Pencarian

Kidung Senja Di Mataram 5

Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


"Kami sedang menanti di sana sesuai dengan perintah andika, Raden, ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang mukanya ditutup kain hitam dari bawah mata sampai leher, dan dialah yang memberitahu bahwa andika dan Ki Sinduwening bersama puterinya telah melarikan diri dari Ponorogo, akan tetapi mungkin menemui kesulitan di perjalanan, maka dia yang menyuruh kami untuk menyongsong andika bertiga. Ketika kami dipimpin oleh orang berkedok itu tiba di sini, kami melihat Ki Sinduwening dikeroyok banyak warok, maka tentu saja kami segera turun tangan, membantunya sampai para warok itu dapat dipukul mundur, sisanya melarikan diri."
"Hemm, siapakah si kedok hitam itu" Dan di mana dia sekarang?" tanya Nurseta.
"Kami tidak tahu, Raden. Ketika kami menyerbu dan membantu Ki Sinduwening, kami melihat dia membalapkan kudanya ke arah hutan di sana. Dan sampai sekarang, dia tidak pernah kembali dan kami tidak tahu siapa dia karena di sepanjang perjalanan, dia diam saja dan tidak pernah mengaku siapa dia."
"Memang aneh sekali," Ki Sinduwening bicara, lalu bertanya kepada Nurseta. "Dan bagaimana andika dapat menyelamatkan Mawarsih, Raden?"
Wajah pemuda itu berubah agak kemerahan ketika dia menundukkan mukanya, lalu berkata, "Saya tidak menolong diajeng Mawarsih, paman.
Ketika saya melakukan pengejaran, saya mendapatkan diajeng Mawarsih seorang diri di dalam hutan." Nurseta tidak melanjutkan, tidak enak Koleksi Kang Zusi
menceritakan bahwa gadis itu sedang menangis. "Kami berdua lalu lari ke sini untuk membantu paman, akan tetapi ternyata paman telah tertolong oleh pasukanku!"
"Akan tetapi, aku melihat tadi engkau ditawan oleh Wirobandot, Mawarsih! Bagaimana engkau dapat terbebas dari tangan jahanam itu?"
Mawarsih menghela napas panjang, "Hemm. Lagi-lagi dia...." katanya termenung, dan teringatlah dia akan pengalamannya tadi ketika dia dipangku di atas kuda, dan dahinya dicium mesra!
"Dia siapa" Apa maksudmu, Mawarsih?" desak ayahnya.
"Si Kedok Hitam itu.......! Sudah dua kali dia menolongku, pertama kali ketika aku gagal mengeluarkan bapa dari dalam kamar tahanan, dan aku dikeroyok oleh Senopati Surodigdo dan anak buahnya. Dia menolongku dan membawaku lari ke rumah Pak Jiyo. Kemudian, ketika aku dikeroyok oleh Brantoko dan anak buahnya, dan terdesak, dalam keadaan gawat itu kembali muncul Si Kedok Hitam menyelamatkan aku dan mengajak aku melarikan diri menyeberang sungai dengan perahu. Kemudian tadi.... ketika aku tidak berdaya ditawan Wirobandot dan aku dipukul pingsan, tiba-tiba ketika aku siuman, aku telah berada di atas kuda yang ditunggangi Si Kedok Hitam......" Ia berhenti dan termenung membayangkan apa yang terjadi antara ia dan Si Kedok Hitam di atas kuda itu!
"Tapi, aku mendapatkan engkau seorang diri, diajeng" Di mana dia?" tanya Nurseta.
Mawarsih menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Seperti dua kali Koleksi Kang Zusi
terdahulu ketika menolongku, diapun pergi begitu saja tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku tidak tahu siapa dia, tidak tahu di mana dia......"
Nurseta mengerutkan alisnya. Kenapa gadis itu dia dapatkan sedang menangis seorang diri" Akan tetapi dia tidak berani bertanya-tanya lagi.
"Sungguh aneh sekali. Siapapun adanya Si Kedok Hitam, jelas bahwa dia bukan orang yang berpihak kepada Ponorogo." kata Sinduwening.
"Sudahlah, sebaiknya kita cepat pergi dari sini. Siapa tahu para warok itu akan datang lagi menyerang. Kalau kita sudah melewati perbatasan, barulah aman."
Rombongan itupun berangkat. Tiga ekor kuda terbaik diserahkan oleh pasukan kepada mereka, dan ada di antra para perajurit yang berboncengan dengan yang luka-luka. Mereka mengambil jalan terdekat, melewati dusun Beledug yang sudah nampak sunyi karena para penghuninya telah pergi setelah melihat Ganjur dan kawan-kawan kalah dan melarikan diri. Perjalanan cepat itu tidak mengalami gangguan sampai mereka tiba di Mataram.
Tentu saja Nurseta dianggap berjasa besar telah dapat membebaskan Sinduwening dari tahanan kadipaten Ponorogo. Sang Prabu Hanyokrowati marah mendengar betapa adik tirinya, Pangeran Jayaraga yang menjadi Adipati Ponorogo, tetap ingin memberontak karena iri hati dan ingin merampas tahta kerajaan Mataram. Bahkan adiknya itu telah menawan Ki Sinduwening, dan agaknya diperkuat oleh para warok, tidak perduli dari golongan bersih, ataupun dari golongan hitam, yaitu para warok yang terbiasa melakukan kejahatan, memaksakan kehendak dan mengandalkan kerasnya tulang tebalnya kulit. Sang Prabu Hanyokrowati lalu mengatur persiapan untuk melakukan perang ke daerah Ponorogo ke timur, dan dia sendiri yang berkenan memimpin pasukan besar mengadakan aksi pembersihan dan menaklukan para adipati dan bupati yang tidak mau tunduk kepada Mataram setelah dia menjadi raja.
Koleksi Kang Zusi Sementara itu, Mawarsih lebih sering mengurung diri di dalam kamarnya semenjak pulang dari Ponorogo. Bahkan beberapa kali ia menolak untuk menyambut Nurseta yang datang berkunjung, biarpun ayahnya mendesaknya. Dengan alasan tidak enak badan, ia menolak keluar dari dalam kamarnya. Hal ini membuat ayahnya merasa tidak senang.
Bagaimanapun juga, Ki Sinduwening akan mersa senang kalau bermantukan Nurseta. Melihat sikap puterinya yang tidak memberi angin kepada pemuda itu, pada suatu hari dia memanggil puterinya ke ruangan dalam dan mengajaknya bicara empat mata dengan sikap yang serius.
"Ada apakah bapa memanggilku" Nampaknya ada urusan penting sekali."
kata gadis itu melihat sikap ayahnya yang tidak seperti biasa. Biasanya, ayahnya bersikap ramah dan manis kepadanya, bahkan agak memanjakan, akan tetapi sekali ini, ayahnya mengerutkan alisnya dan sikapnya amat sungguh-sungguh.
"Duduklah yang enak, Mawar. Memang aku ingin membicarakan hal yang paling penting, yaitu mengenai kehidupanmu masa depanmu. Atau jelasnya, aku ingin bicara denganmu tentang perjodohanmu."
Mawarsih memandang wajah ayahnya dengan berani, dan iapun berkata,
"Bapa sudah tahu akan isi hatiku mengenai perjodohan. Aku hanya akan suka menikah dengan seorang pria yang menjadi pilihan hatiku!"
Ki Sinduwening merasakan benar kekerasan hati yang terkandung dalam ucapan puterinya itu. "Aku tahu, Mawar, dan aku tidak menyalahkan sikap dan pendirianmu itu. Dan bapamu inipun ingin melihat engkau berbahagia.
Karena itulah, maka aku selalu mengharapkan agar engkau suka menjatuhkan pilihan hatimu kepada Raden Nurseta. Nanti dulu, jangan membantah dulu, anakku," dia mencegah ketika melihat Mawarsih hendak bicara. "Dengarkan baik-baik. Aku memilih Nurseta bukan tanpa perhitungan yang masak. Dia memenuhi semua syarat. Dalam hal ilmu Koleksi Kang Zusi
kepandaian, sebagai murid Ki Ageng Jayagiri, tentu dia tidak kalah olehmu.
Juga ilmu kepandaian kakang Ki Ageng Jayagiri lebih tangguh dari pada aku, atau setidaknya sama. Ini kalau dinilai dari segi kepandaian aji kanuragan. Kemudian dari segi bentuk lahiriah. Dia seorang pemuda yang usianya baru dua puluh lima tahun, masih muda, wajahnya tampan dan ganteng dan tubuhnya juga tegap dan perkasa. Lalu dari segi pangkat.
Biarpun masih muda, dia telah terpilih oleh Sang Prabu di Mataram untuk menjadi seorang panglima muda, seorang senopati. Kedudukan yang cukup tinggi dan terhormat. Kemudian, dari segi kekayaan. Dia sudah lebih dari pada cukup dengan pangkatnya sebagai senopati, apa lagi orang tuanya juga seorang demang yang kaya. Tentang wataknya, kita sudah sama-sama mengenalnya. Dia sopan, berkebudayaan, pandai membawa diri. Nah, apanya yang kurang" Kurasa cukup kuatlah dasar kebaikan pemuda itu sehingga pantas kalau engkau menjatuhkan pilihan hatimu kepadanya, cah ayu."
"Semua yang bap katakan tadi tak dapat kubantah. Memang semua itu benar, dan akupun dapat mengakui bahwa kakangmas Nurseta adalah seorang pemuda yang baik. Akan tetapi, agaknya bapa lupa bahwa di samping semua segi kebaikan yang hanya lahiriah itu saja, terdapat hal lain yang lebih penting dan mendalam sebagai syarat perjodohan yang kelak akan menjadi suami isteri yang berbahagia, yaitu segi batiniah. Jodoh berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, bapa, dan bagiku, tanda jodoh itu adalah jika kedua orang saling mencintai, bukan tertarik oleh keindahan kulit belaka."
Ki Sinduwening mengerutkan alisnya. Dia memang tidak dapat membantah kebenaran ucapan puterinya, akan tetapi sebagai seorang ayah, tentu saja dia tidak dapat mengabaikan suara hati dan akal pikirannya. Mawarsih sudah cukup dewasa, sudah pantas kalau menjadi isteri seorang pria, dan dia khawatir kalau-kalau puteri tunggalnya itu akan salah pilih kelak.
Diapun teringat kepada pemuda bernama Aji itu, dan kerut di alisnya semakin dalam. Dia tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa Aji juga seorang pemuda yang tampan, cedik dan pemberani. Akan tetapi, dibandingkan dengan Nurseta, dia kalah jauh! Dia hanya seorang tukang memelihara kuda, dan terutama sekali, dia hanya seorang pemuda biasa yang lemah, tidak digdaya. Dan dia menghambakan diri kepada kadipaten Ponorogo yang kini sedang bermusuhan dengan Mataram lagi! Kalau Mawarsih menjatuhkan pilihan hatinya kepada pemuda itu, sungguh hal itu tidak akan menyenangkan hatinya.
Koleksi Kang Zusi "Mawar, katakan terus terang, apakah engkau telah menjatuhkan pilihan hatimu kepada pemuda tukang kuda di kadipaten Ponorogo itu?"
Sepasang mata gadis itu berkilat ketika ia memandang kepada ayahnya. Ia menangkap nada tak senang ketika ayahnya menyebut "pemuda tukang kuda", padahal ayahnya sudah mengetahui nama pemuda itu. Bahkan ia dan ayahnya pernah ditolong pemuda itu. Aji yang telah membebaskan mereka dari tempat tahanan di kadipaten Ponorogo.
"Bapa, kalau bukan karena jasa tukang kuda itu, bapa dan aku mungkin sekarang masih menjadi tawanan di kadipaten Ponorogo!" katanya dengan tajam untuk membalas sebutan itu yang dianggapnya meremehkan Aji.
Ki Sinduwening sadar dan menghela napas panjang, memejamkan mata dan diam-diam dia berdoa, "Astagfirullah allajim.......... semoga Tuhan mengampuni hamba." Dia menyadari betapa karena dorongan keinginannya untuk memilih Nurseta sebagai mantunya, dia lalu meremehkan dan merendahkan pemuda lain. Terasa benar saat itu olehnya betapa nafsu angkara murka menguasai hati dan pikirannya sehingga tadi memang terkandung nada meremehkan ketika dia bicara tentang Aji.
"Tentu saja aku tidak pernah melupakan jasa dan kebaikan Aji. Akan tetapi, aku hanya ingin kepastian darimu, Mawar. Apakah engkau mencintai Aji?"
Mawarsih memejamkan matanya dan terbayang wajah pemuda hitam manis itu. Ia menghela napas panjang ketika wajah itu berubah menjadi bayangan Si Kedok Hitam.
Koleksi Kang Zusi "Aku sungguh tidak tahu, bapa. Aku memang suka dan kagum kepada kakang Aji, akan tetapi...... rasanya aku lebih kagum kepada...... pemuda yang mukanya selalu ditutupi kain hitam itu......"
"Si Kedok Hitam?"
"Benar, bapa. Aku tidak pernah dapat melupakannya sehingga sukarlah bagiku untuk menentukan pilihan hatiku. Aku masih bingung dan ragu, dia antara mereka bertiga, kakangmas Nurseta, kakang Aji dan Si Kedok Hitam."
Ki Sinduwening tersenyum, senyum pahit. Tadinya hanya ada satu saja saingan pemuda yang dicalonkannya, kini ditambah seorang lagi. "Akan tetapi, Mawar, kita tidak tahu siapa Si Kedok Hitam itu. Siapa tahu di balik kain hitam yang menutupi mukanya itu terdapat wajah seorang laki-laki yang usianya sama dengan aku! Atau wajah yang cacat!"
"Bapa, kurasa apa yang dimaksudkan dengan kata cinta adalah suatu perasaan yang tidak mengenal harta, kedudukan, wajah atau keadaan lahiriah lainnya lagi. Sudahlah, harap bapa tidak membicarakan urusan perjodohan karena terus terang saja, hatiku sendiri belum dapat mengambil keputusan. Bersabarlah, bukankah bapa selalu menganjurkan agar aku menyerahkan segalanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa"
Bukankah jodoh di tangan Tuhan" Biarlah Tuhan yang akan membimbing dan menuntunku, mempertemukan aku dengan jodohku seperti yang telah ditentukan olehNya kalau saatnya sudah tiba. Kita tidak dapat memaksakan kehendak kita untuk memuaskan hati kita dan mendahului kehendak Tuhan, bukan?"
