Pencarian

Hong Lui Bun 2

Hong Lui Bun Karya Khu Lung Bagian 2


kedua tangan sendiri kemungkinan protol oleh tabasan
pedang lawan- Tapi keadaan memang sudah mendesak,
terpaksa dia menyerempet bahaya.
Tapi menghadapi perlawanan Ping-ji, kedua Tosu itu juga
terkejut, beberapa gebrak sudah, tapi mereka masih belum
berhasil menyelami permainan silat Ping-ji dari aliran mana,
bukan saja aneh dan lihay, perbawanya juga tidak asor
dibanding ilmu silat dari aliran besar yang digjaya dijaman ini.
oleh karena itu mereka sudah bergerak turun sekalian hendak
menabaS, tapi menduga gerakan lawan kemungkinan masih
ada serangan susulan lain, maka mereka^adi sibuk sendiri
menarik- pedang dan berpencar kedua samping.
Melihat mereka menarik diri, kebetulan malah bagi Ping-ji,
terdengar mulutnya menghardik, kedua tangan ditarik
tubuhnya malah berputar dengan kaki kanan sebagai poros,
dimana lengan bajunya mengebas pula dibarengi suitan
tubuhnya lantas melambung ditengah udara kedua tangannya
menari gencar menimbulkan taburan telapak tangan hingga
menyilaukan mata, kedua Tojin itu seperti sudah terjaring
didalam taburan telapak tangannya, itulah jurus Llong-hwi-kiuthian
dari Wi-liong-ciang. Melihat serangan hebat dengan gaya aneh lagi, serasa
pecan nyali kedua Tos u itu mereka sudah siap menarik diri,
tahu-tahu gelombang pukulan telah menindih turun, dalam
gugupnya Tosu sebelah kiri memberi aba-aba kepada
temannya terns melompat ke pinggir.
Tapi ditengah udara Ping-ji meliukkan pinggang, dengan
menukik dia menubruk ke Tojin sebelah kiri malah. Laksana
elang menerkam anak ayam, disertai serangan dahsyat pula,
kontan kedua Tosu itu rasakan napas sesak mata berkunangkunang,
saking gugup mereka angkat pedang menusuk
keatas. Tapi sekujur badan mendadak tergoncang keras,
"Trang" pedang panjangnya putus jadi dua dan "Prak" batok
kepalanya terpukul remuk darah muncrat dan kembali "Bluk"
jazatnya terkulai roboh. Hampir bersamaan terdengar juga jeritan menyayat hati,
"Bluk" dan "Bles". Ternyata Tojin yang seorang lagi mencelat
terbang dengan jeritan mengerikan, tubuhnya menerjang
kebatu pilar, disusul selarik sinar kemilau, begitu tubuh
membentur batu pedang pun melesat hingga tubuhnya
terpantek diatas batu besar, darah meleleh dari punggung,
setetes demi setetes... Ternyata Liang-gi-kiam-hoat merupakan permainan dua
pedang yang saling isi dan tambal. satu sama lain
mengandung gerakan mengunci yang berlawanan pula, bagi
lawan yan-kurang cermat memang sukar melawan apalagi
berkepandaian lebih rendah, setelah beberapa gebrak, Ping ji
sicerdik ini sudah berhasil menyelami titik kelemahan dari
permainan kedua Tos u ini, maka dalam benaknya dia mencari
akal cara bagaimana memecahkan Liang-gi-kiam-hoat kedua
Tosu ini. Maka dia gunakan Liong-hwi-kiu-thian, taburan
telapak tangannya mengaburkan pandangan kedua lawan,
sesuai dugaan, satu di antara kedua Tojin memang gugup dan
melompat mundur, ini justru masuk perangkap yang
diharapkan, karena perbawa Liang- gi kiam-hoat menjadi
kendor dan dirinya memanfaatkan kesempatan baik ini.
Ping-ji memang bertindak teramat berani, secara berantai
dia pukul mati Tojin yang menyingkir itu. Sebelum Tojin yang
lain sempat mengerjakan otaknya, kembali dia susuli jurus
Liong-kiap-sin-gan, tubuh orang dikebutnya mencelat lalu
disusul timpukan pedang yang memantek tubuh orang diatas
batu. Menghadapi ceceran darah dan mayat bergelimpangan
dalam keadaan yang mengerikan, Ping-ji berdiri lengang
dengan pandangan kosong, daging mukanya tampak
berkernyit. Memang siapa tidak ngeri dan merinding melihat
pembunuhan sadis ini. Tapi tiba-tiba bayangan sang ibu
berkelebat dipelupuk matanya, darah yang meleleh diujung
mulut, sorot mata penuh harap dan lengan yang buntung...
akhirnya dia membanting kaki sambif kertak gigi desisnya.
"Kenyataan yang tak dapat dipungkiri, hutang darah itu
harus kutagih dengan cucuran darah mereka pula. Ini baru
permulaan, hm, tunggu saja." Lalu dia mendongak sambil
melolong keras dan panjang, suaranya seperti benda keras
beradu menjulang tinggi menembus angkasa. Sebelum pekik
suaranya lenyap dia gerakan kedua lengan hingga tubuhmelejit
tinggi, ditengah udara dengan gaya lembut dia
meluncur pula kedepan terus meluncur keatas gunung.
---ooo0dw0ooo--- Bu-tong-san sudah bermandikan cahaya mentari pagi. Tak
jauh dibelakang gunung Bu-tong terdapat sebuah selat
sempit, didalamnya terdapat sebuah Thian-hian- kok. saat
mana, didepan selat berdiri serombongan orang yang tak
terhitung jumlahnya. Diantara mereka ada yang berpakaian
jubah imam ada pula yang berpakaian Busu. orang-orang
gagah yang menyoreng pedang. ada pula yang berpakaian
anak sekolahan- Ada yang sudah tua ubanan, jenggot panjang
menyentuh dada, ada juga yang berwajah putih halus dengan
alis tegak mata bersinar tajam. Meski dandanan mereka
berlainan, tapi mereka berdiri khusuk dengan muka serius,
semua menampilkan rasa tegang dan gelisah.
Sinar pagi menyinari wajah-wajah mereka tidak pernah
menoleh atau memejam mata, semua perhatian ditujukan
kearah sebuah mulut gua diatas dinding gunung. Sebuah batu
besar persegi panjang dan tinggi satu tombak. menutup rapat
mulut gua itu. Tidak jauh dari mulut gua, berdiri segi tiga, tiga orang Tosu
usia lanjut dengan jenggot menyentuh dada. Jubah hijau
mereka diberi plisir warna kuning, semua memegang kebut,
dari dandanan mereka jelas dapat dinilai mereka ketiga Tojin
ini mempunyai kedudukan tinggi dan nama tenar, karena
mereka menghadapi rombongan banyak orang yang berdiri
dimulut selat. Tosu tua yang berpakaian dan bersikap seperti dewa
memang bukan lain adalah ciangbunjin Bu-tong-pay sekarang,
yaitu Ceng-ciok Tojin. Dua Tosu dibelakangnya bukan lain
adalah Pek-ciok Tojin dan Jik-ciok Tojin-
Waktu merambat, sang suryapun merambat makin tinggi.
Melihat sang surya yang baru terbit. Pek-clok Tojin berpaling
kepada Jik-ciok Tojin disebelah kanannya, katanya dengan
suara serak kaku: "Masih setengah jam lagi."
Mendengar bisikan Pek-ciok Tojin, Jik-ciok Tojin menoleh
seraya manggut, mulutnya terbuka hendak bicara.
Mendadak sebuah suitan keras berkumandang dari ngarai
dibawah selat sana, mendengar suitan keras ini seketika
berobah air mukanya, mulut yang hampir bicara ditelannya
kembali. Begitu suitan sirap. melayang turun bayangan
seorang ketanah lapang didalam selat.
Pandangannya mendadak terang, dilihat nya pendatang ini
masih berusia muda. berwajah cakap dengan alis tegak
menaungi sepasang mata besar tajam, mengenakan baju
pendek warna pupus, sikapnya santai dan berjalan
berlenggang. Mendengar suitan serta melihat wajah muda dan ganteng
pemuda ini, diam-diam Jik-ciok Tojin merasa bahwa anak
muda ini pasti bukan orang sembarang orang. Bahwa dalam
saat segenting ini, pemuda berpakaian pelajar ini mendadak
muncul, pasti ada tujuan dan maksud tertentu. Maka sambil
mengerut alis, menenteng kebut dia sudah bergerak hendak
mencegat. Tiba-tiba beberapa bentakan berkumandang dari bawah
pula, tiga Tojin yang menenteng pedang tampak berlari
mendatangi dari arah selat sebelah sana. dua diantaranya
sudah maju mencegat si pemuda, seorang lagi langsung lari
kearah Jik siok To jin- Dengan napas memburu Tojin ini memberi laporan: "Murid
generasi ke 53 Ji-hun memberi lapor kepada Susiokco. Tecu
bersama Siang-hun dan King-hun Suheng pagi ini meronda
dibelakang gunung, tiba-tiba mendengar suitan s.o.s dari
gunung depan, lekas kami memburu ke sana, ternyata di coatkiam-
giam telah terjadi pembunuhan atas murid-murid
perguruan kita, darah berceceran, mayat bergelimpangan,
seorang Suheng malah terpantek diatas batu, Tecu bertiga
tidak berani ayal, mengingat urusan cukup genting maka
laporkan kejadian ini kepada Susickco harap dimaklumi." Habis
bicara dia membungkuk terus mundur kesamping.
Berkerut alis Jik-ciok Tojin mendengar laporan itu,
tangannya mengulap memberi tanda supaya Tosu muda itu
mengundurkan diri, lalu dia menoleh kearah Ceng-ciok Tojin,
maksudnya hendak minta petunjuk kepada ciangbun
Suhengnya. Tak nyana dilihatnya ciangbun Suhengnya Ceng-ciok Tojin
bersikap serius, seluruh perhatian tertuju kearah gua diatas
dinding yang tertutup batu persegi raksasa itu, bahwasanya
seperti tidak mendengar atau melihat suitan dan kedatangan
Tosu yang memberi laporan-
Jik-ciok Tojin maklum keadaan ciangbunjin, karena dalam
saat dekat ini, situasi bakal terjadi perobahan yang gawat dan
menentukan akan kejayaan Bu-tong-pay mereka selanjutnya,
malah boleh dikata, mati hidup berdirinya Bu-tong-pay
selanjutnya akan ditentukan dalam waktu dekat ini.
Maka sesaat setelah dia bimbang dan hendak membalik
tubuh, sebuah jeritan seperti lolong serigala kumandang dari
sana waktu dia angkat kepala, tampak seorang Tojin terpukul
remuk separo batok kepalanya, mayatnya menggeletak mandi
darah, seorang Tojin muda lain yang bersenjata pedang
sedang didesak kerepotan oleh pemuda sekolahan yang baru
datang itu jelas jiwanyapun terancam elmaut.
Jik-ciok Tojin membentak sekali, tubuhnya segera
melambung tinggi, ditengah udara dia ayun kedua tangannya
menimbulkan gempuran angin dahsyat menerjang kearah si
pemuda. "Blang" kontan dia rasakan tubuhnya bergetar, tubuh
yang meluncur kedepan seperti terhalang terus anjlok turun
kebawah, setelah bersalto dua kali baru Jik-ciok Tojin berdiri
tegak. Bersamaan dengan itu, sebuah jeritan kumandang pula,
jeritan mengerikan yang bisa menyedot sukma orang. Tampak
Tojin berpedang itu kedua tangannya sudah buntung,
berguling-guling ditanah berbatu, pedang panjangnya itupun
putus dua menggeletak ditanah.
Pemuda itu membulatkan matanya menatap dengan
pandangan gusar, lengan kirinya tergores luka beberapa dim,
darah mengalir membasahi lengan bajunya.
Sambil mengayun kebut Jik-ciok Tojin menghampiri,
bentaknya menuding: "Hai, anak bawang, kau di suruh siapa
berani bertingkah di Bu-tong-san, lekas sebutkan nama
gurumu, jiwamu masih boleh diampuni kalau tidak-hm."
Kedengarannya mulutnya garang, pada hal hati Jik-ciok Tojin
amat kaget dan bingung, karena apa yang barusan dialami,
dan bocah ini masih mampu melukai kedua tangan orang
dihadapannya, jelas kepandaian orang tidak lebih asor di
banding kemampuannya sendiri. Maka setelah dia
melontarkan ancamannya, diam-diam dia sudah kerahkan
tenaga, siap siaga menghadapi labrakan lawan-
Ternyata setelah menghabisi empat jiwa Tojin di coat-kiamgiam,
Ping-ji terus langsung naik keatas gunung, diatas
gunung biara besar kecil tersebar di mana2, tapi keadaan
disini sepi lengang tidak kelihatan bayangan orang, karuan dia
keheranan, maka dia keluyuran kian kemari, dua Tosu yang
ronda kepergok ditengah jalan, jelas mereka bukan
tandingannya, hanya segebrak jiwa merekapun amblas.
Karena tidak hapal jalan Ping-ji akhirnya tiba dibelakang
gunung, di atas sebuah tebing dia melihat jauh diselat sana
berkumpul banyak orang, maka dia bersuit panjang terus
melesat terbang kearah sana.
Dikala tubuhnya berlompatan kearah selat itulah, dirinya
dicegat kawanan Tosu bersenjata pedang maka dia membela
diri dengan melontarkan pukulan setelah mengalami beberapa
kali pertempuran, pengalaman nya bertambah, hatipun makin
tambah, tapi dua Tojin yang menghadangnya ini memang
berkepandaian cukup tinggi, maka masih memerlukan sedikit
menguras tenaga baru berhasil membereskan mereka.
Dengan pukulan dahsyat dia berhasil mengepruk remuk
batok kepala seorang Tojin dikala dia menyerang Tojin yang
seorang lagi, didengarnya bentakkan keras disusul terjangan
segulung tenaga angin yang keras menindih dirinya, terpaksa
dia menggerakkan tangan memapak serangan-
Begitu adu pukulan baru hatinya mencelos, dia mundur
setengah langkah baru berdiri tegak pula, pada saat yang
sama selarik sinar kemilau dari sembilan pedang telah
mengaris tiba, dalam gugupnya lekas dia menggeser setengah
langkah pula kesebelah kanan, menghindari tabasan pedang,
namun gerakannya agak terlambat, lengan kirinya tergores
luka beberapa dim, untung dia cukup tangkas, kalau tidak
mungkin lengannya sudah buntung.
Sekilas ujung matanya menangkap gerakan Tojin
berpedang tadi, karuan amarahnya membara dengan satu
gerungan sambil menahan sakit kedua tangannya berputar
melontarkan jurus Llong-kiap-sin-gan, gempuran dahsyat
menerjang kearah Tojin itu.
Tojin itu sedang girang bahwa serangan pedanbnya
berhasil melukai lawan tahu2 segulung tenaga dahsyat telah
melanda dadanya, ter-sipu2 dia menudingkan pedang, tak
nyana pedangnya mendadak tergetar patah dua, tubuhnyapun
keterjang sempoyongan beberapa langkah, "Bluk" dia jatuh
terduduk ternyata kedua tangannya putus dan remuk sebatas
pergelanan tangan- Saking sengit. Ping-ji sudah siap mengganyang Tojin yang
satu ini, tapi dilihatnya Jik ciok Tojin sudah berada
dibelakangnya dia urungkan niatnya, dengan gusar di
tatapnya Jik-ciok Tojin. Mendengar ucapan Jik-ciok Tojin, makin membara amarah
Ping-ji, namun didapati Jik-ciok Tojin ternyata berdandan mirip
dengan Lan-ciok Tojin, maka dia tahu bahwa Tojin yang
dihadapinya ini pasti punya kedudukan lebih tinggi paling tidak
setaraf dengan Lan-ciok Tojin, kepandaiannya juga pasti lihay,
maka dia kendalikan amarah, bentaknya: "Hidung kerbau.
