Pencarian

Hong Lui Bun 3

Hong Lui Bun Karya Khu Lung Bagian 3


perguruannya, hanya sedikit yang Pinto ketahui semoga
Siauhiap tidak kecil hati."
Pingji menepekur sejenak. katanya kemudian dengan
angkat kepala: "Mohon tanya Totiang, partai mana dalam
Kangaow yang punya Kangfu bernama Hian-ping-ciang ?"
Berobah air muka ceng-Ciok Tojin dan Pek-Ciok Tojin,
serempak mereka berteriak: "Ha, Hian -ping- ciang ?"
"Ya, Hian-ping-ciang. Dari aliran mana ?" Ping-ji menegas.
"Kemaren ceng-san-biau-khek pernah meluncurkan sejurus
pukulan Hian-ping-ciang, akibatnya dia
terpukul luka parah oleh jurus Liong- kiap-sin-gan hingga
muntah darah dan melarikan diri."
"Liong-kiap-sin-gan dari Wi- liong- ciang ?" Pek-ciok Tojin
mendesis dengan mata terbelalak. jadi... kau adalah ahli waris
Kiu-thian-sin-liong ?"
Ping-ji melongo, batinnya:"Kiu-thian-sin-liong" Siapa itu
Kiu-thian-sin-liong?"
Tiba-tiba didengarnya ceng-ciok Tojin menjerit kaget serta
berseru: 'Susiok. Tecu ceng-ciok dan Pek-eiok menyampaikan
sembah hormat.' Lekas Ping-ji menoleh, dilihatnya seorang Tojin
pertengahan umur berwajah merah sedang beranjak pelanpelan
mendekat, dengan tersenyum dia papah ceng-ciok dan
Pek-ciok. Kembali Ping-ji melongo, batinnya:
"Orang ini masih muda, bagaimana mungkin menjadi
Susiok Bu-tong ciangbun " Em, ya, mungkin Lwekangnya
sudah sempurna, hingga wajahnya tetap kelihatan muda.'
Lekas sekali Tojin setengah umur itu sudah berada
didepannya serta menegakkan telapak tangan menyapa:
'Pinceng Hwi-bing, sebagai Tiang-lo satu-satunya dari Bu-tong
yang masih ketinggalan hidup, sungguh beruntung bahwa
Pinceng dapat menyaksikan dan membuktikan kehebatan
Siauhiap. Tak terlupakan kejadian masa lalu, garumu Kiuthian-
sin-liong Sa-locianpwe seorang diri mampu menandingi
keroyokan delapan ciangbun dan tujuh puluh dua muridmuridnya,
peristiwa itu pernah menjadikan lembaran sejarah
yang terbesar selama ini, hari ini kulihat siauhiap juga cerdik
pandai, berbakat lagi, yakin tidak akan menurunkan derajat
para leluhur yang telah mangkat lebih dulu. ini akan
merupakan keberuntungan generasi muda yang akan datang."
Lalu sambil mengelus jenggot dia melanjutkan: "Aih, jagojago
muda bermunculan pada setiap angkatan, yang tua
sudah lemah, yang muda lebih mengungkuli. Entah bagaimana
keadaan Sa-locianpwe sekarang, sudilah Siauhiap
menyampaikan salam hormatku kepada belian-"
Melihat Tojin setengah umur ini, Pingji lantas tahu bahwa
orang inilah yang tempo hari berdiri dibelakang ceng-Ciok
hingga dirinya terluka parah. Mendengar bahwa Kiu-thian-sinliong
seorang diri melawan keroyokan delapan ciangbun besar
dan murid-muridnya, maka tahulah Ping-ji bahwa Kiu-thiansin-
liong adalah guru si orang aneh pemilik Wi-liong-pit-sin.
orang aneh itu pula yang telah mencipta dirinya menjadi
seorang jago kosen setelah dirinva digembleng dan disaluri
Lwekang latihannya selama puluhan tahun, hingga dalam
waktu singkat dirinya dipaksa untuk menjadi tokoh silat kelas
wahid. Tapi Tojin setengah umur menyangka dirinya adalah ahli
waris langsung dari Kiu-thian-sin-liong, maka dia jadi raguragu,
akhirnya dia berkata tak acuh: "oh, banyak terima kasih
akan maksud baik Totiang, selama ini guruku memang baikbaik
-saja." Sedikit berobah air muka Tojin setengah umur, tapi segera
dia tertawa lantang: "Berkat kemurahan Thianlah, sehingga
kami yang lebih muda akan dapat melihat kehebatan angkatan
tua yang masih panjang umur. Ha haha." Dia tertawa sambil
mendongak. tawanya lantang, tapi Ping-ji merasakan nada
suaranya agak getir, menandakan hatinya tidak tentram dan
ngeri. Maklumlah, dahulu seorang diri Kiu-thian-sin-liong melawan
keroyokan delapan ciang bun dan tujuh puluh dua muridmuridnya,
akhirnya dia tetap dipihak yang unggul hingga inti
kekuatan kaum Bulim aliran luues boleh di kata tertumpas
dalam peristiwa besar itu, siapa tidak ngeri danjeri mendengar
nama Kiu-thian-sin-liong. Kini Hwi-bing Tojin mengira pemuda
dihadapannya ini adalah ahli waris yang mampu melancarkan
Wi liong- ciang ciptaan Kiu-thian-sin-liong dulu, betapa hatinya
takkan kaget. Apalagi pemuda ini bilang gurunya Kiu-thian-sinliong
masih hidup sehat, maka tak kuasa dia menahan rasa
kaget dan takutnya. Melihat sang Susiok pucat dan jeri, berkerut kening cengciok
Tojin, pikirnya: 'Ai, nasib Bu-tong kita memang lagi sial, gembonggembong
iblis bakal bermunculan lagi, bagaimana kita harus
bertindak" Ai, kehidupan kaum persilatan mungkin takkan
aman tentram lagi.' Tengah perasaan mereka dirundung rasa takut, jeri dan
kuatir, dari kejauhan mendadak terdengar jeritan menyayat
hati. Karuan mereka sama berobah air mukanya sekejap saling
pandang. Akhirnya ceng-ciok Tojin membanting kaki seraya
berteriak 'Siang-jing-koan-.' Dia mendahului mengebas lengan
baju terus berlari secepat angin dari arah datangnya tadi.
Ditengah jalan mereka bersua seorang Tojin yang lagi
berlari mendatangi dengan langkah sempoyongan jatuh
bangun, darah tampak mengotori muka dan sekujur
badannya. Melihat ceng-ciok Tojin lari mendatangi kontan dia
tersungkur roboh dan kebetulan jatuh dalam pelukan cengelok
Tojin yang meraihnya, 'Lapor... ciang bun Siang-jingkoan...
dirampok... Bik-lo-kim tan direbut orang baju... hijau
berkedok." Seperti disamber, geledek ceng-ciok Tojin mendengar
laporan Tojin yang terluka parah ini. "Bangsat." Teriak Pek-
Ciok Tojin mengepal tinju, aku bersumpah akan mengganyang
cenn-sin-biau-khek. ya pasti dia," tiba-tiba Ping-ji berteriak di
belakang. Tanpa banyak bicara segera dia berlari kearah Siang
jing-koan. Hwi-bing, ceng-Ciok din Pek-Ciok sama tertegun, mereka
melenggong mengawasi bayangan Ping-ji. Dengan nada
bimbang Hwi-bing mendesis: "ceng-san-biau-khek?" Pek-Ciok
Tojin mengangguk, katanya:
"Tadi bocah itu bilang, dia menggunakan Hian-ping-ciang."
"Ho, Hian-ping-ciang ?" Seru Hwi-bing kaget, "Hian-pingciang
dari golongan Pak-hay yang sudah putus turunan itu...?"
---ooo0dw0ooo--- Musim dingin. Bunga salju beterbangan di angkasa,
bertaburan menyelimuti mayapada.
Lok-yang, sebuah kota besar yang ramai, dikala hujan salju
selebat ini, tiada nampak manusia berkeliaran dijalan raya,
hanya dua tiga orang saja yang terbungkuk- bungkuk
menempuh perjalanan dideru angin dingin. Hujan deras ini
berlangsung tiga hari tiga malam, penduduk kota menyekap
diri dirumah, perdagangan sepi, tiada pembeli, tiada yang
penjual, hanya penguasa hotel saja yang bisa duduk ungkangungkang
dikamarnya yang di hangati api unggun sambil
menghitung berapa keuntungan yang bakal diperolehnya dari
para tamu yang tak mungkin meninggalkan penginapan-
Meski hujan salju itu amat lebat, akan datang saatnya reda,
demikianlah setelah angin ribut berlangsung sampai hari
ketiga tengah malam, hari keempat pagi, sang surya telah
mulai menampakkan dirinya diufuk timur. Suasana yang paling
ramai sudah tentu dihotel, para tamu bergegas menyiapkan
barang bawaannya, kuasa hotel, kasir sampai pelayan berjajar
di ambang pintu mengantar para tamunya berangkat menuju
arahnya masing-masing . Seorang kacung sedang sibuk menyapu dan membersihkan
pintu, dia bekerja sambil menggerutu menyesali nasibnya
yang kedinginan diluar pintu.
Tiba-tiba suara kelinting kuda berbunyi dan seekor kuda
berhenti dibelakangnya, lekas kacung ini berpaling. Tahu-tahu
dibelakangnya berdiri seorang pemuda yang bermantel putih
bulu panjang, wajahnya putih cakap beralis lentik, meski hawa
dingin tetap kelihatan wajahnya yang gagah dan kereng.
Dengan senyum geli sipemuda mengawasi sikacung yang
kotor mukanya karena lumpur dan debu, disampingnya berdiri
seekor kuda putih, seluruh tubuhnya seputih salju-
Setelah melongo sesaat baru sikacung ingat akan tugasnya,
bergegas dia melangkah maju, menyambut dengan tawa
meringis lucu: "Tuan, kau... mau cari penginapan?"
Melihat ulah sikacung yang lucu ini Pingji tertawa geli,
katanya: "Hm, ya. Adakah kamar kelas satu yang bersih disini
?" Si kacung segera membusung dada, kata nya: 'Ada, tentu
ada. Bukan aku suka membual, Eng-hiong-kek kita ini tiga
puluh li disekitar Lokyang tiada bandingannya, tiada orang
tidak tahu segala servis kami nomor satu dibanding hotel-hotel
kelas tinggi lainnya. Apalagi tiada orang yang tidak kenal Bujiya
kita Tuan, jika kau menginap dihotel kita, kutanggung kau
akan kerasan dan bisa bersenang-senang dengan santai,
bukan saja bersih, juga memenuhi syarat-syarat kesehatan,
menu yang kami sediakan yakin memenuhi selera tuan-..
hehehe...' Lalu dia terima tali kendali kuda dan berkata pula
sambil miring kepala: 'Tuan, kau tidak membawa apa-apa ?"
Ping-ji geleng kepala sambil berkata:
"Rawat kudaku baik-baik dan beri makan sampai kenyang."
Sementara itu dua pelayan telah memburu keluar
menyambutnya, pemuda ini hanya berpesan beberapa patah
serta merogoh kantong memberikan sekeping uang perak lalu
beranjak keluar pula, katanya mau jalan-jalan- Sementara itu
kuda putihnya sudah dituntun kekandang belakang oleh
kacung cilik tadi, Kalau orang lain kedinginan dan suka tutup pintu
mengeram dalam selimut tebal, sementara itu Ping-ji sedang
beranjak sambil membusung dada, dengan langkah
berlenggang dia putar kayun seperti mengukur jalan raya kota
Lok-yang saja. Kedua tangannya digendong dibelakang,
mengawasi cuaca buruk diangkasa diam-diam dia menghela
napas, gumamnya sendiri: "Aih, tahun lalu bukankah aku
masih seorang gelandangan " Waktu itu cuacapun seburuk ini,
tapi aku hanya mengenakan pakaian tipis, banyak tambalan
lagi, untunglah aku ditolong perempuan petani itu, syukurlah
tekadku besar sehingga aku tidak mati kedinginan atau
kelaparan." Ping ji masih terus mengayun langkah tanpa
tujuan, pikirannya bekerja pula: "Sungguh aku tidak tahu cara
bagaimana aku harus berterima kasih serta membalas budi
kebaikan orang aneh yang tak kuketahui nama dan asal
usulnya itu, aku digembleng dan dipaksanya menjadi diriku
seperti sekarang, tanpa dia hari ini aku tidak akan seperti ini,
Tapi dia telah meninggal. Hm, ceng-san biau-khek keparat itu.
Awas kau. " Demikian desisnya sambil mengacungkan
tinjunya. Sejak peristiwa di Siang-jing koan, di mana diketahui cengsan-
biau-khek telah mencuri Bik-lo-kim-tan obat sakti
pelindung Bu-tong-pay, segera dia mengudak jejaknya sampai
dibawah gunung, bukan maksudnya membantu pihak Butong
menangkap pencuri atau merebut balik obat mujarab itu, tapi
dia ingin menghajar dan membekuk ceng-san-biau-khek untuk
membalas dendam serta merebut balik Wi-liong-pit-sin.
Dikala termenung diatas ngarai dibelakang gunung Bu-tong
tempo hari dia sudah bersumpah, meski mengudak sampai
keujung langit juga dia akan menemukan ceng-san-biau-khek.
menuntut balas kematian si orang aneh. Ini tugas utama yang
tidak boleh ditawar lagi. Persoalan lain boleh di kesampingkanoleh
karena itu, meski dia sudah berhadapan dengan cengciok
Tojin, terhadap orang-orang Bu-tong yang membunuh
ibundanya, sementara tidak dipersoalkan- Tapi di Bu-tong-san
dia mengejar sampai di Tong-ting-ouw, jejak ceng-san-biauTiraikasih
Website khek tidak pernah ditemukan, maka selanjutnya dia berkelana
di Kangouw. Sebagai insan persilatan, pengembaraannya memang
mendatangkan banyak kesulitan, keuntungan tapi juga
kesulitan, namun semua itu malah menambah
perbendaharaan pengalamannya. Sepanjang jalan tidak
pernah dia mengabaikan setiap kesempatan untuk menyelidiki
jejak ceng--an-biau-khek, namun yang dludaknya ini seperti
lenyap dari permukaan bumi, entah dimana dia
menyembunyikan diri. Suatu hari dia mendengar suatu berita yang menggelikan
tapijuga menjengkelkan dirinya, kejadian tidak lama satelah
dia meninggalkan Bu-tong-san, waktu itu dia sedang makan
disebuah restoran, entah dari mana datangnya berita angin
itu, namun lekas sekali telah tersiar luas dlkalangan Kangouw.
Dari seorang tamu yang telah mabuk disebuah restoran dia
mendengar berita begini: Entah bagaimana Wi-liong-pit-sin muncul pula di kangouw
dan berhasil direbut oleh ceng-san-biau-khek yang pernah
menjatuhkan dua murid lihay Tok-pi-cun-cia dari Biau-kiang,
serta berhasil meyakinkan ilmunya. Entah karena persoalan
lain seorang diri dia meluruk ke Bu-tong, melabrak Bu-tong
ciangbun dan Jik-ciok Tojin, sebelum ada kesudahan
pertempuran itu, tiba-tiba muncul pula seorang pemuda murid
Bu-lim-it-ki yang bergelar Kiu-thian-sin-liong, berjubah hijau
bernama julukan Pat-pi-kim- liong (Naga emas berlengan
delapan), akhirnya dengan wi-liong-ciang, Pat-pi-kim-liong
berhasil memukul luka parah ceng-san-biau-khek, namun
berhasil melarikan diri, sebelum merat ceng san-blau-khek
berhasil mencuri sebutir Bik-lo-kim-tan, obat mujarab yang
merupakan urat nadi pihak Bu-tong-pay.
