Pencarian

Imbauan Pendekar 2

Imbauan Pendekar Karya Khu Lung Bagian 2


pikirannya. Tapi apa guna pikiran jernih" Jelas dia tidak mampu menolong Pwe-giok, bahkan menolong
dirinya sendiri juga tidak bisa, dari pada sadar tanpa berdaya, kan lebih baik ia pun tertidur
saja. Ia tidak tahu siapa yang mengirimkan kereta kuda ini, jangan-jangan juga perbuatan Ji Hongho"
Tapi darimana Ji Hong-ho mengetahui mereka masih berada di Li-toh tin"
Sekonyong-konyong dilihat ada asap tipis melayang turun dari sebelah kecil atap kereta
dengan cepat asap tipis itu lantas buyar tertiup angin. Dengan menahan napas Lui-ji berdiri,
dengan belatinya ia lantas mengorek sela-sela atap kereta. Akan tetapi kedua kakinya terasa
lemas, begitu tangan menggunakan tenaga, kaki tidak kuat lagi, "bluk", ia jatuh terduduk pula.
Di luar dugaan, pada saat itu juga papan atap kereta lantas merekah, kiranya pada atap kereta
itu masih ada satu lapis langit-langit rahasia. Dengan menggertak gigi, sekuatnya Lui-ji
merangkak ke atas jok lagi, ia coba melongok ke atas. Dilihatnya di atas situ memang ada satu
lapis serupa bagasi kendaraan masa kini, di situ penuh tertaruh barang. Di samping ada setitik
lelatu yang masih berkelip membara.
Dengan belatinya Lui-ji mencongkelnya, lelatu api itu lantas jatuh ke bawah, ternyata
sepotong lidi dupa yang baru terbakar separuh. Hanya setengah batang lidi dupa itu sudah
mampu membius Oh-lolo dan Ji Pwe giok, betapa bagus buatan dupa bius itu sungguh
berbeda jauh daripada dupa bius yang digunakan kaum Lok-lim (penjahat, bandit, perampok)
umumnya. Cepat Lui ji memadamkan ujung dupa yang menyala itu, sisa setengah potong itu
disimpannya dalam baju, lalu ia meraba bagasi kereta itu untuk mengetahui barang apa lagi
yang tersimpan di situ. Ia merasa benda itu empuk, kenyal seperti kapas, juga seperti gumpalan daging. Ia menghela
napas panjang, sekuatnya ia tolak papan bagasi dan "bluk", barang itu jatuh ke bawah,
43 ternyata sosok tubuh manusia hidup. Sama sekali Lui ji tidak menyangka bahwa orang ini
ternyata Gin hoa nio adanya.
Padahal jelas diketahuinya Gin hoa nio telah jatuh dalam cengkeraman Ji Hong-ho, jika
sekarang dia berada dalam kereta ini, maka tidak perlu disangsikan lagi kereta ini tentu milik
Ji Hong-ho. Tampaknya Ji Hong ho memang bukan seorang tokoh yang mudah direcoki, setiap tindaktanduknya
selalu diluar dugaan. Lui ji menghela nafas ia ingin tanya mengapa Gin hoa nio bisa dijejalkan di kolong bagasi
kereta itu, akan tetapi Gin hoa nio juga dalam keadaan pingsan terbius, bahkan napasnya
sudah sangat lemah. Pada saat itulah kereta itu terasa bergoncang hebat, agaknya jalan pegunungan tidak rata yang
dilaluinya. Selang tak lama mendadak kabin kereta gelap gulita.
Waktu Lui ji membuka daun jendela ingin memandang keluar, ternyata apa pun tidak terlihat
lagi. Yang terdengar hanya suara gemuruh roda kereta yang bergema dan memekakkan
telinga. Agaknya kereta itu telah memasuki sebuah gua yang gelap, setelah membelok satu
tikungan, tiba-tiba di depan muncul bintik-bintik cahaya api.
Lui-ji mengerling, lalu ia pun roboh di atas jok.
Pada saat itulah kereta mendadak berhenti, terdengar ramai suara orang berlari mendekat, ada
yang menahan kuda kereta, ada yang memayang turun si kusir, bahkan ada yang menyapa
dengan mengiring tawa, "Wah Toasuheng tentu sudah lelah."
Si kusir ternyata "Toa-suheng" orang-orang ini, apakah dia Ciangbun-tecu, murid ahli waris
Ji-Hong-ho" Tapi setiap orang Kangouw sama tahu bahwa Hong-ho Lojin tidak pernah
mempunyai murid. Terdengar Toa-suheng itu hanya mendengus saja tanpa berucap apa pun, sikapnya jelas sangat
congkak, tapi mungkin orang-orang ini sudah biasa menghadapi sikap demikian, dengan
mengiring tawa mereka berkata pula, "Apakah Toa-suheng sudah menemukan kembali Ji-nio
(nona kedua)?" Mendadak terdengar "plak", yang ditanya itu telah dipersen sekali tamparan.
"Apakah ku temukan dia kembali atau tidak perduli apa dengan kau?" demikian sang Toasuheng
menjengek. Orang yang kena digampar itu masih juga berkata dengan mengiring tawa, "Ya, ya, lain kali
siaute tidak berani banyak mulut lagi."
Kembali Toa-suheng mendengus, lalu berkata, didalam kereta masih ada tiga lagi orang lagi
yang sengaja kubawa pulang untuk dipersembahkan kepada upacara sembahyang Kaucu, Jinio
juga berada di atas kereta, boleh kalian bawa mereka ke atas panggung sembahyangan,
tahu tidak?" Sembari bicara ia terus melangkah pergi.
44 Diam-diam Lui ji membatin, "Aneh, mengapa sang Toa-suheng, demikian ganas terhadap
semua saudara seperguruannya. Dari nada ucapannya, rupanya Gin hoa nio juga sekomplotan
dengan mereka, dan entah siapa lagi Kaucu mereka"
Dia tidak tahu bahwa Gin hoa nio berasal dari Thian-can kau, tapi sekarang ia tahu orangorang
ini tiada sangkut pautnya dengan Ji Hong ho, diam-diam ini jadi tambah kuatir.
Apapun juga tindak tanduk Ji Hong-ho masih pakai pertimbangan, jika jatuh dalam
cengkeraman Ji Hong ho rasanya akan lebih baik dari pada berada dalam genggaman orangorang
ini. Dalam pada itu pintu kereta sudah terbuka empat-lima orang berjubel di depan pintu kereta,
semuanya memakai baju ringkas warna perak, air mukanya berbeda dari pada orang biasa.
Seorang di matanya tinggi lagi kurus, mukanya yang pucat kehijauan hampir tiada terdapat
secuil daging pun sekilas pandang serupa benar dengan jerangkong hidup.
Biarpun cukup tabah, tidak urung Lui-ji merinding juga melihat orang aneh ini, sekali
pandang cepat ia memejamkan mata.
Terdengar orang-orang itu ramai-ramai berbicara, "He, Ji-nio seperti terluka" Apakah ketiga
orang ini yang melukainya" Siapa dan dari manakah ketiga orang ini?"
"Hah, lihat, nenek ini tidak punya hidung masa mampu mencelakai Ji-nio?"
"Tapi nona cilik ini sangat cantik, cuma sayang, belum cukup umur, kalau dua tahun lagi
tentu...." Begitulah ditengah gelak tertawa yang memuakkan itu, Lui-ji merasa sebuah tangan yang
dingin mencolek pipinya, saking tak tahan hampir saja ia muntah.
Tiba-tiba seorang berkata, "Ayo lekas menggotong pergi mereka, bila diketahui Toa-suheng
tentu akan dihajar atau didamprat lagi."
Dari suaranya jelas orang inilah yang digampar sang Toa-suheng tadi. Lui-ji coba mengintip
baru diketahuinya bahwa orang ini adalah si jerangkong hidup.
Rupanya orang-orang itu memang sangat takut kepada sang Toa-suheng, begitu si jerangkong
menyinggung nama Toa-suheng, seketika orang-orang itu klakap-klakep, tiada satu pun
berani bersuara lagi. Sementara seorang diantara mereka menyeret Pwe-giok keluar kereta.
Seorang lagi lantas berkata, "Jisuheng, apakah kita juga akan membawa Ji-nio ke atas
panggung sembahyang?"
Dengan suara dingin ia menjawab, "Inikan perintah Toa-suheng." Setelah ragu sejenak, lalu ia
berkata pula, "Biasanya Ji-nio disayang oleh Kaucu, entah mengapa sekali ini dia telah
melanggar peraturan, masa orang seperti dia sampai berbuat sesuatu kesalahan yang tak
terampunkan?" Lui ji masih mengintip dengan membuka sedikit kelopak matanya, dilihatnya sekeliling gua
itu penuh obor, api obor yang gemerdep menyinari batu gua yang beraneka ragamnya itu.
45 Ditengah-tengah gua terdapat empat gunduk api unggun, di sekeliling api unggun itu adalah
sepotong batu besar, mungkin batu inilah yang dimaksudkan sebagai panggung atau altar
sembahyang. Di luar sudah buntut musim rontok hawa sudah dingin, tapi di dalam gua ini hanya terasa
hangat seperti di musim semi. Bahkan Lui ji merasa kegerahan dan berkeringat. Ia tidak
paham mengapa orang-orang ini menyalakan obor sebanyak ini apakah mereka takut dingin"
Tapi segera ia melihat di samping setiap api unggun dikitari belasan kotak perak yang terukir
sangat indah, dari dalam kotak itu terus menerus mengeluarkan suara kresek-kresek yang aneh
suara seperti ular makan daun. Waktu mula-mula mendengar suara itu tidak terasa apa-apa,
tetapi lama-lama Lui-ji merasa berdiri bulu romanya badan terasa gatal seolah dirambati oleh
ular kecil yang tak terhitung jumlahnya.
Orang yang berada dalam gua ini tidak banyak, termasuk Ji-suheng si jerangkong itu,
seluruhnya cuma enam orang saja.
Ke enam orang itu menggotong Lui-ji berempat ke atas altar, lalu mengikat mereka dengan
tali berwarna perak, habis itu mereka lantas berdiri khidmat di samping, tiada satu pun berani
berbicara. Tidak lama kemudian, orang yang dipanggil sebagai Toa suheng itu muncul di balik tonggak
batu yang berwarna-warni sana, kini bajunya sudah berganti menjadi baju panjang berwarna
perak mengkilat. Tangannya malah membawa kipas sempit, di pandang dari jauh tampak
ganteng juga. Tapi sesudah dekat, ketika cahaya obor menyinari mukanya.....Wah, jangankan
manusia, sekalipun setan juga tidak lebih menakutkan daripada wajahnya.
Raut sang Toa-suheng ini sebenarnya tidak kurus, tapi entah sebab apa daging pada mukanya
itu hampir sebagian besar lenyap entah dimakan apa. Setengah bagian sebelah kiri hidungnya
masih utuh, tapi hidung sebagian kanan juga hilang. Pada satu bagian kulit dagingnya masih
baik, tapi diantara dibagian bawah kulitnya terkelupas sehingga kelihatan tulangnya yang
putih kelabu. Kedua tangannya juga cacat, sepuluh jari kini tersisa empat jari saja, tiga jari ditangan kanan
dan tangan kiri cuma tersisa sebuah jari. Enam jari yang lain entah hilang digerogoti makhluk
apa" Orang ini tampaknya adalah sisa-sisa dari mangsa segerombolan serigala lapar.
Namun ke enam orang lain ternyata sangat takut padanya, begitu melihat dia muncul, mereka
lantas menunduk, memandang saja tidak berani mereka menyapa dengan mengiring tawa,
"Perintah Toa-suheng tadi sudah kami laksanakan dengan baik."
Sang Toa-suheng hanya mendengus saja, sinar matanya yang serupa mata ular itu memang
sekejap ke arah empat orang yang menggeletak di altar itu, lalu berkata dengan tersenyum
seram, "Kukira orang-orang itupun perlu dibangunkan."
Sembari bicara ia terus pentang kipasnya ia mengipas beberapa kali di atas muka ke empat
orang itu, seketika Lui-ji mengendus semacam bau aneh. Toa-suheng itu menyapu pandang
46 sekejap pula lalu tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Hehe, tak tersangka Oh-lolo yang
termasyhur kini juga jatuh didalam genggaman aku si Siang Ji-long."
Mendengar ucapannya, Pwe-giok dan Oh-lolo yang sudah siuman itu merasa tenang malah.
Sedangkan Lui-ji berlagak terkejut, "He, siapa kau" Mengapa kami dibawa ke sini?"
Siang Ji-long, si Toa-suheng, mendengus, "Hm, jangan sok ceriwis, nona cilik, bila kau
omong lagi segera ku copot satu biji gigimu!"
Dalam keadaan demikian, Lui-ji benar-benar tidak berani mengoceh lagi. Kalau di depan Locinjin,
Kun Hay-hong dan lain-lain ia berani bicara tajam untuk membikin marah mereka,
sebab cukup kenal jalan pikiran mereka yang sok menjaga gengsi, biarpun gemas setengah
mati juga takkan bertindak kepadanya.
Akan tetapi Siang Ji-long ini tidak boleh dibuat permainan, apa yang dikatakannya pasti juga
dapat diperbuatnya, di depan orang demikian tentu saja Lui-ji bisa melihat gelagat dan
membawa diri. Lalu Siang Ji-long menuding Pwe-giok dengan kipasnya dan bertanya, "Kau inikah Ji Pwegiok?"
"Betul," jawab Pwe giok singkat.
Untuk sekian lamanya Siang Ji-long melototi Pwe-giok, ucapnya sambil menyeringai,
"Ternyata memang betul seorang anak bagus, pantas ketiga Tongcu agama kami sama terpikat
olehmu. Sebentar kalau tidak ku kembalikan mukamu berubah serupa mukaku, maka
anggaplah aku kurang hormat padamu."
"Mungkin Anda berharap muka setiap orang di dunia ini akan berubah seperti mukamu,
begitu bukan?" tanya Pwe-giok.
Terpancar sinar mata buas pada kedua mata Siang Ji-long, mendadak ia gampar muka Pwegiok
sambil membentak dengan suara parau, "Kau kira mukaku memang begini sejak lahir"
Hm, biar ku katakan padamu, sebenarnya aku....aku....." saking terangsang perasaannya
sehingga dia tidak dapat melanjutkan
"O, kasihan anak ini," tiba-tiba Oh-lolo menimbrung dengan menghela napas, "Tentunya kau
pernah dihukum "Thian-can-po-te (badan digerogoti ulat), makanya wajahmu berubah
menjadi begini. Tapi dapat kubayangkan, dahulu kau tentu sangat cakap, betul tidak?"
Napas Siang Ji-long tampak terengah karena emosi, jengeknya, "Betapapun, Oh-lolo memang
berpengetahuan luas, sampai hukuman digeragoti ular dari agama kami juga tahu, kau
memang seorang Cianpwe sejati."
"Apakah hukuman Thian-can-po-te itu" Apakah kulit daging pada mukamu itu digeragoti ulat
sehingga seperti sekarang ini?" seru Lui-ji.
Siang Ji-long tertawa seram, ucapnya, "Kukira kau tidak perlu tanya, sejenak lagi kau sendiri
pun akan mencicipi rasanya digeragoti ulat."
47 Tiba-tiba Oh-lolo berseru, "Bocah she Ji dan budak cilik itu tidak ada sesuatu hubungan
dengan diriku, nenek reyot juga tidak ada permusuhan apapun dengan Thian-can-kau,
bilamana mereka hendak kau bunuh, janganlah nenek juga kau masukkan hitungan bersama
mereka." Tapi Siang Ji-long hanya mendelik saja, apa pun yang dikatakan Oh-lolo tidak digubrisnya,
dianggapnya tidak mendengar saja.
