Pencarian

Keajaiban Negeri Es 3

Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung Bagian 3


berhadapan dengan seorang perempuan, jika orang perempuan disuruh bicara secara
peraturan, sama sulitnya kau minta unta menerobos lubang jarum.
Tiba-tiba Ting-hiang-ih bertanya, "Apakah dia benar-benar sudah mati?"
"Ehmm," Siau-hong mengangguk.
Ting-hiang-ih menghela napas lega perlahan.
Siau-hong menatapnya tajam-tajam, tiba-tiba ia bertanya, "Darimana kau tahu dia sudah
mati?" Kembali Ting-hiang-ih berpaling dan berdehem, lalu menjawab perlahan, "Aku tidak tahu,
aku cuma menduga begitu saja."
"Mengapa dapat kau pikirkan demikian?"
"Jika cara begitu kau tanya padaku tadi, suatu tanda dia telah banyak melakukan hal-hal vang
tidak baik padamu, orang yang berbuat tidak baik padamu bukankah pantas mati?"
Alasan ini kurang baik, tapi diterima juga oleh Liok Siau-hong, katanya, "Apa pun juga, toh
akhirnya sudah kutemukan kembali Lo-sat-pay, tidak tersia-sia perjalananku ini."
Mendengar Lo-sat-pay, sinar mata Ting-hiang-ih tambah mencorong, ia memandang tangan
Liok Siau-hong yang sedang meraba bajunya itu, lalu menyaksikan dia mengeluarkan
sepotong Giok-pay, mendadak ia menitikkan air mata.
Siau-hong dapat memahami perasaannya.
Lantaran Giok-pay itulah dia tidak sayang menghancurkan rumah tangganya, menghancurkan
kebahagian sendiri, bahkan ia sendiri pun berubah menjadi cacat selamanya.
Biarpun Giok-pay itu adalah benda mestika yang tidak ternilai harganya, namun harga
kebahagiaan bukanlah terlebih sukar diukur"
Apakah cukup berharga tindakannya itu" Apakah sekarang dia merasa menyesal"
Tanpa terasa Siau-hong menghela napas gegetun, ucapnya. "Jika barang ini milikku, pasti
akan kuberikan padamu, namun sekarang ..."
"Kutahu maksudmu," potong Ting-hiang-ih, "tidak perlu kau jelaskan, sekarang meskipun kau
berikan padaku juga tiada gunanya bagiku."
56 Kembali air matanya mengucur lagi. Perlahan ia menyambung pula, "Sekarang aku cuma
ingin melihatnya dan memegangnya, dengan begitu sudah puas hatiku."
Siau-hong juga dapat memahami perasaannya ini, ia menyodorkan Lo-sat-pay itu kepadanya,
namun wajah Ting-hiang-ih kelihatan bertambah menderita.
Dia sudah tidak bertangan, padahal Giok-pay yang diidam-idamkannya tanpa sayang
mengorbankan segalanya itu sekarang berada di depan matanya, namun dia tidak mampu
memegangnya Penderitaan ini sungguh sukar ditahan oleh siapa pun, namun dia justru dapat
menahannya. Kembali Siau-hong menghela napas menyesal, katanya, "Bagaimana kalau kuletakkan Giokpay
ini di atas tubuhmu, sedikitnya dapat kau lihat lebih jelas!"
Ting-hiang-ih mengangguk, dilihatnya Liok Siau-hong menaruh Giok-pay itu di atas dadanya,
mata yang berlinang air mata itu tiba-tiba menampilkan semacam perasaan yang sukar
dijelaskan, entah berterima kasih" Terhibur atau berduka"
Mendadak Ting-hiang-ih menundukkan kepala dan mencium perlahan Giok-pay itu, serupa
mencium sang kekasih pada cinta pertamanya.
"Terima kasih, terima kasih ...." berulang-ulang ia menyebut, dengan kedua tangannya yang
buntung sebatas pergelangan tangan itu ia jepit Giok-pay itu dan ditempelkan pada pipi
sendiri. Siau-hong tidak tega memandangi dia. Ia ingat tangan Ting-hiang-ih mestinya sangat halus
lagi indah, kukunya memakai cat kuku merah muda serupa warna bunga mawar sehingga
tangannya mirip setangkai bunga mawar yang baru mekar.
Akan tetapi bunga mawar itu sekarang telah dipatahkan tanpa ampun sehingga cuma tersisa
ranting yang kering. Bunga mawar yang sekarang telah dipatahkan itu masih akan tumbuh lagi tahun depan,
namun tangannya" ....
Siau-hong berbangkit dan berpaling, pada saat itu mendadak terdengar suara "pluk" sekali,
semacam barang terbang keluar menerobos jendela, menyusul terdengar pula "critt" sekali,
semacam barang menyambar masuk menembus jendela.
Cepat Siau-hong berpaling, ternyata Giok-pay yang dijepit oleh kedua tangan Ting-hiang-ih
yang buntung itu sudah lenyap, malahan dadanya kelihatan merembeskan darah seperti air
ledeng. Wajahnya yang bersemu merah kembali berubah pucat, ujung mata dan ujung mulut tampak
berkedut-kedut, seperti menangis, serupa tertawa pula.
Umpama tertawa juga semacam tertawa yang terlebih duka daripada menangis. .
Ia memandang Siau-hong, sinar matanya yang mencorong tadi telah berubah jadi guram,
sekuatnya ia berucap, "Meng ... mengapa engkau tidak mengejar?"
Siau-hong menggeleng, tertampil rasa kasihan dan simpatinya sedikit pun tidak
memperlihatkan rasa kejut dan gusar.
Apa yang dilakukan Ting-hiang-ih ini seolah-olah sudah berada dalam dugaannya, selang
agak lama barulah ia bicara dengan muram, "Apakah kau tertipu orang lagi?"
Dengan suara lemah Ting-hiang-ih menjawab, "Kutipu kau tapi dia juga menipuku, setiap
orang seperti sudah ditakdirkan harus ditipu oleh semacam orang, betul tidak menurut
pendapatmu" Betul tidak?"
Suaranya sangat perlahan, sangat lirih, tidak terdapat lagi suara duka dan tersiksa.
Sedetik sebelum ajalnya, tiba-tiba ia menyadari semacam falsafah orang hidup yang ruwet,
tapi juga sederhana dan ajaib. Lalu tamatlah riwayat hidupnya.
ooo000ooo 57 Malam di musim dingin, malam yang panjang. Pada jalan yang gelap gulita itu sunyi senyap
tiada seorang pun, yang terlihat cuma sebuah lentera.
Lentera berkerudung putih dan sudah tua sehingga hampir berubah menjadi kelabu, masih
tergantung di atas pintu sempit di ujung jalan itu, di bawah lampu tergantung sebuah pancing
perak yang mengkilat, serupa pancing yang biasa digunakan kaum pengail.
Pancing perak bergoyang-goyang tertiup angin malam yang dingin, deru angin seolah-olah
helaan napas orang menyesal, menyesali di dunia ini mengapa terdapat sedemikian banyak
orang bodoh yang rela terkail oleh pancing perak ini.
Dari sudut yang lembab di bawah kabut malam Pui Giok-hui melangkah masuk ke kasino
Pancing Perak yang gemerlapan itu. Ia menanggalkan mantelnya yang berwarna putih
sehingga tertampak pakaiannya yang terbuat dan kain satin dan sangat pas dengan
perawakannya. Setiap hari pada waktu demikian ini adalah waktu perasaannya sangat gembira, terutama hari
ini. Sebab Liok Siau-hong sudah pulang dan Liok Siau-hong adalah sahabat yang paling
disukai dan paling dihormatinya.
Dengan sendirinya Liok Siau-hong juga sangat gembira, sebab dia sudah pulang. Pulang dari
negeri es yang jauh dan dingin itu.
Di ruangan besar kasino yang berpajang mewah itu penuh suasana hangat dan
menggembirakan, bau harum arak bercampur dengan bau bedak diselingi suara gemerincing
uang perak menimbulkan serentetan suara yang menawan, hampir tiada suara musikyang
lebih menawan di dunia ini daripada suara di dalam kasino ini.
Dan Siau-hong suka kepada suara ini, serupa kebanyakan orang lain di dunia ini, ia pun suka
akan kemewahan dan hidup nikmat.
Lebih-lebih sekarang setelah mengalami masa sulit sekian lamanya di negeri es nan jauh dan
kesepian itu, kini dia pulang kembali di sini, dia jadi serupa seorang anak kecil yang tersesat
telah pulang ke rumah yang hangat, kembali ke dalam pangkuan ibunda tersayang.
Bahwa sekali ini dapat pulang dengan hidup, sungguh bukan sesuatu yang sederhana.
Dia baru saja habis mandi air panas dan berganti baju, jenggot palsu dan kerut buatan pada
ujung matanya serta kapur yang memutihkan rambutnya kini sudah dibuang dan dicucinya
hingga bersih. Sekarang dia kelihatan bercahaya, menyala, penuh semangat, sampai dia juga merasa sangat
suka kepada dirinya sendiri.
Tentu saja ada berapa orang perempuan yang berada di ruangan judi itu diam-diam
meliriknya, meski kebanyakan perempuan itu sudah tergolong 'tante', namun Siau-hong tetap
memperlihatkan senyuman yang paling menarik bagi mereka.
Setiap perbuatan yang dapat membuat gembira orang lain dan toh tidak merugikan dia sendiri,
selamanya takkan ditolaknya untuk melakukannya.
Melihat senyumannya, sampai Pui Giok-hui juga merasa sa
ngat senang, dengan tersenyum ia bertanya, "Tampaknya engkau sangat suka pada tempat
ini"!" "Ya, orang yang menyukai tempat ini tampaknya makin lama makin banyak," ujar Siau-hong.
"Usaha tempat ini memang makin maju," kata Pui Giok-hui, "bisa jadi lantaran sekarang
semua orang dapat hidup lebih longgar dan iseng, hawa juga dingin, kan lebih baik berdiam di
dalam rumah, minum arak dan berjudi."
"Apakah juga banyak orang perempuan yang khusus datang untuk melihat dirimu?" tanya
Siau-hong dengan tertawa.
Maka tergelaklah Pui Giok-hui.
Dia memang seorang lelaki yang menggiurkan, charming, kata orang sekarang, mukanya
selalu terawat bersih, dandanannya mutakhir, perawakannya juga gagah, meski terkadang
58 kelihatan rada sok, tapi justru lagaknya inilah model yang paling disukai oleh perempuan
setengah baya yang tergolong tante itu.
Dengan suara tertahan Siau-hong berkata pula kepada Giok-hui, "Kukira pasti banyak orang
perempuan yang terpancing olehmu di tempat ini"!"
Pui Giok-hui tidak menyangkal, jawabnya dengan tersenyum. "Perempuan yang suka
berkeluyuran di rumah judi, hampir semuanya tidak beres."
"Dan bagaimana perempuan yang membuka kasino" Apakah juga....."
Mendadak ucapannya terhenti, sebab tiba-tiba dilihatnya ada seorang sedang menubruk dari
belakang Pui Giok-hui dengan memegang belati, langsung iga kiri Pui Giok-hui ditikamnya.
Pui Giok-hui tidak melihat kejadian ini, sebab pada punggungnya tidak ada mata. Waktu
Siau-hong melihatnya juga sudah terlambat, belati orang itu tinggal belasan senti saja di
belakang punggung Pui Giok-hui.
Padahal tempat itu merupakan bagian mematikan pada tubuh manusia, sekali tertikam tentu
jiwa melayang. Tentu saja Siau-hong ikut kuatir bagi Pui Giok-hui.
Siapa tahu, pada detik terakhir, mendadak Pui Giok-hui menekuk pinggang, sekali berputar,
kontan pergelangan tangan orang yang memegang belati itu kena dicengkeramnya, "trinng",
belati jatuh ke lantai dan orang itu pun mencaci maki.
Tapi baru memaki satu-dua kata segera mulutnya tersumbat, dua lelaki kekar mendadak
muncul di belakangnya, satu orang satu sisi, serentak orang itu digusur keluar.
Air muka Pui Giok-hui ternyata tidak berubah sama sekali, dengan tersenyum ia berkala, "Di
tempat begini memang sering terjadi hal-hal demikian."
"Apakah kau tahu sebab apa dia hendak membunuhmu?" tanya Siau-hong.
"Tentunya tidak ada lain, kalau bukan mabuk pastilah kalap karena kalah habis-habisan,"
sahut Pui Giok-hui dengan tak acuh.
"Tapi juga bisa jadi lantaran dia gila saking gemasnya," ujar Siau-hong.
"Sebab apa?" tanya Giok-hui. "Sebab telah kau kerjai bininya." Kembali Pui Giok-hui
bergelak tertawa. Menurut pandangannya, kalau dapat mengerjai bini orang seakan-akan
merupakan perbuatan yang gemilang dan terpuji, tidak perlu malu atau menyesal.
Siau-hong memandangnya dengan melongo, serupa baru pertama kali melihat orang ini.
Peristiwa tadi berlangsung secara mendadak, juga berakhir dengan cepat, namun tetap saja
menimbulkan sedikit kepanikan, lebih-lebih beberapa meja judi yang berdekatan dengan
mereka, kebanyakan orang sudah meninggalkan tempat duduknya dan sedang bisik bisik
membicarakan kejadian ini.
