Hina Kelana 22
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 22
Rupanya goresan tulisan-tulisan itu serta gaya kebasan tangan dewa dalam lukisan itu mengingatkan Lenghou Tiong kepada sejurus ilmu pedang yang terukir di dinding gua di puncak Hoa-san itu, ia merasa gaya setiap goresannya rada-rada mirip. Sebagaimana diketahui, dahulu demi untuk bertanding dengan Dian Pek-kong ia telah menghafalkan macam-macam ilmu silat di dinding gua itu, sekarang demi melihat lukisan ini lantas timbul perasaannya seakan-akan sudah pernah dikenalnya.
Belum lagi Hiang Bun-thian menanggapi ucapan Lenghou Tiong tadi, tiba-tiba Si Leng-wi sudah berkata di belakang mereka, "Hong-heng ini ternyata seorang ahli pedang benar-benar. Menurut keterangan majikanku Tan-jing Siansing, hari itu sesudah beliau mabuk dan menghasilkan karya lukisan ini, tanpa sengaja beliau telah melukiskan ilmu pedangnya di dalam goresan-goresan pensilnya yang merupakan karya yang paling dibanggakan selama hidupnya, setelah beliau sadar dari mabuknya betapa pun sukar untuk melukis lagi seperti ini. Sekarang Hong-heng ini ternyata dapat melihat gaya pedang dalam lukisannya ini, tentu Tan-jing Siansing akan menganggap Hong-heng sebagai kawan yang sepaham. Biar aku masuk melapor kepada beliau."
Habis berkata dengan berseri-seri ia terus melangkah ke ruang dalam.
Hiang Bun-thian berdehem, katanya, "Hong-hiante, kiranya kau paham seni tulis dan lukis."
"Hah, paham apa" Aku cuma mengoceh sekenanya dan secara kebetulan kena sasarannya. Padahal kalau sebentar Tan-jing Siansing bicara tentang seni tulis dan lukis padaku tentu aku bisa runyam," demikian sahut Lenghou Tiong.
Baru habis ucapannya, tiba-tiba terdengar seorang berseru di ruangan dalam, "Dia dapat melihat ilmu pedang di dalam lukisanku" Di mana orangnya" Ketajaman matanya sungguh hebat."
Di tengah seruan itu masuklah satu orang.
Orang ini berjenggot panjang sampai sebatas dada, tangan kiri membawa satu cawan arak, mukanya kemerah-merahan rada mabuk. Si Leng-wi tampak mengikut di belakang dan berkata padanya, "Kedua Tuan ini adalah Tong-ya dari Ko-san-pay dan Hong-ya dari Hoa-san-pay. Dan ini adalah Tan-jing Siansing, majikan keempat dari Bwe-cheng kami. Sichengcu (majikan keempat), Hong-ya inilah yang mengatakan di dalam tulisanmu mengandung suatu gaya ilmu pedang yang tinggi."
Sambil mengedipkan sepasang matanya yang sepat-sepat mabuk itu, Sichengcu Tan-jing-sing (Si Pelukis) mengamat-amati Lenghou Tiong sejenak, kemudian ia bertanya, "Kau paham melukis" Mahir memainkan pedang?"
Pertanyaan ini dilontarkan secara kasar, namun Lenghou Tiong juga tidak ambil pusing. Dilihatnya tangan Tan-jing-sing memegang sebuah cawan berwarna hijau zamrud yang indah, tiba-tiba teringat olehnya apa yang pernah dikatakan oleh Coh Jian-jiu di atas kapal tempo hari. Segera ia menjawab, "Konon menurut kaum ahli minum, Le-hoa-ciu harus diminum dengan menggunakan cawan zamrud. Nyata Sichengcu memang seorang ahli minum arak sejati."
Hendaklah maklum bahwa Lenghou Tiong tidak banyak "makan sekolahan" sehingga dia kurang menguasai kesusastraan segala, tapi dasar pembawaannya memang pintar, setiap apa yang pernah dikatakan orang selamanya takkan dilupakan olehnya, maka sekarang ia telah melansir apa yang pernah diucapkan Coh Jian-jiu dahulu.
Dan sungguh luar biasa, begitu mendengar ucapan Lenghou Tiong tadi, seketika mata Tan-jing-sing terbelalak lebar, mendadak ia terus merangkul Lenghou Tiong sambil berseru, "Aha, ini dia sobat baikku. Marilah, mari kita minum tiga ratus cawan. Adik Hong, aku gemar arak baik, lukisan indah, dan pedang bagus, orang menyebut tiga istimewa itu bagiku. Ketiga istimewa itu arak adalah hal yang pertama, lukisan menduduki tempat kedua, dan ilmu pedang yang terakhir."
Lenghou Tiong menjadi girang dan membatin, "Melukis aku tidak becus sama sekali. Kedatanganku adalah untuk mohon pengobatan sehingga tiada maksud hendak bertanding pedang dan berkelahi dengan orang, tapi kalau bicara tentang minum arak, inilah yang kuharapkan."
Maka tanpa banyak omong segera ia ikut Tan-jing-sing berjalan ke ruang dalam. Sesudah menyusuri sebuah serambi, sampailah di sebuah kamar di sebelah barat. Waktu kerai disingkap, seketika hidungnya kesamplok bau harum arak.
Sejak kecil kegemaran Lenghou Tiong adalah minum arak, boleh dikata sangat ahli dalam membeda-bedakan arak baik atau jelek. Maka begitu mengendus bau arak tadi seketika ia berseru, "Bagus, di sini ada bau Hun-ciu (arak wangi keluaran Soasay). Hah, ada lagi Pek-chau-ciu, dari baunya dapat diduga sudah tersimpan 75 tahun lamanya. Ehm, Kau-ji-ciu itu lebih-lebih sukar diperoleh pula."
Demi menyebut bau harum Kau-ji-ciu (arak kera) seketika ia terkenang kepada laksutenya, yaitu si monyet Liok Tay-yu yang telah mati itu sehingga hatinya menjadi pilu.
Kontan Tan-jing-sing bertepuk tangan dan bergelak tertawa, "Hebat, sungguh hebat! Begitu masuk ke ruang arakku ini, seketika Adik Hong dapat menyebut tiga jenis arak simpananku yang paling bagus ini, engkau sungguh seorang ahli, sungguh hebat, sungguh lihai!"
Waktu Lenghou Tiong mengamat-amati sekeliling kamar itu, ternyata penuh guci arak, botol dan sebagainya. Katanya pula, "Yang Cianpwe simpan masakah cuma tiga jenis arak bagus itu saja. Seperti Siau-hin-ciu ini pun berkualitas tinggi, anggur dari Turfan ini pun tiada bandingannya di dunia ini."
Kejut dan girang pula Tan-jing-sing, tanyanya, "Anggur dari Turfan ini tertutup rapat di dalam gentong kayu itu, cara bagaimana Laute juga dapat mengetahuinya?"
"Arak bagus seperti ini sekalipun disimpan di gua bawah tanah juga sukar menutupi baunya yang harum itu," ujar Lenghou Tiong tertawa.
"Mari, mari, boleh kita mencicipi anggur enak ini," seru Tan-jing-sing. Segera ia angkat keluar sebuah gentong yang tertaruh di pojok sana. Ketika perlahan-lahan ia mencabut sumbat gentong itu, seketika bau harum memenuhi seluruh ruangan.
Selamanya Si Leng-wi tidak suka minum arak, ketika mengendus bau alkohol yang keras itu, tanpa merasa mukanya menjadi merah seakan-akan mabuk.
"Kau keluar saja," kata Tan-jing-sing sambil memberi isyarat tangan. "Jangan-jangan kau akan mabuk jika tinggal di sini."
Lalu ia mengambil tiga buah cawan arak dan ditaruh sejajar, gentong arak itu dikempitnya terus menuang ke dalam cawan.
Anggur itu berwarna merah seperti darah. Ketika arak itu sudah penuh sebatas tepian cawan cepat Tan-jing-sing lantas berhenti menuang, setetes pun tidak meluap keluar dari cawan itu.
Diam-diam Hiang Bun-thian memuji kepandaian Tan-jing-sing yang hebat itu, sambil mengempit gentong sebesar itu untuk menuang isinya ke dalam cawan yang kecil, tapi dengan persis arak memenuhi cawan itu dan tidak tercecer barang setitik pun, hal ini benar-benar sukar dikerjakan
Sambil tetap mengempit gentong arak itu, sebelah tangan Tan-jing-sing lantas mengangkat cawan dan berseru, "Mari silakan minum, silakan!"
Ia terus menatap ke arah Lenghou Tiong, ia ingin tahu bagaimana reaksi pemuda itu sesudah minum araknya itu.
Lenghou Tiong lantas angkat cawan dan minum setengah cawan araknya, lalu bibirnya berkecap-kecap untuk membedakan rasa. Tapi karena mukanya memakai polesan yang agak tebal sehingga perubahan air mukanya sedikit pun tidak kentara, bahkan seperti merasa kurang menyukai anggur yang diminum itu.
Keruan Tan-jing-sing menjadi ragu-ragu, "Jangan-jangan ahli besar ini akan menganggap segentong araknya ini cuma minuman biasa saja."
Setelah bibirnya berkecap-kecap, lalu Lenghou Tiong memejamkan matanya sejenak. Ketika ia pentang matanya kembali, tiba-tiba ia berkata, "Aneh, sungguh aneh!"
"Apanya yang aneh?" Tan-jing-sing cepat menegas.
"Hal ini sungguh sukar untuk dimengerti, sungguh Wanpwe tidak paham," kata Lenghou Tiong.
Kedua mata Tan-jing-sing mengerlingkan sorot mata yang penuh kegirangan, tanyanya, "Yang kau maksudkan apakah ...."
"Selama hidup Wanpwe pernah sekali Wanpwe minum arak ini di Kota Tiang-an, meski rasanya memang sangat enak, tapi dalam rasanya yang sedap itu mengandung rasa manis-manis kecut. Menurut ahli arak di pabrik arak itu, katanya rasa kecut itu timbul akibat guncangan-guncangan di tengah jalan ketika anggur itu diangkat dari tempat jauh. Semakin sering arak ini dipindah dari tempat yang satu ke tempat lain, semakin berkurang pula kualitasnya. Bayangkan saja betapa jauhnya dari Turfan ke Kota Hangciu ini. Tapi benar-benar aneh, arak Cianpwe ini ternyata tiada sedikit pun terasa kecut ...."
"Hahahaha!" Tan-jing-sing bergelak tertawa dengan amat senang. Katanya, "Ini adalah resep rahasiaku. Resep rahasia ini kuperoleh dengan menukar tiga jurus ilmu pedangku kepada jago pedang Se-ek (daerah barat) Mokhtar. Apakah kau tidak ingin tahu rahasia ini?"
Lenghou Tiong menggeleng, jawabnya, "Wanpwe sudah merasa puas karena dapat merasakan arak sebagus ini. Tentang resep rahasia Cianpwe itu sekali-kali Wanpwe tidak berani tanya."
"Mari minum, minumlah!" seru Tan-jing-sing pula, kembali ia menuang tiga cawan anggur itu. Karena Lenghou Tiong tidak mau tanya resep rahasianya, ia menjadi getol sendiri untuk mengatakannya. Katanya pula, "Tentang resep rahasia ini kalau dibicarakan sesungguhnya tidak berharga sepeser pun, boleh dikata tiada sesuatu yang mengherankan."
Lenghou Tiong tahu, semakin dirinya tidak mau tanya apa yang dikatakan resep rahasia itu, semakin Tan-jing-sing ingin menceritakan padanya. Maka cepat ia sengaja menggoyang tangan dan berkata, "Tidak, jangan sekali-kali Cianpwe ceritakan padaku. Ketiga jurus ilmu pedangmu itu pasti lain daripada yang lain, rahasia yang diperoleh dengan nilai lawan setinggi itu mana boleh sembarangan diberitahukan kepada orang lain. Wanpwe akan merasa tidak enak hati jika diberi tahu rahasia ini. Kata peribahasa, tanpa jasa tidak menerima upah ...."
"Kau mengawani aku minum arak dan dapat mengenali asal usul arak ini, jasamu inilah sangat besar," ujar Tan-jing-sing. "Maka resep rahasia ini mau tidak mau kau harus mendengarkan."
"Cianpwe telah sudi menemui Wanpwe dan disuguh pula minuman sebagus ini, sungguh Wanpwe merasa sangat berterima kasih, sekarang mana boleh ...."
"Aku sendiri yang rela memberitahukan padamu, maka boleh kau dengarkan saja, jangan kau tolak lagi, Hong-hiante."
"Betul, betul, demikianlah seharusnya," seru Tan-jing-sing tertawa. "Nah, coba aku menguji kau lagi. Apakah kau tahu ciu (arak) ini sudah tersimpan berapa lama?"
Sekali teguk Lenghou Tiong menghabiskan isi cawannya, lalu membeda-bedakan rasanya sampai agak lama, kemudian baru berkata, "Arak ini masih ada sesuatu keanehan yang lain. Rasanya seperti sudah 120 tahun lamanya, tapi terasa pula seakan-akan baru 12 tahun. Di antara rasanya yang tua itu terasa pula ada rasa yang baru dan di dalam rasa baru ada rasa tua pula, dibandingkan arak bagus ratusan tahun yang lain jelas arak ini mempunyai suatu rasa yang khas."
Diam-diam Hiang Bun-thian mengerut kening mendengar bualan Lenghou Tiong itu, 120 tahun dan 12 tahun, meski selisihnya cuma satu angka nol, tapi itu berarti seratus tahun lebih, jarak waktu selama itu mana ada persamaannya"
Ia mengira Tan-jing-sing pasti tidak senang mendengar ucapan Lenghou Tiong. Di luar dugaan orang tua itu malah bergelak tertawa sehingga jenggotnya yang panjang itu tertiup menegak.
"Memang lihai benar Saudara," kata Tan-jing-sing kemudian. "Di situlah letak rahasia resepku itu. Coba dengarkan. Jago pedang Se-ek yang bernama Mokhtar itu telah menghadiahkan sepuluh guci arak Turfan yang berumur 120 tahun kepadaku, untuk mengangkut sepuluh guci besar itu telah digunakan sepuluh kereta. Sampai di sini aku telah mengolahnya lagi, sepuluh guci telah kucampur menjadi suatu gentong besar. Kalau dihitung apa yang terjadi itu adalah 12 tahun yang lalu. Sebab itulah arak ini mempunyai rasa yang aneh, ada rasa baru dan ada rasa lama. Waktu diangkut kemari, guci telah diisi penuh tanpa sesuatu luangan sehingga isinya tidak kocak, dengan demikian tidak menimbulkan rasa kecut pula."
"Hah, kiranya begitu!" seru Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong berbareng
Segera Lenghou Tiong menambahkan pula, "Arak sebagus ini biarpun ditukar dengan sepuluh jurus ilmu pedang juga pantas. Apalagi Cianpwe cuma menukarnya dengan tiga jurus saja, benar-benar terlalu murah."
Tan-jing-sing bertambah girang, katanya, "Laute benar-benar temanku yang sepaham. Dahulu Toako dan Jiko sama menyalahkan perbuatanku ini, katanya ilmu sedang Tionggoan yang hebat menjadi tersiar ke wilayah barat. Samko hanya tertawa tanpa memberi komentar, tapi kukira di dalam hati dia juga tidak setuju. Hanya Laute saja sekarang yang menilai akulah yang mendapat untung. Bagus, marilah kita minum secawan lagi."
Setelah minum satu cawan. Lenghou Tiong berkata pula, "Sichengcu, masih ada satu cara minum arak, cuma sayang waktu ini sukar dilakukan."
"Bagaimana caranya" Mengapa tak bisa dilakukan?" tanya Tan-jing-sing cepat.
"Turfan (di wilayah Sinkiang) adalah daerah yang sangat panas, konon dahulu waktu Tong Sam-cong mencari kitab ke negeri Thian-tiok dan melintasi hwe-yam-san (gunung berapi), katanya di situlah letak Turfan."
"Benar," sahut Tan-jing-sing. "Tempat itu memang panasnya bukan main. Di musim panas sepanjang hari orang di situ selalu berendam di dalam air dingin saja, tapi masih susah menahan hawanya yang panas. Sampai di musim dingin hawa di sana justru dinginnya menusuk tulang. Tapi justru lantaran itulah maka anggur keluaran sana juga berbeda dengan anggur keluaran tempat lain."
"Waktu Wanpwe minum arak demikian di kota Tiang-an, saat mana kebetulan musim dingin," tutur Lenghou Tiong. "Juragan pengarakan di kota itu telah pergi mengambil sepotong es dan menaruh cawan arak di atas es batu itu. Setelah didinginkan dengan es, arak ini ternyata mempunyai suatu rasa lain lagi. Sayang sekarang adalah permulaan musim panas, tidaklah mungkin mendapatkan es sehingga rasa yang istimewa es anggur tak bisa dinikmati lagi."
"Ya, waktu aku berada di Se-ek juga kebetulan musim panas, tapi Mokhtar itu telah memberitahukan juga tentang kenikmatan es anggur seperti kau katakan barusan ini," kata Tan-jing-sing. "Tapi hal ini gampang, Laute, kau boleh tinggal di sini beberapa bulan lagi, sampai musim dingin tiba kita akan dapat bersama-sama menikmatinya."
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula sambil mengerut dahi, "Tapi kita harus menunggu sedemikian lamanya, hal ini benar-benar membuat orang tidak sabar."
Hiang Bun-thian ikut berkata, "Ya, sayang di daerah Kanglam sini tiada jago yang khusus meyakinkan ilmu sebangsa "Han-peng-ciang" (pukulan dingin es), kalau ada tentunya ...."
Belum habis ucapannya tiba-tiba Tan-jing-sing berteriak, "Aha, ada, ada!"
Ia terus menaruh gentong araknya dan melangkah keluar dengan bersemangat.
Keruan Lenghou Tiong terheran-heran, ia memandang ke arah Hiang Bun-thian dengan penuh tanda tanya. Tapi Hiang Bun-thian hanya tersenyum saja tanpa bicara.
Tidak lama kemudian Tan-jing-sing telah masuk kembali dengan menyeret seorang tua yang kurus tinggi, katanya, "Jiko, betapa pun sekali ini kau harus membantu."
Lenghou Tiong melihat orang tua tinggi kurus ini bermuka putih bersih, cuma di antara putihnya itu bersemu kehijau-hijauan sehingga mirip wajah mayat hidup dan menimbulkan rasa mengirik bagi yang memandangnya.
Setelah diperkenalkan oleh Tan-jing-sing, kiranya orang tua jangkung itu adalah Jichengcu (majikan kedua), Hek-pek-cu (Si Hitam Putih). Rambutnya memang sangat hitam dan kulit badannya justru sangat putih sehingga sesuai dengan namanya Si Hitam Putih.
Begitulah dengan acuh tak acuh Hek-pek-cu (atau Ou-pak-ci) telah bertanya, "Suruh aku membantu apa?"
"Tolong kau keluarkan kepandaianmu mengubah air menjadi es agar dilihat oleh kedua sobat kita ini," kata Tan-jing-sing.
"Ah, sedikit kepandaian demikian mana boleh dipamerkan kepada orang, jangan-jangan akan menjadi buah tertawaan saja," ujar Hek-pek-cu.
"Jiko, soalnya begini, tadi Hong-hengte ini mengatakan kalau anggur Turfan ini direndam es akan mempunyai rasa yang khas, tapi di musim panas begini ke mana harus mencari es?" kata Tan-jing-sing.
"Anggur ini sudah harum dan enak, buat apa mesti didinginkan dengan es segala?" ujar Hek-pek-cu.
Tapi Lenghou Tiong lantas berkata, "Anggur ini dihasilkan Turfan, suatu tempat yang terkenal sangat panas hawanya, hawa panas itu pun ikut meresap ke dalam anggur sehingga menimbulkan rasa pedas. Jika orang Kangouw biasa tidaklah menjadi soal minum anggur yang punya rasa panas dan pedas ini. Namun Jichengcu dan Sichengcu berdiam di tepi danau yang indah permai ini, mana dapat dipersamakan dengan orang kasar Kangouw umumnya" Jika arak ini didinginkan dan hilang rasa panasnya, maka cocoklah dengan suasana di sini."
"Ya, seperti juga main catur, pertandingan yang ramai hanya dilakukan oleh jago-jago tingkatan tinggi ...."
Belum habis Hiang Bun-thian berkata, mendadak Hek-pek-cu mencengkeram pundaknya dan bertanya dengan cepat, "Kau juga mahir main catur?"
"Kegemaranku memangnya adalah main catur, cuma sayang kurang mahir, sebab itulah aku sudah menjelajahi segala pelosok untuk mencari problem caturnya. Selama 30-an tahun tidaklah sedikit problem catur dari zaman dahulu sampai sekarang telah kuketahui dengan baik."
"Problem catur apa saja yang telah kau pahami?" tanya Hek-pek-cu.
"Banyak sekali, misalnya problem catur Ong Cit ketika ketemukan dewa di Gunung Lan-ko-san, problem catur Lau Tiong-hu waktu bertanding melawan nini dewi Pegunungan Le-san, dan lain-lain lagi ...."
"Ah, dongengan begitu mana dapat dipercaya?" ujar Hek-pek-cu sambil menggeleng dan lantas melepaskan cengkeramannya atas pundak Hiang Bun-thian.
"Memang mula-mula Cayhe juga mengira kejadian-kejadian itu hanya dongengan belaka," kata Bun-thian. "Tapi pada 25 tahun yang lalu Cayhe sendiri telah membaca gambar problem catur yang dimaksud itu dan ternyata memang luar biasa, maka aku baru mau percaya cerita itu memang bukan omong kosong. Apakah Cianpwe juga gemar dalam permainan catur?"
"Hahahaha!" Tan-jing-sing bergelak tertawa sehingga jenggotnya yang panjang itu ikut berguncangan.
Hiang Bun-thian pura-pura tidak paham, tanyanya, "Mengapa Cianpwe tertawa geli?"
"Kau tanya jikoku gemar main catur atau tidak, hahaha, Jiko bergelar Hek-pek-cu, Si Biji Hitam Putih, dari namanya saja boleh kau terka sendiri apa dia gemar catur atau tidak" Ketahuilah bahwa kegemaran Jiko akan catur adalah seperti kegemaranku dalam hal minum arak."
"O, jika demikian barusan Cayhe telah sembarangan mengoceh di hadapan kaum ahli, mohon Jichengcu sudi memaafkan," kata Hiang Bun-thian.
"Apa benar kau telah melihat sendiri gambar problem catur Lau Tiong-hu melawan nini dewi Le-san itu" Aku cuma membacanya dalam kitab kuno, katanya, pada zaman itu Lau Tiong-hu adalah juara catur yang tiada tandingannya, tapi di kaki Gunung Le dia telah dikalahkan habis-habisan oleh seorang nenek dusun, seketika ia tumpah darah. Sebab itulah problem catur itu pun disebut sebagai "Problem Tumpah Darah". Apa benar-benar di dunia terdapat problem demikian itu?"*
Maka Hiang Bun-thian telah menjawab, "Ya, pada 25 tahun yang lalu aku memang pernah melihat sendiri gambar problem catur itu di suatu keluarga di Kota Sengtoh, cuma pertarungan kedua pihak sungguh sangat hebat, maka biarpun sudah 25 tahun yang lalu, namun problem yang seluruhnya meliputi 112 langkah itu masih kuingat dengan baik."
"Seluruhnya meliputi 112 langkah?" Hek-pek-cu menegas, "Marilah kau coba memainkan problem itu. Hayolah, ikut ke kamar caturku sana."
Mendadak Tan-jing-sing merintanginya dan berkata, "Nanti dulu! Jiko, sebelum kau membuatkan es, betapa pun aku takkan melepaskan kau."
Habis berkata ia lantas mengambil sebuah baskom porselen putih yang penuh berisi air bersih.
"Empat saudara masing-masing mempunyai kegemarannya sendiri-sendiri, apa boleh buat," ujar Hek-pek-cu dengan gegetun. Segera ia menjulurkan tangan kanan, jari telunjuknya terus dimasukkan ke dalam air baskom itu.
Tertampaklah permukaan air mengepulkan hawa putih yang tipis, tidak lama kemudian baskom itu telah diliputi oleh selapis es, makin lama air baskom makin membeku sehingga tidak lama kemudian satu baskom air telah berubah menjadi es batu.
Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong sama bersorak memuji. Kata Bun-thian, "Hek-hong-ci (Jari Angin Hitam) yang lihai ini konon sudah lama menghilang di dunia persilatan, siapa tahu Jichengcu ...."
"Ini bukan Hek-hong-ci, tapi namanya "Hian-thian-ci" (Jari Mahasakti)", sela Tan-jing-sing. Sembari berkata ia terus menaruh empat cawan di atas es batu itu, lalu menuangi anggur Turfan tadi.
Tidak lama, ketika isi cawan itu mulai mengepulkan hawa dingin, Lenghou Tiong lantas berseru, "Itu dia sudah cukup!"
Tan-jing-sing lantas ambil satu cawan di antaranya, sekali tenggak seketika habis isinya, benar juga rasanya sangat nyaman dan nikmat. "Bagus!" soraknya memuji. "Araknya enak, Hong-hengte pintar merasakannya. Jiko pandai membuat esnya, dan kau ... kau ...." ia berpaling kepada Hiang Bun-thian dengan tertawa, lalu melanjutkan, "kau pintar menanggapi ke sana dan ke sini."
Hek-pek-cu juga lantas minum anggur bagiannya, tanpa peduli rasa arak itu ia terus menarik tangan Hiang Bun-thian dan berkata, "Hayo berangkat, coba mainkan "Problem Tumpah Darah" Lau Tiong-hu itu."
Hiang Bun-thian juga lantas menarik lengan baju Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong paham apa artinya, katanya segera, "Aku ikut melihatnya!"
Tan-jing-sing lantas mencegahnya, "Apanya yang dilihat" Lebih baik kita minum arak saja di sini kan lebih nikmat?"
"Kita dapat minum arak sembari melihat catur," ujar Lenghou Tiong sambil ikut di belakang Hek-pek-cu dan Hiang Bun-thian.
Tiada jalan lain, terpaksa Tan-jing-sing mengempit gentong araknya dan ikut ke ruang catur Hek-pek-cu.
Alangkah luasnya kamar catur itu, di tengahnya ada sebuah meja batu dan dua buah kursi berkasur, selain itu tiada sesuatu benda lain. Di atas meja batu itu terukir papan catur yang bergaris malang melintang, kedua pihak tertaruh satu kotak biji catur, yang satu kotak warna putih dan kotak lain warna hitam.
Bab 66. Kecapi " Catur " Tulis " Lukis
Tanpa bicara Hiang Bun-thian terus mendekati meja batu itu, ia ambil satu biji hitam dan ditaruh pada titik 6-3 (menurut hitungan garis), lalu menaruh satu biji putih pada titik 9-3, menyusul pada titik 6-5 ditaruhnya satu biji hitam, dan pada titik 9-5 ditaruhnya pula satu biji putih, dan begitu seterusnya tanpa berhenti sehingga mencapai biji ke-66 dan pertarungan kedua pihak semakin sengit.
Hek-pek-cu menyaksikan permainan itu sehingga keringatnya bercucuran. Diam-diam Lenghou Tiong sangat heran, kalau melihat Hian-thian-ci-nya yang dalam waktu singkat saja telah mengubah air membeku menjadi es, betapa tinggi lwekangnya dapatlah dibayangkan. Sebaliknya permainan catur hanya urusan kecil saja, tapi toh begini menarik perhatiannya sehingga dia sampai berkeringat. Hal ini menandakan betapa Hek-pek-cu tergila-gila pada permainan catur demikian. Rupanya Hiang Bun-thian justru mengetahui kegemarannya itu, maka serangannya juga ditujukan kepada kelemahannya ini pula.
Sesudah biji ke-66 tadi, sampai lama sekali Hiang Bun-thian tidak menaruh lagi biji caturnya. Saking ingin tahunya Hek-pek-cu menjadi tidak sabar, cepat ia menanya, "Bagaimana lagi langkah berikutnya?"
"Di sinilah letak kuncinya," sahut Hiang Bun-thian. "Kalau menurut pendapat Jichengcu sendiri bagaimana seharusnya langkah ini?"
Hek-pek-cu berpikir sampai lama dan menggumam sendiri, "Langkah ini ... ya, memang rada repot, kalau disambung kurang kuat, jika terputus lebih celaka lagi. Wah, ini ... ini ...."
Begitulah sambil memegang satu biji hitam dan diketok-ketokkan perlahan di atas meja batu, tapi sampai sekian lamanya tetap tidak mampu menjalankan biji caturnya.
Dalam pada itu Tan-jing-sing dan Lenghou Tiong masing-masing sudah menghabiskan belasan cawan anggur.
Melihat air muka Hek-pek-cu makin lama makin menghijau, segera Tan-jing-sing berkata, "Tong-lauheng, ini kan "Problem Tumpah Darah", masakah benar-benar kau hendak membikin Jiko tumpah darah" Bagaimana langkah selanjutnya harus dijalankan, lekaslah kau katakan terus terang saja."
"Baiklah," kata Hiang Bun-thian. "Biji ke-67 ini harus ditaruh di sini."
Habis berkata ia terus menaruh biji hitam pada titik silang 7-4.
"Plak", mendadak Hek-pek-cu menabok keras-keras pahanya sendiri dan berseru, "Bagus! Langkah ini memang benar sangat bagus!"
"Langkah ini sudah tentu sangat bagus, ini kan catur istimewa seorang juara seperti Lau Tiong-hu," ujar Hiang Bun-thian tersenyum. "Tetapi kalau dibandingkan dengan langkah ajaib nini dewi Le-san itu akan berbeda jauh pula."
"Cara bagaimana jalannya langkah ajaib nini dewi itu, coba lakukan," tanya Hek-pek-cu.
"Silakan Jichengcu memikirkannya," kata Bun-thian.
Hek-pek-cu lantas peras otak lagi, tapi sampai lama sekali ia merasa posisi sudah jelas kalah, betapa pun sukar untuk balas menyerang lagi. Katanya kemudian, "Jika langkahnya memang ajaib, manusia biasa seperti kita mana dapat memikirkannya. Harap Tong-lauheng jangan jual mahal lagi, coba lakukan."
"Langkah ajaib ini memang benar hanya dapat dipikirkan oleh malaikat dewata," kata Bun-thian dengan tertawa.
Sebagai seorang pemikir, sudah tentu Hek-pek-cu mahir menjajaki perasaan pihak lawan, melihat Hiang Bun-thian tetap tidak mau mengatakan problem catur itu secara terus terang sehingga membuatnya tidak sabaran, diam-diam ia menduga orang she Tong ini pasti mempunyai sesuatu keinginan. Maka ia lantas berkata, "Tong-lauheng, aku takkan terima dengan percuma jika kau sudi menjelaskan problem catur ini kepadaku."
