Pencarian

Hina Kelana 40

Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 40


Thio-hujin merenung sejenak, kemudian berkata, "Jika begitu, baiklah kita ada rezeki dibagi rata, ada kesukaran dipikul bersama."
Serentak keenam orang yang lain bersorak gembira.
"Baik sekali jika Thio-hujin sudah setuju," kata Giok-leng Tojin. "Tentang Lenghou Tiong, tak peduli apakah dia benar memerkosa dan membunuh Nona Gak atau tidak, sekalipun Seng-koh suka padanya, betapa pun dia adalah orang Tiau-yang-sin-kau juga, masakah dia berani membangkang terhadap Hek-bok-leng sang kaucu" Kalau kita sudah tumpas Hing-san-pay, andaikan dia tidak terima, boleh dia bicara dengan Yim-kaucu dan Gak-siansing."
"Menurut Gak-siansing, katanya orang-orang yang dikirim ke Hing-san telah diteliti dan dipilih dengan baik, jadi tidak setiap teman kita yang pernah tinggal di Hing-san mendapatkan tugas ini," kata Siu Siong-lian. "Saat ini, rombongan-rombongan yang berangkat lebih dulu agaknya sudah sampai di Hing-san."
"Memang," kata Say-po Hwesio. "Jika setiap orang dikirim ke sana dan setiap orang diberi ajaran Pi-sia-kiam-hoat, maka ilmu pedang ini tentu tidak menarik lagi."
"Ya, memang tidak begitu. Menurut Gak-siansing, setelah usaha kita berhasil, Pi-sia-kiam-hoat itu hanya diajarkan kepada kita bertujuh serta Hoat-put-liu-jiu Yu Siok. Selain kedelapan orang ini tiada seorang pun yang mendapat bagian lagi. Maka kita diharuskan menutup mulut supaya orang lain tidak iri," kata Giok-leng Tojin.
"Aneh, Hoat-put-liu-jiu Yu Siok yang sok itu, mengapa Gak-siansing justru penujui dia?" ujar Thio-hujin.
"Hal ini sukar dijelaskan," kata Giok-leng. "Bisa jadi Yu Siok itu pintar bicara yang manis-manis sehingga Gak-siansing tertarik, bisa pula lantaran dia pernah berjasa sesuatu bagi Gak-siansing."
Untuk seterusnya apa yang dibicarakan ketujuh orang itu adalah hal-hal yang tidak penting, tapi rupanya semakin mengobrol semakin senang mereka, katanya kelak bila mereka sudah berhasil meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat, maka mereka bertujuh pasti akan malang melintang di dunia Kang-ouw. Seorang Gak Put-kun yang mahir Pi-sia-kiam-hoat saja sudah sehebat itu, apalagi tujuh orang sekaligus. Sampai akhir obrolan mereka, dengan suara keras mereka lantas memanggil pelayan agar membawakan arak dan daharan, agaknya mereka ingin bikin pesta semalam suntuk.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Mereka mengatakan guruku memegang Hek-bok-leng dan menugaskan mereka membasmi Hing-san-pay. Apakah mungkin dalam beberapa hari ini Suhu telah menggabung kepada Tiau-yang-sin-kau. Ah, rasanya tidak mungkin. O ya, Pau Tay-coh itu membawa Hek-bok-leng, tampaknya di tengah jalan dia telah dibunuh oleh Suhu sehingga Hek-bok-leng itu terampas. Karena tertawan dan mendapat siksaan di lembah itu tempo hari, sudah tentu Suhu sangat dendam, maka untuk melampiaskan dendam dan untuk melenyapkan saksi, begitu meninggalkan lembah pegunungan itu Suhu lantas membinasakan Pau Tay-coh dan kawan-kawannya. Bila aku sendiri yang menghadapi keadaan demikian tentu juga akan berbuat cara sama dengan membunuh mereka."
Lalu terpikir lagi olehnya, "Lantas sebab apa Suhu hendak menumpas Hing-san-pay" Ya, mungkin dia dendam padaku, tapi tidak mampu melawan aku, pada saat aku belum sembuh dari luka parah, sekaligus ia hendak menghancurkan Hing-san-pay untuk menjatuhkan pula namaku. Dia telah dicekoki pil maut oleh Ing-ing, selama hidup selanjutnya berarti berada di bawah cengkeraman seorang nona cilik, lalu apa artinya menjadi manusia demikian" Mungkin ia menjadi nekat karena dia sekarang tinggal sebatang kara, daripada hidup tersiksa ada lebih baik membunuh diri saja, tapi, sebelumnya dia ingin menghancurkan Hing-san-pay lebih dulu sekadar pelampias dendam."
Ia berpikir sebagai Gak Put-kun, ia merasa apa yang akan dilakukannya itu memang tiada salahnya, maka tanpa terasa timbul juga solidaritasnya kepada Gak Put-kun. Terpikir pula, "Jika kuberi tahukan hal ini kepada Ing-ing, tentu dia akan gusar dan takkan memberi obat penawar kepada Suhu. Jalan yang paling baik adalah mengenyahkan dulu kawanan penyusup ini dari Hing-san, habis itu baru mencari akal untuk melayani Suhu."
Teringat olehnya kata-kata Siu Siong-lian bahwa penyusup-penyusup itu dikirim secara berombongan, tentunya mereka baru turun tangan bilamana semua rombongan sudah lengkap berada di Hing-san, jadi sementara ini Hing-san belum gawat, biarlah kubicarakan besok saja dengan Ing-ing. Setelah ambil ketetapan demikian, ia tidak mengikuti lagi pembicaraan Siu Siong-lian dan kawan-kawannya itu melainkan terus berbaring dan tidur.
Besoknya pagi-pagi ia sudah mendatangi hotel Ing-ing dan sarapan bersama si nona. Ia pikir demi keselamatan Suhu, sebaiknya apa yang didengarnya semalam jangan diberitahukan dulu kepada Ing-ing. Maka sambil makan ia pun berkelakar dengan mengada-ada, "Kau dan aku masih belum melakukan upacara nikah...."
Baru sekian ucapannya, seketika wajah Ing-ing merah jengah dan mengomel, "Cis, siapa yang mau main upacara nikah padamu?"
"Kelak toh mesti jadi, bukan?" sahut Lenghou Tiong dengan tertawa. "Jika kau tidak mau, aku akan tangkap dan paksa kau."
"Pagi-pagi kau sudah bicara angin-anginan begini," kata Ing-ing dengan tersenyum.
"Ini urusan mahapenting, menyangkut kehidupan selamanya," kata Lenghou Tiong dengan tertawa. "Eh, Ing-ing, ketika di lembah gunung tempo hari tiba-tiba kupikir kelak bila kita sudah kawin, paling baik kita punya berapa orang anak" Menghadapi tho-kok (lembah tho) di sana itu aku menjadi terbayang bilamana kelak lahir enam Tho-kok-lak-sian kecil, kan sangat menarik?"
Ing-ing melototi Lenghou Tiong sambil mengikik geli, namun dalam hati merasa manis sekali.
Lenghou Tiong berkata pula, "Kita bersama-sama menuju ke Hing-san, orang-orang yang berpikiran kotor jangan-jangan akan mengira kita sudah kawin sehingga sembarangan omong, hal ini tentu akan membikin marah padamu."
Ucapan ini kena benar di lubuk hati Ing-ing, sahutnya, "Benar. Syukur kita sekarang sudah menyamar begini, orang lain tentu tak dapat mengenali kita lagi."
"Kau terlalu cantik, betapa pun menyamar juga tetap menarik perhatian orang," ujar Lenghou Tiong. "Menurut pendapatku, setiba di Hing-san sebaiknya aku tidak muncul dulu, tapi menyaru seorang yang tidak menarik untuk menyelidiki keadaan di sana. Jika keadaan Hing-san aman sentosa, maka aku akan perlihatkan diri dan menyerahkan kedudukan ketua kepada orang lain, habis itu, kita bertemu lagi di suatu tempat yang dirahasiakan untuk kemudian pergi dari sana tanpa diketahui siapa pun."
Ing-ing tahu sebabnya Lenghou Tiong bicara begitu adalah untuk menyesuaikan dengan wataknya yang pemalu, sungguh hatinya sangat senang, segera ia menjawab, "Baiklah. Cuma untuk menemui para suthay di Hing-san sana, agar tidak mencolok paling baik kalau kau pun cukur rambut dan menyaru menjadi suthay, tanggung orang takkan curiga. Eh, tampaknya kau akan sangat cantik juga bila menyamar sebagai nikoh cilik. Hayolah Engkoh Tiong, coba kudandani kau."
Lenghou Tiong tertawa dan goyang-goyang tangannya, katanya, "Jangan, jangan! Setiap kali melihat nikoh, setiap kali pula kalah judi. Bila aku menyamar sebagai nikoh tentu akan sial selamanya, aku tidak mau. Cuma untuk menghindarkan perhatian, memang perlu aku menyaru sebagai orang perempuan. Tapi sekali aku membuka suara tentu pula akan ketahuan. Maka paling baik aku menyamar seorang bisu tuli. Apakah kau masih ingat kepada seorang yang tinggal di Sian-kong-si, itu biara yang dibangun terapung di antara dua puncak di belakang Kian-seng-hong di Hing-san itu?"
"Aha, bagus sekali, memang di Sian-kong-si itu ada seorang babu tua, bisu lagi tuli, kita pernah bertempur sengit di sana, tapi perempuan tua itu sedikit pun tidak dengar. Kita tanya padanya, dia juga cuma melongo saja tak bisa menjawab. Apakah kau ingin menyamar sebagai dia?"
"Benar," sahut Lenghou Tiong.
"Baiklah, mari kita pergi membeli pakaian, segera aku mendandani kau," kata Ing-ing.
Dengan dua tahil perak Ing-ing berhasil membeli seikat cemara, disisirnya dengan baik, lalu dipasang di atas kepala Lenghou Tiong, pakaian bekas yang baru dibeli lantas ditukarkan pakaian petani yang dipakai itu, maka berubahlah dia menjadi seorang perempuan. Kemudian mukanya diberi pupur yang kekuning-kuningan, di sana-sini ditutul lagi beberapa tahi lalat, kulit mukanya sebelah kanan ditarik ke bawah dan ditempel dengan sepotong koyok sehingga alis kanan ikut tertarik menyerong ke bawah, mulutnya juga rada merot. Waktu Lenghou Tiong bercermin, sampai dia pun hampir-hampir tidak mengenal dirinya sendiri.
"Nah, luarnya sudah berubah, hanya tingkah lakumu masih perlu dilatih, kau harus berlagak bodoh, berlagak tolol, macam orang linglung. Yang paling penting, bila ada orang mendadak menggertak di belakangmu, jangan sekali-kali kau melonjak terkejut sehingga rahasia penyamaranmu terbongkar."
"Berlagak tolol bagiku adalah hal paling gampang, pura-pura bodoh memangnya adalah keahlianku," ujar Lenghou Tiong dengan tertawa.
Sepanjang jalan Lenghou Tiong lantas menyamar sebagai babu tua yang bisu dan tuli sebagai latihan pendahuluan dan agar tidak ketahuan bila ketemu orang lain. Kedua orang tidak bermalam di hotel lagi, tapi mencari kelenteng rusak atau biara bobrok untuk bermalam. Terkadang Ing-ing sengaja menggertak di belakang Lenghou Tiong, namun pemuda itu ternyata tidak kaget dan anggap tidak dengar.
Tidak seberapa hari sampailah mereka di kaki Hing-san, mereka berjanji akan bertemu kembali di sekitar Sian-kong-si tujuh hari kemudian. Lalu Lenghou Tiong menuju ke Kian-seng-hong dan Ing-ing pesiar dan mencari kesenangan sendiri di sekitar pegunungan indah itu.
Setiba di Kian-seng-hong, hari sudah petang. Lenghou Tiong pikir bila langsung menuju ke biara tempat kediaman Gi-jing dan lain-lain tentu penyamarannya itu akan dicurigai. Ia pikir paling baik menyelidiki secara tersembunyi saja.
Segera ia mencari suatu gua sepi untuk tidur. Waktu mendusin sang dewi malam sudah menghias di tengah cakrawala, segera ia menuju ke Bu-sik-am, biara induk di puncak Kian-seng-hong.
Setiba di pinggir pagar tembok, ia melihat di balik sebuah jendela masih ada cahaya lampu, ia mendekatinya dengan hati-hati, ia menggunakan air ludah untuk membasahi kertas perapat jendela itu, melalui lubang kertas yang menjadi basah itu dia mengintip ke dalam. Kiranya di dalam adalah sebuah kamar yang sunyi, rupanya kamar mendiang Ting-sian Suthay di kala melakukan tirakatan. Di atas meja di dalam kamar itu ternyala sebuah pelita minyak, tampak jelas di atas meja ada tiga tempat abu, itulah tempat pemujaan bagi arwah Ting-sian, Ting-cing, dan Ting-yat Suthay. Melihat keadaan yang sunyi dan hampa di dalam kamar itu, pilu juga rasa hati Lenghou Tiong.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara nyaring benturan senjata. Tergerak hati Lenghou Tiong, "Musuh sudah datang, apakah Siu Siong-lian dan rombongannya sudah mulai bergerak?"
Ia meraba pedang pendek yang terselip di pinggangnya, cepat ia berlari menuju ke arah datangnya suara benturan senjata.
Kiranya suara itu datang dari sebuah ruangan kira-kira belasan meter di sebelah Bu-sik-am, dari balik jendela ruangan itu pun tampak sinar lampu yang cukup terang.
Ketika sampai di pinggir ruangan itu, terdengar suara benturan senjata tambah nyaring dan kerap. Waktu Lenghou Tiong mengintip pula, seketika ia merasa lega. Rupanya Gi-ho dan Gi-lim berdua sedang berlatih ilmu pedang, Gi-jing dan The Oh berdua tampak berdiri di pinggir mengikuti latihan itu.
Yang dilatih Gi-ho dan Gi-lim itu adalah ajaran Lenghou Tiong tempo hari, yaitu Hing-san-kiam-hoat yang ditemukan di dinding gua di puncak Hoa-san dahulu itu. Tampaknya permainan kedua orang itu sudah rada matang. Pedang Gi-ho diputar semakin cepat, suatu kali ketika Gi-lim rada lena, tahu-tahu ujung pedang Gi-ho sudah menusuk sampai di depan dadanya, untuk menangkis terang tidak keburu lagi, Gi-lim menjerit lesu.
"Kembali kau kalah lagi, Sumoay," kata Gi-ho sambil mengacungkan ujung pedang di depan dada Gi-lim.
Gi-lim menunduk malu, jawabnya, "Siaumoay sudah berlatih sekian lamanya, tapi masih tiada kemajuan."
"Sudah lebih maju daripada latihan yang lalu," kata Gi-ho. "Marilah kita coba-coba lagi."
Akan tetapi tiba-tiba Gi-jing menyela, "Siausumoay mungkin sudah lelah, silakan pergi tidur saja bersama The-sumoay, besok boleh berlatih pula."
Gi-lim mengiakan sambil menyimpan kembali pedangnya, lalu memberi hormat kepada Gi-jing dan Gi-ho, kemudian bersama The Oh keluar dari ruangan latihan itu.