Siapa suruh kau merintangi tuan mudamu, lekas sebutkan
namamu, boleh nanti kuampuni jiwamu, kalau tidak. h m."


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan bertolak pinggang dia balas menatap garang.
Bahwa si pemuda tidak menjawab pertanyaannya malah
balas menyindir dengan nada yang sama dengan dirinya tadi,
sudah tentu Jik-Ciok Tojin naik pitam, damprat nya: "Bocah
kurang ajar, bertingkah dan takabur, lihat pukulan-" Sembari
bicara dia tancapkan kebut dibela kang punggung lalu
menyilang kedua tangan melontarkan pukulan Boh-giok kun
yang terkenal ajaran Butong-pay murni. Pukulan tinjunya
menerbitkan segumpal badai menerjang kedada Ping-ji.
Lekas Ping-ji menggeser setengah langkah sambil
menurunkan tubuh hingga angin pukulan itu lewat diatas
kepalanya, namun berbareng dia melingkarkan kedua lengan
terus didorong kedepan, segulung tenaga bagai lidah petir
menyambar keperut Jik-ciok Tojin.
Jik-ciok Tojin menggembor sekeras guntur, tubuhnya
menjengkang kebelakang terus melesat undur, disaat
tubuhnya terapung dia menekuk pinggang sembari
menggerakkan lengan, kembali sejurus pukulan lihay dari Bohgiok
kun dia lontarkan- Melihat pukulan angin lawan menindih kepala lekas Ping-ji
menunduk kepala sambil miringkan tubuh bergerak setengah
lingkar, berbareng menegakkan tubuh mengayun kedua
tangan, menciptakan tabir pukulan yang deras dengan
tepukan beruntun dari bawah menerjang keatas
menyongsong, pukulan Jik ciok Tojin-
Jik-ciok Tojin merasakan kelihayan pukulan lawan, angin
tajam itu seperti hendak membelah perutnya saja, karuan
darahnya tersirap. lekas dia menghirup napas mengerahkan
hawa murni, ditengah udara, tubuhnya bertolak balik seraya
membentak: "Berhenti." Tabuhnya meluncur tiga tombak baru
melayang turun, bola matanya jelilatan mengawasi Ping-ji.
Baru dua gebrak Jik-ciok Tojin sudah melompat mundur
dan berkata demikian pula, Ping-ji waspada, apalagi lawan
menatapnya tajam main selidik, maka dia tertawa bingar
katanya: " Kenapa" Tojin bangkotan, kau menunggu bantuan
?" Berubah rona muka Jik-ciok Tojin, tapi dia menahan
amarah, katanya " Kenapa tuan bilang begitu. Ada satu hal
Pinto ingin bertanya, entah bagaimana pendapat tuan ?"
Sikap lawan berobah, mau tanya entah soal apa, maka
menegak alis Ping-ji, jengeknya: "Tosu tua hendak tanya apa,
lekas katakan, jangan buang waktu."
Mengkerut alis Jik-ciok Tojin, dengan wajah serius dia
berkata: "Apakah tuan adalah ceng-san-biau-khek yang barubaru
ini terkenal di Kangouw ?"
Tiga bulan yang lalu muncul seorang pemuda ganteng
dikalangan Kangouw, berkepandaian tinggi berpakaian jubah
hijau, bukan saja berkepandaian tinggi, Lwekangnya tangguh,
Ginkangnya tinggi, selama tiga bulan telah mengalahkan
banyak gembong-gembong silat di Bulim, maka kaum
persilatan entah golongan hitam atau aliran putih sama
mengagumi tapi juga tidak sedikit yang mendendam padanya.
Karena dia senang berpakaian hijau, jejaknya tidak menentu
pula maka kaum persilatan memberi julukan ceng-san-biaukhek
(Pendekar gelandangan jubah hijau).
Kini Jik-ciok Tojin menghadapi lawan muda berwajah
ganteng, memiliki kepandaian lihay, asal usul perguruannya
juga susah diketahui. berpakaian hijau pula,jik-ciok jadi curiga,
maka dia ajukan pertanyaan.
Tapi Ping-ji yang ditanya malah menarik alis, bentaknya:"
Tojin keparat jangan ngawur peduli jubah hijau, atau jubah
putih, serahkan jiwamu." Dengan sengit dia cecar Jik-ciok
Tojin dengan pukulan gencar.
Sudah tentu Jik ciok Tojin amat kaget, tak terbayang
bahwa pemuda ini ternyata berwatak kasar dan keras,
pertanyaan tidak dijawab malah menyerang sengit, lekas
diapun lontarkan dua jurus pukulan menangkis sejurus
serangan Ping-ji: "Dar " ditengah ledakan keras, kedua orang
tertolak mundur. Jik-ciok Tojin mundur dua langkah, karuan
kejutnya bukan kepalang. Sementara Ping-ji hanya merasakan
dadanya sesak lekas dia menjejak kaki melompat mundur tiga
kaki jauhnya. Anggaplah dia dipihak yang beruntung, kalau dia
keras kepala tetap bertahan pada posisinya semula darahnya
pasti bergolak dan bertolak belakang. dadanya bisa remuk
hingga darah akan keluar dari tujuh lobang panca indranya.
Maklum saking kagetnya begitu tertolak mundur Jik ciok
Tojin sudah menekuk pinggang memasang kuda-kuda terus
melontarkan pukulan Boh-giok-kun, kali ini bukan saja dia
mengerahkan seluruh kekuatannya, sebaliknya Ping-ji hanya
menggunakan tidak sepenuh tenaganya, adalah jamak kalau
Ping-ji yang dirugikan. Dasar berwatak keras, bahwa diri nya
hampir kecundang sudah tentu hal ini membakar sifat liar
Ping-ji, sambil menggerung dia gerakkan kedua tangan seraya
menarik napas, "Lihat serangan-" Ditengah bentakan, tubuhnya terapung
keatas, ditengah udara dia kebas sepasang lengan baju
kebelakang hingga tubuhnya meluncur seperti pesawat jet,
tubuhnya melengkung kedua tangan bergerak.
Suara "plak-plok" yang nyaring berkumandang di angkasa,
damparan angin pukulan sedahsyat guntur menyambar
menerpa kearah Jik-ciok Tojin-
Jik-ciok Tojin sudah lama kelana di Kangonw
pengalamannya luas, kalau tidak ribuan, juga ratusan kali
bertempur menghadapi lawan tangguh, namun belum pernah
dia menghadapi lawan muda setangguh ini, serangan lawan
menuntut dirinya untuk memboyong seluruh kemampuannya
dan telah memeras seluruh tenaganya, kini lawan menyerang
sedahsyat guntur, bila dia angkat kepala, bayangan telapak
tangan sebanyak itu mengaburkan pandangannya.
Pengalaman berkata dan sudah menjadi kenyataan bahwa
Kungfu bocah memang lihay maka dia tidak berani melawan
secara kekerasan, dia undur dua langkah sembari memutar
badan, sebelah tangan menepuk balik sementara tangan yang
lain didorong miring keatas balas menggempur kearah Ping-ji.
Pukulan Jik-ciok Tojin memang tangguh dorongan telapak
tangannya berhasil menahan lawan hingga tubuhnya mencelat
lebih tinggi tiga kaki. namun Ping-ji menarik napas
menyalurkan hawa murni, "wut" dengan kepala dibawah kaki
diatas dia menukik turun, ditengah rentetan suara tepukan,
jik-ciok Tojin kembali dirabu oleh bayangan telapak tangan-
Baru saja Jik-ciok Tojin sempat ganti napas, tiba-tiba terasa
tenaga raksasa kembali menindih dirinya, karuan kejutnya kali
ini bukan olah-olah, belum sempat dia balas menyerang,
pukulan lawan sudah menindih tiba "Biang" dengan telak
batok kepalanya kena tamparan keras, seketika kepala pusing
mata berkunang-kunang. Pada saat itu, pula terdengar suara ribut-ribut, tampak
serombongan orang berlari dan berlompatan datang. Yang
terdepan adalah seorang Tosu tua berjubah emas, ditengah
hardikannya dia mengayun tangan kiri, segulung angin
pukulan sedahsyat gugur gunung menggulung kearah Ping-ji
yang sedang meluncur turun, berbareng tangan kanan terulur
meraih Jik-ciok Tojin yang hampir roboh.
Berhasil memukul Jik ciok Tojin, Ping-ji sadang melayang
turun. tiba-tiba terasa segulung tenaga menerjang kearah
dirinya, karuan tergetar hatinya, terasa terjangan tenaga
pukulan yang satu ini sedahsyat gugur gunung, hampir tak
kuasa dia melawannya. Lekas dia ayun tangan kiri lalu disusul
tangan kanan menempel telapak tangan kiri serta mendorong
kedepan, begitu pukulan lawan tertahan baru tubuhnya
melayang enteng. Tojin jubah emas segera serahkan Jik ciok Tojin kepada
orang-orang dibelakangnya, tiba-tiba tubuhnya bergetar,
segulung angin keras tiba-tiba menindih tubuhnya, lekas dia
mundur setapak. seraya membentak: Lekas pergi." Kedua
tangan mendorong ke depan "Pyaar Dua pukulan dahsyat
beradu menimbulkan pusaran lesus menerbangkan debu dan
pasir. Waktu Ping-ji pentang matanya, tampak didepannya berdiri
seorang Tosu tua berpakaian jubah kuning emas, dengan topi
keimanan yang gagah dan berwajah agung, jenggotnya
panjang mencapai perut, dengan pandangan kaget dia
menyelidik kearah dirinya, dibelakangnya berjubel banyak
Tosu menonton adu kekuatan barusan-
Diam-diam tegak alis Ping-ji, batinnya: "Tosu ini mungkin
ciang bunjin Bu-tong-pay sekarang, Lwekangnya jelas lebih
tangguh dari beberapa Tosu yang lain-"
Dugaannya memang benar, Tosu tua berjenggot panjang
ini memang adalah Ceng ciok Tojin yang sekarang menduduki
ciang bunjin Bu-tong-pay.
---ooo0dw0ooo--- Diwaktu Ping-ji melabrak Jik-Ciok Tojin diam-diam ceng-
Ciok Tojin sudah memperhatikan, dilihatnya pemuda ini
membekal kesaktian yang ampuh, permainan silatnya
memang tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa, hingga
Jik-Ciok Tojin yang memiliki tingkat kepandaian silat tinggipun
tak mampu menandinginya, karuan makin heran hatinya,
diam-diam dia mengelus jenggot dan menghela napas
gegetun. Sejak Bu-tong-pay didirikan oleh Thio Sam-hong
sampai kini sudah turun temurun melalui belasan generasi,
pada hal setiap generasi pasti menelurkan jenis-jenis silat
yang tiada taranya, sehingga Kungfu Butong-pay bukan saja
makin jaya, malah banyak ilmu peninggalan cikal bakal
mereka pun makin berkembang baik keseluruh penjuru dunia.
Maka selama ratusan tahun tampuk pimpinan Bu-tong-pay
berada ditangan jago-jago kosen yang paling menonjol
diantara murid didik mereka, hingga dikalangan Kangouw,
kebesaran Bu-tong-pay tetap sejajar dengan Siau-lim-pay,
diagulkan sebagai aliran ilmu silat murni.
Namun sejak delapan puluh tahun yang lalu, di kala muncul
seorang aneh didunia persilatan, dengan ilmu silatnya yang
mujijat dia merajai seluruh Kangou dari golongan hitam
maupun aliran putih, para dedongkot silat di Tionggoanpun
tidak dipandang sebelah mata, dipaksa oleh situasi yang amat
mendesak. maka delapan perguruan besar di Tionggoan
berserikat memusuhinya. Dalam suatu kesempatan, orang aneh itu telah dikerubut
selama tiga hari tiga malam akhirnya orang aneh itu lari
dengan luka parah, namun para ciangbunjin kedelapan
perguruan besar itupun sama gugur, hanya ciangbunjin Butong-
pay generasi ke 49 Than-yu Tojin seorang saja yang
berhasil meloloskan diri pulang ke Bu-tong-san, pada hal
Thian-yu Tojin sendiri sudah teringser isi perutnya, setiba di
Bu-tong-san luka-lukanya tak bisa disembuhkan, tak lama
kemudian diapun meninggal.
Sejak peristiwa itu, kekuatan inti dari kaum persilatan di
Tionggoan boleh dikata sudah ludes, ilmu-ilmu tunggal mereka
putus turunan, sehingga pelajaran silat mereka dari generasi
kegenerasi yang lain makin rendah tingkat dan mutunya.
Demikian pula yang dialami oleh Bu-tong-pay, apalagi
calon-calon murid yang benar-benar pandai sukar diperoleh,
hingga kejayaan di masa Cikal bakal mereka tak mungkin
dikejar pula. Akhirnya ciangbunjin yang pegang kuasa
menganjurkan Bu-tong-pay harus tutup pinto dan giat
memperdalam Kungfu, untuk menebus kewibawaan mereka di
kalangan Kangouw. Dikala Goan-hak Tojin ciangbunjin generasi ke lima puluh
pegang tampuk pimpinan di Bu-tong-san, pada suatu peristiwa
gugur gunung, di dalam sebuah gua dibelakang gunung,
mereka menemukan sebuah kotak batu, waktu di buka,
ternyata didalamnya menyimpan sejilid buku pelajaran Siauyang-
cin-keng, itulah karya ciptaan It-sengcu ciangbunjin
gererasi ke dua puluh tiga. Karuan bukan kepalang senang
murid-murid Bu-tong-pay, waktu buku itu diperiksa ada
halaman terakhir pada catatan pesan It-sengcu yang
memperingatkan, karena ilmu ciptaannya itu merupakan karya
terbesar selama hayatnya, yang mana telah menghabiskan
cucuran keringat dan darah, maka dianjurkan supaya ilmu
sakti ini disalurkan kejalan benar, calon murid yang akan
belajar ilmu ini harus dipilih yang benar-benar berbakat dan
berbudi luhur dan bajik. Kebetulan masa itu kejayaan Bu-tong pay sudah makin
merosot, setelah Goan-kak Tojin pulang, diapun tak mampu
mempelajari ilmu yang tercatat didalam buku itu, maklum usia
sudah tua, tenagapun tidak memadai, setelah dirundingkan,
akhirnya pilihan jatuh pada seorang Sutenya yang masih
berusia muda, namun memiliki kecerdasan dan bakat yang
luar biasa untuk memperdalam ilmu temuan itu di dalam
Thian-sin-kok dibelakang gunung Bu-tong, batas waktunya
dua puluh tahun, selama dua puluh tahun ini, dia harus
berhasil menyelami pelajaran ilmu pedang, ilmu pukulan dan
ajaran Lwekang yang termuat didalam Siauyang-cin-keng itu.
Tiga tahun sejak kejadian gugur gunung itu, Goan-kak
Tojin meninggal dunia, sebelum ajal tak lupa dia tetap
memberi wejangan kepada murid-muridnya supaya giat
berlatih demi menggemilangkan kembali kejayaan Bu-tongpay
di masa lalu, diapun menyatakan penyelasannya karena
tak bisa menunggu dan melihat keberhasilan Sutenya.
Sejak ceng-Ciok Tojin memegang tampuk pimpinan di Butong-
san, diapun terus memperdalam ilmu, murid-muridnya
lebih banyak mengekang diri d idala m kesibukan belajar
Kungfu daripada mencampuri pertikaian didunia persilatan.
