Hina Kelana 29
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 29
"Di lereng pegunungan di barat Kota Siangyang," tutur Lo Thau-cu.
"Jika demikian, marilah kita lekas makan minum, lalu cepat menyusul ke sana."
Begitulah di tengah perjalanan mereka bertemu pula dengan dua rombongan orang-orang gagah yang juga sedang menuju ke Hong-po-peng, gabungan tiga rombongan jumlahnya sudah ada 100 orang lebih.
Lenghou Tiong jalan berendeng dengan Lo Thau-cu, ia tanya orang tua itu, "Bagaimana keadaan putrimu si Siau Ih" Apakah sudah baik?"
"Banyak terima kasih atas perhatian Kongcu," sahut Lo Thau-cu. "Dia belum baik sama sekali, tapi juga tidak terlalu buruk."
Ada suatu pertanyaan yang selalu menggoda pikiran Lenghou Tiong selama ini, melihat orang-orang lain rada ketinggalan jauh di belakang, segera ia tanya pula, "Semua kawan sama mengatakan utang budi kebaikan kepada Seng-koh. Cayhe sungguh-sungguh tidak mengerti, usia Seng-koh masih muda belia, cara bagaimana dia bisa menanam budi kebaikan kepada kawan-kawan Kangouw sebanyak ini?"
"Kongcu benar-benar tidak tahu seluk-beluk soal ini?" tanya Lo Thau-cu sambil berpaling ke arahnya.
"Tidak tahu," jawab Lenghou Tiong.
"Kongcu bukan orang luar, mestinya tidak perlu dirahasiakan. Cuma setiap orang sudah pernah bersumpah kepada Seng-koh bahwa rahasia ini takkan dibocorkan. Maka terpaksa mohon Kongcu sudi memaafkan."
"Jika demikian, baiklah jangan kau ceritakan."
"Kelak Seng-koh yang menceritakan sendiri kepada Kongcu kan jauh lebih baik?"
"Ya, semoga selekasnya akan tiba hari yang diharapkan ini," kata Lenghou Tiong.
Ketika rombongan besar mereka sampai di Hong-po-peng, sementara itu sudah jauh malam. Dari jauh sudah terdengar hiruk-pikuk orang saling caci maki diseling suitan dan teriakan. Sesudah dekat, di bawah sinar bulan Lenghou Tiong melihat di suatu tanah lapang yang dikelilingi lereng-lereng bukit itu berkumpul orang sedemikian banyaknya, sedikitnya ada ribuan.
"Jabatan bengcu selamanya hanya dipangku oleh satu orang saja," demikian terdengar seorang berteriak dengan marah, "sekarang kalian berenam ingin menjadi bengcu sekaligus, lalu bengcu macam apakah ini?"
"Kami berenam merupakan satu orang dan satu orang sama dengan enam orang, asal kalian sama tunduk kepada kami berenam saudara, maka berarti kami sudah menjadi bengcu. Nah, jangan kau banyak bacot lagi, kalau rewel lagi bukan mustahil kami akan membeset tubuhmu menjadi empat potong," demikian teriak seorang lain.
Tanpa melihat orangnya segera Lenghou Tiong dapat mengetahui pembicara terakhir itu adalah satu di antara "Tho-kok-lak-sian". Hanya suara mereka berenam saudara itu satu sama lain hampir mirip, maka sukar dibedakan siapa yang berbicara.
Rupanya pembicara pertama tadi menjadi ketakutan oleh ancaman itu dan tidak berani buka suara lagi. Tapi orang-orang banyak itu jelas tidak mau tunduk kepada Tho-kok-lak-sian, ada yang berteriak-teriak mengejek dari jauh, ada yang mencaci maki secara sembunyi-sembunyi di pelosok yang gelap. Bahkan ada melemparkan batu dan menaburkan pasir ke tengah kalangan. Suasana menjadi kacau.
"Siapa yang melempar batu padaku?" teriak Tho-yap-sian.
"Ayahmu!" jawab satu orang dari tempat yang tak kelihatan.
"Apa" Kau adalah ayah kakakku?" seru Tho-hoa-sian dengan gusar.
"Belum tentu!" sahut seorang lagi.
Serentak gemuruhlah gelak tertawa beberapa ratus orang.
"Kenapa belum tentu?" tanya Tho-hoa-sian bingung.
"Aku pun tidak tahu, sebab aku cuma punya seorang anak," sahut lagi seorang lain.
"Anakmu hanya satu, apa sangkut pautnya dengan aku?" kata Tho-hoa-sian.
"Tidak ada sangkut pautnya dengan kau, besar sangkut pautnya dengan saudaramu," seru seorang dengan gelak tertawa.
"Apa barangkali ada sangkut pautnya dengan aku?" tanya Tho-kan-sian.
"Mungkin, harus lihat wajahmu mirip tidak!" kata orang tadi dengan tertawa.
"Apa maksudmu mirip wajahku?" tanya Tho-sit-sian. "Coba kau maju."
"Buat apa maju, kau sendiri boleh bercermin saja," sahut orang itu tertawa.
Mendadak empat sosok bayangan melayang ke arahnya dengan cepat luar biasa, kontan orang yang bicara itu dicomot dari tempat yang gelap. Ternyata orang itu tinggi besar, sedikitnya ada 200 kati. Tapi kaki-tangannya kena dipegang oleh Tho-kok-si-sian, sedikit pun dia tidak bisa berkutik.
Setelah diseret keluar, di bawah sinar bulan dapatlah muka orang itu terlihat jelas. Tho-sit-sian lantas berkata, "Tidak mirip, masakah wajahku seburuk ini" Losam, mungkin mirip kau."
"Cis, memangnya kau lebih cakap daripadaku?" semprot Tho-ki-sian. "Sedemikian banyak yang hadir di sini boleh suruh mereka menjadi juri."
Sebenarnya semua orang merasa geli melihat wajah Tho-kok-lak-sian yang lebih buruk daripada siluman itu, tapi mengaku cakap sendiri. Namun demi melihat laki-laki tinggi besar itu setiap saat dapat dirobek menjadi empat potong oleh Si-sian itu, mereka menjadi kebat-kebit dan tidak dapat tertawa lagi.
Lenghou Tiong kenal watak Tho-kok-lak-sian, bukan mustahil tawanan mereka itu akan dibeset, maka cepat ia berseru, "Tho-kok-lak-sian, bagaimana kalau aku Lenghou Tiong yang menjadi juri bagi kalian?"
Sembari bicara ia terus muncul dari tempat sembunyinya.
Mendengar nama "Lenghou Tiong", seketika gemparlah semua orang. Beribu pasang mata terpusat kepadanya. Tapi Lenghou Tiong tanpa berkedip terus menatap ke arah Tho-kok-lak-sian, katanya pula, "Silakan kalian lepaskan dulu kawan itu, dengan demikian barulah aku dapat menilai wajah kalian dengan jelas."
Terhadap Lenghou Tiong memang Tho-kok-lak-sian mempunyai kesan baik, segera mereka melepaskan tawanan itu. Ternyata perawakan laki-laki itu benar-benar sangat kekar. Namun begitu mukanya tampak pucat seperti mayat, maklum ia pun insaf bahwa jiwanya seakan-akan baru saja lolos dari pintu akhirat, badannya menjadi gemetar meski ia coba tabahkan diri sekuatnya. Maksudnya hendak mengucapkan terima kasih, tapi giginya sampai ikut gemerutuk dan suaranya terputus-putus.
Melihat laki-laki itu cukup cakap, tapi dalam keadaan ketakutan, segera Lenghou Tiong berkata kepada Tho-kok-lak-sian, "Keenam Tho-heng, menurut pendapatku, wajah kalian sama sekali berbeda daripada wajah kawan ini, kalian jauh lebih cakap, lebih bagus, lebih gagah, lebih ganteng. Siapa saja yang melihat kalian tentu akan jatuh cinta."
Maka terdengarlah gelak tertawa orang banyak.
"Ya, benar," timbrung Lo Thau-cu. "Menurut pendapatku, kesatria di seluruh jagat ini, bicara tentang ilmu silat memang banyak yang lihai, tapi bicara kecakapan muka, wah, siapa pun tiada mampu melebihi Tho-kok-lak-sian."
Mendengar diri mereka dipuji oleh Lenghou Tiong dan Lo Thau-cu, keruan Tho-kok-lak-sian sangat senang. Mereka tidak tahu gelak tertawa orang banyak itu adalah ejekan, sebaliknya mengira mereka benar-benar mengagumi kebagusannya.
Kemudian Lo Thau-cu berseru, "Wah, nasib kawan-kawan benar-benar sangat mujur. Tadi di tengah jalan kami telah ketemukan Lenghou-kongcu seorang diri sedang menuju ke Siau-lim-si buat menyambut pulangnya Seng-koh, ketika mendengar kita sedang berkumpul di sini, beliau lantas mampir ke sini untuk berundingan dengan kita. Menurut pikiranku, bicara tentang kecakapan muka memang benar Tho-kok-lak-sian nomor satu ..." seketika ramai pula gelak tawa orang banyak. Cepat Lo Thau-cu memberi tanda berhenti, lalu sambungnya, "Tapi kepergian kita ini harus menghadapi Siau-lim-pay, urusan Seng-koh yang mahapenting ini rasanya tidak terlalu erat hubungannya dengan soal kecakapan. Maka menurut pendapatku, marilah kita mendukung Lenghou-kongcu sebagai bengcu kita, mohon beliau mengatur siasat dan memberi perintah kepada kita, entah bagaimana pendapat kawan-kawan sekalian?"
Semua orang mengetahui terkurungnya Seng-koh di Siau-lim-si itu adalah karena ingin menyembuhkan penyakit Lenghou Tiong dahulu, jangankan ilmu silat Lenghou Tiong memang sangat tinggi, hal ini sudah didengar mereka tentang pertarungannya melawan para kesatria di daerah Holam dahulu ketika dia membantu Hiang Bun-thian, sekalipun Lenghou Tiong tidak paham silat, mengingat dia adalah kekasih Seng-koh juga semua orang akan mengangkatnya menjadi bengcu. Lantaran ini mereka lantas bersorak gembira demi mendengar usul Lo Thau-cu tadi.
Tapi mendadak Tho-hoa-sian berseru dengan suara aneh, "Kita akan pergi menyambut pulangnya Yim-siocia, jika berhasil, apakah beliau akan dijadikan bini kepada Lenghou Tiong?"
Semua orang sangat hormat dan segan kepada Yim-siocia alias Ing-ing, maka tiada seorang pun yang berani mengiakan meski apa yang dikatakan Tho-hoa-sian tidaklah salah. Lenghou Tiong sendiri lebih-lebih kikuk, ia pun tidak dapat menyangkal cinta Ing-ing padanya yang bukan rahasia lagi bagi orang-orang Kangouw itu. Kalau menyangkal tentu juga akan membikin malu Ing-ing, sebaliknya kalau terang-terangan mengaku akan memperistrikan si nona, rasanya kelak masih akan banyak menghadapi rintangan, apalagi juga tidak layak mengaku terang-terangan begitu. Maka terpaksa ia bungkam saja.
Tiba-tiba Tho-yap-sian menimbrung, "Wah, dia mendapat bini, menjadi bengcu pula, sungguh terlalu enak baginya. Kalau kita pergi membantu dia menolong bininya, maka jabatan bengcu ini harus diserahkan kepada kami berenam saudara."
"Betul!" seru Tho-kin-sian. "Kecuali kepandaiannya bisa lebih hebat daripada kami, inilah lain soalnya."
Habis itu, sekonyong-konyong empat di antara Lak-sian itu terus menubruk maju, sekali cengkeram, seketika Lenghou Tiong terpegang dan terangkat ke atas.
Begitu cepat gerakan keempat orang itu, sebelumnya juga tiada tanda-tanda akan menyerang. Keruan Lenghou Tiong tidak sempat menghindar, tahu-tahu kedua tangan dan kedua kaki sudah dipegang erat-erat oleh empat orang.
"He, he, jangan! Lekas lepaskan!" teriak orang banyak.
"Jangan khawatir!" sahut Tho-yap-sian dengan tertawa. "Kami pasti takkan mencelakai dia, asalkan dia berjanji akan menyerahkan jabatan bengcu kepada kami ...."
Tapi belum habis ucapannya, sekonyong-konyong Tho-kin-sian, Tho-kan-sian, Tho-ki-sian, dan Tho-sit-sian yang memegangi Lenghou Tiong itu sama menjerit aneh dan terburu-buru melepaskan pemuda itu sambil berteriak-teriak, "He, he! Kau ... kau memakai ilmu sihir apa?"
Rupanya Lenghou Tiong juga khawatir keempat manusia dogol itu benar-benar melakukan sesuatu di luar dugaan dan benar-benar menyobek badannya, maka cepat ia mengerahkan "Gip-sing-tay-hoat" yang telah diyakinkan itu. Seketika Tho-kok-si-sian itu merasa tenaga dalam mereka bocor keluar, semakin mereka hendak mengerem semakin cepat tenaga mereka mengalir keluar melalui telapak tangan. Karena itu, saking kagetnya mereka lantas lepaskan Lenghou Tiong yang mereka pegang.
Lenghou Tiong juga lantas menghentikan ilmu saktinya itu, sekali loncat ia berdiri tegak di tengah kalangan.
"Ada apa?" tanya Tho-yap-sian.
"Ilmu ... ilmunya benar-benar sangat aneh, kami tidak sanggup memegang dia," seru Tho-ki-sian berempat.
Serentak bersoraklah orang banyak, semuanya berseru, "Nah, Tho-kok-lak-sian, sekarang kalian sudah tunduk bukan?"
"Kami tidak mampu memegang dia, sudah tentu kami tunduk, biarlah Lenghou Tiong yang menjadi bengcu saja," seru Tho-kin-sian berempat.
Melihat Tho-kok-lak-sian mau tunduk kepada Lenghou Tiong secara sukarela, meski tidak tahu sebab musababnya, tapi semua orang lantas tertawa gembira.
"Kawan-kawan," kata Lenghou Tiong kemudian, "keberangkatan kita untuk menyambut pulangnya Seng-koh ini sekalian kita usahakan untuk menyelamatkan saudara-saudara kita yang telah ikut tertawan di sana. Tapi Siau-lim-si adalah puncak tertinggi dari dunia persilatan yang telah diakui oleh siapa pun juga, ke-72 ilmu sakti mereka yang khas selama ini tiada tandingannya. Namun jumlah kita sangat banyak, di sini saja sekarang sudah ada ribuan orang, belum lagi orang-orang gagah yang akan menggabungkan diri pula dalam waktu singkat. Seumpama ilmu silat kita tidak dapat menandingi murid Siau-lim-si, asalkan main kerubut saja sepuluh lawan satu juga akhirnya kita akan menang."
"Benar, benar!" seru gemuruh orang banyak. "Memangnya hwesio-hwesio Siau-lim-si itu punya tiga kepala dan enam tangan sehingga sanggup melawan keroyokan kita?"
"Akan tetapi perlu diingat, meski para taysu Siau-lim-si itu menahan Seng-koh sekian lamanya, namun beliau tidak dibikin susah. Taysu-taysu itu adalah orang alim semua dan mengutamakan welas asih, sungguh harus dikagumi. Maka kalau kita sampai merusak Siau-lim-si, tentu juga teman-teman Kangouw akan mencela perbuatan kita yang menang dengan main kerubut, ini kan bukan perbuatan kaum kesatria sejati" Sebab itulah, menurut pendapatku, kita harus pakai siasat ramah tamah dahulu dan kemudian kekerasan. Jika kita dapat membujuk pihak Siau-lim-si membebaskan Seng-koh serta kawan-kawan yang lain untuk menghindarkan pertempuran berdarah, jalan inilah paling baik."
"Ucapan Lenghou-kongcu cocok dengan pikiranku," seru Coh Jian-jiu. "Jika benar-benar bertempur, tentu akan banyak jatuh korban dari kedua pihak."
"Tapi ucapan Lenghou-kongcu justru tidak cocok dengan seleraku," tiba-tiba Tho-ki-sian menimbrung. "Kalau kedua pihak tidak bertempur, tentu takkan jatuh korban, lalu apanya lagi yang menarik?"
"Lenghou-kongcu sudah kita angkat menjadi bengcu, maka segala perintah petunjuknya harus kita turut," seru Coh Jian-jiu.
"Kami hanya menyatakan mengangkat dia sebagai bengcu, tapi tidak pernah mengatakan akan tunduk kepada perintahnya," kata Tho-kin-sian.
"Benar, urusan memberi perintah segala ini biarlah kami Tho-kok-lak-sian yang melaksanakan saja," sambung Tho-kan-sian.
Semua orang menjadi gemas melihat kedogolan Tho-kok-lak-sian itu, banyak yang siap memegang senjata, asalkan Lenghou Tiong memberi isyarat sedikit saja serentak mereka akan menerjang maju untuk mencincang keenam orang itu. Betapa pun tinggi kepandaian mereka rasanya juga takkan mampu melawan kerubutan orang banyak.
Maka Coh Jian-jiu berkata pula, "Apa yang harus dilakukan seorang bengcu, dengan sendirinya dia harus memberi perintah dan mengatur sesuatu. Kalau dia tidak dapat memerintah, lalu namanya bukan bengcu lagi."
"Kalau dia mau perintah boleh perintah saja, kenapa mesti ribut!" ujar Tho-ki-sian dengan menyengir.
Lenghou Tiong tidak ambil pusing lagi pada keenam orang dogol itu, segera ia berseru, "Dengarkan kawan-kawan, kalau dihitung, masih ada 17 hari lagi dari waktu yang kita rencanakan, yaitu tanggal 15 bulan 12, karena temponya cukup, maka perjalanan kita ke sana tidak perlu tergesa-gesa. Pula gerakan kita ini dilakukan secara terang-terangan, maka segala tindakan kita juga tidak perlu ditutupi. Besok juga kita boleh beli kain untuk dibikin menjadi panji-panji dengan tulisan yang jelas menyatakan tujuan kita ke Siau-lim-si buat menyambut Seng-koh. Boleh pula beli beberapa genderang dan bunyikan sepanjang jalan agar didengar oleh orang-orang Siau-lim-pay, bukan mustahil mereka sudah ketakutan lebih dulu sebelum kita tiba di sana."
Bab 90. Pat-kwa-kiam-tin Bu-tong-pay Dibikin Kocar-kacir oleh Lenghou Tiong
Karena orang-orang yang berkumpul ini terdiri dari berbagai golongan dan lapisan, tapi semuanya adalah manusia-manusia yang suka cari gara-gara. Mereka menjadi kegirangan dan bersorak-sorai mendengar perintah Lenghou Tiong itu.
Besok paginya, kembali ada beberapa puluh orang Kangouw yang datang menggabungkan diri. Lenghou Tiong memberi tugas kepada Coh Jian-jiu, Keh Bu-si, dan Lo Thau-cu untuk membikin panji-panji yang diperlukan serta membeli tambur dan sebagainya.
Menjelang tengah hari Coh Jian-jiu bertiga sudah menyelesaikan tugasnya, berpuluh panji putih dengan macam-macam semboyan yang tertulis di atasnya telah disiapkan. Hanya tambur yang kurang, cuma dua buah saja yang dapat dibeli.
"Marilah kita lantas berangkat, kota-kota yang kita lalui sepanjang perjalanan dapat kita singgahi untuk membeli lagi alat-alat yang kita perlukan," kata Lenghou Tiong.
Semua orang bersorak mengiakan. Segera ada yang mulai membunyikan tambur, lalu berangkatlah mereka menuju ke utara dengan berbaris.
Lenghou Tiong sudah pernah menyaksikan anak murid Hing-san-pay disergap musuh di atas Sian-he-nia, maka sekarang ia lantas mengatur, tujuh kelompok diberi tugas tertentu. Dua kelompok di depan sebagai pelopor jalan, dua kelompok menjaga sayap kiri, dan dua kelompok menjaga sayap kanan. Satu kelompok lagi sebagai bala bantuan di belakang, selebihnya ikut dalam pasukan induk. Selain itu kelompok Sin-oh-pang dari Hansui diberi tugas sebagai kurir yang kian-kemari menyampaikan berita.
Sin-oh-pang adalah gerombolan orang-orang Kangouw setempat, wilayah pengaruhnya cukup luas, maka segala kabar berita yang penting dapat diketahui mereka dengan cepat.
Begitulah semua orang sama kagum dan tunduk melihat cara mengatur Lenghou Tiong yang rapi itu.
Selama beberapa hari dalam perjalanan, berturut-turut bergabung pula kelompok-kelompok dari berbagai tempat. Suatu hari sampailah mereka di kaki gunung Bu-tong-san.
"Lenghou-kongcu, kita harus melalui Bu-tong-san, apakah kita harus menghentikan suara tambur dan menggulung panji atau tetap lalu secara terang-terangan begini?" Coh Jian-jiu minta petunjuk kepada Lenghou Tiong.
Jawab Lenghou Tiong, "Bu-tong-pay adalah aliran persilatan nomor dua di dunia persilatan, pengaruh dan wibawanya cuma di bawah Siau-lim-pay saja. Kepergian kita buat menyambut Seng-koh ini sedapat mungkin menghindari percekcokan dengan Siau-lim-pay, dengan sendirinya lebih baik pula kalau kita pun tidak bersengketa dengan Bu-tong-pay. Maka sebaiknya kita mengitar ke jurusan lain saja sebagai tanda penghormatan dan keseganan kita terhadap Tiong-hi Totiang, itu ketua Bu-tong-pay yang hebat. Demikianlah pendapatku, entah bagaimana pikiran Saudara-saudara?"
"Apa yang dirasakan baik oleh Lenghou-kongcu, sudah tentu kami hanya menurut saja," kata Lo Thau-cu. "Memangnya tujuan kita hanya menyambut pulang Seng-koh dan tidak ingin menimbulkan perkara lain dan menambah musuh. Apa gunanya kita terhambat oleh urusan yang berlawanan dengan maksud tujuan kita sekalipun Bu-tong-pay dapat kita tumpas umpamanya?"
"Benar, harap siarkan perintahku agar menggulung panji-panji dan menghentikan bunyi tambur, kita membelok dulu ke arah timur untuk kemudian mengitar lagi ke utara," kata Lenghou Tiong.
Begitulah rombongan mereka lantas mengarah ke timur. Kira-kira beberapa puluh li jauhnya, tiba-tiba dua anggota Sin-oh-pang datang memberi lapor, "Di selat gunung belasan li sana telah menunggu beberapa ratus tosu, mereka mengaku dari Bu-tong-pay dan minta bicara dengan Bengcu."
Seketika jago-jago di samping Lenghou Tiong menjadi gusar, mereka sama mengomel, "Kurang ajar benar kawanan tosu Bu-tong-pay itu! Kita menghargai mereka, sebaliknya mereka mengira kita takut kepada mereka. Kurang ajar, benar-benar minta diajar!"
"Coba kita maju ke sana untuk melihat apa maksud tujuan mereka," ujar Lenghou Tiong. Segera ia mendahului melarikan kudanya ke depan dan mencapai selat gunung sana.
Ketika melihat datangnya Lenghou Tiong, kedua kelompok yang menjadi pelopor, yaitu Hong-bwe-pang dan Jing-liong-pang, sama bersorak-sorai.
Lenghou Tiong melompat turun dari kudanya, ia berlari maju dengan cepat, dilihatnya di ujung selat gunung situ berbaris beberapa puluh tojin berjubah hijau, semuanya bersenjata pedang, jalan lewat telah dirintangi mereka.
Lebih dulu Lenghou Tiong berpaling kepada kawan-kawannya dan berteriak nyaring, "Dengarkanlah kawan-kawan, Bu-tong-pay adalah kaum cing-pay terbesar di dunia persilatan, Tiong-hi Tojin malahan adalah orang kosen di zaman ini, maka kawan-kawan jangan sekali-kali bersikap sembrono, ada urusan apa-apa biarlah Cayhe yang menghadapinya sendiri,"
Lenghou Tiong sadar orang-orang yang dipimpinnya itu adalah kumpulan orang-orang Kangouw dari macam-macam lapisan, sudah biasa bertindak sesuka hati dan bebas, kata-kata mereka juga kasar, kalau sebelumnya tidak diperingatkan tentu akan menimbulkan penyakit nanti.
Begitulah para jago-jago itu serentak berseru gemuruh mengiakan. Barisan mereka itu memanjang sampai hitungan li jauhnya, tapi kata-kata Lenghou Tiong itu diucapkan dengan menggunakan tenaga dalam yang kuat, maka betapa pun jauhnya barisan itu dapatlah mendengar semuanya.
Suara mengiakan yang gemuruh dari beberapa ribu orang itu membikin kawanan tojin itu menjadi gentar juga, hal ini tampak dari air muka mereka yang berubah.
Lalu Lenghou Tiong berpaling kembali, katanya sembari memberi hormat kepada kawanan tojin itu, "Cayhe bersama rombongan hendak menuju ke Siau-lim-si untuk menjumpai Hong-ting Taysu dan untuk sesuatu urusan penting, kebetulan kami harus melalui Bu-tong-san sini, agar tidak menimbulkan kegaduhan yang bisa mengganggu ketenteraman para Totiang, maka kami sengaja mengitari jalanan ini. Harap maaf bila kami tidak menyampaikan kabar sebelumnya."
"Kau inikah murid murtad Hoa-san-pay yang bernama Lenghou Tiong dan sekarang telah masuk Mo-kau bukan?" tegur seorang tojin berjenggot panjang sembari memasukkan pedang ke sarungnya. Sikap bicaranya sangat angkuh, kata-katanya juga kurang ramah.
Sebenarnya Lenghou Tiong adalah pemuda yang tidak tunduk kepada adat istiadat, juga tidak kenal apa artinya takut, kalau dalam keadaan biasa tentu dia kontan menjawab ucapan tojin itu dengan kata-katanya yang sama kasarnya. Tapi sejak dia diangkat menjadi bengcu oleh gembong-gembong Kangouw itu, mulai saat mana ia telah memperingatkan dirinya sendiri agar selanjutnya harus bertindak secara hati-hati dan pakai perhitungan, terutama mengingat kewajibannya dan betapa pentingnya tugas menolong Ing-ing yang terkurung di Siau-lim-si itu. Oleh karena itu walaupun kata-kata tojin jenggot panjang itu sangat menggusarkan hatinya tapi ia tetap menghadapi dengan tersenyum tawar saja, jawabnya, "Ya, Cayhe memang betul adalah Lenghou Tiong, murid buangan Hoa-san-pay. Tapi tuduhan masuk menjadi anggota Mo-kau adalah tidak betul."
"Jika kau tidak masuk Mo-kau kenapa kau rela menjadi antek Hek-bok-keh dan mau memimpin manusia jahat dan cabul dari Mo-kau ini pergi mencari setori kepada Siau-lim-si?" kata pula tojin berjenggot panjang itu.
Belum Lenghou Tiong menjawab, mendadak Tho-kin-sian menimbrung, "Kau bilang kami adalah manusia jahat dan cabul dari Mo-kau, memangnya kau sendiri manusia baik dan terpuji dari Mo-kau" Kulihat jenggotmu terlalu panjang, betapa pun baiknya juga begitu-begitu saja."
Baru kata "saja" diucapkan, serentak Tho-kan-sian, Tho-ki-sian, Tho-yap-sian, dan Tho-hoa-sian berempat sudah melompat maju, tahu-tahu tojin jenggot panjang itu telah kena dipegang kedua tangan dan kedua kakinya terus diangkat ke atas.
Pada detik yang hampir sama pula, dalam sekejap itu dari rombongan tojin-tojin itu pun melayang maju delapan sosok bayangan, delapan batang pedang telah menyambar tiba, enam pedang mengancam di punggung Tho-kok-lak-sian dua ujung pedang yang lain masing-masing mengancam tenggorokan dan perut Lenghou Tiong.
Cepat luar biasa menyambar tibanya kedelapan pedang tojin-tojin itu, cara menyerang mereka juga sangat rapat dan saling menutup titik kelemahan masing-masing, delapan orang laksana satu orang saja.
Begitu melihat gerakan pedang mereka segera Lenghou Tiong tahu mereka tidak bermaksud mencelakai lawan, maka Lenghou Tiong juga tidak menangkis dan membiarkan kedua pedang itu mengarah tempat berbahaya di tubuhnya, ia pikir asalkan kedua orang jelas bermaksud mencelakainya, sedikit ujung pedang mereka disodorkan seketika juga dirinya masih sempat melolos pedang dan mematahkan serangan mereka.
Terdengar keempat tosu membentak serentak, "Lepaskan!"
Karena punggung mereka terancam oleh ujung pedang, Tho-kin-sian berempat sadar tak bisa berbuat apa-apa lagi, terpaksa Tho-hoa-sian berkata dengan tertawa, "Lepas ya lepas, memangnya kau kira aku sudi memegangi dia lebih lama. Eh, awas, berdiri yang baik!"
Berbareng Tho-kin-sian berempat terus melemparkan tojin jenggot panjang itu ke atas. Seketika tojin itu merasa tubuhnya melayang ke udara dan entah akan terlempar ke mana, bukan mustahil akan terus melambung ke udara dan kecantol di cabang pohon atau terus terjerumus ke dalam jurang. Maka baru saja tubuhnya sedikit melambung ke atas, cepat ia mengerahkan tenaga "Jian-kin-tui" untuk menekan turun tubuhnya.
Tak terduga tenaga lemparan Tho-kok-si-sian itu ternyata sangat aneh dan nakal, tenaga lemparan semula memang naik ke atas, tapi tenaga pukulannya mendadak berubah menarik turun ke bawah, jadi mirip tenaga empat orang membantingnya ke tanah dengan sekuatnya.
Padahal tenaga gabungan Tho-kok-si-sian sedikitnya sudah ada seribu kati, ditambah lagi tenaga tekanan ke bawah yang dikerahkan sendiri oleh tojin jenggot panjang itu, keruan dia mirip dibanting dengan tenaga gabungan lima orang.
Ketika menyadari gelagat tidak menguntungkan, tojin itu menjerit, hampir berbareng tubuhnya lantas terbanting keras di atas batu padas, ruas tulangnya sampai berbunyi gemerutuk, entah patah entah retak, yang jelas darah lantas tersembur keluar dari mulutnya.
Pada saat itu juga Lenghou Tiong sudah lantas melolos pedang, terdengar suara mendering berulang-ulang, sekaligus ia telah menangkis pergi delapan pedang musuh.