Diam-diam Lenghou Tiong juga mengira jangan-jangan Hiang Bun-thian tahu ilmu Hian-thian-ci Hek-pek-cu itu akan mampu mengobati penyakitnya, maka sang toako sengaja mengatur jalan untuk mohon pertolongannya.
Di luar dugaan Hiang Bun-thian lantas bergelak tertawa dan berkata, "Cayhe dan Hong-hiante sekali-kali tiada sesuatu keinginan terhadap keempat Chengcu, ucapan Jichengcu barusan ini menjadi terlalu menilai rendah kami berdua."
"Maaf, jika begitu akulah yang telah salah omong," kata Hek-pek-cu sambil memberi hormat.
Sambil membalas hormat, Hiang Bun-thian berkata pula, "Kedatangan kami berdua ke Bwe-cheng sini sebenarnya hendak bertaruh sesuatu dengan keempat Chengcu."
"Bertaruh sesuatu?" Hek-pek-cu dan Tan-jing-sing menegas berbareng. "Bertaruh tentang apa?"
"Begini," kata Hiang Bun-thian. "Aku bertaruh bahwa di dalam Bwe-cheng ini pasti tiada seorang pun yang mampu menangkan Hong-hianteku ini dalam hal ilmu pedang."
Serentak Hek-pek-cu dan Tan-jing-sing berpaling ke arah Lenghou Tiong. Air muka Hek-pek-cu tampak adem ayem saja, sebaliknya Tan-jing-sing tuntas bergelak tertawa dan berseru, "Cara bagaimana kita akan bertaruh?"
"Jika kami kalah," demikian kata Hiang Bun-thian, "maka lukisan ini akan kami persembahkan kepada Sichengcu."
Sembari bicara ia terus menanggalkan buntelan yang terikat di punggungnya, dibukanya buntelan itu, isinya ternyata dua buah gulungan. Waktu satu gulungan itu dibentang, kiranya adalah sebuah lukisan kuno yang tertera tanda pelukisnya Hoan Koan di Zaman Song. Lukisan itu adalah lukisan pemandangan, sebuah gunung menjulang tinggi menembus awan, goresannya tajam, warnanya indah. Biarpun Lenghou Tiong tidak paham seni lukis juga lantas tahu bahwa lukisan itu tentulah lukisan yang hidup dan bermutu.
Benar juga, mendadak Tan-jing-sing berteriak, "Aiii!"
Pandangannya lantas tidak terlepaskan dari lukisan itu. Sampai agak lama kemudian baru berkata pula, "Ini benar-benar lukisan asli Hoan Koan di Zaman Song. Dari ... dari mana kau memperolehnya?"
Hiang Bun-thian hanya tersenyum saja tanpa menjawab, perlahan-lahan ia menggulung kembali lukisan itu.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Tan-jing-sing mencegahnya sambil menarik tangan Hiang Bun-thian dengan maksud agar lukisan itu jangan digulung dulu.
Tak terduga, baru saja tangannya menyentuh lengan Hiang Bun-thian, seketika terasa suatu arus tenaga dalam yang kuat tapi halus telah mencurah keluar dan menggetar pergi tangannya, waktu ia memandang Hiang Bun-thian, tampaknya seperti tidak tahu apa-apa dan masih tetap menggulung lukisannya.
Sungguh tidak kepalang heran Tan-jing-sing, walaupun sentuhan tangannya dengan lengan Hiang Bun-thian terjadi dengan sangat perlahan, tapi tenaga dalam yang timbul itu jelas adalah lwekang yang amat tinggi, bahkan tenaga yang timbul itu cuma sedikit saja. Diam-diam ia sangat kagum, segera ia berkata, "Tong-lauheng, kiranya ilmu silatmu sedemikian hebat, mungkin tidak di bawahku."
"Ah, Sichengcu memang suka bergurau," ujar Hiang Bun-thian. "Kecuali ilmu pedang, keempat Chengcu di sini terkenal memiliki sesuatu ilmu tunggal yang tiada tandingannya. Aku Tong Hoa-kim hanya seorang keroco saja, mana aku berani dibandingkan dengan Sichengcu?"
Mendadak Tan-jing-sing menarik muka, katanya, "Mengapa kau mengatakan "kecuali ilmu pedang?" Memangnya ilmu pedangku tidak masuk hitungan?"
Hiang Bun-thian hanya tersenyum dan tidak menanggapi, ia berkata, "Bagaimana jika kedua Chengcu melihat lagi sebuah tulisan?"
Habis itu ia lantas membentang pula suatu gulungan yang lain, kiranya adalah sebuah tulisan yang ditulis dengan cara chau (rumput, di sini dimaksudkan tulisan corat-coret) dengan goresan yang hidup.
"He, he, he!" Tan-jing-sing berulang-ulang mengeluarkan suara heran. Mendadak ia terus menggembor, "Samko! Samko! Ini dia jiwa mestikamu berada di sini!"
Saking keras suara menggembornya sampai-sampai daun pintu dan jendela ikut tergetar, debu pasir sama bertebaran dari atap. Karena jeritan yang sekonyong-konyong itu, Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong juga ikut terkejut.
Maka terdengarlah dari jauh ada suara jawaban orang, "Ada apa gembar-gembor, membikin kaget orang saja?"
"Samko," seru Tan-jing-sing pula, "jika kau tidak lekas datang, sebentar kalau orang telah menyimpan kembali barangnya tentu kau akan menyesal selama hidup."
"Ah, tentu kau menemukan sesuatu tulisan palsu apa-apa, bukan?" kata orang itu, kini suaranya sudah berada di luar pintu.
Ketika tirai pintu tersingkap, masuklah satu orang pendek gemuk, kepalanya botak kelimis dan mengilap licin tanpa seujung rambut pun. Tangan kanan memegang sebuah pit (pensil) besar, bajunya berlepotan bak (tinta hitam).
Begitu berada di dalam, sekonyong-konyong ia melotot sambil menahan napas, serunya seperti orang menemukan sesuatu yang ajaib, "Haah, ini memang ben ... benar tulisan asli Thio Kiu di Zaman Tong-tiau, benar-benar tulen, tidak mungkin ... tidak mungkin palsu!"
Tulisan yang bergaya corat-coret itu memang sangat berani dan bebas sehingga mirip seorang tokoh ilmu silat sedang mengeluarkan ginkangnya yang tinggi dengan gerak-geriknya yang gesit dan lincah. Karena gaya tulisan itu bercorat-coret, maka di antara sepuluh huruf paling banyak hanya satu huruf saja yang dikenal Lenghou Tiong. Dilihatnya di bagian akhiran tulisan itu banyak diberi tanda stempel, di antaranya adalah pejabat-pejabat tinggi pemerintah, maka dapat diduga tulisan itu pasti bukan sembarangan tulisan.
Maka terdengar Tan-jing-sing memperkenalkan, "Ini adalah Samko Tut-pit-ong (Si Kakek Pensil Gundul). Ia pakai julukan demikian disebabkan wataknya yang gemar akan seni tulis sehingga beratus-ratus pensil telah terpakai sampai gundul, jadi bukan disebabkan batok kepalanya yang kelimis, hal ini perlu diterangkan supaya tidak salah paham."
Dengan tertawa Lenghou Tiong mengiakan. Dilihatnya Tut-pit-ong itu sudah mulai menggerakkan pensil di tangan kanan dan sedang menggores naik-turun mengikuti contoh tulisan itu, air mukanya seperti orang mabuk dan mirip orang linglung, terhadap Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong yang berada di situ sama sekali tak ambil peduli, sampai-sampai ucapan Tan-jing-sing tadi juga tidak digubris olehnya.
Mendadak hati Lenghou Tiong tergetar, pikirnya, "Perbuatan Hiang-toako ini mungkin telah direncanakan sebelumnya. Aku masih ingat ketika aku bertemu dengan dia di gardu tempo hari, agaknya dia sudah membawa buntelan demikian di punggungnya."
Tapi lantas terpikir lagi, "Buntelannya waktu itu belum tentu tersimpan dua gulungan lukisan dan tulisan ini, bisa jadi untuk mengusahakan penyembuhan penyakitku, di tengah jalan ketika menginap di hotel dia telah keluar membeli atau mencurinya. Ya, besar kemungkinan hasil curian. Benda mestika yang tak ternilai ini ke mana dapat membelinya?"
Dilihatnya gerakan pensil Tut-pit-ong itu mengeluarkan suara mendesir-desir perlahan, betapa tinggi lwekangnya jelas mempunyai keunggulannya masing-masing bersama Hek-pek-cu. Ia berpikir pula, "Penyakitku ini akibat perbuatan Tho-kok-lak-sian serta Put-kay Taysu, tapi lwekang ketiga Chengcu ini agaknya lebih tinggi pula daripada Tho-kok-lak-sian dan Put-kay, boleh jadi Toachengcu mereka itu jauh lebih lihai lagi daripada ketiga temannya ini. Kalau ditambah dengan Hiang-toako, dengan kekuatan lima orang mungkin dapat menyembuhkan penyakitku. Semoga mereka tidak banyak membuang tenaga murninya."
Sebelum Tut-pit-ong selesai corat-coret mencontoh "sui-ih-tiap" (contoh tulis) yang diperlihatkannya itu, mendadak Hiang Bun-thian terus menggulungnya dan disimpan kembali ke dalam buntelannya.
Tut-pit-ong memandang bingung kepada Hiang Bun-thian, sampai lama sekali baru bertanya, "Tukar apa?"
Hiang Bun-thian menggeleng, jawabnya, "Tidak ditukarkan dengan apa pun juga."
"Dua puluh delapan jurus Ciok-koh-tah-hiat-pit-hoat (Ilmu Tulis Menutuk Hiat-to)?" demikian Tut-pit-ong memberi penawaran.
"Tidak boleh!" berbareng Hek-pek-cu dan Tan-jing-sing berseru.
"Boleh saja, mengapa tidak boleh?" ujar Tut-pit-ong. "Jika aku dapat memperoleh sui-ih-tiap tulisan asli Thio Kiu ini, maka aku punya 28 jurus tutukan itu boleh dikata tidak ada artinya lagi."
Tapi Hiang Bun-thian juga lantas menggeleng dan berkata, "Tidak boleh!"
"Jika begitu mengapa kau perlihatkan tulisan itu kepadaku?" tanya Tut-pit-ong dengan rada aseran.
"Ya, anggaplah aku salah, boleh Samchengcu anggap pula seperti tidak pernah melihatnya saja," ujar Hiang Bun-thian.
"Sudah selesai dilihat, mana boleh dianggap tidak pernah melihatnya?" kata Tut-pit-ong.
"Apa Samchengcu benar-benar hendak memiliki tulisan asli Thio Kiu ini?" Bun-thian menegas. "Untuk ini tidaklah susah asalkan Samchengcu bertaruh sesuatu dengan kami."
"Bertaruh hal apa?" tanya Tut-pit-ong cepat.
"Samko," Tan-jing-sing lantas menanggapi, "orang ini agaknya rada sinting. Dia mengatakan hendak bertaruh bahwa di dalam Bwe-cheng kita ini tiada ilmu pedang seorang pun yang mampu menandingi sobat Hong dari Hoa-san ini."
"Kalau ada orang yang mampu menangkan sobat ini, lalu bagaimana?" tanya Tut-pit-ong.
"Jika di dalam Bwe-cheng ini, tidak peduli siapa saja yang mampu menangkan pedang di tangan saudaraku Hong ini, maka Cayhe akan mempersembahkan sui-ih-tiap tulisan asli Thio Kiu ini kepada Samchengcu dan menghadiahkan lukisan asli Hoan Koan tadi kepada Sichengcu, juga akan kuturunkan 30 problem catur dari berbagai jago catur yang pernah kulihat itu kepada Jichengcu."
"Dan bagaimana dengan Toako kami, apa yang akan kau persembahkan kepadanya?" tanya Tut-pit-ong.
"Untuknya Hong-hianteku ini telah menyediakan suatu buah musik menabuh kecapi yang tiada bandingannya, judul kitab itu adalah "Lagu Siau-go-kangouw" (Hina Kelana)," kata Hiang Bun-thian.
Tidaklah apa-apa Tut-pit-ong bertiga mendengar nama judul lagu Hina Kelana, tapi Lenghou Tiong yang amat terkejut, ia heran dari manakah sang toako mengetahui kitab yang dimilikinya itu"
Dalam pada itu Hek-pek-cu telah berkata, "Meski kami tidak tahu di mana letak kebagusan kitab lagu kecapi itu, tapi melihat barang taruhan yang lain seperti catur, tulisan, dan lukisan yang kau sebut itu, maka lagu kecapi itu tentunya juga lain daripada yang lain. Sebaliknya kalau di dalam Bwe-cheng kami ini ternyata benar tiada seorang pun yang mampu mengalahkan Hong-hengte, lalu apa yang harus kami pertaruhkan kepadamu?"
Tan-jing-sing lantas menyela dengan tertawa, "Hong-heng ini mahir teori perarakan, tentu ilmu pedangnya juga sangat tinggi. Cuma usianya masih terlalu muda, masakah betul di dalam Bwe-cheng kita ini tiada seorang pun yang dapat menandingi dia" Hehe, sungguh menertawakan."
Karena Lenghou Tiong sudah berjanji sebelumnya dengan Hiang Bun-thian akan menurut segala apa yang diatur oleh sang toako, tapi sampai di sini ia pun merasa keterlaluan ucapan Hiang Bun-thian tadi, padahal tenaga dalamnya sudah punah, mana mampu menandingi jago-jago kosen di Bwe-cheng ini. Maka dengan rendah hati ia lantas berkata, "Ah, Tong-toako memang suka berkelakar, sedikit kepandaianku yang tak berarti mana berani dipertandingkan dengan para Chengcu yang hebat."
Dengan tertawa Hiang Bun-thian menyambung, "Kata-katamu yang rendah hati ini memang perlu diucapkan, kalau tidak, tentu orang akan menganggap kau terlalu angkuh dan sombong."
Tut-pit-ong seakan-akan tidak ambil pusing terhadap ucapan mereka berdua, ia komat-kamit menggumam sendiri, rupanya sedang mengulangi isi tulisan Thio Kiu yang membuatnya kesengsem dan lupa daratan. Tiba-tiba ia berkata pula kepada Hiang Bun-thian, "He, coba kau membentang pula tulisan itu."
"Asalkan Samchengcu sudah menang, pasti sui-ih-tiap ini akan menjadi milikmu, sekarang hendaklah jangan terburu-buru dulu," jawab Hiang Bun-thian dengan tertawa.
Sebagai ahli catur, Hek-pek-cu dengan sendirinya adalah ahli pikir pula, sebelum menang sudah mesti memperhitungkan kekalahan dulu, maka ia bertanya pula, "Jika benar-benar di dalam Bwe-cheng kami ini tiada seorang pun yang mampu mengalahkan Saudara Hong ini, lalu pertaruhan apa yang harus kami berikan?"
"Sudah kami katakan bahwa kedatangan kami ke Bwe-cheng sini tidak untuk minta sesuatu benda atau mohon sesuatu urusan," jawab Hiang Bun-thian. "Tujuan Hong-hiante hanya ingin saling belajar ilmu pedang dengan jago kosen yang berada di puncak ilmu silat seluruh jagat sini. Jika secara kebetulan kami menang, seketika kami mohon diri, kami tidak menginginkan barang taruhan apa-apa."
"O, jadi Saudara Hong ini hanya ingin mencari nama saja?" ujar Hek-pek-cu. "Ya, memang, sebatang pedangnya sekaligus mengalahkan Kanglam-si-yu, peristiwa ini sudah tentu akan tersiar di seluruh Kangouw."
"Ah, Jichengcu telah salah sangka," kata Hiang Bun-thian sambil menggeleng. "Pertandingan ilmu pedang di sini, tak peduli pihak mana yang menang dan kalah, jika ada satu kata saja dibocorkan ke luar, biarlah aku dan Hong-hiante mati tak terkubur, anggap saja sebagai manusia rendah melebihi binatang."
"Bagus, bagus!" seru Tan-jing-sing. "Ucapanmu harus dipuji. Kamar ini cukup luas, biarlah aku mulai bertanding sejurus-dua dengan Saudara Hong. Dan mana pedangmu?"
"Datang ke Bwe-cheng sini mana kami berani membawa senjata?" sahut Bun-thian tertawa.
Segera Tan-jing-sing menggembor pula, "Ambilkan dua pedang!"
Ada suara orang mengiakan di luar, kemudian Ting Kian dan Si Leng-wi masing-masing membawa sebatang pedang dan diaturkan ke hadapan Tan-jing-sing.
Tan-jing-sing ambil sebuah pedang itu dan berkata, "Yang ini berikan padanya!"
Si Leng-wi mengiakan, lalu pedang itu diaturkan ke hadapan Lenghou Tiong.
"Hong-hiante," kata Hiang Bun-thian, "ilmu pedang keempat Chengcu di sini terkenal mahasakti, asalkan kau dapat belajar sejurus-dua saja sudah tidak habis-habis kau gunakan selama hidup ini."
Melihat keadaan sudah tidak mungkin dihindarkan lagi, terpaksa Lenghou Tiong menyambuti pemberian pedang itu.
Sekonyong-konyong Hek-pek-cu berkata, "Nanti dulu, Site. Taruhan yang dikemukakan Tong-heng ini adalah di dalam Bwe-cheng kita tiada seorang pun yang mampu mengalahkan Hong-heng itu. Ting Kian juga mahir main pedang, ia pun penghuni Bwe-cheng ini, maka tidak perlu Site mesti tampil ke muka sendiri."
Dasar juru pikir, Hek-pek-cu menjadi sangsi mendengar tantangan Hiang Bun-thian yang semakin galak dan yakin benar pasti akan menang itu. Tiba-tiba ia mendapat akal membiarkan Ting Kian maju untuk menjajal Lenghou Tiong lebih dulu. Ia pikir Ting Kian berjuluk "It-ji-tian-kiam" (Pedang Kilat Angka Satu), ilmu pedangnya juga sangat lihai, kedudukannya di Bwe-cheng juga cuma kaum hamba saja, andaikan kalah juga tidak merugikan nama baik Bwe-cheng, sebaliknya sampai di mana kehebatan ilmu pedang Hong Ji-tiong ini akan segera ketahuan.
Tanpa pikir Hiang Bun-thian lantas menjawab, "Ya, benar. Asalkan ada orang di dalam Bwe-cheng ini mampu menangkan ilmu pedang Hong-hianteku, maka kami akan dianggap kalah, memangnya juga tidak perlu keempat Chengcu mesti maju sendiri. Ting-heng ini di dunia Kangouw berjuluk "It-ji-tian-kiam", betapa cepat gerak pedangnya jarang ada bandingannya. Nah, Hong-hiante, tiada jeleknya jika kau belajar kenal dulu dengan It-ji-tian-kiamnya Ting-heng."
Dengan tertawa Tan-jing-sing lantas melemparkan pedangnya kepada Ting Kian sambil berkata, "Awas, jika kau kalah akan kudenda kau minum tiga mangkuk arak."
Ting Kian membungkuk tubuh memberi hormat sambil menangkap pedang itu, kemudian ia berkata kepada Lenghou Tiong, "Orang she Ting mohon belajar ilmu pedang Tuan Hong yang lihai!"
"Sret", segera ia mendahului melolos pedangnya.
Lenghou Tiong juga lantas melolos pedangnya, sarung pedang ditaruhnya di atas meja batu tadi.
"Ketiga Chengcu dan Ting-heng," seru Hiang Bun-thian, "kita harus bicara di muka, pertandingan ini hanya mengenai ilmu pedang dan tidak boleh mengadu tenaga dalam."
"Ya, sudah tentu, cukup asal tertutul saja lantas berhenti," kata Hek-pek-cu.
Maka Hiang Bun-thian sengaja pesan Lenghou Tiong, "Hong-hiante, jangan sekali-kali kau mengeluarkan tenaga dalam. Bertanding ilmu pedang tergantung kebagusan tipu serangan masing-masing. Khikang Hoa-san-pay kalian sangat terkenal di dunia persilatan, jika kau menang dengan mengandalkan tenaga dalam biarlah dianggap kita yang kalah."
Diam-diam Lenghou Tiong tertawa geli, padahal sang toako mengetahui dia tiada punya tenaga dalam sedikit pun, tapi sengaja menonjolkan tenaga dalam untuk memojokkan pihak lawan. Segera ia menjawab, "Jika Siaute mengeluarkan tenaga dalam tentu akan ditertawai ketiga Chengcu dan Ting-heng serta Si-heng, sudah tentu sama sekali aku tidak berani menggunakannya."
"Hong-hiante tidak perlu terlalu rendah hati agar tidak seakan-akan kita kurang mengindahkan keempat Cianpwe di sini," kata Hiang Bun-thian. "Bahwasanya Ci-he-sin-kang Hoa-san-pay kalian adalah lwekang yang amat lihai dan jauh di atas lwekang Ko-san-payku, hal ini cukup diketahui kawan-kawan Bu-lim. Nah, Hong-hiante, hendaklah kau berdiri di tengah kedua bekas tapak kakiku ini dan jangan sampai tergeser keluar, dengan berdiri di sini bolehlah kau coba-coba ilmu pedang Ting-heng."
Habis berkata ia lantas menyingkir ke samping, maka tertampak di atas jubin lantai telah tercetak dua bekas tapak kaki yang dalamnya dua-tiga senti. Rupanya sewaktu bicara tadi diam-diam ia telah mengerahkan tenaga dalam sehingga jubin hijau yang cukup keras itu telah dicetak mentah-mentah dua bekas kaki.
Hek-pek-cu, Tut-pit-ong, dan Tan-jing-sing serentak bersorak memberi pujian. Mereka mengira Hiang Bun-thian sengaja pamer kepandaian, tak tahunya dia mempunyai maksud yang lain.
Kiranya Hiang Bun-thian sengaja membangga-banggakan lwekangnya Lenghou Tiong lebih tinggi daripada dia sendiri, sekarang ia pamerkan lwekangnya sendiri pula agar orang mau percaya bahwa lwekang Lenghou Tiong sudah pasti jauh lebih hebat lagi, dengan demikian pihak lawan dalam pertandingan nanti tidak berani sembarangan menggunakan tenaga dalam untuk mencari penyakit sendiri. Apalagi Hiang Bun-thian mengetahui kemahiran Lenghou Tiong selain ilmu pedang boleh dikata tidak ada yang istimewa, dengan tetap berdiri di bekas tapak kakinya itu akan dapat pula menyembunyikan kelemahan-kelemahannya yang lain.
Diam-diam Ting Kian menjadi gusar mendengar Hiang Bun-thian suruh Lenghou Tiong tetap berdiri di dalam bekas tapak kaki itu untuk melawannya nanti. Walaupun demikian, karena merasa dirinya tidak sanggup menginjak jubin meninggalkan bekas, mau tak mau ia terperanjat juga atas kelihaian tenaga Hiang Bun-thian. Pikirnya, "Jika mereka berani datang menantang keempat Chengcu, sudah tentu mereka bukan kaum keroco. Asalkan aku mampu bertanding sama kuatnya dengan dia sudah cukup menyelamatkan nama baik Bwe-cheng."
Hendaklah maklum bahwa di waktu mudanya dahulu Ting Kian berwatak sangat sombong sehingga banyak mengikat permusuhan dengan jago-jago Kangouw, kemudian ia ketemu batunya sehingga mencari hidup sukar dan minta mati pun tidak mudah, dalam keadaan kepepet, syukur ia telah ditolong oleh Kanglam-si-yu. Karena itulah ia rela menghamba di Bwe-cheng, kegarangan di masa yang lalu juga telah lenyap sekarang.
Begitulah Lenghou Tiong lantas melangkah maju dan berdiri di dalam bekas tapak kakinya Hiang Bun-thian itu, katanya dengan tersenyum, "Silakan mulai, Ting-heng!"
"Maaf!" kata Ting Kian, tanpa sungkan-sungkan lagi segera pedangnya menebas, "serrr", selarik sinar pedang tahu-tahu telah berkelebat lewat dengan amat cepatnya. Meski sudah belasan tahun ia mengasingkan diri di Bwe-cheng, tapi kepandaian dahulu ternyata tiada sedikit pun berkurang.
Namun Tokko-kiu-kiam yang telah diyakinkan Lenghou Tiong itu adalah ilmu pedang yang tiada bandingannya sejak dahulu sehingga sekarang. Dengan ilmu pedangnya itu Tokko Kiu-pay pernah malang melintang di seluruh dunia dan tak terkalahkan, bukan saja tak pernah kalah, bahkan sampai hari tuanya, orang yang mampu menandingi sepuluh jurus saja jarang terdapat. Akhirnya Tokko Kiu-pay wafat dalam kekosongan jiwa dan ilmu pedangnya itu melalui Hong Jing-yang telah diturunkan kepada Lenghou Tiong.
Ilmu pedang angka satu yang menjadi kebanggaan Ting Kian itu setiap gerak serangan selalu berkelebat seperti sambaran kilat sehingga membuat orang yang melihatnya belum-belum sudah gentar lebih dulu.
Tapi baru sekali saja It-ji-tian-kiam itu dikeluarkan, segera Lenghou Tiong dapat mengetahui tiga titik kelemahan di dalamnya.
Ting Kian ternyata tidak buru-buru melancarkan serangan, pedangnya hanya menebas kian-kemari seakan sungkan kepada pihak tamu, tapi maksud tujuannya adalah hendak membikin silau Lenghou Tiong agar sukar menangkis serangannya yang menyusul.
Tak terduga ketika sampai pada jurus kelimanya, Lenghou Tiong telah melihat ilmu pedangnya itu sudah ada 18 titik kelemahan. Segera ia berkata, "Maaf!"
Berbareng pedangnya lantas menuding miring ke depan.
Tatkala itu Ting Kian sedang menebaskan pedangnya secepat kilat dari kiri ke kanan, jarak ujung pedang Lenghou Tiong masih ada satu meter jauhnya, namun gerakan Ting Kian itu menjadi seperti mengantarkan tangan sendiri ke ujung pedang lawan.
Gerakan Ting Kian itu teramat cepat dan sukar untuk dihentikan secara mendadak. Lima orang penonton yang menyaksikan di samping itu adalah jago-jago kelas wahid semua.
Saat itu tangan Hek-pek-cu sedang memegangi sebiji catur, segera ia bermaksud menyambitkan biji catur itu untuk menyelamatkan tangan Ting Kian dari ancaman pedang Lenghou Tiong, tapi lantas terpikir olehnya jika sampai dia ikut turun tangan ini berarti dua orang melawan seorang dan Bwe-cheng jelas di pihak yang kalah. Karena rasa ragu-ragu itulah saat mana jarak pergelangan tangan Ting Kian sudah makin mendekat dengan sambaran ujung pedang Lenghou Tiong, hanya tinggal belasan senti jauhnya.
"Aiii!" Si Leng-wi menjerit khawatir.
Siapa duga, pada detik yang menentukan itu mendadak Lenghou Tiong memutar perlahan tangannya sehingga ujung pedang menegak, "plak", tangan Ting Kian terbentur pada batang pedang yang rata itu sehingga tidak terluka apa-apa.
Ting Kian sampai melenggong, baru dia sadar bahwa pihak lawan telah sengaja memberi ampun padanya sehingga sebelah tangannya tidak sampai terkutung. Seketika ia berkeringat dingin, ia membungkuk tubuh dan berkata, "Banyak terima kasih atas kemurahan hati Hong-tayhiap."
Lenghou Tiong membalas hormat dan menjawab, "Ah, engkaulah yang mengalah!"
Melihat Lenghou Tiong sedikit memutar pedangnya sehingga Ting Kian terhindar dari tangan terkutung, diam-diam Hek-pek-cu, Tut-pit-ong, dan Tan-jing-sing menaruh kesan baik padanya.
Segera Tan-jing-sing menuang secawan arak, katanya, "Hong-hengte, ilmu pedangmu sangat bagus, terimalah secawan suguhanku."
"Terima kasih," sahut Lenghou Tiong sambil menerima suguhan itu terus ditenggak habis.
Tan-jing-sing juga mengiringi minum satu cawan, lalu menuangi cawan Lenghou Tiong pula dan berkata, "Hong-hengte, hatimu sangat baik sehingga tangan Ting Kian tidak sampai buntung, biarlah aku menyuguh lagi secawan padamu."
"Ah, ini hanya secara kebetulan saja, kenapa diherankan?" ujar Lenghou Tiong sambil menghabiskan pula isi cawannya.
Tan-jing-sing mengiring pula secawan, lalu menuang lagi secawan dan berkata, "Cawan ketiga ini kita jangan minum dulu, marilah kita main-main, siapa yang kalah dialah yang minum arak ini."
"Terang aku yang kalah," ujar Lenghou Tiong tertawa, "biarlah aku meminumnya sekarang saja."
"Jangan buru-buru!" seru Tan-jing-sing sambil menaruh cawan araknya di atas meja batu, ia ambil pedang dari tangan Ting Kian, lalu katanya pula, "Hong-hengte, silakan mulai lebih dulu."
Di waktu minum arak tadi diam-diam Lenghou Tiong sudah menimbang-nimbang, "Dia mengaku mempunyai tiga keistimewaan, yaitu minum arak, suka seni lukis, dan mahir ilmu pedang. Maka dapatlah dipastikan ilmu pedangnya tentu sangat lihai. Dari lukisan yang terpancang di ruang depan sana kulihat goresannya rada mirip sejurus ilmu pedang yang terukir di dinding gua puncak Hoa-san dahulu. Ilmu pedang itu memang sangat bagus, tapi aku sudah paham jalannya, tentunya tidak sukar untuk melayaninya."
Maka katanya sambil membalas hormat, "Harap Sichengcu sudi mengalah sedikit."
"Tidak perlu sungkan-sungkan, silakan," kata Tan-jing-sing.
"Baik," begitu Lenghou Tiong berseru, pedangnya lantas bergerak menusuk ke pundak lawan.
Tusukan ini tampaknya geyat-geyot tak bertenaga dan tidak menurut ilmu pedang yang lazim, belum pernah ada ilmu pedang di dunia ini terdapat jurus serangan demikian.
Keruan Tan-jing-sing melengak, katanya, "Ini terhitung serangan apa?"
Pengetahuan Tan-jing-sing dalam hal ilmu pedang boleh dikata sangat luas, telah diketahuinya Lenghou Tiong adalah murid Hoa-san-pay, maka yang dia pikirkan sejak tadi adalah macam-macam tipu serangan ilmu pedang Hoa-san-pay saja, siapa tahu apa yang dimainkan Lenghou Tiong ini ternyata sama sekali di luar dugaannya.
