Pencarian

Hina Kelana 38

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 38


Dalam pada itu Leng-sian sedang mengusap luka di pipi Peng-ci dengan saputangannya. Di luar dugaan, mendadak tangan kanan Peng-ci terus mendorong dengan kuat sehingga Leng-sian yang tidak berjaga-jaga itu jatuh terbanting.
Lenghou Tiong menjadi gusar, bentaknya, "Kenapa kau ...." tapi segera teringat olehnya bahwa Peng-ci dan Leng-sian sudah menjadi suami istri, kalau suami istri bertengkar adalah tidak pantas orang luar ikut campur, apalagi kata-kata Peng-ci tadi jelas rada sirik padanya. Bahwasanya dirinya menaruh cinta pada siausumoaynya ini tentu juga diketahui Peng-ci, maka tidaklah enak jika dirinya sekarang terlibat dalam pertengkaran mereka.
Meski kedua mata Peng-ci tidak dapat melihat sesuatu lagi, namun suara pembicaraan orang dapat didengarnya dengan jelas, dengan menjengek ia lantas menanggapi dampratan Gi-ho tadi, "Hm, kau bilang aku tidak tahu malu" Sesungguhnya siapakah yang tidak tahu malu."
Mendadak ia tuding ke sana dan melanjutkan, "Si pendek she Ih ini dan si bungkuk she Bok itu, lantaran ingin mendapatkan Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami, dengan segala jalan mereka berusaha merebut dan mencelakai ayah-bundaku, meski cara mereka cukup keji masih dapat dikatakan perbuatan orang Kangouw yang jahat, tapi, hm, mana ada yang berbuat seperti ayahmu ...." ia tuding Leng-sian, lalu menyambung, "ayahmu yang menamakan dirinya Kun-cu-kiam Gak Put-kun, dia telah menggunakan caranya yang rendah dan licik untuk merebut kiam-boh keluarga Lim kami."
Saat itu Leng-sian lagi merangkak bangun, mendengar ucapan Peng-ci itu, badannya gemetar dan kembali jatuh terduduk, jawabnya dengan terputus-putus, "Mana ... mana bisa jadi hal begitu?"
"Hm, perempuan hina dina," jengek Peng-ci. "Kalian ayah dan anak sengaja berkomplot untuk memancing diriku, Gak-toasiocia dari ketua Hoa-san-pay sudi kawin dengan anak sebatang kara yang tak punya tempat tinggal lagi, coba katakan apa tujuannya" Bukankah demi untuk mendapatkan Pi-sia-kiam-boh keluarga kami" Dan sekarang kiam-boh itu sudah didapatkan, lalu untuk apalagi orang she Lim macamku ini?"
Saking tak tahan Leng-sian menangis keras, ratapnya, "Kau ... kau jangan memfitnah orang tak berdosa, jika begitu tujuanku sebagaimana kau tuduhkan, biarlah aku di ... dikutuk dan mati tak terkubur."
"Dengan licik kalian memasang perangkap, semula aku masih terselubung dan tidak tahu," kata Peng-ci pula. "Tapi sekarang sesudah kedua mataku buta mendadak aku dapat melihat dengan jelas malah. Coba, kalau kalian ayah dan anak tidak punya maksud tujuan tertentu, kenapa ... kenapa, hm, sesudah kita menikah, mengapa begitu caranya kau meladeni aku" Memangnya aku ... hm, tak perlu kukatakan lagi, kau sendiri tentu paham."
Wajah Leng-sian tampak merah, jawabnya, "Hal ini kan tidak ... tidak dapat menyalahkan aku. Kau ... kau sendiri ...." perlahan ia mendekati Peng-ci, lalu menyambung, "Sudahlah, jangan kau pikir hal-hal yang tidak keruan, pendek kata sedikit pun tidak berubah perasaanku terhadapmu dari dulu sampai sekarang."
Peng-ci hanya mendengus saja tanpa berkata.
Leng-sian berkata pula, "Marilah kita pulang ke Hoa-san untuk merawat lukamu. Apakah matamu akan sembuh atau tidak, bila aku Gak Leng-sian mempunyai pikiran yang menyeleweng, biarlah aku akan mati terlebih ngeri daripada seperti Ih Jong-hay ini."
"Hm, siapa tahu apa yang sedang kau rancangkan atas diriku, tidak perlu kau omong manis padaku," jengek pula Peng-ci.
Leng-sian tidak menjawabnya lagi, ia berkata kepada Ing-ing, "Cici, bolehkah aku meminjam sebuah kereta kalian?"
"Boleh saja," sahut Ing-ing. "Apakah perlu satu-dua Suci dari Hing-san-pay mengawal perjalanan kalian?"
"Ti ... tidak usah," jawab Leng-sian dengan terguguk-guguk. "Banyak terima kasih."
Ing-ing lantas menyeretkan sebuah kereta keledai dan menyerahkan tali kendali kepada Leng-sian.
"Marilah naik ke atas kereta!" kata Leng-sian sambil perlahan-lahan memapah bahu Peng-ci.
Tertampak Peng-ci ogah-ogahan, namun kedua matanya tak bisa melihat apa-apa, setiap langkah pun susah. Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia naik juga ke atas kereta.
Segera Leng-sian melompat ke tempat kusir di atas kereta, ia manggut-manggut kepada Ing-ing, lalu cambuknya gemeletar dan melarikan keretanya ke jurusan barat. Sekejap pun dia tidak memandang ke arah Lenghou Tiong.
Pandangan Lenghou Tiong terus mengikuti kepergian kereta itu yang semakin menjauh, ia termangu-mangu dengan perasaan pilu, air mata berlinang-linang di kelopak matanya. Pikirnya, "Kedua mata Lim-sute sudah buta, Siausumoay terluka pula. Dalam keadaan begitu apakah mereka takkan mengalami halangan di tengah perjalanan yang jauh itu" Jika di tengah jalan kepergok lagi anak murid Jing-sia-pay, apakah mereka mampu melawan?"
Dilihatnya anak murid Jing-sia-pay telah membenahi jenazah Ih Jong-hay, lalu berangkat menuju ke selatan. Walaupun arahnya berlainan dengan Peng-ci dan Leng-sian, tapi siapa berani menjamin rombongan Jing-sia-pay itu takkan memutar haluan di tengah jalan terus mengejar ke jurusan Peng-ci berdua"
Lenghou Tiong coba menyelami apa yang dipercakapkan Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian tadi, ia merasa di dalam hubungan suami-istri itu tentu mengandung berbagai rahasia yang sukar diketahui oleh orang luar. Yang jelas, bahwasanya hubungan kedua suami-istri itu kurang harmonis adalah dapat dipastikan. Teringat sang siausumoay yang masih muda belia dan disayang oleh ayah-bundanya laksana mutiara, para saudara seperguruan juga sangat hormat dan menghargainya, tetapi ia harus mendapat siksaan lahir batin dari sang suami sendiri, tanpa terasa Lenghou Tiong menjadi sedih dan mencucurkan air mata
Perjalanan mereka hanya mencapai belasan li saja lantas bermalam di suatu kuil bobrok. Tertidur sampai tengah malam, beberapa kali Lenghou Tiong terjaga oleh impian buruk. Dalam keadaan setengah sadar telinganya mendengar suara bisikan yang halus, "Engkoh Tiong! Engkoh Tiong!"
Lenghou Tiong terjaga bangun, didengarnya suara Ing-ing sedang berkata pula, "Marilah keluar, ada yang hendak kubicarakan."
Yang digunakan Ing-ing adalah ilmu mengumandangkan gelombang suara sehingga suaranya terdengar dari dekat, tapi orangnya sejak tadi sudah di luar rumah.
Segera Lenghou Tiong berbangkit dan keluar kuil itu, dilihatnya Ing-ing duduk di undak-undakan batu sambil bertopang dagu sedang termenung-menung. Lenghou Tiong mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Suasana malam sunyi senyap, sekitar mereka tiada suara sedikit pun.
Selang agak lama baru Ing-ing membuka suara, "Engkau mengkhawatirkan Siausumoaymu bukan?"
"Ya," sahut Lenghou Tiong. "Banyak persoalan yang membikin orang sukar mengerti."
"Kau mengkhawatirkan dia diperlakukan kurang baik oleh suaminya?" kata Ing-ing pula
Lenghou Tiong menghela napas, jawabnya kemudian, "Urusan suami-istri mereka, orang lain mana bisa ikut campur?"
"Bukankah kau khawatir kalau anak murid Jing-sia-pay menyusul dan mencari perkara kepada mereka?" tanya Ing-ing.
"Orang Jing-sia-pay tentu sakit hati atas kematian guru mereka, pula melihat musuhnya suami-istri dalam keadaan terluka, kalau mereka menyusul buat menuntut balas, rasanya bukanlah sesuatu yang aneh."
"Mengapa kau tidak mencari akal untuk menolong mereka?"
Kembali Lenghou Tiong menghela napas, katanya, "Dari nada Lim-sute tadi, agaknya dia rada sirik kepadaku. Meski aku hendak menolong mereka dengan maksud baik, jangan-jangan malah membikin retak hubungan baik suami-istri mereka."
"Ini cuma salah satu di antaranya. Tapi kau masih mempunyai rasa khawatir lain, khawatir akan membikin aku kurang senang, betul tidak?"
Lenghou Tiong angguk-angguk, ia pegang tangan kiri Ing-ing dengan erat, telapak tangan nona itu terasa sangat dingin. Dengan suara halus ia pun berkata, "Ing-ing, di dunia ini aku hanya mempunyai dikau seorang, jika di antara kita juga timbul sesuatu rasa curiga, lalu apa artinya lagi menjadi manusia?"
Perlahan-lahan Ing-ing menggelendot di bahu Lenghou Tiong, katanya kemudian, "Jika demikian pikiranmu, lalu di antara kita masakah bisa timbul rasa curiga segala" Urusan jangan terlambat, kita harus menyusul ke sana secepatnya, jangan sampai menimbulkan rasa penyesalan bagi hidupmu ini hanya karena ingin menghindarkan rasa curiga."
Mendengar kata-kata "meninggalkan penyesalan selama hidup", seketika Lenghou Tiong terkesiap dan seakan-akan terbayang kereta Peng-ci sedang dikepung oleh belasan orang Jing-sia-pay dengan senjata terhunus, tanpa terasa badannya rada gemetar.
Pada saat itulah tiba-tiba pandangan semua orang serasa kabur, tampaknya seperti Lim Peng-ci melompat ke sana dan mengadang di depan kuda Bok Ko-hong, tapi segera pemuda itu kelihatan sedang kebas-kebas kipasnya dan duduk tenang di tempatnya seperti tidak pernah meninggalkan bangkunya.
Selagi semua orang merasa bingung, mendadak terdengar Bok Ko-hong menggertak agar kudanya cepat lari.
Namun bagi tokoh-tokoh kelas wahid seperti Lenghou Tiong, Ing-ing dan Ih Jong-hay, dengan jelas mereka dapat melihat Lim Peng-ci telah menjulur tangannya mencolok dua kali kepada kuda Bok Ko-hong, tentu ada apa-apa yang telah dikerjainya.
Benar juga, baru saja Bok Ko-hong melarikan kudanya beberapa langkah, sekonyong-konyong kuda itu menubruk cagak gubuk. Karena tumbukan yang keras itu, setengah gubuk itu menjadi ambruk.
Cepat Ih Jong-hay melompat keluar gubuk, sedangkan kepala Lenghou Tiong dan Lim Peng-ci penuh teruruk oleh alang-alang kering yang digunakan sebagai atap gubuk itu. Lekas-lekas Gi-lim membersihkan rumput-rumput yang menutup kepala Lenghou Tiong itu.
Dengan mata melotot Lim Peng-ci menatap Bok Ko-hong, tertampak orang bungkuk itu ragu-ragu sejenak, lalu melompat turun dari kudanya sambil melepaskan tali kendali. Segera kudanya berlari lagi ke depan, tapi segera kepala menumbuk batang pohon, terdengar kuda itu meringkik panjang dan roboh terkapar dengan kepala penuh darah.
Begitu aneh kelakuan kuda itu, terang disebabkan kedua matanya sudah buta dan dengan sendirinya karena dikerjai Peng-ci dengan kecepatan luar biasa tadi.
Perlahan-lahan Peng-ci melempit kipasnya dan membersihkan rumput kering yang berserakan di atas pundaknya, lalu berkata, "Orang buta menunggang kuda pecak, sungguh berbahaya kalau menghadapi jurang di tengah malam."
Bok Ko-hong bergelak tertawa, katanya, "Sombong benar kau bocah ini, ternyata kau memang boleh juga. Ih-pendek bilang kau mahir Pi-sia-kiam-hoat, boleh coba kau pertunjukkan kepadaku."
Kudanya dibutakan, dia tidak gusar, sebaliknya malah tertawa, sungguh harus diakui kesabarannya yang luar biasa.
"Ya, memangnya akan kuperlihatkan padamu," sahut Peng-ci. "Dahulu demi untuk mendapatkan ilmu pedang keluarga kami, ayah-ibuku telah menjadi korban keganasanmu. Dosa kejahatanmu rasanya tidak lebih kecil daripada Ih Jong-hay itu."
Baru sekarang Bok Ko-hong terkejut, sungguh tidak nyana bahwa pemuda perlente di depannya sekarang ini adalah putranya Lim Cin-lam. Diam-diam Bok Ko-hong menimbang, "Dia berani menantang diriku, dengan sendirinya ada sesuatu yang dia andaikan. Ngo-gak-kiam-pay mereka sekarang sudah bergabung, kawanan nikoh dari Hing-san-pay ini dengan sendirinya adalah bala bantuannya."
Mendadak tangannya membalik terus mencengkeram ke arah Gak Leng-sian, ia pikir jumlah musuh terlalu banyak, sedangkan anak perempuan ini memangnya adalah istri bocah she Lim ini, kalau dia berada di dalam cengkeramanku masakah bocah she Lim ini berani berkutik"
Tak tersangka cengkeramannya tidak kena sasaran, sebaliknya angin tajam menyambar dari belakang, pedang seorang telah menebasnya. Cepat Bok Ko-hong mengegos ke samping, dilihatnya penyerang itu ternyata Gak Leng-sian adanya.
Rupanya Ing-ing telah memotong tali peringkus Leng-sian tadi dan telah membukakan hiat-to yang tertutuk. Karena masih terasa kesemutan berhubung sekian lamanya hiat-to tertutuk, pula lukanya terasa sakit, maka setelah tebasannya memaksa Bok Ko-hong melompat mundur, lalu Leng-sian tidak melancarkan serangan susulan meski dalam hati sangat gemas.
Dengan mengejek Peng-ci lantas berkata, "Hm, sebagai tokoh persilatan yang ternama, sungguh tidak tahu malu perbuatanmu. Sekarang kalau kau ingin hidup lebih lama, kau harus merangkak dan menjura tiga kali padaku sambil memanggil "kakek" tiga kali, dengan demikian akan kuberi hidup padamu untuk setahun lagi. Setahun kemudian aku akan mencari kau lagi untuk menagih utang nyawamu. Nah, mau?"
Dahulu di rumah Lau Cing-hong di kota Heng-san, demi menyelamatkan jiwa, Peng-ci yang waktu itu menyamar sebagai orang bungkuk juga pernah merangkak dan menjura tiga kali sambil memanggil "kakek" tiga kali kepada Bok Ko-hong. Perbuatan itu sudah tentu suatu hinaan besar baginya, cuma waktu itu dia dalam keadaan menyamar sehingga orang lain tidak mengenalnya. Namun begitu dia tidak pernah melupakan hinaan mahabesar itu. Sekarang ilmunya sudah jadi, sudah tentu segala macam dendam besar kecil di masa dahulu harus dituntutnya satu per satu dengan jelas.
