Pencarian

Hina Kelana 30

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 30


Sekonyong-konyong angin meniup masuk dengan kencang sehingga debu dupa bertebaran, Lenghou Tiong melangkah ke depan ruangan, dilihatnya awan tebal memenuhi udara, angin utara meniup kencang, ia pikir sebentar lagi tentu akan turun salju lebat.
Baru terkilas pikiran demikian, benar juga dari langit sudah mulai mengambang turun bunga salju, pikirnya pula, "Hawa sedingin ini, entah Ing-ing memakai baju hangat atau tidak" Siau-lim-pay mempunyai orang yang banyak dan besar kekuatannya, pengaturan mereka pun begini rapi, sebaliknya rombonganku ini adalah kumpulan dari orang-orang pribadi yang gagah melulu, untuk bisa menolong keluar Ing-ing rasanya teramat sukar."
Ia berjalan mondar-mandir di serambi depan, bunga salju yang bertebaran di atas kepalanya, mukanya, dan tangannya dengan cepat lantas cair. Ia pikir sebelum mengembuskan napas penghabisan, meski lukanya sangat parah, tapi pikiran Ting-sian Suthay masih cukup jernih, sedikit pun tidak kelihatan kurang sadar, tapi mengapa dia mengharuskan aku menjabat ketua Hing-san-paynya" Padahal Hing-san-pay terdiri dari kaum wanita seluruhnya tanpa seorang laki-laki pun, hal ini sudah turun-temurun sejak dahulu kala, setiap pejabat ketuanya juga nikoh, seorang laki-laki seperti aku mana boleh menjadi ketua Hing-san-pay mereka" Kalau hal ini tersiar bukanlah akan ditertawai oleh orang-orang Kangouw" Tapi, ai, aku sudah menyanggupi beliau, aku tidak boleh ingkar janji. Ya, asalkan aku berbuat menurut aturan yang lurus, peduli apa dengan tertawa orang lain. Selamanya kaisar juga dijabat oleh kaum lelaki, tapi ketika Bu Cek-thian ingin menjadi kaisar, bukankah juga sudah jadi, padahal dia wanita.
Berpikir sampai di sini, seketika semangat keperwiraannya bergolak.
Pada saat itu pula tiba-tiba dari pinggang gunung sana sayup-sayup terdengar suara orang menjerit-jerit, tidak lama kemudian terdengarlah suara berisik di luar Siau-lim-si.
Dengan perasaan khawatir Lenghou Tiong berlari ke luar, dilihatnya Ui Pek-liu sedang berlari kembali dengan badan berlumuran darah. Pundaknya tampak menancap sebatang panah.
"Beng ... Bengcu, musuh telah menutup jalan turun ke bawah gunung, sekali ini kita ... kita benar-benar masuk jaring sendiri," seru Ui Pek-liu dengan suara terputus-putus.
"Apakah padri-padri Siau-lim-pay?" tanya Lenghou Tiong khawatir.
"Bukan hwesio, tapi orang preman biasa," sahut Ui Pek-liu. "Neneknya, belum ada satu-dua li kami turun ke sana sudah lantas disambut dengan hujan anak panah, belasan saudara kita tewas, yang terluka sedikitnya ada beberapa puluh orang."
Sementara itu beberapa ratus orang yang diutus turun gunung bersama Ui Pek-liu juga sudah berlari kembali dalam keadaan morat-marit, yang terkena panah memang benar tidak sedikit. Seketika di luar kuil itu menjadi kacau, para jago yang gusar itu bermaksud menyerbu ke bawah gunung.
"Dari golongan apakah pihak musuh, apakah Ui-pangcu dapat membedakannya?" tanya Lenghou Tiong pula.
"Kami tidak sempat mendekati musuh dan sudah dihujani panah sehingga bagaimana corak anak kura-kura itu sama sekali tidak tahu," tutur Ui Pek-liu.
"Agaknya Siau-lim-pay sengaja memasang perangkap untuk menjebak kita, mereka menggunakan tipu "menangkap bulus di dalam guci"," kata Coh Jian-jiu.
"Menangkap bulus di dalam guci apa" Kata-katamu ini kan lebih membesarkan kehebatan musuh dan menilai rendah pihak sendiri," bantah Lo Thau-cu. "Kalau mau katakan tipu musuh itu paling-paling dapat disebut "memancing harimau masuk ke sarangnya"."
"Baiklah, anggap benar tipu "memancing harimau masuk sarang", dan sekarang harimau-harimau kita ini pun sudah masuk sarangnya, lalu apa mau dikata" Barangkali kawanan kepala gundul itu hendak membikin kita mati kelaparan di atas Siau-sit-san sini?" ujar Coh Jian-jiu.
"Masakah kita terima mati kelaparan di sini?" teriak Pek-him, Si Beruang Putih yang gemar daging manusia itu. "Hayolah, siapa yang berani ikut aku menerjang ke bawah?"
Serentak ada ribuan orang bersorak gemuruh menyokong dia.
Bab 93. Setia Kawan Sejati
"Nanti dulu!" cepat Lenghou Tiong mencegah. "Panah musuh terlalu lihai, kita harus mencari jalan yang baik untuk menghadapi mereka agar tidak jatuh korban cuma-cuma."
"Cayhe ada suatu usul," sela Keh Bu-si. "Di dalam kuil ini tiada terdapat benda apa-apa, tapi poh-toan (bantal bundar untuk duduk semadi) ada beberapa ribu biji, kita kan dapat manfaatkan benda ini?"
Kata-kata ini menyadarkan orang banyak, serentak mereka berseru, "Benar dapat kita gunakan sebagai perisai, memang sangat tepat dijadikan tameng."
Seketika ada beberapa ratus orang menerobos ke dalam Siau-lim-si dan mengusung keluar bantal-bantal itu.
"Gunakan bantal ini sebagai tameng, marilah kita menerjang ke bawah," seru Lenghou Tiong.
"Bengcu, sesudah itu di mana lagi kita harus berkumpul dan bagaimana tindakan kita selanjutnya, terutama cara bagaimana harus berdaya menolong Seng-koh, untuk itu sekarang juga mesti diatur lebih dulu," kata Keh Bu-si.
"Benar," sahut Lenghou Tiong. "Aku memang bodoh, segala urusan tak bisa mengatur, mana aku bisa menjadi bengcu. Kupikir sesudah menerjang ke luar kepungan musuh, untuk sementara kita pencarkan diri saja ke tempat masing-masing dan berusaha sendiri-sendiri mencari tahu di mana beradanya Seng-koh, lalu saling memberi kabar, kemudian dapat kita atur tindakan selanjutnya."
"Baiklah, terpaksa harus demikian," kata Keh Bu-si. Segera ia meneruskan garis besar keputusan Lenghou Tiong itu.
"Dan cara bagaimana kita harus menyerbu ke bawah, silakan Keh-heng mengatur sekalian," kata Lenghou Tiong lebih jauh.
Melihat Lenghou Tiong benar-benar tidak punya bakat pimpinan, terutama pada saat gawat menghadapi musuh demikian, maka Keh Bu-si juga tidak sungkan-sungkan lagi, segera ia berseru lantang, "Dengarkan para kawan, Bengcu memerintahkan agar kawan-kawan membagi diri dalam delapan jurusan dan menerjang ke bawah serentak. Yang kita harapkan hanya menerjang ke luar kepungan musuh dan tidak perlu banyak membunuh."
Begitulah pembagian-pembagian kelompok ke delapan jurusan itu lantas dilakukan, sesudah ditentukan pula jurusan masing-masing yang terdiri hampir ribuan orang, lalu Lenghou Tiong berkata, "Jurusan selatan adalah jalan besar, tentu pula paling banyak dan paling kuat dijaga oleh musuh. Marilah Coh-heng, Lo-heng, Keh-heng, kita mendahului menerjang dari jalan utama ini untuk memengaruhi perhatian musuh, dengan demikian kawan-kawan yang lain akan lebih leluasa menyerbu ke jurusan lain."
Setelah mengatur seperlunya, segera Lenghou Tiong menghunus pedang, tanpa membawa tameng apa-apa ia terus bertindak ke bawah gunung dengan langkah lebar. Rombongannya diikuti oleh Keh Bu-si, Na Hong-hong, dan lain-lain.
Melihat sang bengcu mendahului menerjang ke bawah, semua orang menjadi berani, mereka berteriak-teriak dan beramai-ramai menerjang ke bawah dari delapan jurusan. Sudah tentu pegunungan itu tiada delapan jalur jalan, ketika menyerbu maju mula-mula mereka terbagi dalam delapan barisan, tapi setelah bergerak seluruh gunung menjadi penuh dengan orang tanpa teratur lagi.
Lenghou Tiong berlari satu-dua li ke bawah lantas disambut dengan serangan. Mula-mula terdengar suara gembreng berbunyi, menyusul dari hutan di depan berhamburan anak panah bagai hujan. Namun ia sudah siap siaga, ia mainkan "Boh-gi-sik" dari Tokko-kiu-kiam yang lihai, yaitu cara memunahkan serangan senjata rahasia, pedangnya berputar cepat, semua anak panah yang menyambar tiba kena disampuk atau ditangkis jatuh, kakinya tidak pernah berhenti, ia terus menerjang ke depan.
Sekonyong-konyong terdengar seorang menjerit di belakangnya, rupanya kaki kiri dan dada kanan Na Hong-hong berbareng terkena panah dan roboh. Lekas-lekas Lenghou Tiong putar balik dan memayangnya bangun, katanya, "Kulindungi kau ke bawah!"
"Jangan kau urus diriku, kau sen ... diri menerjang ke bawah saja!" sahut Na Hong-hong. Sementara hujan panah masih terus berlangsung, tapi semuanya dapat ditangkis oleh pedang Lenghou Tiong.
Dengan tangan kiri merangkul pinggang Na Hong-hong segera Lenghou Tiong membawanya lari ke bawah gunung pula. Mendadak terdengar bentakan orang, berbareng macam-macam senjata menyerang dari kanan dan kiri.
Tanpa pikir Lenghou Tiong putar pedangnya, terdengar suara mendering nyaring berulang-ulang, tiga macam senjata musuh jatuh ke tanah, berbareng Lenghou Tiong telah menerjang belasan meter jauhnya ke bawah. Pada saat itulah terdengar sambaran angin, tiga tombak musuh menusuk lagi dari belakang dan samping.
Karena sebelah tangan merangkul tubuh Na Hong-hong, gerak-gerik Lenghou Tiong menjadi kurang leluasa, terpaksa ia menangkis lagi dengan pedang. Tiba-tiba terdengar seruan Lo Thau-cu di belakang, agaknya seperti terluka. Waktu Lenghou Tiong menoleh, dilihatnya Keh Bu-si, Coh Jian-jiu sedang membalik ke atas untuk menolong Lo Thau-cu tentunya.
Seketika Lenghou Tiong menjadi ragu-ragu apakah terus menerjang ke bawah atau kembali ke atas membantu teman-temannya itu. Saat itulah mendadak suara seorang perempuan membentaknya, "Lenghou Tiong, makin lama kelakuanmu makin tidak genah!"
Lenghou Tiong terkejut mengenali suara perempuan itu, cepat ia berpaling kembali dan benarlah, yang bersuara itu memang betul siausumoaynya, Gak Leng-sian. Wajah sumoay itu tampak membesi, di sebelahnya berdiri seorang pemuda cakap, siapa lagi kalau bukan Lim Peng-ci.
Kejut dan girang pula Lenghou Tiong, segera tercetus dari mulutnya, "Siausumoay, kau sehat-sehat saja bukan" Lim-sute ternyata juga sudah baik."
"Hm, siapa sudi menjadi sute dan sumoaymu?" jengek Gak Leng-sian. "Kau memimpin pasukan siluman ini menyerbu Siau-lim-si yang suci, apakah kau ini terhitung manusia?"
Dada Lenghou Tiong serasa digodam oleh cercaan Leng-sian itu, ia pikir urusan hari ini terang sukar dijelaskan, sebenarnya juga tidak perlu penjelasan, sebab dalam pandangan orang-orang Hoa-san-pay sekarang setiap perbuatannya sudah dianggap pasti salah.
Dalam pada itu Gak Leng-sian telah membentak lagi sambil mengacungkan pedangnya, "Lenghou Tiong, hari ini kawan-kawan dari aliran-aliran cing-pay sudah mengadakan pengepungan rapat terhadap Siau-sit-san ini, kalian kaum siluman ini satu pun jangan harap bisa lolos dengan hidup. Kau sendiri kalau ingin lari, lalui dulu rintanganku ini."
Ketika Lenghou Tiong menoleh, dilihatnya pengikut-pengikut di belakangnya hanya 50-60 orang saja, seluruh gunung bergemuruh dengan suara-suara pertempuran sengit, pihak lawan berombongan atau berkelompok dalam seragam tertentu, ada warna biru atau warna kuning, ada yang pakai tanda kain merah terbalut di lengan, barisan mereka teratur. Sebaliknya anak buah pihak sendiri adalah gabungan dari macam-macam gerombolan yang tidak kompak, masing-masing bertempur sendiri-sendiri, menerjang ke sana kemari semaunya, tidak perlu dipikir juga jelas terbayang pihak mana yang bakal menang atau kalah.
Sekilas terpikir dalam benak Lenghou Tiong, "Ternyata Siau-lim-si sudah menyiapkan pertahanan yang kuat dengan menghimpun tenaga dari berbagai golongan dan aliran, tujuannya tentu hendak mengurung dan menumpas kami di atas Siau-sit-san ini. Jika memang nasib sudah ditakdirkan demikian, biarlah aku mati bersama para kawan saja."
Tapi lantas teringat olehnya, "Matiku tidak menjadi soal, tapi Ing-ing belum lagi diselamatkan, betapa pun aku harus berusaha menyelamatkan dulu Ing-ing yang belum diketahui di mana beradanya itu."
Dalam pada itu suara pertempuran, suara menderingnya senjata, suara teriakan dan jeritan ngeri terdengar di mana-mana. Sambil mengertak gigi akhirnya Lenghou Tiong berkata, "Nona Gak, jika kau tetap merintangi aku terpaksa aku tidak sungkan-sungkan lagi."
"Apakah kau benar-benar mau bergebrak dengan aku?" tanya Leng-sian dengan gusar.
"Aku hanya mau turun ke bawah dan tidak ingin bergebrak dengan kau," sahut Lenghou Tiong.
"Tokoh-tokoh terkemuka Ko-san, Thay-san, Heng-san, dan Hoa-san-pay sudah datang semua, ditambah lagi jago-jago undangan Siau-lim-pay, sukarlah bagimu untuk lolos," kata Leng-sian. "Lebih baik kau menyerah saja, nanti akan kumintakan ampun kepada ayah ...."
Pada saat itulah tiba-tiba di belakang Leng-sian sana muncul seorang dan membentak dengan suara bengis, "Lenghou Tiong, tidak lekas buang senjatamu dan menyerah?"
Siapa lagi dia kalau bukan ketua Hoa-san-pay, Kun-cu-kiam Gak Put-kun.
Tergetar hati Lenghou Tiong melihat sang guru yang berwibawa itu, ia tidak berani bicara lagi. Sembari tetap merangkul tubuh Na Hong-hong segera ia putar tubuh bermaksud naik ke atas gunung lagi.
Mendadak Gak Put-kun menusuk dengan pedangnya ke punggung Lenghou Tiong. Tapi pemuda itu keburu mengerahkan tenaga dalam yang kuat dan melompat ke atas. Berulang-ulang Gak Put-kun menusuk tiga kali, ujung pedangnya selalu berjarak dua-tiga senti di punggung Lenghou Tiong.
