Pencarian

Imbauan Pendekar 1

Imbauan Pendekar Karya Khu Lung Bagian 1


" Imbauan Pendekar Karya Gulong/Khulung Jilid 1________ Sang surya memancarkan cahayanya yang cerlang cemerlang, akan tetapi Li-toh-tin, kota
kecil dengan hotel satu-satunya, Li-keh-can serta bangunan berloteng kecil di seberangnya
telah berubah menjadi tumpukan puing.
Saat itu Ji Pwe-giok dan Cu Lui-ji bersembunyi di dalam tungku Li keh-can yang tidak
terbakar dan asyik mengisahkan pengalaman masing-masing pada masa lampau.
Melalui lubang tungku yang biasanya digunakan untuk menambah kayu bakar itu dapatlah
mereka melihat segala apa yang terjadi di luar.
Tiba-tiba mereka mendengar suara langkah orang. Empat lelaki berbaju hitam tampak masuk
ke Li keh-can yang sudah hancur ini.
Ke empat orang ini semuanya tegap dan kekar, langkahnya cepat, tapi kaki dan tangan
kelihatan kasar dan besar, kulit badannya hitam, sekali pandang saja dapat diketahui mereka
pasti sudah biasa bekerja kasar. Meski tubuh mereka kasar dan kuat, namun soal ilmu silat
pasti tidak tinggi, bisa jadi belum lama mereka ikut berkecimpung di dunia Kangouw.
Untuk memimpin orang-orang semacam ini sudah tentu jauh lebih mudah daripada
memerintah orang Kangouw kawakan.
Seorang yang berjalan paling depan membawa sebuah tombak, di belakangnya seorang
membawa sejenis senjata garpu, dua orang lagi membawa golok dan perisai.
Begitu masuk ke hotel yang sudah berbentuk puing itu, mereka lantas membacok dan
menabas kian kemari di sekeliling tumpukan puing itu, kelakuan mereka seperti ingin tahu
kalau kalau di dalam tumpukan puing itu tersembunyi orang.
2 Lui-ji memandang Pwe-giok sekejap, meski tidak bersuara, namun dalam hati jelas si nona
sangat memuji tindakan Pwe-giok yang teliti dan hati hati.
Apabila mereka bersembunyi di tempat lain, bukan mustahil saat ini sudah dipergoki orang.
Terdengar orang yang membawa tombak tadi tertawa dan berkata, "Tindakan Tongcu terasa
agak berlebihan. Setelah pembakaran ini, mana ada orang yang bersembunyi di sini?"
Orang yang membawa garpu menanggapi dengan tertawa, "Apakah kau kira tindakan Tongcu
ini adalah kehendaknya sendiri?"
"Bukan kehendaknya sendiri, memangnya kehendak siapa?" tanya orang yang membawa
tombak. Tiba-tiba orang yang membawa garpu itu mendesis, "Akan kuceritakan, tapi kalian tidak
boleh bilang lagi kepada orang lain. Keluarnya Tongcu sekali ini konon hanya karena ingin
membantu orang she Ji yang menjabat Bu-lim-bengcu itu."
"Masa membakar juga atas kehendaknya?" ujar yang membawa tombak.
"Dengan sendirinya juga kehendaknya," kata yang membawa garpu. "Kalau tidak untuk apa
jauh-jauh Tongcu datang ke kota kecil ini untuk membakar?"
Baru sekarang Pwe-giok dan Lui-ji mengetahui ke empat orang ini bukan anak buah Ji Hongho.
Bahwa orang lain yang disuruh membakar oleh Ji Hong-ho, maka selanjutnya tanggung
jawab ini dapat dibebankan kepada orang itu.
Sambil bicara, beberapa orang itu lantas menuju keluar.
Lui-ji menghela napas gegetun, ucapnya dengan suara tertahan, "Ji Hong-ho benar-benar
licik, berbuat apapun selalu mengatur jalan mundur dengan rapi, jika orang lain yang
menanggung dosanya, tentu kedudukan Bu-lim-bengcunya takkan terganggu sedikitpun."
"Ya, memang," tukas Pwe-giok, "perbuatan apapun, baik membunuh atau membakar, dia
selalu mendalangi di belakang layar, apabila terbongkar tentu juga orang lain yang
menanggung dosanya."
"Kalau untuk membunuh dia mencari Lo-cin-jin, lalu siapa yang dia cari untuk membakar?"
kata Lui-ji. "Dan ... siapa pula 'Tongcu' yang disebut-sebut tadi?"
Pwe-giok berpikir, lalu berkata, "Mungkin pemilik 'Pi-lik-tong' dari Kang-lam yang terkenal
sebagai ahli dan pembuat mesiu yang tiada bandingnya di dunia ini, kalau bukan dia yang
membakar, tidak mungkin api menjalar secepat ini."
"Tahukah kau siapa pemilik Pi-lik-tong itu?" tanya Lui-ji.
"Lui Hong," jawab Pwe-giok.
"Pi-lik-tong, Lui Hong ... Pi-lik-tong, Lui Hong ... " Lui-ji berguman mengulangi nama itu
hingga belasan kali seolah-olah kuatir akan lupa lagi.
3 "Akan kau tuntut balas padanya?" ucap Pwe-giok sambil berkerut kening.
"Meski dia bukan biang keladi dalam persoalan ini, tapi apapun juga dia yang turun tangan
membakar rumahku," kata Lui-ji dengan perlahan. "Apabila tidak kubalas bakar ludes
rumahnya, kan kurang adil."
Pwe-giok termenung sejenak, tanpa terasa ia menghela napas panjang.
Perangai anak dara ini ternyata sedemikian keras dan tinggi hati, bilamana orang berbuat
salah padanya, maka akan terukir dalam lubuk hatinya. Usianya sekarang masih kecil, bila dia
mengembara seorang diri, betapapun membuat orang kuatir.
Dalam pada itu, tiba-tiba di kejauhan sana ada seorang bergelak tertawa dan berseru, "Aha,
Lui-cu-sin-hwe (api sakti mutiara geledek) dari Pi-lik-tong memang tidak bernama kosong,
baru hari ini terbuka mataku, sungguh sangat mengagumkan...".
Jelas itulah suara Lim Soh-koan, dia sengaja bicara dengan suara keras seperti orang
berteriak, seakan-akan kuatir bilamana orang tidak tahu bahwa Lui Hong yang telah
membakar Li-toh-tin ini. Lalu seorang terbahak-bahak dan menanggapi. "Hanya setitik apa ini saja mungkin sudah
meludeskan bahan berlaksa tahil perak kami"
Suara tertawa ini penuh rasa bangga dan senang, jelas dia inilah Lui Hong, pemilik pabrik
mesiu Pi-lik-tong di Kang-lam yang terkenal.
Lui-ji mendengus, omelnya: "Orang she Lui ini ternyata maha tolol, orang lain memperalat
dan menonjolkan dia kepada musuh, tapi dia malah merasa bangga."
"Sssst," desis Pwe-giok, "mata-telinga orang-orang itu sangat tajam, hendaklah jangan
bersuara" Sementara itu kelihatan beberapa orang sedang melangkah ke sini sambil bersenda-gurau.
Terlihat Ji Hong-ho berjalan di depan bersama seorang tua yang gagah berjubah merah tua.
Lim Soh-koan dan beberapa orang lagi mengintil di belakang.
Kakek berjubah merah ini melangkah dengan lagak tuan besar, seolah-olah dia yang paling
jempolan di dunia ini. Hendaklah diketahui bahwa Pi-lik-tong sangat terkenal di dunia persilatan, bukan saja senjata
rahasianya yang berwujud mesiu sangat ditakuti, bahkan juga berusaha menjual bahan
peledak dan sebagainya sehingga mengeduk keuntungan yang tidak sedikit, kekayaan
keluarga Lui yang memiliki pabrik mesiu itu sudah sukar dihitung. Sebab itulah Lui Hong
yang sudah biasa hidup senang dan dihormati itu merasa dirinya sebagai seorang tokoh
jempolan. Ke empat orang berseragam hitam yang masuk ke Li-keh-can tadi kini berdiri di tepi jalan dan
menyambut kedatangan sang majikan dengan hormat.
4 "Diketemukan orang atau tidak?" tanya Lui Hong sambil mengerling anak buahnya.
"Kecuali perempuan tadi tidak diketemukan orang lain lagi" jawab orang yang memegang
tombak tadi. "Bagus, mundur saja kalian" kata Lui Hong.
Diam-diam Pwe-giok menghela napas menyesal, perempuan yang dimaksudkan mereka itu
tidak perlu disangsikan lagi pasti Gin-hoa-nio adanya. Meski sejak semula ia sudah tahu Ginhoa-
nio tentu sukar meloloskan diri, kini setelah terbukti benar, hatinya tetap merasa tidak
enak dan rada menyesal. Betapapun juga kedatangan Gin-hoa-nio ini kan bersama dengan
dirinya" Dilihatnya ke empat lelaki berseragam hitam tadi masih berdiri dengan kepala tertunduk di
tepi jalan, sedangkan rombongan Lui-hong sudah lalu ke sana.
Lim-Soh-koan yang membuntuti paling akhir mendadak tersenyum dan berkata kepada ke
empat orang itu, "kalian tentunya sama lelah"
"Ah, biasa." ucap salah seorang itu dengan hormat.
"Melihat cara kalian yang cekatan, tampaknya kalian tidak cuma sekali dua kali saja
membereskan tempat kebakaran, makanya pengalaman kalian sedemikian banyak," kata Lim-
Soh-koan pula. "Betul," jawab orang tadi. "Pekerjaan ini bagi kami boleh dikatakan pekerjaan biasa,
pekerjaan rutin." Mendadak Lim Soh-koan menarik muka, katanya dengan pelahan, "Perbuatan membakar dan
membunuh begini kalian anggap pekerjaan rutin?"
Orang itu jadi melengak, baru air mukanya berubah, "Creng", tahu-tahu Lim Soh-koan sudah
lolos pedangnya dan secepat kilat menusuknya.
Leng-hoa-kiam andalan Lim Soh-koan terkenal cepat luar biasa, mana bisa ke empat orang itu
berkelit, apalagi mimpi pun mereka tidak menyangka akan diserang oleh Lim soh-koan.
Maka terlihatlah sinar pedang berkelebat, "sret-sret-sret-sret" empat kali, susul menyusul
terdengar, empat kali jeritan disertai berhamburnya darah. Ke empat orang itu sudah
menggeletak tak bernyawa dan menjadi setan penasaran karena tidak tahu sebab apa mereka
terbunuh. Keruan Lui Hong terkejut, ia berpaling dan berteriak, "he, Lim Soh-koan. ap... apa yang kau
lakukan?" Lim soh-koan mengeluarkan sapu tangan putih dari bajunya dan pelahan mengusap darah
yang mengotori pedangnya, lalu berkata dengan suara bengis, "Di hadapan Bengcu, orangorang
ini berani main bakar rumah rakyat yang tak berdosa, maka dapat dibayangkan betapa
5 sewenang-wenangnya di hari-hari biasa. Kalau tidak dibinasakan mereka, apakah mereka
harus dibiarkan membikin celaka rakyat jelata lebih banyak lagi"!"
"Apa... apa maksudmu ini?" teriak Lui Hong dengan gusar.
"Bengcu, coba... coba dengarkan apa ucapannya itu?"
Dengan tak acuh Ji Hong-ho menjawab. "Ucapannya memang betul, setiap pengganas yang
suka main bunuh dan bakar pantas dibinasakan oleh siapa pun jua"
Lui Hong menyurut mundur dua tindak, serunya dengan wajah pucat, "Tapi... tapi engkau
sendiri yang merencanakan pembakaran Li-toh-tiu ini, kau yang mengupahi Pi-lik-tong kami
dengan lima laksa tahil perak dan menyuruh kami meledakkan tempat ini, mengapa...
mengapa sekarang kau malah menuduh kami yang bersalah"'
Ji Hong-ho tampak berkerut kening dan mendamprat pelahan, "Huh, tindakan orang she Ji
selamanya terang-terangan, mana bisa jauh-jauh mengundang kau ke sini untuk melakukan
hal yang tak terpuji ini, Kau sembarangan menuduh orang, jangan menyesal kalau Bengcumu
ini terpaksa bertindak untuk menumpas kejahatan bagi dunia Kangouw"
Air keringat tampak memenuhi kepala Lui Hong, teriaknya dengan suara parau, "Kau... kau...
manusia munafik, bangsat yang berlagak kesatria, meng... mengapa kau sengaja menjebak
diriku" kau... "
Belum habis ucapannya, sinar pedang sudah bergulung menyambar tiba. Dengan suara bengis
Lim-Soh-koan mendamprat, "Kau berani bicara kotor kepada Bengcu, melulu dosamu ini saja
harus dihukum mati" hanya dua tiga kalimat ia bicara, tapi pedangnya sudah menyerang tujuh
atau delapan kali. Meski pinggang Lui Hong juga bergantung sebatang golok, namun kesempatan menghunus
golok saja tidak ada, tahu-tahu pundaknya sudah terluka, sembari berkelit ia terus berteriak
teriak, "Kalian semua yang hadir di sini apakah cuma menyaksikan aku dibinasakan secara
begini" Dimana lagi letak keadilan dunia Kangouw?"
Namun orang-orang yang ikut datang bersama meraka itu semuanya berlagak memandang ke
langit seolah-olah tidak melihat dan mendengar apapun.
Sementara itu jubah merah Lui Hong sudah terkoyak-koyak, sebuah kopiah emas pengikat
rambut juga sudah terbatas putus, rambutnya semrawut seperti orang gila.
Meski nama Pi-lik-tong sangat terkenal, tapi bukan unggul dalam hal ilmu silat melainkan
karena mesiunya. Dari orang tua Lui Hong menerima warisan yang sangat besar, sejak kecil
ia sudah hidup senang, hampir tidak pernah berlatih silat dengan sungguh-sungguh,
sebaliknya Lim Soh-koan adalah ahli pedang yang berpengalaman, hakekatnya tidak memberi
kesempatan kepada Lui Hong untuk mencabut goloknya.
Setelah terserang belasan kali lagi, napas Lui Hong sudah megap-megap dan mandi keringat,
mendadak ia tertawa latah dengan suara serak, teriaknya. "Bagus orang she Ji, kau hendak
membunuhku untuk menghilangkan saksi, biarlah kusempurnakan niatmu ini !" - habis
berkata, segera ia menubruk maju menyongsong ujung pedang li, Soh-koan.
6 Rupanya ia tidak tahan serangan lawan dan menjadi nekat, tanpa ampun lagi pedang
menembus dadanya. Waktu Lim Soh-koan menarik pedangnya, seketika darah segar
menyembur seperti air mancur.
Sambil mendekap dadanya Lui Hong lantas terhuyung huyung, matanya yang merah menyapu
pandang sekejap semua orang, teriaknya pula dengan suara pedih, "Bagus, bagus akhirnya
baru kukenal betul kalian yang sok mengaku pendekar berbudi ini !"
Sedemikian seram tertawanya hingga membuat orang merinding.
Tanpa terasa Lui-ji menggenggam tangan Pwe-giok dengan telapak tangan berkeringat dingin.
sebaliknya tangan Pwe-giok juga dingin seperti es.
Dalam pada itu dari jauh tampak berlari datang dua orang, meski kedua orang ini pun
memakai baju hitam ketat, namun air mukanya kaku dingin, sorot matanya lebih lebih dingin
sehingga mirip orang yang memakai topeng. Tampaknya mereka bukan anak buah Pi-lik-tong
melainkan begundal Ji Hong-ho sendiri, tampaknya mereka pun membawa semacam senjata,
sesudah dekat baru diketahui masing-masing membawa sebuah cangkul.