Oh-lolo menghela napas, katanya kemudian, Ji Pwe-giok, "Ji kongcu, bukankah kau ini
pemuda maha cerdik, kenapa kali ini kau pun kena dikerjai orang dan menumpang kereta
setan serta dibawa ke sini?"
Diam-diam Pwe-giok menyesal juga. Waktu itu, yang terpikir olehnya hanya keselamatan Cu
Lui-ji sehingga keanehan kereta ini tidak diperhatikan olehnya.
Melihat Pwe giok hanya termangu-mangu, Lui-ji menjadi terharu, basah matanya, sambil
menggigit bibir ia berkata, "Ku tahu semua ini dilakukan Sicek demi diriku, jika bukan
lantaran diriku, tidak nanti Sicek terjebak."
"Ah, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau." ujar Pwe-giok dengan tertawa sedapatnya,
"yang harus disesalkan adalah tidak pernah ku duga bahwa Thian-can-kau tetap tidak mau
melepaskan Gin ho nio, dia....."
Pada saat itulah mendadak Gin-hoa-nio berteriak. "He, Siang Ji-long, mengapa kau pun
mengikat diriku di sini" Lekas bebaskan aku!"
Sejak kehilangan tenaga dalam, badan Gin hoa nio jadi lebih lemah dari pada seorang yang
tidak mahir ilmu silat. Kalau Pwe-giok bertiga sudah siuman sejak tadi, Gin hoa nio baru
mendusin sekarang. Siang Ji-long bersikap tak acuh, jengeknya "Ji-kohnio (nona kedua), apakah sekarang kau
bermaksud bersikap garang lagi padaku?"
"Jangan lupa, orang she Siang", damprat Gin hoa nio dengan gusar, "waktu kau sekarat
dahulu siapakah yang telah menyelamatkan dirimu?"
"Betul kau yang menyelamatkan diriku" jawab Siang Ji-long, "tapi kalau kau tidak mengadu
kepada Kaucu bahwa aku telah mengganggu kau mana bisa Kaucu menghukum diriku dengan
Thian-can-po-te?" Mendadak sorot matanya memancarkan cahaya buas, ucapnya dengan dingin, "Apalagi sekali
ini kau telah mengkhianati Kaucu, siapa pun tidak mampu lagi menolong kau. Tapi kalau kau
pun tidak meniru diriku, sanggup menahan siksaan digerogoti Thian-can, maka mengingat
hubungan baik kita di masa lampau akan kuberi jalan hidup padamu,"
Tampaknya Gin hoa nio menjadi ketakutan sehingga mukanya berkerut-kerut, ucapnya
dengan suara gemetar, "Hendaklah kau tahu, Kaucu adalah ayahku sendiri, mana beliau akan
menghukum diriku sekejam itu."
"Masa tidak?" jengek Siang Ji-long.
48 "Sudah tentu tidak, lekas kau lepaskan diriku," seru Gin hoa nio dengan parau.
"Hm," Siang Ji long mengejek, "apakah kau tahu, sejak kau curi pusaka Siau hun kiong dan
mengelabui Kaucu diam-diam Kaucu sudah menyuruh kukuntit jejakmu. Ketika di tanah
pekuburan di luar Li toh-tin sana, bila kau mau tunduk dan mengaku salah, mungkin dosamu
akan diberi keringanan....." dia merandek sejenak, lalu menyambung pula, tapi kau percaya
kepada kekuatan orang luar dan mengadakan perlawanan terhadap Kaucu, dari sini terbuktilah
sudah lama ada niatmu akan berkhianat, sekarang apa pula yang dapat kau katakan?"
"Hah, jadi di tanah pekuburan dulu itu, kiranya cuma kau saja yang main gila padaku?" seru
Gin hoa nio. "Memang cuma diriku ini saja, bilamana Kaucu sendiri, mungkinkah kau hidup sampai saat
ini?" kata Siang Ji long.
"Sejak dulu sudah kuketahui kau bukan manusia, nyatanya kau memang binatang." ucap Gin
hoa nio dengan gemas. "Dan sekarang kau telah jatuh di tangan si binatang," jengek Siang ji long sambil menyeringai
"Kau kira akan dapat lolos dari pengejaran Kaucu kita padahal sudah lama kutunggu kau di
luar Li-toh-tin, baru waktu kau ditangkap oleh anak buah Ji Hong-ho di tengah kebakaran itu,
lalu ku tolong kau, tujuanku justeru ingin membikin kau juga mencicipi bagaimana rasanya
tersiksa seperti apa yang pernah ku alami."
Dia bergelak tertawa, lalu menyambung, "Tapi sama sekali tak kusangka ketiga orang ini
dapat mengantarkan nyawa sendiri padaku. Waktu itu kulihat bocah she Ji ini seperti orang
kebingungan begitu melihat aku lantas seperti ketemu bintang penolong, tak tahunya aku
justeru setan pencabut nyawa baginya."
Lui-ji menghela nafas, katanya, "Baru sekarang ku tahu kiranya demikian adanya, rupanya
nasibmu saja yang lagi mujur."
***** Hawa dalam gua semakin panas, Lui ji dan lain-lain sama basah kuyup oleh air keringat, tapi
pada wajah Siang Ji-long tiada dapat sebutir keringatpun. Dengan perlahan dia
menggoyangkan kipasnya dan mondar-mandir mengelilingi gundukan api unggun, mendadak
ia mengangkat salah satu kotak perak itu dan diketuknya perlahan beberapa kali.
Mendadak kotak yang berada di tangan itu bergerak-gerak, melonjak-lonjak, mengeluarkan
semacam suara aneh, seperti ada barang apa didalam yang lagi menumbuk kian kemari dan
berusaha menerjang keluar.
Besar kotak perak itu kurang lebih 20 kali 30 senti, tingginya cuma belasan senti, dengan
sendirinya isinya juga tidak mungkin berbentuk besar, akan tetapi tenaga gentakannya
ternyata cukup keras sehingga kotak perak itu ikut melonjak-lonjak. Siang Ji-long tertawa
terkekeh-kekeh, katanya "Tidak perlu tergesa-gesa, sudah ku sediakan satu partai daging


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segar dan sebentar lagi kalian pasti boleh berpesta pora."
49 Gin hoa nio tampak ketakutan memandang kotak yang dipegang Siang Ji-long, mukanya
pucat pasi. "Apakah isi kotak itu Thian-can?" tanya Lui ji.
"Ehm," Gin hoa nio mengangguk.
"Apakah Thian can suka makan manusia?" tanya Lui-ji pula.
Tapi Gin hoa nio tampak gemetar sehingga giginya gemerutuk, bicara saja sukar.
"Jangan-jangan karena Thian can tidak tahan dingin, maka di sini dibuat api unggun sebanyak
ini?" kata Lui-ji. Mendadak Siang Ji-long mendelik, ucapnya sambil menyeringai, "Kau masih bisa iseng
bertanya macam-macam, sebentar kalau Thian can sudah merayap tubuhmu, mungkin kau
akan menyesal mengapa kau masih hidup di dunia ini."
"Huh, kata-katamu ini tidak dapat menggertak kami," jawab Lui-ji dengan tak acuh. "Betul
tidak Sicek?" Tapi waktu ia berpaling ke sana, dilihatnya bibir Pwe-giok juga pucat, matanya buram,
tampaknya juga ketakutan sehingga tidak mendengar apa yang ditanyakan itu.
Diam-diam Lui-ji menghela napas, pikirnya "Tak kusangka Sicek sedemikian mementingkan
mati hidup, bisa jadi lantaran selama ini aku tidak kenal betapa bahagianya orang hidup,
makanya aku tidak takut mati."
Dilihatnya Pwe-giok mengangkat kepala dan tanya Oh-lolo dengan melotot, "Racun pada
kukumu itu apakah betul tak tertolong lagi selewat 3 hari?"
Mendengar ini, Lui-ji jadi terharu, hampir saja ia mengucurkan air mata, perasaannya entah
manis entah getir. Baru sekarang diketahuinya bahwa yang dipikirkan Pwe-giok itu ternyata bukan mati atau
hidupnya sendiri, dalam keadaan demikian yang senantiasa dipikirkannya justeru adalah racun
yang menyerang Cu Lui ji itu dapat ditolong atau tidak.
Seketika Lui-ji termangu-mangu, apa yang diucapkan Oh-lolo tidak lagi didengar dan
diperhatikannya. Apakah racun yang menyerangnya bakal tertolong atau tidak juga tidak
diperdulikannya lagi. Cukup kata-kata Pwe-giok yang didengarnya tadi, andaikan sekarang dia harus mati juga rela.
Maklumlah, sejak kematian ibunya, dia tak pernah terbayang olehnya bahwa di dunia ini
masih ada orang yang sedemikian memperhatikan dirinya tanpa menghiraukan
keselamatannya sendiri. Entah sudah lewat beberapa lama lagi, sekonyong-konyong terdengar suara detak kaki
binatang dari kejauhan dan makin mendekat ke arah gua ini.
50 "Sret", mendadak Siang Ji long melipat kipasnya, ia melayang kesana dan berdiri di atas
sebuah tonggak batu yang serupa rebung itu lalu membentak, "Siapa itu yang di luar?"
Tapi tidak ada jawaban apa pun, sebaliknya suara detak kaki binatang tunggangan itu semakin
dekat. Siang Ji-long memberi tanda, ke enam orang berseragam perak tadi segera bergerak dan
mencari tempat sembunyi masing-masing di balik tonggak.
Melihat gerak tubuh mereka, baru sekarang Lui-ji tahu kungfu mereka memang selisih sangat
jauh dengan Siang Ji-long, pantas mereka sangat takut padanya.
Terlihatlah Siang Ji-long berdiri tegak di ujung rebung batu tanpa bergerak sedikit pun, hanya
kedua matanya tampak gemerdep, bentuknya itu jadi lebih mirip mayat hidup yang baru
keluar dari liang kubur. Dengan tangan kanan memegang kipas, tangan kiri Siang Ji-long tetap membawa kotak perak
tadi hanya sebelah ujung kakinya saja yang menempel ujung rebung batu, tapi ternyata kukuh
bagai terpaku di situ. Oh-lolo bergumam dengan gegetun, "Pantas bocah ini sedemikian congkak, tampaknya
memang punya isi, bisa jadi kepandaian Thian can Kaucu sendiri juga selisih tidak banyak
dengan dia." Belum habis ucapannya, terlihatlah seekor keledai kecil menerobos masuk ke dalam gua.
Hampir sebagian besar bulu keledai ini sudah rontok sehingga mirip seekor anjing buduk
yang menjijikkan. Di punggung keledai buduk itu menumpang seorang kakek bermuka jelek, mukanya belangbonteng
penuh keriput, dengan mata setengah terpejam kelihatan napasnya terengah-engah,
dipandang sepintas lalu kakek ini dan Oh-lolo dapat dikatakan satu pasangan yang setimpal.
Lui-ji mendesis, "Kakek ini berani menerjang masuk ke sini, jangan-jangan dia juga seorang
kosen" Kau kenal dia tidak, Oh-lolo?"
Si nenek menggeleng, jawabnya, "Kebanyakan tokoh Bu-lim yang punya nama tertentu
pernah ku lihat sekali dua kali, tapi rasanya tidak ada seorang tua semacam dia ini."
Dengan kecewa Lui-ji menghela nafas, dilihatnya setelah keledai kecil itu berlari masuk ke
dalam gua, belum lagi berhenti seakan-akan lantas berubah menjadi buta.
Mata si kakek juga keriap-keriap seperti tidak dapat melihat apa-apa lagi, orang bersama
keledai itu langsung menerjang lurus ke arah Siang Ji-long, tampaknya sama sekali tidak
menyadari bahaya apa yang sedang menantikan mereka.
Diam-diam Lui-ji ikut berkuatir bagi mereka.
Siang Ji-long hanya memandang saja tanpa bersuara, cuma sorot matanya penuh napsu
membunuh, dengan sabar dia menunggu mendekatnya si kakek bersama keledainya.
51 Tampak keledai itu sudah hampir menumbuk tonggak batu itu, Lui-ji dan lain-lain tahu apa
bila Siang Ji-long bergerak, maka orang berikut keledainya pasti akan tamat riwayatnya.
Selagi Lui-ji bermaksud memperingatkan, tak terduga Pwe-giok sudah mendahului berseru,
"Di sini ini bukan tempat yang baik silahkan Lo-sianseng (tuan tua) lekas putar balik ke sana
saja!" Baru sekarang kakek itu menengadah, dengan mata setengah terpicing ia memandang ke atas.
Maka menyeringai lah Siang Ji-long, katanya "Setibanya di sini, apakah kau ingin putar balik
kesana?" Kakek itu mengucek-ngucek matanya lalu menjawab, "Mungkin aku kesasar, apakah ini pun
melanggar undang-undang?"
"Ya, anggaplah kau telah melanggar undang-undangku," bentak Siang Ji-long dengan bengis
"Nah, serahkan nyawamu!"
Mendadak tangan kirinya bergerak, seketika enam atau tujuh potong benda kuning yang
mengeluarkan cahaya mengkilat terus melarang ke tubuh si kakek.
Lui-ji tahu itulah Thian can atau ulat langit, ulat yang berpuluh kali lipat lebih jahat daripada
ular berbisa. Tapi tak disangkanya gerakan ulat itu bisa secepat ini, seolah-olah bisa melayang
mengikuti angin. Ia menjerit keras, disangka kulit daging si kakek dalam sekejap saja bisa akan dimakan habis
oleh kawanan ilat itu dan akan tersisa seonggok tulang belaka.
Sungguh ia tidak sampai hati untuk menyaksikan adegan ngeri itu, baru saja hendak
memejamkan mata, mendadak dilihatnya tangan si kakek menggapai perlahan, tahu-tahu
beberapa potong benda mengkilat itu tergulung seluruhnya ke dalam lengan bajunya.
Hampir saja Lui-ji berkeplok dan bersorak gembira, tampaknya kakek ini memang betul
bintang penolong mereka. Sekali ini jelas Oh-lolo telah salah lihat.
Wajah Siang Ji-long yang memang jelek itu berubah buruk, teriaknya dengan parau, "Siapa
kau sesungguhnya?" Begitu pertanyaan diucapkan, serentak ia pun melayang ke atas terus menubruk ke bawah,
kipasnya seolah-olah berubah menjadi belasan buah, entah serangan mana yang betul dan
serangan mana yang cuma bayangan, yang jelas sebelum bayangan kipasnya menyambar tiba,
lebih dulu tangan kiri sudah menghamburkan secomot titik-titik perak.
Serangan tidak saja keji dan cepat, bahkan dalam waktu sekejap saja sekaligus melancarkan
berbagai serangan maut. Betapa kejinya, sampai siapa pihak lawan juga tidak perlu diketahuinya lagi, tujuannya hanya
satu, mematikan lawan, biarpun salah membunuhnya juga tidak terpikir.
52 Diam-diam Pwe giok terkejut, serangan maut yang hebat ini bila ditujukan kepadanya
mungkin ia pun sukar mengelakkannya.
Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak terdengar suara "blang" yang keras, tubuh Siang Jilong
mendadak pula melayang balik ke belakang lalu terbanting di tanah dengan terlentang.