Hanya ada satu orang saja yang masih duduk di tempatnya tanpa bergeser, malahan sedang
terkesima menatap kepingan kartu Pai-kiu yang tertaruh di depannya, tidak sedikit taruhannya
pada permainan Pai-kiu ini. kalau tidak menang sangat banyak pastilah sudah kalah tidak
sedikit. Orang ini memakai topi kulit berbulu halus, memakai jaket kulit yang dibalik, mukanya penuh
berewok, jelas seorang saudagar jinsom yang haru pulang dari luar perbatasan di utara. Pada
sabuknya kelihatan penuh terikat hasil usaha jerih payahnya akan tetapi uang sebanyak itu
seakan siap diludeskan dalam semalam saja. "Mengapa kau pandang dia" Tampaknya besar
minatmu untuk 1 menangkan duitnya?" dengan suara tertahan Pui Giok-hui berseloroh.
Siau-hong tertawa dan menjawab, "Uang yang didapatkan dari meja judi biasanya paling enak
untuk dibuat foya-foya, kesempatan baik begini mana boleh kusia-siakan?"
"Tapi adik iparku sudah lama menunggu kedatanganmu di dalam, kabarnya ketiga makhluk
tua Swe-han-sam-yu juga sudah tiba lebih dulu," kata Giok-hui.
"Mereka boleh menunggu, sedangkan duit pada orang semacam ini tidak dapat menunggu,
setiap saat bisa kabur dan sukar dicari lagi!" ujar Siau-hong.
"Ehm, betul juga," kata Giok-hui dengan tertawa. "Makanya lekas kau beritahukan kepada
mereka, tunggu sebentar lagi, segera kudatang."
59 Dan tanpa menunggu persetujuan Pui Giok-hui, segera Siau-hong menuju ke meja judi Paikiu,
dia berdiri tepat di samping si berewok, dengan tersenyum ia menantang, "Kecuali
taruhan di atas meja dengan bandar, bagaimana kalau kita berdua mengadakan pertaruhan
tersendiri?" Tanpa pikir si berewok menyetujui, ucapnya, "Jadi! Cara pertaruhanku biasanya semakin
besar semakin menyenangkan. Berapa banyak engkau ingin bertaruh?"
"Mau bertaruh harus sepuas-puasnya, taruhan berapa besar pun pasti kuiringi," jawab Siauhong.
Pui Giok-hui memandangi mereka dari jauh, ia tersenyum dan menggeleng kepala, tiba-tiba ia
merasa tangan sendiri juga gatal.
Waktu dia mengitari meja judi ini dan menuju ke belakang sana, mendadak Siau-hong
meremas tangan si berewok sekait di bawah meja....
Bab 7 " Di dalam sana si jenggot biru sedang mengamat-amati tangannya sendiri.
Kedua tangannya terawat sangat baik, kukunya terpotong rajin, jarinya juga panjang lentik.
Sungguh tangan yang indah, tidak perlu disangsikan juga pasti sepasang tangan yang gesit.
Tangan si jenggot biru diletakkan di atas meja, Pui Giok-hiang sedang memandangnya,
bahkan Koh-siong, Koh-tiok, dan Han-bwe bertiga kakek itu juga sedang memandangnya
seakan-akan kagum pada tangan yang putih mulus itu.
Meski yang dipandang mereka adalah sepasang tangan yang sama, tapi yang terpikir dalam
benak mereka justru sama sekali berbeda.
Mau tak mau Pui Giok-hiang harus mengakui juga keindahan tangan itu, tangan yang putih
bersih. Tapi siapakah yang tahu bahwa kedua tangan yang putih bersih ini sudah berapa
banyak berbuat hal-hal yang kotor" Sudah berapa banyak membunuh orang" Sudah berapa
banyak melepaskan baju anak perempuan"
Teringat kepada hal yang terakhir itu, muka Giok-hiang menjadi rada merah, terkenang
olehnya waktu pertama kalinya kedua tangan itu membuka bajunya, dan perasaan pada waktu
kedua tangan meraba kian kemari di atas tubuhnya, sampai sekarang pun ia tidak dapat
menjelaskan bagaimana rasanya.
Swe-han-sam-yu juga sedang bertanya pada dirinya sendiri, "Selain meraba tubuh orang
perempuan dan meraba kartu, apa pula yang dapat dilakukan kedua tangan ini?"
Tangan ini tidak mirip tangan yang sudah pernah giat berlatih kungfu. Namun tangan Liok
Siau-hong bukankah juga putih halus seperti ini, tapi kungfunya sukar dijajaki.
Si jenggot biru sendiri entah sedang memikirkan urusan apa" Agaknya tidak ada orang bisa
menyelami perasaannya bilamana dia sedang termenung.
Cukup lama Pui Giok-hui masuk ke situ dan belum bicara, akhirnya ia berdehem perlahan dan
berucap, "Sudah datang orangnya!"
"Dimana" Mengapa tidak ikut masuk kemari?" kata Giok-hiang.
Giok-hui tersenyum, "Sebab kebetulan dia melihat permainan Pai-kiu, kebetulan pula melihat
seorang lawan yang bersaku tebal."
Orang yang gila judi, jika sekaligus menemukan sasaran empuk begitu, biarpun tengah malam
buta istrinya lagi melahirkan anak pertama juga akan ditinggalkannya untuk berjudi.
"Hm, kiranya dia bukan cuma gila arak dan perempuan, juga setan judi," jengek Han-bwe
Lojin. "Orang yang suka minum dan main perempuan, mungkin jarang sekali yang tidak gemar
berjudi," ujar Giok-hui.
Giok-hiang melototinya sekejap dan mengomel, "Tentu saja kau paham watak orang semacam
ini, sebab kau sendiri juga satu di antaranya."
60 "Gagak di dunia ini sama hitamnya, kaum lelaki memang tidak ada seorang pun manusia
baik-baik," ucap Giok-hui dengan menghela napas.
Kata-kata ini sebenarnya adalah olok-olok orang perempuan terhadap lelaki, tapi ia sendiri
sudah mendahuluinya memaki.
Giok-hiang tertawa, jelas dia seorang adik yang baik, bukan saja sangat baik pada kakaknya,
bahkan juga sangat mesra.
Tiba-tiba si jenggot biru bertanya, "Lawan judi yang diincarnya itu orang macam apa?"
"Seorang saudagar jinsom yang baru pulang dari utara, she Tio bernama Pin," tutur Giok-hui.
"Bukankah orang ini bermuka penuh berewok?" tanya si jenggot biru pula.
"Betul," jawab Giok-hut".
"Jika berewoknya tidak keliru, maka kaulah yang keliru," ucap si jenggot biru dengan
hambar. "Keliru" Keliru apa?" tanya Giok-hui bingung.
"Segala apa pun selalu kau keliru." omel si jenggot biru. "Orang itu bukan saudagar jinsom,
juga tidak bernama Thio Pin."
"Oo"!" Giok-hui melengak.
"Dia seorang pengawal barang, she Tio bernama Kun-bu. Tucar si jenggot.
Giok-hui berpikir sejenak. "Apakah Tio Kun-bu yang berjuluk
Hek-hian-tan itu?" "Siapa lagi" Tio Kun-bu kan cuma ada satu?"
"Sebelum ini apakah dia pernah berkunjung kemari?" tanya Giok-hui.
"Pengawal barang yang berlalu di sini, sembilan di antara sepuluh orang pasti pernah kemari."
"Jika sebelum ini dia pernah berkunjung ke sini secara terang-terangan, mengapa sekali ini dia
pakai menyamar segala?"


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa tidak kau tanya dia langsung?" ujar si jenggot biru.
Pui Giok-hui tidak bicara lagi, sorot matanya memancarkan semacam perasaan yang aneh.
Dalam pada itu tangan si jenggot biru telah ditarik ke bawah meja, sebaliknya tangan Kohsiong
Siansing lantas diangkat ke atas, sebab dilihatnya Liok Siau-hong telah muncul,
"Serahkan sini!" ucap Koh-siong Siansing sambil menjulurkan tangan.
Siau-hong tertawa, katanya. "Jika kau minta uang, jelas kau salah waktu dan alamat.
Kebetulan uangku telah ludes di meja judi tadi."
Koh-siong juga tidak marah, ucapnya dengan tak acuh, "Agaknya tujuanmu hendak menang
dan mengeruk duit orang lain."
Siau-hong menghela napas gegetun, "Justru lantaran kuingin menang makanya juga dapat
kalah hingga ludes. Orang yang dapat kalah habis-habisan biasanya juga orang yang ingin
menang banyak." "Memangnya Lo-sat-pay juga telah kau kalahkan di atas meja judi?" jengek Koh-siong.
"Jika Lo-sat-pay berada padaku, bukan mustahil bisa ikut ludes juga," jawab Siau-hong.
"Memangnya Lo-sat-pay tidak berada padamu?"
"Semula memang ada!"
"Dan sekarang?"
"Sekarang sudah hilang!"
Koh-siong menatapnya tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan, namun lensa matanya tampak
mengecil. Sebaliknya Siau-hong lantas tertawa. katanya, "Meski Losat-pay hilang, untung aku tidak
sampai mati." "Mengapa kau tidak mati saja?" jengek Koh-siong Siansing. "Sebab aku masih bersedia
menemukan kembali Lo-sat-pay bagimu."
Tergerak pula hati Koh-siong Siansing, tanyanya, "Dapat kau temukan kembali?"
61 Siau-hong mengangguk, "Jika engkau menghendakinya, setiap saat akan kucari bagimu,
cuma...." "Cuma apa?" tanya Koh-siong.
"Ingin kunasehati dirimu lebih baik jangan kau cari barang itu, sebab bila sudah kutemukan
bagimu, pasti engkau akan tambah marah."
"Sebab apa?" "Sebab Lo-sat-pay itu juga palsu!"
Tangan si jenggot biru sudah ditaruh lagi di atas meja, tangan Koh-siong juga terangkat.
Mungkin mereka ingin mencekik mampus Liok Siau-hong dengan tangan mereka itu.
Siau-hong menghela napas, katanya, "Seluruhnya sudah kutemukan dua potong Lo-sat-pay,
tapi sayang, kedua-duanya palsu."
Semua orang mendengarkan dengan cermat ingin tahu penjelasannya lebih lanjut.
"Pertama kali kutemukan Lo-sat-pay dari dalam sungai es, untuk itu bolehlah kita
menyebutnya Peng-hopay (batu dari sungai es). Kedua kalinya kurebut dari tangan orang
dengan cambuk, maka boleh kita menyebutnya Sin-pian-pay (batu dari cambuk sakti), sebab
orang sama memuji permainan cambukku itu sangat hebat."
"Semula Li He mencuri Sin-pian-pay, lalu ditukar oleh Tan Cing-cing dengan Peng-ho-pay,
kemudian jatuh ke tanganmu," kata
Koh-siong. "Jika demikian, tidak mungkin palsu."
"Aku pun percaya pasti tidak palsu, tapi kenyataannya justru barang palsu," ujar Siau-hong
dengan gegetun. "Darimana kau tahu Lo-sat-pay itu tulen atau palsu?" jengek Koh-siong.
"Sebenarnya tidak dapat kubedakan, tapi toh dapat kuketahui juga," kata Siau-hong.
"Bagaimana caranya kau membedakan barang palsu dan tulen?" tanya Koh-siong.
"Sebab kebetulan ada seorang kawanku bernama Cu Ting, Sin-pian-pay itu kebetulan adalah
barang tiruan buatannya."
"Cu Ting yang kau maksudkan itu apakah orang yang berjuluk Juragan Besar?" tanya Kohsiong.
"Betul. Kau pun kenal dia?"
"Cuma pernah mendengar namanya saja."
"Meski orang ini teramat pemalas, tapi benar-benar seorang jenius yang sukar dicari, barang
apa pun yang aneh dan sukar pasti dapat dibuatnya. Barang tiruan buatannya itu tiada ubahnya
seperti barang yang asli. Terutama barang tiruan lukisan dan barang ukiran, boleh dikatakan
ahli nomor satu di dunia."
Membicarakan Cu Ting, tanpa terasa wajahnya menampilkan senyuman.
Cu Ting memang kenalan lama dan juga sahabat baiknya, dalam kasus 'Tan hong Kongcu
atau bandit ahli bordir' dahulu, jika tidak ada bantuan Cu Ting, mungkin sampai saat ini dia
masih terkurung di dalam perut bukit di belakang markas Jing-ih-lau sana.
Kembali Siau-hong menghela napas, ucapnya, "Jika bukan gara-garanya, tentu aku takkan
mengalami kesulitan sebanyak ini."
"Dia juga sahabatmu?" tanya Koh-siong.
"Ehmm." Siau-hong mengangguk
"Siapa yang minta membuat Sin-pian-pay itu" Pernah kau tanya padanya?"
"Belum," jawab Siau-hong.
"Mengapa tidak kau tanyakan padanya?"
"Sedikitnya sudah ada dua tahun aku tidak berbicara dengan dia."
"Katanya dia sahabatmu, tapi kalian tidak berbicara?"
Siau-hong menyengir, "Sebab dia seorang telur busuk agaknya aku pun tidak banyak
berbeda." 62 "Dan kalau ada orang mau percaya kepada ocehanmu tentu orang itu pun telur busuk."
"Masa engkau tidak percaya?" tanya Siau-hong.
"Pokoknya, apakah Sin-pian-pay itu tulen atau palsu harus kuperiksa sendiri," jawab Kohsiong.
"Kan, sudah kukatakan juga, bila engkau menghendakinya setiap saat dapat kutemukannya
kembali bagimu." "Kemana akan kau cari?" tanya Koh-siong.