Lim Soh-koan menyimpan kembali pedangnya, lalu berkata, "Beberapa mayat ini tidak perlu
dikubur, bawa saja dan perlihatkan kepada segenap penduduk Li-toh tin, katakan Bengcu kita
telah menjatuhkan hukuman setimpal kepada penjahat yang main bakar. Namun segala
kerugian Li-toh-tin tetap akan diusut oleh Bengcu untuk mendapatkan ganti rugi sepenuhnya."
Kedua orang tadi mengiakan sambil memberi hormat.
Tiba-tiba dari balik tumpukan puing sana ada orang berkeplok tertawa, "Ha ha, bagus, bagus,
bagus sekali! kata 'usut' ini sungguh istilah yang sangat indah!"
Berubah air muka Lim Soh-koan, sambil meraba pedangnya, ia membentak, "Siapa itu"'
"He he , Lim-tayhiap tidak perlu terkejut, aku tidak lebih hanya setengah potong nenek yang
sudah hampir masuk liang kubur," ucap orang itu dengan terkekeh kekeh. "Jika Lim-Tayhiap
juga ingin membunuh diriku sekalian untuk melenyapkan saksi hidup, kukira mudah daripada
memites mati seekor semut."
Dari suaranya tahulah Pwe-giok dan Lui-ji bahwa pembicara itu ialah Oh-lolo.
Lui-ji menggertak gigi hingga gemerutuk, badan pun terasa gemetar.
Pwe-giok tahu anak dara ini membenci nenek keji itu sampai merasuk ke tulang, pelahan ia
menepuk tangan Lui-ji agar anak dara ini bersabar.
Tangan yang kecil ini terasa dingin sekali, tanpa terasa timbul pula rasa kasihan Pwe-giok
sehingga dipegangnya hingga lama.
Lui-ji lantas menunduk malah dan tidak memandangnya, entah mengapa tangan kecil yang
dingin itu mendadak berubah menjadi panas membara.
7 Namun Pwe-giok tidak lagi memperhatikan perubahan ini, sebab waktu itu Oh lolo kelihatan
muncul dengan langkahnya yang reyot, dari mulutnya terdengar suara "krat-krut" seperti lagi
makan kacang goreng. Sembari berjalan nenek itu pun berkeluh kesah, "Ai, semakin ompong seseorang semakin
suka makan kacang. Sesuatu yang tak dapat dilakukan, semakin menarik pula untuk
dikerjakan. Tampaknya setia orang memang mempunyai bakatnya sendiri-sendiri, betul tidak
menurut kalian?" Tadinya Lim Soh-koan bermaksud memburu maju, tapi demi melihat pendatang ini benarbenar
seorang nenek yang sudah hampir masuk liang kubur, ia batal mendekatinya dan
menantikan perkembangan selanjutnya dengan tenang.
Betapapun dia seorang Kangouw kawanan, ia tahu semakin aneh seseorang, semakin tidak
boleh diremehkan dan direcoki, terutama sebangsa nenek-nenek dan kakek-kakek.
Air muka Ji Hong-ho tampak berubah juga, tapi sedapatnya ia tersenyum dan menyapa,
"Cianpwe ini apakah..."
Belum selesai ia berucap, berulang Oh-lolo menggoyang tangannya dan berseru, "Wah,
janganlah Ji-Tayhiap menyebut Cianpwe padaku, Nenek konyol macam diriku ini mana ada
rejeki untuk menjadi Cianpwe seorang Bulim-bengcu. Sebutan Cianpwe barusan ini
sedikitnya akan mengurangi umurku sepuluh tahun, bilamana kau panggil sekali lagi, bisa jadi
nenek reyot ini akan menghadap Giam-lo-ong (Raja Akhirat)."
Meski bicaranya sangat pelahan, tapi ia seperti sengaja tidak memberi kesempatan bicara bagi
orang lain. belum habis ucapannya tadi tatapannya sudah beralih lagi ke arah Lim Soh-koan,
lalu menyambung, "Nama besar Leng-hoa-kiam Lim-tayhiap sudah lama kukagumi, tapi yang
keketahui adalah ilmu pedang Lim-tayhiap maha cepat, sama sekali aku tidak tahu bahwa
Lim-tayhiap juga seorang ahli bahasa. Istilah 'usut' tadi sungguh sangat tepat dan sukar dicari
dalam kamus." Sudah tentu Lim Soh-koan merasakan kata yang bernada menyindir itu, terpaksa ia hanya
menyengir dan menjawab, "Tapi Cayhe tidak merasakan ada keistimewaan pada istilah itu."
"Hanya istilah yang tepat saja baru kelihatan keindahannya meski istilah itu cuma satu kata
yang biasa," ucap Oh-lolo dengan tertawa. Dia tunjuk puing yang masih mengepul itu dengan
menyambung pula, "Di situ tadinya adalah sebuah toko kelontong, meski tidak besar, tapi
persediaan barangnya cukup banyak dan beraneka ragamnya, nilainya paling tidak ada
beberapa ribu tahil perak, betul tidak?"
"Perkiraan Cianpwe tentunya tidak salah," ujar Lim soh-koan dengan mengiring tawa.
"Dan toko yang serupa ini kukira ada belasan buah di Li-toh-tin ini, ada pula beberapa
keluarga hartawan disekitar sini, maka kobaran api sedikitnya telah meludeskan beberapa
puluh laksa tahil perak, betul tidak?"
"Taksiran Cianpwe tentunya benar," kembali Lim Soh-koan mengiakan.
8 "Dan beberapa puluh laksa tahil perak yang ludes terbakar itu seharusnya adalah menjadi
tanggung-jawab paduka tuan Bengcu kita untuk menggantinya, tapi anda tadi cuma
menyatakan akan 'usut' kejadian ini, maka tanggung-jawab memberi ganti rugi ini lantas kau
bebankan kepada orang lain," sampai di sini Oh-lolo tertawa terkekeh-kekeh pula.
"Lantas cara bagaimana akan kau usut" siapa yang harus diusut" Kukira tidak perlu
ditanyakan lagi, dengan sendirinya adalah Pi-lik-tong di Kang-lam sana. Harta kekayaan Pilik-


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tong sudah tentu tidak cuma berpuluh laksa tahil perak saja, sepuluh kali lipat kukira juga
lebih, setelah mengganti kerugian Li-toh-tin yang terbakar ini tentu masih tersisa sebagian
besar. Dengan demikian paduka tuan Bengcu kita tidak saja sudah menjadi orang yang maha
bijaksana dan berbudi luhur telah membela penduduk Li-toh-tin yang menjadi korban, beliau
sendiri juga akan mendapat rejeki nomplok. Hehe, jual beli cara begini sungguh nenek reyot
macam diriku ini pun ingin melakukannya."
Air muka Lim Soh-koan dan lain-lain sudah sama berubah, tapi Ji Hong-ho masih tetap tak
acuh, dengan tersenyum ia berkata, "Jika demikian, bolehlah kuserahkan jual-beli ini kepada
Hujin (nyonya)." "Hujin?" Oh-lolo menegas. "Hehe, mengapa kau sebut Hujin padaku" Padahal selama
hidupku ini belum pernah kawin. tahu tidak bahwa sampai saat ini aku ini masih perawan
tulen. Ya, apa boleh buat, sudah tua begini, ingin menjadi Hujin rasanya juga sudah tidak ada
yang mau lagi." Ji Hong-ho tersenyum dan berkata pula, "Kalau begitu, ada keperluan apakah kedatangan
nona" Katakan saja terus terang, tentu akan kupenuhi,"
"Nona" Hahahaa! Nona"!" Oh-lolo tertawa terpingkal-pingkal. "Sedikitnya sudah 50 tahun
tidak ada yang memanggil nona padaku. Panggilanmu ini membuat seluruh ruas tulangku
seolah-olah lepas semua. cukup dengan panggilanmu ini maka nenek tak tega lagi mencari
perkara padamu, kau tidak perlu kuatir."
Meski Ji Hong-ho masih tetap tersenyum, namun beberapa begundalnya sudah tidak tahan.
Seorang bernama "Bu-eng-cu" To hui, si tanpa bayangan, segera membentak dengan gusar,
"Kalau Bengcu bersikap baik hati padamu, hendaklah kau pun jangan terlalu latah, biarpun
benar kau mempunyai sejurus dua, kukira Bengcu dan Lim-tayhiap juga tidak pandang
sebelah mata, hendaklah kau tahu diri sedikit."
"Hehe, nenek reyot biasanya cukup tahu diri," ujar Oh-lolo dengan tertawa, "Jangankan di sini
masih berkumpul sekian banyak kesatria dan pahlawan besar, melulu seorang Bu-eng-cu To
Hui saja sudah lebih dari cukup untuk membereskan nenek reyot macam diriku ini."
To Hui hanya mendengus saja.
Oh-lolo menghela napas, katanya pula, "Cuma nenek reyot mungkin sudah bosan hidup,
makanya berani datang ke sini. Ku harap To-toaya sekalian sempurnakan harapanku saja,
berikan sekali bacok padaku."
9 Tanpa terasa To Hui memandang sekejap ke arah Ji hong-ho, seperti ingin tanya apakah sang
Bengcu tahu asal-usul nenek ini. Tapi wajah Ji hong-ho tidak memperlihatkan sesuatu
perasaan pun mulut juga membungkam tanpa komentar.
dalam pada itu si nenek terus berjongkok malah sibuk makan kacangnya, tampaknya tiada
sesuatu yang ditakutinya, seperti juga memang sudah bosan hidup dan menunggu orang
membunuhnya. To hui berdehem dua kali, lalu tertawa dan berkata, "Jika kau kenal namaku, tentunya kau
tahu orang she to takkan sembarang menyerang kau. Bila ku bunuh seorang nenek macam kau
ini, kalau tersiar, bukankah akan ditertawakan oleh kawan dunia Kangouw?"
Oh-lolo terkekeh-kekeh, katanya, "Hehe, tadinya kukira To-toaya ini seorang tokoh yang
gilang-gemilang, siapa tahu kau tidak lebih hanya seekor beruang yang main gertak saja. Jika
seorang nenek saja tidak berani kau hadapi, bila kelak tersiar, tidakkah kau akan lebih-lebih
ditertawakan?" Lim Soh-koan dan si berewok she Hiang saling pandang sekejap dan sama tersenyum.
Senyuman mereka inilah yang membikin panas hati To Hui.
Ia menjadi murka sekalipun tahu si nenek pasti bukan orang yang mudah direcoki, biarpun
diketahuinya orang lain ingin menggunakan dia sebagai batu penguji untuk menjajal
kemampuan si nenek. Tapi ia tidak tahan lagi, mendadak ia meraung terus menerjang si nenek, bentaknya, "Kau
sendiri yang cari mampus, jangan kau sesalkan orang she To!"
Kalau dia berjuluk "Bu-eng-cu" atau si tanpa bayangan, maka Ginkangnya pasti tidak rendah.
Di tengah berkelebatnya bayangan, serentak golok juga sudah di cabutnya, baru lenyap
suaranya, tahu-tahu ia pun sudah berada di depan Oh-lolo, kegesitannya memang cocok
dengan julukannya sebagai "si tanpa bayang".
Orang hanya sempat melihat sinar golok berkilat dan membacok Oh-lolo, tidak juga kelihatan
si nenek berdiri, bahkan tidak nampak dia melakukan sesuatu gerakan. Tapi mendadak suara
raungan To Hui berhenti ditengah jalan, sambil berjumpalitan di udara To Hui lantas
melompat mundur dengan tangan mencengkeram leher sendiri dan mat melotot besar seperti
mata ikan mas. Dada juga naik-turun, napasnya seperti mau putus.
Tiada seorangpun yang tahu mengapa mendadak To hui bisa berubah menjadi demikian,
semua orang saling pandang dengan bingung dan terkejut.
Waktu memandang Oh-lolo, nenek itu masih tetap berjongkok di tempatnya dan asyik makan
kacang, sambil menggeleng kepala ia berkata, "Ai, dasar anak rakus, hanya kuberi persen satu
biji kacang goreng, lalu dia tidak sampai hati membunuhku. Agaknya kacang goreng si nenek
sangat enak sekali rasanya."
Baru sekarang semua orang tahu bahwa pada saat To hui meraung tadi, si nenek telah
menjentik satu biji kacang ke mulutnya. Sampai-sampai tokoh semacam Lim soh-koan juga
tidak melihat cara bagaimana Oh-lolo mengerjai To Hui.
10 Diam-diam Pwe-giok membatin, "Sungguh luar biasa, cara menyambitkan senjata rahasia
begini mungkin Tong Bu-siang pun akan mengaku tidak sanggup."
Berpikir demikian baru sekarang dia ingat kepada Tong Bu-siang gadungan yang ternyata
tidak ikut serta dalam rombongan Ji Hong-ho ini. Apa yang terjadi selama dua hari ini
sungguh terlalu banyak sehingga membuatnya hampir lupa segalanya. Padahal Tong Bu-siang
gadungan itu satu-satunya petunjuk baginya untuk menyelidiki seluk beluk muslihat keji
komplotan jahat yang menghancurkan keluarganya itu. Lantaran ikut campur urusan orang
lain sehingga melupakan urusan penting pribadi.
Lui-ji merasa kedua tangan Pwe-giok mendadak berubah lebih dingin, mukanya juga penuh
keringat yang menghiasi dahinya.
Tapi Pwe-giok masih menatap ke depan sana, seperti tidak merasakan apa yang dilakukan
anak dara itu. Dalam pada itu butiran keringat yang memenuhi jidat To hui jauh lebih banyak daripada
keringat yang diusap Lui-ji tadi. Sekarang golok pun sudah dibuangnya, kedua tangan
mencekik leher sendiri dan berteriak dengan suara parau, "Kacang ..... ka ....."
"Ai, apakah barang kali kacangku telah membikin To-tayhiap keselak?" tanya Oh-lolo dengan
tertawa. "Kenapa tidak To-tayhiap tumpahkan keluar?"
Tapi mendadak To Hui meraung murka, seperti orang gregetan, tangannya dimasukan ke
dalam mulut, tampaknya seperti hendak mengorek keluar kacang yang menyangkut di
kerongkongannya, tentu saja ia terbatuk-batuk dan muka pun merah padam seperti orang yang
tak dapat bernapas. Maklum, tangannya terlalu besar, meski ia mengorek sebisanya, tetap sukar mengeluarkan biji
kacang yang sudah tertelan itu, suara batuknya makin kerap dan tambah keras, air muka dari
merah berubah menjadi biru, air matanya dan ingus juga bercucuran. sekonyong-konyong
tubuhnya mengejang, habis itu mendadak ia meraung keras-keras.
"Krek-krek, berbareng dengan suara gemertak di mulutnya ini, ia terus roboh terlentang.
Darah segar muncrat dari mulutnya, kedua tangannya bergerak-gerak seperti orang gila, darah
lantas terpercik dari jarinya seperti hujan gerimis.
Ternyata tangan kanannya tersisa dua buah jari saja, rupanya ketiga jari yang digunakan
mengorek kerongkongan tadi telah dikertaknya hingga putus.
Si berewok she Hiang bermaksud membangunkan rekannya itu, tapi baru dua tindak ia malah
terus menyurut mundur lagi tiga tindak, sebab mendadak ia teringat sesuatu, tanyanya kepada
Lim Soh-koan, "Apakah ..... apakah kacang itu beracun"..."
Lim Soh-koan hanya mengangguk saja tanpa menjawab.
