Pencarian

Kitab Mudjidjad 3

Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 3


"Bagus, itulah nasibnya yang baik," kata Bwee Hiang.
"Kalau tabiatnya sama dengan saudara mudanya, pasti
Pepg-toaya malam ini aku bereskan sekalian ! "
Lie Kam tidak menjawab, ia tundukkan kepala.
Lama ia menunduk, ketika tidak mendengar Bwee
H:ang mengajukan pertanyaan lagi, ia angkat kepala nya
dan membuka mu-lutnya hendak menanya, tapi alangkah
kaget, nya karena didepannya sudah tidak kelihatan
Bwee Hiang, entah sejak kapan nona cantik itu
meninggalkan ruangan itu.
Mengetahui Bwee Hiang sudah pergi, maka Lie Krim
lantas pergi menemui Peng-toaya untuk melaporkan
kejadian malam i:u, dalam mana Peng-jiya telah
melayang jiwanya. Dalam pada itu. Bwee Hiang sudah kembali
kerumahnya Swat Lan. Ia masuk melalui jendela dan
melihat Swat Lan masih enak-enak mendengkur tidur.
Diam diam Bwee Hiang jadi tertawa geli.
Kemudian ia tukaran pakaian yang ke-cipratan darah
dan lalu naik keranjang tidur disampingnya Swat Lan
yang sedang tidur dengan nyenyaknya.
Pada keesokan harinya, ternyata Bwee Hiang
kesiangan bangun. Swat Lan sudah lama bargun dan
menyediakan barang hidangan, baru Bwee Hiang
kelihatan membuka matanya ran mengucek-ngucek,
kesilauan matahari masuk dari jendela.
"Adikku, kau sudah bangun?" tanya Swat Lan ketawa.
ketika ia masuk kedalam kamar nampak Bwee Hiang
sedang mengucek-ngucek matanya.
"Ah, aku semalam enak tidur, malu aku bangun
kesiangan," jawab Bwee Hiang ketawa.
"Adikku, kenapa mesti malu" Kau tentu lelah, makanya
juga tidurnya enak betul."
"Enci juga kelihatan nyenyak sekali tidurnya, apa kau
kira aku tidak tahu?".
"Adik, bagaimana kau bisa tahu?".
"Semalam aku mendusin, aku lihat enci sedang
mendengkur. Mungkin, kalau waktu itu datang Peng-jiya
dan memeluk enci, pasti enci diam saja saking enak-nya
tidur. . . ." "Adik nakal!" kata si nyonya muda, seraya tangannya
diulur mencubit lengan si nona. "Kau menggodai encimu"
Ciss, mana encimu sampai begitu keenakan tidur?"
Bwee Hiang ketawa ngikik diatas ranjang ia
menggodai Swat Lanyang duduk ditepi pembaringan.
Tampak nyonya rumah yang masih muda belia itu
kemerah-merahan digodai Bwee Hiang yang nakal.
"Kau tertawakan apa, adik sampai begitu enaknya?"
tanya Swat Lan. "Aku ketawakan enci tadi malam," sahut nya.
"Aku memangnya kenapa " "
"Saking enaknya tidur, ketika aku cium pipi enci, enci
diam saja malah berse-nyum dan melindur, katamu:
,,Peng-jiya, kau jangan nakal, nanti orang lihat.."
kembali aku mencium pipi enci, kembali enci diam saja
bibirnya seperti ketawa. Aduh manisnya, kalau saja aku
jadi Peng-jiya, saat itu aku tak akan lewati dan
memberikan enci cium... aduh, aduh, enci jangan...
jangan..." Tiba tiba saja Bwee Hiang terputus-putus bicaranya
dan ngawur, karena Swat Lan telah memeluk dirinya dan
menggigit pipinya, sehingga Bwee Hiang :eraduh aduh
dan mengatakan jangan jangan beberapa kali, karena
tangan Swat Lan mencubit pahanya yang montok. "Nah,
rasakan anak nakal, kau berani godai encimu
keterlaluan...!" kata Swat Lan, seraya badannya
menindih Bwee Hiaug dan tangannya menggerayang
terus hendak mencubit paha orang.
Lantaran itu, dua wanita itu jadi bergulat diatas
ranjang sambil tertawa ceki-kikan, hingga melupakan
kejadian dengan Peng-jiya.
"Enci, sudahlah," kata Bwee Hiang ketika merasa
kewalahan kena didesak Swat Lan. "Aku ada satu kabar
baik untuk kau. Mari dengar aku cerita!"
Swat Lan lepaskan pelukaniiya, lalu berbangkit
merapikan rambutnya yang aduk-adukan dan pakaiannya
yang kusut barusan bergulat dengan Bwee Hiang.
Kemudian ia duduk ditepi pembaringan, sedang Bwee
Hiang juga duduk diatas ran-jang. Bwee Hiang yang
nakal menatap wajahnya Swat Lan dan berkata: "Enci,
benar-benar kau cantik. Apalagi melihat pakaianmu kusut
dan rambutmu yang bagus itu barusan aduk-adukan
benar benar menggairahkan. . ."
"Adik nakal, kau masih menantang?" memotong Swat
Lan, seraya unjuk aksi seperti hendak menyerang Bwee
Hiang lagi. Bwee Hiang ketawa. "Aku tidak berani, barusan saja
kau tindih rasanya aku enga pbenar, Aku minta ampun,
enci ku yang manis. . ."
Swat Lan geli ketawa mendengar perkataan Bwee
Hiang. Ia juga tidak kurang akal untuk menggodai
sinona, sebab ia lantas berkaca: "Tentu saja berat sebab
enci-mu yang tindih, coba kalau si 'dia" yang ..ehm!
berani kau bilang berat" Hihihi."
Bwee Hiang terbelalak matanya, ia tidak mengira Swat
Lan bisa berkelakar demikian.
Ia berlagak pilon dengan kata-kata Swat Lan,
sebaliknya la berkata lagi: "Enci Lan, kau tahu kejadian
semalam?" "Mana aku tahu, tidur Seperti kaya babi mati," sahut
Swat Lan ketawa. "Enci, kau semalam tidur memang benar enak, karena
bekerjanya obat bius..."
Sekarang Swat Lanyang matanya terbelalak heran. Ia
menanya: "Siapa yang begitu berani datang membius
kita?" "Enci Lan, kau jangan kaget, aku akan menuturkan
kejadian semalam, buat kau tentu sangat mengagetkan.
Maka, aku pesan kau jangan kaget, ya?"
"Apanya yang bikin aku kaget, nah ceri-talah adik,"
sahut Swat Lan ketawa. Bwee Hiang lalu menuturkan, bagaimana mereka
dibius oleh seorang yang bertopeng dan telah membawa
Bwee Hiang ke-tempatnya Peng-jiya. Bagaimana ia
hampir menjadi korbannya Peng-jiya, sampai ia
mengeluh dan mengeluarkan air mata, kemudian ia bisa
selamatkan diri dan membunuh Peng-jiya dengan
begundal-begundalnya. Dengan darah ia tulis ancaman,
ditembok, supaya dari pihak keluarga Peng tidak menarik
panjang urusanyangia telah perbuat, dirumahnya Pengjiya.
Swat Lan tidak memotong ceritanya Bwee Hiang, tapi
hatinya berdebaran dan mengeluarkan peluh dingin
saking kagetnya mendengar penuturan Bwee Hiang
seperti kejadian dalam mimpi. Ia menyeka beberapa kali
wajahnya, karena penuh keringat.
"Enci Lan, mulai dari sekarang kau jangan takut
kedatangan Peng-jiya lagi, sebab ia sekarang sudah ada
dialam baka!" berkata Bwee Hiang.
Tergetar hatinya Swat Lan, mukanya pucat seperti
kertas. . "Adik Hiang, apa benar kau cerita ini" Sebab pagi-pagi
aku lihat kau sedang mengeros keenakan tidur. Kau
membohongo encimu barangkali" kata Swat Lan ketawa.
"Enci Lan, kalau kau kurang percaya, boleh tanya
bajuku yang berlepotan darah," sahut Bwee Hiang,
seraya menunjuk pada tumpukan pakaian diatas kursi.
Swat Lan masih kurang penyaya, maka ia lantas
periksa pakaiannya Bwee Hiang, benar saja pada pakaian
itu banyak noda darah. Bwee Hiang ketawa melihat Swat Lan berdiri
termangu-mangu. "Enci Lan, aku sudah bekerja keras untukmu, maka
aku minta kau bekerja juga untukku, ini baru ada
imbangan," berkata Bwee Hiang tiba-tiba, hingga Swat
Lan tersadar dari termaagu-mangunya dan menatap
wajah Bwee Hiang yang sedang tertawa.
"Kau mau suruh aku bekerja apa, adik Hiang?" tanya
Swat Lan kepingin tahu. "Aku bukannya menyuruh, hanya minta tolong kau
cucikan pakaianku yang berlepotan darah itu enci yang
manis . . ." "Baik, baik, Liehiap . . ." sahut Swat Lan ketawa, ia
berkelakar. Keduanya lantas ketawa terkekeh-kekeh.
Bwee Hiang senang pada Swat Lan yang berwatak
polos dan hormat, sedang Swat Lan sebaliknya senaug
pada Bwee Hiang karena perangainya yang halus penuh
humor. Dengan adanya Bwee Hiang maka Swat Lan sering
ketawa. Bwee Hiang menantikan effek dari per-buatannya itu
sampai lima hari dirumah Swat Lan, ternyata
pembunuhan atas dirinya Peng-jiya tidak ada akibat apaapa,
rupanya familie dari Peng-jiya telah menutup atau
tidak menarik panjang atas kematian Peng-jiya yang
menurut hukum alam memang sepantasnya Peng-jiya
yang jahat itu menerima kematiannya itu. Malah, ketika
Bwee Hiang melakukan penyelidikan, ia dapat kenyataan
bahwa alat alat rahasia yang merupakan perangkap juga
semuanya sudah dimusnahkan.
Girang hatinya si nona bahwa ancaman-nya
diperhatikan oleh keluarga Peng.
Pada hari yang ke enam, Bwee Hiang berpamitan dari
Swat Lan untuk melanjutkan perjalanannya ke Tonghong-
gay. Berat rasatiya Swat Lan berpisahan dengan Bwee
Hiang, akan tetapi ia tak bisa menahan kepergiannya
jago betina kita. la membujuk untuk Bwee Hiang tinggal
lagi beberapa hari di rumahnya, tapi Bwee Hiang
menolak. "Enci Lan, kau menahan aku beberapa hari, akhirnya
toh kita akan berpisahan juga, malah siapa tahu dalam
beberapa hari itu persahabatan kita makin akrab dan
sukar untuk kita bisa. berpisahan," demikian berkata
Bwee Hiang pada kawan barunya.
Swat Lan tidak membantah kata-kata Bwee Hiang,
maka sebagai tanda mata ia memberikan setangannya
dan sebaliknya Bwee Hiang juga berikan setangannya
yang pinggirannya disulam bagus pakai huruf namanya
'Bwee Hiang'....... -oo0dw0o- Bab 8 TONG-HONG-GAY .... Suasana di waktu pagi dilembah Tong-hong gay
sangat mengesankan. Kabut pagi perlahan-lahan tersapu oleh munculnya
matahari, keadaan menjadi ce-rah dan burung-burung
berkicau disana sini, monyet monyet pada berlompatan
roenga-si deugar suaranya yang cecowetan- Ra-jawali
raksasa juga tidak mau ketinggalan untuk menyambut
sang pagi yang cerah itu, terdengar suaranya yang
meringkik menye-ramkan. Pada saat itulah Kwee In dan Eng Lian berada
diatasnya sebuah pohon yang tinggi dan besar. Mereka
membuat gubuk didahan yang besar dan kuat, tatkala
mana tampak Kwee In sedang duduk didepan gubuknya
dan Eng Lian duduk dengan menyandarkan kepalanya
didada Kwee Inyang kokoh kuat.
Kwee In makin menanjak usianya ter-nyata badannya
makin jadi, kekar dan kuat dan tidak kelihatan ganjil
kalau dibuat sandaran oleh kepalanya Eng Lian. Dulu
kapan si dara manis mau menyandarkan kepala
didadanya Kwee In, tampak agak ganjil karena si bocah
lebih kecil dari Eng Lian, akan tetapi sekarang ternyata
berobah dan Eag Lian ada lebih kecil dari Kwee In, malah
lebih jangkung hingga seperti juga si dara cilik itu ada
adiknya Kwee ln. Dengan pulihnya kembali kepada wajah aslinya,
tampak Kwee In sangat cakap dan tampang yang cakap
itu sering mempesona-kan Eng Lian.
Si dara cilik jelita sekarang sudah memasuki usia
sembilan belas dan Kwee In delapan belas, meskipun
demikian, sifat kekanak-kanakan mereka belum hilang,
mereka bercanda dengan bebasnya sebagai anak anak
yang besar dipegunungan tanpa mendapat penilikan dari
orang tua. Sembari membelai-belai rambntnya si dara yang hitam
mulus, Kwee ln berkata: "Enci Lian, sebenarnya kita
sekarang sudah harus ganti panggilan . . . "
"Ganti panggilan bagaimana?" tanya si gadis, niatanya
memandang kedepan penuh lamunan dan kata kata
Kwee ln barusan Eng Lian rasakan seperti burung
berkicau. "Aku sekarang sudah lebih besar dan lebih jangkung
dari pada enci, maka seharusnya enci memanggil
padaku . koko . . ."
"Hm. . ." Eng Lan mendengus sebagai jawaban, tapi
ia bersenyum manis. Kwee ln tidak melihat itu, karena Kwee In juga
pandangan nya jauh kedepan, seraya terus membelai
belai rambut nya Eng Lianyang bagus dengan penuh
kasih sayang. "Enci Lian, api kau kebebatan untuk mengganti
panggilan?" tanya Kwee Iri ketawa.
"Encimu lebih tua salu tahun, bagaimana sih suruh
orang ganti panggilan?" sahut si gaiis, Seperti
mendongkol. "Bukankah adikmu sekarang sudah lebih besar dan
tinggi dari pada enci?"


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hihilii . . ." Eag Lian ketawa ngikik. "Oo, jadi itu kau
jadi kau alasan?" "Habis, apa lagi" Yang lebih kecil mesti dipanggil adik,
bukan?" "Koko, nih, koko . . ." Eag Lian kata gergetan, seraya
tangannya mencubit pahanya si bocah nakal, hingga ia
menggeliat-geliat kesakitan.
Eng Lian terpingkal pingkal ketawa. :
"Tiba tiba . . .Adik In, eh, adik In kau . . ." Eng Lian
gelabakan Kwee In memegangi dagunya dan didongaki,
menyusul ia rasakan napasnya macet, hidungnya yang
bangir ditekan hidung nya Kwee In dan dua pasang bibir
saling merapat. Hangat Eng Lian rasakan saat yang membahagiakan
itu- "Adik In, kau belakangan ini sangat nakal ..." kata Eng
Lian perlahan-lahan setelah terlepas dari kecupan si
bocah nakal, seraya jari telunjuknya yang mungil
menekan bibirnya Kwee In perlahan.
Kwee In tidak menyahuti, hanya ia ketawa nyengir
Sementara itu. terdengar kawanan monyet cecowetan
ramai dan seperti kebingungan lari serabutan
menghampiri Kwee ln. Kwee In berkerut keningnya.
"Adik In, ada apa?" tanya Eng Lian, melihat adik Innya
tiba-tiba keningnya mengkerut.
"Ada orang kembali datang mengganggu ketentraman
kita," sahut Kwee In.
"Biarkan mereka datang, nanti encimu yang
membereskan," kata Eng Lian berbareng bangkit dari
duduknya dan berlompatan dari satu kelain dahan turun
ke-bawah. Kwee In dengan tenang mengikuti Eng Lian dari
belakang. Benar saja, belum lama Eng Lian menginjak tanah, ia
sudah berhadapan dengan tiga orang imam, satu pendek
dan dua jangkung seperti galah.
Tiga orang imam itu heran melihat si dara cilik yang
cantik menghadang didepannya.
"Adik cilik, kau ada disini, memang-nya kau jadi
penghuni lembah ini?" tanya si imam pendek, rupanya
menjadi kepala rombongan.
"Totiang, kalian dari mana?" Eng Lian balik menanya.
