Pencarian

Kuda Besi 5

Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong Bagian 5


Kembali Kun Hiap memperhatikan keadaan di muka. Tetapi tetap di tempat gerumbul itu tia-da muncul seseorang. Entah dimanakah orang yang tertawa tadi"
Karena hanya memperhatikan ke depan, Kun Hiap tak sempat memperhatikan bahwa gunduk tanah yang berada dihadapan itu tiba2 seperti merekah dan bergerak-gerak. Kun Hiap menunduk, dia terkejut ketika dibawah kakinya terdengar suara orang tertawa dan tiba2 timbul sebuah liang lalu muncul pula sesosok tubuh manusia yang bertepuk tangan tertawa-tawa, "Aku disini. Hai, mengapa engkau berdiri ditempat sejauh itu?"
Sudah tentu Kun Hiap terkejut bukan kepalang dan terus loncat mundur, ketika memandang lekat2, ternyata orang itu seorang kate yang tingginya hanya lebih kurang satu meteri, memakai topi baja yang mengkilap. Diatas topi baja itu ber hias dengan gigi-baja yang saat itu penuh dengan lumpur. Dengan begitu jelas kalau dia berjalan menyusur dalam tanah.
Begitu muncul Sam Coat sianseng lalu me-lepaskan topi bajanya. Selain kate, pun wajahnya juga aneh seperti wajah setan.
Semula Kun Hiap mengira karena menyan-dang gelar Sam Coat sianseng (Tiga Ahli), tentu-lah orang itu mahir dalam ilmu syair, melukis dan ilmupedang. Wajahnya tentu cakap dan berwiba-wa. Siapa tahu ternyata hanya seorang kate yang berwajah aneh.
Kun Hiap terlongong. Tiba2 tokoh kate itu berputar tubuh dan memandang Kun Hiap lalu tertawa, "Sahabat lama, maaf....."
Kun Hiap terkesiap karena tak tahu apa maksud ucapan si kate itu. Tetapi tiba2 orang kate itu menarik tangan dan berganti menyodok pinggang Kun Hiap dengan siku lengannya.
Kun Hiap hendak menghindar tetapi tiba2 siku lengan si kate itu mendering dan dari lengan bajanya meluncur tiga batang besi sepanjang 30an senti.
Kun Hiap terkejut. Bagaimanapun dia hendak menghindar, tetap tak dapat menyelamatkan diri. Namun dia tetap berusaha juga untuk loncat ke samping kiri, plek .... tangkai besi menyambar pinggang kiri, tidak keras tetapi cukup membuat jalandarahnya tertutuk.
Sam Coat sianseng tertawa haha, lalu melesat ke muka Kun Hiap dan memandang pemuda itu dari ujung kaki sampai ke atas kepala. Dia mendesis.
Karena jalandarahnya tertutuk, Kun Hiap tak dapat berkutik. Tetapi dia tahu kalau Sam Coat sianseng memandangnya dan tertegun. Pikirnya, tentulah tokoh itu kenal dengan mendiang ayahnya, Can Jit Cui.
Beberapa jenak kemudian barulah Sam Coat sianseng menepuk bahu Kun Hiap, "Sahabat lama,' maafkan.'"
Tiba2 dia menendang ke belakang dan tahu2 tubuhnya melenting sampai 5-6 tombak di udara, berjumpalitan dan melayang turun di hadapan Hui Giok.
Kun Hiap terkesiap. Bertahun-tahun dia hanya tinggal di rumah saja. Dia mengira tokoh seperti Wi Ki Hu dan Poa Ceng Cay itu, tokoh yang paling hebat. Tetapi sekarang terbukalah matanya bahwa dalam dunia persilatan itu penuh dengan tokoh2 yang luar biasa.
Serempak dengan kenyataan itu, diapun menyadari betapa rendah kepandaian yang dimilikinya sehingga selama berkeliaran dalam dunia persilatan, dia selalu menjadi bulan2 dan dikuasai orang.
Terdengar Sam Coat sianseng tertawa lagi, serunya, "Sababat, aku sudah tahu semua."
"Kalau begitu mengapa engkau tak lekas bertindak?" balas Hui Giok.
"Masih ada sebuah hal yang belum kuselesaikan," jawab Sam Coat sianseng, "tahukah engkau?"
Kata-katanya diucapkan pelahan sekali sehingga Kun Hiap tak dapat mendengarkan.
"Soal apa" Apakah masih ada lain soal yang lebih penting dari urusan ini?" tanya Hui Giok..
Sam Coat sianseng tertawa mengikik .dan menuding Hui Giok, "Sekarang engkau masih muda belia tetapi sudah berani melakukan segala perbuatan. Apabila aku sudah menyelesaikan, baik dendam tetapi kalau masih membiarkan engkau hidup di dunia, itu sia2 namanya. Kelak aku ten-tu juga menenma nasib pahit dari engkau. Pepa-tah mengajarkan 'siapa yang turun tangan lebih duhi, dia yang kuat dan yang bertindak terlam-bat tentu menderita kerugian". Yang akan kukerjakan tak lain adalah soal itu . . . . "
Sebelum orang menyelesaikan kata-katanya, Hui Giok sudah tahu apa tujuannya. Tangan kanan serentak mencekal cakar Hiat-hun-jiau dan sebelum Sam Coat sianseng selesai bicara diapun su-dah menyerang dada orang.
Sam Coat sianseng melengking kaget dan loncat mundur, "Sahabat, yang pantas turun tangan lebih dulu supaya menang adalah aku. Mengapa malah engkau yang mema.nfaatkan ajaran itu untuk menyerang aku lebih dulu."
Hui Giok tidak mau adu mulut. Dia menerjang dan menyerang hebat dengan Hiat-hun-jiau.
Sam Coat sianseng menyambut dengan topi bajanya, tring .... gigi baja pada topi itu hancur dua batang.
"Lihay !" teriak Sam Coat sianseng sembari loncat melambung ke udara. Tiga kali dia berjungkir balik Sehingga melambung makin tinggi sampai lima tombak. Dia memakai topi bajanya lagi lalu tiba2 dia bergeliatan menukik ke bawah, kaki di atas kepala menghadap bawah dia meluncur turun.
Waktu berjumpalitan ke udara, gerakannya begitu cepat. Dan ketika menukik turun gerakannya lebih cepat lagi, bum .... seperti bom ja-tuh, dia terus membentur tanah, dan menyusup masuk ke bumi.
Hui Giok loncat memburu dengan gerak secepat angin tetapi ketika tiba di tempat Sam Co-at ambles bumi, ternyata bekas liang telah tertimbun kembali dengan tanah, Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentulah Kun Hiap tidak percaya behwa di dunia ini terdapat ilmu masuk ke dalam bumi..
Hui Gok berputar tubuh untuk mencari dimana Sam Coat berada. Tetapi permukaan tanah tiada tampak suatu gerakan apa2.
Hui Giok penasaran. Dia ayunkan cakar untuk menghantam tanah sehingga di sana sini penuh dengan lubang. Tetapi Sam Coat tetap meng-hilang seperti ditelan bumi..
Hui Giok lalu melesat ke tempat Kun Hiap dan membuka jalandarah pemuda itu. Tepat pada saat itu Kun Hiap melihat tanah di belakang gadis itu tiba2 menggunduk ke atas. Dilihatnya Hui Giok tak mengetahui hal itu. Sedang saat itu ja-landarah Kun Hiap belum melancar sehingga dia tak dapat berteriak memberi peringatan.
Tiba2 dari tanah yang membengkak itu menjulur ke luar sebuah tangan manusia. Dua buah jari tangan itu segera menutuk jalandarah witiong-hiat di belakang persambungan lutut Hui Giok.
Saat itu Hui Giok baru terkejut. Namun untuk menghindar sudah tak keburu lagi. Dalam keadaan gugup, Hui Giok mengangkat kakinya keatas. Ah, dia berhasil menghindari tutukan orang tetapi sebelum dia sempat untuk menggunakan cakar Hiat hun-jiau, kelima jari Sam Coat sianseng sudah menerkam tumit kaki Hui Giok terus ditariknya, bluk, Hui Giok terpelanting jatuh.
Saat itu kepala Sam Coat muncul keluar bersama topi baja. Dia tertawa gelak2, "Sahabat, maaf !"
Hui Giok berguling-guling lalu melenting bangun dan terus menyerang dengan ganas. Sam Coat menyelusup ke dalam tanah lagi sembari membuang gunduk tanah ke atas.
Hui Giok terpaksa enjot tubuhnya ke udara lalu menunjuk ke tanah. Dia melepaskan tenaga-dalam melalui jari telunjuk untuk menyerang Sam Coat. Tetapi gunduk tanah tempat Sam Coat tadi, berputar arah dan melaju membentur tubuh Kun Hiap. Seketika jalandarah Kun Hiappun melancar lagi.
"Hai, kalian tadi bicara dengan baik2 mengapa tiba2 berhantam?" teriak Kun Hiap setelah ja-landarahnya terbuka.
Hui Giok melayang turun, "Ayo kita pergi," serunya secara menarik tangan Kun Hiap diajak pergi. "Orang itu sukar dihadapi, lebih baik kita pergi, makin cepat makin baik.
Dalam waktu beberapa kejab saja keduanya telah mencapai 5-6 li, baru berhenti.