Tiba-tiba terdengar suara krak-kruk orang yang mengunyah sesuatu, rupanya To Hui sedang
mengganyang jarinya sendiri. Mungkin saking tersiksanya sehingga dia tidak sanggup
bertahan lagi. 11 Melihat racun si nenek sedemikian keji dan lihay, semua orang sama berkeringat dingin dan
tiada satu pun berani bicara.
Dengan adem-ayem Oh-lolo lantas berkata dengan tertawa, "Wah, kacang goreng dimakan
bersama jari, rasanya pasti lain daripada yang lain. Bagus juga caramu makan enak ini, selama
hidup nenek justeru tidak pernah makan cara begini."
Melihat muka To Hui penuh berlumuran darah, mendengar pula suaranya mengganyang jari
sendiri, tentu saja semua orang merasa mual, kini Oh-lolo menambahi lagi kata-kata
demikian, si berewok Hiang yang tidak tahan, mendadak ia berlari ke pinggir dana dan
tumpah-tumpah. Waktu dia berpaling kembali, tangan To hui sudah tidak bisa bergerak lagi, suara mengunyah
juga tidak terdengar, yang masih terdengar hanya suara napasnya yang lemah.
Sejenak kemudian, suara napas itupun lenyap, darah yang mengalir dari ujung mulut dan dari
jari putus to Hui telah berubah juga menjadi warna hitam seperti tinta.
Oh-lolo menghela napas, gumamnya "Tak tersangka seorang jago ternama seperti Bu-eng-cu
To Hui juga tidak tahan keselak satu biji kacang goreng!"
Tiba-tiba Ji Hong-ho menghela napas panjang dan berucap, "Kiranya Oh-lolo yang tiba!"
Mendengar nama "Oh-lolo" disebut, seketika semua orang berteriak kaget.
Sebaliknya Oh-lolo sendiri lantas terkekeh-kekeh, katanya, "Dari ucapanmu ini, agaknya baru
sekarang kau kenal aku ini Oh-lolo?"
"Hendaknya Lolo sudi memaafkan bilamana kami punya mata tapi tak bisa melihat," ucap Ji
Hong-ho. Oh-lolo menatapnya lekat-lekat, seperti baru pertama kali melihatnya. Wajahnya yang penuh
keriput tapi bersifat licin itu pun menampilkan rasa kejut dan heran.
Meski Ji hong-ho masih tetap tersenyum, tapi jelas juga merasa tidak tenteram karena
dipandang setajam itu oleh si nenek, siapa pun akan merasa tidak enak dipandang oleh mata
yang licik dan licin seperti mata rase tua itu.
Akhirnya Oh-lolo menghela napas, katanya sambil menggeleng, "Sungguh kau seorang yang
hebat, sampai si nenek juga tidak dapat memahami dirimu. Jika tadi kau pinjam tanganku
untuk membunuh To hui, sekarang To hui sudah mati, kenapa kau masih berlagak tidak kenal
padaku?" Ji Hong-ho tersenyum, jawabnya, "Cayhe memang ........."
"Kau kan kenal diriku," jengek Oh-lolo. "Sudah 20 tahun lamanya kau kenal nenek ini. Setiap
orang yang berjumpa satu kali saja dengan ku, selama hidup pula takkan kulupakan. Apalagi
antara kau dan aku kan juga ada sedikit hubungan, masakah kau lupa."
12 Senyuman yang selalu menghiasi wajah Ji Hong-ho itu seketika beku, perubahan ini mungkin
tidak diperhatikan oleh orang lain, tapi tidak terlepas dari pengamatan Ji Pwe-giok.
Lui-ji merasakan tangan Pwe-giok sedingin es, tapi mendadak berubah panas membara,
bahkan dapat dirasakannya denyut jantung dan gemetar tubuhnya.
Dalam pada itu terdengar Oh-lolo lagi berkata, "Jelas kau kenal padaku, mengapa berlagak
tidak kenal?" Hampir saja berteriak, "Dia tidak berlagak, tapi dia memang tidak kenal padamu, sebab dia
bukan Ji Hong-ho yang kau temui 20 tahun yang lalu itu, dia ini Ji Hong-ho gadungan."
Terpaksa Pwe-giok menggertak gigi sekuatnya sehingga tidak sampai bersuara. Otot daging
mukanya sampai berkerut-kerut saking menahan derita perasaannya.
Melihat wajah yang demikian ini, Lui-ji ikut merinding, tak tersangka olehnya wajah Pwegiok
dapat berubah sedemikian menakutkan.
Mendadak terdengar Ji Hong-ho bergelak tertawa, serunya. "Kejadian 20 tahun yang lalau
sudah lama kulupakan, untuk apa Lolo mengingatnya?"
"Tapi urusan demikian selamanya takkan kulupakan," jengek Oh-lolo.
Ji Hong-ho bermaksud menutupi kecanggungannya dengan suara tertawanya, tapi demi
mendengar ucapan si nenek yang terakhir ini, seketika suara tertawanya berubah lebih kasar
daripada suara kayu digergaji. Tanyanya kemudian dengan suara serak "Jadi kedatanganmu
ini bermaksud menuntut balas?"
Gemerdep sinar mata Oh-lolo, dipandangnya sejenak pula, lalu menjawab dengan perlahan,
"Betul, tentunya kau tahu cara bagaimana si nenek akan menuntut balas. Barang siapa pernah
bersalah padaku, si nenek pasti akan membalasnya dengan berlipat ganda, kalau ditambah lagi
dengan rente selama 20 tahun, maka ..... hahaha ....."
Dia jejalkan dua biji kacang ke dalam mulut dan dikunyahnya dengan bernapsu seakan-akan
kacang goreng itu adalah Ji hong-ho yang sedang diganyang.
Tiba-tiba Lim Soh-koan berteriak, "Sekalipun Cianpwe adalah orang kosen dunia persilatan,
tapi hendaklah jangan kau lupa akan kedudukan Ji-tayhiap sekarang!"
"Kedudukan apa?" tanya Oh-lolo dengan mendelik.
"Jika Cianpwe melakukan sesuatu tindakan terhadap Bengcu, maka sama halnya Cianpwe
memusuhi segenap orang Bu-lim," ucap Lim Soh-koan dengan bengis.
Oh-lolo tetap tertawa, katanya, "Apakah seluruh orang Bu-lim berada di sini" Eh, kenapa
tidak kulihat. Yang terlihat oleh nenek hanya kalian berlima, kalau cuma kalian berlima saja
rasanya nenek masih sanggup melayani."
13 Lim Soh-koan menggenggam pedangnya erat-erat, butiran keringat sudah merembes di
jidatnya. Si berewok Hiang berdehem sambil menyurut mundur dua tindak, lalu berkata, "Jika
Cianpwe ada permusuhan lama dengan Bengcu, sudah tentu Cayhe takkan ikut campur."
"Nah, tinggal empat orang sekarang," ucap Oh-lolo dengan tenang.
Seorang di sebelah si berewok Hiang berwajah kuning, ia pun berdehem dan berkata, "Orang
she Song biasanya tidak suka ikut campur urusan orang lain, apalagi urusan para Bu-limcianpwe.
cayhe lebih-lebih tidak berani ikut campur."
"Nah, tinggal tiga," tukas Oh-lolo pula.
Seorang lagi berbadan jangkung, segera ia pun berseru, "Selamanya Cayhe maju atau mundur
bersama Song-heng, apa yang menjadi pikiran Song-heng juga menjadi pikiranku."
"Bagus, tinggal dua," kata Oh-lolo dengan tertawa. "Wah, tampaknya sahabat orang she Ji
rata-rata memang kaum pendekar sejati, kalau mereka memang kaum pendekar sejati, kalau
mereka bukan orang semacam ini, tentunya kau takkan mencari mereka, betul tidak ?"
"Creng", Lin Soh-koan meloloskan pedangnya, tapi baru saja terlolos separuh, mendadak Ji
Hong-ho memegang tangannya.
Lim Soh-koan terkesiap, tanyanya dengan suara tertahan, "Apakah Bengcu ingin menunggu
dia turun tangan lebih dulu?"
Ji Hong-ho tersenyum hambar, ucapnya, "Dia takkan turun tangan, jika dia bermaksud
bertindak sesuatu, tentu dia takkan bicara seperti ini."
Lim Soh-koan merasa sangsi, tapi Oh-lolo sudah lantas berkeplok tertawa, katanya, "Betul
juga, tampaknya orang yang bisa menduduki singgasana Bengcu memang lain daripada yang
lain. Apa yang kukatakan ini hanya sebagai pemberitahuan saja bahwa sekarang kalian sudah
berada dalam genggamanku, makanya kalau nenek bertanya hendaklah kalian menjawab
sejujur-jujurnya." "Apa yang hendak kau tanyakan" kata Ji hong-ho.
Oh-lolo menuding si berewok bertiga, lalu berkata, "Meski nama ketiga orang ini cukup
terkenal di dunia Kangouw, tapi kalau dijumlahkan rasanya tidak laku satu tahil perak. Tapi
sekarang kau sengaja membohongi Ang-lian-hoa dan lain-lain sehingga mereka telah pergi
dari sini, sebaliknya kau malah membawa orang-orang ini ke sini, sesungguhnya apa maksud
tujuanmu di balik semua perbuatanmu ini ?"
Ji hong-ho berdiam sejenak, jawabnya kemudian, "Apa yang hendak kulakukan masakah Lolo
tidak tahu?" "Mungkin ku tahu, tapi juga mungkin tidak tahu," uajr Oh-lolo. "Pendek kata ingin kudengar
dari mulutmu sendiri, dengan begitu barulah hati nenek bisa tenteram."
14 Ji Hong-ho berpikir sejenak, katanya kemudian: "Tujuanku adalah ingin mencari sesuatu
barang di sini, nilai barang ini tidak dapat ditaksir oleh siapa pun, tapi nenek sendiri tentunya
sudah tahu." Mencorong sinar mata Oh-lolo, ucapnya, "Dan kalau barang itu ditemukan, apakah nenek
juga akan mendapat bagian?"
Hong-ho tersenyum, jawabnya , "Setiap orang yang hadir disini akan mendapatkan
bagiannya." Serentak Oh-lolo melompat bangun, ia melemparkan sebuah cangkul kepada si Hiang
berewok dan berseru, "Jika demikian, kalian menunggu apa lagi?"
***** Pondasi bangunan berloteng kecil itu ternyata sangat kuat, ketika dicangkul, rasanya seperti
mencangkul papan besi saja, selain menerbitkan suara nyaring memekakkan telinga, bahkan
memercikkan lelatu api. Lelaki jangkung tadi berpakaian yang terbuat dari bahan sutera, baju yang mentereng itu
sekarang sudah basah kuyup oleh air keringat,. Sembari ayun cangkulnya ia menggerundel,
"Cong-piauthau dari Tin-wan-piaukiok, Thi-kim-kong Han Tay-goan dan tuan muda dari
Ban-bok-ceng Song In-seng, kini telah menjadi kuli penggali tanah, coba, apakah tidak
runyam?" Kawannya yang bernama Song Ing-seng yang berwajah kuning itu menyengir, katanya, "Ini
kan kita lakukan dengan sukarela, bukan?"
"Betul", kata si jangkung, Han Tay-goan, "kita memang sukarela, demi mendapatkan barang
itu, jangankan cuma menggali tanah, sekalipun aku disuruh menguras kakus juga tidak
menjadi soal. Yang kukuatirkan hanya kalau nanti barang ini sudah ditemukan, lalu mereka
akan melupakan kita."
Sembari bicara ia pun melirik ke sana, dilihatnya Ji Hong-ho, Oh-lolo dan Lim Soh-koan
berdiri cukup jauh, maka beranilah dia bicara tanpa takut.
Song Ing-seng menjawab, "Jika mereka tidak mau memberi bagian pada kita, untuk apa pula
kita didatangkan ke sini?"
"Justeru ku kuatir kita hanya akan dijadikan kuli belaka," ujar Han Tay-goan.
Sambil mengusap keringat song Ing-seng berkata, "Kuyakin Ji Hong-ho bukan manusia
demikian." "Hm, semula akupun percaya dia bukan orang demikian, tapi sekarang ...." Han Tay-goan
mendengus, "coba kau lihat nasib Lui Hong atau tidak" Bisa jadi nasib kita nanti juga tidak
berbeda banyak dengan mereka."
Mendadak ia berpaling ke sana dan bertanya kepada si Hiang berewok, "He. hiang-lotoa, kau
dengar percakapan kami tidak?"


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

15 Cambang Hiang berewok juga penuh butiran keringat, dengan suara parau ia menjawab,
"Biarpun dengar lantas mau apa" Memangnya sekarang kita dapat berhenti?"
Tiba-tiba terdengar Lim soh-koan berteriak kepada mereka. "Apakah kalian menemukan
sesuatu?" "Tidak, tidak menemukan apa-apa," jawab si berewok Hiang.
Oh-lolo lantas menjengek, "Hm, hendaklah kalian kerja segiatnya, kalau tidak menemukan
apa-apa tentu kalian yang akan menerima akibatnya."
"Tapi ..... tapi kalau barang itu tidak berada di sini?" tanya si berewok.
"Kalau barang itu tidak berada di situ, kalian lantas ku pendam hidup-hidup," kata Oh-lolo.
Dalam pada itu Lui-ji tidak tahan lagi, ia membisiki Pwe-giok "sekarang mereka tentu tak
mendengar suara kita."
Pwe-giok mengangguk. "Sesungguhnya barang apa yang ditanam ibu di situ" Setahuku, kedatangan ibu di sini
bertekad akan menjadi nyonya yang baik, ingin hidup bahagia berumah tangga, maka barang
perhiasan sedikit pun tidak dibawanya ke sini."
"Yang hendak mereka cari sekarang pasti bukan barang sebangsa perhiasan," ujar Pwe-giok.
"Masa?" tanya Lui-ji
"Tapi batu permata yang kau keluarkan itu kan tidak disimpan kembali, setiap orang yang
naik ke loteng sana tentu juga melihatnya," kata Pwe-giok.
"Ya, tapi kan terbungkus rapat dengan kain?"
"Biarpun terbungkus rapat, orang yang berpengalaman seperti mereka itu tentu dapat melihat
apa yang terbungkus di dalamnya. apalagi dalam kegelapan, cahaya batu permata tetap dapat
tembus keluar. Sebab itulah, bilamana yang mereka kehendaki adalah batu permata, tentu
bungkusan benda berharga itu takkan dibiarkan ikut terbakar."
"Habis apa yang mereka cari?" ucap Lui-ji sambil berkerut kening.
Pwe-giok tidak menjawabnya, sebab ia sendiri pun tidak tahu.
Sementara itu lubang galian si Hiang berewok sudah cukup dalam, pondasi loteng kecil itu
sudah berubah menjadi sebuah kubangan beberapa meter persegi.
Ketiga orang itu berada di dalam kubangan, dipandang dari tempat persembunyian Pwe-giok
kepalanya saja tidak kelihatan, hanya terkadang terlihat ada sepotong dua potong batu atau
kayu dilempar ke atas. 16 Kini Oh-lolo, Ji hong-ho dan Lim Soh-koan juga sudah berdiri di tepi kubangan itu, mereka
kelihatan mulai gelisah. Akhirnya suara galian itu berubah menjadi lunak, tiada batu kerikil
lagi yang terlempar ke atas. Nyata batu koral yang digunakan sebagai pondasi pun sudah
tergali keluar semua dan telah menembus ke bagian yang cuma tanah liat melulu.
Sejenak kemudian, Lim Soh-koan berkata, "Mungkin Siau-hun-kiongcu tidak
menyembunyikan barang itu di sini, bisa jadi memang tidak dibawanya kemari."