"Pertanyaanku belum dijawab, kau sudah menanya
kami dari mana?" "Totiang dulu sebutkan dari mana, nanti aku jawab
pertanyaanmu." "Nona kecil, kami datang dari Kian-san untuk mencari
seorang penghuni lembah disini, apa kau salah satu
penghuni disini?" "Aku memang penghuni disini, Totiang mau mencari
siapa?" "Bagus, bagus! Hahaha . . . !" imam pendek itu
ketawa senang. Eng Lian juga terkekeh-kekeh ketawa, seperti
mengolok-olok si imam, hingga dua kawannya, imam
jangkung, menjadi tidak senang melihat lagaknya Eng
Lian. "Kau ketawakan apa, anak kecil?" bentak satu
diantaranya. "Kau boleh ketawa, kenapa aku tidak boleh?" sahut
Eng Lian berani. Si imam pendek kedipi matanya, seperti mencegah
temannya mencari setori. Ia sendiri lalu menanya pada si
gadis: "Nona kecil, kau menjadi penghuni dalam lembab
ini tentu tahu ada seorang bo-cah yang berjuluk Hek-bin
Sin-tong, dimana tempatnya itu" Apa kau dapat memberi
keterangan padaku?" "Untuk urusan apa Totiang mencari si Bocah Sakti?"
tanya si dara nakal. "Itu urusan kami orang," sahut si imam. "Asal kau
suka unjukkan tempatnya, tidak ada urusan lagi dengan
kau, rnakanya lekas kau katakan!"
Eng Lian tidak menyahut, sebaliknya ia ketawa ngikik,
hingga kembali menbikin mendelu hati nya imam yang
tadi membentak Eng Lan. Si imam pendek juga sudah mulai mendongkol melihat
Eng Lian seperti mempermainkan dirinya, maka ia
berkata pula dengan suara kurang senang: "Nona kecil,
apa ketawa ngikikmu itu jawabmu atas pertanyaanku
barusan?" Eng Lian tidak menyahut, banya manggut mangsui
seraya masih terus ketawa ngikik.
"Kami Kian san Sam-sian. belum pernah menghadapi
anak liar seperti kau, kalau kau tidak lekas
mengunjukkan dimana tempatnya Hek bin Sin tong,
jangan salahkan kami orang akan perlakukan kejam
kpadamii!" berkata si imam jangkung yang dari tadi
Sangat mendelu melihat lagaknya Eng Lian.
Kian san Sam-sian ialah 'Tiga Dewa dari Kian-san'
yang belum lama berselang mengangkat nama dalam
rimba persilatan. "Sungguh galak kau Totiang," sahut Eng Lian. "Kau
mau berbuat baik atau mau berbuat kejam, itulah
urusanmu, nonamu tidak takut!"
Terbelalak heran, matanya si imam jangkung.
"Suko, jangan banyak omong dengan budak liar itu,
hajar saja sampai ia mau memberitahu dimana ada Hekbin
Sin-long!" usul si imam jaugkung yang satunya lagi-
Si imam pendek jadi serba salah. Tadinya ia mau
dengan halus mengorek keterangan dari si dara cilik. apa
mau sekarang kedua temannya sangat gemas pada si
dara, maka ia juga tak terlalu salahkan kepada mereka
melihat Eng Lian seperti tidak memandang mata kepada
Kim-san Sam sian, yang sudah mulai tersohor namanya.
"Nona kecil, sebenarnya siapa kau?" ia masih mau
menanya lagi. "Aku adalah pelayannya Hek bin Sin tong," sahut Eng
Lian bangga. "Uah! Pelayan Hek bin Siu tong ?" kata si imam
pendek terkejut. "Ya, aku adalah pelayannya Hek-bin Sin-tong,!"
menegas Eng Lian. "Hahaha....!" Sungguh beruntung Hek bin Sm tong
punya pelayan secantik kau nona, betul-betul aku jadi
mengiri. Bagaimana kalau kau pindah menjadi pelayanku?"
si imam pendek ketawa cengar-cengir, hingga dara
jelita kiia merengut mukanya.
"Siapa yang mau jadi pelayanmu, imam pendek!"
bentak si gadis. "Pendek juga orangnya, tapi perkakasnya tidak
pendek. Hahaaa..." si imam ketawa
Eng Lian merah selebar mukanya, ia jengah
mendengar perkataan si imam. "Imam cabul, kau berani
kurang ajar didepan nonamu?" bentaknya, seraya maju
hendak menyerang si imam pendek.
"Hahaha, lihat itu anak kecil marah-marah!" berkata
imam jangkung yang mendongkol pada Eng Lian.
Tampak ia sangat gembira Sukonya permainkan si dara
cilik. Eng Lian batalkan menyerangnya, kapan ia ingat ia
harus menanya dulu siapa nama-nya ketiga imam itu. Ia
menanya: "Kalian ada imam-imam busuk, maka
tinggalkanlah namamu sebelum aku mengirim jiwa kalian
menghadapi Giam Lo ong!"
Ketiga imam itu tertawa gelak-gelak mendengar
perkataan dara kita, yang diucapkan dengan gayanya
yang lucu. "Nona kecil," berkata si imam pendek. "Supaya jangan
sampai penasaran sebentar kami rangket pantatmu, aku
perkenalkan aku bergelar Kim Sian, dua saudaraku Gin
Sian dan Tiat Sian. Kami terkenal dengan nama julukan
Kian-san Sam-sian." "Apa perlunya kalian mencari Hek-bin Sin-tong?"
"Kami rnau minta ia serahkan It-siu-keng dan .,,:
"Soko, untuk apa kau banyak bicara dengan segala
budak tidak ada artinya!" memotong Gin Sian, sehingga
Gin Sian jadi terputus omongannya.
"Budak tidak artinya" Hm! Kau lihat nonamu bikin
kalian sungsang sumbel dan tidak ada lobang untuk lari!"
berkala Eng Lian temberang.
Tiat Sian sangat gemas kepada Eng Lian, maka tanpa
permisi lagi dari Sukonya ia sudah menerjang dengan
kepalan gede-nya. Pikirnya, sekali ditinju si nona cilik
akan terpelanting dua-tiga tombak, la tidak mengira
tenaganya dara cilik kita bukan main, sebab begitu
tinjunya datang dekat, Eng Lian menyambut dengan dua
ta-ngannya. Menyusul ia menggebuk keras, Tiat Sian
kontan terjerunuk kedepan. Sem-poyongan dan akhirnya
hidungnya mencium tanah yang berumput.
"Hihihi . . . !" Eng Lian ketawa ce-kikikan, melihat
lawannya dengan sekali sentak saja sudah sempoyongan
dan maloso mencium rumput.
"Jangan ketawa dulu!" bentak Gin Sian, sambil
membokong dari samping. Baik juga Eng Lian waspada, tinjunya lewat dua dini
dengan hidungnya si dara cilik yang cepat mengegos dari
serangan lawan yang membokong.
"Kurang ajar, kau berani membokong?" bentak Eng
Lian, hatinya panas. Ia merangsek maju sebelum
lawannya memperbaiki posisinya. Tangannya yang kiri
rnenjotos muka. orang, sedang yang kanan nyelonong ke
iga, cepat serangan ini. Hingga si imam gugup dan
untung ia masih dapat menyelamatkan dirinya, meskipun
demikian keringat dingin mengucur dengan tidak terasa
dibadannya saking kaget barusan.
Ia cepat perbaiki posisinya, balas menyarang. Tapi
Eng Lian sangat gesit, lincah sekali ia bergerak. Sebelum
si iman sadar bahwa dirinya terancam bahaya. tahu-tahu
kakinya Eng Lian menendang pinggulnya, ia tak sempat
berkelit, maka bluk" saja ia jatuh ngusruk. "Hm! Baru
sekarang menyaksikan kelihayah nonamu, ya!" mengejek
Eng Lian, seraya memburu lawannya dan mau
memberikan tendangan pula.
Kim Sian melihat dua adik seperguruannya dengan
mudah saja dibikin terjung-kal oleh anak kecil, hatinya
menjadi panas. Cepat ia lolosi pedangnya, maksudnya
mau membokong Eng Lianyang sedang menghampiri Gin
Sian. Ia baru saja melangkah, tahu-tahu batang lehernya
sudah dicekuk dari belakang. Pedangnya berbareng
dirampas, Kim Sian sangat kaget, orang demikian hebat
tenaga-nya. Tangannya memegang tangan orang yang
mencekuk lehernya, ia kaget, sebab itu bukan tangan
manusia. Ketika ia paksakan kepalanya menoleh, ia lihat
bukan manusia yang mencekuk lehernya itu adalah satu
gorilla, orang hutan yang menakuti.
Memangnya juga Toa-hek yang mencekuk lehernya
Kira Sian. Imam pendek itu menjadi ketakutan. Tiba-tiba ia
rasakan badannya enteng, diangkat oleh Toa hek,
kemudian dibanting keras, hingga ia menjerit dan
merasakan tulang-tulangnya remuk oleh karenanya.
Sambil perdengarkan suara hor! hor! yang menakuti,
Toa-hek menghampiri pula Kim Sianyang telah menggigil
duduk di-tanah. Ia coba berkelit dari sambaran tangan
Toa-liek, sayang ia kalah cepat, sebab lengannya sudah
kena dicekal dan diangkat lagi untuk dibanting kedua
kali-nya. Kali ini setelah menjerit ia jatuh pingsan, tidak
tahan oleh kerasnya bantingan si gorilla.
Tiat Sian melihat Sukonya dibanting pergi datang oleh
gorilla, bukan main takutnya.
Tadinya ia hendak bingun dan mengeroyok EngLian,
tapi niatnya batal. Ia bangun sekarang untuk lari
menyelamatkan diri, sayang terlambat, karena tiba-tiba
ia rasakan lengannya dicekal oleh seorang yang kuat luar
biasa. Ketika ia menoleh, itulah Siauw-hek yang ketawa
nyengir ke-padanya. Semangatnya seketika terbang entah kemana, sebab
ketika dibanting ia tidak perdengarkan jeritan, langsung
ia jatuh pi ngsan. Eng Lian melihat kejadian itu ketawa terpingkal
pingkal. Ia urungkan niatnya hendak menendang Gin Sian.
sebab tatkala itu Gin-Sian sudah dibawah kekuasaannya
Ji-hek. Gin Sian kesima mendengar suara hor! hor! yang
menakutkan dari Ji-hek. ia keburu lemas ketika mau
berkelit dari cekalannya Ji-hek. Gorilla wanita itu tidak
tanggung-tanggung ia bukan dengan satu tangan, tapi
dengan dua tangan ia angkat tubuhnya Gin Sian dan
dibanting keras. Ngek! sekali terdengar suara, Gin Sian
bukannya pingsan lagi, namun jiwanya telah melayang
menantikan kawannya ditempat baka.
Melihat Tiat Sian masih berkutik, Siatit-hek datang
menghampiri dan mengangkat pula tubuh si Dewa Besi,
sekali banting kali ini rokhnya Tiat Sian menyusul
saudaranya yang sudah jalan lebih dahulu.
Kim Sian semangatnya sudah terbang dan mati
terlebih dahulu, ketika Toa-hek untuk kedua kalinya
mengangkat dan membanting badannya remuk
berantakan. Setelah membunuh tiga lawannya, ketiga gorilia itu
berkumpul saling berpegangan tangan berputaran dansa
kegirangan telah menunaikan tugasnya.
Eng Lian turut gembira dengan bertepuk-tepuk tangan
sambil berjingkrakan: Tring! Tring terdengar dua kali suara benda tajam
jatuh menimpa batu. Eng Lian kaget ketika melihat dua batang huito jatuh
tidak jauh dari tiga gorilla yang sedang berdansa


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegirangan. Mereka tidak tahu adanya bahaya tadi, maka
mereka masih enak-enakan saja dansa berputaran.
Eng Lian membentak, dengan bahasa monyet yang ia
pelajari dari Kwee In, ia beritahukan kepada ketiga gorilla
itu ada orang yang membokong mereka. Kontan mereka
lantas hentikan dansanya dan meng-gerang buas.
Segera mereka berlompatan dengan ter-pencar, untuk
menguber musuh yang membokong tadi. Eng Lian tahu
bahwa Kwee In yang telah menggagalkan maksud jahat
orang yang membokong tadi. Ia melihat keatas pohon,
tidak melihat adik In-nya. Cepat ia enjot tubuhnya
melayang naik keatas pohon, ia manjat sampai dipuncak
pohon, dari mana ia lihat Kwee In sedang menguber tiga
orang yang bergenggaman golok. Mereka itu rupanya
yang telah melepas pisau terbang untuk membunuh Toahek
dan anak bininya. Eng Lian sangat gusar. Cepat ia gunakan ginkangnya,
melompat sana-sini dari satu kelain cabang pohon,
menyusul Kwee In yang menguber tiga penjahat.
Ketika ia dapat menyusul, dari atas pohon ia
menonton Kwee In dikurung oleh tiga orang bergolok
panjang, wajahnya mereka menyeramkan (bengisbengis).
Eng Lian tidak mau perlihatkan dirinya, ia
kepingin tahu orang-orang itu bisa berbuat apa terhadap
adik ln-nya. "Kau menguber terus kami, apa kau kira kami tidak
berani menghadapi kau?" Eng Lian dengar satu
antaranya tiga orang itu berkata. "Kami Ho-pak Samniauw,
kalau tidak punya nyali masa berani datang untuk
ketemu dengan Hek-bin Sin-tong?"
Ho-pak Sam-niauw atau Tiga burung dari daerah Ho
pak terkenal paling telengas sepak terjangnya dalam
kalangan Kang-ouw. Mereka sangat berani menempur
siapa saja yang merintangi sepak-ter-jangnya. Ini Kwee
In dapat tahu dari ayahnya, Kwee Cu Gie, ketika Kwee In
mohon berpisah dari sang ayah. Kwee Cu Gie banyak
kasi nasehat kepada anaknya supaya waspada
menghadapi musuh-musuh nya dan ia ceritakan siapa
orang-orang jahat dan kelakuaunya kejam telengas dan
siapa-siapa yang perbuatannya baik dan suka menolong
kepada sesamanya yang dapat kesusahan. Kwee Cu Gie
ulangi lagi pesannya, supaya sang anak jangan terlalu
banyak membunuh kalau tidak kepaksa, sebab
pembunuhan-pembunuhan itu tidak habisnya, saling
balas membalas seperti yang dialami oleh dirinya.
Ho-pak Sam-niauw berkomplot dengan Kian-san Samsian,
mereka berenam menyatroni lembah Tong honggay
dengan maksud menemui Hek-bin Sin tong,
membunuhnya kalau perlu, untuk merampas It sin keng
yang dunia persilatan umumnya menduga It-sin-keng
atau Kitab Mujijad ada dita-ngannya si Bocah Sakti.
Mereka bernama Giani Pek, Siauw Tek Liang dan Sim
Kie. Kwee In ketawa mendengar perkataan Giam Pek, yang
mengatakan Ho-pak Sam-niauw tidak akan menyationi
Hek-bin Sin-tong kalau tidak punya nyali besar.
"Aku kira siapa, tidak tahunya Ho-pak Sam-niauw yang
datang?" menyindir Kwee In. "Aku tidak.perduli kalian
punya nyali atau tidak untuk menemui Hek-bin Sin-tong,
namunyang terang kalian hendak mencelakai ternanti ya
Hek-bin Sin-tong dengan jalan membokong itulah
perbuatan yang aku tidak suka."
"Kami tidak mencelakai teman-teman Hek bin Sintong,
cara bagaimana kau seenaknya saja menuduhnya?"
menyangkai Giam Pek. "Kalian membokong tiga gorilla, teman-nya Hek-bin-
Sin tong. apa kalian tidak mau mengaku?" berkata Kwee
In kurang senang. Ho pak Sam-niauw melenggak. Mereka tidak mengira
kalau tiga gorilla itu adalah teman-lemannya Hek-bin Sintong,
yang mereka sangka adalah membunuh manusia
bukannya binatang. "Kau ada sangkut apa dengan Hek-bin Sin-toag?"
lanya Sini Kie. "Aku adalah kacungnya Hek-bin Sin-tong," jawab
Kwee in ketawa. "Kacungnya?" Siauw Tek Liang mengulang kaget.
Orang she Siauw itu kaget karena barusan Kwee In
menguber mereka demikian gesitnya, nyyita ginkargnya
sangat tinggi. Meskipun mereka terkenal mempunyai ginkang
yang tinggi, tidak terluput dari uberan-nya Kwee In,
mnkanya ia menjadi kaget. Kacungnya sudah demikian
hebat kepandaiannya, apalagi Hek bin Sin-tougnya
sendiri, entah berapa tinggi kepandaiainiya.