Waktu Gi-lim membalik tubuh, Lenghou Tiong dapat melihat wajahnya yang kurus dan pucat, ia pikir, "Siausumoay ini selalu berhati murung saja."
Kemudian tampak Gi-ho merapatkan pintu ruangan latihan itu dan saling geleng-geleng kepala dengan Gi-jing. Sesudah suara tindakan Gi-lim dan The Oh terdengar menjauh barulah Gi-ho berkata, "Kulihat hati Siausumoay selalu tak bisa tenang. Hati yang kacau dan pikiran tergoda adalah pantangan besar bagi orang beribadat seperti kita ini. Entah cara bagaimana kita harus menasihatkan dia."
"Memang sukar untuk menasihatkan dia," kata Gi-jing. "Paling penting kalau ada kesadaran diri sendiri."
"Aku tahu apa sebabnya hati Siausumoay tak bisa tenang, yang senantiasa terkenang olehnya adalah...."
"Di tempat suci ini hendaklah Suci jangan bicara hal-hal demikian," kata Gi-jing sebelum ucapan Gi-ho lebih lanjut. "Sebenarnya tiada halangannya membiarkan Siausumoay insaf sendiri bilamana kita tidak buru-buru ingin menuntut balas sakit hati Suhu."
"Dahulu Suhu sering mengatakan bahwa segala apa di dunia ini sudah suratan takdir, harus mengikuti menurut apa adanya, sedikit pun tak boleh dipaksakan. Kulihat Siausumoay adalah orang yang berperasaan, sebenarnya dia tidak cocok memasuki dunia agama seperti kita ini."
Gi-jing menghela napas, jawabnya, "Aku pun pernah memikirkan soal ini. Cuma saja Hing-san-pay pada akhirnya harus ada seorang dari kalangan agama kita sendiri untuk memegang jabatan ketua. Lenghou-suheng sudah berulang-ulang menyatakan bahwa dia hanya sementara saja menjabat ciangbunjin kita. Tapi yang terpenting adalah keparat Gak Put-kun itu telah mencelakai Suhu dan Susiok...."
Mendengar sampai di sini, tidak kepalang kejut Lenghou Tiong, ia heran mengapa Gi-jing secara tegas mengatakan Gak Put-kun yang mencelakai guru mereka"
Terdengar Gi-jing menyambung kata-katanya tadi, "Kalau sakit hati mahabesar ini tidak lekas kita balas, kita sebagai anak murid beliau-beliau itu tentu tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan."
"Tidak cuma kau saja yang tidak sabar, mungkin aku lebih gelisah daripada kau tentang pembalasan sakit hati guru kita," kata Gi-ho. "Baiklah, mulai besok aku akan mempercepat dan pergiat latihannya."
"Tapi juga jangan terlalu dipaksakan," kata Gi-jing. "Kulihat beberapa hari terakhir ini semangat Siausumoay rada mundur."
Gi-ho mengiakan. Lalu kedua orang membereskan senjata-senjata dan memadamkan pelita, kemudian kembali ke kamar masing-masing untuk tidur. Rupanya Gi-jing meski terhitung sumoay, tapi pintar dan bisa berpikir, maka setiap urusan penting Gi-ho suka mengajaknya berunding.
Di tempatnya mengintai, Lenghou Tiong menjadi heran mengapa mereka menuduh Gak Put-kun mencelakai guru dan paman gurunya, dan mengapa pula demi untuk menuntut balas, demi untuk menerima penyerahan jabatan ketua Hing-san-pay, maka siausumoay mereka mesti disuruh giat berlatih ilmu pedang"
Ia coba merenungkan hal itu, tapi tidak juga paham. Perlahan-lahan ia meninggalkan tempat itu sambil berpikir cara bagaimana besok harus minta keterangan kepada Gi-lim akan persoalan aneh itu.
Mendadak terkilas suatu pikiran dalam benaknya, hampir-hampir ia berteriak, katanya di dalam hati, "Ah, aku seharusnya memikirkan hal ini sejak dulu-dulu. Mengapa mereka sudah lama mengetahui hal ini, sebaliknya hal ini tak pernah kupikirkan?"
Ia menyelinap ke pinggir tembok di luar sebuah rumah kecil, ia berdiri mepet dinding agar bayangannya tidak kepergok orang, habis itu barulah ia memikirkan pula hal itu dengan cermat. Ia coba mengenangkan kembali keadaan kematian Ting-sian dan Ting-yat Suthay di Siau-lim-si dahulu itu. Menurut penglihatannya waktu itu, tiada sesuatu luka yang ditemukan di tubuh kedua suthay tua itu, pula tidak terluka dalam atau mati keracunan, jadi kematiannya sungguh sangat aneh.
Kemudian setelah meninggalkan Siau-lim-si, di dalam gua waktu berteduh dari hujan salju pernah Ing-ing memberitahukan padanya bahwa ketika di Siau-lim-si dia telah membuka baju kedua suthay itu untuk memeriksa lukanya, dilihatnya pada ulu hatinya ada satu titik merah bekas tusukan jarum, terang itulah luka yang mengakibatkan kematian kedua suthay, hanya saja tusukan pada ulu hati Ting-sian Suthay itu rada menceng sedikit, makanya seketika Ting-sian belum putus napasnya waktu itu.
Menurut perkiraan, kalau jarum itu ditusukkan ke dalam ulu hati, maka serangan itu terang dilakukan secara berhadapan, jadi orang yang mencelakai kedua suthay itu jelas adalah tokoh kelas wahid.
Teringat hal itu, tanpa terasa kedua tangan Lenghou Tiong menahan dinding dengan badan rada gemetar, pikirnya, "Tatkala mana Tonghong Put-pay sudah mati, orang yang mampu membinasakan kedua Suthay dengan sebatang jarum kecil hanya orang yang telah berhasil meyakinkan Kui-hoa-po-tian atau Pi-sia-kiam-hoat. Sedangkan Pi-sia-kiam-hoat yang diyakinkan Co Leng-tan itu adalah palsu, tidak sempurna, selain itu hanya guruku dan Lim Peng-ci saja berdua. Sedangkan waktu itu Lim Peng-ci baru saja memperoleh Pi-sia-kiam-hoat, belum lagi berhasil meyakinkannya, ini terbukti waktu bertemu dengan Lim Peng-ci sesudah meninggalkan Siau-lim-si dahulu suara Peng-ci belum lagi banci."
Terpikir sampai di sini, tanpa terasa jidatnya berkeringat dingin. Ia tahu tatkala itu yang mampu menggunakan sebatang jarum kecil dan membinasakan kedua suthay utama Hing-san-pay dari depan tiada orang lain lagi kecuali Gak Put-kun. Teringat pula cara bagaimana Gak Put-kun berusaha secara berencana agar dapat menjadi ketua Ngo-gak-pay dan sengaja membiarkan Lo Tek-nau menyelundup ke dalam perguruannya selama belasan tahun tanpa membuka kepalsuannya, akhirnya sengaja membiarkan Lo Tek-nau membawa lari sejilid kiam-boh palsu untuk menjebak Co Leng-tan, akibatnya dengan mudah kedua mata Co Leng-tan kena dibutakan olehnya. Lantaran Ting-sian dan kawan-kawannya berkeras menentang peleburan Ngo-gak-kiam-pay menjadi satu, maka Gak Put-kun telah mencari kesempatan untuk membunuhnya sehingga mengurangi pihak penentang peleburan Ngo-gak-kiam-pay yang dirancangnya itu.
Bab 128. Intrik Gak Put-kun Terhadap Hing-san-pay
Lenghou Tiong merenungkan kembali percakapannya dengan Ing-ing di gua itu tentang pengalamannya di Siau-lim-si, di mana dia telah kena ditendang dengan keras oleh Gak Put-kun, ia tidak terluka, sebaliknya tulang kaki Gak Put-kun sendiri patah malah. Hal ini sangat mengherankan Ing-ing, katanya ayahnya (Yim Ngo-heng) juga tidak habis paham atas kejadian itu. Sebab seperti diketahuinya di dalam tubuh Lenghou Tiong sudah banyak bertambah dengan lwekang yang disedotnya dari beberapa tokoh silat kelas tinggi, namun untuk bisa menggunakan campuran lwekang itu buat menyerang lawan diperlukan latihan yang cukup, padahal waktu itu Lenghou Tiong belum mencapai taraf demikian. Kini kalau dipikir, jelas Gak Put-kun sengaja pura-pura, sengaja diperlihatkan kepada Co Leng-tan agar saingannya itu menilai rendah kepandaiannya dan lengah.
Dan benar juga usaha Co Leng-tan dengan susah payah untuk menggabungkan Ngo-gak-kiam-pay akhirnya cuma sia-sia saja, orang lain yang menarik keuntungannya.
Setelah memahami apa yang terjadi itu, kemudian ia membatin, "Betapa pun Suhu bermaksud mencelakai aku tetap takkan kulupakan budi kebaikannya selama mendidik aku 20-an tahun. Dengan sendirinya aku sendiri tak dapat membunuhnya, namun anak murid Hing-san-pay yang berhasrat menuntut balas juga tak dapat kurintangi. Hanya saja ilmu silat Suhu sekarang sudah lain daripada dahulu, betapa pun Gi-jing dan lain-lain berlatih rasanya selama hidup mereka ini juga tak mampu mengalahkan suhuku. Beberapa jurus ilmu pedang yang kuajarkan kepada mereka itu pun terang bukan tandingan Pi-sia-kiam-hoat."
Ia pikir Gi-lim sekarang tentu sudah tidur, biarlah aku pergi ke paviliun di seberang sana untuk melihat apakah rombongan Siu Siong-lian dan kawan-kawannya sudah datang belum.
Paviliun yang dahulu ditunjuk sebagai tempat penampungan orang-orang Kang-ouw yang ikut Lenghou Tiong ke Hing-san itu terletak di Thong-goan-kok, suatu lembah di lereng Hing-san dan jauhnya ada belasan li juga. Dengan berlari-lari enteng Lenghou Tiong terus menuju ke sana, ketika sampai di lembah itu hari pun sudah terang tanah. Lebih dahulu ia mengaca dirinya di tepi sebuah sungai kecil, memeriksa keadaan pakaian, sesudah tiada tanda-tanda yang mencurigakan barulah ia menuju paviliun itu.
Ia mengitari pintu depan, baru saja hendak masuk melalui pintu samping, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di dalam.
Dahulu orang-orang Kang-ouw campuran itu ditampung oleh Lenghou Tiong di situ, setiap hari Lenghou Tiong mengobrol, main judi dan minum arak bersama mereka, meski tengah malam juga selalu ramai suasana di situ. Kemudian Yim Ngo-heng memberi perintah agar orang-orang itu pergi dari situ, maka sepilah keadaan lembah itu.
Kini mendengar kembali suara ramai itu, Lenghou Tiong tidak menjadi senang, sebaliknya malah khawatir. Dari apa yang didengarnya dari percakapan Thio-hujin dan kawan-kawannya itu, jelas mereka bermaksud buruk terhadap Hing-san-pay, kalau mereka tidak mau disuruh pergi secara halus terpaksa harus main kekerasan, dan dari kawan tentu akan menjadi lawan. Bila Lenghou Tiong harus mencelakai bekas teman-teman itu, rasanya serbasusah.
Dalam pada itu terdengar orang banyak sedang berteriak-teriak di dalam rumah, "Sungguh aneh! Keparat! Perbuatan siapa ini?"
"Ya, bangsat benar! Kapan dilakukannya hal ini" Mengapa tiada seorang pun yang tahu?"
"Eh, mereka ini kan bukan jago lemah, mengapa kena diselomoti orang tanpa menjengek sedikit pun?"
Dari suara ribut-ribut itu Lenghou Tiong dapat menduga di situ tentu terjadi sesuatu yang luar biasa. Segera ia menyelinap masuk, dilihatnya di pekarangan dalam dan serambi samping sana penuh berdiri orang, semuanya menengadah, memandang ke pucuk pohon yang amat tinggi di tengah halaman itu.
Waktu Lenghou Tiong juga mendongak ke atas, seketika ia pun terheran-heran. Dilihatnya pucuk pohon yang tingginya belasan meter itu tergantung delapan orang, yaitu Siu Siong-lian dan Thio-hujin bertujuh ditambah lagi seorang yang berpakaian perlente dan dikenalnya sebagai Hoat-put-liu-jiu Yu Siok. Hiat-to kedelapan orang ini tertutuk, kaki dan tangan ditelikung ke belakang dan diikat, lalu digantungkan di atas pohon sehingga kontal-kantil ke sana kemari.
Bahkan tertampak pula ada dua ekor ular sepanjang dua meteran sedang merambat di atas badan kedelapan orang itu. Terang itulah "hewan" piaraan Giam Sam-seng, Si Pengemis Galak Berular Dua.
Tidaklah menjadi soal bila ular-ular itu merambati badan Giam Sam-seng yang menjadi majikannya, tapi ketika ular-ular itu menggerayangi badan Siu Siong-lian dan lain-lain, mereka menjadi ketakutan dan jijik pula, celakanya mereka tak bisa bicara dan berkutik.
Tiba-tiba seorang meloncat ke atas, yaitu Keh Bu-si, dengan sebilah belati ia memotong tali yang menggantung Tong-pek-siang-ki. Kontan kedua orang itu anjlok ke bawah, syukur seorang yang pendek gemuk lantas menangkap tubuh mereka. Penyelamat ini adalah Lo Thau-cu. Dalam sekejap saja Keh Bu-si sudah berhasil menolong kedelapan orang itu ke bawah dan membuka hiat-to mereka yang tertutuk.
Begitu bebas, kontan Siu Siong-lian mencaci maki dari kakek moyang tujuh belas keturunan dan kata-kata yang paling kotor. Tapi mendadak kedelapan orang itu saling pandang dengan sikap yang lucu, ada yang kaget, ada yang tertawa, ada yang geli.
Waktu Coh Jian-jiu memeriksa mereka, kiranya di dahi mereka masing-masing tertulis satu huruf. Coh Jian-jiu coba menerapkan huruf-huruf itu, hasilnya adalah dua kalimat yang artinya, "Muslihat keji sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian."
Sebagai orang licin dan berpengalaman, Yu Siok dan lain-lain sudah paham apa artinya kalimat-kalimat itu. Hanya Say-po Hwesio yang kasar itu terus mencaci maki, "Muslihat keji ketahuan apa" Memangnya mengawasi jiwa anjing siapa?"
Lekas Giok-leng Tojin mencegah ucapan kawannya itu lebih lanjut, lalu menghapus huruf di jidat sendiri dengan air ludah.
Lenghou Tiong tidak habis heran menyaksikan itu, pikirnya, "Kiranya secara diam-diam sudah ada orang kosen yang telah membongkar muslihat mereka. Alangkah baiknya jika sekiranya aku tidak perlu turun tangan sendiri."
Terdengar Coh Jian-jiu lagi bertanya, "Yu-heng, entah cara bagaimana kalian berdelapan kena diselomoti orang, dapatkah kau menceritakan?"