Ternyata kipasnya sudah berpindah ke tangan si kakek
"Sret", kakek itu membentang kipas rampasannya dan mengipas perlahan, kedua matanya
sekonyong-konyong memancarkan sinar tajam, ucapnya terhadap Oh-lolo sambil tersenyum,
"Sekarang tentu nya kau tahu, meski kungfu Siang Ji-long memang hebat, tapi kalau
dibandingkan Thian can kaucu jelas masih selisih sangat jauh."
Ucapan ini kembali membuat dingin hati Lui-ji.
Kiranya kakek ini samaran Thian kaucu, bosnya Siang Ji-long sendiri, pantas sekali gebrak
saja serangan maut Siang Ji-long lantas dipatahkan. Kungfu Siang Ji-long memang ajarannya,
dengan sendirinya setiap gerak serangan dapat dibacanya seperti menghitung jarinya sendiri.
Lui-ji hanya menyengir saja. Ternyata Thian can kaucu telah disangkanya sebagai bintang
penolongnya. Dalam pada itu Siang Ji-long telah merangkak bangun dan menyembah kepada kakek dengan
ketakutan, ucapnya dengan gemetar, "Tecu tidak tahu Kaucu yang datang, sungguh dosa Tecu
pantas dihukum mati."
"Hm kudengar akhir-akhir ini kau sangat temberang, lantaran aku tidak di rumah, kau lantas
bertindak sesukamu, siapa pun tidak kau pandang dengan sebelah mata, semua ini sekarang
benar-benar telah ku saksikan sendiri," demikian si kakek Thian can kaucu menjengek.
Siang Ji-long sangat ketakutan, mengangkat kepala saja tidak berani, dengan tetap
menyembah ia berkata, "Kaucu mahir mengubah diri seribu macam, Tecu bermata tapi buta
dan tidak tahu akan kedatangan Kaucu, Tecu menyangka ada orang asing berani menerobos
ke daerah terlarang Thian-can-kau kita, karena kuatir sehingga terburu napsu melancarkan
serangan maut." "Hm, sekalipun begitu, pantasnya kau tanya dulu asal-usul pihak lawan, mana boleh tanpa
membedakan hitam atau putih dan segera kau lepaskan Thian can," damprat sang Kaucu
dengan gusar "Apakah lantaran kau sendiri sudah menderita digerogoti Thian-can, maka kau
pun ingin membikin orang lain juga mencicipi rasanya digeragoti Thian-can untuk
menyenangkan hatimu?"
"Tecu tidak berani, Tecu memang pantas mampus," ratap Siang Ji-long.
Dengan suara lantang Thian can kaucu berkata pula, "Setiap orang Kangouw sama tahu
betapa keji kungfu Thian can kau kita dan tiada bandingannya di dunia ini, tapi semua orang
juga tahu peraturan Kau kita yang tegas membedakan antara budi dan benci, apa bila ada
orang berani melanggar kedaulatan Kau kita, apapun juga akibatnya akan kita lawan dan kita
binasakan. Tapi setiap anak murid Thian can kau tidak boleh sembarangan membunuh orang
yang tak berdosa, dengan perbuatanmu ini bukankah kau telah sengaja merusak nama baik
Kau kita?" 53 Berulang Siang Ji-long menyembah lagi hingga jidatnya lecet dan berdarah, ia memohon,
"Tecu menyadari dosanya, mohon Kaucu memberi ampun."
Rasa gusar Thian can kaucu tampak berkurang, katanya dengan tegas, "Mengingat kau pernah
dihukum terlalu berat, maka ku perlakukan kau dengan lebih baik dari pada yang lain, siapa
tahu kau malah tambah mengganas dan berbuat tidak semena-mena, jika selanjutnya sifatmu
ini bisa berubah akan untunglah kau, kalau tidak, mungkin mati pun kau takkan terkubur."
Melihat Thian can kau cu ini, Pwe giok sendiri pun pangling, sebab orang sudah berganti rupa
dari pada apa yang pernah dilihatnya dahulu, yaitu waktu kepergok di istana bawah tanah
tinggalan Siau-hun-kongcu (ibu Cu-Lui-ji, bacalah dalam jilid 9 dan 10 Renjana Pendekar).
Ucapan dan tindakan si kakek tegas dan berwibawa sesuai seorang pemimpin besar suatu
aliran tersendiri, sungguh tidak tersangka kakek jelek ini-lah orang tua yang dilihatnya di
Siau-hun-kiong dahulu, padahal waktu itu si kakek berpakaian serba warna perak. Pantaslah
kalau anak muridnya sendiri juga pangling.
Tertampak Siang Ji-long masih mendekam di atas tanah dan menyembah beberapa kali lagi,
mendadak ia merobek bajunya sendiri. Maka tertampaklah badannya yang penuh bekas luka,
hampir boleh dikatakan tiada satu bagian pun yang utuh, sungguh mengerikan bagi orang
yang memandangnya. Pada pinggangnya terdapat ikat pinggang, di situ terselip tujuh bilah
pisau perak. Siang Ji-long melepaskan ikat pinggangnya dengan deretan pisaunya, lalu dibentangkan di
depannya serta menyembah pula.
Bahwa Siang Ji-long yang tadi tidak kepalang garangnya kini telah berubah menjadi ahli
menyembah, hal ini tidak saja membuat heran Pwe-giok dan lain, bahkan Thian can kaucu
sendiri juga rada terkesiap, ia bertanya, "Apa yang kau lakukan ini?"
Jilid 3________ "Setelah mendapat petuah Suhu tadi, Tecu merasa dosa sendiri sudah kelewat takaran dan
malu untuk hidup di dunia ini, Tecu rela menerima hukuman badan disayat pisau perak untuk
menebus dosa" demikian ratap Siang Ji-long sambil mendekam di tanah.
Ucapan ini membuat semua orang terkejut dan bertambah heran.
Thian can kaucu juga berkerut kening, katanya, "Tentunya kau tahu hukuman badan disayat
pisau termasuk hukuman mati agama kita?"
"Ya, Tecu tahu," jawab Siang Ji-long.
"Padahal sudah kuampuni kau, kenapa kau minta dihukum?"
Dengan pedih Siang Ji-long menjawab, "Hal ini dilakukan Tecu dengan sukarela, sebab Tecu
merasa berhutang budi kepada Suhu dan tidak dapat membalas, terpaksa menggunakan jiwa
Tecu sebagai teladan bagi para Sute agar mereka bisa lebih prihatin."
54 Sikap Thian can kaucu tambah lunak, ucapnya, "Tak tersangka kau mempunyai rasa
kesadaran demikian, tidak percumalah ajaranku selama ini. Persoalan hari ini mestinya akan
kuberi hukuman setimpal padamu, tapi karena kau sudah menyadari akan kesalahanmu, maka
sudahlah, berdirilah kau."
Diam-diam Cu Lui-ji merasa geli, pikirnya "Kiranya Siang Ji-long menggunakan akal 'Kobak-
keh' (akal menyiksa diri sendiri) untuk menghindarkan hukuman berat....."
Tak terduga, tiba-tiba Siang Ji-long berkata pula dengan menyesal, "Meski Kaucu telah
mengampuni Tecu, tapi Tecu tak dapat mengampuni dirinya sendiri, Tecu mohon sebelum
ajal diperkenankan mengutarakan segenap dosanya supaya Tecu bisa merasa tenteram."
"Kesalahan apa yang telah kau lakukan sudah kuketahui seluruhnya, kukira tidak perlu lagi
kau katakan," ujar Thian can kaucu.
Dengan pedih Siang Ji-long berkata, "Meski pandangan Kaucu maha tajam, tapi ada pula
perbuatan Tecu yang kulakukan di luar tahu Kaucu, sekarang setelah Tecu mengetahui betapa
luhur budi Kaucu terhadap Tecu, bilamana perbuatan Tecu itu tidak kubeberkan di depan
Kaucu, sekalipun hidup Tecu akan merasa tidak aman, mati pun akan merasa tidak tenteram."
Mau tak mau Thian can kaucu terkesiap oleh permintaan Siang Ji-long yang ngotot itu, Cu-lui
ji juga terheran-heran, ia pikir, "Kalau Siang Ji-long ini menggunakan akal Ko-bak-keh, tentu
sekarang sudah cukup baginya, mengapa dia masih terus ngotot begini, apakah dia memang
sudah bosan hidup" Sesungguhnya apa maksud tujuannya?"
Selang sejenak, terdengar Thian can kaucu berkata. "Jika demikian, bolehlah kau uraikan."
"Selama ini Kaucu memandang Tecu seperti anak sendiri," demikian Siang Ji-long mulai
menutur. "Kim-hoa, Gin-hoa dan Thi-hoa bertiga nona juga memandang Tecu sebagai
saudara, akan tetapi Tecu ternyata tidak tahu budi, sebaliknya malah timbul napsu
binatang...." dia melirik sekejap ke arah Gin hoa nio, lalu menyambung, "lima tahun yang
lalu, pada suatu malam di musim panas di bawah sinar bulan purnama, ketika Ji kohnio
sedang mandi di sungai, waktu itu usianya masih kecil sehingga tidak menaruh prasangka apa
pun terhadap Tecu, tapi demi melihat tubuh Ji kohnio yang putih mulus, tubuhnya yang sudah
tumbuh cukup masak itu, mendadak timbul pikiran busuk Tecu dan
hendak...hendak...memperkosanya...."
Cara bicara Siang Ji-long ternyata terang-terangan, bahkan melukiskan kejadian itu dengan
gerakan nyata. Geli dan juga gemas Lui-ji, ia merasa biarpun ingin mengaku dosa, mestinya juga tidak perlu
bergaya sejelas itu. Tak tahunya Thian can kaucu ternyata tidak menganggap berlebihan uraian Siang Ji-long itu.
sebaliknya malah memuji akan kejujurannya. katanya dengan perlahan. "Untuk kesalahanmu
itu kau sudah dihukum dengan ulat menggeragoti badan, maka tidak perlu kau merasa
menyesal." 55 "Namun sejak itu, bila Tecu teringat kepada kejadian itu, segera nafsu birahi Tecu akan
terangsang," tutur Siang Ji-long pula. "Dari sini terbuktilah bahwa tecu sesungguhnya bukan
manusia, bahkan lebih kotor daripada hewan."
Bicara sampai di sini, agaknya saking menyesal dan malunya, mendadak ia mencabut pisau
mengkilap itu terus menikam pahanya sendiri.
Thian can kaucu mengernyitkan dahi, tanyanya," Selain itu, ada hal lain apa lagi?"
"Tecu tidak percuma tidak setia terhadap Kaucu, juga tidak berbudi terhadap sesama saudara
seperguruan, demi merebut kedudukan ahli-waris Tecu, Tecu telah menggunakan segala tipu
daya untuk memfitnah Toa-suheng sehingga akhirnya Toa-suheng dihukum mati oleh Suhu."
"Siang Tay-long memang bermaksud jahat, sudah lama ada maksud hendak menghukum dia
menurut penuturan rumah tangga kita, hal ini pun tidak dapat menyalahkan kau," kata Thian
can kaucu. "Tapi apapun juga jalan pikiran Tecu memang jahat, apa lagi setelah Tecu menggantikan Toasuheng
menjadi Ciangbun suheng (murid pertama ahli-waris), terhadap para Sute tidak pernah
Tecu memperlihatkan kasih sayang, sebaliknya malah, memperlakukan mereka dengan kasar,
mencaci mereka dan memukul mereka dengan cara sadis...."
"Sebagai To-asuheng, kan pantas juga jika kau memberi hajaran terhadap para Sute, ini bukan
sesuatu yang luar biasa," ujar Thian can Kaucu.
Tadinya dia mendamprat Siang Ji long dengan kata-kata keras, tapi sekarang keadaannya
telah berubah. Siang Ji-long seolah-olah sedang mencaci maki dirinya sendiri dan Thian can
kaucu berbalik menjadi pembelanya.
Terdengar Siang Ji-long berkata pula," Suheng memberi hajaran kepada sute memang pantas,
tapi Tecu bertindak kelewat batas, untuk ini silahkan Kaucu tanya kepada Jisute, tentu Kaucu
akan tahu betapa keji tindakan Tecu."
Pandangan Thian can kaucu lantas beralih ke arah si jerangkong hidup, lalu bertanya,
"Apakah betul tindakan Toa-suhengmu agak kelewat batas?"
"Oo....ti.....tidak.....Tecu.....Tecu....." si jerangkong hidup menjadi gelagapan dan sukar untuk
menjawab.

Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba, sampai sekarang dia masih ketakutan dan tidak berani bicara terus terang, dari sinipun
terbukti betapa dia merasa segan kepada Tecu," kata Siang Ji-long pula. Dia menghela nafas,
lalu menyambung, "Ji-sute, sungguh banyak tindakanku yang tidak pantas terhadapmu,
sekarang aku bertekad untuk menebus dosaku itu, hendaklah kau bicara terus terang, cacimakilah
diriku, makin keras kata-katamu makin tenteram perasaanku."
Si jerangkong hidup memandangnya sekian lama, mendadak ia berseru, "Betul, biasanya Toasuheng
memang tidak menganggap Tecu sebagai manusia, tidak cuma main pukul dan caci
maki saja padaku, bahkan....bahkan Tecu dipaksa melakukan hal-hal yang tidak
berperikemanusiaan. Pernah satu kali tanpa sengaja Tecu telah memukul anjing kesayangan
56 Toa-suheng, tapi Toa-suheng lantas paksa Tecu menyembah dan minta maaf kepada
anjingnya, bahkan Tecu dipaksa makan kotoran anjing dan....."
"Sudahlah, cukup, tidak perlu dilanjutkan lagi," kata Thian can kaucu dengan kereng.
Siang Ji-long menghela nafas, "Apa yang dikatakan Ji-sute memang benar, jika Tecu pikir
sekarang, apa yang kulakukan itu memang....." sampai di sini ia mencabut lagi sebilah pisau
dan menikam pula paha sendiri. Thian can kaucu termenung sejenak, ucapnya kemudian.
"Apa pun yang telah kau lakukan, sekarang kau telah mengaku secara terus terang di
hadapanku, ini membuktikan kau masih sangat setia padaku, asalkan selanjutnya jangan lagi
berbuat kesalahan demikian, maka anggap selesaikan urusan ini."
Mendadak Siang Ji-long mengucurkan air mata, katanya, "semakin baik Kaucu terhadap
Tecu, semakin pedih hati Tecu. Budi kebaikan Kaucu tak dapat kubalas lagi selama hidup ini
terpaksa kutunggu sampai titisan yang akan datang."
Suaranya menjadi tersendat mendadak ia mencabut pula sebilah pisau terus menikam ke ulu
hatinya sendiri. Akan tetapi gerakan Thian can kaucu terlebih cepat, belum lagi ujung belati mengenai hulu
hatinya, tahu-tahu Thian can kaucu sudah mencengkeram tangannya sambil membentak, "Ku
larang kau mati. maka kau tidak boleh mati, jika tidak berarti kau membangkang perintah
guru." Sembari bicara ia terus hendak merampas belati Siang Ji-long. Sebaliknya Siang Ji-long
seperti sudah nekat dan masih meronta sekuatnya.
Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak dari gagang belati itu terpancar keluar selarik sinar
perak, langsung menyambar ke muka Thian can kaucu.
Betapapun Thian can tidak menyangka akan terjadi perubahan demikian, meski ilmu silatnya
maha tinggi juga sukar mengelak. Ia meraung keras-keras satu kali, tangannya membalik
untuk menghantam Siang Ji-long.
Namun Siang Ji-long sempat menjatuhkan diri dan menggelinding jauh kesana, serunya
dengan tertawa latah, "Siang Bok-kong, sekarang barulah kau tahu akan kelihaianku bukan?"