Kembali Bok Ko-hong bergelak tertawa, katanya, "Hahaha, sudah begini tua hidup Bok-yaya, tapi belum pernah kulihat seorang sombong semacam kau. Biarpun sekarang kau yang menjura padaku dan memanggil tiga kali kakek padaku juga jiwamu takkan kuampuni."
Sudah tentu Bok Ko-hong tidak tahu bahwa anak muda di hadapannya ini justru sudah pernah menjura dan memanggil "kakek" padanya di waktu dahulu. Maka perlahan-lahan ia melolos pedangnya, katanya, "Ih-pendek, kalau mau berkelahi boleh kalian tosu melawan nikoh, bocah kurang ajar ini boleh serahkan padaku saja."
Ia khawatir kalau kawanan nikoh Hing-san-pay ikut turun tangan, sedangkan Ih Jong-hay diketahui juga termasuk musuh Lim Peng-ci, kalau orang Jing-sia-pay dapat menghadapi Hing-san-pay, mustahil dirinya tidak mampu melawan seorang anak muda sebagai Lim Peng-ci.
Maka terdengar Ih Jong-hay menjawab, "Pihak Hing-san-pay sejak tadi sudah menyatakan takkan memihak mana-mana. Nona yang menolong Gak-siocia tadi juga bukan orang Hing-san-pay."
Padahal pernyataan Hing-san-pay takkan memihak siapa-siapa hanya ditujukan kepada Jing-sia-pay saja, sudah tentu tidak termasuk Bok Ko-hong. Tapi Ih Jong-hay sengaja mencampuradukkannya agar Bok Ko-hong dapat melayani musuh besarnya tanpa khawatir.
Bok Ko-hong menjadi girang, katanya, "Baik sekali kalau begitu. Urusan hari ini adalah bocah ini yang mencari perkara padaku dan bukan aku yang mencari dia. Para kawan Hing-san-pay hendak menjadi saksi agar kelak di dunia Kangouw takkan timbul cerita bahwa si bungkuk menganiaya anak muda."
Sambil berkata perlahan-lahan pedang pun sudah terlolos. Bentuk pedangnya ternyata sangat aneh, yaitu melengkung. Orangnya bungkuk, pedangnya juga bungkuk.
Dengan memegang kipas, tangan lain mengangkat sedikit ujung bajunya yang panjang, dengan gaya berlenggang Lim Peng-ci lantas mendekati Bok Ko-hong. Orang yang dilalui oleh Peng-ci segera mengendus bau harum yang sedap.
Pada saat lain tiba-tiba terdengar dua kali jeritan, Ih Jin-ho dan Pui Jin-ti dari Jing-sia-pay mendadak roboh terkulai dengan dada mengucurkan darah.
Tanpa terasa orang banyak sama mengeluarkan suara kaget. Sudah jelas Peng-ci terlihat menuju ke arah Bok Ko-hong, entah cara bagaimana mendadak kedua murid Jing-sia-pay yang dilaluinya itu telah dibinasakan.
Selesai membunuh orang, perlahan-lahan Peng-ci simpan kembali pedangnya. Hanya tokoh-tokoh besar seperti Lenghou Tiong dan sebagainya yang masih melihat berkelebatnya pedang, orang lain boleh dikata tidak tahu cara bagaimana Peng-ci melolos pedangnya jangankan melihat caranya menyerang. Keruan semua orang tak terkatakan kagumnya di samping waswas pula.
Menghadapi Peng-ci yang semakin mendekat itu, badan Bok Ko-hong semakin menunduk, memangnya dia bungkuk, kini mukanya menjadi hampir mendekat tanah. Sekonyong-konyong Bok Ko-hong meraung seperti serigala menyalak, ia terus menyeruduk ke depan, pedangnya yang bengkok itu lantas menyambar ke pinggang Peng-ci.
Cepat sekali Peng-ci pindahkan kipasnya ke tangan kiri, tangan lain segera melolos pedang terus menusuk ke dada musuh. Serangannya bergerak lebih lambat, tapi tiba lebih dulu kepada sasarannya, cepat lagi jitu. Kembali Bok Ko-hong mengerang, tubuhnya terus melompat ke sana. Ternyata baju kapas di bagian dadanya sudah berlubang sehingga kelihatan bulu dadanya yang lebat.
Serangan Peng-ci itu kalau maju dua-tiga senti lagi, seketika dada Bok Ko-hong pasti berlubang. Semua orang sampai berseru kaget dan sama melongo.
Sekali gebrak saja Bok Ko-hong sudah hampir direnggut maut, namun dasarnya dia memang ganas, sedikit pun ia tidak gentar, berulang-ulang ia mengerang pula dan kembali menubruk maju.
Rada di luar dugaan Peng-ci bahwa serangannya tadi tidak kena sasarannya, diam-diam ia mengakui kehebatan si bungkuk yang terkenal itu. "Sret-sret-sret", kembali ia melancarkan serangan kilat, terdengar suara "trang-trang" yang nyaring, serangan-serangan kena ditangkis semua oleh si bungkuk.
Peng-ci mendengus, makin cepat pedangnya bergerak. Berkali-kali Bok Ko-hong terpaksa melompat ke atas dan mendekam ke bawah, pedangnya yang bengkok itu pun diputar sedemikian cepatnya sehingga berwujud sebuah jaringan sinar perak.
Setiap kali pedang Peng-ci menusuk masuk jaringan sinar pedang lawan dan terkadang membentur pedang lawan yang bengkok itu, maka tangan Peng-ci sendiri lantas terasa kesemutan, nyata sekali tenaga dalam lawan jauh lebih kuat daripadanya. Kalau kurang hati-hati bisa jadi pedang sendiri akan tergetar lepas. Karena itu Peng-ci tidak berani gegabah lagi, ia berusaha mengincar lubang kelemahan musuh untuk memberi serangan maut.
Namun Bok Ko-hong hanya memutar pedang sendiri sedemikian kencangnya, sedikit pun tidak memperlihatkan lubang kelemahan. Betapa pun tinggi ilmu pedang Peng-ci juga tak bisa berbuat apa-apa. Pertarungan demikian sebenarnya mendudukkan Peng-ci pada tempat yang tak terkalahkan, sekalipun belum dapat menjatuhkan lawan, namun Bok Ko-hong sudah jelas tidak mampu balas menyerang.
Semua orang dapat menilai, asal Bok Ko-hong bermaksud balas menyerang, itu berarti jaringan sinar pedangnya akan memberi peluang bagi serangan kilat Lim Peng-ci, jika terjadi demikian, maka sukar bagi Bok Ko-hong untuk menangkis.
Cara Bok Ko-hong memutar pedangnya sedemikian kencang sebenarnya paling membuang tenaga dalam, namun di tengah sinar pedangnya yang rapat itu Bok Ko-hong menggerung-gerung pula tanpa berhenti mengikuti gerak pedangnya, hal ini menambahkan ketangkasannya yang mengagumkan. Beberapa kali Peng-ci bermaksud membobol jaringan sinar pedang musuh, tapi selalu didesak kembali oleh pedang rawan yang bengkok itu.
Sekian lamanya Ih Jong-hay mengikuti pertarungan hebat itu, dilihatnya jaringan sinar pedang si bungkuk mulai mengkeret, makin ciut, ini menandakan tenaga dalam Bok Ko-hong sudah mulai payah. Tanpa ayal lagi, ia bersuit nyaring terus menerjang maju, "sret-sret-sret" tiga kali, cepat ia menyerang tempat mematikan di punggung Lim Peng-ci.
Ketika Peng-ci terpaksa memutar pedangnya untuk menangkis ke belakang, segera Bok Ko-hong ayun pedangnya yang bengkok itu untuk menebas kaki lawan.
Kalau menurut etiket dunia persilatan, dua tokoh ternama seperti Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong mengeroyok seorang pemuda yang masih hijau, sungguh suatu perbuatan yang memalukan.
Hanya saja sepanjang jalan orang-orang Hing-san-pay telah menyaksikan cara Peng-ci membunuh anak murid Jing-sia-pay secara tidak kenal ampun, jelas Ih Jong-hay akhirnya juga akan menjadi korbannya, maka kini mereka pun tidak heran melihat dua tokoh ternama itu mengeroyok Peng-ci, mereka malah anggap kejadian itu adalah lumrah. Sebab kalau kedua tokoh itu tidak bergabung, cara bagaimana mereka masing-masing mampu melawan ilmu pedang Peng-ci yang sukar diukur itu"
Gerak pedang Bok Ko-hong segera berubah, selain bertahan sekarang ia pun menyerang, Peng-ci menjadi girang malah, kira-kira belasan jurus kemudian, mendadak kipas di tangan kiri ikut bergerak, gagang kipas membalik terus menusuk ke depan dengan cepat luar biasa. Tiba-tiba dari ujung gagang kipas menonjol keluar sebatang jarum tajam, tepat Tiau-goan-hiat di paha kanan Bok Ko-hong tertusuk.
Bok Ko-hong terkejut, cepat pedangnya menyampuk, namun tetap kalah cepat daripada gerak serangan Peng-ci itu, hiat-to bagian kaki itu terasa kesemutan. Ia tidak berani sembarangan bergerak, sedangkan pedang diputar kencang untuk melindungi tubuh. Tapi lambat laun kedua kaki terasa lemas, tanpa kuasa ia bertekuk lutut.
"Hahaha! Baru sekarang kau menjura padaku ...." Peng-ci bergelak tertawa sambil menangkis serangan Ih Jong-hay, lalu menyambung, "namun sudah terlambat!"
"Trang," kembali ia menangkis serangan musuh dan kontan balas menyerang satu kali.
Meski kedua kaki Bok Ko-hong berlutut ke bawah, namun pedangnya yang bengkok itu tetap digunakan menyerang tanpa berhenti. Rupanya ia menginsafi bahwa kekalahan pihaknya sudahlah pasti, maka setiap jurus serangannya selalu menggunakan cara nekat, bila perlu siap gugur bersama musuh.
Keadaan menjadi berbeda sama sekali, kalau mula-mula Bok Ko-hong hanya bertahan tanpa menyerang, sekarang dia berbalik hanya menyerang tanpa menjaga diri lagi. Ia sudah tidak pikirkan jiwanya lagi, dengan demikian untuk sementara Peng-ci menjadi tak bisa mengapa-apakan dia.
Ih Jong-hay juga menyadari keadaan yang gawat antara hidup dan mati, jika dalam belasan jurus tak bisa mengalahkan lawan, sekali Bok Ko-hong terjungkal, maka dirinya yang tertinggal lebih-lebih tidak mampu berkutik lagi. Karena, itu ia percepat serangannya secara membadai.
Sekonyong-konyong Peng-ci tertawa panjang, tiba-tiba pandangan Ih Jong-hay menjadi gelap, matanya tak bisa melihat apa-apa lagi, menyusul kedua bahunya juga terasa dingin, kedua lengannya telah mencelat berpisah dengan tubuhnya.
Terdengar Peng-ci tertawa histeris, katanya, "Aku takkan membunuh kau, biar kau buntung dan buta pula, biar kau mengembara di Kangouw sebatang kara, anak muridmu, anggota keluargamu, satu per satu akan kubunuh seluruhnya agar di dunia ini hanya tertinggal musuhmu saja dan tiada seorang pun sanak kadangmu."
Ih Jong-hay merasakan lengannya yang buntung itu sakit tidak kepalang, ia tahu perlakuan Peng-ci terhadap dirinya itu jauh lebih kejam daripada sekali tusuk membinasakan dia. Dalam keadaan cacat begitu apa artinya hidup di dunia ini" Paling-paling malah akan menerima hinaan dan siksaan habis-habisan dari pihak musuh. Karena pikiran demikian, ia menjadi kalap, ia perhatikan arah suara Peng-ci, lalu menyeruduk ke sana.
Peng-ci terbahak-bahak sambil berkelit ke samping. Tak terduga, saking senangnya karena sakit hatinya sudah terbalas, ia menjadi lengah, tanpa sadar cara menghindarnya itu berbalik mendekati Bok Ko-hong malah.
Tentu saja Bok Ko-hong tidak sia-siakan kesempatan baik itu, ia ayun pedangnya menebas sekuatnya, ketika Peng-ci menangkis dengan pedangnya, tahu-tahu kedua kakinya telah dirangkul sekencangnya oleh Bok Ko-hong.
Keruan Peng-ci terkejut, dilihatnya berpuluh murid Jing-sia-pay serentak memburu maju, cepat kedua kakinya meronta sekuatnya, namun rangkulan Bok Ko-hong sedemikian kencangnya laksana tanggam, tanpa pikir Peng-ci lantas menusuk ke punggung Bok Ko-hong yang bungkuk itu.
"Blus", mendadak air hitam muncrat keluar dari punggung yang bengkok itu, baunya bacin memuakkan.
Karena kejadian yang sama sekali tak terduga ini, dengan sendirinya Peng-ci pancal kedua kakinya dengan maksud hendak melompat pergi buat menghindari semprotan air bacin itu, tapi ia lupa bahwa kedua kakinya masih dipeluk sekuatnya oleh Bok Ko-hong, seketika mukanya tersemprot oleh air hitam yang bau itu, bahkan sakitnya tidak kepalang sehingga dia menjerit.
Kiranya air bau itu adalah air beracun yang luar biasa, sungguh tidak nyana bahwa di punggung yang bengkok itu tersembunyi kantong air berbisa. Dengan tangan kiri menutupi muka yang kesakitan, kedua matanya sukar dipentang lagi, hanya pedangnya berulang-ulang digunakan membacok menikam tubuh Bok Ko-hong.
Bacokan dan tikaman Peng-ci itu cepat luar biasa, sama sekali Bok Ko-hong tidak sempat berkelit. Hakikatnya ia pun tidak ingin menghindar, sebaliknya semakin kencang dia merangkul kedua kaki Peng-ci.
Pada saat itulah, berdasarkan suara kedua orang itu, Ih Jong-hay mengincar tepat arahnya, dia terus menubruk maju, karena kedua tangannya sudah buntung, dia gunakan mulut untuk menggigit. Secara kebetulan pipi kanan Peng-ci dengan tepat kena digigit dan tak dilepaskan lagi.
Ketiga orang menjadi saling bergumul dalam keadaan kalap, lambat laun ketiganya menjadi sadar tak-sadar. Serentak anak murid Jing-sia-pay memburu maju untuk menyerang Lim Peng-ci.
Pertarungan sengit itu dapat diikuti Lenghou Tiong dengan jelas dari dalam kereta. Semula ia pun terkejut menyaksikan pertempuran mati-matian itu, kemudian ketika melihat Peng-ci bergumul dengan kedua musuhnya dan tak bisa berkutik, sedangkan anak murid Jing-sia-pay telah memburu maju, tanpa pikirkan keadaan sendiri yang terluka, segera ia melompat keluar dari keretanya, ia jemput sebatang pedang di atas tanah yang berlumuran darah, menyusul "sret-sret-sret" beberapa kali, semuanya mengenai pergelangan tangan anak murid Jing-sia-pay, maka terdengarlah suara gemerencing nyaring jatuhnya senjata orang-orang Jing-sia-pay itu.
Melihat Lenghou Tiong sudah turun tangan, segera Gi-ho, Gi-jing, Gi-lim, The Oh dan lain-lain juga ikut menerjang maju dan mengelilingi Lenghou Tiong.
