Pencarian

Hina Kelana 20

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 20


Melihat Lenghou Tiong termenung, si nenek lantas berkata, pula, "Bagaimana" Ucapanku tadi melukai perasaanmu ya" Kau menjadi marah bukan?"
"Tidak, aku tidak marah. Ucapanmu memang tepat, bicaraku memang suka angin-anginan, tingkah lakuku juga gila-gilaan, pantas saja Siausumoay tidak senang padaku, Suhu dan Sunio juga tidak suka padaku."
"Kau tidak perlu sedih. Biarpun Suhu, Sunio dan Siausumoaymu tidak suka kepadamu, masakah di dunia ini ... di dunia ini tiada orang lain lagi yang suka padamu?"
Sungguh hati Lenghou Tiong sangat terharu dan berterima kasih, saking terharunya sampai tenggorokannya seakan-akan tersumbat, katanya dengan terputus-putus, "Nenek sungguh-sungguh sangat baik kepadaku, sekalipun di dunia ini tiada orang lain lagi yang suka kepadaku juga ... juga tidak menjadi soal."
"Kau hanya punya sebuah mulut yang manis, bicaramu saja yang membikin senang orang, pantas saja tokoh semacam Na Hong-hong dari Ngo-tok-kau itu sampai tergila-gila kepadamu," kata si nenek. "Sudahlah, sekarang kau tak dapat berjalan dan aku pun tidak dapat berkutik, hari ini terpaksa kita harus bermalam di bawah tebing sana, entah hari ini kita akan mati atau tidak?"
"Hari ini entah mati atau tidak dan entah besok akan mati atau tidak, atau mungkin lusa baru akan mati," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
"Sudahlah, jangan bicara yang tak keruan," kata si nenek. "Boleh kau merangkak ke sana dengan perlahan-lahan, biar aku menyusul dari belakang."
"Jika kau tidak minum obat pemberian hwesio tua itu, mungkin satu langkah saja aku tidak sanggup merangkak," kata Lenghou Tiong.
"Kembali kau bicara tak keruan lagi. Aku tidak minum obatnya, mengapa kau yang tidak sanggup merangkak."
"Aku tidak bicara tak keruan. Sebab kalau kau tidak mau minum obat, tentu lukamu sukar disembuhkan, tentu pula kau tidak punya semangat untuk memetik kecapi. Dan karena rasa cemasku, dari mana aku mempunyai tenaga untuk merangkak ke sana" Mungkin tenaga untuk merebah di sini saja tidak kuat lagi."
Si nenek mengikik tawa, "Merebah di sini saja tidak punya tenaga?"
"Ya. Bukankah di sini adalah tanah yang miring, jika aku tidak bertenaga, seketika juga aku akan menggelinding ke bawah dan terjerumus ke dalam sungai pegunungan di bawah itu. Coba bayangkan, andaikan aku tidak mati terbanting bukankah akan mati kelelap juga?"
Si nenek menghela napas, katanya, "Kau terluka parah, jiwamu setiap saat bisa melayang, tapi kau masih sempat berkelakar segala. Sungguh jarang diketemukan orang malas semacam kau ini."
Perlahan-lahan Lenghou Tiong melemparkan pil pemberian Hong-sing itu ke belakang, katanya, "Silakan lekas minum obat ini."
"Hm, setiap orang yang menganggap dirinya dari golongan Beng-bun-cing-pay tentu bukanlah manusia baik-baik," omel si nenek. "Jika aku makan obat Siau-lim-si ini kan cuma membikin kotor mulutku saja."
Sekonyong-konyong Lenghou Tiong menjerit, tubuhnya sekuatnya mendoyong ke samping dan terus menggelinding ke bawah mengikut tanah tebing yang miring itu.
Keruan si nenek terkejut, serunya khawatir, "He, hati-hati!"
Akan tetapi Lenghou Tiong masih terus menggelinding ke bawah. Tanah miring itu tidak terlalu terjal, tapi rada panjang jaraknya. Sesudah menggelinding sekian lamanya barulah Lenghou Tiong mencapai tepi sungai kecil di bawahnya. Waktu tangan dan kakinya menahan sekuatnya segera terhenti daya gelindingnya.
"He, he, ba ... bagaimana kau?" tanya si nenek.
Muka dan tangan Lenghou Tiong terlecet kena batu kerikil yang tajam di sepanjang tanjakan itu. Dengan menahan rasa sakit ia diam saja tak memberi jawaban.
"Baiklah, aku akan minum obat busuk si hwesio tua ini, lekas kau ... kau naik kemari," seru si nenek.
"Ucapan yang sudah dikeluarkan harus dipatuhi," kata Lenghou Tiong.
Tapi karena jarak kedua orang sekarang sudah rada jauh, sedangkan keadaan Lenghou Tiong sudah lemas, suaranya tak bisa mencapai jauh.
Sayup-sayup si nenek hanya mendengar suara ucapannya, tapi tidak tahu apa yang dikatakan, maka ia tanya pula, "Kau bilang apa?"
"Aku ... aku ...." napas Lenghou Tiong terengah-engah dan tidak sanggup melanjutkan.
"Lekas naik kemari, aku berjanji padamu akan minum obatnya," kata si nenek.
Lenghou Tiong berbangkit dengan terhuyung-huyung, ia bermaksud merangkak ke atas, tapi menggelinding ke bawah adalah sangat mudah, sekarang hendak merangkak ke atas boleh dikata sesukar hendak memanjat ke langit. Hanya dua langkah saja ia merangkak kakinya sudah terasa lemas dan terbanting jatuh, bahkan terus menggelinding masuk ke tepi sungai kecil itu.
Dari atas si nenek dapat melihat jatuhnya Lenghou Tiong itu dengan jelas, ia menjadi khawatir, tanpa pikir ia terus ikut menjatuhkan diri dan membiarkannya menggelinding juga ke bawah sehingga sampai di samping Lenghou Tiong. Cepat sebelah tangannya memegangi pergelangan kaki kiri Lenghou Tiong agar tidak terperosot lebih jauh ke dalam sungai kecil itu.
Sesudah bernapas terengah-engah beberapa kali, tangan si nenek yang lain dijulurkan untuk mencengkeram punggung Lenghou Tiong dan sekuatnya diangkatnya ke atas.
Keadaan Lenghou Tiong sudah basah kuyup dan telah minum beberapa ceguk air, matanya sudah berkunang-kunang. Setelah tenangkan diri, tiba-tiba dilihatnya di dalam air sungai yang jernih itu terbayang dua sosok bayangan orang, nyata seorang nona jelita sedang mencengkeram punggungnya.
Lenghou Tiong melengak. Mendadak terdengar suara si nona yang telah muntah darah. Darah segar yang masih hangat-hangat itu menyiram di atas kuduknya, berbareng itu si nona terus mendekam di atas punggungnya dalam keadaan lemas lunglai seperti lumpuh.
Sudah tentu Lenghou Tiong dapat merasakan dada si nona yang halus dan lunak yang menempel di atas tubuhnya itu, terasa pula rambut si nona yang panjang itu mengusap-usap mukanya, keruan pikirannya menjadi kabur dan melayang-layang jauh.
Bab 58. Si Nona adalah Putri Suci, Tokoh Ketiga dari Hek-bok-keh
Waktu ia pandang pula bayangan di muka air, terlihat sebagian wajah si nona dengan mata tertutup, bulu matanya sangat panjang. Walaupun tidak jelas bayangan di muka air itu, namun dapatlah dipastikan wajah si nona pasti sangat cantik molek, umurnya paling banyak baru 17-18 tahun saja. Keruan Lenghou Tiong terheran-heran, "Siapakah nona ini" Mengapa mendadak datang seorang nona secantik ini untuk menolong diriku?"
Dari bayangan yang dilihatnya di muka air serta sentuhan punggung dengan badan si nona dapat diketahui bahwa si nona dalam keadaan pingsan. Lenghou Tiong bermaksud memutar tubuh untuk memayang si nona, tapi sekujur badan sendiri terasa lemas lunglai sampai satu jari pun susah bergerak. Tapi rasanya seperti di alam mimpi pula, apalagi wajah yang cantik molek yang terbayang di muka air itu benar-benar dirinya terasa seperti berada di surgaloka.
Selang agak lama, terdengar si nona yang mendekap di atas punggung bersuara perlahan dan lambat-lambat membuka matanya. Kemudian terdengar ucapannya, "Kau sengaja menakut-nakuti aku atau benar-benar tidak ingin hidup lagi?"
Mendengar suaranya itu, kejut Lenghou Tiong tak terkatakan. Suara si nona ternyata tiada bedanya dengan suara "si nenek". Saking kejutnya sampai tubuhnya rada menggigil, serunya terputus-putus, "Kau ... kau ...."
"Kau apa" Aku justru tidak mau makan obat busuk pemberian hwesio tua itu, boleh kau cari mati lagi, coba!" kata si nona.
"Hah, nenek, kiranya kau adalah ... adalah seorang nona cilik yang sangat cantik," ujar Lenghou Tiong.
"Da ... dari mana kau tahu?" seru nona itu terperanjat. "Bocah yang tidak bisa pegang janji, jadi diam-diam kau telah ... telah mengintip mukaku?"
Tapi waktu ia menunduk dan melihat bayangannya sendiri tercermin sangat jelas di permukaan air sungai, ternyata dirinya sedang menggelendot di punggung Lenghou Tiong, seketika ia menjadi malu, sekuatnya ia meronta bangun, namun kakinya terasa lemas dan kembali jatuh terkulai pula. Lekas-lekas Lenghou Tiong menjulurkan kedua tangannya untuk memegangnya dan tepat si nona jatuh ke dalam pangkuannya.
Tatkala itu kedua orang sama-sama tiada punya tenaga lagi, sesudah berkutatan sekian lamanya, mereka hendak jatuh pingsan pula, terpaksa mereka berbaring di tepi kali itu dan tidak bergerak lagi.
Di dalam hati Lenghou Tiong merasa sangat heran. Tanyanya kemudian, "Mengapa kau pura-pura menjadi seorang nenek untuk menipu aku" Kau pura-pura sebagai orang tua, sehingga membikin aku ... membikin aku sampai ...."
"Membikin kau sampai bagaimana?" si nona menegas.
Kini pandangan Lenghou Tiong jaraknya hanya belasan senti jauhnya dari muka si nona. Dilihatnya kulit pipinya putih bersih bersemu kemerah-merahan, sejenak kemudian baru, ia melanjutkan, "Membikin aku berulang-ulang memanggil nenek padamu. Huh, tidak malu, padahal kau menjadi adik perempuanku saja masih lebih kecil, tapi kau justru ingin menjadi nenek orang. Kalau ingin menjadi nenek kan mesti tunggu delapan puluh tahun lagi."
Si nona mengikik geli, jawabnya, "Bilakah aku mengatakan diriku adalah seorang nenek" Adalah kau sendiri yang memanggil demikian padaku. Kau yang terus-menerus memanggil nenek, bukankah tadi aku pun marah dan suruh kau jangan memanggil lagi. Kau yang sengaja panggil demikian padaku bukan?"
Diam-diam Lenghou Tiong merasa ucapan si nona memang juga benar. Tapi dirinya telah tertipu sampai sekian lamanya dan dianggap sebagai orang tolol, betapa pun rasanya masih penasaran. Maka katanya, pula, "Kau melarang aku memandang wajahmu, bukankah kau sengaja hendak mengakali aku" Jika aku berhadapan muka dengan kau masakah aku akan memanggil nenek padamu" Ketika di kota Lokyang kau pun sudah menipu diriku, kau telah sekongkol dengan si tua Lik-tiok-ong itu dan suruh dia memanggil kau sebagai bibi. Jika kakek seumur dia saja masih pernah keponakanmu, lantas apa panggilan kepadamu kalau bukan panggil nenek?"
"Kakek-guru Lik-tiok-ong itu adalah kakak ayahku, lalu kalau diurutkan Lik-tiok-ong mesti panggil apa kepadaku?" tanya si nona dengan tertawa.
Lenghou Tiong melengak, jawabnya kemudian dengan ragu-ragu, "Jika begitu kau memang pernah bibinya Lik-tiok-ong?"
"Bocah Lik-tiok-ong itu toh bukan sesuatu tokoh yang luar biasa, kenapa aku mesti memalsukan diri sebagai bibinya?" ujar si nona dengan tertawa.
"Ya, aku benar-benar bodoh, padahal aku sudah harus tahu sejak dulu-dulu," sahut Lenghou Tiong sembari menghela napas.
"Apa yang harus kau ketahui sejak dulu-dulu?" si nona menegas dengan tertawa.
"Habis suaramu sedemikian enak didengar, di dunia ini masakah ada nenek-nenek reyot yang bersuara sedemikian nyaring dan merdu?"
"Aku punya suara sudah kasap lagi serak mirip suara burung gagak, pantas saja kau menyangka aku sebagai nenek-nenek reyot," si nona tertawa.
"Suaramu seperti suara burung gagak, katamu" Ai, jika begitu rupanya zamannya sudah berubah, burung gagak pada zaman ini kiranya suaranya jauh lebih merdu daripada suara burung kenari."
Mendengar dirinya dipuji, muka si nona menjadi merah, tapi hatinya amat senang. Katanya dengan tertawa, "Baiklah, Engkong Lenghou Tiong, Kakek Lenghou Tiong, sudah sekian lamanya kau memanggil nenek padaku, biar sekarang aku pun membayar panggilan kakek padamu. Dengan demikian kau tidak merasa dirugikan dan bolehlah tidak marah lagi?"
"Kau adalah nenek dan aku adalah kakek, kita adalah si kakek dan si nenek, bukankah ...." dasar sifat Lenghou Tiong memang suka ugal-ugalan, mulutnya bicara tanpa aling-aling, mestinya ia hendak berkata "bukankah kita adalah satu pasangan", tapi mendadak dilihatnya alis si nona menegak dan air mukanya berubah merah, maka cepat-cepat ia telan kembali kata-katanya itu.
"Kau hendak sembarangan mengoceh apa?" omel si nona marah.
"O, aku maksudkan bila kita adalah kakek dan nenek, bukankah ... bukankah kita telah menjadi tokoh kosen angkatan tua di kalangan Bu-lim?" demikian Lenghou Tiong ganti haluan.
Sudah tentu si nona tahu Lenghou Tiong sengaja mengubah ucapannya tadi, maka ia pun tidak mengungkatnya lebih lanjut agar tidak telanjur keluar kata-kata yang membikin kikuk. Sambil menggelendot di pangkuan Lenghou Tiong dan dapat mengendus bau kelaki-lakian yang keras dari tubuhnya, seketika pikirannya menjadi kacau. Ia bermaksud meronta bangun, tapi betapa pun sukar mengumpulkan tenaga. Akhirnya dengan wajah merah ia berkata, "Eh, coba kau dorong aku!"
"Dorong kau" Buat apa?" tanya Lenghou Tiong.
"Kita ... kita begini, apa ... apa macam ini?" kata si nona malu-malu.
"Kakek dan nenek memangnya harus begini," ujar Lenghou Tiong tertawa.
"Hm, kau sembarangan mengoceh, coba nanti kalau aku tidak membunuh kau," semprot si nona.