"Ah, walaupun Ilmunya lari di bawah tanah cepat sekali tetapi tak mungkin dapat menandingi lari kita," kata Kun Hiap.
"Tolol," damprat Hui Giok, "mana dia akan lari di bawah tanah" Jelas dia takkan memberi ampun kepada kita . . . .
Sambil berkata Hui Giok memandang ke empat penjuru. Dilihatnya di atas lereng gunung terdapat sebuah dataran karang. Cepat dia mena-rik Kun Hiap menuju ke tempat itu.
"Di sini kita tak perlu takut kalau dia akan ambles bumi lagi. Dia hebat dalam ilmu ambles bumi, lihay dalam ilmu di air dan sakti dalam membuat alat2. Itulah sebabnya dia digelari Sam Coat sianseng. ilmu silatnya juga tinggi. Kecuali dikalahkan oleh ayah dan mamaku, selamanya be-lum pernah terdengar kalau dia kalah dengan orang lain," menerangkan Hui Giok.
Ada sesuatu dalam hati Kun Hiap yang hendak ditanyakan tetapi entah bagaimana dia tidak jadi bicara. Apa yang hendak ditanyakan itu tak lain adalah bahwa Sam Coat sianseng itu ternyata musuh besar dari kedua orangtua Hui Giok.
Sambil beristirahat di dataran karang, Hui Giok tetap memandang dan menperhatikan sekeliling empat penjuru. Setiap terjadi rumput bergoyang tertiup angin, wajahnya tentu berubab tegang. Namun sampai setengah jam berlalu, tetap tak terjadi suatu apa.
" Dia mungkin tak datang," kata Kun Hiap.
"Tidak," bantah Hui Giok, "dia masih menung-gu kalau kita turun dari karang ini lalu menye-rang."
"Apakah kita menunggu di sini seumur hidup?" tanya Kun Hiap.
"Uh, perlu apa engkau, tergesa-gesa" Aku punya rencana sendiri."
Kun Hiap hanya dapat menghela napas. Diam-diam dia membatin bahwa untuk yang kesekian kalinya dia harus disuruh tunduk lagi.
Tiba2 terdengar suara orang berbatuk. Nadanya parau dan kering seperti nada seorang tua.
"Siapa?" cepat Hui Giok berputar tubuh. Dilihatnya seorang tua sedang melintasi gerumbul pohon dan berjalan pelahan-lahan dengan sebatang tongkat. Mengenakan pakaian warna kelabu, Jalannya pelahan sekali sehingga beberapa detik baru mencapai jarak satu tombak.
Berulang kali Hui Giok meneriakinya tetapi orang itu seperti tidak mendengar dan lanjutkan langkah. Sret . . . Hui Giok ayunkan lengan ba-ju dan sebatang hui to atau pisau-terbang mela-yang.
Melihat orang itu seperti bukan orang persilatan dan wajahnya seperti orang sakit, Kun Hiap terkejut sekali, "Hui Giok ....!?"
"Jangan ribut!" bentak Hui Giok, "aku hanya menjajal apakah dia itu orang persilatan atau bukan."
Dalam saat itu hui-to sudah melayang di atas kepala si orang tua dan segumpal rambut putihnya terpapas.
Memang Hui Giok hanya menyelidiki keadaan orang itu. Kalau benar seorang tokoh persilatan tentu akan berusaha menangkis atau meng-hindar dari hui-to. Tetapi setelah tahu orang tua itu hanya berdiri tegak dan tak melakukan suatu gerakan apa2, baru legalah hati Hui Giok.
Orang tua itu mengangkat muka. Wajahnya pucat dan tubuh kurus kering. Dia batuk2 sam-pai beberapa saat. Tongkat di tangannya tampak gemetar. Setelah itu dia mengangkat tongkatnya dan berkata, "Apakah yang itu ... . Wi-kongcu?" Kata-katanya diucapkan dengan lemah seka-li. Kun Hiap terkesiap lalu menjawab, "Aku she Can, bukan she Wi."
Kembali orang tua itu batuk2. Tiba2 Hui Giok melihat bahwa tanah di samping orang tua itu membengkak ke atas. Dia segera tahu kalau Sam Coat sianseng hendak ke luar dari tanah.
Cepat dia enjot tubuhnya ke muka dan tiba di tempat tanah membengkak tadi. Dia bersiap-siap, mengerahkan segenap tenaga-dalam untuh menghantam.
Tanah membengkak itu makin lama makin tinggi sehingga orang tua itu terkejut dan mundur tiga langkah. Pada saat tanah menggunduk sampai setengah meter, dengan melengking keras, Hui Giok lalu menghantam, bum . . . .
Hantaman itu benar2 disertai dengan seluruh tenaga. Tanah dan pasir berhamburan muncrat ke udara dan terbukalah sebuah liang besar. Tetapi anehnya dalam liang itu tak terdapat Sam Coat sianseng.
Tahu kalau tertipu, Hui Giok hendak berputar tubuh tetapi tiba2 dari belakang terdengar suara Sam Coat sianseng berseru, "Sahabat, maafkan."
Setiup angin pukulan melancar ke punggung Hui Giok. Nona itu masih nekad berputar tubuh sambil menghantam. Dia tahu kalau lawan itu punya bermacam-macam alat rahasia.. Kalau dia lon-cat menghindar ke muka, memang dapat terhindar dari pukulan tetapi dia tentu akan menderita dari alat2 rahasia Sam Coat sianseng. Oleh karena itu dia nekad menghadapinya saja.
Tanah dan debu berhamburan menutup sekeliling penjuru sehngga Hui Giok tidak dapat melihat wajah Sam Coat sianseng. Yang kelihatan hanyalah sebuah tangannya menjulur dari kepulan debu.
Hui Giok cepat balikkan tangan dan terus menerkam siku lengan Sam Coat. Betapa girangnya karena terkamannya itu berhasil. Tetapi betapa kejutnya ketika terdengar suara orang terta-wa mengejek dari samping dan sesaat itu diapun merasa bahwa yang diterkamnya itu bukan seperti lengan manusia.
Hui Giok cepat lepaskan terkamannya, peletak-peletek terdengar bunyi seperti benda putus. Ternyata kelima jari dari tangan palsu yang diterkam Hui Giok tadi serempak sama patah semua dan dari lubang kelima jari itu berhamburan keluar lima ekor ular yang besarnya hanya seperti jari tangan. Ular2 itu berwarna hijau dan disebut ular Tiok-yap-ceng-coa atau ular daun bambu, jenis ular yang berbisa.
Masih untung Hui Giok dapat bertindak dengan cepat. Pada saat kelima ekor ular Ceng-tiok-yap itu muncul dan menyerang, Hui Giok segera menampar dengan jurus Jiu-bun-ngo-hian atau tangan-memetik-lima-senar. Jari telunjuk, jari tengah dan jari manis, dapat mengenai see-kor ular ceng-tiok-yap hancur kepalanya.
Tetapi ular-ular crng-tiok-yap peliharaan Sam Coat sianseng itu sudah terlatih baik. Dua ekor ular yang terhindar dari tamparan Hui Giok dengan cepat segera melilit siku lengan nona itu. Sudah tentu Hui Giok terkejut sekali. Cepat dia menampar dengan tangan kiri dan remuklah kedua ular itu dengan seketika.
Tetapi karena dia sibuk menghadapi serangan ular, dia sampai tak menaruh perhatian terha-dap ancaman Sam Coat sianseng.
Setelah menonjolkan tangan palsu untuk menggoda perhatian Hui- Giok, Sam Coat sianseng sudah berputar ke samping si nona. Pada saat Hui Giok sedang membasmi ular, Sam Coat siansengpun tertawa sinis dan serentak mengayunkan tangan, plak .... sebatang batang besi melayang ke arah pinggang Hui Giok.
Hui Giok terkejut tetapi tak sempat untuk menghindar lagi. Pinggangnya terhantam telak.
"Sahabat, maaf," teriak Sam Coat. Dia memiliki tenaga-dalam yang hebat. Sekalipun Hui Giok mengenakan baju Kim-wi-kah tetapi tidak urung tubuhnya terpelanting jatuh.
Hui Giok kaget dan marah. Pada saat ja-tuh ke tanah dia terus menekankan kakinya ke tanah dan melambung ke udara, melayang turun sampai tiga tombak-jauhnya.
Karena kedua orang itu bertempur dalam kabut debu yang tebal. Kun Hiap tak dapat melihat dengan jelas. Saat itu melihat Hui Giok tiba2 melayang keluar, diam2 dia menghela-napas longgar dan gopoh bertertak,'' Hui Giok. . . . !"
Tetapi saat itu Hui Giok masih berada di udara. Tiba2 nona itu berputar-putar dan sesaat kemudian sudah mengayunkan cakar Hiat-hun-jiau yang memancarkan sinar merah. Selekas turun diatas gunduk batu, diapun segera enjot tubuh me-layang kearah kepulan debu lagi.
Serentak Kun Hiap melihat bahwa kepulan kabut debu yang tebal itu dilingkupi dengan sinar merah. Wah, kalau terus-terusan begini, kapan akan selesai. Pikirnya. Dia hendak turun membantu Hui Giok tetapi pada saat itu dari bawah gunduk batu besar terdengar suara orang tertawa pelahan.
