikian Hiang Bun-thian mengumpat.
Ia larikan kuda itu dengan cepat, belasan li kemudian ia membelok ke suatu jalan pegunungan yang menuju ke arah timur laut, lereng gunung semakin tinggi dan akhirnya jalan itu tak bisa dilalui kuda lagi.
"Kau lapar tidak?" Hiang Bun-thian.
"Apakah kau membekal ransum?" sahut Lenghou Tiong.
"Tidak bawa apa-apa, kita minum darah kuda," kata Hiang Bun-thian sambil melompat turun. Ketika kelima jarinya menusuk bagian leher kuda seketika leher kuda itu bolong dan darah mengucur dengan derasnya.
Kuda itu meringkik kesakitan, mestinya hendak berjingkrak berdiri dengan kaki belakang, tapi dengan sebelah tangan Hiang Bun-thian telah menahan punggung kuda laksana gunung beratnya, sedikit pun kuda itu tidak dapat berkutik.
Mulut Hiang Bun-thian lantas mencucup darah yang mengalir dari lubang leher kuda, setelah minum beberapa ceguk, lalu katanya kepada Lenghou Tiong, "Minumlah!"
Sudah tentu Lenghou Tiong merasa muak dan ngeri.
"Jika tidak minum darah kuda dari mana ada tenaga untuk bertempur lagi?" kata Hiang Bun-thian.
"Masih mau bertempur lagi?" Lenghou Tiong menegas.
"Apakah kau takut?"
Seketika timbul jiwa Lenghou Tiong yang tidak takut mati, ia tertawa dan balas tanya, "Kau kira aku takut atau tidak?"
Habis itu tanpa pikir lagi ia pun mencucup darah kuda itu dengan mulutnya. Ia merasa darah kuda itu seakan-akan membanjir sendiri ke dalam kerongkongannya dan segera terhirup ke dalam perut.
Mula-mula darah kuda itu memang terang anyir baunya, tapi sesudah menghirup beberapa ceguk bau anyir pun tidak terasa lagi. Lenghou Tiong terus minum sampai perutnya terasa kembung barulah berhenti.
Menyusul Hiang Bun-thian lantas menghirup lagi darah kuda itu sekenyang-kenyangnya, akhirnya kuda itulah yang tidak tahan dan roboh terkulai. Sekali ayun kakinya Hiang Bun-thian mendepak kuda itu ke dalam jurang.
Melengak juga Lenghou Tiong menyaksikan hal itu. Badan kuda itu sedikitnya ada enam-tujuh ratus kati, tapi sekali depak sekenanya saja Hiang Bun-thian menendang kuda itu ke dalam jurang. Menyusul Hiang Bun-thian menendang kuda kedua ke dalam jurang, sekali putar tubuh tangannya memukul, "cret", seperti golok tajamnya sebelah kaki belakang kuda ketiga itu kena dipotong oleh telapak tangannya. Menyusul kaki kuda yang sebelah dipotongnya lagi.
Kuda itu meringkik ngeri, Hiang Bun-thian menambahi sekali tendang dan terjungkal juga kuda itu ke dalam jurang sambil mengumandangkan suara ringkik yang panjang menyeramkan.
"Sebelah paha kuda ini untukmu," kata Hiang Bun-thian kemudian. "Makanlah secara hemat dan cukup untuk ransum selama sepuluh hari."
Baru sekarang Lenghou Tiong paham maksud Hiang Bun-thian memotong paha kuda, kiranya hendak digunakan sebagai makanan, jadi perbuatannya ini tidak dapat digolongkan kejam. Segera ia menurut dan ambil sebelah paha kuda itu.
Lenghou Tiong ikut dari belakang ketika melihat Hiang Bun-thian berjalan menuju ke atas lereng gunung sambil membawa paha kudanya.
Hiang Bun-thian sengaja memperlambat langkahnya agar dapat diikuti Lenghou Tiong, tapi lantaran tenaga dalam Lenghou Tiong sudah punah, belum ada setengah li jauhnya dia sudah ketinggalan jauh di belakang. Waktu ia memburu sekuatnya, napasnya lantas megap-megap dan pucat.
"Adik cilik," kata Hiang Bun-thian, "kau ini memang aneh, begitu lemah kau punya tenaga dalam, tapi sedikit pun kau tidak cedera meski terkena pukulan Thi-im-yang-jiu yang dahsyat dari keparat Ko-san-pay tadi. Sungguh aku tidak habis mengerti keadaan dirimu."
"Ah, masa" Justru aku merasa isi perutku terguncang jungkir balik tak keruan, entah berapa puluh macam luka dalam yang telah kuderita. Memangnya aku pun merasa heran mengapa sampai saat ini aku belum mampus. Tapi bukan mustahil setiap detik aku bisa roboh untuk tidak bangun lagi."
"Jika begitu marilah kita mengaso dulu," ujar Hiang Bun-thian.
Sebenarnya Lenghou Tiong bermaksud menerangkan tentang jiwa sendiri yang tinggal menunggu ajal dan minta dia menyelamatkan diri sendiri saja. Tapi lantas terpikir pula bahwa orang she Hiang ini sangat gagah perwira, dia pasti tidak mau meninggalkan dirinya untuk mencari selamat sendiri. Mungkin bila ditemukan pikiran itu malahan akan dianggap menghinanya.
Dalam pada itu Hiang Bun-thian sudah mengambil tempat duduk di tepi jalan, katanya pula, "Adik cilik, cara bagaimana kau bisa kehilangan tenaga dalam?"
Lenghou Tiong tersenyum, katanya, "Kejadian ini terlalu menggelikan kalau diceritakan."
Lalu ia pun menuturkan pengalamannya sejak terluka, tentang Tho-kok-lak-sian hendak menyembuhkan lukanya, tapi malah tak keruan jadinya, kemudian Put-kay Hwesio mencurahkan dua macam hawa murni lagi sehingga membikin keadaannya tambah runyam.
Hiang Bun-thian terbahak-bahak geli mendengar cerita aneh itu, sebegitu keras suara tertawanya sehingga menggeletar lembah pegunungan itu. Katanya, "Kejadian aneh demikian baru untuk pertama kalinya kudengar sekarang. Hahahaha!"
Di tengah gema suara tawanya itu tiba-tiba dari jauh berkumandang bentaknya seorang, "Hiang-yusu, tidak mungkin engkau bisa lolos. Lebih baik ikut kami saja menghadap Kaucu!"
Namun Hiang Bun-thian tidak ambil pusing, ia tetap bergelak tertawa. Katanya, "Haha, sungguh menggelikan, Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Hwesio benar-benar orang-orang tolol nomor satu di dunia ini!"
Dan setelah tertawa beberapa kali mendadak air mukanya menjadi guram, ia memaki, "Bedebah, kawanan kura-kura itu sudah menyusul tiba pula!"
Segera ia pondong Lenghou Tiong terus dibawa lari secepatnya tanpa memikirkan paha kuda yang ketinggalan itu.
Begitu cepat cara lari Hiang Bun-thian sehingga Lenghou Tiong merasa dirinya seperti dibawa melayang di udara, keadaan sekitarnya menjadi putih remang-remang, rupanya mereka telah menyusup ke tengah-tengah kabut yang tebal.
"Sungguh sangat kebetulan," diam-diam Lenghou Tiong berpikir. "Dalam keadaan demikian, beberapa ratus pengejar itu pasti tidak mampu mengerubut ke atas gunung ini, asal mereka satu per satu menerjang kemari, tentu aku dan Hiang-siansing ini sanggup membereskan mereka."
Akan tetapi suara kawanan pengejar di belakang itu makin lama juga semakin dekat, jelas ginkang para pengejar itu pun sangat tinggi sekalipun masih kalah bila dibandingkan dengan Hiang Bun-thian. Namun Hiang Bun-thian memondong tubuh seorang dan sudah berlari sekian lamanya, mau tak mau larinya mulai kendur dan lambat.
Berlari sampai di suatu tempat pengkolan, di situlah Hiang Bun-thian menurunkan Lenghou Tiong, pesannya dengan suara tertahan, "Diam saja jangan bersuara."
Begitulah mereka berdua berdiri mepet dinding gunung, sebentar kemudian lantas terdengar suara tindakan kaki orang banyak yang menyusul tiba.
Dua di antara pengejar itu lari paling cepat, di tengah kabut tebal itu mereka tidak tahu bahwa Hiang Bun-thian berdua sudah berhenti dan berdiri mepet dinding batu di situ, mereka baru mengetahui ketika sudah berada di depan Hiang Bun-thian.
Dalam kagetnya cepat mereka bermaksud putar balik, namun sudah terlambat, kedua telapak tangan Hiang Bun-thian telah menyodok ke depan, tepat lagi ganas. Tanpa bersuara sedikit pun kedua orang itu terbanting jatuh ke dalam jurang. Lewat agak lama baru terdengar dua kali suara "blak-bluk" di dasar jurang.
"Waktu kedua orang itu terjerumus ke dalam jurang sedikit pun mereka tidak mengeluarkan suara. Ya, tentu mereka sudah mampus lebih dulu terkena pukulan Hiang-siansing sebelum tergelincir ke jurang," demikian pikir Lenghou Tiong.
"Hehehe," Hiang Bun-thian tertawa mengejek. "Kedua bangsat itu biasanya suka berlagak, katanya "Tiam-jong-siang-kiam", hawa pedang ke langit segala. Hehe, sesudah jatuh mampus di dalam jurang baru benar-benar bau bangkai mereka akan tersebar ke langit."
Lenghou Tiong juga pernah mendengar nama "Tiam-jong-siang-kiam" (Dua Pedang dari Tiam-jong-san) yang tersohor karena ilmu pedangnya yang hebat. Siapa duga sekarang kedua jago terkenal itu telah binasa di dalam jurang tanpa mengetahui sebab musababnya, bahkan muka si pembunuh pun tidak sempat lihat.
"Dari sini ke Sian-jiu-kiap (Selat Dewa Sedih) masih ada belasan li jauhnya, setiba di mulut selat itu kita tak perlu gentar lagi kepada kawanan bangsat itu," kata Hiang Bun-thian sembari memondong kembali Lenghou Tiong terus dibawa lari dengan cepat.
Sementara itu terdengar pula suara tindakan orang lari, kembali ada beberapa orang menyusul tiba lagi. Sekarang jalan pegunungan itu tidak bertepi jurang lagi sehingga Hiang Bun-thian tidak dapat menggunakan akal lama dengan main sembunyi mepet dinding dan menyergap musuh, terpaksa ia harus lari sekuatnya.
"Berrr", terdengar sebuah senjata rahasia menyambar tiba dengan membawa suara desir yang keras, terang bobot senjata rahasia itu cukup berat.
Hiang Bun-thian menurunkan Lenghou Tiong ke tanah dan cepat membalik tubuh dan menangkap senjata rahasia itu, lalu memaki, "Keparat she Ho, untuk apa kau pun ikut-ikut menangguk dalam air keruh ini?"
Di tengah kabut tebal sana berkumandang suara seorang, "Kau membahayakan dunia persilatan, setiap orang boleh membunuh. Ini, terima lagi sebuah borku!"
Menyusul terdengar suara "barr-berr" yang ramai. Dia bilang sebuah bor, tapi yang dihamburkan sedikitnya ada tujuh-delapan buah.
Mendengar suara desir senjata rahasia yang keras dan lihai itu, diam-diam Lenghou Tiong bersedih, pikirnya, "Meski ilmu pedang ajaran Hong-thaysusiokco itu dapat mematahkan segala macam senjata rahasia, tapi hui-cui (bor terbang) yang disambitkan orang ini membawa tenaga sedemikian kuat, sekalipun pedangku dapat menyampuknya, tapi aku tidak bertenaga lagi, tentu pedangku akan patah terbentur."
Dilihatnya Hiang Bun-thian telah pasang kuda-kuda dengan sikap rada tegang, tidak lagi acuh tak acuh seperti waktu dikepung orang banyak di tengah gardu. Ketika bor itu menyambar sampai di depannya lantas lenyap tanpa suara, mungkin telah ditangkapnya semua.
Sekonyong-konyong suara mendering menggema entah betapa banyak bor tajam ditaburkan sekaligus.
Lenghou Tiong kenal cara itu disebut "Boan-thian-hoa-uh" (Hujan Gerimis Memenuhi Langit), cara menghamburkan senjata rahasia demikian biasanya senjatanya rahasia yang digunakan adalah sebangsa kim-ci-piau (mata uang), thi-lian-ci (biji teratai besi), dan sebagainya yang berbentuk kecil. Tapi bor yang disambitkan orang ini dari suara mendesingnya itu dapat diduga setiap bijinya mempunyai bobot setengah atau satu kati beratnya, pada hakikatnya sukar dihamburkan sekaligus berpuluh biji berbareng.
Lantaran mendengar suara mendesing keras dan mengkhawatirkan sambaran bor tajam musuh itu dengan sendirinya Lenghou Tiong mendekam di atas tanah. Tapi lantas terdengar suara jeritan Hiang Bun-thian, rupanya terluka.
Keruan Lenghou Tiong terkejut, cepat ia melompat maju untuk mengadang di depannya dan bertanya dengan khawatir, "Hiang-siansing, apakah engkau terluka?"
"Aku ... aku tidak sang ... tidak sanggup lagi .... Lekas ... lekas lari saja!" demikian jawab Hiang Bun-thian dengan terputus-putus.
"Tidak, mati atau hidup kita tetap bersama, tidak nanti Lenghou Tiong meninggalkanmu untuk menyelamatkan diri sendiri," seru Lenghou Tiong.
Maka terdengarlah sorak gembira kawanan pengejar itu, "Hura! Hiang Bun-thian sudah terluka! Hiang Bun-thian sudah terkena bor terbang!"
Di tengah kabut tebal itu remang-remang kelihatan belasan sosok bayangan orang telah mendesak maju dan semakin mendekat. Pada saat itulah sekonyong-konyong Lenghou Tiong merasa serangkum angin keras melayang lewat di sisinya, terdengar Hiang Bun-thian bergelak tertawa, berbareng belasan orang di depannya beruntun-runtun roboh.
Kiranya tadi Hiang Bun-thian telah menangkap belasan buah hui-cui musuh dan pura-pura jatuh terluka untuk membikin lengah musuh lalu dengan cara "Boan-thian-hoa-uh" ia balas menaburkan hui-cui yang ditangkapnya itu.
Sebenarnya musuh pun tergolong jago kelas wahid yang berpengalaman dan mestinya tidak mudah masuk perangkapnya. Tapi pertama, mereka terganggu oleh kabut yang tebal. Kedua, suara Lenghou Tiong yang khawatir dan cemas tadi meyakinkan mereka bahwa Hiang Bun-thian benar-benar terluka, maka mereka menjadi tidak sangsi. Ketiga, mereka tidak menyangka bahwa Hiang Bun-thian juga mahir menaburkan senjata rahasia dengan cara "Boan-thian-hoa-uh", sebab itulah belasan orang yang maju paling depan itu kena dimakan semua oleh hui-cui yang berat itu.
Habis itu segera Hiang Bun-thian memondong Lenghou Tiong dan dibawa lari lagi.
"Adik cilik, hebat sekali jiwa setia kawanmu," pujinya terhadap sikap Lenghou Tiong yang tidak sudi melarikan diri tadi.
Biasanya Hiang Bun-thian tidak sembarangan memuji orang. Tapi sekarang pujian itu tercetus dari mulutnya, terang dia telah menganggap Lenghou Tiong sebagai teman yang paling karib.
Setelah lari dua-tiga li lagi, lambat laun musuh yang mengejar sudah mendekat lagi. Kembali terdengar suara mendesing-desing tiada hentinya. Tapi Hiang Bun-thian selalu dapat menghindarkan sambaran senjata rahasia itu dengan berkelit ke sana dan mengegos ke sini. Namun larinya menjadi semakin lambat juga.
Kira-kira berlari beberapa puluh meter lagi jauhnya, kembali ia menurunkan Lenghou Tiong katanya, "Biar aku pura-pura mati sekali lagi."
"Tentunya mereka sudah kapok, masakah mau masuk perangkapmu pula?" demikian Lenghou Tiong membatin, cuma tidak diucapkannya.
Tak terduga Hiang Bun-thian mendadak menggertak keras-keras satu kali dan terus menerjang ke tengah musuh. Terdengar suara gedebukan beberapa kali, lalu Hiang Bun-thian berlari balik, tapi punggungnya sudah memanggul satu orang.
Kedua tangan orang itu telah diringkus oleh rantai yang masih mengikat pergelangan tangannya, dalam keadaan demikian ia memanggul tawanannya itu. Habis itu ia memondong kembali Lenghou Tiong terus lari pula ke depan. Katanya dengan tertawa, "Sekarang kita sudah mempunyai tameng penadah senjata rahasia!"
Keruan tawanannya berteriak-teriak, "Jangan lepas senjata rahasia! Jangan main senjata rahasia!"
Namun pengejar-pengejar itu tidak menggubris, senjata rahasia masih terus menyambar tiba tanpa berhenti.
"Aduuh!" sekonyong-konyong orang itu menjerit. Rupanya punggungnya terkena sebuah am-gi atau senjata rahasia kawan sendiri.
Dengan memanggul tameng hidup dan memondong pula Lenghou Tiong, Hiang Bun-thian masih dapat lari dengan sangat cepat.
Terdengar tawanan di punggung itu mencaci maki sekeras-kerasnya, "Ong It-jong, maknya disontik! Kau tidak pikirkan teman lagi, sudah tahu aku .... Aduh! Ini panah kecil, bangsat Yong Hu-yan, kau siluman rase ini, kau sengaja hendak membunuh aku ya?"
Begitulah orang itu sebentar menjerit dan lain saat mencaci maki, makin lama makin lemah suaranya sampai akhirnya satu kata pun tidak bersuara lagi.
"Haha, tameng hidup telah berubah menjadi tameng mati," kata Hiang Bun-thian dengan tertawa.
Karena tidak perlu khawatir lagi akan serangan am-gi musuh, dia terus lari dengan cepat. Setelah membelok dua pengkolan lagi, akhirnya ia berkata, "Sampailah sekarang!"
Ia menghela napas lega, lalu bergelak tertawa, tertawa gembira. Maklumlah cuma belasan li saja ia harus mencapai tempat yang aman ini, padahal keadaannya tadi sesungguhnya sangat berbahaya. Jika dia cuma sendirian tidak menjadi soal, tapi dia membawa Lenghou Tiong yang dianggapnya berjiwa kesatria, seorang pemuda yang belum pernah ditemuinya, maka apa pun juga ia harus menyelamatkannya. Dan dapatlah ia merasa lega karena sekarang mereka sudah mencapai tempat tujuannya.
Waktu Lenghou memandang ke depan, mau tak mau ia merasa khawatir. Kiranya di depan situ terbentang balok batu yang sempit yang menghubungkan tepi tebing sebelah sana dan di bawah adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya.
Balok batu itu hanya terlihat sepanjang tiga-empat meter saja, lebih ke sana lagi sudah tertutup oleh kabut awan yang tebal sehingga sukar diketahui di mana letak ujungnya.
"Adik cilik," kata Hiang Bun-thian dengan suara tertahan, "di tengah kabut tebal sana adalah jala tali besi melulu, kau jangan sembarangan jalan ke sana."
Lenghou Tiong mengiakan. Dalam hati ia tambah khawatir, "Balok batu yang sempit dan jurang yang dalam ini sudah luar biasa bahayanya disambung lagi dengan jala tali besi saja, dengan kekuatan sekarang jelas sukar melihat ke sana."
Dalam pada itu dari pinggang "tameng mati" Hiang Bun-thian telah melolos sebatang pedang dan diberikan kepada Lenghou Tiong, lalu "tameng" itu ditegakkan di depan sebagai aling-aling, rantai yang membelit di tangan "tameng mati" itu dilepaskan, kemudian dengan tameng itu ia menantikan datangnya musuh.
Hanya sebentar saja ia menunggu, rombongan pertama pengejar sudah tiba. Melihat keadaan setempat yang berbahaya dan tampaknya Hiang Bun-thian sudah siap tempur, seketika mereka tidak berani mendesak maju.
Tidak lama kemudian, musuh yang datang sudah semakin banyak, mereka menggerombol di tempat rada jauh dengan mencaci maki, menyusul segala macam am-gi lantas dihamburkan pula. Namun Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong bersembunyi di belakang "tameng" dengan aman, tiada satu pun senjata rahasia itu mengenai mereka.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekonyong-konyong seorang menggerung keras, suaranya menggeletar, seorang thauto (hwesio piara rambut) kasar memutar sebatang tongkat besar menerjang ke arah balok batu. Tongkatnya yang besar sedikitnya ratusan kati beratnya, begitu mendekat tongkat lantas menyerampang pinggang Hiang Bun-thian.
Tapi dengan mendak ke bawah tongkat itu menyambar lewat di atas kepala Hiang Bun-thian menyusul Hiang Bun-thian lantas mengayun rantainya untuk menyabet kaki lawan.
Rupanya thauto itu terlalu nafsu mengayun tongkatnya sehingga seketika sukar ditarik kembali untuk menangkis, terpaksa ia meloncat ke atas untuk menghindar.
Tak terduga rantai Hiang Bun-thian berputar dengan cepat terus membelit pergelangan kaki kanannya, berbareng disendal sehingga thauto itu tidak sanggup menguasai tubuhnya lagi dan terjerumus ke depan dan tanpa ampun lagi jatuh ke dalam jurang.
Dalam pada itu sekali sendal dan dikendurkan, rantai Hiang Bun-thian sudah terlepas dari kaki sasarannya. Yang terdengar hanya suara jerit ngeri thauto kasar itu berkumandang dari bawah jurang sehingga membuat orang mengirik, tanpa terasa kawannya sama mundur beberapa tindak seakan-akan takut dilempar ke dalam jurang oleh Hiang Bun-thian.
Setelah saling bertahan rada lama tiba-tiba ada dua orang tampil ke muka lagi. Seorang bersenjata sepasang tombak pendek dan yang lain adalah seorang hwesio pakai tongkat berujung tajam bentuk sabit. Kedua orang itu menerjang maju bersama, sepasang tombak pendek dari atas bawah terus menusuk muka dan perut Hiang Bun-thian, sebaliknya tongkat sabit si hwesio menyodok iga kirinya.
Tiga buah senjata itu cukup berat bobotnya disertai dengan tenaga dalam yang kuat pula maka serangan mereka boleh dikata sangat hebat. Rupanya mereka telah meninjau dengan baik keadaan tempat situ, serangan mereka akan memaksa Hiang Bun-thian mau tak mau harus melangkah ke samping serta menangkis dengan rantainya.
Benar juga, segera Hiang Bun-thian mengayun rantainya "trang-trang-trang" tiga kali senjata lawan itu terbentur minggir semua dengan memercikkan lelatu api. Terdengar sorak-sorai orang banyak menyaksikan pertarungan keras lawan keras itu.
Setelah senjata mereka terbentur minggir menyusul kedua orang itu lantas menyerang maju pula. "Trang-trang-trang", kembali empat buah senjata saling beradu. Laki-laki itu dan si hwesio tampak tergeliat, sebaliknya Hiang Bun-thian masih berdiri tegak kuat.
Tanpa memberi kesempatan bernapas kepada musuh, sambil menggertak rantai Hiang Bun-thian lantas menyabet pula, ketika kedua orang menangkis dengan senjata masing-masing, maka terdengar lagi suara mendering nyaring. Hwesio itu menyerang sekeras-kerasnya, tongkat sabitnya terlepas dari cekalan dan darah segar terpancur dari mulutnya. Sebaliknya laki-laki itu masih mengangkat kedua tombaknya menusuk ke arah Hiang Bun-thian.
Ternyata Hiang Bun-thian tidak berkelit juga tidak menghindar, ia berdiri tegak membiarkan tusukan itu, bahkan disambut dengan bergelak tertawa. Ketika kedua tombak musuh kira-kira belasan senti sebelum mengenai dadanya sekonyong-konyong tombak mendelong ke bawah menyertai jatuhnya kedua tombaknya, laki-laki itu pun roboh terkapar untuk tidak pernah bangun lagi. Nyata ia telah tergetar mati oleh tenaga Hiang Bun-thian tadi.
Keruan para pengejar yang berkumpul di sebelah sana saling pandang dengan ketakutan dan tiada seorang pun berani maju lagi.