Yu Siok tersenyum, jawabnya, "Sungguh memalukan bila dikatakan. Semalam Cayhe tidur dengan sangat nyenyak, entah mengapa tahu-tahu hiat-to sudah tertutuk orang dan tergantung tinggi di atas pohon ini, bangsat yang menyelomoti kami itu besar kemungkinan memakai obat bius dan sebagainya, kalau tidak, diriku yang tidak becus sih lumrah, tapi tokoh-tokoh yang serbacerdas tangkas sebagai Giok-leng Tojin, Thio-hujin, dan lain-lain ini masakah juga kena diselomoti orang?"
Thio-hujin hanya mendengus saja. Ia tidak suka banyak bicara, segera ditinggal ke dalam untuk mencuci muka dan disusul oleh Giok-leng Tojin dan kawan-kawannya.
Begitulah orang banyak itu masih ramai membicarakan kejadian aneh itu, mereka anggap penuturan Yu Siok tadi tidak lengkap dan tidak sejujurnya. Sebab kalau benar dibius, mustahil berpuluh orang yang tidur di ruangan itu hanya beberapa orang tertentu saja yang kena pengaruh obat bius dan yang lain tidak. Selain itu mereka pun tidak paham apa arti kalimat "muslihat keji sudah ketahuan", entah muslihat keji apa yang dimaksudkan. Macam-macam pendapat dan dugaan timbul di antara orang banyak itu.
Mendengar itu, hati Lenghou Tiong sangat terhibur. Ia pikir kalau orang-orang itu ikut dalam komplotan Siu Siong-lian itu tentunya mereka mengetahui muslihat keji apa yang akan dikerjakan. Tampaknya orang yang ditugaskan Gak Put-kun ke sini hanya sebagian kecil di antara mereka. Hanya entah siapakah orang kosen yang telah menggantung kedelapan orang di pucuk pohon itu"
Dalam pada itu terdengar seorang di antaranya berkata dengan tertawa, "Untung sekali hari ini Tho-kok-lak-koay tidak berada di sini, kalau mereka di sini tentu urusan akan tambah ramai."
"Dari mana kau tahu mereka tidak berada di sini" Keenam orang itu suka gila-gilaan, bukan mustahil apa yang terjadi ini adalah perbuatan mereka," kata seorang lagi.
"Tidak, pasti bukan perbuatan mereka," ujar Coh Jian-jiu.
"Bagaimana Coh-heng mengetahuinya?" tanya orang pertama tadi.
"Meski ilmu silat Tho-kok-lak-sian cukup tinggi, namun isi perut mereka sangat terbatas," kata Coh Jian-jiu. "Jangankan mereka tidak mampu menulis kalimat-kalimat itu, untuk menulis dua huruf "muslihat keji" saja kutanggung mereka tidak bisa."
Semua orang sama mengakak dan menyatakan ucapan Coh Jian-jiu itu memang tidak salah. Mereka terus mengobrol tentang kejadian lucu dan aneh itu sehingga tiada seorang pun yang memerhatikan babu tua dungu samaran Lenghou Tiong.
Lenghou Tiong sengaja mengambil sepotong kain lap untuk membersihkan ruangan itu dengan kepala menunduk, tapi diam-diam ia mengawasi gerak-gerik orang-orang itu.
Dari para kesatria yang tinggal di situ hampir seluruhnya dikenal oleh Lenghou Tiong, orang yang dasarnya pendiam memang sukar untuk diketahui isi hatinya, tapi bagi orang yang pembawaannya kasar dan suka omong, bila sekarang mendadak berubah menjadi pendiam atau sengaja main sembunyi-sembunyi, maka orang itu perlu dicurigai.
Begitulah ia coba mengingat-ingat gerak-gerik setiap orang itu. Ia pikir kalau orang-orang yang ikut serta dalam muslihat keji itu cuma sebagian kecil, maka sebagian besar lainnya akan cukup kuat untuk mengatasinya bilamana terjadi serangan mendadak sehingga anak murid Hing-san-pay tidak perlu dikhawatirkan keselamatannya. Malahan yang pasti akan menjadi korban mungkin adalah sebagian teman-teman yang berada di paviliun ini. Tapi dengan kejadian digantungnya kedelapan orang di pucuk pohon adalah suatu peringatan yang baik bagi semua orang agar waspada menghadapi segala kemungkinan.
Lewat tengah hari, tiba-tiba terdengar perang berteriak-teriak di luar, "Aneh, sungguh aneh! Lekas kemari, coba lihat apa lagi itu?"
Serentak orang banyak itu berlari-lari keluar. Lenghou Tiong juga ikut dari belakang, dilihatnya beberapa li di sebelah sana ada beberapa puluh orang sedang mengerumuni sesuatu. Waktu Lenghou Tiong sampai di sana, dilihatnya orang banyak sedang ramai memperbincangkan kejadian itu. Kiranya ada belasan orang berduduk tak bergerak di kaki gunung situ, jelas hiat-to mereka tertutuk semua. Pada dinding batu-batu padas tertampak beberapa tulisan yang artinya kembali seperti apa yang tertulis di jidat Siu Siong-lian berdelapan. Tulisan itu dicoret dengan air tanah liat, tampaknya belum kering, tentunya belum lama ditulis.
Para kesatria menjadi ragu-ragu apakah mesti membuka hiat-to orang-orang itu atau tidak. Segera ada orang menggeser belasan orang itu untuk mengenali siapa-siapa mereka itu. Ternyata di antara mereka yang tertutuk tak berkutik itu termasuk Boh-pak-siang-him, kedua beruang dari utara yang doyan makan daging manusia. Selain itu ada lagi dua orang gembong Mo-kau, mereka adalah Pau Tay-coh dan Bok-tianglo.
Lenghou Tiong rada terkejut melihat mereka, kalau kedua gembong Mo-kau itu belum mati, maka Hek-bok-leng yang diperoleh Gak Put-kun itu terang bukan berasal dari Pau Tay-coh dan Bok-tianglo berdua.
Keh Bu-si tampak tampil ke muka dan mengurut beberapa kali di punggung Boh-pak-siang-him untuk membuka ah-hiat (hiat-to yang bikin bisu) mereka, tapi hiat-to lain tidak dijamahnya dan tetap membiarkan mereka tak bisa bergerak. Lalu Keh Bu-si bertanya, "Ada sesuatu yang membingungkan, maka Cayhe ingin minta keterangan kepada kalian. Coba terangkan, sesungguhnya kalian berdua telah ikut serta dalam muslihat rahasia apa, hal inilah yang ingin diketahui oleh para kawan kita."
"Benar, benar! Muslihat apa yang kalian kerjakan, coba jelaskan!" seru orang banyak secara serentak.
"Muslihat kakek moyangnya tujuh belas turunan, muslihat maknya anak kura-kura!" kontan si Oh-him, Si Beruang Hitam, mencaci maki.
"Habis kalian ditutuk oleh siapa-siapa" Tentu boleh kau jelaskan urusan?" tanya Coh Jian-jiu pula.
"Kalau aku tahu sih mendingan," sahut Pek-him, Si Beruang Putih. "Tadi kami sedang jalan-jalan di sini, tahu-tahu punggung ditutuk orang, lalu tak bisa berkutik. Keparat, kalau benar laki-laki sejati seharusnya berkelahi dari depan, main sergap, hm, macam kesatria apa" Bangsat!"
"Jika kalian tidak mau bicara terus terang, ya sudahlah," kata Coh Jian-jiu. "Cuma urusan ini sudah terbongkar, kukira akan gagal dikerjakan. Bagi kita semua hendaklah berlaku waspada saja."
"Coh-heng," seorang berseru, "mereka tidak mau mengaku terus terang, biarkan mereka tinggal di sini saja, biarkan lapar tiga-hari tiga-malam supaya tahu rasa."
"Benar," seorang lagi menanggapi. "Jika kau membebaskan mereka, jangan-jangan orang kosen itu akan marah padamu dan kau sendiri yang akan digantung di atas pohon, kan bisa runyam."
"Memang tidak salah," kata Keh Bu-si. "Eh, Saudara-saudara, bukan Cayhe tidak mau menolong kalian, soalnya Cayhe sendiri juga merasa takut."
Oh-him dan Pek-him saling pandang, lalu sama mencaci maki, cuma yang dimaki tiada keruan juntrungannya, mereka tidak berani memaki Coh Jian-jiu dan kawan-kawannya secara terang-terangan, sebab kalau sampai membikin marah pihak lawan tentu mereka sendiri yang bakal celaka berhubung tak bisa berkutik sama sekali.
Begitulah Keh Bu-si lantas tinggal pergi. Sesudah berkerumun sejenak sambil omong ini-itu sebentar, orang-orang lain juga ikut bubar. Di antara orang-orang itu tentu pula ada begundalnya Boh-pak-siang-him, hanya saja mereka tidak berani memberi pertolongan dalam keadaan demikian bilamana mereka tidak mau ketahuan siapa diri mereka.
Perlahan-lahan Lenghou Tiong sudah berjalan kembali ke paviliun tadi. Baru sampai di luar halaman, terdengar di dalam ada suara orang tertawa geli. Ketika Lenghou Tiong melongok ke dalam, ternyata semua orang sedang memandang ke atas. Waktu ia ikut mendongak, ternyata di atas pohon kembali bergantungan dua orang. Waktu diperhatikan, kiranya kedua orang sial itu adalah Dian Pek-kong dan Put-kay Hwesio.
Keruan Lenghou Tiong sangat heran. Put-kay adalah ayah Gi-lim Sumoay, Dian Pek-kong juga diakui sebagai murid Gi-lim. Betapa pun mereka berdua pasti tidak punya niat mencelakai pihak Hing-san-pay. Sebaliknya kalau Hing-san-pay ada kesulitan tentu mereka akan membantu malah. Tapi mengapa mereka pun digantung orang di atas pohon, hal ini benar-benar membikin Lenghou Tiong tidak habis paham. Gambaran yang telah digagas Lenghou Tiong semula kini menjadi buyar sama sekali setelah melihat Put-kay dan Dian Pek-kong juga mengalami nasib yang sama seperti Siu Siong-lian berdelapan. Sekilas terbayang suatu pikiran dalam benaknya, "Put-kay Taysu bersifat lucu dan lugu, biasanya tiada sengketa apa-apa pada lain orang, mengapa dia pun digantung orang di atas pohon" Tentu ada orang sengaja main gila padanya. Untuk menangkap Put-kay rasanya tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja. Besar kemungkinan adalah Tho-kok-lak-sian."
Tapi lantas terpikir pula dari apa yang dikatakan Coh Jian-jiu tadi, memang tidak salah bahwa Tho-kok-lak-sian tidak mampu menulis kalimat-kalimat sebagus itu.
Begitulah dengan penuh tanda tanya ia melangkah ke dalam halaman. Di tengah suara tertawa riuh orang banyak, dilihatnya di atas tubuh Put-kay Hwesio dan Dian Pek-kong terjulur seutas pita kuning yang bertulisan. Tertampak pita di atas tubuh Put-kay itu tertulis: "Manusia yang paling doyan perempuan, laki-laki berhati palsu nomor satu di dunia ini."
Kemudian dilihatnya pita di atas tubuh Dian Pek-kong bertuliskan: "Manusia yang tidak becus bekerja, orang yang paling sembrono nomor satu di dunia ini."
Pikiran pertama yang timbul dalam benak Lenghou Tiong sesudah membaca tulisan kedua pita itu adalah, "Cara pasang kedua pita itu keliru tempat. Mestinya kedua pita itu harus tukar tempat antara Put-kay Hwesio dan Dian Pek-kong. Mana bisa Put-kay Hwesio dikatakan "manusia yang paling doyan perempuan?" Orang yang paling doyan perempuan harus dialamatkan kepada Dian Pek-kong. Sedangkan sebutan "orang paling sembrono" masih boleh juga diberikan kepada Put-kay. Dia tidak pantang membunuh, tidak pantang makan dan minum, segala apa pun dia gegares. Sesudah menjadi hwesio juga berani cari nikoh sebagai istri, perbuatannya memang sembrono. Cuma sebutan "tidak becus bekerja" rasanya rada janggal dan entah apa maksudnya?"
Kalau melihat kedua pita itu masing-masing terikat di leher kedua orang itu agaknya bukan dipasang dalam keadaan tergesa-gesa, maka tidak keliru tempat tentunya.
Para kesatria menjadi gempar pula menyaksikan keadaan Put-kay berdua itu, banyak di antaranya juga merasa heran melihat tulisan kedua pita. Mereka berpendapat bahwa manusia yang paling doyan perempuan di dunia ini selain Dian Pek-kong rasanya tiada orang lain lagi, mengapa hwesio gede ini bisa melebihi Dian Pek-kong"
Keh Bu-si dan Coh Jian-jiu berunding sejenak dengan suara perlahan, mereka pun merasa kejadian itu rada-rada luar biasa. Mereka pun tahu Put-kay Hwesio adalah teman baik Lenghou Tiong, mereka pikir Put-kay harus ditolong turun lebih dulu.
Segera Keh Bu-si melompat ke atas pohon, ia mengiris putus tali pengikat kedua orang itu. Berbeda dengan Siu Siong-lian dan Boh-pak-siang-him yang terus mencaci maki, ternyata Put-kay dan Dian Pek-kong bungkam saja dengan lesu.
"Mengapa Taysu juga tertimpa nasib malang ini?" dengan suara perlahan Keh Bu-si bertanya.
Put-kay tidak menjawab melainkan cuma geleng-geleng kepala saja. Ia coba melepaskan pita di lehernya itu, dipandangnya sekian lama tulisan di atas pita itu, kemudian mendadak ia menangis keras sambil membanting-banting kaki.
Kejadian ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga. Seketika suara orang banyak menjadi lenyap dan sama memandangi Put-kay dengan melongo heran. Put-kay masih terus menangis sambil memukul-mukul dada sendiri, makin menangis makin berduka.
"Thaysuhu, janganlah kau menyesal," Dian Pek-kong coba membujuk. "Kebetulan saja kita disergap lawan, kita harus menemukan keparat itu dan mencincang dia...."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong tangan Put-pay menampar ke belakang, "plok", kontan Dian Pek-kong terpental beberapa meter jauhnya dan hampir-hampir roboh terjungkal, tapi sebelah pipinya seketika merah bengep.
"Bajingan!" Put-kay memaki. "Kita digantung di sini adalah sebagai ganjaran atas dosa kita, kau... kau berani sekali, masakah kau hendak membunuh orang."
Karena tidak tahu seluk-beluknya, tapi dari ucapan thaysuhunya itu Dian Pek-kong dapat menduga orang yang menggantung mereka di atas pohon itu tentulah orang tokoh luar biasa sehingga thaysuhu itu sendiri merasa segan padanya. Terpaksa Dian Pek-kong hanya menunduk dan berulang mengiakan.
Untuk sejenak Put-kay termenung di tempatnya, habis itu kembali ia menangis lagi sambil menghantam dada sendiri. Kemudian mendadak tangannya menggampar lagi ke belakang, kembali Dian Pek-kong hendak dihajar.
Untung gerak tubuh Dian Pek-kong sangat cepat, ia keburu menghindarkan gamparan itu, teriaknya, "Thaysuhu!"