"Di sini!" jawab Siau-hong,
"Di sini?" Koh-siong menegas. "Di dalam rumah ini?"
"Saat ini mungkin tidak ada, tapi bila kupadamkan lampu, lalu aku membaca jampi, waktu
lampu menyala lagi, Giok-pay itu pasti akan berada di atas meja."
Si jenggot biru tertawa, Pui Giok-hui juga tertawa. Tertawa geli. Hal yang mustahil ini mana
ada orang mau percaya. Pui Giok-hiang juga tertawa, katanya, "Memangnya kau kira ada orang mau percaya kepada
bualanmu?" "Ada, paling tidak ada satu orang yang percaya," kata Siau-hong.
"Siapa?" tanya Pui Giok-hiang.
"Aku!" seru Koh-siong mendadak sambil berdiri, lalu lampu pertama ditiupnya padam.
Di dalam rumah ada tiga buah lampu, segera ketiga lampu padam, keadaan menjadi gelap
gulita, jari tangan sendiri saja tidak kelihatan.
Dalam kegelapan terdengar mulut Siau-hong berkomat-kamit seperti membaca mantera, kalau
didengarkan dengan cermat, agaknya berulang-ulang ia menyebut nama beberapa tempat dan
nama orang. Tapi apa pun yang disebutnya, suaranya memang kedengaran rada misterius.
Jantung semua orang sama berdetak, jantung satu-dua orang di antaranya berdetak semakin
keras, agaknya benar-benar menjadi tegang. Cuma sayang, keadaan gelap gulita sehingga
siapa pun tidak dapat melihat perubahan air muka masing-masing dan sukar menebak jantung
siapa yang berdebar paling keras.
Semakin keras detak jantung orang itu, semakin cepat pula Siau-hong membaca mantera.
berulang-ulang entah berapa kali ia membaca manteranya, sekonyong-konyong ia
membentak, "Menyala!"
Cahaya api berkelebat, sebuah lampu telah dinyalakan, dan di bawah cahaya lampu ternyata
benar-benar muncul sepotong Giok-pay.
Di bawah cahaya lampu batu kemala itu kelihatan halus dan cemerlang, sebaliknya wajah
orang menjadi pucat menghijau.
Air muka setiap orang hampir tidak banyak berbeda, sorot mata orang penuh rasa kejut dan
heran. Siau-hong tersenyum puas dan memandang mereka, katanya tiba-tiba. "Sekarang kalian mau
percaya kepada bualanku atau tidak?"
Pui Giok-hiang menghela napas, katanya, "Sebenarnya harus kupercaya kepadamu, kau
sendiri memang seorang setan hidup."
"Tapi Giok-pay ini bukan barang setan, tidak mungkin terbang sendiri dari luar," jengek Kohsiong
Siansing, "Dengan sendirinya tidak," tukas Siau-hong.
"Habis darimana datangnya?" tanya Koh-siong.
Siau-hong tertawa, "Kukira hal ini bukan urusanmu, bila kau tanya terlalu banyak, bisa jadi
Giok-pay ini akan terbang pergi lagi."
Dengan sendirinya Giok-pay ini takkan terbang pergi sendiri, seperti halnya dia tak bisa
terbang sendiri, tapi Koh-siong Siansing tidak bertanya lebih lanjut.
63 Giok-pay inilah yang dikehendakinya, jika sekarang sudah didapatkan, untuk apa bertanya
terlalu banyak. Ia menatap Giok-pay di atas meja itu, tapi sejauh itu tidak mengangsurkan tangannya untuk
memegangnya, malahan menyentuhnya saja tidak.
Batu kemala pusaka ini berasal dari Giok Thian-po dan digadaikan kepada si jenggot biru,
lalu dibawa lari oleh Li He, kemudian ditukar oleh Tan Cing-cing, lalu melalui Jo-jo, Liok
Siau-hong dan Ting-hiang-ih, akhirnya entah jatuh ke tangan siapa hingga muncul di sini"
Di bawah cahaya lampu meski Giok-pay itu kelihatan mulus padahal sudah penuh berlepotan
darah, darah belasan orang dan juga jiwa belasan orang. Apakah berharga pengorbanan
mereka" Tiba-tiba Koh-siong menghela napas panjang, ucapnya, "Kematian orang-orang itu sungguh
terlalu penasaran." "Orang-orang itu?" si jenggot biru menegas.
"Ya, orang-orang yang mati karena benda ini."
"Sesungguhnya Giok-pay ini tulen atau palsu?"
"Palsu," jawab Koh-siong. Sejenak kemudian ia menyambung pula, "Ukiran pada barang
palsu ini memang serupa benar dengan barang asli, cuma kadar batu kemala ini sangat banyak
bedanya." Si jenggot biru termangu hingga lama, lalu ia berpaling dan menatap Liok Siau-hong,
katanya, "Inikah Giok-pay yang kau rampas dari Cing-cing?"
Siau-hong mengangguk. Si jenggot biru menghela napas juga. ucapnya dengan menyesal, "Cing-cing masih sangat
muda, juga sangat pintar, hari depannya mestinya sangat cerah, tapi dia telah menjadi korban
oleh karena barang tiruan yang tidak berharga ini, sungguh kasihan."
"Dia berbuat demikian, sebab sebelumnya tidak pernah terpikir olehnya bahwa Giok-pay ini
adalah barang palsu." kata Siau-hong.
Si jenggot biru mengangguk setuju.
"Dia memang seorang anak perempuan yang cermat, bila ada setitik tanda yang
mencurigakan, tidak mungkin dia menyerempet bahaya."
Kembali si jenggot biru menyatakan setuju, "Ya, cara bekerjanya biasanya sangat cermat."
"Tapi sekali ini dia sama sekali tidak curiga, sebab dia tahu Giok-pay ini memang dicuri Li
He dari tempatmu ini. Tatkala mana sangat mungkin dia ikut menyaksikannya di sini."
"Tapi Cing-cing justru lupa bahwa Li He juga seorang perempuan yang sangat cermat dan
cerdik," ujar si jenggot biru dengan gegetun.
"Memangnya kau anggap Lo-sat-pay tulen telah dibawa lari Li He?" tanya Siau-hong.
"Apakah bukan begitu?" jawab si jenggot biru.
"Kau tahu sejak kecil Ting-hiang-ih dan Tan Cing-cing sudah berkumpul dengan Li He,
kukira pandangan mereka pasti tidak keliru."
"Bagaimana pandangan mereka terhadap Li He?" tanya si jenggot biru.
"Kecuali emas dan lelaki, urusan lain sudah tidak ada yang menarik baginya, dengan
sendirinya ia juga takkan mau menyerempet bahaya dan mencari penyakit."
"Apakah maksudmu, Lo-sat-pay yang dicuri Li He sejak mula itu adalah barang palsu?" tanya
si jenggot. "Ya, begitulah," jawab Siau-hong.
"Lantas di mana yang tulen?" tanya si jenggot biru pula,
Siau-hong tertawa, mendadak ia bertanya, "Jika di piring ada sepotong roti dan sepotong ubi,
ubi sudah kumakan dan roti masih berada di atas piring. Lantas bagaimana jadinya"
Bukankah sangat sederhana jawabannya?"
Si jenggot biru tertawa, "Ya. memang sangat sederhana!"
64 "Nah, kalau Lo-sat-pay yang dicuri Li He itu palsu, yang ditukar Cing-cing itu juga palsu, lalu
lari kemanakah Lo-sat-pay yang tulen?"
"Ya. aku sendiri tidak habis mengerti," ucap si jenggot biru.
Kembali Siau-hong tertawa, katanya, "Padahal soal ini sama sederhananya serupa roti dan ubi
di atas piring tadi. Jika engkau tidak mendadak berubah menjadi dungu, mustahil tak bisa kau
pikirkan." "Oo"!" si jenggot bersuara tak acuh.
"Dan kalau Lo-sat-pay yang berada di tangan orang lain semuanya palsu, dengan sendirinya
yang tulen masih berada padamu," ucap Siau-hong pula dengan hambar.
Maka tertawalah si jenggot biru.
Dia seorang sopan, seorang ramah, suara tertawanya juga halus.
Tapi pada waktu tertawa, dia tidak pernah memandang orang lain, selalu memandang kedua
tangannya sendiri Bukankah kedua tangannya juga serupa Giok-pay yang berada di atas meja, kelihatan putih
bersih, padahal penuh berlepotan darah.
"Kau sengaja membuat kesempatan agar Li He membawa lari sebuah Giok-pay palsu..."
"Mengapa harus kulakukan hal ini?" sela si jenggot biru dengan tersenyum.
"Justru di sinilah letak kunci rencanamu yang paling penting," jawab Siau-hong. "Sesudah Li
He tertipu, maka rencana yang kau rancang akan terlaksana selangkah demi selangkah."
Di atas meja ada arak. Si jenggot menuang secawan penuh, ia angkat cawan arak dengan
kedua tangan dan perlahan diminumnya.
Setiap gerak-geriknya selalu perlahan, lemah lembut, sikapnya juga adem ayemr serupa
seorang yang sedang mendengarkan dongeng yang menarik.
Maka Siau-hong menyambung lagi, "Engkau memang sudah merasa bosan dan benci kepada
Li He, sebab dia sudah tua, tapi kebutuhannya akan lelaki justru bertambah kuat. Kesempatan
ini kebetulan dapat kau gunakan bual menyingkirkan dia sejauh-jauhnya, bahkan selamanya
takkan kembali lagi padamu. Inilah langkah pertama rencanamu."
Si jenggot biru menghirup araknya lagi sambil bergumam,
"Ehmm, arak sedap!"
"Kau pun tahu hubungan antara Li He dan Ting-hiang-ih, sambung Siau-hong, "sudah kau
perhitungkan Li He pasti akan mencari Ting-hiang-ih, ini pun salah satu langkah dalam
rencanamu sebab sudah lama kau ragukan kesetiaannya kepadamu, kebetulan kesempatan ini
dapat kau gunakan untuk mengujinya, sekaligus menemukan gendaknya."
Kembali si jenggot biru tertawa, "Untuk apa kuuji dia" Toh dia bukan isteriku."
"Dia bukan isterimu?" Siau-hong juga tertawa.
"Suaminya ialah Hui-thian-giok-hou dan bukan diriku," kata si jenggot biru.
Siau-hong menatapnya tajam dan berucap sekata demi sekata, "Lantas siapakah Hui-thiangiok-
hou" Engkau atau bukan?"
Si jenggot bergelak tertawa, seperti orang yang tidak pernah mendengar cerita selucu ini, dia
tertawa geli hingga arak yang sudah diminumnya hampir tersembur keluar.
Tapi Siau-hong tidak lagi tertawa, ucapnya dengan perlahan dan keren, "Hui-thian-giok-hou
adalah seorang yang ambisius, dia memusuhi Ma-kau dari barat, namun sekali ini dia tidak
ikut serta dalam perebutan Lo-sat-pay ini, sebab dia sudah tahu bahwa Lo-sat-pay yang
diperebutkan orang ini adalah barang palsu."
Si jenggot biru masih tertawa, tapi "krek", mendadak cawan arak yang dipegangnya teremas
hancur. Siau-hong berkata pula. "Ting-hiang-ih tidak tahu Hui-thian-giok-hou ialah si jenggot biru,
sebab si jenggot biru yang dilihatnya adalah seorang lelaki kekar penuh berewok, selamanya
dia tidak mencurigai hal ini, sebab dia juga serupa kebanyakan orang, menganggap si jenggot
biru dengan sendirinya berjenggot, kalau tidak masakah disebut si jenggot biru?"
65 Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan dingin, "Yang tahu rahasiamu ini mungkin cuma
Pui Giok-hiang saja seorang, bahkan sangat mungkin sampai lama sekali baru diketahuinya
rahasiamu ini, sebab belum lama baru dia menemukan kau di sini."
Air muka Pui Giok-hiang tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, perlahan ia berdiri, dari
almari sana dikeluarkannya sebuah cawan emas, diusapnya hingga bersih dengan sepotong
handuk putih, lalu menuangkan secawan arak bagi si jenggot biru.
Perlahan si jenggot memegang tangannya, sorot matanya mendadak berubah menjadi lembut
dan mesra. "Kau gunakan jenggot biru sebagai kedok," tutur Siau-hong lebih lanjut, "mestinya sangat
sulit diketahui orang. Setelah dia menemukan dirimu di sini, mestinya dapat kau membunuh
dia untuk menutup mulutnya, tapi engkau tidak tega turun tangan, sebab dia terlalu memikat,
kau takut dia cemburu dan membocorkan rahasiamu, terpaksa kau enyahkan keempat
perempuan yang lain."
Sejak tadi Pui Giok-hiang hanya berdiri dan mendengarkan di samping dengan tenang. Jika
Han-bwe dan Koh-tiok juga tidak dapat menimbrung, tentu saja Pui Giok-hui lebih-lebih tidak
sempat ikut bicara. Tetapi sekarang mendadak ia mengajukan suatu pertanyaan yang seharusnya tidak perlu
ditanyakan, "Jika engkau mengaku dia menggunakan jenggot biru sebagai kedok untuk
menutupi asal-usulnya sebagai suatu cara yang cerdik, lalu cara bagaimana pula dapat kau
ketahui penyamarannya?"