Apa yagn terjadi ini sungguh terlalu mendadak di luar dugaan siapapun juga, Gin hoa nio
sampai menjerit kaget, bahkan Oh-lolo yang ulung itu pun terkejut.
Terlihat Thian can kaucu menutup mukanya dengan kedua tangan, teriaknya dengan suara
parau, "Binatang, kau..... keji amat kau!"- Sambil memaki tempaknya ia hendak menubruk
maju. Tapi siang Ji-long lantas berseru dengan menyeringai, "Apa yang tersembunyi di dalam
gagang belatiku tentunya sudah kau ketahui, sekarang tidakkah lebih baik lekas kau duduk
saja di situ, memangnya kau kuatir bekerjanya racun kurang cepat?"
Thian can kaucu Siang Bok kong benar-benar tidak berani bergerak lagi, kini langkahnya juga
sempoyongan, berdiri saja tidak kuat, ia bergeliat sejenak, akhirnya jatuh terkulai.
57 Terdengar Siang Ji-long tertawa latah hingga lama sekali, jelas senangnya tidak kepalang.
Sebaliknya beberapa murid THian can kau yang berseragam hitam tampak ketakutan dengan
muka pucat, bergerak sedikit saja tidak berani.
"Wahai Siang Bok-kong," demikian Siang Ji long berteriak pula dengan tertawa, "apa kau kira
tadi aku memang tidak mengenali dirimu" Haha, bicara terus terang, sejak mula, begitu kau
masuk ke sini segera ku tahu siapa kau, hanya saja aku pura-pura tidak kenal padamu agar aku
dapat turun tangan padamu, dengan demikian seumpama aku gagal membunuhmu kan ada
alasan yang dapat kugunakan untuk membela diri."
Sambil mendekap mukanya, tubuh Thian can kaucu tampak berkejang, jelas sedang menahan
kesakitan yang luar biasa, bahkan ia terus bergulingan di tanah dan tidak sanggup bicara lagi.
Cu Lui-ji merasa penasaran, katanya "Baru sekarang ku tahu kau memang hebat , tapi
mengapa kau berbuat seperti tadi?"
"Setelah ku serang dia tadi baru kuketahui tua bangka ini masih mempunyai ilmu simpanan
yang tidak pernah diajarkan kepadaku, bila bertempur jelas aku bukan tandingannya, terpaksa
ku robohkan dia dengan akal," tutur Siang Ji-long.
Pada umumnya seorang kalau berhasil berbuat sesuatu yang menyenangkan, maka sedapatnya
ia ingin pamer supaya orang lain tahu akan kehebatannya. Kalau tidak maka sama halnya
orang berpakaian perlente berjalan pada malam gelap. kurang mentereng. Siang Ji long juga
demikian. Begitulah dia berseri-seri dan sangat bangga, dengan tertawa ia lantas menyambung pula,
"Sudah belasan tahun ku tinggal bersama tua bangka ini, setiap ciri kelemahannya sudah
kupahami. Ku tahu dia sok anggap awak paling pintar, urusan apa pun tak dapat mengelabui
dia. Orang yang berbuat salah asalkan mau mengaku terus terang padanya, maka dia akan
gembira mengira orang tidak berani berdusta padanya."
Makin omong makin bangga dia, setelah terbahak-bahak lebih keras, lalu berkata pula,
"Terhadap titik kelemahannya itulah ku turun tangan dan ternyata dapat ku jebak dengan
baik." "Lantas apa tujuanmu dengan berbuat demikian" Apakah karena kau ingin membalas dendam
lantaran kau dihukum ulat menggeragoti badanmu?" tanya Lui-ji pula.
Siang Ji-long menyeringai, katanya, Budak cilik, terlalu banyak kau bertanya."
Lui-ji tertawa, ucapnya pula dengan tertawa, "Seumpama kemudian kau dapat naik tahta
sebagai Kaucu, mungkin orang lain juga takkan takluk padamu."
Mendadak sorot mata Siang Ji-long yang tajam itu menyapu pandang sekejap ke arah para
sutenya, lalu mendengus. "Kalian takluk padaku tidak!"
Serentak beberapa orang itu menyembah di atas tanah dan menjawab dengan suara gemetar,
"Siaute takluk lahir batin!"
58 "Bagus, kalian ikut padaku, kelak kalian tentu akan mendapat pahala yang pantas," kata Siang
Ji-long dengan tertawa. "Sebelum ini, meski orang Kangouw sama jeri terhadap Thian can
kau kita, tapi diam-diam mereka sama bilang Kau kita adalah agama jahat, tapi selanjutnya
nama Thian can kau pasti akan berdiri sejajar dengan Bu-tong pay dan Siau lim pay, Kau kita
akan menjadi suatu aliran besar yang diagungkan di Bu-lim dan tak ada orang yang berani
memandang hina lagi kepada kita."
"Hm, mungkin kau lagi mimpi," jengek Lui ji tiba-tiba.
"Oo, kau tidak percaya?" tanya Siang Ji-long "Baik, akan ku beri waktu satu jam lebih
banyak, biar kau saksikan apa yang terjadi."
Lui-ji tidak menanggapi lagi, tapi diam-diam bertambah heran, pikirnya, "Dia ingin
kusaksikan kejadian apa" Lewat satu jam lagi berdasarkan apa Thian can kau bisa mendadak
berubah menjadi suatu aliran besar yang diagungkan?"
Dalam pada itu terdengar si Jerangkong hidup juga sedang menyembah dan berkata, "Toasuheng
maha bijaksana dan gagah perkasa, sudah lama juga Siaute bermaksud mendukung
Toa-suheng sebagai Kaucu."
"Oo" Apa betul?" Siang Ji-long menegas.
"Mana Siaute berani berdusta di hadapan Toa-suheng." jawab si jerangkong hidup.
Siang Ji-long mendengus, "Aku ini orang yang kejam dan buas, tidak menganggap kalian
sebagai manusia, mengapa kau masih tetap hendak mendukung aku menjadi Kaucu" Apakah
kau ini sakit ingatan?"
Seketika wajah si jerangkong hidup yang kelabu itu bertambah pucat, tapi setiap cuil kulit
daging mukanya seolah-olah gemetar.
Siang Ji-long tidak memberi kesempatan bicara padanya dengan menyeringai ia menyambung
pula, "Ya, kau pasti mempunyai penyakit tertentu, atau mungkin kau ini sakit jiwa, kukira
benakmu perlu direparasi."
Mendadak si jerangkong hidup membalik tubuh terus menerobos keluar gua.
Akan tetapi Siang Ji-long sudah memperhitungkan kemungkinan ini, begitu si jerangkong
bergerak, segera ia mendahului menghadang di depannya sambil mengejek, "Hm... kau ingin
lari?" "Tadi.....tadi Siaute sembarangan mengoceh seperti kentut anjing, mohon....mohon Toasuheng......"
demikian si jerangkong menjadi ketakutan. Namun dia masih berusaha mencari
hidup sambil bicara mendadak berpuluh bintik perak terpancar dari kedua tangannya.
Padahal jarak kedua orang sedemikian dekatnya, bintik perak itu terpancar dengan cepat lagi
mendadak, ia yakin Siang Ji-long sukar menghindar.
Siapa tahu antara dia dan Siang Ji-long serupa juga Siang Ji-long menghadapi Thian can
kaucu, serangan mautnya dianggap seperti permainan anak kecil saja, dengan perlahan Siang
59 Ji-long mengebaskan kipasnya, tahu-tahu berpuluh bintik perak itu menyambar ke arah si
jerangkong sendiri. Kontan dia menjerit dan roboh terjengkang menyusul lantas berguling-guling di tanah sambil
menjerit dengan suara parau, "Toa-suheng, mohon....mohon kau bunuh saja diriku, supaya....
ku mati dengan cepat!"
Jelas pada senjata rahasia itu terdapat racun yang maha lihay, begitu mengenai tubuh manusia
akan menimbulkan rasa sakit yang lebih baik mati daripada hidup, maka dapat dibayangkan
betapa tersiksanya si jerangkong.
Tapi sama sekali Siang Ji-long tidak menghiraukannya, ia berpaling ke arah para Sute yang
lain dan membentak dengan bengis, "selanjutnya barang siapa berani bersikap kurang sopan
padaku, inilah contohnya!"
Di dalam gua itu seketika penuh diliputi suara keluhan dan rintihan yang membuat orang
merinding. Siang Ji-long mengerling sekelilingnya, tiba-tiba pandangannya berhenti pada
wajah Gin-hoa-nio. Seketika otot daging di wajah Gin hoa nio juga berkejang.
Sambil menggoyangkan kipasnya dengan pelahan. Siang Ji-long mendekati Gin hoa nio,
ucapnya dengan perlahan, "Kejadian lima tahun yang lalu itu tentunya masih kau ingat
dengan baik, bukan?"
Gin hoa nio mengangguk. "Waktu itu kau tahu aku sedang berlatih di dalam gua di tepi sungai sana, tapi kau sengaja
membuka baju di luar gua, bahkan memperagakan tubuhmu dengan macam-macam gaya
merangsang untuk memikat diriku. Ketika aku tidak tahan dan menerjang keluar untuk
mencarimu, tapi kau lantas menolak malah, bahkan mengadukan diriku di depan si tua
bangka, katanya kuperkosa dirimu, sesungguhnya sebabnya kau sengaja membikin susah
padaku?" Saking emosi otot daging pada mukanya tampak ikut bergerak-gerak, dengan suara parau ia
berteriak, "Selama beberapa tahun ini senantiasa kupikirkan sebab apakah kau berbuat
demikian padaku, tapi sukar kudapatkan jawabannya, dan baru sekarang ku tahu sebabnya
kau berbuat begitu, hanya ingin membikin orang lain menjadi gila bagimu, menderita
bagimu." "Bu....bukan begitu maksudku, Toa-suheng." kaa Gin hoa nio.
"Habis apa maksud tujuanmu?" tanya Siang Ji-long.
"Seb.....sebenarnya sudah lama ku jatuh cinta padamu," tutur Gin hoa nio. "Waktu itu
sebenarnya aku pun ingin dipeluk olehmu, tapi caramu terlalu kasar, terlalu buas, padahal
waktu itu aku masih terlalu muda, melihat sikapmu itu aku menjadi takut."
Mendadak suaranya berubah menjadi penuh daya pikat, dada pun naik turun, dada yang
montok itu tampaknya seakan-akan meledakkan bajunya yang singsat itu.
60 Siang Ji-long melototi dada orang, sinar matanya seperti api yang berkobar-kobar, ucapnya
sambil menyeringai "Sekarang kau masih takut atau tidak?"
Gin hoa nio menggigit bibir dan menjawab, "Sekarang aku..." dia tidak melanjutkan, sebab
dia dapat bicara dengan matanya.
Tapi mendadak Siang Ji-long bergelak tertawa, ditengah tertawa latah itu mendadak ia
menubruk maju, ditariknya baju Gin hoa nio hingga hancur seluruhnya dan tertampaklah
badannya yang indah dan bernas.
Beberapa orang berseragam hitam itu sama melotot menyaksikan tubuh yang menggiurkan
itu, meski tidak berani memandang terlalu lama, tidak jarang mereka main lirik lagi,
semuanya bernapas terengah-engah seperti kerbau.
"Selama beberapa tahun ini senantiasa kuharapkan akan dapat melihat tubuhmu dalam
keadaan telanjang bulat, ingin kulihat apakah tubuhmu berubah atau tidak," demikian Siang
Ji-long berteriak sambil tertawa latah.
Gin hoa nio menghela nafas panjang-panjang sehingga dadanya semakin membusung dan
perutnya mengecil, ucapnya dengan lirih, "Kau lihat aku berubah atau tidak?"
"Tidak, kau tidak berubah," gumam Siang Ji-long, sama sekali tidak berubah, tidak
berubah..." satu kalimat itu diulanginya hingga beberapa kali, suaranya berubah rada gemetar
mukanya berkerut-kerut dan butiran keringat menghiasi dahinya.
Melihat wajahnya yang beringas itu, Cu Lui ji merasa kuatir juga, dilihatnya sinar mata Siang
Ji-long itu makin membara, seakan-akan sudah gila benar-benar.
Tapi Gin hoa nio tidak melihat apa pun, sebab sejak tadi dia sudah memejamkan matanya,
ucapnya dengan suara memikat, "Jika benar senantiasa kau pikirkan diriku, kenapa sekarang
tidak kau...... Mendadak Siang Ji-long meraung satu kali, teriaknya dengan suara parau, "Kau tidak berubah
tapi...tapi aku sudah berubah!"
Sekonyong-konyong ia membuang kipasnya dan menubruk maju pula, tubuh Gin hoa nio
dipukulnya, dicubit, digigi, dicakar, dan dijilatnya, napasnya ngos-ngosan, keadaannya mirip
seekor anjing gila, Lelaki macam apa pun pernah dilihat Gin hoa nio, tapi tidak pernah melihat orang gila begini,
keruan ia ketakutan dan menjerit, "He, apa yang kau lakukan" Apa-apaan kau ini?"
Dengan napas terengah-engah Siang Ji-long berkata, "Tahukah kau seorang lelaki akan
berubah bagaimana setelah diganjar hukuman ulat menggeragoti badan" Ketahuilah, dia akan
berubah menjadi bukan lelaki lagi. Dan karena gara-garamu sehingga aku bukan lagi seorang
lelaki, maka aku pun akan membikin kau bukan lagi perempuan."
Gin hoa nio melenggong, tanyanya dengan terputus-putus, "Masa....masa kau tidak...tidak
dapat....." 61 "Ya, aku tidak dapat, aku tidak ......tidak mampu....tidak mampu lagi." demikian Siang Ji-long
meraung kalap. Kini sampai-sampai nenek reyot macam Oh-lolo juga tidak tega menyaksikan gerakan tangan
Siang Ji-long itu. Apa yang diperbuatnya sudah bukan lagi seorang lelaki, bahkan boleh
dikatakan bukan perbuatan manusia, sebab kalau dia manusia tidak nanti melakukan
perbuatan sadis semacam itu.
Terdengar Gin hoa nio merintih, "O, kumohon...am..puni diriku, lebih...lebih baik kau bunuh
saja diriku." Semula dia masih memohon agar diampuni tapi akhirnya dia meminta agar lebih baik Siang
ji-long membunuhnya saja, nyata penderitaannya sudah sukar untuk dibayangkan.
Namun Siang Ji long belum lagi berhenti ucapnya sambil menyeringai, "Hm, kau ingin mati"
Mana boleh semudah ini" Akan kubikin kau...."
Tubuh Gin hoa nio yang tadinya putih mulus itu kini sudah berlumuran darah, akhirnya ia
tidak tahan dan jatuh pingsan.
Sekujur badan Siang Ji-long, mukanya dan tangannya juga berlepotan darah, gerak tangannya
juga mulai lambat dan akhirnya berhenti, napsunya yang terengah-engah lambat laun juga
mereda. Kedua matanya yang merah membara tadi mendadak berubah menjadi buram seperti ikan
mati. sekujur badan serasa kehabisan tenaga, ia berdiri mematung tanpa bergerak sedikitpun.
Nyata napsu birahinya yang gila tadi akhirnya telah mendapatkan pelampiasan.
Didalam gua itu menjadi sunyi senyap, hening seperti kuburan.
Tiba-tiba di luar gua bergema pula detak kaki binatang tunggangan, tapi sekali ini Siang Jilong
tidak lagi membentak dan bertanya, air mukanya yang menyerupai orang mati itu
berbalik menampilkan rasa girang, agaknya sejak tadi dia sedang menantikan kedatangan
seseorang, dan sekarang, orang yang di tunggu-tunggu itu telah tiba.