Sudah tentu pihak Bu-tong gempar dan gusar, anak
muridnya segera dia perintahkan mengejar dan merebut
kembali obat itu, mati atau hidup harus membawa ceng-sanTiraikasih
Website biau-khek keatas gunung. Bersama itu undangan pun disebar
kepada delapan perguruan besar untuk Cancut taliwanda
membekuk Pat-pi-kim- liong, karena berita tersiar luas bahwa
Kiu-thian-sin-liong telah muncul pula di kalangan Kangouw.
Mendengar cerita urakan yang tidak karuan parannya itu,
Ping-ji geli tapi juga dongkol. Pikirnya ia sejak kapan aku
berobah jadi Pat-pi-kim- liong segala. Syukur julukan ini enak
didengar, maknanya juga baik. Tapi dia amat kaget karena


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berita yang tersiar luas di kalangan Kangouw ternyata secepat
itu, walau kabar angin itu lebih banyak merupakan bualan,
namun ada beberapa bagian yang boleh dipercaya. Agaknya
karena terdesak keadaan Bu-tong-pay menggunakan cara
lama, dengan gabungan kekuatan orang banyak seperti dulu
mengeroyok Kiu-thian-sin-liong.
Setelah bimbang sejenak. akhirnya Ping-ji melangkah
keutara. Waktu dia lewat di ou-ling, dia mendengar pula berita
lain yang mengejutkan, konon Han-sim-leng-mo iblis tua dari
Pak- hay yang sejajar dengan Kiu-thian-sin-liong pada delapan
puluh tahun lalu membawa serombongan murid, cucu murid
dan buyut muridnya berbondong keselatan mau menyerbu
Tionggoan, maksudnya mau membuat perhitungan dengan
Kiu-thian-sin-liong. Perlu diketahui bahwa ceng-san-biau-khek ternyata adalah
murid Ham-sin leng-mo secara kebetulan ceng-san-biau-khekdipukul
luka parah oleh Pat-pi-kim- liong, murid tunggal Kiuthian-
sin-liong. Pendek kata, bercorak ragam berita yang simpang siur di
kalangan Kangouw. Maka perguruan besar sama sibuk menulis
undangan disebar ke berbagai penjuru, suasana menjadi
tegang, maklum Ham-sin-leng-mo dari Pak-hay dulu pernah
membuat onar besar di Tionggoan. Demikian pula kaum Lioklim
(kalangan begal) juga menyebar Liok-lim-tiap untuk
menyambut kedatangan Ham-sin-leng-mo. Karena sebelum ini
Ham-sin-leng-mo sudah mengirim muridnya untuk
menyampaikan Ham-kut-ling, perintah kebesaran Hian-pingkiong.
Mendengar berita ini diam-diam Ping-ji girang, pikirnya:
"ceng-san-biau-khek ternyata adalah salah seorang jagoan
dari Hian-ping-kiong, agaknya setelah lolos dari Bu-tong-pay
langsung dia pulang ke Pak-hay mengadu gurunya serta
menghasutnya keluar... Ping-ji mempercepat perjalanan, pada hal hujan salju
cukup lebat, tapi cuaca buruk tidak menghalangi tekatnya,
hari itu dia tiba di kota Lok-yang, kota kuno yang pernah
menjadi pusat pemerintahan kerajaan-kerajaan di zaman dulu.
Sebagai kota kuno yang pernah menjadi ibu kota kerajaan,
maka kota Lok-yang masih meninggalkan bekas-bekas
kejayaannya, jalan-jalan raya dalam kota dibuat dari balok
kayu besar, lebar dan bersih.
Sekarang Ping-ji sedang mengayun langkah diatas jalan
raya yang sudah dilampiri salju, otaknya terus bekerja
mengunyah kenangan lama...
Tanpa terasa hari sudah petang, toko-toko atau rumahrumah
di sepanjang jalan raya sudah mulai menyulut dian
atau pelita. Hembusan angin kencang menyampuk Ping-ji
menyadarkan lamunannya, segera dia angkat kepala melihat
cuaca, pikirnya: "Ah, hari sudah petang, buat apa aku
keluyuran tanpa guna dijalan raya nan dingin ini." Maka dia
memutar balik haluan- Jalan raya sepi lengang, hanya deru angin menyelimuti
kesunyian alam ini. Mendadak di ujung jalan raya jauh didepan sana
berkumandang suara kelintingan disertai derap kaki kuda yang
dicongklang pelan-pelan, Ping-ji angkat kepala, dilihatnya dari
arah depan mendatangi sebuah kereta kuda yang lewat
disamping tubuhnya. Ping-ji sempat melirik sekejap kereta itu ditarik tiga ekor
keledai, tirai kereta diturunkan rendah, kereta itu muat apa
tidak terlihat, tapi sekilas itu sudah jelas bagi Ping-ji untuk
melihat kusir kereta adalah seorang laki-laki tua berdandan
orang kampungan. Tiba-tiba tergerak hatinya, karena lirikan
sekejap tadi dia melihat kusir kereta kampungan itu
mengangkat kepalanya memandangnya, jelas orang
kampungan tapi sorot matanya ternyata tajam berkilat. Waktu
Ping-ji menoleh lagi, tampak kereta itu sudah pergi menjauh
dan lenyap ditelan kabut, namun dijalan raya bersalju
meninggalkan dua jalur panjang.
Agak lama Ping-ji menjublek ditempatnya, dengar
rangsangan curiga akhirnya pelan-pelan dia beranjak kembali
kehotelnya, otaknya masih juga bekerja, terbayang olehnya
sehari semalam di dalam Te-sat-kok. Pikirnya: "Tokko cu yang
nyentrik itu memang sukar diselami jiwanya, tapi aku harus
berterima kasih kepadanya, karena terlentang diatas balok
dipan yang dingin sehari semalam itu, terasa Lwekangnya
lebih tangguh dari sebelum ini." Lalu dia menarik napas
panjang, celingukan sekejap. yakin sekelilingnya tiada orang
lain yang memperhatikan dirinya, segera dia mempercepat
ayunan langkahnya. Luncuran tubuhnya secepat anak panah meluncur, dalam
sekejap tinggal setitik bayangan saja dan lenyap dari
pandangan. Lekas sekali dia sudah tiba di depan hotel lalu
mengendorkan langkahnya, dengan langkah lebar dia
beranjak masuk- Tiba saatnya pasang pelita, seorang pelayan
bertugas didepan pintu menyambut tamu, dibawah
penerangan lampu angin, dilihatnya penyambut tamu ini
adalah kacung yang tadi menerima kudanya, dengan senyum
manis segera dia maju menghampiri.
Agaknya kacung cilik itu sedang sibuk dengan
pekerjaannya, begitu ujung matanya menangkap bayangan
orang masuk buru-buru dia berlari keluar menyambut dengan
mulut menyerocos. Tapi serta melihat yang datang adalah
Ping-ji seketika dia, berdiri melongo, cepat dia menunduk
dengan malu. Ping-ji tersenyum geli, katanya: "Bagaimana kudaku ?"
Kacung cilik itu bernama Siau-tang, dengan gelagapan dia
menjawab: "Sudah... sudah dimandikan dan diberi makan
tuan-" Ping-ji tertawa lebar, katanya: "Banyak terima kasih,
rawatlah baik-baik, nah terimalah ini untuk beli arak." Lalu dia
rogoh sekeping uang diberikan kepada Siau-tang.
Karuan Siau-tang kegirangan, dengan munduk-munduk dia
menyatakan terima kasih, ludahnya berhamburan- Waktu dia
angkat kepala lagi, dilihatnya pemuda ganteng ini berdiri
tegak dengan kepala terangkat memandang lurus kedepan
pintu. Sebuah kereta ditarik tiga keledai berhenti didepan pintu,
atap kereta bertumpuk salju, ketiga ekor keledai itupun
berkeringat napasnya juga ngos-ngosan, jelas baru saja
menempuh perjalanan jauh yang melelahkan-
Bergegas siau-tang berlari keluar menyambut, tirai kereta
tersingkap beruntun turun dua muda-mudi yang berpakaian
tebal dilihat tampangnya kedua muda mudi ini adalah kakak
beradik, pemudanya bertampang kampungan, sikap dan
tindak tanduknya seperti orang jujur, tapi yang pemudi
ternyata berwadah jelita, berpakaian gaun panjang warna
hijau gelap. ini terlihat dari balik mantelnya yang tersingkap
lebar karena tidak terkancing. Rambutnya dikepang dua,
panjang terurai lembut didepan dada, kini dia sedang
menunduk membetulkan pita merah diujung kuncirnya.
Kusir kereta adalah laki-laki tua petani berusia lima
puluhan, mukanya kuning seperti malam, berkumis pendek,
berjubah sutra dengan warna yang sudah luntur, cemetinya
dia tancap disela-sela tempat duduk terus melompat turun
melangkah lebar ke dalam sini. Lekas Siau-tang memburu
maju sapanya: "Tuan-tuan silahkan masuk. silahkan-"
"Ciangkui ada tidak " Petani itu batas bertanya.
Mengira orang adalah teman baik ciangkui Siau-tang
menyambut lebih hormat, sahutnya: 'Sayang sekali tuan, Jiya
ada urusan kebetulan keluar pintu. Kalian mau istirahat saja
atau mau nginap. hotel kita menyediakan kamar bagus dan
bersih, tanggung memuaskan-"
'Laki-laki tua itu menghentikan langkah katanya sambil
mengerut kening: 'Kalau begitu aku batal menginap. hari
belum malam masih dapat aku menempuh perjalanan ke kota
depan- Siau-tang jadi gugup, teriaknya: 'Tuan, kenapa terburuburu.
Hari sudah malam, cuaca buruk lagi, kau... hai Kwisiansing."
Si kasir alias Kwi-siansing agaknya mendengar ribut-ribut
diluar, bergegas dia memburu keluar. Lekas Siau-tang
berkata: "Kwi-siangsing, tuan ini adalah teman Jiya kita... "
Laki-laki tua menukas, "Kebetulan lewat sini, maksudku
hanya mampir sambil menengok Bu-ciangkui saja. Kalau dia
ada.." "Tuan, kenapa sungkan. Jiya memang tidak dirumah, para
pelayan jelas takkan berani kurang hormat kepadamu.
Kenyataan kau sudah berada di sini dan tak sudi mampir, bila
Ji-ya pulang, kita pasti kena marah," Demikian kata si kasir
dengan mata kedip-kedip. Setelah batuk-batuk lalu melanjutkan: "Apalagi cuaca
sedingin ini, keledaimu pasti tak tahan jalan jauh."
Laki-laki tua itu bimbang dia celingukan keluar dan
kedalam. Melihat sikap orang agak tergerak. lekas Siau-tang
lari keluar hendak menarik kereta kedalam.
"Ayah. Kita pulang saja." Demikian ucap nona jelita itu,
agaknya dia tidak senang menginap diluaran.
"Maksudku juga demikian, tapi kalau hujan salju lebih deras
lagi, celakalah kita ditengah jalan-" Demikian ujar laki-laki tua
sambil mengerut kening, dan lagi pakaian kita kurang tebal,
kau bisa kedinginan dan masuk angin-"
"Memangnya " Hujan selebat itu menempuh perjalanan
bisa sakit. Tuan, legakan hatimu, lekas Siau-tang, bawa kereta
kedalam dan kasih keledai makanan secukupnya." Agaknya si
kasir lebih cerdik, segera dia bertindak sehingga ketiga ayah
beranak itu terpaksa menginap di hotelnya. "Silahkan tuan,
dibilangan belakang ada kamar tersendiri." Sambil
menyilahkan si kasir mendahului menunjuk jalan.
Lewat pintu mereka tiba dipekarangan, langsung masuk
ruangan besar, keadaan di sini panas dan penuh sesak. meja
kursi di duduki para tamu yang belum berangkat, diantara
mereka terdiri piausu, pedagang, ada pula kawanan begal
atau pencoleng yang sedang main kartu alias judi.
Melihat gadis jelita lewat ruang besar kawanan pejudi itu
sama bersiul dan berteriak-teriak dengan celoteh tak karuan,
dengan muka merah nona itu menunduk terus berjalan-
Hanya sekilas laki-laki muka kuning layangkan pandangannya
keruang besar terus mengerut kening. Tapi pemuda
dibelakangnya mendelik pandang keseluruh hadirin, sesaat dia
berdiri lalu lekas-lekas menyusul laki-laki tua muka kuning
kebelakang. Sang kasir bawa mereka ke pekarangan dalam, dilihatnya
Ping-ji sedang berdiri dibawah pohon menikmati kembang
sakura yang lagi mekar. Ala kadarnya sang kasir menyapa
kepadanya serta terus membawa para tamu kekamar yang
disediakan- Waktu di sapa Ping-ji menarik sorot matanya dan
menoleh sekilas dia melongo melihat ketiga tamu ini laki-laki
tua muka kuning juga memandangnya dengan sorot
keheranan, hanya sedikit mengangguk terus beranjak
kebelakang, Ping-ji pun asyik menikmati kembang sakura.
Tapi dengan penuh perhatian dia ikuti langkah sang kasir yang
menempatkan para tamunya didua kamar dideretan belakang,
setelah mengatur segala sesuatunya lalu mohon diri keluar
menuju kedepan. Ingin Ping-ji kembali kekamarnya terus tidur, tapi setelah
merasakan segarnya angin malam yang dingin ini, rasa
kantuknya telah lenyap. maka sambil menggendong tangan
dia mondar mandir dipekarangan, pikirnya gundah,
menerawang nasib hidupnya sejak dia ketemu orang aneh dan
diberi ajaran Kungfu yang tiada taranya, sehingga sejarah
hidupnya banyak berobah, hampir larut malam dia masih
terlongong dipekarangan bunyi keriut suara daun pintu
terbuka pelan-pelan menyentak lamunannya, waktu dia
menoleh dilihatnya seraut wajah jelita menongol dari balik
pintu, tapi begitu melihat dirinya berdiri dipekarangan, lekas
wajah jelita itu mengkeret masuk dan menutup pintu pula.
Ping-ji terpesona, terbayang betapa jeli bola mata cewek
jelita ini, rambutnya yang hitam legam dikepang dua, "Bola
matanya mirip sekali dengan Siau-hong, sayang kuncir, Siauhong
tidak sepanjang itu." Demikian Ping-ji melamun,
akhirnya dia tertawa geli sendiri, pikirnya: , Kenapa sih aku ini,
melenggong didepan pintu kamar seorang gadis he." Bergegas
dia menuju kekamarnya. Diwaktu dia menutup daun pintu
kamarnya, ujung matanya menangkap suatu gerakan
bayangan kearah pekarangan depan- Dari perawakan
bayangan itu Ping-ji tahu ,bahwa pemuda tanggung itu yang
bergerak kedepan secara sembunyi-sembunyi.
Setiba didepan ranjang timbul rasa curiganya, pikirnya:
"Malam selarut ini, mau kemana dia " Tingkah laku mereka
memang agak aneh." Lalu terbayang akan gadis kuncir besar
itu, "Selama setahun ini, Siau-hong tentu tambah besar,
kuncirnya mungkin juga sudah sepanjang itu. Ah, kapan aku
bisa meluangkan waktu untuk menjenguknya. Tanpa terasa
sudah hampir dua tahun, aku dilibat segala urusan tetek
bengek" Karena belum kantuk dia duduk dipinggir ranjang,
membesarkan pelita serta mengeluarkan sejilid buku serta
membacanya dengan asyik. Tengah Ping-ji asyik menghapalkan ayat-ayat ajaran Nabi,
tiba-tiba didengarnya suara ribut-ribut diruang besar, semula
dia tidak ambil peduli, tapi keributan semakin keras dan
gaduh, suara caci maki tercampur tempik sorak pula.
Belakangan suara tempik sorak berganti suara gemerincing
pecahnya perabot dan meja kursi yang porakporanda orang
banyak sama menjerit kaget dan ketakutan- Akhirnya
keributan ini menarik perhatian Ping-ji, pelan-pelan dia
menutup buku serta melangkah keluar. Langsung dia menuju
keruang besar, di mana suara keributan makin jelas.