"Kau ini kacungnya, s-iapa namamu?" tanya Siauw Tek
Liang. "Aku hanya seorang kacung, tak perlu mengasi tahu
nama," sahut Kwee In.
"Kau menguber kami orang, apa perlu-nya?" tanya
Giam Pek. "Kalian harus mempertanggung jawab-kan perbuatan
kalian membokong gorilla!"
"Kentut busuk!" teriak S;m Kie marah. "Kawanan
gorilla itu telah membunuh Kian-San Sam-sian, apa tidak
pantas dibunuh?" "Hehe!" Kwee In ketawa. "Ditempat lain kau boleh
bawa mulut besar, tapi di-Iembah Tong hong-gay, kau
harus hati-hati dengan mulutmu!"
"Kau berurusan dengan Ho pak Sam-niauw, apa kau
sudah pikirkan akibatnya bagaimana?" tanya Siauw Tek
Liang ketawa terbahak-bahak.
"Aku mendapat perinlah dari Hek bin Sin-tong, siapa
yang mengacau dalam lembah ini tidak perduli siapa,
harus dihajar adat- Bisa masuk, untuk keluar seperti
susahnya orang naik kelangit!" mengejek Kwee In.
"Kentut busuk!" kembali Sim Kie berteriak, malah kali
ini disusul dengan serangan tinjunya yang besar
menyarah dada Kwee In. Kwee In hanya bergerak sedikit badannya, kepalan
Sim Kie lewat kira satu dim depan dadanya yang diarah.
Lantaran tin-junya kehilangan sasaran, maka Sim Kie jadi
agak ly:Ionong kedepan badannya. Kesempatan mana
tidak disia-siakan oleh Kwee ln, dengan satu tepukan
perlahan pada pundaknya, cukup membuat badannya
Sim Kie menggedebuk jatuh mencium tanah. Meskipun
perlahan, tapi tepukan Kwee In tadi dirasakan
meremukkan tulang puudak-nya, hingga Sam Kie
meringis-ringis. Giam Pek main mata dengan Siauw Tek Liang.
Segera keduanya meloloskan goIoknya. Siauw Tek
Liang menyabat dari bawah, Kwee In berkelit sambil
loncat dan ta-ngannya menyampok golok Giam Pek yang
menusuk perutnya. Sampokannya kelihatannya perlahan,
tapi akibatnya runyam, badannya Giam Pek terputar
dibawa tenaga golok yang disampok Kwee In tadi.
Melihat dua saudaranya sudah menye-rang dengan
senjata tajam, Sim Kie juga tidak mau ketinggalan. Ia
bangkit meloloskan goloknya, dengan senjata mana ia
serang Kwee In dari belakang. Ia mengira bacokannya
bakal membikin tubuh Kwee In terbelah menjadi dua,
namun, untuk keheranannya Kwee in dengan mendadak
menghilang dari bacokannya.
Ia membacok angin. Sebelum ia sadar akan bahaya,
tahu-tahu untuk kedua kalinya pundaknya kena di tepuk.
Berbareng dengan goloknya yang terlepas dari
cekalannya, ia rasakan pundaknya copot dan ia jatuh
duduk dengan merintih-rintih kesakitan.
Pada saat itulah Toa-hek sampai. Tanpa banyak lagak,
Toa-hek sudah angkat Sim Kie dan dibanting sekali,
bantingan ada keras sebab isi perutnya Sim Kie sampai
keluar berantaran. Hal mana membikin keder Giam Pek
dan Siauw Tek Liang yang sedang mengerubuti Kwee ln.
Meskipun ilmu golok mereka bukan ilmu sembarangan,
menghadapi Kwee In mereka mati kutu. Golok
panjangnya sudah makan korban entah berapa banyak,
dihadapkan pada Kwee In mendadak tidak ada gunanya.
Sementara itu Siauw-hek dan Ji-hek pun sudah
datang. Mereka berkumpul bertiga dengan Toa-hek,
menonton majikannya sedang mempermainkan dua jago
dari Ho pak. Gam Pek dan Siauw Tek Liang gentar hatinya. Kwee
In sendiri sudah sukar dilayani, bagaimana kalau tiga
gorilla itu turun tangan membanting dirinya" Siauw Tek
Lang ada seorang licik, maka ia tebalkan muka berkata:
"Hei kacung Hek-bin Sin tong, kalau kau ada punya nyali,
kau lawan kami berdua tanpa dibaniu oleh tiga orang
hutan! Bagaimana kau berani?"
Kwee In ketawa terbahak-bahak. "Kalian jangan
kuatir, Toa-hek dan kawan-kawannya tidak nanti
membantu aku. Tenangkanlah hati kalian, boleh terus
mengeroyok aku!" Lega hatinya Giam Pek dan Siauw Tek Liang, cuma
saja lega itu cepat berganti dengan rasa cemas. karena
gerak tipunya beberapa kali dimusnahkan oleh Kwee ln.
Si bocah Sakti rupanya hanya main-main saja
melawan dua lawannya itu, sebab buktinya ia tidak balas
menyerang dan hanya berkelit sana-sini menghindarkan
serangan golok. Tiba-tiba Kwee In lompat keluar dari pertempuran dan
berkata: "Aku mengaku kalah, sekarang kalian boleh
lawan dua gorilla dari Hek-bin Sin-tong."
Giam Pek melengak mendengar perkataan Kwee In. Si
anak muda belum kalah, malah mereka yang kalah
digocek pergi datang, tapi kenapa ia mendadak mengaku
kalah dan hendak raemajukan dua gorilla-nya" Inilah
heran. Namun, hati mereka senang, sebab dari melawan
Kwee In mereka lebih suka melawan dua orang hutan,
dengan dua atau tiga gebrakan sudah dapat menabas
kutung batang lehernya sebagai pembalasan atas
kematian Samtenya dan Kian-san Sam-sianyang telah
dibanting mampus oleh gorilla-gorilla itu.
"Baiklah," berkata Siauw Tek Liang mendahului
kakaknya berkata, "tapi dengan syarat, kalau kami dapat
membunuh dua gorilla lawan kami, kau jangan marah
aan bikin pembalasan untuknya, sebaliknya kau antar
kami Keluar dari lembah."
"Baik baik!" sahut Kwee In kontan. "Itulah syarat yang
wajar. Sebaliknya, kalau kalian terjungkal jangan
sesalkan badan kalian akan dirobek-robek oleh gorilla
kami." Giam Pek dan Siauw Tek Liang seram juga
mendengar perkataan Kwee In paling belakang, akan
tetapi dengan cepat mereka dapat mentabahkan hatinya,
mereka ya-kin benar dengan dua-tiga gebrakan mereka
sudah dapat menabas kuntung lehernya dua gorilla
lawannya. "Kau boleh majukan, gorilla yang mana akan diajukan
sebagai lawan kami!" menantang Siauw Tek Liang,
seraya pasang kuda-kuda dengan golok siap ditangan.
Kwee In geli melihat lagaknya si orang she Siauw.
Kwee In bicara dengan bahasa monyet kepada
kawannya, segera terlihat Toa-hek dan Ji-hek yang maju
melawan Giam Pek dan Siauw Tek Liang.
Kedua gorilla itu hampir sama besar badannya, suami
isteri yang sudah dilatih baik oleh Kwee In untuk
bertempur dengan manusia.
Siauw-hek, Kwee In masih belum berani majukan,
karena anak Gorilla itu masih belum dapat latihan
sempurna darinya. Ia masih dibawah didikan Eng Lian.
Meskipun demikian Siauw-hek sudah sangat li-hay.
Segera juga goloknya Giam Pek dan Siauw Tek Liang
berkelebat beberapa kali dengan mengeluarkan suara
menderu, hingga Toa-hek dan Ji-hek waspada melayaninya.
Ternyata kedua gorilla itu sangat cer-dik dan tangkas
sekali melayani lawannya.
Sungguh lucu melihat Siauw Tek Liang kena digolyek
oleh Ji-hek. Pengharapannya dapat membunuh lawan
gorillanya dalam dua-liga gebrakan telah tersapu hilang.
Sebaliknya, malah ia keluar keringat dingin saking tak
tahan menahan desakan desakan Ji-hek yang berat dan
hampir goleknya dapat dirampas oleh si gorilla.
Giam Pek lebih menyedihkan keadaan-nya. Ilinu
goloknya yang dibanggakan seakan terlupakan, karena si
orang she Giam belakangan menyerangnyadengan cara
tidak teratur. Ia main rabu saja, membacok kalangkabut,
hingga Kwee In kuatir juga gorillanya mendapat
halangan oleh serangan-serangannya orang she Giam itu
yang tidak teratur. Kalau Giam Pek bersilat dengan teratur, ada lebih
memudahkan bagi Toa-hek menangkis dan menyerang,
sebaliknya, karena serangan-serangan Giam Pek kalangkabat
Toa-hek menjadi agak bingung bagaimana
menangkis dan menyerangnya. Ia bukan manusia, hanya
binatang, yang pikirannya tidak sama dengan manusia. la
hanya menuruti pelajaran yang diberikan oleh Kwee In,
sebaliknya ia tidak kenal kalau lawan bertempur main
rabut Untung juga otaknya Toa-hek cerdas. Melihat
lawannya bersilat tidak sebagaimana biasanya, ia
mendesak lebih rapat dan sekali jambret ia sudah
merampas goloknya Giam Bek, menyusul tinju kirinya
menggempur dadanya si orang she Giam hingga
terpelanting jauh tiga tombak dan muntah darah segar.
Seluruh tenaganya dirasakan habis, ia menggeletak
menanti kemati-an. Kwee In girang Toa-hek dapat men-jatuhkan
lawannya, berbareng ia mendengar tepukan tangan dari
Eng Lian diatas pohonyang Kwee In tidak perhatikan si
dara ada disitu. Ketika matanya melirik pada si dara
nakal, tampak Eng Lian dengan genit monyongkan
mulutnya yang mungil kearahnya, hingga si bocah


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa gelak-gelak. Diantara mengalunnya gelak ketawa Kwee In,
terdengar jeritan ngeri. Itulah Siauw Tek Liang yang
kena dirampas go-loknya, kemudian Ji-hek merangsek
dan memukul jatuh ia, akan kemudian diangkat dan
dirobek badannya sehingga isi perutnya si orang she
Siauw menjadi berantakan ditanah.
Melihat isterinya sudah menunaikan tugasnya, Toahek
menghampiri Giam Pek yang sedang empas empis
napasnya. Ia mengangkat tubuhnya dan hendak
membanting nya, tapi keburu dicegah oleh Kwee In. Toahek
batalkan niatnya, lalu merebahkan pula Giam Pek
ditanah, sementara itu se-mangatnya si orang she Giam
sudah hilang saking kagetnya tatkala ia diangkat ol-eii
Toa-hek. Pikirnya, ia harus mati waktu itu dibanting si
gorilla yang luar biasa besar tenaganya.
Ia heran ketika melihat dirinya direbahkan pula oleh
Toa-hek. Sebentar lagi tampak Kwee In menghampiri, ia
berkata: "Orang she Giam, sebenarnya tidak semestinya
aku mengampuni kau yang sangat, tapi tidak apalah, aku
mau pinjam mulutmu untuk mengasi tahu dikalangan
Kang-ouw, bahwa jangan orang coba-coba menyatroni
daerah lembah Tong-hong-gay sebab akibatnya adalah
kematian. Jangan mengimpi untuk menangkap Hek-bin
Sin-tong dan mengimpi dapatkan It-sin-keng segala,
sebab Hek-bin Sin-tong tidak mempunyai buku ajaib itu!"
Setelah berkata, Kwee In mengajak kawan-kawan
gorillanya berlalu dari situ.
Dalam pada itu Eng Lian sudah turun dari pohon dan
menyongsong Kwee In, keduanya saling berpegangan
tangan pulang ketempatnya.
-oo0dw0oo- Bab 9 MANAKALA mereka sudah berada pula diatas pohon,
mereka tidak langsung memasuki gubuknya, hanya pada
duduk di-depannya bercakap-cakap.
Setelah mereka berhenti bercakap-cakap, tiba-tiba
terdengar Kwee In menghela napas, hingga membikin
Eng Lian kaget dan menatap pada adik In-nya.
"Adik In, kau kenapa?" tanya si dara jelita.
"Tidak apa-apa, aku hanya ingat kepada perkataan
Kim Wan, Toako," sahut Kwee ln.
"Memangnya Toako ada berkata apa?" tanya Eng Lian.
"Ia bilang, gara gara soal It-sin-keng penghidupanku
tak bisa tenteram, sekarang baru aku dapat
membuktikan perkataan Toako. Orang-orang pada
datang kelembah untuk mengganggu ketenteraman kita .
. ." "Adik In, kau jangan cemas, encimu akan bantu kau
mati-matian!" Eng Lian menghibur si Bocah Sakti,
wajahnya ke-lihatan serius betul.
"Aku bukannya takut," berkata pula Kwee ln. "Cuma
gara gara It sin-keng jadi banyak yang mati sia-sia. Aku
menyesal mereka tidak mau percaya bahwa It-sin keng
tidak ada padaku, malah orang-orang dari Siauw limsie
tidak mau mem-percayainya."
"Kau katakan saja, It-sin-keng ada di guha ular,
mereka boleh ambil kesana kalau ada kepandaian. Biar
mereka ber-mpur mati-matian satu dengan lain berebut
kitab mujijad itu, kita tak usah ambil perduli!"
"Enci Lian, kau omong seenaknya saja. Alasan
demikian sudah aku ketemukan, namun mereka tidak
mau percaya. Inilah yang susah bagiku."
Eng Lian mengawasi wajahnya Kwee In yang lesu.
"Perduli amat dengan mereka, kalau mereka tidak
mau percaya, biarlah mereka datang kesiui dan kita
bereskan satu persatu," kata si dara jelita gagah.
"Justeru aku tak mau membunuh orang yang tidak
ada perlunya," sahut Kwee ln.
"Kau tak mau bunuh orang, sebaliknya orang mau
membunuh kau, apa kau tinggal diam saja dibunuh" Km,
dasar anak tolol!" "Ayah melarang aku banyak membunuh orang," sahut
Kwee In. "Ayahmu bisa bilang begitu, lantaran ia tidak
menyaksikan kesulitanmu. Co-ba kalau ia tahu dan lihat
dengan mata kepala sendiri orang mau membunuh kau,
apa ia bisa tinggal diam, Saja tidak membunuh" Aku
tidak penyaya Kwee Cu Gie Thayhiap membuat semangat
anaknya lemah lantaran ketakutan membunuh!"
Kwee In terdiam. Untuk sekian la-manya mereka tidak
membuka mulut. Udara cerah dan mengesankan, tapi tidak menarik
perhatian mereka karena dua-dua kelelap dalam pikiran
masing masing. "Adik In, kau sekarang sudah dewasa," tiba-tiba Eng
Lian memecah kesunyian. "Bagaimana kamu tahu adik In-mu sudah dewasa?"
Kwee In menggodai, ketika Eng Lian hendak meneruskan
perkataannya. "Mm! Masih merasa seperti anak-anak saja?" Eng Lian
mendengus. "Apa buktinya aku sudah dewasa?" menggoda Kwee
In pula. "Hm! Kalau ini menggasak bibir orang, bukan dewasa,
apa?" Eng Lian kata sambil tempelkan telunjuknya yang
mungil ke bibir Kwee In. Si bocah hanya nyengir ketawa.
"Sekarang dengar encimu kasi kau mengerti,"
melanjutkan Eng Lian, seraya menarik pulang tangannya
yang jarinya ditempelkan dibibir Kwee In tadi, kalau
Kwee In mau menangkapnya. "Kalau orang tidak
ganggu kita, kita juga tidak ganggu padanya. Sebaliknya,
kalau orang mau bunuh kita, kenapa kita sungkan membunuhnya"
Kita harus punya hati baja sebagai laki-laki
jantan, pandang pembunuhan untuk membela diri atau
membela orang banyak ada sebagai pembunuhanyang
wajar dilakukan. Ini baru namanya seorang Tay-hiap.
Bukankah kau mau jadi Tayhiap menggantikan ayahmu"
Hihihi....." Eng Lian cekikikin ketawa, sebaliknya Kwee ln jadi
berpikir atss perkataan sang enci tadi. Tidak biasanya
enci Liannya berkata-kata demikian membangunkan
semangat, maka hatinya tatkala itu menjadi tenang. Ia
telah berkeputusan menurut akan kata-kata sang enci
tadi, yang meresap dalam sanubarinya.
