Pencarian

Kembalinya Pendekar Rajawali 14

Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Bagian 14


Terkejut sekali Nyo Ko oleh kejadian itu, ia sangka orang bermaksud mencelakai ayah angkat-nya, lekas ia tarik2 punggung pengemis tua itu, siapa tahu rangkulannya malah semakin kencang hingga tak dapat ditarik lepas sedikitpun.
"Hahaha, Auwyang Hong, si Racun tua, tak nyana kau bisa mendapatkan tipu serangan lihay yang baru ini, hari ini Lokiauhoa betul2 menyerah.
Bagus, Auwyang Hong, bagus!" demikianlah Ang Chit-kong masih terus ber-teriak2 sambil terbahak-bahak.
Memangnya umur Auwyang Hong sudah tua, ditambah lagi pertarungan sengit selama beberapa hari dan semalam suntuk memeras otak, hal ini sudah bikin semangatnya lemah dan tenaga habis, kini mendadak dengar Ang Chit-kong berseru namanya "Auwyang Hong" sampai beberapa kali, mendadak seperti sinar refleksi yang membalik, otaknya yang miring seketika waras kembali, kejadian selama berpuluh tahun tiba2 seperti sebuah cermin yang menerangi alam pikirannya dan se-akan2 terpentas di depan matanya.
"Haha! Ya, ya! Aku adalah Auwyang Hong, aku Auwyang Hong! Hahahaaaa!" demikian kemudian iapun ketawa ter-bahak2, suaranya lantang bagai bunyi genta dan sangat menusuk telinga.
Tertampaklah kedua kakek ubanan saling rangkul-merangkul sambil ketawa ter-bahak2 tiada hentinya.
Selang tak lama, suara tertawa mereka makin lama makin rendah dan makin lemah, sampai akhirnya mendadak pun berhenti, lalu tak bergerak lagi kedua orang tua itu.
Luar biasa kejut Nyo Ko melihat keadaan itu.
"Ayah, ayah! Locianpwe, Lociapwe!" demikian ia berteriak2, tetapi tiada seorangpun yang menyahut.
Waktu ia tarik lengan Ang Chit-kong, mendadak tubuh orang tua ini dengan gampang saja dapat ditariknya terus ambruk, nyata orangnya sudah tak bernyawa lagi Ketika ia periksa Auwyang Hong, serupa saja, orang tua inipun sudah berhenti bernapas.
Meski suara tertawa kedua orang tadi sudah berhenti tapi pada wajah mereka masih terlukiskan senyuman, di antara lembah gunung sayup2 masih terdengar juga suara tertawaan mereka yang berkumandang membalik.
Begitulah lelakon dua jago tua, Pak-kay dan Se-tok atau Si Pengemis dari Utara dan Si Racun dari Barat, satu baik dan yang lain jahat, selama puluhan tahun mereka saling berkelahi dan tidak pernah ada yang terkalahkan siapa duga kini bisa tewas bersama di puncak teratas Hoa-san.
Selama hidup kedua orang itu saling membenci dan bermusuhan, tetapi pada ajalnya sebaliknya saling rengkul sambil ketawa ter-bahak2, rupanya benci dan dendam selama puluhan tahun itu telah tamat terbawa oleh suara tertawaan mereka yang terakhir itu ! Seketika itu Nyo Ko malah menjadi bingung, teringat olehnya Ang Chit-kong pernah tidur selama tiga hari tiga malam, kini kedua orang tua ini jangan2 juga mati buatan" Tetapi kalau melihat keadaannya, agaknya bukanlah mati palsu.
"Ah, lebih baik anggap dia palsu, daripada menyangkanya sungguh2," demikian akhirnya Nyo Ko ambil keputusan.
Lalu ia pindahkan mayat kedua jago tua itu ke dalam gua, ia sendiri menjaga di situ selama 7 hari 7 malam, sampai akhirnya wajah kedua mayat itu sudah mulai berubah barulah pemuda ini mau percaya orang sudah mati sungguh2.
Ia menangis ter-gerung2, kemudian ia gali dua liang dalam gua itu dan kubur kedua jago kosen dunia persilatan itu.
Waktu ia keluar gua ia lihat bekas2 tapak kaki di atas salju dimana Ang Chit-kong menem-pur Auwyang Hong kini sudah membeku menjadi es.
Bekas tapak kakinya masih, namun orangnya sudah masuk liang kubur, Menghadapi bekas tapak kaki ini, Nyo Ko jadi terbayang pada pertarungan kedua jago tua itu tempo hari, tanpa terasa ia berduka pula.
Ia masuk gua pula, di depan kuburan kedua jago tua itu ia berlutut dan menjura masing2 empat kali.
"Ayah angkat meski hebat, tapi apapun juga memang masih selisih setingkat dengan Ang-locian-pwe.
Di waktu Pak-kau-pang-hoatnya menyerang, ayah harus memeras otak berpikir sejenak baru bisa mematahkan tipu pukulannya, jika pertarungan itu dilangsungkan secara sungguh2, sudah tentu ia tak diberi kesempatan untuk memikir se-maunya!" demikian Nyo Ko membatin.
Sesudah menghela napas terharu, kemudian ia pun cari jalan buat turun ke bawah gunung, Turunnya ke bawah gunung sekarang ini dilakukan Nyo Ko dengan seenaknya saja, iapun tidak beda2kan timur atau barat, utara atau selatan, yang terpikir olehnya hanya bumi seluas ini melulu aku sendirilah yang sebatangkara, biar aku terlunta-lunta ke mana saja, kalau sudah tiba ajalnya, biarlah di mana aku rebah, di situlah aku mati.
Meski tinggal di atas Hoa-san tidak lebih setengah bulan, namun bagi Nyo Ko rasanya sudah lewat beberapa tahun, Pada waktu naik gunung ia merasa dirinya selalu dipandang hina orang dengan penuh rasa penyesalan, tetapi kini waktu turun gunung ia merasa segala keduniawian ini sama saja seperti awan yang terapung di udara, biarlah orang mau pandang berharga atau pandang hina, ada sangkut paut apa dengan aku" Begitulah dalam usianya semuda itu ternyata sudah timbul semacam rasa benci pada sesamanya dan anggap sepi mati-hidupnya sendiri.
Tidak seberapa hari, tibalah dia pada suatu hutan yang sepi di daerah Siamsay, mendadak terdengar olehnya di arah barat gemuruh dengan suara larinya binatang dengan debu mengepul tinggi.
Tidak antara lama, beberapa ratus kuda liar kelihatan berlari lewat di depannya dengan cepat.
Kuda2 liar senang hidup bebas tanpa kekangan apapun ini membikin Nyo Ko menjadi kagum dan tertarik.
Selagi ia ikut gembira oleh kelincahan kuda2 liar itu, tiba2 didengarnya di belakangnya ada suara meringkiknya kuda lain yang lemah.
Waktu Nyo Ko berpaling, ia lihat seekor kuda kurus menyeret sebuah kereta bermuatan kayu sedang mendatangi dengan pelahan melalui jalan raya, agaknya kuda kurus ini tertarik oleh sebangsanya yang hidup merdeka itu, sedang dirinya sendiri harus susah menderita hidupnya, maka telah meringkik sedih.
Kuda ini sudah kurus lagi tinggi, tulang2 iganya sampai kelihatan nyata ber-deret2, bulu badan pun tak rata penuh borok2, semua ini menjadikan rupanya jelek sekali Di atas kereta itu duduk seorang laki2 kasar, mungkin jalan kuda kurus itu dianggapnya terlalu lambat, maka tiada hentinya, ia ayun cambuknya memecut terus.
Selama hidup Nyo Ko sendiri sudah kenyang dihina dan dihajar orang, kini mendadak nampak penderitaan kuda ini, aneh, tanpa terasa timbul rasa simpatiknya, ia menjadi "solider" melihat kuda itu dipecut terus, saking terharunya sampai matanya merah basah.
"Hai, kau! Kenapa kau pecut kuda ini terus?" bentaknya gusar sambil menghadang di tengah jalan ketika kereta itu sudah dekat.
Melihat yang merintangi adalah pemuda dengan pakaian compang-camping dekil serupa orang minta2, lelaki kasar itu anggap sepi saja atas teguran itu.
"Lekas minggir, apa kau cari mampus?" batasnya membentak.
Lalu cambuknya diangkat, kuda kurus itu di-hujani pecutan lagi.
Keruan Nyo Ko tambah gusar.
"Jika kau pecut kuda ini lagi, segera kubunuh kau!" teriaknya sengit.
"Hahaha!" lelaki itu malah tertawa, berbareng pecutnya" lantas menyabet ke atas kepala Nyo Ko.
Tentu saja pecut yang tiada artinya ini tak mungkin bisa mengenai Nyo Ko, sekali pemuda ini ulur tangannya, segera cambuk orang direbut-nya, bahkan ia putar kembali pecut itu, dengan menerbitkan suara "tarrr", tiba2 leher lelaki tadi kena terlibat oleh pecutnya sendiri dan kena diseret ke tanah, menyusul Nyo Ko lantas menghujam orang dengan cambukan.
Kuda kurus itu meski jelek rupanya, tetapi seperti sangat cerdik, melihat lelaki itu dihajar Nyo Ko, binatang ini telah berjingkrak meringkik riang, bahkan ia gosok2 kepalanya pada Nyo Ko sebagai tanda terima kasihnya.
"Pergilah kau ke sana hidup di alam bebas!" kata Nyo Ko kemudian setelah putuskan tali penarik kereta sambil tepuk2 punggung binatang itu dan menuding ke arah debu yang beterbangan oleh karena lari gerombolan kuda liar tadi.
Tiba2 kuda kurus ini meringkik dan berdiri tegak, habis ini terus lari cepat ke depan, Tapi mungkin saking lama menderita lapar, sekarang mendadak lari keras hingga tenaga tak cukup, maka baru belasan meter berlari, tiba2 kaki belakangnya terasa lemas, lalu jatuh terbanting.
Nyo Ko merasa kasihan, ia mendekati binatang itu dan mengangkatnya berdiri.
Nampak si Nyo Ko begitu perkasa, lelaki tadi ketakutan setengah mati, begitu merangkak bangun, kereta dan kayunya tak dipikir lagi, segera ia lari ter-birit2 sambil ber-teriak2 minta tolong.
Nyo Ko merasa geli oleh kelakuan orang.
Lalu dicabutnya beberapa comot rumput segar dan memberi makan kuda kurus tadi.
"O, kuda yang harus dikasihani selanjutnya kau ikut padaku saja," demikian Nyo Ko berkata sambil meng-elus2 punggung binatang iru, Nyata karena penderitaan kuda itu, tanpa terasa timbul simpatiknya yang senasib.
Kemudian pelahan2 ia tuntun kuda itu menuju ke satu kota, ia beli sedikit bahan makanan kuda agar binatang ini bisa makan enak dan kenyang, Besok paginya kuda ini sudah kelihatan sehat kuat dan bersemangat habis ini baru Nyo Ko menungganginya dengan jalan pelahan2.
Kuda buduk ini tadinya tak bisa lari kalau tidak kesandung kakinya, tentu kepeleset jatuh, siapa tahu makin jauh berjalan makin baik, sampai 78 hari kemudian, sesudah diberi makan cukup hingga tenaga penuh, mulai kelihatanlab kepandaiannya berlari secepat terbang.
Tentu saja Nyo Ko sangat girang, ia menjadi tambah sayang dan memberi perawatan yang lebih baik.
Hari itu Nyo Ko berhenti pada suatu kedai arak untuk tangsal perut dan suruh pelayan menyediakan semangkok arak Tiba2 kudanya mendekati mejanya sambil meringkik dan memandangi mangkok araknya itu seperti ingin minum.
Nyo Ko menjadi ketarik, ia coba berikan araknya itu sambil mengelus leher binatang itu, Betul saja kuda itu telah pentang mulut lebar, tanpa sungkan2 sekejap saja semangkok arak itu telah dilahap kering, habis ini ekornya men-jengkit2 dan kakinya meng-ketok2, tampaknya binatang ini senang sekali.
Nyo Ko menjadi makin ketarik, ia suruh pelayan ambilkan arak lagi, beruntun kuda itu habiskan belasan mangkok arak dan masih belum mau sudah, rupanya pelayan kedai itu meragukan kemampuan Nyo Ko membayar uang arak itu, karena pakaiannya tompang-camping, maka waktu disuruh tambah arak lagi ia telah menolak.
Waktu perjalanan dilanjutkan mungkin karena pengaruh arak, tiba jadi itu berlari cepat seperti kranjingan setan, begitu cepat hingga pepohonan di tepi jalan berkelebat lewat seperti terbang saja, Malahan binatang ini seperti punya watak yang aneh, yakni tidak pedili apa saja, asal dilihatnya ada sesuatu binatang di depannya, pasti ia kan pentang kaki secepatnya mendahului ke depan.
Agaknya wataknya suka menang itu bukan mustahil disebabkan karena selama ini ia dipandang rendah dan cukup menderita segala hinaan, maka kini begitu dapat kesempatan ia justru ingin unjuk ketangkasannya yang tidak mau kalah dengan kuda yang lain.
Tabiat dogol demikian ini rupanya sangat cocok dengan watak Nyo Ko, maka satu orang dan satu kuda ini telah menjadi kawan yang sangat baik.
Tadinya Nyo Ko merasa sangat masgul dan kosong, tetapi setelah mendapatkan kawan kuda yang membikin hatinya riang, betapapun juga memang hati anak muda, tidak seberapa hari ia sudah kembali gembira seperti sediakala.
Tanpa terasa sudah jalan beberapa hari, akhirnya ia ambil jalan lama melalui Liong-kik-ce terus menuju ke Hing-ci-koan.
Sepanjang jalan bila Nyo Ko ingat waktu menggoda Liok Bu-siang dan permainan Li Bok-chiu, kadang2 ia tertawa geli sendiri di atas kudanya.
Suatu hari waktu lohor, sepanjang jalan selalu Nyo Ko ketemukan kawanan pengemis secara ber-kelompok2, melihat sikap mereka itu jelas banyak diantaranya adalah golongan jago silat yang tinggi Tiba2 Nyo Ko terkesiap, pikirnya: "Jangan2 percekcokan antara Liok Bu-siang dan kawanan pengemis ini masih belum selesai?" Atau boleh jadi Li Bok-chiu hendak tentukan mati-hidupnya dengan kawanan pengemis yang lagi himpun kekuatan ini" Ha, keramaian ini tidak boleh kulewatkan!" Teringat olehnya bahwa Ang Chit-kong adalah Pangcu kaum pengemis yang dulu, meski tidak ketarik oleh kawanan pengemis itu, namun teringat akan kesatriaan Ang Chit-kong yang pernah dia lihat, tanpa terasa timbul juga perasaan persaudaraannya dengan Kay-pang, ia pikir bila ada kesempatan seharusnya aku beritahukan mereka tentang wafatnya Ang Chit-kong di atas Hoa-san.
Setelah berjalan tak lama lagi, ia lihat kawanan pengemis itu makin lama makin banyak kalau diantara pengemis itu ada yang menggendong kantong kain, pengemis2 lain pada umumnya lantas sangat hormat padanya.
Sebaliknya melihat macamnya Nyo Ko, para pengemis itu rada heran, jika melihat dandanan Nyo Ko, memang tiada ubahnya seperti pengemis, tetapi diantara anggota Kay-pang itu se-kali2 tiada orang yang naik kuda.
Namun Nyo Ko tak peduli mereka, ia tetap melarikan kudanya dengan pelahan.
Tiba2 terdengar suara mencicitnya burung, dua ekor rajawali kelihatan menukik ke depan sana.
"Ah, Ui-pangcu sudah datang, malam ini besar kemungkinan akan ada rapat," terdengar satu pengemis di samping Nyo Ko berkata.
"Entah Kwe-tayhiap ikut datang tidak?" sela seorang pengemis lain.
"Tentu datang," ujar pengemis yang pertama tadi.