Waktu Ping-ji memasuki ruang besar, dilihatnya pemuda
tanggung yang datang bersama laki-laki tua muka kuning itu
sedang bertolak pinggang serta menuding seorang
didepannya, bentaknya gusar: "Bayar dulu baru enyah dari
sini." Laki-laki yang dituding itu berperawakan kekar, dada lebar,
tangan merongkol, alisnya tebal, sambil menyeringai dia balas
memaki: "Bocah keparat. Berani kau bertingkah di sini,
memangnya kau berani menghina kita orang-orang Hwe-hunbun
.. "Mendengar laki-laki kekar ini tepuk dada menyebut nama
Hwe-hun-bun, hadirin sama berobah air mukanya, seperti
melihat setan saja, tidak sedikit yang segera kabur dari situ.


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masih, ada enam laki-laki yang tetap berada ditempatnya,
jelas mereka adalah komplotan laki-laki kekar.
Sesaat Ping-ji berdiri melongo, pikirannya tergerak, dia
heran entah kenapa orang banyak mengundurkan diri begitu
laki-laki kekar itu menyebut nama Hwe-hun-bun, sehingga dia
tidak sempat mengikuti perkembangan yang sekejap ini,
pemuda tanggung itu itu sudah digampar mukanya hingga
bengap. kawanan bajingan itupun merubung dan
menghajarnya pergi datang, tapi si pemuda memang bandel,
meski muka dan tubuhnya sudah babak belur tapi dia tetap
tidak menjerit, atau merintih, untung sang kasir lekas keluar
melerai. Gadis kuncir itupun telah berlari keluar dan meratap
sambil menangis: "Lepaskan adikku, kalian orang besar,
kenapa menganiaya bocah."
Ditengah gelak tawa latah laki-laki kekar, dia menghampiri
si gadis serta ulur tangannya yang gede merenggut dagu si
gadis serta menatapnya dengan memicing mata, seringainya
sadis dan bajul, desisnya: "cewek seayu ini, kenapa tidak
sejak tadi kau kemari, urusan kan lekas beres " Hehehe,
Yahaha." "Saudara ini." Sang kasir segera menarik muka dan berseru
lantang, bertindaklah yang genah. Ditempat Bu-jiya, siapapun
di larang membuat onar."
Mendengar nama Bu-jiva, agaknya laki-laki kekar itu
melanggong dan sesaat berdiri kaku, tapi kembali dia tertawa
latah, ajarnya: "Baiklah, tuan kasir, didepan Bu-jiya tolong
jelaskan duduk persoalannya. Genduk ayu, ikutlah kekamarku.
Hahaha." Tangannya berpindah hendak menangkap lengan si
gadis lekas, si gadis menyurut mundur sambil menjerit minta
tolong. Berdiri alis Ping-ji, nafsu membunuh telah melembari
wajahnya, diluar dugaan sebuah suara tiba-tiba terkiang
dipinggir telinganya: "Jangan tuan menyusahkan diri." Ping-ji
kaget serta menoleh kebelakang, seketika dia melenggong,
dibelakang tiada tampak bayangan seorangpun, tiba-tiba
sebuah suara serak berkata ditengah kerumunan orang
banyak: "Tuan-tuan harap sudi memberi kelonggaran- Anakanak
masih kecil tidak tahu urusan, memang mereka yang
salah, biar aku mohon maaf saja, harap tuan-tuan suka
memberi ampun padanya."
Waktu Ping-ji pandang kemuka pula, laki-laki kusir kereta
muka kuning itu tengah munduk-munduk memberi hormat
kepada kawanan bajingan, air mata bercucuran, air liur
meleleh, jelas putra putrinya yang digoda dan dihajar orang,
tapi dia malah minta ampun dan maaf kepada kawanan
pengeroyok itu. Berderai gelak tawa kawanan bajingan, ada yang memaki,
menghina, dan menyindir tapi laki-laki tua itu menunduk
sambil mundur sambil menggandeng putra putrinya
maksudnya mau meninggalkan ruang besar ini, tapi laki-laki
kekar segera menghadang, desisnya dengan menyeringai
sadis: "Mau ngacir " Memang semudah ini urusan
diselesaikan-" 'Maksudmu... 'Bayangan gelap melambari wajah laki-laki
tua muka kuning, lekas dia mengerut alis, tangannya melepas
gandengan putrinya lalu meraba keikat pinggang, agaknya
hendak mengetatkan yang tapi sejenak dia bimbang lalu
membatalkan niatnya. 'Keluarkan uangmu, dan ganti kesalahan anakmu." laki-laki
kekar berkata serakah, seperti kucing yang mengendus bau
ikan, sikapnya garang dan menantang.
"Yah, mereka yang salah, duitku malah yang direbut."
Demikian teriak pemuda tanggung penasaran-
"Bandel, apa yang telah kupesan di rumah." Laki-laki tua
muka kuning berwajah kampungan mendelik, lalu berpaling
kepada putrinya serta mengomel pula, budak tidak tahu diri,
disini tempat apa, berani kau kelayapan di sini."
"Yah, mereka . mereka... " Nona berkuncir itu
sesenggukan-. "Tahumu nangis melulu." Damprat pula laki-laki
kampungan itu, "Memangnya ada orang baik disarang judi."
Berkerut alis Ping-ji. Dilihatnya laki-laki kekar itu melangkah
maju seraya ayun tangan "Plak" kontan laki-laki kampungan
digamparnya dua kali. "Siapa bukan orang baik. Katakan, biar
kurobek mulutmu." Darah tampak meleleh diujung mulut laki-laki kampungan,
dengan air mata meleleh dia munduk-munduk menyurut
mundur tanpa berani bersuara atau membalas dia tarik tangan
putra putrinya hendak pergi. "Berhenti." Hardik laki-laki kekar.
Mendelik mata Ping-ji, amarahnya sudah membakar dada,
sambil mengebas lengan baju pelan-pelan dia berdiri, tiba-tiba
tergerak hatinya, waktu dia menunduk, tampak diatas meja
menancap sebuah benda sehingga lengan baju kirinya terpaku
dipermukaan meja. Sekilas melenggong Ping-ji jemput benda
yang berbentuk cakar garuda, seperti terbuat dari besi tapi
bukan besi, warnanya-legam, panjang satu dim lebih, ditengah
telapak cakar terukir sebuah huruf "Sun". Waktu dia angkat
kepala dilihatnya laki-laki tua kampungan sedang gelenggeleng,
mulutnya seperti menggumam: "Kalah tidak bayar,
main pukul, menganiaya putra putriku, kalian kira aku takut,
yang benar aku memberi muka kepada Bu-jiya, kalau tidak..
Hm." "Hoho, jangan main gertak dengan nama Bu-jiya." Jengek
laki-laki kekar. "Terserah bagaimana pendapatmu, yang terang aku tidak
akan melawan-' Demikian ujar laki-laki kampungan- katakatanya
menimbulkan gelak tawa kawanan bajingan itu.
Laki-laki kekar itu tertawa paling keras tiba-tiba dia
melangkah maju pula, tinju sebesar kepala segera dilayangkan
mengenjot muka laki-laki kampungan, lawan menyurut
mundur Meluputkan diri. 'Sudah tentu laki-laki kekar jadi
sengit amarahnya makin besar, sambil menggerung dia
mengudak seraya menampar deraan telapak tangannya
segede kipas. "Plak, plok" dua kali tamparan keras berkumandang disusul
jeritan yang mengerikan- Tampak laki-laki kekar terhuyung jatuh celentang. darah
meleleh dari mulutnya, kedua pipinya bengkak membiru,
mulutnya merintih- rintih.
Hadirin tiada yang tahu apa yang telah terjadi, semua
mendelong mengawasi laki-laki kampungan itu, pelan-pelan
dia angkat tangan kanan yang kurus kering serta pelan-pelan
membuka jari-jarinya, delapan jari tangan yang berlepotan
darah jatuh dilantai satu persatu. "cukup aku protoli jari-jari
iblismu sabagai imbalan perbuatanmu"
Sudah tentu ciut nyali kawanan bajingan itu, muka pucat
badan gemetar, tampang yang semula garang dan sadis tadi
entah kemana perginya, mimik wajah mereka lebih mirip
anjing yang kena gebuk dan mencawat ekor, hati mereka
kebat kebit, tiada yang tahu giliran siapa diantara mereka
bakal menerima nasib seperti pentolan mereka, maklum
mereka pun tadi ikut mengeroyok pemuda tanggung itu.
Diluar dugaan laki-laki kampungan merogoh kantong
mengeluarkan sebentuk uang perak terus dilempar kedepan
laki-laki kekar yang masih merintih- rintih, katanya:
"Ambil uang itu sebagai ongkos obat. Jangan kau kebentur
ditanganku lagi, hukumannya lebih berat." Siapapun tiada
yang menduga bahwa urusan akan berakhir begini saja.
Lega hati kawanan bajingan, dilihatnya laki-laki kampungan
pergi menggandeng putra putrinya, serempak tanpa berjanji
mereka saling berebut memunguti uang yang berceceran
dilantai, setelah dikuras bersih beramai-ramai membimbing
laki-laki kekar meninggalkan tempat itu.
Ruang besar itu menjadi sepi kecuali pelayan yang
menggerutu membersihkan lantai membetulkan meja kursi
yang porak poranda. Ping-ji orang terakhir yang meninggalkan
ruang itu, sambil menghela napas dia melangkah kebelakang
menuju kekamarnya. "Engkoh cilik," sebuah suara berkumandang dibelakang,
tunggu sebentar." Waktu Ping-ji berpaling dilihatnya laki-laki
kampungan berdiri didepan pintu serta menggapai tangan
kearahnya dengan wajah tersenyum ramah.
Sejenak Ping-ji berdiri tertegun, akhirnya dia melangkah
menghampiri, laki-laki kampungan mundur sambil melebarkan
pintu menyilakan Ping-ji masuk serta menutup daun pintunya.
Berada didalam rumah, hawa terasa hangat, ditengah
ruang terdapat sebuah meja, dipinggir meja terdapat anglo
yang sedang membara apinya.
"Silakan duduk engkoh cilik." Laki-laki kampungan
menyilahkan duduk, sekedar basa basi Ping-ji lalu duduk
dipinggir meja. Dengan sorot mata penuh tanda tanya dia
pandang laki-laki kampungan, orang itu tersenyum lebar serta
berkata pula: "Engkoh cilik, tahukah kau, apa maksudku
mengundangmu kemari ?"
Ping-ji melongo, pikirnya: "Ada-ada saja pertanyaanmu,
sebelum ini aku belum mengenalmu, mana tahu apa
maksudmu mengundangku kemari ?" Tapi lahirnya dia
bersikap wajar, sahutnya: "Sudah tentu Wanpwe tidak tahu
harap Lopek (paman) sudi menjelaskan-"
Laki-laki kampungan muka kuning mengelus jenggot
kambing dibawah dagunya, katanya gelak tertawa: "Ah. mana
berani aku berlaku kurang hormat. Bukankah engkoh cilik she
Liok?" Ping-ji tertegun, pelan-pelan dia menggeleng.
Laki-laki kampungan itu ikut melongo, mulutnya mendesis:
"Lalu... tolong tanya siapa she engkoh cilik ?"
Sekali pandang Ping-ji sudah yakin bahwa laki-laki
kampungan muka kuning adalah seorang tokoh aneh yang
menyembunyikan asal usul sendiri. beberapa kejadian didalam
rumah tadi lebih meyakinkan bahwa dia seorang kosen yang
lihay, maka dia maklum bahwa orang pasti punya sesuatu
maksud sehingga mencari tahu asal usul dirinya, namun dia
sendiri jadi bingung dan tak tahu bagaimana harus menjawab,
padahal kejadian serupa sudah beberapa kali dia alami.
Sebetulnya secara ngawur bisa dia menyebutkan she apa,
namun melihat sorot mata orang begitu tulus dan betul-betul
mengharap jawaban sejujurnya, karuan dia melenggong dan
geleng-geleng kepala. Melihat dia bimbang lalu geleng-geleng kepala, laki-laki
muka kuning kira dia tidak mau memberi tahu, maka dia
menghela napas kecewa, katanya rawan: "Terus terang saja
engkoh cilik, Ditengah jalan raya tadi, begitu melihat kau aku
sudah tahu bahwa kau membekal Kungfu tinggi, hawa
sedingin itu kau hanya berpakaian tipis, maka aku melirik dua
kali kepadamu, tapi sekilas pandang tadi terasa pula wajahmu
seperti sudah amat kukenal, mirip sekali dengan seorang
sahabatku she Liok diwaktu muda dulu, maka aku
memberanikan diri mengundangmu kemari, ternyata
dugaanku meleset... "
Kaget Ping-ji setelah mendengar penjelasannya, katanya
gugup: "jangan salah paham, terus terang, Wanpwe punya
kesukaran pribadi yang tidak mungkin kujelaskan- jadi bukan
tidak sudi memberi keterangan kepada paman- Bicara
sejujurnya, Wanpwe sendiri sejauh ini tidak tahu riwayat
hidupku... " Bersinar bola mata taki-laki muka kuning, katanya: "o, jadi
Lohu yang banyak curiga malah, harap engkoh cilik tidak kecil
hati." Lama dia melamun mengawasi bara yang menyala diatas
tungku, setelah menarik napas panjang dia berkata pula
dengan nada rawan: "Tigapuluh tahun yang lalu, Lohu
pertama kali berkecimpung di kalangan Kangouw, dengan
sebatang Kiu-coan-kim-pian (ruyung emas sembilan putaran)
dan ilmu pukulan Le-hun-jiau (cakar pemisah sukma) aku
diagulkan dengan julukan Thi-jiu-kim-pian (cakar besi ruyung
emas), waktu itu diutara dan selatan sungai besar siapa tidak
akan mengacung kan jempol setiap kali mendengar julukan
Thia-jiau-kim-pian Sun-Bing-ci. . . . . "
Dia seperti tenggelam dalam kenangan lama, seperti
menggumam pula mengisahkan masa lalunya kepada Ping-ji:
"Tapi kala itu ada pula seorang jago muda yang bernama Ittio-
liong Bu Kim menjagoi utara sungai konon usianya, masih
muda, tapi pipa cangklongnya yang dia gunakan sebagai
gaman ternyata memiliki permainan luar biasa, namanya
sudah dikagumi dan diagulkan oleh kalangan orang-orang
gagah. Maklum masih berdarah panas, Lohu lantas meluruk
keutara menantang It-tio-liong (seekor naga). Maklum masih
sama-sama muda, berdarah panas, karena tidak cocok dalam
pembicaraan begitu ketemu kami lantas saling labrak.
bertarung dengan seru: Boleh di kata kita ketemu lawan
setanding, setelah bertempur tiga ratus jurus lebih tetap seri.
Pertempuran berakhir pada jurus tiga ratus dua puluh, dengan
Le-hun jiau aku berhasil mencomot pakaiannya dan
meninggalkan lima jalur cakaran jariku didepan dadanya, tapi
pipa cangklongnya juga berhasil mengetuk kepalaku sehingga
abu rokoknya mengotori rambut kepalaku.
"Akhir pertempuran itu boleh dikata seri alias setanding,
tiada pihak yang kalah, dari bertarung itulah timbul rasa
simpati kami masing-masing, maka sejak itu kami terikat
sebagai sahabat baik..."
