Pencarian

Kidung Senja Di Mataram 4

Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


Sementara itu, Joko Lawu gembira bukan main melihat munculnya orang yang amat dikaguminya itu dan munculnya si kedok hitam mendatangkan semangat besar dalam dirinya. Diapun mengamuk dan kemben merahnya meledak-ledak semakin ganas, membuat para pengepungnya menjadi semakin kacau.
Melihat betapa kepungan itu sudah mengendur dan para pengeroyok menjadi gentar, si kedok hitam melompat dekat di samping Joko Lawu dan berkata lirih, "Lari......!" dan dia sendiri mendahului lari ke arah barat, diikuti oleh Joko Lawu. Kiranya di belakang sebuah batu besar di tepi sungai terdapat sebuah perahu kecil dan si kedok hitam mengajak Joko Lawu memasuki perahu yang segera didayungnya ke tengah sungai yang pada saat itu sedang pasang airnya oleh air hujan, Brantoko yang marah sekali meneriaki kawan-kawannya untuk melakukan pengejaran dan ketika melihat dua orang itu melarikan diri dengan perahu menyeberangi sungai, diapun menggerakkan tangan kanannya.
Koleksi Kang Zusi "Serrr..........! Serrr..........!!" Dua batang belati terbang telah dilontarkan ke arah punggung si kedok hitam.
"Awas.......!" teriak Joko Lawu. Akan tetapi, si kedok hitam menoleh dan dengan tenang saja kedua tangan melepas dayung dan menangkap dua batang pisau belati yang terbang menyambarnya itu dari samping!
"Serang dengan panah!" teriak Brantoko. Akan tetapi karena belum siap sebelumnya, anak buahnya terlambat mempergunakan anak panah dan setelah mereka dapat menyerang perahu sudah jauh hampir mencapai seberang sehingga anak-anak panah itu tidak ada gunanya lagi, tidak dapat mencapai sasaran dengan tepat karena terlampau jauh.
Brantoko mencak-mencak saking kecewa dan marahnya. "Kalian semua goblok! Menangkap seorang lawan saja tidak becus dan membiarkan dia lolos!"
Para anak buahnya yang saling bantu karena luka-luka, hanya saling pandang dan tidak ada yang berani membantah. Akan tetapi di dalam hati mereka, semua mengomel, "Engkau lebih dari goblok! Engkau yang memimpin, dan dibantu oleh kami, tetap engkau tidak becus menangkapnya."
Sementara itu, perahu yang didayung si kedok hitam telah tiba di seberang sungai. Selama perahu diluncurkan menyeberang, di antara mereka tidak terjadi percakapan apapun. Setelah tiba di seberang, si kedok hitam berkata, "Mendaratlah, andika aman sekarang."
Joko Lawu meloncat ke darat dan bertanya, "Terima kasih atas Koleksi Kang Zusi
pertolonganmu, ki sanak. Akan tetapi, siapakah andika" Bolehkah saya mengetahui......"
"Aku hanya seorang biasa saja, tidak ada waktu untuk bicara sekarang.
Selamat tinggal!" dan diapun mendayung pula perahunya, meluncurkan perahu itu ke hilir. Joko Lawu berdiri termangu, mengikuti perahu itu dengan pandang matanya sampai perahu itu menghilang di tikungan sungai.
Joko Lawu pergi dari tepi sungai itu, mencari tempat yang sunyi karena besar kemungkinan Brantoko dan anak buahnya akan menyeberang dan mencarinya. Setelah tiba di tempat sunyi, dia duduk termenung. Dia kagum sekali kepada si kedok hitam. Sayang penolongnya itu sama sekali tidak mau memperkenalkan wajahnya. Akan tetapi harus diakuinya bahwa si kedok hitam itu tangguh bukan main, dan jelas lebih pandai, lebih digdaya dibandingkan dengan Brantoko, atau bahkan Nurseta sekalipun. Cara dia tadi menangkap pisau terbang, hal itu mungkin hanya dapat dilakukan oleh ayahnya, Ki Sinduwening. Dan senjatanya tadi! Sebuah suling bambu kuning inipun membuktikan betapa tinggi ilmu si kedok hitam. Tanpa penyaluran tenaga yang dahsyat, tentu suling dari bambu kuning itu akan remuk bertemu dengan kolor lawe yang ampuh. Akan tetapi diapun merasa bersedih. Niatnya untuk bertemu Aji dan minta bantuannya lagi gagal.
Bagaimana dia akan dapat bertemu dengan Aji" Tanpa bantuan perawat kuda kadipaten itu, bagaimana mungkin dia akan dapat menyelundup ke kadipaten dan membebaskan ayahnya" Ingin rasanya dia menangis kalau teringat akan ayahnya yang masih menjadi tawanan musuh.
Setelah merasa yakin bahwa Brantoko dan anak buahnya tidak melakukan pengjaran, dan hari telah menjelang senja, Joko Lawu menyusuri sungai untuk mencari alat menyeberang. Di musim kemarau, mudah saja menyerberangi sungai itu karena airnya hanya sedikit dan dia dapat berloncatan dari batu ke batu. Akan tetapi, akhir-akhir ini turun banyak hujan dan air sungai naik cukup tinggi. Hanya dengan perahu saja dia dapat menyeberang. Cuaca sudah mulai gelap dan perutnya sudah mulai lapar, juga tubuhnya lelah oleh perkelahian tadi. Pangkal lengan kiri dan paha kanannya juga terasa nyeri karena tadi di kedua bagian tubuhnya itu Koleksi Kang Zusi
sempat terpukul kolor lawe para pengeroyok. Tidak sampai terluka parah, hanya kulitnya saja yang membiru.
Selagi dia merasa bingung bagaimana akan dapat menyeberang, tiba-tiba wajahnya berseri ketika dari sebelah hulu sungai, muncul dari tikungan, nampak sebuah rakit meluncur perlahan di bagian pinggir sungai. Rakit itu terbuat dari beberapa batang bambu yang disambung-sambung berjajar, dan seorang laki-laki setengah tua berdiri di atas rakit, menggunakan sebatang bambu untuk mendorong rakitnya. Di atas rakit terdapat beberapa tundun pisang yang diikat dengan rakit. Agaknya orang itu hendak membawa barang dagangan itu ke pasar di hilir sungai. Melihat ini cepat Joko Lawu berseru.
"Paman, tolonglah saya menyeberang!"
Orang itu menoleh dan memandang heran kepada pemuda tampan yang berdiri di tepi sungai. Dia nampak ragu-ragu.
"Tolonglah, paman. Saya mempunyai urusan penting sekali di seberang sana. Nanti saya beri upah satu reyal."
Orang itu terbelalak. Satu reyal" Empat tundun pisangnya belum tentu menghasilkan satu reyal. Dia mengangguk dan mendorong perahunya ke tepi. Joko Lawu melangkah ke atas rakit dan orang itu pun mendorong perahunya menyeberang. Bambu pendorong itu cukup panjang untuk mencapai dasar sungai dan rakit meluncur dengan mulusnya ke tengah sungai. Ngeri juga perasaan hati Joko Lawu ketika dia berdiri di atas rakit itu. Kakinya terendam air sampai ke mata kaki. Berbeda dengan ketika naik perahu bersama si kedok hitam tadi. airnya tidak masuk. Akan tetapi rakit ini agak tenggelam karena hanya terbuat dari beberapa batang bambu saja. Agaknya tidak cukup kuat menahan berat badan dua orang dan beberapa tundun pisang. Dia tidak pandai renang, inilah yang membuat Joko Lawu merasa ngeri.
Koleksi Kang Zusi Ketika rakit itu tiba di tengah sungai, tiba-tiba dari tikungan sungai muncul empat buah perahu yang didayung cepat menghampiri rakit. Joko Lawu memandang terbelalak ketika dia mengenal Brantoko dan anak buahnya memenuhi empat buah perahu itu.
"Paman, cepat bawa rakit ke tepi!" teriaknya kepada tukang rakit. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat orang yang ditumpangi rakitnya itu meloncat ke dalam air sambil membawa batang bambu yang tadi digunakan untuk mendorong rakit! Rakit itu kini tidak terkendali lagi, hanyut oleh arus air sungai dan malang-melintang. Joko Lawu melolos kembennya, siap untuk menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi, perahu-perahu itu menggunakan bambu panjang untuk mendorong rakit ke sana ke mari, membuat rakit itu berputar-putar. Joko Lawu tidak dapat berdiri tegak. Rakit itu terguncang-guncang, bahkan tiba-tiba saja terbalik ketika beberapa orang anak buah Brantoko terjun ke air dan menggulingkan rakit.
Tak dapat dicegah lagi, tubuh Joko Lawu terlempar ke dalam air. Karena dia tidak pandai renang, maka dia gelagapan dan tak lama kemudian diapun tak sadarkan diri, tidak tahu bahwa ia telah ditangkap dan ditelikung!
Ketika sadar, Joko Lawu mendapatkan dirinya sudah berada di dalam kereta, dan dibelenggu kaki tangannya, pakaiannya masih basah, dan jauh dari tempat dia terbelenggu, duduk pula Brantoko yang memandang kepadanya dengan senyum menyeringai. Di belakang kereta terdengar derap kaki banyak kuda, tentu anak buah Brantoko yang mengawal di belakang. Di depan duduk seorang kusir dan kereta itu memasuki pintu gerbang kadipaten Ponorogo. Dia telah menjadi seorang tawanan!
Setelah tiba di kadipaten, Joko Lawu dimasukkan dalam sebuah kamar tahanan oleh Brantoko sendiri yang mendorongnya dan merebahkannya di atas dipan dalam kamar tahanan itu. Barulah dia melepaskan belenggu kaki tangan Joko Lawu dan berkata, "Sebaiknya engkau jangan memberontak di sini. Ingat, kalau engkau membuat keributan, Paman Sinduwening dapat Koleksi Kang Zusi
dibunuh seketika. Kalau engkau tidak memberontak, engkau akan diperlakukan dengan baik."
Joko Lawu menggosok-gosok pergelangan kaki tangannya bekas ikatan belenggu tadi dan dia memandang kepada pemuda tinggi besar itu penuh kemarahan. "Engkau jahanam pengecut!"
Akan tetapi Brantoko hanya tersenyum dan meninggalkannya dalam kamar tahanan, mengunci kamar berjeruji itu dari luar dan meninggalkan enam orang penjaga di luar pintu kamar tahanan. Joko Lawu marah sekali.
Kenapa dia tidak dijadikan satu dalam tahanan ayahnya" Biarpun menjadi tawanan, kalau dapat berkumpul dengan ayahnya hatinya akan tenang. Dia tidak tahu bahwa sebetulnya ayahnya tidak berada jauh darinya, akan tetapi dalam kamar lain walaupun satu atap.Setelah meninggalkan Joko Lawu, Brantoko lalu menghadap Adipati Ponorogo untuk memberi laporan akan hesilnya menangkap Joko Lawu. "Seperti yang hamba duga, Joko Lawu adalah Mawarsih, puteri Paman Sinduwening, kanjeng pangeran. Hamba masih berpura-pura tidak mengenalnya. Dengan gadis itu menjadi tawanan kita, hamba yakin ayah dan anak itu akan suka membantu kita. Hamba akan membujuk mereka. Tentu mereka akan saling menyelamatkan dan untuk itu, tentu mereka akan suka berkorban apa saja." Brantoko menambahkan, merasa bangga akan hasil tugasnya yang baik.
"Bagus Brantoko. Pekerjaanmu berhasil baik sekali dan kami merasa gembira. Akan tetapi tentang bujukan itu, tidak perlu kaulakukan.
Ketahuilah bahwa sesuai dengan rencana kita, maka Nurseta akan diberi kesempatan untuk membebaskan ayah dan anak itu. Dengan demikian, maka Mataram akan semakin percaya kepadanya dan akan menelan semua laporannya tentang pertahanan di Ponorogo. Juga Nurseta akan berterima kasih karena dia ingin sekali berjasa kepada ayah dan anak itu sehingga kelak dia pasti akan menjadi pembantu kita yang boleh diandalkan, mengingat dia menguasai pasukan yang besar." Demikian ucapan Pangeran Jayaraga, adipati Ponorogo. Semua orang yang hadir mengangguk membenarkan, dan tentu saja Brantoko juga tidak berani membantah.
Namun sesungguhnya perintah ini berlawanan dengan kainginan hatinya.
Koleksi Kang Zusi Diapun ingin berbaik dengan Ki Sinduwening, akan tetapi dengan pamrih lain. Dia tergila-gila kepada Mawarsih, dan ingin agar Mawarsih menjadi isterinya. Atau setidaknya, demikian nafsu bicara, dia harus lebih dahulu dapat mengusai diri gadis yang setiap malam menjadi kembang mimpinya itu sebelum dibebaskan oleh Nurseta seperti yang menjadi rencana siasat Ponorogo. Dan inilah kesempatan terbaik, pikirnya. Selagi Mawarsih menjadi tawanan, terbuka kesempatan lebar baginya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi"
Demikianlah, setelah rapat itu bubaran, Brantoko tak dapat tidur, gelisah selalu memikirkan Mawarsih. Kalau saja menurut kehendaknya, tidak perlu Nurseta diberi kesempatan membebaskan Ki Sinduwening dan Mawarsih.
Bahkan dialah yang seharusnya diberi kesempatan itu, diam-diam diatur agar dia yang berjasa sehingga Ki Sinduwening dan Mawarsih mesara berhutang budi kepadanya dan memperbesar kemungkinan dia akan diterima sebagai jodoh Mawarsih. Kenapa harus Nurseta" Dia teringat akan pemuda itu yang dahulu pun sudah berjasa membantu Ki Sinduwening dan Mawarsih ketika terjadi pertempuran antara ayah dan anak itu melawan ayahnya dan dia bersama pembantu mereka.
"Aku harus dapatkan Mawarsih! Harus," demikian tekadnya sambil mengepal tinju. Kalau hal itu terjadi, maka hanya merupakan urusan pribadi antara dia dan Mawarsih. Adipati Ponorogo tidak terlbat dan tidak ada urusannya dengan hal itu. Pula, tidak akan menghalangi perjuangan Ponorogo. Sesudah tercapai apa yang dia kehendaki, boleh saja Nurseta menyelamatkan atau membebaskan ayah dan anak itu. Bahkan boleh saja kelak Nurseta mengawini Mawarsih. Dia tersenyum menyeringai, menertawakan Nurseta.
