Hina Kelana 39
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 39
Dalam pada itu orang-orang Jing-sia-pay sudah tiba dan mengepung kereta Gak Leng-sian. Seorang di antaranya lantas berteriak, "Lim Peng-ci, bangsat kau! Apa kau ingin menjadi kura-kura (istilah makian bagi germo)" Mengapa kau mengkeret, coba tongolkan kepalamu sini!"
Tapi keadaan dalam kereta sunyi senyap tiada jawaban. Segera seorang di antaranya berkata, "Mungkin dia sudah melarikan diri dengan meninggalkan kereta ini."
Tiba-tiba api obor memecah kegelapan, sebuah obor dilemparkan ke arah kereta. Tapi mendadak dari dalam kereta menjulur keluar sebuah tangan, obor ditangkapnya terus dilemparkan kembali ke arah si pelempar tadi.
Keruan orang-orang Jing-sia-pay menjadi panik dan berteriak, "Bangsat, anjing itu berada di dalam kereta!"
Bahwa dari dalam kereta bisa menjulur keluar tangan seorang, hal ini tidak saja membikin heran Ing-ing dan Lenghou Tiong, bahkan Leng-sian juga tak terkatakan kagetnya. Telah sekian lama dia bicara dengan Lim Peng-ci, sama sekali tak terkira olehnya bahwa di dalam keretanya bersembunyi orang lain. Kalau melihat cara orang itu melemparkan kembali obor kepada musuh, agaknya ilmu silatnya tidaklah rendah.
Obor yang dilemparkan anak murid Jing-sia-pay berturut-turut ada beberapa buah dan semuanya dapat dilempar kembali oleh orang di dalam kereta itu, maka orang Jing-sia-pay yang lain tidak berani melempar obor lagi, mereka mengelilingi kereta dari jauh sambil berteriak-teriak. Ada yang memaki, "Anak kura-kura itu tidak berani keluar, besar kemungkinan dia terluka parah dan hampir mampus!"
Di bawah cahaya obor tertampak dengan jelas bahwa tangan itu kurus kering dengan urat yang menonjol di sana-sini, terang tangan seorang tua dan sama sekali bukan tangan Lim Peng-ci atau Gak Leng-sian.
Orang-orang Jing-sia-pay menjadi ragu dan tidak berani sembarangan bergerak. Namun terdorong oleh hasrat menuntut balas kematian guru mereka, terpaksa mereka harus bertindak. Sekonyong-konyong pedang mereka sama menusuk ke dalam kereta.
Tapi mendadak sesosok tubuh meloncat keluar menembus atap kereta dengan sinar pedang gemilapan, tahu-tahu orang itu sudah melompat ke belakang barisan orang-orang Jing-sia-pay, begitu pedangnya bekerja, kontan dua murid Jing-sia-pay menggeletak.
Kelihatan orang itu memakai baju kuning seperti dandanan orang Ko-san-pay, tapi mukanya berkedok kain hijau, hanya tertampak sepasang matanya yang bersinar tajam. Perawakan orang itu sangat tinggi, pedangnya bergerak amat cepat, hanya beberapa jurus saja kembali dua murid Jing-sia-pay yang lain dirobohkan pula.
Tangan Lenghou Tiong menggenggam tangan Ing-ing, kedua orang mempunyai pikiran yang sama. "Yang dimainkan itu pun Pi-sia-kiam-hoat."
Tapi kalau melihat perawakannya terang orang ini bukan Gak Put-kun, Lim Peng-ci, dan Co Leng-tan bertiga, kini ada orang keempat pula yang dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat, hal ini dengan sendirinya sangat mengejutkan.
Dengan suara perlahan Gak Leng-sian berkata kepada Peng-ci, "Adik Peng, yang dimainkan orang ini tampaknya serupa ilmu pedangmu."
"He, dia... dia juga dapat memainkan ilmu pedangku" Kau tidak... tidak keliru?" sahut Peng-ci.
Tengah bicara, kembali tiga orang Jing-sia-pay terkena pedang pula. Kini Lenghou Tiong dan Ing-ing sudah dapat melihat jelas. Meski jurus ilmu pedang yang dimainkan orang itu pun termasuk Pi-sia-kiam-hoat, tapi ketangkasannya selisih terlalu jauh dibanding Tonghong Put-pay, dibanding Gak Put-kun dan Lim Peng-ci juga belum memadai, hanya saja ilmu silat orang itu sendiri rupanya cukup tinggi, jauh lebih kuat daripada anak murid Jing-sia-pay maka orang itu masih lebih unggul meski dikerubut orang banyak.
"Ilmu pedangnya tampaknya sama dengan ilmu pedangmu, hanya saja tidak secepat engkau," kata Leng-sian pula kepada Peng-ci.
"Gerakannya kurang cepat" Ini terang tidak cocok dengan inti ilmu pedang kami," kata Peng-ci. "Akan tetapi siapa... siapa dia" Mengapa dapat memainkan kiam-hoat itu?"
Di tengah pertarungan sengit, tiba-tiba seorang Jing-sia-pay dadanya ditembus oleh pedang orang itu. Menyusul orang itu menggertak keras, pedangnya ditarik dan menebas pula, kontan seorang di belakangnya terkutung sebatas pinggang. Orang-orang Jing-sia-pay yang lain menjadi jeri dan sama melompat mundur.
Kembali orang itu menggertak keras sekali terus menerjang maju. Mendadak seorang Jing-sia-pay menjerit ketakutan sambil putar tubuh dan lari sipat kuping. Kawan-kawannya menjadi jeri dan beramai-ramai kabur.
Orang itu tampaknya rada lelah juga. Dari napas orang yang rada memburu itu, Lenghou Tiong dan Ing-ing dapat menduga dalam pertempuran sengit tadi orang itu cukup banyak membuang tenaga, besar kemungkinan malah terluka dalam pula.
Setelah terengah-engah sebentar, orang tua baju kuning itu simpan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang, lalu berseru, "Lim-siauhiap dan Lim-hujin, aku diperintahkan Co-ciangbun dari Ko-san untuk datang memberi bantuan."
Dari suaranya yang bernada rendah dan serak itu agaknya dalam mulut mengulum sesuatu sehingga ucapannya menjadi tidak jelas.
"Banyak terima kasih atas bantuan Anda, mohon tanya siapa nama Anda yang mulia?" sahut Peng-ci sambil keluar dari tempat sembunyinya bersama Leng-sian.
Orang itu berkata pula, "Co-ciangbun mendapat tahu bahwa Lim-siauhiap bersama nyonya disergap musuh di tengah jalan dan terluka parah, maka aku diperintahkan mengawasi Lim-siauhiap berdua untuk mencari suatu tempat tetirah yang baik, tanggung takkan dapat ditemukan oleh ayah-mertuamu."
Baik Lenghou Tiong dan Ing-ing maupun Lim Peng-ci dan Leng-sian sama heran dari mana Co Leng-tan mendapat keterangan sejelas itu. Sementara beberapa obor di atas tanah masih menyala, sinar api berguncang-guncang, sebentar terang sebentar guram.
Peng-ci lantas menjawab, "Maksud baikmu sungguh aku sangat berterima kasih. Tentang merawat luka rasanya aku masih sanggup mengatasinya dan tidak berani bikin repot padamu."
Orang tua itu berkata pula, "Tapi kedua mata Lim-siauhiap terkena racun si bungkuk, sukar sekali kiranya untuk bisa melihat kembali, kalau engkau tidak diobati sendiri oleh Co-ciangbun, bisa jadi... bisa jadi mata Lim-siauhiap juga sukar dipertahankan."
Sejak kedua matanya terkena air beracun dari punuk Bok Ko-hong, baik mata maupun muka Peng-ci terasa kaku dan gatal tak terkatakan, saking geregetan hampir-hampir ia cukil kedua biji mata sendiri, syukur ia masih mampu bertahan sebisa mungkin, maka ia pun percaya apa yang dikatakan orang tua itu memang bukan untuk menakut-nakuti belaka.
Setelah termenung sejenak, kemudian Peng-ci menjawab, "Sebab apa Co-ciangbun menaruh kasihan sedemikian mendalam padaku" Silakan menjelaskan lebih dulu, kalau tidak, sukar kiranya bagiku untuk menerimanya."
Orang itu tertawa terkekeh, lalu berkata pula, "Sama-sama dendam dan punya musuh yang sama, ini saja sudah seperti sanak kadang sendiri. Kalau Gak Put-kun sudah tahu Lim-siauhiap meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, biarpun Siauhiap berusaha menyingkir ke ujung langit sekalipun juga akan diuber olehnya. Kini dia sudah menjadi ketua Ngo-gak-pay, kekuasaannya besar, pengaruhnya luas, engkau seorang diri mau ke mana lagi... Hehe, putri kandung kesayangan Gak Put-kun senantiasa mendampingimu siang dan malam, sulit berjaga terhadap musuh di samping bantal...."
"Jisuko, ternyata dirimu!" mendadak Leng-sian berteriak.
Teriakan Leng-sian ini menggetarkan hati Lenghou Tiong pula. Dari suara orang tua yang samar-samar serak itu memang dirasakan seperti sudah dikenalnya, kini setelah diteriaki Gak Leng-sian, seketika ia pun sadar bahwa orang tua itu memang betul Lo Tek-nau adanya, yaitu bekas murid kedua Gak Put-kun.
Dari Leng-sian dulu Lenghou Tiong mendengar bahwa Lo Tek-nau terbunuh oleh musuh di Hokciu, jika begitu, jadi kabar itu ternyata tidak betul.
"Hm, budak yang cukup cerdik, dapatlah kau mengenali suaraku," kata orang tua itu dengan nada dingin. Sekarang ia tidak bicara dengan suara yang dibikin-bikin, maka jelas suaranya memang suara Lo Tek-nau asli.
"Jisuko, di Hokciu, kau pura-pura mati dibunuh musuh, kalau begitu, tentunya... tentunya kaulah yang membunuh Patsuko bukan?" tanya Peng-ci.
Lo Tek-nau hanya mendengus saja tanpa menjawab.
"Ya, tentu... tentu luka di punggung Peng-ci ini pun perbuatanmu, padahal selama ini aku telah salah menuduh Toasuko," teriak Leng-sian. "Hm, bagus sekali perbuatanmu. Rupanya kau sengaja membunuh seorang lain dan mencacah mukanya hingga hancur lalu kau dandani dengan pakaianmu sehingga setiap orang mengira kau telah mati dibunuh musuh."
"Rekaanmu memang tidak salah," jawab Lo Tek-nau. "Kalau tidak begitu, mustahil aku takkan dicurigai Gak Put-kun bila mendadak aku menghilang" Hanya saja luka bacokan di punggung Lim-siauhiap itu bukanlah perbuatanku."
"Bukan kau" Memangnya masih ada orang lain?" jengek Leng-sian.
"Juga tidak termasuk orang lain, justru adalah ayahmu sendiri," kata Lo Tek-nau.
"Persetan!" teriak Leng-sian. "Kau sendiri yang berbuat, tapi memfitnah orang lain. Tanpa sebab musabab mengapa ayahku membacok Adik Peng?"
"Soalnya waktu itu ayahmu telah mendapatkan Pi-sia-kiam-boh dari Lenghou Tiong," kata Tek-nau. "Kiam-boh itu adalah milik keluarga Lim, maka orang pertama yang harus dibunuh oleh ayahmu justru adalah kau punya Adik Peng ini. Bila Lim Peng-ci masih hidup di dunia ini, mana ayahmu dapat meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat dengan baik?"
Ucapan Lo Tek-nau ini membikin Leng-sian menjadi bungkam. Dalam hati kecilnya ia percaya apa yang dikatakan itu memang masuk di akal. Tapi bahwasanya sang ayah tega menyergap Peng-ci secara keji hal ini tetap sukar untuk dipercaya.
Maka setelah mengucap "persetan" beberapa kali, lalu ia berkata pula, "Jika ayahku hendak membunuh Adik Peng, mustahil sekali bacok tidak membuatnya meninggal."
"Bacokan itu memang benar dilakukan oleh Gak Put-kun, ucapan Jisuko memang tidak keliru," tiba-tiba Peng-ci menimbrung.
"Mengapa kau... kau pun berkata demikian?" ujar Leng-sian.
"Ketika kena bacokan pedang Gak Put-kun, lukaku sangat parah, aku tahu tidak mampu melawan, maka begitu roboh segera aku pura-pura mati tanpa bergerak lagi, waktu itu aku tidak tahu bahwa yang menyerang itu adalah Gak Put-kun, guruku yang "tersayang" itu, hehe!" jengek Peng-ci. "Dalam keadaan hampir tak sadar, samar-samar kudengar suara Patsuko memanggil "Suhu!". Agaknya panggilan Patsuko sendiri."
"Kau maksudkan Patsuko juga... juga dibunuh oleh ayahku?" Leng-sian menegas dengan terkejut.
"Memang begitulah adanya," jawab Peng-ci. "Kudengar sehabis Patsuko memanggil Suhu, lalu dia menjerit ngeri. Aku sendiri lantas jatuh pingsan."
"Saat itu Gak Put-kun sebenarnya hendak menambahi sekali bacok lagi padamu," sambung Lo Tek-nau. "Untung bagiku aku telah mengintip perbuatannya, di tempat sembunyi perlahan aku berdehem sehingga membikin keder Gak Put-kun, lekas-lekas ia kembali ke kamarnya. Jadi suara dehemanku itulah yang menyelamatkan jiwamu, kau tahu tidak, Lim-siauhiap?"
"Kalau Ayah benar bermaksud mencelakaimu, kesempatan selanjutnya kan cukup... cukup banyak, mengapa beliau tidak turun tangan pula?" ujar Leng-sian.
"Hm, kemudian dengan sendirinya aku cukup waspada, sehingga tiada kesempatan turun tangan baginya," jengek Peng-ci. "Ada juga bantuanmu, setiap hari kau selalu berada bersamaku, sehingga membikin dia tidak leluasa untuk membunuh diriku."
"Kiranya... kiranya engkau menikah dengan aku hanya... hanya menggunakan diriku sebagai... sebagai tameng belaka," kata Leng-sian sambil menangis terguguk-guguk.
Peng-ci tidak pedulikan tangisan Leng-sian itu, ia berkata terhadap Lo Tek-nau, "Lo-heng, sejak kapan engkau mengadakan hubungan dengan Co-ciangbun?"
"Co-ciangbun adalah Insu (guruku yang berbudi), aku adalah murid beliau yang ketiga," jawab Tek-nau.
"O, kiranya kau telah ganti perguruan," kata Peng-ci.
"Aku tidak ganti perguruan," Tek-nau berkata. "Sejak dulu aku memang murid Ko-san-pay, hanya selama ini aku ditugaskan Insu masuk ke Hoa-san-pay, tujuannya tiada lain adalah menyelidiki ilmu silat Gak Put-kun serta gerak-gerik setiap orang Hoa-san-pay."
Baru sekarang Lenghou Tiong paham persoalannya. Ketika Lo Tek-nau masuk Hoa-san-pay memang diketahui sudah mahir ilmu silat, hanya yang diperlihatkan tampaknya adalah ilmu silat gado-gado dari berbagai golongan, sama sekali tak terduga dia adalah murid pilihan Ko-san-pay. Rupanya memang sudah lama Co Leng-tan merencanakan pencaplokan keempat aliran yang lain dan telah menaruh mata-matanya di mana perlu, maka soal Lo Tek-nau membunuh Liok Tay-yu serta mencuri kitab Ci-he-sin-kang menjadi tidak perlu diherankan lagi. Hanya saja orang cerdik sebagai gurunya itu, ternyata kena diselomoti Lo Tek-nau.
Dalam pada itu Lim Peng-ci sedang bicara, "O, kiranya begitu dan jasa Lo-heng tentu tidak kecil setelah berhasil membawa kitab Ci-he-sin-kang dan Pi-sia-kiam-hoat ke Ko-san sehingga Co-ciangbun berhasil meyakinkan ilmu sakti."
Lenghou Tiong dan Ing-ing sama mengangguk sependapat dengan ucapan Peng-ci itu, sebabnya Co Leng-tan dan Lo Tek-nau dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat tentu begitulah adanya. Nyata otak Lim Peng-ci dapat bekerja dengan cepat untuk menarik kesimpulan yang tepat itu.
Lo Tek-nau lantas menjawab, "Terus terang saja Saudara Lim, kita berdua, juga Insu kami telah sama-sama ditipu oleh keparat Gak Put-kun itu. Orang ini benar-benar culas dan keji, kita sama-sama tertipu olehnya."
"Ehm, aku paham," ujar Peng-ci. "Tentu Pi-sia-kiam-boh yang dicuri Lo-heng itu adalah palsu yang sengaja dibikin oleh Gak Put-kun, sebab itulah...."
"Kalau tidak begitu masakah pertandingan di Hong-sian-tay itu si bangsat Gak Put-kun mampu mengalahkan guruku?" kata Lo Tek-nau dengan mengertak gigi. "Kiam-boh yang kuperoleh itu ternyata banyak yang kurang, terutama... terutama bagian-bagian yang penting, sehingga kiam-hoat yang kami latih meski bagus, tapi tidak mampu meyakinkan lwekang yang mengimbangi ilmu pedang yang hebat itu."
"Tiada gunanya juga biarpun meyakinkan lwekang dari ilmu pedang itu," ujar Lim Peng-ci dengan menghela napas. Ia tahu bahwa Gak Put-kun telah sengaja mengurangi beberapa bagian yang merupakan kunci untuk meyakinkan lwekang yang dapat mengimbangi Pi-sia-kiam-hoat itu, seperti bagian menyuruh kebiri lebih dulu bila mau menjadi jago pedang nomor satu.
Bab 124. Gak Leng-sian Mati di Ujung Pedang Suami Sendiri
Begitulah dengan gemas Lo Tek-nau berkata pula, "Rupanya aku menyelundup ke dalam Hoa-san-pay sejak awal sudah diketahui oleh Gak Put-kun, hanya dia pura-pura tidak tahu dan berbalik mengawasi tingkah lakuku, dia sengaja membiarkan kiam-boh palsu dicuri olehku sehingga ilmu pedang yang diyakinkan guruku jadinya tidak lengkap. Kemudian pada pertarungan yang menentukan itu dia memancing guruku memainkan ilmu pedang itu untuk menghadapi ilmu pedang palsu yang tidak sempurna, dengan sendirinya dia pasti menang. Kalau tidak, jabatan ketua Ngo-gak-pay mana bisa jatuh ke tangannya."
"Ya, Gak Put-kun benar-benar culas dan licik, kita sama-sama telah terjeblos ke dalam perangkapnya," kata Peng-ci dengan menghela napas.
"Tapi guruku adalah seorang yang bijaksana, meski aku telah bikin runyam urusannya, namun tiada satu patah kata pun dia tegur diriku," tutur Tek-nau. "Namun sebagai murid dengan sendirinya hatiku tidak tenteram, biarpun masuk lautan api atau naik gunung pisau juga aku akan berusaha membinasakan keparat Gak Put-kun untuk membalas sakit hati Insu."
Ucapan terakhir itu dilontarkan dengan tegas dan gemas, nyata sekali tidak kepalang rasa dendam kesumatnya terhadap Gak Put-kun.
Peng-ci tidak menanggapi, ia sendiri sedang merenungkan kata-kata orang.
Maka Lo Tek-nau berkata pula, "Kedua mata Insu telah rusak, saat ini beliau tinggal menyepi di puncak barat Ko-san bersama belasan orang yang juga rusak matanya karena perbuatan Gak Put-kun dan Lenghou Tiong. Bila Lim-siauhiap mau ikut aku ke sana sebagai satu-satunya ahli waris Pi-sia-kiam-bun dari Hokciu tentu Insu akan menyambutmu dengan segala kehormatan. Syukur kalau kedua matamu dapat disembuhkan, kalau tidak dapat, tinggal saja di sana bersama Insu untuk sama-sama memikirkan cara-cara menuntut balas sakit hati kita yang mahabesar ini, bukankah jalan ini paling baik?"
Tertarik juga hati Lim Peng-ci, ia pikir kedua matanya tentu sukar untuk bisa disembuhkan, tapi kalau bisa berkumpul dengan orang-orang yang senasib yang sama-sama buta matanya tukar pikiran cara menuntut balas, jalan ini memang paling baik. Cuma ia pun kenal pribadi Co Leng-tan, bila tiada maksud tujuan tertentu mustahil mendadak begitu baik hati padanya. Maka ia lantas menjawab, "Maksud baik Co-ciangbun sungguh aku sangat berterima kasih. Tapi apakah Lo-heng dapat memberi penjelasan yang lebih lengkap."
Maksudnya bila pihak Lo Tek-nau ada tujuan apa-apa, hendaknya buka harga secara terus terang dan kalau perlu boleh tawar-menawar.
Lo Tek-nau bergelak tertawa, katanya, "Lim-siauhiap ternyata orang yang suka berpikir secara terbuka, agar kelak kita dapat bekerja sama lebih erat tentu akan kujelaskan secara terus terang. Soalnya aku mendapatkan kiam-boh yang tidak sempurna dari Hoa-san, kami guru dan murid tertipu dengan sendirinya kami tidak rela. Sepanjang jalan telah kusaksikan Lim-siauhiap memperlihatkan kesaktian ilmu pedang yang hebat untuk membunuh Bok Ko-hong, Ih Jong-hay, dan begundalnya sehingga musuh-musuhmu lari terbirit-birit, nyata sekali engkau sudah memperoleh ajaran asli dari Pi-sia-kiam-hoat itu. Sungguh aku sangat kagum dan juga... dan juga sangat mengiler...."
Peng-ci dapat menangkap maksud orang. Jawabnya kemudian, "Apakah maksud Lo-heng hendak minta aku memperlihatkan kiam-boh asli kepada kalian?"
"Sebenarnya orang luar tidaklah pantas mengincar milik keluargamu itu," kata Tek-nau. "Tapi hendaklah Lim-siauhiap maklum, dalam keadaan seperti Insu dan Lim-siauhiap sekarang terang tiada mampu membunuh keparat Gak Put-kun itu kecuali kalau Insu dan aku dapat mempelajari Pi-sia-kiam-hoat yang asli."
Sesungguhnya Peng-ci memang sedang bingung bagaimana hidup selanjutnya dalam keadaan mata buta itu. Apalagi sekarang kalau dirinya menolak tentu Lo Tek-nau akan gunakan kekerasan untuk membunuhnya dan Leng-sian, dan kiam-boh akhirnya tetap akan terampas.
Tiba-tiba ia mendapat akal, segera berkata, "Co-ciangbun sudi bersatu denganku, sungguh aku merasa mendapat kehormatan besar. Sebabnya keluarga Lim kami hancur dan aku sampai menjadi cacat adalah gara-gara perbuatan Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, tapi tipu muslihat yang dirancangkan Gak Put-kun terhitung pula sebab-sebab pokok, maka keinginanku membunuh Gak Put-kun tiada ubahnya seperti kalian guru dan murid. Maka kalau kita berserikat sudah tentu Pi-sia-kiam-hoat akan kuperlihatkan kepada kalian."
Lo Tek-nau sangat senang, katanya, "Lim-siauhiap ternyata sangat berbaik hati, sungguh kami sangat berterima kasih bila dapat melihat keaslian Pi-sia-kiam-boh, selanjutnya Lim-hengte akan menjadi kawan akrab sebagai saudara sendiri."
"Terima kasih," kata Peng-ci. "Sesudah kita sampai di Ko-san, segera Pi-sia-kiam-boh yang asli itu akan kuuraikan seluruhnya di luar kepala."
"Menguraikan di luar kepala?" Lo Tek-nau menegas.
"Ya," jawab Peng-ci. "Hendaknya Lo-heng maklum bahwa kiam-boh asli itu oleh leluhurku telah ditulis pada sebuah kasa. Kasa itu telah diserobot oleh Gak Put-kun, dari situ dapatlah dia mencuri ilmu pedang keluargaku. Tapi kemudian secara kebetulan sekali kasa itu jatuh kembali ke tanganku. Karena kukhawatir diketahui oleh Gak Put-kun, maka aku telah menghafalkan isi kiam-boh itu di luar kepala, lalu kasa itu kumusnahkan. Bila kusimpan kasa itu, sedangkan aku selalu didampingi seorang istri setia begini, apakah mungkin aku dapat hidup sampai sekarang?"
Sejak tadi Gak Leng-sian hanya mendengarkan saja tanpa bicara, kini mendengar sindiran itu, kembali ia menangis sedih, katanya dengan terguguk, "Kau... kau kenapa...."
Namun ia tidak sanggup melanjutkan pula.
Karena Lo Tek-nau tadi sembunyi di dalam kereta, maka ia mendengar semua percakapan Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian, ia percaya apa yang dikatakan Peng-ci itu memang bukan olok-olok belaka, segera ia berkata, "Baiklah, apakah sekarang juga kita lantas berangkat ke Ko-san?"
Tanpa pikir lagi Peng-ci mengiakan.
"Kita harus membuang kereta dan menunggang kuda dengan mengambil jalan kecil," kata Lo Tek-nau. "Sebab kita bukan tandingannya."
Lalu ia berpaling kepada Gak Leng-sian dan bertanya, "Siausumoay, kau akan membantu ayah atau membantu suami?"
"Aku tidak membantu siapa pun juga!" sahut Leng-sian tegas. "Aku... aku memang bernasib buruk, besok juga aku akan cukur rambut dan meninggalkan rumah, apakah dia ayah atau dia suami, selanjutnya aku takkan berjumpa lagi dengan mereka."
"Jika kau menjadi nikoh ke Hing-san, di situ memang tepat tempatnya bagimu," kata Peng-ci.
"Lim Peng-ci!" teriak Leng-sian dengan gusar. "Apakah kau sudah lupa" Dahulu kau hampir mampus, kalau tidak ditolong Ayah tentu jiwamu sudah melayang di tangan Bok Ko-hong, mana kau dapat hidup sampai saat ini" Seumpama ayahku berbuat sesuatu kesalahan, aku Gak Leng-sian toh tidak berbuat sesuatu yang tidak betul padamu" Apakah artinya kau berkata demikian itu?"
"Apa artinya" Aku cuma ingin membuktikan tekadku kepada Co-ciangbun," sahut Peng-ci suaranya bengis buas.
Menyusul itu, sekonyong-konyong terdengar Leng-sian menjerit ngeri, agaknya telah mengalami kecelakaan. Tanpa pikir Lenghou Tiong dan Ing-ing melompat keluar dari tempat sembunyinya. Berbareng Lenghou Tiong berteriak, "Lim Peng-ci, jangan mencelakai Siausumoay!"
Dalam keadaan menyamar, di tengah malam pula, sebenarnya Lo Tek-nau mengenalnya. Keruan kagetnya setengah mati, hampir-hampir sukmanya meninggalkan raganya.
Saat ini yang paling ditakuti Lo Tek-nau hanya Gak Put-kun dan Lenghou Tiong berdua. Maka tanpa pikir lagi segera ia cengkeram bahu Lim Peng-ci terus mencemplak seekor kuda tinggalan orang Jing-sia-pay tadi dan segera dilarikan sekencang-kencangnya.
Lantaran mengkhawatirkan keselamatan Gak Leng-sian, Lenghou Tiong tidak sempat berpikir untuk mengejar musuh. Dilihatnya Leng-sian menggeletak di tempat kusir di atas kereta, dadanya tertancap sebatang pedang, ketika diperiksa pernapasannya keadaannya sudah payah, lemah sekali denyut nadinya.
"Siausumoay! Siausumoay!" Lenghou Tiong berseru.
"Apakah... apakah Toasuko?" jawab Leng-sian lemah.
"Ya... ya, aku!" seru Lenghou Tiong kegirangan.
Segera ia bermaksud mencabut pedang yang menancap di dada Leng-sian itu, tapi Ing-ing keburu mencegahnya. Hampir separuh mata pedang itu masuk dalam tubuh Leng-sian, kalau pedang dicabut pasti akan mempercepat kematiannya, terang Leng-sian sukar diselamatkan lagi, Lenghou Tiong menjadi berduka, serunya sambil menangis, "Siau... Siausumoay!"
"Toasuko, engkau berada di sampingku, sungguh baik sekali," kata Leng-sian dengan suara lemah. "Adik Peng, apakah... apakah dia sudah pergi?"
"Jangan khawatir, aku pasti membunuh dia untuk membalas sakit hatimu," kata Lenghou Tiong dengan geregetan.
"Tidak, jangan!" kata Leng-sian. "Matanya sudah buta, hendak kau bunuh dia, tentu dia tidak sanggup melawan. Aku... aku ingin kembali ke tempat Ibu."
"Baik, akan kubawa kau menemui Sunio," kata Lenghou Tiong.
Melihat keadaan Leng-sian yang semakin payah itu, terang jiwanya akan melayang dalam waktu singkat, tanpa terasa Ing-ing juga mengucurkan air mata.
"Toasuko," kata Leng-sian pula dengan lemah, "engkau selalu sangat baik padaku, tapi aku... aku bersalah padamu. Aku... akan meninggal dengan segera. Aku ingin mohon se... sesuatu padamu, hendaknya kau dapat... dapat meluluskan permintaanku ini."
"Kau takkan meninggal, aku akan berusaha menyembuhkanmu," ujar Lenghou Tiong. "Silakan bicara, aku pasti akan memenuhi permintaanmu."
"Tetapi... tapi engkau tentu tak dapat menerima, hal ini akan membikin engkau pen... penasaran...." suaranya makin lirih, napasnya juga makin lemah.
"Aku pasti meluluskan permintaanku, katakan saja," jawab Lenghou Tiong.
"Toasuko, suamiku... Adik Peng, dia... dia sudah buta, kas... kasihan dia," kata Leng-sian dengan terputus-putus. "Dia sebatang kara di dunia ini, semua... semua orang me... memusuhi dia. Toasuko... sesudah aku mati, harap... harap engkau menjaga baik-baik dia, jangan... jangan sampai dia dianiaya orang lagi...."
Lenghou Tiong melengak, sama sekali tak terduga bahwa Gak Leng-sian yang sudah dekat ajalnya itu tetap tidak melupakan cintanya terhadap Lim Peng-ci, suami yang tega membunuh istri sendiri itu. Padahal kalau bisa Lenghou Tiong ingin membekuk Peng-ci pada saat itu juga untuk mencencangnya hingga hancur luluh, kelak tidak mungkin pula dia mau mengampuni jiwa manusia rendah itu, mana dia mau menerima permintaan Leng-sian itu agar menjaganya malah"
Maka dengan gusar Lenghou Tiong menjawab, "Manusia rendah yang mementingkan diri sendiri dan tak berbudi itu, mengapa... mengapa kau masih memikirkan dia?"
"Toasuko," kata Leng-sian, "dia... dia tidak sengaja hendak membunuh aku, hanya... karena takut pada Ayah, dia terpaksa... terpaksa memihak Co Leng-tan dan aku... aku ditusuknya sekali... Toasuko, aku mohon... mohon padamu... agar men... menjaga dia dengan baik...."