Rupanya begitu melihat si tojin jenggot panjang terbanting begitu hebat dan bisa jadi terus mati, Lenghou Tiong menduga kedelapan tojin yang lain mungkin sekali akan terus menyerang serentak. Dan benar juga, sekaligus ia telah dapat mematahkan serangan mereka.
Gerak perubahan Tho-kok-si-sian juga sangat cepat, begitu pedang lawan tidak mengenai mereka, seketika mereka lantas lompat menyingkir.
"Wah, untung! Hampir saja celaka!" seru Tho-sit-sian.
"Ya, untung Lenghou-kongcu pernah belajar pedang padaku, dengan ilmu pedangku yang lihai itulah dia telah menyelamatkan kita," ujar Tho-ki-sian.
"Ngaco-belo! Bilakah dia belajar pedang padamu?" semprot Tho-kin-sian.
Dalam pada itu, sesudah Lenghou Tiong sekaligus dapat menangkis serangan kedelapan pedang mereka, serentak kedelapan tojin itu lantas berputar kian kemari dengan cepat luar biasa, begitu berada di belakang Lenghou Tiong mereka lantas menusuk, kena atau tidak tusukan mereka bukan soal, segera mereka terus menggeser lagi ke tempat lain secara bergilir.
"Hati-hati Bengcu, inilah Pat-kwa-kiam-tin dari Bu-tong-pay!" seru Jik Ko.
Ketika di Hoa-san dahulu Lenghou Tiong pernah mendengar cerita gurunya tentang berbagai ilmu pedang terkenal dari macam-macam aliran di zaman ini. Antara lain dikatakan "Pat-kwa-kiam-hoat" Bu-tong-pay dan "Chit-sing-kam-hoat" Hing-san-pay mempunyai kebagusan yang hampir serupa walaupun dasarnya tidak sama.
Begitulah Lenghou Tiong dapat menangkis setiap serangan tojin-tojin itu, dilihatnya gerak pedang kedelapan orang dapat bahu-membahu, bantu-membantu dengan sangat rapat, sedikit pun tidak memperlihatkan lubang kelemahan.
Inti "Tokko-kiu-kiam" yang diyakinkan Lenghou Tiong adalah dalam hal kelihaian mengincar titik kelemahan ilmu silat musuh, jadi tanpa ikatan sesuatu jurus tertentu untuk mengalahkan jurus ilmu silat lawan yang tertentu. Maklum, betapa pun tinggi ilmu silat seorang, betapa bagus jurus serangannya, baik di kala menyerang maupun di waktu mengakhiri serangan biasanya pasti dapat diketemukan lubang kelemahan, sebab itulah tiada sesuatu gerak serangan di dunia ini yang tak dapat dipatahkan.
Cuma sekarang ilmu pedang gabungan kedelapan tojin ini ternyata sangat hebat, ada juga lubang-lubang atau ciri-ciri tertentu pada gerak serangan setiap orang, tapi selalu dapat ditutup oleh bantuan kawan yang lain sehingga sukar dipatahkan.
Untungnya kepandaian kedelapan tojin itu tidak terlalu tinggi, "Pat-kwa-kiam-hoat" itu agaknya baru dipelajari sehingga daya tekanan mereka kurang kuat. Meski seketika Lenghou Tiong tidak dapat membobolkan barisan pedang mereka, tapi serangan-serangan kedelapan tojin juga tidak mampu melukai Lenghou Tiong.
Kedelapan tojin itu berlari semakin kencang mengitari Lenghou Tiong, sampai orang-orang yang menonton di samping merasa pusing, bahkan ada yang merasa khawatir bagi sang bengcu.
"Mereka berdelapan mengerubut satu orang, hayolah kita pun maju lagi tujuh orang!" demikian seru Jik Ko.
"Nanti dulu," sela Keh Bu-si. "Kedelapan orang itu mengutamakan kecepatan langkah mereka, padahal soal ilmu pedang jelas mereka bukan tandingan Lenghou-kongcu."
Kata-kata ini seketika menyadarkan Lenghou Tiong, pikirnya, "Benar, ilmu pedang mereka dapat bekerja sama dengan rapat, tapi langkah kaki mereka jelas tak bisa saling membantu."
Segera Lenghou Tiong berseru, "Setelah berkenalan dengan Pat-kwa-kiam-hoat Bu-tong-pay, ternyata memang benar sangat hebat. Kedelapan Totiang sudah selesai main pedang, sekarang silakan mundur saja."
Akan tetapi tojin-tojin itu mana mau mengundurkan diri, mereka masih terus berlari cepat mengitari dan serangan demi serangan tetap dilancarkan.
Lenghou Tiong tersenyum, ia tanggalkan sarung pedang yang tergantung di pinggangnya, sarung pedang itu disodorkan miring ke atas tanah. Ketika seorang tojin berlari di sebelah dengan cepat dan tidak keburu mengerem, kakinya lantas kesandung sarung pedang, tubuhnya terhuyung-huyung ke depan, untung kuda-kudanya cukup kuat sehingga tidak sampai jatuh terjerembap.
Namun dengan lepasnya seorang dari barisan pedang, seketika Pat-kwa-kiam-tin itu bobol. Lenghou Tiong terus menggunakan sarung pedang untuk dipasang pada tempat-tempat yang harus dilintasi oleh kaki ketujuh tojin yang lain, maka terdengarlah suara seru kaget dan teriak kejut berulang-ulang. Lima dari ketujuh tojin itu sama kesandung oleh sarung pedang itu, ada yang menyelonong ke sana, ada yang sempoyongan ke sini, dalam sekejap saja tinggal dua orang tojin saja yang masih mampu berdiri menghadapi Lenghou Tiong, pedang mereka masih bergaya hendak menusuk, tapi ragu-ragu apakah serangan mereka diteruskan atau lebih baik disudahi. Melihat adegan demikian, bergemuruhlah tawa orang banyak.
"Para Sute silakan mundur!" teriak tojin jenggot panjang tadi. Ketika ia memberi tanda, kembali ada tiga orang tojin tampil ke muka. Bersama tojin jenggot panjang mereka ambil tempat empat sudut sehingga Lenghou Tiong terkurung di tengah.
"Namamu akhir-akhir ini mengguncangkan Kangouw, nyatanya memang punya beberapa jurus aneh dari golongan iblis dan sia-pay," kata tojin jenggot panjang. "Cuma pertandingan tadi telah kau selingi dengan cara main jegal, cara demikian rasanya kurang wajar."
"Numpang tanya siapakah gelaran Totiang dan pernah apa dengan Tiong-hi Totiang?" tanya Lenghou Tiong.
"Asalkan kau mampu mengalahkan kami berempat dan boleh segera lalu, buat apa banyak bicara lagi," sahut tojin jenggot panjang. Begitu ia berseru memberi tanda, serentak empat pedang menusuk dari empat jurusan. Dari sambaran angin yang dibawa oleh pedang mereka itu terang tenaga keempat tojin itu sangat kuat, jauh lebih lihai daripada kedelapan tojin yang duluan.
Tapi baru bergebrak satu jurus saja Lenghou Tiong lantas merasa heran, "Menurut cerita suhu dahulu, katanya ilmu silat Bu-tong-pay mengutamakan kelunakan dan kesabaran. Tapi permainan pedang keempat tojin ini jelas lebih banyak memakai kekerasan dan menyerang secara bernafsu, hal ini menandakan berita di luar tentang ilmu silat Bu-tong-pay tidak seluruhnya betul."
Aneh pula bahwa ilmu pedang keempat tojin ini jauh lebih lihai daripada kedelapan tojin yang dahuluan, tapi dalam hal kerja sama ternyata tidak serapi dan sebaik kedelapan tojin itu.
Tidak lama kemudian, dengan gampang Lenghou Tiong lantas melihat titik kelemahan ilmu pedang keempat lawan itu. "Cret", seketika pedangnya menusuk robek lengan baju salah seorang tojin.
Tojin itu melengak kaget, menyusul serangan Lenghou Tiong telah memapas sepotong kain jubah tojin yang lain. Ketika pedangnya berputar balik, "sret", tahu-tahu rambut tojin ketiga telah terkupas putus sehingga rambutnya morat-marit tak keruan. Tinggal lagi si tojin jenggot panjang itu, Lenghou Tiong rada mendongkol karena kata-kata tojin berjenggot ini rada kasar, maka ia sengaja hendak membuat malu padanya. "Sret-sret" dua kali, pedangnya menusuk ke perut lawan, lalu menusuk mukanya.
Lekas-lekas tojin itu hendak menangkis, siapa tahu serangan-serangan Lenghou Tiong itu hanya pura-pura saja, ketika pedang si tojin menangkis ke bawah untuk menjaga perutnya, sekonyong-konyong jenggotnya sudah terpapas sebagian oleh pedang Lenghou Tiong. Waktu tojin itu kerepotan hendak mengangkat pedangnya buat menjaga mukanya lagi, "sret", tahu-tahu pedang Lenghou Tiong sudah menyambar ke bawah, ikat pinggang jubahnya dan bahkan ikat celananya juga ikut terpotong putus.
Berturut-turut empat kali serangan Lenghou Tiong itu telah membikin si tojin berjenggot menjadi kelabakan, sudah sadar bahwa celananya telah kedodoran dan merosot ke bawah, tapi dia tidak sempat menggunakan tangannya untuk menarik celana, walaupun sebelah tangan menganggur, namun setiap serangan Lenghou Tiong yang menyusul selalu mengancam tangan kiri yang menganggur itu sehingga dia terpaksa mesti menyelamatkan tangannya dan membiarkan celananya melorot.
Keruan semua orang yang menyaksikan itu bergelak tertawa geli.
Ketiga tojin yang lain tahu bahwa Lenghou Tiong sengaja mengampuni jiwa mereka, maka mereka tidak berani bertempur lagi dan terus mengundurkan diri.
Sementara itu tojin jenggot panjang itu hampir-hampir jatuh terjerembap karena tersangkut oleh celananya sendiri yang melorot ke betis itu, keruan kelakuannya menjadi sangat lucu. Untung jubahnya sangat panjang sehingga bagian bawah badannya masih tertutup, kalau tidak tentu dia sangat malu lantaran tak bercelana lagi.
"Maaf!" Lenghou Tiong tidak mendesak lebih jauh, ia memasukkan pedang ke sarungnya dan melangkah mundur.
Sebaliknya tojin jenggot panjang menjadi tambah gusar, pedangnya lantas menusuk lagi ke dada Lenghou Tiong. Namun Lenghou Tiong hanya tersenyum saja tanpa berkelit. Ketika ujung pedang tojin itu hanya beberapa senti di depan dada sasarannya, sekonyong-konyong ia tertegun dan tidak meneruskan tusukannya, ia pikir ilmu silat lawan selisih sangat jauh di atasnya, jika tusukannya itu diteruskan, bukan mustahil pihak lawan menjadi murka dan tidak memberi ampun lagi, sekali balas menyerang pasti jiwanya sendiri akan melayang. Maka setelah tertegun sejenak, akhirnya ia melemparkan pedang sendiri dan berjongkok untuk membetulkan celananya.
Keruan suara tertawa para jago bertambah riuh. Para tosu yang berdiri di sebelah sana ada yang merasa malu, ada yang merasa gusar pula. Tojin jenggot panjang itu lantas putar tubuh, dengan tangan kiri masih memegangi celana yang putus tali kolornya, ia memberi tanda kepada anak buahnya, lalu mundur teratur bersama kawanan tosu itu.
Di tengah bergelak tertawa para jago-jago itu, beramai-ramai mereka pun memuji kelihaian ilmu pedang Lenghou Tiong. Tapi Lenghou Tiong sendiri justru lagi menyesal akan kejadian tadi, pikirnya, "Tindak tandukku selalu terburu nafsu tanpa memikirkan kemungkinan akibatnya. Meski aku mendapat kemenangan, tapi nama baik Bu-tong-pay telah tersapu bersih, ini berarti telah menanam bibit permusuhan, sebenarnya apa gunanya?"
Terdengar Coh Jian-jiu sedang berkata, "Ilmu pedang Lenghou-kongcu sungguh sakti, baru hari ini kita dapat menyaksikannya. Sayang di sini tidak ada arak, kalau tidak kita harus minum sepuas-puasnya sebagai tanda memberi selamat."
Seketika Lenghou Tiong merasa ketagihan mendengar disebutnya arak, katanya, "Baiklah, mari kita pergi ke kota di depan sana untuk minum sepuasnya."
Namun jumlah mereka terlalu banyak, kota-kota yang dilalui mereka tiada cukup banyak hotel dan restoran yang sanggup menampung mereka. Terpaksa mereka harus berkemah di tanah pegunungan yang sunyi di luar kota.
Besoknya mereka melanjutkan perjalanan ke utara, kira-kira belasan li jauhnya, pengintai bagian depan datang melapor bahwa di jalan pegunungan di depan sana diketemukan beberapa puluh sosok mayat kaum tosu, agaknya rombongan tosu yang mencegat mereka kemarin itu.
Lenghou Tiong terkejut oleh laporan itu, cepat ia melarikan kudanya ke depan, benar juga, di suatu simpang jalan bergelimpangan beberapa puluh mayat, di antaranya terdapat pula tojin berjenggot panjang.
"He, lihatlah, Bengcu!" seru Keh Bu-si sambil menunjuk sebatang pohon besar.
Ternyata di batang pohon itu sebagian kulit pohon terkupas, di situ terukir beberapa huruf dengan ujung senjata, bunyinya: "Kawanan penjahat memalsukan nama, dosanya tidak boleh diampuni."
"O, kiranya kawanan tojin ini bukan orang Bu-tong-pay," ujar Coh Jian-jiu. "Tampaknya mereka telah dibunuh oleh pihak Bu-tong-pay."
"Buat apa mereka menyaru sebagai orang Bu-tong-pay" Entah dari mana pula asal usul mereka ini" Sungguh aneh bin heran!" kata Lo Thau-cu.
Mendadak pikiran Lenghou Tiong tergerak, katanya, "Cobalah kawan-kawan periksa mereka, apakah kedelapan tojin yang bertempur dengan aku kemarin juga terdapat di antara mereka?"
Segera Keh Bu-si, Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan lain-lain memeriksa mayat-mayat kawanan tosu itu, benar juga kedelapan tojin yang main Pat-kwa-kiam-tin kemarin itu tidak diketemukan.
"Mengapa bisa demikian?" ujar Coh Jian-jiu dengan heran. "Lenghou-kongcu tentu tahu duduknya perkara."
"Aku juga cuma menerka secara ngawur saja," sahut Lenghou Tiong. "Meskipun ilmu pedang kedelapan tojin itu tidak terlalu tinggi, tapi permainan mereka sangat rapi dan teratur, kalau orang yang meniru dan baru belajar tentu takkan mencapai tingkatan seperti mereka itu."
"Jika begitu, jadi kedelapan tojin itulah benar-benar orang dari Bu-tong-pay?" tanya Coh Jian-jiu.
"Pengalamanku sendiri sangat cetek dan tidak tahu persis bagaimana sesungguhnya ilmu pedang Bu-tong-pay yang tersohor itu," sahut Lenghou Tiong. "Cuma dari ilmu pedang keempat tosu yang mati ini, jelas kepandaian mereka tidak sama, mereka masing-masing memiliki kepandaian yang tinggi, tampaknya mereka bukan berasal dari suatu aliran atau perguruan. Kemarin hatiku sudah rada curiga, hanya tidak terpikir olehku bahwa mereka adalah orang Bu-tong-pay gadungan."
"Orang Bu-tong-pay tulen bercampur dengan orang Bu-tong-pay gadungan, hal ini sungguh sukar dimengerti," kata Coh Jian-jiu.
"Menurut pendapatku, besar kemungkinan kedelapan tosu Bu-tong-pay tulen sengaja dipaksa ke sini oleh kawanan pemalsu itu," ujar Keh Bu-si.
"Benar, memang Si Kucing Malam lebih tajam otaknya," seru Lo Thau-cu sambil tepuk paha. "Rupanya kawanan pemalsu ini khawatir terbongkar rahasianya, maka mereka telah mencari beberapa orang Bu-tong-pay tulen untuk dijadikan tameng, dengan demikian kita akan dikelabui."
"Jangan-jangan kawanan pemalsu ini adalah orang-orang yang dikirim Kaucu dari Hek-bok-keh?" ujar Keh Bu-si.
Mendengar disebutnya "Kaucu dari Hek-bok-keh", seketika air muka semua orang berubah takut.
Dengan tertawa Lenghou Tiong lantas berkata, "Tak peduli mereka dari mana asalnya, yang jelas bukan kita yang membunuh mereka. Jika benar Bu-tong-pay yang membunuh mereka, itu berarti Bu-tong-pay berada di pihak kita, lalu apa lagi yang kita khawatirkan?"
Beberapa hari kemudian, sudah jauh mereka meninggalkan lereng Bu-tong-san, sepanjang jalan ternyata tiada terjadi apa-apa lagi. Petang itu, ketika barisan mereka sedang berjalan, tiba-tiba terdengar suara "keteprak-keteprak", suatu telapak kaki binatang tunggangan. Tertampaklah dari depan mendatangi seorang penunggang keledai, di belakang keledai mengikut pula dua orang, semuanya berdandan sebagai petani, yang satu memikul sayuran, yang lain memikul kayu bakar.
Keledai itu tampak sudah tua lagi kurus, badannya penuh kudisan, rupanya sangat jelek. Penunggangnya juga seorang tua dengan pakaian rombeng penuh tambalan, badannya membungkuk-bungkuk sambil terbatuk-batuk.
Sepanjang perjalanan rombongan jago-jago Kangouw itu selalu bergembar-gembor riuh ramai, setiap orang di jalanan tentu ketakutan dan lekas-lekas menyingkir bila bertemu dengan barisan besar ini jika tidak ingin menghadapi malapetaka. Tapi ketiga orang ini ternyata lain daripada yang lain, terang mereka melihat barisan besar itu, tapi mereka anggap seperti tidak tahu dan masih terus menerjang ke depan.
"He, kau cari mampus?" bentak Tho-kan-sian sembari mendorong ke depan. Kontan keledai kurus itu meringkik terus terbanting ke tengah sawah di tepi jalan dengan tulang patah.
Si kakek yang menunggang keledai itu juga ikut terbanting jatuh ke atas tanah, ia merintih kesakitan dan sampai sekian lamanya tidak sanggup berbangkit.
Dari kecil Lenghou Tiong sering mendapat petuah dari sang guru agar membantu yang lemah dan memberantas kezaliman, menolong yang miskin dan membantu orang tua. Sekarang menyaksikan si kakek didorong jatuh oleh Tho-kan-sian, ia menjadi tidak enak perasaannya, cepat ia melompat untuk membangunkannya dan berkata, "Apakah kau terbanting sakit, Bapak Tua?"
"Ini ... ini apa-apaan, aku ... aku ...." orang tua itu tergagap-gagap sambil meringis.
Dalam pada itu kedua petani tadi sudah menaruh pikulan mereka, lalu berdiri tegak di tengah jalan. Laki-laki yang memikul sayur itu berseru, "Di sini adalah lereng Pegunungan Bu-tong, kalian ini orang-orang macam apa, berani sembarangan mengganggu dan memukul orang di sini?"
"Kalau di lereng Pegunungan Bu-tong, lalu ada apa?" sahut Tho-kan-sian tertawa.
"Di kaki Bu-tong-san sini setiap orangnya bisa main silat, kalian orang dari daerah lain berani main gila ke sini, bukankah itu berarti kalian tidak tahu gelagat dan ingin cari penyakit?" kata orang itu.
Usia kedua laki-laki petani itu rata-rata sudah 50-an, semuanya telanjang kaki dan cuma memakai sepatu sandal dari rumput kering, muka mereka pucat dan badan kurus, waktu bicara pemikul sayur ini malahan tampak terengah-engah napasnya, tapi ternyata mengaku mahir silat. Keruan tertawalah orang banyak.
"Apakah kau sendiri mahir ilmu silat?" demikian Tho-hoa-sian bertanya dengan tertawa.
"Di kaki Bu-tong-san sini anak umur tiga tahun sudah bisa main pukulan, anak umur lima tahun sudah mahir main pedang, kenapa mesti heran?" sahut pemikul sayur.
"Dan dia, apakah dia juga mahir main pukulan?" tanya Tho-hoa-sian pula sambil menuding laki-laki pemikul kayu tadi.
"Aku ... aku ... di waktu kecil aku memang pernah belajar beberapa bulan lamanya," kata laki-laki pemikul kayu itu. "Tapi sudah berpuluh tahun aku tidak pernah berlatih, mungkin ... mungkin sekali sekarang sudah kaku."
Si tukang pikul sayur lantas menyambung, "Ilmu silat Bu-tong-pay nomor satu di dunia ini, cukup berlatih beberapa bulan saja pasti kau tidak mampu melawannya."
"Bagus, jika begitu cobalah kau pertunjukkan beberapa jurus kepadaku," ujar Tho-hoa-sian dengan tertawa.
"Beberapa jurus bagaimana" Biar kumainkan juga kalian tidak paham," ujar si tukang pikul kayu.
Kembali bergemuruhlah gelak tawa orang banyak, sebagian berseru, "Kami tidak paham, kami hanya ingin tahu!"
"Ai, jika demikian terpaksa akan kumainkan beberapa jurus saja, cuma entah terlupa tidak," kata pemikul kayu itu. "Eh, tuan besar mana yang sudi meminjamkan pedang padaku."
Segera seorang mengangsurkan pedang kepadanya dan diterima oleh laki-laki itu, ia melangkah ke tengah sawah yang tanahnya sudah kering itu, lalu pedangnya menusuk ke kanan dan menebas ke kiri, begitulah ia mulai main, tapi baru tiga-empat kali, mendadak ia berhenti karena lupa lanjutannya, ia garuk-garuk kepala dan cakar-cakar kuping sembari mengingat-ingat, lalu main lagi beberapa jurus.
Melihat permainannya itu sama sekali tidak keruan, gerak-geriknya juga lamban dan ketolol-tololan, semua orang sama tertawa terpingkal-pingkal.
"Apanya yang lucu, kenapa kalian tertawa?" ujar laki-laki pemikul sayur. "Coba pinjami pedang, aku pun akan main beberapa jurus."
Setelah pegang pedang segera ia pun membacok dan menusuk serabutan, gerakannya sangat cepat dan caranya seperti orang gila, keruan orang banyak tambah geli menertawakannya.
Bab 91. Tokoh Bu-tong-pay yang Kosen
Semula Lenghou Tiong juga cuma tersenyum saja sambil berpangku tangan, tapi hanya melihat beberapa jurus saja ia menjadi terkejut. Dilihatnya gerak pedang kedua laki-laki itu berbeda, yang satu lamban dan yang lain cepat, tapi dalam permainan pedang mereka itu ternyata tiada sedikit pun diketemukan lubang kelemahan.
Memang gerak-gerik kedua orang itu sangat kaku, bahkan lucu dan menimbulkan tawa penonton, tapi yang satu menjaga dan yang lain menyerang, sukar bagi pihak lawan untuk melayaninya. Lebih-lebih laki-laki pemikul kayu itu, ilmu pedangnya sederhana saja, tapi daya tekanan pedangnya agaknya baru dilancarkan satu bagian saja, sembilan bagian selebihnya masih tersimpan dan siap untuk dikerahkan.
Di tengah gelak tertawa orang banyak itulah Lenghou Tiong lantas melangkah maju, katanya sambil memberi hormat, "Sungguh beruntung sekali hari ini dapat menyaksikan ilmu pedang mahahebat dari kedua Cianpwe. Kepandaian sehebat ini sungguh sukar diketemukan sekalipun menjelajahi seluruh dunia."
Kata-kata Lenghou Tiong ini diucapkan dengan nada yang sungguh-sungguh dan setulus hati, sama sekali berbeda daripada kata-kata para jago tadi yang bernada mengejek.
Kedua laki-laki tadi lantas menghentikan permainan mereka. Si tukang pikul kayu menjawab dengan mata melotot, "Kau bocah ini, kau paham ilmu pedang kami?"
"Paham sih tidak," sahut Lenghou Tiong. "Ilmu pedang kedua Cianpwe mahahebat dan sangat luas, untuk "memahaminya" masakah begitu gampang" Yang jelas ilmu pedang Bu-tong-pay yang termasyhur ternyata memang benar sangat mengagumkan."
"Kau bocah ini bernama siapa?" tanya si tukang sayur.
Belum Lenghou Tiong menjawab, di tengah orang banyak sudah ada yang berteriak, "Bocah apa segala, mulutmu perlu dicuci dulu. Dia adalah bengcu kami, Lenghou-kongcu adanya."
"Lenghou-kuaci?" si tukang kain menegas seperti orang heran. "Kenapa tidak pakai nama oncom atau keripik, lha kok pakai nama kuaci atau kacang segala?"
Lenghou Tiong tidak menghiraukan olok-olok orang, ia memberi hormat pula dan berkata, "Hari ini Lenghou Tiong dapat menyaksikan ilmu pedang sakti Bu-tong-pay, sungguh sangat beruntung dan kagum. Lain hari bila sempat tentu akan berkunjung untuk memberi salam hormat kepada Tiong-hi Totiang. Tentang nama kedua Cianpwe yang mulia apakah dapat diberi tahu?"
Kedua orang itu tidak menjawab, sebaliknya si tukang kayu terus meludah ke tanah, katanya, "Hei, kalian sebanyak ini main berbaris dan membunyikan tambur segala dengan riuh ramai, apakah kalian sedang arak-arakan atau sedang mengantar jenazah?"
Lenghou Tiong tahu kedua orang itu pasti tokoh Bu-tong-pay, dengan penuh hormat dijawabnya, "Kami ada seorang teman telah ditahan oleh Siau-lim-pay, kami sekarang hendak menuju ke sana untuk mohon kemurahan hati Hong-ting Taysu agar sudi mengampuni teman kami itu dan membebaskannya."
"O, kiranya bukan mengantar jenazah!" ujar si tukang sayur. "Tapi kalian telah memukul mati keledai paman kami, kalian mau ganti atau tidak?"
Segera Lenghou Tiong menuntun maju tiga ekor kuda, katanya, "Kuda-kuda ini sudah tentu tak bisa dibandingkan dengan keledai Cianpwe itu, terpaksa Cianpwe diharap menerima seadanya. Tentang kecerobohan teman tadi, mohon pula para Cianpwe sudi memaafkan."
Melihat sikap Lenghou Tiong yang makin lama makin hormat dan rendah diri terhadap petani-petani itu, tampaknya bukanlah sengaja pura-pura. Keruan para jago menjadi melongo heran.
"Setelah kau mengetahui kehebatan ilmu pedang kami, apakah kau tidak ingin menjajalnya?" tanya si tukang sayur.
"Wanpwe pasti bukan tandingan kedua Cianpwe," sahut Lenghou Tiong.
"Rupanya kau enggan menjajal kami, sebaliknya aku menjadi ingin menjajal kau," kata si tukang kayu. Berbareng pedangnya terus menusuk ke arah Lenghou Tiong dengan rada miring dan menceng.
"Bagus!" seru Lenghou Tiong ketika melihat serangan orang mencakup sembilan tempat berbahaya di atas tubuhnya, sungguh suatu jurus serangan yang amat indah. Cepat ia pun lolos pedang dan balas menusuk.
Ketika laki-laki itu menusuk suatu kali ke tempat yang kosong, Lenghou Tiong juga putar pedangnya dan menebas ke tempat yang kosong. Berturut-turut kedua orang sama-sama menyerang beberapa kali, tapi yang diarah semuanya tempat yang kosong. Kedua pedang belum pernah beradu. Namun begitu laki-laki itu selangkah demi selangkah terus mundur.
"Kuaci kacang ternyata rada aneh juga," ujar laki-laki tukang sayur. Segera ia pun angkat pedangnya dan menusuk dan menebas serabutan, dalam sekejap saja ia sudah main belasan jurus. Tapi tiap-tiap jurus tidak ditujukan kepada Lenghou Tiong, di mana ujung pedangnya tiba selalu berselisih satu-dua meter jauhnya dari Lenghou Tiong. Begitu pula Lenghou Tiong juga terkadang menusuk dari jauh ke arah si tukang kayu, lain saat menusuk si tukang sayur dari jarak jauh.
Anehnya tiap-tiap kali Lenghou Tiong menyerang, seketika kedua laki-laki itu tampak tegang dan cepat putar pedang buat menangkis atau melompat menghindar.
Keruan para penonton terheran-heran, padahal jarak ujung pedang Lenghou Tiong cukup jauh dari sasarannya, sekali menyerang juga tidak terasa sesuatu kekuatan yang menyambar ke depan, tapi mengapa kedua orang itu berusaha menghindar sebisanya"
Sampai di sini barulah para jago itu mengetahui kedua orang petani itu sekali-kali bukan orang desa, tapi adalah tokoh silat yang memiliki kepandaian tinggi. Di waktu menyerang mereka tetap kelihatan lambat dan yang lain seperti orang gila, tapi ketika menghindar serangan gerak-gerik mereka amat gesit dan lincah, kalau bukan terlatih berpuluh tahun pasti tidak memiliki tingkatan sedemikian tingginya.
Tiba-tiba terdengar kedua orang itu bersuit serentak, ilmu pedang mereka berubah sama sekali, si tukang kayu bergerak secara keras, tenaganya kuat, sebaliknya si tukang sayur meloncat ke sana-sini dengan cepat, ujung pedang mereka bergetar memantulkan titik-titik sinar perak.
Namun pedang di tangan Lenghou Tiong tampak mengacung miring ke atas tanpa bergerak lagi, hanya sorot matanya yang tajam terkadang melotot ke arah si tukang kayu, lain saat melirik si tukang sayur. Di mana sorot matanya sampai, seketika kedua laki-laki itu berganti gaya, terkadang mereka berteriak dan cepat melompat mundur, tiba-tiba mereka lantas melancarkan serangan, tapi mendadak mereka bertahan lagi seperti kerepotan.
Beberapa jago kelas tinggi seperti Keh Bu-si, Lo Thau-cu, dan lain-lain, setelah mereka mengikuti sekian lamanya pertarungan aneh itu, akhirnya dapatlah mereka melihat apa-apa yang terjadi sebenarnya. Dilihatnya bagian-bagian yang dihindari oleh kedua laki-laki itu selalu adalah tempat yang disorot oleh tatapan mata Lenghou Tiong, tapi juga hiat-to yang penting di tubuh mereka.
Suatu ketika dilihatnya mata Lenghou Tiong menatap ke "siang-kiok-hiat" di bagian perut si tukang kayu, padahal waktu itu si tukang kayu baru hendak membacok dengan pedangnya, mendadak ia urungkan serangannya dan lekas-lekas menarik kembali pedangnya untuk mengadang di depan perut.