Terdengar suara mengerang Bok Ko-hong yang kalap tadi mulai mereda, sebaliknya pedang Lim Peng-ci masih terus menikam ke punggung musuh itu. Sekujur badan Ih Jong-hay penuh darah dengan tetap menggigit pipi Peng-ci.
Sehabis menyelamatkan Peng-ci, Lenghou Tiong merasa badannya lemas dan terhuyung-huyung, cepat Gi-ho dan lain-lain memayangnya. Melihat pergumulan mati-matian antara Peng-ci bertiga itu, anak murid Hing-san-pay sama merasa ngeri, tiada seorang pun yang berani memisahkan mereka.
Selang tidak lama, mendadak Peng-ci mendorong sekuatnya dengan tangan kiri, tubuh Ih Jong-hay tertolak mencelat, tapi berbareng Peng-ci juga menjerit kesakitan, pipi kanan sudah berlubang dengan darah yang bercucuran, nyata sepotong daging pipinya telah digigit mentah-mentah oleh Ih Jong-hay.
Bok Ko-hong sudah mati sejak tadi, tapi dia masih tetap merangkul kencang kedua kaki Peng-ci. Terpaksa Peng-ci menggagap tepat lengan Bok Ko-hong, maklum kedua matanya sukar dipentang karena sakit perih berhubung semprotan air berbisa dari punggung musuh tadi, lalu pedangnya memotong kedua lengan si bungkuk, dengan demikian barulah dia terlepas.
Melihat keadaan Peng-ci yang seram itu, tanpa terasa anak murid Hing-san-pay sama melangkah mundur. Beramai-ramai anak murid Jing-sia-pay lantas mendekati Ih Jong-hay untuk memberi pertolongan sehingga tiada satu pun yang mengurusi musuh lagi.
Tiba-tiba anak murid Jing-sia-pay itu menangis dan berteriak-teriak, "Suhu, Suhu! Engkau jangan meninggalkan kami!"
"O, Suhu meninggal! Suhu sudah meninggal!"
Peng-ci tertawa terbahak-bahak, teriaknya histeris, "Sakit hatiku sudah terbalas!"
Anak murid Hing-san-pay kembali mundur beberapa langkah karena merasakan suasana yang seram itu. Gi-ho lantas memapak Lenghou Tiong kembali ke keretanya, Gi-jing dan The Oh membuka pembalut lukanya untuk membubuhi obat lagi.
Perlahan-lahan Leng-sian mendekati Peng-ci, katanya, "Adik Peng, aku mengucapkan selamat atas terbalasnya sakit hatimu."
Tapi Peng-ci masih bergelak tertawa seperti orang gila dan berteriak-teriak, "Sakit hatiku sudah terbalas, sudah terbalas!"
Melihat kedua mata Peng-ci terpejam, dengan suara lembut Leng-sian bertanya, "Bagaimana dengan kedua matamu" Air berbisa itu harus dicuci."
Peng-ci melenggong sejenak, tubuhnya terhuyung dan hampir-hampir jatuh. Cepat Leng-sian memayangnya dan membawanya ke warung gubuk tadi, ia mencari satu panci air jernih terus diguyurkan ke muka Peng-ci.
Mendadak Peng-ci menjerit, agaknya merasa sakit dan perih luar biasa, sampai-sampai anak murid Jing-sia-pay terkejut mendengar jeritan seram itu.
"Siausumoay," kata Lenghou Tiong. "Ambil obat ini untuk Lim-sute, bawa dia ke dalam kereta kami untuk mengaso."
"Ba ... banyak terima kasih," sahut Leng-sian.
Mendadak Peng-ci berteriak, "Tidak, tidak perlu! Orang she Lim akan mati atau hidup apa sangkut pautnya dengan dia?"
Lenghou Tiong tercengang, pikirnya, "Bilakah aku bersalah padamu" Mengapa kau begini benci padaku?"
Dengan suara halus Leng-sian coba membujuk sang suami, "Obat luka Hing-san-pay terkenal sangat mujarab, kalau orang sudi mem ...."
"Orang sudi apa?" bentak Peng-ci dengan gusar.
Leng-sian menghela napas, kembali ia mengguyur perlahan muka Peng-ci. Sekali ini Peng-ci hanya menjengek tertahan dengan menahan sakit, ia tidak menjerit lagi, tapi segera ia berkata, "Hm, kau selalu mengatakan kebaikannya, dia memang sangat memerhatikan dirimu, kenapa kau tidak ikut pergi dengan dia saja" Buat apa kau mengurus diriku?"
Kata-kata Peng-ci ini benar-benar mengejutkan anak murid Hing-san-pay sehingga mereka saling pandang dengan melongo. Mereka tahu Lenghou Tiong selalu ingat akan hubungan baik sebagai sesama saudara seperguruan, maka tanpa menghiraukan keadaan sendiri yang payah dia berusaha menolong ketika melihat mereka terancam bahaya. Dengan jelas semua orang menyaksikan jiwa Peng-ci diselamatkan oleh Lenghou Tiong, mengapa Peng-ci bicara sekasar itu"
Gi-ho yang pertama-tama tidak tahan, dengan suara keras ia mendamprat, "Orang telah menyelamatkan jiwamu bukannya terima kasih sebaliknya tanpa kenal malu kau bicara tidak keruan?"
Lekas Gi-jing menarik Gi-ho agar tidak mengomel lebih lanjut. Namun Gi-ho masih muring-muring.
Dalam pada itu Leng-sian sedang mengusap luka di pipi Peng-ci dengan saputangannya. Di luar dugaan, mendadak tangan kanan Peng-ci terus mendorong dengan kuat sehingga Leng-sian yang tidak berjaga-jaga itu jatuh terbanting.
Lenghou Tiong menjadi gusar, bentaknya, "Kenapa kau ...." tapi segera teringat olehnya bahwa Peng-ci dan Leng-sian sudah menjadi suami istri, kalau suami istri bertengkar adalah tidak pantas orang luar ikut campur, apalagi kata-kata Peng-ci tadi jelas rada sirik padanya. Bahwasanya dirinya menaruh cinta pada siausumoaynya ini tentu juga diketahui Peng-ci, maka tidaklah enak jika dirinya sekarang terlibat dalam pertengkaran mereka.
Meski kedua mata Peng-ci tidak dapat melihat sesuatu lagi, namun suara pembicaraan orang dapat didengarnya dengan jelas, dengan menjengek ia lantas menanggapi dampratan Gi-ho tadi, "Hm, kau bilang aku tidak tahu malu" Sesungguhnya siapakah yang tidak tahu malu."
Mendadak ia tuding ke sana dan melanjutkan, "Si pendek she Ih ini dan si bungkuk she Bok itu, lantaran ingin mendapatkan Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami, dengan segala jalan mereka berusaha merebut dan mencelakai ayah-bundaku, meski cara mereka cukup keji masih dapat dikatakan perbuatan orang Kangouw yang jahat, tapi, hm, mana ada yang berbuat seperti ayahmu ...." ia tuding Leng-sian, lalu menyambung, "ayahmu yang menamakan dirinya Kun-cu-kiam Gak Put-kun, dia telah menggunakan caranya yang rendah dan licik untuk merebut kiam-boh keluarga Lim kami."
Saat itu Leng-sian lagi merangkak bangun, mendengar ucapan Peng-ci itu, badannya gemetar dan kembali jatuh terduduk, jawabnya dengan terputus-putus, "Mana ... mana bisa jadi hal begitu?"
"Hm, perempuan hina dina," jengek Peng-ci. "Kalian ayah dan anak sengaja berkomplot untuk memancing diriku, Gak-toasiocia dari ketua Hoa-san-pay sudi kawin dengan anak sebatang kara yang tak punya tempat tinggal lagi, coba katakan apa tujuannya" Bukankah demi untuk mendapatkan Pi-sia-kiam-boh keluarga kami" Dan sekarang kiam-boh itu sudah didapatkan, lalu untuk apalagi orang she Lim macamku ini?"
Saking tak tahan Leng-sian menangis keras, ratapnya, "Kau ... kau jangan memfitnah orang tak berdosa, jika begitu tujuanku sebagaimana kau tuduhkan, biarlah aku di ... dikutuk dan mati tak terkubur."
"Dengan licik kalian memasang perangkap, semula aku masih terselubung dan tidak tahu," kata Peng-ci pula. "Tapi sekarang sesudah kedua mataku buta mendadak aku dapat melihat dengan jelas malah. Coba, kalau kalian ayah dan anak tidak punya maksud tujuan tertentu, kenapa ... kenapa, hm, sesudah kita menikah, mengapa begitu caranya kau meladeni aku" Memangnya aku ... hm, tak perlu kukatakan lagi, kau sendiri tentu paham."
Wajah Leng-sian tampak merah, jawabnya, "Hal ini kan tidak ... tidak dapat menyalahkan aku. Kau ... kau sendiri ...." perlahan ia mendekati Peng-ci, lalu menyambung, "Sudahlah, jangan kau pikir hal-hal yang tidak keruan, pendek kata sedikit pun tidak berubah perasaanku terhadapmu dari dulu sampai sekarang."
Peng-ci hanya mendengus saja tanpa berkata.
Leng-sian berkata pula, "Marilah kita pulang ke Hoa-san untuk merawat lukamu. Apakah matamu akan sembuh atau tidak, bila aku Gak Leng-sian mempunyai pikiran yang menyeleweng, biarlah aku akan mati terlebih ngeri daripada seperti Ih Jong-hay ini."
"Hm, siapa tahu apa yang sedang kau rancangkan atas diriku, tidak perlu kau omong manis padaku," jengek pula Peng-ci.
Leng-sian tidak menjawabnya lagi, ia berkata kepada Ing-ing, "Cici, bolehkah aku meminjam sebuah kereta kalian?"
"Boleh saja," sahut Ing-ing. "Apakah perlu satu-dua Suci dari Hing-san-pay mengawal perjalanan kalian?"
"Ti ... tidak usah," jawab Leng-sian dengan terguguk-guguk. "Banyak terima kasih."
Ing-ing lantas menyeretkan sebuah kereta keledai dan menyerahkan tali kendali kepada Leng-sian.
"Marilah naik ke atas kereta!" kata Leng-sian sambil perlahan-lahan memapah bahu Peng-ci.
Tertampak Peng-ci ogah-ogahan, namun kedua matanya tak bisa melihat apa-apa, setiap langkah pun susah. Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia naik juga ke atas kereta.
Segera Leng-sian melompat ke tempat kusir di atas kereta, ia manggut-manggut kepada Ing-ing, lalu cambuknya gemeletar dan melarikan keretanya ke jurusan barat. Sekejap pun dia tidak memandang ke arah Lenghou Tiong.
Pandangan Lenghou Tiong terus mengikuti kepergian kereta itu yang semakin menjauh, ia termangu-mangu dengan perasaan pilu, air mata berlinang-linang di kelopak matanya. Pikirnya, "Kedua mata Lim-sute sudah buta, Siausumoay terluka pula. Dalam keadaan begitu apakah mereka takkan mengalami halangan di tengah perjalanan yang jauh itu" Jika di tengah jalan kepergok lagi anak murid Jing-sia-pay, apakah mereka mampu melawan?"
Dilihatnya anak murid Jing-sia-pay telah membenahi jenazah Ih Jong-hay, lalu berangkat menuju ke selatan. Walaupun arahnya berlainan dengan Peng-ci dan Leng-sian, tapi siapa berani menjamin rombongan Jing-sia-pay itu takkan memutar haluan di tengah jalan terus mengejar ke jurusan Peng-ci berdua"
Lenghou Tiong coba menyelami apa yang dipercakapkan Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian tadi, ia merasa di dalam hubungan suami-istri itu tentu mengandung berbagai rahasia yang sukar diketahui oleh orang luar. Yang jelas, bahwasanya hubungan kedua suami-istri itu kurang harmonis adalah dapat dipastikan. Teringat sang siausumoay yang masih muda belia dan disayang oleh ayah-bundanya laksana mutiara, para saudara seperguruan juga sangat hormat dan menghargainya, tetapi ia harus mendapat siksaan lahir batin dari sang suami sendiri, tanpa terasa Lenghou Tiong menjadi sedih dan mencucurkan air mata
Perjalanan mereka hanya mencapai belasan li saja lantas bermalam di suatu kuil bobrok. Tertidur sampai tengah malam, beberapa kali Lenghou Tiong terjaga oleh impian buruk. Dalam keadaan setengah sadar telinganya mendengar suara bisikan yang halus, "Engkoh Tiong! Engkoh Tiong!"
Lenghou Tiong terjaga bangun, didengarnya suara Ing-ing sedang berkata pula, "Marilah keluar, ada yang hendak kubicarakan."
Yang digunakan Ing-ing adalah ilmu mengumandangkan gelombang suara sehingga suaranya terdengar dari dekat, tapi orangnya sejak tadi sudah di luar rumah.
Segera Lenghou Tiong berbangkit dan keluar kuil itu, dilihatnya Ing-ing duduk di undak-undakan batu sambil bertopang dagu sedang termenung-menung. Lenghou Tiong mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Suasana malam sunyi senyap, sekitar mereka tiada suara sedikit pun.
Selang agak lama baru Ing-ing membuka suara, "Engkau mengkhawatirkan Siausumoaymu bukan?"
"Ya," sahut Lenghou Tiong. "Banyak persoalan yang membikin orang sukar mengerti."
"Kau mengkhawatirkan dia diperlakukan kurang baik oleh suaminya?" kata Ing-ing pula
Lenghou Tiong menghela napas, jawabnya kemudian, "Urusan suami-istri mereka, orang lain mana bisa ikut campur?"
"Bukankah kau khawatir kalau anak murid Jing-sia-pay menyusul dan mencari perkara kepada mereka?" tanya Ing-ing.
"Orang Jing-sia-pay tentu sakit hati atas kematian guru mereka, pula melihat musuhnya suami-istri dalam keadaan terluka, kalau mereka menyusul buat menuntut balas, rasanya bukanlah sesuatu yang aneh."
"Mengapa kau tidak mencari akal untuk menolong mereka?"
Kembali Lenghou Tiong menghela napas, katanya, "Dari nada Lim-sute tadi, agaknya dia rada sirik kepadaku. Meski aku hendak menolong mereka dengan maksud baik, jangan-jangan malah membikin retak hubungan baik suami-istri mereka."
"Ini cuma salah satu di antaranya. Tapi kau masih mempunyai rasa khawatir lain, khawatir akan membikin aku kurang senang, betul tidak?"
Lenghou Tiong angguk-angguk, ia pegang tangan kiri Ing-ing dengan erat, telapak tangan nona itu terasa sangat dingin. Dengan suara halus ia pun berkata, "Ing-ing, di dunia ini aku hanya mempunyai dikau seorang, jika di antara kita juga timbul sesuatu rasa curiga, lalu apa artinya lagi menjadi manusia?"
Perlahan-lahan Ing-ing menggelendot di bahu Lenghou Tiong, katanya kemudian, "Jika demikian pikiranmu, lalu di antara kita masakah bisa timbul rasa curiga segala" Urusan jangan terlambat, kita harus menyusul ke sana secepatnya, jangan sampai menimbulkan rasa penyesalan bagi hidupmu ini hanya karena ingin menghindarkan rasa curiga."
Mendengar kata-kata "meninggalkan penyesalan selama hidup", seketika Lenghou Tiong terkesiap dan seakan-akan terbayang kereta Peng-ci sedang dikepung oleh belasan orang Jing-sia-pay dengan senjata terhunus, tanpa terasa badannya rada gemetar.