Di bawah cahaya rembulan, wajah Leng-sian tampak rada pucat, sinar matanya guram, namun penuh memperlihatkan rasa memohon. Padahal sejak kecil permintaan apa pun juga dari Leng-sian belum pernah ditolak oleh Lenghou Tiong, apalagi permintaan Leng-sian sekarang ini adalah permintaan pada saat menjelang ajalnya, permintaan yang terakhir dan juga permintaan yang paling sungguh-sungguh.
Sesaat itu darah dalam rongga dada Lenghou Tiong menjadi bergolak. Ia tahu sekali terima permintaan Leng-sian itu, maka selanjutnya pasti akan banyak akibatnya dan mungkin akan banyak pula memaksa dirinya berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya.
Tapi menghadapi wajah dan suara Leng-sian yang penuh rasa memohon itu, Lenghou Tiong tidak tega untuk menolak, segera ia mengangguk dan berkata, "Baiklah, aku menerima permintaanmu, jangan khawatir!"
Mendengar itu, tanpa terasa Ing-ing mencela, "Mana... mana boleh kau menerimanya!"
Dengan kencang Leng-sian menggenggam tangan Lenghou Tiong, katanya, "Toasuko, banyak... banyak terima kasih... aku tak perlu... tak perlu khawatir lagi...."
Mendadak sorot matanya memancarkan cahaya, mulutnya mengulum senyum penuh tanda merasa puas. Lenghou Tiong juga merasa puas melihat kegembiraan Leng-sian itu, ia merasa cukup berharga biarpun kelak harus menghadapi kesulitan-kesulitan mahabesar.
Tapi mendadak terdengar Leng-sian berdendang perlahan. Seketika dada Lenghou Tiong seperti digodam, sebab didengarnya lagu yang dinyanyikan Leng-sian itu kiranya adalah lagu rakyat daerah Hokkian, jelas lagu ajaran Lim Peng-ci yang berasal dari Hokkian itu.
Dahulu ketika Lenghou Tiong dihukum kurung di puncak Hoa-san, perasaannya sangat pedih ketika mendengar Leng-sian menyanyikan lagu daerah itu. Kini kembali Leng-sian menyanyi pula, terang sedang mengenangkan masa percintaannya dengan Peng-ci di Hoa-san dahulu. Suara Leng-sian melemah, tangannya yang menggenggam tangan Lenghou Tiong juga makin kendur dan akhirnya terbuka, mata perlahan terpejam, nyanyian berhenti napasnya juga lantas putus.
Hati Lenghou Tiong serasa mendelong, seketika dunia seakan-akan runtuh saat itu, ia ingin menangis keras-keras, tapi tak dapat bersuara. Ia peluk tubuh Leng-sian yang sudah tak bernyawa itu dan bergumam perlahan, "Siausumoay, jangan khawatir, Siausumoay! Akan kubawa kau ke tempat ibumu, pasti tiada seorang pun yang berani memusuhimu."
Ing-ing melihat punggung Lenghou Tiong basah kuyup dengan darah, terang lukanya kambuh lagi, tapi dalam keadaan demikian ia tidak tahu cara bagaimana harus menghiburnya.
Sambil memondong jenazah Leng-sian, dengan sempoyongan Lenghou Tiong melangkah ke depan sembari menggumam, "Jangan khawatir Siausumoay, akan kubawa kau kepada ibumu!"
Tapi mendadak kakinya menjadi lemas dan terguling lalu tak sadarkan diri lagi.
Entah sudah berapa lama, dalam keadaan samar-samar didengarnya suara nyaring kecapi yang membikin pikirannya menjadi segar. Suara kecapi itu mengalun lembut berulang, kedengaran lagunya sudah dikenalnya dan enak sekali rasanya. Seluruh tubuh terasa tak bertenaga sampai-sampai kelopak mata pun malas untuk membukanya, ia berharap akan senantiasa dapat mendengarkan suara kecapi itu tanpa berhenti.
Dan suara kecapi itu ternyata benar-benar berbunyi terus tanpa berhenti. Selang tak lama, sayup-sayup Lenghou Tiong kembali terpulas lagi.
Ketika untuk kedua kalinya ia mendusin, telinganya tetap mendengar suara nyaring kecapi yang merdu, malahan hidung mengendus bau harum bunga yang semerbak. Waktu ia membuka mata, di depannya penuh bunga beraneka warna, Ing-ing sedang menabuh kecapi membawakan lagu "Penenang Jiwa", agaknya dirinya terbaring dalam sebuah gua.
Segera ia bermaksud bangun duduk, tapi Ing-ing keburu menoleh dan mendekatinya dengan wajah gembira penuh rasa kasih sayang. Sesaat itu Lenghou Tiong merasa sangat bahagia, ia tahu Ing-ing yang membawanya ke gua ini ketika dirinya jatuh pingsan lantaran kematian siausumoaynya yang mengenaskan itu. Kembali hatinya berduka, tapi lambat laun dari sorot mata Ing-ing yang lembut mesra itu ia merasa terhibur, kedua orang saling pandang tanpa bicara sampai sekian lamanya.
Perlahan Lenghou Tiong mengelus tangan Ing-ing, tiba-tiba di tengah bau harum bunga itu terendus pula bau sedap daging panggang. Ing-ing lantas angkat setangkai kayu, di atas tangkai itu tersunduk beberapa ekor kodok panggang.
"Kembali hangus!" katanya dengan tersenyum.
Lenghou Tiong bergelak tertawa teringat kepada kejadian dahulu ketika mereka juga makan kodok panggang di tepi sungai. Makan kodok dua kali, tapi dalam waktu sekian lama itu telah banyak mengalami macam-macam kejadian, namun mereka berdua masih tetap berkumpul menjadi satu.
Sejenak kemudian Lenghou Tiong menjadi berduka pula teringat kepada Gak Leng-sian. Ing-ing memayangnya bangun, katanya sambil menunjuk sebuah kuburan baru di luar gua, "Di situlah Nona Sian beristirahat untuk selamanya."
"Banyak... banyak terima kasih padamu," kata Lenghou Tiong dengan menahan air mata. Dalam hati ia pun merasa rikuh, lalu sambungnya pula, "Ing-ing, aku terkenang kepada Siausumoay, hendaklah engkau jangan marah."
"Sudah tentu aku takkan marah, masing-masing orang mempunyai jodoh sendiri-sendiri dan punya suka-duka pula," jawab Ing-ing.
Lalu dengan suara lirih ia melanjutkan, "Dahulu ketika aku mula-mula jatuh hati padamu justru disebabkan uraianmu tentang cintamu terhadap siausumoaymu. Bila engkau seorang pemuda yang beriman tipis dan tak berbudi, tentu aku takkan menghargai dirimu. Sebenarnya... sebenarnya Nona Sian adalah seorang nona yang baik, cuma saja dia tidak... tidak ada jodoh denganmu. Jika engkau tidak dibesarkan bersama dia sedari kecil, besar kemungkinan sekali lihat dia akan suka padamu."
"Tak mungkin," sahut Lenghou Tiong setelah merenung sejenak. "Siausumoay paling kagum terhadap Suhu, lelaki yang dia suka harus pendiam dan kereng seperti ayahnya itu. Aku hanya bermain baginya, selamanya dia tidak... tidak menghargai diriku."
"Mungkin kau benar. Lim Peng-ci justru mirip gurumu, tampaknya prihatin, tapi jiwanya justru begitu kotor."
"Tapi pada saat terakhir Siausumoay tetap tidak percaya Lim Peng-ci benar-benar mau membunuhnya, dia masih tetap mencintai Peng-ci sepenuh hati. Tapi juga ada... ada baiknya, dia tidak meninggal dalam kedukaan. Ya, aku ingin melihat kuburannya."
Segera Ing-ing memayangnya keluar gua. Tertampak kuburan itu bagian atas ditumpuki batu dengan rajin, suatu tanda Ing-ing tidak sembarangan menguburkan Gak Leng-sian. Diam-diam Lenghou Tiong sangat berterima kasih. Dilihatnya pula di depan kuburan terpancang sepotong dahan pohon yang telah dipapas tangkai dan daunnya, pada kulit dahan pohon terukir tulisan, "Tempat istirahat Hoa-san-lihiap, Nona Gak Leng-sian."
Kembali Lenghou Tiong mencucurkan air mata, katanya sedih, "Mungkin Siausumoay lebih suka dipanggil Nyonya Lim."
"Manusia tak berbudi seperti Lim Peng-ci itu, kalau Nona Gak tahu di alam baka pasti takkan sudi menjadi nyonyanya," ujar Ing-ing. Dalam hati ia membatin, "Sayang engkau tidak tahu bahwa dia dan Lim Peng-ci hanya resminya saja suami-istri, tapi praktiknya tidak."
Tempat di mana mereka berada adalah sebuah lembah dikelilingi oleh lereng bukit yang menghijau indah dengan bunga-bunga hutan yang harum mewangi, suara burung berkicau merdu merayu, sungguh suatu tempat yang sangat permai.
"Biarlah kita tinggal sementara di sini, sambil menyembuhkan lukamu, dapat pula kita menemani kuburan Nona Gak," kata Ing-ing.
Lenghou Tiong mengiakan dengan senang.
Begitulah mereka lantas tinggal di lembah pegunungan yang indah itu dengan tenang dan bebas. Lenghou Tiong hanya terluka luar saja, hanya belasan hari saja lukanya sudah hampir sembuh seluruhnya. Setiap hari Ing-ing mengajarkan dia menabuh kecapi, dasarnya Lenghou Tiong memang pintar, ia belajar dengan tekun pula, maka kemajuannya cukup pesat.
Beberapa hari pula, satu pagi ketika Lenghou Tiong bangun, dilihatnya kuburan Gak Leng-sian telah tumbuh tunas rumput yang hijau. Hati Lenghou Tiong kembali berduka menghadapi kuburan siausumoaynya itu.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seruling yang merdu, cepat ia menoleh, dilihatnya Ing-ing sedang meniup seruling dengan duduk di atas batu padas. Lagu yang dibawakannya adalah "Penenang Jiwa" yang sering dibunyikannya sejak dahulu. Ia coba mendekati si nona, dilihatnya seruling itu terbikin dari bambu yang masih baru, terang baru saja Ing-ing membuatnya.
Segera ia pun memangku kecapi dan mulai menabuhnya mengikuti irama seruling Ing-ing. Selesai membawakan satu lagi, semangat terasa banyak lebih segar. Kedua orang saling pandang dengan tertawa.
"Bagaimana kalau kita berlatih lagi "Hina Kelana" mulai sekarang?" kata Ing-ing.
"Lagu ini sangat sukar, entah kapan aku baru dapat menyamaimu," ujar Lenghou Tiong. "Dahulu aku pernah mendengar lagu ini dibawakan oleh Lau-susiok dari Heng-san-pay dan Kik-tianglo dari Tiau-yang-sin-kau kalian, yang satu meniup seruling dan yang lain menabuh kecapi, paduan suara seruling dan kecapi sungguh sangat enak didengar. Menurut Lau-susiok, lagu "Hina Kelana" memang digubah dengan paduan suara seruling dan kecapi."
"Ya, engkau menabuh kecapi dan aku meniup seruling, kita mulai berlatih secara perlahan, latihan dua orang bersama tentu akan lebih cepat maju daripada latihan sendirian," kata Ing-ing.
Begitulah belasan hari selanjutnya mereka lantas tekun berlatih menabuh kecapi dan meniup seruling di tengah lembah indah itu, untuk sementara mereka terlupa kepada sinar pedang dan bayangan darah di dunia Kang-ouw. Kedua orang sama-sama merasa kalau dapat hidup berdampingan di lembah itu hingga hari tua, maka rasanya tak kecewalah hidup mereka ini.
Akan tetapi kejadian di dunia ini memang sering bertentangan dengan harapan manusia.
Suatu hari lewat tengah hari, setelah Lenghou Tiong berlatih sekian lamanya dengan Ing-ing, tiba-tiba ia merasa pikiran kusut dan sukar untuk ditenteramkan. Beberapa kali irama kecapinya salah petik.
"Tentu engkau lelah, silakan mengaso saja dulu," ujar Ing-ing.
"Lelah sih tidak, entah mengapa, pikiran tidak tenteram," kata Lenghou Tiong. "Biar kupergi petik buah tho, petang nanti kita berlatih lagi."
"Baiklah cuma jangan terlalu jauh," kata Ing-ing.
Lenghou Tiong tahu di sebelah timur lembah itu banyak tumbuh pepohonan tho, waktu itu adalah musimnya, segera ia menuju ke sana. Kira-kira sepuluhan li jauhnya, benarlah di depan terbentang hutan tho yang lebat dengan buahnya yang sudah merah.
Tanpa pikir lagi ia terus memetik buah-buah itu sampai ratusan. Pikirnya, "Kalau biji buah tho ini kelak tumbuh pula menjadi pohon, tentu lembah ini akan penuh pohon tho dan jadilah sebuah tho-kok (lembah tho), dan aku dan Ing-ing bukankah akan berubah menjadi Tho-kok-ji-sian" Kelak kalau Ing-ing juga melahirkan enam anak laki-laki, kan mereka akan menjadi Tho-kok-lak-sian cilik?"
Teringat kepada Tho-kok-lak-sian, ia menjadi tertawa geli sendiri.
Pada saat itulah tiba-tiba didengarnya dari jauh ada suara keresak-keresek, suara orang berjalan. Ia terkejut dan cepat mendekam ke bawah. Pikirnya, "Aneh, di lembah sunyi ini kenapa ada orang" Jangan-jangan yang dituju adalah aku dan Ing-ing?"
Selang sejenak, sayup-sayup didengarnya suara seorang sedang berkata, "Apakah kau tidak keliru" Apakah benar keparat Gak Put-kun itu menuju ke sini?"
Lalu terdengar suara seorang lagi menjawab, "Menurut penyelidikan Su-hiangcu, katanya putri Gak Put-kun mendadak menghilang di sekitar sini, di tempat lain sama sekali tidak tampak jejak anak dara itu, maka dapat dipastikan anak dara itu bersembunyi di lembah sunyi ini untuk merawat lukanya. Dapat diduga pula siang atau malam Gak Put-kun pasti akan mencarinya ke sini."
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu bahwa orang-orang itu sedang mengincar jejak Gak Put-kun. Ia menjadi berduka pula. Pikirnya, "Kiranya mereka mengetahui Siausumoay terluka, tapi tidak tahu bahwa dia sudah meninggal. Selama sebulan ini aku dan Ing-ing hidup tenteram di sini, sebaliknya Siausumoay tentu sedang dicari orang banyak, terutama Suhu dan Sunio."
Lalu terdengar suara orang tua pertama tadi berkata pula, "Jika dugaanmu tidak salah dan Gak Put-kun benar-benar akan datang, maka kita perlu pasang perangkap di ujung jalan masuk lembah ini."
Orang kedua yang bersuara rada serak menjawab, "Seumpama Gak Put-kun tidak segera datang, setelah kita atur seperlunya tentu juga akan dapat memancing kedatangannya."
"Akalmu sungguh hebat Sik-hengte, bila usaha kita berhasil, tentu akan kulaporkan Kaucu dan kau akan segera naik pangkat," kata orang tua yang pertama.
"Terima kasih, Kat-tianglo, segala sesuatu masih diharapkan bantuanmu," jawab orang kedua.
Tahulah Lenghou Tiong sekarang, kiranya orang-orang itu adalah anggota Tiau-yang-sin-kau dan berarti anak buah Ing-ing pula. Pikirnya, "Betapa pun tinggi kepandaian mereka mana dapat melawan kepandaian Suhu sekarang" Paling baik kalau mereka saling hantam asalkan tidak mengganggu ketenteraman kami."
Segera terpikir pula olehnya, "Suhu adalah orang mahacerdik, masakah orang-orang macam kalian ini juga mampu menjebak suhuku" Sungguh terlalu tidak tahu diri."
Pada saat lain, tiba-tiba dari jauh ada suara tepukan tangan tiga kali. Orang she Sik lantas berkata, "Toh-tianglo dan lain-lain sudah tiba pula."
Segera orang yang dipanggil Kat-tianglo tadi membalas tiga kali tepukan tangan. Lalu terdengar suara langkah kaki yang ramai, empat orang berlari datang dengan cepat. Dua orang di antaranya rada ketinggalan, agaknya ginkang mereka lebih rendah. Tapi sesudah dekat, Lenghou Tiong lantas dapat mendengar bahwa kedua orang yang rada ketinggalan itu disebabkan mereka menggotong sesuatu benda berat.
Dengan girang Kat-tianglo lantas berseru, "He, Toh-laute berhasil menangkap anak dara keluarga Gak itu kiranya" Sungguh tidak kecil jasamu ini!"
Lalu terdengar seorang bersuara lantang menjawab, "Orang keluarga Gak sih memang benar, cuma bukan anak daranya melainkan babonnya, biangnya!"
"He!" terdengar Kat-tianglo bersuara kejut-kejut girang. "Jadi bininya Gak Put-kun yang kena kau tangkap?"
Bab 125. Kelicikan Gak Put-kun yang Memalukan
Mendengar orang yang ditawan gembong-gembong Mo-kau itu adalah ibu gurunya, sungguh kejut Lenghou Tiong tak terkatakan, segera ia bermaksud menerjang ke luar untuk menolongnya. Tapi segera ia ingat dirinya tidak membawa pedang, tanpa pedang kepandaiannya sukar menandingi tokoh-tokoh sebagai Kat-tianglo dan kawan-kawannya itu. Karena itu ia menjadi cemas.
Kemudian terdengar Kat-tianglo bertanya pula, "Ilmu pedang Nyonya Gak itu cukup lihai, cara bagaimana Saudara Toh menangkapnya" Ah, tahulah aku, pakai obat, bukan?"
Toh-tianglo tertawa, jawabnya, "Perempuan ini masuk sebuah hotel dalam keadaan seperti orang linglung, tanpa pikir ia terus makan minum. Orang suka memuji betapa hebat bininya Gak Put-kun, nyatanya juga orang ceroboh begini."
Diam-diam Lenghou Tiong sangat gusar karena ibu gurunya dihina, ia pikir sebentar akan kubinasakan semua. Cuma saja tidak membawa senjata, kalau dapat merampas sebatang pedang segala urusan tentu akan dapat dibereskan.
Terdengar pula Kat-tianglo berkata, "Setelah bini Gak Put-kun kita bekuk, maka segala urusan menjadi mudah diselesaikan. Saudara Toh, persoalan sekarang adalah cara bagaimana memancing Gak Put-kun ke sini."
"Lalu bagaimana bila dia sudah terpancing kemari?" tanya Toh-tianglo.
Kat-tianglo merenung sejenak, lalu menjawab, "Kita gunakan bininya sebagai sandera dan paksa dia menyerah. Suami-istri Gak Put-kun terkenal sangat rukun dan baik, tentu dia tak berani membangkang."
"Benar juga Saudara Kat," kata Toh-tianglo. "Khawatirnya kalau Gak Put-kun itu berhati kejam, cintanya kepada sang istri tidak mendalam, tidak setia pula, maka bagi kita menjadi rada runyam."
"Ya, ini memang... memang... Eh, eh, bagaimana pendapatmu, Saudara Sih?" tanya Kat-tianglo tiba-tiba.
"Di hadapan kedua Tianglo, Cayhe merasa tidak hak bicara dan terserah saja," sahut orang she Sih.
Sampai di sini, tiba-tiba dari arah barat sana ada suara orang bertepuk tangan tiga kali, dari suara tepukan tangan yang berkumandang hingga jauh itu dapat dipastikan lwekang orang itu pasti tidak rendah.
"Ah, Pau-tianglo sudah datang," ujar Toh-tianglo.
Dalam sekejap saja tertampak dua orang berlari datang dari jurusan barat sana dengan cepat luar biasa.
"Eh, Bok-tianglo juga ikut datang," kata Kat-tianglo.
Diam-diam Lenghou Tiong mengeluh. Tampaknya kedua orang yang baru datang ini berkepandaian lebih tinggi daripada Kat dan Toh-tianglo. Kalau bersenjata tentulah tidak perlu gentar, tapi bertangan kosong, inilah yang susah.
Dalam pada itu terdengar Kat-tianglo sedang menyambut kedatangan kedua kawannya, "Selamat datang Pau, Bok-tianglo. Saudara Toh telah berjasa besar, dia berhasil membekuk istri Gak Put-kun."
"Wah, bagus! Selamat! Selamat!" kata seorang tua di antaranya dengan girang.
Lenghou Tiong merasa suara satu-dua gembong Mo-kau itu seperti sudah dikenalnya, ia pikir barangkali dikenal ketika di Hek-bok-keh dahulu.
Dengan lwekang Lenghou Tiong yang tinggi ia dapat mendengar jelas suara percakapan orang-orang itu, cuma dia tidak berani melongok untuk mengintip. Ia tahu orang-orang itu adalah gembong-gembong Mo-kau yang lihai, sedikit bersuara saja pasti akan ketahuan.
Sementara itu Kat-tianglo lagi berkata, "Pau dan Bok-tianglo, kami di sini sedang berunding cara bagaimana memancing Gak Put-kun ke sini agar kita dapat menawannya."
"Lalu bagaimana rencana kalian?" tanya seorang tianglo yang baru datang itu. Dari suaranya yang berwibawa itu dapat diduga tentu Pau-tianglo adanya. Suara Pau-tianglo inilah yang dirasakan sudah dikenal baik oleh Lenghou Tiong.
"Seketika kami masih belum mendapatkan akal yang bagus," ujar Kat-tianglo. "Tapi dengan tibanya Pau dan Bok-tianglo, tentu akan diperoleh akal baik. Kabarnya dia telah membutakan kedua mata Co Leng-tan dengan ilmu pedangnya yang hebat sehingga menjagoi kalangan pertandingan di Ko-san tempo hari. Konon dia telah memperoleh Pi-sia-kiam-hoat asli dari keluarga Lim, maka jangan kita memandang enteng padanya. Sebaiknya kita mencari suatu jalan yang sempurna untuk menghadapinya."
"Ya, dengan kekuatan kita berempat rasanya belum tentu akan kalah, tapi juga belum tentu dapat menang," ujar Toh-tianglo.
"Kukira Pau-tianglo tentu sudah punya perhitungan, silakan katakan saja," ujar Bok-tianglo.
"Mesti aku sudah memperoleh suatu akal, tapi hanya akal biasa saja, mungkin akan ditertawai kalian," kata Pau-tianglo.
"Pau-tianglo terkenal sebagai gudang akal Tiau-yang-sin-kau kita, buah pikiranmu pasti sangat baik," seru Bok, Kat, dan Toh-tianglo berbareng.
"Akalku ini sebenarnya suatu cara yang bodoh," ujar Pau-tianglo. "Kita gali saja suatu liang yang dalam, di atasnya ditutup dengan ranting kayu dan rumput sehingga tidak kelihatan sesuatu tanda apa-apa, lalu kita tutuk hiat-to penting perempuan ini dan menaruhnya di pinggir liang itu untuk memancing kedatangan Gak Put-kun. Bila dilihatnya sang bini menggeletak di situ, tentu dia akan berlari-lari datang menolongnya dan... blong... auuuh...." sambil bicara ia pun bergaya seperti orang kejeblos ke dalam lubang, maka tertawalah ketiga tianglo tadi dan lain-lain.
"Akal Pau-tianglo sungguh hebat, ditambah lagi kita berempat sembunyi di tepi liang jebakan itu, begitu Gak Put-kun kejeblos, serentak empat senjata kita menutup rapat mulut lubang sehingga tiada memberi kesempatan padanya untuk melompat naik ke atas," kata Bok-tianglo dengan tertawa.
"Ya, namun dalam hal ini masih ada kesukaran juga," ujar Pau-tianglo.
"Kesukaran?" Bok-tianglo menegas. "Ah, benar, tentu Pau-heng khawatir ilmu pedang Gak Put-kun itu terlalu aneh, sesudah kejeblos ke dalam lubang masih sukar bagi kita untuk membekuk dia?"
"Dugaan Bok-heng memang tepat," kata Pau-tianglo. "Sekali ini tugas yang dibebankan kepada kita oleh Kaucu adalah menghadapi tokoh utama Ngo-gak-kiam-pay yang baru bergabung itu, mati atau hidup kita sukar diperhitungkan. Bila kita dapat gugur bagi tugas adalah sesuatu yang gemilang, hanya saja nama baik dan kewibawaan Kaucu yang akan kita rugikan. Maka menurut pendapatku, di dalam lubang jebakan itu rasanya kita masih perlu menambahkan sedikit apa-apa."
"Aha, ucapan Pau-tianglo benar-benar sangat cocok dengan seleraku," seru Toh-tianglo. "Aku membawa "Pek-hoa-siau-hun-san" (Bubuk Penghilang Ingatan) dalam jumlah cukup, boleh kita tebarkan bubuk ini di antara daun-daun dan rumput-rumput penutup lubang jebakan. Begitu Gak Put-kun kejeblos, tentu dia akan menarik napas panjang-panjang untuk berusaha melompat ke atas, akan tetapi... hahaha...." sampai di sini kembali mereka bergelak tertawa bersama.
"Nah, urusan jangan ditunda, silakan lekas atur seperlunya," kata Pau-tianglo. "Di mana sebaiknya lubang jebakan itu digali?"
"Dari sini ke barat, kira-kira tiga li jauhnya adalah sebuah jalan kecil yang berbahaya, sebelahnya jurang yang curam, sebelah lain adalah dinding tebing yang tinggi. Bila Gak Put-kun benar-benar datang kemari, tak bisa tidak dia harus melalui jalan itu."
"Bagus, marilah kita meninjau ke sana," ajak Pau-tianglo sambil mendahului melangkah pergi, segera orang-orang lain mengikut di belakangnya.
Lenghou Tiong pikir untuk menggali lubang jebakan tentu takkan dapat diselesaikan mereka dalam waktu singkat, sebaiknya aku lekas pergi memberitahukan Ing-ing, setelah ambil pedang akan kukembali ke sini untuk menolong Sunio.
Begitulah setelah gembong-gembong Mo-kau itu sudah pergi jauh, segera ia memutar balik ke arah datangnya tadi. Beberapa li jauhnya, tiba-tiba didengarnya suara keletak-keletuk, suara menggali tanah. "Kiranya di sinilah lubang jebakan yang akan mereka gali itu," demikian ia membatin.
Segera Lenghou Tiong sembunyi di balik pohon, ia coba mengintip ke sana. Benarlah empat anggota Mo-kau sedang sibuk menggali tanah. Kini jaraknya sudah dekat, seorang dapat dilihatnya dari arah samping, ia menjadi terkejut. Kiranya orang ini adalah Pau Tay-coh yang pernah dikenalnya di Bwe-cheng di tepi Se-ouw, Hangciu, dahulu. Pantas mereka memanggilnya Pau-tianglo, kiranya adalah Pau Tay-coh.
Dahulu Lenghou Tiong telah menyaksikan Pau Tay-coh membereskan Ui Ciong-kong dengan sekali hantam saja, ilmu silatnya sangat tinggi. Memang Pau Tay-coh merupakan tandingan yang kuat bagi Gak Put-kun, sungguh pilihan yang tepat cara Yim Ngo-heng mengirimkan jagonya.
Cara orang-orang Mo-kau itu menggali tanah juga rada aneh. Mereka tidak membawa pacul atau sekop dan sebagainya, maka senjata mereka yang berbentuk kapak, tombak, dan sejenisnya lantas digunakan sebagai penggali. Lebih dulu mereka mendongkel tanah, lalu dengan tangan mereka mengorek tanah yang sudah gembur itu. Cara demikian sudah tentu makan waktu, tapi dasar ilmu silat mereka tinggi, tenaga mereka kuat, maka hasil galian mereka pun cukup cepat.
Lantaran jalan yang harus dilaluinya terhalang oleh galian tanah orang-orang Mo-kau itu, terpaksa Lenghou Tiong tak dapat lewat ke sana untuk mengambil pedang dan mencari Ing-ing. Ia heran, sudah jelas mereka mengatakan akan menggali lubang di tepi tebing yang curam sana, mengapa sekarang ganti tempat" Tapi segera ia pun paham duduknya perkara, tentunya jalan di pinggir tebing itu batu-batu padas belaka, dengan sendirinya sukar menggali lubang di sana. Rupanya Kat-tianglo itu tidak punya otak dan cuma sembarangan omong saja.
Dalam pada itu didengarnya suara Kat-tianglo sedang berkata dengan tertawa, "Usia Gak Put-kun itu sudah lanjut, tapi bininya ternyata masih begini muda dan cantik pula."
"Muda kau bilang" Kutaksir sudah lebih 40," Toh-tianglo menanggapi dengan cengar-cengir. "Eh, kalau Kat-heng ada minat, nanti bila Gak Put-kun sudah kita bekuk, biarlah kita laporkan Kaucu dan boleh kau ambil perempuannya?"
"Mengambilnya sih tidak perlu, untuk main-main saja kukira masih boleh juga," kata Kat-tianglo dengan tertawa.
Tidak kepalang gusar Lenghou Tiong, ia pikir kawanan anjing yang berani menghina ibu guru ini nanti pasti akan kubinasakan satu per satu.
Lantaran suara tertawa Kat-tianglo itu kedengaran sangat menjijikkan, tanpa terasa Lenghou Tiong melongok untuk melihat apa yang dilakukannya. Ternyata Kat-tianglo itu sedang mencubit sekali di pipi Gak-hujin. Rupanya Gak-hujin tidak mampu bergerak berhubung hiat-to tertutuk, maka orang-orang Mo-kau itu serentak tertawa gembira.
"Wah, tampaknya, Kat-heng sudah tidak sabar lagi, apakah kau berani "bereskan" perempuan ini di sini juga?" kata Toh-tianglo dengan tertawa.
Dengan murka seketika Lenghou Tiong bermaksud menerjang keluar tanpa peduli diri sendiri tak bersenjata.
Tapi lantas terdengar Kat-tianglo menjawab, "Kenapa tidak berani" Soalnya aku khawatir menggagalkan tugas yang dibebankan Kaucu kepada kita."
"Ya, memang," ujar Pau Tay-coh dengan nada dingin. "Sekarang Kat-tianglo dan Toh-tianglo silakan pergi memancing kedatangan Gak Put-kun, diperkirakan satu jam lagi segala sesuatu di sini sudah selesai diatur."
Berbareng Kat-tianglo dan Toh-tianglo mengiakan. Lalu mereka berlari ke jurusan utara.
Kepergian kedua orang itu membikin suasana di lembah pegunungan itu kembali sunyi, yang terdengar hanya suara tanah digali saja, terkadang suara Bok-tianglo yang memberi petunjuk ini dan itu.
Lenghou Tiong tidak berani bergerak di tempat sembunyinya di tengah semak-semak rumput. Ia pikir Ing-ing tentu akan khawatir bila sampai sekian lamanya dirinya tidak kembali. Kalau Ing-ing menyusul kemari, tentu dia dapat menyelamatkan Sunio, sebab orang-orang Mo-kau ini tentu akan tunduk kepada perintah tuan putri mereka. Dengan demikian dirinya juga terhindar dari pertarungan dengan gembong-gembong Mo-kau. Berpikir sampai di sini, ia merasa makin lama tertahan di situ menjadi lebih baik malah.