"Sejak kejadian itu, ke utara atau di selatan sungai besar,
di mana ada jejakku, kesitu pula dia pergi, selama beberapa
waktu kita tak pernah berpisah, dengan sebatang ruyung
emas dan pipa cangklongnya, tidak sedikit kita membuat
pahala besar bagi kaum yang tertindas .. "
Seperti melupakan kehadiran Ping-ji saja Thia-jiau-kim-pian
Sun Bing-ci meneruskan kisahnya, tapi pandangannya tetap
terlongong kearah tungku yang masih menyala baranya "Pada
suatu kesempatan yang kebetulan, aku bersama It-tio-liong
menghadiri suatu pertemuan besar kaum Bulim di Ui-san,
yang bergelar Swan-bong- it-kia m (pedang angin lesus Liok
Hoat-liong betul-betul membuat aku dan It-tio- liong amat
kagum, Waktu itu dengan sebatang pedangnya, beruntun dia
menjatuhkan Kun-lun-sam-kiam dan jago-jago kosen dari
Tiang-pek-pay yang terkenal dengan cap-ji-lian-hoan-kiam,
sehingga dia di sanjung puji seluruh hadirin, ketambah
sikapnya yang ramah dan sopan sehingga menarik perhatian
banyak orang. Maka setelah pertemuan itu usai, aku dan Ittio-
liong mencarinya, setelah bicara semalam, suntuk kita
sama merasa cocok satu dengan yang lain, maka malam itu


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga kita bertiga angkat saudara... "
Makin besar semangat Thi-jiau-kim-pian menceritakan kisah
masa lalu, baru sekarang dia angkat kepala memandang Pingji,
melihat sikap Ping-ji hambar dan bingung, seperti prihatin
akan ceritanya, maka dia batuk-batuk lalu meneruskan
kisahnya: "Karena usiaku paling tua maka aku sebagai Toako,
Swan-bong-it-kiam genap berusia dua puluh, paling muda, jadi
sebagai Losam. Seperti harimau tumbuh sayap saja, kami
bertiga malang melintang di kalangan Kangouw mendarma
baktikan diri untuk insan persilatan-.. "
Mendengar kisah Swan-bong-it-kiam Liok Hoat-liong, hati
Ping-ji sudah tidak karuan rasanya, batinnya: "Siapakah Liok
hoat- liong itu " Apakah ada hubungan dengan aku sehingga
tadi dia tanya apakah aku she Liok" Liok Hoat-liong... Liok
Hoat-liong.. ." Meski hatinya gundah, namun dia diam saja
mendengarkan kisah Thi-jiau-kim-pian-
"Kira- kira lima tahun kemudian, Liok-laote kita itu sudah
menikah. isterinya bernama Bun Wi-lan, putri tunggal Luitang-
ban-li Bun Gan-pek Bun-loyacu, pesta pernikahannya
boleh di kata menggemparkan dunia persilatan, karena
mempelai laki-laki adalah Swan-bong-it-kiam Liok Hoat-liong
yang gagah dan cakap, sementara isterinya adalah putri
kesayangan sesepuh persilatan yang cantik, cerdik dan
anggun- "Masih segar dalam ingatanku, pada malam pengantennya
itu, aku dan Bu Kim secara diam-diam menyeret Liok-laote
kesebuah warung arak yang letaknya tiga puluh li dari
rumahnya, maklum selanjutnya dia akan bebas dari
perserikatan kita bertiga sebagai perjaka, oh ya, hampir lupa
aku memberitahu kepadamu, waktu itu aku dan it-tio-liong
belum menikah. Pada hal Liok-laote sudah mabuk. tapi dia
masih memeluk guci arak. dengan air mata bercucuran dia
bilang tidak mau menikah... hahaha."
---ooo0dw0ooo--- Seolah-olah dia berada dalam pesta perjamuan di masa
lampau dulu, wajahnya yang semula kuning tampak merah
menyala penuh semangat, sorot matanyapun mencorong
terang. "Selamanya takkan pernah terlupakan olehku, betapa
senang dan gembira hati kami, bahwasanya Liok-laote sudah
lupa bahwa malam itu adalah malam pertama pernikahannya,
kami juga berlaku egois tetap menahannya sehingga dia tidak
bisa pulang, entah sudah berapa guci arak kita habiskan
bersama, tapi kami masing-masing tetap memeluk satu guci,
pada hal arak yang wangi dan keras telah membakar
kerongkongan, tapi kami seperti kuatir selanjutnya takkan
punya kesempatan berbincang-bincang lagi, seperti berlomba
saja kita terus mgomong panjang- lebar, bicara tentang
pengalaman kita bertiga dan banyak lain-.. entah berapa lama
kami ngomong, tiba giliran Liok-laote mengisahkan
pengalamannya betapa dengan sebelah tangannya dia
membelah roboh Tiam-jong-it-koay, ternyata telapak
tangannya menabok batok kepalaku.
"Pada hal aku sendiri juga sedang membual tentang
pengalamanku seorang diri berhasil menggenjot mampus Hekcui-
sin-kiau, tinjuku telak menggasak perutnya. Sehingga meja
terbalik hidangan berantakan, Liok-laote juga tumpah-tumpah
mengotori seluruh badanku. Pada saat yang sama It-tio-liong
juga membual bagaimana dengan sepasang tinjunya berhasil
menundukkan Soat-san-siang-koay, saking senang dan
bangga kedua tangannya menindih.
'Maka kepalaku dan kepala Liok-laote diadunya, kami
bertiga sama-sama roboh terjungkal, It-tio- liong malah
menindih diatas kami berdua .Jikalau pelayan tidak
membangunkan aku, entah sampai kapan aku akan lelap
dalam buaian mimpi, tapi waktu aku bangun sudah hari kedua
menjelang lohor. "Betapapun takkan kulupakan, waktu dia siuman, It-tioliong
masih menggeros, kepalanya tertutup panci, sisa kuah
yang terisi didalam baskom berbunyi kelutukan setiap kali
napasnya keluar masuk. Demikian pula Liok-laote yang jadi
penganten juga nyenyak memeluk nampan, paha ayam masih
terkulum dalam mulutnya, waktu aku memukulnya bangun,
mulutnya masih mengigau minta cium, apapun tidak mau
bangun-.. kejadian itu sungguh amat menyenangkan, lucu dan
kocak." Sampai di sini wajahnya yang semula berseri berobah
makin buram, mata berkaca-kaca dan suaranyapun serak:"...
sejak hari itu kamipun berpisah. Seorang saudara sepupuku
yang berdagang kulit ternak diluar perbatasan terbunuh oleh
sekawanan perampok setelah barang-barangnya dirampas.
begitu mendengar berita buruk ini aku segera menyusul keluar
perbatasan, setelah aku berhasil menuntut balas, itu sudah
tiga tahun kemudian aku membawa sepasang putra putri
saudara sepupuku, yaitu muda mudi yang kau lihat tadi,
kembali ke sini.' Baru sekarang Ping-ji tahu bahwa nona berkuncir dan
pemuda tanggung itu ternyata adalah keponakan laki-laki
kampungan muka kuning berjuluk Thia-jiau-kim-pian ini.
Dengan suara serak Thia-jiau-kim-pian meneruskan
kisahnya: 'Tapi sejak itu aku putus hubungan dengan Swanhong-
it-kiam. Di San-say, dari seorang teman aku mendengar,
sejak aku berada diluar perbatasan, It tio-liong pernah
bertanding dengan seorang gembong iblis yang datang dari
luar perbatasan dan kalah satu jurus, sesuai perjanjian,
setelah kalah dia mengundurkan diri selanjutnya tidak akan
mempelajari ilmu silat lagi, maka waktu aku menyusulnya
kemari, ternyata dia sudah membuka rumah makan Enghiong-
kip ini, dengan rasa sedih kami berbincang tentang
pengalaman hidup sejak berpisah... kusinggung tentang berita
Swan-hong-it-kiam, ternyata Bu-jite tidak tahu menahu
jejaknya, cuma setahun setelah aku keluar perbatasan,
katanya mereka pernah bertemu sekali, katanya Liok-laote
amat lesu dan patah semangat. tutur katanya tidak seriang
dan segagah dulu, sejak berpisah tak pernah mendengar
kabar beritanya pula... Mendengar kisah suka duka masa lalu orang tua ini, Ping-ji
ikut merasakan betapa riang gembira dan pahit getir
kehidupan mereka. Tapi kehidupan didunia ini memang tidak
abadi, kalau dulu mereka hidup senang namun sekarang
mereka sama menghadapi nasib hidup sendiri-sendiri.
Terhadap It-tio-liong yang sekarang jadi pemilik Eng-hiong-kip
ini, diam-diam diapun merasa kagum dan simpati terhadap
nasib hidupnya. "Maka aku pulang kekampung halaman membawa kedua
keponakanku di ouw-lam, di sana aku mencari suatu tempat
yang aman dan dan mengasingkan diri..." Demikian laki-laki
muka kuning meneruskan kisahnya. " karena pengalaman
masa lalu yang menyedihkan sungguh terlalu dalam
menggores sanubariku dan saudara sepupuku itu mati karena
dia pandai main silat, maka saking putus asa, aku tidak pernah
menyinggung ilmu silat kepada kedua keponakanku, akupun
larang mereka belajar silat. kami hidup bercocok tanam,
semula aku sudah berpendirian biar hidup tentram sebagai
petani sampai mati, biarlah kedua keponakanku menjadi
manusia awam yang hidup bersahaja, bebas dari keruwetan
hidup insan persilatan."
Sampai disini dia menambah arang diatas tungku sehingga
api meletik, lekas sekali bara api menyala makin mencorong
sehingga wajahnya yang kekuningan tampak berminyak
mengkilap. sorot matanya seperti memancarkan cahaya aneh,
suaranya terdengar berat: "Tapi urusan justeru tidak semudah
yang kuidamkan. Tidak lama setelah aku hidup tentram,
kudengar berita yang tersiar luas di Kangouw bahwa pihak
Hwe-hun-bun telah menyebar "Twe-hun-leng memerintahkan
semua anggota Hwe-hun-bun untuk mencari jejak Swan-hongit-
kiam Liok Hoat liong, karena Swan-hong-it-kiam Liok Hoatliong
membunuh Biat-biau-kiam-khek Leng Pwe-kiat putra
kesayangan Hwe-hun-cun-cia. ciangbunjin Hwe-hun-bun,
maka hatiku yang semula sudah tentram mulai bergolak pula,
buru-buru aku membereskan keperluan anak-anak terus
menemui It-tio-liong tapi It-tio- liong juga tidak tahu duduk
persoalannya... " Kembali tergerak hati Ping-ji waktu mendengar Hwe-hunbun,
pikirnya: "Bukankah laki-laki kekar tadijuga bilang dirinya
ada hubungan dengan Hwe-hun-bun ?"
Karena Thia-jiu-kim-pian meneruskan ceriteranya, maka dia
pun tidak menyela: "Aku sibuk mencari berita dari berbagai
pihak. namun hasilnya nihil, sementara Hwe-hun-bun sendiri
juga gagal menemukan jejak Swan-bong-it-kiam, entah Liok
Hoat-liong sembunyi dimana, karena dirumah masih ada
urusan, terpaksa aku kembali ke ouw-lam. Sejak itu, tak
pernah aku mendengar berita Liok-laote lagi.
"Tapi suatu hari, kejadian kira-kira tahun lalu dimusim
dingin menjelang lohor, untuk menyambut tahun baru, aku
perlu kekota Tiang-san membeli barang-barang keperluan-
Dijalan raya aku bertemu dengan seorang perempuan
setengah baya dengan pakaian kotor koyak-koyak, lengannya
buntung sebelah dan bicaranya tidak genah, langkahnya
gentayangan, mulutnya yang mengoceh tidak berhenti
menimbulkan perhatian serombongan anak-anak nakal yang
menggodanya karena ingin tahu segera aku menghampiri
setelah dekat baru kukenali, perempuan ini bukan lain adalah
isteri Liok-loate yang tak karuan kabar beritanya yaitu Bun Wilan-..
' Waktu mendengar Thia-jiu-kim-pia n mengatakan
perempuan buntung lengannya, darah terasa mendidih didada
Ping-ji, mata mendelik, dengan tangan gemetar dia pegang
pergelangan tangan Thi-jiau-kim-pian, tanyanya gugup:
'Apakah perempuan buntung lengan kiri, ada sepasang lesung
pipit dikedua pipinya, berusia empat puluhan"'
Bercahaya bola mata Thi-jiau-kim-pian- Dilihatnya mata
Ping-ji terbelalak. Berkaca-kaca menatapnya penuh harap.
karuan sesaat diapun tertegun, akhirnya dia manggut dan
bertanya heran: 'Kau... dari mana kau tahu " Dimana kau
pernah melihatnya "'
Pecah tangis Ping-ji, air mata bercucuran, rasa duka tak
terbendung lagi sehingga dia menangis gerung-gerung. Thijiau-
kim-pian jadi diam saja membiarkan dia menangis sampai
puas dan reda baru tanya duduk persoalannya. Dengan
menekan rasa duka, maka Ping-ji ceritakan riwayat hidupnya,
bagaimana sejak kecil dia hidup di Kui-hun-ceng, belakangan
karena disiksa oleh Ti Thian-bin dia minggat dari kampung
halamannya, terus diceritakan sampai sekarang dirinya berada
di hotel ini. Akhirnya mereka berpandangan menghela napas panjang
bersama. Tanpa mereka sadari cuaca yang semula gelap kini
sudah benderang, sinar mentari telah menerobos dari celahcelah
jendela, diluar sadar mereka hari sudah terang tanah.
Menyongsong datangnya sang fajar Ping-ji mondar mandir
di pekarangan, cahaya mentari makin panas, salju yang
bergantungan dipucuk pohon mulai lumer dan menetes jadi
air, Ping-ji tidak pedulikan pakaian, rambut dan sepatunya
basah, dengan menggendong kedua tangan dia terus jalan
bolak balik, otaknya terus bekerja: " Dalam usiaku yang
delapan belas ini, aku sudah kenyang menghadapi ujian hidup,
diriku sudah tergembleng seumpama otot kawat tulang besi.
Ada kalanya keadaanku sudah mirip rumput kering yang
terinjak roboh, tapi syukurlah aku masih tetap kuat bertahan
dan berdiri pula. Seperti juga kembang sakura ini, meski di
musim dingin dia tetap bertahan kokoh dan berkembang
semerbak kuharap akupun akan sekokoh kembang sakura,
mengembangkan kekuatan kedua tanganku, menyambut
ujian, derita hidup yang bakal kuhadapi pula... " Sambil
menunduk dia seka air yang menetes dijidatnya serta
melangkah beberapa tindak seperti apa yang di katakan
paman Sun apa yang harus kucari sudah jelang, sudah pergi
dan tak mungkin kugapai pula, syukurlah aku dapat
menemukan paman Sun, saudara angkat paling dekat orang
tuaku, di bawah bimbingan dan asuhannya, aku akan
memperoleh tumpuan cinta kasih seperti rumput yang
mendapat rabuk sehingga dia mendapat tunjangan hidup
melawan derita, dendam kesumat orang tua tidak boleh
kulupakan, tugas berat masih harus kupikul, merebut balik Wiliong-
pit-sin dan menegakkan kembali kejayaan Hong- luibun-..
Tanpa terasa dia merogoh keluar Hiat-liong-ling yang
tergantung dilehernya, dengan mendelong ia awasi garis naga
yang membuka mulut mengulur cakar, didalam mainan
kalungnya itu, mulutnya kembali menggumam: "Tugas berat
ini harus kuat kupikul, Hong-lui-bun akan kudirikan dan
kutegakkan bagai kilat menyamber guntur menggelegar
menyapu jagat menjagoi Bulim, akan kubuat mereka tahu
bahwa dikalangan Kangouw telah muncul seorang jago
bernama Liok Kiam-ping. "Tapi hal ini akan terlaksana bila aku berhasil merebut Wiliong-
pit-sin. Ya, aku harus selekasnya menemukan Wi-liongpit-
sin lebih dulu." Setelah mengebas lengan baju, langsung
dia beranjak kedalam kamar tidurnya.
---ooo0dw0ooo--- Hari masih pagi, setelah ganti pakaian Ping-ji beranjak
keluar menyusuri jalan raya yang penuh sesak.