Meski sebelah tangannya membawa Na Hong-hong, tapi tenaga dalam Lenghou Tiong sangat kuat sehingga Gak Put-kun tidak mampu mencandaknya.
Keruan Gak Put-kun menjadi gusar, ia menarik napas panjang-panjang dan mengerahkan Ci-he-sin-kang, tubuhnya mengapung ke atas, pedangnya sebagai kelebatan sinar kilat terus menusuk pula ke punggung Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong tidak ingin menangkis dengan pedang, ia pun mengerahkan tenaga murni dan meloncat tinggi ke atas, dirasakannya angin dingin sudah menyambar tiba di belakangnya, terkilas pikirannya, "Entah dapat lolos dari tusukan ini atau tidak" Jika memang harus mati, biarlah mati di bawah pedang suhu daripada dibunuh oleh orang lain."
Pada saat itulah sebelah kakinya telah menginjak tanah, berbareng terdengar suara "trang" yang nyaring di belakangnya. Tanpa menoleh Lenghou Tiong juga lantas mengetahui bahwa Na Hong-hong yang berada di kempitannya itulah yang telah menangkiskan tusukan sang guru itu. Segera Lenghou Tiong menggenjot tubuh dan meloncat belasan meter lagi ke atas depan, habis itu barulah berpaling.
Tapi Gak Put-kun benar-benar seperti bayangan yang melekat tubuh saja, tahu-tahu sudah menyusul tiba, ujung pedang tinggal sejengkal lagi di depan dada Lenghou Tiong. Tapi kembali Na Hong-hong memutar senjatanya yang berbentuk bundar seperti roda dengan bulatan tengah 20-an senti, entah senjata apa namanya. "Trang", pedang Gak Put-kun tertangkis lagi.
Waktu Gak Put-kun bermaksud mengejar dan menggempur lagi, tahu-tahu seorang telah mengejeknya di belakang, "Taruh saja pedangmu!"
Menyusul punggung Put-kun terasa sakit sedikit, ia insaf punggungnya telah terancam di bawah senjata lawan, keruan ia terkejut dan menyesalnya tak terkatakan.
Hendaklah maklum bahwa tindak tanduk Gak Put-kun selamanya sangat hati-hati, tidak pernah ia berlaku ceroboh, maka selama hidupnya belum pernah ia dijebak musuh. Sekarang lantaran saking gemasnya menyaksikan murid didiknya yang pernah disayang itu ternyata berkomplot dengan kaum sia-pay, malahan sebelah tangannya merangkul seorang perempuan, maka dengan penuh kebencian sekali tusuk ia ingin membinasakan murid yang dianggapnya murtad itu.
Menurut teori seharusnya tusukan-tusukan pedangnya tadi tak bisa meleset, ia tidak tahu bahwa tenaga dalam Lenghou Tiong sekarang sudah sukar dibayangkan hebatnya, serangannya selalu berselisih beberapa senti saja dari sasarannya, betapa pun sukar mengenainya. Karena terburu nafsu itulah ia terus mengejar dan akibatnya terjebak di tengah kepungan musuh tanpa sadar. Waktu ia mengangkat kepalanya, tertampaklah papan kuil Siau-lim-si yang terpampang di depan pintu. Baru sekarang ia mengetahui telah berada di depan kuil agung yang termasyhur itu.
Selagi ia melenggong itulah di sekitarnya sudah mengepung tujuh-delapan orang, semuanya bersenjata, asal dirinya sedikit bergerak saja bukan mustahil akan dicincang oleh mereka. Terpaksa ia lepas tangan, pedang dibuangnya ke tanah.
Orang yang mengancamkan senjata di punggung Gak Put-kun itu bukan lain dari "Si Kucing Malam" Keh Bu-si. Segera ia berseru, "Bengcu, kita tidak mampu menerjang lagi ke bawah, korban kita sudah banyak, lebih baik suruh kawan-kawan mundur dahulu!"
Sekilas pandang Lenghou Tiong juga mengetahui gelagat pertempuran yang tidak menguntungkan itu, kalau pihak lawan sempat menyerbu ke atas gunung tentu akan lebih runyam lagi. Maka cepat ia berseru lantang, "Semuanya mundur kembali ke Siau-lim-si!"
Karena tenaga dalamnya yang mahakuat, beberapa kali teriakannya itu dapat didengar oleh beribu-ribu orang yang sedang bertempur sengit itu. Keh Bu-si, Coh Jian-jiu, dan lain-lain juga berteriak-teriak, "Bengcu ada perintah, hendaklah semua kawan mundur kembali ke Siau-lim-si!"
Kemudian Lenghou Tiong mendekati Gak Put-kun, katanya, "Maaf Suhu, banyak mengganggu. Silakan kembali ke bawah saja!"
Tiba-tiba terdengar suara orang menjerit ngeri, dua-tiga orang tampak roboh terluka. Ternyata dua tojin Thay-san-pay telah menerjang naik. Cepat Lenghou Tiong memburu ke sana, sinar pedang berkelebat, hampir berbareng pergelangan kedua tojin itu kena pedang dan senjata terlepas dari cekalan. Keruan kedua tojin itu ketakutan dan lari kembali ke bawah.
Sementara itu karena seruan mundur tadi, beramai-ramai para jago sudah berlari kembali, orang-orang pihak cing-pay ada yang berusaha mengejar ke atas, tapi mereka menjadi celaka sendiri, tidak dilabrak oleh Lenghou Tiong tentu dikerubut oleh jago-jago lain.
Tidak lama kemudian terdengar pula suara gembreng di bawah gunung, pihak cing-pay juga membunyikan tanda mundur dan mencegah anak buah mengejar ke atas gunung.
Di depan Siau-lim-si tidak menjadi sunyi, sebaliknya masih ramai dengan suara caci maki diseling suara merintih sakit, di mana-mana berceceran darah. Keh Bu-si memberi perintah 800 orang yang tidak terluka untuk menjaga delapan jurusan agar tidak disergap pihak musuh.
"Bengcu," kata Keh Bu-si kepada Lenghou Tiong, "sekali ini walaupun kita gagal menerjang ke bawah, untung telah berhasil menawan ketua Hoa-san-pay, sedikitnya kita sudah punya sandera ...."
"Apa katamu?" seru Lenghou Tiong kaget. "Suhuku masih belum pergi?"
Ketika ia mendatangi tempat tadi, ternyata Gak Put-kun malah sedang duduk di atas tanah dengan lemas, agaknya hiat-to tertutuk orang. Cepat Lenghou Tiong berkata, "Keh-toako, harap kau membuka hiat-to guruku yang tertutuk."
Dengan suara perlahan Keh Bu-si mengisiki Lenghou Tiong, "Bengcu, keadaan kita sangat berbahaya, padahal Bengcu sekarang bukan lagi murid Hoa-san-pay, kukira tidak perlu memikirkan urusan guru dan murid segala."
Mendadak Lenghou Tiong berseru, "Satu hari menjadi guru, selama hidup seperti ayah. Harap Keh-toako mengingat diriku, janganlah membikin susah kepada guruku."
"Cis, kalau mau bunuh lekas bunuh, mau gantung boleh lekas gantung, siapa lagi yang sudi menjadi guru manusia cabul semacam kau?" jengek Gak Put-kun penuh menghina.
"Coba dengarkan?" kata Keh Bu-si. "Dia tidak sudi mengaku kau sebagai murid, buat apa lagi kau mengakui dia sebagai guru?"
Namun Lenghou Tiong menggeleng, ia menjemput pedang yang terbuang di tanah tadi, dimasukkannya ke sarung pedang yang tergantung di pinggang Gak Put-kun, lalu berkata, "Dosa murid mahabesar, mohon maaf."
Rasa gusar dan gemas Gak Put-kun sungguh tak terkatakan, sekali tusuk ia ingin menembusi ulu hati Lenghou Tiong. Tapi ia tahu kepandaian Lenghou Tiong sekarang teramat lihai, serangannya belum tentu bisa membinasakan lawan, andaikan bisa membunuhnya tentu dirinya sendiri juga sukar meloloskan diri dari kepungan musuh yang sedemikian banyak. Maka dengan mata melotot ia menatap Lenghou Tiong, wajahnya penuh rasa murka.
Melihat sikap sang suhu yang penuh kebencian, jauh lebih benci daripada ketika mereka bertemu di pinggang gunung tadi, mendadak perasaan Lenghou Tiong terguncang, katanya dengan perlahan, "Suhu, jika engkau mau membunuh aku silakan laksanakan sekarang, sama sekali aku takkan menghindar."
Namun Gak Put-kun lantas mendengus, lalu putar tubuh dan melangkah pergi.
"Lenghou-kongcu," kata Coh-Jian-jiu sambil geleng kepala, "engkau berbudi padanya, sebaliknya dia tidak tahu kebaikanmu. Kulihat dia bertekad akan membunuh kau, kelak bila bertemu lagi engkau harus waspada."
Lenghou Tiong hanya menghela napas, katanya kemudian, "Marilah kita menolong dulu saudara-saudara yang terluka."
Dalam kesibukan memberi obat kepada teman-teman yang luka itu, terpikir oleh Lenghou Tiong, "Sayang anak murid perempuan Hing-san-pay tidak berada di sini sehingga kurang obat luka yang mujarab. Tapi kalau orang-orang Hing-san-pay itu berada di sini, apakah mereka akan membantu aku atau membela pihak cing-pay mereka" Hal ini sukar untuk dipastikan."
Menghadapi kegaduhan orang banyak, mau tak mau bingung juga pikiran Lenghou Tiong. Kalau dia sendirian tentu sejak tadi sudah menerjang ke bawah, apakah akibatnya akan mati atau tetap hidup bukan soal lagi baginya. Beratnya sekarang dia telah diangkat menjadi pemimpin orang-orang Kangouw ini, jiwa beribu-ribu orang ini tergantung kepada setiap keputusannya, hal inilah yang membuatnya serbasusah.
Sementara itu subuh sudah tiba, mendadak di bawah bergema suara tambur yang bergemuruh disertai suara teriakan-teriakan gegap gempita. Cepat Lenghou Tiong melolos pedang dan memburu ke ujung jalan. Para jago juga siap dengan senjatanya untuk bertempur mati-matian dengan musuh. Suara tambur itu makin lama makin keras dan gencar, tapi musuh ternyata tidak menyerbu ke atas.
Selang sejenak, mendadak suara tambur berhenti serentak. Maka timbul macam-macam pendapat. Ada yang mengatakan, "Suara tambur sudah berhenti, tentu mereka mulai menyerbu!"
Yang lain menanggapi, "Kebetulan jika mereka berani menyerbu ke sini, kita akan labrak mereka hingga kocar-kacir daripada tetap bercokol di sini."
"Kurang ajar! Rupanya kawanan kura-kura itu hendak membikin kita mati kehausan dan kelaparan di sini. Andaikan mereka tidak menyerbu ke sini juga kita akan menerjang ke bawah!" demikian seru yang lain lagi.
Dengan perlahan Keh Bu-si berkata kepada Lenghou Tiong, "Tampaknya musuh memang sengaja pakai tipu muslihat hendak mengepung kita di sini sehingga mati kutu sendiri. Kalau malam ini kita tidak bisa lolos, bila kelaparan lagi sehari semalam tentu kita tidak kuat bertempur."
"Benar," sahut Lenghou Tiong. "Marilah kita memilih dua-tiga ratus teman yang berkepandaian tinggi sebagai pembuka jalan, mumpung malam gelap gulita kita serbu ke bawah untuk membikin kacau penjagaan musuh, kemudian kawan-kawan yang lain lantas ikut menerjang ke bawah."
"Ya, terpaksa harus demikian," ujar Keh Bu-si.
Pada saat itu juga suara tambur di bawah gunung mendadak berbunyi lagi, menyusul ada ratusan orang menyerbu ke atas. Cepat para jago menyambut serbuan itu sambil membentak-bentak. Tapi serbuan itu ternyata tidak sungguh-sungguh, hanya beberapa kali gebrak saja mereka lantas saling memberi tanda dan mengundurkan diri ke bawah.
Baru saja para jagoan menaruh senjata, belum ada lima menit mengaso, kembali suara tambur bergema, kembali suatu rombongan musuh pakai ikat kepala menyerbu ke atas lagi, setelah bertempur sebentar kembali mereka mundur.
"Bengcu, rupanya musuh sengaja menggunakan "Bing-peng-ci-keh" (tipu melelahkan lawan) untuk mengganggu kita sehingga tidak bisa istirahat," kata Keh Bu-si.
"Benar," sahut Lenghou Tiong. "Silakan Keh-toako mengatur tipu perlawanan."
Keh Bu-si lantas memberikan perintah bilamana musuh menyerbu lagi ke atas, cukup dilayani saja oleh barisan-barisan penjaga, yang lain-lain boleh tetap mengaso tanpa gubris.
Coh Jian-jiu mengajukan usul, "Cayhe punya akal begini, dua-tiga ratus orang yang telah kita pilih nanti ikut menyerbu ke bawah apabila musuh datang lagi di tengah malam buta."
"Bagus," ujar Lenghou Tiong. "Silakan Coh-heng pergi memilih kawan-kawan yang dapat diandalkan. Pesan pula kawan-kawan lain, bila nanti pertahanan musuh sudah kacau lantas ikut menyerbu serentak."
Lenghou Tiong coba mengadakan pemeriksaan keliling gunung, dilihatnya pula keadaan luka teman-temannya. Luka panah Lo Thau-cu dan Na Hong-hong ternyata tidak ringan, untung tidak membahayakan jiwa.
Tidak lama kemudian Coh Jian-jiu kembali lapor bahwa 300 orang pilihan sudah siap, semuanya terdiri dari jagoan kelas wahid. Dengan tenaga pilihan ini, sekalipun barisan musuh cukup kuat juga tidak sanggup menahan terjangan hebat 300 ekor harimau lapar.
Semangat Lenghou Tiong terbangkit, ia suruh pasukan penyerbu itu mengaso dulu tunggu perintah untuk bertempur.
Sementara itu salju turun dengan lebatnya, bunga salju bertebaran laksana kapas, di atas tanah sudah tertimbun suatu lapis tipis salju. Pakaian dan kepala semua orang juga sudah penuh berhias bunga salju.
Karena seharian tidak minum satu tetes air pun, semua orang menjejal salju ke mulut sekadar penawar dahaga.
Cuaca makin gelap, lambat laun tambah gelap gulita, sampai dua orang berhadapan saja tak bisa jelas lagi. Di tengah kegelapan terdengar Coh Jian-jiu berkata, "Untung hujan salju malam ini, kalau tidak, malam tanggal 15 ini tentu terang benderang oleh cahaya rembulan."
Sekonyong-konyong suasana menjadi sunyi senyap. Di atas gunung, di luar, maupun dalam Siau-lim-si berkumpul beberapa ribu orang, di pinggang gunung pihak cing-pay sedikitnya juga ada lebih dari lima ribu orang, tapi kebetulan kedua pihak sama-sama tidak mengeluarkan suara. Hanya terkadang kadang terdengar suara keresekan perlahan yang aneh, mungkin suara daun pohon atau semak rumput yang kejatuhan bunga salju.
"Saat ini entah apa yang sedang dilakukan oleh siausumoay?" demikian Lenghou Tiong teringat kepada Gak Leng-sian.