Pada saat hampir sama si tukang sayur bergaya hendak menusuk ke arah Lenghou Tiong, tiba-tiba sorot mata Lenghou Tiong mengarah ke "thian-ting-hiat" di bagian lehernya, lekas-lekas tukang sayur itu mendak ke bawah sehingga tusukan pedangnya menancap tanah sawah yang sudah mengeras kering itu.
Begitulah untuk sekian lamanya kedua laki-laki itu terus berkutatan sehingga basah kuyup oleh keringat mereka sendiri laksana habis kecebur sungai.
Si kakek penunggang keledai tadi juga terus mengikuti pertandingan aneh itu di samping dan tidak membuka suara, kini mendadak ia berdehem, lalu berkata, "Hebat, sungguh sangat mengagumkan. Kalian mundur saja!"
Kedua orang itu mengiakan berbareng, tapi sorot mata Lenghou Tiong yang tajam laksana kilat itu masih terus berkisar di bagian hiat-to penting di tubuh mereka. Meski mereka memutar pedang sembari mundur masih sukar melepaskan diri dari incaran sinar mata Lenghou Tiong.
"Kiam-hoat bagus!" seru si kakek. "Lenghou-kongcu, biarlah aku yang minta petunjuk beberapa jurus padamu."
"Terima kasih!" sahut Lenghou Tiong sambit berpaling dan memberi hormat kepada si kakek.
Baru sekarang kedua laki-laki itu dapat membebaskan diri dari incaran sinar mata Lenghou Tiong, berbareng mereka melompat mundur dengan enteng sebagai burung terbang.
Si kakek terbatuk-batuk beberapa kali, lalu berkata pula, "Lenghou-kongcu telah sengaja bermurah hati kepada kalian, jika bertempur sungguh-sungguh tentu tubuh kalian sudah penuh dengan lubang tusukan, masakan kalian mampu menyelesaikan permainan ilmu pedang. Lekas kalian maju mengucapkan terima kasih."
Segera kedua laki-laki itu melompat maju terus membungkuk tubuh di hadapan Lenghou Tiong. Kata si tukang sayur, "Hari ini barulah aku mengetahui di luar langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang lebih pandai. Kepandaian Kongcu jarang ada bandingannya di dunia ini, harap sudi memaafkan atas ucapan kami yang kurang hormat tadi."
Lenghou Tiong membalas hormat mereka, katanya, "Bu-tong-kiam-hoat benar-benar mahasakti. Permainan pedang kalian tadi yang satu yang (positif) dan yang lain im (negatif), satu keras satu lunak, apakah itu Thay-kek-kiam-hoat adanya?"
"Hanya membikin malu saja, yang kami mainkan tadi adalah "Liang-gi-kiam-hoat", memang terdiri dari im dan yang, tapi belum dapat terlebur menjadi satu," sahut si tukang sayur.
"Karena Cayhe telah menyaksikan sebelumnya sehingga sedikit dapat mengetahui letak intisari ilmu pedang kalian," ujar Lenghou Tiong. "Tapi kalau benar-benar bertempur sungguhan jelas tak sanggup aku melawan."
"Lenghou-kongcu teramat rendah hati," ujar si kakek. "Padahal di mana sorot mata Kongcu menatap, di situ pula terletak titik kelemahan dari setiap jurus Liang-gi-kiam-hoat. Ai, kiam-hoat ini ternyata ..." sampai di sini ia geleng-geleng kepala, sejenak kemudian barulah ia menyambung, "lima puluh tahun yang lalu Bu-tong-pay ada dua totiang yang sengaja mendalami Liang-gi-kiam-hoat ini secara tekun, beliau-beliau itu merasa di dalam ilmu pedang ini ada im ada yang, juga keras juga lunak. Tapi ai!" ia menghela napas seakan-akan hendak mengatakan, "Ternyata ilmu pedang yang dianggap sudah sempurna itu tidak tahan sekali gempur oleh ahli pedang yang diketemukan sekarang."
Kiranya dalam pertandingan pedang tadi, mula-mula Lenghou Tiong menggunakan ujung pedang untuk menyerang tempat-tempat berbahaya di tubuh kedua lawannya dari jarak jauh, tempat yang diarah adalah lubang-lubang kelemahan permainan pedang mereka. Tapi kemudian ia tidak perlu menggerakkan lagi pedangnya, hanya sorot matanya saja yang mengincar ke titik kelemahan lawan-lawan itu. Setiap kali salah seorang lawannya menyerang, selalu merasakan titik kelemahan serangannya itu sudah kena diincar oleh Lenghou Tiong sehingga terpaksa ia harus menarik kembali serangan dan begitu seterusnya. Makin lama mereka semakin gelisah, meski Lenghou Tiong hanya berdiri di tempatnya tanpa bergerak, tapi kedua orang itu sudah kelabakan sendiri dengan mandi keringat dan kehabisan tenaga.
Begitulah Lenghou Tiong lantas berkata dengan penuh hormat, "Tadi kedua paman ini rasanya tidak terlalu tinggi tingkatannya di dalam Bu-tong-pay, namun ilmu pedang mereka sudah sedemikian bagusnya. Apalagi kepandaian Tiong-hi Totiang serta tokoh-tokoh kelas wahid yang lain, tentu jauh lebih mengagumkan. Wanpwe dan para kawan kebetulan harus lalu di kaki Bu-tong-san sini, soalnya ada urusan penting sehingga tidak sempat berkunjung dan memberi hormat kepada Tiong-hi Totiang, kelak bila urusan sudah selesai tentu Cayhe akan berkunjung ke Cin-bu-koan (nama kuil) untuk sembahyang di hadapan Cin-bu-tayte serta menjura kepada Tiong-hi Totiang."
Sebenarnya watak Lenghou Tiong sangat angkuh, tapi terhadap ilmu pedang kedua lawannya yang luar biasa dan ajaib tadi, meski dia dapat mengalahkan mereka, tapi dia memang benar-benar sangat kagum. Apalagi ia buru-buru ingin pergi menolong Ing-ing dan sedapat mungkin harus menghindari permusuhan dengan Bu-tong-pay yang sukar dilawan itu, samar-samar dalam perasaannya ia menduga si kakek pasti tokoh terkemuka di dalam Bu-tong-pay, maka apa yang diucapkannya itu benar-benar sangat tulus dan sungguh-sungguh.
Si kakek tampak manggut-manggut, katanya, "Orang muda memiliki kepandaian tinggi, tapi tidak sombong, sungguh harus dipuji. Lenghou-kongcu, apakah kau pernah mendapat didikan langsung dari Hong Jing-yang Locianpwe dari Hoa-san?"
Lenghou Tiong terkesiap dan mengakui ketajaman mata si kakek yang bisa mengetahui asal usul ilmu pedangnya tadi. Cepat ia membungkuk tubuh dan menjawab, "Ah, secara beruntung Wanpwe hanya pernah mempelajari sedikit bulu kulit kepandaian Hong-thaysusiokco."
"Bulu kulit saja katamu dan ternyata sudah begitu hebat?" kata si kakek dengan tersenyum. Ia berpaling dan mengambil pedang yang dipegang si pemikul kayu. Lalu katanya pula, "Sekarang aku ingin coba belajar kenal dengan sedikit bulu kulit ilmu pedang ajaran Hong-locianpwe itu."
"Ah, mana Wanpwe berani bergebrak dengan Cianpwe?" ujar Lenghou Tiong dengan rendah hati.
Kembali si kakek tersenyum, dengan tetap terbungkuk-bungkuk, tubuhnya memutar ke kanan dengan perlahan-lahan, pedang yang terpegang di tangan kiri itu diangkatnya ke atas terus melintang di depan dada.
Melihat gaya orang tua itu, Lenghou Tiong tidak berani sembrono, ia pun mengikuti gerak-geriknya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba pedang si kakek menggores ke depan dengan perlahan dalam bentuk setengah lingkaran.
Seketika Lenghou Tiong merasa suatu arus hawa dingin menyambar ke arahnya, kalau tidak balas menyerang rasanya sukar ditahan. Terpaksa ia berkata, "Maaf!" Karena tidak melihat titik kelemahan dari jurus pedang si kakek, terpaksa pedangnya menutul sekenanya ke depan.
Sekonyong-konyong si kakek memindahkan pedang ke tangan kanan, sinar dingin berkelebat, mendadak ia menebas ke leher Lenghou Tiong. Karena gerakan yang teramat cepat ini, para jago yang menonton di samping sampai menjerit kaget dan khawatir.
Tapi karena serangan si kakek yang keras mendadak itu, segera Lenghou Tiong melihat titik kelemahan di bawah ketiak lawan. Segera pedangnya membarengi menusuk ke yan-ek-hiat di bawah iga si kakek.
Terpaksa si kakek menegakkan pedangnya. "Trang", kedua pedang kebentur, kedua orang sama-sama mundur selangkah, Lenghou Tiong merasakan tenaga lawan seakan-akan melengket di atas pedangnya sehingga batang pedang tergetar mendenging. Sebaliknya si kakek juga bersuara heran, air mukanya menunjukkan rasa kejut dan tidak percaya.
Setelah satu gebrak, kembali pedang si kakek berpindah ke tangan kiri, ujung pedang menggores pula ke depan menjadi dua lingkaran.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat gerakan pedang orang yang bertenaga dan rapat melindungi seluruh tubuhnya tanpa lubang sedikit pun, diam-diam Lenghou Tiong kejut dan heran, "Sejak menghadapi musuh belum pernah kulihat permainan silat lawan yang begini rapat penjagaannya. Bila dia menyerang cara demikian, lalu cara bagaimana aku harus mematahkannya?"
Lantaran timbul rasa sangsinya, tanpa terasa butiran keringat lantas merembes di dahinya.
Dalam pada itu pedang si kakek lantas bergetar, mendadak menusuk ke depan secara lempeng, ujung pedang bergemetar cepat sehingga tidak diketahui arah mana sebenarnya yang hendak diserang. Yang pasti beberapa hiat-to penting di tubuh Lenghou Tiong sudah terancam semua oleh gerakan pedangnya.
Tapi karena serangan cepat si kakek itulah Lenghou Tiong dapat melihat tiga lubang kelemahan di tubuh lawannya, asal salah satu lubang kelemahan diserang sudah cukup menamatkan jiwanya. Segera pedang Lenghou Tiong juga ditusukkan ke depan, ke ujung alis kiri si kakek.
Dalam keadaan demikian bila si kakek tetap mengayun pedangnya ke depan, maka lebih dulu pelipis kirinya pasti akan tertusuk pedang Lenghou Tiong.
Pertarungan di antara jago kelas tinggi kalah-menang memang cuma tergantung pada satu-dua detik itu saja, siapa yang lebih dulu dia yang menang.
Menurut keadaan itu, meski Lenghou Tiong tak bisa menghindarkan diri dari serangan si kakek, tapi kesempatan menyelamatkan diri sedikitnya ada separuh, sebaliknya pihak lawan pasti akan binasa oleh tusukannya.
Ternyata si kakek cukup menyadari hal itu, mendadak ia putar balik pedangnya, sekonyong-konyong pandangan Lenghou Tiong menjadi silau oleh lingkaran-lingkaran sinar perak besar-kecil tak terhitung banyaknya. Karena matanya silau, terpaksa ia pun menarik kembali pedangnya, lalu menusuk lagi ke tengah lingkaran sinar pedang lawan. "Trang", kedua pedang kebentur lagi, lengan Lenghou Tiong terasa kesemutan.
Lingkaran sinar yang dipantulkan oleh pedang si kakek makin lama makin banyak, hanya sebentar saja seluruh badannya seakan-akan menghilang di balik lingkaran sinar yang tak terhitung banyaknya itu. Lingkaran sinar itu satu disusul yang lain, yang duluan belum buyar sudah timbul lingkaran lagi.
Lenghou Tiong tidak sanggup mengincar lubang kelemahan di tengah ilmu pedang si kakek, hanya dirasakan lawan seakan-akan dibungkus oleh beratus atau beribu batang pedang sehingga sukar ditembus.
Jantung Lenghou Tiong mulai berdebar keras. Sejak berhasil meyakinkan "Tokko-kiu-kiam" untuk pertama kalinya sekarang ia merasakan takut. Bahwasanya gerak serangan musuh ternyata tidak diketemukan titik kelemahannya barulah sekarang terjadi.
Selagi Lenghou Tiong merasa bimbang, saat itulah beribu-ribu lingkaran sinar laksana ombak samudra saja telah membanjir ke arahnya. Karena tidak sanggup bertahan, terpaksa ia melangkah mundur. Setiap kali ia mundur satu langkah, lingkaran-lingkaran sinar itu lantas mendesak maju selangkah pula. Dalam sekejap saja, ia sudah mundur hampir sepuluh langkah dan tampaknya masih akan terdesak mundur lagi.
Melihat bengcu mereka terdesak di bawah angin, para jago ikut prihatin dan sama menahan napas mengikuti pertarungan hebat itu. Mendadak Tho-kin-sian berseru, "He, ilmu pedang apakah itu, seperti permainan anak kecil saja yang menggores-gores lingkaran, aku pun bisa kalau cuma begitu!"
"Kalau aku yang menggores tanggung akan lebih bulat daripada dia," timbrung Tho-hoa-sian.
"Jangan takut Lenghou-hengte, jika kau kalah, sebentar kami akan membeset si tua bangka itu menjadi empat potong untuk melampiaskan rasa dongkolmu," seru Tho-ki-sian.
"Salah besar ucapanmu itu!" debat Tho-yap-sian. "Pertama dia adalah Lenghou-bengcu dan bukan Lenghou-hengte segala. Kedua, dari mana kau mengetahui dia takut?"
"Meski Lenghou Tiong sudah menjadi bengcu, tapi umurnya lebih muda daripada diriku. Memangnya sudah menjadi bengcu lantas harus dipanggil Lenghou-koko, Lenghou-pepek, atau dipanggil tuan besar segala?" sahut Tho-ki-sian.
Saat itu Lenghou Tiong tampak terdesak mundur lagi, para jago menjadi ikut cemas, keruan mereka tambah gusar mendengar Tho-kok-lak-sian mengoceh tak keruan.
Dalam pada itu Lenghou Tiong sedang mundur lagi satu langkah, "byur", tiba-tiba sebelah kakinya menginjak air pecomberan. Kejadian ini mendadak menimbulkan pikirannya, "Dahulu Hong-thaysusiokco telah memberi pesan wanti-wanti bahwa ilmu silat di dunia ini sangat banyak aneka ragamnya, tapi pada dasarnya hanya ada satu patokan, tak peduli bagaimana bagusnya gerak serangan lawan, asalkan ada jurus serangan tentu ada lubang kelemahannya. Sebabnya ilmu pedang yang diturunkan oleh Tokko-tayhiap ini dapat merajai dunia persilatan tanpa tandingan adalah karena dapat mencapai titik kelemahan di antara jurus serangan musuh. Sekarang ilmu pedang si kakek berputar begini cepat, sedikit pun tiada lubang kelemahannya. Hanya saja mungkin aku sendiri yang tidak mampu mencari titik kelemahannya dan bukan ilmu pedangnya benar-benar tanpa titik kelemahan."
Dalam pada itu kembali Lenghou Tiong terdesak mundur beberapa tindak lagi, ia coba memerhatikan lingkaran-lingkaran yang dijangkitkan sinar pedang lawan itu, tiba-tiba terpikir olehnya, "Jangan-jangan di tengah lingkaran-lingkaran inilah titik kelemahannya. Tapi kalau keliru dan pedangku menusuk ke tengah lingkaran itu, sekali digiling pedangnya seketika tanganku bisa kutung."
Tiba-tiba timbul tekadnya, "Jelas aku tidak sanggup melawan locianpwe ini, jika aku menyerah kalah, sebagai orang tua mungkin dia takkan mengusik diriku, tapi kekalahanku akan berarti mengguncangkan semangat para kawan, mana mereka berani lagi pergi menyerbu Siau-lim-si dan menolong Ing-ing?"
Teringat kepada budi kebaikan Ing-ing terhadapnya, kalau cuma mengorbankan sebelah lengan saja apa halangannya" Tiba-tiba dalam lubuk hatinya merasa sangat terhibur dan puas jika dapat mengorbankan sebelah lengan bagi Ing-ing, dirasakan pula dirinya terlalu banyak utang budi kepada si nona, kalau benar-benar mengalami cacat badan secara parah demi si nona barulah sekadar dapat membalas budi kebaikannya itu.
Berpikir begitu, tanpa sangsi lagi ia lantas angkat tangannya, pedang lantas menusuk ke tengah lingkaran sinar pedang si kakek. "Trang", terdengar suara nyaring mendering, Lenghou Tiong merasa dadanya tergetar keras, napas sesak dan darah bergolak, tapi lengannya ternyata baik-baik saja tak terluka sedikit pun.
Si kakek tampak mundur selangkah, pedang ditarik kembali dan berdiri tegak, air mukanya menampilkan rasa aneh seperti orang terheran-heran, juga ada perasaan malu-malu, malahan menampilkan rasa penuh kesayangan. Selang cukup lama barulah ia membuka suara, "Ilmu pedang Lenghou-kongcu benar-benar hebat, pengetahuan dan keberanianmu juga melebihi orang biasa, sungguh hebat, sungguh kagum!"
Baru sekarang Lenghou Tiong menyadari gempuran yang penuh risiko tadi sesungguhnya telah menemukan titik kelemahan ilmu pedang lawan, hanya saja ilmu pedang si kakek terlalu tinggi, mungkin di antara sepuluh ribu orang tiada satu orang yang berani mengambil risiko seperti dia untuk menjajal titik kelemahan si kakek yang ternyata disembunyikan di balik titik kekuatannya, yaitu di tengah lingkaran sinar pedangnya yang terus mendesak lawan itu. Keruan Lenghou Tiong merasa sangat beruntung dan bersyukur, cepat ia membungkuk tubuh dan menjawab, "Ilmu pedang Locianpwe mahasakti, sungguh Wanpwe banyak memperoleh manfaatnya setelah mendapat petunjuk-petunjuk tadi."
Ucapan Lenghou Tiong ini bukan kata-kata yang sengaja dibuat, tapi timbul dari lubuk hatinya yang tulus, sebab pertandingan ini memang benar banyak memberi ilham kepadanya sehingga dia mengetahui bahwa titik kekuatan serangan musuh justru adalah titik paling lemah pula. Kalau titik yang paling kuat dapat digempur, maka bagian-bagian lain tidak perlu diterangkan lagi.
Pertandingan di antara jago-jago kelas tinggi cukup ditentukan dalam satu jurus saja. Melihat Lenghou Tiong berani balas menyerang melalui lingkaran sinar pedangnya, maka si kakek merasa tidak perlu melanjutkan lagi pertarungan itu. Ia menatap tajam sejenak kepada Lenghou Tiong. Kemudian menghela napas dan berkata, "Lenghou-kongcu, aku ingin bicara sebentar padamu."
"Baik, mohon petuah-petuah Locianpwe yang berharga," sahut Lenghou Tiong.
Si kakek mengembalikan pedang kepada si tukang sayur tadi, lalu tangan Lenghou Tiong digandengnya dan diajak menuju ke bawah pohon besar di sebelah timur sana. Lenghou Tiong lantas melemparkan pula pedangnya dan mengikuti kehendak si kakek.
Sampai di bawah pohon, jarak dengan rombongan orang banyak sudah ada berpuluh meter jauhnya, suara pembicaraan mereka sukar lagi didengar dari jarak sejauh itu. Lebih dulu si kakek duduk di bawah pohon, lalu katanya, "Silakan duduk juga untuk bicara."
Sesudah Lenghou Tiong berduduk barulah orang tua itu mulai bicara dengan perlahan, "Lenghou-kongcu, tokoh muda seangkatan yang memiliki kepandaian seperti kau boleh dikata jarang terdapat."
"Ah, terima kasih atas pujian Locianpwe," sahut Lenghou Tiong. "Tingkah laku Wanpwe terkenal buruk sehingga tidak diberi tempat oleh perguruan, mana aku berani menerima pujian Locianpwe itu."
"Kaum persilatan kita harus mengutamakan perbuatan yang terang-terangan, asalkan sesuai dengan hati nurani," kata si kakek. "Tindak tandukmu meski terkadang terlalu berani dan tidak tunduk kepada adat kebiasaan, tapi masih harus diakui adalah perbuatan seorang laki-laki sejati. Secara diam-diam aku telah mengutus orang buat menyelidiki kelakuanmu yang sebenarnya dan ternyata tidak diketemukan sesuatu yang buruk sebagaimana disiarkan secara luas di kalangan Kangouw."
Alangkah terharu dan terima kasih Lenghou Tiong atas pembelaan si kakek terhadap pribadinya itu, setiap katanya benar-benar kena lubuk hatinya. Ia yakin si kakek pasti tokoh yang amat penting di dalam Bu-tong-pay, kalau tidak masakah diam-diam mengutus orang buat menyelidiki perbuatan dan tingkah lakunya"
Dalam pada itu si kakek telah menyambung lagi, "Bahwasanya orang muda suka menonjolkan sesuatu adalah lazim. Gak Put-kun sendiri lahirnya tampak ramah, tapi sebenarnya jiwanya sangat sempit ...."
Mendengar kritikan terhadap gurunya, seketika Lenghou Tiong berbangkit dan berkata, "Wanpwe anggap Insu (guru berbudi) seperti orang tua sendiri, maka Wanpwe tidak berani bicara tentang kekurangannya."
Kakek itu tersenyum, katanya, "Kau tidak melupakan sumbermu, sungguh sangat baik."
Tiba-tiba air mukanya berubah serius dan menambahkan, "Sudah berapa lama kau meyakinkan "Gip-sing-tay-hoat" itu?"
"Wanpwe mempelajarinya secara kebetulan kira-kira setengah tahun yang lalu," sahut Lenghou Tiong. "Mula-mula Wanpwe benar-benar tidak tahu ilmu yang kulatih ini adalah Gip-sing-tay-hoat."
"Benarlah kalau begitu," ujar si kakek. "Tadi kita telah tiga kali mengadu senjata, tenaga dalamku telah kau sedot, tapi rasanya kau masih belum mahir memanfaatkan ilmu iblis yang celaka itu. Untuk mana aku ingin memberi nasihat, entah Lenghou-siauhiap sudi mendengarkan tidak?"
Lenghou Tiong menjadi gugup, cepat ia menjawab, "Kata-kata emas Locianpwe sudah tentu akan kuterima dengan segala kerelaan hati."
"Gip-sing-tay-hoat ini walaupun sangat lihai di waktu pertempuran, tapi bagi orang yang melatihnya sendiri akan menimbulkan banyak kerugian, semakin mendalam keyakinannya semakin besar pula bahayanya. Lenghou-siauhiap harus menyadarinya dan sebisanya menghentikan pelajaranmu. Setahuku, akhir dari latihan ilmu iblis itu akan mengubah seluruh watak dan pikiran orang yang meyakinkannya itu, jiwanya tertekan dan akan melakukan macam-macam perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya tanpa disadari olehnya sendiri. Tatkala mana sukarlah untuk membersihkan diri."
Ketika di Bwe-cheng tempo hari Lenghou Tiong memang pernah mendengar sendiri dari ucapan Yim Ngo-heng bahwa setelah mempelajari "Gip-sing-tay-hoat" itu, maka kelak akan banyak mendatangkan bencana, maka dirinya diminta berjanji akan masuk menjadi anggota Mo-kau, bahkan akan diangkat sebagai tangan kiri ketua Mo-kau itu, dengan demikian Yim Ngo-heng baru akan mengajarkan cara memunahkan gangguan penyakit yang ditimbulkan oleh Gip-sing-tay-hoat itu.
Sekarang apa yang dikatakan si kakek ternyata cocok dengan ucapan Yim Ngo-heng dahulu, keruan Lenghou Tiong tambah percaya sehingga keluar keringat dingin. Katanya kemudian, "Petunjuk-petunjuk Locianpwe takkan kulupakan selama hidup ini. Wanpwe juga tahu ilmu ini tidak baik, juga pernah bertekad takkan menggunakannya untuk membikin celaka sesamanya. Cuma setelah ilmu ini meresap di dalam tubuh, sekalipun tidak ingin memakainya toh sukar rasanya."
"Ada suatu hal yang mungkin sangat sukar untuk minta Siauhiap melakukannya," kata si kakek. "Tapi seorang pahlawan, seorang kesatria harus berani berbuat apa yang tak bisa diperbuat orang lain. Siau-lim-pay ada semacam ilmu khas yang disebut "Ih-kin-keng", mungkin Siauhiap sudah pernah mendengarnya."
"Ya, kabarnya itu adalah lwekang tertinggi yang tak diajarkan sembarangan orang sekalipun kepada padri-padri sakti angkatan utama Siau-lim-pay pada saat ini," kata Lenghou Tiong.
"Sekarang Siauhiap memimpin orang banyak ini menuju ke Siau-lim-si, kukira persoalannya tidak mudah untuk diselesaikan. Tak peduli pihak mana yang menang pasti akan banyak menimbulkan korban, hal ini sesungguhnya merupakan malapetaka bagi dunia persilatan kita. Walaupun sudah tua bangka, namun aku bersedia mendamaikan kalian dan akan mohon ketua Siau-lim-pay mengutamakan welas asih dan mengajarkan "Ih-kin-keng" kepada Siauhiap, sebaliknya Siauhiap hendaklah memberi penjelasan kepada orang banyak agar menyudahi urusan ini dan bubar saja, dengan demikian buyar pula bencana yang setiap saat dapat timbul. Entah bagaimana pendapat Siauhiap akan usulku ini?"
"Lalu bagaimana dengan Yim-siocia yang masih terkurung di Siau-lim-si itu?" tanya Lenghou Tiong.
"Yim-siocia telah membunuh empat tokoh Siau-lim-pay, banyak menimbulkan huru-hara pula di dunia Kangouw. Kalau Hong-ting Taysu mengurung dia kukira bukan karena ingin membalas dendam Siau-lim-pay sendiri, tapi timbul dari jiwanya yang welas asih demi keselamatan sesama orang Kangouw. Dengan pribadi Siauhiap yang baik ini masakah khawatir tidak mendapatkan jodoh yang setimpal dari keluarga yang baik" Buat apa mesti tergoda oleh perempuan siluman dari Mo-kau itu sehingga merusak nama baikmu dan menghancurkan masa depanmu."
Serentak Lenghou Tiong berbangkit, katanya lantang, "Lenghou Tiong telah terima budi orang dan sudah pasti akan kubalas. Adapun maksud baik Cianpwe sungguh sayang sekali tak bisa kuterima."
Si kakek menghela napas, katanya pula, "Orang muda tenggelam oleh kecantikan, terjebak oleh nona ayu, rasanya memang sukar menghindarkan diri."
"Wanpwe mohon diri," kata Lenghou Tiong sambil membungkuk tubuh.
"Nanti dulu!" seru si kakek. "Meski aku jarang berhubungan dengan Hoa-san-pay, tapi sedikit banyak kuyakin Gak-siansing masih menghormati diriku. Jika kau mau terima nasihatku tadi, aku dan ketua Siau-lim-pay berani tepuk dada memberi jaminan akan mengembalikan kau ke Hoa-san-pay, untuk ini apakah kau percaya padaku?"
Tergerak juga hati Lenghou Tiong oleh tawaran menarik itu. Diterima kembali ke dalam Hoa-san-pay memang cita-citanya yang paling utama. Kakek ini begini tinggi ilmu silatnya, nada bicaranya juga meyakinkan pasti seorang tokoh terkemuka dari Bu-tong-pay, dia menjanjikan akan menjamin kembalinya Lenghou Tiong ke Hoa-san-pay, maka dapat dipercaya urusan ini pasti akan berhasil. Selamanya sang guru sangat mementingkan hubungan baik sesama orang cing-pay, apalagi Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay adalah dua aliran tertinggi dari dunia persilatan, kalau kedua tokoh utama dari kedua aliran itu tampil ke muka untuk menjaminnya, tentu sang guru akan terpaksa menerimanya kembali.
Tapi sesudah kembali ke Hoa-san, setiap hari ia akan bertemu dengan sumoaynya yang jelita itu, apakah lantas membiarkan Ing-ing terkurung di gua Siau-lim-si yang dingin dan sunyi" Berpikir sampai di sini, seketika darah bergolak pula di rongga dadanya, serunya segera, "Percumalah menjadi manusia jika Wanpwe tidak dapat menolong Yim-siocia keluar dari Siau-lim-si. Tak peduli bagaimana hasil dari urusan ini, asalkan Wanpwe masih hidup kelak, Wanpwe pasti akan berkunjung ke Bu-tong-san untuk mengaturkan terima kasih kepada Cianpwe serta Tiong-hi Totiang."
Kembali si kakek menghela napas, katanya, "Kau tidak mementingkan jiwamu, tidak mementingkan perguruanmu, tidak mementingkan nama baik dan hari depanmu, tapi lebih suka berbuat menuruti bisikan hatimu demi membela seorang perempuan dari Mo-kau, kelak kalau dia mengingkari kau dan berbalik membikin celaka kau, apakah kau takkan menyesal."
"Jiwa Wanpwe ini diselamatkan oleh Yim-siocia, maka akan kukembalikan jiwaku ini untuknya, buat apa mesti merasa sayang dan menyesal?" sahut Lenghou Tiong.
"Baiklah, boleh kau pergi," kata si kakek mengangguk.
Lenghou Tiong memberi hormat pula, lalu putar kembali ke tempat kawan-kawannya, katanya kepada Lo Thau-cu dan lain-lain. "Marilah berangkat!"
Bab 92. Terkurung di Siau-lim-si
"Lenghou-kongcu," kata Tho-sit-sian, "tua bangka tadi bertanding pedang dengan kau, kenapa belum jelas kalah atau menang sudah diakhiri?"
Pertandingan tadi sesungguhnya memang belum berakhir dengan kalah dan menang. Soalnya si kakek menyadari tidak mampu mengalahkan Lenghou Tiong dan segera ia menyudahi pertandingan, sudah tentu orang-orang lain tidak tahu di mana letak seluk-beluk persoalannya.
Maka Lenghou Tiong menjawab, "Ilmu pedang locianpwe tadi sangat tinggi, kalau pertandingan itu diteruskan rasanya aku pun tak bisa mendapat keuntungan apa-apa, maka lebih baik dihentikan saja."
