Iblis Sungai Telaga 13
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung Bagian 13
penyerang gelap itu, bahwa sejak itu Nona Tan belum
kembali. "Ha, binatang itu berubah !" teriak In Gwa Sian yang
bergusar dengan secara mendadak matanya mendelik, alisnya
terbangun. "Sabar In Locianpwe," Kee Eng meminta. "Dengan
kepalaku ini aku yang muda berani menjamin anak Hiong tak
nanti melakukan sesuatu yang dapat membuat malu gurunya !
Yang harus dipikirkan justru keselamatan dirinya karena ia
berada di gunung Ay Lao San sendiri saja...."
Pek Cut Taysu mengernyitkan alisnya.
"Dalam hal itu cuma keselamatannya Tio Tanwat yagn
harus dipikirkan." katanya. "Dalam hal itu mesti ada
terasangkut sepak terjang orang jahat yang bekerja
mengalihkan bencana buat mencelakai orang !"
Pendeta itu lantas menuturkan halnya itu malam ada orang
yang menyamar sebagai Tio It Hiong sudah datang
mendatangi kamar suci di gunung belakang Siauw Lim Sie dan
memperdaya Pek Giok Peng. Karenanya ia mau menyangka
benar It Hiong sebenarnya lagi menghadapi bahaya, mungkin
dia terkurung di Ay Lao San atau ditangah jalan telah
dirintangi orang jahat. Mendengar semua itu, In Gwa Sian tidak lagi bergusar.
Terpaksa, ia menjadi berduka. Sambil menyentil-nyentil meja,
ia memperdengarkan suara bagaikan ngelamun.
Pek Cut berduka sekali, tetapi di depannya In Gwa Sian ia
mencoba berlaku tenang. "Bagaimana kalau lolap mencoba meramalkan keadaannya
Tio Tanwat ?" ia tanya kemudian.
In Gwa Sian menjadi seorang luar biasa, ia tak percaya
ilmu tenung, maka dia kata dalam hatinya : "Orang hidup atau
mati sudah takdir. Mana aku percaya segala nujummu " Mana
orang ketahui apa yang terjadi di tempat jauh ratusan lie "
Dasar si pendeta tua banyak tingkahnya."
Walaupun dia memikir demikian Pat Pie Sin Kit toh tak
menolak kata-katanya sang pendeta.
"Kau, kau cobalah !" katanya tawar. "Kau membuat capek
dirimu saja, pendeta tua !"
Pek Cut lantas duduk bersila sambil memejamkan mata,
mulutnya komat kamit, entah apa yang ia ucapkan. Habis
membaca jampi tangan kirinya dimasuki ke dalan tangan baju
yang kanan, terus ia berdiam bagaikan orang bersemedi.
Lewat sesaat mendadak ia membuka matanya yang bersinar
terang terus ia memperlihatkan wajah girang terus ia berkata
nyaring kepada In Gwa Sian: "In Sicu, jangan kuatir ! Barusan
ramalanku adalah ramalan yang baik sekali ! Memang Tio
Tanwat menghadapi ancaman bencana tetapi dia selamat,
bahkan dari dalam ancaman bahaya dia memperoleh
kebaikan. Dia justru harus diberi selamat !"
In Gwa Sian bersangsi, separuh percaya separuh tidak.
Kemudian ia menghela nafas. "Syukur kalau seperti katamu
itu, pendeta tua ! Buatku tidak ada lain keinginanku agar anak
itu tak kurang suatu apa !"
Ayah angkat ini menyayangi anak itu. Dalam keadaan
berduka itu, ia tetap memanggil Pek Cut si pendeta tua,
sedangkan pendeta itu selalu menghormatinya dengan
memanggil ia In Sicu. Sicu itu berarti pengamal, penderma.
Liauw In sementara itu mendukakan muridnya, yang ia
lihat keadaan parah sekali. Bagaimana racun ular itu dapat
disingkirkan, supaya murid ini bisa sembuh hingga
kesehatannya pulih seluruhnya. Ia adalah seorang pendeta
tetapi saking berdukanya, air matanya menetes beberapa
butir. Tetapi mendengar kata-katanya Pek Cut, sang suheng,
kakak seperguruan, ia lantas tanya kakak seperguruan itu,
"Suheng, dapatkah ramalanmu itu terbukti ?"
"Ya, benarkah ramalanmu itu tepat ?" In Gwa Sian turut
bertanya. Pek Cut tertawa. "Kalau aku gagal, akan aku bertapa lagi sepuluh tahun !"
In Gwa Sian tertawa. "Aku cuma bergurau !" katanya.
Pek Cut mengawasi Kee Eng, lalu ia tanya Liauw In,
bagaimana dia lihat sakitnya murid itu.
"Barusan aku memeriksa dia" sahut Liauw In. "Muridku
terkena racun jahat, pada ketiga jalan darahnya yang paling
berbahaya...." Pendeta ini, sang sute, adik seperguruan, bicara pada
kakak seperguruannya itu sambil menjura. Ia tampak sangat
suaram. ?"Ha !" mendadak In Gwa Sian berseru. "Eh, pendeta tua,
apakah lupa bahwa didalam kuilmu ini ada ahli pengobatan
racun ular " Nah, lekas kau undang si tua bangka she Ngay
datang kemari buat dia mengobati keponakan muridmu ini !
Apakah yang harus ditunggu lagi ?"
Kata-kata ini menyadarkan Liauw In dan kakaknya, lantas
saja ia berlompat untuk terus lari keluar. Untung bagus buat
Kee Eng, segera setelah ia dirawat Ngay Eng Eng, racunnya
telah bisa diusir, cuma buat ia sehat kembali seperti biasa,
harus beristirahat selama satu tahun. Biar bagaimana,
keadaan seumumnya toh membuat hati orang lega.
Pada malam tanggal lima belas bulan delapan, rembulan
indah luar biasa. Diwaktu begitu di rumah-rumah orang
sedang asyik merayakan pesta Tiong Cia pertengahan musim
gugur, berkumpul diantara sanak keluarga, saling memberi
selamat. Tapi di gunung Tay San, orang bergerak-gerak
didalam rombongan besar, sebagaimana besar juga jumlahnya
mereka masing-masing. Diatas puncak, segala apa tampak
mirip siang hari, sedangkan sang angin bertiup bersiur-siur.
Pohon-pohon cemara memain diantara sang angin, dahandahannya
bergerak bagaikan bayangan bergerak, bagaikan
bersaing dengan golok dan pedang ditangannya dua
rombongan orang itu. Itulah kawanan jago-jago kaum lurus dan sesat yang telah
datang menghadiri pertemuan besar rimba persilatan guna
merebut pengaruh. Di pihak lurus sadar guna menegakkan
keadilan buat kesejahateraan khalayak ramai. Di pihak sesat
buat menjagoi guna nanti memperluas pengaruh. Mereka
berkumpul di puncak datar dari Koan Kit Hoang, puncak
Melihat Matahari. Diluar dari kedua rombongan besar itu adalagi satu
rombongan lain, hanya jumlahnya sangat kecil karena mereka
cuma berdua, satu pria dan satu wanita. Yang satu tua, yang
lainnya muda. Yang pria berdandan sebagai Agama To, To
Kauw, jenggotnya panjang, punggungnya tergendolkan
pedang. Yang wanita berdandan ringkas, pada punggungnya
tergemblokan sanho pang. Sebab mereka itulah It Yap Tojin
ahli pedang dari Heng San Pay dan Tan Hong, si cantik dari
Hek Keng To, pulau ikan Lodan Hitam.
It Yap Tojin termasuk orang separuh sesat, separuh sadar,
kali ini dia mengambil sikap sebagai kampret, jadi ada
ketegasan terakhir. Tan Hong kaum sesat tetapi ia mencintai
Tio It Hiong, ya dia menggilainya maka dia telah mengambil
ketetapan buat berubah cara hidupnya, buat meninggal-kan
kesesatan, guna hidup lurus selanjutnya. Dia datang untuk
menjenguk Tio It Hiong dengan siapa dia belum pernah
bertemu pula sejak perpisahan mereka di Ay Lao San. Dia
bahkan tak tahu si anak muda berada dimana dan bagaimana
keadaannya. Di pihak sadar, rombongan dipimpin oleh Pek Cut Taysu,
ketua Siauw Lim Pay, ia muncul dari rombongan dengan diapit
oleh Ang Sian dan Liauw In, kedua adik seperguruannya.
Dengan jubah suCinya dia nampak tenang dan agung. Dengan
mengangkat tangannya, ia memberi hormat pada pihak lawan,
lalu berkata dengan suara dalam. "Para sahabat rimba
persilatan, selamat datang. Pin lap mohon sudi apalah
pemimpin para sahabat suka keluar dari rombongan kalian
untuk kita berbicara !"
Kata-kata "pin-lap" itu seperti "pin-jeng" adalah "aku" buat
kaum pendeta Hed Kauw Agama Buddha.
Di dalam rombongan pihak sesat itu lantas terdengar suara
"Hm !" yang dingin menyusul itu muncullah orang yang
menyuarakannya. Kiranya dialah Thian Cie Lojin. Dia diiringi
muridnya yaitu Tong Hiang, serta Cit Mo Siauw Wan Goat,
bajingan nomor tujuh, si bungsu dari To Liong To, pulau Naga
Melengkung. Si orang tua, yang dandanannya pria bukan wanita bukan,
sudah lantas membuka suaranya : "Eh, pendeta tua, apakah
kau masih belum naik ke nirwana " Nah, ada pesan terakhir
apakah dari kau " Silahkan mengatakannya, tak ada
halangannya." Ucapan itu kontan membangkitkan amarah sejumlah orang
kaum lurus itu. Orang tua mirip orang banci itu terlalu kasar,
dia menghina sangat. Pek Cut Taysu sebaliknya melawan kekasaran dengan
senyuman. "Tak usah kita mengadu mulut" katanya tertawa.
"Buat menjadi jago untuk merebut pengaruh orang masih
harus mempertunjuki kepandaiannya yang berarti ! Nah,
losiancu tolong kau utarakan pendapatmu mengenai
pertemuan besar kita ini. Silahkan !"
Thian Cie Lojin tertawa terkekeh.
"Aku ?" tanyanya jumawa. "Buat aku berkelahi satu sama
satu atau main keroyokan sama saja! Aku bersedia
menyambut kamu dengan cara apapun ! Cuma kalau
bertempur tanpa syarat itulah tidak menarik. Bagaimana kalau
membataskan umpama sampai sepuluh kali " Di dalam
sepuluh itu tiga untuk bu pie dan tujuh bun pie ! Aku percaya
dengan begini seandianya pihakmu yang kalah, kamu akan
kalah dengan menutup mulut kamu, kalah dengan puas !"
"Amida Buddha !" berseru Pek Cut.
"Baiklah, aku menerima baik saranmu ini." sahutnya.
"Sebutkanlah bagaimana caranya yang pertama. Lebih dahulu
bn pie atau bun pie ?"
"Lebih dahulu bu pie tiga kali !" sahutnya. "Dengan itu kita
akan uji kepandaianmu yang sesungguh-sungguhnya. Habis
itu barulah bun pie. Nanti, sehabisnya pertandingan yang
keenam, maka kamu dapat memikir-mikir ! Andiakata kamu
sudah tidak punya tenaga lagi, empat pertandingan yang
selanjutnya boleh disudahi dengan begitu saja."
Mendengar suara orang itu, Pat Pie Sin Kit gusar bukan
main. Ia lantas saja berlompat maju.
"Siluman bangkotan !" bentaknya. "Kau keluarkan ilmu Sam
Im Ciang mu, kau pakai itu menyambut Hang Liong Hok Houw
ku untuk mencoba-coba !"
Setelah berkata tadi Thian Cio sudah lantas memutar
tubuhnya buat kembali kedalam rombongannya, waktu ia
mendengar bentakan itu lantas ia menoleh.
"Eh, pengemis tua, sang waktu masih banyak sekali !"
berkata dia, tawar. "Jangan kau tergesa-gesa !"
Pek Cut Taysu menarik ujung baju kawannya itu.
"Jangan layani dia bicara" katanya sambil ia terus mengajak
keuda adik seperguruannya mundur.
In Gwa Sian menurut. Sejenak itu, sunyilah medan laga itu. Sang putri malam
terus bersinar indah. Dari pihak sesat lantas tampak majunya
satu tubuh kecil dan langsing yang cara berlompatnya lincah
sekali. Selekasnya ia tiba ditengah lapangan lantas ia berkata
dengan suaranya yang nyaring halus, "Aku yang muda adalah
Teng Hiang, aku ingin belajar kenal dengan kepandaian
istimewa dari orang-orang yang berilmu."
Melihat gayanya itu, hatinya Giok Peng panas.
"Nanti aku yang keluarkan mengajar adat pada anak itu !"
katanya pada Kiauw In sengit.
Nona Cio mencekal lengan orang. "Sabar" katanya. "Kita
dengar dahulu suaranya Pek Cut Taysu."
Justru itu sang pendeta mengawasi pihaknya sambil
menanya siapa yang bersedia maju melayani nona itu. Cukat
Tan dari Ngo Bie Pay muncul sebelum sang pendeta menutup
matanya. Ia memberi hormat pada ketua itu terus ia lompat
ke tengah lapangan menghampiri si nona penantang.
Murid Ngo Bie Pay ini baru berusia dua puluh lebih, tampan
dan gagah orangnya. Dia mengenakan baju biru yang singkat
dan sepatunya sepatu ringan. Dengan pedang di
punggungnya, dia tampak menarik hati.
Hatinya Teng Hiang menggetar ketika melihat pemuda itu,
kontan ia tertarik hati, lantas matanya memain, tetapi
kemudian ia tertawa dan berkata dengan bentakannya : "Jika
kau bernyali besar, berani menyambut pedang nonamu, maka
haruslah kau memberitahukan dahulu namamu !"
Alisnya si anak muda berbangkit.
"Aku Cukat Tan dari Ngo Bie Pay !" sahutnya nyaring. "Kau
catatlah !" Berkata begitu si pemuda menghunus pedang terus
menikam sambil ia memberi peringatan. "Awas ! Lihat
pedangku !" Teng Hiang bergerak mundur satu tindak. Ia tidak segera
menghunus pedangnya. Sebaliknya ia tertawa manis dan kata
merdu. "Kau berhati-hatilah menyambutku !" Baru sekarang
dengan cepat ia mencabut pedangnya dan menusuk.
Barusan itu Cukat Tan menyerang untuk menggertak saja.
Setelah pedangnya diluncurkan separuh, ia menarik pulang
kembali. Justru itu tibalah pedang si nona, maka terpaksa ia
menangkis tusukan itu. Karena itu beradulah pedang mereka
berdua, suaranya nyaring, percikan apinya muncrat, hingga
keduanya saling mencelat mundur menyingkir dari percikan
itu. Cukat Tan merasai besarnya tenaga lawan, ia menjadi
waspada. Ketika ia menyerang pula, ia menggunakan "Soat
Hoa Kiam hoat" ilmu silat "Bunga Salju", ilmu itu gerakannya
ialah : satu beruntun menjadi tiga.
Teng Hiang melayani dengan seksama. Ia hendak
membuat anak muda itu mengagumi ilmu silatnya, maka ia
berlaku keras. Segera ia menyerang dengan jurus Melintang
Mengusap, yang terus diubah menjadi "Badai Menggulung
Salju". Di dalam hati Cukat Tan terkejut. Ia tidak menyangka
seorang nona mempunyai tenaga demikian besar. Tanpa ayal
lagi, ia melayani dengan ilmu pedang "Bunga hujan
berhamburan". Dengan demikian kedua pedang jadi bergerak
sama cepatnya, cuma cahayanya yang tampak, pedangnya
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak ! Para penonton kedua belah pihak kagum menyaksikan
pertempuran seru itu, semua menonton dengan berdiam,
tanpa suara, mata mereka mengawasi tajam.
Tengah kedua pihak bertempur hebat itu, mendadak tubuh
Teng Hiang mencelat tinggi. Pedangnya diarahkan ke kepala
lawan. Ia bermaksud supaya lawan menangkis serangan itu,
hingga tubuh orang lowong dan ingin mendepaknya, itulah
jurus silat "Burung Belibis Turun Di Pasir Dasar"
Cukat Tan menangkis dengan jurus silat "Menggoyanggoyang
langit Memisahkan Mega" tak sempat ia mundur,
maka buat melindungi dadanya, ia mengulur kakinya
menyambuti kaki lawan. Teng Hiang melihat ancaman bahaya, ia menangkis tangan
orang dengan tangan kirinya. Tiba-tiba ia terkejut. Tangannya
si anak muda keras sekali dan ia merasa lengannya nyeri dan
kaku. Tetapi yang hebat ialah ujung sepatunya telah
terasambar lawan, hingga guna membebaskan diri, mesti ia
tebas tangannya orang. Ia melakukan itu dengan cepat sekali.
Cukat Tan melepaskan cekalannya. Ia lihat pedang
berkelebat hendak menebas tangannya itu. Justru itu, dengan
kecepatan luar biasa, si nona mengulurkan tangannya ke
kepala orang ! Kaget sekali pemuda itu, ia mencoba mengelik
kepalanya, ia toh sedikit ayal, kopiahnya telah kena
terasambar ! Selagi si pemuda lompat mundur, s pemudi turut berlompat
mundur. Keduanya saling mengawasi dengan berdiri bengong.
Ternyata kepandaian mereka seimbang.
Hanya sejenak, maka gegerlah orang-orang di kedua belah
pihak. Mendadak mukanya Cukat Tan menjadi merah. Ia tahu
apa artinya tawa itu. Orang mentertawakannya sebab ia masih
memegangi sepatunya si nona. Sedangkan Teng Hiang
melongo disebabkan sepatunya itu copot kena dirampas lawan
! "Nah, ini aku kembalikan sepatumu !" katanya kemudia.
Dan ia melemparkan sepatu ditangannya itu.
Teng Hiang menyambuti, matanya mendelik kepada si anak
muda. Rupanya ia mendongkol. Setelah itu ia pun
melemparkan kopiah orang yang ia telah kena cabut dari
kepala orang dan merampasnya.
"Ini, sambutlah !" ia berseru.
Hebat jalannya pertempuran dan jenaka juga tetapi
kesudahannya seri. Setelah itu sama-sama mereka
mengundurkan diri kedalam rombongannya masing-masing.
Dari dalam kalangan sesat segera muncul dua orang lain.
Kiranya dialah Yan Tio Siang Cian si sepasang ganas dari
tanah Yan Tio dua saudara yang masing-masing bernama dan
bergelaran Toa Cian Leng Gan, si Telengas Besar dan Siauw
Cian Leng Ciauw, si Telengas Kecil. Untuk wilayah utara
merekalah dua orang kejam kaum Hek To, Jalan Hitam.
Selamanya kalau mereka mencuri mereka berdua saja dan
biasanya pula mereka tak meninggalkan korban hidup, mesti
korban mati. Dan kalau mereka berselisih, mereka mesti
menuntut balsa dengan membinasakan semua musuhnya
Yang paling mereka senangi ialah menganiaya, membuat
orang tersiksa. Itulah kekejaman yang membuat mereka
memperoleh julukan "Cian" ialah kejam atau telengas dan
"Siang" sepasang.
Dua bersaudara itu bertubuh kate dan gumu mukanya,
berdaging tak rata, matanya bersinar bengis. Senjata mereka
yaitu golok bengkok melengkung yang istimewa, yang umum
menyebutnya "Bima To" atau golok Birma. Ilmu golok mereka
juga istimewa sebab selamanya mereka berkelahi berdua
bersama, goloknya dicekal ditangan kiri dan kanannya masingKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/
masing seperti kita menggunakan golong sepasang. Siauw
Cian yang memegang golok dengan tangan kiri dan Toa Cian
dengan tangan kanan. Setibanya di tengah lapangan keduanya mengulapkan
golok mereka, untuk pun berkata dengan berbareng. "Tadi
orang melawan satu dengan satu tetapi kami berdua saudara,
kami menghendaki dua lawan dua. Tangan kami sudah gatal
sekarang. Kami mau mencari orang yang darahnya dapat
dipakai mencuci golok kami ini ! Nah, siapakah yang bernyali
besar hendak mencoba-coba golok kami ?"
Tantangan itu dikeluarkan dengan suara yang dikurung
pengerahan tenaga dalam, maka juga terdengarnya nyaring
bagaikan genta membuat telinga bagaikan berbunyi pengang.
Kedua rahib dari Bu Tong Pay, Leng Hian dan Seng Hian
hendak menyambuti tantangan itu tetapi sebelumnya sampai
mereka keluar dari dalam rombongan, dua sosok tubuh orang
lainnya sudah mendahului, mereka berlompat mirip bayangan,
hanya dua orang itu lompat ke depannya Pek Cut Taysu atau
memberi hormat sambil berkata : "Lo Siansu, dapatkah kami
berdua kakak beradik yang menyambut tantangan pihak sana
itu ?" Itulah Cio Kiauw In dan Pek Giok Peng.
Pek Cut Taysu menoleh kepada In Gwa Sian baru ia
memberikan jawabannya sambil ia mengangguk. "Baiklah
tanwat berdua, asal kalian berhati-hati !"
Kedua nona lantas berlompat maju, tangan mereka
masing-masing pada gagang pedang mereka. Dengan
menuruti kebiasaan kaum Bu Lim rimba persilatan lebih
dahulu mereka menyapa dengan hormat kepada kedua lawan
itu. Toa Cian Len Gan tertawa bergelak.
"Bagaimana nyaring namanya kelima partai besar rimba
persilatan di tionggoan." demikian ejeknya, " siapa sangka ini
yang muncul hanya dua orang nona cilik ! Justru kami berdua
saudara tak mempunyai rasa kasihan terhadap nona-nona
manis. Nona-nona baiklah kamu pulang saja, akan mencicipi
penghidupan berbahagia di rumah kamu ! Janganlah kamu
hanya membuat malu saja disini."
Hatinya Giok Peng panas sekali mendengar hinaan itu.
Kiauw In yang sabar pun tidak puas. Lantas keduanya tanpa
membuka suara lagi menghunus pedang mereka, untuk
menyerang dari jurus Kie Bun pat Kwa Kiam hoat. Yan Tio
Sian Cian tetap memandang sebelah mata kepada kedua nona
itu, mereka juga sangat mengandalkan golok mereka yang
tajam seperti golok mestika. Mereka lantas menangkis dengan
maksud membacok kutung pedang lawan. Tapi mereka
terkejut. Mereka menangkis angin, sebab nona dengan cepat
sekali sudah menarik pulang ke arah pundak lawan.Terpaksa,
kedua saudara itu berkelit mundur dan tindak ! Baru sekarang
mereka sadar bahwa nona-nona itu tidak dapat dipandang
ringan. Jilid 28 Cio Kiauw In berdua mendesak. Itulah saatnya buat dapat
menang diatas angin. Mereka pun sebal terhadap kedua lawan
itu, ingin mereka lekas-lekas merobohkannya. Leng Gan dan
Leng Ciauw kalah ketika, terpaksa mereka membiarkan diri
mereka terdesak hingga mereka repot menangkis, tak
hentinya mereka berlompatan akan menjauhkan diri ke kiri
atau kanan dia, ke segala arah. Mereka menjadi sangat kaget
dan gusar sekali. Mereka penasaran sekali. Tapi gusar dan
penasaran tinggal gusar dan penasaran, mereka tetap tidak
dapat segera membebaskan diri dari desakan. Beruntung bagi
mereka, mereka masih tetap bisa bertahan.
Semua penonton kagum. Di pihak lurus, orang berbareng
girang melihat pihaknya menang angin. Di pihak sesat, selagi
mengagumi pertempuran mereka menguatirkan kawannya
nanti kena dikalahkan. Dengan berlangsung terus
pertempuran, kedua saudara Leng seperti sudah dikurung
sinar pedangnya kedua pedang nona-nona lawannya itu. Itu
berarti malapetaka tengah mengancam.......
Tan Tio Ciam pun penasaran sebab sampai sebegitu jauh
tak dapat mereka membentur pedang lawan sedang niat
mereka ialah membuat kedua pedang itu terkutungkan. Kiauw
In dan Giok Peng tahu golok lawan tajam luar biasa, mereka
berlaku cepat sekali. Tak mau mereka membiarkan senjata
mereka beradu dengan bagian tajam dari golok. Pek Cut
Taysu dan In Gwa Sian menonton dengan perhatian, si
pendeta melirik si pengemis, lantas dia bersenyum. Mereka
puas sebab nona-nona itu telah mempertunjuki
kepandaiannya yang mengagumkan.
Cukat Tan dilain pihak menjadi sangat kagum, dia seperti
lupa pada diri sendiri. Pikirnya : "Ilmu pedang Bunga Salju
guruku lihai sekali, tetapi dibanding dengan ilmunya nonanona
itu, kepandaianku masih kalah setingkat......."
Tengah jago muda dari Ngo Bie Pay itu bagaikan
ngelamun, tiba-tiba dia mendengar jeritan hebat. Segera dia
menoleh ke arah lapangan dimana sudah terjadi satu
perubahan. Yan Tio Siang Cian repot bukan main. Mereka
cuma bisa membela diri. Leng Tiauw penasaran dan bingung.
Sudah tujuh delapan puluh jurus pihaknya tetap berada
dibawah angin. Itulah tidak menguntungkan, bahkan
berbahaya. Saking bingung, dia menjadi tak dapat menguasai
lagi dirinya. Diam-diam merogoh keluar senjata rahasianya
yang istimewa "Hong Go Tok Piauw", yaitu piauw tawon
beracun, yang beracun. Selekasnya dia mendapat
kesempatan, dia lantas menimpuk Giok Peng. Itulah
bokongan, perbuatan curang.
Pedangnya Nona Peng berputar terus, piauw itu kena
terasampok hingga terpental balik. Sialnya senjata rahasia itu
makan tuan, ialah menancap di pergelangannya sendiri,
nancap dalam setengah dim. Dia menjerit, membuat Leng
Gan, kakaknya kaget sekali. Sebabkan ketahui, piauw beracun
itu piauw maut, akan meminta jiwa setelah racunnya mengalir
sampai kerongkongan. Di dalam satu jam racun akan meresap
ke seluruh anggota tubuh terutama bagian perut. Ini artinya
tak ada pertolongan pula. Maka juga kakak ini menggertak
gigi, dengan telengas dia membabat kutung lengan adiknya
itu, guna mencegah menjalarnya racun.
Kalau tadi Leng Ciauw menjerit tertahan, sekarang dia
berteriak sekerasnya saking nyerinya tubuhnya terhuyung
beberapa tindak. Dia mesti memegang kehormatan dirinya.
Semampunya dia bertahan. Dengan begitu tak sampai dia
roboh. Cuma jeritannya itu yang membuat orang mendengar
dan mengetahui hal jeritannya itu.
Kiauw In melihat kejadian itu. Segera nona itu berlompat
mundur. Dia menghormati aturan kaum Kang Ouw, tak mau
dia menggunakan kesempatan itu membinasakan musuh.
Malah melihat Giok Peng masih menyerang Leng Gan, dia
menyerukan akan si adik menunda perkelahiannya itu.
Nona Pek mendengar kata, dia menahan serangan
pedangnya, tetapi disaat dia mau mengundurkan diri, tiba-tiba
beberapa cahaya menyambar ke arahnya ! Itulah
bokongannya Toa Cian Leng Gan yang bersakit hati karena
adiknya dilukai, bukannya dia menyerang Kiauw In, dia justru
membokong Giok Peng yang lengah, tak siap sedia itu.
Dengan tangan kirinya dia menimpukkan piauw-nya yang
beracun itu. Ketika itu si nona tengah membalik belakang.
Sedangnya piauw maut itu mau merampas jiwa orang, satu
sinar pedang berkelebat menyampoknya jatuh ke tanah
berumput. Itulah perbuatannya Kiauw In yang membantu
adiknya. Hal itu membuat gusar nona yang sabar itu yang
terus mencelat ke depan Toa Cian, bahkan terus saja ia
menyerang dengan satu luncuran pedang dengan ilmu
"Burung Air Mematuk Ikan."
Toa Cian kaget sekali. Ia mau menyerang lawan, siapa tahu
ia pun diserang. Repot ia mengelakkan diri. Ketika ia
menggerakkan lengan kirinya, tepat lengan itu terbabat
pedangnya si nona. Maka ia pun menjerit seperti adiknya itu,
lengan kirinya itu putus dan jatuh ke tanah !
"Jika kalian tidak puas, mari maju pula !" Kiauw In kata
sambil ia menuding dua saudara Leng itu, si Sepasang Ganas.
Leng Gan menotok tubuhnya sendiri, guna menghentikan
darah yang mengucur keluar dari lengannya itu, dengan sinar
mata penuh kebencian, dia mengawasi tajam Nona Cio
kemudian ia kata sengit : "Sakit hati lengan buntung ini pasti
akan datang harinya yang aku akan tagih dari kau, budak !"
Berkata begitu jago dari Yan tio itu menjemput kedua
potong tangan mereka, lalu sambil menarik tangan
saudaranya lalu pergi mengundurkan diri.
Pek Cut Taysu lantas mengasih dengar suaranya yang
nyaring : "Losicu Thian Cia, terima kasih yang kau telah sudi
mengalah !" Dari dalam rombongan sesat itu bukannya Thian Cia yang
menyambut sang pendeta, hanya satu suara yang cempreng.
Katanya : "Inilah belum berarti apa-apa ! Segera juga tongcu
nomor satu dari Losat Bun kami dari Ay Lao San, Hong Hwio
Lui Siu Pek Lie Cek akan mengajukan dirinya. Pendeta tua
berhati-hatilah kau memilih orang untuk melayaninya !"
Tongcu yang disebut namanya itu sudah lantas muncul
bersama sepotong senjatanya yang luar biasa yaitu Tok kak
Tong-jin, boneka perunggu dengan kaki sebuah, lima jalan
darahnya tersimpankan senjata rahasia beracun. Panjangnya
boneka itu empat kaki dan beratnya empat puluh kati.
Pek Lie Cek mempunyai kepala besar dan mata bundar,
hidungnya hidung singa dan mulutnya besar lebar, pipinya
berewokan dan dagunya berjanggut panjang. Dia pula
bertubuh besar. Dia mengenakan baju kuning panjang sampai
dimulut dan sepatunya sepatu ringan warna hitam. Tiba di
lapangan dia berdiri tegak hingga sikapnya menjadi keren
sekali, kata orang mirip dengan malaikat penjaga pintu....
"Siapa bernyali besar, mari muncul akan terima binasa !"
demikian orang itu membuka suara. Suaranya keras, sikapnya
jumawa. Suara itu bagaikan guntur kerasnya.
Pek Cut Taysu lantas mengawasi orang-orang pihaknya.
"Bagaimana kalau aku si tua yang melayani dia ?" tanya Pat
Pin Sin Kit yang tak biasanya menjadi sungkan.
Pendeta dari Siauw Lim Sie itu menggeleng kepala sambil
berkata : "Jangan tergesa-gesa Losicu, sebentar akan muncul
lawan yang tangguh...."
Belum berhenti suaranya sang pendeta Gouw Hoat Taysu
sudah muncul dan sembari memberi hormat berkata pada
ketuanya, "Suheng, dapatkah adikmu yang keluar ?"
Pek Cut Taysu mengangguk dengan perlahan, maka Goay
Hoat Taysu lantas berlompat ke tengah lapangan sambil ia
membawa sianthung, tongkatnya yang panjang mirip toya.
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan segera dia memperdengarkan suaranya terhadap
pihak lawan, "Sicu Peklie Cek, apakah sejak perpisahan kita,
sicu masih sehat-sehat saja " Apakah sicu masih mengenali
padaku si pendeta dari dua belas tahun yang lampau ?"
Peklie Cek mengawasi pendeta itu. Lantas ingat ia kepada
peristiwa dahulu di jalan di perbatasan propinsi Siamsee -
Kamsiok. Ketika itu dalam satu bentrokan dia telah merasai
lengan "Lohan Cian" dari si pendeta.