Sayang sekali, dunia persilatan yang aman tentram sekian
tahun, kini mulai bergolak pula, terjadi beberapa kali huru
hara dan kemelut yang cukup menghebohkan- Agaknya aliranaliran
besar persilatan seperti berlomba saja, masing-masing
sudah berhasil mengeduk pula pelajaran tingkat tinggi dari
warisan para cikal bakalnya yang pernah hilang, sudah tersiar
luas berita di kalangan Kangouw, bahwa perguruan-perguruan
silat itu sudah siap menampilkan diri pula didalam percaturan
dunia persilatan- Yang paling merisaukan pihak Bu-tongpay adalah bahwa
Wi-liong-pit-sin yang dahulu pernah menimbulkan gelombang
perpecahan di kalangan Kangouw, akhir-akhir ini telah
menjadi rebutan berbagai pihak pula. Banyak orang yakin
siapa dapat merebut buku itu dan mempelajari ilmu yang
tercantum didalamnya, maka dia akan menjadi jago silat tanpa
tandingan dikolong langit ini.
Maka diam-diam ceng-Ciok Tojin mengutus beberapa
muridnya ikut terjun ke Kangoaw menyelidik kebenaran berita


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu bila ada kesempatan boleh merebutnya, di samping itu
diapun tidak melupakan Sang Suslok yang masih meyakinkan
ilmu di Thian-sin-kok dalam waktu dekat sudah akan
menamatkan pelajarannya dan keluar gua.
Bahwa usaha murid-muridnya yang turun di Kangouw
belum berhasil, berita yang tersiar di kalangan Kangouw
simpang siur pula. Tahu-tahu pada suatu hari datang seorang perempuan
yang buntung lengannya dengan luka parah ke Bu-tong-san,
tanpa banyak basa basiperempuan ini minta diberi Bik-lok imtan,
obat mujarab turun temurun sejak beberapa generasi
yang merupakan obat pelindung Bu-tong-san pula.
Sudah tentu ceng-Ciok Tojin menolak, karena pil obat itu
bukan saja tak mungkin dibuat lagi, kasiatnya juga luar biasa,
obat itupun tinggal sebutir saja, karena tidak ada kecocokan
paham maka perempuan buntung itu melabrak dan
mengamuk, akhirnya karena merasa kewalahan perempuan
itu melarikan diri, siapa nyana, malam itu perempuan itu telah
menyelundup kedalam biara serta mencuri- Bik-lo-kim-tan itu,
tiga murid Bu-tong-pay terluka dalam usaha mempertahankan
obat sakti itu, maka ceng-Ciok Tojin menugaskan Lan-Ciok
Tojin untuk mengejar dan merebut balik pil obat itu.
Kejadian selanjutnya sudah kami kisahkan dibagian depan
cerita ini. Tak nyana belum lagi satu peristiwa berhasil diatasi,
pagi hari itu ceng-ciok Tojin sudah harus mengumpulkan
seluruh murid-murid Bu tong pay menuju ke Thian-sin-kok
untuk menyambut sang Susick yang bakal keluar dari
pertapaannya, tiada hujan tak ada angin, tahu-tahu seorang
pemuda menerjang datang membuat keributan, tanpa alasan
beberapa muridnya telah terbunuh,jik-Ciok Tojinpun terluka
parah, betapapun sabar dan bajik sifat ceng ciok Tojin,
menghadapi persoalan yang bertubi-tubi ini, tak tahan dia
mengendalikan emosi. Setelah memperhatikan sekian saat, disadarinya bahwa
pemuda didepannya ini, meski kelihatan sopan dan ramah,
mirip anak sekolahan yang tidak pandai silat, tapi kenyataan
dengan mata kepalanya sendiri dia saksikan Jik-ciok Tojin
kecundang ditangannya, ilmu silatnya yang hebat sungguh
membuatnya kagum dan gegetun pula. setapak dia maju,
kebut terayun, katanya setelah membungkuk tubuh: "Pinto
ceng-Ciok. sebagai ciangbun, dari Bu-tong-pay, rasanya kita
masih asing dan belum kenal siapa sebetulnya Siauhiap ini,
murid siapa ?" Karena dia curiga pemuda ini adalah ceng-sanbiaukhek
yang belakangan ini mengangkat nama di kalangan
Kangouw, maka dia ajukan pertanyaan tadi.
Mendengar pertanyaan sopan dan ramah agak kendor
amarah Pingji. diam-diam diapun puji sikap Tojin tua ini,
memang tidak malu sabagai pimpinan, namun dia gelenggeleng,
katanya: "Aku tidak punya nama, juga tidak punya
guru." Semula ceng-Ciok Tojin tertegun, akhirnya berobah air
muk. dia kira orang tidak mau jawab pertanyaannya, maka
sambil menarik muka suaranya kereng: "Lalu untuk apa kau
kemari?" nadanya tinggi, jelas dia naik pitam, maklum seorang
yang memiliki Kungfu setinggi itu, mana mungkin tidak punya
guru, tidak punya nama lagi. Siapa pun tidak akan percaya
mendengar jawaban Ping-ji, maklum kalau ceng-Ciok Tojin
naik pitam, karena jawaban itu dianggapnya menghina pula.
Bahwa jawabannya tidak dipercaya. Ping-ji juga marah,
mendengar tegoran yang bernada mengancam pula, makin
membara amarahnya, diapun maju setapak dan membentak
gusar: "Aku justru ingin tanya kau, beberapa hari yang lalu
betulkah ada perempuan lengan buntung obat ?"
'Memangnya kenapa ?" "cong elok Tojin balas tanya sambil
mengerut alis. Ping-ji maju setapak pula, suaranya mendesis bengis:
"Siapa yang memukulnya luka parah " Katakan " nadanya
kaku, keras sorit matanya menyala gusar.
Tiba-tiba Tojin tua dibela kang ceng-Ciok Tojin melompat
keluar seraya meraung gusar, bentaknya menuding: "Binatang
kurang ajar, dihadapan ciangbunjin berani bertingkah, siapa
sih yang memelihara binatang tidak tahu pendidikan seperti
kau?" tiba-tiba lengan bajunya mengebas melontarkan
segulung angin kearah Ping-ji.
Dengan gusar Ping-ji sedang melotot kepada ceng-Ciok
Tojin, tiba-tiba Tos u tua yang kemari ini berjubah kuning ini
melompat maju seraya menyerang, saking gusar dia mundur
setapak memasang kuda-kuda memberatkan tubuh, sekali
tarik napas dia dorong kedua tangannya, kembali dia
lancarkan Liong-kiap-singan, jurus pertama dari ilmu pukulan
yang tertera d idala m Wi-liong-pit-sin-
"Pyuuur" terjadilah pusaran angin les us membumbung
tinggi keangkasa, batu pasir beterbangan. Ping-ji rasakan
jantungnya melonjak. segulung hawa hangat menggulung naik
dari pusar, lekas die tarik napas serta menekan darah, lalu
menyalurkan kembali ke tempat asalnya.
Lekas sekali pasir dan debu yang beterbangan itupun telah
tersapu pergi oleh hembusan angin lalu. Dilihatnya Tosu tua
itu sebelah tangannya menekan dada, sorot matanya kaget,
heran dan bingung, amarahnya mendadak memuncak pula,
sambil meraung Ping-ji melompat keatas dan siap memukul
pula. "Berhenti." Tiba-tiba ceng-Ciok Tojin berseru, berbareng dia
menggerakkan tangan melontarkan segulung angin pukulan
mencegah Ping-ji beraksi.
Ping-ji masih terapung dludara, lekas dia jumpalitan
kebelakang meminjam dorongan pukulan lawan terus
melayang turun dengan enteng.
ceng-Ciok mengulap tangan sambil berpaling, katanya:
"Pek-Ciok. kau mundur." Lalu dia memberi tanda kepada PingTiraikasih
Website ji, katanya: "Siauhiap. tunggu sejenak. dengarkan dulu
penjelasan Pinto." Tegak alis Ping-ji, katanya tidak sabar:
"Kau sudah tua bangka masih banyak mulut, kalau kalian
ingin main giliran, tuan muda ini juga tidak gentar, boleh maju
satu-satu." Berobah roman ceng-Ciok Tojin, katanya "Siauhiap. jangan
kau terlalu menghina." Bahwa ceng-Ciok Tojin menahan sabar
dan mengalah supaya pertempuran ini tidak dilanjutkan
karena dia harus menunggu sang Susiok yang sudah akan
berakhir tapanya di dalam gua, sebentar lagi beliau akan
keluar, maka keadaan diluar pantang ribut dan berisik, tak
nyana pemuda ini disamping kurang ajar, temberang dan
bertingkah pula, sungguh tak tahan dia menahan sabar,
saking marah mukanya merah padam, sekujur tubuh
bergoncang. Ping ji juga berobah air mukanya, bentaknya bengis: "Kau
mau apa?" Setelah menyeringai lalu mendesis pula, "kalau hari
ini kau tidak serahkan orang yang melakukan penganiayaan,
sarangmu ini akan kuobrak-abrik sampai lebur.'
Wajah yang merah padam itu makin buruk lagi
kelihatannya. bibir ceng-Ciok Tojin gemetar, sebelum dia buka
suara, Pek-ciok Tojin dibelakangnya sudah tampil kedepan
pula sambil menuding Ping-ji, bentaknya:
"Binatang keparat, marilah lawan dulu sepasang tanganku."
Kedua tangan sudah bergerak mau menggempur.
"Tahan-" Bentakan keras berwibawa menghentikan aksi
Pek-ciok Tojin- Ping-ji yang sudah siap siaga juga tertegun,
segera dia menoleh kearah ceng-Ciok Tojin-
Tampak Tojin yang satu ini menampilkan sikap kereng dan
berwibawa, desisnya kepada Pek-ciok Tojin: "Pek-Ciok, kau
mundur, jangan banyak mulut lagi.?"
Begitu bentrok dengan pandangan ceng-Ciok Tojin, wajah
Pek-Ciok berdenyut pucat bibirnya juga gemetar, lalu
menunduk dan mengundurkan diri. Di antara sesama saudara
perguruan sebetulnya tabiat Pek-ciok paling baik, tapi melihat
pemuda yang satu ini memang terlalu kurang ajar, sikapnya
kasar dan temaha pula, amarahnya jadi tak terbendung lagi,
apa lagi dia penasaran karena ciangbun Suhengnya entah
kenapa hari ini kelihatan lembek, maka hilang kesabarannya,
dia siap melabrak musuh, sayang ciangbunjin mencegah
dirinya bertindak. karuan hatinya amat kecewa.
Sekilas ceng-Ciok melirik Pek-Ciok, rona mukanya jadi
guram, tapi segera dia angkat alis dan berkata pada Ping-ji:
"Siauhiap. apa kau yakin mampu melawan sepuluh jurus
serangan Pinto ?" Hadirin gempar, Ping-jijuga tertegun, tapi cepat dia
menjawab: "Bagaimana caranya
Tampak serius wajah ceng-Ciok Tojin, katanya: " Kala u
siauhiap mampu melawan sepuluh jurus serangan Pinto, boleh
terserah apa kehendak Siauhiap... " lalu dia membalik kearah
orang banyak dan berkata:
"Kalau tidak Siauhiap harus tinggal di sini, menebus dosa
kematian murid Bu-tong itu."
Bergegas Pek-Ciok Tojin melangkah maju pula, serunya
dengan gelisah: " ciangbun... kau...
"Aku tahu . . " ceng-Ciok mencegah dia bicara lebih lanjut,
kau mundur... " lalu dia menegakkan alisnya yang memutih
panjang, mata menatap Ping-ji dengan pandangan damai.
"Bagus." tiba-tiba Ping-ji tertawa b ingar suaranya lantang
gagah, baiklah aku turuti kehendak ciangbun, kalau aku kalah
aku tidak akan mengerutkan kening." "Kau tidak menyesal ?"
ceng elok menegas. "Seorang laki-laki harus boleh dipercaya tak pernah aku
tahu apa artinya menyesal."
"Bagus." Puji ceng-Ciok Tojin, kedua kaki berdiri rapat
tegak. sebelah telapak tangan tegak didepan dada, telapuk
tangan yang lain miring datar did^pan hidung. sikapnya
seperti orang sembahyang, gagah serius menatap pemuda
yang jadi lawannya. Memang ceng-Ciok sebagai ciangbunjin,
tindak tanduk nya memang perkasa dan berwibawa.
Diam-diam mencelos hati Ping-ji melihat lagak ceng-Ciok
Tojin, segera diapun merangkap kedua tangan-
"Ciangbun,' tiba-tiba Pek-Ciok jadi bandel kembali, dia
melompat maju berusaha membujuk ciangbun Suhengnya.
Ceng-Ciok Tojin tidak hiraukan Sutenya katanya kepada
Ping-ji: Jurus pertama Pinto bernama To-tiang-mo-siau, gaya
permulaan dari Hu-mo-kun, tuan harus hati-hati." Perlahanlahan
kedua tangan bergerak bersilang didepan dada lalu
didorong bersama kedepan segulung angin deras melanda
kedada Ping-ji. Sebetulnya ceng-Ciok Tojin juga tahu, sebagai ciangbunjin
tanggung jawab dirinya teramat besar, tapi melihat pemuda
yang belum dikenal ini memiliki Kungfu luar biasa, salah
seorang Sutenya yang tangguh juga bukan tandingan, maka
dia tidak hiraukan bujukan Pek-Ciok, ingin dia mencoba
sampai di mana kehebatan pemuda ini, Pada hal sebagai
seorang ciangbunjin Butong-pay menghadapi bocah tak
bernama yang baru keluar kandang sudah menurunkan
derajatnya, maka untuk mengambil muka sengaja dia
menerangkan jurus yang akan dia lancarkan-
Ping-ji merasa hapal melihat gaya yang dilakukan ceng-Ciok
Tejin, mendengar penjelasannya pula, diam-diam dia memuji
dan kagum kepada ciangbunjin yang satu ini. Pada saat itulah,
terasa dorongan kedua tangan orang telah menimbulkan
tindihan berat kedadanya. Lekas dia menggeser setengah
tapak kekiri, kedua lengan saling gubat terus disapukan keluar
bersama, ternyata gerakan enteng ini menimbulkan kekuatan
dahsyat memapak pukulan ceng-ciok Tojin.
"Bless" dua jalur angin berpusar membumbung keangkasa
mengeluarkan desingan rendah.
Ping-ji rasakan tubuhnya bergetar, segulung hawa hangat
mendadak merembes ke luar dari pusarnya, lekas sekali
berputar dua kali keseluruh tubuh, sedetik dia memejam mata,
sekuatnya dia bertahan tidak bergeming, tapi damparan kuat
menerjang juga kepada dirinya, hingga tak kuasa dia
mempertahankan diri pula, mundur setengah langkah.
"Setelah menarik napas dalam Ping-ji membuka matanya,
tampak ceng-Ciok Tojin berdiri dengan muka sedikit pucat,
kakinya juga menyurut setindak.
Terasa oleh ceng-Ciok Tojin waktu melontarkan
pukulannya, perlawanan Ping-ji ternyata amat tangguh, malah
sisa tenaga perlawanan terasa sempat menerjang balik hingga
tanpa kuasa dirinya terg entak mundur maka dengan kaget
dia menatap anak muda didepannya, susah diukur betapa
tinggi Kungfu dan Lwekang anak muda ini, ternyata mampu
menandingi tenaga pukulan yang dia latih sekian puluh tahun.
Wajah Ping ji merah seperti orang habis minum arak.
pandangannya nanar mengawasi ceng-Ciok Tojin. Terasa ada
segulung hawa panas yang selulup timbul bergolak dirongga
dada dan perutnya, rasanya cukup menyiksa, dia tidak habis
mengerti kenapa pukulan ceng-Ciok Tojin demikian dahsyat,
maka tatapannya mengandung rasa kaget pula.