Ki Sinduwening mengangguk-angguk. "Baiklah, anakku. Biar kita Koleksi Kang Zusi
menyerahkan kepada Allah Subhanahu wata" allah, akan tetapi aku hanya ingin mengingatkan agar engkau berhati-hati dalam menjatuhkan pilihan hatimu. Ingatlah, anakku, memilih jodoh tidak dapat disamakan dengan memilih pakaian. Sekali pilih untuk selamanya, tidak dapat ditukar-tukar seperti memilih pakaian, tidak dapat dicoba dulu kalau tidak cocok lalu ditukarkan."
Mawarsih tersenyum dan masih mengiringi kepergian ayahnya dari ruangan itu dengan senyum. Akan tetapi setelah ia kembali ke dalam kamarnya, kembali ia melamun. Wajah tiga orang pria itu, wajah Nurseta, Aji dan wajah Si Kedok Hitam yang tertutup kain, bergantian muncul dalam ingatannya. Jelas baginya bahwa kalau dia disuruh memilih antara Nurseta dan Aji, ia akan memilih Aji. Akan tetapi kemunculan Si Kedok Hitam, membuat ia bingung. Mengapa ia tidak mampu melupakan kemesraan yang menenggelamkannya ketika ia berada di dalam pangkuan dan rangkulan Si Kedok Hitam, ketika merasa betapa dahinya dicium oleh orang bersembunyi di balik kain hitam yang penuh rahasia itu" Ia sudah merasa yakin bahwa ia tidak mungkin dapat menjadi isteri Nurseta, karena hatinya yang tidak mau menerima, hanya karena ayahnya memilih pemuda itu, maka ia menjadi ragu. Ia tidak mencinta Nurseta, bahkan ada sesuatu yang pada diri pemuda itu yang membuat ia merasa tidak cocok dan tidak suka. Kini tinggal dua orang itu, Aji dan Si Kedok Hitam. Kalau ia mau jujur, sebetulnya ia telah memilih Aji, akan tetapi entah bagaimana, ia tidak mampu melupakan Si Kedok Hitam, dan sebalum ia dapat melihat wajah yang tersembunyi di balik kain hitam itu, ia belum yakin dan tidak akan dapat menjatuhkan pilihannya. Kembali Mawarsih tenggelam ke dalam lamunannya.
Cinta asmara antara pria dan wanita memang suatu perasaan yang amat ajaib dan penuh rahasia. Perasaan cinta asmara merupakan suatu perpaduan dari segala macam perasaan. Di situ terkandung nafsu berahi yang membuat seorang ingin selalu behubungan dan melampiaskan nafsu berahinya kepada orang yang dicintainya. Di situ terkandung perasaan sayang seperti kepada seorang sahabat terbaik yang membuat seseorang ingin selalu berdekatan dan bergaul dengan orang yang dicinta. Terkandung pula perasaan kasih seorang anak terhadap orang tuanya yang membuat seseorang ingin diperhatikan, dimanja dan dibela oleh orang yang Koleksi Kang Zusi
dicintanya. Juga mengandung kasih sayang seseorang terhadap anaknya sehingga membuat dia merasa sayang dan iba kepada orang yang dicintanya, menimbulkan keinginan untuk melindungi, memanjakan dan menghiburnya. Juga mengandung perasaan sayang seseorang terhadap sesuatu yang disukai dan dibanggakan, yang dianggapnya menjadi sumber segala kebahagiaan, membuat dia ingin menguasai, memiliki, memonopoli dan timbullah perasaan cemburu. Terkadang pula suatu dorongan naluri yang membuat kedua orang itu saling tertarik, daya tarik antar jenis kelamin yang sudah merupakan suatu kewajaran, yang terdapat dalam kehidupan seluruh makhluk di alam maya pada ini, dari yang terbesar sampai yang terkecil, daya tarik antara jenis kelamin yang berlawanan sebagai sarana perkembangbiakan
Nafsu mendorong kita untuk mengejar sesuatu, mengingatkan sesuatu.
Dan kalau ada keinginan, ada pengejaran, berarti ada pilihan. Yang dikejar dan diinginkan itu sudah pasti yang dianggap baik dan menyenangkan, yang dijauhi tentu yang dianggap tidak baik dan menyusahkan. Di dalam nafsu terkandung baik buruk, suka-benci, senang-susah dan segala yang dwimuka.
Oleh kerena itu, tidak mengherankan kalau hasil pengejaran itupun bersifat dwimuka. Untung atau rugi, memuaskan atau mengecewakan.
Demikian pula dengan cinta asmara. Karena mengandung sifat dwi-muka, maka tidaklah abadi, pasti ada suka atau dukanya, selalu cinta asmara seperti itu mendatangkan senang dan susah, puas dan kecewa, tawa dan tangis!
Selagi termenung dan tenggelam dalam bermacam-macam perasaan, tiba-tiba Mawarsih mendengar orang berkidung. Suara ayahnya! Ayahnya menembang mocopat, seperti biasa kalau ayahnya sedang terganggu perasaan atau pikirannya. Ia dapat menduga bahwa ayahnya gelisah kerena memikirkan dirinya, memikikan urusan perjodohannya. Dan untuk menghibur dan menenangkan diri kalau sedang risau ayahnya selalu menembang, seperti yang didengarnya saat itu. Iapun mendengarkan ketika ayahnya menembang dengan Kidung Pangkur.
"Hardaning kang poncodriyo,
pan kuwoso amagreh kanang diri,
Koleksi Kang Zusi angrubedo mrih tan tulus,
saget rumesep ing tyas amiluto ing drio amrih kepencut,
anilepken kawaspadan, lir tiang ningali ringgit."
[Perangsangan panca indera,
menguasai diri pribadi, menghalangi agar kita jatuh,
dapat meresap ke sanubari,
mempengaruhi jiwa agar terpikat,
melenyapkan kewaspadaan, laksana orang nonton wayang kulit].
Mendengar kidung itu, Mawarsih tersenyum dan termenung. Ia masih ingat bahwa tembang itu merupakan bagian dari Serat Arjuno Wiwoho hasil karya tulisan Empu Kanwo di jaman bertahtanya Sang Prabu Airlangga. Kisah wayang yang menceritakan tentang Sang Arjuno melakukan tapa-brata dan tembang itu merupakan bagian ketika Sang Arjuno berwawancara dengan Resi Padyo. Ia tersenyum. Dari ayahnya, ia mendengar banyak sekali kisah pewayangan, baik Ramayana maupun Mahabarata dan ia mengenal dan hafal banyak tembang mengenai kisah pewayangan. Kisah Arjuna Wiwoho merupakan kesayangannya, di samping kisah Dewo Ruci dan Bhagawad Gita.
Koleksi Kang Zusi Biarpun usianya baru menjelang delapan belas tahun, akan tetapi sebagai puteri seorang ahli tapa dan beribadat, Mawarsih sudah banyak menyelami tentang kehidupan yang banyak rahasia dan liku-likunya.
"Jangan khawatir, bapa," katanya dalam hati. "Aku tidak ingin seperti yang digambarkan Resi Padyo itu, hanya terpikat oleh keadaan lahiriah melalui panca indera belaka. Karena aku menyadari semua gerak hidupku dengan penyerahan kepada Allah Subhanahu wata"allah, maka aku yakin Gusti Ingkang Moho Asih tentu akan membimbingku, membimbing panca inderaku agar tidak menjadi hamba nafsu belaka."
Ayahnya masih terus bertembang dan perlahan-lahan Mawarsih merasa betapa kantuk menguasainya dan seperti dinina-bobokan suara kidung ayahnya, ia pun tertidur dengan senyum menghias bibirnya yang merah membasah.
*** Sang Prabu Hanyokrowati mempersiapkan balatentara yang besar dan kuat. Dia sendiri yang akan memimpin pasukan untuk menyerbu ke timur dan menundukkan daerah-daerah di Jawa Timur yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram. Dia marah sekali setelah mendengar akan pemberontakan yang dilakukan Pangeran Jayaraga, adik tirinya sendiri yang menjadi Adipati Ponorogo. Kalau sanak keluarga sendiri yang menjadi adipati memberontak, apa lagi orang lain yang menguasai daerah-daerah itu! Mataram harus memperlihatkan kekuatannya, seperti yang pernah terjadi ketika mendiang ayahnya pertama kali menduduki singgasana. Dan daerah pertama yang akan diserbunya adalah Ponorogo! Biarpun baru saja pasukannya kembali dari penyerbuannya ke Demak, kini terpaksa dia harus memimpin kembali pasukannya untuk menundukkan daerah lain. Raja yang memulai kedudukannya dengan penyerangan ke Demak, setelah perang yang melelahkan selama dua tahun (1602-1604) baru Demak dapat ditundukkan, kini harus melanjutkan usahanya mempertahankan kedaulatan Mataram.
Koleksi Kang Zusi Para senopati dikerahkan, dan tidak ketinggalan Ki Sinduwening, juga Nurseta mendapatkan tugas untuk menyerbu Ponorogo, sedangkan Sang Prabu Hanyokrowati memimpin pasukan induk yang bergerak paling belakang. Ki Sinduwening memimpin pasukan yang akan bergerak ke Ponorogo dari utara, sedangkan Nurseta bersama para senopati lainnya memimpin pasukan yang bergerak dari selatan.
Sesuai dengan rencana yang sudah diaturnya dengan kadipaten Ponorogo, Nurseta diam-diam telah menghubungi ayahnya, yaitu Ki Demang Padangsuta di dusun kademangan Praban. Dia berhasil membujuk ayahnya agar Ki Demang Padangsuta memihak Ponorogo. Nurseta juga mengemukakan janji-janji muluk dari kadipaten Ponorogo bahwa kalau kelak Ponorogo menang dan Mataram dapat ditundukkan, maka dia dan ayahnya tentu akan menerima kedudukan yang jauh lebih tingggi dari pada yang di dapatkan mereka dari Mataram sekarang ini. Karena pandainya Nurseta membujuk ayahnya, akhirnya Ki Demang Padangsuta terbujuk dan kademangan itu mengumpulkan dan menghimpun anak buah untuk diam-diam membantu Ponorogo dan "menjegal" pasukan Mataram yang akan bergerak menyerbu Ponorogo!
Setelah berhasil membujuk ayahnya, juga Nurseta menghubungi dua orang kakak beradik yang menjadi saudara-saudara seperguruannya, yaitu murid Ki Ageng Jayagiri yang bertapa di lereng Merbabu. Kakak beradik yang sudah yatim piatu ini bernama Santiko, berusia tiga puluh lima tahun, dan Bargowo, tiga puluh tahun. Mereka berdua adalah kakak seperguruan Nurseta, dan sejak kecil keduanya sudah yatim piatu. Setelah mereka meninggalkan perguruan, mereka tinggal di dekat Telaga Sarangan, hidup sebagai dua orang petani dan mereka berdua belum juga menikah. Karena mereka berdua merupakan kakak beradik yang berilmu tinggi, maka banyak jagoan dan warok yang datang untuk menguji kepandaian mereka. Setalah ternyata bahwa mereka memang amat tangguh, banyak pula pemuda yang berguru kepada mereka. Juga banyak para warok yang menimba ilmu di tempat tinggal mereka. Akan tetapi, kedua orang kakak beradik ini tidak mau menerima sembarangan murid. Mereka meneliti agar jangan sampai mereka menurunkan ilmu kepada orang-orang jahat. Maka, para jagoan dan warok yang menjadi pengikut mereka adalah para warok yang berjiwa pendekar, bukan mereka yang termasuk golongan hitam atau golongan Koleksi Kang Zusi
sesat. Nama kedua orang kakak beradik ini menjadi terkenal dan saking banyaknya murid mereka, maka keduanya lalu membuka perguruan kanuragan "Dayatirta". Setiap orang murid diharuskan menghimpun tenaga sakti dengan jalan bertapa di bawah sebuah air terjun, membiarkan seluruh tubuh ditimpa air terjun selama tiga hari tiga malam. Banyak yang tidak kuat dan mereka yang tidak dapat menahan uji coba ini, tidak diterima menjadi murid. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa mereka yang menjadi murid perguruan Dayatirta adalah orang-orang pilihan atau gemblengan. Pada waktu itu, murid-murid Dayatirta yang tinggal di sekitar telaga terdapat tidak kurang dari seratus orang!
Akan tetapi, kakak beradik ini memegang teguh peraturan dan mereka bertangan besi. Kalau ada murid yang melanggar peraturan, mempergunakan kekerasan dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka kepada orang lain, melakukan kejahatan, pasti murid itu akan dihukum berat. Karena itu, nama Dayatirta sebagai perguruan kanuragan, dikenal dan dihormati semua orang.
Adipati Jayaraga tentu saja sudah mendengar akan nama besar perguruan Dayatirta ini, dan sudah mengirim utusan untuk menghubungi Santiko dan Bargolo, mengajak agar perguruan itu suka membantu Ponorogo menghadapi Mataram. Akan tetapi, usaha ini belum berhasil karena terjadi pertentangan paham antara Santiko dan adiknya sendiri, yaitu Bargolo.
Santiko ingin menanggapi ajakan Adipati Ponorogo, akan tetapi adiknya, Bargolo, tidak setuju. Karena ini, maka ajakan Pangeran Jayaraga masih belum mendapatkan tanggapan yang pasti.
Setelah Nurseta menghubungi mereka dan membujuk mereka agar suka bekerja sama membantu Ponorogo, kembali terjadi pertengkaran dan pembantahan antara kedua orang kakak beradik itu, Pada pagi hari itu, kembali kakak dan adiknya ini bertengkar mengenai urusan itu. Mereka berdua duduk di tepi telaga yang sunyi. Mereka Koleksi Kang Zusi
memang sengaja memilih tempat yang sunyi itu agar percakapan mereka tidak didengarkan orang lain. Mereka duduk berhadapan di atas batu datar yang licin, di tepi telaga.