"Lenghou-kongcu, bodohlah kau kalau begitu," ujar Tho-sit-sian. "Jika belum dapat ditentukan kalah dan menang, bila pertarungan diteruskan akhirnya kau pasti menang."
"Haha, juga belum tentu," sahut Lenghou Tiong tertawa.
"Kenapa belum tentu?" Tho-sit-sian ngotot. "Umur tua bangka itu jauh lebih tua daripadamu, tenaganya dengan sendirinya tidak mampu menandingi kau. Jika pertandingan dilanjutkan, lama-lama pasti kau akan berada di atas angin."
Dalam hati Lenghou Tiong mengakui akan kebenaran ucapan Tho-sit-sian yang kelihatannya ngawur, tapi cukup beralasan.
Belum dia menanggapi, tiba-tiba Tho-kin-sian menyela, "Mengapa usianya lebih tua lantas tenaganya pasti kalah kuat?"
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli. Ia tahu di antaranya Tho-kok-lak-sian itu, Tho-kin-sian adalah toako, sudah tentu tidak terima dikatakan lebih tua umurnya lebih lemah pula tenaganya.
Tho-kan-sian juga lantas menimbrung, "Tidak tepat! Jika umur lebih sedikit dan tenaga semakin besar, maka anak umur tiga kan jauh lebih kuat dari kita?"
Begitulah Tho-kok-lak-sian terus mengoceh tak keruan.
Rombongan besar mereka melanjutkan perjalanan menuju ke utara, sampai di wilayah Holam, mendadak dari timur dan barat datang bergabung pula dua rombongan besar sehingga jumlah mereka seluruhnya sudah lebih empat ribu orang.
Sudah tentu semakin besar semakin sukar pula cara pengurusan mereka, terutama dalam hal perbekalan. Soal tempat tidur sih tidak sukar, tak peduli tanah pegunungan atau hutan belukar mereka dapat merebah dan molor sesukanya, tapi mengenai hal makan minum inilah soal sulit. Selama beberapa hari mereka benar-benar telah menyapu bersih segala makanan dan minuman restoran atau rumah makan sepanjang jalan yang mereka lalui, bahkan tidak sedikit yang porak-poranda diubrak-abrik mereka.
Maklumlah, mereka adalah orang-orang gabungan dari macam-macam golongan dan lapisan, biasanya mereka suka makan minum sepuasnya, sekarang mereka makan tidak kenyang, minum kepalang tanggung, keruan ada yang naik pitam dan yang sial adalah rumah-rumah makan yang dihancurkan mereka.
Lenghou Tiong menyadari juga akan tingkah laku kawan-kawannya yang banyak menimbulkan kerugian penduduk sepanjang jalan yang mereka lalui itu. Tapi ia pun memuji akan rasa setia kawan mereka. Jika Siau-lim-si nanti tidak mau membebaskan Ing-ing, maka pertarungan sengit pasti sukar dihindarkan dan apa yang akan terjadi tentu mengerikan.
Selama beberapa hari ini selalu diharapkan berita dari Ting-sian dan Ting-yat Suthay, bila berkat permohonan kedua suthay itu ketua Siau-lim-si sudi membebaskan Ing-ing, maka bencana banjir darah sekiranya dapat dihindari.
Akan tetapi kini tinggal tiga hari lagi sudah akan tiba tanggal 15 bulan 12, jarak dari Siau-lim-si juga tinggal seratusan li saja dan berita yang diharap-harapkan dari Ting-sian dan Ting-yat itu ternyata belum kunjung datang.
Gerakan mereka ke utara untuk menyerbu Siau-lim-si ini memangnya dilakukan secara terbuka dan secara besar-besaran, maka sudah diketahui secara meluas ke berbagai pelosok, namun pihak lawan ternyata tenang-tenang saja tidak memberi reaksi apa-apa, seakan-akan mereka sudah siap siaga tanpa gentar. Membicarakan hal ini, Lenghou Tiong, Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan lain-lain juga merasa heran dan waswas.
Malam ini rombongan besar mereka berkemah di lapangan terbuka, sekeliling dipasang pos-pos peronda untuk menjaga kalau diserang musuh secara mendadak di waktu malam.
Hawa malam cukup dingin, angin meniup kencang, awan memenuhi angkasa seperti akan turun salju. Untuk menghangatkan badan, bergunduk-gunduk api unggun telah dinyalakan di sekitar mereka.
Dasar jago-jago Kangouw ini memang tidak punya disiplin, maklum gabungan mereka itu terjadi secara kebetulan dan secara mendadak tanpa teratur, maka di mana mereka berada suasana juga menjadi gaduh, ada yang menyanyi dan bertengkar, ada yang mengasah senjata dan bertanding gulat segala, ributnya tidak kepalang.
Lenghou Tiong berpikir sendiri, "Paling baik kalau orang-orang banyak ini jangan sampai ikut pergi ke Siau-lim-si. Kenapa aku sendiri tidak mendahului pergi memohon kepada Hong-ting dan Hong-sing Taysu agar sudi membebaskan Ing-ing" Jika hal ini bisa terlaksana kan jauh lebih menggembirakan daripada mesti terjadi huru-hara?"
Tapi lantas terpikir pula, "Bila padri-padri Siau-lim-si itu meluluskan permintaanku, mungkin aku akan ditawan dan dibunuh. Kematianku tidak perlu disayangkan, namun kawan-kawan ini menjadi kehilangan pimpinan dan pasti akan terjadi kekacauan, bukan mustahil Ing-ing tidak berhasil diselamatkan, sebaliknya beribu kawan ini akan binasa semua di Siau-sit-san. Mana boleh aku bertindak menuruti hawa nafsu sendiri sehingga membikin susah orang banyak?"
Ia berbangkit, dilihatnya bara api unggun berkobar-kobar dikelilingi oleh berpuluh-puluh orang setiap gundukan. Pikirnya kemudian, "Mereka setia kepada Ing-ing, aku juga harus setia kepada mereka."
Dua hari kemudian, sampailah barisan mereka di luar Siau-lim-si di atas Siau-sit-san, jumlah mereka sekarang sedikitnya ada enam atau tujuh ribu orang sesudah bergabung lagi beberapa rombongan, tokoh-tokoh yang pernah berkumpul di Ngo-pah-kang dahulu seperti Ui Pek-liu, Na Hong-hong, dan lain-lain semuanya juga datang, banyak pula jago-jago yang belum dikenal oleh Lenghou Tiong. Beribu-ribu tambur dibunyikan serentak, suaranya benar-benar menggetar bumi.
Meski tambur mereka dipukul sedemikian keras dan gemuruh, tapi sampai sekian lamanya masih tidak tampak seorang padri Siau-lim-si yang keluar.
"Berhenti!" Lenghou Tiong memerintahkan bunyi tambur dihentikan, secara berturut-turut perintah itu diteruskan, suara tambur menjadi makin perlahan dan akhirnya berhenti semuanya.
Segera Lenghou Tiong berseru lantang ke arah Siau-lim-si, "Wanpwe Lenghou Tiong bersama para kawan Kangouw datang kemari untuk menemui Hongtiang Taysu Siau-lim-si. Mohon sudi menerima kunjungan kami ini."
Suara Lenghou Tiong itu dikumandangkan dengan tenaga yang mahakuat sekali, di tempat beberapa li jauhnya cukup terdengar. Bila Hong-ting Taysu berada di dalam kuilnya seharusnya dia pun mendengar.
Namun kuil agung itu tetap sunyi senyap tanpa jawaban sedikit pun. Lenghou Tiong mengulangi teriakannya lagi sekali dan tetap tiada jawaban apa-apa.
"Silakan Coh-heng menyampaikan kartu kehormatan," perintah Lenghou Tiong.
Coh Jian-jiu mengiakan dan melangkah pergi dengan membawa kotak berisi kartu nama Lenghou Tiong beserta gembong-gembong bawahannya itu. Sampai di depan pintu gerbang, Coh Jian-jiu mengetok beberapa kali, ternyata di dalam kuil tetap sunyi sepi, ia coba tolak daun pintu, ternyata pintu tidak dipalang dari dalam dan terus terbuka.
Waktu Coh Jian-jiu memandang ke dalam, keadaan tetap sunyi seperti rumah kosong saja. Ia tidak berani sembarangan masuk, segera putar balik memberi lapor kepada Lenghou Tiong.
Mesti tinggi ilmu silatnya, namun dalam hal pengalaman orang hidup boleh dikata masih cetek bagi Lenghou Tiong, lebih-lebih dia pun tidak punya bakat memimpin orang sebanyak itu. Keruan ia menjadi bingung juga menghadapi keadaan yang sama sekali di luar dugaan itu.
"Hwesio-hwesio di dalam kuil itu agaknya sudah lari semua?" kata Tho-kin-sian. "Marilah kita lekas menyerbu ke dalam, setiap kepala gundul yang kita ketemukan lantas kita bunuh."
"Kau bilang hwesio-hwesio itu sudah lari semua, dari mana ada lagi kepala gundul yang bisa kau bunuh?" kata Tho-kan-sian.
"Nikoh kan juga kepala gundul?" sahut Tho-kin-sian.
"Di kuil kaum hwesio mana ada nikoh?" sela Tho-hoa-sian.
"Marilah kita coba lihat-lihat ke dalam," ajak Keh Bu-si.
"Baik," kata Lenghou Tiong. "Harap Keh-heng, Lo-heng, Coh-heng, dan Ui-pangcu berempat mengiringi Cayhe masuk ke sana. Harap sampaikan perintah agar anak buah masing-masing diawasi, tanpa perintahku lebih lanjut siapa pun dilarang bertindak sendiri-sendiri, tidak boleh berbuat kasar terhadap padri Siau-lim-si, dilarang juga mengganggu setiap benda di atas Siau-sit-san ini."
"Apakah kentut juga tidak boleh?" tanya Tho-ki-sian.
Lenghou Tiong tidak gubris padanya, yang dia khawatirkan justru keadaan Ing-ing yang tidak diketahui itu. Dengan langkah lebar segera ia menuju ke dalam kuil dengan diikuti oleh Keh Bu-si berempat.
Sesudah masuk pintu gerbang dan menaiki undak-undakan batu, lewat ruangan pendopo depan, sampailah di Tay-hiong-po-tian. Kelihatan patung Buddha yang angker di tengah ruangan, tapi lantai dan meja tampak penuh berdebu.
"Apakah benar-benar para padri di sini telah lari semua?" ujar Coh Jian-jiu.
"Janganlah Coh-heng mengatakan mereka "lari"," ujar Lenghou Tiong.
Mereka coba berhenti dan menahan napas untuk mendengarkan dengan cermat, tapi yang terdengar hanya suara riuh ramai di luar, di dalam kuil benar-benar tiada suara sedikit pun.
"Kita harus waspada akan kemungkinan dijebak oleh perangkap yang dipasang padri-padri Siau-lim-si ini," bisik Keh Bu-si.
Namun Lenghou Tiong tidak sependapat, ia anggap Hong-ting Taysu adalah padri yang saleh, mana dia mau memakai cara-cara licik. Cuma menghadapi serangan orang banyak dari macam-macam golongan liar itu bukan mustahil pihak Siau-lim-si sengaja menggunakan akal dan tidak mau mengadu kekuatan.
Menghadapi Siau-lim-si sebesar itu tanpa seorang penghuni, lapat-lapat Lenghou Tiong merasakan kekhawatiran yang tak terkatakan, entah bagaimana nasib Ing-ing pada saat itu.
Dengan penuh waspada mereka berlima terus memeriksa ke bagian dalam. Sesudah menyusuri pekarangan tengah, sampailah mereka di ruangan belakang. Sekonyong-konyong Lenghou Tiong dan Keh Bu-si berhenti dan memberi isyarat. Serentak Lo Thau-cu bertiga juga lantas berhenti.
Lenghou Tiong menuding sebuah kamar samping di sebelah kiri sana, lalu mendekatinya dengan perlahan-lahan. Lo Thau-cu dan lain-lain ikut maju ke sana. Maka terdengarlah suara rintihan orang yang amat lirih.
Lebih dulu Lenghou Tiong menyiapkan pedang di tangan, lalu pintu kamar itu ditolak, berbareng ia menggeser ke samping untuk menjaga diserang dari dalam dengan senjata rahasia. Terdengar suara kerutan daun pintu yang terpentang itu, lalu dari dalam kamar terdengar lagi suara orang merintih perlahan.
Waktu Lenghou Tiong melongok ke dalam, ia menjadi kaget. Ternyata dua orang nikoh tua menggeletak di lantai, seorang menghadap ke luar dan dikenalnya sebagai Ting-yat Suthay. Wajah nikoh tua itu tampak pucat pasi, kedua matanya terkatup rapat, agaknya sudah tak bernyawa lagi.
Tanpa pikir Lenghou Tiong terus menerobos ke dalam. "Awas, Bengcu!" seru Coh Jian-jiu. Menyusul ia pun melangkah ke dalam.
Lenghou Tiong mengitar dua sosok tubuh yang menggeletak di lantai itu, waktu ia periksa lagi nikoh yang lain, memang benar ketua Hing-san-pay Ting-sian Suthay adanya.
"Ting-sian Suthay! Ting-sian Suthay!" seru Lenghou Tiong sambil berjongkok.
Perlahan-lahan Ting-sian Suthay membuka matanya, semula sinar matanya guram, tapi lambat laun mulai terang dan terkilas rasa girang, bibirnya tampak bergerak-gerak, namun sukar mengeluarkan suara.
"Wanpwe Lenghou Tiong," demikian Lenghou Tiong berjongkok lebih dekat.
Bibir Ting-sian tampak bergerak-gerak lagi, akhirnya tercetus beberapa kata yang amat lemah dan hampir-hampir tak terdengar, sayup-sayup Lenghou Tiong hanya dengar kata-kata, "Kau ... kau ...."
Bingung juga Lenghou Tiong, terutama melihat keadaan ketua Hing-san-pay yang sudah sangat payah itu.
Sejenak kemudian, sekuat tenaga Ting-sian Suthay mengeluarkan kata-kata, "Kau ... kau berjanjilah padaku ...."
Cepat Lenghou Tiong menjawab, "Baik, baik. Apa pun pesan Suthay, sekalipun hancur lebur badanku ini juga akan kulakukan."
Teringat bahwa Ting-sian dan Ting-yat berdua datang ke Siau-lim-si demi untuk kepentingannya dan sekarang keduanya ternyata tewas semua di sini, tanpa terasa air mata Lenghou Tiong ikut berlinang-linang.
"Kau ... kau pasti menyanggupi ... menyanggupi aku?" Ting-sian berdesis pula dengan lemah.
"Ya, pasti," sahut Lenghou Tiong tanpa ragu-ragu.
Sinar mata Ting-sian terkilas rasa girang pula, lalu katanya dengan sangat lirih, "Kau ... kau menyanggupi menge ... mengetuai Hing-san-pay ...." habis bicara ini napasnya sudah hampir-hampir putus.
Keruan Lenghou Tiong kaget, cepat ia menjawab, "Tapi Wanpwe adalah orang lelaki, mana boleh menjadi ketua Hing-san-pay kalian" Cuma Suthay jangan khawatir, tak peduli ada urusan atau kesulitan apa yang menyangkut golongan kalian tentu akan kubela sekuat tenaga."
Perlahan-lahan Ting-sian Suthay menggeleng kepala, katanya, "Ti ... tidak. Aku ... aku mengangkat kau men ... menjadi ciangbunjin ... Ciangbunjin Hing-san-pay, jika ... jika kau menolak, mati ... mati pun aku tidak rela."
Keruan Lenghou Tiong menjadi bingung dan serbasusah, mustahil dirinya sebagai seorang laki-laki, apalagi pemuda, disuruh menjadi ketua Hing-san-pay yang anak buahnya terdiri dari kaum nikoh dan seluruhnya wanita melulu. Namun jiwa Ting-sian Suthay jelas tinggal sekejap saja, mendadak darahnya menggelora, tanpa pikir lagi ia menjawab, "Baik, Wanpwe menerima permintaan Suthay."
Maka tersenyumlah Ting-sian Suthay, katanya lirih, "Teri ... terima kasih! Nasib beberapa ratus murid Hing ... Hing-san-pay selanjutnya mesti mem ... membikin susah padamu."
"Kenapa pihak Siau-lim-si tidak kenal persahabatan dan tega turun tangan keji terhadap kedua Suthay, Wanpwe ...." tapi sampai di sini saja ucapan Lenghou Tiong ketika dilihatnya Ting-sian Suthay telah pejamkan mata, kepalanya miring ke sebelah, lalu tidak bergerak lagi.
Terkejut juga Lenghou Tiong, cepat ia memeriksa napas nikoh tua itu, ternyata sudah meninggal. Sungguh tak terkatakan rasa dukanya, ia coba pegang pula tangan Ting-yat Suthay, ternyata sudah dingin, terang meninggalnya jauh lebih dulu. Dasar watak Lenghou Tiong memang keras di luar lunak di dalam, tak tertahan lagi ia menangis sedih.
"Lenghou-kongcu, kita harus membalas sakit hati kedua suthay," kata Lo Thau-cu. "Kepala gundul Siau-lim-si ini telah lari bersih, marilah kita bakar ludes saja kuil ini."
Terdorong oleh rasa gusar, tanpa pikir Lenghou Tiong lantas menjawab, "Benar! Bakar saja Siau-lim-si ini menjadi puing!"
"Jangan, jangan!" cepat Keh Bu-si mencegah. "Kita belum menemukan Seng-koh, bila Seng-koh masih terkurung di dalam kuil ini kan beliau akan ikut terbakar?"
Seketika Lenghou Tiong sadar dan mengeluarkan keringat dingin, katanya, "Ya, aku memang bodoh dan kasar, jika tidak diperingatkan Keh-heng tentu urusan bisa runyam. Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Kompleks Siau-lim-si ini terdiri dari beratus-ratus ruangan, kalau cuma kita berlima saja sukar menyelidikinya secara merata, maka mohon Bengcu memberi perintah untuk memanggil 200 saudara kita masuk ke sini untuk ikut menggeledah."
"Baiklah, silakan Keh-heng menyampaikan perintahku itu," kata Lenghou Tiong.
Keh Bu-si mengiakan terus melangkah keluar. "Jangan sekali-kali mengizinkan Tho-kok-lak-sian ikut masuk," seru Coh Jian-jiu.
Segera Lenghou Tiong mengusung jenazah-jenazah kedua suthay dan ditaruh di atas dipan semadi. Ia menjura beberapa kali sambil berdoa di dalam hati, "Tecu pasti akan berusaha sepenuh tenaga untuk membalas sakit hati kedua Suthay dan mengembangkan Hing-san-pay, semoga arwah kedua Suthay melindungi Tecu."
Lalu ia berbangkit untuk memeriksa bekas-bekas luka di atas jenazah kedua suthay itu, namun tidak tampak sesuatu luka apa pun, juga tiada noda darah. Hanya ia tidak leluasa membuka baju suthay-suthay itu, ia menduga pasti terkena pukulan musuh yang dahsyat dan meninggal karena luka dalam yang parah.
Dalam pada itu terdengarlah suara ramai orang mendatangi, ke-200 orang telah membanjir masuk ke Siau-lim-si terus menggeledah ke segala pelosok.
Tiba-tiba terdengar orang berseru di luar, "Lenghou Tiong melarang kita masuk, kita justru mau masuk, coba dia bisa berbuat apa?"
Itulah suaranya Tho-ki-sian. Keruan Lenghou Tiong mengerut dahi, tapi pura-pura tidak mendengar.
Terdengar lagi Tho-kan-sian berkata, "Sampai di Siau-lim-si yang termasyhur, kalau kita tidak melihat-lihatnya ke dalam kan penasaran?"
"Dan kalau sudah masuk, tanpa menemui hwesio Siau-lim-si yang terkenal kan lebih-lebih penasaran?" timbrung Tho-hoa-sian.
"Dan kalau sudah bertemu hwesio Siau-lim-si, bila tidak ukur-ukur ilmu silat dengan hwesio yang tersohor di seluruh jagat itu kan lebih-lebih amat penasaran?" sambung Tho-ki-sian.
Begitulah terdengar keenam orang dungu itu mengoceh tak keruan sembari menuju ke ruangan belakang.
Lenghou Tiong berlima lantas keluar dari kamar samping itu, pintu kamar itu mereka rapatkan sekalian. Terlihat para jago berseliweran kian-kemari menggeledahi segenap sudut Siau-lim-si itu. Tidak lama kemudian susul-menyusul orang-orang itu datang melapor bahwa tidak ditemukan seorang hwesio pun, bahkan tukang kebun, tukang kayu, dan sebagainya juga tidak ditemukan seorang pun. Lalu ada yang memberi laporan bahwa segala isi di dalam kuil, baik kitab-kitab maupun alat perabot sudah disingkirkan semua, bahkan mangkuk piring juga tiada sebuah pun.
Menyusul laporan datang lagi, katanya di dalam kuil tak tertinggal sebutir beras, garam, dan setetes minyak pun, semuanya kosong melompong, sampai-sampai sayur yang biasanya ditanam di kebun juga sudah dibabat bersih.
Setiap kali dapat laporan, perasaan Lenghou Tiong setiap kali tambah cemas. Pikirnya, "Sedemikian rapi cara mengatur padri-padri Siau-lim-si ini, sampai-sampai sayur juga tidak ditinggalkan satu tangkai pun, maka jelas sudah lama mengetahui akan kedatanganku dan tentu Ing-ing telah dipindahkan ke tempat lain. Dunia seluas ini, lalu ke mana harus mencarinya?"
Satu-dua jam kemudian, ke-200 orang tadi sudah memeriksa semua tempat kuil itu, bahkan satu lubang pun tidak luput dari pemeriksaan mereka, namun tetap tidak ditemukan suatu benda apa pun.
Ada juga yang senang dan berkata, "Siau-lim-pay adalah aliran nomor satu dunia persilatan, tapi demi mendengar akan kedatangan kita mereka lantas lari terbirit-birit dan menghilang tak keruan juntrungannya, ini benar-benar peristiwa yang belum pernah terjadi selama sejarah Siau-lim-pay."
"Sekali bergerak saja kita telah memperlihatkan kekuatan kita yang demikian hebatnya, sampai-sampai Siau-lim-pay juga ketakutan, maka sejak kini orang bu-lim mana pun tidak berani memandang enteng lagi kepada kita," ujar yang lain.
"Memang hebat dan gagah juga kita dapat bikin hwesio Siau-lim-si lari ketakutan, akan tetapi bagaimana dengan Seng-koh" Di mana beliau sekarang" Kedatangan kita ini kan untuk menyambut pulangnya Seng-koh dan bukan untuk mengusir hwesio," demikian kata yang lain lagi.
Mendengar ucapan orang ini, semua orang menjadi lesu, beramai-ramai mereka memandang Lenghou Tiong untuk menantikan petunjuknya.
"Hal ini benar-benar di luar dugaan," kata Lenghou Tiong, "siapa pun tidak tahu bahwa padri-padri Siau-lim-si di sini ternyata rela meninggalkan kuilnya. Cara bagaimana kita harus bertindak sekarang, sesungguhnya aku pun merasa bingung. Pikiran seorang cekak, pikir dua orang panjang, maka diharapkan usul-usul dan pendapat-pendapat dari kalian semua."
"Menurut pendapat Siokhe (hamba), menemukan Seng-koh lebih sukar daripada mencari padri-padri Siau-lim-si," demikian Ui Pek-liu membuka suara pertama. "Padri-padri Siau-lim-si berjumlah ribuan, orang sebanyak ini tentu tidak dapat bersembunyi selamanya tanpa muncul di depan umum. Asalkan kita dapat menemukan hwesio Siau-lim-si tentu kita dapat memaksa mereka mengakui di mana beradanya Seng-koh."
"Benar juga ucapan Ui-heng," kata Coh Jian-jiu. "Marilah kita tinggal saja di Siau-lim-si ini, mustahil anak murid Siau-lim-pay rela meninggalkan kuilnya yang sudah bersejarah ribuan tahun ini dan membiarkan orang lain mendudukinya" Asalkan mereka datang buat merebut kembali kuil ini tentu kita dapat mencari tahu kepada mereka di mana Seng-koh berada."
"Mencari tahu di mana beradanya Seng-koh kepada mereka" Mana mereka mau mengatakan?" ujar seorang.
"Mencari tahu kepada mereka kan cuma kata-kata halusnya, yang tegas adalah paksa mereka mengaku," sela Lo Thau-cu. "Sebab itu, bila kita ketemu padri Siau-lim-pay, kita harus menawannya hidup-hidup dan jangan membunuhnya. Jika kita dapat menawan sepuluh atau dua puluh hwesio mereka, memangnya mereka tidak takut mati dan berani tidak mengaku?"
"Tapi kalau hwesio-hwesio itu benar-benar kepala batu dan tidak mau mengaku, lalu bagaimana?" tanya seorang lagi.
"Apa susahnya?" sahut Lo Thau-cu. "Kita bisa minta Na-kaucu melepaskan beberapa ekor naga sakti dan makhluk sakti lainnya di atas tubuh mereka, coba saja mereka tahan tidak?"
Semua orang sama mengangguk setuju. Mereka tahu "naga sakti dan makhluk-makhluk sakti lain" yang dimaksudkan itu adalah ular berbisa dan serangga-serangga beracun lain yang dipiara Na Hong-hong, itu wanita ketua Ngo-tok-kau yang terkenal. Gigitan makhluk berbisa itu jauh lebih menderita daripada disiksa dengan alat apa pun juga.
Terlihat Na Hong-hong hanya tersenyum saja, katanya, "Hwesio-hwesio Siau-lim-pay sudah gemblengan, mungkin sekali mereka sukar ditaklukkan dengan naga sakti dan sebagainya piaraanku."
Di dalam hati Lenghou Tiong menganggap tidaklah perlu cara menyiksa secara keji begitu. Cukup asalkan dapat menawan padri-padri Siau-lim-si sebanyak mungkin, lalu dipakai sebagai barang tukar, rasanya Ing-ing akhirnya dapat dibebaskan.
Dalam pada itu terdengar teriakan seorang yang bersuara nyaring, "Wah, sudah hampir seharian tidak makan minum, aku menjadi kelaparan setengah mati. Celakanya di dalam kuil ini tiada hwesio seekor pun, kalau ada, wah, daging hwesio panggang yang gemuk lagi putih itu tentu enak."
Yang bicara ini adalah seorang laki-laki tinggi besar, ialah si gede Pek-him (Beruang Putih), satu di antara "Boh-pak-siang-him" (Dua Beruang dari Gurun Utara).
Para jago kenal Pek-him dan pasangannya si Oh-him (Beruang Hitam) adalah manusia-manusia yang gemar makan daging manusia, meski kedengaran ngeri dan seram, tapi mereka memang juga merasa lapar dan haus setelah beberapa jam berada di Siau-lim-si tanpa makan minum.
"Rupanya Siau-lim-pay sengaja menggunakan politik "sapu bersih", mereka sengaja membikin kita tidak sanggup bercokol terus di sini sehingga terpaksa pergi lagi, tapi di dunia mana ada persoalan yang begini sederhana," ujar Ui Pek-liu.
"Betul," kata Lenghou Tiong. "Apakah Ui-pangcu ada pendapat-pendapat atau saran-saran yang baik?"
"Kukira kita bisa mengirim saudara-saudara kita ke bawah gunung untuk mencari berita ke mana menghilangnya hwesio-hwesio Siau-lim-si ini," kata Ui Pek-liu. "Lalu kita dapat mengirim orang pula pergi belanja bahan makanan, kawan-kawan yang lain biarlah ikut berjaga di sini untuk menunggu kawanan hwesio itu masuk perangkap sendiri."
"Boleh juga usul Ui-pangcu," ujar Lenghou Tiong. "Sekarang juga silakan Ui-pangcu menyampaikan perintah, kirimlah 500 saudara-saudara yang sudah terlatih dan berpengalaman, sebar luaskan di seluruh Kangouw untuk mencari jejak padri-padri Siau-lim-si itu. Tentang persediaan perbekalan dan lain-lain juga kuserahkan Ui-pangcu untuk mengaturnya."
Ui Pek-liu mengiakan dan melangkah ke luar.
"Hendaklah Ui-pangcu bekerja cepat, kalau tidak, saking laparnya, segala apa dapat dimakan oleh kedua saudara kita Pek-him dan Oh-him," kata Na Hong-hong dengan tertawa.
"Jangan khawatir," sahut Ui Pek-liu sambil menoleh. "Biarpun perut Boh-pak-siang-him sudah berkeroncongan juga tidak nanti berani mengganggu seujung jari Na-kaucu."
Melihat ke-200 orang yang menggeledah Siau-lim-si sudah kumpul kembali, Coh Jian-jiu berkata, "Kuil ini sudah tiada penghuninya lagi, sekarang diharap Saudara-saudara buang sedikit tenaga lagi, silakan periksa ke segala sudut, coba lihatlah kalau-kalau ada sesuatu tanda yang aneh, bisa jadi nanti akan menemukan sesuatu jejak yang menarik."
Ke-200 orang itu mengiakan serentak dan beramai-ramai pergi memeriksa. Sekali ini bukan manusia yang mereka cari, tapi mencari sesuatu benda atau tempat yang ada tanda-tanda mencurigakan, maka sibuklah mereka, ada yang gali tanah, ada yang cungkil jubin, hampir saja dinding juga mereka bongkar, hanya patung-patung Buddha saja tidak mereka sentuh.
Lenghou Tiong duduk di atas sebuah kasuran semadi di tengah Tay-hiong-po-tian yang megah itu, dilihatnya patung Buddha dengan wajah yang angker dan menampilkan perasaan penuh welas asih. Ia berpikir, "Hong-ting Taysu benar-benar seorang padri saleh, ia mengetahui kedatangan kami secara besar-besaran, ia lebih suka mengorbankan nama baik Siau-lim-pay dan tidak mau menyambut pertempuran dengan kami, akhirnya bencana pembunuhan besar-besaran ini dapat terhindar. Tapi mengapa mereka membunuh Ting-sian dan Ting-yat Suthay" Tampaknya yang membunuh kedua suthay ini adalah padri murtad kuil ini dan bukan kehendak Hong-ting Taysu. Ya, aku harus maklum akan maksud baik Hong-ting Taysu dan tidak mengerahkan orang banyak untuk pergi mencari padri-padri Siau-lim-pay dan mempersulit mereka, tapi harus berdaya dengan jalan lain untuk menyelamatkan Ing-ing."