"Suami-isteri mereka adalah seperti timbangan dengan anak batunya, yang satu tidak bisa kehilangan yang lain.
" Selagi hendak meneruskan perkataannya, tiba-tiba dilihatnya Nyo Ko menahan kuda sedang mengawasi mereka, maka pengemis itu melotot sekejap pada Nyo Ko, lalu tutup mulut tak jadi menyambung.
Kiranya demi mendengar nama Kwe Cing dan Ui Yong, seketika hati Nyo Ko rada terperanjat, cuma wataknya sekarang sudah jauh berbeda dari dulu, maka diam2 ia tertawa dingin: "Hm, dahulu aku makan menganggur di rumahmu hingga kenyang dihina dan dipermainkan kalian, Tatkala itu aku masih kecil dan tak punya kepandaian, maka tidak sedikit pahit getir yang kurasakan.
Tetapi kini aku anggap jagat ini sebagai rumahku, tak perlu lagi aku mengandalkan kau?" Tiba2 terpikir lagi olehnya: "Ah, lebih baik aku pura2 jatuh sengsara dan pergi minta pertolongan mereka, ingin kulihat cara bagaimana mereka melayani aku.
" Lalu dicarinya tempat yang sepi, ia bikin rambutnya menjadi kusut semrawut, ia jotos mukanya sendiri sekali hingga ujung mata kirinya matang biru, ia cakar lagi mukanya sendiri hingga babak belur.
Memangnya pakaiannya sudah tak necis, kini ia sengaja dirobek pula, malahan ia mengguling beberapa kali di tanah hingga tambah kotor, dengan macamnya ini ditambah berjodoh dengan kuda buduk yang jelek, maka tampaknya menjadi benar2 seorang rudin yang sengsara dan tinggal mampus saja.
Selesai menyamar, dengan jalan pincang dan bikinan Nyo Ko kembali ke jalan besar, ia tidak tunggangi kudanya lagi melainkan jalan bersama kawanan pengemis, Kadang2 ada pengemis yang menegur padanya apakah ikut pergi ke rapat besar, Nyo Ko tak bisa menjawab, ia hanya melongo saja.
Tetapi ia tetap campurkan dirinya di antara kawanan pengemis itu dan meneruskan perjalanan bersama mereka.
Sampai hari sudah magrib, rombongan mereka tiba sampai di depan sebuah kelenteng besar yang bobrok, dua ekor rajawali tadi kelihatan menghinggap di atas satu pohon besar, sedang Bu-si Hengte sedang sibuk memberi makan pada mereka, yang satu membawa nampan dan yang lain lemparkan potongan daging yang berada di dalam nampan itu.
Tempo hari waktu kakak-beradik she Bu itu menempur Li Bok-chiu bersama Kwe Hu, pernah juga Nyo Ko menonton dari samping, cuma waktu itu hanya Kwe Hu seorang yang dia perhatikan maka terhadap kedua pemuda ini tak begitu di-urusnya.
Kini berhadapan lagi, Nyo Ko melihat gerak-gerik Bu Tun-si cukup tangkas dengan semangat penuh, sebaliknya Bu Siu-bun enteng dan gesit, lincah tak pernah diam.
Tun-si mengenakan baju satin berwarna wungu tua, sedang Siu-bun berbaju satin warna biru safir, pinggang mereka pakai ikat kain sutera bersulam, maka tampaknya menjadi gagah dan cakap.
Nyo Ko coba mendekati mereka.
"Ke. . . kedua Bu-heng, ter. . . terimalah hormatku, apa, apa.
. . . . . selama ini baik2 saja!" demikian ia menyapa dahulu dengan suara tak lancar.
Tatkala itu kelenteng rusak itu baik dalam maupun luar sudah penuh berjubel dengan kawanan pengemis yang semuanya berpakaian penuh tambal sulam, dengan dandanan Nyo Ko yang sudah disiapkan itu, maka tidaklah menyolok ia bercampur diantara orang banyak.
Dan karena sapaan Nyo Ko tadi, Tun-si balas menghormat dengan sopan, ia tak kenal siapakah orang yang menegur dirinya ini, maka dengan sinar mata yang tajam ia coba mengamat-amati orang.
"Siapakah saudara yang terhormat ini, maafkan aku tak ingat Iagi," demikian sahutnya kemudian.
"Ah, namaku rendah ini tiada harganya buat disebut, Siaute.
. . Siaute hanya mohon bertemu dengan Ui-pangcu," sahut Nyo Ko merendah.
Mendengar suara orang seperti sudah pernah dikenalnya dan selagi Tun-si hendak tanya lebih jauh, tiba2 didengarnya dari dalam kelenteng itu ada suara orang memanggil padanya.
"Toa-Bu-koko (engkoh Bu yang tua), ikal kucirmu tak diikat dengan baik, coba lihat, sudah kusut lagi," demikian kata suara nyaring itu.
Karena mendengar suara ini, lekas2 Bu Tun-si meninggalkan Nyo Ko terus memapak ke sana.
Waktu Nyo Ko berpaling, ia lihat seorang gadis jelita berbaju hijau muda dengan langkah lebat sedang keluar dari dalam kelenteng, Kedua alis gadis ini panjang lentik, hidungnya yang mancung sedikit menjengat, mukanya putih, pipinya merah bagai pauh dilayang, siapa lagi dia kalau bukan puterinya Kwe Cing, Kwe Hu adanya.
Dandanan Kwe Hu sebenarnya tak seberapa mewah, hanya serenceng kalung mutiara yang dipakai di lehernya itu yang mengeluarkan sinar mengkilap hingga wajah si gadis tertampak lebih molek.
Hanya sekejap saja Nyo Ko pandang si gadis, segera ia merasa dirinya terlalu kotor dan jelek, maka tak berani ia pandang terus.
Sementara itu Bu-si Hengte sudah lantas papak datangnya Kwe Hu, mereka menyanjung-nyanjung sebisanya, kalau tindak tanduk Bu Tun-si sedikit membawa sifat angkuh dan rada pegang derajat, sebaliknya Bu Siu-bun suka me-rendah2 menjilat asal dapat pujian si gadis.
Sesudah berjalan pergi beberapa langkah, tiba-tiba Tun-si ingat lagi pada diri Nyo Ko, ia menoleh dan menanya: "Apa kau datang menghadiri "Eng-hiong-yan" (perjamuan kaum kesatria)?" Sebenarnya Nyo Ko tak paham apa "Eng-hiong-yan" yang dikatakan orang itu, namun sekenanya ia mengiakan saja.
Karena itu, Tun-si memanggil seorang pengemis dan memesan padanya: "Sobat ini hendaklah dilayani baik2, besok ajak dia pergi ke Hing-ci-koan sekalian.
"Habis ini, ia asyik bicara sendiri dengan Kwe Hu dan tidak urus Nyo Ko Iagi.
Karena pesan itu, lekas pengemis itu datang menyapa Nyo Ko dan menanya nama orang, oleh Nyo Ko dijawab dengan terus terang, Di kalangan Bu-lim atau dunia persilatan, Nyo Ko adalah orang yang tak dikenal namanya, dengan sendirinya pengemis itupun tak pernah mendengar namanya, maka tak diperhatikannya anak muda ini.
Pengemis itu mengaku bernama Ong Capsah atau Ong nomor 13, karena urut2annya dalam keluarganya nomor 13, dan she Ong, maka dipanggil Ong Capsah.
Di Kay-pang ia tergolong anak murid berkantong dua.
Karena ilmu silat Ong Capsah tak tinggi, tingkatannya pun rendah, hanya pintar bicara dan bisa bekerja cepat, maka anak murid Kay-pang tingkatan tinggi menugaskan dia sebagai penyambut tamu.
"Darimanakah asalnya Nyo-toako?" demikian Ong Capsah tanya lagi.
"Baru saja datang dari barat-laut," sahut Nyo Ko.
"Eh, apa Nyo-toako anak murid Coan-cin-pay?" tanya Ong Capsah.
"Bukan," sahut Nyo Ko tanpa pikir sambil geleng kepala.
Ya, pemuda ini sudah terlalu -benci pada Coan-cin-kau, bila mendengar nama itu saja ia sudah kepala pusing, apalagi suruh mengaku sebagai anak murid nya.
"Dan apakah Nyo-toako membawa Eng-hiong-tiap (kartu undangan kesatria)?" tanya Ong Cap-sah pula.
Nyo Ko jadi tetcengang, ia tak mengerti apa "Eng-hiong-tiap" itu" "Siaute biasanya hanya luntang-Iantung merantau di Kangouw, mana bisa disebut sebagai Enghiong?" demikian sahutnya kemudian, "Cuma dahulu pernah bertemu muka sekali dengan Ui-pangcu kalian, maka kini sengaja datang menemui-nya lagi buat meminjam sedikit sangu untuk pulang kampung.
" Ong Capsah mengkerut kening mendengar keterangan itu.
"Ui-pangcu sedang sibuk menerima para kesatria dari segenap penjuru, mungkin tiada tempo buat menerima kau," sahutnya kemudian sesudah berpikir sejenak.
Kedatangan Nyo Ko sekali ini memang sengaja pura2 rudin, semakin orang memandang rendah padanya, semakin senang hatinya.
Oleh sebab itu ia justru sengaja mohon belas kasihannya Ong Capsah agar suka membantu.
Salah satu sikap yang dijunjung tinggi oleh orang2 Kay-pang yalah baik budi dan setia kawan, pula anggota Kay-pang itu semuanya berasal dari kaum tak punya, selamanya mereka suka bantu yang lemah dan menolong yang susah, se-kali2 tidak boleh pandang hina pada orang miskin.
Oleh sebab itulah, demi nampak Nyo Ko memohon dengan sangat, mau-tak-mau Ong Capsah menyanggupinya.
"Baiklah, Nyo-hengte, sekarang kau makan yang kenyang dahulu, besok pagi kita berangkat ke Hing-ci-koan bersama," katanya kemudian "Di sana nanti aku melapor pada Pangcu dan terserah bagaimana keputusan beliau, baik tidak kalau begini ?" Tadinya Ong Capsah menyebut Nyo Ko sebagai "Toako" atau saudara tua, tetapi kini mendengar pemuda ini bukan orang yang diundang menghadiri Eng-hiong-yan, pula umur dirinya lebih tua, maka ia ganti memanggil orang sebagai Nyo-heng-te atau adik Nyo.
Di lain pihak karena orang sudah mau membantu, ber-ulang2 Nyo Ko menghaturkan terima kasinnya.
Kemudian Ong Capsah mengajak Nyo Ko masuk ke dalam kelenteng dan membawakan daharan seperlunya.
Menurut peraturan Kay-pang, sekalipun waktu pesta pora, cara makan para anggotanya tetap harus bikin kocar-kacir segala macam daharan, baik ayam- daging, ikan dan iain2 dan baru dimakan kalau sudah berwujud seperti barang restan orang.
Cara ini adalah tanda bahwa "kacang tak pernah lupa pada lanjarannya", artinya tidak boleh lupa pada sumbernya, yakni sekali pengemis tetap penge-mis, baik hidupnya dan cara makannya, Tetapi terhadap tetamu, daharan yang mereka suguhkan adalah biasa dan lengkap.
Begitulah, selagi Nyo Ko makan seorang diri, tiba2 matanya terbeliak, ia lihat Kwe Hu masuk lagi dari luar dengan muka ber-seri2, waktu gadis itu melihat Nyo Ko sedang makan nasi di tepi patung Budha, tanpa melirik lagi ia ajak bicara Bu Siu-bun dan Bu Tun-si.
"Baiklah, kita berjalan malam dan berangkat ke Hing-ci-koan," demikian terdengar Siu-bun berkata.
"Aku pergi mengeluarkan kuda merahmu.
" Ketiga orang itu sembari bicara sambil bertindak ke belakang, Tidak antara lama, sesudah bawa bekal dan senjata, mereka keluar lagi kelenteng itu, lalu terdengar suara derapan kuda yang riuh, nyata ketiga orang itu sudah berangkat.
Dengan ter-mangu2 Nyo Ko mengikuti derapan kuda yang sayup2 mulai menjauh, tetapi sepasang sumpitnya masih tertancap di dalam mangkok sayur, ia tidak tahu perasaannya waktu itu apa suka atau duka, apa sedih atau gusar" Besok paginya Ong Capsah datang membawanya pergi ke Hing-ci-koan, sepanjang jalan kecuali orang2 dari Kay-pang sendiri, tidak sedikit pula tokoh2 Bu-lim yang mereka ketemukan baik laki2 maupun perempuan, tua atau muda, ada yang berperawakan gagah tegap, ada yang kurus kecil tetapi setiap orang jalannya cepat dan kuat, agaknya semuanya diundang untuk menghadiri apa yang disebut Eng-hiong-yan atau perjamuan kesatria itu.
Nyo Ko sendiri tidak tahu apa itu Eng-hiong-yan dan Eng-hiong-tiap, ia menduga meski ditanya tidak nanti Ong Capsah mau terangkan, maka ia pun tidak merecoki urusan itu, sepanjang jalan ia hanya pura2 bodoh dan berlagak dungu saja.
Petangnya Nyo Ko dan Ong Capsah sudah sampai di Hing-ci-koan.
Kota Hing-ci-koan ini meski tempat yang penting dalam arti kemiliteran, namun kotanya sendiri ternyata tak begitu ramai.
Ong Capsah membawa Nyo Ko melalui kota itu dan berjalan lagi 7-8 li, akhirnya sampai di suatu perkampungan besar dengan gedung2 ber-deret2 dilingkungi oleh beberapa ratus pohon wa-ringin yang rindang, Ke dalam kampung inilah para kesatria itu masuk.
Perkampungan itu begitu besar dengan gedung gedungnya yang sambung menyambung dan ber-jajar2, tampaknya kalau hanya tetamu beberapa ribu saja masih cukup luang.
Ong Capsah sangat rendah kedudukannya dalam Kay-pang, ia tahu waktu itu Pangcu mereka terlalu sibuk, sudah tentu tak berani ia laporkan permintaan Nyo Ko yang hendak "pinjam sangu" segala, Maka setelah atur tempat tidurnya Nyo Ko dan sediakan makan, kemudian ia sendiripun pergilah mencari kawannya yang lain.
Sesudah makan, Nyo Ko lihat gedung yang begini megahnya dengan centeng yang tidak terhitung banyaknya hilir mudik melayani tetamu, diami ia merasa heran siapakah tuan rumahnya, kenapa begini besar pengaruhnya " Dalam pada itu dapat didengarnya disampingnya ada orang sedang berkata: "Suami isteri cengcu sendiri sedang menyambut tetamu, marilah kita juga pergi melihat gerangan siapa kesatria yang datang ini?" Sementara itu di luar sana terdengar suara tambur berdentum, lalu musik pun berbunyi para centeng berbaris di kedua samping, ucacara pembukaan ternyata sangat meriah dan khidmat.
Tertampak dari belakang pintu muncul satu laki2 dan satu perempuan yang semuanya berusia antara 40 tahun, yang lelaki tinggi kekar pakai jubah sulam, bibirnya sedikit berkumis, kereng berwibawa.
Sedang yang perempuan berkulit putih bersih seperti wanita bangsawan.
"lni adalah Liok-cengcu dan itu Liok-hujin," demikian Nyo Ko dengar pembicaan di antara tetamu yang hadir.
Di belakang kedua orang ini kembali adalah sepasang suami isteri, seketika hati Nyo Ko terkesiap demi nampak suami isteri yang belakang ini hingga mukanya serasa panas, Mereka bukan lain ialah Kwe Cing dan Ui Yong adanya.
Selama beberapa tahun tak berjumpa, tampaknya Kwe Cing terlebih sabar lagi sedang Ui Yong bermuka terang dan ter-senyum2, tampaknya bertambah montok daripada dahulu waktu di Tho-hoa-to.
Pakaian yang digunakan Kwe Cing terbuat dari kain kasar, sebaliknya Ui Yong memakai kain sutera merah jambon, tetapi sebagai Pangcu dari Kay-pang, menurut tradisi kaum pengemis, terpaksa ia berikan beberapa tambalan pada bajunya di tempat yang tak terlalu menyolok.