Pelajaran yang diperoleh Lenghou Tiong dari Hong Jing-yang kecuali Tokko-kiu-kiam yang tiada bandingannya itu, dapat dipahami pula intisari "dengan tiada tipu mengalahkan yang ada tipu" dalam ilmu pedang. Asas ini tali-temali dengan Tokko-kiu-kiam yang justru setiap gerakan dan setiap tipu serangannya sudah mencapai puncaknya itu. Maka gabungan dari kedua paham ini menjadi lebih hebat dan sukar diraba pihak musuh.
Lantaran itulah Tan-jing-sing lantas melenggong begitu melihat serangannya yang aneh itu. Jika dirinya cepat menangkis toh rasanya sukar terjadi, dan karena tak bisa ditangkis, jalan satu-satunya bagi Tan-jing-sing adalah melangkah mundur.
Waktu satu jurus saja Lenghou Tiong mengalahkan Ting Kian tadi, meski Hek-pek-cu dan Tut-pit-ong diam-diam memuji kelihaian ilmu pedangnya, tapi juga tidak begitu heran, sebab mereka anggap kalau Lenghou Tiong sudah berani menantang ke Bwe-cheng, maka mustahil jika cuma seorang hamba saja tak bisa mengalahkannya. Tapi sekarang setelah menyaksikan sekali tusuk Lenghou Tiong lantas mendesak mundur Tan-jing-sing, mau tak mau mereka menjadi terkesiap.
Bab 67. Ilmu Pedang Lenghou Tiong Tiada Tandingannya
Setelah melangkah mundur segera Tan-jing-sing melangkah maju pula sehingga tetap berhadapan dengan Lenghou Tiong dalam jarak yang sama. Menyusul Lenghou Tiong menusuk lagi, sekali ini yang diarah adalah pundak kiri, caranya tetap seperti tadi, geyat-geyot tak teratur, seperti sungguh-sungguh, seperti main-main.
Segera Tan-jing-sing angkat pedang hendak menangkis, tapi belum lagi kedua pedang beradu segera ia menyadari iga kanan sendiri terlubang, jika lawan terus menyerang ke situ tentu sukar tertolong, jadi tangkisannya ini sekali-kali tidak boleh dilakukan, pada detik terakhir itulah ia ganti haluan, sekali tutul kedua kakinya kembali ia melompat mundur dua meter lebih jauhnya.
"Kiam-hoat bagus!" serunya memuji, berbareng itu ia menubruk maju pula. Sekaligus orangnya bersama pedangnya terus menusuk secepat kilat ke arah Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong dapat melihat lubang kelemahan di bawah lengan kanan lawan pula, segera pedangnya menyelonong ke depan. Jika Tan-jing-sing tidak segera ganti haluan tentu sikunya akan termakan lebih dulu oleh pedang Lenghou Tiong.
Dalam keadaan demikian, terpaksa Tan-jing-sing harus menyelamatkan diri lebih dulu, mendadak pedangnya menusuk ke lantai, dengan tenaga pentalan itulah ia terus berjumpalitan ke belakang dan menancapkan kaki sejauh tiga-empat meter. Saat itu punggungnya sudah mepet dinding, kalau jumpalitannya terlalu keras sedikit saja tentu punggungnya akan menumbuk dinding, hal ini berarti menurunkan derajatnya sebagai seorang kosen. Walaupun demikian, karena cara menghindarnya itu dilakukan dengan gugup dan susah payah, mau tak mau muka Tan-jing-sing menjadi merah jengah.
Sebagai seorang kesatria yang berjiwa besar, ia tidak menjadi gusar, sebaliknya ia malah bergelak tertawa sambil mengacungkan ibu jarinya dan memuji, "Ilmu pedang bagus!"
Habis berkata pedangnya berputar pula, lebih dulu jurus "Pek-hong-koan-jit" (Pelangi Putih Menembus Cahaya Matahari), menyusul jurus "Jun-hong-hut-liu" (Angin Silir Meniup Pohon Liu), lalu berubah lagi menjadi jurus "Thing-kau-ki-hong" (Ular Naga Menjangkitkan Angin), tiga kali serangan dilancarkan sekaligus dan tahu-tahu ujung pedangnya sudah menyambar ke muka Lenghou Tiong.
Cepat Lenghou Tiong menyampuk dengan pedangnya sehingga tepat mengenai punggung pedang lawan. Karena sampukan ini tepat waktunya dan jitu tempatnya, saat itu Tan-jing-sing sedang mencurahkan segenap pikiran dan tenaganya ke ujung pedangnya yang diduganya pasti akan kena sasarannya sehingga pada batang pedangnya tiada bertenaga malah.
Maka terdengarlah suara "creng" perlahan, pedang Tan-jing-sing tersampuk ke bawah, sebaliknya sinar pedang Lenghou Tiong lantas berkelebat, tahu-tahu sudah mengancam di depan dadanya. Tan-jing-sing menjerit kaget dan cepat melompat ke samping.
Rupanya ia belum kapok, kembali pedangnya berputar terus menerjang maju lagi. Sekali ini ia membacok dari atas sambil berseru, "Awas!"
Ia tidak berniat mencelakai Lenghou Tiong, tapi gerak tipu "Giok-liong-to-kwa" (Naga Kemala Melingkar Balik) cukup lihai, jika sedikit lengah dan tidak keburu ditahan, bukan mustahil Lenghou Tiong akan benar-benar terluka olehnya, sebab itulah ia telah berseru memperingatkan.
Lenghou Tiong telah mengiakan peringatan itu. Berbareng pedangnya dari bawah menyungkit ke atas, "sret", mata pedangnya menyerempet lurus ke atas melalui mata pedang lawan.
Dalam keadaan demikian jika bacokan Tan-jing-sing itu diteruskan, sebelum mengenai kepala Lenghou Tiong tentu kelima jarinya sudah akan terpapas lebih dulu oleh pedang Lenghou Tiong. Tapi kepandaian Tan-jing-sing memang jauh lebih tinggi daripada Ting Kian, dilihatnya pedang orang telah memapas tiba menempel batang pedangnya sendiri, bagaimanapun serangan ini sukar dipatahkan, terpaksa tangan kirinya memukul kosong ke lantai, dengan tenaga tolakan ini, "blang", ia terus melompat ke belakang dua-tiga meter jauhnya. Selagi badannya masih terapung di udara pedangnya berulang-ulang telah berputar tiga kali sehingga berwujud tiga lingkaran sinar perak.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lingkaran-lingkaran sinar itu mirip seperti benda hidup saja, hanya berputar-putar sejenak di udara, lalu perlahan-lahan menggeser maju ke arah Lenghou Tiong.
Lingkaran-lingkaran hawa pedang itu tampaknya tidak selihai sinar pedang It-ji-tian-kiam Ting Kian tadi, tapi hawa pedang ini lebih tebal, hawa dingin merangsang badan orang, maka dapat dirasakan oleh setiap orang bahwa ilmu pedang Tan-jing-sing ini memang luar biasa.
Pedang Lenghou Tiong lantas menjulur ke depan, ditusukkan ke dalam lingkaran-lingkaran sinar itu. Di situlah lowongan antara serangan pertama Tan-jing-sing mulai lemah tenaganya dan tenaga serangan kedua belum lagi dikerahkan. Keruan Tan-jing-sing bersuara heran sambil melangkah mundur, lingkaran sinar pedang juga ikut berputar mundur. Tapi segera terlihat lingkaran sinar itu mendadak menyurut, menyusul terus meluas ke depan, di kala lingkaran sinar itu membesar, seketika terus menerjang ke arah Lenghou Tiong.
Kembali Lenghou Tiong menusukkan pedangnya ke tengah lingkaran itu dan kembali Tan-jing-sing berseru heran sambil mundur lagi dan begitu sampai beberapa kali ia maju dan mundur. Semakin cepat ia menyerang maju, semakin cepat pula ia mundur. Hanya dalam sekejap saja ia sudah menyerang sebelas kali dan mundur sebelas kali, kumis jenggotnya sampai berjengkit, sinar pedangnya menerangi mukanya yang kelihatan pucat kehijau-hijauan.
Sekonyong-konyong Tan-jing-sing menggertak keras, berpuluh-puluh lingkaran sinar besar dan kecil serentak menerjang ke arah Lenghou Tiong. Inilah kemahiran Tan-jing-sing yang tiada taranya, ia telah mempersatukan belasan jurus serangan menjadi satu sehingga sukar diduga oleh musuh. Selama hidupnya ia hanya pernah menggunakan kemahiran ini tiga kali saja untuk menghadapi musuh tangguh dan tiga kali pula ia memperoleh kemenangan.
Namun tangkisan Lenghou Tiong tetap sederhana saja, kembali pedangnya menusuk lempeng ke depan sebatas dada, yang dituju adalah ulu hati Tan-jing-sing.
Lagi-lagi Tan-jing-sing menjerit dan melompat mundur sekuatnya. "Blang", dengan berat ia jatuh terduduk di atas meja batu, menyusul terdengar suara riuh jatuhnya cawan arak sehingga hancur berantakan.
Walaupun sudah kalah, tapi Tan-jing-sing tidak menjadi marah, sebaliknya ia terbahak-bahak dan berseru, "Bagus, sungguh bagus! Hong-hengte, ilmu pedangmu memang jauh lebih tinggi daripadaku. Mari, marilah aku menyuguh kau tiga cawan lagi."
Hek-pek-cu dan Tut-pit-ong cukup kenal betapa hebat ilmu pedang site mereka, mereka menyaksikan Tan-jing-sing beruntun telah menyerang 16 kali dan kedua kaki Lenghou Tiong tetap di tempatnya tanpa menggeser ke luar dari bekas tapak kaki Hiang Bun-thian tadi, sebaliknya malah memaksa ahli pedang dari Kanglam-si-yu itu main melompat mundur sampai 17 kali. Betapa tinggi ilmu pedang Lenghou Tiong benar-benar susah diukur.
Dalam pada itu Tan-jing-sing sudah lantas menuang arak ajak minum tiga cawan lagi bersama Lenghou Tiong. Katanya, "Di antara Kanglam-si-yu, ilmu silatku adalah yang paling rendah. Meski aku sudah mengaku kalah, tapi Jiko dan Samko tentu belum mau terima. Besar kemungkinan mereka pun ingin menjajal-jajal kau."
"Kita berdua telah bergebrak belasan jurus dan satu jurus pun Sichengcu belum kalah, mengapa engkau mengatakan akulah yang menang?" ujar Lenghou Tiong.
"Ah, jurus pertama saja aku sudah kalah, jurus-jurus selebihnya sudah tiada artinya lagi," kata Tan-jing-sing sambil menggeleng. "Biasanya Toako mengatakan aku berjiwa sempit, rupanya memang tidak salah."
"Peduli jiwa sempit segala, yang paling penting asalkan kekuatan minum arak yang besar kan jadi," kata Lenghou Tiong tertawa.
"Benar, benar! Marilah kita minum arak lagi," seru Tan-jing-sing.
Padahal biasanya Tan-jing-sing sangat tinggi hati dalam hal ilmu pedang, sekarang dia terjungkal di tangan seorang pemuda yang belum terkenal dan sedikit pun tidak marah dan menyesal, jiwanya yang besar ini betapa pun membikin kagum Lenghou Tiong dan Hiang Bun-thian.
Tut-pit-ong lantas berkata kepada Si Leng-wi, "Si-koankeh, tolong ambilkan aku punya pensil tumpul itu."
Si Leng-wi mengiakan terus pergi mengambilkan semacam senjata dan diaturkan kepada Tut-pit-ong.
Lenghou Tiong melihat senjata itu adalah sebuah boan-koan-pit yang terbuat dari baja, tangkai pensil itu panjangnya belasan senti. Anehnya ujung pensil itu benar-benar pensil tulen, yaitu terbuat dari bulu domba, bahkan ada bekas tercelup tinta bak.
Ujung boan-koan-pit biasanya juga terbuat dari baja dan digunakan menutuk hiat-to, tapi ujung pensil terbuat dari bulu domba yang lemas ini masakah dapat menutuk hiat-to musuh dan merobohkannya" Lenghou Tiong menduga ilmu tiam-hiat orang tentu mempunyai cara yang istimewa dan tenaga dalamnya juga pasti sangat kuat sehingga melalui bulu domba yang lemas itu pun dapat melukai orang.
Setelah memegang senjatanya, dengan tersenyum Tut-pit-ong lantas berkata, "Saudara Hong, apakah kau tetap berdiri di bekas tapak kaki tanpa ganti tempat?"
Lekas-lekas Lenghou Tiong mundur dua tindak, jawabnya dengan membungkuk tubuh, "Ah, mana Cayhe berani berlagak di hadapan Cianpwe."
Tut-pit-ong lantas angkat pensilnya, katanya dengan tersenyum, "Beberapa jurus goresanku ini adalah perubahan dari gaya tulisan kaum ahli tulis. Hong-heng serbapandai, tentunya akan dapat mengenali jalan goresan pensilku ini. Hong-heng adalah sobat baik kita, maka pensilku ini tidak perlu dicelup tinta saja."
Lenghou Tiong rada terkesiap, pikirnya, "Apa barangkali kalau bukan sobat baik lantas pensilmu akan dicelup tinta" Kalau sudah dicelup tinta, lalu mau apa?"
Ia tidak tahu bahwa tinta bak yang dicelup oleh pensil Tut-pit-ong pada saat akan bertempur itu adalah buatan dari berbagai ramuan obat, kalau mengenai kulit manusia akan tak bisa dibersihkan untuk selamanya. Dahulu jago-jago Bu-lim yang bermusuhan dengan Kanglam-si-yu juga pensil tumpul Tut-pit-ong inilah yang paling memusingkan kepala mereka, asal lengah sedikit saja, maka mukanya tentu akan dicorang-coreng oleh pensil tumpul itu, hal ini berarti suatu penghinaan besar, mereka lebih suka dibacok golok atau dipenggal sebelah lengannya daripada muka dicorang-coreng begitu.
Lantaran melihat cara Lenghou Tiong bergebrak dengan Ting Kian serta Tan-jing-sing tadi jelas sangat jujur, maka Tut-pit-ong tidak mencelup pensilnya dengan tinta lagi.
Walaupun tidak paham maksudnya, tapi Lenghou Tiong dapat menduga pihak lawan tentunya berlaku sungkan kepadanya, maka sambil membungkuk tubuh ia berkata, "Banyak terima kasih. Cuma Wanpwe tidak banyak bersekolah, tulisan Samchengcu tentu tidak Wanpwe kenal."
Tut-pit-ong rada kecewa, katanya, "Jadi kau tidak paham seni tulis" Baiklah, jika begitu biar aku menjelaskan dulu padamu. Aku punya tulisan ini disebut "Hui-ciangkun-si" (Syair Panglima Hui), yaitu perubahan dari sanjak Gan Cin-kheng yang seluruhnya meliputi 23 huruf, mengandung tiga jurus sampai 16 jurus serangan, hendaklah kau memerhatikan dengan baik."
"Baiklah, terima kasih atas petunjukmu," jawab Lenghou Tiong. Diam-diam ia pikir peduli amat apakah kau akan tulis syair atau sanjak segala, aku toh tidak paham sama sekali.
Segera Tut-pit-ong angkat pensilnya yang besar itu terus menutul tiga kali ke arah Lenghou Tiong, ini adalah tiga titik permulaan dari huruf "hui", tiga kali tutul ini cuma gerakan palsu saja, ketika pensilnya diangkat hendak menggores dari atas ke bawah, sekonyong-konyong pedang Lenghou Tiong telah menyambar lebih dulu ke bahu kanannya.
Dalam keadaan terpaksa Tut-pit-ong mesti menangkis dengan pensilnya, namun pedang Lenghou Tiong sudah lantas ditarik kembali. Jadi senjata kedua orang belum sampai terbentur, yang mereka gunakan hanya serangan kosong saja, cuma jurus pertama Tut-pit-ong menurut syairnya tadi baru dimulai setengah-setengah, jadi belum lengkap.
Sesudah pensilnya menangkis tempat kosong, segera jurus kedua dilontarkan. Tapi Lenghou Tiong kembali mendahului pula, begitu melihat pensilnya bergerak, sebelum diserang pedangnya sudah menyerang lebih dulu ke tempat yang memaksa lawan harus membela diri.
Benar juga, lekas-lekas Tut-pit-ong putar pensilnya untuk menangkis, tapi pedang Lenghou Tiong tahu-tahu sudah ditarik pulang lagi. Jadi jurus kedua ini pun Tut-pit-ong tak bisa mengeluarkannya dengan sempurna, tapi cuma setengah-setengah saja.
Begitu gebrak kedua jurus serangannya lantas ditutup mati oleh Lenghou Tiong, sehingga serangkaian seni tulisnya tetap tak bisa dimainkan dengan lancar, keruan Tut-pit-ong merasa gelisah, sama halnya seperti seorang yang pintar menulis, baru saja angkat pena mulai menulis, tahu-tahu datang seorang anak kecil yang mengganggu dan mengacau sehingga ilhamnya kabur seketika.
Tut-pit-ong mengira karena tadi telah memberi tahu lebih dulu tulisan apa yang akan dimainkannya sehingga Lenghou Tiong dapat siap-siap sebelumnya untuk mendahului serangannya. Jika sekarang dia menyerang tanpa mengikuti urut-urutan bait syair, tentu lawan akan menjadi bingung. Karena itu segera ia ganti haluan, pensilnya bergerak dari atas menyerong ke kiri, lalu membelok ke kanan dengan tenaga penuh, rupanya yang dia gores itu adalah huruf "ji" dalam gaya coretan cepat.
Namun pedang Lenghou Tiong tetap menusuk ke depan, yang diarah adalah iga kanan. Tut-pit-ong terkejut, cepat pensilnya menangkis ke bawah. Padahal tusukan Lenghou Tiong itu tetap serangan pura-pura saja, tapi karena itu kembali jurus serangan Tut-pit-ong hanya sempat dimainkan setengah-setengah saja.
Sebenarnya coretan-coretan Tut-pit-ong itu selalu diikuti dengan penuh semangat dan tenaga, sekarang sampai di tengah jalan mendadak terhalang, bahkan ganti haluan terus buntu, keruan darah sendiri menjadi bergolak, rasanya sangat tidak enak.
Setelah ambil napas panjang-panjang, kembali Tut-pit-ong putar cepat pensilnya, akan tetapi di tengah jalan selalu digagalkan Lenghou Tiong. Lama-lama ia menjadi naik pitam. Bentaknya, "Kurang ajar, mengacau melulu!"
Segera pensilnya berputar lebih cepat. Tapi bagaimanapun juga, paling banyak ia hanya sempat menulis dua goresan, habis itu selalu ditutup mati jalannya oleh pedang Lenghou Tiong.
Tut-pit-ong menggertak sekali, gaya tulisannya segera berubah, tidak lagi menulis seperti tadi, tapi mencoret ke sana ke sini dengan cepat dan kuat sebagai orang mengamuk.
Lenghou Tiong tidak tahu bahwa gaya tulisan Tut-pit-ong sekarang adalah menirukan gaya coretan Thio Hui, itu panglima perkasa di Zaman Sam-kok, namun dapat pula dilihatnya bahwa gaya tulisannya sudah berbeda daripada tadi. Maka ia tidak peduli tipu serangan apa yang dilancarkan lawan, asalkan pensil lawan bergerak segera, ia mendahului menyerang lubang kelemahannya.
Berulang-ulang terjadi demikian, keruan Tut-pit-ong berkaok-kaok. Kembali gaya tulisannya berubah lagi, tapi hasilnya tetap kosong. Ia tidak tahu bahwa hakikatnya Lenghou Tiong tidak ambil pusing terhadap tulisan apa yang akan dimainkan olehnya, yang dia incar hanya luangan pada setiap gerakan lawan. Sebab itulah setiap kali Tut-pit-ong hanya mampu mencoret setengah-setengah saja, lalu gagal.
Semakin gagal, semakin kesal pula perasaan Tut-pit-ong, sampai akhirnya mendadak ia berteriak-teriak, "Sudahlah, tidak mau lagi, tidak mau lagi!"
Berbareng itu ia terus melompat mundur, gentong arak Tan-jing-sing tadi diangkatnya terus dituang sehingga memenuhi lantai. Pensilnya yang besar itu dicelup kepada cairan yang melanda lantai itu, lalu mulai menulis di atas dinding yang putih itu. Yang ditulis bukan lain daripada syair panglima Hui tadi, seluruhnya 23 huruf ditulisnya dengan tajam dan hidup.
Habis menulis barulah ia menghela napas lega, lalu tertawa terbahak-bahak sembari mengamat-amati kembali tulisannya sendiri yang berwarna merah marun di atas dinding itu. "Ehm, bagus! Selama hidupku hanya tulisan sekali inilah paling bagus!" pujinya kepada dirinya sendiri dengan puas. Lalu katanya kepada Hek-pek-cu, "Jiko, kamar catur ini boleh kau berikan padaku saja, aku merasa berat berpisah dengan tulisanku ini. Kukira selanjutnya aku tidak mampu menghasilkan karya sebagus ini."
"Boleh saja," kata Hek-pek-cu. "Kamarku ini hanya terdapat sebuah papan catur dan tiada benda lain. Seumpama kau tidak mau juga aku terpaksa akan pindah tempat. Habis menghadapi tulisanmu yang berhuruf besar-besar itu masakah aku bisa tenang main catur?"
Lalu Tut-pit-ong berpaling kepada Lenghou Tiong dan berkata, "Hong-laute, berkat kau sehingga segenap ilham tulisanku yang tersekam di dalam perut tadi seketika membanjir keluar dan jadilah tulisan indah yang tiada bandingannya ini. Ilmu pedangmu memang bagus, tulisanku juga bagus, ini namanya masing-masing mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, kita tiada menang dan tidak kalah, seri!"
"Benar, masing-masing mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah," tukas Hiang Bun-thian.
"Dan harus ditambahkan lagi, berkat arakku yang enak," sambung Tan-jing-sing.
Hek-pek-cu berkata kepada Hiang Bun-thian, "Samteku memang kekanak-kanakan sifatnya dan lupa daratan jika bicara tentang seni tulis, sekali-kali bukan maksudnya mengingkari kekalahannya."
"Cayhe paham," ujar Hiang Bun-thian. "Toh taruhan kita adalah di dalam Bwe-cheng ini tiada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Hong-hiante. Seumpama kedua pihak tidak kalah dan menang, yang jelas pihak kami kan tidak dikalahkan."
"Benar," kata Hek-pek-cu mengangguk. Lalu dari bawah meja batu itu ditariknya keluar sepotong papan besi segi empat.
Papan besi itu lebih kecil daripada muka meja batu itu, di atasnya terukir 19 garis jalan catur, rupanya adalah sebuah papan catur terbuat dari baja. Sambil memegangi ujung papan catur besi itu Hek-pek-cu lantas berkata pula, "Hong-heng, papan catur ini adalah senjataku, marilah kubelajar kenal dengan ilmu pedangmu yang hebat."
"Kabarnya papan catur Jichengcu ini adalah sebuah benda mestika yang dapat menyedot macam-macam senjata musuh," tiba-tiba Hiang Bun-thian berseru.
Dengan sorot mata tajam Hek-pek-cu menatap Hiang Bun-thian sejenak, lalu berkata, "Tong-heng benar-benar berpengalaman luas dan berpengetahuan tinggi. Kagum, sungguh kagum. Padahal senjataku ini bukan benda mestika, tapi adalah buatan dari besi sembrani yang kugunakan mengisap biji-biji catur supaya tidak jatuh terguncang ketika dahulu aku suka bercatur dengan orang di atas kuda atau selagi menumpang perahu."
"O, kiranya demikian," kata Hiang Bun-thian.
Mendengar kata-kata itu, diam-diam Lenghou Tiong bersyukur sang toako telah memberi petunjuk padanya secara tidak langsung. Coba kalau tidak, tentu sekali gebrak saja pasti pedangnya akan melengket tersedot oleh papan catur lawan. Maka dalam pertandingan nanti harus diusahakan jangan sampai pedang menyentuh papan caturnya.
Begitulah ia lantas berkata sambit mengacungkan pedangnya, "Harap Jichengcu memberi petunjuk!"
"Ilmu pedang Hong-heng sangat hebat, silakan mulai dahulu," ujar Hek-pek-cu.
Tanpa bicara lagi Lenghou Tiong lantas putar pedangnya, secara melingkar-lingkar pedangnya terus menusuk ke depan.
"Tipu serangan macam apa ini?" pikir Hek-pek-cu dengan melengak. Dilihatnya ujung pedang lawan telah menuju ke tenggorokannya, segera ia angkat papan caturnya untuk menangkis.
Namun cepat sekali Lenghou Tiong sudah putar ujung pedangnya untuk menusuk bahu kanan lawan. Kembali Hek-pek-cu yang menyampuk dengan papan caturnya. Tapi di tengah jalan Lenghou Tiong sudah lantas tarik kembali pedangnya terus menusuk pula ke perut lawan.
Hek-pek-cu menangkis lagi sambil berpikir, "Jika aku tidak balas menyerang bagaimana aku bisa menang?"
Menurut teori catur, kemenangan hanya tergantung kepada satu langkah mendahului musuh saja. Dalam hal ilmu silat juga begitu. Sebagai seorang ahli catur sudah tentu Hek-pek-cu paham apa artinya mendahului menyerang. Maka ia tidak mau melulu bertahan saja, segera ia pun angkat papan caturnya dan menghantam pundak kanan Lenghou Tiong.
Papan caturnya itu seluas setengahan meter persegi, tebalnya kira-kira dua senti, tergolong semacam senjata yang berat. Besi sembrani itu jauh lebih berat lagi daripada besi biasa. Jika pedang sampai kena terketok, sekalipun tidak tersedot oleh daya sembraninya itu juga pedang akan terketok patah.
Lenghou Tiong hanya sedikit mengegos saja, berbareng pedangnya menusuk iga kanan lawan.
Saat itu maksud Hek-pek-cu hendak mendahului menyerang, tapi pihak lawan justru melancarkan serangan juga, meski tusukan itu tampaknya sepele, tapi tempat yang diarah justru adalah tempat luang yang terpaksa haus dijaga. Maka cepat ia menangkis dengan papan catur, menyusul terus disodokkan ke depan lagi.
Di luar dugaan, sama sekali Lenghou Tiong tidak peduli kepada serangannya. Jika Hek-pek-cu menyerang, maka ia pun ikut menyerang sehingga setiap kali Hek-pek-cu terpaksa harus menarik senjatanya menjaga diri lebih dulu.
Begitulah berturut-turut Lenghou Tiong melancarkan serangan lebih 40 kali, Hek-pek-cu dipaksa menangkis kian-kemari dan bertahan dengan rapat, Ternyata dalam lebih 40 gebrakan itu Hek-pek-cu terpaksa bertahan melulu dan tidak sempat lagi balas menyerang.
Tut-pit-ong, Tan-jing-sing, Ting Kian, dan Si Leng-wi sampai terkesima menyaksikan pertandingan hebat itu. Dengan jelas mereka melihat ilmu pedang Lenghou Tiong itu tidak terlalu cepat, juga tidak teramat lihai, di kala ganti gerak serangan juga tiada sesuatu yang istimewa, tapi setiap serangannya selalu membuat Hek-pek-cu serbasusah dan terpaksa harus menjaga diri lebih dulu.
Hendaklah maklum bahwa setiap jago silat betapa pun tipu serangannya pasti ada lubang kelemahannya. Cuma, kalau bisa mendahului untuk mengancam tempat mematikan pihak musuh, maka kelemahan sendiri akan tertutup dan tidak menjadi halangan.
Namun sekarang setiap kali Hek-pek-cu menggerakkan papan caturnya, setiap kali pula ujung pedang Lenghou Tiong sudah lantas mengacung ke titik kelemahannya sendiri. Sebagai seorang ahli, begitu melihat arah ujung pedang lawan segera dapat diduganya bagaimana akibatnya bila serangan musuh itu dilancarkan. Di dalam lebih 40 gebrakan itu Hek-pek-cu merasa lawan menyerang terus-menerus, diri sendiri sedikit pun tidak sanggup balas menyerang.
Melihat posisi pihak sendiri sudah jelas di pihak yang kalah, kalau pertarungan demikian diteruskan, sekalipun seratus atau dua ratus jurus lagi juga dirinya tetap di pihak terserang melulu. Ia pikir kalau tidak berani menempuh bahaya untuk mencari kemenangan terakhir tentu kehormatan Hek-pek-cu selama ini akan hanyut. Maka dengan nekat ia lantas melintangkan papan caturnya terus disampukkan ke samping untuk menghantam pinggang kiri Lenghou Tiong.
Tapi Lenghou Tiong tetap tidak berkelit dan tidak menghindar, sebaliknya pedang lantas menusuk pula ke perut lawan.
Sekali ini Hek-pek-cu tidak lagi menarik kembali papan caturnya untuk membela diri, tapi masih terus dihantamkan ke depan, agaknya ia sudah bertekad mengadu jiwa, biarpun gugur bersama juga akan dilakoni. Cuma kedua jari tangan kirinya juga sudah bersiap-siap untuk menjepit batang pedang lawan bilamana tusukan Lenghou Tiong sudah mendekat.
Kiranya Hek-pek-cu telah meyakinkan ilmu sakti "Hian-thian-ci" (Jari Mahasakti), dengan mencurahkan tenaga dalam ke jari-jarinya itu sehingga tidak kalah lihainya daripada semacam senjata tajam.
Melihat Hek-pek-cu mengambil risiko itu, kelima orang yang menonton di samping sama bersuara heran. Mereka merasa pertarungan demikian sudah bukan pertandingan persahabatan lagi, tapi lebih mirip pertarungan mati-matian. Jika jepitan jarinya meleset akan berarti perutnya tak terhindar dari tembusan pedang lawan. Dalam sekejap itulah kelima orang itu sama-sama menahan napas.
Tampaknya kedua jari Hek-pek-cu sudah hampir menyentuh pedang, entah tepat-tidak jepitan jarinya itu, yang terang salah seorang pasti akan celaka. Jika jepitannya jitu, pedang Lenghou Tiong akan sukar maju ke depan lagi dan pinggangnya yang akan dihantam oleh papan catur, hal ini jelas sukar dihindarkan. Sebaliknya bila jepitan jari Hek-pek-cu meleset, atau bisa menjepit, tapi tidak sanggup menahan tenaga tusukan pedang itu, maka untuk menghindar atau melompat mundur juga tidak keburu lagi bagi Hek-pek-cu.