Bab 121. Rahasia Leluhur Lim Peng-ci yang Aneh
Segera Ing-ing berkata pula, "Akan kubangunkan Gi-ho dan Gi-jing berdua Suci, hendaknya kau suruh mereka pulang dulu ke Hing-san, kita diam-diam mengawal perjalanan siausumoaymu habis itu baru pulang ke Hing-san."
Sesudah bangun, semula Gi-ho dan Gi-jing rada khawatir melihat keadaan Lenghou Tiong masih belum sehat, namun melihat tekadnya sudah bulat buat menolong orang terpaksa mereka tidak berani banyak omong lagi, mereka menyediakan sebungkus obat luka, lalu mengantar keberangkatan mereka berdua.
Ing-ing membedakan arah dengan baik, lalu melarikan keretanya ke jurusan barat laut, ia tahu jalan ke Hoa-san itu hanya sebuah jalan besar, rasanya takkan kesasar. Kereta itu ditarik empat ekor keledai yang kuat, perjalanan cukup cepat di tengah malam sunyi hanya terdengar suara berdetaknya kaki keledai dan berkeriang-keriutnya roda kereta.
Alangkah rasa terima kasih hati Lenghou Tiong, demi diriku, segala apa pun dia mau melakukannya. Sudah jelas dia mengetahui aku mengkhawatirkan Siausumoay, segera dia mengajak aku berangkat mengawalnya.
Wahai Lenghou Tiong betapa beruntung dan bahagianya kau mendapatkan istri cantik dan berbudi seperti ini. Demikian pikirnya.
Ing-ing melarikan kereta keledai itu dengan cepat. Berapa li kemudian laju kereta itu menjadi lambat lagi.
"Kukira cara yang paling baik untuk melindungi sumoaymu bila terancam bahaya supaya tidak diketahui olehnya biarlah kita menyamar saja," kata Ing-ing.
"Benar, boleh engkau menyaru sebagai si berewok lagi, Ing-ing."
"Tidak, penyamaranku itu tentu sudah diketahui sumoaymu ketika di Hong-sian-tay tempo hari," sahut Ing-ing.
"Habis cara bagaimana kita harus menyamar?" tanya Lenghou Tiong.
"Kau tunggu sebentar," kata Ing-ing. Habis itu ia terus melompat turun dari kereta dan berlari menuju sebuah rumah petani di depan sana. Dengan enteng ia melintasi pagar rumah itu, menyusul terdengar suara anjing menggonggong, tapi hanya sekali saja lantas bungkam. Agaknya binatang itu telah kena dilumpuhkan oleh Ing-ing.
Tidak lama kemudian Ing-ing telah lari kembali dengan membawa satu bungkus pakaian. Ia lompat ke atas kereta dan tertawa terbahak-bahak setelah menaruh bungkusan itu di sisinya.
Lenghou Tiong coba memeriksa pakaian itu, benarlah memang pakaian petani tua, lebih-lebih pakaian mak tani yang sangat longgar itu tampaknya sudah jauh ketinggalan zaman, selain pakaian Ing-ing mencolong pula topi buat kaum laki-laki serta ikat kepala buat kaum wanita, ada pula sebuah honcoe (cangklong dengan gagang panjang).
Segera Ing-ing mengambil pakaian mak tani itu dan dipakai sendiri di atas pakaian semula, ikat kepala dipasang pula di atas kepala, lalu kedua tangannya menggosok-gosok sedikit tanah dan kemudian diusapkan di muka sendiri, habis itu barulah ia bantu Lenghou Tiong menyamar.
Berdiri berhadapan, jarak mereka berdua hanya belasan senti saja, napas Ing-ing terasa mengembus perlahan, hati Lenghou Tiong menjadi syur dan setengah mabuk, sungguh ia ingin peluk si nona dan menciumnya. Tapi segera teringat olehnya akan pribadi Ing-ing yang sangat prihatin itu, sedikit pun tidak pernah bertingkah atau bicara hal-hal yang tidak pantas, kalau sampai membuatnya marah, sungguh akibatnya sukar dibayangkan. Karena itu ia berusaha mengekang perasaan sebisanya.
Kilasan sinar mata Lenghou Tiong yang aneh itu ternyata diketahui juga oleh Ing-ing, dengan tersenyum ia mengusap muka pemuda itu dengan kotoran tanah sambil berkata, "Cucu yang baik, beginilah baru Nenek mau sayang padamu!"
Lenghou Tiong pejamkan mata sekalian dan merasa tangan si nona yang halus itu mengusap kian-kemari di mukanya, alangkah syur rasanya nikmat sekali, sungguh ia berharap si nona akan terus mengusap-usap tanpa berhenti.
Selang sejenak, berkatalah Ing-ing, "Sudahlah, pada malam gelap begini tentu sumoaymu takkan mengenalimu asalkan kau tidak buka suara."
Habis itu mendadak ia tertawa pula terpingkal-pingkal.
Semula Lenghou Tiong bingung tapi kemudian ia pun bertanya, "Adakah kau lihat sesuatu yang lucu di rumah petani itu?"
"Bukan melihat sesuatu yang lucu," jawab Ing-ing. "Kedua petani yang tinggal di sana adalah suami istri yang sudah tua. Ketika aku melompat ke dalam rumahnya segera aku diterjang seekor anjing, syukur aku sempat menggaploknya sekali hingga binatang itu roboh kelengar, tapi suara gonggong anjing itu telah membikin kakek dan nenek petani itu terjaga bangun. Terdengar si nenek berkata, "He, bapaknya A Yu, jangan-jangan ada pencuri." Lalu terdengar si kakek menjawab, "Ah, Si Hitam sudah diam, mana bisa ada pencuri!" Tiba-tiba si nenek tertawa dan berkata, "Mungkin pencuri itu meniru caramu dahulu, bila tengah malam menggeremet ke rumahku, selalu kau membawa sepotong daging untuk umpan anjingku."."
"Ah, si nenek itu rada-rada berengsek, masakah dia memakimu sebagai pencuri secara tidak langsung," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa. Ia tahu Ing-ing rada pemalu, maka ia sengaja pura-pura tidak tahu bahwa kedua suami istri petani itu sedang mengisahkan urusan asmara mereka masa dahulu, dengan demikian Ing-ing akan terus bercerita, kalau tidak, bisa jadi si nona takkan menuturkan lagi apa yang didengarnya di rumah petani itu.
Dengan tertawa Ing-ing lantas menjelaskan, "Yang dimaksudkan si nenek petani itu adalah kejadian sebelum mereka kawin...." sampai di sini tiba-tiba ia cambuk keledai dan melarikan keretanya lagi.
"Kejadian sebelum mereka kawin?" Lenghou Tiong menegas. "Tentunya kelakuan mereka sangat baik, biarpun berada bersama dalam kereta di tengah malam buta tentu juga mereka tidak berani saling peluk dan berciuman."
"Cis!" Ing-ing mencemoohkan, lalu tidak bicara lagi.
"O, adik yang baik, adik sayang, apa lagi yang mereka katakan, ceritakanlah terus!" pinta Lenghou Tiong.
Namun Ing-ing diam saja. Di tengah malam gelap hanya terdengar suara berdetaknya kaki keledai yang nyaring.
Lenghou Tiong coba memandang ke depan, cahaya bulan menyinari jalan raya yang lurus dan lebar diselimuti kabut tipis remang-remang, perlahan kereta keledai itu menyusup ke tengah kabut lalu pemandangan di kejauhan tak tertampak lagi, bahkan Ing-ing yang duduk di sisinya seakan-akan juga terbungkus oleh kabut yang tipis itu.
Saat itu baru permulaan musim semi, bau harum bunga hutan sayup-sayup mewangi menyegarkan semangat. Sudah lama Lenghou Tiong tidak minum arak, tapi keadaannya sekarang tiada ubahnya dalam keadaan rada-rada mabuk.
Ing-ing diam saja, tapi selalu mengulum senyum, rupanya ia sedang mengenangkan apa yang didengarnya dari percakapan suami istri petani tua itu. Kata si kakek. "Malam itu aku tidak dapatkan daging terpaksa main curi seekor ayam tetangga dan kubawa sebagai umpan anjingmu. O ya, apa namanya anjing itu?"
Si nenek menjawab, "Namanya Si Belang!"
"Benar, Si Belang," kata si kakek. "Setelah diberi ayam, dia menjadi jinak dan diam saja, dengan sendirinya ayah-ibumu juga tidak tahu. Dan pada malam itu juga jadilah si A Yu kita."
"Hm, kau hanya tahu senang sendiri tanpa ambil pusing pada susah payah orang lain," si nenek mengomel. "Kemudian setelah perutku menjadi besar, tahukah kau bahwa aku digebuki Ayah hingga hampir-hampir mampus."
"Untung juga perutmu lantas tumbuh besar, rupanya perutmu berdiri di pihakku, kalau tidak masakah bapakmu sudi membiarkan dirimu diperistri seorang miskin seperti diriku" Waktu itu aku justru mengharapkan perutmu lekas besar!"
Mendadak si nenek marah, dampratnya, "Setan alas! Kiranya waktu itu kau memang sengaja membikin perutku menjadi besar, mengapa kau tidak bicara terus terang waktu itu dan baru mengaku sekarang" Aku tidak... tidak dapat mengampunimu."
"Ah jangan ribut lagi! A Yu sekarang pun sudah dewasa, buat apa kau ribut-ribut lagi?"
Habis itu karena khawatir Lenghou Tiong menunggunya terlalu lama, Ing-ing tidak berani mendengarkan terus, lekas ia menyambar beberapa potong pakaian dan barang lain, lalu kabur setelah menaruh sepotong perak di atas meja. Agaknya suami istri petani itu sudah tua, pula sedang asyik membicarakan masa muda mereka yang mesra sehingga tidak tahu sama sekali bahwa rumahnya telah kebobolan.
Teringat kepada percakapan suami-istri petani itu wajah Ing-ing jadi merah, untung di tengah malam gelap, kalau tidak, tentu malu bila dilihat oleh Lenghou Tiong.
Ia tidak mempercepat lagi keledainya, perlahan keledai itu memperlambat langkahnya. Tidak lama kemudian sampailah di tepi sebuah danau, rindang oleh pepohonan, air danau kemilauan tertimpa oleh cahaya bulan.
"Engkoh Tiong, apakah engkau tertidur?" tanya Ing-ing perlahan.
"Ya, aku sudah tidur, aku sedang mimpi," sahut Lenghou Tiong.
"Mimpi apa?" tanya Ing-ing.
"Mimpi aku membawa sepotong daging dan menggeremet ke tempat tinggalmu di Hek-bok-keh untuk memberi makan pada anjingmu," kata Lenghou Tiong.
"Buset! Dasar orang tidak beres, maka impianmu juga tidak beres," omel Ing-ing dengan tertawa.
Kedua muda-mudi itu duduk berendeng di atas kereta sambil memandangi air danau, tanpa terasa Lenghou Tiong menjulurkan sebelah tangannya untuk memegang tangan Ing-ing. Rada gemetar tangan si nona tapi tidak mengelak.
"Bila dapat begini selamanya dan tidak berkecimpung lagi di dunia persilatan yang berbau darah, biarpun menjadi dewa rasanya juga tidak sebahagia demikian ini," pikir Lenghou Tiong.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tiba-tiba Ing-ing bertanya.
Dengan terus terang Lenghou Tiong mengatakan apa yang terpikir olehnya itu.
Ing-ing balas menggenggam erat-erat tangan Lenghou Tiong dan berkata, "Engkoh Tiong, sungguh aku merasa sangat bahagia."
"Demikian pula aku," sahut Lenghou Tiong.
"Meski engkau memimpin para kesatria menyerbu ke Siau-lim-si, walaupun aku sangat berterima kasih, tetapi rasanya tidak segembira sekarang," kata Ing-ing. "Engkau menyerbu Siau-lim-si untuk menolong diriku lebih banyak terdorong oleh rasa setia kawan sesama orang Kang-ouw. Tapi sekarang yang kau pikir hanyalah diriku seorang tanpa terkenang kepada siausumoaymu...."
Mendengar disebutnya "siausumoaymu", seketika hati Lenghou Tiong tergetar dan merasa harus lekas menyusul sang siausumoay yang mungkin sedang terancam bahaya itu.
Tapi Ing-ing berkata pula dengan perlahan, "Sampai saat ini barulah aku percaya bahwa dalam pandanganmu, dalam hatimu ternyata lebih memberatkan diriku daripada siausumoaymu."
Habis itu, ia menarik tali kendali sehingga keledai itu melangkah kembali ke tengah jalan raya, ketika cambuk berbunyi, segera binatang itu berlari pula dengan cepat ke depan.
Sekaligus lebih 20 li telah lalu, keledai itu sudah mulai lelah lagi dan memperlambat larinya. Setelah membelok dua tikungan, tertampaklah di depan ladang jagung yang luas di tepi jalan, di bawah cahaya rembulan ladang luas itu laksana sutra hijau terbentang di bumi raya ini.
Ketika diperhatikan ke depan sana, dari jauh tampak sebuah kereta berhenti di tepi jalan sana.
"Agaknya itulah kereta yang ditumpangi Lim-sute," kata Lenghou Tiong.
"Coba kita mendekatinya dengan perlahan," Ing-ing sambil membiarkan keretanya maju dengan lambat sehingga jaraknya makin mendekat dengan kereta di depan itu.
Tidak lama, tertampaklah dengan jelas di samping kereta itu ada seorang berjalan kaki sendirian, ternyata Lim Peng-ci adanya. Terlihat pula kereta itu menggeser beberapa gelinding ke depan, orang yang menjadi kusir tentulah Gak Leng-sian kalau dilihat dari belakang.
Lenghou Tiong terheran-heran, segera ia menarik tali kendali untuk menghentikan keretanya, dengan suara tertahan ia bertanya, "Mengapa bisa begitu?"
"Kau tunggu di sini, biar aku menyusul ke sana untuk melihatnya," kata Ing-ing. Segera ia menyusup ke tengah ladang jagung lebat itu terus menyusur ke depan untuk kemudian memutar ke arah kereta Lim Peng-ci.
Sesudah dekat, ia coba mengikuti jalan kereta dengan menerobos tanaman jagung itu. Terdengar Lim Peng-ci sedang berkata, "Kiam-boh sudah kuserahkan seluruhnya kepada ayahmu, kenapa kau masih mengikuti aku saja?"
"Kau selalu curiga pada ayahku yang mengincar kiam-bohmu segala, sungguh tidak beralasan," demikian Gak Leng-sian menjawab. "Coba pikirkan, waktu mula-mula kau masuk Hoa-san-pay kami, tatkala itu apakah kau membawa kiam-boh segala" Tapi sejak itu, aku sudah... sudah baik denganmu, masakah karena itu kau tuduh aku bermaksud tertentu terhadap dirimu."
"Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami terkenal di seluruh jagat, banyak orang tidak menemukannya pada ayahku, dengan sendirinya sasaran berikutnya adalah diriku. Dari mana aku bisa yakin bahwa kau tidak disuruh ayah-ibunya agar membaiki diriku?"
"Jika kau pikir begitu, apa mau dikata lagi. Terserah!" sahut Leng-sian dengan tersenggak-sengguk.