Seketika air muka si jenggot biru berubah hebat dengan pertanyaan Pui Giok-hui ini, sama
halnya ia pun mengaku bahwa dia juga tahu si jenggot biru dan Hui-thian-giok-hou adalah
satu orang yang sama. Siau-hong lantas tertawa, jawabnya, "Betapa rapinya sesuatu rencana, sedikit banyak toh pasti


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada lubang kelemahannya. Seharusnya dia tidak perlu menyuruh kau dan Giok-hiang untuk
membereskan Ting-hiang-ih, jika Ting-hiang-ih bukan isterinya, tidak nanti dia menyuruhmu
turun tangan sekeji itu, malahan juga tidak perlu ikut campur urusan orang lain."
Sorot mata Pui Giok-hui menampilkan perasaan pedih, perlahan ia menunduk dan tidak bicara
lagi. Tiba-tiba si jenggot biru mendengus, "Darimana kau tahu aku yang menyuruhnya ke sana'"
Bagaimana kau tahu Hui-thian-giok-hou bukan dia?"
Jawaban Siau-hong sangat sederhana dan jelas, "Sebab aku adalah sahabat lamanya."
Si jenggot biru menjadi bungkam.
Mendadak Siau-hong tertawa pula dan berkata, "Ada lagi seorang sahabatku juga kau kenal
dia seperti pernah menang beberapa ratus tahil perak darimu."
"Kau maksudkan Tio Kun-bu?" tanya si jenggot biru.
Siiau-bong mengangguk, katanya, "Yang dilihatnya juga seorang berjenggot, juga lelaki yang
berewok, kukira yang dilihat orang lain juga serupa."
"Tapi si jenggot biru yang kau lihat justru tidak berjenggot," jengek si jenggot biru.
"Ya, sebab kau tahu ada sementara orang betapa pun matanya takkan kelilipan oleh sebiji
debu yang kecil, apalagi secomot jenggot palsu," jawab Siau-hong dengan tersenyum.
"Dan engkau orang yang tidak dapat kelilipan itu?"
"Kau sendiri apakah bukan begitu?" sahut Siau-hong.
Kembali si jenggot biru mendengus.
"Bukan saja sudah lama kau tahu perbuatan seorang Ting-hiang-ih, bahkan juga kau ketahui
siapa gendaknya," sambung Siau-hong pula. "Caramu bertindak ini hanya kau gunakan
kesempatan untuk membunuh mereka, juga sekaligus mengalihkan perhatian orang lain."
Tiba-tiba Koh-siong Siansing menjengek, "Hm, orang lain yang kau maksudkan tentunya
diriku?" "Yang kumaksudkan memang dirimu," sahut Siau-hong. "Dan kau sendiri?" tanya Koh-siong.
66 "Aku kan hanya boneka yang diperalat olehnya saja," ujar Siau-hong dengan menyengir,
"Serupa seorang pemburu yang biasanya melepaskan seekor kelinci sebagai pancingan."
Bilamana seorang mengumpamakan dirinya sebagai kelinci, maka jelas karena hatinya sangat
kesal dan menyesal. Barang siapa kalau mengetahui dirinya telah diperalat oleh orang lain,
hatinya pasti tidak enak.
"Dan ketika kalian melihat dia telah berusaha sedapatnya untuk menemukan Lo-sat-pay, tentu
kalian lebih-lebih takkan curiga bahwa Lo-sat-pay masih berada padanya," tutur Siau-hong
pula. Koh-siong mengangguk setuju.
"Dengan begitu, apakah dapat kutemukan Lo-sat-pay atau tidak, apakah Lo-sat-pay yang
kutemukan nanti tulen atau palsu, yang jelas kan tidak ada lagi sangkut-pautnya dengan dia,
sebab dia telah mengalihkan seluruh tanggung-jawab kepadaku."
"Ya, jika terjadi apa-apa atas Lo-sat-pay yang kau pegang, yang kami cari tentu saja dirimu,"
tukas Koh-siong. Siau-hong menghela napas, "Perjalanan ini sungguh sangat jauh serupa orang yang dibuang.
Di tengah jalan kita makan angin dan kedinginan, dia justru lagi menunggu dengan enaknya
di samping perapian. Bilamana sudah lewat tanggal 7 bulan satu nanti sekali pun rahasianya
akan terbongkar juga orang lain tak dapat berbuat apa-apa lagi."
"Sebab waktu itu dia sudah menjabat ketua Ma-kau," tukas Koh-siong.
"Ya, bukan saja menjadi Kaucu yang berpengaruh itu, tapi dia juga akan menjabat Pangcu
(kepala) Hek-hou-pang (sindikat harimau kumbang), cuma sayang...."
"Sayang sekarang dia belum berhasil," jengek Koh-siong.
"Ya, sungguh sayang," sambung Siau-hong.
"Dan sekarang dia tidak lebih cuma seekor bulus di dalam kaleng, seekor ikan di dalam
jaring," ejek Koh-siong pula.
Tiba-tiba si jenggot biru alias Hui-thian-giok-hou juga menghela napas, ucapnya, "Ya,
sungguh sayang, sayang sekali!"
"Apa yang kau sayangkan?" tanya Siau-hong.
"Sayang kita sama-sama bermata buta."
"Kita?" Siau-hong menegas.
"Ya, yang kumaksudkan ialah kau dan aku."
"Aku" ..." bingung juga Siau-hong.
"Hanya orang yang buta dapat salah berkawan."
"Aku salah berkawan?" Siau-hong menegas.
"Ya, salah besar."
"Dan kau sendiri?" tanya Siau-hong.
"Aku terlebih buta daripada kau." tiba-tiba si jenggot biru menghela napas. "Sebab aku selain
salah mengambil isteri ..."
Baru kata "isteri" diucapkan, secepat kilat ia mencengkeram pergelangan tangan Pui Giokhiang
sambil membentak dengan bengis, "Keluarkan!"
Wajah Giok-hiang yang cantik berubah menjadi pucat, serunya, "Darimana kutahu Lo-sat-pay
berada di mana" Cara bagaimana dapat kukeluarkan?"
"Yang kuinginkan bukan Lo-sat-pay tapi....."
"Apa?" potong Pui Giok-hiang.
Si jenggot biru tidak menjawab, sama sekali tidak bersuara, bahkan pernapasannya juga
seperti sudah berhenti, serupa ada tangan yang tidak kelihatan mendadak mencekik lehernya.
Wajahnya yang tetap tidak ada perubahan apa-apa itu mendadak berkerut sehingga berubah
menjadi pucat hijau yang mengerikan.
Giok-hiang memandangnya dengan terkesiap, ucapnya, "Sesungguhnya, apa ... apa yang kau
kehendaki?" Tapi mulut si jenggot tetap terkancing rapat, keringat dingin tampak bercucuran seperti hujan.
67 Tiba-tiba sorot mata Giok-hiang memancarkan perasaan kasih sayang yang lembut, ucapnya
dengan lirih, "Aku kan isterimu, apa pun yang kau inginkan tentu akan kuberikan, untuk apa
kau marah-marah?" Si jenggot biru juga lagi melotot padanya, mendadak ujung matanya pecah, darah pun
merembes keluar dari ujung mata, ujung mulut, lubang hidung dan juga lubang telinga. Darah
yang segar, tapi bukan darah segar yang merah.
Darahnya ternyata juga berubah menjadi hijau pucat. Dia tidak sanggup berduduk lagi, ia
mulai roboh ke belakang. Giok-hiang meronta perlahan dari pegangannya, sedangkan Giok-hui memburu maju untuk
memayangnya. "Ken ... kenapa kau" ...."
Mereka tidak tanya lagis sebab mereka tahu orang mati pasti tidak mampu menjawab.
Sekejap yang lalu si jenggot biru masih mampu mencengkeram tangan Giok-hiang secepat
kilat, tapi sekarang mendadak berubah menjadi orang mati. Namun kedua matanya yang
melotot itu seakan-akan masih menatap Giok-hiang dengan penuh rasa benci, duka dan
murka. Giok-hiang memandangnya sambil menyurut mundur selangkah demi selangkah, butiran air
matanya juga lantas bercucuran.
"Mengapa ... mengapa .." ratapnya dengan suara sedih, "Urusan kan masih dapat diselesaikan
secara baik-baik, mengapa engkau mesti mencari jalan pendek dengan membunuh diri?"
Di dalam rumah tidak ada suara lain, hanya terdengar suara ratapannya yang penuh duka.
Semua orang sama mclenggong. Si jenggot biru ternyata sudah mati, perubahan ini sungguh
jauh lebih mengejutkan daripada apa yang terjadi tadi.
Anehnya, Liok Siau-hong sama sekali tidak terkejut, bahkan merasa heran sedikit saja tidak
ada. Yang kelihatan paling sedih ialah Koh-siong Siansing, dia malah bergumam, "Lo-sat-pay
yang tulen masih berada padanya, pasti disembunyikannya di tempat yang dirahasiakan, dan
cuma dia sendiri yang tahu tempat rahasia itu, tapi sekarang dia... dia mati....."
"Dia mati atau tidak takkan menjadi soal," ucap Siau-hong tiba-tiba.
"Tidak menjadi soal?" Koh-siong menegas. "Rahasianya bukan cuma diketahui oleh dia
sendiri saja," ujar Siau-hong.
"Ada siapa lagi yang tahu?" tanya Koh-siong ccpat. "Aku," jawab Siau-hong.
Serentak Koh-siong berdiri, lalu berduduk kembali perlahan, dia dapat menenangkan diri lagi,
ucapnya perlahan, "Kau tahu di-mana dia menyembunyikan Lo-sat-pay?"
"Dia memang orang licin dan licik, orang yang licin biasanya sok curiga, sebab itulah satusatunya
orang yang dipercayainya mungkin cuma dia sendiri."
"Sebab itulah Lo-sat-pay pasti berada pada tubuhnya sendiri, begitu maksudmu?" tanya Kohsiong.
"Ya, pasti," kata Siau-hong.
Serentak Koh-siong berdiri pula dan siap memburu maju.
Tapi Siau-hong lantas berkata lagi, "Jika sekarang hendak kau cari pada tubuhnya pasti takkan
kau temukan." "Tapi jelas kau bilang Lo-sat-pay pasti terdapat pada tubuhnya," tukas Koh-siong.
"Tadi urusan tadi. sekarang urusan sekarang, dalam sekejap mata kan bisa terjadi banyak
perubahan?" "Maksudmu, Lo-sat-pay yang tadi berada pada tubuhnya sekarang justru tidak ada lagi?"
"Ya. pasti sudah hilang." sahut Siau-hong. "Habis dimana sekarang?" tanya Koh-siong.
Mendadak Siau-hong berpaling menghadapi Pui Giok-hiang, perlahan ia ulurkan tangan dan
berkata. "Serahkan sini!"
68 Giok-hiang menggigil bibir, ucapnya dengan gemas, "Sampai jiwa suamiku saja sudah
melayang gara-garamu, apa yang kau minta lagi sekarang?"
"Yang dimintanya padamu tadi memang betul bukan Lo-sat-pay, sebab saat itu Lo-sat-pay
masih berada padanya," ujar Siau-hong.
"Kau tahu apa yang dimintanya padaku?"
"Kutahu, obat penawar."
"Obat penawar?" Giok-hiang berlagak bingung.
Siau-hong tertawa, diambilnya cawan emas yang baru saja digunakan si jenggot biru, lalu
berkata, "Biasanya dia seorang yang cermat dan hati-hati, tidaklah mudah jika orang hendak
meracuni dia, akan tetapi sekali ini ...."
"Sekali ini masakah dia mati diracun orang?" tukas Giok-hiang.
Siau-hong mengangguk. "Sekali ini dia dapat keracunan, sebab dia yakin arak dalam cawan
tidak beracun, cawannya juga tidak beracun."
"Habis, mengapa dia bisa mati keracunan?" Giok-hiang sengaja bertanya.
"Sebab dia lupa sesuatu," kata Siau-hong. "Sesuatu apa?"
"Dia lupa cawan ini dikeluarkan olehmu, bahkan telah kau gosok dengan saputanganmu."
Siau-hong memandang saputangan yang terselip di baju Pui Giok-hiang, perlahan ia berucap
pula, "Dia juga lupa, meski di dalam arak tidak beracun dan cawan juga tak beracun, namun
pada saputanganmu justru beracun,"
Giok-hiang terdiam agak lama, katanya kemudian, "Aku cuma ingin tanya satu hal padamu."
"Katakan." sahut Siau-hong.
'Coba jawab, orang semacam Hui-thian-giok-hou ini pantas dibunuh atau tidak?"
"Pantas!" "Jika begitu, umpama kubunuh dia, kan tidak kau salahkan diriku.
"Aku tidak menyalahkan dirimu, aku cuma minta kau serahkan barang itu?"
"Serahkan barang apa?" tanya Giok-hiang. "Lo-sat-pay!"
"Lo-sat-pay" Darimana aku dapatkan Lo-sat-pay?" ujar Pui Giok-hiang.
"Tadinya memang tidak, tapi sekarang sudah kau dapatkan." "Yang kau minta adalah....."
"Barang yang kau gerayangi dari tubuh si jenggot biru tadi." Kembali Giok-hiang terdiam
hingga lama, kemudian menghela napas perlahan dan berkata, "Tampaknya Liok Siau-hong
memang tidak malu sebagai Liok Siau-hong, agaknya segala urusan tak dapat mengelabui
dirimu." Siau-hong tersenyum, "Meski terkadang mataku juga bisa lamur, syukur kebanyakan waktu
aku dapat melihat dengan awas."