Diam-diam Lui-ji membatin, "Jangan-jangan sudah lama dia berkomplot dengan orang luar,
makanya berani bertindak terhadap Thian can kaucu. Tadi dia suruh aku menunggu lagi
barang satu jam, apakah maksudnya akan menunggu kedatangan orang ini"
Tapi siapakah gerangan orang yang datang ini" siapa pula yang bisa berkomplot dengan Siang
Ji-liong yang menyerupai binatang buas dan gila ini"
Mau tak mau Lui-ji menjadi tegang, ia tahu sekarang sudah tiba pula saat yang menentukan
mati dan hidupnya, kalau tidak mencari akal untuk bertindak, bilamana orang ini sudah
datang, maka baginya hanya ada satu jalan saja, yaitu mati.
Akan tetapi berada dalam cengkeraman orang gila semacam ini apa pula yang dapat
dilakukannya" Berada di tempat begini tentunya juga takkan datang orang yang akan
menolong mereka. Lalu, apakah mereka harus pasrah nasib dan mati di tangan orang gila ini"
62 Suara detak kaki kuda di luar semakin dekat, sekonyong-konyong seekor kuda berlari masuk
secepat terbang, pelana kuda ini tampak mengkilat, seekor kuda yang bagus dan gagah.
Penunggangnya seorang lelaki kekar juga berbaju mentereng walaupun wajahnya tidaklah
menarik. "Apakah kau kenal orang ini?" tanya Lui ji kepada Oh-lolo dengan suara bisik-bisik.
"Tidak," jawab si nenek.
"Tampaknya tokoh Bu-lim kelas tinggi tidak banyak yang kau kenal," ujar Lui-ji.
"Kalau orang inipun tokoh Bulim kelas tinggi biarlah nenek mencungkil mataku sendiri." kata
Oh-lolo. "Hidungmu sudah hilang, kalau matamu dicungkil lagi, kan tambah buruk?" ujar Lui-ji.
Meski dimulut ia berucap begitu, tapi sesungguhnya ia pun percaya pendatang ini memang
bukan tokoh Bu-lim segala, kepandaiannya menunggang kuda tampaknya lumayan, tapi
matanya tidak bersinar. Dari gerakannya waktu turun dari kudanya juga dapat diukur ilmu
silatnya pasti tidak tinggi.
Namun begitu air muka Siang Ji-long tetap kelihatan bergirang, sama sekali tidak terasa
kecewa akan kedatangan orang.


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah memang orang inilah yang ditunggunya" Masa orang ini dapat diandalkan untuk
menjunjung nama Thian can kau sehingga diagungkan di dunia persilatan"
Tapi apapun juga, yang jelas orang yang di tunggu-tunggu Siang Ji-long kini sudah datang,
jiwa Cu Lui-ji bertiga sudah terancam, betapapun mereka harus cepat mencari akal.
Terlihat orang berbaju mentereng itu memberi hormat kepada Siang Ji-long setelah melompat
turun dari kudanya, katanya, "Numpang tanya adakah di sini seorang Siang Ji-long?"
"Aku inilah Siang Ji-long, sudah lama kutunggu kedatanganmu," jawab Ji long.
Orang itu seperti merasa lega karena dapat menemukan orang yang dicari ucapnya pula
dengan tertawa, "Hamba ditugaskan kemari untuk....."
Belum lanjut ucapannya, secepat kilat tangan Siang Ji-long sudah bekerja, seperti pisau saja
ujung jarinya sudah menusuk tenggorokan orang itu.
Lelaki itu cuma sempat menjerit setengah suara, lalu kedua matanya melotot seperti mau
melompat keluar dari kelopak matanya, ia tatap Siang Ji-long dengan rasa kejut dan sangsi,
nyata sampai ajalnya ia belum lagi paham mengapa Siang Ji-long bisa mendadak
menyerangnya dan membinasakan dia. Sampai mati pun dia dapat menjadi penasaran yang
tidak tahu sebab apa dia dibunuh.
Cu Lui-ji dan lain lain juga terkejut. Mereka pun tidak mengerti sebab apa Siang Ji-long
membunuh orang itu. 63 Kalau yang di tunggu Siang Ji-long adalah orang ini, mengapa mendadak dibunuhnya pula "
seumpama orang ini hanya pengantar saja dan Sian Ji-long harus membunuhnya untuk
ditanyai dahulu keterangan yang diperlukan, mengapa sebelum orang itu habis bicara terus
dibinasakannya" Sekalipun Oh lolo adalah rase tua yang paling licin juga merasa bingung melihat kejadian itu.
Diam-diam Lui-ji membatin, "Jangan-jangan Siang Ji-long tahu orang itu membawa sesuatu
dokumen yang sangat penting dan harus dirahasiakan, maka lebih dulu membunuhnya untuk
menghilangkan saksi hidup."
Hanya demikianlah kesimpulannya, sebab selain ini hakekatnya tidak ada alasan lain.
Tak terduga, mendadak Siang Ji-long mendepak sehingga mayat lelaki itu terpental jauh ke
sana, tanpa memandangnya lagi Siang Ji-long terus melompat ke sana dan memegang tali
kendali kuda tunggangan orang tadi. pelahan ia mengelus bulu suri kuda itu, katanya dengan
tertawa, "Ha ha, apakah kalian kira orang itu yang kutunggu" Ha ha, kalian salah sangka
semua, yang kutunggu justeru adalah kuda ini."
Lui-ji dan lain-lain sama melenggong.
Bahwa yang di tunggu-tunggu Siang Ji-long adalah seekor kuda! apa apaan ini" sudah gilakah
dia " Lui-ji menghela napas, ucapnya sambil menyengir, "Tampaknya hanya kuda saja yang dapat
bergaul dengan anjing gila semacam kau ini." Siapa tahu, belum lenyap suaranya, mendadak
tangan Siang Ji-long begitu keras seolah-olah terbuat dari baja.
Kuda itu meringkik kaget, kontan kepalanya pecah berantakan dan roboh.
Bukan cuma penunggang kuda saja yang dibinasakan, kudanya juga telah dibunuh Siang-Jilong.
Sampai di sini semua orang tahu Siang Ji-long benar-benar telah gila, sebab selain orang gila,
siapa lagi yang dapat melakukan hal hal yang aneh dan membingungkan ini?"
Sungguh Cu Lui-ji tak berani membayangkan tindakan keji apa pula yang akan dilaksanakan
si gila ini terhadap dirinya.
Didengarnya Ji Pwe-giok lagi menghela napas, ucapnya dengan rawan, "Maaf, bukan saja aku
tidak dapat menjaga dirimu, sebaliknya... sebaliknya kau..."
"Mana boleh sicek yang disalahkan?" ujar Lui-ji dengan pedih, "Justeru salahku sendiri yang
telah membikin susah Sicek."
Pwe-giok menggeleng dan tidak tahu apa yang harus diucapkan lagi.
Oh-lolo lantas mengejek, "Kalau kau sendiri toh selekasnya akan mati, untuk apa kau
bersedih bagi orang lain?"
64 "Jalan pikiran orang seperti sicek, selama hidupmu tak mungkin dapat memahaminya." kata
Lui-ji. "Sebab orang semacam kau, yang selalu kau perhatikan hanya dirimu sendiri,
sedangkan sicekku, dia... dia selalu memperhatikan kepentingan orang lain.." "Hm, dia selalu
memikirkan kepentingan orang lain?" jengek Oh-lolo. "Mengapa dia tidak memperhatikan
kepentinganmu?" Lui-ji tidak menanggapinya lagi, tapi di dalam hati terasa manis dan bahagia.
Sekarang meski diketahui dirinya pasti akan mati, namun dia tidak takut, sebab ia tahu di
dunia ini sedikitnya ada seorang yang dapat memperhatikan keselamatannya.
Pwe-giok sama sekali tidak paham perasaan anak gadis semacam ini, sudah tentu, seumpama
dia paham, dalam keadaan demikian dan pada saat begini, tentu pula dia tidak tega melukai
perasaannya. Dalam pada itu Siang Ji-long telah menyeret kuda mati itu ke tengah dan mulai menyembelih
perutnya. Isi perut kuda itu dibetotnya keluar semua.
Hampir tumpah Lui-ji, Tadinya ia mengira makhluk yang paling berbisa di dunia ini adalah
ular dan yang paling keji adalah serigala, tapi sekarang ia baru tahu bilamana seorang sudah
gila, terkadang manusia jauh lebih menakutkan daripada ular berbisa dan serigala kelaparan.
Pwe-giok dapat merasakan tubuh anak dara itu lagi gemetar, dengan suara lembut ia
menghiburnya, "terhadap orang gila begini, asalkan kau tutup mata dan tidak memandangnya,
tentu kau takkan merasa takut."
"Aku tidak takut, aku cuma merasa sedih." Kata Lui-ji dengan menghela napas pelahan, lalu
menyambung pula sambil menunduk, "Mestinya ada kesempatan lari bagiku, tapi sayang, kini
kesempatan itu sudah ku bikin runyam."
Seketika Oh-lolo melotot, hampir saja ia berteriak, "Apa katamu?"
"Tadi waktu kalian terbius dalam kereta, aku sendiri masih sadar, dari atap kereta dapat
kutemukan sepotong dupa bius, sisa setengah potong lidi dupa itu telah kusembunyikan."
Mencorong terasa sinar mata Oh-lolo, ia menegas dengan suara tertahan, "Dan setengah
potong lidi dupa itu kini berada padamu" Alangkah bagusnya jika dapat kita lemparkan lidi
dupa itu ke gundukan api unggun, orang-orang itu sedang gila tentu takkan memperhatikan
hal ini,: "aku pun sudah memikirkan hal ini," kata Lui-ji. "Kupikir, sekalipun kau dan... dan Sicek juga
roboh terbius bersama mereka, tentu aku pun dapat meloloskan diri, sebab pada waktu mereka
meringkus tanganku dengan tali, aku pura-pura tak sadar, tapi diam-diam kugunakan tenaga
sehingga tanganku tidak terikat dengan erat."
Dia berhenti sejenak dan menghela napas, lalu menyambung pula, "Tapi sekarang, semua itu
tak ada gunanya lagi."
65 "Sebab apa?" desis Oh-lolo dengan suara parau. "Sebab pada waktu si gila bicara dengan
Thian-can-kaucu tadi, di luar tahu mereka telah kulemparkan setengah potong lidi itu ke sana,
kukira akan dapat mencapai gundukan api unggun itu, siapa tahu..."
"Masa lemparanmu tidak mencapai tempat tujuan" Oh-lolo menegas dengan suara serak.
"Betul, sebab waktu itu aku terlalu tegang, ketika melempar, tanganku terasa kejang dan..."
"Lalu terlempar kemana setengah potong lidi dupa itu?" tanya Oh-lolo.
"Dapatkah kau lihat sepotong benda yang serupa tusuk kundai di depan kepala Thian-cankaucu
itu" Nah, itulah dupa bius tersebut." jawab Lui-ji.
Waktu itu Thian-can-kaucu Siang Bok-kong telah terkulai di tanah seperti orang mati, persis
di depan kepalanya memang betul ada setengah potong dupa warna perak, kira-kira satu meter
jauhnya dari gundukan api unggun.
Dengan gemas Oh-lolo mengomel, "Kau budak mampus, kalau kau sendiri tidak becus,
mengapa kau sok pintar sendiri, tapi tanganmu ternyata lebih goblok daripada kaki keledai,
lebih baik kau potong saja tanganmu."
Sekali ini Lui-ji diam saja manda dimaki. Tapi Pwe-giok lantas berkata dengan lembut.
"Padahal kalau kau serahkan lidi dupa bisu itu kepadaku, mungkin satu jengkal saja tidak kuat
kulemparkan." Lui-ji menunduk, katanya, "Omelan Oh-lolo memang tidak salah, sesungguhnya aku memang
sok pintar, sebab maksudku ingin membikin ... dan girang Sicek, agar Sicek tahu aku juga
mampu berbuat sesuatu, siapa tahu... "
"Siapa tahu kau ini seorang tolol, gadis goblok." Oh-lolo mencaci maki pula, "kau tidak cuma
membikin celaka orang lain, juga membikin susah dirinya sendiri. Yang kau pikirkan hanya
ingin pamer di depan Ji Pwe-giok, kau kira dia akan suka padamu" Huh, kau cuma
dianggapnya seperti anak kecil saja, apalagi kekasihnya yang jauh lebih cantik tak terhitung
banyaknya, mana dia bisa menyukai budak cilik ingusan macam kau ini."
Seketika Lui-ji menggigil pula, ucapnya dengan suara terputus, "Kau... kau tua... tua bang..."
Belum lanjut umpatannya, mendadak seorang menjerit ngeri, "Aduh tanganku... tanganku...
tanganku..." Sejak Ji-suhengnya, yaitu si jerangkong hidup dirobohkan Siang Ji-long, ke enam murid
Thian-can-kau yang lain sama berdiri mematung di pojok sana, tidak berani bergerak, bahkan
bernapas pun tidak berani keras-keras. Tapi sekarang salah seorang di antaranya dengan
mengangkat kedua tangannya ke atas, di bawah cahaya api kedua tangannya kelihatan hitam
dam bengkak. Siang Ji-long tidak menggubrisnya, seperti orang gila dia masih terus mengaduk isi perut
kuda mati itu. 66 Pwe-giok memandang Lui-ji sekejap. "Kembali kau lagi?"
Lui-ji menggigit bibir, katanya, "Habis siapa suruh dia sembarangan menggerayangi tubuhku,
dia yang mencari mampus sendiri."
Kembali mencorong mata Oh-lolo, tanyanya, "Jadi orang itu hanya meraba sekali di tubuhmu
lalu tangannya berubah begitu?" Lui-ji mengiakan.
Wajah Oh-lolo tampak berseri-seri dan gembira ria, katanya, "Ai, nona yang baik, bilamana
kau pun dapat memancing Siang Ji-long merabai tubuhmu, maka dapatlah kita tertolong."
Seketika Lui-ji menarik muka dan tidak menanggapinya.
Dengan suara tertahan Pwe-giok lantas berkata, "Mati atau hidup sudah suratan nasib,
sekalipun kita harus mati juga si gila itu tidak boleh menyentuh seujung jarinya."
Lui-ji menunduk dengan penuh rasa terima kasih.
Oh-lolo melirik ke arah Siang Ji-long, ucapnya dengan tertawa terkekeh, "Tapi kalau dia
berkeras akan merabanya, apa daya kita?"
"Jika dia berani berbuat, tentu akan kuberitahukan bahwa di tubuh Lui-ji terdapat racun," kata
Pwe-giok. "Jadi kau lebih suka mati?" tanya Oh-lolo dengan melengak.
"Daripada hidup terhina, kan lebih baik mati, pantang menyerah," jawab Pwe-giok hambar.
Oh-lolo melenggong sejenak, katanya kemudian sambil menyengir, "Siang Ji-long orang gila,
tapi Ji Pwe-giok orang maha goblok, sungguh sial tujuh turunan dapat kutemui dua orang
macam begini." Pada saat itulah mendadak terdengar Siang Ji-long bersorak gembira, teriaknya, "Aha, ini dia,
di sini, sudah kutemukan!"