"Sam Coat sianseng," pikirnya terkejut, Kalau tokoh itu sudah bersembunyi dibawah gunduk batu, lalu dengan siapakah Hui Giok bertempur itu"
Belum sempat ia menemukan jawaban, tiba2 sesosok tubuh melesat dan muncullah Sam Coat sianseng dengan berseri tawa dan berbisik-bisik," Ha, sahabat, rupanya engkau disukai bndak perempuan itu, ya" Kalau kuringkus engkau, tentulah budak perempuan itu akan menyerah, Maaf, maaf, . , . ," sambil berkata dia ulurkan tangan menerkam siku lengan Kun Hiap. Kun Hiap tertegun, dia hendak menghindar tetapi tiba2, entah dari mana datangnya, tahu2 sebatang tongkat telah menekan lengannya. Dan pada saat itu tangan Sam Coat tadipun tiba, Cret. ... dia menerkam ujung tongkat itu. Betapa kagetnya ketika dia mencengkeram keras ujung tongkat itu. Ah, bukan lengan manu-sia (Kun Hiap) serentak dia menyadari dan tertegun. Dia biasa mempermainkan orang dengan alat2 buatan yang hebat. Misalnya seperti tadi, diapun berhasil mengelabui Hui Giok dengan tangan palsu. Tetapi sekarang dia berbalik terkecoh karena mencengkeram ujung tongkat- Kurang ajar!
Buru2 dia merentang mata memandang kemuka. Tetapi hanya keheranan yang dirasakannya. Dilihatnya Kun Hiap sudah mundur beberapa langkah. Sedang dia sendiri masih tetap mencengkeram ujung tongkat. Lebih kaget lagi, ternyata ujung tongkat itu berasal dari sebatang tongkat yang tengah dipegang oleh seorang tua kurus kering seperti sedang mengidap penyakit.
"Siapa engkau?" teriak Sam Coat seraya lepaskan cengkeramannya.
Lebih dulu orang tua itu batuk2 baru kemu-dian menjawab dengan suara yang lemah.
"Orang mengatakan, yang datang pertama akan mendapat lebih dulu. Sebelum anda datang, aku sudah .... hek-hek . . . . di sini. Sababat kecil ini, hendak kuajak menemui seseorang, Harap jangan mengganggunya ..."
Waktu orang tua itu bicara, Sam .Coat memutar otak untuk menggali ingatannya, mencari ingatannya, mencari tahu siapakah gerangan orang tua itu. Tadi jelas dia menerkam Kun Hiap tetapi tiba2 dia menerkam ujung tongkat. Dengan begitu Jelas menandakan betapa sakti kepandaian orang tua itu.
Sampai orang tua itu habis bicara, belum juga Sam Coat berhasil menemukan asal usul orang tua itu.
Setelah orang tua itu selesai bicara, Sam Co-at tertawa lalu tamparkan tangannya kebelakang ke arah gulungan debu dan seketika terdengarlah dua kali bunyi benda menghantam tubuh, plak, plak ....
Menyusul terdengar Hur Giok berteriak-teriak memaki menandakan bahwa dia masih mengira Sam Coat berada dalam gulungan debu itu.
Habig menempuk, Sam Coat berputar tubuh dan berkata kepada orang tua pucat itu, "Sahabat, engkau ini . . . . "
Sambil batuk2, orang tua itu menukas, "A-ku tak kenal anda. Tetapi aku mempunyai seorang sahabat yang anda kenal. Kalau kukatakan namanya, entah apakah anda mau mengalah. kepadaku?"
Ssm Coat sianseng tertawa mengikik, "Saha-bat, silakan bilang."
Saat itu Kun Hiap merasa bingung. Bagai-mana tadi orang tua itu tiba di sampingnya, sama sekali dia tak tahu. Dan kini orang tua itu mengatakan hendak membawanja pergi. Ah, mum-pung mereka masih terlibat dalam pembicaraan, mengapa dia tak mengajak Hui Giok meloloskan diri dari tempat itu"
Setelah mengambil keputusan, diapun lalu berseru kepida Hui Giok, "Hui.." tetapi saat itu juga dia tak dapat melanjutkan kata-katanya kareua jalandarah Tay-moh-hiat pada pinggangnya terasa kesemutan. Dilihatnya mulut orang tua itu seperti bergerak-gerak, entah sedang berkata apa.
Tampak wajah Sam Coat berubah dan setelah mundur tiga langkah ke samping batu besar. Topi baja dipakai dan sekali berjumpalitan dia segera menyusup ke dalam tanah.
Tepat pada saat itu Hui Giok berteriak ma-rah dan menerobos ke luar dari gumpalan asap debu.
Ternyata tadi setelah menerjang ke dalam gumpalan debu, dia seperti melihat sesosok tubuh orang berkelebatan. Dia mengira kalau sosok tu-buh itu tentu Sam Coat yang sedang mengem-bangkan ilmu kecepatan gerak untuk menghindari serangan Hiat-hun-jiau. Maka diapun ngotot un-tuk menyerang gencar.
Kini setelah mendengar bunyi letusan ketika Sam Coat ambles bumi, barulah Hui Giok sadar kalau termakan tipu permainan Sam Coat. Dia segera memberosot keluar dari gumpalan debu.
Tepat pada saat itu dia melihat orang tua kurus tadi berada di samping Kun Hiap dan di dengarnya Kun Hiap berteriak keras2," Aku tak mau. Aku tak kenal padamu, sudah tentu akupun tak kenal dengan orang yang hendak engkau pertemukan dengan aku. Perlu apa aku kesana?"
Orang tua itu batuk2," Orang itu selalu memanggil namamu, sudah tentu. . . . engkau kenal."
Mendengar pembicaraan itu diam2 Hui Giok terkejut karena merasa salah lihat. Tadi dia tak bersungguh hati melepaskan Hui-to untuk menjajal orang tua itu. Dengan melengking nyaing dia terus melayang keatas batu.
Tetapi pada saat dia berada di atas batu, orang tua itu sudah membawa Kun Hiap ke bawah batu.
"Hai, mau kemana!" bentak Hui Giok sera-ya melayang turun.
Tetapi orang tua itu tetap berjalan dengan tongkat, sembari menggandeng tangan Kun Hiap. Pelahan sekali langkahnya. Sekali ayunkan tubuh tentu dapat menyergapnya, pikir Hus Giok. Teta-pi sampai tujuh delapan kali dia berloncatan, tetapi tak dapat mengejar. Bahkan jaraknya dengan orang tua itu makin lama makin jauh.
Hui Giok terkejut sekali. Ketika mendiang ayahnya masih hidup, sering mengatakan bahwi ada dua jenis ilmu ginkang yang paling sakti dalam dunia. Kesatu, disebut Leng-gong-poh-hi atau Mengapung-diudara-menginjak-kekosongan. Dan yang kedua adalah Sut-li-seng-jun atau Menyurut-li-jadi-cun. Li artinya satu mil dan cun artinya dim-
Sut-li-seng-cun tidak sama dengan ilmu sihir sut-tekang atau Ilmu-menyurut- bumi, tetapi sebuah ilmu ginkang yang paling tinggi. Memang tampaknya seperti bergerak pelahan tetapi ternyata cepatnya bukan kepalang Tampaknya seperti berjalan beberapa langkah tetapi kenyataannya sudah amat jauh.
Serentak Hui Gok terkesiap. Apakah orang tua ahli dalam ilmu ginkang Sut-li-seng-cun "
Namun Hui Giok masih penasaran dan tetap mengejar sekuat tenaga. Tetapi nyatanya, makin lama malah makin ketinggalan jauh. Dan ketika menikung di sebuah di bawah gunung, dia kehilangan jejak kedua orang itu. Kejut dan marah Hui Giok bukan kepalang. Dia terpaksa berhenti. Tiba2 dia mendengar suara Sam Coat dari a-rah depan.
"Sungguh berbahaya, sungguh berbahaya," kata Sam Coat dengan napas terengah-engah, "sahabat. bukannya aku menakut-nakuti engkau. Tetapi baiklah engkau berjalan pelahan saja. Supaya otak tidak pindah tempat!"
Dengan menahan napas Hui Giok menghampiri maju beberapa tombak. Dilihatnya Sam Coat sedang muncul dari tanah, Jelas tadi dia hanya omong sendirian.
Tampak Sam Coat sedang sibuk menghapus keringat dan menepuk-nepuk dada seperti orang yang baru lolos dari Kui-bun-kwan atau akhirat.
Hui Giok heran mengapa Sam Coat ribut sendiri, Diam-diam dia teringat bahwa saat itu adalah kesempatan yang bagus untuk menyerangnya. Dengan langkah yang ringan dan tidak mengeluarkan suara, dia segera menghampiri.
Saat itu Sam Coat sedang berdiri meng-hadap ke arah sana, Hui Giot maju tiga langkah lagi. Sekoayong-konyong Sam Coat mengangkat tangan, Ternyata dia sedang melihat pada sebuah cermin kaca yang tengah dipegangnya.
Hui Giok terkejut. Dalam cermin kaca itu dia sedang melihat dirinya sedang berindap-indap ayunkan langkah. Sudah tentu ulahnya diketahui Sam Coat. Diapun berhenti.
Tanpa berpaling tubuh, Sam Coat tertawa mengikik," Hayo, mari, silahkan menyerang dari belakang!" serunya.