Tiba-tiba dari pinggang gunung berkumandang suara tiupan trompet, menyusul dari segenap penjuru bergemuruh dengan suara teriakan serbu. Sekali ini rupanya musuh hendak menyerbu sungguh-sungguh di tengah malam gelap.
"Kita pun serbu ke bawah!" kata Lenghou Tiong dengan suara tertahan sambil acungkan pedangnya. Segera ia mendahului lari ke bawah melalui jalanan yang paling terjal di sebelah barat. Segera 300 jago pilihan yang telah siap itu ikut menerjang ke bawah di belakang Lenghou Tiong.
Sejauh serbuan Lenghou Tiong dan pasukannya ternyata tidak mendapat rintangan. Kira-kira satu-dua li jauhnya, Coh Jian-jiu menyulut hwe-ci-bau (mercon roket), dengan semburan cahaya api hwe-ci-bau itu melayang tinggi ke udara, lalu meletus. Inilah kode kepada jago-jago yang masih menunggu di atas gunung agar segera ikut menerjang ke bawah.
Selagi lari, tiba-tiba Lenghou Tiong merasa tapak kakinya kesakitan, seperti menginjak benda tajam sebangsa paku. Ia tahu gelagat jelek, cepat ia meloncat ke atas dan hinggap di atas pohon. Pada saat yang sama terdengar Coh Jian-jiu dan lain-lain juga berteriak kesakitan, tapak kaki mereka juga menginjak paku lancip, bahkan ada yang tapak kakinya tertembus, keruan sakitnya bukan buatan.
Beberapa puluh orang lagi berusaha menerjang ke bawah dengan gagah berani, tapi mendadak mereka pun menjerit, semuanya kejeblos ke dalam lubang jebakan, dari semak-semak pohon di samping lantas menjulur keluar belasan tombak dan menusuk ke dalam liang jebakan itu. Seketika bergemalah jerit ngeri memenuhi pegunungan itu.
"Lekas Bengcu memberi perintah agar semuanya mundur kembali ke atas!" seru Keh Bu-si.
Melihat gelagat jelek, terang pihak cing-pay telah mengatur penjagaan rapi di bawah gunung, kalau sembarangan menerjang ke bawah pasti akan kalah habis-habisan, cepat Lenghou Tiong berseru lantang, "Semua orang mundur kembali ke Siau-lim-si!"
Berbareng itu Lenghou Tiong melompat dari satu pohon ke pohon yang lain untuk mendekati lubang perangkap, dari atas ia menubruk ke bawah sambil putar pedangnya, kontan ia robohkan tiga orang bertombak. Ia menancapkan kaki di tempat bekas lawan, ia yakin di situ pasti tiada dipasang paku-paku yang lancip itu. Menyusul pedangnya bekerja lagi, dalam sekejap belasan orang telah dirobohkan pula. Keruan yang lain-lain menjadi takut, sambil berteriak-teriak mereka lantas kabur.
Beberapa puluh orang yang kejeblos ke dalam liang itu satu per satu lantas melompat keluar, namun belasan orang sudah tewas.
Dalam keadaan gelap gulita tiada seorang pun yang mengetahui di mana terpasang lubang perangkap lagi, maka mereka tidak berani menerjang pula ke bawah, terpaksa mereka kembali ke atas gunung dengan kaki pincang. Untung musuh tidak mengejar.
Setiba kembali di Siau-lim-si, di bawah cahaya lampu mereka coba memeriksa luka masing-masing, ternyata sebagian besar tapak kaki berdarah dan ada yang tembus tercocok paku tajam itu. Banyak yang mencaci maki. Nyata suara-suara tambur yang dibunyikan serta serbuan-serbuan pancingan tadi hanya untuk menutupi suara galian lubang perangkap serta pemasangan paku di pinggang gunung itu. Paku-paku itu panjangnya belasan senti, dua pertiga ditanam dan satu pertiga menonjol di permukaan tanah, tajamnya bukan main, kalau seluruh gunung dipasangi paku demikian, sukarlah untuk lolos. Jelas paku-paku tajam itu sebelumnya sudah disiapkan. Hal ini membayangkan betapa cermat cara pengaturan pihak musuh.
Bab 94. Lolos dari Lubang Bumi
Keh Bu-si menarik Lenghou Tiong ke samping dan berkata lirih padanya, "Lenghou-kongcu, betapa pun kita sukar untuk menerjang keluar kepungan. Adapun cita-cita kita yang diharapkan siang dan malam, yaitu menyelamatkan Seng-koh, tugas mahabesar ini terpaksa mohon Lenghou-kongcu memikulnya sendirian kelak."
"Ap ... apa maksud ... maksudmu ini?" Lenghou Tiong menegas.
"Kutahu Kongcu sangat berbudi dan punya jiwa setia kawan sejati, betapa pun engkau tidak sudi menyelamatkan diri sendiri dengan meninggalkan kawan-kawan di sini," kata Keh Bu-si. "Tapi kalau semuanya gugur di sini, lalu kelak siapa yang akan menuntut balas bagi kita" Siapa pula yang bertugas menyelamatkan Seng-koh dari kurungan musuh?"
"Hehe, kiranya Keh-heng suruh aku melarikan diri sendiri," Lenghou Tiong tertawa ewa. "Sudahlah, soal ini jangan kau sebut-sebut lagi. Kalau mau mati biarlah kita mati bersama saja. Manusia mana yang takkan mati" Sekarang kita mati semua, nanti Seng-koh juga akan mati di penjara musuh. Orang-orang cing-pay yang mendapat kemenangan sekarang, kelak entah setahun entah sepuluh tahun lagi toh satu per satu juga akan mati" Soal kalah atau menang paling-paling juga cuma soal mati sekarang atau mati kelak saja."
Melihat sukar membujuknya, Keh Bu-si merasa tiada gunanya banyak omong lagi. Tapi kalau malam gelap ini tidak berusaha lari, besok pagi bila musuh mulai menyerang secara besar-besaran tentu tidak sempat lolos lagi. Terpikir demikian, ia menghela napas panjang.
Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa beberapa orang, makin lama makin gembira suara tawa mereka itu. Padahal setelah mengalami kekalahan dan terkurung di dalam Siau-lim-si, setiap orang boleh dikata sedang membayangkan bagaimana mereka akan menerima ajal. Tapi ternyata ada orang sempat tertawa sedemikian gembira.
Dari suara mereka itu segera Lenghou Tiong dan Keh Bu-si mengenali mereka adalah Tho-kok-lak-sian, pikir mereka, "Ya, hanya makhluk-makhluk dogol semacam mereka inilah masih bisa tertawa meski kematian sudah di depan mata."
Sementara itu gelak tawa Tho-kok-lak-sian bertambah menjadi, rupanya mereka merasa geli melihat orang-orang yang terluka itu. Terdengar Tho-ki-sian berkata, "Hahaha, di dunia ini ternyata ada orang bodoh seperti kalian ini! Masakah kaki sendiri diinjakkan pada paku. Hahahaha, sungguh menggelikan!"
"Huhuuh! Mungkin kalian kaum tolol ini sengaja mau coba tapak kaki kalian lebih keras daripada paku barangkali" Hahaha! Enak ya rasanya tapak kaki ditembus paku?" demikian Tho-yap-sian menambahkan.
"Kalau mau merasakan enaknya paku, kan lebih baik kalian memukul pakunya dengan palu dari atas tapak kaki saja" Hehehe, benar-benar geli, hahaaah!" Tho-hoa-sian ikut menggoda.
Begitulah keenam bersaudara itu terus tertawa geli dengan macam-macam ocehan yang mencemoohkan, seakan-akan tiada sesuatu yang lebih jenaka daripada apa yang mereka lihat sekarang.
Padahal orang-orang yang terluka itu sedang merintih kesakitan, sebaliknya Tho-kok-lak-sian malah mencemoohkan. Keruan mereka menjadi gusar dan mencaci maki, bahkan ada beberapa orang lantas melolos senjata hendak melabrak Tho-kok-lak-sian.
Lenghou Tiong khawatir urusan bisa runyam, mendadak ia berteriak, "He, he! Apa, itu" Hahaah, sungguh lucu! Sungguh aneh!"
Mendengar teriakan itu, Tho-kok-lak-sian ketarik, beramai-ramai mereka lari mendekat dan bertanya, "Apa yang lucu?"
"Apa yang aneh?"
"Itu dia! Kulihat enam ekor tikus menyeret seekor kucing dan lari ke sana!" sahut Lenghou Tiong.
Tho-kok-lak-sian menjadi senang, seru mereka, "Aha, tikus makan kucing, inilah luar biasa! Ke mana larinya?"
"Ke sana!" kata Lenghou Tiong sambil menuding sekenanya.
"Ayo! Mari kita melihatnya ke sana!" seru Tho-kin-sian sambil menarik tangan Lenghou Tiong.
Semua orang tahu bahwa apa yang dikatakan Lenghou Tiong itu secara tidak langsung hendak mendamprat Tho-kok-lak-sian sebagai enam ekor tikus, tapi dasar orang dogol, sedikit pun mereka tidak tahu, bahkan percaya penuh. Keruan semua orang terbahak-bahak geli.
Sebaliknya Tho-kok-lak-sian tetap menyeret Lenghou Tiong berlari ke arah yang ditunjuk tadi untuk melihat "tikus makan kucing".
Setiba di ruang belakang, Lenghou Tiong berseru pula dengan tertawa, "Nah, nah! Itu dia!"
"Di mana, di mana" Kenapa aku tidak lihat?" Tho-sit-sian berkaok penasaran.
Lenghou Tiong sengaja hendak memancing Tho-kok-lak-sian berpisah sejauh mungkin dengan orang lain agar tidak menimbulkan cekcok, maka dia sengaja menuding ke sana ke sini, maka makin jauhlah mereka ke belakang.
Mendadak Tho-kan-sian menolak sebuah pintu ruangan samping, di dalamnya ternyata gelap gulita. Segera Lenghou Tiong berseru dengan tertawa, "Itu dia! Kucing itu telah diseret tikus-tikus itu ke dalam liang!"
"Mana ada liang" Kau jangan mengapusi orang!" ujar Tho-kin-sian. Ia lantas menyalakan geretan api, ternyata di kamar itu kosong melompong, hanya sebuah patung Buddha tampak bersila menghadap dinding.
Tho-kin-sian menyulut pelita minyak yang menempel di dinding, katanya kemudian, "Mana ada liang" Hayolah kita gebah tikusnya biar keluar!"
Dengan lampu itu ia coba periksa sekeliling kamar, tapi tiada sebuah liang dinding yang diketemukan.
"Mungkin di belakang patung sana?" ujar Tho-ki-sian.
"Di belakang patung adalah kita bertujuh, memangnya kita ini tikus?" kata Tho-kan-sian.
"Patung menghadapi dinding, belakang patung adalah depannya sana," sahut Tho-kin-sian tak mau menyerah.
"Sudah salah omong masih ngotot! Masakah belakang sama dengan depan?" bantah Tho-kan-sian.
"Peduli depan atau belakang, yang penting kita singkirkan patung ini dan periksa saja sebelah sana," kata Tho-hoa-sian.
"Benar!" seru Tho-yap-sian dan Tho-sit-sian berbareng. Segera mereka bertiga memegang patung itu terus ditarik.
"He, jangan! Itulah patung Tat-mo Loco!" seru Lenghou Tiong.
Tat-mo Loco (Buddhatama) adalah cikal bakal Siau-lim-si, juga cikal bakal ilmu silat aliran yang termasyhur itu. Tat-mo Loco dahulu pernah bersemadi menghadap dinding selama sembilan tahun dan mencapai kesempurnaan, makanya patung yang dipuja di dalam kuil agung itu pun menghadapi dinding.
Namun sekali Tho-hoa-sian bertiga sudah bertindak sukar lagi dikendalikan, seruan Lenghou Tiong tidak digubris, mereka masih terus menarik sekuatnya. Maka terdengarlah suara keriang-keriut yang mengilukan, patung Buddha itu telah ditarik berputar. Sekonyong-konyong mereka berteriak kaget. Ternyata sepotong papan besi di depan mereka perlahan-lahan menggeser ke atas dan berwujud sebuah liang lebar.
"Haha, benar ada liang di sini!" seru Tho-ki-sian senang.
"Akan kutangkap tikus-tikus itu!" kata Tho-kin-sian, segera ia mendahului menerobos ke dalam lubang itu. Tentu saja Tho-kan-sian berlima juga tidak mau ketinggalan, berturut-turut mereka pun menyusup ke dalam.
Rupanya liang itu sangat luas di dalam, masuknya enam orang itu sekejap lantas lenyap, hanya terdengar suara langkah mereka terus ke depan. Tapi mendadak mereka berkaok-kaok dan berlari keluar lagi.
"Di dalam teramat gelap, dalamnya sukar dijajaki," kata Tho-ki-sian.
"Katanya gelap, dari mana kau mengetahui dalamnya sukar dijajaki?" bantah Tho-yap-sian. "Bisa jadi beberapa langkah lagi akan mencapai ujungnya."
"Jika kau tahu hampir capai ujungnya, kenapa kau tidak melangkah terus tadi?" sahut Tho-ki-sian.
"Aku kan cuma bilang "bisa jadi" dan tidak mengatakan "pasti", bisa jadi dan pasti banyak bedanya," jawab Tho-yap-sian.
"Jika cuma main-main terka "bisa jadi" saja buat apa banyak omong?" omel Tho-ki-sian.
"Sudahlah, tak perlu ribut. Lekas menyalakan obor dan coba periksa lagi ke dalam," kata Tho-kin-sian.
Begitulah mereka suka usilan, tapi kerjanya juga cepat. Beramai-ramai mereka lantas mematahkan empat kaki meja dan dinyalakan sebagai obor. Seperti anak kecil saja mereka berebut obor yang cuma empat itu, lalu menyusup lagi ke dalam liang tadi.
Lenghou Tiong pikir lubang itu tentulah sebuah jalan rahasia Siau-lim-si seperti dahulu dia juga mengalami hal yang sama ketika terkurung di Bwe-cheng di tepi danau di Hangciu dahulu. Agaknya di dalam situlah Ing-ing disekap. Terpikir demikian hatinya lantas berdebar-debar dan cepat ia pun ikut menyusup ke dalam.
Ternyata jalan di bagian dalam lubang itu sangat luas dan tidak lembap, hanya bau apak di dalam gua sangat menyesak napas dan memuakkan. Dengan langkah lebar sekejap saja ia sudah dapat menyusul Tho-kok-lak-sian. Terdengar Tho-sit-sian sedang berkata, "Kenapa tikus-tikus itu tidak tampak" Mungkin tidak lari ke lubang ini."
"Jika begitu marilah kita keluar saja dan mencari ke lain tempat," tukas Tho-ki-sian.
"Kembali nanti saja bila sudah mencapai ujung sana," ujar Tho-kan-sian.
Mereka melanjutkan pula ke depan, sekonyong-konyong sebuah siantheng (tongkat) mengemplang dari atas.
Tho-hoa-sian berjalan paling depan, untung dia sempat melompat mundur sehingga kemplangan tongkat tadi meleset. Namun begitu ia telah menumbuk Tho-sit-sian yang jalan di belakangnya. Dilihatnya seorang hwesio dengan memegang tongkat cepat menghilang ke dinding di sebelah kanan sana.
Dengan gusar ia memaki, "Bangsat gundul, kau berani sembunyi di sini dan menyergap tuanmu?"
Berbareng ia terus menubruk maju dan mencengkeram ke dinding itu.