"Adik cilik biar kita main tahan dengan mereka, boleh kau duduk mengaso saja," kata Hiang Bun-thian kepada Lenghou Tiong. Lalu ia sendiri duduk berpangku lutut dan memandang ke langit tanpa mengambil pusing terhadap kawanan musuh.
Sejenak kemudian mendadak seorang berseru lantang, "Iblis yang takabur, kau berani memandang enteng kesatria sejagat!"
Menyusul empat tojin tampak melangkah maju ke depan Hiang Bun-thian dengan menjinjing pedang. Tiba-tiba pedang mereka diacungkan serentak dan membentak, "Berdiri untuk bertempur!"
"Hehe, memangnya orang she Hiang bersalah apa terhadap Bu-tong-pay kalian?" jengek Hiang Bun-thian.
Rupanya tojin itu adalah jago Bu-tong-pay. Seorang di antaranya lantas menjawab, "Iblis jahat agama sesat membahayakan Bu-lim, kaum alim kita harus bangkit menumpasnya."
"Merdu sekali kata-kata iblis jahat agama sesat membahayakan Bu-lim dan harus dibasmi, jika begitu di belakang kalian ada lebih separuh anggota Mo-kau, kenapa kalian tidak menumpasnya?" jawab Hiang Bun-thian tertawa.
"Gembongnya harus ditumpas lebih dulu!" sahut tojin itu.
Hiang Bun-thian masih tetap duduk berpangku lutut dan menengadah ke langit, katanya pula dengan acuh tak acuh, "O, kiranya demikian. Benar, benar!"
Pada saat lain mendadak ia menggertak keras-keras sambil meloncat bangun, rantainya bagaikan ular hidup terus menyabet kaki keempat tojin itu.
Serangan mendadak itu datangnya terlalu cepat, untung keempat tojin itu adalah jago pilihan Bu-tong-pay, pada saat bahaya pedang tiga orang di antaranya lantas menegak ke samping untuk menahan sambaran rantai musuh. Tojin yang berdiri paling ujung sana segera balas menusuk dengan pedang ke leher Hiang Bun-thian.
Terdengar suara mendering nyaring, tiga batang pedang menyerang tiga kali lagi sehingga Hiang Bun-thian rada kerepotan. Kesempatan itu digunakan oleh ketiga tojin tadi untuk mundur mengganti pedang, lalu menerjang maju pula.
Ilmu pedang Bu-tong-pay memang terkenal "dengan halus melawan keras", semakin kuat musuhnya pertahanan mereka pun semakin tangguh. Kerja sama keempat pedang tojin itu menjadi seperti suatu barisan pedang yang rapat, pada waktu menyerang sasaran-sasaran yang mereka incar tidak pernah meninggalkan tempat mematikan di tubuh Hiang Bun-thian.
Sebaliknya ketika Hiang Bun-thian putar rantainya, terpaksa kedua tangannya harus bergerak semua sebab rantai itu mengikat pergelangan kedua tangannya, dalam keadaan demikian terang gerak-geriknya kurang leluasa dan kurang gesit. Maka lama-kelamaan bukan mustahil dia akan dikalahkan oleh pedang jago Bu-tong-pay yang lihai itu.
Setelah mengikuti sebentar pertarungan itu, dapat juga Lenghou Tiong melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu. Ia tidak tinggal diam, ia melangkah maju dari sisi kanan Hiang Bun-thian, pedang terus menusuk iga salah seorang tojin.
Serangan Lenghou Tiong itu dilakukan dengan aneh dan tak terduga sehingga sukar bagi tojin itu untuk menghindar, "sret", dengan tepat iganya tertusuk.
Tapi sekilas terlintas suatu pikiran dalam benak Lenghou Tiong, "Bu-tong-pay dihormati setiap orang Kangouw. Meski aku harus membantu Hiang-siansing, tapi juga jangan mencelakai jiwa tosu ini."
Maka ketika ujung pedang baru masuk ke dalam kulit lawan, dengan cepat ia hendak menarik kembali pedangnya.
Tojin itu keburu mengatupkan lengannya, ternyata dia tidak pikirkan sakit atau tidak, tapi pedang Lenghou Tiong itu dikempit sekuatnya. Maka waktu Lenghou Tiong menarik kembali pedangnya, tanpa ampun lagi iga dan lengan tojin itu tergores luka panjang.
Sedikit merandek itulah pedang tojin yang lain telah menyambar tiba dan tepat membentur pedang Lenghou Tiong. Tangan Lenghou Tiong terasa kesemutan, ia bermaksud melepaskan pedangnya, tapi lantas teringat sekali kehilangan senjata tentu keadaan tambah berbahaya. Maka sekuatnya ia genggam pedang, terasa suatu arus tenaga mengalir datang melalui pedang dan menyerang nadi jantung dengan keras.
Tosu pertama yang iganya tertusuk pedang itu mestinya lukanya tidak parah, tapi ketika dia mengempit pedang Lenghou Tiong tadi, lengannya tergores luka yang cukup dalam sehingga tulang lengan kelihatan, darah terus mancur dengan derasnya, dia sudah tidak mampu bertempur lagi. Adapun dua tojin yang lain saat itu sudah berada di belakang Lenghou Tiong dan sedang mengerubut Hiang Bun-thian dengan sengit.
Ilmu pedang kedua tojin itu sangat bagus dan dapat kerja sama dengan rapat. Setiap beberapa gebrakan selalu Hiang Bun-thian terdesak mundur selangkah, ketika belasan langkah mundur ke belakang, sementara itu mereka sudah hampir menghilang ke tengah kabut yang tebal. Tapi kedua tosu itu masih terus menyerang.
Tiba-tiba ada orang berteriak dari gerombolan para kesatria sana, "Awas, ke sana lagi adalah Tiat-soh-kio (Jembatan Tali Besi)!"
Akan tetapi sudah terlambat, baru tersebut nama "Tiat-soh-kio", berbareng terdengarlah jerit ngeri kedua tosu tadi, tubuh mereka menyelonong ke depan menghilang di tengah kabut. Agaknya tanpa kuasa lagi mereka kena diseret ke sana oleh Hiang Bun-thian. Jerit ngeri mereka makin menurun ke bawah dengan cepat dan dalam sekejap saja sudah tidak terdengar lagi
Hiang Bun-thian terbahak-bahak dan muncul kembali dari balik kabut tebal sana. Ketika dilihatnya Lenghou Tiong sedang sempoyongan hampir roboh, ia menjadi kaget.
Kiranya tojin Bu-tong-pay itu pun menyadari bahwa dalam hal kebagusan ilmu pedang sekali-kali dirinya bukan tandingan Lenghou Tiong, hal ini telah disaksikannya ketika pemuda itu berturut-turut melukai beberapa orang dengan Tokko-kiu-kiam yang lihai di gardu itu. Tapi ia pun dapat melihat akan kelemahan Lenghou Tiong, yaitu tenaga dalamnya sangat lemah. Sebab itulah di antara mereka berempat sebenarnya sudah ada sepakat akan berusaha mengadu lwekang bilamana terpaksa harus bertempur dengan Lenghou Tiong.
Begitulah maka ketika pedangnya menempel pedang Lenghou Tiong segera ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk menyerang. Jangankan tenaga dalam Lenghou Tiong sekarang sudah punah, biarpun dalam keadaan biasa juga latihannya memang masih cetek dan bukan tandingan jago Bu-tong-pay yang sudah terlatih berpuluh tahun lamanya itu.
Untung hawa murni dalam tubuhnya sangat penuh, meski tidak kuat balas menyerang namun untuk sementara juga tidak sampai tergetar binasa oleh lwekang musuh. Hanya saja hawa murni dalam tubuh itu tidak dapat dikuasai, darah juga bergolak dengan hebat maka sampai mata berkunang-kunang dan pikiran kacau.
Pada saat itulah tiba-tiba terasa "tay-cui-hiat" bagian punggung tersalur oleh suatu arus hawa panas, daya tekanan musuh lantas terasa ringan semangat Lenghou Tiong terbangkit, ia tahu Hiang Bun-thian sedang membantunya dengan lwekang yang tinggi.
Tapi segera dapat dirasakan bahwa tenaga dalam Hiang Bun-thian ini tidak terlalu kuat, juga bukan digunakan untuk melawan tenaga musuh, tapi jelas sedang menarik tenaga serangan musuh menuju ke bawah, dari lengan menuju ke pinggang, lalu menjulur ke bagian kaki terus lenyap ke bawah tanah.
Kejut dan girang pula Lenghou Tiong, selamanya tak terbayang olehnya bahwa di dalam ilmu lwekang ternyata ada semacam kepandaian yang aneh dan spesial begini, betapa pun besar kekuatan lwekang musuh dapat dipunahkan dengan menggunakan tenaga dalam yang ringan.
Rupanya tojin itu pun mengetahui gelagat tidak menguntungkan, mendadak ia membentak sambil melompat mundur, "Gip-sing-tay-hoat! Gip-sing-tay-hoat!"
Mendengar nama Gip-sing-tay-hoat" (Ilmu Iblis Pengisap Bintang) itu, seketika air muka orang banyak berubah ketakutan. Sebaliknya jago-jago yang berusia muda malah tidak begitu pusing terhadap ilmu yang disebut itu, hal itu bukannya mereka pemberani melainkan pada hakikatnya mereka tidak kenal apa itu "Gip-sing-tay-hoat" segala.
Hiang Bun-thian tertawa, katanya, "Ya, memang benar ini adalah Gip-sing-tay-hoat. Siapa yang berminat merasakannya boleh coba maju sini!"
Tiba-tiba Mo-kau-tianglo yang berikat pinggang warna kuning itu berkata dengan suara serak, "Agaknya Hiang-yusu telah bersekongkol dengan ... dengan Gip-sing-lokoay (Iblis Tua Pengisap Bintang), marilah kita pulang memberi lapor kepada Kaucu dan terserah keputusan beliau."
Bab 64. Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong Mengangkat Saudara
Para anggota Mo-kau mengiakan serentak, lalu putar tubuh dan melangkah pergi, jumlah mereka yang beberapa ratus orang itu seketika bubar separuh lebih.
Sedangkan orang-orang dari cing-pay itu tampak bisik-bisik saling berunding sejenak, lalu mereka pun membubarkan diri berturut-turut. Sampai akhirnya yang tinggal di situ hanya tinggal belasan orang saja. Terdengar seorang di antaranya berseru lantang, "Hiang-yusu dan Lenghou Tiong, kalian telah berkomplot dengan Gip-sing-lokoay, kalian telah kejeblos semakin dalam. Untuk selanjutnya kawan Bu-lim tidak perlu banyak pikir tentang cara layak untuk menghadapi kalian. Hal ini adalah akibat perbuatan kalian sendiri. Bila terjadi sesuatu nanti kalian jangan menyesal."
"Bilakah orang she Hiang pernah merasa menyesal terhadap segala apa yang pernah diperbuatnya?" sahut Hiang Bun-thian tertawa. "Padahal cara kalian beberapa ratus orang mengerubut kami berdua ini apakah terhitung cara yang layak" Hehe, sungguh menggelikan, sungguh menertawakan!"
Sejenak kemudian, ketika Hiang Bun-thian mendengarkan dengan cermat, ia tahu semua musuh benar-benar sudah pergi jauh. Dengan suara perlahan ia berkata kepada Lenghou Tiong, "Kawanan bangsat itu pasti akan kembali lagi. Hiang Bun-thian sudah lari satu kali bila lari lagi satu kali juga lari namanya, biarlah kita sembunyi saja sekalian. Adik cilik, bertiaraplah di punggungku!"
Melihat Hiang Bun-thian berkata dengan sungguh-sungguh, Lenghou Tiong juga tidak banyak tanya lagi, segera ia menurut dan menggandul di punggungnya. Tapi sekali ini bukan lagi Hiang Bun-thian membawanya lari sebaliknya terus berjongkok, sebelah kaki perlahan menjulur ke bawah jurang malah.
Selagi Lenghou Tiong terperanjat, dilihatnya Hiang Bun-thian telah mengayun rantainya dan tepat melilit pada suatu batang pohon yang tumbuh menonjol dari dinding karang. Setelah ditarik dan dicoba daya tahannya cukup kuat untuk menahan bobot orang, habis itu barulah perlahan Hiang Bun-thian melorot ke bawah sehingga tubuh mereka tergantung di tengah udara.
Sesudah Hiang Bun-thian mengayun tubuh beberapa kali dan menemukan tempat berpijak, kemudian tangan menyendal untuk melepaskan rantainya. Ketika rantai itu merosot ke bawah, pada saat itu pula kedua tangan Hiang Bun-thian sedikit menahan dinding batu sekadar memperlambat daya turun tubuhnya, dalam pada itu rantainya diayunkan ke samping untuk mencantol pada sepotong batu karang yang mencuat keluar, dengan demikian tubuh mereka berdua lantas melorot belasan meter lagi ke bawah.
Dengan cara begitulah seterusnya mereka melorot ke bawah jurang. Terkadang dinding karang itu tiada pepohonan, juga tiada batu karang yang mencuat, maka Hiang Bun-thian lantas menggunakan cara paling berbahaya, ia menempel di dinding karang dan membiarkan tubuhnya meluncur ke bawah sampai belasan meter jauhnya makin melorot makin cepat, tapi bila menemukan sedikit tempat yang bisa bertahan segera ia keluarkan ilmu saktinya entah dengan pukulan entah dengan depakan, untuk memperlambat daya turunnya itu.
Keruan Lenghou Tiong kebat-kebit dan khawatir, ia merasa cara melorot demikian benar-benar sangat berbahaya tidak kurang bahayanya daripada pertempuran sengit tadi.
Tapi dasarnya dia juga pemberani, ia pikir pengalaman yang aneh dan luar biasa ini kalau tidak menemukan orang kosen semacam Hiang Bun-thian betapa pun sukar dialaminya. Sebab itulah ketika kedua kaki Hiang Bun-thian sudah menginjak dasar jurang lamat-lamat ia menjadi kecewa malah mengapa jurang itu tidak beberapa ratus meter lebih dalam lagi.
Waktu dia menengadah, terlihat di atas awan putih belaka, balok batu itu sudah berwujud satu jalur hitam yang amat halus.
"Hiang-siansing ...." baru Lenghou Tiong hendak bicara mendadak Hiang Bun-thian mendekap mulutnya sambil menuding ke atas.
Segera Lenghou Tiong paham bahwa musuh yang telah pergi itu tentu datang kembali. Waktu ia memandang ke atas namun tiada satu bayangan pun tampak.
Hiang Bun-thian pasang kuping di dinding karang itu, selang sebentar baru berkata dengan tersenyum, "Kawanan mayat itu sekarang benar-benar sudah pergi semua."
"Mayat?" Lenghou Tiong menegas dengan heran.
"Ya, mayat," sahut Hiang Bun-thian. "Dalam waktu tiga tahun ke-678 orang itu akan menjadi mayat semua. Hm, selama hidup hanya Thian-ong Locu Hiang Bun-thian yang menguber orang dan tidak pernah dikejar orang, tapi sekali ini Locu telah melanggar kebiasaan itu, jika aku tidak membunuh mereka satu demi satu ke mana lagi mukaku ini harus ditaruh" Baik orang cing-pay maupun anggota Mo-kau yang ikut mengepung di sekitar gardu itu berjumlah 709 orang, kita sudah membunuh 31 orang sisanya masih 678 orang."
"Betul 678 orang" Cara bagaimana engkau bisa mengenal mereka dengan jelas?" tanya Lenghou Tiong. "Dan dalam tiga tahun masakah engkau dapat membunuh orang sebanyak itu?"
"Apa susahnya?" jawab Hiang Bun-thian. "Asal aku bekuk kepalanya masakah buntutnya takkan terpegang" Di antara 678 orang itu sekarang kuingat betul 532 orang di antaranya, sisanya seratus lebih kelak tentu dapat kucari."
Sungguh tidak kepalang heran Lenghou Tiong. Ketika di gardu itu tampaknya Hiang Bun-thian hanya acuh tak acuh saja, tapi setiap musuh ternyata sudah diingatnya dengan baik. Jelas bukan saja ilmu silatnya luar biasa, bahkan daya ingatnya juga lain daripada yang lain.
"Hiang-siansing," kata Lenghou Tiong kemudian, "dalam tiga tahun engkau akan membunuh orang sebanyak itu, apakah perbuatan demikian tidak terlalu kejam" Seorang diri engkau telah membunuh beberapa puluh di antara mereka, nama kebesaranmu tentu sudah berkumandang ke seluruh dunia. Kukira orang-orang begitu tidak perlu dipikir lagi."
"Hm, untung kau membantu aku, kalau tidak saat ini Hiang Bun-thian sudah dicacah mereka hingga hancur luluh. Bila sakit hati ini tidak kubalas, cara bagaimana aku dapat menjadi manusia lagi?"
Sampai di sini ia melototi Lenghou Tiong sejenak, lalu menyambung pula, "Kau adalah murid golongan cing-pay, sebaliknya orang she Hiang adalah iblis sia-pay, kita tidak sama golongan. Kau telah menolong jiwaku, budi ini tentu saja kuingat dengan baik. Tapi kalau kau lantas hendak menyuruh aku jangan begini dan jangan begitu, hm, tidak nanti aku mau menurut. Pendek kata ke-678 orang itu tetap harus kubunuh."
Lenghou Tiong bergerak tertawa katanya, "Hiang-siansing, hanya secara kebetulan saja aku bertemu denganmu dan bersama melabrak kawanan pengeroyok itu, jika aku tidak sampai mati saja sudah untung masakah Hiang-siansing bilang aku menolong jiwamu segala" Hah, benar-benar ... benar-benar ...."
"Benar-benar ngaco-belo bukan?" sambung Hiang Bun-thian.
"Wanpwe tidak berani menganggap menolong jiwamu inilah yang tidak tepat."
"Apa yang pernah dikatakan orang she Hiang selamanya tak pernah kujilat kembali. Sekali aku mengatakan kau telah menolong jiwaku maka tetap aku utang budi padamu."
Lenghou Tiong tahu tabiat Hiang Bun-thian sangat kepala batu maka ia hanya tertawa saja tanpa mendebatnya pula.
"Apakah kau tahu sebab apa kawanan anjing itu sudah pergi lalu datang kembali?" tanya Hiang Bun-thian.
"Wanpwe justru ingin mohon keterangan," sahut Lenghou Tiong.
"Ah, kau selalu sebut wanpwe, cianpwe, siansing apa segala, aku merasa bosan," ujar Hiang Bun-thian. "Aku adalah Kong-beng-sucia dari Mo-kau, orang seagama sama memanggil aku Hiang-yusu. Tapi kau bukan anggota Mo-kau kami maka tidak dapat memanggil demikian padaku. Sudahlah kau panggil aku Hiang-heng (kakak) saja dan aku panggil adik padamu."
"Ah, Wanpwe tidak berani," sahut Lenghou Tiong.
"Kembali Wanpwe lagi," bentak Hiang Bun-thian dengan gusar. "Baiklah, tentu kau pandang hina padaku lantaran aku adalah orang Mo-kau. Kau telah menyelamatkan jiwaku padahal jiwaku ini bukan soal bagiku. Sebaliknya kau menghina aku, untuk ini marilah kita coba berkelahi dulu."
"Berkelahi sih tidak perlu, jika Hiang-heng suka ya Siaute akan menurut saja memanggil demikian padamu," jawab Lenghou Tiong.
Diam-diam ia berpikir dengan Dian Pek-kong saja yang merupakan penjahat besar juga pernah mengikat persahabatan karib apa artinya sekarang jika bertambah seorang Hiang Bun-thian" Lagi pula orang ini sangat gagah perwira boleh dikata seorang jantan sejati, justru tokoh demikianlah yang paling kusukai.
Karena itu segera ia memberi hormat, katanya "Hiang-heng, terimalah hormat adik ini."
"Hahahaha!" Hiang Bun-thian tertawa. "Di seluruh dunia hanya dikau seorang saja yang berkakak-adik denganku. Nah, ingatlah dengan baik adikku!"
Biasanya kalau dua orang mengangkat saudara, maka sedikitnya harus bersumpah dan mengadakan sedikit upacara. Tapi dasar mereka berdua memang orang yang tidak kenal ikatan adat segala. Yang penting mereka merasa cocok satu sama yang lain, sekali bilang saudara, maka jadilah saudara.
Sejak kecil Hiang Bun-thian sudah biasa pergi-datang sendirian dengan bebas, sekarang dia mengangkat seorang adik, sudah tentu hatinya sangat gembira. Katanya kemudian, "Sayang di sini tidak ada arak, kalau ada entah betapa puasnya bila kita minum sepuluh atau seratus cawan."
"Benar," sahut Lenghou Tiong. "Saat ini kerongkongan adik sudah merasa gatal. Sekali kakak menyebut arak aku tambah mengiler lagi."
"Kawanan kura-kura itu belum terlalu jauh perginya, rasanya kita terpaksa harus mengeram di sini untuk dua-tiga hari lagi," kata Hiang Bun-thian sambil menuding ke atas. "Adik cilik, ketika si hidung kerbau (istilah olok-olok kaum tosu) itu menyerangmu dengan lwekang, aku pun membantu dengan tenaga dalam, apa yang kau rasakan tatkala itu?"
"Rasanya kakak seperti menarik tenaga tojin itu ke bawah," sahut Lenghou Tiong.
"Tepat," seru Hiang Bun-thian dengan senang sambil tepuk paha. "Agaknya kau memang sangat cerdas. Kepandaianku ini adalah ciptaanku sendiri secara tidak sengaja dan tiada seorang Bu-lim pun yang mengetahui. Aku telah memberi nama ilmuku ini sebagai "Gip-kang-cip-te-siau-hoat" (Ilmu Kecil Mengisap Tenaga ke Dalam Tanah).
"Sebenarnya kepandaianku ini laksana si kerdil dibandingkan raksasa jika diukur dengan "Gip-sing-tay-hoat" (Ilmu Besar Pengisap Bintang) yang sangat ditakuti oleh setiap orang Bu-lim itu," tutur Hiang Bun-thian pula. "Sebab itulah aku memberi nama "siau-hoat" (ilmu kecil) saja. Kepandaianku ini sebenarnya cuma permainan akal saja, dengan cara menarik tenaga lawan dan disalurkan ke dalam tanah supaya tenaga musuh itu tidak mampu mencelakai kita. Tapi hasilnya juga tiada manfaatnya bagi kita sendiri. Pula ilmu ini hanya dapat digunakan tatkala musuh menyerang dan tidak dapat digunakan untuk menyerang musuh.
"Soalnya ketika musuh merasakan tenaga dalam yang dia kerahkan merembes keluar dan lenyap, tentu saja dia kaget dan takut. Tapi selang tidak lama tenaganya juga akan pulih kembali. Dari itu kuduga sesudah hidung kerbau Bu-tong-pay itu pulih tenaganya, segera ia akan mengetahui bahwa kepandaianku mengisap tenaganya itu cuma permainan menggertak belaka dan tidak perlu ditakuti sebenarnya. Biasa kakakmu ini tidak menyukai permainan akal-akalan dan menipu, sebab itulah sebelumnya tidak pernah kugunakan."
"Thian-ong Locu biasanya tidak kenal lari, selamanya tidak pernah menipu orang, tapi kini demi menyelamatkan Siaute, kedua kebiasaan itu terlanggar semua," ujar Lenghou Tiong tertawa.
"Hehe, juga belum tentu bahwa selamanya aku tidak menipu orang," ujar Hiang Bun-thian tertawa. "Cuma terhadap keroco seperti Siong-ti dari Bu-tong-pay itu rasanya kakakmu tidak sudi untuk menipunya."
Dia merandek sejenak lalu, katanya lagi dengan tertawa, "Kau sendiri harus hati-hati adik cilik, bisa jadi pada suatu ketika kakak akan menipumu."
Begitulah kedua orang lantas bergelak tertawa. Cuma khawatir didengar oleh musuh di atas, maka mereka menahan suara mereka selirihnya.
Sementara itu mereka merasakan perut sudah sangat lapar, di dasar lembah itu hanya penuh rumput dan lumut belaka, lain tidak ada. Terpaksa mereka duduk bersandar batu dan pejamkan mata mengumpulkan semangat.
Lenghou Tiong sudah teramat lelah, maka tidak lama kemudian ia sudah terpulas. Dalam mimpinya tiba-tiba melihat Ing-ing, membawa tiga ekor kodok panggang dan diserahkan padanya sambil menyapa, "Apakah kau telah lupa padaku?"