Terdengar ceng-Ciok Tojin menghardik pula, Jurus kedua
Mo-yam-kiam-sing." Kaki melangkah setapak pula, tangannya
terayun keatas terus ditepuk turun mengincar Thay-yang dan
Thay-im dua hiat-to mematikan dikedua pelipis Ping ji. Lekas
badan Ping-ji doyong kebelakang, dan belum sempat dia
menjejak kaki. Mendadak ceng-ciok sudah menghardik pula
lebih keras Jurus ketiga Go meh yan-you (mengusir iblis
membabat siluman), segumpal angin tajam menerjang pula
dada dan perut Ping-ji. Dicecar secara beruntun, sibukjuga
Ping-ji, lekas dia mengerut perut tubuhnya tiba-tiba membalik
terus menggelinding kekiri tiba-tiba mulutnya bersuit,
tubuhnya melenting pinggang tertekuk. ditengah udara kedua
lengan bajunya dikipat kebelakang, seiring dengan kebasan
lengan baju itu, terdengarlah suara nyaring seperti anak-anak
main keplokan, maka bertaburan bayangan telapak tangan
diudara, ratusan bayangan tapak tangan seperti memenuhi
udara, semuanya berjatuhan kearah ceng-Ciok Tojin yang
mengundurkan diri dari segala jurusan.
ceng-Ciok menggembor, diapun mengebas lengan bajunya,
memapak bayangan telapak tangan itu, ditengah pusaran
angin les us, tiba-tiba diapun melejit keudara. Maka terlihat
dua bayangan orang seperti dua burung besar sedang
bertarung diudara, susah dibedakan mana bayangan ceng-
Ciok Tojin, siapa Ping-ji. Yang terang deru angin makin
menggoncang bumi menimbulkan pergolakan yang dahsyat.
Semua Tojin, besar kecil tua muda yang menonton diluar


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelanggang sampai menyurut mundur, sesak napas, semua
menonton dengan mata mendelik. Seolah-olah mereka lupa
akan kehadirannya, mereka berdiri seperti orang linglung,
maklum kapan mereka pernah menyaks ikan pertempuran
sekeras dan sedahsyat ini apalagi yang berhantam adalah
ciangbunjin melawan seorang anak muda.
Bahwa seluruh perhatian ditujukan kepada pertempuran
dua jago yang lagi berlaga diarena, maka tiada orang yang
memperhatikan bahwa dinding batu dibelakang mereka juga
mulai menunjukkan perobahan. Terutama batu raksasa yang
menyumbat mulut gua tampak bergoncang. hingga tanahtanah
kuning, lumut, pepohonan rambat sama rontok
berjatuhan. Hanya sekejap saja, batu raksasa yang menyumbat gua itu
ternyata telah luluh menjadi bubuk berhamburan ditiup angin
yang menghembus kencang dari luar selat, dari mulut gua
yang gelap pekat itu, pelan-pelan tampak beranjak keluar
seseorang laki-laki setengah umur dengan rambut panjang
terurai kusut masai, tapi wajahnya tampak merah segar.
Wajahnya yang merah itu mengulum senyum sabar,
setelah kedua telapak tangan saling digosok-gosok, sepasang
matanya setajam api menyapu pandang kesekitarnya,
mendadak dia mengerut alis.
Ternyata dia telah menyaksikan dua jago yang lagi berlaga
ditengah arena. Sementara itu seluruh hadirin masih tumplek perhatian
menonton pertarungan, dua bayangan orang masih berkutet,
hantam menghantam, tendang menendang, tipu dilawan tipu
jotosan dilawan pukulan, angin menderu melanda orang-orang
yang menonton dalam jarak agak dekat.
Tiba-tiba terdengar suara serak rendah tertekan: Jurus
sembilan." Dan "Blang" ledakan keras ini mengakibatkan
pergolakan hawa yang benar-benar dahsyat seperti gunung
meletus, disertai erangan tertahan, maka dua bayangan
berpencar, masing-masing melayang turun ketanah.
Tampak gelung rambut ceng-Ciok Tojin sudah serong
kepinggir, kedua tangannya tampak gemetar, wajahnya juga
menampilkan perobahan yang ruwet dan sukar diraba
perasaannya. Sementara nafas Ping-ji tampak tersengalsengal,
mukanya merah padam, mata setengah terpejam
memancarkan sinar aneh tubuhnyapun berdiri dengan limbung
seperti orang mabuk. Mengawasi mimik orang, rona muka ceng-Ciok Tojin pun
ikut berobah tidak menentu. Mendadak dia menggerung
sekali, kaki maju setapak, kedua tangannya terangkat tinggi
diatas membuat bundaran terus ditaburkan kemuka Ping-ji,
sementara mulutnya membentak:"Jurus sepuluh, sambut "
Wajah Ping-ji tampak berdenyut, alisnya pun ber taut,
seperti terluka dan menahan sakit, begitu ceng-Ciok Tojin
melayangkan serangannya, melihat sikap Ping-ji, tergerak
hatinya, gerakan merandek dan baru saja dia hendak
urungkan serangannya. Mendadak di dilihatnya Ping-ji
membuka mata, ditengah gerungan rendah tenggorokannya,
kaki kiri melangkah mundur setengah tapak. kedua tangan
didorong pelan-pelan, segulung tenaga kembali menerpa
kearah ceng-ciok Tojin- Padahal ceng-Ciok Tojin sudah menggunakan serangan,
mendadak diserang sedahsyat ini, saking kejutnya, tak sempat
kerahkan kekuatan melawan, tiba-tiba tubuhnya bergetar,
darah segar sudah menerjang keteng gorokan. Mendadak
didengarnya jeritan kaget banyak orang, berbareng segulung
badai hangat timbul dibelakangnya, lekas dia membuka mata.
Dilihatnya bola mata Ping-ji merah membara, wajahnya kaget
dan heran langkahnya terhuyung mundur, tapi sekuat tenaga
dia bertahan berdiri, meski limbung dia tidak terjatuh, namun
menumpahkan darah segar. Melihat keadaan Ping-ji. ceng-ciok Tojin tak habis
herannya, seketika dia berdiri melongo, mendadak tubuh
sendiri bergetar dan bergidik, karuan dia mengerut alis.
Didengarnya pek-ciok Tojin berkata gemetar disamping:
"ciangbun, kau terluka?"
Dengan hambar ceng-ciok Tojin menggeleng, tatapannya
lurus ke muka Ping-ji, dengan payah dia bersuara sambil ulur
tangan: "Siauhiap."
Tiba-tiba Ping-ji angkat kepalanya, sorot matanya
membulat terang penuh dendam dan kebencian, dengan
kertak gigi akhirnya mulutnya mendesis: "Selama hayat masih
di kandung badan, suatu hari aku pasti akan minta pelajaran
Kungfu Bu-tong-pay kalian yang lihay." Setelah membanting
kaki dengan membusung dada segera dia melangkah pergi.
Mengawasi bayangan orang, pelan-pelan ceng-ciok Tojin
turunkan tangannya, perasaannya makin hambar dan
mendelu. Mendadak suatu pikiran berkelebat dalam benaknya,
mendadak dia membalik tubuh. Tampak dibelakangnya berdiri
seorang laki-laki setengah umur dengan rambut panjang
terurai kusut, dilihatnya pula wajah orang menampilkan mimik
heran, sorot matanya juga bingung dan menyesal, mulutnya
komat kamit seperti sedang berdosa, entah apa yang di
ucapkan tidak jelas karena suaranya amat lirih.
Kulit muka ceng-ciok Tojin seketika berkerut keriput,
bibirnya gemetar keras, ternyata tak mampu dia bersuara,
sesaat kemudian baru dia melompat maju seraya berseru:
"Suslok." Tapi tak kuat dia mempertahankan diri, tubuhnya
tersungkur ketanah. ---ooo0dw0ooo--- Hari masih pagi, namun mega tebal menyelubungi puncak
gunung, sehingga cuaca menjadi suram. Ditengah kesuraman
itulah. tampak bayangan seorang sedang melangkah
sempoyongan dengan tubuh setengah terbungkuk seperti
orang mabuk, langkahnya terseyot-seyot, apalagi mukanya
tampak merah ada kalanya langkahnya tersaruk batu sehingga
tubuhnya hampir tersungkur, untung tidak sampai menubruk
bumi. Saat itu, pikirannya masih jernih, cuma dia tidak mau
membuka matanya, angin dingin menerpa dirinya, seketika dia
menggigil kedinginan, tapi dia tidak menghentikan langkah
terus maju dengan langkah makin berat.
Dua Tojin muda sedang duduk beradu punggung didepan
sebuah gubuk bambu membelakangi batu karang, disamping
mereka menggeletak masing-masing sebilah pedang. Agaknya
hembusan angin dingin telah mengusik lamunan Tojin sebelah
kiri, dia menggerakkan tubuh, seperti mau berdiri, tapi
akhirnya dia tetap tak bergerak. hanya mulutnya saja yang
bergerak: "Suheng coba kau lihat."
Tojin dibelakangnya tidak bergerak, juga tidak memberi
reaksi Terpaksa dia menggoyang kedua pundaknya memanggil
lebih keras: "Suheng, Suheng."
Tojin dibelakangnya tetap tidak bergerak. hanya mulutnya
saja bersuara dalam tenggorokan. Karuan Tojin muda itu naik
pitam, bergegas dia melompat berduduk. tapi suhengnya
malah roboh kedalam pelukannya dengan lunglai. Ternyata
Tojin Suhengnya ini telah pulas dimabuk mimpi di pagi hari
nan sejuk dingin. Sang Sute gregeten dan dongkol, tapi juga geli melihat
Suhengnya yang mendengkur seperti babi. "Suheng, Suheng.'
Teriaknya pula. Tojin yang digoncang tubuhnya hanya mengigau dengan
malas saja. Karuan Tojin muda itu mengerut alit, tapi segera
dia tertawa geli, lalu dia menunduk mendekatkan mulutnya
ketelinga Suhengnya serta berteriak: 'Suheng, lekas lihat, tuh
dari sana datang seorang perempuan-" Perkataan 'perempuan'
sengaja dia ucapkan dengan suara panjang dan bernada
tinggi. Sang Suheng yang pulas itu kembali mengigau sekali,
mendadak dia berjingkrak bangun seraya berteriak: "Apa, di
mana ?" Tojin muda itu terpingkel-pingkel, tangannya menuding
kekiri. Dengan mata terbelalak Sang Suheng mendleh kearah
yang ditunjuk. tapi kosong melompong, kecuali batu-batu
gunung tiada benda lain, angin menghembus rerumputan
yang mulai kering. Dengan tanda tanya dia menatap Sutenya
mulutnya cemberut dongkol.
Tojin -muda baru mengomel: "Sejak tadi kupanggil kau,
siapa suruh kau pulas. sudah pergi."
Sang Suheng tiba-tiba berdiri terus hendak mengudak.
karuan sang Sute gugup lekas dia menariknya: "Mau kemana
?" Suheng melotot, katanya: "Hayo kejar.?"
Tojin muda tertawa nyengir sambil melelet lidah, katanya:
"Aku hanya ngapusi kau .. . coba lihat tampangmu, haha,
seperti... " sambil berkata sengaja dia mengerut hidung dan
mengendus-ngendus diudara, " kucing mencium bau ikan-"
Sang Suheng angkat tangannya mau memukul, lekas Tojin
muda itu mengkeret mundur, serunya: "Nanti dulu, jangan-"
Lalu dia batuk-batuk, Aku tidak ngapusi, aku memang melihat
seorang menuju ke Te-sankok sana, tapi dia bukan
perempuan." Mendengar "bukan perempuan" sang Suheng jadi lemas,
lekas dia merebahkan diri serta memejam mata pula tidak
hiraukan ocehan sutenya. Terpaksa sutenya menggoncang
tubuhnya pula, katanya: "Hai, perlu tidak memberi laporan
kepada ciangbun- ini bukan kejadian sembarangan, siapa tidak
tahu aturan busuk Tok-ko-cu, siapa masuk Te-sat-kok. jangan
harap dia bisa keluar."
Tetap memejam mata sang Suheng mendengus hidung,
katanya: "Sekarang ngantuk sekarang tidur, peduli siapa dia,
asal bukan bapakmu, peduli amat akan dirimu?" Lalu dia
membalik tubuh mendengkur lagi.
Tojin muda itu angkat pundak apa boleh buat, tiba-tiba dia
berbangkis lalu menggeliat, segera diapun merebahkan diri
disamping sang Suheng, didalam impian mereka menunaikan
tugas. Hembusan angin dingin didalam selat itu tak pernah
berhenti . Bayangan orang itu masih terus beranjak kedepan
dengan sempoyongan- Tak jauh didepannya terdapat sebuah
batu karang bergantung, diatas karang inilah terukir tiga huruf
besar berbunyi "TE SAT KOK", disamping kiri bawah tertulis
pula "Berhenti di sini' huruf-hurufnya lebih kecil. Dalam
keremangan tampak huruf-huruf itu kelihatan agak ganjil. Tapi
orang itu tidak perhatikan huruf-huruf itu, karena langkahnya
masih sempoyongan dengan badan terbungkuk, bertahan dan
berusaha maju terus mencari jalan keluar.
Batu diatas ngarai bertulis tiga huruf besar itu sudah
ditinggalkan jauh dibelakang diluar tahunya bahwa dia makin
masuk ke pedalaman, jadi berlawanan dengan maksudnya
hendak meninggalkan Bu-tong-san, tapi dia masih terus maju.
Hembusan angin makin membuatnya kedinginan, alisnya
bertaut makin dalam, tapi sekuat tenaga dia bertahan, karena
dia tahu dirinya harus berani menanggung resiko dan
menahan segala derita ini, hembusan angin itu hanya
membuat dia menggigil, tapi tekad dan semangatnya tidak
pernah padam, semangat juangnya masih tetap menyanggah
badannya sehingga dia kuat bertahan sejauh ini.
Masih segar dalam ingatannya, setelah beradu pukulan
pada jurus kesembilan tadi, kontan dia rasakan darah bergolak
dirongga dadanya, segulung hawa hangat merembes dan
mengalir keseluruh tubuh, Ping-ji kira dirinya sudah terluka
parah. tapi setelah beradu pukulan lebih lanjut terasa olehnya,
tenaga murninya bukan menjadi ludes, ternyata kekuatannya
malah bertambah. Mengikuti pertambahan tenaga murni ini,
sekujur badannya juga terasa panas seperti di bakar, hampir
saja dia terjungkal roboh, dia yakin jurus kesepuluh ceng-ciok
Tojin dirinya pasti tidak mampu melawannya pula, tapi
tekadnya yang besar tetap mempertahankan dirinya, syukur
jurus kesepuluhpun telah berlangsung.
Sungguh hatinya amat kecewa karena dirinya kini benarbenar
terluka dalam, dia tidak habis heran bagaimana
mungkin pukulan jurus terakhir ceng-ciok Tojin, ternyata
berobah sedahsyat itu, hingga dia tergetar muntah darah, tapi
setelah dia melihat seorang berdiri dibelakang ceng-ciok Tojin,
baru dia peroleh jawaban- Maka dia bersumpah, suatu ketika
dia akan meluruk ke Bu-tong pula, oleh karena itu dia insyaf
bahwa dia harus menerima segala akibat ini, menegakkan
badan meninggalkan Thian-hian-kok.
Tapi tak pernah terpikir, dalam benaknya bahwa sekarang
dia sedang melangkah masuk ke Te-sat-kok. lembah di mana
dirinya akan mengalami sesuatu sehingga merobah sejarah
hidupnya. Bagi orang-orang Bu-tong, demikian pula kaum persilatan
lainnya, mereka beranggapan Te-sat-kok bisa mengangkat
nama hingga terkenal di Kangouw, hidup senang seperti di
sorga, padahal lembah itu, merupakan ahirat yang bakal
mengebumikan jenazah mereka.