*** Nurseta telah benar-benar terjatuh ke dalam genggaman Mayaresmi.
Belum pernah selama hidupnya dia mengalami kenangan seperti yang dialaminya bersama wanita itu. Dia telah tunduk dan menyerah, dan menuruti semua bujukan Mayaresmi. Nurseta telah lupa segala, bahkan menganggap bahwa tindakannya itu benar. Dia akan memperoleh kekuasaan kalau membantu Pangeran Jayaraga dan dia dapat diyakinkan oleh Koleksi Kang Zusi
Mayaresmi bahwa perjuangan Pangeran Jayaraga pasti berhasil. Mungkin dia akan diangkat menjadi patih kelak kalau Adipati Ponorogo itu dapat menumbangkan tahta Kerajaan Mataram dan merampas singgasana. Bahkan Mayaresmi menjanjikan akan membantu dia agar dia dapat meraih gadis yang amat dicinta dan diridukannya, yaitu Mawarsih. Dan semua tugas yang dibebankan kepadanya hanya mudah sekali. Dia akan terus melanjutkan tugasnya sebagai senopati Mataram mengepalai penyelidik menggantikan Ki Sinduwening yang tertawan. Dia akan mengirim laporan-laporan seperti apa adanya kepada Sang Prabu Hanyokrowati di Mataram. Semua akan berjalan seperti biasa, seolah tidak terjadi perubahan pada dirinya. Hanya dia akan membujuk agar ayahnya, Ki Demang Padangsuta yang menjadi demang di Praban, diam-diam mempersiapkan diri agar agar kelak kalau terjadi perang antara Ponorogo dan Mataram, ayahnya akan membantu Ponorogo pula. Juga dia akan mempersiapkan pasukan yang dipimpinnya di Mataram kelak untuk melakukan gerakan dari dalam kalau terjadi perang, membantu Ponorogo. Semua itu demikian mudahnya!
Tepat seperti dijanjikan Mayaresmi yang lebih dahulu sudah mengatur siasat dengan dia, Nurseta malam itu memasuki Ponorogo dan tidak mendapat halangan atau gangguan apapun. Para perajurit penjaga melihat dia seperti melihat seorang pemuda biasa saja dan tidak ada yang menaruh curiga, tidak ada yang bertanya atau menegur. Ketika Nurseta tiba di warung Pak Jiyo, warung itu sudah tutup dan dia mengetuk daun pintu itu perlahan, tiga kali berturut-turut setiap kali tiga ketukan pendek. Itulah isarat ketukan yang dipergunakan di antara anggota penyelidik dari Mataram.
Daun pintu terbuka dan Pak Jiyo menyambut kedatangan Nurseta dengan ramah dan hormat. "Silakan masuk, raden."
Daun pintu segera ditutup kembali setelah Nurseta masuk dan mereka segera duduk bercakap-cakap di ruang dalam. "Paman Jiyo, aku datang sebagai utusan Sang Prabu di Mataram untuk menggantika pimpinan Paman Sinduwening, juga aku bertugas untuk membebaskan dia dari tahanan. Nah, ceritakan semua yang telah terjadi di Ponorogo. Setelah itu, aku juga mencari keterangan apakah puteri Paman Sinduwening yang bernama Mawarsih berada di Ponorogo.
Koleksi Kang Zusi Pak Jiyo bercerita. Dia menceritakan tentang penangkapan atas diri Ki Sinduwening, kemudian tentang Joko Lawu, penyamaran dari Mawarsih yang berusaha menyelamatkan ayahnya.
"Akan tetapi usahanya itu gagal, raden. Untung ada seorang rahasia yang berkedok" hitam menolongnya sehingga Joko Lawu dapat melarikan diri dan bersembunyi di sini."
Bukan main gembiranya hati Nurseta mendengar itu. "Di mana dia sekarang, paman?"
"Joko Lawu sudah meninggalkan tempat ini, raden. Malam kemarin datang Jangir, seorang rekan kami dan Jangir yang membawa dan mengantarnya keluar kota. Joko Lawu merasa tidak aman di sini, juga tidak betah karena dia bertekad untuk mencoba lagi membebaskan ayahnya."
"Di mana Jangir" Aku ingin tahu di mana adanya Joko Lawu."
"Jangir juga telah pergi diam-diam ketika saya dipanggil oleh Senopati Surodigdo. Saya ditanya tentang Joko Lawu, akan tetapi saya mungkir dan akhirnya dilepas kembali. Ketika saya kembali ke sini. Jangir telah pergi.
Mungkin dia merasa tidak aman."
"Hemm, sudahlah. Kauhubungi kawan-kawan dan kabarkan bahwa aku di sini meng- gantikan pimpinan Paman Sinduwening, dan besok lusa malam agar semua datang ke sini menyampaikan segala laporan yang berhasil Koleksi Kang Zusi
mereka kumpulkan kepadaku. Aku sendiri akan segera berusaha untuk membebaskan Paman Sinduwening."
Pak Jiyo membelalakkan matanya. "Akan tetapi, itu berbahaya sekali, raden. Apakah paduka memerlukan tenaga bantuan untuk tugas itu?"
"Tidak, paman. Akan kulakukan seorang diri saja. Mungkin banyak kawan semakin sulit dan mudah diketahui."
"Akan tetapi betapa sukarnya, raden! Joko Lawu yang digdaya itupun gagal, nyaris tertangkap." kata Pak Jiyo, pandang matanya kagum. Tentu saja dia sudah mendengar ketangguhan panglima muda ini, akan tetapi mencoba untuk membebaskan Ki Sinduwening seorang diri saja sungguh merupakan usaha yang nekat. "Di kadipaten terdapat banyak orang sakti, raden."
Pemuda itu tersenyum. "Aku tidak takut, paman. Di samping kesaktian dan kekuatan masih ada akal, bukan" Yang penting, setelah saatnya tiba, aku, minta disediakan beberapa ekor kuda yang baik di luar pintu gerbang kota sebelah barat."
"Baik, raden." Setelah berbincang-bincang mengenai keadaan dan pertahanan di Ponorogo, Nurseta meninggalkan warung itu, menyelinap ke dalam kegelapan malam. Tak lama kemudian dia sudah dalam sebuah kamar dengan Mayaresmi! Dari wanita ini dia mendengar bahwa Joko Lawu telah ditawan pula.
Koleksi Kang Zusi "Ahhh" Siapa yang menangkapnya?" tanya Nurseta kaget.
Mayaresmi tersenyum. "Yang menangkapnya adalah Brantoko dan pasukannya. Sekarang dia ditahan dalam rumah tahanan bersama Ki Sinduwening, namun berpisah kamar."
"Aku harus cepat membebaskannya!"
Mayaresmi merangkul. "Jangan khawatir, raden. Kanjeng Adipati sudah diberitahu oleh Brantoko bahwa Joko Lawu adalah Mawarsih, dan kanjeng adipati sudah memerintah- kan agar Ki Sinduwening dan Mawarsih diperlakukan dengan baik, menanti saatnya andika menolong dan membebaskan mereka seperti yang kita rencanakan. Kebetulan sekali Mawarsih menjadi tawanan pula. Kalau andika membebaskan ayah dan anak itu, akan berjasa besar andika dan mempersunting gadis itu tentu bukan merupakan persoalan sukar lagi! Nah, andika lihat, aku memenuhi semua janjiku, bukan" Andika akan hidup berbahagia dan tercapai semua keinginan andika kalau bergabung dengan kami."
Nurseta girang sekali. Memang, dia melihat betapa dengan kerja sama ini dia memperoleh banyak sekali keuntungan. Pertama, tugasnya seolah-olah tidak mengecewakan, bahkan Sang Prabu di Mataram akan merasa puas dan memujinya sebagai seorang senopati yang berhasil. Ke dua, Ki Sinduwening dan Mawarsih akan berhutang budi kepadanya dan hal ini amat menguntungkan kerena tentu pinangannya terhadap Mawarsih akan mereka terima dengan senang hati. Ke tiga, dia mendapatkan seorang kekasih yang demikian hebat dan menyenangkan seperti Mayaresmi, bekas isteri gurunya itu, dan ke empat, kelak dia akan memperoleh kedudukan tinggi kalau pemberontakan Ponorogo berhasil! Dia menjadi seperti sebatang pedang bermata dua yang dapat membacok ke kanan kiri, dan semua ini berkat cinta kasih Mayaresmi kepadanya!
Orang-orang seperti Nurseta dan Mayaresmi, bagaimana mungkin Koleksi Kang Zusi
mengenal cinta kasih yang sejati" Bagi Mayaresmi, Nurseta hanya merupakan sarana untuk mendapatkan kesenangan dalam hal pengejaran kedudukan dan kenikmatan berahi belaka, sedangkan bagi Nurseta, Mayaresmi juga hanya sebagai pemuas nafsu belaka! Keduanya telah menjadi hamba nafsu mereka sendiri. Nafsu selalu menghendaki kepuasan dan kesenangan. Kalau masih mendatangkan kepuasan dan kesenangan, mengaku cinta. Kalau sekali waktu tidak ada lagi kepuasan dan kesenangan, maka cintanya berubah benci. Itulah pekerjaan nafsu. Mereka bukanlah orang-orang jahat sejak kecil. Sama sekali bukan. Akan tetapi, kalau orang sudah menjadi abdi nafsunya sendiri, maka segala pertimbangannya sudah patah, setiap pandangannya kabur dan satu-satunya yang berkuasa adalah keinginan untuk mencapai kesenangan yang dikejarnya.
Mereka lalu mengatur rencana siasat mereka selanjutnya dan menurut petunjuk Mayaresmi yang sudah mengatur siasat bersama para pembantunya adipati Ponorogo, besok malam Nurseta harus membebaskan Ki Sinduwening dan Mawarsih. Nurseta akan memasuki kadipaten melalui pagar tembok belakang, memasuki kebun lalu melalui tamansari, dia akan menuju ke rumah tahanan di mana ayah dan anak itu dikeram. Tentu saja para penjaga dan pengawal kadipaten di malam hari itu akan pura-pura tidak melihatnya!
Kalaupun ada mata-mata Mataram yang melihat pemimpin baru mereka menginap di rumah mungil bersama seorang wanita cantik, dia tidak akan tahu bahwa Mayaresmi adalah seorang di antara kaki tangan kadipaten Ponorogo yang amat berbahaya bagi pihak lawan.
*** Malam itu amatlah indahnya. Langit bersih dan karena malam itu bulan berada dibalik belahan bumi sana, maka langit dipenuhi bintang gemerlapan bagaikan beledu hitam ditaburi intan berlian. Ada yang kemerahan, kebiruan dan ada yang putih. Ada yang berkedip kedip seperti mata puteri jelita, ada pula yang mencorong seperti mata naga. Keindahan langit itu agaknya mendatangkan kedaimaian di permukaan bumi. Angin malam hanya bersilir sejuk dan suasana terasa demikian nyaman, membuat orang segan memasuki kamarnya, lebih senang menikmati kenyamanan di udara terbuka, Koleksi Kang Zusi
mengaku bintang-bintang. Aji sudah menganggur sejak sore tadi. Semua kuda di kandang sudah tenang, dan dia duduk di atas bangku di pelataran depan kandang bersama Diran, seorang di antara para abdi yang bertugas di kandang merawat kuda dan membantu Aji.
"Waduh, indah sekali bintang-bintang di langit itu, ya mas Aji?" kata Diran sambil melihat ke atas. Sinar bintang-bintang yang kehijauan membuat wajahnya nampak aneh.
Aji tersenyum dan menghela napas panjang. "Kita ini berbahagia sekali masih dapat melihat dan mengagumi keindahan angkasa yang membuktikan akan kekuasaan Tuhan, Diran."
"Ehh?" Diran menoleh kepada kawannya. "Apakah engkau hendak menyatakan bahwa ada orang yang tidak dapat melihat dan mengagumi keindahan bintang-bintang di langit?"
"Banyak sekali, Diran. Banyak sekali" Mereka sudah dipenuhi kepusingan dan kesibukan sehingga kehidupan ini hanya merupakan serangkaian kesengsaraan belaka, membuat mereka murung dan tidak lagi ingat betapa indahnya alam di sekitar mereka, betapa besarnya kekuasaan Allah Sang Maha Pencipta."
Diran mengerutkan alisnya. Bagi pikirannya yang sederhana dan polos, ucapan itu terlalu tinggai dan sulit ditembus pengertiannya. Dia sudah memandang ke atas lagi. "Mas Aji, adakah manusia yang dapat menghitung berapa banyaknya bintang di langit?"
Koleksi Kang Zusi Aji tertawa. Percuma saja bicara tentang hal-hal yang mendalam dengan kawannya ini, yang biarpun usianya sudah delapan belas tahun namun jalan pikirannya masih amat sederhana.
"Diran, dibandingkan dengan kepandaian Yang Maha Kuasa, maka kepandaian manusia itu tidak ada artinya. Jangankan menghitung bintang di langit, baru menghitung bulu rambut yang berada di badan sendiri saja kita tidak mampu. Mungkin saja ada para cerdik pandai yang dapat menghitung bintang, namun sudah pasti jumlahnya tidak akan tepat karena banyak di antara bintang yang tidak nampak oleh mata. Pengetahuan manusia berpusat di dalam pikiran, dan kepala dengan semua isinya ini hanya alat, karenanya dapat rusak, dan dapat menjadi tumpul, dan amat terbatas. Yang menciptakannya, yang mengisi dan memeliharanya, Dia Yang Maha Tak Terbatas, yaitu Allah Yang Maha Agung dan Maha Kuasa."
Sepasang mata Diran memandang bodoh. "Mas Aji, sejak kecil kita mengenal sebutan Allah karena mendengar dari orang-orang tua. Kita percaya dan menerima begitu saja. Akan tetapi sesungguhnya, siapa dan di manakah Allah" Benar adakah Allah Yang Maha Kuasa itu" Aku seringkali heran dan bingung sendiri, Mas Aji."
Kembali Aji tersenyum. Pertanyaan yang kedengarannya bodoh, namun justru dalam kebodohan itulah terdapat kejujuran dan keluguannya, tidak dibuat-buat, tidak mengaku pintar. Pertanyaan yang wajar saja, karena dulu pernah dia bertanya-tanya seperti yang ditanyakan Diran ini.