Pui Giok-hiang menggigit bibir, dipandangnya Liok Siau-hong, lalu memandang juga kepada
Swe-han-sam-yu, akhirnya ia menggentak kaki dan berkata, "Baik, serahkan juga boleh, toh
benda setan ini hanya membawa maut bagi orang saja,"
Dia benar-benar mengeluarkan sepotong Giok-pay yang mulus, jelas kualitasnya jauh di atas
kedua potong Giok-pay tiruan itu.
Baru saja Giok-pay ini ditaruh di atas meja, secepat kilat lengan baju Koh-siong lantas
menyambar, kontan Giok-pay itu masuk kc dalam lengan bajunya,
Siau-hong tersenyum, katanya sambil memandang Koh-siong Siansing, "Barang sudah
kembali kandang, syukur tidak mengecewakan kehendakmu."
"Segala dendam dan sakit hati selanjutnya juga hapus," kata Koh-siong.
"Terima kasih," ucap Siau-hong.
Wajah Pui Giok-hiang tampak masam, jcngeknya, "Sekarang Hui-thian-giok-hou sudah mati,
Lo-sat-pay juga sudah dikembalikan kepada kalian mengapa kalian tidak lekas pergi?"
"Kau usir kami?" tanya Siau-hong.
"Memangnya apa yang kau inginkan lagi" Menghendaki diriku?" kata Giok-hiang dengan
menggreget. 69 Siau-hong tertawa, "Sudah tentu dirimu kuinginkan, cuma masih ada sesuatu urusan kecil."
"Urusan apa?" tanya Giok-hiang pula. "Apakah benar engkau seorang manusia?" Giok-hiang
tertawa, Siau-hong juga tertawa. Sembari tertawa ia melangkah keluar. Mendadak ia
berpaling lagi dan menepuk bahu Pui Giok-hui dan berkata, "Cing cing adalah anak
perempuan yang pintar, jika kau suka padanya, harus kau perlakukan dia dengan baik."
"Cing-cing" Cing-cing yang mana?" Giok-hui menegas. "Dengan sendirinya Tan Cing-cing
yang kita kenal itu," kata Siau-hong.
"Jika begitu tentunya kau tahu bahwa dia sudah mati di dalam rumah yang terbakar itu."
"Dia tidak mati terbakar." "Tidak mati?"
"Di dalam puing memang ada kerangka tulang orang perempuan, tapi bukan tulang jenazah
Tan Cing-cing." "Oo?" Giok-hui melcngak.
"Cing-cing terkena tiga buah paku Jo-jo, tapi pada tulang jenazah orang perempuan itu tidak
kutemukan sebiji paku apa pun. Memangnya sebelum kau bakar mati dia dapat mencabut
lebih dulu senjata rahasia yang mengenainya?"
Giok-hui tertawa, "Aku mengaku tidak punya kepandaian sebesar itu."
"Makanya jenazah di dalam puing itu pasti bukan Tan Cing-cing." kata Siau-hong.
Tertawa Giok-hui tampak rada kikuk, ucapnya, "Jika yang mati itu bukan Tan Cing-cing,
lantas kemana perginya Tan Cing-cing"
"Bila roti masih berada di atas piring, yang sudah kau makan tentulah ubi.
"Maksudmu bila yang mati di tengah kebakaean itu bukan Tan Cing-cing, tentu dia telah
dibawa lari orang?" "Kan sudah kukatakan, dalih ini sebenarnya sangat sederhana."
"Kau tahu dibawa lari siapa?" tanya Giok-hui. "Kau!" jawab Siau-hong tanpa pikir. Seketika
Giok-hui bungkam. "Semula aku pun tidak mencurigai dirimu, tapi tidak seharusnya kau bunuh anak dungu itu."
Giok-hui menunduk dan memandangi tangan sendiri dengan tetap bungkam.
"Jika kau tahu anak itu seorang linglung, tentu dia takkan mengenalimu lagi, tapi dia tetap kau
bunuh untuk menutup mulutnya, sebab kau kuatir dia akan memberitahukan padaku bahwa
bibi yang hendak memberi permen padanya itu tidak mati. Biarpun dungu, dia tentu dapat
membedakan orang mati atau hidup."
"Mulai saat itulah baru kau curigai diriku?" tanya Giok-hui.
"Ya, aku lantas mencari-cari di tengah puing dan menemukan tulang jenazah itu bukan Tan
Cing-cing." "Tapi engkau tetap belum dapat membuktikan bahwa aku yang membawa pergi Cing-cing."
"Makanya kuminta bantuan Tio Kun-bu untuk menyelidiki sesuatu bagiku."
"Urusan apa?" tanya Giok-hui.
"Waktu itu Cing-cing terluka parah, jika kau ingin dia hidup, tentu akan kau carikan tabib, di
tempat terpencil itu tabib yang mampu menyelamatkan luka separah itu tidaklah terlalu
banyak." "Ya. di daerah sana mungkin cuma ada seorang tabib saja," tukas Giok-hui.
"Betul, memang cuma ada satu, di Lau-ho-kau, toko obatnya pakai merek Tong-tik-tong,
tabib itu she Pang, seorang buta, tutur Siau-hong. "Yang kebetulan, justru lantaran dia tabib
buta, tentu saja dia tidak dapat melihat dan dengan sendirinya juga tak dapat mengenali
dirimu." "Mungkin karena kubawa dia mencari tabib itu dapatlah dia kusembuhkan," ucap Giok-hui
dengan tak acuh. "Cuma sayang, paku beracun yang mengenai Cing-cing itu semacam senjata rahasia yang
khas yang jarang ada bandingannya."
"Makanya begitu Tio Kun-bu bertanya kepada tabib itu lantas diperoleh keterangan yang
diperlukan," sambung Giok-hui.
70 "Ya. dari situ terbukti juga bahwa Ting-hiang-ih juga terbunuh olehmu dan gendaknya juga
dirimu. Sebab Giok-pay yang kuperlihatkan kepadanya itu sudah jatuh ke tanganmu, maka
tadi waktu kubaca mantera dengan menyebut toko obat dan nama tabib si buta, mau tak mau
harus kau keluarkan Giok-pay itu."
Siau-hong tersenyum, lalu menyambung, "Mantera yang kubaca itu mungkin tidak berguna
sama sekali terhadap orang lain, tapi justru merupakan ancaman bagimu."
"Menolong jiwa orang bukanlah perbuatan yang memalukan, kenapa aku harus merasa
terancam olehmu?" jawab Giok-hui.
"Sebab kau takut ada seorang akan mengetahui kejadian ini," kata Siau-hong-
"Sia.... siapa yang kutakuti?" tanya Giok-hui.
Siau-hong tersenyum dan berpaling, dipandangnya Pui Giok-hiang.
Muka Giok-hiang tampak masam.
Kembali Siau-hong menepuk bahu Pui Giok-hui. katanya dengan tersenyum. "Kan sudah
kukatakan, Cing-cing memang seorang anak perempuan yang menyenangkan, bukan saja
cantik dan pintar, bahkan lemah lembut dan mengasyikkan, jika sudah kau selamatkan dia
dengan menyerempet bahaya, seharusnya kau perlakukan dia sebaik-baiknya, betul tidak?"
"Betul, betul sekali," ujar Giok-hui.
Ia tersenyum, Siau-hong juga tersenyum, tapi senyum kedua orang sama sekali berbeda.
Maka sambil tersenyum Siau-hong lantas melangkah pergi.
"Tunggu dulu!" mendadak Giok-hiang berteriak. Kembali Siau-hong berhenti. "Kau pun
melupakan sesuatu," kata Giok-hiang. "Oo?" Siau-hong tercengang juga.


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau lupa memberi sesuatu padanya." kata pula Giok-hiang "nya" yang dimaksudkan ialah
Pui Giok-hui. Dia memandangi Giok-hui, sebelum ini pandangannya selalu disertai senyuman manis dan
mesra, tapi sekarang senyuman hambar, tiada sesuatu perasaan.
Dalam pandangannya sekarang hanya ada kepedihan, kebencian, dendam dan gemas.
"Kau lupa memberikan bogem mentah padanya!" akhirnya ia menyambung dengan sekata
demi sekata. Pui Giok-hui masih berdiri tidak bergerak di tempatnya tanpa memperlihatkan sesuatu
perasaan, tapi entah mengapa wajahnya yang cakap dan menggiurkan itu sekarang telah
berubah menjadi kelam dan seram.
Sampai Pui Giok-hiang juga seakan-akan tidak berani lagi memandangnya. Lalu ia menoleh
kepada Liok Siau-hong dan berkata. "Kan pernah kau katakan, hendak kau beri bogem
mentah padanya." "Ya, pernah kubilang begitu," sahut Siau-hong.
"Dan akan kau beri?"
"Pasti!" Mendadak Giok-hiang bergelak tertawa, tertawa latah, sampai air mata pun bercucuran.
Dia mengusap air matanya dengan saputangan dan berkala pula, "Lebih baik mataku buta
daripada kulihat, perempuan jalang itu berada bersamamu."
Ia menjerit dengan suara parau, darah pun merembes keluar dari ujung mulutnya. Lalu
diusapnya pula dengan saputangan.
"Sebenarnya harus kuketahui sejak dulu bahwa aku cuma diperalat olehmu, tapi tidak pernah
kusangka engkau bisa menyukai sundel itu."
Dia mulai terbatuk-batuk dan menyambung pula. Selama ini kau bohongi diriku, tentunya kau
kuatir kubocorkan rahasiamu. Tapi bila semua urusan sudah beres, tentu aku pun akan binasa,
sebab rahasia yang kuketahui sudah terlalu luas, ya. terlalu banyak ...."
71 Ia ingin bicara lagi, tapi kerongkongannya terasa tercekik oleh tangan yang tidak kelihatan.
Lalu mukanya yang cantik itu mulai berkerut-kerut, darah juga mengalir keluar dari lubang
hidung dan telinga. Darahnya tidak merah segar, tapi hijau pucat, waktu dia roboh, kebetulan jatuh di atas tubuh
si jenggot biru. Pui Giok-hui menyaksikan dia roboh tanpa bergerak, air matanya juga tidak memperlihatkan
sesuatu perasaan. Tapi Siau-hong lantas menghela napas dan bergumam, "Ada hal-hal yang sebenarnya tidak
ingin kukatakan, tapi sayang...."
"Sayang sudah lama kau curigai diriku," potong Giok-hui mendadak.
Siau-hong mengangguk, "Ya, sebab kutahu engkaulah Hui-thian-giok-hou yang sebenarnya,
si jenggot biru tidak lain hanya boneka yang kau peralat saja."
"Jadi sudah lama kau tahu dia bukan adik iparku?" tanya Giok-hui.
"Baik Jo-jo, Cing-cing, maupun Ting-hiang, mereka dibesarkan bersama dia, tapi belum
pernah mereka menyinggung bahwa dia mempunyai seorang kakak."
"Ehmm, engkau sangat cermat," puji Giok-hui. "Setiap kali Hui-thian-giok-hou muncul,
engkau selalu berada di sekitarnya, sebaliknya si jenggot biru jelas tidak pernah meninggalkan
tempat ini." Giok-hui tidak menyangkal.
"Kau tahu Lo-sat-pay berada di tangan si jenggot biru, maka kausuruh Tan Cing-cing
menghasut Li He agar membawa lari Lo-sat-pay, lalu kau gunakan Pui Giok-hiang sebagai
umpan untuk memancing diriku, kau peralat pula Li He untuk memancing Kah Lok-san,
akhirnya kau gunakan si jenggot biru sebagai tumbal dan mati bagimu. Dengan sendirinya
segenap harta benda milik mereka juga akan berubah menjadi milikmu."
"Tentunya kau tahu biayaku cukup besar, aku perlu memiara perempuan yang tidak sedikit
jumlahnya. Perempuan kan makhluk pemakai uang, lebih-lebih perempuan yang pintar dan
cantik." "Ya, beberapa perempuanmu ini memang sangat pintar," kata Siau-hong. Tapi dalam
pandanganmu mereka tidak lebih hanya......" "Hanya sekawanan anjing betina belaka," tukas
Giok-hui. "Apa pun juga, bahwa sekaligus engkau dapat memperalat perempuan sebanyak ini,
kepandaianmu memang sangat hebat, cuma sayang......"
"Cuma sayang akhirnya aku telah dibikin celaka oleh seorang perempuan," kembali Giok-hui
memotong ucapannya. 'Tapi yang benar-benar membikin celaka dirimu bukanlah Pui Giok-hiang."
"Habis siapa kalau bukan dia?"
"Tan Cing-cing," ucap Siau-hong.
Pui Giok-hui melengak, "Dia ..."
"Hanya dia saja yang dapat membikin celaka dirimu, sebab hanya kepadanya kau benar-benar
mencintainya, jika bukan lantaran dia, mana bisa kau bocorkan rahasia sebanyak itu?"
Giok-hui menjadi bungkam, meski tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, tapi jelas
kelihatan dia sedang menahan gejolak perasaan sendiri.
"Justru lantaran ada setitik perasaanmu yang murni, maka aku pun akan memberi kesempatan
padamu," kata Siau-hong pula. "Kesempatan apa?" tanya Giok-hui.
"Terhadap orang semacam dirimu mestinya tidak perlu bicara tentang moral dan etika orang
Kangouw segala," kata Siau-hong. "Di sini kami berempat, jika kami turun tangan bersama,
dalam sekejap saja kau pasti akan mampus."
Giok-hui tidak menyangkal.
"Tapi sekarang aku hendak memberi kesempatan padamu untuk suatu pertarungan yang adil."
"Antara aku dan engkau?" tanya Giok-hui.