Sambil memasang Hiat-hun-jiau di muka dada, berserulah Hui Giok," Kalau sudah tahu me~ ngapa engkau tak menyingkir?"
"Ih, bukankah aku tadi sudah bilang" Aku hendak turun tangan lebih dulu supaya kuat. Setelah membunuhmu baru aku melakukan rencanaku.
Sambil mengangkat cakar Hiat-hun-jiau, Hui Giok mengejek," Aku mempunyai dua buah pusaka Apakah engkau mampu membunuh aku?"
Sam Coat miringkan kepala berseru," sahabat, kita naik keledai sambil baca buku, jalan sambil baca!"
Marah Hui Giok bukan kepalang tetapi dia menekan perasaannya dengan tertawa, "Sebenarnya percuma saja engkau hendak membunuh aku. Sakit hatimu beberapa tahun yang lalu, malah tak dapat engkau himpaskan!"
Sam Coat berjingkrak, teriaknya," Sahabat, kalau bicara hati2 sedikit!"
Hui Giok tertawa dingin," Menilik watak budimu itu, lebih baik engkau sembunyi saja selama-Iamanya. Hati-hatilah kalau sampai dimasukkan orang kedalam peti besi dan dibawa ke mana-mana.??? "
Hua, hua. . . . Sam Coat menjerit seperti orang kebakaran jenggot dan terus menyerbu, ja-ri telunjuk. menutuk ke dada Hui Giok.
Memang tadi Hui Giok hendak memancing kemarahan orang. Kini melihat Sam Coat menjadi kalap dan menyerangnya, diam2 dia girang. Sambil condongkan kepala sedikit ke belakang dia ayunkan Hiat-hun-jiau kearah kedua jari lawan.
Cakar Hiat-hun-jiau itu tajam sekali dan mengandung racun tiada taranya. Sekali kena, tak ada obatnya lagi.
Hui Giok tak perlu menyerang jalandarah maut lawannya. cukup dengan memapas jarinya saja, lawan tentu sudah binasa. Dia sudah memperhitungkan, apabila lawan menarik tangannya, dia segera akan mendesak dengan serangan yang gencar, dengan demikian dia tentu menang angin.
Teanyata Sam Coat tak menarik pulang ta-ngannya, cret cret, cakar Hiat-hun-jiau dengan tepat dapat menggaetnya, Dan cepat Hui Giokpun segera menarik Hiat-hun-jiau. Dia ingin menunggu saat2 racun cakar itu akan merenggut jiwa Sam Coat.
Tetapi diluar dugaan, Sam Coat malah tertawa gelak2 dan tring, tring. . . . kedua jarinya bukan saja tidak berdarah, malah menghamburkan dua batang jarum perak yang amat halus.
Saat itu jarak Hui Giok dengan lawan, terpaut dekat sekali. Tak mungkin dia dapat meng-hindari semburan jarum. Namun dia tetap berusaha untuk menyelamatkan diri. Setelah menggerakkan cakar Hiat-hun-jiau ke bawah, dia terus melambung ke udara.
Kedua batang jarum lembut itu sebenarnya menabur kemukanya. Yang sebatang dapat tersapu jatuh oleh tenaga angin dari ayunan Hiat-hun-jiau. Yang sebatang lagi, karena Hui Giok bergerak keatas, telah ganti menyasar dadanya.
Hui Giok bahwa dengan mengenakan baju Kim-Wi-kah itu dia memang terlindung. Tetapi karena tahu bahwa jarum-perak yang digunakan Sam Coat itu merupakan senjata yang khusus untuk menghancurkan tenaga-dalam maka diapun cemas.
Kecemasan Hui Giok itu memang beralasan sekali. Jarum-perak itu mengandung racun yang amat ganas, begitu ganas sehingga tokoh2 kalangan Hitam sendiri, juga jarang menggunakannya.
Begitu menunduk, kejut Hui Giok bukan kepalang. Dadanya penuh berhias jarum.
Serentak dia ayunkan tangan kiri ketanah. Sebelum kaki mendarat di bumi, tubuhnya kemba-ili melayang ke udara dan berjumpalitan ke belakang.
Sam Coat tetap mengejarnya. Diam2 Hui Giok mengeluh. Walaupun mengenakan baju Kim-wi-kah dan menggunakan cakar Hiat-hun jiau, tetap dia tak mampu mengalahkan Sam Coat. Tetapi dia pun tahu bahwa Sam Coat juga sukar untuk membunuhnya.
Hui Giok memperhitungkan. Satu-satunya cara adalah hanya melanjutkan pertempuran itu. Dengan begitu walaupun Sam Coat mempunyai banyak macam alat2 rahasia seperti jari-palsu dan sebagainya, toh lama kelamaan akan habis digunakannya juga. Nah, pada saat itu baru dia dapat merebut kemenangan.
Setelah mengambil keputusan, dia berjung-kir tubuh di udara, mengayunkan Hiat-hun-jiau menghantam kepala Sam Coat yang memburu datang.
Tetapi Sam Coat tegak di tempat tak mau menyurut muadur. Selekas Hiat-hua-jiau hampir tiba2 di ubun2 kepalanya, barulah dia berputar kebelakang lawan.
Hui Giok tak menghendaki orang mendekatinya. Diapun berbalik melancarkan serangan. keduanya bertempur dengan cepat sekali dalam jarak yang amat merapat sehingga untuk beberapa saat sukar mengetahui siapakah yang akan menang dan kalah.
Sekarang kita tinggalkan dulu kedua orang yang sedang bertempur mati-matian itu untuk mengikuti Kun Hiap yang dibawa oleh orang tua tak dikenal itu.
Kun Hiap merasa seperti dibawa terbang di antara desir angin yang menderu-deru. Tak bera-pa lama sudah mencapai jarak jauh sekali. Bebe-rapa kali Kun Hiap hendak bertanya, kemanakah orang tua itu hendak membawanya. Tetapi karena angin terlalu keras membuat dia tak mampu mem buka mulut.
Baru setelah melintasi beberapa gunduk bukit dan tiba di jalan besar, orang tua berpenyakitan itu berhenti. Tepat pada saat tampak dua ekor kuda tegar tengah lari pesat menimbulkan kepulan debu yang tebal.
Kun Hiap melontarkan pandang kearah kedua kuda itu dan saking kejutnya dia berteriak tertahan.
Kuda yang lari di muka, dikendarai oleh seorang wanita setengah tua yang bukan lain adalah mamanya, Tong Wan Giok. Sedang kuda yang dibelakang dinaiki oleh Wi Ki Hu. Rupanya Wi Ki Hu sedang mengejar Tong Wan Giok..
Melihat itu serentak meluaplah darah Kun Hiap. Dengan sekuat tenaga dia menghantam ke muka.
Sebenarnya pada saat dia tertegun tadi, kedua kuda itu sudah melintas dan melesat tiga empat tombak jauhnya. Maka hantaman Kun Hiap itu hanya menambah angin yang makin membuat kepulan debu membubung tinggi.
Sambil deliki mata, Kun Hiap meronta dari tangan si orang tua, "Lepaskan aku ! Lepaskan aku!"
Tetapi orang tua berpenyakitan itu, hanya menjawab kaku, "Orang yang hendak kupertemukan kepadamu belum berjumpa, bagaimana akan kulepaskan engkau ?"
Sambil menunjuk ke muka dengan menggentak gentakkan kaki ke tanah karena kesal, Kun Hian menggeram, "Ah, tak dapat mengejarnya, tah dapat mengejarnya'."
"Apa engkau kenal dengan kedua orang itu?" tanya orang tua dengan heran.
"Bukan hanya kenal tetapi yang satu itu adalah mamaku dan yang satu adalah musuh yang telah membunuh ayahku dan merebut mamaku. Kali itu aku tak dapat mengejarnya tetapi biar sampai di ujung langit, aku pasti akan tetap mencarinya."
Sepasang alis yang jarang dari orang tua berpenyakitan itu tampak mengerut, "Engkau salah duga. Orang itu adalah Kim-liong-kiam-khek Wi Ki Hu.. Kalau dia membunuh ayahmu, itu mungkin juga. Tetapi dia tak mungkin akan mencemarkan mamamu."
Melihat musuh besarnya tengah mengejar mamanya dan dia tak dapat berbuat apa2, Kun Hiap kelabakan setengah mati. Dari karena mendengar nada ucapan orang tua itu seperti masih membela Wi Ki Hu, marahlah Kun Hiap, teriaknya, "Bah ! Bagaimana engkau tahu hal itu " Dari mana!"
Sebenarnya Kun Hiap itu seorang pemuda yang sopan santun, halus budi. Tetapi dia tak kuat menahan emosinya sehingga membentak bentak orang tua itu.
Orang tua berpenyakitan itu gelengkan kepala, "Apapun hendak engkau katakan, aku tetap tak percaya. Aku paling tahu akan peribadi Wi Ki Hu."
Orang tua itu hanya mencekal tangan kanan Kun Hiap maka tangan kiri pemuda itu masih dapat bergerak. Karena marahnya, dia ayunkan tangan kiri menghantam muka orangtua itu.