Tidak lama, didengarnya orang-orang Mo-kau itu sudah selesai menggali, di atas lubang galian mulai dipasangi ranting kayu dan rumput, ditaburi pula bubuk racun, di atasnya ditutup lagi dengan rumput-rumput pula. Pau Tay-coh berenam lantas menyusup ke tengah semak-semak di samping lubang jebakan itu untuk menantikan kedatangan Gak Put-kun.
Lenghou Tiong mengincar baik-baik sepotong batu di sebelahnya dan telah ambil keputusan tetap bila nanti sang suhu tampaknya akan kejeblos lubang jebakan, segera ia akan melemparkan batu besar itu ke lubang itu, dengan demikian gurunya tentu takkan masuk perangkap musuh.
Begitulah, dalam suasana sunyi baik Lenghou Tiong maupun Pau Tay-coh dan begundalnya sama pasang kuping untuk mendengarkan kalau ada suara lari Gak Put-kun yang sedang mengejar Kat dan Toh-tianglo berdua.
Agak lama kemudian, di tempat jauh tiba-tiba terdengar suara jeritan orang satu kali, tapi bukan suara orang lelaki melainkan suara orang perempuan, jelas Lenghou Tiong mengenali itulah suaranya Ing-ing.
Lenghou Tiong menjadi serbabingung, entah jeritan Ing-ing itu disebabkan kepergok Gak Put-kun atau kaget bertemu dengan Kat-tianglo berdua"
Tidak lama lantas terdengar suara orang berlari mendatangi, satu di depan dan seorang lagi di belakang. Terdengar suara Ing-ing sedang berteriak, "Engkoh Tiong, gurumu hendak membunuh kau, jangan kau keluar!"
Lenghou Tiong terkejut, ia tidak paham mengapa gurunya hendak membunuhnya"
Dalam pada itu Ing-ing lagi berteriak-teriak pula, "Engkoh Tiong, lekas lari kau, gurumu hendak membunuh kau!"
Lalu muncullah nona itu dalam keadaan rambut kusut masai, tangan menghunus pedang, tapi berlari-lari ketakutan dikejar Gak Put-kun dari belakang.
Tampaknya belasan langkah lagi Ing-ing akan kejeblos ke dalam lubang perangkap yang digali orang-orang Mo-kau tadi, keruan Lenghou Tiong maupun Pau Tay-coh dan lain-lain sama kelabakan dan bingung.
Sekonyong-konyong Gak Put-kun melompat ke depan, sekali cengkeram dapatlah ia pegang punggung si Ing-ing, kedua tangan nona itu terus ditelikung ke belakang. Seketika Ing-ing tak bisa berkutik lagi, pedangnya jatuh ke tanah.
Gerak Gak Put-kun itu sungguh cepat luar biasa. Lenghou Tiong dan Pau Tay-coh sama sekali tidak sempat memberi pertolongan. Ilmu silat Ing-ing sendiri sebenarnya juga sangat tinggi, tapi ternyata tidak mampu melawan, sekali dipegang lantas kena.
Keruan Lenghou Tiong menjadi khawatir, hampir-hampir ia berteriak. Namun si Ing-ing masih berseru padanya, "Engkoh Tiong, lekas lari, gurumu hendak membunuh kau!"
Air mata memenuhi kelopak mata Lenghou Tiong saking terharunya, ternyata Ing-ing hanya memikirkan keselamatannya tanpa menghiraukan bahaya sendiri.
Dalam pada itu Gak Put-kun telah menutuk beberapa kali hiat-to bagian punggung Ing-ing sehingga nona itu terkapar tak berkutik. Pada saat itulah Gak Put-kun melihat istrinya juga menggeletak di sebelah sana tanpa bergerak.
Ternyata Gak Put-kun tidak menjadi gelisah, dengan tenang ia periksa keadaan sekitarnya dan ternyata tiada sesuatu yang mencurigakan. Dasarnya Gak Put-kun memang sangat cerdik, melihat sang istri menggeletak di situ, terang di sekitarnya penuh tersembunyi bahaya yang mengancam, bahkan ia tidak berusaha mendekati dan menolong sang istri, sebaliknya ia berkata dengan suara hambar kepada Ing-ing, "Yim-toasiocia, keparat Lenghou Tiong itu membunuh putri kesayanganku, tentunya kau pun ambil bagian atas perbuatan itu bukan?"
Kembali Lenghou Tiong terkejut, ia tidak habis paham mengapa gurunya menuduhnya membunuh siausumoaynya"
Maka terdengar Ing-ing sedang menjawab, "Lim Peng-ci yang membunuh putrimu, apa sangkut pautnya dengan Lenghou Tiong" Kau terus menuduh Lenghou Tiong yang membunuh putrimu, sungguh fitnahan belaka."
Gak Put-kun bergelak tertawa, katanya, "Lim Peng-ci adalah menantuku, masakah kau tidak tahu" Mereka adalah pengantin baru, alangkah cinta kasih mereka, mana bisa suami membunuh istrinya sendiri?"
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lim Peng-ci telah menggabungkan diri kepada Ko-san-pay, demi memperoleh kepercayaan Co Leng-tan untuk membuktikan tekadnya bermusuhan dengan kau, maka dia sengaja membunuh anak perempuanmu," tutur Ing-ing.
"Hahaha, omong kosong belaka!" kembali Gak Put-kun mengakak. "Kau bilang Ko-san-pay" Hah, di dunia ini mana ada Ko-san-pay lagi" Ko-san-pay susah terlebur ke dalam Ngo-gak-pay, di dunia persilatan kini nama Ko-san-pay sudah hapus, mana bisa Lim Peng-ci menggabungkan diri kepada Ko-san-pay" Pula Co Leng-tan sekarang terhitung bawahanku, hal ini cukup diketahui Peng-ci, buat apa dia meninggalkan bapak mertuanya yang menjadi ketua Ngo-gak-pay, sebaliknya malah mengekor kepada seorang buta, seorang Co Leng-tan yang sukar membela dirinya sendiri. Biarpun orang yang paling goblok di dunia ini rasanya juga takkan berbuat demikian."
"Masa bodoh jika kau tidak percaya, boleh kau cari Lim Peng-ci dan tanya sendiri padanya," kata Ing-ing.
Mendadak suara Gak Put-kun berubah bengis, katanya, "Yang kucari saat ini bukanlah Lim Peng-ci, tapi Lenghou Tiong. Setiap orang Kang-ouw kini sama mengatakan Lenghou Tiong telah memerkosa anak perempuanku, lantaran anak perempuanku melawan sekuatnya dan akhirnya dibunuh olehnya. Sekarang kau mengarang cerita untuk menutupi dosa Lenghou Tiong, jelas kau juga bukan manusia baik-baik."
Ing-ing hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Lalu Gak Put-kun berkata pula, "Yim-toasiocia, ayahmu adalah Kaucu Tiau-yang-sin-kau, pantasnya aku takkan membikin susah padamu. Tapi demi untuk memaksa munculnya Lenghou Tiong, bisa jadi aku terpaksa menggunakan sedikit hukuman atas dirimu. Aku akan memotong dulu telapak tangan kirimu, lalu telapak tangan kanan, kemudian menebas kaki kirimu dan habis itu kaki kanan. Dalam keadaan demikian bila Lenghou Tiong mempunyai perasaan tentu dia akan muncul."
"Hm, masakah kau berani?" jengek Ing-ing dengan suara keras. "Kau berani mengganggu seujung rambutku, Ayah pasti akan membikin bersih seluruh keluargamu tanpa kecuali."
"Aku tidak berani katamu?" sahut Gak Put-kun dengan tertawa. "Sret," ia terus lolos pedangnya yang tergantung di pinggang.
Lenghou Tiong tidak tahan lagi, segera ia menerobos keluar dari tempat sembunyinya dan berseru, "Suhu, Lenghou Tiong berada di sini!"
Ing-ing menjerit kaget dan cepat berseru pula, "Lekas lari, lekas! Dia tak berani mencelakai diriku!"
Namun Lenghou Tiong menggeleng sambil maju pula, katanya, "Suhu...."
"Bangsat kecil, kau masih ada muka buat memanggil suhu padaku?" bentak Gak Put-kun dengan suara bengis.
Dengan menahan air mata mendadak Lenghou Tiong berlutut dan berkata, "Tuhan sebagai saksi, selamanya Lenghou Tiong sangat menghormati Nona Gak, pasti tidak berani berlaku kasar sedikit pun. Lenghou Tiong merasa utang budi kepada suami-istri kalian yang telah membesarkan diriku, jika kau hendak membunuh aku, silakan lakukan saja."
Ing-ing menjadi khawatir, serunya, "Engkoh Tiong, orang ini setengah laki-laki setengah perempuan, dia sudah kehilangan sifat manusia, kenapa kau tidak lekas pergi saja!"
Air muka Gak Put-kun mendadak beringas, ia berpaling kepada Ing-ing dan berkata, "Apa arti ucapanmu tadi?"
"Demi untuk meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, kau sendiri telah... telah membikin dirimu menjadi... menjadi tidak keruan seperti setan iblis," sahut Ing-ing. "Engkoh Tiong, apakah kau masih ingat tentang Tonghong Put-pay" Mereka sudah gila semua, jangan kau anggap mereka orang normal."
Yang dipikirkan Ing-ing hanyalah semoga Lenghou Tiong lekas lari, meski ia insaf ucapannya itu pasti akan membangkitkan kemurkaan Gak Put-kun kepadanya, namun hal ini tak dipedulikan lagi.
Dengan nada dingin Gak Put-kun bertanya pula, "Kata-katamu yang aneh itu kau dengar berasal dari mana?"
"Lim Peng-ci sendiri yang bilang begitu," jawab Ing-ing. "Kau telah mencuri Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Lim, memangnya kau sangka dia tidak tahu" Waktu kau melempar kasa yang bertuliskan Pi-sia-kiam-boh itu, saat mana Peng-ci bersembunyi di luar jendela kamarmu sehingga dapat menangkap kasa itu, sebab itulah dia... dia juga telah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, kalau tidak mana bisa dia membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong" Cara bagaimana dia meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, dengan sendirinya ia pun tahu cara bagaimana kau meyakinkannya pula. Nah, Engkoh Tiong, apakah kau tidak dengar suara Gak Put-kun yang mirip perempuan ini. Dia... dia sama saja dengan Tonghong Put-pay sudah... sudah abnormal."
Ing-ing sendiri mendengar dengan jelas percakapan antara Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian di dalam keretanya, sedangkan Lenghou Tiong tidak dengar, sebab itulah Ing-ing berusaha menyadarkan Lenghou Tiong agar mengetahui orang yang dihadapinya sekarang bukan lagi seorang tokoh persilatan terhormat, melainkan seorang aneh yang sudah abnormal, seorang gila yang tidak mungkin diajak bicara tentang budi kebaikan segala.
Benar juga, sorot mata Gak Put-kun mendadak tambah beringas, katanya, "Yim-siocia, sebenarnya aku hendak mengampuni jiwamu, tapi karena ucapanmu yang tidak keruan macam itu, terpaksa aku bereskan nyawamu. Maka janganlah kau menyalahkan aku bila sebentar lagi kau akan mampus."
"Lekas pergi, Engkoh Tiong, lekas!" Ing-ing berteriak-teriak pula.
Sementara itu tertampak Gak Put-kun sudah mulai angkat pedangnya. Lenghou Tiong kenal kelihaian sang guru, sekali pedangnya bergerak, jiwa Ing-ing tentu akan melayang. Maka cepat ia berteriak, "Kalau mau bunuh orang bunuhlah aku, jangan mencelakai dia!"
Tiba-tiba Gak Put-kun menoleh ke arah Lenghou Tiong dan menjengek, "Hm, kau cuma mempelajari beberapa jurus cakar kucing saja lantas mengira dapat malang melintang di dunia Kang-ouw" Hm, pegang pedangmu, akan kuhajar kau, biar kau mati dengan rela."
"Sekali... sekali-kali tidak berani bergebrak dengan Su... dengan kau!" jawab Lenghou Tiong.
"Dalam keadaan demikian kau masih coba berlagak dungu apa?" bentak Put-kun dengan gusar. "Dahulu, ketika di atas kapal di Hongho, ketika di Ngo-pah-kang pula, kau sengaja berkomplot dengan kawanan bangsat untuk membikin malu padaku, tatkala mana sudah timbul niatku hendak membunuh kau, tapi kutahan sampai sekarang, boleh dikata untung bagimu. Waktu di Hokciu kau pun jatuh di tanganku, kalau bukan istriku juga berada di sana tentu sudah lama kutamatkan riwayatmu. Lantaran salah hitung dahulu itu sehingga akibatnya malah mengorbankan anak perempuanku di tangan bangsat macam kau."
"Aku tidak... tidak...." sahut Lenghou Tiong dengan tergagap.
"Siapkan pedangmu!" bentak Put-kun dengan murka. "Jika kau mampu mengalahkan pedangku, seketika kau akan dapat membunuh aku, kalau tidak, maka aku pun takkan mengampuni kau. Perempuan siluman Mo-kau ini sembarangan mengoceh, biar kubereskan dia lebih dahulu."
Habis berkata pedangnya terus menebas ke leher Ing-ing.
Melihat keadaan sudah mendesak, tanpa pikir Lenghou Tiong menjemput sepotong batu terus disambitkan ke dada Gak Put-kun, berbareng itu ia terus menjatuhkan diri dan menggelinding ke samping, pedang Ing-ing yang jatuh di tanah itu disambarnya, menyusul ia terus menusuk ke iga kanan Gak Put-kun.
Jika serangan Gak Put-kun tadi diarahkan kepada Lenghou Tiong, maka pemuda itu pasti tidak menangkis dan rela terbunuh oleh sang guru. Tapi karena Gak Put-kun terlalu gemas terhadap Ing-ing yang telah membongkar rahasianya, tanpa pikir serangannya ditujukan kepada nona itu lebih dulu. Melihat hal demikian sudah tentu betapa pun Lenghou Tiong tidak bisa tinggal diam. Dilihatnya di bawah ketiak kanan Gak Put-kun adalah tempat yang terbuka, maka Lenghou Tiong lantas menyerang tempat itu untuk memaksa lawan menarik kembali serangannya bila ingin menyelamatkan diri lebih dulu.
Benar juga, cepat Gak Put-kun menarik pedangnya untuk menangkis. Tapi susul-menyusul Lenghou Tiong lantas menyerang pula tiga kali, terpaksa Gak Put-kun melangkah mundur dua-tiga tindak dengan rasa kejut dan heran.
Maklumlah, sejak Lenghou Tiong berhasil meyakinkan Tokko-kiu-kiam, ditambah lagi himpunan tenaga dalam beberapa tokoh silat kelas wahid yang diperolehnya secara kebetulan, yaitu yang disedotnya dengan Gip-sing-tay-hoat, kini tenaga-tenaga dalam itu dipancarkan melalui permainan pedangnya, keruan lengan Gak Put-kun tergetar hingga kesemutan.
Bab 126. Korban Seorang Istri bagi Suami Pengecut
Begitu lawan didesak mundur, segera Lenghou Tiong membalik sebelah tangannya hendak membuka hiat-to Ing-ing yang tertutuk.
"Jangan urus diriku, awas!" seru Ing-ing. Berbareng sinar putih mengilat, pedang Gak Put-kun sudah menusuk tiba.
Lenghou Tiong sudah kenal ilmu pedang yang dimainkan Tonghong Put-pay, Gak Put-kun, dan Lim Peng-ci bertiga. Ia tahu sekali pedang lawan menusuk, meski di tengah serangan itu ada lubang kelemahannya, tapi lantaran cepat luar biasa seperti bayangan setan, kalau bermaksud balas menyerang ke arah titik lemah musuh itu tentu diri sendiri sudah terkena pedang lebih dulu. Sebab itulah tanpa pikir Lenghou Tiong lantas menyungkitkan pedangnya ke atas, berbareng ia menusuk perut Gak Put-kun secepat kilat.
Agar tidak mati konyol, terpaksa Gak Put-kun melompat mundur sambil memaki, "Keji amat bangsat kecil!"
Padahal sebagai orang yang mendidik dan membesarkan Lenghou Tiong sejak kecil seharusnya Gak Put-kun kenal watak pemuda itu. Bila dia tidak ambil pusing akan serangan balasan Lenghou Tiong itu dan melainkan meneruskan serangannya, tentu jiwa Lenghou Tiong sudah dibikin melayang olehnya.
Soalnya, biarpun yang digunakan Lenghou Tiong adalah siasat hancur bersama atau gugur bersama musuh, sesungguhnya dalam hati ia tidak pernah melupakan budi kebaikan sang guru, sekali-kali dia tidak menusuk sungguh-sungguh perut gurunya itu. Jadi dalam hal ini Gak Put-kun yang licik dan kotor itu telah salah hitung, mengukur orang lain atas diri sendiri, sehingga dia kehilangan suatu kesempatan bagus untuk membinasakan Lenghou Tiong.
Permainan pedang Gak Put-kun tambah gencar setelah beberapa jurus tak bisa mengalahkan lawan. Dengan tangkas Lenghou Tiong juga menghadapi dengan penuh semangat. Semula dia pikir kalau kalah paling-paling dirinya akan terbunuh di tangan guru sendiri, tapi lantas teringat Ing-ing yang telah melukai hati Gak Put-kun dengan ucapan tadi, sebelum nona itu juga terbunuh tentu akan disiksa lebih dulu. Sebab itulah Lenghou Tiong pantang menyerah lagi dan bertempur sekuat tenaga.
Setelah beberapa puluh jurus, jurus-jurus serangan Gak Put-kun tambah ruwet, Lenghou Tiong menghadapi dengan memusatkan perhatiannya, lambat laun pikirannya menjadi "plong", menjadi paham. Yang ditatap sekarang hanyalah titik ujung pedang lawan saja.
Hendaklah maklum bahwa inti Tokko-kiu-kiam itu adalah "makin kuat pihak musuh makin kuat pula pihak sendiri." Dahulu waktu bertanding dengan Yim Ngo-heng di penjara dasar Danau Se-ouw, tak peduli bagaimana Yim Ngo-heng menyerang dengan macam-macam perubahan selalu Lenghou Tiong dapat melayaninya dengan jurus-jurus baru yang lahir seketika. Padahal ilmu silat Yim Ngo-heng boleh dikata jarang ada bandingannya, tapi dia harus mengakui kehebatan ilmu pedang Lenghou Tiong.
Kini Lenghou Tiong sudah berhasil pula meyakinkan Gip-sing-tay-hoat, betapa hebat tenaga saktinya sukar diukur lagi. Sebaliknya Pi-sia-kiam-hoat meski aneh, tapi belum lama dipelajari oleh Gak Put-kun, dia belum hafal sebagaimana Lenghou Tiong meyakinkan Tokko-kiu-kiam. Karena itu, setelah lebih ratusan jurus, cara Lenghou Tiong melayani lawannya sudah tak perlu pikir lagi. Betapa pun aneh perubahan jurus serangan Pi-sia-kiam-hoat selalu disambut dengan jurus serangan yang sama anehnya.
Dalam pandangan Gak Put-kun sekarang betapa ruwet perubahan ilmu pedang Lenghou Tiong dirasakan jauh lebih ruwet daripada dirinya, rasanya biarpun bertempur tiga hari tiga malam juga akan tetap lahir jurus-jurus serangan baru.
Terpikir demikian, timbul rasa jerinya seketika. Pikirnya pula, "Perempuan siluman Mo-kau ini telah membongkar rahasia caraku meyakinkan ilmu pedang, bila hari ini aku tak dapat membereskan mereka, kelak cerita tentang diriku tentu akan tersiar luas di kalangan Kang-ouw, lalu apakah aku ada muka buat menjabat ketua Ngo-gak-pay lagi" Agaknya segala rencana yang kurancang sejak dahulu akan buyar seluruhnya."
Karena pikiran gelisah, serangan-serangannya menjadi tambah ganas.
Akan tetapi pertandingan di antara jago kelas tinggi paling mengutamakan ketenangan dan kesabaran. Begitu pikirannya kacau, seketika permainan pedangnya menjadi rada terganggu. Padahal Pi-sia-kiam-hoat unggul dalam hal kecepatan, setelah ratusan jurus tak bisa mengalahkan musuh, dengan sendirinya dia mulai patah semangat, ditambah lagi perhatiannya terpencar karena hati gelisah, daya tekanan pedangnya menjadi banyak berkurang.
Begitulah sedikit kelemahan Gak Put-kun itu segera dapat dilihat oleh Lenghou Tiong. Memang asas utama Tokko-kiu-kiam adalah mengincar baik-baik titik kelemahan ilmu silat lawan, lalu titik kelemahan itu dimasuki, sekali hantam memperoleh kemenangan.
Kini pertarungan mereka sudah berlangsung mendekati dua ratusan jurus. Ciri dari ilmu pedang aliran mana pun juga di dunia ini adalah pada suatu ketika jurus ilmu pedang masing-masing pasti akan berakhir dan kalau belum dapat mengalahkan musuh, terpaksa harus mengulangi permainannya dari awal. Dan di sinilah titik kelemahan Gak Put-kun itu dapat dilihat oleh Lenghou Tiong, yaitu pada tiap-tiap kali dia menebas, selalu bagian ketiak kanan memperlihatkan titik kelemahan yang tak terjaga. Melihat ada kesempatan buat menang, diam-diam Lenghou Tiong bergirang.
Melihat ujung mulut Lenghou Tiong sekilas mengulum senyum, Gak Put-kun menjadi terkejut malah. Pikirnya, "Mengapa bangsat cilik ini tersenyum" Apakah dia sudah mendapatkan jalan untuk mengalahkan diriku?"
Diam-diam ia lantas mengerahkan tenaga dalam, tiba-tiba ia mendesak maju dan mendadak melompat mundur lagi, lalu mengelilingi Lenghou Tiong dengan cepat, serangannya tambah gencar secara membadai.
Begitu cepat Gak Put-kun berputar sehingga Ing-ing yang menggeletak di tanah itu tidak dapat melihat jelas ke mana serangan Gak Put-kun itu ditujukan, akhirnya dia merasa kepala pusing dan muak laksana orang mabuk kapal.
Setelah belasan jurus lagi, tertampak jari tangan kiri Gak Put-kun menuding ke depan, pedang di tangan kanan ditarik. Lenghou Tiong tahu serangan lawan segera akan diulangi lagi. Sementara Lenghou Tiong sudah merasa lelah setelah bertempur sekian lamanya, maklum dia baru sembuh dari luka parah. Namun ia sadar bahwa keadaan sangat gawat, di bawah serangan Gak Put-kun yang gencar dan cepat itu, sedikit lengah saja jiwa sendiri pasti akan melayang, bahkan Ing-ing akan ikut menjadi korban. Sebab itulah ketika melihat serangan lawan akan diulangi, segera ia mendahului menusuk ke bawah ketiak kanan lawan, tempat yang diarah tepat merupakan titik kelemahan jurus serangan Gak Put-kun itu.
Rupanya gerakan demikian inilah yang diketemukan Lenghou Tiong, yaitu menyerang titik kelemahan musuh sebelum serangan musuh dilancarkan. Karena didahului, sebelum Gak Put-kun sempat mengganti jurus lain, tahu-tahu ujung pedang lawan sudah menyambar tiba. Keruan Gak Put-kun menjerit kaget, suaranya penuh rasa kejut, gusar pula dan putus asa pula.
Saat itu ujung pedang Lenghou Tiong sudah berada di bawah ketiak lawan, bila pedang didorong ke depan, tentu tubuh Gak Put-kun akan tertembus. Tapi mendadak ia mendengar jeritan tajam Gak Put-kun itu, seketika ia terkejut sadar, "Ah, kenapa aku sampai lupa, dia kan guruku, mana boleh aku mencelakai dia?"
Segera ia tahan pedangnya dan berkata, "Kalah-menang sudah jelas, bagaimana kalau kita sudahi pertandingan ini, paling perlu men... nolong Sunio lebih dulu!"
"Baiklah!" dengan muka pucat sebagai mayat Gak Put-kun menjawab.
Tanpa pikir Lenghou Tiong terus membuang pedangnya dan menoleh untuk melihat Ing-ing. Di luar dugaan, sekonyong-konyong Gak Put-kun menggertak sekali, pedangnya menyambar secepat kilat mengarah pinggang kiri Lenghou Tiong.
Tempat yang diarah itu sangat berbahaya. Dalam kejutnya cepat Lenghou Tiong bermaksud menjemput kembali pedangnya, namun sudah terlambat, "bles", pedang lawan telah menancap di belakang pinggangnya.
Gak Put-kun kegirangan, ia cabut pedangnya dan kembali menebas ke bawah. Lekas-lekas Lenghou Tiong menjatuhkan diri dan menggelinding pergi. Tapi Gak Put-kun lantas mengejar dan kembali membacok. Untung Lenghou Tiong sempat mengelak pula. "Trang", bacokan Gak Put-kun itu mengenai tanah, hanya beberapa senti jaraknya dari kepala Lenghou Tiong.
Sambil menyeringai Gak Put-kun angkat pedangnya pula, kembali ia melangkah maju, sekali bacok ia pikir kepala Lenghou Tiong pasti akan dipenggalnya sekarang.
Tak terduga, mendadak sebelah kakinya menginjak tempat lunak, "blong," tubuhnya terus kejeblos ke bawah. Ia bermaksud menggenjot ke atas dengan ginkang yang tinggi, namun sesaat itu dirasakan langit dan bumi seakan-akan berputar, lalu tak sadarkan diri lagi, ia terbanting ke dalam lubang perangkap itu.
Lenghou Tiong benar-benar lolos dari lubang jarum, hampir-hampir mati konyol. Ia coba merangkak bangun sambil mendekap luka di pinggang belakang.
Pada saat itulah terdengar seruan beberapa orang dari semak-semak sana, "Toasiocia! Seng-koh!"
Lalu beberapa orang tampak berlari-lari mendatangi, mereka adalah Pau Tay-coh, Bok-tianglo, dan lain-lain.
Sedapat mungkin Lenghou Tiong mendekati Ing-ing dan bertanya, "Dia... dia menutuk hiat-to bagian mana?"
"Apakah kau tidak... tidak apa-apa?" tanya Ing-ing khawatir.
"Jangan khawatir, aku takkan mati," sahut Lenghou Tiong.
"Binasakan bangsat keparat itu!" mendadak Ing-ing berteriak. Yang dimaksudkan ialah Gak Put-kun.
Cepat Pau Tay-coh mengiakan.
Namun Lenghou Tiong lantas mencegahnya, "Jang... jangan!"
Melihat kecemasan Lenghou Tiong itu, Ing-ing berkata pula, "Baiklah, boleh tangkap saja dia."
Ia tidak tahu bahwa di dalam lubang perangkap itu sudah ditaburi pula obat bius, ia khawatir Gak Put-kun akan melompat kembali ke atas dan tentu akan sukar dilawan.
Maka terdengar Pau Tay-coh mengiakan pula. Ia tidak berani menjelaskan bahwa lubang perangkap itu adalah hasil kerjanya, sebab sejak tadi ia menyaksikan tuan putri mereka diuber-uber dan ditawan oleh Gak Put-kun, tapi mereka takut mati dan tidak berani keluar menolong, dosa mereka ini kalau diusut tentu bisa dihukum mati.
Begitulah Pau Tay-coh lantas melompat ke dalam lubang, ia ketok kepada Gak Put-kun dengan gagang goloknya, seumpama Gak Put-kun tidak pingsan oleh obat bius tentu juga akan semaput oleh ketokannya yang cukup keras itu. Kemudian Pau Tay-coh menyeret Gak Put-kun ke atas, dengan cekatan sekali ia tutuk pula beberapa hiat-to penting di tubuh ketua Ngo-gak-pay itu, lalu diringkus pula kaki dan tangannya dengan tambang. Sudah kena bius, diketok pula kepalanya, lalu hiat-to ditutuk, diringkus lagi dengan tambang, biarpun kepandaian Gak Put-kun setinggi langit juga tak bisa lolos.
Lenghou Tiong saling pandang dengan Ing-ing, kedua orang merasa baru sadar dari impian buruk. Selang agak lama barulah Ing-ing menangis. Lenghou Tiong mendekatinya dan memeluknya. Setelah pengalaman pahit ini, mereka merasakan hidup ini belum pernah seindah sekarang. Perlahan-lahan Lenghou Tiong membukakan hiat-to Ing-ing yang tertutuk tadi.
Ketika tiba-tiba ia melihat sang sunio masih menggeletak di sana, barulah ia ingat dan berteriak kaget, cepat ia mendekati Gak-hujin dan membukakan hiat-to yang tertutuk sambil minta maaf.
Apa yang terjadi tadi seluruhnya telah disaksikan oleh Gak-hujin, ia cukup kenal pribadi Lenghou Tiong yang sangat menghormat dan sayang kepada Gak Leng-sian, ia yakin pemuda itu pasti tidak berani mengganggu seujung rambut pun atas diri gadisnya itu, maka tuduhan Lenghou Tiong memerkosa dan membunuh Leng-sian benar-benar omong kosong dan fitnah belaka. Apalagi ia menyaksikan pula betapa cinta dan setia Lenghou Tiong terhadap Ing-ing, mana mungkin pemuda itu melakukan hal-hal yang tidak senonoh.
Gak-hujin juga menyaksikan suaminya telah dikalahkan Lenghou Tiong, tapi pemuda itu tidak tega menyerang lebih lanjut, sebaliknya sang suami malah mendadak menyerangnya dari belakang secara keji, perbuatan pengecut demikian biarpun orang dari kalangan hek-to juga tidak sudi melakukannya, tapi seorang ketua Ngo-gak-pay yang terhormat ternyata tega berbuat begitu, sungguh pengecut, sungguh memalukan. Sesaat itu Gak-hujin menjadi putus asa dan merasa tiada artinya lagi hidup ini. Dengan hambar ia coba tanya Lenghou Tiong, "Anak Tiong, apakah benar Anak Sian dibunuh oleh Peng-ci?"
Hati Lenghou Tiong menjadi sedih, air matanya bercucuran, sahutnya dengan terguguk-guguk, "Tecu... aku... aku...."
"Dia tidak anggap tecu padamu, aku masih tetap mengakui kau sebagai tecu (murid)," ujar Gak-hujin. "Jika kau sudi, aku pun tetap ibu gurumu."
Lenghou Tiong sangat terharu, ia menyembah sambil berseru, "Sunio! Sunio!"
Perlahan-lahan Gak-hujin membelai rambut Lenghou Tiong sambil mengalirkan air mata. Katanya dengan lirih, "Jadi tidak salah tentunya apa yang dikatakan Yim-siocia ini bahwa Peng-ci telah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat dan kini telah menggabungkan diri pada Co Leng-tan, sebab itulah dia membunuh Anak Sian."