Lok-yang pernah menjadi ibu kota dari beberapa dynasti
kerajaan dulu, maka kota ini cakup makmur, taraf kehidupan
penduduk cukup baik, deretan gedung-gedung sepanjang
jalan raya yang beralas balok-balok batu ini cukup mewah dan
megah, bangunannya serba kuno dan mentereng lagi,
Lokyang merupakan pusat perdagangan pula, maka begitu
fajar menyingsing, kaum pedagang sudah sibuk bekerja
mencari nafkah dan keuntungan sebanyak mungkin, ada
jamak kalau lalu lintaspun ramai berlalu lalang.
Mengikuti arus lalu lintas yang padat dijalan raya Liok
Kiam-ping Pendekar muda kita ini berjalan kedepan tanpa
tujuan. Meski sebesar ini tapi Kiam-ping sudah biasa hidup
menderita dalam kemiskinan, berada di kota makmur seramai
ini, matanya jadi jelilatan tak ubahnya orang desa masuk kota
segala sesuatu menjadi perhatiannya, begitulah sambil
berlenggang, mirip orang pelancongan saja, dia terus berjalan
kedepan sambil celingukan kekanan kiri.
Tiba-tiba dirasakan ada orang menginjak kakinya, begitu
dia menoleh, tampak seorang laki-laki setengah umur bertopi
kain berdandan mirip Busu tengah menoleh juga kearahnya


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil mengangguk dan tersenyum minta maaf, Kiam-ping
pikir, mungkin orang tahu salah menginjak kakinya, maka
diapun tidak ambil peduli.
Kiam-ping masih meneruskan perjalanannya ditengah
kerumunan orang-orang yang simpang siur. Tiba-tiba diapun
merasakan dirinya menginjak sesuatu, keadaan cukup
dimakluminya maka dia tidak sempat menunduk. karena dia
tahu tanpa sengaja diapun menginjak kaki orang. lekas dia
berpaling, didapatinya seorang pemuda berdandan pekerja
tengah tersenyum ramah kepadanya, Liok Kiam-ping
tersenyum sambil mengangguk. Mendadak arus manusia
berdesakan dari arah belakang, pemuda itu ditumbuk dari
belakang hingga menerjang kedepan dan keduanya kembali
bertubrukan, tanpa berjanji mereka saling minta maaf.
Tanpa sengaja waktu Liok Kiam-ping berpaling, didapatinya
tidak jauh diantara kerumunan orang banyak yang simpang
siur, ada sepasang mata tajam tengah memperhatikan dirinya,
waktu dia menegasi. kiranya laki-laki setengah umur yang tadi
menginjak kakinya, tampak tulang pipinya menonjol sepasang
matanya seperti mata burung elang, memancarkan sinar
terang. Bimbang dan curiga Kiam-ping dibuatnya, pelan-pelan dia
memutar kepala tiba-tiba dilihatnya tak jauh dibelakang lakilaki
setengah umur itu berdiri pula seorang Hwesio kurus yang
ngantuk, orang banyak berdesakan sehingga dia tidak sempat
perhatikan dandanannya, tapi kepalanya yang gundul
kelihatan kelimis mengkilap. tapi kepalanya tumbuh banyak
borok yang bernanah. Hwesio ini kelihatannya Jenaka,
matanya kelihatan seperti beberapa hari tidak tidur, hidungnya
besar, dengan cengar cengir Hweslo itu meram melek
memperlihatkan muka jeleknya seperti sengaja menggoda
dirinya. Liok Kiam-ping tidak tahu, gaya lucunya itu ditujukan
kepada siapa, maka dia hanya manggut beberapa kali terus
melengos kearah lain, kebetulan arus manusia berdesakan
pula makin padat, maka dia tidak ambil perduli kepada kedua
orang itu, semula dia kira laki-laki setengah umur dengan
hwesio kudisan itu sehaluan, tetapi beberapa langkah
kemudian, waktu dia menoleh pula, kedua orang itu sudah
tidak kelihatan- Dengan perasaan was-was lekas Kiam-ping
mendesak keluar dari arus orang banyak membelok kesebuah
gang kecil, diujung gang berdekatan dengan jalan raya
terdapat sebuah restoran kecil berloteng, kain panjang yang
bergantung diatas tinggi bertuliskan cong-goan-lau tiga huruf
besar warna merah. Seorang pelayan berdiri dimuka rumah sedang tarik suara
menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang supaya
mampir sarapan pagi, dipujikan masakan lezat dari koki
ternama dengan sajian- arak tulen paling harum.
Pagi ini Liok Kiam-ping memang belum sarapan, perut lagi
lapar, maka tanpa pikir segera dia melangkah masuk. pelayan
segera menyambut mencarikan meja diatas loteng tingkat
kedua. Diatas loteng ada delapan meja, jendela berkaca,
keadaan rapi bersih. dibagian luar dibawah jendela yang
mengarah kejalan raya dipetak menjadi beberapa bilik ditutupi
gordyn- Kiam-ping menempati salah satu bilik serta memesan
beberapa masakan, Gordyn disingkap kesamping.
Sambil menunggu masakan yang dipesan Liok Kiam-ping
mencicipi secangkir arak yang disuguhkan, arak yang masih
hangat, rasanya memang harum dan sedap. tanpa sadar dia
memuji: "Arak bagus."
Tiba-tiba didengarnya suara seorang menggerutu:
"Maknya, kurcaci itu memang pantas mampus, siapa bilang
tidak bagus, goblok, sontoloyo, arak simpanan beberapa tahun
begini kok tidak bagus, cek. cek cek aduh wanginya, maknya."
Suara orang ini tidak begitu genah, agaknya mulutnya sedang
mengulum sesuatu hingga bicaranya kurang lancar.
Liok Kiam-ping kaget mendengar suara gerutu ini, dengan
tangan dia menyingkap gordyn dan melongok keluar,
dilihatnya beberapa meja dibagian ruang tengah duduk
beberapa orang tamu, mereka sedang sibuk makan sarapan
yang dipesannya, jelas mereka tidak pernah bicara, maka
dengan curiga dia mengamati sekelilingnya.
"Maknya, maling cilik ini langak-longok entah mencari apa,
awak sendiri terancam bahaya masih perhatikan orang lain,
memangnya mengincar panggang bebekku ini" Aduh mak.
panggang bebekku bisa terbang, hanya kaulah jiwa hidupku,
jangan pergi, maknya."
Kain gordyn dlseberang kebetulan tersingkap oleh
hembusan angin lalu, mata Kiam-ping cukup tajam, sekilas
dilihatnya seorang Hwesio kurus dengan kepala kelimis penuh
borok bernanah tengah meringkuk memeluk guci arak.
jubahnya yang kotor terbuat sari kain blaco banyak tambalan
lagi, diatas meja bertumpuk beberapa guci kosong, meja
didepannya juga penuh piring mangkok yang terbalik, jelas
hidangan semeja penuh itu terus dikuras bersih kedalam
perutnya . Tampak oleh Liok Kiam-ping hwesio itu sudah mendengkur
memeluk guci tengkurap dimeja, sekerat tulang ayam masih
terkulum dalam mulutnya, seiring dengan dengkurnya, tulang
ayam itu keluar masuk mulut nya. Kiam-ping geli, gelenggeleng
kepala, kebetulan gordyn tersingkap pula, dilihatnya
muka si Hwesio berkerut-kerut, seperti tertawa tidak tertawa
tulang pipinya seperti lebih menonjol lagi, Sambil menggeros
mulutnya mengigau pula: "Maknya. jaman memang sudah
terbalik, orang tidurpun tidak bisa tenteram lagi, maknya, aku
toh bukan penganten, kepala gundulku memang bercambang,
tapi mukaku sudah kisut, apanya yang bagus dipandang,
memang seperti kepala gundulku ini menjadi malu rasanya,
kalau bisa aku ingin sembunyi kedalam guci saja... aduh mak."
Merah muka Kiam-ping, waktu dia berpaling, beberapa
tamu dimeja lain agaknya ketarik juga oleh omelan si Hweslo,
semua menoleh kearah sana, maka Kiam-ping membatin:
"Hwesio lusuh ini pasti seorang kosen aneh, jangan kira dia
memejam mata, tapi segala gerak-gerik diriku ternyata tidak
lepas dari pengamatannya."
Tengah dia menepekur, tiba-tiba didengarnya dibawah
loteng ada suara ribut, tamu-tamu diatas loteng sama kaget,
yang duduk dipinggir jendela sama melongok kebawah, ada
pula yang berlari kebawah. Kiam-ping juga melongok kebawah
lewat jendela. Tampak seorang pengemis cilik dengan pakaian rombeng
berdiri dekat pintu, usianya sekitar lima belasan. Seorang lakilaki
gendut berdandan ciangkui tampak berdiri tolak pinggang
sedang memaki: "Pengemis mampus, kenapa kau tidak
berkaca dengan air kencingmu, dengan tampang dan
dandananmu berani masuk ke restoranku. Bah. ayoh enyah,
jangan mengotori permadaniku yang mahal ini."
Pengemis itu bermuka kuning pucat, agaknya kurang
makan tidak cukup vitamin, perawakannya juga terlalu kecil,
jelas pertumbuhannya kurang normal tidak sepadan dengan
usianya, mukanya berlepotan lumpur dan hangus, tapi gerakgeriknya
ternyata lincah dan cekatan, meski dimaki dia tetap
tenang-tenang malah membuat muka setan meledek si
ciangkui, secara tak acuh dia menggentak-gentak kaki,
sehingga lumpur yang melekat disepatu bututnya rontok
mengotori lantai marmer yang bersih mengkilap.
Karuan ciangkui makin gusar, tubuhnya yang gendut
tampak gemetar menahan amarah namun melihat tamu tamu
melongok kearahnya, kuatir membuat takut para tamu dan
merugikan dagangan sendiri ciangkui tidak berani bertindak
kasar, lekas dia masuk mengambil tiga biji bakpao, dengan
rasa berat dia sodorkan tiga bakpao itu sambil memaki:
"Maknya, bajingan tengik pengemis sebal, bakpao buatan
restoran kami bukan saja enak juga mahal, anggaplah aku
yang sial hari ini harus kehilangan duit bakpao ini. Hayo ambil
dan lekas enyah, supaya tuan-tuan tamu tidak muak melihat
tampangmu." Pengemis cilik menjengkit bibir, tangannya diulur menerima
dengan sikap tak acuh bakpao yang diberikan si ciangkui.
"Aduh, maknya, sudah diberi bakpao masih mengotori dan
menyakiti tangan tuan besarmu. cuh, kurang ajar, pengemis
mau mampus." Ternyata waktu menerima bakpao sipengemis
sengaja mencakar dengan jari-jarinya yang kotor dipunggung
tangan si ciangkui hingga meninggalkan bekas jalur merah.
Saking gusar sambil membanting kaki hampir saja dia
terpeleset jatuh. Liok Kiam-ping tertawa geli, baru saja dia menyingkap
gordyn, dan mau melangkah kebawah loteng, tiba-tiba
didengarnya suara gerutu tadi: "Maknya, arak bagus, arak
bagus, sungguh sedap dan nikmat. Ai, uruslah dirimu sendiri,
jangan hiraukan persoalan orang lain, salah-salah bisa celaka
nanti. Maknya, kenapa perutku keroncongan lagi.?"
Waktu Liok Kiam-ping berpaling, gordyn diseberang
tersingkap lebar menyangkut di atas meja persegi, diatas meja
tahu-tahu bertambah pula sebuah guci, Hwesio kurus itu
tengah duduk tegak sambil memeluk guci menuang arak
kedalam mulut, sebelah tangan masih memegang paha bebek
panggang, piring mangkok yang kosong tadi sudah tersingkir
kesamping, sementara hidangan baru berserakan pula didepan
mejanya. Karuan Liok Kiam-ping melongo, batinnya: "Darimana dia
memperoleh hidangan sebanyak itu, seakan akan tiada habishabisnya,
dia gegares masakan-masakan lezat di restoran ini?"
Tapi waktu dia menoleh keluar, seketika dia tertawa geli di
tahan-tahan, ternyata hidangan orang lain yang tamutamunya
berlari turuh kebawah melihat keributan sekarang
sudah disikatnya semua. Didengarnya Hwesio itu mengoceh pula: "Makanya, bocah
bodoh jangan heran, kitakan gegares dengan gratis tapi
bapakmu ini tetap yang rugi. Nah, biarlah kuberi bagian
kepadamu. cuh." Daging paha ayam yang terkulum
dimulutnya tiba-tiba disembur keluar. Tangan kanan diulur
mencopot sepatu dengan telapak sepatu kotornya itu dia
menyeka mulut, lalu dengan jari-jarinya yang berminyak dia
garuk-garuk jari-jari kakinya yang gatal, bau kurang sedap
segera merangsang hidung. Hampir saja Liok Kiam-ping
muntah saking mual, tapi dilihatnya Hwesio itu kelihatan
nyaman dan kenikmatan, mulutnya tertawa lebar, akhirnya dia
angkat tangannya yang dibuat menggaruk jari-jari kakinya
terus dicium sekeras-kerasnya entah karena gatal lekas jarijari
tangan berminyak itu menggaruk pula kepala gundul yang
berbungah borok-borok bernanah, mulutnya berceloteh pula:
"Aduh mak, nikmat sekali."
Sambil mengoceh lekas dia angkat pula guci arak terus
dituang kedalam mulut. Karuan Liok Kiam-ping berdiri terbelalak. karena dengan
jelas dia mengikuti segala gerak gerik si Hweslo, waktu
tangannya menggaruk kepala, kotoran borok dan sindap
kepalanya sama rontok dan berjatuhan kedalam guci araknya.
Karuan Liok Kiam-ping merinding dan jijik.
"Pengemis keparat, ingin mampus kau, biar kuhajar kau."
Suara ciangkui yang mencak-mencak makin keras dibawah
loteng, maka terdengar pula suara salak anjing. Lekas Kiamping
putar badan melongok kebawah, dilihatnya ciangkui
sedang menuding dan memaki kepada pengemis cilik. Lekas
dia beranjak. Waktu itu pengemis cilik masih pegang bakpao dan sedang
bermain-main dengan seekor anjing buduk. mulutnya
berkaok-kaok: "Hayolah sayang, lekas makan, biar lekas gemuk." Sembari
bicara dia melempar secuil bakpao keudara, anjing buduk kecil
itu menyalak terus melompat menyambar bakpao itu serta di
kunyah dengan lahap. ekornya bergoyang-goyang
kesenangan- Sudah diberi bakpao tidak mau pergi mengabaikan
peringatannya pula, karuan si ciangkui murka seperti
kebakaran jenggot, sambil menggerung dia angkat tinjunya
sambil memburu hendak menjatuhkan bogem mentah diatas
kepala si pengemis. Mendadak ada menepuk pundak serta berseru: "Sabar."
Waktu dia menoleh, ternyata pemuda baju putih yang
duduk dimeja kelas satu diatas loteng, segera dia turunkan
tangan serta menjura dengan muka berseri: "oh, kau tuan,
maaf bikin kaget kau saja."
"Hm, tidak apa-apa semua kerugianmu boleh hitung dalam
rekeningku, jangan kau membuat keributan lagi dengan
engkoh cilik ini." Demikian ujar Liok Kiam-ping. "Ah, mana,
mana, sungguh kurang enak. kenapa tuan yang harus
merogoh kantong. Dengan sikap munafik si ciangkui mundukmunduk.
Liok Kiam-ping ulapkan tangan lalu berkata sambil menjura
kepada pengemis cilik itu: "Saudara ini, kalau mau boleh
silahkan masuk makan minum bersamaku, bagaimana"
Bahwa Liok Kiam-ping melerai sehingga keributan tidak
makin besar, sudah tentu si ciangkui menjadi rikuh sendiri, tak
tahunya Liok Kiam-ping malah undang pengemis kotor itu
kedalam restoran, karuan dia berdiri terbeliak. dengan wajah
cemberut dia awasi sepatu si pengemis yang berlumpur.