Pagi yang cerah. Matahari belum naik tinggi, merupakan bola besar yang kuning emas dan biarpun bola api itu sendiri cukup menyilaukan kalau dipandang langsung, namun sinarnya masih lemah dan hangat, belum menyengat. Kicau burung pagi sudah melemah karena sebagian besar burung-burung itu sudah meninggalkan pohon mencari makan. Tinggi di angkasa nampak beberapa puluh ekor kelelawar besar atau kalong yang kesiangan, pulang ke sarang mereka dari pekerjaan mereka mencari makan sepanjang malam tadi. Sarang mereka adalah sebuah randu alas besar di hutan bukit sana. Air telaga nampak tenang, seperti sebuah cermin kaca yang besar. Sinar matahari membuat jalan emas yang panjang di permukaannya, membuat bayang-bayang pepohonan yang terbalik kehijauan nampak aneh mengandung rahasia yang mendalam.
Dalam keadaan seperti itu, kalau kita duduk di tepi telaga, kalau kita mengamati semua itu tanpa keinginan mengamati, tanpa pikiran, tanpa penilaian, kita seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari keagungan alam ciptaan Sang Maha Pencipta itu. Tidak ada lagi bedanya antara yang satu dengan yang lain, semua merupakan bagian dari suatu kesatuan agung.
Tidak ada baik tidak ada buruk, tidak ada indah atau jelek, tidak ada tinggi atau rendah, semua berada dalam keadaannya yang suci! Bagus dan buruk hanya timbul setelah kita menilai, dan penilaian ini selalu didasari oleh rasa suka dan tidak suka, sedangkan rasa suka dan tidak suka didasari pula oleh kepentingan pribadi. Kalau menyenangkan, maka timbul perasaan suka dan dianggap indah, kalau tidak menyenangkan, timbul perasaan tidak suka dan dianggap buruk. Karena penilaian itu terpengaruh pikiran dan kepentingan, tentu saja tidak abadi, selalu berubah sesuai dengan kepentingannya. Mungkin yang kemarin kita katakan baik, hari ini kita katakan buruk, dan apa yang hari ini kita katakan buruk, besok kita anggap baik.
Sejenak Santiko dan Bargolo duduk berhadapan tanpa kata-kata, seolah suasana di sekelilingnya mempengaruhi mereka, mengusir semua gerak hati akal pikiran, dan dalam keadaan kosong dan hening, tidak ada masalah, Koleksi Kang Zusi
tidak ada pertentangan, tidak ada gesekan. Akan tetapi akhirnya, hati akal pikiran yang menang dan sekali lagi keduanya sudah dicengkeram oleh hati akal pikiran masing-masing.
Santiko sang kakak, bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, wajahnya membayangkan kegagahan, gerak geriknya kasar, sesuai dengan wataknya yang keras terbuka dan jujur. Dia membiarkan kumis dan jenggotnya tumbuh subur sehingga wajah itu nampak jantan dan gagah perkasa.
Sepasang matanya yang lebar itu bersinar penuh kejujuran, dan dia tidak pernah mengenal kepura-puraan. Adiknya, Bargolo yang berusia tiga puluh tahun, merupakan kebalikan dari keadaan lahiriah kakaknya. Bargolo ini bertubuh sedang dan nampak lelah lembut, baik gerak gerik maupun tutur-sapanya. Wajah tampan dan halus, tidak memelihara kumis dan jenggot, senyumnya menghias wajahnya sehingga dia selalu nampak ramah dan manis budi. Akan tetapi biarpun keadaan mereka jauh berbeda, kedua kakak beradik ini memiliki tingkat kedigdayaan yang sama karena murid Ki Ageng Jayagiri di Merbabu.
"Nah, sekarang kita bicara untuk yang terakhir kali, adikku Bargowo.
Sudah sampai ke sini berita bahwa pasukan besar Mataram telah siap dan sewaktu-waktu pasukan itu akan datang menyerbu daerah Ponorogo. Kita harus dapat mengambil keputusan sekarang juga, selagi kita berdua saja di sini dan tidak ada yang mendengarkan percakapan kita." suara yang besar dan tegas dari Santiko itu berwibawa.
Bargolo tersenyum. "Baiklah, kakang Santiko. Aku sendiripun ingin mengambil kepu- tusan agar aku dapat menentukan langkahku selanjutnya."
"Sekarang aku sekali lagi hendak bertanya. Engkau adalah adikku, adik kandungku, kita seayah dan seibu. Karena ayah dan ibu sudah tidak ada, maka sudah sepatutnya kalau aku sebagai kakakmu menjadi pengganti ayah dan ibu. Akan tetapi aku tidak ingin memaksakan kehendakku kepadamu.
Nah, aku bertanya, apakah engkau ini, adik kandungku, benar-benar hendak melanjutkan dorongan nafsumu, hendak menjadi seorang pengkhianat"
Engkau hendak membelakangi Ponorogo dan menyeberang, membantu Koleksi Kang Zusi
Mataram?" "Memang benar, kakang Santiko. Hatiku sudah bulat, aku bertekat untuk membantu Mataram, bukan untuk menjadi pengkhianat........"
"Gila! Engkau hendak membantu Mataram dan melawan Ponorogo, dan engkau mengatakan bahwa engkau bukan menjadi pengkhianat" Lalu apa"
Lupakah engkau akan semua wejangan bapa guru di puncak Merbabu, bahwa seorang gagah tidak akan bertindak khianat" Kita adalah kawula Ponorogo, kita harus membela Ponorogo dengan taruhan nyawa, itulah sikap seorang ksatria!"
"Hemm, kakang Santiko, engkau hanya ingat yang satu akan tetapi lupa yang lain. Lupakah kakang akan wejangan bapa guru bahwa kita harus menjadi orang yang selalu menjunjung tinggi tinggi kebenaran dan menentang kejahatan" Kita harus membela dan mempertahankan kebenaran dan keadilan, kalau perlu dengan taruhann nyawa! Nah, itulah sebabnya mengapa aku membela Mataram, kakang Santiko. Jelas bahwa dalam pertentangan antara Ponorogo dan Mataram, pihak Ponorogo yang bersalah. Ponorogo adalah termasuk wilayah Mataram sejak dahulu, kenapa sekarang Ponorogo meniru daerah lain, memberontak terhadap Mataram"
Seorang ksatria yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tidak akan membenarkan pemberontakan yang pada dasarnya adalah karena iri hati dan hendak merebut kekuasaan."
"Hemm, engkau selalu mengajukan pendapat seperti itu. Agaknya engkau hendak meniru kelakuan Wibisono yang berkhianat terhadap Alangka dan memihak Roma untuk memerangi kerajaan kakaknya sendiri!"
"Tidak kusangka, kakang. Dan engkau agaknya hendak meniru raksasa Kumbokarno, tidak perduli bahwa kakaknya jahat dan keji, membela Koleksi Kang Zusi
angkara murka dengan alasan membela tanah air!" Bargowo membalas.
"Memang benar, karena kuanggap bahwa Kumbokarno itulah yang benar!
Biarpun dia raksasa, akan tetapi hatinya adalah hati seorang ksatria, seorang pahlawan. Dia rela mati demi membela tanah air dan bangsa. Dan aku memang mandaulad tindakan itu. Aku pun rela mati demi membela Ponorogo!"
"Akan tetapi itu berarti bahwa engkau membela yang salah, kakang!"
"Dan kau kira Sang Prabu Hanyokrowati dari Mataram itu yang benar"
Engkau mengkhianati Ponorogo, tempat di mana ibu melahirkan kita, dan membela Mataram" Sungguh memalukan sekali!"
Kakak beradik itu saling tatap dengan muka merah. Keduanya sudah marah sekali, yakin akan kebenaran masing-masing. Memang sungguh aneh keadaan mereka itu, sama benar dengan yang dialami oleh kakak beradik Kumbokarno dan Wibisono dalam kisah pewayangan Ramayana. Kumbokarno yang berujud raksasa dan Wibisono yang berujud bambang yang tampan itu saling berhadapan seperti musuh karena mereka pun berbeda bahkan bertentangan pendapat seperti halnya Santiko dan Bargowo sekarang ini.
Kakak mereka Sang Prabu Dasamuka, menculik Dewi Sinta isteri Ramawijaya sehingga Rama mengerahkan pasukan monyet menyerbu Alengka, negara Dasamuka. Wibisono yang tidak berhasil membujuk kakaknya, Dasamuka untuk mengembalikan Shinta dan mengaku kesalahan, lalu menyeberang dan memihak kepada Ramawijaya. Sebaliknya, ketika Kumbokarno juga gagal mengingatkan Dasamuka, dia bahkan menjadi senopati, melawan pasukan Ramawijaya dengan penuh kesadaran akan kelaliman kakaknya akan tetapi dia melawan pasukan Ramawijaya bukan demi membela kakaknya melainkan membela tanah air dan bangsa dari serbuan musuh, sampai dia gugur di medan laga. Keduanya membela Koleksi Kang Zusi
kebenaran masing-masing, dan masing-masing memiliki alasan yang kuat.
Wibisono hendak membela kebenaran dan keadilan dan untuk itu, dia rela menentang kakak sendiri karena kakaknya berada di fihak yang lalim dan bersalah. Sebaliknya, Kumbokarno mati-matian membela negara dan bangsa, walaupun dia sadar bahwa kakaknya berada di pihak yang bersalah.
Dia membela tanah air, bukan membela kakaknya, berarti dia membela kebenaran pula. Kakak beradik sama-sama membela kebenaran, akan tetapi kebenaran masing-masing, seperti kebenaran yang diakui oleh setiap orang, seringkali bertentangan!
"Kakang Santiko, benar-benarkah kita yang tadinya menjadi kakak beradik yang saling mencinta, saling membela, sekarang harus saling berhadapan sebagai musuh" Kakang, tidak adakah jalan lain?" Bargowo berkata dengan suara penuh duka.
Santiko menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Aku menyesal sekali, adi Bargowo. Akan tetapi sampai matipun aku tidak mungkin mengubah pendirianku. Aku harus membela Ponorogo, sampai tetes darah terakhir!"
"Kakang Santiko, sungguh hancur perasaan hatiku melihat keadaan kita.
Ah, bapa guru begitu jauh sehingga kita tidak dapat memohon petunjuk beliau. Lalu kepada siapakah kita akan minta petunjuk dan keadilan?" keluh Bargowo. Pada saat itu, terdengarlah lengking suling yang mendayu-dayu mengalun indah, seolah suara suling itu datang bersama sinar matahari, halus lembut menyusup kalbu. Kedua orang kakak beradik itu saling pandang, agak terkejut. Kemudian timbul suatu pikiran dalam benak Bargowo.
"Kakang Santiko, kita tidak tahu siapa peniup sulung itu. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba ada orang meniup suling semerdu itu.
Agaknya suara itu akan mendatangkan kunci bagi kita untuk membuka keruwetan ini. Bagaimana kalau kita menemui peniup suling itu dan menentukan bahwa kita berdua akan mendengarkan pendapatnya sehingga ada yang akan menengahi pertentangan pendapat di antara kita?"
Koleksi Kang Zusi Santiko mengerutkan alisnya. Akan tetapi mengangguk dan berkata.
"Mudah-mudahan dia akan dapat mendamaikan antara kita, akan tetapi kalau dia tidak mempunyai alasan yang kuat, aku tidak akan mangubah keputusanku."
"Tentu saja, kakang. Kalau dia ternyata hanya seorang biasa saja yang kepandaiannya hanya meniup suling dan tidak mempunyai pandangan yang tepat, akupun enggan untuk mengubah pendirianku. Mari kita songsong dia, kakang!"
Kakak beradik itu bangkit dari atas batu, akan tetapi mereka tidak perlu pergi jauh karena pada saat itu, si peniup suling sudah tiba di tikungan dan sedang menuju ke arah mereka sambil terus meniup sulingnya dan melangkah perlahan sambil menundukkan mukanya. Kakak beradik itu memandang penuh perhatian kemudian mereka saling pandang, lalu memandang lagi kepada pemuda peniup suling yang melangkah perlahan menuju ke arah mereka itu.
Peniup suling itu seorang pemuda, masih muda sekali, tidak akan lebih dari dua puluh tahun usianya, tidak berbaju, hanya mengenakan celana hitam dan berkalung kain. Tubuhnya sedang dan tegap , keadaannya sederhana saja dan melihat itu, kakak beradik ini sudah merasa kecewa. Agaknya hanya seorang pemuda dusun yang biasa bertani atau menggembala ternak, walaupun wajah pemuda itu tampan dan gerak geriknya halus. Seorang pemuda sederhana seperti itu bagaimana mungkin dapat menengahi pertentangan pendapat di antara mereka, apa lagi mengenai urusan membela kebenaran"
Pemuda itu adalah Aji, atau nama lengkapnya Banu Aji. Dengan kecerdikannya, ketika dia menjajak lari Ki Sinduwening dan Mawarsih, Koleksi Kang Zusi
pada saat ayah dan puterinya itu dikeroyok penjaga, Aji berhasil menyelinap dan menggunakan saat kacau itu, dia berhasil keluar dan melarikan diri. Semenjak malam itu, tentu saja dia tidak berani kembali lagi ke kadipaten Ponorogo. Masih untung bahwa dia tidak dibunuh oleh Brantoko yang telah menghajar dan memukulinya sampai babak belur.
"Kisanak, harap berhenti sebentar!" Bargowo menegur Aji yang tadinya masih melangkah dan melanjutkan tiupan sulingnya tanpa memperdulikan dua orang itu karena dia tidak mengenal mereka.
Mendengar teguran itu, Aji menghentikan tiupam sulingnya, mengangkat muka memandang kepada dua orang itu. Kini kakak beradik itu melihat betapa pemuda sederhana ini memiliki wajah yang tampan dan manis, dengan sinar mata yang tajam. Pandang mata seperti itu jelas bahkan pandang mata seorang yang bodoh dan sederhana. Pandang mata itu membayangkan kecerdikan, dan senyum di bibirnya itu membayangkan ketenangan dan keramahan.
"Maaf, apakah andika berdua mempunyai urusan dengan aku?" tanyanya ramah.
"Kami yang minta maaf karena telah mengganggu andika, kisanak," kata Bargowo. "Memang kami mempunyai sebuah urusan yang ingin kami bicarakan dengan andika."
Melihat sikap ramah dan sopan dari Bargowo, diam-diam Aji merasa kagum. Tak disangkanya di tepi telaga yang sunyi ini dia bertemu dengan orang yang selain kelihatan anggun dan gagah, juga bersikap lembut dan sopan.
"Dengan senang hati, kisanak. Apakah yang akan andika berdua bicarakan Koleksi Kang Zusi
dengan aku?" tanyanya.