Semua orang jadi terheran-heran, entah si gila itu menemukan apa didalam perut kuda. Hanya
Pwe-giok saja yang segera melihat tangan Siang Ji-long memegang satu biji mutiara yang
mengkilat. Dalam pada itu murid berseragam hitam yang tangannya hitam bengkak tadi lantas
menyembah kepada Siang Ji-long sambil berteriak, "Tangan ... tanganku, Toa-suheng, mohon
.... mohon belas kasihan Toa-suheng, tolong .... tolonglah ...."
Gemerdep sinar mata Siang Ji-long, tanyanya, "Tanganmu keracunan?"
Orang itu menyembah pula berulang-ulang, ratapnya. "Selamanya Siaute taat dan setia
terhadap Toa-suheng, mohon .... mohon Toa-suheng suka ...."
"Apakah kau kira aku yang meracuni kau?" bentak Siang Ji-long dengan gusar.
67 "Siaute pantas mampus, mohon belas kasihan Toa-suheng," demikian orang itu masih terus
meratap dan memohon. Siang Ji-long menyeringai, ucapnya, "Kau sendiri keracunan, tapi tidak tahu siapa yang
meracuni kau, untuk apa orang macam begini dibiarkan hidup, hanya bikin malu Thian-cankau
saja ..." Wajah murid itu menjadi pucat, serunya dengan gemetar, Toasuheng, engkau ....."
Belum habis ucapannya, mendadak Siang Ji-long menyayat perutnya dengan pisau yang
dibuatnya menjagal kuda tadi. Seketika darah segar terpancur keluar dan membasahi tubuh
Siang Ji-long. Tanpa berkedip dan juga tidak mengusap darah yang membasahi wajahnya, dengan tertawa
siang Ji-long berkata pula, "Sekarang tahukah kau untuk apa kusuruh kau menunggu lagi satu
jam?" Ucapannya ini jelas ditujukan kepada Cu Lui-ji.
Mau-tak-mau Lui-ji berkata, "Memangnya apa yang kau temukan di dalam perut kuda?"
"Ini!" seru Siang Ji-long sambil membuka telapak tangannya, maka dapatlah Lui-ji melihat
satu biji benda kecil terbuat dari perak, mirip sebuah bola kecil.
"Mainan apakah itu ?" tanya Lui-ji sambil berkerut kuning.
"Lihat!" kata Siang Ji-long sambil mengekeh tertawa, dengan dua jarinya dia putar bola kecil
itu, mendadak bola perak itu terbelah dua dan menggelinding keluar sebutir Lakwan (bola
malam) ketika Lakwan itu dipecah, terdapat secarik sutera putih didalamnya.
Pada kain putih itu tertulis huruf kecil, kiranya sepucuk surat.
"Sekarang kau paham tidak?" tanya Siang Ji-long sambil tertawa.
"Demi sepucuk surat, begini besar tenaga yang dikeluarkan, kukira agak kurang setimpal,"
uajr Lui-ji dengan tak acuh. Meski begitu ucapannya, namun di dalam hati sebenarnya sangat
heran dan terkesiap. Jelas pengirim surat itu kuatir si pengantar surat akan membocorkan rahasia isi surat itu, maka
surat itu sengaja disembunyikan di dalam perut kuda, kecuali si penerima surat, siapa pun
takkan menyangka di dalam perut kuda ada surat penting dan sukar ditemukan oleh siapa pun
juga. Jadi pengirim surat itu sengaja mengorbankan seekor kuda sebagai alat pengirim surat,
bahkan sebelumnya jelas sudah ada janji dengan Siang Ji-long agar nanti membunuh orang
yang datang dengan menggunakan kuda ini.
Demi keamanan sepucuk surat, orang itu tidak sayang mengorbankan nyawa satu orang dan
seekor kuda, betapa hati-hati tindak-tanduknya dan betapa keji caranya, sungguh jarang ada
bandingannya di dunia ini.
68 Begitulah Lui-ji memandang kain surat itu dengan cermat, sedapatnya ia ingin menemukan
sesuatu rahasia pada benda itu, ingin diketahuinya sesungguhnya gerangan siapakah pengirim
surat itu" Berbeda dengan Oh-lolo, nenek itu sejak tadi terus menerus mengawasi setengah potong lidi
dupa, dia hanya berharap hendaknya setengah potong lidi dupa itu bisa mendadak bergeser ke
tengah gundukan api unggun sana.
Cuma sayang, tiada terdapat embusan angin di dalam gua ini sehingga lidi dupa itu tidak
mungkin berjalan sendiri. Oh-lolo pun tahu harapannya itu hanya mimpi belaka.
Siang Ji-long sedang membolak-balik membaca surat itu, tampaknya dia sangat gembira,
setiap kali habis membaca tentu dia tertawa.
Tidak kepalang gemas Cu Lu-ji, kalau bisa ingin dirampasnya surat itu.
Tiba-tiba didengarnya Siang Ji-long berkata: "Apakah kau ingin membaca surat ini?".
Lui-ji terkesiap dan juga bergirang, tapi ia sengaja menjawab dengan hambar, "Ah, untuk apa
kubaca surat yang tiada menyangkut kepentinganku?"
"Akan kuperlihatkan surat ini padamu," kata Siang Ji-long dengan menyeringai. "Sebab ku
tahu kau pasti akan menjaga rahasia bagiku. Di dunia ini hanya orang mati saja yang dapat
menjaga rahasia". Lalu dia membentang kain surat itu di depan mata Cu Lui-ji.
Surat itu tertulis: Siang-kaucu yang mulia. Apabila surat ini anda terima, tentu pula tepat pada saat Anda naik tahta. Mengingat bakat
dan kepandaian Anda yang tiada taranya kejayaan Kau kalian jelas akan berkembang dalam
waktu singkat ini. Untuk itu kami tidak saja ikut merasa bahagia bagi kejayaan Kau kalian,
tapi juga merasa bersyukur bagi sesama umat persilatan.
Adapun urusan yang pernah kita rundingkan sudah tidak menjadi persoalan lagi, kujamin
sepenuh tenaga bahwa pada pertemuan besar Hong-ti yang akan datang pasti akan
kuserahkan kedudukanku ini kepada pihak yang lebih berwenang, kami pasti akan
mendukung Kau sekalian sebagai pejabat Bengcu.
Setelah Anda memegang pucuk pimpinan, maka baik Bu-tong maupun Siau-lim harus tunduk
juga di bawah pimpinan Anda. Hanya saja urusan ini masih perlu dirundingkan lagi dengan
lebih terperinci, untuk ini diharapkan dalam waktu 10 hari Anda dapat berkunjung kemari.
Demikian hendaknya Anda maklum dan kami menantikan kedatangan Anda.
Di bawah surat ini tidak ada nama terang si pengirim surat, hanya ada tanda tangan saja.
69 Siang Ji-long menengadah dan bergelak tertawa, katanya kemudian: "Nah, sudah kau baca"
Selanjutnya Thian-can-kau kami tidak akan bersaing dengan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay,
bahkan mereka harus tunduk di bawah pimpinanku"
Sekujur badan Pwe-giok terasa gemetar sehabis membaca surat itu, dengan suara serak ia
bertanya: "Siapakah yang menulis surat ini?"
"Siapa lagi yang berhak menulis surat ini kecuali Bu-lim-bengcu saat ini, Ji Hong-ho, Jitayhiap!"
seru Siang Ji-long. Pwe-giok menghela napas panjang-panjang dan tidak bicara lagi.
Gemerdep sinar mata Lui-ji, ucapnya: "Pantas kau kegirangan setengah mati sehabis
membaca surat ini, kiranya Ji Hong-ho berjanji akan mendukung kau ke singgasana Bu-limbengcu!"
"Ya, selain dia, siapa lagi yang mempunyai kemampuan demikian?" ujar Siang Ji-long
dengan riang gembira. "Betul, kecuali dia, sekalipun orang lain bicara demikian juga takkan kau percayai" tukas Luiji.
"Memang begitulah" sambung siang Ji-long
"Kalau dia sudah menyebut kau sebagai Kaucu, agaknya sebelum ini kalian sudah bersepakat
asalkan mampu membunuh Siang Bok-kong maka dia akan mengangkat kau sebagai Bu-limbengcu
pada pertemuan Hongti yang akan datang. Sebaliknya jika kau tidak mampu
membunuh Siang Bok-kong, tapi malahan terbunuh, maka Siang Bok-kong juga takkan tahu
ada surat tersembunyi di dalam perut kuda, rahasia ini selamanya juga takkan diketahui oleh
siapapun" "Betul, justeru di sinilah kecermatan cara bekerja Ji-tayhiap" ujar Siang Ji-long.
"Dan karena sebelumnya antara kalian sudah ada perjanjian rahasia, maka dia membiarkan


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau mengintai gerak-gerik Gin-hoa-nio di Li-toh-tin, sebab itu pula tanpa susah payah dapat
kau bawa pulang Gin-hoa-nio ke sini" kata Lui-ji pula.
"Betul, kau memang pintar, sekarang segalanya tentu sudah jelas bagimu" ujar Siang Ji-long
dengan gelak tertawa. "Tapi apakah benar-benar kau percaya kepada janji Ji Hong-ho?" jengek Lui-ji. "Berdasarkan
apa dia mau mendukung kau menjadi Bu-lim-bengcu?"
Siang Ji-long menyeringai, ucapnya: "Ini adalah urusanku, kau tidak perlu ikut campur. Aku
cuma ingin tanya padamu, kau suka mati digeragoti Thian-can atau lebih suka badan disayatsayat
oleh pisau?" "Aku lebih suka digigit mati oleh anjing gila," jawab Lui-ji tiba-tiba dengan tertawa.
70 "Cara mati demikian cukup menarik juga, cuma sayang di sini tak ada anjing gila," kata Siang
Ji-long dengan tertawa, ia tidak sadar bahwa yang dimaksudkan anjing gila oleh Cu Lui-ji
justeru adalah dia sendiri.
Maka Lui-ji lantas berkata, "Siapa bilang di sini tidak ada anjing gila" Bukankah di depanku
sekarang ada seekor?"
Saking gusarnya muka Siang Ji-long berubah pucat, segera ia tertawa latah pula, katanya,
"Bagus, bagus sekali caci-makimu, bilamana nanti kalian tidak kusuguhi rasanya 10 macam
hukum siksa agama kami, anggaplah aku tidak menghormati kau!"
Sambil tertawa seperti orang kalap, ia membalik ke sana untuk mengambil kotak perak berisi
ulat buas tadi. Meski merasa merinding, tapi dalam keadaan demikian Cu Lui-ji sama sekali tidak berdaya.
Selagi ia hendak mencaci-maki pula sepuasnya dari pada cuma mati konyol, pada saat itulah
tiba-tiba Oh-lolo mendesis padanya, "Ssst, tahan napas dan jangan buka mulut!"
Lui-ji melengak, waktu ia pandang setengah potong lidi dupa tadi, ternyata sudah hilang.
Ia terkejut dan bergirang, sungguh tak dapat dibayangkan cara bagaimana sisa lidi dupa bius
itu dapat lari ke gundukan api unggun. Segera ia ingin bertanya, tapi Oh-lolo sudah
mendahului memberi keterangan, "Siang Bok-kong belum mati, dia masih dapat bernapas."
Dilihatnya Siang Ji-long telah berpaling lagi ke sini, cepat nenek itu tutup mulut. Tapi
sekarang Lui-ji sudah tahu Siang Bok-kong yang meniup sisa lidi dupa itu ke gundukan api
unggun. Saat itu dupa bius itu tentu sudah mulai terbakar, saking senangnya Lui-ji merasa jari sendiri
sama kaku, cepat ia menahan napas dan juga memejamkan mata, ia berlagak seperti orang
yang pasrah nasib dan menanti ajal.
Di dengarnya Siang Ji-long lagi berkata, "Apakah kau ingin melihat bagaimana bentuk Thiancan"
Inilah makhluk yang paling cantik di dunia ini, beruntunglah kalian dapat melihatnya."
Sekuatnya Lui-ji mengigit bibir, seperti menahan perasaannya agar tidak bicara.
Siang Ji-long terkekeh-kekeh, katanya pula, "Biarpun kau memejamkan mata juga tiada
gunanya, sebentar bila Thian-can sudah merayapi tubuhmu, ingin memejamkan mata saja
mungkin tidak bisa."
Meski yakin dirinya bakal selamat, tapi bila membayangkan makhluk kecil yang lemas dan
berkelogat-keloget merayap di atas tubuhnya, seketika bulu roma Lui-ji sama berdiri.
Melihat anak dara itu mengkirik, Siang Ji-long bertambah senang.
Tiba-tiba Pwe-giok menjengek, "Hm, banyak juga orang gila yang pernah kulihat, tapi orang
gila semacam kau sungguh jarang ada."
"Apa katamu?" teriak Siang Ji-long, dengan murka.
71 Pwe-giok menyambung pula. "Di dunia ini ada dua macam orang gila. Yang semacam adalah
lelaki gila dan yang lain perempuan gila. Tapi kau ini orang gila yang bukan lelaki dan juga
bukan perempuan, orang gila semacam kau mungkin di dunia ini hanya kau seorang saja."
Saking gusarnya sehingga gigi Siang Ji-long gemerutuk.
Memakinya dengan kata-kata "bukan lelaki dan bukan perempuan" rasanya jauh lebih sakit
daripada menyabetnya dengan cemeti.
Pwe-giok lantas menjengek pula, "Dan lantaran kau sendiri merasa tidak mampu berbuat
terhadap perempuan, maka sedapatnya kau berusaha menyiksa mereka, sampai-sampai anak
dara ini pun tak kau lewatkan, mengapa kau tidak berani mencari diriku saja?"
Orang berhati mulia seperti Pwe-giok juga dapat mengucapkan kata-kata yang menyakitkan
seperti ini, heran juga Cu Lui-ji. Tapi setelah berpikir segera ia tahu maksud tujuan Pwe-giok.
Jelas dia kuatir sebelum dupa bius itu mulai bekerja dan Siang Ji-long lantas menganiaya
terhadap Lui-ji, maka dia sengaja memancing rasa marah Siang Ji-long agar orang bertindak
lebih dulu kepadanya. Terharu Lui-ji, entah bergirang, entah berterima kasih atau sakit" Tanpa terasa air matanya
berlinang. Terdengar Siang Ji-long berkata dengan menggreget." Baik, mestinya akan ku kerjai dulu
nona cilik ini, karena ucapanmu ini, boleh juga kuladeni kau lebih dulu. Bila dalam sepuluh
hari ku bikin kau putus napas, biarlah aku tidak she Siang."
"He, nanti dulu!" mendadak Oh-lolo berteriak.
"Nanti apa?" bentak Siang Ji-long dengan gusar.
"Jika sedikitnya akan kau siksa dia sepuluh hari, tentunya kau pun tidak perlu terburu-buru,
marilah dengarkan dulu suatu ceritaku yang sangat menarik."
Maksud Oh-lolo bukanlah ingin menolong Pwe-giok, sebab ia tahu apabila dia tidak berusaha
mencegahnya, tentu tanpa menghiraukan akibatnya Cu Lui-ji akan bicara juga, terpaksa ia
mendahului anak dara itu.
Siapa tahu Siang Ji-long cuma menyeringai saja dan berkata, "Kukira akan lebih asyik dan
menarik bilamana sambil mendengarkan ceritamu kita juga mendengarkan rintihannya."
"Tunggu sebentar," kata Oh-lolo, "jika dia ribut di sebelah, cara bagaimana kau dapat
mengikuti ceritaku dengan jelas. Padahal ceritaku ini sangat erat hubungannya dengan
pertemuan besar Hongti itu"
Dia mengira kata "pertemuan Hongti" pasti akan menarik perhatian Siang Ji-long, siapa tahu
orang justru tidak menggubrisnya sama sekali, apa pun yang diucapkannya tiada yang
menarik hati baginya. bahkan siang Ji-long lantas menaruh dua kotak perak berisi ulat buas di
atas tubuh Pwe-giok, sebelah tangannya sudah mulai membuka tutup kotak.