Terkesiap juga hati Lenghou Tiong. Teringat olehnya peristiwa dia memerintahkan berpuluh orang laki-laki agar mencukil biji matanya sendiri hingga buta, lalu disuruh enyah ke pulau terpencil di lautan timur. Maka ia tidak berani bergurau lagi dengan si nona. Pikirnya, "Usianya masih begini muda, tapi sekali bergebrak saja sudah membunuh empat orang murid Siau-lim-pay, ilmu silatnya terang sangat tinggi, tindak tanduknya begini ganas pula, sungguh orang sukar memercayai bahwa semua itu diperbuat oleh seorang nona secantik ini."
Melihat Lenghou Tiong diam saja, segera si nona bicara pula, "Kau marah lagi ya" Seorang laki-laki sejati mengapa begini sempit jalan pikiranmu?"
"Aku tidak marah, tapi aku merasa takut kalau-kalau akan dibunuh olehmu," sahut Lenghou Tiong.
"Asal selanjutnya kau bicara menurut aturan, siapa yang akan membunuh kau?"
"Ya, dasar sifatku memang suka ugal-ugalan begini, ini namanya apa mau dikata" Tampaknya sudah suratan nasib bahwa aku pasti akan kau bunuh."
"Tadinya kau panggil nenek padaku dan sangat patuh serta hormat padaku, maka selanjutnya kau pun bersikap hormat dan patuh seperti itu saja," ujar si nona dengan tertawa.
"Tidak bisa!" sahut Lenghou Tiong. "Aku sudah tahu engkau adalah seorang nona cilik, maka aku tak bisa menganggap kau sebagai nenek lagi."
"Kau ... kau ...." baru sekian ucapannya, mendadak wajah si nona menjadi merah. Entah tiba-tiba teringat sesuatu apa sehingga dia tidak melanjutkan pula kata-katanya.
Waktu menunduk dan melihat wajah ayu yang kemalu-maluan dan menggiurkan itu, seketika perasaan Lenghou Tiong terguncang. "Ngok", tanpa merasa ia mencium sekali di pipi yang bersemu merah itu.
Keruan si nona terperanjat. Sekonyong-konyong timbul suatu arus tenaga, tangannya membalik, "plok", ia gampar muka Lenghou Tiong dengan cukup keras, menyusul ia terus melompat bangun.
Akan tetapi loncatannya itu terbatas sekali tenaganya, selagi tubuhnya terapung di atas tenaganya sudah habis dan segera terbanting jatuh pula ke dalam pangkuan Lenghou Tiong dengan lemas dan tidak sanggup bergerak lagi.
Ia takut kalau-kalau Lenghou Tiong berbuat bangor lagi, maka hatinya sangat cemas, katanya terputus-putus, "Jika ... jika kau berani berbuat kurang ajar lagi, segera ... segera aku akan menyembelih kau."
"Kau akan menyembelih aku atau tidak bukan soal bagiku, toh jiwaku sudah tidak lama lagi akan tamat. Aku justru akan berbuat kurang ajar pula."
Keruan si nona tambah khawatir, katanya, "Aku ... aku ...." namun apa yang dapat diperbuatnya"
Lenghou Tiong mengerahkan tenaga sebisanya dan perlahan-lahan mengangkat bahu si nona, tapi segera ia miringkan tubuhnya sendiri terus menggelinding ke pinggir. Katanya dengan tertawa, "Kau ... kau akan apa?"
Habis ucapannya ini berulang-ulang ia terbatuk-batuk, bahkan darah segar pun terbatuk keluar.
Hendaklah maklum bahwa sifat Lenghou Tiong sebenarnya cuma suka ugal-ugalan dan sembrono, tapi sesungguhnya bukanlah bajul buntung, bukan pemuda yang suka merusak kaum wanita. Tadi hanya berguncang seketika perasaannya sehingga pipi si nona dikecupnya satu kali, namun segera ia merasa menyesal juga, sesudah digampar satu kali ia lebih-lebih menyesalkan perbuatannya sendiri itu. Walaupun mulutnya masih tetap keras, tapi ia tidak berani lagi berpeluk-pelukan dengan si nona.
Menyingkirnya Lenghou Tiong dengan sukarela itu sebaliknya di luar dugaan si nona. Bahkan diam-diam si nona merasa menyesal ketika melihat Lenghou Tiong menumpahkan darah. Cuma dia merasa malu untuk mengucapkan beberapa patah kata permintaan maaf, maka dengan suara halus ia hanya berkata, "Apakah ... apakah dadamu sakit sekali?"
"Dada sih tidak sakit, tapi tempat lainlah yang terasa sakit," sahut Lenghou Tiong.
"Tempat mana yang sakit?" tanya si nona. Betapa rasa perhatiannya tampak sekali dari air mukanya.
"Tempat ini!" jawab Lenghou Tiong sambil meraba-raba pipinya yang kena digampar tadi.
Si nona tersenyum. "Kau ingin aku minta maaf padamu bukan" Bolehkah sekarang juga aku ... aku minta maaf padamu."
"Aku sendirilah yang salah, harap nenek jangan marah!"
Mendengar dirinya dipanggil lagi sebagai nenek, tanpa merasa si nona mengikik geli.
"Bagaimana dengan obat busuk pemberian si hwesio tua" Kau masih belum meminumnya bukan?" tanya Lenghou Tiong.
"Tidak sempat dijemput lagi," sahut si nona sambil menuding ke atas tebing sana. "Masih ketinggalan."
Dan sesudah berhenti sejenak, lalu sambungnya pula, "Aku akan menurut padamu. Sebentar akan kunaik ke atas untuk menjemputnya kembali dan akan kuminum tanpa peduli apakah obat busuk atau bukan?"
Begitulah kedua orang duduk bersama di tanah tanjakan yang miring itu. Jika dalam keadaan biasa, cukup sekali loncat saja mereka sudah dapat melayang ke atas. Tapi sekarang tebing itu dirasakan seperti puncak terjal yang beribu-ribu meter tingginya dan sukar dicapai.
Kedua orang sama-sama memandang sekejap ke atas tebing, lalu menunduk kembali untuk kemudian saling pandang dan sama-sama menghela napas.
"Aku akan duduk tenang sebentar, jangan kau mengganggu aku," kata si nona.
Lenghou Tiong mengiakan. Dilihatnya si nona lantas duduk bersandar di tanah yang miring itu sambil pejamkan kedua mata, tiga jarinya, yaitu jempol, jari-jari telunjuk dan tengah menahan di atas tanah dengan gaya yang aneh.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Umumnya orang bersemadi dengan duduk bersila, tapi cara duduknya ini benar-benar lain daripada yang lain."
Mestinya Lenghou Tiong juga ingin mengaso sebentar untuk mengumpulkan tenaga. Tapi perasaannya ternyata bergolak terus, betapa pun sukar dibikin tenang.
Tiba-tiba terdengar suara "kok-kok-kok", seekor swike (kodok hijau) mendadak melompat keluar dari dalam sungai. Keruan Lenghou Tiong sangat girang. Sesudah menderita sekian lamanya, memangnya ia sudah kelaparan, makanan yang disodorkan kepadanya ini benar-benar sangat kebetulan baginya. Tanpa pikir lagi tangannya terus mencengkeram kodok kesasar itu.
Tak terduga tangannya masih sangat lemas, cengkeramannya itu ternyata menubruk tempat kosong. "Kok", kodok itu sempat melompat pergi sambil berkokok seakan-akan sangat senang dan seperti sedang menyindir ketidakbecusan Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong menghela napas. Yang lebih membikinnya mendongkol adalah di tepi sungai kecil itu ternyata amat banyak kodok-kodok hijau yang gemuk-gemuk lagi, seekor melompat pergi segera melompat datang pula dua ekor yang lain, tapi Lenghou Tiong tetap tidak mampu menangkapnya meski tangannya sudah tubruk sini dan sambar ke sana.
Pada saat itulah tiba-tiba dari belakang menjulur tiba sebuah tangan yang putih dan halus, sekali dekap dengan perlahan tahu-tahu seekor kodok hijau itu sudah tertangkap. Waktu Lenghou Tiong menoleh, kiranya adalah si nona. Hanya duduk tenang sebentar saja kini ia sudah bisa bergerak, walaupun masih kurang tenaga, tapi untuk menangkap beberapa ekor kodok adalah terlalu gampang baginya.
"Bagus!" seru Lenghou Tiong girang. "Kita akan dapat menikmati daging swike."
Nona itu tersenyum, sekali tangannya menjulur kembali seekor kodok kena ditangkapnya pula. Hanya sekejap saja sudah lebih 20 ekor kodok hijau tertangkap.
"Sudah cukup!" seru Lenghou Tiong. "Kau pergi mencari kayu dan membuat api, aku yang menyembelih kodok-kodok ini."
Si nona menurut dan pergi mencari kayu bakar. Lenghou Tiong sendiri lantas melolos pedang dan mulai memotong kepala dan membuang cakar kodok, lalu membelek dan membeset kulitnya.
Dengan tertawa si nona berkata, "Orang kuno menyembelih ayam pakai golok jagal kerbau, tapi sekarang Lenghou-tayhiap menyembelih kodok hijau dengan ilmu pedang Tokko-kiu-kiam."
Lenghou Tiong terbahak-bahak, sahutnya, "Hahaha, jika Tokko-tayhiap mengetahui di alam baka bahwa ahli warisnya ternyata begini tak becus, ilmu pedangnya yang hebat telah disalahgunakan untuk menyembelih kodok, wah, saking marahnya mungkin beliau bisa ...." mestinya ia hendak mengatakan "bisa mati kaku", tapi segera ia urungkan ucapannya itu.
Dengan tertawa si nona lantas berkata pula, "Lenghou-tayhiap ...."
Sambil memegangi kodok yang telah disembelihnya dan digoyang-goyangkan, Lenghou Tiong berkata, "Sebutan "tayhiap" sama sekali aku tidak berani terima. Di dunia ini mana ada pendekar besar tukang sembelih kodok?"
"Di zaman dahulu ada kesatria penjagal anjing, di zaman ini sudah tentu ada pendekar tukang sembelih kodok," ujar si nona dengan tertawa. "Eh, kau punya Tokko-kiam-hoat itu benar-benar amat hebat, sampai-sampai hwesio tua dari Siau-lim-pay itu pun tak mampu melawan kau. Dia bilang orang yang mengajarkan ilmu pedang padamu itu adalah tuan penolongnya, sebenarnya bagaimana duduknya perkara?"
"Orang yang mengajarkan ilmu pedang padaku ini adalah kaum angkatan tua dari Hoa-san-pay kami sendiri," jawab Lenghou Tiong.
"Begitu sakti ilmu pedang locianpwe itu, mengapa di dunia Kangouw tidak pernah terdengar namanya?"
"Ini ... ini ... aku sudah berjanji kepada beliau untuk tidak membocorkan jejaknya, maka ... maka ...."
"Huh, memangnya aku kepingin tahu?" dengus si nona. "Biarpun kau mau memberi tahu kepadaku juga aku tidak sudi mendengarkan. Apakah kau tahu siapakah aku ini dan bagaimana asal usulku?"
"Aku tidak tahu," jawab Lenghou Tiong sambil menggeleng. "Sampai-sampai nama nona juga aku belum mengetahui."
"Kau sengaja merahasiakan urusanmu, maka aku pun tidak mau menerangkan padamu," kata si nona.
"Meski aku tidak tahu, tapi aku pun dapat menerka sampai delapan atau sembilan bagian," kata Lenghou Tiong.
Air muka si nona rada berubah, katanya, "Kau dapat menerka" Cara bagaimana kau bisa menerka?"
"Sekarang masih belum tahu, sebentar kalau sudah malam tentu aku bisa tahu jelas," kata Lenghou Tiong.
Si nona tambah heran dan terkejut, tanyanya, "Mengapa setelah malam tiba nanti kau bisa tahu dengan jelas?"
"Aku akan menengadah ke langit untuk memeriksa bintang-bintang, bila diketahui bintang mana yang kurang di langit, maka tahulah perbintangan apa yang telah menjelma sebagai nona. Nona secantik bidadari seperti kau, di dunia fana ini mana ada wanita demikian?"
Wajah si nona menjadi merah. "Cis!" semprotnya. Tapi batinnya amat senang. Katanya, "Kembali kau mengoceh tak keruan lagi."
Dalam pada itu ia sudah menyatakan api, segera ia menyunduk swike-swike yang telah dibersihkan itu di batangan kayu, lalu dipanggang di atas unggun api. Ketika minyak kodok menetes di atas api, terdengarlah suara mencicit yang ramai, bau sedap lantas teruar juga.
Sambil memandangi asap yang mengepul dari unggun api, perlahan-lahan si nona berkata pula, "Aku bernama Ing-ing. Biar kukatakan, entah kelak kau akan terus ingat atau tidak?"
"Ing-ing! Ehm, bagus amat nama ini," ujar Lenghou Tiong. "Bila sejak dulu-dulu aku mengetahui kau bernama Ing-ing tentu aku takkan memanggil nenek padamu."
"Sebab apa?" "Sebab Ing-ing terang adalah nama seorang nona cilik, dengan sendirinya bukanlah nenek-nenek reyot."
"Kelak jika aku benar-benar sudah nenek-nenek reyot, aku toh takkan ganti nama dan akan tetap bernama Ing-ing," kata si nona alias Ing-ing dengan tertawa.
"Kau takkan pernah menjadi nenek-nenek. Kau begini cantik, sampai berumur 80 tahun juga masih tetap seorang nona cilik yang amat cantik."
"Wah, kan bisa menjadi siluman nanti?" sahut Ing-ing dengan tertawa. Selang sejenak, lalu sambungnya dengan sungguh-sungguh, "Aku sudah beri tahukan namaku, selanjutnya kau tidak boleh sembarangan memanggil lagi."
"Mengapa?" "Tidak boleh ya tidak boleh."
Lenghou Tiong menjulurkan lidah. "Wah, ini tidak boleh, itu dilarang, kelak orang yang menjadi sua ...." sampai di sini ia tidak berani melanjutkan lagi ketika dilihatnya muka si nona merengut marah.
"Hmm!" demikian Ing-ing mendengus.
"Kenapa kau marah" Aku maksudkan: kelak orang yang menjadi muridmu tentu akan tahu rasa," mestinya ia akan bilang "suamimu", tapi demi melihat gelagat jelek segera ia ganti haluan.
Sudah tentu Ing-ing tahu maksudnya. Katanya, "Kau ini memang angin-anginan, tidak jujur pula. Di dalam tiga kalimat ucapanmu lebih dari dua kalimat selalu kau putar balik. Tapi aku pun tidak akan memaksa kepada orang lain. Orang lain boleh mendengarkan kata-kataku, kalau tidak suka boleh jangan mendengarkan dan terserah kepadanya."
"Tapi aku suka mendengarkan ucapanmu kok," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. Ucapannya ini mengandung nada menggoda. Alis Ing-ing tampak berkerut seperti hendak marah, tapi mukanya lantas merah jengah dan terus berpaling.
Untuk sejenak siapa pun tidak bersuara lagi. Tiba-tiba tercium bau hangus. "Aiiii!" Ing-ing menjerit. Kiranya sundukan satai kodoknya telah terpanggang hangus.
"Gara-garamu!" omel Ing-ing.
"Kau mesti bilang gara-garaku membikin kau marah sehingga dapat menghasilkan satai kodok hangus sebaik ini," sahut Lenghou Tiong tertawa.