Tapi apa yang terjadi sungguh di luar perhitungan Hek-pek-cu. Tatkala jarinya sudah hampir menyentuh batang pedang lawan, sekonyong-konyong ujung pedang menyungkit ke atas dan menusuk ke tenggorokannya.
Perubahan ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga, dalam ilmu silat dari dahulu kala sampai sekarang juga tidak mungkin ada jurus serangan demikian. Dengan begitu, tusukan ke perut tadi sebenarnya cuma serangan palsu belaka. Dalam keadaan demikian jika papan catur Hek-pek-cu dihantamkan terus, maka tenggorokannya pasti akan tertembus lebih dulu oleh pedang lawan.
Saking terkejutnya, lekas-lekas Hek-pek-cu mengerahkan segenap tenaganya untuk menahan papan caturnya di tengah jalan. Sebagai seorang ahli pikir, sekilas benaknya lantas bekerja dan menduga maksud lawan, jika papan caturnya sendiri itu tidak dihantamkan terus, tentu pedang lawan juga takkan menusuk ke depan lagi.
Benar juga, ketika melihat papan catur orang berhenti di tengah jalan secara mendadak, segera Lenghou Tiong juga menahan pedangnya tak diteruskan tusukannya. Jarak ujung pedangnya dengan tenggorokan lawan tatkala itu hanya tinggal satu-dua senti saja. Sebaliknya jarak papan catur Hek-pek-cu dengan pinggang Lenghou Tiong juga cuma empat-lima senti. Kedua orang sama berdiri diam tanpa bergerak sedikit pun.
Meski kedua orang sedikit pun tidak bergerak lagi, tapi bagi pandangan orang lain keadaan mereka itu jauh lebih berbahaya daripada tadi. Walaupun demikian, namun sebenarnya Lenghou Tiong sudah menguasai keadaan. Maklumlah, papan catur itu adalah benda berat. Untuk bisa melukai musuh sedikitnya harus dihantamkan dari jarak satu atau setengah meter jauhnya. Tapi sekarang jaraknya dengan tubuh Lenghou Tiong hanya beberapa senti saja, sekalipun disodokkan sekuatnya juga sukar melukainya, paling-paling hanya membuatnya sakit sedikit. Sebaliknya pedang Lenghou Tiong cukup ditolak perlahan ke depan, seketika tenggorokan lawan akan berlubang dan jiwa melayang. Jadi siapa pun dapat melihat keadaan yang menguntungkan dan merugikan pihak mana pada saat itu.
Tapi dengan tertawa Hiang Bun-thian lantas berkata, "Di sebelah sini tidak berani mendahului, di sebelah sana juga tidak berani. Dalam istilah catur ini disebut "remis". Jichengcu memang gagah perkasa dan dapat menandingi Hong-hiante dengan sama kuatnya."
Lenghou Tiong lantas menarik kembali pedangnya dan melangkah mundur sambil mengucapkan maaf.
Hek-pek-cu tersenyum, katanya, "Ah, Tong-heng suka berkelakar saja. Masakah kau katakan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Ilmu pedang Hong-heng justru amat lihai, jelas Cayhe sudah kalah habis-habisan."
"Eh, Jiko, kau punya senjata rahasia biji catur adalah satu di antara kepandaian istimewa dalam dunia persilatan, 361 biji hitam-putih ditebarkan sekaligus tiada orang mampu menahannya. Mengapa engkau tidak coba-coba kepandaian Saudara Hong dalam hal menghalau senjata rahasia?" tiba-tiba Tan-jing-sing berseru.
Tergerak juga hati Hek-pek-cu, dilihatnya Hiang Bun-thian manggut perlahan. Waktu berpaling ke arah Lenghou Tiong, pemuda itu kelihatan diam-diam saja. Ia pikir ilmu pedang pemuda ini tiada taranya, zaman ini mungkin cuma orang itu saja yang mampu mengalahkan dia. Tampaknya dia tidak gentar sedikit pun, andaikan aku bertanding am-gi (senjata gelap/rahasia) lagi dengan dia tentu akan tambah malu saja nanti. Maka sambil geleng kepala ia berkata dengan tertawa, "Tidak, aku sudah mengaku kalah, buat apa bertanding am-gi segala?"
Dalam pada itu Tut-pit-ong tidak pernah melupakan "sui-ih-hiap" tulisan Thio Kiu itu, segera ia berkata pula, "Tong-heng, sudilah kau perlihatkan pula contoh tulisan tadi?"
"Sabar dulu," jawaban Hiang Bun-thian dengan tersenyum. "Sebentar kalau Toachengcu sudah mengalahkan Hong-hiante, maka contoh tulisan ini akan menjadi milik Samchengcu sendiri, sekalipun akan dilihat selama tiga-hari tiga-malam juga terserah."
"Aku akan melihatnya selama tujuh-hari tujuh-malam," kata Tut-pit-ong.
"Baik, tujuh-hari tujuh-malam juga boleh," ujar Bun-thian.
Perasaan Tut-pit-ong seperti dikilik-kilik, ingin sekali rasanya lekas-lekas mendapatkan tulisan indah itu, segera ia berkata, "Jiko, biar aku pergi mengundang Toako."
"Kalian berdua boleh mengawani tamu di sini, aku saja yang akan bicara dengan Toako," sahut Hek-pek-cu.
"Benar," seru Tan-jing-sing. "Hong-hengte, marilah kita minum pula. Ai, arak sebagus ini telah banyak dibuang percuma oleh Samko."
Habis berkata ia terus menuang arak ke dalam cawan, sedangkan Hek-pek-cu lantas menuju keluar.
Dengan marah Tut-pit-ong berkata, "Kau bilang aku banyak membuang percuma arakmu" Huh, arakmu itu sesudah masuk perut paling-paling keluar lagi menjadi air kencing. Mana bisa membandingi tulisanku di atas dinding halus yang tetap abadi itu. Arak disiarkan melalui tulisan, beribu-ribu tahun lagi orang akan tetap melihat tulisanku, kemudian baru mengetahui di dunia ada arak Turfan yang kau minum ini."
Tan-jing-sing tidak mau kalah, ia angkat cawan araknya dan berkata menghadap dinding, "Dinding, O, dinding, hidupmu sungguh beruntung sehingga dapat menikmati arak enak tuanmu ini. Sekalipun samkoku tidak mencorat-coret di atas wajahmu juga ... juga kau akan tetap hidup abadi."
"Haha, dibandingkan dinding yang tidak tahu apa-apa ini, Wanpwe boleh dikata jauh lebih beruntung!" seru Lenghou Tiong tertawa sambil menenggak isi cawannya.
Hiang Bun-thian juga mengiringi minum dua cawan, lalu tidak minum lagi. Sebaliknya Tan-jing-sing dan Lenghou Tiong masih terus menuang dan menenggak tidak berhenti, semakin minum semakin bersemangat.
Bab 68. Suara Kecapi Membentuk Ilmu Pedang Tak Berwujud
Sudah belasan cawan Lenghou Tiong saling minum bersama Tan-jing-sing barulah kemudian Hek-pek-cu muncul kembali.
"Hong-heng, Toako kami mengundang engkau," kata Hek-pek-cu. "Tong-heng silakan saja minum-minum di sini."
Dengan ucapannya itu nyata yang diundang ke sana hanya Lenghou Tiong sendirian. Hiang Bun-thian melenggong, pikirnya, "Usia Lenghou-hiante masih sangat muda, pengalamannya cetek, jika dia pergi sendirian mungkin bisa bikin runyam urusan. Tapi Jichengcu sudah berkata demikian, aku tidak dapat ngotot ingin ikut."
Maka dengan menghela napas gegetun terpaksa ia berkata "Ai, Cayhe tidak punya jodoh untuk bertemu dengan Toachengcu, sungguh harus disesalkan."
"Harap Tong-heng jangan marah," kata Hek-pek-cu. "Soalnya Toako kami sudah lama mengasingkan diri, biasanya tidak mau terima tamu. Cuma tadi ketika mendengar ceritaku, bahwa ilmu pedang Hong-heng tiada bandingannya di dunia ini, hati beliau merasa sangat kagum, maka sengaja mengundang Hong-heng ke dalam, hal ini tidak berarti mengurangi penghormatan kami kepada Tong-heng."
"Mana, mana aku berani berpikir demikian," ujar Hiang Bun-thian.
Lenghou Tiong lantas menaruh pedangnya di atas meja batu dan ikut Hek-pek-cu keluar dari kamar catur itu. Sesudah menyusur sebuah serambi panjang, sampailah mereka di depan sebuah pintu bulat.
Di atas pintu bulat itu sebuah papan tertuliskan dua huruf "khim-sim" (inti kecapi). Kedua huruf itu dibuat dari kaca warna biru, gaya tulisannya indah dan kuat, terang tulisan tangan Tut-pit-ong sendiri. Di balik pintu bulat itu adalah sebuah jalanan taman yang sunyi, kedua tepi tumbuh pohon bambu, batu-batu di tengah jalan itu berlumut, nyata sekali jalanan ini jarang dilalui manusia.
Sesudah melalui jalanan taman itu, sampailah di depan tiga buah rumah batu yang dikitari oleh beberapa pohon siong yang besar dan tua. Suasana menjadi rada redup dan tambah sunyi.
Perlahan-lahan Hek-pek-cu lantas mendorong pintu dan berbisik kepada Lenghou Tiong, "Silakan masuk."
Waktu melangkah masuk rumah itu, segera hidung Lenghou Tiong mengendus bau harum kayu gaharu.
"Toako, Hong-heng dari Hoa-san-pay sudah berada di sini," segera Hek-pek-cu berkata.
Maka muncullah seorang tua dari kamar dalam sambil menyapa dengan hormat, "Hong-heng berkunjung ke tempat kami ini, harap dimaafkan tidak diadakan penyambutan selayaknya."
Umur orang tua ini kira-kira ada 60-70 tahun, tubuhnya kurus kering, kulit mukanya kisut dan kempot sehingga mirip tengkorak hidup. Tapi kedua matanya bersinar tajam. Lekas-lekas Lenghou Tiong memberi hormat dan menjawab, "Kedatangan Wanpwe ini terlalu sembrono, mohon Cianpwe memaafkan."
Segera Hek-pek-cu menyambung, "Gelar Toako kami adalah Ui Ciong-kong, mungkin Hong-heng sudah lama mendengar nama beliau."
"Sudah lama Wanpwe kagum terhadap keempat Chengcu di sini dan baru hari ini dapat berjumpa, sungguh sangat beruntung," ujar Lenghou Tiong. Tapi di dalam hati ia membatin, "Hiang-toako benar-benar suka guyon, masakah sebelumnya tidak menerangkan apa-apa kepadaku, aku hanya disuruh menurut kepada segala apa yang diaturnya. Tapi sekarang Hiang-toako sendiri tidak mendampingi aku, jika Toachengcu ini mengemukakan sesuatu soal sulit, lalu cara bagaimana aku harus melayaninya?"
Terdengar Ui Ciong-kong telah berkata pula, "Kabarnya Hong-heng adalah ahli waris Hong-losiansing Locianpwe dari Hoa-san-pay, ilmu pedangmu konon sangat sakti. Selama ini aku pun sangat kagum terhadap ilmu silat dan pribadi Hong-losiansing, cuma sayang belum pernah bertemu dengan beliau. Beberapa waktu yang lalu di Kangouw tersiar kabar bahwa Hong-losiansing sudah wafat, hal ini membuat aku merasa menyesal sekali. Tapi hari ini dapat bertemu dengan ahli waris Hong-losiansing sudah boleh dikata terpenuhilah angan-anganku selama ini. Entah Hong-heng apakah termasuk anak atau cucu Hong-losiansing?"
Lenghou Tiong menjadi serbasusah, sebab ia sudah pernah berjanji kepada Hong Jing-yang untuk tidak menceritakan jejak beliau kepada siapa pun juga. Bahwasanya ilmu pedangnya diperoleh dari orang tua itu, entah dari mana Hiang-toako mendapat tahu hal ini. Sudah begitu Hiang-toako sengaja membual tentang ilmu pedangnya dan mengatakan dia she Hong, betapa pun ini bersifat menipu. Sebaliknya kalau dirinya sekarang mengaku terus terang rasanya juga tidak mungkin.
Maka secara samar-samar Lenghou Tiong lantas menjawab, "Aku adalah anak murid beliau angkatan belakangan. Wanpwe terlalu bodoh, ilmu pedang beliau tiada dua-tiga bagian yang dapat kupelajari dengan baik."
Ui Ciong-kong, menghela napas, katanya, "Jika kau cuma memperoleh dua-tiga bagian dari ilmu pedang beliau dan tiga saudaraku telah kalah semua di bawah pedangmu, maka betapa hebat kepandaian Hong-losiansing sungguh sukar diukur."
"Tapi ketiga Chengcu hanya bergebrak beberapa kali saja dengan Wanpwe dan belum jelas pihak mana yang menang dan kalah," kata Lenghou Tiong.
Muka Ui Ciong-kong yang kurus kempot itu menampilkan senyuman, katanya sambil manggut-manggut, "Orang muda tidak sombong dan tidak berangasan, sungguh harus dipuji."
Melihat Lenghou Tiong bicara sambil tetap berdiri, segera ia berkata pula, "Silakan duduk, silakan!"
Baru saja Lenghou Tiong dan Hek-pek-cu ambil tempat duduk masing-masing, segera seorang kacung menyuguhkan tiga cangkir teh.
Lalu Ui Ciong-kong mulai berkata pula, "Katanya Hong-heng ada satu buku khim-boh (not kecapi) yang bernama "Lagu Hina Kelana", apa betul adanya" Aku memang gemar pada seni musik, tapi dari buku-buku not kuno belum pernah kudengar ada satu jilid not lagu demikian."
"Dalam buku-buku not kuno memang tidak ada, sebab khim-boh ini adalah hasil karya orang zaman sekarang," sahut Lenghou Tiong. Diam-diam ia berpikir sudah terlalu jauh Hiang-toako membohongi mereka. Tampaknya keempat Chengcu ini adalah tokoh-tokoh luar biasa, apalagi kedatangannya adalah untuk mohon pengobatan kepada mereka, maka tidaklah pantas untuk mempermainkan mereka lagi. Dahulu Lau Cing-hong dan Kik Yang berdua Cianpwe menyerahkan khim-boh ini kepadaku adalah karena khawatir karya mereka yang besar akan lenyap di dunia fana ini. Sekarang Toachengcu ini ternyata penggemar kecapi, maka tiada jeleknya jika kuperlihatkan khim-boh ini kepadanya.
Segera ia mengeluarkan khim-boh itu dari bajunya, ia berbangkit sambil diaturkan kepada Ui Ciong-kong dan berkata, "Silakan Toachengcu periksa adanya."
Dengan sedikit berbangkit Ui Ciong-kong menyambut khim-boh itu, jawabnya, "Kau katakan khim-boh ini karya orang zaman ini" Rupanya aku sudah terlalu lama mengasingkan diri sehingga tidak tahu bahwa pada masa ini telah lahir seorang komponis besar."
Di balik kata-katanya itu nyata sekali ia rada kurang percaya.
Waktu ia membalik halaman pertama khim-boh itu, lalu katanya pula, "Ini adalah not paduan suara kecapi dan seruling. Eh, panjang benar lagu ini."
Tapi hanya sebentar saja ia membaca not lagu itu segera air mukanya berubah hebat.
Dengan tangan kanan membalik-balik halaman khim-boh itu, jari tangan kiri Ui Ciong-kong tampak bergerak-gerak seperti sedang memetik kecapi. Hanya membalik dua halaman saja ia lantas mendongak dan termangu-mangu, lalu menggumam sendiri, "Nada lagu ini berubah secara meninggi dan sangat cepat, apakah benar dapat dibawakan dengan kecapi?"
"Dapat, memang benar dapat," jawab Lenghou Tiong.
"Dari mana kau mengetahui" Apakah kau sendiri bisa?" tanya Ui Ciong-kong dengan pandangan tajam.
"Sudah tentu Wanpwe tidak bisa, tapi Wanpwe pernah mendengarkan dua orang membawakan lagu ini dengan kecapi," tutur Lenghou Tiong. "Orang pertama membawakan lagu ini dengan kecapi bersama tiupan seruling seorang lain lagi. Mereka berdua inilah penggubah dari lagu Hina Kelana ini."
"Dan siapa lagi pemain kecapi yang kedua itu?" tanya Ui Ciong-kong.
Dada Lenghou Tiong menjadi hangat, karena yang ditanyakan itu adalah Ing-ing. Jawabnya kemudian, "Orang yang kedua itu adalah seorang wanita."
"Wanita?" Ui Ciong-kong menegas. "Dia ... dia sudah tua atau masih muda?"
Lenghou Tiong masih ingat sifat Ing-ing yang tidak suka orang mengatakan dia pernah kenal pada gadis itu, maka sekarang ia pun tidak ingin mengatakannya kepada Ui Ciong-kong, jawabnya kemudian, "Umur wanita itu yang tepat Wanpwe sendiri tidak jelas, cuma ketika mula-mula aku bertemu dengan dia aku memanggilnya sebagai "nenek"."
"Hah, kau memanggil nenek padanya" Jika demikian dia sudah sangat tua?" seru Ui Ciong-kong.
"Waktu itu Wanpwe mendengarkan kecapi nenek itu dari balik kerai sehingga tidak melihat wajahnya, tapi rasanya dia pasti seorang nenek yang sudah tua," kata Lenghou Tiong.
Ia menjadi geli lagi bila teringat sepanjang jalan ia pernah memanggil nenek kepada seorang nona jelita sebagai Ing-ing. Tapi sekarang nona itu entah berada di mana.
Ui Ciong-kong memandang jauh keluar jendela, setelah termenung-menung sekian lama, kemudian baru bertanya pula, "Apakah bagus sekali permainan kecapi nenek itu?"
"Bagus sekali," jawab Lenghou Tiong. "Beliau pernah juga mengajarkan memetik kecapi kepadaku, cuma sayang satu lagu pun aku belum selesai mempelajarinya."
"La ... lagu apa yang dia ajarkan padamu itu?" tanya Ui Ciong-kong cepat.
Lenghou Tiong khawatir bila, lagu "Jing-sim-boh-sian-ciu" itu disebut mungkin sekali Ui Ciong-kong akan segera dapat menerka Ing-ing adanya. Maka ia sengaja menjawab, "Perangai Wanpwe tidak cocok dengan seni musik, maka lagu itu sudah kulupakan, bahkan apa namanya juga tidak ingat lagi."
"O, besar kemungkinan bukan dia. Mana ... mana bisa dia (perempuan) masih hidup di dunia ini?" demikian Ui Ciong-kong menggumam sendiri. Lalu tanyanya pula, "Saat ini nenek itu berada di mana?"
"Jika aku tahu tentunya sangat baik," sahut Lenghou Tiong sambil menghela napas. "Pada suatu malam aku telah jatuh pingsan dan beliau lantas meninggalkan aku, sejak itu tidak diketahui beliau berada di mana."
Mendadak Ui Ciong-kong berbangkit, katanya, "Kau bilang pada satu malam mendadak dia meninggalkan kau dan sejak itu tak diketahui jejaknya?"
Dengan murung Lenghou Tiong mengangguk.
Sejak tadi Hek-pek-cu diam saja, demi tampak pikiran Ui Ciong-kong rada limbung, khawatir kalau penyakit lama sang toako kumat lagi, lekas-lekas ia menyela, "Saudara Hong ini datang bersama seorang Saudara Tong dari Ko-san-pay, mereka menyatakan bila di dalam Bwe-cheng kita ada seorang saja yang mampu mengalahkan ilmu pedangnya ...."
"O, harus ada orang yang mengalahkan ilmu pedangnya baru dia mau meminjamkan buku lagu Hina Kelana itu kepadaku, demikian bukan?" tanya Ui Ciong-kong.
"Betul, dan kami bertiga sudah kalah semua," sahut Hek-pek-cu. "Kini tinggal Toako saja, jika Toako tidak maju sendiri tentu Bwe-cheng kita ini, hehe ...."
"Jika kalian gagal, tentu aku pun percuma," ujar Ui Ciong-kong tersenyum hampa.
"Tapi kami bertiga mana dapat dibandingkan dengan Toako," ujar Hek-pek-cu.
"Ah, aku kan sudah tua, tidak berguna lagi," kata Ciong-kong.
Lenghou Tiong lantas berbangkit, dengan kedua tangannya ia mengaturkan khim-boh dan berkata dengan penuh hormat, "Pedang harus dihadiahkan kepada pahlawan. Pencipta lagu ini dahulu juga telah pesan kepada Wanpwe agar berusaha mencari seorang ahli seni suara dan boleh menghadiahkan kitab ini kepadanya agar jerih payah ciptaan mereka berdua ini tidak lenyap sia-sia. Toachengcu bergelar "Ui Ciong-kong", sudah tentu adalah ahli dalam bidang yang dimaksudkan ini. Selanjutnya kitab ini menjadilah milik Toachengcu."
Ui Ciong-kong dan Hek-pek-cu sama melengak. Ketika di kamar sana Hek-pek-cu telah menyaksikan betapa Hiang Bun-thian menjual mahal dan memancing-mancing hasrat orang yang kepingin setengah mati. Siapa duga "Hong Ji-tiong" ini ternyata sangat berbeda, caranya terus terang dan sangat baik hati.
Sebagai seorang ahli catur yang suka main siasat, segera ia menduga perbuatan Lenghou Tiong pasti ada suatu perangkap yang hendak menjebak Ui Ciong-kong. Tapi di mana letak perangkap itu seketika sukar pula diselami.
Ui Ciong-kong juga tidak lantas menerima pemberian not lagu Hina Kelana itu, katanya, "Orang tidak berjasa tidak berani menerima hadiah. Kita selamanya tidak saling kenal, mana aku berani menerima hadiahmu setinggi ini. Sebenarnya apa maksud tujuan kedatangan kalian berdua ke sini, diharap sudi kiranya menjelaskan secara jujur."
Apa maksud tujuan kedatanganku ke sini sebelumnya Hiang-toako tidak menerangkan padaku sedikit pun, tapi menurut dugaanku tentu hendak mohon bantuan keempat chengcu di sini untuk menyembuhkan penyakitku. Cara pengaturan Hiang-toako ini penuh rahasia, sebaliknya keempat chengcu ini adalah tokoh-tokoh aneh pula, bisa jadi tentang penyakitku ini tidak boleh kuterangkan pada mereka. Memangnya aku tidak tahu apa maksud kedatanganku bersama Hiang-toako, jika aku mengaku terus terang juga tidak ada salahnya.
Maka dengan jujur ia lantas menjawab, "Wanpwe hanya ikut Tong-toako ke sini. Terus terang, sebelum menginjak perkampungan ini Wanpwe sama sekali belum pernah dengar nama keempat Chengcu, juga nama "Koh-san-bwe-cheng" di sini sebelumnya tidak kukenal."
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Hal ini mungkin disebabkan pengalaman Wanpwe yang cetek dan tidak kenal para Cianpwe yang kosen, untuk ini mohon kedua Chengcu janganlah marah."
Ui Ciong-kong memandang sekejap kepada Hek-pek-cu, dengan senyum terkulum ia berkata, "Ucapan Saudara Hong sungguh sangat jujur, aku sangat berterima kasih. Tadinya aku memang heran, sebab tempat tinggal kami ini jarang diketahui orang Kangouw, Ngo-gak-kiam-pay selamanya juga tiada sesuatu hubungan dengan kami, mengapa kalian bisa datang kemari" Dengan demikian, jadi sebelumnya Saudara Hong memang tidak tahu asal usul kami?"
"Sungguh Wanpwe merasa malu, harap kedua Chengcu banyak-banyak memberi petunjuk," sahut Lenghou Tiong. "Tadi Wanpwe mengatakan "sudah lama mengagumi nama keempat Chengcu" segala, sesungguhnya ... sesungguhnya ...."
"Baiklah," Ui Ciong-kong manggut-manggut. "Jadi not kecapi ini dengan setulus hati hendak kau hadiahkan kepadaku?"
"Benar," jawab Lenghou Tiong.
"Tapi aku ingin tanya sesuatu lagi. Sebenarnya atas pesan siapa Hong-laute menyerahkan khim-boh ini kepadaku?" tanya Ui Ciong-kong.
"Penggubah lagu ini hanya pesan padaku agar mencari orang yang tepat untuk diserahi khim-boh ini, kepada siapa harus diserahkan tiada ditentukan," jawab Lenghou Tiong. "Sekarang telah kuketahui Toachengcu adalah ahli dalam bidang seni suara, maka khim-boh ini boleh dikata telah mendapatkan majikannya yang sesuai."
"O," hanya sekali saja Ui Ciong-kong bersuara, tapi mukanya yang kurus itu menampilkan setitik rasa girang.
Tapi Hek-pek-cu lantas menegas, "Jika kau memberikan khim-boh ini kepada Toako kami, apakah Tong-heng itu mengizinkan?"
"Kedua gulung lukisan dan tulisan itu adalah milik Tong-toako, tapi khim-boh ini adalah milik pribadiku," sahut Lenghou Tiong.
"Kiranya demikian," kata Hek-pek-cu.
"Sungguh aku sangat berterima kasih terhadap maksud baik Hong-hengte," ujar Ui Ciong-kong. "Tapi karena Hong-hengte sudah bicara di muka bahwa lebih dulu harus ada orang yang mampu mengalahkan ilmu pedangmu, maka aku pun tidak boleh menarik keuntungan dengan segampang ini. Marilah, boleh juga kita coba-coba beberapa jurus."
Lenghou Tiong pikir tadi Jichengcu ini mengatakan "kami bertiga mana bisa dibandingkan dengan Toako", maka tentang ilmu silat Toachengcu ini pasti jauh di atas ketiga temannya itu. Bisanya aku mengalahkan ketiga chengcu yang lihai tadi adalah berkat ilmu pedang ajaran Hong-thaysusiokco, jika sekarang harus bertanding dengan Toachengcu ini belum tentu aku bisa menang lagi, buat apa aku mesti mencari penyakit sendiri. Ya, seumpama aku yang menang lagi, lalu apa manfaatnya"
Karena berpikir begitu, maka ia lantas berkata, "Secara iseng Tong-toako telah mengemukakan kata-kata begitu, sungguh membikin kikuk orang saja, untuk ini jika keempat Chengcu tidak marah saja Wanpwe sudah merasa bersyukur, sekarang aku mana berani lagi bertanding dengan Toachengcu?"
"Kau memang berhati mulia," puji Ui Ciong-kong. "Tapi tiada halangannya kita coba-coba beberapa jurus saja, asal tertutul saja kita lantas berhenti."
Lalu ia mengambil sebatang seruling kemala yang terkait di dinding dan diserahkan kepada Lenghou Tiong, ia sendiri lantas mengangkat sebuah kecapi dari meja sana, katanya kemudian, "Boleh kau gunakan seruling itu sebagai pedang dan aku akan menggunakan kecapi ini sebagai senjata."
Ia tersenyum, lalu melanjutkan, "Kedua macam alat musik ini tidak berani kukatakan benda yang bernilai, tapi juga terhitung barang yang jarang dicari di dunia ini, tentunya bukan maksudku untuk dirusak begini saja. Maka biarlah kita berlagak dan bergaya sekadarnya saja."
Terpaksa Lenghou Tiong menerima seruling itu, dilihatnya seruling kemala itu seluruhnya berwarna hijau pupus, jelas terbuat dari batu zamrud pilihan. Sebaliknya kecapi yang dipegang Ui Ciong-kong itu warnanya sudah rada luntur, terang adalah barang kuno, bisa jadi adalah barang antik yang telah berumur ratusan atau ribuan tahun. Jika kedua alat musik ini terbentur perlahan saja sudah pasti akan hancur semua, dengan sendirinya tak dapat digunakan bertempur sungguh-sungguh.
Tapi karena tidak bisa mengelak lagi, terpaksa Lenghou Tiong memegang melintang serulingnya, lalu berkata, "Mohon Toachengcu memberi pelajaran."
"Hong-losiansing adalah ahli pedang satu zaman, ilmu pedang warisannya pasti lain daripada yang lain," ujar Ui Ciong-kong. "Silakan saja, Hong-heng."
Segera Lenghou Tiong angkat serulingnya dan dikebaskan ke samping, angin meniup masuk lubang seruling dan menimbulkan suara-suara yang halus.
Ui Ciong-kong juga lantas menyentil kecapinya beberapa kali, di tengah bunyi kecapi itu segera ekor kecapi itu disodokkannya ke bahu kanan Lenghou Tiong.
Ketika mendengar suara kecapi, hati Lenghou Tiong sedikit tergetar, perlahan-lahan serulingnya juga lantas ditutulkan ke depan. Yang ditutuk adalah "siau-hay-hiat" di balik siku Ui Ciong-kong. Dalam keadaan demikian jika kecapi itu terus ditumbukkan ke bahu Lenghou Tiong, maka hiat-to di balik sikut itu tentu akan tertutuk lebih dulu.
Segera Ui Ciong-kong putar balik kecapinya dan dihantamkan ke pinggang Lenghou Tiong. Ketika kecapi itu diputar, kembali ia menyentil senar kecapi sehingga mengeluarkan suara.
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Bila aku menangkis dengan seruling tentu kedua macam alat musik yang sukar dicari ini akan rusak semua. Untuk menghindarkan kerusakan barangnya tentu dia akan tarik kembali kecapinya. Tapi cara demikian lebih mendekati cara akal bulus dan tidak boleh kulakukan."
Maka cepat ia pun putar serulingnya dan menutuk ke "thian-coan-hiat" di bawah ketiak musuh. Waktu Ui Ciong-kong angkat kecapinya buat menangkis segera Lenghou Tiong tarik kembali serulingnya.
"Creng, creng-creng-creng", Ui Ciong-kong menyentil beberapa kali lagi senar kecapinya, nadanya berubah cepat dan tinggi.
Air muka Hek-pek-cu tampak rada berubah, lekas-lekas ia mengundurkan diri keluar kamar itu sambil sekalian merapatkan pintunya.
Kiranya pemetikan kecapi Ui Ciong-kong itu bukanlah karena dia iseng, tapi di dalam suara kecapi itu justru tercurah tenaga dalamnya yang tinggi untuk mengacaukan konsentrasi pikiran musuh. Bilamana tenaga dalam lawan timbul bersama suara kecapi, maka tanpa terasa lawan akan terpengaruh oleh suara kecapi itu. Jika suara kecapi perlahan, tentu gerak serangan lawan juga akan ikut perlahan, kalau suara seruling menanjak cepat, maka serangan musuh juga ikut cepat.