"Memangnya aku salah menuduhmu?" Peng-ci menjadi marah. "Bukankah Pi-sia-kiam-boh akhirnya dari tanganku jatuh pada ayahmu" Pendek kata, betapa pun juga untuk memperoleh Pi-sia-kiam-boh setiap orang harus mengerahkan sasarannya kepada diriku. Hm, apakah dia Ih Jong-hay, Bok Ko-hong, atau Gak Put-kun, hm, apa bedanya" Hanya saja Gak Put-kun yang berhasil dan dia yang menjadi raja, Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong gagal, maka mereka menjadi pecundang."
"Kata-katamu yang menghina ayahku itu, lalu kau anggap aku ini orang macam apa?" kata Leng-sian dengan gusar. "Coba kalau bukan... kalau bukan... hm...."
Mendadak Peng-ci berdiri tegak dan berseru, "Kau mau apa" Kalau bukan mataku buta dan terluka tentu akan kau binasakan aku, begitu bukan maksudmu" Mataku ini kan tidak buta pada hari ini saja!"
"Jadi kau maksudkan perkenalanmu padaku dan hubungan baik kita dari dahulu itu disebabkan kau buta?"
"Benar," jawab Peng-ci. "Dari mana kau tahu bahwa kedatanganmu ke Hokciu dengan pura-pura membuka kedai arak ternyata mempunyai rencana jangka panjang, tujuanmu yang utama sesungguhnya hanya Pi-sia-kiam-boh belaka. Kau telah digoda oleh bocah she Ih dari Jing-sia-pay padahal ilmu silatmu jauh lebih tinggi daripada dia, namun kau pura-pura lemah dan memancing aku ikut turun tangan membelamu. Wahai Lim Peng-ci, dasar matamu memang buta, hanya sedikit kepandaianmu yang menyerupai cakar ayam saja berani menonjolkan diri menjadi pahlawan pelindung si cantik segala. Apalagi kau adalah anak gadis kesayangan ayah-bundamu, kalau bukan karena sesuatu tujuan yang penting masakah mereka mau membiarkanmu keluyuran di luar dan menjadi penjual arak yang rendah segala."
"Yang disuruh ke Hokciu oleh Ayah sebenarnya adalah Jisuko. Aku cuma terdorong oleh keinginan pesiar saja, maka berkeras minta ikut berangkat bersama Jisuko."
"Hm, ayahmu sangat keras mengawasi anak muridnya, bila dia anggap tidak pantas, biarpun kau berlutut dan menangis tiga hari tiga malam juga takkan dia luluskan. Sudah tentu lantaran dia juga tidak percaya penuh kepada Jisuko, makanya kau dikirim sekalian untuk mengawasinya."
Leng-sian terdiam, ia pikir apa yang diterka Peng-ci bukan tiada beralasan nama sekali. Selang sejenak barulah ia buka suara pula, "Baiklah, percaya atau tidak terserahlah padamu. Yang pasti ketika aku datang ke Hokciu belum pernah kudengar nama Pi-sia-kiam-boh segala. Aku cuma dengar Ayah mengatakan bahwa orang-orang Jing-sia-pay telah dikerahkan ke timur dan mungkin merugikan Hoa-san-pay kita, maka aku dan Jisuko ditugaskan menyelidiki gerak-gerik mereka."
Peng-ci menghela napas, agaknya perasaannya rada lunak kembali, katanya, "Baiklah, biar aku percaya lagi satu kali padamu. Akan tetapi keadaannya sudah menjadi begini, buat apa kau ikut pada diriku" Hanya resminya saja kita ini suami-istri, tapi praktiknya toh tidak. Kau masih tetap berbadan perawan, sebaiknya kau... kembali kepada Lenghou Tiong saja."
Mendengar kata-kata "Resminya kita adalah suami-istri, tapi praktiknya tidak. Kau masih tetap berbadan perawan", keruan Ing-ing terkejut, katanya dalam hati, "Mengapa bisa begitu?"
Tapi segera mukanya menjadi merah dan menganggap seorang agak perempuan tidaklah pantas mencuri dengar percakapan pribadi suami-istri orang, apalagi ingin mencari tahu "mengapa bisa begitu" segala, benar-benar tidak pantas.
Karena itu segera ia bermaksud tinggal pergi, tapi baru putar tubuh, rasa ingin tahunya mendorongnya mendengarkan lebih lanjut percakapan Leng-sian dan Peng-ci itu.
Terdengar Leng-sian sedang berkata dengan perasaan hampa, "Baru tiga hari kita menikah segera kutahu engkau sangat benci padaku, biarpun satu kamar dengan aku, namun engkau tidak sudi satu tempat tidur dengan aku. Jika engkau tidak sudi satu tempat tidur dengan aku kenapa... kenapa pula engkau menikahi diriku?"
"Aku... aku tidak benci padamu," sahut Peng-ci sambil menghela napas.
"Kau tidak benci padaku" Tapi mengapa siang hari engkau pura-pura baik sekali padaku, bila malam hari berada di kamar engkau lantas bersikap dingin, satu patah kata pun tidak mau bicara denganku. Berulang kali ayah-ibu tanya padaku bagaimana engkau memperlakukan diriku dan selalu kujawab sangat baik...." Sampai di sini mendadak ia menangis keras-keras.
Peng-ci lantas melompat ke atas kereta dan memegangi bahu Leng-sian, katanya dengan suara bengis, "Kau bilang ayah-ibumu berulang kali menanyakan bagaimana aku memperlakukan dirimu, apakah benar hal ini?"
"Sudah tentu benar, buat apa aku bohong?" sahut Leng-sian.
"Sudah jelas aku memperlakukan dirimu tidak baik, selamanya belum pernah tidur seranjang denganmu. Kenapa kau katakan aku sangat baik padamu?"
"Sekali aku sudah menikah denganmu, dengan sendirinya aku adalah orang keluarga Lim," jawab Leng-sian dengan mencucurkan air mata. "Yang kuharapkan semoga tidak lama lagi engkau akan berubah pikiran. Aku mencintaimu dengan segenap jiwaku, mana boleh aku mencerca suami sendiri, betul tidak?"
Untuk sejenak Peng-ci tidak bersuara, hanya mengertak gigi dengan rasa gemas, kemudian ia berkata pula dengan perlahan, "Hm, tadinya kusangka ayahmu sayang padamu sehingga berlaku murah hati pula padaku, tak tahunya yang menutupi kejelekanku. Jika kau tidak berkata demikian tentang diriku, mungkin sejak dulu-dulu jiwaku sudah melayang di puncak Hoa-san."


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mana bisa jadi begitu?" ujar Leng-sian. "Pengantin baru, biarpun terjadi sedikit selisih paham juga tidak mungkin sang mertua lantas membunuh menantunya."
"Dia ingin membunuh aku bukan karena aku tidak baik padamu, tapi lantaran aku telah belajar Pi-sia-kiam-hoat," kata Peng-ci dengan gemas.
"Hal ini sungguh membuat aku tidak paham," kata Leng-sian. "Selama beberapa hari ini kiam-hoat yang dimainkanmu dan Ayah benar-benar sangat aneh dan luar biasa lihainya. Ayah berhasil merebut kedudukan ketua Ngo-gak-pay, kau berhasil pula membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, apakah... apakah ilmu pedang yang kalian mainkan adalah Pi-sia-kiam-hoat?"
"Benar, itulah Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami," jawab Peng-ci. "Dengan ilmu pedang mahalihai itulah leluhurku Lim Wan-tho mendirikan Hok-wi-piaukiok dan disegani oleh kesatria dunia persilatan pada zamannya."
"Akan tetapi engkau selalu... selalu mengaku tidak pernah belajar ilmu pedang itu!"
"Mana aku berani mengaku terus terang," jawab Peng-ci. "Lenghou Tiong yang berhasil merebut kasa (jubah hwesio) itu di Hokciu, tapi rupanya sudah takdir, dia gagal memperolehnya, kasa yang tertuliskan Pi-sia-kiam-boh itu malah jatuh di tangan ayahmu...."
"Tidak, tidak mungkin," seru Leng-sian. "Ayah bilang kiam-boh itu telah dikangkangi Toasuko, Ayah memaksa dia mengembalikannya padamu, tapi Toasuko membangkang."
"Hm," Peng-ci menjengek.
Maka Leng-sian berkata pula, "Ilmu pedang Toasuko mahasakti, bahkan Ayah pun bukan tandingannya. Apakah mungkin yang dia mainkan itu bukan Pi-sia-kiam-hoat" Bukan hasil pelajaran dari Pi-sia-kiam-boh keluarga Lim kalian?"
Kembali Peng-ci mendengus, lalu berkata, "Biarpun Lenghou Tiong itu licin tapi kalau dibandingkan ayahmu boleh dikata masih ketinggalan jauh. Pula ilmu pedangnya kacau-balau, mana bisa dibandingkan dengan Pi-sia-kiam-hoat kami" Bukankah dalam pertandingan di depan Hong-sian-tay di Ko-san dia terluka oleh pedangmu?"
"Dia... dia sengaja mengalah padaku," kata Leng-sian dengan suara rendah.
"Hm, alangkah dalam cintanya padamu," jengek Peng-ci.
Kata-kata ini kalau didengar Ing-ing sehari sebelumnya mungkin si nona jatuh kelengar saking gusarnya. Akan tetapi semalam kedua orang telah bicara dengan mesra di tepi danau, kedua orang telah saling mengutarakan isi hati masing-masing, maka sekarang Ing-ing malah merasa bahagia. Pikirnya, "Dahulu dia memang sangat baik padamu, tetapi sekarang dia jauh lebih baik padaku."
Terdengar Leng-sian berkata pula, "Kiranya yang dimainkan Toasuko itu bukan Pi-sia-kiam-hoat tapi mengapa Ayah selalu menyalahkan dia mencuri Pi-sia-kiam-boh sehingga menjadikan salah satu tuduhan untuk memecatnya dari Hoa-san-pay. Jika demikian jadi aku... aku salah sangka padanya."
"Hm, salah sangka apa segala," jengek Peng-ci. "Lenghou Tiong memangnya tidak bermaksud merebut kiam-boh keluarga kami, tapi praktiknya dia sudah merebutnya. Hanya saja ibarat maling ketemu begal, dalam keadaan terluka dan jatuh pingsan, ayahmu menggerayangi kiam-boh itu dari tubuhnya, kemudian menuduh dia sengaja menggelapkan kiam-boh. Ini namanya maling berteriak maling...."
"Maling apa segala" Kenapa pakai kata-kata tak enak didengar begitu?" ujar Leng-sian dengan gusar.
"Hm, apa perbuatan ayahmu itu enak didengar" Mengapa aku tidak boleh omong?" dengus Peng-ci.
Leng-sian menghela napas, katanya kemudian, "Ketika di Gang Matahari tempo hari memang kasa itu direbut oleh komplotan penjahat Ko-san-pay, syukur Toasuko membinasakan kedua orang jahat itu dan merampas kembali kasa itu, tapi tak bisa menuduh dia ingin mengangkangi kasa itu. Toasuko memiliki jiwa besar dan hati jujur, sejak kecil ia tidak pernah serakahi milik orang lain. Maka aku menjadi sangsi ketika Ayah menuduhnya mengangkangi kiam-bohmu, hanya saja kiam-hoatnya mendadak maju dengan pesat hal ini pun membikin aku sehingga ikut-ikutan percaya."
"Dia begitu baik, kenapa kau tidak ikut padanya saja?" kata Peng-ci pula.
"Adik Peng-ci, sampai saat ini ternyata engkau masih belum bisa menyelami perasaanku," jawab Leng-sian. "Sejak kecil Toasuko dibesarkan bersamaku, dalam pandanganku dia tidak lebih adalah kakakku belaka. Aku menghormat dan mengasihi dia sebagai kakak, selamanya tidak pernah menganggapnya sebagai kekasih. Sebaliknya sejak kau datang ke Hoa-san, dalam waktu singkat saja kita lantas begitu cocok satu sama lain, satu detik tidak bertemu saja rasanya tidak betah. Cintaku padamu selamanya takkan berubah."
"Kau memang rada berbeda daripada ayahmu, kau... kau lebih mirip ibumu," kata Peng-ci dengan nada halus, nyata hatinya rada terharu oleh cinta murni Leng-sian itu.
Kedua orang terdiam sejenak, kemudian Leng-sian berkata pula, "Adik Peng, cukup mendalam ciri ayahku dalam pandanganmu, selanjutnya kalian berdua tentu sukar hidup damai bersama. Pendek kata aku sudah menjadi orang keluarga Lim, ke mana pun kau pergi aku pasti ikut. Lebih baik kita mencari suatu tempat damai yang jauh dan hidup bahagia untuk selamanya di sana."
"Hm, muluk-muluk saja pikiranmu," jengek Peng-ci. "Sekali aku sudah membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, maka berita ini tentu sudah tersebar ke mana-mana, dengan sendirinya pula ayahmu akan mengetahui aku telah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat dan tidak nanti dia mau membiarkan aku hidup di dunia ini."
Bab 122. Lim Peng-ci Kebiri Diri Sendiri untuk Meyakinkan Ilmu
Leng-sian menghela napas, katanya, "Adik Peng, engkau mengatakan Ayah mengincar kiam-bohmu, kenyataan memang demikian, aku pun takkan membela Ayah, tapi engkau menuduh dia hendak membunuhmu lantaran engkau mahir Pi-sia-kiam-hoat, kurasa hal ini tidak masuk di akal. Pi-sia-kiam-boh memangnya adalah milik keluarga Lim kalian, jika engkau mempelajari ilmu pedangmu adalah layak sekali, betapa pun Ayah tidak dapat membunuhmu hanya karena alasan itu."
"Kau bicara demikian lantaran belum kenal pribadi ayahmu dan juga tidak tahu macam apakah Pi-sia-kiam-boh itu," kata Peng-ci.
"Bahkan terhadap hatimu aku pun sungguh tidak paham," kata Leng-sian.
"Ya, tidak paham, kau memang tidak paham! Buat apa mesti paham?" kata Peng-ci mulai aseran pula.
Leng-sian tidak berani banyak omong lagi, katanya kemudian, "Marilah kita berangkat saja."
"Ke mana?" tanya Peng-ci.
"Kau suka ke mana, ke situlah aku akan ikut, biarpun ke ujung langit sekalipun aku tetap bersamamu," jawab Leng-sian tegas.
"Apa betul ucapanmu ini" Apa pun yang terjadi kelak kau jangan menyesal."
"Aku sudah bertekad menjadi istrimu, sebelumnya aku sudah ambil keputusan bagi kehidupanku seterusnya, mana bisa merasa menyesal" Matamu terluka, rasanya masih dapat disembuhkan, umpama tak bisa pulih kembali juga aku akan selalu mendampingimu, melayanimu, sampai saat terakhir hidup kita berdua."
Ucapan Leng-sian yang penuh perasaan ini sangat mengharukan Ing-ing, ia merasa Gak Leng-sian sebenarnya adalah nona yang sangat baik, hanya saja bernasib malang sehingga tingkah lakunya terkadang rada-rada aneh.
Terdengar Peng-ci mendengus, agaknya masih kurang percaya akan tekad Gak Leng-sian itu.
Dengan suara halus Leng-sian berkata pula, "Adik Peng, agaknya engkau masih sangsi pada diriku. Biarlah malam ini juga aku me... menyerahkan diriku padamu, dengan begitu dapatlah kiranya kau percayai diriku. Biarlah malam ini juga kita bermalam pengantin di sini, marilah kita menjadi suami istri yang sesungguhnya dan selanjutnya... selanjutnya kita pun menjadi suami istri yang sebenarnya...."
Makin lama makin lirih suaranya sehingga akhirnya tak terdengar.