Tapi mendadak dari dinding sebelah kiri kembali sebuah tongkat mengemplang lagi. Serangan ini telah menutup rapat jalan mundur Tho-hoa-sian. Karena tidak bisa menghindar, terpaksa ia melompat maju. Tapi baru sebelah kakinya menginjak tanah, lagi-lagi sebuah tongkat menyambar dari sisi kanan.
Dalam pada itu Lenghou Tiong sudah melihat jelas bahwa hwesio yang memainkan tongkat itu bukanlah manusia tulen, tapi adalah orang-orangan yang digerakkan dengan pesawat rahasia. Rupanya cara pemasangannya sangat bagus, asal pesawat yang terpasang di lantai tersentuh orang segera sebuah tongkat memukul, bahkan maju dan mundur bisa bergiliran secara rapi, setiap serangan tongkat adalah gerakan yang sangat lihai.
Begitulah Tho-hoa-sian terpaksa mencabut golok untuk menangkis, terdengar suara "trang" yang keras, goloknya menjadi bengkok, kiranya bobot tongkat itu sangat berat, daya kemplangannya lebih-lebih hebat pula. Keruan Tho-hoa-sian mati kutu, ia menjerit dan menjatuhkan diri ke lantai terus menggelinding minggir. Tapi sebuah tongkat lain kembali menghantam pula.
Cepat Tho-kin-sian dan Tho-ki-sian melolos senjata dan melompat maju untuk menolong saudaranya, dengan tenaga tangkisan mereka berdua, pula daya kemplang tongkat waktu itu sudah rada kendur, maka dapatlah mereka menahannya sehingga Tho-hoa-sian tidak sampai remuk kepalanya.
Tapi satu kemplangan selesai kembali kemplangan tongkat yang lain tiba pula. Tho-kan-sian, Tho-yap-sian, dan Tho-sit-sian tidak bisa tinggal diam lagi, mereka pun memburu maju untuk membantu. Dengan lima golok mereka menandingi serangan-serangan tongkat dari dinding kanan-kiri itu.
Meski hwesio-hwesio besi yang memainkan tongkat itu adalah benda mati, tapi penciptanya ternyata adalah ahli teknik yang mahapintar. Agaknya kalau bukan ahli itu sendiri mahir ilmu silat Siau-lim-si tentu juga ada hwesio agung Siau-lim-si yang memberi petunjuk-petunjuk waktu orang-orangan besi itu dipasang, makanya setiap gerakan tongkat adalah jurus-jurus serangan yang sangat lihai. Masih ada lagi sesuatu yang luar biasa, yaitu lengan dan tongkat yang digunakan patung besi itu semuanya terbuat dari baja murni, benda seberat beberapa ratus kati digerakkan dengan pesawat, keruan daya kemplangannya menjadi jauh lebih kuat daripada manusia.
Walaupun ilmu silat Tho-kok-lak-sian cukup tinggi, tapi golok mereka sama sekali tidak berdaya bila kebentur tongkat baja, bahkan terus bengkok. Keruan mereka mengeluh dan gelisah, pikirnya hendak mundur, namun di belakang mereka sudah tertutup oleh bayangan tongkat yang terus menghantam silih berganti. Sebaliknya setiap melangkah maju juga mengakibatkan tambahan serangan beberapa hwesio besi yang tadinya belum bergerak.
Melihat keadaan yang gawat itu, cepat Lenghou Tiong bertindak. Dari jurus-jurus serangan patung-patung besi itu ia sudah melihat adanya titik-titik kelemahan setiap jurus mereka. Segera pedangnya bekerja, "sret-sret" dua kali, pergelangan kedua patung ditusuknya. Terdengarlah suara nyaring dua kali, pergelangan patung-patung yang diincar itu kena dengan tepat dan meletakkan lelatu api, tapi pedangnya sendiri berbalik terpental balik.
Pada saat itulah mendadak terdengar jeritan Tho-sit-sian dan roboh terkena pukulan tongkat. Memangnya Lenghou Tiong sudah gelisah, sekarang tambah cemas. Pedangnya bergerak lagi, kembali dua patung tertusuk, tapi patung-patung besi itu tetap bergeming, sebaliknya sebuah tongkat tahu-tahu menyambar dari atas. Dengan khawatir, cepat Lenghou Tiong menghindari sambil melangkah maju, tapi kembali sebuah tongkat mengemplang pula.
Mendadak pandangan menjadi gelap, lalu tidak tampak apa-apa lagi. Kiranya obor-obor yang dibawa Tho-kok-lak-sian tadi terpaksa dibuang ke lantai karena harus bertempur melawan robot-robot bertongkat, sekarang obor-obor itu telah padam semua. Padahal keistimewaan Lenghou Tiong adalah mematahkan setiap serangan lawan melalui titik kelemahan yang dilihatnya, sekarang keadaan gelap gulita, keruan ia menjadi mati kutu dan kelabakan. Menyusul bahu kiri terasa sakit, tubuhnya jatuh terjerembap ke depan. Berbareng itu terdengar pula suara jeritan dan keluhan berulang-ulang, terang Tho-kok-lak-sian juga telah dihantam roboh satu per satu.
Sambil mendekam di lantai Lenghou Tiong mendengar suara angin menderu-deru menyambar lewat di atasnya, seketika ia merasa dirinya seperti di alam mimpi buruk, tubuh tak bisa berkutik, hatinya merasa ngeri, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Sambaran tongkat yang membawa deruan angin keras itu lambat laun mulai mereda, lalu terdengar suara keriang-keriut ramai, agaknya hwesio-hwesio robot tadi telah kembali ke tempatnya semula dan tidak bergerak lagi.
Tiba-tiba pandangan terbeliak, menyusul ada orang berseru, "Lenghou-kongcu, apakah engkau di sini?"
Lenghou Tiong sangat girang, sahutnya, "Aku ... aku di sini ...." ia merasa suaranya sendiri teramat lemah, hampir-hampir ia tidak percaya atas telinga sendiri.
Ia tetap mendekam tak berani bergerak. Terdengar suara langkah beberapa orang memasuki gua itu, lalu terdengar Keh Bu-si berseru kaget dan heran.
"Jang ... jangan maju, pe ... pesawat rahasianya sangat ... sangat lihai," seru Lenghou Tiong.
Rupanya Keh Bu-si dan lain-lain menjadi tidak sabar terlalu lama menunggu Lenghou Tiong dan Tho-kok-lak-sian, kemudian mereka menyusul ke belakang dan di ruang Tat-mo-tong itu menemukan lubang gua di bawah tanah, cepat mereka mencari ke dalam dan menemukan Lenghou Tiong dan Tho-kok-lak-sian menggeletak di situ dalam keadaan berlumuran darah, mereka menjadi kaget dan khawatir.
"Bagaimana kau, Lenghou-kongcu?" tanya Coh Jian-jiu.
"Tak apa-apa. Diam saja di situ, jangan maju, nanti menggerakkan pesawat rahasia lagi," seru Lenghou Tiong.
"Baiklah," sahut Coh Jian-jiu. "Bagaimana kalau aku menyeret keluar kau dengan cambuk panjang."
"Ya, bagus," kata Lenghou Tiong.
Segera Coh Jian-jiu menggunakan cambuk, lebih dulu kaki kiri Tho-hoa-sian dibelitnya dengan ujung cambuk dan diseret keluar. Maklumlah Tho-hoa-sian menggeletak paling ujung luar, maka habis itu barulah Coh Jian-jiu menyeret keluar Lenghou Tiong dengan cara yang sama. Berturut-turut Tho-kok-ngo-sian dapat pula ditarik keluar tanpa menyentuh pesawat rahasia.
Dengan cepat Lenghou Tiong lantas berbangkit, ia coba periksa keadaan Tho-kok-lak-sian. Ternyata pundak keenam orang itu sama terluka kena hantaman tongkat baja, untung mereka punya kulit tebal dan kuat tenaga dalamnya, meski lukanya tidak ringan, namun tidak membahayakan jiwanya. Tidak lama kemudian satu per satu lantas siuman kembali.
Begitu membuka mata dan tidak tampak hwesio robot lagi, segera Tho-kin-sian mengoceh, "Lihai amat hwesio besi tadi, tapi toh semuanya dihancurkan oleh Tho-kok-lak-sian."
Rupanya Tho-hoa-sian lebih tahu diri, katanya, "Lenghou-kongcu juga berjasa, cuma jasa kami berenam saudara lebih besar."
Dengan menahan rasa sakit bahunya Lenghou Tiong berkata dengan tertawa, "Sudah tentu, siapa mampu menandingi Tho-kok-lak-sian."
"Sebenarnya apa yang terjadi, Lenghou-kongcu?" tanya Coh Jian-jiu.
Dengan ringkas Lenghou Tiong menuturkan pengalamannya tadi, lalu sambungnya, "Besar kemungkinan Seng-koh terkurung di dalam situ, kita harus mencari akal untuk memusnahkan kawanan hwesio robot penjaga ini."
Coh Jian-jiu melirik sekejap ke arah Tho-kok-lak-sian, katanya, "Kiranya hwesio-hwesio robot itu belum dihancurkan."
"Apa sulitnya untuk menghancurkan hwesio-hwesio mati itu" Hanya sementara ini kami tidak mau," sahut Tho-kan-sian.
"Entah bagaimana cara bekerja hwesio-hwesio robot itu, harap Tho-kok-lak-sian maju lagi untuk memancing serangannya, biar kita sama menyaksikan," kata Keh Bu-si.
Tapi Tho-kok-lak-sian rupanya sudah kapok, mana mau lagi mereka disuruh rasakan kemplangan tongkat baja. Tho-kan-sian lantas berkata, "He, kucing makan tikus adalah biasa, tapi tikus makan kucing adakah yang pernah lihat?"
"Baru saja kami bertujuh telah menyaksikan tikus makan kucing, sungguh luar biasa!" sambung Tho-yap-sian.
Ternyata Tho-kok-lak-sian masih mempunyai suatu kepandaian simpanan, yaitu bila kepepet dan tak bisa menjawab, lalu mereka menyimpangkan pokok pembicaraan ke hal-hal lain.
Lenghou Tiong lantas berkata, "Siapakah salah seorang kawan ambilkan beberapa potong batu besar?"
Segera dua-tiga orang berlari keluar dan membawakan tiga potong batu besar, masing-masing sedikitnya ada 100 kati beratnya.
Segera Lenghou Tiong angkat sepotong batu besar itu terus digelindingkan ke sana. Terdengarlah suara gemuruh, batu besar itu telah menyentuh pesawat dan terdengar suara keriang-keriut, hwesio-hwesio robot yang sembunyi di lekukan dinding lantas bergerak, tongkat baja bersambaran dengan kencang. Agak lama kemudian barulah hwesio-hwesio robot itu menyelinap kembali ke dalam dinding.
Semua orang sama melongo kesima menyaksikan peristiwa ajaib itu.
"Lenghou-kongcu," kata Keh Bu-si, "hwesio-hwesio robot itu digerakkan oleh pesawat rahasia. Menurut pendapatku, tenaga pesawat itu adakalanya akan habis, untuk bisa bergerak lagi harus memutar kencang pegasnya. Maka bila kita pancing dengan beberapa potong batu berulang-ulang, kalau tenaga pegas sekarang sudah habis, tentu hwesio-hwesio robot itu takkan bergerak lagi."
Tapi Lenghou Tiong ingin selekasnya menolong Ing-ing, katanya. "Kulihat gerak tongkat robot-robot ini sedikit pun tidak menjadi kendur, kalau mesti menunggu mungkin bisa sampai besok pagi. Adakah di antara Saudara-saudara yang membawa senjata pusaka, coba pinjamkan sebentar."
Segera ada seorang tampil ke muka dan melolos golok, katanya, "Bengcu, senjata Cayhe ini rada tajam."
Lenghou Tiong mengangguk dan menyatakan terima kasih, lalu melangkah ke depan.
"Hati-hati!" seru Tho-kok-lak-sian.
Ketika Lenghou Tiong melangkah lagi dua-tiga tindak, mendadak sebuah tongkat mengemplang dari atas. Jurus serangan ini sudah beberapa kali dilihatnya sejak tadi, maka tanpa pikir ia mengayun golok, "trang", kontan pergelangan tangan robot itu tertebas kutung bersama tongkatnya jatuh ke tanah.
"Golok bagus!" puji Lenghou Tiong. Semula ia khawatir golok pinjaman itu kurang tajam, sekarang hasilnya ternyata luar biasa, benar-benar sebuah golok mestika, seketika semangatnya terbangkit, "sret-sret" dua kali, kembali ia mengutungi pergelangan tangan dua hwesio robot yang menyerang lagi.
Ia gunakan golok sebagai pedang, yang dimainkan adalah jurus serangan Tokko-kiu-kiam. Dari kedua sisi dinding hwesio-hwesio robot itu berturut-turut menyerang lagi, tapi lantaran pergelangan tangan putus, tongkat jatuh, dengan sendirinya kedua tangannya yang bergerak naik-turun dan tidak membahayakan.
Lenghou Tiong terus maju ke depan, dilihatnya jurus serangan hwesio-hwesio robot itu bertambah lihai, diam-diam ia sangat kagum, namun satu per satu kena dipatahkan semua.
Semua orang mengikuti Lenghou Tiong dengan membawa obor, setelah ratusan tangan besi terkutung, dinding-dinding batu itu tidak muncul lagi robot yang lain. Ada orang menghitungnya, ternyata hwesio-hwesio robot itu seluruhnya ada 108. Maka bersorak gembiralah para jago di jalanan gua itu.
Karena ingin lekas-lekas menemukan Ing-ing, Lenghou Tiong lantas minta sebuah obor dan mendahului jalan pula ke depan. Jalanan itu terus menurun ke bawah makin lama makin rendah, namun tiada terdapat perangkap-perangkap lagi walaupun ia berlaku sangat hati-hati. Panjang jalan di bawah tanah itu ada beberapa li dan menembus beberapa gua alam. Tiba-tiba di depan tampak cahaya remang-remang. Lenghou Tiong percepat langkahnya, ketika sebelah kakinya menginjak tanah yang lunak, ternyata sudah berada di atas lapisan salju, berbareng itu hawa dingin terasa merasuk, hawa dingin yang segar. Nyata dia sudah berada di tempat yang terbuka.
Ia coba memandang sekelilingnya, suasana sunyi di tengah malam gelap, bunga salju masih berhamburan, terdengar pula suara gemerciknya air, kiranya tempat itu terletak di tepi sebuah kali. Sekejapan itu Lenghou Tiong sangat kecewa karena jalan di bawah tanah itu tidak menembus ke tempat tahanan Ing-ing.
Tiba-tiba terdengar Keh Bu-si berkata di belakangnya, "Teruskan pesan ini kepada kawan-kawan agar jangan bersuara, besar kemungkinan kita sudah berada di bawah gunung."
"Apakah mungkin kita sudah lolos dari kepungan musuh?" pikir Lenghou Tiong.
Dalam pada itu Keh Bu-si sedang berkata padanya, "Kongcu, di musim dingin di atas gunung tidak mungkin ada aliran air. Tampaknya melalui jalan di bawah tanah tadi kita sekarang sudah berada di kaki gunung."
"Benar," tukas Coh Jian-jiu. "Secara tidak sengaja kita telah menemukan jalan rahasia Siau-lim-si yang menembus ke sini."
"Jika demikian lekas suruh semua kawan keluar dari jalanan rahasia ini," kata Lenghou Tiong.