"Dibawanya kemari, bahkan disembunyikan di sini," ucap Oh-lolo.
"Darimana Cianpwe tahu?" tanya Soh-koan.
"Sudah tentu ku tahu, bilamana kau mau menggunakan otakmu tentu juga kau akan tahu,"
jawab Oh-lolo dengan dingin.
"Ya, tentunya Tonghong Bi-giok mengetahui dengan pasti bahwa barang itu disembunyikan
di sini, makanya dia tidak mau pergi," kata Ji Hong-ho. "Dengan sendirinya pula Tonghongsengcu
menggunakan barang itu sebagai syarat pertukaran, makanya Li-thian-ong dan lainlain
mau diundang ke sini."
Lim Soh-koan menggigit bibir, ucapnya, "Tapi kalau Siau-hun-kiongcu sudah memiliki
barang ini, mengapa dia tidak memanfaatkannya, sebaliknya malah dipendam di bawah
tanah?" "Hal ini disebabkan dia sudah bertekad akan menjadi seorang nyonya rumah tangga yang
baik, tapi ia pun tidak ingin barang itu jatuh ditangan orang lain, maka....." sampai di sini Ohlolo
mendengus lalu menyambung, "itulah akibatnya kalau seorang perempuan sudah jatuh
cinta, seringkali dia dapat bertindak sesuatu yang aneh dan lucu."
Pada sat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara ringkik kuda disusul dengan suara
menggelindingnya roda kereta.
Oh-lolo, Ji Hong-ho dan Lim Soh-koan sama kaget dan cepat berpaling.
Pada kesempatan itulah Lui-ji lantas membisiki Pwe-giok pula, "Tahulah aku barang apa yang
hendak mereka cari!"
"Oo?" Pwe-giok merasa heran.
"Yang ingin mereka temukan pastilah sejilid kitab pusaka ilmu silat yang sangat hebat." bisik
Lui-ji. "Entah darimana ibu mendapatkan kitab pusaka itu, tapi sebelum beliau sempat
berlatih sudah keburu bertemu dengan Tonghong Bi-giok, oleh karena ibu bertekad akan
hidup berumah tangga dengan baik, maka segala macam ilmu silat sudah tidak ada gunanya
lagi baginya. Sebab itulah ibu lantas menyembunyikan kitab pusaka itu. Celakanya, apa yang
dilakukan ibu itu justeru diketahui oleh Tonghong Bi-giok."
Sembari mendengarkan, berulang Pwe-giok mengangguk, sebab penuturan anak dara itu
memang sangat masuk di akal, betapapun Pwe-giok tidak menemukan jawaban lain yang
melebihi cerita Lui-ji itu.
17 Ketika Lui-ji selesai bercerita, tertampak sebuah kereta kuda telah menerobos ke tengah kota
yang sudah berwujud puing itu.
Daripada dikatakan sebuah kereta, akan lebih tepat kalau dikatakan sebuah rumah yang dapat
bergerak. Sebuah rumah yang dipasangi roda kereta dan ditarik oleh enam belas ekor kuda.
Jika tetap dikatakan sebuah kereta kuda, maka di dunia ini mungkin tidak ada kereta kuda
yang lebih besar daripada kereta ini. Mungkin ruang kereta ini cukup untuk memuat ratusan
penumpang. Ji Hong-ho mengernyitkan kening, tanyanya kepada Lim Soh-koan, "Apakah sudah kau
pasang penjaga di sekitar sini?"
"Sudah," jawab Soh-koan.
"Jika begitu, apakah mereka semuanya tertidur, masa kereta ini dibiarkan menerobos ke sini,
seumpama mereka tidak merintanginya, paling tidak kan mesti memberi tanda bahaya," kata
Ji Hong-ho pula. Dalam pada itu kereta tadi sudah berhenti di kejauhan, mereka mengira percakapan mereka
pasti tidak didengar oleh lawan.
Tak terduga, baru habis ucapan Ji Hong-ho, mendadak di dalam kereta itu ada orang
menanggapi dengan tertawa, "Hal ini pun tak dapat kau salahkan mereka, sebab mereka
memang sudah siap hendak melepaskan panah api, tapi sayang sebelum sempat berbuat begitu
kepala mereka sudah terpenggal lebih dulu," orang itu tertawa terkikik-kikik, lalu
menyambung, "Tentunya dapat kau bayangkan seorang kalau sudah kehilangan kepala, lalu
apa lagi yang dapat dibuatnya?"
Kata-kata ini sebenarnya berlebihan, tapi orang itu justeru menganggap sebagai lelucon yang
paling lucu dan tertawa terkial-kial, seakan-akan di dunia ini tiada lelucon lain yang lebih
lucu. Begitulah sembari bicara sambil tertawa, suaranya kecil, tertawanya juga renyah,
kedengarannya seperti suara anak perempuan yang belum akil balik, yang suka merasa geli
terhadap kebanyakan kejadian di dunia ini, misalnya orang kentut saja dapat membuatnya
tertawa terpingkal-pingkal.
Orang semacam ini kebanyakan bersifat periang, ramah tamah, bila dapat bertemu dengan
orang seperti ini kebanyakan orang akan merasa senang. Akan tetapi, sekarang Oh-lolo
justeru tidak merasa senang sedikit pun.
Begitu mendengar suara tertawa orang, segera nenek ini seperti mau mengeluyur pergi, tapi
ketika ia memandang kubangan sana, tampaknya merasa berat pula untuk pergi.
Selagi ragu-ragu, mendadak pintu kereta raksasa itu terbuka, belasan lelaki kekar dengan
setengah badan telanjang, hanya memakai celana satin merah, menggotong keluar sebuah
ranjang besar. 18 Ukuran ranjang ini pun sangat mengejutkan, di atas ranjang penuh tertimbun beraneka macam
barang, ada ayam dan babi panggang yang lezat, ada buah-buahan yang warnanya segar, ada
manisan dan nyamikan, ada pula berbagai minuman botol dan kaleng, pokoknya makanan dan
minuman enak apapun yang kau bayangkan pasti terdapat di tempat tidur itu.
Dan di tengah-tengah barang makanan dan minuman itulah berduduk seorang dengan
setengah berbaring. Melihat orang ini, sampai Ji Hong-ho juga hampir saja tertawa geli.
Sebab yang berbaring itu daripada dikatakan sebagai manusia, akan lebih tepat kalau
dikatakan cuma seonggok daging. Onggokan daging yang ditumpuk dengan beberapa ratus
kati daging gemuk pilihan.
Badannya hampir tidak memakai kain apapun, ini pun tak dapat menyalahkan dia. Bayangkan
saja, kalau perutnya yang gendut itu sudah melambai sampai dengkul, cara bagaimana pula
dia akan memakai celana" Kalau dua orang menyunggih perutnya dengan kepala, bisa jadi
sekadarnya dapat memberinya pakai sebuah cawat.
Waktu itu si Hiang berewok, Song Ing-seng dan Hay Tay-goan baru saja melompat naik dari
dalam kubangan, ketika mendadak melihat makhluk seaneh itu, mereka terkejut dan juga geli.
Tapi orang gendut itu sudah mendahului tertawa terkikik-kikik, katanya, "Orang suka bilang
An Lok-san (seorang panglima perang di jaman dinasti Tong) gemuk seperti babi, tapi
menurut keyakinanku, dua orang An-Lok-san juga tidak segemuk diriku. Di dunia ini kalau
ada lomba orang gemuk, aku pasti akan ikut dan aku pasti akan keluar sebagai juara. Betul
tidak?" Makhluk raksasa begini suara bicaranya ternyata lirih rendah seperti anak perempuan kecil,
maka si Hiang berewok dan lain-lain tidak tahan lagi, mereka sama tertawa geli.
Si gendut juga ikut tertawa, bahkan terlebih riang daripada siapa pun juga, sampai-sampai
wajah Lim Soh-koan yang tadinya tampak tegang juga mengendor.
Di antara mereka hanya seorang saja yang sama sekali tidak menampilkan senyuman setitik
pun, orang itu ialah Oh-lolo. Dia berdiri kaku seperti patung.
Pada saat itulah si gendut telah memandangnya, ucapnya dengan tertawa terkikik-kikik, "He,
orang lain sama tertawa, mengapa kau malah tidak tertawa-tawa" Melihat orang gendut
semacam diriku, masa kau tidak merasa geli?"
Muka Oh-lolo yang penuh keriput itu terpaksa menampilkan secercah senyuman, sudah tentu
senyuman yang lebih tepat dikatakan menyengir.
Hal ini membuat si nenek tambah tua, mestinya dia kelihatan berusia 80-an tahun, kini
tampaknya sudah 160 tahun. Dengan menyengir ia berusaha mengumpak, "Gendut" Mana ada
orang gendut" kenapa nenek tidak melihatnya?"
"Kan jelas aku berada di depanmu, masa tidak kau lihat" kata si gendut.
19 "Ah, Cianpwe cuma bertubuh sangat kekar mana bisa dihitung gendut" ujar Oh-lolo sambil
menyengir. Mendadak si gendut menarik muka, katanya dengan gusar, "Kau kira setiap orang gemuk
pantang dikatai oleh orang lain, makanya kau hendak menjilat pantatku?"
Melihat wajah orang yang menampilkan rasa marah, Oh-lolo berbalik merasa lega, dengan
mengiring tawa ia menjawab, "Tetapi yang kukatakan adalah sesungguhnya."
"Tidak, kau tidak omong sesungguhnya," ujar si gendut. "Mestinya akan ku potong lidahmu."
Mendadak ia menghela napas panjang, lalu menggeleng dan menyambung, "Tapi aku benar
terlalu gemuk, saking gemuknya sehingga bergerak saja malas, untuk itu hendaklah kau suka
bantu aku, sudilah kau potong lidahmu sendiri" Kalau tidak potong lidah, potong hidung juga
bolehlah!" Dia bicara dengan serius, tentu saja orang lain akan tertawa geli, bahwasanya dia minta
bantuan orang lain, yang diminta justeru agar orang lain suka memotong hidungnya sendiri.
Di dunia ini mungkin tiada sesuatu yang lebih mustahil daripada hal ini.
Siapa tahu, Oh-lolo tidak banyak cingcong lagi, "sret", mendadak ia lolos pedang yang
tergantung di pinggang Lim Soh-koan, kontan dia benar-benar memotong hidung sendiri.
Baru saja hidung yang berlumuran darah itu jatuh, segera Oh-lolo membuang pedang dan
berlari pergi dengan mendekap mukanya.
Keruan Lim Soh-koan dan lain-lain sama melenggong dan tiada satupun yang sanggup
tertawa lagi. Si gendut lantas berkeplok dan tertawa gembira, teriaknya, "Haha, di dunia ini ternyata ada
orang yang mengiris hidungnya sendiri, masa kalian tidak tertawa?"
Tapi semua orang hanya saling pandang saja betapapun mereka tidak sanggup tertawa.
Si gendut menghela napas, katanya, "Ai, kenapa kalian sama sekali tidak tahu hal-hal yang
menarik, sungguh sangat mengecewakan aku," Mendadak ia tuding Song Ing-seng dan
bertanya, "Eh, siapa namamu."
"Cay ... Cayhe Song ... Song Ing-seng."
"Tadi kulihat kau tertawa dengan riang gembira mengapa sekarang kau tidak tertawa lagi?"
tanya si gendut. Sebisanya Song Ing-seng ingin tertawa, akan tetapi wajahnya ternyata lebih buruk daripada
menangis. "Sudahlah, jika kau tidak paham akan kesenangan, apa gunanya kau mempunyai telinga,
kumohon tolong padamu, sudilah kau bantu memotong kupingmu sendiri!" demikian pinta si
gendut. 20 Jika kata-kata ini diucapkan orang lain, mungkin gigi Song Ing-seng akan copot saking
tertawa geli. Tapi sekarang dia tidak lagi merasakan lucu, bahkan ketakutan setengah mati.
Dia pandang perut si gendut yang kedodoran itu, pikirnya, "Oh-lolo saja takut terhadap orang
gemuk ini, tentunya dia memang sangat lihay. Tapi umpama aku tidak sanggup melawannya,
masa aku tak dapat lari saja secepatnya?"
Berpikir demikian, tanpa bersuara lagi segera ia membalik tubuh dan angkat langkah seribu.
Si gendut bergelak tertawa, katanya, "Coba kalian lihat, orang ini telah lari, sebab apakah dia
lari?" Ilmu silat Song In-seng terhitung kelas tinggi juga di dunia Kangouw, kini dia lari dengan
ketakutan, sudah tentu cepatnya seperti burung terbang, hanya sekejap saja, selagi si gendut
bicara, dia sudah berlari berpuluh tombak jauhnya.
Semua orang merasa yakin si gendut pasti tak mampu mengejarnya.
Tak terduga, pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara "wuut", selarik cahaya
perak terus meluncur ke sana secepat meteor jatuh, hanya sekejap saja sinar perak itu sudah
menyusul Song In-seng, sekali berputar mengelilingi badan Song In-seng, segera cahaya
perak itu melayang kembali ke tangan si gendut.
Waktu semua orang mengawasi, kiranya cuma sebuah piring perak tempat buah-buahan.
Song In-seng kelihatan masih terus berlari ke depan, tapi baru dua-tiga langkah, setengah
badan bagian atas mendadak menekuk patah ke belakang, darah pun menyembur ke udara
seperti air mancur. Kedua kakinya masih sempat berlari lagi tiga langkah ke depan, habis itu
barulah ambruk. Hiang berewok dan lain-lain tergolong kaum pembunuh kejam, tapi adegan ngeri begini
selama hidup pun belum pernah mereka lihat.
Hanya dengan sebuah piring perak si gendut sanggup menabas badan seorang sebatas
pinggang hingga putus menjadi dua, kungfu sehebat ini sungguh dengar saja mereka belum
pernah dengar. Sekali ini mereka baru benar-benar melenggong ketakutan.
Tapi si gendut lantas berkeplok tertawa pula, serunya "Coba kalian lihat orang mati masih
dapat berlari, lucu atau tidak" Apakah kalian tidak merasa geli, mengapa tiada seorang pun
yang tertawa?" Tanpa disuruh lagi, sekali ini Han Tay-goan mengerahkan segenap tenaganya dan bergelak
tertawa sekerasnya. "Nah, tertawa, ada orang tertawa!" seru si gendut dengan senang, "Eh siapa namau?"
"Cayhe Han .... Han Tay-goan!"
21 "Kau tertawa segembira ini, apakah karena kau merasa aku si gendut ini sangat lucu?"
"Ya, sangat lucu, kau si gendut ini benar-benar sangat lucu dan menggelikan."
"Haha, tampaknya cuma kau saja yang tahu hal-hal yang lucu, kuyakin kau pasti suka
menolong berbuat sesuatu bagi si gendut."
Seketika Han Tay-goan seperti tercekik lehernya, dengan suara parau ia berkata, "Aku sudah
bicara demikian dan kau masih.... masih hendak...."
"Habis kalau bukan kau yang menolong diriku, siapa lagi yang akan menolong?"
Seketika Han Tay-goan melonjak dan meraung murka, "Kau si gendut jahanam, kau babi
mampus, biar ku adu jiwa denganmu!"
Di tengah raungannya, segera ia angkat cangkulnya dan menerjang ke sana.
Si gendut benar-benar seperti tidak mampu bergerak sedikitpun, sama sekali ia tidak mampu
mengelakkan serangan Han Tay-goan, cangkul itu dengan tepat memacul di atas perutnya.
Orang segendut itu, perut sebesar itu, bilamana tercangkul, perut tentu akan robek dan darah
pasti akan mengalir lebih banyak daripada orang biasa.