Santiko yang tidak biasa menggunakan basa basi, berkata dengan suaranya yang besar dan lantang. "Kisanak, mari kita duduk di batu ini.
Ketahuilah bahwa kami kakak beradik. Namaku Santiko dan ini adikku bernama Bargowo. Bolehkah kami mengetahui nama andika?"
Aji memandang dengan tertarik sekali dan senyumnya mengembang.
Sungguh amat menarik, pikirnya. Kakak beradik yang bukan hanya wajahnya berlawanan, akan tetapi juga sikapnya. Yang seorang, adiknya,tampan dan halus ramah dan sopan, yang kedua kakaknya, kekar dan gagah seperti Bimaseno, terbuka dan jujur. Mungkin yang seorang seperti ayahnya dan yang seorang lagi seperti ibunya, pikir Aji.
"Namaku Banuaji, biasa dipanggil Aji begitu saja." katanya singkat.
"Hemm, begini, kisanak. Kami kakak beradik ini tadi sedang bertengkar dan kami ingin agar engkau menjadi penengahnya dan.......... dan........"
Santiko memang tidak begitu pandai mengatur kata-kata, maka dengan bingung dia menoleh kepada adiknya, "engkau sajalah yang menerangkan kepadanya!"
Bargolo tersenyum. Mereka duduk saling berhadapan dan dia lalu manatap Aji dan menerangkan dengan kata-kata yang jelas dan tidak tergesa-gesa.
"Seperti yang dikatakan kakang Santiko tadi, dimas Aji, bolehkah aku menyebutmu dimas" Andika masih begini muda, pantas menjadi adik kami."
"Tentu saja, kakangmas Bargowo. Lanjutkan keteranganmu tadi," kata Aji dan jawaban serta sikap Aji itu menyadarkan kakak beradik itu bahwa yang mereka hadapi bukanlah seorang pemuda dusun, melainkan sudah tahu akan tata-krama. Maka pandangan mereka berubah dan timbul harapan Koleksi Kang Zusi
mereka bahwa pemuda ini akan dapat membikin terang kemelut di antara mereka berdua.
"Seperti dikatakan kakang Santiko tadi, kami kakak beradik menghadapi suatu masalah yang membuat kami saling bertentangan, saling memperebutkan kebenaran masing-masing. Ketika kami mendengar tiupan suling andika tadi, kami lalu mengambil keputusan untuk minta pendapat si peniup suling agar kami dapat mengambil keputusan siapa di antara kami yang benar dan apa yang harus kami lakukan."
Aji tersenyum dan mengangkat kedua alisnya, merasa heran sekali.
Bagaimana mungkin mereka itu minta pendapat seseorang yang sama sekali tidak mereka kenal, hanya menentukan dari suara suling saja" "Masalah apakah itu, dan bagaimana aku dapat membantu andika berdua?"
"Dimas Aji, pernahkah andika nonton wayang kulit?" tiba-tiba Santiko bertanya.
Aji terbelalak, heran mendengar pertanyaan yang aneh dan diajukan secara tiba-tiba itu. Akan tetapi keherannya bertambah ketika Bargowo juga berkata, "Aku merasa yakin bahwa seorang yang pandai meniup suling seperti tadi, tentulah seorang seniman, adimas Aji, dan sebagai seorang seniman, tentu andika mengerti tentang kisah pewayangan. Benarkah itu?"
Aji tertawa, merasa aneh dan lucu. "Tentu saja aku sering menonton wayang, bahkan aku pernah mempelajari seni pedalangan. Akan tetapi apa hubuangannya masalah andika berdua dengan pewayangan?"
"Kalau begitu begus sekali!" Bargowo berkata girang dan ketika Aji Koleksi Kang Zusi
melihat wajah Santiko yang gagah, dia pun melihat betapa orang ini juga memandang kepadanya dengan wajah berseri. "Kalau begitu, sungguh kebetulan, agaknya memang andikalah orangnya yang dapat menjadi penengah kami yang adil. Andika tentu mengenal kisah Ramayana, bukan?"
Aji semakin tertarik. Kakak beradik ini sungguh aneh sekali, akan tetapi dia mengangguk. "Aku hafal akan isi kisah itu."
"Andika tentu tahu akan kisah perang yang terjadi di Alengka, ketika Prabu Ramawijaya menyerbu dengan pasukan keranya ke sana?" kini Sabtiko yang bertanya.
Kembali Aji mengangguk. "Aku bahkan dapat menceritakan kisah itu dari permulaan- nya sampai akhirnya. Apakah andika berdua ingin aku bercerita tentang kisah Ramayana?"
"Tidak, dimas Aji!" kata Bargowo. "Kami berdua hanya ingin mendapatkan kepastian, dan kami minta pendapatmu tentang peranan Kumbokarno dan Wibisono dalam perang antara Ramawijaya dan Dasamuka. Andika tahu bukan, bagaimana sikap Kumbokarno dan Wibisono dalam menghadapi perang yang melanda kerajaan Alengka" Nah, yang ingin kami minta pendapat andika adalah ini: menurut pendapat andika, siapakah yang benar dan siapa yang salah antara kedua tokoh itu dengan sikap mereka menghadapi penyerbuan Ramawijaya ke Alengka itu?"
Aji memandang kepada kakak beradik itu bergantian. Betapa anehnya.
Menghentikan seorang yang sama sekali tidak dikenalnya, hanya untuk ditanya tentang sikap Kumbokarno dan Wibisono! Akan tetapi dia mereka yakin bahwa di balik pertanyaan tentang pewayangan itu tentu terdapat hal lain yang lebih penting, maka dengan sikap serius diapun menjawab, suaranya tenang dan tegas."Kakangmas Santiko dan Bargowo, sikap kedua Koleksi Kang Zusi
orang tokoh itu sudah jelas, seperti yang terdapat dalam kisah Ramayana.
Sang Kumbokarno, raksasa berwatak ksatria yang gagah perkasa itu memihak Alengka dan menjadi senopati pasukan Alengka menghadapi penyerbuan pasukan kera Sang Prabu Ramawijaya yang kahirnya dia gugur sebagai seorang senopati yang gagah perkasa, yang bahkan dihormati oleh Ramawijaya sendiri. Adapun Sang Wibisono, keluarga raksasa yang tampan halus seperti bambang itu dan yang bijaksana, sebaliknya membantu Ramawijaya untuk menentang kakaknya sendiri, yaitu Sang Prabu Dasamuka atau Rahwanaraja yang lalim."
"Benar!" kata Bargowo. "Akan tetapi yang kami ingin ketahui menurut pendapat andika siapakah yang lebih benar di antara mereka berdua" Dan siapa yang tindakannya salah?"
"Ya, katakan terus terang saja, berikut alasannya, adimas Aji. Siapakah yang benar dan siapa yang salah di antara di antara keduanya itu?"
sambung pula Santiko. "Kalau menurut pengamatanku, keduanya benar dan keduanya juga salah!"
Jawaban ini sungguh di luar dugaan kakak beradik itu, mereka saling pandang, lalu dengan alis berkerut keduanya menatap wajah Aji, merasa tak senang karena menganggap pemuda itu mempermainkan mereka.
"Dimas Aji, ketahuilah bahwa kami kakak beradik adalah pendiri perkumpulan kanuragan Dayatirta yang terkenal di seluruh wilayah ini."
kata Bargowo. "Kami adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, kebenaran dan keadilan dan kami menghadapi masalah yang penting dan gawat. Karena itu, kami minta kepada andika, Dimas Aji, harap jangan main-main dan memberi jawaban yang sebenarnya dan sejujurnya."
Koleksi Kang Zusi "Sungguh, aku tidak main-main. Pendapat itu lahir dari penilaian, dan penilaian didasari kepentingan pribadi, kakangmas Santiko dan Kakangmas Bargowo. Yang berpihak kepada Kumbokarno tentu akan mengatakan dia benar, sebaliknya yang berpihak kepada Wibisono tentu akan mengatakan dia yang benar, dan yang berpihak itu tentu ada hubungannya dengan kepentingan pribadi, merasa cocok sesuai, sependapat dan satu selera. Di dalam yang salah tentu akan ditemukan benarnya, sebaliknya di dalam yang benar terdapat pula kesalahannya. Yang mutlak benar dan sempurna itu hanyalah Tuhan Yang Maha Sempurna. Karena itu, kalau andika berdua tanya kepadaku, aku dengan sejujurnya mengatakan bahwa Kumbokarno dan Wibisono itu, kalau dikatakan benar yang benar, dikatakan salah ya salah."
Kembali kakak beradik itu saling pandang dan Bargowo yag wataknya lebih periang, segera dapat melihat kejanggalan dan kelucuan dalam pendapat Aji itu, maka dia tersenyum. "Wah jawabanmu membuat kami menjadi semakin bingung, adimas, Aji. Bukankah sudah jelas bahwa Wibisono yang benar, karena dia sebagai ksatria yang bijaksana membela yang benar dan menentang yang lalim, walaupun yang lalim itu kakaknya sendiri" Dan bukankah Kumbokarno itu bersalah, karena dia membela yang lalim dan menentang Ramawijaya yang menuntut kembalinya isterinya yang diculik Dasmuka?"
"Yang benar adalah Kumbokarno!" kata Santiko suaranya tegas.
"Kumbokarno adalah seorang ksatria yang mengorbankan nyawa membela tanah air dan bangsa dari penyerbuan pasukan kera, sedangkan Wibisono adalah seorang pengecut dan pengkhianat kakaknya sendiri, membantu musuh dan membelakangi negara dan bangsa sendiri!"
Aji melihat betapa kedua orang kakak beradik itu saling pandang dengan penuh kemarahan dan sikap mereka seperti dua ekor ayam jago yang sedang dalam keadaan siap untuk berkelahi!
Koleksi Kang Zusi "Ahhh, harap andika berdua memaafkan aku, aku harap bersabar.
Mengapa kita ribut-ribut soal kisah pewayangan" Itu hanya dongeng, tidak ada harganya untuk kita pertengkarkan. Lebih baik kalau andika berdua menjelaskan, sebetulnya ada masalah apakah di antara andika berdua"
Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat membantu memecahkan persoalan itu. Kita bicara tentang andika berdua saja secara langsung, bukan bicara tentang kisah pewayangan," Suara Aji penuh ketenangan dan kesabaran yang tulus, membuat kakak beradik itu aga reda dan sabar. Kembali mereka saling pandang dan keduanya mengangguk. Tanpa katapun keduanya menyetujui untuk menceritakan tentang persoalan yang mereka hadapi kepada pemuda itu.
"Begini, adimas Aji," kata Bargowo. "Keadaan kami berdua hampir sama dengan keadaan Kumbokarno dan Wibisono, oleh karena itu tadi kami menanyakan pendapat andika tentang mereka berdua. Kini, perang berada di ambang pintu. Agaknya, tak lama lagi Mataram akan menyerang Ponorogo dan menghadapi perang itu, timbul pertentangan pendapat antara aku dan kakang Santiko. Seperti Kumbokarno, kakang Santiko berkeras akan membantu Ponorogo menentang Mataram, sedangkan aku berkeras untuk membantu Mataram melawan Ponorogo. Seperti Kumbokarno dan Wibisono, kami berdua juga mempunyai alasan kami masing-masing. Kakang Santiko berlandaskan membela tanah air dan bangsa, sedangkan aku sendiri berlandaskan membela kebenaran dan keadilan karena kuanggap bahwa Sang Adipati Ponorogo telah memberontak terhadap Mataram. Nah, kami bedua sungguh mengharapkan pendapatmu dalam hal ini, adimas Aji.
Bagaimana menurut pendapat andika?"
Aji bersikap hati-hati. Diam-diam dia terkejut dan maklum akan gawatnya persoalan. Pemberontakan terjadi di mana-mana, para adipati dan bupati saling berlomba untuk mempe- rebutkan kekuasaan. Kesatuan rakyat terpecah-belah karena membela junjungan masing-masing, seperti halnya kakak beradik ini. Setelah dia berdiam diri sebentar, seperti biasa dia mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan Yang Maha Kasih dalam menghadapi keadaan yang gawat, dia lalu memandang kepada kedua kakak beradik itu.
Koleksi Kang Zusi "Sebelumnya aku menyatakan pendapatku, aku mengharap andika berdua bersikap jujur dan suka menjawab semua pertanyaanku secara terus terang. Nah, pertama-tama aku bertanya kepada andika berdua, andika ini bertanah air apa dan berbangsa apa?"
"Kami berkelahiran daerah Ponorogo, tentu saja kami berbangsa Ponorogo!" kata Santiko.
"Ponorogo termasuk wilayah Mataram, aku merasa lebih tepat kalau mengatakan bahwa kami adalah bangsa Mataram!" kata Bargowo.
"Kalau begitu, pertentangan pendapat antara andika berdua adalah bahwa kakang mas Santiko membela Ponorogo dan kakangmas Bargowo membela Mataram, begitukah?"
"Benar sekali!" kata Bargowo.
"Tidak salah!" sambung Santiko.
"Lupakah andika berdua bahwa sebetulnya Ponorogo, atau Mataram, hanya merupakan sebagian saja dari Nusantara" Di jaman Mojopahit dahulu, bukankah tidak ada perbedaan antara Ponorogo dan daerah manapun juga, yang ada hanyalah suatu negara kesatuan" Kita tinggal di Pulau Jawa, kawasan Nusantara, dan kita ini sebangsa dan setanah air. Kita ini bersaudara dan kini kita akan bercerai-berai, terpecah-pecah karena adanya perebutan kekuasaan di antara para pemimpin kita. Kakangmas Santiko mengatakan hendak membela Ponorogo" Ponorogo dan rakyatnya yang akan kakangmas bela, ataukah kakangmas sebetulnya hanya Koleksi Kang Zusi
membantu Adipati Ponorogo yang hendak merebut tahta kerajaan rakandanya, Sang Prabu Hanyokrowati di Mataram" Dan kakangmas Bargowo mengatakan hendak membela Mataram dan mempertahankan kebenaran dan keadilan, ataukah sebenarnya kakangmas Bargowo henya akan membantu Sang Prabu Hanyokrowati yang hendak mempertahankan tahta kerajaan dan menundukan Ponorogo yang dianggap pemberontakan?"
Kakak beradik itu saling pandang, agak bimbang karena apa yang diucapkan Aji itu merupakan pandangan yang baru bagi mereka.