Keh Bu-si meneruskan perintah itu. Ia suruh beberapa orang menyelidiki lagi jalan di sekitar situ, beberapa puluh orang diperintahkan menjaga ujung jalan rahasia itu agar tidak diserang musuh sehingga jalan keluar tersumbat.
Tidak lama kemudian datanglah laporan bahwa tempat itu memang betul kaki gunung Siau-sit-san bagian belakang, kalau mendongak dapat tampak bangunan kuil agung di atas gunung. Karena banyak teman-teman belum keluar, maka semua orang tidak berani bersuara keras. Sementara itu orang-orang yang keluar dari jalan rahasia itu makin banyak, menyusul yang luka dan yang mati juga sudah digotong keluar. Bisa lolos dari ancaman elmaut, meski tidak bersorak gembira, namun ramai juga mereka berbisik-bisik dengan penuh kegirangan.
"Bengcu," kata Si Beruang Hitam, satu di antara Boh-pak-siang-him yang gemar makan daging manusia itu, "tentu kawanan kura-kura itu mengira kita masih terkurung di atas sana. Hayolah kita gempur mereka dari belakang, putuskan ekor kawanan anjing itu untuk melampiaskan rasa dongkol kita."
Akan tetapi Lenghou Tiong tidak setuju, katanya, "Tujuan kita ke sini adalah untuk menolong Seng-koh, maka tidak perlu saling bunuh lebih banyak. Harap Saudara-saudara meneruskan perintah agar kita memencarkan diri saja, bila ketemukan orang cing-pay sebaiknya menghindari pertarungan. Bilamana ada yang mendapat kabar tentang Seng-koh harus disiarkan secara cepat dan luas. Selama aku masih bernapas, betapa pun sukar dan bahaya juga akan kuselamatkan Seng-koh. Apakah semua teman sudah keluar sekarang?"
Keh Bu-si coba mendekati ujung jalan rahasia itu dan berteriak-teriak beberapa kali ke dalam, namun tiada jawaban seorang pun. Ia memberi lapor bahwa semua kawan sudah keluar.
Tiba-tiba timbul pikiran Lenghou Tiong yang kekanak-kanakan, katanya, "Ayo kita berteriak tiga kali biar orang-orang cing-pay di atas itu kaget."
"Bagus!" seru Coh Jian-jiu tertawa. "Marilah kita beramai-ramai ikut Bengcu berteriak."
Segera Lenghou Tiong mulai, "Hai dengarkan, kami sudah berada di bawah gunung!"
Beberapa ribu orang serentak ikut berteriak, "Hai dengarkan, kami sudah berada di bawah gunung!"
Lalu Lenghou Tiong berteriak pula, "Silakan kalian makan angin di atas gunung!"
Beribu-ribu orang menirukan pula teriakan itu.
Akhirnya Lenghou Tiong berteriak, "Selamat tinggal, sampai berjumpa!"
"Marilah kita pergi," kata Lenghou Tiong dengan tertawa.
Tapi mendadak ada seorang menggembor sekeras-kerasnya, "Kalian kawanan anjing, anak kura-kura, persetan dengan nenek moyang delapan belas keturunanmu!"
Serentak beribu-ribu orang itu menirukan teriakan itu. Kata-kata makian yang kasar itu diteriakkan oleh orang sebanyak itu, keruan suaranya menggema ke angkasa dan menggetar lembah.
"Sudahlah, tak perlu berteriak lagi, marilah kita pergi saja," seru Lenghou Tiong.
Setelah berteriak-teriak, dari atas gunung ternyata tiada reaksi apa-apa. Sementara itu subuh tiba, tapi salju masih turun dengan lebatnya. Ada beberapa kelompok sudah mulai berangkat pergi.
Lenghou Tiong pikir urusan paling penting sekarang adalah menemukan tempatnya Ing-ing, selanjutnya menyelidiki siapakah yang membunuh Ting-sian dan Ting-yat Suthay. Untuk menunaikan kedua tugas ini ke mana harus dituju"


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba terkilas suatu pikiran dalam benaknya, "Bila hwesio-hwesio Siau-lim-pay dan orang-orang cing-pay itu mengetahui kami sudah lolos, tentu mereka akan kembali ke Siau-lim-si. Bisa jadi Ing-ing dibawa di tengah mereka. Untuk menyelesaikan dua soal tadi rasanya aku harus kembali ke Siau-lim-si. Untuk ke sana sebaiknya kulakukan sendirian saja."
Begitulah ia lantas mengembalikan golok mestika kepada pemiliknya. Lalu katanya kepada Keh Bu-si dan lain-lain, "Marilah kita berusaha mencari Seng-koh menurut kemampuan masing-masing, selekasnya kalau Seng-koh sudah diketemukan barulah kita berkumpul untuk merayakannya."
"Engkau sendiri hendak ke mana, Lenghou-kongcu?" tanya Keh Bu-si.
"Maafkan sekarang tak bisa kukatakan, kelak tentu akan kuberi tahu," sahut Lenghou Tiong.
Semua orang tidak berani banyak tanya lagi, terpaksa mereka memberi hormat dan mohon diri. Lenghou Tiong sendiri lantas menggunakan ginkangnya yang tinggi menyusup ke tengah hutan terus meloncat ke atas pohon agar tidak meninggalkan jejak di tanah bersalju. Ia sembunyi di situ sekian lamanya, didengarnya suara berisik orang banyak tadi makin berkurang dan akhirnya sunyi senyap. Ia menduga semua orang tentu sudah pergi, lalu perlahan-lahan ia kembali ke ujung jalan rahasia di bawah tanah itu. Memang sudah tiada seorang pun yang tertinggal di situ.
Ujung jalan itu teraling-aling oleh dua potong batu besar dan tertutup oleh tumbuhan rumput yang tinggi, kalau tidak tahu seluk-beluknya biarpun berada di depannya juga tidak mengetahui adanya jalan rahasia itu. Karena tak bersenjata lagi, Lenghou Tiong menjemput sepotong ranting kayu sepanjang satu meteran, lalu ia memasuki lagi jalan di bawah tanah itu.
Dengan jalan cepat ia kembali ke ruangan patung Buddhatama tadi, ia coba pasang kuping, sayup-sayup di ruang depan sudah ada suara orang. Sekuatnya Lenghou Tiong mendorong patung itu menggeser kembali ke tempatnya semula, dalam hati ia menimbang-nimbang, "Aku harus sembunyi di mana agar bisa mendengarkan pembicaraan-pembicaraan para pemimpin cing-pay itu" Tapi tak terhitungnya ruangan dan kamar di dalam Siau-lim-si ini, dari mana bisa mengetahui tempat yang akan mereka gunakan untuk bicara?"
Tiba-tiba teringat olehnya kamar semadi Hong-ting Taysu ketika dahulu ia diajak menemuinya oleh Hong-sing Taysu, samar-samar ia masih ingat letak kamar itu. Segera ia lari ke luar terus menuju ke belakang.
Akan tetapi sudah berlari ke sana ke sini, ruangan dan kamar di Siau-lim-si itu terlalu luas dan banyak, kamar pribadi ketua Siau-lim-pay tak bisa ditemukan. Dalam pada itu terdengar suara tindakan orang banyak sedang mendatangi. Waktu itu Lenghou Tiong berada di suatu ruangan samping, di atas ruangan luas itu tergantung sebuah pigura besar. Karena tiada tempat sembunyi yang cocok, terpaksa ia melompat ke atas dan mendekam di balik pigura itu.
Suara tindakan orang banyak itu terdengar semakin mendekat, lalu masuklah tujuh atau delapan orang. Seorang di antaranya sedang berkata, "Kawanan sia-pay itu pun lihai benar, kita telah kepung pegunungan ini dengan rapat, tapi mereka toh masih bisa lolos."
Bab 95. Cara Yim Ngo-heng Menilai Kawan dan Lawan
Seorang lagi menanggapi, "Agaknya di Siau-sit-san ini ada jalan rahasia yang menembus ke bawah gunung, kalau tidak masakan mereka mampu lari?"
"Kukira tiada sesuatu jalan rahasia apa-apa," ujar seorang lagi. "Sudah berpuluh tahun aku tirakat di sini, tapi belum pernah kudengar tentang jalan rahasia segala yang menembus ke bawah gunung."
"Namanya jalan rahasia, dengan sendirinya tak dapat diketahui oleh setiap orang," kata orang yang pertama tadi.
Dari percakapan mereka itu Lenghou Tiong dapat menduga satu di antaranya tentu hwesio Siau-lim-si dan selebihnya adalah jago-jago yang diundang membantu. Terdengar hwesio Siau-lim tadi berkata pula, "Seumpama aku tidak tahu masakah hongtiang kami juga tidak tahu" Bilamana ada jalan rahasia demikian tentu sebelumnya hongtiang kami memberitahukan kepada semua kawan untuk menjaga jalan keluarnya."
Pada saat itulah sekonyong-konyong di antaranya membentak, "Siapa itu" Keluar sini!"
Keruan Lenghou Tiong terkejut karena mengira tempat sembunyinya telah diketahui. Baru saja ia bermaksud melompat keluar, tiba-tiba di balik pigura di sebelah sana berkumandang suara gelak tertawa seorang dan berkata, "Haha, sedikit aku menghela napas dan membikin jatuh beberapa titik debu, ternyata lantas dilihat kalian, tajam juga mata kalian ya!"
Dari suaranya yang lantang itu segera Lenghou Tiong mengenalnya sebagai suaranya Hiang Bun-thian. Keruan ia terkejut dan bergirang, katanya di dalam hati, "Kiranya sejak tadi Hiang-toako sudah sembunyi di sini, caranya menahan napas sungguh hebat, sekian lamanya aku mendekam di sini toh tidak mengetahuinya. Kalau tiada debu yang jatuh tentu orang-orang di bawah itu pun takkan tahu ...."
Belum rampung pikirnya tiba-tiba terdengar suara berdetak di balik pigura-pigura sebelah kanan dan kiri, menyusul melompat turunlah dua orang. Berbareng orang-orang di bawah itu lantas membentak-bentak. Namun belum lagi mereka sempat bersuara lebih banyak, mendadak mereka bungkam lagi.
Tanpa terasa Lenghou Tiong melongok ke bawah, terlihatlah dua sosok bayangan sedang beterbangan kian-kemari, seorang jelas adalah Hiang Bun-thian, seorang lagi bertubuh tinggi besar, ternyata Yim Ngo-heng adanya.
Gerak serangan kedua orang hampir-hampir tak bersuara, tapi setiap pukulan mereka tentu menimbulkan seorang korban yang roboh. Hanya sekejap saja di ruangan itu sudah menggeletak delapan orang. Lima orang di antaranya terkapar tengkurap, yang tiga lagi telentang dengan mata melotot menyeramkan. Nyata semuanya telah dihantam mati oleh Hiang Bun-thian dan Yim Ngo-heng.
Dengan tersenyum tampak Yim Ngo-heng berkata, "Anak Ing, turunlah sini!"
Dari pigura sebelah kiri lantas melayang turun dengan gaya yang lemah gemulai, siapa lagi kalau bukan Ing-ing yang sedang dicari Lenghou Tiong itu.
Terguncanglah hati Lenghou Tiong, dilihatnya Ing-ing memakai baju kain kasar, wajahnya rada pucat. Baru saja ia bermaksud melompat turun untuk menemui si nona, tiba-tiba Yim Ngo-heng berpaling ke arahnya dan menggoyangkan tangan.
Lenghou Tiong tidak tahu maksudnya, pikirnya, "Mereka sembunyi di sini lebih dulu, sudah tentu kedatanganku dilihat jelas oleh mereka. Apa maksudnya Yim-losiansing suruh aku jangan keluar?"
Tapi sekejap saja ia lantas paham apa maksud tujuan Yim Ngo-heng itu, ternyata dari depan sana telah berlari masuk beberapa orang. Sekilas dilihatnya sang guru dan ibu-guru, yaitu Gak Put-kun dan istrinya beserta ketua Siau-lim-pay, Hong-ting Taysu, selain itu masih ada lagi tokoh-tokoh terkemuka.
Ia tidak berani mengintip, cepat ia sembunyi kembali di tempatnya dengan hati berdebar. Pikirnya, "Ing-ing bertiga berada di dalam kepungan musuh, betapa pun aku ... akan menyelamatkan dia sekalipun aku yang harus binasa."
Dalam pada itu terdengar Hong-ting Taysu sedang berkata, "Omitohud! Lihai amat ilmu pukulan ketiga Sicu. Eh, Lisicu (nona budiman) sudah pergi kenapa kembali lagi?"
"Aku justru ingin minta penjelasan kepada Hongtiang Taysu sebabnya aku sudah pergi kok kembali lagi," sahut Ing-ing.
"Sungguh Lolap tidak paham ucapan ini," kata Hong-ting Taysu. "Kedua Sicu ini tentulah tokoh dari Hek-bok-keh. Maafkan Lolap tidak sempat berkenalan. Namun setiap orang yang datang ke Siau-lim-si adalah tamuku, silakan duduk buat bicara."
Diam-diam Lenghou Tiong sangat mengagumi kepribadian Hong-ting Taysu, pikirnya, "Benar-benar seorang padri saleh, walaupun melihat anak muridnya menggeletak tak bernyawa lagi toh sedikit pun tidak terpengaruh dan masih tetap sopan santun terhadap pihak lawan."
Maka terdengar Hiang Bun-thian menjawab, "Ini adalah Yim-kaucu dari Tiau-yang-sin-kau. Cayhe sendiri Hiang Bun-thian."
Nama mereka berdua di dunia persilatan sungguh gilang-gemilang, cuma mereka sudah lama mengasingkan diri, maka tidak dikenal oleh Hong-ting Taysu, Gak Put-kun, dan lain-lain. Mereka sama tergetar juga setelah mengetahui siapa-siapa yang berhadapan dengan mereka itu, namun lahirnya mereka berlaku tenang sedapat mungkin.
"Kiranya Yim-kaucu dan Hiang-cosu sudi berkunjung kemari, sungguh Lolap merasa sangat bahagia," kata Hong-ting Taysu. "Entah adakah sesuatu petunjuk yang hendak kalian kemukakan?"
"Sudah terlalu lama aku tidak berkecimpung di dunia ramai, maka banyak tokoh-tokoh angkatan baru tak kukenal, entah siapa-siapa para sobat-sobat cilik ini?" kata Yim Ngo-heng dengan lagak orang tua.
"Jika demikian baiklah Lolap memperkenalkan kalian," ujar Hong-ting Taysu. "Yang ini adakah ketua Bu-tong-pay, Tiong-hi Totiang adanya."
Maka terdengar suara seorang tua serak berkata, "Bicara tentang umur bisa jadi aku lebih tua sedikit daripada Yim-siansing, tapi waktu mengetuai Bu-tong-pay memang terjadi sesudah Yim-siansing mengasingkan diri. Angkatan baru memang betul juga bagiku, cuma istilah "tokoh" tak berani kuterima. Haha!"
Lenghou Tiong merasa suara ketua Bu-tong-pay itu seperti sudah dikenalnya. Tiba-tiba tergerak pikirannya, "Ai, kiranya si kakek penunggang keledai bersama si tukang kayu dan tukang sayur yang kutemukan di kaki Gunung Bu-tong-san itulah ketua Bu-tong-pay."