Siapa tahu, ketika pacul itu mengenai perutnya, badan si gendut sama sekali tidak terluka,
apalagi mengucurkan darah. Sebaliknya cangkul itu seolah-olah terisap oleh gumpalan
daging, meski Han Tay-goan sudah mengerahkan segenap tenaganya tetap tak dapat
menariknya kembali. Si gendut masih tetap tertawa gembira, ketika sebelah tangannya menampar muka Han Taygoan,
kontan sesosok tubuh mencelat seperti layangan yang putus benangnya, melayang ke
udara dan berjumpalitan beberapa kali, habis itu baru terbanting ke bawah. Namun kepalanya
sudah hancur seperti buah tomat lalu yang pecah.
Hiang berewok terkesima ketakutan, dia berjuluk "Sin-kun-bu-tek" atau pukulan sakti tanpa
tandingan, dengan sendirinya tenaga pukulannya maha dahsyat, tapi tenaga pukulan si gendut
ternyata berpuluh kali lipat lebih kuat daripadanya. Sungguh tak pernah terpikir olehnya
bahwa di dunia ini ada orang bertenaga sebesar ini.
Dalam pada itu sorot mata si gendut sudah beralih ke arahnya dan bertanya dengan tertawa,
"Eh, siapa namamu?"
Kedua kaki si berewok terasa lemas seluruhnya, tanpa disuruh, "brek", ia terus berlutut dan
berkata dengan suara gemetar, "Siaujin (hamba) she Hiang, jika Cianpwe suruh hamba potong
hidung, segera hidung akan kupotong, bila hamba disuruh potong kuping, segera pula hamba
akan potong kuping, pasti takkan lari dan juga pasti takkan melawan."
Si gendut menghela napas, katanya, "Aku sangat tertarik oleh cambangmu yang lebat ini,
sebenarnya aku cuma ingin memotong cambangmu saja, tapi kau sendiri rela memotong
hidung dan mengiris kuping, ya, apa boleh buat?"
22

Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika Hiang berewok jadi melenggong sendiri, ya takut ya menyesal.
Si gendut berkata pula, "Nah, kalau kau sendiri sudah sukarela, mengapa tidak lekas kau
kerjakan?" Terpaksa Hiang berewok nekat, golok dicabutnya, ia pikir seorang biarpun kehilangan hidung
dan kuping kan jauh lebih baik daripada kepalanya hancur.
Akibatnya, dia menjerit terus jatuh pingsan.
Lalu si gendut berkata pula dengan tertawa. "Konon di sini ada seorang yang menjabat Bulim-
bengcu segala, siapakah gerangan sebenarnya?"
"Ialah diriku." jawab Ji Hong-ho.
Sampai sekarang dia masih tetap tenang dan sabar, sampai Pwe-giok dan Lui-ji diam-diam
merasa kagum juga. "Ehm, tampaknya hanya kau yang menyerupai seorang Bu-lim-bengcu." ucap si gendut
dengan tertawa. "Eh, maukah kau menolong diriku?"
Akhirnya tiba juga giliran Ji Hong-ho!
Pwe-giok genggam kencang tangan Lui-ji, entah girang, tegang. Meski dalam hatinya sangat
ingin menyaksikan iblis jahat ini dibinasakan orang, tapi ia pun tidak menghendaki dia mati
sekarang, lebih-lebih tidak ingin dia dibunuh oleh orang lain. Betapapun Pwe-giok bertekad
akan membunuh musuh ini dengan tangan sendiri untuk mencuci bersih nama kotor dan
dendam keluarga Ji. Akan tetapi, biarpun dia tidak rela, apa daya" Jika kepandaiannya dibandingkan si gendut
ibaratnya capung hendak menggoyangkan cagak.
Tiba-tiba terdengar Ji Hong-ho berkata dengan suara tertahan, "Apabila sang Thian-cia-sing
ada perintah, mana Cayhe berani membangkang?"
Seketika wajah si gendut memperlihatkan rasa kejut, tanyanya, "Kau tahu namaku?"
Ji Hong-ho tersenyum, ia menjawab seperti berpantun, "Thian-cia-sing (bintang pemakan),
liang-cing-cing (terang benderang), semua dimakan habis tanpa tandingan, sepuluh laksa
prajurit dapat mengisi perutnya.... Sudah lama kudengar keperkasaan Cianpwe, selama ini
pula tidak pernah kulupakan."
"Dari siapa kau dengar cerita mengenai diriku?" kembali si gendut atau Thian-cia-sing,
menarik muka pula. Ji Hong-ho tidak bersuara, tapi memberi isyarat tangan. Cuma sayang, dipandang dari tempat
sembunyi Pwe-giok, gerak tangan Ji Hong-ho itu teraling tubuhnya sehingga tidak kelihatan.
Yang jelas air muka si gendut lantas rada berubah dan bertanya pula, "O, kau kenal dia?"
23 Dengan tersenyum Ji Hong-ho menjawab, "Berkat kebijaksanaan beliau, Cayhe tidak
dipandangnya sebagai orang luar."
Thian-cia-sing tidak bicara lagi, tapi terus menerus mencomot makanan dan dijejalkan ke
dalam mulut, entah makanan itu babi atau ayam panggang, buah-buahan, manisan atau asinan,
semuanya di makan, seperti mesin pabrik, giling terus.
Baru sekarang Pwe-giok melihat makanan yang tertimbun di atas tempat tidur itu sekarang
sudah lebih separuh dimakan oleh si gendut. Nyata julukan "makan habis seluruh dunia tanpa
tandingan" memang tidak bernama kosong.
Selang agak lama, terlihatlah Thian-cia-sing tersenyum pula dan berkata, "Jika kau ada
hubungan dengan si makhluk tua aneh itu, maka aku pun takkan minta tolong lagi padamu.
Tapi ada beberapa soal tidak boleh tidak harus kutanyai kau."
"Apa yang Cayhe ketahui pasti kukatakan, apa yang kukatakan pasti jelas," jawab Ji Hong-ho
"Konon demi membantu Cu Bi, si Hong Sam telah ngendon beberapa tahun di sini, apakah
betul keterangan ini?" tanya Thian-cia-sing.
"Memang betul," jawab Hong-ho.
"Dan di manakah mereka sekarang" Apakah mati terbakar?"
"Waktu api berkobar mereka masih berada di sini, sesudah api padam, ternyata tiada
ditemukan mayatnya."
"Darimana kau tahu tiada terdapat mayatnya?"
Ji Hong-ho menghela napas, ucapnya, "Sebab tidak terlihat sepotong tulang belulang apapun
di sini." Thian-cia-sing berkerut kening, tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, "Konon entah dari siapa
Cu Bi mendapatkan sesuatu barang, kabarnya barang siapa mendapatkan barang ini akan bisa
malang melintang di dunia ini, entah berita ini betul atau tidak?"
"Sumber berita Cianpwe ternyata sangat tajam, berita ini memang betul" jawab Ji Hong-ho
dengan tertawa. "Jika demikian, tadi kalian sedang menggali di sini, agaknya kalian sedang mencari barang
tersebut?" "Memang begitulah." kata Hong-ho.
"Dan sudah kau temukan belum?" tanya Thian-cia-sing.
Jawab Hong-ho sambil menyengir, "Sudah dua tiga tombak dalamnya kami menggali tempat
kediaman Cu Bi ini, makin lama makin basah tanahnya, jelas sudah hampir mencapai mata air
di bawah tanah, tapi secarik kertas saja tidak diketemukan."
24 Thian-cia-sing terkikik-kikik, katanya, "Bekerja harus sampai akhirnya, mana boleh kepalang
tanggung, kenapa tidak kau gali lagi lebih dalam?"
Ji Hong-ho tidak bicara lagi, ia mengedipi Lim Soh-koan, keduanya mengangkat cangkul
terus melompat ke dalam kubangan tadi. Tidak lama kemudian, terlihatlah sumber air muncrat
ke atas dengan kerasnya. Dengan basah kuyup Ji Hong-ho dan Lim Soh-koan lantas melompat ke atas.
"Tetap tidak ditemukan apa pun." tutur Hong-ho sambil menyengir.
Thian-cia-sing berpikir sejenak, katanya kemudian, "Jika demikian, tampaknya Cu Bi tidak
menyembunyikan barang itu di sini."
"Tampaknya memang demikian." ujar Ji Hong-ho dengan menyesal.
"Sudahlah, barang begini, tidak ketemu akan lebih baik, supaya tidak membikin celaka
orang," ujar Thian-cia-sing dengan tertawa. Makin riang tertawanya sehingga terkial-kial,
bernapas saja kelihatan sesak.
Ji Hong-ho berdehem, lalu berkata, "Jika Cianpwe tidak ada pesan lain, Cayhe ingin mohon
diri saja." Thian-cia-sing tertawa sambil memberi tanda, "Ya, pergilah, pergi lekas! Makin cepat makin
baik. Selanjutnya sebaiknya juga jangan sampai kulihat kau lagi. Bila melihat kau, segera
kuingat kepada si makhluk tua aneh itu, dan bila teringat kepada si makhluk tua aneh
kepalaku lantas pusing."
Dan Ji Hong-ho dan Lim Soh-koan lantas pergi dengan sangat cepat.
Melihat kedua orang itu dapat lolos dengan selamat, diam-diam Pwe-giok menggeleng dan
menghela napas gegetun. Seperginya Ji Hong ho dan Lim Soh koan, terdengar Thian cia sing berseru pula dengan
tertawa, "Di dalam sana kan panas dan tak tembus hawa, lebih baik keluar saja lebih
nyaman." Kecuali anak buahnya yang menggotong ranjang besar itu, kini di sekitar situ tidak ada orang
lain lagi. Selagi Pwe giok heran dengan siapakah Thian cia sing berbicara, tiba-tiba dilihatnya orang
gendut itu lagi menggapai-gapai ke arahnya.
Baru sekarang Pwe giok tahu tempat sembunyinya telah diketahui Thian cia sing. Keruan ia
terkejut dan keluar keringat dingin.
Lui ji menghela napas, gumamnya, "Lihai amat orang gendut ini."
Habis berkata, segera ia mendahului menerobos keluar. Pwe-giok ingin mencegahnya, tapi
sudah terlambat. Nyata keberanian anak dara ini tidak kalah dari siapapun juga.
25 Agaknya Thian cia sing juga tidak mengira orang yang mengintip di tempat gelap itu adalah
seorang nona cilik cantik dan kelihatan lemah lembut, tanpa terasa ia pun memperlihatkan
rasa heran. Dalam pada itu Lui ji sudah berhadapan dengan dia, ucapnya sambil berkeplok dan tertawa,
"Wah, makanan enak sebanyak ini kenapa kau makan sendiri, bolehkah bagi sedikit padaku"
Ai, hampir saja aku mengiler!"
Sembari bicara, tanpa permisi lagi ia terus mencomot sebuah apel besar dan digeragori
dengan lahapnya. Sampai sekian lama Thian cia sing melototi Lui ji, tegurnya kemudian, "Kau tidak takut
padaku?" "Ai, melihat orang ramah dan baik hati serta lucu seperti kau, hatiku justeru sangat gembira,
kenapa ku takut padamu?" jawab Lui ji dengan tertawa.
"Tidakkah kau lihat caraku membunuh orang tadi?"
"Ah, ksatria besar seperti dirimu itu mana bisa membunuh seorang nona cilik, aku tidak perlu
kuatir." "Hahahaha, menarik, sungguh menarik!" seru Thian cia sing dengan tertawa, "Tak tersangka
anak dara sekecil ini ternyata bermulut lebih manis dari pada Oh lolo yang licin melebihi rase
tua itu. Bahkan kaupun gemar makan, tampaknya seperti anak perempuanku malah."
"Menjadi anakmu juga boleh, setiap hari bisa makan enak, juga tidak takut dihina orang,
cuma sayang..." "Cuma sayang, tiada gunanya biarpun kau mengumpak diriku," tukas Thian cia sing dengan
tertawa, "sebab sejak tadi sudah kulihat masih ada orang lain yang sembunyi bersamamu di
sana. Kenapa dia belum lagi keluar, apakah takut?"
"Takut" Kau kira dia takut padamu?" tukas Lui ji dengan tertawa, "Apakah kau tahu siapa
dia?" Tiba-tiba si gendut tersenyum penuh arti dan memicingkan sebelah matanya, ucapnya,
"Hahahaha, sekecil ini kau sudah punya pacar barangkali?"
Seketika Lui ji mendelik, omelnya, "Jangan kau sembarang omong, meski sicekku orangnya
tampan dan halus, tapi kalau marah, wah, sampai sacek juga rada takut padanya."
"Sacekmu" Siapa dia?" tanya Thian cia sing.
"Kau kenal dia," jawab Lui ji dengan perlahan. "Tadi baru saja kau sebut namanya."
"O, maksudmu Hong Sam?" si gendut jadi melengak.
"Betul, betapa lihaynya sacek tentunya kau tahu dengan jelas," kata Lui ji dengan tertawa.
26 "Aha, sungguh lucu dan menggelikan," seru Thian cia sing sambil berkeplok tertawa,
"Saudaranya Hong Sam ternyata main sembunyi di dalam tungku dan takut dilihat orang, tapi
malah menyuruh seorang nona cilik untuk membual baginya, hahahaha, sungguh perutku bisa
meledak saking gelinya."
Bahwa sampai saat ini Pwe giok masih tetap bersembunyi di sana, diam-diam Lui ji juga
merasa heran. Betapapun Ji Pwe giok pasti bukan seorang penakut, kalau dia tidak mau keluar
tentu ada alasannya. Tapi Lui ji juga tidak dapat menerka apa alasannya, terpaksa ia melototi Thian cia sing lagi
dan mengomel, "Kenapa kau berani bersikap kasar terhadap sacek dan sicekku?"
Si gendut tertawa terkial-kial, katanya, "Hahaha, apakah kau kira aku takut kepada Hong
Sam".. Sungguh lelucon besar jika kutakut padanya.."
Lui ji memang belum pernah melihat ada orang tidak gentar terhadap Hong Sam. Selagi dia
melenggong, tiba-tiba didalam tungku sana seorang berteriak dengan tertawa, "Hahaha,
apakah kau kira aku takut kepada Hong Sam".. Sungguh lelucon besar jika kutakut padanya.."
Suara tertawa itu kecil melengking, serupa suara Thian cia sing, bila didengarnya sepintas lalu
rasanya mirip gema suara Thian cia sing.
Keruan Lui ji sangat terkejut, sebab diketahuinya orang yang bersuara itu pasti bukan Ji Pwe
giok, lalu siapa" padahal di dalam tungku sana jelas-jelas cuma tinggal Pwe giok seorang saja.
Tampaknya Thian cia cing juga terkejut demi mendengar suara tertawa tadi, ia berkata pula,
"Jika kau tidak keluar, mengapa kau menirukan cara bicaraku?"
Kembali orang di dalam tungku juga berkata, "Jika kau tidak berani keluar, mengapa kau
menirukan cara bicaraku?"
"Se.... sungguhnya siapa kau?" tanya Thian cia sing, ia tak dapat tertawa lagi, bahkan
suaranya sudah rada serak.
Tiba-tiba orang di dalam tungku juga mengeluarkan suara serak yang sama dan menirukan,
"Se... sungguhnya siapa kau?"
Sampai sekian lamanya Thian cia sing tertegun, mendadak ia tertawa pula dan berseru, "Aku
keparat, jahanam, sontoloyo, selain menirukan orang bicara, kepandaian lain sama sekali tidak
punya." Kontan orang di tungku meniru pula, Aku keparat, jahanam, sontoloyo, selain menirukan
orang bicara, kepandaian lain sama sekali tidak punya."