"Enci Lian, kau benar. Adikmu akan menurut nasehat
enci Lian yang baik......" sahut si bocah kemudian wajar,
tapi dianggap oleh Eng Lian menrpodai.
Lantaran salah paham ini, tangannya yang gatal
nyelonong dan mencubit pipi-nya Kwee In, sambil
katanya: "Kau tidak terima nasehat encimu, sebaliknya
mau mengolok-olok....."
"Enci Lian," Kwee In kata, seraya mencekal tangan
Eng Lian yang nyelonong kepipinya, "jangan salah
paham, memang aku terima nasehatmu itu."
Eng Lian senang hatinya, ia bersenyum seraya
menarik pulang tangannya yang dicekal Kwee In. Untuk
kekagetannya tangan itu tak bergerak ditarik, malah
tahu-tahu badannya mencelat dan jatuh dalam pelukan
Kwee In. Sebelum Eng Lian dapat berontak, pipinya
sudah dikecup beberapa kali, hingga dara cilik kita
rasakan panas kedua pipinya itu.
"Adik In, kau sudah angot lagi....." kata Eng Lian
seraya mendorong Kwee In dan duduk kembali
ditempatnya tadi. Kwee In ketawa, sebaliknya, Eng Lian seperti
menyesal melepaskan diri dari pelukan pemuda
pujaannya itu, maka sambil duduk lagi matanya melirik
kepada si anak muda dengan senyuman memikat.
Sejenak muda mudi itu bungkam.
"Sayang, sungguh sayang.....," tiba-tiba Eng Lian
berkata, sambil melirik pada Kwee In.
"Apa yang dimaksudkan sayang, enci Lian?" tanya
Kwee ln heran. "Sayang enci Hiang tidak ada disini, kalau ada, adik In
punya pembantu yang diandalkan, Enci Hiang hebat
kepandaiannya dan berani, matanya tidak berkedip kalau
membunuh orang jahat. Nah, ini baru dikatakan
semangat jaman meskipun pribadinya adalah
perempuan, adik In!" Eng Lian seraya unjuk jempolnya.
Kwee In terkejut dengan disebutnya nama Bwee
H.aug. Seperti berulang kali dikatakan, wataknya Kwee ln
sangat aneh. 'Kalau ia sudah kecantol yang satu, ia suka
melupakan kepada yang lainnya. Maka selama itu ia
galang gulung dengan Eng Lian boleh dikata tidak pernah
melamun tentang dirinya Bwee Hiang apalagi bayangan
Bwee Hiang berkelebatan ditelakupan matanya si bocah
aneh. Sekarang dengan disebutnya Bwee Hiang baru ia
teringat akan enci Hiangnya.
Kwee In coba coba pancing hatinya si dara cilik,
katanya: "Enci Lian, kalau enci Hiang disini apa kau tidak
merasa terganggu?" "Apanya yang tergangu?" tanya Eng Lian heran.
Kwee In hanya ketawa kearah si gadis, hingga Eng
Lian merah selebar mukanya, karena ia lantas paham
akan maksud kata-katanya Kwee ln tadi.
"Adik In, aku belum pernah menaruh cemburu
terhadap enci Hiang, begitu juga ia terhadap aku, maka
kehadiran enci Hiang diantara kita, apanya yang
mengganggu" Malah aku girang dapat berkumpul
dengan jago betina itu, ia banyak menolong aku dalam
kesusahan atau kesepian. Adik In, enci Hiang benar
benar satu gadis impian tiap lelaki!"
Kwee In ketawa gelnk-gelak, mendengar gadisnya
memuji saingan nya. "Apa yang kau ketawakan adik In?" tanya Eng Lian
heran. "Aku ketawakan enci, apa enci tidak takut adik ln mu
diculik enci Hiang. ."' Terbelalak matanya Eng Lian
mendengar perkataan Kwee In yang tidak sangka
sangka. "Adik In, kau menghina enci Hiang?" bentak Eng Lian
merengut. "Memangnya enci Hiang itu orang apa" la
sudah ber-janji bersama-sama denganku akan melayami
si . . " "Si- . . siapa, enci Lian?" memotong Kwee In kepingin
tahu. Eng Lian tahan harga, tidak mau lantas menerangkan.
"Si. . . siapa, enci Lian?" Kwee In mengulangi
pertanyaanya penasaran. Eng Lian tidak menyahut, hanya mendekati kupingnya
Kwee In berbisik: "Si . ., si. . . bocah nakal ini . . .!"
menyusul tangannya mencubit keras.
"Aduh, aduh!" Kwee In kesakitan. Tangannya mau
mencekal tangan Eng Lian tapi si dara jelita sudah
berkelit dan cepat menjauhkan diri.
Sambil monyongkan mulutnya yang mungil dengan
gayanya yang lucu sekali, Eng Lian berkata: "Bocah
nakal, kau jangan berani-berani pegang encimu lagi,
nanti aku kasih tahu sama enci Hiang. Haha, rasakan kau
kalau dirangket. . . !"
"Hihihi. . -!" tiba-tiba terdengar suara ngikik dari dalam
gubuk, hingga muda mudi itu kaget dan saling
mengawaisi sejenak. "Haha, ia ada disini. . . !" seru Eng Lian seraya lari
masuk kedalam gubuk. Didalam benar saja Eng Lian ketemu Bwee Hiang
sedang berdiri. Kedua gadis itu saling rangkul melepaskan rindunya,
malah Eng Lian dengan air mata b:rkaca-kaca ia
menciumi Bwee Hiang. "Enciku yang manis, kau bikin
adikmu penasaran. Kau tentu sudah lama mengintip aku
bercakap dengan si nakal..."
,.Adik Lian, kau berhati mulia, tidak kusangka hatimu
ada demikian murni. Tak menyesal aku mempunyai
kawan sepertimu." sahut Bwee Hiang, juga mengucurkan
air mata. Kedua anak gadis itu mengucurkan air mata
kegirangan. "Enci Hiang, kau melupakan adik kecilmu...!" tiba-tiba
Bwee Hiang mendengar suara Kwee In, yang berdiri
dipintu menyaksikan mereka melepaskan rindunya.
"Adik kecil boleh tunggu," jawab Bwee hiang ketawa
manis memikat. "Encimu sedang melepaskan rindu
dengan adik besar . . ."
"Hihihi... enci, kau bisa saja . . ." kata Eng Lian, seraya
melepaskan pelukannya. Girang ketiga insan itu berjumpa pula satu dengan
lain. Bwee Hiang makin menyayangi Eng Lian, yang berhati
polos dan murni. Anak dara nakal itu meskipun adatnya
berandalan, tidak nyana hatinya demikian ikhlas terhadap
dirinya untuk bersama-sama melayani Kwee In seumur
hidupnya. Diam-diam Bwee Hiang berdoa supaya Tuhan
mengabulkan cita-cita mereka.
"Enci Hiang, aku kira kau sudah melupakan kami
disini, lantaran sudah diangat menjadi Seng-koh oleh
Tonghong Kauwcu," Kwee In berkelakar.
"Memang aku mau diangkat jadi puteri Kauwcu, cuma
aku menolak," sahut Bwee Hiang.
"Kenapa tidak mau, bukan kedudukan Seng-koh
sangat tinggi dan hidup mewah?" berkata pula Kwee In
menggodai enci Hiang-nya.
"Aku tidak mau, karena hatiku selalu memikirkan adik
Lian . . . . , " sahutnya.


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adik In begitu, kau salah sebut barusan bilang adik
Lian, enci Hiang . . . . , " menyelak Eng Lian dengan gaya
yang lucu sekali. Bwee Hiang merah selebar mukanya, hingga
menambahkan kecantikannya yang khas.
Ia tidak bisa membantah, memang juga ia memikirkan
Kwee In. Urtuk membelokkan ia punya rasa jengah,
tangannya diulur mencubit Eng Lian hingga si dara nakal
berjengit kesakitan, disusul oleh ketawanya yang
nyekikik. Bwee Hiang tundukkan kepala diantara ketawa
nyengirnya Kwee ln yang khas.
"Enci Hiang," kata Kwee In yang mengalihkan rasa
jengah si nona "Senang aku melihat kau dalam sehat
walafiat, semoga kau selamanya diberi kesehatan dan
kekuatan." "Terima kasih adik In, semoga dengan kau juga
demikian," sahut Bwee Hiang. "Kalau dengan aku
bagaimana, apa enci tidak memberi selamat?" nyeletuk
Eng Lian. "Adik nakal, selekasnya encimu nanti akan ajar adat
padamu!" Bwee Hiang ketawa digodoi oleh si dara yang
nakal. Eng Lian menjulurkan Iidahnya dengan lucu sekali.
Bwee Hiang tidak tahan nampak lagak-nya Eng Lian dan
ia ketawa cekikikan. Tiga pemuda itu kelihatan gembira
sekuli berkelakar satu dengan Iainnya.
"Eh, enci Hiang, cara bagaimana kau tahu kami ada
tinggal disini?" tiba tiba Kwee In menanya. Meskibun
perpisahan kita tidak lama, tapi aku percaya enci tentu
banyak menemukan pengalaman, coba ceritakan untuk
kami dengar." "Betul, betul, enci Hiang lekas kau bercerita!" Eng Lian
menimpali sambil bertepuk tangan.
Bwee Hiang bersenyum manis. "Anak-anak, kalian
memang tidak puas kalau tidak membuat cape mulut
encimu," kata si nona jenaka.
"Bukan begitu soalnya," bantah Eng Lian. "Enci paling
banyak menemukan pengalaman kalau berpisahan
dengan kami, maka itu jangan malas bercerita pada
kami." Bwee Hiang jebikan bibirnya pada Eng Lian, yang
disambut dengan monyongan mulut. Lucu kelihatannya,
hingga keduanya jadi tertawa dan Kwee In pun tebahakbahak
ketawa nampak kedua enci-nya berguru lucu.
Bwee Hiang lalu menuturkan riwayat-nya mulai
dirumahnya Tonghong Kin. Bagaimana ia didesak sang
ibu untuk di-jodohkan dengan Kim Liong, bertempur
dengan Sim Liang. Sim Leng, kemudian pengalaman di
markas Ceng-Iiong-pang didesak menjadi mantunya
Pangcu dari gerombolan naga hijau. Bagaimana ia
bertempur dikeroyok oleh Ketua Cengliong-pang dengan
isterinya, kemudian ia kena ditawan dan ditolong Kim
Liong. Sampai disini Bwee Hiang hentikan dahulu ceritanya,
dengan bersenyum-senyum ia menantikan reaksi dari
kedua adiknya. -oo0dw0oo- JILID 4 BAB-10 KWEE IN manggut-manggut, tidak mengatakan apaapa,
tapi Eng Lian telah berkata: "Enci Hiang, sungguh
baik eng-ko Kim Liong itu. Biasanya kalau bapaknya
jahat, anaknya mesti menuruni. Sungguh berbahaya
sekali, kalau engko Kim Liong itu hatinya jahat,
korbanlah enci dalam markas Ceng-liong-pang- Kenapa
Enci tidak mencuci hinaan itu dengan habiskan semua
orang Ceng-liong-pang?"
"Itulah," sahut Bwee Hiang bersenyum tawar.
"Lantaran permintaan Kim Liong untuk tidak membalas
dendam pada ayah ibunya, aku jadi batal dengan
niatanku membuat onar dalam markas Ceng-liong-pang,
Aku ingat budinya Kim Liong, hatiku jadi lemas untuk
menghajar ayah dan ibunya yang menghina diriku."
"Ini baik sekali," kata Kwee In yang dari tadi diam
saja. "KaIau tidak, pasti Enci Hiang menuruti napsu
hatinya, dan banjir darahlah di Ceng liong-pang."
Eng Lian biasanya tukang nyerocos, saat itu terdiam,
memikirkan apa yang di-katakan Kwee In.
Sejenak keadaan menjadi sunyi, ketiga-tiganya
bungkam. "Enci Hiang, masih ada lagi pengalaman Enci?" tanya
Eng Lian memecahkan kesunyian.
"Masih ada," sahut Bwee Hiang bersenyum.
Eng Lian bertepuk tangan. "Ceritakan enci, aku
kepingin dengar!" si dara nakal memohon.
"Bwee Hiang lalu bercerita tentang Peng-jiya.
Bagaimana ia menolongi Swat Lan, lalu dibius dan dirinya
dibawa oleh Hui-yan lie Ciang kerumah Peng-jiya dan
hampir-hampir menjadi korbannya Peng-jiya yang
menggunakan Thay-lek-eng-jiauw-kau untuk membikin
dirinya tidak berdaya. Eng Lian berdebaran hatinya mendengar Bwee Hiang
dalam cengkeramannya Peng-jiya, kemudian menjadi
lega hatinya ketika Bwee Hiang menutur ia lolos dari
bahaya dan kemudian telah membunuh mati Peng jiya.
"Sungguh mengerikan...!" Eng Lian menarik napas
lega tatkala Bwee Hiang habis menuturkan. "Untung
kepandaian Enci sangat hebat, kalau tidak, celakalah
kena diterkam manusia siluman itu!" memuji Eng Lian.
"Kepandaianku berkat didikan dari adik In, maka
kepada ia aku sangat berterima kasih," sahut Bwee Hiang
seraya matanya melirik kepada Kwee In, yang
menyambut lirikan itu dengan ketawa nyengirnya.
Ketawa nyengirnya Kwee In tidak begitu lucu seperti
waktu wajahnya masih hitam legam, tapi mempesonakan
karena wajahnya yang tampan.
"Adik In makin besar makin cakap..." berkata Bwee
Hiang dalam hatinya, setelah mereka beradu pandangan
barusan. "Masih ada lagi pengalaman Enci?" Eng Lian masih
belum puas rupanya. Bwee Hiang bersenyum, menatap wajah Eng Lian
yang cantik jelita. "Adikku, kau sungguh cantik.!"' memuji Bwee Hiang.
"Enci Hiang. kau memuji berkelebihan," sahut Eng
Lian seraya alihkan pandangannya kelain jurusan.
Justeru pandangannya dialihkan, matanya melihat poci
air teh. Cepat ia bangkit dari duduknya dan menuangkan
air teh, kemudian ia bawa pada Bwee Hiang, ia berkata:
"Enci Hiang, kau hilangkan rasa haus-mu dulu, baru
enak bercerita...." "Terima kasih, adik nakal," sahut Bwee Hiang, seraya
menyambuti dan diirup isinya.
Pengalaman Bwee Hiang berikutnya adalah seperti
berikut: Tatkala Bwee Hiang berpisahan dengan Swat Lan, ia
bimbang kemana ia harus menuju"
Tujuannya memang ke lembah Tong-hong gay, cuma
saja ia rindu ke kampung halamannya, ia ingin pulang ke
desa Kun-hiang untuk menengok rumah tangganya disana.
Seperti diketahui, ketika Bwee Hiang meninggalkan
Kun hiang, ia percayakan (kuasakan) harta benda yang
menjadi kekayaannya, termasuk pabrik-pabrik yang
masih berjalan kepada pamannya, yang menjadi saudara
cintong dari Liu Wangwee.
Ia pulang dengan diam-diam, hingga tidak seorang
pun yang mengetahuinya. Itulah pada suatu malum, setelah ia enjot tubuhnya
melewati tembok pekarangan dengan gesit Bwee Hiang
lari menghampiri rumahnya. Ia melihat penerangan ditingkat
kesatu dari rumahnya masih ada penerangan ia
menduga pamannya masih belum tidur.
Dengan menggunakan ginkangnya, sebentar saja
Bwee Hiang sudah berada diatas loteng tersebut. Ia
mengintip dari jendela, ia dapatkan pamannya masih
bekerja dengan bukunya. Diam-diam Bwee Hiang memuji
pamannya sangat rajin. Setelah repot dengan bukunya tampak pamannya
berdiam, seperti sedang melepaskan lelahnya, sebentar
lagi tampak masuk seorang wanita, yang Bwee Hiang
kenali adalah bibinya. Wanita itu duduk didekatnya sang
suami bekerja, ia berkaia: "Anak Hiang sudah lama tidak
pulang, apakah ia mendapat halangan?"
"Buat mendapat halangan tidak mungkin. sebab ia
dikawal oleh si Bocah Sakti," sahut sang suami ketawa.
"Aku dapat dengar, katnya belakangan ini kembali
orang gempar dengan adanya maling terbang," berkata
pula bibi Bwee Hiang. "Sungguh menyebalkan maling itu,
yang telah menyatroni banyak orang kaya. Aku kuatir
rumah kita juga tidak terkecuali akan menjadi
sasarannya, Koancijin."