Seketika timbul rasa bangga dan besar hatinya. Maklumlah nama Bu-tong-pay sejajar dengan Siau-lim-pay. Betapa pun termasyhur Ngo-gak-kiam-pay tetap kalah setingkat kalau dibandingkan Siau-lim dan Bu-tong. Sebabnya Co Leng-tan, itu ketua Ko-san-pay dengan segala tipu dayanya ingin melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu aliran besar, tujuannya tak-lain tak-bukan ialah ingin menandingi Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay. Kini setelah mengetahui dirinya pernah mengalahkan Tiong-hi Totiang yang ilmu pedangnya tiada bandingannya itu, sungguh rasa senang Lenghou Tiong tak terperikan.
Sementara itu Yim Ngo-heng lagi berkata, "Co-tayciangbun ini dahulu kita kan sudah pernah bertemu. Akhir-akhir ini kau punya ilmu pukulan "Tay-ko-yang-jiu" tentu banyak maju bukan, Co-ciangbun?"
Kembali Lenghou Tiong terkesiap, "Kiranya Co-supek, ketua Ko-san-pay juga hadir."
Maka terdengar suara seorang yang halus sedang menjawab, "Kabarnya Yim-siansing terkurung oleh anak buah sendiri dan menghilang selama beberapa tahun. Kini muncul kembali sungguh harus diberi selamat. Tentang "Tay-ko-yang-jiu" sudah belasan tahun tidak terpakai, mungkin sebagian besar sudah terlupa."
"Wah, jika begitu dunia Kangouw tentu menjadi sepi," kata Yim Ngo-heng dengan tertawa. "Begitu aku menghilang lantas tiada orang yang dapat mengukur tenaga dengan Co-heng, sungguh sayang, sungguh gegetun."
"Orang yang sanggup bertanding dengan Yim-siansing sesungguhnya juga tidak sedikit, cuma orang-orang alim seperti Hong-ting Taysu atau Tiong-hi Totiang tentunya tidak sudi sembarangan mengajar Cayhe tanpa alasan," jawab Co Leng-tan.
"Baiklah, kapan-kapan kalau sempat tentu akan kucoba lagi kau punya kepandaian baru," kata Yim Ngo-heng.
"Setiap saat akan kulayani," sahut Co Leng-tan.
Dari tanya-jawab mereka itu jelas dahulu mereka pernah saling gebrak, cuma siapa yang menang dan siapa yang kalah tak bisa dibedakan dari pembicaraan mereka tadi.
Lalu Hong-ting Taysu melanjutkan, "Yang ini adalah Thian-bun Totiang, ketua Thay-san-pay dan yang itu Gak-siansing, ciangbunjin dari Hoa-san-pay, di sebelahnya adalah Gak-hujin, Ling-lihiap yang termasyhur di masa lampau tentu pula pernah didengar Yim-losiansing."
"Ya, Ling-lihiap sih aku tahu, tapi Gak-siansing apa segala tidak pernah kudengar," sahut Yim Ngo-heng tertawa.
Lenghou Tiong menjadi kurang senang, pikirnya, "Nama suhuku menonjol lebih dulu daripada ibu-guruku, jika dia sama sekali tidak kenal keduanya sih dapat dimengerti, sekarang dia mengatakan cuma tahu Ling-lihiap, tapi tidak tahu Gak-siansing, hal ini tidaklah masuk di akal. Jelas dia sengaja hendak mengolok-olok suhuku."
Gak Put-kun ternyata acuh tak acuh, katanya, "Namaku yang rendah memangnya tidak ada nilainya untuk dikenal Yim-siansing."
"Eh, Gak-siansing, aku ingin mencari tahu kabar seseorang, entah kau mengetahui jejaknya tidak?" tiba-tiba Yim Ngo-heng bertanya kepada Gak Put-kun.
"Entah siapa yang ingin ditanyakan Yim-losiansing?" jawab Put-kun.
"Orang ini sangat berbudi, cerdik dan pandai lagi, orangnya juga cakap," kata Yim Ngo-heng. "Tapi ada manusia-manusia buta yang iri padanya dan ingin memencilkan dia, maka banyak dilontarkan fitnah-fitnah keji kepadanya. Aku orang she Yim ini justru sangat cocok dengan dia, sudah kuputuskan akan kujodohkan anak perempuanku ini kepadanya ...."
Mendengar sampai di sini, seketika jantung Lenghou Tiong berdetak keras. Lapat-lapat ia merasa timbulnya sesuatu soal yang serbasulit.
Terdengar Yim Ngo-heng sedang melanjutkan, "Pemuda itu baik hati lagi berbudi, ketika dia dengar anak perempuanku ini dikurung di dalam Siau-lim-si, ia lantas membawa beribu-ribu kesatria ke sini hendak memapak bakal istrinya ini. Tapi dalam sekejap saja dia entah menghilang ke mana, calon mertua seperti aku ini menjadi gelisah dan kelabakan mencarinya, makanya aku ingin tanya jejaknya padamu."
"Hahaha!" Gak Put-kun menengadah dan terbahak. "Kepandaian Yim-losiansing mahasakti, kenapa bakal mantu sendiri sampai lenyap" Kemarin di kaki gunung aku memang memergoki seorang muda dengan sebelah tangan memegang pedang, tangan yang lain mengempit seorang perempuan cantik, kabarnya ialah Na-kaucu dari apa yang disebut Ngo-tok-kau segala. Nah, Yim-losiansing, kukira kau harus hati-hati, janganlah calon mantumu itu sampai dibawa lari oleh perempuan lain."
Lenghou Tiong merasa bingung apa sebabnya sang guru bicara demikian" Padahal dia mengetahui Na Hong-hong terluka kena panah, sebabnya dia mengempit nona Na itu adalah karena ingin menyelamatkan jiwanya, mengapa aku dituduh berbuat tidak baik" Ya, tentu disebabkan suhu teramat benci kepada Mo-kau, beliau sengaja berkata demikian agar aku batal dipungut menantu oleh ketua Mo-kau ini.
Sebaliknya Yim Ngo-heng, Hiang Bun-thian, dan Ing-ing sudah tentu tidak percaya kepada cerita Gak Put-kun tadi karena mereka melihat sendiri Lenghou Tiong datang sendiri dan sekarang sembunyi di balik pigura di atas sana.
Maka dengan gelak tertawa Yim Ngo-heng telah menjawab, "Pemuda ini memang sangat romantis dan gemar main cinta, di mana-mana dia mempunyai kekasih. Sungguh kacang tidak meninggalkan lanjarannya, benar-benar sudah memperoleh ajaran seluruhnya dari sang guru."
Tanpa terasa Gak Put-kun melirik ke arah sang istri. Tapi Gak-hujin cukup kenal pribadi sang suami yang prihatin dan alim, terhadap anak murid perempuan sendiri saja biasanya juga tidak banyak memandang tanpa perlu, sudah tentu apa yang dikatakan Yim Ngo-heng sekarang hanya ocehan bualan belaka. Maka ia hanya ganda tersenyum saja terhadap lirikan sang suami.
Gak Put-kun lantas menjawab, "Apakah pemuda yang dimaksudkan Yim-losiansing adalah si bangsat cilik Lenghou Tiong, murid buangan dari Hoa-san-pay kami itu?"
"Haha, jelas dia adalah emas murni, tapi kau justru anggap loyang, pandanganmu sungguh teramat picik," kata Yim Ngo-heng. "Ya, pemuda yang kukatakan memang betul Lenghou Tiong adanya. Hehe, kau memaki dia sebagai bangsat cilik, bukankah berarti kau memaki aku sebagai bangsat tua?"
Gak Put-kun menjawab, "Bangsat cilik itu tergila-gila kepada seorang perempuan, sampai-sampai mengerahkan sedemikian banyak kawanan anjing dan serigala dari dunia Kangouw untuk mengubrak-abrik Siau-lim-si yang merupakan sumbernya ilmu silat sejagat. Coba kalau Co-suheng tidak mengatur tipu daya yang jitu, tentu kuil agung bersejarah ini sudah dihanguskan menjadi puing oleh mereka dan bukankah dosanya tak terampunkan biarpun seribu kali dihukum mati."
"Ucapan Gak-siansing ini kurang tepat," sela Hiang Bun-thian. "Jangankan tujuan Lenghou-kongcu ke sini hanya ingin memapak nona Yim dan tiada maksud hendak merusak. Seumpama para kawan Kangouw yang dia pimpin kemari ini hendak berbuat sesuatu yang melanggar aturan, masakah jago-jago Siau-lim-pay yang beribu-ribu banyaknya tak mampu membela tempat sendiri" Sekarang boleh kau periksa, selama sehari semalam para kawan tinggal di Siau-lim-si sini adakah suatu genting atau satu piring yang dirusak, bahkan satu butir beras dan setetes air juga tidak mereka makan."
"Ya, memang! Dengan datangnya para kawan Siau-lim-si berbalik bertambah banyak benda karun," demikian tiba-tiba seorang menimbrung.
"Kiranya dia juga hadir!" dari suaranya yang melengking tajam segera Lenghou Tiong mengenali pembicara itu adalah Ih Jong-hay, itu ketua Jing-sia-pay.
"Coba Ih-koancu jelaskan, benda karun apa yang bertambah?" tanya Hiang Bun-thian.
"Itu, banyak emas kuning dan air raksa berserakan di sembarang tempat," kata Ih Jong-hay. Maka tertawalah beberapa orang yang merasa geli.
Mendengar itu, hati Lenghou Tiong rada menyesal. Pikirnya, "Ya, aku memang telah melarang semua kawan merusak setiap benda di kuil ini, tapi lupa melarang mereka membuang hajat besar-kecil di sembarang tempat. Dasar mereka itu orang-orang kasar, kalau sudah kebelet, setiap tempat bisa buka celana dan buang hajat, bikin kotor saja tempat suci ini."
"Tadinya Lolap memang khawatir menyaksikan kuil bersejarah kami ini terbakar menjadi puing oleh kawan-kawan yang dipimpin Lenghou-kongcu, tapi sekarang ternyata tiada suatu benda pun yang berkurang, hal ini benar-benar berkat jasa pimpinan Lenghou-kongcu yang bijaksana, sungguh kami merasa sangat berterima kasih. Kelak bila bertemu dengan Lenghou-kongcu, Lolap tentu akan mengaturkan terima kasih padanya. Tentang kata-kata kelakar Ih-koancu tadi harap Hiang-siansing jangan anggap sungguh-sungguh."
"Betapa pun padri saleh memang berbeda jauh daripada jiwa kerdil manusia-manusia palsu," kata Hiang Bun-thian.
Hong-ting lantas berkata pula, "Ada suatu hal yang Lolap merasa tidak paham, yakni mengapa kedua suthay dari Hing-san-pay bisa wafat di dalam kuil kami ini?"
"Hah" Ap ... apa katamu?" seru Ing-ing kaget. "Ting-sian dan Ting-yat Suthay telah ... telah meninggal?"
"Ya," sahut Hong-ting Taysu. "Jenazah mereka ditemukan di dalam kuil sini, ditaksir waktu meninggalnya bersamaan dengan waktu masuknya para kawan Kangouw ke sini. Apa barangkali Lenghou-kongcu tidak keburu mencegah bawahannya sehingga kedua suthay tewas dikerubut mereka?"
"Ini ... ini sungguh aneh," kata Ing-ing. "Tempo hari waktu aku bertemu di ruangan belakang dengan kedua suthay, atas kemurahan hati Hongtiang berkat permohonan kedua suthay itu, maka aku telah dilepaskan ...."
Terima kasih dan terharu pula Lenghou Tiong mendengar itu, katanya di dalam hati, "Kiranya atas permohonan kedua suthay itu Hongtiang Taysu benar-benar telah membebaskan Ing-ing. Sebaliknya beliau-beliau itu malah tewas di sini sebagai korban kepentinganku dan Ing-ing. Sebenarnya siapakah pembunuh mereka" Aku ... aku harus menuntut balas bagi mereka."
Dalam pada itu terdengar Ing-ing lagi berkata, "Sesudah kedua suthay membawa aku meninggalkan pegunungan ini, hari ketiga di tengah jalan lantas mendapat berita bahwa Lenghou ... Lenghou-kongcu memimpin para kawan Kangouw hendak memapak diriku ke Siau-lim-si. Ting-sian Suthay mengajak lekas mencegat Lenghou-kongcu dengan rombongannya agar tidak menimbulkan keonaran lagi terhadap Siau-lim-pay. Tapi malamnya kami ketemu lagi seorang teman Kangouw, katanya para kawan Kangouw terbagi dalam beberapa jurusan dan menentukan tanggal 15 bulan 12 berkumpul di tempat sasaran. Kedua suthay menjadi khawatir Siau-lim-si telanjur diserang, hal ini berarti mengingkari kebaikan Hongtiang Taysu yang telah membebaskan diriku tanpa syarat. Maka Ting-sian Suthay lantas suruh aku berangkat sendiri untuk menemui ... menemui Lenghou-kongcu dan membubarkan rombongannya, kedua suthay lantas balik kembali ke Siau-lim-si untuk bantu menjaga segala kemungkinan dikacaunya tempat suci itu."
Perasaan Lenghou Tiong terguncang lagi mendengarkan cerita Ing-ing yang mengharukan dan terkadang rada malu-malu bila menyebut dirinya.
Hong-ting Taysu lantas berkata pula, "Omitohud! Lolap sangat berterima kasih atas maksud baik kedua suthay. Memang banyak kawan-kawan dari berbagai golongan dan aliran, baik kenal maupun tidak, mereka berbondong-bondong datang kemari hendak membantu, sungguh Lolap tidak tahu cara bagaimana harus membalas budi mereka. Untung berkat lindungan Buddha, kedua pihak tidak sampai bertempur sungguh-sungguh sehingga terhindarlah malapetaka banjir darah. Ai, dengan wafatnya kedua suthay, selanjutnya Hing-san-pay menjadi kehilangan dua pemimpin yang bijaksana dan dunia persilatan juga berkurang dengan dua tokoh ternama. Sungguh sayang dan menyesalkan."
Lalu Ing-ing berkata pula, "Setelah berpisah dengan kedua suthay, malamnya aku lantas kepergok musuh, di bawah kerubutan musuh yang banyak aku telah tertawan selama beberapa hari, ketika aku diselamatkan ayah dan Hiang-sioksiok, sementara itu para kawan Kangouw sudah masuk Siau-lim-si. Kami bertiga masuk ke sini belum ada setengah jam, maka kami tidak mengetahui cara bagaimana kawan-kawan Kangouw itu lolos dari sini, pula tidak tahu meninggalnya kedua suthay."
"Jika demikian, jadi kedua suthay bukan tewas di tangan Yim-siansing dan Hiang-cosu?" Hong-ting menegas.
"Kedua suthay telah menyelamatkan diriku, sudah seharusnya aku membalas budi mereka, mana bisa aku tinggal diam apabila ayah dan Hiang-sioksiok bergebrak dengan kedua suthay?" ujar Ing-ing.
"Benar juga ucapanmu," kata Hong-ting.
Tiba-tiba Ih Jong-hay menimbrung lagi, "Tapi kelakuan orang Mo-kau sering kali terbalik daripada orang biasa, jika umumnya membalas budi dengan kebaikan, sebaliknya manusia sesat itu justru membalas air susu dengan air tuba!"
"He, aneh, sungguh aneh! Sejak kapankah Ih-koancu masuk Tiau-yang-sin-kau kami?" tanya Hiang Bun-thian.
"Apa" Ngaco-belo! Siapa yang mengatakan aku masuk Mo-kau?" sahut Ih Jong-hay dengan gusar.