Sekali menggampar tidak kena, Put-kay juga tidak mengudak lagi, tapi tangannya terus diputar balik, "plak", dengan keras menghantam di atas sebuah meja batu di tengah halaman itu. Kontan batu kerikil bercipratan. Kedua telapak tangan Put-kay segera menghantam pula secara bergantian disertai jerit tangis, makin menghantam makin keras, dalam sekejap saja meja batu yang keras itu telah hancur menjadi beberapa potong kecil.
Melihat betapa dahsyat tenaga pukulannya, semua orang sama terkejut, tiada seorang pun yang berani mencuit, sebab khawatir bila Put-kay lantas mengamuk padanya, sekali kepala kena dihantam tentu akan hancur luluh. Memangnya kepala siapa yang bisa lebih keras daripada meja batu itu.
Coh Jian-jiu, Lo Thau-cu, dan Keh Bu-si hanya saling pandang dengan bingung.
Melihat gelagat kurang baik itu, segera Dian Pek-kong berkata, "Harap kalian jaga thaysuhuku, aku akan pergi mengundang Suhu."
Mendengar itu, Lenghou Tiong pikir jangan sampai dirinya dicurigai Gi-lim bilamana siausumoay itu nanti datang. Ia sudah pernah menyamar sebagai perwira tentara, sudah pernah menyaru sebagai petani, tapi semuanya kaum lelaki, sekarang dia menyaru sebagai babu tua, seorang perempuan, rasanya sangat kikuk dan canggung, ia sendiri pun tidak yakin akan penyamarannya itu dan khawatir rahasianya terbongkar.
Segera ia sembunyi dulu di dalam kamar penimbun kayu bakar di belakang. Ia pikir Boh-pak-siang-him dan lain-lain masih mematung di sana, dapat diduga Coh Jian-jiu dan kawan-kawannya ada niat pergi mendengarkan percakapan mereka malam nanti. Maka sesudah kenyang tidur sebentar aku pun coba-coba mendengarkan ke sana.
Memangnya Lenghou Tiong sudah sangat mengantuk karena semalam tidak pernah tidur, sambil layap-layap terpulas ia dengar suara tangis Put-kay Hwesio yang aneh dan lucu itu.
Waktu bangun hari sudah gelap, ia mencari sedikit makanan di dapur, ternyata tiada seorang pun yang pedulikan dia. Setelah menunggu lagi agak lama, ketika suasana sudah sunyi, lalu ia memutar ke belakang gunung dan perlahan-lahan mendekati tempat ditutuknya Boh-pak-siang-him dan komplotannya itu. Sesudah dekat, ia berjongkok di seberang sebuah kali kecil, di situlah ia pasang telinga mendengarkan.
Tidak lama kemudian lantas terdengar suara pernapasan orang banyak di sebelah depan sana, sedikitnya ada belasan orang yang tersebar di sekitar situ. Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli bahwa bukan cuma Keh Bu-si dan kawan-kawannya saja yang timbul pikiran buat mencuri dengar percakapan Boh-pak-siang-him, bahkan orang lain juga punya pikiran demikian, nyata orang cerdik di dunia ini tidaklah sedikit. Diam-diam Lenghou Tiong juga mengakui kecerdikan Keh Bu-si, dia hanya membuka hiat-to bisu kedua orang pemakan daging manusia itu, tapi sengaja tidak membuka hiat-to Pau Tay-coh dan lain-lain, kalau tidak tentu Pau Tay-coh yang pintar itu akan melarang Boh-pak-siang-him bicara bila mereka membuka mulut.
Benar juga, terdengar Pek-him sedang marah-marah dan memaki, "Nenek moyangnya, begini banyak nyamuknya, bisa-bisa darahku akan terisap habis. Nyamuk busuk, nyamuk bangsat, terkutuklah delapan belas keturunan nenek moyangmu!"
"Aneh," Oh-him menanggapi dengan tertawa, "nyamuk kok cuma menggigit kau dan tidak menggigit diriku, entah apa sebabnya."
"Sebabnya karena darahmu berbau, nyamuk tidak doyan darahmu," sahut Pek-him mendongkol.
"Ya, aku lebih suka darahku berbau daripada digigit beratus-ratus nyamuk sekaligus," ujar Oh-him.
Kembali Pek-him mencaci maki kalang kabut.
Diam-diam Lenghou Tiong membayangkan bagaimana rasanya orang digigit beratus-ratus, bahkan beribu-ribu nyamuk sekaligus, tapi badan tak bisa berkutik, memang rasanya tidak dapat dikatakan enak.
Sesudah puas mengumpat ke kanan dan ke kiri, kemudian Pek-him berkata, "Bila aku dapat bergerak dengan bebas lagi, orang pertama yang akan kucari untuk bikin perhitungan adalah Keh Bu-si si bangsat itu, akan kututuk juga hiat-tonya, lalu kugigit pahanya, akan kumakan daging pahanya itu sedikit demi sedikit."
"Kalau aku lebih suka makan daging para nikoh cilik itu, kulitnya halus, dagingnya putih, tentu jauh lebih lezat dan gurih," ujar Oh-him.
"Tapi Gak-siansing telah menyatakan para nikoh itu tidak boleh dimakan, harus ditangkap ke Hoa-san," kata Pek-him.
"Jumlah nikoh cilik itu ada beratus-ratus, kalau kita makan dua-tiga orang di antaranya masakah bisa ketahuan?" ujar Oh-him.
Mendadak Pek-him mencaci maki lagi dengan suara keras, "Bangsat! Anak jadah!"
"Kau tidak mau makan nikoh boleh terserah, mengapa memaki orang?" jawab Oh-him dengan gusar.
"Aku tidak memaki kau, aku memaki nyamuk," sahut Pek-him.
Selagi Lenghou Tiong merasa geli mendengarkan dagelan yang lucu itu, tiba-tiba ada suara keresek-keresek perlahan di belakangnya, ada orang perlahan-lahan mendekatinya. Pendatang ternyata langsung menuju ke arahnya, sesudah berada di belakangnya, orang itu pun berjongkok dan perlahan-lahan menarik lengan bajunya.
Lenghou Tiong terkejut, pikirnya, "Siapakah dia ini" Jangan-jangan penyamaranku diketahui olehnya?"
Ia coba menoleh, di bawah sinar bulan yang remang-remang tiba-tiba tertampak sebuah wajah yang cantik, kiranya Gi-lim adanya.
Kembali Lenghou Tiong terkejut dan bergirang pula, ia menduga tentu jejaknya telah diketahui oleh Gi-lim. Dilihatnya Gi-lim menggerakkan dagunya ke samping, mulutnya yang kecil dimoncongkan untuk memberi tanda ke arah sana, lalu lengan baju Lenghou Tiong ditarik-tarik lagi sebagai tanda ingin bicara dengan dia ke tempat yang agak jauhan di sebelah sana.
Lenghou Tiong rada bingung, tapi dilihatnya Gi-lim sudah mendahului berjalan ke sana, terpaksa ia pun mengikut di belakangnya.
Bab 129. Rahasia Put-kay Hwesio yang Aneh
Begitulah Lenghou Tiong mengikuti ajakan Gi-lim. Keduanya terus berjalan ke jurusan sana tanpa buka suara sedikit pun.
Setelah menyusuri sebuah jalanan sempit, akhirnya mereka keluar dari lembah itu, tiba-tiba terdengar Gi-lim berkata, "Kau sendiri tidak dapat mendengar pembicaraan orang, buat apa kau berada di sana?" Ucapan ini agaknya tidak ditujukan kepadanya melainkan cuma menggumam sendiri saja.
Namun Lenghou Tiong merasa tercengang, katanya di dalam hati, "Apa artinya dia bilang aku tidak dapat mendengar percakapan orang" Dia bicara dibalik atau benar-benar tak mengenali penyamaranku?" Tapi mengingat Gi-lim biasanya tidak pernah bergurau padanya, besar kemungkinan memang belum tahu samarannya itu.
Gi-lim terus berjalan menikung ke utara, setelah melintasi suatu tanjakan, akhirnya mereka sampai di tepi sebuah sungai kecil.
Dengan suara perlahan Gi-lim berkata pula, "Biasanya kita suka bicara di sini, apakah kau sudah bosan pada kata-kataku?" Menyusul ia lantas tertawa, katanya, "Selamanya kau tak bisa mendengar ucapanku, tentu aku takkan bicara padamu."
Melihat nada Gi-lim yang sungguh-sungguh itu, yakinlah Lenghou Tiong bahwa dirinya memang disangka benar-benar sebagai si nenek tua penunggu Sian-kong-si itu. Tiba-tiba timbul pikirannya yang jail, ia menjadi ingin tahu apa yang akan dibicarakan oleh Gi-lim.
Setiba di bawah pohon, Gi-lim mengajaknya duduk di atas sepotong batu panjang, Lenghou Tiong sengaja duduk miring dan membelakangi sinar rembulan agar wajahnya tidak tertampak jelas.
Gi-lim termangu-mangu memandangi bulan sabit di langit sambil menghela napas. Hampir-hampir Lenghou Tiong bertanya urusan apakah yang membikin risau hati Gi-lim yang masih muda belia itu" Syukur dia keburu menahan perasaannya.
Terdengar Gi-lim membuka suara perlahan, "Nenek bisu, engkau sangat baik, aku sering mengajak kau ke sini dan mengutarakan isi hatiku kepadamu, selamanya kau tidak merasa jemu, selalu menunggu uraianku dengan sabar. Sebenarnya tidak pantas aku membikin repot padamu, tapi engkau memang sangat baik padaku, mirip benar ibu kandungku sendiri. Aku tidak punya ibu, jika punya, apakah kiranya aku berani bicara padanya seperti kubicarakan padamu ini?"
Mendengar sumoay cilik itu hendak membeber isi hatinya, Lenghou Tiong merasa tidak pantas mendengarkan rahasia orang dengan cara menipunya, segera ia berbangkit dan bermaksud melangkah pergi.
Namun Gi-lim lantas menarik lengan bajunya dan berkata, "Nenek bisu, apakah kau hendak pergi?" Suaranya penuh nada kecewa.
Lenghou Tiong memandang sekejap padanya, tertampak wajahnya yang sayu, sinar matanya penuh rasa memohon, tanpa kuasa hatinya menjadi lemas, pikirnya, "Air mukanya tampak kurus, isi hatinya bila tak terbeberkan bisa jadi akan mengakibatkan jatuh sakit. Biarkan kudengarkan apa yang akan diceritakan, asalkan dia tetap tak mengenali samaranku tentu dia takkan malu." Karena itu perlahan-lahan ia duduk kembali.
"Nenek bisu, engkau baik sekali," kata Gi-lim perlahan sambil merangkul pundaknya, "hendaklah kau menemani aku duduk sebentar di sini, engkau tidak tahu betapa kesalnya hatiku."
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli, rupanya sudah suratan takdir bahwa hidupnya ini tidak terlepas dari "nasib nenek". Dahulu ia keliru sangka Ing-ing sebagai nenek, sekarang dirinya juga disangka sebagai nenek oleh Gi-lim. Dahulu ia memanggil entah berapa ratus kali nenek kepada Ing-ing, sekarang Gi-lim membayarnya dengan panggilan nenek pula. Ini namanya ada ubi ada talas.
Dasar watak Lenghou Tiong memang suka ugal-ugalan, urusan apa pun terkadang tak dianggap sesuatu yang penting olehnya. Padahal Gi-lim sedang bicara padanya dengan penuh perasaan, sebaliknya diam-diam ia merasa geli dan hampir-hampir bergelak tertawa.
Sudah tentu Gi-lim tidak tahu apa yang dipikirkan si "nenek", ia berbicara terus, "Pagi tadi ayahku hampir-hampir saja mati gantung diri, apakah kau tahu" Dia dikerek tinggi-tinggi di atas pohon entah oleh siapa, pada tubuhnya ditempeli pula plakat yang menyatakan Ayah sebagai manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini, manusia yang paling doyan perempuan. Padahal selama hidup ayahku hanya memikirkan ibuku seorang saja, entah apa dasarnya tuduhan pada ayahku bahwa dia paling doyan perempuan. Tentu orang menempel plakat itu secara ngawur telah salah tempel plakat yang mestinya ditempel pada badan Ayah. Padahal seumpama salah tempel, robeklah plakat itu dan buang saja habis perkara, kan tidak perlu gantung diri segala."
Lenghou Tiong terkejut dan merasa geli pula. Ia heran mengapa Put-kay Taysu hendak bunuh diri" Gi-lim mengatakan ayahnya hampir mati gantung diri, jadi Put-kay pasti masih hidup.
Lalu Gi-lim menyambung pula, "Ketika Dian Pek-kong berlari-lari ke Kian-seng-hong untuk mencari diriku, kebetulan dia kepergok oleh Gi-ho Suci, Dian Pek-kong dianggap melanggar peraturan berani sembarangan datang ke Kian-seng-hong, tanpa banyak bicara Gi-ho Suci terus lolos pedang dan menyerangnya, hampir-hampir saja jiwa Dian Pek-kong melayang, sungguh berbahaya sekali."
Lenghou Tiong masih ingat perintahnya yang melarang kaum lelaki yang tinggal di paviliun di puncak seberang naik ke Kian-seng-hong tanpa izinnya, apalagi nama Dian Pek-kong terkenal busuk, sedangkan Gi-ho terkenal berwatak keras, maka tidak heran begitu kepergok terus main senjata. Cuma ilmu silat Dian Pek-kong jauh lebih tinggi daripada anak murid Hing-san, jelas Gi-ho tidak mampu membunuhnya.
Selagi ia hendak mengangguk tanda membenarkan ucapan Gi-lim tadi, syukur ia lantas menyadari akan penyamarannya. Pikirnya, "Tak peduli apa yang dia katakan, apakah benar atau tidak, sama sekali aku tidak boleh menggeleng atau mengangguk sebab si nenek bisu-tuli pasti takkan mendengar apa pun yang dia ucapkan."
Begitulah Gi-lim lantas menyambung lagi, "Ketika Dian Pek-kong sempat menerangkan maksud kedatangannya, sementara itu Gi-ho Suci sudah menyerangnya belasan kali, untung tidak terjadi cedera apa-apa. Begitu menerima berita segera aku pun memburu ke lembah sini, tapi Ayah sudah tidak kelihatan. Waktu kutanya orang di sini, katanya Ayah sedang menangis dan mengamuk pula di kamarnya, siapa pun tidak berani bicara dengan dia, habis itu Ayah lantas menghilang entah ke mana.
"Aku mencarinya di sekitar lembah ini, akhirnya kutemukan dia di belakang gunung sana, kulihat beliau tergantung tinggi-tinggi di atas pohon. Aku menjadi khawatir, cepat aku melompat ke atas pohon, kulihat seutas tali menjerat di lehernya, agaknya napasnya sudah hampir putus, syukur berkat Buddha dapatlah aku datang pada saat yang tepat. Kuturunkan Ayah dan sadarlah beliau, kami lantas saling rangkul dan menangis.
"Kulihat di leher Ayah masih tetap tergantung secarik kain yang tertulis: "Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini" segala. Kukatakan kepada Ayah, "Orang itu sungguh jahat, berulang dia menggantung engkau. Salah tempel kain tertulis ini juga tidak dibetulkan."