"Harap andika berdua pertimbangkan dengan tenang. Bukankah kalau terjadi perang antara Ponorogo dan Mataram, maka perang itu merupakan perang antara dua saudara yang saling memperebutkan kekuasaan"
Angkara murka telah menguasai hati dua saudara yang saling memperebutkan kekuasaan, dan akibatnya, rakyat jelata ikut terseret dalam perang saudara yang mengerikan, saling terkam demi membela dua saudara keluarga kerajaan yang saling memperebutkan kekuasaan."
"Akan tetapi Ponorogo diserang, tentu saja kami harus mempertahankan!"
kata Santiko. "Ponorogo memberontak, maka Mataram akan menyerbu!" kata pula Bargowo.
"Tentu saja terdapat seribu satu macam alasan, yang pada hakekatnya bersumber kepada perebutan di antara kedua pemimpin. Kalau Sang Adipati Ponorogo dan Sang Prabu di Mataram bijaksana, mereka tentu tidak akan saling serang. Mereka tentu akan bersatu padu, mengatasi semua pertentangan pendapat dengan musyawarah, dan memperkuat pertahanan tanah air yang kini diancam oleh musuh kita yang kini diancam oleh musuh kita yang sebenarnya, musuh yang mengancam tanah air dan bangsa, yang datang dari barat dan yang kini mulai menguasai daerah pesisir di Banten. Perang saudara hanya akan melemahkan kita sendiri, dan Koleksi Kang Zusi
penyebabnya hanya kerena keangkara-murkaan dua orang bersaudara yang saling memperebutkan kekuasaan saja. Oleh karena itu, aku berani mengatakan bahwa yang membela Mataram pada hakekatnya membantu Sang Prabu Hanyokrowati mempertahankan kekuasaannya, sedangkan yang membela Ponorogo sesungguhnya hanya membantu Adipati Jayaraga untuk merebut kekuasaan dari tangan rakandanya. Nah, andika berdua dapat mempertimbangkan sendiri siapa di antara andika yang benar atau salah.
Aku sudah terlalu banyak bicara. Selamat tinggal dan semoga Tuhan akan menunjukkan jalan bagi andika berdua." Setelah berkata demikian, Aji bangkit berdiri, lalu meninggalkan kakak beradik itu. Mereka tertegun, sampai lama tak mampu bicara, kemudian mendengar suara tiupan suling itu yang sudah terdengar menjauh.
Kakak beradik itu saling pandang sampai beberapa lamanya, masih termangu oleh ucapan pemuda yang pandai meniup suling itu. Akhirnya, keduanya menghela napas panjang.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" akhirnya Santiko bertanya kepada adiknya. Bargowo menatap wajah kakaknya.
"Kurasa benar sekali apa yang dikatakan dimas Aji tadi, kakang Santiko.
Kalau di antara kita sampai terjadi bentrokan, bahkan saling serang dan saling bunuh, semua itu hanya untuk membela kepentingan dua orang yang hanya didorong angkara-murka belaka. Mereka sampai melupakan persaudaraan, hanya untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka bahkan rela mengorbankan dan mempertaruhkan nyawa ribuan orang perajurit dan rakyat yang saling berbunuhan."
Santiko mengangguk. "Kalau begitu, mari kita kumpulkan para murid dan kita mempersiapkan diri menghadapi perang saudara, tidak mencampuri perang itu sendiri, tidak berpihak melainkan kita harus siap membela dan melindungi rakyat jelata apa bila mereka diancam oleh perbuatan yang jahat dan penindasan dari mana dan dari siapapun datangnya. Musuh kita adalah kejahatan, seperti yang seringkali kita dengar dari wejangan bapa guru. Kita hanya memihak kebenaran dan menentang kejahatan, tidak mau Koleksi Kang Zusi
melibatkan diri dengan perebutan kekuasaan antara para bengsawan."
Bargowo merangkul kakaknya. "Aku setuju dan mentaati perintahmu, kakang Santiko!" Keduanya lalu bangkit dan pergi meninggalkan tepi telaga, dan kini wajah mereka berseri dan ada suatu nyala api di dalam sinar mata mereka. Mereka merasa gembira sekali karena telah menemukan jalan tengah yang amat baik, yang membuat bukan saja di antara mereka tidak ada pertentangan, bahkan juga jalan keluar itu akan membebaskan para murid mereka dari perpecahan pula. Mereka mempunyai murid-murid dari berbagai asal-usul, ada yang merasa sebagai kawula Ponorogo, ada yang sebagai kawula Mataram sehingga andaikata kakak beradik ini jadi terpecah, maka di antara para murid mereka akan terjadi perpecahan pula.
*** Dengan pasukan yang besar jumlahnya Sang Prabu Hanyokrowati mulai menyerang Ponorogo. Akan tetapi, sebelum penyerangan digerakkan, pihak kadipaten Ponorogo sudah mengetahui akan semua rencana penyerangan itu, karena Nurseta diam-diam telah mengirim berita. Maka, pasukan Ponorogo telah membuat persiapan yang amat baik dan pertahanan dikerahkan ke arah utara untuk menyambut penyerangan yang dipimpin oleh Ki Sinduwening dan para senopati lain. Sedangkan pertahanan di selatan secukupnya saja karena pasukan Mataram yang menyerbu dari selatan dipimpin oleh Nurseta sendiri, sehingga tidak perlu dikhawatikan.
Akan tetapi untuk dapat mengendalikan Nurseta, Sang Adipati Ponorogo memberi tugas kepada Mayaresmi dan Brantoko untuk memimpin pasukan melakukan pencegatan di selatan. Sedangkan Ki Danusengoro, adik seperguruan Ki Sinduwening, memperkuat para senopati Ponorogo untuk menghadang dan menjebak pasukan Mataram yang datang dari utara itu.
Di manapun dan kapanpun juga, apapun alasannya, perang sudah pasti menimbulkan kekacauan dan kesengsaraan kepada rakyat jelata. Kalau terjadi perang, segala macam jin setan brekasakan seolah berpesta pora, muncul dan menyeret manusia yang menjadi nekat, lupa diri, dipenuhi nafsu dan terjadilah perbuatan-perbuatan yang kejam dan keji, segala macam bentuk kejahatan dilakukan manusia yang berbatin lemah. Karena keadaan dalam kekacaun, pamong praja sedang disibukkan perang, maka tidak ada Koleksi Kang Zusi
lagi kekuasaan yang mempertahankan keamanan di antara rakyat jelata.
Semua lurah, kepala dusun dan kepala daerah, sibuk dengan perang, juga semua petugas keamanan terjun ke dalam peperangan. Maka, hukum tidak berlaku lagi, yang ada hanyalah hukum rimba, siapa kuat dia akan menang dan siapa menang dia akan benar! Penindasan terjadi di mana-mana, yang pintar menipu yang bodoh, yang kuat memaksakan kehendaknya menekan yang lemah. Yang menang berkuasa dan yang berkuasa mengendalikan hukum untuk memperkuat dan mempertahanklan kekuasaannya, agar hukum-hukum itu dapat membelenggu yang kalah.
Kekuasaan Tuhan yang nampak bekerja di seluruh alam semesta merupakan Hukum yang agung, merupakan garis pembatas yang menjamin adanya ketertiban. Tanpa adanya hukum atau ketentuan yang sudah teratur dan berjalan rapi itu, alam semesta akan menjadi kacau balau.
Hukum Tuhan berujud ketertiban yang mengatur alam semesta, bahkan menjadi syarat kelangsungan hidup.
Namun sebaliknya, hukum buatan manusia kadang membelenggu yang berada di bawah, walaupun pada hakekatnya dibuat untuk melindungi yang berada di bawah atau yang lemah. Dalam kenyataan, betapa seringnya terjadi bahwa hukum menjadi senjata dan perisai dari mereka yang menang dan berkuasa. Bahkan banyak terjadi betapa hukum membelenggu kemerdekaan seseorang, tentu saja yang merasa terbelenggu kemerdekaannya itu adalah mereka yang lemah, bukan mereka yang berkuasa.
Kekuasaan merupakan puncak yang diperebutkan manusia di dunia ini, karena kekuasaan menjadi sumber segala kesenangan lahir batin.
Kekuasaan membuka pintu lebar bagi penonjolan diri, kekayaan, kehormatan dan kemuliaan, kekuasaan mendatangkan perasaan bangga diri karena menang dan merasa menang. Kekuasaan menuntut ketaatan mereka yang berada di bawah. Kerena itu amat menyenangkan dan menjadi rebutan. Bukan hanya kekuasaan dari mereka yang menjadi pemimpin dan penguasa pemerintah, melainkan juga kekuasaan ini dirasakan sebagai sumber kesenangan bagi pemimpin kelompok, pemimpin masyarakat, perkumpulan sampai pemimpin keluarga. Kekuasaan selalu mendatangkan kemenangan dan kesenangan. Perebutan kekuasaan inilah yang menimbulkan Koleksi Kang Zusi
sengketa, bentrokan, bahkan perang!
Perang! Betapa mengerikan. Dalam perang nafsu sepenuhnya menguasai manusia. Tidak ada lagi perikemanusiaan. Yang ada hanyalah nafsu untuk menang, dengan cara dan jalan apapun juga. Yang curang dianggap cerdik.
Yang kejam dianggap gagah perkasa! Segala cara ditempuh, kelicikan, kekejaman, pembunuhan, siksaan, kecurangan apa saja ditempuh, asal menang! Bahkan Nama Tuhan diperebutkan kedua pihak yang berperang, seolah Tuhan hendak ditarik oleh kedua pihak, diperebutkan agar membantu mereka masing-masing! Perang, puncak kelemahan manusia puncak kekuasaan nafsu atas diri menusia.
Penyerbuan pasukan Mataram ke Ponorogo menimbulkan perang saudara yang hebat. Di seluruh daerah Ponorogo, suasana menjadi kacau dan keruh.
Dalam kesempatan ini, para penjahat bermunculan dan merajalela tanpa kendali tanpa halangan. Nafsu angkara murka dibiarkan meliar. Bukan hanya para penjahat yang berpesta pora mengail di air keruh yang timbul kerena perang. Juga dendam pribadi menuntut balas tanpa ada yang menghalangi karena pihak penguasa sibuk dengan perang.
Dalam keadaan itu, kakak beradik Santiko dan Bargowo, pendiri perkumpulan pencak silat Dayatirta, mendapatkan kesempatan untuk berdarma bakti kepada bangsa, yaitu tidak membiarkan diri terseret ke dalam kancah perang saudara antara Mataram dan Ponorogo, melainkan menjadi pelindung rakyat di daerah selatan, menentang perbuatan sewenang-wenang. Mereka bertindak sebagai pengganti penguasa daerah yang tidak lagi mampu mengurusi keamanan rakyat. Anak buah atau para murid Dayatirta tersebar di mana-mana, selalu siap untuk menentang kejahatan yang mempergunakan kesempatan selagi suasana dalam kacau.
Di Pacitan yang terletak di pantai Laut Selatan, penduduknya juga dikecam kegelisahan. Sebagian besar para pemuda daerah itu telah meninggalkan kampung halaman, untuk ikut berperang membantu Ponorogo, Koleksi Kang Zusi
dipimpin oleh Demang Pacitan. Yang tinggal di Pacitan hanyalah kaum wanitanya, kanak-kanak dan orang-orang tua. Ketika sering kali terjadi kejahatan merajarela pula di daerah itu, penduduknya dicekam rasa takut.
Malam itu hujan turun rintik-rintik sejak sore. Semua yang berada di luar rumah basah kuyup. Jalan-jalan menjadi becek dan hawa udara dingin sekali. Tidak ada penduduk Pacitan yang keluar rumah dalam cuaca seperti itu, kecuali mereka yang mempunyai urusan penting. Hanya nampak beberapa orang berjalan tergesa-gesa, melindungi diri mereka dari hujan dan dingin dengan payung atau caping lebar dan baju rangkap.
Akan tetapi, kalau orang berada lebih lama di luar dan tidak tergesa-gesa mungkin dia akan dapat melihat beberapa bayangan hitam yang memakai kerudung untuk melindungi diri mereka dari hujan menyelinap di antara rumah-rumah dan pohon-pohon di tepi jalan. Dan ia pun akan melihat serombongan orang memasuki gerbang Pacitan. Mereka ini terdiri dari delapan orang, dipimpin seorang pria yang usianya sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar seperti rakasa dengan kulit dan wajah bengis.
Mereka melangkah dengan cepat menuju ke arah sebuah rumah mungil yang terletak di ujung barat kota itu. Rumah kecil mungil ini dikenal oleh seluruh penduduk Pacitan kerena penghuninya adalah Suminten yang lebih terkenal dengan nama Madularas, seorang ledhek yang cantik manis, bersuara emas dan pandai menari. Suminten tinggal di rumah itu bersama ibunya yang janda, dan seorang bibinya yang membantu pekerjaan rumah tangga. Ledhek muda usia bersama ibunya itu dapat tinggal di rumah yang mungil dan berkeadaan cukup kerena Suminten berpenghasilan lumayan.
Usianya hampir delapan belas tahun, akan tetapi ia masih belum menikah, walaupun lamaran yang datang sudah puluhan kali. Semua lamaran itu ditolaknya dengan halus. Suminten tak ingin meninggalkan ibunya yang janda, pula ia masih belum tertarik untuk melayani seorang pria sebagai suaminya.
Begitu tiba di luar rumah mungil itu, lima orang berjaga di sekeliling rumah, dan si raksasa hitam bersama dua orang temannya, ke tiganya bermuka bengis dan memegang golok telanjang, menggedor daun pintu.
Koleksi Kang Zusi Tiga orang wanita yang berada di dalam rumah itu sudah masuk ke dalam kamar. Suminten memasuki kamarnya sendiri, ibunya dan bibinya masih bercakap-cakap di dalam kamar ibunya. Tiga orang wanita itu menghambur keluar ketika mendengar daun pintu digedor orang sampai lama mereka berdiri berhimpitan di ruangan tengah, memandang ke arah pintu depan dengan mata terbelalak. Siapa yang malam-malam begini, hujan rintik-rintik pula, datang bertamu" Dan cara mengetuk pintu itupun luar biasa, bukan mengetuk melainkan memukul keras-keras. Apa lagi waktu, semua orang di dusun dan kota sudah dicekam perasaan takut dengan adanya perang yang membuat semua tempat menjadi keruh dan orang-orang jahat berani bermunculan dengan ganas.