Segera ia mendahului mencomot sepotong paha swike yang hangus dan dimasukkan ke dalam mulut. "Ehmmm, alangkah lezatnya! Satai hangus beginilah barulah sedap. Di tengah rasa sangit mengandung pahit dan di tengah rasa pahit timbullah manis. Rasa selezat ini boleh dikata nomor satu di dunia ini."
Ing-ing merasa geli oleh ucapan Lenghou Tiong, sambil mengikik tawa ia pun ikut makan satai kodok itu.
Lenghou Tiong selalu pilih bagian yang hangus untuk dimakan sendiri dan memberikan paha kodok yang tidak hangus untuk Ing-ing. Sesudah kenyang makan, cahaya sang surya menghangati badan mereka, saking lelahnya tanpa merasa mereka sama berbaring dan tertidur.
Lantaran semalam suntuk tidak tidur, pula sama-sama terluka, maka tidur mereka itu sangat nyenyak. Di tengah impiannya Lenghou Tiong merasa dirinya sedang berlatih pedang bersama Gak Leng-sian di tengah gemerojoknya air terjun. Tiba-tiba di tengah mereka bertambah satu orang dan ternyata Lim Peng-ci adanya. Menyusul dirinya lantas berkelahi dengan Peng-ci di tengah air terjun itu. Tapi kedua tangannya sendiri sama sekali tak bertenaga, dengan mati-matian ada maksud mengeluarkan Tokko-kiu-kiam ajaran Hong Jing-yang itu, tapi satu jurus pun sukar dikeluarkan, sebaliknya serangan-serangan Lim Peng-ci semakin menggencar dan berulang-ulang mengenai ulu hati, perut, kepala dan bahunya, sedangkan Gak Leng-sian tampak bergelak tertawa. Saking khawatir dan gusarnya ia berteriak-teriak, "Siausumoay, Siausumoay!"
Setelah berteriak beberapa kali, akhirnya ia terjaga bangun sendiri. Didengarnya suatu suara yang lembut berkata di sampingnya, "Kau telah mimpi siausumoaymu, apa yang dia lakukan terhadapmu?"
"Ada orang hendak membunuh aku, tapi Siausumoay tidak ambil pusing kepadaku," sahut Lenghou Tiong dengan perasaan belum tenteram.
Ing-ing menghela napas, katanya, "Dahimu penuh air keringat."
Segera Lenghou Tiong mengusapnya dengan lengan baju, tiba-tiba angin berkesiur sehingga terasa menggigil. Waktu menengadah, dilihatnya langit penuh dengan bintang-bintang, nyata hari sudah jauh malam, kiranya tidurnya benar-benar sangat nyenyak dan marem.
Setelah jernih kembali pikirannya, segera lapanglah perasaan Lenghou Tiong. Ia tertawa dan baru hendak bicara, mendadak Ing-ing mendekap mulutnya dan mendesis, "Ssst, ada orang datang."
Segera Lenghou Tiong tutup mulut, tapi tidak mendengar sesuatu. Selang sebentar lagi barulah didengarnya ada suara tindakan orang dari kejauhan. Selang sejenak pula, terdengar seorang sedang berkata, "Di sini ada lagi dua sosok mayat."
Sekali ini Lenghou Tiong dapat mengenali suara orang itu, terang Coh Jian-jiu adanya.
"Ini ada bekas-bekas darah," terdengar seorang lagi berkata. Lalu yang seorang lain berseru, "Ah, ini kan hwesio dari Siau-lim-pay"!"
Lenghou Tiong lantas ingat pembicara yang duluan itu adalah Ya-niau-cu Keh Bu-si dan yang terakhir adalah Lo Thau-cu, mungkin dia melihat mayatnya Kat-gwe.
Perlahan-lahan Ing-ing menarik kembali tangannya yang mendekapi mulut Lenghou Tiong tadi.
Dalam pada itu terdengar Keh Bu-si telah berkata pula, "Ketiga orang yang mati ini adalah murid Siau-lim-pay dari kalangan preman, mengapa bisa terbinasa di sini" Eh, orang ini bernama Sin Kok-liong, aku kenal dia. Sungguh mengerikan matinya ini, padahal dia adalah jago gwakang dari Siau-lim-pay."
"Ya, siapakah yang punya kemampuan sehebat ini sehingga dapat membunuh empat jago Siau-lim-pay sekaligus?" kata Coh Jian-jiu.
"Jangan-jangan ... jangan-jangan adalah perbuatan tokoh dari Hek-bok-keh?" ujar Lo Thau-cu dengan ragu-ragu. "Bahkan bisa jadi adalah ... adalah Tonghong-kaucu sendiri?"
"Ya, kalau melihat keadaan luka parah korban ini memang rada-rada mirip," kata Keh Bu-si. "Marilah kita lekas mengubur keempat rangka jenazah ini agar jejaknya tidak diketahui oleh orang dari Siau-lim-pay."
"Jika memang benar tokoh Hek-bok-keh yang melakukannya, tentu mereka pun tidak takut diketahui oleh pihak Siau-lim-pay," ujar Coh Jian-jiu. "Malahan bukan mustahil mayat-mayat ini memang sengaja ditinggalkan begini saja di sini secara demonstratif agar diketahui oleh orang-orang Siau-lim-pay."
"Kukira kalau mau unjuk wibawa begini rasanya takkan meninggalkan mayat-mayat ini di tempat pegunungan yang sunyi begini," ujar Keh Bu-si. "Coba pikir, jika kita tidak lewat di sini secara kebetulan, tentu mayat-mayat ini akan dimakan oleh burung-burung dan binatang-binatang buas dan tentu takkan ketahuan orang lagi. Jika aku, lebih tepat kalau mayat-mayat ini digantung di tengah jalan besar dan diberi tanda pula sebagai anak murid Siau-lim-pay, dengan demikian pamor Siau-lim-pay pasti akan runtuh habis-habisan."
"Uraian Ya-niau-cu ini memang tidak salah," kata Coh Jian-jiu. "Besar kemungkinan setelah tokoh Hek-bok-keh membunuh keempat orang ini lalu buru-buru pergi mengejar musuh lagi dan tidak sempat mengubur mayat-mayat ini."
Habis itu lantas terdengar suara tanah digali, ketiga orang itu mulai menggali liang untuk mengubur mayat Sin Kok-liong berempat.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Ketiga orang ini tentu mempunyai hubungan yang sangat rapat dengan Tonghong-kaucu dari Hek-bok-keh, kalau tidak rasanya mereka takkan susah payah mencapekkan diri seperti ini."
Sejenak kemudian, tiba-tiba terdengar suara "crat-cret" berulang-ulang, lalu terdengar Lo Thau-cu bertanya, "Ya-niau-cu, orangnya sudah mati, buat apa lagi kau membacoki badan mereka?"
"Coba saja kau menerkanya," sahut Keh Bu-si dengan tertawa.
Sebelum Lo Thau-cu menjawab, tiba-tiba Coh Jian-jiu menyela dengan tertawa, "Pikiran Ya-niau-cu memang sangat rapi, untuk menjaga pencarian orang Siau-lim-pay yang mungkin akan menggali keluar mayat-mayat ini dan dari keadaan luka-luka di atas mayat ini tentu akan dapat diselidiki siapakah pembunuhnya."
Bab 59. Ing-ing Memerintahkan Bunuh Lenghou Tiong
Terdengar Keh Bu-si berkata pula, "Saudara Sin Kok-liong, jelek-jelek kita pernah bertemu satu kali, Ya-niau-cu sangat mengagumi jiwa kesatriamu yang luhur, tapi hari ini terpaksa aku harus mencacah jenazahmu, harap engkau sudi memaafkan. Ai sungguh sayang, sayang!"
"Ya, betul juga," kata Lo Thau-cu. "Kalau begitu bacok saja lebih banyak, semakin luluh semakin baik."
Sembari omong dan menghela napas gegetun ia pun terus membacok dengan goloknya. Tiga orang mencacah empat jenazah itu hingga menjadi berpuluh potong kecil-kecil, habis itu barulah dimasukkan ke dalam liang dan diuruk dengan tanah.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Orang-orang ini benar-benar bertangan gapah dan berhati kejam. Ya-niau-cu itu katanya mengagumi Sin Kok-liong sebagai kesatria berjiwa luhur, tidak seharusnya dia merusak jenazahnya sedemikian rupa."
Waktu ia menoleh, di tengah remang-remang kegelapan malam dilihatnya Ing-ing sedang tersenyum-senyum. Wajah yang tersenyum itu benar-benar teramat menggiurkan, padahal jelas terdengar orang membacoki mayat sehingga senyuman yang manis itu tidak sesuai dengan suasananya.
Tiba-tiba terdengar Coh Jian-jiu bersuara, "He, apakah ini" Ada sebutir obat."
Terdengar pula Keh Bu-si sedang mengendus-endus beberapa kali, lalu berkata, "Ini adalah obat mujarab Siau-lim-pay yang mempunyai khasiat menghidupkan orang mati, tentulah obat ini tercecer dari saku anak murid Siau-lim-pay ini."
"Dari mana kau mengetahui ini adalah obat Siau-lim-pay?" tanya Coh Jian-jiu.
"Kira-kira dua puluh tahun yang lalu aku pernah melihat obat semacam ini di tempat seorang hwesio tua Siau-lim-si," sahut Keh Bu-si.
"Jika benar obat mujarab, inilah sangat kebetulan. Lo-heng, boleh kau ambil untuk diminumkan kepada Nona Siau Ih agar dia lekas sembuh," ujar Coh Jian-jiu.
"Banyak-banyak terima kasih," sahut Lo Thau-cu. "Tentang penyakit putriku sih aku tidak terlalu pikirkan, yang penting sekarang juga kita lekas pergi mencari Lenghou-kongcu dan mempersembahkan obat ini kepadanya."
Sungguh tak terkatakan rasa terima kasih dan terharu demi mendengar ucapan Lo Thau-cu itu. Pikirnya, "Obat itu terang adalah kepunyaan Ing-ing yang jatuh itu. Bagaimana caranya aku harus memintanya kembali dari Lo Thau-cu untuk diminumkan kepada Ing-ing?"
Ia lihat Ing-ing sedang tersenyum pula dan mencibir padanya dengan sikap jenaka dan kekanak-kanakan, sungguh sukar untuk dipercaya bahwa nona cilik yang cantik dan lincah demikian adalah iblis perempuan yang sekaligus telah membunuh empat jago pilihan Siau-lim-pay.
Menyusul terdengarlah suara urukan batu dan tanah, ketiga orang telah mengubur jenazah-jenazah itu. Lalu Lo Thau-cu berkata pula, "Sekarang kita menghadapi suatu persoalan sulit. Coba kau ikut memikirkan bagiku, Ya-niau-cu."
"Soal apa?" tanya Keh Bu-si.
"Saat ini Lenghou-kongcu tentu berada bersama ... bersama Seng-koh (putri suci)," kata Lo Thau-cu. "Jika aku mengantarkan obat ini kepadanya tentu akan pergoki Seng-koh pula. Dan kalau Seng-koh marah sehingga aku dibunuh, hal ini tidak menjadi soal. Cuma dengan demikian berarti aku telah mengetahui keadaannya, hal inilah yang bisa bikin runyam."
Lenghou Tiong memandang sekilas kepada Ing-ing, katanya dalam hati, "Kiranya mereka memanggil kau sebagai Seng-koh dan begitu pula takutnya padamu. Memangnya mengapa sedikit-sedikit kau suka membunuh orang?"
Dalam pada itu terdengar Keh Bu-si telah berkata, "Ketiga orang buta yang kita jumpai di tengah jalan tadi ada juga gunanya bagi kita. Lo-heng, besok kita tentu akan dapat menyusul ketiga orang buta itu dan suruh mereka mengantarkan obat ini kepada Lenghou-kongcu. Mata mereka buta, seumpama menghadapi Seng-koh yang berada bersama Lenghou-kongcu juga takkan mengakibatkan kematian bagi mereka."
"Tapi aku justru sangsi jangan-jangan butanya ketiga orang itu justru disebabkan mereka memergoki Seng-koh sedang berada bersama Lenghou-kongcu," timbrung Coh Jian-jiu.
Mendadak Lo Thau-cu menepuk paha dan berseru, "Benar! Jika tidak, mengapa mereka buta semua tanpa sebab" Malahan keempat murid Siau-lim-pay ini mungkin juga tanpa sengaja telah memergoki beradanya Seng-koh bersama Lenghou-kongcu sehingga mendatangkan malapetaka bagi mereka."
Untuk sejenak ketiga orang itu terdiam. Sebaliknya rasa heran dan ragu-ragu semakin berkecamuk di dalam benak Lenghou Tiong.
Terdengar Coh Jian-jiu membuka suara lagi sambil menghela napas, "Kuharap semoga penyakit Lenghou-kongcu lekas sembuh dan Seng-koh akan bisa lekas-lekas terjalin sebagai pasangan yang bahagia dengan dia. Selama mereka berdua tidak lekas-lekas menikah selama itu pula suasana di dunia Kangouw takkan bisa tenteram."
Lenghou Tiong terkesiap. Ia coba melirik si Ing-ing. Remang-remang wajah si nona tampak bersemu merah, tapi sorot matanya memancarkan sinar kemarahan.
Khawatir kalau-kalau mendadak Ing-ing mencelakai Lo Thau-cu bertiga, Lenghou Tiong sengaja menjulurkan tangan kanan untuk memegangi tangan kiri si nona. Terasa badan Ing-ing rada gemetar, entah disebabkan marah atau karena malu.
"Lo-heng dan Coh-heng," terdengar Keh Bu-si berkata, "waktu Seng-koh mendengar kita akan berkumpul di atas Ngo-pah-kang, beliau menjadi begitu marah. Padahal cinta kasih antara muda-mudi adalah soal yang jamak. Pemuda ganteng dan cakap seperti Lenghou-kongcu itu hanya setimpal mendapatkan jodoh nona cantik seperti Seng-koh, mengapa tokoh hebat sebagai Seng-koh juga bisa kikuk-kikuk seperti perempuan desa saja. Sudah terang beliau menyukai Lenghou-kongcu, tapi beliau justru melarang orang lain mengungkat hal ini, lebih-lebih tidak suka dipergoki orang. Bukankah ini rada ... rada-rada janggal?"
Sampai di sini barulah Lenghou Tiong tahu duduknya perkara. Cuma tidak tahu apa yang dikatakan Keh Bu-si itu benar atau tidak. Sekonyong-konyong ia merasa tangan Ing-ing yang digenggamnya itu bergerak seakan-akan hendak melepaskannya dari pegangan. Lekas-lekas ia menggenggam lebih kuat, ia khawatir dalam gusarnya Ing-ing bisa jadi akan membunuh Keh Bu-si.
Terdengar Coh Jian-jiu berkata, "Sekalipun Seng-koh adalah satu di antara ketiga murid utama Hek-bok-keh, ilmu silatnya kuat dan agamanya tinggi, tapi apa pun juga dia adalah seorang nona muda belia. Setiap nona muda di dunia ini ketika untuk pertama kalinya menyukai seorang laki-laki, biarpun betapa hatinya jatuh cinta tetap juga tak berani diutarakannya. Kali ini kita bermaksud menyanjung Seng-koh, tapi malah kena batunya. Memang salah kita sendiri, kita adalah lelaki kasar semua dan tidak paham perasaan anak perempuan sehingga bukannya membikin senang hati Seng-koh, sebaliknya membuatnya marah malah. Kalau kejadian ini sampai tersiar tentu akan ditertawai oleh kawanan anjing dari kalangan yang menamakan dirinya beng-bun-cing-pay segala."