"Hm !" dia lantas memperdengarkan suara dinginnya.
"Sungguh berbahagia ! Sungguh berbahagia disini kita
berjumpa pula !" Berkata begitu ia lantas memutar senjatanya yang luar
biasa itu, hingga anginnya menderu-deru. Ia tidak takut. Dua
belas tahun yang lalu ia kalah, tetapi setelah itu ia masuk
dalam rombongan Losat Bun dan belajar lebih jauh dibawah
pimpinannya Kwie Tiok Giam Po, maka ia bukanlah Peklie Cek
yang dahulu. Ia sengaja berlaku jumawa guna memancing
keluarnya si pendeta yang ia tak menyebut namanya secara
langsung. Segera setelah kedua pihak berdiri berhadapan, Gouw Hoat
Taysu mulai dengan penyerangannya. Peklie Cek menyambut
serangan itu dengan satu tangkisan keras, maka sebagai
akibat bentrokan itu, keduanya sama-sama mundur tiga
tindak. Gouw Hoat Taysu tak menghiraukan tenaga lawan
yang bertambah itu, ia maju pula kembali ia menyerang.
Peklie Cek tertawa. Dia mundur ke samping satu tindak,
kepalanya diegoskan. Selewatnya tongkat lawan, dia
membalas menghajar dengan hebat, niatnya membikin
tongkat terpental terlepas dari cekalan lawan. Gouw Hoat
Taysu dapat menerka maksud lawan itu. Ia mengelit
tongkatnya, tetapi bukan ditarik pulang hanya diteruskan
dipakai menyerang ke pinggang si orang takabur.
Peklie terkejut. Dia tidak menyangka si pendeta demikian
cepat. Terpaksa dia harus waspada. Habis berkelit dia berseru
: "Kepala gundul, kau sambutlah ini !" Dan dia menyerang
dengan jurusnya "Membelah Bambu".
Gouw Hoat penasaran yang orang masih membelah. Ia
menyambut dengan sekuat tenaganya. Ilmu silat yang dipakai
ialah "Kie Kee Thian Ho" atau "Jembatan di Kaki Langit".
Hebat bentroknya kedua senjata berat itu. Percikan apinya
muncrat. Lengan kanannya Peklie Cek terasa kesemutan dan
nyeri, tubuhnya terpental mundur lima tindak. Sebaliknya
adalah Gouw Hoat Taysu, yang kuda-kudanya tangguh. Dia
melesak kakinya tiga dim dan tubuhnya limbung, bergoyang
beberapa kali. Dengan cepat dia berlompat maju kepada
lawan, tongkatnya dipakai menyerang pula. Sembari
menyerang itu, ia berkata nyaring : "Hong hwe Lui-siu, kau
juga sambutlah tongkatku ini !"
Peklie Cek tidak takut. Masih ia mau menguji tenaga lawan.
Ia percaya kekuatannya masih akan bertahan. Segera ia
menangkis dengan bonekanya itu. Lagi-lagi kedua senjata
beradu keras, suaranya sampai memekakkan telinga. Tapi
kedua jago tetap sama tangguhnya. Maka mereka terus
melanjuti pertempuran mereka. Seperti tanpa terasa, mereka
sudah melalui kira tiga puluh jurus. Sekarang ini lengan
mereka masing-masing terasa kaku dan darah seperti
bergolak di dalam dada mereka.
Satu kali mereka bentrok keras lantas keduanya sama-sama
mundur. Ketika itu dipakai buat mengatur pernapasan masingmasing,
berniat menyerang pula tetapi mereka berjaga-jaga
kalau-kalau nanti kena didahului.
Diluar kalangan maka tongcu Losat Bun yang nomor dua
habis sabar. Dialah Sam Chiu Pia Kauw Hu Leng, si Kera
Bertangan Tiga. Dia habis sabar sebab menanti terlalu lama
hingga dia kuatir kawannya nanti kalah sebab sudah selama
itu sang kawan belum berhasil merebut kemenangan. Dia pula
bukannya maju akan membantu kawannya itu, hanya dengan
tiba-tiba secara diam-diam dia menyerang Gouw Hoat Taysu
dengan senjata rahasianya yang diberi nama Tengkorak Badsi.
Senjata itu menyambar dari atas ke bawah, menungkrap
kepala. Melihat menyambarnya senjata rahasia lawan, dari dalam
rombongan pihak lurus menyambar pula serentetan dari enam
buah Liam Cu, mutiara biji tasbih kaum pendeta agama
Buddha, semua menyerang kepada senjata rahasia lawan itu.
Tepat serangan itu ! Hancurlah senjata rahasia lawan, besinya
muncrat ke empat penjuru, akan tetapi bubuknya yang
berwarna merah tua justru turun dengan perlahan-lahan,
turun ke arah Gouw Hoat Taysu yang sudah tak berdaya.
Apakah yang telah terjadi " Kenapakah Gouw Hoat Taysu
roboh " Inilah akibat bentrokan si pendeta dengan lawannya,
bentrokan yang terakhir. Habis mereka berjaga-jaga, mereka
mengadu kekuatan pula. Peklie Cek meyerang, keduanya
roboh sama-sama, sebab kepala mereka pusing, dada mereka
bergolak, tenaga mereka habis. Mereka pula muntah darah.
Justru bubuk beracun itu turun. Ang Sian Taysu dapat
melihatnya. Pendeta ini menerka kepada bubuk jahat. Ia
lompat keluar dari kalangan, ia menyerang dengan pukulan
angin Loahan Ciang. Maka buyarlah bubuk itu terkena angin
keras dari pukulan itu. Ketika itu Hu Leng juga sudah masuk
ke dalam kalangan. Ia mengangkat bangun tubuh Peklie Cek,
buat diajak mengundurkan diri. Tiba-tiba Cukat Tan lompat
menghampiri, anak muda ini terus menyerang orang she Hu
itu, yang ditikam punggungnya.
Hu Leng tidak melihat datangnya orang, dia pula tidak tahu
orang menyerangnya. Tapi justru itu, dari rombongan sesat
ada sesosok tubuh yang membalas, menangkis membuat
pedang si anak muda terpental, berbareng dengan orang itu
menegur : "Eh, bocah, kau tahu aturan rimba persilatan atau
tidak ?" Cukat Tan mundur satu tindak, dia mengawasi orang yang
menghalangi serangannya itu.
Kiranya orang itu ialah Tan Hong dari Hek Keng To.
"Barusan orang menyerang dengan senjata rahasianya !" si
anak muda balik menegur. "Apakah itu berarti dia
menghormati aturan kaum rimba persilatan " Aku hanya
menurut buat ! Kalau kau berani, mari kau melayani ilmu
pedang dari Ngo Bie Pay barang beberapa jurus ! Beranikah
kau ?" Di saat itu dari kedua belah pihak ada tujuh atau delapan
orang yang berlompat keluar, bersiap buat bertarung guna
membantai pihaknya masing-masing. Pek Cut Taysu sudah
lantas berseru meminta pihaknya mengundurkan diri dan
menyuruh murid-murid Siauw Lim Sie segera membantu Gouw
Hoat buat dibawa balik ke dalam rombongan. Sampai disitu
Thian Cie Lojin muncul dengan tindakan perlahan.
Dia tertawa dan kata. "Kali ini pertempuran seri pula ! Nah,
pendeta tua, bagaimana kalau kita mulai dengan bunpie ?"
Licik jago tua ini, tak mau ia menyebutkan soal serangan
gelapnya Hu Leng itu yang mulai melanggar aturan rimba
persilatan. Malah dengan cerdik ia hendak menukar bertarung
mereka. Setelah bun pie, mengadu tenaga dengan cara keras,
sekarang ia hendak mulai dengan bun pie, cara halus.
"Terserah kepadamu, sicu pinlap selalu sedia untuk
melayani" sahut Pek Cut Taysu tenang.
Thian Cie sudah lantas mengulapkan tangannya maka
muncullah Ang Gan Kwie Bo dari gunung Lee San di pulau
Haylam. Dengan sinar matanya yang bengis jago wanita itu
menyapu ke arah pihak lurus, lalu dia berkata dengan
suaranya yang dingin yang berada jumawa : "Tuan siapakah
yang mempunyai kegembiraan untuk mendengarkan lagu Toat
Hun Im Po dari tenaga dalamku ?"
Ilmunya Ang Gan Kwie Bo itu berarti "Gelombang Lagu
Merampas Roh." Leng Hian Tojin dari Bu Tong Pay sudah lantas
menggerakkan tubuhnya menghadapi ketua Siauw Lim Pay, ia
menjura sambil bekata : "Bagaimana kalau kali ini pici yang
menunjuki keburukanku ?"
Pek Cut Taysu mengangguk.
Lantas Leng Hian bertindak menghampiri lawan, yang terus
tertawa tawar dan kata seenaknya saja. "Eh, Leng Hian
hidung kerbau, benarkan kau mempunyai kepercayaan yang
ilmu Hian bun Lio Kam Cin Kie dari Bu Tong Pay kamu dapat
bertahan dari ilmuku " Nah, kau berhati-hatilah !"
Ilmu Bu Tong Pay yang disebutkan Ang Gan Kwie Bo itu
adalah ilmu tenaga dalam yang berdasarkan patkwa, delapan
diagram. Leng Hian tidak menjawab, hanya sambil bersenyum dia
mengerahkan tenaga dalamnya. Ia berdiri tegak mengawasi
lawan yang takabur itu. Sejenak kemudian, ia mengulur
sebelah tangannya, baru setengah jalan, ia sudah berseru
perlahan : "Kau sebutilah !"
Ang Gan Kwie Bo menggerakkan pinggangnya untuk
berjaga-jaga, lalu ia mengibas sebelah tangannya, memapak
tangan lawan itu. Ia menggerakkan tangannya dengan
perlahan tetapi berbareng dari mulutnya terdengar suara
tertawa yang nyaring dan tajam seumpama kata suara
bajingan. Itulah Toat Hun Im Po !
Kedua tangan mereka lantas beradu satu sama lain,
nampaknya mereka seperti main-main. tak tahunya kedua
belah pihak tengah mengerahkan tenaga dalam mereka.
Mereka tengah menguji kekuatan masing-masing. Tubuh
mereka lantas menggigil, tangan mereka bergemetaran.
Selama itu Ang Gan Kwie Bo terus tertawa makin lama
suaranya makin keras makin tinggi, terdengarnya tajam sekali
hingga telinga orang terasa bagaikan tertusuk-tusuk.
Kedua rombongan terpisah dari dua orang itu sepuluh
tombak lebih tetapi mereka yang tenaga dalamnya belum
sempurna, mereka merasakan kehebatan tawa itu. Itulah yang
diumpamakan "Tangisan keras di selat Bu Kiap, tangisan
berdarah burung cockoo, nyanyian iblis dikuburan musim
gugur atau tangisan diwaktu malam dari seorang janda."
Toh semua itu masih kalah hebatnya. Semangat orang
dapat buyar karenanya. Pek Cut Taysu sudah lantas memerintahkan murid atau
kawannya yang tenaga dalamnya kurang untuk bergerak
munduk belasan tombak supaya mereka tak usah menjadi
korban konyol. Di sana pun mereka harus menjaga diri baikbaik.
Di pihak sesat juga orang telah bergerak mundur
sendirinya. Di tengah lapangan, kepalanya Leng Hian dan Ang Gan
telah sama-sama mengeluarkan uap putih bagaikan halimun.
Suaranya si sesat tak lagi terus menerus, hanya suka terputusputus
akan tetapi nada dan iramanya tak sedap buat sang
telinga. Suara itu membuat hati orang berdebaran.
Di dalam keadaan seperti itu, sekonyong-konyong saja
Leng Hian Tojin bersiul nyaring dan panjang, hingga siulannya
itu berkumandang di lembah dan sekitarnya. Siulan itu pula
bagaikan menutup tawanya lawan. Tak lama siulan itu, lalu
berhenti tetapi berbareng dengan itu lenyap juga tawanya Ang
Gan Kwie Bo. Maka itu sunyilah medan pertempuran itu. Dua
dua lawan tampak berdiri diam. Uap diatas kepala mereka
sudah berkurang. Tangan mereka tapinya masih terus
menempel satu pada lain, tak bergeming sedikit juga.
Gouw Hian Tojin, ketua Bu Tong Pay menjadi bingung. Ia
tahu bahwa pertempuran segera akan sampai pada detik
terakhir. Inilah sangat berbahaya. Dan ia menguatirkan
keselamatannya sang sute, adik seperguruannya. Buat
membantu, ia tidak berani. Itulah akan melanggar aturan
rimba persilatan dan nama baiknya bakal tercemar karenanya.
Maka ia menjadi tidak karuan rasa, berulang kali ia mengepalngepal
tangannya serta menggedruk-gedruk tanah !
Selagi sunyi senyap itu tiba-tiba terdengar suaranya Pek
Cut Taysu : "Kali ini kita yang kalah ! Leng Hian Totiang,
silakan mengundurkan diri !" Terus ia mementangkan
tangannya, untuk segera dirapatkan pula.
Atas itu maka tubuhnya Leng Hian, mirip boneka kayu,
bergerak ke arah rombingannya, datang kepada tangannya si
pendeta. Karena Pek Cut Taysu telah menggunakan ilmu "Liap
Hun Ciu Siu Kang", Menarik Roh" guna membantu si imam.
Ketika itu terlihat Thian Cia Lojian tahu-tahu sudah berada
di tengah lapangan untuk menekan jalan darah sin tong dan
thian cu di punggungnya Ang Gan Kwie Bo, guna membantu
wanita tua itu menyalurkan napasnya. Sebab juga nyonya itu
telah sampai pada saat mati hidupnya....
Di pihak Siauw Lim Pay, Gouw Hian juga sudah lantas
membantu Leng Hian, adiknya.
Selama kedua pihak saling menolong kawan itu, kesunyian
tetap berlangsung, cuma deburan angin yang terdengar.
Rembulan sudah mulai doyong ke barat. Mungkin waktu itu
sudah jam empat mendekati fajar.
"Inilah pertempuran yang menjengkelkan, yang
memepatkan hati." kata Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian yang
menjadi tak sabaran. Hanya sejenak, segera terdengar tawanya Thian Cie Lojin.
Ketua pihak sesat itu sudah lantas berkata : "Bun pie yang
pertama sudah berlalu ! Terima kasih ! Terima kasih kalian
sudah mengalah ! Nah, pendeta tua, masih ada pertandingan
yang kedua ! Siapakah dari pihakmu yang bakal maju ?"
Belum lagi Pek Cut Taysu menjawab, atau Pat Pie Sin Kit
sudah bertindak keluar dari dalam rombongan, terus dia
membentak : "Siluman tua, jangan tertawa ! Beranikah kau
malayani aku, si orang tua ?"
Thian Cie Lojin mengawasi, ia membuat main bibirnya, lalu
dengan dingin menjawab : "Baik ! Baik ! Supaya tulangmu
yang sudah tua tidak hancur berantakan, bagaimana kalau
kita main-main dengan batu licin itu " Setujukah kau ?"
In Gwa Sian tertawa lebar. "Kita sudah berusia hampir
seratus tahun, kalau kita mati, kita tidak mati muda !"
katanya. "Kau tidak suka keras lawan keras, baiklah, akan aku
turuti kehendakmu ! Apakah kepandaianmu itu " Kau
keluarkanlah !" Tanpa berkata apa-apa Thian Cie Lojin bertindak ke dinding
bukit di kaki puncak, In Gwa Sian berjalan bersama.
Rombongan di kedua pihak lantas turut mengikuti mereka itu,
guna masing-masing mengambil tempat.
Batu yang disebutkan Thian Cie itu berupa seperti tembok,
lebar satu tombak persegi, bagian mukanya rata licin, bekas
dipapas dengan golok atau kapak. Jadi itulah buatan manusia.
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di sini kita mencoba khie kang kita !" berkata Thian Cie
tertawa sambil tangannya menunjuk dinding rata itu. "Siapa
yang kalah, dia harus hapus buat selamanya, agar dia tak
muncul pula ! Pengemis tua, beranikah kau berjanji demikian
?" In Gwa Sian tertawa. "Siluman tua, apa juga kau katakan, aku terima baik !"
Thian Cie Lojin lantas berdiri di depan dinding batu itu,
tenaganya lantas dikerahkan hingga terdengar otot-ototnya
pada meretak. Ia mengeluarkan napas, ia maju beberapa
tindak, terus ia mundur beberapa tindak pula. Ini cara
pengerahan tenaga. Ia ulangi beberapa kali lalu mendadak ia
melenggak hingga pinggangnya melengkung keluar dan
kepalanya dongak terangkat ke atas. Habis itu mendadak saja
ia mengajukan diri, agaknya ia hendak menerjang batu besar
itu, atau mendadak pula ia menghentikan tindakannya. Ia
mengangkat pula kepalanya dan mukanya diarahkan kepada
batu itu, terus ditempelkan. Selagi berdiri diam itu, segera
juga tampak keluar dari arah mukanya. Pinggang dan kakinya
diluruskan tetapi kedua belah pihak tangannya bergerak-gerak
seperti bergemetar. Selama itu tampak mukanya seperti
melesak kepada permukaan dinding.
Hanya sekira kesadaran mati, mendadak jago tua kaum
sesat itu berlompat mundur, tubuhnya terhuyung beberapa
tindak sebelumnya dia dapat berdiri tetap tegak. Ia berdiri
dengan memejamkan mata, terus ia mengembuskan napas
panjang. Di lain saat ia mementang matanya dan kata nyaring
: "Telah aku pertunjuki kepandaianku yang buruk. Nah ini dia
ilmuku yang dijuluki Sam In Sin kang, pada dinding batu itu
tertinggal tanda melesak dari mukaku ! Pengemis tua
bagaimana perasaanmu sekarang " Panas hatimu atau tidak ?"
Memang, orang banyak melihat mukanya Thian Cie telah
bertapak dan berbekas didinding batu lebar yang rata itu.
Petaan itu tegas dan jelas sekali, sehingga semua orang
menjadi sangat kagum. Di pihak lurus orang berkuatir buat Pat
Pie SIn Kit. Musuh demikian lihai, dapatkah dia diatasi atau
sedikitnya menyamai "
In Gwa Sian telah menyaksikan gerak geriknya lawan itu,
selama orang masih membawa aksi terus berdiam saja tapi
selekasnya orang membuka suara jumawa itu, ia
menyambutnya dengan tertawa berkakakan. "Hai siluman tua
!" ktanya nyaring. "Sam Im Sin kang mu ini tak dapat dicela
banyak, sayangnya pada bagian mukamu itu tidak ada bekas
kumis janggutnya." Suara itu menusuk tajam telinga Thian Cie Lojin si pria
bukan wanita bukan..... Dari tindakan ayal-ayalan, In Gwa Sian bertindak
menghampiri dinding itu dari mana lawannya sudah
mengundurkan diri guna dia memberikan giliran padanya. Ia
berhenti di depan batu terus ia menghadapinya sambil berdiri
tegak untuk segera mengumpulkan tenaga dalamnya. Itulah
tenaga dalam dari ilmu Tong Cu Kang, ilmu kanak-kanak atau
"Jaka". Cepat luar biasa mukanya si pengemis menjadi merah
umpama kata seperti api, giginya atas dan bawah gemeretak
nyaring, kumis dan jenggotnya lantas bergerak-gerak
sendirinya tanpa angin, berdiri kaku bagaikan jarum perak.
Matanya yang dipentang sebentar dipejamkan memperlihatkan
cahaya tajam sekali. Berdiri sebagai itu mukanya In Gwa Sian
hampir menempel pada dinding. Lain tiba saatnya ia
memperdengarkan serunya yang nyaring, lantas mukanya
didekatkan pada batu hampir nempel hingga kumis
janggutnya itu mengenai dinding rata dan licin itu. Gerakkan
itu diulangi beberapa kali, saban kalinya si pengemis
memperdengarkan serunya itu. Ia baru berhenti beraksi
sesudah pada batu itu tampak bekas-bekas kumis janggut.
Semua orang melengak, mata mendelong, mulut
ternganga. Semua kagum dan heran. Itulah ilmu tenaga
dalam yang mereka belum pernah dengar, jangan kata
menyaksikannya. Sudah Thian Cie hebat, sekarang ada pula
yang lebih hebat. Namanya itu bun pie, ujian lunak atau halus,
kesudahannya itulah tenaga yang kuat sekali.
Sementara itu It Yap Tojin yang menyaksikan pertandingan
itu, tahu apa akibatnya adu tenaga dalam diantara Thian Cie
dan In Gwa Sian. Akibat itu ialah kedua orang tersebut sudah
mengobral tenaganya, hingga masing-masing sudah
mendapat luka di dalam, luka yang parah, yang sukar
obatnya. Tapi hal itu membuatnya puas. Kelemahan kedua
jago itu berarti bahwa ia berkurang saingannya dengan dua
orang. Buat manjagoi, ia bagaikan mendapat jaminan. Ia
berada diantara sesat dan lurus. Di saat ini mendadak timbul
niatnya buat menjadi jago Bu Lim, akan menjuarai rimba
persilatan. Maka ia tertawa perlahan, tawa puas lalu diamdiam
ia mengangkat kaki. Sementara itu Tan Hong di satu pihak telah menanti
dengan tidak sabaran. Sudah mendekati jam empat, masih
belum ia melihat munculnya Tio It Hiong, pacar dalam citacitanya.
Sendirinya ia menjadi bingung, Ada niatnya
menghampiri Kiauw In, buat minta keterangannya nona Cio, ia
ragu. Bersama Kiauw In ada Giok Peng dan berani ia
mendekati nona yang galak itu. Ia takut nanti terbit salah
paham. Ia memikir buat berlalu, tetapi hatinya tak
mengizinkan. Biar bagaimana ingin ia melihat It Hiong. Maka
terpaksa ia berlaku sabar. Ia berdiri seorang diri saja. Di sana
ada banyak orang tetapi ia kesepian.....
In Gwa Sian sendiri tahu yang ia telah mengobral tenaga
dalamnya hingga ia menjadi letih sekali, akan tetapi di
depannya Thian Cie Lohin tak mau ia menunjuki itu. Di lain
pihak, ia ingin sekali mengadu jiwa dengan jago tua itu agar
orang tak dapat menjagoi dan mengancam dunia rimba
persilatan. Kalau ia menang, syukur atau sedikitnya, biarlah
mereka berdua mati bersama.....
"Eh, siluman tua" kata ia yang sengaja tertawa nyaring.
"Pertandingan kita ini sangat menarik hati ! Sayang belum ada
kepastiannya ! Bagaimana, apakah kau berani menyambut
tanganku ?" Ketika itu beda daripada lawannya yang masih dapat
berdiri, Thian Cie sudah duduk numprah ditanah, sebab
hendak ia mengatur pernafasannya. Ia insyaf yang ia telah
menggunakan semua tenaga dalamnya hingga menjadi letih
sekali. Ia mendengar tantangannya si pengemis, hatinya
menjadi gentar. Ia bakal mati atau terluka parah. Hanya,
bagaimana kalau ia tidak menyambuti tantangan itu "
Bukankah ia justru mau menjadi jago rimba persilatan " Mana
bisa ia mengangkat muka " Maka itu ia berpikir keras.
Perlahan-lahan jago tua itu berbangkit bangun, matanya
mengawasi kedua rombongan. Ia berlaku ayal-ayalan untuk
menang waktu. Kemudian ia tertawa dan kata : "Ya, kitalah
dua orang tua yang tak mau mampus, kapan lagi kesempatan
buat kita bergembira ria kalau bukan sekalian saja malam ini "
Mari, pengemis bangkotan, mari ! Sebelum ada akhirnya,
jangan kita berhenti ! Mari !'
"Nah, berhati-hatilah menyambuti tanganku !" Berseru In
Gwa Sian selekasnya lawan itu menerima tantangannya. Ia
lantas menyerang dengan satu jurus dari Han Liong Hok Mo
Ciang, pukulan Menaklukan Naga Menundukkan Harimau. Dan
itulah pengerahan tenaga yang terakhir.
Thia Cie Lojin terkejut sekali. Begitu orang bersuara, begitu
angin serangannya sudah lantas tiba. Ia licik tapi tak sempat
mengelakkannya. Terpaksa ia mengerahkan tenaga
terakhirnya menangkis serangan itu. Hebat suara nyaring yang
menjadi kesudahan dari beradunya tangannya kedua jago itu.
Mereka sendiri pada mengeluarkan suara tertahan. Kontan
Thie Cie Lojin roboh terguling untuk terus berguling.
Pat Pie Sin Kit terhuyung-huyung beberapa tindak, tak
dapat ia bertahan terus, ia roboh terduduk. Pek Cut Taysu
memuji Sang Buddha, ia lompat kepada kawannya itu. Kiauw
In dan Giok Peng turut lompat bersama, hingga ketiganya
lantas berada disisinya si pengemis luar biasa.
In Gwa Sian duduk bercokol dengan tenang, mukanya
tersungging senyuman, napasnya berjalan dengan perlahan.
Melihat keadaan orang itu, Pek Cut Taysu yang biasanya tabah
menjadi terkejut dan pucat mukanya. Dan lekas-lekas ia
mengeluarkan obat "Ban Biauw Leng Tan" buatan Siauw Lim
Pay dan masuki beberapa butir ke dalam mulutnya jago tua itu
sembari ia menekan jalan darah beng hun dipunggungnya.
Kiauw In dan Giok Peng memegangi In Gwa Sian dikiri dan
di kanan, mereka mengucurkan air mata melihat keadaannya
paman itu yang napasnya tinggal satu kali dan satu kali
tarikan saja tarikannya sangat lemah.
"Paman In ! Paman !" mereka memanggil-manggil. "Paman
In, bagaimana kau rasa "..."
Juga semua orang lainnya kaum lurus menjadi sangat
berduka. Thian Cie Lojin juga telah digotong pergi oleh
rombongannya, yang tak mempunyai harapan lagi atau
kelanjutan jiwanya. Menyaksikan keadaan itu Jie Mo Lam Hong Hoan, bajingan
nomor dua dari To Liong To berkata keras : "Hm !" Beginilah
tingkahnya orang-orang partai-partai besar dari Tionggoan !
Tingkahnya mirip lagak wanita saja ! Apakah yang aneh kalau
orang bertempur dan binasa " Apakah cukup dengan
ditangiskan saja " Hayo bilang kalian berani atau tidak untuk
bertempur dengan kami ?"
Sengaja Lam Hong Hoan berkata demikian karena ia
melihat pihak kaum sesat sudah kalah semangat disebabkan
runtuhnya Thian Cie Lojin, orang yang sangat diharapkan oleh
golongannya. Ia hendak membantu mukanya.
Ketika itu Pek Cut Taysu tengah membantu In Gwa Sian, ia
mengerahkan tenaga dalamnya. Tak dapat ia melayani orang
bicara, maka ia melirik dan mengedipi mata pada Liauw In,
adik seperguruannya itu yang menyambuti orang bicara.
Belum lagi pendeta itu muncul atau Leng Hian Tojin dari Bu
Tong Pay sudah mendahuluinya. Rahib itu maju dan
mengangguk kepada Lam Hong Hoan, dan sembari tertawa
bertanya hormat : "Ada pepatah berkata ular tanpa kepala tak
dapat jalan. Maka itu, Lam Sicu, selagi Thian Cie Lojin telah
menerima keruntuhannya, punyakah kau tenaga atau
kemampuan untuk menggantikannya memimpin kawanan dari
luar lautan kamu, untuk membuat pertandingan ini dilanjutkan
?" Ditanya begitu Lam Hong Hoan bungkam, hingga ia berdiri
diam saja. Teng Hiang dengan air mata bercucuran bertindak maju.
Berdiri di sisinya Lam Hong Hoan terus dia menuding Leng
Hian untuk berkata keras : "Hidung kerbau, jangan berbicara
takabur ! Tentang sakit hatinya guruku ini, aku Teng Hiang,
aku bersumpah akan aku perhitungkan dengan kau sekalian !
Hari ini biarlah suka aku mengasi lewat kepada kamu tetapi
nanti sesudah lewat satu tahun akan aku cari kamu buatku
mencari keadilan !" Ketika itu sinarnya si putri malam sudah mulai suaram,
selagi baru saja si nona berhenti bicara dari atas puncak
tempak satu bayangan orang berlompat turun sembari lompat
itu, bayangan itu memperdengarkan suaranya yang keras. "
Buat apa menunggu sampai satu tahun lagi " Tak dapatkah itu
dilakukan malam ini juga ?"
Segera terlihat orang itu ada seorang muda dengan jubah
panjang, di belakangnya tergendol pedangnya. Dia berwajah
tampan dan gagah. Kiranya dialah Tio It Hiong.
Melihat anak muda itu datang secara tiba-tiba Pek Giok
Peng lantas berbangkit hendak ia berlari menghampirinya,
tetapi baru ia berseru "Adik Hiong !" atau ia sudah ditarik oleh
Kiauw In yang segera ia berkata padanya perlahan. "Sabar
adik ! Lihat dulu dia yang palsu atau bukan !"
Luar biasa nona Cio. Sekalipun ia sangat memikirkan It
Hiong dan mengharap-harapnya di dalam keadaan sulit seperti
itu masih dapat ia berwaspada. Di saat itu maka dari sisi
dinding puncak pun tampak munculnya satu tubuh yang
langsing yang terus menghampiri It Hiong di depan siapa dia
tertawa manis dan menyapa merdu : "Adik Hiong. Mengapa
baru sekarang kau datang ?"
Pada punggungnya nona itu tampak senjatanya yaitu sanho
pang. Maka tak salah lagi dialah Tan Hong dari Hek Keng To.
Dan dia datang langsung pada si anak tanpa ragu-ragu lagi.
Tak puas Giok Peng melihat tingkahnya Nona Tan. Seperti
biasanya rasa jelusnya muncul tanpa dapat dicegah, hanya dia
dapat tidak sembarang bertindak. Ia cuma berkata nyaring
kepada si anak muda : "Paman In terluka parah sekali. Dia
saat mati hidupnya. Lekas kau membantu membantunya !
Kenapa kau ayal-ayalan ?"
"Oh !" It Hiong memperdengarkan suaranya lantas ia
berpaling kepada Lam Hoang Hoan dan Teng Hiang untuk
melirik sesudah itu, dia menghampiri In Gwa Sian.
Pek Giong Peng mau memapaki si anak muda itu. Lagi-lagi
ia dicegah Kiauw In. Ia menjadi tidak puas. Maka ia menoleh
kepada kakak itu, akan menatap matanya. Atau ia melihat
Nona Cio terdiam mengawasi tajam kepada si anak muda. Tio
It Hiong bertindak turut kepada In Gwa Sian. Selekasnya dia
datang dekat, bukannya dia menghampiri ayah angkat itu,
guna menyapa atau membantunya, mendadak dia
menggerakkan tangannya untuk menyerang.
"Kurang ajar !" demikian satu bentakan nyaring halus yang
dibarengi dengan serangannya kepada tangannya si anak
muda, guna menghadang serangannya dia itu.
Menyusul itu bangun berdirilah nona yang berseru itu yang
menyerang dengan tangan kirinya kepada orang sambil dia
mendamprat : "Hai, bangsat yang tak tahu malu ! Bagaimana
kau begini kejam menyerang kepada orang tua yang lagi tak
berdaya ?" Kata-kata itu adalah campuran panas hati dan menyesal,
ketika Giok Peng mendengar itu, dia bagaikan terasadar. Pek
Cut Taysu lagi menolong In Gwa Sian, ia toh menoleh
mengawasi si anak muda. In Gwa Sian sudah sadar, ia turut
mengawasi juga. Semua orang pihak lurus itu menjadi heran, kenapa It
Hiong bersikap demikian aneh " Kenapa dia menyerang ayah
angkatnya sendiri " Kenapa dia bentrok dengan nona Cio "
Giok Peng pun heran hingga ia berdiri bengong saja.