"Pertanyaanmu bagus sekali, Diran. Mari kita berdua menyelidiki bersama untuk memberi jawaban kepada pertanyaanmu itu, yaitu siapakah dan di manakah Allah" Mari kita lihat dan curahkan perhatian kita kepada segala yang nampak oleh mata dan terdengar oleh telinga, yang tercium oleh hidung. Nah, kita lihat ke angkasa. Apa yang kaulihat?"
Koleksi Kang Zusi "Bintang-bintang bertaburan indah sekali, langit menghitam luas tanpa batas, ada gumpalan-gumpalan awan nampak di barat sana," kata Diran menuding ke atas.
"Sekarang lihat ke sekeliling. Engkau melihat apa?"
"Hemm, pohon-pohon, keremangan cuaca, bangunan-bangunan, rumput, tanah, kadang kuda......, juga kulihat engkau......" Diran tertawa, menganggap pertanyaan itu dan jawabannya lucu.
"Benar sekali. Sekarang, apa yang kau dengar" Perhatikan."
Diran terdiam, memperhatikan. Malam itu indah, sejuk dan sunyi. Namun, begitu diperhatikan, ternyata tidaklah sesunyi seperti yang disangka orang. Di dalam kesunyian itu terdapat suara yang bermacam-macam, suara kutu-kutu dan belalang malam, kerik jangkrik, koak kodok, merupakan gamelan yang berpadu indah.
"Aku mendengar suara jengkerik dan kodok, orong-orong dan belalang!"
kata Diran dengan suara heran seolah sekarang dia mendengar semua suara itu. Tentu saja suara itu setiap malam ada, hanya dia yang tidak pernah memperhatikan sehingga lewat begitu saja di telinganya.
"Nah, sekarang curahkan perhatianmu pada hidungmu. Apakah engkau tidak mencium ganda sesuatu?" kembali Aji berkata, suaranya lembut dan ramah.
Koleksi Kang Zusi Diran mencurahkan perhatiannya dan begitu seluruh perhatian dia curahkan kepada alat penciumannya, maka dia seolah telah lupa lagi segala apa yang dilihatnya tadi dan segala yang didengarnya tadi. Dan kini cuping hidungnya berkembang kempis, menyedot-nyodot.
"Wah, aku mencium bau kembang melati, harumnya mawar, bau tanah dan rumput basah, dan basah, dan bau....... bau..... tahi kuda di kandang!" Diran tertawa dan Aji juga tertawa.
"Mas Aji, kenapa biasanya aku seperti tidak melihat, mendengar dan mencium semua itu?"
"Tentu saja, bukan hanya engkau,bahkan hampir seluruh manusia sudah lupa akan segala yang berada di sekelilingnya, karena hati akal pikiran kita disibukkan oleh kebutuhan, kepentingan dan pengejaran kesenangan belaka. Engkau sudah menyaksikan semua itu dan engkau yakin benar bahwa yang kaulihat kau dengar dan kau cium itu benar-benar ada?"
"Tentu saja ada!"
Nah kalau suatu itu ada, sudah pasti ada pula yang mengadakan, ada yang menciptakan, bukan" Semua itu ada, jutaan macamnya di permukaan bumi dan di langit, kita ini juga ada, dan tentu ada yang menciptakan. Nah, yang menciptakan semua itu adalah Allah Maha Pencipta!"
"Tapi..... tapi..... bangunan-bangunan itu, kandang kuda ini, pakaian kita ini, bukankah yang menciptakan adalah manusia" Malah bangku yang kita duduki ini akulah yang membuatnya, tanganku ini yang membuatnya, bukan Allah!" bantah Diran.
Koleksi Kang Zusi Aji menggeleng kepala sambil tersenyum sabar. Dia tidak dapat menyalahkan Diran dengan pertanyaan itu karena dia tahu bahwa Diran belum mengerti. Orang yang belum mengerti, bagaimana mungkin dapat disalahkan" Yang belum mengerti mengaku dan merasa mengerti, itulah yang salah.
"Diran, memang banyak sekali manusia yang mengaku bahwa dia telah menciptakan sesuatu, seperti engkau. Akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti, seperti engkau ini, atau ada juga orang-orang yang sombong. Semua adalah ciptaan Sang Maha Pencipta, yaitu Allah! Manusia ini hanya menggunakan akal budi untuk mengolah sesuatu, mengebangkan sesuatu. Contohnya engkau membuat bangku. Memang bangku ini buatanmu, akan tetapi dari apakah kau buat" Dari kayu, berarti dari pohon. Siapa yang menciptakan pohon" Mungkin manusia hanya dapat menanam benih pohon saja, akan tetapi dia tidak mampu menciptakan benih, tanah, air, hawa udara dan panas matahari untuk menghidupkan benih itu menjadi pohon besar yang kemudian dapat kau ambil kayunya untuk dijadikan bangku."
Diran menjadi bengong. Semua itu terlalu dalam dan sukar dimengerti olehnya, akan tetapi karena keterangan Aji itu sederhana dan jelas mulailah dia melihat kenyataan.
"Benda mati atau hidup, bergerak atau tidak bergerak, semua ada karena diciptakan Allah. Manusia hanya mampu membuat sesuatu dengan akal yang menggerakkan tubuhnya. Membuat dari sesuatu yang sudah ada, bukan mencipta. Mencipta hanya kuasa Tuhan! Manusia hanya mengaku-aku, mengaku pandai dan mengaku kuasa. Coba lihat kuku jari tanganmu. Kau tentu mengatakan bahwa kuku itu milikmu, bukan" Nah, kalau milikmu tentu engkau dapat menguasainya. Kenapa kau biarkan kukumu tumbuh panjang sehingga engkau sibuk memotongnya setiap beberapa hari sekali.
Kalau memang kuku itu milikmu dan engkau menguasainya, kenapa tidak Koleksi Kang Zusi
engkau hentikan saja pertumbuhannya dan agar tidak usah repot memotongnya" Itu merupakan bukti kecil bahwa kuku itu bukan milikmu, dan engkau sama sekali tidak menguasainya! Kuku itu hidup, bertumbuh dan tentu ada yang menumbuhkanya, ada yang menguasainya, yaitu Allah!
Kekuasaan Allah yang mengerjakan itu semua, bukan engkau. Demikian pula dengan rambutmu, jantungmu, seluruh bagian tubuhmu. Tidak usah mencari bukti terlalu jauh lihat saja dirimu senidri. Di situ kekuasaan Tuhan bekerja. Mutlak! Kenapa ada kekuasaan Tuhan dalam dirimu, engkau tidak akan hidup, jantungmu tidak akan berdetak.?"Wah, kalau begitu aku ini bukan apa-apa dan tidak bisa apa-apa tanpa kekuasaan Allah!"
"Memang! Jadi, sudah dapatkah engkau merasakan sendiri, penuh keyakinan, bukan sekedar percaya keterangan orang, bahwa Allah itu ada?"
Diran mengangguk. "Sekarang aku dapat menjawab pertanyaan siapakah Allah, yaitu bahwa Allah adalah Yang Maha Pencipta, Yang Maha Kuasa, yang menghidupkan segala sesuatu ini, yang menggerakkan dan yang menguasai. Sayang aku tidak dapat melihatnya!"
"Manusia terlalu kecil untuk melihat Dia yang tak terbatas! Akan tetapi kita dapat membuktikan sendiri adanya kekuasaanNya. Dapat melihat, mendengar, mencium dan merasakan dengan panca indera kita, dengan hati akal pikiran kita. Kekuasaannya, hasil kerjaNya berada di mana-mana!"
"Lalu apa jawaban pertanyaan: di mana adanya Allah?"
"Di mana saja! Allah melingkupi semua yang nampak dan tidak nampak!
Kekuasaan Allah hidup di mana saja, juga di dalam diri kita sendiri.
Kekuasaan Allah berada di dalam yang terbesar sampai yang terkecil, yang terkasar sampai yang terlembut, di luar dan di dalam, pendeknya, tak terukur dan tak terbatas!"
Koleksi Kang Zusi "Waduhh....... betapa hebatnya. Sukar aku membayangkannya......." kata Diran.
"Memang tidak dapat dibayangkan! Dan tidak perlu membayangkan. Yang penting, kita manusia sebagai mahkluk termulia, yang disertai hati akal pikiran, disertai cipta rasa dan karsa yang membedakan kita dari mahkluk hidup lainnya, kita yakin sepenuhnya, bukan sekedar percaya membuta saja, kita yakin bahwa Allah itu ada, bahwa hidup kita ini berlandaskan kekuasaan Allah. Dengan iman ini kita menyerah, pasrah, tunduk dan taat akan bimbinganNya."
Percakapan itu terhenti karena keduanya tenggelam ke dalam renungan masing-masing. Kalau sudah begitu, maka tidak ada lagi yang perlu dipercakapan. Semua sudah terbentang luas di depan kita. Hanya tinggal membuka mata saja, membuka mata lahir dan mata batin, yaitu waspada akan segala kenyataan yang ada. Dan renungan merekapun membuyar ketika muncul Sumiyo, seorang abdi lain yang bekerja di kandang bersama mereka.
"Kang Samiyo, dari mana saja engkau" Malam-malam begini keluyuran!"
tegur Diran. Di sini saja sudah nampak perbedaan. Diran menyebut kakang saja kepada Samiyo, akan tetapi dia dan Samiyo menyebut mas kepada Aji.
Hal ini karena penampilan Aji yang lebih pantas disebut priyayi dari pada pemuda dusun biasa. Cara bicaranya, wajahnya, pembawaannya. Biarpun pakaiannya tetap bersahaja.
"Malam begini indah, sayang kalau sore-sore tidur. Aku berjalan-jalan dan mengelilingi istana kadipaten, bahkan tanpa kusadari akan sampai di rumah tahanan......."
Koleksi Kang Zusi "Hemm, Samiyo, engkau sungguh sembrono. Mau apa engkau berkeliaran sampai ke sana" Kalau penjaga tahu, tentu engkau dicurigai dan ditangkap atau dipukuli seketika!" Aji menegur rekannya.
"Aku seperti dalam mimpi, tahu-tahu aku baru terkejut setelah melihat para penjaga, Mas Aji. Aku cepat bersembunyi dan aku melihat peristiwa yang amat aneh!"
"Kau melihat setan?" tanya Diran.
"Ya, sekarang aku melihatnya. Engkaulah setannya!" kelakar Samiyo.
"Jangan bergurau, Samiyo. Peristiwa aneh apa yang kaulihat?" tanya Aji.
"Ketika aku bersembunyi di balik semak yang terlindung bayangan pohon yang gelap, aku melihat seorang laki-laki mendatangi tempat itu. Kiranya dia adalah Raden Brantoko. Pakaiannya mewah sekali dan bulu tengkukku meremeng ketika melihat senopati yang gagah perkasa itu lewat. Matanya begitu tajam melotot menakutkan. Dan dia menghampiri para penjaga.
Entah apa yang mereka bicarakan, akan tetapi aku melihat delapan orang penjaga itu tersenyum-senyum menyeringai ketika Raden Brantoko memberi hadiah uang yang banyak kepada mereka. Kemudian, Raden Brantoko masuk ke dalam tempat tahanan yang sudah dibuka oleh para penjaga. Setelah Raden Brantoko masuk, pintu ditutup dan digembok kembali."
"Sudah, tidak perlu kita bicara soal itu. Kalau terdengar orang kita celaka!" kata Aji sambil bangkit berdiri. "Aku sudah mengantuk, mari kita tidur saja. Besok pagi-pagi harus mencari rumput karena rumput untuk Koleksi Kang Zusi
kuda sudah tinggal sedikit." Tanpa menanti jawaban Aji sudah memasuki bangunan dekat kandang kuda di mana terdapat kamar-kamar untuk para abdi.
Sementara itu, di dalam kamar tahanannya, Joko Lawu nampak termenung.
Dia memang diprelakukan dengan baik, akan tetapi dia mengkhawatir ayahnya. Dia tidak dibelenggu, akan tetapi kamar tahanan itu kokoh kuat, dan di luar masih ada pintu besi lagi yang dijaga oleh banyak perajurit.
Kalau ada petugas mengantarkan makanan dan minuman, maka benda itu hanya disodorkan lewat lubang-lubang di antara besi jeruji kamar tahanan.
Di kamar tahanan itupun terdapat sebuah kamar mandi lengkap yang terpisah dengan tembok dinding. Semua sudah tersedia dan tidak ada alasan baginya untuk keluar dari kamar tahanan itu. Akan tetapi, tentu saja Joko Lawu tidak pernah lengah dan selalu waspada untuk mencari kesempatan terbuka meloloskan diri dari tempat itu. Dan sebagian waktunya dia lewatkan dengan bersamadhi, menghimpun kekuatan agar setiap saat dia dapat bersiap siaga.
Tiba-tiba dia mendengar langkah kaki orang menghampiri pintu jeruji kamar tahanan itu. Joko Lawu masih tetap duduk bersila walaupun setia urat syaraf di tubuhnya telah menegang dan siaga. Biarpun dia menduga bahwa orang itu tentulah seorang di antara penjaga yang meronda seperti biasanya, namun tetap saja setiap dia waspada dan mencari kesempatan yang mungkin terbuka.
Akan tetapi ketika melihat orang itu muncul membuka pintu dari luar, melepaskan besi kaitan pintu yang hanya dapat dibuka dari luar, jantungnya berdebar keras dan mukanya menjadi merah,matanya mencorong penuh kebencian. Orang itu bukanlain adalah Brantoko yang dibencinya! Dia segera meloncat turun, siap menerjang kalau pemuda tinggi besar itu memasuki kamar tahanan.
Brantoko membuka pintu beruji dari luar, akan tetapi berhenti di ambang Koleksi Kang Zusi
pintu, memberi isarat dengan jari tangan ke depan mulut agar Joko Lawu tidak membuka mulut bersuara. Lalu dia berkata dengan bisikan, Nimas Mawarsih, aku datang untuk membebaskanmu......."
"Bohong! Siapa percaya padamu!" bentak Mawarsih, akan tetapi suaranya pun direndahkan hampir berbisik.
"Mawarsih, bagaimanapun juga, kita masih saudara seperguruan. Mana mungkin aku dapat tinggal diam saja dan tega melihat engkau ditawan"
Ketika menawanmu, aku hanya melaksanakan tugas. Akan tetapi, sekarang, aku mendapat kesempatan untuk menolongmu tanpa menimbulkan kecurigaan. Ssstttt, jangan bicara keras!"