Lo Thau-cu lantas berseru lantang, "Kita sama utang budi kepada Seng-koh, selama ini kita berharap dapat membalas kebaikannya dan bermaksud menyembuhkan penyakit kekasih jantung hatinya. Seorang laki-laki sejati harus dapat membedakan secara tegas antara dendam dan budi, ada budi harus dibalas, ada dendam harus dituntut, kenapa kau merasa berbuat salah" Hm, kawanan anjing mana yang berani menertawai kita biar aku membetot ususnya dan membeset kulitnya."
Baru sekarang Lenghou Tiong merasa terang seluk-beluk pengalamannya selama ini, jadi sepanjang jalan dirinya sedemikian disanjung puji oleh orang-orang gagah itu adalah berkat seorang "putri suci" dari Hek-bok-keh yang bernama Ing-ing ini. Sebabnya para jago yang sudah berkumpul di atas Ngo-pah-kang dan mendadak bubar pula mungkin karena Seng-koh tidak ingin orang luar mengetahui isi hatinya dan menyiarkannya di dunia Kangouw.
Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Seng-koh adalah seorang nona muda jelita, namun dia sudah dapat mengerahkan sekian banyak jago-jago dan tokoh-tokoh ternama untuk menyanjung dirinya, dengan sendirinya si nona sendiri bukanlah tokoh sembarangan. Sedangkan perkenalanku sendiri dengan si nona hanya terjadi di suatu gang sunyi di kota Lokyang melalui suara kecapi dari balik kerai sehingga boleh dikatakan belum ada peresmian kasih segala, apa barangkali ada orang luar yang telah salah paham dan menyiarkan kejadian itu sehingga membikin Seng-koh sangat marah?"
Dalam pada itu terdengar Coh Jian-jiu sedang berkata, "Ucapan Lo Thau-cu memang tidak salah. Kita banyak berutang budi kepada Seng-koh, asalkan kita dapat menjalinkan perjodohan ini sehingga selama hidup ini Seng-koh dapat hidup bahagia, maka biarpun badan kita hancur lebur juga takkan menyesal. Tentang sedikit dampratan yang kita alami di atas Ngo-pah-kang tidaklah menjadi soal. Hanya saja ... hanya saja Lenghou-kongcu adalah murid utama Hoa-san-pay yang selamanya tidak dapat hidup berdampingan dengan pihak Hek-bok-keh, untuk merangkapkan perjodohan ini rasanya tidak sedikit kesulitan-kesulitan yang masih harus dihadapi."
"Aku ada suatu akal," kata Keh Bu-si. "Kita kan dapat menangkap ketua Hoa-san-pay, yaitu si Gak Put-kun, lalu mengancam akan membunuhnya agar dia mau menjadi wali perjodohan ini."
"Akal Ya-niau-cu ini sungguh sangat bagus," seru Coh Jian-jiu dan Lo Thau-cu berbareng. "Urusan jangan terlambat, sekarang juga kita lantas berangkat untuk menangkap Gak Put-kun."
"Nanti dulu," ujar Keh Bu-si. "Perlu dipikirkan bahwa Gak Put-kun adalah ketua dari suatu aliran terkemuka, lwekang dan kiam-hoatnya mempunyai peyakinan yang mendalam dan sempurna. Kalau kita main kasar padanya, pertama kita belum pasti akan dapat menang, kedua, seumpama dapat menawan dia, kalau dia nanti tetap berkepala batu dan tak mau menurut, lalu bagaimana?"
"Jika begitu terpaksa kita harus menculik pula istri dan putrinya dengan segala ancaman-ancaman lain," ujar Lo Thau-cu.
"Betul," sokong Coh Jian-jiu. "Cuma urusan ini harus dikerjakan serahasia mungkin, sekali-kali tak boleh diketahui orang luar sehingga membikin malu pihak Hoa-san-pay. Sebab Lenghou-kongcu adalah murid pertama Hoa-san-pay, jika kita membikin susah gurunya tentu dia akan merasa tidak senang."
Begitulah ketiga orang itu terus berunding pula cara bagaimana akan menangkap Gak-hujin serta Gak Leng-sian.
Sekonyong-konyong Ing-ing berseru dengan suara lantang, "Hei, ketiga orang yang berani mati itu, lekas enyah yang jauh dan jangan membikin marah nonamu melulu."
Lenghou Tiong sampai kaget karena mendadak Ing-ing membuka suara. Sekuatnya ia pegang tangan si nona. Sudah tentu Keh Bu-si bertiga lebih-lebih kaget.
Dengan suara gemetar Lo Thau-cu telah menjawab, "Ya, ya, hamba ... hamba ...." rupanya saking khawatirnya sehingga ia tidak sanggup meneruskan ucapannya.
Keh Bu-si juga lantas berkata, "Ya, kami memang telah sembarangan mengoceh, harap Seng-koh jangan anggap sungguh-sungguh. Biarlah besok juga kami lantas menyingkir ke Se-ek (benua barat) dan takkan kembali ke Tionggoan lagi."
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "Wah, dengan demikian berarti ketiga orang ini telah diasingkan pula ke tempat terpencil jauh."
Tapi Ing-ing lantas berkata pula, "Siapa yang suruh kalian menyingkir pergi ke Se-ek. Aku ada suatu urusan, hendaklah kalian melaksanakannya untukku."
Seakan-akan mendapat pengampunan besar, dengan girang luar biasa Keh Bu-si bertiga serentak berkata, "Silakan Seng-koh memberi perintah saja, sudah pasti kami akan berbuat sepenuh tenaga."
"Aku ingin membunuh satu orang, tapi seketika sukar menemukan orangnya," kata Ing-ing. "Maka bolehlah kalian menyiarkan keinginanku ini, siapa saja dan setiap kawan Kangouw yang dapat membunuh orang ini pasti akan kuberi balas jasa yang baik."
"Balas jasa sih tidak berani kami harapkan," ujar Coh Jian-jiu. "Tentang jiwa orang itu, biarpun kami bertiga mengubernya sampai di ujung langit pun akan kami bekuk dia. Cuma saja tidak tahu siapakah keparat yang berani membikin marah kepada Seng-koh itu?"
"Melulu kalian bertiga saja rasanya kurang mampu membunuhnya, maka kalian harus lekas menyebarkan perintahku ini," kata Ing-ing pula.
"Baik, baik," sahut Coh Jian-jiu. "Mohon tanya bangsat keparat siapakah yang Seng-koh ingin membunuhnya itu?"
"Hm," Ing-ing mendengus. "Orang itu she Lenghou dan bernama Tiong, dia adalah murid utama dari Hoa-san-pay."
Ucapan ini membikin terkejut empat orang, yaitu Lo Thau-cu bertiga ditambah Lenghou Tiong sendiri. Seketika tiada seorang pun yang berani membuka suara. Sampai agak lama barulah Lo Thau-cu berkata, "Hal ini ... hal ini ...."
"Hal apa?" omel Ing-ing. "Apakah kalian takut kepada Ngo-gak-kiam-pay?"
"Sekalipun naik ke langit dan turun ke akhirat juga kami berani," sahut Lo Thau-cu. "Kami akan segera pergi menangkap Lenghou Tiong untuk diserahkan kepada Seng-koh agar dihukum yang setimpal. Marilah Ya-niau-cu dan Coh Jian-jiu, kita berangkat sekarang juga."
Tapi diam-diam ia membatin, "Tentu dalam bicaranya Lenghou Tiong telah menyinggung perasaan Seng-koh. Memang jamak pergaulan di antara anak muda, semakin rapat dan baik semakin gampang cekcok pula. Ya, apa boleh buat, terpaksa kami harus pergi mencari dan mengundang Lenghou-kongcu ke sini, biarkan Seng-koh sendiri yang melayani dia."
Di luar dugaan Ing-ing lantas berseru dengan marah, "Siapa yang suruh kalian pergi menangkap dia" Selama Lenghou Tiong itu hidup di dunia ini hanya akan merusak nama baikku yang suci bersih ini, lekas dia dibunuh lekas pula rasa dongkolku akan terlampias."
Coh Jian-jiu hendak berkata pula, "Seng-koh ...."
Tapi Ing-ing telah menyela, "Sudahlah, tentu kalian mempunyai hubungan baik dengan Lenghou Tiong dan tidak mau melaksanakan perintahku tadi. Tidak apalah, biar aku menugaskan kepada orang lain saja."
Mendengar ucapan Ing-ing itu sangat serius, Keh Bu-si bertiga tidak berani ragu-ragu lagi, terpaksa mereka memberi hormat dan berkata, "Baiklah, dengan taat kami akan melaksanakan perintah Seng-koh."
Diam-diam Lo Thau-cu membatin pula, "Lenghou-kongcu adalah seorang yang luhur budinya, hari ini aku terpaksa melaksanakan perintah Seng-koh dan mau tak mau harus ikut membunuh Lenghou-kongcu, tapi sesudah kubunuh dia, nanti aku pun akan membunuh diri untuk mengiringinya."
Begitulah ketiga orang itu lantas bertindak pergi.
Waktu Lenghou Tiong memandang ke arah Ing-ing, tertampak nona itu sedang menunduk dan termenung-menung. Pikirnya, "Kiranya demi untuk menjaga nama baiknya sendiri dia harus mencabut nyawaku. Tapi apa sih sulitnya jika hal ini dikehendaki?"
Maka berkatalah Lenghou Tiong, "Kau ingin membunuh aku boleh silakan lakukan sendiri saja, buat apa mesti mengerahkan orang begitu banyak?" perlahan-lahan ia lantas melolos pedangnya sendiri dan menyodorkan gagang pedang kepada Ing-ing.
Ing-ing lantas memegangi pedang itu, kepalanya sendiri miring sambil menatapi Lenghou Tiong.
Dengan tertawa Lenghou Tiong lantas membusungkan dada.
"Kematianmu sudah di depan mata, apa yang kau tertawakan?" omel Ing-ing.
"Justru karena kematianku sudah di depan mata, makanya aku ingin tertawa," sahut Lenghou Tiong.
Ing-ing angkat pedangnya dengan gerakan seakan-akan hendak menusuk. Tapi mendadak ia putar tubuh, tangannya mengayun sekuatnya, pedang itu dibuang jauh-jauh. "Trang", pedang itu jatuh di atas tanah. "Semuanya gara-garamu, gara-garamu!" demikian si nona berseru sambil banting-banting kaki. "Karena gara-garamu maka orang-orang Kangouw sama menertawakan diriku seolah-olah selamanya aku tidak ... tidak laku, seperti tidak ada orang yang mau padaku lagi, dianggapnya dengan segala daya upaya aku sengaja memikat kau. Padahal apamu yang ... yang hebat sehingga selanjutnya aku tidak punya muka untuk bertemu dengan orang lagi."
Tiba-tiba Lenghou Tiong bergelak tertawa malah.
Ing-ing menjadi gusar. Dampratnya, "Kau malah menertawai aku, kau mengejek aku?"
Mendadak ia terus menangis tergerung-gerung.
Karena tangis si nona, seketika timbul juga rasa penyesalan Lenghou Tiong, mendadak ia menjadi sadar juga, "Ah, dia mempunyai kedudukan dan nama yang tinggi serta terhormat, sedemikian banyak orang-orang gagah sama sangat segan kepadanya, dengan sendirinya dia sudah biasa dipuji, dia adalah anak perempuan, tentu juga punya rasa harga diri yang tinggi. Ketika mendadak semua orang mengatakan dia suka padaku, tentu saja hal ini membuatnya merasa direndahkan. Sebabnya dia menyuruh Lo Thau-cu bertiga menyiarkan perintahnya untuk membunuh aku besar kemungkinan tidak sungguh-sungguh hendak membunuh aku, tapi tujuannya hanya sebagai sangkalan saja tentang sukanya padaku. Dengan perintahnya itu tentu siapa pun takkan curiga bahwa aku justru berada bersama dia."
Segera Lenghou Tiong berbangkit, katanya dengan suara halus, "Ya, memang akulah yang bersalah sehingga membikin nama baik nona tercemar. Biarlah sekarang juga aku mohon diri saja."
Ing-ing mengusap air matanya, katanya, "Kau hendak ke mana?"
"Tiada tempat tujuan, ke mana pun jadi," sahut Lenghou. Tiong.
"Kau telah berjanji akan mengantar aku, mengapa sekarang hendak tinggal pergi sendirian?"
"Ah, sesungguhnya aku tidak tahu tebalnya bumi dan tingginya langit sehingga sembarang omong, ucapanku itu tentu akan ditertawai nona saja," ujar Lenghou Tiong dengan tersenyum. "Padahal ilmu silat nona sedemikian tinggi, masakah perlu pengawalanku segala. Biarpun ada seratus orang Lenghou Tiong juga tidak mampu membandingi nona seorang."
Habis berkata ia terus putar tubuh hendak melangkah pergi.
"Kau tidak boleh pergi," seru Ing-ing gugup.
"Kenapa?" tanya Lenghou Tiong.
"Coh Jian-jiu bertiga sudah menyiarkan perintahku tadi, dalam waktu beberapa hari saja setiap orang Kangouw pasti akan tahu semua. Dalam keadaan begitu setiap orang tentu ingin membunuh kau. Jangankan kau dalam keadaan terluka, sekalipun sehat juga kau sukar untuk menghindarkan diri dari kematian."
Lenghou Tiong tersenyum hambar, katanya, "Jika aku dapat mati di bawah perintah nona, rasanya masih baik juga."
Habis berkata ia terus menjemput pedangnya dan dimasukkan ke dalam sarungnya. Ia menduga dirinya masih lemah dan tidak sanggup mendaki tanah tanjakan itu, maka langkahnya lantas diarahkan ke sepanjang tepi sungai kecil itu.
Melihat Lenghou Tiong benar-benar mau pergi dan semakin jauh, Ing-ing lantas mengejarnya dan berseru, "He, he! Kau jangan pergi."


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika aku tetap tinggal di sini kan cuma membikin susah pada nona, maka lebih baik aku pergi saja," ujar Lenghou Tiong.
"Tidak, kau ... kau ...." hanya sekian ucapannya dan segera Ing-ing menggigit bibir dengan perasaan risau dan cemas. Ketika dilihatnya Lenghou Tiong masih melangkah terus, cepat ia memburu maju pula sambil berkata, "Lenghou Tiong, apakah kau sengaja memaksa aku mengucapkannya secara terus terang baru kau merasa puas ya?"
"Ai, ada apakah" Sungguh aku tidak paham?" sahut Lenghou Tiong heran.
Kembali Ing-ing menggigit bibir, kemudian berkata, "Aku telah suruh Coh Jian-jiu bertiga menyiarkan perintahku, hal itu supaya ... supaya kau bisa senantiasa berada di sampingku dan tidak boleh meninggalkan aku barang selangkah pun."
Habis mengucapkan demikian tubuhnya menjadi gemetar, berdiri pun sempoyongan.
Lenghou Tiong terheran-heran, tanyanya, "Kau ... kau ingin didampingi aku senantiasa?"
"Benar," sahut Ing-ing. "Setelah Coh Jian-jiu bertiga menyiarkan perintahku, mau tak mau kau harus mendampingi aku barulah dapat menyelamatkan jiwamu. Tak tersangka kau ternyata tidak tahu apa artinya kematian, sedikit pun kau tidak takut. Bukankah jadinya akulah ... akulah yang membikin celaka kau?"