In Gwa Sian mengawasi sebentar walaupun matanya rada
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kunang, ia toh lantas mengenali anak pungutnya itu. Ia
menjadi gusar sekali. Dengan suara tak tegas, ia berkata keras
: "Anak Hiong tahan ! Apakah artinya perbuatan anehmu
ini....?" Saking mendongkol, napasnya jago tua itu menjadi sesak.
Ia pingsan seketika. "Paman In jangan bergusar !" Kiauw In berseru. "Dia ini It
Hiong palsu." Mendengar suaranya Kiauw In, Giok Peng dan Tan Hong
bagaikan dihajar guntur lantas mereka sadar. Sebaliknya para
hadirin semakin heran. Tiba-tiba Cukat Tan murid Ngo Bie Pay berseru : "Dia yang
telah menyerang ayah angkatnya sendiri, dia juga menempur
tunangannya, dia sama jahatnya dengan satu bajingan. Maka
itu jangan perdulikan dia yang tulen atau yang palsu. Mari kita
bekuk dia ! Bekuk dia baru bicara !" Dan ia mendahului lompat
maju guna membantu Kiauw In.
Suaranya Cukat Tan mendapat sambutan hangat. Sejumlah
anak muda lantas menghunus masing-masing senjatanya,
terus mereka itu maju menghampiri. Tio It Hiong, ya Tio It
Hiong palsu melihat suasana buruk itu. Dengan tiba-tiba dia
berlompat ke tengah tanah lapang ke arah Nona Tan.
Tan Hong masih ragu-ragu ketika ia melihat si anak muda
berlompat itu tetapi tidak ayal lagi, ia menyerang dengan
tangan kirinya sedangkan tangan kanannya menyambar ke
muka orang. Niatnya buat membetot kulit muka orang, kulit
yang menyamai wajahnya It Hiong sejati. Hong Kun dapat
menerka maksud orang. Ia tidak menangkis tangan kanan
nona itu, bahkan sengaja ia biarkan mukanya kena diraba,
setalah mana ia berlompat mundur.
Tan Hong heran bukan main. Ia bukannya meraba topeng
atau lainnya. Hanya kulit dan daging yang lunak, licin dan
hangat. Jadi itulah bukan topeng. Hong Kun mundur bukannya
buat mundur pergi, dia hanya menggunakan tipu daya. Dia
mau membikin Tan Hong menjadi bersangsi betul-betul. Tapi
justru dia mundur itu, satu serangan tangan segera meluncur
ke arahnya ! Itulah Siauw Wan Goat, bajingan bungsu dari To Liong To
yang menyerang secara tiba-tiba. Dia mempuaskan
penasarannya terhadap It Hiong, dia berlompat maju dan
menyerang. Hong Kun berkelit tetapi kurang cepat. Iganya
terhajar hingga ia merasakan nyeri. Untung baginya serangan
Wan Goat dilakukan dengan setengah hati. Nona itu
membenci tetapi hanya separuh, sebab tetap dia masih
menyinta. Sambil menyerang itu dia membentak : "Manusia
tak berbudi ! Nonamu hendak mengadu jiwa denganmu !"
Panas hati Hong Kun. Ia memandang si nona. Dia tidak
bergusar tetapi dengan airmata menggenang. Ia menjadi
sebal. Tak ingin ia digurambangi nona itu. Maka timbullah rasa
bencinya. Ia pula tak ingin nanti terkepung dan terbekuk oleh
orang lurus. Itu sebab rahasianya bakal terbuka. Tapi ia cerdik
sekali, ia kata nyaring : "Siauw Wan Goat, jangan salah
paham. Cinta kita dalam bagaikan lautan ! Mari kita pergi !"
Nona Siauw heran hingga ia menjadi melongo. Justru ia
berdiam itu, Hong Kun maju menikam padanya ! Pemuda itu
hendak merampas nyawa orang. Selagi si anak muda itu
menyerang, dua sosok tubuh lompat berbareng kepadanya.
Yang satu menyerang dengan senjata roda sepasang Ji Goat
Siau lun yang lain dengan cambuk joan pian, dengan begitu
beradulah senjata mereka. Roda sepasang yaitu Ji Goat Siau
lun kena terpapat kutung, hingga pemiliknya menjadi berdiri
bengong. Wan Goat melihat penolongnya itu ialah kedua kakaknya,
kakak nomor dua Lam Hong Hoan dan kakak nomor lima Bok
Cee Lauw itu yang senjatanya terkutung sekejap itu,
meluaplah hawa amarahnya. Maka ia lantas menikam Hong
Kun. Dalam nekad ia bersedia mati bersama.....
Hong Kun melayani serangan itu tetapi karena ia kuatir
nanti kena terkepung, setelah mendapat kesempatan, ia
berlompat mundur akan terus lari turun gunung. Ketika si
anak muda mau kabur itu ia mendengar tawa yang dalam dan
dingin lantas seorang tua merintangi larinya. Dia itu seorang
tua dengan jubah panjang dan janggut mancung seperti
janggutnya kambing gunung.
"Eh, Tio It Hiong bocah !" bentak orang tua itu. "Mana
kegagahanmu selama di Ay Lao San. Apa dengan cara begini
saja kau hendak kabur ?"
Kata-kata itu ditutup dengan serangan dua belah tangan
kosong. It Hiong palsu, ia tidak menangkis, ia juga tidak lantas
melawan. Ia hanya mundur dua tindak.
"Siapa kau ?" bentaknya.
Orang tua itu tertawa. "Kau berpura-pura ya ?" tegurnya. "Bocah, akulah Kiu Lam
It Tok ! Aku datang menghaturkan obat pemunah racun buat
pamanmu ! Jika kau benar kosen mari layani aku."
Lagi sekali orang tua itu mengulangi serangannya. Hong
Kun datang ke Tay San dengan maksud mengacau, tak perduli
terhadap pihak mana ia hendak menerbitkan salah paham,
supaya orang terus bentrokan. Siapa tahu dua-dua pihak
justru memusuhinya. Ia menyesal yang niatnya gagal. Tapi
satu hal ia telah lihat tegas semua pihak tak ada yang
berkesan baik dan senang terhadap musuhnya.
Hal ini membuatnya sedikit girang. Tetapi sekarang Kiu
Lam It Tok menghadangnya, timbullah rasa jemunya. Diamdiam
ia mengeluarkan racunnya yang berbahaya itu, ia
mengebut si orang tua setelah itu ia lari ke arah kaum sesat,
buat juga melepaskan bubuk beracunnya itu !
Hanya sebentar saja, enam atau tujuh orang kaum sesat itu
telah roboh karena kena mencium bubuk beracun. Yang
lainnya ada yang menangkis dengan sampokan, ada yang
lompat berkelit. Dengan begitu, kaum sesat itu menjadi kacau.
Ang Gan Kwie Bo dari Ngo Cie San mempunyai seorang
murid bernama Cio Hoa, murid itu tidak tahu selatan, hendak
dia membokong penyebar maut itu, dengan berani dia lompat
menerjang atau dia lantas terkena bubuk beracun, kontan dan
roboh tak sadarkan diri. Ang Gan Kwie Bo terkejut. Lekas-lekas ia menutup jalan
darahnya sendiri, ia menahan napas, sambil berbuat begitu ia
lompat ke depan untuk menjemput, memondong muridnya itu,
buat dibawa pergi. Hanya belum lagi ia mengangkat kaki, satu
sinar pedang sudah berkelebar ke arahnya. Ia berkelit dengan
memutar tubuhnya, hingga ia bisa lantas melihat
penyerangnya itu, ialah Tio It Hiong palsu. Ia menjadi gusar
sekali, ia lantas membalas menyerang dengan tangan kiri,
terus ia membuka suara, akan menyanyikan lagu yang lihai
itu, lagu Toat Hun Im Po, Gelombang Irama Merampas Nyawa
! Mendengar suara itu, kontan It Hiong palsu menggigil,
pernapasannya menjadi tidak karuan, tubuhnya terus
terhuyung-huyung. Lekas-lekas dia berdiam diri, guna
menetapkan hati, buat mengatur pernafasannya. Dengan
begitu, tak dapat ia berkelahi lebih jauh. Ang Gan Kwie Bo
bingung, hendak ia membantu muridnya, melihat orang tidak
bergerak lebih jauh, ia menghentikan suaranya, ia bawa
muridnya itu masuk ke dalam rimba.
Lam Hong Hoan dan Siauw Wan Goat mengejar si anak
muda, selagi mendatangi, mereka mendengar suaranya jago
wanita dari Ngo Cie San itu, pikiran mereka kacau, lekas-lekas
mereka berhenti berlari guna mengatur pernafasan mereka.
Selekasnya suara berhenti dan si nyonya tua lari terus, baru
mereka mengejar pula. Hong Kun panas hati dan penasaran menyaksikan ia masih
dikejar Hong Hoan dan Wan Goat, lantas ia menyambuti,
mendahului menikam si orang she Lam. Hoang Hoan juga
gusar. Ia melancarkan joan pian hingga cambuk itu menjadi
kaku dan panjang seperti tombak, menikam ke dadanya si
anak muda. Hong Kun menangkis dengan satu tebasan,
niatnya supaya cambuk lawan bisa ditebas kutung. Tapi Hong
Hoan lihai, dapat ia menarik pulang senjatanya untuk dipakai
mengulangi serangannya, dengan begitu dapat ia mendesak
lawan, yang terpaksa berkelahi sambil mundur.
Menyaksikan si anak muda terdesak, Siauw Wan Goat tidak
maju membantui kakaknya. Dia hanya berdiri diam untuk
menonton. Rasa tak tega terhadap si anak muda membuat
hatinya goncang dan serba salah. Sesudah Hong Kun mundur
tiga tombak lebih, mendadak Kiu Lam It Tok muncul pula,
jago itu terus berlompat maju sambil menyerang sembari dia
menyerukan : "Lihat tanganku !"
Hong Kun repot. Ia dikepung dari depan dan belakang.
Sementara itu, ia sudah bermandikan peluh. Satu kali ia
berlompat sambil menyerang, di saat Hong Hoan berkelit ia
berlompat terus. Maka tibalah ia disebelah barat tanah lapang
itu, ditempat rombongannya kaum lurus.
Tepat itu waktu Tan Hong berlompat maju pula. Si nona
penasaran, maka ingin dia ketahui, It Hiong itu It Hiong palsu
atau tulen. Di lain pihak dia melihat Kiauw In berdua Giok
Peng tengah mengawasi tajam kepada It Hiong, rupanya
mereka itu tengah meneliti anak muda itu. Maka berpikirlah
dia, "Mereka itu istrinya It Hiong. Mereka dapat berlaku sabar,
kenapakah aku tidak " Kalau aku maju terus, bukankah orang
akan mentertawakan aku " Baiklah, aku bersabar....." Maka
dia mundur pula. Ketika itu terdengar suaranya Giok Peng berkata kepada
Kiauw In, "Kakak, kalau dia bukannya adik Hiong, kenapa dia
menyerang pihak sana " Wanita dari To Liong To itu seperti
juga mempunyai hubungan yang tak layak dengan dia !
Bagaimanakah pandangan kakak ?"
Tan Hong menoleh ke arah darimana suara itu datang. Dia
melihat Kiauw In menarik tangannya Giok Peng dan berulang
kali menggelengkan kepala, mulutnya bungkam, matanya
tetap menatap It Hiong. Kiu Lam It Tok Sia Hong bersama Lam Hong Hoan sudah
mengambil sikap mengepung bersama akan tetapi sepasang
tangan kosongnya tidak dapat menandingi golok Kia Hoat dari
Hong Kun, tak berani tangan berdarah daging itu menyentuh
pedang yang tajam itu, bahkan pedang mustika, maka sering
dia merubah serangannya atau berlompatan berkelit. Maka
juga lantas juga dia terdesak menjadi pihak yang diserang.
Karena dia terdesak itu, dia membuat sulit juga pada Lam
Hong Hoan, kawannya hingga cambuk panjang she Lam itu
tak berani sembarangan diluncurkan, kuatir nanti mencelakai
kawan sendiri. Dengan demikian It Hiong palsu menjadi
mendapat angin. Selagi bertempur itu, Hong Kun masih sempat melirik ke
sekitarnya hingga ia melihat ada ancaman bahwa ia nanti
kena terkurung. Para "penoton" agaknya semakin mendekati,
ia melihat di barat Kiauw In bersama Giok Peng, ditimur Siauw
Wan Goat bersama Bok Cee Lauw. Di bagian tengah ada Tan
Hong. Justru mereka itu bertiga yang dikuatirkan bakal
melucuti kedoknya. Celaka kalau dia terkurung, pasti
rahasianya akan terbuka dan itu berarti namanya terutama
nama perguruannya bakal runtuh.
"Aku harus menyingkir !" demikian ia mengambil
keputusan. Maka juga dia lantas menyerang Kiu Lam It Tok
yang dia desak dengan tikaman atau sabetan berantai lima
kali tak hentinya. Terpaksa, Sia Hong telah terdesak mundur. Lam Hong
Hoan penasaran, dia mencoba mendesak, cambuknya memain
turun dan naik, cepat dan berbahaya. Selagi dia mendesak itu
mendadak ada orang lain yang berlompat masuk ke dalam
kalangan pertempuran, orang mana sambil memperdengarkan
suara yang bengis. "Manusia jahat, serahkan nyawamu !" Dan
dialah Cukat Tan, murid Ngo Bie Pay.
Hebat pemuda she Cukat itu. Begitu dia menyerang, begitu
dia mendesak, pedangnya menyambar-nyambar tak hentinya
tiga kali beruntun. Hong Kun repot, hingga tanpa merasa
ujung bajunya terhajar cambuknya Hong Hoan dan robek. Dia
menjadi kaget, tak mau dia membuang waktu lagi. Lantas dia
menjatuhkan diri dengan jurus "Tidur Mabuk diatas pasir". Dia
menggulingkan tubuh buat menjauhkan diri sampai tiga
tombak, setelah mana dia berlompat bangun sambil terus
mengayun sebelah tangannya, melepaskan bubuk beracunnya
yang seperti halimun musim semi itu. Dengan senjata rahasia
itu, dia menghadang orang mengejarnya. Dia sendiri terus lari
turun gunung. Jilid 29 Sia Hong dan Lam Hong Hoan berdiri melongo, mengawasi
lawannya kabur. Mereka tidak dapat mengejar. Selekasnya
halimun racun itu lenyap, maka lima sosok tubuh lantas
berlari-lari turun gunung, larinya sangat cepat. Merekalah
orang-orang yang paling prihatin terhadap Tio It Hiong, Cio
Kiauw In, Pek Giok Peng, Tan Hong dan Siauw Wan Goat,
yang kelima ialah si pemuda Cukat Tan, yang paling
mengagumi Tio It Hiong ! Sementara itu sunyilah medan pertempuran. Dengan
berlalunya Gak Hong Kun si pengacau, pertempuran juga telah
tidak dilanjuti lagi. Lam Hong Hoan menghela nafas melihat
gadis seperguruannya itu kabur menyusul Tio It Hiong, terus
ia menoleh berniat kembali kepada rombonganya, rombongan
kaum sesat atau ia lantas menjadi berdiri melongo !
Kiranya rombongan itu sudah mengangkat kaki secara
diam-diam, tak seorang juga yang tinggal ! Yang menjadi
kecuali ialah Teng Hiang yang lagi menangis sedih sambil
memeluki tubuhnya Thian Cie Lojin dan Cek hong-cu Cin Tong
dari Hek Keng To bersama Bok Cie Lauw lagi berdiri diam
disisi mereka. Beberapa orang yang roboh karena racunnya
Gak Hong Kun telah tiada pula.
Kapan Kiu Lam It Tok menyaksikan semua itu, dia
mendongkol sekali. Dia bukannya mengumbar hawa
amarahnya, dia justru tertawa terbahak-bahak. Dia lantas
memberi hormat kepada Lam Hong Hoan sambil berkata :
"Sampai jumpa pula !" Terus dia pun lari mengangkat kaki.
Lam Hong Hoan bertindak menghampiri Teng Hiang.
"Nona Teng, bagaimana kau hendak urus mayat gurumu ini
?" tanyanya. Teng Hiang menepas air matanya.
"Bukankah lebih baik akan menguburnya di puncak Koan
JIt Hong ini ?" katanya menjawab pertanyaan itu. "Dengan
begini, sekalian kuburannya dapat dijadikan peringatan
peristiwa di sini !"
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lam Hong Hoan mengangguk lalu dengan dibantu Cia Tong
dan Bok Cie Lauw, ia menggali tanah buat mengubur Thian
Cie Lojin. Mereka memilih tempat di dalam rimba.
Selesai dengan upacara penguburan yang sangat
sederhana itu, Hong Hoan mengajak si nona bersama Bok Cie
Lauw dan Cin Tong pergi ke tengah lapang, ia menghadapi ke
arah barat, ke tempatnya kaum lurus untuk berkata nyaring :
"Aku minta Pek Cut Taysu dari Siauw Lim Sie keluar untuk
bicara." Ketika itu pihak lurus tidak lantas meninggalkan tempat
pertemuan dan Pek Cut Taysu repot membantu In Gwa Sian
dengan menggunakan "Tay Poan-jiak Siam-kang" yaitu ilmu
keagamaan Prajna besar, jalan darah dan pernapasannya si
pengemis dibuat lurus hingga dia sadar dari pingsannya. Dia
mendengar suaranya Hong Hoan, di saat itu dia letih sekali
sebab ia mesti menguras semua tenaga dalamnya. Tapi dialah
pemimpin disitu dan dia yang diminta, terpaksa tanpa menanti
beristirahat dahulu, dia muncul dengan dipayang Liauw In dan
Ang Sian berdua. Dia bertindak perlahan-lahan. Kapan dia
sudah melihat Hong Hoan berempat itu, dia kata sabar.
"Pertemuan besar ini tak perduli siapa yang kalah, dengan ini
telah ditutup, karena itu Lam sicu ada pengajaran apakah lagi
dari diri kalian ?" Dengan tampang sungguh-sungguh, dengan suara keren
Lam Hong Hoan berkata : "Dalam pertempuran ini tanpa
dijelaskan pula, terang pihak kami yang kalah, tetapi kali ini
ketua kami dari To Liong To tidak dapat hadir. Karena itu
kelak di belakang hari, pastilah To Liong ToCit Mo akan
mencari kalian untuk mencari keputusan ! Pendeta tua, kau
mempunyai nyali atau tidak akan menerima tantangan kami ini
?" Pek Cut Taysu memuji sang Buddha. "Bukankah kita samasama
orang rimba persilatan ?" katanya bertanya. "Kenapakah
permusuhan hendak terus menerus diperpanjang " Demi
menghindarkan bencana rimba persilatan, bukankah lebih baik
untuk menanggalkan itu ?"
Tapi Lam Hong Hoan tetap gusar, kata dia bengis : "Sakit
hati dari kebinasaannya Locianpwe Thian Cie Lojin serta
penasaran dari terkutungnya tangan dari Yan Tio Siang Bian,
dapatkah itu dihabiskan dengan kata-kata sederhana seperti
kata-katamu ini " Inilah hutang darah yang mesti kami tagih.
Lain tahun pada hari ini ketua dari To Liong To pasti akan
memimpin orang-orang gagah dari luar lautan datang ke kuil
Siauw Lim Sie kalian di Siong San guna membuat perhitungan
! Pendeta tua, kau lihatlah !"
Habis mengucap itu Lam Hong Hoan lantas mengajak Teng
Hiang bertiga berlari-lari turun gunung. Pek Cut Taysu menarik
nafas melihat orang berlalu itu. Dengan munculnya sang
surya, dengan cahayanya terang dan hangat lembut maka
sekarang pulihlah keremangan puncak Koan JIt Hong seperti
sedia kala. Habis memandangi cuaca Pek Cut Taysu berkata kepada
Ang Sian Siang-jin, menyuruh adik seperguruan itu
menitahkan beberapa orang murid pergi mencari kayu, bambu
dan rotan untuk membuat semacam joli guna mengangkut In
Gwa Sian pulang. Ang Sian Siangjin menyahuti, lantas ia pergi
untuk bekerja. Bersama Liauw In, Pek Cut Taysu kemudian menghampiri
rombongannya yang tengah berkumpul di kaki puncak, diatas
tanah yang penuh berumput, setelah memandang semua
orang, ia berkata : "Dengan bantuan besar dari tuan semua,
dalam pertemuan ini kita memperoleh kemenangan, walaupun
kemenangan kecil. Hanya kejadian ini sayang belum bisa
menghapuskan bencana rimba persilatan. Thian Cie Lojin telah
menerima bagiannya tetapi In Losicu In Gwa Sian telah
mendapat luka parah. Hal ini amat mendukakan pihak kita,
sedangkan barusan, Lam Hong Hoan sudah mengancam
dengan tangannya. Memang benar kita tak usah takut tapi
pun benar bahwa kita harus waspada. Karena itu tuan-tuan,
lolap memohon kerja sama lebih jauh dari kalian, untuk kita
berjaga-jaga supaya kita jangan mengijinkan ada bajingan
yang menyelusup ke Tionggoan untuk membuat kekacauan.
Tuan-tuan, disaat kita bakal berpisah ini, tolong kalian
memberikan petunjuk kalian, petunjuk-petunjuk yang ada
faedahnya untuk kita semua."
Sang Hiang Tojin berbangkit, ia mengangguk memberi
hormat. "Harap janganlah kau sungkan, Toheng," berkata
rahib itu. "Buat menghindari bencana rimba persilatan, kami
takkan menampik segala apa. Dengan ini kami berjanji, asal
kami menerima surat dari Toheng, segera pinto akan
memimpin anggota kami untuk datang menerima segala titah.
Nah, toheng, perkenankanlah kami meminta diri !"
Benar-benar Sang Hiang mengajak rombongannya berlalu
setelah mereka memberi hormat pada Pek Cut Taysu beramai.
Lalu Pauw Pok Tojin dari Beng Shia Pay berbangkit dan
sembari memberi hormat kepada Pek Cut Taysu, ia berkata :
"Pinto mohon bertanya, bagaimana dengan Tio It Hiong murid
pandai dari Tek Cio Totiang " Gerak gerik dia menjadi satu
teka teki " Kenapa dia sebentar palsu, sebentar asli " Kuil
Leng Siauw Koan kami telah dikacau olehnya serta beberapa
muridku pun terbinasa dan dilukai. Pinto minta sukalah
Toheng membuat penyelidikan, supaya kutu busuk kaum
rimba persilatan itu bisa disingkirkan. Buat ini lebih dahulu
pinto menghaturkan banyak terima kasih. Nah, Toheng,
ijinkanlah kami mengundurkan diri !"
Imam itu lantas mengajak rombongannya memberi hormat,
terus mereka pergi turun gunung.
Pek Cut Taysu membalas hormat, ia mengucap terima kasih
seraya memberi selamat jalan. Habis itu, ia tampak masgul.
Itulah karena soal Tio It Hiong yang membingungkan itu.
"Jika benar semua kejahatan itu diperbuat oleh anaknya
itu, akan aku binasakan dia !" berkata In Gwa Sian yang gusar
bukan main. "Sobat Losicu," Pek Cut Taysu menghibur pendeta itu yang
baru terasadar itu, tak selayaknya si pengemis bergusar.
"Sekarang ini baiklah Losicu merawat diri lebih dahulu. Akan
lolap membuat penyelidikan, guna membikin soal menjadi
terang dan jelas." Sampai disitu, para tetamu atau kawan lainnya berganti
memohon diri, buat berpamitan hingga mereka tak usah
kembali dahulu ke kuil. Dilain saat, Ang Sian Siangjin sudah
kembali bersama joli daruratnya. Diwaktu naik ke joli, In Gwa
Sian tidak melihat Kiauw In dan Giok Peng, ia tanya kemana
perginya nona-nona itu. "Mereka lagi menyusul Tio Sicu." Pek Cut Taysu
memberikan keterangan. Lantas mereka turun gunung, buat berjalan pulang.
Sementara itu Kiauw In berlima, setibanya mereka di kaki
puncak, mereka telah kehilangan orang yang disusulnya.
Mereka tak dapat menyandak tadi sebab mereka tidak berani
datang terlalu dekat, mereka jeri terhadap bubuk beracun
yang jahat dari pemuda yang dicurigai itu.
"Sudah, adik, tak usah kita menyusul terus." kata Kiauw In
kemudian sambil ia menahan larinya Giok Peng. "Paman In
terluka parah, mari kita melihat padanya, mari kita pulang !"
"Di sana ada Pek Cut Taysu yang merawati, aku percaya
luka Paman In tidak berbahaya," kata Nona Pek. "Aku berpikir
buat menyusul lebih jauh, buat melihat bagaimana sebentar."
Ketika itu Tan Hong, yang lari belakangan, menyandak
kedua nona. Ia memberi hormat dan berkata : "Kakak, kenapa
kakak berhenti disini " Bagaimana penglihatan kakak, apakah
benar ia tidak Hiong yang terkena racun hingga tabiat atau
kelakuannya menjadi berubah demikian rupa ?"
Berkata begitu, Tan Hong hanya memandang Kiauw In, tak
terhadap Giok Peng. Giok Peng memandang tajam kepada Tan Hong, bukannya
dia menjawab pertanyaan nona itu, bahkan ia dengan
suaranya yang tak sedap berkata : "Kau bersama adik Hiong
telah pergi bersama ke Ay Lao San, apakah kau bikin di sana "
Bukankah kau yang membujukinya hingga dia menjadi
berubah demikian macam " Aku justru hendak meminta
keteranganmu !" Bukan main berdukanya Tan Hong. Ia bermaksud baik,
orang keliru menerimanya. Terhadap nona Pek, tak dapat dia
bergusar menuruti tabiatnya. Maka itu, dia menjadi sedih
sendirinya. "Tentang kepergianku ke Ay Lao San bersama adik Hiong,"
kata ia sambil menangis, "ada suheng Whie Hoay Giok serta
cianpwe Beng Kee Eng yang mengetahuinya. Kalau kakak
salah mengerti, silahkan kakak tanyakan mereka itu berdua."
"Hm !" Giok Peng membentak. "Merekalah orang laki-laki,
mana mereka ketahui tentang kepandaianmu, budak setan "
Kalau sampai terjadi sesuatu atas dirinya adik Hiong kau yang
harus bertanggung jawab !"
Tan Hong berdiam, dia menangis sedih sekali hingga
tubuhnya menggigil. Kiauw In berkasihan melihat orang demikian berduka. Ia
berkesan baik sekali terhadap nona itu yang seperti dia,
sangat mencintai Tio It Hiong. Dia menghampiri, akan
menggenggam tangan orang. " Nona Tan, janganlah kau
berduka karena kata-katanya adik Giok Peng." ia menghibur. "
Kita bertiga toh memikir sama semua buat kebaikannya adik
Hiong. Apakah kau pun ada soal, bukankah baik untuk kita
mengatakannya dengan sejujurnya ?"
Berkata begitu Kiauw In menarik Giok Peng. "Adik Peng,
janganlah kau salah paham terhadap Nona Tan" kata ia pula.
"Nona ini pun telah berjasa kepada adik Hiong."
Tadi Giok Peng tengah panas hati, dia bicara keras,
sekarang melihat sikapnya Kiauw In dengan luwes, dia sadar.
Dia malu sendirinya. Dia memangnya jujur.
"Barusan aku berbuat salah." kata dia mengakui. "Itu
semua sebab kecerobohan kakakmu ini, maka itu suka apalah
kau memakluminya." Tan Hong bersyukur mendengar kata-kata halus dari Kiauw
In, sekarang ia mendengar Giok Peng meminta maaf. Legalah
hatinya, hilang kesedihannya. Ia lantas menepas air matanya.
"Terimakasih kakak berdua, kalian sangat menyayangi
aku." kata dia yang lantas dapat bersenyum. "Kakak, Tan
Hong akan ukir kebaikan kalian ini dalam hatinya. Demi adik
Hiong, aku tak akan mundur walaupun aku mesti menghadapi
lautan api ! Kakak apakah ajaran kakak untukku ?"
"Buat mencari adik Hiong, usaha kita harus dipecah
menjadi dua." kata Kiauw In. "Pertama-tama kita harus cari
tahu dimana adik Hiong sekarang ini, terutama guna
mengetahui tentang keselamatan dirinya. Yang kedua ialah
memberi tahu siapa sebenarnya orang muda tadi. Segala ia
sama dengan adik Hiong kecuali gerak geriknya. Kalau dia
benar adik Hiong, dia tentunya menjadi korban semacam obat
atau racun yang merusak sifat asalnya. Di dalam hal ini, ia
membutuhkan pengobatan dan perawatan yang cepat dan
tepat. Nah, bagaimana kalian pikir ?"
"Baik rupa maupun pakaiannya, orang itu tidak ada bagianbagiannya
yang mencurigai," kata Giok Peng, "apa yang beda
ialah caranya dia menyamai adik Hiong. Sebenarnya aku
bingung sekali." Kiauw In diam berpikir sampai dia ingat satu hal. "Adik
Tan." katanya kemudian kepada Tan Hong, "coba kau
tuturkan hal ikhwal kalian semenjak atau selama kalian pergi
ke Ay Lao San sampai peristiwa yang paling akhir yang kau
ketahui. Kau ceritakan segala apa dengan jelas, mungkin dari
situ dapat memikir sesuatu."
Berkata begitu nona Cio mengajak kedua kawan itu pergi
berduduk di atas batu di tepi gunung.
Tan Hong mengikuti, dia duduk dibatu. Lebih dahulu dia
merapikan rambutnya yang kusut tertiup angin. Dia pun
tunduk dahulu mengingat-ingat. Setelah itu baru dia
memberikan keterangannya. Dia menutur segala apa dengan
jelas terutama disaat mereka mau berpisahan sebab Tio It
Hiong pergi mendaki gunung seorang diri guna menggempur
kaum Losat Bun. "Sejak itu aku tidak tahu apa-apa lagi mengenai adik
Hiong" kata ia kemudian. "Adalah kemudian di Liong Peng aku
bertemu pemuda yang mirip adik Hiong itu dan malamnya
dirumah penginapan dia datang menyerbu cianpwe Beng Kee
Eng hingga aku mengejarnya. Hampir aku bercelaka
ditangannya. Aku terkena bubuknya yang jahat, yang
membuatku roboh tak sadarkan diri. Dia membawa aku ke
sebuah gubuk dimana aku secara kebetulan ditolongi Lam
Hong Hoan. Belakangan lagi di kecamatan Iap lee di rumah
penginapan aku bertemu dengan Siauw Wan Goat yang kena
diakali oleh pemuda itu, dia telah dicemarkan dan dilukai."
Tan Hong menghela nafas. "Adik Hiong menjanjikan aku
buat kami bertemu pula di gunung Tay San." ia menyambungi
akhirnya. "Adik Hiong jujur, dia pasti memegangi janjinya.
Disamping itu dia benci perbuatan jahat, aku percaya dia pasti
akan menghadiri pertemuan besar itu, sebab itulah saatnya
guna mengakhiri bencana rimba persilatan. Tapi malam ini,
adik Hiong tidak hadir. Hal itu membuatku bingung dan
berkuatir." Dua-dua Kiauw In dan Giok Peng berpikir keras, mereka
berkuatir dan bingung. Itulah sebab Tio It Hiong mendaki
gunung Ay Lao San seorang diri. Sekian lama mereka berdiam
saja. Tan Hong juga terus membungkam.
"Setelah mendengar penuturan kau, Nona Tan," akhirnya
Kiauw In berkata : "aku berkesimpulan pemuda di Kuan JIt
Hong tadi bukanlah adik Hiong, dia pasti seorang lain yang
memalsukan dirinya. Dia pula bukannya orang dari golongan
sesat yang hendak mengacau. Dia mestinya musuh dari adik
Hiong yang menyamar dan bertindak guna menimpakan
segala dosa kepada adik Hiong !"