"Tidak, tidak lupa," seru Lenghou Tiong. "Kau ... kau hendak ke mana?"
Baru selesai ucapannya, mendadak bayangan Ing-ing sudah menghilang. Ia berteriak-teriak lagi, "Jangan pergi, engkau jangan pergi! Aku ingin bicara padamu!"
Tapi ia telah dipapak oleh macam-macam senjata, ia menjerit kaget dan terjaga bangun. Terdengar suara Hiang Bun-thian sedang bicara dengan tertawa, "Kau mimpi ketemu kekasihmu bukan" Banyak sekali yang hendak kau bicarakan padanya?"
Muka Lenghou Tiong menjadi merah, ia tidak tahu igauan apa yang telah didengarnya oleh Hiang Bun-thian dalam mimpinya tadi.
"Adik cilik, kau hendak mencari kekasihmu paling tidak kau harus menyembuhkan dahulu penyakitmu," kata Hiang Bun-thian.
"Aku ... aku tidak punya kekasih," sahut Lenghou Tiong. "Pula penyakitku ini terang tak bisa disembuhkan."
"Aku telah utang jiwa padamu, meski sudah angkat saudara betapa pun aku tetap merasa tidak enak dan harus kubayar kembali satu jiwa padamu. Aku akan membawamu ke suatu tempat dan tentu akan dapat menyembuhkan penyakitmu."
Walaupun Lenghou Tiong sudah tidak memikirkan mati-hidup sendiri tapi soalnya memang tidak berdaya sehingga terpaksa pasrah nasib. Dari dulu hingga sekarang kecuali orang yang memang ingin bunuh diri kalau tidak asalkan ada harapan untuk hidup setiap orang juga pasti akan berusaha sebisanya untuk mempertahankan hidupnya. Sekarang didengarnya Hiang Bun-thian menyatakan penyakitnya akan dapat disembuhkan, jika orang lain yang bilang mungkin sukar dipercaya.
Namun Hiang Bun-thian memang lain daripada yang lain, betapa tinggi ilmu silatnya kecuali Hong Jing-yang boleh dikata belum pernah dilihatnya selama hidup ini, apa yang dikatakan sudah tentu ada dasarnya, maka dari lubuk hati Lenghou Tiong seketika timbul sepercik harapan yang menggirangkan. Katanya, "Aku ... aku ...." tiba-tiba ia tidak sanggup meneruskan ucapannya.
Dalam pada itu bulan sabit telah mengintip di tengah cakrawala, sinarnya yang jernih memenuhi bumi, meski di dasar lembah itu rasanya masih seram, tapi dalam pandangan Lenghou Tiong sekarang laksana cahaya matahari yang menyilaukan mata.
"Marilah kita pergi mencari seorang," ajak Hiang Bun-thian. "Tabiat orang ini sangat aneh jangan sampai dia tahu akan urusan ini. Untuk itu, adik cilik, jika kau percaya padaku hendaknya segala apa kau serahkan saja padaku, kau sendiri tidak perlu ikut campur."
"Masakah aku tidak percaya?" sahut Lenghou Tiong. "Koko hendak berusaha menyembuhkan penyakitku hal ini sebenarnya tipis sekali harapannya. Jika bisa sembuh sudah tentu kita akan bersyukur tapi kalau tak bisa sembuh juga sudah dalam dugaan."
"Sialan, paha kuda-kuda itu ketinggalan di sana, sekarang ke mana harus mencari makanan," tiba-tiba Hiang Bun-thian berkata sambil menjilat-jilat bibir. "Sudahlah, terpaksa kita harus mencari jalan keluar dari sini. Aku akan coba mengubah dulu mukamu."
Lalu ia meraup segenggam tanah liat di dasar lembah itu dan dipoles muka Lenghou Tiong, kemudian ia mengusap dagu sendiri, di mana tiba tenaga saktinya seketika janggutnya rontok semua, habis itu kedua tangan lantas meremas-remas pula kepala sendiri, dalam sekejap saja seluruh rambutnya yang sudah beruban pun rontok bersih sehingga kepalanya menjadi gundul kelimis.
Melihat dalam waktu sekejap saja wajah Hiang Bun-thian sudah berubah begitu rupa, Lenghou Tiong merasa geli dan sangat kagum pula.
Lalu Hiang Bun-thian meraup segenggam lempung lagi untuk menambal hidung sendiri sehingga tambah besar, kedua pipi juga dibikin gemuk. Sekarang biarpun muka bertemu muka, kawan sendiri pun sukar mengenalnya lagi.
Begitulah mereka lantas mencari jalan untuk keluar dari lembah jurang itu. Hiang Bun-thian menyembunyikan kedua tangannya di dalam lengan baju yang longgar untuk menutupi rantai yang mengikat pergelangan tangannya. Asalkan tidak angkat tangan tentu tidak ada orang tahu bahwa si gundul gemuk inilah Thian-ong Locu Hiang Bun-thian yang gagah perkasa itu.
Setelah menyusur kian kemari di tengah lembah itu, sampai tengah hari mereka menemukan satu pohon tho di suatu tanjakan. Meski buah tho itu masih hijau dan rasanya masih sepat, tapi saking laparnya mereka pun tidak banyak pikir lagi, segera mereka lalap buah itu sekenyangnya.
Sesudah mengaso sebentar, kemudian mereka maju lagi ke depan. Menjelang petang, akhirnya Hiang Bun-thian berhasil menemukan suatu tempat keluar. Cuma untuk itu harus dilintasi dulu suatu dinding tebing yang curam dan beberapa puluh meter tingginya. Dengan menggendong Lenghou Tiong, dengan susah payah akhirnya mereka dapat memanjat ke atas.
Di atas tebing curam itu adalah sebuah jalan berlingkar dengan rumput alang-alang lebar di kanan kiri, walaupun suasana sangat sunyi tapi sudah jauh lebih aman daripada berada di dasar lembah yang curam itu.
Esok paginya mereka terus menuju ke jurusan timur. Sampai di suatu kota Hiang Bun-thian mengeluarkan satu biji emas dan suruh Lenghou Tiong pergi menukar uang perak di suatu perusahaan penukaran uang. Habis itu mereka mencari hotel untuk menginap.
Hiang Bun-thian pesan daharan dengan satu guci arak. Kedua orang lantas makan minum sepuasnya, akhirnya sama-sama mabuk. Sampai esok pagi sang surya sudah meninggi barulah mereka mendusin. Kedua orang saling pandang dengan tertawa, mereka merasa seperti hidup di dunia baru bila teringat kepada pertarungan sengit di tengah gardu beberapa hari yang lalu.
"Kau tunggu di sini, adik cilik, aku akan keluar sebentar," kata Hiang Bun-thian.
Katanya sebentar tapi sampai dua-tiga jam baru tampak dia pulang dengan membawa beberapa bungkus barang. Rantai di tangannya sudah lenyap, mungkin telah menyuruh pandai besi untuk menanggalkannya.
Waktu Hiang Bun-thian membuka bungkusannya, kiranya isinya adalah baju yang bagus-bagus dan mewah katanya, "Kita berdua harus menyamar sebagai saudagar besar, semakin royal tampaknya semakin baik."
Segera mereka berganti pakaian serbabaru gres. Waktu keluar hotel, pelayan sudah menyiapkan dua ekor kuda pilihan dengan pelana yang mengilap, terang itu pun Hiang Bun-thian yang membelinya.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda. Beberapa hari kemudian, Lenghou Tiong terlalu lelah menunggang kuda, Hiang Bun-thian lantas menyewa sebuah kereta besar baginya. Sampai di tepi Kanal Un-ho mereka lantas meninggalkan kereta dan berganti menumpang kapal menuju ke selatan.
Sepanjang jalan Hiang Bun-thian berlaku royal sekali, buang uang tanpa takaran seakan-akan biji emas yang dia bawa tidak habis-habis.
Sampai di wilayah Provinsi Kangsoh, sesudah melintasi Tiangkang, kota di sekitar lembah Un-ho tampak sangat makmur dan ramai. Pakaian yang dibeli Hiang Bun-thian juga semakin mewah. Lenghou Tiong tidak ambil pusing, ia menurut segala apa yang diatur Hiang Bun-thian.
Bila iseng mereka lantas mengobrol macam-macam kejadian menarik di dunia Kangouw. Agaknya Hiang Bun-thian memang sangat luas pengetahuannya, daya ingatnya juga luar biasa. Bukan saja tokoh-tokoh ternama dunia persilatan hampir semua diketahuinya, bahkan jago kelas dua seperti anak murid Hoa-san-pay sebangsa Lo Tek-nau, Si Cay-cu, dan lain-lain juga tahu, malahan betapa tinggi kepandaian mereka dan asal usulnya juga diketahuinya dengan baik. Keruan Lenghou Tiong terkesima kagum.
Suatu hari, mereka hampir sampai di Hangciu. Mereka lantas ganti perjalanan melalui darat. Mereka beli lagi dua ekor kuda dan masuk ke Kota Hangciu dengan menunggang kuda.
Hangciu pernah menjadi kota raja pada Dinasti Song Selatan dengan nama Lim-an dan memang suatu kota pelesir yang indah menarik, orang berlalu-lalang ramai, di mana-mana terdengar suara musik yang merdu.
Akhirnya Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong sampai di tepi Se-ouw (Danau Barat) yang terkenal sangat indah pemandangannya. Air danau itu tampak tenang jernih laksana cermin, pohon liu tumbuh lebat melambai hampir menyentuh air danau, sungguh seakan-akan berada di surgaloka rasanya.
Lenghou Tiong berkata dengan gegetun, "Orang sering mengatakan bahwa di langit ada surga, di bumi ada Kota Sohciu dan Hangciu. Belum pernah kukenal kedua kota ini dan entah bagaimana tempatnya, tapi hari ini aku telah menikmati sendiri Se-ouw ini, ternyata pujian yang menyamakannya dengan surga memang bukan omong kosong belaka."
Hiang Bun-thian hanya tertawa. Ia larikan kudanya menuju suatu tempat. Tempat itu terbendung oleh suatu tanggul yang panjang di sebelah danau, suasananya tenang sunyi.
Mereka turun dari kuda dan menambat binatang tunggangan itu di batang pohon liu di tepi danau. Lalu berjalan mengikuti undak-undakan batu yang menuju ke atas bukit.
Hiang Bun-thian seperti sudah kenal baik tempat itu. Sesudah membelok beberapa tikungan, terlihat di depan penuh pohon bwe, hutan bwe itu tumbuh dengan subur. Dapat dibayangkan pemandangan tempat ini tentu sangat bagus tatkala bunga bwe mekar di musim semi.
Setelah menyusuri hutan bwe yang luas itu sampailah mereka di suatu jalan besar terbuat dari balok-balok batu hijau. Akhirnya mereka sampai di suatu kompleks perumahan yang berpagar tembok putih dan berpintu gerbang cat merah. Waktu dekat, terlihat di atas pintu gerbang itu tertulis dua huruf besar yang berbunyi, "Bwe-cheng" (Perkampungan Bwe). Di tepinya dibubuhi "Lu Un-bun".
Lenghou Tiong tidak banyak sekolah sehingga tidak tahu bahwa Lu Un-bun adalah seorang perwira berjasa pada zaman Song Selatan yang ikut melawan sebuah Kerajaan Chim. Yang ia rasakan hanya beberapa tulisan itu tampaknya rada indah dan kuat.
Hiang Bun-thian mendekati pintu yang terdapat dua buah gelang tembaga yang tergosok hingga mengilap, ia pegang gelangan tembaga itu dan baru saja hendak menggedor, tiba-tiba teringat sesuatu, ia menoleh dan membisiki Lenghou Tiong, "Segala apa menurut saja padaku."
Lenghou Tiong mengangguk, katanya di dalam hati, "Perkampungan ini terang adalah kediaman kaum saudagar besar Kota Hangciu ini, apakah mungkin penghuninya adalah seorang tabib sakti?"
Terdengar Hiang Bun-thian menggedor pintu empat kali dengan gelang tembaga tadi, ia berhenti sejenak, lalu mengetuk dua kali, berhenti lagi dan mengetuk lima kali pula, berhenti kemudian ketuk tiga kali, habis itu barulah ia melangkah mundur.
Selang tak lama, perlahan pintu terbuka dan muncul dua orang tua yang berdandan sebagai kaum hamba.
Melihat kedua orang itu, Lenghou Tiong terperanjat. Sinar mata kedua orang itu sangat tajam, pelipis mereka menonjol, langkahnya kuat, terang adalah dua jago silat yang memiliki lwekang tinggi, mengapa tokoh demikian mau menjadi kaum hamba yang rendah begini" Maka seorang di antaranya telah membungkuk tubuh dan menyapa. "Entah ada keperluan apakah kunjungan Tuan-tuan ke tempat kami ini?"
Segera Hiang Bun-thian menjawab, "Murid Ko-san dan Hoa-san ada sesuatu urusan mohon bertemu dengan Kanglam-si-yu (Empat Sekawan dari Kanglam), keempat Locianpwe."
"Majikan selamanya tidak terima tamu," sahut orang tua tadi. Habis itu ia bermaksud menutup kembali pintunya.
Cepat Hiang Bun-thian mengeluarkan sesuatu dan dibentang. Kembali Lenghou Tiong terkejut. Ternyata benda yang dibentang Hiang Bun-thian itu adalah sebuah panji pancawarna, di atasnya banyak terhias mutiara mestika dan batu permata.
Dahulu Lenghou Tiong pernah melihat panji lima warna itu di rumah Lau Cing-hong di Kota Heng-san, diketahuinya panji ini adalah panji kebesaran Co-bengcu, ketua Ko-san-pay yang menjabat pula ketua serikat Ngo-gak-kiam-pay. Di mana panji pancawarna ini ditunjukkan laksana Co-bengcu sendiri yang datang, setiap orang dari Ngo-gak-kiam-pay harus tunduk kepada perintah orang yang membawa panji kebesaran itu.
Lamat-lamat Lenghou Tiong merasa urusan rada ganjil, ia dapat menduga cara Hiang Bun-thian memperoleh panji itu pasti tidak beres, bukan mustahil dirampasnya dari tokoh Ko-san-pay dengan kekerasan, sekarang dia sendiri mengaku sebagai murid Ko-san-pay, entah apa maksud tujuannya" Cuma dirinya tadi sudah berjanji akan menurut segala apa yang diatur oleh Hiang Bun-thian maka terpaksa ia diam saja menantikan perkembangan selanjutnya.
Rada berubah juga air muka kedua orang tua itu demi melihat panji lima warna, kata mereka berbareng, "Panji kebesaran Co-bengcu dari Ko-san-pay."
"Benar," sahut Hiang Bun-thian.
Segera orang tua yang kedua berkata, "Selamanya Kanglam-si-yu tiada hubungan dengan Ngo-gak-kiam-pay, biarpun Co-bengcu sendiri yang datang juga majikan kami belum tentu mau ... belum tentu mau, hehe ...."
Ia tidak meneruskan ucapannya, tapi jelas maksudnya bahwa sekalipun Co-bengcu datang sendiri juga majikannya belum tentu mau menerimanya. Hanya saja Co-bengcu dari Ko-san-pay memang tinggi kedudukannya dan namanya disegani, maka hamba tua itu tidak berani sembarangan mengolok-olok. Namun jelas di balik kata-katanya tadi ia anggap kedudukan "Kanglam-si-yu" masih jauh lebih tinggi daripada Co-bengcu.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Macam apakah tokoh "Kanglam-si-yu" itu" Jika begitu hebat pengaruhnya di dunia persilatan mengapa selamanya suhu dan sunio tidak pernah bercerita tentang mereka" Selama aku berkelana di Kangouw juga belum pernah kudengar adanya orang kosen angkatan tua yang bernama "Kanglam-si-yu" segala."
Dalam pada itu Hiang Bun-thian hanya tersenyum saja, ia gulung kembali panji pancawarna itu dan disimpan ke dalam baju. Lalu katanya, "Panji Co-sutit ini bukan untuk dipakai menakuti orang. Padahal tokoh macam apakah Kanglam-si-yu keempat Cianpwe, rasanya panji ini pun tak dipandang sebelah mata ...."
"Aneh, mengapa kau sebut "Co-sutit" (murid keponakan Co)" Jadi kau sengaja memalsukan dirimu sebagai paman guru Co-bengcu. Wah, semakin tidak beres ini," demikian Lenghou Tiong menimbang di dalam hati.
Terdengar Hiang Bun-thian sedang melanjutkan, "Cuma aku sendiri selama ini tidak punya jodoh untuk menjumpai Kanglam keempat Cianpwe, maka panji yang kubawa ini hanya sekadar sebagai tanda pengenal saja, lain tidak."
"Oo," kedua hamba tua itu sama bersuara. Nada ucapan Hiang Bun-thian itu telah menjunjung sangat tinggi kedudukan Kanglam-si-yu, maka air muka mereka segera berubah ramah.
"Jadi Tuan ini adalah Susiok Co-bengcu?" seorang di antaranya menegas.
Kembali Hiang Bun-thian tertawa, jawabnya, "Benar, Cayhe adalah bu-beng-siau-cut (orang tak terkenal, keroco) di dunia persilatan sudah tentu kalian berdua tidak kenal diriku. Tapi tentang dahulu Ting-heng sekali pukul merobohkan Ki-lian-si-pa (Empat Gembong Pegunungan Ki-lian) dan Si-heng menolong anak piatu di daerah Oupak dengan sebilah golok Ci-kim-to telah membikin kocar-kacir 13 benggolan Jing-liong-pay (Gerombolan Naga). Kejadian-kejadian yang mengagumkan itu sampai sekarang Cayhe masih ingat semua"
Kedua orang tua berdandan sebagai kaum hamba itu memang seorang she Ting dan yang lain she Si. Sebelum mengasingkan diri di Bwe-cheng mereka terhitung tokoh setengah baik dan setengah jahat yang disegani dunia persilatan.
Mereka mempunyai sifat yang sama yaitu sehabis berbuat sesuatu jarang sekali meninggalkan nama, sebab itulah meski ilmu silat mereka sangat tinggi tapi nama mereka sedikit dikenal. Kedua peristiwa yang disebut Hiang Bun-thian tadi justru adalah perbuatan yang membanggakan bagi mereka. Dengan sendirinya air muka mereka menampilkan perasaan senang atas pujian Hiang Bun-thian.
Orang she Ting itu bernama Kian, dengan tersenyum ia berkata, "Ah, hanya urusan kecil saja buat apa mesti diungkat-ungkat. Pengetahuan Tuan tampaknya luas sekali."
"Di dunia persilatan tidak sedikit manusia yang punya nama kosong, sebaliknya jago-jago yang memiliki kepandaian sejati justru tidak suka namanya tersiar meski telah berbuat sesuatu yang mulia, hal inilah yang harus dipuji," demikian kata Hiang Bun-thian. "Cayhe sudah lama mengagumi "It-ji-tian-kiam" (Pedang Kilat Satu Garis) Ting-toako dan "Pat-hong-hong-uh" (Hujan Angin dari Delapan Penjuru) Si-jiko. Maka pada waktu kudengar Co-sutit ada urusan yang harus dimintakan nasihat dari Kanglam-si-yu, meski aku sudah lama mengasingkan diri, tapi segera aku mengajukan diri untuk menyanggupi perjalanan ke sini, sebab kupikir sekalipun Kanglam-si-yu belum tentu dapat ditemui, namun sudah cukup kiranya bilamana dapat berkenalan dengan Ting-toako dan Si-jiko berdua. Menurut Co-sutit, jika dia datang sendiri mungkin sekali keempat Cianpwe tidak sudi menerimanya, sebab paling akhir ini namanya terlalu gempar di dunia Kangouw, ia khawatir para Cianpwe akan memandang hina padanya, sebaliknya Cayhe jarang keluar dan mungkin tidak sampai menjemukan para Cianpwe. Hahahaha!"
Mendengar Hiang Bun-thian mengumpak Kanglam-si-yu dan mereka berdua juga ikut dipuji tentu saja Ting Kian dan Si Leng-wi sangat senang dan ikut tertawa. Diam-diam di dalam hati Si Leng-wi sudah ambil keputusan akan melaporkan pada majikannya atas kedatangan Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong.
Bab 65. Kanglam-si-yu " Empat Sekawan dari Kanglam
Karena merasa senang, diam-diam Si Leng-wi sudah ambil keputusan akan menyampaikan maksud kedatangan tamunya kepada sang majikan. Ia berpaling dan berkata kepada Lenghou Tiong, "Dan Tuan ini murid dari Hoa-san-pay?"
Cepat Hiang Bun-thian mendahului menjawab, "Saudara Hong ini adalah susiok Gak Put-kun, ketua Hoa-san-pay sekarang."
Mendengar sembarangan omong Hiang Bun-thian itu sejak tadi Lenghou Tiong sudah menduga dirinya tentu juga akan diberi suatu nama palsu, cuma sama sekali tak terduga bahwa dirinya akan dikatakan sebagai susiok gurunya yang dicintainya itu. Biarpun dalam setiap urusan Lenghou Tiong suka memandang enteng, tapi sekarang dia disuruh menyamar sebagai angkatan tua dari gurunya, hal ini membuatnya tidak enak hati.
Ting Kian dan Si Leng-wi telah saling pandang sekejap dengan rasa curiga, mereka melihat usia Lenghou Tiong besar kemungkinan baru 40-an, mana mungkin menjadi paman gurunya Gak Put-kun"
Tapi cepat Hiang Bun-thian menambahkan pula, "Umur Hong-hiante ini memang lebih muda daripada Gak Put-kun, tapi dia adalah ahli waris satu-satunya dari ilmu pedang tunggal Hong Jing-yang Susiok."
Ting Kian sampai bersuara kaget. Sebagai seorang ahli pedang pula ia menjadi getol mendengar Lenghou Tiong juga mahir ilmu pedang. Cuma ia masih ragu-ragu apakah orang yang berwajah kuning sembap seperti orang sakit beri-beri ini benar-benar mahir ilmu pedang" Ia pun tidak jelas apakah di antara angkatan tua Hoa-san-pay adalah seorang yang bernama Hong Jing-yang, lebih-lebih ia tidak tahu sampai ilmu pedang kebanggaan Hong Jing-yang itu.
Ia coba berpaling kepada kawannya dan terlihat Si Leng-wi manggut-manggut padanya, maka ia lantas berkata, "Dan entah nama Tuan sendiri siapa?"
"Cayhe she Tong, bernama Hoa-kim," sahut Hiang Bun-thian. "Adapun saudara Hong ini bernama Ji-tiong."
"O, sudah lama kagum, sudah lama kagum!" kata Ting Kian dan Si Leng-wi sambil mengepal tangan mereka sebagai tanda hormat.
Diam-diam Hiang Bun-thian merasa geli. Ia mengaku bernama Tong Hoa-kim, yang benar-benar adalah "tong-hoa-kim", artinya loyang menjadi emas, jelasnya adalah barang palsu. Adapun nama "Ji-tiong" adalah pecahan dari nama Tiong. Hakikatnya di dunia persilatan tidak pernah terdapat dua tokoh bernama demikian, tapi Ting Kian berdua toh menyatakan "sudah lama kagum", entah sedari kapan mereka mulai kagum" Sungguh menggelikan!
Maka Ting Kian lantas berkata pula, "Silakan Tuan-tuan masuk dan minum, segera Cayhe akan melaporkan kepada majikan, soal Tuan-tuan akan ditemui tidak sukarlah untuk dipastikan."
Dengan tertawa Hiang Bun-thian menjawab, "Kalian berdua dan Kanglam-si-yu meski mengaku sebagai majikan dan hamba, tapi hubungan kalian seperti saudara sendiri. Rasanya keempat Cianpwe tak dapat tidak mesti memberi muka kepada Ting-ya berdua."
Ting Kian tersenyum senang dan berdiri ke pinggir. Segera Hiang Bun-thian melangkah masuk ke dalam diikuti Lenghou Tiong.
Sesudah menyusuri sebuah pekarangan dalam yang kedua tepinya tumbuh dua pohon bwe tua dengan dahan-dahannya yang kukuh kuat, sampai di ruang dalam Si Leng-wi menyilakan duduk kedua tamunya, ia sendiri berdiri menemani, Ting Kian yang masuk ke dalam untuk melapor.