Dengan tak acuh dan lirikan hina si pengemis melirik
kepada si ciangkui, lalu katanya tertawa kepada Liok Kiam
ping: "Apa betul " Kau mau teraktir aku makan minum "'
Melihat orang tertawa seketika Liok Kiam-ping tertegun,
meski mukanya kotor, tapi gigi pengemis cilik ini ternyata
putih rata, kalau tertawa wajahnya kelihatan molek, maka dia
tersipu-sipu menjawab: "Betul, kalau kau sudi dan aku
mendapat kehormatan-"
Sejak kecil kiam-ping alias Ping ji sudah kenyang dihina dan
menderita, di waktu berkelana di kangouw diapun sudah
sering di hina dan di caci maki, maka dia sudah meresap
bagaimana keadaan orang yang dipandang rendah dan
diabaikan orang lain, tapi belum pernah dia menyerah pada
keadaan, maka dikala dia melihat pengemis cilik ini ternyata
bersikap tak acuh dan tidak rendah diri meski dicaci dan di
hina, wataknya mirip dirinya, hatinya amat kagum dan
terkesan pada pengemis cilik ini, sehingga dengan rendah hati
dia mengundangnya makan minum bersama.
Sudah tentu ciangkui gendut itu yang gugup, katanya
munduk sambil bersungut "Tuan ini harap. ...."
Liok Kiam-ping berpaling sambil mengerut alis, katanya
"Apa pula yang kau ributkan, lekaslah siapkan hidangannya.


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu dia silakan pengemis cilik, "hayolah saudara, silakan
masuk." Pengemis cilik manggut2, kembali dia tertawa manis,
setelah tepuk2 tangan membersihkan tangan membetulkan
pakaian segera dia beranjak masuk dengan langkah lebar.
Bahwa pemuda baju putih berperawakan gagah ini ternyata
berlaku hormat kepada pegemis dekil ini, karuan si ciangkui
penasaan dan mewek2, tapi dia tidak berani bertingkah lagi,
dengan langkah gedebukan dia mengintil dibelakang.
Liok Kiam-ping iringi pengemis cilik naik keloteng, dia
silakan pengemis cilik memilih tempat duduknya dulu, lalu dia
duduk dan berkata: "saudara ingin masakan apa boleh silakan
pesan saja, tidak usah rikuh."
Jelilatan bola mata si pengemis cilik, tanyanya: "Apa betul
kau suruh aku memesan apa saja yang kuinginkan ?"
"Betul, boleh kaupesan apa saja yang kau inginkan- Hai,
pelayan dengarkan dan catat apa yang dipesan Kongcu ini"
Pelayan jadi geli karena Liok Kiam ping membahasakan
Kongcu kepada pengemis cilik ini, dengan menggiakan dia
menekap mulut. Pengemis cilik kontan melerok. dengusnya: "Apa yang kau
tertawakan, menghina aku ya. Memangnya kau kira aku tidak
sesuai makan direstoran ini." "
Pelayan tidak berani tertawa lagi, tapi dia tidak mau kalah,
katanya: "Asal tuan bisa menyebutkan apa yang ingin
kaupesan, restoran kami tanggung bisa menyediakan-
"Baik, Dengarkan, siapkan empat porsi itik mandarin
digoreng telor, daging kelinci saos brambang, telapak biruang
masak jahe dan kuah lidah ayam." Sipengemis cilik menoleh
kearah Kiam-ping tersenyum bangga.
Ternyata pelayan berdiri gemetar dengan muka meringis
kecut, matanya terbelalak bingung. Padahal Liok Kiam ping
pernah menjadi pembantu di restoran di waktu berkelana,
belum pernah dia mendengar nama-nama masakan seperti
yang di pesan pengemis cilik ini,
Melihat mimik pelayan hatinyapun geli, dia tahu bahwa koki
restoran pasti takkan mampu menyiapkan pesanan ini, maka
segera dia berkata: "Pergilah sampaikan kepada ciangkui,
sedapat mungkin, usahakanapa yang dipesan, masa kota
sebesar ini tak mampu membeli bahan-bahan yang diperlukan
itu." Lalu Kiam-ping membujuk sipengemis, "saudara tunggu
saja dengan sabar. Silahkan minum."
Tengah mereka bicara, atas dan bawah restoran ini tibatiba
sama geger, para tamu berteriak-teriak heran dan marahmarah,
seorang tamu diatas loteng mengumpat: "Maknya,
ciangkui, hai pelayan, kemana hidanganku yang dimeja tadi."
"Brak" tiba-tiba seorang lagi menggebrak meja serta
memaki: "Kuntilanak. ciangkui keparat, mana udang basah dan
ayam gorengku, kenapa lenyap?"
Ternyata setelah keributan dibawah usai, para tamu yang
melihat keramaian ini putar balik kemeja masing-masing,
ternyata masakan yang mereka pesan telah lenyap tanpa
karuan paran, maka beramai-ramai mereka berkaok-kaok
hingga disana sini terjadi keributan pula..
Suara berat berkumandang ditang galoteng, ciangkui
memburu naik keatas dengan napas ngos-ngosan, dengan
muka cemberut dia berteriak: "Aduh mak. celaka aku
..habislah sudah." Kedatangannya amat kebetulan bagi tamu-tamu yang
kehilangan hidangan diatas loteng, seorang tamu kepala gede
dekat tangga segera menjambret bajunya serta membentak:
"Kebetulan kau kemari ciangkui keparat, coba jawab, mana
hidangan semeja yang kupesan tadi?"
Ciangkui mengerling kemeja, dilihatnya piring mangkok
telah kosong sisa kuahnya saja sedikit, sekilas melongo segera
dia membentak: "Lho, bukankah sudah... sudah habis kau
makan-" "Kepalamu botak." Maki tamu kepala besar sambil
mengetuk batok kepala ciangkui "Setan alas, tadi masih ada
setengah ayam panggang, dua hati-ampla, sepoci arak. hanya
kutinggal sebentar melihat keributan dibawah eh tahu-tahu
terbang tak karuan paran, kau pemi1ik restoran masih purapura
pikun, maknya, memangnya restoranmu ini gelap "
"Betul. Hajar saja, ganyang ciangkui." Tamu-tamu yang
penasaran merubung maju main jotos dan tinju Karuan
ciangkui menjerit-jerit minta tolong seperti babi hendak
disembelih. Liok Kiam-ping tidak tega, lekas dia maju melerai, waktu
naik ke loteng tadi, ciangkui juga sudah sesambatan, maka
segera dia keluar dan bertanya: "Ada apa ciangkui"
Melihat Liok Kiam-ping seperti mendapat pertolongan
sambil memeluk kepala ciangkui sembunyi kebelakangnya,
serunya: "Kongcuya, nenek moyangku tujuh turunan, aku tidak ingin
hidup lagi, biarlah aku lompat dari atas loteng biar mati saja.'
Melihat muka orang benjut dan matang biru, air mata
bercucuran lagi Liok Kiam-ping jadi memelas. Mendadak
didengarnya suara gerutu serak itu pula: 'Aduh mak neneknya
tujuh turunan, kepala gundul ini juga tidak ingin hidup, biar
aku masuk ke dalam guci, masih sepagi ini tidak bisa tidur
maknya, biar aku mampus saja."
Lekas Liok Kiam-ping menoleh ke sana, dilihatnya ciangkui
gendut sudah memburu ke sana serta menyingkap gordyn.
kontan dia berteriak-teriak sesambatan: "oh, Thian, bangsat
keparat ini, biarlah aku mati saja. Hwesio busuk, pendeta bau,
anjing kurap pencuri kudisan- Biar aku adu jiwa dengan kau."
Ternyata diatas meja didepan si Hwesio bertumpuk
sedikitnya ada sepuluh guci arak tapi guci-guci arak itu sudah
kosong, mejanya penuh piring mangkok dan tulang-tulang
ayam serta kuah yang berceceran tidak karuan, Hwesio butut
itu sedang duduk ungkang-ungkang sambil memeluk guci
arak. matanya merem melek. sebelah tangan menggaruk jari
kaki, tangan yang lain menggaruk kepala. Dengan
menyeringai lebar dia berkata kepada ciangkui: "oho, ciangkui
yang terhormat kau juga tidak ingin hidup, bagus sekali biar
Pinceng sejalan ke akhirat bersamamu. Tapi belum sempurna
aku menikmati duniawi ini marilah kau ikut mencicipi, supaya
kau bisa bawa oleh-oleh untuk dihaturkan kepada Ji-lay-hud."
Habis bicara dia tarik tangannya yang menggaruk sela-sela
jari kaki serta dicelumnya terus disodorkan kemuka ciaugkui
pula. Sungguh hampir pecah perut Liok Kiam-ping saking geli,
tapi dia tahan rasa gelinya melihat ciangkui sudah melotot
dengan beringas seperti hendak melabrak si Hwesio lekas dia
melangkah maju, katanya: "ciang kui, jangan kurang ajar
terhadap Taysu ini, ada urusan baiknya dibicarakan secara
damai" Ternyata ciangkui masih mau menurut, katanya dengan air
mata meleleh: "Tuan muda, kau tidak tahu, Hwesio busuk
yang pantas mampus ini entah berapa kali sudah makan
minum direstoran kecilku ini. Pertama kali dia datang,
pelayanku melarang dia masuk, tapi dia keluarkan lima tahil
perak. seperti tuan besar naik keloteng serta minta makan
minum seharga lima ketip. sisanya dititipkan kepada kas,
maka kami melayani sewajarnya, tak nyana beberapa kali dia
datang pula sampai belasan bon bertumpuk. makin lama
hidangan yang dipesan makin banyak. habis makan cukup
teken bon terus tinggal pergi sambil tepuk pantat. Kalau kami
tidak menyambutnya, kuatir bon-bon yang terdahulu tidak
dibayar, kalau dilayani hutangnya semakin menumpuk.
celakanya setiap kali makan dia selalu garuk kaki dan
kepalanya yang borokan, baunya cukup bikin orang muntahmuntah,
hingga tidak sedikit tamu-tamu kami yang terusir
olehnya. Sering terjadi dia minta dua guci arak, tapi dia
mungkir katanya cuma minum satu guci, kenyataan memang
hanya satu guci kosong di atas meja, tak tahunya belakangan
waktu pelayan membersihkan loteng ini menemukan beberapa
guci kosong yang ditumpuk dibelakang gordyn.
"Itu belum selesai, restoranku ada menyimpan puluhan
guci arak yang paling baik kwalitetnya, tadi karena Kongcu
datang dan minta arak bagus maka kusuruh orang turun
kebawah tanah mengambil arak simparan itu, ternyata
gucinya kosong araknya habis. Nah, kau lihat belasan guci
bertumpuk di sini, bukankah Hwesio busuk ini yang
mencurinya, manusia jahat, oh terkutuk kau. oh Thian,
bagaimana aku harus hidup selanjutnya."
Baru sekarang Liok Kam-ping jelas duduk persoalannya,
pikirnya: "Tak heran Hwesio ini terus tenggak arak tak habishabis,
perbuatannya juga terlalu, arak simpanan ternyata di
kuras seluruhnya." Diam-diam dia merasa keki dan kurang
simpati kepada Hwesio ini, apalagi dia juga tahu hidangan
tamu-tamu lain juga dia yang nyikat maka dia tarik ciangkui
dan berkata: "Sudahlah, jangan ribut, berapa rekening Taysu
ini, nanti biar aku yang melunasi."
Ciangkui terbelalak girang, katanya sambil menyeka air
mata: "Dan bon kedua dia mulai hutang enam ketip, bon
ketiga tujuh ketip. bon keempat delapan ketip dan seterusnya
makin bertambah dengan beberapa guci arak, tiga ayam
panggang, empat kati daging sapi, kesembilan teken bon
enam tahil... " "Sudah, sudah, tak usah diuraikan satu persatu, total
jendral berapa rekeningnya ?", tukas Liok Kiam-ping tidak
sabar. "Sampai hari ini dia sudah makan tiga belas kali dan belum
pernah bayar, maka jumlah seluruhnya adalah dua puluh
sembilan ketip, belum lagi lima belas guci arak empat guci
harganya empat ketip. dua guci lima ketip dan tiga guci enam
ketip jadi seluruhnya seharga tiga puluh empat tahil tiga
ketip." "Maknya kurcaci, Ciangkui jangan kau menggorok leher
orang, memangnya ada orang mau bayar lantas kau ngoceli
seenak udelmu sendiri". Hanya sebelas kali aku makan di sini,
rekeningnya juga tidak lebih dari enam belas tahil lima ketip.
Lima belas guci arakmu itu juga belum jadi, banyak tercampur
air lagi, hanya dua guci yang boleh disebut arak tulen, berani
kau membual menguras kantong orang, memangnya urusan
semudah itu diselesaikan?" Demikian umpat si Hwesio sambit
menegakkan leher dengan gaya duduk tetap tidak berobah.
"Sudah, sudah, anggap saja beres Ciang kui, lekas siapkan
hidangan pesananku, temanku sudah tidak sabar menunggu,
berapa rekening yang ada nanti kubayar seluruhnya" lalu
Kiam-ping tepuk-tepuk pundak Ciangkui mendorongnya turun
loteng, lekas dia putar balik serta memberi hormat kepada si
Hwesio: "Taysu mengutamakan kebajikan dan cinta kasih,
harap tidak lagi membuat perkara dengan orang-orang awam,
kalau sadi boleh silakan duduk semeja dan makan minum
lagi." Hwesio kurus melerok kearah Ciangkui yang mulai turun
loteng serta berteriak: "Neneknya si gendut, jangan-jangan matamu tumbuh
dileher, menghina orang beribadat, memangnya Pinceng tidak
punya uang. Nah, berapa hutangku kulunasi seluruhnya,
sisanya boleh kau bagi rata kepada para pelayan, tidak usah
dikembalikan." Sembari bicara dia merogoh kelengan baju
mengeluarkan segelondong besar uang perak ditaruh dimeja,
lalu menoleh kearah Kiam-ping serta tertawa lebar, katanya:
"Buyung kau mau mentraktir aku makan minum, bagus, sekali,
tapi aku punya semacam penyakit, yaitu tidak suka bercampur
dengan orang yang bersuara sumbang, manusia tengik yang
tinggi mata... nya, apalagi badannya yang berbau busuk aku
juga tidak mau dekat-dekat maka kupikir batal saja. Buyung,
bulu kambing tumbuh dibadan kambing, ulat arak dalam
perutku kembali menagih hutang. Hai, pelayan, ciangkui
gendut, bawakan dua guci lagi." Demikian si Hwesio ngoceh
sambil garuk-garuk kepala terus duduk menggelendot dinding,
lekas sekali sudah menggeros.
Sungguh tak kira bahwa Hwesio ini bertabiat aneh dan
kasar, sesaat Liok Kiam-ping berdiri melongo, akhirnya dia
putar balik ketempatnya, katanya tertawa kepada pengemis
cilik: "Maaf, bikin saudara menunggu terlalu lama." Setelah
tertawa pengemis cilik berkata:
"orang lain benci melihat tampangku, kenapa kau masih
mau mengundangku makan minum ?"
Liok Kiam-ping melenggong, dengan lekat-lekat dia tatap
orang dilihatnya pengemis cilik juga menatapnya dengan
seksama, wajahnya meski kotor tapi kelihatan Jenaka dan
molek, pipinya yang agak kurus, dengan sepasang bola mata
yang jeli dan bening, mulutnya kecil mungil kelihatan
memonyong memperlihatkan wataknya yang keras, ternyata
hidungnya juga mancung. Dari wajah pengemis cilik Liok
Kiam-ping memperoleh suatu firasat, yaitu hubungannya
dengan pengemis cilik ini harus blak-blakan, terus terang dan
tidak perlu sembunyi-sembunyi, apalagi munafik, karena sorot
mata orang sudah memberikan jaminan kepadanya bahwa
pengemis ini dapat dipercaya. Maka tanpa banyak pikir dia
berkata: "Aku justru tidak benci, maka aku undang kau
kemari, peduli amat dengan pandangan orang lain
terhadapmu." Pengemis cilik tertawa, katanya: "Kau tidak takut orang
menggodamu sebagai anak bodoh, mentah-mentah ditipu
sehingga mentraktir aku makan minum."