Giok Peng dan Tan Hong mengawasi nona itu.
"Bagaimana kakak," tanyanya, "bagaimana sekarang ?"
"Menurut aku, baik kita bekerja dengan memisah diri."
sahut nona Cio. "Adik Tan, coba kau pergi ke Ay Lao San guna
membuat penyelidikan di sana guna mencari jejaknya adik
Hiong. Aku bersama adik Peng, aku akan pergi menyelidiki
pemuda yang mencurigai itu. Setelah setengah bulan, kita
akan bertemu pula di rumah di belakang gunung Siong San
itu. Apakah kalian setuju ?"
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tan Hong adalah wanita Kang Ouw, dia lompat bangun
paling dulu. "Akan aku turut perintahmu, kakak !" katanya pada Kiauw
In. "Nah, adikmu berangkat lebih dahulu ! Sampai kita
berjumpa pula !" Ia lari turun gunung, akan terus menghilang cepat.
Giok Peng mengawasi orang berlari-lari. "Ah, anak tolol !"
katanya tertawa. "Dia sudah tahu bahwa adik Hiong sudah mempunyai kau
dan aku, kakak. Kenapa dia masih tergila-gila demikian rupa "
Memangnya di kolong langit ini sudah tidak ada pertanyaan
lagi ?" Kiauw In tersenyum, matanya melirik nona itu. "Inilah
mungkin yang dibilang hutang dari limaratus tahun dahulu !"
kata ia sabar. "Adik Tan itu bolehlah dikata seorang yang
harus dikasihhani....."
Giok Peng mengawasi kakak itu. "Tetapi kakak." katanya.
"Disisi pembaringan kita, dapatkah kita membiarkan lain orang
tidur menggores " Kakak bicara dengan seenaknya ! Kakak
berpura menjadi orang baik hati !"
Kiauw In tidak melayani bicara, ia hanya menengadah
langit. Sang waktu berjalan terus.
"Mari !" ia mengajak adik itu.
Giok Peng mengikuti, maka pergilah mereka berdua.
Ke empat nona itu dan Cukat Tan telah jadi permainannya
Gak Hong Kun. Dia tahu dia dikejar, itulah artinya berabe.
Maka setibanya di kaki gunung, dia menyelinap ke samping,
masuk di tempat pepohonan lebat dimana ada batu karang
yang besar. Di situ tanpa terlihat dari sebelah luar, dia
merebahkan diri. Sempat dia melihat lewatnya lima orang
yang mengejarnya itu, hampir dia keluar dari tempat
persembunyiannya, akan menyusul Giok Peng sebab melihat
nona Pek timbul pula cinta bahkan jelusnya hingga dia ingin
memiliki nona itu. Dia membatalkan niatnya itu sebab lantas
dia melihat datangnya Lam Hong Hoan sekalian kemudian
beruntun yang lain-lain, yang meninggalkan puncak Koan JIt
Hong. Baru sesudah semua orang lewat, dia keluar dari
tempatnya bersembunyi itu. Selama itu dia rebah saja. Setelah
tiba di jalan umum, dia berlari-lari, niatnya menyusul Giok
Peng. Sementara itu Cukat Tan sudah berlaku cerdik. Sesudah
menyusul sekian lama tanpa hasil, timbullah kecurigaannya
hingga ia berpikir : "Mengimbangi dengan lari kita, tak
mungkin orang itu tak dapat disusul. Mestinya dia
bersembunyi di tengah jalan. Baik aku tungu dia disini...." Dan
ia pergi ke tepi jalan dimana terdapat gerombolan rumput
tebal dan tinggi, disitu dia menyembunyi-kan diri.
Tak lama terlihatnya orang-orang yang berjalan pulang dari
tempat pertemuan. Paling belakang, terlihat juga orang yang
dicarinya, berlari-lari melewatinya. Ia puas sekali. Diam-diam
ia lantas menguntit. Tio It Hiong palsu baru berhenti berlari dan berjalan
perlahan, itu sudah magrib. Dengan berani dia memasuki kota
karena dia menerka Giok Peng semua singgah di dalam kota
itu. Dia ingat pelajaran yang dapat dari Koay To Ciok Pek
dikota Kay hong ketika diserang, maka dia takut menemui
orang, kuatir nanti menjadi berabe. Dia sengaja mencari
sebuah jalan yang sepi serta rumah penginapan kecil dan
buruk perlengkapannya. Cukat Tan terus membuntuti dan ia pun singgah di
penginapan itu. Dengan demikian terus ia bisa memasang
mata. Perhatiannya anak muda she Cukat itu terlalu dipusatkan
kepada pemuda yang ia bayang itu, diluar tahunya ditengah
jalan tadi ia terlihat oleh Teng Hiang, si nona yang pikirannya
menjadi kacau sebab kematian gurunya, hingga ia menjadi
sebatang kara. Dia telah memisah diri dari Lam Hong Hoan.
Melihat si anak muda, semangatnya menjadi terbangun. Sejak
di tempat pertandingan tadi, dia sudah sangat tertarik oleh
pemuda yang tampan itu yang kepandaian pedangnya dia
telah uji sendiri. Dia lantas mengikuti dan masuk juga di
penginapan yang sama. Hanya dia tak mau berlaku sembrono
akan segera menyapa pemuda itu.
Cukat Tan baru mendapat tahu orang menguntitnya setelah
mereka sudah memasuki rumah penginapan. Ia tidak tahu
maksud orang tetapi ia bercuriga maka diam-diam ia
berwaspada. Ia pula berpura tak lihat nona itu. Teng Hiang
mendapat meja di sebelah timur karena Cukat Tan duduk di
meja sebelah barat. Tetapi setelah beberapa tetamu berlalu
dia pindah ke dekat meja si anak muda.
Habis memesan barang makanan, diam-diam Teng Hiang
mengawasi si anak muda. Dimatanya, pemuda itu tampan
sekali, hingga hatinya menjadi sangat tergiur. Hingga ingin dia
supaya anak muda itu segera berada didalam rangkulannya.
Dia lantas berpikir keras. Apa daya akan dapat berbicara
dengan pemuda itu. Mereka ada dari laIn Golongan bahkan
baru saja mereka bertempur sebagai lawan satu dengan lain.
Dia sebenarnya cerdas, hingga dia dapat "merokoki" It Hiong
dengan Giok Peng, tetapi buat urusannya sendiri ini,
pikirannya menjadi ruwet. Sulitnya ialah dia mau menjaga
derajat supaya si pemuda tidak mengatakan centil dan ceriwis.
Cukat Tan minum seorang diri, ia pun berpikir keras. Ketika
itu, orang yang dikuntit dan diintainya menyekap diri di dalam
kamar. Satu kali ia menuang araknya malahan hingga terkena
bajunya. Teng Hiang tertawa melihat orang kelabakan sebab
bajunya terkena arak itu.
Cukat Tan terperanjat mendengar si nona tertawa, ia
menoleh. Teng Hiang mengawasi pemuda itu hingga sinar
mata mereka berdua seperti beradu satu sama lain. Ia
tersenyum, ia memperlihatkan wajah manis.
Cukat Tan hendak membersihkan bajunya waktu ia
mendapati sebuah saputangan dilemparkan kepadanya dan si
nona berkata sambil tertawa : "Kau susutlah dengan
saputangan ini ! Sebenarnya arak tidak membuat orang
sinting, hanya oranglah yang sinting sendirinya !'
Si pemuda menyambuti saputangan itu, ia menyusuti
bajunya, kemudian setelah memerasnya kering, ia bertindak
menghampiri si nona. "Terima kasih !" katanya sambil mengembalikan
saputangan itu. Teng Hiang tertawa. "Kita sama-sama orang Kang Ouw, jangan kita berlaku
sungkan !" katanya manis. "Ya, kalau kita tidak bertempur,
kita tak bakal kenal satu pada lainnya ! Cukat kongcu, kiranya
kau baru sampai disini !"
"Kongcu" adalah panggilan terhormat tuan untuk seorang
muda. Cukat Tan tertawa. Di dalam keadaan seperti itu, tak dapat
ia berlaku bengis atau memusuhkan si Nona Tanpa alasan.
"Maaf, Nona Teng Hiang !" ia berkata. "Nona pun singgah
disini ?" Teng Hiang mengangguk. Itulah pembicaraan permulaan mereka, lantas selanjutnya
mereka dapat memasang omong tanpa canggung lagi. Teng
Hiang demikian pandai membawa diri hingga lenyaplah
keragu-raguan pemuda itu terhadap dirinya. Ia memangnya
tidak bermaksud jahat bahkan baik. Sebab ia ingin mencapai
cinta kasihnya si anak muda.
Dari berpisah meja, berdua mereka lantas duduk bersamasama.
Dan mereka makan dan minum sampai cukup setelah
mana Cukat Tan kena dibujuk akan memasuki kamar si nona,
buat mereka melanjuti memasang omong dengan asyik.
Banyak soal yang dibicarakan sampai kepada halnya Tio It
Hiong. Cukat Tan dengan polos mengutarakan kekagumannya
terhadap Tio It Hiong, akan kemudian ia tanya nona di
depannya itu : "Nona, kau telah banyak menjelajah, apakah
kenal Tio It Hiong ?"
Sebelumnya menjawab, si nona tersenyum dan melirik si
anak muda. "Ah, kenapa kau masih saja memanggil aku nona,
nona lagi ?" katanya. Ia menegur tetapi tidak gusar. "Apakah
dengan begitu kau tak kuatir derajatmu akan turun " Memang
pergaulan kita masih sangat baru tetapi aku merasa kita
sudah sangat akrab satu dengan lain, maka itu aku tak
menyukai panggilanmu ini ! Tak dapatkah kau memanggil
kakak kepadaku ?" Cukat Tan melengak. "Dia asal sesat tetapi begitu rupa kita
saling berbahasa, apakah kelak guruku tak akan menegurku ?"
pikirnya bingung. "Hebat kalau aku dipersalahkan....." Tapi si
nona cantik sekali dan suaranya merdu maka tergeraklah "hati
batunya", ia berpikir keras hingga tak dapat ia segera
memberikan jawabannya. Teng Hiang mengawasi, dia tertawa terus dia menepuk
bahu orang. "Bagaimana, eh ?" tanyanya, "Menyebut kakak saja begini
susah ! Apakah kau memandang hina kepadaku ?"
Tiba-tiba si nona menjadi sedih, air matanya meleleh
keluar. Itulah perubahan sejenak, itu pula kepandaiannya
seorang wanita yang cerdik.
Tak dapat Cukat Tan mempertahankan diri lagi. "Kakak !"
panggilnya. "Kakak, kau....."
Bukan main girangnya Teng Hiang tetapi ia tidak segera
utarakan itu pada wajahnya. Perlahan-lahan ia mengangkat
mukanya, menatap anak muda itu.
"Adik, apakah katamu ?" tanyanya.
"Aku menyesal, kakak." sahut si anak muda itu. "Aku
menyesal telah membuatmu berduka." Ia nampaknya likat.
Teng Hiang tersenyum. "Tak akan aku sesalkan kau, adik." bilangnya. "Adik yang
baik, jangan kau pikirkan itu......"
Pemuda itu mengawasi lampu, ia berdiam saja. Teng Hian
pun berdiam, ia cuma mengawasi, lewat sesaat barulah ia
memecahkan kesunyian itu.
"Eh, adik, bukankah tadi kau menanyakan aku tentang Tio
It Hiong ?" tanyanya.
Cukat Tan melengak, ia bagaikan baru mengingat sesuatu.
"Ya, kakak." sahutnya. "Aku menanya kau kenal Tio It
Hiong atau tidak....."
Mendengar disebutnya nama Tio It Hiong, Teng Hiang
masgul. Lantas ia ingat peristiwa pada suatu malam di Lek
Tiok Poo, itulah ketika ia menempur salah seorang lawan dan
jatuh dari atas genting tetapi Tio It Hiong menyanggah
tubuhnya hingga ia kena terpeluk dan menjadi tak kurang
suatu apa, itulah kejadian yang tak dapat dilupakan. Itulah
suatu budi..... Masih ada suatu hal lain yang Teng Hiang ingat benar.
Itulah katanya Tio It Hiong bahwa si anak muda akan
memperlakukan ia sama seperti terhadap Pek Giok Peng.
Kata-kata itu ia mengartikan banyak, itulah kata-katanya
seorang pria pada seorang gadis belia, Itu waktu pun Tio It
Hiong, si anak muda memanggilnya "adik" itu pun yang
menyebabkan ia berduka dan kabur dari Lek Tio Po sebab dia
merasa tak mungkin ia melayani pemuda itu bersama-sama
Giok Peng yang mudah jelus itu. Maka ia kabur dan kebetulan
sekali ia bertemu dengan Thian Cie Lojin si jago tua yang lihai
hingga ia berguru padanya. Sekarang gurunya menutup mata
dan ia menjadi sebatang kara pula. Tapi ia tidak takut
merantau seorang diri. Ia telah berpengalaman dan bernyali
besar. Selama mengikuti Giok Peng merantau, ia sudah
melihat dan mendengar banyak. Tapi sekarang di depannya
itu ada seorang pemuda lain yang tak kalah tampan dan
gagahnya. Pikirannya lantas berubah.
"Tio It Hiong ?" dia menegaskan tiba-tiba, lalu dia tertawa.
"Bukan saja kakakmu ini mengenalnya, bahkan kami
pernah....." Mendadak saja budak bengal ini berhenti bicara. Hampir ia
membuka rahasianya. Syukur ia lantas ingat peristiwa itu bisa
membangkitkan kesan tak baik dalam hatinya Cukat Tan.
"Apakah itu kakak ?" tanya Cukat Tan polos.
"Kami pernah berkenalan, dalam waktunya pendek sekali."
sahut si nona yang terpaksa menderita.
"Kakak" tanya pula si anak muda, "Kalau kakak kenal dia
kenapa kemarin ini di Koan JIt Hong, kakak tidak
menyapanya. Aneh bukan, Tio It Hiong justru bertempur
dengan tunangan atau istrinya ! Aku maksudkan dengan Cio
Kiauw In dan Pek Giok Peng. Hal itu membuatku heran
sekali......." Teng Hiang mau menunjuki pengetahuannya yang luas, ia
juga ingin membuat senang anak muda itu, ia lantas
menjawab perlahan, "Kau tidak tahu adik didalam dunia Kang
Ouw terdapat banyak sekali akal muslihat yang licik ! Di atas
puncak Koan JIt Hong itu dapat orang menyamar dan menipu
orang lain tetapi tidak kakakmu ini !"
Cukat Tan heran, ia mendelong menatap nona cantik manis
di depannya itu. "Ah, kakak maksudkan dialah Tio It Hiong palsu ?"
tanyanya. "Habis kakak, siapakah dia sebenarnya ?"
"Dialah Gak Hong Kun, murid dari Heng San Pay !"
"Gak Hong Kun ?" Cukat Tan mengulangi nama orang.
Mendadak saja pintu jendela terpentang, satu tubuh
berloncat masuk, sebatang pedang menyambar pada nona
Teng, sembari menyerang secara mendadak itu, si penyerang
pun memperdengarkan suara bengis : "Teng Hiang budak
bau, kau cari mampus ya ?"
Kaget Teng Hiang juga Cukat Tan tetapi sempat mereka
berlompat memisahkan diri, menyingkir dari ujung pedang itu,
setelah mana mereka menghunus pedangnya masing-masing.
Keduanya balik mengawasi si penyerang gelap itu. Mudah saja
akan mengenali orang ialah Tio It Hiong si pengacau puncak
Koan JIt Hong. "Kau siapa ?" Cukat Tan menegur.
"Jangan usil aku siapa !" sahut orang itu membentak.
"Gak Hong Kun !" berkata Teng Hiang yang tidak takut.
"Jangan kau main gila ! Apakah kau sangka rahasiamu dapat
ditutup terhadap Teng Hiang ?"
Hatinya Gak Hong Kun tergetar. Dia memang paling takut
orang membeber rahasianya.
Tapi dia tidak takut, sebaliknya dia jadi membenci Teng
Hiang juga Cukat Tan. Maka muncullah keinginannya untuk
menyingkirkan sepasang muda mudi itu. Tapi dia licik sebelum
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia turun tangan ingin dia mengorek dahulu keterangannya
nona itu. Berapa banyak si nona telah mengetahui rahasianya. Maka
ia tertawa terkekeh-kekeh. "Eh, budak bau, jangan kau
menghina orang." tegurnya. "Apakah kau sangka tuan
besarmu benar takut akan ancamanmu ini " Nah, kau
bicaralah !" Kecerdikannya Teng Hiang tak kalah dari kecerdikannya si
anak muda, ia menangkap maksud hati orang. Ia kata
jumawa. "Sudah cukup bagiku yang aku ketahui kaulah orang
Tio It Hiong palsu ! Buat apa bicara banyak pula ?"
Cukat Tan gelap bagi tampangnya Tio It Hiong dan Gak
Hong Kun berdua. Sekarang ia hanya merasa pasti bahwa
orang adalah It Hiong palsu. Maka itu ia terus mengawasi
tajam anak muda di depannya itu yang matanya bersinar
mengandung sifat kekejaman atau kegemaran akan
pembunuhan. Diam-diam ia merasa bergidik sendirinya.
Diam-diam pula ia melirik dan mengedipi mata pada Teng
Hiang, mengisikkan untuk si nona berwaspada. Gak Hong Kun
ingin membinasakan dua orang muda ini tetapi ia masih
memikirkan bagaimana caranya. Berat usahanya kalau muda
mudi itu bekerja sama. Kepandaiannya Teng Hiang ia telah
ketahui, tidak demikian kepandaiannya Cukat Tan. Maka ia
pikir baik ia ancam saja Teng Hiang.
"Ah, kenapa aku lupa" pikirnya kemudian, mendadak ia
ingat sesuatu. "Bukankah selama di Heng San pernah dia
menunjukkan cintanya padaku " Kenapa sekarang aku tidak
mau pakai itu sebagai umpan " Dengan mendapati tubuhnya,
aku pun bisa terus peralat padanya."
Setelah memikir begitu, Gak Hong Kun lantas merubah
sikapnya. "Adik yang baik" katanya sabar, "bukankah kau telah
melihat sendiri bagaiman Tio It Hiong telah merampas pacar
orang " Habis kenapakah kau hendak membantunya buat
membuka rahasiaku " Coba kau pikir apakah kebaikannya Tio
It Hiong terhadapmu."
Teng Hiang mengawasi dengan berdiam saja. Ucapan itu
memang membangkitkan cintanya terhadap Tio It Hiong.
Gak Hong Kun pandai melihat selatan. Ia sudah maju satu
tindak, hendak ia maju lebih jauh. Ia tertawa dan kata pula,
"Demikan, adik aku jadi gemar berdandan sebagai dianya. Aku
ingin menarik perhatian supaya kau makin mencintai aku !
Nah, demikian rupa aku menggilai kau, adik, kau tahu atau
tidak ?" Coba Gak Hong Kun bersikap begini sebelumnya Teng
Hiang bertemu dengan Cukat Tan, pasti akan mudah saja ia
dapat merebut hati si nona. Sekarang tidak. Bahkan sikapnya
itu menimbulkan kesan sebaliknya. Teng Hiang justru menerka
orang mau merusak pergaulannya dengan pemuda she Cukat
itu. "Apakah artinya penyamaranmu ini ?" tanya si nona tawar.
"Apakah artinya semua perbuatanmu itu " Kau bicara begini
rupa terhadap aku, berapa tebal mukamu " Apakah kau tak
kuatir orang justru membencimu ?"
Gak Hong Kun terkejut. Tak dia sangka bahwa dia bakal
dapat perlakuan sebaliknya dari pada apa yang dia harapharap.
Dia lantas melirik kepada Cukat Tan saingannya itu !
"Jika kau tak sudi menerima aku, adik, tidak apa." kata ia.
"Sekarang aku minta sukalah kiranya kau menyimpan
rahasiaku ini." "Atas nama persahabatan kita dahulu hari !"
"Kalau kau menampik, hm !"
Tak puas Teng Hiang. Orang bicara tak karuan. Katakatanya
orang itu pula dapat menggoncangkan
kepercayaannya Cukat Tan ! Kalau anak muda itu bercuriga "
Maka ia mau mencegah. "Aku Teng Hiang, aku ada seorang putih bersih !" kata ia
keras. "Apakah hubungan kau dengan aku " Kapannya kita
bersahabat " Jangan kau mengoceh saja ! Awas, pedang
nonamu tak akan mengampunimu !"
Habis dayanya Gak Hong Kun, habis pula sabarnya.
Mendadak saja dia menghunus pedangnya hingga sinarnya itu
berkemilau diseluruh ruang itu.
"Teng Hiang !" bentaknya. "Kau suka menerima atau tidak,
terserah kepadamu ! Mengingat persahabatan kita, telah aku
memberikan kau satu jalan hidup ! Kau tahu atau tidak, siapa
ketahui rahasiaku, dia tak dapat hidup lebih lama pula !"
Cukat Tan menjadi gusar sekali. Orang telah mendesak
nona yang ia cintai. Maka bangkit bangunlah sepasang alisnya.
"Kiranya kaulah seorang jahat !" teriaknya. "Kalau kau
benar gagah, kau sambutlah beberapa jurusku !"
Begitu ia menantang, begitu si anak muda menyerang. Ia
menikam ! "Tahan!" Teng Hiang maju sama tengah. "Kalau kita mau
mengadu jiwa, mari kita cari tempat yang sepi. Kita tidak
dapat mengganggu ketenteraman disini !"
Itulah yang Gak Hong Kun inginkan. Memang ia takut nanti
ada orang lain yang muncul disitu dan orang itu
mengenalinya. "Bocah bau," katanya jumawa, "kalau benar kau berani,
pergilah kau keluar pintu kota timur, di Go Gu Po ! Ditanjakan
itu akan aku nantikanmu untuk mengantarkan kau pergi
berpulang....." Kata-kata itu disusul dengan lontaran tubuh pesat keluar
jendela. Malam itu Gak Hong Kun keluar buat mencari tahu tentang
Giok Peng, kebetulan ia melihat api dikamarnya Teng Hiang.
Ia lantas datang mencintai, maka lebih kebetulan pula ia
menemui pemudi itu bersama si pemuda. Mulanya ia tidak
menghiraukan segala apa, hendak mengangkat kaki, akan
tiba-tiba ia mendengar namanya disebut-sebut dan Teng
Hiang membuka rahasianya. Dalam gusarnya ia lantas masuk
kekamar orang, niat membinasakan muda mudi itu atau ia
bersangsi sebab ia belum tahu kepandaiannya pemuda she
Cukat itu. Pula di dalam penginapan, tak berani ia membuat
onar. Keributan bakal merugikannya. Demikian ia menahan
sabar dan menantang untuk berkelahi di luar kota.
Hatinya Cukat Tan masih panas, hendak ia melompat
menyusul, tapi Teng Hiang menarik ujung bajunya.
"Jangan kena dipancing, adik !" mencegah si nona. "Jangan
susul dia !" "Tadi kita sudah berjanji, kakak." kata si anak muda polos.
"Janji kaum rimba persilatan harus dipenuhi. Mana dapat
sudah berjanji, tapi kita tidak muncul...."
Teng Hiang tertawa. "Seorang laki-laki tak dapat
membiarkan dirinya diperdayakan !" kata ia. "Terhadap
manusia jahat, buat apa kita mengukuhi kehormatan kita "
Paling benar kita jangan ladeni dia !"
Tapi Cukat Tan sedang bersemangatnya. "Tetapi, kakak,"
kata dia, "dapat menyingkirkan seorang jahat juga menjadi
salah satu tugas kaum rimba persilatan ! Aku Cukat Tan
sekalian saja hendak aku menguji kepandaian orang itu !"
Tak mau Teng Hiang mengadu mulut dengan orang yang
dia cintai itu. "Sungguh kau gagah, adik !" katanya sambil memuji.
"Menghormati kepercayaan justru menjadi peganganku, hal itu
membuatku gembira. Cuma biar bagaimana harus kita
waspada ! Kita harus berjaga-jaga dari akal busuknya !"
Keduanya lantas bersiap, habis memadamkan api, mereka
meninggalkan kamar dengan jalan meloncati jendela. Mereka
berlari-lari keluar kota. Teng Hiang kira ketika itu sudah jam
empat. Selekasnya muda mudi ini mendekati Go Gu Po, di sana
mereka melihat sinar pedang bergerak-gerak bagaikan
bayangan memain diantara bayangan pepohonan.
"Mari lekas !" Cukat Tan mengajak. Di sana ada
pertempuran, hendak ia melihat siapa mereka itu. Ia perkeras
larinya. Teng Hiang lari keras menyusul pemuda itu.
Diatas tanjakan itu, dua orang tengah bertempur seru,
yang satu ialah Siauw Wan Goat dari To Liong To, yang
lainnya si Tio It Hiong palsu. Siauw Wan Goat kecewa,
bersusah hati dan gusar. Ia telah dipermainkan pemuda itu. Ia
jadi nekad dan bersedia mati bersama si pemuda. Sejak di
Koan JIt Hong ia mencari anak muda itu, sampai kebetulan ia
melihat si anak muda berlari-lari ke pintu kota timur itu. Ia
menyusul dan menyandak, ditanyakan itu lantas ia
menyerang. Maka itu bertarunglah mereka berdua.
Siauw Wan Goat berkelahi dengan menggunakan ilmu
ringan tubuh dari To Liong To namanya "Kwio Siam Tong
Hiang" artinya ilmu "Bajingan berkelit". Ia bergerak-gerak
dengan sangat pesat dan lincah dan tidak ada suaranya juga.
Mulanya ditikam Gak Hong Kun dapat berkelit, walaupun
itulah bokongan. Inilah sebab dia lihai sekali.
"Kau cari mampus !" dia membentak setelah dia menoleh
dan mengenali jago wanita dari pulau naga melengkung itu.
Siauw Wan Goat makin gusar, dia menyerang pula. Maka
itu, berdua mereka menjadi bertempur sampai tibanya Cukat
Tan dan Teng Hiang. Dalam ilmu silat, Gak Hong Kun menang
satu tingkat, tetapi si nona nekad. Dia terdesak maka satu
kali, karena ayal sedikit saja ujung pedang si nona sudah
berhasil menggores iga kirinya hingga bajunya robek dan
kulitnya tergores hingga darahnya mengalir keluar.
Hal ini membuatnya gusar sekali. Belum pernah orang
melakukan secara demikian. Maka ia balik menyerang hebat
sekali. Ia menggunakan jurus silat "Su Yan Hong In" atau
"Badai di Empat Penjuru."
"Traaang," demikian terdengar satu suara nyaring sesudah
jurus-jurus dikasihh lewat.
Siauw Wan Goat kaget sekali. Pedangnya kena dipapas
kutung pedang mustika lawannya yang dia benci itu. Sudah
begitu pedang lawan terus meluncur ke kepalanya. Tapi
sempat ia berkelit, memindahkan diri ke belakang orang, maka
terus saja dengan pedang buntungnya ia menghajar
punggung musuhnya. Ia menggunakan pedang seperti senjata
rahasia ! Gak Hong Kun terkejut, selekasnya si nona lenyap dari
depannya. Ia lantas menerka akan datangnya serangan dari
belakang, ia lantas memutar tubuh sambil mendak seraya
dengan pedangnya menangkis ke belakang. Maka tepat ia
kena menghajar pedang buntung hingga pedang itu terpental
jauh setombak lebih. Siauw Wan Goat hilang napsu berkelahinya. Tanpa pedang
ia pasti tak dapat berbuat apa-apa. Tanpa ragu lagi, ia putar
tubuhnya dan lari turun tanjakan. Gak Hong Kun panas hati, ia
ingin binasakan nona itu, maka ia mengejar, tetapi orang tidak
mau memberi ketika padanya. Tiba-tiba saja Cukat Tan
menghadang di depannya. Teng Hiang mengenali Siauw Wan Goat, ia membiarkan si
nona lewat sambil ia menanya : "Adik Wan Goat, siapakah
orang yang mengejarmu ?"
Siauw Wan Goat berlari terus tetapi dia menoleh dan
menjawab : "Dialah Tio It Hiong !"
Teng Hiang tertawa di dalam hati.
"Dasar budak tolol !" pikirnya, "Dia cari penyakit sendiri ! Si
palsu dikatakan si tulen !"
Sementara itu Cukat Tan yang memegat Tio It Hiong palsu
segera membentak : "Orang she Gak, tahan ! Cukat Tan
menepati janji !" Gak Hong Kun menahan diri dengan ia lompat jumpalitan
mundur. Setelah ia hadapi si anak muda she Cukat, terus ia
berkata nyaring : "Bocak cilik, kau mau mati ya " Lekas kau
minggir ! Tuan Gak kamu hendak menyingkirkan kau budak
bau itu, habis dia baru aku akan berurusan dengan aku !"
Teng Hiang tertawa haha-hihi, dengan tangannya
menunjuk ke bawah tanjakan dimana Siauw Wan Goat sedang
berlari-lari. Didalam waktu yang lekas, Nona Siauw tampak
sudah seperti bayangan, yang terus melenyap.....
"Gak Hong Kun, kau lihat !" berkata pula Nona Teng.
"Berapa lihainya ilmu ringan tubuhmu " Dapatkah kau
menyusul nona itu ?"
Ketika itu pula cuaca remang-remang.
Gak Hong Kun melihat lenyapnya Siauw Wan Goat, hatinya
semakin panas, maka mau ia memindahkan kemarahannya
terhadap muda mudi di depannya itu. Ia mengawasi mereka
dengan sorot mata bengis.
"Kamu berdualah yang dikatakan ada jalan ke sorga kamu
tidak ambil, kamu justru menuju neraka !" katanya keras.
Cukat Tan gusar. "Lihat pedang !" serunya dan terus ia menikam. Dia tahu
sang lawan menggunakan pedang mustika, tak sudi ia
memberi ketika akan pedang musuh memapas kutung
pedangnya, tak sudi ia memberi ketika akan pedangnya, maka
itu ia berkelahi dengan waspada. Asal ditangkis dia dahului
menarik pulang pedangnya. Cepat sekali dia menusuk
berulang-ulang sebab dia menggunakan "Soat Hoa Kiam hoat"
ilmu pedang "Bunga Salju."
Gak Hong Kun tidak memandang mata pada anak muda itu
dan ia tidak lari walaupun orang ada berdua bersama Teng
Hiang. Ia percaya mudah saja ia kaan mengalahkan pemuda
itu. Bukankah ia bersenjatakan Kie Koat, pedang mustikanya "
Maka adalah diluar dugaannya yang pemuda itu cerdik sekali
dan sangat gesit, bergeraknya sangat lincah.
Cukat Tan menang diatas angin.
Teng Hiang menonton pertempuran dengan merasa kagum
untuk pemuda she Cukat itu sebab orang dapat melayani Gak
Hong Kun dengan baik sekali. Beberapa kali anak muda she
Gak itu mencoba membabat pedang orang gagal bahkan ada
kalanya habis membabat, dia repot sendirinya sebab setelah
berkelit Cukat Tan terus melakukan penyerangan pembalasan.
Maka berimbanglah kekuatan mereka berdua. Lama-lama
Cukat Tan toh kalah ulat. Ia lebih muda dan kalah
pengalaman, ia menjadi kalah tenaga. Perlahan-lahan gerak
geriknya menjadi lambat. Gak Hong Kun gusar, dia penasaran,
tetapi dia pun merasa letih. Menurut keinginannya ingin ia
dengan satu gebrak saja menyudahi pertempuran itu dengan
lawan dapat dirobohkan. Keinginan itu tak mudah dipenuhi.
Cukat Tan tetap dapat berkelahi walaupun gerak geriknya
sudah kendor.