Kembali Ing-ing merasa heran dan kikuk oleh ucapan Leng-sian itu. Segera ia bermaksud tinggal pergi agar tidak menyaksikan "praktik" menjadi suami istri sebagaimana dikatakan Gak Leng-sian itu, dalam hati ia pikir Nona Gak ini benar-benar tidak tahu malu, masakah di tengah jalan raya sampai hati melakukan hal begituan.
Sekonyong-konyong terdengar Lim Peng-ci berteriak, suaranya seram bengis, menyusul lantas membentak, "Enyah sana! Jangan dekat-dekat ke sini."
Keruan Ing-ing terkejut dan tidak tahu apa yang terjadi, hal apa yang membuat Lim Peng-ci menjadi beringas"
Menyusul terdengar pula suara tangisan Leng-sian, lalu Peng-ci membentaknya lagi, "Enyah sana, enyah yang jauh! Aku lebih suka dibunuh ayahmu daripada kau ikut diriku."
"Mengapa engkau menghina diriku sedemikian rupa, sesungguhnya apa... apa kesalahanku?" tanya Leng-sian sambil menangis.
"Aku... aku..." Peng-ci tertegun, lalu melanjutkan, "Kau... kau...." tapi lantas bungkam pula.
"Apa yang hendak kau katakan, bicaralah terus terang," pinta Leng-sian. "Jika memang aku bersalah atau engkau tak dapat memaafkan kesalahan ayahku, asal kau bicara terus terang, tanpa engkau bertindak apa-apa segera aku akan bunuh diri di hadapanmu."
"Sret", segera ia melolos pedangnya.
"Aku... aku..." kembali Peng-ci berkata dengan tergegap. Selang sejenak, lalu ia menghela napas panjang dan menyambung, "Ya, memang bukan salahmu, sesungguhnya aku sendiri yang tidak baik."
Kembali Leng-sian menangis sedih, ya malu, ya gemas, ya cemas.
Akhirnya Peng-ci berkata, "Baiklah, akan kukatakan terus terang padamu."
"Memangnya, biar kau pukul diriku atau bunuh sekalipun aku rela, asalkan jangan kau bikin orang merasa bingung," kata Leng-sian.
"Karena kau tidak berhati palsu terhadap diriku, maka akan kukatakan terus terang padamu agar selanjutnya kau tak mengharap-harapkan lagi atas diriku," kata Peng-ci.
"Sebab apa?" tanya Leng-sian bingung.
"Sebab apa" Tentunya kau tahu Pi-sia-kiam-hoat sangat terkenal di dunia persilatan sehingga tokoh-tokoh ilmu pedang seperti ayahmu dan Ih Jong-hay juga mengincarnya dengan segala daya upaya, akan tetapi mengapa ilmu pedang ayahku sebaliknya begitu rendah" Dianiaya orang juga tidak mampu melawan" Kenapa bisa begitu, apa sebabnya."
"Mungkin bakat Kongkong kurang atau sejak kecil mungkin badannya lemah. Anak murid keturunan jago silat tidak selamanya berilmu silat tinggi pula."
"Bukan begitu. Biarpun ilmu pedang ayahku sangat rendah, paling-paling disebabkan latihannya kurang, tenaga dalamnya lemah. Akan tetapi Pi-sia-kiam-hoat yang dia ajarkan padaku pada hakikatnya salah semua."
"Ini benar-benar aneh," ujar Leng-sian.
"Kalau kuceritakan tentu tak aneh lagi. Apakah kau tahu orang macam apakah sebenarnya moyangku yang bernama Lim Wan-tho itu?"
"Tidak tahu," sahut Leng-sian.
"Asalnya dia adalah seorang hwesio."
"O, kiranya seorang cut-keh-jin (orang yang meninggalkan rumah). Banyak juga tokoh-tokoh persilatan ternama yang pada hari tua sering kali meninggalkan masyarakat ramai dan menjadi hwesio."
"Tapi moyangku tidak meninggalkan rumah pada hari tua, dia justru menjadi hwesio lebih dulu baru kemudian kembali ke masyarakat ramai."
"Tentang masa muda moyang kita itu apakah kau dengar dari cerita Kongkong?" tanya Leng-sian.
"Tidak, selamanya Ayah tak pernah bercerita, bahkan beliau sendiri mungkin juga tidak tahu. Ruangan sembahyang kediaman kami yang dulu di Gang Matahari di Kota Hokciu itu pernah kita datangi pada malam itu, kau masih ingat bukan?"
"Ya," sahut Leng-sian.
"Sebab apa Pi-sia-kiam-boh itu tertulis di atas kasa" Soalnya beliau tadinya adalah seorang hwesio sebuah biara, di sana beliau dapat mencuri baca kiam-boh itu, lalu diturun dengan ditulis pada kasa yang dipakainya itu. Setelah beliau kembali menjadi preman, di rumah kediamannya diadakan pula sebuah ruangan Buddha dan tetap melakukan ibadatnya dengan taat."
"Gagasanmu cukup masuk di akal. Namun bukan mustahil kiam-boh itu diperoleh moyang kita dari seorang padri sakti dan kiam-boh itu memang tertulis di atas kasa. Jadi moyang kita memperoleh kiam-boh itu dengan cara yang jujur dan terang."
"Bukan begitu," ujar Peng-ci.
"Bila engkau mempunyai dugaan lain, tentu engkau ada alasannya,"
"Aku tidak menduga secara ngawur, tapi moyang Lim Wan-tho sendiri yang mencatat kisahnya di atas kasa."
"O, kiranya demikian," kata Leng-sian.
"Pada akhir kiam-boh yang dia turun dari hasil curi lihat itu dengan jelas ditulis oleh beliau, bahwa tatkala itu beliau masih menjadi hwesio di kuil itu dan tanpa sengaja melihat kiam-boh tersebut, lalu diturunnya di atas kasa serta dibawa pulang. Beliau memperingatkan dengan sangat bahwa ilmu pedang itu terlalu keji dan merugikan orang yang melatihnya, yang melatihnya pasti akan putus keturunan, oleh karena itu beliau menganjurkan jangan sembarangan meyakinkan ilmu pedang tersebut."
"Akan tetapi beliau sendiri toh melatihnya juga."
"Tadinya aku pun berpikir begitu," kata Peng-ci. "Seumpama ilmu pedang itu terlalu keji dan sulit, namun setelah moyang sendiri meyakinkannya toh masih kawin dan beranak, tetap punya keturunan."
"Benar. Cuma besar kemungkinan beliau kawin dan punya anak lebih dulu, kemudian baru meyakinkan ilmu pedang."
"Pasti tidak begitu. Setiap orang persilatan di dunia ini betapa pun lihainya, bila sekali sudah tahu jurus pertama Pi-sia-kiam-hoat, maka pasti ingin tahu pula jurus kedua, lalu ingin tahu pula jurus ketiga dan seterusnya. Sekalipun tahu akibatnya akan sangat merugikan dirinya pasti takkan digubrisnya."
Mendengar sampai di sini, Ing-ing menjadi teringat kepada ucapan ayahnya bahwa Pi-sia-kiam-boh itu sebenarnya berasal dari suatu sumber yang sama dengan Kui-hoa-po-tian yang menjadi pusaka agamanya. Pantas ilmu pedang Gak Put-kun dan Lim Peng-ci sedemikian mirip dengan kepandaian Tonghong Put-pay. Ayahnya juga pernah mengatakan bahwa ilmu silat dalam kitab Kui-hoa-po-tian itu lebih banyak merusak daripada mendatangkan manfaat bila meyakinkannya. Sekali membaca ilmu pedang atau ilmu silat yang tercantum dalam kitab pusaka itu, biarpun tahu akibatnya bisa celaka toh sukar untuk menahan rasa ingin mempelajarinya. Rupanya Ayah sejak mula sama sekali tidak membuka kitab itu, dengan demikian beliau menjadi tidak terjerumus, sungguh suatu tindakan yang tepat dan bijaksana.
Tetapi segera terpikir pula olehnya, "Lalu mengapa Ayah menurunkan kitab pusaka itu kepada Tonghong Put-pay?"
Pertanyaan itu segera terjawab, "Tentu pada waktu itu Ayah telah mengetahui maksud buruk Tonghong Put-pay, maka sengaja menyerahkan kitab pusaka itu padanya untuk menjerumuskan dia. Hiang-sioksiok mengira Ayah kena dipikat oleh Tonghong Put-pay sehingga merasa khawatir. Padahal orang cerdik dan lihai seperti Ayah mana bisa dikelabui orang dengan begitu saja" Hanya saja segala sesuatu juga bergantung pada takdir, Tonghong Put-pay ternyata turun tangan lebih dulu, Ayah ditawan dan dikurung di gua di dasar danau. Syukur Tonghong Put-pay tidak teramat kejam, bila waktu itu Ayah terus dibunuhnya, tentu Ayah tiada kesempatan buat menuntut balas. Padahal terbunuhnya Tonghong Put-pay juga terjadi secara untung-untungan saja, tentu Ayah, Hiang-sioksiok, dan diriku sudah terbunuh oleh Tonghong Put-pay. Dan kalau waktu itu tiada Nyo Lian-ting yang sengaja kusiksa untuk memencarkan perhatian Tonghong Put-pay (tak terkalahkan) tentu pula akan tetap put-pay dia."
Berpikir sampai di sini ia menjadi rada kasihan terhadap nasib Tonghong Put-pay. "Meski Ayah dikurung olehnya namun aku diperlakukan tidak jelek dan cukup terhormat di Tiau-yang-sin-kau, malahan sekarang ayahku sendiri yang menjadi kaucu aku tidak punya kekuasaan seperti tempo hari. Tapi, ai, aku sudah memiliki Engkoh Tiong, buat apa menginginkan kekuasaan apa segala seperti dahulu," demikian terpikir pula olehnya.
Teringat kepada kejadian-kejadian yang telah lalu, ia sendiri menjadi terkesiap pula pada jalan pikiran sang ayah, bahkan sampai sekarang ayahnya masih tidak mau mengajarkan kepada Engkoh Tiong cara memunahkan tenaga liar yang bergolak di dalam tubuh, yaitu tenaga yang disedotnya dari orang lain dengan Gip-sing-tay-hoat. Menurut kata ayahnya, bila Lenghou Tiong mau masuk agamanya baru akan mengajarkan ilmu memunahkan hawa murni liar itu kepadanya, bahkan akan diumumkan kepada segenap anggota bahwa Lenghou Tiong adalah calon penggantinya, namun Lenghou Tiong ternyata tidak mau tunduk, hal ini membuatnya ikut serbasusah. Begitulah, di tempat sembunyinya ternyata yang terpikir oleh Ing-ing hanya diri Lenghou Tiong belaka.
Saat itu Gak Leng-sian dan Lim Peng-ci juga terdiam semua. Selang tak lama barulah Peng-ci membuka suara, "Begitulah moyang Wan-tho menemukan ilmu pedangnya."
"Sekalipun ilmu pedang yang dilatihnya akan menimbulkan malapetaka tentu pula akan waktu cukup lama. Maka moyang Wan-tho sempat kawin dan punya anak, hal ini tentu terjadi sebelumnya timbul bencana baginya."
"Bukan. Semula aku juga berpikir begitu, tapi kemudian aku lantas tahu bukan begitu halnya. Moyang Wan-tho menikah dan punya anak justru terjadi sebelum beliau memperoleh kiam-boh."
"Ah, mana bisa begitu?" ujar Leng-sian.
"Sudah tentu jadi, waktu itu beliau masih menjadi hwesio. Bahwasanya hwesio tidak boleh beristri adalah jelas, tapi punya anak kan boleh. Kalau kakek adalah putra kandung moyang Wan-tho, maka tentu kakek adalah putranya yang tidak sah, tegasnya anak haram dari hubungan gelap. Kukira sebabnya moyang Wan-tho terpaksa kembali ke masyarakat ramai tentu disebabkan persoalan pribadinya itu. Mungkin rahasianya terbongkar dan terpaksa beliau harus angkat kaki."
"Tapi moyang Wan-tho adalah seorang kesatria, seorang tokoh termasyhur, mungkin... mungkin takkan berbuat demikian."
"Sebab apa?" tanya Peng-ci dengan tak acuh.
"Kaum kesatria tulen harus dapat berbuat apa yang tak bisa diperbuat oleh orang biasa. Sesudah melihat kiam-boh pusaka itu, mungkin moyang Wan-tho sanggup menahan diri dan tidak lantas melatihnya. Sesudah kawin dan punya anak barulah beliau mulai berlatih."
"Dan bagaimana dengan kesanggupanku menahan diri?" tanya Peng-ci tiba-tiba.
"Kau... sudah tentu sangat hebat," sahut Leng-sian.
"Ketika di Kota Heng-san, di rumah Lau Cing-hong, aku menyaru sebagai orang bungkuk, aku terpaksa menjura kepada Bok Ko-hong dan memanggil kakek padanya, soalnya karena aku menanggung sakit hati yang belum terbalas sehingga aku terima dihina untuk menunggu kesempatan yang baik bagiku."
"Seorang laki-laki sejati harus bisa menahan perasaan, betapa pun hebatnya moyang Wan-tho mungkin juga tidak sesabar dirimu," ujar Leng-sian.
"Waktu aku melihat Pi-sia-kiam-boh, tatkala itu sudah dekat hari pernikahan kita, beberapa kali aku berpikir akan kawin lebih dulu denganmu, habis itu baru mulai berlatih ilmu pedang itu. Akan tetapi ilmu pedang yang tertera dalam kiam-boh itu ternyata mempunyai daya tarik yang luar biasa sehingga setiap jago silat tak mampu menguasai nafsu ingin belajar bila melihatnya. Karena itu, akhirnya aku mengebiri diri sendiri demi untuk meyakinkan ilmu pedang...."
"Hah! Engkau... mengebiri diri sendiri untuk meyakinkan ilmu pedang jahanam itu?" Leng-sian menegas sambil melonjak.
"Benar," jawab Peng-ci dengan dingin. "Kunci pertama pada pembukaan Pi-sia-kiam-boh itu menyebutkan bahwa jika ingin menjagoi dunia persilatan, pertama harus kebiri diri sendiri lebih dulu."
"Mengapa harus beg... begitu?" tanya Leng-sian dengan suara lemah.
"Pi-sia-kiam-boh itu harus dimulai dengan berlatih lwekang, kalau tidak kebiri dahulu, sekali mulai berlatih serentak hawa nafsu akan berkobar-kobar, akibatnya menjadi cau-hwe-jip-mo, (kelumpuhan), lalu mati kaku."
"O, kiranya demikian," kata Leng-sian dengan lirih, hampir-hampir tak terdengar.
Dalam hati Ing-ing juga berucap, "O, kiranya demikian!"
Baru sekarang ia paham mengapa seorang tokoh mahabesar seperti Tonghong Put-pay akhirnya terima memakai baju perempuan, menyulam dan melayani orang macam Nyo Lian-ting dengan mesra, kiranya semua itu adalah gara-gara meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, akibatnya berubah menjadi banci.
Terdengar Gak Leng-sian menangis tersedu-sedan, katanya dengan suara tak lancar, "Jadi ayahku juga... juga telah berubah seperti... seperti engkau...."
"Jika sudah meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat mana bisa terkecuali?" jawab Peng-ci. "Sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan ternama, bila perbuatan ayahmu yang kebiri sendiri itu tersiar, bukankah akan ditertawai setiap orang Kang-ouw" Sebab itulah, bila dia mengetahui aku juga meyakinkan ilmu pedang ini, pasti aku akan dibunuhnya. Berulang kali dia tanya tentang perlakuanku terhadap dirimu, justru dia ingin tahu apakah aku masih mampu berbuat begituan atau sudah kebiri juga. Coba kalau waktu itu kau kelihatan menyesali diriku, sudah lama nyawaku melayang."