"Ini justeru yang aku sedang pikirkan" sahut sang
suami, sambil menghela napas. "Anak Hiang tidak ada
kabar kabarnya, emang ia ada dimana sekarang" Kalau
ketahuan ada dimana. mudah kita mengabarkan
kepadanya perihal munculnya pula maling terbang."
"Apa kau sendiri tak bisa mengatasi soal maling
terbang itu?" tanya sang isteri.
"Aku mana ada punya kemampuan," sahut sang
suami. "Kepandaian silatku terbatas, lantaran selalu tidak
ada tempo untuk belajar. Tempoku habis untuk
mengurus perusahaan, namun, kalau sampai maling
terbang itu datang kemari aku mau coba-coba
melawannya." "Kepandaianmu tidak seberapa, kau hanya
mengantarkan jiwa saja, Koanjin!" kata sang isteri pula.
"Lebih baik kau piara beberapa jagoan untuk melindungi
kita, aku percaya anak Hiang juga tidak berkeberatan
dengan tindakan kita itu. Sebab terpaksa kita ambil
tindakan itu, kareua ada ancaman dari maling terbang."
Sang suami tidak menyahut, sebaliknya ia menghela
napas. Bwee Hiang menyaksikan itu merasa kasihan kepada
pamannya yang setia. Ia keluarkan sapu tangan lebar dari sakunya, lalu ia
gunakan sebagai topeng menutupi wajahnya. Pikirnya, ia
mau godai paman dan bibinya. Ketika baru saja ia
hendak lompat masuk dari jendela, tiba-tiba ia
mendengar suara ketawa dibalik tirai yang menutupi rak
buku-buku. Kaget Bwee Hiang, ia mundur lagi dan coba
perhatikan siapa yang datang" Kiranya yang tertawa tadi
adalah maling terbang rupanya, karena ia pakai
kerudung hitam, hanya matanya yang tajam dapat
dilihat. "Selamat malam paman dan bibi." Bwee Hiang
mendengar orang itu berkaa. "Kalian mau piara jago
untuk melindungi hartamu, tak ada sangkutannya
denganku, aku datang sekarang hendak meminta uang
tunai. Paling sedikit kalian harus keluarkan sepuluh ribu
tail perak sebagai uang iuran kepadaku. Ini akan aku
tetapkan untuk setiap bulan menerimanya, kalau tidak,
tahu sendiri! Hahaha . . . !"
Pucat wajahnya paman Bwee Hiang, apalagi isterinya
sampai mengigil tubuhnya.
"Kau minta uang demikian banyak tidak halangan, asal
nanti kalau majikan ku sudah pulang," berkata paman
Bwee Hiang. "Tunggu majikanmu pulang" Hm! Mungkin majikanmu
sudah mampus dalam perjalanannya. Hahaha ..." bandit
itu sangat menghina kelihatannya.
"Kurang-ajar, kau berani menghina majikanku?"
bentak paman Bwee Hiang. "Memangnya kau mau apa?" si bandit balas
membentak. "Kau jangan sangat keterlaluan. kau berani diwaktu
majikanku sedang tidak ada!!"
"Kalau majikanmu ada, apa kau kira aku tidak berani?"
"Maka itu, kalau betul laki laki, uang yang diminta
olehmu itu tunggu sampai majikan pulang. Kau minta
berapa juga pasti majikanku akan menyelesaikannya."
"Hahaha...." ketawa si bandit. "Siapa yang sudi
menantikan majikanmu pulang. Lekas keluarkan uang
yang diminta!" "Tunggu majikanku pulang!" jawab paman Bwee
Hiang berani. "Bagus!" mendengus si bandit. "Kau berani
membangkang" Lihat aku mampusi kau suami-isteri!"
teriaknya menyeramkan, hingga bibi Bwee Hiang makin
keras gemetarannya. "Kau jangan takut, Niocu," menghibur suaminya,
ketika melihat isterinya menggigil ketakutan. "Si bandit
tidak bisa apa apa terhadap kita!"
Mendongkol maling terbang itu mendengar perkataan
paman Bwee Hiang. Sret!!! terdengar suara pedang dicabut.
"Koanjin, bagaimana ini?" seru sang isteri. saking
kaget ia jatuh pingsan. "Hm! kau bikin pusing kepalaku?" kata paman Bwee
Hiang berani. "Aku mau mampusi kau, bukan bikin pusing!" bentak
si bandit. "Masih terlalu pagi kau mimpi membunuh aku si orang
tua," sahutnya mengejek,
"Lihat pedang!" bentak si bandit, menyusul ia
menyerang pada orang yang tidak bergengaman. Tapi
paman Bwee Hiang tidak keder, ia berkelit dari serangan.
"Bangsat, kau berani kurang ajar di-depan orang tua?"
bentak paman Bwee Hiang sembari kembali berkelit dari
serangan pedang.

Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si bandit tak memberi ketika pada lawannya, ia
merangsek terus dan menyerang dengan bertubi-tubi,
namun, paman Bwee Hiang tak jadi keteter. Kiranya
paman Bwee Hiang diam diam juga ada punya
'simpanan', makanya ia tidak keder menghadapi si
bandit. "Bangsat kurang ajar, lihat si orang tua akan
membuka kedokmu!" bentak paman Bwee Hiang bengis,
sambil balas menyerang. Si bandit naerasa heran orang tua itu dapat mengelit
semua serangannya, malah dapat balas menyerang
dengan pukulan yang mematikan. Diam diam ia menjadi
keder, kaget bukan main ia tatkala mendengar paman
Bwee Hiang mengatakan mau melucuti topengnya.
Melihat gelagat kurang menguntungkan, maka ia
mundur teratur mendekati jendela. Pikirnya ia mau
meloloskan diri dari situ, sebelum ia dikalahkan oleh si
orang tua. Begitu mendapat kesempatan, ia lantas lompat keluar,
tapi 'blung!' badannya terdampar masuk lagi, setengah
pingsan ia menggeletak dilantai.
Paman Bwee Hiang heran bukan main.
"Siapa itu diluar yang telah melempar si bandit masuk
lagi kedalam?" Sebelum ia membuka suara, tiba-tiba lompat masuk
seorang wanita dengan wajah mengenakan topeng
setangan dan berdiri didepannya.
"Liehiap, terima kasih atas bantuanmu. Bandit ini
sangat ganas, sudah banyak mengambil korban. Bukan
saja harta benda orang digasak dan diperas, tapi juga
suka membikin susah anak isteri orang baik-baik..."
berkata paman Bwee Hiang sambil angkat tangannya
bersoja kepada wanita yang baru masuk tadi.
Tiba-tiba wanita itu membuka setangan yang
memutupi wajahnya. "Paman, belum berapa lama berpisah, kau sudah jadi
linglung tidak mengenali keponakanmu," ,berkata wanita
itu, yang bukan lain Bwee Hiang adanya.
"Kau, oh, kau...anak Hiang..." seru si orang tua saking
kegirangan. Sementara itu isterinya juga sudah siuman dan
melihat Bwee Hiang, dengan lantas saja ia menjadi
bersemangat dan gagah. cepat ia bangun dan menubruk
pada Bwee Hiang. "Anak Hiang, oh, kau kemana saja
sudah begitu lama tidak ada kabar-kabarnya?"
Bwee Hiang gembira menemukan bibinya pula,
mereka saling berpelukan lama, sementara sang paman
mengawasi dengan senyum girang.
Sedang si bandit melihat gelagat tidak baik, diam-diam
merangkak kedekat jendela dan hendak mengangkat
kaki, namun, gerakannya tidak lolos dari matanya Bwee
Hiang yang Iihay. "Mau kemana sahabat...!" seraya melepaskan diri dari
pelukan bibinya dan melompat pada si bandit, dengan
sekali tendang saja bandit itu berkelojotan dilantai sambil
keluarkan keluhan menyayatkan, karena dua tulang
rusuknya patah. "Paman, kau coba buka kerudungnya!" menyuruh
Bwee Hiang, hingga si bandit menjadi ketakutan dan
badannya kelihatan menggigil.
Ia tak dapat melindungi kerudungnya yang diloloskan,
karena keadaannya sudah sangat payah, mau bangun
saja rasanya sangat sukar.
"Hei, Tan Kongcu...!" seru paman Bwee Hiang, ketika
melihat si bandit sudah tidak berkerudung pula. "Kongcu,
kau kenapa melakukan perbuatan tidak baik ini?"
Tan Liang Sin alias Tan Kongcu, puteranya Tan
Wangwee yang mengundang Su-coan Sam-sat, kemalumaluan,
ia tundukkan kepala dengan tidak menyahut
apa-apa. Bwee Hiang tidak menjadi kaget, sebab memang ia
sudah menduga bahwa bandit itu tentu ada si Kongcu
ceriwis, pecundangnya dulu. Hanya, yang membikin si
gadis heran adalah pamannya yang pandai silat, dapat
mengatasi kepandaian Tan Liang Sin yang tidak rendah.
Oleh karenanya si nona memuji: "Paman, aku tidak
sangka kau bisa ilmu silat tinggi. Sungguh aku beruntung
mempunyai kuasa seperti paman."
"Anak Hiang, pamanmu bisa apa" Apa yang kau lihat
barusan hanya permainan yang tidak ada artinya, cuma
lantaran Liang Sin kurang becus makanya ia keteter
olehku," demikian sang paman merendahkan diri sambil
bersenyum. Bwee Hiang tidak berkata-kala lagi soal pamannya bisa
silat, hanya ia lalu menghampiri Tan Kongcu dan angkat
bangun si Kongcu tanpa raga-ragu pula. Itulah karena
Bwee Hiang sekarang sudah jadi nona Kang-ouw, coba
kalau ia masih jadi Cian-ki-Siocia (nona terhormat) dari
hartawan Liu, memegang laki-Iaki seperti itu adalah
'tabu'. "Kongcu, aku kenal kau bukan sedikit tahun keluarga
kami juga menganggap kau seperti keluarganya sendiri,
namun, kenapa kau selalu malah bikin sulit keluarga Liu"
Kau ada sangat jahat, maka kalau tidak dikasi rasa pasti
kesananya kau masih mau melakukan perbuatan
perbuatanmu yang tidak benar. Kau terimalah
hukumanmu...." Bwee Hiang berkata sambil kedua tangannya
memegang pundak Tan Kongcu.
Krek! Krek! terdengar suara dua kali, kedua tulang
pundaknya si Kongcu dirasakan amat sakit hingga ia
berjengkit kesakitan. Sementara itu, kaget bukan main ia ketika ia
kumpulkan tenaga dalamnya di Tan-tian (perut), tiba-tiba
saja dirasakan amblas. Itu berarti bahwa ilmu silatnya
telah dimusnahkan oleh si nona.
Tan Kongcu ketawa getir menatap wajah Bwee Hiang.
"Adik Hiang, terima kasih atas perbuatanmu ini,"
berkata Tan Liang Sin. "Ada satu waktu kuperhitungkan
kelakuan-mu itu!" "Bagus!" kata Bwee Hiang ketawa tawar. "Kau masih
ada ayah dan ibu, saudarapun ada banyak. Kalau kau
tidak menyayangi mereka, baiklah kau bermusuhan
dengan aku. Sampai saat itu tentu aku tidak sungkansungkan
lagi dan membasmi keluargamu!"
Tan Liang Sin ketawa getir mendengar ancaman Bwee
Hiang. Tanpa banyak bicara pula ia ngeloyor pergi.
Anak muda itu yang sudah diancam oleh Kwee Cu Gie
(si Kerudung Merah) masih belum kapok, maka telah
melakukan perbuatannya lagi. Sungguh kebetulan
perbuatan yang dilakukan olehnya, Bwee Hiang pulang
dan ia kena batunya. Ketika merasa ilmu silatnya telah di-musnahkan si
nona, Tan Kongcu saat itu memang punya pikiran akan
menuntut balas, namun, setelah ia diancam oleh si nona
ia jadi jeri dan tidak lagi memikirkan pembalasan.
Bwee Hiang sementara itu telah berunding dengan
paman dan bibinya. "Aku pulang hanya sebentaran saja, untuk menengok
keadaan paman dan bibi, maka beberapa hari lagi aku
akan meneruskan perjalananku yang belum beres, harap
paman dan bibi suka mengurus terus apa yang telah
kukuasakan," berkata Bwee Hiang.
Paman dan bibinya melengak mendengar perkataan
sang keponakan. "Aku tadinya sudah kegirangan bakal melepaskan
tanggung jawab, tidak tahunya anak Hiang masih mau
berkelana pula dikalangan Kang-ouw," sahut sang
paman, sedikit merasa kecewa kelihatannya.
"Aku tidak mengira bakal menemukan hal seperti
kejadian tadi," kata pula Bwee Hiang, "makanya aku
dengan diam-diam menyelundup pulang diwaktu malam.
Pikirku tidak ada yang tahu tentang balikku kerumah,
karena maksudku hanya sebentar saja ada dirumah, apa
mau Liang Sin sekarang sudah tahu, sungguh
menyebalkan perbuatan orang itu!"
Bibi Bwee Hiang ketawa nampak keponakannya
sangat gemas kepada Tan Kongcu.
"Tapi, anak Hiang," tiba-tiba sang paman berkata.
"Apa Tan Kongcu nanti tidak tarik panjang urusannya?"
"Kau tenangkan hatimu, paman. Ia tidak berani
menarik panjang urusan, sebab aku sudah keluarkan
ancaman tadi. Kalau benar-benar ia bandel dan bikin
susah kita, aku juga tidak segan segan lagi akan
membasmi serumah tangganya!" sahut Bwee Hiang
dengan wajah bengis, hingga bibinya gemetar melihat
keponakannya marah. Demikian Bwee Hiang tinggal lamanya sepuluh hari
dirumahnya, setelah mana ia pamitan pula pada paman
dan bibinya untuk pergi ke Tong-hong gay mencari Kwee
In dan Eng Lian. Di pinggiran-pinggiran lembah, Bwee Higng lihat
banyak orang tani yang bercocok tanam.
Entah disebelah mana tiggalnya Kwee In dan Eng Lian
maka sukar juga ia mencarinya, karena tiada seorang
pun yang ditanyai dapat mengasi keterangan padanya.
Tapi Bwee Hiang cerdik. Ia ingat bahwa Kwee In
mempunyai teman kawanan kera, maka ia mencari
tempat-tempat yang banyak kera. Dengan mengikuti
jejaknya kawanan kera yang lari serabutan melihat ia,
Bwee Hiang terus mencari tempatnya Kwee In. Dari
kejauhan ia melihat Eng Lian sedang bertempur dengan
Kian-san Sam-sian. Kaget Bwee Hiang nampak gorilla-gorilla yang
membantu Eng Lian telah membanting Kian-san, Samsian
ia ngeri melihatnya. Entah dimana Kwee In" Ketika
ia datang dekat ia lihat Kwee In berada diatas pohon,
justeru si bocah sedang melepaskan dua lembar daun
yang memukul jatuh hui-to yang dilepas oleh Ho-pak
Sam-niauw, kemudian Kwee In menguber mereka disusul
oleh Eng Lian belakangan bersama tiga gorillanya.
Bwee Hiang pikir adik In-nya dan Eng Lan sudah
cukup menghadapi lawan, maka tidak turut mengejar,
hanya naik keatas pohon dan sembunyi dalam gubuk
menantikan pulangnya Kwee In dan Eng Lan.
Selanjutnya seperti yang sudah diceritakan diatas. tiga
pemuda itu kegirangan dapat berkumpul kembali dengan
selamat. Kwee In tak memusingkan urusan lawan-lawan yang
akan menyatroni lembah Tong-hong-gay, sebaliknya Eng
Lian ada kuatir juga kalau-kalau kedatangan musuh
berat, maka dengan kedatangan Bwee Hiang si dara
nakal bukan main girangnya, sebab ia tahu benar
kepandaiannya Bwee Hiang tidak lebih rendah dari
dirinya sendiri. Adanya Bwee Hiang merupakan
pembantu yang baik sekali untuk meaghalau pergi
lawan-lawan yang akan menyatroni lembah.
Hari-hari mereka lewatkan dengan gembira. Bwee
Hiang yang mula-mula takut-takut pesiar diatas
punggungnya Kim-tiauv, belakangan jadi berani dan
sering pergi pesiar dengan Eng Lian.