"Ah, Siaute tak pernah punya pikiran demikian, apalagi aku
sendiri yang mengundang kau makan minum." Demikian
jawab Liok Kiam-ping lantang.
Tengah bicara tiba-tiba langkah orang yang berat berderap
di tangga loteng, Liok Kiam-ping menoleh bersama pengemis
cilik. Tampak serombongan orang telah naik keloteng yang
terdepan adalah seorang kakek berjenggot Panjang
menyentuh dada, meski rambut dan jenggot sudah ubanan,
tapi sorot matanya tajam, selintas pandang siapapun tahu
bahwa kakek ini seorang jago silat tinggi membekal lwekang
tangguh, tampak dia mengenakan pakaian kasar, sepatu
rumput, dandanannya mirip seorang nelayan- orang-orang
yang dibelakangnya terdiri beraneka orang ada yang
bercambang bauk. ada busu muda, beramai-ramai mereka
menduduki beberapa meja, suasana jadi ramai karena
teriakan mereka yang memesan makanan-
Dari sela-sela gordyn Liok Kiam-ping mengintip keluar, tibatiba


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gordyn tersingkap seorang pelayan masuk sambil
membawa nampan disusul dua pelayan lagi, masing-masing
membawa hidangan yang dipesannya tadi, setelah menata
hidangan diatas meja pelayan yang tertua menjelaskan:
"Tuan, hampir seketika kita jelajah baru berhasil menyiapkan
hidangan istimewa ini."
Liok Kiam-ping mengulap tangan suruh mereka lekas
keluar, lalu poci diangkatnya mengisi cangkir arak si pengemis
cilik, katanya tertawa: "Mari kita habiskan lagi secangkir ini."
"Ah, Siaute betul-betul tak berani minum banyak, harap
saudara memberi maaf." Tapi karena Kiam-ping sudah angkat
cangkir nya, terpaksa diapun ambil cangkir araknya serta
menghirupnya seteguk -saja. Katanya tertawa:
"Nah, mari kita cicipi masakan pesananku, koki restoran ini
entah pandai tidak menyesuaikan seleraku."
Liok Kiam-ping segera angkat sumpitnya serta mangisi
mangkoknya, katanya memuji:
"Hidangan ini memang istimewa, rasanya juga enak. bicara
terus terang baru pertama kali ini Siaute selama hidup
merasakan masakan masakan ini. Mari kusuguh secangkir
lagi.' Karena dipuji pengemis cilik tertawa riang, katanya
perlahan: 'Apa betul kau suka makan hidangan ini ?"
"Ya, betul." sahut Liok Kiam-ping.
"Kalau kau suka, kelak bila ada kesempatan biar kumasak
untukmu, mau ?". Liok Kiam-ping melongo, katanya girang: "Sudah tentu
mau. Maaf ya, Siaute sampai lupa tanya siapa nama saudara
dan tinggal di mina ?"
Tiba-tiba merah mata pengemis cilik, katanya menggeleng:
"Rumahku jauh sekali akupun tak ingin pulang. Tentang
namaku, boleh kau panggil aku Pin-ji saja.'
Liok Kiam-ping heran, tanyanya, "Pin-heng, mana ada
orang punya rumah tidak mau pulang."
Tiba-tiba pengemis cilik tertawa lebar katanya: "Wah,
sayurnya sudah dingin. hayolah sikat, hidangan ini biasanya
paling suka kumakan-"
Melihat orang sengaja mengalihkan persoalan- Kiam-ping
tahu orang sengaja tidak mau membicarakan tentang dirinya
maka dengan tersenyum segera dia angkat sumpitnya serta
mulai makan dengan lahapnya.
Sementara itu orang-orang ditengah ruang masih ribut
berkelakar, tiba-tiba seorang bergelak tawa, suara serak keras
seperti gembreng pecah berkata: "Hahaha, orang she Ci
memang beruntung, ditempat ini dapat bertemu dengan Hankang-
ih-un Kongsun-loyacu marilah biar Cayhe menghatur
secangkir arak kepada kongsun-cianpwe."
Hadirin lantas tertawa berderai, lalu terdengar suara orang
tua serak berkumandang: "Mana berani, mana berani, lohu
mana boleh menerima penghargaan ini, terima kasih akan
penghargaan hadirin, baiklah secangkir ini kuhaturkan pula
kepada kalian- Dari gordyn yang sedikit tersingkap Kiam-ping melihat
keluar, dilihatnya dimeja tengah ruang laki laki tua berdandan
nelayan tadi tengah angkat cawan berputar memberi hormat
kepada hadirin dengan tawa lebar, ternyata meja yang
tersebar di dalam ruang besar itu sudah dikumpulkan menjadi
satu baris ditengah ruang, hadirin beramai-ramai angkat
cangkir masing-masing serta tenggak habis bersama.
"Biasanya Kongsun cianpwe umpama burung bangau yang
tidak menentu dimana hinggap hidup bebas laksana dewa, kali
ini entah gerangan apa yang menyebabkan kau orang tua
terjun keduniawi, apakah kau orang tua juga menerima surat
undangan Thi-kiam Lau-ongya, maka jauh-jauh memburu
datang kemari ?" demikian tanya seorang laki-laki muka kelam
berjubah kuning. "Benar, biasanya Lohu hidup bebas tidak terkendali, mana
boleh dibanding Jiheng yang masih muda dan banyak berjasa,
sejak berpisah dengan Lau-lote, sudah puluhan tahun, air
gelombang sungai yang dibelakang memang mendorong yang
didepan, yang hadir sekarang semua masih muda gagah
perkasa lagi, angkatan setua Lohu memang pantas cuci
tangan mengundurkan diri saja dari percaturan dunia
Kangouw." demikian ujar Han-kang-ih-un Kongsun Jin ong
sambil mengelus jenggot, sambil tertawa lebar dia berpaling
kearah seorang muda dengan ikat kepala dari kain hitam
berwajah bersih, tanyanya: "Bun hiantit, apakah ayahmu
selama ini baik-baik saja" Sudah sekian tahun tidak berjumpa,
sungguh kangen sekali."
"Berkat doa Cianpwe, selama ini ayah sehat walafiat, kali ini
ayah sedang sibuk oleh suatu pekerjaan, maka Siautit yang
diutus untuk menghadiri pesta ulang tahun Lau loyacu,
disamping untuk mencari pengalaman, beliaupun ada titip
sepucuk surat untuk disampaikan kepada Lau-loyacu..."
demikian jawab pemuda itu berdiri sambil menjura.
"Hahaha, ayah Ibun-heng adalah Seng-jiu-tok-liong (tangan
suci membunuh naga), biasanya suka keliaran entah karena
pusaka apa yang menyibukkan dia, kali ini dia tidak mau
meluangkan waktunya kesini." kata seorang laki-laki setengah
umur. "Betul Ibun-loyacu punya hobby mengoleksi benda-benda
antik dan barang pusaka, dahulu seorang diri diapun meluruk
ke Jik-liong-tong membunuh Tok-kak-liong didasar laut
sehingga namanya terkenal di Kangouw. Bukan mustahil kali
ini dimana muncul pula binatang raksasa yang mengandung
mestika telah diluruknya pula, untuk ini sudilah Ibun-heng
suka menerangkan-" demikian ujar seorang laki-laki mata
siwer duduk disamping pemuda she Ibun itu.
Karena ditanya pandangan seluruh hadirin tertuju kearah
dirinya pula, terpaksa pemuda she Ibun tersenyum, sekilas dia
menyapu pandang hadirin lalu mengawasi Ban-kang-ih-un,
katanya dengan nada berat: "Yang hadir disini termasuk
sesama kawan sehaluan, baiklah Ibun Kong memberanikan
diri memberikan penjelasan, tapi apa yang Cayhe tahu
sekarang juga tidak lengkap. mungkin belum memuaskan
hadirin- Soalnya berita yang ayah terima juga simpang siur,
kini sedang dicari kebenarannya..." dia batuk-batuk
mengawasi hadirin lalu menyambung: "Hadirin adalah insan
persilatan yang sudah berkecimpung di Kangouw, tentunya
juga sering dengar bahwa setengah tahun ini dunia persilatan
telah dibuat geger oleh munculnya Wi-liong-pit-sin-"
"Wi-liong-pit-sin ?" laki-laki muka kelam jubah kuning Ui inbun
berteriak kaget lebih dulu.
Melihat hadirin sama terbelalak dengan muka kaget dan
curiga, pelan-pelan Ui bun Kong manggut-manggut, wajahnya
kelihatan serius. Sementara itu Liok Kiam-ping sedang menceritakan riwayat
hidupnya, tiba-tiba di dengarnya orang-orang diluar
membicarakan Wi-liong-pit-sin, seketika dia melenggong dan
menghentikan kisahnya. Pengemis cilik sedang asyik mendengarkan kisah hidupnya,
mendadak orang menghentikan ceritanya, segera dia
mengerling, di lihatnya Liok Kiam-ping sedang mengintip
keluar dengan penuh perhatian-
"Kabarnya Wi-liong-pit-sin telah terebut oleh Ceng-sanbiau-
khek, apa betul?" "Di San-say aku juga mendengar kabar seorang yang
berjuluk Pat-pi-kim- liong dengan Wi-liong-ciang telah
memukul luka parah Ceng-san-biau-khek. Lain lagi, konon Patpi-
kim- liong adalah ahli waris Kiu-thian-sinlicng, entah benar
tidak "' Hadirin sama angkat bicara, yang dibicarakan menyangkut
Wi-liong-pit sin dan Pat-pi-sin-liong.
Karena Liok Kiam-ping membelalakan mata mengintip
keluar, maka pengemis cilik juga pasang kuping.
Terdengar Ui bun Kong menggoyang tangan dan tertawa,
katanya: "Harap tenang sebentar, dengarlah lebih lanjut apa
yang kuketahui." Suara ribut lantas sirep. Ibun Kong
menggosok telapak tangan, katanya pula:
"Menurut berita yang tersiar memang Wiliong-pit-sin
terebut oleh Ceng-san-biau-khek, tapi tak lama ini seorang
murid Bu-tong ada yang turun gunung, konon ada seorang
pemuda berjubah hijau seorang diri meluruk ke atas gunung,
dengan tangan kosong dia mengalahkan Ceng-ciok Tojin,
Ciangbunjin yang berkuasa di Bu-tong-san sekarang, serta
beberapa murid terbesar Bu-tong-pay, ilmu yang digunakan
mengalahkan jago-jago Bu-tong kabarnya diperoleh dari Wiliong-
pit-sin, hal ini sudah cukup mengejutkan, lebih celaka
lagi katanya pemuda ini mengaku sebagai ahli waris Kiu-thiansin-
liong, sudah tentu pihak Bu-tong gempar dan kaget
setengah mati. "Kebetulan, entah karena apa Ceng-san-biau khek juga
menyelundup ke Bu-tong mencuri obat mujarab pelindung Butong,
entah karena apa pula dia bentrok dengan Pat-pi-kimliong,
Ceng-san-biau-khek yang berkepandaian tinggi ternyata
dikalahkan dan lari dengan luka parah."
Tiba-tiba pengemis cilik melihat mata Liok Kiam-ping
memancarkan cahaya benderang, diam-diam dia kaget dan
heran- Untung Liok Kiam-ping lekas sadar bahwa dirinya
sedang diperhatikan pengemis cilik, lekas dia membalik sambil
tertawa, katanya angkat cangkir: "Ah, Pin-heng, maaf akan
sikapku yang linglung, Mari kita habiskan hidangan ini. Wah
sayang semua sudah dingin- Hai pelayan, hayo bawa kedapur
panasi lagi hidangan ini."
Pengemis cilik tersenyum manis, katanya:
"Ehm ya, hidangan sudah dingin. Sudahlah, masakan yang
terulang masaknya tidak enak rasanya. Pelayan, bikinkan lagi
hidangan baru seperti ini."
Hadirin sedang asyik mendengarkan cerita ibun Kong
tentang berita besar yang terjadi di Kangouw akhir-akhir ini,
karena gangguan ini mereka sama menoleh kemari, tampak
dua pelayan sedang menyelinap keluar membawa hidangan,
tiba-tiba dari arah lain berkumandang pula sebuah suara ribut
"Maknya, neneknya, hai pelayan, apakah hidangan itu akan
kalian buang. Lekas, lekas bawa kemari, kasihan kepada
bapakmu gundul ini, dikelenteng aku memelihara anjing liar,
sudah beberapa hari tidak diberi makan, biar hidangan itu
kubawa pulang untuk makanan anjing."
Perhatian hadirin kembali ketarik kesana, tampak dibalik
gordyn yang tersingkap seorang Hwesio kurus berjubah butut
dengan kepala penuh borok tengah duduk ungkang-ungkang,
jari tangannya tergigit, dengan matanya yang jelilatan
mengawasi hidangan diatas nampan pelayan, air liurnya
sampai bertetesan. "Neneknya, hidangan yang dipesan si buyung memang
sedap. dahulu waktu bapak gundul ini sembunyi didapur
istana setengah bulan hidangan apa tak pernah kurasakan,
mana lebih sedap dari hidangan yang empat macam ini,
neneknya keparat, sungguh bapak gundul amat menyesal,
kenapa dulu harus meyakinkan Tong-ci-kang segala, kalau
tidak biar aku pelihara rambut menjadi preman, tanggung
dapat bini melahirkan seorang nikoh cilik." Lalu terdengar
mulutnya berkecek melalap hidangan yang diberikan pelayan
suara ocehannya tak terdengar lagi.
Sudah tentu Liok Kiam-ping tertawa geli batinnya. "cianpwe
ini memang Jenaka, tapi juga rusuh, sudah kuundang dia
makan bersama tidak mau, sekarang pakai alasan memelihara
anjing segala " Hahaha." Makin dipikir tak tertahan dia tertawa
bergelak. Melihat dia tertawa pengemis cilik ikut tertawa,
matanya tetap mengawasi lekat-lekat. Tiba-tiba orang-orang
diluar sama menjerit heran dan kaget, seorang berteriak:
"He, kemana Hwesio malas tadi" "Aah, baru saja masih
makan hidangan yang akan diberikan pada anjing liar."
Lekas Kiam-ping menyingkap gordyn, dilihatnya hadirin
sama melongok ketempat duduk si Hwesio, tapi kecuali
tumpukan guci arak dan empat piring, di sana tidak kelihatan
lagi bayangan si Hwesio, bayangan Hwesio malas itu ternyata
telah lenyap. Baru saja dia hendak berbangkit tiba-tiba terasa dibelakang
ada angin kesiur di susul bau apek yang menyesak hidung,
lekas Kiam-ping berpaling, tampak diatas jendela dipinggir
meja duduk bertengger Hwesio malas itu, dengan memicing
kedua matanya orang tengah tersenyum lebar kepadanya.
Lalu dengan mata berkedip Hwesio malas berkata kepada
pengemis cilik: "Setan cerdik, jangan main gara-gara, buyung
ingin aku tanya, apakah kau datang dari tempat yang hawa
panas itu " Agaknya pengemis cilik melengak. tapi dia pura-pura
bodoh, tanyanya: "Hwesio gede, pakaianku yang tipis penuh
tambalan lagi, di mana ada tempat panas, pengemis ini jadi
ingin kesana supaya tidak kedinginan."