"Habis kau bilang orang Sin-kau kami suka membalas air susu dengan air tuba, padahal Ih-koancu sendiri termasyhur karena ahli membalas susu dengan air tuba. Bukankah Ih-koancu telah menjadi kawan anggota kami" Bagus, bagus sekali. Kusambut dengan segala senang hati."
"Huh, ngaco-belo! Kentut busuk!" teriak Ih Jong-hay dengan gusar.
"Nah! Betul tidak kataku" Ucapanku bermaksud baik, sebaliknya Ih-koancu memaki aku, bukankah ini membalas susu dengan air tuba" Ya, dasar memang wataknya demikian, baik kelakuan maupun pada tutur katanya juga kelihatan akan wataknya yang suka membalas susu dengan tuba."
Supaya kedua orang tidak bertengkar soal yang tidak penting, cepat Hong-ting Taysu menyela, "Sebenarnya siapa yang membunuh kedua suthay, kelak kita tentu akan mengetahui setelah tanya kepada Lenghou-kongcu. Tapi sekarang begitu kalian datang, sekaligus lantas membinasakan delapan orang cing-pay kami, coba katakan apa sebabnya?"
Yim Ngo-heng menjawab, "Sudah biasa aku pergi-datang sendiri di dunia Kangouw tanpa seorang pun yang berani kurang ajar padaku. Tapi kedelapan orang ini berani membentak-bentak padaku dan suruh aku keluar dari tempat sembunyi, bukankah dosa mereka ini pantas dihukum mati?"
"Omitohud!" kata Hong-ting. "Mereka hanya membentak beberapa kali, Yim-siansing lantas ambil tindakan sekeji ini, apakah caramu ini tidak keterlaluan?"
"Hahaha! Jika Hongtiang Taysu anggap keterlaluan ya bolehlah katakan demikian," sahut Yim Ngo-heng. "Kau tidak bikin susah anak perempuanku, aku terima kebaikanmu. Maka sekali ini aku tidak ingin banyak berdebat dengan kau, kedua pihak anggap selesai sudah."
"Kau ... kau ...." tiba-tiba Ih Jong-hay hendak menyela lagi, tapi demi melihat sorot mata Yim Ngo-heng yang tajam itu, teringatlah kelihaian tokoh Mo-kau di masa lampau itu, seketika timbul rasa jerinya dan urung meneruskan kata-katanya.
Hong-ting lantas menyambung, "Jika Yim-siansing anggap sudah beres ya bereslah sudah. Cuma kedelapan orang yang kalian bunuh ini cara bagaimana menyelesaikannya?"
"Penyelesaian apa lagi?" sahut Yim Ngo-heng. "Anggota Tiau-yang-sin-kau kami teramat banyak, jika kalian mampu boleh silakan bunuh delapan orang di antara mereka sebagai imbalannya sudah."
"Omitohud! Sembarangan membunuh orang kan cuma menambah dosa saja," kata Hong-ting. "Eh, Co-sicu, dua di antara delapan orang yang terbunuh ini adalah anak murid kalian, menurut kau cara bagaimana penyelesaiannya?"
Belum sempat Co Leng-tan menanggapi, cepat Yim Ngo-heng mendahului, "Akulah yang membunuh mereka, kenapa kau tanya cara penyelesaiannya kepada orang lain" Kenapa tidak tanya saja padaku" Dari nadamu ini rupanya kalian hendak main kerubut terhadap kami bertiga bukan?"
"Bukan begitu maksudku," kata Hong-ting. "Cuma Yim-siansing sekarang muncul kembali, dunia Kangouw selanjutnya tentu akan banyak urusan, mungkin banyak orang yang akan dibinasakan oleh Sicu, maka Lolap ada maksud minta kalian sudi tinggal di kuil ini untuk sembahyang dan baca kitab, dengan demikian barulah dunia Kangouw akan aman sentosa. Entah bagaimana pendapat kalian?"
"Bagus, bagus! Usul ini sangat menarik," seru Yim Ngo-heng sambil bergelak tertawa.
Hong-ting menyambung lagi, "Ketika putrimu tinggal di belakang gunung ini, setiap anak murid Siau-lim-si sama menghormat padanya, segala pelayanan tidak pernah kurang. Sebabnya Lolap menahan putrimu di sini bukanlah bermaksud menuntut balas bagi anak murid kami yang menjadi korban keganasan putrimu, ai, mungkin kematian anak murid kami itu adalah karma atas perbuatan mereka di jelmaan hidup yang lalu. Sebenarnya balas-membalas tanpa akhir juga bukan kehendak murid Buddha kami. Cuma kemudian persoalan ini telah menimbulkan huru-hara di dunia Kangouw, hal ini adalah di luar dugaanku. Lagi pula dahulu ketika putrimu datang ke sini minta pertolongan bagi Lenghou-kongcu, dengan tegas dikatakan bahwa asalkan Lolap sudi menyelamatkan jiwa Lenghou-kongcu, maka putrimu ini rela mengganti jiwa bagi anak murid kami yang dibunuh olehnya. Lolap menjawab ganti jiwa sih tidak perlu, tetapi dia harus tinggal tirakat di atas Siau-sit-san sini, tanpa izin Lolap tidak boleh sembarangan meninggalkan gunung ini. Dia terus mengiakan tanpa ragu-ragu. Betul tidak kataku ini, Yim-siocia?"
Wajah Ing-ing tampak bersemu merah, sahutnya perlahan, "Ya, benar."
"Hehe, setia dan berbudi juga," jengek Ih Jong-hay. "Cuma sayang kelakuan Lenghou Tiong itu tidak senonoh, dahulu pernah kupergoki olehku ketika dia bermalam di rumah pelacuran di Kota Heng-san. Kukira cinta Yim-siocia akan disia-siakan olehnya."
"Ih-koancu sendiri memergoki dia di rumah pelacuran, kau melihatnya dengan mata kepala sendiri" Tidak keliru?" Hiang Bun-thian menegas.
"Ya, mana bisa aku salah lihat?" sahut Ih Jong-hay.
Tiba-tiba Hiang Bun-thian dengan suara setengah tertahan, "He, Ih-koancu, kiranya kau juga suka cari cewek, kau adalah kawan sepahamku. Eh, siapakah anak dara kegemaranmu di rumah "P" itu" Cantik tentunya?"
Keruan muka Ih Jong-hay merah padam dan belingsatan, ia mencaci-maki habis-habisan saking gusar. Sebaliknya Hiang Bun-thian bergelak tertawa puas.
Dasar pribadi Ih Jong-hay memang tidak disukai oleh kebanyakan orang-orang cing-pay, maka banyak di antaranya ikut tertawa geli dan merasa syukur dia diolok-olok oleh pihak Mo-kau yang tidak pantang omong dalam segala hal.
Lenghou Tiong yang sembunyi di balik pigura itu menjadi sangat berterima kasih kepada Ing-ing setelah mendengar penuturan Hong-ting Taysu tentang kejadian dahulu itu.
Terdengar Hong-ting berkata pula, "Yim-siansing, silakan kalian tirakat saja di Siau-sit-san sini, selanjutnya kita mengubah lawan menjadi kawan, asalkan kalian bertiga tidak meninggalkan pegunungan ini, Lolap berani tanggung takkan ada orang yang berani mencari perkara kepada kalian bertiga. Seterusnya kita akan sama-sama hidup tenteram sejahtera, semuanya kan sama bahagia."
Melihat Hong-ting Taysu bicara dengan sungguh-sungguh dan setulus hati, diam-diam Co Leng-tan, Gak Put-kun, dan lain-lain merasa padri agung ini terlalu naif cara berpikirnya. Masakan tiga gembong iblis Mo-kau yang biasanya membunuh orang tanpa kenal ampun mau dikurung begitu saja secara sukarela"
Maka dengan tersenyum Yim Ngo-heng telah menjawab, "Maksud baik Hong-ting Taysu benar-benar harus dipuji, sebenarnya Cayhe seharusnya menurut."
"Jadi Sicu sudah mau tinggal di Siau-sit-san sini?" Hong-ting menegas dengan girang.
"Benar," sahut Yim Ngo-heng. "Cuma paling lama aku hanya akan tinggal dua jam saja di sini, lebih lama lagi aku tidak sanggup."
Hong-ting tampak sangat kecewa, katanya, "Hanya tiga jam saja" Apa gunanya waktu sesingkat ini?"
"Memangnya Cayhe ingin tinggal beberapa hari lebih lama agar bisa bercengkerama dengan para sobat di sini, cuma sayang nama Cayhe sudah telanjur kurang baik, ya, apa boleh buat?"
"Lolap menjadi tidak paham," kata Hong-ting bingung. "Apa hubungannya dengan nama Sicu yang terhormat?"
"Ya, she Cayhe kurang baik, namaku juga kurang baik," sahut Yim Ngo-heng. "Aku she Yim pakai nama Ngo-heng pula (yim-ngo-heng berbuat semaunya). Tahu begini tentu sejak mula aku akan mencari nama yang lebih bagus. Sekarang sudah telanjur pakai nama begini, ya apa boleh buat, terpaksa aku berbuat sesukaku, ke mana aku ingin pergi, di situlah aku tiba."
"O, kiranya Yim-siansing sengaja permainkan Lolap," kata Hong-ting kurang senang.
"Mana aku berani," sahut Yim Ngo-heng. "Di antara tokoh-tokoh terkemuka pada zaman ini yang kukagumi boleh dikata sangat terbatas, paling-paling cuma tiga setengah saja. Taysu termasuk satu di antaranya. Selain itu masih ada tiga setengah orang yang tidak kusukai."
Ucapan Yim Ngo-heng itu sangat sungguh-sungguh, sedikit pun tiada nada mengolok-olok. Maka dengan merangkap kedua tangan Hong-ting berkata, "Omitohud! Banyak terima kasih atas pujianmu."
Semua orang, termasuk Lenghou Tiong yang sembunyi di balik pigura, merasa heran dan ingin tahu siapa-siapa tiga setengah orang tokoh zaman ini yang dikatakan dikagumi oleh gembong Mo-kau ini dan siapa-siapa lagi tiga setengah orang yang tak disukainya itu"
Tiba-tiba seorang yang bersuara nyaring berseru, "Yim-siansing, siapa-siapa lagi yang kau kagumi?"
"Maaf, Saudara tidak termasuk di antaranya," sahut Yim Ngo-heng dengan tertawa.
"Cayhe mana berani disejajarkan dengan Hong-ting Taysu," kata orang itu. "Sudah tentu aku adalah orang yang tak disukai Yim-siansing."
"Kau pun tidak termasuk di antara tiga setengah orang yang tidak kusukai," kata Yim Ngo-heng. "Kau boleh berlatih 30 tahun lagi, mungkin kelak akan membikin aku menjadi tidak suka."
Orang itu menjadi bungkam. Semua orang pun berpikir, "Kiranya juga tidak mudah untuk menjadi orang yang tidak kau sukai."
"Apa yang dikatakan Yim-siansing benar-benar sesuatu yang serbamenarik," kata Hong-ting.
"Hwesio besar, apakah kau ingin tahu siapa-siapa lagi yang kukagumi dan siapa-siapa pula yang tidak kusukai?" tanya Yim Ngo-heng.
"Memang ingin minta penjelasan Sicu," sahut Hong-ting.
"Hwesio besar, seperti kukatakan tadi, padri saleh macam kau adalah tokoh utama yang kukagumi. Adapun orang kedua yang kukagumi adalah Tonghong Put-pay, orang yang telah merebut kedudukan kaucu dari tanganku itu."
Semua orang sama bersuara heran karena hal ini sama sekali di luar dugaan. Semua orang mengetahui Yim Ngo-heng kena dijebak oleh Tonghong Put-pay dan dikerangkeng sekian lamanya, tentu dia akan sangat benci dan dendam kepada seterunya itu. Siapa tahu Tonghong Put-pay malah termasuk seorang yang dikaguminya.
"Kekagumanku kepada Tonghong Put-pay bukannya tidak beralasan," sambung lagi Yim Ngo-heng. "Selamanya aku merasa tiada tandingannya di dunia ini baik dalam hal ketinggian ilmu silat maupun dalam hal kecerdasan. Tak terduga, aku bisa masuk perangkapnya Tonghong Put-pay dan hampir-hampir terkubur selamanya di dasar danau. Tokoh selihai Tonghong Put-pay masakah tidak pantas dikagumi?"
Bab 96. Yim Ngo-heng Menang dengan Akal Licik
"Betul juga pembahasanmu," ujar Hong-ting sambil mengangguk.
"Dan orang ketiga yang kukagumi adalah tokoh puncak dari Hoa-san-pay pada masa kini," kata lagi Yim Ngo-heng.
Kembali semua orang merasa di luar dugaan. Padahal tadi dia sengaja mengolok-olok Gak Put-kun, siapa tahu di dalam hati dia mengagumi ketua Hoa-san-pay itu.
Mendadak Gak-hujin buka suara, "Kau tidak perlu pakai kata-kata demikian untuk menyindir orang."
"Haha, Gak-hujin, apakah kau mengira suamimu yang kumaksudkan?" Yim Ngo-heng tertawa. "Huh, dia ... dia masih selisih terlalu jauh. Yang kukagumi adalah Hong Jing-yang Hong-losiansing, ilmu pedangnya mahasakti dan jauh lebih mahir daripadaku. Maka aku mengagumi dia setulus hati tiada tara."
"Apakah Hong-losiansing masih hidup di dunia ini?" tanya Hong-ting sambil memandang Yim Ngo-heng, lalu berpaling pula ke arah Gak Put-kun dan istrinya.
"Hong-susiok sudah mengasingkan diri pada beberapa puluh tahun yang lalu, selama ini tiada pernah ada kabar beritanya," kata Gak Put-kun. "Adalah beruntung sekali bagi Hoa-san-pay kami bilamana beliau masih hidup."
"Hm, Hong-losiansing adalah orang Kiam-cong dan kau sendiri orang pihak Khi-cong, kedua sekte Hoa-san-pay kalian biasanya saling bermusuhan, keuntungan apa bagimu jika Hong-losiansing benar-benar masih hidup?" jengek Yim Ngo-heng.
Wajah Gak Put-kun sebentar pucat sebentar merah karena olok-olok itu, hatinya menjadi kebat-kebit pula, pikirnya, "Iblis ini meski terkenal jahat, tapi kabarnya sangat menilai tinggi dirinya dan tidak mau omong kosong. Jangan-jangan Hong Jing-yang memang benar masih hidup di dunia ini?"
Biasanya dia sangat sabar dan tenang menghadapi segala soal, tapi sekarang urusannya menyangkut kepentingan Hoa-san-pay sendiri, perasaannya yang bergolak menjadi sukar ditutupi.
Maka dengan tertawa Yim Ngo-heng berkata pula, "Kau jangan khawatir. Hong-losiansing adalah tokoh dunia luar, masakah kau menyangka beliau mengincar kedudukan ciangbunmu ini?"
Dengan tegas Gak Put-kun berkata, "Cayhe tidak punya kepandaian apa-apa, bila Hong-susiok sudi menggantikan diriku sungguh suatu hal yang menggirangkan. Apakah Yim-siansing dapat memberi tahu tempat kediaman Hong-susiok agar Cayhe dapat mengunjungi beliau. Untuk mana segenap orang Hoa-san-pay akan sangat berterima kasih padamu."