Di belakang Kwe Cing dan Ui Yong ikut Kwe Hu dan Bu-si Hengte, tatkala itu ruangan besar itu terang benderang dengan api lilin, di bawah cahaya api lilin, gadis itu tertampak lebih cantik molek dan pemudanya bertambah gagah ganteng.
"lni adalah Kwe-tayhiap dan itu Ui-pangcu!" "Dan nona yang cantik itu siapa lagi?" "lalah puteri Kwe-tayhiap dan Ui-pangcu!" "Hei dan kedua pemuda itu apa puteranya?" "Bukan, tapi muridnya!" Begitulah percakapan di antara para tetamu sambil tunjuk sini dan tuding sama.
Nyo Ko tak ingin berjumpa dengan Kwe Cing suami isteri di depan orang banyak, maka ia sengaja sembunyi di belakang seorang lelaki tinggi besar untuk mengintip.
Dalam pada itu, di bawah iringan suara musik, dari luar telah masuk empat orang Tojin atau imam.
Nampak Imam ini, seketika timbul semacam rasa aneh dalam hati Nyo Ko.
Kiranya yang paling depan itu adalah seorang imam yang sudah ubanan rambut alisnya mukanya berwarna merah hangus, ia bukan lain dari pada Kong-ling-cu Hek Tay-thong, satu diantara Coan-cin-chit-cu, sedang di belakangnya adalah imam wanita tua ubanan juga, imam wanita ini belum pernah dikenal Nyo Ko.
Dan di belakang mereka ini ikut pula dua imam setengah umur dengan jalan berjajar, mereka adalah Thio Ci-keng dan In Ci-peng.
Dengan cepat Liok-ceng-cu suami isteri sambut imam wanita itu sambil menjura dan memanggilnya sebagai Suhu, menyusul serta Kwe Cing suami isteri, Kwe Hu dan Bu-si Hengte juga maju memberi hormat.
Telinga Nyo Ko cukup tajam, maka percakapan antara para tetamu itu dapat pula diikutinya dengan terang.
"lmam wanita tua ini adalah pendekar wanita Coan-cin-kau, ia she Sun bernama Put-ji," demikian terdengar kata seorang tua.
"Aha, kiranya dialah Jin-ceng Sanjin yang namanya tersohor di daerah utara dan selatan sungai!" ujar tamu yang lain.
"Ja, dia adalah Suhu Liok-hujin, sedang ilmu silat Liok-ceng-cu sendiri bukan belajar dari dia," kata si orang tua tadi.
Kiranya Liok-cengcu ini bernama Khoan-eng, ayahnya bernama Liok Seng-hong adalah murid Ui Yok-su, ayah Ui Yong, maka kalau diurut, Liok-cengcu masih lebih rendah setingkat dari pada Kwe Cing dan Ui Yong.
Sedang Liok-hujin, isteri Liok Khoan-eng, Thia Yao-keh, adalah muridnya Sun Put-ji.
Dahulu Thia Yao-keh pernah mendapat pertolongan Kwe Cing, Ui Yong dan orang2 Kay-pang sewaktu ia mengalami marabahaya, oleh sebab itu ia merasa utang budi terhadap orang2 Kay-pang, Kini Kay-pang menyebarkan undangan pada kestria2 di seluruh jagat dan mengadakan perjamuan besar menjelang rapat raksasa dari Kay-pang me-reka, maka Liok Khoan-eng suami isteri telah pikul semua biaya itu dan mengadakan perjamuan itu di tempat kediamannya, sekalipun perjamuan ini mungkin akan makan separuh dari kekayaan mereka, namun Liok Khoan-eng adalah seorang gagah yang terbuka tangannya, dengan sendirinya hal demikian ini tak dipikir olehnya.
Begitulah, maka sesudah menjalankan penghormatan, lalu Kwe Cing ikut Hek Tay-thong dan Sun Put-ji ke ruangan pendopo untuk diperkenalkan kepada para kesatria yang hadir.
"Khu, Ong dan Lauw para Suheng sudah menerima kartu undangan Ui-pangcu, mereka bilang seharusnya memenuhi undangan, cuma paling belakang ini badan Lauw-suheng kurang sehat dan Ma-suheng harus bantu dia menjalankan tenaga penyembuhan maka perjalanan ini terpaksa tak bisa dilakukan, diharap Ui-pangcu suka memaafkan," demikian terdengar Hek Tay-thong berkata dengan mengelus jenggotnya.
"Ah, para cianpwe itu terlalu merendah diri saja," sahut Ui Yong.
Harus diketahui meski usia Ui Yong masih muda, tetapi dia adalah pemimpin dari suatu organisasi besar Kay-pang, dengan sendirinya Hek Tay-thong dan lain2 sangat menghormat padanya.
Kwe Cing sendiri sudah sejak mudanya kenal dengan In Ci-peng, kini bisa berjumpa pula, sudah tentu mereka sangat girang dan mengobrol dengan asyiknya.
Lekas2 Liok-cengcu memerintahkan perjamuan dimulai segera para tetamu mengambil tempat duduk masing2, maka suasana ruangan pendopo itu menjadi ramai luar biasa.
Dalam pada itu In Ci-peng sendiri lagi longak-longok kian kemari seperti sedang mencari seseorang diantara orang banyak itu.
"ln-sute, entah orang she Liong itu ikut hadir atau tldak?" tiba2 Ci-keng berkata lirih sambil tersenyum dingin.
Berubah hebat air muka Ci-peng karena sindiran itu, namun ia tak menjawab.
"Kesatria she Liong yang manakah " Apakah sahabat kalian berdua?" tanya Kwe Cing, nyata tak diketahuinya bahwa orang yang mereka bicarakan ialah Siao-iiong-li.
"Sahabat In-sute, aku sendiri mana berani bergaul dengan dia," sahut Ci-keng.
Melihat sikap kedua imam ini rada aneh, Kwe Cing tahu di dalamnya tentu tersangkut urusan2 lain, maka iapun tidak menanya lebih jauh.
Mendadak, di antara orang banyak itu Ci-peng dapat melihat Nyo Ko, seketika tubuhnya bergetar seperti kena disamber petir, Kiranya disangkanya jika Nyo Ko berada di situ, dengan sendirinya Siao-Jiong-li juga datang.
Ketika Kwe Cing dan Ci-keng memandang ke arah yang menarik perhatian Ci-peng itu hingga kesamplok pandang dengan Nyo Ko, seketika merekapun tercengang.
Dalam kejutnya Kwe Cing merasa girang pula, maka ia lantas mendekati anak muda itu sambil menarik tangannya.
"He, Ko-ji, kiranya kau juga datang?" demikian ia menyapa.
"Tadinya aku kuatir kau terlantarkan pelajaranmu maka tak berani mengundang kau, kini gurumu sudah membawa kau ke sini, inilah baik sekali," Kiranya jaman dulu karena tak lancarnya lalu lintas, maka urusan tentang Nyo Ko berontak keluar dari Coan-cin-pay, Kwe Cing yang tinggal jauh di Thohoa-to sedikitpun tak mendapat kabar.
Kehadiran Ci-keng ke Eng-hiong-yan sekali ini sebenarnya justru akan merundingkan urusan itu dengan Kwe Cing, siapa duga di sinilah malah kepergok dengan Nyo Ko, Semula ia kuatir Kwe Cing percaya pada ocehan Nyo Ko secara sepihak, demi mendengar apa yang dikatakan Kwe Cing tadi ia pun tahulah bahwa merekapun baru pertama kali bertemu sekarang ini, maka dengan muka merah adam Ci-keng menengadah sambil berkata: "Ada kepandaian apa dan kebajikan apa pada diriku.
mana berani aku menjadi guru Nyo-ya?" Kaget sekali Kwe Cing oleh kata2 ini "Apa" Kenapa Thio-suheng berkata demikian " Apakah anak kecil tidak mau menutul ajaranmu?" tanyanya cepat.
Melihat ruangan pendopo ini penuh dengan tetamu, kalau sampai urusaa itu diceritakan hingga terjadi perdebatan dengan Nyo Ko, rasanya hal ini bisa menghilangkan pamor Coan-cin-kau, maka Ci-keng tak mau menjawab melainkan tertawa dingin saja.
Di lais pihak, waktu Kwe Cing periksa keadaan Nyo Ko, ia lihat matanya bengkak dan mukanya babak belur, pakaiannya compang-camping dan kotor, terang sekali bocah ini kenyang merasakan penderitaan yang tidak ringan, Kwe Cing sangat pedih, sekali tarik ia rangkul kencang Nyo Ko ke dalam pelukannya.
Waktu ditarik, segera Nyo Ko kumpulkan seluruh tenaga dalamnya untuk melindungi tempati berbahaya di tubuhnya.
Siapa tahu Kwe Cing benar2 sayang dan kasihan padanya dan tiada maksud hendak mencelakainya, malahan paman angkat ini telah berseru pada Ui Yong : "Yong-ji, lihatlah siapa ini yang datang?" Ui Yong tercengang juga demi nampak Nyo Ko, berlainan dengan Kwe Cing yang kegirangan bisa berjumpa dengan Nyo Ko, sebaliknya ia sambut orang dengan adem saja.
"Bagus, kiranya kaupun datang.
" demikian sahutnya tawar Dalam pada itu dengan pelahan Nyo Ko melepaskan diri dari pelukan Kwe Cing.
"Tubuhku kotor, jangan sampai membikin kumal pakaianmu," demikian katanya pada sang paman, Kata2 ini diucapkan dengan dingin, bahkan bernada menyindir.
Namun hal itu tak terpikir oleh Kwe Cing, ia hanya merasa terharu, waktu itu juga teringat olehnya : Anak ini sebatangkara dan yatim piatu, tentu sudah kenyang merasakan pahit getir.
" Karena itu, ia tarik tangan Nyo Ko dan mengajak agar pemuda ini duduk semeja dengan dirinya.
Nyo Ko duduk di suatu tempat yang terpencil maka iapun menolak "Biarlah aku duduk di sini saja, silakan Kwe-pepek pergi menemani tetamu," sahutnya dingin.
Kwe Cing merasa tak enak harus meninggalkan tetamu yang begitu banyak, maka ia tepuk pelahan pundak si Nyo Ko, lalu pergilah dia ke tempat duduknya semula.
Setelah tiga keliling para tamu mengeringkan isi cawan, sebagai ketua lalu Ui Yong mulai angkat bicara: "Besok adalah hari diadakannya Eng-hiong-yan, kini masih ada beberapa kawan dari berbagai penjuru yang belum datang, mungkin besok siang baru bisa tiba, Maka kini silakan para hadirin makan minum sepuasnya, besok baru kita bicarakan urusan pokok.
" Selesai pidato ini, seketika para tamu itu bersorak sorai kemudian perjamuan lantas dimulai.
Setelah bubar perjamuan, para tamu itu dengan sendirinya ada penyambutnya sendiri2 yang mengantarkan pergi mengaso.
Maka kelihatanlah Ci-keng bisik2 pada Hek Tay-thong dan imam tua ini balas meng-angguk2, lalu Ci-keng berdiri dan membungkuk memberi hormat pada Kwe Cing.
"Kwe-tayhiap, Pinto merasa mengecewakan tugas berat yang pernah dipikirkan padaku itu, sungguh hal ini sangat memalukan, maka hari ini sengaja datang buat terima hukuman atas dosaku," demikian kata Ci-keng.
"Ah, Thio-suheng terlalu merendah diri saja," sahut Kwe Cing segera sambil balas hormat.
"Marilah kita bicara ke kamar baca saja, apabila anak kecil ada yang bikin marah Thio-suheng, pasti Siaute akan beri hukuman yang setimpal padanyak agar amarah Thio-suheng bisa padam.
" Beberapa kata Kwe Cing ini diucapkan dengan suara lantang, karena jaraknya Nyo Ko tidak begitu jauh, maka semuanya dapat didengarnya dengan cukup terang, Diam2 dalam hati pemuda ini pun sudah ambil suatu keputusan: "Jika dia mendamperat sepatah kata saja padaku, segera aku berbangkit dan angkat kaki dari sini dan untuk selanjutnya tak mau bertemu muka lagi dengan dia.
Bila dia pukul aku, meski ilmu silatku bukan tandingannya, pasti aku akan adu jiwa juga dengan dia".
Karena sudah ambil keputusan demikian, maka Nyo Ko menjadi lebih tenang, tidak lagi ketakutan seperti waktu bertemu dengan Thio Ci-keng untuk pertama kalinya dahulu, Dan demi nampak Kwe Cing menggapai padanya, maka iapun ikut di belakang mereka.
Tatkala itu Kwe Hu bersama Bu-si Hengte juga sedang makan di suatu meja makan, semula gadis ini tak kenal lagipada Nyo Ko belakangan sesudah ayah-bundanya mengenali pemuda itu, barulah Kwe Hu ingat pemuda itu bukan lain daripada kawan memainnya, waktu kecil di Tho-hoa-to dahulu.
Dasar anak muda yang cepat berubah wajahnya, apalagi sudah sekian tahun berpisah, pula Nyo Ko sengaja menyamar dengan rupa yang sengsara dan bercampur di antara orang banyak, tentu saja Kwe Hu tak mengenalinya.
Kini nampak Nyo Ko telah kembali tanpa terasa hatinya terguncang, terkenang olehnya kejadian dahulu di Tho-hoa-to di mana karena urusan jangkrik telah terjadi perkelahian, entah kejadian ini apa masih membuat dendam pemuda itu atau tidak?" Tetapi bila dilihatnya keadaan Nyo Ko yang begitu rudin, lesu dan kotor, jauh berlainan dengan wajah Bu-si Heng-te yang ganteng dan bersemangat, diam2 timbul juga perasaan kasihannya pada pemuda itu.
"Ayah telah kirim dia belajar silat pada Coan-cin-pay, entah bagaimana dengan hasil pelajarannya dibanding kita?" demikian ia bisiki Bu Tun-si "llmu silat Suhu tiada tandingannya di kolong langit ini, pula kepandaian Subo (ibu guru) diperoleh dari ajaran Engkong-luarmu, mana bisa dia dibandingkan dengan kita?" tiba2 Bu Siu-bun menyambung pertanyaan si nona sebelum sang kakak menjawab.
"Ya, dasarnya memang juga tidak terpupuk baik, agaknya sukar juga ia hendak mendapat kemajuan," Kwe Hu angguk2.
"Tetapi kenapa keadaannya menjadi begitu mengenaskan.
" "Para imam itu melotot terus padanya seperti hendak menelannya mentah2, dasar anak she Nyo ini tabiatnya buruk, tentu dia telah melakukan sesuatu onar lagi di sana," demikian kata Siu-bun.
Begitulah ketiga orang ini berbicara sendiri, waktu mendengar Kwe Cing mengundang Hek Tay-thong dan lain2 ke kamar baca buat bicara dan bilang Nyo Ko akan diberi hukuman setimpal pula, Kwe Hu menjadi heran dan ketarik.
"Ayo, lekas kita mendahului sembunyi dulu di kamar baca itu untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan," segera gadis ini mengajak.
Tetapi Bu Tun-si takut konangan sang Suhu dan didamperat, maka ia tak berani, sebaliknya Bu Siu-bun lantas berteriak akur, malahan ia mendahului bertindak pergi.
"Kau memang selalu tak turut perkataanku," Kwe Hu mengomeli Tun-si.
Nampak si nona rada marah, tapi malah menambah kecantikannya yang menggiurkan seketika hati Tun-si memukul keras, ia tak berani membantah lagi terpaksa ikut di belakang Kwe-hu.
Dan baru saja ketiga orang itu sembunyi di belakang rak buku, sementara itu Kwe Cing dan Ui Yong sudah datang dengan membawa Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Thio Ci-keng dan In Ci-peng berempat, lalu ambil tempat duduknya sendiri2.