Melihat Si Leng-wi berdiri dan dirinya sendiri berduduk, Hiang Bun-thian merasa rikuh. Namun Si Leng-wi adalah kaum hamba di Bwe-cheng (Perkampungan Bwe) ini sehingga tidak pantas menyuruhnya ikut duduk.
Untuk menghilangkan keadaan yang kikuk itu, segera Hiang Bun-thian berbangkit dan berkata kepada Lenghou Tiong, "Hong-hiante, coba lihat lukisan ini, biarpun cuma beberapa goresan saja, tapi tampak teramat kuat goresannya."
Sembari berkata ia terus mendekati sebuah lukisan yang tergantung di dinding tengah sana.
Selama berkumpul beberapa hari meski Lenghou Tiong sudah tahu Hiang Bun-thian yang pintar dan cerdik, tapi dalam hal kesusastraan dan seni lukis segala jelas bukan menjadi keahlian Bun-thian. Kalau sekarang mendadak ia memuji lukisan itu tentu ada maksudnya yang mendalam. Maka Lenghou Tiong lantas mengiakan serta ikut mendekati lukisan itu.
Dilihatnya lukisan itu melukiskan punggung seorang dewa dengan warna yang serasi dan goresan yang kuat. Biarpun Lenghou Tiong tidak paham seni lukis juga dapat menikmati lukisan yang bagus itu. Terlihat lukisan itu ditandai pelukisnya dengan kata-kata: "Tan-jing-sing, lukisan sesudah mabuk." Goresan pensil huruf-huruf itu pun sangat kuat dan tajam.
"Tong-heng, sekali melihat huruf "mabuk" di atas lukisan ini aku menjadi sangat senang," demikian Lenghou Tiong berkata. "Kulihat beberapa huruf ini seakan-akan mencakup satu seri permainan ilmu pedang yang sangat tinggi."
Pendekar Gelandangan 8 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Pendekar Sadis 22
Hiang Bun-thian tidak menjawab, ia hanya menjengek sambil angkat cawan arak dan diminum seceguk. Berbareng itu terdengarlah suara gemerencingnya logam.
Lenghou Tiong dapat melihat jelas di antara kedua tangan orang tua itu ternyata terikat oleh seutas rantai besi. Keruan ia sangat heran, "Kiranya dia baru melarikan diri dari kurungan sehingga rantai tangannya belum sempat dihilangkan."
Seketika rasa simpatinya timbul lebih meluap, pikirnya, "Orang tua ini sudah tidak mampu melawan, biarlah aku membantu dia menahan musuh-musuhnya dan masa bodoh jiwaku jika mesti melayang di sini."
Dengan ketetapan pikiran itu segera ia berdiri, sambil bertolak pinggang ia berseru lantang, "Hiang-locianpwe ini masih terantai, mana dia bisa bertempur dengan kalian" Aku sudah minum tiga cawan araknya yang enak, apa boleh buat terpaksa aku membantu dia melawan musuh-musuhnya. Nah, siapa saja yang mengganggu orang she Hiang harus membunuh dulu Lenghou Tiong ini!"
Melihat kelakuan Lenghou Tiong yang angin-anginan dan seperti orang sinting itu, tanpa sebab terus tampil ke muka untuk membelanya, keruan Hiang Bun-thian sangat heran dan tertarik, dengan suara perlahan ia tanya, "Nak, kenapa kau membantu aku?"
"Melihat ketidakadilan angkat golok membantu," sahut Lenghou Tiong singkat.
"Mana golokmu?" ujar Hiang Bun-thian.
"Aku memakai pedang," jawab Lenghou Tiong. "Cuma sayang tidak ada pedang."
"Bagaimana ilmu pedangmu?" tanya Hiang Bun-thian. "Kau adalah murid Hoa-san-pay, kukira ilmu pedangmu juga cuma begitu-begitu saja."
"Memang cuma begitu-begitu saja, apalagi sekarang aku terluka dalam, tenaga sudah punah, lebih-lebih tak keruan lagi," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Kau ini benar-benar aneh," ujar Hiang Bun-thian. "Tapi baiklah, akan kucarikan sebilah pedang bagimu."
Mendadak bayangan putih berkelebat, tahu-tahu Hiang Bun-thian sudah menerjang ke tengah-tengah kerumunan orang itu. Dalam sekejap tertampaklah sinar senjata yang menyilaukan mata, berpuluh macam senjata memapak kedatangannya, tahu-tahu Hiang Bun-thian menyusup ke samping dan menubruk ke arah si tosu dari Thay-san-pay tadi.
Kontan pedang si tosu menusuk, tapi Hiang Bun-thian berkelit ke belakangnya, sikut kiri terus menyodok, "bluk", dengan tepat punggung si tosu kena disodok. Waktu tangan Hiang Bun-thian terangkat, pedang si tosu kena dibelit oleh rantainya berbareng kaki lantas menggenjot, seperti anak panah terlepas dari busurnya ia melayang kembali ke dalam gardu tadi.
Beberapa gerakan itu terjadi dengan cepat luar biasa, baru saja para jago cing-pay berniat mengejar, namun sudah terlambat. Seorang laki-laki paling cepat memburunya, ia sempat menyusul sampai dua-tiga meter di luar gardu, goloknya diangkat terus membacok.
Namun punggung Hiang Bun-thian seolah-olah ada matanya, tanpa menoleh sebelah kakinya terus mendepak ke belakang, dengan telak dada penyerang itu kena didepak. Orang itu menjerit dan mencelat, saking keras goloknya tadi membacok sehingga sebelah kaki sendiri sampai terkutung oleh senjatanya sendiri.
Sedangkan tosu Thay-san-pay tadi seperti orang mabuk arak, ia terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terkapar, darah segar tiada hentinya mengucur keluar dari mulutnya.
Pada saat itulah terdengar anggota Mo-kau sama bersorak gemuruh, berpuluh orang sama berteriak, "Hebat benar kepandaian Hiang-yusu."
Hiang Bun-thian tampak tersenyum, ia angkat kedua tangannya sebagai tanda terima kasih atas pujian anggota-anggota Mo-kau itu. Waktu ia ayun tangannya, "cret", pedang yang terbelit di rantainya itu menancap di atas meja.
"Nah, pakailah?" katanya.
Alangkah kagum Lenghou Tiong, katanya di dalam hati, "Orang ini menerjang musuh seakan-akan memasuki daerah tak berpenduduk, ternyata dia memiliki kepandaian yang benar-benar luar biasa."
Ia tidak mencabut pedang yang menancap di atas meja itu, tapi katanya, "Ilmu silat Hiang-locianpwe sedemikian hebat, rasanya Wanpwe tidak perlu ikut-ikut lagi."
Lalu ia memberi salam hormat dan berkata pula, "Aku mohon diri saja."
Tapi sebelum Hiang Bun-thian bersuara, sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, tiga batang pedang tahu-tahu menyambar ke dalam gardu. Kiranya adalah murid Jing-sia-pay, Kau Jin-hong bertiga telah menyerang berbareng.
Ketiga pedang itu semuanya mengancam tubuh Lenghou Tiong, yang satu mengarah punggungnya dan yang dua menusuk kanan kiri pinggang bagian belakang. Jaraknya tidak lebih dari belasan senti saja.
"Berlututlah Lenghou Tiong!" bentak Kau Jin-hong, berbareng itu ujung pedangnya terus mendesak maju sehingga menempel kulit daging Lenghou Tiong.
"Biarpun mati juga tidak sudi mati di tangan murid Jing-sia-pay yang pengecut seperti kalian ini," demikian pikir Lenghou Tiong. Ia tahu dirinya sudah terkurung di bawah ancaman ujung pedang lawan, asal putar tubuh segera ujung pedang yang satu akan menancap di dada dan kedua pedang yang lain menusuk ke dalam perutnya.
Mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, "Baiklah, berlutut juga boleh!"
Sebelah kaki kanan sedikit bertekuk seperti hendak berlutut, tapi secepat kilat tangan kanan terus menyambar pedang yang menancap di atas meja tadi dan berbareng diputar ke belakang.
Tanpa ampun lagi tiga tangan ketiga murid Jing-sia-pay itu terkurung sebatas pergelangan dan jatuh ke lantai dengan masih mencengkeram pedang.
Muka Kau Jin-hong bertiga pucat bagai mayat, mereka tidak pernah membayangkan bisa terjadi demikian. Setelah tertegun sejenak barulah mereka melompat mundur. Seorang di antaranya adalah anak murid Jing-sia-pay yang masih sangat muda, umurnya paling-paling baru 16-17 tahun, saking kesakitannya dia sampai menangis dan menjerit-jerit.
Lenghou Tiong merasa menyesal, katanya, "Maaf adik cilik, kau sendirilah yang lebih dulu bermaksud membunuh aku!"
"Kiam-hoat bagus!" terdengar Hiang Bun-thian bersorak memuji. Lalu katanya pula, "Pedangnya kurang kuat, tenaga dalamnya terlalu lemah!"
"Bukan saja tenaga dalam lemah, pada hakikatnya memang tidak bertenaga dalam lagi," ujar Lenghou Tiong tertawa.
Bab 62. Kesaktian "Tokko-kiam-hoat"
Pada saat itulah sekonyong-konyong Hiang Bun-thian membentak-bentak, menyusul terdengar suara gemerencing rantai, kiranya dua orang laki-laki baju hijau telah menerjang ke dalam gardu dan menyerang Hiang Bun-thian.
Kedua orang ini menggunakan senjata yang aneh, yang satu memakai sepasang tameng, semuanya merupakan senjata yang berat. Waktu berbentur dengar rantai terbitlah suara nyaring disertai letikan lelatu api.
Beberapa kali Hiang Bun-thian hendak menyelinap ke belakang orang yang bersenjata tongkat itu, tapi ilmu silat orang itu sangat tinggi, ia bertahan dengan sangat rapat, kedua tangan Hiang Bun-thian sendiri masih terikat oleh rantai sehingga gerak-geriknya kurang leluasa.
Mendadak terdengar pula suara bentakan ramai, kembali dua orang Mo-kau menerjang ke dalam gardu. Kedua orang ini sama-sama memakai godam bersegi delapan, begitu maju mereka terus memukul dan mengetuk serabutan. Dengan demikian si pemakai tongkat tadi dari bertahan sekarang sempat balas menyerang.
Namun dengan amat gesit Hiang Bun-thian masih terus menyelinap kian kemari di antara empat musuh, cuma sukar juga untuk merobohkan salah seorang lawannya. Setiap kali bila rantainya digunakan menyabat salah seorang musuh, segera tiga orang yang lain menubruk maju dengan berani mati.
Kira-kira belasan jurus kemudian, laki-laki kurus kecil tadi berseru, "Delapan tombak maju semua!"
Segera ada delapan laki-laki baju hijau dan bertombak menerjang maju dari empat jurusan gardu, setiap jurusan diperkuat dengan dua batang tombak yang panjang dan besar, dengan cepat mereka menghujani tusukan ke arah Hiang Bun-thian.
"Sobat cilik, lekas pergi saja!" seru Hiang Bun-thian kepada Lenghou Tiong.
Belum lenyap suaranya, mendadak kedelapan tombak telah menyambar sekaligus ke tubuhnya, tidak peduli dia berkelit ke jurusan maka pasti tubuh akan tertusuk oleh ujung tombak. Lebih celaka lagi pada saat yang sama kedua orang yang bersenjata godam astakona (segi delapan) juga telah menghantam kepalanya, bahkan pemakai tongkat juga lantas menyabet dari bagian bawah dan tameng besi tahu-tahu juga mengepruk mukanya. Benar-benar segala penjuru terancam oleh senjata musuh.
Hendaklah maklum bahwa kedudukan Hiang Bun-thian dalam Mo-kau adalah sangat tinggi, betapa tinggi ilmu silatnya juga bukan rahasia lagi. Orang-orang Mo-kau itu mendapat perintah untuk menangkapnya, namun mereka tahu kepandaian mereka masih selisih jauh dibanding Hiang Bun-thian, adalah mahasulit untuk menangkapnya bila tidak lebih dulu melukainya. Dan bisa melukainya betapa pun harus main kerubut.
Sebab itulah maka sekaligus 12 jago Mo-kau pilihan lantas maju berbareng dan sama-sama mengeluarkan segenap tenaga mereka tanpa kenal ampun, sebab mereka insaf adalah teramat berbahaya bertempur dengan Hiang Bun-thian, tertunda lebih lama sedetik berarti setindak lebih mendekati pintu neraka bagi mereka.
Melihat cara pengeroyokan yang tidak pantas itu dan tampaknya sukar bagi Hiang Bun-thian untuk meloloskan diri, Lenghou Tiong lantas berteriak, "Sungguh tidak tahu malu!"
Pada saat itu mendadak Hiang Bun-thian berputar tubuh dengan amat cepat, rantai di tangannya terus berputar seperti kitiran sehingga senjata musuh terbentur dan menerbitkan suara gemerantang nyaring.
Begitu cepat Hiang Bun-thian berputar laksana gasingan sampai pandangan lawan serasa kabur. Maka terdengarlah suara "trang-treng" dua kali, kedua tameng besi musuh terbentur oleh rantainya, tameng-tameng itu terlepas dari cekalan dan mencelat keluar gardu. Kini Hiang Bun-thian tidak ambil pusing lagi kepada jurus-jurus serangan musuh, ia masih terus berputar semakin cepat sehingga delapan tombak musuh terguncang ke samping.
"Perlambat serangan dan bertahan rapat habiskan tenaganya!" tetua Mo-kau yang kurus kecil tadi berseru.
Kedelapan pemakai tombak tadi sama mengiakan sambil melangkah mundur setindak dan berdiri tegak dengan tombak siap di tangan. Pertempuran cara demikian pasti akan berakhir dengan tenaga Hiang Bun-thian terkuras dan bila ada kesempatan segera mereka menyerang pula dengan tombaknya.
Dalam keadaan demikian, penonton yang sedikit berpengalaman saja segera akan dapat menarik kesimpulan bahwa betapa pun tinggi ilmu silat Hiang Bun-thian juga tidak mungkin berputar terus tanpa berhenti. Pertempuran cara demikian pasti akan berakhir dengan Hiang Bun-thian kehabisan tenaga dan tiada jalan lain kecuali diringkus oleh musuh.
Mendadak terdengar Hiang Bun-thian bergelak tertawa, tubuh mendak ke bawah dan rantainya menyabat, kontan mengenai pinggang seorang yang bersenjata godam tadi, orang itu menjerit, godamnya menghantam balik dan mengenai batok kepalanya sendiri, seketika kepalanya pecah dan otak berhamburan.
Kedelapan orang bersenjata tombak itu rupanya sudah terlatih masak sekali, sekaligus tombak mereka menusuk Hiang Bun-thian dari berbagai penjuru.
Hiang Bun-thian sempat menangkis dua batang tombak itu, tapi tombak-tombak itu benar-benar sangat lihai, enam tombak yang lain laksana ular hidup saja berbareng mengancam iganya.
"Mati aku?" diam-diam Hiang Bun-thian mengeluh. Dalam keadaan begitu, biarpun tombak yang satu sempat dihindarkan toh tombak kedua, ketiga atau keempat juga sukar dielakkan, apalagi enam tombak mengancam sekaligus.
Sekilas Lenghou Tiong juga menyaksikan keadaan Hiang Bun-thian yang menghadapi jalan buntu itu. Tiba-tiba benaknya terkilas pula jurus keempat dari "Tokko-kiu-kiam" ajaran Hong Jing-yang yang disebut "jurus penghancur tombak" itu. Maka tanpa pikir panjang lagi segera ia turun tangan, pedang menyambar ke depan, terdengarlah suara mendering nyaring panjang, delapan batang tombak jatuh semua ke lantai dan menerbitkan suara gemerantang yang keras satu kali, maka dapatlah diketahui bahwa kedelapan batang tombak itu jatuhnya seperti bersamaan waktunya.
Padahal pedang Lenghou Tiong sekali tusuk mengarah pergelangan tangan delapan orang, dengan sendirinya terjadi secara berturut-turut, soalnya gerakannya teramat cepat sehingga jatuhnya kedelapan tombak secara susul-menyusul itu hampir-hampir sukar dibedakan.
Sekali Lenghou Tiong sudah turun tangan maka sukar dihentikan lagi, segera jurus kelima yang disebut "Boh-pian-sik" (jurus penghancur ruyung) kembali dilontarkan pula. "Boh-pian-sik" ini gerak perubahannya teramat luas, pendeknya segala senjata misalnya ruyung baja, godam, boan-koan-pit, tongkat, cundrik, kapak, dan senjata-senjata pendek sebangsanya akan dapat dipatahkan semua oleh jurus ini.
Maka tanpa ampun lagi, di tengah berkelebatnya sinar pedang tahu-tahu sepasang tongkat, sepasang godam telah jatuh semua. Dari ke-12 jago Mo-kau yang menyerbu ke dalam gardu itu, terkecuali seorang telah dibunuh oleh Hiang Bun-thian dan seorang senjata tamengnya terlepas dari tangan, selebihnya sepuluh orang pergelangan tangan masing-masing tertusuk oleh pedang Lenghou Tiong, senjata mereka terlepas dari cekalan. Sambil menjerit takut beramai-ramai ke-11 orang itu lantas lari kembali ke barisan mereka tadi.
Serentak para kesatria dari golongan cing-pay lantas memuji, "Kiam-hoat bagus! Cepat amat gerakannya! Baru hari ini kita menyaksikan Hoa-san-kiam-hoat yang hebat!"
Di sebelah sana Mo-kau-tianglo yang kurus kecil tadi telah memberikan komando singkat lagi dan segera ada lima orang menyerbu ke dalam gardu.
Seorang wanita setengah umur bersenjata sepasang golok yang diputar bagai kitiran terus menerjang ke arah Lenghou Tiong, sedangkan empat orang laki-laki yang lain lantas mengerubut Hiang Bun-thian.
Serangan golok si wanita setengah umur itu sangat cepat sehingga Lenghou Tiong tidak sempat melihat orang macam apakah keempat laki-laki yang mengeroyok Hiang Bun-thian dan senjata macam apa yang mereka gunakan. Yang jelas golok-golok wanita itu menyerang dengan cepat secara bergantian, bila golok sebelah kanan menyerang maka golok sebelah kiri dipakai menjaga diri dengan rapat dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian jadi setiap jurus serangan si wanita sekaligus juga berarti menjaga diri dengan ketat.
Pada umumnya kelemahan dalam pertarungan yang sering tampak ialah waktu menyerang pihak sendiri biasanya lantas terlihat lubang sehingga digunakan oleh musuh dengan baik.
Ilmu golok wanita ini benar-benar suatu kepandaian yang jarang terlibat di dunia persilatan, dia dapat menjaga diri dengan rapat, serangannya juga sangat cepat dan ganas. "Sret-sret-sret-sret" empat kali, karena tidak jelas akan cara serangan lawan, terpaksa Lenghou Tiong mundur empat tindak berturut-turut.
Pada saat itulah terdengar suara menderu angin kencang seperti ada orang pedang menempur Hiang Bun-thian dengan senjata lemas. Di tengah segala kerepotannya Lenghou Tiong coba melirik ke sana, dilihatnya dua orang bersenjata gandin berantai dan dua orang menggunakan ruyung lemas, dengan sengit lagi melawan rantai besi yang diayun-ayunkan Hiang Bun-thian.
Rantai besi yang menggandengkan kedua gandin orang itu cukup panjang, beberapa kali gandinnya melayang lewat di atas kepala Lenghou Tiong. Baru beberapa jurus saja lantas terdengar Hiang Bun-thian mengumpat maki, sebaliknya seorang laki-laki bersenjata gandin berantai itu berkata, "Maaf, Hiang-yusu!"
Kiranya sebelah gandin berantai itu telah berbelitan dengan rantai di tangan Hiang Bun-thian. Dalam sekejap itulah ketiga orang kawannya tidak sia-siakan kesempatan baik itu, tiga macam senjata berbareng menyambar ke tubuh Hiang Bun-thian.
Ketika Hiang Bun-thian mengerahkan tenaga dan menarik sekuatnya sambil menggertak, kontan orang yang bersenjata gandin itu kena diseret mentah-mentah ke badannya, maka kedua ruyung lemas dan sebuah gandin yang menyambar tiba tadi semuanya mengenai punggung orang itu.
Pada saat itu pula pedang Lenghou Tiong juga menusuk dan tepat mengenai pergelangan tangan si wanita setengah umur, tapi yang terdengar adalah suara "creng" yang nyaring, pedang orang malah menebas dari samping.
Lenghou Tiong terperanjat, tapi segera ia paham duduknya perkara, tentu wanita itu memakai bebat baja pelindung pergelangan tangan sehingga pedang tidak mempan melukainya. Sambil berkelit secepat kilat pedangnya menyungkit ke atas pula, "sret" sekali ini dengan tepat "koh-cing-hiat" di bahu kiri wanita itu tertusuk.
Wanita itu terkejut, namun dia sangat gagah berani, meski bahu kiri terluka toh golok sebelah kanan masih membacok lagi. Ketika pedang Lenghou Tiong berkelebat, kembali bahu kanan wanita itu tertusuk pula. Kedua bahunya terluka semua pada hiat-to yang sama, ia tidak sanggup memegang senjata lagi, sekuatnya ia menimpuk ke arah Lenghou Tiong, cuma sayang kedua tangan sudah tak bertenaga sehingga sepasang goloknya jatuh setengah jalan.
Baru saja Lenghou Tiong mengalahkan wanita itu, menyusul seorang tojin dari kalangan cing-pay melompat maju dengan pedang terhunus, katanya, dengan wajah masam, "Kukira Hoa-san-pay tidak pasti mempunyai kiam-hoat iblis semacam ini!"
Sekali pandang Lenghou Tiong lantas tahu tojin ini adalah angkatan tua dari Thay-san-pay, mungkin karena dia merasa penasaran lantaran salah seorang golongannya dibinasakan Hiang Bun-thian tadi, maka sekarang ia hendak menebus kekalahannya itu.
Walaupun Lenghou Tiong telah dipecat oleh gurunya, tapi sejak kecil ia sudah bernaung di Hoa-san-pay, Ngo-gak-kiam-pay terjalin seranting dan senapas, maka demi melihat angkatan tua Thay-san-pay itu mau tak mau timbul rasa hormatnya.
Lenghou Tiong putar balik ujung tangannya ke arah bawah, lalu memberi hormat dan menjawab, "Tecu tidak berani melawan Supek dari Thay-san-pay."
Tojin itu bergelar Song-it, adalah saudara satu angkatan dengan Te-coat, Thian-bun dan tojin yang lain, hanya saja tidak sama guru.
Dengan nada dingin ia berkata, "Ilmu pedang apakah yang kau mainkan itu?"
"Ilmu pedang yang Tecu mainkan ini ajaran Locianpwe dari perguruan Hoa-san sendiri," jawab Lenghou Tiong.
"Hm, omong kosong, entah di mana kau telah mengangkat guru pada kaum iblis," jengek Song-it. "Lihat pedang!"
Berbareng itu pedangnya terus menusuk ke dada Lenghou Tiong dengan mengeluarkan suara mendengung. Melulu serangan ini saja sekaligus beberapa hiat-to di dada Lenghou Tiong sudah terkurung semua, tak peduli cara bagaimana dia berkelit tentu salah satu tempat akan tertusuk. Jurus serangan ini disebut "Jit-sing-lok-khong" (tujuh bintang runtuh di langit), termasuk suatu jurus inti ilmu pedang Thay-san-pay paling lihai.
Dengan serangan ini lawan hanya dapat menghindar bilamana memiliki ginkang yang mahatinggi dengan berjumpalitan ke belakang sejauh beberapa meter, untuk itu diperlukan mengenal jurus serangan ini ketika baru saja pedang musuh mulai bergerak, sesudah berjumpalitan serangan lain akan datang beruntun dengan ganas.
Karena sudah menyaksikan ilmu pedang Lenghou Tiong sangat lihai, Song-it Tojin khawatir didahului lebih dulu, maka begitu maju segera menggunakan jurus "Jit-sing-lok-khong" itu.
Lenghou Tiong juga terkejut ketika sinar pedang lawan berkelebat dan tahu-tahu beberapa tempat di dada sendiri terancam. Sekonyong-konyong teringat olehnya jurus serupa yang pernah dilihatnya pada ukiran dinding dalam gua puncak Hoa-san dahulu, tatkala itu dirinya juga pernah mempelajari jurus ini untuk digunakan melawan Dian Pek-kong, cuma saja pelajarannya dahulu masih mentah sehingga tidak dapat mencapai kemenangan yang diharapkan. Namun permainan jurus ini sudah hafal baginya, maka tanpa pikir lagi segera pedangnya membarengi menusuk perut Song-it Tojin.