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama itu berdua mereka bermandikan peluh pada
dahinya, apa panaspun mengendus. Teng Hiang terus
Anak Harimau 9 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 8
penyerang gelap itu, bahwa sejak itu Nona Tan belum
kembali. "Ha, binatang itu berubah !" teriak In Gwa Sian yang
bergusar dengan secara mendadak matanya mendelik, alisnya
terbangun. "Sabar In Locianpwe," Kee Eng meminta. "Dengan
kepalaku ini aku yang muda berani menjamin anak Hiong tak
nanti melakukan sesuatu yang dapat membuat malu gurunya !
Yang harus dipikirkan justru keselamatan dirinya karena ia
berada di gunung Ay Lao San sendiri saja...."
Pek Cut Taysu mengernyitkan alisnya.
"Dalam hal itu cuma keselamatannya Tio Tanwat yagn
harus dipikirkan." katanya. "Dalam hal itu mesti ada
terasangkut sepak terjang orang jahat yang bekerja
mengalihkan bencana buat mencelakai orang !"
Pendeta itu lantas menuturkan halnya itu malam ada orang
yang menyamar sebagai Tio It Hiong sudah datang
mendatangi kamar suci di gunung belakang Siauw Lim Sie dan
memperdaya Pek Giok Peng. Karenanya ia mau menyangka
benar It Hiong sebenarnya lagi menghadapi bahaya, mungkin
dia terkurung di Ay Lao San atau ditangah jalan telah
dirintangi orang jahat. Mendengar semua itu, In Gwa Sian tidak lagi bergusar.
Terpaksa, ia menjadi berduka. Sambil menyentil-nyentil meja,
ia memperdengarkan suara bagaikan ngelamun.
Pek Cut berduka sekali, tetapi di depannya In Gwa Sian ia
mencoba berlaku tenang. "Bagaimana kalau lolap mencoba meramalkan keadaannya
Tio Tanwat ?" ia tanya kemudian.
In Gwa Sian menjadi seorang luar biasa, ia tak percaya
ilmu tenung, maka dia kata dalam hatinya : "Orang hidup atau
mati sudah takdir. Mana aku percaya segala nujummu " Mana
orang ketahui apa yang terjadi di tempat jauh ratusan lie "
Dasar si pendeta tua banyak tingkahnya."
Walaupun dia memikir demikian Pat Pie Sin Kit toh tak
menolak kata-katanya sang pendeta.
"Kau, kau cobalah !" katanya tawar. "Kau membuat capek
dirimu saja, pendeta tua !"
Pek Cut lantas duduk bersila sambil memejamkan mata,
mulutnya komat kamit, entah apa yang ia ucapkan. Habis
membaca jampi tangan kirinya dimasuki ke dalan tangan baju
yang kanan, terus ia berdiam bagaikan orang bersemedi.
Lewat sesaat mendadak ia membuka matanya yang bersinar
terang terus ia memperlihatkan wajah girang terus ia berkata
nyaring kepada In Gwa Sian: "In Sicu, jangan kuatir ! Barusan
ramalanku adalah ramalan yang baik sekali ! Memang Tio
Tanwat menghadapi ancaman bencana tetapi dia selamat,
bahkan dari dalam ancaman bahaya dia memperoleh
kebaikan. Dia justru harus diberi selamat !"
In Gwa Sian bersangsi, separuh percaya separuh tidak.
Kemudian ia menghela nafas. "Syukur kalau seperti katamu
itu, pendeta tua ! Buatku tidak ada lain keinginanku agar anak
itu tak kurang suatu apa !"
Ayah angkat ini menyayangi anak itu. Dalam keadaan
berduka itu, ia tetap memanggil Pek Cut si pendeta tua,
sedangkan pendeta itu selalu menghormatinya dengan
memanggil ia In Sicu. Sicu itu berarti pengamal, penderma.
Liauw In sementara itu mendukakan muridnya, yang ia
lihat keadaan parah sekali. Bagaimana racun ular itu dapat
disingkirkan, supaya murid ini bisa sembuh hingga
kesehatannya pulih seluruhnya. Ia adalah seorang pendeta
tetapi saking berdukanya, air matanya menetes beberapa
butir. Tetapi mendengar kata-katanya Pek Cut, sang suheng,
kakak seperguruan, ia lantas tanya kakak seperguruan itu,
"Suheng, dapatkah ramalanmu itu terbukti ?"
"Ya, benarkah ramalanmu itu tepat ?" In Gwa Sian turut
bertanya. Pek Cut tertawa. "Kalau aku gagal, akan aku bertapa lagi sepuluh tahun !"
In Gwa Sian tertawa. "Aku cuma bergurau !" katanya.
Pek Cut mengawasi Kee Eng, lalu ia tanya Liauw In,
bagaimana dia lihat sakitnya murid itu.
"Barusan aku memeriksa dia" sahut Liauw In. "Muridku
terkena racun jahat, pada ketiga jalan darahnya yang paling
berbahaya...." Pendeta ini, sang sute, adik seperguruan, bicara pada
kakak seperguruannya itu sambil menjura. Ia tampak sangat
suaram. ?"Ha !" mendadak In Gwa Sian berseru. "Eh, pendeta tua,
apakah lupa bahwa didalam kuilmu ini ada ahli pengobatan
racun ular " Nah, lekas kau undang si tua bangka she Ngay
datang kemari buat dia mengobati keponakan muridmu ini !
Apakah yang harus ditunggu lagi ?"
Kata-kata ini menyadarkan Liauw In dan kakaknya, lantas
saja ia berlompat untuk terus lari keluar. Untung bagus buat
Kee Eng, segera setelah ia dirawat Ngay Eng Eng, racunnya
telah bisa diusir, cuma buat ia sehat kembali seperti biasa,
harus beristirahat selama satu tahun. Biar bagaimana,
keadaan seumumnya toh membuat hati orang lega.
Pada malam tanggal lima belas bulan delapan, rembulan
indah luar biasa. Diwaktu begitu di rumah-rumah orang
sedang asyik merayakan pesta Tiong Cia pertengahan musim
gugur, berkumpul diantara sanak keluarga, saling memberi
selamat. Tapi di gunung Tay San, orang bergerak-gerak
didalam rombongan besar, sebagaimana besar juga jumlahnya
mereka masing-masing. Diatas puncak, segala apa tampak
mirip siang hari, sedangkan sang angin bertiup bersiur-siur.
Pohon-pohon cemara memain diantara sang angin, dahandahannya
bergerak bagaikan bayangan bergerak, bagaikan
bersaing dengan golok dan pedang ditangannya dua
rombongan orang itu. Itulah kawanan jago-jago kaum lurus dan sesat yang telah
datang menghadiri pertemuan besar rimba persilatan guna
merebut pengaruh. Di pihak lurus sadar guna menegakkan
keadilan buat kesejahateraan khalayak ramai. Di pihak sesat
buat menjagoi guna nanti memperluas pengaruh. Mereka
berkumpul di puncak datar dari Koan Kit Hoang, puncak
Melihat Matahari. Diluar dari kedua rombongan besar itu adalagi satu
rombongan lain, hanya jumlahnya sangat kecil karena mereka
cuma berdua, satu pria dan satu wanita. Yang satu tua, yang
lainnya muda. Yang pria berdandan sebagai Agama To, To
Kauw, jenggotnya panjang, punggungnya tergendolkan
pedang. Yang wanita berdandan ringkas, pada punggungnya
tergemblokan sanho pang. Sebab mereka itulah It Yap Tojin
ahli pedang dari Heng San Pay dan Tan Hong, si cantik dari
Hek Keng To, pulau ikan Lodan Hitam.
It Yap Tojin termasuk orang separuh sesat, separuh sadar,
kali ini dia mengambil sikap sebagai kampret, jadi ada
ketegasan terakhir. Tan Hong kaum sesat tetapi ia mencintai
Tio It Hiong, ya dia menggilainya maka dia telah mengambil
ketetapan buat berubah cara hidupnya, buat meninggal-kan
kesesatan, guna hidup lurus selanjutnya. Dia datang untuk
menjenguk Tio It Hiong dengan siapa dia belum pernah
bertemu pula sejak perpisahan mereka di Ay Lao San. Dia
bahkan tak tahu si anak muda berada dimana dan bagaimana
keadaannya. Di pihak sadar, rombongan dipimpin oleh Pek Cut Taysu,
ketua Siauw Lim Pay, ia muncul dari rombongan dengan diapit
oleh Ang Sian dan Liauw In, kedua adik seperguruannya.
Dengan jubah suCinya dia nampak tenang dan agung. Dengan
mengangkat tangannya, ia memberi hormat pada pihak lawan,
lalu berkata dengan suara dalam. "Para sahabat rimba
persilatan, selamat datang. Pin lap mohon sudi apalah
pemimpin para sahabat suka keluar dari rombongan kalian
untuk kita berbicara !"
Kata-kata "pin-lap" itu seperti "pin-jeng" adalah "aku" buat
kaum pendeta Hed Kauw Agama Buddha.
Di dalam rombongan pihak sesat itu lantas terdengar suara
"Hm !" yang dingin menyusul itu muncullah orang yang
menyuarakannya. Kiranya dialah Thian Cie Lojin. Dia diiringi
muridnya yaitu Tong Hiang, serta Cit Mo Siauw Wan Goat,
bajingan nomor tujuh, si bungsu dari To Liong To, pulau Naga
Melengkung. Si orang tua, yang dandanannya pria bukan wanita bukan,
sudah lantas membuka suaranya : "Eh, pendeta tua, apakah
kau masih belum naik ke nirwana " Nah, ada pesan terakhir
apakah dari kau " Silahkan mengatakannya, tak ada
halangannya." Ucapan itu kontan membangkitkan amarah sejumlah orang
kaum lurus itu. Orang tua mirip orang banci itu terlalu kasar,
dia menghina sangat. Pek Cut Taysu sebaliknya melawan kekasaran dengan
senyuman. "Tak usah kita mengadu mulut" katanya tertawa.
"Buat menjadi jago untuk merebut pengaruh orang masih
harus mempertunjuki kepandaiannya yang berarti ! Nah,
losiancu tolong kau utarakan pendapatmu mengenai
pertemuan besar kita ini. Silahkan !"
Thian Cie Lojin tertawa terkekeh.
"Aku ?" tanyanya jumawa. "Buat aku berkelahi satu sama
satu atau main keroyokan sama saja! Aku bersedia
menyambut kamu dengan cara apapun ! Cuma kalau
bertempur tanpa syarat itulah tidak menarik. Bagaimana kalau
membataskan umpama sampai sepuluh kali " Di dalam
sepuluh itu tiga untuk bu pie dan tujuh bun pie ! Aku percaya
dengan begini seandianya pihakmu yang kalah, kamu akan
kalah dengan menutup mulut kamu, kalah dengan puas !"
"Amida Buddha !" berseru Pek Cut.
"Baiklah, aku menerima baik saranmu ini." sahutnya.
"Sebutkanlah bagaimana caranya yang pertama. Lebih dahulu
bn pie atau bun pie ?"
"Lebih dahulu bu pie tiga kali !" sahutnya. "Dengan itu kita
akan uji kepandaianmu yang sesungguh-sungguhnya. Habis
itu barulah bun pie. Nanti, sehabisnya pertandingan yang
keenam, maka kamu dapat memikir-mikir ! Andiakata kamu
sudah tidak punya tenaga lagi, empat pertandingan yang
selanjutnya boleh disudahi dengan begitu saja."
Mendengar suara orang itu, Pat Pie Sin Kit gusar bukan
main. Ia lantas saja berlompat maju.
"Siluman bangkotan !" bentaknya. "Kau keluarkan ilmu Sam
Im Ciang mu, kau pakai itu menyambut Hang Liong Hok Houw
ku untuk mencoba-coba !"
Setelah berkata tadi Thian Cio sudah lantas memutar
tubuhnya buat kembali kedalam rombongannya, waktu ia
mendengar bentakan itu lantas ia menoleh.
"Eh, pengemis tua, sang waktu masih banyak sekali !"
berkata dia, tawar. "Jangan kau tergesa-gesa !"
Pek Cut Taysu menarik ujung baju kawannya itu.
"Jangan layani dia bicara" katanya sambil ia terus mengajak
keuda adik seperguruannya mundur.
In Gwa Sian menurut. Sejenak itu, sunyilah medan laga itu. Sang putri malam
terus bersinar indah. Dari pihak sesat lantas tampak majunya
satu tubuh kecil dan langsing yang cara berlompatnya lincah
sekali. Selekasnya ia tiba ditengah lapangan lantas ia berkata
dengan suaranya yang nyaring halus, "Aku yang muda adalah
Teng Hiang, aku ingin belajar kenal dengan kepandaian
istimewa dari orang-orang yang berilmu."
Melihat gayanya itu, hatinya Giok Peng panas.
"Nanti aku yang keluarkan mengajar adat pada anak itu !"
katanya pada Kiauw In sengit.
Nona Cio mencekal lengan orang. "Sabar" katanya. "Kita
dengar dahulu suaranya Pek Cut Taysu."
Justru itu sang pendeta mengawasi pihaknya sambil
menanya siapa yang bersedia maju melayani nona itu. Cukat
Tan dari Ngo Bie Pay muncul sebelum sang pendeta menutup
matanya. Ia memberi hormat pada ketua itu terus ia lompat
ke tengah lapangan menghampiri si nona penantang.
Murid Ngo Bie Pay ini baru berusia dua puluh lebih, tampan
dan gagah orangnya. Dia mengenakan baju biru yang singkat
dan sepatunya sepatu ringan. Dengan pedang di
punggungnya, dia tampak menarik hati.
Hatinya Teng Hiang menggetar ketika melihat pemuda itu,
kontan ia tertarik hati, lantas matanya memain, tetapi
kemudian ia tertawa dan berkata dengan bentakannya : "Jika
kau bernyali besar, berani menyambut pedang nonamu, maka
haruslah kau memberitahukan dahulu namamu !"
Alisnya si anak muda berbangkit.
"Aku Cukat Tan dari Ngo Bie Pay !" sahutnya nyaring. "Kau
catatlah !" Berkata begitu si pemuda menghunus pedang terus
menikam sambil ia memberi peringatan. "Awas ! Lihat
pedangku !" Teng Hiang bergerak mundur satu tindak. Ia tidak segera
menghunus pedangnya. Sebaliknya ia tertawa manis dan kata
merdu. "Kau berhati-hatilah menyambutku !" Baru sekarang
dengan cepat ia mencabut pedangnya dan menusuk.
Barusan itu Cukat Tan menyerang untuk menggertak saja.
Setelah pedangnya diluncurkan separuh, ia menarik pulang
kembali. Justru itu tibalah pedang si nona, maka terpaksa ia
menangkis tusukan itu. Karena itu beradulah pedang mereka
berdua, suaranya nyaring, percikan apinya muncrat, hingga
keduanya saling mencelat mundur menyingkir dari percikan
itu. Cukat Tan merasai besarnya tenaga lawan, ia menjadi
waspada. Ketika ia menyerang pula, ia menggunakan "Soat
Hoa Kiam hoat" ilmu silat "Bunga Salju", ilmu itu gerakannya
ialah : satu beruntun menjadi tiga.
Teng Hiang melayani dengan seksama. Ia hendak
membuat anak muda itu mengagumi ilmu silatnya, maka ia
berlaku keras. Segera ia menyerang dengan jurus Melintang
Mengusap, yang terus diubah menjadi "Badai Menggulung
Salju". Di dalam hati Cukat Tan terkejut. Ia tidak menyangka
seorang nona mempunyai tenaga demikian besar. Tanpa ayal
lagi, ia melayani dengan ilmu pedang "Bunga hujan
berhamburan". Dengan demikian kedua pedang jadi bergerak
sama cepatnya, cuma cahayanya yang tampak, pedangnya
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak ! Para penonton kedua belah pihak kagum menyaksikan
pertempuran seru itu, semua menonton dengan berdiam,
tanpa suara, mata mereka mengawasi tajam.
Tengah kedua pihak bertempur hebat itu, mendadak tubuh
Teng Hiang mencelat tinggi. Pedangnya diarahkan ke kepala
lawan. Ia bermaksud supaya lawan menangkis serangan itu,
hingga tubuh orang lowong dan ingin mendepaknya, itulah
jurus silat "Burung Belibis Turun Di Pasir Dasar"
Cukat Tan menangkis dengan jurus silat "Menggoyanggoyang
langit Memisahkan Mega" tak sempat ia mundur,
maka buat melindungi dadanya, ia mengulur kakinya
menyambuti kaki lawan. Teng Hiang melihat ancaman bahaya, ia menangkis tangan
orang dengan tangan kirinya. Tiba-tiba ia terkejut. Tangannya
si anak muda keras sekali dan ia merasa lengannya nyeri dan
kaku. Tetapi yang hebat ialah ujung sepatunya telah
terasambar lawan, hingga guna membebaskan diri, mesti ia
tebas tangannya orang. Ia melakukan itu dengan cepat sekali.
Cukat Tan melepaskan cekalannya. Ia lihat pedang
berkelebat hendak menebas tangannya itu. Justru itu, dengan
kecepatan luar biasa, si nona mengulurkan tangannya ke
kepala orang ! Kaget sekali pemuda itu, ia mencoba mengelik
kepalanya, ia toh sedikit ayal, kopiahnya telah kena
terasambar ! Selagi si pemuda lompat mundur, s pemudi turut berlompat
mundur. Keduanya saling mengawasi dengan berdiri bengong.
Ternyata kepandaian mereka seimbang.
Hanya sejenak, maka gegerlah orang-orang di kedua belah
pihak. Mendadak mukanya Cukat Tan menjadi merah. Ia tahu
apa artinya tawa itu. Orang mentertawakannya sebab ia masih
memegangi sepatunya si nona. Sedangkan Teng Hiang
melongo disebabkan sepatunya itu copot kena dirampas lawan
! "Nah, ini aku kembalikan sepatumu !" katanya kemudia.
Dan ia melemparkan sepatu ditangannya itu.
Teng Hiang menyambuti, matanya mendelik kepada si anak
muda. Rupanya ia mendongkol. Setelah itu ia pun
melemparkan kopiah orang yang ia telah kena cabut dari
kepala orang dan merampasnya.
"Ini, sambutlah !" ia berseru.
Hebat jalannya pertempuran dan jenaka juga tetapi
kesudahannya seri. Setelah itu sama-sama mereka
mengundurkan diri kedalam rombongannya masing-masing.
Dari dalam kalangan sesat segera muncul dua orang lain.
Kiranya dialah Yan Tio Siang Cian si sepasang ganas dari
tanah Yan Tio dua saudara yang masing-masing bernama dan
bergelaran Toa Cian Leng Gan, si Telengas Besar dan Siauw
Cian Leng Ciauw, si Telengas Kecil. Untuk wilayah utara
merekalah dua orang kejam kaum Hek To, Jalan Hitam.
Selamanya kalau mereka mencuri mereka berdua saja dan
biasanya pula mereka tak meninggalkan korban hidup, mesti
korban mati. Dan kalau mereka berselisih, mereka mesti
menuntut balsa dengan membinasakan semua musuhnya
Yang paling mereka senangi ialah menganiaya, membuat
orang tersiksa. Itulah kekejaman yang membuat mereka
memperoleh julukan "Cian" ialah kejam atau telengas dan
"Siang" sepasang.
Dua bersaudara itu bertubuh kate dan gumu mukanya,
berdaging tak rata, matanya bersinar bengis. Senjata mereka
yaitu golok bengkok melengkung yang istimewa, yang umum
menyebutnya "Bima To" atau golok Birma. Ilmu golok mereka
juga istimewa sebab selamanya mereka berkelahi berdua
bersama, goloknya dicekal ditangan kiri dan kanannya masingKang
Zusi website http://cerita-silat.co.cc/
masing seperti kita menggunakan golong sepasang. Siauw
Cian yang memegang golok dengan tangan kiri dan Toa Cian
dengan tangan kanan. Setibanya di tengah lapangan keduanya mengulapkan
golok mereka, untuk pun berkata dengan berbareng. "Tadi
orang melawan satu dengan satu tetapi kami berdua saudara,
kami menghendaki dua lawan dua. Tangan kami sudah gatal
sekarang. Kami mau mencari orang yang darahnya dapat
dipakai mencuci golok kami ini ! Nah, siapakah yang bernyali
besar hendak mencoba-coba golok kami ?"
Tantangan itu dikeluarkan dengan suara yang dikurung
pengerahan tenaga dalam, maka juga terdengarnya nyaring
bagaikan genta membuat telinga bagaikan berbunyi pengang.
Kedua rahib dari Bu Tong Pay, Leng Hian dan Seng Hian
hendak menyambuti tantangan itu tetapi sebelumnya sampai
mereka keluar dari dalam rombongan, dua sosok tubuh orang
lainnya sudah mendahului, mereka berlompat mirip bayangan,
hanya dua orang itu lompat ke depannya Pek Cut Taysu atau
memberi hormat sambil berkata : "Lo Siansu, dapatkah kami
berdua kakak beradik yang menyambut tantangan pihak sana
itu ?" Itulah Cio Kiauw In dan Pek Giok Peng.
Pek Cut Taysu menoleh kepada In Gwa Sian baru ia
memberikan jawabannya sambil ia mengangguk. "Baiklah
tanwat berdua, asal kalian berhati-hati !"
Kedua nona lantas berlompat maju, tangan mereka
masing-masing pada gagang pedang mereka. Dengan
menuruti kebiasaan kaum Bu Lim rimba persilatan lebih
dahulu mereka menyapa dengan hormat kepada kedua lawan
itu. Toa Cian Len Gan tertawa bergelak.
"Bagaimana nyaring namanya kelima partai besar rimba
persilatan di tionggoan." demikian ejeknya, " siapa sangka ini
yang muncul hanya dua orang nona cilik ! Justru kami berdua
saudara tak mempunyai rasa kasihan terhadap nona-nona
manis. Nona-nona baiklah kamu pulang saja, akan mencicipi
penghidupan berbahagia di rumah kamu ! Janganlah kamu
hanya membuat malu saja disini."
Hatinya Giok Peng panas sekali mendengar hinaan itu.
Kiauw In yang sabar pun tidak puas. Lantas keduanya tanpa
membuka suara lagi menghunus pedang mereka, untuk
menyerang dari jurus Kie Bun pat Kwa Kiam hoat. Yan Tio
Sian Cian tetap memandang sebelah mata kepada kedua nona
itu, mereka juga sangat mengandalkan golok mereka yang
tajam seperti golok mestika. Mereka lantas menangkis dengan
maksud membacok kutung pedang lawan. Tapi mereka
terkejut. Mereka menangkis angin, sebab nona dengan cepat
sekali sudah menarik pulang ke arah pundak lawan.Terpaksa,
kedua saudara itu berkelit mundur dan tindak ! Baru sekarang
mereka sadar bahwa nona-nona itu tidak dapat dipandang
ringan. Jilid 28 Cio Kiauw In berdua mendesak. Itulah saatnya buat dapat
menang diatas angin. Mereka pun sebal terhadap kedua lawan
itu, ingin mereka lekas-lekas merobohkannya. Leng Gan dan
Leng Ciauw kalah ketika, terpaksa mereka membiarkan diri
mereka terdesak hingga mereka repot menangkis, tak
hentinya mereka berlompatan akan menjauhkan diri ke kiri
atau kanan dia, ke segala arah. Mereka menjadi sangat kaget
dan gusar sekali. Mereka penasaran sekali. Tapi gusar dan
penasaran tinggal gusar dan penasaran, mereka tetap tidak
dapat segera membebaskan diri dari desakan. Beruntung bagi
mereka, mereka masih tetap bisa bertahan.
Semua penonton kagum. Di pihak lurus, orang berbareng
girang melihat pihaknya menang angin. Di pihak sesat, selagi
mengagumi pertempuran mereka menguatirkan kawannya
nanti kena dikalahkan. Dengan berlangsung terus
pertempuran, kedua saudara Leng seperti sudah dikurung
sinar pedangnya kedua pedang nona-nona lawannya itu. Itu
berarti malapetaka tengah mengancam.......
Tan Tio Ciam pun penasaran sebab sampai sebegitu jauh
tak dapat mereka membentur pedang lawan sedang niat
mereka ialah membuat kedua pedang itu terkutungkan. Kiauw
In dan Giok Peng tahu golok lawan tajam luar biasa, mereka
berlaku cepat sekali. Tak mau mereka membiarkan senjata
mereka beradu dengan bagian tajam dari golok. Pek Cut
Taysu dan In Gwa Sian menonton dengan perhatian, si
pendeta melirik si pengemis, lantas dia bersenyum. Mereka
puas sebab nona-nona itu telah mempertunjuki
kepandaiannya yang mengagumkan.
Cukat Tan dilain pihak menjadi sangat kagum, dia seperti
lupa pada diri sendiri. Pikirnya : "Ilmu pedang Bunga Salju
guruku lihai sekali, tetapi dibanding dengan ilmunya nonanona
itu, kepandaianku masih kalah setingkat......."
Tengah jago muda dari Ngo Bie Pay itu bagaikan
ngelamun, tiba-tiba dia mendengar jeritan hebat. Segera dia
menoleh ke arah lapangan dimana sudah terjadi satu
perubahan. Yan Tio Siang Cian repot bukan main. Mereka
cuma bisa membela diri. Leng Tiauw penasaran dan bingung.
Sudah tujuh delapan puluh jurus pihaknya tetap berada
dibawah angin. Itulah tidak menguntungkan, bahkan
berbahaya. Saking bingung, dia menjadi tak dapat menguasai
lagi dirinya. Diam-diam merogoh keluar senjata rahasianya
yang istimewa "Hong Go Tok Piauw", yaitu piauw tawon
beracun, yang beracun. Selekasnya dia mendapat
kesempatan, dia lantas menimpuk Giok Peng. Itulah
bokongan, perbuatan curang.
Pedangnya Nona Peng berputar terus, piauw itu kena
terasampok hingga terpental balik. Sialnya senjata rahasia itu
makan tuan, ialah menancap di pergelangannya sendiri,
nancap dalam setengah dim. Dia menjerit, membuat Leng
Gan, kakaknya kaget sekali. Sebabkan ketahui, piauw beracun
itu piauw maut, akan meminta jiwa setelah racunnya mengalir
sampai kerongkongan. Di dalam satu jam racun akan meresap
ke seluruh anggota tubuh terutama bagian perut. Ini artinya
tak ada pertolongan pula. Maka juga kakak ini menggertak
gigi, dengan telengas dia membabat kutung lengan adiknya
itu, guna mencegah menjalarnya racun.
Kalau tadi Leng Ciauw menjerit tertahan, sekarang dia
berteriak sekerasnya saking nyerinya tubuhnya terhuyung
beberapa tindak. Dia mesti memegang kehormatan dirinya.
Semampunya dia bertahan. Dengan begitu tak sampai dia
roboh. Cuma jeritannya itu yang membuat orang mendengar
dan mengetahui hal jeritannya itu.
Kiauw In melihat kejadian itu. Segera nona itu berlompat
mundur. Dia menghormati aturan kaum Kang Ouw, tak mau
dia menggunakan kesempatan itu membinasakan musuh.
Malah melihat Giok Peng masih menyerang Leng Gan, dia
menyerukan akan si adik menunda perkelahiannya itu.
Nona Pek mendengar kata, dia menahan serangan
pedangnya, tetapi disaat dia mau mengundurkan diri, tiba-tiba
beberapa cahaya menyambar ke arahnya ! Itulah
bokongannya Toa Cian Leng Gan yang bersakit hati karena
adiknya dilukai, bukannya dia menyerang Kiauw In, dia justru
membokong Giok Peng yang lengah, tak siap sedia itu.
Dengan tangan kirinya dia menimpukkan piauw-nya yang
beracun itu. Ketika itu si nona tengah membalik belakang.
Sedangnya piauw maut itu mau merampas jiwa orang, satu
sinar pedang berkelebat menyampoknya jatuh ke tanah
berumput. Itulah perbuatannya Kiauw In yang membantu
adiknya. Hal itu membuat gusar nona yang sabar itu yang
terus mencelat ke depan Toa Cian, bahkan terus saja ia
menyerang dengan satu luncuran pedang dengan ilmu
"Burung Air Mematuk Ikan."
Toa Cian kaget sekali. Ia mau menyerang lawan, siapa tahu
ia pun diserang. Repot ia mengelakkan diri. Ketika ia
menggerakkan lengan kirinya, tepat lengan itu terbabat
pedangnya si nona. Maka ia pun menjerit seperti adiknya itu,
lengan kirinya itu putus dan jatuh ke tanah !
"Jika kalian tidak puas, mari maju pula !" Kiauw In kata
sambil ia menuding dua saudara Leng itu, si Sepasang Ganas.
Leng Gan menotok tubuhnya sendiri, guna menghentikan
darah yang mengucur keluar dari lengannya itu, dengan sinar
mata penuh kebencian, dia mengawasi tajam Nona Cio
kemudian ia kata sengit : "Sakit hati lengan buntung ini pasti
akan datang harinya yang aku akan tagih dari kau, budak !"
Berkata begitu jago dari Yan tio itu menjemput kedua
potong tangan mereka, lalu sambil menarik tangan
saudaranya lalu pergi mengundurkan diri.
Pek Cut Taysu lantas mengasih dengar suaranya yang
nyaring : "Losicu Thian Cia, terima kasih yang kau telah sudi
mengalah !" Dari dalam rombongan sesat itu bukannya Thian Cia yang
menyambut sang pendeta, hanya satu suara yang cempreng.
Katanya : "Inilah belum berarti apa-apa ! Segera juga tongcu
nomor satu dari Losat Bun kami dari Ay Lao San, Hong Hwio
Lui Siu Pek Lie Cek akan mengajukan dirinya. Pendeta tua
berhati-hatilah kau memilih orang untuk melayaninya !"
Tongcu yang disebut namanya itu sudah lantas muncul
bersama sepotong senjatanya yang luar biasa yaitu Tok kak
Tong-jin, boneka perunggu dengan kaki sebuah, lima jalan
darahnya tersimpankan senjata rahasia beracun. Panjangnya
boneka itu empat kaki dan beratnya empat puluh kati.
Pek Lie Cek mempunyai kepala besar dan mata bundar,
hidungnya hidung singa dan mulutnya besar lebar, pipinya
berewokan dan dagunya berjanggut panjang. Dia pula
bertubuh besar. Dia mengenakan baju kuning panjang sampai
dimulut dan sepatunya sepatu ringan warna hitam. Tiba di
lapangan dia berdiri tegak hingga sikapnya menjadi keren
sekali, kata orang mirip dengan malaikat penjaga pintu....
"Siapa bernyali besar, mari muncul akan terima binasa !"
demikian orang itu membuka suara. Suaranya keras, sikapnya
jumawa. Suara itu bagaikan guntur kerasnya.
Pek Cut Taysu lantas mengawasi orang-orang pihaknya.
"Bagaimana kalau aku si tua yang melayani dia ?" tanya Pat
Pin Sin Kit yang tak biasanya menjadi sungkan.
Pendeta dari Siauw Lim Sie itu menggeleng kepala sambil
berkata : "Jangan tergesa-gesa Losicu, sebentar akan muncul
lawan yang tangguh...."
Belum berhenti suaranya sang pendeta Gouw Hoat Taysu
sudah muncul dan sembari memberi hormat berkata pada
ketuanya, "Suheng, dapatkah adikmu yang keluar ?"
Pek Cut Taysu mengangguk dengan perlahan, maka Goay
Hoat Taysu lantas berlompat ke tengah lapangan sambil ia
membawa sianthung, tongkatnya yang panjang mirip toya.
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan segera dia memperdengarkan suaranya terhadap
pihak lawan, "Sicu Peklie Cek, apakah sejak perpisahan kita,
sicu masih sehat-sehat saja " Apakah sicu masih mengenali
padaku si pendeta dari dua belas tahun yang lampau ?"
Peklie Cek mengawasi pendeta itu. Lantas ingat ia kepada
peristiwa dahulu di jalan di perbatasan propinsi Siamsee -
Kamsiok. Ketika itu dalam satu bentrokan dia telah merasai
lengan "Lohan Cian" dari si pendeta.