Seperti apa yang mereka ketahui, didalam Te-sat-kok
katanya memendam suatu rahasia sejak ratusan tahun lalu.
konon didalam lembah ini terpendam harta pusaka yang tak
ternilai harganya, siapa dapat mengeduknya, kekayaannya
akan melebihi raja, cukup memperoleh sebagian saja, akan
cukup digunakan foya-foya seumur hidup, tapi yang membuat
kaum persilatan ngiler adalah tiga batang pedang pusaka yang
tiada tandingannya di dunia. Tapi orang tahu mereka hanya
bisa memiliki semua ini dalam impian belaka. Karena selama
ratusan tahun ini, sering terbetik berita banyak orang yang
masuk ke Te-sat-kok, tapi tiada satupun yang pernah keluar
dengan bernyawa. Pendek kata semua berita itu, entah yang baik, yang mujur
atau yang jelek dan bernasib buruk- masih terus tersiar luas
dikalangan Kangouw. Tapi pemuda yang terbungkuk- bungkuk
ini ternyata tak pernah mendengar berita itu, dia tidak tahu
kemana arah tujuannya. Hanya satu tekadnya jauh-jauh
meninggalkan Bu-tong-san, oleh karena itu, meski keadaannya
makin payah, namun dia tidak mau berhenti, sebelum dia
kehabisan tenaga, meski merambatjuga dia akan menempuh
perjalanan- "Tiba-tiba kakinya kesandung batu, tubuhnya tersuruk
kedepan dan "Bluk" dengan keras dia tersungkur roboh, mata
berkunang, kepala pusing tujuh keliling.
Sambil menggeliat kesakitan dia memeluk kepalanya yang
benjol membentur batu, sekarang dia tidak kuasa maju lagi,
dia harus berhenti, karena pandangannya gelap tidak bisa


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat apa-apa. Maka ditempat itu juga dia duduk bersimpuh
mulai samadi, mata dipejam pikiran di konsentrasikan, mulai
dia mengatur napas, menyalurkan hawa murni dan
menggelarakan latihan Lwekangnya, sehingga rasa panas dan
sesak dirongga dadanya terbaur, tapi hanya beberapa saat
saja, akhirnya dia menghentikan latihan, dengan menghela
napas dia duduk lesu. Ternyata diwaktu dia latihan Lwekang, terasa gumpalan
hawa panas didalam tubuhnya itu, ternyata kuat menahan
hawa murni yang dia kerahkan keseluruh tubuh, bukan makin
tertekan lembek malah makin kuat dan melebar, menerjang
keseluruh sendi tulang, urat nadi ke sekujur badannya, tanpa
mendapat perlawanan atau rintangan-
Dia tidak tahu apa sebabnya bisa terjadi demikian, dalam
keadaan putus asa ini mendadak dia teringat ajaran cara
mengatur napas yang diajarkan orang aneh itu, yaitu gaya
yang menekan kepala dengan telapak tangan, maka dia
tengelam dalam pemikiran-
Hujan rintik-rintik, air hujan membasahi seluruh tubuhnya.
air mengalir dari atas kepala menuruni pipi jatuh dibibirnya,
terasa sedikit asin, segera dia membuka mata. Mega mendung
yang tadi tebal kini sudah menipis, cuacapun sedikit terang.
Lama kelamaan dia merasa nyaman dan segar malah setelah
kehujanan, maka dia mengganti posisi duduknya lalu
memejam mata pula. Tiba-tiba dia merasa sakit diatas jidatnya yang tadi terluka
kebentur batu. Dengan kaget dia bangkit berdiri, matanya
celingukan tak tahu apa yang harus dilakukan. Karena diguyur
air hujan, pikirahnya sedikit jernih, tapi setelah dia tenangkan
pikiran, dia menemukan apa-apa yang amat mengejutkan
dirinya. Menurut perkiraannya dia sudah jauh meninggalkan Butong-
san, tapi kenyataan setelah dia periksa keadaan
disekelilingnya, didapatinya dirinya berada disebuah lembah
yang berbatu-batu kecuali batu tiada benda lain, disadarinya
bahwa tanpa disadari dirinya telah masuk kesebuah lembah
batu. Rasa pilu hendak merangsang benaknaya, dia tidak tahu
apakah dunia ingin menyingkirkan dirinya, atau dirinya yang
sudah bosan hidup didunia fana ini, dia hanya merasa bahwa
dirinya sebatang kara. Tiba-tiba dari kejauhan sayup,sayup sampai terdengar
suara seruling, setelah hujan udara terasa segar dan bersih,
maka suara seruling itu terdengar jelas meski hanya sayupsayup
sampai. Dari irama seruling itu dia merasakan pahit
getirnya kehidupan, gejolak hatinya yang sebatang kara ini,
seperti-juga keadaannya sekarang, maka tanpa terasa kakinya
melangkah menuju kearah datangnya suara seruling,
melangkah melewati tumpukan batu yang berserakan-
Irama seruling bagai isak tangis, yang menyedihkan itu,
melimpahkan perasaan seorang yang terasing dari kehidupan
ramai, sedang mengisahkan kehidupan nan sunyi kepada alam
yang terbentang dihadapannya seperti seorang janda yang
hidup menyendiri sedang mengigau didalam impiannya, atau
seorang nyonya muda yang terjaga bangun mengenang sang
suami yang berada dimedan laga, air mata membasahi bantal
.. Tanpa terasa dia mempercepat langkah, mendadak irama
seruling yang mengalun di udara itu berhenti, seketika dia
merasa hatinya seperti diiris pisau tajam, sekujur badan
gemetar dan berdiri bingung, sesaat dia celingukan,
didapatinya dirinya berada diantara batu-batu, yang
berserakan, ternyata setelah putar kayun setengah harian, dia
berputar kembali di tempatnya semula. Karuan dia terbelalak
bingung. Dia tidak tahu tempat apa ini, namun dari irama
seruling tadi dia yakin pasti ada orang bertempat tinggal
disekitar tempat sini. Batu-batu besar kecil disekitarnya ini, kelihatannya
berserakan, namun kalau mau diteliti, besar kecil batu-batu itu
letaknya seperti sudah diatur sedemikian rupa, maka dia lebih
yakin lagi bukan saja tempat ini dihuni orang, malah orang itu
adalah seorang kosen yang tengah mengasingkan diri, dia
berani meyakinkan diri bahwa tokoh kosen itu hanya seorang
diri karena dari suara serulingnya, dia dapat menangkap arti
dari perlimpahan perasaan hatinya yang merana hidup
sebatang kara d itempat pengasingan-
Menilai situasi yang dihadapinya ini kembali dia menarik
kesimpulan, bukan saja orang kosen itu hidup sebatang kara,
diapun tidak mau diganggu, maka timbul rasa penyesalan
dalam benaknya, dia siap mengundurkan diri. Tapi ujung
matanya tiba-tiba menangkap sesuatu.
Waktu dia menoleh, diatas batu sebelah kanan ternyata
terukir beberapa huruf. lekas dia mendekat, tampak tulisan itu
berbunyi: "Tidak percaya akan peringatan, kau akan menyesal
setelah kasep." Disebelahnya terukir pula huruf berbunyi:
"hanya menempuh jalan kematian-" Setiap goresan huruf
sedalam tiga mili, gayanya indah kuat.
Setelah melihat beberapa hurup ukiran itu, niat semula mau
mengundurkan diri menjadi batal, hatinya gusar, desisnya
menyeringai: "Sombong dan takabur." sudah tentu dia tidak
tahu dan tidak melihat ukiran huruf-huruf besar dimulut Tesat-
kok tadi. "Hm," sebuah jengek dingin tiba-tiba berbunyi
dibelakangnya, secara reflek dia membalik tubuh. tapi
dibelakang kosong melompong tiada makhluk hidup, kecuali
batu-batu melulu. Karuan hatinya mencelos, dengan
kesigapan gerakannya, ternyata dirinya masih tidak mampu
melihat baangan orang itu dapatlah dibayangkan betapa tinggi
kepandaian orang itu. Mengingat jengek dingin tadi, mau tidak mau dia merinding
sendiri, karena tawa dingin itu persis tawa setan di malam
sunyi, nadanya kaku dingin, umpama sebatang tonggak es,
secara langsung menusuk ulu hatinya Tapi dia membusung
dada seraya menjengek, katanya temberang: "Manusia mana
dikolong langit ini yang mampu merintangi langkahku. Huh."
Terasa seluruh badan hangat, pergolakan hawa panas dalam
tubuhnya seperti sudah mengamuk. rasa dingin tadi entah
sudah sirna sejak kapan- Maka dengan membusung dada mendongak kepala dia
melangkah lebar kedepan- Tapi setumpukan batu mengadang
jalan, kiri kanan ada celah-celah, kesana dirinya bisa
menyelinap. tanpa ragu segera dia menyelinap kesebelah kiri
terus melangkah lebar pula. Setelah membelok sekali
pandangannya tiba-tiba terbuka, karuan dia berdiri menjublek,
karena yang terbentang dihadapannya sekarang adalah
pepohonan cemara yang tinggi tua menutup langit,
pemandangan di sini ternyata berbeda pula.
Setelah tenangkan hati dia melangkah pula, akhirnya dia
tiba dipinggir sebuah empang bunga teratai sedang mekar
didalam empang, tiba-tiba serangkum bau kembang yang
wangi merangsang hidung, sesaat semangatnya lebih
menyala, waktu dia angkat kepala disebelah empang panjang
ini ternyata adalah taman kembang, disana sedang mekar
berbagai macam jenis - kembang, lekas dia melangkah
kesana, Setelah pandangannya makin terpesona heran,
karena jenis-jenis kembang yang tertanam di sini tiada
satupun yang dikenal atau pernah dilihatnya.
Tiba-tiba matanya terbeliak kepusat gerombolan kembang
sana, dimana tumbuh sekuntum kembang putih yang masih
merupakan kuncup, entah kuncup kembang apa, tapi
warnanya serba putih, kini kuncup itu dilihatnya sedang
bergerak, kelopak kembangnya sedang mekar, bau harum
seketika memenuhi udara, pikirannya tiba-tiba menjadi jernih,
tanpa terasa dia melangkah maju lalu ulur tangan hendak
memetiknya. Tiba-tiba suara seruling, itu berbunyi pula, dengan kaget
dia menarik tangan sambil celingukan, mirip maling yang
kuatir konangan, bunyi seruling itu hanya menggunakan satu
nada, namun mengalun lembut bak air mengalir.. Terasa
setelah diperhatikan suara seruling datang dari sebelah kanan,
maka segera dia menuju kesana. Pandangannya terbelalak
delapan langkah didepannya berdiri sebuah gardu, bentuknya
molek, gagah dan bercat merah kuning.
Waktu dia mendekat dan memeriksa, didalam gardu ada
meja batu, alat-alat tulis lengkap diatas meja, kursi-kursi segi
enam setengah bulat ternyata juga terbuat dari batu-batu
putih, setiap segi dari batu putih itu terukir lukisan indah
laksana hidup, Begitu dia angkat kepala dia makin kejut dan
heran, tepat ditengah langit-langit gardu ternyata dihiasi
sebutir mutiara bundar sebesar tinju, sedang memancarkan
cahayanya yang merah Jingga, disekeliling mutiara itujuga
dikelilingi berbagai jenis permata manikam yang beraneka
ragam bentuk dan warnanya. Demikian pula setiap sudut
gardu dipasangi sepasang mata kucing sebesar telur burung,
warna nyapun berbeda, dan masih banyak lagi, setiap
permata itu nilainya mungkin cukup lebih untuk membeli
sebuah kota, apalagi sekarang seperti dipamerkan sekaligus.
Dikala dia termangu-mangu mengawasi permata-permata
itu, alunan seruling yang datangnya seperti dari angkasa
kembali menyusup telinganya memutus lamunannya pula.
Dengan bingung dia celingukan, didapatinya pula tak jauh dari
gardu terdapat sebuah gunung-gunungan, bunyi seruling
seperti dari belakang gunung-gunungan, maka dia melangkah
ke sana. Tak nyana sebelum dia beranjak dua langkah, bunyi
seruling tiba-tiba berobah nada melengking tinggi, suaranya
mengandung nafsu membunuh, sekaligus seperti menindih
dirinya dari berbagai penjuru. Dengan kaget dia menyurut
selangkah, pusatkan perhatian dan pasang mata, tapi sejauh
ini dia belum melihat bayangan manusia, tapi suara seruling
yang mengandung nafsu jahat itu seperti gelombang ombak
terus melanda kearah dirinya.
Bunyi seruling yang diliputi pembunuhan ini seperti
memenuhi seluruh tubuhnya, sementara hawa panas d idala
m tubuh yang tak terkendali itu tengah melebar, merayap dan
mengalir keseluruh urat nadi, sendi tulang dan menguap
melalui pori-porinya. Tapi semua ini seperti tidak dirasakan,
karena dia sudah dalam keadaan setengah sadar, dari berdiri
dia sudah duduk bersimpuh, kulit dagingnyapun makin
berkeriput dan mengejang.
Semua ini seperti tidak dirasakan tapi ada seorang
menyaksikan dengan jelas. Ternyata tak jauh dari tempat si
pemuda, yaitu diatas gunung-gunungan, pada batu yang
menyeruak kedepan, duduk seorang berpakaian jubah hitam,
anehnya bukan saja jubahnya bitam, kepala nyapun
dibungkus kain hitam, sampaipun cadar yang menutupi muka
juga hitam, jadi orang ini laki, perempuan, tua atau muda
tidak jelas. Jadi serba hitam, tapi ada sedikit keistimewaannya,
yaitu dia sedang memegang sebatang seruling panjang yang
ditiup didepan mulutnya, tapi seruling panjang ini bukan
warna hitam lagi, melainkan sebatang seruling pualam warna
putih. Bunyi seruling terus berganti nada seiring jari-jari
tangannya yang bergerak turun naik, demikian pula
perobahan rona muka si pemuda berganti berulang kali.
Mengawasi pemuda yang mukanya berlepotan darah dengan
lengan terluka pula, betapa tersiksa keadaannya sekarang,
diam-diam orang hitam itu menggerakkan tubuhnya, wajah
yang terlindung dibelakang cadar hitam itu kelihatannyapun
berdenyut. Diam-diam dia merasa sayang dan kasihan terhadap anak
muda ini, dia tidak tahu, kenapa pemuda yang berwajah cakap
ini ternyata memiliki hati yang kotor dan tamak, agaknya dia
sudah melihat kecakapan wajah pemuda ini, meski selebar
mukanya berlepotan darah.
Tidak bisa disangkal lagi bahwa kedatangan pemuda ini ke
Te-sat-kok pasti bertujuan sama dengan orang-orang
terdahulu yang menyelundup ke lembah ini, karena seratusan
tahun ini, sudah muncul ratusan orang. entah seorang diri,
atau berombongan mereka punya maksud tujuan sama, tanpa
perhatikan peringatan berani masuk kemari, tapi tiada
seorangpun yang bisa keluar pula sesuai harapan mereka.
Kalau bukan terkurung mati karena tersesat dalam barisan
batu pasti jadi gila karena kehilangan pikiran waras oleh
permainan serulingnya. Pendek kata orang-orang ini tidak
perlu diberi belas kasihan, karena mereka yang datang kemari
punya hati yang kotor, tamak dan loba, hina dan mungkin,
juga rendah budi. Dari balik cadarnya dengan jelas dia saksikan pemuda itu
sudah terlukai roboh, kedua tangan sedang merenggut
pakaiannya, wajahnya yang kotor berlepotan darah tampak
merah padam, makin lama berobah menampilkan suatu
ekspresi yang aneh, seolah-olah amat menderita, tapijuga
seolah-olah... Wajah yang terlindung dibalik cadar kelihatannya berdenyut
pula, bergetar karena menahan suatu perasaan gejolak hati.