Tentu saja Mawarsih tertarik, namun ia masih curiga. "Hemm, apa yang dapat kau lakukan untuk membebaskan aku?"
Brantoko melangkah maju. "Tentu tidak dengan kekerasan. Penjagaan terlampau kuat. Aku dipercaya mereka. Alasanku untuk mengajak tawanan menghadap Senopati Surodigdo untuk diperiksa dan ditanyai, malam ini juga. Maka, andika pura-pura menyerah dan biar kedua tanganmu kubelenggu dan andika kubawa keluar dari sini sebagai tangkapan. Dengan demikian, para penjaga tidak akan menaruh curiga sama sekali."
Mawarsih mengerutkan alisnya dan mempertimbangkan. Kalau pemuda itu tidak berbohong, ada kemungkinan ia akan dapat meloloskan diri. Kalau bohong, lalu apa maksudnya" Bukankah dia sudah tidak berdaya dikeram dalam tempat tahanan itu" Dibelenggu ataupun tidak, ia tidak akan dapat melarikan diri dari situ tanpa bantuan orang lain. Mengingat betapa Brantoko pernah meminangnya, mungkin saja pemuda itu hendak menolongnya karena dorongan cinta" Agaknya, tidak ada alasan lain, iapun mengangguk menyetujui.
Koleksi Kang Zusi Brantoko mengeluarkan tali yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, kemudian menghampiri Mawarsih dan menelikung kedua tangan gadis itu, dibelanggu kedua pergelangan tangannya di belakang dengan ikatan yang amat kuat, membuat Mawarsih tidak mungkin dapat menggunakan kedua tanganya sama sekali.
Akan tetapi, begitu tangannya terikat ke belakang tubuhnya, Mawarsih terkejut setangah mati karena tiba-tiba Brantoko merangkul dan menciumnya! Tentu saja ia meronta, memaki, akan tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang tubuhnya, tenaganya berkurang dan iapun tidak dapat menyerang dengan tendangan karena Brantoko memeluknya dengan ketat. Ia meronta-ronta dan terjadi pergulatan. Mawarsih tidak berteriak lagi karena akan sia-sia saja berteriak. Ia tahu bahwa ia telah ditipu, bahwa Brantoko bukan bermaksud menolong dan membebaskannya, melainkan menipunya sehingga kedua tangannya terbelenggu dan pemuda jahanam itu bermaksud keji dan mesum terhadap dirinya.
Sedangkan kalau kedua tangannya bebaspun, ia hanya akan dapat melakukan perlawanan berimbang melawan Brantoko, apa lagi kini kedua tangannya terbelenggu. Tentu saja ia tidak berdaya dan biarpun ia meronta sekuat tenaga, ketika Brantoko mencengkeram, terdengar kain robek dan baju Mawarsih terbuka bagian dada sehingga nampak payudaranya telanjang. Brantoko menjadi semakin ganas. Nafsu berahinya telah membuatnya buta dan lupa segala, yang teringat hanya untuk memuaskan berahinya, dengan cara apapun juga. Dia berhasil membanting tubuh Mawarsih di atas pembaringan kayu di kamar tahanan itu. Mawarsih menendang-nendang akan tetap Brantoko dapat menekan kedua kakinya.
Pada saat yang amat gawat bagi kehormatan Mawarsih itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan lantang, "Kebakaran! Kebakaran.........!!"
Brantoko yang sedang diamuk berahi tentu tidak akan memperdulikan Koleksi Kang Zusi
teriakan-teriakan itu kalau saja dia tidak melihat api telah membakar atap kamar itu! Sudah terasa hawa panasnya, dan di luar pintupun nampak api berkobar! Tentu saja dia terkejut bukan main dan dengan panik diapun melompat ke luar dari kamar itu untuk melihat apa yang telah terjadi.
Ketika dia melompat keluar dan tiba di dekat pintu rumah, tiba-tiba saja benda keras menghantam kepalanya dari samping. Brantoko terpelanting dan tak sadarkan diri. Ternyata yang menghantamnya itu adalah sebuah kayu yang agaknya terjatuh dari atap. Ujung kayu itu masih membara, akan tetapi tidak bernyala.Sementara itu, melihat Brantoko meloncat keluar dan pintu jeruji kamar tahanan terbuka, juga melihat atap kamar itu terbakar, Mawarsih cepat meloncat turun dari pembaringan. Dengan baju masih terobek ia berlari keluar. Kedua tangannya terbelenggu ke belakang badan sehingga ia tidak dapat membereskan baju yang terbuka itu. Pada saat ia kebingungan karena mengira bahwa kalau ia berlari keluar dan dikepung penjaga, tentu ia tidak akan mampu melawan dengan kedua tangan terbelenggu, ia melihat seseorang meloncat keluar dari dalam, diikuti seorang lain.
"Mawar......!" "Bapa.......!" Kiranya yang meloncat itu adalah Ki Sinduwening dan yang berada di belakangnya adalah Aji! Kini mengertilah Mawarsih. Kiranya Aji yang telah menolong dan menimbulkan kebakaran itu!
Melihat baju puterinya robek sehingga nampak payudaranya, Ki Sinduwening cepat menanggalkan bajunya sendiri dan menutupi tubuh puterinya. Ketika Ki Sinduwening melepas belenggu pada kedua tangannya dan Mawarsih memandang kepada Aji, ia melihat pemuda itu menutupi muka dengan kedua tangan dan menunduk.
"Sudah selesai atau belum" Hayo cepat, kita harus cepat pergi dari sini......!" katanya.
Koleksi Kang Zusi Mawarsih tak dapat menahan senyumnya. Ia merasa lucu sekali, juga girang bukan main melihat bahwa Aji telah menolong ia dan ayahnya. Ki Sinduwening juga maklum bahwa mereka masih berada di rumah tahanan dan masih amat sukar untuk dapat meloloskan diri dengan selamat, maka diapun menoleh, "Anak mas, ke mana kita harus bersembunyi?"
"Mari ikuti aku, kita pergi ke gudang di kandang kuda!" katanya sambil berlari, bukan ke depan, melainkan ke lorong belakang di mana terdapat sebuah pintu kecil yang tergembok. Pintu ini pun terbuat dari pada besi yang kokoh.
"Aduh, celaka. Pintu di sini tergembok. Tidak ada jalan keluar lain kecuali ini. Melalui pintu depan tidak mungkin, apa lagi terhalang api." kata Aji yang nampak gugup.
"Minggirlah!" kata Ki Sinduwening yang kemudian berkata kepada puterinya, "Mari kita terjang bersama!"
Mawarsih yang kini tidak perpura-pura menjadi pria lagi karena tadi sudh nampak oleh Aji bahwa ia seorang wanita, mengangguk. Ayah dan anak ini mengerahkan aji kesaktian mereka, menahan napas lalu atas isarat Ki Sinduwening, mereka berdua menerjang pintu dengan tendangan dan dorongan kedua tangan mereka.
"Brakkk!" Daun pintu jebol pada engselnya dan rebah. Aji bertepuk tangan gembira dan terbelalak kagum.
Koleksi Kang Zusi "Hebat! Bukan main! Andika seperti dewa saja.....!"
"Ssttt, sudahlah, mari kita lari!" kata Ki Sinduwening. Ayah dan anak itu terbelalak melihat betapa yang terbakar bukan hanya rumah tahanan, melainkan di banyak bagian dari istana kadipaten itu!
"Andika yang hebat!" kata Ki Sinduwening. "Dapat melakukan pembakaran begini banyak dan keadaan menjadi kacau balau!"
"Mari, ikuti aku! Kata Aji yang segera mengambil jalan menyusup-nyusup.
Dia mengenal betul keadaan di situ dan tiga orang itu kadang berhenti bersembunyi dan melihat betapa keadaan amat kacau. Para perajurit penjaga lari ke sana sini, mencoba untuk memadamkan kebakaran yang terjadi di banyak tempat. Setidaknya ada lima tempat yang terbakar, di bangunan setiap sudut sehingga para perajurit itupun berpencaran.
"Mari cepat!" kata Aji yang berlari lagi. Akan tetapi katika ayah dan anak itu mengerahkan tenaga, dia tertinggal jauh dan diapun berteriak-teriak.
"Heii, eh-eh, jangan terlalu capat......!" Dia mengejar dan terengah-engah.
"Mari cepat, aku sudah tahu jalannya!" kata Mawarsih dan dengan cepat iapun menyambar tangan kiri Aji dan ditariknya agar berlari cepat.
"Wah, aduhh.....ah, jangan seret-seret begini, aku bisa jatuh!" teriak, tersaruk-saruk.
Koleksi Kang Zusi Ki Sinduwening yang merasa khawatir kalau mereka ketahuan para penjaga, menyambar tangan kanan Aji dan kini ayah dan anak itu memegang kedua tangan Aji dan membawanya lari cepat sehingga tubuh Aji terangkat, kedua kakinya tidak menyentuh tanah! Dia berteriak-teriak ketakutan, akan tetapi suaranya lirih karena diapun takut kalau ketahuan orang lain.
Karena Ki Siduwening dan Mawarsih mempergunakan Ilmu Tunggal Maruta (Manunggal Angin) yang membuat gerakan mereka ketika berlari cepat sekali, sebentar saja mereka tiba di bagian kandang kuda. Benar saja, semua abdi sudah lari meninggalkan tempat yang tidak terbakar itu, untuk membantu memadamkan api atau setidaknya menonton kebakaran.
"Ke sini, ke dalam lumbung penyimpanan jerami!" kata Aji yang sudah diturunkan. Pemuda itu lari ke gudang di bagian paling belakang dan kedua orang pelarian itu mengikutinya.
"Nah, andika berdua bersembunyi dulu di sini. Tempat ini aman, tidak pernah ada orang masuk. Kalau ada orang yang masuk, andika berdua cepat menyusup ke dalam tumpukan jerami itu, tentu tidak akan nampak dan siapa menyangka ada orang bersembunyi di dalam tumpukan jerami?" Aji tersenyum.
"Ha-ha, engkau pandai sekali orang muda. Memang hanya tikus saja yang bersem- bunyi di situ," kata Ki Sinduwening sambil menunjuk ke arah tumpukan jerami yang seperti bukit kecil. "Kami berdua berhutang budi kepadamu. Andika telah menempuh bahaya, membakari semua itu untuk membebaskan kami......."
"Ssstttt, cepat andika berdua bersembunyi dan tutup pintunya. Kalau ada suara orang di luar dan akan masuk, andika tinggal menyusup ke dalam Koleksi Kang Zusi
tumpukan jerami. Saya harus cepat membantu usaha memadamkan kebakaran!" Setelah berkata demikian, Aji berlari keluar.
Setelah menutupkan pintu gudang itu Mawarsih merangkul ayahnya. "Bapa, sukur kita dapat bertemu dalam keadaan selamat."
"Alhamdulillah, semoga Allah akan melindungi kita sampai dapat lolos keluar dari tempat ini, Mawar. Akan tetapi, bagaimanakah engkau sampai dapat berada di sini pula dan menjadi tawanan" Bukankah engkau sudah berhasil lolos dan kabarnya engkau sudah dibantu oleh seorang yang berkedok hitam" Siapakah dia?"
"Panjang ceritanya, bapa." Mawarsih lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa dengan bantuan Aji perawat kuda, ia berhasil masuk dan sebelum dapat membebas- kan ayahnya, telah ketahuan dan nyaris tertawan kalau saja, tidak diselamatkan si kedok hitam.
"Akan tetapi siapakah Aji perawat kuda itu?" tanya Ki Sinduwening, merasa heran mendengar bahwa puterinya mendapat pertolongan banyak orang.
Mawarsih tersenyum. "Bapa ingin mengetahui siapa Aji perawat kuda" Dia adalah pemuda tadi."
Ki Sinduwening terbelalak. "Dia" Dia perawat kuda bernama Aji" Pantas dia tidak digdaya, akan tetapi keberaniannya luar biasa dan dia cerdik sekali. Dia melakukan pembakaran-pembakaran untuk mengacaukan keadaan dan berhasil pula membuka pintu jeruji kamar tahanan di mana aku dikeram. Dia yang memberi tahu bahwa engkau dikeram di kamar tahanan lain itu. Akan tetapi, kenapa dia perawat kuda kadipaten Ponorogo membantuku, membantu kita?"
Koleksi Kang Zusi "Dia memang abdi di sini, akan tetapi dia seorang yang baik, bapa. Dan sebetulnya aku sudah mengenal dia jauh sebelum ini, ketika kita masih tinggal di Sintren, di lereng Gunung Lawu."
"Ehhh?" tentu saja ayahnya terkejut dan heran.
"Bapa masih ingat Bayu, anak laki-laki penggembala kerbau milik lurah Pancot itu?"
Ki Sinduwening mengerutkan alisnya mengingat-ingat, lalu mengangguk.
"Ah, bocah yang tampan dan pandai meniup suling itu?"
"Benar, ternyata bapa masih mengingatnya!" Mawarsih gembira mendengar ini, "Nah, Bayu yang memperkenalkan aku kepada...... kakang Banuaji. Dia masih keponakan lurah Pancot."
"Dan dia menjadi abdi di sini, tukang merawat kuda?"
"Benar, bapa. Malah ketika aku meninggalkan Mataram untuk menyusul dan mencarimu di dusun Muncang aku bertemu lagi dengan dia. Akan tetapi karena aku menyamar sebagai Joko Lawu, aku tidak memperkenalkan diri.
Dan ternyata diapun masih keponakan isteri lurah Muncang. Dan yang terakhir kalinya aku bertemu dengan dia di sini, ketika dia menggiring kuda di luar kota kadipaten Ponorogo."
Koleksi Kang Zusi "Hemm, agak aneh. Keponakan dua orang lurah menjadi abdi perawat kuda di kadipaten Ponorogo. Yang lebih aneh lagi, perawat kuda berani mempertaruhkan nyawanya membebaskan kita berdua. Akan tetapi, siapakah si kedok hitam yang telah menolongmu itu?"
"Aku tidak tahu, akan tetapi dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bapa. Sudah dua kali dia menyelamatkan aku, akan tetapi tidak pernah mau memperkenalkan diri." Setelah keduanya termangu sebentar, kecewa karena si kedok itu tidak mereka ketahui siapa orangnya, bahkan mendugapun tidak dapat, Mawarsih bertanya, "Akan tetapi mengapa bapa menghadap Sang Adipati Ponorogo sehingga akhirnya bujukan bapa tidak dituruti sebaliknya bapa ditangkap dan ditahan?"