"Ya, begitulah," sahut Lenghou Tiong.
"Coba kau balik ke sana, kuperiksa lukamu," kata Gak-hujin pula.
Lenghou Tiong mengiakan sambil memutar tubuhnya. Lalu Gak-hujin menyobek baju bagian punggung pemuda itu, ditutuknya hiat-to sekitar tempat luka itu, lalu bertanya, "Obat luka Hing-san-pay tentunya kau bawa, bukan?"
"Ya, ada," jawab Lenghou Tiong. Segera Ing-ing mengambilkan obat yang dimaksud dari baju Lenghou Tiong dan diserahkan kepada Gak-hujin.
Lebih dulu Gak-hujin membersihkan darah di tempat luka, lalu dibubuhi obat, dikeluarkannya saputangan sendiri yang putih bersih untuk menutup luka itu, lalu gaun sendiri dirobek sepotong sebagai pembalut.
Biasanya Lenghou Tiong menganggap Gak-hujin sebagai ibu sendiri, hatinya sangat terhibur melihat dirinya diperlakukan sedemikian baik, rasa sakit lukanya sampai terlupa meski sebenarnya cukup parah.
"Kelak tugas membunuh Lim Peng-ci untuk menuntut balas bagi Anak Sian dengan sendirinya harus diserahkan padamu," kata Gak-hujin kemudian.
"Tapi Siau... Siausumoay telah pesan sebelum meninggal agar aku melindungi Lim Peng-ci, hal ini telah kusanggupi, maka urusan ini... sungguh serbasusah bagiku," kata Lenghou Tiong.
"Ai, dasar karma, karma!" ujar Gak-hujin sambil menghela napas panjang. Lalu sambungnya pula, "Anak Tiong, selanjutnya terhadap siapa pun juga janganlah kau terlalu baik hati!"
Lenghou Tiong mengiakan. Mendadak tengkuknya terasa hangat-hangat basah, seperti tertetes barang cairan. Waktu ia menoleh, dilihatnya muka Gak-hujin putih pucat. Ia terkejut dan menjerit, "Sunio!"
Waktu ia berbangkit dan memegangi Gak-hujin, ternyata di dada nyonya itu sudah menancap sebilah belati, tepat menancap di bagian jantung, seketika juga nyonya itu sudah binasa.
Tidak kepalang kejut Lenghou Tiong hingga mulutnya ternganga tak bisa bersuara. Ing-ing juga terperanjat sekali, cuma dia tiada hubungan kekeluargaan apa-apa dengan Gak-hujin, walaupun kejut dan menyesalkan kejadian itu, namun tidak terlalu berduka, segera ia pun memayang Lenghou Tiong yang tampak lemas itu. Selang sejenak barulah Lenghou Tiong dapat bersuara tangis.
Melihat kejadian sedih yang menimpa kedua muda-mudi itu, Pau Tay-coh pikir tentu banyak kata-kata mesra akan diucapkan mereka, ia tidak berani mengganggu di situ, segera ia mengangkat Gak Put-kun dan mengundurkan diri agak jauh ke sana bersama Bok-tianglo dan lain-lain.
"Untuk apa mereka me... menangkap suhuku?" kata Lenghou Tiong.
"Kau masih panggil suhu padanya?" ujar Ing-ing.
"Sudah biasa," sahut Lenghou Tiong. "Kenapa Sunio membunuh diri" Mengapa... mengapa beliau membunuh diri?"
"Sudah tentu disebabkan durjana Gak Put-kun itu," kata Ing-ing dengan gemas. "Apa gunanya mempunyai suami pengecut dan tidak malu seperti dia itu, kalau tidak membunuhnya, ya terpaksa membunuh diri. Kita harus lekas binasakan Gak Put-kun untuk membalas sakit hati ibu gurumu."
Tapi Lenghou Tiong menjadi ragu-ragu pula, katanya, "Kau bilang dia harus dibunuh" Betapa pun dia kan pernah menjadi guruku?"
"Meski dia pernah gurumu, pernah membesarkan kau, tapi sudah berapa kali dia bermaksud mencelakai kau, antara budi dan sakit hati sudah klop dan hapus, sebaliknya budi kebaikan ibu gurumu belum lagi kau balas. Coba pikir, apakah kematian ibu gurumu bukan disebabkan perbuatannya?"
Lenghou Tiong menghela napas, katanya dengan pilu, "Budi Sunio rasanya sukar kubalas selama hidup ini. Seumpama aku tidak utang budi lagi kepada Gak Put-kun, betapa pun aku tidak dapat membunuh dia."
"Tidak perlu kau yang turun tangan," ujar Ing-ing. Mendadak ia berseru, "Pau Tay-coh!"
"Ya, Toasiocia!" sahut Pau Tay-coh. Segera ia bersama Bok-tianglo mendekati tuan putrinya.
"Apakah Ayah yang menugaskan kalian ke sini?" tanya Ing-ing.
"Benar," sahut Pau Tay-coh dengan penuh hormat. "Atas titah Kaucu, hamba bersama Kat, Toh, dan Bok-tianglo bertiga bersama sepuluh saudara lain ditugaskan menangkap Gak Put-kun dengan cara apa pun juga."
"Di mana Kat dan Toh-tianglo?" tanya Ing-ing pula.
"Tadi mereka pergi memancing kedatangan Gak Put-kun dan sampai sekarang belum kembali, mungkin... mungkin mereka...."
"Coba kau geledah badan Gak Put-kun," kata Ing-ing.
Pau Tay-coh mengiakan dan segera mulai menggeledah. Hasilnya dari baju Gak Put-kun dikeluarkannya sebuah panji sutra kecil, itulah panji kebesaran Ngo-gak-kiam-pay. Selain itu ada pula sejilid buku tipis, belasan tahil emas perak, dan dua potong medali tembaga.
Dengan suara gemas Pau Tay-coh lantas berkata, "Lapor Toasiocia, Kat-tianglo dan Toh-tianglo memang benar telah dicelakai oleh keparat ini, dalam bajunya diketemukan dua medali kebesaran kedua tianglo kita itu."
Habis berkata ia terus ayun kakinya menendang, "krak", kontan sebuah tulang iga Gak Put-kun tertendang patah.
"Jangan aniaya dia!" seru Lenghou Tiong.
"Ambil air dingin, siram dia biar siuman," perintah Ing-ing pula.
Orang she Sih tadi lantas membuka kantong air yang tergantung di pinggangnya, air dingin terus disiramkan ke muka Gak Put-kun.
Sejenak kemudian, sambil bersuara kesakitan Gak Put-kun membuka matanya, ia tak bisa berkutik, terpaksa hanya melotot saja.
"Orang she Gak, apakah kau yang membunuh kedua tianglo kami?" tanya Ing-ing. Sedang Pau Tay-coh melempar-lempar kedua medali tembaga yang dipegangnya itu hingga mengeluarkan suara nyaring.
Melihat dirinya berada di bawah cengkeraman musuh dan tak bisa terhindar dari kematian, dengan gusar Gak Put-kun lantas memaki, "Memang aku yang membunuh mereka. Anggota Mo-kau yang jahat setiap orang berhak membunuhnya."
Segera Pau Tay-coh bermaksud menendang pula, tapi lantas teringat kata-kata Lenghou Tiong tadi yang melarangnya menganiaya tawanan itu, ia tahu hubungan Lenghou Tiong dengan sang kaucu sangat baik, juga calon suami sang toasiocia, maka ia tidak berani menentang kata-kata Lenghou Tiong tadi.
"Hm," Ing-ing lantas menjengek, "kau menganggap dirimu adalah ketua golongan beng-bun-cing-pay segala, akan tetapi perbuatanmu entah berapa kali lebih kotor dan rendah daripada anak buah Tiau-yang-sin-kau kami, tapi kau secara tidak tahu malu berani memaki kami sebagai orang jahat. Malahan istrimu sendiri merasa malu atas perbuatanmu, ia lebih suka membunuh diri daripada menjadi istrimu, apakah kau masih punya muka buat hidup terus di dunia ini."
"Perempuan siluman sembarangan omong, sudah jelas istriku dibunuh olehmu, tapi kau mengatakan dia membunuh diri," damprat Gak Put-kun.
"Coba dengarkan, Engkoh Tiong, betapa tidak tahu malu ucapannya," kata Ing-ing.
"Ing-ing, aku ingin mohon sesuatu padamu," kata Lenghou Tiong.
"Aku tahu kau hendak minta agar kulepaskan dia, hendaklah tahu bahwa ringkus harimau lebih gampang daripada melepaskan harimau," sahut Ing-ing. "Orang ini berhati keji dan berjiwa culas, ilmu silatnya tinggi pula, kelak kalau kau kepergok dia mungkin takkan gampang membekuk dia lagi."
"Sekali ini hubunganku sebagai murid dan guru dengan dia sudah putus," kata Lenghou Tiong. "Ilmu pedangnya aku pun sudah paham seluruhnya, jika dia berani mencari aku lagi, maka aku pun tidak kenal ampun lagi padanya."
Ing-ing tahu pasti Lenghou Tiong tidak mengizinkan dia membunuh Gak Put-kun, asalkan selanjutnya Lenghou Tiong benar-benar putuskan segala hubungan baik dengan Gak Put-kun, maka bila ketemu lagi kelak juga tidak perlu gentar. Segera ia menjawab, "Baiklah, hari ini boleh kita mengampuni jiwanya. Nah, Pau-tianglo, Bok-tianglo, dan para saudara dalam agama, selanjutnya kalian boleh siarkan di kalangan Kang-ouw bahwa Gak Put-kun telah kita bekuk, lalu kita ampuni dia. Siarkan pula bahwa Gak Put-kun telah rela membikin cacat dirinya sendiri demi untuk meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, sekarang dia sudah setengah gila, laki-laki bukan perempuan tidak, supaya hal ini dimaklumi oleh para kesatria di seluruh jagat."
Serentak Pau-tianglo dan lain-lain mengiakan bersama. Sedangkan air muka Gak Put-kun tampak pucat pasi, kedua matanya berkedip-kedip memancarkan sinar mata yang penuh kebencian dan dendam.
"Hm, kau dendam padaku, memangnya aku tidak tahu?" jengek Ing-ing sambil ayun pedangnya untuk memotong tambang yang mengikat badan Gak Put-kun itu, ia mendekati tawanan itu dan membuka sebuah hiat-to di bagian punggung. Lalu tangan kanan menahan di mulut ketua Ngo-gak-pay itu, tangan kiri menepuk perlahan di belakang kepalanya. Tanpa kuasa Gak Put-kun membuka mulut dan tahu-tahu di dalam mulut sudah bertambah satu biji obat, berbareng itu terasa hidungnya menjadi buntu, tak bisa bernapas. Rupanya tangan Ing-ing telah memencet lubang hidungnya. Keruan Gak Put-kun terpaksa harus membuka mulut untuk bernapas, tanpa ayal lagi Ing-ing lantas kerahkan tenaga dalam sehingga pil di dalam mulut Gak Put-kun itu terdorong ke dalam perutnya.
Dengan suara perlahan Ing-ing lalu membisiki dia, "Awas, jangan sekali-kali kau muntahkan, jika membangkang segera kuputuskan seluruh urat nadimu dengan Siau-tiong-jiu-hoat."
Pada waktu Ing-ing memutuskan tali ringkusan Gak Put-kun dan membuka hiat-to tadi dia sengaja berdiri membelakangi Lenghou Tiong sehingga pil yang dijejalkan ke dalam mulut Gak Put-kun itu tak dilihat oleh pemuda itu. Dan sesudah telan pil itu, Gak Put-kun menjadi ketakutan sebab ia tahu pil itu adalah obat pembusuk badan yang paling terkenal dari Toan-ngo-ciat, yakni hari yang biasa disebut Peh-cun, tanggal 5 bulan 5 hitungan Imlek, diharuskan minum obat penawar untuk menangguhkan bekerjanya kuman racun obat itu. Kalau tidak, maka kuman racun akan menyusup ke dalam otak sehingga sakitnya tak terperikan, bahkan terus menggila melebihi anjing gila.
Selain itu Gak Put-kun juga tahu ilmu Siau-tiong-jiu-hoat dari Mo-kau, yaitu semacam ilmu tiam-hiat yang dapat menutuk putus urat-urat nadi terpenting sehingga sang korban akan lemas lunglai seperti tak bertulang lagi, tapi justru tidak sampai mati, maka dapat dibayangkan derita yang harus dirasakan.
Dalam keadaan tak berkutik, betapa pun cerdik pandai dan licik culasnya Gak Put-kun, pucat juga wajahnya dan keringat dingin membasahi dahinya.
Begitulah kemudian Ing-ing berpaling, dan berkata kepada Lenghou Tiong, "Engkoh Tiong, tutukan Pau-tianglo tadi rada berat, kini sudah kubuka kembali hiat-to yang tertutuk itu, sebentar lagi dia baru dapat berjalan lagi."
"Banyak terima kasih padamu," sahut Lenghou Tiong.
Dalam hati Ing-ing merasa geli karena pemuda itu tidak tahu apa yang telah diperbuatnya terhadap Gak Put-kun, tapi betapa pun juga apa yang dilakukan itu adalah demi kebaikan sang kekasih.
Selang sejenak, Ing-ing yakin pil tadi sudah hancur di dalam perut Gak Put-kun dan tidak mungkin ditumpahkan keluar, habis itu barulah dia melancarkan kembali hiat-to Gak Put-kun yang lain sambil membisikinya, "Setiap hari Toan-ngo tiap tahun boleh kau datang ke Hek-bok-keh, aku akan memberi obat penawarnya padamu."
Bisikan itu lebih meyakinkan Gak Put-kun lagi bahwa obat yang ditelannya tadi memang betul "pil pembusuk tubuh" dari Mo-kau, tanpa kuasa badannya menjadi gemetar, katanya, "Jadi pil ini adalah... adalah...."
"Benar, kau harus diberi selamat," kata Ing-ing. "Obat mujarabku itu tidak mudah membuatnya, dalam agama kami hanya tokoh-tokoh utama yang berkedudukan tinggi dan berkepandaian tinggi saja yang memenuhi syarat untuk minum obat dewa itu. Betul tidak, Pau-tianglo?"
"Betul," sahut Pau Tay-coh. "Atas anugerah Kaucu pernah juga Siokhe minum obat dewa itu, maka selamanya Siokhe sangat setia dan tunduk, malahan Kaucu juga menaruh kepercayaan penuh kepada Siokhe, sungguh tiada terkatakan manfaat daripada obat dewa tersebut."
Lenghou Tiong terkejut juga, katanya, "He, kau memberikan obat...."
"Ah, mungkin saking kelaparan sehingga dia makan barang apa saja yang dilihatnya," kata Ing-ing dengan tersenyum. "Nah, Gak Put-kun, selanjutnya kau harus berusaha membela kepentingan Engkoh Tiong dan aku, hal ini akan berfaedah bagimu."
Tidak kepalang benci Gak Put-kun, pikirnya, "Jika perempuan siluman cilik ini kebetulan mengalami sesuatu atau dibunuh orang, maka yang akan konyol tentulah diriku. Bahkan dia tidak sampai mampus, tapi terluka parah umpamanya sehingga tidak dapat pulang ke Hek-bok-keh pada hari Toan-ngo, lalu ke mana aku dapat mencari dia?"
Berpikir demikian, kembali ia menjadi khawatir dan gemetar pula.
Lenghou Tiong menghela napas, ia pikir dasar Ing-ing berasal dari Mo-kau sehingga tingkah lakunya juga rada-rada berbau "jahat". Tapi apa yang diperbuatnya sesungguhnya demi kepentingannya sehingga tak dapat pula menyalahkan dia.
"Pau-tianglo," kata Ing-ing kemudian, "kau pulang ke Hek-bok-keh dan lapor kepada Kaucu, katakan ketua Ngo-gak-pay yang dihormati, Gak Put-kun, Gak-siansing, kini telah menggabungkan diri ke dalam agama kita dengan setulus hati, obat dewa Kaucu sudah diminumnya sehingga dia tidak mungkin berkhianat lagi."
Sebenarnya Pau Tay-coh sedang sedih sebab bingung entah cara bagaimana harus memberi pertanggungan jawab kepada sang kaucu atas tugas yang diberikan padanya, yaitu tugas menangkap Gak Put-kun. Kini melihat Gak Put-kun telah dicekoki pil sakti oleh Ing-ing, ia menjadi girang dan yakin sang kaucu pasti akan bergirang bila diberi laporan apa yang terjadi itu. Begitulah ia lantas mengiakan atas perintah Ing-ing tadi.
Lalu Ing-ing berkata pula, "Karena Gak-siansing sudah masuk anggota kita, mengenai hal-hal yang merugikan nama baiknya tidak perlu lagi kalian siarkan di luaran. Tentang pil dewa yang telah dimakannya lebih-lebih jangan dibocorkan. Orang ini mempunyai kedudukan amat tinggi di dunia persilatan, cerdas dan tangkas pula dalam segala hal, kelak Kaucu tentu akan memanfaatkan tenaganya."
Kembali Pau Tay-coh mengiakan pesan Ing-ing itu.
Melihat keadaan Gak Put-kun yang serbakonyol itu, Lenghou Tiong ikut merasa menyesal, meski dirinya tadi hendak dibinasakan oleh Gak Put-kun, tapi mengingat budi kebaikan selama likuran tahun, selama itu hubungan mereka seperti ayah dan anak, kini mendadak berubah menjadi musuh, sungguh ia merasa sedih. Sebenarnya ia bermaksud mengutarakan kata-kata yang dapat menghibur Gak Put-kun, tapi tenggorokan serasa terkancing dan sukar bicara.
"Pau-tianglo," kata Ing-ing pula, "bila kalian pulang ke Hek-bok-keh, sampaikanlah hormat baktiku kepada ayah dan juga kepada Hiang-sioksiok, katakan kepada beliau-beliau itu bahwa nanti kalau... kalau dia... dia Lenghou-kongcu sudah sembuh lukanya barulah kami akan pulang ke sana."
Bab 127. Muslihat Keji Gak Put-kun
Terhadap nona lain tentu Pau Tay-coh akan menjawab dengan kata-kata sanjung puji sebagaimana lazimnya terhadap muda-mudi yang sedang dirundung asmara, tapi terhadap Ing-ing mana dia berani bicara begitu, maka memandang saja tidak berani melainkan membungkuk memberi hormat dan mengiakan belaka dengan sikap sungguh-sungguh. Ia tahu tuan putrinya itu pemalu, khawatir orang menertawai dia jatuh cinta kepada Lenghou Tiong sehingga banyak orang Kang-ouw pernah menjadi korban perasaan si nona yang aneh itu.
Begitulah Pau Tay-coh lantas mohon diri dan berangkat pergi bersama kawan-kawannya. Sikap hormatnya terhadap Lenghou Tiong bahkan melebihi hormatnya kepada Ing-ing. Ia tahu semakin hormat kepada Lenghou Tiong tentu akan semakin menambah kegirangan hati Ing-ing. Sebagai kawakan Kang-ouw dan sudah kenyang pengalaman hidup, sudah tentu Pau Tay-coh dapat menyelami jiwa anak gadis pada umumnya.
Terakhir tinggal Gak Put-kun yang masih berdiri mematung di situ, Ing-ing lantas berkata, "Gak-siansing, kau pun boleh pergi saja. Tentang jenazah istrimu apakah akan kau bawa pulang ke Hoa-san untuk dikebumikan di sana?"
Gak Put-kun menggeleng, sahutnya, "Mohon tolong kalian berdua, boleh dikubur saja di sini."
Habis berkata, tanpa memandang lagi kepada Lenghou Tiong maupun Ing-ing, segera ia melangkah pergi dengan cepat, dalam sekejap saja sudah menghilang di balik semak-semak pohon sana.
Setelah mengalami malapetaka yang hampir merenggut nyawa Lenghou Tiong dan Ing-ing tadi, cinta kasih di antara mereka telah bertambah lebih kekal lagi. Kedua orang saling pandang, lalu saling berpelukan dengan mesra.
Menjelang magrib, selesailah mereka mengubur Gak-hujin di sebelah kuburan Gak Leng-sian. Kembali Lenghou Tiong menangis dengan sedih.
Esok paginya, Ing-ing tanya keadaan luka Lenghou Tiong.
"Sekali ini tidak terlalu parah, tak perlu khawatir," kata pemuda itu.
"Baiklah kalau begitu, tempat kita ini sudah diketahui orang, kupikir dua-tiga hari lagi kita harus pindah tempat," ujar Ing-ing.
"Benar juga," kata Lenghou Tiong. "Siausumoay sudah ditemani ibunya, tentu dia takkan kesepian lagi."
Lalu Ing-ing mengeluarkan sejilid buku tipis, itulah benda yang diketemukan Pau Tay-coh ketika menggeledah badan Gak Put-kun. Katanya kemudian, "Ini adalah Pi-sia-kiam-boh yang mengakibatkan Hoa-san-pay kalian kocar-kacir, sungguh suatu bibit bencana."
Habis berkata ia terus robek-robek buku itu hingga hancur, lalu dibakar di depan makam Gak-hujin.
"Pada dasarnya Suhu adalah orang baik, tapi demi untuk meyakinkan ilmu pedang sesat ini, akhirnya sifatnya berubah lain sama sekali," kata Lenghou Tiong.
"Memang tidak salah ucapanmu," kata Ing-ing. "Kalau kiam-boh ini tetap beredar di dunia Kang-ouw, sungguh akan menimbulkan malapetaka yang tak terhingga. Kita sudah membakar sejilid kiam-boh ini, tapi Lim Peng-ci masih memegang kiam-boh yang asli. Cuma kukira dia takkan seluruhnya diuraikan kepada Co Leng-tan dan Lo Tek-nau. Anak she Lim itu pun bukan orang bodoh, mana dia mau memberikan kiam-boh berharga itu kepada orang lain?"
"Mata Co Leng-tan dan Lim Peng-ci sudah buta semua, bila benar Lim Peng-ci mau mengajarkan ilmu pedang itu, paling-paling hanya bisa mengajar dengan uraian mulut saja, tidak mungkin kiam-boh itu ditulis kembali. Tapi Lo Tek-nau tidak buta, dia yang akan mendapat keuntungan. Ketiga orang itu adalah manusia-manusia licik dan licin, mereka berkumpul menjadi satu, tentu juga tidak terhindar dari pertarungan tipu-menipu, akhirnya entah bagaimana jadinya. Cuma dua lawan satu, mungkin Lim Peng-ci akan kecundang."
"Apakah kau benar-benar akan berusaha membela Lim Peng-ci?" tanya Ing-ing.
Lenghou Tiong menjawab sambil memandang kuburan Leng-sian, "Tidak seharusnya aku menyanggupi kepada Siausumoay akan membela Lim Peng-ci. Orang ini lebih kejam daripada binatang, pantasnya kucincang tubuhnya hingga hancur luluh, mana aku akan membantu dia pula" Hanya saja aku sudah berjanji kepada Siausumoay, bila aku ingkar janji, di alam baka tentu dia takkan tenteram."
"Ketika masih hidup dia tidak tahu siapakah yang benar-benar baik padanya, sesudah di alam baka seharusnya dia tahu," kata Ing-ing. "Maka dia tentu pula tidak menginginkan kau melindungi Lim Peng-ci."
"Sukar dipastikan," ujar Lenghou Tiong. "Cinta Siausumoay terhadap Peng-ci sudah terlalu mendalam, biarpun tahu ia sendiri dibunuh oleh suaminya itu toh tidak tega membiarkan hidup suaminya merana dalam keadaan buta."
Diam-diam Ing-ing membatin, "Tidak salah juga ucapanmu ini, seumpama aku, tidak peduli bagaimana sikapmu terhadap diriku toh aku akan tetap mencintai kau dengan segenap jiwa ragaku."
Begitulah setelah istirahat beberapa hari lagi, luka baru Lenghou Tiong itu sudah hampir sembuh seluruhnya. Setelah memberi hormat di depan makam Gak-hujin dan Leng-sian, lalu berangkatlah mereka.
Mereka masih berada dalam wilayah Holam, agar tidak dikenali orang, mereka tetap menyamar, yang satu menyamar sebagai pak tani, yang lain sebagai gadis tani.
Lenghou Tiong mengkhawatirkan para anak murid Hing-san-pay yang terdiri dari kaum wanita semua, ia menyatakan harus menuju ke Hing-san dahulu, setelah menyerahkan jabatan ketua kepada Gi-jing barulah dia akan berkelana ke mana pun juga bersama Ing-ing atau kemudian memilih suatu tempat menetap yang abadi.
"Lalu urusan Lim Peng-ci itu cara bagaimana kau akan bertanggung jawab terhadap mendiang siausumoaymu?" tanya Ing-ing.
"Ya, urusan ini memang paling memusingkan kepalaku," kata Lenghou Tiong sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Tapi sebaiknya jangan kau singgung-singgung dahulu, biarlah kulakukan menurut keadaan saja."
Ing-ing tersenyum dan tidak membicarakannya lagi.
Begitulah mereka lantas menyewa sebuah kereta terus menuju ke utara. Suatu hari sampailah mereka di wilayah Soasay, kira-kira tujuh atau delapan hari lagi baru dapat sampai di Hing-san. Malam itu mereka menginap di Kota Seng-peng-tin.
Sepanjang jalan selalu Ing-ing minta tinggal berpisah dengan Lenghou Tiong pada hotel yang lain. Lenghou Tiong tahu nona itu pemalu, khawatir kepergok kenalan dan menimbulkan cerita iseng. Padahal mereka sudah tinggal bersama selama belasan hari di pegunungan sunyi, kalau orang mau omong iseng tentu juga sudah ramai disiarkan. Apalagi kelak kau dan aku sudah jelas bakal menjadi suami istri, peduli apa terhadap omongan iseng orang lain" Demikian pikir Lenghou Tiong. Namun dia pun tidak mau membantah keinginan Ing-ing itu dan menuruti saja. Untungnya Seng-peng-tin cukup ramai dan ada beberapa buah hotel, maka di sini pun mereka tetap tinggal terpisah pada dua hotel.
Sampai tengah malam, tiba-tiba Lenghou Tiong mendengar suara beberapa orang sedang berdebat dengan suara tertahan. Bahwasanya orang bertengkar dalam hotel di tengah malam adalah kejadian biasa, akan tetapi yang menarik perhatian Lenghou Tiong adalah suara seorang yang kasar berulang-ulang menyebut "Hing-san-pay". Mestinya Lenghou Tiong sudah hampir pulas, ketika mendengar "Hing-san-pay" disinggung, seketika ia terjaga dan segera pasang kuping.
Orang-orang yang sedang bicara itu tinggal di kamar seberang halaman sana, semuanya bicara dengan suara tertahan, tapi bagi Lenghou Tiong yang kini telah memiliki lwekang tinggi dapat didengarnya cukup jelas. Terdengar suara seorang perempuan sedang berkata, "Kita telah tinggal sekian lamanya di Hing-san, maka dapat dikatakan kita pernah menjadi orang Hing-san-pay pula. Sekarang kita harus kembali ke sana untuk menggempur Hing-san-pay, cara bagaimana kita akan bicara bila ketemu Lenghou-kongcu?"
Lenghou Tiong terkejut dan heran, mereka pernah tinggal di Hing-san, tapi sekarang akan menyerang Hing-san-pay, apa sebabnya"
Maka terdengar orang yang bersuara kasar tadi menanggapi, "Thio-hujin, kau orang perempuan memang suka ragu-ragu. Meski kita pernah tinggal di paviliun Hing-san, tapi kita kan bukan nikoh, mana dapat dikatakan orang Hing-san-pay" Lenghou-kongcu selamanya tiada hubungan apa-apa dengan kita, sebabnya kita mau menjunjung dia adalah karena terdorong oleh hormat kita kepada Seng-koh. Padahal sekarang kabarnya Seng-koh sudah marah dan putus hubungan dengan dia lantaran Lenghou Tiong memerkosa serta membunuh Nona Gak dari Hoa-san-pay itu."
Mendengar nama "Thio-hujin", segera Lenghou Tiong ingat bahwa kelompok ini mula-mula dijumpainya di Lembah Hongho, kelompok mereka seluruhnya ada tujuh orang, selain Thio-hujin masih ada Tong-pek-siang-ki (Dua Aneh Tong dan Pek), Tiang-hoat-thau-to Siu Siong-lian, seorang hwesio piara rambut, lalu Giok-leng Tojin, Say-po Hwesio, serta Siang-coa-ok-gik Giam Sam-seng Si Pengemis Galak Berular Dua. Ketujuh orang ini pun pernah mengincar Pi-sia-kiam-boh dan pernah mengerubuti ketua Jing-sia-pay, yaitu Ih Jong-hay, kemudian kelompok ini pun pernah ikut menyerbu Siau-lim-si dan tinggal di Hing-san. Orang yang bersuara kasar tadi adalah Siu Siong-lian, thauto berambut.
Terdengar Thio-hujin berkata pula, "Kabar di kalangan Kang-ouw kebanyakan adalah omong kosong belaka. Buktinya Hing-san-pay banyak anak murid yang muda lagi cantik, sedikit pun Lenghou Tiong tidak pernah bertingkah buruk, masakah dia malah memerkosa Nona Gak" Apalagi Seng-koh berpuluh kali lebih cantik daripada Nona Gak, sedemikian mendalam Seng-koh jatuh cinta padanya. Maka berita bohong itu sesungguhnya cuma bikin kotor telinga saja."
"Kaum wanita kalian memang tidak paham akan hati lelaki," ujar Siu Siong-lian dengan tertawa. "Watak kaum lelaki, kalau punya satu ingin punya dua, punya dua ingin punya empat. Biarpun Seng-koh secantik bidadari juga sukar menjamin takkan timbul minat Lenghou Tiong terhadap perempuan lain."
"Tak peduli apa katamu, yang jelas suruh aku membunuhi anak buah Lenghou Tiong, aku pasti tidak mau," sahut Thio-hujin.
"Kau tidak mau, sukar juga orang memaksa kau," kata Giam Sam-seng, Si Pengemis Galak Berular Dua, "Cuma kau jangan lupa, Gak-siansing memegang Hek-bok-leng (medali kayu hitam) tanda perintah Yim-kaucu, resminya dia ketua Ngo-gak-pay, tapi diam-diam dia sudah masuk Tiau-yang-sin-kau, dia memberi tugas kepada kita justru karena mendapat perintah dari Yim-kaucu."
"Ia pun berjanji akan mengajarkan Pi-sia-kiam-hoat kepada kita bilamana tugas kita sudah selesai," Siu Siong-lian menambahkan. "Gak-siansing terkenal dengan julukan Kun-cu-kiam, kukira tidak mungkin dia ingkar janji. Masakah dia tidak sayang kepada julukannya yang diperolehnya dengan susah payah selama berpuluh tahun?"