Serangan Lenghou Tiong ini persis menirukan ukiran dinding yang dilihatnya, yaitu cara gembong Mo-kau mematahkan ilmu pedang Thay-san-pay. Caranya sepintas pandang mirip mengajak gugur bersama musuh, tapi sebenarnya tidak, sebab jurus "Jit-sing-lok-khong" dari Thay-san-pay itu terbagi dalam dua tingkat, pertama gerak pedangnya mengancam tujuh hiat-to di dada musuh, tatkala musuh terkejut dan menjadi gugup, menyusul pedang lantas menusuk salah satu hiat-to yang dipilih. Tapi meski hiat-to musuh yang terancam itu tujuh tempat, tapi untuk membinasakannya cukup satu tusukan saja pada satu hiat-to itu.
Lantaran serangan itu terbagi dalam dua tingkat sehingga kelihatan jurus ini dapat ditemukan titik kelemahannya oleh gembong Mo-kau, yaitu ketika serangan tingkat pertama dilontarkan, berbareng perut penyerang itu balas diserang, dengan demikian jurus "Jit-sing-lok-khong" dapat dipatahkan dan tamat riwayatnya.
Dan benar juga, Lenghou Tiong menusukkan pedangnya, sungguh kaget Song-it Tojin tidak kepalang, ia menjerit keras disangkanya perut sendiri sudah tembus oleh pedang lawan.
Sebagai seorang tokoh Thay-san-pay, begitu melihat gerak pedang Lenghou Tiong yang hebat dan tak terelakkan itu, ia menduga perut sendiri pasti sukar terhindar dilubangi. Di tengah pertempuran ia pun tidak bisa merasakan sakit, pikirannya menjadi kacau dan mengira diri sendiri sudah mati, kontan ia roboh terjungkal.
Padahal ketika ujung pedang Lenghou Tiong hampir mengenai perutnya segera ia tahan sekuatnya, ia pikir lawan adalah tokoh angkatan lebih tua dari Thay-san-pay yang tiada permusuhan apa-apa dengan dirinya, buat apa mesti membunuhnya" Siapa tahu saking cemasnya Song-it Tojin sendiri sampai jatuh pingsan.
Melihat robohnya Song-it, anak murid Thay-san-pay mengira jago mereka telah dicelakai oleh Lenghou Tiong, beramai-ramai mereka lantas mencaci maki, segera ada lima orang tojin muda memburu maju. Mereka ini adalah murid Song-it, saking bernafsu hendak menuntut balas pedang mereka terus menyerang secara membadai ke arah tubuh Lenghou Tiong.
Namun hanya sekali bergerak saja, dengan satu jurus ilmu pedang "Tokko-kiam-hoat" pergelangan tangan kelima tojin muda itu sudah kena ditusuk oleh ujung pedang Lenghou Tiong, pedang lawan jatuh semua dan menerbitkan suara nyaring.
Untuk sejenak kelima tojin muda itu sampai tertegun, tapi mereka lantas melompat mundur. Dalam pada itu terlihat Song-it Tojin telah bangkit dengan sempoyongan dan berteriak-teriak seperti orang gila, sungguh kejut dan khawatir sekali anak muridnya.
Sesudah berteriak-teriak beberapa kali, tubuh Song-it Tojin tampak sempoyongan, lalu jatuh terkulai lagi. Lekas-lekas dua muridnya memburu maju untuk membangunkan dia dan diseret mundur.
Para kesatria menjadi kebat-kebit, semua menyaksikan Lenghou Tiong hanya menggunakan setengah jurus saja seketika seorang tokoh terkemuka Thay-san-pay dirobohkan dalam keadaan entah mati atau hidup, maka untuk sementara mereka menjadi kuncup.
Sementara itu orang-orang yang mengeroyok Hiang Bun-thian sudah berganti beberapa orang baru. Dua laki-laki berpedang adalah jago Heng-san-pay, gerak pedang mereka sangat cepat dan selalu mengincar lubang di tengah putaran rantai Hiang Bun-thian.
Seorang lagi bersenjata golok dan tameng, jelas adalah jago Mo-kau. Dengan berlindung di balik tamengnya orang ini bergelindingan mendekati Hiang Bun-thian, lalu goloknya menebas kaki lawannya. Meski rantai Hiang Bun-thian beberapa kali menghantam tameng, tapi tak bisa melukainya. Sebaliknya golok yang selalu menyambar dari balik tamengnya itulah yang sangat berbahaya.
Dari samping Lenghou Tiong dapat melihat kerapatan penjagaan tameng orang itu, tapi pada waktu menyerang mau tak mau lantas kelihatan lubang kelemahannya, yaitu kedua lengannya dengan mudah dapat dipatahkan.
Hendaklah maklum bahwa letak kelihaian "Tokko-kiu-kiam" adalah pada ketajaman mengenai titik kelemahan musuh, lalu dengan cara yang tidak mungkin dihindarkan lawan untuk menyerang titik kelemahan itu sehingga cukup hanya sekali serang saja lantas menang.
Ia lihat rantai yang diputar Hiang Bun-thian itu sebenarnya cukup diturunkan ke bawah terus disabetkan melalui lubang di bawah tameng musuh, namun kesempatan bagus dan sungguh sayang sekali tidak digunakan oleh Hiang Bun-thian.
Tengah Lenghou Tiong mengikuti pertarungan sengit itu, sekonyong-konyong terdengar di belakangnya ada orang membentak, "Kau inginkan jiwamu tidak bocah!"
Meski suara itu tidak terlalu keras, tapi jaraknya jelas sangat dekat, barangkali cuma belasan senti di tepi telinganya.
Dalam kagetnya cepat Lenghou Tiong membalik tubuh, tahu-tahu ia berhadapan muka dengan muka bersama satu orang. Hidung kedua orang hampir-hampir saling cium. Selagi ia hendak menghindar, tahu-tahu kedua telapak tangan orang itu sudah menahan di dadanya, terdengar orang itu berkata dengan nada dingin, "Sekali tenaga tanganku dikerahkan, seketika tulang rusukmu akan patah semua."
Lenghou Tiong tahu apa yang diucapkan orang itu bukan bualan belaka. Maka ia lantas berdiri tegak dan tidak berani bergerak. Jantungnya serasa ikut berhenti berdetak.
Kedua mata orang itu menatap Lenghou Tiong dengan tajam, cuma disebabkan jaraknya terlalu dekat sehingga Lenghou Tiong sukar melihat wajahnya malah. Hanya sinar mata orang itu tampak mengilat berwibawa, diam-diam ia membatin, "Kiranya aku akan mati di tangan orang seperti ini!"
Teringat kematiannya akhirnya akan menjadi kenyataan, tiba-tiba hatinya menjadi lapang malah.
Semula orang itu melihat sinar mata Lenghou Tiong menampilkan rasa kaget dan khawatir, tapi dalam sekejap saja lantas timbul sikapnya yang tidak gentar dan tak acuh, sekalipun tokoh Bu-lim terkemuka juga jarang yang mampu menguasai diri menghadapi detik-detik kematian demikian.
Tanpa terasa timbul juga rasa kagum orang itu. Sambil tertawa orang itu lantas berkata, "Aku berhasil menyergap dirimu dari belakang sekalipun aku membunuhmu tentu kau tidak tunduk."
Habis berkata ia terus tarik kembali kedua tangannya dan mundur beberapa tindak.
Baru sekarang Lenghou Tiong dapat melihat jelas orang itu, potongannya pendek gemuk, kulit mukanya bengkak kekuning-kuningan, usianya kira-kira baru 50-an, kedua tangannya yang gemuk itu sudah kecil lagi tebal, yang satu terangkat agak tinggi dan yang lain rada rendah dalam sikap "Tay-ko-yang-jiu" yang lihai.
"Kiranya adalah Locianpwe dari Ko-san-pay," kata Lenghou Tiong dengan tersenyum. "Mohon tanya siapakah nama Locianpwe yang terhormat, mengapa berlaku murah hati padaku?"
"Aku Lim Ho," jawab orang itu. Sejenak kemudian ia menyambung lagi, "Ilmu pedangmu sangat tinggi, tapi pengalamanmu di medan tempur ternyata sangat kurang!"
"Memang benar," kata Lenghou Tiong. "Cepat amat gerakan Lim-supek tadi."
"Panggilan Supek tidak berani kuterima," sahut Lim Ho, menyusul tangan kiri diangkat dan tangan kanan lantas memotong ke depan.
Bentuk lahirnya Lim Ho memang jelek, tapi sekali ia mulai memukul, seketika seluruh badannya penuh kekuatan dan gayanya sangat indah.
"Pukulan bagus," Lenghou Tiong memuji ketika melihat kehebatan serangan lawan. Pedang lantas menyungkit ke atas. Karena dia belum melihat titik kelemahan Lim Ho, maka gerakan ini lebih banyak merupakan pancingan dan bertahan daripada serangan.
Tokko-kiu-kiam, sembilan jurus ilmu pedang ciptaan Tokko, benar-benar luar biasa lihainya. Sejak sekaligus membutakan 15 orang di kelenteng bobrok tempo hari belum pernah mengambil sikap bertahan. Tapi kini saking rapatnya ilmu pukulan Lim Ho itu sehingga dia terpaksa mesti menjaga diri saja, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat ciang-hoat (ilmu pukulan dengan telapak tangan) jago Ko-san-pay itu.
Tapi dengan menyungkit ke atas tak peduli pukulan Lim Ho menyerang ke bagian mana, telapak tangannya akan dengan sendirinya dipapak oleh ujung pedang. Karena itu baru setengah jalan segera Lim Ho menarik tangannya kembali tangannya dan melompat mundur sambil berseru, "Kiam-hoat bagus!"
"Ah, terlalu memuji!" sahut Lenghou Tiong.
Setelah termenung sejenak, mendadak Lim Ho membentak, "Awas!"
Berbareng kedua tangannya lantas menolak ke depan, suatu arus tenaga mahadahsyat lantas membanjir.
"Celaka!" Lenghou Tiong. Dalam keadaan tenaga sudah punah, hanya berkat ilmu pedangnya yang bagus dapatlah ia mengalahkan musuh. Sekarang Lim Ho menghantamnya dengan pukulan kuat, jaraknya teramat dekat pula sehingga sukar ditangkis dengan pedang. Baru saja bermaksud mengelak, namun terasa hawa dingin telah menyerang tubuhnya sehingga membuatnya menggigil.
Kiranya tenaga pukulan kedua tangan Lim Ho itu tidak sama satu sama lain, yang satu positif dan yang lain negatif, panas dan dingin. Lim Ho berjuluk "Thi-im-yang-jiu", tenaga pukulan im dan yang itu adalah kepandaian yang paling diagulkannya.
Ketika Lenghou Tiong tertegun sejenak saja menyusul suatu arus hawa panas sudah menyambar tiba pula sehingga napasnya serasa sesak, tubuh pun terhuyung-huyung.
Pukulan tenaga im dan yang itu sebenarnya tidak kenal ampun bagi sasarannya, meski tenaga dalam Lenghou Tiong sudah punah, namun hawa murni dalam tubuhnya masih penuh dan banyak ragamnya, ada hawa murni dari Tho-kok-lak-sian, ada hawa murni Put-kay Hwesio, ketika di Siau-lim-si mendapat tambahan lagi hawa murni Hong-sing Taysu, setiap hawa murni itu sangat kuat.
Sebab itulah ketika tenaga pukulan panas dingin itu mengenai tubuh Lenghou Tiong, dengan sendirinya hawa murni yang tertimbun dalam tubuhnya itu memberi reaksi sehingga isi perutnya tidak sampai terluka. Cuma hawa murni berbeda daripada tenaga dalam yang dapat digunakan pula untuk menyerang musuh, sebab itulah badannya tergetar beberapa kali dan rasanya sangat menderita.
Khawatir kalau Lim Ho menyusulkan pukulan lagi, cepat-cepat Lenghou Tiong keluar dari gardu itu, lalu pedang cepat menusuk.
Setelah berhasil dengan pukulannya, Lim Ho menyangka Lenghou Tiong sekalipun tidak mati juga terluka parah dan akan roboh, siapa duga pemuda itu masih dalam keadaan aman sentosa, bahkan sinar pedang berkelebat, ujung pedang Lenghou Tiong mengacung telapak tangannya lagi. Dengan rasa heran dan waswas Lim Ho pentang kedua tangannya, yang satu menabok ke muka Lenghou Tiong dan yang lain memukul perutnya.
Tapi baru saja tenaga pukulannya dikerahkan sekonyong-konyong ia merasa kesakitan luar biasa, ternyata kedua telapak tangannya atau sepasang telapak tangannya sendiri yang menghantam ujung pedang orang.
Sambil menjerit keras-keras sekuatnya Lim Ho mencabut kedua tangannya terus melompat mundur, lalu melarikan diri secepat terbang.
Lenghou Tiong merasa menyesal, serunya, "Maaf!"
Apa yang digunakan tadi adalah salah satu jurus sakti dari Tokko-kiu-kiam yang disebut "Boh-ciang-sik" (cara mematahkan pukulan tangan), jurus ini belum pernah tampak lagi di dunia Kangouw sejak penciptanya wafat, yaitu Tokko Kiu-pay.
Mendadak terdengar suara gedubrakan ramai, waktu Lenghou Tiong menoleh, dilihatnya ada tujuh-delapan laki-laki sedang mengerubut Hiang Bun-thian. Tenaga pukulan dua orang di antaranya sangat dahsyat sehingga tiang gardu dan genting emper ikut terhantam jatuh berserakan.
Pada saat itulah ada tiga orang kakek bersenjata mengepung Lenghou Tiong dari tiga jurusan. Seorang di antaranya memakai sepasang boan-koan-pit yang mengilap, seseorang lagi menggunakan golok dan orang ketiga bertangan kosong, hanya memakai sarung tangan.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Suhu pernah pesan padaku harus hati-hati menghadapi lawan yang memakai sarung tangan, sebab lawan demikian biasanya suka menggunakan senjata rahasia beracun."
Lenghou Tiong tidak sempat banyak berpikir karena sepasang boan-koan-pit musuh sudah segera mengancam hiat-to di kanan kiri iganya sedangkan golok besar yang lain juga menebas diri samping.
Diam-diam Lenghou Tiong mendongkol pada lawan-lawan itu, selamanya tidak kenal dan tiada permusuhan, tapi serangan mereka ternyata begini ganas, begitu maju lantas menyerang dengan cara mematikan tanpa kenal ampun.
Segera pedangnya menyabet miring menyerempet batang kepala musuh, menyusul lantas ke atas. Kontan empat jari lawan yang bergolok itu tertebas putus, sedangkan sepasang boan-koan-pit musuh yang lain juga tersungkit mencelat ke udara.
Ia khawatir orang yang bersarung tangan itu menghamburkan senjata rahasia berbisa, sebab ia merasa dirinya belum menguasai jurus "Boh-gi-sik" (mematahkan serangan senjata rahasia), jika dihujani macam-macam senjata rahasia berbisa tentu akan kerepotan, sebab itulah pedangnya segera menusuk pula ke tengah telapak tangan kanan orang itu.
Akan tetapi aneh sekali, ujung pedang sudah mengenai sasarannya dengan tepat, namun tidak dapat masuk. Keruan Lenghou Tiong terkejut. Dalam pada itu dengan cepat orang itu telah membalik tangannya, mata pedang yang tajam itu dipegang olehnya dengan kencang. Baru sekarang Lenghou Tiong sadar sarung tangan orang itu tentu terbuat dari benang emas. Ia coba menarik sekuatnya, tapi sukar terlepas.
Waktu sebelah tangan orang itu terhantam, "blang", dengan tepat dada Lenghou Tiong terpukul sehingga tubuhnya mencelat. Belum lagi dia jatuh ke tanah sudah ada beberapa orang memburu ke arahnya hendak mencencangnya.
"Bagus, kebetulan!" kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Tapi belum lenyap suara tertawanya, sekonyong-konyong pinggangnya terasa kencang dililit sesuatu, seutas rantai besi telah menyambar tiba dan tubuhnya lantas terbawa melayang ke udara.
Orang yang menyelamatkan jiwanya kiranya adalah gembong Mo-kau Hiang Bun-thian. Dalam keadaan kepepet karena dikejar dan dikerubut oleh jago Mo-kau dan pihak cing-pay, mendadak tampil ke muka seorang pemuda yang tidak takut mati untuk membelanya, dengan sendirinya Hiang Bun-thian merasa sangat berterima kasih dan anggap dia sebagai teman sejati.
Dengan pengalaman dan kepandaian Hiang Bun-thian yang tinggi, begitu menyaksikan cara Lenghou Tiong menghalau musuh tadi segera ia tahu meski ilmu pedang Lenghou Tiong sangat tinggi, tapi tenaga dalamnya teramat kurang, pengalaman tempur juga sedikit, bila mesti menghadapi lawan sebegitu banyak akhirnya pemuda itu tentu akan terbunuh.
Sebab itulah sembari bertempur senantiasa ia memerhatikan keadaannya Lenghou Tiong, begitu melihat pedangnya kena digenggam lawan dan dada terkena pukulan, seketika ia mengayun rantainya untuk membelit tubuh pemuda yang terus dibawa lari
Karena menggunakan ginkang yang tinggi, maka lari Hiang Bun-thian ini laksana terbang, hanya dalam sekejap saja sudah meninggalkan musuh sejauh beberapa puluh meter.
Dari belakang ada beberapa puluh orang telah memburunya, beberapa orang di antaranya malahan berteriak-teriak, "Thian-ong Locu melarikan diri! Aha, Thian-ong Locu melarikan diri!"
Hiang Bun-thian menjadi gusar, mendadak ia berhenti lari dan putar balik seakan-akan hendak menerjang para pengejarnya. Keruan para pengejar itu terkejut dan serentak berhenti. Ada di antaranya seorang terlalu bernafsu larinya dan tidak sempat mengerem, ia masih terus menyelonong ke arah Hiang Bun-thian, keruan celaka baginya, sekali Hiang Bun-thian angkat kakinya, kontan orang itu ditendang mencelat kembali ke tengah gerombolan kawan-kawannya.
Waktu Hiang Bun-thian memeriksa Lenghou Tiong, tampak mulut pemuda itu masih mengucurkan darah. Ia hanya menjengek perlahan, lalu putar tubuh dan lari lagi.
Segera orang-orang tadi mengejar pula, tapi sekarang mereka sudah kapok, tiada seorang pun berani menguber terlalu dekat sehingga jarak mereka makin lama makin jauh dari Hiang Bun-thian.
Kiranya julukan Hiang Bun-thian disebut "Thian-ong Locu" (si Nenek Raja Langit), perangainya angkuh dan tinggi hati, selama hidupnya tidak pernah melarikan diri meski ia pernah juga dikalahkan orang dalam pertandingan, jadi dia mempunyai sifat yang pantang menyerah.
Dengan ginkang yang sangat tinggi itu mestinya tidak sulit bagi Hiang Bun-thian untuk mengelak kejaran jago-jago cing-pay dan orang-orang Mo-kau, tapi dia justru tidak sudi menyembunyikan diri sehingga ditertawai musuh, akhirnya dia terkepung di tengah gardu itu. Sekarang demi keselamatan Lenghou Tiong untuk pertama kalinya ia melarikan diri, maka rasa dongkol dan kesalnya sungguh tidak kepalang.
Sembari lari diam-diam ia pun menimbang-nimbang sendiri, "Jika aku sendirian tentu aku akan melabrak kawanan kura-kura itu dengan mati-matian, betapa pun pasti akan kubunuh beberapa puluh orang untuk melampiaskan rasa dongkolku, soal aku akan hidup atau mati aku tidak ambil pusing. Tapi sekarang muncul pemuda yang selamanya tak kukenal ini, dia telah sudi korban jiwa bagiku, teman simpatik begini ke mana lagi dapat kucari" Demi teman baik biarlah aku melarikan diri dan melanggar kebiasaanku, ini namanya setia kawan lebih utama, terpaksa aku harus menekan perasaanku. Yang penting sekarang cara bagaimana aku dapat mengelakkan uberan kawanan kura-kura itu."
Bab 63. Gip-sing-tay-hoat = Ilmu Mengisap Bintang
Setelah berlari-lari pula, tiba-tiba ia ingat suatu tempat yang baik, ia menjadi girang. Tapi lantas terpikir olehnya, "Untuk pergi ke sana jaraknya terlalu jauh, entah aku kuat lari sampai di sana atau tidak" Tapi tidak menjadi soal. Jika aku tidak kuat, kawanan kura-kura itu lebih-lebih tidak kuat."
Ia menengadah memandang sang surya dan membedakan arah, segera ia membelok dan melintasi sawah ladang terus lari ke jurusan timur laut sana.
Kira-kira belasan li jauhnya, kembali ia sampai di jalan besar. Tiba-tiba ada tiga penunggang kuda membalap lewat di sebelahnya.
"Persetan!" maki Hiang Bun-thian, segera ia menyusul dengan cepat.
Sampai di belakang kuda itu, sekali loncat ke udara, sekali tendang ia depak seorang penunggang itu hingga terjungkal, menyusul ia lantas hinggap di punggung kuda rampasan itu. Ia taruh Lenghou Tiong di atas pelana, waktu rantainya diayun ke depan, kedua penunggang kuda yang lain dihantam jatuh semua.
Ketiga orang itu adalah rakyat jelata dan bukan orang persilatan, mereka hanya sial ketemu malaikat maut dan tanpa sebab jiwa mereka telah melayang.
Meski penunggangnya sudah jatuh, tapi kedua ekor kuda itu masih terus lari ke depan, segera Hiang Bun-thian ayun rantainya untuk membelit tali kendali.
Rantai besinya seakan-akan benda hidup saja dalam permainan Hiang Bun-thian sehingga dia seakan-akan memiliki lengan yang mahapanjang. Namun diam-diam Lenghou Tiong merasa gegetun juga menyaksikan cara Hiang Bun-thian sembarangan membunuh orang tak berdosa.
Sebaliknya Hiang Bun-thian tampak sangat senang dan bersemangat setelah berhasil merampas tiga ekor kuda, ia menengadah dan bergelak tertawa. Katanya demikian, "Adik cilik, kawanan celurut itu tidak mampu menyusul kita lagi."
Lenghou Tiong tersenyum hambar, sahutnya, "Hari ini tidak mampu, jangan-jangan besok akan dapat menyusul kita."
"Persetan, biar mereka menyusul kemari dan akan kubunuh bersih mereka," demikian Hiang Bun-thian mengumpat.
Ia larikan kuda itu dengan cepat, belasan li kemudian ia membelok ke suatu jalan pegunungan yang menuju ke arah timur laut, lereng gunung semakin tinggi dan akhirnya jalan itu tak bisa dilalui kuda lagi.
"Kau lapar tidak?" Hiang Bun-thian.
"Apakah kau membekal ransum?" sahut Lenghou Tiong.
"Tidak bawa apa-apa, kita minum darah kuda," kata Hiang Bun-thian sambil melompat turun. Ketika kelima jarinya menusuk bagian leher kuda seketika leher kuda itu bolong dan darah mengucur dengan derasnya.
Kuda itu meringkik kesakitan, mestinya hendak berjingkrak berdiri dengan kaki belakang, tapi dengan sebelah tangan Hiang Bun-thian telah menahan punggung kuda laksana gunung beratnya, sedikit pun kuda itu tidak dapat berkutik.
Mulut Hiang Bun-thian lantas mencucup darah yang mengalir dari lubang leher kuda, setelah minum beberapa ceguk, lalu katanya kepada Lenghou Tiong, "Minumlah!"
Sudah tentu Lenghou Tiong merasa muak dan ngeri.
"Jika tidak minum darah kuda dari mana ada tenaga untuk bertempur lagi?" kata Hiang Bun-thian.
"Masih mau bertempur lagi?" Lenghou Tiong menegas.
"Apakah kau takut?"
Seketika timbul jiwa Lenghou Tiong yang tidak takut mati, ia tertawa dan balas tanya, "Kau kira aku takut atau tidak?"
Habis itu tanpa pikir lagi ia pun mencucup darah kuda itu dengan mulutnya. Ia merasa darah kuda itu seakan-akan membanjir sendiri ke dalam kerongkongannya dan segera terhirup ke dalam perut.