Mendengar pertanyaan ini Ki Sinduwening menghela napas. Dia sudah menanti-nanti pertanyaan itu, bukan saja dari anaknya sendiri, bahkan tentu Sang Prabu Hanyokrowati akan menanyakan hal yang sama. Dan untuk itu, dia sudah mempersiapkan jawaban seadanya.
"Anakku, nini Mawarsih. Engkau tentu tahu bahwa bapamu ini adalah kawula Mataram yang setia, apa lagi pernah membantu mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati yang arif bijaksana. Aku yakin bahwa kalau sekarang beliau masih hidup, beliau akan prihatin sekali menyaksikan kedua orang putera beliau, yaitu Sang Prabu Hanyokrowati dan Pangeran Jayaraga yang menjadi adipati Ponorogo, berhadapan sebagai musuh.
Kerena itulah, demi mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati, apa lagi karena aku mengenal baik Pangeran Jayaraga, aku mencoba untuk mendamaikan, untuk membujuk agar Adipati Ponorogo tidak melanjutkan pemberontakannya. Akan tetapi aku ditangkap, dan itu sudah resikonya.
Aku bertanggungjawab dan siap menerima hukuman andaikata nanti Sang Prabu Hanyokrowati akan menyalahkan aku."
"Akan tetapi bapa tidak berkhianat, bapa berniat baik untuk mendamaikan keturunan Sang Prabu Panembahan Senopati! Bapa dibujuk untuk membantu Ponorogo juga selalu menolak. Hal ini diketahui oleh semua anak Koleksi Kang Zusi
buah bapa, dan tentu Sang Prabu di Mataram sudah mendengar laporannya pula. Aku yakin beliau tidak akan menyalahkan bapa."
"Mudah-mudahan begitu........ ssttt, ada orang datang. Mari.......!" Ki Sinduwening menarik tangan puterinya dan merekapun menyusup ka dalam tumpukan jerami. Ternyata di situ sudah dipersiapkan oleh Aji sehingga di dalam bukit jerami itu terdapat ruangan kosong. Mereka masuk dan menutupi tubuh mereka dengan jerami. Dari celah-celah jerami mereka dapat mengintai ke dalam gudang itu dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang. Tadinya mereka mengira Aji yang datang, akan tetapi mereka menjadi khawatir sekali ketika mereka mendengar Aji berteriak ketakutan, "Saya tidak tahu.......... sungguh saya tidak tahu dan tidak melihatnya........" Lalu terdengar Aji mengaduh mengiringi suara pukulan berdebuk.
"Hayo masuk! Awas kalau tidak mengaku, engkau akan kubakar hidup-hidup!" terdengar suara orang menghardik dan dua orang dalam tumpukan jerami itu mengenal suara Bantoko. Pintu gudang terbuka dan nampak cahaya obor yang dibawa seorang perajurit. Kemudian nampak Aji didorong masuk. Pemuda itu jatuh tersungkur di atas lantai gudang, di mana terdapat jerami berserakan. Kemudian nampak Brantoko masuk, wajahnya yang tertimpa sinar obor nampak beringas, matanya jelalatan penuh kemarahan. Dahinya benjol dan masih terdapat tanda bekas darah.
Agaknya dia terluka. Enam orang perajurit ikut masuk pula, masing-masing dengan golok di tangan. Semua berikut Brantoko dan si pemegang obor, ada delapan orang yang menyeret dan mendorong Aji.
"Sungguh, Raden. Saya tidak tahu apa-apa tentang kebakaran itu, dan saya tidak melihat siapapun......" Aji meratap, bajunya robek-robek dan mukanya biru bengkak-bengkak. Agaknya di luar tadi dia sudah dipukuli.
"Tidak usah bohong! Ada abdi yang melihatmu menyelinap keluar. Engkau tidak berada di kamarmu ketika kebakaran terjadi. Tentu engkau mata-Koleksi Kang Zusi
mata, engkau tentu tahu apa yang terjadi dan di mana kedua orang pelarian itu! Hayo katakan atau kau akan kubakar hidup-hidup!"
Tangan kanan Brantoko menyambar. "Bukkk!" Dan tubuh Aji terjengkang.
Dia mengaduh-aduh. "Akan kupatahkan kaki tanganmu, kucolok keluar biji matamu kalau engkau tidak mengaku!" bentak Brantoko semakin geram.
"Ti...... tidak tahu....... biar dibunuh sekalipun...... saya.... saya tidak tahu apa-apa....." Aji mengeluh dan diam-diam, Ki Sinduwening dan Mawarsih merasa terharu bukan main. Pemuda yang lemah itu rela mati dari pada membuka rahasia mereka! Biarpun lemah, ternyata Aji memiliki semangat baja dan keberanian melebihi seorang ksatria! Melihat betapa Brantoko sudah siap untuk menghajar lagi, Mawarsih tidak dapat menahan diri.
Sejak semula ia memang sudah tertarik dan suka sekali, kagum kepada Aji, pemuda dusun yang sederhana dan lemah, akan tetapi berjiwa seniman itu.
"Brantoko, jahanam busuk!" bentaknya dan iapun menerjang keluar dari tumpukan jerami. Serangan yang dilakukan Mawarsih begitu tiba-tiba datangnya sehingga Brantoko terkejut dan dadanya kena diterjang kaki Mawarsih.
"Desss.....!!" Tubuh Brantoko terjengkang, akan tetapi dia tidak terluka karena sudah melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan. Dia melompat dengan marah dan berteriak kepada para anak buahnya. "Tangkap dia!"
Para perajurit itu juga mengenal Mawarsih sebagai Joko Lawu bekas tawanan mereka, maka mereka segera mengepung gadis itu dengan golok di tangan. Melihat ini, Ki Sinduwening jug melompat keluar dari tumpukan jerami.
Koleksi Kang Zusi "Brantoko, bedebah keparat! Berani engkau kurang ajar di depanku?"
bentak Ki Sin- duwening dengan suara menggelegar. Melihat munculnya orang tua ini, wajah Brantoko menjadi pucat dan dia meneriaki orang-orangnya untuk mengeroyok Ki Sinduwening kerena dia tentu saja gentar menghadapi uwa gurunya itu. Mengandalkan banyak orang dan mentaati perintah Brantoko, tujuh orang itu menyerang Ki Sinduwening dengan golok mereka setelah si pemegang obor menancapkan obornya di sudut ruangan.
Ki Sinduwening mengamuk dengan tamparan dan tendangan kakinya.
Brantoko sendiri menyerang Mawarsih yang disambut gadis itu dengan marah dan terjadilah perkelahian yang hebat di antara mereka. Akan tetapi, karena melihat anak buahnya jatuh bangun dihajar Ki Sinduwening, Brantoko menjadi gentar dan gugup sehingga dua kali diapun terjengkang oleh sambaran tangan dan kaki Mawarsih. Dia lalu melompat dan melarikan diri diikuti anak buahnya, bermaksud mencari balabantuan dari para perajurit yang masih sibuk memadamkan kebakaran.
Karena mengkhawatirkan Aji yang tadi dihajar Brantoko, Mawarsih menghampiri pemuda itu yang masih terduduk dan belum bangun berdiri dan dari tepi mulut pemuda itu mengalir darah!
"Kau...... kau terluka parah.......?" Mawarsih bertanya, lupa mengubah suaranya sehingga suara wanitanya keluar. Ia teringat akan tetapi tidak peduli karena bukankah Aji sudah melihat bahwa ia seorang wanita" Dan karena khawatir, kasihan dan terharu melihat pemuda yang rela mengorbankan diri untuk ia dan ayahnya, dipegangnya pundak pemuda itu dengan sentuhan mesra.
Aji memandang, dan dengan menahan rasa nyeri dia bangkit. "Jangan perdulikan aku..... cepat..... cepat andika berdua pergi dari sini. Cepat, Koleksi Kang Zusi
selagi ada kesempatan. Mari kutunjukakan jalannya...." Dan dengan terhuyung dia keluar dari gedung itu. Biarpun hatinya merasa khawatir dan kasihan sekali, Mawarsih tidak dapat berbuat lain kecuali menurut.
Bersama ayahnya ia lalu lari mengikuti Aji yang sudah menyelinap keluar dan mengambil jalan memutar melalui belakang gudang yang menembus ke kebun yang gelap. Kebakaran masih belum dapat dipadamkan seluruhnya walau tidak sebesar tadi. Suasana masih panik dan sebelum dapat dikejar musuh, mereka sudah tiba di pagar tembok di mana tumbuh pohon yang pernah dijadikan jalan keluar oleh Mawarsih.
"Cepat andika berdua keluar dari sini. Cepat sebelum mereka tiba!" kata Aji.
"Engkau keluar bersama kami, anakmas Banuaji!" kata Ki Sinduwening yang sudah mengenal nama pemuda itu dari puterinya.
"Tidak, aku tidak mungkin dapat melompati pagar tembok ini. Kalian pergilah, aku akan mencari jalan sendiri....."
"Tidak aku tidak mau keluar dari sini kalau andika tidak ikut keluar bersama kami, kakang Aji! Aku tidak ingin melihat engkau mati mengorbankan nyawamu untukku!" kata Mawarsih, suaranya mengandung keharuan.
"Celaka, mereka datang! Ah, kenapa kalian tidak cepat pergi?" kata Aji dan benar saja, Brantoko dan sedikitnya tiga puluh orang perajurit sudah tiba di situ dan langsung mengepung dan mengeroyok. Kembali Mawarsih dan Ki Sinduwening mengamuk, sedangkan Aji menyusup ke balik batang pohon seperti orang yang ketakutan.
Ayah dan anak itu memang hebat. Biarpun dikeroyok puluhan orang, Koleksi Kang Zusi
mereka tidak menjadi gentar, seperti dua ekor harimau yang dikeroyok puluhan ekor srigala. Para pengeroyok berpelantingan, akan tetapi karena jumlah mereka banyak, apa lagi di situ ada Brantoko yang juga digdaya, dan dibantu oleh lima orang perwira yang memiliki ketangguhan yang lumayan, maka ayah dan anak itu mulai terdesak.
Pada saat itu, terdengar seruan nyaring, "Paman dan diajeng, jangan takut, aku datang membantu kalian!"
Tadinya Mawarsih mengharapkan si kedok hitam yang datang, akan tetapi ternyata yang melompat turun dari atas pohon dekat pagar tembok itu adalah Nurseta! Bagaimanapun juga, hatinya girang karena pemuda inipun digdaya dan dapat menjadi penolong yang baik. Dan Nurseta mengamuk dengan sebatang tombak. Sungguh hebat, begitu Nurseta datang menyerbu, para pengeroyok menjadi kacau balau dan akhirnya mereka itu, termasuk pula Brantoko, melarikan diri mundur seperti ketakutan!
"Mari paman, diajeng, jangan membuang waktu, cepat kita lari melalui pohon ini sebelum mereka datang lebih banyak lagi." kata Nurseta. Ayah dan anak itu meloncat ke atas pagar tembok melalui pohon, diikuti oleh Nurseta dan kerena memang sudah diatur sebelumnya, di luar tembok sudah tersedia tiga ekor kuda dan merekapun melarikan diri menunggang kuda dengan cepat.
Karena tidak mendengar ada pengejaran, belum jauh mereka melarikan diri, Mawarsih menahan larinya kuda. Melihat ini, Ki Sinduwening dan Nurseta terpaksa menahan pula kuda mereka.


Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa berhenti, paman?" tanya Nurseta heran.
Koleksi Kang Zusi "Mawar yang menghentika kudanya." kata Ki Sinduwening. "Mawar, ada apakah" Kenapa engkau menghentika kudamu?"
"Bapa, bagaimana dengan kakang Aji" Dia masih tertinggal di sana.....!"
kata Mawarsih sambil menoleh ke belakang. "Tentu dia akan celaka......., bagaimana kita dapat pergi meninggalkan dia seorang diri terancam bahaya begitu saja" Bapa, aku harus kembali dan menolongnya!"
Dalam saat itu juga menyelinap suatu pengertian dalam hati Ki Sinduwening. Perkiraannya keliru. Sebelum ini, dia selalu mengira bahwa puterinya itu telah menerima Nurseta di dalam hatinya, dan diapun setuju kalau puterinya berjodoh dengan Nurseta. Apa lagi sekarang terbukti bahwa Nurseta yang berhasil menyelamatkan mereka. Akan tetapi saat itu dia mengerti bahwa pilihan hati Mawarsih bukan Nurseta, melainkan Aji!
Dan teringatlah akan keterangan anaknya bahwa Mawarsih sudah sejak lama mengenal Aji, ketika masih belum meninggalkan dusun Sintren."Siapakah Aji?" Nurseta bertanya sambil mengerutkan alisnya.
Dari namanya dia dapat menduga bahwa Aji tentu seorang pria dan dalam keadaan seperti itu, Mawarsih masih teringat kepada pria itu bahkan hendak kembali untuk menolongnya. Tentu saja hatinya terasa mangkel dan cemburu.
Ki Sinduwening dapat menyelami penasaran yang terkandung dalam pertanyaan Nurseta itu, maka cepat dia menerangkan, "Raden Nurseta, yang bernama Aji adalah tukang merawat kuda di kadipaten dan dialah yang melepaskan kami dari tempat tahanan dengan membakar rumah tahanan."
"Hemm, hanya seorang abdi tukang kuda, kenapa engkau ingin menempuh bahaya dan menolongnya, diajeng Mawarsih?" Nurseta bertanya dengan suara mengandung teguran. Seorang tukang kuda yang kotor sama sekali tidak berharga untuk mendapatkan perhatian seorang gadis seperti Koleksi Kang Zusi
Mawarsih, apa lagi mendapatkan pembelaan dan perlindungannya.
Mendengar ucapan yang nadanya mengejek itu, sepasang mata Mawarsih berkilat ketika dara itu memandang kepada Nurseta. "Kakangmas Nurseta, aku menilai seseorang bukan dari kedudukan atau kekayaannya, melainkan dari watak dan perbuatannya! Biarpun dia hanya seorang tukang pemelihara kuda, akan tetapi kakang Aji telah mengorbankan diri demi menyelamatkan aku dan bapa. Bagaimana mungkin sekarang aku harus membiar saja dia tertangkap dan disiksa sampai mati?"