Kisah Si Pedang Kilat 12 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Si Pemanah Gadis 11
Dalam pada itu orang-orang Jing-sia-pay sudah tiba dan mengepung kereta Gak Leng-sian. Seorang di antaranya lantas berteriak, "Lim Peng-ci, bangsat kau! Apa kau ingin menjadi kura-kura (istilah makian bagi germo)" Mengapa kau mengkeret, coba tongolkan kepalamu sini!"
Tapi keadaan dalam kereta sunyi senyap tiada jawaban. Segera seorang di antaranya berkata, "Mungkin dia sudah melarikan diri dengan meninggalkan kereta ini."
Tiba-tiba api obor memecah kegelapan, sebuah obor dilemparkan ke arah kereta. Tapi mendadak dari dalam kereta menjulur keluar sebuah tangan, obor ditangkapnya terus dilemparkan kembali ke arah si pelempar tadi.
Keruan orang-orang Jing-sia-pay menjadi panik dan berteriak, "Bangsat, anjing itu berada di dalam kereta!"
Bahwa dari dalam kereta bisa menjulur keluar tangan seorang, hal ini tidak saja membikin heran Ing-ing dan Lenghou Tiong, bahkan Leng-sian juga tak terkatakan kagetnya. Telah sekian lama dia bicara dengan Lim Peng-ci, sama sekali tak terkira olehnya bahwa di dalam keretanya bersembunyi orang lain. Kalau melihat cara orang itu melemparkan kembali obor kepada musuh, agaknya ilmu silatnya tidaklah rendah.
Obor yang dilemparkan anak murid Jing-sia-pay berturut-turut ada beberapa buah dan semuanya dapat dilempar kembali oleh orang di dalam kereta itu, maka orang Jing-sia-pay yang lain tidak berani melempar obor lagi, mereka mengelilingi kereta dari jauh sambil berteriak-teriak. Ada yang memaki, "Anak kura-kura itu tidak berani keluar, besar kemungkinan dia terluka parah dan hampir mampus!"
Di bawah cahaya obor tertampak dengan jelas bahwa tangan itu kurus kering dengan urat yang menonjol di sana-sini, terang tangan seorang tua dan sama sekali bukan tangan Lim Peng-ci atau Gak Leng-sian.
Orang-orang Jing-sia-pay menjadi ragu dan tidak berani sembarangan bergerak. Namun terdorong oleh hasrat menuntut balas kematian guru mereka, terpaksa mereka harus bertindak. Sekonyong-konyong pedang mereka sama menusuk ke dalam kereta.
Tapi mendadak sesosok tubuh meloncat keluar menembus atap kereta dengan sinar pedang gemilapan, tahu-tahu orang itu sudah melompat ke belakang barisan orang-orang Jing-sia-pay, begitu pedangnya bekerja, kontan dua murid Jing-sia-pay menggeletak.
Kelihatan orang itu memakai baju kuning seperti dandanan orang Ko-san-pay, tapi mukanya berkedok kain hijau, hanya tertampak sepasang matanya yang bersinar tajam. Perawakan orang itu sangat tinggi, pedangnya bergerak amat cepat, hanya beberapa jurus saja kembali dua murid Jing-sia-pay yang lain dirobohkan pula.
Tangan Lenghou Tiong menggenggam tangan Ing-ing, kedua orang mempunyai pikiran yang sama. "Yang dimainkan itu pun Pi-sia-kiam-hoat."
Tapi kalau melihat perawakannya terang orang ini bukan Gak Put-kun, Lim Peng-ci, dan Co Leng-tan bertiga, kini ada orang keempat pula yang dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat, hal ini dengan sendirinya sangat mengejutkan.
Dengan suara perlahan Gak Leng-sian berkata kepada Peng-ci, "Adik Peng, yang dimainkan orang ini tampaknya serupa ilmu pedangmu."
"He, dia... dia juga dapat memainkan ilmu pedangku" Kau tidak... tidak keliru?" sahut Peng-ci.
Tengah bicara, kembali tiga orang Jing-sia-pay terkena pedang pula. Kini Lenghou Tiong dan Ing-ing sudah dapat melihat jelas. Meski jurus ilmu pedang yang dimainkan orang itu pun termasuk Pi-sia-kiam-hoat, tapi ketangkasannya selisih terlalu jauh dibanding Tonghong Put-pay, dibanding Gak Put-kun dan Lim Peng-ci juga belum memadai, hanya saja ilmu silat orang itu sendiri rupanya cukup tinggi, jauh lebih kuat daripada anak murid Jing-sia-pay maka orang itu masih lebih unggul meski dikerubut orang banyak.
"Ilmu pedangnya tampaknya sama dengan ilmu pedangmu, hanya saja tidak secepat engkau," kata Leng-sian pula kepada Peng-ci.
"Gerakannya kurang cepat" Ini terang tidak cocok dengan inti ilmu pedang kami," kata Peng-ci. "Akan tetapi siapa... siapa dia" Mengapa dapat memainkan kiam-hoat itu?"
Di tengah pertarungan sengit, tiba-tiba seorang Jing-sia-pay dadanya ditembus oleh pedang orang itu. Menyusul orang itu menggertak keras, pedangnya ditarik dan menebas pula, kontan seorang di belakangnya terkutung sebatas pinggang. Orang-orang Jing-sia-pay yang lain menjadi jeri dan sama melompat mundur.
Kembali orang itu menggertak keras sekali terus menerjang maju. Mendadak seorang Jing-sia-pay menjerit ketakutan sambil putar tubuh dan lari sipat kuping. Kawan-kawannya menjadi jeri dan beramai-ramai kabur.
Orang itu tampaknya rada lelah juga. Dari napas orang yang rada memburu itu, Lenghou Tiong dan Ing-ing dapat menduga dalam pertempuran sengit tadi orang itu cukup banyak membuang tenaga, besar kemungkinan malah terluka dalam pula.
Setelah terengah-engah sebentar, orang tua baju kuning itu simpan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang, lalu berseru, "Lim-siauhiap dan Lim-hujin, aku diperintahkan Co-ciangbun dari Ko-san untuk datang memberi bantuan."
Dari suaranya yang bernada rendah dan serak itu agaknya dalam mulut mengulum sesuatu sehingga ucapannya menjadi tidak jelas.
"Banyak terima kasih atas bantuan Anda, mohon tanya siapa nama Anda yang mulia?" sahut Peng-ci sambil keluar dari tempat sembunyinya bersama Leng-sian.
Orang itu berkata pula, "Co-ciangbun mendapat tahu bahwa Lim-siauhiap bersama nyonya disergap musuh di tengah jalan dan terluka parah, maka aku diperintahkan mengawasi Lim-siauhiap berdua untuk mencari suatu tempat tetirah yang baik, tanggung takkan dapat ditemukan oleh ayah-mertuamu."
Baik Lenghou Tiong dan Ing-ing maupun Lim Peng-ci dan Leng-sian sama heran dari mana Co Leng-tan mendapat keterangan sejelas itu. Sementara beberapa obor di atas tanah masih menyala, sinar api berguncang-guncang, sebentar terang sebentar guram.
Peng-ci lantas menjawab, "Maksud baikmu sungguh aku sangat berterima kasih. Tentang merawat luka rasanya aku masih sanggup mengatasinya dan tidak berani bikin repot padamu."
Orang tua itu berkata pula, "Tapi kedua mata Lim-siauhiap terkena racun si bungkuk, sukar sekali kiranya untuk bisa melihat kembali, kalau engkau tidak diobati sendiri oleh Co-ciangbun, bisa jadi... bisa jadi mata Lim-siauhiap juga sukar dipertahankan."
Sejak kedua matanya terkena air beracun dari punuk Bok Ko-hong, baik mata maupun muka Peng-ci terasa kaku dan gatal tak terkatakan, saking geregetan hampir-hampir ia cukil kedua biji mata sendiri, syukur ia masih mampu bertahan sebisa mungkin, maka ia pun percaya apa yang dikatakan orang tua itu memang bukan untuk menakut-nakuti belaka.
Setelah termenung sejenak, kemudian Peng-ci menjawab, "Sebab apa Co-ciangbun menaruh kasihan sedemikian mendalam padaku" Silakan menjelaskan lebih dulu, kalau tidak, sukar kiranya bagiku untuk menerimanya."
Orang itu tertawa terkekeh, lalu berkata pula, "Sama-sama dendam dan punya musuh yang sama, ini saja sudah seperti sanak kadang sendiri. Kalau Gak Put-kun sudah tahu Lim-siauhiap meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, biarpun Siauhiap berusaha menyingkir ke ujung langit sekalipun juga akan diuber olehnya. Kini dia sudah menjadi ketua Ngo-gak-pay, kekuasaannya besar, pengaruhnya luas, engkau seorang diri mau ke mana lagi... Hehe, putri kandung kesayangan Gak Put-kun senantiasa mendampingimu siang dan malam, sulit berjaga terhadap musuh di samping bantal...."
"Jisuko, ternyata dirimu!" mendadak Leng-sian berteriak.
Teriakan Leng-sian ini menggetarkan hati Lenghou Tiong pula. Dari suara orang tua yang samar-samar serak itu memang dirasakan seperti sudah dikenalnya, kini setelah diteriaki Gak Leng-sian, seketika ia pun sadar bahwa orang tua itu memang betul Lo Tek-nau adanya, yaitu bekas murid kedua Gak Put-kun.
Dari Leng-sian dulu Lenghou Tiong mendengar bahwa Lo Tek-nau terbunuh oleh musuh di Hokciu, jika begitu, jadi kabar itu ternyata tidak betul.
"Hm, budak yang cukup cerdik, dapatlah kau mengenali suaraku," kata orang tua itu dengan nada dingin. Sekarang ia tidak bicara dengan suara yang dibikin-bikin, maka jelas suaranya memang suara Lo Tek-nau asli.
"Jisuko, di Hokciu, kau pura-pura mati dibunuh musuh, kalau begitu, tentunya... tentunya kaulah yang membunuh Patsuko bukan?" tanya Peng-ci.
Lo Tek-nau hanya mendengus saja tanpa menjawab.
"Ya, tentu... tentu luka di punggung Peng-ci ini pun perbuatanmu, padahal selama ini aku telah salah menuduh Toasuko," teriak Leng-sian. "Hm, bagus sekali perbuatanmu. Rupanya kau sengaja membunuh seorang lain dan mencacah mukanya hingga hancur lalu kau dandani dengan pakaianmu sehingga setiap orang mengira kau telah mati dibunuh musuh."
"Rekaanmu memang tidak salah," jawab Lo Tek-nau. "Kalau tidak begitu, mustahil aku takkan dicurigai Gak Put-kun bila mendadak aku menghilang" Hanya saja luka bacokan di punggung Lim-siauhiap itu bukanlah perbuatanku."
"Bukan kau" Memangnya masih ada orang lain?" jengek Leng-sian.
"Juga tidak termasuk orang lain, justru adalah ayahmu sendiri," kata Lo Tek-nau.
"Persetan!" teriak Leng-sian. "Kau sendiri yang berbuat, tapi memfitnah orang lain. Tanpa sebab musabab mengapa ayahku membacok Adik Peng?"
"Soalnya waktu itu ayahmu telah mendapatkan Pi-sia-kiam-boh dari Lenghou Tiong," kata Tek-nau. "Kiam-boh itu adalah milik keluarga Lim, maka orang pertama yang harus dibunuh oleh ayahmu justru adalah kau punya Adik Peng ini. Bila Lim Peng-ci masih hidup di dunia ini, mana ayahmu dapat meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat dengan baik?"
Ucapan Lo Tek-nau ini membikin Leng-sian menjadi bungkam. Dalam hati kecilnya ia percaya apa yang dikatakan itu memang masuk di akal. Tapi bahwasanya sang ayah tega menyergap Peng-ci secara keji hal ini tetap sukar untuk dipercaya.
Maka setelah mengucap "persetan" beberapa kali, lalu ia berkata pula, "Jika ayahku hendak membunuh Adik Peng, mustahil sekali bacok tidak membuatnya meninggal."
"Bacokan itu memang benar dilakukan oleh Gak Put-kun, ucapan Jisuko memang tidak keliru," tiba-tiba Peng-ci menimbrung.
"Mengapa kau... kau pun berkata demikian?" ujar Leng-sian.
"Ketika kena bacokan pedang Gak Put-kun, lukaku sangat parah, aku tahu tidak mampu melawan, maka begitu roboh segera aku pura-pura mati tanpa bergerak lagi, waktu itu aku tidak tahu bahwa yang menyerang itu adalah Gak Put-kun, guruku yang "tersayang" itu, hehe!" jengek Peng-ci. "Dalam keadaan hampir tak sadar, samar-samar kudengar suara Patsuko memanggil "Suhu!". Agaknya panggilan Patsuko sendiri."
"Kau maksudkan Patsuko juga... juga dibunuh oleh ayahku?" Leng-sian menegas dengan terkejut.
"Memang begitulah adanya," jawab Peng-ci. "Kudengar sehabis Patsuko memanggil Suhu, lalu dia menjerit ngeri. Aku sendiri lantas jatuh pingsan."
"Saat itu Gak Put-kun sebenarnya hendak menambahi sekali bacok lagi padamu," sambung Lo Tek-nau. "Untung bagiku aku telah mengintip perbuatannya, di tempat sembunyi perlahan aku berdehem sehingga membikin keder Gak Put-kun, lekas-lekas ia kembali ke kamarnya. Jadi suara dehemanku itulah yang menyelamatkan jiwamu, kau tahu tidak, Lim-siauhiap?"
"Kalau Ayah benar bermaksud mencelakaimu, kesempatan selanjutnya kan cukup... cukup banyak, mengapa beliau tidak turun tangan pula?" ujar Leng-sian.
"Hm, kemudian dengan sendirinya aku cukup waspada, sehingga tiada kesempatan turun tangan baginya," jengek Peng-ci. "Ada juga bantuanmu, setiap hari kau selalu berada bersamaku, sehingga membikin dia tidak leluasa untuk membunuh diriku."
"Kiranya... kiranya engkau menikah dengan aku hanya... hanya menggunakan diriku sebagai... sebagai tameng belaka," kata Leng-sian sambil menangis terguguk-guguk.
Peng-ci tidak pedulikan tangisan Leng-sian itu, ia berkata terhadap Lo Tek-nau, "Lo-heng, sejak kapan engkau mengadakan hubungan dengan Co-ciangbun?"
"Co-ciangbun adalah Insu (guruku yang berbudi), aku adalah murid beliau yang ketiga," jawab Tek-nau.
"O, kiranya kau telah ganti perguruan," kata Peng-ci.
"Aku tidak ganti perguruan," Tek-nau berkata. "Sejak dulu aku memang murid Ko-san-pay, hanya selama ini aku ditugaskan Insu masuk ke Hoa-san-pay, tujuannya tiada lain adalah menyelidiki ilmu silat Gak Put-kun serta gerak-gerik setiap orang Hoa-san-pay."
Baru sekarang Lenghou Tiong paham persoalannya. Ketika Lo Tek-nau masuk Hoa-san-pay memang diketahui sudah mahir ilmu silat, hanya yang diperlihatkan tampaknya adalah ilmu silat gado-gado dari berbagai golongan, sama sekali tak terduga dia adalah murid pilihan Ko-san-pay. Rupanya memang sudah lama Co Leng-tan merencanakan pencaplokan keempat aliran yang lain dan telah menaruh mata-matanya di mana perlu, maka soal Lo Tek-nau membunuh Liok Tay-yu serta mencuri kitab Ci-he-sin-kang menjadi tidak perlu diherankan lagi. Hanya saja orang cerdik sebagai gurunya itu, ternyata kena diselomoti Lo Tek-nau.
Dalam pada itu Lim Peng-ci sedang bicara, "O, kiranya begitu dan jasa Lo-heng tentu tidak kecil setelah berhasil membawa kitab Ci-he-sin-kang dan Pi-sia-kiam-hoat ke Ko-san sehingga Co-ciangbun berhasil meyakinkan ilmu sakti."
Lenghou Tiong dan Ing-ing sama mengangguk sependapat dengan ucapan Peng-ci itu, sebabnya Co Leng-tan dan Lo Tek-nau dapat memainkan Pi-sia-kiam-hoat tentu begitulah adanya. Nyata otak Lim Peng-ci dapat bekerja dengan cepat untuk menarik kesimpulan yang tepat itu.
Lo Tek-nau lantas menjawab, "Terus terang saja Saudara Lim, kita berdua, juga Insu kami telah sama-sama ditipu oleh keparat Gak Put-kun itu. Orang ini benar-benar culas dan keji, kita sama-sama tertipu olehnya."
"Ehm, aku paham," ujar Peng-ci. "Tentu Pi-sia-kiam-boh yang dicuri Lo-heng itu adalah palsu yang sengaja dibikin oleh Gak Put-kun, sebab itulah...."
"Kalau tidak begitu masakah pertandingan di Hong-sian-tay itu si bangsat Gak Put-kun mampu mengalahkan guruku?" kata Lo Tek-nau dengan mengertak gigi. "Kiam-boh yang kuperoleh itu ternyata banyak yang kurang, terutama... terutama bagian-bagian yang penting, sehingga kiam-hoat yang kami latih meski bagus, tapi tidak mampu meyakinkan lwekang yang mengimbangi ilmu pedang yang hebat itu."
"Tiada gunanya juga biarpun meyakinkan lwekang dari ilmu pedang itu," ujar Lim Peng-ci dengan menghela napas. Ia tahu bahwa Gak Put-kun telah sengaja mengurangi beberapa bagian yang merupakan kunci untuk meyakinkan lwekang yang dapat mengimbangi Pi-sia-kiam-hoat itu, seperti bagian menyuruh kebiri lebih dulu bila mau menjadi jago pedang nomor satu.
Bab 124. Gak Leng-sian Mati di Ujung Pedang Suami Sendiri
Begitulah dengan gemas Lo Tek-nau berkata pula, "Rupanya aku menyelundup ke dalam Hoa-san-pay sejak awal sudah diketahui oleh Gak Put-kun, hanya dia pura-pura tidak tahu dan berbalik mengawasi tingkah lakuku, dia sengaja membiarkan kiam-boh palsu dicuri olehku sehingga ilmu pedang yang diyakinkan guruku jadinya tidak lengkap. Kemudian pada pertarungan yang menentukan itu dia memancing guruku memainkan ilmu pedang itu untuk menghadapi ilmu pedang palsu yang tidak sempurna, dengan sendirinya dia pasti menang. Kalau tidak, jabatan ketua Ngo-gak-pay mana bisa jatuh ke tangannya."
"Ya, Gak Put-kun benar-benar culas dan licik, kita sama-sama telah terjeblos ke dalam perangkapnya," kata Peng-ci dengan menghela napas.
"Tapi guruku adalah seorang yang bijaksana, meski aku telah bikin runyam urusannya, namun tiada satu patah kata pun dia tegur diriku," tutur Tek-nau. "Namun sebagai murid dengan sendirinya hatiku tidak tenteram, biarpun masuk lautan api atau naik gunung pisau juga aku akan berusaha membinasakan keparat Gak Put-kun untuk membalas sakit hati Insu."
Ucapan terakhir itu dilontarkan dengan tegas dan gemas, nyata sekali tidak kepalang rasa dendam kesumatnya terhadap Gak Put-kun.
Peng-ci tidak menanggapi, ia sendiri sedang merenungkan kata-kata orang.
Maka Lo Tek-nau berkata pula, "Kedua mata Insu telah rusak, saat ini beliau tinggal menyepi di puncak barat Ko-san bersama belasan orang yang juga rusak matanya karena perbuatan Gak Put-kun dan Lenghou Tiong. Bila Lim-siauhiap mau ikut aku ke sana sebagai satu-satunya ahli waris Pi-sia-kiam-bun dari Hokciu tentu Insu akan menyambutmu dengan segala kehormatan. Syukur kalau kedua matamu dapat disembuhkan, kalau tidak dapat, tinggal saja di sana bersama Insu untuk sama-sama memikirkan cara-cara menuntut balas sakit hati kita yang mahabesar ini, bukankah jalan ini paling baik?"
Tertarik juga hati Lim Peng-ci, ia pikir kedua matanya tentu sukar untuk bisa disembuhkan, tapi kalau bisa berkumpul dengan orang-orang yang senasib yang sama-sama buta matanya tukar pikiran cara menuntut balas, jalan ini memang paling baik. Cuma ia pun kenal pribadi Co Leng-tan, bila tiada maksud tujuan tertentu mustahil mendadak begitu baik hati padanya. Maka ia lantas menjawab, "Maksud baik Co-ciangbun sungguh aku sangat berterima kasih. Tapi apakah Lo-heng dapat memberi penjelasan yang lebih lengkap."
Maksudnya bila pihak Lo Tek-nau ada tujuan apa-apa, hendaknya buka harga secara terus terang dan kalau perlu boleh tawar-menawar.
Lo Tek-nau bergelak tertawa, katanya, "Lim-siauhiap ternyata orang yang suka berpikir secara terbuka, agar kelak kita dapat bekerja sama lebih erat tentu akan kujelaskan secara terus terang. Soalnya aku mendapatkan kiam-boh yang tidak sempurna dari Hoa-san, kami guru dan murid tertipu dengan sendirinya kami tidak rela. Sepanjang jalan telah kusaksikan Lim-siauhiap memperlihatkan kesaktian ilmu pedang yang hebat untuk membunuh Bok Ko-hong, Ih Jong-hay, dan begundalnya sehingga musuh-musuhmu lari terbirit-birit, nyata sekali engkau sudah memperoleh ajaran asli dari Pi-sia-kiam-hoat itu. Sungguh aku sangat kagum dan juga... dan juga sangat mengiler...."
Peng-ci dapat menangkap maksud orang. Jawabnya kemudian, "Apakah maksud Lo-heng hendak minta aku memperlihatkan kiam-boh asli kepada kalian?"
"Sebenarnya orang luar tidaklah pantas mengincar milik keluargamu itu," kata Tek-nau. "Tapi hendaklah Lim-siauhiap maklum, dalam keadaan seperti Insu dan Lim-siauhiap sekarang terang tiada mampu membunuh keparat Gak Put-kun itu kecuali kalau Insu dan aku dapat mempelajari Pi-sia-kiam-hoat yang asli."
Sesungguhnya Peng-ci memang sedang bingung bagaimana hidup selanjutnya dalam keadaan mata buta itu. Apalagi sekarang kalau dirinya menolak tentu Lo Tek-nau akan gunakan kekerasan untuk membunuhnya dan Leng-sian, dan kiam-boh akhirnya tetap akan terampas.
Tiba-tiba ia mendapat akal, segera berkata, "Co-ciangbun sudi bersatu denganku, sungguh aku merasa mendapat kehormatan besar. Sebabnya keluarga Lim kami hancur dan aku sampai menjadi cacat adalah gara-gara perbuatan Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong, tapi tipu muslihat yang dirancangkan Gak Put-kun terhitung pula sebab-sebab pokok, maka keinginanku membunuh Gak Put-kun tiada ubahnya seperti kalian guru dan murid. Maka kalau kita berserikat sudah tentu Pi-sia-kiam-hoat akan kuperlihatkan kepada kalian."
Lo Tek-nau sangat senang, katanya, "Lim-siauhiap ternyata sangat berbaik hati, sungguh kami sangat berterima kasih bila dapat melihat keaslian Pi-sia-kiam-boh, selanjutnya Lim-hengte akan menjadi kawan akrab sebagai saudara sendiri."
"Terima kasih," kata Peng-ci. "Sesudah kita sampai di Ko-san, segera Pi-sia-kiam-boh yang asli itu akan kuuraikan seluruhnya di luar kepala."
"Menguraikan di luar kepala?" Lo Tek-nau menegas.
"Ya," jawab Peng-ci. "Hendaknya Lo-heng maklum bahwa kiam-boh asli itu oleh leluhurku telah ditulis pada sebuah kasa. Kasa itu telah diserobot oleh Gak Put-kun, dari situ dapatlah dia mencuri ilmu pedang keluargaku. Tapi kemudian secara kebetulan sekali kasa itu jatuh kembali ke tanganku. Karena kukhawatir diketahui oleh Gak Put-kun, maka aku telah menghafalkan isi kiam-boh itu di luar kepala, lalu kasa itu kumusnahkan. Bila kusimpan kasa itu, sedangkan aku selalu didampingi seorang istri setia begini, apakah mungkin aku dapat hidup sampai sekarang?"
Sejak tadi Gak Leng-sian hanya mendengarkan saja tanpa bicara, kini mendengar sindiran itu, kembali ia menangis sedih, katanya dengan terguguk, "Kau... kau kenapa...."
Namun ia tidak sanggup melanjutkan pula.
Karena Lo Tek-nau tadi sembunyi di dalam kereta, maka ia mendengar semua percakapan Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian, ia percaya apa yang dikatakan Peng-ci itu memang bukan olok-olok belaka, segera ia berkata, "Baiklah, apakah sekarang juga kita lantas berangkat ke Ko-san?"
Tanpa pikir lagi Peng-ci mengiakan.
"Kita harus membuang kereta dan menunggang kuda dengan mengambil jalan kecil," kata Lo Tek-nau. "Sebab kita bukan tandingannya."
Lalu ia berpaling kepada Gak Leng-sian dan bertanya, "Siausumoay, kau akan membantu ayah atau membantu suami?"
"Aku tidak membantu siapa pun juga!" sahut Leng-sian tegas. "Aku... aku memang bernasib buruk, besok juga aku akan cukur rambut dan meninggalkan rumah, apakah dia ayah atau dia suami, selanjutnya aku takkan berjumpa lagi dengan mereka."
"Jika kau menjadi nikoh ke Hing-san, di situ memang tepat tempatnya bagimu," kata Peng-ci.
"Lim Peng-ci!" teriak Leng-sian dengan gusar. "Apakah kau sudah lupa" Dahulu kau hampir mampus, kalau tidak ditolong Ayah tentu jiwamu sudah melayang di tangan Bok Ko-hong, mana kau dapat hidup sampai saat ini" Seumpama ayahku berbuat sesuatu kesalahan, aku Gak Leng-sian toh tidak berbuat sesuatu yang tidak betul padamu" Apakah artinya kau berkata demikian itu?"
"Apa artinya" Aku cuma ingin membuktikan tekadku kepada Co-ciangbun," sahut Peng-ci suaranya bengis buas.
Menyusul itu, sekonyong-konyong terdengar Leng-sian menjerit ngeri, agaknya telah mengalami kecelakaan. Tanpa pikir Lenghou Tiong dan Ing-ing melompat keluar dari tempat sembunyinya. Berbareng Lenghou Tiong berteriak, "Lim Peng-ci, jangan mencelakai Siausumoay!"
Dalam keadaan menyamar, di tengah malam pula, sebenarnya Lo Tek-nau mengenalnya. Keruan kagetnya setengah mati, hampir-hampir sukmanya meninggalkan raganya.
Saat ini yang paling ditakuti Lo Tek-nau hanya Gak Put-kun dan Lenghou Tiong berdua. Maka tanpa pikir lagi segera ia cengkeram bahu Lim Peng-ci terus mencemplak seekor kuda tinggalan orang Jing-sia-pay tadi dan segera dilarikan sekencang-kencangnya.
Lantaran mengkhawatirkan keselamatan Gak Leng-sian, Lenghou Tiong tidak sempat berpikir untuk mengejar musuh. Dilihatnya Leng-sian menggeletak di tempat kusir di atas kereta, dadanya tertancap sebatang pedang, ketika diperiksa pernapasannya keadaannya sudah payah, lemah sekali denyut nadinya.
"Siausumoay! Siausumoay!" Lenghou Tiong berseru.
"Apakah... apakah Toasuko?" jawab Leng-sian lemah.
"Ya... ya, aku!" seru Lenghou Tiong kegirangan.
Segera ia bermaksud mencabut pedang yang menancap di dada Leng-sian itu, tapi Ing-ing keburu mencegahnya. Hampir separuh mata pedang itu masuk dalam tubuh Leng-sian, kalau pedang dicabut pasti akan mempercepat kematiannya, terang Leng-sian sukar diselamatkan lagi, Lenghou Tiong menjadi berduka, serunya sambil menangis, "Siau... Siausumoay!"
"Toasuko, engkau berada di sampingku, sungguh baik sekali," kata Leng-sian dengan suara lemah. "Adik Peng, apakah... apakah dia sudah pergi?"
"Jangan khawatir, aku pasti membunuh dia untuk membalas sakit hatimu," kata Lenghou Tiong dengan geregetan.
"Tidak, jangan!" kata Leng-sian. "Matanya sudah buta, hendak kau bunuh dia, tentu dia tidak sanggup melawan. Aku... aku ingin kembali ke tempat Ibu."
"Baik, akan kubawa kau menemui Sunio," kata Lenghou Tiong.
Melihat keadaan Leng-sian yang semakin payah itu, terang jiwanya akan melayang dalam waktu singkat, tanpa terasa Ing-ing juga mengucurkan air mata.
"Toasuko," kata Leng-sian pula dengan lemah, "engkau selalu sangat baik padaku, tapi aku... aku bersalah padamu. Aku... akan meninggal dengan segera. Aku ingin mohon se... sesuatu padamu, hendaknya kau dapat... dapat meluluskan permintaanku ini."
"Kau takkan meninggal, aku akan berusaha menyembuhkanmu," ujar Lenghou Tiong. "Silakan bicara, aku pasti akan memenuhi permintaanmu."
"Tetapi... tapi engkau tentu tak dapat menerima, hal ini akan membikin engkau pen... penasaran...." suaranya makin lirih, napasnya juga makin lemah.
"Aku pasti meluluskan permintaanku, katakan saja," jawab Lenghou Tiong.
"Toasuko, suamiku... Adik Peng, dia... dia sudah buta, kas... kasihan dia," kata Leng-sian dengan terputus-putus. "Dia sebatang kara di dunia ini, semua... semua orang me... memusuhi dia. Toasuko... sesudah aku mati, harap... harap engkau menjaga baik-baik dia, jangan... jangan sampai dia dianiaya orang lagi...."
Lenghou Tiong melengak, sama sekali tak terduga bahwa Gak Leng-sian yang sudah dekat ajalnya itu tetap tidak melupakan cintanya terhadap Lim Peng-ci, suami yang tega membunuh istri sendiri itu. Padahal kalau bisa Lenghou Tiong ingin membekuk Peng-ci pada saat itu juga untuk mencencangnya hingga hancur luluh, kelak tidak mungkin pula dia mau mengampuni jiwa manusia rendah itu, mana dia mau menerima permintaan Leng-sian itu agar menjaganya malah"
Maka dengan gusar Lenghou Tiong menjawab, "Manusia rendah yang mementingkan diri sendiri dan tak berbudi itu, mengapa... mengapa kau masih memikirkan dia?"
"Toasuko," kata Leng-sian, "dia... dia tidak sengaja hendak membunuh aku, hanya... karena takut pada Ayah, dia terpaksa... terpaksa memihak Co Leng-tan dan aku... aku ditusuknya sekali... Toasuko, aku mohon... mohon padamu... agar men... menjaga dia dengan baik...."