Golok Sakti 9 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pendekar Riang 3
"Di lereng pegunungan di barat Kota Siangyang," tutur Lo Thau-cu.
"Jika demikian, marilah kita lekas makan minum, lalu cepat menyusul ke sana."
Begitulah di tengah perjalanan mereka bertemu pula dengan dua rombongan orang-orang gagah yang juga sedang menuju ke Hong-po-peng, gabungan tiga rombongan jumlahnya sudah ada 100 orang lebih.
Lenghou Tiong jalan berendeng dengan Lo Thau-cu, ia tanya orang tua itu, "Bagaimana keadaan putrimu si Siau Ih" Apakah sudah baik?"
"Banyak terima kasih atas perhatian Kongcu," sahut Lo Thau-cu. "Dia belum baik sama sekali, tapi juga tidak terlalu buruk."
Ada suatu pertanyaan yang selalu menggoda pikiran Lenghou Tiong selama ini, melihat orang-orang lain rada ketinggalan jauh di belakang, segera ia tanya pula, "Semua kawan sama mengatakan utang budi kebaikan kepada Seng-koh. Cayhe sungguh-sungguh tidak mengerti, usia Seng-koh masih muda belia, cara bagaimana dia bisa menanam budi kebaikan kepada kawan-kawan Kangouw sebanyak ini?"
"Kongcu benar-benar tidak tahu seluk-beluk soal ini?" tanya Lo Thau-cu sambil berpaling ke arahnya.
"Tidak tahu," jawab Lenghou Tiong.
"Kongcu bukan orang luar, mestinya tidak perlu dirahasiakan. Cuma setiap orang sudah pernah bersumpah kepada Seng-koh bahwa rahasia ini takkan dibocorkan. Maka terpaksa mohon Kongcu sudi memaafkan."
"Jika demikian, baiklah jangan kau ceritakan."
"Kelak Seng-koh yang menceritakan sendiri kepada Kongcu kan jauh lebih baik?"
"Ya, semoga selekasnya akan tiba hari yang diharapkan ini," kata Lenghou Tiong.
Ketika rombongan besar mereka sampai di Hong-po-peng, sementara itu sudah jauh malam. Dari jauh sudah terdengar hiruk-pikuk orang saling caci maki diseling suitan dan teriakan. Sesudah dekat, di bawah sinar bulan Lenghou Tiong melihat di suatu tanah lapang yang dikelilingi lereng-lereng bukit itu berkumpul orang sedemikian banyaknya, sedikitnya ada ribuan.
"Jabatan bengcu selamanya hanya dipangku oleh satu orang saja," demikian terdengar seorang berteriak dengan marah, "sekarang kalian berenam ingin menjadi bengcu sekaligus, lalu bengcu macam apakah ini?"
"Kami berenam merupakan satu orang dan satu orang sama dengan enam orang, asal kalian sama tunduk kepada kami berenam saudara, maka berarti kami sudah menjadi bengcu. Nah, jangan kau banyak bacot lagi, kalau rewel lagi bukan mustahil kami akan membeset tubuhmu menjadi empat potong," demikian teriak seorang lain.
Tanpa melihat orangnya segera Lenghou Tiong dapat mengetahui pembicara terakhir itu adalah satu di antara "Tho-kok-lak-sian". Hanya suara mereka berenam saudara itu satu sama lain hampir mirip, maka sukar dibedakan siapa yang berbicara.
Rupanya pembicara pertama tadi menjadi ketakutan oleh ancaman itu dan tidak berani buka suara lagi. Tapi orang-orang banyak itu jelas tidak mau tunduk kepada Tho-kok-lak-sian, ada yang berteriak-teriak mengejek dari jauh, ada yang mencaci maki secara sembunyi-sembunyi di pelosok yang gelap. Bahkan ada melemparkan batu dan menaburkan pasir ke tengah kalangan. Suasana menjadi kacau.
"Siapa yang melempar batu padaku?" teriak Tho-yap-sian.
"Ayahmu!" jawab satu orang dari tempat yang tak kelihatan.
"Apa" Kau adalah ayah kakakku?" seru Tho-hoa-sian dengan gusar.
"Belum tentu!" sahut seorang lagi.
Serentak gemuruhlah gelak tertawa beberapa ratus orang.
"Kenapa belum tentu?" tanya Tho-hoa-sian bingung.
"Aku pun tidak tahu, sebab aku cuma punya seorang anak," sahut lagi seorang lain.
"Anakmu hanya satu, apa sangkut pautnya dengan aku?" kata Tho-hoa-sian.
"Tidak ada sangkut pautnya dengan kau, besar sangkut pautnya dengan saudaramu," seru seorang dengan gelak tertawa.
"Apa barangkali ada sangkut pautnya dengan aku?" tanya Tho-kan-sian.
"Mungkin, harus lihat wajahmu mirip tidak!" kata orang tadi dengan tertawa.
"Apa maksudmu mirip wajahku?" tanya Tho-sit-sian. "Coba kau maju."
"Buat apa maju, kau sendiri boleh bercermin saja," sahut orang itu tertawa.
Mendadak empat sosok bayangan melayang ke arahnya dengan cepat luar biasa, kontan orang yang bicara itu dicomot dari tempat yang gelap. Ternyata orang itu tinggi besar, sedikitnya ada 200 kati. Tapi kaki-tangannya kena dipegang oleh Tho-kok-si-sian, sedikit pun dia tidak bisa berkutik.
Setelah diseret keluar, di bawah sinar bulan dapatlah muka orang itu terlihat jelas. Tho-sit-sian lantas berkata, "Tidak mirip, masakah wajahku seburuk ini" Losam, mungkin mirip kau."
"Cis, memangnya kau lebih cakap daripadaku?" semprot Tho-ki-sian. "Sedemikian banyak yang hadir di sini boleh suruh mereka menjadi juri."
Sebenarnya semua orang merasa geli melihat wajah Tho-kok-lak-sian yang lebih buruk daripada siluman itu, tapi mengaku cakap sendiri. Namun demi melihat laki-laki tinggi besar itu setiap saat dapat dirobek menjadi empat potong oleh Si-sian itu, mereka menjadi kebat-kebit dan tidak dapat tertawa lagi.
Lenghou Tiong kenal watak Tho-kok-lak-sian, bukan mustahil tawanan mereka itu akan dibeset, maka cepat ia berseru, "Tho-kok-lak-sian, bagaimana kalau aku Lenghou Tiong yang menjadi juri bagi kalian?"
Sembari bicara ia terus muncul dari tempat sembunyinya.
Mendengar nama "Lenghou Tiong", seketika gemparlah semua orang. Beribu pasang mata terpusat kepadanya. Tapi Lenghou Tiong tanpa berkedip terus menatap ke arah Tho-kok-lak-sian, katanya pula, "Silakan kalian lepaskan dulu kawan itu, dengan demikian barulah aku dapat menilai wajah kalian dengan jelas."
Terhadap Lenghou Tiong memang Tho-kok-lak-sian mempunyai kesan baik, segera mereka melepaskan tawanan itu. Ternyata perawakan laki-laki itu benar-benar sangat kekar. Namun begitu mukanya tampak pucat seperti mayat, maklum ia pun insaf bahwa jiwanya seakan-akan baru saja lolos dari pintu akhirat, badannya menjadi gemetar meski ia coba tabahkan diri sekuatnya. Maksudnya hendak mengucapkan terima kasih, tapi giginya sampai ikut gemerutuk dan suaranya terputus-putus.
Melihat laki-laki itu cukup cakap, tapi dalam keadaan ketakutan, segera Lenghou Tiong berkata kepada Tho-kok-lak-sian, "Keenam Tho-heng, menurut pendapatku, wajah kalian sama sekali berbeda daripada wajah kawan ini, kalian jauh lebih cakap, lebih bagus, lebih gagah, lebih ganteng. Siapa saja yang melihat kalian tentu akan jatuh cinta."
Maka terdengarlah gelak tertawa orang banyak.
"Ya, benar," timbrung Lo Thau-cu. "Menurut pendapatku, kesatria di seluruh jagat ini, bicara tentang ilmu silat memang banyak yang lihai, tapi bicara kecakapan muka, wah, siapa pun tiada mampu melebihi Tho-kok-lak-sian."
Mendengar diri mereka dipuji oleh Lenghou Tiong dan Lo Thau-cu, keruan Tho-kok-lak-sian sangat senang. Mereka tidak tahu gelak tertawa orang banyak itu adalah ejekan, sebaliknya mengira mereka benar-benar mengagumi kebagusannya.
Kemudian Lo Thau-cu berseru, "Wah, nasib kawan-kawan benar-benar sangat mujur. Tadi di tengah jalan kami telah ketemukan Lenghou-kongcu seorang diri sedang menuju ke Siau-lim-si buat menyambut pulangnya Seng-koh, ketika mendengar kita sedang berkumpul di sini, beliau lantas mampir ke sini untuk berundingan dengan kita. Menurut pikiranku, bicara tentang kecakapan muka memang benar Tho-kok-lak-sian nomor satu ..." seketika ramai pula gelak tawa orang banyak. Cepat Lo Thau-cu memberi tanda berhenti, lalu sambungnya, "Tapi kepergian kita ini harus menghadapi Siau-lim-pay, urusan Seng-koh yang mahapenting ini rasanya tidak terlalu erat hubungannya dengan soal kecakapan. Maka menurut pendapatku, marilah kita mendukung Lenghou-kongcu sebagai bengcu kita, mohon beliau mengatur siasat dan memberi perintah kepada kita, entah bagaimana pendapat kawan-kawan sekalian?"
Semua orang mengetahui terkurungnya Seng-koh di Siau-lim-si itu adalah karena ingin menyembuhkan penyakit Lenghou Tiong dahulu, jangankan ilmu silat Lenghou Tiong memang sangat tinggi, hal ini sudah didengar mereka tentang pertarungannya melawan para kesatria di daerah Holam dahulu ketika dia membantu Hiang Bun-thian, sekalipun Lenghou Tiong tidak paham silat, mengingat dia adalah kekasih Seng-koh juga semua orang akan mengangkatnya menjadi bengcu. Lantaran ini mereka lantas bersorak gembira demi mendengar usul Lo Thau-cu tadi.
Tapi mendadak Tho-hoa-sian berseru dengan suara aneh, "Kita akan pergi menyambut pulangnya Yim-siocia, jika berhasil, apakah beliau akan dijadikan bini kepada Lenghou Tiong?"
Semua orang sangat hormat dan segan kepada Yim-siocia alias Ing-ing, maka tiada seorang pun yang berani mengiakan meski apa yang dikatakan Tho-hoa-sian tidaklah salah. Lenghou Tiong sendiri lebih-lebih kikuk, ia pun tidak dapat menyangkal cinta Ing-ing padanya yang bukan rahasia lagi bagi orang-orang Kangouw itu. Kalau menyangkal tentu juga akan membikin malu Ing-ing, sebaliknya kalau terang-terangan mengaku akan memperistrikan si nona, rasanya kelak masih akan banyak menghadapi rintangan, apalagi juga tidak layak mengaku terang-terangan begitu. Maka terpaksa ia bungkam saja.
Tiba-tiba Tho-yap-sian menimbrung, "Wah, dia mendapat bini, menjadi bengcu pula, sungguh terlalu enak baginya. Kalau kita pergi membantu dia menolong bininya, maka jabatan bengcu ini harus diserahkan kepada kami berenam saudara."
"Betul!" seru Tho-kin-sian. "Kecuali kepandaiannya bisa lebih hebat daripada kami, inilah lain soalnya."
Habis itu, sekonyong-konyong empat di antara Lak-sian itu terus menubruk maju, sekali cengkeram, seketika Lenghou Tiong terpegang dan terangkat ke atas.
Begitu cepat gerakan keempat orang itu, sebelumnya juga tiada tanda-tanda akan menyerang. Keruan Lenghou Tiong tidak sempat menghindar, tahu-tahu kedua tangan dan kedua kaki sudah dipegang erat-erat oleh empat orang.
"He, he, jangan! Lekas lepaskan!" teriak orang banyak.
"Jangan khawatir!" sahut Tho-yap-sian dengan tertawa. "Kami pasti takkan mencelakai dia, asalkan dia berjanji akan menyerahkan jabatan bengcu kepada kami ...."
Tapi belum habis ucapannya, sekonyong-konyong Tho-kin-sian, Tho-kan-sian, Tho-ki-sian, dan Tho-sit-sian yang memegangi Lenghou Tiong itu sama menjerit aneh dan terburu-buru melepaskan pemuda itu sambil berteriak-teriak, "He, he! Kau ... kau memakai ilmu sihir apa?"
Rupanya Lenghou Tiong juga khawatir keempat manusia dogol itu benar-benar melakukan sesuatu di luar dugaan dan benar-benar menyobek badannya, maka cepat ia mengerahkan "Gip-sing-tay-hoat" yang telah diyakinkan itu. Seketika Tho-kok-si-sian itu merasa tenaga dalam mereka bocor keluar, semakin mereka hendak mengerem semakin cepat tenaga mereka mengalir keluar melalui telapak tangan. Karena itu, saking kagetnya mereka lantas lepaskan Lenghou Tiong yang mereka pegang.
Lenghou Tiong juga lantas menghentikan ilmu saktinya itu, sekali loncat ia berdiri tegak di tengah kalangan.
"Ada apa?" tanya Tho-yap-sian.
"Ilmu ... ilmunya benar-benar sangat aneh, kami tidak sanggup memegang dia," seru Tho-ki-sian berempat.
Serentak bersoraklah orang banyak, semuanya berseru, "Nah, Tho-kok-lak-sian, sekarang kalian sudah tunduk bukan?"
"Kami tidak mampu memegang dia, sudah tentu kami tunduk, biarlah Lenghou Tiong yang menjadi bengcu saja," seru Tho-kin-sian berempat.
Melihat Tho-kok-lak-sian mau tunduk kepada Lenghou Tiong secara sukarela, meski tidak tahu sebab musababnya, tapi semua orang lantas tertawa gembira.
"Kawan-kawan," kata Lenghou Tiong kemudian, "keberangkatan kita untuk menyambut pulangnya Seng-koh ini sekalian kita usahakan untuk menyelamatkan saudara-saudara kita yang telah ikut tertawan di sana. Tapi Siau-lim-si adalah puncak tertinggi dari dunia persilatan yang telah diakui oleh siapa pun juga, ke-72 ilmu sakti mereka yang khas selama ini tiada tandingannya. Namun jumlah kita sangat banyak, di sini saja sekarang sudah ada ribuan orang, belum lagi orang-orang gagah yang akan menggabungkan diri pula dalam waktu singkat. Seumpama ilmu silat kita tidak dapat menandingi murid Siau-lim-si, asalkan main kerubut saja sepuluh lawan satu juga akhirnya kita akan menang."
"Benar, benar!" seru gemuruh orang banyak. "Memangnya hwesio-hwesio Siau-lim-si itu punya tiga kepala dan enam tangan sehingga sanggup melawan keroyokan kita?"
"Akan tetapi perlu diingat, meski para taysu Siau-lim-si itu menahan Seng-koh sekian lamanya, namun beliau tidak dibikin susah. Taysu-taysu itu adalah orang alim semua dan mengutamakan welas asih, sungguh harus dikagumi. Maka kalau kita sampai merusak Siau-lim-si, tentu juga teman-teman Kangouw akan mencela perbuatan kita yang menang dengan main kerubut, ini kan bukan perbuatan kaum kesatria sejati" Sebab itulah, menurut pendapatku, kita harus pakai siasat ramah tamah dahulu dan kemudian kekerasan. Jika kita dapat membujuk pihak Siau-lim-si membebaskan Seng-koh serta kawan-kawan yang lain untuk menghindarkan pertempuran berdarah, jalan inilah paling baik."
"Ucapan Lenghou-kongcu cocok dengan pikiranku," seru Coh Jian-jiu. "Jika benar-benar bertempur, tentu akan banyak jatuh korban dari kedua pihak."
"Tapi ucapan Lenghou-kongcu justru tidak cocok dengan seleraku," tiba-tiba Tho-ki-sian menimbrung. "Kalau kedua pihak tidak bertempur, tentu takkan jatuh korban, lalu apanya lagi yang menarik?"
"Lenghou-kongcu sudah kita angkat menjadi bengcu, maka segala perintah petunjuknya harus kita turut," seru Coh Jian-jiu.
"Kami hanya menyatakan mengangkat dia sebagai bengcu, tapi tidak pernah mengatakan akan tunduk kepada perintahnya," kata Tho-kin-sian.
"Benar, urusan memberi perintah segala ini biarlah kami Tho-kok-lak-sian yang melaksanakan saja," sambung Tho-kan-sian.
Semua orang menjadi gemas melihat kedogolan Tho-kok-lak-sian itu, banyak yang siap memegang senjata, asalkan Lenghou Tiong memberi isyarat sedikit saja serentak mereka akan menerjang maju untuk mencincang keenam orang itu. Betapa pun tinggi kepandaian mereka rasanya juga takkan mampu melawan kerubutan orang banyak.
Maka Coh Jian-jiu berkata pula, "Apa yang harus dilakukan seorang bengcu, dengan sendirinya dia harus memberi perintah dan mengatur sesuatu. Kalau dia tidak dapat memerintah, lalu namanya bukan bengcu lagi."
"Kalau dia mau perintah boleh perintah saja, kenapa mesti ribut!" ujar Tho-ki-sian dengan menyengir.
Lenghou Tiong tidak ambil pusing lagi pada keenam orang dogol itu, segera ia berseru, "Dengarkan kawan-kawan, kalau dihitung, masih ada 17 hari lagi dari waktu yang kita rencanakan, yaitu tanggal 15 bulan 12, karena temponya cukup, maka perjalanan kita ke sana tidak perlu tergesa-gesa. Pula gerakan kita ini dilakukan secara terang-terangan, maka segala tindakan kita juga tidak perlu ditutupi. Besok juga kita boleh beli kain untuk dibikin menjadi panji-panji dengan tulisan yang jelas menyatakan tujuan kita ke Siau-lim-si buat menyambut Seng-koh. Boleh pula beli beberapa genderang dan bunyikan sepanjang jalan agar didengar oleh orang-orang Siau-lim-pay, bukan mustahil mereka sudah ketakutan lebih dulu sebelum kita tiba di sana."
Bab 90. Pat-kwa-kiam-tin Bu-tong-pay Dibikin Kocar-kacir oleh Lenghou Tiong
Karena orang-orang yang berkumpul ini terdiri dari berbagai golongan dan lapisan, tapi semuanya adalah manusia-manusia yang suka cari gara-gara. Mereka menjadi kegirangan dan bersorak-sorai mendengar perintah Lenghou Tiong itu.
Besok paginya, kembali ada beberapa puluh orang Kangouw yang datang menggabungkan diri. Lenghou Tiong memberi tugas kepada Coh Jian-jiu, Keh Bu-si, dan Lo Thau-cu untuk membikin panji-panji yang diperlukan serta membeli tambur dan sebagainya.
Menjelang tengah hari Coh Jian-jiu bertiga sudah menyelesaikan tugasnya, berpuluh panji putih dengan macam-macam semboyan yang tertulis di atasnya telah disiapkan. Hanya tambur yang kurang, cuma dua buah saja yang dapat dibeli.
"Marilah kita lantas berangkat, kota-kota yang kita lalui sepanjang perjalanan dapat kita singgahi untuk membeli lagi alat-alat yang kita perlukan," kata Lenghou Tiong.
Semua orang bersorak mengiakan. Segera ada yang mulai membunyikan tambur, lalu berangkatlah mereka menuju ke utara dengan berbaris.
Lenghou Tiong sudah pernah menyaksikan anak murid Hing-san-pay disergap musuh di atas Sian-he-nia, maka sekarang ia lantas mengatur, tujuh kelompok diberi tugas tertentu. Dua kelompok di depan sebagai pelopor jalan, dua kelompok menjaga sayap kiri, dan dua kelompok menjaga sayap kanan. Satu kelompok lagi sebagai bala bantuan di belakang, selebihnya ikut dalam pasukan induk. Selain itu kelompok Sin-oh-pang dari Hansui diberi tugas sebagai kurir yang kian-kemari menyampaikan berita.
Sin-oh-pang adalah gerombolan orang-orang Kangouw setempat, wilayah pengaruhnya cukup luas, maka segala kabar berita yang penting dapat diketahui mereka dengan cepat.
Begitulah semua orang sama kagum dan tunduk melihat cara mengatur Lenghou Tiong yang rapi itu.
Selama beberapa hari dalam perjalanan, berturut-turut bergabung pula kelompok-kelompok dari berbagai tempat. Suatu hari sampailah mereka di kaki gunung Bu-tong-san.
"Lenghou-kongcu, kita harus melalui Bu-tong-san, apakah kita harus menghentikan suara tambur dan menggulung panji atau tetap lalu secara terang-terangan begini?" Coh Jian-jiu minta petunjuk kepada Lenghou Tiong.
Jawab Lenghou Tiong, "Bu-tong-pay adalah aliran persilatan nomor dua di dunia persilatan, pengaruh dan wibawanya cuma di bawah Siau-lim-pay saja. Kepergian kita buat menyambut Seng-koh ini sedapat mungkin menghindari percekcokan dengan Siau-lim-pay, dengan sendirinya lebih baik pula kalau kita pun tidak bersengketa dengan Bu-tong-pay. Maka sebaiknya kita mengitar ke jurusan lain saja sebagai tanda penghormatan dan keseganan kita terhadap Tiong-hi Totiang, itu ketua Bu-tong-pay yang hebat. Demikianlah pendapatku, entah bagaimana pikiran Saudara-saudara?"
"Apa yang dirasakan baik oleh Lenghou-kongcu, sudah tentu kami hanya menurut saja," kata Lo Thau-cu. "Memangnya tujuan kita hanya menyambut pulang Seng-koh dan tidak ingin menimbulkan perkara lain dan menambah musuh. Apa gunanya kita terhambat oleh urusan yang berlawanan dengan maksud tujuan kita sekalipun Bu-tong-pay dapat kita tumpas umpamanya?"
"Benar, harap siarkan perintahku agar menggulung panji-panji dan menghentikan bunyi tambur, kita membelok dulu ke arah timur untuk kemudian mengitar lagi ke utara," kata Lenghou Tiong.
Begitulah rombongan mereka lantas mengarah ke timur. Kira-kira beberapa puluh li jauhnya, tiba-tiba dua anggota Sin-oh-pang datang memberi lapor, "Di selat gunung belasan li sana telah menunggu beberapa ratus tosu, mereka mengaku dari Bu-tong-pay dan minta bicara dengan Bengcu."
Seketika jago-jago di samping Lenghou Tiong menjadi gusar, mereka sama mengomel, "Kurang ajar benar kawanan tosu Bu-tong-pay itu! Kita menghargai mereka, sebaliknya mereka mengira kita takut kepada mereka. Kurang ajar, benar-benar minta diajar!"
"Coba kita maju ke sana untuk melihat apa maksud tujuan mereka," ujar Lenghou Tiong. Segera ia mendahului melarikan kudanya ke depan dan mencapai selat gunung sana.
Ketika melihat datangnya Lenghou Tiong, kedua kelompok yang menjadi pelopor, yaitu Hong-bwe-pang dan Jing-liong-pang, sama bersorak-sorai.
Lenghou Tiong melompat turun dari kudanya, ia berlari maju dengan cepat, dilihatnya di ujung selat gunung situ berbaris beberapa puluh tojin berjubah hijau, semuanya bersenjata pedang, jalan lewat telah dirintangi mereka.
Lebih dulu Lenghou Tiong berpaling kepada kawan-kawannya dan berteriak nyaring, "Dengarkanlah kawan-kawan, Bu-tong-pay adalah kaum cing-pay terbesar di dunia persilatan, Tiong-hi Tojin malahan adalah orang kosen di zaman ini, maka kawan-kawan jangan sekali-kali bersikap sembrono, ada urusan apa-apa biarlah Cayhe yang menghadapinya sendiri,"
Lenghou Tiong sadar orang-orang yang dipimpinnya itu adalah kumpulan orang-orang Kangouw dari macam-macam lapisan, sudah biasa bertindak sesuka hati dan bebas, kata-kata mereka juga kasar, kalau sebelumnya tidak diperingatkan tentu akan menimbulkan penyakit nanti.
Begitulah para jago-jago itu serentak berseru gemuruh mengiakan. Barisan mereka itu memanjang sampai hitungan li jauhnya, tapi kata-kata Lenghou Tiong itu diucapkan dengan menggunakan tenaga dalam yang kuat, maka betapa pun jauhnya barisan itu dapatlah mendengar semuanya.
Suara mengiakan yang gemuruh dari beberapa ribu orang itu membikin kawanan tojin itu menjadi gentar juga, hal ini tampak dari air muka mereka yang berubah.
Lalu Lenghou Tiong berpaling kembali, katanya sembari memberi hormat kepada kawanan tojin itu, "Cayhe bersama rombongan hendak menuju ke Siau-lim-si untuk menjumpai Hong-ting Taysu dan untuk sesuatu urusan penting, kebetulan kami harus melalui Bu-tong-san sini, agar tidak menimbulkan kegaduhan yang bisa mengganggu ketenteraman para Totiang, maka kami sengaja mengitari jalanan ini. Harap maaf bila kami tidak menyampaikan kabar sebelumnya."
"Kau inikah murid murtad Hoa-san-pay yang bernama Lenghou Tiong dan sekarang telah masuk Mo-kau bukan?" tegur seorang tojin berjenggot panjang sembari memasukkan pedang ke sarungnya. Sikap bicaranya sangat angkuh, kata-katanya juga kurang ramah.
Sebenarnya Lenghou Tiong adalah pemuda yang tidak tunduk kepada adat istiadat, juga tidak kenal apa artinya takut, kalau dalam keadaan biasa tentu dia kontan menjawab ucapan tojin itu dengan kata-katanya yang sama kasarnya. Tapi sejak dia diangkat menjadi bengcu oleh gembong-gembong Kangouw itu, mulai saat mana ia telah memperingatkan dirinya sendiri agar selanjutnya harus bertindak secara hati-hati dan pakai perhitungan, terutama mengingat kewajibannya dan betapa pentingnya tugas menolong Ing-ing yang terkurung di Siau-lim-si itu. Oleh karena itu walaupun kata-kata tojin jenggot panjang itu sangat menggusarkan hatinya tapi ia tetap menghadapi dengan tersenyum tawar saja, jawabnya, "Ya, Cayhe memang betul adalah Lenghou Tiong, murid buangan Hoa-san-pay. Tapi tuduhan masuk menjadi anggota Mo-kau adalah tidak betul."
"Jika kau tidak masuk Mo-kau kenapa kau rela menjadi antek Hek-bok-keh dan mau memimpin manusia jahat dan cabul dari Mo-kau ini pergi mencari setori kepada Siau-lim-si?" kata pula tojin berjenggot panjang itu.
Belum Lenghou Tiong menjawab, mendadak Tho-kin-sian menimbrung, "Kau bilang kami adalah manusia jahat dan cabul dari Mo-kau, memangnya kau sendiri manusia baik dan terpuji dari Mo-kau" Kulihat jenggotmu terlalu panjang, betapa pun baiknya juga begitu-begitu saja."
Baru kata "saja" diucapkan, serentak Tho-kan-sian, Tho-ki-sian, Tho-yap-sian, dan Tho-hoa-sian berempat sudah melompat maju, tahu-tahu tojin jenggot panjang itu telah kena dipegang kedua tangan dan kedua kakinya terus diangkat ke atas.
Pada detik yang hampir sama pula, dalam sekejap itu dari rombongan tojin-tojin itu pun melayang maju delapan sosok bayangan, delapan batang pedang telah menyambar tiba, enam pedang mengancam di punggung Tho-kok-lak-sian dua ujung pedang yang lain masing-masing mengancam tenggorokan dan perut Lenghou Tiong.
Cepat luar biasa menyambar tibanya kedelapan pedang tojin-tojin itu, cara menyerang mereka juga sangat rapat dan saling menutup titik kelemahan masing-masing, delapan orang laksana satu orang saja.
Begitu melihat gerakan pedang mereka segera Lenghou Tiong tahu mereka tidak bermaksud mencelakai lawan, maka Lenghou Tiong juga tidak menangkis dan membiarkan kedua pedang itu mengarah tempat berbahaya di tubuhnya, ia pikir asalkan kedua orang jelas bermaksud mencelakainya, sedikit ujung pedang mereka disodorkan seketika juga dirinya masih sempat melolos pedang dan mematahkan serangan mereka.
Terdengar keempat tosu membentak serentak, "Lepaskan!"
Karena punggung mereka terancam oleh ujung pedang, Tho-kin-sian berempat sadar tak bisa berbuat apa-apa lagi, terpaksa Tho-hoa-sian berkata dengan tertawa, "Lepas ya lepas, memangnya kau kira aku sudi memegangi dia lebih lama. Eh, awas, berdiri yang baik!"
Berbareng Tho-kin-sian berempat terus melemparkan tojin jenggot panjang itu ke atas. Seketika tojin itu merasa tubuhnya melayang ke udara dan entah akan terlempar ke mana, bukan mustahil akan terus melambung ke udara dan kecantol di cabang pohon atau terus terjerumus ke dalam jurang. Maka baru saja tubuhnya sedikit melambung ke atas, cepat ia mengerahkan tenaga "Jian-kin-tui" untuk menekan turun tubuhnya.
Tak terduga tenaga lemparan Tho-kok-si-sian itu ternyata sangat aneh dan nakal, tenaga lemparan semula memang naik ke atas, tapi tenaga pukulannya mendadak berubah menarik turun ke bawah, jadi mirip tenaga empat orang membantingnya ke tanah dengan sekuatnya.
Padahal tenaga gabungan Tho-kok-si-sian sedikitnya sudah ada seribu kati, ditambah lagi tenaga tekanan ke bawah yang dikerahkan sendiri oleh tojin jenggot panjang itu, keruan dia mirip dibanting dengan tenaga gabungan lima orang.
Ketika menyadari gelagat tidak menguntungkan, tojin itu menjerit, hampir berbareng tubuhnya lantas terbanting keras di atas batu padas, ruas tulangnya sampai berbunyi gemerutuk, entah patah entah retak, yang jelas darah lantas tersembur keluar dari mulutnya.
Pada saat itu juga Lenghou Tiong sudah lantas melolos pedang, terdengar suara mendering berulang-ulang, sekaligus ia telah menangkis pergi delapan pedang musuh.