Biarpun cuaca lewat tengah malam itu remang-remang, hanya diterangi bintang-bintang di langit yang tak terhitung banyaknya, sehingga Nurseta tidak dapat melihat wajah yang merah dari Mawarsih dengan jelas, namun dia dapat menangkap kemarahan itu dalam suara gadis itu yang membuatnya tergila-gila ini, maka dia tidak dapat berkata-kata lagi. Ki Sinduwening merasakan suasana yang tidak enak itu dan diapun cepat menghibur anaknya.
"Mawar sungguh tidak bijaksana kalau engkau harus kembali ke sana setelah dengan susah payah kita berhasil meloloskan diri."
"Maaf, bapa. Lebih bijaksanakah kalau kita membiarkan penolong kita diancam bahaya, sedangkan kita melarikan diri mencari selamat, sama sekali tidak memperdulikan penolong kita?"
"Bukan demikian maksudku, cahayu. Dlam segala hal, kita harus mempergunakan akal dan pertimbangan. Kalau kita nekat kembali ke sana untuk menolong Aji, hampir dapat dipastikan kita akan tertawan kembali.
Berarti semua jerih payah kita sia-sia belaka. Aji tidak akan dapat kita tolong, bahkan kita sendiri kembali tertawan. Sebaliknya, kalau kita masih bebas, setiap saat kita dapat berusaha menolonnya, bukan nekat tanpa Koleksi Kang Zusi
perhitungan mencelakakan diri sendiri. Selain itu, aku percaya bahwa seseorang yang cedik seperti Aji, tidak akan mudah tertangkap. Tadi ketika kita berdua dikeroyok, aku melihat Aji sudah lenyap entah ke mana.
Tentu dia sudah dapat meloloskan diri pula."
Setelah dibujuk-bujuk ayahnya, akhirnya Mawarsih terpaksa mau juga melanjutkan pelarian mereka. Memang iapun mengerti bahwa ia dan ayahnya berdua saja tidak akan mungkin dapat melawan pasukan di kadipaten Ponorogo. Kalau ia nekat, Aji tidak akan tertolong, bahkan ia dan ayahnya akan tertangkap kembali. Membayangkan perlakuan Brantoko kepadanya, ia merasa ngeri juga. Akan tetapi, teringat kepada Aji, tak terasa lagi air matanya berlinang. Aji bukan saja telah membebaskan ia dan ayahnya, akan tetapi lebih dari pada itu, Aji telah menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut, yaitu ketika ia nyaris diperkosa oleh Brantoko.
"Kakang Aji....." ia mengeluh ketika terkenang kepada pemuda itu, mengenangkan pemuda itu disiksa dan dipukuli Brantoko yang memaksanya mengaku di mana adanya kedua orang pelarian. Namun, Aji tetap membungkam. Pemuda yang lemah dan lembut itu agaknya rela disiksa sampai mati dari pada harus mengaku tempat persembunyian Mawarsih dan ayahnya.
Menjelang pagi, mereka tiba di luar dusun Beledug, di kaki Gunung Lawu sebelah timur. Karena kuda yang mereka tunggangi sudah kelelahan, juga mereka sendiri merasa lelah, mereka menghentikan kuda, dan beristirahat di luar dusun. Tempat itu masih termasuk wilayah Ponorogo, maka Sinduwening menasihatkan agar mereka mengaso di luar dusun saja.
Tempat itu sunyi, merupakan daerah persawahan dan kebetulan di dekat jalan terdapat sebuah gubuk di mana petani berjaga di siang hari sambil mengusir burung dari sawah mereka.
Mereka bertiga duduk bersila dan beristirahat di tempat itu, menanti datangnya fajar. Dalam kesempatan ini, mereka baru bercakap-cakap.
Koleksi Kang Zusi "Raden Nurseta, terima kasih atas pertolonganmu. Entah bagaimana nasib kami tadi kalau andika tidak datang menolong." kata Ki Sinduwening. "Kami ayah dan anak sungguh berhutang budi kepada andika, budi yang bertumpuk-tumpuk. Pertama kali kita saling bertemu, andika sudah menolong kami dari pengeroyokan Ki Danusengoro dan anak buahnya,, kemudian andika yang menolong kami sehingga memperoleh kedudukan di Mataram. Setelah itu tadi, kembali andika menyelamatkan kami dari pengeroyokan orang-orang Ponorogo. Entah bagaimana kami akan dapat membalas budi andika, raden."
Bukan main girangnya hati Nurseta mendengar ucapan Ki Sinduwening itu.
Untung baginya bahwa cuaca masih remang-remang sehingga ayah dan anak itu tidak melihat betapa wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum penuh kebanggaan. Akan tetapi, dia segera merendahkan diri. "Ah, Paman Sinduwening, kenapa paman bersikap sungkan" Sudah menjadi kewajibanku untuk membela paman dan diajeng Mawarsih."
"Kakangmas Nurseta, bagaimana kakangmas dapat tiba-tiba muncul dan menolong kami?" tiba-tiba Mawarsih bertanya dan di dalam hatinya, walaupun ia bersyukur bahwa ia dan ayahnya tertolong, tetap saja merasa kecewa mengapa bukan Si Kedok hitam yang menolong ia dan ayahnya.
Mendengar pertanyaan Mawarsih ini, Nurseta agak tertegun. Memang peristiwa yang terjadi itu agak membingungkan dia karena tidak sesuai dengan rencana yang telah diaturnya bersama Mayaresmi. Menurut rencana itu, dia yang akan menolong ayah dan anak itu keluar dari tempat tahanan, dan para penjaga sudah diberitahu agar membiarkan dia membebaskan mereka. Akan tetapi, baru saja dia tiba di dalam pagar tembok, dia melihat betapa ayah dan anak itu sudah keluar dari tempat tahanan dan dikeroyok oleh Brantoko dan anak buahnya. Tentu saja dia merasa bingung, akan tetapi karena tugasnya memang meloloskan ayah dan anak itu, dia lalu menyerbu. Dan agaknya Brantoko dan anak buahnya Koleksi Kang Zusi
mengalah dan mengundurkan diri bahkan ketika dia mengajak ayah dan anak itu melarikan diri, tidak terjadi pengejaran. Kemudian menurut yang dia dengar dari Mawarsih tadi, ayah dan anak itu dibebaskan oleh tukang kuda bernama Aji yang membakar tempat tahanan. Tentu saja dia tidak tahu bahwa perubahan itu terjadi gara-gara ulah Brantoko yang mempunyai niat yang mesum terdapat Mawarsih, hendak memperkosa gadis itu sebelum dibebaskan oleh Nurseta seperti direncanakan.
"Akupun ingin sekali mengetahui bagaimana andika dapat muncul dan menyelamatkan kami dalam saat yang gawat tadi, Raden Nurseta?" tanya Ki Sinduwening yang melihat pemuda itu seperti termenung dan belum menjawab pertanyaan puterinya.
Nurseta menghela napas untuk menenangkan hatinya dan dia telah siap dengan jawabannya. "Begini, paman dan diajeng Mawarsih. Berita tentang ditawannya Paman Sinduwening telah terdengar sampai ke Mataram. Oleh karena itu, Sang Prabu lalu mengutus aku untuk membawa pasukan dengan tugas menyusul ke Ponorogo dan membebaskan paman dari tahanan. Dan beruntunglah aku dapat tiba tepat pada saatnya sehingga dapat membantu paman berdua dari pengeroyokan orang Ponorogo."
"Akan tetapi kenapa engkau muncul seorang diri saja, kakangmas" Mana pasukanmu?"
"Pasukanku menanti di perbatasan, tak jauh dari sini, diajeng. Aku sengaja memasuki Ponorogo seorang diri saja agar lebih leluasa bergerak. Tentu saja aku sudah berhubungan dengan Pak Jiyo di warungnya dan dari dialah aku mendengar bahwa engkaupun tertawan pula. Nah, malam tadi aku berhasil menyusup di kadipaten, akan tetapi sebelum aku pergi ke tempat tahanan, telah lebih dahulu melihat andika berdua dikeroyok. Bagaimana andika berdua dapat keluar dari tempat tahanan, paman" Bagaimana pula tukang kuda bernama Aji itu dapat membebaskan paman dan diajeng Mawarsih?"
Koleksi Kang Zusi Melihat puterinya hanya menunduk dan tidak menjawab pertanyaan Nurseta, Ki Sinduwening lalu mewakili anaknya menjawab. "Dia seorang pemuda dusun yang baik sekali, Raden. Walaupun dia lemah dan hanya menjadi seorang tukang kuda di Ponorogo, namun dia telah berani mempertaruhkan nyawanya untuk membebaskan dan menyembunyikan kami berdua."
"Akan tetapi, paman. Kalau pemuda lemah, bagaimana mungkin dia mampu membebaskan andika berdua?" Nurseta sudah merasa tidak senang mendengar bahwa tukang kuda bernama Aji yang telah menolong mereka itu ternyata seorang pemuda! "Apa lagi dia seorang hamba atau abdi Ponorogo, bagaimana dia berani membebaskan paman?"
"Agaknya dia mengabdi di Ponorogo hanya untuk mencari makan, Raden.
Dan mungkin saja dia merasa kasihan kepada kami berdua, maka dia membebaskan kami."
"Tapi bagaimana caranya, kalau dia seorang lemah?"
"Dengan kecerdikannya. Ketika itu, kami sudah merasa tidak berdaya.
Tiba-tiba terjadi kebakaran di rumah tahanan itu dan selagi para penjaga sibuk memadamkan api, dia menyusup masuk, membuka pintu kamar tahananku, dan membebaskan aku. Kemudian kami membebaskan Mawarsih......" Ki Sinduwening menahan diri untuk tidak menceritakan keadaan puterinya ketika ditolongnya, yaitu betapa puterinya itu dalam keadaan hampir telanjang dan nyaris diperkosa Brantoko. "Kemudian, Aji membawa kami berdua melarikan diri. Dia mengenal keadaan di sana sehingga kami berhasil sampai dekat tembok pagar yang ada pohonnya itu.
Akan tetapi, muncul Brantoko dan anak buahnya, dan kami dikeroyok sampai andika muncul menolong kami, Raden."
Koleksi Kang Zusi "Dan di mana tukang kuda itu?"
"Entah, dia sudah melarikan diri entah ke mana, mudah-mudahan dia tidak akan tertangkap oleh pasukan Ponorogo." kata Ki Sinduwening. Diam-diam Mawarsih merasa gelisah sekali membayangkan keselamatan Aji.
Bagaimana mungkin Aji dapat meloloskan diri" Meloloskan diri" Melompati pagar tembok saja tidak mampu.
Fajar telah menyingsing. Mataharinya sendiri belum menampakkan diri, akan tetapi cahayanya telah membakar ufuk timur dan keremangan malam mulai tersapu bersih sedikit demi sedikit. Burung-burung mulai berkicau dan dari sana sini terdengar keruyuk ayam saling sahutan.
"Kukira sebaiknya kalau kita melanjutkan perjalanan. Anak buahku berada di sebelah barat dusun Beledug, di perbatasan." kata Nurseta. Mereka bertiga bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi sebelum mereka menunggang kuda, nampak serombongan orang keluar dari pintu dusun, menghampiri mereka. Jumlah mereka ada belasan orang dan dari pakaian dan sikap mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan warok, jagoan-jagoan di Ponorogo. Kalau Nurseta dan Ki Sinduwening memandang dengan penuh perhatian, bertanya-tanya siapa mereka itu dan apa maunya, tidak demikian dengan Mawarsih yang masih berpakaian pria sebagai Joko Lawu. Ia mengenal orang yang berjalan di depan rombongan itu. Ganjur, warok muda bertubuh raksasa berkulit hitam yang pernah ribut dan berkelahi dengannya ketika ia menghadiri pesta tayuban yang diadakan di rumah lurah dusun Muncang.
Persekutuan antara Nurseta dan Mayaresmi, yang membuat dia berkhianat terhadap Mataram dan diam-diam membantu Ponorogo, merupakan suatu hal yang tentu saja dirahasiakan, karena Nurseta hendak membantu Ponorogo secara diam-diam, dan menjadi mata-mata yang dapat mengetahui segala langkah yang akan diambil Mataram untuk disampaikan ke kadipaten Ponorogo. Oleh karena itu, maka kecuali para pejabat penting di Ponorogo, tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Demikian pula Koleksi Kang Zusi
rombongan yang agaknya dipimpin oleh Ganjur itu tidak mengetahui bahwa satu di antara tiga orang itu adalah seorang mata-mata kadipaten Ponorogo.
Dari seorang di dusun Beledug yang kebetulan malam tadi lewat di situ, Ganjur mendengar bahwa di luar dusun terdapat tiga orang yang tidur di gubuk sawah dan mereka mempunyai tiga ekor kuda yang baik. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan. Dusun Beledug merupakan dusun dekat perbatasan, dan setiap orang yang mencurigakan patut diselidiki, kalau-kalau orang itu merupakan pihak musuh yang membahayakan. Maka, pagi-pagi sekali Ganjur membawa belasan orang kawannya, semua merupakan jagoan-jagoan dari perguruannya, untuk melakukan pemeriksaan. Kebetulan sekali pada saat itu, Warok Wirobandot, guru mereka yang tinggal di Pacitan, sedang berkunjung di Beledug, maka guru inipun ikut pula dalam rombongan itu untuk melihat siapa adanya tiga orang yang mencurigakan itu, yang tidak mau melewatkan malam di dalam dusun, melainkan di dalam gubuk sawah.
Setelah tiga belas orang itu tiba dekat, Ganjur segera mengenal Joko Lawu. Wajahnya berubah merah dan matanya terbelalak, mulutnya menyeringai. Terkenanglah pengalamannya di tempat tayuban, ketika dia dihajar dan dihina oleh pemuda tampan itu.
"Ha-ha-ha, kiranya engkau, Joko Lawu! Bagus, sekaranglah saatnya aku membalas dendam atas penghinaanmu tempo hari!" Dia menoleh kepada seorang pria setengah tua yang berada di sebelah kanannya. "Bapa guru, inilah pemuda yang pernah menghina kami di tempat tayuban, di dusun Muncang."
Cuaca sudah mulai terang dan melihat orang yang disebut bapak guru oleh raksasa hitam itu, Ki Sinduwening memandang penuh perhatian. Orang itu berusia lima puluhan tahun, gendut pendek berkepala botak, dengan ikat pinggang lawe berwarna hitam.