Di bawah cahaya rembulan, wajah Leng-sian tampak rada pucat, sinar matanya guram, namun penuh memperlihatkan rasa memohon. Padahal sejak kecil permintaan apa pun juga dari Leng-sian belum pernah ditolak oleh Lenghou Tiong, apalagi permintaan Leng-sian sekarang ini adalah permintaan pada saat menjelang ajalnya, permintaan yang terakhir dan juga permintaan yang paling sungguh-sungguh.
Sesaat itu darah dalam rongga dada Lenghou Tiong menjadi bergolak. Ia tahu sekali terima permintaan Leng-sian itu, maka selanjutnya pasti akan banyak akibatnya dan mungkin akan banyak pula memaksa dirinya berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya.
Tapi menghadapi wajah dan suara Leng-sian yang penuh rasa memohon itu, Lenghou Tiong tidak tega untuk menolak, segera ia mengangguk dan berkata, "Baiklah, aku menerima permintaanmu, jangan khawatir!"
Mendengar itu, tanpa terasa Ing-ing mencela, "Mana... mana boleh kau menerimanya!"
Dengan kencang Leng-sian menggenggam tangan Lenghou Tiong, katanya, "Toasuko, banyak... banyak terima kasih... aku tak perlu... tak perlu khawatir lagi...."
Mendadak sorot matanya memancarkan cahaya, mulutnya mengulum senyum penuh tanda merasa puas. Lenghou Tiong juga merasa puas melihat kegembiraan Leng-sian itu, ia merasa cukup berharga biarpun kelak harus menghadapi kesulitan-kesulitan mahabesar.
Tapi mendadak terdengar Leng-sian berdendang perlahan. Seketika dada Lenghou Tiong seperti digodam, sebab didengarnya lagu yang dinyanyikan Leng-sian itu kiranya adalah lagu rakyat daerah Hokkian, jelas lagu ajaran Lim Peng-ci yang berasal dari Hokkian itu.
Dahulu ketika Lenghou Tiong dihukum kurung di puncak Hoa-san, perasaannya sangat pedih ketika mendengar Leng-sian menyanyikan lagu daerah itu. Kini kembali Leng-sian menyanyi pula, terang sedang mengenangkan masa percintaannya dengan Peng-ci di Hoa-san dahulu. Suara Leng-sian melemah, tangannya yang menggenggam tangan Lenghou Tiong juga makin kendur dan akhirnya terbuka, mata perlahan terpejam, nyanyian berhenti napasnya juga lantas putus.
Hati Lenghou Tiong serasa mendelong, seketika dunia seakan-akan runtuh saat itu, ia ingin menangis keras-keras, tapi tak dapat bersuara. Ia peluk tubuh Leng-sian yang sudah tak bernyawa itu dan bergumam perlahan, "Siausumoay, jangan khawatir, Siausumoay! Akan kubawa kau ke tempat ibumu, pasti tiada seorang pun yang berani memusuhimu."
Ing-ing melihat punggung Lenghou Tiong basah kuyup dengan darah, terang lukanya kambuh lagi, tapi dalam keadaan demikian ia tidak tahu cara bagaimana harus menghiburnya.
Sambil memondong jenazah Leng-sian, dengan sempoyongan Lenghou Tiong melangkah ke depan sembari menggumam, "Jangan khawatir Siausumoay, akan kubawa kau kepada ibumu!"
Tapi mendadak kakinya menjadi lemas dan terguling lalu tak sadarkan diri lagi.
Entah sudah berapa lama, dalam keadaan samar-samar didengarnya suara nyaring kecapi yang membikin pikirannya menjadi segar. Suara kecapi itu mengalun lembut berulang, kedengaran lagunya sudah dikenalnya dan enak sekali rasanya. Seluruh tubuh terasa tak bertenaga sampai-sampai kelopak mata pun malas untuk membukanya, ia berharap akan senantiasa dapat mendengarkan suara kecapi itu tanpa berhenti.
Dan suara kecapi itu ternyata benar-benar berbunyi terus tanpa berhenti. Selang tak lama, sayup-sayup Lenghou Tiong kembali terpulas lagi.
Ketika untuk kedua kalinya ia mendusin, telinganya tetap mendengar suara nyaring kecapi yang merdu, malahan hidung mengendus bau harum bunga yang semerbak. Waktu ia membuka mata, di depannya penuh bunga beraneka warna, Ing-ing sedang menabuh kecapi membawakan lagu "Penenang Jiwa", agaknya dirinya terbaring dalam sebuah gua.
Segera ia bermaksud bangun duduk, tapi Ing-ing keburu menoleh dan mendekatinya dengan wajah gembira penuh rasa kasih sayang. Sesaat itu Lenghou Tiong merasa sangat bahagia, ia tahu Ing-ing yang membawanya ke gua ini ketika dirinya jatuh pingsan lantaran kematian siausumoaynya yang mengenaskan itu. Kembali hatinya berduka, tapi lambat laun dari sorot mata Ing-ing yang lembut mesra itu ia merasa terhibur, kedua orang saling pandang tanpa bicara sampai sekian lamanya.
Perlahan Lenghou Tiong mengelus tangan Ing-ing, tiba-tiba di tengah bau harum bunga itu terendus pula bau sedap daging panggang. Ing-ing lantas angkat setangkai kayu, di atas tangkai itu tersunduk beberapa ekor kodok panggang.
"Kembali hangus!" katanya dengan tersenyum.
Lenghou Tiong bergelak tertawa teringat kepada kejadian dahulu ketika mereka juga makan kodok panggang di tepi sungai. Makan kodok dua kali, tapi dalam waktu sekian lama itu telah banyak mengalami macam-macam kejadian, namun mereka berdua masih tetap berkumpul menjadi satu.
Sejenak kemudian Lenghou Tiong menjadi berduka pula teringat kepada Gak Leng-sian. Ing-ing memayangnya bangun, katanya sambil menunjuk sebuah kuburan baru di luar gua, "Di situlah Nona Sian beristirahat untuk selamanya."
"Banyak... banyak terima kasih padamu," kata Lenghou Tiong dengan menahan air mata. Dalam hati ia pun merasa rikuh, lalu sambungnya pula, "Ing-ing, aku terkenang kepada Siausumoay, hendaklah engkau jangan marah."
"Sudah tentu aku takkan marah, masing-masing orang mempunyai jodoh sendiri-sendiri dan punya suka-duka pula," jawab Ing-ing.
Lalu dengan suara lirih ia melanjutkan, "Dahulu ketika aku mula-mula jatuh hati padamu justru disebabkan uraianmu tentang cintamu terhadap siausumoaymu. Bila engkau seorang pemuda yang beriman tipis dan tak berbudi, tentu aku takkan menghargai dirimu. Sebenarnya... sebenarnya Nona Sian adalah seorang nona yang baik, cuma saja dia tidak... tidak ada jodoh denganmu. Jika engkau tidak dibesarkan bersama dia sedari kecil, besar kemungkinan sekali lihat dia akan suka padamu."
"Tak mungkin," sahut Lenghou Tiong setelah merenung sejenak. "Siausumoay paling kagum terhadap Suhu, lelaki yang dia suka harus pendiam dan kereng seperti ayahnya itu. Aku hanya bermain baginya, selamanya dia tidak... tidak menghargai diriku."
"Mungkin kau benar. Lim Peng-ci justru mirip gurumu, tampaknya prihatin, tapi jiwanya justru begitu kotor."
"Tapi pada saat terakhir Siausumoay tetap tidak percaya Lim Peng-ci benar-benar mau membunuhnya, dia masih tetap mencintai Peng-ci sepenuh hati. Tapi juga ada... ada baiknya, dia tidak meninggal dalam kedukaan. Ya, aku ingin melihat kuburannya."
Segera Ing-ing memayangnya keluar gua. Tertampak kuburan itu bagian atas ditumpuki batu dengan rajin, suatu tanda Ing-ing tidak sembarangan menguburkan Gak Leng-sian. Diam-diam Lenghou Tiong sangat berterima kasih. Dilihatnya pula di depan kuburan terpancang sepotong dahan pohon yang telah dipapas tangkai dan daunnya, pada kulit dahan pohon terukir tulisan, "Tempat istirahat Hoa-san-lihiap, Nona Gak Leng-sian."
Kembali Lenghou Tiong mencucurkan air mata, katanya sedih, "Mungkin Siausumoay lebih suka dipanggil Nyonya Lim."
"Manusia tak berbudi seperti Lim Peng-ci itu, kalau Nona Gak tahu di alam baka pasti takkan sudi menjadi nyonyanya," ujar Ing-ing. Dalam hati ia membatin, "Sayang engkau tidak tahu bahwa dia dan Lim Peng-ci hanya resminya saja suami-istri, tapi praktiknya tidak."
Tempat di mana mereka berada adalah sebuah lembah dikelilingi oleh lereng bukit yang menghijau indah dengan bunga-bunga hutan yang harum mewangi, suara burung berkicau merdu merayu, sungguh suatu tempat yang sangat permai.
"Biarlah kita tinggal sementara di sini, sambil menyembuhkan lukamu, dapat pula kita menemani kuburan Nona Gak," kata Ing-ing.
Lenghou Tiong mengiakan dengan senang.
Begitulah mereka lantas tinggal di lembah pegunungan yang indah itu dengan tenang dan bebas. Lenghou Tiong hanya terluka luar saja, hanya belasan hari saja lukanya sudah hampir sembuh seluruhnya. Setiap hari Ing-ing mengajarkan dia menabuh kecapi, dasarnya Lenghou Tiong memang pintar, ia belajar dengan tekun pula, maka kemajuannya cukup pesat.
Beberapa hari pula, satu pagi ketika Lenghou Tiong bangun, dilihatnya kuburan Gak Leng-sian telah tumbuh tunas rumput yang hijau. Hati Lenghou Tiong kembali berduka menghadapi kuburan siausumoaynya itu.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seruling yang merdu, cepat ia menoleh, dilihatnya Ing-ing sedang meniup seruling dengan duduk di atas batu padas. Lagu yang dibawakannya adalah "Penenang Jiwa" yang sering dibunyikannya sejak dahulu. Ia coba mendekati si nona, dilihatnya seruling itu terbikin dari bambu yang masih baru, terang baru saja Ing-ing membuatnya.
Segera ia pun memangku kecapi dan mulai menabuhnya mengikuti irama seruling Ing-ing. Selesai membawakan satu lagi, semangat terasa banyak lebih segar. Kedua orang saling pandang dengan tertawa.
"Bagaimana kalau kita berlatih lagi "Hina Kelana" mulai sekarang?" kata Ing-ing.
"Lagu ini sangat sukar, entah kapan aku baru dapat menyamaimu," ujar Lenghou Tiong. "Dahulu aku pernah mendengar lagu ini dibawakan oleh Lau-susiok dari Heng-san-pay dan Kik-tianglo dari Tiau-yang-sin-kau kalian, yang satu meniup seruling dan yang lain menabuh kecapi, paduan suara seruling dan kecapi sungguh sangat enak didengar. Menurut Lau-susiok, lagu "Hina Kelana" memang digubah dengan paduan suara seruling dan kecapi."
"Ya, engkau menabuh kecapi dan aku meniup seruling, kita mulai berlatih secara perlahan, latihan dua orang bersama tentu akan lebih cepat maju daripada latihan sendirian," kata Ing-ing.
Begitulah belasan hari selanjutnya mereka lantas tekun berlatih menabuh kecapi dan meniup seruling di tengah lembah indah itu, untuk sementara mereka terlupa kepada sinar pedang dan bayangan darah di dunia Kang-ouw. Kedua orang sama-sama merasa kalau dapat hidup berdampingan di lembah itu hingga hari tua, maka rasanya tak kecewalah hidup mereka ini.
Akan tetapi kejadian di dunia ini memang sering bertentangan dengan harapan manusia.
Suatu hari lewat tengah hari, setelah Lenghou Tiong berlatih sekian lamanya dengan Ing-ing, tiba-tiba ia merasa pikiran kusut dan sukar untuk ditenteramkan. Beberapa kali irama kecapinya salah petik.
"Tentu engkau lelah, silakan mengaso saja dulu," ujar Ing-ing.
"Lelah sih tidak, entah mengapa, pikiran tidak tenteram," kata Lenghou Tiong. "Biar kupergi petik buah tho, petang nanti kita berlatih lagi."
"Baiklah cuma jangan terlalu jauh," kata Ing-ing.
Lenghou Tiong tahu di sebelah timur lembah itu banyak tumbuh pepohonan tho, waktu itu adalah musimnya, segera ia menuju ke sana. Kira-kira sepuluhan li jauhnya, benarlah di depan terbentang hutan tho yang lebat dengan buahnya yang sudah merah.
Tanpa pikir lagi ia terus memetik buah-buah itu sampai ratusan. Pikirnya, "Kalau biji buah tho ini kelak tumbuh pula menjadi pohon, tentu lembah ini akan penuh pohon tho dan jadilah sebuah tho-kok (lembah tho), dan aku dan Ing-ing bukankah akan berubah menjadi Tho-kok-ji-sian" Kelak kalau Ing-ing juga melahirkan enam anak laki-laki, kan mereka akan menjadi Tho-kok-lak-sian cilik?"
Teringat kepada Tho-kok-lak-sian, ia menjadi tertawa geli sendiri.
Pada saat itulah tiba-tiba didengarnya dari jauh ada suara keresak-keresek, suara orang berjalan. Ia terkejut dan cepat mendekam ke bawah. Pikirnya, "Aneh, di lembah sunyi ini kenapa ada orang" Jangan-jangan yang dituju adalah aku dan Ing-ing?"
Selang sejenak, sayup-sayup didengarnya suara seorang sedang berkata, "Apakah kau tidak keliru" Apakah benar keparat Gak Put-kun itu menuju ke sini?"
Lalu terdengar suara seorang lagi menjawab, "Menurut penyelidikan Su-hiangcu, katanya putri Gak Put-kun mendadak menghilang di sekitar sini, di tempat lain sama sekali tidak tampak jejak anak dara itu, maka dapat dipastikan anak dara itu bersembunyi di lembah sunyi ini untuk merawat lukanya. Dapat diduga pula siang atau malam Gak Put-kun pasti akan mencarinya ke sini."
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu bahwa orang-orang itu sedang mengincar jejak Gak Put-kun. Ia menjadi berduka pula. Pikirnya, "Kiranya mereka mengetahui Siausumoay terluka, tapi tidak tahu bahwa dia sudah meninggal. Selama sebulan ini aku dan Ing-ing hidup tenteram di sini, sebaliknya Siausumoay tentu sedang dicari orang banyak, terutama Suhu dan Sunio."
Lalu terdengar suara orang tua pertama tadi berkata pula, "Jika dugaanmu tidak salah dan Gak Put-kun benar-benar akan datang, maka kita perlu pasang perangkap di ujung jalan masuk lembah ini."
Orang kedua yang bersuara rada serak menjawab, "Seumpama Gak Put-kun tidak segera datang, setelah kita atur seperlunya tentu juga akan dapat memancing kedatangannya."
"Akalmu sungguh hebat Sik-hengte, bila usaha kita berhasil, tentu akan kulaporkan Kaucu dan kau akan segera naik pangkat," kata orang tua yang pertama.
"Terima kasih, Kat-tianglo, segala sesuatu masih diharapkan bantuanmu," jawab orang kedua.
Tahulah Lenghou Tiong sekarang, kiranya orang-orang itu adalah anggota Tiau-yang-sin-kau dan berarti anak buah Ing-ing pula. Pikirnya, "Betapa pun tinggi kepandaian mereka mana dapat melawan kepandaian Suhu sekarang" Paling baik kalau mereka saling hantam asalkan tidak mengganggu ketenteraman kami."
Segera terpikir pula olehnya, "Suhu adalah orang mahacerdik, masakah orang-orang macam kalian ini juga mampu menjebak suhuku" Sungguh terlalu tidak tahu diri."
Pada saat lain, tiba-tiba dari jauh ada suara tepukan tangan tiga kali. Orang she Sik lantas berkata, "Toh-tianglo dan lain-lain sudah tiba pula."
Segera orang yang dipanggil Kat-tianglo tadi membalas tiga kali tepukan tangan. Lalu terdengar suara langkah kaki yang ramai, empat orang berlari datang dengan cepat. Dua orang di antaranya rada ketinggalan, agaknya ginkang mereka lebih rendah. Tapi sesudah dekat, Lenghou Tiong lantas dapat mendengar bahwa kedua orang yang rada ketinggalan itu disebabkan mereka menggotong sesuatu benda berat.
Dengan girang Kat-tianglo lantas berseru, "He, Toh-laute berhasil menangkap anak dara keluarga Gak itu kiranya" Sungguh tidak kecil jasamu ini!"
Lalu terdengar seorang bersuara lantang menjawab, "Orang keluarga Gak sih memang benar, cuma bukan anak daranya melainkan babonnya, biangnya!"
"He!" terdengar Kat-tianglo bersuara kejut-kejut girang. "Jadi bininya Gak Put-kun yang kena kau tangkap?"
Bab 125. Kelicikan Gak Put-kun yang Memalukan
Mendengar orang yang ditawan gembong-gembong Mo-kau itu adalah ibu gurunya, sungguh kejut Lenghou Tiong tak terkatakan, segera ia bermaksud menerjang ke luar untuk menolongnya. Tapi segera ia ingat dirinya tidak membawa pedang, tanpa pedang kepandaiannya sukar menandingi tokoh-tokoh sebagai Kat-tianglo dan kawan-kawannya itu. Karena itu ia menjadi cemas.
Kemudian terdengar Kat-tianglo bertanya pula, "Ilmu pedang Nyonya Gak itu cukup lihai, cara bagaimana Saudara Toh menangkapnya" Ah, tahulah aku, pakai obat, bukan?"
Toh-tianglo tertawa, jawabnya, "Perempuan ini masuk sebuah hotel dalam keadaan seperti orang linglung, tanpa pikir ia terus makan minum. Orang suka memuji betapa hebat bininya Gak Put-kun, nyatanya juga orang ceroboh begini."
Diam-diam Lenghou Tiong sangat gusar karena ibu gurunya dihina, ia pikir sebentar akan kubinasakan semua. Cuma saja tidak membawa senjata, kalau dapat merampas sebatang pedang segala urusan tentu akan dapat dibereskan.
Terdengar pula Kat-tianglo berkata, "Setelah bini Gak Put-kun kita bekuk, maka segala urusan menjadi mudah diselesaikan. Saudara Toh, persoalan sekarang adalah cara bagaimana memancing Gak Put-kun ke sini."
"Lalu bagaimana bila dia sudah terpancing kemari?" tanya Toh-tianglo.
Kat-tianglo merenung sejenak, lalu menjawab, "Kita gunakan bininya sebagai sandera dan paksa dia menyerah. Suami-istri Gak Put-kun terkenal sangat rukun dan baik, tentu dia tak berani membangkang."
"Benar juga Saudara Kat," kata Toh-tianglo. "Khawatirnya kalau Gak Put-kun itu berhati kejam, cintanya kepada sang istri tidak mendalam, tidak setia pula, maka bagi kita menjadi rada runyam."
"Ya, ini memang... memang... Eh, eh, bagaimana pendapatmu, Saudara Sih?" tanya Kat-tianglo tiba-tiba.
"Di hadapan kedua Tianglo, Cayhe merasa tidak hak bicara dan terserah saja," sahut orang she Sih.
Sampai di sini, tiba-tiba dari arah barat sana ada suara orang bertepuk tangan tiga kali, dari suara tepukan tangan yang berkumandang hingga jauh itu dapat dipastikan lwekang orang itu pasti tidak rendah.
"Ah, Pau-tianglo sudah datang," ujar Toh-tianglo.
Dalam sekejap saja tertampak dua orang berlari datang dari jurusan barat sana dengan cepat luar biasa.
"Eh, Bok-tianglo juga ikut datang," kata Kat-tianglo.
Diam-diam Lenghou Tiong mengeluh. Tampaknya kedua orang yang baru datang ini berkepandaian lebih tinggi daripada Kat dan Toh-tianglo. Kalau bersenjata tentulah tidak perlu gentar, tapi bertangan kosong, inilah yang susah.
Dalam pada itu terdengar Kat-tianglo sedang menyambut kedatangan kedua kawannya, "Selamat datang Pau, Bok-tianglo. Saudara Toh telah berjasa besar, dia berhasil membekuk istri Gak Put-kun."
"Wah, bagus! Selamat! Selamat!" kata seorang tua di antaranya dengan girang.
Lenghou Tiong merasa suara satu-dua gembong Mo-kau itu seperti sudah dikenalnya, ia pikir barangkali dikenal ketika di Hek-bok-keh dahulu.
Dengan lwekang Lenghou Tiong yang tinggi ia dapat mendengar jelas suara percakapan orang-orang itu, cuma dia tidak berani melongok untuk mengintip. Ia tahu orang-orang itu adalah gembong-gembong Mo-kau yang lihai, sedikit bersuara saja pasti akan ketahuan.
Sementara itu Kat-tianglo lagi berkata, "Pau dan Bok-tianglo, kami di sini sedang berunding cara bagaimana memancing Gak Put-kun ke sini agar kita dapat menawannya."
"Lalu bagaimana rencana kalian?" tanya seorang tianglo yang baru datang itu. Dari suaranya yang berwibawa itu dapat diduga tentu Pau-tianglo adanya. Suara Pau-tianglo inilah yang dirasakan sudah dikenal baik oleh Lenghou Tiong.
"Seketika kami masih belum mendapatkan akal yang bagus," ujar Kat-tianglo. "Tapi dengan tibanya Pau dan Bok-tianglo, tentu akan diperoleh akal baik. Kabarnya dia telah membutakan kedua mata Co Leng-tan dengan ilmu pedangnya yang hebat sehingga menjagoi kalangan pertandingan di Ko-san tempo hari. Konon dia telah memperoleh Pi-sia-kiam-hoat asli dari keluarga Lim, maka jangan kita memandang enteng padanya. Sebaiknya kita mencari suatu jalan yang sempurna untuk menghadapinya."
"Ya, dengan kekuatan kita berempat rasanya belum tentu akan kalah, tapi juga belum tentu dapat menang," ujar Toh-tianglo.
"Kukira Pau-tianglo tentu sudah punya perhitungan, silakan katakan saja," ujar Bok-tianglo.
"Mesti aku sudah memperoleh suatu akal, tapi hanya akal biasa saja, mungkin akan ditertawai kalian," kata Pau-tianglo.
"Pau-tianglo terkenal sebagai gudang akal Tiau-yang-sin-kau kita, buah pikiranmu pasti sangat baik," seru Bok, Kat, dan Toh-tianglo berbareng.
"Akalku ini sebenarnya suatu cara yang bodoh," ujar Pau-tianglo. "Kita gali saja suatu liang yang dalam, di atasnya ditutup dengan ranting kayu dan rumput sehingga tidak kelihatan sesuatu tanda apa-apa, lalu kita tutuk hiat-to penting perempuan ini dan menaruhnya di pinggir liang itu untuk memancing kedatangan Gak Put-kun. Bila dilihatnya sang bini menggeletak di situ, tentu dia akan berlari-lari datang menolongnya dan... blong... auuuh...." sambil bicara ia pun bergaya seperti orang kejeblos ke dalam lubang, maka tertawalah ketiga tianglo tadi dan lain-lain.
"Akal Pau-tianglo sungguh hebat, ditambah lagi kita berempat sembunyi di tepi liang jebakan itu, begitu Gak Put-kun kejeblos, serentak empat senjata kita menutup rapat mulut lubang sehingga tiada memberi kesempatan padanya untuk melompat naik ke atas," kata Bok-tianglo dengan tertawa.
"Ya, namun dalam hal ini masih ada kesukaran juga," ujar Pau-tianglo.
"Kesukaran?" Bok-tianglo menegas. "Ah, benar, tentu Pau-heng khawatir ilmu pedang Gak Put-kun itu terlalu aneh, sesudah kejeblos ke dalam lubang masih sukar bagi kita untuk membekuk dia?"
"Dugaan Bok-heng memang tepat," kata Pau-tianglo. "Sekali ini tugas yang dibebankan kepada kita oleh Kaucu adalah menghadapi tokoh utama Ngo-gak-kiam-pay yang baru bergabung itu, mati atau hidup kita sukar diperhitungkan. Bila kita dapat gugur bagi tugas adalah sesuatu yang gemilang, hanya saja nama baik dan kewibawaan Kaucu yang akan kita rugikan. Maka menurut pendapatku, di dalam lubang jebakan itu rasanya kita masih perlu menambahkan sedikit apa-apa."
"Aha, ucapan Pau-tianglo benar-benar sangat cocok dengan seleraku," seru Toh-tianglo. "Aku membawa "Pek-hoa-siau-hun-san" (Bubuk Penghilang Ingatan) dalam jumlah cukup, boleh kita tebarkan bubuk ini di antara daun-daun dan rumput-rumput penutup lubang jebakan. Begitu Gak Put-kun kejeblos, tentu dia akan menarik napas panjang-panjang untuk berusaha melompat ke atas, akan tetapi... hahaha...." sampai di sini kembali mereka bergelak tertawa bersama.
"Nah, urusan jangan ditunda, silakan lekas atur seperlunya," kata Pau-tianglo. "Di mana sebaiknya lubang jebakan itu digali?"
"Dari sini ke barat, kira-kira tiga li jauhnya adalah sebuah jalan kecil yang berbahaya, sebelahnya jurang yang curam, sebelah lain adalah dinding tebing yang tinggi. Bila Gak Put-kun benar-benar datang kemari, tak bisa tidak dia harus melalui jalan itu."
"Bagus, marilah kita meninjau ke sana," ajak Pau-tianglo sambil mendahului melangkah pergi, segera orang-orang lain mengikut di belakangnya.
Lenghou Tiong pikir untuk menggali lubang jebakan tentu takkan dapat diselesaikan mereka dalam waktu singkat, sebaiknya aku lekas pergi memberitahukan Ing-ing, setelah ambil pedang akan kukembali ke sini untuk menolong Sunio.
Begitulah setelah gembong-gembong Mo-kau itu sudah pergi jauh, segera ia memutar balik ke arah datangnya tadi. Beberapa li jauhnya, tiba-tiba didengarnya suara keletak-keletuk, suara menggali tanah. "Kiranya di sinilah lubang jebakan yang akan mereka gali itu," demikian ia membatin.
Segera Lenghou Tiong sembunyi di balik pohon, ia coba mengintip ke sana. Benarlah empat anggota Mo-kau sedang sibuk menggali tanah. Kini jaraknya sudah dekat, seorang dapat dilihatnya dari arah samping, ia menjadi terkejut. Kiranya orang ini adalah Pau Tay-coh yang pernah dikenalnya di Bwe-cheng di tepi Se-ouw, Hangciu, dahulu. Pantas mereka memanggilnya Pau-tianglo, kiranya adalah Pau Tay-coh.
Dahulu Lenghou Tiong telah menyaksikan Pau Tay-coh membereskan Ui Ciong-kong dengan sekali hantam saja, ilmu silatnya sangat tinggi. Memang Pau Tay-coh merupakan tandingan yang kuat bagi Gak Put-kun, sungguh pilihan yang tepat cara Yim Ngo-heng mengirimkan jagonya.
Cara orang-orang Mo-kau itu menggali tanah juga rada aneh. Mereka tidak membawa pacul atau sekop dan sebagainya, maka senjata mereka yang berbentuk kapak, tombak, dan sejenisnya lantas digunakan sebagai penggali. Lebih dulu mereka mendongkel tanah, lalu dengan tangan mereka mengorek tanah yang sudah gembur itu. Cara demikian sudah tentu makan waktu, tapi dasar ilmu silat mereka tinggi, tenaga mereka kuat, maka hasil galian mereka pun cukup cepat.
Lantaran jalan yang harus dilaluinya terhalang oleh galian tanah orang-orang Mo-kau itu, terpaksa Lenghou Tiong tak dapat lewat ke sana untuk mengambil pedang dan mencari Ing-ing. Ia heran, sudah jelas mereka mengatakan akan menggali lubang di tepi tebing yang curam sana, mengapa sekarang ganti tempat" Tapi segera ia pun paham duduknya perkara, tentunya jalan di pinggir tebing itu batu-batu padas belaka, dengan sendirinya sukar menggali lubang di sana. Rupanya Kat-tianglo itu tidak punya otak dan cuma sembarangan omong saja.
Dalam pada itu didengarnya suara Kat-tianglo sedang berkata dengan tertawa, "Usia Gak Put-kun itu sudah lanjut, tapi bininya ternyata masih begini muda dan cantik pula."
"Muda kau bilang" Kutaksir sudah lebih 40," Toh-tianglo menanggapi dengan cengar-cengir. "Eh, kalau Kat-heng ada minat, nanti bila Gak Put-kun sudah kita bekuk, biarlah kita laporkan Kaucu dan boleh kau ambil perempuannya?"
"Mengambilnya sih tidak perlu, untuk main-main saja kukira masih boleh juga," kata Kat-tianglo dengan tertawa.
Tidak kepalang gusar Lenghou Tiong, ia pikir kawanan anjing yang berani menghina ibu guru ini nanti pasti akan kubinasakan satu per satu.
Lantaran suara tertawa Kat-tianglo itu kedengaran sangat menjijikkan, tanpa terasa Lenghou Tiong melongok untuk melihat apa yang dilakukannya. Ternyata Kat-tianglo itu sedang mencubit sekali di pipi Gak-hujin. Rupanya Gak-hujin tidak mampu bergerak berhubung hiat-to tertutuk, maka orang-orang Mo-kau itu serentak tertawa gembira.
"Wah, tampaknya, Kat-heng sudah tidak sabar lagi, apakah kau berani "bereskan" perempuan ini di sini juga?" kata Toh-tianglo dengan tertawa.
Dengan murka seketika Lenghou Tiong bermaksud menerjang keluar tanpa peduli diri sendiri tak bersenjata.
Tapi lantas terdengar Kat-tianglo menjawab, "Kenapa tidak berani" Soalnya aku khawatir menggagalkan tugas yang dibebankan Kaucu kepada kita."
"Ya, memang," ujar Pau Tay-coh dengan nada dingin. "Sekarang Kat-tianglo dan Toh-tianglo silakan pergi memancing kedatangan Gak Put-kun, diperkirakan satu jam lagi segala sesuatu di sini sudah selesai diatur."
Berbareng Kat-tianglo dan Toh-tianglo mengiakan. Lalu mereka berlari ke jurusan utara.
Kepergian kedua orang itu membikin suasana di lembah pegunungan itu kembali sunyi, yang terdengar hanya suara tanah digali saja, terkadang suara Bok-tianglo yang memberi petunjuk ini dan itu.
Lenghou Tiong tidak berani bergerak di tempat sembunyinya di tengah semak-semak rumput. Ia pikir Ing-ing tentu akan khawatir bila sampai sekian lamanya dirinya tidak kembali. Kalau Ing-ing menyusul kemari, tentu dia dapat menyelamatkan Sunio, sebab orang-orang Mo-kau ini tentu akan tunduk kepada perintah tuan putri mereka. Dengan demikian dirinya juga terhindar dari pertarungan dengan gembong-gembong Mo-kau. Berpikir sampai di sini, ia merasa makin lama tertahan di situ menjadi lebih baik malah.