"Sambil menangis Ayah berkata, "Bukan digantung orang, tapi aku sendiri yang menggantung diri. Aku... aku tidak ingin hidup lagi," Aku menghiburnya, "Ayah, tentunya engkau diserang mendadak oleh orang itu, karena kurang waspada engkau kecundang, tapi juga tidak perlu sedih. Biarlah kita mencari dia untuk tanya dia, kalau tak bisa memberi alasan yang tepat, kita juga pegang dia dan gantung dia, lalu kain juga kita gantung pada lehernya."
"Tapi Ayah menjawab, "Plakat ini ditujukan padaku, mana boleh digantung pada orang lain. Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan memang betul adalah diriku, Put-kay Hwesio, mana ada orang lain yang melebihi aku" Anak kecil, jangan sembarang omong kalau tidak tahu."
"Coba, Nenek bisu, bukankah aneh sekali ucapan Ayah itu" Maka aku lantas tanya beliau, "Ayah, kau bilang kain plakat ini tidak keliru pasang?" " "Sudah tentu tidak," jawab Ayah. "Aku... aku berdosa terhadap ibumu, maka aku ingin segera mati saja, kau jangan urus diriku, aku benar-benar tidak ingin hidup lagi."."
Lenghou Tiong masih ingat cerita Put-kay Hwesio, katanya dia mencintai ibunya Gi-lim, tapi lantaran si dia adalah seorang nikoh, maka Put-kay lantas meninggalkan rumah menjadi hwesio. Menurut jalan pikiran Put-kay, hanya hwesio yang layak beristrikan nikoh.
Padahal peristiwa demikian benar-benar aneh dan ajaib tiada taranya. Perjodohan yang janggal ini akhirnya tentu terjadi perubahan, katanya kemudian Put-kay merasa berdosa kepada ibunya Gi-lim, bisa jadi karena kemudian dia yang punya kekasih lain, maka dia mengaku sebagai "manusia tak berperasaan, orang paling doyan perempuan". Berpikir sampai di sini, Lenghou Tiong merasa sudah rada jelas duduknya perkara tentang diri Put-kay.
Didengarnya Gi-lim sedang bertutur pula, "Karena Ayah menangis dengan sangat sedih, maka aku ikut-ikutan menangis. Sebaliknya Ayah lantas menghibur aku malah, katanya, "Anak manis, jangan menangis, jangan menangis! Kalau Ayah mati nanti, tentu kau akan sebatang kara di dunia ini dan siapa lagi yang akan menjaga dirimu?"
"Kata-katanya itu membikin tangisku semakin keras. Kemudian Ayah berkata pula, "Baiklah, aku tidak jadi mati saja. Cuma, rasanya menjadi tidak enak terhadap mendiang ibumu?" Aku coba bertanya, "Sebenarnya apa dosa Ayah terhadap Ibu?"
"Ayah menghela napas lalu menjawab dengan sedih, "Sebagaimana sudah kau ketahui, tadinya ibumu adalah nikoh, sekali melihat ibumu aku lantas tergila-gila, betapa pun aku harus memperistrikan dia. Tapi ibumu menyatakan keberatan karena dia sudah menjadi nikoh, khawatir dicerca oleh sang Buddha."
"Kukatakan aku yang akan tanggung akibatnya, kalau sang Buddha marah biarlah aku yang dikutuk. Ibumu menjawab bahwa orang partikelir seperti diriku adalah pantas kawin dan punya anak, tapi ibumu sudah menyucikan diri, bila punya pikiran menyeleweng tentu akan dimarahi sang Buddha.
"Kupikir ucapannya cukup beralasan juga, tapi aku sudah bertekad akan mengawini ibumu, untuk menghindarkan derita ibumu bila dihukum masuk neraka kelak, biarlah aku menjadi hwesio, kalau mau marah biarlah sang Buddha marah padaku, seumpama masuk neraka juga kami suami-istri akan masuk bersama."
Baru sekarang Lenghou Tiong mengerti sebabnya Put-kay Hwesio, kiranya dia ingin memikul beban bakal istrinya. Jika demikian mengapa kemudian dia menyeleweng lagi" Demikian timbul pertanyaan lagi dalam hatinya.
Terdengar Gi-lim melanjutkan, "Aku lantas tanya Ayah, "Kemudian engkau menikahi Ibu tidak?" " "Sudah tentu menikah, kalau tidak dari mana kau dilahirkan?" sahut Ayah. "Cuma memang salahku, pada waktu kau berumur tiga bulan, aku memondongmu berjemur sinar matahari di depan pintu...." " "Berjemur sinar matahari apa salahnya?" tanyaku. " "Ya, soalnya juga kebetulan saja," tutur ayahku. "Waktu itu ada seorang perempuan muda jelita lewat di depan rumah kita dengan menunggang kuda, ketika lihat seorang hwesio besar macamku membopong orok, ia memandang heran kepada kita sambil memuji, "Mungil benar orok ini!" Sudah tentu yang dipuji adalah dirimu. Aku jadi senang dan menjawab, "Ini adalah anakku sendiri."
"Alis perempuan muda itu melototi aku sambil bertanya, "Kutanya dengan baik, kenapa berulang kau menggoda aku, apakah kau sudah bosan hidup?" Aku menjawab, "Menggoda bagaimana, memangnya hwesio bukan manusia, makanya tidak boleh punya anak" Kalau kau tidak percaya akan kubuktikan padamu." Tak terduga perempuan itu tambah marah, segera ia lolos pedang terus melompat turun dan menyerang diriku, bukankah perbuatannya itu keterlaluan?"
Diam-diam Lenghou Tiong merasa geli, ia pikir Put-kay tidak pantang bicara apa saja yang ingin dia ucapkan, tapi bagi pendengaran orang lain kata-katanya itu dirasakan sebagai kata-kata kurang ajar. Seorang hwesio memondong anak bayi memang sudah janggal. Kalau kawin dan punya anak, kenapa tidak piara rambut saja"
Dalam pada itu Gi-lim masih terus bercerita, "Kukatakan pada Ayah, "Ya, nyonya cantik itu memang rada galak. Sudah jelas aku adalah anakmu, ini kan tidak bohong, kenapa dia lolos senjata menyerang padamu?" Jawab Ayah, "Maka cepat aku berkelit menghindarkan serangannya, kataku, "He, kenapa kau menyerang orang tanpa sebab" Anak ini kalau bukan anakku, memangnya anakmu?" Ternyata ucapanku ini membikin perempuan itu tambah murka, berulang ia menusuk. Dari ilmu pedangnya kulihat dia orang dari Hoa-san-pay."."
Lenghou Tiong terperanjat, ia merasa heran mengapa orang perempuan yang dikatakan itu adalah orang Hoa-san-pay"
Gi-lim meneruskan pula, "Bahwasanya perempuan itu orang Hoa-san-pay, maka lantas timbul perkiraanku tentulah Nona Gak, itu siausumoay Lenghou-toako, Nona Gak itu memang punya perangai berangasan. Akan tetapi segera aku tahu dugaanku keliru, sebab usia Nona Gak sebaya dengan diriku. Waktu itu aku baru berumur tiga bulan, tentunya Nona Gak juga masih bayi."
"Ayah berkata pula, "Setelah serangannya tak bisa mengenai diriku, dia menyerang lebih gencar. Sudah tentu aku tidak gentar padanya, aku cuma khawatir dia melukaimu. Ketika dia menusuk untuk kedelapan kalinya, mendadak kutendang dia hingga terjungkal."
"Dia merangkak bangun terus mencaci maki hwesio jahat yang tidak tahu malu, kotor dan rendah, suka goda perempuan! Pada saat itulah ibumu pulang dari cuci pakaian di tepi sungai, dia mendengar caci maki itu. Setelah memaki, perempuan itu terus pergi dengan naik kudanya. Ketika aku ajak bicara ibumu, dia ternyata tidak menjawab, melainkan terus menangis. Kutanya dia apa sebabnya menangis, dia tidak menggubris padaku."
"Besok paginya ibumu lantas menghilang. Di atas meja tertinggal secarik kertas yang bertuliskan kalimat: "Manusia tak berperasaan, suka main perempuan". Aku membawamu dan mencari ibumu ke segenap penjuru, tapi tak bisa menemukannya lagi."
"Aku bilang, "Mungkin Ibu mendengar caci maki perempuan itu dan menyangka engkau benar-benar telah menggoda perempuan itu." Ayah menjawab, "Ya, bukankah tuduhan yang tak berdasar" Tapi kemudian setelah kupikir-pikir lagi rasanya tuduhan itu pun ada dasarnya, sebab pada waktu kulihat perempuan itu, lantas timbul pikiranku bahwa perempuan itu cantik, coba pikir, kalau aku sudah punya istri seperti ibumu dalam hatiku sebaliknya memuji kecantikan wanita lain, bahkan mulutku sampai mengucap demikian tidakkah ini bukti aku memang tak berperasaan, suka kepada setiap perempuan?""
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu bahwa ibu Gi-lim ternyata sangat cemburuan, sudah tentu di dalam peristiwa ini telah terjadi salah paham, mestinya kalau dia mau tanya persoalannya lebih dulu segala urusan akan menjadi jelas.
Terdengar Gi-lim berkata pula, "Aku lantas tanya Ayah, "Kemudian engkau menemukan Ibu tidak?" Ayah menjawab, "Aku telah mencarinya ke mana-mana, tapi tak bisa menemukannya. Kupikir ibumu adalah nikoh, tentu dia masuk kembali ke biara, maka setiap biara selalu kudatangi. Ketika kutemui gurumu, Ting-yat Suthay, beliau sangat tertarik akan kemungilanmu, tatkala itu kau sedang sakit lagi, maka beliau lantas minta aku menitipkan dirimu di biaranya agar kau tidak ikut menderita kubawa kian-kemari."."
Menyinggung Ting-yat Suthay, kembali Gi-lim merasa sedih dan mencucurkan air mata, katanya, "Sejak kecil aku ditinggalkan Ibu, berkat Suhu yang telah membesarkan aku, akan tetapi sekarang Suhu meninggal pula dicelakai orang, orang yang mencelakainya adalah guru Lenghou-toako, bukankah hal ini membikin aku menjadi serbasusah" Seperti diriku, sejak kecil Lenghou-toako juga sudah tidak punya ibu, ia pun dibesarkan oleh gurunya. Cuma dia lebih menderita daripada diriku, selain tak punya ibu, bahkan ayah juga tidak punya. Dengan sendirinya dia sangat menghormati gurunya, kalau aku membalas dendam Suhu dengan membunuh guru Lenghou-toako itu, entah akan betapa sedihnya Lenghou-toako. Menurut cerita Ayah, setelah diriku dititipkan di biara Suhu, kemudian Ayah mencari pula setiap biara di dunia ini, sampai-sampai tempat-tempat terpencil di daerah Mongol, Tibet, dan lain-lain juga telah didatangi, namun tetap tak memperoleh sedikit pun kabar Ibu.
"Maka dapat ditarik kesimpulan bisa jadi ibuku sudah membunuh diri lantaran menyesal pada kelakuan Ayah. O, Nenek bisu, tentunya ibuku adalah wanita yang berjiwa sangat keras, dia telah berkorban bagi Ayah dengan menanggung noda karena mau dikawin oleh Ayah, tapi baru melahirkan aku, lantas melihat Ayah menggoda perempuan lain dan dicaci maki sebagai orang yang rendah dan tak tahu malu, sudah tentu Ibu tambah marah dan putus asa mempunyai suami begitu, makanya beliau lantas ambil keputusan pendek dengan membunuh diri."
Lenghou Tiong baru tahu bahwa di balik kejadian itu kiranya masih ada persoalan-persoalan begitu.
Gi-lim bertutur pula, "Kemudian aku tanya Ayah siapakah perempuan Hoa-san-pay yang bikin celaka orang lain itu" Ayah menjawab, "Perempuan itu cukup terkenal juga, ialah bininya Gak Put-kun, kutahu hal ini dari pedang yang dia tinggalkan di atas tanah itu, pada pedang itu ada ukiran namanya. Karena tidak dapat menemukan ibumu, saking gemasnya aku lantas pergi ke Hoa-san untuk mencari Gak-hujin, maksudku hendak membunuhnya untuk melampiaskan dongkolku. Setiba di Hoa-san, kulihat dia sedang memondong bayi perempuan yang kelihatan sangat mungil, aku menjadi teringat pada dirimu, sehingga tidak tega turun tangan, maka kuampuni dia." Ketahuilah Nenek bisu, bayi perempuan itu adalah Nona Gak, sumoay cilik Lenghou-toako. Mengingat Lenghou-toako sedemikian menyukai siausumoaynya, sudah tentu dia adalah bayi yang sangat menarik."
Teringat kepada Gak-hujin dan Gak Leng-sian yang kini telah berbaring untuk selamanya di lembah pegunungan sunyi itu, hati Lenghou Tiong menjadi berduka.
Terdengar Gi-lim bicara lagi, "Setelah Ayah menjelaskan, barulah aku tahu mengapa Ayah begitu sedih melihat plakat yang bertuliskan: "Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia ini, orang yang paling doyan perempuan". Kutanya Ayah, "Apakah tulisan yang ditinggalkan Ibu di atas meja itu sering kau perlihatkan kepada orang lain" Kalau tidak mengapa ada orang lain yang mengetahui tulisan itu?"
"Ayah berkata, "Sudah tentu tidak, aku pun tidak bercerita kepada siapa pun. Memang aneh, selama ini dia hendak menuntut balas padaku, kalau tidak mengapa dia tidak tulis kata-kata lain tapi justru menulis kata-kata seperti pernah ibumu tulis" Kutahu ibumu hendak menagih jiwa padaku, baiklah, biar aku ikut pergi bersama dia. Memangnya aku sudah mencari dia, kalau bisa bertemu dengan dia di akhirat adalah kebetulan malah bagiku. Cuma badanku terlalu berat, waktu aku gantung diri, hanya sebentar saja tali gantungan lantas putus, untuk kedua kalinya aku hendak menggorok leher sendiri, tapi pisau yang biasanya kubawa itu mendadak hilang. Ai, benar-benar runyam, ingin mati pun tidak mudah."
"Kemudian aku berkata, "Engkau keliru, Ayah, justru sang Buddha memberkati agar tidak membunuh diri, makanya tali putus sendiri dan pisau hilang mendadak. Kalau tidak, saat ini tentu aku tidak bisa berhadapan lagi dengan engkau." Ayah bilang betul juga ucapanku, besar kemungkinan sang Buddha ingin menghukumnya lebih lama menderita di dunia fana ini. Lalu aku berkata pula, "Semula kukira kain plakat yang tergantung di leher Dian Pek-kong itu kukira tertukar denganmu, makanya aku sedemikian marah." Ayah menjawab, "Mana bisa keliru" Dahulu Dian Pek-kong pernah berlaku kurang ajar padamu, bukankah itu tepat dengan tulisan plakatnya" Kusuruh dia menjadi perantara agar bocah Lenghou Tiong itu menikahimu, tapi dia selalu ogah-ogahan dan tak bisa melaksanakan tugasnya, bukankah ini berarti "tidak becus bekerja" seperti tulisan plakat itu" Jadi apa yang tertulis di plakat baginya itu memang sangat cocok dan tepat." Aku berkata, "Ayah, aku akan marah bilamana kau suruh Dian Pek-kong melakukan hal-hal yang tidak layak itu. Hendaknya diketahui, mula-mula Lenghou-toako menyukai siausumoaynya, kemudian dia suka kepada Yim-toasiocia dari Mo-kau. Meski dia juga sangat baik padaku, tapi selamanya tidak pernah menaruh perhatian padaku."."