Panji Wulung 7 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Badai Laut Selatan 17
Rupanya goresan tulisan-tulisan itu serta gaya kebasan tangan dewa dalam lukisan itu mengingatkan Lenghou Tiong kepada sejurus ilmu pedang yang terukir di dinding gua di puncak Hoa-san itu, ia merasa gaya setiap goresannya rada-rada mirip. Sebagaimana diketahui, dahulu demi untuk bertanding dengan Dian Pek-kong ia telah menghafalkan macam-macam ilmu silat di dinding gua itu, sekarang demi melihat lukisan ini lantas timbul perasaannya seakan-akan sudah pernah dikenalnya.
Belum lagi Hiang Bun-thian menanggapi ucapan Lenghou Tiong tadi, tiba-tiba Si Leng-wi sudah berkata di belakang mereka, "Hong-heng ini ternyata seorang ahli pedang benar-benar. Menurut keterangan majikanku Tan-jing Siansing, hari itu sesudah beliau mabuk dan menghasilkan karya lukisan ini, tanpa sengaja beliau telah melukiskan ilmu pedangnya di dalam goresan-goresan pensilnya yang merupakan karya yang paling dibanggakan selama hidupnya, setelah beliau sadar dari mabuknya betapa pun sukar untuk melukis lagi seperti ini. Sekarang Hong-heng ini ternyata dapat melihat gaya pedang dalam lukisannya ini, tentu Tan-jing Siansing akan menganggap Hong-heng sebagai kawan yang sepaham. Biar aku masuk melapor kepada beliau."
Habis berkata dengan berseri-seri ia terus melangkah ke ruang dalam.
Hiang Bun-thian berdehem, katanya, "Hong-hiante, kiranya kau paham seni tulis dan lukis."
"Hah, paham apa" Aku cuma mengoceh sekenanya dan secara kebetulan kena sasarannya. Padahal kalau sebentar Tan-jing Siansing bicara tentang seni tulis dan lukis padaku tentu aku bisa runyam," demikian sahut Lenghou Tiong.
Baru habis ucapannya, tiba-tiba terdengar seorang berseru di ruangan dalam, "Dia dapat melihat ilmu pedang di dalam lukisanku" Di mana orangnya" Ketajaman matanya sungguh hebat."
Di tengah seruan itu masuklah satu orang.
Orang ini berjenggot panjang sampai sebatas dada, tangan kiri membawa satu cawan arak, mukanya kemerah-merahan rada mabuk. Si Leng-wi tampak mengikut di belakang dan berkata padanya, "Kedua Tuan ini adalah Tong-ya dari Ko-san-pay dan Hong-ya dari Hoa-san-pay. Dan ini adalah Tan-jing Siansing, majikan keempat dari Bwe-cheng kami. Sichengcu (majikan keempat), Hong-ya inilah yang mengatakan di dalam tulisanmu mengandung suatu gaya ilmu pedang yang tinggi."
Sambil mengedipkan sepasang matanya yang sepat-sepat mabuk itu, Sichengcu Tan-jing-sing (Si Pelukis) mengamat-amati Lenghou Tiong sejenak, kemudian ia bertanya, "Kau paham melukis" Mahir memainkan pedang?"
Pertanyaan ini dilontarkan secara kasar, namun Lenghou Tiong juga tidak ambil pusing. Dilihatnya tangan Tan-jing-sing memegang sebuah cawan berwarna hijau zamrud yang indah, tiba-tiba teringat olehnya apa yang pernah dikatakan oleh Coh Jian-jiu di atas kapal tempo hari. Segera ia menjawab, "Konon menurut kaum ahli minum, Le-hoa-ciu harus diminum dengan menggunakan cawan zamrud. Nyata Sichengcu memang seorang ahli minum arak sejati."
Hendaklah maklum bahwa Lenghou Tiong tidak banyak "makan sekolahan" sehingga dia kurang menguasai kesusastraan segala, tapi dasar pembawaannya memang pintar, setiap apa yang pernah dikatakan orang selamanya takkan dilupakan olehnya, maka sekarang ia telah melansir apa yang pernah diucapkan Coh Jian-jiu dahulu.
Dan sungguh luar biasa, begitu mendengar ucapan Lenghou Tiong tadi, seketika mata Tan-jing-sing terbelalak lebar, mendadak ia terus merangkul Lenghou Tiong sambil berseru, "Aha, ini dia sobat baikku. Marilah, mari kita minum tiga ratus cawan. Adik Hong, aku gemar arak baik, lukisan indah, dan pedang bagus, orang menyebut tiga istimewa itu bagiku. Ketiga istimewa itu arak adalah hal yang pertama, lukisan menduduki tempat kedua, dan ilmu pedang yang terakhir."
Lenghou Tiong menjadi girang dan membatin, "Melukis aku tidak becus sama sekali. Kedatanganku adalah untuk mohon pengobatan sehingga tiada maksud hendak bertanding pedang dan berkelahi dengan orang, tapi kalau bicara tentang minum arak, inilah yang kuharapkan."
Maka tanpa banyak omong segera ia ikut Tan-jing-sing berjalan ke ruang dalam. Sesudah menyusuri sebuah serambi, sampailah di sebuah kamar di sebelah barat. Waktu kerai disingkap, seketika hidungnya kesamplok bau harum arak.
Sejak kecil kegemaran Lenghou Tiong adalah minum arak, boleh dikata sangat ahli dalam membeda-bedakan arak baik atau jelek. Maka begitu mengendus bau arak tadi seketika ia berseru, "Bagus, di sini ada bau Hun-ciu (arak wangi keluaran Soasay). Hah, ada lagi Pek-chau-ciu, dari baunya dapat diduga sudah tersimpan 75 tahun lamanya. Ehm, Kau-ji-ciu itu lebih-lebih sukar diperoleh pula."
Demi menyebut bau harum Kau-ji-ciu (arak kera) seketika ia terkenang kepada laksutenya, yaitu si monyet Liok Tay-yu yang telah mati itu sehingga hatinya menjadi pilu.
Kontan Tan-jing-sing bertepuk tangan dan bergelak tertawa, "Hebat, sungguh hebat! Begitu masuk ke ruang arakku ini, seketika Adik Hong dapat menyebut tiga jenis arak simpananku yang paling bagus ini, engkau sungguh seorang ahli, sungguh hebat, sungguh lihai!"
Waktu Lenghou Tiong mengamat-amati sekeliling kamar itu, ternyata penuh guci arak, botol dan sebagainya. Katanya pula, "Yang Cianpwe simpan masakah cuma tiga jenis arak bagus itu saja. Seperti Siau-hin-ciu ini pun berkualitas tinggi, anggur dari Turfan ini pun tiada bandingannya di dunia ini."
Kejut dan girang pula Tan-jing-sing, tanyanya, "Anggur dari Turfan ini tertutup rapat di dalam gentong kayu itu, cara bagaimana Laute juga dapat mengetahuinya?"
"Arak bagus seperti ini sekalipun disimpan di gua bawah tanah juga sukar menutupi baunya yang harum itu," ujar Lenghou Tiong tertawa.
"Mari, mari, boleh kita mencicipi anggur enak ini," seru Tan-jing-sing. Segera ia angkat keluar sebuah gentong yang tertaruh di pojok sana. Ketika perlahan-lahan ia mencabut sumbat gentong itu, seketika bau harum memenuhi seluruh ruangan.
Selamanya Si Leng-wi tidak suka minum arak, ketika mengendus bau alkohol yang keras itu, tanpa merasa mukanya menjadi merah seakan-akan mabuk.
"Kau keluar saja," kata Tan-jing-sing sambil memberi isyarat tangan. "Jangan-jangan kau akan mabuk jika tinggal di sini."
Lalu ia mengambil tiga buah cawan arak dan ditaruh sejajar, gentong arak itu dikempitnya terus menuang ke dalam cawan.
Anggur itu berwarna merah seperti darah. Ketika arak itu sudah penuh sebatas tepian cawan cepat Tan-jing-sing lantas berhenti menuang, setetes pun tidak meluap keluar dari cawan itu.
Diam-diam Hiang Bun-thian memuji kepandaian Tan-jing-sing yang hebat itu, sambil mengempit gentong sebesar itu untuk menuang isinya ke dalam cawan yang kecil, tapi dengan persis arak memenuhi cawan itu dan tidak tercecer barang setitik pun, hal ini benar-benar sukar dikerjakan
Sambil tetap mengempit gentong arak itu, sebelah tangan Tan-jing-sing lantas mengangkat cawan dan berseru, "Mari silakan minum, silakan!"
Ia terus menatap ke arah Lenghou Tiong, ia ingin tahu bagaimana reaksi pemuda itu sesudah minum araknya itu.
Lenghou Tiong lantas angkat cawan dan minum setengah cawan araknya, lalu bibirnya berkecap-kecap untuk membedakan rasa. Tapi karena mukanya memakai polesan yang agak tebal sehingga perubahan air mukanya sedikit pun tidak kentara, bahkan seperti merasa kurang menyukai anggur yang diminum itu.
Keruan Tan-jing-sing menjadi ragu-ragu, "Jangan-jangan ahli besar ini akan menganggap segentong araknya ini cuma minuman biasa saja."
Setelah bibirnya berkecap-kecap, lalu Lenghou Tiong memejamkan matanya sejenak. Ketika ia pentang matanya kembali, tiba-tiba ia berkata, "Aneh, sungguh aneh!"
"Apanya yang aneh?" Tan-jing-sing cepat menegas.
"Hal ini sungguh sukar untuk dimengerti, sungguh Wanpwe tidak paham," kata Lenghou Tiong.
Kedua mata Tan-jing-sing mengerlingkan sorot mata yang penuh kegirangan, tanyanya, "Yang kau maksudkan apakah ...."
"Selama hidup Wanpwe pernah sekali Wanpwe minum arak ini di Kota Tiang-an, meski rasanya memang sangat enak, tapi dalam rasanya yang sedap itu mengandung rasa manis-manis kecut. Menurut ahli arak di pabrik arak itu, katanya rasa kecut itu timbul akibat guncangan-guncangan di tengah jalan ketika anggur itu diangkat dari tempat jauh. Semakin sering arak ini dipindah dari tempat yang satu ke tempat lain, semakin berkurang pula kualitasnya. Bayangkan saja betapa jauhnya dari Turfan ke Kota Hangciu ini. Tapi benar-benar aneh, arak Cianpwe ini ternyata tiada sedikit pun terasa kecut ...."
"Hahahaha!" Tan-jing-sing bergelak tertawa dengan amat senang. Katanya, "Ini adalah resep rahasiaku. Resep rahasia ini kuperoleh dengan menukar tiga jurus ilmu pedangku kepada jago pedang Se-ek (daerah barat) Mokhtar. Apakah kau tidak ingin tahu rahasia ini?"
Lenghou Tiong menggeleng, jawabnya, "Wanpwe sudah merasa puas karena dapat merasakan arak sebagus ini. Tentang resep rahasia Cianpwe itu sekali-kali Wanpwe tidak berani tanya."
"Mari minum, minumlah!" seru Tan-jing-sing pula, kembali ia menuang tiga cawan anggur itu. Karena Lenghou Tiong tidak mau tanya resep rahasianya, ia menjadi getol sendiri untuk mengatakannya. Katanya pula, "Tentang resep rahasia ini kalau dibicarakan sesungguhnya tidak berharga sepeser pun, boleh dikata tiada sesuatu yang mengherankan."
Lenghou Tiong tahu, semakin dirinya tidak mau tanya apa yang dikatakan resep rahasia itu, semakin Tan-jing-sing ingin menceritakan padanya. Maka cepat ia sengaja menggoyang tangan dan berkata, "Tidak, jangan sekali-kali Cianpwe ceritakan padaku. Ketiga jurus ilmu pedangmu itu pasti lain daripada yang lain, rahasia yang diperoleh dengan nilai lawan setinggi itu mana boleh sembarangan diberitahukan kepada orang lain. Wanpwe akan merasa tidak enak hati jika diberi tahu rahasia ini. Kata peribahasa, tanpa jasa tidak menerima upah ...."
"Kau mengawani aku minum arak dan dapat mengenali asal usul arak ini, jasamu inilah sangat besar," ujar Tan-jing-sing. "Maka resep rahasia ini mau tidak mau kau harus mendengarkan."
"Cianpwe telah sudi menemui Wanpwe dan disuguh pula minuman sebagus ini, sungguh Wanpwe merasa sangat berterima kasih, sekarang mana boleh ...."
"Aku sendiri yang rela memberitahukan padamu, maka boleh kau dengarkan saja, jangan kau tolak lagi, Hong-hiante."
"Betul, betul, demikianlah seharusnya," seru Tan-jing-sing tertawa. "Nah, coba aku menguji kau lagi. Apakah kau tahu ciu (arak) ini sudah tersimpan berapa lama?"
Sekali teguk Lenghou Tiong menghabiskan isi cawannya, lalu membeda-bedakan rasanya sampai agak lama, kemudian baru berkata, "Arak ini masih ada sesuatu keanehan yang lain. Rasanya seperti sudah 120 tahun lamanya, tapi terasa pula seakan-akan baru 12 tahun. Di antara rasanya yang tua itu terasa pula ada rasa yang baru dan di dalam rasa baru ada rasa tua pula, dibandingkan arak bagus ratusan tahun yang lain jelas arak ini mempunyai suatu rasa yang khas."
Diam-diam Hiang Bun-thian mengerut kening mendengar bualan Lenghou Tiong itu, 120 tahun dan 12 tahun, meski selisihnya cuma satu angka nol, tapi itu berarti seratus tahun lebih, jarak waktu selama itu mana ada persamaannya"
Ia mengira Tan-jing-sing pasti tidak senang mendengar ucapan Lenghou Tiong. Di luar dugaan orang tua itu malah bergelak tertawa sehingga jenggotnya yang panjang itu tertiup menegak.
"Memang lihai benar Saudara," kata Tan-jing-sing kemudian. "Di situlah letak rahasia resepku itu. Coba dengarkan. Jago pedang Se-ek yang bernama Mokhtar itu telah menghadiahkan sepuluh guci arak Turfan yang berumur 120 tahun kepadaku, untuk mengangkut sepuluh guci besar itu telah digunakan sepuluh kereta. Sampai di sini aku telah mengolahnya lagi, sepuluh guci telah kucampur menjadi suatu gentong besar. Kalau dihitung apa yang terjadi itu adalah 12 tahun yang lalu. Sebab itulah arak ini mempunyai rasa yang aneh, ada rasa baru dan ada rasa lama. Waktu diangkut kemari, guci telah diisi penuh tanpa sesuatu luangan sehingga isinya tidak kocak, dengan demikian tidak menimbulkan rasa kecut pula."
"Hah, kiranya begitu!" seru Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong berbareng
Segera Lenghou Tiong menambahkan pula, "Arak sebagus ini biarpun ditukar dengan sepuluh jurus ilmu pedang juga pantas. Apalagi Cianpwe cuma menukarnya dengan tiga jurus saja, benar-benar terlalu murah."
Tan-jing-sing bertambah girang, katanya, "Laute benar-benar temanku yang sepaham. Dahulu Toako dan Jiko sama menyalahkan perbuatanku ini, katanya ilmu sedang Tionggoan yang hebat menjadi tersiar ke wilayah barat. Samko hanya tertawa tanpa memberi komentar, tapi kukira di dalam hati dia juga tidak setuju. Hanya Laute saja sekarang yang menilai akulah yang mendapat untung. Bagus, marilah kita minum secawan lagi."
Setelah minum satu cawan. Lenghou Tiong berkata pula, "Sichengcu, masih ada satu cara minum arak, cuma sayang waktu ini sukar dilakukan."
"Bagaimana caranya" Mengapa tak bisa dilakukan?" tanya Tan-jing-sing cepat.
"Turfan (di wilayah Sinkiang) adalah daerah yang sangat panas, konon dahulu waktu Tong Sam-cong mencari kitab ke negeri Thian-tiok dan melintasi hwe-yam-san (gunung berapi), katanya di situlah letak Turfan."
"Benar," sahut Tan-jing-sing. "Tempat itu memang panasnya bukan main. Di musim panas sepanjang hari orang di situ selalu berendam di dalam air dingin saja, tapi masih susah menahan hawanya yang panas. Sampai di musim dingin hawa di sana justru dinginnya menusuk tulang. Tapi justru lantaran itulah maka anggur keluaran sana juga berbeda dengan anggur keluaran tempat lain."
"Waktu Wanpwe minum arak demikian di kota Tiang-an, saat mana kebetulan musim dingin," tutur Lenghou Tiong. "Juragan pengarakan di kota itu telah pergi mengambil sepotong es dan menaruh cawan arak di atas es batu itu. Setelah didinginkan dengan es, arak ini ternyata mempunyai suatu rasa lain lagi. Sayang sekarang adalah permulaan musim panas, tidaklah mungkin mendapatkan es sehingga rasa yang istimewa es anggur tak bisa dinikmati lagi."
"Ya, waktu aku berada di Se-ek juga kebetulan musim panas, tapi Mokhtar itu telah memberitahukan juga tentang kenikmatan es anggur seperti kau katakan barusan ini," kata Tan-jing-sing. "Tapi hal ini gampang, Laute, kau boleh tinggal di sini beberapa bulan lagi, sampai musim dingin tiba kita akan dapat bersama-sama menikmatinya."
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula sambil mengerut dahi, "Tapi kita harus menunggu sedemikian lamanya, hal ini benar-benar membuat orang tidak sabar."
Hiang Bun-thian ikut berkata, "Ya, sayang di daerah Kanglam sini tiada jago yang khusus meyakinkan ilmu sebangsa "Han-peng-ciang" (pukulan dingin es), kalau ada tentunya ...."
Belum habis ucapannya tiba-tiba Tan-jing-sing berteriak, "Aha, ada, ada!"
Ia terus menaruh gentong araknya dan melangkah keluar dengan bersemangat.
Keruan Lenghou Tiong terheran-heran, ia memandang ke arah Hiang Bun-thian dengan penuh tanda tanya. Tapi Hiang Bun-thian hanya tersenyum saja tanpa bicara.
Tidak lama kemudian Tan-jing-sing telah masuk kembali dengan menyeret seorang tua yang kurus tinggi, katanya, "Jiko, betapa pun sekali ini kau harus membantu."
Lenghou Tiong melihat orang tua tinggi kurus ini bermuka putih bersih, cuma di antara putihnya itu bersemu kehijau-hijauan sehingga mirip wajah mayat hidup dan menimbulkan rasa mengirik bagi yang memandangnya.
Setelah diperkenalkan oleh Tan-jing-sing, kiranya orang tua jangkung itu adalah Jichengcu (majikan kedua), Hek-pek-cu (Si Hitam Putih). Rambutnya memang sangat hitam dan kulit badannya justru sangat putih sehingga sesuai dengan namanya Si Hitam Putih.
Begitulah dengan acuh tak acuh Hek-pek-cu (atau Ou-pak-ci) telah bertanya, "Suruh aku membantu apa?"
"Tolong kau keluarkan kepandaianmu mengubah air menjadi es agar dilihat oleh kedua sobat kita ini," kata Tan-jing-sing.
"Ah, sedikit kepandaian demikian mana boleh dipamerkan kepada orang, jangan-jangan akan menjadi buah tertawaan saja," ujar Hek-pek-cu.
"Jiko, soalnya begini, tadi Hong-hengte ini mengatakan kalau anggur Turfan ini direndam es akan mempunyai rasa yang khas, tapi di musim panas begini ke mana harus mencari es?" kata Tan-jing-sing.
"Anggur ini sudah harum dan enak, buat apa mesti didinginkan dengan es segala?" ujar Hek-pek-cu.
Tapi Lenghou Tiong lantas berkata, "Anggur ini dihasilkan Turfan, suatu tempat yang terkenal sangat panas hawanya, hawa panas itu pun ikut meresap ke dalam anggur sehingga menimbulkan rasa pedas. Jika orang Kangouw biasa tidaklah menjadi soal minum anggur yang punya rasa panas dan pedas ini. Namun Jichengcu dan Sichengcu berdiam di tepi danau yang indah permai ini, mana dapat dipersamakan dengan orang kasar Kangouw umumnya" Jika arak ini didinginkan dan hilang rasa panasnya, maka cocoklah dengan suasana di sini."
"Ya, seperti juga main catur, pertandingan yang ramai hanya dilakukan oleh jago-jago tingkatan tinggi ...."
Belum habis Hiang Bun-thian berkata, mendadak Hek-pek-cu mencengkeram pundaknya dan bertanya dengan cepat, "Kau juga mahir main catur?"
"Kegemaranku memangnya adalah main catur, cuma sayang kurang mahir, sebab itulah aku sudah menjelajahi segala pelosok untuk mencari problem caturnya. Selama 30-an tahun tidaklah sedikit problem catur dari zaman dahulu sampai sekarang telah kuketahui dengan baik."
"Problem catur apa saja yang telah kau pahami?" tanya Hek-pek-cu.
"Banyak sekali, misalnya problem catur Ong Cit ketika ketemukan dewa di Gunung Lan-ko-san, problem catur Lau Tiong-hu waktu bertanding melawan nini dewi Pegunungan Le-san, dan lain-lain lagi ...."
"Ah, dongengan begitu mana dapat dipercaya?" ujar Hek-pek-cu sambil menggeleng dan lantas melepaskan cengkeramannya atas pundak Hiang Bun-thian.
"Memang mula-mula Cayhe juga mengira kejadian-kejadian itu hanya dongengan belaka," kata Bun-thian. "Tapi pada 25 tahun yang lalu Cayhe sendiri telah membaca gambar problem catur yang dimaksud itu dan ternyata memang luar biasa, maka aku baru mau percaya cerita itu memang bukan omong kosong. Apakah Cianpwe juga gemar dalam permainan catur?"
"Hahahaha!" Tan-jing-sing bergelak tertawa sehingga jenggotnya yang panjang itu ikut berguncangan.
Hiang Bun-thian pura-pura tidak paham, tanyanya, "Mengapa Cianpwe tertawa geli?"
"Kau tanya jikoku gemar main catur atau tidak, hahaha, Jiko bergelar Hek-pek-cu, Si Biji Hitam Putih, dari namanya saja boleh kau terka sendiri apa dia gemar catur atau tidak" Ketahuilah bahwa kegemaran Jiko akan catur adalah seperti kegemaranku dalam hal minum arak."
"O, jika demikian barusan Cayhe telah sembarangan mengoceh di hadapan kaum ahli, mohon Jichengcu sudi memaafkan," kata Hiang Bun-thian.
"Apa benar kau telah melihat sendiri gambar problem catur Lau Tiong-hu melawan nini dewi Le-san itu" Aku cuma membacanya dalam kitab kuno, katanya, pada zaman itu Lau Tiong-hu adalah juara catur yang tiada tandingannya, tapi di kaki Gunung Le dia telah dikalahkan habis-habisan oleh seorang nenek dusun, seketika ia tumpah darah. Sebab itulah problem catur itu pun disebut sebagai "Problem Tumpah Darah". Apa benar-benar di dunia terdapat problem demikian itu?"*
Maka Hiang Bun-thian telah menjawab, "Ya, pada 25 tahun yang lalu aku memang pernah melihat sendiri gambar problem catur itu di suatu keluarga di Kota Sengtoh, cuma pertarungan kedua pihak sungguh sangat hebat, maka biarpun sudah 25 tahun yang lalu, namun problem yang seluruhnya meliputi 112 langkah itu masih kuingat dengan baik."
"Seluruhnya meliputi 112 langkah?" Hek-pek-cu menegas, "Marilah kau coba memainkan problem itu. Hayolah, ikut ke kamar caturku sana."
Mendadak Tan-jing-sing merintanginya dan berkata, "Nanti dulu! Jiko, sebelum kau membuatkan es, betapa pun aku takkan melepaskan kau."
Habis berkata ia lantas mengambil sebuah baskom porselen putih yang penuh berisi air bersih.
"Empat saudara masing-masing mempunyai kegemarannya sendiri-sendiri, apa boleh buat," ujar Hek-pek-cu dengan gegetun. Segera ia menjulurkan tangan kanan, jari telunjuknya terus dimasukkan ke dalam air baskom itu.
Tertampaklah permukaan air mengepulkan hawa putih yang tipis, tidak lama kemudian baskom itu telah diliputi oleh selapis es, makin lama air baskom makin membeku sehingga tidak lama kemudian satu baskom air telah berubah menjadi es batu.
Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong sama bersorak memuji. Kata Bun-thian, "Hek-hong-ci (Jari Angin Hitam) yang lihai ini konon sudah lama menghilang di dunia persilatan, siapa tahu Jichengcu ...."
"Ini bukan Hek-hong-ci, tapi namanya "Hian-thian-ci" (Jari Mahasakti)", sela Tan-jing-sing. Sembari berkata ia terus menaruh empat cawan di atas es batu itu, lalu menuangi anggur Turfan tadi.
Tidak lama, ketika isi cawan itu mulai mengepulkan hawa dingin, Lenghou Tiong lantas berseru, "Itu dia sudah cukup!"
Tan-jing-sing lantas ambil satu cawan di antaranya, sekali tenggak seketika habis isinya, benar juga rasanya sangat nyaman dan nikmat. "Bagus!" soraknya memuji. "Araknya enak, Hong-hengte pintar merasakannya. Jiko pandai membuat esnya, dan kau ... kau ...." ia berpaling kepada Hiang Bun-thian dengan tertawa, lalu melanjutkan, "kau pintar menanggapi ke sana dan ke sini."
Hek-pek-cu juga lantas minum anggur bagiannya, tanpa peduli rasa arak itu ia terus menarik tangan Hiang Bun-thian dan berkata, "Hayo berangkat, coba mainkan "Problem Tumpah Darah" Lau Tiong-hu itu."
Hiang Bun-thian juga lantas menarik lengan baju Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong paham apa artinya, katanya segera, "Aku ikut melihatnya!"
Tan-jing-sing lantas mencegahnya, "Apanya yang dilihat" Lebih baik kita minum arak saja di sini kan lebih nikmat?"
"Kita dapat minum arak sembari melihat catur," ujar Lenghou Tiong sambil ikut di belakang Hek-pek-cu dan Hiang Bun-thian.
Tiada jalan lain, terpaksa Tan-jing-sing mengempit gentong araknya dan ikut ke ruang catur Hek-pek-cu.
Alangkah luasnya kamar catur itu, di tengahnya ada sebuah meja batu dan dua buah kursi berkasur, selain itu tiada sesuatu benda lain. Di atas meja batu itu terukir papan catur yang bergaris malang melintang, kedua pihak tertaruh satu kotak biji catur, yang satu kotak warna putih dan kotak lain warna hitam.
Bab 66. Kecapi " Catur " Tulis " Lukis
Tanpa bicara Hiang Bun-thian terus mendekati meja batu itu, ia ambil satu biji hitam dan ditaruh pada titik 6-3 (menurut hitungan garis), lalu menaruh satu biji putih pada titik 9-3, menyusul pada titik 6-5 ditaruhnya satu biji hitam, dan pada titik 9-5 ditaruhnya pula satu biji putih, dan begitu seterusnya tanpa berhenti sehingga mencapai biji ke-66 dan pertarungan kedua pihak semakin sengit.
Hek-pek-cu menyaksikan permainan itu sehingga keringatnya bercucuran. Diam-diam Lenghou Tiong sangat heran, kalau melihat Hian-thian-ci-nya yang dalam waktu singkat saja telah mengubah air membeku menjadi es, betapa tinggi lwekangnya dapatlah dibayangkan. Sebaliknya permainan catur hanya urusan kecil saja, tapi toh begini menarik perhatiannya sehingga dia sampai berkeringat. Hal ini menandakan betapa Hek-pek-cu tergila-gila pada permainan catur demikian. Rupanya Hiang Bun-thian justru mengetahui kegemarannya itu, maka serangannya juga ditujukan kepada kelemahannya ini pula.
Sesudah biji ke-66 tadi, sampai lama sekali Hiang Bun-thian tidak menaruh lagi biji caturnya. Saking ingin tahunya Hek-pek-cu menjadi tidak sabar, cepat ia menanya, "Bagaimana lagi langkah berikutnya?"
"Di sinilah letak kuncinya," sahut Hiang Bun-thian. "Kalau menurut pendapat Jichengcu sendiri bagaimana seharusnya langkah ini?"
Hek-pek-cu berpikir sampai lama dan menggumam sendiri, "Langkah ini ... ya, memang rada repot, kalau disambung kurang kuat, jika terputus lebih celaka lagi. Wah, ini ... ini ...."
Begitulah sambil memegang satu biji hitam dan diketok-ketokkan perlahan di atas meja batu, tapi sampai sekian lamanya tetap tidak mampu menjalankan biji caturnya.
Dalam pada itu Tan-jing-sing dan Lenghou Tiong masing-masing sudah menghabiskan belasan cawan anggur.
Melihat air muka Hek-pek-cu makin lama makin menghijau, segera Tan-jing-sing berkata, "Tong-lauheng, ini kan "Problem Tumpah Darah", masakah benar-benar kau hendak membikin Jiko tumpah darah" Bagaimana langkah selanjutnya harus dijalankan, lekaslah kau katakan terus terang saja."
"Baiklah," kata Hiang Bun-thian. "Biji ke-67 ini harus ditaruh di sini."
Habis berkata ia terus menaruh biji hitam pada titik silang 7-4.
"Plak", mendadak Hek-pek-cu menabok keras-keras pahanya sendiri dan berseru, "Bagus! Langkah ini memang benar sangat bagus!"
"Langkah ini sudah tentu sangat bagus, ini kan catur istimewa seorang juara seperti Lau Tiong-hu," ujar Hiang Bun-thian tersenyum. "Tetapi kalau dibandingkan dengan langkah ajaib nini dewi Le-san itu akan berbeda jauh pula."
"Cara bagaimana jalannya langkah ajaib nini dewi itu, coba lakukan," tanya Hek-pek-cu.
"Silakan Jichengcu memikirkannya," kata Bun-thian.
Hek-pek-cu lantas peras otak lagi, tapi sampai lama sekali ia merasa posisi sudah jelas kalah, betapa pun sukar untuk balas menyerang lagi. Katanya kemudian, "Jika langkahnya memang ajaib, manusia biasa seperti kita mana dapat memikirkannya. Harap Tong-lauheng jangan jual mahal lagi, coba lakukan."
"Langkah ajaib ini memang benar hanya dapat dipikirkan oleh malaikat dewata," kata Bun-thian dengan tertawa.
Sebagai seorang pemikir, sudah tentu Hek-pek-cu mahir menjajaki perasaan pihak lawan, melihat Hiang Bun-thian tetap tidak mau mengatakan problem catur itu secara terus terang sehingga membuatnya tidak sabaran, diam-diam ia menduga orang she Tong ini pasti mempunyai sesuatu keinginan. Maka ia lantas berkata, "Tong-lauheng, aku takkan terima dengan percuma jika kau sudi menjelaskan problem catur ini kepadaku."