"Pertama aku tidak tahu di mana beradanya Hong-losiansing," jawab Yim Ngo-heng sambil goyang kepala. "Kedua, seumpama tahu juga takkan kukatakan padamu. Tusukan tombak dari depan mudah dielakkan, serangan senjata rahasia dari belakang sukar dijaga. Gampang sekali menghadapi pengecut tulen, tapi laki-laki palsu benar-benar membikin kepala pusing."
Gak Put-kun terdiam atas olok-olok itu. Sebagai seorang kesatria yang ramah tamah sudah tentu ia tidak dapat bertengkar hanya urusan kata-kata saja.
Kemudian Yim Ngo-heng berpaling kepada ketua Bu-tong-pay, yaitu Tiong-hi Totiang, katanya, "Orang keempat yang kukagumi adalah tosu tua kau ini. Thay-kek-kiam-hoat Bu-tong-pay kalian mempunyai keistimewaan tersendiri, kau imam tua ini bisa pula menjaga kepribadian sendiri dan tidak suka banyak ikut campur urusan Kangouw. Cuma kau tidak mahir mendidik murid, di antara anak murid Bu-tong-pay tiada sesuatu bibit muda yang menonjol, nanti kalau kau tua bangka ini sudah pulang ke dunia nirwana, mungkin Thay-kek-kiam-hoat kalian akan ikut lenyap. Lagi pula meski kau punya ilmu pedang cukup tinggi, namun belum tentu mampu menangkan diriku. Maka dari itu aku hanya kagum padamu setengah saja, tidak satu penuh."
"Haha, bisa mendapat setengah kagum dari Yim-siansing sudah cukup menaikkan harga diriku, terima kasih ya," seru Tiong-hi Tojin dengan tertawa.
"Tidak perlu sungkan," sahut Yim Ngo-heng. Lalu ia berpaling kepada Co Leng-tan dan berkata pula, "Co-tayciangbun, kau tidak perlu tertawa di muka, tapi marah di dalam perut. Meski kau tidak termasuk di dalam orang-orang yang kukagumi, tapi di antara tiga setengah orang yang tidak kusukai justru kau menduduki tempat pertama."
"Haha, aku benar-benar kaget tercampur girang," sahut Co Leng-tan.
"Ilmu silatmu hebat, jalan pikiranmu juga mendalam, sangat cocok dengan seleraku," kata Yim Ngo-heng. "Kau bermaksud melebur Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu aliran besar untuk mengimbangi Siau-lim dan Bu-tong-pay, cita-citamu setinggi langit, sungguh harus dipuji. Cuma kau suka main selundap-selundup dengan macam-macam tipu keji, hal ini bukan perbuatan seorang kesatria sejati dan tidak bisa dikagumi."
"Hm, di antara tiga setengah tokoh di zaman ini yang tidak kusukai, kau justru cuma masuk yang setengah saja," jengek Co Leng-tan.
"Hah, bisanya meniru saja, sama sekali tidak punya pendirian sendiri, makanya kau tak bisa dikagumi, lebih-lebih tidak kusukai," kata Yim-Ngo-heng sambil menggeleng.
"Kau sengaja mengobrol ke timur dan ke barat, apakah kau ingin mengulur waktu atau lagi menunggu bala bantuan?" jengek Co Leng-tan lagi.
"Apakah kau bermaksud mengerubut kami bertiga dengan jumlah kalian yang jauh lebih banyak?" ejek Yim Ngo-heng.
"Kau datang ke Siau-lim-si sini dan main membunuh sesukamu, lalu mau pergi secara aman, memangnya kau anggap kami ini patung semua?" kata Co Leng-tan. "Pendeknya, apa kau akan menuduh kami main kerubut atau bilang kami tidak mengutamakan tata tertib bu-lim, yang pasti kau telah membunuh anak murid Ko-san-pay kami, sekarang aku Co Leng-tan berada di sini, betapa pun aku ingin minta petunjuk beberapa jurus padamu."
Tiba-tiba Yim Ngo-heng berkata kepada Hong-ting Taysu, "Hongtiang Taysu, di sini ini Siau-lim-si atau cabang Ko-san-pay?"
"Ai, Sicu ini sudah tahu sengaja tanya, sudah tentu di sini adalah Siau-lim-si," sahut Hong-ting.
"Jika demikian, urusan di sini diputuskan oleh ketua Siau-lim-pay atau ketua Ko-san-pay?" tanya Yim Ngo-heng.
"Meski Lolap yang menjadi tuan rumah, tapi kalau para kawan ada saran-saran juga akan kuterima," kata Hong-ting.
"Hahaha, memang benar ada saran yang bagus," seru Yim Ngo-heng sambil terbahak. "Sudah tahu kalau bertempur satu lawan satu pasti akan kalah, maka sekarang ingin main kerubut. Eh, orang she Co, hari ini kalau kau mampu merintangi kepergianku, tidak perlu turun tangan segera aku akan menggorok leher sendiri di depanmu."
"Sekarang kami bersepuluh orang di sini, untuk merintangi kau mungkin tidak sanggup, tapi untuk membunuh anak perempuanmu kukira tidaklah sukar," sahut Co Leng-tan.
"Omitohud! Janganlah main bunuh-membunuh!" sela Hong-ting.
Hati Lenghou Tiong juga ikut berdebar. Ia tahu apa yang dikatakan Co Leng-tan itu memang bukan gertakan belaka. Di antara kesepuluh orang yang dikatakan itu kalau bukan ketua sesuatu aliran persilatan ternama tentulah jago kelas wahid. Betapa pun tinggi ilmu silat Yim Ngo-heng paling-paling hanya bisa menyelamatkan diri sendiri saja. Dapatkah Hiang Bun-thian menyelamatkan diri sudah sukar dikatakan, apalagi Ing-ing, terang tiada harapan.
Tapi Yim Ngo-heng ternyata tidak kurang akal, jawabnya kontan, "Pikiran Co-tayciangbun memang cerdik. Tapi Co-tayciangbun sendiri punya anak laki-laki, Gak-siansing punya seorang anak perempuan. Ih-koancu seperti punya beberapa gundik kesayangan. Thian-bun Totiang tidak punya anak, tapi banyak murid yang dicintainya. Bok-taysiansing masih punya ayah-bunda di rumah. Kian-kun-it-kiam Cin San-cu dari Kun-lun-pay punya seorang cucu tunggal. Ada pula Kay-taypangcu dari Kay-pang ini, eh, Hiang-cosu, adakah orang kesayangan Kay-pangcu di rumahnya?"
"Kudengar Jing-lian Sucia dan Pek-lian Sucia yang terkenal dari Kay-pang itu sebenarnya adalah anak haram Kay-pangcu," sahut Hiang Bun-thian.
"Apakah kau tidak keliru, janganlah kita salah membunuh orang baik-baik," ujar Yim Ngo-heng.
"Tidak bisa salah, hamba sudah menyelidikinya dengan jelas," sahut Hiang Bun-thian.
"Ya, apa mau dikata, andaikan salah membunuh juga tak bisa dihindarkan," kata Yim Ngo-heng. "Terpaksa kita bunuh saja beberapa puluh orang Kay-pang, paling tidak dua orang di antaranya adalah sasaran yang tepat."
"Pendapat Kaucu memang benar," ujar Hiang Bun-thian.
Setiap kali Yim Ngo-heng menyebut sanak keluarga masing-masing, baik Co Leng-tan maupun yang lain-lain sama merasa ngeri. Mereka tahu setiap kata gembong Mo-kau itu bukan bualan belaka, selamanya dia berani berkata dan berani berbuat. Jika benar-benar anak perempuannya dibunuh, maka dia pasti akan membalas dengan cara yang lebih keji terhadap sanak keluarga mereka. Kalau dipikir sungguh mendirikan bulu roma orang. Maka seketika suasana ruangan menjadi sunyi, wajah semua orang berubah pucat.
Selang sejenak barulah Hong-ting berkata, "Balas-membalas tentu tiada akhirnya. Yim-sicu, kami takkan mengganggu Yim-siocia, cuma kalian bertiga diminta tinggal di sini selama sepuluh tahun saja."
"Tidak bisa, nafsu membunuhku sudah tergerak, sekali mulai ingin kubunuh keempat gundik cantik kesayangan Ih-koancu itu," kata Yim Ngo-heng. "Begitu pula anak perempuan Gak-siansing tidak boleh dibiarkan hidup di dunia ini."
Keruan Lenghou Tiong terperanjat di tempat sembunyinya, ia tidak tahu ucapan Yim Ngo-heng itu hanya untuk menakut-nakuti saja atau benar-benar akan mengadakan penyembelihan secara besar-besaran.
"Eh, Yim-siansing, bagaimana kalau kita mengadakan taruhan?" tiba-tiba Tiong-hi Tojin berkata.
"Tidak, dalam hal taruhan aku lagi sial, tidak punya angin. Tapi membunuh orang aku yakin akan berhasil," kata Ngo-heng. "Membunuh jago-jago kelas tinggi mungkin juga gagal, tapi membunuh anak istri atau ayah ibu tokoh bersangkutan aku cukup yakin akan terlaksana."
"Membunuh orang-orang yang tidak tahu ilmu silat bukan perbuatan seorang gagah," kata Tiong-hi.
"Biarpun tidak gagah, sedikitnya akan membikin lawanku yang menyesal selama hidup dan aku sendirilah yang senang," kata Ngo-heng.
"Kau pun akan kehilangan anak perempuan, apanya yang menyenangkan?" ujar Tiong-hi Tojin. "Kehilangan anak perempuan berarti takkan punya menantu pula. Dan menantumu tentunya akan dipungut menantu oleh orang lain, untuk mana rasanya kau pun tidak mendapat pamor apa-apa."
"Ya, apa boleh buat," kata Yim Ngo-heng. "Terpaksa aku pun membunuh mereka seluruhnya. Habis siapa suruh bakal menantuku itu tidak setia kepada anak perempuanku?"
"Begini saja, kami takkan main kerubut dan kau pun jangan sembarangan membunuh," kata Tiong-hi. "Kita boleh bertanding secara adil. Kalian bertiga boleh bertanding tiga babak dengan tiga orang di antara kami. Dua-satu adalah pihak yang menang."
"Benar, usul Tiong-hi Totiang memang lain daripada yang lain," cepat Hong-ting menyetujui. "Kita boleh bertanding secara bersahabat, tidak perlu sampai binasa."
"Jika kami bertiga kalah, maka diharuskan tinggal sepuluh tahun lamanya di sini, bukan?" tanya Yim Ngo-heng.
"Benar," jawab Tiong-hi Tojin. "Bila kalian bertiga menangkan dua dari tiga babak, dengan sendirinya kami mengaku kalah dan kalian bebas buat pergi. Kematian kedelapan murid kami ini pun anggap saja sia-sia."
"Aku memang setengah kagum padamu, maka aku pun merasa kata-katamu ada setengahnya masuk di akal," kata Ngo-heng. "Siapa di antara kalian yang akan maju tiga orang" Bolehkah aku yang memilih?"
"Hong-ting Taysu adalah tuan rumah, sudah pasti dia akan turun kalangan," sela Co Leng-tan. "Kepandaianku sudah terlena belasan tahun, maka sekarang aku pun ingin coba-coba tenagaku. Mengenai babak ketiga, karena usul ini dikemukakan oleh Tiong-hi Totiang, kan aneh jika dia hanya berpeluk tangan menonton saja, mau tak mau dia harus perlihatkan, juga kelihaian Thay-kek-kiam-hoatnya."
Di antara sepuluh orang di pihak mereka itu memang Co Leng-tan sendiri dan Hong-ting Taysu serta Tiong-hi Tojin merupakan tiga jago paling tinggi, sekaligus dia menonjolkan mereka bertiga boleh dikata pasti akan menang. Yang jelas Ing-ing yang kepandaiannya masih terbatas itu pasti akan kalah menghadapi salah satu di antara mereka. Sedangkan Hong-ting, Tiong-hi, dan Co Leng-tan adalah tiga tokoh puncak tertinggi di pihak cing-pay, kepandaian mereka masing-masing rasanya tidak di bawah Yim Ngo-heng, dibandingkan Hiang Bun-thian mungkin lebih tinggi sedikit, jadi untuk menangkan dua dari tiga babak terang 80% sudah dipegang mereka. Bahkan tiga babak dimenangkan seluruhnya juga ada harapan. Yang dikhawatirkan pihak cing-pay hanyalah kalau Yim Ngo-heng sampai lolos, maka bukan mustahil segala tipu muslihat keji akan dipakai olehnya untuk mencelakai sanak keluarga mereka.
Ternyata Yim Ngo-heng tak bisa menerima usul Tiong-hi tadi, ia menggeleng dan berkata, "Pertandingan tiga babak kurasa tidak baik, marilah kita hanya bertanding satu babak saja. Kalian boleh pilih seorang jago, pihak kami juga tampilkan satu orang, dengan demikian urusan menjadi sederhana."
"Yim-heng, hari ini kalian bertiga sudah terpencil di tengah kami, jangankan kami bersepuluh ini sudah tiga kali lebih kuat daripada pihakmu, asalkan Hongtiang Taysu mengeluarkan perintah, melulu jago Siau-lim-si saja seketika akan muncul beberapa puluh orang, belum lagi jago-jago pilihan dari golongan lain."
"Makanya kalian ingin menang dengan mengerubut bukan?" jengek Yim Ngo-heng.
"Memang," sahut Co Leng-tan.
"Huh, tidak tahu malu," Yim Ngo-heng mengolok-olok lagi.
"Membunuh orang tanpa alasan itulah perbuatan yang tidak tahu malu," balas Co Leng-tan.
"Apakah membunuh orang harus pakai alasan" Coba jawab Co-tayciangbun, alasan apa yang kau pakai untuk membunuh orang-orang yang telah menjadi korban keganasanmu selama ini?"
"Kenapa Yim-heng melantur tak keruan, apakah kau sengaja mengulur waktu dan tidak berani bertempur?" jengek Co Leng-tan.
Mendadak Yim Ngo-heng bersuit panjang, suaranya menggetar dinding, api beberapa lilin besar yang menerangi ruangan itu sampai guram, setelah suara suitannya reda barulah cahaya lilin menyala kembali. Hati semua orang pun berdebar-debar terpengaruh oleh suaranya itu, air muka mereka sama berubah.
"Baiklah," kata Yim Ngo-heng kemudian, "marilah kita mulai bertanding, orang she Co."
"Seorang laki-laki sejati sekali bicara harus pegang janji," sahut Co Leng-tan. "Jika dua di antara kalian bertiga kalah, maka kalian harus tinggal sepuluh tahun di Siau-sit-san sini."
"Baik," sahut Yim Ngo-heng. "Marilah kita mulai, aku lawan kau, nanti Hiang-cosu melawan si cebol she Ih, anak perempuanku mencari lawan perempuan pula, bolehlah dia melayani Gak-hujin, Ling-lihiap."
"Tidak bisa," sahut Co Leng-tan. "Siapa-siapa di pihak kami yang harus maju adalah kami sendiri yang pilih, mana boleh kau main tunjuk sesukanya."
"Jago masing-masing harus dipilih pihak sendiri, pihak lain tidak boleh pilih?" tanya Yim Ngo-heng.
"Ya," jawab Leng-tan. "Pihak kami yang akan maju adalah kedua ketua Siau-lim dan Bu-tong ditambah lagi Cayhe."
"Dengan kedudukan dan namamu masakah dapat disejajarkan dengan ketua-ketua Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay?" kembali Yim Ngo-heng mengolok-olok.
Kasih Diantara Remaja 6 Kemelut Blambangan Seri Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Peristiwa Bulu Merak 2
^