Ucapan terakhir ini membikin Lenghou Tiong rada menyesal, memang semula ia tidak merasakan cinta Gi-lim kepada dirinya, kemudian lambat laun ia pun mengetahui hal itu, namun dirinya memang benar-benar sebagaimana dikatakan Gi-lim sekarang, mula-mula menyukai Siausumoay, kemudian cintanya dicurahkan kepada Ing-ing, selama itu berkelana kian-kemari, jarang sekali teringat kepada Gi-lim.
Begitulah terdengar Gi-lim berkata pula, "Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ayah menjadi gusar, dia mencaci maki Lenghou-toako, katanya, "Bocah Lenghou Tiong itu memang buta-melek, ada biji mata tapi tak bisa melihat, sungguh lebih goblok daripada Dian Pek-kong. Jelek-jelek Dian Pek-kong masih tahu akan kecantikan putriku, tapi Lenghou Tiong justru tidak mau tahu, benar-benar orang paling goblok di dunia ini."
"Masih banyak kata-kata kotor yang dia lontarkan ke Lenghou-toako, sukar bagiku untuk menirukannya. Dia mengatakan pula, "Hm, kau kira siapa orang paling buta di dunia ini" Dia bukan Co Leng-tan, melainkan Lenghou Tiong! Biar mata Co Leng-tan dibutakan orang, tapi Lenghou Tiong jauh lebih buta daripada dia."
"Coba, Nenek bisu, kan tidak betul ucapan Ayah itu, mana boleh dia mencaci maki Lenghou-toako cara begitu" Aku lantas berkata, "Ayah, Nona Gak dan Nona Yim entah berapa ratus kali lebih cantik daripada anakmu ini, pula Anak sudah meninggalkan rumah, Anak telah pasrahkan diri kepada sang Buddha. Anak cuma berterima kasih atas budi pertolongannya serta kebaikannya terhadap Suhu, sebab itulah Anak senantiasa terkenang padanya!"
"Ayah berkata pula, "Kalau sudah masuk agama mengapa tidak boleh kawin! Jika semua orang perempuan di dunia ini memeluk agama dan tidak kawin serta punya anak, kan di dunia ini takkan ada manusia lagi. Buktinya ibumu adalah nikoh, tidakkah dia kawin dengan hwesio semacam aku serta melahirkan engkau?" Aku menjawab, "Ayah, jangan lagi kita bicara urusan ini, bagiku akan lebih... lebih suka tak dilahirkan saja oleh Ibu."."
Sampai di sini, suara Gi-lim menjadi rada sesenggukan. Selang sejenak, baru ia menyambung pula, "Lalu aku menyatakan pada Ayah bila dia menyatakan hal itu kepada Lenghou-toako, maka selamanya aku takkan bicara lagi dengan Ayah, bahkan tak mau bertemu pula. Bila Dian Pek-kong menyampaikan hal ini kepada Lenghou-toako, maka akan kuminta Gi-ho dan Gi-jing Suci agar melarang dia datang ke Hing-san. Ayah kenal watakku yang teguh, melihat tekadku sudah bulat begitu beliau termangu-mangu sejenak lalu menghela napas dan pergi.
"O, Nenek, kepergian Ayah sekali ini entah bila baru akan datang menjenguk diriku lagi" Entah pula beliau akan membunuh diri lagi atau tidak" Sungguh aku menjadi khawatir. Syukur kemudian aku dengar Ayah baik-baik saja. Selesai itu, tiba-tiba kulihat beberapa orang ini menuju ke lembah sini secara mencurigakan, mereka sembunyi di tengah semak-semak rumput, entah apa yang diperbuat mereka. Diam-diam aku menguntit ke sini untuk mengintai, tapi malah kutemukan engkau. Nenek bisu, engkau tak mahir ilmu silat, juga tidak dapat mendengar pembicaraan orang, bila kau kepergok orang kan sangat berbahaya. Selanjutnya jangan coba-coba lagi main sembunyi di semak rumput begitu. Memangnya kau kira sedang main sembunyi-sembunyi seperti anak kecil?"
Mendengar sampai di sini, hampir-hampir saja Lenghou Tiong bergelak tertawa. Ia pikir siausumoay ini benar-benar masih kekanak-kanakan sehingga menganggap orang lain juga masih kanak-kanak saja.
"Akhir-akhir ini Gi-ho dan Gi-jing Suci selalu menyuruh aku giat belajar pedang," kata Gi-lim pula. "Menurut cerita Cin Koan Sumoay dia pernah mendengar Gi-ho dan Gi-jing Suci berunding dengan beberapa suci yang lain, mereka menyatakan Lenghou-toako tentu tak mau menjadi ketua Hing-san-pay untuk selamanya, sedangkan Gak Put-kun adalah musuh pembunuh guru dan susiok kita, dengan sendirinya Hing-san-pay kita tidak sudi dilebur ke dalam Ngo-gak-pay, sebab itulah mereka ingin aku menjadi ciangbunjin. Nenek bisu, waktu itu sedikit pun aku tidak percaya cerita Cin Koan Sumoay itu. Tapi Cin-sumoay berani bersumpah bahwa apa yang diceritakan itu tidak dusta. Katanya, menurut pertimbangan para suci yang berunding itu, dalam angkatan murid Hing-san-pay yang pakai nama Gi, diriku paling baik dengan Lenghou-toako, kalau aku yang menjadi ketua, tentu paling cocok dengan kehendak Lenghou-toako.
"Jadi mereka mendukung diriku, semuanya adalah demi Lenghou-toako. Mereka berharap aku meyakinkan ilmu pedang dengan baik dan membunuh Gak Put-kun, dengan demikian tentu tiada seorang pun yang keberatan bila aku diangkat sebagai ketua Hing-san-pay. Dengan penjelasan ini, barulah aku percaya. Cuma jabatan ketua itu rasanya terlalu berat bagiku. Ilmu pedangku biar kulatih sepuluh tahun lagi juga tak bisa melebihi Gi-ho dan Gi-jing Suci, untuk membunuh Gak Put-kun lebih-lebih tidak mungkin, memangnya pikiranku sedang kusut, terpikir urusan ini hatiku tambah bingung. Coba, Nenek bisu, apa yang mesti kulakukan sekarang?"
Bab 130. Gi-lim Membeberkan Isi Hatinya
Baru sekarang Lenghou Tiong tahu duduknya perkara, pantas Gi-ho, Gi-jing, dan lain-lain begitu giat mengawasi latihan Gi-lim sebagaimana pernah dilihatnya itu, kiranya mereka berharap kelak Gi-lim yang akan mewarisi jabatan ketua Hing-san-pay. Sungguh jerih payah mereka itu harus dipuji dan juga suatu tanda penghormatan mereka terhadap diriku. Demikian pikirnya.
Dengan perasaan hambar Gi-lim lalu berkata pula, "Nenek bisu, sering kukatakan padamu bahwa aku senantiasa terkenang kepada Lenghou-toako, siang terkenang, malam terkenang, mimpi juga selalu mengimpikan dia. Teringat olehku waktu dia menolong diriku tanpa menghiraukan bahaya akan jiwa sendiri. Sesudah dia terluka, kupondong dia melarikan diri. Teringat olehku dia minta aku mendongeng baginya, lebih-lebih sering teringat olehku ketika aku dan dia ti... tidur bersama di suatu ranjang di rumah apa itu di Kota Heng-san, satu selimut kami pakai bersama. Nenek bisu, kutahu engkau tak bisa mendengar, maka aku takkan malu mengatakan hal-hal itu padamu. Jika tak kukatakan, rasanya aku bisa gila. Kubicara denganmu, kupanggil nama Lenghou-toako, maka untuk beberapa hari hatiku akan merasa tenteram."
Ia merandek sejenak, lalu dengan perlahan memanggil, "Lenghou-toako!"
Suara panggilan itu sedemikian halus, lembut mesra, sungguh penuh rasa rindu yang meresap, tanpa terasa tubuh Lenghou Tiong bergetar. Ia tahu sumoay itu ternyata bersembunyi rasa cinta yang sedemikian menggetarkan sukma.
Pikirnya, "Bila aku belum punya Ing-ing, rasanya tidak dapat lagi aku mengingkari dia dan pasti akan menikahi siausumoay ini. Dia sedemikian mendalam mencintai aku, selama hidupku ini cara bagaimana harus kubalasnya?"
Begitulah perlahan Gi-lim menghela napas, lalu berkata pula, "Nenek bisu, Ayah tidak memahami perasaanku, Gi-ho, Gi-jing, dan suci lain juga tidak memahami diriku. Aku merindukan Lenghou-toako hanya karena aku tak bisa melupakan dia. Aku pun tahu bahwa pikiranku ini tidak pantas, sebagai nikoh mana boleh aku memikirkan seorang lelaki, apalagi dia adalah ciangbunjin dari perguruan sendiri" Setiap hari aku selalu berdoa agar sang Buddha menolong diriku, membantu agar aku melupakan Lenghou-toako.
"Setiap hari aku membaca kitab yang mengajarkan agar memandang segala apa di dunia fana ini sebagai khayal belaka, biarpun cantik jelita, gagah cakap, akhirnya juga tinggal tulang belulang saja. Apakah artinya kemewahan dan kesenangan, orang hidup tiada ubahnya seperti impian belaka. Ajaran dalam kitab sudah tentu betul, akan tetapi... akan tetapi... apa yang dapat kulakukan" Aku hanya dapat berdoa dan memohon semoga Buddha Yang Maha Pengasih memberkati Lenghou-toako selalu selamat dan supaya dia terikat jodoh dengan Yim-siocia, hidup bahagia sampai tua, selama hidup riang gembira. Jika selama hidup Lenghou-toako selalu gembira, maka semuanya akan baik pula."
Ucapannya sungguh-sungguh dan penuh ketulusan hati, dengan segenap jiwa raga mengharapkan hidup Lenghou Tiong selalu selamat bahagia sambil memegangi lengan baju si "nenek bisu", lalu ia memandang ke langit, katanya kemudian, "Hari sudah larut malam, aku harus pulang, hendaklah kau pun pulang saja."
Berbareng ia mengeluarkan dua potong kue dan ditangselkan ke tangan Lenghou Tiong sambil menyambung pula, "Nenek bisu, mengapa hari ini engkau tidak memandang diriku, apakah badanmu kurang sehat?"
Setelah menunggu sejenak dan tidak mendapatkan jawaban, kemudian Gi-lim bergumam sendiri, "Memangnya engkau tak bisa mendengar, tapi aku tanya padamu, sungguh bodoh aku ini."
Perlahan lalu ia berbangkit dan melangkah pergi.
Lenghou Tiong masih duduk dan menyaksikan bayangan Gi-lim menghilang dalam kegelapan malam. Ia coba mengingat kembali apa yang diucapkan Gi-lim tadi, kata Gi-lim yang meresap itu sungguh sangat menggetar kalbunya, tanpa terasa ia termangu-mangu sendirian.
Entah sudah berapa lama lagi, ketika ia berpaling dan memandang air sungai, ia menjadi kaget ketika melihat dalam air ada dua bayangan, dua bayangan orang yang sama sedang duduk berendeng di atas batu. Ia mengira pandangan sendiri kabur, ia kucek-kucek mata sendiri dan memandang pula, tetap dua bayangan orang yang dilihatnya. Seketika ia berkeringat dingin dan tidak berani menoleh.
Dilihatnya bayangan dalam air itu jelas berada di belakangnya tepat, asal sekali tangan bergerak seketika dirinya akan dibereskan, dalam keadaan demikian ia benar-benar terkesima saking kagetnya sehingga tidak berpikir harus berusaha melompat ke depan.
Orang itu tahu-tahu berada di belakangnya tiada tanpa tiada suara, sedikit pun dirinya tidak terasa, maka dapat dibayangkan betapa tinggi kepandaian orang. Seketika timbul pikiran dalam benaknya, "Setan tentunya!"
Berpikir tentang setan, seketika terasa ngeri pula. Untuk sekian lamanya ia tertegun, kemudian baru memandang lagi ke dalam air sungai.
Air sungai yang mengalir perlahan tenang membikin bayangan remang-remang itu tidak jelas tertampak, tapi kedua bayangan terang satu rupa, sama-sama memakai baju wanita yang berlengan longgar, kundai di atas kepala juga sama, terang dua bayangan yang kembar.
Makin dirasakan makin ngeri Lenghou Tiong, jantung berdetak keras seakan-akan melompat keluar dari rongga dadanya. Sekonyong-konyong entah dari mana datangnya keberanian, mendadak ia menoleh sehingga tepat muka berhadapan muka dengan setan itu.
Setelah melihat jelas, tanpa terasa ia menarik napas panjang, dilihatnya orang di hadapannya ini adalah seorang wanita setengah umur, lamat-lamat dapat dikenalinya sebagai si babu bisu-tuli yang menjaga Sian-kong-si itu. Tapi cara bagaimana perempuan ini sampai di belakangnya tanpa disadarinya sedikit pun, hal ini sungguh membuatnya heran tidak kepalang.
Rasa ngeri dan takut Lenghou Tiong lenyap segera, tapi rasa heran sedikit pun tidak berkurang, segera ia berkata, "O, Nenek bisu, kiranya engkau, sungguh bikin kaget padaku."
Ia dengar suara sendiri rada gemetar, biarpun dikatakan tidak takut, tapi agaknya masih diliputi juga rasa takut.


Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dilihatnya gelung nenek bisu-tuli itu dihias sebuah tusuk kundai, bajunya berwarna abu-abu pucat, jelas serupa dengan dandanan sendiri, segera ia berkata pula, "Nenek bisu, harap maaf. Daya ingat Ing-ing sungguh hebat, dia masih ingat dandananmu, maka dia telah menyamarkan diriku sehingga mirip saudara kembarmu."
Dilihatnya air muka si nenek bisu kaku dingin tidak mengunjuk rasa gusar juga tidak ada rasa senang, entah apa yang terpikir dalam benaknya. Diam-diam Lenghou Tiong membatin. "Orang ini sungguh aneh, aku menyamar sebagai dia dan kepergok olehnya, rasanya aku tidak boleh tinggal terlalu lama di sini."
Segera ia berbangkit, ia memberi hormat kepada nenek itu dan berkata, "Sudah larut malam aku mohon diri dulu." Ia lantas putar tubuh dan melangkah ke arah datangnya tadi.
Tapi baru beberapa langkah saja mendadak di depannya sudah berdiri satu orang yang merintangi jalannya. Siapa lagi kalau bukan si nenek bisu-tuli itu. Entah dengan cara bagaimana tahu-tahu sudah berada di depannya.