Ternyata hwesio malas juga melengak. tapi tiba-tiba dia
manggut-manggut seperti memahami sesuatu, katanya: "o, ya
aku tahu, wah, bagus, legakan saja, tapi... " tiba-tiba dia
berhenti sambil melongok keluar lalu berdiri dan berkata lirih
dengan mata memicing: "Buyung, lain kali kalau ada hidangan
sedap jangan lupa panggil aku, kalau tidak. hehe, awas ya."
Dengan sikap misterius sengaja dia berkedip kepada Liok
Kiam-ping tiba-tiba angin berkesiur, bayangannya tahu-tahu
sudah lenyap. Menyaksikan gerak gerik orang begitu gesit dan tangkas
Liok Kiam-ping melongo sekian lamanya, akhirnya dia
pandang pengemis cilik penuh tanda tanya, karena dia tidak
habis mengerti apa yang dibicarakan tadi, tapi pengemis cilik
hanya tertawa manis saja.
Suara Ui bun Kong berkumandang pula dengan lantang:
"Sudahlah cianpwe itu adalah orang kosen yang tidak sudi
bercampur dengan kita orang-orang rendahan, kenapa di buat
heran. oh, ya sampai di mana ceritaku tadi ?"
"Sampai ceng-san-biau-khek melarikan diri dengan luka
parah," sambung seorang lain.
"Ya, betul betul, kalian tentu tidak menduga bukan. cengsan-
biau-khek ternyata adalah murid Ham-sin-leng-mo iblis
tua dari Ham-ping-kiong di laut utara itu." demikian tutur Ibun
Kong dengan bangga. "Ham-sin-leng-mo ?" seorang tiba-tiba menjerit kaget.
"Betul, bahwa muridnya terluka parah oleh murid Kiu-thiansin-
liong. sudah tentu Ham-sin-leng-mo mencak-mencak gusar, segera dia
keluarkan Ham-giok-ling, sesumbar hendak meluruk ke


Hong Lui Bun Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tionggoan menuntut balas kepada Pat-pi-kim-liong (naga
emas delapan lengan)."
"Ya, hal ini telah menggemparkan kaum Bulim di enam
propinsi utara. apakah Ham-sin-leng-mo sudah masuk
keperbatasan- Waktu aku datang dari Kang-lam, aku
mendengar berita ini, tapi apakah hal ini ada sangkut pautnya
dengan ayahmu?" tanya seorang hadirinTiraikasih
Website "Ah, kenapa Khong-ping-heng jadi gelisah. Persoalannya
memang di sini. Sebelum Ham-sin-leng-mo memasuki
Tionggoan, ayah sudah memperoleh kabar, katanya ceng-sanbiau-
khek mendapat perintah gurunya Ham sim-leng-mo akan
meluruk ke Te-sat-kok yang berada dibelakang gunung Butong
mencari harta pusaka yang terpendam di sana."
"Te-sat-kok " Apakah Te-sat-kok yang dijaga oleh Tokko cu
itu?" "Betul, menurut apa yang dikatakan pihak Bu-tong, Pat-pikim-
liong juga pernah masuk Te-sat-kok. entah kenapa, dia
bisa ke luar dengan hidup, Tentunya hadirin tahu bagaimana
aturan busuk nenek tua yang aneh itu. Tak nyana ada kalanya
larangannya terlanggar juga."
"Lalu siapa yang memperoleh harta pusaka dalam Te-satkok
itu Pat-pi-kim- liong atau ceng-san-biau-khek ?"
"Menurut berita yang tersiar di Kangouw dalam lembah itu
ada tersimpan tiga bilah pedang mestika dan buku
pelajarannya, kecuali harta pusaka yang tak ternilai digagang
pedang masing-masing dihiasi sebutir mutiara besar. Menurut
hasil penyelidikan ayah, tidak pernah dipergoki ada orang
keluar membawa harta pusaka, namun diperoleh suatu
kejadian yang aneh... " sampai di sini nada suara Ibun Kong
lebih berat dan tertekan, matanya menyapu seluruh hadirin,
lalu meneruskan, "Ditengah perjalanan waktu ayah menuju ke
ouw-pak. ternyata beliau menemukan Tokko cu yang belum
pernah meninggalkan Te-sat-kok. entah karena apa tiba-tiba
dia muncul disebuah penginapan di ow-pak."
"Hoo, apa benar ?" hadirin menjerit kaget dan heran.
Liok Kiam-ping mendengarkan juga berjingkat kaget, air
mukanya berobah, matanya terbelalak. sungguh dia hampir
tak kuasa mengendalikan gejolak perasaannya. karena sejauh
ini dia masih menguatirkan luka-luka atau keselamatan orang
baju hitam yang berwatak eksentrik itu.
"Porsoalan bukan hanya itu saja. Konon pihak Hong-lui-bun
di Thiam-lam juga mengutus orangnya ke Kanglam, tujuannya
mencari Pat-pi-kim- liong, karena Wi-liong-pit-sin milik Kiuthian-
sin-liong itu adalah milik pihak Hong-lui-bun."
"Hah... " hadirin kembali berseru kaget.
Wajah Liok Kiam-ping pucat pasi, keringat dingin menghiasi
jidatnya, kedua tangannya meraba-raba mainan kalung
didepan dadanya. Sudah tentu pengemis kecil yang duduk
didepannya makin melongo, karena kaget dan takjub,
Tanyanya: "Apa yang kaurogoh didada mu?"
Liok Kiam-ping tertawa getir, geleng-geleng tidak
menjawab, ternyata mendengar pihak Hong-lui bun mengutus
orang hendak mencari dirinya, tiba-tiba dia tertawa riang,
tangannya lantas mengelus mainan kalung atau Hiat- liongling,
lencana kebesaran yang dipegang ciangbunjin Hong-luibun.
Tak nyana tiba-tiba tawanya beku, jari-jari tangannya
gemetar, matanya terbeliak karena Hiat- liong- ling mainan
kalung yang tergantung didapan dadanya entah mengapa
mendadak lenyap. masih segar ingatannya, waktu dihotel tadi
dia masih keluarkan mainan kalung serta diperiksanya dengan
seksama. Tapi kenyataan sekarang Hiat- liong- ling telah
lenyap. karuan hatinya ciut, jantung berdebar-debar.
Dikala ia melenggong itulah tangga loteng kembali
bergetar, maka hadirin kembali menjadi ramai saling sapa:
"Ha, Biau-jiu-sip-coan, angin apa yang meniupmu kemari ?"
Tergerak hati Liok Kiam-ping, dari celah-celah gordyn dia
melongok keluar tampak diatas loteng bertambah seorang
laki-laki setengah umur, tulang pipi menonjol, muka kurus
dengan kepala diikat kain Busu matanya menyapu pandang
hadirin- ternyata dia tidak hiraukan tegoran orang banyak.
"Biau-jiu-sip-coan, Biau-jiu-sip-coan (Sip coan si tangan
jail)" Ah, ya, pasti dia." Melihat laki-laki bertulang pipi tinggi
ini bernama Biau-jiu- Sip coan, dia bukan lain adalah laki-laki
yang tadi menginjak kakinya dijalan raya tadi, begitu
mendengar nama Julukan Biau-jiu (tanganjail) lantas Kiamping
ingat siapa orang ini. seketika amarah membakar dada,
bergegas dia berdiri, tapi mendadak didengarnya suara
Hwesio malas menggerutu pula: "Maknya, anjing kurap. baru
sekarang kau kemari... hidangan lezat yang kusediakan
untukmu sudah kuganyang habis... maknya kurcaci, anjing
kurap. wah, sedaaap."
Mendengar suara ini Biau-jiu Sip coan kontan berubah
pucat, seperti melihat setan dia gemetar ketakutan, dengan
langkah lebar dia memburu kearah datangnya suara. Begitu
menyingkap gordyn melihat Hwesio malas duduk ungkangungkang
sambil menggeros lekas dia tekuk lutut terus
menyembah, serunya: "Hamba punya mata tidak tahu
tingginya gunung, berbuat salah terhadap Sian-su, mohon
Sian-su memberi ampun, ampun.' Lalu dia menyembah pula
berulang-ulang sampai jidatnya membentur lantai.
Sudah tentu hadirin sama kaget dan berjingkrak berdiri,
betapapun mereka tidak percaya bahwa Sip coan si tangan jail
ternyata terlutut dan menyembah minta ampun kepada
Hwesio kurus Celutak yang suka gegares ini.
Ditengah tatapan heran orang banyak tiba-tiba Hwesio
dekil itu mernbalik tubuh sambil menggeliat, mulutnya
mengigau: 'Neneknya anjing, sia-sia kau punya mata anjing,
melihat orang juga tidak kenal orang sendiri.'
Karuan Biau-jiu Sip coan melenggong lekas dia berpaling,
dilihatnya tak jauh dibelakangnya seorang pemuda jubah
putih, perawakan kekar gagah, dengan tatapan tajam orang
tengah mengawasi dengan sorot marah sekilas dia tertegun,
burn-buru dia merangkak maju serta menubruk kedepan kaki
orang kini dia berlutut didepan Liok Kiam-ping wajahnya pucat
berobah merah, hitam lalu pucat lagi, sesaat lamanya
mulutnya megap-megap tak mampu bicara, setelah tenangkan
diri baru dia bersuara gemetar: 'Siang Bu-thian alias Sip coan
murid Hong-lui-bun generasi kedelapan menyampaikan
sembah hormat kepada ciangbun, mohon ampun akan
kekurang ajaran tadi, mohon ampun."
Begitu merasakan Hiat- liong- ling yang selalu tergantung
didadanya lenyap dicuri orang, Liok Kiam-ping sudah gusar
bukan main, kini melihat laki-laki setengah umur bermata
elang yang menginjak kakinya dijalan raya tadi muncul, dia
lantas tahu bahwa barang miliknya pasti dicuri orang ini, tak
nyana tahu-tahu orang berlutut didepannya minta ampun dan
mengaku murid Hong-lui-bun pula, karuan Kiam-ping berdiri
melenggong rasa gusar lenyap seketika, akhirnya dia
mengulap tangan dan berkata: "Baiklah, kau boleh berdiri, aku
tidak mengusut kesalahanmu."
Mendengar kesalahannya tidak diusut dan diampuni dosadosanya,
bukan kepalang senang hati Biau-jiu-sip-coan, lekas
dia melompat berdiri, merogoh kantong mengeluarkan suatu
benda, dengan kedua tangan dia haturkan benda itu kepada
Kiam-ping, serunya: "Inilah .. inilah medali emas milikmu
ciangbun." Kiam-ping menerima benda itu, memang betul adalah Hiatliong-
ling miliknya, sedikit manggut terus disimpan dalam
bajunya. "Hah, Hong-lui ciangbun." tiba-tiba seseorang berteriak.
hadirinpun ikut gempar. Derap langkah kembali berdentam ditangga loteng, lekas
sekali muncul seorang laki-laki tua setengah berlari, mukanya
merah berjubah kuning dengan ikat pinggang merah. "He,
Sang-jiu-king-thian (tangan tunggal menyanggah langit) Tanloyacu."
seorang laki-laki berpakaian kembang lantas
mengenali laki-laki tua yang baru datang,
"Hahaha, selamat bertemu, selamat bertemu. Tak nyana
begini banyak orang berkumpul di sini. Tolong tanya kepada
hadirin apakah kalian pernah melihat pengemis cilik
berpakaian compang camping ?" setelah bergelak tawa lakilaki
tua jubah kuning menjura kepada hadirin.
Pengemis cilik. Hal ini lantas berkelebat dalam benak Kiamping.
"Tan-losiok-siok. Apa kau orang tua mencari aku?" Entah
kapan pengemis cilik berdiri dibelakang Kiam-ping dan
bersuara sambil tersenyum kepada laki-laki tua jubah kuning.
Tahu-tahu laki-laki tua jubah kuning berkelebat, serunya
dengan tawa riang: "Haha, betapa susah aku mencari kau.
Anak sayang. keponakan perempuan sayang..."
"Paman-marilah pergi." Lekas tukas pengemis cilik.
"Aduh. Sayang mau kemana kau. Hai." Teriak laki-laki
jubah kuning sambil memburu kearah jendela terus melompat
turun mengejar pengemis cilik.
"Pin-heng, kemana kau. Hai tunggu." Melihat pengemis cilik
tiba-tiba menerobos jendela tinggal pergi, buru-buru Kiamping
berteriak memanggil, lekas diapun menyeplos keluar
lewat jendela. Seorang laki-laki bengis mencoba menghadang, namun
Kiam-ping hanya menggetarkan sedikit tangan kanannya
kedepan, serangkum angin kuat menerpa laki-laki bengis itu.
Karuan pecah nyalinya, buru-buru dia menunduk sambil
mengayun balik tangan menyerang dengan cambuk. tapi
mulutnya seketika menjerit ngeri, tubuhnya tersungkur
kedepan dengan batok kepala pecah, darah muncrat
menyiram jalan raya, tubuhnya rebah didepan kudanya
sendiri. Liok Kiam-ping menyeringai dingin, setelah mengebas
lengan baju dia siap beranjak pergi.. Sementara itu manusia
berjubel dipinggir jalan, tiba-tiba banyak orang menjerit kaget
sambil memandang kuatir kearah dirinya, sekilas Kiam-ping
melenggong, di dengarnya kuda dilarikan kencang mendatangi
dari jalan raya didepan sana. cepat sekali muncul beberapa
orang menunggang kuda. Kiam-ping mendengus hidung dan
berdiri tegah menanti. Segera rombongan berkuda itu sudah dekat,
penunggangnya berseragam coklat berlompatan turun, satu
diantaranya yang berjenggot pendek agaknya pemimpin
mereka, maju beberapa langkah dia menjura serta menegor
Liok Kiam-ping: "Siapa tuan ini " Kenapa kau membunuh
anggota Pang kita?" Tampak oleh Liok Kiam-ping tampang orang-orang itu
bengis dan garang, selembar daon bambu tampak terselip
diatas ikat kepala laki- laki jenggot pendek sebagai tanda
pimpinan rombongan, dengan menyeringai dingin Kiam-ping
balas bertanya: "Tuan sendiri siapa " Kenapa anak buahmu
diumbar melukai orang seenak udelnya sendiri ?"
Pertanyaannya meniru nada ucapan orang namun suaranya
lebih dingin dan ketus. Agaknya laki-laki itu tidak menyangka
bakal balas ditanya serupa itu, sesaat dia berdiri bingung.
sekilas dia menoleh mengawasi teman-temannya lalu
memandang kedua teman yang menggeletak binasa ditengah
jalan- Agaknya tahu diri bahwa pihak sendiri yang salah, maka
dengan mengerut alis dia menjura pula kepada Liok Kiamping,
katanya "cayhe Pek-pou-yu-hun (sukma gentayangan seratus
langkah) ong Lui, anak buah Seng-lotangkeh dari ceng-tiokpang
yang berkuasa didaerah San-say, atas perintah kami
menunaikan suatu tugas di selatan, bahwa anak buahku
kesalahan tangan melukai orang, pasti akan dihukum sesuai
undang-undang perserikatan kami, tapi tuan sendiri turun
tangan membunuh mereka, untuk ini sudilah tuan memberi
keadilan-" ---ooo0dw0ooo--- Tegak alis Liok Kiam-ping, dengusnya:
"Jangan tuan anggap remeh perbuatan anak buahmu,
sewenang-wenang membunuh orang dosanya pantas dihukum
mati, tidak mendengar nasehat lagi, turun tangan hendak
membunuhku pula. Bahwa kematiannya itu cukup setimpal"
Pek-pou-yu-hun ong Lui naik pitam, alis tebalnya berkerut,
katanya sambil mengacung cemeti ditangan: "Bagus, tuan
juga bertindak seenak udelmu sendiri, biarlah aku yang
rendah menyaksikan sampai dimana kepandaianmu, bicara
begitu takabur." Tiba-tiba tangannya meuyendal cemeti panjang
Pendekar Pemetik Harpa 11 Istana Kumala Putih Karya O P A Pendekar Muka Buruk 14
^