Hati Lenghou Tiong menjadi terharu, pikirnya, "Kiranya kau benar-benar sedemikian baik kepadaku, tapi di depan orang-orang itu mati pun kau tidak mau mengaku."
Segera ia putar tubuh dan mendekati Ing-ing, ia pegang kedua tangan si nona dan terasa amat dingin kedua telapak tangannya itu. Dengan suara lirih dibikinnya, "Buat apa engkau berbuat demikian?"
"Aku takut," sahut Ing-ing.
"Takut apa?" "Aku takut kau yang tolol ini tidak mau turut kepada omonganku dan benar-benar akan pergi mengembara Kangouw lagi dan mungkin tidak sampai besok kau sudah akan mati di tangan manusia-manusia busuk yang tidak laku sepeser itu."
"Mereka itu adalah laki-laki gagah perkasa semua, mereka pun sangat baik padamu, mengapa kau begini memandang hina kepada mereka?"
"Di belakangku mereka menertawai diriku, mereka ingin membunuh kau pula, bukankah mereka itu adalah manusia-manusia busuk yang pantas mampus?"
Hampir-hampir Lenghou Tiong tertawa, katanya, "Kau sendirilah yang menyuruh mereka mencari dan membunuh aku, mengapa kau malah salahkan mereka" Lagi pula mereka pun tidak menertawai kau. Bukankah kau mendengar pembicaraan Lo Thau-cu bertiga tadi tentang dirimu, betapa segan dan hormat mereka kepadamu, masakan mereka ada maksud menertawai kau?"
"Di mulut mereka tidak menertawai aku, tapi di dalam hati mereka tertawa," kata Ing-ing.
Diam-diam Lenghou Tiong merasa si nona ingin menang sendiri, ia pun tidak mau berdebat lagi dengan dia, terpaksa berkata, "Baiklah, kau melarang aku pergi, biar aku mendampingi kau di sini saja. Ai, jika benar-benar dibacok orang sehingga terpotong-potong rasanya tentu tidaklah enak."
Ing-ing menjadi girang karena Lenghou Tiong berjanji takkan pergi. Katanya, "Rasanya tidak enak apa, hakikatnya memang konyol."
Waktu bicara muka si nona rada dimiringkan ke sebelah sini sehingga di bawah cahaya bintang-bintang yang remang-remang dapat terlihat mukanya yang putih halus. Seketika tergerak perasaan Lenghou Tiong, pikirnya, "Sesungguhnya nona ini jauh lebih cantik daripada Siausumoay, akan tetapi ... akan tetapi, entah mengapa hatiku masih selalu terkenang kepada Siausumoay saja."
Sudah tentu Ing-ing tidak tahu di dalam hati Lenghou Tiong sedang memikirkan Gak Leng-sian, ia bertanya pula, "Di mana kecapi pemberianku tempo hari" Sudah kau hilangkan ya?"
"Ya," sahut Lenghou Tiong. "Aku kehabisan sangu di tengah jalan dan terpaksa kecapi itu kugadaikan."
Sembari berkata ia pun menanggalkan buntelan yang menyandang di bahunya, lalu dibuka dan dikeluarkannya khim (kecapi) pemberian si nona dahulu itu.
Melihat buntelan kecapi itu sangat rapi, suatu tanda betapa cermat dan sayang terhadap benda pemberiannya itu, diam-diam Ing-ing sangat senang. Omelnya kemudian, "Setiap hari kau mesti berdusta, baru hatimu merasa, puas bukan?"
Lalu ia ambil kecapi itu dan mulai dipetiknya perlahan-lahan, dibawakannya lagu "Jing-sim-boh-sian-ciu" itu sambil bertanya, "Lagu ini sudah kau pelajari dengan baik belum?"
"Wah, masih jauh daripada baik," sahut Lenghou Tiong sambil mendengarkan suara kecapi yang merdu dan menyegarkan itu. Ia merasa suara kecapi sekarang rada berbeda daripada apa yang dibawakannya di Lokyang dahulu, bunyi kecapi sekarang lebih lincah, seperti kicauan burung, seperti gemerciknya mata air. Baru sekarang ia tahu bahwa lagunya meski sama, tapi iramanya berbeda, kiranya lagu Jing-sim-boh-sian-ciu itu masih mempunyai perubahan sebanyak ini.
Tiba-tiba terdengar "creng" satu kali, senar kecapi yang paling pendek itu telah putus. Ing-ing tampak mengerut dahi, tapi masih terus memetik kecapinya. Selang tidak lama, "cring", kembali senarnya putus satu utas.
Dari irama kecapinya itu sekarang Lenghou Tiong merasa mengandung kegelisahan sehingga sangat berlawanan dengan lagu Jing-sim-boh-sian-ciu yang semula. Lewat tidak lama pula, selagi heran, mendadak senar kecapi putus satu utas pula.
Ing-ing tampak tercengang dan mendorong kecapinya ke depan. Lalu omelnya, "Kau duduk di situ hanya mengganggu saja, tentu saja tak dapat membunyikan kecapi ini dengan baik."
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Sejak tadi aku duduk tenang-tenang mendengarkan di sini, bilakah aku pernah mengganggu kau?" tapi segera ia paham, "Ya, dia sendirilah yang pikirannya tidak tenang sehingga akulah yang disalahkan."
Tapi ia pun tidak membantah omelan si nona, ia lantas merebahkan diri di atas tanah berumput itu dan pejamkan mata untuk istirahat. Rupanya saking lelahnya sehingga akhirnya tanpa terasa ia terpulas.
Besok paginya waktu dia mendusin, dilihatnya Ing-ing sedang mencuci muka di tepi sungai. Habis cuci muka si nona mulai menyisir rambut dengan sebuah sisir, lengannya putih bersih, rambutnya panjang terurai, Lenghou Tiong sampai kesima.
Waktu Ing-ing menoleh, dilihatnya Lenghou Tiong sedang memandanginya dengan termangu-mangu, muka Ing-ing menjadi merah, omelnya dengan tertawa, "Setan tidur, baru sekarang mendusin."
Lenghou Tiong rada rikuh juga, katanya mengada-ada, "Coba kupergi menangkap kodok, entah aku sudah kuat belum."
Memang benar juga, waktu Lenghou Tiong bermaksud berbangkit, terasa tangan dan kakinya masih lemas linu, sedikit pakai tenaga saja darah lantas bergolak di rongga dadanya. Sungguh tidak kepalang rasa dongkolnya, kalau mau mati biar mati saja daripada mati tidak hidup tidak seperti sekarang ini, jangankan orang lain merasa jemu terhadap keadaannya itu, sedangkan dirinya sendiri juga merasa keki.
Melihat air muka Lenghou Tiong bersungut, Ing-ing lantas menghiburnya, "Luka dalam yang kau derita belum pasti sukar disembuhkan, di sini adalah tempat yang sunyi, toh tiada pekerjaan apa-apa, boleh kau merawat badanmu perlahan-lahan kenapa mesti gelisah?"
Begitulah mereka terus tinggal di lembah pegunungan itu selama belasan hari. Luka Ing-ing sudah lama sembuh, setiap hari dia yang menangkap swike sebagai bahan makanan. Sebaliknya badan Lenghou Tiong makin hari makin susut tampaknya, melihat tangannya yang kurus itu hakikatnya tinggal kulit membungkus tulang belaka. Meski Ing-ing sering membunyikan kecapi untuk menenangkan pikiran Lenghou Tiong dan membuatnya bisa tidur nyenyak, tapi bagi kesehatannya itu ternyata tiada berguna sama sekali.
Lenghou Tiong tahu ajalnya sudah mendekat, untunglah dia adalah seorang pemuda yang berpikiran lapang, ia pun tidak merisaukan nasibnya itu. Setiap hari dia masih tetap bersenda gurau dengan Ing-ing. Karena tiada punya sesuatu sirikan, maka senda guraunya menjadi semakin bebas.
Di lembah pegunungan yang terpencil sunyi itu, sejak perginya Keh Bu-si bertiga pada malam itu, untuk seterusnya tidak pernah lagi didatangi orang lain sehingga suasananya benar-benar aman tenteram.
Watak Ing-ing sebenarnya sangat tinggi hati dan suka main perintah, tapi demi ingat bahwa setiap saat ada kemungkinan riwayat Lenghou Tiong bisa tamat, maka dia tambah ramah dan mesra melayani pemuda itu dengan segala cara. Terkadang ia pun suka muring-muring, tapi segera ia menjadi menyesal dan minta maaf kepada Lenghou Tiong.
Hari ini ketika dilihatnya Lenghou Tiong setiap hari hanya makan swike melulu dan tentu juga merasa bosan, maka Ing-ing telah pergi memburu seekor ayam hutan untuk dipanggang, ia mencari pula beberapa biji buah tho. Kedua orang dapat bersantap dengan kenyang.
Bab 60. "Ih-kin-keng" Penyambung Jiwa Lenghou Tiong
Habis makan, Lenghou Tiong merasa letih pula, sayup-sayup ia tertidur lagi akhirnya. Di tengah mimpinya tiba-tiba seperti didengarnya suara orang menangis. Waktu ia membuka mata perlahan-lahan, dilihatnya Ing-ing mendekam di samping kakinya, pundaknya tampak bergerak naik turun, terang nona itu sedang menangis.
Lenghou Tiong terkejut, baru bermaksud tanya si nona mengapa mendadak berduka, tapi segera ia paham duduknya perkara, tentu dia tahu ajalku sudah hampir tiba, makanya dia merasa sedih.
Perlahan-lahan ia mengulurkan sebelah tangan untuk meraba dan membelai rambut si nona.
Tahu bahwa Lenghou Tiong sudah mendusin, Ing-ing tidak angkat kepalanya lagi, sebaliknya menangis semakin sedih.
"Jangan menangis, jangan menangis!" hibur Lenghou Tiong dengan sengaja tertawa, "Umurku masih ada 80 tahun lamanya, masakah begini cepat aku mau bersanakan dengan Giam-lo-ong (raja akhirat)?"
Dengan menangis Ing-ing berkata, "Tapi makin hari kau semakin kurus, aku ... aku ...."
Mendengar ucapan si nona, yang simpatik dan penuh kecemasan itu, sungguh hati Lenghou Tiong sangat terharu. Seketika ia merasa langit dan bumi seakan-akan berputar-putar, darah seperti mau menyembur keluar dari kerongkongannya. Lalu ia tidak ingat diri lagi.
Pingsannya itu entah sudah lewat berapa lamanya, hanya terkadang ia dapat merasakan sedikit tubuhnya seperti terapung di atas langit, habis itu dia lantas kehilangan ingatan pula. Begitulah terkadang ia bisa sadar sebentar, tapi tidak lama ia lantas pingsan lagi. Terkadang merasa ada orang mencekoki minuman padanya, tempo-tempo terasa ada orang membakar badannya dengan api.
Suatu hari, pikiran Lenghou Tiong terasa rada jernih. Didengarnya suara seorang lelaki sedang berkata, "Apakah dia dapat hidup, hal ini mesti melihat rezekinya."
"Ai, memang sukar untuk diramalkan," terdengar suara seorang lelaki lain sambil menghela napas.
Mestinya Lenghou Tiong bermaksud membuka matanya untuk melihat siapakah gerangan orang-orang yang berbicara itu, akan tetapi kelopak matanya dirasakan amat berat, betapa pun sukar dipentang. Didengarnya orang yang pertama tadi berkata pula, "Biarlah kita berusaha sepenuh tenaga, kita jangan mengecewakan kepercayaan orang kepada kita."
Menyusul Lenghou Tiong lantas merasa kedua pergelangan tangannya dipegang orang, masing-masing ada suatu hawa hangat yang menyalur ke dalam tubuhnya melalui urat nadi pergelangan itu, maka terjadilah pergolakan hebat dengan tenaga murni yang telah mengeram lebih dulu di dalam tubuhnya itu.
Sekujur badan dirasakannya sangat menderita, ia bermaksud berteriak, tapi sedikit pun tak dapat mengeluarkan suara. Saat itu dia benar-benar tersiksa seperti mengalami berbagai macam alat penyiksa yang paling hebat.
Begitulah ia terus dalam keadaan sadar tak-sadar dan entah sudah lewat berapa lamanya, ia hanya dapat merasakan setiap kali terasa ada hawa murni menyalur masuk ke dalam badannya, maka rasa derita yang hebat itu lantas rada berkurang. Lambat laun ia paham juga bahwa pasti ada dua orang yang mempunyai lwekang amat tinggi sedang menolong dan menyembuhkan penyakitnya. Pikirnya ragu-ragu, "Apakah barangkali Suhu atau Sunio telah mengundang tokoh sakti dari mana untuk menolong jiwaku" Dan ke mana perginya Ing-ing sekarang?"
Karena rasa sangsi dan ingin tahunya, pada hari ini sesudah menerima saluran hawa murni ia lantas mengajukan pertanyaan, "Banyak terima kasih atas pertolongan Cianpwe" Entah saat ini aku berada ... berada di mana?"
Waktu ia membuka mata, dilihatnya suatu wajah yang penuh berkeriput, tapi mengulum senyum yang sangat ramah.
Lenghou Tiong merasa sudah kenal baik wajah orang tua ini, yang pasti bukanlah suhunya, dalam keadaan samar-samar ia memandangnya sejenak, tapi mendadak ia dapat mengingatnya dari kepala orang tua yang gundul dengan sembilan titik bekas selomot api dupa itu, terang kepala ini adalah seorang hwesio, segera teringat olehnya, katanya, "Engkau adalah ... adalah Hong-sing Taysu."
Hwesio tua itu tersenyum dan menjawab, "Kau masih kenal padaku. Ya, aku Hong-sing adanya."
"Ya, ya, engkau memang Hong-sing Taysu," kata Lenghou Tiong pula. Kini ia dapat merasakan dirinya ternyata berada di dalam sebuah kamar yang gelap, di tengah kamar hanya diterangi oleh sebuah pelita yang bercahaya guram, dirinya terasa terbaring di atas balai-balai dengan berselimut.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Hong-sing.
"Sudah banyak lebih baik," sahut Lenghou Tiong. "Di ... di manakah aku berada ini?"
"Kau berada di dalam Siau-lim-si," kata Hong-sing. "Selama tiga bulan ini untuk pertama kalinya kau membuka suara."
Keruan Lenghou Tiong kaget, serunya, "Haaah" Aku ... aku berada di Siau-lim-si" Dan di ... di manakah Ing-ing" Mengapa aku bisa ... bisa sampai di Siau-lim-si sini?"
"Kau baru saja sadar, pikiranmu tentu belum jernih kembali, lebih baik kau jangan banyak berpikir supaya penyakitmu tidak kambuh kembali," ujar Hong-sing dengan tersenyum. "Jika ada urusan apa-apa biarlah dibicarakan kelak secara perlahan-lahan."
Begitulah untuk selanjutnya setiap hari Hong-sing selalu datang ke kamar itu pada waktu pagi dan malam untuk menyalurkan tenaga murninya ke dalam tubuh Lenghou Tiong untuk bantu menyembuhkan penyakitnya.
Lewat belasan hari lagi keadaan Lenghou Tiong sudah tambah baik, dia sudah mulai bisa berduduk dan dapat pula turun dari pembaringan untuk berjalan, tapi setiap kali ia tanya tentang Ing-ing dan ke mana perginya nona itu pula tentang cara bagaimana dirinya bisa berada di Siau-lim-si, pertanyaan-pertanyaan ini selalu dijawab oleh Hong-sing dengan tersenyum saja tanpa penjelasan.