Tidak lama, didengarnya orang-orang Mo-kau itu sudah selesai menggali, di atas lubang galian mulai dipasangi ranting kayu dan rumput, ditaburi pula bubuk racun, di atasnya ditutup lagi dengan rumput-rumput pula. Pau Tay-coh berenam lantas menyusup ke tengah semak-semak di samping lubang jebakan itu untuk menantikan kedatangan Gak Put-kun.
Lenghou Tiong mengincar baik-baik sepotong batu di sebelahnya dan telah ambil keputusan tetap bila nanti sang suhu tampaknya akan kejeblos lubang jebakan, segera ia akan melemparkan batu besar itu ke lubang itu, dengan demikian gurunya tentu takkan masuk perangkap musuh.
Begitulah, dalam suasana sunyi baik Lenghou Tiong maupun Pau Tay-coh dan begundalnya sama pasang kuping untuk mendengarkan kalau ada suara lari Gak Put-kun yang sedang mengejar Kat dan Toh-tianglo berdua.
Agak lama kemudian, di tempat jauh tiba-tiba terdengar suara jeritan orang satu kali, tapi bukan suara orang lelaki melainkan suara orang perempuan, jelas Lenghou Tiong mengenali itulah suaranya Ing-ing.
Lenghou Tiong menjadi serbabingung, entah jeritan Ing-ing itu disebabkan kepergok Gak Put-kun atau kaget bertemu dengan Kat-tianglo berdua"
Tidak lama lantas terdengar suara orang berlari mendatangi, satu di depan dan seorang lagi di belakang. Terdengar suara Ing-ing sedang berteriak, "Engkoh Tiong, gurumu hendak membunuh kau, jangan kau keluar!"
Lenghou Tiong terkejut, ia tidak paham mengapa gurunya hendak membunuhnya"
Dalam pada itu Ing-ing lagi berteriak-teriak pula, "Engkoh Tiong, lekas lari kau, gurumu hendak membunuh kau!"
Lalu muncullah nona itu dalam keadaan rambut kusut masai, tangan menghunus pedang, tapi berlari-lari ketakutan dikejar Gak Put-kun dari belakang.
Tampaknya belasan langkah lagi Ing-ing akan kejeblos ke dalam lubang perangkap yang digali orang-orang Mo-kau tadi, keruan Lenghou Tiong maupun Pau Tay-coh dan lain-lain sama kelabakan dan bingung.
Sekonyong-konyong Gak Put-kun melompat ke depan, sekali cengkeram dapatlah ia pegang punggung si Ing-ing, kedua tangan nona itu terus ditelikung ke belakang. Seketika Ing-ing tak bisa berkutik lagi, pedangnya jatuh ke tanah.
Gerak Gak Put-kun itu sungguh cepat luar biasa. Lenghou Tiong dan Pau Tay-coh sama sekali tidak sempat memberi pertolongan. Ilmu silat Ing-ing sendiri sebenarnya juga sangat tinggi, tapi ternyata tidak mampu melawan, sekali dipegang lantas kena.
Keruan Lenghou Tiong menjadi khawatir, hampir-hampir ia berteriak. Namun si Ing-ing masih berseru padanya, "Engkoh Tiong, lekas lari, gurumu hendak membunuh kau!"
Air mata memenuhi kelopak mata Lenghou Tiong saking terharunya, ternyata Ing-ing hanya memikirkan keselamatannya tanpa menghiraukan bahaya sendiri.
Dalam pada itu Gak Put-kun telah menutuk beberapa kali hiat-to bagian punggung Ing-ing sehingga nona itu terkapar tak berkutik. Pada saat itulah Gak Put-kun melihat istrinya juga menggeletak di sebelah sana tanpa bergerak.
Ternyata Gak Put-kun tidak menjadi gelisah, dengan tenang ia periksa keadaan sekitarnya dan ternyata tiada sesuatu yang mencurigakan. Dasarnya Gak Put-kun memang sangat cerdik, melihat sang istri menggeletak di situ, terang di sekitarnya penuh tersembunyi bahaya yang mengancam, bahkan ia tidak berusaha mendekati dan menolong sang istri, sebaliknya ia berkata dengan suara hambar kepada Ing-ing, "Yim-toasiocia, keparat Lenghou Tiong itu membunuh putri kesayanganku, tentunya kau pun ambil bagian atas perbuatan itu bukan?"
Kembali Lenghou Tiong terkejut, ia tidak habis paham mengapa gurunya menuduhnya membunuh siausumoaynya"
Maka terdengar Ing-ing sedang menjawab, "Lim Peng-ci yang membunuh putrimu, apa sangkut pautnya dengan Lenghou Tiong" Kau terus menuduh Lenghou Tiong yang membunuh putrimu, sungguh fitnahan belaka."
Gak Put-kun bergelak tertawa, katanya, "Lim Peng-ci adalah menantuku, masakah kau tidak tahu" Mereka adalah pengantin baru, alangkah cinta kasih mereka, mana bisa suami membunuh istrinya sendiri?"
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lim Peng-ci telah menggabungkan diri kepada Ko-san-pay, demi memperoleh kepercayaan Co Leng-tan untuk membuktikan tekadnya bermusuhan dengan kau, maka dia sengaja membunuh anak perempuanmu," tutur Ing-ing.
"Hahaha, omong kosong belaka!" kembali Gak Put-kun mengakak. "Kau bilang Ko-san-pay" Hah, di dunia ini mana ada Ko-san-pay lagi" Ko-san-pay susah terlebur ke dalam Ngo-gak-pay, di dunia persilatan kini nama Ko-san-pay sudah hapus, mana bisa Lim Peng-ci menggabungkan diri kepada Ko-san-pay" Pula Co Leng-tan sekarang terhitung bawahanku, hal ini cukup diketahui Peng-ci, buat apa dia meninggalkan bapak mertuanya yang menjadi ketua Ngo-gak-pay, sebaliknya malah mengekor kepada seorang buta, seorang Co Leng-tan yang sukar membela dirinya sendiri. Biarpun orang yang paling goblok di dunia ini rasanya juga takkan berbuat demikian."
"Masa bodoh jika kau tidak percaya, boleh kau cari Lim Peng-ci dan tanya sendiri padanya," kata Ing-ing.
Mendadak suara Gak Put-kun berubah bengis, katanya, "Yang kucari saat ini bukanlah Lim Peng-ci, tapi Lenghou Tiong. Setiap orang Kang-ouw kini sama mengatakan Lenghou Tiong telah memerkosa anak perempuanku, lantaran anak perempuanku melawan sekuatnya dan akhirnya dibunuh olehnya. Sekarang kau mengarang cerita untuk menutupi dosa Lenghou Tiong, jelas kau juga bukan manusia baik-baik."
Ing-ing hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Lalu Gak Put-kun berkata pula, "Yim-toasiocia, ayahmu adalah Kaucu Tiau-yang-sin-kau, pantasnya aku takkan membikin susah padamu. Tapi demi untuk memaksa munculnya Lenghou Tiong, bisa jadi aku terpaksa menggunakan sedikit hukuman atas dirimu. Aku akan memotong dulu telapak tangan kirimu, lalu telapak tangan kanan, kemudian menebas kaki kirimu dan habis itu kaki kanan. Dalam keadaan demikian bila Lenghou Tiong mempunyai perasaan tentu dia akan muncul."
"Hm, masakah kau berani?" jengek Ing-ing dengan suara keras. "Kau berani mengganggu seujung rambutku, Ayah pasti akan membikin bersih seluruh keluargamu tanpa kecuali."
"Aku tidak berani katamu?" sahut Gak Put-kun dengan tertawa. "Sret," ia terus lolos pedangnya yang tergantung di pinggang.
Lenghou Tiong tidak tahan lagi, segera ia menerobos keluar dari tempat sembunyinya dan berseru, "Suhu, Lenghou Tiong berada di sini!"
Ing-ing menjerit kaget dan cepat berseru pula, "Lekas lari, lekas! Dia tak berani mencelakai diriku!"
Namun Lenghou Tiong menggeleng sambil maju pula, katanya, "Suhu...."
"Bangsat kecil, kau masih ada muka buat memanggil suhu padaku?" bentak Gak Put-kun dengan suara bengis.
Dengan menahan air mata mendadak Lenghou Tiong berlutut dan berkata, "Tuhan sebagai saksi, selamanya Lenghou Tiong sangat menghormati Nona Gak, pasti tidak berani berlaku kasar sedikit pun. Lenghou Tiong merasa utang budi kepada suami-istri kalian yang telah membesarkan diriku, jika kau hendak membunuh aku, silakan lakukan saja."
Ing-ing menjadi khawatir, serunya, "Engkoh Tiong, orang ini setengah laki-laki setengah perempuan, dia sudah kehilangan sifat manusia, kenapa kau tidak lekas pergi saja!"
Air muka Gak Put-kun mendadak beringas, ia berpaling kepada Ing-ing dan berkata, "Apa arti ucapanmu tadi?"
"Demi untuk meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, kau sendiri telah... telah membikin dirimu menjadi... menjadi tidak keruan seperti setan iblis," sahut Ing-ing. "Engkoh Tiong, apakah kau masih ingat tentang Tonghong Put-pay" Mereka sudah gila semua, jangan kau anggap mereka orang normal."
Yang dipikirkan Ing-ing hanyalah semoga Lenghou Tiong lekas lari, meski ia insaf ucapannya itu pasti akan membangkitkan kemurkaan Gak Put-kun kepadanya, namun hal ini tak dipedulikan lagi.
Dengan nada dingin Gak Put-kun bertanya pula, "Kata-katamu yang aneh itu kau dengar berasal dari mana?"
"Lim Peng-ci sendiri yang bilang begitu," jawab Ing-ing. "Kau telah mencuri Pi-sia-kiam-boh milik keluarga Lim, memangnya kau sangka dia tidak tahu" Waktu kau melempar kasa yang bertuliskan Pi-sia-kiam-boh itu, saat mana Peng-ci bersembunyi di luar jendela kamarmu sehingga dapat menangkap kasa itu, sebab itulah dia... dia juga telah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, kalau tidak mana bisa dia membunuh Ih Jong-hay dan Bok Ko-hong" Cara bagaimana dia meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, dengan sendirinya ia pun tahu cara bagaimana kau meyakinkannya pula. Nah, Engkoh Tiong, apakah kau tidak dengar suara Gak Put-kun yang mirip perempuan ini. Dia... dia sama saja dengan Tonghong Put-pay sudah... sudah abnormal."
Ing-ing sendiri mendengar dengan jelas percakapan antara Lim Peng-ci dan Gak Leng-sian di dalam keretanya, sedangkan Lenghou Tiong tidak dengar, sebab itulah Ing-ing berusaha menyadarkan Lenghou Tiong agar mengetahui orang yang dihadapinya sekarang bukan lagi seorang tokoh persilatan terhormat, melainkan seorang aneh yang sudah abnormal, seorang gila yang tidak mungkin diajak bicara tentang budi kebaikan segala.
Benar juga, sorot mata Gak Put-kun mendadak tambah beringas, katanya, "Yim-siocia, sebenarnya aku hendak mengampuni jiwamu, tapi karena ucapanmu yang tidak keruan macam itu, terpaksa aku bereskan nyawamu. Maka janganlah kau menyalahkan aku bila sebentar lagi kau akan mampus."
"Lekas pergi, Engkoh Tiong, lekas!" Ing-ing berteriak-teriak pula.
Sementara itu tertampak Gak Put-kun sudah mulai angkat pedangnya. Lenghou Tiong kenal kelihaian sang guru, sekali pedangnya bergerak, jiwa Ing-ing tentu akan melayang. Maka cepat ia berteriak, "Kalau mau bunuh orang bunuhlah aku, jangan mencelakai dia!"
Tiba-tiba Gak Put-kun menoleh ke arah Lenghou Tiong dan menjengek, "Hm, kau cuma mempelajari beberapa jurus cakar kucing saja lantas mengira dapat malang melintang di dunia Kang-ouw" Hm, pegang pedangmu, akan kuhajar kau, biar kau mati dengan rela."
"Sekali... sekali-kali tidak berani bergebrak dengan Su... dengan kau!" jawab Lenghou Tiong.
"Dalam keadaan demikian kau masih coba berlagak dungu apa?" bentak Put-kun dengan gusar. "Dahulu, ketika di atas kapal di Hongho, ketika di Ngo-pah-kang pula, kau sengaja berkomplot dengan kawanan bangsat untuk membikin malu padaku, tatkala mana sudah timbul niatku hendak membunuh kau, tapi kutahan sampai sekarang, boleh dikata untung bagimu. Waktu di Hokciu kau pun jatuh di tanganku, kalau bukan istriku juga berada di sana tentu sudah lama kutamatkan riwayatmu. Lantaran salah hitung dahulu itu sehingga akibatnya malah mengorbankan anak perempuanku di tangan bangsat macam kau."
"Aku tidak... tidak...." sahut Lenghou Tiong dengan tergagap.
"Siapkan pedangmu!" bentak Put-kun dengan murka. "Jika kau mampu mengalahkan pedangku, seketika kau akan dapat membunuh aku, kalau tidak, maka aku pun takkan mengampuni kau. Perempuan siluman Mo-kau ini sembarangan mengoceh, biar kubereskan dia lebih dahulu."
Habis berkata pedangnya terus menebas ke leher Ing-ing.
Melihat keadaan sudah mendesak, tanpa pikir Lenghou Tiong menjemput sepotong batu terus disambitkan ke dada Gak Put-kun, berbareng itu ia terus menjatuhkan diri dan menggelinding ke samping, pedang Ing-ing yang jatuh di tanah itu disambarnya, menyusul ia terus menusuk ke iga kanan Gak Put-kun.
Jika serangan Gak Put-kun tadi diarahkan kepada Lenghou Tiong, maka pemuda itu pasti tidak menangkis dan rela terbunuh oleh sang guru. Tapi karena Gak Put-kun terlalu gemas terhadap Ing-ing yang telah membongkar rahasianya, tanpa pikir serangannya ditujukan kepada nona itu lebih dulu. Melihat hal demikian sudah tentu betapa pun Lenghou Tiong tidak bisa tinggal diam. Dilihatnya di bawah ketiak kanan Gak Put-kun adalah tempat yang terbuka, maka Lenghou Tiong lantas menyerang tempat itu untuk memaksa lawan menarik kembali serangannya bila ingin menyelamatkan diri lebih dulu.
Benar juga, cepat Gak Put-kun menarik pedangnya untuk menangkis. Tapi susul-menyusul Lenghou Tiong lantas menyerang pula tiga kali, terpaksa Gak Put-kun melangkah mundur dua-tiga tindak dengan rasa kejut dan heran.
Maklumlah, sejak Lenghou Tiong berhasil meyakinkan Tokko-kiu-kiam, ditambah lagi himpunan tenaga dalam beberapa tokoh silat kelas wahid yang diperolehnya secara kebetulan, yaitu yang disedotnya dengan Gip-sing-tay-hoat, kini tenaga-tenaga dalam itu dipancarkan melalui permainan pedangnya, keruan lengan Gak Put-kun tergetar hingga kesemutan.
Bab 126. Korban Seorang Istri bagi Suami Pengecut
Begitu lawan didesak mundur, segera Lenghou Tiong membalik sebelah tangannya hendak membuka hiat-to Ing-ing yang tertutuk.
"Jangan urus diriku, awas!" seru Ing-ing. Berbareng sinar putih mengilat, pedang Gak Put-kun sudah menusuk tiba.
Lenghou Tiong sudah kenal ilmu pedang yang dimainkan Tonghong Put-pay, Gak Put-kun, dan Lim Peng-ci bertiga. Ia tahu sekali pedang lawan menusuk, meski di tengah serangan itu ada lubang kelemahannya, tapi lantaran cepat luar biasa seperti bayangan setan, kalau bermaksud balas menyerang ke arah titik lemah musuh itu tentu diri sendiri sudah terkena pedang lebih dulu. Sebab itulah tanpa pikir Lenghou Tiong lantas menyungkitkan pedangnya ke atas, berbareng ia menusuk perut Gak Put-kun secepat kilat.
Agar tidak mati konyol, terpaksa Gak Put-kun melompat mundur sambil memaki, "Keji amat bangsat kecil!"
Padahal sebagai orang yang mendidik dan membesarkan Lenghou Tiong sejak kecil seharusnya Gak Put-kun kenal watak pemuda itu. Bila dia tidak ambil pusing akan serangan balasan Lenghou Tiong itu dan melainkan meneruskan serangannya, tentu jiwa Lenghou Tiong sudah dibikin melayang olehnya.
Soalnya, biarpun yang digunakan Lenghou Tiong adalah siasat hancur bersama atau gugur bersama musuh, sesungguhnya dalam hati ia tidak pernah melupakan budi kebaikan sang guru, sekali-kali dia tidak menusuk sungguh-sungguh perut gurunya itu. Jadi dalam hal ini Gak Put-kun yang licik dan kotor itu telah salah hitung, mengukur orang lain atas diri sendiri, sehingga dia kehilangan suatu kesempatan bagus untuk membinasakan Lenghou Tiong.
Permainan pedang Gak Put-kun tambah gencar setelah beberapa jurus tak bisa mengalahkan lawan. Dengan tangkas Lenghou Tiong juga menghadapi dengan penuh semangat. Semula dia pikir kalau kalah paling-paling dirinya akan terbunuh di tangan guru sendiri, tapi lantas teringat Ing-ing yang telah melukai hati Gak Put-kun dengan ucapan tadi, sebelum nona itu juga terbunuh tentu akan disiksa lebih dulu. Sebab itulah Lenghou Tiong pantang menyerah lagi dan bertempur sekuat tenaga.
Setelah beberapa puluh jurus, jurus-jurus serangan Gak Put-kun tambah ruwet, Lenghou Tiong menghadapi dengan memusatkan perhatiannya, lambat laun pikirannya menjadi "plong", menjadi paham. Yang ditatap sekarang hanyalah titik ujung pedang lawan saja.
Hendaklah maklum bahwa inti Tokko-kiu-kiam itu adalah "makin kuat pihak musuh makin kuat pula pihak sendiri." Dahulu waktu bertanding dengan Yim Ngo-heng di penjara dasar Danau Se-ouw, tak peduli bagaimana Yim Ngo-heng menyerang dengan macam-macam perubahan selalu Lenghou Tiong dapat melayaninya dengan jurus-jurus baru yang lahir seketika. Padahal ilmu silat Yim Ngo-heng boleh dikata jarang ada bandingannya, tapi dia harus mengakui kehebatan ilmu pedang Lenghou Tiong.
Kini Lenghou Tiong sudah berhasil pula meyakinkan Gip-sing-tay-hoat, betapa hebat tenaga saktinya sukar diukur lagi. Sebaliknya Pi-sia-kiam-hoat meski aneh, tapi belum lama dipelajari oleh Gak Put-kun, dia belum hafal sebagaimana Lenghou Tiong meyakinkan Tokko-kiu-kiam. Karena itu, setelah lebih ratusan jurus, cara Lenghou Tiong melayani lawannya sudah tak perlu pikir lagi. Betapa pun aneh perubahan jurus serangan Pi-sia-kiam-hoat selalu disambut dengan jurus serangan yang sama anehnya.
Dalam pandangan Gak Put-kun sekarang betapa ruwet perubahan ilmu pedang Lenghou Tiong dirasakan jauh lebih ruwet daripada dirinya, rasanya biarpun bertempur tiga hari tiga malam juga akan tetap lahir jurus-jurus serangan baru.
Terpikir demikian, timbul rasa jerinya seketika. Pikirnya pula, "Perempuan siluman Mo-kau ini telah membongkar rahasia caraku meyakinkan ilmu pedang, bila hari ini aku tak dapat membereskan mereka, kelak cerita tentang diriku tentu akan tersiar luas di kalangan Kang-ouw, lalu apakah aku ada muka buat menjabat ketua Ngo-gak-pay lagi" Agaknya segala rencana yang kurancang sejak dahulu akan buyar seluruhnya."
Karena pikiran gelisah, serangan-serangannya menjadi tambah ganas.
Akan tetapi pertandingan di antara jago kelas tinggi paling mengutamakan ketenangan dan kesabaran. Begitu pikirannya kacau, seketika permainan pedangnya menjadi rada terganggu. Padahal Pi-sia-kiam-hoat unggul dalam hal kecepatan, setelah ratusan jurus tak bisa mengalahkan musuh, dengan sendirinya dia mulai patah semangat, ditambah lagi perhatiannya terpencar karena hati gelisah, daya tekanan pedangnya menjadi banyak berkurang.
Begitulah sedikit kelemahan Gak Put-kun itu segera dapat dilihat oleh Lenghou Tiong. Memang asas utama Tokko-kiu-kiam adalah mengincar baik-baik titik kelemahan ilmu silat lawan, lalu titik kelemahan itu dimasuki, sekali hantam memperoleh kemenangan.
Kini pertarungan mereka sudah berlangsung mendekati dua ratusan jurus. Ciri dari ilmu pedang aliran mana pun juga di dunia ini adalah pada suatu ketika jurus ilmu pedang masing-masing pasti akan berakhir dan kalau belum dapat mengalahkan musuh, terpaksa harus mengulangi permainannya dari awal. Dan di sinilah titik kelemahan Gak Put-kun itu dapat dilihat oleh Lenghou Tiong, yaitu pada tiap-tiap kali dia menebas, selalu bagian ketiak kanan memperlihatkan titik kelemahan yang tak terjaga. Melihat ada kesempatan buat menang, diam-diam Lenghou Tiong bergirang.
Melihat ujung mulut Lenghou Tiong sekilas mengulum senyum, Gak Put-kun menjadi terkejut malah. Pikirnya, "Mengapa bangsat cilik ini tersenyum" Apakah dia sudah mendapatkan jalan untuk mengalahkan diriku?"
Diam-diam ia lantas mengerahkan tenaga dalam, tiba-tiba ia mendesak maju dan mendadak melompat mundur lagi, lalu mengelilingi Lenghou Tiong dengan cepat, serangannya tambah gencar secara membadai.
Begitu cepat Gak Put-kun berputar sehingga Ing-ing yang menggeletak di tanah itu tidak dapat melihat jelas ke mana serangan Gak Put-kun itu ditujukan, akhirnya dia merasa kepala pusing dan muak laksana orang mabuk kapal.
Setelah belasan jurus lagi, tertampak jari tangan kiri Gak Put-kun menuding ke depan, pedang di tangan kanan ditarik. Lenghou Tiong tahu serangan lawan segera akan diulangi lagi. Sementara Lenghou Tiong sudah merasa lelah setelah bertempur sekian lamanya, maklum dia baru sembuh dari luka parah. Namun ia sadar bahwa keadaan sangat gawat, di bawah serangan Gak Put-kun yang gencar dan cepat itu, sedikit lengah saja jiwa sendiri pasti akan melayang, bahkan Ing-ing akan ikut menjadi korban. Sebab itulah ketika melihat serangan lawan akan diulangi, segera ia mendahului menusuk ke bawah ketiak kanan lawan, tempat yang diarah tepat merupakan titik kelemahan jurus serangan Gak Put-kun itu.
Rupanya gerakan demikian inilah yang diketemukan Lenghou Tiong, yaitu menyerang titik kelemahan musuh sebelum serangan musuh dilancarkan. Karena didahului, sebelum Gak Put-kun sempat mengganti jurus lain, tahu-tahu ujung pedang lawan sudah menyambar tiba. Keruan Gak Put-kun menjerit kaget, suaranya penuh rasa kejut, gusar pula dan putus asa pula.
Saat itu ujung pedang Lenghou Tiong sudah berada di bawah ketiak lawan, bila pedang didorong ke depan, tentu tubuh Gak Put-kun akan tertembus. Tapi mendadak ia mendengar jeritan tajam Gak Put-kun itu, seketika ia terkejut sadar, "Ah, kenapa aku sampai lupa, dia kan guruku, mana boleh aku mencelakai dia?"
Segera ia tahan pedangnya dan berkata, "Kalah-menang sudah jelas, bagaimana kalau kita sudahi pertandingan ini, paling perlu men... nolong Sunio lebih dulu!"
"Baiklah!" dengan muka pucat sebagai mayat Gak Put-kun menjawab.
Tanpa pikir Lenghou Tiong terus membuang pedangnya dan menoleh untuk melihat Ing-ing. Di luar dugaan, sekonyong-konyong Gak Put-kun menggertak sekali, pedangnya menyambar secepat kilat mengarah pinggang kiri Lenghou Tiong.
Tempat yang diarah itu sangat berbahaya. Dalam kejutnya cepat Lenghou Tiong bermaksud menjemput kembali pedangnya, namun sudah terlambat, "bles", pedang lawan telah menancap di belakang pinggangnya.
Gak Put-kun kegirangan, ia cabut pedangnya dan kembali menebas ke bawah. Lekas-lekas Lenghou Tiong menjatuhkan diri dan menggelinding pergi. Tapi Gak Put-kun lantas mengejar dan kembali membacok. Untung Lenghou Tiong sempat mengelak pula. "Trang", bacokan Gak Put-kun itu mengenai tanah, hanya beberapa senti jaraknya dari kepala Lenghou Tiong.
Sambil menyeringai Gak Put-kun angkat pedangnya pula, kembali ia melangkah maju, sekali bacok ia pikir kepala Lenghou Tiong pasti akan dipenggalnya sekarang.
Tak terduga, mendadak sebelah kakinya menginjak tempat lunak, "blong," tubuhnya terus kejeblos ke bawah. Ia bermaksud menggenjot ke atas dengan ginkang yang tinggi, namun sesaat itu dirasakan langit dan bumi seakan-akan berputar, lalu tak sadarkan diri lagi, ia terbanting ke dalam lubang perangkap itu.
Lenghou Tiong benar-benar lolos dari lubang jarum, hampir-hampir mati konyol. Ia coba merangkak bangun sambil mendekap luka di pinggang belakang.
Pada saat itulah terdengar seruan beberapa orang dari semak-semak sana, "Toasiocia! Seng-koh!"
Lalu beberapa orang tampak berlari-lari mendatangi, mereka adalah Pau Tay-coh, Bok-tianglo, dan lain-lain.
Sedapat mungkin Lenghou Tiong mendekati Ing-ing dan bertanya, "Dia... dia menutuk hiat-to bagian mana?"
"Apakah kau tidak... tidak apa-apa?" tanya Ing-ing khawatir.
"Jangan khawatir, aku takkan mati," sahut Lenghou Tiong.
"Binasakan bangsat keparat itu!" mendadak Ing-ing berteriak. Yang dimaksudkan ialah Gak Put-kun.
Cepat Pau Tay-coh mengiakan.
Namun Lenghou Tiong lantas mencegahnya, "Jang... jangan!"
Melihat kecemasan Lenghou Tiong itu, Ing-ing berkata pula, "Baiklah, boleh tangkap saja dia."
Ia tidak tahu bahwa di dalam lubang perangkap itu sudah ditaburi pula obat bius, ia khawatir Gak Put-kun akan melompat kembali ke atas dan tentu akan sukar dilawan.
Maka terdengar Pau Tay-coh mengiakan pula. Ia tidak berani menjelaskan bahwa lubang perangkap itu adalah hasil kerjanya, sebab sejak tadi ia menyaksikan tuan putri mereka diuber-uber dan ditawan oleh Gak Put-kun, tapi mereka takut mati dan tidak berani keluar menolong, dosa mereka ini kalau diusut tentu bisa dihukum mati.
Begitulah Pau Tay-coh lantas melompat ke dalam lubang, ia ketok kepada Gak Put-kun dengan gagang goloknya, seumpama Gak Put-kun tidak pingsan oleh obat bius tentu juga akan semaput oleh ketokannya yang cukup keras itu. Kemudian Pau Tay-coh menyeret Gak Put-kun ke atas, dengan cekatan sekali ia tutuk pula beberapa hiat-to penting di tubuh ketua Ngo-gak-pay itu, lalu diringkus pula kaki dan tangannya dengan tambang. Sudah kena bius, diketok pula kepalanya, lalu hiat-to ditutuk, diringkus lagi dengan tambang, biarpun kepandaian Gak Put-kun setinggi langit juga tak bisa lolos.
Lenghou Tiong saling pandang dengan Ing-ing, kedua orang merasa baru sadar dari impian buruk. Selang agak lama barulah Ing-ing menangis. Lenghou Tiong mendekatinya dan memeluknya. Setelah pengalaman pahit ini, mereka merasakan hidup ini belum pernah seindah sekarang. Perlahan-lahan Lenghou Tiong membukakan hiat-to Ing-ing yang tertutuk tadi.
Ketika tiba-tiba ia melihat sang sunio masih menggeletak di sana, barulah ia ingat dan berteriak kaget, cepat ia mendekati Gak-hujin dan membukakan hiat-to yang tertutuk sambil minta maaf.
Apa yang terjadi tadi seluruhnya telah disaksikan oleh Gak-hujin, ia cukup kenal pribadi Lenghou Tiong yang sangat menghormat dan sayang kepada Gak Leng-sian, ia yakin pemuda itu pasti tidak berani mengganggu seujung rambut pun atas diri gadisnya itu, maka tuduhan Lenghou Tiong memerkosa dan membunuh Leng-sian benar-benar omong kosong dan fitnah belaka. Apalagi ia menyaksikan pula betapa cinta dan setia Lenghou Tiong terhadap Ing-ing, mana mungkin pemuda itu melakukan hal-hal yang tidak senonoh.
Gak-hujin juga menyaksikan suaminya telah dikalahkan Lenghou Tiong, tapi pemuda itu tidak tega menyerang lebih lanjut, sebaliknya sang suami malah mendadak menyerangnya dari belakang secara keji, perbuatan pengecut demikian biarpun orang dari kalangan hek-to juga tidak sudi melakukannya, tapi seorang ketua Ngo-gak-pay yang terhormat ternyata tega berbuat begitu, sungguh pengecut, sungguh memalukan. Sesaat itu Gak-hujin menjadi putus asa dan merasa tiada artinya lagi hidup ini. Dengan hambar ia coba tanya Lenghou Tiong, "Anak Tiong, apakah benar Anak Sian dibunuh oleh Peng-ci?"
Hati Lenghou Tiong menjadi sedih, air matanya bercucuran, sahutnya dengan terguguk-guguk, "Tecu... aku... aku...."
"Dia tidak anggap tecu padamu, aku masih tetap mengakui kau sebagai tecu (murid)," ujar Gak-hujin. "Jika kau sudi, aku pun tetap ibu gurumu."
Lenghou Tiong sangat terharu, ia menyembah sambil berseru, "Sunio! Sunio!"
Perlahan-lahan Gak-hujin membelai rambut Lenghou Tiong sambil mengalirkan air mata. Katanya dengan lirih, "Jadi tidak salah tentunya apa yang dikatakan Yim-siocia ini bahwa Peng-ci telah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat dan kini telah menggabungkan diri pada Co Leng-tan, sebab itulah dia membunuh Anak Sian."