Dengan tiga gorilla juga Bwee Hiang sudah mulai
rapat pergaulannya diajar kenal oleh Kwee In, juga
dengan tentara keranya si bocah nakal Bwee Hiang
sudah mulai kenal dan kawanan kera itu kelihatan jinak
jinak seperti terhadap Eng Lian.
Melewati hari dalam suasana yang serba gembira. itu
dalam lembah yang sunyi, Bwee Hiang merasa betah.
Lebih gembira pula Bwee Hiang, ketika ia menerima
pelajaran dari adik kecilnya dan Eng Lian cara bagaimana
menakluki ular, hingga untuk selanjutnya nona gagah
kita tidak takuti lagi sama kawanan ular.
Gembira hatinya Bwee Hiang bila melihat kawanan
ular datang berkumpul mendengar suara seruling yang
ditiupnya dan mereka dapat disuruh berjoget menurut
irama seruling. Sedikit-dikitnya dapat ia mengucapkan
bahasa monyet yang diajarkan Kwee In yang
mengucapkannya didepan kawanan kera, hingga
kawanan kera itu tampak lebih jinak pada Bwee Hiang,
jauh beda sikap mereka waktu Bwee Hiang mulai
memasuki lembah. Siauw-hek kelihatan rapat pada si nona dan sering
mendekati. Senang kelihatannya gorilla itu, yang
sekarang sudah dewasa, badannya lebih besar dari Toahek,
ayahnya, bila dielus-elus oleh Bwee Hiang.
Si Rajawali Emas juga jinak pada si nona, malah
kelihatannya lebih senang dielus-elus Bwee Hiang
daripada Eng Lian. Kelihatan kalau dielus-elus Eng Lian
matanya tetap terbuka, sebaliknya kalau dielus-elus oleh
Bwee Hiang matanya dipejamkan seperti senang
menikmati elusan-elusan si nona yang baik hati.
Kwee In sementara itu juga girang, bahwa dalam
sedikit waktu saja Bwee Hiang sudah dapat menawan
hati kawan-kawannya seperti si Rajawali, gorilla dan
kawanan kera. "Enci Hiang, sungguh kau bisa mengambil hati, hingga
kawan-kawanku semua takluk didepanmu, satu hal yang
benar-benar diluar dugaanku," memuji Kwee In ketika
mereka berkumpul. "Ini semua berkat ajaran dari adik Lian," jawab si nona
ketawa. "Hm! Adik Lian lagi, Enci Hiang rupanya berat untuk
menyebut adik In." nyeletuk Eng Lian ketawa riang,
lagaknya amat lucu. Bwee Hiang deliki si dara nakal, tapi mulutnya
bersenyum manis. "Enci Lian. kau selalu godai Enci Hiang, kau nakal
betul," kata Kwee In ketawa.
"Pintar, mengatakan orang nakal, apa sendiri tidak
nakal! Hm! Giok-bin Long-kun... Eh, Enci Hiang!" Eng


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lian tujukan perkataannya kepada Bwee Hiang "Apa kau
setuju Hek-bin Sin-tong sekarang di-rubah namanya jadi
Giok bin Long kun?" Bwee Hiang tertegun mendengar Eng Lian berkata
demikian sambil bertepuk tangan.
Dalam hatinya berpikir: "Adik In setelah salin rupa
memang ia sangat cakap dan pantas sekali kalau
mendapat julukan Giok-bin Long-kun. Ibuku juga pernah
menyebutkan ini.." "Aku setuju, adik Lian," sahutnya kontan, seraya
matanya melirik pada Kwee In yang tenang tenang saja
ketawa nyengir menyaksikan gaya Eng Lian yang lucu.
"Nah, apa aku bilang," kata Eng Lian pada Kwee In.
"Enci Hiang tentu setuju dengan gelaran yang kukasi
padamu. Sekarang bagaimana, apa kau tidak mau
mengucapkan terima kasih kepada Encimu?"
"Terima kasih, Enci bawel...." sahut Kwee In
menggoda. "Kau berani ngeledek Encimu" Hm,.!" repot Eng Lian
bangkit dari duduknya mau mencubit si bocah nakal,
untuk gegetunnya orang yang mau dicubit sudah tidak
ada didepannya!!. Ia mendongak keatas, tampak Kwee
In tengah menguncang-guncang kaki sambil ngeledek
Eng Lian. Panas hatinya si dara nakal, ia juga enjot tubuhnya
melesat dan menclok di-dahan pohon, dengan gesitnya
ia menguber Kwee In, namun Kwee In sudah menghilang
lagi. Ia celingukan mencarinya, tahu-tahu ia dengar si
bocah ketawa sudah berada di-lain pohon.
Eng Lian banting-banting kaki dan hampir mewek
saking gemas. Melihat kelakuannya Eng Lian, tak tahan geli hatinya
Bwee Hiang, seketika itu juga ia ketawa terpingkalpingkal
sambil memegangi perutnya.
"Enci Hiang, kau senang melihat adikmu dikocok adik
In ya?" kata Eng Lian memberengut, tapi justeru
memberengut wajahnya menonjolkan kecantikannya.
"Habis aku harus bagaimana?" tanya Bwee Hiang,
tidak enak hatinya melihat Eng Lian seperti marah
kepadanya. "Kau naik sini, lekas bantu adikmu mengepung si
bocah, masa kita berdua tidak mampu menangkap satu
anak kecil?" sahut Eng Lian.
Bwee Hiang menurut. Ia enjot tubuhnya melesat dan
sebentar saja ia sudah berada didekatnya Eng Lian,
hingga si nona nakal ketawa cekikikan girang melihat
Bwee Hiang menuruti perkataannya.
"Enci yang baik, mari kita uber si bocah. Kalau aku
yang dapat, aku nanti kasi kau yang cubit, sebaliknya
kalau kau yang dapat, kau harus kasi aku yang cubit!!"
Bwee Hiang melengak. namun ia mengiyakan apa
yang dikatakan Eng Lan, untuk membikin senang si gadis
bawel itu Segera juga dua tubuh nampak melesat saling susul,
sampai diatas mereka memecah diri untuk mengejar
Kwee In, yang tidak kelihatan si bocah nakal sedang
sembunyi dimana" "Eh enci Hiang," kata Eng Lian ketika mereka mau
memecah diri. "Sebentar, kalau enci yang dapat
membekuk si bocah, jangan lupa kasih tanda dengan
siulan memanggil, begitu juga dengan aku nanti akan
berbuat demikian. Jangan lupa!!"
-oo0dw0oo- BAB-11 KEMBALI BWEE HIANG mengiyakan pelan si nona
kecil. Mereka berpisahan diatas pohon untuk mencari Kwee
In. Lantaran ginkangnya tinggi, Bwee Hiang dalam sedikit
waktu sudah dapat menguasai diri berlari-larian diatas
pohon. Maka sekarang ia tidak mendapat kesulitan, ia
coba menguber Kwee In kesebelah selatan, sedang Eng
Lian kesebelah Utara. Bwee Hiang lihat dalam jarak empat tombak Kwee In
sedang uncang-uncang kaki, ia enjot tubuhnya melayang
gesit sekali, tapi Kwee In lebih gesit, karena Kwee In
sudah menghilang lagi. Bwee Hiang celingukan kehilangan Kwee In.
"Adik In, adik In, kau dimana" jangan membuat
Encimu jengkel. lekas kasi lihat kepalamu!" berkata Bwee
Hiang sambil cekikikan ketawa.
Tidak terdengar suara menyahut. Bwee Hiang terus
mencari dengan lompat sana dan lompat sini, akhirnya ia
melihat Kwe In sedang mentertawakan ia dari jarak tujuh
tombak. Bwee Hiang pura-pura tidak melihat Kwee In,
kapan ia sudah datang lebih dekat,tiba tiba saja ia
mengenjot tubunya melesat dan menclok didahan tadi
Kwee ia sedang uncang-uncang kaki. Untuk ntL. tunnya,
kembali ia kehilangan adik kecilnya yang nakal itu.
Hatinya yang biasa kal n mulai penasaran.
Begitu seterusnya Bwee Hiang dipisalv.au oleh Kwee
In makin jauh dari Eng Lian
Jengkel Bwee Hiang belum juga si bocah nakal mau
menyerah. sedang ia sudah keluarkan tenaga banyak
untuk mengubernya, sampai mengeluarkan banyak
peluh. Akhirnya Bwee Hiang turun dari atas pohon dan
mengaso dibawahnya sambil menyeka keringat pada
wajahnya dengan setangannya yang harum.
Ia duduk termenung-menung setelah menyeka bersih
keringatnya. Pada saat itulah terbayang romannya Kim Liong yang
cakap dan sopan santun. Ketika diikat jadi satu dengan tiang ia masih ingat
sebelumnya pingsan nyonya Pangcu telah merobek baju
bagian dadanya, hingga sepasang buah dadanya yang
putih mulus terpentang, kemudian bagian bawah dekat
pcrutnya juga dirobek panjang oleh nyonya yang
menginginkan ia menjadi mantunya. Oh, keadaan waktu
itu boleh di katakan ia separuh telanjang.
Bagian atas masih tak mengapa, tapi bagian bawah,
bagi orang yang mendekatinya pasti melihat keadaan
dirinya yang menggairahkan. Apa Kim Liong tidak
memegang sepasang buah dadanya yang menantang"
Apakah si pemuda tak meraba bagian 'penting' melalui
robekan baju dibawah perutnya" Inilah serentetan
pertanyaan yang mengaduk dalam otaknya, hingga
seketika itu Bwee Hiang merasakan paras kedua pipinya
karena merasa jengah, ia menundukkan kepalanya
dengan pikiran bimbang. Kim Liong ada satu pemuda sopan, tapi siapa tahu
tangannya nakal, karena waktu itu ia dalam keadaan tak
sadarkan diri. Sebaliknya ia merasa bersyukur
kehormatannya dapat diselamatkan, apabila ia
merasakan tak ada perubahan apa-apa atas dirinya
diwaktu ia siuman. Diam-diam ia merasa berterima kasih
atas pertolongannya Kim Liong. yang sebenarnya ada
setimpal sekali untuk menjadi pasangannya apabila
hatinya tidak terlebih dahulu ditempati oleh Hek-bin Sintong.
Kwee In sekarang sudah besar, bukan anak-anak lagi
seperti dulu, entah apa dan bagaimana si bocah akan
perlakukan dirinya sekarang"
Mengingat akan Kwee In yang merebut hatinya, ia
jengah sendirinya dan menggumam; "Adik In, sekaraug
kau sudah besar, tak boleh nakal seperti dulu-dulu lagi..."
"Masih tetap nakal seperti dulu..." tiba-tiba Bwee
Hiang dibikin kaget oleh suara Kwee In dari belakangnya,
hingga ia cepat berbangkit dan menoleh. Tapi tiba ia
bangkit dari duduknya karena situ tenaga yang kuat
menekan untuk ia duduk pula.
Itulah Kwee In yang merangkul dan bikin Bwee Hiang
tidak bertenaga untuk bangkit.
Dulu dulu Kwee In memeluk belum pernah hatinya si
nona berdebaran, tapi kali ini entah mengapa hatinya
tiba-tiba bergejolak dan tarikan napasnya lebih cepat
hingga sepasang buah dadanya yang bulat naik turun.
Bwee Hiang menundukkan kepala. Tiba-tiba Kwee In
angkat dan dongak, dua pasang mata saling menatap
seperti berbicara. "Enci Hiang, selama ini tidak ketemu, kau kelihatan
makin cantik saja..." Kwee In memuji dengan wajar.
Bwee Hiang bersenyum menawan.
"jangan, jangan adik In, ah kau na..." terputus mau
mengatakan 'nakal', karena bibir Kwee In sudah
menekan bibirnya si nona dengan mesra sekali, hingga
Bwee Hiang tidak berkutik, berbareng debaran hatinya
mengurang seakan-akan terlampias oleh ciuman hangat
dari Kwee In. Lama mereka melepaskan rindunya dengan cara
memadu bibir. Bwee Hiang rasakan susah bernapas
lantaran hidungnya pun melekat dengan hidung Kwee In.
Hanya tangan si nona mencubit pelahan, seakan akan
minta Kwee In kasih kelonggaran untuk ia bernapas
dahulu. Namun Kwee In seperti berlagak pilon atau
memang ia tidak mau tahu, bibirnya dan hidung si cantik
mendapat tekanan berat. Akhirnya Bwee Hiang bertindak juga, melepaskan
tekanan berat itu sambil mendorong Kwee In dan
berkata: "Adik In, kau mau bikin Encimu pingsan tidak
bernapas...?" Kwee In ketawa nyengir...
"Bukan sama sekali, Enci...," menyusul kembali Bwee
Hiang dirangkul dan pipinya dihujani kecupan mesra.
"Adik In, jangan nakal begini, nanti ada orang lihat...,"
kata si nona pelahan, ketika merasakan lehernya juga
menjadi sasaran kecupan Kwee In.
"Perduli apa orang lihat, Enci toh sudah jadi milikku?"
sahut Kwee In. "Adik Lan yang lihat nanti, apa kita tidak malu?"
bantah Bwee Hiang, sambil mendorong tubuh Kwee In
dengan menggunakan sedikit tenaga.
Kaget Bwee Hiang dorongannya tidak bergeming,
malah Kwee In makin merapat.
"Adik In, sudah, kau sudah angot?" Bwee Hiang
merontak, tapi untuk sekian kalinya ia tidak berkutik
bibirnya dilekat oleh bibir Kwee In.
Bwee Hiang merontak hanya aksi saja, perasaan
bahagianya yang meluap-luap membuat tubuhnya tidak
bisa diam. "Sungguh bahagia sekali kalau orang sedang memadu
kasih......!" demikian tiba-tiba terdengar orang berkata
tidak jauh dari mereka. Bwee Hiang dan Kwee In melepaskan pelukannya dan
melompat mindur. Tapi Kwee In tidak sampai disitu saja,
tubuh-melesat menguber orang jail tadi yang lari melesat
dengan gesit sekali. Tapi kegesitannya orang itu tidak berhasil meloloskan
diri, sebab segera orang itu berkata kaget: "Eh, eh, adik
In, kau sudah angot...."
Itulah Eng Lian yang kena dipeluk dan ditekan
dibibirnya oleh si nakal Kwee In.
Eng Lian merontak-rontak hanya aksi didepan Bwee
Hiang, ia menyerah dalam pelukan Kwee In yang kuat.
"Adik In, ditertawakan Enci Hiang, tuh kau lihat....."
kata Eng Lian ketika ia dapat, kesempatan sedikit
bernapas. Tapi Kwee In tidak mengacuhkan itu sehingga
Eng lian menjadi kewalahan.
"Adik In, kau sudah edan" Lepaskan encimu!" bentak
Eng Lian dengan suara halus, seraya mendorong tubuh
Kwee In. Kali ini si anak muda melepaskan dan ketawa
nyengir. "Sungguh bahagia sekali kalau orang saling memadu
kasih..." Bwee Hiang kembalikan perkataan Eng Lian,
hingga si dara nakal menjadi jengah sendiri.
"Enci Hiang, kau menggodai adikmu?" seru Eng Lian,
menyusul ia lari menghampiri Bwee Hiang dengan
maksud mencubit, tapi Bwee Hiang siang-siang sudah
melesat tubuhnya dan tahu-tahu sudah ada diatas dahan
pohon. "Enci Hiang, kau bikin adikmu penasaran!" seru Eng
Lian dari bawah. "Adikku, kita sama-sama sudah dapat bagian, untuk
apa direcoki...." sahut Bwee Hiang sambil ketawa
cekikikan. Kata-kata Bwee Hiang menusuk hatinya Eng lian, dia
merasa kata kata enci Hiang itu benar, sambil ketawa
cekikikan ia berkata "Enci Hiang, kau bisa saja...."
Seiring dengan perkataannya, badannya naik dan
menclok disampingnya Bwee hiang yang sedang duduk
hingga sinona kaget. "Ilmu mengentengi tubuhmu lebih lihay dariku, Adik
Lian!" memuji Bwee hiang, seraya tangannya diulur
untuk mengelus-elus rambut kepalanya Eng Lian.
Kedua gadis itu sedikit pun tidak menaruh cemburu
satu dengan lain, mereka akur lagi dan pasang omong
dengan ketawa-ketawa gembira, seolah-olah melupakan
adegan-adegan yang mereka saksikan barusan. Hal
mana membuat Kwee In sangat kegirangan dua calon
isterinya itu bisa memaklumkan satu dengan lain.