"Hm !" dia lantas memperdengarkan suara dinginnya.
"Sungguh berbahagia ! Sungguh berbahagia disini kita
berjumpa pula !" Berkata begitu ia lantas memutar senjatanya yang luar
biasa itu, hingga anginnya menderu-deru. Ia tidak takut. Dua
belas tahun yang lalu ia kalah, tetapi setelah itu ia masuk
dalam rombongan Losat Bun dan belajar lebih jauh dibawah
pimpinannya Kwie Tiok Giam Po, maka ia bukanlah Peklie Cek
yang dahulu. Ia sengaja berlaku jumawa guna memancing
keluarnya si pendeta yang ia tak menyebut namanya secara
langsung. Segera setelah kedua pihak berdiri berhadapan, Gouw Hoat
Taysu mulai dengan penyerangannya. Peklie Cek menyambut
serangan itu dengan satu tangkisan keras, maka sebagai
akibat bentrokan itu, keduanya sama-sama mundur tiga
tindak. Gouw Hoat Taysu tak menghiraukan tenaga lawan
yang bertambah itu, ia maju pula kembali ia menyerang.
Peklie Cek tertawa. Dia mundur ke samping satu tindak,
kepalanya diegoskan. Selewatnya tongkat lawan, dia
membalas menghajar dengan hebat, niatnya membikin
tongkat terpental terlepas dari cekalan lawan. Gouw Hoat
Taysu dapat menerka maksud lawan itu. Ia mengelit
tongkatnya, tetapi bukan ditarik pulang hanya diteruskan
dipakai menyerang ke pinggang si orang takabur.
Peklie terkejut. Dia tidak menyangka si pendeta demikian
cepat. Terpaksa dia harus waspada. Habis berkelit dia berseru
: "Kepala gundul, kau sambutlah ini !" Dan dia menyerang
dengan jurusnya "Membelah Bambu".
Gouw Hoat penasaran yang orang masih membelah. Ia
menyambut dengan sekuat tenaganya. Ilmu silat yang dipakai
ialah "Kie Kee Thian Ho" atau "Jembatan di Kaki Langit".
Hebat bentroknya kedua senjata berat itu. Percikan apinya
muncrat. Lengan kanannya Peklie Cek terasa kesemutan dan
nyeri, tubuhnya terpental mundur lima tindak. Sebaliknya
adalah Gouw Hoat Taysu, yang kuda-kudanya tangguh. Dia
melesak kakinya tiga dim dan tubuhnya limbung, bergoyang
beberapa kali. Dengan cepat dia berlompat maju kepada
lawan, tongkatnya dipakai menyerang pula. Sembari
menyerang itu, ia berkata nyaring : "Hong hwe Lui-siu, kau
juga sambutlah tongkatku ini !"
Peklie Cek tidak takut. Masih ia mau menguji tenaga lawan.
Ia percaya kekuatannya masih akan bertahan. Segera ia
menangkis dengan bonekanya itu. Lagi-lagi kedua senjata
beradu keras, suaranya sampai memekakkan telinga. Tapi
kedua jago tetap sama tangguhnya. Maka mereka terus
melanjuti pertempuran mereka. Seperti tanpa terasa, mereka
sudah melalui kira tiga puluh jurus. Sekarang ini lengan
mereka masing-masing terasa kaku dan darah seperti
bergolak di dalam dada mereka.
Satu kali mereka bentrok keras lantas keduanya sama-sama
mundur. Ketika itu dipakai buat mengatur pernapasan masingmasing,
berniat menyerang pula tetapi mereka berjaga-jaga
kalau-kalau nanti kena didahului.
Diluar kalangan maka tongcu Losat Bun yang nomor dua
habis sabar. Dialah Sam Chiu Pia Kauw Hu Leng, si Kera
Bertangan Tiga. Dia habis sabar sebab menanti terlalu lama
hingga dia kuatir kawannya nanti kalah sebab sudah selama
itu sang kawan belum berhasil merebut kemenangan. Dia pula
bukannya maju akan membantu kawannya itu, hanya dengan
tiba-tiba secara diam-diam dia menyerang Gouw Hoat Taysu
dengan senjata rahasianya yang diberi nama Tengkorak Badsi.
Senjata itu menyambar dari atas ke bawah, menungkrap
kepala. Melihat menyambarnya senjata rahasia lawan, dari dalam
rombongan pihak lurus menyambar pula serentetan dari enam
buah Liam Cu, mutiara biji tasbih kaum pendeta agama
Buddha, semua menyerang kepada senjata rahasia lawan itu.
Tepat serangan itu ! Hancurlah senjata rahasia lawan, besinya
muncrat ke empat penjuru, akan tetapi bubuknya yang
berwarna merah tua justru turun dengan perlahan-lahan,
turun ke arah Gouw Hoat Taysu yang sudah tak berdaya.
Apakah yang telah terjadi " Kenapakah Gouw Hoat Taysu
roboh " Inilah akibat bentrokan si pendeta dengan lawannya,
bentrokan yang terakhir. Habis mereka berjaga-jaga, mereka
mengadu kekuatan pula. Peklie Cek meyerang, keduanya
roboh sama-sama, sebab kepala mereka pusing, dada mereka
bergolak, tenaga mereka habis. Mereka pula muntah darah.
Justru bubuk beracun itu turun. Ang Sian Taysu dapat
melihatnya. Pendeta ini menerka kepada bubuk jahat. Ia
lompat keluar dari kalangan, ia menyerang dengan pukulan
angin Loahan Ciang. Maka buyarlah bubuk itu terkena angin
keras dari pukulan itu. Ketika itu Hu Leng juga sudah masuk
ke dalam kalangan. Ia mengangkat bangun tubuh Peklie Cek,
buat diajak mengundurkan diri. Tiba-tiba Cukat Tan lompat
menghampiri, anak muda ini terus menyerang orang she Hu
itu, yang ditikam punggungnya.
Hu Leng tidak melihat datangnya orang, dia pula tidak tahu
orang menyerangnya. Tapi justru itu, dari rombongan sesat
ada sesosok tubuh yang membalas, menangkis membuat
pedang si anak muda terpental, berbareng dengan orang itu
menegur : "Eh, bocah, kau tahu aturan rimba persilatan atau
tidak ?" Cukat Tan mundur satu tindak, dia mengawasi orang yang
menghalangi serangannya itu.
Kiranya orang itu ialah Tan Hong dari Hek Keng To.
"Barusan orang menyerang dengan senjata rahasianya !" si
anak muda balik menegur. "Apakah itu berarti dia
menghormati aturan kaum rimba persilatan " Aku hanya
menurut buat ! Kalau kau berani, mari kau melayani ilmu
pedang dari Ngo Bie Pay barang beberapa jurus ! Beranikah
kau ?" Di saat itu dari kedua belah pihak ada tujuh atau delapan
orang yang berlompat keluar, bersiap buat bertarung guna
membantai pihaknya masing-masing. Pek Cut Taysu sudah
lantas berseru meminta pihaknya mengundurkan diri dan
menyuruh murid-murid Siauw Lim Sie segera membantu Gouw
Hoat buat dibawa balik ke dalam rombongan. Sampai disitu
Thian Cie Lojin muncul dengan tindakan perlahan.
Dia tertawa dan kata. "Kali ini pertempuran seri pula ! Nah,
pendeta tua, bagaimana kalau kita mulai dengan bunpie ?"
Licik jago tua ini, tak mau ia menyebutkan soal serangan
gelapnya Hu Leng itu yang mulai melanggar aturan rimba
persilatan. Malah dengan cerdik ia hendak menukar bertarung
mereka. Setelah bun pie, mengadu tenaga dengan cara keras,
sekarang ia hendak mulai dengan bun pie, cara halus.
"Terserah kepadamu, sicu pinlap selalu sedia untuk
melayani" sahut Pek Cut Taysu tenang.
Thian Cie sudah lantas mengulapkan tangannya maka
muncullah Ang Gan Kwie Bo dari gunung Lee San di pulau
Haylam. Dengan sinar matanya yang bengis jago wanita itu
menyapu ke arah pihak lurus, lalu dia berkata dengan
suaranya yang dingin yang berada jumawa : "Tuan siapakah
yang mempunyai kegembiraan untuk mendengarkan lagu Toat
Hun Im Po dari tenaga dalamku ?"
Ilmunya Ang Gan Kwie Bo itu berarti "Gelombang Lagu
Merampas Roh." Leng Hian Tojin dari Bu Tong Pay sudah lantas
menggerakkan tubuhnya menghadapi ketua Siauw Lim Pay, ia
menjura sambil bekata : "Bagaimana kalau kali ini pici yang
menunjuki keburukanku ?"
Pek Cut Taysu mengangguk.
Lantas Leng Hian bertindak menghampiri lawan, yang terus
tertawa tawar dan kata seenaknya saja. "Eh, Leng Hian
hidung kerbau, benarkan kau mempunyai kepercayaan yang
ilmu Hian bun Lio Kam Cin Kie dari Bu Tong Pay kamu dapat
bertahan dari ilmuku " Nah, kau berhati-hatilah !"
Ilmu Bu Tong Pay yang disebutkan Ang Gan Kwie Bo itu
adalah ilmu tenaga dalam yang berdasarkan patkwa, delapan
diagram. Leng Hian tidak menjawab, hanya sambil bersenyum dia
mengerahkan tenaga dalamnya. Ia berdiri tegak mengawasi
lawan yang takabur itu. Sejenak kemudian, ia mengulur
sebelah tangannya, baru setengah jalan, ia sudah berseru
perlahan : "Kau sebutilah !"
Ang Gan Kwie Bo menggerakkan pinggangnya untuk
berjaga-jaga, lalu ia mengibas sebelah tangannya, memapak
tangan lawan itu. Ia menggerakkan tangannya dengan
perlahan tetapi berbareng dari mulutnya terdengar suara
tertawa yang nyaring dan tajam seumpama kata suara
bajingan. Itulah Toat Hun Im Po !
Kedua tangan mereka lantas beradu satu sama lain,
nampaknya mereka seperti main-main. tak tahunya kedua
belah pihak tengah mengerahkan tenaga dalam mereka.
Mereka tengah menguji kekuatan masing-masing. Tubuh
mereka lantas menggigil, tangan mereka bergemetaran.
Selama itu Ang Gan Kwie Bo terus tertawa makin lama
suaranya makin keras makin tinggi, terdengarnya tajam sekali
hingga telinga orang terasa bagaikan tertusuk-tusuk.
Kedua rombongan terpisah dari dua orang itu sepuluh
tombak lebih tetapi mereka yang tenaga dalamnya belum
sempurna, mereka merasakan kehebatan tawa itu. Itulah yang
diumpamakan "Tangisan keras di selat Bu Kiap, tangisan
berdarah burung cockoo, nyanyian iblis dikuburan musim
gugur atau tangisan diwaktu malam dari seorang janda."
Toh semua itu masih kalah hebatnya. Semangat orang
dapat buyar karenanya. Pek Cut Taysu sudah lantas memerintahkan murid atau
kawannya yang tenaga dalamnya kurang untuk bergerak
munduk belasan tombak supaya mereka tak usah menjadi
korban konyol. Di sana pun mereka harus menjaga diri baikbaik.
Di pihak sesat juga orang telah bergerak mundur
sendirinya. Di tengah lapangan, kepalanya Leng Hian dan Ang Gan
telah sama-sama mengeluarkan uap putih bagaikan halimun.
Suaranya si sesat tak lagi terus menerus, hanya suka terputusputus
akan tetapi nada dan iramanya tak sedap buat sang
telinga. Suara itu membuat hati orang berdebaran.
Di dalam keadaan seperti itu, sekonyong-konyong saja
Leng Hian Tojin bersiul nyaring dan panjang, hingga siulannya
itu berkumandang di lembah dan sekitarnya. Siulan itu pula
bagaikan menutup tawanya lawan. Tak lama siulan itu, lalu
berhenti tetapi berbareng dengan itu lenyap juga tawanya Ang
Gan Kwie Bo. Maka itu sunyilah medan pertempuran itu. Dua
dua lawan tampak berdiri diam. Uap diatas kepala mereka
sudah berkurang. Tangan mereka tapinya masih terus
menempel satu pada lain, tak bergeming sedikit juga.
Gouw Hian Tojin, ketua Bu Tong Pay menjadi bingung. Ia
tahu bahwa pertempuran segera akan sampai pada detik
terakhir. Inilah sangat berbahaya. Dan ia menguatirkan
keselamatannya sang sute, adik seperguruannya. Buat
membantu, ia tidak berani. Itulah akan melanggar aturan
rimba persilatan dan nama baiknya bakal tercemar karenanya.
Maka ia menjadi tidak karuan rasa, berulang kali ia mengepalngepal
tangannya serta menggedruk-gedruk tanah !
Selagi sunyi senyap itu tiba-tiba terdengar suaranya Pek
Cut Taysu : "Kali ini kita yang kalah ! Leng Hian Totiang,
silakan mengundurkan diri !" Terus ia mementangkan
tangannya, untuk segera dirapatkan pula.
Atas itu maka tubuhnya Leng Hian, mirip boneka kayu,
bergerak ke arah rombingannya, datang kepada tangannya si
pendeta. Karena Pek Cut Taysu telah menggunakan ilmu "Liap
Hun Ciu Siu Kang", Menarik Roh" guna membantu si imam.
Ketika itu terlihat Thian Cia Lojian tahu-tahu sudah berada
di tengah lapangan untuk menekan jalan darah sin tong dan
thian cu di punggungnya Ang Gan Kwie Bo, guna membantu
wanita tua itu menyalurkan napasnya. Sebab juga nyonya itu
telah sampai pada saat mati hidupnya....
Di pihak Siauw Lim Pay, Gouw Hian juga sudah lantas
membantu Leng Hian, adiknya.
Selama kedua pihak saling menolong kawan itu, kesunyian
tetap berlangsung, cuma deburan angin yang terdengar.
Rembulan sudah mulai doyong ke barat. Mungkin waktu itu
sudah jam empat mendekati fajar.
"Inilah pertempuran yang menjengkelkan, yang
memepatkan hati." kata Pat Pie Sin Kit In Gwa Sian yang
menjadi tak sabaran. Hanya sejenak, segera terdengar tawanya Thian Cie Lojin.
Ketua pihak sesat itu sudah lantas berkata : "Bun pie yang
pertama sudah berlalu ! Terima kasih ! Terima kasih kalian
sudah mengalah ! Nah, pendeta tua, masih ada pertandingan
yang kedua ! Siapakah dari pihakmu yang bakal maju ?"
Belum lagi Pek Cut Taysu menjawab, atau Pat Pie Sin Kit
sudah bertindak keluar dari dalam rombongan, terus dia
membentak : "Siluman tua, jangan tertawa ! Beranikah kau
malayani aku, si orang tua ?"
Thian Cie Lojin mengawasi, ia membuat main bibirnya, lalu
dengan dingin menjawab : "Baik ! Baik ! Supaya tulangmu
yang sudah tua tidak hancur berantakan, bagaimana kalau
kita main-main dengan batu licin itu " Setujukah kau ?"
In Gwa Sian tertawa lebar. "Kita sudah berusia hampir
seratus tahun, kalau kita mati, kita tidak mati muda !"
katanya. "Kau tidak suka keras lawan keras, baiklah, akan aku
turuti kehendakmu ! Apakah kepandaianmu itu " Kau
keluarkanlah !" Tanpa berkata apa-apa Thian Cie Lojin bertindak ke dinding
bukit di kaki puncak, In Gwa Sian berjalan bersama.
Rombongan di kedua pihak lantas turut mengikuti mereka itu,
guna masing-masing mengambil tempat.
Batu yang disebutkan Thian Cie itu berupa seperti tembok,
lebar satu tombak persegi, bagian mukanya rata licin, bekas
dipapas dengan golok atau kapak. Jadi itulah buatan manusia.
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di sini kita mencoba khie kang kita !" berkata Thian Cie
tertawa sambil tangannya menunjuk dinding rata itu. "Siapa
yang kalah, dia harus hapus buat selamanya, agar dia tak
muncul pula ! Pengemis tua, beranikah kau berjanji demikian
?" In Gwa Sian tertawa. "Siluman tua, apa juga kau katakan, aku terima baik !"
Thian Cie Lojin lantas berdiri di depan dinding batu itu,
tenaganya lantas dikerahkan hingga terdengar otot-ototnya
pada meretak. Ia mengeluarkan napas, ia maju beberapa
tindak, terus ia mundur beberapa tindak pula. Ini cara
pengerahan tenaga. Ia ulangi beberapa kali lalu mendadak ia
melenggak hingga pinggangnya melengkung keluar dan
kepalanya dongak terangkat ke atas. Habis itu mendadak saja
ia mengajukan diri, agaknya ia hendak menerjang batu besar
itu, atau mendadak pula ia menghentikan tindakannya. Ia
mengangkat pula kepalanya dan mukanya diarahkan kepada
batu itu, terus ditempelkan. Selagi berdiri diam itu, segera
juga tampak keluar dari arah mukanya. Pinggang dan kakinya
diluruskan tetapi kedua belah pihak tangannya bergerak-gerak
seperti bergemetar. Selama itu tampak mukanya seperti
melesak kepada permukaan dinding.
Hanya sekira kesadaran mati, mendadak jago tua kaum
sesat itu berlompat mundur, tubuhnya terhuyung beberapa
tindak sebelumnya dia dapat berdiri tetap tegak. Ia berdiri
dengan memejamkan mata, terus ia mengembuskan napas
panjang. Di lain saat ia mementang matanya dan kata nyaring
: "Telah aku pertunjuki kepandaianku yang buruk. Nah ini dia
ilmuku yang dijuluki Sam In Sin kang, pada dinding batu itu
tertinggal tanda melesak dari mukaku ! Pengemis tua
bagaimana perasaanmu sekarang " Panas hatimu atau tidak ?"
Memang, orang banyak melihat mukanya Thian Cie telah
bertapak dan berbekas didinding batu lebar yang rata itu.
Petaan itu tegas dan jelas sekali, sehingga semua orang
menjadi sangat kagum. Di pihak lurus orang berkuatir buat Pat
Pie SIn Kit. Musuh demikian lihai, dapatkah dia diatasi atau
sedikitnya menyamai "
In Gwa Sian telah menyaksikan gerak geriknya lawan itu,
selama orang masih membawa aksi terus berdiam saja tapi
selekasnya orang membuka suara jumawa itu, ia
menyambutnya dengan tertawa berkakakan. "Hai siluman tua
!" ktanya nyaring. "Sam Im Sin kang mu ini tak dapat dicela
banyak, sayangnya pada bagian mukamu itu tidak ada bekas
kumis janggutnya." Suara itu menusuk tajam telinga Thian Cie Lojin si pria
bukan wanita bukan..... Dari tindakan ayal-ayalan, In Gwa Sian bertindak
menghampiri dinding itu dari mana lawannya sudah
mengundurkan diri guna dia memberikan giliran padanya. Ia
berhenti di depan batu terus ia menghadapinya sambil berdiri
tegak untuk segera mengumpulkan tenaga dalamnya. Itulah
tenaga dalam dari ilmu Tong Cu Kang, ilmu kanak-kanak atau
"Jaka". Cepat luar biasa mukanya si pengemis menjadi merah
umpama kata seperti api, giginya atas dan bawah gemeretak
nyaring, kumis dan jenggotnya lantas bergerak-gerak
sendirinya tanpa angin, berdiri kaku bagaikan jarum perak.
Matanya yang dipentang sebentar dipejamkan memperlihatkan
cahaya tajam sekali. Berdiri sebagai itu mukanya In Gwa Sian
hampir menempel pada dinding. Lain tiba saatnya ia
memperdengarkan serunya yang nyaring, lantas mukanya
didekatkan pada batu hampir nempel hingga kumis
janggutnya itu mengenai dinding rata dan licin itu. Gerakkan
itu diulangi beberapa kali, saban kalinya si pengemis
memperdengarkan serunya itu. Ia baru berhenti beraksi
sesudah pada batu itu tampak bekas-bekas kumis janggut.
Semua orang melengak, mata mendelong, mulut
ternganga. Semua kagum dan heran. Itulah ilmu tenaga
dalam yang mereka belum pernah dengar, jangan kata
menyaksikannya. Sudah Thian Cie hebat, sekarang ada pula
yang lebih hebat. Namanya itu bun pie, ujian lunak atau halus,
kesudahannya itulah tenaga yang kuat sekali.
Sementara itu It Yap Tojin yang menyaksikan pertandingan
itu, tahu apa akibatnya adu tenaga dalam diantara Thian Cie
dan In Gwa Sian. Akibat itu ialah kedua orang tersebut sudah
mengobral tenaganya, hingga masing-masing sudah
mendapat luka di dalam, luka yang parah, yang sukar
obatnya. Tapi hal itu membuatnya puas. Kelemahan kedua
jago itu berarti bahwa ia berkurang saingannya dengan dua
orang. Buat manjagoi, ia bagaikan mendapat jaminan. Ia
berada diantara sesat dan lurus. Di saat ini mendadak timbul
niatnya buat menjadi jago Bu Lim, akan menjuarai rimba
persilatan. Maka ia tertawa perlahan, tawa puas lalu diamdiam
ia mengangkat kaki. Sementara itu Tan Hong di satu pihak telah menanti
dengan tidak sabaran. Sudah mendekati jam empat, masih
belum ia melihat munculnya Tio It Hiong, pacar dalam citacitanya.
Sendirinya ia menjadi bingung, Ada niatnya
menghampiri Kiauw In, buat minta keterangannya nona Cio, ia
ragu. Bersama Kiauw In ada Giok Peng dan berani ia
mendekati nona yang galak itu. Ia takut nanti terbit salah
paham. Ia memikir buat berlalu, tetapi hatinya tak
mengizinkan. Biar bagaimana ingin ia melihat It Hiong. Maka
terpaksa ia berlaku sabar. Ia berdiri seorang diri saja. Di sana
ada banyak orang tetapi ia kesepian.....
In Gwa Sian sendiri tahu yang ia telah mengobral tenaga
dalamnya hingga ia menjadi letih sekali, akan tetapi di
depannya Thian Cie Lohin tak mau ia menunjuki itu. Di lain
pihak, ia ingin sekali mengadu jiwa dengan jago tua itu agar
orang tak dapat menjagoi dan mengancam dunia rimba
persilatan. Kalau ia menang, syukur atau sedikitnya, biarlah
mereka berdua mati bersama.....
"Eh, siluman tua" kata ia yang sengaja tertawa nyaring.
"Pertandingan kita ini sangat menarik hati ! Sayang belum ada
kepastiannya ! Bagaimana, apakah kau berani menyambut
tanganku ?" Ketika itu beda daripada lawannya yang masih dapat
berdiri, Thian Cie sudah duduk numprah ditanah, sebab
hendak ia mengatur pernafasannya. Ia insyaf yang ia telah
menggunakan semua tenaga dalamnya hingga menjadi letih
sekali. Ia mendengar tantangannya si pengemis, hatinya
menjadi gentar. Ia bakal mati atau terluka parah. Hanya,
bagaimana kalau ia tidak menyambuti tantangan itu "
Bukankah ia justru mau menjadi jago rimba persilatan " Mana
bisa ia mengangkat muka " Maka itu ia berpikir keras.
Perlahan-lahan jago tua itu berbangkit bangun, matanya
mengawasi kedua rombongan. Ia berlaku ayal-ayalan untuk
menang waktu. Kemudian ia tertawa dan kata : "Ya, kitalah
dua orang tua yang tak mau mampus, kapan lagi kesempatan
buat kita bergembira ria kalau bukan sekalian saja malam ini "
Mari, pengemis bangkotan, mari ! Sebelum ada akhirnya,
jangan kita berhenti ! Mari !'
"Nah, berhati-hatilah menyambuti tanganku !" Berseru In
Gwa Sian selekasnya lawan itu menerima tantangannya. Ia
lantas menyerang dengan satu jurus dari Han Liong Hok Mo
Ciang, pukulan Menaklukan Naga Menundukkan Harimau. Dan
itulah pengerahan tenaga yang terakhir.
Thia Cie Lojin terkejut sekali. Begitu orang bersuara, begitu
angin serangannya sudah lantas tiba. Ia licik tapi tak sempat
mengelakkannya. Terpaksa ia mengerahkan tenaga
terakhirnya menangkis serangan itu. Hebat suara nyaring yang
menjadi kesudahan dari beradunya tangannya kedua jago itu.
Mereka sendiri pada mengeluarkan suara tertahan. Kontan
Thie Cie Lojin roboh terguling untuk terus berguling.
Pat Pie Sin Kit terhuyung-huyung beberapa tindak, tak
dapat ia bertahan terus, ia roboh terduduk. Pek Cut Taysu
memuji Sang Buddha, ia lompat kepada kawannya itu. Kiauw
In dan Giok Peng turut lompat bersama, hingga ketiganya
lantas berada disisinya si pengemis luar biasa.
In Gwa Sian duduk bercokol dengan tenang, mukanya
tersungging senyuman, napasnya berjalan dengan perlahan.
Melihat keadaan orang itu, Pek Cut Taysu yang biasanya tabah
menjadi terkejut dan pucat mukanya. Dan lekas-lekas ia
mengeluarkan obat "Ban Biauw Leng Tan" buatan Siauw Lim
Pay dan masuki beberapa butir ke dalam mulutnya jago tua itu
sembari ia menekan jalan darah beng hun dipunggungnya.
Kiauw In dan Giok Peng memegangi In Gwa Sian dikiri dan
di kanan, mereka mengucurkan air mata melihat keadaannya
paman itu yang napasnya tinggal satu kali dan satu kali
tarikan saja tarikannya sangat lemah.
"Paman In ! Paman !" mereka memanggil-manggil. "Paman
In, bagaimana kau rasa "..."
Juga semua orang lainnya kaum lurus menjadi sangat
berduka. Thian Cie Lojin juga telah digotong pergi oleh
rombongannya, yang tak mempunyai harapan lagi atau
kelanjutan jiwanya. Menyaksikan keadaan itu Jie Mo Lam Hong Hoan, bajingan
nomor dua dari To Liong To berkata keras : "Hm !" Beginilah
tingkahnya orang-orang partai-partai besar dari Tionggoan !
Tingkahnya mirip lagak wanita saja ! Apakah yang aneh kalau
orang bertempur dan binasa " Apakah cukup dengan
ditangiskan saja " Hayo bilang kalian berani atau tidak untuk
bertempur dengan kami ?"
Sengaja Lam Hong Hoan berkata demikian karena ia
melihat pihak kaum sesat sudah kalah semangat disebabkan
runtuhnya Thian Cie Lojin, orang yang sangat diharapkan oleh
golongannya. Ia hendak membantu mukanya.
Ketika itu Pek Cut Taysu tengah membantu In Gwa Sian, ia
mengerahkan tenaga dalamnya. Tak dapat ia melayani orang
bicara, maka ia melirik dan mengedipi mata pada Liauw In,
adik seperguruannya itu yang menyambuti orang bicara.
Belum lagi pendeta itu muncul atau Leng Hian Tojin dari Bu
Tong Pay sudah mendahuluinya. Rahib itu maju dan
mengangguk kepada Lam Hong Hoan, dan sembari tertawa
bertanya hormat : "Ada pepatah berkata ular tanpa kepala tak
dapat jalan. Maka itu, Lam Sicu, selagi Thian Cie Lojin telah
menerima keruntuhannya, punyakah kau tenaga atau
kemampuan untuk menggantikannya memimpin kawanan dari
luar lautan kamu, untuk membuat pertandingan ini dilanjutkan
?" Ditanya begitu Lam Hong Hoan bungkam, hingga ia berdiri
diam saja. Teng Hiang dengan air mata bercucuran bertindak maju.
Berdiri di sisinya Lam Hong Hoan terus dia menuding Leng
Hian untuk berkata keras : "Hidung kerbau, jangan berbicara
takabur ! Tentang sakit hatinya guruku ini, aku Teng Hiang,
aku bersumpah akan aku perhitungkan dengan kau sekalian !
Hari ini biarlah suka aku mengasi lewat kepada kamu tetapi
nanti sesudah lewat satu tahun akan aku cari kamu buatku
mencari keadilan !" Ketika itu sinarnya si putri malam sudah mulai suaram,
selagi baru saja si nona berhenti bicara dari atas puncak
tempak satu bayangan orang berlompat turun sembari lompat
itu, bayangan itu memperdengarkan suaranya yang keras. "
Buat apa menunggu sampai satu tahun lagi " Tak dapatkah itu
dilakukan malam ini juga ?"
Segera terlihat orang itu ada seorang muda dengan jubah
panjang, di belakangnya tergendol pedangnya. Dia berwajah
tampan dan gagah. Kiranya dialah Tio It Hiong.
Melihat anak muda itu datang secara tiba-tiba Pek Giok
Peng lantas berbangkit hendak ia berlari menghampirinya,
tetapi baru ia berseru "Adik Hiong !" atau ia sudah ditarik oleh
Kiauw In yang segera ia berkata padanya perlahan. "Sabar
adik ! Lihat dulu dia yang palsu atau bukan !"
Luar biasa nona Cio. Sekalipun ia sangat memikirkan It
Hiong dan mengharap-harapnya di dalam keadaan sulit seperti
itu masih dapat ia berwaspada. Di saat itu maka dari sisi
dinding puncak pun tampak munculnya satu tubuh yang
langsing yang terus menghampiri It Hiong di depan siapa dia
tertawa manis dan menyapa merdu : "Adik Hiong. Mengapa
baru sekarang kau datang ?"
Pada punggungnya nona itu tampak senjatanya yaitu sanho
pang. Maka tak salah lagi dialah Tan Hong dari Hek Keng To.
Dan dia datang langsung pada si anak tanpa ragu-ragu lagi.
Tak puas Giok Peng melihat tingkahnya Nona Tan. Seperti
biasanya rasa jelusnya muncul tanpa dapat dicegah, hanya dia
dapat tidak sembarang bertindak. Ia cuma berkata nyaring
kepada si anak muda : "Paman In terluka parah sekali. Dia
saat mati hidupnya. Lekas kau membantu membantunya !
Kenapa kau ayal-ayalan ?"
"Oh !" It Hiong memperdengarkan suaranya lantas ia
berpaling kepada Lam Hoang Hoan dan Teng Hiang untuk
melirik sesudah itu, dia menghampiri In Gwa Sian.
Pek Giong Peng mau memapaki si anak muda itu. Lagi-lagi
ia dicegah Kiauw In. Ia menjadi tidak puas. Maka ia menoleh
kepada kakak itu, akan menatap matanya. Atau ia melihat
Nona Cio terdiam mengawasi tajam kepada si anak muda. Tio
It Hiong bertindak turut kepada In Gwa Sian. Selekasnya dia
datang dekat, bukannya dia menghampiri ayah angkat itu,
guna menyapa atau membantunya, mendadak dia
menggerakkan tangannya untuk menyerang.
"Kurang ajar !" demikian satu bentakan nyaring halus yang
dibarengi dengan serangannya kepada tangannya si anak
muda, guna menghadang serangannya dia itu.
Menyusul itu bangun berdirilah nona yang berseru itu yang
menyerang dengan tangan kirinya kepada orang sambil dia
mendamprat : "Hai, bangsat yang tak tahu malu ! Bagaimana
kau begini kejam menyerang kepada orang tua yang lagi tak
berdaya ?" Kata-kata itu adalah campuran panas hati dan menyesal,
ketika Giok Peng mendengar itu, dia bagaikan terasadar. Pek
Cut Taysu lagi menolong In Gwa Sian, ia toh menoleh
mengawasi si anak muda. In Gwa Sian sudah sadar, ia turut
mengawasi juga. Semua orang pihak lurus itu menjadi heran, kenapa It
Hiong bersikap demikian aneh " Kenapa dia menyerang ayah
angkatnya sendiri " Kenapa dia bentrok dengan nona Cio "
Giok Peng pun heran hingga ia berdiri bengong saja.