Koleksi Kang Zusi "Ki sanak, bukankah andika Ki Wirobandot dari Pacitan?" Ki Sinduwening kini melangkah maju untuk melindungi puterinya dan menghadapi si gendut pendek botak itu.
Ki Wirobandot, warok yang terkenal sekali di Pacitan, memandang penuh perhatian kemudian dia tertawa bergelak, suaranya besar parau seperti suara katak buduk. "Hah-ha-ha-ha, kiranya Ki Sinduwening dari Sintren yang berada di sini! Sungguh kebetulan sekali. Sinduwening, mengingat bahwa selama ini jalan hidup kita bersimpangan, kuharap sekali ini pun engkau tidak akan mencampuri urusan kami. Ketahuilah bahwa pemuda ini pernah melakukan penghinaan terhadap murid-muridku. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kalau para muridku kini menuntut balas, dan kuharap engkau tidak mencampurinya."
Diam-diam Nurseta terkejut mendengar bahwa pria itu adalah Warok Wirobandot, ayah Mayaresmi, wanita cantik yang telah menjeratnya dan yang kini menjadi kekasihnya, bahkan sekutunya yang menarik dia berpihak kepada Ponorogo!
Sementara itu, mendengar ucapan Wirobandot, Ki Sinduwening tersenyum dan berkata, "Wirobandot, memang selama ini di antara kita tidak terdapat permusuhan apapun, dan memang sudah sepantasnya kalau andika membela murid-murid andika. Akan tetapi, katakanlah kepadaku, Wirobandot, mana lebih berat antara murid dan anak kandung?"
Biarpun tidak mengerti apa tujuan Sinduwening dengan pertanyaan itu, namun pertanyaan seperti itu hanya mempunyai satu macam jawaban,
"Tentu saja lebih berat anak kandung dari pada murid. Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?"
Koleksi Kang Zusi "Dan engkau pasti akan melindungi anak kandungmu, lebih dari pada muridmu yang manapun, bukan?"
"Tentu saja, akan tetapi apa hubuangannya........"
"Andika membela murid-murid, akan tetapi aku membela anak." Ki Siduwening menunjuk ke arah Joko Lawu. "Ia adalah anakku, maka tentu saja aku akan melindunginya."
Wirobandot tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, jangan mempermainkan aku, Sindu wening. Aku tahu bahwa andika hanya mempunyai seorang anak saja, dan anakmu itu perempuan!"
Joko Lawu melangkah maju. "Memang benar, ayahku hanya mempunyai seorang anak saja, anak perempuan dan akulah orangnya, namaku Mawarsih!" berkata demikian, ia menggunakan suara aslinya sehingga Wirobandot, ganjur dan teman-temannya baru tahu bahwa Joko Lawu adalah seorang perempuan! Wajah Ganjur berubah merah sekali. Kiranya dia dan dua orang kawannya tempo hari dikalahkan dan dihajar oleh seorang wanita!
Warok Wirobandot sendiri tertegun dan menjadi serba salah. Baginya juga merupakan pukulan mendengar bahwa muridnya yang paling dibanggakan telah dihajar oleh seorang wanita, seorang gadis muda!
Melihat sikap gurunya, Ganjur tidak kehilangan akal. Dia khawatir kalau-kalau gurunya akan mundur sehingga dia tidak dapat melampiskan dendamnya. Dia mendekati gurunya dan berkata dengan suara mengandung permohonan.
Koleksi Kang Zusi "Bapak guru, kalau ternyata ia seorang gadis, aku akan melupakan penghinaan itu asal ia suka menjadi isteriku. Bapak guru, harap suka meminangkan gadis ini untukku."
Mendengar ini, legalah hati Wirobandot. Memang itu jalan terbaik untuk melenyapkan perasaan penasaran dan malu itu dan diapun tertawa lagi.
"Ha-ha-ha, sungguh ini yang dinamakan sebelum bertanding tidak akan saling mengenal! Ki Sinduwening, maafkan kelancangan muridku terhadap puterimu. Dan untuk memperbaiki hubungan di antara kita, sekarang juga aku mengajukan lamaran kepada puterimu, Mawarsih ini untuk dijodohkan dengan Ganjur, muridku. Bukankah dengan cara demikian, semua ganjalan hati telah disingkirkan dan hubungan di antara kita menjadi lebih erat lagi?"
Ki Sinduwening, Mawarsih dan Nurseta memadang dengan marah, akan tetapi sebelum yang lain mampu mengeluarkan suara, Mawarsih sudah lebih dulu mendamprat. "Aku tidak sudi! Ganjur ini adalah seorang laki-laki yang kasar, sombong, kejam dan jahat, suka mempermainkan wanita. Ketika aku menghajarnyapun karena dia hendak memaksa seorang waranggana melayaninya berjoget!"
Akan tetapi Ki Sinduwening cepat menyambung ucapan puterinya. "Ki Wirobandot, kami ayah dan anak sudah mengambil keputusan bahwa calon suami Mawarsih haruslah memenuhi dua persyaratan, yaitu dia harus dapat mengalahkan Mawarsih, dan walinya harus dapat mengalahkan aku!" Ucapan itu dimaksudkan untuk mengurangi penghinaan yang diucapkan Mawarsih tadi.
"Bagus! Berarti andika menantang kami, Sinduwening! Lebih baik berterus terang saja, kauserahkan puterimu untuk menjadi isteri muridku atau tidak?"
Koleksi Kang Zusi "Hemm, Wirobandot, sejak dahulu andika tidak pernah berubah, hendak memaksakan kehendakmu kepada orang lain. Kalau aku tidak menyerahkan puteriku, lalu andika mau apa?"
Nurseta yang tadi terkejut mendengar bahwa pria itu adalah Ki Wirobandot, ayah kandung Mayaresmi, sudah memutar otaknya untuk mencari keuntungan dalam pertemuan ini. Maka, kini dia berteriak lantang,
"Ki Wirobandot, akulah lawanmu!" dan diapun sudah menerjang dengan dahsyat, menyerang warok itu sambil memutar tombaknya.
Ki Wirobandot melihat betapa kuatnya gerakan pemuda itu cepat mengelak, lalu membalas dengan memutar senjatanya yang ampuh, yaitu kolor atau ikat pinggang dari lawe yang diikatkan di pinggangnya. Dua ujung kolor itu panjangnya masing-masing satu meter lebih. Ketika dia menggerakkan kolornya, maka nampak dua gulungan sinar hitam menyambar-nyambar ke arah Nurseta.
Melihat gurunya diserang pemuda itu, Ganjur lalu memberi isyarat kepada teman-temannya dan sebelas orang itu sudah menyerbu dan mengeroyok KI Sinduwening dan Mawarsih, juga Ganjur sendiri sudah menerjang Mawarsih, dibantu oleh beberapa orang temannya. Sebelas orang teman Ganjur itu adalah warok-warok dari Pacitan dan rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh. Biarpun mereka tidak ada artinya bagi Ki Sinduwening dan Mawarsih kalau mereka maju satu demi satu, akan tetapi karena mereka berjumlah dua belas orang, tentu saja keadaannya lain lagi dan mereka berdua terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga untuk melindungi diri dari sambaran senjata kolor para warok itu. Ki Sinduwening mempergunakan pecutnya, sedangkan Mawarsih mempergunakan kemben merahnya.
Sementara itu, Nurseta yang tentu saja terdesak oleh Ki Warok Wirobandot, sengaja mundur-mundur sambil melindungi dirinya dengan tombaknya sampai agak jauh dari ayah dan anak yang dikeroyok itu.
Koleksi Kang Zusi Setelah agak jauh dan terhalang pohon-pohon, dia berbisik kepada Ki Wirobandot yang sedang mendesaknya.
"Paman, aku bekerja untuk Ponorogo dan Mayaresmi adalah sahabat baikku. Aku akan pura-pura roboh pingsan, dan paman usahakan agar Ki Sinduwening dapat dibunuh. Akan tetapi jangan ganggu Mawarsih, aku harus menawannya hidup-hidup, ini perintah Kanjeng Pangeran Jayaraga adipati Ponorogo!"
Mendengar bisikan itu, Ki Wirobandot terkejut dan diapun mengangguk.
Nurseta mengeluarkan teriakan keras dan diapun roboh terguling dan rebah miring, tak bergerak lagi. Ki Wirobandot tertawa bergelak, kemudian warok ini lari ke arah perkelahian untuk membantu muridnya dan anak buahnya mengeroyok Ki Sinduwening dan Mawarsih.
Ayah dan anak itu terkejut mendengar teriakan Nurseta, apa lagi melihat dari jauh betapa Nurseta terpelanting dan kini Wirobandot ikut pula mengeroyok mereka. Menghadapi pengeroyokan dua belas orang itu saja mereka sudah repot, apa lagi sekarang Wirobandot yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi di antara para pengeroyoknya ikut pula menyerang.
"Ganjur, bantu aku menangkap gadis itu!" teriak Ki Wirobandot yang segera menyerang Mawarsih dengan kolornya. Tentu saja Ganjur menjadi gembira mendapat perintah gurunya ini.
"Kalian kepung dan bunuh dia, orang Mataram itu!" teriak pula Ki Wirobandot kepada para anak buahnya yang mengeroyok Ki Sinduwening.
Pada saat itu, dari dalam dusun muncul pula belasan orang yang segera membantu para pengeroyok. Tentu saja ayah dan anak itu menjadi terkejut bukan main dan mereka membela diri mati-matian. Beberapa orang sudah dapat mereka robohkan, akan tetapi sekarang Mawarsih dikeroyok oleh Ganjur dan Wirobandot, sedangkan Ki Sinduwening tidak Koleksi Kang Zusi
dapat membantu puterinya karena dia sendiri dikepung ketat oleh dua puluh orang lebih!
Keadaan ayah dan anak itu benar-benar gawat. Ki Sinduwening tidak mengkhawatir- kan keadaan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan keadaan puterinya. Dia mengamuk dan dengan pecutnya dia sudah merobohkan enam orang, akan tetapi pengeroyoknya masih banyak dan mengepung ketat, menghujankan senjata kolor mereka. Dia sendiri sudah menerima hantaman kolor beberapa kali, membuat seluruh tubuh terasa nyeri, akan tetapi dia melawan terus dan berusaha mendekati puterinya yang semakin terdesak oleh Ganjur dan Wirobandot.
Tingkat kepandaian Wirobandot saja lebih tinggi sedikit dibandingkan tingkat kepandaian Mawarsih, apa lagi Wirobandot dibantu oleh Ganjur, maka tentu saja gadis tu menjadi sibuk sekali dengan kemben merahnya untuk menahan empat ujung kolor yang menyambar-nyambar dari segala jurusan itu.
Pada suatu saat, ketika kedua ujung senjata kolor Ganjur yang warnanya abu-abu itu menyambar, Mawarsih menangkapnya dengan libatan kemben merahnya. Ia bermaksud untuk merobohkan dulu Ganjur agar ia dapat melawan Ki Wirobandot dengan leluasa. Ia mengerahkan tenaga, menarik kembennya sehingga Ganjur ikut terbetot ke depan. Selagi ia hendak menggerakkan tangan menghantam ke arah kepala Ganjur, tiba-tiba Wirobandot mengeluarkan pekik nyaring dan tangan Mawarsih dapat tertangkap di pergelangannya. Gadis itu terkejut, membalik ke kiri dan meronta. Akan tetapi, kemben merahnya yang tadinya melibat kolor Ganjur, sudah disambar oleh tangan Wirobandot dan kemben merah itu sudah melibat tubuhnya. Ganjur membantu gurunya dan dengan kemben merah itu, kedua tangan Mawarsih ditelikung ke belakang sehingga ia tidak mampu bergerak lagi!
"Ganjur, bantu mereka membunuh mata-mata Mataram itu!" kata Koleksi Kang Zusi
Wirobandot yang ingin memenuhi permintaan Nurseta. Dia sendiri lalu memondong tubuh Mawarsih, dan lari dari tempat itu, tidak ke dusun melainkan ke dalam hutan untuk menyingkirkan gadis tawanan itu untuk kelak diberikan kepada Nurseta.
Nurseta yang pura-pura pingsan dan rebah miring itu, tentu saja melihat semua itu. Melihat betapa Mawarsih sudah ditawan oleh Wirobandot, diapun bengkit berdiri. Sejenak dia memandang ke arah Sinduwening yang dikepung oleh banyak orang. Dia tersenyum puas. Sekali ini, Sinduwening pasti akan tewas, pikirnya. Dan dia harus berlagak menyelamatkan Mawarsih. Peristiwa ini akan amat menguntungkan dirinya. Dua hasil gemilang akan dicapainya, yaitu pertama, dia dapat membunuh Sinduwening melalui para warok itu sehingga dia sendiri tidak akan dicurigai Mataram akan tetapi akan dipuji oleh Ponorogo, dan yang kedua, dia akan membuat Mawarsih berterima kasih kepadanya karena dia yang akan membebaskan Mawarsih dari tangan Wirobandot dan anak buahnya!
Ketika dia pura-pura mendekati Sinduwening untuk membantunya, Sinduwening yang melihat Nurseta sudah siuman, cepat berseru, "Raden, cepat tolong Mawarsih, ia dilarikan ke hutan itu!" Dia tidak sempat bicara banyak karena dia harus mencurahkan seluruh kepandaian dan perhatian untuk membela diri dari pengeroyokan yang ketat itu. Nurseta tidak menjawab, akan tetapi diapun lari ke arah hutan sambil memegangi tombaknya.
Keadaan Ki Sinduwening sudah semakin gawat. Tubuhnya terasa nyeri-nyeri dan mulai lemas karena tadi dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan pengeroyok yang amat banyak itu.
Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan muncullah dua belas orang perajurit, yaitu pasukan yang menjadi nak buah Nurseta yang tadinya oleh pemuda itu ditinggalkan di perbatasan. Pasukan ini adalah perajurit-perajurit pilihan dan melihat betapa Ki Sinduwening dikeroyok banyak warok, merekapun tanpa diperintah lagi segera terjun ke dalam pertempuran membantu Ki Sinduwening yang sudah mereka kenal baik.
Koleksi Kang Zusi Keadaan segera berubah setelah dua belas orang ini membantu Ki Sinduwening. Para warok yang tadinya mengeroyok ketat, menjadi panik dan mereka melawan mati-matian. Terjadilah pertempuran kecil di tempat itu dan mendapatkan bantuan pasukan Mataram, timbul pula semangat Ki Sinduwening. Diapun mengamuk dan banyak musuh roboh oleh pecutnya.