Orang tua itu diam saja, sedikitpun tak mau menghindar. Kun Hiap menggunakan tenaga penuh. Dia sebenarnya hanya hendak menampar mu-ka orang untuk menumpahkan kemarahannya. Tetapi biasanya dia jarang turun tangan terhadap orang. Waktu tamparannya melancar, dia tiba2 tenngat bahwa Wi Ki Hu itu memang pandai sekali bermain sandiwara untuk menyelimuti peribadinya. Bukankah dia sendiri telah dikelabuhi hampir selama 20 tahun untuk mengakui Wi Ki Hu itu sebagai ayah kandungnya " Kalau orang tua berpenyakitan itu juga mengagumi Wi Ki Hu sebagai seorang ksatrya luhur budi, memang tak dapat disalahkan, Dia tentu juga kena dikelabuhi.
Memikir sampai djsitu Kun Hiap agak kendor kemarahannya. Dia hendak menarik tangannya tetapi dia sudah terlanjur menggunakan tenaga sepenuhnya. Sudah tentu sukar untuk ditarik dengan seketika. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan hanyalah dengan mengurangi tenaganya.
Pada saat tamparan tangannya hampir tiba di muka si orang tua, hanya tinggal beberapa dim saja, tiba2 setiup tenaga-kuat menghambur dan menolak lengan Kun Hiap sedemikian rupa sampai dia meringis kesakitan karena lengan itu serasa copot dari persambungannya.
Kun Hiap terkejut sekali sehingga saat itu dia tak dapat berkata apa2.
"Engkau masih muda mengapa tindakanmu begitu tak monghormat kepada orang tua " Untung tadi engkau menyadari dan menarik sebagian tenagamu. Kalau tidak, hm, hawa murni it-wan-cin-gi dalam tubuhku memancar, lenganmu tentu hilang," kata orang tua berpenyakitan itu.
Lemah dan pelahan kata2 itu diucapkan tetapi telinga Kun Hiap serasa pecah sehingga tubuhnya gemetar.
Kun Hiap tahu bahwa orang tua itu bukan hanya menggertak kosong karena saat itu lengannya ma-sih terasa sakit.
Setelah melonggarkan napas, Kun Hiap berkata," mengapa tiba2 di tengah jalan aku meronta hendak melepaskan diri- adalah karena kasihan kepadamu yang kena dikelabui orang sampai bertahun-tahun."
"Cara bagaimana Wi Ki Hu membunuh ayahmu dan merebut namamu, ceritakanlah," kata orang tua itu.
"Dia...,"baru berkata sepatah tiba2 Kun Hiap teringat bahwa soal itu menyangkut rahasia yang memalukan dari keluarganya. Bagaimana dengan begitu saja dia hendak menceritakan kepada orang lain"
Dia segera melanjutkan kata2nya tetapi dialihkan," Wi Ki Hu adalah musuh besarku. Bagaimana peribadinya, sudah tentu aku tahu jelas. Kalau sakit hati itu tak kuhimpaskan, aku bersumpah takkan hidup lagi!"
Wajah orang tua itu, mengerut gelap. Sejenak termangu, dia berkata," Kepandaian yang engkau miliki sekarang ini tak ada sepersepuluh kepandalan Wi Ki Hu. Tetapi engkau mempunyai bakat tulang yang bagus sekali. Apa bila engkau bertemu orang sakti, engkau tentu dapat mengungguli Wi Ki Hu. Tetapi engkau berkeras menganggap Wi Ki Hu itu berbuat jahat tentu karena engkau mendengar ocehan orang yang sengaja memutar-balikkan fakta. Maka betapapun lihay kepandaian yang akan engkau peroleh, aku tetap takkan mengizinkan engkau bertindak dengan gegabah."
Bermula Kun Hiap gembira karena orang itu memuji bahan tulangnya bagus, tetapi kata-kata orang tua itu lebih lanjut, makin lama makin tak karuan dan akhirnya marahlah Kun Hiap," Engkau. . . . engkau mengatakan akan menentang aku menuntut balas?"
"Nanti kalau sudah tiba saatnya kita bicara lagi, Mungkin kelak engkau akan tahu kesalahanmu itu," kata orang tua berpenyakitan.
Kun Hiap mendengus," Atau engkau yang akan menyadari hal itu, siapa tahu."
Orang tua gelengkan kepala," Mari kata lanjutkan perjalanan, jangan membiarkan orang menunggu tak sabar."
Begitu melangkahkan kaki, orang tua itu sudah membawa Kun Hiap terbang melintasi jalan besar dan tak berapa lama tiba di sebuah lembah.
Tampak beberapa buah rumah pondok di bangun pada dinding karang.
Sekali orang tua itu ayuhkan tangan, Kun Hiappun terlempar lima tombak kedalam lembah, serunya," Orang yang hendak menemui engkau sedang menunggu di dulam pondok itu. Lekaslah engkau ke sana!"
Orang tua itu tidak ikut masuk melainkan menjaga di mulut lembah. Kun Hiap memperhatikan bahwa kecuali mulut lembah itu, tiada lain jalan keluar lagi. Apa boleh buat, dia ayunkan langkah menghampiri ke pondok. Dia ingin tahu siapakah orang yang hendak menemuinya itu.
Begitu tiba di muka pondok dia lantas mendorong pintunya. Ternyata dalam pondok itu merupakan sebuah liatong (ruangan upacara yang indah, Kanan kirinya terdapat kamar.
"Siapakah yang hendak men.emui aku " Aku Sudah datang ?" serunya. Tetapi sampai diulang dua kali, tetap tiada jawaban.
Dia melangkah masuk dan membuka kamar sebelah kiri. Disitu dilihatnya seorang wanita tengah berbaring diatas sebuah ranjang bambu. Kun Hiap tersipu-sipu merah mukanya. Cepat dia mundur selangkah. Tetapi serempak pada saat itu wanita itupun berputar tubuh.
Begitu melihat wajahnya, Kun Hiap terlongong-longong. Walaupun wajah wanita itu pucat tetapi kecantikannya masih tampak jelas seperti dulu. Siapa lagi wanita itu kalau bukan Tian Hui Yan!
Hati Kun Hiap berdetak keras. Dia menuding Hui Yan, bibirnya bergerak-gerak tetapi sampai beberapa saat belum juga dapat mengeluarkan kata2. Dia seperti kena pesona melihat yang tak mungkin terjadi itu.
Mungkin Hui Yan yang sudah meninggal itu berada dismi" Ah, tidak, tidak. Tak mungkin orang yang sudah mati akan hidup kembali.
Sampai lama sekali baru dapatlah meluncur kata2 dan mulutnya," Sam-kounio, apakah arwahmu masih penasaran dan hendak mencari aku?"
Nona yang berbaring di balai2 bambu itu menghela napas.
Timbul lain pikiran pada Kun Hiap. Ya, di dunia ini memang banyak sekali orang yang serupa wajahnya. Apakah nona itu bukan Tian Hui Yan"
"Siapakah nona ini" Ah, engkau mirip sekali dangan seseorang. Aku kaget sekali," kata Kun Hiap pun.
Tiba2 nona itu berkata dengan suara. lemah, "Aku mirip dengan siapa?"
"Engkau mirip dengan seorang nona she Tian."
"Dia sudah mati," kata nona itu." oleh karena itu engkau begitu ketakutan sekali melihat aku bukan?"
Kun Hiap terkesiap," Bagaimana engkau tahu hal itu" Ah, benar, dia memang sudah meninggal dan lagi. . . . dapat dikatakan... kalau mati ditanganku. Aku sungguh menyesal dan merasa berdosa kepadanya. Tetapi apa mau dikata lagi."
Tiba2 tangan gadis itu menekan balai2 bambu dan duduk. Dengan wajah terkejut heran dia berseru menegas," Engkau yang mencelakainya " Bagaimana hal itu dapat terjadi?"
Kun Hiap terus memandang gadis itu dengan lekat. Melihat bagaimana gadis itu kepingin sekali mengetahui hal itu dan sikapnya begitu bersung-guh-sungguh, Kun Hiap mendapat kesan bahwa itulah Tian Hui Yan yang sebenarnya. Memang wajah bisa saja serupa, tetapi apakah sikap, gaya juga dapat serupa"
Dengan hati berdebar keras, Kun Hiap berkata," Apakah engkau ini sam-kounio" Aduh, lekas kita pergi, hayo kita lekas pergi!"
"Ya, aku menang belum mati," kata gadis itu.
Kun Hiap cepat melangkah maju dan mengulurkan tangan hendak menarik gadis itu. Tetapi pada saat tangannya menyentuh lengan si gadis, tiba2 terdengar deru sebuah benda hitam yang menerobos masuk dan jendela. ...
Kun Hiap terkejut tetapi tak dapat menghin-dar. Benda itu tepat mengenai siku lengannya sehingga dia terpental selangkah ke belakang.
Ternyata benda itu hanya segulung rumput kering dan menyusul terdengar si orang tua berpenyakitan tadi berseru dan luar jendela," Dia menderita luka-dalam yang parah, kalau engkau tarik tentu akan binasa. Mengapa engkau begitu gegabah?"
Mendengar itu Kun Hiap menarik pulang tangannya.
"Engkau hendak membawa aku kemana?" tanya gadis itu yang bukan lain adalah Hui Yan.
"Betapa sedih hati Biau-koh mendengar engkau binasa. Kalau tahu engkau tidak meninggal, dia tentu gembira sekali. Mengapa engkau tak lekas2 menemuinya?" seru Kun Hiap.