"Ko-ji, kaupun duduk sana!" kata Kwe Cing sesudah Nyo Ko ikut masuk "Tidak, aku tak usah," sahut Nyo Ko.
sekalipun nyalinva besar, tapi menghadapi enam tokoh dunia persilatan ini, tidak urung hatinya ber-debar2 tak tenteram.
"Anak kecil kenapa kurangajar, berani kau bandel terhadap Suhu," demikian Kwe Cing lantas damperat sambil tarik muka, "Tidak lekas kau berlutut menjura minta maaf pada Susiokco (kakek guru), Suhu dan Susiok!" Kwe Cing berhati jujur, ia pandang Nyo Ko seperti anaknya sendiri, pula terhadap Coan-cin-chit-cu biasanya ia sangat menaruh hormat, maka tanpa bertanya ia pikir tentu anak muda yang telah berbuat salah.
Sebenarnya kalau menurut adat istiadat jaman kuno itu, ikatan peraturan antara ayah dan anak atau guru dan murid luar biasa kerasnya, jangankan membantah, sekalipun ayah atau guru menghendaki kematian anak atau murid juga tidak boleh membangkang.
Kini Kwe Cing hanya mendamperat Nyo Ko secara begitu, sesungguhnya boleh dikatakan luar biasa ramahnya, kalau orang lain, tentu sudah menggunakan kata2 "binatang, anak haram" dan macam2 lagi atau dibarengi dengan gebukan dan pukulan.
Siapa duga, mendadak Ci-keng berdiri.
"Pinto mana berani menjadi guru Nyo-ya" Kwe-tayhiap, hendakkh jangan kau sengaja menyindir," demikian katanya ketawa dingin.
"Coan-cin-kau kami selama ini tidak pernah bersalah terhadap Kwe-tayhiap, kenapa engkau ejek kami di hadapan orang banyak" Nyo-toaya, biarlah imam tua ini menjura padamu dan minta maaf, anggaplah aku yang picik dan tak kenal kaum Enghiong dan orang gagah.
. . . " Melihat wajah imam ini berubah begitu rupa, kata2nya juga semakin kasar menandakan betapa gusarnya, Kwe Cing dan Ui Yong menjadi heran sekali.
Mereka pikir kalau murid berbuat sesuatu kesalahan, sang guru mau damperat atau menghajar padanya juga lumrah, tapi kenapa harus berlaku secara begini kasar?" Ui Yong adalah seorang pintar luar biasa, ia tahu pasti Nyo Ko berbuat sesuatu kesalahan yang luar biasa besarnya, Kini nampak Kwe Cing menjadi bungkam karena serentetan kata2 Ci-keng tadi, mau-tidak-mau ia mewakilkan sang suami membuka suara.
"Thio-suheng hendaklah jangan marah dahulu, cara bagaimanakah bocah ini berbuat salah terhadap sang guru, silakan duduk dan terangkan yang jelas," demikian katanya dengan tenang.
"Aku Thio Ci-keng hanya punya sedikit kepandaian mana aku berani menjadi guru orang" Bukankah akan ditertawai semua orang gagah seluruh jagad hingga copot giginya?" teriak Ci-keng tiba-tiba.
Ui Yong mengkerut kening melihat kekasaran orang, ia menjadi rada kurang senang.
Hek Tay-kong dan Sun Put-ji mengetahui duduknya perkara, mereka merasa pantas kalau Ci-keng marah2, tetapi kalau ribut2 secara kasar, sesungguhnya juga bukan corak asli kaum imam yang beribadat.
"Ci-keng. " kata Sun Put-ji kemudian, "kau harus terangkan secara baik di hadapan Kwe-tay-hiap dan Ui-pangcu, caramu marah2 dan ribut2 ini, apa macam jadinya ini" Apakah itu menjadi kebiasaan orang berigama seperti kita ini?" Meski Sun Put-ji adalah wanita, tetapi karena wataknya yang keras, maka angkatan muda sangat segan padanya, maka Ci-keng jadi mengkeret, ia tak berani muring2 lagi sesudah mengia beberapa kali, lalu ia kembali duduk ke tempatnya tadi.
"Lihatlah Ko-ji, begitu hormat gurumu terhadap orang tua, kenapa kau tidak belajar contoh ini?" kata Kwe Cing.
Kontan sebenarnya Ci-keng hendak menyelak lagi bahwa dirinya bukan guru orang, tetapi demi dipandangnya Sun Put-ji, kata2 yang hendak diucapkan ia telan kembali.
Tak tetduga, mendadak Nyo Ko berteriak "Dia bukan guruku!" Karena teriakan ini, bukan saja Kwe Cing dan Ui Yong kaget, bahkan Kwe Hu dan Bu-si Hengte yang sembunyi di belakang rak buku juga terkejut.
Maklumlah, pada jaman itu, di kalangan Bu-lim terutama, soal guru dan murid diatur dengan tata adat yang sangat keras, seorang guru dapat dipersamakan dengan seorang ayah yang harus di-turut dan dihormati, Siapa tahu kini bukan saja Nyo Ko tak mau mengaku guru, bahkan berani berteriak terang2an pula.
Keruan Kwe Cing sangat gusar, mendadak ia berdiri sambil tuding Nyo Ko dan mendamperat: "Apa.
. . apa yang. . . yang kau katakan?" Dasar Kwe Cing memang tak pandai bicara, juga tak biasa mendamperat orang, maka mukanya menjadi merah padam, amarahnya boleh dikatakan memuncak, jarang sekali Ui Yong melihat suaminya begitu gusar, maka dengan suara halus ia coba menghiburnya: "Cing-koko, anak ini memang buruk jiwa-nya, perlu apa harus marah2 karenanya ?" Mula2 tadi sebenarnya Nyo Ko rada takut, tetapi kini seorang Kwe-pepek yang sebenarnya sangat sayang padanya juga marah2 mendamperat padanya, tiba2 pemuda ini menjadi nekat, pikirnya: "Paling2 mati apa yang perlu kutakuti paling banyak juga boleh kau bunuh aku saja.
" Karena pikiran itu, dengan suara lantang segera ia menjawab "Ya, memang jiwaku buruk, namun tidak pernah aku minta belajar ilmu silat padamu, Kalian semua ini adalah tokoh2 Bu-lim yang terkenal, kenapa karus gunakan tipu muslihat untuk menjebak seorang bocah yatim piatu?" Waktu ia berkata sampai "yatim piatu", saking sedih akan nasib sendiri seketika mata Nyo Ko rada merah basah, tetapi segera ia gigit bibir se-kencang2nya, ia pikir sekalipun hari ini harus mati tidak boleh aku alirkan setengah tetes air matapun.
Di lain pihak Kwe Cing menjadi tambah marah.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa kau bilang?" demikian damperatnya pula.
"lsteriku dan gurumu dengan sungguh2 ajarkan ilmu silat padamu, semuanya ini karena mengingat pada persahabatanku dengan mendiang ayahmu, siapa lagi yang bertipu muslihat " Dan.
. . dan siapa yang menjebak kau?" Memangnya Kwe Cing tak pandai bicara, dalam keadaan marah, ia menjadi lebih gelagapan.
Melihat orang tambah marah, sebaliknya Nyo Ko tambah tenang dan pelahan bicaranya.
"Ya, engkau Kwe-pepek sudah tentu baik terhadapku, hal ini selamanya pasti takkan kulupakan!" "Dan Kwe-pekbo dengan sendirinya tidak baik terhadapmu jika kau mau dendam untuk selamanya, hal inipun terserah padamu," sela Ui Yong tiba2 dengan sekata demi sekata.
Dalam keadaan demikian, Nyo Ko tambah tak gentar lagi, sekali lagi ia berbicara terlebih berani.
"Kwe-pekbo tidak baik terhadapku, tetapi juga tidak jelek terhadapku", demikian katanya Iagi.
"Tetapi kau bilang ajarkan ilmu silat padaku, sebenarnya hanya ajarkan aku membaca, sedang ilmu silat sedikitpun tidak diturunkan.
Namun demikian, membaca juga baik, sedikitnya siautit (keponakan) bertambah kenal beberapa huruf.
Tetapi, tetapi beberapa imam tua ini.
. . " sampai disini mendadak ia tuding Hek Tay-thong dan Thio Ci-keng, lalu dengan gemas ia sambung: "pada suatu hari, pasti aku akan menuntut balas utang berdarah dan dendam sedalam lautan itu.
" "Apa. . . apa kau bilang?" tanya Kwe Cing cepat dan terkejut "lmam she Thio ini katanya adalah guruku, tetapi sedikitpun tidak menurunkan ilmu silat padaku, hal inipun tak menjadi soal, tetapi ia malah suruh imam2 cilik menghajar diriku," tutur Nyo Ko.
"Kwe-pekbo tidak mengajarkan kepandaian padaku, Coan-cin-pay tidak mengajarkan ilmu silat pula padaku, dengan sendirinya tidak bisa lain aku kecuali dihajar sekenyang mereka, Ada lagi, imam she Hek ini, ia lihat seorang nenek2 tua merasa sayang dan kasihan padaku, orangtua itu malah dia pukul hingga mati, Hai, imam busuk she Hek, katakanlah sekarang, semuanya ini benar atau tidak?" Bila Nyo Ko ingat matinya Sun-popoh tidak lain disebabkan karena membela dirinya, sungguh ia menjadi gemas dan mengertak gigi, ingin sekali ia menubruk maju mengadu Jiwa dengan Hek Tay-thong.
Kong-ling-cu Hek Tay-thong tergolong imam beribadat diantara imam2 Coan-cin-kau, baik agamanya maupun ilmu silatnya sudah dilatihnya sampai tingkat yang sangat tinggi, soalnya hanya karena salah tangan hingga Sun-popoh tewas, hal ini selama beberapa tahun selalu membikin dia merasa tak tenteram dan dianggapnya sebagai suatu perbuatan yang sangat disesalkan selama hidupnya.
Kini mendadak Nyo Ko meng-ungkat2 kejadian itu, keruan seketika mukanya menjadi pucat bagai mayat, peristiwa ngeri dahulu, di mana Sun-popoh muntah darah kena pukulannya itu se-akan2 terbayang di depan matanya.
Karena ia tak membawa senjata, maka tiba2 ia lolos pedang yang tergantung di pinggang Ci-keng.
Semua orang menyangka pedang itu tentu akan ditusukkan pada Nyo Ko, maka dengan cepat Kwe Cing sudah melangkah maju hendak melindungi bocah itu.
Siapa duga mendadak Hek Tay-thong membaliki pedangnya, ia sodorkan garan pedang pada Nyo Ko sambil berkata: "Ya, memang betul, aku telah salah membunuh orang, bolehlah kau balaskan dendam Sun-popoh dengan pedang ini, pasti aku tidak akan menangkisnya.
" Nampak kelakuan Hek Tay-thong ini, semua orang luar biasa terperanjatnya.
Karena kuatir betul2 Nyo Ko menerima pedang itu dan melukai orang, lekas2 Kwe Cing berseru : "Ko-ji, jangan kurangajar.
" Tetapi betapa cerdiknya Nyo Ko, ia tahu di hadapan Kwe Cing dan Ui Yong, soal membalas dendam ini tak nanti terlaksana, maka dengan dingin ia lantas menjawab : "Hm, sudah terang kau tahu Kwe-pepek pasti tak perkenankan aku turut tangan, kau sengaja berlagak gagah sekarang?" Hek Tay-thong adalah Bu-lim-cianpwe atau angkatan tua dari kalangan persilatan, kini kena didebat oleh kata2 yang begitu menusuk ia menjadi bungkam tak bisa menjawab, pedang yang dia sodorkan menjadi serba salah, diangsurkan terus orang tak terima, ditarik kembali rasanya malu.
Mendadak ia salurkan tenaga dalamnya, maka terdengarlah suara "peletak" yang keras, tahu2 pedang itu patah menjadi dua.
"Sudahlah, sudahlah!" katanya sambil menghela napas, iapun lempar pedang patah itu ke tanah, habis ini dengan langkah lebar ia bertindak pergi.
Kwe Cing masih bermaksud menahannya, namun orang sudah pergi tanpa menoleh lagi.
Tentu saja Kwe Cing mulai ragu2, ia pandang Nyo Ko lalu pandang lagi pada Sun Put-ji bertiga, pikir agaknya apa yang dikatakan Nyo Ko bukannya bikinan belaka.
"Kenapa para guru dari Coan-cin-kau tak mengajarkan kepandaian padamu " Lalu selama beberapa tahun ini apa yang kau kerjakan?" ia tanya setelah lewat sejenak, lagu suaranya sekarang sudah berubah lunak.
"Waktu Kwe-pepek membawa aku ke Cong-lam-san, beberapa ratus Tosu di sana telah kau pukul pontang-panting tanpa bisa membalas, umpama Ma, Khu, Ong dan 1ain2 Cinjin tidak pikirkan peristiwa ini, apakah imam2 yang lain juga tidak dendam?" demikian sahut Nyo Ko.
"Sudah tentu mereka tak berani padamu Kwe-pepek, lalu apa mereka tak bisa melampiaskan dongkol mereka atas diriku" Malahan mereka bisa2 ingin mampuskan aku baru merasa puas, Karena itu mana mereka mau mengajarkan ilmu silat lagi padaku " Kalau selama ini penghidupan yg kulewatkan adalah gelap tak pernah melihat sinar dan kini masih bisa berjumpa dengan Kwe-pepek, hal ini boleh dikatakan terlalu beruntung sekali.
" Begitulah, meski usia Nyo Ko masih muda, tetapi cara bicaranya masih lebih pintar dari pada Thio Ci-keng, hanya beberapa patah kata itu saja, secara enteng ia telah timpahkan semua sebab musabab memberontak keluar dari Coan-cin-kau itu kepada diri Kwe Cing, Dan apa yang dibilang "gelap tak pernah melihat sinar" sebenarnya juga tidak membohong, selama itu ia tinggal di dalam kuburan kuno, dengan sendirinya sinar matahari sukar dilihatnya.
Tetapi dalam pendengaran Kwe Cing, rasa kasihannya pada anak muda ini menjadi ber-limpah2.
Di lain pihak Ci-keng melihat Kwe Cing sembilan bagian sudah mau percaya terhadap penuturan Nvo Ko, ia menjadi gugup, "Kau.
. . kau ngaco belo. . . Hm Coan-cin-kau kami adalah golongan kesatria sejati, mana.
. . mana bisa. . . " demikian ia coba membela diri dengan suara tak lancar.
Kwe Cing terlalu lurus orangnya, ia anggap apa yang dikatakan Nyo Ko itu tentu benar2 terjadi sebaliknya Ui Yong yang kecerdasannya masih jauh di atas Nyo Ko, hanya melihat air muka pemuda ini saja segera Ui Yong tahu ada udang di balik batu kata2nya itu, ia pikir bocah ini sangat licin, tentu di dalamnya masih ada sesuatu yang tidak benar, Maka segera iapun menjela: "Jika begitu, jadi sedikit ilmu silatpun kau tak bisa" Lalu selama beberapa tahun ini di Coan-cin-kau tentunya terbuang percuma bukan?" demikian sambil berkata, pelahan2 iapun berdiri, mendadak sebelah tangannya menjulur terus meng-gablok ke atas kepala Nyo Ko.
Pukulan ini dilontarkan dengan jari tangan tepat mengarah "pek-hwe-hiat" di atas ubun2 kepala, sedang telapak tangan menepok "siang-seng-hiat" pada batok kepala, kedua Hiat-to ini adalah tempat yang mematikan, asal kena digablok tangan Ui Yong, maka tak perlu sangsikan lagi pasti nyawa Nyo Ko akan melayang tanpa tertolong.
Tentu saja Kwe Cing terperanjat ia menjerit: "Yong-ji!" Akan tetapi cepat luar biasa Ui Yong mengayun tangannya, tipu pukulan ini adalah satu diantara "lok-eng-cio-hoat" ajaran ayahnya, sebelum dilakukan sedikitpun tidak memberi tanda2 dahulu, bergitu bergerak, begitu pula telapak tangannya sudah sampai di tempat sasarannya, Kwe Cing ingin menolong pun tak keburu lagi.