Diam-diam Lenghou Tiong juga mengira jangan-jangan Hiang Bun-thian tahu ilmu Hian-thian-ci Hek-pek-cu itu akan mampu mengobati penyakitnya, maka sang toako sengaja mengatur jalan untuk mohon pertolongannya.
Di luar dugaan Hiang Bun-thian lantas bergelak tertawa dan berkata, "Cayhe dan Hong-hiante sekali-kali tiada sesuatu keinginan terhadap keempat Chengcu, ucapan Jichengcu barusan ini menjadi terlalu menilai rendah kami berdua."
"Maaf, jika begitu akulah yang telah salah omong," kata Hek-pek-cu sambil memberi hormat.
Sambil membalas hormat, Hiang Bun-thian berkata pula, "Kedatangan kami berdua ke Bwe-cheng sini sebenarnya hendak bertaruh sesuatu dengan keempat Chengcu."
"Bertaruh sesuatu?" Hek-pek-cu dan Tan-jing-sing menegas berbareng. "Bertaruh tentang apa?"
"Begini," kata Hiang Bun-thian. "Aku bertaruh bahwa di dalam Bwe-cheng ini pasti tiada seorang pun yang mampu menangkan Hong-hianteku ini dalam hal ilmu pedang."
Serentak Hek-pek-cu dan Tan-jing-sing berpaling ke arah Lenghou Tiong. Air muka Hek-pek-cu tampak adem ayem saja, sebaliknya Tan-jing-sing tuntas bergelak tertawa dan berseru, "Cara bagaimana kita akan bertaruh?"
"Jika kami kalah," demikian kata Hiang Bun-thian, "maka lukisan ini akan kami persembahkan kepada Sichengcu."
Sembari bicara ia terus menanggalkan buntelan yang terikat di punggungnya, dibukanya buntelan itu, isinya ternyata dua buah gulungan. Waktu satu gulungan itu dibentang, kiranya adalah sebuah lukisan kuno yang tertera tanda pelukisnya Hoan Koan di Zaman Song. Lukisan itu adalah lukisan pemandangan, sebuah gunung menjulang tinggi menembus awan, goresannya tajam, warnanya indah. Biarpun Lenghou Tiong tidak paham seni lukis juga lantas tahu bahwa lukisan itu tentulah lukisan yang hidup dan bermutu.
Benar juga, mendadak Tan-jing-sing berteriak, "Aiii!"
Pandangannya lantas tidak terlepaskan dari lukisan itu. Sampai agak lama kemudian baru berkata pula, "Ini benar-benar lukisan asli Hoan Koan di Zaman Song. Dari ... dari mana kau memperolehnya?"
Hiang Bun-thian hanya tersenyum saja tanpa menjawab, perlahan-lahan ia menggulung kembali lukisan itu.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Tan-jing-sing mencegahnya sambil menarik tangan Hiang Bun-thian dengan maksud agar lukisan itu jangan digulung dulu.
Tak terduga, baru saja tangannya menyentuh lengan Hiang Bun-thian, seketika terasa suatu arus tenaga dalam yang kuat tapi halus telah mencurah keluar dan menggetar pergi tangannya, waktu ia memandang Hiang Bun-thian, tampaknya seperti tidak tahu apa-apa dan masih tetap menggulung lukisannya.
Sungguh tidak kepalang heran Tan-jing-sing, walaupun sentuhan tangannya dengan lengan Hiang Bun-thian terjadi dengan sangat perlahan, tapi tenaga dalam yang timbul itu jelas adalah lwekang yang amat tinggi, bahkan tenaga yang timbul itu cuma sedikit saja. Diam-diam ia sangat kagum, segera ia berkata, "Tong-lauheng, kiranya ilmu silatmu sedemikian hebat, mungkin tidak di bawahku."
"Ah, Sichengcu memang suka bergurau," ujar Hiang Bun-thian. "Kecuali ilmu pedang, keempat Chengcu di sini terkenal memiliki sesuatu ilmu tunggal yang tiada tandingannya. Aku Tong Hoa-kim hanya seorang keroco saja, mana aku berani dibandingkan dengan Sichengcu?"
Mendadak Tan-jing-sing menarik muka, katanya, "Mengapa kau mengatakan "kecuali ilmu pedang?" Memangnya ilmu pedangku tidak masuk hitungan?"
Hiang Bun-thian hanya tersenyum dan tidak menanggapi, ia berkata, "Bagaimana jika kedua Chengcu melihat lagi sebuah tulisan?"
Habis itu ia lantas membentang pula suatu gulungan yang lain, kiranya adalah sebuah tulisan yang ditulis dengan cara chau (rumput, di sini dimaksudkan tulisan corat-coret) dengan goresan yang hidup.
"He, he, he!" Tan-jing-sing berulang-ulang mengeluarkan suara heran. Mendadak ia terus menggembor, "Samko! Samko! Ini dia jiwa mestikamu berada di sini!"
Saking keras suara menggembornya sampai-sampai daun pintu dan jendela ikut tergetar, debu pasir sama bertebaran dari atap. Karena jeritan yang sekonyong-konyong itu, Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong juga ikut terkejut.
Maka terdengarlah dari jauh ada suara jawaban orang, "Ada apa gembar-gembor, membikin kaget orang saja?"
"Samko," seru Tan-jing-sing pula, "jika kau tidak lekas datang, sebentar kalau orang telah menyimpan kembali barangnya tentu kau akan menyesal selama hidup."
"Ah, tentu kau menemukan sesuatu tulisan palsu apa-apa, bukan?" kata orang itu, kini suaranya sudah berada di luar pintu.
Ketika tirai pintu tersingkap, masuklah satu orang pendek gemuk, kepalanya botak kelimis dan mengilap licin tanpa seujung rambut pun. Tangan kanan memegang sebuah pit (pensil) besar, bajunya berlepotan bak (tinta hitam).
Begitu berada di dalam, sekonyong-konyong ia melotot sambil menahan napas, serunya seperti orang menemukan sesuatu yang ajaib, "Haah, ini memang ben ... benar tulisan asli Thio Kiu di Zaman Tong-tiau, benar-benar tulen, tidak mungkin ... tidak mungkin palsu!"
Tulisan yang bergaya corat-coret itu memang sangat berani dan bebas sehingga mirip seorang tokoh ilmu silat sedang mengeluarkan ginkangnya yang tinggi dengan gerak-geriknya yang gesit dan lincah. Karena gaya tulisan itu bercorat-coret, maka di antara sepuluh huruf paling banyak hanya satu huruf saja yang dikenal Lenghou Tiong. Dilihatnya di bagian akhiran tulisan itu banyak diberi tanda stempel, di antaranya adalah pejabat-pejabat tinggi pemerintah, maka dapat diduga tulisan itu pasti bukan sembarangan tulisan.
Maka terdengar Tan-jing-sing memperkenalkan, "Ini adalah Samko Tut-pit-ong (Si Kakek Pensil Gundul). Ia pakai julukan demikian disebabkan wataknya yang gemar akan seni tulis sehingga beratus-ratus pensil telah terpakai sampai gundul, jadi bukan disebabkan batok kepalanya yang kelimis, hal ini perlu diterangkan supaya tidak salah paham."
Dengan tertawa Lenghou Tiong mengiakan. Dilihatnya Tut-pit-ong itu sudah mulai menggerakkan pensil di tangan kanan dan sedang menggores naik-turun mengikuti contoh tulisan itu, air mukanya seperti orang mabuk dan mirip orang linglung, terhadap Hiang Bun-thian dan Lenghou Tiong yang berada di situ sama sekali tak ambil peduli, sampai-sampai ucapan Tan-jing-sing tadi juga tidak digubris olehnya.
Mendadak hati Lenghou Tiong tergetar, pikirnya, "Perbuatan Hiang-toako ini mungkin telah direncanakan sebelumnya. Aku masih ingat ketika aku bertemu dengan dia di gardu tempo hari, agaknya dia sudah membawa buntelan demikian di punggungnya."
Tapi lantas terpikir lagi, "Buntelannya waktu itu belum tentu tersimpan dua gulungan lukisan dan tulisan ini, bisa jadi untuk mengusahakan penyembuhan penyakitku, di tengah jalan ketika menginap di hotel dia telah keluar membeli atau mencurinya. Ya, besar kemungkinan hasil curian. Benda mestika yang tak ternilai ini ke mana dapat membelinya?"
Dilihatnya gerakan pensil Tut-pit-ong itu mengeluarkan suara mendesir-desir perlahan, betapa tinggi lwekangnya jelas mempunyai keunggulannya masing-masing bersama Hek-pek-cu. Ia berpikir pula, "Penyakitku ini akibat perbuatan Tho-kok-lak-sian serta Put-kay Taysu, tapi lwekang ketiga Chengcu ini agaknya lebih tinggi pula daripada Tho-kok-lak-sian dan Put-kay, boleh jadi Toachengcu mereka itu jauh lebih lihai lagi daripada ketiga temannya ini. Kalau ditambah dengan Hiang-toako, dengan kekuatan lima orang mungkin dapat menyembuhkan penyakitku. Semoga mereka tidak banyak membuang tenaga murninya."
Sebelum Tut-pit-ong selesai corat-coret mencontoh "sui-ih-tiap" (contoh tulis) yang diperlihatkannya itu, mendadak Hiang Bun-thian terus menggulungnya dan disimpan kembali ke dalam buntelannya.
Tut-pit-ong memandang bingung kepada Hiang Bun-thian, sampai lama sekali baru bertanya, "Tukar apa?"
Hiang Bun-thian menggeleng, jawabnya, "Tidak ditukarkan dengan apa pun juga."
"Dua puluh delapan jurus Ciok-koh-tah-hiat-pit-hoat (Ilmu Tulis Menutuk Hiat-to)?" demikian Tut-pit-ong memberi penawaran.
"Tidak boleh!" berbareng Hek-pek-cu dan Tan-jing-sing berseru.
"Boleh saja, mengapa tidak boleh?" ujar Tut-pit-ong. "Jika aku dapat memperoleh sui-ih-tiap tulisan asli Thio Kiu ini, maka aku punya 28 jurus tutukan itu boleh dikata tidak ada artinya lagi."
Tapi Hiang Bun-thian juga lantas menggeleng dan berkata, "Tidak boleh!"
"Jika begitu mengapa kau perlihatkan tulisan itu kepadaku?" tanya Tut-pit-ong dengan rada aseran.
"Ya, anggaplah aku salah, boleh Samchengcu anggap pula seperti tidak pernah melihatnya saja," ujar Hiang Bun-thian.
"Sudah selesai dilihat, mana boleh dianggap tidak pernah melihatnya?" kata Tut-pit-ong.
"Apa Samchengcu benar-benar hendak memiliki tulisan asli Thio Kiu ini?" Bun-thian menegas. "Untuk ini tidaklah susah asalkan Samchengcu bertaruh sesuatu dengan kami."
"Bertaruh hal apa?" tanya Tut-pit-ong cepat.
"Samko," Tan-jing-sing lantas menanggapi, "orang ini agaknya rada sinting. Dia mengatakan hendak bertaruh bahwa di dalam Bwe-cheng kita ini tiada ilmu pedang seorang pun yang mampu menandingi sobat Hong dari Hoa-san ini."
"Kalau ada orang yang mampu menangkan sobat ini, lalu bagaimana?" tanya Tut-pit-ong.
"Jika di dalam Bwe-cheng ini, tidak peduli siapa saja yang mampu menangkan pedang di tangan saudaraku Hong ini, maka Cayhe akan mempersembahkan sui-ih-tiap tulisan asli Thio Kiu ini kepada Samchengcu dan menghadiahkan lukisan asli Hoan Koan tadi kepada Sichengcu, juga akan kuturunkan 30 problem catur dari berbagai jago catur yang pernah kulihat itu kepada Jichengcu."
"Dan bagaimana dengan Toako kami, apa yang akan kau persembahkan kepadanya?" tanya Tut-pit-ong.
"Untuknya Hong-hianteku ini telah menyediakan suatu buah musik menabuh kecapi yang tiada bandingannya, judul kitab itu adalah "Lagu Siau-go-kangouw" (Hina Kelana)," kata Hiang Bun-thian.
Tidaklah apa-apa Tut-pit-ong bertiga mendengar nama judul lagu Hina Kelana, tapi Lenghou Tiong yang amat terkejut, ia heran dari manakah sang toako mengetahui kitab yang dimilikinya itu"
Dalam pada itu Hek-pek-cu telah berkata, "Meski kami tidak tahu di mana letak kebagusan kitab lagu kecapi itu, tapi melihat barang taruhan yang lain seperti catur, tulisan, dan lukisan yang kau sebut itu, maka lagu kecapi itu tentunya juga lain daripada yang lain. Sebaliknya kalau di dalam Bwe-cheng kami ini ternyata benar tiada seorang pun yang mampu mengalahkan Hong-hengte, lalu apa yang harus kami pertaruhkan kepadamu?"
Tan-jing-sing lantas menyela dengan tertawa, "Hong-heng ini mahir teori perarakan, tentu ilmu pedangnya juga sangat tinggi. Cuma usianya masih terlalu muda, masakah betul di dalam Bwe-cheng kita ini tiada seorang pun yang dapat menandingi dia" Hehe, sungguh menertawakan."
Karena Lenghou Tiong sudah berjanji sebelumnya dengan Hiang Bun-thian akan menurut segala apa yang diatur oleh sang toako, tapi sampai di sini ia pun merasa keterlaluan ucapan Hiang Bun-thian tadi, padahal tenaga dalamnya sudah punah, mana mampu menandingi jago-jago kosen di Bwe-cheng ini. Maka dengan rendah hati ia lantas berkata, "Ah, Tong-toako memang suka berkelakar, sedikit kepandaianku yang tak berarti mana berani dipertandingkan dengan para Chengcu yang hebat."
Dengan tertawa Hiang Bun-thian menyambung, "Kata-katamu yang rendah hati ini memang perlu diucapkan, kalau tidak, tentu orang akan menganggap kau terlalu angkuh dan sombong."
Tut-pit-ong seakan-akan tidak ambil pusing terhadap ucapan mereka berdua, ia komat-kamit menggumam sendiri, rupanya sedang mengulangi isi tulisan Thio Kiu yang membuatnya kesengsem dan lupa daratan. Tiba-tiba ia berkata pula kepada Hiang Bun-thian, "He, coba kau membentang pula tulisan itu."
"Asalkan Samchengcu sudah menang, pasti sui-ih-tiap ini akan menjadi milikmu, sekarang hendaklah jangan terburu-buru dulu," jawab Hiang Bun-thian dengan tertawa.
Sebagai ahli catur, Hek-pek-cu dengan sendirinya adalah ahli pikir pula, sebelum menang sudah mesti memperhitungkan kekalahan dulu, maka ia bertanya pula, "Jika benar-benar di dalam Bwe-cheng kami ini tiada seorang pun yang mampu mengalahkan Saudara Hong ini, lalu pertaruhan apa yang harus kami berikan?"
"Sudah kami katakan bahwa kedatangan kami ke Bwe-cheng sini tidak untuk minta sesuatu benda atau mohon sesuatu urusan," jawab Hiang Bun-thian. "Tujuan Hong-hiante hanya ingin saling belajar ilmu pedang dengan jago kosen yang berada di puncak ilmu silat seluruh jagat sini. Jika secara kebetulan kami menang, seketika kami mohon diri, kami tidak menginginkan barang taruhan apa-apa."
"O, jadi Saudara Hong ini hanya ingin mencari nama saja?" ujar Hek-pek-cu. "Ya, memang, sebatang pedangnya sekaligus mengalahkan Kanglam-si-yu, peristiwa ini sudah tentu akan tersiar di seluruh Kangouw."
"Ah, Jichengcu telah salah sangka," kata Hiang Bun-thian sambil menggeleng. "Pertandingan ilmu pedang di sini, tak peduli pihak mana yang menang dan kalah, jika ada satu kata saja dibocorkan ke luar, biarlah aku dan Hong-hiante mati tak terkubur, anggap saja sebagai manusia rendah melebihi binatang."
"Bagus, bagus!" seru Tan-jing-sing. "Ucapanmu harus dipuji. Kamar ini cukup luas, biarlah aku mulai bertanding sejurus-dua dengan Saudara Hong. Dan mana pedangmu?"
"Datang ke Bwe-cheng sini mana kami berani membawa senjata?" sahut Bun-thian tertawa.
Segera Tan-jing-sing menggembor pula, "Ambilkan dua pedang!"
Ada suara orang mengiakan di luar, kemudian Ting Kian dan Si Leng-wi masing-masing membawa sebatang pedang dan diaturkan ke hadapan Tan-jing-sing.
Tan-jing-sing ambil sebuah pedang itu dan berkata, "Yang ini berikan padanya!"
Si Leng-wi mengiakan, lalu pedang itu diaturkan ke hadapan Lenghou Tiong.
"Hong-hiante," kata Hiang Bun-thian, "ilmu pedang keempat Chengcu di sini terkenal mahasakti, asalkan kau dapat belajar sejurus-dua saja sudah tidak habis-habis kau gunakan selama hidup ini."
Melihat keadaan sudah tidak mungkin dihindarkan lagi, terpaksa Lenghou Tiong menyambuti pemberian pedang itu.
Sekonyong-konyong Hek-pek-cu berkata, "Nanti dulu, Site. Taruhan yang dikemukakan Tong-heng ini adalah di dalam Bwe-cheng kita tiada seorang pun yang mampu mengalahkan Hong-heng itu. Ting Kian juga mahir main pedang, ia pun penghuni Bwe-cheng ini, maka tidak perlu Site mesti tampil ke muka sendiri."
Dasar juru pikir, Hek-pek-cu menjadi sangsi mendengar tantangan Hiang Bun-thian yang semakin galak dan yakin benar pasti akan menang itu. Tiba-tiba ia mendapat akal membiarkan Ting Kian maju untuk menjajal Lenghou Tiong lebih dulu. Ia pikir Ting Kian berjuluk "It-ji-tian-kiam" (Pedang Kilat Angka Satu), ilmu pedangnya juga sangat lihai, kedudukannya di Bwe-cheng juga cuma kaum hamba saja, andaikan kalah juga tidak merugikan nama baik Bwe-cheng, sebaliknya sampai di mana kehebatan ilmu pedang Hong Ji-tiong ini akan segera ketahuan.
Tanpa pikir Hiang Bun-thian lantas menjawab, "Ya, benar. Asalkan ada orang di dalam Bwe-cheng ini mampu menangkan ilmu pedang Hong-hianteku, maka kami akan dianggap kalah, memangnya juga tidak perlu keempat Chengcu mesti maju sendiri. Ting-heng ini di dunia Kangouw berjuluk "It-ji-tian-kiam", betapa cepat gerak pedangnya jarang ada bandingannya. Nah, Hong-hiante, tiada jeleknya jika kau belajar kenal dulu dengan It-ji-tian-kiamnya Ting-heng."
Dengan tertawa Tan-jing-sing lantas melemparkan pedangnya kepada Ting Kian sambil berkata, "Awas, jika kau kalah akan kudenda kau minum tiga mangkuk arak."
Ting Kian membungkuk tubuh memberi hormat sambil menangkap pedang itu, kemudian ia berkata kepada Lenghou Tiong, "Orang she Ting mohon belajar ilmu pedang Tuan Hong yang lihai!"
"Sret", segera ia mendahului melolos pedangnya.
Lenghou Tiong juga lantas melolos pedangnya, sarung pedang ditaruhnya di atas meja batu tadi.
"Ketiga Chengcu dan Ting-heng," seru Hiang Bun-thian, "kita harus bicara di muka, pertandingan ini hanya mengenai ilmu pedang dan tidak boleh mengadu tenaga dalam."
"Ya, sudah tentu, cukup asal tertutul saja lantas berhenti," kata Hek-pek-cu.
Maka Hiang Bun-thian sengaja pesan Lenghou Tiong, "Hong-hiante, jangan sekali-kali kau mengeluarkan tenaga dalam. Bertanding ilmu pedang tergantung kebagusan tipu serangan masing-masing. Khikang Hoa-san-pay kalian sangat terkenal di dunia persilatan, jika kau menang dengan mengandalkan tenaga dalam biarlah dianggap kita yang kalah."
Diam-diam Lenghou Tiong tertawa geli, padahal sang toako mengetahui dia tiada punya tenaga dalam sedikit pun, tapi sengaja menonjolkan tenaga dalam untuk memojokkan pihak lawan. Segera ia menjawab, "Jika Siaute mengeluarkan tenaga dalam tentu akan ditertawai ketiga Chengcu dan Ting-heng serta Si-heng, sudah tentu sama sekali aku tidak berani menggunakannya."
"Hong-hiante tidak perlu terlalu rendah hati agar tidak seakan-akan kita kurang mengindahkan keempat Cianpwe di sini," kata Hiang Bun-thian. "Bahwasanya Ci-he-sin-kang Hoa-san-pay kalian adalah lwekang yang amat lihai dan jauh di atas lwekang Ko-san-payku, hal ini cukup diketahui kawan-kawan Bu-lim. Nah, Hong-hiante, hendaklah kau berdiri di tengah kedua bekas tapak kakiku ini dan jangan sampai tergeser keluar, dengan berdiri di sini bolehlah kau coba-coba ilmu pedang Ting-heng."
Habis berkata ia lantas menyingkir ke samping, maka tertampak di atas jubin lantai telah tercetak dua bekas tapak kaki yang dalamnya dua-tiga senti. Rupanya sewaktu bicara tadi diam-diam ia telah mengerahkan tenaga dalam sehingga jubin hijau yang cukup keras itu telah dicetak mentah-mentah dua bekas kaki.
Hek-pek-cu, Tut-pit-ong, dan Tan-jing-sing serentak bersorak memberi pujian. Mereka mengira Hiang Bun-thian sengaja pamer kepandaian, tak tahunya dia mempunyai maksud yang lain.
Kiranya Hiang Bun-thian sengaja membangga-banggakan lwekangnya Lenghou Tiong lebih tinggi daripada dia sendiri, sekarang ia pamerkan lwekangnya sendiri pula agar orang mau percaya bahwa lwekang Lenghou Tiong sudah pasti jauh lebih hebat lagi, dengan demikian pihak lawan dalam pertandingan nanti tidak berani sembarangan menggunakan tenaga dalam untuk mencari penyakit sendiri. Apalagi Hiang Bun-thian mengetahui kemahiran Lenghou Tiong selain ilmu pedang boleh dikata tidak ada yang istimewa, dengan tetap berdiri di bekas tapak kakinya itu akan dapat pula menyembunyikan kelemahan-kelemahannya yang lain.
Diam-diam Ting Kian menjadi gusar mendengar Hiang Bun-thian suruh Lenghou Tiong tetap berdiri di dalam bekas tapak kaki itu untuk melawannya nanti. Walaupun demikian, karena merasa dirinya tidak sanggup menginjak jubin meninggalkan bekas, mau tak mau ia terperanjat juga atas kelihaian tenaga Hiang Bun-thian. Pikirnya, "Jika mereka berani datang menantang keempat Chengcu, sudah tentu mereka bukan kaum keroco. Asalkan aku mampu bertanding sama kuatnya dengan dia sudah cukup menyelamatkan nama baik Bwe-cheng."
Hendaklah maklum bahwa di waktu mudanya dahulu Ting Kian berwatak sangat sombong sehingga banyak mengikat permusuhan dengan jago-jago Kangouw, kemudian ia ketemu batunya sehingga mencari hidup sukar dan minta mati pun tidak mudah, dalam keadaan kepepet, syukur ia telah ditolong oleh Kanglam-si-yu. Karena itulah ia rela menghamba di Bwe-cheng, kegarangan di masa yang lalu juga telah lenyap sekarang.
Begitulah Lenghou Tiong lantas melangkah maju dan berdiri di dalam bekas tapak kakinya Hiang Bun-thian itu, katanya dengan tersenyum, "Silakan mulai, Ting-heng!"
"Maaf!" kata Ting Kian, tanpa sungkan-sungkan lagi segera pedangnya menebas, "serrr", selarik sinar pedang tahu-tahu telah berkelebat lewat dengan amat cepatnya. Meski sudah belasan tahun ia mengasingkan diri di Bwe-cheng, tapi kepandaian dahulu ternyata tiada sedikit pun berkurang.
Namun Tokko-kiu-kiam yang telah diyakinkan Lenghou Tiong itu adalah ilmu pedang yang tiada bandingannya sejak dahulu sehingga sekarang. Dengan ilmu pedangnya itu Tokko Kiu-pay pernah malang melintang di seluruh dunia dan tak terkalahkan, bukan saja tak pernah kalah, bahkan sampai hari tuanya, orang yang mampu menandingi sepuluh jurus saja jarang terdapat. Akhirnya Tokko Kiu-pay wafat dalam kekosongan jiwa dan ilmu pedangnya itu melalui Hong Jing-yang telah diturunkan kepada Lenghou Tiong.
Ilmu pedang angka satu yang menjadi kebanggaan Ting Kian itu setiap gerak serangan selalu berkelebat seperti sambaran kilat sehingga membuat orang yang melihatnya belum-belum sudah gentar lebih dulu.
Tapi baru sekali saja It-ji-tian-kiam itu dikeluarkan, segera Lenghou Tiong dapat mengetahui tiga titik kelemahan di dalamnya.
Ting Kian ternyata tidak buru-buru melancarkan serangan, pedangnya hanya menebas kian-kemari seakan sungkan kepada pihak tamu, tapi maksud tujuannya adalah hendak membikin silau Lenghou Tiong agar sukar menangkis serangannya yang menyusul.
Tak terduga ketika sampai pada jurus kelimanya, Lenghou Tiong telah melihat ilmu pedangnya itu sudah ada 18 titik kelemahan. Segera ia berkata, "Maaf!"
Berbareng pedangnya lantas menuding miring ke depan.
Tatkala itu Ting Kian sedang menebaskan pedangnya secepat kilat dari kiri ke kanan, jarak ujung pedang Lenghou Tiong masih ada satu meter jauhnya, namun gerakan Ting Kian itu menjadi seperti mengantarkan tangan sendiri ke ujung pedang lawan.
Gerakan Ting Kian itu teramat cepat dan sukar untuk dihentikan secara mendadak. Lima orang penonton yang menyaksikan di samping itu adalah jago-jago kelas wahid semua.
Saat itu tangan Hek-pek-cu sedang memegangi sebiji catur, segera ia bermaksud menyambitkan biji catur itu untuk menyelamatkan tangan Ting Kian dari ancaman pedang Lenghou Tiong, tapi lantas terpikir olehnya jika sampai dia ikut turun tangan ini berarti dua orang melawan seorang dan Bwe-cheng jelas di pihak yang kalah. Karena rasa ragu-ragu itulah saat mana jarak pergelangan tangan Ting Kian sudah makin mendekat dengan sambaran ujung pedang Lenghou Tiong, hanya tinggal belasan senti jauhnya.
"Aiii!" Si Leng-wi menjerit khawatir.
Siapa duga, pada detik yang menentukan itu mendadak Lenghou Tiong memutar perlahan tangannya sehingga ujung pedang menegak, "plak", tangan Ting Kian terbentur pada batang pedang yang rata itu sehingga tidak terluka apa-apa.
Ting Kian sampai melenggong, baru dia sadar bahwa pihak lawan telah sengaja memberi ampun padanya sehingga sebelah tangannya tidak sampai terkutung. Seketika ia berkeringat dingin, ia membungkuk tubuh dan berkata, "Banyak terima kasih atas kemurahan hati Hong-tayhiap."
Lenghou Tiong membalas hormat dan menjawab, "Ah, engkaulah yang mengalah!"
Melihat Lenghou Tiong sedikit memutar pedangnya sehingga Ting Kian terhindar dari tangan terkutung, diam-diam Hek-pek-cu, Tut-pit-ong, dan Tan-jing-sing menaruh kesan baik padanya.
Segera Tan-jing-sing menuang secawan arak, katanya, "Hong-hengte, ilmu pedangmu sangat bagus, terimalah secawan suguhanku."
"Terima kasih," sahut Lenghou Tiong sambil menerima suguhan itu terus ditenggak habis.
Tan-jing-sing juga mengiringi minum satu cawan, lalu menuangi cawan Lenghou Tiong pula dan berkata, "Hong-hengte, hatimu sangat baik sehingga tangan Ting Kian tidak sampai buntung, biarlah aku menyuguh lagi secawan padamu."
"Ah, ini hanya secara kebetulan saja, kenapa diherankan?" ujar Lenghou Tiong sambil menghabiskan pula isi cawannya.
Tan-jing-sing mengiring pula secawan, lalu menuang lagi secawan dan berkata, "Cawan ketiga ini kita jangan minum dulu, marilah kita main-main, siapa yang kalah dialah yang minum arak ini."
"Terang aku yang kalah," ujar Lenghou Tiong tertawa, "biarlah aku meminumnya sekarang saja."
"Jangan buru-buru!" seru Tan-jing-sing sambil menaruh cawan araknya di atas meja batu, ia ambil pedang dari tangan Ting Kian, lalu katanya pula, "Hong-hengte, silakan mulai lebih dulu."
Di waktu minum arak tadi diam-diam Lenghou Tiong sudah menimbang-nimbang, "Dia mengaku mempunyai tiga keistimewaan, yaitu minum arak, suka seni lukis, dan mahir ilmu pedang. Maka dapatlah dipastikan ilmu pedangnya tentu sangat lihai. Dari lukisan yang terpancang di ruang depan sana kulihat goresannya rada mirip sejurus ilmu pedang yang terukir di dinding gua puncak Hoa-san dahulu. Ilmu pedang itu memang sangat bagus, tapi aku sudah paham jalannya, tentunya tidak sukar untuk melayaninya."
Maka katanya sambil membalas hormat, "Harap Sichengcu sudi mengalah sedikit."
"Tidak perlu sungkan-sungkan, silakan," kata Tan-jing-sing.
"Baik," begitu Lenghou Tiong berseru, pedangnya lantas bergerak menusuk ke pundak lawan.
Tusukan ini tampaknya geyat-geyot tak bertenaga dan tidak menurut ilmu pedang yang lazim, belum pernah ada ilmu pedang di dunia ini terdapat jurus serangan demikian.
Keruan Tan-jing-sing melengak, katanya, "Ini terhitung serangan apa?"
Pengetahuan Tan-jing-sing dalam hal ilmu pedang boleh dikata sangat luas, telah diketahuinya Lenghou Tiong adalah murid Hoa-san-pay, maka yang dia pikirkan sejak tadi adalah macam-macam tipu serangan ilmu pedang Hoa-san-pay saja, siapa tahu apa yang dimainkan Lenghou Tiong ini ternyata sama sekali di luar dugaannya.