Dia harus segera dapat menghancurkan para pengeroyok, agar dia dapat menyusul Nurseta dan menolong puterinya.
Semantara itu, biarpun kedua tangannya sudah ditelikung ke belakang dan diikat oleh libatan kemben merahnya sendiri. Mawarsih tidak menyerah begitu saja. Ketika ia dipondong oleh Wirobandot memasuki hutan, ia meronta-ronta dan menggunakan kedua kakinya untuk menendang-nendang sekuat tenaga. Karena ia meronta, tentu saja hal ini amat mengganggu Wirobandot yang sedang berlari cepat memasuki hutan.
"Hemm, bocah setan! Diamlah dan jangan meronta kalau kau tidak ingin kulempar!" bentak Wirobandot yang terpaksa menghentikan larinya.
Akan tetapi, Mawarsih tidak menghentikan gerakannya meronta, bahkan kakinya berhasil menendang paha orang yang memondongnya sehingga terpaksa Wirobandot melemparkan tubuh Mawarsih ke bawah. Gadis ini dapat melompat dan tidak terbanting, melainkan jatuh dengan kaki dulu ke atas tanah, lalu ia memasang kuda-kuda, siap melawan mengandalkan kedua kakinya, kerena kedua tangannya masih belum dapat ia lepaskan dari ikatan.
"Hemm, engkau memang keras kepala!" kata Wirobandot dan diapun menerjang ke depan.
Mawarsih menyambut terjangan itu dengan tendangan kaki kirinya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya dalam tendangan itu. Akan tetapi Koleksi Kang Zusi
Wirobandot mengelak ke kanan sambil menangkis dari samping. Karena kedua tangannya tertelikung ke belakang, dan tendangan- nya itu ditepis dengan kuatnya, maka Mawarsih kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terpelanting. Wirobandot tidak mau repot lagi. Melihat gadis itu terpelanting roboh, dia cepat berlutut dan menggunakan tangan kanannya menampar perlahan ke arah tengkuk gadis itu.
"Plakk!" Tamparan itu cukup membuat leher Mawarsih terkulai dan gadis itupun roboh pingsan. Wirobandot memodong lagi tubuh yang kini sudah lemas itu, dan dia melanjutkan perjalanannya ke tengah hutan.
Akan tetapi pada saat yang sama itu, terdengar kaki kuda yang dilarikan cepat menuju ke tempat itu. Wirobandot tersenyum, mengira bahwa tentu yang datang ini adalah pemuda yang mengaku sahabat puterinya itu. Akan tetapi setelah dekat, ternyata penunggang kuda itu seorang yang mukanya ditutupi kain hitam dari bawah mata sampai ke leher!
Selagi Wirobandot tertegun, si kedok hitam itu sudah meloncat dari atas kudanya dan bagaikan seekor burung garuda menyambar, dia sudah menyerang dengan cengkeraman tangannya ke arah kepala Wirobandot.
Serangan itu demikian cepat dan kuatnya sehingga ada angin pukulan yang menyambar ke arah kepala. Wirobandot maklum bahwa lawan ini tangguh, maka terpaksa dia melemparkan tubuh Mawarsih yang pingsan itu ke atas tanah, dan dia sendiri sudah mengangkat kedua lengannya untuk menangkis, menyambut serangan si kedok hitam.
"Desss......!!" Pertemuan tenaga sekali ini jauh lebih hebat dari pada yang pertama tadi karena keduanya berpijak pada tanah. Dan akibatnya, tubuh Wirobandot terjengkang dan dia bergulingan ke belakang. Ketika dia melompat bangun, wajahnya agak pucat dan napasnya terengah. Dia juga merasa gentar karena maklum bahwa dia jauh kalah kuat dalam hal tenaga sakti. Karena merasa takut untuk melawan sendiri, Ki Wirobandot lalu meloncat dan menghilang di antara gerombolan pohon. Dia akan melihat keadaan anak buahnya dan setelah mendapat bantuan anak buahnya, baru dia akan mengeroyok si kedok hitam yang lebih tangguh dibandingkan Ki Koleksi Kang Zusi
Sinduwening sendiri itu! Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Warok Wirobandot ketika dengan jalan memutar dan menyusup-nyusup di antara pohon-pohon di hutan itu dia kembali ke tempat per- tempuran, dia melihat betapa anak buahnya dihajar kocar kacir oleh Ki Sinduwening yang kini dibantu oleh selosin parajurit Mataram yang rata-rata memiliki kepandaian yang tangguh.
Tanpa berpikir dua kali, warok yang licik ini diam-diam malarikan diri, bahkan tidak berani kembali ke dusun Beledug tempat tinggal para muridnya, melainkan langsung saja dia kembali ke Pacitan dan baru pada keesokan harinya dia pergi menghadap ke Ponorogo untuk menghubungi puterinya dan memberi laporan tentang peristiwa di luar dusun Beledug itu.
Sementara itu, si kedok hitam yang melihat Warok Wirobandot melarikan diri, tidak melakukan pengejaran, melainkan cepat dia menghampiri Mawarsih yang menggeletak di atas tanah dengan pandang mata penuh kekhawatiran. Dia cepat berjongkok di dekat Mawarsih dan memeriksa keadaannya. Sinar mata yang tadinya khawatir itu kini bersinar kembali setelah dia mendapat kenyataan bahwa Mawarsih tidak menderita luka hanya pingsan saja. Dia lalu memondong tubuh yang lemas itu, melompat ke atas kudanya yang tetap tenang berada di situ. Cara dia melompat ke atas punggung kudanya sambil memondong tubuh Mawarsih, nampak begitu ringan seolah-olah tubuh gadis itu sama sekali tidak menjadi beban baginya. Dia duduk sambil memangku Mawarsih, lengan kiri merangkul pundak, dan tangan kanan memegang kendali kuda yang dijalankan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, menuju ke tempat terjadinya pertempuran tadi.
Melalui kain hitam yang menutupi muka di bawah matanya, si kedok hitam mengamati wajah Mawarsih yang begitu dekat dengannya, wajah yang kepalanya disandarkan di dadanya. Melihat rambut yang terlepas itu, sungguh amat berlawanan dengan pakaiannya, pakaian pria, akan tetapi rambut kepala dan wajah itu jelas wanita, cantik jelita pula! Si Kedok hitam tersenyum dan matanya terpesona menatap ke arah sinom (anak Koleksi Kang Zusi
rambut) di tepi hutan rambut di atas dahi, halus lembut melingkar-lingkar dan dahi itu agak basah oleh keringat. Seperti terpesona, si kedok hitam menundukkan mukanya, seperti terdorong kekuatan yang membuatnya kehilangan kesadaran, hidung dan mulutnya mencium dahi berkeringat itu dengan kemesraan yang mendalam. Agak lama mulut dan hidungnya menempel di dahi itu, terasa asin keringat itu di bibirnya.
Tiba-tiba tubuh Mawarsih bergerak, kedua tangannya sudah tidak terikat kemben merahnya lagi, bahkan kemben itu oleh si kedok hitam dikalungkan di pundak Mawarsih. Begitu membuka mata, Mawarsih melihat betapa dirinya berada di pelukan orang dan dahinya dicium mesra sekali. Ia meronta kuat. Si kedok hitam terkejut dan melepaskan rangkulannya.
Mawarsih melompat dan baru ia tahu bahwa dirinya berada di pangkuan orang di atas kuda. Ketika ia membalik dan memandang, ia melihat bahwa yang memangkunya dan merangkulnya, bahkan yang menciumnya tadi adalah si kedok hitam, tokoh yang selama ini mambuatnya merasa kagum dan rindu. Si kedok hitam sudah menutupkan kembali kain hitam di atas hidung dan mulutnya. Kain hitam itu tadinya disingkapnya ketika dia mencium dahi, dan dia menjadi salah tingkah, seolah baru sadar bahwa dia tadi telah melakukan sesuatu yang amat tidak masuk akal, amat bodoh dan amat tidak sopan.
"Kau..... kau......" Mawarsih berkata, matanya terbelalak, mukanya merah sekali dan iapun bingung, tidak tahu harus berkata dan berbuat apa.
Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada kaget, ada heran, ada marah, ada malu, akan tetapi entah mengapa, kemarahan tidak juga mau memperlihatkan pengaruhnya.
"Maafkan aku......... maafkan.......!" Si kedok hitam menarik kendali kudanya.
Binatang itu meringkik, mengangkat kedua kaki ke atas, lalu melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Mawarsih masih berdiri bengong, mulutnya beberapa kali bergerak terbuka, namun tidak ada suara keluar dari mulutnya. Ia ingin memaki, ingin memanggil, ia bingung sama sekali! Kemudian, ada sesuatu yang Koleksi Kang Zusi
mendorongnya, membuat ia menjatuhkan diri bersimpuh di atas tanah dan menangis!
Dara ini tidak tahu mengapa ia menanngis. Tidak tahu apa yang harus ditangiskan. Tangis karena marahkah itu" Tangis karena merasa terhina"
Atau tangis karena menyesal si kedok hitam pergi begitu saja sebelum ia mengenalnya lebih dekat"
"Diajeng........"
Mawarsih meloncat dan membalikkan tubuh dengan wajah berseri walaupun kedua pipinya masih basah. Ia mengira bahwa orang yang dikenangnya, yang membuatnya salah tingkah dan bingung, datang kembali.
Akan tetapi ketika melihat bahwa yang memanggilnya adalah Nurseta, ia mengerutkan alisnya.
"Ah......., andika......, kakangmas Nurseta.........?"
Diam-diam Nurseta bingung juga. Tadinya, dia menyusul Warok Wirobandot untuk berlagak menolong gadis ini dari tangan ayah kandung Mayaresmi itu. Akan tetapi, dia menemukan Mawarsih bersimpuh di atas tanah seorang diri dan menangis!
"Apa yang telah terjadi, diajeng" Bukankah andika tadi tertawan.......?"
Dia tidak melanjutkan kata-katanya, khawatir kalau mengucapkan sesuatu yang akan membongkar rahasianya.
Akan tetapi saat itu Mawarsih sudah pulih kembali kesadarannya dan iapun pertama-tama teringat akan ayahnya. "Kakangmas, di mana bapa"
Koleksi Kang Zusi Bagaimana dengan bapa?"
Pertanyan ini memang tidak dapat dijawab oleh Nurseta. Tentu orang tua itu kini telah mampus, pikirnya. Tadi ketika dia pergi menyusul Wirobandot yang melarikan Mawarsih, Ki Sinduwening sudah payah menghadapi pengeroyokan lawan yang amat banyak.
"Aku....... aku tadi...... melihat andika dilarikan orang, maka aku lalu melakukan pengejaran, diajeng. Aku tidak melihat bagaimana keadaan Paman Sinduwening. Mudah-mudahan dia dapat mengatasi para pengeroyoknya....."
"Ah, kita harus cepat ke sana! Kita harus membantu bapa!" kata Mawarsih dan seolah-olah ada tenaga baru bangkit dalam dirinya. Ia berlari secepatnya, diikuti oleh Nurseta dari belakang. Perasaan gelisah karena mengkhawatirkan keselamatan ayahnya membuat Mawarsih dapat berlari cepat sekali sehingga Nurseta agak tertinggal di belakang.
Setelah tiba dekat tempat pertempuran tadi, Nurseta yang berada di belakang Mawarsih terbelalak, akan tetapi dia terus berlari. Apa yang dilihatnya sungguh berlawanan dengan yang dibayangkannya semula. Dia melihat Ki Sinduwening, masih hidup dan sedang duduk bersila, agaknya menghimpun tenaga. Dan tak jauh dari situ, nampak belasan orang sedang beristirahat pula, ada yang mengobati luka masing-masing, ada yang mengurus belasan ekor kuda yang berada di situ. Pertempuran telah terhenti dan nampak beberapa sosok mayat malang melintang. Dan betapa herannya ketika mengenal bahwa belasan orang itu adalah para perajurit anak buahnya yang ditinggalkannya di perbatasan! Kini, sekilas pandang saja, tahulah dia. Ki Sinduwening tertolong, diselamatkan oleh pasukannya!
Akan tetapi, bagaimana pasukannya dapat datang ke situ dan membantu Ki Sinduwening" Dia melihat Mawarsih lari menghampiri ayahnya dan berlutut di dekat ayahnya. Mereka saling rangkul dan merangkul. Diapun cepat lari menghampiri mereka.
Koleksi Kang Zusi Selosin perajurit segera memberi hormat ketika melihat pemimpinnya muncul bersama gadis berpakaian pria itu. Akan tetapi, Nurseta hanya mengangguk kepada mereka dan diapun berlutut dekat Ki Sinduwening dan Mawarsih. Ternyata paman gurunya itu memang masih hidup dan biarpun menderita luka-luka, namun tidak membahayakan keselamatannya.
"Sukurlah, paman. Sungguh hati saya lega sekali melihat paman selamat dari kepungan musuh-musuh itu." katanya.
Ki Sinduwening menoleh dan memandang kepada pemuda itu, tersenyum.
"Dan andika kembali menyelamatkan Mawarsih, Raden" Bahkan anak buah andika yang telah menyelamatkan aku dari pengeroyokan para warok."
"Bagaimana mereka dapat muncul di sini dan membantu paman?" tanya Nurseta.
Ki Sinduening menggeleng kepala. "Aku belum sempat bertanya kepada mereka, hanya mendengar keterangan mereka bahwa mereka adalah pasukan anak buahmu yang berada di perbatasan."
Nurseta menggapai ke arah seorang diantara para perajuritnya yang tidak terluka. Perajurit itu segera menghampiri dan melihat betapa tiga orang itu duduk di atas tanah, perajurit itu pun duduk bersila menghadap komandannya.
"Samat, ceritakan bagaimana engkau dan kawan-kawan dapat datang ke sini dan membantu paman Sinduwening?" tanya Nurseta, suaranya biasa saja, akan tetapi di dalam hatinya terdengar suatu kegeraman dan Koleksi Kang Zusi
kekecewaan. Siapa kira, anak buahnya sendiri yang mengagalkan rencananya membantu Ponorogo, pertama-tama dengan menewaskan Ki Sinduwening.
Bara Naga 13 Golok Sakti Karya Chin Yung Pangeran Anggadipati 1
^