Mula-mula darah kuda itu memang terang anyir baunya, tapi sesudah menghirup beberapa ceguk bau anyir pun tidak terasa lagi. Lenghou Tiong terus minum sampai perutnya terasa kembung barulah berhenti.
Menyusul Hiang Bun-thian lantas menghirup lagi darah kuda itu sekenyang-kenyangnya, akhirnya kuda itulah yang tidak tahan dan roboh terkulai. Sekali ayun kakinya Hiang Bun-thian mendepak kuda itu ke dalam jurang.
Melengak juga Lenghou Tiong menyaksikan hal itu. Badan kuda itu sedikitnya ada enam-tujuh ratus kati, tapi sekali depak sekenanya saja Hiang Bun-thian menendang kuda itu ke dalam jurang. Menyusul Hiang Bun-thian menendang kuda kedua ke dalam jurang, sekali putar tubuh tangannya memukul, "cret", seperti golok tajamnya sebelah kaki belakang kuda ketiga itu kena dipotong oleh telapak tangannya. Menyusul kaki kuda yang sebelah dipotongnya lagi.
Kuda itu meringkik ngeri, Hiang Bun-thian menambahi sekali tendang dan terjungkal juga kuda itu ke dalam jurang sambil mengumandangkan suara ringkik yang panjang menyeramkan.
"Sebelah paha kuda ini untukmu," kata Hiang Bun-thian kemudian. "Makanlah secara hemat dan cukup untuk ransum selama sepuluh hari."
Baru sekarang Lenghou Tiong paham maksud Hiang Bun-thian memotong paha kuda, kiranya hendak digunakan sebagai makanan, jadi perbuatannya ini tidak dapat digolongkan kejam. Segera ia menurut dan ambil sebelah paha kuda itu.
Lenghou Tiong ikut dari belakang ketika melihat Hiang Bun-thian berjalan menuju ke atas lereng gunung sambil membawa paha kudanya.
Hiang Bun-thian sengaja memperlambat langkahnya agar dapat diikuti Lenghou Tiong, tapi lantaran tenaga dalam Lenghou Tiong sudah punah, belum ada setengah li jauhnya dia sudah ketinggalan jauh di belakang. Waktu ia memburu sekuatnya, napasnya lantas megap-megap dan pucat.
"Adik cilik," kata Hiang Bun-thian, "kau ini memang aneh, begitu lemah kau punya tenaga dalam, tapi sedikit pun kau tidak cedera meski terkena pukulan Thi-im-yang-jiu yang dahsyat dari keparat Ko-san-pay tadi. Sungguh aku tidak habis mengerti keadaan dirimu."
"Ah, masa" Justru aku merasa isi perutku terguncang jungkir balik tak keruan, entah berapa puluh macam luka dalam yang telah kuderita. Memangnya aku pun merasa heran mengapa sampai saat ini aku belum mampus. Tapi bukan mustahil setiap detik aku bisa roboh untuk tidak bangun lagi."
"Jika begitu marilah kita mengaso dulu," ujar Hiang Bun-thian.
Sebenarnya Lenghou Tiong bermaksud menerangkan tentang jiwa sendiri yang tinggal menunggu ajal dan minta dia menyelamatkan diri sendiri saja. Tapi lantas terpikir pula bahwa orang she Hiang ini sangat gagah perwira, dia pasti tidak mau meninggalkan dirinya untuk mencari selamat sendiri. Mungkin bila ditemukan pikiran itu malahan akan dianggap menghinanya.
Dalam pada itu Hiang Bun-thian sudah mengambil tempat duduk di tepi jalan, katanya pula, "Adik cilik, cara bagaimana kau bisa kehilangan tenaga dalam?"
Lenghou Tiong tersenyum, katanya, "Kejadian ini terlalu menggelikan kalau diceritakan."
Lalu ia pun menuturkan pengalamannya sejak terluka, tentang Tho-kok-lak-sian hendak menyembuhkan lukanya, tapi malah tak keruan jadinya, kemudian Put-kay Hwesio mencurahkan dua macam hawa murni lagi sehingga membikin keadaannya tambah runyam.
Hiang Bun-thian terbahak-bahak geli mendengar cerita aneh itu, sebegitu keras suara tertawanya sehingga menggeletar lembah pegunungan itu. Katanya, "Kejadian aneh demikian baru untuk pertama kalinya kudengar sekarang. Hahahaha!"
Di tengah gema suara tawanya itu tiba-tiba dari jauh berkumandang bentaknya seorang, "Hiang-yusu, tidak mungkin engkau bisa lolos. Lebih baik ikut kami saja menghadap Kaucu!"
Namun Hiang Bun-thian tidak ambil pusing, ia tetap bergelak tertawa. Katanya, "Haha, sungguh menggelikan, Tho-kok-lak-sian dan Put-kay Hwesio benar-benar orang-orang tolol nomor satu di dunia ini!"
Dan setelah tertawa beberapa kali mendadak air mukanya menjadi guram, ia memaki, "Bedebah, kawanan kura-kura itu sudah menyusul tiba pula!"
Segera ia pondong Lenghou Tiong terus dibawa lari secepatnya tanpa memikirkan paha kuda yang ketinggalan itu.
Begitu cepat cara lari Hiang Bun-thian sehingga Lenghou Tiong merasa dirinya seperti dibawa melayang di udara, keadaan sekitarnya menjadi putih remang-remang, rupanya mereka telah menyusup ke tengah-tengah kabut yang tebal.
"Sungguh sangat kebetulan," diam-diam Lenghou Tiong berpikir. "Dalam keadaan demikian, beberapa ratus pengejar itu pasti tidak mampu mengerubut ke atas gunung ini, asal mereka satu per satu menerjang kemari, tentu aku dan Hiang-siansing ini sanggup membereskan mereka."
Akan tetapi suara kawanan pengejar di belakang itu makin lama juga semakin dekat, jelas ginkang para pengejar itu pun sangat tinggi sekalipun masih kalah bila dibandingkan dengan Hiang Bun-thian. Namun Hiang Bun-thian memondong tubuh seorang dan sudah berlari sekian lamanya, mau tak mau larinya mulai kendur dan lambat.
Berlari sampai di suatu tempat pengkolan, di situlah Hiang Bun-thian menurunkan Lenghou Tiong, pesannya dengan suara tertahan, "Diam saja jangan bersuara."
Begitulah mereka berdua berdiri mepet dinding gunung, sebentar kemudian lantas terdengar suara tindakan kaki orang banyak yang menyusul tiba.
Dua di antara pengejar itu lari paling cepat, di tengah kabut tebal itu mereka tidak tahu bahwa Hiang Bun-thian berdua sudah berhenti dan berdiri mepet dinding batu di situ, mereka baru mengetahui ketika sudah berada di depan Hiang Bun-thian.
Dalam kagetnya cepat mereka bermaksud putar balik, namun sudah terlambat, kedua telapak tangan Hiang Bun-thian telah menyodok ke depan, tepat lagi ganas. Tanpa bersuara sedikit pun kedua orang itu terbanting jatuh ke dalam jurang. Lewat agak lama baru terdengar dua kali suara "blak-bluk" di dasar jurang.
"Waktu kedua orang itu terjerumus ke dalam jurang sedikit pun mereka tidak mengeluarkan suara. Ya, tentu mereka sudah mampus lebih dulu terkena pukulan Hiang-siansing sebelum tergelincir ke jurang," demikian pikir Lenghou Tiong.
"Hehehe," Hiang Bun-thian tertawa mengejek. "Kedua bangsat itu biasanya suka berlagak, katanya "Tiam-jong-siang-kiam", hawa pedang ke langit segala. Hehe, sesudah jatuh mampus di dalam jurang baru benar-benar bau bangkai mereka akan tersebar ke langit."
Lenghou Tiong juga pernah mendengar nama "Tiam-jong-siang-kiam" (Dua Pedang dari Tiam-jong-san) yang tersohor karena ilmu pedangnya yang hebat. Siapa duga sekarang kedua jago terkenal itu telah binasa di dalam jurang tanpa mengetahui sebab musababnya, bahkan muka si pembunuh pun tidak sempat lihat.
"Dari sini ke Sian-jiu-kiap (Selat Dewa Sedih) masih ada belasan li jauhnya, setiba di mulut selat itu kita tak perlu gentar lagi kepada kawanan bangsat itu," kata Hiang Bun-thian sembari memondong kembali Lenghou Tiong terus dibawa lari dengan cepat.
Sementara itu terdengar pula suara tindakan orang lari, kembali ada beberapa orang menyusul tiba lagi. Sekarang jalan pegunungan itu tidak bertepi jurang lagi sehingga Hiang Bun-thian tidak dapat menggunakan akal lama dengan main sembunyi mepet dinding dan menyergap musuh, terpaksa ia harus lari sekuatnya.
"Berrr", terdengar sebuah senjata rahasia menyambar tiba dengan membawa suara desir yang keras, terang bobot senjata rahasia itu cukup berat.
Hiang Bun-thian menurunkan Lenghou Tiong ke tanah dan cepat membalik tubuh dan menangkap senjata rahasia itu, lalu memaki, "Keparat she Ho, untuk apa kau pun ikut-ikut menangguk dalam air keruh ini?"
Di tengah kabut tebal sana berkumandang suara seorang, "Kau membahayakan dunia persilatan, setiap orang boleh membunuh. Ini, terima lagi sebuah borku!"
Menyusul terdengar suara "barr-berr" yang ramai. Dia bilang sebuah bor, tapi yang dihamburkan sedikitnya ada tujuh-delapan buah.
Mendengar suara desir senjata rahasia yang keras dan lihai itu, diam-diam Lenghou Tiong bersedih, pikirnya, "Meski ilmu pedang ajaran Hong-thaysusiokco itu dapat mematahkan segala macam senjata rahasia, tapi hui-cui (bor terbang) yang disambitkan orang ini membawa tenaga sedemikian kuat, sekalipun pedangku dapat menyampuknya, tapi aku tidak bertenaga lagi, tentu pedangku akan patah terbentur."
Dilihatnya Hiang Bun-thian telah pasang kuda-kuda dengan sikap rada tegang, tidak lagi acuh tak acuh seperti waktu dikepung orang banyak di tengah gardu. Ketika bor itu menyambar sampai di depannya lantas lenyap tanpa suara, mungkin telah ditangkapnya semua.
Sekonyong-konyong suara mendering menggema entah betapa banyak bor tajam ditaburkan sekaligus.
Lenghou Tiong kenal cara itu disebut "Boan-thian-hoa-uh" (Hujan Gerimis Memenuhi Langit), cara menghamburkan senjata rahasia demikian biasanya senjatanya rahasia yang digunakan adalah sebangsa kim-ci-piau (mata uang), thi-lian-ci (biji teratai besi), dan sebagainya yang berbentuk kecil. Tapi bor yang disambitkan orang ini dari suara mendesingnya itu dapat diduga setiap bijinya mempunyai bobot setengah atau satu kati beratnya, pada hakikatnya sukar dihamburkan sekaligus berpuluh biji berbareng.
Lantaran mendengar suara mendesing keras dan mengkhawatirkan sambaran bor tajam musuh itu dengan sendirinya Lenghou Tiong mendekam di atas tanah. Tapi lantas terdengar suara jeritan Hiang Bun-thian, rupanya terluka.
Keruan Lenghou Tiong terkejut, cepat ia melompat maju untuk mengadang di depannya dan bertanya dengan khawatir, "Hiang-siansing, apakah engkau terluka?"
"Aku ... aku tidak sang ... tidak sanggup lagi .... Lekas ... lekas lari saja!" demikian jawab Hiang Bun-thian dengan terputus-putus.
"Tidak, mati atau hidup kita tetap bersama, tidak nanti Lenghou Tiong meninggalkanmu untuk menyelamatkan diri sendiri," seru Lenghou Tiong.
Maka terdengarlah sorak gembira kawanan pengejar itu, "Hura! Hiang Bun-thian sudah terluka! Hiang Bun-thian sudah terkena bor terbang!"
Di tengah kabut tebal itu remang-remang kelihatan belasan sosok bayangan orang telah mendesak maju dan semakin mendekat. Pada saat itulah sekonyong-konyong Lenghou Tiong merasa serangkum angin keras melayang lewat di sisinya, terdengar Hiang Bun-thian bergelak tertawa, berbareng belasan orang di depannya beruntun-runtun roboh.
Kiranya tadi Hiang Bun-thian telah menangkap belasan buah hui-cui musuh dan pura-pura jatuh terluka untuk membikin lengah musuh lalu dengan cara "Boan-thian-hoa-uh" ia balas menaburkan hui-cui yang ditangkapnya itu.
Sebenarnya musuh pun tergolong jago kelas wahid yang berpengalaman dan mestinya tidak mudah masuk perangkapnya. Tapi pertama, mereka terganggu oleh kabut yang tebal. Kedua, suara Lenghou Tiong yang khawatir dan cemas tadi meyakinkan mereka bahwa Hiang Bun-thian benar-benar terluka, maka mereka menjadi tidak sangsi. Ketiga, mereka tidak menyangka bahwa Hiang Bun-thian juga mahir menaburkan senjata rahasia dengan cara "Boan-thian-hoa-uh", sebab itulah belasan orang yang maju paling depan itu kena dimakan semua oleh hui-cui yang berat itu.
Habis itu segera Hiang Bun-thian memondong Lenghou Tiong dan dibawa lari lagi.
"Adik cilik, hebat sekali jiwa setia kawanmu," pujinya terhadap sikap Lenghou Tiong yang tidak sudi melarikan diri tadi.
Biasanya Hiang Bun-thian tidak sembarangan memuji orang. Tapi sekarang pujian itu tercetus dari mulutnya, terang dia telah menganggap Lenghou Tiong sebagai teman yang paling karib.
Setelah lari dua-tiga li lagi, lambat laun musuh yang mengejar sudah mendekat lagi. Kembali terdengar suara mendesing-desing tiada hentinya. Tapi Hiang Bun-thian selalu dapat menghindarkan sambaran senjata rahasia itu dengan berkelit ke sana dan mengegos ke sini. Namun larinya menjadi semakin lambat juga.
Kira-kira berlari beberapa puluh meter lagi jauhnya, kembali ia menurunkan Lenghou Tiong katanya, "Biar aku pura-pura mati sekali lagi."
"Tentunya mereka sudah kapok, masakah mau masuk perangkapmu pula?" demikian Lenghou Tiong membatin, cuma tidak diucapkannya.
Tak terduga Hiang Bun-thian mendadak menggertak keras-keras satu kali dan terus menerjang ke tengah musuh. Terdengar suara gedebukan beberapa kali, lalu Hiang Bun-thian berlari balik, tapi punggungnya sudah memanggul satu orang.
Kedua tangan orang itu telah diringkus oleh rantai yang masih mengikat pergelangan tangannya, dalam keadaan demikian ia memanggul tawanannya itu. Habis itu ia memondong kembali Lenghou Tiong terus lari pula ke depan. Katanya dengan tertawa, "Sekarang kita sudah mempunyai tameng penadah senjata rahasia!"
Keruan tawanannya berteriak-teriak, "Jangan lepas senjata rahasia! Jangan main senjata rahasia!"
Namun pengejar-pengejar itu tidak menggubris, senjata rahasia masih terus menyambar tiba tanpa berhenti.
"Aduuh!" sekonyong-konyong orang itu menjerit. Rupanya punggungnya terkena sebuah am-gi atau senjata rahasia kawan sendiri.
Dengan memanggul tameng hidup dan memondong pula Lenghou Tiong, Hiang Bun-thian masih dapat lari dengan sangat cepat.
Terdengar tawanan di punggung itu mencaci maki sekeras-kerasnya, "Ong It-jong, maknya disontik! Kau tidak pikirkan teman lagi, sudah tahu aku .... Aduh! Ini panah kecil, bangsat Yong Hu-yan, kau siluman rase ini, kau sengaja hendak membunuh aku ya?"
Begitulah orang itu sebentar menjerit dan lain saat mencaci maki, makin lama makin lemah suaranya sampai akhirnya satu kata pun tidak bersuara lagi.
"Haha, tameng hidup telah berubah menjadi tameng mati," kata Hiang Bun-thian dengan tertawa.
Karena tidak perlu khawatir lagi akan serangan am-gi musuh, dia terus lari dengan cepat. Setelah membelok dua pengkolan lagi, akhirnya ia berkata, "Sampailah sekarang!"
Ia menghela napas lega, lalu bergelak tertawa, tertawa gembira. Maklumlah cuma belasan li saja ia harus mencapai tempat yang aman ini, padahal keadaannya tadi sesungguhnya sangat berbahaya. Jika dia cuma sendirian tidak menjadi soal, tapi dia membawa Lenghou Tiong yang dianggapnya berjiwa kesatria, seorang pemuda yang belum pernah ditemuinya, maka apa pun juga ia harus menyelamatkannya. Dan dapatlah ia merasa lega karena sekarang mereka sudah mencapai tempat tujuannya.
Waktu Lenghou memandang ke depan, mau tak mau ia merasa khawatir. Kiranya di depan situ terbentang balok batu yang sempit yang menghubungkan tepi tebing sebelah sana dan di bawah adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya.
Balok batu itu hanya terlihat sepanjang tiga-empat meter saja, lebih ke sana lagi sudah tertutup oleh kabut awan yang tebal sehingga sukar diketahui di mana letak ujungnya.
"Adik cilik," kata Hiang Bun-thian dengan suara tertahan, "di tengah kabut tebal sana adalah jala tali besi melulu, kau jangan sembarangan jalan ke sana."
Lenghou Tiong mengiakan. Dalam hati ia tambah khawatir, "Balok batu yang sempit dan jurang yang dalam ini sudah luar biasa bahayanya disambung lagi dengan jala tali besi saja, dengan kekuatan sekarang jelas sukar melihat ke sana."
Dalam pada itu dari pinggang "tameng mati" Hiang Bun-thian telah melolos sebatang pedang dan diberikan kepada Lenghou Tiong, lalu "tameng" itu ditegakkan di depan sebagai aling-aling, rantai yang membelit di tangan "tameng mati" itu dilepaskan, kemudian dengan tameng itu ia menantikan datangnya musuh.
Hanya sebentar saja ia menunggu, rombongan pertama pengejar sudah tiba. Melihat keadaan setempat yang berbahaya dan tampaknya Hiang Bun-thian sudah siap tempur, seketika mereka tidak berani mendesak maju.
Tidak lama kemudian, musuh yang datang sudah semakin banyak, mereka menggerombol di tempat rada jauh dengan mencaci maki, menyusul segala macam am-gi lantas dihamburkan pula. Namun Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong bersembunyi di belakang "tameng" dengan aman, tiada satu pun senjata rahasia itu mengenai mereka.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekonyong-konyong seorang menggerung keras, suaranya menggeletar, seorang thauto (hwesio piara rambut) kasar memutar sebatang tongkat besar menerjang ke arah balok batu. Tongkatnya yang besar sedikitnya ratusan kati beratnya, begitu mendekat tongkat lantas menyerampang pinggang Hiang Bun-thian.
Tapi dengan mendak ke bawah tongkat itu menyambar lewat di atas kepala Hiang Bun-thian menyusul Hiang Bun-thian lantas mengayun rantainya untuk menyabet kaki lawan.
Rupanya thauto itu terlalu nafsu mengayun tongkatnya sehingga seketika sukar ditarik kembali untuk menangkis, terpaksa ia meloncat ke atas untuk menghindar.
Tak terduga rantai Hiang Bun-thian berputar dengan cepat terus membelit pergelangan kaki kanannya, berbareng disendal sehingga thauto itu tidak sanggup menguasai tubuhnya lagi dan terjerumus ke depan dan tanpa ampun lagi jatuh ke dalam jurang.
Dalam pada itu sekali sendal dan dikendurkan, rantai Hiang Bun-thian sudah terlepas dari kaki sasarannya. Yang terdengar hanya suara jerit ngeri thauto kasar itu berkumandang dari bawah jurang sehingga membuat orang mengirik, tanpa terasa kawannya sama mundur beberapa tindak seakan-akan takut dilempar ke dalam jurang oleh Hiang Bun-thian.
Setelah saling bertahan rada lama tiba-tiba ada dua orang tampil ke muka lagi. Seorang bersenjata sepasang tombak pendek dan yang lain adalah seorang hwesio pakai tongkat berujung tajam bentuk sabit. Kedua orang itu menerjang maju bersama, sepasang tombak pendek dari atas bawah terus menusuk muka dan perut Hiang Bun-thian, sebaliknya tongkat sabit si hwesio menyodok iga kirinya.
Tiga buah senjata itu cukup berat bobotnya disertai dengan tenaga dalam yang kuat pula maka serangan mereka boleh dikata sangat hebat. Rupanya mereka telah meninjau dengan baik keadaan tempat situ, serangan mereka akan memaksa Hiang Bun-thian mau tak mau harus melangkah ke samping serta menangkis dengan rantainya.
Benar juga, segera Hiang Bun-thian mengayun rantainya "trang-trang-trang" tiga kali senjata lawan itu terbentur minggir semua dengan memercikkan lelatu api. Terdengar sorak-sorai orang banyak menyaksikan pertarungan keras lawan keras itu.
Setelah senjata mereka terbentur minggir menyusul kedua orang itu lantas menyerang maju pula. "Trang-trang-trang", kembali empat buah senjata saling beradu. Laki-laki itu dan si hwesio tampak tergeliat, sebaliknya Hiang Bun-thian masih berdiri tegak kuat.
Tanpa memberi kesempatan bernapas kepada musuh, sambil menggertak rantai Hiang Bun-thian lantas menyabet pula, ketika kedua orang menangkis dengan senjata masing-masing, maka terdengar lagi suara mendering nyaring. Hwesio itu menyerang sekeras-kerasnya, tongkat sabitnya terlepas dari cekalan dan darah segar terpancur dari mulutnya. Sebaliknya laki-laki itu masih mengangkat kedua tombaknya menusuk ke arah Hiang Bun-thian.
Ternyata Hiang Bun-thian tidak berkelit juga tidak menghindar, ia berdiri tegak membiarkan tusukan itu, bahkan disambut dengan bergelak tertawa. Ketika kedua tombak musuh kira-kira belasan senti sebelum mengenai dadanya sekonyong-konyong tombak mendelong ke bawah menyertai jatuhnya kedua tombaknya, laki-laki itu pun roboh terkapar untuk tidak pernah bangun lagi. Nyata ia telah tergetar mati oleh tenaga Hiang Bun-thian tadi.
Keruan para pengejar yang berkumpul di sebelah sana saling pandang dengan ketakutan dan tiada seorang pun berani maju lagi.
"Adik cilik biar kita main tahan dengan mereka, boleh kau duduk mengaso saja," kata Hiang Bun-thian kepada Lenghou Tiong. Lalu ia sendiri duduk berpangku lutut dan memandang ke langit tanpa mengambil pusing terhadap kawanan musuh.
Sejenak kemudian mendadak seorang berseru lantang, "Iblis yang takabur, kau berani memandang enteng kesatria sejagat!"
Menyusul empat tojin tampak melangkah maju ke depan Hiang Bun-thian dengan menjinjing pedang. Tiba-tiba pedang mereka diacungkan serentak dan membentak, "Berdiri untuk bertempur!"
"Hehe, memangnya orang she Hiang bersalah apa terhadap Bu-tong-pay kalian?" jengek Hiang Bun-thian.
Rupanya tojin itu adalah jago Bu-tong-pay. Seorang di antaranya lantas menjawab, "Iblis jahat agama sesat membahayakan Bu-lim, kaum alim kita harus bangkit menumpasnya."
"Merdu sekali kata-kata iblis jahat agama sesat membahayakan Bu-lim dan harus dibasmi, jika begitu di belakang kalian ada lebih separuh anggota Mo-kau, kenapa kalian tidak menumpasnya?" jawab Hiang Bun-thian tertawa.
"Gembongnya harus ditumpas lebih dulu!" sahut tojin itu.
Hiang Bun-thian masih tetap duduk berpangku lutut dan menengadah ke langit, katanya pula dengan acuh tak acuh, "O, kiranya demikian. Benar, benar!"
Pada saat lain mendadak ia menggertak keras-keras sambil meloncat bangun, rantainya bagaikan ular hidup terus menyabet kaki keempat tojin itu.