"Betul, kau dan aku, satu lawan satu."
72 "Jika aku menang, lantas bagaimana7"
"Bila kau kalahkan diriku, aku mati dan kau pergi."
Segera Pui Giok-hui beralih pandang kepada Swe-han-sam-yu.
Dengan dingin Koh-siong Siansing lantas berkata, "Jika kau menang, dia mati dan kau pergi."
"Cukup disepakati dengan perjanjian ini?" Giok-hui menegas.
"Ya, pasti takkan menyesal," sahut Siau-hong.
Mendadak Pui Giok-hui tertawa, katanya, "Kutahu apa sebabnya engkau berbuat demikian,"
"Oo, kau tahu?" heran juga Siau-hong.
"Sebab kau ingin membunuhku dengan tanganmu sendiri," kata Giok-hui.
Siau-hong tidak menyangkal.
Pui Giok-hui tersenyum, katanya pula, "Tapi kau keliru."
"Aku memang sering berbual keliru, untung sekali tempo aku pun dapat berbuat tepat."
'Tapi sekali ini kembali kau salah lagi, bahkan kesalahan yang besar."
"Oo"!" Siau-hong melengak.
"Sebab tidak dapat kau kalahkan diriku, asal kuturun tangan, tidak perlu disangsikan lagi kau
pasti mati." Siau-hong jadi tertawa juga.
"Kungfumu sudah dapat kuselami dengan jelas," kata Giok-hui pula. "Ilmu jarimu yang sakti
itu sama sekali tiada gunanya untuk menghadapi diriku, sebaliknya ada caraku yang khas
untuk mengatasi dirimu."
Siau-hong mendengarkan dengan tersenyum.
Mendadak Giok-hui membalik tubuh, waktu dia berpaling kembali, tangannya sudah
bertambah dengan memakai sarung tangan yang berwarna perak mengkilat.
Pada sarung tangannya itu selain terpasang jarum lembut yang berujung mengail, juga
terdapat benda tajam serupa cakar.
"Inilah senjata yang khusus kulatih untuk menghadapi dirimu," tutur Pui Giok-hui, "asalkan
jarimu menyentuhnya, tidak lebih dari tiga langkah kau pasti akan menggeletak dan binasa."
"Dapatkah aku tidak menyentuhnya?" ujar Siau-hong dengan tertawa.
"Tidak bisa," sahut Giok-hui. Lalu sambungnya dengan perlahan, Menggunakan jari untuk
menjepit senjata lawan adalah kebiasaanmu yang khas, kebiasaan bertahun-tahun seketika tak
mungkin berubah, lebih-lebih pada saat menghadapi serangan maut kujamin kau pasti akan
mendapat serangan maut terus menerus."
Siau-hong memandang sarung tangan perak yang mengkilat itu, akhirnya ia menghela napas,
ucapnya. "Wah, tampaknya aku seperti pasti akan mati."
"Memangnya kau pasti akan mati," suara Pui Giok-hui dan sikapnya penuh rasa mantap.
Pertarungan di antara jago kelas tinggi, kemantapan dan keyakinan pada kemampuan diri
sendiri adalah segi yang paling penting.
Senyuman lenyap dari wajah Liok Siau-hong.
Pada saat itulah Pui Giok-hui lantas menyerang. Sinar perak gemerdep menyilaukan
pandangan Siau-hong. Sungguh serangan aneh, hampir tertutup setiap gerakan Liok Siau-hong oleh serangan Pui
Giok-hui itu, apalagi ruangan ini tidak terlalu longgar, hampir tidak ada jalan mundur
baginya. Di dunia ini memang tidak ada manusia yang tidak pernah terkalahkan selamanya, Liok Siauhong
juga manusia. Apakah hari ini dia akan dikalahkan di sini"
Koh-siong Siansing berdiri di pojok sana dengan berpangku tangan, tiba-tiba ia bertanya
kepada temannya. "Kau lihat apakah dia pasti akan kalah?"
Koh-tiok termenung sejenak, lalu balas bertanya, "Bagaimana
menurut pandanganmu?"
"Kulihat dia pasti kalah," sahut Koh-siong.
73 Koh-tiok menghela napas, ucapnya, "Sungguh tak tersangka pada suatu hari Liok Siau-hong
juga bisa dikalahkan orang."
"Yang kumaksudkan bukan Liok Siau-hong."
"Oo bukan dia," Koh-tiok melengak.
"Yang pasti kalah ialah Pui Giok-hui," kata Koh Siong Sian-sing.
"Tapi sekarang jelas kelihatan dia berada di atas angin," ujar Koh-tiok.
"Mendahului berada di atas angin hanya akan membuang-buang tenaga saja." kata Koh-siong,
"Pertarungan di antara dua tokoh kelas tinggi, kunci menang atau kalah hanya terletak pada
serangan terakhir saja."
"Tapi sekarang Liok Siau-hong seperti tidak sanggup lagi balas menyerang," ujar Koh-tiok.
"Dia bukan tidak dapat, melainkan tidak mau."
'Tidak mau" Sebab apa?"
"Dia sedang menunggu."
"Menunggu kesempatan yang paling baik untuk melakukan serangan terakhir?"
"Terlalu banyak omong tentu bisa selip lidah," ujar Koh-siong. "Orang yang mendapat angin
dan menyerang habis-habisan, akhirnya pasti bisa salah hitung."
"Dan pada saat itulah kesempatan bagi Liok Siau-hong untuk melancarkan serangan
menentukan?" "Ya, begitulah." sahut Koh-siong,
"Seumpama ada kesempatan baik begitu, pasti juga hanya terjadi sekejap saja lantas lenyap,"
'Tentu saja," kata Koh-siong.
"Dan kau yakin sekejap itu takkan dilewatkan dengan percuma olehnya?"
"Aku tidak yakin, asalkan dia balas menyerang, sekali saja pasti berhasil."
Han bwe Lojin hanya mendengarkan saja dengan diam, sorot matanya menampilkan
senyuman mengejek, jengeknya tiba-tiba, "Cma sayang, setiap orang terkadang juga bisa
salah hitung." Pada saat dia mulai bicara demikian, terlihat Siau-hong sudah terdesak oleh Pui Giok-hui ke
pojok tempat mereka berdiri ini. Pada saat yang hampir sama mendadak Han-bwe juga
melolos pedang. Jarang ada yang mampu melukiskan betapa cepat caranya melolos pedang dan tahu-tahu sinar
pedang berkelebat, secepat kilat ia menusuk punggung Liok Siau-hong.
Inilah benar-benar serangan maut yang menentukan.
Bagian depan Siau-hong memang sedang menghadapi jalan buntu mungkin mimpi pun dia
tidak menyangka serangan maut justru datang dari belakang.
Lantas cara bagaimana dia mampu mengelak"
Tapi dia dapat, sebab dia Liok Siau-hong.
"Yang menentukan mati hidup selalu terjadi dalam waktu sekejap. Justru pada sekejap itu
mendadak ia menggeliat, sinar pedang menyambar lewat, langsung menusuk ke depan,
menembus bajunya! tapi tidak menembus punggungnya, malahan ujung pedang terus
memapak Pui Giok-hui yang sedang mendesak maju itu.
Sekali kedua tangan Pui Giok-hui mendekap, ujung pedang tepat terjepit. Dia tidak sempat
menghindar lagi, terpaksa mengeluarkan gerak penyelamat yang berbahaya ini.
Cuma sayang, dia lupa lawannya bukan Han-bwe Siansing melainkan Liok Siau-hong. Dan
Liok Siau-hong justru berada di samping.
Hampir pada detik yang sama Liok Siau-hong sudah turun tangan, Tidak ada orang yang
dapat melukiskan kecepatan serangannya, juga tidak ada yang dapat melihat jelas gerak
tangannya. Namun setiap orang dapat melihat di dadanya telah bertambah sebuah lubang, sebab darah
segar lantas mengucur. 74 Sekujur badan Pui Giok-hui seolah-olah kaku, dia tidak lantas roboh, sebab pada dadanya
menancap sebilah pedang. Pedang Han bwe Siansing.
Serangan maut yang benar-benar mematikan juga bukan jari sakti Liok Siau-hong melainkan
pedang ini, sebab pada waktu jari Siau-hong menutuk batok kepala Pui Giok-hui, kedua
tangannya yang menjepit ujung pedang lantas mengendur, dan pedang masih terus menusuk
ke depan dan menembus dadanya.
Tubuh Han-bwe Siansing seakan-akan beku. Setiap orang ada kalanya salah hitung, sekali ini
yang salah hitung ialah dia.
Akibat dari serangannya sungguh jauh di luar dugaannya.
Wajah Giok-hui tampak pucat, sorot mata yang serupa mata elang itu mulai kabur, mendadak
ia bergelak tertawa sambil menyurut mundur, terlepas dari pedang yang menancap di
dadanya, darah segar lantas muncrat.
Segera berhenti suara tertawanya. Waktu napasnya putus, darah masih menetes dari ujung
pedang yang dipegang Han-bwe Sian-sing.
Muka Han-bwe Siansing juga kelihatan pucat. Darah yang menetes dari ujung pedangnya
seolah-olah bukan darah Pui Giok-hui saja, tapi juga darahnya.
Dia tidak berani mengangkat kepala, tidak berani menghadapi Koh-siong dan Koh-tiok, sejak
tadi mereka menatap rekannya ini dengan tajam.
Mendadak Koh-siong menghela napas, katanya, "Ucapanmu memang tidak salah, setiap
orang ada kalanya salah lihat. Aku juga telah salah hitung terhadapmu."
Koh-tiok juga berucap dengan gegetun, "Mengapa kau bisa berkomplot dengan keparat ini
dan berbuat hal seperti ini?"
Mendadak Han-bwe berteriak, "Sebab aku tidak sudi selama hidup berada di bawah perintah
kalian !" "Memangnya kau lebih suka diperintah oleh Pui Giok-hui?" kata Koh-tiok.
"Huh. bilamana usaha ini berhasil, segera aku akan menjadi Kaucu agama besar kita," jengek
Han-bwe. "Pui Giok-hui memerintah daerah pedalaman, aku berkuasa di luar perbatasan sana.
Makau akan bersekutu dengan Hek-hou-pang dan pasti tidak ada tandingannya."
"Masa sudah kau lupakan usiamu yang sudah lanjut ini?" kata Koh-tiok. "Kita sudah tirakat
lebih 20 tahun di Kun-lun-san, memangnya belum hilang angkara murkamu yang ingin
menang dan berkuasa?"
"Justru lantaran aku sudah tua, sudah bosan hidup kesepian, makanya mumpung masih hidup
ingin kulakukan sesuatu yang menggemparkan," teriak Han-bwe.
"Hm. cuma sayang usahamu gagal sama sekali," jengek Koh-siong.
"Apakah gagal atau berhasil, yang jelas aku takkan diperintah lagi oleh kalian." jengek Hanwe.
Tentu saja, orang mati mana bisa diperintah orang pula"
Kegelapan masih meliputi gang yang panjang itu. Perlahan Liok Siau-hong melangkah keluar,
Koh-siong dan Koh-tiok mengikut di belakangnya.
Perasaan mereka sangat tertekan, keberhasilan terkadang takkan mendatangkan kegembiraan.
Akan tetapi berhasil sedikitnya lebih baik daripada gagal.
Keluar dan gang yang panjang itu, suasana tetap gulita.
Tiba-tiba Koh-siong bertanya, "Apakah sebelumnya sudah kau perhitungkan akan serangan
dari belakang itu?" Siau hong mengangguk. "Memang sudah kau ketahui dia berkomplot dengan Pui Giok-hui?"
Kembali Siau-hong mengangguk, katanya. "Sebab mereka telah sama-sama berbuat salah
sesuatu." "Coba jelaskan," pinta Koh-siong.
"Tempo hari seharusnya Han-bwe tidak perlu memaksaku menempur Tio Kun-bu, ia seperti
sengaja membikin kesempatan bagi aksi Pui Giok-hui."
75 "Oo?" Koh-siong merasa tidak mengerti. "Seorang bila rahasianya terbongkar dan merasa
menghadapi jalan buntu, seharusnya tidak ada lagi keyakinan akan kemampuan sendiri seperti
Pui Giok-hui tadi terkecuali dia masih mempunyai langkah penyelamat yang terakhir."
"O, makanya kau sengaja memojokkan dirimu sendiri untuk memancing langkahnya yang
terakhir itu?" tanya Koh-siong.
"Ya, setiap orang memang harus mempercayai akan kemampuan sendiri, namun jika terlalu
percaya juga bukan hal yang baik." "Justru lantaran mereka yakin kau pasti akan mati, maka
engkau tidak jadi mati."
Siau-hong tertawa, "Seorang kalau sudah mendekati saat suksesnya terkadang juga
merupakan saatnya yang paling lengah."
"Ya, sebab dia anggap sukses sudah di depan mata, rasa waspadanya lantas berkurang dan
merasa dirinya terbesar."
"Makanya di dunia ini orang yang benar-benar sukses tidak terlalu banyak."
Koh-siong termenung, selang agak lama, tiba-tiba ia bertanya pula. "Ada satu hal aku merasa
tidak mengerti." uCoba katakan," ucap Siau-hong.
?"Engkau kan tidak pernah melihat Lo-sat-pay yang asli?" "Ya, tidak pernah."
"Tapi sekali pandang saja dapat kau bedakan tulen dan palsunya."
"Hal ini disebabkan benda itu adalah buah karya Cu-toalopan, dan juragan Cu itu adalah
sahabatku, aku cukup kenal cirinya." "Ciri apa?" tanya Koh-siong.