Mendadak pemuda itu menggelepar beberapa kali seperti
ayam yang telah digorok lehernya, aneh bin ajaib, tiba-tiba
tubuhnya malah kuat berduduk pula.
Saking kagetnya tiba-tiba orang berjubah hitam itu
menyadari tanpa disadari tiupan serulingnya telah berhenti,
seruling tergenggam kencang ditangannya, sungguh dia tidak
habis mengerti kenapa hatinya yang selama ini tenang
tentram sekarang berobah, tak tega turun tangan meski
melihat orang ini berani melanggar larangan memasuki Te-satkok.
Entah mengapa tiba-tiba dia menghela napas dan
bergerak berdiri. Pemuda berlepotan darah itu kini sudah bersimpuh dan
mulai bersamadi. pemuda inipun tidak habis herannya, kenapa
setelah mendengar irama seruling tadi, jantungnya bisa
bergejolak. hawa panas yang memang bersemayan
ditubuhnya seperti dibakar makin meninggi saja suhunya
sehinggga menimbulkan goncangan hebat, tubuhnya seperti
luluh dan tergembleng hebat.
Dia amat benci, benci terhadap peniup seruling yang
menambah siksa deritanya, entah itu derita lahir maupun
batin. Mendadak dia membuka mata, seketika dia berjingkrak
berdiri, karena lima langkah di depannya, entah sejak kapan
telah berdiri seorang jubah hitam bercadar hitam memegang
sebatang seruling pualam. Melihat seruling pualam itu,


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seketika dia paham bahwa orang inilah yang telah
mempermainkan dirinya, kontan berkobar amarahnya, mundur
setapak mulutnya sudah siap melontarkan perkataan-
Tapi reaksi orang hitam itu lebih cepat, sebelum dia melihat
jelas cara bagaimana orang bergerak. bayangan orang sudah
mencelat dekat didepan matanya, dari balik cadarnya
mendesis keluar pertanyaan dingin: "Siapa kau?"
Suaranya lebih dingin dari es, tidak membawa bau
kehidupan, sepertijuga pakaian hitamnya terasa seram dan
membuat orang mengkirik. Tegak alis si pemuda, kedua matanya mencorong, setelah
menggerung, dia maju selangkah dan balas bertanya, "Siapa
kau?" Orang hitam melengak, agaknya dia tidak kira orang bakal
balas bertanya kepada dirinya, namun lekas sekali dia sudah
mendengus serta mengayun lengan baju nya, segulung angin
menyambar ke arah si pemuda.
Pemuda itu menggeram rendah sambil merangkap kedua
telapak tangan terus di tepuk kedepan-
"Pyaaar" dua kekuatan pukulan bertumbuk di udara
menimbulkan goncangan keras, batu-batu seperti disapu lesus
porak poranda dahan kering rontok daon-daon melayang.
"Tahan-' Ditengah bentakan merdu, bayangan hitam
tampak melayang, tapi pemuda itu tergentak mundur
beberapa langkah, darah menyembur sejadi-jadinya.
---ooo0dw0ooo--- Malam nan dingin, semakin larut, suasana hening lelap.
hanya deru angin saja yang menghuni may apa daini. Bulan
sabit memancarkan secercah cahayanya yang guram.
Diatas batu yang menonjol, duduk tegak seorang berbaju
hitam. Ditengah kepekatan tabir malam ini tubuh orang hitam
itu seperti mengandung bau magis. Lama dia duduk dalam
gaya yang sama, kedua matanya menatap rembulan yang
bercokol diangkasa. Wajahnya yang setengah tertutup cadar kelihatan begitu
mulus, lembut namun juga kelihatan sinis, kaku dan dingin tak
ubahnya bulan sabit yang berada diangkasa itu. Tiba-tiba dia
menghela napas panjang, seperti desis angin didalam lembah
salju yang dingin Tiba-tiba bayangan hitam bergerak tanpa mengeluarkan
suara melayang turun ditanah, lalu dengan langkah lembut
beranjak kedalam tumpukan batu-batu yang gelap. Tiba di
ujung tumpukan batu di depan menghadang sebuah ngarai, di
sini bayangan hitam itu berhenti, kembali dia menghela napas
rawan tangan merogoh saku mengeluarkan sapu tangan
hitam. kembali dia bergerak melompat turun keatas sebuah
batu besar di samping ngarai, dibelakang batu terdapat
sebuah gua batu yang gelap gulita.
Lekas sekali bayangan hitam itu sudah berada didalam gua
gelap itu, hembusan angin menyongsong kedatangannya
hingga jubah hitam yang dipakainya berderai.
"Tik, tik. tik... " Suara air bergema didalam ruang batu
seluas tiga tombak persegi tiada pajangan tiada perabot lain
kecuali sebuah dipan terbuat dari batu putih, diatas dipan itu
rebah celentang seorang pemuda dengan mata terpejam,
wajahnya kelihatan pucat sekali. Tetesan air terus berbunyi
dalam irama tetap dan dalam tempo yang sama, sang waktu
terasa berlalu dalam keheningan kecuali pertanda titikan air
yang kedengarannya makin membeku dalam kamar batu nan
dingin ini. Entah berapa lamanya, rasanya sudah lama, tapijuga hanya
sekejap -saja, akhirnya pemuda itu mulai membuka mata.
sejenak pandangannya lengang, tiba-tiba pula bola mata itu
mengerling lalu berputar, akhirnya pandangan membulat
seperti melihat sesuatu yang dingin-
Ternyata diatas langit-langit kamar batu ini dipasang
sebutir mutiara bulat sebesar bola pingpong, mutiara ini
memancarkan cahayanya yang temaram, remang-remang
redup dan nyaman, tapi seluruh ruangan tampak jelas
keadaannya. Dari sinar mutiara, yang remang-remang ini Ping-ji meneliti
keadaan kamar ini, akhirnya dia tertegun, karena kamar ini
tiada pajangan atau perabot lain, kecuali dipan dimana dirinya
tidur, kalau dia sendiri tidak hadir dalam kamar ini, dia mau
percaya dan curiga bahwa kamar ini pernah dihuni manusia.
Sebetulnya dikatakan tiada pajangan juga tidak benar,
karena kamar batu ini sebetulnya sudah mengidap berbagai
pemandangan yang bercorak ragam amat indah dan aneh.
Ternyata seluas langit kamar batu ini bergantungan berbagai
bentuk stalaknit yang menakjubkan, seperti liur naga yang
bergelantungan, ada yang runcing bulat, ada yang bundar
telor dan masih banyak lagi yang sambung menyambung
hingga menyentuh tanah menyerupai tonggak.
Ping-ji tidak tahu ditempat apa dirinya berada, diapun
bingung kenapa dirinya bisa berada ditempat ini. Samar-samar
dia masih ingat setelah dia adu pukulan dengan ciangbunjin
Bu-tong-pay, dalam keadaan luka parah dia meninggalkan
gunung itu, diluar sadarnya dia kesasar masuk selat berbatubatu
karena merasa dongkol akan tulisan peringatan yang
diukir diatas batu, maka dia nekat menerjang masuk lebih
jauh dan tiba disebuah taman kembang, seolah-olah dirinya
berada di taman firdaus yang semerbak.
Di sana dia melihat gardu antik tetumbuhan serta bunga
bunga yang belum pernah dia lihat seumur hidup, seperti di
alam dewata layaknya. lebih menarik lagi bahwa di lembah itu
tiada jejak manusia, namun segala sesuatunya teratur rapi.
Dikala dia tenggelam dalam rasa keheranan, tiba-tiba irama
seruling itu menggelitik sanubarinya pula hingga dia tak kuasa
mengendalikan perasaan dan akhirnya bergulat dan
menggelepar seperti cacing kekeringan, begitu bunyi seruling
itu terhenti, diapun sadar kembali. Lekas dia duduk bersimpuh
dan siap bermeditasi, tapi tiba-tiba dilihatnya seorang baju
bitam cadar hitam berdiri didepannya, hanya beberapa patah
percakapan dia lantas melontarkan Liong-kiap-sin-gan dari
ajaran wi-liong-ciang menyerang orang. Tapi terasa juga
olehnya pukulan si orang hitam ternyata keras dan tajam,
ternyata tidak kalah dahsyat dari Wi-liong-ciang yang dia
lancarkan- Ingin dia mundur. tapi tenaga sudah tidak mengizinkan,
belum dua pukulan beradu kekuatan dia merasa seluruh darah
tubuhnya bertolak belakang, tanpa kuasa dia menyemburkan
darah pula. Mengawasi bentak batu-batu aneh di langit-langit kamar,
Ping-ji melamun menelusuri pengalamannya, tapi benaknya
ternyata hambar dan kosong, sekosong kamar batu ini.
Tiba-tiba dia merasa sekujur badannya dingin dia menggigil
sampai giginya berkerutuk. hawa dingin itu masih terus
merembes ketubuhnya dari bawah badannya, dengan kaget
segera dia meraba kebawah. Seketika mulutnya yang terbuka
megap-megap tak mampu mengeluarkan suara, ternyata
tangannya meraba ditempat yang dingin seperti es, baru
sekarang dia sadar bahwa dirinya tidur diatas batu berbentuk
dipan yang dingin. Serta merta dia menarik napas menyalurkan hawa murni,
terasa perasaannya nyaman dan segar, seolah-olah dia tak
terluka apa-apa, hawa panas yang menggejolak dirongga
dadanyapun telah lenyap. sebaliknya hawa hangat yang lunak
masih mengalir pelan-pelan didalam tubuhnya.
Saking girang bergegas dia duduk. diwaktu pandangannya
menyapu keadaan sekelilingnya, seketika dia melenggong.
Ternyata lima kaki disebelahnya terdapat sebuah tonggak batu
yang putus setinggi lima kaki, di atas batu itulah duduk tegak
seorang baju hitam. Orang hitam ini mengenakan cadar hitampula, tangannya
memegang seruling pualam panjang tiga kaki, duduk tak
bergerak. dua sorot matanya tampak bercahaya dari balik
cadarnya, jelas terasa bahwa bola mata yang menyala ini
tengah menatap dirinya. Hanya sekejap Ping-ji berpikir, dia maklum bahwa orang ini
adalah lawan yang saling gempur sejurus pukulan dengan
dirinya namun dia tidak mengerti di mana sekarang dirinya
berada, setelah bimbang sejenak akhirnya dia berdiri maju
selangkah. Sebelum dia buka suara orang hitam itu sudah menegur
dingin: "Siapa namamu ?"
Mengerut alis Ping-ji, batinnya: " Kenapa sikap orang ini
kaku dingin, bicarapun seperti tidak punya perasaan-" Tapi
kejap lain kembali dia melongo, karena sebetulnya dia tidak
bisa menjawab, seperti pertanyaan yang diajukan ceng-Ciok
Tojin, akhirnya dia hanya geleng-geleng saja.
'Anak sombong, pura-pura tuli bisu ya, hm.' Bentak orang
hitam itu. Tiba-tiba sebelah tangannya bergerak, segulung
angin dingin menerpa kearah Ping-ji
Sekilas melengak tahu-tahu angin deras telah menerpa
datang, lekas Ping-ji melangkah minggir sambil menangkis
dengan kedua tangan mulutpun berseru:
"cianpwe, berhenti."
Melihat dia melawan orang hitam makin gusar, tiba-tiba dia
bangkit menyelipkan seruling dipinggang, lalu mengayun
tangan- Ping-ji sudah mengalah pada pukulan pertama, kini melihat
orang menyerang pula, diapun naik pitam, tangan sudah
bergerak hendak melawan, tiba-tiba dia menyadari sesuatu,
lekas dia tarik diri serta melompat minggir lima kaki hingga
pukulan orang hitam menyerempet lewat. orang itu
menggeram sambil melangkah setapak. sepasang lengan
bajunya menggulung, seluruh kamar batu seketika seperti
didera oleh angin lesus dingin.
Kembali Ping-ji undur dua langkah, mengendap tubuh terus
melompat keudara, teriaknya: " Kalau cianpwe tidak pakai
aturan terpaksa aku mencacimu."
Orang hitam melenggong, tapi segera menghentikan
aksinya, agaknya dia tidak menduga Ping-ji kali ini bersikap
sesabar ini dan memanggil dirinya cianpwe.
Melihat orang hitam menghentikan serangan, lekas Ping-ji
melayang turun, katanya serius sambil membetulkan
pakaiannya: "Terus terang cianpwe, cayhe... "
Tiba-tiba orang hitam angkat tangannya mencegah dia
melanjutkan kata-katanya lalu, mengulap tangan suruh dia
mundur kepinggir tanpa berpaling dia berkata dengan tekanan
berat: "Selama ratusan tahun, bukan tidak ada orang yang
mampu masuk ke Te-sat-kok dan menembus Kiu-kiong-ngoheng-
tin, tuan memiliki kemampuan setinggi ini, tentunya kau
juga seorang kosen kenapa tidak keluar saja."
Ping-ji terbeliak, dia tahu pasti seseorang telah masuk
kemari juga diluar tahu dirinya dapatlah dia membayangkan
bahwa pendatang ini pasti memiliki Kungfu tinggi.
Tiba-tiba didengarnya gelak tawa berkumandang dari balik
sebuah batu, lekas dia berpaling, kebetulan dilihatnya
bayangan seorang melayang turun-
Dibawah penerangan sinar mutiara, tampak pendatang ini
mengenakan jubah hijau kelihatannya amat bebas sederhana,
tapi mukanya ditutupi saputangan hijau, hanya kelihatan
kedua bola matanya saja. Begitu berdiri tegak dia bergelak
tawa dan berkata.: "Terima kasih akan pujianmu, kepandaian
yang kupelajari dari samping pintu sebetulnya tidak patut
dipuji." kedengarannya merendah pada hal dia amat
membanggakan kemampuan sendiri, Ping-ji mengerut alis.
Didengarnya orang hitam menjengek hidung, katanya "
Kalau tuan dari aliran lurus perguruan ternama, buat apa
menyembunyikan muka bertindak sembunyi-sembunyi ?" ,
Semula pendatang itu melengak. tapi lekas dia sudah
bergelak tawa, katanya: " Kalau cayhe malu dilihat orang,
apakah tuan tidak melebihi... hahaha .. setali tiga uang ..
Gelak tawanya menimbulkan getaran keras sehingga kamar
batu ini seperti digoncang gempa, batu-batu yang
bergantungan di langit-langit sama rontok berhamburan.
Sebelum gema suaranya sirna tamujubah hijau itu sudah
berkata pula, kali ini dengan sikap serius: "cayhe tidak ingin
putar lidah, kedatanganku ini ingin merundingkan sesuatu,
entah bagaimana pendapat tuan " Nadanya memohon tapi
mendesak orang untuk menerima permohonannya.
Orang hitam hanya mendengus tanpa memberi komentar,
tapi Ping-ji yang berada di samping naik darah, jari-jarinya
mengepal keras, ingin rasanya dia gasak orang tidak tahu
aturan ini, meski persoalannya sendiri dengan orang hitam
belum beres. Sijubah hijau juga tidak hiraukan Pingji, matanya jelilatan
lalu berkata dengan nada kering: "Nama besar Te-sat-kok
sudah menggetar Kangouw ratusan tahun lamanya, Tokko cu
cianpwepun disegani kaum persilatan, namanya bak geledek
disiang hari bolong, aku yang rendah tidak becus... kudengar
didalam Te-sat-kok banyak terpendam harta benda... maka...
jikalau kau sekedar kasih pinjam.. entah bagaimana pendapat
Tokko cianpwe...heheheh .."
Tokko cu menjengek dingin, "Hm, tak nyana, tuan malu
memperlihatkan muka, tapi berani bicara blak-blakan juga."