HuiYan mengerang kecil, "Walaupun aku belum meninggal tetapi aku tak dapat bergerak. Bagaimana mungkin aku dapat menemui mama" Engkau, . . ." - ia memandang Kun Hiap tanpa melanjutkan kata-katanya.
"Baikm aku akan mengatakan kepadanya," seru Kun Hiap terus berputar tubuh dan terus ayunkan langkah. Tetapi baru beberapa tindak, terdengar Hui Yan meneriakinya dengan suara lemah. Engkau. . . .. kembalilah. Aku masih akan bertanya lagi kepadamu."
Biasanya Kun Hiap segan dekat dengan si dara karena selalu menderita olok-oloknya, tapi saat ini dia menderita luka parah dan lagi daa merasa kalau dia yang menyebabkan derita itu maka mendengar teriakan Hui Yan diapun cepat berputar tubuh dan bertanya," Soal apa?"
Hai Yan memandang beberapa jenak baru berkata," Apakah engkau bertemu dengan Jiciku?"
Kun Hiap paksakan tertawa," Ya, aku dan dia..."
"Engkau bersama-sama," tukas Hui Yan dengan tertawa paksa," benar bukan?"
"Ya, saat ini dia sedang bertempur dengan Sam Coat sianseng. Cianpwe yang. . . . berpenyakitan itu berkeras membawa aku kemari untuk menemui engkau."
Wajah Hui Yan agak berubah makin pucat, ujarnya." Apakah engkau tak suka menemui aku?"
"Ah bukan begitu," sahut Kun Hiap gopoh, "sudah tentu aku senang sekali bertemu dengan engkau. Karena tindakanku yang kurang hati-hatilah yang menyebabkan engkau sampai terlempar jatuh dari kuda sampai mati. . . o , tidak sampai terluka parah."
Sambil pejamkan mata, berkatalah Hui Yan, "itu ji-ci yang mengatakan, bukan?"
"Ya, dia yang bilang," Kun Hiap mengangguk.
Dengan pelahan, Hui Yan berkata," Benar, memang aku jatuh dari kuda tetapi tidak mati, hanya pingsan. Apakah engkau tak dapat membedakan antara orang mati dengan orang pingsan ?"
"Saat itu aku tak mendekati engkau," bela Kun Hiap, "hanya waktu itu ji-siocia mengatakan, aku sudah tertimpa bencana besar, Aku jadi panik dan kehilangan akal."
"Kalau kuberitahukan kepadamu," kata Hui Yan dengan nada makin pelahan, "pada saat aku hendak siuman dari pingsan waktu itu, jici telah meletakkan tubuhku kedatam lubang pohon dan menghantam dadaku satu kali sehingga aku muntah darah lalu pingsan lagi. Karena percaya aku telah mati barulah dia meninggalkan tempat itu. Apakah engkau percaya pada keteranganku ini?"
Sebelum Hui Yan selesai bicara, wajah Kun Hiap sudah berubah dan kedua tangannya bergoyang-goyang menolak, "Sam-siocia, apakah kata-katamu itu tidak terlalu berlebih-lebihan ?"
"Engkau percaya atau tidak ?" dengan agak merentang mata Hui Yan menegas.
Teringat akan keterangan Hui Giok dalam peristiwa kematian Hui Yan tempo hari, untuk beberapa saat Kun Hiap tak dapat menjawab pertanyaan Hui Yan.
"Kalian berdua adalah kakak beradik," akhirnya dia berkata juga," bagaimana mungkin dia sampai melakukan hal yang sedemikian itu?"
Hui Yan kembali pejamkan mata, ujarnya, "Memang kutahu, kalau hal itu kukatakan kepada orang, tentu orang sukar percaya. Tetapi yang tahu tentang diri seorang anak perempuan itu hanyalah mamanya. Perbuatan ji-ci itu tentu tak mungkin dapat mengelabuhi mama!"
Mendengar itu hati Kun Hiap berdetak keras, pikirannya kacau, "Akan kuberitahu kepada Biou-koh. Harap engkau baik2 beristirahat dan merawat diri."
"Apakah engkau tidak. . . . datang kemari untuk menjenguk aku lagi?" seru Hui Yan dengan lemah.
Tanpa banyak pikir Kun Hiap mengiakan dan terus keluar. Baru tiba di ambang pintu, didengarnya Hui Yan menghela napas panjang. Setelah keluar dari pintu, dia merasa longgar perasaannya. Bukan karena dia takut menemani seorang dara yang sedang menderita luka parah, melainkan dia ngeri mendengar keterangan Hui Yan tadi. Dia masih meragu dan menganggap bahwa tak mungkin seorang kakak begitu sampai hati hendak mencelakai adiknya sendiri.
Sejenak dia tertegun di pintu- Dilihatnya orang tua berpenyakitan tadi berdiri di kejauhan sambil menggendong kedua tangannya. Sikapnya santai2 saja.
Kun Hiap menghampiri, memberi hormat dan pamitan. Tetapi orang tua itu hanya mendesuh seperti tak menghiraukannya.
Karena buru2 hendak memberi kabar kepada Biau-koh, Kun Hiap terus melesat loncat keluar dari lembah. Tetapi tiba2 telinganya terngiang suara orang tua berpenyakitan itu, "Turut apa yang kuketahui, keterangan nona Tian kepadamu tadi memang benar semua."
Kun Hiap terkejut heran. Bilakah orang tua itu mengikutinya" Buru2 dia berputar tubuh. Ah, tak tampak seorangpun juga. Saat itu dia sudah berada diluar lembah. Memandang kearah lembah dia masih dapat melihat orang tua berpenyakitan itu tetap berdiri di tempatnya. Aneh, mengapa suaranya begitu jelas terdengar di telinganya"
"Hm, dia tentu menggunakan ilmu menyusup suara Coan-li"Coan-im. Sebuah ilmu tenaga dalam yang sakti," pikirnya. Dan dia menarik kesimpulan bahwa orang tua itu tentulah seorang tokoh aneh yang berilmu tinggi.
Beberapa saat tertegun, tetapi dia masih meragukan kebenaran kata2 Hui Yan tadi. Lalu dia lari sekuat tenaga untuk mengejar waktu. Pada hari kedua keesokannya, dia sudah tiba diluar lembah kediaman. Biau-koh.
"Biau-koh cianpwe, Biau-koh cianpwe," dia berteriak sekeras-kerasnya. Dia percaya Biau-koh memiliki kepandalan tinggi. Walaupun terpisah jarak jauh, asal dia berteriak, tentulah Biau-koh dapat mendengarnya.
Tetapi waktu dia tiba di mulut lembah, teriakannya yang dilakukan berulang-ulang itu tiada juga mendapat penyahutan. Apa mungkin Biau-koh tidak berada di tempat, pikirnya.
Dia terus lari masuk kedalam lembah. Memandang ke muka, dilihatnya Biau-koh dan Tian toa-siocia tengah duduk bersila beradu punggung, Kedua tangannya menjulur ke depan. Tampaknya separti orang yang tengah berlatih.
Kun Hiap terus hendak lari menghampiri seraya berseru, "Biau-koh cianpwe, harap berhenti dulu, aku hendak menyampaikan berita gem-bira . . . ."
Baru berkata begitu, tiba2 dia seperti dihadang oleh tembok karet yang kokoh. Dia hanya terpisah satu lombak dari tempat Biau-koh dan kedatangannya itu disertai dengan lari yang cepat. Uh...??? dia tertolak mencelat ke udara. Setelah jungkir balik sampai tiga kali barulah dia melayang turun.
Dia terkejut heran. Dia tak melihat sesuatu tetapi mengapa sampai terlempar ke belakang.
Sesaat dia menginjak tanah, terdengarlah suara seorang wanita berteriak nyaring, "Biau-koh, sampai berapa lamakah engkau mampu bertahan begitu mati-matian itu ?"
Kun Hiap terkejut. itulah nada suara dari nyonya Ko, isteri Ko Thian Hoan. Menurutkan arah suara itu barulah dia tahu bahwa dalam lembah disitu kecuali Biau-koh dengan puteri sulungnya,-masih ada lagi empat orang yang memecah diri pada empat jurusan, mengepung Biau-koh. Jaraknya terpisah dua tombak dari tempat Biau-koh. Merekapun tengah julurkan tangan ke muka.
Cepat Kun Hiap dapat mengetahui apa yang terjadi dalam lembah itu. Ternyata Biau-koh dan Tian toa-siocia sedang berhadapan melawan empat musuh. Tadi yang dibenturnya tak lain adalah pancaran tenaga-dalam dari mereka yang sedang bertempur adu tenaga-dalam.
Kun Hiap terkejut. Ternyata nyonya Ko memang hendak mencari balas dan dari ucapannya tadi, tampaknya Biau-koh dan Tian toa-siocia sudah kewalahan. Lalu siapakah keempat orang itu"
Kun Hiap mengeliarkan pandang ke sekeliling. Dilihatnya diantara mereka terdapat dua orang rahib pertengahan umur. Wajah dan sikapnya, seperti pinang dibelah dua. Sama2 bertubuh kurus kering dan berwajah dingin.