"Setiap kali dia membuat barang tiruan, dia suka meninggalkan setitik cacat pada hasil
karyanya itu agar orang mencarinya."
"Setitik cacat bagaimana?" tanya Koh-siong pula.


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Umpamanya, bila dia membuat seekor kuda kemala tiruan, terkadang pada bulu suri kuda
ditambahinya seekor ulat kecil."
"Dan pada Lo-sat-pay tiruan itu diberinya cacat apa?"
"Pada sebelah bawah Lo-sat-pay itu terukir macam-macam malaikat dan satu di antaranya
adalah bidadari penyebar bunga, betul tidak?"
"Betul." "Wajah bidadari pada barang tiruan itu sekali pandang saja dapat kukenal."
"O, sebab apa?"
"Sebab wajah yang diukirnya itu adalah wajah Lopannio."
"Lopannio?" Koh-siong menegas dengan tidak mengerti.
"Namanya Lopannio (nyonya juragan), dengan sendirinya dia adalah bini Cu-toalopan," tutur
Siau-hong dengan tersenyum.
Muka Koh-siong berubah menjadi kelam, jengeknya, "Makanya dapat kau lihat bahwa Losat-
pay yang diambil Pui Giok-hiang dari saku si jenggot biru itu pun barang palsu."
"Mestinya aku tidak mau melihatnya, tapi akhirnya tetap kulirlk juga. sekejap," kata Siauhong
dengan menyesal, "Tapi jadinya......"
"Jadi bagaimana?"
"Jadi celaka bagiku sendiri, selekasnya aku bisa celaka."
"Celaka" Celaka bagaimana?" "Celaka seperti nasib Han-bwe." Seketika Koh-siong menarik
muka. "Han-bwe berbuat begitu lantaran dia tidak rela di bawah perintah kalian, dia juga tidak mau
kesepian. Tapi apa tujuan kalian?"
Koh-siong Siansing tutup mulut dan tidak mau menjawab. "Jika kalian adalah pertapa yang
rela hidup menyepi, mana bisa kalian masuk menjadi anggota Lo-sat-kau (Ma-kau). Jika
kalian memang tidak ingin menjadi ketua Lo-sat-kau, untuk apa pula kalian membunuh Giok
Thian-po?" Air muka Koh-tiok juga berubah, bentaknya dengan bengis, "Apa katamu?"
"Aku cuma bicara sesuatu dalih yang sangat sederhana," jawab Siau-hong dengan tak acuh.
76 "Dalih apa maksudmu?" tanya Koh-tiok. "Jika benar kalian setia kepada Lo-sat-kau, mengapa
kalian tidak membunuh diriku untuk membalas sakit hati kematian putra Kaucu kalian?"
Setelah tertawa, lalu Siau-hong menjawab sendiri pertanyaannya, "Sebab kalian sendiri tahu
Giok Thian-po tidak mati di tanganku, bahkan kenal saja tidak denganku, dan sesungguhnya
siapa yang membunuhnya, tentu kalian tahu sendiri."
Koh-tiok menjengek, "Jika benar engkau seorang pintar, mestinya tidak perlu kau bicarakan
hal-hal ini." "Kubicara hal ini, sebab kutahu pula masih ada suatu dalih yang lebih sederhana."
"Dalih bagaimana"1' tanya Koh-tiok. "Yaitu, apakah kubicarakan hal-hal ini atau tidak, toh
aku tetap akan celaka." "Sebab apa?" "Sebab aku sudah melihat Lo-sat-pay itu, di dunia ini
hanya aku saja yang tahu Lo-sat-pay itu barang palsu, bilamana kalian ingin menggunakan
Lo-sat-pay ini untuk menukar singgasana ketua Lo-sat--kau terpaksa kalian harus membunuh
diriku untuk menghilangkan saksi."
Ia menghela napas, lalu menyambung, "Sekarang di sekitar sini tiada orang lain, inilah
kesempatan baik bagi kalian untuk turun tangan kepadaku. Pedang sakti gabungan Siong dan
Tiok, dengan sendirinya aku bukan tandingan kalian."
Koh-siong memandangnya dengan dingin, katanya tiba-tiba, "Kau beri suatu kesempatan
kepada Pui Giok-hui, aku juga dapat memberi kesempatan padamu."
"Kesempatan apa?" tanya Siau-hong.
Kesempatan untuk melarikan diri," kata Koh-siong. "Asalkan sekali ini dapat kau lolos,
selanjutnya kami pasti takkan mencarimu."
"Jika tidak dapat kabur?" tanya Siau-hong.
Meski Koh-siong dan Koh-tiok seperti berdiri seenaknya, tapi tempat yang mereka ambil
justru sangat bagus, serupa sebuah langgam, Liok Siau-hong telah terjepit di tengah.
Meski sekarang langgam belum menjepit, tapi sudah siap bekerja, di dunia ini pasti tidak ada
seorang pun dapat lolos dari jepitan tanggam ini.
Hal ini dapat dilihat Siau-hong dengan jelas, tapi dia tetap tertawa riang, katanya, "Kutahu tak
dapat kulari, tapi ada satu hal tidak kalian ketahui."
"Hal apa?" tanya Koh-siong,
"Andaikan dapat kulari, pasti juga aku takkan lari. Biar pun kalian mengusir diriku juga aku
tidak mau pergi." "Memangnya kau cari mampus?" "Tidak."
Keruan Koh-siong tidak mengerti, Koh-tiok juga bingung. Setiap tindakan Liok Siau-hong
memang sukar dipahami orang.
"Beberapa tahun terakhir ini sedikitnya beberapa puluh kali aku harus mati, tapi sampai saat
ini aku masih hidup sehat walafiat, apakah kalian tahu apa sebabnya?"
"Coba jelaskan."
"Sebab aku mempunyai kawan, kawan yang banyak, kebetulan satu-dua di antaranya juga
mahir ilmu pedang." Baru saja ia menyebut pedang, seketika punggung Ko-siong terasa dingin seperti disambar
hawa pedang. Seketika ia menoleh, dia tidak melihat pedang tapi melihat satu orang.
Hawa pedang yang dingin justru timbul dari tubuh orang ini. Tubuh orang ini sendiri sudah
serupa pedang yang tajam.
Kabut agak tebal, orang ini berdiri di tengah kabut sehingga kelihatan dingin dan samarsamar,
seakan-akan hantu yang muncul mendadak.
Koh-siong tidak dapat melihat jelas wajahnya, hanya kelihatan bajunya yang putih mulus
bagai salju. "Sebun Jui-soat?" seru Koh-siong dan Koh-tiok.
Meski wajah orang tidak terlihat jelas, pada hakikatnya malahan mereka tidak pernah melihat
Sebun Jui-soat, tapi dalam sekejap ini mereka merasa orang ini pasti Sebun Jui-soat.
77 Sebun Jui-soat tidak bergerak, juga tidak bicara, tidak melolos pedang, pada hakikatnya tidak
terdapat pedang. Siau-hong tersenyum, "Kapan kau datangkan dia?" tanya Koh-siong "Aku tidak mendatangkan dia, cuma di antara
sahabatku, kebetulan ada satu-dua orang akan mengundangnya kemari."
"Tepat juga orang yang kau datangkan," ujar Koh-siong. "Memang sudah lama kami ingin
berkenalan dengan Sebun Jui-soat yang sejurus saja mengalahkan Yap Koh-seng itu,"
sambung Koh-tiok. "Makanya seumpama dia tidak datang kemari, tentu kalian juga akan mencari dia,1' kata Siauhong.
Koh-tiok hanya mendengus saja, "Kau salah!" kata Sebun Jui-soat tiba-tiba. "Salah
apa?" tanya Koh-tiok.
"Ilmu pedang Pek-in-sengcu serupa awan putih dan langit biru, jernih tanpa cacat, tiada orang
yang mampu mematahkan jurus andalannya yang disebut Thian-gwa-hui-sian (dewa terbang
dan dari langit) itu."
"Kau pun tidak dapat?" tanya Koh-tiok. "Tidak," jawab Sebun Jui-soat.
"Tapi toh sudah kau patahkan, kau menang."
"Yang mematahkan jurus serangannya itu bukan diriku."
"Habis siapa?" tanya Koh-tiok.
"Dia sendiri," jawab Sebun Jui-soat.
Koh-siong tidak paham. Koh-tiok juga tidak. Ucapan Sebun Jui-soat memang sukar dipahami
orang. "Meski ilmu pedangnya jernih dan murni, tapi hatinya cacat," kata Sebun Jui-soat pula.
Mencorong terang sinar matanya, perlahan ia menyambung pula, "Intisari ilmu pedang
terletak pada hati yang tulus dan perasaan yang murni, bilamana hati seorang kotor, tentu saja
akan kalah." Mendadak Koh-tiok merasakan hawa pedang menyambar, kata-kata itu dirasakan lebih tajam
daripada ujung pedang. Hal ini bukankah disebabkan juga hatinya kotor" "Bilamana hatinya
kotor, pedangnya pasti lemah ...." "Dan dimana pedangmu?" potong Koh-tiok dengan bengis,
karena tidak tahan. "Pedang selalu ada padaku," jawab Sebun Jui-soat. "Dimana?" tanya Koh-tiok pula, "Dimanamana
ada!" Jawaban yang sukar dimengerti ini justru dapat dipahami Koh-tiok, Koh-siong juga paham.
Jika orang dan pedangnya sudah terlebur menjadi satu, maka orangnya adalah pedangnya,
asalkan orangnya ada, segala macam benda di jagat ini adalah pedangnya. Inilah tingkatan
yang paling tinggi dalam pengertian ilmu pedang.
Siau-hong tersenyum, ucapnya, "Tampaknya setelah kemenanganmu atas Pek-in-sengcu Yap
Koh-seng, ilmu pedangmu telah bertambah maju setingkat lagi."
Sebun Jui-soat termenung agak lama, katanya kemudian, "Masih ada sesuatu yang tidak kau
pahami." "Oo, apa?" tanya Siau-hong.
Sinar mata Sebun Jui-soat yang mencorong itu tiba-tiba berubah menjadi guram, katanya,
"Setelah kukalahkan Peng-in-sengcu dengan pedang itu, siapa pula di kolong langit ini yang
pantas kuhadapi dengan pedangku itu"
Mendadak Koh-tiok mendengus, "Aku....."
Tapi Sebun Jui-soat tidak memberi kesempatan bicara padanya, jengeknya, "Kau lebih-lebih
tidak setimpal, Jika kalian harus menghadapi lawan dengan pedang gabungan, ilmu pedang
macam ini hanya pantas untuk memotong babi."
"Cring," seketika Koh-tiok melolos pedangnya.
Begitu Koh-tiok melolos pedangnya, seketika cahaya pedang menyambar,
78 Sebun Jui-soat tetap tidak bergerak, juga tidak menghunus pedangnya. Pada hakikatnya tiada
pedang yang perlu dihunusnya. Di mana pedangnya"
Mendadak terdengar pula suara "cring" yang nyaring, sinar pedang gemerdep, bayangan
orang terpencar dan merapat lagi. Tahu-tahu kedua orang telah berdiri muka berhadapan
muka, ujung pedang Koh-tiok menitikkan darah.
Darah menitik dan ujung pedangnya sendiri. Tapi pedang tidak lagi terpegang olehnya
melainkan telah menembus tubuhnya dari dada ke punggung.
Dengan terkejut Koh-tiok memandang Sebun Jui-soat seolah-olah tidak percaya kepada apa
yang telah terjadi itu. "Sekarang tentunya kau tahu di mana pedangku?" ucap Sebun Jui-soat dengan dingin.
Koh-tiok ingin bicara, tapi hanya terbatuk-batuk saja.
"Pedangku berada di tanganmu, pedangmu adalah pedangku,"
kata Sebun Jui-soat pula.
Koh-tiok meraung, ia melolos pedang lagi. Ketika pedang tercabut dari dadanya, darah segar
lantas menyembur seperti air mancur.
Sebun Jui-soat tetap tidak bergerak, darah segar muncrat sampai di depannya dan jatuh
berhamburan, ujung pedang juga menyambar ke depannya dan melambai ke bawah.
Waktu Koh-tiok ambruk, Sebun Jui-soat juga tidak memandangnya, yang dipandangnya ialah
Liok Siau-hong. "Kausuruh orang mengundangku dan aku sudah datang!" kata
"Kutahu kau pasti datang." kata Siau-hong. "Sebab aku berhutang budi padamu." "Yang lebih
penting, sebab engkau adalah sahabatku." "Biar pun kita adalah sahabat, tapi inipun
merupakan penghabisan kalinya."
"Penghabisan kali?" Siau-hong menegas. "Ya,"sudah kubayar lunas hutangku padamu." ujar
Jui-soat dengan dingin. "Aku tidak ingin hutang lagi padamu, juga tak mau kau berhutang
padaku, maka....." "Maka lain kali biar pun kau lihat aku dibunuh orang juga takkan turun tangan menolong
lagi," tukas Siau-hong dengan tersenyum getir.
Sebun Jui-soat hanya memandangnya dengan dingin tanpa menyangkal. Lalu dia melangkah
pergi dan menghilang di balik kabut secara misterius, serupa munculnya tadi secara
mendadak. Koh-siong tidak bergerak, sampai lama sekali ia tetap tak bergerak, seolah-olah benar telah
berubah sebatang "koh-siong" atau cemara kering.