Serangan mendadak itu datangnya terlalu cepat, untung keempat tojin itu adalah jago pilihan Bu-tong-pay, pada saat bahaya pedang tiga orang di antaranya lantas menegak ke samping untuk menahan sambaran rantai musuh. Tojin yang berdiri paling ujung sana segera balas menusuk dengan pedang ke leher Hiang Bun-thian.
Terdengar suara mendering nyaring, tiga batang pedang menyerang tiga kali lagi sehingga Hiang Bun-thian rada kerepotan. Kesempatan itu digunakan oleh ketiga tojin tadi untuk mundur mengganti pedang, lalu menerjang maju pula.
Ilmu pedang Bu-tong-pay memang terkenal "dengan halus melawan keras", semakin kuat musuhnya pertahanan mereka pun semakin tangguh. Kerja sama keempat pedang tojin itu menjadi seperti suatu barisan pedang yang rapat, pada waktu menyerang sasaran-sasaran yang mereka incar tidak pernah meninggalkan tempat mematikan di tubuh Hiang Bun-thian.
Sebaliknya ketika Hiang Bun-thian putar rantainya, terpaksa kedua tangannya harus bergerak semua sebab rantai itu mengikat pergelangan kedua tangannya, dalam keadaan demikian terang gerak-geriknya kurang leluasa dan kurang gesit. Maka lama-kelamaan bukan mustahil dia akan dikalahkan oleh pedang jago Bu-tong-pay yang lihai itu.
Setelah mengikuti sebentar pertarungan itu, dapat juga Lenghou Tiong melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu. Ia tidak tinggal diam, ia melangkah maju dari sisi kanan Hiang Bun-thian, pedang terus menusuk iga salah seorang tojin.
Serangan Lenghou Tiong itu dilakukan dengan aneh dan tak terduga sehingga sukar bagi tojin itu untuk menghindar, "sret", dengan tepat iganya tertusuk.
Tapi sekilas terlintas suatu pikiran dalam benak Lenghou Tiong, "Bu-tong-pay dihormati setiap orang Kangouw. Meski aku harus membantu Hiang-siansing, tapi juga jangan mencelakai jiwa tosu ini."
Maka ketika ujung pedang baru masuk ke dalam kulit lawan, dengan cepat ia hendak menarik kembali pedangnya.
Tojin itu keburu mengatupkan lengannya, ternyata dia tidak pikirkan sakit atau tidak, tapi pedang Lenghou Tiong itu dikempit sekuatnya. Maka waktu Lenghou Tiong menarik kembali pedangnya, tanpa ampun lagi iga dan lengan tojin itu tergores luka panjang.
Sedikit merandek itulah pedang tojin yang lain telah menyambar tiba dan tepat membentur pedang Lenghou Tiong. Tangan Lenghou Tiong terasa kesemutan, ia bermaksud melepaskan pedangnya, tapi lantas teringat sekali kehilangan senjata tentu keadaan tambah berbahaya. Maka sekuatnya ia genggam pedang, terasa suatu arus tenaga mengalir datang melalui pedang dan menyerang nadi jantung dengan keras.
Tosu pertama yang iganya tertusuk pedang itu mestinya lukanya tidak parah, tapi ketika dia mengempit pedang Lenghou Tiong tadi, lengannya tergores luka yang cukup dalam sehingga tulang lengan kelihatan, darah terus mancur dengan derasnya, dia sudah tidak mampu bertempur lagi. Adapun dua tojin yang lain saat itu sudah berada di belakang Lenghou Tiong dan sedang mengerubut Hiang Bun-thian dengan sengit.
Ilmu pedang kedua tojin itu sangat bagus dan dapat kerja sama dengan rapat. Setiap beberapa gebrakan selalu Hiang Bun-thian terdesak mundur selangkah, ketika belasan langkah mundur ke belakang, sementara itu mereka sudah hampir menghilang ke tengah kabut yang tebal. Tapi kedua tosu itu masih terus menyerang.
Tiba-tiba ada orang berteriak dari gerombolan para kesatria sana, "Awas, ke sana lagi adalah Tiat-soh-kio (Jembatan Tali Besi)!"
Akan tetapi sudah terlambat, baru tersebut nama "Tiat-soh-kio", berbareng terdengarlah jerit ngeri kedua tosu tadi, tubuh mereka menyelonong ke depan menghilang di tengah kabut. Agaknya tanpa kuasa lagi mereka kena diseret ke sana oleh Hiang Bun-thian. Jerit ngeri mereka makin menurun ke bawah dengan cepat dan dalam sekejap saja sudah tidak terdengar lagi
Hiang Bun-thian terbahak-bahak dan muncul kembali dari balik kabut tebal sana. Ketika dilihatnya Lenghou Tiong sedang sempoyongan hampir roboh, ia menjadi kaget.
Kiranya tojin Bu-tong-pay itu pun menyadari bahwa dalam hal kebagusan ilmu pedang sekali-kali dirinya bukan tandingan Lenghou Tiong, hal ini telah disaksikannya ketika pemuda itu berturut-turut melukai beberapa orang dengan Tokko-kiu-kiam yang lihai di gardu itu. Tapi ia pun dapat melihat akan kelemahan Lenghou Tiong, yaitu tenaga dalamnya sangat lemah. Sebab itulah di antara mereka berempat sebenarnya sudah ada sepakat akan berusaha mengadu lwekang bilamana terpaksa harus bertempur dengan Lenghou Tiong.
Begitulah maka ketika pedangnya menempel pedang Lenghou Tiong segera ia menyalurkan tenaga dalamnya untuk menyerang. Jangankan tenaga dalam Lenghou Tiong sekarang sudah punah, biarpun dalam keadaan biasa juga latihannya memang masih cetek dan bukan tandingan jago Bu-tong-pay yang sudah terlatih berpuluh tahun lamanya itu.
Untung hawa murni dalam tubuhnya sangat penuh, meski tidak kuat balas menyerang namun untuk sementara juga tidak sampai tergetar binasa oleh lwekang musuh. Hanya saja hawa murni dalam tubuh itu tidak dapat dikuasai, darah juga bergolak dengan hebat maka sampai mata berkunang-kunang dan pikiran kacau.
Pada saat itulah tiba-tiba terasa "tay-cui-hiat" bagian punggung tersalur oleh suatu arus hawa panas, daya tekanan musuh lantas terasa ringan semangat Lenghou Tiong terbangkit, ia tahu Hiang Bun-thian sedang membantunya dengan lwekang yang tinggi.
Tapi segera dapat dirasakan bahwa tenaga dalam Hiang Bun-thian ini tidak terlalu kuat, juga bukan digunakan untuk melawan tenaga musuh, tapi jelas sedang menarik tenaga serangan musuh menuju ke bawah, dari lengan menuju ke pinggang, lalu menjulur ke bagian kaki terus lenyap ke bawah tanah.
Kejut dan girang pula Lenghou Tiong, selamanya tak terbayang olehnya bahwa di dalam ilmu lwekang ternyata ada semacam kepandaian yang aneh dan spesial begini, betapa pun besar kekuatan lwekang musuh dapat dipunahkan dengan menggunakan tenaga dalam yang ringan.
Rupanya tojin itu pun mengetahui gelagat tidak menguntungkan, mendadak ia membentak sambil melompat mundur, "Gip-sing-tay-hoat! Gip-sing-tay-hoat!"
Mendengar nama Gip-sing-tay-hoat" (Ilmu Iblis Pengisap Bintang) itu, seketika air muka orang banyak berubah ketakutan. Sebaliknya jago-jago yang berusia muda malah tidak begitu pusing terhadap ilmu yang disebut itu, hal itu bukannya mereka pemberani melainkan pada hakikatnya mereka tidak kenal apa itu "Gip-sing-tay-hoat" segala.
Hiang Bun-thian tertawa, katanya, "Ya, memang benar ini adalah Gip-sing-tay-hoat. Siapa yang berminat merasakannya boleh coba maju sini!"
Tiba-tiba Mo-kau-tianglo yang berikat pinggang warna kuning itu berkata dengan suara serak, "Agaknya Hiang-yusu telah bersekongkol dengan ... dengan Gip-sing-lokoay (Iblis Tua Pengisap Bintang), marilah kita pulang memberi lapor kepada Kaucu dan terserah keputusan beliau."
Bab 64. Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong Mengangkat Saudara
Para anggota Mo-kau mengiakan serentak, lalu putar tubuh dan melangkah pergi, jumlah mereka yang beberapa ratus orang itu seketika bubar separuh lebih.
Sedangkan orang-orang dari cing-pay itu tampak bisik-bisik saling berunding sejenak, lalu mereka pun membubarkan diri berturut-turut. Sampai akhirnya yang tinggal di situ hanya tinggal belasan orang saja. Terdengar seorang di antaranya berseru lantang, "Hiang-yusu dan Lenghou Tiong, kalian telah berkomplot dengan Gip-sing-lokoay, kalian telah kejeblos semakin dalam. Untuk selanjutnya kawan Bu-lim tidak perlu banyak pikir tentang cara layak untuk menghadapi kalian. Hal ini adalah akibat perbuatan kalian sendiri. Bila terjadi sesuatu nanti kalian jangan menyesal."
"Bilakah orang she Hiang pernah merasa menyesal terhadap segala apa yang pernah diperbuatnya?" sahut Hiang Bun-thian tertawa. "Padahal cara kalian beberapa ratus orang mengerubut kami berdua ini apakah terhitung cara yang layak" Hehe, sungguh menggelikan, sungguh menertawakan!"
Sejenak kemudian, ketika Hiang Bun-thian mendengarkan dengan cermat, ia tahu semua musuh benar-benar sudah pergi jauh. Dengan suara perlahan ia berkata kepada Lenghou Tiong, "Kawanan bangsat itu pasti akan kembali lagi. Hiang Bun-thian sudah lari satu kali bila lari lagi satu kali juga lari namanya, biarlah kita sembunyi saja sekalian. Adik cilik, bertiaraplah di punggungku!"
Melihat Hiang Bun-thian berkata dengan sungguh-sungguh, Lenghou Tiong juga tidak banyak tanya lagi, segera ia menurut dan menggandul di punggungnya. Tapi sekali ini bukan lagi Hiang Bun-thian membawanya lari sebaliknya terus berjongkok, sebelah kaki perlahan menjulur ke bawah jurang malah.
Selagi Lenghou Tiong terperanjat, dilihatnya Hiang Bun-thian telah mengayun rantainya dan tepat melilit pada suatu batang pohon yang tumbuh menonjol dari dinding karang. Setelah ditarik dan dicoba daya tahannya cukup kuat untuk menahan bobot orang, habis itu barulah perlahan Hiang Bun-thian melorot ke bawah sehingga tubuh mereka tergantung di tengah udara.
Sesudah Hiang Bun-thian mengayun tubuh beberapa kali dan menemukan tempat berpijak, kemudian tangan menyendal untuk melepaskan rantainya. Ketika rantai itu merosot ke bawah, pada saat itu pula kedua tangan Hiang Bun-thian sedikit menahan dinding batu sekadar memperlambat daya turun tubuhnya, dalam pada itu rantainya diayunkan ke samping untuk mencantol pada sepotong batu karang yang mencuat keluar, dengan demikian tubuh mereka berdua lantas melorot belasan meter lagi ke bawah.
Dengan cara begitulah seterusnya mereka melorot ke bawah jurang. Terkadang dinding karang itu tiada pepohonan, juga tiada batu karang yang mencuat, maka Hiang Bun-thian lantas menggunakan cara paling berbahaya, ia menempel di dinding karang dan membiarkan tubuhnya meluncur ke bawah sampai belasan meter jauhnya makin melorot makin cepat, tapi bila menemukan sedikit tempat yang bisa bertahan segera ia keluarkan ilmu saktinya entah dengan pukulan entah dengan depakan, untuk memperlambat daya turunnya itu.
Keruan Lenghou Tiong kebat-kebit dan khawatir, ia merasa cara melorot demikian benar-benar sangat berbahaya tidak kurang bahayanya daripada pertempuran sengit tadi.
Tapi dasarnya dia juga pemberani, ia pikir pengalaman yang aneh dan luar biasa ini kalau tidak menemukan orang kosen semacam Hiang Bun-thian betapa pun sukar dialaminya. Sebab itulah ketika kedua kaki Hiang Bun-thian sudah menginjak dasar jurang lamat-lamat ia menjadi kecewa malah mengapa jurang itu tidak beberapa ratus meter lebih dalam lagi.
Waktu dia menengadah, terlihat di atas awan putih belaka, balok batu itu sudah berwujud satu jalur hitam yang amat halus.
"Hiang-siansing ...." baru Lenghou Tiong hendak bicara mendadak Hiang Bun-thian mendekap mulutnya sambil menuding ke atas.
Segera Lenghou Tiong paham bahwa musuh yang telah pergi itu tentu datang kembali. Waktu ia memandang ke atas namun tiada satu bayangan pun tampak.
Hiang Bun-thian pasang kuping di dinding karang itu, selang sebentar baru berkata dengan tersenyum, "Kawanan mayat itu sekarang benar-benar sudah pergi semua."
"Mayat?" Lenghou Tiong menegas dengan heran.
"Ya, mayat," sahut Hiang Bun-thian. "Dalam waktu tiga tahun ke-678 orang itu akan menjadi mayat semua. Hm, selama hidup hanya Thian-ong Locu Hiang Bun-thian yang menguber orang dan tidak pernah dikejar orang, tapi sekali ini Locu telah melanggar kebiasaan itu, jika aku tidak membunuh mereka satu demi satu ke mana lagi mukaku ini harus ditaruh" Baik orang cing-pay maupun anggota Mo-kau yang ikut mengepung di sekitar gardu itu berjumlah 709 orang, kita sudah membunuh 31 orang sisanya masih 678 orang."
"Betul 678 orang" Cara bagaimana engkau bisa mengenal mereka dengan jelas?" tanya Lenghou Tiong. "Dan dalam tiga tahun masakah engkau dapat membunuh orang sebanyak itu?"
"Apa susahnya?" jawab Hiang Bun-thian. "Asal aku bekuk kepalanya masakah buntutnya takkan terpegang" Di antara 678 orang itu sekarang kuingat betul 532 orang di antaranya, sisanya seratus lebih kelak tentu dapat kucari."
Sungguh tidak kepalang heran Lenghou Tiong. Ketika di gardu itu tampaknya Hiang Bun-thian hanya acuh tak acuh saja, tapi setiap musuh ternyata sudah diingatnya dengan baik. Jelas bukan saja ilmu silatnya luar biasa, bahkan daya ingatnya juga lain daripada yang lain.
"Hiang-siansing," kata Lenghou Tiong kemudian, "dalam tiga tahun engkau akan membunuh orang sebanyak itu, apakah perbuatan demikian tidak terlalu kejam" Seorang diri engkau telah membunuh beberapa puluh di antara mereka, nama kebesaranmu tentu sudah berkumandang ke seluruh dunia. Kukira orang-orang begitu tidak perlu dipikir lagi."
"Hm, untung kau membantu aku, kalau tidak saat ini Hiang Bun-thian sudah dicacah mereka hingga hancur luluh. Bila sakit hati ini tidak kubalas, cara bagaimana aku dapat menjadi manusia lagi?"
Sampai di sini ia melototi Lenghou Tiong sejenak, lalu menyambung pula, "Kau adalah murid golongan cing-pay, sebaliknya orang she Hiang adalah iblis sia-pay, kita tidak sama golongan. Kau telah menolong jiwaku, budi ini tentu saja kuingat dengan baik. Tapi kalau kau lantas hendak menyuruh aku jangan begini dan jangan begitu, hm, tidak nanti aku mau menurut. Pendek kata ke-678 orang itu tetap harus kubunuh."
Lenghou Tiong bergerak tertawa katanya, "Hiang-siansing, hanya secara kebetulan saja aku bertemu denganmu dan bersama melabrak kawanan pengeroyok itu, jika aku tidak sampai mati saja sudah untung masakah Hiang-siansing bilang aku menolong jiwamu segala" Hah, benar-benar ... benar-benar ...."
"Benar-benar ngaco-belo bukan?" sambung Hiang Bun-thian.
"Wanpwe tidak berani menganggap menolong jiwamu inilah yang tidak tepat."
"Apa yang pernah dikatakan orang she Hiang selamanya tak pernah kujilat kembali. Sekali aku mengatakan kau telah menolong jiwaku maka tetap aku utang budi padamu."
Lenghou Tiong tahu tabiat Hiang Bun-thian sangat kepala batu maka ia hanya tertawa saja tanpa mendebatnya pula.
"Apakah kau tahu sebab apa kawanan anjing itu sudah pergi lalu datang kembali?" tanya Hiang Bun-thian.
"Wanpwe justru ingin mohon keterangan," sahut Lenghou Tiong.
"Ah, kau selalu sebut wanpwe, cianpwe, siansing apa segala, aku merasa bosan," ujar Hiang Bun-thian. "Aku adalah Kong-beng-sucia dari Mo-kau, orang seagama sama memanggil aku Hiang-yusu. Tapi kau bukan anggota Mo-kau kami maka tidak dapat memanggil demikian padaku. Sudahlah kau panggil aku Hiang-heng (kakak) saja dan aku panggil adik padamu."
"Ah, Wanpwe tidak berani," sahut Lenghou Tiong.
"Kembali Wanpwe lagi," bentak Hiang Bun-thian dengan gusar. "Baiklah, tentu kau pandang hina padaku lantaran aku adalah orang Mo-kau. Kau telah menyelamatkan jiwaku padahal jiwaku ini bukan soal bagiku. Sebaliknya kau menghina aku, untuk ini marilah kita coba berkelahi dulu."
"Berkelahi sih tidak perlu, jika Hiang-heng suka ya Siaute akan menurut saja memanggil demikian padamu," jawab Lenghou Tiong.
Diam-diam ia berpikir dengan Dian Pek-kong saja yang merupakan penjahat besar juga pernah mengikat persahabatan karib apa artinya sekarang jika bertambah seorang Hiang Bun-thian" Lagi pula orang ini sangat gagah perwira boleh dikata seorang jantan sejati, justru tokoh demikianlah yang paling kusukai.
Karena itu segera ia memberi hormat, katanya "Hiang-heng, terimalah hormat adik ini."
"Hahahaha!" Hiang Bun-thian tertawa. "Di seluruh dunia hanya dikau seorang saja yang berkakak-adik denganku. Nah, ingatlah dengan baik adikku!"
Biasanya kalau dua orang mengangkat saudara, maka sedikitnya harus bersumpah dan mengadakan sedikit upacara. Tapi dasar mereka berdua memang orang yang tidak kenal ikatan adat segala. Yang penting mereka merasa cocok satu sama yang lain, sekali bilang saudara, maka jadilah saudara.
Sejak kecil Hiang Bun-thian sudah biasa pergi-datang sendirian dengan bebas, sekarang dia mengangkat seorang adik, sudah tentu hatinya sangat gembira. Katanya kemudian, "Sayang di sini tidak ada arak, kalau ada entah betapa puasnya bila kita minum sepuluh atau seratus cawan."
"Benar," sahut Lenghou Tiong. "Saat ini kerongkongan adik sudah merasa gatal. Sekali kakak menyebut arak aku tambah mengiler lagi."
"Kawanan kura-kura itu belum terlalu jauh perginya, rasanya kita terpaksa harus mengeram di sini untuk dua-tiga hari lagi," kata Hiang Bun-thian sambil menuding ke atas. "Adik cilik, ketika si hidung kerbau (istilah olok-olok kaum tosu) itu menyerangmu dengan lwekang, aku pun membantu dengan tenaga dalam, apa yang kau rasakan tatkala itu?"
"Rasanya kakak seperti menarik tenaga tojin itu ke bawah," sahut Lenghou Tiong.
"Tepat," seru Hiang Bun-thian dengan senang sambil tepuk paha. "Agaknya kau memang sangat cerdas. Kepandaianku ini adalah ciptaanku sendiri secara tidak sengaja dan tiada seorang Bu-lim pun yang mengetahui. Aku telah memberi nama ilmuku ini sebagai "Gip-kang-cip-te-siau-hoat" (Ilmu Kecil Mengisap Tenaga ke Dalam Tanah).
"Sebenarnya kepandaianku ini laksana si kerdil dibandingkan raksasa jika diukur dengan "Gip-sing-tay-hoat" (Ilmu Besar Pengisap Bintang) yang sangat ditakuti oleh setiap orang Bu-lim itu," tutur Hiang Bun-thian pula. "Sebab itulah aku memberi nama "siau-hoat" (ilmu kecil) saja. Kepandaianku ini sebenarnya cuma permainan akal saja, dengan cara menarik tenaga lawan dan disalurkan ke dalam tanah supaya tenaga musuh itu tidak mampu mencelakai kita. Tapi hasilnya juga tiada manfaatnya bagi kita sendiri. Pula ilmu ini hanya dapat digunakan tatkala musuh menyerang dan tidak dapat digunakan untuk menyerang musuh.
"Soalnya ketika musuh merasakan tenaga dalam yang dia kerahkan merembes keluar dan lenyap, tentu saja dia kaget dan takut. Tapi selang tidak lama tenaganya juga akan pulih kembali. Dari itu kuduga sesudah hidung kerbau Bu-tong-pay itu pulih tenaganya, segera ia akan mengetahui bahwa kepandaianku mengisap tenaganya itu cuma permainan menggertak belaka dan tidak perlu ditakuti sebenarnya. Biasa kakakmu ini tidak menyukai permainan akal-akalan dan menipu, sebab itulah sebelumnya tidak pernah kugunakan."
"Thian-ong Locu biasanya tidak kenal lari, selamanya tidak pernah menipu orang, tapi kini demi menyelamatkan Siaute, kedua kebiasaan itu terlanggar semua," ujar Lenghou Tiong tertawa.
"Hehe, juga belum tentu bahwa selamanya aku tidak menipu orang," ujar Hiang Bun-thian tertawa. "Cuma terhadap keroco seperti Siong-ti dari Bu-tong-pay itu rasanya kakakmu tidak sudi untuk menipunya."
Dia merandek sejenak lalu, katanya lagi dengan tertawa, "Kau sendiri harus hati-hati adik cilik, bisa jadi pada suatu ketika kakak akan menipumu."
Begitulah kedua orang lantas bergelak tertawa. Cuma khawatir didengar oleh musuh di atas, maka mereka menahan suara mereka selirihnya.
Sementara itu mereka merasakan perut sudah sangat lapar, di dasar lembah itu hanya penuh rumput dan lumut belaka, lain tidak ada. Terpaksa mereka duduk bersandar batu dan pejamkan mata mengumpulkan semangat.
Lenghou Tiong sudah teramat lelah, maka tidak lama kemudian ia sudah terpulas. Dalam mimpinya tiba-tiba melihat Ing-ing, membawa tiga ekor kodok panggang dan diserahkan padanya sambil menyapa, "Apakah kau telah lupa padaku?"
"Tidak, tidak lupa," seru Lenghou Tiong. "Kau ... kau hendak ke mana?"
Baru selesai ucapannya, mendadak bayangan Ing-ing sudah menghilang. Ia berteriak-teriak lagi, "Jangan pergi, engkau jangan pergi! Aku ingin bicara padamu!"
Tapi ia telah dipapak oleh macam-macam senjata, ia menjerit kaget dan terjaga bangun. Terdengar suara Hiang Bun-thian sedang bicara dengan tertawa, "Kau mimpi ketemu kekasihmu bukan" Banyak sekali yang hendak kau bicarakan padanya?"
Muka Lenghou Tiong menjadi merah, ia tidak tahu igauan apa yang telah didengarnya oleh Hiang Bun-thian dalam mimpinya tadi.
"Adik cilik, kau hendak mencari kekasihmu paling tidak kau harus menyembuhkan dahulu penyakitmu," kata Hiang Bun-thian.
"Aku ... aku tidak punya kekasih," sahut Lenghou Tiong. "Pula penyakitku ini terang tak bisa disembuhkan."
"Aku telah utang jiwa padamu, meski sudah angkat saudara betapa pun aku tetap merasa tidak enak dan harus kubayar kembali satu jiwa padamu. Aku akan membawamu ke suatu tempat dan tentu akan dapat menyembuhkan penyakitmu."
Walaupun Lenghou Tiong sudah tidak memikirkan mati-hidup sendiri tapi soalnya memang tidak berdaya sehingga terpaksa pasrah nasib. Dari dulu hingga sekarang kecuali orang yang memang ingin bunuh diri kalau tidak asalkan ada harapan untuk hidup setiap orang juga pasti akan berusaha sebisanya untuk mempertahankan hidupnya. Sekarang didengarnya Hiang Bun-thian menyatakan penyakitnya akan dapat disembuhkan, jika orang lain yang bilang mungkin sukar dipercaya.