Si gendut berseru pula, "Manusia paling tidak tahu malu, paling rendah di dunia ialah Eng
seng diong (si kutu peniru suara) dari Hwe seng kok (lembah gema suara)!"
Orang itu menirukan, "Manusia paling tidak tahu malu, paling rendah di dunia ialah Eng seng
diong (si kutu peniru suara) dari Hwe seng kok (lembah gema suara)!"
27 Apa pun yang dikatakan Thian cia sing selalu ditirukan orang itu, satu kata saja tidak kurang
bahkan suara tiruannya juga persis.
Lui ji merasa heran, kejut dan juga geli, terbayang olehnya apabila dirinya bicara apapun dan
selalu ditirukan orang, maka betapa rasa dongkol dan gemas sungguh sukar dilukiskan.
Dilihatnya Thian cia sing telah mandi keringat, dengan suara serak ia menjerit, "Jika kau
berani menirukan suaraku lagi, segera kubunuh kau!"
Tapi orang itu pun menirukan lagi dengan suara serak, "Jika kau berani menirukan suaraku
lagi, segera kubunuh kau!"
"Kau.. kau.." Thian cia sing jadi gelagapan sendiri, tubuhnya yang menyerupai gumpalan
daging raksasa itu mendadak melejit ke udara, seperti angin puyuh saja ia terus menyusup ke
dalam kereta raksasa tadi.
Menyusul kereta itu lantas dilarikan dengan cepat, belasan lelaki telanjang dada itupun berlari
kesana dengan menggotong tempat tidur itu, begitu cepat seolah-olah diuber setan.
Lui ji terkesima menyaksikan itu, dari tungku sana juga tiada kumandang suara lagi. Ia
termangu-mangu sejenak, lalu melangkah kembali ke tungku dan memanggil dengan suara
perlahan, 'Sicek, adakah kau berada di dalam?"
Namun tiada jawaban. Pwe giok seperti sudah pergi dari situ.
Keruan Lui ji kaget, cepat ia memburu kesana dan melongok ke depan tungku, dilihatnya Pwe
giok masih berada di situ, dengan mata melotot memandangnya.
Lui ji menghela napas lega, ucapnya dengan tertawa, "Tadi kukira orang lain, kiranya sicek
masih mempunyai kepandaian simpanan, caramu menirukan suaranya telah membuat si
gendut ketakutan dan kabur seperti melihat setan.
Jilid 2________ Tapi Ji Pwe-giok masih saja memandangnya dengan melongo, bahkan mata pun tidak
berkedip. Kembali Lui ji terkejut, serunya, "He, Sicek ken....kenapa kau tidak bicara?" Waktu ia
merabanya, tangan Pwe-giok ternyata kaku seperti kayu.
Tangan Lui ji sendiripun juga dingin saking kagetnya, cepat ia menyusup ke dalam tungku,
dilihatnya sekujur badan Pwe giok sama kaku, mata melotot, jelas Hiat-to tertutuk orang.
Waktu ia pandang ujung belakang tungku, entah sejak kapan di situ sudah tembus satu lubang
ingin terasa meniup masih dari sana, Lui ji mendapat ajaran ilmu Tiam hoat dari Hong-sam
sianseng maka segala kungfu menutuk dari berbagai aliran dan golongan di dunia persilatan
sedikit banyak di pahaminya.
28 Segera ia menepuk Hiat-to Pwe giok yang tertutuk sehingga terbuka lalu bertanya, "Sicek, apa
kah yang terjadi, masa ada orang datang ke sini?"
Pwe-giok termenung sejenak, lalu mengembus napas panjang, ucapnya kemudian, "Betul, ada
orang datang kemari, tapi aku sendiri tidak tahu jelas yang datang ini sesungguhnya manusia
atau setan." Kiranya tadi baru saja Pwe giok bermaksud keluar menyusul Lui ji, tiba-tiba sebuah tangan
terjulur dari belakang tanpa suara dan menutuk Hiat-tonya.
"Tangan itu terjulur melalui lubang ini?" seru Lui ji terkejut.
"Betul." jawab Pwe giok.
"Jadi dia membuat lubang tepat di belakang Sicek, tapi sama sekali Sicek tidak mendengar
suatu suara?" Lui ji menegas pula.
"Ya, apapun tidak kudengar, batu yang khusus digunakan membuat tungku ini memang
sangat kuat dan keras, tapi berada di tangan orang ini telah berubah menjadi empuk seperti
tahu," tutur Pwe giok dengan gegetun.
Membayangkan betapa hebat tenaga orang, Lui ji merasa ngeri juga, tanyanya kemudian,
"Lalu bagaimana?"
"Lalu kurasakan ada seseorang menerobos masuk kesini melalui lubang ini.
"Tapi lubang ini hanya sebesar mangkuk, cara bagaimana dia mampu menerobos masuk?"
"Dengan sendirinya ilmu yang digunakannya adalah Siok-kut-kang."
Siok-kut-kang atau ilmu mengerutkan tulang bukan suatu kungfu yang luar biasa, tapi kalau
taraf Siok kutkangnya sudah mampu membuat tubuhnya mengerut sehingga mampu
menerobos lubang kecil ini, maka ilmu mengerutnya boleh dikatakan luar biasa.
Lui-ji termenung sejenak, katanya kemudian, "Dan kemudian dia lantas menirukan cara
bicara Thian-cia-siang tadi"
Pwe-giok mengiakan. "Bagaimana bentuk orang itu, tentunya Sicek melihatnya?" tanya Lui-ji.
Tapi Pwe-giok menggeleng, jawabnya dengan menyesal, "Tidak, aku tidak melihatnya"
Lui ji terbelalak heran, "Dia berada di sini dan Sicek tidak melihatnya, apakah dia mahir ilmu
menghilang?" "Hakikatnya aku tidak mampu berpaling untuk memandangnya, aku cuma merasakan dia
menerobos masuk lalu merosot keluar lagi dengan cepat."
29 "Menerobos masuk dan memberosot keluar lagi, memangnya dia seekor ikan?" ujar Lui ji
dengan geli. "Bicara sejujurnya, biarpun ikan dalam air juga tidak segesit dia," tutur Pwe-giok dengan
gegetun. "Tubuh orang ini hakekatnya seperti segumpal asap belaka, siapa pun jangan harap
dapat merabanya." Lui-ji berkerut kening, ucapnya, "Dari nada ucapan Thian cia sing tadi, agaknya orang ini
datang dari Hwe-seng-kok, mengapa tidak pernah kudengar nama tempat Hwe-seng-kok. Juga
Sacek tidak pernah bercerita kepadaku. Kalau Thian-cia-sing tidak takut kepada Sacek,
mengapa ketakutan setengah mati terhadap orang ini. Selain itu, tadi Ji Hong-ho telah
memberi isyarat tangan kepada Thian cia sing, apakah tokoh yang dimaksudkan ialah orang
yang suka menirukan bicara orang ini?"


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Air muka Pwe-giok tampak berubah, ia tidak mendengar pertanyaan Lui-ji, tapi bergumam
sendiri, "Hwe seng kok....Hwe seng kok....., Sesungguhnya dimanakah letak Hwe sengkok
ini?" Lui ji tertawa, katanya, "Seumpama ku tahu di mana letak Hwe sengkok itu juga aku tidak
mau kesana, paling baik kalau selama hidupku ini jangan bertemu lagi dengan orang dari Hwe
seng kok itu. Pikir saja, bilamana ada orang siang dan malam selalu mengintil di belakangku,
apapun yang kukatakan selalu ditirukannya, andaikan tidak mati kaku saking gemasnya tentu
juga akan gila." Sungguh ia tidak berani membayangkan lebih jauh, bila teringat di dunia ini ada orang
demikian, seketika itu merinding seperti lehernya di lilit oleh seekor ular.
Pada saat itulah, mendadak di luar sana berkumandang suara orang merintih.
Sambil menggenggam tangan Pwe giok, Lui ji mengintai keluar. Dilihatnya seorang dengan
muka berlumuran darah sedang berdiri sempoyongan di tengah puing sana.
Tampak tubuhnya mengejang, kedua tangan mendekap muka, apa bila bukan cambangbauknya
yang memenuhi wajahnya, mungkin tiada orang yang mengenal lagi.
Diam-diam Lui ji menghela nafas lega, bisiknya kepada Pwe-giok, "Si Hiang brewok, dia
belum lagi mati." Selagi Pwe giok bermaksud keluar untuk memeriksa keadaan Hiang brewok itu, tiba-tiba
dilihatnya sinar mata orang gemeredep sambil celingukan kian kemari, sikapnya sangat
misterius seperti kuatir kepergok orang lain.
Tatkala mana tiada bayangan seorang pun disekitar itu, Li toh tin yang tadinya jaya dan
makmur kini telah berubah menjadi kota kuburan.
Mendadak Hiang brewok tertawa terkekeh-kekeh, padahal hidung dan kupingnya sudah
terpotong, tapi ia masih sanggup tertawa. Hal ini sungguh mengejutkan.
30 Mendingan kalau dia tidak tertawa, lantaran tertawa, maka lukanya pecah lagi, darah mengalir
pula, namun sedikitpun dia tidak merasakan sakit, dia merasa terus tertawa tiada hentinya.
Suara tertawanya kedengaran seram, tampangnya lebih mirip setan.
Tambah kencang Lui ji menggenggam tangan Pwe-giok.
Terdengar si brewok lagi terkekeh-kekeh pula dan berseru, "Ji Hong-ho, wahai Ji Hong-ho,
biarpun kau lebih lihay dari pada siapapun juga, tapi kau tetap sia-sia belaka dan yang makan
nangkanya adalah aku si brewok." Sembari bicara ia terus melompat ke dalam kubangan.
Lui ji terkejut dan bergirang, katanya dengan suara tertahan, "He, kiranya barang itu sudah
ditemukan olehnya, cuma dia menyadari, sekalipun barang itu diserahkan juga jiwanya tetap
akan amblas, maka diam-diam ia menyembunyikan barang temuannya. Di dalam kubangan
itu tentu penuh batu dan tanah liat, asalkan ditanam begitu saja pasti tidak terlihat orang."
Mata Pwe giok juga terbeliak. Didengarnya suara tertawa latah si berewok berkumandang dari
kubangan sana. Cepat Pwe giok dan Lui ji menerobos keluar dari tempat sembunyinya dan
merunduk ke tepi kubangan.
Tampak seperti anak kecil saja si berewok berduduk di dalam kubangan yang penuh lumpur
itu, tubuhnya basah kuyup, kedua tangannya merangkul erat-erat sebuah peti besi kecil dan
sedang berteriak gembira tertawa, "Ini milikku, ini punyaku, kini tibalah saatnya si berewok
melintang di dunia ini....."
"Hmm, tidaklah terlalu cepat kau bergirang"!" jengek Lui-ji mendadak.
Serentak Hiang berewok melompat bangun seperti kerbau gila, tapi ketika diketahuinya yang
berdiri di atas adalah pemuda yang pernah mengalahkan Lo-cinjin itu, seketika ia menjadi
lemas dan lesu, peti besi itu dirangkulnya semakin erat, serunya dengan suara gemetar,
"Ka.....kalian mau apa?"
"Kamipun tidak mau apa-apa," kata Lui-ji "hanya ingin meminta kembali peti itu."
Dengan kelabakan si berewok berusaha menyembunyikan peti ke belakang, lalu menjawab
dengan terkekeh "Peti apa maksudmu" Mana ada peti."
Melihat kelakuan orang, Lui-ji merasa geli dan juga kasihan, ia menggeleng, katanya dengan
menyesal, "Tidak ada gunanya biarpun kau sembunyikan juga tiada gunanya."
Kembali si berewok melonjak dan meraung gusar, "Sekalipun peti ini berada padaku, lalu
mau apa" Peti ini milikku, kudapatkan dengan imbalan sebuah hidung dan kedua kupingku.
Barang siapa ingin merampasnya dariku harus penggal dulu kepalaku."
"Apakah kau ingin kepalamu dipenggal" Itukan bukan pekerjaan sulit!" kata Lui ji dengan
tertawa. Si berewok memandangnya dengan mata mendelik, teriaknya dengan suara parau,
"Kau...kau....." mendadak tubuhnya mengejang pula, belum lanjut ucapannya lantas roboh
terkulai. 31 Lui ji melompat turun dan memeriksa napasnya, katanya kemudian sambil menggeleng,
"Sudah mati, orang ini sudah mati, sungguh tak disangka di dunia ini ada orang yang mati
gemas begini. "Jika seorang lagi kegirangan, lalu mendadak lenyaplah segala harapan, ku kira siapa pun
takkan tahan oleh pukulan berat ini, apalagi lukanya memang cukup parah," ujar Pwe giok
dengan menyesal. "Inikan tidak dapat menyalahkan aku," kata Lui-ji. "Betapapun barang ini kan tidak dapat
kuberikan kepadanya."
"Betul, bukan salahmu, tapi dia yang terlalu tamak," ucap Pwe giok.
Meski sudah mati, tapi kedua tangan Hiang berewok masih tetap memeluk peti besi itu
sekuatnya, untuk melepaskannya Lui-ji memerlukan mencongkelnya dengan cangkul.
"Ingin ku lihat sesungguhnya apa isi peti ini, mengapa orang-orang rela mati demi
mendapatkannya," gumam anak dara itu.
***** Isi peti itu ternyata bukan sesuatu benda mestika segala melainkan cuma sepotong belahan
bambu dan satu buku jurnal, yaitu buku yang biasa terdapat pada dagang.
Belahan bambu hanya sepotong sebesar telapak tangan, diatasnya terukir sebuah karung,
ukirannya sangat jelek, dipandang dari sudut manapun juga tiada dapat tanda berharga
sepotong bambu ini. Buku jurnal itupun buku dagang yang sangat umum, sama seperti buku jurnal yang biasa
digunakan catatan sesuatu perusahaan dagang, malahan buku ini masih polos, tiada satu huruf
apapun. Pwe giok dan Lui-ji sama melongo, sungguh tak pernah terpikir oleh mereka bahwa barang
yang diperebutkan orang dengan mati-matian ini tidak lebih cuma dua macam benda yang tak
berharga sama sekali. Sejenak Lui-ji termenung, katanya kemudian, "Untuk dua macam benda ini Ji Hong-ho tidak
sayang membakar sebuah kota, bahkan tidak sedikit orang yang rela mengorbankan jiwanya,
huh, persetan benar!"
Segera ia buang dua macam barang itu ke tanah, bahkan hendak disepaknya dengan kaki.
Tapi Pwe giok keburu mencegahnya, dipungutnya kedua benda itu, katanya, "Apapun juga
kedua barang ini diperoleh secara tidak mudah, boleh kau simpan saja sebagai tanda kenangkenangan."
"Mengenang siapa" Mengenangkan si berewok ini?" tukas Lui-ji dengan tertawa getir, "Tahu
begini, biarkan saja peti ini dibawa pergi oleh dia."
32 "Menurut pendapatku, ibumu pasti takkan menyembunyikan dua macam benda yang tak
berharga secara prihatin dengan rahasia begini, bisa jadi nilai benda ini sekarang belum kita
ketahui." "Tapi kalau cuma satu buku catatan yang kosong begini, berapa harganya?"
Terpaksa Pwe giok hanya menyengir saja, sebab ia sendiri tidak dapat menjawabnya.
Dengan tertawa Lui-ji berkata pula, "Bila Sicek merasa sayang untuk membuangnya, bolehlah
kau simpan saja buat dirimu sendiri, Aku tidak ingin menyimpan satu buku rongsokan begitu,
untuk apa anak perempuan menyimpan barang demikian, kan terlalu tolol?"