Kabut semakin tebal, sampai jenazah Koh-tiok yang cuma beberapa tombak jauhnya itu tidak
terlihat lagi. Tentu saja bayangan Sebun Jui-soat sudah menghilang sejak tadi.
Tiba-tiba Koh-siong menghela napas, katanya, "Orang ini bukan manusia, pasti bukan."
Siau-hong tidak menyangkal, juga tidak membenarkan.
Ilmu pedang seorang kalau sudah terbaur dengan jiwa-raganya, maka orangnya kan sudah
mendekati 'Sin' atau dewata.
Tiba-tiba sinar mata Liok Siau hong memancarkan semacam perasaan simpatik dan sedih.
Dapat juga Koh-siong menyelami perasaan Siau-hong itu, tiba-tiba ia bertanya dengan dingin,
"Kau bersimpati padanya?"
"Simpatiku bukan kepadanya," jawab Siau-hong.
Bukan dia?" Koh-siong menegas.
"Dia sudah beristri dan beranak, mestinya kukira dia sudah berubah menjadi seorang."
"Namun dia tidak berubah."
"Ya, dia tidak berubah."
"Pedang kan benda abadi yang takkan berubah. Jika orangnya sama dengan pedangnya, mana
bisa dia berubah?" 79 Siau-hong menghela napas. Pedang takkan berubah selamanya, pedang juga akan melukai
orang selamanya. "Seorang perempuan kalau sudah menjadi isteri pedang tentu hidupnya takkan enak," kata
Koh-siong. "Kukira begitu," ujar Siau-hong. "Makanya simpatimu kepada isterinya." Kembali
Siau-hong menghela napas gegetun. Koh-siong memandangnya lekat-lekat, katanya
kemudian. "Di antara kalian pasti ada pengalaman yang sedih, sangat mungkin isterinya
adalah sahabatmu, kenangan lama yang mengharukan maka kau ..."
Baru kata "kau" terucapkan, serentak pedangnya juga bergerak secepat kilat menusuk leher
Liok Siau-hong. Leher adalah bagian mematikan, saat ini juga merupakan kelemahan jiwa Siau-hong yang lagi
mengenangkan masa lampau.
Koh-siong telah memilih kesempatan yang paling tepat untuk turun tangan. Pedangnya
terlebih cepat daripada pedang Koh-tiok, jaraknya dengan Liok Siau-hong juga sangat dekat,
serangan kilat ini jelas serangan maut, untuk ini dia yakin sepenuhnya.
Cuma sayang, ia melalaikan sesuatu. Yaitu, lawannya bukan orang lain, tapi Liok Siau-hong.
Pada saat sinar pedang berkelebat, pada detik yang sama tangan Siau-hong juga bergerak,
hanya dua jarinya yang digunakan dan menjepit dengan pelahan.
Sukar untuk dilukiskan betapa cepat dan ajaibnya jepitan tangan Siau-hong itu Begitu sinar
pedang lenyap, tahu-tahu ujung pedang juga sudah terjepit di tengah jari Siau-hong.
Koh-siong menarik pedangnya dan menarik lagi. Tapi pedang tidak bergeming.
Gemetar Koh-siong karena takut, mendadak ia lepas tangan dan melompat mundur sejauhjauhnya.
Tenaga dan kecepatan lompatan ini juga sukar untuk dibayangkan, sebab ia
menyadari saat ini menyangkut mati hidupnya.
Kekuatan manusia yang timbul pada saat menghadapi pilihan antara hidup dan mati memang
sukar untuk dibayangkan orang.
Siau-hong tidak mengejar, sebab pada saat itu juga diketahuinya di tengah kabut tebal sana
muncul lagi sesosok bayangan manusia. Bayangan yang remang, lebih remang daripada kabut
dan sukar diraba apa sesungguhnya.
Gerak cepat Koh-siong itu mendadak berhenti dan anjlok ke bawah, tenaganya seperti runtuh
mendadak dalam sekejap itu, runtuh seluruhnya. Sebab dia juga sudah melihat orang itu,
orang yang serupa hantu itu.
"Bluk", tokoh kelas tinggi dunia persilatan dengan Ginkangnya yang hebat ini mendadak
jatuh ke tanah serupa sepotong batu yang terbanting, lalu tidak bergerak lagi.
Tampaknya bukan cuma tenaganya yang runtuh habis-habisan, bahkan jiwanya juga sudah
runtuh, tamat. Keruntuhan yang mendadak ini apakah lantaran dia melihat pendatang ini" Apakah pendatang
ini membawa semacam kekuatan yang dapat membuat keruntuhan dan kematian orang"
Kabut belum buyar, orang itu juga belum pergi. Orang dalam kabut itu seperti sedang
memandang Liok Siau-hong dari jauh. Siau-hong juga memandangnya dan dapat melihat
matanya. Sukar untuk dilukiskan bagaimana mata orang itu, "Liok Siau-hong?" tegur orang
dalam kabut itu tiba-tiba. "Kau kenal diriku?" jawab Siau-hong. "Bukan saja kenal, bahkan
sangat berterima kasih." "Terima kasih?"
"Ya, terima kasih mengenai dua hal. Selain terima kasih karena engkau telah menumpas
anggota kami yang berkhianat dan musuh dari luar, juga berterima kasih karena engkau bukan
musuhku." Siau-hong menarik napas dalam-dalam, ucapnya, "Jadi engkau ..."
"Aku she Giok," kata orang itu.
"Jadi engkau Giok Lo-sat dari barat?" Orang di tengah kabul mengiakan.
Kabut berwarna putih kelabu, samar-samar Giok Lo-sat juga kelihatan putih kelabu, serupa
asap yang mengambang seperti ada seperti tak ada. Sesungguhnya dia manusia atau hantu"
80 Tiba-tiba Siau-hong tertawa dan menggeleng, katanya, "Sebenarnya sudah harus kupikirkan
sejak tadi." "Pikirkan apa?" tanya Giok Lo-sat.
"Tentang dirimu, bahwa kematianmu hanya sebagai kedok saja."
"Kenapa perlu kulakukan hal ini?"
"Sebab engkau adalah ketua Lo-sat-kau, tentunya kau harapkan agamamu akan berkembang
dan takkan musnah untuk selamanya."
Giok Lo-sat diam saja, diam berarti membenarkan.
"Akan tetapi organisasi Lo-sat-kau sudah teramat besar, dengan sendirinya anggotanya juga
meliputi berbagai unsur yang ruwet. Pada waktu hidupmu tentu tidak ada yang berani
berkhianat, bila engkau meninggal, kau sangsi apakah semua anggota akan tetap setia kepada
anak-cucumu?" "Emas yang paling murni saja tetap ada kotorannya, apalagi manusia," ujar Giok Lo-sat.
"Karena kau tahu di antara pengikutmu itu pasti ada yang tidak setia padamu, agar pondasi
yang kau tinggalkan bagi anak-cucumu ini tetap kuat. unsur perusak ini harus kau temukan
selagi engkau masih hidup."
"Pada waktu engkau hendak menanak nasi, bukankah butiran pasir dalam beras harus kau
buang lebih dulu?" kata Giok Lo-sat.
"Tapi kau tahu usaha ini bukan pekerjaan mudah, ada biji pasir yang berwarna putih dan sukar


Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk dibedakan di tengah beras. Mereka baru akan kelihatan dengan jelas bilamana mereka
merasa tiada sesuatu lagi yang perlu ditakuti."
"Selama aku belum mati, tentu mereka tidak berani bertindak," tukas Giok Lo-sat.
"Tapi sayang, bukan urusan gampang menghendaki kematian mu, sebab itulah engkau sendiri
lantas pura-pura mati."
"Tipu muslihat kuno ini masih hidup sampai sekarang, justru lantaran dia selalu berhasil."
"Tampaknya sekarang tipu muslihatmu ini sudah sukses, bukankah engkau sangat gembira?"
tanya Siau-hong dengan tertawa. Meski tertawa, namun suaranya seperti mengandung ejekan.
Dengan sendirinya Giok Lo-sat dapat merasakannya, segera ia balas bertanya, "Mengapa aku
tidak boleh bergembira?"
"'Sekalipun usahamu telah sukses, akan tetapi bagaimana dengan anakmu?" tanya Siau-hong.
Mendadak Giok Lo-sat tertawa, tertawa seram, serupa orangnya, suara tertawa yang sukar
diraba, suara tertawa yang kedengarannya juga penuh mengandung ejekan.
Siau-hong tidak mengerti mengapa Giok Lo-sat masih dapat tertawa begini.
"Haha, jika kau sangka orang yang mati di tangan mereka itu adalah putraku sesungguhnya,
maka jelas engkau terlalu rendah menilai diriku," kata Giok Lo-sat kemudian.
"Memangnya orang yang dibunuh mereka itu bukan Giok Thian-po yang sesungguhnya?"
"Yang mati itu memang Giok Thian-po yang sesungguhnya, cuma Giok Thian-po bukanlah
putraku." "Sudah sekian puluh tahun mereka menjadi pengikutmu, masa siapa putramu saja tidak
mereka ketahui?" Dengan perlahan Giok Lo-sat menjawab, "Soalnya, putraku sendiri pada saat dilahirkan lantas
bukan putraku lagi."
Liok Siau-hong merasa bingung.
"Kutahu engkau takkan mengerti urusan ini, sebab engkau bukan ketua Lo-sut-kau dari
barat." "Apabila aku menjabat ketuanya?" tanya Siau-hong.
"Jika kau jadi ketua Lo-sat-kau, tentu kau tahu seorang yang telah menduduki tempat setinggi
itu pasti sukar untuk mendidik anaknya sendiri, sebab urusan yang harus dikerjakannya terlalu
banyak. " 81 Sampai di sini mendadak suaranya berubah berduka, katanya pula, "Perempuan yang
melahirkan anak bagiku itu, pada hari melahirkan juga dia lantas meninggal, bilamana
seorang anak dilahirkan sebagai calon ketua Lo-sat-kau di kemudian hari, tapi tidak dapat lagi
mendapatkan didikan ayah-bundanya. Lalu bagaimana jadinya dia kelak?"
"Tentu saja akan jadi orang serupa Giok Thian-po itu," kata Siau-hong.
"Nah, makanya pada hari ketujuh setelah anak itu lahir segera kuserahkan dia kepada seorang
kepercayaanku untuk dididik pada hari yang sama itu aku pun menerima seorang anak lain
sebagai putraku, rahasia ini sampai sekarang belum diketahui oleh siapa pun."
"Mengapa sekarang kau beritahukan padaku?"
"Sebab kupercaya padamu."
"Kita kan bukan sahabat?"
"Justru lantaran kita bukan musuh, juga bukan sahabat, maka kupercaya penuh padamu."
Kembali sinar mata Giok-lo-sat menampilkan rasa ejekan. "Jika kau jadi ketua Lo-sat-kau
dari barat, tentu engkau akan paham maksudku ini."
Liok Siau-hong paham. Ada sementara orang yang namanya sahabat terkadang jauh lebih menakutkan daripada
musuh. Tapi meski dia sendiri juga berpengalaman pahit begitu, namun dia bukan ketua Lo-sat-kau.
Liok Siau-hong tetap Liok Siau-hong.
Sinar mata Giok Lo-sat seperti menembus kabut dan menembus hati Liok Siau-hong, dengan
tertawa ia berkata pula. "Meski engkau bukan ketua Lo-sat-kau, tapi kutahu engkau sangat
memahami diriku, sama halnya meski aku bukan Liok Siau-hong, tapi aku pun sangat
memahami pribadimu."
Mau tak mau Siau-hong harus mengakui kebenaran hal ini. Meski dia tidak melihat jelas
wajah orang, tapi di antara mereka sudah timbul semacam saling pengertian dan saling
menghormati yang sukar dipahami orang lain.
Giok Lo-sat seperti dapat menyentuh lagi jalan pikiran Siau hong, perlahan ia berkata pula,
"Aku bersyukur engkau bukan musuhku, sebab dapat kurasakan sesuatu yang sangat
menakutkan." "Urusan apa?" tanya Siau-hong.
"Engkau adalah orang yang paling menakutkan yang pernah kulihat selama hidup ini. Apa
yang dapat kau lakukan banyak yang tidak dapat kukerjakan, sebab itulah, kedatanganku ini
sebenarnya hendak membunuh dirimu."
"Dan sekarang?" tanya Siau-hong.
"Sekarang aku cuma ingin bertanya sesuatu padamu."
"Silakan tanya."
"Sekarang kita bukan sahabat, juga bukan musuh, tapi bagaimana kelak?"
"Kelak semoga juga begini." "Sungguh engkau berharap demikian?" "Sungguh,"
"Namun tidaklah mudah untuk mempertahankan hubungan baik begini."
"Kutahu." "Engkau tidak menyesal?"
Siau-hong tertawa, katanya, "Aku pun berharap engkau mengerti sesuatu."
"Coba katakan."
"Selama hidupku ini banyak juga kutemui orang yang menakutkan, tapi tiada satu pun yang
lebih menakutkan daripadamu."
Giok Lo-sat tertawa. Waktu dia mulai tertawa jelas dia masih berada dalam kabul, tapi waktu
suara tertawanya berkumandang, tahu-tahu bayangannya sudah menghilang.
Tiba-tiba Siau-hong merasa dirinya seolah-olah menghilang juga di tengah kabut.
Ia tidak tahu apa yang telah dilakukannya ini berhasil atau gagal"
T A M A T Nurseta Satria Karang Tirta 12 Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Pedang Ular Mas 8
^