"Dor-dor-dorrr......!" Kembali daun pintu dipukul kuat-kuat dari luar.
"Buka pintu!" Gedoran pintu itu disusul suara yang parau, yang membuat tiga orang wanita itu menjadi semakin ketakutan.
"Ibu....... jangan buka..... aku takut......." bisik Suminten sambil merangkul ibunya.
"Siapa itu?" Janda itu memberanikan diri bertanya dari dalam, suaranya cukup lantang namun gemetar.
"Buka pintu, kami datang untuk mengundang ledhek Madularas bermain di rumah kami!" kata pula suara parau itu.
Kedua tangan Suminten yang merangkul ibunya menggigil dan rangkulannya semakin ketat. Ia menggeleng-geleng kepala untuk menyatakan kepada Koleksi Kang Zusi
ibunya bahwa ia tidak ingin pergi pada waktu malam gelap dan dingin seperti itu.


Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ki sanak, harap besok pagi saja Ki sanak datang lagi dan kita bicarakan urusan itu. Malam ini Suminten tidak dapat pergi karena ia agak masuk angin. Besok saja andika datang lagi!"
"Buka dulu pintunya, biar kami masuk dan kita bicara!" kata pula suara parau itu.
"Malam sudah larut, dingin dan gelap pula. Besok saja kita bicara......."
"Dor dor dorrr.......! Buka dulu pintunya, atau ingin kami menjebol dulu daun pintu ini?" bentakan itu disusul pula gedoran yang lebih kuat, membuat daun pintunya terguncang.
"Nanti sebentar........!" kata ibu Suminten dengan suara gemetar dan ia mendorong puterinya sambil berbisik. "Cepat masuk kamarmu dan palangi pintunya dari dalam!"
Suminten lari memasuki kamarnya dan menutupkan daun pintu dan memalangkannya dari dalam, lalu ia bersimpuh di atas pembaringannya dengan tubuh menggigil dan menahan tangisnya.
Karena maklum bahwa kalau ia menolak untuk membuka pintu, orang di luar itu akan menjadi semakin marah dan pintunya tentu akan benar-benar dijebolnya, maka dengan tubuh gemetar, ibu Suminten terpaksa menghampiri daun pintu dan membuka palangnya. Daun pintu terbuka dan masuklah tiga orang laki-laki yang berwajah bengis itu. Mata mereka agak Koleksi Kang Zusi
silau oleh sinar lampu gantung karena baru saja mereka masuk dari tempat yang gelap. Mata tiga orang itu jelalatan, memeriksa ke seluruh ruangan itu. Yang nampak hanya dua orang wanita tua.
"Mana Madularas?" tanya laki-laki raksasa hitam, matanya yang kemerahan itu masih jelalatan.
"Ia..... ia sedang sakit...... masuk angin......" kata ibu Suminten.
"Suruh ia keluar, aku mau bicara dengannya!" kata pula laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu dengan berang.
"Tapi ia...... ia sakit......"
"Suruh keluar kataku! Atau kucari sendiri ia dan kuseret keluar?"
Wanita itu menjadi pucat wajahnya. Belum pernah ia berhadapan dengan laki-laki segalak dan sekasar itu. "Tapi ia........ ia.... tidak berada di rumah, ia sedang keluar........." katanya tergagap dan ketakutan.
"Keparat! Tadi bilang sakit sekarang bilang tidak berada di rumah!
Pembohong busuk!" Melihat betapa dua orang wanita itu melirik ke arah sebuah kamar yang daun pintunya tertutup, laki-laki itu melangkah ke arah kamar itu.
Koleksi Kang Zusi "Jangan....... jangan........ jangan ganggu anakku......" Ibu Suminten berteriak dan mencoba menghalangi. Akan tetapi, laki-laki itu menggerakan tangan menampar.
"Plakk!" Demikian kuatnya tamparan yang menganai muka wanita itu sehingga ia terpelanting keras dan terbanting. Kepalanya terbentur lantai dan ia pun pingsan. Bibi Suminten lari pula menghalang, akan tetapi kembali ia roboh oleh tamparan tangan laki-laki raksasa hitam itu sehingga ia pun pingsan di dekat tubuh ibu Suminten.
"Dor-doorr..... brakkk!" Daun pintu itu jebol dan Suminten yang masih bersimpuh di atas pembaringan dengan tubuh menggigil, terbelalak memandang laki-laki yang melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ia mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah Ganjur!
"Kau...... mau apa kau.....?" katanya tersendat-sendat, suaranya gemetar, tubuhnya menggigil.
Ganjur tertawa menyeringai. "Ha-ha-ha, Madularas, aku datang untuk menjemputmu. Engkau akan menjadi milikku selamanya, dan tak seorangpun boleh menghalanginya!"
"Tidak............... ti........." Akan tetapi Ganjur sudah menubruk dan meringkusnya, memondongnya. Suminten meronta-ronta, menggunakan kakinya menendang-nendang, tangannya mencakar-cakar."Tidak, aku tidak sudi! Lepaskan aku........, lepaskan.......!" Akan tetapi sambil tertawa-tawa, Ganjur memondong tubuh mungil itu di pundak kirinya, dirangkul lengan kirinya yang kokoh kuat, dan tangan kanan masih memegang golok, lalu melangkah keluar dari kamar.
Koleksi Kang Zusi Bibi Suminten sudah siuman dari pingsannya dan melihat Suminten menjerit-jerit di pondong Ganjur, ia mencoba bangkit, akan tetapi sebuah tendangan kaki Ganjur membuatnya terjengkang dan terbanting keras, pingsan lagi! Ibu Suminten juga bangkit dan dengan nekat menerjang maju hendak menolong Suminten, akan tetapi Ganjur yang sudah marah itu menggerakkan goloknya dan wanita itu roboh mandi darah.
"Bibi.....! Ibuuuu........!!" Suminten menjerit-jerit melihat bibinya ditendang roboh dan ibunya dibacok sampai mandi darah. Namun, Ganjur membawanya lari keluar diikuti dua orang temannya yang tadi tidak menyia-nyiakan kesempatan dan menyambar barang-barang berharga yang dapat mereka temukan di dalam rumah itu.
Setelah tiba di luar, bersama tujuh orang pengikutnya yang kesemuanya adalah warok-warok muda yang bengis dan kuat, Ganjur melarikan Suminten di kegelapan malam. Suminten berteriak dan meronta-ronta.
"Tolong...........! Tolooong.........!!" Ia menjerit-jerit akan tetapi mulutnya segera dibungkam tangan kanan Ganjur yang besar. Dan pula, andaikata ada yang mendengar teriakannya, siapa berani keluar menolong! Yang ada di dusun itu hanyalah para kakek dan bocah yang lemah!
Ganjur sudah tertawa-tawa girang. Merangkul dan memondong tubuh ledek muda yang sudah lama membuatnya tidak dapat tidur nyenyak itu sudah merupakan suatu kesenangan tersendiri. Tubuh yang sintal dan kenyal hangat itu menjanjikan kenikmatan yang membakar gairahnya, apa lagi tubuh itu meronta-ronta dalam rangkulannya.
Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar dusun Pacitan, tiba-tiba muncul Koleksi Kang Zusi
tiga sosok bayangan orang yang menghadang mereka. Dua buah obor dinyalakan tiga orang itu dan ditancapkan di bawah pohon besar. Api obor tidak padam karena rintik hujan yang tertahan daun-daun pohon, dan angin dingin yang bersilir membuat api obor menari-nari, menimbulkan bayang-bayang yang menyeramkan. Dari penerangan itu dapat terlihat bahwa tiga orang yang menghadang itu adalah tiga orang pria yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi besar dan mukanya brewok, nampak gagah perkasa. Orang ke dua bertubuh sedang wajahnya tampan dan sikap atau gerak-geriknya lembut walaupun juga membayangkan kegagahan. Orang ke tiga bertubuh agak pendek dan perutnya gendut, juga berdiri dengan tegak dan sikapnya gagah dan pemberani. Mereka adalah Santiko, adiknya Bargowo, dan seorang rekan mereka yang menjadi pembantu mereka dalam memimpin perguruan pencak silat Dayatirta.
"Hemm, kiranya andika, ki sanak. Bukankah andika Si Ganjur, jagoan dusun Beledug" Sungguh tidak kami sangka, seorang jagoan begini rendah untuk berubah menjadi seorang pemimpin perampok dan gerombolan yang menculik seorang wanita!" kata Santiko dengan suaranya yang menggeledek.
Ganjur juga mengenal wajah kakak beradik yang menjadi pemimpin perguruan Dayatirta itu. "Babo-babo!" Sumbarnya, "Sejak kapan pula orang-orang Dayatirta lancang mencampuri urusan pribadi orang lain?"
"Toloooong! Dia membunuh bibi dan ibuku!" Suminten berteriak sambil menangis.
"Ganjur, sudah lama kami mendengar bahwa andika adalah seorang yang suka berbuat sewenang-wenang. Sekarang, agaknya menggunakan kesempatan selagi keadaan menjadi kacau dan keruh karena perang, engkau tidak segan melakukan kejahatan. Jangan harap andika akan dapat berbuat semena-mena selagi masih ada kami!" kata pula Bargowo dengan suaranya yang lembut namun mengandung kekuatan.
Koleksi Kang Zusi "Babo-babo, keparat! Bunuh mereka!" bentak Ganjur kepada tujuh orang temannya. Tujuh orang itu sudah menerjang dan mengeroyok tiga orang pimpinan Dayatirta, mengguna- kan kolor atau golok mereka. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kedigdayaan, maka Santiko, Barowo dan temannya harus mengerahkan tenaganya untuk melawan.
Ganjur sendiri cepat mengikat kaki tangan Suminten, menggunakan kemben yang dipakai gadis itu sendiri, kemudian diapun menggunakan goloknya untuk membantu teman-temannya mengeroyok tiga orang penghalang itu. Terjadilah perkelahian yang seru antara tiga orang pimpinan Dayatirta melawan delapan orang warok muda yang bengis dan ganas itu.
Kalau saja mereka itu bertanding satu lawan satu, pihak Ganjur tentu akan kalah. Namun, Ganjur berdelapan, sedangkan lawannya yang dikeroyok hanya bertiga. Selisih tingkat kepandaian mereka tidak banyak, maka tentu saja pihak Santiko dan Bargowo terdesak hebat. Mereka dikepung ketat dan dihujani serangan senjata sehingga ketiganya hanya mampu mengelak dan menangkis dengan keris mereka, tanpa mendapat banyak kesempatan untuk balas menyerang.
Ganjur sudah tertawa-tawa mengejek. "Bunuh mereka! Bunuh!" teriaknya berulang kali, memberi semangat kepada tujuh orang temannya.
Pada saat keadaan menjadi amat gawat bagi keselamatan tiga orang pendekar Dayatirta itu, tiba-tiba nampak bayangan hitam berkebat dan di bawah sinar obor berdirilah seorang yang mengenakan pakaian serba hitam, dan mukanya tertutup kedok hitam pula, Si Kedok Hitam ini tidak banyak cakap lagi, dengan sebatang suling di tangannya, dia sudah menerjang ke dalam medan perkelahian dan begitu dia menggerakkan sulingnya, terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup, nampak Koleksi Kang Zusi
sinar bergulung dan dua orang sudah roboh terpelanting!
Melihat datangnya bantuan yang tangguh inim, tentu saja Santiko dan Bargowo menjadi gembira bukan main. "Terima kasih, kawan!" kata merekadan kini mereka menggerakkan keris mereka untuk menyerang Ganjur yang menjadi biangkeladi perkelahian ini. Teman mereka membantu Si Kedok Hitam menghajar lima orang, setelah yang dua orang tadi roboh.
Menghadapi seorang di antara kakak beradik itu saja, tentu Ganjur akan kewalahan, apa lagi dikeroyok dua. Dia masih mencoba untuk mengamuk dengan golok besarnya, namun kakak beradik itu terlampau tangkas baginya setelah lewat belasan jurus, akhirnya Ganjur berteriak mengaduh dan roboh dengan dua luka tusukan keris yang membuat dia tewas seketika.
Si Kedok Hitam tidak merobohkan lawan untuk membunuh, melainkan hanya menghajar mereka dengan pukulan suling atau tangan kiri yang tidak mematikan. Akan tetapi, setelah tujuh orang itu dibuat jatuh bangun, apa lagi melihat betapa Ganjur roboh dan tewas, tujuh orang itupun maklum bahwa kalau dilanjutkan, mereka semua akan mengalami nasib seperti pemimpin mereka. Larilah mereka tunggang langgang di dalam kegelapan malam, meninggalkan Ganjur yang sudah menjadi mayat.
"Ki sanak, kami berdua menghaturkan terima kasih kepada andika. Tanpa adanya bentuan andika, kami bertiga rekan kami tentu sudah tewas oleh Ganjur dan teman-temannya. Ganjur melarikan gadis ini dari Pacitan dan melihat perbuatan itu, kami berusaha untuk menolong gadis itu, akan tetapi kepandaian kami terlalu rendah sehingga hampir saja kami gagal bahkan mengorbankan nyawa sendiri." kata Santiko. Sementara itu, Bargowo cepat menghampiri Suminten dan melepaskan ikatan kaki tangan gadis itu. Gadis itu masih menggigil dan saking lega hatinya terbebas dari ancaman malapetaka yang baginya lebih mengerikan dari pada maut, iapun merangkul pundak Bargowo dan menangis di dada pemuda perkasa itu.
Koleksi Kang Zusi Bargowo mengelus rambut yang halus itu dan membiarkan Suminten menangis di dadanya. Air mata yang hangat terasa di dadanya yang hanya tertutup baju tipis, dan sungguh aneh, baginya seolah air mata itu meresap masuk melalui kulitnya, menembus kulit dan langsung menyiram jantungnya!
"Sudahlah, nimas, jangan menangis lagi, bahaya telah lewat," dia menghibur, akan tetapi gadis itu masih sesenggukan di dadanya. Bargowo membiarkannya saja sambil tetap mengelus rambut dikepala yang bersandar di dadanya.
Sementara itu, Si Kedok Hitam bertanya, "Kenapa dia begitu mudah menculik gadis dari kademangan Pacitan?"