In Gwa Sian mengawasi sebentar walaupun matanya rada
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kunang, ia toh lantas mengenali anak pungutnya itu. Ia
menjadi gusar sekali. Dengan suara tak tegas, ia berkata keras
: "Anak Hiong tahan ! Apakah artinya perbuatan anehmu
ini....?" Saking mendongkol, napasnya jago tua itu menjadi sesak.
Ia pingsan seketika. "Paman In jangan bergusar !" Kiauw In berseru. "Dia ini It
Hiong palsu." Mendengar suaranya Kiauw In, Giok Peng dan Tan Hong
bagaikan dihajar guntur lantas mereka sadar. Sebaliknya para
hadirin semakin heran. Tiba-tiba Cukat Tan murid Ngo Bie Pay berseru : "Dia yang
telah menyerang ayah angkatnya sendiri, dia juga menempur
tunangannya, dia sama jahatnya dengan satu bajingan. Maka
itu jangan perdulikan dia yang tulen atau yang palsu. Mari kita
bekuk dia ! Bekuk dia baru bicara !" Dan ia mendahului lompat
maju guna membantu Kiauw In.
Suaranya Cukat Tan mendapat sambutan hangat. Sejumlah
anak muda lantas menghunus masing-masing senjatanya,
terus mereka itu maju menghampiri. Tio It Hiong, ya Tio It
Hiong palsu melihat suasana buruk itu. Dengan tiba-tiba dia
berlompat ke tengah tanah lapang ke arah Nona Tan.
Tan Hong masih ragu-ragu ketika ia melihat si anak muda
berlompat itu tetapi tidak ayal lagi, ia menyerang dengan
tangan kirinya sedangkan tangan kanannya menyambar ke
muka orang. Niatnya buat membetot kulit muka orang, kulit
yang menyamai wajahnya It Hiong sejati. Hong Kun dapat
menerka maksud orang. Ia tidak menangkis tangan kanan
nona itu, bahkan sengaja ia biarkan mukanya kena diraba,
setalah mana ia berlompat mundur.
Tan Hong heran bukan main. Ia bukannya meraba topeng
atau lainnya. Hanya kulit dan daging yang lunak, licin dan
hangat. Jadi itulah bukan topeng. Hong Kun mundur bukannya
buat mundur pergi, dia hanya menggunakan tipu daya. Dia
mau membikin Tan Hong menjadi bersangsi betul-betul. Tapi
justru dia mundur itu, satu serangan tangan segera meluncur
ke arahnya ! Itulah Siauw Wan Goat, bajingan bungsu dari To Liong To
yang menyerang secara tiba-tiba. Dia mempuaskan
penasarannya terhadap It Hiong, dia berlompat maju dan
menyerang. Hong Kun berkelit tetapi kurang cepat. Iganya
terhajar hingga ia merasakan nyeri. Untung baginya serangan
Wan Goat dilakukan dengan setengah hati. Nona itu
membenci tetapi hanya separuh, sebab tetap dia masih
menyinta. Sambil menyerang itu dia membentak : "Manusia
tak berbudi ! Nonamu hendak mengadu jiwa denganmu !"
Panas hati Hong Kun. Ia memandang si nona. Dia tidak
bergusar tetapi dengan airmata menggenang. Ia menjadi
sebal. Tak ingin ia digurambangi nona itu. Maka timbullah rasa
bencinya. Ia pula tak ingin nanti terkepung dan terbekuk oleh
orang lurus. Itu sebab rahasianya bakal terbuka. Tapi ia cerdik
sekali, ia kata nyaring : "Siauw Wan Goat, jangan salah
paham. Cinta kita dalam bagaikan lautan ! Mari kita pergi !"
Nona Siauw heran hingga ia menjadi melongo. Justru ia
berdiam itu, Hong Kun maju menikam padanya ! Pemuda itu
hendak merampas nyawa orang. Selagi si anak muda itu
menyerang, dua sosok tubuh lompat berbareng kepadanya.
Yang satu menyerang dengan senjata roda sepasang Ji Goat
Siau lun yang lain dengan cambuk joan pian, dengan begitu
beradulah senjata mereka. Roda sepasang yaitu Ji Goat Siau
lun kena terpapat kutung, hingga pemiliknya menjadi berdiri
bengong. Wan Goat melihat penolongnya itu ialah kedua kakaknya,
kakak nomor dua Lam Hong Hoan dan kakak nomor lima Bok
Cee Lauw itu yang senjatanya terkutung sekejap itu,
meluaplah hawa amarahnya. Maka ia lantas menikam Hong
Kun. Dalam nekad ia bersedia mati bersama.....
Hong Kun melayani serangan itu tetapi karena ia kuatir
nanti kena terkepung, setelah mendapat kesempatan, ia
berlompat mundur akan terus lari turun gunung. Ketika si
anak muda mau kabur itu ia mendengar tawa yang dalam dan
dingin lantas seorang tua merintangi larinya. Dia itu seorang
tua dengan jubah panjang dan janggut mancung seperti
janggutnya kambing gunung.
"Eh, Tio It Hiong bocah !" bentak orang tua itu. "Mana
kegagahanmu selama di Ay Lao San. Apa dengan cara begini
saja kau hendak kabur ?"
Kata-kata itu ditutup dengan serangan dua belah tangan
kosong. It Hiong palsu, ia tidak menangkis, ia juga tidak lantas
melawan. Ia hanya mundur dua tindak.
"Siapa kau ?" bentaknya.
Orang tua itu tertawa. "Kau berpura-pura ya ?" tegurnya. "Bocah, akulah Kiu Lam
It Tok ! Aku datang menghaturkan obat pemunah racun buat
pamanmu ! Jika kau benar kosen mari layani aku."
Lagi sekali orang tua itu mengulangi serangannya. Hong
Kun datang ke Tay San dengan maksud mengacau, tak perduli
terhadap pihak mana ia hendak menerbitkan salah paham,
supaya orang terus bentrokan. Siapa tahu dua-dua pihak
justru memusuhinya. Ia menyesal yang niatnya gagal. Tapi
satu hal ia telah lihat tegas semua pihak tak ada yang
berkesan baik dan senang terhadap musuhnya.
Hal ini membuatnya sedikit girang. Tetapi sekarang Kiu
Lam It Tok menghadangnya, timbullah rasa jemunya. Diamdiam
ia mengeluarkan racunnya yang berbahaya itu, ia
mengebut si orang tua setelah itu ia lari ke arah kaum sesat,
buat juga melepaskan bubuk beracunnya itu !
Hanya sebentar saja, enam atau tujuh orang kaum sesat itu
telah roboh karena kena mencium bubuk beracun. Yang
lainnya ada yang menangkis dengan sampokan, ada yang
lompat berkelit. Dengan begitu, kaum sesat itu menjadi kacau.
Ang Gan Kwie Bo dari Ngo Cie San mempunyai seorang
murid bernama Cio Hoa, murid itu tidak tahu selatan, hendak
dia membokong penyebar maut itu, dengan berani dia lompat
menerjang atau dia lantas terkena bubuk beracun, kontan dan
roboh tak sadarkan diri. Ang Gan Kwie Bo terkejut. Lekas-lekas ia menutup jalan
darahnya sendiri, ia menahan napas, sambil berbuat begitu ia
lompat ke depan untuk menjemput, memondong muridnya itu,
buat dibawa pergi. Hanya belum lagi ia mengangkat kaki, satu
sinar pedang sudah berkelebar ke arahnya. Ia berkelit dengan
memutar tubuhnya, hingga ia bisa lantas melihat
penyerangnya itu, ialah Tio It Hiong palsu. Ia menjadi gusar
sekali, ia lantas membalas menyerang dengan tangan kiri,
terus ia membuka suara, akan menyanyikan lagu yang lihai
itu, lagu Toat Hun Im Po, Gelombang Irama Merampas Nyawa
! Mendengar suara itu, kontan It Hiong palsu menggigil,
pernapasannya menjadi tidak karuan, tubuhnya terus
terhuyung-huyung. Lekas-lekas dia berdiam diri, guna
menetapkan hati, buat mengatur pernafasannya. Dengan
begitu, tak dapat ia berkelahi lebih jauh. Ang Gan Kwie Bo
bingung, hendak ia membantu muridnya, melihat orang tidak
bergerak lebih jauh, ia menghentikan suaranya, ia bawa
muridnya itu masuk ke dalam rimba.
Lam Hong Hoan dan Siauw Wan Goat mengejar si anak
muda, selagi mendatangi, mereka mendengar suaranya jago
wanita dari Ngo Cie San itu, pikiran mereka kacau, lekas-lekas
mereka berhenti berlari guna mengatur pernafasan mereka.
Selekasnya suara berhenti dan si nyonya tua lari terus, baru
mereka mengejar pula. Hong Kun panas hati dan penasaran menyaksikan ia masih
dikejar Hong Hoan dan Wan Goat, lantas ia menyambuti,
mendahului menikam si orang she Lam. Hoang Hoan juga
gusar. Ia melancarkan joan pian hingga cambuk itu menjadi
kaku dan panjang seperti tombak, menikam ke dadanya si
anak muda. Hong Kun menangkis dengan satu tebasan,
niatnya supaya cambuk lawan bisa ditebas kutung. Tapi Hong
Hoan lihai, dapat ia menarik pulang senjatanya untuk dipakai
mengulangi serangannya, dengan begitu dapat ia mendesak
lawan, yang terpaksa berkelahi sambil mundur.
Menyaksikan si anak muda terdesak, Siauw Wan Goat tidak
maju membantui kakaknya. Dia hanya berdiri diam untuk
menonton. Rasa tak tega terhadap si anak muda membuat
hatinya goncang dan serba salah. Sesudah Hong Kun mundur
tiga tombak lebih, mendadak Kiu Lam It Tok muncul pula,
jago itu terus berlompat maju sambil menyerang sembari dia
menyerukan : "Lihat tanganku !"
Hong Kun repot. Ia dikepung dari depan dan belakang.
Sementara itu, ia sudah bermandikan peluh. Satu kali ia
berlompat sambil menyerang, di saat Hong Hoan berkelit ia
berlompat terus. Maka tibalah ia disebelah barat tanah lapang
itu, ditempat rombongannya kaum lurus.
Tepat itu waktu Tan Hong berlompat maju pula. Si nona
penasaran, maka ingin dia ketahui, It Hiong itu It Hiong palsu
atau tulen. Di lain pihak dia melihat Kiauw In berdua Giok
Peng tengah mengawasi tajam kepada It Hiong, rupanya
mereka itu tengah meneliti anak muda itu. Maka berpikirlah
dia, "Mereka itu istrinya It Hiong. Mereka dapat berlaku sabar,
kenapakah aku tidak " Kalau aku maju terus, bukankah orang
akan mentertawakan aku " Baiklah, aku bersabar....." Maka
dia mundur pula. Ketika itu terdengar suaranya Giok Peng berkata kepada
Kiauw In, "Kakak, kalau dia bukannya adik Hiong, kenapa dia
menyerang pihak sana " Wanita dari To Liong To itu seperti
juga mempunyai hubungan yang tak layak dengan dia !
Bagaimanakah pandangan kakak ?"
Tan Hong menoleh ke arah darimana suara itu datang. Dia
melihat Kiauw In menarik tangannya Giok Peng dan berulang
kali menggelengkan kepala, mulutnya bungkam, matanya
tetap menatap It Hiong. Kiu Lam It Tok Sia Hong bersama Lam Hong Hoan sudah
mengambil sikap mengepung bersama akan tetapi sepasang
tangan kosongnya tidak dapat menandingi golok Kia Hoat dari
Hong Kun, tak berani tangan berdarah daging itu menyentuh
pedang yang tajam itu, bahkan pedang mustika, maka sering
dia merubah serangannya atau berlompatan berkelit. Maka
juga lantas juga dia terdesak menjadi pihak yang diserang.
Karena dia terdesak itu, dia membuat sulit juga pada Lam
Hong Hoan, kawannya hingga cambuk panjang she Lam itu
tak berani sembarangan diluncurkan, kuatir nanti mencelakai
kawan sendiri. Dengan demikian It Hiong palsu menjadi
mendapat angin. Selagi bertempur itu, Hong Kun masih sempat melirik ke
sekitarnya hingga ia melihat ada ancaman bahwa ia nanti
kena terkurung. Para "penoton" agaknya semakin mendekati,
ia melihat di barat Kiauw In bersama Giok Peng, ditimur Siauw
Wan Goat bersama Bok Cee Lauw. Di bagian tengah ada Tan
Hong. Justru mereka itu bertiga yang dikuatirkan bakal
melucuti kedoknya. Celaka kalau dia terkurung, pasti
rahasianya akan terbuka dan itu berarti namanya terutama
nama perguruannya bakal runtuh.
"Aku harus menyingkir !" demikian ia mengambil
keputusan. Maka juga dia lantas menyerang Kiu Lam It Tok
yang dia desak dengan tikaman atau sabetan berantai lima
kali tak hentinya. Terpaksa, Sia Hong telah terdesak mundur. Lam Hong
Hoan penasaran, dia mencoba mendesak, cambuknya memain
turun dan naik, cepat dan berbahaya. Selagi dia mendesak itu
mendadak ada orang lain yang berlompat masuk ke dalam
kalangan pertempuran, orang mana sambil memperdengarkan
suara yang bengis. "Manusia jahat, serahkan nyawamu !" Dan
dialah Cukat Tan, murid Ngo Bie Pay.
Hebat pemuda she Cukat itu. Begitu dia menyerang, begitu
dia mendesak, pedangnya menyambar-nyambar tak hentinya
tiga kali beruntun. Hong Kun repot, hingga tanpa merasa
ujung bajunya terhajar cambuknya Hong Hoan dan robek. Dia
menjadi kaget, tak mau dia membuang waktu lagi. Lantas dia
menjatuhkan diri dengan jurus "Tidur Mabuk diatas pasir". Dia
menggulingkan tubuh buat menjauhkan diri sampai tiga
tombak, setelah mana dia berlompat bangun sambil terus
mengayun sebelah tangannya, melepaskan bubuk beracunnya
yang seperti halimun musim semi itu. Dengan senjata rahasia
itu, dia menghadang orang mengejarnya. Dia sendiri terus lari
turun gunung. Jilid 29 Sia Hong dan Lam Hong Hoan berdiri melongo, mengawasi
lawannya kabur. Mereka tidak dapat mengejar. Selekasnya
halimun racun itu lenyap, maka lima sosok tubuh lantas
berlari-lari turun gunung, larinya sangat cepat. Merekalah
orang-orang yang paling prihatin terhadap Tio It Hiong, Cio
Kiauw In, Pek Giok Peng, Tan Hong dan Siauw Wan Goat,
yang kelima ialah si pemuda Cukat Tan, yang paling
mengagumi Tio It Hiong ! Sementara itu sunyilah medan pertempuran. Dengan
berlalunya Gak Hong Kun si pengacau, pertempuran juga telah
tidak dilanjuti lagi. Lam Hong Hoan menghela nafas melihat
gadis seperguruannya itu kabur menyusul Tio It Hiong, terus
ia menoleh berniat kembali kepada rombonganya, rombongan
kaum sesat atau ia lantas menjadi berdiri melongo !
Kiranya rombongan itu sudah mengangkat kaki secara
diam-diam, tak seorang juga yang tinggal ! Yang menjadi
kecuali ialah Teng Hiang yang lagi menangis sedih sambil
memeluki tubuhnya Thian Cie Lojin dan Cek hong-cu Cin Tong
dari Hek Keng To bersama Bok Cie Lauw lagi berdiri diam
disisi mereka. Beberapa orang yang roboh karena racunnya
Gak Hong Kun telah tiada pula.
Kapan Kiu Lam It Tok menyaksikan semua itu, dia
mendongkol sekali. Dia bukannya mengumbar hawa
amarahnya, dia justru tertawa terbahak-bahak. Dia lantas
memberi hormat kepada Lam Hong Hoan sambil berkata :
"Sampai jumpa pula !" Terus dia pun lari mengangkat kaki.
Lam Hong Hoan bertindak menghampiri Teng Hiang.
"Nona Teng, bagaimana kau hendak urus mayat gurumu ini
?" tanyanya. Teng Hiang menepas air matanya.
"Bukankah lebih baik akan menguburnya di puncak Koan
JIt Hong ini ?" katanya menjawab pertanyaan itu. "Dengan
begini, sekalian kuburannya dapat dijadikan peringatan
peristiwa di sini !"
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lam Hong Hoan mengangguk lalu dengan dibantu Cia Tong
dan Bok Cie Lauw, ia menggali tanah buat mengubur Thian
Cie Lojin. Mereka memilih tempat di dalam rimba.
Selesai dengan upacara penguburan yang sangat
sederhana itu, Hong Hoan mengajak si nona bersama Bok Cie
Lauw dan Cin Tong pergi ke tengah lapang, ia menghadapi ke
arah barat, ke tempatnya kaum lurus untuk berkata nyaring :
"Aku minta Pek Cut Taysu dari Siauw Lim Sie keluar untuk
bicara." Ketika itu pihak lurus tidak lantas meninggalkan tempat
pertemuan dan Pek Cut Taysu repot membantu In Gwa Sian
dengan menggunakan "Tay Poan-jiak Siam-kang" yaitu ilmu
keagamaan Prajna besar, jalan darah dan pernapasannya si
pengemis dibuat lurus hingga dia sadar dari pingsannya. Dia
mendengar suaranya Hong Hoan, di saat itu dia letih sekali
sebab ia mesti menguras semua tenaga dalamnya. Tapi dialah
pemimpin disitu dan dia yang diminta, terpaksa tanpa menanti
beristirahat dahulu, dia muncul dengan dipayang Liauw In dan
Ang Sian berdua. Dia bertindak perlahan-lahan. Kapan dia
sudah melihat Hong Hoan berempat itu, dia kata sabar.
"Pertemuan besar ini tak perduli siapa yang kalah, dengan ini
telah ditutup, karena itu Lam sicu ada pengajaran apakah lagi
dari diri kalian ?" Dengan tampang sungguh-sungguh, dengan suara keren
Lam Hong Hoan berkata : "Dalam pertempuran ini tanpa
dijelaskan pula, terang pihak kami yang kalah, tetapi kali ini
ketua kami dari To Liong To tidak dapat hadir. Karena itu
kelak di belakang hari, pastilah To Liong ToCit Mo akan
mencari kalian untuk mencari keputusan ! Pendeta tua, kau
mempunyai nyali atau tidak akan menerima tantangan kami ini
?" Pek Cut Taysu memuji sang Buddha. "Bukankah kita samasama
orang rimba persilatan ?" katanya bertanya. "Kenapakah
permusuhan hendak terus menerus diperpanjang " Demi
menghindarkan bencana rimba persilatan, bukankah lebih baik
untuk menanggalkan itu ?"
Tapi Lam Hong Hoan tetap gusar, kata dia bengis : "Sakit
hati dari kebinasaannya Locianpwe Thian Cie Lojin serta
penasaran dari terkutungnya tangan dari Yan Tio Siang Bian,
dapatkah itu dihabiskan dengan kata-kata sederhana seperti
kata-katamu ini " Inilah hutang darah yang mesti kami tagih.
Lain tahun pada hari ini ketua dari To Liong To pasti akan
memimpin orang-orang gagah dari luar lautan datang ke kuil
Siauw Lim Sie kalian di Siong San guna membuat perhitungan
! Pendeta tua, kau lihatlah !"
Habis mengucap itu Lam Hong Hoan lantas mengajak Teng
Hiang bertiga berlari-lari turun gunung. Pek Cut Taysu menarik
nafas melihat orang berlalu itu. Dengan munculnya sang
surya, dengan cahayanya terang dan hangat lembut maka
sekarang pulihlah keremangan puncak Koan JIt Hong seperti
sedia kala. Habis memandangi cuaca Pek Cut Taysu berkata kepada
Ang Sian Siang-jin, menyuruh adik seperguruan itu
menitahkan beberapa orang murid pergi mencari kayu, bambu
dan rotan untuk membuat semacam joli guna mengangkut In
Gwa Sian pulang. Ang Sian Siangjin menyahuti, lantas ia pergi
untuk bekerja. Bersama Liauw In, Pek Cut Taysu kemudian menghampiri
rombongannya yang tengah berkumpul di kaki puncak, diatas
tanah yang penuh berumput, setelah memandang semua
orang, ia berkata : "Dengan bantuan besar dari tuan semua,
dalam pertemuan ini kita memperoleh kemenangan, walaupun
kemenangan kecil. Hanya kejadian ini sayang belum bisa
menghapuskan bencana rimba persilatan. Thian Cie Lojin telah
menerima bagiannya tetapi In Losicu In Gwa Sian telah
mendapat luka parah. Hal ini amat mendukakan pihak kita,
sedangkan barusan, Lam Hong Hoan sudah mengancam
dengan tangannya. Memang benar kita tak usah takut tapi
pun benar bahwa kita harus waspada. Karena itu tuan-tuan,
lolap memohon kerja sama lebih jauh dari kalian, untuk kita
berjaga-jaga supaya kita jangan mengijinkan ada bajingan
yang menyelusup ke Tionggoan untuk membuat kekacauan.
Tuan-tuan, disaat kita bakal berpisah ini, tolong kalian
memberikan petunjuk kalian, petunjuk-petunjuk yang ada
faedahnya untuk kita semua."
Sang Hiang Tojin berbangkit, ia mengangguk memberi
hormat. "Harap janganlah kau sungkan, Toheng," berkata
rahib itu. "Buat menghindari bencana rimba persilatan, kami
takkan menampik segala apa. Dengan ini kami berjanji, asal
kami menerima surat dari Toheng, segera pinto akan
memimpin anggota kami untuk datang menerima segala titah.
Nah, toheng, perkenankanlah kami meminta diri !"
Benar-benar Sang Hiang mengajak rombongannya berlalu
setelah mereka memberi hormat pada Pek Cut Taysu beramai.
Lalu Pauw Pok Tojin dari Beng Shia Pay berbangkit dan
sembari memberi hormat kepada Pek Cut Taysu, ia berkata :
"Pinto mohon bertanya, bagaimana dengan Tio It Hiong murid
pandai dari Tek Cio Totiang " Gerak gerik dia menjadi satu
teka teki " Kenapa dia sebentar palsu, sebentar asli " Kuil
Leng Siauw Koan kami telah dikacau olehnya serta beberapa
muridku pun terbinasa dan dilukai. Pinto minta sukalah
Toheng membuat penyelidikan, supaya kutu busuk kaum
rimba persilatan itu bisa disingkirkan. Buat ini lebih dahulu
pinto menghaturkan banyak terima kasih. Nah, Toheng,
ijinkanlah kami mengundurkan diri !"
Imam itu lantas mengajak rombongannya memberi hormat,
terus mereka pergi turun gunung.
Pek Cut Taysu membalas hormat, ia mengucap terima kasih
seraya memberi selamat jalan. Habis itu, ia tampak masgul.
Itulah karena soal Tio It Hiong yang membingungkan itu.
"Jika benar semua kejahatan itu diperbuat oleh anaknya
itu, akan aku binasakan dia !" berkata In Gwa Sian yang gusar
bukan main. "Sobat Losicu," Pek Cut Taysu menghibur pendeta itu yang
baru terasadar itu, tak selayaknya si pengemis bergusar.
"Sekarang ini baiklah Losicu merawat diri lebih dahulu. Akan
lolap membuat penyelidikan, guna membikin soal menjadi
terang dan jelas." Sampai disitu, para tetamu atau kawan lainnya berganti
memohon diri, buat berpamitan hingga mereka tak usah
kembali dahulu ke kuil. Dilain saat, Ang Sian Siangjin sudah
kembali bersama joli daruratnya. Diwaktu naik ke joli, In Gwa
Sian tidak melihat Kiauw In dan Giok Peng, ia tanya kemana
perginya nona-nona itu. "Mereka lagi menyusul Tio Sicu." Pek Cut Taysu
memberikan keterangan. Lantas mereka turun gunung, buat berjalan pulang.
Sementara itu Kiauw In berlima, setibanya mereka di kaki
puncak, mereka telah kehilangan orang yang disusulnya.
Mereka tak dapat menyandak tadi sebab mereka tidak berani
datang terlalu dekat, mereka jeri terhadap bubuk beracun
yang jahat dari pemuda yang dicurigai itu.
"Sudah, adik, tak usah kita menyusul terus." kata Kiauw In
kemudian sambil ia menahan larinya Giok Peng. "Paman In
terluka parah, mari kita melihat padanya, mari kita pulang !"
"Di sana ada Pek Cut Taysu yang merawati, aku percaya
luka Paman In tidak berbahaya," kata Nona Pek. "Aku berpikir
buat menyusul lebih jauh, buat melihat bagaimana sebentar."
Ketika itu Tan Hong, yang lari belakangan, menyandak
kedua nona. Ia memberi hormat dan berkata : "Kakak, kenapa
kakak berhenti disini " Bagaimana penglihatan kakak, apakah
benar ia tidak Hiong yang terkena racun hingga tabiat atau
kelakuannya menjadi berubah demikian rupa ?"
Berkata begitu, Tan Hong hanya memandang Kiauw In, tak
terhadap Giok Peng. Giok Peng memandang tajam kepada Tan Hong, bukannya
dia menjawab pertanyaan nona itu, bahkan ia dengan
suaranya yang tak sedap berkata : "Kau bersama adik Hiong
telah pergi bersama ke Ay Lao San, apakah kau bikin di sana "
Bukankah kau yang membujukinya hingga dia menjadi
berubah demikian macam " Aku justru hendak meminta
keteranganmu !" Bukan main berdukanya Tan Hong. Ia bermaksud baik,
orang keliru menerimanya. Terhadap nona Pek, tak dapat dia
bergusar menuruti tabiatnya. Maka itu, dia menjadi sedih
sendirinya. "Tentang kepergianku ke Ay Lao San bersama adik Hiong,"
kata ia sambil menangis, "ada suheng Whie Hoay Giok serta
cianpwe Beng Kee Eng yang mengetahuinya. Kalau kakak
salah mengerti, silahkan kakak tanyakan mereka itu berdua."
"Hm !" Giok Peng membentak. "Merekalah orang laki-laki,
mana mereka ketahui tentang kepandaianmu, budak setan "
Kalau sampai terjadi sesuatu atas dirinya adik Hiong kau yang
harus bertanggung jawab !"
Tan Hong berdiam, dia menangis sedih sekali hingga
tubuhnya menggigil. Kiauw In berkasihan melihat orang demikian berduka. Ia
berkesan baik sekali terhadap nona itu yang seperti dia,
sangat mencintai Tio It Hiong. Dia menghampiri, akan
menggenggam tangan orang. " Nona Tan, janganlah kau
berduka karena kata-katanya adik Giok Peng." ia menghibur. "
Kita bertiga toh memikir sama semua buat kebaikannya adik
Hiong. Apakah kau pun ada soal, bukankah baik untuk kita
mengatakannya dengan sejujurnya ?"
Berkata begitu Kiauw In menarik Giok Peng. "Adik Peng,
janganlah kau salah paham terhadap Nona Tan" kata ia pula.
"Nona ini pun telah berjasa kepada adik Hiong."
Tadi Giok Peng tengah panas hati, dia bicara keras,
sekarang melihat sikapnya Kiauw In dengan luwes, dia sadar.
Dia malu sendirinya. Dia memangnya jujur.
"Barusan aku berbuat salah." kata dia mengakui. "Itu
semua sebab kecerobohan kakakmu ini, maka itu suka apalah
kau memakluminya." Tan Hong bersyukur mendengar kata-kata halus dari Kiauw
In, sekarang ia mendengar Giok Peng meminta maaf. Legalah
hatinya, hilang kesedihannya. Ia lantas menepas air matanya.
"Terimakasih kakak berdua, kalian sangat menyayangi
aku." kata dia yang lantas dapat bersenyum. "Kakak, Tan
Hong akan ukir kebaikan kalian ini dalam hatinya. Demi adik
Hiong, aku tak akan mundur walaupun aku mesti menghadapi
lautan api ! Kakak apakah ajaran kakak untukku ?"
"Buat mencari adik Hiong, usaha kita harus dipecah
menjadi dua." kata Kiauw In. "Pertama-tama kita harus cari
tahu dimana adik Hiong sekarang ini, terutama guna
mengetahui tentang keselamatan dirinya. Yang kedua ialah
memberi tahu siapa sebenarnya orang muda tadi. Segala ia
sama dengan adik Hiong kecuali gerak geriknya. Kalau dia
benar adik Hiong, dia tentunya menjadi korban semacam obat
atau racun yang merusak sifat asalnya. Di dalam hal ini, ia
membutuhkan pengobatan dan perawatan yang cepat dan
tepat. Nah, bagaimana kalian pikir ?"
"Baik rupa maupun pakaiannya, orang itu tidak ada bagianbagiannya
yang mencurigai," kata Giok Peng, "apa yang beda
ialah caranya dia menyamai adik Hiong. Sebenarnya aku
bingung sekali." Kiauw In diam berpikir sampai dia ingat satu hal. "Adik
Tan." katanya kemudian kepada Tan Hong, "coba kau
tuturkan hal ikhwal kalian semenjak atau selama kalian pergi
ke Ay Lao San sampai peristiwa yang paling akhir yang kau
ketahui. Kau ceritakan segala apa dengan jelas, mungkin dari
situ dapat memikir sesuatu."
Berkata begitu nona Cio mengajak kedua kawan itu pergi
berduduk di atas batu di tepi gunung.
Tan Hong mengikuti, dia duduk dibatu. Lebih dahulu dia
merapikan rambutnya yang kusut tertiup angin. Dia pun
tunduk dahulu mengingat-ingat. Setelah itu baru dia
memberikan keterangannya. Dia menutur segala apa dengan
jelas terutama disaat mereka mau berpisahan sebab Tio It
Hiong pergi mendaki gunung seorang diri guna menggempur
kaum Losat Bun. "Sejak itu aku tidak tahu apa-apa lagi mengenai adik
Hiong" kata ia kemudian. "Adalah kemudian di Liong Peng aku
bertemu pemuda yang mirip adik Hiong itu dan malamnya
dirumah penginapan dia datang menyerbu cianpwe Beng Kee
Eng hingga aku mengejarnya. Hampir aku bercelaka
ditangannya. Aku terkena bubuknya yang jahat, yang
membuatku roboh tak sadarkan diri. Dia membawa aku ke
sebuah gubuk dimana aku secara kebetulan ditolongi Lam
Hong Hoan. Belakangan lagi di kecamatan Iap lee di rumah
penginapan aku bertemu dengan Siauw Wan Goat yang kena
diakali oleh pemuda itu, dia telah dicemarkan dan dilukai."
Tan Hong menghela nafas. "Adik Hiong menjanjikan aku
buat kami bertemu pula di gunung Tay San." ia menyambungi
akhirnya. "Adik Hiong jujur, dia pasti memegangi janjinya.
Disamping itu dia benci perbuatan jahat, aku percaya dia pasti
akan menghadiri pertemuan besar itu, sebab itulah saatnya
guna mengakhiri bencana rimba persilatan. Tapi malam ini,
adik Hiong tidak hadir. Hal itu membuatku bingung dan
berkuatir." Dua-dua Kiauw In dan Giok Peng berpikir keras, mereka
berkuatir dan bingung. Itulah sebab Tio It Hiong mendaki
gunung Ay Lao San seorang diri. Sekian lama mereka berdiam
saja. Tan Hong juga terus membungkam.
"Setelah mendengar penuturan kau, Nona Tan," akhirnya
Kiauw In berkata : "aku berkesimpulan pemuda di Kuan JIt
Hong tadi bukanlah adik Hiong, dia pasti seorang lain yang
memalsukan dirinya. Dia pula bukannya orang dari golongan
sesat yang hendak mengacau. Dia mestinya musuh dari adik
Hiong yang menyamar dan bertindak guna menimpakan
segala dosa kepada adik Hiong !"