Merandek sejenak lalu melanjutkan, "Selama ratusan tahun
Te-sat-kok telah membuka lebar pintunya untuk menyambut
orang-orang Kangouw yang berhati tamak, kalau tuan punya
keinginan, boleh juga aku orang tua mengiringi kehendakmu."
Lalu dia menoleh memandang Ping-ji sekejap.
Berobah air muka Ping-ji karena dilirik sedemikian rupa,
akhirnya dia menghela napas serta menunduk. Dari
percakapan ini dia baru tahu bahwa didalam Te-sat- kok
ternyata ada terpendam harta benda yang jarang ada didunia
ramai, hingga orang-orang yang tamak lalu meluruk kemari,
maka orang hitam inipun anggap dirinya orang sejenis, tak
heran kalau orang segera melabrak dirinya. Memang salahnya
sendiri, disamping melanggar larangan sikapnya angkuh pula,
maka logis kalau orang marah kepadanya.
Memperoleh jawaban si orang hitam, si jubah hijau tertawa
gelak-gelak riuh, katanya: "Terima kasih akan pujian cianpwe,
tapi tak usah cianpwe marah, kedatanganku kali ini,
bahwasanya tiada sangkut pautnya dengan persoalanpersoalan
yang terjadi di Kangouw."
Matanya mengerling kearah Ping-ji lalu berkata: "Harta
benda yang tersimpan di Te-sat-kok mungkin tak terhitung
banyaknya, tapi cayhe tidak akan meraihnya barang
sebutirpun, tapi aku mendengar bahwa Liat-jit, cui-ie dan Sitlay


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga pusaka juga tersimpan dalam lembah ini, maka
sengaja cayhe datang dari jauh, mohon cianpwe tidak kikir
kepadaku... ?" Belum habis dia bicara orang hitam telah menukas: "Huh,
kau bicara seenak udelmu sendiri, kalau Te-sat-kok tidak
menjadi perhatianmu, tapi Te-sat-kok tidak pernah
membiarkan tamunya mondar mandir sesuka hati, kuanjurkan
lebih baik kau tinggalkan batok kepalamu. Mari silakan-"
Berikut bola mata si jubah hijau, katanya dengan tawa
kering: " cianpwe pandai bicara, tapi seorang Kuncu lebih suka
berunding daripada berkelahi. Kalau cianpwe sudi memberikan
apa yang kuminta, terus terang aku rela menukarnya dengan
tiga pusaka Hian-ping-kiong, supaya masing-masing pihak
tidak dirugikan-" Mendengar "Hian-ping-kiong" bergetar tubuh orang hitam,
jengeknya: "o, jadi kau datang dari Hian-ping-kiong, sungguh
kurang hormat. Tak nyana setelah puluhan tahun tidak
berkecimpung di Kangouw, "hian-ping-kiong" ternyata telah
menelorkan tokoh muda selihay kau, sepatutnya aku harus
memberi selamat kepada Ham-sim-lo-koay"
Waktu mendengar "hian-ping-kiong, Pingji yang mendengar
percakapan dari samping juga tersentak kaget, terasa nama
itu seperti amat dikenalnya, tapi entah di mana dia pernah
tahu nama itu, maka mulutnya menggumam mengulang nama
hian-ping-kiong. Kembali si jubah hijau terbahak-bahak senang dan puas,
amat bangga pula. Akhirnya dia mengebas lengan baju serta
berkata pula: 'Terima kasih akan pujian cianpwe, berkat doa
cianpwe pula, guruku sampai sekarang masih sehat dan
gagah, bila nanti beliau turun gunung, pasti akan mampir
kemari memberi salam hormatnya pula kepada cianpwe." Lalu
dia menjura berulang-ulang.
Dengan dingin Tokko cu berkata: "Mana berani aku
menerima kedatangannya, gurumu sudah hidup bahagia di
Pak-hay-sian kiong, bahwa dia masih tidak melupakan teman
lama yang ada di gunung ini, sungguh aku harus malu diri,
bila ketemu gurumu tolong sampaikan teirma kasihku." Habis
bicara kembali dia menoleh kearah Ping-ji, dilihatnya Ping-ji
menengadah, sikapnya hambar dan bingung sambil membuih
bibir seperti orang membaca mantram.
Sijubah hijau ikut melirik kearah Pingji, melihat keadaan
orang kembali dia terbahak-bahak. katanya kemudian: "Mana
berani, mana berani, tapi baiklah pasti akan kusampaikan
pesan cianpwe kepada beliau... lalu permintaanku tadi, kukira
tiada persoalan-.. haha... "
Si orang hitam tertawa dingin, katanya: "He. memang tidak
malu tuan sebagai murid Ham-sim-leng-mo. Ada guru
memang ada murid. Hehehe... "
"Terima kasih, terima kasih." Sijubah hijau berderai tawa,
lalu dengan sikap serius dia berkata: "Terus terang cianpwe,
kami memang amat memerlukan sekali maka kami
memberanikan diri mengajukan persoalan ini, atas kemurahan
hati cianpwe, sungguh tak terhingga terima kasih kami.
Guruku beserta setiap warga Hian-ping-kiong pasti berhutang
budi dan takkan melupakan kebaikan cianpwe selamalamanya.
Kelak bila tenaga kami diperlukan, seluruh kekuatan
Hian-ping-kiong siap menunaikan tugas. Kalau tidak... terserah
bagaimana cianpwe akan bertindak "'
"Hm, gelombang sungai yang dibelakang mendorong yang
didepan, yang tua sudah lembek, yang masih muda mumpung
perkasa." Sampai di sini tiba-tiba dia menarik muka, 'Tapi
setiap penguasa Te-sat-kok memang punya tabiatnya yang
tersendiri, meski jiwa sudah lanjut, tapi tabiat itu sudah
merupakan tradisi yang tak boleh dirobah lagi.'
---ooo0dw0ooo--- "Aku sudah berusaha sekuat mungkin dengan cara-cara
yang normal, agaknya cianpwe masih belum mau memaklumi
kesukaran kami, mungkin... agak... hehe."
"Tuan memang bertindak sopan lebih dulu baru akan
menggunakan kekerasan- Sayang aku tua bangka ini justru
tidak mau disuguh arak kehormatan, lebih senang arak
hukuman-" Lalu dia menoleh pula ke arah Ping-ji dan
menambahkan: "Hayolah maju, biar aku menjajal sampai
dimana kelihayan ilmu tunggal setan tua itu yang diturunkan
kepadamu, berani bertingkah di Te-sat-kok Hm."
Mencorong mata sijubah hijau, katanya sambil terkekeh
ringan: "Tidak berani. tidak berani, cianpwe tak usah marah,
aku ini ibarat mutiara sebesar beras mana berani menandingi
terangnya sinar rembulan." Kedengarannya merendah, pada
hal nadanya sombong, di mulut dia menyebut cianpwe, tapi
terhadap diri sendiri tetap membahasakan "aku", jelas dalam
hati dia tidak anggap lawannya terlalu tangguh.
Sudah tentu si orang hitam juga tahu maksud perkataan
orang, dengan menekan suaranya dia berkata: "Manusia
munafik macam dirimu memang jarang ada, baiklah, biar aku
mencoba betapa lihay Kungfu dari aliran Pak-hay." Lalu
pandangannya berputar dilihatnya Ping-ji tetap mendongak
dengan pandangan terlongong seperti tidak memperhatikan
kejadian sekitarnya, dengan mengerut alis dia lantas
membentak: "Keledai dungu, kau pura-pura mampus ya?"
Sijubah hijau memang cari kesempatan untuk pamer
kepandaian sendiri, segera dia menyela dengan tawa gelakgelak:
" Kenapa cianpwe naik pitam, bagaimana kalau aku
yang mewakili ?" Lengan baju kanan segera di kebut kearah
Ping-ji yang berdiri melamun-Tiba-tiba orang hitam
menghardik: "Tak usah kau turun tangan-" Serulingnya menuding
langsung menutuk Ki-ti-hiat dibawah ketiak sijubah hijau.
Jubah hijau kaget, lekas dia kebut lengan bajunya
kesamping sambil menggeser langkah menyingkir kekiri, baru
dia terhindar dari tutukan seruling. Walau demikian tak urung
mencelos hatinya, karena dia tidak menduga bahwa Tokko cu
ternyata bertabiat seaneh ini, maksud baiknya membantu
ternyata ditampik. Tengah dia melenggong tiba-tiba terasa
segulung angin menyampuk mukanya, ditengah gugupnya
lekas dia menjengkang tubuh mencelat kebelakang, berbareng
lengan bajunya mengebas melontarkan segulung angin dingin.
Begitu dia berdiri tegak pula seketika mulutnya bersuara
heran, ternyata pemuda yang dianggap keledai dungu tadi kini
sedang menatapnya dengan melotot gusar, jelas serangan
angin itu dilontarkan oleh pemuda ini.
Sekilas melongo akhirnya sijubah hijau tertawa gelak-gelak.
katanya: "Hehe, ternyata saudara inijuga seorang ahli,
selamat bertemu." Dengan gaya lembut segera dia
membungkuk sambil menjura.
Ping-ji mundur selangkah balas menghormat seraya
menjawab: "Tidak berani."
Mendengar sijubah hijau menyebut "hian-ping-kiong", Pingji
merasa seperti sudah kenal nama ini, tapi dia bingung,
kapan dia mendengar dan apa arti ketiga huruf itu maka
sekian lama dia berdiri terlongong.
Kini setelah melihat perawakan dan dandanan orang segera
dia teringat pertanyaan ceng-ciok Tojin, segera dia maju
selangkah dan tanya, "Jadi kau ini ceng-san-biau khek itu?"
Jubah hijau tertawa bingar, katanya:
"Agaknya saudara sudah kenal baik akan julukanku itu.
Kepandaianmu juga tidak rendah, entah murid siapa kau"
Siapa pula namamu ?"
Tiba-tiba orang hitam menukas: "Te-sat-kok bukan rumah
makan atau penginapan, bukan tempatnya untuk pertemuan
orang luar. Hm." Ping-ji merah mukanya, sikapnya kelihatan rikuh dan kikuk.
Tapi ceng-san-biau-khek malah bergelak tawa, katanya: "Ah,
mana berani. Tapi dapat berkenalan dengan seorang sahabat
di Te-sat-kok juga merupakan peristiwa baik, setimpal buat
kenangan, kurasa cianpwe sendiri juga pasti merasa senang
bukan ?" Tokko cu menyeringai, jengeknya: ,Hm, aku orang tua
tidak gila hormat, sudah jangan cerewet, marilah selesaikan
dulu persoalan kita, nanti boleh kau bersahabat dengan setan
atau dedemit." Sambit bersiul segera dia kerjakan serulingnya
menutuk Sin-hong-hiat didada ceng-san-biau-khek.
Ceng-san-biau-khek mengebut lengan baju sambil
melangkah minggir selangkah, mulut berteriak: "Kenapa
cianpwe mendesak begini rupa... aku..." Kebutan lengan
bajunya ternyata sekaligus menggulung seruling Tokko cu
yang menutuk tiba. Tapi Tokko cu cukup lihay menggunakan serulingnya,
sebelum lawan berhasil menggulung serulingnya, senjatanya
itu sudah menyerong kesamping menutuk Kui-imhiat dibawah
tetek kanannya. Serangan ini lihay dan keji. Ping-ji yang
menyaksikan dari sampingpun sampai bercekat hatimya.
Batinnya: "Perangai orang hitam ini ternyata aneh, barusan
masih bicara baik-baik, kenapa sekejap mata telah melabrak
orang, mungkin ceng-san-biau-khek takkan mampu
menandinginya." Ternyata ceng-san-biau-khek seperti tidak menghiraukan
tutukan seruling lawan, hanya tubuhnya saja yang tiba-tiba
menyelinap. luput dari tutukan seruling panjang Tokko cu,
tiba-tiba tangan kirinya merogoh tujuannya meraih cadar
hitam di muka si orang hitam, tapi ditengah jalan dirobah
gerakan menukik turun hendak merampas seruling panjang
Tokko cu, gerakannya aneh variasinya banyak sehingga orang
sukar menduga sebelumnya.
"Kurang ajar." Bentak Tokko cu. Tiba tiba serulingnya
berputar dengan suara lengking tajam menutuk Ki-bun-hiat di
ketiak kiri lawan- Sebelum ceng-san-biau-khek menarik diri
dan membataikan serangan, serulingnya telah menyelonong
kesamping pula menutuk seng-kay-hiat didadanya.
Ceng-san-biau-khek terlalu takabur, dia kira dengan gerak
serangannya yang lihay, secara tidak terduga lagi pasti dapat
merebut seruling lawan, kenyataan justru berlaian dengan
kehendaknya. Bukan seruling lawan kena dia rampas, senjata
lawan malah mengancam jiwanya. lekas dia mengebut lengan
baju sambil memutar tubuh meluputkan diri.
Tak nyana bayangan putih berkelebat di depan mata,
seruling lawan kembali telah mengancam dada pula, saking
kejutnya lekas dia menarik napas mendorong tangan sambil
merendahkan tubuh, sebat sekali tubuhnya sudah mencelat
mundur kebelakang. Maklum sejak dirinya berkelana di Kang ouw, dengan bekal
Kungfunya yang lihay dan aneh serta ginkang yang tinggi,
belum cukup setengah tahun dia sudah terkenal di Kangouw
hingga dijuluki ceng-san-biau-khek (Pendekar kelana jubah
hijau), memang julukannya patut dicatat sebagai orang yang
selain memiliki gelar ternama itu, terutama Ginkangnya, taraf
kepandaiannya memang cukup berlebihan untuk memperoleh
gelar ternama itu. Waktu dia mengembangkan Ginkang Dat swat-hu-ping
(menginjak salju sebelum jadi es) melayang kebelakang,
mendadak dirasakan segulung tenaga besar menindih
kearahnya, lekas dia menarik napas ditengah udara. kedua
lengan baju mengebas bersama, beruntun dia bersalto dua
kali baru berdiri pula, Dilihatnya orang hitam tetap duduk bersimpuh diatas batu,
bergerakpun tidak. walau bagaimana rona wajahnya yang
terlindung dibalik cadar hitarn itu, tapi dari gerak-gerik dan
sikapnya dapat dirasakan betapa sinis dan tak kenal kompromi
sikapnya. Berkerut alis ceng-san-biau-khek. sorot matanya tampak
berkilat, batinnya: "Tua bangka ini memang sukar dilayani.
Hm, kalau aku tidak memperlihatkan kelihayanku, mungkin
sikapnya tetap takabur. Memangnya Hian-ping-kiong boleh
dipermainkan ?" Sembari memutar otaknya matanya melirik
kesamping. Dilihatnya Ping-ji masih menatapnya lekat-lekat,
sorot matanya menampilkan mimik aneh, seperti kagum,
kepingin tapi juga melongo heran- Hatinya tergetar, lekas dia
memalingkan muka dan tertawa enteng, katanya: "Tokko
cianpwe memang tidak bernama kosong. Aku yang rendah
memang tidak becus, ingin aku pengajaran beberapa jurus,
mohon cianpwe sudi memberi petunjuk."
Orang hitam menjengek dingin: "He, kau masih muda tapi
termasuk pemuda pilihanTiraikasih
Website segala permainan di Kangouw agaknya sudah kau kuasai
dengan baik. Baiklah, biar aku saksikan betapa lihay ilmu
ciptaan Ham sim-lo-koay yang terakhir."
Dengan tersenyum ramah ceng-san-biau-khek berpaling
kearah Ping-ji, katanya: " Harap saudara suka mundur sedikit
meluangkan tempat, biar aku menunjukkan ketidak
becusanku, hehe." Tanpa bersuara lekas Ping-ji mundur beberapa langkah,
dengan tajam dia awasi ceng-san- biau-khek.