Santiko mengerutkan alisnya. "Semua orang muda pergi ke kadipaten Ponorogo untuk menjadi perajurit, maka tidak ada yang dapat menghalangi perbuatan Ganjur dan kawan-kawannya."
"Dan andika bertiga, kenapa tidak ikut pula ke kadipaten?"
"Kami tidak mau melibatkan diri dalam perang saudara itu," jawab Santiko yang teringat akan percakapan dia dan adiknya dengan Banuaji. "Ada tugas yang lebih penting bagi kami, yaitu menjaga rakyat dari perbuatan jahat seperti yang dilakukan Ganjur dan kawan-kawannya tadi. Perang saudara penuh dengan kekejaman dan kelicikan, pengkhianatan dan kemunafikan.
Dari seorang rekan dalam perkumpulan kami Dayatirta, kami mendengar bahwa senopati muda dari Mataram yang bernama Nurseta itu, yang terkenal gagah perkasa dan diagungkan sebagai senopati Mataram yang dipercaya, ternyata hanyalah seorang pengkhianat pula terhadap Mataram....."
Koleksi Kang Zusi "Ahh, apa yang terjadi?" tanya Si Kedok Hitam.
"Dia bersengkongkol dengan Ponorogo dan sekarang dia memimpin pasukan menyerang Ponorogo dari selatan. Ha-ha-ha, sekali ini Mataram kecolongan, tentu saja dia tidak membawa tentaranya menyerbu, bahkan memperkuat pertahanan Ponorogo dengan memukul pasukan Mataram! Kami tidak sudi terlibat dalam urusan yang kotor seperti perang saudara itu."
"Hemm, sudahlah, itu bukan urusanku. Aku pergi sekarang, harap andika berdua mengantar gadis itu pulang ke rumahnya dan mengurus segalanya dengan baik."
Sebelum Santiko sempat menahannya, Si Kedok Hitam sudah melompat dan menghilang dalam kegelapan. Pada saat itu, terdengar Suminten menangis dan memanggil nama ibu dan bibinya.
"Mari kita antar ia pulang, kakang Santiko," kata Bargowo kepada kakaknya yang masih berdiri tertegun memandang ke arah menghilangnya Si Kedok Hitam. Baru dia sadar dan cepat menghampiri adiknya yang masih merangkul Suminten yang menangis.
"Baik, akan tetapi bagaimana dengan mayat ini?" Dia menuding ke arah mayat Ganjur.
"Kakang Santiko, kita urus dulu adik ini. Biar mayat Ganjur diurus oleh kawan-kawannya, atau kalau kawan-kawannya tidak mau mengurusnya, kita ajak penduduk Pacitan untuk menguburnya. Akan tetapi yang terpenting adalah mengantar adik ini pulang. Aku khawatir keadaan ibunya dan bibirnya."
Koleksi Kang Zusi Dua orang kakak beradik itu lalu mengantar Suminten yang masih menangis memasuki kademangan Pacitan yang masih sepi dan gelap.
Suminten setengah berlari menuju ke rumahnya dan lari masuk ke dalam rumah melalui pintu depan yang masih terbuka. Dua orang kakak beradik bersama seorang rekan mereka mengikutinya dari belakang dan mereka melihat seorang wanita setengah tua menangisi seorang wanita lain yang menggeletak mandi darah.
"Ibuuu........! Ah, ibuuu.......!!" Suminten menubruk tubuh yang terbujur tak bernyawa lagi itu, merangkul mayat ibunya dan akhirnya ia terkulai lemas pingsan.
Gegerlah seluruh penghuni Pacitan ketika mendengar bahwa ibu Suminten terbunuh oleh perampok dan Suminten sendiri diculik oleh Ganjur, nama yang sudah mereka kenal karena pernah Ganjur membuat ribut di Pacitan.
Akan tetapi, Suminten dapat ditolong oleh tiga orang pria perkasa yang mengantarnya pulang, bahkan Ganjur tewas di tangan mereka. Para penghuni datang melayat, dan mereka membantu pula pemakaman ibu Suminten. Bahkan beberapa orang laki-laki tua yang masih kuat, membantu Santiko dan Bargowo untuk mengurus jenazah Ganjur yang ternyata tidak diambil oleh kawan-kawannya.
Setelah semua beres. Bargowo mengajak Suminten untuk ikut bersama dia dan kakaknya. "Kami khawatir kalau-kalau kawan-kawan dari Ganjur datang membuat pembalasan ke sini, nimas, Suminten." kata Bargowo. "Sebaiknya, sementara ini sebelum keadaan aman dan penjaga keamanan di Pacitan tersusun kembali, andika ikut bersama kami. Kakang Santiko dan aku serta kawan-kawan kami akan melindungimu."
Kini Santiko melihat betapa cantiknya ledek muda itu, yang membuatnya Koleksi Kang Zusi
merasa kagum dan dia sepenuhnya setuju dengan rencana Bargowo untuk melindungi dan mengajak Suminten ikut mereka untuk sementara. "Apa yang dikatakan adikku Bargowo benar, nimas. Apa lagi kalau diingat bahwa Ganjur adalah murid Ki Wirobandot yang sudah terkenal sebagai jagoan di Pacitan. Dia sekarang ikut pula membantu pasukan Ponorogo, akan tetapi kalau dia sudah kembali ke sini dan mendengar tentang kematian anak buahnya, tentu dia tidak mau menerimanya begitu saja, apa lagi mendengar kematiannya adalah karena andika, nimas Suminten."
Suminten menggunakan sapu tangannya untuk menyusut air matanya, lalu menoleh kepada bibinya dan berkata kepada kedua orang kakak beradik itu. "Terima kasih atas limpahan budi andika berdua, kakangmas. Kalau tidak ada andika berdua yang menolong, tentu sekarang saya sudah pergi bersama ibu......." ia menangis lagi. Setelah tenang kembali ia berkata,
"Saya menerima ajakan andika berdua, akan tetapi bibi saya ini harus ikut dengan saya, karena ia tidak mempunyai keluarga lain, dan saya takut kalau kelak kawan-kawan Ganjur akan mengganggunya karena tidak dapat menemukan saya di sini."
Wanita berusia empat puluh lima tahun yang bernama Warsinah, sudah janda tanpa anak itu merangkul Suminten dan mereka berdua menangis.
Santiko dan Bargowo saling pandang dan mereka tentu saja tidak dapat menolak permintaan yang mereka anggap sudah sepantasanya itu.
Demikianlah, pada keesokan harinya, Suminten dan Bibi Warsinah pergi meninggalkan Pacitan bersama tiga orang penolongnya, diajak tinggal di perkampungan para anggota Dayatirta yang selama terjadi perang kini berpusat d dusun Jaten, sebelah selatan Ponorogo.
*** Sesuai dengan laporan para penyelidik, Sang Prabu Hanyokrowati dan para senopatinya sudah memperhitungkan sampai di mana kekuatan pasukan Ponorogo, maka penyerangan dilakukan dari tiga jurusan. Dari utara akan menyerbu pasukan yang dipimpin oleh Ki Sinduwening yang dibantu oleh puterinya, yaitu Mawarsih. Gadis perkasa ini tidak mau ketinggalan dan mendesak ayahnya agar ia diperbolehkan ikut membantu ayahnya Koleksi Kang Zusi
berperang. Tentu saja ia tidak memberi tahu ayahnya akan isi hatinya yang sesungguhnya. Mawarsih bukan ingin berperang, melainkan pertama sekali tentu saja ingin menjaga dan membantu ayahnya karena kalau ayahnya pergi perang dan ia menanti di rumah seorang diri, ia akan selalu merasa gelisah memikirkan ayahnya. Dan yang ke dua kalinya, setiap saat ia selalu teringat kepada dua orang yang tak pernah meninggalkan hatinya, yaitu Aji dan Si Kedok Hitam! Dua orang pria ini selalu bermunculan dalam ingatannya, dan ia selalu rindu kepada keduanya! Kadang ia merasa bingung dan linglung, heran kepada diri sendiri bagaimana ia dapat merindukan dua orang pria sekaligus! Ia tidak dapat mengingkari perasaan hatinya bahwa ia telah jatuh cinta kepada Aji, bukan setelah pemuda yang lemah itu demikian nekat menolong dan membelanya, bahkan mengorbankan dirinya dipukuli dan disiksa, melainkan perasaan sudah mulai tumbuh sejak pertemuan pertama kali dengan Banuaji, ketika ia masih tinggal di desanya, di dusun Sintren, yaitu ketika ia diperkenalkan kepada Banuaji oleh Bayu, penggembala kerbau yang pandai meniup suling itu. Sejak itu, ia sudah merasa tertarik sekali dan kagum karena wajahnya yang tampan, gerak geriknya yang sederhana, pendiam dan lembut, dan kepandaiannya bertembang dan meniup suling, jauh lebih pandai dan lebih merdu tiupan sulingnya dari pada Bayu yang sudah dikaguminya itu. Apa lagi ketika sebagai tukang kuda di kadipaten Ponorogo. Banuaji telah menyelamatkan ia dan ayahnya dengan jalan membakar tempat tahanan dan berhasil mengajak ia dan ayahnya keluar dari tempat tahanan dan melarikan diri.
Cintanya semakin bertumbuh dan mekar. Ia cinta kepada Banuaji, ini tak dapat disingkalnya. Akan tetapi, kemudian muncul Si Kedok Hitam!
Tergetar perasaan hatinya kalau ia teringat kepada Si Kedok Hitam yang sudah berulang kali menolongnya itu. Akan tetapi, Si Kedok Hitam selalu menghindarkan diri, tidak mau berkenalan. Bahkan dalam keadaan setengah pingsan, ketika ia diselamatkan pula oleh Si Kedok Hitam dari tangan KI Wirobandot, Si Kedok Hitam pernah mencium dahinya. Ciuman sopan memang, namun mengandung kehangatan dan kemesraan yang tak mungkin dapat ia lupakan. Cintanya memang bercabang, dan ini yang merisaukan hatinya. Cintanya kepada Banuaji memang cinta yang wajar, mencinta karena rupanya, karena sikap dan wataknya. Akan tetapi cintanya kepada Si Kedok Hitam adalah cinta yang terdorong oleh perasaan kagum akan kesaktiannya, karena budinya yang telah menyelamatkannya dari ancaman malapetaka berulang kali.
Menurut perhitungan Sang Prabu Hanyokrowati dan para senopatinya, Koleksi Kang Zusi
pasukan yang dikerahkan dari utara di bawah pimpinan Ki Sinduwening, dan dari selatan di bawah pimpinan Nurseta, sudah lebih dari cukup untuk mematahkan pertahanan Ponorogo. Yang terbesar adalah pasukan yang dipimpin Ki Sinduwening. Pasukan dari selatan pimpinan Nurseta tidak seberapa besar, hanya terdiri dari dua ribu orang karena pasukan ini mempunyai tugas untuk lebih dahulu menyerbu dari selatan, yaitu untuk memancing pihak lawan mempertahankan diri di bagian selatan. Setelah berhasil memancing lawan ke selatan, barulah pasukan dari utara menyerbu. Kalaupun siasat yang sudah diperhitungkan masak-masak ini menemui kegagalan, masih ada pasukan cadangan yang terbesar, dipimpin oleh Sang Prabu Hanyokrowati sendiri, untuk memberi bantuan kepada kedua pasukan dari utara dan selatan.
Tentu saja Sang Prabu Hanyokrowati sama sekali tidak menyangka bahwa semua siasat perangnya telah diketahui oleh Adipati Ponorogo, yaitu Pangeran Jayaraga, adik tirinya sendiri. Tentu saja semua rahasia itu dapat diketahui pihak musuh karena sudah dilaporkan oleh Nurseta!
Bahkan pihak Ponorogo yang kini mengatur siasat untuk menghancurkan pasukan yang datang dari utara!
Sesuai siasat yang sudah diatur semula, Ki Sinduwening menghentikan gerakan pasukannya di sebelah utara Ponorogo, dan mengatur barisan pendam agar tidak nampak gerakan mereka di sekitar lembah Kali Ngebel yang lebat dengan hutan-hutan liar. Mereka menanti di situ, menunggu isarat dari para penyelidik bahwa pasukan Ponorogo sudah terpancing dan ditarik semua ke selatan, dari mana menurut siasat, pasukan pimpinan Nurseta akan lebih dahulu melakukan penyerbuan di bagian selatan Ponorogo. Sementara itu, pasukan cadangan yang dipimpin Sang Prabu Hanyokrowati sendiri berhenti di sekitar Kali Tempuran, siap untuk membantu apa bila kedua pasukan Mataram tidak berhasil mematahkan pertahanan Ponorogo.
Malam itu gelap dan dingin. Ribuan bintang di langit agaknya tidak mampu menembuskan sinarnya pada kegelapan malam yang berkabut. Malam itu, menurut siasat pasukan Mataram, pasukan dari selatan akan menyerbu ke Ponorogo. Diperhitungkan bahwa pada keesokan harinya, seluruh penjagaan pasukan Ponorogo tentu akan ditarik ke selatan.
Koleksi Kang Zusi Setelah untuk yang terakhir kali hari itu Ki Sinduwening mengadakan rapat dengan para panglima Mataram, untuk membuat persiapan karena menurut rencana siasat yang telah diatur, kalau besok pagi-pagi para penyelidik membuat laporan bahwa pasukan yang berjaga di bagian utara Ponorogo telah ditarik mundur ke selatan, maka mereka akan bergerak, menyerbu dan menyerang Ponorogo yang diharapkan telah terpancing untuk mempertahankan bagian selatan. Setelah selesai mengadakan rapat, Sinduwening mengundurkan diri, bermaksud untuk beristirahat malam itu agar besok pagi dapat mulai terjun ke dalam pertempuran dengan tubuh yang segar.
"Bapa.......!" "Eh, engkau belum tidur, Mawar?" Besok mungkin kita menghadapi pertempuran besar, sebaiknya kita tidur sore-sore untuk menyimpan tenaga." kata Ki Sinduwening, diam-diam dia merasa heran melihat wajah puterinya muram seperti orang yang sedang risau hatinya. "Kenapa engkau nampak tidak tenang?"