Kwee In bukannya rakus, setelah mencium Bwee
Hiang lantas ganti mencium Eng Lian, itu disebabkan
kekuatirannya Eng Lian ngambek (cemburuan), maka
juga ia sudah kasi Eng Lian bagiannya didepan Bwee
Hiang. Pikirnya, dengan begitu satu dengan lain tidak
akan iri-irian. Tapi Kwae In tidak tahu. kalau kedua gadis
itu memang udah bersatu hatinya, untuk satu sama lain
tidak mengiri atau menaruh cemburu.
Kwee In sementara itu sudah lompat naik juga dan
menghampiri dua gadis yang sedang asyik kongkouw.
"Apa aku boleh turut ngobrol?" tanya si bocah ketawa.


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Boleh saja, asal jangan nakal lagi... hihihi..." Eng Lian
mendahului Bwee Hiang yang cekikikan ketawa.
"Adik kalian, sekarang mau jadi orang baik," sahut
Kwea In. "Tentu saja jadi orang baik lantaran sudah kenyang
sih..." kata Eng Lian.
Bwee Hiang yang pribadinya halus, tidak blak-blakan
orangnya, rada jengah mendengar perkataan Eng Lian
yang tidak pakai tedeng aling-aling.
"Apanya yang kenyang?" tanya Kwee In, seraya bikin
gerakan seperti hendak merangkul si dara bawel.
"Hust, hust, jangan bergerak sahabat!" kata Eng Lian
jenaka, seraya kedua tangannya diangkat dengan
gerakan menolak. "Sekali sudah, tidak boleh kedua
kalinya...." Gayanya Eng Lian sangat lucu, hingga Bwee Hiang
tertawa terkekeh-kekeh disusul oleh ketawanya Kwee In
yang terbahak-bahak. Sungguh gembira penghidupan dari tiga insan itu
didalam lembah Tong-hong-gay.
Bwee Hiang yang mula2 suka rada jengah kalau Eng
Lian berkelakar dengan blak-blakan, belakangan ia sudah
biasa lagi, hingga tiga anak muda itu makin akrab saja
hubungannya dan satu dengan lain diam-diam
menyayangi. Sekarang mereka tidak tinggal diatas pohon lagi,
mengambil tempat dirumah Eng Lian dahulu, rumah itu
cukup besar dan leluasa untuk menyiapkan barang
hidangan serta lain lain keperluan. Kawanan kera telah
melakukan penjagaan di-waktu malam dan siang dengan
dikepalakan oleh tiga gorilla yang menakutkan.
Si burung Rajawali raksasa siap untuk melayani
musuh, ia selalu mendekam diatas dahan pohon yang
tidak berjauhan dengan rumah itu, manakala ia tidak
dipakai pesiar oleh ketiga majikannya.
Pada suatu lohor, ketika mereka sedang berunding
untuk menjelajah disekitar lembah, untuk mencari
tempat yang lebih aman, tiba-tiba mereka dibikin kaget
oleh munculnya dua ekor kera kesayangannya Kwee In
ialah Pek-tauw dan Pek gan. Mereka cecowetan didepan
Kwee In seperti melaporkan apa-apa.
Bwee Hiang dan Eng Lian masih belum banyak
mengerti bahasa monyet, maka ia menanya pada jago
cilik kita, kedua monyet itu melaporkan apa"
"Mereka melaporkan Toa-hek, ji-hek dan Siauw-hek,
katanya sedang menggempur dua orang tua, satu
perempuan dan satunya lagi lelaki, mereka minta supaya
aku datang kesana memeriksa," menerangkan Kwee In.
"Bagus, untuk pertama kali ini Enci Hiang akan unjuk
gigi dilembah Tong-hong-gay," berkata Eng Lian serta
bertepuk tangan. "Adik Lian, kau bisa saja. Mari kita sama-sama lihat!"
ia mengajak, ketika Kwee In diam saja seperti berpikir.
Bwee Hiang dan Eng Lian segera juga berlarian
mengikuti Pek-tauw dan Pek-gan sebagai penunjuk jalan,
sedang Kwee In menyusul belakangan.
Sesampainya disana, dari k^ejauhan Eng Lian sudah
mengenali yang perempuan adalah Ang Hoa Lobo, entah
yang lelaki apakah ia Siauw Cu Leng" Mana mungkin
Siauw Cu Leng, menurut katanya Kwee In, ia telah
mampus karena tenaga membalik yang dilontarkan
kepada Kwee In. Eng Lian bersuit beberapa kali, ternyata siulan itu
sebagai tanda untuk tiga gorillanya yang sedang
berhantam itu mundur. Mereka mentaati siulan Eng Lian, sebab sebentar lagi
mereka sudah pada berdiri dibelakangnya si nona. Ang
Hoa Lobo menguber seraya acung-acungkan tongkatnya,
disusul oleh The Sam dibelakangnya.
Ketika sudah dekat, Eng Lian tidak kenali The Sam,
sebab memang ia tidak kenal dengan si orang she The.
Ia menegur Ang Hoa Lobo: "Nenek, kau mau apa datang
kemari" Sudah tak ada urusan lagi dengan kami disini,
lekas kau pergi, jangan sampai dikeroyok oleh kawanan
kera disini!" "Enak saja kau ngomong, anak bo-Ceng!" sahut Ang
Hoa Lobo sambil gadrukan tongkatnya.
"Aku bo-Ceng apa padamu ?" tanya Eng Lian heran.
Bo Ceng ialah tidak berbudi.
"Bertahun-tahun kau menjadi muridku, sekarang tidak
mau mengaku pada gurunya, bukan ini ada seorang
boCeng punya kelakuan?"
"Bertahun-tahun kau mendidikku juga bukan
kemauanku dengan suka rela, kau yang menculik aku
dan dijadikan Kim Coa Siancu."
"Bagus, kau sudah mengaku sekarang?"
"Siapa sudi panggil suhu padamu," jawab Eng Lian.
"juga kepandaianku yang penting adalah ajaran Sucouw,
bukannya kau!" "Sucouw, Sucouw, kalau tidak dengan perantaraan
aku apa kau dapat bertemu dengan Sucouw" Berkat
jasaku, maka kau mendapat didikan langsung dari
Sucouw." Eng Lian terdiam. Sebentar ia berkata pula: "Sekarang
kau mau apa kemari?"
"Aku mau mendapat rumahmu itu!" jawab Aqg Hoa
Lobo. "Rumahku" Kau mimpi, nenek?" kata Eng Lian.
"Gurumu bukannya mimpi, memang membutuhkan
tempat tinggal. Asal kau mau menyerahkan rumahmu
itu, artinya kau memandang aku sebagai gurumu."
"Asal aku tidak mau menyerahkan kau mau apa?"
"Hm! Tongkatku yang nanti bicara. Kau jangan kira
kepalamu tidak remuk dibawah tongkatku, Eng Lian!"
Eng Lian ketawa nyekikik.
Kiranya Ang Hoa Lobo sedang mencari sarang. Dalam
goa tempo hari rupanya ia sudah bosan dan tidak ada
pemandangan apa-apa, maka ia ingat akan rumahnya
Eng Lian dilembah Tong-hong gay, maka ia datang
kelembah tersebut. Ia tadinya mengira rumah itu kosong,
sebab Kwee In dan Eng Lian tentu tinggal di Coa kok,
namun kenyataannya Eng Lian ada dilembah dan masih
menempati rumah yang dulu.
"Eng Lian, kau ketawakan apa?" tegur Ang Hoa Lobo.
"Aku ketawakan nenek yang tidak tahu diri. Hihihi,..."
sahut Eng Lian. Ang Hoa Lobo beringas! Ia membentak: "Budak hina,
kau tidak mau kasikan rumahmu untuk gurumu" Benarbenar
kau murid durhaka!" Bwee Hiang tidak senang temannya dikatakan murid
durhaka. "Tidak pantas kau mengeluarkan perkataan kotor
begitu," menyelak Bwee Hiang. "Ada urusan bisa
didamaikan dengan baik, kenapa mengatakan adik Lian
murid durhaka ?" "Aha, tambah lagi budak liar! Siapa kau turut campur
urusanku?" bentak Ang Hoa Lobo dengan keren dan
tongkatnya di gedrukan. Bwee Hiang tidak menyahut, hanya mengawasi Eng
Lian. Ia tidak mau ribut mulut dengan si nenek, yang
katanya adalah gurunya Eng Lian. Ia takut kesalahan
omong membikin tidak enak hatinya sang kawan, maka
juga ia melirik pada Eng Lian menanyakan pikirannya si
gadis bawel. "Tempo hari aku kau culik," kata Eng Lian- "Aku
dipisahkan dari adik In, lalu kau kasi minum obat 'Cianjit-
su-su-hun' (obat bubuk mematikan ingatan seribu
hari), untuk dijadikan boneka yang disebut Kim Coa
Siancu. Kau menggunakan tenagaku untuk mendirikan
Ang-hoa pay yang sangat kau banggakan. Orang
orangnya semua ada orang-orang yang loloh dengan
obat jahat itu hingga pikirannya jadi linglung dan
melupakan rumah tangganya. Dosa ini tak berampun.
Paling tidak tahu malu kau melupakan guru sendiri,
meninggalkan Coa-kok dengan tidak permisi dari Lamhay
Mo Lie yang menjadi gurumu!"
Mendelik matanya Ang Hoa Lobo mendengar
disebutnya nama Lamhay Mo Lie.
Seketika ia teringat akan Kwee Cu Gie yang menjadi
pujaan hatinya,tapi si orang she Kwee sendiri tidak
melayani kepadanya. Hatinya panas seketika waktu
nampak Lamhay Mo Lie itu adalah isterinya Kwee Cu Gie.
Ia cemburu, dengan diam-diam ia meninggalkan Coa-kok
dan Ang-hoa-pay-nya yang ia dirikan dengan susah
payah. Sekarang si Nenek Kembang Merah lagi mencari
tempat untuk dipakai basis mendirikan partai baru. ia
setuju bekas rumahnya Eng Lian di lembah Tong-honggay.
Pikirnya dengan rumah itu akan ia diperbaiki
perlahan-lahan, kemudian diperbesar untuk dijadikan
markas dari partainya. Cita-citanya sekarang menemui
halangan, sebab Eng Lian sekarang sudah berada pula
dirumahnya. Apa Eng Lian ada bersama Kwee In, itu
belum tahu, karena tidak kelihatan bayangannya Kwee
In. Ia lihat Eng Lian berteman dengan seorang nona
yang baru ia lihat waktu itu.
Tanpa Kwee In, pikir si nenek tidak sukar untuk
menjatuhkan Eng Lian, sekali-pun umpamanya ia dibantu
oleh temannya seorang nona tadi.
Ang Hoa Lobo di Coa-kok tidak tahu kalau Eng Lian
mendapat didikan sungguh-sungguh dari Lamhay Mo Lie,
ia hanya tahu Lamhay Mo Lie mengaku bahwa ia ada
memberi sedikit petunjuk pada Eng Lian, sebaliknya tidak
tahu kalau Eng Lian di-didik benar-benar oleh gurunya
itu. Oleh karena ia tidak tahu itu, maka ia pandang Eng
Lian enteng, pikirnya pelajaran silat yang Eng Lian punyai
adalah darinya, maka mudah sekali kalau ia
menjatuhkannya, sebab Eng Lian adalah muridnya.
coba bila Ang Hoa Lobo tahu kalau Eng Lian sudah
berubah lihay, pasti ia akan pikir dulu untuk
mengeluarkan omongan-omongan yang tidak genah
didengar. "Lamhay Mo Lie itu orang apa!" berkata Ang Hoa Lobo
gemas. "Ia adalah perempuan tukang merampas laki
orang.." "Nenek!!" memotong Eng Lian. "Kau berani menghina
guru sendiri?" "Kenapa tidak berani?" sahut Ang Hoa Lobo beringas.
"Lamhay Mo Lie adalah ibunya adik In, kalau anaknya
tahu ibunya dicaci maki kau tahu sendiri, pasti mulutmu
akan diremas hancur!" kata Eng Lian.
"Aha si bocah hitam itu" Dimana ia sekarang" Ia
bilang aku masih hutang satu gebukan, sekarang aku
mau kasi hutang lagi dua gebukan, apa ia nanti kata?"
"Nenek sombong. kau jangan bawa adatmu yang
jelek!" tiba tiba terdengar suara didekatnya si nenek,
hingga Ang Hoa Lobo dan The Sam menjadi kaget, sebab
tahu-tahu berdiri seorang pemuda disampingnya.
Ang Hoa Lobo cepat berpaling. "Hei, kau Kwee Cu
Gie..." serunya. "Kwee Cu Gie" Bukan, aku anaknya Kwee Cu Gie,"
sahut anak muda itu ketawa.
"Kau Lo In, si bocah wajah hitam itu?" tanya Ang Hoa
Lobo. "Memang ya, kau masih hutang satu gebukan
padaku!" sahut Kwee In ketawa.
Ang Hoa lobo terbelalak matanya memandang
kecakapan parasnya Kwee In, yang mirip dengan orang
(Kwee Cu Gie) yang dipujanyaHatinya
si nenek yang masih haus hubungan sex.
tergetar untuk sesaat! Bwee Hiang dan Eng Lian melihat Kwee In sudah
campur tangan, mereka diam-diam menonton.
"Hehe, Lo In, ibumu tentu yang memulihkan wajahmu
yang hitam itu," kata Ang Hoa Lobo, dengan penuh
penasaran. "Aku bukan lagi si orang she Lo, hanya she Kwee. Kau
jangan salah menyebutnya," sahut Kwee In. "Kau lari
terbirit-birit ketakutan oleh ayahku, sampai lupa
memberikan obat pemunah wayahku. Untung ada ibu
yang dengan mudah memulihkan wayahku yang asli!"
"Siapa biiang aku lari terbirit-birit?" tanya Ang Hoa
Lobo heran. "Ayahku yang mengatakan itu," sahut Kwee In
mengejek. Ang Hoa Lobo menggebrukan tongkatnya. "Kwee Cu
Gie itu orang apa, lihat kalau aku ketemu ia, kalau aku
tidak bikin remuk kepalanya dengan tongkatku ini jangan
dikatakan aku si Nenek Kembang Merah yang liehay!"
Ang Hoa Lobo berkata seraya angkat tongkatnya yang
berat diacungkan. "Nenek macam kau, mana ada harganya untuk
menggempur ayahku. Kau lawan anaknya saja belum
tentu menang!" ngeledek Kwee In.
Ang Hoa Lobo gemas bukan main di-ledek Kwee In
"Anak sambel, kau kira nenekmu takut padamu" Hm!
Tempo hari lantaran kau membokong dengan mudah kau
mengalahkan aku. tapi sekarang, kau jangan harap bisa
lolos dari tongkatku ini!" seraya menunjukkan tongkatnya
yang berat puluhan kati. Kwee In hanya ketawa. "Tongkat-mu itu hanya pantas
untuk memukul anjing. tidak pantas dipakai genggaman
bertempur," mengejek Kwee In.
"Kenapa tidak boleh dipakai untuk bertempur?" tanya
Ang Hoa Lobo gusar. "Tongkatmu cepat patah, hahaha....."
Kwee In menggodai terus. "The Sam. kau bekuk anak liar ini"!" serunya pada
pacarnya, yang merangkap tukang pukulnya juga. sebab
Ang Hoa Lobo selalu majukan The Sam dahulu sebelum


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia sendiri maju bertempur. Sampai se-begitu jauh The
Sam boleh diandalkan, hingga si Nenek menjadi
keenakan. The Sam menuruti ketika Ang Hoa Lobo memberi
komando. "Orang macam begitu, mana pantas melawan adik
In!" mendengus Bwee Hiang, tidak senang ia adik In-nya
diadukan dengan orang yang tidak terkenal.
"Memangnya kau mau turun tangan?" bentak Ang Hoa
Lobo yang kesinggung oleh perkataan Bwee Hiang tadi.
"Aku juga mungkin masih tidak berharga melayani
budakmu, kalau dengan kau berdua sekali mengerubuti
aku, mungkin boleh juga untuk aku lemaskan badan?"
jawab si nona dengan sikap jumawa. hingga Ang Hoa
Lobo hampir meledak perutnya saking gusar.
"Budak hina, mari aku kasi hajaran!" teriaknya
melengking nyaring, menggunakan lwekang yang tinggi,
hingga Bwee Hiang dan Eng Lian agak berdebaran juga
hatinya. Sebaliknya Kwee In tinggal ketawa saja seperti tidak
terjadi apa-apa. Bwee Hiang lolos pedangnya dan lompat maju, tapi
berbareng Kwee In juga sudah lompat menghadang.