"Tapi dipandang bagaimana pun kau tidak mirip seorang tolol," ujar Pwe giok dengan
tertawa. Ia benar-benar menyimpan barang tak berharga itu ke dalam bajunya. Lalu mayat
yang bergelimpangan di situ diceburkannya ke dalam kubangan dan diuruk dengan tanah
galian tadi. Lui ji menghela nafas, ucapnya dengan tersenyum, "Hati Sicek memang sangat baik, entah
anak perempuan mana yang beruntung akan menjadi isteri Sicek."
Pwe-giok ingin tertawa, tapi tak dapat, sebab lantas teringat olehnya akan Lim Tay-ih,
teringat juga kepada Kim-yan-cu. Tanpa terasa ia menghela nafas panjang, ucapnya dengan
rawan, "Kukira siapa pun juga sebaiknya jangan berkumpul bersamaku, sebab baginya hanya
akan mengalami kesialan belaka."
Lui-ji berkedip-kedip, tanyanya kemudian, "Dengan ucapanmu ini apakah Sicek hendak
menyatakan takkan membawa serta diriku."
Tanpa menunggu jawaban Pwe giok, dengan menunduk ia berkata lagi, "Meski aku sudah
sebatangkara dan tiada tempat tujuan, tapi kalau Sicek merasa keberatan membawa serta
diriku, tentu aku pun tidak berani memaksa kehendak Sicek."
Pwe giok menepuk bahu anak dara itu, katanya dengan tertawa, "Ai, nona cilik jangan
berpikir yang bukan-bukan. Umpama betul Sicek tidak ingin membawa serta dirimu, setelah
mendengar ucapanmu ini, mau tak mau Sicek harus berubah pikiran."
Maka tertawalah Lui-ji sambil menengadah, katanya, "Jika demikian, sekarang kita akan pergi
ke mana" Padahal Pwe-giok sendiri tidak tahu harus pergi kemana, sebab ia sendiripun tidak
mempunyai rumah lagi. Setelah berpikir sejenak barulah ia berkata seperti bergumam sendiri, "Entah orang Tong-kehceng
sekarang sudah mengetahui lenyapnya Tong Bu-siang atau tidak, dan entah Kim-yan-cu
sekarang apakah masih berada di sana?"
"Apakah Sicek bermaksud pergi ke Tong Keh ceng?" tanya Lui-ji.
"Ya, boleh juga ke sana," kata Pwe giok.
33 "Bagus sekali," Lui-ji berkeplok senang, "memang sudah lama ku dengar Toh-keh-ceng
adalah tempat yang menarik."
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara ribut orang banyak dari kejauhan sana,
terdengar pula suara tangis anak kecil dan orang perempuan. Agaknya Ji Hong-ho sudah
melepas pulang penduduk Li-toh-tin ini.
Cepat Lui-ji menarik tangan Pwe-giok dan diajak berlari pergi dengan jalan memutar.
Setiba di luar kota, hawa terasa nyaman dan segar, tiada berbau anyirnya darah dan
hangusnya puing, hanya suara tangisan penduduk Li-toh-tin sayup-sayup masih terdengar.
"Sicek," tiba-tiba Lui-ji bertanya, "kau kira Ji Hong-ho benar-benar akan mengganti rugi
kepada penduduk Li-toh-tin atau tidak?"
"Orang ini sedang berusaha mencari nama dan menegakkan wibawa, sudah tentu dia tidak
mau kehilangan kepercayaan para pendukungnya," kata Pwe-giok.
"Akan tetapi penderitaan batin mereka apakah dapat diberi ganti rugi?" ujar Lui-ji. "Seseorang
kalau rumahnya sudah terbakar, biarpun diberi ganti sebuah rumah baru juga rasa derita itu
sukar dihilangkan." "Tapi luka betapa dalamnya tentu akan sembuh, betapa berat penderitaan seseorang, lamalama
tentu juga akan terlupakan, hanya kenangan yang menggembirakan saja yang tetap
hidup abadi, lantaran inilah maka manusia dapat hidup terus."
"Betul juga, seorang kalau tidak dapat melupakan penderitaan di masa lampau, tentu hidupnya
tidak ada artinya lagi."
Sementara itu sang surya sudah terbit, tetumbuhan di musim rontok sudah mulai layu, namun
padi di sawah sepanjang tepi jalan justeru menguning dengan suburnya, bumi raya ini penuh
diliputi gairah hidup. Memang, bau harum bunga apa di dunia ini yang bisa lebih harum daripada padi yang
menguning di sawah" Lui ji menarik nafas dalam-dalam, katanya dengan tertawa, "Apa pun juga aku masih tetap
hidup dan akan tetap hidup, aku masih muda, dunia seluas ini, kemanapun aku dapat pergi,
apa yang mesti ku resahkan?"
Dia pentang kedua tangannya dan berlari ke depan menyongsong semilir angin sejuk.
Melihat senyum si nona yang cerah, hati Pwe giok tanpa terasa ikut lapang. Pada saat itulah
tiba-tiba dari tengah sawah sana berkumandang suara orang, merintih seorang mengeluh
dengan terputus-putus, "Ai, orang muda tidak....tidak seharusnya putus asa hanya nenek
semacam...semacam diriku saja....."
Cara bicaranya seperti sangat susah payah, sampai di sini ia terus terbatuk-batuk dengan keras
sehingga tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
34 Mendengar suara itu, Pwe giok dan Lui-ji terkejut. Cepat Lui-ji berlari balk dan memegang
tangan Pwe-giok, lalu melotot ke arah suara di tengah sawah tadi sambil menegur, "Apakah
kau Oh-lolo?" Orang itu memang benar Oh-lolo, dia terbatuk-batuk lagi sejenak, habis itu baru - menjawab
dengan napas megap-megap, "Betul memang diriku O, siauya dan siocia yang berhati baik,
sudilah memberi semangkuk air bagi nenek yang sudah sekarat ini" Berjalan saja aku tidak
sanggup lagi. Lui-ji mengerling, tiba-tiba ia terbawa dan berseru, "Hah, kau rase tua ini. kau kira kami dapat
kau tipu?" "O, nona yang baik, sekali ini sungguh-sungguh kumohon.....kumohon dengan sangat," Pinta
Oh-lolo dengan suara gemetar. "Mulutku hampir pecah saking...saking keringnya, ai, terlalu
panas sinar matahari ini."
Segera Lui ji menarik tangan Pwe giok, katanya , "Sicek marilah kita pergi, jangan gubris
nenek setan ini, barang siapa menghiraukan dia tentu akan celaka sendiri."
Mendadak Oh-lolo menongol dari balik padi yang menguning itu lantas dengan wajahnya
yang berlepotan darah, tapi segera ia roboh lagi sambil berseru dengan suara parau, "Jikongcu,
ku tahu engkau orang yang baik hati kumohon sudilah kau beri sedikit air padaku,
matipun aku akan berterima kasih padamu."
Tanpa bicara Pwe giok melepaskan tangan Lui-ji, lalu berlari pergi. Lui-ji menghela napas,
ucapnya, "Dengarkan, nenek celaka, Sicek sudah pergi mengambil air bagimu, sebab dia
memang orang yang baik hati. Tapi kalau kau berdusta padanya, tentu akan kupotong lidahmu
supaya selanjutnya kau tak bisa membohongi orang lagi."
Sembari bicara ia terus melompat ke tengah sawah. Maka terlihatlah Oh-lolo meringkuk di
semak menjadi seperti seekor anjing yang terluka, tubuhnya penuh lumpur, bibirnya memang
tampak kering hingga pecah. Melihat Lui-ji, nenek itu seperti mau tersenyum, tapi baru saja
bibirnya bergerak, seketika ia meringis kesakitan, sambil mendekap kepalanya ia terbatukbatuk
lagi sekian lamanya. lalu berkata dengan suara gemetar, "Nona yang baik, tidakkah kau
lihat nenek sudah hampir mati" Untuk apa ku tipu orang lagi?"
Lui-ji tidak mengira nenek celaka ini akan berubah menjadi begini, ia melongo sejenak,
katanya kemudian sambil menggeleng, "bilamana kau tau akan berakhir dengan begini,
mungkin kau takkan menipu orang."
"Ini memang akibat perbuatanku sendiri, aku pun tidak menyesali orang lain," ucap Oh-lolo
dengan pedih. "Tapi kalau bukan usiaku sudah lanjut, biarpun terluka lebih parah juga takkan
berubah sepayah ini."
Lui-ji tahu keadaan nenek ini bukan cuma akibat luka luar saja, yang gawat adalah karena
hampir sebagian besar tenaga dalamnya telah disedot oleh Hong-sam-sianseng, karena
kehilangan tenaga terlalu banyak, ditambah lagi sekarang banyak mengeluarkan darah,
biarpun usia jauh lebih muda juga tak tahan.
35 Padahal usianya sudah selanjut ini, tampaknya tiada seorang sanak-kadang, apa bila dia mati
di sini mungkin mayatpun tidak terkubur. Tanpa terasa Lui-ji menjadi rada kasihan padanya.
Sampai sekian lama Pwe-giok belum lagi kembali, Lui-ji menjadi kuatir, barulah ia melongok
ke arah sana sambil menggerundel, "Tentu banyak juga orang lain yang berlalu di sini,
seumpama kau hampir mati kehausan, kenapa tidak kau minta bantuan orang lain, tapi justeru
kami yang kau temukan?"
"Hal ini bisa jadi lantaran nenek terlalu berbuat dosa sehingga terhadap siapapun tidak
percaya lagi," kata Oh-lolo dengan gegetun.
"Jika demikian, kenapa kau percaya pada Sicekku?" tanya Lui-ji.
"Di dunia ini memang ada semacam lelaki yang dapat dipercaya oleh setiap perempuan yang
baru sekali melihatnya," ucap Oh lolo. "Dan dia adalah lelaki yang demikian ini. Biarpun
nenek sudah ompong tapi kan masih tetap perempuan"!"
Luiji tertawa cerah, katanya, "Apapun juga pandanganmu dalam hal ini tampaknya memang
tidak salah." Oh-lolo terengah-engah sejenak, tiba-tiba ia berkata pula, "Dan mengapa kau panggil dia
Sicek" Padahal usianya kan selisih tidak banyak dengan kau?"
Lui-ji tidak menjawab, ia potol sebatang padi dan dibuat mainan.
Oh-lolo meliriknya sekejap, lalu berkata pula. "Jika aku seusia kau dan ketemu lelaki
semacam dia, pasti takkan kulepaskan dia, dengan cara apapun juga akan ku jadi istrinya dan
tidak nanti ku panggil dia Sicek."
"Apakah kau merasa aku sudah boleh menjadi isteri orang?" Lui-ji tertawa pula.
"Kenapa tidak?" jawab Oh-lolo. "Ada orang seusia mu ini malahan sudah menjadi ibu."
Lui-ji menunduk termangu-mangu memandangi padi yang dipegangnya. Sang surya
menyinari wajahnya. gemerdep sinar matanya, mukanya yang kemerah-merahan juga
mencorong, tampaknya dia bukan lagi seorang dara.
Anak yang tumbuh ditengah penderitaan sering kali memang jauh lebih cepat dewasa
daripada anak lain. Tiba-tiba Lui-ji merasa nenek reyot ini tidak terlalu menjemukan lagi. Dia tidak melihat
bahwa demi mengucapkan kata-kata tadi, bukan saja mulut Oh-lolo yang kering semakin
kering. Darahpun mengucur dari lukanya. Nenek yang sudah tua bangka ini sudah tentu tahu
kata-kata apa yang paling di suka oleh nona cilik yang baru mulai akil baligh, yaitu bilamana
orang bilang dia sudah dewasa, hal ini akan membuatnya sangat senang.
Tapi sebab apakah nenek yang keji ini berusaha membikin senang hati Lui-ji"
***** 36 Akhirnya Ji Pwe-giok muncul kembali dengan membawa sebuah bumbung bambu yang
penuh berisi air. Dahinya kelihatan berkeringat, nyata air ini diperolehnya secara tidak mudah.
Oh-lolo tampak kegirangan, katanya," Terima kasih, terima kasih, sejak mula nenek memang
sudah tahu engkau ini seorang yang berhati mulia."
Pwe-giok tidak berucap apapun, ia hanya menaruh bumbung berisi air itu di depannya. OHlolo
meronta bangun dan bermaksud memegangnya, tapi tangannya tampak gemetar sehingga
tidak kuat mengangkatnya.
"Hati-hati bilamana air itu tumpah, tiada orang yang mau mengambilkan lagi bagimu," kata


Imbauan Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lui-ji. "Ku tahu.....ku tahu....." kata Oh-lolo dengan menggeh-menggeh.
Belum habis ucapannya, mendadak bumbung itu jatuh dari pegangannya. Untung Lui-ji cukup
cekatan dan sempat meraihnya, kalau tidak air di dalam bumbung pasti tumpah.
"Sudah kukatakan supaya hati-hati, apakah tidak kau dengar?" omel Lui-ji.
"Ai, sungguh tidak tersangka nenek akan berubah setidak becus begini," ucap Oh lolo dengan
suara gemetar, Tampaknya aku memang sudah... sudah akan masuk liang kubur...." bicara
punya bicara, bisa juga dia mengucurkan air mata.
Lui-ji menggeleng dan menghela nafas, ia berjongkok dan menyodorkan ujung bambu ke
mulut Oh-lolo. Seketika sosok itu memegang bumbung seperti bayi yang menetek, air itu
terus diminumnya dengan bernapsu.
Melihat kelakuan orang, Lui-ji tertawa geli dan berketa, "Sicek, coba kau lihat...." belum
habis ucapannya mendadak ia urung tertawa dan melompat mundur, sisa air di dalam
bumbung tertumpah diatas badah Oh-lolo.
"He, kenapa kau?" seru Pwe giok terkejut.
Merah padam air muka Lui-ji saking gemasnya, teriaknya sambil mengentak-entakkan
kakinya, "Tua...tua bangka ini sungguh bukan manusia!"
Sejak mula Pwe giok sudah kuatir kalau Oh-lolo akan main gila, maka senantiasa ia
mengawasi gerak-geriknya. Tapi nenek itu tidak kelihatan berbuat sesuatu, maka Pwe giok
tidak jadi heran dan kejut, bentaknya dengan gusar," Kau main gila apa lagi?"
Oh-lolo dengan lagak seperti menyesal, "Ai, barangkali kuku nenek terlalu panjang tanpa
sengaja telah melukai tangan nona Cu."
Cepat Pwe giok melompat maju dan memeriksa tangan Lui-ji, dilihatnya punggung tangan
anak dara yang putih bersih itu betul ada bekas goresan kuku.
"Kukunya beracun?" tanya Pwe giok dengan kuatir.
"Ehm," Lui-ji mengangguk.
37 "Apakah berbahaya?" tanya Pwe giok pula.
"Kalau kumakan racun ini tentu tidak menjadi soal," tutur Lui-ji. "Tapi sekarang dia melukai
kulit dagingku, racun merembes masuk melalui darah, mungkin....mungkin......"
Pwe giok mengembus napas panjang-panjang ia berpaling menghadapi Oh-lolo dan bertanya
sekata demi sekata, "Sesungguhnya apa kehendakmu?"
Dengan suara gemetar Oh-lolo menjawab, "Sungguh nenek tidak......tidak sengaja, nenek
memang pantas mampus, sungguh aku berdosa kepada kalian, boleh....boleh Kongcu
bunuh....bunuh saja diriku."
"Kau tahu tidak nanti ku bunuh kau." kata Pwe-giok.