Namun Hiang Bun-thian memang lain daripada yang lain, betapa tinggi ilmu silatnya kecuali Hong Jing-yang boleh dikata belum pernah dilihatnya selama hidup ini, apa yang dikatakan sudah tentu ada dasarnya, maka dari lubuk hati Lenghou Tiong seketika timbul sepercik harapan yang menggirangkan. Katanya, "Aku ... aku ...." tiba-tiba ia tidak sanggup meneruskan ucapannya.
Dalam pada itu bulan sabit telah mengintip di tengah cakrawala, sinarnya yang jernih memenuhi bumi, meski di dasar lembah itu rasanya masih seram, tapi dalam pandangan Lenghou Tiong sekarang laksana cahaya matahari yang menyilaukan mata.
"Marilah kita pergi mencari seorang," ajak Hiang Bun-thian. "Tabiat orang ini sangat aneh jangan sampai dia tahu akan urusan ini. Untuk itu, adik cilik, jika kau percaya padaku hendaknya segala apa kau serahkan saja padaku, kau sendiri tidak perlu ikut campur."
"Masakah aku tidak percaya?" sahut Lenghou Tiong. "Koko hendak berusaha menyembuhkan penyakitku hal ini sebenarnya tipis sekali harapannya. Jika bisa sembuh sudah tentu kita akan bersyukur tapi kalau tak bisa sembuh juga sudah dalam dugaan."
"Sialan, paha kuda-kuda itu ketinggalan di sana, sekarang ke mana harus mencari makanan," tiba-tiba Hiang Bun-thian berkata sambil menjilat-jilat bibir. "Sudahlah, terpaksa kita harus mencari jalan keluar dari sini. Aku akan coba mengubah dulu mukamu."
Lalu ia meraup segenggam tanah liat di dasar lembah itu dan dipoles muka Lenghou Tiong, kemudian ia mengusap dagu sendiri, di mana tiba tenaga saktinya seketika janggutnya rontok semua, habis itu kedua tangan lantas meremas-remas pula kepala sendiri, dalam sekejap saja seluruh rambutnya yang sudah beruban pun rontok bersih sehingga kepalanya menjadi gundul kelimis.
Melihat dalam waktu sekejap saja wajah Hiang Bun-thian sudah berubah begitu rupa, Lenghou Tiong merasa geli dan sangat kagum pula.
Lalu Hiang Bun-thian meraup segenggam lempung lagi untuk menambal hidung sendiri sehingga tambah besar, kedua pipi juga dibikin gemuk. Sekarang biarpun muka bertemu muka, kawan sendiri pun sukar mengenalnya lagi.
Begitulah mereka lantas mencari jalan untuk keluar dari lembah jurang itu. Hiang Bun-thian menyembunyikan kedua tangannya di dalam lengan baju yang longgar untuk menutupi rantai yang mengikat pergelangan tangannya. Asalkan tidak angkat tangan tentu tidak ada orang tahu bahwa si gundul gemuk inilah Thian-ong Locu Hiang Bun-thian yang gagah perkasa itu.
Setelah menyusur kian kemari di tengah lembah itu, sampai tengah hari mereka menemukan satu pohon tho di suatu tanjakan. Meski buah tho itu masih hijau dan rasanya masih sepat, tapi saking laparnya mereka pun tidak banyak pikir lagi, segera mereka lalap buah itu sekenyangnya.
Sesudah mengaso sebentar, kemudian mereka maju lagi ke depan. Menjelang petang, akhirnya Hiang Bun-thian berhasil menemukan suatu tempat keluar. Cuma untuk itu harus dilintasi dulu suatu dinding tebing yang curam dan beberapa puluh meter tingginya. Dengan menggendong Lenghou Tiong, dengan susah payah akhirnya mereka dapat memanjat ke atas.
Di atas tebing curam itu adalah sebuah jalan berlingkar dengan rumput alang-alang lebar di kanan kiri, walaupun suasana sangat sunyi tapi sudah jauh lebih aman daripada berada di dasar lembah yang curam itu.
Esok paginya mereka terus menuju ke jurusan timur. Sampai di suatu kota Hiang Bun-thian mengeluarkan satu biji emas dan suruh Lenghou Tiong pergi menukar uang perak di suatu perusahaan penukaran uang. Habis itu mereka mencari hotel untuk menginap.
Hiang Bun-thian pesan daharan dengan satu guci arak. Kedua orang lantas makan minum sepuasnya, akhirnya sama-sama mabuk. Sampai esok pagi sang surya sudah meninggi barulah mereka mendusin. Kedua orang saling pandang dengan tertawa, mereka merasa seperti hidup di dunia baru bila teringat kepada pertarungan sengit di tengah gardu beberapa hari yang lalu.
"Kau tunggu di sini, adik cilik, aku akan keluar sebentar," kata Hiang Bun-thian.
Katanya sebentar tapi sampai dua-tiga jam baru tampak dia pulang dengan membawa beberapa bungkus barang. Rantai di tangannya sudah lenyap, mungkin telah menyuruh pandai besi untuk menanggalkannya.
Waktu Hiang Bun-thian membuka bungkusannya, kiranya isinya adalah baju yang bagus-bagus dan mewah katanya, "Kita berdua harus menyamar sebagai saudagar besar, semakin royal tampaknya semakin baik."
Segera mereka berganti pakaian serbabaru gres. Waktu keluar hotel, pelayan sudah menyiapkan dua ekor kuda pilihan dengan pelana yang mengilap, terang itu pun Hiang Bun-thian yang membelinya.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda. Beberapa hari kemudian, Lenghou Tiong terlalu lelah menunggang kuda, Hiang Bun-thian lantas menyewa sebuah kereta besar baginya. Sampai di tepi Kanal Un-ho mereka lantas meninggalkan kereta dan berganti menumpang kapal menuju ke selatan.
Sepanjang jalan Hiang Bun-thian berlaku royal sekali, buang uang tanpa takaran seakan-akan biji emas yang dia bawa tidak habis-habis.
Sampai di wilayah Provinsi Kangsoh, sesudah melintasi Tiangkang, kota di sekitar lembah Un-ho tampak sangat makmur dan ramai. Pakaian yang dibeli Hiang Bun-thian juga semakin mewah. Lenghou Tiong tidak ambil pusing, ia menurut segala apa yang diatur Hiang Bun-thian.
Bila iseng mereka lantas mengobrol macam-macam kejadian menarik di dunia Kangouw. Agaknya Hiang Bun-thian memang sangat luas pengetahuannya, daya ingatnya juga luar biasa. Bukan saja tokoh-tokoh ternama dunia persilatan hampir semua diketahuinya, bahkan jago kelas dua seperti anak murid Hoa-san-pay sebangsa Lo Tek-nau, Si Cay-cu, dan lain-lain juga tahu, malahan betapa tinggi kepandaian mereka dan asal usulnya juga diketahuinya dengan baik. Keruan Lenghou Tiong terkesima kagum.
Suatu hari, mereka hampir sampai di Hangciu. Mereka lantas ganti perjalanan melalui darat. Mereka beli lagi dua ekor kuda dan masuk ke Kota Hangciu dengan menunggang kuda.
Hangciu pernah menjadi kota raja pada Dinasti Song Selatan dengan nama Lim-an dan memang suatu kota pelesir yang indah menarik, orang berlalu-lalang ramai, di mana-mana terdengar suara musik yang merdu.
Akhirnya Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong sampai di tepi Se-ouw (Danau Barat) yang terkenal sangat indah pemandangannya. Air danau itu tampak tenang jernih laksana cermin, pohon liu tumbuh lebat melambai hampir menyentuh air danau, sungguh seakan-akan berada di surgaloka rasanya.
Lenghou Tiong berkata dengan gegetun, "Orang sering mengatakan bahwa di langit ada surga, di bumi ada Kota Sohciu dan Hangciu. Belum pernah kukenal kedua kota ini dan entah bagaimana tempatnya, tapi hari ini aku telah menikmati sendiri Se-ouw ini, ternyata pujian yang menyamakannya dengan surga memang bukan omong kosong belaka."
Hiang Bun-thian hanya tertawa. Ia larikan kudanya menuju suatu tempat. Tempat itu terbendung oleh suatu tanggul yang panjang di sebelah danau, suasananya tenang sunyi.
Mereka turun dari kuda dan menambat binatang tunggangan itu di batang pohon liu di tepi danau. Lalu berjalan mengikuti undak-undakan batu yang menuju ke atas bukit.
Hiang Bun-thian seperti sudah kenal baik tempat itu. Sesudah membelok beberapa tikungan, terlihat di depan penuh pohon bwe, hutan bwe itu tumbuh dengan subur. Dapat dibayangkan pemandangan tempat ini tentu sangat bagus tatkala bunga bwe mekar di musim semi.
Setelah menyusuri hutan bwe yang luas itu sampailah mereka di suatu jalan besar terbuat dari balok-balok batu hijau. Akhirnya mereka sampai di suatu kompleks perumahan yang berpagar tembok putih dan berpintu gerbang cat merah. Waktu dekat, terlihat di atas pintu gerbang itu tertulis dua huruf besar yang berbunyi, "Bwe-cheng" (Perkampungan Bwe). Di tepinya dibubuhi "Lu Un-bun".
Lenghou Tiong tidak banyak sekolah sehingga tidak tahu bahwa Lu Un-bun adalah seorang perwira berjasa pada zaman Song Selatan yang ikut melawan sebuah Kerajaan Chim. Yang ia rasakan hanya beberapa tulisan itu tampaknya rada indah dan kuat.
Hiang Bun-thian mendekati pintu yang terdapat dua buah gelang tembaga yang tergosok hingga mengilap, ia pegang gelangan tembaga itu dan baru saja hendak menggedor, tiba-tiba teringat sesuatu, ia menoleh dan membisiki Lenghou Tiong, "Segala apa menurut saja padaku."
Lenghou Tiong mengangguk, katanya di dalam hati, "Perkampungan ini terang adalah kediaman kaum saudagar besar Kota Hangciu ini, apakah mungkin penghuninya adalah seorang tabib sakti?"
Terdengar Hiang Bun-thian menggedor pintu empat kali dengan gelang tembaga tadi, ia berhenti sejenak, lalu mengetuk dua kali, berhenti lagi dan mengetuk lima kali pula, berhenti kemudian ketuk tiga kali, habis itu barulah ia melangkah mundur.
Selang tak lama, perlahan pintu terbuka dan muncul dua orang tua yang berdandan sebagai kaum hamba.
Melihat kedua orang itu, Lenghou Tiong terperanjat. Sinar mata kedua orang itu sangat tajam, pelipis mereka menonjol, langkahnya kuat, terang adalah dua jago silat yang memiliki lwekang tinggi, mengapa tokoh demikian mau menjadi kaum hamba yang rendah begini" Maka seorang di antaranya telah membungkuk tubuh dan menyapa. "Entah ada keperluan apakah kunjungan Tuan-tuan ke tempat kami ini?"
Segera Hiang Bun-thian menjawab, "Murid Ko-san dan Hoa-san ada sesuatu urusan mohon bertemu dengan Kanglam-si-yu (Empat Sekawan dari Kanglam), keempat Locianpwe."
"Majikan selamanya tidak terima tamu," sahut orang tua tadi. Habis itu ia bermaksud menutup kembali pintunya.
Cepat Hiang Bun-thian mengeluarkan sesuatu dan dibentang. Kembali Lenghou Tiong terkejut. Ternyata benda yang dibentang Hiang Bun-thian itu adalah sebuah panji pancawarna, di atasnya banyak terhias mutiara mestika dan batu permata.
Dahulu Lenghou Tiong pernah melihat panji lima warna itu di rumah Lau Cing-hong di Kota Heng-san, diketahuinya panji ini adalah panji kebesaran Co-bengcu, ketua Ko-san-pay yang menjabat pula ketua serikat Ngo-gak-kiam-pay. Di mana panji pancawarna ini ditunjukkan laksana Co-bengcu sendiri yang datang, setiap orang dari Ngo-gak-kiam-pay harus tunduk kepada perintah orang yang membawa panji kebesaran itu.
Lamat-lamat Lenghou Tiong merasa urusan rada ganjil, ia dapat menduga cara Hiang Bun-thian memperoleh panji itu pasti tidak beres, bukan mustahil dirampasnya dari tokoh Ko-san-pay dengan kekerasan, sekarang dia sendiri mengaku sebagai murid Ko-san-pay, entah apa maksud tujuannya" Cuma dirinya tadi sudah berjanji akan menurut segala apa yang diatur oleh Hiang Bun-thian maka terpaksa ia diam saja menantikan perkembangan selanjutnya.
Rada berubah juga air muka kedua orang tua itu demi melihat panji lima warna, kata mereka berbareng, "Panji kebesaran Co-bengcu dari Ko-san-pay."
"Benar," sahut Hiang Bun-thian.
Segera orang tua yang kedua berkata, "Selamanya Kanglam-si-yu tiada hubungan dengan Ngo-gak-kiam-pay, biarpun Co-bengcu sendiri yang datang juga majikan kami belum tentu mau ... belum tentu mau, hehe ...."
Ia tidak meneruskan ucapannya, tapi jelas maksudnya bahwa sekalipun Co-bengcu datang sendiri juga majikannya belum tentu mau menerimanya. Hanya saja Co-bengcu dari Ko-san-pay memang tinggi kedudukannya dan namanya disegani, maka hamba tua itu tidak berani sembarangan mengolok-olok. Namun jelas di balik kata-katanya tadi ia anggap kedudukan "Kanglam-si-yu" masih jauh lebih tinggi daripada Co-bengcu.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Macam apakah tokoh "Kanglam-si-yu" itu" Jika begitu hebat pengaruhnya di dunia persilatan mengapa selamanya suhu dan sunio tidak pernah bercerita tentang mereka" Selama aku berkelana di Kangouw juga belum pernah kudengar adanya orang kosen angkatan tua yang bernama "Kanglam-si-yu" segala."
Dalam pada itu Hiang Bun-thian hanya tersenyum saja, ia gulung kembali panji pancawarna itu dan disimpan ke dalam baju. Lalu katanya, "Panji Co-sutit ini bukan untuk dipakai menakuti orang. Padahal tokoh macam apakah Kanglam-si-yu keempat Cianpwe, rasanya panji ini pun tak dipandang sebelah mata ...."
"Aneh, mengapa kau sebut "Co-sutit" (murid keponakan Co)" Jadi kau sengaja memalsukan dirimu sebagai paman guru Co-bengcu. Wah, semakin tidak beres ini," demikian Lenghou Tiong menimbang di dalam hati.
Terdengar Hiang Bun-thian sedang melanjutkan, "Cuma aku sendiri selama ini tidak punya jodoh untuk menjumpai Kanglam keempat Cianpwe, maka panji yang kubawa ini hanya sekadar sebagai tanda pengenal saja, lain tidak."
"Oo," kedua hamba tua itu sama bersuara. Nada ucapan Hiang Bun-thian itu telah menjunjung sangat tinggi kedudukan Kanglam-si-yu, maka air muka mereka segera berubah ramah.
"Jadi Tuan ini adalah Susiok Co-bengcu?" seorang di antaranya menegas.
Kembali Hiang Bun-thian tertawa, jawabnya, "Benar, Cayhe adalah bu-beng-siau-cut (orang tak terkenal, keroco) di dunia persilatan sudah tentu kalian berdua tidak kenal diriku. Tapi tentang dahulu Ting-heng sekali pukul merobohkan Ki-lian-si-pa (Empat Gembong Pegunungan Ki-lian) dan Si-heng menolong anak piatu di daerah Oupak dengan sebilah golok Ci-kim-to telah membikin kocar-kacir 13 benggolan Jing-liong-pay (Gerombolan Naga). Kejadian-kejadian yang mengagumkan itu sampai sekarang Cayhe masih ingat semua"
Kedua orang tua berdandan sebagai kaum hamba itu memang seorang she Ting dan yang lain she Si. Sebelum mengasingkan diri di Bwe-cheng mereka terhitung tokoh setengah baik dan setengah jahat yang disegani dunia persilatan.
Mereka mempunyai sifat yang sama yaitu sehabis berbuat sesuatu jarang sekali meninggalkan nama, sebab itulah meski ilmu silat mereka sangat tinggi tapi nama mereka sedikit dikenal. Kedua peristiwa yang disebut Hiang Bun-thian tadi justru adalah perbuatan yang membanggakan bagi mereka. Dengan sendirinya air muka mereka menampilkan perasaan senang atas pujian Hiang Bun-thian.
Orang she Ting itu bernama Kian, dengan tersenyum ia berkata, "Ah, hanya urusan kecil saja buat apa mesti diungkat-ungkat. Pengetahuan Tuan tampaknya luas sekali."
"Di dunia persilatan tidak sedikit manusia yang punya nama kosong, sebaliknya jago-jago yang memiliki kepandaian sejati justru tidak suka namanya tersiar meski telah berbuat sesuatu yang mulia, hal inilah yang harus dipuji," demikian kata Hiang Bun-thian. "Cayhe sudah lama mengagumi "It-ji-tian-kiam" (Pedang Kilat Satu Garis) Ting-toako dan "Pat-hong-hong-uh" (Hujan Angin dari Delapan Penjuru) Si-jiko. Maka pada waktu kudengar Co-sutit ada urusan yang harus dimintakan nasihat dari Kanglam-si-yu, meski aku sudah lama mengasingkan diri, tapi segera aku mengajukan diri untuk menyanggupi perjalanan ke sini, sebab kupikir sekalipun Kanglam-si-yu belum tentu dapat ditemui, namun sudah cukup kiranya bilamana dapat berkenalan dengan Ting-toako dan Si-jiko berdua. Menurut Co-sutit, jika dia datang sendiri mungkin sekali keempat Cianpwe tidak sudi menerimanya, sebab paling akhir ini namanya terlalu gempar di dunia Kangouw, ia khawatir para Cianpwe akan memandang hina padanya, sebaliknya Cayhe jarang keluar dan mungkin tidak sampai menjemukan para Cianpwe. Hahahaha!"
Mendengar Hiang Bun-thian mengumpak Kanglam-si-yu dan mereka berdua juga ikut dipuji tentu saja Ting Kian dan Si Leng-wi sangat senang dan ikut tertawa. Diam-diam di dalam hati Si Leng-wi sudah ambil keputusan akan melaporkan pada majikannya atas kedatangan Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong.
Bab 65. Kanglam-si-yu " Empat Sekawan dari Kanglam
Karena merasa senang, diam-diam Si Leng-wi sudah ambil keputusan akan menyampaikan maksud kedatangan tamunya kepada sang majikan. Ia berpaling dan berkata kepada Lenghou Tiong, "Dan Tuan ini murid dari Hoa-san-pay?"
Cepat Hiang Bun-thian mendahului menjawab, "Saudara Hong ini adalah susiok Gak Put-kun, ketua Hoa-san-pay sekarang."
Mendengar sembarangan omong Hiang Bun-thian itu sejak tadi Lenghou Tiong sudah menduga dirinya tentu juga akan diberi suatu nama palsu, cuma sama sekali tak terduga bahwa dirinya akan dikatakan sebagai susiok gurunya yang dicintainya itu. Biarpun dalam setiap urusan Lenghou Tiong suka memandang enteng, tapi sekarang dia disuruh menyamar sebagai angkatan tua dari gurunya, hal ini membuatnya tidak enak hati.
Ting Kian dan Si Leng-wi telah saling pandang sekejap dengan rasa curiga, mereka melihat usia Lenghou Tiong besar kemungkinan baru 40-an, mana mungkin menjadi paman gurunya Gak Put-kun"
Tapi cepat Hiang Bun-thian menambahkan pula, "Umur Hong-hiante ini memang lebih muda daripada Gak Put-kun, tapi dia adalah ahli waris satu-satunya dari ilmu pedang tunggal Hong Jing-yang Susiok."
Ting Kian sampai bersuara kaget. Sebagai seorang ahli pedang pula ia menjadi getol mendengar Lenghou Tiong juga mahir ilmu pedang. Cuma ia masih ragu-ragu apakah orang yang berwajah kuning sembap seperti orang sakit beri-beri ini benar-benar mahir ilmu pedang" Ia pun tidak jelas apakah di antara angkatan tua Hoa-san-pay adalah seorang yang bernama Hong Jing-yang, lebih-lebih ia tidak tahu sampai ilmu pedang kebanggaan Hong Jing-yang itu.
Ia coba berpaling kepada kawannya dan terlihat Si Leng-wi manggut-manggut padanya, maka ia lantas berkata, "Dan entah nama Tuan sendiri siapa?"
"Cayhe she Tong, bernama Hoa-kim," sahut Hiang Bun-thian. "Adapun saudara Hong ini bernama Ji-tiong."
"O, sudah lama kagum, sudah lama kagum!" kata Ting Kian dan Si Leng-wi sambil mengepal tangan mereka sebagai tanda hormat.
Diam-diam Hiang Bun-thian merasa geli. Ia mengaku bernama Tong Hoa-kim, yang benar-benar adalah "tong-hoa-kim", artinya loyang menjadi emas, jelasnya adalah barang palsu. Adapun nama "Ji-tiong" adalah pecahan dari nama Tiong. Hakikatnya di dunia persilatan tidak pernah terdapat dua tokoh bernama demikian, tapi Ting Kian berdua toh menyatakan "sudah lama kagum", entah sedari kapan mereka mulai kagum" Sungguh menggelikan!
Maka Ting Kian lantas berkata pula, "Silakan Tuan-tuan masuk dan minum, segera Cayhe akan melaporkan kepada majikan, soal Tuan-tuan akan ditemui tidak sukarlah untuk dipastikan."
Dengan tertawa Hiang Bun-thian menjawab, "Kalian berdua dan Kanglam-si-yu meski mengaku sebagai majikan dan hamba, tapi hubungan kalian seperti saudara sendiri. Rasanya keempat Cianpwe tak dapat tidak mesti memberi muka kepada Ting-ya berdua."
Ting Kian tersenyum senang dan berdiri ke pinggir. Segera Hiang Bun-thian melangkah masuk ke dalam diikuti Lenghou Tiong.
Sesudah menyusuri sebuah pekarangan dalam yang kedua tepinya tumbuh dua pohon bwe tua dengan dahan-dahannya yang kukuh kuat, sampai di ruang dalam Si Leng-wi menyilakan duduk kedua tamunya, ia sendiri berdiri menemani, Ting Kian yang masuk ke dalam untuk melapor.
Melihat Si Leng-wi berdiri dan dirinya sendiri berduduk, Hiang Bun-thian merasa rikuh. Namun Si Leng-wi adalah kaum hamba di Bwe-cheng (Perkampungan Bwe) ini sehingga tidak pantas menyuruhnya ikut duduk.
Untuk menghilangkan keadaan yang kikuk itu, segera Hiang Bun-thian berbangkit dan berkata kepada Lenghou Tiong, "Hong-hiante, coba lihat lukisan ini, biarpun cuma beberapa goresan saja, tapi tampak teramat kuat goresannya."
Sembari berkata ia terus mendekati sebuah lukisan yang tergantung di dinding tengah sana.
Selama berkumpul beberapa hari meski Lenghou Tiong sudah tahu Hiang Bun-thian yang pintar dan cerdik, tapi dalam hal kesusastraan dan seni lukis segala jelas bukan menjadi keahlian Bun-thian. Kalau sekarang mendadak ia memuji lukisan itu tentu ada maksudnya yang mendalam. Maka Lenghou Tiong lantas mengiakan serta ikut mendekati lukisan itu.
Dilihatnya lukisan itu melukiskan punggung seorang dewa dengan warna yang serasi dan goresan yang kuat. Biarpun Lenghou Tiong tidak paham seni lukis juga dapat menikmati lukisan yang bagus itu. Terlihat lukisan itu ditandai pelukisnya dengan kata-kata: "Tan-jing-sing, lukisan sesudah mabuk." Goresan pensil huruf-huruf itu pun sangat kuat dan tajam.
"Tong-heng, sekali melihat huruf "mabuk" di atas lukisan ini aku menjadi sangat senang," demikian Lenghou Tiong berkata. "Kulihat beberapa huruf ini seakan-akan mencakup satu seri permainan ilmu pedang yang sangat tinggi."
Pendekar Gelandangan 8 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Pendekar Sadis 22