"Enci Hiang, kau jangan maju. Biarkan adikmu mainmain
dengan mereka untuk melemaskan badan!" cegah
Kwee In, seraya mengedipkan matanya.
Bwee Hiang mengerti maksud adiknya, maka dengan
mesem ia kembali ketempatnya tadi.
"Mari, mari, siapa berani maju lawan aku si bocah!"
tantang Kwee In kemudian.
"Hm! Budak liar itu takut maju?" mengejek Ang Hoa
Lobo. Bwee Hiang tidak menjawab, ia hanya jebikan bibirnya
ngeledek pada si nenek. Hatinya Ang Hoa Lobo panas, ia
lompat kearah Bwee Hiang, tapi lompatan Kwee In ada
lebih cepat lagi, karena si nenek bukan menghadapi
Bwee Hiang, sebaliknya ia berhadapan dengan Kwee In.
"Hehe, bagus! Kau melindungi budak liar itu untuk
menerima gebukan dari nenekmu!"
"Nenek tidak ada urusan dengan ia, untuk apa kau
mssti bertempur dengannya?"
"Baiklah!" sahut Ang Hoa Lobo. "Nah sekarang
keluarkan senjatamu"
"Untuk apa pakai senjata. Aku main-main dengan
tangan kosong saja!"
Ang Hoa Lobo gemas dipermainkan si bocah.
"bocah, kalau kau mampus jangan sesalkan
nenekmu!" bentaknya.
"Kenapa mesti menyesalkan orang?" ngeledek Kwee
In. "Kau boleh mulai!"
"Hei! The Sam kau maju dulu!" ia perintah
begundalnya. The Sam menurut. Tanpa banyak cingcong ia
menyerang Kwee In dengan ganas.
Kwee In hanya bergerak sedikit, tahu-tahu lengan The
Sam yang mengulur panjang menggunakan ilmunya
'Thong pie-kong' telah dicekal Kwee In. Sekali dipencet,
The Sam minta bantuan pada Ang Hoa Lobo.
Si Nenek Kembang Merah berdiri seperti terpaku. Ia
tidak menyangka, hanya segerakan saja The Sam sudah
dibikin tidak berkutik oleh Kwee In. Ini janggal betul,
pikirnya. Ia lalu melangkah maju.
"Lepaskan ia, mari kita bertempur sampai seribu
jurus!" tantang Ang Hoa Lobo.
"Begitu lama aku tidak ada tempo," menggoda Kwee
in. "Asal kau tahan tiga jurus saja seranganku, aku boleh
bertekuk lutut dan kau boleh punya suka terhadap
diriku." Ang Hoa Lobo kaget. "Kau jangan sombong, anak
setan!" bentaknya. "Apa nenekmu tidak punya daya
untuk menghindari serangan setanmu?"
"Nah, coba-cobalah!" kata Kwee In ketawa
Ang Hoa Lobo berkata lagi: "Kau jangan menyangkal,
kalau dalam tiga jurus kau tidak bisa mengapa-apakan
aku, kau harus tekuk lutut untuk berbuat sesukaku atas
dirimu!" "Siapa yang maU menyangkal!" jawab Kwee In
tertawa nyengir. Ang Hoa Lobo pasang kuda-kuda yang berat sekali,
supaya jangan sampai dijatuhkan si bocah yang hendak
melakukan serangan pertama.
Kwee In ketawa gsli melihat lagaknya Ang hoa Lobo.
"Sudah siap?" tanya Kwee In pada si Nenek Kembang
Merah. "Memangnya kau buta" Dari tadi aku sudah siap!"
sahutnya ketus. "Baiklah... ini jurus pertama!" seru Kwee In. menyusul
tangan kirinya dibeber dalam gaya seperti menolak,
hingga Ang hoa Lobo cekikikan ketawa, mengira Kwee In
main-main. Mendadak ia rasakan serangkum angin dingin
menyambar dari tangan Kwee In, masuk menjelajahi
tubuhnya, hingga si nenek menggigil seperti disambar
malaria. Kwee In tidak lama lama menyiksa si nenek, sebab
keburu merasa kasihan. Ia tarik pulang serangannya.
kontan hawa dingin barusan yang dirasakan si nenek
lenyap. "jurus kedua!" seru Kwee In. menyusul tangannya
bergaya seperti tadi, kali ini tangan kanannya yang
bergerak. Ang Hoa Lobo sudah pucat mukanya kuatir hawa
dingin tadi menyambar lagi. Sebelum ia tahu apa-apa,
serangkum hawa panas menyambar tiba-tiba dan
melekat dibadannya. Kemudian masuk ketulangtulangnya
seperti dibakar. Ang Hoa Lobo pertahankan
diri supaya jangan berkaok, karena kalau berkaok berani
ia kalah. Peluh yang sebesar kacang kedele membanjiri
tubuhnya si nenek, saking dipaksa menahan siksaan
panas. Kwee In kasihan melihatnya, maka ia tarik pulang
serangannya. Ang Hoa Lobo lega hatinya, dua jurus dapat
dilewatkan dengan baik. "Masih satu jurus lagi, lekas kau serang nenekmu!"
tantang Ang Hoa Lobo. Sebenarnya si nenek sudah merasa dirinya kalah.
Dalam jurus pertama saja, kalau Kwee In mau, ia sudah
roboh lantaran beku badannya. Demikian dengan jurus
yang kedua, tubuhnya bisa hangus kapan si bocah mau
berbuat jahat, semua kemenangan atau dapat
bertahannya itu karena kemurahan hati Kwee In.
Cuma lantaran si nenek bandel dan mau unggul saja,
maka ia tebalkan muka meneriaki agar Kwee In
melancarkan serangannya yang ketiga. Pikirnya, Kwee In
tentu akan mengalah pula dan ia dinyatakan menang.
"jurus ketiga!" seru Kwee In nyaring.
Bwee Hiang dan Eng Lian sesalkan Kwee In main-main
saja, sebab dalam jurus pertama saja si bocah sudah
dapat menggulingkan si Nenek Kembang Merah.
jurus ketiga dimuiai menegangkan urat syaraf, sebab
kalau Kwee In tak dapat membuat apa-apa atas dirinya si
Nenek berarti Kwee In kalah dan harus memenuhi
janjinya berlutut didepan Ang Hoa Lobo. Ini yang
membuat Bwee Hiang dan Eng Lian tegang, begitu juga
dengan The Sam yang mengharap 'gula-gulanya'
menang dalam gebrakan terakhir itu.
"Lihat serangan!" seru Kwee In, mengulangi
seruannya yang pertama. "Matamu buta, nenekmu sudah sedia dari tadi!"
bentak Ang Hoa Lobo. Baru saja si Nenek Kembang Merah menutup
mulutnya atau serangkum angin balus melanda
kepalanya si nenek. Ang Hoa Lobo tak bergoyang sedikit
pun, maka ketika Kwee In tarik pulang tangannya yang
menggempur tadi Ang Hoa Lobo tertawa terkekeh kekeh
sambil berkata: "Anak kecil, belum punya rejeki kau bikin
nenekmu terjungkal..."
Bwee Hiang dan Eng Lian melongo menyaksikan
kesudahan tiga jurus serangan Kwee In yang tidak ada
apa-apanya yang mengagumkan, malah sekarang Kwee
In harus berlutut didepan si nenek, oh, sungguh
menyebalkan sekali kalau sebentar menyaksikan Kwee In
berlutut didepan si Nenek Kembang Merah yang tentu
akan menghinanya. "Enci Hiang, mari kita gempur saja nenek gila itu!"
mengajak Eng Lian. "Mana bisa adik Lian, apa kau tidak dengar perjanjian
adik In tadi?" "Aku tidak bisa lihat kalau adik In sampai berlutut
didepan si nenek." "Aku juga begitu, habis apa daya?"
Dua gadis itu kebingungan tidak bisa mengambil
keputusan untuk menolongi adik In-nya.
"Anak kecil, kau harus penuhkan janjimu, dalam tiga
jurus kau tidak bisa bikin apa-apa atas diriku, kau harus
berlutut didepan nenekmu. Nah, sekarang lekas berlutut!
Mau tunggu kapan lagi?"
Kwee In ketawa-ketawa urung, hingga si nenek
membentak: "Kau mau mangkir janjimu!"
"Nanti dulu," sahut Kwee In. "Aku sudah bikin kau
terjungkal, bagaimana kau suruh aku berlutut. aku toh
tidak mengingkari janjiku?"
"Hehe, anak kecil, kau mau permainkan nenekmu?"
Ang Hoa Lobo mendelik matanya, seraya angkat
tongkatnya mau memukul kepalanya Kwee In.
"Kau tidak percaya kau sudah terjungkal?" tanya Kwee
In serius. "Siapa yang mau percaya padamu, anak setan!"
bentak Ang Hoa Lobo gusar.
Bwee Hiang dan Eng Lian tegang menyaksikan dua
orang itu bertengkar. "Enci Hiang, adik In apa sudah sinting" Kenapa sudah
kalah bertaruh masih ngotot katanya menang?"
"Tunggu dulu, kita jangan menyalahkan dulu adik In,
si nakal itu kepandaiannya susah diukur, kita lihat
bagaimana kesudahannya," sahut Bwee Hiang, yang
percaya penuh adiknya tidak akan main-main dalam
taruhan tadi. Meskipun begitu, ia juga sangsikan dengan
bukti apa adik In-nya itu mengatakan ia menang
bertaruh" "Kau mau bukti?" tanya Kwee In ketawa terbabakbahak.
"coba kau unjukkan buktinya !" bentak Ang Hoa Lobo
gemas dirinya dipermainkan.
"Nenek manis, coba kau pegang rambut kepalamu,
apa masih dapat disisiri tidak?" sahut Kwee In tenangtenang
saja ketawa. Ang Hoa Lobo ketawa ngekeh. "Anak kecil, kau bisa
apa dengan rambutku ?" katanya, seraya tangannya
meraba rambut kepalanya. Alangkah terkejutnya si nenek. ketika ia angkat pula
tangannya yang meraba kepalanya, rambut kepalanya
nyoplok nempel pada tangannya, kemudian terbang
berhamburan ditiup oleh angin pegunungan. Kepalanya
Ang Hoa Lobo sekarang sudah gundul kelimis, seperti
seorang nikouw (rahib). lucu sekali tampaknya.
The Sam yang melihatnya menjadi tertegun dan
kemudian ketawa berkakakan.
Eng Lan dan Bwee Hiang dilain pihak telah tertawa
terpingkal pingkal nampak kepalanya Ang Hoa Lobo
botak kelimis seperti baru saja dicukur. Entah si bocah
nakal menggunakan ilmu gaib apa membuat si Nenek
Kembang Merah menjadi licin kelimis demikian kepalanya
tak sehelai rambutpun yang ketinggalan.
Itulah untuk pertama kali Kwee In menggunakan ilmu
mukjijadnya dari It-sin-keng yang dinamakan 'Se hong
sauw kok' atau "Angin halus melanda lembah yang
menggunakan lweekang sangat tinggi. Angin halus yang
menghembus dari telapak tangan Kwee In melanda
dikepala rasanya dingin untuk beberapa detik, tidak
menimbulkan reaksi apa-apa pula yang menyebabkan si
korban lengah kalau kepalanya dicukuri angin halus yang
berhawa dingin itu bekerjanya sangat hebat, seakanakan
pisau silet tajam mencukur kelimis kepala orang
dengan tidak berasa dan tahu-tahu rambut nyoplok
apabila diraba tangan. Kejadian itu sangat memalukan, mana Ang Hoa Lobo
mengerti, maka seketika itu ia membentak pada Kwee In
dengan kegusaran yang meluap-luap: "Binatang, kau
bikin malu nenekmu" Apa kau kira dengan kepandaian
silatmu itu bikin gentar hatinya nenekmu" Kau jangan
mimpi. Lihat tongkatku!"
Seiring dengan kata-katanya Ang Hoa Lobo
menyerang dengan tongkatnya yang berat.
"Nenek manis," ngeledek Kwee In. "Kau kenapa jadi
marah-marah" Dulu kau poles wayahku hitam, apa itu
bukan malui aku" Kalau sekarang aku mencukuri
rambutmu kelimis, itu satu pembalasan yang wajar
bukan" Ada ubi ada talas, ada budi harus dibalas!
Hahaha.... Percuma kau gunakan tongkatmu yang cepat
patah itu!" Ang Hoa Lobo tidak mau ladeni godaan Kwee In,
tongkatnya yang berat terus dikasi kerja dengan kalap.
Namun, mana tongkatnya si nenek dapat menyentuh
Kwee In yang kepandaiannya susah diukur. Saban
dikemplang atau disodok Kwee in selain menghilang dari
depannya, membuat si Nenek Kembang Merah makin
gemas, dan gemas ia sampai kepingin mewek (nangis)
lantaran tak dapat melampiaskan kegusarannya.
"Binatang tolol, kau mau jadi patung?" bentak Ang


Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoa Lobo kepada The Sam yang berdiri saja dipinggiran
menonton pertarungan 'pacarnya'.
The Sam seperti diguyur air dingin mendengar
bentakan si nenek, maka ia lantas cabut pedang
pendeknya menerjang Kwee In. maksudnya mengeroyok.
Kwee In ketawa gelak-gelak melihat The Sam turun
tangan. Begitu badannya Kwee In berkelebat didepannya. The
Sam rasakan celananya merosot. Entah dengan apa si
bocah nakal telah bikin putus tali celana The Sam, hingga
si orang she The repot menjinjing celananya yang
hendak merosot turun. Masih belum tahu ia dengan apa membikin kencang
celananya. Tiba tiba...... weekk!! celananya sobek panjang dijambret Kwee In
yang nakal. Bukan main malunya The Sam, dalam keadaan
separuh telanjang seraya menjinjing celananya yang
sudah tidak karuan si orang she The lari sembunyi dibalik
batu menantikan Ang Hoa Lobo yang masih bertempur
dengan Kwee In. "Sungguh hebat!" mengguman The Sam. Seumurnya
ia belum pernah menemukan lawan yang demikian gesit.
tubuhnya seakan akan hanya bayangan saja yang
menyambar nyambar. Ia merasa bersyukur lawan
memberi kemurahan kepadanya. kalau tidak. pasti ia
mati konyol siang siang. Ang Hoa Lobo yang napasnya sudah ngos ngosan
mengubat-abitkan tongkatnya tanpa mengena
sasarannya. mulai putus asa. Ia tahu dirinya sebenarnya
sudah pecundang, namun ia masih tebalkan muka untuk
mempertahankan merknya. Ia membentak: "Binatang,
kalau kau laki - laki jangan menghilang seperti setan.
Mari kita bertempur sampai seribu jurus dengan
berhadap-hadapan!" Kwee In tiba-tiba sudah berdiri didepan Ang Hoa Lobo,
sedikitpun tidak kelihatan ia lelah atau mukanya berubah
kecapean karena berkelit sana-sini menghindarkan
serangan tongkat si nenek yang dahsyat.
Diam-diam Ang Hoa Lobo, mengagumi anak muda
didepannya itu, pikirnya, Kwee In ada lebih hebat
kepandaiannya dari Kwee Cu Gie. ayahnya, cara
bagaimana ia dapat mengalahkannya" Kalau tidak
dengan kelicikan, terang ia tak dapat menang.
Sementara si nenek berpikir mencari akal, adalah
Bwee Hiang dan Eng Lan disana ketawa terpingkalpingkal
melihat si nenek dikocok oleh adik In-nya dan
napasnya sudah senin-kemis tinggal ambruknya saja.
Mereka geli mendengar Ang Hoa Lobo menantang
Kwee In bertanding seribu jurus.
"Nenek bangkotan. apa gunanya menantang berkelahi
sampai seribu jurus sedang napasmu tinggal menunggu
tempo saja!" jengek Bwee Hiang, yang sebel melihat
lagak Ang Hoa Lobo demikian tidak tahu malu.
"Budak hina, perlu apa kau mencampuri urusanku?"
bentak Ang Hoa Lobo, sambil deliki matanya dengan
sangat gusar. Bwee Hiang sudah mau membuka mulut pula, batal,
melihat Kwee In mengedipi matanya.
"Kau sekarang mau apa?" tanya Kwee In pada si
Nenek Kembang Merah. "Aku mau kau berkelahi secara laki-laki, jangan pakai
menghilang! " sahutnya ketus.
"Maksudmu" " Kwee In berlagak pilon
Pendekar Pemetik Harpa 25 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Sejengkal Tanah Sepercik Darah 12
^