Rupanya begitu melihat si tojin jenggot panjang terbanting begitu hebat dan bisa jadi terus mati, Lenghou Tiong menduga kedelapan tojin yang lain mungkin sekali akan terus menyerang serentak. Dan benar juga, sekaligus ia telah dapat mematahkan serangan mereka.
Gerak perubahan Tho-kok-si-sian juga sangat cepat, begitu pedang lawan tidak mengenai mereka, seketika mereka lantas lompat menyingkir.
"Wah, untung! Hampir saja celaka!" seru Tho-sit-sian.
"Ya, untung Lenghou-kongcu pernah belajar pedang padaku, dengan ilmu pedangku yang lihai itulah dia telah menyelamatkan kita," ujar Tho-ki-sian.
"Ngaco-belo! Bilakah dia belajar pedang padamu?" semprot Tho-kin-sian.
Dalam pada itu, sesudah Lenghou Tiong sekaligus dapat menangkis serangan kedelapan pedang mereka, serentak kedelapan tojin itu lantas berputar kian kemari dengan cepat luar biasa, begitu berada di belakang Lenghou Tiong mereka lantas menusuk, kena atau tidak tusukan mereka bukan soal, segera mereka terus menggeser lagi ke tempat lain secara bergilir.
"Hati-hati Bengcu, inilah Pat-kwa-kiam-tin dari Bu-tong-pay!" seru Jik Ko.
Ketika di Hoa-san dahulu Lenghou Tiong pernah mendengar cerita gurunya tentang berbagai ilmu pedang terkenal dari macam-macam aliran di zaman ini. Antara lain dikatakan "Pat-kwa-kiam-hoat" Bu-tong-pay dan "Chit-sing-kam-hoat" Hing-san-pay mempunyai kebagusan yang hampir serupa walaupun dasarnya tidak sama.
Begitulah Lenghou Tiong dapat menangkis setiap serangan tojin-tojin itu, dilihatnya gerak pedang kedelapan orang dapat bahu-membahu, bantu-membantu dengan sangat rapat, sedikit pun tidak memperlihatkan lubang kelemahan.
Inti "Tokko-kiu-kiam" yang diyakinkan Lenghou Tiong adalah dalam hal kelihaian mengincar titik kelemahan ilmu silat musuh, jadi tanpa ikatan sesuatu jurus tertentu untuk mengalahkan jurus ilmu silat lawan yang tertentu. Maklum, betapa pun tinggi ilmu silat seorang, betapa bagus jurus serangannya, baik di kala menyerang maupun di waktu mengakhiri serangan biasanya pasti dapat diketemukan lubang kelemahan, sebab itulah tiada sesuatu gerak serangan di dunia ini yang tak dapat dipatahkan.
Cuma sekarang ilmu pedang gabungan kedelapan tojin ini ternyata sangat hebat, ada juga lubang-lubang atau ciri-ciri tertentu pada gerak serangan setiap orang, tapi selalu dapat ditutup oleh bantuan kawan yang lain sehingga sukar dipatahkan.
Untungnya kepandaian kedelapan tojin itu tidak terlalu tinggi, "Pat-kwa-kiam-hoat" itu agaknya baru dipelajari sehingga daya tekanan mereka kurang kuat. Meski seketika Lenghou Tiong tidak dapat membobolkan barisan pedang mereka, tapi serangan-serangan kedelapan tojin juga tidak mampu melukai Lenghou Tiong.
Kedelapan tojin itu berlari semakin kencang mengitari Lenghou Tiong, sampai orang-orang yang menonton di samping merasa pusing, bahkan ada yang merasa khawatir bagi sang bengcu.
"Mereka berdelapan mengerubut satu orang, hayolah kita pun maju lagi tujuh orang!" demikian seru Jik Ko.
"Nanti dulu," sela Keh Bu-si. "Kedelapan orang itu mengutamakan kecepatan langkah mereka, padahal soal ilmu pedang jelas mereka bukan tandingan Lenghou-kongcu."
Kata-kata ini seketika menyadarkan Lenghou Tiong, pikirnya, "Benar, ilmu pedang mereka dapat bekerja sama dengan rapat, tapi langkah kaki mereka jelas tak bisa saling membantu."
Segera Lenghou Tiong berseru, "Setelah berkenalan dengan Pat-kwa-kiam-hoat Bu-tong-pay, ternyata memang benar sangat hebat. Kedelapan Totiang sudah selesai main pedang, sekarang silakan mundur saja."
Akan tetapi tojin-tojin itu mana mau mengundurkan diri, mereka masih terus berlari cepat mengitari dan serangan demi serangan tetap dilancarkan.
Lenghou Tiong tersenyum, ia tanggalkan sarung pedang yang tergantung di pinggangnya, sarung pedang itu disodorkan miring ke atas tanah. Ketika seorang tojin berlari di sebelah dengan cepat dan tidak keburu mengerem, kakinya lantas kesandung sarung pedang, tubuhnya terhuyung-huyung ke depan, untung kuda-kudanya cukup kuat sehingga tidak sampai jatuh terjerembap.
Namun dengan lepasnya seorang dari barisan pedang, seketika Pat-kwa-kiam-tin itu bobol. Lenghou Tiong terus menggunakan sarung pedang untuk dipasang pada tempat-tempat yang harus dilintasi oleh kaki ketujuh tojin yang lain, maka terdengarlah suara seru kaget dan teriak kejut berulang-ulang. Lima dari ketujuh tojin itu sama kesandung oleh sarung pedang itu, ada yang menyelonong ke sana, ada yang sempoyongan ke sini, dalam sekejap saja tinggal dua orang tojin saja yang masih mampu berdiri menghadapi Lenghou Tiong, pedang mereka masih bergaya hendak menusuk, tapi ragu-ragu apakah serangan mereka diteruskan atau lebih baik disudahi. Melihat adegan demikian, bergemuruhlah tawa orang banyak.
"Para Sute silakan mundur!" teriak tojin jenggot panjang tadi. Ketika ia memberi tanda, kembali ada tiga orang tojin tampil ke muka. Bersama tojin jenggot panjang mereka ambil tempat empat sudut sehingga Lenghou Tiong terkurung di tengah.
"Namamu akhir-akhir ini mengguncangkan Kangouw, nyatanya memang punya beberapa jurus aneh dari golongan iblis dan sia-pay," kata tojin jenggot panjang. "Cuma pertandingan tadi telah kau selingi dengan cara main jegal, cara demikian rasanya kurang wajar."
"Numpang tanya siapakah gelaran Totiang dan pernah apa dengan Tiong-hi Totiang?" tanya Lenghou Tiong.
"Asalkan kau mampu mengalahkan kami berempat dan boleh segera lalu, buat apa banyak bicara lagi," sahut tojin jenggot panjang. Begitu ia berseru memberi tanda, serentak empat pedang menusuk dari empat jurusan. Dari sambaran angin yang dibawa oleh pedang mereka itu terang tenaga keempat tojin itu sangat kuat, jauh lebih lihai daripada kedelapan tojin yang duluan.
Tapi baru bergebrak satu jurus saja Lenghou Tiong lantas merasa heran, "Menurut cerita suhu dahulu, katanya ilmu silat Bu-tong-pay mengutamakan kelunakan dan kesabaran. Tapi permainan pedang keempat tojin ini jelas lebih banyak memakai kekerasan dan menyerang secara bernafsu, hal ini menandakan berita di luar tentang ilmu silat Bu-tong-pay tidak seluruhnya betul."
Aneh pula bahwa ilmu pedang keempat tojin ini jauh lebih lihai daripada kedelapan tojin yang dahuluan, tapi dalam hal kerja sama ternyata tidak serapi dan sebaik kedelapan tojin itu.
Tidak lama kemudian, dengan gampang Lenghou Tiong lantas melihat titik kelemahan ilmu pedang keempat lawan itu. "Cret", seketika pedangnya menusuk robek lengan baju salah seorang tojin.
Tojin itu melengak kaget, menyusul serangan Lenghou Tiong telah memapas sepotong kain jubah tojin yang lain. Ketika pedangnya berputar balik, "sret", tahu-tahu rambut tojin ketiga telah terkupas putus sehingga rambutnya morat-marit tak keruan. Tinggal lagi si tojin jenggot panjang itu, Lenghou Tiong rada mendongkol karena kata-kata tojin berjenggot ini rada kasar, maka ia sengaja hendak membuat malu padanya. "Sret-sret" dua kali, pedangnya menusuk ke perut lawan, lalu menusuk mukanya.
Lekas-lekas tojin itu hendak menangkis, siapa tahu serangan-serangan Lenghou Tiong itu hanya pura-pura saja, ketika pedang si tojin menangkis ke bawah untuk menjaga perutnya, sekonyong-konyong jenggotnya sudah terpapas sebagian oleh pedang Lenghou Tiong. Waktu tojin itu kerepotan hendak mengangkat pedangnya buat menjaga mukanya lagi, "sret", tahu-tahu pedang Lenghou Tiong sudah menyambar ke bawah, ikat pinggang jubahnya dan bahkan ikat celananya juga ikut terpotong putus.
Berturut-turut empat kali serangan Lenghou Tiong itu telah membikin si tojin berjenggot menjadi kelabakan, sudah sadar bahwa celananya telah kedodoran dan merosot ke bawah, tapi dia tidak sempat menggunakan tangannya untuk menarik celana, walaupun sebelah tangan menganggur, namun setiap serangan Lenghou Tiong yang menyusul selalu mengancam tangan kiri yang menganggur itu sehingga dia terpaksa mesti menyelamatkan tangannya dan membiarkan celananya melorot.
Keruan semua orang yang menyaksikan itu bergelak tertawa geli.
Ketiga tojin yang lain tahu bahwa Lenghou Tiong sengaja mengampuni jiwa mereka, maka mereka tidak berani bertempur lagi dan terus mengundurkan diri.
Sementara itu tojin jenggot panjang itu hampir-hampir jatuh terjerembap karena tersangkut oleh celananya sendiri yang melorot ke betis itu, keruan kelakuannya menjadi sangat lucu. Untung jubahnya sangat panjang sehingga bagian bawah badannya masih tertutup, kalau tidak tentu dia sangat malu lantaran tak bercelana lagi.
"Maaf!" Lenghou Tiong tidak mendesak lebih jauh, ia memasukkan pedang ke sarungnya dan melangkah mundur.
Sebaliknya tojin jenggot panjang menjadi tambah gusar, pedangnya lantas menusuk lagi ke dada Lenghou Tiong. Namun Lenghou Tiong hanya tersenyum saja tanpa berkelit. Ketika ujung pedang tojin itu hanya beberapa senti di depan dada sasarannya, sekonyong-konyong ia tertegun dan tidak meneruskan tusukannya, ia pikir ilmu silat lawan selisih sangat jauh di atasnya, jika tusukannya itu diteruskan, bukan mustahil pihak lawan menjadi murka dan tidak memberi ampun lagi, sekali balas menyerang pasti jiwanya sendiri akan melayang. Maka setelah tertegun sejenak, akhirnya ia melemparkan pedang sendiri dan berjongkok untuk membetulkan celananya.
Keruan suara tertawa para jago bertambah riuh. Para tosu yang berdiri di sebelah sana ada yang merasa malu, ada yang merasa gusar pula. Tojin jenggot panjang itu lantas putar tubuh, dengan tangan kiri masih memegangi celana yang putus tali kolornya, ia memberi tanda kepada anak buahnya, lalu mundur teratur bersama kawanan tosu itu.
Di tengah bergelak tertawa para jago-jago itu, beramai-ramai mereka pun memuji kelihaian ilmu pedang Lenghou Tiong. Tapi Lenghou Tiong sendiri justru lagi menyesal akan kejadian tadi, pikirnya, "Tindak tandukku selalu terburu nafsu tanpa memikirkan kemungkinan akibatnya. Meski aku mendapat kemenangan, tapi nama baik Bu-tong-pay telah tersapu bersih, ini berarti telah menanam bibit permusuhan, sebenarnya apa gunanya?"
Terdengar Coh Jian-jiu sedang berkata, "Ilmu pedang Lenghou-kongcu sungguh sakti, baru hari ini kita dapat menyaksikannya. Sayang di sini tidak ada arak, kalau tidak kita harus minum sepuas-puasnya sebagai tanda memberi selamat."
Seketika Lenghou Tiong merasa ketagihan mendengar disebutnya arak, katanya, "Baiklah, mari kita pergi ke kota di depan sana untuk minum sepuasnya."
Namun jumlah mereka terlalu banyak, kota-kota yang dilalui mereka tiada cukup banyak hotel dan restoran yang sanggup menampung mereka. Terpaksa mereka harus berkemah di tanah pegunungan yang sunyi di luar kota.
Besoknya mereka melanjutkan perjalanan ke utara, kira-kira belasan li jauhnya, pengintai bagian depan datang melapor bahwa di jalan pegunungan di depan sana diketemukan beberapa puluh sosok mayat kaum tosu, agaknya rombongan tosu yang mencegat mereka kemarin itu.
Lenghou Tiong terkejut oleh laporan itu, cepat ia melarikan kudanya ke depan, benar juga, di suatu simpang jalan bergelimpangan beberapa puluh mayat, di antaranya terdapat pula tojin berjenggot panjang.
"He, lihatlah, Bengcu!" seru Keh Bu-si sambil menunjuk sebatang pohon besar.
Ternyata di batang pohon itu sebagian kulit pohon terkupas, di situ terukir beberapa huruf dengan ujung senjata, bunyinya: "Kawanan penjahat memalsukan nama, dosanya tidak boleh diampuni."
"O, kiranya kawanan tojin ini bukan orang Bu-tong-pay," ujar Coh Jian-jiu. "Tampaknya mereka telah dibunuh oleh pihak Bu-tong-pay."
"Buat apa mereka menyaru sebagai orang Bu-tong-pay" Entah dari mana pula asal usul mereka ini" Sungguh aneh bin heran!" kata Lo Thau-cu.
Mendadak pikiran Lenghou Tiong tergerak, katanya, "Cobalah kawan-kawan periksa mereka, apakah kedelapan tojin yang bertempur dengan aku kemarin juga terdapat di antara mereka?"
Segera Keh Bu-si, Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan lain-lain memeriksa mayat-mayat kawanan tosu itu, benar juga kedelapan tojin yang main Pat-kwa-kiam-tin kemarin itu tidak diketemukan.
"Mengapa bisa demikian?" ujar Coh Jian-jiu dengan heran. "Lenghou-kongcu tentu tahu duduknya perkara."
"Aku juga cuma menerka secara ngawur saja," sahut Lenghou Tiong. "Meskipun ilmu pedang kedelapan tojin itu tidak terlalu tinggi, tapi permainan mereka sangat rapi dan teratur, kalau orang yang meniru dan baru belajar tentu takkan mencapai tingkatan seperti mereka itu."
"Jika begitu, jadi kedelapan tojin itulah benar-benar orang dari Bu-tong-pay?" tanya Coh Jian-jiu.
"Pengalamanku sendiri sangat cetek dan tidak tahu persis bagaimana sesungguhnya ilmu pedang Bu-tong-pay yang tersohor itu," sahut Lenghou Tiong. "Cuma dari ilmu pedang keempat tosu yang mati ini, jelas kepandaian mereka tidak sama, mereka masing-masing memiliki kepandaian yang tinggi, tampaknya mereka bukan berasal dari suatu aliran atau perguruan. Kemarin hatiku sudah rada curiga, hanya tidak terpikir olehku bahwa mereka adalah orang Bu-tong-pay gadungan."
"Orang Bu-tong-pay tulen bercampur dengan orang Bu-tong-pay gadungan, hal ini sungguh sukar dimengerti," kata Coh Jian-jiu.
"Menurut pendapatku, besar kemungkinan kedelapan tosu Bu-tong-pay tulen sengaja dipaksa ke sini oleh kawanan pemalsu itu," ujar Keh Bu-si.
"Benar, memang Si Kucing Malam lebih tajam otaknya," seru Lo Thau-cu sambil tepuk paha. "Rupanya kawanan pemalsu ini khawatir terbongkar rahasianya, maka mereka telah mencari beberapa orang Bu-tong-pay tulen untuk dijadikan tameng, dengan demikian kita akan dikelabui."
"Jangan-jangan kawanan pemalsu ini adalah orang-orang yang dikirim Kaucu dari Hek-bok-keh?" ujar Keh Bu-si.
Mendengar disebutnya "Kaucu dari Hek-bok-keh", seketika air muka semua orang berubah takut.
Dengan tertawa Lenghou Tiong lantas berkata, "Tak peduli mereka dari mana asalnya, yang jelas bukan kita yang membunuh mereka. Jika benar Bu-tong-pay yang membunuh mereka, itu berarti Bu-tong-pay berada di pihak kita, lalu apa lagi yang kita khawatirkan?"
Beberapa hari kemudian, sudah jauh mereka meninggalkan lereng Bu-tong-san, sepanjang jalan ternyata tiada terjadi apa-apa lagi. Petang itu, ketika barisan mereka sedang berjalan, tiba-tiba terdengar suara "keteprak-keteprak", suatu telapak kaki binatang tunggangan. Tertampaklah dari depan mendatangi seorang penunggang keledai, di belakang keledai mengikut pula dua orang, semuanya berdandan sebagai petani, yang satu memikul sayuran, yang lain memikul kayu bakar.
Keledai itu tampak sudah tua lagi kurus, badannya penuh kudisan, rupanya sangat jelek. Penunggangnya juga seorang tua dengan pakaian rombeng penuh tambalan, badannya membungkuk-bungkuk sambil terbatuk-batuk.
Sepanjang perjalanan rombongan jago-jago Kangouw itu selalu bergembar-gembor riuh ramai, setiap orang di jalanan tentu ketakutan dan lekas-lekas menyingkir bila bertemu dengan barisan besar ini jika tidak ingin menghadapi malapetaka. Tapi ketiga orang ini ternyata lain daripada yang lain, terang mereka melihat barisan besar itu, tapi mereka anggap seperti tidak tahu dan masih terus menerjang ke depan.
"He, kau cari mampus?" bentak Tho-kan-sian sembari mendorong ke depan. Kontan keledai kurus itu meringkik terus terbanting ke tengah sawah di tepi jalan dengan tulang patah.
Si kakek yang menunggang keledai itu juga ikut terbanting jatuh ke atas tanah, ia merintih kesakitan dan sampai sekian lamanya tidak sanggup berbangkit.
Dari kecil Lenghou Tiong sering mendapat petuah dari sang guru agar membantu yang lemah dan memberantas kezaliman, menolong yang miskin dan membantu orang tua. Sekarang menyaksikan si kakek didorong jatuh oleh Tho-kan-sian, ia menjadi tidak enak perasaannya, cepat ia melompat untuk membangunkannya dan berkata, "Apakah kau terbanting sakit, Bapak Tua?"
"Ini ... ini apa-apaan, aku ... aku ...." orang tua itu tergagap-gagap sambil meringis.
Dalam pada itu kedua petani tadi sudah menaruh pikulan mereka, lalu berdiri tegak di tengah jalan. Laki-laki yang memikul sayur itu berseru, "Di sini adalah lereng Pegunungan Bu-tong, kalian ini orang-orang macam apa, berani sembarangan mengganggu dan memukul orang di sini?"
"Kalau di lereng Pegunungan Bu-tong, lalu ada apa?" sahut Tho-kan-sian tertawa.
"Di kaki Bu-tong-san sini setiap orangnya bisa main silat, kalian orang dari daerah lain berani main gila ke sini, bukankah itu berarti kalian tidak tahu gelagat dan ingin cari penyakit?" kata orang itu.
Usia kedua laki-laki petani itu rata-rata sudah 50-an, semuanya telanjang kaki dan cuma memakai sepatu sandal dari rumput kering, muka mereka pucat dan badan kurus, waktu bicara pemikul sayur ini malahan tampak terengah-engah napasnya, tapi ternyata mengaku mahir silat. Keruan tertawalah orang banyak.
"Apakah kau sendiri mahir ilmu silat?" demikian Tho-hoa-sian bertanya dengan tertawa.
"Di kaki Bu-tong-san sini anak umur tiga tahun sudah bisa main pukulan, anak umur lima tahun sudah mahir main pedang, kenapa mesti heran?" sahut pemikul sayur.
"Dan dia, apakah dia juga mahir main pukulan?" tanya Tho-hoa-sian pula sambil menuding laki-laki pemikul kayu tadi.
"Aku ... aku ... di waktu kecil aku memang pernah belajar beberapa bulan lamanya," kata laki-laki pemikul kayu itu. "Tapi sudah berpuluh tahun aku tidak pernah berlatih, mungkin ... mungkin sekali sekarang sudah kaku."
Si tukang pikul sayur lantas menyambung, "Ilmu silat Bu-tong-pay nomor satu di dunia ini, cukup berlatih beberapa bulan saja pasti kau tidak mampu melawannya."
"Bagus, jika begitu cobalah kau pertunjukkan beberapa jurus kepadaku," ujar Tho-hoa-sian dengan tertawa.
"Beberapa jurus bagaimana" Biar kumainkan juga kalian tidak paham," ujar si tukang pikul kayu.
Kembali bergemuruhlah gelak tawa orang banyak, sebagian berseru, "Kami tidak paham, kami hanya ingin tahu!"
"Ai, jika demikian terpaksa akan kumainkan beberapa jurus saja, cuma entah terlupa tidak," kata pemikul kayu itu. "Eh, tuan besar mana yang sudi meminjamkan pedang padaku."
Segera seorang mengangsurkan pedang kepadanya dan diterima oleh laki-laki itu, ia melangkah ke tengah sawah yang tanahnya sudah kering itu, lalu pedangnya menusuk ke kanan dan menebas ke kiri, begitulah ia mulai main, tapi baru tiga-empat kali, mendadak ia berhenti karena lupa lanjutannya, ia garuk-garuk kepala dan cakar-cakar kuping sembari mengingat-ingat, lalu main lagi beberapa jurus.
Melihat permainannya itu sama sekali tidak keruan, gerak-geriknya juga lamban dan ketolol-tololan, semua orang sama tertawa terpingkal-pingkal.
"Apanya yang lucu, kenapa kalian tertawa?" ujar laki-laki pemikul sayur. "Coba pinjami pedang, aku pun akan main beberapa jurus."
Setelah pegang pedang segera ia pun membacok dan menusuk serabutan, gerakannya sangat cepat dan caranya seperti orang gila, keruan orang banyak tambah geli menertawakannya.
Bab 91. Tokoh Bu-tong-pay yang Kosen
Semula Lenghou Tiong juga cuma tersenyum saja sambil berpangku tangan, tapi hanya melihat beberapa jurus saja ia menjadi terkejut. Dilihatnya gerak pedang kedua laki-laki itu berbeda, yang satu lamban dan yang lain cepat, tapi dalam permainan pedang mereka itu ternyata tiada sedikit pun diketemukan lubang kelemahan.
Memang gerak-gerik kedua orang itu sangat kaku, bahkan lucu dan menimbulkan tawa penonton, tapi yang satu menjaga dan yang lain menyerang, sukar bagi pihak lawan untuk melayaninya. Lebih-lebih laki-laki pemikul kayu itu, ilmu pedangnya sederhana saja, tapi daya tekanan pedangnya agaknya baru dilancarkan satu bagian saja, sembilan bagian selebihnya masih tersimpan dan siap untuk dikerahkan.
Di tengah gelak tertawa orang banyak itulah Lenghou Tiong lantas melangkah maju, katanya sambil memberi hormat, "Sungguh beruntung sekali hari ini dapat menyaksikan ilmu pedang mahahebat dari kedua Cianpwe. Kepandaian sehebat ini sungguh sukar diketemukan sekalipun menjelajahi seluruh dunia."
Kata-kata Lenghou Tiong ini diucapkan dengan nada yang sungguh-sungguh dan setulus hati, sama sekali berbeda daripada kata-kata para jago tadi yang bernada mengejek.
Kedua laki-laki tadi lantas menghentikan permainan mereka. Si tukang pikul kayu menjawab dengan mata melotot, "Kau bocah ini, kau paham ilmu pedang kami?"
"Paham sih tidak," sahut Lenghou Tiong. "Ilmu pedang kedua Cianpwe mahahebat dan sangat luas, untuk "memahaminya" masakah begitu gampang" Yang jelas ilmu pedang Bu-tong-pay yang termasyhur ternyata memang benar sangat mengagumkan."
"Kau bocah ini bernama siapa?" tanya si tukang sayur.
Belum Lenghou Tiong menjawab, di tengah orang banyak sudah ada yang berteriak, "Bocah apa segala, mulutmu perlu dicuci dulu. Dia adalah bengcu kami, Lenghou-kongcu adanya."
"Lenghou-kuaci?" si tukang kain menegas seperti orang heran. "Kenapa tidak pakai nama oncom atau keripik, lha kok pakai nama kuaci atau kacang segala?"
Lenghou Tiong tidak menghiraukan olok-olok orang, ia memberi hormat pula dan berkata, "Hari ini Lenghou Tiong dapat menyaksikan ilmu pedang sakti Bu-tong-pay, sungguh sangat beruntung dan kagum. Lain hari bila sempat tentu akan berkunjung untuk memberi salam hormat kepada Tiong-hi Totiang. Tentang nama kedua Cianpwe yang mulia apakah dapat diberi tahu?"
Kedua orang itu tidak menjawab, sebaliknya si tukang kayu terus meludah ke tanah, katanya, "Hei, kalian sebanyak ini main berbaris dan membunyikan tambur segala dengan riuh ramai, apakah kalian sedang arak-arakan atau sedang mengantar jenazah?"
Lenghou Tiong tahu kedua orang itu pasti tokoh Bu-tong-pay, dengan penuh hormat dijawabnya, "Kami ada seorang teman telah ditahan oleh Siau-lim-pay, kami sekarang hendak menuju ke sana untuk mohon kemurahan hati Hong-ting Taysu agar sudi mengampuni teman kami itu dan membebaskannya."
"O, kiranya bukan mengantar jenazah!" ujar si tukang sayur. "Tapi kalian telah memukul mati keledai paman kami, kalian mau ganti atau tidak?"
Segera Lenghou Tiong menuntun maju tiga ekor kuda, katanya, "Kuda-kuda ini sudah tentu tak bisa dibandingkan dengan keledai Cianpwe itu, terpaksa Cianpwe diharap menerima seadanya. Tentang kecerobohan teman tadi, mohon pula para Cianpwe sudi memaafkan."
Melihat sikap Lenghou Tiong yang makin lama makin hormat dan rendah diri terhadap petani-petani itu, tampaknya bukanlah sengaja pura-pura. Keruan para jago menjadi melongo heran.
"Setelah kau mengetahui kehebatan ilmu pedang kami, apakah kau tidak ingin menjajalnya?" tanya si tukang sayur.
"Wanpwe pasti bukan tandingan kedua Cianpwe," sahut Lenghou Tiong.
"Rupanya kau enggan menjajal kami, sebaliknya aku menjadi ingin menjajal kau," kata si tukang kayu. Berbareng pedangnya terus menusuk ke arah Lenghou Tiong dengan rada miring dan menceng.
"Bagus!" seru Lenghou Tiong ketika melihat serangan orang mencakup sembilan tempat berbahaya di atas tubuhnya, sungguh suatu jurus serangan yang amat indah. Cepat ia pun lolos pedang dan balas menusuk.
Ketika laki-laki itu menusuk suatu kali ke tempat yang kosong, Lenghou Tiong juga putar pedangnya dan menebas ke tempat yang kosong. Berturut-turut kedua orang sama-sama menyerang beberapa kali, tapi yang diarah semuanya tempat yang kosong. Kedua pedang belum pernah beradu. Namun begitu laki-laki itu selangkah demi selangkah terus mundur.
"Kuaci kacang ternyata rada aneh juga," ujar laki-laki tukang sayur. Segera ia pun angkat pedangnya dan menusuk dan menebas serabutan, dalam sekejap saja ia sudah main belasan jurus. Tapi tiap-tiap jurus tidak ditujukan kepada Lenghou Tiong, di mana ujung pedangnya tiba selalu berselisih satu-dua meter jauhnya dari Lenghou Tiong. Begitu pula Lenghou Tiong juga terkadang menusuk dari jauh ke arah si tukang kayu, lain saat menusuk si tukang sayur dari jarak jauh.
Anehnya tiap-tiap kali Lenghou Tiong menyerang, seketika kedua laki-laki itu tampak tegang dan cepat putar pedang buat menangkis atau melompat menghindar.
Keruan para penonton terheran-heran, padahal jarak ujung pedang Lenghou Tiong cukup jauh dari sasarannya, sekali menyerang juga tidak terasa sesuatu kekuatan yang menyambar ke depan, tapi mengapa kedua orang itu berusaha menghindar sebisanya"
Sampai di sini barulah para jago itu mengetahui kedua orang petani itu sekali-kali bukan orang desa, tapi adalah tokoh silat yang memiliki kepandaian tinggi. Di waktu menyerang mereka tetap kelihatan lambat dan yang lain seperti orang gila, tapi ketika menghindar serangan gerak-gerik mereka amat gesit dan lincah, kalau bukan terlatih berpuluh tahun pasti tidak memiliki tingkatan sedemikian tingginya.
Tiba-tiba terdengar kedua orang itu bersuit serentak, ilmu pedang mereka berubah sama sekali, si tukang kayu bergerak secara keras, tenaganya kuat, sebaliknya si tukang sayur meloncat ke sana-sini dengan cepat, ujung pedang mereka bergetar memantulkan titik-titik sinar perak.
Namun pedang di tangan Lenghou Tiong tampak mengacung miring ke atas tanpa bergerak lagi, hanya sorot matanya yang tajam terkadang melotot ke arah si tukang kayu, lain saat melirik si tukang sayur. Di mana sorot matanya sampai, seketika kedua laki-laki itu berganti gaya, terkadang mereka berteriak dan cepat melompat mundur, tiba-tiba mereka lantas melancarkan serangan, tapi mendadak mereka bertahan lagi seperti kerepotan.
Beberapa jago kelas tinggi seperti Keh Bu-si, Lo Thau-cu, dan lain-lain, setelah mereka mengikuti sekian lamanya pertarungan aneh itu, akhirnya dapatlah mereka melihat apa-apa yang terjadi sebenarnya. Dilihatnya bagian-bagian yang dihindari oleh kedua laki-laki itu selalu adalah tempat yang disorot oleh tatapan mata Lenghou Tiong, tapi juga hiat-to yang penting di tubuh mereka.
Suatu ketika dilihatnya mata Lenghou Tiong menatap ke "siang-kiok-hiat" di bagian perut si tukang kayu, padahal waktu itu si tukang kayu baru hendak membacok dengan pedangnya, mendadak ia urungkan serangannya dan lekas-lekas menarik kembali pedangnya untuk mengadang di depan perut.