Kun Hiap terkesiap. Tiba2 dia teringat bah-wa di kalangan kaum paderi dan rahib, yang paling tinggi kepandaiannya adalah Po-to-song-ni atau sepasang rahib Po. Ilmu kepandaian dari kedua rahib itu -berbada dengan kepandaian tokoh2 dari kalangan agama. Keduanya memihki, ilmu Hok- mo~kang yang luar biasa dahsyatnya. Dan itu sesuai dengan sifat mereka berdua yang paling membenci kejahatan.
Setiap tiga tahun sepasang rahib itu tentu turun dari gunung Po-to-san untuk menjalankan dharma kebaikan. Entah sudah berapa banyak orang jahat yang mati di tangan mereka. Oleh karena itu setiap mereka turun gunung maka kawanan tokoh persilatan jahat tentu buru2 menyingkir bersembunyi.
Mungkin di seluruh dunia persilatan sukar untuk mencari sepasang rahib yang baik wajaha sikap dan perangainya serupa satu sama lain.
Diam2 Kun Hiap mencemaskan keselamatan Biau-koh. Dia mengalihkan pandang ke lain sudut. Dilihatnya tokoh yang berada disitu seorang. imam yang. bertubuh tinggi besar berwajah merah segar. Dia tak lain adalah Thian Go lojin, ketua dari partai Ceng-shia-pay.
Kun Hiap makin kaget. Keempat tokoh itu tergolong jago2 kelas satu. Biau-koh hanya berdua dengan puterinya. bagaimana mampu menghadapi mereka"
Dia memandang kearah Biau-koh. Tampak Biau-koh masih biasa saja tetapi wajah Tian toa-siocia sudah berwarna kuning lesi, dahinya bercucuran keringat.
Yang dihadapi Tian toa~siocia itu adatah Po-to-song-ni. Walaupun ilmu kepandaian Tian toa-siocia itu tinggi tetapi sukar untuk melawan sepasang rahib dari gunung po-to-san itu. Tubuh Tian
toa-siocia agak gemetar. Makin lama dia makin tak dapat bertahan.
Sekonyong-konyong dia memekik keras, tubuhnya tiba2 berdiri, dengan meregangkan sepuluh jari dan rambut terutai, muka penuh keringat dan sikap seperti sesosok iblis, dia menerjang maju.
Sepasang rahibpun serentak berdiri. Keduanya memperdengarkan suara tawa yang membuat buluroma berdiri.
Tian toa-siocia bergerak cepat sekali. Sekali mengayun tubuh dia sudah tiba dihadapan kedua rahib lalu kesepuluh jarinya yang seperti berlumuran cat hitam, menerkam muka kedua rahib.
Po-to-song-ni mencondongkan tubuh ke belakang untuk menghindari. Tepat pada saat itu Biau-kohpun "'meringkik panjang dan berbangkit diri dan melesat ke belakang.


Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya tadi dia sedang menahan serangan tenaga-dalam dari Thian Go lojin dan nyonya Ko. Karena dia menyurut mundur maka arus pancaran tenaga--dalam Thian Go dan nyonya Ko itupun segera melanda seperti gelombang pasang.
Tetapi Biau-koh bukanlah tokoh sembarangan. Karena sudah merencanakan mundur, sudah tentu dia mempersiapkan cara penjagaan.
Dia bergerak mundur dengan cepat sekali dan meminjam arus tenaga-dalam kedua lawannya sehingga gerakannya mundur makin deras.
?Hanya dalam sekejab mata saja dia sudah berada di belakang puterinya. Dan tanpa berbalik tubuh, dia melambung keatas, bergeliatan naik turun dan tahu2 sudah berada di belakang kedua rahib ......
(bersambung ke jilid 9). Memang luar biasa cepatnya Biau-koh bergerak tetapi sepasang rahib dari Po-to-san dan Tian toa-siocia juga bergerak cepat sekali.
Saat itu kesepuluh jari Tian toa-siocia sudah menerkam dan sepasang rahib itupun agak merebahkan tubuh ka belakang. Lengan jubah mereka tiba2 dikibaskan keatas, plak, plak . . . terdengar bunyi tamparan keras ketika kedua lengan jubah sepasang rahib itu saling berbentur.
Menyusul dengan itu terdengar" bunyi krek krek macam tulang patah, Dan Tian toa-siocia menjerit ngeri.
Ternyata kedua rahib itu memancarkan tenaga murni Hok-mo-cin-gi mereka kearah lengan jubah. Dan ketika membentur jari Tian toa-siocia, tak ampun lagi kesepuluh jari tangan si toa-siocia remuk semua .....
Waktu melihat Tian toa-siocia tadi menerjang maju, Biau-koh sudah menyadari kalau puterinya bakal celaka. Dia tahu kalau puteri sulungnya itu berwatak keras. Tindakannya menerjang musuh itn tentu hendak mengadu jiwa maka Biau-kohpun buru2 mnndur hendak melepaskan puterinya dari kepungan. Tetapi pada saat dia berada di belakang kedua rahib, ternyata sudah terlambat. Sepuluh jari puterinya sudah rompal hancur.
Sudah tentu Biau-koh gugup dan sedih. Cepat dia dorongkan kedua tangannya kearah punggung kedua rahib.
Kedua rahib itu cepat menghantam ke belakang. Tetapi ternyata serangan Biau-koh itu hanya gertakan kosong, walaupun tampaknya dilancarkan dengan dahsyat.
Biau-koh sudah memperhitungkan bahwa kedua rahib itu tentu akan membalikkan tangan menghantam ke belakang. Maka dia menunggu saja. Begitu tangan kedua rahib itu mengayun ke belakang, Biau-koh menarik pulang tangannya dan memancarkan tenaga dalam dengan jempol jari.
Tepat sekali perhitungan Biau-koh itu. Telapak tangan kedua rahib itu tepat membentur jempol jari Biau-koh. Gemas karena puterinya menderita luka parah, Biau-koh salurkan tenaga-dalam dengan penuh, uh, uh??? kedua rahib itu mendesuh tertahan dan sebelah lengannya terkulai melentuk.
Berhasil dengan tutukan itu, dengan cepat Biau-koh melanjutkan pula, menyusuri lengan kedua rahib itu dan menutuk tiga buah jalandarah lengan mereka. Dan berbareng itu, kedua kakinya susul-menyusul melepaskan tendangan.
Sungguh tiada tara kecepatan Biau-koh melepaskan tendangan berantai itu sehingga tokoh sakti seperti kedua rahib dari Po-to-san itu tak sempat berbalik tubuh lagi.
Bluk, bluk . . . . tendangan Biau-koh tepat mengenai pinggang lawan dan kedua rahib itu pun terlempar ke udara. Jika lain orang tentulah sudah remuk tulangnya menerima tendangan Biau-koh seperti itu. Tetapi berkat tenaga-dalam Hok-mo-cin-gi yang digunakan untuk melindungi diri, waktu melayang di udara kedua rahib itu berjumpalitan dua kali untuk menghapus tenaga tendangan Biau-koh, setelah itu baru melayang turun ke tanah.
Seumur hidup rasanya baru pertama kali itu dia menderita hinaan yang sedemikian hebat.
Setelah berdiri tegak, wajah mereka berubah membesi, sebelah lengannya masih melentuk tak dapat digerakkan. Walaupun tak sampai cacat tetapi karena kena ditutuk beberapa kali oleh Biau-koh maka lengan itupun tak dapat berfungsi.
Dalam pada itu setelah menendang kedua lawan, Biau-koh cepat menghampiri puterinya. kesepuluh jari Tian toa-siocia remuk, wajah pucat lesi, menandakan kalau dia menderita kesakitan hebat.
Biau-koh menarik puterinya supaya berada dibelakangnya dan dia sendirilah yang akan menghadapi keempat lawan yang tangguh itu.
"Ma," kata Tian toa-siocia dengan napas terengah2, "apakah engkau mampu menghadapi mereka berempat?"
Biau-koh tertawa nyaring, "Tolol! Apakah mamamu pernah gentar menghadapi siapa saja" Apakah engkau tak menyaksikan bagaimana tadi mama telah menghajar kedua rahib busuk itu dengan tendangan" Biar mereka sedikit tahu rasa. Nanti setelah kukeluarkan Hiat-hun-jiau, mereka pasti akan kelabakan setengah mati karena tak punya empat kaki untuk melarikan diri!"
Mendengar ucapan itn, marahlah kedua rahib tetapi diam2 merekapun memuji kelihayan Biau-koh.
"Jangankan hanya Hiat-hun-jiau, sekalipun engkau memiliki pusaka lain, tetapi jangan harap engkau mampu menghadapi kami berempat," tiba2 nyonya Ko berseru mengejek.
Mendengar itu wajah Biau koh dan puterinya berobah pucat. Kembali nyonya Ko tertawa
mengejek, "Kedua pusaka itu tiada taranya di dunia psrsilatan, mengapa tak lekas engkau, keluarkan agar kami dapat melihatnya ?"
Biau-koh berusaha untuk menangkan diri, sahutnya, "Menghadapi kawanan tikus berempat seperti kalian, mengapa perlu menggunakan pusaka ?"
Nyonya Ko tertawa gelak2 lalu maju menghampiri, "Jangan coba bermain gertak sambal! Kalau tak tahu jelas bagaimana keadaanmu, mana kami berani datang kemari ?"
Sambil berkata dia hantamkan kedua tangannya ke muka. Kedua rahib juga serempak bergerak. Yang satu dari kiri dan yang lain dari kanan, menerjang maju.