Pelajaran yang diperoleh Lenghou Tiong dari Hong Jing-yang kecuali Tokko-kiu-kiam yang tiada bandingannya itu, dapat dipahami pula intisari "dengan tiada tipu mengalahkan yang ada tipu" dalam ilmu pedang. Asas ini tali-temali dengan Tokko-kiu-kiam yang justru setiap gerakan dan setiap tipu serangannya sudah mencapai puncaknya itu. Maka gabungan dari kedua paham ini menjadi lebih hebat dan sukar diraba pihak musuh.
Lantaran itulah Tan-jing-sing lantas melenggong begitu melihat serangannya yang aneh itu. Jika dirinya cepat menangkis toh rasanya sukar terjadi, dan karena tak bisa ditangkis, jalan satu-satunya bagi Tan-jing-sing adalah melangkah mundur.
Waktu satu jurus saja Lenghou Tiong mengalahkan Ting Kian tadi, meski Hek-pek-cu dan Tut-pit-ong diam-diam memuji kelihaian ilmu pedangnya, tapi juga tidak begitu heran, sebab mereka anggap kalau Lenghou Tiong sudah berani menantang ke Bwe-cheng, maka mustahil jika cuma seorang hamba saja tak bisa mengalahkannya. Tapi sekarang setelah menyaksikan sekali tusuk Lenghou Tiong lantas mendesak mundur Tan-jing-sing, mau tak mau mereka menjadi terkesiap.
Bab 67. Ilmu Pedang Lenghou Tiong Tiada Tandingannya
Setelah melangkah mundur segera Tan-jing-sing melangkah maju pula sehingga tetap berhadapan dengan Lenghou Tiong dalam jarak yang sama. Menyusul Lenghou Tiong menusuk lagi, sekali ini yang diarah adalah pundak kiri, caranya tetap seperti tadi, geyat-geyot tak teratur, seperti sungguh-sungguh, seperti main-main.
Segera Tan-jing-sing angkat pedang hendak menangkis, tapi belum lagi kedua pedang beradu segera ia menyadari iga kanan sendiri terlubang, jika lawan terus menyerang ke situ tentu sukar tertolong, jadi tangkisannya ini sekali-kali tidak boleh dilakukan, pada detik terakhir itulah ia ganti haluan, sekali tutul kedua kakinya kembali ia melompat mundur dua meter lebih jauhnya.
"Kiam-hoat bagus!" serunya memuji, berbareng itu ia menubruk maju pula. Sekaligus orangnya bersama pedangnya terus menusuk secepat kilat ke arah Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong dapat melihat lubang kelemahan di bawah lengan kanan lawan pula, segera pedangnya menyelonong ke depan. Jika Tan-jing-sing tidak segera ganti haluan tentu sikunya akan termakan lebih dulu oleh pedang Lenghou Tiong.
Dalam keadaan demikian, terpaksa Tan-jing-sing harus menyelamatkan diri lebih dulu, mendadak pedangnya menusuk ke lantai, dengan tenaga pentalan itulah ia terus berjumpalitan ke belakang dan menancapkan kaki sejauh tiga-empat meter. Saat itu punggungnya sudah mepet dinding, kalau jumpalitannya terlalu keras sedikit saja tentu punggungnya akan menumbuk dinding, hal ini berarti menurunkan derajatnya sebagai seorang kosen. Walaupun demikian, karena cara menghindarnya itu dilakukan dengan gugup dan susah payah, mau tak mau muka Tan-jing-sing menjadi merah jengah.
Sebagai seorang kesatria yang berjiwa besar, ia tidak menjadi gusar, sebaliknya ia malah bergelak tertawa sambil mengacungkan ibu jarinya dan memuji, "Ilmu pedang bagus!"
Habis berkata pedangnya berputar pula, lebih dulu jurus "Pek-hong-koan-jit" (Pelangi Putih Menembus Cahaya Matahari), menyusul jurus "Jun-hong-hut-liu" (Angin Silir Meniup Pohon Liu), lalu berubah lagi menjadi jurus "Thing-kau-ki-hong" (Ular Naga Menjangkitkan Angin), tiga kali serangan dilancarkan sekaligus dan tahu-tahu ujung pedangnya sudah menyambar ke muka Lenghou Tiong.
Cepat Lenghou Tiong menyampuk dengan pedangnya sehingga tepat mengenai punggung pedang lawan. Karena sampukan ini tepat waktunya dan jitu tempatnya, saat itu Tan-jing-sing sedang mencurahkan segenap pikiran dan tenaganya ke ujung pedangnya yang diduganya pasti akan kena sasarannya sehingga pada batang pedangnya tiada bertenaga malah.
Maka terdengarlah suara "creng" perlahan, pedang Tan-jing-sing tersampuk ke bawah, sebaliknya sinar pedang Lenghou Tiong lantas berkelebat, tahu-tahu sudah mengancam di depan dadanya. Tan-jing-sing menjerit kaget dan cepat melompat ke samping.
Rupanya ia belum kapok, kembali pedangnya berputar terus menerjang maju lagi. Sekali ini ia membacok dari atas sambil berseru, "Awas!"
Ia tidak berniat mencelakai Lenghou Tiong, tapi gerak tipu "Giok-liong-to-kwa" (Naga Kemala Melingkar Balik) cukup lihai, jika sedikit lengah dan tidak keburu ditahan, bukan mustahil Lenghou Tiong akan benar-benar terluka olehnya, sebab itulah ia telah berseru memperingatkan.
Lenghou Tiong telah mengiakan peringatan itu. Berbareng pedangnya dari bawah menyungkit ke atas, "sret", mata pedangnya menyerempet lurus ke atas melalui mata pedang lawan.
Dalam keadaan demikian jika bacokan Tan-jing-sing itu diteruskan, sebelum mengenai kepala Lenghou Tiong tentu kelima jarinya sudah akan terpapas lebih dulu oleh pedang Lenghou Tiong. Tapi kepandaian Tan-jing-sing memang jauh lebih tinggi daripada Ting Kian, dilihatnya pedang orang telah memapas tiba menempel batang pedangnya sendiri, bagaimanapun serangan ini sukar dipatahkan, terpaksa tangan kirinya memukul kosong ke lantai, dengan tenaga tolakan ini, "blang", ia terus melompat ke belakang dua-tiga meter jauhnya. Selagi badannya masih terapung di udara pedangnya berulang-ulang telah berputar tiga kali sehingga berwujud tiga lingkaran sinar perak.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lingkaran-lingkaran sinar itu mirip seperti benda hidup saja, hanya berputar-putar sejenak di udara, lalu perlahan-lahan menggeser maju ke arah Lenghou Tiong.
Lingkaran-lingkaran hawa pedang itu tampaknya tidak selihai sinar pedang It-ji-tian-kiam Ting Kian tadi, tapi hawa pedang ini lebih tebal, hawa dingin merangsang badan orang, maka dapat dirasakan oleh setiap orang bahwa ilmu pedang Tan-jing-sing ini memang luar biasa.
Pedang Lenghou Tiong lantas menjulur ke depan, ditusukkan ke dalam lingkaran-lingkaran sinar itu. Di situlah lowongan antara serangan pertama Tan-jing-sing mulai lemah tenaganya dan tenaga serangan kedua belum lagi dikerahkan. Keruan Tan-jing-sing bersuara heran sambil melangkah mundur, lingkaran sinar pedang juga ikut berputar mundur. Tapi segera terlihat lingkaran sinar itu mendadak menyurut, menyusul terus meluas ke depan, di kala lingkaran sinar itu membesar, seketika terus menerjang ke arah Lenghou Tiong.
Kembali Lenghou Tiong menusukkan pedangnya ke tengah lingkaran itu dan kembali Tan-jing-sing berseru heran sambil mundur lagi dan begitu sampai beberapa kali ia maju dan mundur. Semakin cepat ia menyerang maju, semakin cepat pula ia mundur. Hanya dalam sekejap saja ia sudah menyerang sebelas kali dan mundur sebelas kali, kumis jenggotnya sampai berjengkit, sinar pedangnya menerangi mukanya yang kelihatan pucat kehijau-hijauan.
Sekonyong-konyong Tan-jing-sing menggertak keras, berpuluh-puluh lingkaran sinar besar dan kecil serentak menerjang ke arah Lenghou Tiong. Inilah kemahiran Tan-jing-sing yang tiada taranya, ia telah mempersatukan belasan jurus serangan menjadi satu sehingga sukar diduga oleh musuh. Selama hidupnya ia hanya pernah menggunakan kemahiran ini tiga kali saja untuk menghadapi musuh tangguh dan tiga kali pula ia memperoleh kemenangan.
Namun tangkisan Lenghou Tiong tetap sederhana saja, kembali pedangnya menusuk lempeng ke depan sebatas dada, yang dituju adalah ulu hati Tan-jing-sing.
Lagi-lagi Tan-jing-sing menjerit dan melompat mundur sekuatnya. "Blang", dengan berat ia jatuh terduduk di atas meja batu, menyusul terdengar suara riuh jatuhnya cawan arak sehingga hancur berantakan.
Walaupun sudah kalah, tapi Tan-jing-sing tidak menjadi marah, sebaliknya ia terbahak-bahak dan berseru, "Bagus, sungguh bagus! Hong-hengte, ilmu pedangmu memang jauh lebih tinggi daripadaku. Mari, marilah aku menyuguh kau tiga cawan lagi."
Hek-pek-cu dan Tut-pit-ong cukup kenal betapa hebat ilmu pedang site mereka, mereka menyaksikan Tan-jing-sing beruntun telah menyerang 16 kali dan kedua kaki Lenghou Tiong tetap di tempatnya tanpa menggeser ke luar dari bekas tapak kaki Hiang Bun-thian tadi, sebaliknya malah memaksa ahli pedang dari Kanglam-si-yu itu main melompat mundur sampai 17 kali. Betapa tinggi ilmu pedang Lenghou Tiong benar-benar susah diukur.
Dalam pada itu Tan-jing-sing sudah lantas menuang arak ajak minum tiga cawan lagi bersama Lenghou Tiong. Katanya, "Di antara Kanglam-si-yu, ilmu silatku adalah yang paling rendah. Meski aku sudah mengaku kalah, tapi Jiko dan Samko tentu belum mau terima. Besar kemungkinan mereka pun ingin menjajal-jajal kau."
"Kita berdua telah bergebrak belasan jurus dan satu jurus pun Sichengcu belum kalah, mengapa engkau mengatakan akulah yang menang?" ujar Lenghou Tiong.
"Ah, jurus pertama saja aku sudah kalah, jurus-jurus selebihnya sudah tiada artinya lagi," kata Tan-jing-sing sambil menggeleng. "Biasanya Toako mengatakan aku berjiwa sempit, rupanya memang tidak salah."
"Peduli jiwa sempit segala, yang paling penting asalkan kekuatan minum arak yang besar kan jadi," kata Lenghou Tiong tertawa.
"Benar, benar! Marilah kita minum arak lagi," seru Tan-jing-sing.
Padahal biasanya Tan-jing-sing sangat tinggi hati dalam hal ilmu pedang, sekarang dia terjungkal di tangan seorang pemuda yang belum terkenal dan sedikit pun tidak marah dan menyesal, jiwanya yang besar ini betapa pun membikin kagum Lenghou Tiong dan Hiang Bun-thian.
Tut-pit-ong lantas berkata kepada Si Leng-wi, "Si-koankeh, tolong ambilkan aku punya pensil tumpul itu."
Si Leng-wi mengiakan terus pergi mengambilkan semacam senjata dan diaturkan kepada Tut-pit-ong.
Lenghou Tiong melihat senjata itu adalah sebuah boan-koan-pit yang terbuat dari baja, tangkai pensil itu panjangnya belasan senti. Anehnya ujung pensil itu benar-benar pensil tulen, yaitu terbuat dari bulu domba, bahkan ada bekas tercelup tinta bak.
Ujung boan-koan-pit biasanya juga terbuat dari baja dan digunakan menutuk hiat-to, tapi ujung pensil terbuat dari bulu domba yang lemas ini masakah dapat menutuk hiat-to musuh dan merobohkannya" Lenghou Tiong menduga ilmu tiam-hiat orang tentu mempunyai cara yang istimewa dan tenaga dalamnya juga pasti sangat kuat sehingga melalui bulu domba yang lemas itu pun dapat melukai orang.
Setelah memegang senjatanya, dengan tersenyum Tut-pit-ong lantas berkata, "Saudara Hong, apakah kau tetap berdiri di bekas tapak kaki tanpa ganti tempat?"
Lekas-lekas Lenghou Tiong mundur dua tindak, jawabnya dengan membungkuk tubuh, "Ah, mana Cayhe berani berlagak di hadapan Cianpwe."
Tut-pit-ong lantas angkat pensilnya, katanya dengan tersenyum, "Beberapa jurus goresanku ini adalah perubahan dari gaya tulisan kaum ahli tulis. Hong-heng serbapandai, tentunya akan dapat mengenali jalan goresan pensilku ini. Hong-heng adalah sobat baik kita, maka pensilku ini tidak perlu dicelup tinta saja."
Lenghou Tiong rada terkesiap, pikirnya, "Apa barangkali kalau bukan sobat baik lantas pensilmu akan dicelup tinta" Kalau sudah dicelup tinta, lalu mau apa?"
Ia tidak tahu bahwa tinta bak yang dicelup oleh pensil Tut-pit-ong pada saat akan bertempur itu adalah buatan dari berbagai ramuan obat, kalau mengenai kulit manusia akan tak bisa dibersihkan untuk selamanya. Dahulu jago-jago Bu-lim yang bermusuhan dengan Kanglam-si-yu juga pensil tumpul Tut-pit-ong inilah yang paling memusingkan kepala mereka, asal lengah sedikit saja, maka mukanya tentu akan dicorang-coreng oleh pensil tumpul itu, hal ini berarti suatu penghinaan besar, mereka lebih suka dibacok golok atau dipenggal sebelah lengannya daripada muka dicorang-coreng begitu.
Lantaran melihat cara Lenghou Tiong bergebrak dengan Ting Kian serta Tan-jing-sing tadi jelas sangat jujur, maka Tut-pit-ong tidak mencelup pensilnya dengan tinta lagi.
Walaupun tidak paham maksudnya, tapi Lenghou Tiong dapat menduga pihak lawan tentunya berlaku sungkan kepadanya, maka sambil membungkuk tubuh ia berkata, "Banyak terima kasih. Cuma Wanpwe tidak banyak bersekolah, tulisan Samchengcu tentu tidak Wanpwe kenal."
Tut-pit-ong rada kecewa, katanya, "Jadi kau tidak paham seni tulis" Baiklah, jika begitu biar aku menjelaskan dulu padamu. Aku punya tulisan ini disebut "Hui-ciangkun-si" (Syair Panglima Hui), yaitu perubahan dari sanjak Gan Cin-kheng yang seluruhnya meliputi 23 huruf, mengandung tiga jurus sampai 16 jurus serangan, hendaklah kau memerhatikan dengan baik."
"Baiklah, terima kasih atas petunjukmu," jawab Lenghou Tiong. Diam-diam ia pikir peduli amat apakah kau akan tulis syair atau sanjak segala, aku toh tidak paham sama sekali.
Segera Tut-pit-ong angkat pensilnya yang besar itu terus menutul tiga kali ke arah Lenghou Tiong, ini adalah tiga titik permulaan dari huruf "hui", tiga kali tutul ini cuma gerakan palsu saja, ketika pensilnya diangkat hendak menggores dari atas ke bawah, sekonyong-konyong pedang Lenghou Tiong telah menyambar lebih dulu ke bahu kanannya.
Dalam keadaan terpaksa Tut-pit-ong mesti menangkis dengan pensilnya, namun pedang Lenghou Tiong sudah lantas ditarik kembali. Jadi senjata kedua orang belum sampai terbentur, yang mereka gunakan hanya serangan kosong saja, cuma jurus pertama Tut-pit-ong menurut syairnya tadi baru dimulai setengah-setengah, jadi belum lengkap.
Sesudah pensilnya menangkis tempat kosong, segera jurus kedua dilontarkan. Tapi Lenghou Tiong kembali mendahului pula, begitu melihat pensilnya bergerak, sebelum diserang pedangnya sudah menyerang lebih dulu ke tempat yang memaksa lawan harus membela diri.
Benar juga, lekas-lekas Tut-pit-ong putar pensilnya untuk menangkis, tapi pedang Lenghou Tiong tahu-tahu sudah ditarik pulang lagi. Jadi jurus kedua ini pun Tut-pit-ong tak bisa mengeluarkannya dengan sempurna, tapi cuma setengah-setengah saja.
Begitu gebrak kedua jurus serangannya lantas ditutup mati oleh Lenghou Tiong, sehingga serangkaian seni tulisnya tetap tak bisa dimainkan dengan lancar, keruan Tut-pit-ong merasa gelisah, sama halnya seperti seorang yang pintar menulis, baru saja angkat pena mulai menulis, tahu-tahu datang seorang anak kecil yang mengganggu dan mengacau sehingga ilhamnya kabur seketika.
Tut-pit-ong mengira karena tadi telah memberi tahu lebih dulu tulisan apa yang akan dimainkannya sehingga Lenghou Tiong dapat siap-siap sebelumnya untuk mendahului serangannya. Jika sekarang dia menyerang tanpa mengikuti urut-urutan bait syair, tentu lawan akan menjadi bingung. Karena itu segera ia ganti haluan, pensilnya bergerak dari atas menyerong ke kiri, lalu membelok ke kanan dengan tenaga penuh, rupanya yang dia gores itu adalah huruf "ji" dalam gaya coretan cepat.
Namun pedang Lenghou Tiong tetap menusuk ke depan, yang diarah adalah iga kanan. Tut-pit-ong terkejut, cepat pensilnya menangkis ke bawah. Padahal tusukan Lenghou Tiong itu tetap serangan pura-pura saja, tapi karena itu kembali jurus serangan Tut-pit-ong hanya sempat dimainkan setengah-setengah saja.
Sebenarnya coretan-coretan Tut-pit-ong itu selalu diikuti dengan penuh semangat dan tenaga, sekarang sampai di tengah jalan mendadak terhalang, bahkan ganti haluan terus buntu, keruan darah sendiri menjadi bergolak, rasanya sangat tidak enak.
Setelah ambil napas panjang-panjang, kembali Tut-pit-ong putar cepat pensilnya, akan tetapi di tengah jalan selalu digagalkan Lenghou Tiong. Lama-lama ia menjadi naik pitam. Bentaknya, "Kurang ajar, mengacau melulu!"
Segera pensilnya berputar lebih cepat. Tapi bagaimanapun juga, paling banyak ia hanya sempat menulis dua goresan, habis itu selalu ditutup mati jalannya oleh pedang Lenghou Tiong.
Tut-pit-ong menggertak sekali, gaya tulisannya segera berubah, tidak lagi menulis seperti tadi, tapi mencoret ke sana ke sini dengan cepat dan kuat sebagai orang mengamuk.
Lenghou Tiong tidak tahu bahwa gaya tulisan Tut-pit-ong sekarang adalah menirukan gaya coretan Thio Hui, itu panglima perkasa di Zaman Sam-kok, namun dapat pula dilihatnya bahwa gaya tulisannya sudah berbeda daripada tadi. Maka ia tidak peduli tipu serangan apa yang dilancarkan lawan, asalkan pensil lawan bergerak segera, ia mendahului menyerang lubang kelemahannya.
Berulang-ulang terjadi demikian, keruan Tut-pit-ong berkaok-kaok. Kembali gaya tulisannya berubah lagi, tapi hasilnya tetap kosong. Ia tidak tahu bahwa hakikatnya Lenghou Tiong tidak ambil pusing terhadap tulisan apa yang akan dimainkan olehnya, yang dia incar hanya luangan pada setiap gerakan lawan. Sebab itulah setiap kali Tut-pit-ong hanya mampu mencoret setengah-setengah saja, lalu gagal.
Semakin gagal, semakin kesal pula perasaan Tut-pit-ong, sampai akhirnya mendadak ia berteriak-teriak, "Sudahlah, tidak mau lagi, tidak mau lagi!"
Berbareng itu ia terus melompat mundur, gentong arak Tan-jing-sing tadi diangkatnya terus dituang sehingga memenuhi lantai. Pensilnya yang besar itu dicelup kepada cairan yang melanda lantai itu, lalu mulai menulis di atas dinding yang putih itu. Yang ditulis bukan lain daripada syair panglima Hui tadi, seluruhnya 23 huruf ditulisnya dengan tajam dan hidup.
Habis menulis barulah ia menghela napas lega, lalu tertawa terbahak-bahak sembari mengamat-amati kembali tulisannya sendiri yang berwarna merah marun di atas dinding itu. "Ehm, bagus! Selama hidupku hanya tulisan sekali inilah paling bagus!" pujinya kepada dirinya sendiri dengan puas. Lalu katanya kepada Hek-pek-cu, "Jiko, kamar catur ini boleh kau berikan padaku saja, aku merasa berat berpisah dengan tulisanku ini. Kukira selanjutnya aku tidak mampu menghasilkan karya sebagus ini."
"Boleh saja," kata Hek-pek-cu. "Kamarku ini hanya terdapat sebuah papan catur dan tiada benda lain. Seumpama kau tidak mau juga aku terpaksa akan pindah tempat. Habis menghadapi tulisanmu yang berhuruf besar-besar itu masakah aku bisa tenang main catur?"
Lalu Tut-pit-ong berpaling kepada Lenghou Tiong dan berkata, "Hong-laute, berkat kau sehingga segenap ilham tulisanku yang tersekam di dalam perut tadi seketika membanjir keluar dan jadilah tulisan indah yang tiada bandingannya ini. Ilmu pedangmu memang bagus, tulisanku juga bagus, ini namanya masing-masing mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, kita tiada menang dan tidak kalah, seri!"
"Benar, masing-masing mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah," tukas Hiang Bun-thian.
"Dan harus ditambahkan lagi, berkat arakku yang enak," sambung Tan-jing-sing.
Hek-pek-cu berkata kepada Hiang Bun-thian, "Samteku memang kekanak-kanakan sifatnya dan lupa daratan jika bicara tentang seni tulis, sekali-kali bukan maksudnya mengingkari kekalahannya."
"Cayhe paham," ujar Hiang Bun-thian. "Toh taruhan kita adalah di dalam Bwe-cheng ini tiada seorang pun yang mampu mengalahkan ilmu pedang Hong-hiante. Seumpama kedua pihak tidak kalah dan menang, yang jelas pihak kami kan tidak dikalahkan."
"Benar," kata Hek-pek-cu mengangguk. Lalu dari bawah meja batu itu ditariknya keluar sepotong papan besi segi empat.
Papan besi itu lebih kecil daripada muka meja batu itu, di atasnya terukir 19 garis jalan catur, rupanya adalah sebuah papan catur terbuat dari baja. Sambil memegangi ujung papan catur besi itu Hek-pek-cu lantas berkata pula, "Hong-heng, papan catur ini adalah senjataku, marilah kubelajar kenal dengan ilmu pedangmu yang hebat."
"Kabarnya papan catur Jichengcu ini adalah sebuah benda mestika yang dapat menyedot macam-macam senjata musuh," tiba-tiba Hiang Bun-thian berseru.
Dengan sorot mata tajam Hek-pek-cu menatap Hiang Bun-thian sejenak, lalu berkata, "Tong-heng benar-benar berpengalaman luas dan berpengetahuan tinggi. Kagum, sungguh kagum. Padahal senjataku ini bukan benda mestika, tapi adalah buatan dari besi sembrani yang kugunakan mengisap biji-biji catur supaya tidak jatuh terguncang ketika dahulu aku suka bercatur dengan orang di atas kuda atau selagi menumpang perahu."
"O, kiranya demikian," kata Hiang Bun-thian.
Mendengar kata-kata itu, diam-diam Lenghou Tiong bersyukur sang toako telah memberi petunjuk padanya secara tidak langsung. Coba kalau tidak, tentu sekali gebrak saja pasti pedangnya akan melengket tersedot oleh papan catur lawan. Maka dalam pertandingan nanti harus diusahakan jangan sampai pedang menyentuh papan caturnya.
Begitulah ia lantas berkata sambit mengacungkan pedangnya, "Harap Jichengcu memberi petunjuk!"
"Ilmu pedang Hong-heng sangat hebat, silakan mulai dahulu," ujar Hek-pek-cu.
Tanpa bicara lagi Lenghou Tiong lantas putar pedangnya, secara melingkar-lingkar pedangnya terus menusuk ke depan.
"Tipu serangan macam apa ini?" pikir Hek-pek-cu dengan melengak. Dilihatnya ujung pedang lawan telah menuju ke tenggorokannya, segera ia angkat papan caturnya untuk menangkis.
Namun cepat sekali Lenghou Tiong sudah putar ujung pedangnya untuk menusuk bahu kanan lawan. Kembali Hek-pek-cu yang menyampuk dengan papan caturnya. Tapi di tengah jalan Lenghou Tiong sudah lantas tarik kembali pedangnya terus menusuk pula ke perut lawan.
Hek-pek-cu menangkis lagi sambil berpikir, "Jika aku tidak balas menyerang bagaimana aku bisa menang?"
Menurut teori catur, kemenangan hanya tergantung kepada satu langkah mendahului musuh saja. Dalam hal ilmu silat juga begitu. Sebagai seorang ahli catur sudah tentu Hek-pek-cu paham apa artinya mendahului menyerang. Maka ia tidak mau melulu bertahan saja, segera ia pun angkat papan caturnya dan menghantam pundak kanan Lenghou Tiong.
Papan caturnya itu seluas setengahan meter persegi, tebalnya kira-kira dua senti, tergolong semacam senjata yang berat. Besi sembrani itu jauh lebih berat lagi daripada besi biasa. Jika pedang sampai kena terketok, sekalipun tidak tersedot oleh daya sembraninya itu juga pedang akan terketok patah.
Lenghou Tiong hanya sedikit mengegos saja, berbareng pedangnya menusuk iga kanan lawan.
Saat itu maksud Hek-pek-cu hendak mendahului menyerang, tapi pihak lawan justru melancarkan serangan juga, meski tusukan itu tampaknya sepele, tapi tempat yang diarah justru adalah tempat luang yang terpaksa haus dijaga. Maka cepat ia menangkis dengan papan catur, menyusul terus disodokkan ke depan lagi.
Di luar dugaan, sama sekali Lenghou Tiong tidak peduli kepada serangannya. Jika Hek-pek-cu menyerang, maka ia pun ikut menyerang sehingga setiap kali Hek-pek-cu terpaksa harus menarik senjatanya menjaga diri lebih dulu.
Begitulah berturut-turut Lenghou Tiong melancarkan serangan lebih 40 kali, Hek-pek-cu dipaksa menangkis kian-kemari dan bertahan dengan rapat, Ternyata dalam lebih 40 gebrakan itu Hek-pek-cu terpaksa bertahan melulu dan tidak sempat lagi balas menyerang.
Tut-pit-ong, Tan-jing-sing, Ting Kian, dan Si Leng-wi sampai terkesima menyaksikan pertandingan hebat itu. Dengan jelas mereka melihat ilmu pedang Lenghou Tiong itu tidak terlalu cepat, juga tidak teramat lihai, di kala ganti gerak serangan juga tiada sesuatu yang istimewa, tapi setiap serangannya selalu membuat Hek-pek-cu serbasusah dan terpaksa harus menjaga diri lebih dulu.
Hendaklah maklum bahwa setiap jago silat betapa pun tipu serangannya pasti ada lubang kelemahannya. Cuma, kalau bisa mendahului untuk mengancam tempat mematikan pihak musuh, maka kelemahan sendiri akan tertutup dan tidak menjadi halangan.
Namun sekarang setiap kali Hek-pek-cu menggerakkan papan caturnya, setiap kali pula ujung pedang Lenghou Tiong sudah lantas mengacung ke titik kelemahannya sendiri. Sebagai seorang ahli, begitu melihat arah ujung pedang lawan segera dapat diduganya bagaimana akibatnya bila serangan musuh itu dilancarkan. Di dalam lebih 40 gebrakan itu Hek-pek-cu merasa lawan menyerang terus-menerus, diri sendiri sedikit pun tidak sanggup balas menyerang.
Melihat posisi pihak sendiri sudah jelas di pihak yang kalah, kalau pertarungan demikian diteruskan, sekalipun seratus atau dua ratus jurus lagi juga dirinya tetap di pihak terserang melulu. Ia pikir kalau tidak berani menempuh bahaya untuk mencari kemenangan terakhir tentu kehormatan Hek-pek-cu selama ini akan hanyut. Maka dengan nekat ia lantas melintangkan papan caturnya terus disampukkan ke samping untuk menghantam pinggang kiri Lenghou Tiong.
Tapi Lenghou Tiong tetap tidak berkelit dan tidak menghindar, sebaliknya pedang lantas menusuk pula ke perut lawan.
Sekali ini Hek-pek-cu tidak lagi menarik kembali papan caturnya untuk membela diri, tapi masih terus dihantamkan ke depan, agaknya ia sudah bertekad mengadu jiwa, biarpun gugur bersama juga akan dilakoni. Cuma kedua jari tangan kirinya juga sudah bersiap-siap untuk menjepit batang pedang lawan bilamana tusukan Lenghou Tiong sudah mendekat.
Kiranya Hek-pek-cu telah meyakinkan ilmu sakti "Hian-thian-ci" (Jari Mahasakti), dengan mencurahkan tenaga dalam ke jari-jarinya itu sehingga tidak kalah lihainya daripada semacam senjata tajam.
Melihat Hek-pek-cu mengambil risiko itu, kelima orang yang menonton di samping sama bersuara heran. Mereka merasa pertarungan demikian sudah bukan pertandingan persahabatan lagi, tapi lebih mirip pertarungan mati-matian. Jika jepitan jarinya meleset akan berarti perutnya tak terhindar dari tembusan pedang lawan. Dalam sekejap itulah kelima orang itu sama-sama menahan napas.
Tampaknya kedua jari Hek-pek-cu sudah hampir menyentuh pedang, entah tepat-tidak jepitan jarinya itu, yang terang salah seorang pasti akan celaka. Jika jepitannya jitu, pedang Lenghou Tiong akan sukar maju ke depan lagi dan pinggangnya yang akan dihantam oleh papan catur, hal ini jelas sukar dihindarkan. Sebaliknya bila jepitan jari Hek-pek-cu meleset, atau bisa menjepit, tapi tidak sanggup menahan tenaga tusukan pedang itu, maka untuk menghindar atau melompat mundur juga tidak keburu lagi bagi Hek-pek-cu.