Keruan kejut Lenghou Tiong tak terkatakan, ia tahu malam ini benar-benar ketemu seorang kosen, celaka dirinya justru menyamar seperti si nenek, sudah tentu hal ini menimbulkan kemarahannya.
Maka Lenghou Tiong lantas memberi hormat pula dan berkata, "Maaf, Nenek, Cayhe berbuat salah, biarlah kuganti pakaian, nanti kudatang lagi ke Sian-kong-si untuk minta maaf."
Nenek itu tetap kaku tidak berperasaan tidak mengunjuk sikapnya atau tidak.
"Ah, ya, engkau tentunya tidak mendengar ucapanku," kata Lenghou Tiong. Lalu ia berjongkok dan menulis di atas tanah dengan jari: "Maaf, lain kali tidak berani lagi."
Waktu ia tegak kembali, dilihatnya si nenek tetap berdiri mematung, sedikit pun tidak memandang kepada apa yang dituliskannya.
Sambil menunjuk tulisan-tulisan di atas tanah itu, dengan suara keras Lenghou Tiong berseru, "Maaf, lain kali tidak berani lagi!"
Tapi nenek itu tetap tidak bergerak, sungguh mirip patung belaka.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Wah, celaka, mungkin dia buta huruf!" Berulang-ulang ia lantas membungkuk-bungkuk badan, tangannya memberi isyarat-isyarat dan berlagak melepas pakaian dan menanggalkan kundai, lalu memberi hormat pula sebagai tanda minta dimaafkan.
Namun nenek itu tetap diam saja, sedikit pun tidak bergerak, entah tidak paham maksudnya atau memang sengaja tidak menggubrisnya.
Lenghou Tiong kehabisan akal, ia garuk-garuk kepala sendiri yang tidak gatal. Sambil miringkan tubuh segera ia menyelusup lewat di samping si nenek.
Baru saja kakinya bergerak, mendadak nenek itu pun menggeliat dan tahu-tahu sudah mengadang pula di depannya. Lenghou Tiong terkesiap, katanya pula, "Maaf!" Berbareng ia melangkah ke kanan, tapi menyusul ia terus meloncat lewat ke sebelah kiri. Baru saja kakinya menancap tanah, tahu-tahu si nenek sudah berdiri di depan lagi dan merintangi jalannya.
Tentu saja Lenghou Tiong tidak terima. Berulang-ulang ia melompat beberapa kali, makin lama makin cepat, namun selangkah pun si nenek tidak mau ketinggalan, selalu dapat mencegat jalan perginya.
Lenghou Tiong menjadi tidak sabar, melihat nenek itu masih merintangi jalannya, tangan kiri segera mendorong pundak orang. Tapi baru saja jarinya hendak menempel tempat sasaran, mendadak tangan si nenek yang kurus kering memotong ke bawah, menebas pergelangan tangannya.
Lekas Lenghou Tiong menarik tangan, walaupun begitu cepat ia menarik tangan tidak urung punggung tangan juga keserempet oleh jari kecil si nenek, rasanya sakit laksana disayat pisau.
Lantaran merasa bersalah, Lenghou Tiong tidak berani menempur si nenek, yang dia harapkan hanya lekas tinggal pergi saja. Cepat ia menunduk dan bermaksud menyelinap lewat di sisi orang. Tapi baru saja tubuhnya bergerak tiba-tiba angin pukulan sudah menyambar, nenek itu telah menghantamnya dengan telapak tangan.
Cepat Lenghou Tiong mengegos, tapi serangan itu teramat cepat, "plak", pundak kena terpukul. Sebaliknya nenek itu pun tergeliat. Kiranya pada saat hantaman si nenek kena sasarannya, berbareng "Gip-sing-tay-hoat" dalam tubuh Lenghou Tiong memberi reaksi sehingga tenaga pukulan lawan tersedot.
Sekonyong-konyong tangan lain si nenek mengulur tiba pula, kini jarinya yang lentik kurus bagai cakar ayam itu menusuk kedua matanya.
Dengan terperanjat lekas Lenghou Tiong mendak ke bawah untuk menghindar, dengan demikian punggungnya menjadi tidak terjaga, kalau kena digebuk lagi tentu celaka. Untung nenek itu rupanya juga sudah kapok terhadap "Gip-sing-tay-hoat", nyatanya tidak berani menyerang pada kesempatan yang ada itu, sebaliknya tangan kanan lantas mencukil balik ke atas malah untuk tetap menyerang kedua mata Lenghou Tiong. Jelas si nenek sudah ambil ketetapan akan terus menyerang biji mata lawan yang lemah, betapa pun lihainya Gip-sing-tay-hoat tentu tak bisa dikerahkan melalui biji mata, asal biji mata kena dicolok pasti akan buta.
Terpaksa Lenghou Tiong angkat tangan buat menangkis, tapi nenek itu lantas putar tangannya, jarinya lantas mencakar mata kirinya. Waktu Lenghou Tiong menangkis pula, mendadak jari kanan si nenek mencolok telinganya.
Beberapa kali serangan nenek itu dilakukan dengan cepat luar biasa, setiap serangan caranya lucu, lebih mirip cara berkelahi perempuan bawel kampungan, cuma tempat yang diarah justru berbahaya, caranya cepat pula, hanya beberapa jurus saja Lenghou Tiong sudah terdesak mundur terus.
Memangnya Lenghou Tiong tidak mahir main pukulan dan tendangan, coba kalau si nenek tidak gentar terhadap Gip-sing-tay-hoat sehingga tidak berani mengadu tangan dengan dia, dapat dipastikan Lenghou Tiong sudah kenyang digebuk sejak tadi.
Setelah bergebrak beberapa jurus lagi, Lenghou Tiong tahu dalam hal permainan tangan dan kaki masih selisih jauh dengan lawan, kalau tidak lolos pedang pasti sukar meloloskan diri. Segera ia bermaksud mencabut gagang pedang pandak yang terselip di pinggangnya. Tapi baru saja tangan menyentuh gagang pedang, nenek itu seakan-akan sudah tahu maksudnya, dengan cepat luar biasa segera ia melancarkan serangan beberapa kali, terpaksa Lenghou Tiong berkelit ke sana dan mengegos ke sini sehingga tidak sempat melolos pedangnya.
Melihat tipu serangan si nenek makin lama semakin keji, padahal selamanya tiada permusuhan apa-apa, namun orang tidak segan-segan membutakan matanya, Lenghou Tiong merasa keadaannya sangat berbahaya, mau tak mau ia harus selamatkan diri. Mendadak ia menggertak keras, dengan tangan kiri mengaling-alingi kedua mata sendiri, tangan kanan segera meraba pinggang buat mencabut pedang, ia pikir biar kena dipukul atau ditendang lawan asalkan pedang sendiri dapat dilolos keluar.
Tak tersangka, pada saat demikian itu, sekonyong-konyong kepala terasa kencang, rambut kena dijambak orang, menyusul kedua kaki lantas meninggalkan tanah, tubuh terapung, terang telah diangkat oleh si nenek. Habis itu lantas terasa langit berputar dan bumi terbalik, tubuh berputar cepat di udara, rupanya si nenek telah menjambak rambutnya terus diangkat dan diayun sekuatnya, makin lama makin cepat.
"He, he, apa yang kau lakukan?" Lenghou Tiong berkaok-kaok, kedua tangan mencakar dan memukul serabutan, pikirnya hendak mencengkeram lengan si nenek. Tapi mendadak iga kanan-kiri terasa pegal, rupanya hiat-to bagian tersebut tertutuk, menyusul hiat-to bagian punggung, pinggang, dada, dan leher kena ditutuk, kontan sekujur badan Lenghou Tiong terasa lemas dan tak bisa berkutik lagi.
Lebih celaka lagi si nenek ternyata tidak mau berhenti, tubuhnya dianggap sebagai bandulan saja, masih diayun terus dan diputar dengan cepat.
Diam-diam Lenghou Tiong membatin, "Selama hidupku, sudah banyak menemui hal-hal yang aneh, tapi pengalaman sial seperti sekarang dijadikan kitiran oleh orang boleh dikata baru pertama kali ini terjadi."
Nenek itu terus memutarnya sehingga Lenghou Tiong kepala pusing dan mata berkunang-kunang dan hampir pingsan, habis itu barulah puas. "Bluk", dengan keras ia banting Lenghou Tiong ke tanah.
Sebenarnya Lenghou Tiong tidak punya rasa permusuhan dengan si nenek, tapi sekarang dia kena dikerjai hingga setengah mati, dengan sendirinya dia sangat gusar. Segera ia mencaci maki, "Perempuan busuk, perempuan keparat, coba kau sejak mula kutusuk beberapa lubang."
Nenek itu memandangnya dengan sikap dingin, air mukanya tetap tidak mengunjuk sesuatu perasaan.
"Berkelahi terang kalah, kalau aku tidak membalas dengan mencaci maki rasanya akan terlalu rugi," demikian pikir Lenghou Tiong. "Tapi kini aku tidak bisa berkutik, jika dia tahu aku memakinya, tentu aku akan disiksa lebih hebat."
Segera ia mendapat suatu cara yang baik, ia memaki tapi mukanya tertawa-tawa, "Perempuan bangsat, perempuan busuk, sadar memang jahat, makanya Thian menciptakanmu menjadi bisu dan tuli, tidak bisa tertawa, tidak bisa menangis, mirip orang gila, sekalipun binatang juga lebih beruntung daripadamu."
Semakin mencaci maki dengan kata-kata yang keji, semakin riang pula tertawanya. Sebenarnya ia cuma pura-pura tertawa, maksudnya supaya si nenek tuli itu tidak mencurigai dia sedang memakinya. Tapi kemudian demi melihat si nenek sama sekali tidak memberi reaksi, akalnya membawa hasil, ia menjadi senang sehingga tertawa terbahak-bahak.
Perlahan nenek itu mendekati dia, mendadak sebelah tangannya menjambak pula rambutnya terus diseret ke depan sana. Jalannya makin lama makin cepat. Karena hiat-to tertutuk, tapi daya rasa Lenghou Tiong tidak menjadi hilang, ia merasa kesakitan karena badan tergosok-gosok di atas tanah. Dengan gemas ia mencaci maki pula tanpa berhenti, namun sekarang dia tak bisa tertawa lagi.
Nenek itu menyeretnya ke atas gunung, dari keadaan setempat Lenghou Tiong melihat tempat yang dituju adalah Sian-kong-si. Kini Lenghou Tiong sudah tahu dengan pasti bahwa orang yang mengerjai Put-kay Hwesio, Dian Pek-kong, Boh-pak-siang-him, Pau Tay-coh, Siu Siong-lian, dan lain-lain tentu juga nenek bisu-tuli ini. Padahal dahulu dirinya pernah datang ke Sian-kong-si dan melihat nenek ini, namun sedikit pun tidak tahu orang memiliki kepandaian sedemikian hebat, boleh dikatakan terlalu goblok. Sampai-sampai kaum ahli seperti Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang juga tidak mencurigai dia, maka harus dipuji kepandaian si nenek ini mengelabui orang.
Lantas terpikir pula oleh Lenghou Tiong, "Jika si nenek ini juga menggantung aku di atas pohon seperti Put-kay Taysu dan lain-lain, lalu menempel plakat pula di atas tubuhku dengan tuduhan sebagai manusia yang paling cabul dan sebagainya, padahal sebagai ketua Hing-san-pay, sekarang aku berdandan begini pula, wah, tentu akan malu besar. Untung dia menyeret aku ke Sian-kong-si, biarlah dia menggantung aku di sana dan dihajar, asal tidak malu di depan umum masih mendingan."
Dasar watak Lenghou Tiong memang terbuka, ia anggap biar sial toh tidak sampai kehilangan muka habis-habisan, masih boleh dibilang mendingan, tapi lantas terpikir olehnya, "Entah dia sudah mengetahui asal usul diriku atau tidak" Jangan-jangan dia tahu aku adalah ketua Hing-san-pay maka sengaja memberi layanan istimewa daripada yang lain."
Sepanjang jalan ia diseret, keruan badannya babak belur tergosok-gosok oleh batu pegunungan, untung mukanya menghadap ke atas sehingga tidak cacat.
Setiba di Sian-kong-si, nenek itu menyeretnya ke dalam ruangan tengah, pintu kuil ditutup, lalu diseret pula ke atas loteng apung di puncak kuil, yaitu tempat yang dahulu pernah digunakan berunding dengan Hong-ting Taysu dan Tiong-hi Totiang.
"Wah, celaka," diam-diam Lenghou Tiong mengeluh, soalnya Leng-kui-kok, nama loteng di atas itu adalah tempat terapung di atas jurang yang tak terhitung dalamnya, di luar ada sebuah jembatan gantung dan mungkin di sinilah si nenek akan menggantung dirinya. Padahal Sian-kong-si itu jarang didatangi manusia, kalau dirinya digantung di sana sehingga mati kelaparan, wah, rasanya boleh dibayangkan.
Setiba di Leng-kui-kok, nenek itu terus banting dia di situ, lalu tinggal pergi. Sambil menggeletak di lantai Lenghou Tiong coba-coba menerka sebenarnya macam apakah si nenek itu, tapi sukar ditebak, ia hanya menduga bisa jadi seorang tokoh angkatan tua Hing-san-pay, mungkin adalah pelayan guru Ting-cing atau Ting-yat Suthay masa dahulu. Tapi entah cara bagaimana nenek itu mendapat tahu tipu muslihat Siu Siong-lian dan lain-lain sehingga membekuk mereka dan dikerek di atas pohon.
Berpikir sampai di sini hati Lenghou Tiong rada lega, pikirnya pula, "Sebagai ketua Hing-san-pay tentu dia akan mengingat orang sendiri dan takkan membikin susah padaku."
Tapi lantas terpikir lagi, "Dalam penyamaranku seperti ini jangan-jangan dia tak mengenali diriku. Jika dia sangka aku orang jahat segolongan dengan Thio-hujin dan lain-lain yang sengaja menyamar seperti dia untuk menjadi mata-mata di sini dengan muslihat yang akan merugikan Hing-san-pay, wah, bisa jadi ia akan memberi "layanan istimewa" padaku, bisa runyam bila aku disiksa nanti."
Ia dengar suara tindakan yang mendaki tangga loteng, ternyata nenek itu telah naik ke atas lagi dengan tangan membawa seutas tambang, segera Lenghou Tiong ditelikung kaki dan tangannya, lalu diikat kencang-kencang, dikeluarkannya pula sepotong kain kuning dan digantungkan di leher Lenghou Tiong.
Sudah tentu Lenghou Tiong sangat tertarik untuk mengetahui apa yang tertulis pada kain plakat itu. Akan tetapi pada saat itu juga pandangannya menjadi gelap, kedua matanya telah ditutup oleh si nenek dengan sepotong kain hitam.
"Cerdik benar nenek ini," demikian pikir Lenghou Tiong. "Dia tahu aku ingin sekali membaca apa yang tertulis di atas kain, tapi sengaja membikin aku tak bisa melihatnya. Kecerdasan nenek ini sungguh jauh melebihi orang biasa. Tapi, hah, Lenghou Tiong sudah terkenal sebagai pemuda yang bangor, tentu apa yang tertulis di atas kain ini tiada kata-kata yang baik bagiku, buat apa aku membacanya?"