Mendadak Oh-lolo tertawa terkekeh-kekeh, nada bicaranya seketika berubah, katanya,
"Dengan sendirinya ku tahu kau tidak berani membunuhku. Toh sebelah kaki nenek sudah
melangkah ke liang kubur, sedangkan hari depan nona cilik ini masih panjang, jika jiwanya
digunakan menukar jiwaku tentu saja tidak klop."
"Cara bagaimana baru kau akan menyerahkan obat penawarnya?" tanya Pwe giok.
"Inilah satu-satunya jalan keselamatan bagi nenek, mana bisa ku simpan obat penawar dalam
bajuku," tutur Oh-lolo dengan adem-ayem. "Jika dalam 72 jam tidak diberi obat penawar,
jiwa si nona cilik yang berharga ini akan amblas."
"Dimana kau simpan obat penawarnya?" tanya Pwe giok sambil mengusap keringat di
jidatnya. "Bila kau menuruti setiap perkataan nenek, dengan sendirinya akan kuberikan obat
penawarnya," ujar Oh-lolo dengan tertawa.
Mendadak Lui-ji berteriak. "Sicek, jangan mau diperas oleh tua bangka ini, ku....." mendadak
ia melolos sebilah pisau kecil dari pinggangnya terus menebas ke pergelangan tangan sendiri.
Cepat Pwe-giok memegang tangan si nona, serunya kaget, "He, apa yang hendak kau
lakukan?" "Mumpung racun belum menjalar ke atas, biarlah ku kutungi tanganku ini dan aku pun takkan
mati," kata Lui-ji. "Ai, anak bodoh," kata Pwe giok. "Jika dia sudah mau memberikan obat penawarnya, buat
apa....buat apa kau...."
Bahwa anak perempuan sekecil ini ternyata biasa berpikir secepat dan berbuat tegas dan
nekat, sungguh hal ini sangat mengharukan hatinya, seketika kerongkongannya seperti
tersumbat dan tidak sanggup bicara lagi.
38 Lui-ji lantas mengucurkan air mata, ucapnya dengan menunduk, "Seumpama dia mau
memberikan obat penawarnya, tapi aku tidak sampai hati membiarkan Sicek di bawah
ancamannya. Biarpun tanganku buntung kan tidak jadi soal?"
Pwe-giok menoleh ke arah lain, katanya dengan tertawa, "Demi membela Sicek kau tidak
sayang membuntungi tangan sendiri, sekalipun Sicek mengalami sedikit kesusahan bagimu
kan juga tidak apa-apa?"
Mendadak Oh-lolo berkeplok dan terkekeh-kekeh, "Hehe, sungguh yang perempuan setia dan
yang lelaki mulia. Tampaknya San-pek dan Eng-tay paling-paling juga cuma begini saja. Ai,
sudah berpuluh tahun nenek tidak pernah lagi menyaksikan adegan mesra yang menarik ini."
Muka Lui-ji menjadi merah, dampratnya sambil menghentakkan kaki, "Kau...kau tidak boleh
sembarangan mencerca Sicek."
"Hahahaha, meski di mulut kau maki diriku, tapi di dalam hati tentu kau sangat senang," seru
Oh-lolo sambil bergelak. "Kalau tadi nenek tidak bilang kalian adalah pasangan yang setimpal
sehingga kau lupa daratan, mana kau setan cilik ini dapat ku tipu."
"Sicek, jangan kau percaya ocehannya," seru Lui-ji sambil menangis dan mendekap dalam
rangkulan Pwe-giok. Pwe-giok berdehem, tanyanya dengan menarik muka, "Sesungguhnya dimana kau simpan
obat penawarnya?" "Nenek kan juga punya rumah," jawab Oh-lolo. "Jika dalam waktu tiga hari tiga malam kau
sanggup mengantar pulang nenek, tentu jiwa anak dara ini dapat diselamatkan."
"Dimana letak rumahmu?" tanya Pwe-giok.
"Pendek kata, lekas kau sewa sebuah kereta kuda dan lekas kita berangkat menuju ke timur
siang dan malam tanpa berhenti, dengan demikian mungkin masih keburu. Setiba di tempat
tujuan tentu akan kuberitahukan padamu."
***** Sesudah berada di dalam kereta yang disediakan, Oh-lolo serupa orang sekarat lagi, matanya
terpejam dan napasnya megap-megap, mulut pun tampak berbusa.
Lui-ji melototinya dengan gemas, katanya, "Rupanya kau sengaja sembunyi di tengah sawah
untuk menjebak kami."
"Sebenarnya tiada maksudku yang demikian." jawab Oh-lolo dengan tertawa, "Tapi kalau ada
daging disodorkan ke mulut, masa nenek tidak mencaploknya?"
Lui-ji melototinya sejenak pula, akhirnya ia tertawa dan berkata, "Karena perlakuanmu
kepadaku ini, pada suatu hari akhirnya kau pasti akan menyesal."
Bilamana dia bicara dengan garang terhadap orang macam Oh-lolo ini, mungkin takkan
berguna sama sekali, sebab ucapan kasar demikian sudah terlalu biasa bagi Oh-lolo, sudah
39 bosan didengarnya dari setiap korbannya. Akan tetapi sekarang Lui-ji berucap dengan tertawa
manis, hal ini berbalik menimbulkan rasa ngeri bagi Oh-lolo, terpaksa ia menjawab.
"Sesungguhnya tidak pantas kau dendam padaku, tapi harus berterima kasih padaku."
"Berterima kasih padamu?" Lui-ji menegas.
"Ya, jika tiada perbuatanku ini, darimana kau tahu dia sedemikian memperhatikan dirimu?"
ujar Oh-lolo dengan tertawa sambil melirik Pwe-giok.
Pwe-giok lantas terbatuk-batuk lagi, tiba-tiba ia menyela, "Apakah kau dan Ji.....Ji Hong-ho
itu memang benar ada permusuhan.?"
Oh-lolo tidak menjawabnya, ia terbelalak, lalu balas bertanya. "Kau sendiri juga she Ji,
logatmu juga seperti orang Kangsoh atau Ciatkang, apakah antara kau dengan dia ada
hubungannya?" Pedih hati Pwe giok, serunya, "Mana aku bisa mempunyai hubungan dengan dia?"
"Jika demikian bolehlah kuberitahukan padamu, bila Ji Hong-ho ini bukan seorang pelupa,
tentu dia telah berganti orang, bisa jadi Ji Hong-ho yang sekarang ini adalah palsu."
Darah sekujur badan Pwe-giok serasa bergolak. Justeru kata-kata inilah yang setiap saat ingin
diteriakkannya tanpa menghiraukan apa akibatnya. Tak tersangka sekarang kata-kata tersebut
tercetus dari mulut Oh-lolo. Dia mengepal kedua tangannya dengan kencang sehingga kuku
menyocok telapak tangan sendiri, sekuatnya ia menahan emosinya yang bergolak. Katanya
kemudian dengan hambar, "Masa dia memalsu" Mana keteranganmu ini bisa dipercaya?"
"Aku pun tahu ucapanku ini takkan dipercaya orang," ujar Oh-lolo. Tapi apa yang kukatakan
ini adalah sungguh-sungguh, bukan bualan."
"Oo" Apa betul?" Pwe-giok menegas.
"20 tahun yang lalu aku benar-benar pernah bertemu satu kali dengan Ji Hong-ho, tapi dia
tidak berbuat sesuatu yang tidak baik padaku, sebaliknya dia malah telah menyelamatkan
jiwaku." "Menyela...menyelamatkan jiwamu?"
"Ya, waktu dia menolong aku mungkin dia tidak tahu siapa diriku. Tapi ketika diketahuinya
aku inilah Oh-lolo, tampaknya dia juga tidak menyesal, dia cuma menasehati aku agar
selanjutnya jangan berbuat jahat kepada orang lain," si nenek menggeleng dan menghela
nafas gegetun, sambungnya pula, "Orang baik seperti dia sekarang sudah sangat jarang, apa
bila dia mengungkit kejadian dahulu, betapapun busuk hatiku juga takkan berbuat sesuatu
yang tidak baik kepadanya. Siapa sangka dia seperti sama sekali tidak tahu apa yang pernah
terjadi, sebaliknya malah mengira ada sesuatu permusuhan dengan nenek. Coba pikir,
bukankah sangat aneh?"
Lui ji berkedip-kedip, katanya kemudian, "Jika betul Ji Hong-ho ini palsu. Wah, tentu akan
sangat menarik." 40 Sembari bicara diam-diam ia melirik Ji Pwe giok. Tapi Pwe-giok tidak memperlihatkan
sesuatu perasaan apa pun.
Kembali Lui-ji mengerling, katanya pula. "Jika kau tahu rahasia ini, kenapa tidak kau bongkar
saja?" Oh-lolo menghela nafas, katanya "Jangan kau kira Ji Hong-ho ini orang yang mudah
dihadapi, biarpun dia barang palsu, tapi menurut pandanganku, kungfunya mungkin jauh lebih
lihay dari pada Ji Hong-ho yang tulen."
"Akan tetapi selama ini dia tidak pernah memperlihatkan kungfunya," kata Lui-ji.
"Justeru lantaran dia tidak pernah turun tangan, makanya menakutkan," ujar Oh-lolo.
"sekalipun dalam keadaan tidak kurang sesuatu apa pun nenek juga tidak berani bergebrak
dengan dia." "Masa kungfunya bisa lebih tinggi daripada kalian yang tergolong kesepuluh tokoh top?"
tanya Lui-ji dengan tertawa.
"Tentunya kau tahu, setiap orang Kangouw akan merasa takut bila berhadapan dengan para
pemimpin aliran dan golongan ternama betul tidak?"
"Ya," jawab Lui-ji.
"Dan para pemimpin berbagai golongan dan aliran besar itu pun takut bila bertemu dengan
kesepuluh tua bangka macam kami ini, begitu bukan?"
"Ya, seumpama tidak takut juga akan merasa pusing," ujar Lui-ji dengan tertawa.
"Akan tetapi kesepuluh tokoh seperti kami ini sesungguhnya tidak selihai sebagaimana
dibayangkan orang," tutur Oh-lolo dengan gegetun. "Hal ini cocok benar dengan pepatah
yang mengatakan di luar langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang lebih pandai.
Justeru nenek tidak pernah meremehkan siapa pun juga, makanya aku dapat hidup sampai
sekarang." "Bilamana Ji Hong ho itu benar orang kosen mengapa dia sudi bertekuk lutut dan minta
bantuan Lo-cinjin?" ujar Lui-ji.
"Mungkin lantaran dia tidak berani memperlihatkan asal-usulnya, kuatir orang lain akan
mengenali gaya ilmu silatnya," ujar Oh-lolo. "Orang yagn berambisi besar seperti dia ini,
kalau mengalami sedikit penasaran tentu tidak menjadi soal."
"Pantas dia cuma memberi isyarat tangan kepada si gendut itu, lalu si gendut yang maha lihai
itu lantas melepaskan dia begitu saja," kata Lui-ji.
Mendadak Oh-lolo merasa tegang, tanyanya, "isyarat tangan apa yang diberikannya?"
"Sayang aku pun tidak melihatnya," jawab Lui ji sambil menggeleng.
41 Oh-lolo termenung sejenak, gumamnya kemudian. "Jangan-jangan karena pergantian hawa
udara akhir-akhir itu, maka kawanan makhluk tua yang sudah lama mengeram di sarangnya
itu juga ingin mencari udara segar. Tampaknya hari-hari selanjutnya akan lebih sulit
dilewatkan, apa bila sekali ini nenek tidak jadi mati, selanjutnya akan lebih baik menikmati
sisa kehidupan tenteram di hari tua di rumah saja,..." lalu ia memejamkan mata dan tidak
bicara lagi. Udara cerah di luar. Hawa yang sejuk membuat orang mengantuk. Orang berlalu lalang sangat
sedikit, juga tidak terdengar suara lain kecuali suara cambuk sais kereta yang menggeletar
serta suara detak kaki kuda diselingi suara roda kereta.
Lui ji memandangi cambuk yang berulang-ulang menerbitkan suara nyaring itu, lalu
memandang kaki kuda yagn dilarikan secepat terbang itu pandang punya pandang, akhirnya
air muka Lui-ji mendadak berubah.
Teringat olehnya Li-toh-tin sudah menjadi timbunan puing, biasanya juga tiada terdapat
kendaraan apapun, sekarang darimanakah mendadak Pwe-giok bisa mendapatkan kereta besar
dan mewah ini, sampai jok di dalam kabin kereta ini pun terbuat dari alas yang empuk dilapisi
kain satin. Kereta semewah ini, andaikan di kota besar juga cuma dimiliki oleh keluarga hartawan atau
orang berpangkat saja, mana bisa kereta ini mengompreng di suatu kota kecil yang sekarang
malah sudah berwujud puing belaka"
Cepat Lui-ji menggoyang tubuh Pwe giok dan berbisik padanya, "He, Sicek, darimana kau
dapatkan kereta ini?"
Dia mengira Pwe giok juga pura-pura tidur tak tersangka Pwe giok benar-benar tertidur
dengan lelapnya, sampai lama ia menggoyangi bahunya barulah Pwe giok membuka mata dan
masih kelihatan rasa mengantuknya.
Lui ji menjadi gelisah, ia menggoyang bahu Pwe giok dengan lebih keras dan bertanya,
"Bangun dulu, Sicek. Coba lihatlah, kereta ini pasti tidak beres!"
"Tidak beres bagaimana?" tanya Pwe giok.
Ia seperti berusaha membuka matanya, tapi kelopak matanya terasa sangat berat, baru selarik
terpentang segera terpejam lagi. Apa yang diucapkan juga tidak begitu jelas.
Waktu Lui-ji pandang Oh-lolo, nenek ini pun tertidur, bahkan terdengar suara
mendengkurnya. Sekujur badan Lui-ji terasa dingin ia mendorong daun jendela dan berseru keluar, "He, toako
pengemudi kereta, aku tidak enak badan, ingin muntah, maukah kau hentikan keretamu
sebentar?" Kusir kereta itu menoleh dan tertawa, jawabnya, "Tidur saja, tentu akan terasa segar lagi."
Maka si kusir memang hitam kemerah-merahan, karena tertawa, kulit yang kemerah-merahan
itu di bagian ujung mirip disayat oleh pisau. Habis itu kulit yang kelihatan sehat itu mendadak
42 pula terkelupas sepotong demi sepotong sehingga kelihatan wajahnya yang pucat seperti
mayat. Keruan Lui-ji terkejut, sekuat ia mendorong pintu kereta, akan tetapi tangannya terasa lemas,
pintu kereta dirasakan seperti terbuat dari pelat besi dan sukar dibuka. Kusir itu terkekehkekeh,
lalu berpaling ke depan lagi dan melarikan keretanya terlebih cepat.
"He, sesungguhnya kalian dari golongan mana dan bermaksud mengapakan kami?" seru Luiji.
Tapi si kusir tidak menggubrisnya lagi, cambuknya berbunyi lebih keras, kuda juga berlari
lebih cepat. Kini Lui-ji sendiri pun merasa kelopak matanya mulai berat dan ingin tidur.
Dia bersandar di jok kereta kuda itu dan menggigit bibir sekuatnya, maksudnya supaya
pikirannya tetap jernih, tapi dipegangnya pula belatinya. Sekarang ia tahu bahwa Ji Pwe-giok
dan Oh-lolo telah terbius oleh semacam asap yang tak berwarna dan tak berbau, sedangkan
dia sendiri lantaran sudah terlatih memakan berbagai macam racun sehingga daya tahannya
lain dari pada yang lain, maka sampai saat ini dia masih dapat mempertahankan kejernihan
Sepasang Pedang Iblis 6 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Memanah Burung Rajawali 37
^