Namun Nyo Ko tidak biarkan dirinya dihantam begitu saja, dengan segera tubuhnya sedikit mendoyong ke belakang bermaksud menghindarkan diri, tetapi betapa hebat kepandaian Ui Yong, sekali ia turun tangan, tidak nanti sasarannya dapat mengelakkan diri, maka dengan segera telapak tangannya sudah berada di atas ubun2 Nyo Ko.
Sungguh bukan buatan kejut Nyo Ko, cepat hendak ditangkisnya pukulan itu, namun mendadak pikirannya tergerak, tangan yang sudah sedikit diangkat tiba2 ia luruskan ke bawah lagi.
Hendaklah diketahui bahwa Kwe Cing berilmu silat maha tinggi, namun pembawaan otaknya puntul, kalau dia menjadi Nyo Ko, tentu sebelum mengerti apa yang harus diperbuatnya lebih dulu tangannya pasti diangkat buat menangkis dulu.
Tetapi lain dengan si Nyo Ko, pemuda ini cerdik luar biasa, otaknya pun bisa bekerja cepat, begitu tangannya hendak mcnangkis, segera terkilas dalam pikirannya: "Ah, kiranya Kwe-pekbo bermaksud menjajal ilmu silatku, kalau aku menangkis pukulannya, ini berarti aku mengakui kata2ku tadi bohong belaka.
" Sungguhpun begitu, namun pukulan yang dilontarkan Ui Yong ini adalah tipu mematikan yang sangat lihay, kalau orang bukan bermaksud menjajal kepandaiannya dan dirinya tidak menangkis.
apakah ini bukan bergurau dengan jiwanya sendiri.
Begitulah dalam sekejapan itu bagaikan tarikan api cepatnya, pikiran Nyo Ko telah bolak-balik berubah beberapa kali, tetapi akhirnya ia tak hiraukan jiwanya lagi dan pukulan itu tak ditangkis-nya, Harus diketahui bahwa dengan kepandaian Nyo Ko sekarang ini, walaupun masih belum bisa memadai Ui Yong, kalau menangkis pukulan itu saja rasanya tidak sulit, tetapi ternyata pemuda ini berani ambil resiko itu, ia luruskan tangan tak bergerak dan menantikan pukulan orang, kalau bukan watak Nyo Ko memang keras kepala serta suka turuti maksud hatinya, sungguh tak nanti dilakukannya.
Dan ternyata memang betul pukulan Ui Yong ini hanya percobaan saja untuk menjajal ilmu silat Nyo Ko, pada waktu telapak tangannya sudah hampir nempel kepala orang, tiba2 ia berhentikan dan tahan pukulannya, ia lihat wajah Nyo Ko rada mengunjuk takut dan bingung, sama sekali tidak angkat tangan buat menangkis, juga tidak mengumpulkan Lwekang untuk melindungi tempat2 yang berbahaya, terang memang sikap seorang yang tak paham ilmu silat sedikitpun.
"Ya, aku tidak ajarkan ilmu silat padamu, itu disebabkan aku ingin kau menjadi orang baik," demikian Ui Yong berkata dengan bersenyum, sambil tarik kembali tangannya, "Dan para Toya dari Coan-cin-pay rupanya juga berpikir sama dengan aku," Habis ini ia balik kembali ke tempat duduknya tadi, dengan suara pelahan ia bisiki Kwe Cing pula: "Memang betul dia tidak peroleh ajaran ilmu silat dari Coan-cin-pay.
" Akan tetapi Ui Yong adalah wanita secerdik kancil, baru selesai ia berkata, mendadak dalam hatinya menjerit: "Ah, celaka, salah ! salah! Hampir saja aku kena diketahui setan cilik ini," Kiranya ia menjadi ingat dahulu waktu Nyo Ko tinggal di Tho-hoa-to, dimana bocah itu pernah tewaskan seorang pengemis anak murid Kay-pang dengan Ha-mo-kang atau ilmu weduk katak, ilmu silatnya pada waktu itu sudah mempunyai dasar yang kuat, sekalipun selama beberapa tahun ini tidak peroleh sesuatu kemajuan, namun dengan pukulannya tadi yang mengarah ubun2 di atas kepala, betapapun juga pasti bocah ini akan menangkisnya.
Katanya dalam hati: "Ha, kau betul2 setan Cerdik yang luar biasa, kalau tadi kau tangkis pukulanku dengan lagak kelabakan, mungkin aku kena kau kelabuhi, tetapi kini kau pura-pura tak paham sama sekali, hal ini berbalik mencurigakan aku.
" Apapun juga memang Ui Yong masih setingkat lebih pintar, untuk bisa menimpali kecerdasannya Nyo Ko harus hidup belasan tahun lagi dan sesudah bertambah pengalamannya.
Begitulah Ui Yong juga tidak mau bongkar rahasia Nyo Ko, ia pikir biar aku lihat sandiwara apa yang hendak kau mainkan.
Karena itu, ia hanya pandang Ci-keng, lalu pandang lagi Nyo Ko, ia bersenyum, tetapi tak berkata.
Ci-keng menjadi murka, ia lihat Ui Yong telah menjajal dengan pukulannya dan sama sekali tak ditangkis Nyo Ko, ia menyangka Ui Yong telah kena diingusi pemuda itu, hal ini berarti lebih menunjukkan pihaknya yang bersalah, maka ia tak tahan lagi, dengan suara keras ia ber-teriak2.
"Anak haram ini banyak tipu muslihatnya kau tak berhasil menjajalnya, Ui-pangcu, biarlah aku yang mencobanya," demikian teriaknya sengit, Lalu ia mendekati Nyo Ko, ia tuding hidung pemuda ini sambil memaki: "Anak haram, apa benar2 kau tak bisa ilmu silat " Nah, baiklah, jika kau tak sambut pukulanku ini, maka Toya pun tidak bermurah hati, mau mati atau ingin hidup tergantung kau sendiri" Ci-keng tahu ilmu silat Nyo Ko kini sudah di atas dirinya, ia pikir asal dirinya mendadak menyerang dengan tipu yang mematikan, dalam keadaan demikian mau-tidak-mau pasti Nyo Ko akan unjuk kepandaian aslinya, tetapi bila masih berlagak pikun, maka sekali pukul biar lenyapkan saja jiwanya, paling banter nanti ribut dengan Kwe Cing suami isteri dan didamperat oleh Suhu dan Kaucu (ketua agama).
Bcgitulah jalan pikiran Ci-keng waktu itu, nyata saking gemasnya pada si Nyo Ko mengakibatkan timbulnya pikiran jahat, ia pikir pula: "Me-mangnya kau menduga Ui-pangcu tidak akan celakai jiwamu, maka kau berani pura2 bodoh, tetapi kini jatuh di tanganku, coba kau masih berani main pura-pura tidak?" Segera ia hendak turun tangan.
"Nanti dulu," tiba-tiba Kwe Cing mencegah.
Rupanya Kwe Cing kuatir jiwa Nyo Ko bisa melayang, selagi ia hendak mencegah lebih jauh, mendadak Ui Yong menarik tangannya.
"Jangau kau urus dia," dengan suara pelahan Ui Yong membisikinya.
Nyata Ui Yong menduga pukulan Thio Ci-keng yang sedang murka itu tentu dilontarkan dengan cara tak kenal ampun, se-kali2 Nyo Ko tak berani ambil risiko untuk bergurau dengan jiwanya sendiri dan terpaksa tentu akan balas menyerang, tatkala itu, bagaimana duduknya perkara tentu pula akan menjadi terang.
Dengan sendirinya Kwe Cing tak bisa menyelami hal2 ber-Iiku2 itu, ia masih merasa tak tenteram, tetapi biasanya sang isteri dapat mengatur tepat, apa yang dikatakannya pasti tidak meleset, maka iapun tidak buka suara lagi, ia berdiri di samping sambil was-was, ia tunggu bila keadaan betul2 berbahaya baharulah akan turun tangan buat menoIongnya.
Sementara itu sebelum Ci-keng bertindak lebih dulu ia telah berkata pada Sun Put-ji dan In Ci-peng : "Sun-susiok, In-sute, anak haram ini berlagak tak bisa ilmu silat, aku terpaksa menjajal kepandaiannya, jika dia tetap kepala batu sampai titik terakhir, maka sekali hantam kubinasakan dia, hendaklah nanti dihadapan Suhu, Khu-supek dan Kaucu sukalah kalian berdua menjadi saksi.
" Tentang memberontaknya Nvo Ko dari Coan-cin-kau, dengan sendirinya Sun Put-ji mengetahui seluruhnya, kini melihat kelicinan Nyo Ko yang keterlaluan hingga Ci-keng terdesak tak berdaya, hingga Coan-cin-kau kelihatan di pihak salah, maka iapun berharap Ci-keng berhasil paksa bocah itu menunjukkan corak asIinya, Maka dengan tertawa dingin ia menjawabnya: "Ya.
murid murtad yang durhaka begini binasakan saja!" Dengan kedudukan Sun Put-ji sebagai satu imam yang beribadat, mana mungkin ia suruh orang membunun begitu saja" Beberapa kata2nya itu tujuannya tidak lain hanya untuk me-nakut2i Nyo Ko agar pemuda ini tak berani lagi pura-pura.
Di lain pihak karena mendapat dukungan paman gurunya ini, nyali Ci-keng menjadi besar, tanpa sungkan2 lagi, begitu kaki kanan diangkat, segera ia tendang perut Nyo Ko dengan tipu gerakan "Thian-san-hui-toh" (terbang melintasi Thian-san), tendangan yang membawa tenaga keras dan tenaga tersembunyi ini sesungguhnya lihay luar biasa.
Tipu tendangan ini adalah pelajaran pertama bagi orang yang belajar ilmu silat Coan-cin pay, meski cara menyerangnya biasa saja tiada yang aneh, asal sedikit paham silat saja pasti dapat mematahkannya, Tetapi lihaynya suatu aliran ilmu silat letaknya justru pada tipu serangan dasar pertama yang dipelajarinya mula2, dari sinilah baru kemudian diikuti dengan perubahan2 lainnya untuk menangkan musuh.
Dengan tipu serangannya ini, terutama Ci-keng sengaja pertunjukkan pada Kwe Cing dan Ui Yong supaja kedua orang ini tahu bahwa: Sekali pun aku tidak ajarkan ilmu silat yang tinggi pada-nya, masakan pelajaran dasar pertama saja tak mengajarkan padanya" Sebaliknya demi nampak tendangan orang ini, Nyo Ko tidak mengelakkan diri dengan gaya "twe-ma-se" atau kuda2 yang bergaya mundur, satu gerakan yang tepat untuk hindarkan tendangan "Thian-san-hui-toh", malahan mendadak ia berteriak: "Aduh!" Berbareng itu tangan kirinya lurus ke bawah menahan di depan perut yang hendak ditendang orang.
Melihat Nyo Ko begitu berani tanpa hindarkan diri juga tidak berkelit, maka Ci-keng juga tidak sungkan2 lagi segera tendangannya diayun ke de-pan, pada saat ujung kakinya tinggal beberapa senti dari perut Nyo Ko, di bawah sinar pelita tiba2 dilihatnya pemuda ini sedikit acungkan jari jempol tangan kiri ke atas dan dengan tepat mengincar "Thay-kok-hiat" pada tungkak kakinya.
Jika tendangan ini dengan kuat diteruskan niscaya sebelum kakinya mengenai sasarannya dia sendiri sudah kena ditutuk dulu, dengan demikian, bukannya pemuda itu menutuk Hiat-tonya melainkan ia sendiri yang sodorkan Hiat-tonya untuk di-tutuk.
Ci-keng adalah jago utama dari anak murid Coan-cin-pay angkatan ketiga, dalam keadaan berbahaya itu segera ia ubah serangannya, ia membelokkan arah kakinya hingga tendangannya menyerempet lewat di samping Nyo Ko, dengan demikian boleh dikatakan ia telah hindarkan tutukan yang berbahaya, namun tubuhnya toh menjadi sempoyongan hingga mukanya merah jengah.
Kwe Cing dan Ui Yong berdiri di belakang Nyo Ko, mereka tak melihat jari jempol yang di-acungkan bocah ini, mereka menyangka Ci-keng sengaja berlaku murah hati dan tidak menggunakan tipu lihay, sebaliknya Sun Put-ji dan iri Ci-peng dapat menyaksikannya dengan terang.
Ci-peng bungkam saja tak bersuara, sedang Sun Put-ji dengan segera berjingkrak, "Bagus kau!" demikian teriaknya.
Dalam pada itu Ci-keng pun tidak berhenti begitu saja, tangan kirinya diajun, dengan cepat ia potong ke pelipis kiri Nyo Ko, sekali ini ia menyerang dengan cara teliti, telapak tangan sampai tengah jalan baru mendadak ia ganti arah, tampaknya ia hantam pelipis kiri orang, tetapi telapak tangannya mendadak memotong ke leher sebelah kanan.
Tak ia duga bahwa Nyo Ko sudah masak sekali mengapalkan Giok-li-sim-keng di luar kepala, Sim-keng atau kitab suci itu justru diciptakan untuk anti ilmu silat Coan-cin-pay.
Dahulu setiap tipu serangan lihay dari Ong Tiong-yang tiada satupun yang dilewatkan Lim Tiaoeng untuk menciptakan sesuatu tipu gerakan buat mematahkannya.
Melihat tangan kiri orang mengayun, dengan segera Nyo Ko merangkul kepalanya sendiri seperti orang yang ketakutan setengah mampus, sedangkan jari telunjuk kiri diam2 ia sembunyikan dibawah lehernya sebelah kanan, ia gunakan tangan yang lain untuk menutupnya supaja tak diketahui Ci-keng.
Ketika hampir tiba telapak tangan Iawan, mendadak Nyo Ko kesampingkan sedikit tangan kanan-nya, maka dengan tepat sekali jari telunjuk kiri yang sudah disiapkan itu telah kena menutuk "ho-khe-hiat" tangan Ci-keng.
Kejadian inipun bukannya Nyo Ko yang menyerang, tetapi Ci-keng sendiri yang mengantarkan tangannya untuk ditutuk, Nyo Ko hanya menduga sebelumnya kemana serangan orang hendak ditujukan maka jarinya ia taruh dulu di tempat yang jitu.
Dan karena Hiat-to tangannya tertutuk, seketika Ci-keng merasa lengannya pegal linu, ia insaf terkena akal licik orang, dalam gusarnya iapun tak pikir panjang lagi, dengan cepat ia ayun kaki kiri terus menyerampang.
"Haya, celaka!" teriak Nyo Ko pura-pura.
Mendadak ia sedikit tekuk lengan kirinya, ia papak sikunya ke bawah pinggangnya.
Dan begitu tendangan Ci-keng sampai, tahu2 "Ciau-hay-hiat" dan "Tha-ke-hiat" ditungkak kakinya persis mengenai ujung siku Nyo Ko.
Tendangan ini dilakukan Ci-keng dengan gusar, dengan sendirinya kekuatannya sangat keras, dan karena itu juga tutukan Hiat-tonya itu menjadi sangat keras pula, seketika kakinya menjadi kaku dan tanpa berkuasa orangnya terus berlutut.
Melihat sang Sutit (murid keponakan) membikin malu di depan orang banyak, Iekas2 Sun Put-ji jambret dan diberdirikannya, ia tepuk punggung Ci-keng buat melepaskan tutukannya tadi.
Melihat sehat dan jitu sekali tindakan hitam wanita ini, terang kepandaiannya berpuluh kali lebih tinggi dari Ci-keng, Nyo Ko menjadi jeri dan cepat mundur ke samping.
Sungguhpun Sun Put-ji sudah lanjut usianya, tetapi wataknya ternyata sangat keras dan kaku, ia lihat kepandaian Nyo Ko aneh luar biasa, sekalipun ia sendiri ikut turun tangan juga belum tentu bisa menang, maka segera ia berseru : "Hayo, pergi!" Habis itu, tanpa permisi lagi ia kebas lengan jubahnya, sekali lompat, seperti burung saja ia melayang keluar melalui jendela terus naik kewuwungan rumah.