Tiba-tiba ia merasa kaki dan tangannya yang terikat ditelikung itu tertarik kencang, tubuh lantas terapung ke atas, ternyata sudah dikerek tinggi-tinggi di atas belandar. Tidak kepalang gusar Lenghou Tiong, segera ia mencaci maki pula.
Meski dia suka ugal-ugalan, tapi pikirannya juga cukup cermat, pikirnya, "Kalau aku hanya mencaci maki serabutan, tetap tidak dapat menolong diriku. Sebaiknya aku mengerahkan tenaga perlahan untuk melancarkan hiat-to yang tertutuk, bila aku sudah pegang senjata tentu akan dapat mengatasi nenek itu, aku pun akan gantung dia di tempat yang tinggi, akan kugantung pula kain kuning pada lehernya, lalu apa yang harus kutulis pada plakat itu" Nenek jahat nomor satu di dunia ini" Ah, kurang tepat menyebut dia sebagai nomor satu di dunia, bisa jadi dia malah akan girang. Biarlah kutulis saja: "Nenek jahat nomor ke-17 di dunia ini", biar kepalanya pecah memikirkan siapa lagi ke-16 nenek jahat lain yang lebih tinggi derajatnya daripada dia sendiri."
Ia coba pasang telinga, tak terdengar lagi suara orang bernapas, agaknya nenek itu sudah pergi.
Setelah digantung terkatung-katung di situ selama beberapa jam, perut Lenghou Tiong mulai keroncongan, ketika ia coba mengerahkan tenaga, eh, terasa hiat-to sudah mulai lancar. Selagi bergirang di dalam hati sekonyong-konyong tubuhnya terguncang, "bluk", dengan keras ia terbanting di atas loteng, ternyata si nenek telah melepaskan tambang kerekan. Tapi sejak kapan nenek itu datang sedikit pun Lenghou Tiong tidak mendengar.
Nenek itu lantas lepaskan kain hitam penutup matanya, hiat-to bagian lehernya belum lancar sehingga sukar menunduk untuk membaca tulisan plakat, hanya pada huruf paling bawah sekilas terlihat adalah huruf "nio" yang berarti perempuan.
Diam-diam Lenghou Tiong mengeluh pula, ia percaya dengan huruf itu tentu si nenek benar-benar menyangka dia sebagai perempuan. Kalau dia menuliskan kata-kata yang anggap dia sebagai pemuda porno, bajingan tengik, atau manusia rendah segala adalah tidak menjadi soal baginya, tapi menganggapnya sebagai perempuan, wah, ini benar-benar runyam, konyol.
Dilihatnya si nenek mengambil sebuah mangkuk, ia pikir barangkali si nenek memberi minum teh atau arak padanya. Paling baik dia menyuguhkan arak padaku, demikian ia membatin.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong kepala terasa panas tersiram air mendidih, ia menjerit kesakitan. Ternyata isi mangkuk itu adalah air mendidih dan oleh si nenek disiramkan begitu saja pada kepalanya.
Dengan murka Lenghou Tiong memaki, "Nenek bangsat, apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku?"
Tapi lantas terlihat si nenek mengeluarkan pula sebilah pisau cukur.
Keruan Lenghou Tiong terperanjat, segera terdengar suara "krik-krik", kulit kepalanya serasa sakit perih, ternyata si nenek sedang mencukur rambutnya.
Kejut dan gusar pula Lenghou Tiong, ia tidak tahu apa maksud tujuan nenek gila itu. Tapi hanya sebentar saja, kepalanya terasa sudah gundul kelimis, rambut telah dicukur bersih oleh si nenek.
"Bagus, hari ini Lenghou Tiong benar-benar telah menjadi hwesio. Ah, tidak tepat, aku memakai baju perempuan, harus disebut menjadi nikoh," demikian ia berpikir.
Tapi hatinya terasa ngeri juga ketika teringat olehnya Ing-ing pernah berkelakar menyuruh dia menyamar sebagai nikoh saja, ternyata ucapannya itu menjadi kenyataan. Bukan mustahil nenek jahat ini telah mengetahui siapa diriku dan anggap seorang lelaki tidak pantas menjadi ketua Hing-san-pay, maka tidak cuma mencukur rambutku saja, bahkan akan... akan kebiri aku punya alat vital, supaya aku tidak bisa membikin kotor tempat suci ini. Wah, nenek gila ini rupanya dapat berbuat apa pun juga. Sungguh nahas, agaknya hari ini aku Lenghou Tiong harus terima nasib, tapi jangan sekali-kali aku meyakinkan Pi-sia-kiam-hoat.
Selesai mencukur kepala Lenghou Tiong, nenek itu sapu bersih pula rambut yang berserakan di lantai itu.
Lenghou Tiong merasa keadaan sudah gawat, cepat ia mengerahkan tenaga dalam sekuatnya, ia coba bobol hiat-to yang tertutuk itu.
Selagi merasa beberapa hiat-to yang tertutuk itu mulai lancar, tiba-tiba bagian punggung dan bahunya kesemutan pula, hiat-to bagian tersebut kembali ditutuk si nenek pula.
Seketika Lenghou Tiong seperti balon gembos, ia menghela napas panjang, rasanya lemas, sampai-sampai caci maki juga sungkan dilontarkan lagi.
Si nenek lantas menanggalkan kain plakat yang bergantungan di leher Lenghou Tiong itu dan ditaruh di samping sana.
Baru sekarang Lenghou Tiong dapat melihat jelas apa yang tertulis di kain itu, yakni: "Si buta nomor satu di dunia ini, perempuan jahat yang bukan lelaki dan bukan perempuan."
Serentak Lenghou Tiong mengeluh pula, "Wah, celaka! Kiranya nenek gila ini cuma pura-pura bisu dan dapat bicara, kalau tidak, dari mana dia mengetahui makian Put-kay Taysu padaku sebagai orang buta nomor satu di dunia ini" Hanya ada dua kemungkinan, dia mencuri dengar ketika Put-kay Taysu bicara dengan Gi-lim atau dia mencuri dengar ketika Gi-lim bicara padaku tadi. Atau bisa juga kedua kali dia mencuri dengar semua."
Berpikir sampai di sini, segera ia berteriak, "Sudahlah, kau tidak perlu menyamar dan pura-pura lagi, kau bukan orang tuli."
Tapi nenek itu tetap tidak peduli, sebaliknya terus menggerayangi tubuh Lenghou Tiong hendak membuka pakaiannya.
"He, hei! Apa yang hendak kau lakukan?" Lenghou Tiong berkaok-kaok dengan khawatir. Ia tidak tahu apakah si nenek benar-benar tidak dapat mendengar atau sengaja pura-pura tidak mendengar. Yang jelas segera terdengar suara "brat-bret", bajunya telah ditarik begitu saja oleh si nenek itu hingga robek menjadi dua belah dan terlepas dari tubuhnya.
"He, jika kau mengganggu seujung rambutku saja tentu akan kucencang tubuhmu hingga hancur luluh," teriak Lenghou Tiong gusar. Tapi lantas terpikir olehnya, "Bukan saja seujung rambut, bahkan dia sudah mencukur habis seluruh rambutku."
Tertampak si nenek mengambil sepotong batu asah pisau, diteteskan beberapa tetes air di atas batu asah itu, lalu dipakai mengasah pisau cukur. Sejenak kemudian pisau cukur itu ditaruhnya di samping, dari saku dikeluarkannya sebuah botol porselen kecil, rupanya isi botol itu adalah obat luka paling mustajab bikinan Hing-san-pay yang juga telah dikenal dengan baik oleh Lenghou Tiong sendiri.
Kemudian si nenek menyiapkan pula beberapa potong kain putih, yakni guna pembalut luka. Padahal Lenghou Tiong tidak merasa punya luka baru. Melihat cara si nenek menyiapkan segala perlengkapan itu, jelas akan melakukan sesuatu operasi apa-apa pada tubuhnya.
Selesai menyiapkan semua itu, kedua mata si nenek menatap tajam Lenghou Tiong. Selang sejenak, ia angkat tubuh Lenghou Tiong dan diletakkan di atas meja, lalu memandangnya pula dengan sikap kaku tak berperasaan.
Lenghou Tiong sudah kenyang pengalaman dalam pertempuran macam apa pun, sekalipun terluka parah dan terkepung musuh, belum pernah ia merasa jeri dan gentar, tapi kini menghadapi seorang nenek demikian, dalam hati timbul rasa takut yang tak terkatakan.
Perlahan si nenek angkat pisau cukurnya, di bawah cahaya lilin yang berkelip-kelip, pisau cukur yang tajam itu gemilapan, butir keringat dingin penuh menghias dahi Lenghou Tiong, alangkah ngerinya bila dia membayangkan sebentar lagi "anunya" akan dikebiri oleh si nenek.
Sekonyong-konyong terkilas satu pikiran dalam benaknya, tanpa pikir lagi ia berteriak, "Engkau... adalah bininya Put-kay Hwesio!"
Tubuh nenek itu tampak tergetar dan mundur selangkah, katanya kemudian, "Da... dari mana... kau tahu?"
Suaranya parau kering, ucapannya sekata demi sekata dan kaku, mirip benar dengan anak kecil yang baru belajar omong.
Bab 131. Rahasia Gi-lim dan Kekonyolan Put-kay Hwesio
Ketika mengucapkan kata-katanya tadi, Lenghou Tiong memang tidak pernah berpikir panjang, setelah ditanya balik oleh si nenek barulah ia berpikir mengapa diri sendiri bisa menarik kesimpulan demikian"
Tapi ia lantas menjengek, "Hm, sudah tentu aku tahu, sudah sejak tadi aku tahu."
Namun dalam hati sebenarnya ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, "Ya, dari mana aku mendapat tahu hal itu" O, ya, tentu disebabkan plakat yang dia gantungkan di leher Put-kay Taysu itu. Pada plakat itu tertulis tuduhan kepada Put-kay sebagai manusia paling tak berperasaan, orang yang paling doyan perempuan, soal ini, selain Put-kay sendiri di dunia ini hanya istrinya saja yang tahu, lain tidak."
Karena pikiran demikian, segera Lenghou Tiong berseru pula, "Hm, justru kau sendiri masih selalu terkenang kepada manusia yang tidak berperasaan, orang yang paling doyan perempuan sebagai Put-kay, kalau tidak, waktu dia gantung diri hendak cari mampus, kenapa kau potong tali gantungannya" Dia mau menggorok leher sendiri, kenapa kau sembunyikan pisaunya" Huh, manusia yang tak berperasaan, orang yang paling suka main perempuan begitu, biarkan dia mampus saja, buat apa kau urus lagi?"
"Hm, kalau dia mampus secara begitu cepat dan enak, kan terlalu mudah bagi dia," jengek si nenek.
"Ya, aku tahu, dia harus diperas dulu tenaga dan pikirannya, biarkan dia kelabakan setengah mati mencari dari ujung sini ke pojok sana, dari utara mencari ke selatan, selama berpuluh tahun dia mencarimu, tapi engkau sengaja sembunyi di sini dengan hidup tenang, dengan demikian barulah engkau merasa puas!"
"Memangnya, dengan begitu baru setimpal dengan dosanya," ujar si nenek. "Dia sudah menikahi aku, kenapa dia menggoda perempuan lain pula?"
"Siapa yang bilang dia menggoda perempuan lain?" tanya Lenghou Tiong. "Orang cuma memandang dan memuji putrimu lalu Put-kay juga memandang dan memuji orang, ini kan lumrah, kenapa dianggap berdosa?"
"Seorang laki-laki kalau sudah beristri, jika dia memandang, mengincar perempuan lain lagi, hal ini dilarang keras," kata si nenek.
Lenghou Tiong merasa nenek ini benar-benar terlalu aneh, masakah orang pandang-memandang saja menimbulkan rasa cemburunya yang begini hebat. Segera ia berdebat, "Dan kau sendiri sudah menjadi istri orang, mengapa kau pandang laki-laki juga?"
Nenek itu menjadi gusar, sahutnya, "Bilakah aku memandang laki-laki" Ngaco-belo!"
"Bukankah sekarang juga engkau sedang memandang diriku" Memangnya aku bukan laki-laki tulen?" kata Lenghou Tiong. "Padahal Put-kay hanya memandang orang beberapa kejap saja, sebaliknya engkau malah sudah menjambak rambutku, sudah meraba kepalaku, ini berarti telah melanggar larangan suci itu. Untung engkau hanya menyentuh kulit kepalaku saja, tidak meraba wajahku, kalau tidak, pasti engkau akan dihukum berat oleh sang Buddha Koan-im."
Ia pikir nenek ini jarang bergaul dengan umum, tentu pengetahuannya kurang-kurang, maka perlu digertak supaya dia tidak sembarangan menganiaya diriku, apalagi kalau dia benar-benar memotong barangku yang tidak bisa dicari gantinya ini.
Tapi lantas terdengar nenek itu menjawab, "Hm, untuk memotong kepalamu juga aku tidak perlu menyentuh badanmu."
"Kalau mau memotong kepalaku, boleh silakan saja lekas!" sahut Lenghou Tiong.
"Hm, ingin kubunuhmu, tidak boleh secepat begini," ujar si nenek. "Sekarang ada dua jalan bagimu, kau boleh pilih sesukamu. Pertama, kau harus lekas mengawini Gi-lim sebagai istrimu, jangan bikin dia hidup merana dan akhirnya mati sengsara. Sebaliknya kalau kau tetap berlagak tak mau menurut, segera aku kebiri dirimu, biar kau berubah menjadi siluman yang serbakonyol, lelaki bukan, perempuan tidak alias banci. Nah, jika kau tidak mengawini Gi-lim, maka kau takkan mampu kawin dengan perempuan busuk lain yang tidak tahu malu."
"Gi-lim memang benar seorang nona baik, tapi di dunia ini selain dia masakah semua nona adalah perempuan busuk yang tidak tahu malu?" jawab Lenghou Tiong.
"Kukira begitulah, andaikan baik juga terbatas," kata si nenek, "Nah, kau mau terima syaratku atau tidak, lekas katakan!"
Sudah belasan tahun si nenek pura-pura tuli dan berlagak bisu, sudah sekian lama tidak pernah bicara sehingga lidahnya sudah rada kaku, kini setelah bicara sebentar barulah ucapannya mulai lancar kembali.
Begitulah Lenghou Tiong lantas menjawab, "Gi-lim Sumoay adalah teman baikku, jika dia tahu engkau memperlakukan aku cara begini tentu dia akan marah."
"Asal kau menikahi dia sebagai istri, dia tentu akan girang dan segala kemarahan tentu pula akan lenyap," kata si nenek.
"Dia adalah orang beragama yang saleh, sudah bersumpah takkan menikah, bila sampai pikirannya menyeleweng tentu akan dimarahi sang Buddha."
"Bila kau menjadi hwesio, tentu tidak cuma dia sendiri saja yang akan dimarahi sang Buddha. Aku telah mencukur rambutmu, memangnya kau kira tiada gunanya?"
Sepasang Pedang Iblis 13 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Kisah Pedang Bersatu Padu 1
^