72 Entah bagaimana perasaan Pwe-giok memandangi tangan yg cacat dan berlumuran darah,
kurus seperti cakar setan itu, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa dirinya akan mati di
bawah tangan semacam ini.
Dia yang sudah kenyang menghadapi detik-detik yang gawat, soal mati dan hidup baginya
tidak lagi merupakan sesuatu yang penting, akan tetapi setiap kali bila menghadapi kematian
mau-tak-mau timbul juga rasa takutnya.
Tapi sekarang tangan yang menyerupai cakar setan ini rada menimbulkan rasa mualnya.
Tiba-tiba ia melihat "cakar setan" ini rada gemetar, pandangan sendiri mulai samar-samar
sampai rasa mualnya juga tidak dapat dirasakan lagi .....
Waktu ia siuman kembali, dilihatnya Cu Lui-ji berdiri di depannya dengan wajah berseri-seri
gembira, malahan anak dara itu memegang kipas lempit milik Siang Ji-long.
Pwe-giok tahu di dalam kipas itulah tersimpan obat penawarnya, ia pun tahu segala mara
bahaya sudah dilampauinya, ia menghela napas panjang dan bertanya, "Kau .... kau tidak apaapa,
bukan?" "Mestinya akulah yang bertanya demikian padamu," ucap Lui-ji dengan tersenyum. Ia
memayang bangun Pwe-giok, lalu berkata pula, "Akupun tidak menyangka dupa bius itu
dapat bekerja secepat itu, selagi gelisah, tahu-tahu Siang Ji-long menguap terus roboh
terkapar." "Hanya ujung dupa saja yang menyala sudah mempunyai daya bius yang sangat kuat, apalagi
seluruh lidi dupa dibakar, tentu saja bekerjanya jauh lebih cepat," ucap Pwe-giok dengan
tersenyum. Mendadak ia melihat pergelangan tangan Cu Lui-ji terluka, "He, tanganmu ....."
Lui-ji tertawa, tuturnya, "Tidak apa-apa, karena tali pengikat tanganku tadi terlalu kuat dan
sukar dibuka, terpaksa ku geser ke gundukan api unggun sana dan membakarnya dengan api."
Dia pandang Pwe-giok lekat-lekat, lalu bertanya dengan menggigit bibir. "Kau ... kau benarbenar
tidak apa-apa?" "Hanya kaki dan tangan terasa agak lemas, tak dapat mengeluarkan tenaga," jawab Pwe-giok.
"O, tidak menjadi soal kalau begitu, selang sebentar lagi tentu akan pulih kembali," kata Lui-ji
dengan wajah cerah. "Masih untung dupa bisa semacam ini, ada dupa bius jenis lain, biarpun
mendapatkan obat penawarnya, sedikitnya perlu rebah beberapa hari lagi baru dapat
bergerak." Lalu ia mendekati Oh-lolo untuk menolongnya, melihat keadaan Gin-hoa-nio yang
mengenaskan itu, tanpa terasa ia menghela napas, katanya sambil menoleh kepada Pwe-giok,
"Meski dia tidak tergolong orang baik, tapi nasibnya harus dikasihani juga, biarlah kita
membawanya pergi saja"
73 "Ya, boleh," kata Pwe-giok. Lalu ia meronta dan bergeser kesana, ia goyangkan tubuh Ohlolo
dengan keras sambil berteriak, "Sesungguhnya dimana kau simpan obat penawarmu,
kalau diambil sekarang keburu tidak?"
Oh-lolo membuka matanya, ucapnya dengan tertawa, "Busyet, rupanya kau belum lupa ......"
"Mana bisa lupa," kata Pwe-giok dengan gusar. "Pendek kata, bila kau tak dapat menawarkan
racun Lui-ji, segera ku ....."
"Kalau tidak keburu lagi waktunya, biar kau bunuh diriku juga tidak ada gunanya," ucap Ohlolo
dengan adem-ayem. "Tapi kau pun tidak perlu gelisah, kalau sekarang juga kita
berangkat, ku jamin dia masih dapat tertolong."
Pwe-giok menghela napas lega, katanya, "Jika demikian, ayolah lekas berangkat!"
"Dan bagaimana dengan Thian-can-kaucu ini?" tanya Lui-ji tiba-tiba.
Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian, "Betapapun orang ini adalah seorang
pemimpin suatu aliran besar, sepantasnya kita menolong dia. Cuma sayang, racun yang biasa
digunakan Thian-can-kau mereka tidak dapat kita punahkan."
"Kalau begitu, sekalian kita tambahi saja sekali bacok," usul Oh-lolo sambil berkerut kening.
"Melihat orang tertimpa bahaya tanpa menolong sudah mengingkari jiwa kaum pendekar,
mana boleh kita mencelakai orang yang tidak mampu melawan." kata Pwe-giok.
"Sekarang tidak kau bunuh dia, bisa jadi kelak kau yang akan mati di tangannya," ujar Ohlolo.
"Apa yang akan terjadi kelak adalah urusan kelak," jawab Pwe-giok.
"Inikah yang kau anggap perbuatan kaum pendekar?" jengek Oh-lolo. "Hun, ini tidak lebih
adalah jalan pikiran kaum perempuan."
"Jalan pikiran kaum perempuan yang bajik lebih baik daripada jalan pikiran yang tidak
berbudi dan busuk," jawab Pwe-giok acuh.
Oh-lolo menghela naps, gumamnya, "Tahukah kau orang seperti dirimu ini makin sedikit di
dunia ini, sebab orang semacam dirimu ini tentu takkan berumur panjang."
Mendadak Cu Lui-ji menjemput sebilah belati terus mendekati Siang Ji-long.
"He, mau apa kau?" tanya Pwe-giok.
"Apa pun yang dikatakan Sicek pasti kuturuti," ucap Lui-ji dengan menunduk, "tapi orang ini
tidak boleh tidak harus kubunuh, sebab kelak kuingat dia ini masih ada seorang macam dia
ini, mungkin tidur saja tidak dapat nyenyak."
74 Sekonyong-konyong suara seorang menanggapi dengan perlahan, "Kukira lebih baik orang ini
diserahkan saja kepadaku dan akan kubereskan dia, tidak perlu nona ikut membuang tenaga
dan pikiran baginya."
Suara ini perlahan dan seperti timbul dari samping mereka.
Padahal di dalam gua ini sekarang hanya terdapat Ji Pwe-giok, Cu Lui-ji dan Oh-lolo bertiga,
orang lain sudah lama menggeletak tak berkutik.
Lalu suara siapakah dan terucap darimana "
Di bawah cahaya api yang gemerdep, tonggak-tonggak batu itu seolah-olah akan terbang ke
atas, Lui-ji merasa sekujur badan menggigil, ia menyurut mundur dan memegang tangan Pwegiok
erat-erat, tanyanya dengan lirih, "Siapa kau" Dimana kau?"
Dengan tertawa suara itu menjawab," Aku ada di depan nona, masakah nona tidak
melihatnya?" Di tengah suara gelak tertawa, seorang berbangkit perlahan dari atas tanah. Nyata dia adalah
Thian-can kaucu Siang Bok-kong yang sudah sekarat tadi.
Cahaya api unggun seketika guram dan mengepulkan asap hijau sehingga suasana bertambah
seram, ditengah kepulan asap itu wajah Siang Bok-kong kelihatan sudah membusuk, sampai
mata hidungnya juga sukar dibedakan lagi, mukanya sekarang lebih mirip buah tomat yang
membusuk. Namun kedua matanya masih tetap bersinar gemerdep seperti cahaya kilat.
"Aha, kukira siapa, tak tahunya kau!" seru Lui-ji dengan tertawa. Meski dia lagi bicara dan
tertawa, tapi kedua tangannya sudah mulai bergerak.
Pwe-giok tahu anak dara itu bermaksud menubruk maju selagi Siang Bok-kong tidak berjagajaga,
ia tidak mampu mencegah lagi, sebab dalam keadaan demikian terpaksa ia harus
membiarkan Lui-ji mempertaruhkan segalanya.
Tak terduga Siang Bok-kong lantas menjengek, "Kau masih kecil nona, tapi kau sudah boleh
dikatakan pintar dan tangkas, namun semua ini tetap tiada gunanya, biarpun sepuluh tahun
lagi kau masih tetap bukan tandinganku. Kalau ditambah Ji-kongcu dan Oh-lolo ini mungkin
kalian dapat menandingi diriku, cuma sayang untuk kedua kalinya mereka telah terkena Cubong-
hiang (dupa wangi mimpi), dalam waktu tiga jam jangankan hendak bertempur
denganku, bahkan mengangkat pedang saja tidak kuat."
Dia bicara dengan sangat lambat, bicara sampai di sini, keringat dingin sudah membasahi baju
Cu Lui-ji, sebab ia tahu apa yang dikatakan Siang Bok-kong itu memang bukan bualan
belaka. Terdengar Siang Bok-kong mengekek tawa, lalu berkata pula, "Apalagi sudah kuselamatkan
jiwa kalian, pantasnya kalian berusaha membalas budi, kenapa malah hendak menyerang
diriku?" 75 "Kau ... kau menyelamatkan jiwa kami?" Lui-ji menegas dengan melengak.
"Memangnya nona mengira setengah potong lidi dupa itu dapat melompat sendiri ke dalam
gundukan api unggun?" jawab Siang Bok-kong.
"Masa engkau yang ....." Lui-ji melengak.
"Kalau tidak kutiup dengan hawa murniku, mana bisa dupa wangi itu bekerja secepat ini?"
tukas Siang Bok-kong. Berputar biji mata Lui-ji, serunya, "Sekalipun benar kau yang meniup lidi dupa itu ke dalam
api, kukira kami pun tidak perlu berterima kasih padamu, sebaliknya kau yang harus
berterima kasih kepada kami."
"Sebab apa?" Siang Bok-kong juga melengak.
"Sebab kalau aku tidak melemparkan setengah potong lidi dupa itu ke depanmu, maka
riwayatmu pasti tamat."
Mendadak Siang Bok-kong menengadah dan terbahak-bahak, katanya, "Hahahaha! Betapapun
nona memang masih anak kecil."
Lui-ji menarik muka, omelnya, "Huh, tidak perlu berlagak tua, kalau bukan ....."
Suara tertawa Siang Bok-kong memutus ucapan anak dara itu, katanya, "Haha, apakah kau
kira aku benar-benar telah terjebak oleh murid murtad ini?"
Kembali Lui-ji melenggong, tanyanya, "Masa dalam hal inipun kau juga main sandiwara?"
"Betul," tutur Siang Bok-kong. "Sebab sebelumnya ku tahu murid murtad ini akan berbuat
sesuatu khianat, tapi aku pun tahu dia pasti tidak berani begitu apabila tidak ada yang
mendalanginya secara diam-diam."
"Oo, maka kau ingin menyelidiki sesungguhnya siapa dalang di belakang layar, begitukah?"
tanya Lui-ji. "Betul," jawab siang bok-kong.
Rupanya kau tahu biarpun d siksa juga Siang Ji-long takkan mengaku, maka kau sengaja
pura-pura mati untuk menunggu munculnya orang itu, betul atau tidak?"
"Ya, tapi aku juga tidak menyangka bahwa orang di belakang layar itu ialah Hong-ho Lojin
yang termasyhur sebagai seorang yang berbudi luhur." ujar Siang Bok-kong dengan gegetun.
Tubuh Pwe-giok tergetar, teriaknya mendadak, "jang ......" karena mendadak mendengar nama
ayahnya dinista orang, dengan sendirinya ia berduka dan marah, ingin dia membantahnya,
namun urusan ini terlalu pelik, terlalu majemuk dan teramat aneh, seumpama diuraikannya
juga Siang Bok-kong takkan percaya, bahkan mungkin akan membikin urusan tambah
runyam. 76 Untung Siang Bok-kong tidak memperhatikan perubahan sikap dan air mukanya itu, ia
berkata pula, "Murid murtad itu memang berhati keji, di dalam gagang belatinya tersimpan
Thian-can-seng-cui (air suci ulat langit) yang sangat berbisa, satu tetes saja mengenai tubuh,
ketika seluruh badan akan membusuk, tidak sampai setengah jam tulang pun akan rapuk dan
hancur menjadi onggokan daging cacah."
Lui-ji menarik napas dingin, katanya, "Jelas kulihat air berbisa itu menyemprot ke mukamu,
kenapa kau tidak mati?"
"Murid durhaka ini pun tahu akan kelihaian air ini, maka dia yakin aku pasti mati, dia menjadi
gembira dan lupa daratan, lalai sesuatu hal."
"Hal apa" tanya Lui-ji.
Siang Bok-kong tidak menjawabnya, tapi tangannya terus mengusap muka sendiri, wajahnya
yang semula tampak membusuk itu seketika berubah secara ajaib.
Baru sekarang Pwe-giok dapat melihat wajah asli Thian-can-kaucu Siang Bok-kong.
Terlihat wajahnya yang putih bersih, cerah dan simpatik, pada waktu mudanya dia pasti
pemuda yang cakap. Tapi sekarang tiada tampak sifat aneh "si kakek cahaya perak" seperti
apa yang dilihatnya di istana bawah tanah tinggalan Siau-hun kiongcu dahulu, juga tidak
kurus kering dan jompo seperti waktu datang tadi. Sungguh Pwe-giok tak mengerti mengapa
orang ini suka menyamar dalam bentuk yang aneh-aneh, sampai muridnya sendiri juga tidak
kenal wajah aslinya. Cu Lui-ji melenggong sejenak, ucapnya kemudian dengan gegetun, "Kiranya dia tidak tahu
kau memakai topeng."
Siang Bok-kong tertawa, katanya, "Topeng ini adalah hasil buatanku sendiri secara cermat,
kedap air dan tidak mempan dibakar. Sebab itulah, meski air berbisa ini sangat lihay juga
tidak dapat meresap ke balik topeng ini dan merusak wajahku."
Tiba-tiba Lui-ji tertawa dan bertanya, "Wajahmu sebenarnya sangat bagus, mengapa kau
memakai topeng bermuka buruk begitu?"
"Sebab setiap orang yang melihat wajah asliku, dia harus mati!" jengek Thian-can-kaucu
Siang bok-kong. Kalau kata-kata ini tercetus dari mulut orang lain mungkin tidak begitu menakutkan, tapi


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam keadaan dan suasana seperti sekarang ini, mau-tak-mau ucapan orang tua itu membuat
Lui-ji bergidik, tanyanya dengan gemetar, "Masa kau ......."
"Tapi kau jangan kuatir, ini pun bukan wajahku yang asli," tukas Siang Bok-kong dengan
tertawa. Keruan Lui-ji bertambah heran, mestinya ia ingin tanya sesungguhnya bagaimana wajah
aslinya, tapi pertanyaan itu urung diucapkan. Ia cuma bertanya, "Lalu cara bagaimana akan
kau perlakukan kami?"
77 Gemerdep sinar mata Siang Bok-kong, katanya perlahan, "Aku bukan orang yang berhati
welas asih, terlalu banyak pula rahasia yang kalian ketahui, apapun juga tidak boleh
kulepaskan kalian." Cara bicaranya memang tidak cepat, sekarang kata-katanya itu semakin lambat, hal ini makin
menambah rasa tegang Lui-ji, jantungnya serasa mau melompat keluar.