In Cie-peng seperti orang kehilangan semangat ia hendak memberi penjelasan pada Kwe Cing, namun Ci-keng sudah tak sabar, "Berkata apa lagi?" bentaknya gusar, berbareng ini ia tarik sang Sute terus melompat keluar melalui jendela menyusul Sun Put-ji.
Sebenarnya mata Kwe Cing dan Ui Yong cukup jeli dengan sendirinya mereka tahu Ci-keng tadi telah kena ditutuk Hiat-tonya, cuma kelihatan Nyo Ko tidak menggeraki tangannya, apa mungkin ada orang kosen yang membantunya dari samping" Segera Kwe Cing melongok keluar jendela, tetapi tiada seorangpun yang dilihatnya, Waktu Ui Yong membalik, tiba2 dilihatnya di bawah rak buku menonjol keluar ujung sepatu hijau yang dipakai Kwe Hu.
"Hayo, keluar Hu-ji, apa yang kau lakukan di situ?" serunya segera.
Dengan nakal Kwe Hu melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil ketawa ngikik.
"Aku dan Bu-keh Koko sedang mencari buku bacaan di sini," demikian ia coba beralasan.
Akan tetapi Ui Yong tidak gampang dibohongi, ia tahu tentu mereka sengaja mencuri dengar.
Di lain pihak Kwe Cing yang berjiwa lurus jujur selalu mengukur orang lain dengan jiwanya sendiri yang kesatria sejati, ia sangka tadi Ci-keng mendadak tak tega gunakan pukulan yang mematikan dan pura2 terkena tutukan untuk tinggalkan tempat ini.
sebaliknya Ui Yong sudah bisa mem-bade pasti Nyo Ko telah pakai tipu muslihat cuma berdirinya tadi di belakang Nyo Ko hingga tak dapat melihat cara bagaimana pemuda itu geraki tangannya, pula ia tidak tahu bahwa di jagat ini ternyata masih ada ilmu silat dari Giok-li-sim-keng yang bisa menduga segala tipu apa yang hendak dilontarkan musuh hingga ilmu silat kaum Coan-cin-pay sedikitpun tak bisa berkutik maka seketikapun ia tak habis mengerti oleh kejadian tadi Begitulah, selagi ia ter-menung2, tiba2 ada anak murid Kay-pang melaporkan kedatangan tamu jauh, Sesudah Ui Yong pandang Nyo Ko sekejap, lalu bersama Kwe Cing mereka pergi menyambut tetamu.
"Nyo-koko adalah teman memain kalian waktu kecil, kalian harus melayaninya baik2", pesan Kwe Cing pada Bu-si Hengte sebelum pergi.
Tetapi karena dahulu sudah tak akur dengan Nyo Ko, kini melihat macam orang yang menjijikkan, Bu-si Hengte semakin pandang hina pemuda ini ia panggil seorang centing dan suruh mengatur tempat tidurnya Nyo Ko, sedang mereka asyik bicara sendiri dengan Kwe Hu.
Sebaliknya Kwe Hu ternyata sangat aneh, ia ketarik oleh datangnya Nyo Ko.
"Nyo-toako," demikian ia tanya, "sebab apakah gurumu tak mau terima dirimu?".
"Sebabnya terlalu banyak," sahut Nyo Ko, "Pertama aku memang goblok dan malas, kepandaian yang Suhu ajarkan padaku selalu tak bisa apal, pula aku tak bisa pura2 rendah, tak bisa menjilat dan membaiki orangnya Suhu.
. . " Mendengar kata2 Nyo Ko rada menusuk, per-tama2 Bu Siu-bun yang tak tahan.
"Apa kau bilang?" bentaknya segera.
"Aku bilang diriku sendiri tak becus, maka tidak disukai Suhu," sahut Nyo Ko.
"Gurumu adalah Tosu dan tidak kawin, masakah dia punya anak?" ujar Kwe Hu sembari tertawa genit.
Melihat tertawa si gadis bagaikan sekuntum bunga mawar yang mendadak mekar berubah merah sedikit, lekas2 ia berpaling ke jurusan lain.
"Nyo-toako, baiklah kau pergi mengaso saja, besok kita bicara lagi," kata Kwe Hu kemudian dengan suara lembut.
Nyo Ko mengiakan, ia ikut centing yang melayaninya itu dan pergi tidur, Dari belakang lapat2 terdengar olehnya suaranya Kwe Hu lagi Dan mengomel : "Aku suka bicara padanya, kalian peduli apa" ilmu silatnya baik atau tidak, biar kelak aku minta ayah ajarkan padanya.
" Nyata si nona sedang omeli Bu-si Hengte, agaknya kedua saudara Bu merasa cemburu karena si gadis mengajak bicara Nyo Ko.
Besok paginya, sesudah Nyo Ko sarapan, ia lihat Kwe Hu menyapa padanya di pekarangan depan, sedang Bu-si Hengte tampak longak-longok di samping sana.
Diam2 Nyo Ko tertawa geli, iapun mendekati Kwe Hu dan bertanya : "Kau mencari aku?" "Ya," sahut Kwe Hu tersenyum manis, "marilah kita jalan2 keluar, aku ingin tanya kau apa yang kau lakukan selama beberapa tahun ini.
" Nyo Ko menjadi berduka mendengar orang menyinggung pengalamannya selama ini, ia pikir pengalamannya selama ini sungguh terlalu banyak untuk diceritakan pula apa yang terjadi itu mana bisa diceritakan padamu " Begitulah, Nyo Ko dan Kwe Hu berjalan keluar, waktu Nyo Ko melirik, ia lihat Bo-si Hengte terus mengikuti dari jauh.
Kwe Hu tahu, namun kedua anak muda itu tak digubrisnya, sebaliknya ia mencerocos menanyai Nyo Ko.
Dasar Nyo Ko memang pintar bicara, ia sengaja obrol segala apa yang tak penting, ia bum-bu2i pula hingga Kwe Hu dibikin senang dan ketawa ter-kikih2.
Dengan pelahan akhirnya mereka berdua sampai di bawah satu pohon Liu, tiba2 terdengar me-ringkiknya kuda, seekor kuda buduk kurus mendekati Nyo Ko sambil menggosok2 moncongnya pada tubuh pemuda ini, tampaknya kasih sayang.
sekali antara mereka. Melihat kuda sejelek ini, tiba2 Bu-si Hengte ketawa ter-bahak2 sambil mendekati Kwe Hu dan Nyo Ko.
"Nyo-heng," demikian Siu-bun berkata lebih dulu, "kuda mestikamu ini sungguh hebat amat, beruntung kau dapat memperolehnya.
Bilakah kau pun mencarikan seekor untuk aku.
" "Kuda ini datang dari negeri Langka, mana mampu kau membelinya?" sela Bu Tun-si berlagak sungguh-sungguh.
Mendengar orang menyebut kuda, tanpa terasa Kwe Hu memandang Nyo Ko, lalu pandang lagi kuda jelek itu, ia lihat ke-dua2nya sama2 kotor dan dekil, ia tertawa geli juga.
Namun Nyo Ko tak marah, sebaliknya ia pua bergelak ketawa.
"Haha, kudaku jelek, orangnya pun jelek, sesungguhnya memang jodoh yang setimpal," demikian katanya, "Dan binatang tunggangan Bu-heng berdua tentunya bagus luar biasa?" "Kuda kami sesungguhnya tidak banyak lebih bagus dari kudamu yang buduk ini," sahut Siu-bun.
"Tetapi kuda merah Hu-moay (adik Hu) itulah baru kuda mestika sungguh2.
Dahulu kau pernah tinggal di Tho-hoa-to, tentu kau sudah melihatnya.
" "O, kiranya Kwe-pepek telah memberikan kuda merahnya kepada gadisnya," sahut Nyo Ko.
Sembari bicara mereka berempat terus berjalan.
"He, lihat, ibuku hendak pergi memberi pelajaran Pang-hoat (ilmu permainan pentung) lagi," tiba2 Kwe Hu berkata sembari tunjuk ke arah barat.
Waktu Nyo Ko menoleh, ia lihat Ui Yong bersama seorang pengemis tua sedang jalan berendeng menuju ke lembah gunung, tangan mereka sama2 membawa sebatang pentung.
"Loh-tianglo sungguh terlalu goblok, sudah sekian lamanya ia belajar Pak-kau-pang-hoat masih juga belum bisa," ujar Bu Siu-bun.
Mendengar kata2 "Pak-kau-pang-hoat", seketika Nyo Ko terkesiap hatinya, cuma lahirnya sedikitpun ia tidak unjuk sesuatu tanda, ia malah berpaling ke jurusan lain pura2 sedang menikmati pemandangan alam yang indah.
"Pak-kau-pang-hoat adalah pusaka Kay-pang yang hebat", demikian ia dengar Kwe Hu berkata lagi.
"Kata ibuku, Pang-hoat ini luar biasa bagus-nya dan adalah permainan yang paling lihay dalam hal senjata di seluruh jagat ini, dengan sendirinya kepandaian sehebat ini tak bisa dipelajari dalam sepuluh hari atau setengah bulan saja, Kau bilang dia goblok, memangnya kau sendiri pintar?" Siu-bun menjadi bungkam dan menyengir.
"Sayang kecuali Pangcu dari Kay-pang, Pang-hoat ini tidak diturunkan lagi kepada orang lain," ujar Bu Tun-si.
"Kelak kalau kau menjadi Pangcu dari Kay-pang, dengan sendirinya Loh-tianglo akan ajarkan padamu," sahut Kwe Hu.
"Pang-hoat ini ayahku saja tak bisa, rasanya kaupun tak perlu menyesal.
" "Dengan macam ku ini mana bisa menjadi Pangcu Kay-pang?" kata Tun-si "Hu-moay, coba katakan, mengapa Subo bisa pilih Loh-tianglo sebagai calon penggantinya?" "Selama beberapa tahun ini, hakikatnya ibuku hanya namanya saja Pangcu, padahal segala urusan Kay-pang baik besar atau kecil seluruhnya diserahkan pada Loh-tianglo," sahut Kwe Hu.
"Begitu banyak urusan Kay-pang yang tetek bengek, asal dengar saja ibuku sudah merasa pusing, maka dia bilang lebih baik suruh Loh-tianglo yang menjadi Pangcu saja sekalian ia tunggu nanti kalau Loh-tianglo sudah paham mempelajari Pak-kau-pang-hoat, lalu jabatan Pangcu itupun akan diserahkannya secara resmi.
" "Hu-moay," kata Siu-bun lagi, "bagaimanakah macamnya Pak-kau-pang-hoat sebenarnya, kau pernah melihat belum?" "Belum pernah," sahut Kvve Hu.
Tetapi segera ia bilang lagi: "Eh, pernah.
" Habis ini ia jemput sebatang kayu, lalu ia pukul pelahan ke pundak Siau-bun dan menyambung lagi dengan tertawa: "Nah, begini!" Keruan saja Siau-bun berjingkrak, "Bagus, kau anggap aku sebagai anjing, ya?" teriaknya, berbareng ia pura2 hendak jamberet si gadis.
Dengan tertawa Kwe Hu lari menyingkir terus diudak oleh Siu-bun.
Dan sesudah berputar, kedua orang lalu kembali lagi ketempat semula.
"Siao Bu-koko, jangan kau ribut lagi, aku mempunyai suatu gagasan sekarang," dengan tertawa Kwe Hu mengatakan.
"Coba katakan," ujar Siu-bun.
"Kita pergi mengintip, coba itu Pak-kau-pang-hoat sebenarnya apa macamnya," Kwe Hu menerangkan.
Seketika Siu-bun menyatakan akur, sebaliknya Tun-si geleng2 kepala dan Nyo Ko tak memberi suara.
"Jangan, jika sampai konangan Subo, tentu akan didamperat habis2an," kata Tun-si.
"Kau memang penakut, kita hanya melihat saja, toh tidak mencuri belajar," debat Kwe Hu, "Lagipula, iimu silat yang begitu hebat dan tinggi apa hanya mengintip begitu saja lantas bisa?" Karena di-olok2, Tun-si hanya menyengir saja dan tak bisa menjawab.
"Kemarin bukankah kita juga mengintip di kamar baca dan ibuku mendamperat kau tidak ?" Kwe Hu menambahi pula, "Memang nyalimu terlalu kecil seperti tikus, Siao Bu-koko, mari kita berdua pergi.
" "Baik, baik, kau yang benar, aku ikut," seru Tun-si.
"Emangnya, ilmu silat kelas satu dari jagat ini kau tak ingin melihatnya?" dengan tertawa Kwe Hu mengomel lagi.
Mereka bertiga memang sudah lama kagumi Pak-kau-pang-hoat yang lihay, cuma macamnya apa, selamanya belum pernah lihat, Pernah Kwe Cing ceritakan pada mereka tentang kejadian dulu dimana Ui Yong dengan Pak-kau-pang-hoat menaklukkan para kesatria dari Kay-pang hingga berhasil merebut kedudukan Pangcu, cerita ini bikin ketiga muda-mudi ini sangat terpesona.
Kini Kwe Hu mengusulkan pergi mengintip, meski di mulut Tun-si tak setuju, padahal dalam hati seribu kali kepingin, Cuma pemuda ini rada licin, sebelumnya ia sengaja tumpahkan tanggung jawab atas diri orang, supaya bila konangan Ui Yong takkan salahkan dia.
"Nyo-toako, marilah kaupun ikut bersama kami.
" demikian Kwe Hu berkata lagi.
Tetapi Nyo Ko pura2 memandang jauh se-akan2 sedang memikirkan sesuata, apa yang dikatakan si gadis seperti tak didengarnya Waktu Kwe Hu mengulangi tanya lagi barulah Nyo Ko menoIeh.
"Apa. . . apa" Ikut" Ke mana?" demikian ia tanya pura2 tak mengerti.
"Tak usah kau tanya, asal ikut saja," sahut Kwe Hu.
"Hu-moay, buat apa dia ikut?" tiba2 Tun-si mendadak.
"Toh dia tak akan mengerti, ia ketolol-tololan begini, kalau sampai menerbitkan suara, bukankah akan konangan Subo nanti?" "Jangan kau kuatir, biar aku jaga dia," ujar Kwe Hu.
"Kalian berdua boleh jalan dulu, segera aku dan Nyo-toako menyusul.
Kalau empat orang bersama tentu lebih mudah menerbitkan suara," Tentu saja Bu-si Hengte tak rela disuruh jalan dahulu, tetapi mereka cukup kenal wataknya Kwe Hu yang tak bisa dibantah, jika sedikit bikin marah dia, tanggung selama belasan hari kau tak digubrisnya apabila tidak me-mohon2 dan me-minta2 hingga si gadis tertawa senang.
Karena itu, terpaksa Bu-si Hengte berjalan dahulu dengan kurang senang.
"Kita putar ke belakang pohon besar di tepi jalan itu, untuk sementara ibu tentu tak akan mengetahui," demikian Kwe Hu teriaki mereka.
Dari jauh Bu-si Hengte menyahut, lalu mereka bertindak cepat ke depan.
Maka kini tinggal Kwe Hu dan Nyo Ko saja yang jalan berendeng, melihat baju pemuda ini compang-camping tak keruan, Kwe Hu berkata: "Nanti kuminta ibu membikinkan kau beberapa baju baru, sesudah kau berdandan, tentu kau tak akan begini jelek lagi," "Tidak, memang aku dilahirkan jelek, berdandanpun tak ada gunanya," sahut Nyo Ko geleng kepala.
Tiba2 Kvve Hu menghela napas pelahan.
"Sebab apa kau berkeluh-kesah?" tanya Nyo Ko.
"Hatiku sangat masgul, apa kau tak tahu," sahut si gadis.
Melihat pipi si gadis bersemu merah, alisnya lentik lembut, betul2 nona yang ayu luar biasa, kalau melulu soal muka saja, dibanding Liok Bu-siang, Wanyen Peng dan Yali Yan, boleh dikatakan Kwe Hu terlebih cantik, tanpa tertahan hati si Nyo Ko rada terguncang.