"Ya, begitulah," sahut Lenghou Tiong.
"Coba kau balik ke sana, kuperiksa lukamu," kata Gak-hujin pula.
Lenghou Tiong mengiakan sambil memutar tubuhnya. Lalu Gak-hujin menyobek baju bagian punggung pemuda itu, ditutuknya hiat-to sekitar tempat luka itu, lalu bertanya, "Obat luka Hing-san-pay tentunya kau bawa, bukan?"
"Ya, ada," jawab Lenghou Tiong. Segera Ing-ing mengambilkan obat yang dimaksud dari baju Lenghou Tiong dan diserahkan kepada Gak-hujin.
Lebih dulu Gak-hujin membersihkan darah di tempat luka, lalu dibubuhi obat, dikeluarkannya saputangan sendiri yang putih bersih untuk menutup luka itu, lalu gaun sendiri dirobek sepotong sebagai pembalut.
Biasanya Lenghou Tiong menganggap Gak-hujin sebagai ibu sendiri, hatinya sangat terhibur melihat dirinya diperlakukan sedemikian baik, rasa sakit lukanya sampai terlupa meski sebenarnya cukup parah.
"Kelak tugas membunuh Lim Peng-ci untuk menuntut balas bagi Anak Sian dengan sendirinya harus diserahkan padamu," kata Gak-hujin kemudian.
"Tapi Siau... Siausumoay telah pesan sebelum meninggal agar aku melindungi Lim Peng-ci, hal ini telah kusanggupi, maka urusan ini... sungguh serbasusah bagiku," kata Lenghou Tiong.
"Ai, dasar karma, karma!" ujar Gak-hujin sambil menghela napas panjang. Lalu sambungnya pula, "Anak Tiong, selanjutnya terhadap siapa pun juga janganlah kau terlalu baik hati!"
Lenghou Tiong mengiakan. Mendadak tengkuknya terasa hangat-hangat basah, seperti tertetes barang cairan. Waktu ia menoleh, dilihatnya muka Gak-hujin putih pucat. Ia terkejut dan menjerit, "Sunio!"
Waktu ia berbangkit dan memegangi Gak-hujin, ternyata di dada nyonya itu sudah menancap sebilah belati, tepat menancap di bagian jantung, seketika juga nyonya itu sudah binasa.
Tidak kepalang kejut Lenghou Tiong hingga mulutnya ternganga tak bisa bersuara. Ing-ing juga terperanjat sekali, cuma dia tiada hubungan kekeluargaan apa-apa dengan Gak-hujin, walaupun kejut dan menyesalkan kejadian itu, namun tidak terlalu berduka, segera ia pun memayang Lenghou Tiong yang tampak lemas itu. Selang sejenak barulah Lenghou Tiong dapat bersuara tangis.
Melihat kejadian sedih yang menimpa kedua muda-mudi itu, Pau Tay-coh pikir tentu banyak kata-kata mesra akan diucapkan mereka, ia tidak berani mengganggu di situ, segera ia mengangkat Gak Put-kun dan mengundurkan diri agak jauh ke sana bersama Bok-tianglo dan lain-lain.
"Untuk apa mereka me... menangkap suhuku?" kata Lenghou Tiong.
"Kau masih panggil suhu padanya?" ujar Ing-ing.
"Sudah biasa," sahut Lenghou Tiong. "Kenapa Sunio membunuh diri" Mengapa... mengapa beliau membunuh diri?"
"Sudah tentu disebabkan durjana Gak Put-kun itu," kata Ing-ing dengan gemas. "Apa gunanya mempunyai suami pengecut dan tidak malu seperti dia itu, kalau tidak membunuhnya, ya terpaksa membunuh diri. Kita harus lekas binasakan Gak Put-kun untuk membalas sakit hati ibu gurumu."
Tapi Lenghou Tiong menjadi ragu-ragu pula, katanya, "Kau bilang dia harus dibunuh" Betapa pun dia kan pernah menjadi guruku?"
"Meski dia pernah gurumu, pernah membesarkan kau, tapi sudah berapa kali dia bermaksud mencelakai kau, antara budi dan sakit hati sudah klop dan hapus, sebaliknya budi kebaikan ibu gurumu belum lagi kau balas. Coba pikir, apakah kematian ibu gurumu bukan disebabkan perbuatannya?"
Lenghou Tiong menghela napas, katanya dengan pilu, "Budi Sunio rasanya sukar kubalas selama hidup ini. Seumpama aku tidak utang budi lagi kepada Gak Put-kun, betapa pun aku tidak dapat membunuh dia."
"Tidak perlu kau yang turun tangan," ujar Ing-ing. Mendadak ia berseru, "Pau Tay-coh!"
"Ya, Toasiocia!" sahut Pau Tay-coh. Segera ia bersama Bok-tianglo mendekati tuan putrinya.
"Apakah Ayah yang menugaskan kalian ke sini?" tanya Ing-ing.
"Benar," sahut Pau Tay-coh dengan penuh hormat. "Atas titah Kaucu, hamba bersama Kat, Toh, dan Bok-tianglo bertiga bersama sepuluh saudara lain ditugaskan menangkap Gak Put-kun dengan cara apa pun juga."
"Di mana Kat dan Toh-tianglo?" tanya Ing-ing pula.
"Tadi mereka pergi memancing kedatangan Gak Put-kun dan sampai sekarang belum kembali, mungkin... mungkin mereka...."
"Coba kau geledah badan Gak Put-kun," kata Ing-ing.
Pau Tay-coh mengiakan dan segera mulai menggeledah. Hasilnya dari baju Gak Put-kun dikeluarkannya sebuah panji sutra kecil, itulah panji kebesaran Ngo-gak-kiam-pay. Selain itu ada pula sejilid buku tipis, belasan tahil emas perak, dan dua potong medali tembaga.
Dengan suara gemas Pau Tay-coh lantas berkata, "Lapor Toasiocia, Kat-tianglo dan Toh-tianglo memang benar telah dicelakai oleh keparat ini, dalam bajunya diketemukan dua medali kebesaran kedua tianglo kita itu."
Habis berkata ia terus ayun kakinya menendang, "krak", kontan sebuah tulang iga Gak Put-kun tertendang patah.
"Jangan aniaya dia!" seru Lenghou Tiong.
"Ambil air dingin, siram dia biar siuman," perintah Ing-ing pula.
Orang she Sih tadi lantas membuka kantong air yang tergantung di pinggangnya, air dingin terus disiramkan ke muka Gak Put-kun.
Sejenak kemudian, sambil bersuara kesakitan Gak Put-kun membuka matanya, ia tak bisa berkutik, terpaksa hanya melotot saja.
"Orang she Gak, apakah kau yang membunuh kedua tianglo kami?" tanya Ing-ing. Sedang Pau Tay-coh melempar-lempar kedua medali tembaga yang dipegangnya itu hingga mengeluarkan suara nyaring.
Melihat dirinya berada di bawah cengkeraman musuh dan tak bisa terhindar dari kematian, dengan gusar Gak Put-kun lantas memaki, "Memang aku yang membunuh mereka. Anggota Mo-kau yang jahat setiap orang berhak membunuhnya."
Segera Pau Tay-coh bermaksud menendang pula, tapi lantas teringat kata-kata Lenghou Tiong tadi yang melarangnya menganiaya tawanan itu, ia tahu hubungan Lenghou Tiong dengan sang kaucu sangat baik, juga calon suami sang toasiocia, maka ia tidak berani menentang kata-kata Lenghou Tiong tadi.
"Hm," Ing-ing lantas menjengek, "kau menganggap dirimu adalah ketua golongan beng-bun-cing-pay segala, akan tetapi perbuatanmu entah berapa kali lebih kotor dan rendah daripada anak buah Tiau-yang-sin-kau kami, tapi kau secara tidak tahu malu berani memaki kami sebagai orang jahat. Malahan istrimu sendiri merasa malu atas perbuatanmu, ia lebih suka membunuh diri daripada menjadi istrimu, apakah kau masih punya muka buat hidup terus di dunia ini."
"Perempuan siluman sembarangan omong, sudah jelas istriku dibunuh olehmu, tapi kau mengatakan dia membunuh diri," damprat Gak Put-kun.
"Coba dengarkan, Engkoh Tiong, betapa tidak tahu malu ucapannya," kata Ing-ing.
"Ing-ing, aku ingin mohon sesuatu padamu," kata Lenghou Tiong.
"Aku tahu kau hendak minta agar kulepaskan dia, hendaklah tahu bahwa ringkus harimau lebih gampang daripada melepaskan harimau," sahut Ing-ing. "Orang ini berhati keji dan berjiwa culas, ilmu silatnya tinggi pula, kelak kalau kau kepergok dia mungkin takkan gampang membekuk dia lagi."
"Sekali ini hubunganku sebagai murid dan guru dengan dia sudah putus," kata Lenghou Tiong. "Ilmu pedangnya aku pun sudah paham seluruhnya, jika dia berani mencari aku lagi, maka aku pun tidak kenal ampun lagi padanya."
Ing-ing tahu pasti Lenghou Tiong tidak mengizinkan dia membunuh Gak Put-kun, asalkan selanjutnya Lenghou Tiong benar-benar putuskan segala hubungan baik dengan Gak Put-kun, maka bila ketemu lagi kelak juga tidak perlu gentar. Segera ia menjawab, "Baiklah, hari ini boleh kita mengampuni jiwanya. Nah, Pau-tianglo, Bok-tianglo, dan para saudara dalam agama, selanjutnya kalian boleh siarkan di kalangan Kang-ouw bahwa Gak Put-kun telah kita bekuk, lalu kita ampuni dia. Siarkan pula bahwa Gak Put-kun telah rela membikin cacat dirinya sendiri demi untuk meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, sekarang dia sudah setengah gila, laki-laki bukan perempuan tidak, supaya hal ini dimaklumi oleh para kesatria di seluruh jagat."
Serentak Pau-tianglo dan lain-lain mengiakan bersama. Sedangkan air muka Gak Put-kun tampak pucat pasi, kedua matanya berkedip-kedip memancarkan sinar mata yang penuh kebencian dan dendam.
"Hm, kau dendam padaku, memangnya aku tidak tahu?" jengek Ing-ing sambil ayun pedangnya untuk memotong tambang yang mengikat badan Gak Put-kun itu, ia mendekati tawanan itu dan membuka sebuah hiat-to di bagian punggung. Lalu tangan kanan menahan di mulut ketua Ngo-gak-pay itu, tangan kiri menepuk perlahan di belakang kepalanya. Tanpa kuasa Gak Put-kun membuka mulut dan tahu-tahu di dalam mulut sudah bertambah satu biji obat, berbareng itu terasa hidungnya menjadi buntu, tak bisa bernapas. Rupanya tangan Ing-ing telah memencet lubang hidungnya. Keruan Gak Put-kun terpaksa harus membuka mulut untuk bernapas, tanpa ayal lagi Ing-ing lantas kerahkan tenaga dalam sehingga pil di dalam mulut Gak Put-kun itu terdorong ke dalam perutnya.
Dengan suara perlahan Ing-ing lalu membisiki dia, "Awas, jangan sekali-kali kau muntahkan, jika membangkang segera kuputuskan seluruh urat nadimu dengan Siau-tiong-jiu-hoat."
Pada waktu Ing-ing memutuskan tali ringkusan Gak Put-kun dan membuka hiat-to tadi dia sengaja berdiri membelakangi Lenghou Tiong sehingga pil yang dijejalkan ke dalam mulut Gak Put-kun itu tak dilihat oleh pemuda itu. Dan sesudah telan pil itu, Gak Put-kun menjadi ketakutan sebab ia tahu pil itu adalah obat pembusuk badan yang paling terkenal dari Toan-ngo-ciat, yakni hari yang biasa disebut Peh-cun, tanggal 5 bulan 5 hitungan Imlek, diharuskan minum obat penawar untuk menangguhkan bekerjanya kuman racun obat itu. Kalau tidak, maka kuman racun akan menyusup ke dalam otak sehingga sakitnya tak terperikan, bahkan terus menggila melebihi anjing gila.
Selain itu Gak Put-kun juga tahu ilmu Siau-tiong-jiu-hoat dari Mo-kau, yaitu semacam ilmu tiam-hiat yang dapat menutuk putus urat-urat nadi terpenting sehingga sang korban akan lemas lunglai seperti tak bertulang lagi, tapi justru tidak sampai mati, maka dapat dibayangkan derita yang harus dirasakan.
Dalam keadaan tak berkutik, betapa pun cerdik pandai dan licik culasnya Gak Put-kun, pucat juga wajahnya dan keringat dingin membasahi dahinya.
Begitulah kemudian Ing-ing berpaling, dan berkata kepada Lenghou Tiong, "Engkoh Tiong, tutukan Pau-tianglo tadi rada berat, kini sudah kubuka kembali hiat-to yang tertutuk itu, sebentar lagi dia baru dapat berjalan lagi."
"Banyak terima kasih padamu," sahut Lenghou Tiong.
Dalam hati Ing-ing merasa geli karena pemuda itu tidak tahu apa yang telah diperbuatnya terhadap Gak Put-kun, tapi betapa pun juga apa yang dilakukan itu adalah demi kebaikan sang kekasih.
Selang sejenak, Ing-ing yakin pil tadi sudah hancur di dalam perut Gak Put-kun dan tidak mungkin ditumpahkan keluar, habis itu barulah dia melancarkan kembali hiat-to Gak Put-kun yang lain sambil membisikinya, "Setiap hari Toan-ngo tiap tahun boleh kau datang ke Hek-bok-keh, aku akan memberi obat penawarnya padamu."
Bisikan itu lebih meyakinkan Gak Put-kun lagi bahwa obat yang ditelannya tadi memang betul "pil pembusuk tubuh" dari Mo-kau, tanpa kuasa badannya menjadi gemetar, katanya, "Jadi pil ini adalah... adalah...."
"Benar, kau harus diberi selamat," kata Ing-ing. "Obat mujarabku itu tidak mudah membuatnya, dalam agama kami hanya tokoh-tokoh utama yang berkedudukan tinggi dan berkepandaian tinggi saja yang memenuhi syarat untuk minum obat dewa itu. Betul tidak, Pau-tianglo?"
"Betul," sahut Pau Tay-coh. "Atas anugerah Kaucu pernah juga Siokhe minum obat dewa itu, maka selamanya Siokhe sangat setia dan tunduk, malahan Kaucu juga menaruh kepercayaan penuh kepada Siokhe, sungguh tiada terkatakan manfaat daripada obat dewa tersebut."
Lenghou Tiong terkejut juga, katanya, "He, kau memberikan obat...."
"Ah, mungkin saking kelaparan sehingga dia makan barang apa saja yang dilihatnya," kata Ing-ing dengan tersenyum. "Nah, Gak Put-kun, selanjutnya kau harus berusaha membela kepentingan Engkoh Tiong dan aku, hal ini akan berfaedah bagimu."
Tidak kepalang benci Gak Put-kun, pikirnya, "Jika perempuan siluman cilik ini kebetulan mengalami sesuatu atau dibunuh orang, maka yang akan konyol tentulah diriku. Bahkan dia tidak sampai mampus, tapi terluka parah umpamanya sehingga tidak dapat pulang ke Hek-bok-keh pada hari Toan-ngo, lalu ke mana aku dapat mencari dia?"
Berpikir demikian, kembali ia menjadi khawatir dan gemetar pula.
Lenghou Tiong menghela napas, ia pikir dasar Ing-ing berasal dari Mo-kau sehingga tingkah lakunya juga rada-rada berbau "jahat". Tapi apa yang diperbuatnya sesungguhnya demi kepentingannya sehingga tak dapat pula menyalahkan dia.
"Pau-tianglo," kata Ing-ing kemudian, "kau pulang ke Hek-bok-keh dan lapor kepada Kaucu, katakan ketua Ngo-gak-pay yang dihormati, Gak Put-kun, Gak-siansing, kini telah menggabungkan diri ke dalam agama kita dengan setulus hati, obat dewa Kaucu sudah diminumnya sehingga dia tidak mungkin berkhianat lagi."
Sebenarnya Pau Tay-coh sedang sedih sebab bingung entah cara bagaimana harus memberi pertanggungan jawab kepada sang kaucu atas tugas yang diberikan padanya, yaitu tugas menangkap Gak Put-kun. Kini melihat Gak Put-kun telah dicekoki pil sakti oleh Ing-ing, ia menjadi girang dan yakin sang kaucu pasti akan bergirang bila diberi laporan apa yang terjadi itu. Begitulah ia lantas mengiakan atas perintah Ing-ing tadi.
Lalu Ing-ing berkata pula, "Karena Gak-siansing sudah masuk anggota kita, mengenai hal-hal yang merugikan nama baiknya tidak perlu lagi kalian siarkan di luaran. Tentang pil dewa yang telah dimakannya lebih-lebih jangan dibocorkan. Orang ini mempunyai kedudukan amat tinggi di dunia persilatan, cerdas dan tangkas pula dalam segala hal, kelak Kaucu tentu akan memanfaatkan tenaganya."
Kembali Pau Tay-coh mengiakan pesan Ing-ing itu.
Melihat keadaan Gak Put-kun yang serbakonyol itu, Lenghou Tiong ikut merasa menyesal, meski dirinya tadi hendak dibinasakan oleh Gak Put-kun, tapi mengingat budi kebaikan selama likuran tahun, selama itu hubungan mereka seperti ayah dan anak, kini mendadak berubah menjadi musuh, sungguh ia merasa sedih. Sebenarnya ia bermaksud mengutarakan kata-kata yang dapat menghibur Gak Put-kun, tapi tenggorokan serasa terkancing dan sukar bicara.
"Pau-tianglo," kata Ing-ing pula, "bila kalian pulang ke Hek-bok-keh, sampaikanlah hormat baktiku kepada ayah dan juga kepada Hiang-sioksiok, katakan kepada beliau-beliau itu bahwa nanti kalau... kalau dia... dia Lenghou-kongcu sudah sembuh lukanya barulah kami akan pulang ke sana."
Bab 127. Muslihat Keji Gak Put-kun
Terhadap nona lain tentu Pau Tay-coh akan menjawab dengan kata-kata sanjung puji sebagaimana lazimnya terhadap muda-mudi yang sedang dirundung asmara, tapi terhadap Ing-ing mana dia berani bicara begitu, maka memandang saja tidak berani melainkan membungkuk memberi hormat dan mengiakan belaka dengan sikap sungguh-sungguh. Ia tahu tuan putrinya itu pemalu, khawatir orang menertawai dia jatuh cinta kepada Lenghou Tiong sehingga banyak orang Kang-ouw pernah menjadi korban perasaan si nona yang aneh itu.
Begitulah Pau Tay-coh lantas mohon diri dan berangkat pergi bersama kawan-kawannya. Sikap hormatnya terhadap Lenghou Tiong bahkan melebihi hormatnya kepada Ing-ing. Ia tahu semakin hormat kepada Lenghou Tiong tentu akan semakin menambah kegirangan hati Ing-ing. Sebagai kawakan Kang-ouw dan sudah kenyang pengalaman hidup, sudah tentu Pau Tay-coh dapat menyelami jiwa anak gadis pada umumnya.
Terakhir tinggal Gak Put-kun yang masih berdiri mematung di situ, Ing-ing lantas berkata, "Gak-siansing, kau pun boleh pergi saja. Tentang jenazah istrimu apakah akan kau bawa pulang ke Hoa-san untuk dikebumikan di sana?"
Gak Put-kun menggeleng, sahutnya, "Mohon tolong kalian berdua, boleh dikubur saja di sini."
Habis berkata, tanpa memandang lagi kepada Lenghou Tiong maupun Ing-ing, segera ia melangkah pergi dengan cepat, dalam sekejap saja sudah menghilang di balik semak-semak pohon sana.
Setelah mengalami malapetaka yang hampir merenggut nyawa Lenghou Tiong dan Ing-ing tadi, cinta kasih di antara mereka telah bertambah lebih kekal lagi. Kedua orang saling pandang, lalu saling berpelukan dengan mesra.
Menjelang magrib, selesailah mereka mengubur Gak-hujin di sebelah kuburan Gak Leng-sian. Kembali Lenghou Tiong menangis dengan sedih.
Esok paginya, Ing-ing tanya keadaan luka Lenghou Tiong.
"Sekali ini tidak terlalu parah, tak perlu khawatir," kata pemuda itu.
"Baiklah kalau begitu, tempat kita ini sudah diketahui orang, kupikir dua-tiga hari lagi kita harus pindah tempat," ujar Ing-ing.
"Benar juga," kata Lenghou Tiong. "Siausumoay sudah ditemani ibunya, tentu dia takkan kesepian lagi."
Lalu Ing-ing mengeluarkan sejilid buku tipis, itulah benda yang diketemukan Pau Tay-coh ketika menggeledah badan Gak Put-kun. Katanya kemudian, "Ini adalah Pi-sia-kiam-boh yang mengakibatkan Hoa-san-pay kalian kocar-kacir, sungguh suatu bibit bencana."
Habis berkata ia terus robek-robek buku itu hingga hancur, lalu dibakar di depan makam Gak-hujin.
"Pada dasarnya Suhu adalah orang baik, tapi demi untuk meyakinkan ilmu pedang sesat ini, akhirnya sifatnya berubah lain sama sekali," kata Lenghou Tiong.
"Memang tidak salah ucapanmu," kata Ing-ing. "Kalau kiam-boh ini tetap beredar di dunia Kang-ouw, sungguh akan menimbulkan malapetaka yang tak terhingga. Kita sudah membakar sejilid kiam-boh ini, tapi Lim Peng-ci masih memegang kiam-boh yang asli. Cuma kukira dia takkan seluruhnya diuraikan kepada Co Leng-tan dan Lo Tek-nau. Anak she Lim itu pun bukan orang bodoh, mana dia mau memberikan kiam-boh berharga itu kepada orang lain?"
"Mata Co Leng-tan dan Lim Peng-ci sudah buta semua, bila benar Lim Peng-ci mau mengajarkan ilmu pedang itu, paling-paling hanya bisa mengajar dengan uraian mulut saja, tidak mungkin kiam-boh itu ditulis kembali. Tapi Lo Tek-nau tidak buta, dia yang akan mendapat keuntungan. Ketiga orang itu adalah manusia-manusia licik dan licin, mereka berkumpul menjadi satu, tentu juga tidak terhindar dari pertarungan tipu-menipu, akhirnya entah bagaimana jadinya. Cuma dua lawan satu, mungkin Lim Peng-ci akan kecundang."
"Apakah kau benar-benar akan berusaha membela Lim Peng-ci?" tanya Ing-ing.
Lenghou Tiong menjawab sambil memandang kuburan Leng-sian, "Tidak seharusnya aku menyanggupi kepada Siausumoay akan membela Lim Peng-ci. Orang ini lebih kejam daripada binatang, pantasnya kucincang tubuhnya hingga hancur luluh, mana aku akan membantu dia pula" Hanya saja aku sudah berjanji kepada Siausumoay, bila aku ingkar janji, di alam baka tentu dia takkan tenteram."
"Ketika masih hidup dia tidak tahu siapakah yang benar-benar baik padanya, sesudah di alam baka seharusnya dia tahu," kata Ing-ing. "Maka dia tentu pula tidak menginginkan kau melindungi Lim Peng-ci."
"Sukar dipastikan," ujar Lenghou Tiong. "Cinta Siausumoay terhadap Peng-ci sudah terlalu mendalam, biarpun tahu ia sendiri dibunuh oleh suaminya itu toh tidak tega membiarkan hidup suaminya merana dalam keadaan buta."
Diam-diam Ing-ing membatin, "Tidak salah juga ucapanmu ini, seumpama aku, tidak peduli bagaimana sikapmu terhadap diriku toh aku akan tetap mencintai kau dengan segenap jiwa ragaku."
Begitulah setelah istirahat beberapa hari lagi, luka baru Lenghou Tiong itu sudah hampir sembuh seluruhnya. Setelah memberi hormat di depan makam Gak-hujin dan Leng-sian, lalu berangkatlah mereka.
Mereka masih berada dalam wilayah Holam, agar tidak dikenali orang, mereka tetap menyamar, yang satu menyamar sebagai pak tani, yang lain sebagai gadis tani.
Lenghou Tiong mengkhawatirkan para anak murid Hing-san-pay yang terdiri dari kaum wanita semua, ia menyatakan harus menuju ke Hing-san dahulu, setelah menyerahkan jabatan ketua kepada Gi-jing barulah dia akan berkelana ke mana pun juga bersama Ing-ing atau kemudian memilih suatu tempat menetap yang abadi.
"Lalu urusan Lim Peng-ci itu cara bagaimana kau akan bertanggung jawab terhadap mendiang siausumoaymu?" tanya Ing-ing.
"Ya, urusan ini memang paling memusingkan kepalaku," kata Lenghou Tiong sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Tapi sebaiknya jangan kau singgung-singgung dahulu, biarlah kulakukan menurut keadaan saja."
Ing-ing tersenyum dan tidak membicarakannya lagi.
Begitulah mereka lantas menyewa sebuah kereta terus menuju ke utara. Suatu hari sampailah mereka di wilayah Soasay, kira-kira tujuh atau delapan hari lagi baru dapat sampai di Hing-san. Malam itu mereka menginap di Kota Seng-peng-tin.
Sepanjang jalan selalu Ing-ing minta tinggal berpisah dengan Lenghou Tiong pada hotel yang lain. Lenghou Tiong tahu nona itu pemalu, khawatir kepergok kenalan dan menimbulkan cerita iseng. Padahal mereka sudah tinggal bersama selama belasan hari di pegunungan sunyi, kalau orang mau omong iseng tentu juga sudah ramai disiarkan. Apalagi kelak kau dan aku sudah jelas bakal menjadi suami istri, peduli apa terhadap omongan iseng orang lain" Demikian pikir Lenghou Tiong. Namun dia pun tidak mau membantah keinginan Ing-ing itu dan menuruti saja. Untungnya Seng-peng-tin cukup ramai dan ada beberapa buah hotel, maka di sini pun mereka tetap tinggal terpisah pada dua hotel.
Sampai tengah malam, tiba-tiba Lenghou Tiong mendengar suara beberapa orang sedang berdebat dengan suara tertahan. Bahwasanya orang bertengkar dalam hotel di tengah malam adalah kejadian biasa, akan tetapi yang menarik perhatian Lenghou Tiong adalah suara seorang yang kasar berulang-ulang menyebut "Hing-san-pay". Mestinya Lenghou Tiong sudah hampir pulas, ketika mendengar "Hing-san-pay" disinggung, seketika ia terjaga dan segera pasang kuping.
Orang-orang yang sedang bicara itu tinggal di kamar seberang halaman sana, semuanya bicara dengan suara tertahan, tapi bagi Lenghou Tiong yang kini telah memiliki lwekang tinggi dapat didengarnya cukup jelas. Terdengar suara seorang perempuan sedang berkata, "Kita telah tinggal sekian lamanya di Hing-san, maka dapat dikatakan kita pernah menjadi orang Hing-san-pay pula. Sekarang kita harus kembali ke sana untuk menggempur Hing-san-pay, cara bagaimana kita akan bicara bila ketemu Lenghou-kongcu?"
Lenghou Tiong terkejut dan heran, mereka pernah tinggal di Hing-san, tapi sekarang akan menyerang Hing-san-pay, apa sebabnya"
Maka terdengar orang yang bersuara kasar tadi menanggapi, "Thio-hujin, kau orang perempuan memang suka ragu-ragu. Meski kita pernah tinggal di paviliun Hing-san, tapi kita kan bukan nikoh, mana dapat dikatakan orang Hing-san-pay" Lenghou-kongcu selamanya tiada hubungan apa-apa dengan kita, sebabnya kita mau menjunjung dia adalah karena terdorong oleh hormat kita kepada Seng-koh. Padahal sekarang kabarnya Seng-koh sudah marah dan putus hubungan dengan dia lantaran Lenghou Tiong memerkosa serta membunuh Nona Gak dari Hoa-san-pay itu."
Mendengar nama "Thio-hujin", segera Lenghou Tiong ingat bahwa kelompok ini mula-mula dijumpainya di Lembah Hongho, kelompok mereka seluruhnya ada tujuh orang, selain Thio-hujin masih ada Tong-pek-siang-ki (Dua Aneh Tong dan Pek), Tiang-hoat-thau-to Siu Siong-lian, seorang hwesio piara rambut, lalu Giok-leng Tojin, Say-po Hwesio, serta Siang-coa-ok-gik Giam Sam-seng Si Pengemis Galak Berular Dua. Ketujuh orang ini pun pernah mengincar Pi-sia-kiam-boh dan pernah mengerubuti ketua Jing-sia-pay, yaitu Ih Jong-hay, kemudian kelompok ini pun pernah ikut menyerbu Siau-lim-si dan tinggal di Hing-san. Orang yang bersuara kasar tadi adalah Siu Siong-lian, thauto berambut.
Terdengar Thio-hujin berkata pula, "Kabar di kalangan Kang-ouw kebanyakan adalah omong kosong belaka. Buktinya Hing-san-pay banyak anak murid yang muda lagi cantik, sedikit pun Lenghou Tiong tidak pernah bertingkah buruk, masakah dia malah memerkosa Nona Gak" Apalagi Seng-koh berpuluh kali lebih cantik daripada Nona Gak, sedemikian mendalam Seng-koh jatuh cinta padanya. Maka berita bohong itu sesungguhnya cuma bikin kotor telinga saja."
"Kaum wanita kalian memang tidak paham akan hati lelaki," ujar Siu Siong-lian dengan tertawa. "Watak kaum lelaki, kalau punya satu ingin punya dua, punya dua ingin punya empat. Biarpun Seng-koh secantik bidadari juga sukar menjamin takkan timbul minat Lenghou Tiong terhadap perempuan lain."
"Tak peduli apa katamu, yang jelas suruh aku membunuhi anak buah Lenghou Tiong, aku pasti tidak mau," sahut Thio-hujin.
"Kau tidak mau, sukar juga orang memaksa kau," kata Giam Sam-seng, Si Pengemis Galak Berular Dua, "Cuma kau jangan lupa, Gak-siansing memegang Hek-bok-leng (medali kayu hitam) tanda perintah Yim-kaucu, resminya dia ketua Ngo-gak-pay, tapi diam-diam dia sudah masuk Tiau-yang-sin-kau, dia memberi tugas kepada kita justru karena mendapat perintah dari Yim-kaucu."
"Ia pun berjanji akan mengajarkan Pi-sia-kiam-hoat kepada kita bilamana tugas kita sudah selesai," Siu Siong-lian menambahkan. "Gak-siansing terkenal dengan julukan Kun-cu-kiam, kukira tidak mungkin dia ingkar janji. Masakah dia tidak sayang kepada julukannya yang diperolehnya dengan susah payah selama berpuluh tahun?"
Kisah Si Pedang Kilat 12 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Si Pemanah Gadis 11