Suatu hari, kembali Hong-sing datang memberi saluran hawa murni pula kepada Lenghou Tiong, katanya, "Lenghou-siauhiap, sekarang jiwamu boleh dikata sudah dapat diselamatkan, cuma kekuatan Lolap sangat terbatas, selama ini masih tidak sanggup memunahkan hawa murni yang sangat aneh di dalam badanmu itu sehingga terpaksa hanya bisa mengulur waktu saja, tapi besar kemungkinan tidak sampai setahun penyakitmu sudah akan kambuh lagi, tatkala mana biarpun ada malaikat dewata juga sukar menolong jiwamu."
"Ya, tempo hari Peng It-ci, Peng-tayhu juga berkata demikian kepadaku," sahut Lenghou Tiong mengangguk. "Taysu telah berusaha sekuat tenaga untuk menolong Wanpwe, sungguh aku merasa terima kasih tak terhingga. Tentang usia seseorang memang sudah takdir Ilahi, betapa pun keinginan orang juga tak dapat berbuat melawan takdir."
Hong-sing menggeleng, katanya, "Dahulu pernah kukatakan padamu bahwa ketua kami Hong-ting Taysu memiliki lwekang yang mahatinggi, jika beliau ada jodoh dengan kau dan suka mengajarkan "Ih-kin-keng" yang hebat itu kepadamu, maka otot tulang saja dapat diperbarui apalagi cuma memunahkan hawa murni di dalam tubuhmu" Marilah sekarang juga akan kubawa kau pergi menemui Hongtiang Suheng, semoga kau dapat menjawab pertanyaannya dengan baik-baik."
Memang sudah lama Lenghou Tiong mendengar nama kebesaran ketua Siau-lim-si Hong-ting Taysu, tentu saja ia sangat girang. Jawabnya cepat, "Banyak terima kasih atas kesudian Taysu mempertemukan Wanpwe kepada Hongtiang, seumpama Wanpwe tidak berjodoh dengan beliau dan tidak memenuhi syarat, tapi asalkan dapat berjumpa dengan padri agung yang terkemuka pada zaman ini juga sudah bahagia bagiku."
Habis itu ia lantas ikut Hong-sing Taysu keluar dari kamar itu. Setiba di luar, seketika matanya menjadi silau oleh cahaya sang surya yang gemilang. Sudah sekian lamanya ia tidak melihat matahari, kini mendadak pandangannya menjadi silau, rasanya seperti memasuki suatu dunia lain, semangatnya lantas terbangkit dan segar.
Di waktu melangkah sesungguhnya kedua kaki Lenghou Tiong masih terasa sangat lemas. Dilihatnya Siau-lim-si itu terdiri dari suatu kompleks gedung-gedung atau istana-istana yang sangat megah. Sepanjang jalan yang dilalui telah banyak bertemu dengan kawanan padri, tapi waktu melihat Hong-sing semuanya lantas menyingkir ke tepi jalan sambil menundukkan kepala memberi hormat dengan sikap yang sangat segan.
Setelah menyusuri tiga jalanan serambi yang panjang, akhirnya mereka sampai di luar sebuah rumah batu. Hong-sing lantas berkata kepada seorang hwesio cilik yang menjaga di luar rumah itu, "Hong-sing ada urusan dan mohon bertemu dengan Hongtiang Suheng."
Hwesio cilik itu mengiakan dan melaporkannya ke dalam. Tidak lama kemudian ia telah keluar lagi dan memberi hormat, katanya, "Hongtiang menyilakan Taysu masuk."
Segera Lenghou Tiong ikut di belakang Hong-sing memasuki rumah batu itu. Terlihatlah seorang hwesio tua bertubuh pendek kecil duduk di atas satu kasuran di tengah-tengah ruangan.
"Hong-sing menyampaikan sembah kepada Hongtiang Suheng," demikian Hong-sing lantas memberi hormat kepada hwesio tua itu. "Bersama ini pula Hong-sing memperkenalkan murid pertama dari Hoa-san-pay, Lenghou Tiong, Lenghou-siauhiap."
Cepat Lenghou Tiong lantas berlutut dan memberi sembah.
Hong-ting Hongtiang, ketua Siau-lim-si, sedikit membungkuk tubuh sambil mengangkat tangan kanannya dan berkata, "Siauhiap jangan banyak peradatan. Silakan duduk!"
Selesai memberi hormat, lalu Lenghou Tiong mengambil tempat duduk di atas kasuran yang terletak di samping Hong-sing. Dilihatnya paras ketua Siau-lim-si itu rada-rada muram, seakan-akan orang yang sedang bersedih, usianya sukar untuk ditaksir. Diam-diam ia heran, "Sungguh tidak nyana bahwa padri agung yang namanya mengguncangkan dunia ini ternyata cuma begini saja mukanya. Jika bertemu dengan dia di luar Siau-lim-si mungkin tiada seorang pun yang akan menduga bahwa dia adalah ketua suatu aliran terbesar di dunia persilatan pada zaman ini."
Dalam pada itu terdengar Hong-sing Taysu telah bicara pula, "Lapor Suheng, sesudah mendapat perawatan selama lebih tiga bulan, kini kesehatan Lenghou-siauhiap sudah jauh bertambah baik."
Lenghou Tiong terkejut lagi, "Kiranya sudah lebih tiga bulan lamanya aku dalam keadaan tak sadarkan diri, tadi aku sih mengira paling lama baru belasan hari saja."
Terdengar Hong-ting Taysu telah berkata, "Baik sekali," lalu ia menoleh kepada Lenghou Tiong dan meneruskan, "Siauhiap, gurumu Gak-siansing adalah ketua Hoa-san-pay, pribadi beliau terkenal sangat tegas dan jujur, namanya berkumandang di seluruh penjuru Kangouw, Lolap sendiri selamanya juga sangat kagum kepada beliau."
"Ah, Hongtiang terlalu memuji," sahut Lenghou Tiong dengan rendah hati. "Wanpwe menderita penyakit parah dan tak sadarkan diri, syukur mendapat pertolongan dari Hong-sing Taysu sehingga jiwaku dapat diselamatkan. Selama Wanpwe tidak sadarkan diri kiranya sudah lebih tiga bulan lamanya. Selama itu Suhu dan Subo kami tentulah dalam keadaan baik-baik juga?"
Tentang guru dan ibu-gurunya sendiri apakah baik-baik atau tidak mestinya tidak layak ditanyakan kepada orang luar, cuma lantaran Lenghou Tiong sangat memikirkan kedua orang tua itu sehingga tanpa pikir ia telah mengajukan pertanyaan demikian.
Maka terdengar Hong-sing telah menjawab, "Kabarnya Gak-siansing, Gak-hujin, serta para murid Hoa-san-pay kini berada semua di Hokkian."
Mendapat keterangan itu, legalah hati Lenghou Tiong, katanya, "Banyak terima kasih atas pemberitahuan ini."
Lalu Hong-ting mulai berkata pula, "Menurut keterangan Hong-sing Sute, katanya ilmu pedang Lenghou-siauhiap mahahebat dan sudah memperoleh ajaran asli "Tokko-kiu-kiam" dari kaum cianpwe Hoa-san-pay Hong-losiansing, hal ini sungguh sangat menggirangkan dan pantas diucapkan selamat kepada Siauhiap. Sudah lama sekali Hong-losiansing mengasingkan diri, selama ini Lolap menyangka beliau sudah wafat, siapa kira beliau masih berada di dunia fana ini, sungguh membuat orang girang tak terhingga dan Lolap juga ikut bersyukur."
Lenghou Tiong hanya mengiakan saja. Diam-diam ia berpikir, "Menurut tingkatan angkatan, Hong-thaysusiokco memang lebih tua daripada kedua padri agung Siau-lim-si ini, mereka ini memang harus menyebut beliau sebagai locianpwe."
Dalam pada itu kedua mata Hong-ting tampak rada tertutup, lalu berkata pula dengan perlahan, "Sesudah Lenghou-siauhiap terluka, tapi karena mendapat penyembuhan yang keliru dari orang yang tidak mahir sehingga di dalam tubuhmu terhimpun berbagai macam hawa murni yang aneh dan sukar dipunahkan, hal-hal ini Lolap sudah diberi tahu oleh Hong-sing Sute. Setelah Lolap meninjau persoalan ini dengan teliti, kukira hanya ada satu jalan, yaitu melatih "Ih-kin-keng", yaitu inti lwekang yang paling tinggi dari Siau-lim-pay kami, dengan demikian barulah kelak Siauhiap mampu memunahkan macam-macam hawa murni jahat itu dengan kekuatan yang timbul dari tubuhmu sendiri. Sebaliknya kalau mau memunahkannya dengan kekuatan dari luar, walaupun jiwamu dapat diulur dan ditunda untuk sementara waktu, namun sebenarnya tiada gunanya, bahkan akan lebih merugikan dirimu malah. Selama lebih tiga bulan Hong-sing Sute telah menyelamatkan jiwamu dengan tenaga dalamnya, akan tetapi dengan tersalurkannya tenaga dalamnya ke dalam tubuhmu, maka kini di dalam tubuhmu menjadi bertambah pula semacam hawa murni yang aneh. Untuk ini boleh Siauhiap coba-coba buktikan dengan mengerahkan tenagamu, coba."
Lenghou Tiong menurut, ia coba-coba mengerahkan tenaga sedikit saja, benar juga lantas terasa darah bergolak, sakitnya bukan kepalang, seketika butir-butir keringat berketes-ketes dari dahinya.
"Lolap tidak becus sehingga makin menambah penderitaan Siauhiap," ujar Hong-sing sambil merangkap kedua tangannya.
Jawab Lenghou Tiong, "Ah, mengapa Taysu berkata demikian" Taysu telah menolong jiwa Wanpwe dengan sepenuh tenaga sehingga banyak mengorbankan tenaga murni, bisanya Wanpwe hidup lagi seperti sekarang adalah berkat budi pertolongan Taysu."
"Aku tidak berani," sahut Hong-sing. "Dahulu Hong-losiansing pernah menolong Lolap, maka sedikit perbuatanku ini tidak lebih hanya sebagian kecil saja batas budi kebaikan Hong-losiansing itu."
Tiba-tiba Hong-ting mengangkat kepalanya dan berkata, "Bicara tentang budi kebaikan atau dendam sakit hati apa segala" Budi kebaikan adalah jodoh, dendam sakit hati tidak boleh dipegang teguh. Segala kejadian di dunia fana ini laksana asap saja yang akan buyar dalam sekejap mata, setelah mencapai kesempurnaan takkan ada soal budi kebaikan dan dendam sakit hati lagi."
"Ya, terima kasih atas petuah Suheng ini," sahut Hong-sing.
Perlahan-lahan Hong-ting berkata pula, "Anak murid Buddha harus mengutamakan welas asih. Jika Siauhiap sudah menderita penyakit sedalam itu, sudah seharusnya akan kutolong sepenuh tenaga. Tentang "Ih-kin-keng" itu adalah ciptaan cikal bakal Siau-lim-si kami Tat-mo Cosu yang kemudian diwariskan kepada Cosu kedua, Hui-ko Taysu. Asalnya Hui-ko Taysu bergelar Sin-kong, beliau adalah orang Lokyang, waktu mudanya banyak mempelajari agama-agama lain, pengetahuannya sangat luas. Waktu Tat-mo Cosu sampai bersemayam di sini, Sin-kong Taysu telah berkunjung kemari dan mohon diterima sebagai murid, namun Tat-mo Cosu merasa apa yang dipelajari Sin-kong Taysu terlalu ruwet dan sukar memahami ajaran Buddha melulu, maka telah menolak permohonannya. Sin-kong Taysu masih terus memohon dengan sangat dan tetap tidak dapat diterima, akhirnya beliau lantas melolos pedang dan mengutungi lengan kiri sendiri."
"Ah!" Lenghou Tiong sambil bersuara kaget. Pikirnya, "Ternyata tekad Sin-kong Taysu itu sedemikian teguhnya."
Hong-ting melanjutkan pula ceritanya, "Melihat begitu teguh maksud Sin-kong Taysu barulah kemudian Tat-mo Cosu mau menerimanya sebagai murid dan mengganti nama sucinya sebagai Hui-ko, kelak Hui-ko Taysu yang menjadi pewaris Tat-mo Cosu dan pada Zaman Sui-tiau (Dinasti Sui) beliau diberi sebutan sebagai "Sian-kat Taysu". Ih-kin-keng yang diperoleh Hui-ko Taysu masih tertulis dalam huruf Hindu kuno, arti dalam kitab itu sangat luas, Hui-ko Taysu memperoleh kitab itu di tempat semadi Tat-mo Cosu ketika wafat sehingga isi kitab itu tak dapat dipelajari.
"Menurut tafsiran Hui-ko Cosu, kitab yang ditinggalkan Tat-mo Cosu sesudah bersemadi menghadapi tembok selama sembilan tahun, walaupun isi kitab hanya sedikit saja, tapi maknanya pasti lain daripada yang lain. Maka beliau lantas membawa kitab itu dan menjelajahi berbagai pegunungan ternama untuk mencari padri saleh yang dapat memberi pemecahan tentang arti isi kitab itu.
"Namun dapatlah dibayangkan, tatkala itu Hui-ko Cosu sudah terhitung padri saleh pada zaman itu, apa yang beliau renungkan saja sukar dipecahkan, apalagi mau mencari padri saleh lain yang lebih pintar daripada Hui-ko Cosu sendiri, terang hal ini sangat sulit dicari. Sebab itulah selama lebih dari 20 tahun arti dari isi kitab Ih-kin-keng yang dalam itu tetap tak terpecahkan.
"Pada suatu hari, berkat jodoh Hui-ko Cosu yang amat terpuji, beliau telah dapat bertemu dengan seorang padri Hindu di puncak Go-bi-san, padri Hindu itu bernama Panji Miti, keduanya telah saling tukar pendapat tentang ajaran Buddha dan masing-masing merasa sangat cocok satu sama lain. Akhirnya Hui-ko Cosu telah mengeluarkan Ih-kin-keng yang dibawanya untuk dibaca dan dipelajari bersama dengan Panji Miti. Kedua padri saleh itu saling tukar pendapat di puncak Go-bi-san selama 7x7=49 hari dan akhirnya dapat mencapai maksud tujuannya, isi kitab itu telah dapat dipecahkan dengan baik."
"Omitohud! Siancay! Siancay!" demikian Hong-sing mengucapkan sabda Buddha.
Lalu Hong-ting melanjutkan pula, "Tapi apa yang dapat dipecahkan oleh padri saleh Panji Miti itu sebagian besar adalah ajaran Buddha melulu, baru 12 tahun kemudian ketika Hui-ko Cosu bertemu dengan seorang muda yang mahir ilmu silat di Tiang-an, mereka saling tukar pikiran pula selama tiga hari tiga malam, akhirnya segala intisari ilmu silat yang terkandung di dalam Ih-kin-keng itu dapatlah dipahami seluruhnya."
Setelah merandek sejenak, kemudian disambungnya, "Orang muda itu bukan lain adalah pahlawan berjasa pada pendirian dinasti Tong yang terkenal dengan gelaran Wei-kok-kong Li Ceng adanya. Sebabnya Li Ceng dapat mendirikan begitu besar pahala tak lain adalah berkat manfaat yang diperolehnya dari isi Ih-kin-keng itu."