"Aku tahu sebab apa hatimu kesal," katanya kemudian.
"Aneh, darimana kau tahu" Ah, kau membual belaka!" sahut Kwe Hu tertawa.
"Baiklah, bila aku jitu menerkanya, jangan kau pungkir ya?" ujar Nyo Ko.
"Baik, coba kau terka," kata Kwe Hu lagi dengan tersenyum manis.
"Kenapa susah2 membade," kata Nyo Ko kemudian, "Kedua saudara Bu itu semuanya suka padamu, semuanya suka cari muka padamu, sebab itulah kau menjadi serba susah memilihnya.
" Hati Kwe Hu ber-debar2 karena isi hatinya dengan jitu kena dikatai.
Nyata memang soal yang menjadikan kesal hatinya adalah diri kedua saudara Bu itu.
Urusan ini ia sendiri tahu, ayah-bundanya tahu, Bu-si Hengte tahu, sampai kakek guru mereka Kwa Tin-ok juga tahu, cuma urusan ini semua merasa sukar diucapkan maka semuanya hanya berpikir dalam hati, selamanya tak pernah menyinggung barang sekecap urusan ini.
Kini mendadak kena dikatai Nyo Ko, tanpa terasa muka Kwe Hu menjadi merah jengah, tetapi terasa senang pula dan macam2 perasaan lain.
"Ya, memang sukar dipilih," demikian sambung Nyo Ko lagi.
"Yang satu pendiam, yang lain lincah, yang satu pandai main cinta, yang lain pintar cari muka, yang satu dapat kau percaya selama hidup, yang lain bisa menghilangkan kesalmu, Keduanya sama2 cakap, ilmu silat tinggi, sungguh masing2 ada kelebihan sendiri2, cuma sayang, aku seorang diri, mana bisa menikah dengan dua lelaki ?" Sebenarnya Kwe Hu sedang mendengarkan dengan ternganga, ketika mendengar ucapan yang terakhir itu, tiba2 ia mengomelnya: "Ah, mulutmu selalu usil, tak mau gubris kau lagi.
" Melihat air muka orang, sejak tadi Nyo Ko sudah tahu terkaannya pasti kena seluruhnya, maka ia menembang pelahan mengulangi kata2nya tadi yang terakhir.
Walaupun begitu, meski ia sudah ulangi beberapa kali, si gadis seperti sedang tenggelam pikirannya sendiri dan tak mendengarkan "Nyo-toako," katanya kemudian lewat sejenak, "menurut kau, Toa Bu-koko lebih baik atau Siao Bu-koko yang baik?" "Haha, kalau menurut aku, ke-dua2nya tidak baik semua," sahut Nyo Ko tiba-tiba.
"Sebab apa?" Kwe Hu tercengang.
"Ya, sebab kalau mereka baik, lalu aku Nyo Ko apa ada harapan?" ujar Nyo Ko dengan tertawa.
Nyata karena si Nyo Ko sudah biasa menggoda Liok Bu-siang sepanjang jalan, padahal dalam hatinya sedikitpun tak punya pikiran serong, kini dalam keadaan berkdakar dengan Kwe Hu, tanpa terasa ia terlanjur omong, kelepasan mulut.
Keruan seketika Kwe Hu tertegun, ia adalah gadis aleman yang biasanya sangat dimanjakan siapapun tak ada yang berani berkata sesuatu yang bersifat kotor kepadanya, maka iapun tidak tahu harus marah atau tidak oleh apa yang dikatakan Nyo Ko tadi, tapi ia lantas tarik muka dan menyahut: "Jika kau tak mau bilang, boleh kau tutup mulut, siapa ingin bergurau dengan kau " Hayo, lekas kita ke sana.
!" Sembari berkata ia lantas keluarkan ilmu entengi tubuh dan berlari ke lereng gunung sana melalui jalan kecil.
Karena "kebentur batu", Nyo Ko menjadi serba kikuk, ia pikir: "Buat apa aku menyelip di antara mereka bertiga " Lebih baik aku pergi yang lain saja !" Maka ia putar tubuh dan berjalan pelahan ke arah lain, dalam hati ia berpikir pula: "Bu-si Heng-te boleh dikatakan memandang nona Kwe se-olah2 bidadari saja dan kuatir kalau si gadis tak mau jadi isterinya.
Padahal kalau betul2 sudah menikah dan sepanjang hari harus temani seorang perempuan yang begini bandel dan manja, akhirnya pasti akan lebih banyak susah daripada senangnya.
Ha,. mereka sungguh orang tolol, betul2 menggelikan", BegituIah diam2 Nyo Ko tertawai orang, padahal ia tak tahu bahwa siapa saja kalau sudah jatuh ke dalam jaring asmara, maka sukar sekali untuk menarik diri, sekalipun dia orang pandai atau nabi juga sukar memecahkan godaan demikian ini.
Sementara itu Kwe Hu sudah berlari pergi, ia menyangka Nyo Ko tentu akan menyusul dan minta maaf padanya, siapa duga sesudah ditunggu dan tunggu lagi masih belum kelihatan bayangan si Nyo Ko, tiba2 ia berpikir lain: "Ah, orang ini tak bisa Ginkang, dengan sendirinya ia tak dapat menyandak aku.
" Segera ia putar balik ke jalan tadi, tapi tiba2 dilihatnya Nyo Ko malah berjalan ke arah sana, keruan saja ia merasa heran.
"He, kenapa kau tak susul aku?" tanyanya sambil berlari ke depan Nyo Ko.
"Kwe-kohnio, harap kau sampaikan ayah-bundamu, bilangkan aku sudah pergi," sahut Nyo Ko.
"Tanpa sebab kenapa kau hendak pergi ?" tanya Kwe Hu terkejut.
"Tak apa2, memangnya aku datang tidak untuk apa2, maka perginya juga tiada apa2.
" sahut Nyo Ko adem.
Sebenarnya Kwe Hu suka ramai, meski dalam hati tidak pandang hormat pada Nyo Ko, cuma ia merasa pemuda ini pandai berkelakar, dibandingkan Bu-si Hengte terasa ada hal baru yang menarik, maka sesungguhnya ia tidak ingin orang pergi begitu saja.
Maka ia berkata, "sudah sekian lamanya kita tak berjumpa, masih banyak yang ingin kutanyakan.
Lagi pula, malam ini akan diadakan Eng-hiong-yan, dari segenap penjuru tidak sedikit Einghiong-Hohan (orang gagah dan para kesatria) yang datang berkumpul, masakah kau tak ingin menambah pengalamanmu?" "Aku toh bukan Enghiong, kalau ikut hadir, apa tidak akan menjadi buah tertawaan para Eng-hiong yang sungguhan itu?" sahut Nyo Ko tertawa.
"ltupun betul," kata Kwe Hu.
Dan sesudah merenung sebentar, kemudian ia sambung lagi : "Ya, baiknya di rumah Liok-pepek masih banyak orang tak bisa silat, kau boleh ikut empek Kasir dan para pengurus rumah makan minum bersama, bukankah sangat baik !" Gusar sekali Nyo Ko oleh kata2 orang, "Bagus, kau anggap aku ini sebangsa orang yang rendahan saja!" demikian pikirnya dongkol.
Sebenarnya ia sudah pikir hendak pergi, tetapi kini ia malah balik pikiran, ia justru ingin lakukan sesuatu untuk bikin malu si gadis yang menyinggung perasaannya ini.
Padahal Kwe Hu sejak kecil sangat dimanjakan sama sekali tak kenal akan pergaulan, beberapa kata2nya itupun tidak sengaja hendak melukai hatinya, siapa tahu watak Nyo Ko memang perasa, tanpa sengaja membikin marah padanya.
Sebaliknya melihat Nyo Ko sudah berubah pikiran, Kwe Hu menjadi senang.
"Marilah, lekas, jangan terlambat kalau ibu datang lebih dulu, tentu tak gampang lagi hendak mengintip," katanya kemudian dengan tertawa.
Segera iapun mendahului lari lagi, sedang Nyo Ko mengikuti dari belakang dengan pura2 bernapas empas-empis, langkahnya berat hingga kelihatannya sangat goblok.
Dengan susah payah akhirnya mereka tiba juga di tempat yang biasa Ui Yong mengajarkan Pang-hoat pada Loh-tianglo yang bernama Loh Yu-ka, sementara itu Bu-si Hengte kelihatan lagi Iongak-Iongok di atas pohon sana.
Sekali lompat Kwe Hu mendahului panjat ke atas pohon, lalu ia ulur tangannya buat tarik Nyo Ko.
Waktu tangan menyentuh tangan, Nyo Ko merasakan tangan si gadis begitu halus empuk se-akan2 tak bertulang, tanya terasa hatinya terguncang keras, Tetapi segera ia pikir pula: "Ah, sekalipun kau lebih cantik lagi juga tak dapat mencapai separohnya Kokoh-ku (maksudnya Siao-Iiong-li).
" Tatkala itu ilmu silat Kwe Hu sudah ada dasarnya yang kuat, maka dengan enteng Nyo Ko dapat ditariknya ke atas pohon.
"Apa ibuku belum datang?" dengan suara tertahan ia tanya.
"Sudah," sahut Siu-bun menunjuk ke arah barat "Loh-tianglo sedang mainkan pentung di sana, sedang Suhu dan Subo berada di sana sedang pasang omong.
" selamanya Kwe Hu paling takut pada ayah-nya, kini mendengar Kwe Cing juga datang, ia menjadi kebat-kebit tak enak, sementara ia lihat Loh Yu-ka seorang diri dengan sebatang pentung bambu sedang main sendiri, ia menutul ke timur dan menjojoh ke barat dengan pentung bambunya, tipu2 gerakannya tiada sesuatu yang mengejutkan orang.
"Apakah ini yang disebut Pak-kau-pang-hoat?" dengan suara pelahan Kwe Hu menanya.
"Besar kemungkinan betul", sahut Bu Tun-si.
"Tadi Subo sedang memberi petunjuk2 padanya, lalu Suhu datang ada sesuatu hendak berunding dengan Subo dan mengajaknya menyingkir maka Loh-tianglo seorang diri lantas berlatih seperti itu.
" Sctelah Kwe Hu memandang lagi beberapa gerakan pengemis tua itu dan merasa semuanya biasa saja tiada sesuatu yang menarik, segera iapun berkata: "Ah, Loh-tianglo belum pandai main, rasanya tiada yang bisa dilihat lagi, marilah kita pergi saja.
" Tetapi lain halnya dengan pikiran Nyo Ko, ia lihat Pang-hoat yang dimainkan Loh-tianglo itu sedikitpun tidak berbeda seperti apa yang pernah di-dapatnya dari Ang Chit-kong tempo hari di Hoa-san, ia cukup kenal betapa hebat ilmu silat ini, maka diam2 ia mentertawai si gadis yang tak tahu apa2, tetapi berani bermulut besar.
Di lain pihak Bu-si Hengte yang selamanya selalu menurut apa yang dikatakan Kwe Hu, waktu mendengar si gadis bilang mau pergi, segera mereka pun ber-gegas2 hendak lompat turun, tetapi tiba2 mereka mendengar di bawah pohon ada suara tindakan orang, lalu terdengar suara Kwe Cing lagi berkata : "Urusan jodoh Hu-ji sudah tentu tak bisa diputuskan secara ter-buru2, usia Ko-ji masih kecil, kaupun tak dapat mengalahkan sedikit kekeliruannya lalu memastikan keburukannya.
" Lantas terdengar Ui Yong menjawab : "Kau pikirkan hubungan turun temurun keluarga Kwe dan Nyo, hal ini sudah sepantasnya, Tetapi Nyo Ko si bocah ini, semakin kulihat, rasaku semakin mirip ayahnya, mana aku rela menjodohkan Hu-ji pada-nya?" Terkejut sekali mendengar percakapan suami isteri ini, baik Kwe Hu, Bu-si Hengte maupun Nyo Ko, sama sekali mereka taktahu ada hubungan apa antara keluarga Kwe dan Nyo, lebih2 tak menduga bahwa Kwe Cing ada maksud menjodohkan puterinya pada Nyo Ko, Karena percakapan mereka itu ada hubungan erat sekali dengan masing2, maka empat muda-mudi itu tak jadi pergi melainkan berdiam di atas pohon.
"Ya, Nyo Khong-hengte tak beruntung terjeblos ke dalam istana pangeran negeri Kim hingga salah bergaul dengan orang jahat, akibatnya terjadilah drama yang mengenaskan dengan mayat tak utuh dan menjadi isi perut gagak, kalau sejak kecil ia dipelihara paman Nyo Thi-sim sendiri, rasanya pasti takkan terjadi seperti itu," demikian terdengar Kwe Cing berkata lagi.
"ltupun benar. " sahut Ui Yong rendah sambil menghela napas, Agaknya ia menjadi terbayang pada kejadian ngeri dahulu dengan matinya Nyo Khong, ayah Nyo Ko.
Nyo Ko sendiri selamanya tak tahu bagaimana asal-usul keluarganya, ia hanya tahu ayahnya meninggal terlalu cepat, sedang cara bagaimana matinya dan siapa musuhnya, hal itu sekalipun ibu kandungnya juga tak mau bilang terus terang padanya, Kini mendadak dengar Kwe Qng menyinggung ayahnya "terjeblos ke istana pangeran negeri Kim dan bergaul dengan orang jahat" lalu bilang lagi "mayatnya tak utuh hingga menjadi isi perut burung gagak" dll.
, seketika pemuda ini merasa seperti disamber petir, seluruh tubuhnya gemetar, mukanya pucat pasi.
Waktu itu Kwe Hu kebetulan melirik Nyo Ko, demi melihat wajah pemuda ini sedemikian rupa, Kwe Hu sangat ketakutan, ia kuatir pemuda ini mendadak terbanting jatuh ke bawah terus mati.
Dementara itu Kwe Cing dan Ui Yong duduk berendeng di atas sebuah batu dan membelakangi pohon yang dibuat sembunyi empat muda-mudi itu, dengan meraba tangan sang isteri terdengar Kwe Cing berkata pula: "Sejak kau mengandung anak kedua ini kesehatanmu sudah jauh mundur dari pada dulu, lekasan kau serahkan segala urusan Kay-pang pada Loh Yun-ka sekaligus, supaya kau dapat merawat diri se-baik2nya".
"He, kiranya ibu akan punya anak lagi, ehm, senang sekali kalau aku tambah adik," kata Kwe Hu dalam hati, ia menjadi girang sekali.
Dalam pada itu Ui Yong telah menjawab: "Urusan Kay-pang memangnya tak banyak kuperhatikan sebaliknya urusan perjodohan Hu-ji yang bikin aku tak tenteram.


Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" "Jika Coan-cin-kau tak terima Koji, biarlah aku sendiri yang mengajar dia," kata Kwe Cing.
"Tampaknya pemuda ini sangat pintar, kelak aku turunkan seluruh kepandaianku padanya, dengan begitu tak percumalah aku angkat saudara dengan ayahnya.
" Kini baru tahulah Nyo Ko bahwa Kwe Cing ternyata adalah saudara angkat ayahnya sendiri kalau begitu, "Kwe-pepek" ini sesungguhnya mengandung arti yang besar sekali Dan demi mendengar Kwe Cing begitu baik hati dan berbudi pada dirinya, hati Nyo Ko sangat terharu, hampiri ia meneteskan air mata.
"Tetapi aku justru kuatir dia tersesat oleh karena pintarnya," ujar Ui Yong menghela napas, "sebab itu juga aku hanya ajarkan membaca padanya dan tidak turunkan ilmu silat dengan harapan kelak dia akan menjadi seorang yang bijaksana dan pandai mem-beda2kan yang salah dan yang benar, supaya menjadi seorang lelaki sejati, dengan begitu sekalipun tak bisa ilmu silat juga aku akan lega dan puas menjodohkan Hu-ji padanya.
" "Ya, segala apa kau memang lebih pintar dari aku, Yong-ji," sahut Kwe Cing.