"Dan sekarang dia tentu sudah tahu," kata Leng-sian.
"Tentu saja. Setelah aku membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, dalam waktu beberapa hari saja tentu akan tersiar luas di dunia Kang-ouw," kata Peng-ci dengan bangga.
"Jika betul seperti katamu, bisa jadi Ayah benar-benar takkan mengampuni dirimu. Lalu sebaiknya ke mana kita harus sembunyi?" ujar Leng-sian.
"Kita?" Peng-ci menegas. "Kau sudah tahu keadaanku sekarang dan masih mau mengikut aku?"
"Sudah tentu. Karena terpaksa, kau pun tak dapat disalahkan. Adik Peng, cintaku padamu dari awal sampai akhir tetap sama. Nasibmu sungguh harus dikasihani...."
Belum habis ucapannya, mendadak ia menjerit dan melompat ke bawah kereta, agaknya didorong oleh Lim Peng-ci.
Lalu terdengar Peng-ci berkata dengan gusar, "Aku tidak tahu dikasihani, siapa yang minta kasihan padamu" Ilmu pedang sudah berhasil kuyakinkan, apa lagi yang kutakuti sekarang" Jika Gak Put-kun mengejar kemari untuk membunuh diriku, lebih dulu dia harus mampu mengalahkan pedangku."
Leng-sian diam saja. Maka terdengar Peng-ci menyambung pula, "Nanti kalau luka mataku sudah sembuh, aku Lim Peng-ci akan menjagoi dunia persilatan, apakah dia Gak Put-kun, Lenghou Tiong, dan ketua-ketua dari apa yang disebut Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay segala semuanya bukan tandinganku lagi."
Diam-diam Ing-ing membatin dengan gusar, "Kalau matamu sudah sembuh" Huh, matamu yang sudah buta itu bisa sembuh?"
Sebenarnya dia rada kasihan terhadap nasib Peng-ci yang malang itu, tapi demi menyaksikan sikapnya yang kasar dan tak berperasaan terhadap istrinya sendiri, pula mendengar ucapannya yang sombong itu, mau tak mau timbul rasa gemas dalam hati Ing-ing.
Terdengar Leng-sian menghela napas, lalu berkata, "Kau pun perlu mencari tempat untuk tinggal sementara, sembuhkan dulu luka matamu."
"Aku sudah tentu mempunyai cara menghadapi ayahmu," kata Peng-ci.
"Keadaanmu dan Ayah sama saja, tentu kalian tidak perlu khawatir salah satu akan menyiarkan ciri pihak lain," ujar Leng-sian.
"Hm, terhadap pribadi ayahmu, aku jauh lebih kenal daripadamu," jengek Peng-ci. "Mulai besok, terhadap setiap orang yang kujumpai tentu akan kuberi tahukan hal ini."
"Buat apa mesti berbuat begitu" Bukankah kau sendiri...."
"Buat apa" Justru inilah caranya menyelamatkan jiwa ragaku. Akan kukatakan kepada setiap orang yang kujumpai dan tidak lama dengan sendirinya akan tersiar pula ke telinga ayahmu. Setelah dia mengetahui aku sudah membeberkan rahasianya, tentu dia tidak perlu lagi membunuh aku untuk menutupi rahasianya, malahan sebaliknya dia akan berusaha menyelamatkan jiwaku."
"Jalan pikiranmu sungguh sangat aneh," kata Leng-sian.
"Kenapa merasa aneh" Apakah ayahmu kebiri diri sendiri atau tidak, sekali pandang saja tentu akan ketahuan. Tapi kalau mendadak aku mati secara tidak terang, tentu setiap orang akan menuduh ayahmu sebagai pembunuh diriku."
Leng-sian menghela napas, ia paham apa yang dikatakan Peng-ci itu memang tidak salah. Ia menjadi serbasusah. Jika Peng-ci benar mulai menyebarkan rahasia diri ayahnya, itu berarti runtuhlah nama baik ayahnya selama ini. Sebaliknya kalau Peng-ci tidak bicara, itu berarti akan membahayakan diri pemuda itu sendiri.
"Sekalipun mataku buta, tapi hatiku tidak buta," kata Peng-ci pula. "Walaupun selanjutnya aku tak bisa melihat apa-apa lagi, namun aku tidak menyesal karena sakit hati ayah bunda sudah terbalas. Dahulu Lenghou Tiong menyampaikan pesan terakhir Ayah padaku, katanya benda-benda leluhur yang berada di kediaman lama di Gang Matahari itu sekali-kali jangan diperiksa dan dilihat, katanya itulah pesan wasiat dari leluhur. Tapi sekarang aku sudah memeriksa dan membaca dengan jelas benda tinggalan leluhur itu, meski aku melanggar pesan leluhur, namun dapat membalas sakit hati ayah-bunda. Kalau aku tidak berbuat demikian, Pi-sia-kiam-hoat keluarga Lim kami hanya punya nama kosong belaka, orang-orang Hok-wi-piaukiok hanya kaum pendusta belaka."
"Dahulu engkau dan Ayah sama mencurigai Toasuko dan menuduh dia mengambil Pi-sia-kiam-boh, katanya dia memalsukan pesan Kongkong...."
"Biarpun keliru menuduh dia lalu mau apa?" sela Peng-ci. "Bukankah waktu itu kau sendiri pun mencurigai dia?"
Leng-sian menghela napas perlahan, katanya, "Waktu itu engkau belum lama kenal Toasuko, adalah layak jika engkau berprasangka padanya. Tapi aku dan Ayah sebenarnya tidak pantas mencurigai dia. Di dunia orang yang benar-benar dapat memercayai Toasuko hanyalah Ibu seorang."
"Siapa bilang hanya ibumu seorang?" demikian Ing-ing membantahnya di dalam batin.
Terdengar Peng-ci menjengek, "Hm, ibumu memang benar-benar sayang kepada Lenghou Tiong. Lantaran bocah itu, entah berapa kali ayah-ibumu bertengkar."
"Ayah dan Ibu bertengkar karena Toasuko" Padahal Ayah dan Ibu selamanya tidak pernah cekcok, dari mana engkau mendapat tahu?"
"Hm, selamanya tidak pernah cekcok" Itu cuma permainan sandiwara saja," jengek Peng-ci. "Sampai hal-hal demikian Gak Put-kun juga memakai kedok untuk menutupi kemunafikannya. Dengan telingaku sendiri aku mendengar mereka bertengkar, mana bisa keliru."
"Aku tidak bilang kau keliru, aku hanya merasa heran," ujar Leng-sian. "Mengapa aku tidak tahu atau mendengar, sebaliknya engkau malah mendengar pertengkaran mereka."
"Tiada alangannya kalau sekarang kuceritakan kepadamu," kata Peng-ci. "Ketika di Hokciu tempo hari, ketika orang Ko-san-pay berhasil merebut kasa pusaka moyang, tapi mereka itu kena dibinasakan pula oleh Lenghou Tiong dan dengan sendirinya kasa itu jatuh ke tangan Lenghou Tiong. Akan tetapi dia juga terluka parah dan jatuh pingsan, ketika aku menggeledah badannya ternyata kasa itu sudah hilang entah ke mana?"
"Kiranya di Hokciu dahulu itu kau telah menggeledah badan Toasuko," kata Leng-sian.
"Memang, ada apa?" tanya Peng-ci.
"Tidak apa-apa," jawab Leng-sian.
Dalam hati Ing-ing merasa kasihan kepada Leng-sian yang mendapatkan suami selicik dan seculas itu, tentu banyak kesukaran yang akan dideritanya kelak.
Terdengar Peng-ci berkata lagi, "Kalau kasa itu tidak berada pada Lenghou Tiong tentu telah diambil oleh ayah-ibumu, maka sepulangnya di Hoa-san diam-diam aku lantas menyelidiki gerak-gerik ayahmu, namun permainan ayahmu benar-benar sangat rapi, sedikit pun tiada memberi petunjuk yang mencurigakan. Waktu itu ayahmu jatuh sakit, sudah tentu tiada seorang pun yang tahu apa penyakitnya, lebih-lebih tak tahu bahwa begitu membaca Pi-sia-kiam-boh dia lantas kebiri diri sendiri untuk meyakinkan ilmu pedang. Setiap malam aku berusaha mencari tahu rahasia ayah-ibumu itu, aku ingin mengetahui di mana kiam-boh itu disembunyikan dari percakapan ayah-ibumu."
"Setiap malam kau sembunyi di tepi tebing curam itu?" Leng-sian menegas.
"Ya," sahut Peng-ci.
"Engkau benar-benar amat sabar dan telaten," ujar Leng-sian.
"Demi menuntut balas sakit hati, terpaksa harus begitu," kata Peng-ci.
Kiranya tempat tinggal Gak Put-kun di puncak Hoa-san itu dibangun di tepi sebuah tebing curam yang disebut "Thian-seng-kiap". Di bawah tebing itu adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya, sungguh suatu tempat yang sunyi dan sangat berbahaya. Orang luar mengira Gak Put-kun dan istrinya suka kepada kesunyian agar dapat menyelami ilmu silat lebih tinggi, padahal Gak Put-kun mempunyai perhitungan lain.
Soalnya sejak Hoa-san-pay terpecah menjadi dua sekte, yaitu Kiam-cong dan Khi-cong, maka Gak Put-kun khawatir kalau sisa-sisa sekte Kiam-cong menyergapnya untuk menuntut balas. Sebab itulah ia sengaja tinggal di tempat yang amat curam dan berbahaya itu. Untuk mencapai Thian-seng-kiap yang terletak di puncak yang tinggi itu hanya dihubungkan dengan sebuah jalan kecil yang melingkar-lingkar. Bila orang lain tentunya sukar mendatangi tempat kediaman Gak Put-kun, namun Lim Peng-ci diketahui sebagai menantu kesayangan ketua Hoa-san-pay itu, dengan sendirinya tiada seorang pun yang curiga bila melihat Peng-ci menuju ke Thian-seng-kiap.
Begitulah terdengar Peng-ci menutur pula, "Berturut-turut belasan malam aku menunggu, tapi tiada terdengar sesuatu yang menarik. Suatu malam kudengar ibumu berkata pada ayahmu, "Suko, kulihat air mukamu akhir-akhir ini rada-rada berubah, apakah akibat gangguan Ci-he-sin-kang yang meyakinkan itu" Hendaknya kau dapat membatasi dirimu dan terburu nafsu ingin lekas mencapai tujuan sehingga menimbulkan kesukaran malah." Ayahmu tertawa dan menjawab, "Ah, tidak apa-apa, lancar sekali latihanku."
"Tapi ibumu tidak percaya, katanya, "Jangan membohongi aku. Apa sebabnya suaramu akhir-akhir ini rada-rada berubah, bernada melengking tajam, lebih mirip suara perempuan." Ayahmu menjawab, "Hus, ngaco-belo! Selamanya suaraku juga begini?" Kudengar suaranya memang tajam melengking dan benar-benar mirip orang perempuan bawel yang lagi uring-uringan."
"Lalu ibumu berkata pula, "Masakah masih bilang tidak berubah" Selama ini belum pernah kau bicara sekasar ini kepadaku. Suko, sesungguhnya ada urusan apa yang menyulitkanmu, hendaklah kau katakan terus terang padaku. Sudah berpuluh tahun kita menjadi suami-istri mengapa kau dustai aku?"
"Ayahmu menjawab, "Urusan apa yang menyulitkan aku" Pertemuan di Ko-san sudah dekat waktunya, Co Leng-tan bermaksud mencaplok keempat aliran yang lain, paling-paling hal inilah yang membikin hatiku rada kesal." " "Kukira ada persoalan lain lagi," kata ibumu.
"Ayahmu menjadi aseran, katanya dengan suara melengking, "Kau memang suka curiga. Selain itu ada persoalan lain apa lagi?" " "Kalau kukatakan hendaklah engkau jangan naik pitam, kutahu engkau telah salah menuduh Anak Tiong," kata ibumu. " "Anak Tiong?" ayahmu menegas. "Dia bergaul dengan orang Mo-kau dan main cinta dengan nona she Yim dari agama iblis itu, hal ini diketahui siapa pun juga, masakah aku keliru menyalahkan dia?"."
Mendengar kata-kata Gak Put-kun yang diuraikan kembali oleh Lim Peng-ci menyangkut dirinya, wajah Ing-ing menjadi panas, seketika timbul rasa hangat dalam hatinya.
Sementara itu terdengar Peng-ci berkata pula, "Ibumu menjawab, "Dia bergaul dengan orang Mo-kau sudah tentu hal ini bukan fitnah, yang kumaksudkan adalah engkau menuduh dia mencuri Pi-sia-kiam-boh milik Anak Peng itu." " "Memangnya kiam-boh itu tidak dicuri olehnya" Bukankah kau menyaksikan sendiri ilmu pedangnya mendadak maju dengan pesat, bahkan lebih lihai daripadaku," kata ayahmu.
"Ibumu menjawab pula, "Bisa jadi dia memperoleh penemuan aneh, aku berani memastikan dia pasti tidak ambil Pi-sia-kiam-boh. Biarpun watak Anak Tiong suka ugal-ugalan, tapi sejak kecil dia punya sifat yang suka terus terang, tidak sudi berbuat hal-hal yang memalukan. Sejak Anak Sian bergaul rapat dengan Anak Peng dan mengesampingkan dia, orang yang berwatak angkuh seperti dia, sekalipun Anak Peng mempersembahkan kiam-boh kepadanya juga tak sudi diterima olehnya."."
Sungguh tidak kepalang rasa senang Ing-ing mendengar kata-kata demikian, saking senangnya ia berharap akan segera dapat merangkul Gak-hujin untuk menyatakan terima kasih padanya. Ia pikir Nyonya Gak itu memang tidak sia-sia membesarkan Engkoh Tiong sejak kecil, segenap orang Hoa-san-pay hanya engkau seorang yang kenal pribadi Engkoh Tiong. Melulu berdasarkan kata-kata penilaian pribadi Engkoh Tiong itu saja, kelak bila ada kesempatan tentu akan kuberi balas jasa yang pantas, demikian pikirnya pula.
Dalam pada itu, Peng-ci sedang menyambung ceritanya, "Ayahmu telah mendengus, katanya, "Jika demikian, jadi kau malah merasa menyesal karena kita telah memecat bocah durhaka itu dari perguruan kita?" " Ibumu menjawab, "Jika dia melanggar peraturan dan dipecat, sudah tentu siapa pun tak dapat membelanya. Engkau tuduh dia bergaul dengan orang Mo-kau kan sudah cukup beralasan, buat apa mesti memfitnah dia mencuri kiam-boh" Padahal engkau sendiri jauh lebih tahu daripadaku, dengan jelas kau tahu dia tidak ambil kiam-boh keluarga Lim itu." " Ayahmu mendadak berteriak, "Dari mana kau tahu?"."
Karena suara Peng-ci juga tajam melengking, di tengah malam sunyi suaranya yang menirukan jerit gusar Gak Put-kun itu menjadi seperti burung hantu yang menyeramkan.