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir, "O, kiranya begitu hebat asal usulnya "Ih-kin-keng" ini."
Hong-ting lantas melanjutkan pula, "Ilmu di dalam Ih-kin-keng itu melingkupi segenap urat nadi seluruh tubuh dan mengikat semangat semua anggota badan, kekuatan akan timbul dari dalam tubuh dan darah akan mengalir lancar. Jika kitab itu sudah dapat diyakinkan isinya, maka tenaga dapat timbul menurut keinginan tanpa terputus. Lenghou-siauhiap, meyakinkan Ih-kin-keng adalah laksana sebuah perahu kecil yang terombang-ambing di tengah gelombang ombak samudra dan perahu kecil itu akan naik-turun mengikuti tinggi rendahnya gelombang sehingga sukar untuk dikekang, tapi kalau ingin mengekangnya, dari mana tempatnya yang dapat dikekang?"
Lenghou Tiong hanya manggut-manggut mengikuti uraian ketua Siau-lim-si itu, ia merasa teori perahu di tengah damparan ombak yang diuraikan itu rada cocok dengan teori ilmu pedang ajaran Hong Jing-yang itu dan ternyata memang betul Ih-kin-keng itu adalah ilmu silat yang amat luas dan susah dijajaki.
Lalu Hong-ting menyambung, "Lantaran Ih-kin-keng mengandung daya kekuatan sedemikian hebat, maka selama beberapa ratus tahun tidak diajarkan kepada siapa pun juga kecuali kepada seorang yang ada jodoh. Sekalipun anak murid pilihan dari Siau-lim-si sendiri jika memang tidak punya rezeki, tidak ada jodoh, kepadanya juga tidak diberikan ajaran Ih-kin-keng ini. Misalnya Hong-sing Sute, ilmu silatnya sudah amat tinggi, pribadinya juga sangat baik, dia adalah tokoh terkemuka dari Siau-lim-si, namun dia toh tidak mendapat pelajaran Ih-kin-keng dari guru kami."
"Jadi kitab suci ini tidak sembarangan diajarkan kepada orang, hal ini telah jelas diterangkan oleh Taysu, Wanpwe sendiri merasa tidak punya rezeki dan tidak ada jodoh, maka Wanpwe tidak berani mengajukan permohonan sesuatu apa pun," kata Lenghou Tiong.
"Tidak, Siauhiap justru adalah orang yang ada jodoh," ujar Hong-ting.
Jantung Lenghou Tiong berdebar-debar seketika mendengar keterangan itu. Sungguh tidak tersangka bahwa ilmu yang dirahasiakan oleh Siau-lim-si, sampai-sampai tokoh terpilih dan padri agung sebagai Hong-sing Taysu saja tidak mendapat pelajarannya, tapi dirinya sendiri ternyata dikatakan ada jodoh.
Perlahan-lahan Hong-ting berkata lagi, "Buddha mahabesar dan hanya terbuka bagi yang ada jodoh. Siauhiap adalah ahli waris Tokko-kiu-kiam ajaran Hong-losiansing, ini adalah suatu jodoh, Siauhiap dapat datang ke Siau-lim-si sini, ini pun adalah jodoh. Siauhiap kalau tidak meyakinkan Ih-kin-keng tentu jiwamu akan tamat, sebaliknya umpama Hong-sing Sute mempelajari Ih-kin-keng memang ada manfaatnya, tapi kalau tidak meyakinkan juga tidak ada halangan baginya. Perbedaanmu dengan Hong-sing Sute ini pun suatu jodoh pula."
"Rezeki dan jodoh Lenghou-siauhiap ternyata amat besar, sungguh aku pun merasa sangat bersyukur," ujar Hong-sing Taysu sambil merangkap kedua tangannya.
"Sebenarnya di antara ini masih ada suatu rintangan, tapi saat ini rintangan itu pun sudah dilalui," kata Hong-ting. "Sejak Tat-mo Cosu sampai kini, Ih-kin-keng hanya diajarkan kepada murid Siau-lim-si sendiri dan tidak diturunkan kepada orang luar, tata tertib ini tak boleh dilanggar olehku, maka Siauhiap harus masuk Siau-lim-si dan diterima sebagai murid dari keluarga partikelir."
Setelah merandek sejenak, lalu ia melanjutkan, "Dan kalau Siauhiap tidak menampik, bolehlah kau kuterima sebagai murid dan terhitung murid dari angkatan "Kok" dengan nama baru Lenghou Kok-tiong."
Yang memperlihatkan rasa girang lebih dulu adalah Hong-sing, segera ia berkata, "Terimalah ucapan selamat dariku, Lenghou-siauhiap. Selama hidup Hongtiang Suheng hanya pernah menerima dua orang murid, hal ini pun sudah terjadi 30 tahun yang lalu. Kini Siauhiap adalah murid penutup dari Hongtiang Suheng bukan saja akan dapat menyelami ilmu silat mahatinggi dari Ih-kin-keng, bahkan ke-12 macam ilmu silat Siau-lim-pay kita juga akan diajarkan Hongtiang Suheng kepadamu, kelak Siauhiap pasti dapat lebih mengembangkan perguruan kita dan membawa nama Siau-lim-pay lebih jaya di dunia persilatan."
Mendadak Lenghou Tiong berbangkit, sahutnya, "Banyak terima kasih atas segala maksud baik Hongtiang Taysu. Cuma Wanpwe sudah masuk sebagai murid Hoa-san-pay, maka tidak berani ganti perguruan lagi."
Hong-ting tersenyum, katanya, "Rintangan yang kukatakan tadi justru adalah soal ini. Siauhiap, saat ini kau sudah bukan murid Hoa-san-pay lagi. Mungkin hal ini kau sendiri pun belum tahu."
Lenghou Tiong terkesiap, tanyanya tidak habis mengerti, "Ken ... kenapa aku bukan ... bukan murid Hoa-san-pay lagi?"
"Silakan Siauhiap membaca sendiri," kata Hong-ting sambil mengeluarkan sepucuk surat. Sedikit tangannya bergerak, surat itu lantas melayang lurus ke arah Lenghou Tiong.
Cepat Lenghou Tiong menangkap surat itu dengan kedua tangannya. Terasalah badannya tergetar. Keruan kejutnya tak terkatakan. Pikirnya, "Lwekang ketua Siau-lim-si ini benar-benar dalamnya susah diukur. Melulu sepucuk surat seenteng ini ternyata bisa juga membawa tenaga dalam sekuat ini. Untung tenagaku sudah punah, jika tidak tentu aku akan menangkap sampul surat ini dengan mengerahkan tenaga dan dari benturan kedua arus tenaga pasti aku sendiri akan terpental."
Ketika ia mengamat-amati sampul surat itu, ternyata di atas sampul terdapat stempel tanda ketua Hoa-san-pay dan terdapat pula tulisan: "Diaturkan kepada Ciangbun Taysu Siau-lim-pay". Dari tulisan yang indah dan goresan yang kuat itu jelas memang betul adalah tulisan tangan Gak Put-kun, gurunya sendiri.
Bab 61. Si Kakek Berjubah Putih
Samar-samar Lenghou Tiong merasakan firasat yang tidak enak, dengan tangan gemetar ia membuka sampul surat itu dan dibaca. Ia benar-benar tidak percaya apa yang tertulis pada surat itu. Ia coba mengulangi baca lagi sekali seketika ia merasa seakan-akan langit berputar putar dan bumi terbalik, "bluk", ia jatuh tak sadarkan diri.
Ketika siuman kembali ia merasa tubuhnya berada dalam pangkuan Hong-sing Taysu. Saking sedihnya menangislah Lenghou Tiong tersedu-sedan.
"Sebab apakah Lenghou-siauhiap merasa susah, apakah gurumu mengalami sesuatu?" tanya Hong-sing.
"Silakan Taysu membacanya," kata Lenghou Tiong terguguk-guguk sambil menyodorkan surat itu.
Ketika Hong-sing membaca surat itu, isinya tertulis:
Diaturkan kepada yang terhormat ketua Siau-lim-si.
Selama menjabat ketua Hoa-san, teramat jarang mengaturkan salam hormat, mohon maaf.
Perihal murid murtad kami Lenghou Tiong, perangainya jelek, kelakuannya buruk, berulang-ulang melanggar larangan, paling akhir bahkan bergaul dengan orang jahat dan berkomplot dengan kaum iblis. Put-kun telah berusaha mendidiknya, tapi tidak berhasil. Untuk menegakkan kebesaran Bu-lim, sekarang murid murtad tersebut bukan lagi murid kami. Jika terjadi lagi perkomplotannya dengan kaum iblis dan merugikan kawan Kangouw umumnya, maka diharapkan kawan-kawan sekalian bangkit membinasakannya bersama. Tulisan singkat ini tidak mencerminkan seluruh maksud kami, mohon Taysu maklum adanya.
Isi surat juga sangat di luar dugaan Hong-sing Taysu, ia menjadi bingung dan tidak tahu cara bara bagaimana harus menghibur Lenghou Tiong. Setelah mengembalikan surat itu kepada Hong-ting, ketika melihat Lenghou Tiong masih menangis sedih, lalu katanya, "Siauhiap, pergaulanmu dengan orang-orang Hek-bok-keh itu memang tidak patut."
Hong-ting juga berkata, "Saat ini para ketua dari berbagai aliran cing-pay tentu juga sudah menerima surat gurumu ini dan telah memberi petunjuk kepada anak murid masing-masing. Sekalipun kau tidak terluka, begitu kau keluar dari sini, setiap langkahmu akan selalu merupakan rintangan bagimu. Para murid golongan cing-pay akan menganggap dirimu sebagai musuh mereka."
Lenghou Tiong melengak, teringat olehnya kata-kata yang diucapkan Ing-ing di tepi sungai kecil tempo hari. Memang benar, saat ini bukan saja setiap orang dari kalangan sia-pay ingin membunuhnya, bahkan orang-orang dari cing-pay juga menganggapnya sebagai musuh. Dunia selebar ini terasa tiada tempat berpijak lagi baginya.
Teringat pula budi kebaikan guru dan ibu-gurunya yang telah mendidiknya sejak kecil mirip ayah-bunda kandung sendiri, tapi dirinya yang sembrono tingkah lakunya sehingga dipecat dari perguruan. Dapat diduga kepedihan gurunya waktu menulis surat ini mungkin lebih hebat daripada dirinya sekarang.
Begitulah Lenghou Tiong merasa sedih dan malu pula, sungguh ingin sekali kepalanya ditumbukkan dinding dan biar mati saja.
Dengan air mata meleleh samar-samar dilihatnya wajah Hong-ting dan Hong-sing Taysu sama menampilkan rasa kasihan padanya. Tiba-tiba Lenghou Tiong teringat ketika di kota Heng-san dulu waktu Lau Cing-hong hendak cuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia persilatan, soalnya dia bergaul dengan gembong Mo-kau Kik Yang, akhirnya jiwanya melayang di tangan jago-jago Ko-san-pay.
Dari peristiwa itu dapat diketahui bahwa antara cing-pay dan sia-pay tak mungkin hidup bersama, sampai-sampai tokoh masam Lau Cing-hong juga tak terhindar dari kematian lantaran bergaul dengan kaum sia-pay, apalagi dirinya yang tidak punya sandaran apa-apa, lebih-lebih sesudah terjadi keonaran besar yang diperbuat kawanan iblis sia-pay di Ngo-pah-kang.
Terdengar Hong-ting berkata dengan perlahan, "Lautan derita tak bertepi, berpaling kembali ada gili-gili. Sekalipun penjahat yang tak terampunkan, asalkan mau sadar dan bertekad memperbaiki, maka pintu Buddha akan selalu terbuka baginya. Usiamu masih muda, kau baru kejeblos dan salah bergaul dengan orang jahat, masakah seterusnya tiada jalan bagimu untuk memperbaiki" Hubunganmu dengan Hoa-san-pay sekarang sudah putus sama sekali, selanjutnya boleh masuk Siau-lim-pay kami, perbaikilah semua kesalahan yang lalu dan jadilah manusia baru. Dengan begini kiranya orang Bu-lim juga tiada yang dapat membikin susah padamu."
Diam-diam Lenghou Tiong berpikir dirinya sedang menghadapi jalan buntu, jika sekarang mau berlindung di bawah pengaruh Siau-lim-pay, bukan saja akan mendapatkan lwekang yang tinggi dan jiwa sendiri dapat diselamatkan, bahkan dengan nama kebesaran Siau-lim-pay, terang tiada seorang Kangouw pun berani cari perkara pada murid Hong-ting Taysu.
Namun pada saat itu juga mendadak timbul wataknya yang kepala batu, katanya dalam hati, "Seorang laki-laki sejati tidak mampu berdikari di atas bumi ini dan mesti merendahkan diri mohon perlindungan kepada golongan lain, terhitung orang gagah macam apakah ini" Sekalipun beribu orang Kangouw ingin membunuh aku, biarkan mereka membunuh saja. Suhu tidak sudi padaku lagi dan memecat aku dari Hoa-san-pay, apa alangannya jika selanjutnya aku pergi-datang sendirian dengan bebas?"
Terpikir demikian, seketika darahnya bergolak dan mulut terasa dahaga, ingin rasanya minum arak sepuas-puasnya dan tak terhiraukan lagi akan mati atau hidup. Bahkan bayangan Gak Leng-sian yang biasanya senantiasa terbayang sekarang juga tak terpikirkan lagi.
Ia berbangkit dan menjura beberapa kali kepada Hong-ting berdua, lalu berkata dengan suara lantang, "Wanpwe tidak disukai perguruan lagi, tapi juga malu untuk masuk perguruan lain. Welas asih kedua Taysu sungguh tak terhingga terima kasih Wanpwe, biarlah Wanpwe mohon diri saja sekarang."
Hong-ting melengak melihat kepala batu pemuda yang tak gentar mati itu. Segera Hong-sing berkata, "Siauhiap, persoalan ini menyangkut mati-hidupmu, hendaknya kau pikir masak-masak dan jangan keburu nafsu."
Namun Lenghou Tiong tidak bicara pula, ia putar tubuh dan keluar dari kamar itu, dadanya penuh rasa penasaran, tapi langkahnya sangat cepat dan enteng, dengan tindakan lebar ia keluar dari Siau-lim-si. Anak murid Siau-lim-si sama heran melihatnya, tapi juga tidak merintangi kepergiannya.
Keluar dari kuil agung itu, Lenghou Tiong menengadah dan tertawa panjang, suara tawa yang penuh rasa pedih dan duka. Pikirnya, "Setiap orang cing-pay sekarang sama anggap aku sebagai musuh, orang-orang sia-pay juga bertekad akan membunuh aku. Besar kemungkinan hidupku ini takkan melampaui hari ini. Lihat saja siapakah yang akan mencabut nyawaku ini."
Ia coba meraba baju sendiri, ternyata sakunya tak beruang, pedang pun sudah tidak punya, bahkan kecapi hadiah Ing-ing pun entah hilang di mana, ia benar-benar dalam keadaan rudin tak miliki apa-apa. Tanpa khawatirkan apa pun segera ia turun dari pegunungan itu.
Menjelang petang, cukup jauh ia meninggalkan Siau-lim-si, badan terasa penat dan perut sangat lapar. Ia pikir ke mana mencari sedikit barang makanan.