"Apa yang kau pikirkan selalu berpandangan jauh, tetapi Hu-ji kita sedemikian wataknya, ilmu silatnya juga begitu, kalau dia diharuskan mendampingi seorang anak sekolahan yang lemah, coba pikir apa dia tak penasaran" Apa dia bisa menghormati Ko-ji kelak" Menurut hematku, suami isteri demikian ini pasti susah akurnya.
" "Huh, tak malu," kata Ui Yong tertawa, "Emangnya kita berdua bisa akur karena ilmu silatmu lebih unggul dari aku" Hayo, Kwe-tayhiap, marilah kita coba-coba !" "Bagus, Ui pangcu, katakanlah apa yang kau kehendaki," sahut Kwe Cing tertawa.
Lalu terdengar suara "plok" sekali, mungkin Ui Yong telah tepok sekali tubuh Kwe Cing, Selang tak lama, lalu Ui Yong berkata lagi.
"Ai, urusan ini sesungguhnya sukar diputuskan seandainya tanpa Ko-ji, urusan kedua saudara Bu saja juga sulit diselesaikan" Coba katakan, Toa Bu lebih baik atau Siao Bu lebih baik?" Seketika hati Kwe Hu dan Bu-si Hengte ber-debar2.
Meski urusan ini tiada sangkut paut dengan Nyo Ko, tetapi iapun ingin tahu bagaimana pendapat Kwe Cing terhadap kedua saudara Bu itu.
Tetapi Kwe Cing hanya menyahut lirih sekali, selang sekian Iama masih tiada jawabannya.
"Urusan kecil belum bisa kelihatan," demikian kemudian terdengar ia menyahut, "harus tunggu menghadapi urusan besar, baik atau busuk, barulah bisa diketahui.
" - Habis ini perkataannya berubah menjadi lemah lembut dan menyambung lagi: "Baiklah usia Hu-ji masih kecil, lewat beberapa tahun lagi masih belum terlambat, boleh jadi pada waktu itu dapat diputuskan dengan ca.
ra yang lebih baik dan kita yang menjadi orang tua tak perlu lagi ribut Kau mengajar Loh-tianglo dan tentu banyak keluarkan tenaga, beberapa hari ini aku selalu melihat napasmu tak lancar, aku sampai kuatirkan kesehatanmu sekarang biarlah kupergi mencari Ko-ji buat ajak bicara sedikit padanya.
" -Habis berkata iapun bertindak pergi.
Sesudah Ui Yong atur pernapasannya sejenak, kemudian ia panggil Loh-tianglo lagi dan memberi petunjuk Pak-kau-pang-hoat.
Tatkala itu Loh Yu-ka sudah selesai memainkan 36 gerakan Pak-kau-pang-hoat, cuma dimana dan cara bagaimana menggunakan inti kebagusan ilmu silat itulah belum dipahaminya.
Maka dengan sabar dan telaten Ui Yong memberi penjelasan padanya sejurus demi sejurus.
Tipu serangan Pak-kau-pang-hoat ini memang bagus, Iebih2 kunci yang diuraikan Ui Yong ini terlebih hebat luar biasa, kalau tidak, hanya sebatang pentung bambu hijau yang kecil mana bisa menjadi pusaka Kay-pang " Sudah hampir sebulan Ui Yong turunkan tipu gerakan ilmu pentung pemukul anjing itu pada Loh Yu-ka, kini ia menerangkan pula kunnya dan perubahan2nya sampai berulang kali dan suruh mengingatnya baik-baik.
Kwe Hu dan Bu-si Hertgte tak paham Pang-hoat segala, maka mereka merasa tak tertarik mereka tidak tahu tentang perubahan2 ilmu silat yang hebat itu, maka beberapa kali mereka sudah ingin berosot turun pohon, namun kuatir konangan Ui Yong, maka mereka meng-harap2 lekas Ui Yong selesai mengertikan istiIah2nya dan lekas pergi bersama Loh Yu-ka.
Siapa tahu Ui Yong bermaksud malam ini juga menyerahkan jabatan Pangcu pada Loh Yu-ka dalam perjamuan "Eng-hiong-yan", maka ia ingin turunkan seluruhnya baik istilah maupun permainannya kepada Loh Yu-ka, sekalipun masih belum paham, kelak masih bisa diberi petunjuk lagi, cuma menurut peraturan Kay-pang turun-temurun, Pang-cu baru waktu menerima jabatan harus sudah bisa memainkan Pak-kau-pang-hoat, oleh sebab itu sedapat mungkin Ui Yong ingin turunkan apa mestinya, maka sudah lebih satu jam masih belum juga selesai menguraikannya.
Dasar Loh Yu-ka ini juga bakatnya kurang ditambah usianya sudah lanjut, daya ingatannya sudah mundur, seketika mana bisa mengingat begitu banyak ajaran yang diberikan itu" Meski Ui Yong sudah bolak-balik mengulangi, masih belum juga diingatnya semua.
Baiknya Ui Yong sudah lama berdampingan dengan seorang suami yang bakatnya tak tinggi, ia sudah biasa dengan orang yang kurang tajan otaknya, maka kebebalan Loh Yu-ka tidak menjadikan amarahnya.
Celakanya ia dibatasi oleh peraturan perkumpulan yang mengharuskan inti Pang hoat itu diturunkan secara lisan dan se-kali2 tak boleh secara tertulis, kalau boleh, sesungguhnya ia bisa menulisnya dan dibaca sendiri oleh Loh Yu-ka sampai apal, hal ini pasti akan hemat tidak sedikit tenaganya.
Dalam pada itu yang paling beruntung rasanya adalah Nyo Ko.
Seperti diketahui, tempo hari waktu Ang Chit kong bertanding dengan Auwyang Hong di Hoa san, pada saat terakhir pernah mengajarkan setiap tipu berikut perubahannya pada Nyo Ko dan disuruh mempertunjukkannya pada Auwyang Hong, hanya kunci diwaktu menghadapi musuh saja yang belum dijelaskan.
Siapa tahu, secara kebetulan sekali di sini Nyo Ko justru bisa mendengar kekurangan itu dari mulutnya Ui Yong yang lagi mengajarkannya pada Loh Yu-ka.
Sudah tentu bakat Nyo Ko beratus kali lebih tinggi dari Loh Yu-ka, hanya tiga kali ia dengar, satu kata saja tak bisa dilupakan lagi oleh pemuda ini, sebaliknya Loh Yu-ka masih bolak-balik mengulangi dan masih tetap salah.
Setelah hamil untuk kedua kalinya, mungkin karena terlalu sibuk menurunkan Pak-kau-pang-hoat pada Loh Yu-ka, akhirnya Ui Yong merasa letih juga, ia coba bersandar pada baru sambil pejamkan mata untuk mengumpulkan semangat.
"Hu-ji, Si-ji, Bun-ji, Ko-ji, semuanya turun sini!" mendadak ia berseru.
Tentu saja Kwe Hu berempat sangat kaget, mereka heran mengapa orang diam2 saja, tetapi sebenarnya sudah tahu mereka sembunyi di atas pohon.
"Kau sungguh hebat, Mak! Segala apa tak bisa membohongi kau!" demikian Kwe Hu berkata tertawa.
Berbareng itu, dengan gerakan "Ling-yan-tau-lim" atau burung walet menerobos Hutan, dengan enteng sekali ia meloncat ke hadapan sang ibu.
Menyusul Bu-si Hengte juga ikut melompat turun, hanya Nyo Ko saja yang merangkak turun dengan pelahan.
"Hm, hanya sedikit kepandaianmu ini berani mengintip?" sahut Ui Yong menjengek "Jika menghadapi kalian beberapa setan cilik saja tak tahu, apalagi kalau merantau Kangouw, bukankah tidak sampai setengah hari sudah terjebak musuh?" Kwe Hu menjadi kikuk, tetapi ia tahu sang ibu biasanya sangat manjakan dirinya maka iapun tidak takut didamperat, sebaliknya ia maju dan berkata lagi dengan tertawa: "Mak, sengaja aku ajak mereka datang ke sini untuk melihat Pak-kau-pang-hcat yang disegani di seluruh jagat itu, siapa tahu apa yang dimainkan Loh-Lianglo itu sedikitpun tak menarik Coba, jika permainanmu tentu sangat menarik.
" Ui Yong tertawa, betul juga segera ia ambil pentung bambu dari Loh Yu-ka.
"Baik, lihatlah aku bikin anjing cilik terjungkal" katanya sambil ulurkan pentung bambu ke arah Kwe Hu.
Segera Kwe Hu perhatikan bagian bawah, ia tunggu bila pentung menyamber, segera ia akan melompat ke atas supaya tidak kesandung.
Dalam pada itu Ui Yong telah geraki pentung bambunya, lekas-2 Kwe Hu melompat siapa tahu baru setengah kaki meninggalkan tanah, dengan tepat kena disabet pentung itu dan dengan enteng ia jatuh menggeletak.
"Tidak, tidak mau aku, itu salahku sendiri," teriak Kwe Hu aleman sambil melompat bangun.
"Baiklah, coba, kau ingin cara bagaimana?" kata Ui Yong tertawa.
Segera si gadis pasang kuda2 dengan kuat, habis itu ia berseru pada Bu-si Hengte.
"Toa Bu-koko dan Siao Bu-koko, kalian berdua berdiri di sampingku sini, juga pasang kuda2 yang kukuh.
" Busi Hengte menurut, mereka berdiri dengan kuda2 yang kuat, Kwe Hu pentang tangannya saling gantol dengan tangan kedua pemuda itu, dengan tenaga mereka bertiga, sungguh sangat kukuh tampaknya.
"Mak, sekarang tak takut lagi, kecuali ayah punya Hang-liong-sip-pat-ciang barulah bisa bikin kami bergerak," kata Kvve Hu.
Ui Yong tak menjawab, ia tersenyum, habis ini mendadak pentungnya menyapu ke muka tiga orang itu dengan kcncang.
Karena kuatir muka mereka yang habis menjadi babak belur, lekas2 ke-tiga2-nya mendoyong ke belakang buat berkelit dengan demikian kuda2 mereka menjadi kendur.
Tanpa ayal lagi pentung Ui Yong berputar kembali dan menyereet kaki ketiga orang, karena tak kuat lagi kuda2nya, mereka bertiga jatuh menubruk tanah semua, ilmu silat mereka cukup hebat, maka baru jatuh segera mereka melompat bangun dengan gaya yang manis.
"Mak, caramu ini hanya tipuan saja, aku tak mau," kata Kwe Hu lagi.
"Memangnya," ujar Ui Yong, "apa yang aku ajarkan pada Loh-tianglo tadi, tipu manakah yang pakai tenaga sungguh2" Kau bilang gerakanku ini hanya tipuan.
memang tidak salah, dalam ilmu silat, 9 dari 10 bagian memang akal belaka, asal bisa robohkan lawan, itu berarti sudah menang.
Hanya ilmu Han-liong-sip-pat-ciang ayahmu itulah betul2 silat sejati yang berani main keras lawan keras tanpa pakai akal.
Tetapi untuk melatih sampai tingkat itu, di jagat ini terdapat berapa orang?" Kata2 ini membikin Nyo Ko diam2 memanggut, sebaliknya Kwe Hu bertiga meski mengerti toh mereka belum paham di mana letak intisari penjelasan itu.
"Pak-kau-pang-hoat ini adalah ilmu silat paling aneh, ia tercipta secara tersendiri dan tiada hubungannya dengan silat2 aliran lain," kata Ui Yong lagi, "Kalau melulu belajar tipu gerakannya tanpa mengerti inti rahasianya, maka percumalah meski belajar selama hidup, Maka selanjutnya kalau aku lagi ajarkan ilmu silat lain, sebelum dapat ijinku jangan se-kali2 mengintip lagi, tahu?" Berulang Kwe Hu mengiakan, tapi dengan tertawa segera ia bilang lagi: "Ah, buat apa aku mengintip kepandaian ibu, apa mungkin engkau tak mengajarkan padaku kelak?" Ui Yong terlalu sayang pada gadisnya ini, maka ia hanya tepuk pelahan bebokong Kwe Hu.
"Hayo, pergi bermain lagi dengan Bu-keh Ko-ko," katanya kemudian "dengan tertawa, "Ko-ji, aku ingin bicara sedikit dengan kau, Loh-tianglo, kau ulangi saja sendiri, kalau masih ada yang Iupa, kelak akan kuajarkan lagi.
" Maka Loh Yu-ka dan Kwe Hu berempat lantas mendahului kembali ke Liok-keh-ceng atau perkampungan keluarga Liok, hanya Nyo Ku yang masih berdiri menjublek di tempatnya, sesaat itu hatinya ber-debar2, ia kuatir kalau2 Ui Yong akan ambil jiwanya sebab berani mencuri belajar Pak-kau-pang-hoat.
Namun dugaannya ternyata meleset.
Waktu melihat wajah pemuda ini rada sangsi2, dengan lemah lembut Ui Yong tarik tangannya dan suruh duduk di sampingnya.
"Ko-ji," Ui Yong mulai bertanya, "banyak sekali urusanmu yang kurasa tidak mengerti, seandainya kutanya, tentu kaupun tak mau menjelaskan.
Cuma, hal ini akupun tak menyalahkan kau.
Di waktu kecil ,watakku pun sangat aneh dan menyendiri semua itu berkat kau punya Kwe-pepek yang telah banyak mengalah padaku.
" Berkata sampai di sini, Ui Yong menghela napas pelahan, mulutnya tersungging senyuman, rupanya ia menjadi teringat pada waktu kecilnya yang nakal itu, lalu ia sambung lagi.
"Jika aku tak mau turunkan ilmu silat padamu, itu tujuannya untuk kebaikanmu, siapa tahu hal itu malah bikin kau menjadi banyak menderita Ko-ji, kau punya Kwe-pepek sayang dan cinta padaku, budi kebaikannya ini sudah tentu akan kubalas sebisanya, ia menaruh suatu harapan atas dirimu, yalah mengharap kelak kau bisa menjadi seorang laki2 sejati, untuk ini pasti aku akan bantu kau menuju ke jalan yang baik supaya cita2 Kwe-pepek terlaksana.
Dan kau, hendaklah kaupun jangan kecewakan harapannya, maukah kau berjanji?" Belum pernah Nyo Ko mendengar Ui Yong berbicara secara begitu halus dan sungguh2 terhadap dirinya, ia lihat sorot mata orang penuh mengandung rasa kasih sayang, tanpa tertahan hatinya terguncang.
Pada dasarnya Nyo Ko ini berperasaan halus, maka terus saja ia menangis keras.
"Ko-ji," sambil mengelus kepalanya, Ui Yong berkata lagi: "Rasanya tidak perlu kubohongi kau, dahulu aku tak suka pada ayahmu, juga tak senang pada ibumu, oleh sebab itu juga terus tak suka padamu.
Tetapi sejak kini pasti aku akan perlakukan kau baik2, nanti kalau kesehatanku sudah pulih, biarlah kuturunkan segala kepandaianku padamu.
" Nyo Ko semakin terharu, tangisnya semakin keras.
"Kvve-pekbo. ba. . . banyak hal2 yang kubohongi kau, biar ku.
. . kukatakan padamu," kalanya kemudian dengan masih ter-guguk2.
"Hari ini aku sudah Ietih, boleh ceritakan kelak saja, asal kau menjadi anak yang baik bagiku sudah senang," sahut Ui Yong sambil membelai rambutnya "Malam nanti akan ada rapat besar Kay-pang, kaupun boleh hadir menyaksikan keramaian itu.
" Nyo Ko pikir wafatnya Ang Chit-kong memang termasuk suatu berita besar dan sudah seharusnya diucapkan di hadapan rapat, maka sembari mengusap air matanya, ia memanggut.
Dengan percakapan mereka yang keluar dari lubuk hati mereka ini, hingga segala rasa tak puas yang dulu2 seketika buyar semua.
Pedang Pembunuh Naga 2 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Pasangan Naga Dan Burung Hong 10
^