Bicara sampai di sini, mendadak Siang Bok-kong melototi Pwe-giok sekejap, lalu berucap
pula dengan perlahan. "Namun kau tidak mau mencelakai diriku tatkala aku sedang sekarat,
maka sekarang aku pun takkan mencelakaimu pada waktu kalian tak berdaya. Mulai sekarang
perhitungan kita sudah lunas, tidak ada utang piutang lagi, entahlah kelak bila bertemu lagi,
entah kawan entah lawan, sukar kukatakan!"
Oh-lolo bergirang, timbrungnya, "Siang Kaucu memang tidak malu disebut sebagai seorang
lelaki sejati yang tegas membedakan budi dan benci."
Mendadak Siang Bok-kong mendelik dan menyemprotnya, "Lebih baik kau tutup mulut saja,
kalau tidak mengingat bocah she Ji ini, umpama tidak kubunuh kau, sedikitnya akan kupotong
kedua tanganmu." Seketika Oh-lolo kep-klakep dan tidak berani bersuara lagi.
Dilihatnya Ji Pwe-giok seperti mau omong apa-apa lagi, kuatir anak muda itu bicara lagi halhal
yang tidak perlu dan mendadak Siang Bok-kong berubah pikiran, cepat Oh-lolo berkata,
"Marilah kita lekas berangkat, bila terlambat tak berani ku jamin akan keselamatan nona cilik
ini." ***** Kereta yang membawa mereka ke sini itu masih berada di luar gua, kuda-kuda itu sudah
terlatih meski lari terkejut, tetapi tidak jauh larinya, maka dengan mudah dapatlah kawanan
kuda itu dikumpulkan kembali.
Meski belum pernah mengendarai kereta, tapi setelah dicoba sebentar, dapatlah Pwe-giok
sekedar menjadi kusir pocokan, ia ayun cambuk dan mempercepat lari kuda, rasa sedih
bertumpuk-tumpuk di dalam hati.
Mendadak didengarnya Lui-ji menegurnya, "Sicek, ap .... apa yang kau pikirkan?"
Rupanya dari kabin kereta itu ada sebuah jendela kecil yang menembus ke bagian tempat
duduk kusir di depan, maka jendela itu lantas digunakannya untuk berbicara dengan Pwegiok.
"Aku sedang berpikir ... " tutur Pwe-giok sambil menghela naps. "Thian-can-kaucu ternyata
seorang yang demikian, hal ini sungguh sangat di luar dugaanku. Tampaknya selanjutnya dia
pasti takkan melepaskan orang ..... orang she Ji itu."
"Perbuatan orang she Ji itu pun terlampau keji," kata Lui-ji "kukira Siang Bok-kong juga tak
dapat berbuat apa-apa terhadapnya, sebab surat itu tidak diberi nama terang pengirimnya, bisa
78 jadi bukan ditulis oleh orang she Ji itu, sekalipun Siang Bok-kong memperlihatkan bukti surat
itu kan dapat disangkalnya dengan tegas, betul tidak "
"Biarpun begitu, kalau Siang Bok-kong sudah bertekad akan memusuhi dia, tentu dia akan
banyak menghadapi kesulitan," ujar Pwe-giok.
"Orang she Ji itu menghendaki Siang Ji-long mengunjunginya dalam sepuluh hari, sekarang
Siang Ji-long jelas tak dapat memenuhi undangan itu, apakah kau pikir siang Bok-kong akan
menggunakan kesempatan itu untuk mencari perkara padanya?"
"Bukan mustahil," jawab Pwe-giok.
"Kupikir dia pasti akan pergi ke sana," kata Lui-ji. "Meski dalam surat itu tidak disebutkan
nama tempatnya, kalau siang Ji-long tahu, pasti Siang Bok-kong dapat memaksanya
mengaku." "Ya, memang betul." kata Pwe-giok.
Mendadak Lui-ji menghela napas, katanya, "Sicek, seharusnya kau tanya lagi beberapa hal
kepada Siang Bok-kong, tentang urusan ... urusanku, biarpun lewat lagi satu-dua jam juga
tidak menjadi soal" "Ya, memang betul," kata Pwe-giok.
Pwe-giok tertawa hambar, ucapnya, "Sebenarnya tiada persoalan yang perlu kutanyai dia."
Gemerdep sinar mata Lui-ji, katanya, "Masa Sicek tidak ingin tanya tempat pertemuan yang
dijanjikan Ji hong-ho dengan Siang Ji-long itu ?"
Pwe-giok berpikir agak lama, lalu menjawab sekata demi sekata, "Tidak, aku tidak ingin
tanya." "Sebab apa?" Lui-ji menegas.
Tapi sama sekali Pwe-giok tidak menjawabnya.
"Biarpun Sicek tidak menjawab juga ku tahu sebabnya," Lui-ji dengan rawan, "sebab Sicek
kuatir bilamana tempat pertemuan diketahui, tentu Sicek akan pergi ke sana, padahal Sicek
perlu menolong diriku, terpaksa menyampingkan urusan lain."
Tiba-tiba Pwe-giok tertawa, katanya, "Maukah kau berbuat sesuatu bagiku?"
"Tentu saja mau," seru Lui-ji dengan terbelalak.
"Jika begitu, hendaknya lekas kau tidur saja." kata Pwe-giok.
***** Kereta itu dilarikan terlebih cepat, berulang Oh-lolo memberi petunjuk arahnya dari kabin
kereta, tapi sejauh itu tidak mau menjelaskan nama tempat tujuan mereka. Rupanya ia kuatir
79 bilamana tempat tujuan sudah diketahui Pwe-giok, bisa jadi dia akan ditinggal di tengah jalan.
Terhadap nenek yang licin dan licik dan juga banyak curiga ini, Pwe-giok benar-benar tidak
berdaya. Hari sudah gelap, tapi kereta itu masih terus dilarikan sepanjang malam, entah sudah berapa
jauhnya perjalanan itu, tanpa kenal lelah Pwe-giok terus mengendarai kereta kuda itu, sebab ia
tahu sisa waktunya sudah tidak banyak lagi.
Sampai esok paginya sudah genap tiga hari sedangkan jalan yang harus ditempuhnya entah
masih berapa jauhnya. Meski sangat lelah, terpaksa Pwe-giok bertahan sekuatnya.
Mereka hanya membeli makanan sekadarnya ketika lalu di suatu kota kecil, Lui-ji membeli
satu keranjang jeruk, sepanjang jalan ia mengupas jeruk dan diberikan kepada Pwe-giok.
Anak dara itu kelihatan tidak tentram, dia tidak sedih karena keselamatannya sendiri, tapi
seperti ada sesuatu rahasia yang tersimpan dalam lubuk hatinya, beberapa kali tampaknya ia
hendak bicara, tapi ditahan sebisanya.
Sesungguhnya rahasia apa yang tersembunyi di dalam hati nona cilik itu"
Terhadap anak dara yang pintar dan juga pengasih itu, Pwe-giok benar-benar tak berdaya apa
pun. Petangnya, sampailah mereka di suatu kota yang tidak terlalu kecil.
Penduduk kota ini tentunya bukan orang udik, tapi ketika melihat munculnya sebuah kereta
kuda yang dilarikan secepat ini, mau-tak-mau semua orang sama berpaling.
Orang berlalu lalang di jalan raya cukup ramai, terpaksa lari kereta dilambatkan.
Di kedua tepi jalan terdapat beraneka macam toko, tapi secara keseluruhan, rumah minum dan
restoran terhitung paling banyak. Rupanya penduduk kota ini pun serupa penduduk di tempat
lain, terhadap urusan lain boleh dikesampingkan, tapi terhadap perut sendiri harus
diperlakukan dengan istimewa.
Saat itu belum waktunya orang makan malam, tapi di rumah makan sudah ramai terdengar
bendo mencacah daging, bau arak dan bau sedap masakan menimbulkan selera makan.
"He, berhenti, berhenti!" seru Oh-lolo mendadak.
Pwe-giok terkejut dan cepat menarik tali kendali, sebab tidak tahu apa yang terjadi, ia
menoleh dan bertanya, "Ada apa?"
"Sudah dua-tiga hari yang dimakan hanya jajanan belaka, mumpung sekarang ada santapan
lezat, kita harus makan minum sepuasnya untuk memuaskan selera yang kutahan sekian
lama," kata Oh-lolo.
"Kau ingin masuk restoran?" Pwe-giok menegas.
80 "Betul," jawab Oh-lolo dengan tertawa. "Baru saja ku cium bau sate kambing, tampaknya
restoran masakan khas utara yang bernama Ti-bi-lau itu lumayan juga."
Pwe-giok hampir tidak percaya kepada telinga sendiri. Demi menempuh perjalanan dan
memburu waktu, sudah dua-tiga hari dia tidak bisa tidur dan tidak istirahat, tapi sekarang
nenek celaka ini justeru ingin masuk restoran untuk makan enak dan minum arak.
Kalau orang lain, bukan mustahil nenek itu akan diberi suatu gamparan keras, paling sedikit
juga akan berjingkrak dan mencaci-maki.
Akan tetapi Pwe-giok memang pemuda yang sabar, ia cuma diam sejenak, lalu berucap
dengan tak acuh, "Baiklah, mari kita ke sana."
Lui-ji melenggong, serunya. "He, kau terima permintaannya?"
Pwe-giok mengiakan. Oh-lolo tertawa, katanya, "Jangan kau kira bocah ini hanya menurut saja setiap kehendakku,
padahal ia cukup maklum persoalannya, ia tahu biarpun berbantah denganku juga tiada
gunanya, toh akhirnya tetap harus memenuhi permintaanku."
***** Masakan restoran Ti-bi-lau memang harus dipuji. Selain daging kambing panggang atau sate
kambing, bebek panggangnya juga empuk dan lezat. Lui-ji merasa heran ketika melihat Ohlolo
melalap sepotong kulit bebek panggang, dimakan dengan saus manis dan acar, ia tanya,
"Kenapa kau tidak makan dagingnya?"
Hampir saja makanan di dalam mulut Oh-lolo tersembur keluar, ia tertawa dan menjawab,
"Budak bodoh, makan bebek panggang harus makan kulitnya, hanya orang tolol yang berebut
makan dagingnya." "Masa?" kata Lui-ji dengan ragu.
"Ya, masa belum pernah kau makan bebek panggang?" tanya Oh-lolo.
Lui-ji terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan hambar, "Apanya yang aneh kalau tidak
pernah makan bebek panggang" Bubur asin masakanku juga belum pernah kau rasakan!"
Oh-lolo terpingkal-pingkal saking gelinya. Sedangkan Pwe-giok merasa terharu. Anak dara
yang bersifat keras ini ternyata tidak pernah makan bebek panggang yang sangat umum ini,
padahal di dunia ini masih banyak santapan enak lain yang tentu saja belum pernah dilihatnya.
Nyata dia belum lagi merasakan kesenangan orang hidup, tapi kesengsaraan orang hidup
sudah terlalu banyak dirasakannya.
Karena rasa haru dan duka itu sehingga Pwe-giok tidak melihat ada seorang yang baru saja
naik ke loteng restoran itu, tapi mendadak mundur lagi ke bawah, hanya setengah kepalanya
saja menongol di ujung tangga untuk mengintip.
Setelah memandang sejenak, lalu orang itu berlari pergi secepat terbang.
81 Tidak lama kemudian, di tengah remang senja itu mendadak ada selarik sinar api hijau
menjulang tinggi ke udara.
***** Malamnya, udara ternyata jauh lebih terang daripada waktu senja, sebab kini bulan sudah
menghias di tengah cakrawala. Sinar bulan di musim rontok biasanya memang lebih
cemerlang. Jalan raya yang rata membentang panjang itu seperti berlapiskan perak.
Pada waktu mereka makan, Pwe-giok telah minta pegawai restoran agar berusaha mencarikan
ganti dua ekor kuda. Kuda baru sudah tentu tidak segagah kuda semula, tapi kuda yang gagah bagaimana pun kalau
sudah berlari terus menerus dua tiga hari tentu juga hampir roboh terkulai. Sebaliknya kuda
baru dengan tenaga baru tentu masih dapat berjalan cepat.
Begitulah Pwe-giok terus mengendarai keretanya dan dilarikan lebih cepat, ia pikir waktu
makan yang terbuang itu harus dikejar kembali.
Sementara itu sudah larut malam, jalan raya tidak nampak orang maupun kereta berlalu
lalang. Oh-lolo meraba perutnya yang terisi penuh itu, katanya dengan tertawa, "Jangan gelisah,
jangan tergesa-gesa, kalau kubilang masih keburu tentunya tidak perlu kau kuatir."
"Apakah tempat tinggalmu sudah dekat?" tanya Lui-ji.
"Ya, tidak jauh lagi" jawab Oh-lolo.
"Masih ada siapa lagi di rumahmu?" tanya Lui-ji pula.
"Sudah tentu masih ada sanak keluargaku, tidak banyak, juga tidak sedikit...." tapi nenek itu
tidak menjelaskan lagi. Lui-ji ingin bertanya pula, tapi segera terpikir olehnya umpama mau bicara tentu juga jangan
harap akan dapat memancing keterangan dari rase tua yang licin ini.
Mendadak terdengar suara "serrrr" bergema di udara. Dari tempat kegelapan di tepi jalan
kembali ada selarik sinar api biru menjulang tinggi ke angkasa.
Oh-lolo tidak dapat melihat, tapi dapat didengarnya, sambil berkerut kening ia bertanya:
"Suara apakah itu?"
"Tidak ada apa-apa" jawab Pwe-giok, walaupun demikian ucapnya, di dalam hati iapun rada
curiga. Panah berapi yang biasanya digunakan sebagai tanda bahaya itu tentunya takkan dilepaskan
tanpa sebab musabab. Sekarang panah berapi itu dilepaskan ketika kereta mereka lewat, jelas
yang dituju adalah mereka.
82 Lantas siapakah gerangannya" Apakah Ji Hong-ho telah dapat mengetahui pula jejak mereka"
Makin cepat Pwe-giok melarikan kudanya, tangan yang memegang tali kendalipun
berkeringat dingin. Pada saat itulah, mendadak ada bayangan orang berkelebat di depan, seperti mau menghadang
jalan mereka. Pwe-giok menggreget, dengan nekat ia cambuk kudanya dan menerjang terus ke depan.
Orang-orang itu tidak bersuara menyuruh berhenti, tapi berbaris di tengah jalan sehingga
kereta itu tampak akan menubruk mereka.
Tubrukan keras begitu sungguh luar biasa, sekalipun orang-orang itu adalah jago silat kelas
tinggi, betapapun badan mereka juga terdiri dari darah daging, mana sanggup tahan diterjang
sedahsyat itu oleh kereta yang dilarikan sedemikian cepatnya.
"Minggir! Kalau tidak..." bentak Pwe-giok sambil ayun cambuknya.
Tapi belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong dari tepi jalan melayang tiba dua batang
tombak dan tepat menyelonong masuk ke tengah ruji roda kereta, maka terdengarlah
serentetan suara "krek-krek" yang keras, ruji kereta sama patah, tapi roda juga lantas terkunci
oleh batang tombak sehingga tidak dapat menggelinding lagi. Namun lari kuda tadi terlalu
cepat sehingga kereta masih terseret maju cukup jauh.
Suara roda kereta yang menggosok tanah itu menimbulkan suara gemericit laksana jeritan
binatang buas yang sedang sekarat.
Dahi Pwe-giok penuh air keringat dan sebagian sudah membasahi matanya, tapi dia masih
Kisah Pendekar Bongkok 6 Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Di Sungai Es 4
^