Tiba-tiba terdengar suara tindakan orang ramai, tujuh-delapan orang tampak lari mendatang dari sebelah barat sana. Pakaian orang-orang itu sama ringkas kencang dari membawa senjata, lari mereka sangat tergesa-gesa.
"Apakah kalian hendak membunuh aku" Jika begitu silakan saja supaya aku tidak perlu repot-repot mencari makanan segala?" demikian pikirnya.
Maka ia lantas berdiri bertolak pinggang di tengah jalan dan berseru, "Ini dia Lenghou Tiong berada di sini. Yang ingin membunuh aku lekas beri tahukan dulu namanya!"
Siapa duga sesampai di depannya orang-orang itu hanya memandang sekejap saja padanya, lalu lewat di sebelahnya.
"Orang ini tentu orang gila!" demikian kata seorang di antaranya.
"Ya, jangan gubris dia, supaya tidak bikin runyam urusan penting kita," kata seorang pula.
"Benar, jika keparat itu sampai kabur tentu bisa celaka," tambah lagi orang ketiga. Dan hanya sekejap saja beberapa orang itu sudah menghilang di kejauhan.
Baru sekarang Lenghou Tiong mengetahui bahwa orang-orang itu sedang mengejar seorang lain. Baru saja rombongan tadi menghilang, tiba-tiba terdengar pula dari arah barat tadi berkumandang suara derapan kaki kuda yang riuh. Lima penunggang kuda tampak membalap tiba dan lalu di sampingnya.
Kira-kira belasan meter jauhnya, sekonyong-konyong seorang penunggang kuda itu memutar balik, penunggangnya adalah seorang wanita setengah umur, tanyanya kepada Lenghou Tiong, "Numpang tanya, apakah Anda melihat seorang kakek berjubah putih" Kakek itu bertubuh tinggi kurus dan membawa sebatang golok melengkung."
"Tidak," sahut Lenghou Tiong sambil menggeleng.
Wanita itu tidak tanya lebih jauh, segera ia putar kembali kudanya terus menyusul kawan-kawannya.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Apa barangkali mereka sedang mengejar dan hendak menangkap kakek berjubah putih yang mereka tanya itu" Aku lagi iseng, coba aku ikut ke sana untuk melihat keramaian."
Segera ia putar haluan dan menyusul ke jurusan orang-orang tadi.
Tidak seberapa lama, kembali dari belakang ada belasan orang berlari datang lagi. Orang ini semuanya adalah laki-laki kekar dan berbaju hijau, tiap-tiap orang bersenjatakan dua batang badik mengilap. Dari seragam pakaian dan senjata mereka terang mereka adalah orang-orang dari suatu perguruan.
Ketika melihat Lenghou Tiong, seumur 50-an tahun berpaling dan bertanya, "Eh, adik cilik, apakah kau lihat seorang kakek berjubah putih" Badannya tinggi kurus dan membawa golok melengkung?"
"Tidak, tidak melihat orang begitu," jawab Lenghou Tiong.
Tidak lama kemudian, sampailah di suatu persimpangan tiga, terdengar pula suara kelening kuda bergema dari barat daya sana, tiga penunggang tampak mendatang dengan cepat. Kuda-kuda itu semuanya sangat gagah, penunggangnya adalah pemuda berumur 20-an.
Sambil mengacungkan cambuknya, pemuda yang paling depan menegur Lenghou Tiong, "He, numpang tanya apakah kau lihat seorang ...."
"Seorang tua berjubah putih, berbadan tinggi kurus dan membawa senjata golok melengkung bukan?" demikian Lenghou Tiong menyambung.
Keruan ketiga pemuda itu menjadi girang, berbareng mereka berkata, "Benar! Di manakah dia?"
Tapi Lenghou Tiong lantas angkat bahu sambil menghela napas, jawabnya, "Entah, aku tidak melihatnya."
Pemuda pertama kali menjadi gusar, bentaknya, "Kurang ajar! Jadi kau sengaja mempermainkan kami saja" Jika tidak melihatnya dari mana kau tahu orang tua itu?"
"Apakah tidak melihatnya lantas tidak boleh tahu?" sahut Lenghou Tiong tersenyum.
Pemuda itu angkat cambuknya hendak menyabat kepala Lenghou Tiong, tapi seorang kawannya telah mencegahnya, "Jite, jangan bikin onar! Marilah kita lekas susul ke sana."
Pemuda pertama tadi mendengus sambil membunyikan cambuknya di udara, lalu melarikan kudanya ke jurusan semula.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Tampaknya orang-orang itu adalah jago-jago silat semua, beramai-ramai mereka mengejar seorang kakek, entah apa sebabnya" Hal ini sungguh menarik, biarlah aku ikut pergi ke sana untuk melihat ramai-ramai. Tapi kalau mereka tahu aku adalah Lenghou Tiong tentu aku akan dibunuhnya seketika."
Terpikir demikian ia menjadi rada takut. Tapi lantas terpikir pula, "Saat ini baik dari cing-pay maupun dari sia-pay sama-sama ingin membunuh aku, walaupun aku dapat main sembunyi-sembunyi dan dapat menunda masa hidup ini untuk beberapa lama, tapi akhirnya toh sukar terhindar dari kematian. Lalu apa artinya toh sukar tertunda sehari-dua hari" Kan lebih baik terserah keadaan saja, coba ajalku ini akan tamat di tangan siapa?"
Begitulah segera ia menyusul ke arah kepulan debu yang dijangkitkan oleh ketiga penunggang kuda tadi.
Untuk selanjutnya ada beberapa kelompok orang lagi yang sama menanyakan padanya tentang si kakek jubah putih, Lenghou Tiong menjadi heran, pengejar-pengejar itu tidak mengetahui di mana beradanya si kakek, yang mereka tempuh adalah satu jurusan yang sama, hal ini benar-benar aneh.
Setelah beberapa li jauhnya, sesudah menyusuri sebuah hutan cemara, tiba-tiba di depan terbentang sebuah dataran yang lapang, di situlah berkerumun banyak orang sedikitnya ada enam-tujuh ratus orang, tanah datar itu sungguh sangat luas sehingga beberapa ratus orang itu hanya mengambil sebagian kecil tanah lapang itu. Sebuah jalan besar lurus menembus ke tengah-tengah kerumunan orang-orang itu, segera Lenghou Tiong melangkah ke sana mengikuti jalan itu.
Sesudah dekat, terlihat di tengah-tengah kerumunan orang-orang itu ada sebuah gardu kecil. Orang-orang itu hanya mengepung di sekitar gardu itu dari jarak beberapa meter jauhnya dan tidak berani mendekat.
Gardu itu sebenarnya digunakan untuk istirahat bagi kaum pelancong yang lalu di situ, bangunannya sederhana dan rada buruk. Ketika Lenghou Tiong lebih mendekat lagi dilihatnya di tengah gardu itu ternyata ada seorang kakek berjubah putih, kakek itu seorang diri dan duduk menyanding sebuah meja dan sedang minum arak. Apakah kakek itu membawa golok melengkung atau tidak seketika sukar diketahui. Biarpun berduduk tapi tingginya hampir menyamai berdirinya orang biasa, jelas menandakan perawakan si kakek pasti sangat tinggi.
Walaupun dikepung orang sebanyak itu, tapi si kakek tampaknya tenang-tenang saja dan minum arak seenaknya, mau tak mau timbul rasa kagumnya Lenghou Tiong, terasa kesatria-kesatria yang pernah dijumpainya selama hidup ini tiada seorang pun yang segagah seberani si kakek.
Perlahan-lahan ia melangkah maju dan menyusup di tengah orang banyak. Orang-orang itu semuanya sedang memandang si kakek jubah putih dengan mata tak berkedip sehingga kedatangan Lenghou Tiong itu tidak menimbulkan perhatian mereka.
Ketika Lenghou Tiong mengamat-amati si kakek, dilihat jenggotnya yang panjang jarang-jarang itu sudah memutih dan terjulai di depan dada, tangannya memegang cawan arak, matanya memandang jauh ke ujung langit sana, sedikit pun tidak ambil pusing terhadap beberapa ratus orang yang mengepung di sekitarnya itu. Waktu memerhatikan pinggangnya, nyata di situ tergantung sebuah golok panjang berbentuk melengkung.
Sudah tentu Lenghou Tiong tidak tahu nama dan asal usul si kakek, juga tidak tahu mengapa dia bermusuhan dengan orang Bu-lim sebanyak itu, lebih-lebih tidak tahu apakah si kakek dari golongan cing-pay atau sia-pay, soalnya cuma kagum kepada sikapnya yang gagah berani sehingga timbul rasa simpatinya yang senasib.
Segera ia melangkah maju dan menyapa, "Locianpwe, kau sendirian tanpa teman, tentu merasa kesepian, biar aku mengiringimu minum arak."
Tanpa diundang ia lantas masuk ke gardu itu, setelah memberi hormat lalu ia duduk di sebelah sana.
Kakek itu berpaling, sorot matanya yang tajam mengawasi Lenghou Tiong dari muka sampai ke ujung kaki. Terlihat pemuda yang tak dikenal ini tidak membawa senjata, wajahnya rada pucat. Ia rada heran, tapi ia pun tidak menjawab melainkan cuma mendengus saja.
Lenghou Tiong lantas angkat poci arak, lebih dulu ia menuangi cawan di depan si kakek, lalu menuang pula sebuah cawan yang lain.
"Mari!" ajaknya, arak secawan penuh itu terus ditenggak habis sekaligus.
Arak itu sangat keras, mulut serasa disayat-sayat dan laksana api membakar perut. "Ehmm, arak bagus!" demikian puji Lenghou Tiong.
"He, bocah itu!" mendadak seorang laki-laki di luar gardu sana membentak dengan nada kasar. "Lekas keluar dari situ. Kami hendak mengadu jiwa dengan Hiang-lothau, jangan kau mengacau dan mengalang-alangi di situ."
"Aku minum arak sendiri bersama Hiang-locianpwe, alangan apa mengenai urusanmu?" sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. Segera ia menuang secawan lagi dan ditenggak habis pula. Sambil mengacungkan ibu jari ia memuji, "Arak bagus!"
Tiba-tiba dari sebelah kiri sana seorang berseru, "Hei, lekas enyah bocah itu, jangan kau bikin jiwamu melayang percuma di sini. Atas perintah Tonghong-kaucu kami hendak menangkap pemberontak Hiang Bun-thian itu, jika orang luar berani ikut mengacau tentu akan kami bikin dia mati tak terkubur."
Waktu Lenghou Tiong memandang ke arah datangnya suara, kiranya pembicara itu adalah seorang laki-laki kurus kecil dan bermuka kuning. Di sebelah laki-laki kurus kecil itu berdiri dua-tiga ratus orang berbaju seragam hijau, ada laki-laki dan ada perempuan, ada hwesio dan juga ada orang biasa. Baju mereka hijau seragam, hanya ikat pinggang mereka yang beraneka warna dan berbeda-beda. Ikat pinggang laki-laki kurus kecil itu berwarna kuning, di antara dua-tiga ratus orang itu hanya dia sendiri yang pakai ikat pinggang kuning.
Lenghou Tiong jadi teringat kepada Kik Yang, itu gembong Mo-kau yang dilihatnya di luar kota Heng-san dahulu, baju yang dipakai Kik Yang juga berwarna hijau, kalau tidak salah ikat pinggangnya juga berwarna kuning. Sekarang laki-laki kurus kecil ini menyatakan hendak menangkap pemberontak atas perintah Tonghong-kaucu, jika demikian orang-orang itu terang adalah anggota Mo-kau setingkat dengan Kik Yang sama-sama tianglo (tertua) dari agama sesat itu.
"Arak bagus!" demikian kembali ia menenggak habis secawan arak. Lalu katanya kepada si kakek berjubah putih yang bernama Hiang Bun-thian itu, "Hiang-locianpwe, Cayhe telah minum tiga cawan arakmu, banyak terima kasih!"
Pada saat itulah mendadak di sebelah timur sana ada orang berteriak, "Bocah itu adalah murid Hoa-san-pay yang dipecat, namanya Lenghou Tiong!"
Lenghou Tiong coba memerhatikan siapa yang bicara itu, kiranya adalah murid Jing-sia-pay yang bernama Kau Jin-hong. Sekarang dengan jelas dapat dilihatnya bahwa di sekitar Kau Jin-hong masih banyak pula jago-jago Ngo-gak-kiam-pay.
"Hei, Lenghou Tiong," terdengar seorang tosu di antaranya berseru, "gurumu mengatakan kau berkomplot dengan kaum iblis, nyatanya memang benar. Kedua tangan Hiang Bun-thian itu berlumuran darah kaum kesatria dan pendekar, apa yang kau lakukan bersama dia" Jika kau tidak lekas menyingkir, sebentar orang banyak akan mencencangmu hingga hancur luluh."
"Yang bicara itu Susiok dari Thay-san-pay bukan?" tanya Lenghou Tiong. "Cayhe selamanya tidak kenal Hiang-locianpwe ini. Tapi kalian berjumlah beberapa ratus orang dan mengepung dia sendirian, terhitung perbuatan macam apakah ini" Sejak kapan lagi jago Ngo-gak-kiam-pay bersatu dengan orang Mo-kau" Cing-pay dan sia-pay sekarang telah bersatu menghadapi Hiang-locianpwe sendiri, apakah hal ini takkan ditertawai oleh setiap kesatria di dunia ini?"
Tosu itu menjadi gusar, jawabnya, "Bilakah kami bersatu dengan orang Mo-kau untuk menangkap anggota murtad mereka" Kita hanya ingin menuntut balas bagi kawan-kawan kita yang terbunuh oleh bangsat keparat ini. Masing-masing mengerjakan kepentingannya sendiri, satu dan lain tiada sangkut paut."
"Bagus, bagus, bagus, jika begitu, asalkan kalian bertempur satu lawan satu, maka aku akan menyaksikan keramaian ini sambil duduk minum arak di sini," ujar Lenghou Tiong tertawa.
"Kau ini kutu macam apa?" bentak Kau Jin-hong. "Ayolah beramai-ramai binasakan dulu bocah ini, kemudian baru bikin perhitungan dengan bangsat she Hiang itu."
Dengan tertawa Lenghou Tiong berkata, "Untuk membinasakan aku Lenghou Tiong seorang kenapa mesti pakai maju beramai-ramai segala" Silakan Kau-heng maju sendiri saja dan beres!"
Dahulu Kau Jin-hong pernah ditendang terjungkal ke bawah loteng restoran di kota Heng-san, ia tahu kepandaian sendiri masih kalah jauh maka sekarang ia pun tidak berani maju, ia tidak tahu bahwa tenaga dalam Lenghou Tiong sudah punah. Sedangkan kawan-kawannya rupanya jeri terhadap kelihatan Hiang Bun-thian sehingga tidak berani menyerbu ke dalam gardu itu.
"Orang she Hiang," demikian terdengar laki-laki kurus kecil dari Mo-kau tadi berteriak, "urusan sudah begini, jika kau tahu gelagat, lebih baik ikut saja dengan kami untuk menghadap Kaucu dan mohon keringanan keputusannya. Kau pun terhitung jago agama kita, apakah perlu kita harus bertempur mati-matian sehingga ditertawai orang luar?"
Kemelut Di Majapahit 15 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Penelitian Rahasia 1
^