Giok Peng dan Tan Hong mengawasi nona itu.
"Bagaimana kakak," tanyanya, "bagaimana sekarang ?"
"Menurut aku, baik kita bekerja dengan memisah diri."
sahut nona Cio. "Adik Tan, coba kau pergi ke Ay Lao San guna
membuat penyelidikan di sana guna mencari jejaknya adik
Hiong. Aku bersama adik Peng, aku akan pergi menyelidiki
pemuda yang mencurigai itu. Setelah setengah bulan, kita
akan bertemu pula di rumah di belakang gunung Siong San
itu. Apakah kalian setuju ?"
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tan Hong adalah wanita Kang Ouw, dia lompat bangun
paling dulu. "Akan aku turut perintahmu, kakak !" katanya pada Kiauw
In. "Nah, adikmu berangkat lebih dahulu ! Sampai kita
berjumpa pula !" Ia lari turun gunung, akan terus menghilang cepat.
Giok Peng mengawasi orang berlari-lari. "Ah, anak tolol !"
katanya tertawa. "Dia sudah tahu bahwa adik Hiong sudah mempunyai kau
dan aku, kakak. Kenapa dia masih tergila-gila demikian rupa "
Memangnya di kolong langit ini sudah tidak ada pertanyaan
lagi ?" Kiauw In tersenyum, matanya melirik nona itu. "Inilah
mungkin yang dibilang hutang dari limaratus tahun dahulu !"
kata ia sabar. "Adik Tan itu bolehlah dikata seorang yang
harus dikasihhani....."
Giok Peng mengawasi kakak itu. "Tetapi kakak." katanya.
"Disisi pembaringan kita, dapatkah kita membiarkan lain orang
tidur menggores " Kakak bicara dengan seenaknya ! Kakak
berpura menjadi orang baik hati !"
Kiauw In tidak melayani bicara, ia hanya menengadah
langit. Sang waktu berjalan terus.
"Mari !" ia mengajak adik itu.
Giok Peng mengikuti, maka pergilah mereka berdua.
Ke empat nona itu dan Cukat Tan telah jadi permainannya
Gak Hong Kun. Dia tahu dia dikejar, itulah artinya berabe.
Maka setibanya di kaki gunung, dia menyelinap ke samping,
masuk di tempat pepohonan lebat dimana ada batu karang
yang besar. Di situ tanpa terlihat dari sebelah luar, dia
merebahkan diri. Sempat dia melihat lewatnya lima orang
yang mengejarnya itu, hampir dia keluar dari tempat
persembunyiannya, akan menyusul Giok Peng sebab melihat
nona Pek timbul pula cinta bahkan jelusnya hingga dia ingin
memiliki nona itu. Dia membatalkan niatnya itu sebab lantas
dia melihat datangnya Lam Hong Hoan sekalian kemudian
beruntun yang lain-lain, yang meninggalkan puncak Koan JIt
Hong. Baru sesudah semua orang lewat, dia keluar dari
tempatnya bersembunyi itu. Selama itu dia rebah saja. Setelah
tiba di jalan umum, dia berlari-lari, niatnya menyusul Giok
Peng. Sementara itu Cukat Tan sudah berlaku cerdik. Sesudah
menyusul sekian lama tanpa hasil, timbullah kecurigaannya
hingga ia berpikir : "Mengimbangi dengan lari kita, tak
mungkin orang itu tak dapat disusul. Mestinya dia
bersembunyi di tengah jalan. Baik aku tungu dia disini...." Dan
ia pergi ke tepi jalan dimana terdapat gerombolan rumput
tebal dan tinggi, disitu dia menyembunyi-kan diri.
Tak lama terlihatnya orang-orang yang berjalan pulang dari
tempat pertemuan. Paling belakang, terlihat juga orang yang
dicarinya, berlari-lari melewatinya. Ia puas sekali. Diam-diam
ia lantas menguntit. Tio It Hiong palsu baru berhenti berlari dan berjalan
perlahan, itu sudah magrib. Dengan berani dia memasuki kota
karena dia menerka Giok Peng semua singgah di dalam kota
itu. Dia ingat pelajaran yang dapat dari Koay To Ciok Pek
dikota Kay hong ketika diserang, maka dia takut menemui
orang, kuatir nanti menjadi berabe. Dia sengaja mencari
sebuah jalan yang sepi serta rumah penginapan kecil dan
buruk perlengkapannya. Cukat Tan terus membuntuti dan ia pun singgah di
penginapan itu. Dengan demikian terus ia bisa memasang
mata. Perhatiannya anak muda she Cukat itu terlalu dipusatkan
kepada pemuda yang ia bayang itu, diluar tahunya ditengah
jalan tadi ia terlihat oleh Teng Hiang, si nona yang pikirannya
menjadi kacau sebab kematian gurunya, hingga ia menjadi
sebatang kara. Dia telah memisah diri dari Lam Hong Hoan.
Melihat si anak muda, semangatnya menjadi terbangun. Sejak
di tempat pertandingan tadi, dia sudah sangat tertarik oleh
pemuda yang tampan itu yang kepandaian pedangnya dia
telah uji sendiri. Dia lantas mengikuti dan masuk juga di
penginapan yang sama. Hanya dia tak mau berlaku sembrono
akan segera menyapa pemuda itu.
Cukat Tan baru mendapat tahu orang menguntitnya setelah
mereka sudah memasuki rumah penginapan. Ia tidak tahu
maksud orang tetapi ia bercuriga maka diam-diam ia
berwaspada. Ia pula berpura tak lihat nona itu. Teng Hiang
mendapat meja di sebelah timur karena Cukat Tan duduk di
meja sebelah barat. Tetapi setelah beberapa tetamu berlalu
dia pindah ke dekat meja si anak muda.
Habis memesan barang makanan, diam-diam Teng Hiang
mengawasi si anak muda. Dimatanya, pemuda itu tampan
sekali, hingga hatinya menjadi sangat tergiur. Hingga ingin dia
supaya anak muda itu segera berada didalam rangkulannya.
Dia lantas berpikir keras. Apa daya akan dapat berbicara
dengan pemuda itu. Mereka ada dari laIn Golongan bahkan
baru saja mereka bertempur sebagai lawan satu dengan lain.
Dia sebenarnya cerdas, hingga dia dapat "merokoki" It Hiong
dengan Giok Peng, tetapi buat urusannya sendiri ini,
pikirannya menjadi ruwet. Sulitnya ialah dia mau menjaga
derajat supaya si pemuda tidak mengatakan centil dan ceriwis.
Cukat Tan minum seorang diri, ia pun berpikir keras. Ketika
itu, orang yang dikuntit dan diintainya menyekap diri di dalam
kamar. Satu kali ia menuang araknya malahan hingga terkena
bajunya. Teng Hiang tertawa melihat orang kelabakan sebab
bajunya terkena arak itu.
Cukat Tan terperanjat mendengar si nona tertawa, ia
menoleh. Teng Hiang mengawasi pemuda itu hingga sinar
mata mereka berdua seperti beradu satu sama lain. Ia
tersenyum, ia memperlihatkan wajah manis.
Cukat Tan hendak membersihkan bajunya waktu ia
mendapati sebuah saputangan dilemparkan kepadanya dan si
nona berkata sambil tertawa : "Kau susutlah dengan
saputangan ini ! Sebenarnya arak tidak membuat orang
sinting, hanya oranglah yang sinting sendirinya !'
Si pemuda menyambuti saputangan itu, ia menyusuti
bajunya, kemudian setelah memerasnya kering, ia bertindak
menghampiri si nona. "Terima kasih !" katanya sambil mengembalikan
saputangan itu. Teng Hiang tertawa. "Kita sama-sama orang Kang Ouw, jangan kita berlaku
sungkan !" katanya manis. "Ya, kalau kita tidak bertempur,
kita tak bakal kenal satu pada lainnya ! Cukat kongcu, kiranya
kau baru sampai disini !"
"Kongcu" adalah panggilan terhormat tuan untuk seorang
muda. Cukat Tan tertawa. Di dalam keadaan seperti itu, tak dapat
ia berlaku bengis atau memusuhkan si Nona Tanpa alasan.
"Maaf, Nona Teng Hiang !" ia berkata. "Nona pun singgah
disini ?" Teng Hiang mengangguk. Itulah pembicaraan permulaan mereka, lantas selanjutnya
mereka dapat memasang omong tanpa canggung lagi. Teng
Hiang demikian pandai membawa diri hingga lenyaplah
keragu-raguan pemuda itu terhadap dirinya. Ia memangnya
tidak bermaksud jahat bahkan baik. Sebab ia ingin mencapai
cinta kasihnya si anak muda.
Dari berpisah meja, berdua mereka lantas duduk bersamasama.
Dan mereka makan dan minum sampai cukup setelah
mana Cukat Tan kena dibujuk akan memasuki kamar si nona,
buat mereka melanjuti memasang omong dengan asyik.
Banyak soal yang dibicarakan sampai kepada halnya Tio It
Hiong. Cukat Tan dengan polos mengutarakan kekagumannya
terhadap Tio It Hiong, akan kemudian ia tanya nona di
depannya itu : "Nona, kau telah banyak menjelajah, apakah
kenal Tio It Hiong ?"
Sebelumnya menjawab, si nona tersenyum dan melirik si
anak muda. "Ah, kenapa kau masih saja memanggil aku nona,
nona lagi ?" katanya. Ia menegur tetapi tidak gusar. "Apakah
dengan begitu kau tak kuatir derajatmu akan turun " Memang
pergaulan kita masih sangat baru tetapi aku merasa kita
sudah sangat akrab satu dengan lain, maka itu aku tak
menyukai panggilanmu ini ! Tak dapatkah kau memanggil
kakak kepadaku ?" Cukat Tan melengak. "Dia asal sesat tetapi begitu rupa kita
saling berbahasa, apakah kelak guruku tak akan menegurku ?"
pikirnya bingung. "Hebat kalau aku dipersalahkan....." Tapi si
nona cantik sekali dan suaranya merdu maka tergeraklah "hati
batunya", ia berpikir keras hingga tak dapat ia segera
memberikan jawabannya. Teng Hiang mengawasi, dia tertawa terus dia menepuk
bahu orang. "Bagaimana, eh ?" tanyanya, "Menyebut kakak saja begini
susah ! Apakah kau memandang hina kepadaku ?"
Tiba-tiba si nona menjadi sedih, air matanya meleleh
keluar. Itulah perubahan sejenak, itu pula kepandaiannya
seorang wanita yang cerdik.
Tak dapat Cukat Tan mempertahankan diri lagi. "Kakak !"
panggilnya. "Kakak, kau....."
Bukan main girangnya Teng Hiang tetapi ia tidak segera
utarakan itu pada wajahnya. Perlahan-lahan ia mengangkat
mukanya, menatap anak muda itu.
"Adik, apakah katamu ?" tanyanya.
"Aku menyesal, kakak." sahut si anak muda itu. "Aku
menyesal telah membuatmu berduka." Ia nampaknya likat.
Teng Hiang tersenyum. "Tak akan aku sesalkan kau, adik." bilangnya. "Adik yang
baik, jangan kau pikirkan itu......"
Pemuda itu mengawasi lampu, ia berdiam saja. Teng Hian
pun berdiam, ia cuma mengawasi, lewat sesaat barulah ia
memecahkan kesunyian itu.
"Eh, adik, bukankah tadi kau menanyakan aku tentang Tio
It Hiong ?" tanyanya.
Cukat Tan melengak, ia bagaikan baru mengingat sesuatu.
"Ya, kakak." sahutnya. "Aku menanya kau kenal Tio It
Hiong atau tidak....."
Mendengar disebutnya nama Tio It Hiong, Teng Hiang
masgul. Lantas ia ingat peristiwa pada suatu malam di Lek
Tiok Poo, itulah ketika ia menempur salah seorang lawan dan
jatuh dari atas genting tetapi Tio It Hiong menyanggah
tubuhnya hingga ia kena terpeluk dan menjadi tak kurang
suatu apa, itulah kejadian yang tak dapat dilupakan. Itulah
suatu budi..... Masih ada suatu hal lain yang Teng Hiang ingat benar.
Itulah katanya Tio It Hiong bahwa si anak muda akan
memperlakukan ia sama seperti terhadap Pek Giok Peng.
Kata-kata itu ia mengartikan banyak, itulah kata-katanya
seorang pria pada seorang gadis belia, Itu waktu pun Tio It
Hiong, si anak muda memanggilnya "adik" itu pun yang
menyebabkan ia berduka dan kabur dari Lek Tio Po sebab dia
merasa tak mungkin ia melayani pemuda itu bersama-sama
Giok Peng yang mudah jelus itu. Maka ia kabur dan kebetulan
sekali ia bertemu dengan Thian Cie Lojin si jago tua yang lihai
hingga ia berguru padanya. Sekarang gurunya menutup mata
dan ia menjadi sebatang kara pula. Tapi ia tidak takut
merantau seorang diri. Ia telah berpengalaman dan bernyali
besar. Selama mengikuti Giok Peng merantau, ia sudah
melihat dan mendengar banyak. Tapi sekarang di depannya
itu ada seorang pemuda lain yang tak kalah tampan dan
gagahnya. Pikirannya lantas berubah.
"Tio It Hiong ?" dia menegaskan tiba-tiba, lalu dia tertawa.
"Bukan saja kakakmu ini mengenalnya, bahkan kami
pernah....." Mendadak saja budak bengal ini berhenti bicara. Hampir ia
membuka rahasianya. Syukur ia lantas ingat peristiwa itu bisa
membangkitkan kesan tak baik dalam hatinya Cukat Tan.
"Apakah itu kakak ?" tanya Cukat Tan polos.
"Kami pernah berkenalan, dalam waktunya pendek sekali."
sahut si nona yang terpaksa menderita.
"Kakak" tanya pula si anak muda, "Kalau kakak kenal dia
kenapa kemarin ini di Koan JIt Hong, kakak tidak
menyapanya. Aneh bukan, Tio It Hiong justru bertempur
dengan tunangan atau istrinya ! Aku maksudkan dengan Cio
Kiauw In dan Pek Giok Peng. Hal itu membuatku heran
sekali......." Teng Hiang mau menunjuki pengetahuannya yang luas, ia
juga ingin membuat senang anak muda itu, ia lantas
menjawab perlahan, "Kau tidak tahu adik didalam dunia Kang
Ouw terdapat banyak sekali akal muslihat yang licik ! Di atas
puncak Koan JIt Hong itu dapat orang menyamar dan menipu
orang lain tetapi tidak kakakmu ini !"
Cukat Tan heran, ia mendelong menatap nona cantik manis
di depannya itu. "Ah, kakak maksudkan dialah Tio It Hiong palsu ?"
tanyanya. "Habis kakak, siapakah dia sebenarnya ?"
"Dialah Gak Hong Kun, murid dari Heng San Pay !"
"Gak Hong Kun ?" Cukat Tan mengulangi nama orang.
Mendadak saja pintu jendela terpentang, satu tubuh
berloncat masuk, sebatang pedang menyambar pada nona
Teng, sembari menyerang secara mendadak itu, si penyerang
pun memperdengarkan suara bengis : "Teng Hiang budak
bau, kau cari mampus ya ?"
Kaget Teng Hiang juga Cukat Tan tetapi sempat mereka
berlompat memisahkan diri, menyingkir dari ujung pedang itu,
setelah mana mereka menghunus pedangnya masing-masing.
Keduanya balik mengawasi si penyerang gelap itu. Mudah saja
akan mengenali orang ialah Tio It Hiong si pengacau puncak
Koan JIt Hong. "Kau siapa ?" Cukat Tan menegur.
"Jangan usil aku siapa !" sahut orang itu membentak.
"Gak Hong Kun !" berkata Teng Hiang yang tidak takut.
"Jangan kau main gila ! Apakah kau sangka rahasiamu dapat
ditutup terhadap Teng Hiang ?"
Hatinya Gak Hong Kun tergetar. Dia memang paling takut
orang membeber rahasianya.
Tapi dia tidak takut, sebaliknya dia jadi membenci Teng
Hiang juga Cukat Tan. Maka muncullah keinginannya untuk
menyingkirkan sepasang muda mudi itu. Tapi dia licik sebelum
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia turun tangan ingin dia mengorek dahulu keterangannya
nona itu. Berapa banyak si nona telah mengetahui rahasianya. Maka
ia tertawa terkekeh-kekeh. "Eh, budak bau, jangan kau
menghina orang." tegurnya. "Apakah kau sangka tuan
besarmu benar takut akan ancamanmu ini " Nah, kau
bicaralah !" Kecerdikannya Teng Hiang tak kalah dari kecerdikannya si
anak muda, ia menangkap maksud hati orang. Ia kata
jumawa. "Sudah cukup bagiku yang aku ketahui kaulah orang
Tio It Hiong palsu ! Buat apa bicara banyak pula ?"
Cukat Tan gelap bagi tampangnya Tio It Hiong dan Gak
Hong Kun berdua. Sekarang ia hanya merasa pasti bahwa
orang adalah It Hiong palsu. Maka itu ia terus mengawasi
tajam anak muda di depannya itu yang matanya bersinar
mengandung sifat kekejaman atau kegemaran akan
pembunuhan. Diam-diam ia merasa bergidik sendirinya.
Diam-diam pula ia melirik dan mengedipi mata pada Teng
Hiang, mengisikkan untuk si nona berwaspada. Gak Hong Kun
ingin membinasakan dua orang muda ini tetapi ia masih
memikirkan bagaimana caranya. Berat usahanya kalau muda
mudi itu bekerja sama. Kepandaiannya Teng Hiang ia telah
ketahui, tidak demikian kepandaiannya Cukat Tan. Maka ia
pikir baik ia ancam saja Teng Hiang.
"Ah, kenapa aku lupa" pikirnya kemudian, mendadak ia
ingat sesuatu. "Bukankah selama di Heng San pernah dia
menunjukkan cintanya padaku " Kenapa sekarang aku tidak
mau pakai itu sebagai umpan " Dengan mendapati tubuhnya,
aku pun bisa terus peralat padanya."
Setelah memikir begitu, Gak Hong Kun lantas merubah
sikapnya. "Adik yang baik" katanya sabar, "bukankah kau telah
melihat sendiri bagaiman Tio It Hiong telah merampas pacar
orang " Habis kenapakah kau hendak membantunya buat
membuka rahasiaku " Coba kau pikir apakah kebaikannya Tio
It Hiong terhadapmu."
Teng Hiang mengawasi dengan berdiam saja. Ucapan itu
memang membangkitkan cintanya terhadap Tio It Hiong.
Gak Hong Kun pandai melihat selatan. Ia sudah maju satu
tindak, hendak ia maju lebih jauh. Ia tertawa dan kata pula,
"Demikan, adik aku jadi gemar berdandan sebagai dianya. Aku
ingin menarik perhatian supaya kau makin mencintai aku !
Nah, demikian rupa aku menggilai kau, adik, kau tahu atau
tidak ?" Coba Gak Hong Kun bersikap begini sebelumnya Teng
Hiang bertemu dengan Cukat Tan, pasti akan mudah saja ia
dapat merebut hati si nona. Sekarang tidak. Bahkan sikapnya
itu menimbulkan kesan sebaliknya. Teng Hiang justru menerka
orang mau merusak pergaulannya dengan pemuda she Cukat
itu. "Apakah artinya penyamaranmu ini ?" tanya si nona tawar.
"Apakah artinya semua perbuatanmu itu " Kau bicara begini
rupa terhadap aku, berapa tebal mukamu " Apakah kau tak
kuatir orang justru membencimu ?"
Gak Hong Kun terkejut. Tak dia sangka bahwa dia bakal
dapat perlakuan sebaliknya dari pada apa yang dia harapharap.
Dia lantas melirik kepada Cukat Tan saingannya itu !
"Jika kau tak sudi menerima aku, adik, tidak apa." kata ia.
"Sekarang aku minta sukalah kiranya kau menyimpan
rahasiaku ini." "Atas nama persahabatan kita dahulu hari !"
"Kalau kau menampik, hm !"
Tak puas Teng Hiang. Orang bicara tak karuan. Katakatanya
orang itu pula dapat menggoncangkan
kepercayaannya Cukat Tan ! Kalau anak muda itu bercuriga "
Maka ia mau mencegah. "Aku Teng Hiang, aku ada seorang putih bersih !" kata ia
keras. "Apakah hubungan kau dengan aku " Kapannya kita
bersahabat " Jangan kau mengoceh saja ! Awas, pedang
nonamu tak akan mengampunimu !"
Habis dayanya Gak Hong Kun, habis pula sabarnya.
Mendadak saja dia menghunus pedangnya hingga sinarnya itu
berkemilau diseluruh ruang itu.
"Teng Hiang !" bentaknya. "Kau suka menerima atau tidak,
terserah kepadamu ! Mengingat persahabatan kita, telah aku
memberikan kau satu jalan hidup ! Kau tahu atau tidak, siapa
ketahui rahasiaku, dia tak dapat hidup lebih lama pula !"
Cukat Tan menjadi gusar sekali. Orang telah mendesak
nona yang ia cintai. Maka bangkit bangunlah sepasang alisnya.
"Kiranya kaulah seorang jahat !" teriaknya. "Kalau kau
benar gagah, kau sambutlah beberapa jurusku !"
Begitu ia menantang, begitu si anak muda menyerang. Ia
menikam ! "Tahan!" Teng Hiang maju sama tengah. "Kalau kita mau
mengadu jiwa, mari kita cari tempat yang sepi. Kita tidak
dapat mengganggu ketenteraman disini !"
Itulah yang Gak Hong Kun inginkan. Memang ia takut nanti
ada orang lain yang muncul disitu dan orang itu
mengenalinya. "Bocah bau," katanya jumawa, "kalau benar kau berani,
pergilah kau keluar pintu kota timur, di Go Gu Po ! Ditanjakan
itu akan aku nantikanmu untuk mengantarkan kau pergi
berpulang....." Kata-kata itu disusul dengan lontaran tubuh pesat keluar
jendela. Malam itu Gak Hong Kun keluar buat mencari tahu tentang
Giok Peng, kebetulan ia melihat api dikamarnya Teng Hiang.
Ia lantas datang mencintai, maka lebih kebetulan pula ia
menemui pemudi itu bersama si pemuda. Mulanya ia tidak
menghiraukan segala apa, hendak mengangkat kaki, akan
tiba-tiba ia mendengar namanya disebut-sebut dan Teng
Hiang membuka rahasianya. Dalam gusarnya ia lantas masuk
kekamar orang, niat membinasakan muda mudi itu atau ia
bersangsi sebab ia belum tahu kepandaiannya pemuda she
Cukat itu. Pula di dalam penginapan, tak berani ia membuat
onar. Keributan bakal merugikannya. Demikian ia menahan
sabar dan menantang untuk berkelahi di luar kota.
Hatinya Cukat Tan masih panas, hendak ia melompat
menyusul, tapi Teng Hiang menarik ujung bajunya.
"Jangan kena dipancing, adik !" mencegah si nona. "Jangan
susul dia !" "Tadi kita sudah berjanji, kakak." kata si anak muda polos.
"Janji kaum rimba persilatan harus dipenuhi. Mana dapat
sudah berjanji, tapi kita tidak muncul...."
Teng Hiang tertawa. "Seorang laki-laki tak dapat
membiarkan dirinya diperdayakan !" kata ia. "Terhadap
manusia jahat, buat apa kita mengukuhi kehormatan kita "
Paling benar kita jangan ladeni dia !"
Tapi Cukat Tan sedang bersemangatnya. "Tetapi, kakak,"
kata dia, "dapat menyingkirkan seorang jahat juga menjadi
salah satu tugas kaum rimba persilatan ! Aku Cukat Tan
sekalian saja hendak aku menguji kepandaian orang itu !"
Tak mau Teng Hiang mengadu mulut dengan orang yang
dia cintai itu. "Sungguh kau gagah, adik !" katanya sambil memuji.
"Menghormati kepercayaan justru menjadi peganganku, hal itu
membuatku gembira. Cuma biar bagaimana harus kita
waspada ! Kita harus berjaga-jaga dari akal busuknya !"
Keduanya lantas bersiap, habis memadamkan api, mereka
meninggalkan kamar dengan jalan meloncati jendela. Mereka
berlari-lari keluar kota. Teng Hiang kira ketika itu sudah jam
empat. Selekasnya muda mudi ini mendekati Go Gu Po, di sana
mereka melihat sinar pedang bergerak-gerak bagaikan
bayangan memain diantara bayangan pepohonan.
"Mari lekas !" Cukat Tan mengajak. Di sana ada
pertempuran, hendak ia melihat siapa mereka itu. Ia perkeras
larinya. Teng Hiang lari keras menyusul pemuda itu.
Diatas tanjakan itu, dua orang tengah bertempur seru,
yang satu ialah Siauw Wan Goat dari To Liong To, yang
lainnya si Tio It Hiong palsu. Siauw Wan Goat kecewa,
bersusah hati dan gusar. Ia telah dipermainkan pemuda itu. Ia
jadi nekad dan bersedia mati bersama si pemuda. Sejak di
Koan JIt Hong ia mencari anak muda itu, sampai kebetulan ia
melihat si anak muda berlari-lari ke pintu kota timur itu. Ia
menyusul dan menyandak, ditanyakan itu lantas ia
menyerang. Maka itu bertarunglah mereka berdua.
Siauw Wan Goat berkelahi dengan menggunakan ilmu
ringan tubuh dari To Liong To namanya "Kwio Siam Tong
Hiang" artinya ilmu "Bajingan berkelit". Ia bergerak-gerak
dengan sangat pesat dan lincah dan tidak ada suaranya juga.
Mulanya ditikam Gak Hong Kun dapat berkelit, walaupun
itulah bokongan. Inilah sebab dia lihai sekali.
"Kau cari mampus !" dia membentak setelah dia menoleh
dan mengenali jago wanita dari pulau naga melengkung itu.
Siauw Wan Goat makin gusar, dia menyerang pula. Maka
itu, berdua mereka menjadi bertempur sampai tibanya Cukat
Tan dan Teng Hiang. Dalam ilmu silat, Gak Hong Kun menang
satu tingkat, tetapi si nona nekad. Dia terdesak maka satu
kali, karena ayal sedikit saja ujung pedang si nona sudah
berhasil menggores iga kirinya hingga bajunya robek dan
kulitnya tergores hingga darahnya mengalir keluar.
Hal ini membuatnya gusar sekali. Belum pernah orang
melakukan secara demikian. Maka ia balik menyerang hebat
sekali. Ia menggunakan jurus silat "Su Yan Hong In" atau
"Badai di Empat Penjuru."
"Traaang," demikian terdengar satu suara nyaring sesudah
jurus-jurus dikasihh lewat.
Siauw Wan Goat kaget sekali. Pedangnya kena dipapas
kutung pedang mustika lawannya yang dia benci itu. Sudah
begitu pedang lawan terus meluncur ke kepalanya. Tapi
sempat ia berkelit, memindahkan diri ke belakang orang, maka
terus saja dengan pedang buntungnya ia menghajar
punggung musuhnya. Ia menggunakan pedang seperti senjata
rahasia ! Gak Hong Kun terkejut, selekasnya si nona lenyap dari
depannya. Ia lantas menerka akan datangnya serangan dari
belakang, ia lantas memutar tubuh sambil mendak seraya
dengan pedangnya menangkis ke belakang. Maka tepat ia
kena menghajar pedang buntung hingga pedang itu terpental
jauh setombak lebih. Siauw Wan Goat hilang napsu berkelahinya. Tanpa pedang
ia pasti tak dapat berbuat apa-apa. Tanpa ragu lagi, ia putar
tubuhnya dan lari turun tanjakan. Gak Hong Kun panas hati, ia
ingin binasakan nona itu, maka ia mengejar, tetapi orang tidak
mau memberi ketika padanya. Tiba-tiba saja Cukat Tan
menghadang di depannya. Teng Hiang mengenali Siauw Wan Goat, ia membiarkan si
nona lewat sambil ia menanya : "Adik Wan Goat, siapakah
orang yang mengejarmu ?"
Siauw Wan Goat berlari terus tetapi dia menoleh dan
menjawab : "Dialah Tio It Hiong !"
Teng Hiang tertawa di dalam hati.
"Dasar budak tolol !" pikirnya, "Dia cari penyakit sendiri ! Si
palsu dikatakan si tulen !"
Sementara itu Cukat Tan yang memegat Tio It Hiong palsu
segera membentak : "Orang she Gak, tahan ! Cukat Tan
menepati janji !" Gak Hong Kun menahan diri dengan ia lompat jumpalitan
mundur. Setelah ia hadapi si anak muda she Cukat, terus ia
berkata nyaring : "Bocak cilik, kau mau mati ya " Lekas kau
minggir ! Tuan Gak kamu hendak menyingkirkan kau budak
bau itu, habis dia baru aku akan berurusan dengan aku !"
Teng Hiang tertawa haha-hihi, dengan tangannya
menunjuk ke bawah tanjakan dimana Siauw Wan Goat sedang
berlari-lari. Didalam waktu yang lekas, Nona Siauw tampak
sudah seperti bayangan, yang terus melenyap.....
"Gak Hong Kun, kau lihat !" berkata pula Nona Teng.
"Berapa lihainya ilmu ringan tubuhmu " Dapatkah kau
menyusul nona itu ?"
Ketika itu pula cuaca remang-remang.
Gak Hong Kun melihat lenyapnya Siauw Wan Goat, hatinya
semakin panas, maka mau ia memindahkan kemarahannya
terhadap muda mudi di depannya itu. Ia mengawasi mereka
dengan sorot mata bengis.
"Kamu berdualah yang dikatakan ada jalan ke sorga kamu
tidak ambil, kamu justru menuju neraka !" katanya keras.
Cukat Tan gusar. "Lihat pedang !" serunya dan terus ia menikam. Dia tahu
sang lawan menggunakan pedang mustika, tak sudi ia
memberi ketika akan pedang musuh memapas kutung
pedangnya, tak sudi ia memberi ketika akan pedangnya, maka
itu ia berkelahi dengan waspada. Asal ditangkis dia dahului
menarik pulang pedangnya. Cepat sekali dia menusuk
berulang-ulang sebab dia menggunakan "Soat Hoa Kiam hoat"
ilmu pedang "Bunga Salju."
Gak Hong Kun tidak memandang mata pada anak muda itu
dan ia tidak lari walaupun orang ada berdua bersama Teng
Hiang. Ia percaya mudah saja ia kaan mengalahkan pemuda
itu. Bukankah ia bersenjatakan Kie Koat, pedang mustikanya "
Maka adalah diluar dugaannya yang pemuda itu cerdik sekali
dan sangat gesit, bergeraknya sangat lincah.
Cukat Tan menang diatas angin.
Teng Hiang menonton pertempuran dengan merasa kagum
untuk pemuda she Cukat itu sebab orang dapat melayani Gak
Hong Kun dengan baik sekali. Beberapa kali anak muda she
Gak itu mencoba membabat pedang orang gagal bahkan ada
kalanya habis membabat, dia repot sendirinya sebab setelah
berkelit Cukat Tan terus melakukan penyerangan pembalasan.
Maka berimbanglah kekuatan mereka berdua. Lama-lama
Cukat Tan toh kalah ulat. Ia lebih muda dan kalah
pengalaman, ia menjadi kalah tenaga. Perlahan-lahan gerak
geriknya menjadi lambat. Gak Hong Kun gusar, dia penasaran,
tetapi dia pun merasa letih. Menurut keinginannya ingin ia
dengan satu gebrak saja menyudahi pertempuran itu dengan
lawan dapat dirobohkan. Keinginan itu tak mudah dipenuhi.
Cukat Tan tetap dapat berkelahi walaupun gerak geriknya
sudah kendor.
Iblis Sungai Telaga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama itu berdua mereka bermandikan peluh pada
dahinya, apa panaspun mengendus. Teng Hiang terus
Anak Harimau 9 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 8