Bab 123. Rahasia Munculnya Lo Tek-nau
Selang sejenak barulah Peng-ci meneruskan pula, "Dengan perlahan ibumu berkata, "Sudah tentu aku tahu, sebab kiam-boh itu justru kau sendiri yang mengambilnya." " Dengan gusar ayahmu menjerit pula, "Maksudmu men... men...." tapi hanya sekian saja ucapannya dan mendadak bungkam.
"Suara ibumu sangat tenang, katanya pula, "Dalam keadaan pingsan tempo hari, ketika aku membubuhi obat pada luka Anak Tiong, kulihat dalam bajunya tersimpan sepotong kasa yang penuh tulisan mengenai ilmu pedang. Ketika untuk kedua kalinya aku memberi obat padanya ternyata kasa itu sudah tidak ada, waktu itu Anak Tiong masih belum sadar kembali. Selama itu di dalam kamar selain kita berdua tiada orang ketiga lagi, dan yang pasti aku sendiri tidak ambil kasa bertulis ilmu pedang itu."
"Beberapa kali ayahmu bermaksud menyela, tapi hanya menyebut dua-tiga saja secara samar-samar dan tidak melanjutkan. Sebaliknya suara ibumu tambah halus dan berkata pula, "Suko, ilmu pedang Hoa-san-pay ada keistimewaannya sendiri. Ci-he-sin-kang juga lain daripada yang lain, dengan ilmu sakti ini pun cukup kuat bagi kita untuk menjagoi dunia persilatan, sebenarnya tidak perlu lagi mencuri belajar ilmu dari aliran lain. Hanya saja akhir-akhir ini Co Leng-tan sangat bernafsu mencaplok keempat aliran lain sesama Ngo-gak-kiam-pay kita, betapa pun Hoa-san-pay yang berada di bawah pimpinanmu tidak boleh jatuh ke dalam cengkeraman Co Leng-tan. Asalkan kita berserikat dengan Thay-san-pay, Heng-san-pay, dan Hing-san-pay, empat lawan satu kukira pihak kita tetap lebih kuat. Seumpama akhirnya kita tak bisa menang sedikitnya kita masih sanggup hantam mereka habis-habisan di Ko-san nanti, berada di akhirat juga kita tidak malu terhadap leluhur Hoa-san-pay kita."."
Mendengar sampai di sini, diam-diam Ing-ing memuji Nyonya Gak itu benar-benar seorang kesatria wanita yang hebat, jauh lebih terhormat dan terpuji daripada suaminya.
Maka terdengar Leng-sian berkata, "Apa yang dikatakan Ibu itu memang tiada salahnya."
Peng-ci mendengus, katanya, "Tapi waktu itu ayahmu sudah mendapatkan kiam-bohku dan sudah mulai meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, mana dia mendengar nasihat Sunio?"
Dengan menyebut "sunio" (ibu guru) secara mendadak, hal ini menunjukkan hati Lim Peng-ci masih mengindahkan dan menghormati Gak-hujin.
Kemudian ia melanjutkan ceritanya, "Waktu itu ayahmu telah menjawab, "Ucapanmu itu benar-benar pandangan kaum wanita belaka. Melulu mengandalkan kegagahan dan main hantam saja toh tiada gunanya bagi urusan yang lebih penting." " Ibumu diam sejenak, lalu berkata, "Sebenarnya boleh juga tujuanmu buat menyelamatkan Hoa-san-pay dengan segala daya upaya. Hanya saja itu... itu Pi-sia-kiam-hoat pasti lebih banyak rugi daripada untungnya bila melatihnya, anak cucu keluarga Lim mengapa tiada yang meyakinkan ilmu pedang leluhurnya" Maka kunasihatkan sebaiknya dapat menahan hasrat dan jangan berlatih ilmu pedang itu." " Dengan suara keras ayahmu menjawab, "Dari mana kau tahu"... Kau selalu mengintip gerak-gerikku?" " "Untuk mengetahuinya aku tidak mesti mengintip dirimu," sahut ibumu, "akhir-akhir ini suaramu banyak berubah, hal ini dapat dilihat oleh siapa pun juga, masakah kau sendiri tidak tahu."
"Ayahmu masih mendebat lagi, "Selamanya suaraku juga begini." " Ibumu berkata, "Setiap pagi di atas bantalmu tentu terdapat rontokan rambut kumis, engkau melihatnya sendiri" Sudah lama aku melihatnya, hanya tidak kukatakan," sahut ibumu. "Kumis jenggot palsu yang kau tempelkan mungkin dapat mengelabui orang lain, tapi mana bisa mengelabui sumoaymu yang berdampingan denganmu selama belasan tahun dan bahkan menjadi istrimu selama berpuluh tahun ini?"
"Karena merasa rahasianya terbongkar, ayahmu tidak membantah lagi. Selang sejenak barulah dia bertanya, "Apakah orang lain ada juga yang tahu?" " "Tidak," jawab ibumu. " "Bagaimana dengan Anak Sian dan Anak Peng?" tanya pula ayahmu. " "Mereka juga tidak tahu," kata ibumu. Lalu ayahmu berkata, "Baik, aku menuruti nasihatmu. Kasa ini nanti kita cari jalan untuk diserahkan kepada Peng-ci, kemudian kita berusaha pula mencuci bersih kesalahan yang dituduhkan kepada Anak Tiong. Mulai malam ini aku pun takkan meyakinkan lagi ilmu pedang yang menyesatkan ini." Ibumu menjadi girang, katanya, "Itulah yang paling baik. Cuma ilmu pedang keluarga Lim itu jelas merugikan siapa pun yang melatihnya, mana boleh kiam-boh ini diperlihatkan kepada Peng-ci" Kukira lebih baik dimusnahkan saja.?"
"Tentunya Ayah tidak setuju," ujar Leng-sian. "Kalau beliau setuju memusnahkan kiam-boh itu tentu... tentu takkan terjadi seperti sekarang ini."
"Kau salah terka. Waktu itu ayahmu justru setuju memusnahkan kiam-boh itu," kata Peng-ci. "Aku sendiri pun terkejut, segera aku bermaksud bersuara untuk mencegahnya, sebab kiam-boh itu adalah milik keluarga Lim kami, ayahmu tidak ada hak untuk memusnahkannya. Pada saat itu juga kudengar daun jendela dibuka, lekas-lekas aku mendak ke bawah, tiba-tiba sesuatu benda dilemparkan keluar, ternyata kasa merah itu yang dibuang, menyusul jendela lantas ditutup kembali. Melihat kasa itu melayang ke bawah di sebelahku, kalau didiamkan tentu akan jatuh ke dalam jurang, tanpa pikir lagi segera aku meraihnya dan untung sekali kasa itu berhasil kupegang, walaupun aku sendiri hampir-hampir terperosot ke dalam jurang."
Diam-diam Ing-ing berpikir, "Kau akan benar-benar beruntung bilamana tidak berhasil meraih kembali kasa maut itu."
"O, jadi Ibu mengira Ayah telah membuang kasa yang bertuliskan kiam-boh itu ke dalam jurang, padahal sebelumnya Ayah telah menghafalkan ilmu pedang di luar kepala sehingga praktis kasa itu sudah tiada artinya lagi baginya, sebaliknya engkau malah berhasil pula mempelajari ilmu pedang itu, bukan?"
"Benar," sahut Peng-ci.
"Rupanya itu sudah takdir," kata Leng-sian pula. "Agaknya semuanya itu sudah diatur oleh Thian Yang Mahaadil agar engkau dapat membalas sakit hati Kongkong dan Popo."
"Akan tetapi masih ada suatu hal yang membingungkan aku, beberapa hari terakhir ini aku telah berusaha memecahkan soal ini, tapi biarpun kepalaku pecah memikirkannya tetap sukar dimengerti," kata Peng-ci. "Yaitu apa sebabnya Co Leng-tan juga dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat."
"O," hanya sekian Leng-sian bersuara secara tak acuh, tampaknya ia tidak ambil pusing apakah Co Leng-tan itu mahir Pi-sia-kiam-hoat atau tidak.
Sebaliknya Peng-ci lantas berkata pula, "Kau tidak pernah belajar Pi-sia-kiam-hoat, maka tidak tahu di mana letak kehebatan ilmu pedang itu. Tempo hari waktu Co Leng-tan bertempur melawan ayahmu di Hong-sian-tay, ketika pertarungan mereka sudah memuncak, ilmu pedang yang mereka mainkan ternyata Pi-sia-kiam-hoat semua. Hanya saja permainan Co Leng-tan mula-mula tampak teratur dan hebat, namun akhirnya semakin kacau, setiap jurus seakan-akan sengaja mengalah kepada ayahmu, syukur ilmu pedangnya memang mempunyai dasar yang kuat sehingga pada detik-detik paling berbahaya ia masih sanggup mengelak, tapi tetap sukar terlepas dari lingkaran ancaman Pi-sia-kiam-hoat lawan dan akhirnya matanya kena dibutakan oleh ayahmu. Coba kalau dia menggunakan Ko-san-kiam-hoat dan dikalahkan oleh ayahmu, maka hal ini adalah masuk di akal karena Pi-sia-kiam-hoat memang tiada tandingannya di dunia ini. Soalnya yang membingungkan aku adalah dari mana Co Leng-tan dapat belajar Pi-sia-kiam-hoat dan mengapa pula kepalang tanggung ilmu pedang yang dipelajarinya itu?"
Sampai di sini Ing-ing merasa tiada sesuatu lagi yang menarik dalam percakapan kedua muda-mudi itu. Ia pikir Pi-sia-kiam-hoat yang dipahami Co Leng-tan itu besar kemungkinan hasil curian dari Tiau-yang-sin-kau kami. Pi-sia-kiam-hoat yang dipelajari Tonghong Put-pay jauh lebih lihai dari Gak Put-kun, bila kau menyaksikan pasti akan bikin kepalamu pecah tiga kali juga sukar memahami persoalannya. Demikian pikirnya.
Pada saat ia hendak menyingkir itulah, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derapan kuda sedang mendatangi. Khawatir terjadi apa-apa atas diri Lenghou Tiong, cepat Ing-ing meninggalkan tempat Leng-sian itu dan kembali ke keretanya sendiri.
"Engkoh Tiong, ada orang datang!" katanya lirih.
"Eh, kau mencuri dengar lagi tentang orang bawa daging untuk umpan anjing di rumah si gadis, bukan" Kenapa kau mendengarkan sekian lama?" dengan tertawa Lenghou Tiong mengolok-olok.
Ing-ing menjadi teringat kepada permintaan Gak Leng-sian tadi yang ingin berbuat "begituan" dengan Lim Peng-ci di dalam kereta agar mereka bisa menjadi "suami-istri resmi", seketika wajah Ing-ing menjadi merah jengah. Jawabnya kemudian, "O, mereka... mereka sedang bicara cara... cara berlatih Pi-sia-kiam-hoat."
"Ah, cara bicaramu gelagapan, tentu ada sesuatu yang menarik. Ayo naik ke sini, coba ceritakan padaku lebih jelas," pinta Lenghou Tiong.
"Tidak, tidak mau!" sahut Ing-ing.
"Kenapa tidak mau?" Lenghou Tiong memaksa.
"Tidak mau ya tidak mau," kata Ing-ing.
Sementara itu suara berdetak kaki kuda yang riuh tadi sudah makin mendekat.
"Dari jumlahnya tentunya mereka adalah sisa-sisa anak murid Jing-sia-pay, rupanya mereka benar-benar menyusul kemari untuk menuntut balas."
Segera Lenghou Tiong bangkit duduk, ia mengajak mendekati kereta Gak Leng-sian itu. Ing-ing mengiakan. Ia tahu Lenghou Tiong teramat mengkhawatirkan keselamatan Leng-sian, kalau tidak menyaksikan sendiri nona itu lolos dari bahaya dengan selamat, sesaat pun dia takkan merasa tenteram. Maka Ing-ing lantas menurunkan Lenghou Tiong dari kereta.
Ketika kaki Lenghou Tiong menyentuh tanah, lukanya menjadi kesakitan, tubuhnya terhuyung dan cepat memegang roda kereta. Sejak tadi keledai penarik kereta itu diam saja, kini keretanya sedikit bergerak, disangkanya suruh menarik kereta lagi, segera binatang itu menegak kepala dan bermaksud meringkik.
Namun Ing-ing cukup cepat, pedangnya lantas menebas sehingga kepala keledai terpenggal sebelum bersuara.
Diam-diam Lenghou Tiong memuji akan kehebatan Ing-ing itu, bukan karena kecepatan pedangnya, tapi ketegasan tindakannya.
Sementara itu terdengar suara derapan kuda tadi sudah makin mendekat, segera Lenghou Tiong melangkah cepat ke depan.
Ing-ing pikir kalau terlalu cepat, Lenghou Tiong tentu akan membikin lukanya kesakitan lagi. Segera ia menyusulnya dan berkata, "Engkoh Tiong, maaf!"
Tanpa menunggu jawaban ia terus cengkeram baju tengkuk dan punggungnya lalu angkat ke atas, segera ia lari cepat menyusur tanaman jagung yang lebat itu dengan ginkang yang tinggi.
Lenghou Tiong menjadi geli dan berterima kasih pula. Sungguh keterlaluan dirinya sebagai ketua Hing-san-pay ternyata dicengkeram oleh seorang gadis mirip anak kecil saja, kalau dilihat orang tentu bisa runyam. Tapi kalau Ing-ing tidak ambil tindakan demikian, bila orang-orang Jing-sia-pay keburu tiba lebih dulu, tentu Siausumoay akan celaka. Rupanya tindakan Ing-ing ini dilakukan karena dapat menyelami apa yang dikhawatirkannya ini.
Tidak lama kemudian jarak kedua pihak sudah makin mendekat. Ing-ing coba melongok keluar tanaman jagung, dalam kegelapan tertampak satu barisan obor sedang mendatang melalui jalan raya itu.
"Berani benar mereka ini mengejar musuh dengan membawa obor," kata Ing-ing. Tapi segera ia berseru pula, "Wah, celaka! Jangan-jangan mereka hendak membakar kereta dengan api!"
"Lekas kita mencegat di depan mereka agar mereka tidak dapat kemari," kata Lenghou Tiong.
"Jangan buru-buru, untuk menolong dua orang saja rasanya kita masih mampu," ujar Ing-ing.
Lenghou Tiong tahu kepandaian Ing-ing cukup tinggi. Ih Jong-hay sudah mati, sisa orang-orang Jing-sia-pay tentu tidak perlu ditakuti lagi.
Kira-kira belasan meter dari tempat kereta Gak Leng-sian itu barulah Ing-ing menurunkan Lenghou Tiong, katanya dengan suara tertahan, "Kau duduk saja di sini!"
Sementara itu terdengar Leng-sian sedang berkata di dalam keretanya, "Musuh sudah hampir tiba, benar juga kawanan tikus dari Jing-sia-pay."
"Dari mana kau tahu?" tanya Peng-ci.
"Rupanya mereka anggap kita terluka maka secara berani mereka datang dengan membawa obor," sahut Leng-sian.
"Mereka membawa obor-obor?" Peng-ci menegas. Ternyata pikirannya lebih cerdik daripada Gak Leng-sian, segera ia berkata pula, "Lekas turun ke bawah, kawanan tikus itu akan membakar kereta ini!"
Cepat Leng-sian melompat turun dari keretanya lalu memegang tangan Peng-ci untuk membantunya melompat turun pula. Mereka menyingkir ke pinggir jalan dan menyusup ke tengah tanaman jagung, jaraknya cuma belasan meter saja dari tempat sembunyi Ing-ing dan Lenghou Tiong.
Seruling Samber Nyawa 1 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Kisah Para Pendekar Pulau Es 11
^