Kini sikap ceng-san-biau-khek tidak lagi cengar-cengir,
agaknya dia mulai serius dan pusatkan konsentrasinya, hanya
sepasang mata yang kelihatan diluar sapu tangannya kelihatan
berkilat, melangkah setindak pelan pelan kedua tangannya
terangkat. Kedua telapak tangannya tampak menjadi putih
meletak. mengeluarkan uap putih pula Ping-ji kaget sekali,
lekas dia menoleh ke orang hitam, dilihatnya orang tetap
bersimpuh diatas batu, tak bergerak tidak menunjukkan reaksi
atas aksi ceng-san-biau-khek.
Entah kenapa mendadak hatinya merasa kuatir bagi
keselamatan orang hitam, dia tidak tahu bagimana mungkin
Kungfu ceng-san-biau-khek selihay dan ampuh begitu,
kelihatannya berbeda dengan aliran silat yang ada di
Tionggoan, padahal dia tidak tahu apakah si orang hitam yakin
dirinya kuat menandingi pukulan lawan, atau... jantung nya
berdebar-debar. Kedua tangan ceng-san-biau-khek telah terangkat setinggi
dada, lurus kedepan, telapak tangannya seputih kapur,
bersemu hijau bening, uap putih yang dingin mengeluarkan
desis suara. Mendadak bergetar tubuh Tokko cu, desisnya: "Hian-pingciang."
Kepala Ping-ji seperti dipukul godam mendengar "Hianping-
ciang", segera dia membentak: "Apa Hian-ping-ciang ?"
Telapak tangan ceng-san-biau-khek yang mengeluarkan
uap putih tamppak gemetar, dengan suara serak tenggelam
dalam teng gorokan dia menjawab: "Betul." cepat sekali
tampak kedua tangan itu didorong kedepan disertai bentakan


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menimbulkan segulung angin dingin-
Sebuah hardikan nyaring yang lain memecah kesunyian
pula menyusul suara ledakan keras dari beradunya dua
kekuatan dahsyat, batu berloncatan, bayangan orangpun
terpental. ceng-san-biau-khek tersuruk mundur beberapa
langkah, bola matanya mendelik bundar, merah dan dironai
rasa kaget dan heran- Ping-ji sebaliknya mendelik gusar, alisnya menatap cengsan-
biau-khek. Sinar mata ceng-san-biau-khek kini tampak
lesu dan lemah, mendadak tangannya menuding Ping-ji serta
berkata dengan suara bergetar: "Wi liong-ciang ?" Tiba-tiba
mulutnya menguak keras menyemburkan darah segar hingga
cadar hijau yang menutupi mukanya basah oleh darah dan
mengotori jubahnya. Mendadak dia menjejak kaki sambil putar
tubuh terus angkat langkah seribu.
"Bangsat, lari kemana kau "' Ditengah hardikan keras, Pingji
melambung kencang secepat pelor ditembakan mengudak
ke arah ceng-san-biau-khek.
"Kembali." Tiba tiba sebuah suara lemah terkiang ditelinga
Ping-ji, "biarlah dia pergi."
Mendengar panggilan ini, Ping-ji menekuk tubuh lalu
mengerem luncuran tubuhnya dengan enteng dia melayang
turun kebawah. Begitu dia menoleh dilihatnya orang hitam itu
duduk lemah diatas batu, keadaannya seperti amat payah,
tubuhnya menggigil. Bergegas Ping-ji memburu maju sambil ulur tangan
memapahnya, katanya: " cianpwe kau terluka ?" Terasa tubuh
orang begitu lemah dan lembut, dingin pula.
Begitu dijamah tangan Ping-ji, tubuh orang hitam seperti
kena stroom, mendadak dia menghardik "Enyah, enyah dari
sampingku." Karuan Ping-ji melongo, mukanyapun berobah, bola mata
orang hitam tampak bercahaya dibalik cadar hitamnya. dirinya
ditatap seperti musuh bebuyutan saja. Rasa terhina segera
merangsang sanubari Ping-ji ujung mulutpun menjengek.
cepat dia menjura lalu membalik tubuh berlari keluar.
Lekas orang hitam angkat tangan, kulit mukanya tampah
berkerut merut, suaranya lemah: "Kau... "Tapi bayangan Pingji
sudah lenyap dikegelapan. Akhirnya dia menghela napas
rawan, suaranya sedih: "oh Thian-" Tangan kanan terangkat
menarik cadar mukanya. Dalam keadaan remang-remang
cahaya mutiara tampak wajahnya bundar telur, putih molek
dan rupawan, alis-nya lentik melengkung bak bulan sabit, bola
matanya bening, seperti air embun dikelopak bunga, bibirnya
tipis mungil, hidungnya mancung, sayang darah tampak
meleleh diujung mulutnya, mukanya pucat pias.
---ooo0dw0ooo--- Fajar telah menyingsing pula, sinar mentari yang kemuning
menembus kabut tebal menerangi alam semesta.
Dibawah sebuah pohon cemara yang besar dan tua,
tampak duduk semedhi seorang pemuda berpakaian hijau.
Angin sepoi-sepoi menyampuk mukanya, melambaikan
pakaian dan rambut kepalanya yang belum tersisir.
Sang waktu terus berjalan, entah berapa lamanya, sang
suryapun telah merambat makin merambat makin tinggi, tibatiba
Ping-ji membuka sepasang matanya, sambil mengebas
lengan baju segera dia bangkit. Menyongsong datangnya
angin pagi dia menarik napas panjang nan segar, dadanya
terasa penuh berisi, lalu pelan-pelan dia menghembuskan
napas serta beranjak kedepan- Ah kiranya dia berhenti di
pinggir jurang dipucuk ngarai.
Lama Ping-ji terpesona memandangi keindahan alam
pemandangan terbentang didepan mata, angin pegunungan
pagi memang semilir dingin. otaknya masih juga diganggu
oleh nama Hian-ping-ciang, nama ini seperti melekat dalam
sanubarinya, takkan terlupakan selama hidupnya, karena
orang aneh yang pernah ditolongnya itu mati karena pukulan
Hian-ping-ciang, Wi-liong-pit-sin itu pun berhasil direbut oleh
orang yang membekal pukulan Hian-ping-ciang itu.
Waktu mendengar ceng-san-biau-khek menyebut Hianping-
kiong, hatinya sudah mulai curiga, keyakinannya makin
tebal setelah melihat ceng-san-biau-khek melontarkan pukulan
Hian-ping-ciang, bahwa orang berkedok yang merebut Wiliong-
pit-sin dari tangan orang aneh itu adalah ceng-sanbiaukhek
tanpa ayal segera dia menyerang dengan jurus
Liong-kiap-sin-gan, ternyata walau sudah terluka, ceng-sanbiau-
khek masih mampu melarikan diri.
Kejadian selanjutnya justru amat membingungkan dia,
berusaha menolong orang berbaju hitam, jelas dia terluka
parah tapi dirinya malah diusir, sungguh dia tidak habis
mengerti kenapa orang hitam itu berwatak seaneh itu. Banyak
persoalan sekaligus merangsang benaknya, dia tidak tahu
persoalan mana harus dia beres kau lebih dulu. Maka dia
melamun menghadapi pemandangan alam penuh kabut yang
terbentang didepan matanya.
Mendadak sebuah pikiran seperti mengetuk sanubarinya.
waktu dia angkat kepalanya tampak di kejauhan biara-biara
besar nan megah seperti diselimuti kabut saja, sekali keplok
segera dia putar badan terus melompat pergi berlari-lari
dengan enteng dan kencang.
Tak jauh dari tempat dimana tadi Pingji berdiri. dari
belakang sebuah batu besar, tiba-tiba muncul seseorang.
Diapun mengenakan jubah hijau, tapi mukanya ditutupi sapu
tangan hijau. Langsung dia maju kearah di mana barusan
Pingji berdiri, meneliti ke adaan sekelilingnya lalu menunduk
kebawah. Tampak jelas sebuah tapak kaki sedalam satu dim
melesak di dalam batu gunung yang keras, diulurkan tangan
meraba dan mengukur, lalu bergegas dia berdiri. Sepasang
matanya yang tidak terlindung tutup mukanya tampak
memancarkan cahaya dingin, sinar jahat dan sadis akhirnya
dia mengebas lengan baju lalu melangkah lebar kearah mana
tadi Pingji pergi. Kabut telah lenyap. cahaya mentari terasa makin terik. Dua
Tojin tampak beranjak keluar dari Siang-jing-koan, tiga huruf
emas yang diukir diatas sebuah pigura raksasa tampak
kemilau ditimpah matahari. Kedua Tosu itu sama mengenakan
jubah kuning emas, masing-masing memegang kebut
bergagang batu pualam. Yang jalan disebelah kiri berusia lebih
lanjut, wajahnya kelihatan welas asih, arif bijaksana, wajahnya
merah seperti muka orok yang genap sebulan, sikap dan
langkahnya seperti orang yang sudah mencapai perjalanan
tinggi dalam kedewaan. Mereka terus beranjak kedepan
menuruni undakan batu yang menjulur jauh ke sana, siapapun
tidak bersuara. Tojin tua yang ada di kiri sering menghela napas sambil
mengerut alis, kadang mendongak mengawasi mega lalu
menunduk beranjak dengan langkah tetap. Mengiringi
langkahnya yang mantap Tojin yang lain berjenggot panjang
menyentuh dada juga sering mengerut alis, bola matanya
bundar seperti mata harimau.
"ciangbun." Tojin sebelah kanan akhirnya buka suara,
"jangan kuatir, Jik-ciok Sute orang baik, orang baik pasti
panjang umur, luka-lukanya pasti dapat disembuhkan,"
"Semoga demikian," ujar ceng-ciok Tojin sambil menghela
napas, "Ah, sungguh tak nyana pemuda itu memiliki Kungfu
sehebat itu, orang-orang tua seangkatan kita harus malu diri."
"Kemarin ceng-siong dan Ji-gi melaporkan bahwa bocah itu
telah masuk ke Te-sat-kok. Hm, biarlah Tokko cu si nenek
galak itu mengganyangnya." Demikian ujar Pek-ciok Tojin
dengan gemas. "Tapi persoalan belum tentu benar, bukban mustahil orang
lain yang masuk kesana."
"Suheng, kenapa kau menjadi begini lemah. umpama betul
dia tidak masuk ke Te-sat-kok. sejurus pukulan Siau yangciang
Susiok tanggung telah membuatnya luka parah, berapa
lama dia kuat bertahan hidup " Umpama manusia besi juga
takkan tahan menerima pukulan itu.
Ceng-ciok Tojin mengerut kening, katanya: "Persoalan tidak
semudah yang kau kira. Menurut penjelasan Susiok kemaren,
anak muda itu agaknya membekal Wi-liong ciang yang dahulu
merupakan ilmu kebanggaan Kiu-thian-sin-liong, kalau dugaan
itu benar, maka urusan pasti akan berbuntut panjang."
Agaknya Pek-ciok Tojin juga mendengar, lama dia tidak
bersuara, akhirnya ceng-ciok Tojin berkata: "Apa yang
diucapkan Susiok memang tidak salah, dulu waktu Kiu-thiansin-
liong malang melintang di Kangouw, siapa mampu
menandingi dia, sayang kita telat dilahirkan hingga tak pernah
menyaksikan keperkasaannya." Lalu menghela napas gegetun.
Mereka terus melangkah tak berbicara lagi, diujung jalan
berbatu yang liku-liku, muncul sederetan rumah gubuk yang
dikitari hutan bambu. Dengan angkat kepala ceng-Ciok Tojin
dan Pek-Ciok Tojin mempercepat langkah memasuki hutan
bambu menuju ke arah gubuk itu.
Sekonyong-konyong, ceng-Ciok Tojin dan Pek-Ciok Tojin
menghentikan langkah, roman muka merekapun berobah.
Tampak dari rumpun bambu sebelah kiri, dijalanan berbatu
sana, pelan-pelan beranjak mendatangi seoraug berjubah
hijau, dia bukan lain adalah pemuda yang kemaren melukai
Jik-Ciok Tojin. Diam-diam Pek-Ciok Tojin membatin:
"Setan alas, katanya dia masuk ke Te-sat-kok, kenapa
nenek galak itu tidak mengganyangnya " Badannya kelihatan
segar bugar semangatnya menyala bukan saja luka-lukanya
sudah sembuh. Lwekangnya seperti lebih tangguh lagi." Lekas
sekali pemuda itu sudah tiba didepan mereka dan mengadang
jalan- Dengan muka berubah ceng-Ciok Tojin maju selangkah
sambil putar kebut, sapanya:
"Hahaha Siauhiap memang orang dapat dipercaya. Baiklah,
segala sesuatu terserah pada kehendakmu, Pinto akan
mengiringi keinginanmu." Lekas Pek-Ciok Tojin maju
selangkah berjaga di samping sang Suheng menjaga segala
kemungkinan- Tapi diluar dugaan Ping-ji juga tidak maju mendekat, lima
kaki didepan mereka dia berhenti dan berkata lantang sambil
goyang tangan: "Totiang tidak usah bersitegang leher,
kedatangan cayhe kini bukan mau menuntut balas kejadian
kemaren, tapi bukan berarti bahwa persoalan itu impas
sampai disini, akan datang satu hari aku tetap akan membuat
perhitungan. " Ceng-Ciok Tojin dan Pek-Ciok Tojin sama melongo. mereka
tidak mengerti apa maksud si pemuda maka mereka
memandang dengan sorot heran dan curiga.
Ping-ji angkat alis, katanya lantang: "Aku ingin tanya, ceng
san-biau-khek dari aliran mana ?"
Kembali ceng-Ciok Tojin melongo, tapi segera dia mengerut
alis, Pek-Ciok Tojin malah menjengek. maju selangkah dia
berkata gusar sambil menuding: "Anak sombong Bu-tong-san
bukan hotel atau restoran yang kau dirikan, mau datang boleh
sesuka udel sendiri. mau pergi boleh sambil kentut. Hm,
ketahuilah, kau tidak akan membuat perhitungan, tapi kamilah
yang akan menuntut balas kepadamu. marilah maju. Serahkan
jiwamu, diakhirat boleh kau tanya siapa itu nama dan asal
usul ceng-san-biau-khek."
Kelam wajah Ping-ji, maju selangkah mengacung tangan,
katanya gusar: "Hidung kerbau tua bangka. aku tidak mencari
setori jangan kau kira aku takut, huh, majulah."
Ceng-Ciok Tojin berteriak dengan membuka kedua tangan
dia mencegat ditengah, katanya gugup: "Ada persoalan boleh
dirundingkan, jangan berkelahi." Sekilas dia melotot kepada
Pek-Ciok lalu berputar kearah Ping-ji, katanya: "Apa yang
diucapkan Siauhiap barusan memang benar, baiklah berkat
kebaikan Siauhiap kami pihak Bu-tong haturkan terima kasih.
Umpama Siauhiap tiduk meluruk kemari, tahun depan dikala
hari raya Jong-yang Pinceng akan pimpin anak murid Bu-tong
bertandang kerumahmu."
"Tentang ceng-san-biau-khek," katanya menyambung
setelah menelan ludah, "Pinto hanya tahu, dia keluar kandang
kira-kira permulaan tahun, jadi belum ada setengah tahun.
dengan kepandaiannya yang hebat beruntun telah
mengalahkan dua belas jago Thian san-pay sekte utara,
dengan tangan kosong dia menjatuhkan dua raksasa dari tiga
raksasa anak buah Tok-lian-cun-cia yang berberkuasa di Biaukiang,
hingga namanya terkenal diseluruh Kangouw, tapi
karena dia selalu mengenakan jubah dan kedok hijau,
Kungfunya juga merupakan kombinasi dari inti sari semua
aliran silat di Tionggoan, maka jarang orang tahu asal usul
Pedang Darah Bunga Iblis 17 Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk 17
^