Pada saat hampir sama si tukang sayur bergaya hendak menusuk ke arah Lenghou Tiong, tiba-tiba sorot mata Lenghou Tiong mengarah ke "thian-ting-hiat" di bagian lehernya, lekas-lekas tukang sayur itu mendak ke bawah sehingga tusukan pedangnya menancap tanah sawah yang sudah mengeras kering itu.
Begitulah untuk sekian lamanya kedua laki-laki itu terus berkutatan sehingga basah kuyup oleh keringat mereka sendiri laksana habis kecebur sungai.
Si kakek penunggang keledai tadi juga terus mengikuti pertandingan aneh itu di samping dan tidak membuka suara, kini mendadak ia berdehem, lalu berkata, "Hebat, sungguh sangat mengagumkan. Kalian mundur saja!"
Kedua orang itu mengiakan berbareng, tapi sorot mata Lenghou Tiong yang tajam laksana kilat itu masih terus berkisar di bagian hiat-to penting di tubuh mereka. Meski mereka memutar pedang sembari mundur masih sukar melepaskan diri dari incaran sinar mata Lenghou Tiong.
"Kiam-hoat bagus!" seru si kakek. "Lenghou-kongcu, biarlah aku yang minta petunjuk beberapa jurus padamu."
"Terima kasih!" sahut Lenghou Tiong sambit berpaling dan memberi hormat kepada si kakek.
Baru sekarang kedua laki-laki itu dapat membebaskan diri dari incaran sinar mata Lenghou Tiong, berbareng mereka melompat mundur dengan enteng sebagai burung terbang.
Si kakek terbatuk-batuk beberapa kali, lalu berkata pula, "Lenghou-kongcu telah sengaja bermurah hati kepada kalian, jika bertempur sungguh-sungguh tentu tubuh kalian sudah penuh dengan lubang tusukan, masakan kalian mampu menyelesaikan permainan ilmu pedang. Lekas kalian maju mengucapkan terima kasih."
Segera kedua laki-laki itu melompat maju terus membungkuk tubuh di hadapan Lenghou Tiong. Kata si tukang sayur, "Hari ini barulah aku mengetahui di luar langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang lebih pandai. Kepandaian Kongcu jarang ada bandingannya di dunia ini, harap sudi memaafkan atas ucapan kami yang kurang hormat tadi."
Lenghou Tiong membalas hormat mereka, katanya, "Bu-tong-kiam-hoat benar-benar mahasakti. Permainan pedang kalian tadi yang satu yang (positif) dan yang lain im (negatif), satu keras satu lunak, apakah itu Thay-kek-kiam-hoat adanya?"
"Hanya membikin malu saja, yang kami mainkan tadi adalah "Liang-gi-kiam-hoat", memang terdiri dari im dan yang, tapi belum dapat terlebur menjadi satu," sahut si tukang sayur.
"Karena Cayhe telah menyaksikan sebelumnya sehingga sedikit dapat mengetahui letak intisari ilmu pedang kalian," ujar Lenghou Tiong. "Tapi kalau benar-benar bertempur sungguhan jelas tak sanggup aku melawan."
"Lenghou-kongcu teramat rendah hati," ujar si kakek. "Padahal di mana sorot mata Kongcu menatap, di situ pula terletak titik kelemahan dari setiap jurus Liang-gi-kiam-hoat. Ai, kiam-hoat ini ternyata ..." sampai di sini ia geleng-geleng kepala, sejenak kemudian barulah ia menyambung, "lima puluh tahun yang lalu Bu-tong-pay ada dua totiang yang sengaja mendalami Liang-gi-kiam-hoat ini secara tekun, beliau-beliau itu merasa di dalam ilmu pedang ini ada im ada yang, juga keras juga lunak. Tapi ai!" ia menghela napas seakan-akan hendak mengatakan, "Ternyata ilmu pedang yang dianggap sudah sempurna itu tidak tahan sekali gempur oleh ahli pedang yang diketemukan sekarang."
Kiranya dalam pertandingan pedang tadi, mula-mula Lenghou Tiong menggunakan ujung pedang untuk menyerang tempat-tempat berbahaya di tubuh kedua lawannya dari jarak jauh, tempat yang diarah adalah lubang-lubang kelemahan permainan pedang mereka. Tapi kemudian ia tidak perlu menggerakkan lagi pedangnya, hanya sorot matanya saja yang mengincar ke titik kelemahan lawan-lawan itu. Setiap kali salah seorang lawannya menyerang, selalu merasakan titik kelemahan serangannya itu sudah kena diincar oleh Lenghou Tiong sehingga terpaksa ia harus menarik kembali serangan dan begitu seterusnya. Makin lama mereka semakin gelisah, meski Lenghou Tiong hanya berdiri di tempatnya tanpa bergerak, tapi kedua orang itu sudah kelabakan sendiri dengan mandi keringat dan kehabisan tenaga.
Begitulah Lenghou Tiong lantas berkata dengan penuh hormat, "Tadi kedua paman ini rasanya tidak terlalu tinggi tingkatannya di dalam Bu-tong-pay, namun ilmu pedang mereka sudah sedemikian bagusnya. Apalagi kepandaian Tiong-hi Totiang serta tokoh-tokoh kelas wahid yang lain, tentu jauh lebih mengagumkan. Wanpwe dan para kawan kebetulan harus lalu di kaki Bu-tong-san sini, soalnya ada urusan penting sehingga tidak sempat berkunjung dan memberi hormat kepada Tiong-hi Totiang, kelak bila urusan sudah selesai tentu Cayhe akan berkunjung ke Cin-bu-koan (nama kuil) untuk sembahyang di hadapan Cin-bu-tayte serta menjura kepada Tiong-hi Totiang."
Sebenarnya watak Lenghou Tiong sangat angkuh, tapi terhadap ilmu pedang kedua lawannya yang luar biasa dan ajaib tadi, meski dia dapat mengalahkan mereka, tapi dia memang benar-benar sangat kagum. Apalagi ia buru-buru ingin pergi menolong Ing-ing dan sedapat mungkin harus menghindari permusuhan dengan Bu-tong-pay yang sukar dilawan itu, samar-samar dalam perasaannya ia menduga si kakek pasti tokoh terkemuka di dalam Bu-tong-pay, maka apa yang diucapkannya itu benar-benar sangat tulus dan sungguh-sungguh.
Si kakek tampak manggut-manggut, katanya, "Orang muda memiliki kepandaian tinggi, tapi tidak sombong, sungguh harus dipuji. Lenghou-kongcu, apakah kau pernah mendapat didikan langsung dari Hong Jing-yang Locianpwe dari Hoa-san?"
Lenghou Tiong terkesiap dan mengakui ketajaman mata si kakek yang bisa mengetahui asal usul ilmu pedangnya tadi. Cepat ia membungkuk tubuh dan menjawab, "Ah, secara beruntung Wanpwe hanya pernah mempelajari sedikit bulu kulit kepandaian Hong-thaysusiokco."
"Bulu kulit saja katamu dan ternyata sudah begitu hebat?" kata si kakek dengan tersenyum. Ia berpaling dan mengambil pedang yang dipegang si pemikul kayu. Lalu katanya pula, "Sekarang aku ingin coba belajar kenal dengan sedikit bulu kulit ilmu pedang ajaran Hong-locianpwe itu."
"Ah, mana Wanpwe berani bergebrak dengan Cianpwe?" ujar Lenghou Tiong dengan rendah hati.
Kembali si kakek tersenyum, dengan tetap terbungkuk-bungkuk, tubuhnya memutar ke kanan dengan perlahan-lahan, pedang yang terpegang di tangan kiri itu diangkatnya ke atas terus melintang di depan dada.
Melihat gaya orang tua itu, Lenghou Tiong tidak berani sembrono, ia pun mengikuti gerak-geriknya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba pedang si kakek menggores ke depan dengan perlahan dalam bentuk setengah lingkaran.
Seketika Lenghou Tiong merasa suatu arus hawa dingin menyambar ke arahnya, kalau tidak balas menyerang rasanya sukar ditahan. Terpaksa ia berkata, "Maaf!" Karena tidak melihat titik kelemahan dari jurus pedang si kakek, terpaksa pedangnya menutul sekenanya ke depan.
Sekonyong-konyong si kakek memindahkan pedang ke tangan kanan, sinar dingin berkelebat, mendadak ia menebas ke leher Lenghou Tiong. Karena gerakan yang teramat cepat ini, para jago yang menonton di samping sampai menjerit kaget dan khawatir.
Tapi karena serangan si kakek yang keras mendadak itu, segera Lenghou Tiong melihat titik kelemahan di bawah ketiak lawan. Segera pedangnya membarengi menusuk ke yan-ek-hiat di bawah iga si kakek.
Terpaksa si kakek menegakkan pedangnya. "Trang", kedua pedang kebentur, kedua orang sama-sama mundur selangkah, Lenghou Tiong merasakan tenaga lawan seakan-akan melengket di atas pedangnya sehingga batang pedang tergetar mendenging. Sebaliknya si kakek juga bersuara heran, air mukanya menunjukkan rasa kejut dan tidak percaya.
Setelah satu gebrak, kembali pedang si kakek berpindah ke tangan kiri, ujung pedang menggores pula ke depan menjadi dua lingkaran.
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat gerakan pedang orang yang bertenaga dan rapat melindungi seluruh tubuhnya tanpa lubang sedikit pun, diam-diam Lenghou Tiong kejut dan heran, "Sejak menghadapi musuh belum pernah kulihat permainan silat lawan yang begini rapat penjagaannya. Bila dia menyerang cara demikian, lalu cara bagaimana aku harus mematahkannya?"
Lantaran timbul rasa sangsinya, tanpa terasa butiran keringat lantas merembes di dahinya.
Dalam pada itu pedang si kakek lantas bergetar, mendadak menusuk ke depan secara lempeng, ujung pedang bergemetar cepat sehingga tidak diketahui arah mana sebenarnya yang hendak diserang. Yang pasti beberapa hiat-to penting di tubuh Lenghou Tiong sudah terancam semua oleh gerakan pedangnya.
Tapi karena serangan cepat si kakek itulah Lenghou Tiong dapat melihat tiga lubang kelemahan di tubuh lawannya, asal salah satu lubang kelemahan diserang sudah cukup menamatkan jiwanya. Segera pedang Lenghou Tiong juga ditusukkan ke depan, ke ujung alis kiri si kakek.
Dalam keadaan demikian bila si kakek tetap mengayun pedangnya ke depan, maka lebih dulu pelipis kirinya pasti akan tertusuk pedang Lenghou Tiong.
Pertarungan di antara jago kelas tinggi kalah-menang memang cuma tergantung pada satu-dua detik itu saja, siapa yang lebih dulu dia yang menang.
Menurut keadaan itu, meski Lenghou Tiong tak bisa menghindarkan diri dari serangan si kakek, tapi kesempatan menyelamatkan diri sedikitnya ada separuh, sebaliknya pihak lawan pasti akan binasa oleh tusukannya.
Ternyata si kakek cukup menyadari hal itu, mendadak ia putar balik pedangnya, sekonyong-konyong pandangan Lenghou Tiong menjadi silau oleh lingkaran-lingkaran sinar perak besar-kecil tak terhitung banyaknya. Karena matanya silau, terpaksa ia pun menarik kembali pedangnya, lalu menusuk lagi ke tengah lingkaran sinar pedang lawan. "Trang", kedua pedang kebentur lagi, lengan Lenghou Tiong terasa kesemutan.
Lingkaran sinar yang dipantulkan oleh pedang si kakek makin lama makin banyak, hanya sebentar saja seluruh badannya seakan-akan menghilang di balik lingkaran sinar yang tak terhitung banyaknya itu. Lingkaran sinar itu satu disusul yang lain, yang duluan belum buyar sudah timbul lingkaran lagi.
Lenghou Tiong tidak sanggup mengincar lubang kelemahan di tengah ilmu pedang si kakek, hanya dirasakan lawan seakan-akan dibungkus oleh beratus atau beribu batang pedang sehingga sukar ditembus.
Jantung Lenghou Tiong mulai berdebar keras. Sejak berhasil meyakinkan "Tokko-kiu-kiam" untuk pertama kalinya sekarang ia merasakan takut. Bahwasanya gerak serangan musuh ternyata tidak diketemukan titik kelemahannya barulah sekarang terjadi.
Selagi Lenghou Tiong merasa bimbang, saat itulah beribu-ribu lingkaran sinar laksana ombak samudra saja telah membanjir ke arahnya. Karena tidak sanggup bertahan, terpaksa ia melangkah mundur. Setiap kali ia mundur satu langkah, lingkaran-lingkaran sinar itu lantas mendesak maju selangkah pula. Dalam sekejap saja, ia sudah mundur hampir sepuluh langkah dan tampaknya masih akan terdesak mundur lagi.
Melihat bengcu mereka terdesak di bawah angin, para jago ikut prihatin dan sama menahan napas mengikuti pertarungan hebat itu. Mendadak Tho-kin-sian berseru, "He, ilmu pedang apakah itu, seperti permainan anak kecil saja yang menggores-gores lingkaran, aku pun bisa kalau cuma begitu!"
"Kalau aku yang menggores tanggung akan lebih bulat daripada dia," timbrung Tho-hoa-sian.
"Jangan takut Lenghou-hengte, jika kau kalah, sebentar kami akan membeset si tua bangka itu menjadi empat potong untuk melampiaskan rasa dongkolmu," seru Tho-ki-sian.
"Salah besar ucapanmu itu!" debat Tho-yap-sian. "Pertama dia adalah Lenghou-bengcu dan bukan Lenghou-hengte segala. Kedua, dari mana kau mengetahui dia takut?"
"Meski Lenghou Tiong sudah menjadi bengcu, tapi umurnya lebih muda daripada diriku. Memangnya sudah menjadi bengcu lantas harus dipanggil Lenghou-koko, Lenghou-pepek, atau dipanggil tuan besar segala?" sahut Tho-ki-sian.
Saat itu Lenghou Tiong tampak terdesak mundur lagi, para jago menjadi ikut cemas, keruan mereka tambah gusar mendengar Tho-kok-lak-sian mengoceh tak keruan.
Dalam pada itu Lenghou Tiong sedang mundur lagi satu langkah, "byur", tiba-tiba sebelah kakinya menginjak air pecomberan. Kejadian ini mendadak menimbulkan pikirannya, "Dahulu Hong-thaysusiokco telah memberi pesan wanti-wanti bahwa ilmu silat di dunia ini sangat banyak aneka ragamnya, tapi pada dasarnya hanya ada satu patokan, tak peduli bagaimana bagusnya gerak serangan lawan, asalkan ada jurus serangan tentu ada lubang kelemahannya. Sebabnya ilmu pedang yang diturunkan oleh Tokko-tayhiap ini dapat merajai dunia persilatan tanpa tandingan adalah karena dapat mencapai titik kelemahan di antara jurus serangan musuh. Sekarang ilmu pedang si kakek berputar begini cepat, sedikit pun tiada lubang kelemahannya. Hanya saja mungkin aku sendiri yang tidak mampu mencari titik kelemahannya dan bukan ilmu pedangnya benar-benar tanpa titik kelemahan."
Dalam pada itu kembali Lenghou Tiong terdesak mundur beberapa tindak lagi, ia coba memerhatikan lingkaran-lingkaran yang dijangkitkan sinar pedang lawan itu, tiba-tiba terpikir olehnya, "Jangan-jangan di tengah lingkaran-lingkaran inilah titik kelemahannya. Tapi kalau keliru dan pedangku menusuk ke tengah lingkaran itu, sekali digiling pedangnya seketika tanganku bisa kutung."
Tiba-tiba timbul tekadnya, "Jelas aku tidak sanggup melawan locianpwe ini, jika aku menyerah kalah, sebagai orang tua mungkin dia takkan mengusik diriku, tapi kekalahanku akan berarti mengguncangkan semangat para kawan, mana mereka berani lagi pergi menyerbu Siau-lim-si dan menolong Ing-ing?"
Teringat kepada budi kebaikan Ing-ing terhadapnya, kalau cuma mengorbankan sebelah lengan saja apa halangannya" Tiba-tiba dalam lubuk hatinya merasa sangat terhibur dan puas jika dapat mengorbankan sebelah lengan bagi Ing-ing, dirasakan pula dirinya terlalu banyak utang budi kepada si nona, kalau benar-benar mengalami cacat badan secara parah demi si nona barulah sekadar dapat membalas budi kebaikannya itu.
Berpikir begitu, tanpa sangsi lagi ia lantas angkat tangannya, pedang lantas menusuk ke tengah lingkaran sinar pedang si kakek. "Trang", terdengar suara nyaring mendering, Lenghou Tiong merasa dadanya tergetar keras, napas sesak dan darah bergolak, tapi lengannya ternyata baik-baik saja tak terluka sedikit pun.
Si kakek tampak mundur selangkah, pedang ditarik kembali dan berdiri tegak, air mukanya menampilkan rasa aneh seperti orang terheran-heran, juga ada perasaan malu-malu, malahan menampilkan rasa penuh kesayangan. Selang cukup lama barulah ia membuka suara, "Ilmu pedang Lenghou-kongcu benar-benar hebat, pengetahuan dan keberanianmu juga melebihi orang biasa, sungguh hebat, sungguh kagum!"
Baru sekarang Lenghou Tiong menyadari gempuran yang penuh risiko tadi sesungguhnya telah menemukan titik kelemahan ilmu pedang lawan, hanya saja ilmu pedang si kakek terlalu tinggi, mungkin di antara sepuluh ribu orang tiada satu orang yang berani mengambil risiko seperti dia untuk menjajal titik kelemahan si kakek yang ternyata disembunyikan di balik titik kekuatannya, yaitu di tengah lingkaran sinar pedangnya yang terus mendesak lawan itu. Keruan Lenghou Tiong merasa sangat beruntung dan bersyukur, cepat ia membungkuk tubuh dan menjawab, "Ilmu pedang Locianpwe mahasakti, sungguh Wanpwe banyak memperoleh manfaatnya setelah mendapat petunjuk-petunjuk tadi."
Ucapan Lenghou Tiong ini bukan kata-kata yang sengaja dibuat, tapi timbul dari lubuk hatinya yang tulus, sebab pertandingan ini memang benar banyak memberi ilham kepadanya sehingga dia mengetahui bahwa titik kekuatan serangan musuh justru adalah titik paling lemah pula. Kalau titik yang paling kuat dapat digempur, maka bagian-bagian lain tidak perlu diterangkan lagi.
Pertandingan di antara jago-jago kelas tinggi cukup ditentukan dalam satu jurus saja. Melihat Lenghou Tiong berani balas menyerang melalui lingkaran sinar pedangnya, maka si kakek merasa tidak perlu melanjutkan lagi pertarungan itu. Ia menatap tajam sejenak kepada Lenghou Tiong. Kemudian menghela napas dan berkata, "Lenghou-kongcu, aku ingin bicara sebentar padamu."
"Baik, mohon petuah-petuah Locianpwe yang berharga," sahut Lenghou Tiong.
Si kakek mengembalikan pedang kepada si tukang sayur tadi, lalu tangan Lenghou Tiong digandengnya dan diajak menuju ke bawah pohon besar di sebelah timur sana. Lenghou Tiong lantas melemparkan pula pedangnya dan mengikuti kehendak si kakek.
Sampai di bawah pohon, jarak dengan rombongan orang banyak sudah ada berpuluh meter jauhnya, suara pembicaraan mereka sukar lagi didengar dari jarak sejauh itu. Lebih dulu si kakek duduk di bawah pohon, lalu katanya, "Silakan duduk juga untuk bicara."
Sesudah Lenghou Tiong berduduk barulah orang tua itu mulai bicara dengan perlahan, "Lenghou-kongcu, tokoh muda seangkatan yang memiliki kepandaian seperti kau boleh dikata jarang terdapat."
"Ah, terima kasih atas pujian Locianpwe," sahut Lenghou Tiong. "Tingkah laku Wanpwe terkenal buruk sehingga tidak diberi tempat oleh perguruan, mana aku berani menerima pujian Locianpwe itu."
"Kaum persilatan kita harus mengutamakan perbuatan yang terang-terangan, asalkan sesuai dengan hati nurani," kata si kakek. "Tindak tandukmu meski terkadang terlalu berani dan tidak tunduk kepada adat kebiasaan, tapi masih harus diakui adalah perbuatan seorang laki-laki sejati. Secara diam-diam aku telah mengutus orang buat menyelidiki kelakuanmu yang sebenarnya dan ternyata tidak diketemukan sesuatu yang buruk sebagaimana disiarkan secara luas di kalangan Kangouw."
Alangkah terharu dan terima kasih Lenghou Tiong atas pembelaan si kakek terhadap pribadinya itu, setiap katanya benar-benar kena lubuk hatinya. Ia yakin si kakek pasti tokoh yang amat penting di dalam Bu-tong-pay, kalau tidak masakah diam-diam mengutus orang buat menyelidiki perbuatan dan tingkah lakunya"
Dalam pada itu si kakek telah menyambung lagi, "Bahwasanya orang muda suka menonjolkan sesuatu adalah lazim. Gak Put-kun sendiri lahirnya tampak ramah, tapi sebenarnya jiwanya sangat sempit ...."
Mendengar kritikan terhadap gurunya, seketika Lenghou Tiong berbangkit dan berkata, "Wanpwe anggap Insu (guru berbudi) seperti orang tua sendiri, maka Wanpwe tidak berani bicara tentang kekurangannya."
Kakek itu tersenyum, katanya, "Kau tidak melupakan sumbermu, sungguh sangat baik."
Tiba-tiba air mukanya berubah serius dan menambahkan, "Sudah berapa lama kau meyakinkan "Gip-sing-tay-hoat" itu?"
"Wanpwe mempelajarinya secara kebetulan kira-kira setengah tahun yang lalu," sahut Lenghou Tiong. "Mula-mula Wanpwe benar-benar tidak tahu ilmu yang kulatih ini adalah Gip-sing-tay-hoat."
"Benarlah kalau begitu," ujar si kakek. "Tadi kita telah tiga kali mengadu senjata, tenaga dalamku telah kau sedot, tapi rasanya kau masih belum mahir memanfaatkan ilmu iblis yang celaka itu. Untuk mana aku ingin memberi nasihat, entah Lenghou-siauhiap sudi mendengarkan tidak?"
Lenghou Tiong menjadi gugup, cepat ia menjawab, "Kata-kata emas Locianpwe sudah tentu akan kuterima dengan segala kerelaan hati."
"Gip-sing-tay-hoat ini walaupun sangat lihai di waktu pertempuran, tapi bagi orang yang melatihnya sendiri akan menimbulkan banyak kerugian, semakin mendalam keyakinannya semakin besar pula bahayanya. Lenghou-siauhiap harus menyadarinya dan sebisanya menghentikan pelajaranmu. Setahuku, akhir dari latihan ilmu iblis itu akan mengubah seluruh watak dan pikiran orang yang meyakinkannya itu, jiwanya tertekan dan akan melakukan macam-macam perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya tanpa disadari olehnya sendiri. Tatkala mana sukarlah untuk membersihkan diri."
Ketika di Bwe-cheng tempo hari Lenghou Tiong memang pernah mendengar sendiri dari ucapan Yim Ngo-heng bahwa setelah mempelajari "Gip-sing-tay-hoat" itu, maka kelak akan banyak mendatangkan bencana, maka dirinya diminta berjanji akan masuk menjadi anggota Mo-kau, bahkan akan diangkat sebagai tangan kiri ketua Mo-kau itu, dengan demikian Yim Ngo-heng baru akan mengajarkan cara memunahkan gangguan penyakit yang ditimbulkan oleh Gip-sing-tay-hoat itu.
Sekarang apa yang dikatakan si kakek ternyata cocok dengan ucapan Yim Ngo-heng dahulu, keruan Lenghou Tiong tambah percaya sehingga keluar keringat dingin. Katanya kemudian, "Petunjuk-petunjuk Locianpwe takkan kulupakan selama hidup ini. Wanpwe juga tahu ilmu ini tidak baik, juga pernah bertekad takkan menggunakannya untuk membikin celaka sesamanya. Cuma setelah ilmu ini meresap di dalam tubuh, sekalipun tidak ingin memakainya toh sukar rasanya."
"Ada suatu hal yang mungkin sangat sukar untuk minta Siauhiap melakukannya," kata si kakek. "Tapi seorang pahlawan, seorang kesatria harus berani berbuat apa yang tak bisa diperbuat orang lain. Siau-lim-pay ada semacam ilmu khas yang disebut "Ih-kin-keng", mungkin Siauhiap sudah pernah mendengarnya."
"Ya, kabarnya itu adalah lwekang tertinggi yang tak diajarkan sembarangan orang sekalipun kepada padri-padri sakti angkatan utama Siau-lim-pay pada saat ini," kata Lenghou Tiong.
"Sekarang Siauhiap memimpin orang banyak ini menuju ke Siau-lim-si, kukira persoalannya tidak mudah untuk diselesaikan. Tak peduli pihak mana yang menang pasti akan banyak menimbulkan korban, hal ini sesungguhnya merupakan malapetaka bagi dunia persilatan kita. Walaupun sudah tua bangka, namun aku bersedia mendamaikan kalian dan akan mohon ketua Siau-lim-pay mengutamakan welas asih dan mengajarkan "Ih-kin-keng" kepada Siauhiap, sebaliknya Siauhiap hendaklah memberi penjelasan kepada orang banyak agar menyudahi urusan ini dan bubar saja, dengan demikian buyar pula bencana yang setiap saat dapat timbul. Entah bagaimana pendapat Siauhiap akan usulku ini?"
"Lalu bagaimana dengan Yim-siocia yang masih terkurung di Siau-lim-si itu?" tanya Lenghou Tiong.
"Yim-siocia telah membunuh empat tokoh Siau-lim-pay, banyak menimbulkan huru-hara pula di dunia Kangouw. Kalau Hong-ting Taysu mengurung dia kukira bukan karena ingin membalas dendam Siau-lim-pay sendiri, tapi timbul dari jiwanya yang welas asih demi keselamatan sesama orang Kangouw. Dengan pribadi Siauhiap yang baik ini masakah khawatir tidak mendapatkan jodoh yang setimpal dari keluarga yang baik" Buat apa mesti tergoda oleh perempuan siluman dari Mo-kau itu sehingga merusak nama baikmu dan menghancurkan masa depanmu."
Serentak Lenghou Tiong berbangkit, katanya lantang, "Lenghou Tiong telah terima budi orang dan sudah pasti akan kubalas. Adapun maksud baik Cianpwe sungguh sayang sekali tak bisa kuterima."
Si kakek menghela napas, katanya pula, "Orang muda tenggelam oleh kecantikan, terjebak oleh nona ayu, rasanya memang sukar menghindarkan diri."
"Wanpwe mohon diri," kata Lenghou Tiong sambil membungkuk tubuh.
"Nanti dulu!" seru si kakek. "Meski aku jarang berhubungan dengan Hoa-san-pay, tapi sedikit banyak kuyakin Gak-siansing masih menghormati diriku. Jika kau mau terima nasihatku tadi, aku dan ketua Siau-lim-pay berani tepuk dada memberi jaminan akan mengembalikan kau ke Hoa-san-pay, untuk ini apakah kau percaya padaku?"
Tergerak juga hati Lenghou Tiong oleh tawaran menarik itu. Diterima kembali ke dalam Hoa-san-pay memang cita-citanya yang paling utama. Kakek ini begini tinggi ilmu silatnya, nada bicaranya juga meyakinkan pasti seorang tokoh terkemuka dari Bu-tong-pay, dia menjanjikan akan menjamin kembalinya Lenghou Tiong ke Hoa-san-pay, maka dapat dipercaya urusan ini pasti akan berhasil. Selamanya sang guru sangat mementingkan hubungan baik sesama orang cing-pay, apalagi Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay adalah dua aliran tertinggi dari dunia persilatan, kalau kedua tokoh utama dari kedua aliran itu tampil ke muka untuk menjaminnya, tentu sang guru akan terpaksa menerimanya kembali.
Tapi sesudah kembali ke Hoa-san, setiap hari ia akan bertemu dengan sumoaynya yang jelita itu, apakah lantas membiarkan Ing-ing terkurung di gua Siau-lim-si yang dingin dan sunyi" Berpikir sampai di sini, seketika darah bergolak pula di rongga dadanya, serunya segera, "Percumalah menjadi manusia jika Wanpwe tidak dapat menolong Yim-siocia keluar dari Siau-lim-si. Tak peduli bagaimana hasil dari urusan ini, asalkan Wanpwe masih hidup kelak, Wanpwe pasti akan berkunjung ke Bu-tong-san untuk mengaturkan terima kasih kepada Cianpwe serta Tiong-hi Totiang."
Kembali si kakek menghela napas, katanya, "Kau tidak mementingkan jiwamu, tidak mementingkan perguruanmu, tidak mementingkan nama baik dan hari depanmu, tapi lebih suka berbuat menuruti bisikan hatimu demi membela seorang perempuan dari Mo-kau, kelak kalau dia mengingkari kau dan berbalik membikin celaka kau, apakah kau takkan menyesal."
"Jiwa Wanpwe ini diselamatkan oleh Yim-siocia, maka akan kukembalikan jiwaku ini untuknya, buat apa mesti merasa sayang dan menyesal?" sahut Lenghou Tiong.
"Baiklah, boleh kau pergi," kata si kakek mengangguk.
Lenghou Tiong memberi hormat pula, lalu putar kembali ke tempat kawan-kawannya, katanya kepada Lo Thau-cu dan lain-lain. "Marilah berangkat!"
Bab 92. Terkurung di Siau-lim-si
"Lenghou-kongcu," kata Tho-sit-sian, "tua bangka tadi bertanding pedang dengan kau, kenapa belum jelas kalah atau menang sudah diakhiri?"
Pertandingan tadi sesungguhnya memang belum berakhir dengan kalah dan menang. Soalnya si kakek menyadari tidak mampu mengalahkan Lenghou Tiong dan segera ia menyudahi pertandingan, sudah tentu orang-orang lain tidak tahu di mana letak seluk-beluk persoalannya.
Maka Lenghou Tiong menjawab, "Ilmu pedang locianpwe tadi sangat tinggi, kalau pertandingan itu diteruskan rasanya aku pun tak bisa mendapat keuntungan apa-apa, maka lebih baik dihentikan saja."