Tapi apa yang terjadi sungguh di luar perhitungan Hek-pek-cu. Tatkala jarinya sudah hampir menyentuh batang pedang lawan, sekonyong-konyong ujung pedang menyungkit ke atas dan menusuk ke tenggorokannya.
Perubahan ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga, dalam ilmu silat dari dahulu kala sampai sekarang juga tidak mungkin ada jurus serangan demikian. Dengan begitu, tusukan ke perut tadi sebenarnya cuma serangan palsu belaka. Dalam keadaan demikian jika papan catur Hek-pek-cu dihantamkan terus, maka tenggorokannya pasti akan tertembus lebih dulu oleh pedang lawan.
Saking terkejutnya, lekas-lekas Hek-pek-cu mengerahkan segenap tenaganya untuk menahan papan caturnya di tengah jalan. Sebagai seorang ahli pikir, sekilas benaknya lantas bekerja dan menduga maksud lawan, jika papan caturnya sendiri itu tidak dihantamkan terus, tentu pedang lawan juga takkan menusuk ke depan lagi.
Benar juga, ketika melihat papan catur orang berhenti di tengah jalan secara mendadak, segera Lenghou Tiong juga menahan pedangnya tak diteruskan tusukannya. Jarak ujung pedangnya dengan tenggorokan lawan tatkala itu hanya tinggal satu-dua senti saja. Sebaliknya jarak papan catur Hek-pek-cu dengan pinggang Lenghou Tiong juga cuma empat-lima senti. Kedua orang sama berdiri diam tanpa bergerak sedikit pun.
Meski kedua orang sedikit pun tidak bergerak lagi, tapi bagi pandangan orang lain keadaan mereka itu jauh lebih berbahaya daripada tadi. Walaupun demikian, namun sebenarnya Lenghou Tiong sudah menguasai keadaan. Maklumlah, papan catur itu adalah benda berat. Untuk bisa melukai musuh sedikitnya harus dihantamkan dari jarak satu atau setengah meter jauhnya. Tapi sekarang jaraknya dengan tubuh Lenghou Tiong hanya beberapa senti saja, sekalipun disodokkan sekuatnya juga sukar melukainya, paling-paling hanya membuatnya sakit sedikit. Sebaliknya pedang Lenghou Tiong cukup ditolak perlahan ke depan, seketika tenggorokan lawan akan berlubang dan jiwa melayang. Jadi siapa pun dapat melihat keadaan yang menguntungkan dan merugikan pihak mana pada saat itu.
Tapi dengan tertawa Hiang Bun-thian lantas berkata, "Di sebelah sini tidak berani mendahului, di sebelah sana juga tidak berani. Dalam istilah catur ini disebut "remis". Jichengcu memang gagah perkasa dan dapat menandingi Hong-hiante dengan sama kuatnya."
Lenghou Tiong lantas menarik kembali pedangnya dan melangkah mundur sambil mengucapkan maaf.
Hek-pek-cu tersenyum, katanya, "Ah, Tong-heng suka berkelakar saja. Masakah kau katakan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Ilmu pedang Hong-heng justru amat lihai, jelas Cayhe sudah kalah habis-habisan."
"Eh, Jiko, kau punya senjata rahasia biji catur adalah satu di antara kepandaian istimewa dalam dunia persilatan, 361 biji hitam-putih ditebarkan sekaligus tiada orang mampu menahannya. Mengapa engkau tidak coba-coba kepandaian Saudara Hong dalam hal menghalau senjata rahasia?" tiba-tiba Tan-jing-sing berseru.
Tergerak juga hati Hek-pek-cu, dilihatnya Hiang Bun-thian manggut perlahan. Waktu berpaling ke arah Lenghou Tiong, pemuda itu kelihatan diam-diam saja. Ia pikir ilmu pedang pemuda ini tiada taranya, zaman ini mungkin cuma orang itu saja yang mampu mengalahkan dia. Tampaknya dia tidak gentar sedikit pun, andaikan aku bertanding am-gi (senjata gelap/rahasia) lagi dengan dia tentu akan tambah malu saja nanti. Maka sambil geleng kepala ia berkata dengan tertawa, "Tidak, aku sudah mengaku kalah, buat apa bertanding am-gi segala?"
Dalam pada itu Tut-pit-ong tidak pernah melupakan "sui-ih-hiap" tulisan Thio Kiu itu, segera ia berkata pula, "Tong-heng, sudilah kau perlihatkan pula contoh tulisan tadi?"
"Sabar dulu," jawaban Hiang Bun-thian dengan tersenyum. "Sebentar kalau Toachengcu sudah mengalahkan Hong-hiante, maka contoh tulisan ini akan menjadi milik Samchengcu sendiri, sekalipun akan dilihat selama tiga-hari tiga-malam juga terserah."
"Aku akan melihatnya selama tujuh-hari tujuh-malam," kata Tut-pit-ong.
"Baik, tujuh-hari tujuh-malam juga boleh," ujar Bun-thian.
Perasaan Tut-pit-ong seperti dikilik-kilik, ingin sekali rasanya lekas-lekas mendapatkan tulisan indah itu, segera ia berkata, "Jiko, biar aku pergi mengundang Toako."
"Kalian berdua boleh mengawani tamu di sini, aku saja yang akan bicara dengan Toako," sahut Hek-pek-cu.
"Benar," seru Tan-jing-sing. "Hong-hengte, marilah kita minum pula. Ai, arak sebagus ini telah banyak dibuang percuma oleh Samko."
Habis berkata ia terus menuang arak ke dalam cawan, sedangkan Hek-pek-cu lantas menuju keluar.
Dengan marah Tut-pit-ong berkata, "Kau bilang aku banyak membuang percuma arakmu" Huh, arakmu itu sesudah masuk perut paling-paling keluar lagi menjadi air kencing. Mana bisa membandingi tulisanku di atas dinding halus yang tetap abadi itu. Arak disiarkan melalui tulisan, beribu-ribu tahun lagi orang akan tetap melihat tulisanku, kemudian baru mengetahui di dunia ada arak Turfan yang kau minum ini."
Tan-jing-sing tidak mau kalah, ia angkat cawan araknya dan berkata menghadap dinding, "Dinding, O, dinding, hidupmu sungguh beruntung sehingga dapat menikmati arak enak tuanmu ini. Sekalipun samkoku tidak mencorat-coret di atas wajahmu juga ... juga kau akan tetap hidup abadi."
"Haha, dibandingkan dinding yang tidak tahu apa-apa ini, Wanpwe boleh dikata jauh lebih beruntung!" seru Lenghou Tiong tertawa sambil menenggak isi cawannya.
Hiang Bun-thian juga mengiringi minum dua cawan, lalu tidak minum lagi. Sebaliknya Tan-jing-sing dan Lenghou Tiong masih terus menuang dan menenggak tidak berhenti, semakin minum semakin bersemangat.
Bab 68. Suara Kecapi Membentuk Ilmu Pedang Tak Berwujud
Sudah belasan cawan Lenghou Tiong saling minum bersama Tan-jing-sing barulah kemudian Hek-pek-cu muncul kembali.
"Hong-heng, Toako kami mengundang engkau," kata Hek-pek-cu. "Tong-heng silakan saja minum-minum di sini."
Dengan ucapannya itu nyata yang diundang ke sana hanya Lenghou Tiong sendirian. Hiang Bun-thian melenggong, pikirnya, "Usia Lenghou-hiante masih sangat muda, pengalamannya cetek, jika dia pergi sendirian mungkin bisa bikin runyam urusan. Tapi Jichengcu sudah berkata demikian, aku tidak dapat ngotot ingin ikut."
Maka dengan menghela napas gegetun terpaksa ia berkata "Ai, Cayhe tidak punya jodoh untuk bertemu dengan Toachengcu, sungguh harus disesalkan."
"Harap Tong-heng jangan marah," kata Hek-pek-cu. "Soalnya Toako kami sudah lama mengasingkan diri, biasanya tidak mau terima tamu. Cuma tadi ketika mendengar ceritaku, bahwa ilmu pedang Hong-heng tiada bandingannya di dunia ini, hati beliau merasa sangat kagum, maka sengaja mengundang Hong-heng ke dalam, hal ini tidak berarti mengurangi penghormatan kami kepada Tong-heng."
"Mana, mana aku berani berpikir demikian," ujar Hiang Bun-thian.
Lenghou Tiong lantas menaruh pedangnya di atas meja batu dan ikut Hek-pek-cu keluar dari kamar catur itu. Sesudah menyusur sebuah serambi panjang, sampailah mereka di depan sebuah pintu bulat.
Di atas pintu bulat itu sebuah papan tertuliskan dua huruf "khim-sim" (inti kecapi). Kedua huruf itu dibuat dari kaca warna biru, gaya tulisannya indah dan kuat, terang tulisan tangan Tut-pit-ong sendiri. Di balik pintu bulat itu adalah sebuah jalanan taman yang sunyi, kedua tepi tumbuh pohon bambu, batu-batu di tengah jalan itu berlumut, nyata sekali jalanan ini jarang dilalui manusia.
Sesudah melalui jalanan taman itu, sampailah di depan tiga buah rumah batu yang dikitari oleh beberapa pohon siong yang besar dan tua. Suasana menjadi rada redup dan tambah sunyi.
Perlahan-lahan Hek-pek-cu lantas mendorong pintu dan berbisik kepada Lenghou Tiong, "Silakan masuk."
Waktu melangkah masuk rumah itu, segera hidung Lenghou Tiong mengendus bau harum kayu gaharu.
"Toako, Hong-heng dari Hoa-san-pay sudah berada di sini," segera Hek-pek-cu berkata.
Maka muncullah seorang tua dari kamar dalam sambil menyapa dengan hormat, "Hong-heng berkunjung ke tempat kami ini, harap dimaafkan tidak diadakan penyambutan selayaknya."
Umur orang tua ini kira-kira ada 60-70 tahun, tubuhnya kurus kering, kulit mukanya kisut dan kempot sehingga mirip tengkorak hidup. Tapi kedua matanya bersinar tajam. Lekas-lekas Lenghou Tiong memberi hormat dan menjawab, "Kedatangan Wanpwe ini terlalu sembrono, mohon Cianpwe memaafkan."
Segera Hek-pek-cu menyambung, "Gelar Toako kami adalah Ui Ciong-kong, mungkin Hong-heng sudah lama mendengar nama beliau."
"Sudah lama Wanpwe kagum terhadap keempat Chengcu di sini dan baru hari ini dapat berjumpa, sungguh sangat beruntung," ujar Lenghou Tiong. Tapi di dalam hati ia membatin, "Hiang-toako benar-benar suka guyon, masakah sebelumnya tidak menerangkan apa-apa kepadaku, aku hanya disuruh menurut kepada segala apa yang diaturnya. Tapi sekarang Hiang-toako sendiri tidak mendampingi aku, jika Toachengcu ini mengemukakan sesuatu soal sulit, lalu cara bagaimana aku harus melayaninya?"
Terdengar Ui Ciong-kong telah berkata pula, "Kabarnya Hong-heng adalah ahli waris Hong-losiansing Locianpwe dari Hoa-san-pay, ilmu pedangmu konon sangat sakti. Selama ini aku pun sangat kagum terhadap ilmu silat dan pribadi Hong-losiansing, cuma sayang belum pernah bertemu dengan beliau. Beberapa waktu yang lalu di Kangouw tersiar kabar bahwa Hong-losiansing sudah wafat, hal ini membuat aku merasa menyesal sekali. Tapi hari ini dapat bertemu dengan ahli waris Hong-losiansing sudah boleh dikata terpenuhilah angan-anganku selama ini. Entah Hong-heng apakah termasuk anak atau cucu Hong-losiansing?"
Lenghou Tiong menjadi serbasusah, sebab ia sudah pernah berjanji kepada Hong Jing-yang untuk tidak menceritakan jejak beliau kepada siapa pun juga. Bahwasanya ilmu pedangnya diperoleh dari orang tua itu, entah dari mana Hiang-toako mendapat tahu hal ini. Sudah begitu Hiang-toako sengaja membual tentang ilmu pedangnya dan mengatakan dia she Hong, betapa pun ini bersifat menipu. Sebaliknya kalau dirinya sekarang mengaku terus terang rasanya juga tidak mungkin.
Maka secara samar-samar Lenghou Tiong lantas menjawab, "Aku adalah anak murid beliau angkatan belakangan. Wanpwe terlalu bodoh, ilmu pedang beliau tiada dua-tiga bagian yang dapat kupelajari dengan baik."
Ui Ciong-kong, menghela napas, katanya, "Jika kau cuma memperoleh dua-tiga bagian dari ilmu pedang beliau dan tiga saudaraku telah kalah semua di bawah pedangmu, maka betapa hebat kepandaian Hong-losiansing sungguh sukar diukur."
"Tapi ketiga Chengcu hanya bergebrak beberapa kali saja dengan Wanpwe dan belum jelas pihak mana yang menang dan kalah," kata Lenghou Tiong.
Muka Ui Ciong-kong yang kurus kempot itu menampilkan senyuman, katanya sambil manggut-manggut, "Orang muda tidak sombong dan tidak berangasan, sungguh harus dipuji."
Melihat Lenghou Tiong bicara sambil tetap berdiri, segera ia berkata pula, "Silakan duduk, silakan!"
Baru saja Lenghou Tiong dan Hek-pek-cu ambil tempat duduk masing-masing, segera seorang kacung menyuguhkan tiga cangkir teh.
Lalu Ui Ciong-kong mulai berkata pula, "Katanya Hong-heng ada satu buku khim-boh (not kecapi) yang bernama "Lagu Hina Kelana", apa betul adanya" Aku memang gemar pada seni musik, tapi dari buku-buku not kuno belum pernah kudengar ada satu jilid not lagu demikian."
"Dalam buku-buku not kuno memang tidak ada, sebab khim-boh ini adalah hasil karya orang zaman sekarang," sahut Lenghou Tiong. Diam-diam ia berpikir sudah terlalu jauh Hiang-toako membohongi mereka. Tampaknya keempat Chengcu ini adalah tokoh-tokoh luar biasa, apalagi kedatangannya adalah untuk mohon pengobatan kepada mereka, maka tidaklah pantas untuk mempermainkan mereka lagi. Dahulu Lau Cing-hong dan Kik Yang berdua Cianpwe menyerahkan khim-boh ini kepadaku adalah karena khawatir karya mereka yang besar akan lenyap di dunia fana ini. Sekarang Toachengcu ini ternyata penggemar kecapi, maka tiada jeleknya jika kuperlihatkan khim-boh ini kepadanya.
Segera ia mengeluarkan khim-boh itu dari bajunya, ia berbangkit sambil diaturkan kepada Ui Ciong-kong dan berkata, "Silakan Toachengcu periksa adanya."
Dengan sedikit berbangkit Ui Ciong-kong menyambut khim-boh itu, jawabnya, "Kau katakan khim-boh ini karya orang zaman ini" Rupanya aku sudah terlalu lama mengasingkan diri sehingga tidak tahu bahwa pada masa ini telah lahir seorang komponis besar."
Di balik kata-katanya itu nyata sekali ia rada kurang percaya.
Waktu ia membalik halaman pertama khim-boh itu, lalu katanya pula, "Ini adalah not paduan suara kecapi dan seruling. Eh, panjang benar lagu ini."
Tapi hanya sebentar saja ia membaca not lagu itu segera air mukanya berubah hebat.
Dengan tangan kanan membalik-balik halaman khim-boh itu, jari tangan kiri Ui Ciong-kong tampak bergerak-gerak seperti sedang memetik kecapi. Hanya membalik dua halaman saja ia lantas mendongak dan termangu-mangu, lalu menggumam sendiri, "Nada lagu ini berubah secara meninggi dan sangat cepat, apakah benar dapat dibawakan dengan kecapi?"
"Dapat, memang benar dapat," jawab Lenghou Tiong.
"Dari mana kau mengetahui" Apakah kau sendiri bisa?" tanya Ui Ciong-kong dengan pandangan tajam.
"Sudah tentu Wanpwe tidak bisa, tapi Wanpwe pernah mendengarkan dua orang membawakan lagu ini dengan kecapi," tutur Lenghou Tiong. "Orang pertama membawakan lagu ini dengan kecapi bersama tiupan seruling seorang lain lagi. Mereka berdua inilah penggubah dari lagu Hina Kelana ini."
"Dan siapa lagi pemain kecapi yang kedua itu?" tanya Ui Ciong-kong.
Dada Lenghou Tiong menjadi hangat, karena yang ditanyakan itu adalah Ing-ing. Jawabnya kemudian, "Orang yang kedua itu adalah seorang wanita."
"Wanita?" Ui Ciong-kong menegas. "Dia ... dia sudah tua atau masih muda?"
Lenghou Tiong masih ingat sifat Ing-ing yang tidak suka orang mengatakan dia pernah kenal pada gadis itu, maka sekarang ia pun tidak ingin mengatakannya kepada Ui Ciong-kong, jawabnya kemudian, "Umur wanita itu yang tepat Wanpwe sendiri tidak jelas, cuma ketika mula-mula aku bertemu dengan dia aku memanggilnya sebagai "nenek"."
"Hah, kau memanggil nenek padanya" Jika demikian dia sudah sangat tua?" seru Ui Ciong-kong.
"Waktu itu Wanpwe mendengarkan kecapi nenek itu dari balik kerai sehingga tidak melihat wajahnya, tapi rasanya dia pasti seorang nenek yang sudah tua," kata Lenghou Tiong.
Ia menjadi geli lagi bila teringat sepanjang jalan ia pernah memanggil nenek kepada seorang nona jelita sebagai Ing-ing. Tapi sekarang nona itu entah berada di mana.
Ui Ciong-kong memandang jauh keluar jendela, setelah termenung-menung sekian lama, kemudian baru bertanya pula, "Apakah bagus sekali permainan kecapi nenek itu?"
"Bagus sekali," jawab Lenghou Tiong. "Beliau pernah juga mengajarkan memetik kecapi kepadaku, cuma sayang satu lagu pun aku belum selesai mempelajarinya."
"La ... lagu apa yang dia ajarkan padamu itu?" tanya Ui Ciong-kong cepat.
Lenghou Tiong khawatir bila, lagu "Jing-sim-boh-sian-ciu" itu disebut mungkin sekali Ui Ciong-kong akan segera dapat menerka Ing-ing adanya. Maka ia sengaja menjawab, "Perangai Wanpwe tidak cocok dengan seni musik, maka lagu itu sudah kulupakan, bahkan apa namanya juga tidak ingat lagi."
"O, besar kemungkinan bukan dia. Mana ... mana bisa dia (perempuan) masih hidup di dunia ini?" demikian Ui Ciong-kong menggumam sendiri. Lalu tanyanya pula, "Saat ini nenek itu berada di mana?"
"Jika aku tahu tentunya sangat baik," sahut Lenghou Tiong sambil menghela napas. "Pada suatu malam aku telah jatuh pingsan dan beliau lantas meninggalkan aku, sejak itu tidak diketahui beliau berada di mana."
Mendadak Ui Ciong-kong berbangkit, katanya, "Kau bilang pada satu malam mendadak dia meninggalkan kau dan sejak itu tak diketahui jejaknya?"
Dengan murung Lenghou Tiong mengangguk.
Sejak tadi Hek-pek-cu diam saja, demi tampak pikiran Ui Ciong-kong rada limbung, khawatir kalau penyakit lama sang toako kumat lagi, lekas-lekas ia menyela, "Saudara Hong ini datang bersama seorang Saudara Tong dari Ko-san-pay, mereka menyatakan bila di dalam Bwe-cheng kita ada seorang saja yang mampu mengalahkan ilmu pedangnya ...."
"O, harus ada orang yang mengalahkan ilmu pedangnya baru dia mau meminjamkan buku lagu Hina Kelana itu kepadaku, demikian bukan?" tanya Ui Ciong-kong.
"Betul, dan kami bertiga sudah kalah semua," sahut Hek-pek-cu. "Kini tinggal Toako saja, jika Toako tidak maju sendiri tentu Bwe-cheng kita ini, hehe ...."
"Jika kalian gagal, tentu aku pun percuma," ujar Ui Ciong-kong tersenyum hampa.
"Tapi kami bertiga mana dapat dibandingkan dengan Toako," ujar Hek-pek-cu.
"Ah, aku kan sudah tua, tidak berguna lagi," kata Ciong-kong.
Lenghou Tiong lantas berbangkit, dengan kedua tangannya ia mengaturkan khim-boh dan berkata dengan penuh hormat, "Pedang harus dihadiahkan kepada pahlawan. Pencipta lagu ini dahulu juga telah pesan kepada Wanpwe agar berusaha mencari seorang ahli seni suara dan boleh menghadiahkan kitab ini kepadanya agar jerih payah ciptaan mereka berdua ini tidak lenyap sia-sia. Toachengcu bergelar "Ui Ciong-kong", sudah tentu adalah ahli dalam bidang yang dimaksudkan ini. Selanjutnya kitab ini menjadilah milik Toachengcu."
Ui Ciong-kong dan Hek-pek-cu sama melengak. Ketika di kamar sana Hek-pek-cu telah menyaksikan betapa Hiang Bun-thian menjual mahal dan memancing-mancing hasrat orang yang kepingin setengah mati. Siapa duga "Hong Ji-tiong" ini ternyata sangat berbeda, caranya terus terang dan sangat baik hati.
Sebagai seorang ahli catur yang suka main siasat, segera ia menduga perbuatan Lenghou Tiong pasti ada suatu perangkap yang hendak menjebak Ui Ciong-kong. Tapi di mana letak perangkap itu seketika sukar pula diselami.
Ui Ciong-kong juga tidak lantas menerima pemberian not lagu Hina Kelana itu, katanya, "Orang tidak berjasa tidak berani menerima hadiah. Kita selamanya tidak saling kenal, mana aku berani menerima hadiahmu setinggi ini. Sebenarnya apa maksud tujuan kedatangan kalian berdua ke sini, diharap sudi kiranya menjelaskan secara jujur."
Apa maksud tujuan kedatanganku ke sini sebelumnya Hiang-toako tidak menerangkan padaku sedikit pun, tapi menurut dugaanku tentu hendak mohon bantuan keempat chengcu di sini untuk menyembuhkan penyakitku. Cara pengaturan Hiang-toako ini penuh rahasia, sebaliknya keempat chengcu ini adalah tokoh-tokoh aneh pula, bisa jadi tentang penyakitku ini tidak boleh kuterangkan pada mereka. Memangnya aku tidak tahu apa maksud kedatanganku bersama Hiang-toako, jika aku mengaku terus terang juga tidak ada salahnya.
Maka dengan jujur ia lantas menjawab, "Wanpwe hanya ikut Tong-toako ke sini. Terus terang, sebelum menginjak perkampungan ini Wanpwe sama sekali belum pernah dengar nama keempat Chengcu, juga nama "Koh-san-bwe-cheng" di sini sebelumnya tidak kukenal."
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Hal ini mungkin disebabkan pengalaman Wanpwe yang cetek dan tidak kenal para Cianpwe yang kosen, untuk ini mohon kedua Chengcu janganlah marah."
Ui Ciong-kong memandang sekejap kepada Hek-pek-cu, dengan senyum terkulum ia berkata, "Ucapan Saudara Hong sungguh sangat jujur, aku sangat berterima kasih. Tadinya aku memang heran, sebab tempat tinggal kami ini jarang diketahui orang Kangouw, Ngo-gak-kiam-pay selamanya juga tiada sesuatu hubungan dengan kami, mengapa kalian bisa datang kemari" Dengan demikian, jadi sebelumnya Saudara Hong memang tidak tahu asal usul kami?"
"Sungguh Wanpwe merasa malu, harap kedua Chengcu banyak-banyak memberi petunjuk," sahut Lenghou Tiong. "Tadi Wanpwe mengatakan "sudah lama mengagumi nama keempat Chengcu" segala, sesungguhnya ... sesungguhnya ...."
"Baiklah," Ui Ciong-kong manggut-manggut. "Jadi not kecapi ini dengan setulus hati hendak kau hadiahkan kepadaku?"
"Benar," jawab Lenghou Tiong.
"Tapi aku ingin tanya sesuatu lagi. Sebenarnya atas pesan siapa Hong-laute menyerahkan khim-boh ini kepadaku?" tanya Ui Ciong-kong.
"Penggubah lagu ini hanya pesan padaku agar mencari orang yang tepat untuk diserahi khim-boh ini, kepada siapa harus diserahkan tiada ditentukan," jawab Lenghou Tiong. "Sekarang telah kuketahui Toachengcu adalah ahli dalam bidang seni suara, maka khim-boh ini boleh dikata telah mendapatkan majikannya yang sesuai."
"O," hanya sekali saja Ui Ciong-kong bersuara, tapi mukanya yang kurus itu menampilkan setitik rasa girang.
Tapi Hek-pek-cu lantas menegas, "Jika kau memberikan khim-boh ini kepada Toako kami, apakah Tong-heng itu mengizinkan?"
"Kedua gulung lukisan dan tulisan itu adalah milik Tong-toako, tapi khim-boh ini adalah milik pribadiku," sahut Lenghou Tiong.
"Kiranya demikian," kata Hek-pek-cu.
"Sungguh aku sangat berterima kasih terhadap maksud baik Hong-hengte," ujar Ui Ciong-kong. "Tapi karena Hong-hengte sudah bicara di muka bahwa lebih dulu harus ada orang yang mampu mengalahkan ilmu pedangmu, maka aku pun tidak boleh menarik keuntungan dengan segampang ini. Marilah, boleh juga kita coba-coba beberapa jurus."
Lenghou Tiong pikir tadi Jichengcu ini mengatakan "kami bertiga mana bisa dibandingkan dengan Toako", maka tentang ilmu silat Toachengcu ini pasti jauh di atas ketiga temannya itu. Bisanya aku mengalahkan ketiga chengcu yang lihai tadi adalah berkat ilmu pedang ajaran Hong-thaysusiokco, jika sekarang harus bertanding dengan Toachengcu ini belum tentu aku bisa menang lagi, buat apa aku mesti mencari penyakit sendiri. Ya, seumpama aku yang menang lagi, lalu apa manfaatnya"
Karena berpikir begitu, maka ia lantas berkata, "Secara iseng Tong-toako telah mengemukakan kata-kata begitu, sungguh membikin kikuk orang saja, untuk ini jika keempat Chengcu tidak marah saja Wanpwe sudah merasa bersyukur, sekarang aku mana berani lagi bertanding dengan Toachengcu?"
"Kau memang berhati mulia," puji Ui Ciong-kong. "Tapi tiada halangannya kita coba-coba beberapa jurus saja, asal tertutul saja kita lantas berhenti."
Lalu ia mengambil sebatang seruling kemala yang terkait di dinding dan diserahkan kepada Lenghou Tiong, ia sendiri lantas mengangkat sebuah kecapi dari meja sana, katanya kemudian, "Boleh kau gunakan seruling itu sebagai pedang dan aku akan menggunakan kecapi ini sebagai senjata."
Ia tersenyum, lalu melanjutkan, "Kedua macam alat musik ini tidak berani kukatakan benda yang bernilai, tapi juga terhitung barang yang jarang dicari di dunia ini, tentunya bukan maksudku untuk dirusak begini saja. Maka biarlah kita berlagak dan bergaya sekadarnya saja."
Terpaksa Lenghou Tiong menerima seruling itu, dilihatnya seruling kemala itu seluruhnya berwarna hijau pupus, jelas terbuat dari batu zamrud pilihan. Sebaliknya kecapi yang dipegang Ui Ciong-kong itu warnanya sudah rada luntur, terang adalah barang kuno, bisa jadi adalah barang antik yang telah berumur ratusan atau ribuan tahun. Jika kedua alat musik ini terbentur perlahan saja sudah pasti akan hancur semua, dengan sendirinya tak dapat digunakan bertempur sungguh-sungguh.
Tapi karena tidak bisa mengelak lagi, terpaksa Lenghou Tiong memegang melintang serulingnya, lalu berkata, "Mohon Toachengcu memberi pelajaran."
"Hong-losiansing adalah ahli pedang satu zaman, ilmu pedang warisannya pasti lain daripada yang lain," ujar Ui Ciong-kong. "Silakan saja, Hong-heng."
Segera Lenghou Tiong angkat serulingnya dan dikebaskan ke samping, angin meniup masuk lubang seruling dan menimbulkan suara-suara yang halus.
Ui Ciong-kong juga lantas menyentil kecapinya beberapa kali, di tengah bunyi kecapi itu segera ekor kecapi itu disodokkannya ke bahu kanan Lenghou Tiong.
Ketika mendengar suara kecapi, hati Lenghou Tiong sedikit tergetar, perlahan-lahan serulingnya juga lantas ditutulkan ke depan. Yang ditutuk adalah "siau-hay-hiat" di balik siku Ui Ciong-kong. Dalam keadaan demikian jika kecapi itu terus ditumbukkan ke bahu Lenghou Tiong, maka hiat-to di balik sikut itu tentu akan tertutuk lebih dulu.
Segera Ui Ciong-kong putar balik kecapinya dan dihantamkan ke pinggang Lenghou Tiong. Ketika kecapi itu diputar, kembali ia menyentil senar kecapi sehingga mengeluarkan suara.
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Bila aku menangkis dengan seruling tentu kedua macam alat musik yang sukar dicari ini akan rusak semua. Untuk menghindarkan kerusakan barangnya tentu dia akan tarik kembali kecapinya. Tapi cara demikian lebih mendekati cara akal bulus dan tidak boleh kulakukan."
Maka cepat ia pun putar serulingnya dan menutuk ke "thian-coan-hiat" di bawah ketiak musuh. Waktu Ui Ciong-kong angkat kecapinya buat menangkis segera Lenghou Tiong tarik kembali serulingnya.
"Creng, creng-creng-creng", Ui Ciong-kong menyentil beberapa kali lagi senar kecapinya, nadanya berubah cepat dan tinggi.
Air muka Hek-pek-cu tampak rada berubah, lekas-lekas ia mengundurkan diri keluar kamar itu sambil sekalian merapatkan pintunya.
Kiranya pemetikan kecapi Ui Ciong-kong itu bukanlah karena dia iseng, tapi di dalam suara kecapi itu justru tercurah tenaga dalamnya yang tinggi untuk mengacaukan konsentrasi pikiran musuh. Bilamana tenaga dalam lawan timbul bersama suara kecapi, maka tanpa terasa lawan akan terpengaruh oleh suara kecapi itu. Jika suara kecapi perlahan, tentu gerak serangan lawan juga akan ikut perlahan, kalau suara seruling menanjak cepat, maka serangan musuh juga ikut cepat.
Panji Wulung 7 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Badai Laut Selatan 17