Gadis itu menghela napas panjang. "Justru pertempuran itulah yang membuat hatiku risau, bapa. Bapa sendiri yang pernah mengatakan bahwa perang saudara itu amat merugikan bangsa sendiri. Adipati Ponorogo adalah adik sendiri dari Sang Prabu. Betapa akan menyesalnya hati mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati yang arif bijaksana kalau melihat dua orang putera beliau saling serang. Yang amat menyedihkan adalah kalau aku membayangkan betapa besok, banyak manusia akan jatuh dan tewas bergelimpangan, terbunuh atau terluka oleh saudara-saudara sendiri. Bukankah menurut bapa, musuh kita yang sesungguhnya, yang benar-benar mengancam tanah air kita, adalah orang-orang kulit putih yang datang dari barat?"
Koleksi Kang Zusi Ayah itu tidak tahu bahwa di balik kegelisahan hati puterinya terhadap perang saudara yang saling bunuh antara saudara atau sebangsa itu, terdapat keresahan yang mendalam, yaitu mengkhawatirkan Banuaji.
Bagaimana pemuda itu kalau terjadi perang" Akan berpihak manakah" Dan pemuda itu demikian lembut dan lemah. Kalau ikut bertempur, tentu akan celaka di tangan lawan yang tangguh! Dan Si Kedok Hitam" Apakah akan membela Mataram" Dan apakah ia akan dapat bertemu kembali dengan orang aneh yang merahasiakan dirinya itu"
Mendengar ucapan puterinya. Ki Sinduwening menghela napas panjang pula.
"Aku sendiri tentu saja tidak senang menghadapi perang saudara ini, Mawar. Akan tetapi, bagaimana lagi kalau memang Pangeran Jayaraga, adipati Ponorogo itu menghendaki perang" Dialah yang bersalah kalau terjadi perang saudara ini. Bukankah dahulu, seluruh daerah sampai ujung timur sampai perbatasan Banten, dapat dipersatukan oleh mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati" Akan tetapi, kini timbul lagi pemberontakan di daerah-daerah, termasuk Ponorogo yang dipimpin oleh adik Sang Prabu sendiri. Kalau hal ini dibiarkan, Mataram akan terpecah-pecah dan tanpa adannya persatuan, bagaimana bangsa kita akan memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengusir bangsa kulit putih yang hendak menguasai daerah kita" Tentu saja Sang Prabu ingin mempersatukan seluruh daerah dengan jalan damai tanpa perang, akan tetapi kalau jalan itu gagal, dan ada daerah yang memberontak, terpaksa ditundukkan dengan perang. Mudah-mudahan saja kita akan dapat menundukkan Ponorogo dengan cepat sesuai dengan rencana tanpa harus mengorbankan banyak nyawa, baik dari perajurit Mataram maupun perajurit Ponorogo."
Ayah dan anak itu lalu memasuki kamar masing-masing dalam gubuk darurat itu dan tidur. Akan tetapi Mawarsih gelisah, sukar untuk dapat pulas kerena pikirannya selalu diganggu dua bayangan orang, yaitu Banuaji dan Si Kedok Hitam. Baru setelah tengah malam ia tertidur.
Koleksi Kang Zusi Akan tetapi, menjelang fajar. Mawarsih dikejutkan oleh suara riuh rendah. Sebagai seorang gadis yang sejak kecil digembleng dengan aji kedigdayaan, yang membuatnya tangkas, begitu membuka mata, ia telah siap siaga dan meloncat turun dari atas pem- baringannya. Bukan ia seorang yang dikejutkan suara itu. Hampir ia bertabrakan dengan ayahnya yang juga melompat keluar.
"Ada apakah, bapa?"
"Entah, mari kita melihat keluar!"
Ayah dan anak itu berlompatan keluar. Hari masih pagi sekali. Cuaca masih remang-remang, akan tetapi segera nampak api bernyala-nyala di sana-sini dan terdengar suara orang berteriak-teriak dan pertempuran terjadi di sekeliling mereka. Seorang perwira menghampiri mereka.
"Celaka kita diserbu musuh!" katanya.
Tentu saja ayah dan anak ini terkejut bukan main. Dibantu puterinya, Ki Sinduwening berusaha untuk mengatur pasukannya. Akan tetapi, serbuan pihak musuh secara tiba-tiba itu membuat pasukan menjadi kacau dan tidak dapat diatur lagi. Kebakaran terjadi di sana sini dan pertempuran juga terjadi dengan kacau. Apa lagi ketika ayah dan anak ini mendapat kenyataan bahwa serbuan itu terjadi dari dua penjuru, dari luar dan dari dalam sehingga pasukan Mataram seolah terhimpit dan diserbu kanan kiri.
Hal ini sungguh amat mengherankan, karena menurut rencana siasat, pasukan musuh akan dipancing ke selatan oleh pasukan yang dipimpin Nurseta. Bagaimana sekarang terjadi sebaliknya, pasukan Mataram yang belum bergerak itu yang dihimpit oleh pasukan musuh" Bagaimana dengan pasukan Nurseta" Namun, pertanyaan itu tidak ada yang dapat menjawab dan pada saat itu, Ki Sinduwening juga tidak sempat lagi untuk terlalu Koleksi Kang Zusi
memusingkan pertanyaan itu. Yang penting, dia harus dapat memimpin pasukannya untuk dapat keluar dari himpitan pihak musuh. Dia berusaha mengumpulkan para senopati pembantu untuk dapat mengatasi keadaan, namun para perwira sudah sibuk terlibat dalam pertempuran yang kacau balau. Karena keadaan yang demikian kacau dan tidak mungkin dapat diatur lagi, terpaksa ayah dan anak itu pun ikut mengamuk dan melawan serbuan pasukan Ponorogo.
Pertempuran berjalan seru, akan tetapi jelas nampak bahwa pihak pasukan Mataram kewalahan karena terhimpit oleh dua pihak dan ternyata pasukan Ponorogo berjumlah besar dan kuat. Cuaca tidak begitu gelap lagi kerena sinar matahari pagi mulai mengusir sisa kegelapan malam.
Tiba-tiba muncul Nurseta dan diapun mengamuk dan dengan tombaknya dia merobohkan beberapa orang perajurit Ponorogo sebelum dia berhasil mendekati Ki Sinduwening dan Mawarsih.
"Raden....., apa yang telah terjadi?" KI Sinduwening bertanya ketika melihat senopati muda itu. Dia terheran-heran bagaimana Nurseta yang memimpin pasukan untuk memancing pihak musuh dari selatan itu tiba-tiba dapat muncul di sini.
"Celaka, paman........ kita terjebak, semua rencana kita ketahuan! Paman, kita harus cepat menyelamatkan Sang Prabu........." kata pemuda itu setelah mereka bertiga melompat ke tempat kosong dan tidak diserang musuh.
"Ceritakan, apa yang terjadi!" kata Ki Sinduwening memegang lengan pemuda itu, alisnya berkerut dan wajahnya berubah mendengar bahwa junjungannya terancam bahaya.
"Kita terjebak musuh. Ketika aku mempimpin pasukan, ternyata bagian Koleksi Kang Zusi
selatan tidak ada yang jaga dan kosong. Ketika kami menyerbu masuk, kami diserang dari belakang dan dihujani anak panah dari barisan pendam.
Banyak perajurit kami yang tewas. Kemudian, aku menangkap seorang perajurit musuh dan memaksanya mengaku. Dia yang menceritakan bahwa pasukan paman dijebak di sini dan juga bahwa pihak musuh merencanakan menjebak pasukan yang dipimpin Sang Prabu dan bermaksud menawan beliau. Kita harus cepat menyelamatkan Sribaginda, paman! Mari, cepat.
Aku tahu di mana komplotan yang ditugaskan menculik Sang Prabu itu!"
Ki Sinduwening dan puterinya terkejut bukan main. Pasukannya sudah tidak dapat dikendalikan lagi karena telah terjadi pertempuran kalang kabut di situ, dan yang terpenting tentu saja menyelamatkan Sribaginda dari bencana.
"Kita cepat pergi ke Kali Tempuran....." Dia maksudkan tempat pasukan yang dipimpin Sang Prabu Hanyokrowati menanti saat untuk turun tangan membantu dua barisan yang menyerbu dari selatan dan utara.
"Jangan, paman. Itu mungkin akan terlambat! Aku tidak tahu benar apakah Sang Prabu telah mereka culik atau belum, akan tetapi kita langsung saja ke tempat rahasia mereka. Kalau mereka sudah berhasil menculik, kita bebaskan sang prabu, kalau belum, kita hancurkan sarang mereka! Marilah, paman dan diajeng Mawarsih, jangan sampai terlambat.
Kita naik perahu.......!"
Pemuda itu melompat dan tentu saja Ki Sinduwening dan puterinya juga melompat dan mengikutinya. Memang yang penting sekali adalah keselamatan sang prabu. Andaikata sekali ini pasukan Mataram mengalami pukulan, lain kali masih dapat membalas kekalahan hari itu asal saja sribaginda masih selamat.
Koleksi Kang Zusi Mereka tiba di tepi sungai dan tanpa banyak cakap, Nurseta melepaskan tali perahu yang berada di balik semak, kemudian mengajak ayah dan anak itu naik perahu dan segera perahu digayungnya ke tengah, dibantu oleh Ki Sinduwening. Matahari mulai muncul dan pagi ini nampak cerah, walaupun hari-hari sebelumnya, selalu turun hujan sehingga air sungai itu penuh dan bahkan di sana-sini meluap dan membanjiri sawah ladang dan dusun-dusun yang berada di tepi sungai. Parahu kecil yang ditumpangi tiga orang itu meluncur cepat karena terbawa air yang deras, apa lagi dikendalikan dayung kedua orang yang kuat itu.
Sebetulnya, apa yang terjadi dan bagaimana Nurseta yang ditugaskan memimpin pasukan yang membuat pancingan dari selatan itu tahu-tahu dapat berada di utara, di mana pasukan yang dipimpin Ki Sinduwening diserang dari depan belakang secara tiba-tiba" Semua itu telah diatur oleh pihak Ponorogo. Karena pengkhianatan Nurseta, maka pihak Ponorogo mengetahui siasat apa yang akan dipergunakan oleh Mataram dalam penyerbuan mereka ke Ponorogo. Tentu saja setelah mengetahui rencana siasat itu, pihak Ponorogo dapat mengimbanginya dengan siasat lain yang menguntungkan mereka. Kalau Nurseta mendapat tugas untuk malam itu melakukan penyerbuan dari selatan untuk membikin panik dan memancing pasukan Ponorogo, diam-diam Nurseta membawa pasukannya yang sudah taat kepadanya itu untuk siang-siang memasuki daerah Ponorogo. Yang melakukan penjagaan di selatan adalah Mayaresmi dan Brantoko yang hanya membawa pasukan kecil karena memang tidak perlu ada pertempuran. Segera Nurseta bergabung dengan meraka, kemudian membawa pasukannya terus ke utara untuk membantu pasukan Ponorogo yang menjebak pasukan Mataram dan menghimpit musuh dari luar dan dalam! Kemudian, sesuai dengan siasat yang sudah dia rencanakan dengan Mayaresmi, Nurseta lalu sengaja mencari Ki Sinduwening dan Mawarsih dan memancing ayah dan anak ini meninggalkan pasukannya untuk menyelamatkan Sang Prabu Hanyo- krowati. Tentu saja ini hanya merupakan jebakan untuk melenyapkan senopati tua yang tangguh itu, dan untuk dapat memiliki Mawarsih yang membuat Nurseta tergila-gila!
Adapun sebuah pasukan yang cukup kuat, sesuai dengan siasat yang diatur oleh Ponorogo, dipimpin langsung oleh Sang Adipati Ponorogo sendiri, dibantu oleh Surodigdo, senopati yang terkenal tangguh, diam-diam menuju ke barat dan bermaksud untuk menyergap pasukan yang dipimpin Sang Prabu Hanyokrowati dan kalau mungkin menawan atau membunuh Raja Koleksi Kang Zusi
Mataram itu! Akan tetapi, ketika pasukan ini tiba dilembah Kali Tempuran, mereka kecelik karena tidak melihat adanya pasukan Sang Prabu Hanyokrowati di sana! Yang ada hanyalah bekas pesanggrahan atau tempat perhentian pasukan itu saja, akan tetapi Sang Prabu Mataram dan pasukannya telah pergi. Tentu saja pasukan Ponorogo yang dipimpin oleh sang adipati sendiri itu merasa heran dan khawatir kalau-kalau mereka terjebak, maka mereka cepat mundur kembali ke Ponorogo, hanya membantu pasukan yang sedang menggempur pasukan besar Mataram yang berada di utara.
Apa yang terjadi dan ke mana perginya Sang Prabu Hanyokrowati"
Ternyata, pada malam hari itu terjadi sesuatu yang mengejutkan di tempat itu. Malam memang gelap dan dingin, dan pasukan itu bersembunyi di dalam hutan yang lebat. Dan pada malam hari itu, menjelang tengah malam, tiba-tiba saja terdengar suara orang bertembang memecah kesunyian malam. Semua orang termasuk Sang Prabu Hanyokrowati, dengan jelas dapat menangkap kata-kata dalam tembang itu dan seperti yang lain. Raja Mataram ini terkejut bukan main. Kata-kata itu berarti:
"Karena ulah seorang pengkhianat, malam ini menjelang pagi, pasukan Mataram di utara akan dikepung dan dihancurkan, pasukan di sini akan diserbu dan Sang Prabu akan ditawan atau dibunuh!"
Semua orang cepat mencari cari, siapa yang berkidung itu. Namun, tak seorangpun menemukan penembangnya. Biarpun tidak sepenuhnya percaya akan isi tembang itu, namun Sang Prabu Hanyokrowati merasa tidak enak, demikian pula para senopati, maka segera pasukan itu ditarik mundur untuk melihat bagaiamana perkembanganya pada keesokan harinya. Demikian, maka ketika pasukan Ponorogo yang dipimpin langsung oleh Adipati Ponorogo bersama Surodigdo, senopatinya yang tangguh, tempat itu kosong!
Tiada seorangpun melihat siapa yang menembangkan kidung yang isinya Koleksi Kang Zusi
memberi peringatan itu. Tentu tidak mungkin dapat melihat gerakan bayangan hitam itu karena gerakannya amat cepat, apa lagi diselimuti kegelapan malam, sehingga andaikata ada orang sempat melihatnya pun, tentu akan disangka bahwa yang dilihatnya berkelebat itu bayangan burung malam atau sebagainya.
Giring Giring Perak 1 Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Pendekar Super Sakti 1
^