"Lenghou-kongcu, bodohlah kau kalau begitu," ujar Tho-sit-sian. "Jika belum dapat ditentukan kalah dan menang, bila pertarungan diteruskan akhirnya kau pasti menang."
"Haha, juga belum tentu," sahut Lenghou Tiong tertawa.
"Kenapa belum tentu?" Tho-sit-sian ngotot. "Umur tua bangka itu jauh lebih tua daripadamu, tenaganya dengan sendirinya tidak mampu menandingi kau. Jika pertandingan dilanjutkan, lama-lama pasti kau akan berada di atas angin."
Dalam hati Lenghou Tiong mengakui akan kebenaran ucapan Tho-sit-sian yang kelihatannya ngawur, tapi cukup beralasan.
Belum dia menanggapi, tiba-tiba Tho-kin-sian menyela, "Mengapa usianya lebih tua lantas tenaganya pasti kalah kuat?"
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli. Ia tahu di antaranya Tho-kok-lak-sian itu, Tho-kin-sian adalah toako, sudah tentu tidak terima dikatakan lebih tua umurnya lebih lemah pula tenaganya.
Tho-kan-sian juga lantas menimbrung, "Tidak tepat! Jika umur lebih sedikit dan tenaga semakin besar, maka anak umur tiga kan jauh lebih kuat dari kita?"
Begitulah Tho-kok-lak-sian terus mengoceh tak keruan.
Rombongan besar mereka melanjutkan perjalanan menuju ke utara, sampai di wilayah Holam, mendadak dari timur dan barat datang bergabung pula dua rombongan besar sehingga jumlah mereka seluruhnya sudah lebih empat ribu orang.
Sudah tentu semakin besar semakin sukar pula cara pengurusan mereka, terutama dalam hal perbekalan. Soal tempat tidur sih tidak sukar, tak peduli tanah pegunungan atau hutan belukar mereka dapat merebah dan molor sesukanya, tapi mengenai hal makan minum inilah soal sulit. Selama beberapa hari mereka benar-benar telah menyapu bersih segala makanan dan minuman restoran atau rumah makan sepanjang jalan yang mereka lalui, bahkan tidak sedikit yang porak-poranda diubrak-abrik mereka.
Maklumlah, mereka adalah orang-orang gabungan dari macam-macam golongan dan lapisan, biasanya mereka suka makan minum sepuasnya, sekarang mereka makan tidak kenyang, minum kepalang tanggung, keruan ada yang naik pitam dan yang sial adalah rumah-rumah makan yang dihancurkan mereka.
Lenghou Tiong menyadari juga akan tingkah laku kawan-kawannya yang banyak menimbulkan kerugian penduduk sepanjang jalan yang mereka lalui itu. Tapi ia pun memuji akan rasa setia kawan mereka. Jika Siau-lim-si nanti tidak mau membebaskan Ing-ing, maka pertarungan sengit pasti sukar dihindarkan dan apa yang akan terjadi tentu mengerikan.
Selama beberapa hari ini selalu diharapkan berita dari Ting-sian dan Ting-yat Suthay, bila berkat permohonan kedua suthay itu ketua Siau-lim-si sudi membebaskan Ing-ing, maka bencana banjir darah sekiranya dapat dihindari.
Akan tetapi kini tinggal tiga hari lagi sudah akan tiba tanggal 15 bulan 12, jarak dari Siau-lim-si juga tinggal seratusan li saja dan berita yang diharap-harapkan dari Ting-sian dan Ting-yat itu ternyata belum kunjung datang.
Gerakan mereka ke utara untuk menyerbu Siau-lim-si ini memangnya dilakukan secara terbuka dan secara besar-besaran, maka sudah diketahui secara meluas ke berbagai pelosok, namun pihak lawan ternyata tenang-tenang saja tidak memberi reaksi apa-apa, seakan-akan mereka sudah siap siaga tanpa gentar. Membicarakan hal ini, Lenghou Tiong, Lo Thau-cu, Coh Jian-jiu, dan lain-lain juga merasa heran dan waswas.
Malam ini rombongan besar mereka berkemah di lapangan terbuka, sekeliling dipasang pos-pos peronda untuk menjaga kalau diserang musuh secara mendadak di waktu malam.
Hawa malam cukup dingin, angin meniup kencang, awan memenuhi angkasa seperti akan turun salju. Untuk menghangatkan badan, bergunduk-gunduk api unggun telah dinyalakan di sekitar mereka.
Dasar jago-jago Kangouw ini memang tidak punya disiplin, maklum gabungan mereka itu terjadi secara kebetulan dan secara mendadak tanpa teratur, maka di mana mereka berada suasana juga menjadi gaduh, ada yang menyanyi dan bertengkar, ada yang mengasah senjata dan bertanding gulat segala, ributnya tidak kepalang.
Lenghou Tiong berpikir sendiri, "Paling baik kalau orang-orang banyak ini jangan sampai ikut pergi ke Siau-lim-si. Kenapa aku sendiri tidak mendahului pergi memohon kepada Hong-ting dan Hong-sing Taysu agar sudi membebaskan Ing-ing" Jika hal ini bisa terlaksana kan jauh lebih menggembirakan daripada mesti terjadi huru-hara?"
Tapi lantas terpikir pula, "Bila padri-padri Siau-lim-si itu meluluskan permintaanku, mungkin aku akan ditawan dan dibunuh. Kematianku tidak perlu disayangkan, namun kawan-kawan ini menjadi kehilangan pimpinan dan pasti akan terjadi kekacauan, bukan mustahil Ing-ing tidak berhasil diselamatkan, sebaliknya beribu kawan ini akan binasa semua di Siau-sit-san. Mana boleh aku bertindak menuruti hawa nafsu sendiri sehingga membikin susah orang banyak?"
Ia berbangkit, dilihatnya bara api unggun berkobar-kobar dikelilingi oleh berpuluh-puluh orang setiap gundukan. Pikirnya kemudian, "Mereka setia kepada Ing-ing, aku juga harus setia kepada mereka."
Dua hari kemudian, sampailah barisan mereka di luar Siau-lim-si di atas Siau-sit-san, jumlah mereka sekarang sedikitnya ada enam atau tujuh ribu orang sesudah bergabung lagi beberapa rombongan, tokoh-tokoh yang pernah berkumpul di Ngo-pah-kang dahulu seperti Ui Pek-liu, Na Hong-hong, dan lain-lain semuanya juga datang, banyak pula jago-jago yang belum dikenal oleh Lenghou Tiong. Beribu-ribu tambur dibunyikan serentak, suaranya benar-benar menggetar bumi.
Meski tambur mereka dipukul sedemikian keras dan gemuruh, tapi sampai sekian lamanya masih tidak tampak seorang padri Siau-lim-si yang keluar.
"Berhenti!" Lenghou Tiong memerintahkan bunyi tambur dihentikan, secara berturut-turut perintah itu diteruskan, suara tambur menjadi makin perlahan dan akhirnya berhenti semuanya.
Segera Lenghou Tiong berseru lantang ke arah Siau-lim-si, "Wanpwe Lenghou Tiong bersama para kawan Kangouw datang kemari untuk menemui Hongtiang Taysu Siau-lim-si. Mohon sudi menerima kunjungan kami ini."
Suara Lenghou Tiong itu dikumandangkan dengan tenaga yang mahakuat sekali, di tempat beberapa li jauhnya cukup terdengar. Bila Hong-ting Taysu berada di dalam kuilnya seharusnya dia pun mendengar.
Namun kuil agung itu tetap sunyi senyap tanpa jawaban sedikit pun. Lenghou Tiong mengulangi teriakannya lagi sekali dan tetap tiada jawaban apa-apa.
"Silakan Coh-heng menyampaikan kartu kehormatan," perintah Lenghou Tiong.
Coh Jian-jiu mengiakan dan melangkah pergi dengan membawa kotak berisi kartu nama Lenghou Tiong beserta gembong-gembong bawahannya itu. Sampai di depan pintu gerbang, Coh Jian-jiu mengetok beberapa kali, ternyata di dalam kuil tetap sunyi sepi, ia coba tolak daun pintu, ternyata pintu tidak dipalang dari dalam dan terus terbuka.
Waktu Coh Jian-jiu memandang ke dalam, keadaan tetap sunyi seperti rumah kosong saja. Ia tidak berani sembarangan masuk, segera putar balik memberi lapor kepada Lenghou Tiong.
Mesti tinggi ilmu silatnya, namun dalam hal pengalaman orang hidup boleh dikata masih cetek bagi Lenghou Tiong, lebih-lebih dia pun tidak punya bakat memimpin orang sebanyak itu. Keruan ia menjadi bingung juga menghadapi keadaan yang sama sekali di luar dugaan itu.
"Hwesio-hwesio di dalam kuil itu agaknya sudah lari semua?" kata Tho-kin-sian. "Marilah kita lekas menyerbu ke dalam, setiap kepala gundul yang kita ketemukan lantas kita bunuh."
"Kau bilang hwesio-hwesio itu sudah lari semua, dari mana ada lagi kepala gundul yang bisa kau bunuh?" kata Tho-kan-sian.
"Nikoh kan juga kepala gundul?" sahut Tho-kin-sian.
"Di kuil kaum hwesio mana ada nikoh?" sela Tho-hoa-sian.
"Marilah kita coba lihat-lihat ke dalam," ajak Keh Bu-si.
"Baik," kata Lenghou Tiong. "Harap Keh-heng, Lo-heng, Coh-heng, dan Ui-pangcu berempat mengiringi Cayhe masuk ke sana. Harap sampaikan perintah agar anak buah masing-masing diawasi, tanpa perintahku lebih lanjut siapa pun dilarang bertindak sendiri-sendiri, tidak boleh berbuat kasar terhadap padri Siau-lim-si, dilarang juga mengganggu setiap benda di atas Siau-sit-san ini."
"Apakah kentut juga tidak boleh?" tanya Tho-ki-sian.
Lenghou Tiong tidak gubris padanya, yang dia khawatirkan justru keadaan Ing-ing yang tidak diketahui itu. Dengan langkah lebar segera ia menuju ke dalam kuil dengan diikuti oleh Keh Bu-si berempat.
Sesudah masuk pintu gerbang dan menaiki undak-undakan batu, lewat ruangan pendopo depan, sampailah di Tay-hiong-po-tian. Kelihatan patung Buddha yang angker di tengah ruangan, tapi lantai dan meja tampak penuh berdebu.
"Apakah benar-benar para padri di sini telah lari semua?" ujar Coh Jian-jiu.
"Janganlah Coh-heng mengatakan mereka "lari"," ujar Lenghou Tiong.
Mereka coba berhenti dan menahan napas untuk mendengarkan dengan cermat, tapi yang terdengar hanya suara riuh ramai di luar, di dalam kuil benar-benar tiada suara sedikit pun.
"Kita harus waspada akan kemungkinan dijebak oleh perangkap yang dipasang padri-padri Siau-lim-si ini," bisik Keh Bu-si.
Namun Lenghou Tiong tidak sependapat, ia anggap Hong-ting Taysu adalah padri yang saleh, mana dia mau memakai cara-cara licik. Cuma menghadapi serangan orang banyak dari macam-macam golongan liar itu bukan mustahil pihak Siau-lim-si sengaja menggunakan akal dan tidak mau mengadu kekuatan.
Menghadapi Siau-lim-si sebesar itu tanpa seorang penghuni, lapat-lapat Lenghou Tiong merasakan kekhawatiran yang tak terkatakan, entah bagaimana nasib Ing-ing pada saat itu.
Dengan penuh waspada mereka berlima terus memeriksa ke bagian dalam. Sesudah menyusuri pekarangan tengah, sampailah mereka di ruangan belakang. Sekonyong-konyong Lenghou Tiong dan Keh Bu-si berhenti dan memberi isyarat. Serentak Lo Thau-cu bertiga juga lantas berhenti.
Lenghou Tiong menuding sebuah kamar samping di sebelah kiri sana, lalu mendekatinya dengan perlahan-lahan. Lo Thau-cu dan lain-lain ikut maju ke sana. Maka terdengarlah suara rintihan orang yang amat lirih.
Lebih dulu Lenghou Tiong menyiapkan pedang di tangan, lalu pintu kamar itu ditolak, berbareng ia menggeser ke samping untuk menjaga diserang dari dalam dengan senjata rahasia. Terdengar suara kerutan daun pintu yang terpentang itu, lalu dari dalam kamar terdengar lagi suara orang merintih perlahan.
Waktu Lenghou Tiong melongok ke dalam, ia menjadi kaget. Ternyata dua orang nikoh tua menggeletak di lantai, seorang menghadap ke luar dan dikenalnya sebagai Ting-yat Suthay. Wajah nikoh tua itu tampak pucat pasi, kedua matanya terkatup rapat, agaknya sudah tak bernyawa lagi.
Tanpa pikir Lenghou Tiong terus menerobos ke dalam. "Awas, Bengcu!" seru Coh Jian-jiu. Menyusul ia pun melangkah ke dalam.
Lenghou Tiong mengitar dua sosok tubuh yang menggeletak di lantai itu, waktu ia periksa lagi nikoh yang lain, memang benar ketua Hing-san-pay Ting-sian Suthay adanya.
"Ting-sian Suthay! Ting-sian Suthay!" seru Lenghou Tiong sambil berjongkok.
Perlahan-lahan Ting-sian Suthay membuka matanya, semula sinar matanya guram, tapi lambat laun mulai terang dan terkilas rasa girang, bibirnya tampak bergerak-gerak, namun sukar mengeluarkan suara.
"Wanpwe Lenghou Tiong," demikian Lenghou Tiong berjongkok lebih dekat.
Bibir Ting-sian tampak bergerak-gerak lagi, akhirnya tercetus beberapa kata yang amat lemah dan hampir-hampir tak terdengar, sayup-sayup Lenghou Tiong hanya dengar kata-kata, "Kau ... kau ...."
Bingung juga Lenghou Tiong, terutama melihat keadaan ketua Hing-san-pay yang sudah sangat payah itu.
Sejenak kemudian, sekuat tenaga Ting-sian Suthay mengeluarkan kata-kata, "Kau ... kau berjanjilah padaku ...."
Cepat Lenghou Tiong menjawab, "Baik, baik. Apa pun pesan Suthay, sekalipun hancur lebur badanku ini juga akan kulakukan."
Teringat bahwa Ting-sian dan Ting-yat berdua datang ke Siau-lim-si demi untuk kepentingannya dan sekarang keduanya ternyata tewas semua di sini, tanpa terasa air mata Lenghou Tiong ikut berlinang-linang.
"Kau ... kau pasti menyanggupi ... menyanggupi aku?" Ting-sian berdesis pula dengan lemah.
"Ya, pasti," sahut Lenghou Tiong tanpa ragu-ragu.
Sinar mata Ting-sian terkilas rasa girang pula, lalu katanya dengan sangat lirih, "Kau ... kau menyanggupi menge ... mengetuai Hing-san-pay ...." habis bicara ini napasnya sudah hampir-hampir putus.
Keruan Lenghou Tiong kaget, cepat ia menjawab, "Tapi Wanpwe adalah orang lelaki, mana boleh menjadi ketua Hing-san-pay kalian" Cuma Suthay jangan khawatir, tak peduli ada urusan atau kesulitan apa yang menyangkut golongan kalian tentu akan kubela sekuat tenaga."
Perlahan-lahan Ting-sian Suthay menggeleng kepala, katanya, "Ti ... tidak. Aku ... aku mengangkat kau men ... menjadi ciangbunjin ... Ciangbunjin Hing-san-pay, jika ... jika kau menolak, mati ... mati pun aku tidak rela."
Keruan Lenghou Tiong menjadi bingung dan serbasusah, mustahil dirinya sebagai seorang laki-laki, apalagi pemuda, disuruh menjadi ketua Hing-san-pay yang anak buahnya terdiri dari kaum nikoh dan seluruhnya wanita melulu. Namun jiwa Ting-sian Suthay jelas tinggal sekejap saja, mendadak darahnya menggelora, tanpa pikir lagi ia menjawab, "Baik, Wanpwe menerima permintaan Suthay."
Maka tersenyumlah Ting-sian Suthay, katanya lirih, "Teri ... terima kasih! Nasib beberapa ratus murid Hing ... Hing-san-pay selanjutnya mesti mem ... membikin susah padamu."
"Kenapa pihak Siau-lim-si tidak kenal persahabatan dan tega turun tangan keji terhadap kedua Suthay, Wanpwe ...." tapi sampai di sini saja ucapan Lenghou Tiong ketika dilihatnya Ting-sian Suthay telah pejamkan mata, kepalanya miring ke sebelah, lalu tidak bergerak lagi.
Terkejut juga Lenghou Tiong, cepat ia memeriksa napas nikoh tua itu, ternyata sudah meninggal. Sungguh tak terkatakan rasa dukanya, ia coba pegang pula tangan Ting-yat Suthay, ternyata sudah dingin, terang meninggalnya jauh lebih dulu. Dasar watak Lenghou Tiong memang keras di luar lunak di dalam, tak tertahan lagi ia menangis sedih.
"Lenghou-kongcu, kita harus membalas sakit hati kedua suthay," kata Lo Thau-cu. "Kepala gundul Siau-lim-si ini telah lari bersih, marilah kita bakar ludes saja kuil ini."
Terdorong oleh rasa gusar, tanpa pikir Lenghou Tiong lantas menjawab, "Benar! Bakar saja Siau-lim-si ini menjadi puing!"
"Jangan, jangan!" cepat Keh Bu-si mencegah. "Kita belum menemukan Seng-koh, bila Seng-koh masih terkurung di dalam kuil ini kan beliau akan ikut terbakar?"
Seketika Lenghou Tiong sadar dan mengeluarkan keringat dingin, katanya, "Ya, aku memang bodoh dan kasar, jika tidak diperingatkan Keh-heng tentu urusan bisa runyam. Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Kompleks Siau-lim-si ini terdiri dari beratus-ratus ruangan, kalau cuma kita berlima saja sukar menyelidikinya secara merata, maka mohon Bengcu memberi perintah untuk memanggil 200 saudara kita masuk ke sini untuk ikut menggeledah."
"Baiklah, silakan Keh-heng menyampaikan perintahku itu," kata Lenghou Tiong.
Keh Bu-si mengiakan terus melangkah keluar. "Jangan sekali-kali mengizinkan Tho-kok-lak-sian ikut masuk," seru Coh Jian-jiu.
Segera Lenghou Tiong mengusung jenazah-jenazah kedua suthay dan ditaruh di atas dipan semadi. Ia menjura beberapa kali sambil berdoa di dalam hati, "Tecu pasti akan berusaha sepenuh tenaga untuk membalas sakit hati kedua Suthay dan mengembangkan Hing-san-pay, semoga arwah kedua Suthay melindungi Tecu."
Lalu ia berbangkit untuk memeriksa bekas-bekas luka di atas jenazah kedua suthay itu, namun tidak tampak sesuatu luka apa pun, juga tiada noda darah. Hanya ia tidak leluasa membuka baju suthay-suthay itu, ia menduga pasti terkena pukulan musuh yang dahsyat dan meninggal karena luka dalam yang parah.
Dalam pada itu terdengarlah suara ramai orang mendatangi, ke-200 orang telah membanjir masuk ke Siau-lim-si terus menggeledah ke segala pelosok.
Tiba-tiba terdengar orang berseru di luar, "Lenghou Tiong melarang kita masuk, kita justru mau masuk, coba dia bisa berbuat apa?"
Itulah suaranya Tho-ki-sian. Keruan Lenghou Tiong mengerut dahi, tapi pura-pura tidak mendengar.
Terdengar lagi Tho-kan-sian berkata, "Sampai di Siau-lim-si yang termasyhur, kalau kita tidak melihat-lihatnya ke dalam kan penasaran?"
"Dan kalau sudah masuk, tanpa menemui hwesio Siau-lim-si yang terkenal kan lebih-lebih penasaran?" timbrung Tho-hoa-sian.
"Dan kalau sudah bertemu hwesio Siau-lim-si, bila tidak ukur-ukur ilmu silat dengan hwesio yang tersohor di seluruh jagat itu kan lebih-lebih amat penasaran?" sambung Tho-ki-sian.
Begitulah terdengar keenam orang dungu itu mengoceh tak keruan sembari menuju ke ruangan belakang.
Lenghou Tiong berlima lantas keluar dari kamar samping itu, pintu kamar itu mereka rapatkan sekalian. Terlihat para jago berseliweran kian-kemari menggeledahi segenap sudut Siau-lim-si itu. Tidak lama kemudian susul-menyusul orang-orang itu datang melapor bahwa tidak ditemukan seorang hwesio pun, bahkan tukang kebun, tukang kayu, dan sebagainya juga tidak ditemukan seorang pun. Lalu ada yang memberi laporan bahwa segala isi di dalam kuil, baik kitab-kitab maupun alat perabot sudah disingkirkan semua, bahkan mangkuk piring juga tiada sebuah pun.
Menyusul laporan datang lagi, katanya di dalam kuil tak tertinggal sebutir beras, garam, dan setetes minyak pun, semuanya kosong melompong, sampai-sampai sayur yang biasanya ditanam di kebun juga sudah dibabat bersih.
Setiap kali dapat laporan, perasaan Lenghou Tiong setiap kali tambah cemas. Pikirnya, "Sedemikian rapi cara mengatur padri-padri Siau-lim-si ini, sampai-sampai sayur juga tidak ditinggalkan satu tangkai pun, maka jelas sudah lama mengetahui akan kedatanganku dan tentu Ing-ing telah dipindahkan ke tempat lain. Dunia seluas ini, lalu ke mana harus mencarinya?"
Satu-dua jam kemudian, ke-200 orang tadi sudah memeriksa semua tempat kuil itu, bahkan satu lubang pun tidak luput dari pemeriksaan mereka, namun tetap tidak ditemukan suatu benda apa pun.
Ada juga yang senang dan berkata, "Siau-lim-pay adalah aliran nomor satu dunia persilatan, tapi demi mendengar akan kedatangan kita mereka lantas lari terbirit-birit dan menghilang tak keruan juntrungannya, ini benar-benar peristiwa yang belum pernah terjadi selama sejarah Siau-lim-pay."
"Sekali bergerak saja kita telah memperlihatkan kekuatan kita yang demikian hebatnya, sampai-sampai Siau-lim-pay juga ketakutan, maka sejak kini orang bu-lim mana pun tidak berani memandang enteng lagi kepada kita," ujar yang lain.
"Memang hebat dan gagah juga kita dapat bikin hwesio Siau-lim-si lari ketakutan, akan tetapi bagaimana dengan Seng-koh" Di mana beliau sekarang" Kedatangan kita ini kan untuk menyambut pulangnya Seng-koh dan bukan untuk mengusir hwesio," demikian kata yang lain lagi.
Mendengar ucapan orang ini, semua orang menjadi lesu, beramai-ramai mereka memandang Lenghou Tiong untuk menantikan petunjuknya.
"Hal ini benar-benar di luar dugaan," kata Lenghou Tiong, "siapa pun tidak tahu bahwa padri-padri Siau-lim-si di sini ternyata rela meninggalkan kuilnya. Cara bagaimana kita harus bertindak sekarang, sesungguhnya aku pun merasa bingung. Pikiran seorang cekak, pikir dua orang panjang, maka diharapkan usul-usul dan pendapat-pendapat dari kalian semua."
"Menurut pendapat Siokhe (hamba), menemukan Seng-koh lebih sukar daripada mencari padri-padri Siau-lim-si," demikian Ui Pek-liu membuka suara pertama. "Padri-padri Siau-lim-si berjumlah ribuan, orang sebanyak ini tentu tidak dapat bersembunyi selamanya tanpa muncul di depan umum. Asalkan kita dapat menemukan hwesio Siau-lim-si tentu kita dapat memaksa mereka mengakui di mana beradanya Seng-koh."
"Benar juga ucapan Ui-heng," kata Coh Jian-jiu. "Marilah kita tinggal saja di Siau-lim-si ini, mustahil anak murid Siau-lim-pay rela meninggalkan kuilnya yang sudah bersejarah ribuan tahun ini dan membiarkan orang lain mendudukinya" Asalkan mereka datang buat merebut kembali kuil ini tentu kita dapat mencari tahu kepada mereka di mana Seng-koh berada."
"Mencari tahu di mana beradanya Seng-koh kepada mereka" Mana mereka mau mengatakan?" ujar seorang.
"Mencari tahu kepada mereka kan cuma kata-kata halusnya, yang tegas adalah paksa mereka mengaku," sela Lo Thau-cu. "Sebab itu, bila kita ketemu padri Siau-lim-pay, kita harus menawannya hidup-hidup dan jangan membunuhnya. Jika kita dapat menawan sepuluh atau dua puluh hwesio mereka, memangnya mereka tidak takut mati dan berani tidak mengaku?"
"Tapi kalau hwesio-hwesio itu benar-benar kepala batu dan tidak mau mengaku, lalu bagaimana?" tanya seorang lagi.
"Apa susahnya?" sahut Lo Thau-cu. "Kita bisa minta Na-kaucu melepaskan beberapa ekor naga sakti dan makhluk sakti lainnya di atas tubuh mereka, coba saja mereka tahan tidak?"
Semua orang sama mengangguk setuju. Mereka tahu "naga sakti dan makhluk-makhluk sakti lain" yang dimaksudkan itu adalah ular berbisa dan serangga-serangga beracun lain yang dipiara Na Hong-hong, itu wanita ketua Ngo-tok-kau yang terkenal. Gigitan makhluk berbisa itu jauh lebih menderita daripada disiksa dengan alat apa pun juga.
Terlihat Na Hong-hong hanya tersenyum saja, katanya, "Hwesio-hwesio Siau-lim-pay sudah gemblengan, mungkin sekali mereka sukar ditaklukkan dengan naga sakti dan sebagainya piaraanku."
Di dalam hati Lenghou Tiong menganggap tidaklah perlu cara menyiksa secara keji begitu. Cukup asalkan dapat menawan padri-padri Siau-lim-si sebanyak mungkin, lalu dipakai sebagai barang tukar, rasanya Ing-ing akhirnya dapat dibebaskan.
Dalam pada itu terdengar teriakan seorang yang bersuara nyaring, "Wah, sudah hampir seharian tidak makan minum, aku menjadi kelaparan setengah mati. Celakanya di dalam kuil ini tiada hwesio seekor pun, kalau ada, wah, daging hwesio panggang yang gemuk lagi putih itu tentu enak."
Yang bicara ini adalah seorang laki-laki tinggi besar, ialah si gede Pek-him (Beruang Putih), satu di antara "Boh-pak-siang-him" (Dua Beruang dari Gurun Utara).
Para jago kenal Pek-him dan pasangannya si Oh-him (Beruang Hitam) adalah manusia-manusia yang gemar makan daging manusia, meski kedengaran ngeri dan seram, tapi mereka memang juga merasa lapar dan haus setelah beberapa jam berada di Siau-lim-si tanpa makan minum.
"Rupanya Siau-lim-pay sengaja menggunakan politik "sapu bersih", mereka sengaja membikin kita tidak sanggup bercokol terus di sini sehingga terpaksa pergi lagi, tapi di dunia mana ada persoalan yang begini sederhana," ujar Ui Pek-liu.
"Betul," kata Lenghou Tiong. "Apakah Ui-pangcu ada pendapat-pendapat atau saran-saran yang baik?"
"Kukira kita bisa mengirim saudara-saudara kita ke bawah gunung untuk mencari berita ke mana menghilangnya hwesio-hwesio Siau-lim-si ini," kata Ui Pek-liu. "Lalu kita dapat mengirim orang pula pergi belanja bahan makanan, kawan-kawan yang lain biarlah ikut berjaga di sini untuk menunggu kawanan hwesio itu masuk perangkap sendiri."
"Boleh juga usul Ui-pangcu," ujar Lenghou Tiong. "Sekarang juga silakan Ui-pangcu menyampaikan perintah, kirimlah 500 saudara-saudara yang sudah terlatih dan berpengalaman, sebar luaskan di seluruh Kangouw untuk mencari jejak padri-padri Siau-lim-si itu. Tentang persediaan perbekalan dan lain-lain juga kuserahkan Ui-pangcu untuk mengaturnya."
Ui Pek-liu mengiakan dan melangkah ke luar.
"Hendaklah Ui-pangcu bekerja cepat, kalau tidak, saking laparnya, segala apa dapat dimakan oleh kedua saudara kita Pek-him dan Oh-him," kata Na Hong-hong dengan tertawa.
"Jangan khawatir," sahut Ui Pek-liu sambil menoleh. "Biarpun perut Boh-pak-siang-him sudah berkeroncongan juga tidak nanti berani mengganggu seujung jari Na-kaucu."
Melihat ke-200 orang yang menggeledah Siau-lim-si sudah kumpul kembali, Coh Jian-jiu berkata, "Kuil ini sudah tiada penghuninya lagi, sekarang diharap Saudara-saudara buang sedikit tenaga lagi, silakan periksa ke segala sudut, coba lihatlah kalau-kalau ada sesuatu tanda yang aneh, bisa jadi nanti akan menemukan sesuatu jejak yang menarik."
Ke-200 orang itu mengiakan serentak dan beramai-ramai pergi memeriksa. Sekali ini bukan manusia yang mereka cari, tapi mencari sesuatu benda atau tempat yang ada tanda-tanda mencurigakan, maka sibuklah mereka, ada yang gali tanah, ada yang cungkil jubin, hampir saja dinding juga mereka bongkar, hanya patung-patung Buddha saja tidak mereka sentuh.
Lenghou Tiong duduk di atas sebuah kasuran semadi di tengah Tay-hiong-po-tian yang megah itu, dilihatnya patung Buddha dengan wajah yang angker dan menampilkan perasaan penuh welas asih. Ia berpikir, "Hong-ting Taysu benar-benar seorang padri saleh, ia mengetahui kedatangan kami secara besar-besaran, ia lebih suka mengorbankan nama baik Siau-lim-pay dan tidak mau menyambut pertempuran dengan kami, akhirnya bencana pembunuhan besar-besaran ini dapat terhindar. Tapi mengapa mereka membunuh Ting-sian dan Ting-yat Suthay" Tampaknya yang membunuh kedua suthay ini adalah padri murtad kuil ini dan bukan kehendak Hong-ting Taysu. Ya, aku harus maklum akan maksud baik Hong-ting Taysu dan tidak mengerahkan orang banyak untuk pergi mencari padri-padri Siau-lim-pay dan mempersulit mereka, tapi harus berdaya dengan jalan lain untuk menyelamatkan Ing-ing."
Golok Sakti 9 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pendekar Riang 3