Ucapan nyonya Ko itu bukan hanya membuat Biau-koh dan Tian toa-siocia melongo, pun Kun Hiap juga mengeluh.
Nyonya Ko dan kedua rahib itu menerjang dengan cepat tetapi Biau-koh lebih cepat lagi. Sambil menarik puterinya, dia melesat mundur ke belakang.
Biau-koh membawa puterinya masuk kedalam gua. Ketika nyonya Ko dan kedua rahib itu melesat mengejar, pintu guapun sudah ditutup rapat oteh Biau-koh. Pintu itu terbuat dari batu yang tebal dari berat, tak mungkin mereka dapat menerobos masuk.
"Thian Go lojin, tolong lojin periksa keatas lembah, apakah selain pintu ini masih terdapat lain pintu lagi. Untuk, membasmi kutu berbahaya, dalam dunia persilatan, hanyalah hari ini kesempatannya," teriak nyonya Ko dengan nyaring.
Thian Go lojin mendesuh. Dia melayang turun ke muka pintu gua, menekuk tubuh, menekan tangan ke tanah dan pelahan-lahan tubuhnya melambung sampai setombak tingginya. Dia menekan karang dan tuhuhnya melambung keatas lagi sampai dua tombak, kemudian berdiri tegak diatas dataran karang yang menjadi payon dari gua rahasia itu. Dia berjaga disitu untuk mengawasi jangan sampai Biau-koh dapat melarikan diri dengan jalan menerobos keatas gua..
Bum, bum, bum .... tiga kali nyonya Ko menghantam pintu gua seraya berteriak, "Biau-koh, hari ini kematianmu sudah tiba, perlu apa engkau harus menyembunyikan diri. Tidakkah hal itu akan mencemarkan kemasyhuran namamu?"
Dia tahu kalau Biau-koh berani tampil menghadapi mereka, dengan tak punya kedua pusaka itu lagi, Biau-koh tentu takkan mampu menandingi kekuatan mereka berempat.
Oleh karena Biau-koh bersembunyi dalam gua dan dia tak berhasil menghancurkan pintu gua yang begitu kokoh, maka nyonya Ko berusaha iintuk membangkitkan amarah Biau-koh dengan kata2 yang mengejek.
Namun sampai berulang kali nyonya itu berteriak2, tiada penyahutan sama sekali yang terdengar dari dalam gua. Keadaan dalam gua itu sunyi senyap saja.
"Harap Ko hujin mundur, biarlah kami berdua akan menggempur pintu ini," kata kedua rahib.
Nyonya Ko mengiakan. Dia tahu kalau kedua rahib itu hendak menjajal kesaktian tenaga-dalam Hok-mo-kang untuk menjebolkan daun pintu gua. Dia pernah mendengar berita bahwa ilmu Hok mokang itu mengandung tenaga-dalam hebat yang bersifat lunak dan keras. Malah orang persilatan menyiarkan kabar bahwa apabila kedua rahib itu bersama-sama melancarkan tenaga Hok-mo-kang itu, apapun tentu dapat dihancurkannya.
Setelah nyonya itu mundur maka kedua rahib pun melangkah maju. Aneh sekali gaya kedua nya. Sebelah tangan dilekatkan pada bahu kawannya dan berjalan dengan langkah serempak, sementara lengan mereka yang sebelah masih terkulai melentuk.
Waktu berjalan tiga langkah, tampak langkah mereka semakin berat. Dan pada saat kaki mereka berayun tiga langkah, mereka sudah tiba dimuka pintu. Entah bagaimana, pohon2 kecil yang tumbuh di luar gua sama bergoyang-goyang seperti dilanda angin.
Tiba2 lengan mereka yang terkulai itu diangkat keatas dan bang . .... terdengar bunyi ledakan dahsyat, menimbulkan kumandang yang sedahsyat langit roboh.
Kun Hiap yang saat itu masih berdiri termangu di samping gua, sampai melonjak kaget. Setelah dapat menenangkan diri dan memandang ke arah gua, tanrpak pada pintunya terdapat dua buah bekas telapak tangan yang penuh dilingkari gurat2 retakan.
Tiba2 kedua rahib itu tertawa gelak2 dan serempak mengayunkan lengan jubah sembari mundur tiga langkah. Terdengar angin menderu-deru dan puing2 karang yang tersebar memenuhi pintu gua bertebaran menyisih ke samping dan mengunduk seperti ditimbun dengan teratur.
Pintu gua itu ternyata tebal dan kokoh sekali tetapi dapat dirontokkan oleh tenaga pukulan yang sakti dari kedua rabib itu. Bukan mereka bermaksud hendak memamerkan kepandaian tetapi mereka memang hendak membersihkan puing runtuhan karang di depan pintu gua.
Selekas pintu hancur, nyonya Ko bersuit. Ia melesat mendahului kedua rahib, menyerbu kedalam gua. Tetepi tepat pada saat itu, Kun Hiap berteriak mencegah, "Ko hujin, tunggu dulu !"
Bertahun-tahun isteri dari Ko Thian Hoan itu mendendam sakit hati. Dan saat itu dia mendapat kesempatan yang bagus untuk melampiaskan dendam kesumatnya. Maka dalam pertempuran adu tenaga-dalam tadi, dia curahkan segenap semangatnya untuk menggempur Biau-koh sehingga dia tak menyangka sama sekali bahwa Kun Hiap juga berada dalam lembah situ. Maka diapun terkesiap kaget ketika mendengar seruan anakmuda itu. Dia cepat melesat keluar dari gua lagi.
Ketika nyonya itu melesat keluar, dia masih membelakangi Kun Hiap. Gerakan melesat keluar itu telah menimbulkan angin kuat yang mendorong Kun Hiap terhuyung mundur beberapa langkah. Sebelum dia sempat berdiri tegak, nyonya Ko sudah berputar tubuh dan menerkam kedua tangan Kun Hiap.
"Ko .....," belum sempat Kun Hiap menyelesaikan kata-katanya, nyonya Ko sudah membentaknya dengan bengis, "Apakah masih berada padamu ?"
Kun Hiap tertegun. Pada lain saat dia segera menyadari bahwa nyonya itu menanyakan tentang cakar Hiat-hun-jiau dan baju Kim-wi-kah. Jelas nyonya Ko mencemaskan kalau kedua pusaka itu masih berada pada Kun Hiap, tentu kemungkinan Biau-koh akan dapat memperolehnya kembali. Dan sekali Biau-koh memiliki kedua pusaka itu lagi, tentulah keempat lawannya itu kalah dan melarikan diri.
Itulah sebabnya maka nyonya itu terkejut ketika melihat Kun Hiap muncul dan diapun cepat-cepat menerkam kedua tangan pemuda itu agar jangan sampai Kun Hiap sempat memberikan kedua pusaka itu kepada Biau-koh lagi.
Saat-itu pilulah hati Kun Hiap. Dia mempunyai kesan yang baik sekali terhadap Hui Giok. Dia merasa dalam setiap hal Hui Giok selalu memikirkan kepmtingannya. Nona itu berbudi lemah lembut dan cantik. Sungguh seorang gadis yang tiada tercela. Kun Hiap merasa??? menemukan calon pasangan yang ideal sekali.
Sedemikian besar pengaruh Hui Giok kepada Kun Hiap sehingga walaupun Biau-koh mengatakan bahwa puterinya itu berhati buruk, Kun Hiap-tetap tak mau percaya.
Tetapi saat itu, setelah menyaksikan dan merenungkan beberapa hal yang dilakukan Hui Giok, bercekatlah hati Kun Hiap. Jelas nona itu telah melakukan perbuatan yang sangat tercela. Jelas tahu kalau mamanya sudah tak punya pusaka yang diandalkan, dengan sengaja nona itu malah memberitahu hal itu kepada musuh2 mamanya. Dan mengapa Biau-koh sampai rela menyerahkan pusaka itu kepadanya (Kun Hiap), juga Hui Giok yang menganjurkan Kun Hiap untuk meminta kepada Biau-koh.
Kini Kun Hiap tahu apa yang terjadi. Dan setelah melihat pintu gua bobol, dia dapat membayangkan Biau-koh dan Tian toa-siocia tentu terancam bahaya. Ah, dimanakah Jiangsim atau hati nuraninya "
Jika Kun Hiap itu seorang pemuda yang tegas, dia tak perlu bersedih karena saat itu dia sudah dapat mengetahui jelas bahwa Hui Giok itu seorang gadis yang lebih buas dari serigala. Tetapi ternyays dia seorang pemuda yang penuh perasaan sehingga kurang tegas mengambil keputusan. Bahkan setelah dalam rumahtangganya sendiri terjadi hal2 perubahan dan setiap orang mengatakan siapa ayah kandungnya yang sebenarnya, diapun tetap tak dapat mengambil keputusan dan tetap hanya gelisah dan berduka. Baru setelah mendapat keterangan yang positif dari suami isteri Ko Thian? Hoan, barulah dia percaya kalau Wi Ki Hu itu musuh besarnya yang harus ditumpas.
Pun saat itu, timbul pertentangan dalam batinnya. Disatu fihak dia ngeri membayangkan perbuatan Hui Giok yang begitu terkutuk, tetapi di lain fihak dia masih terbayang akan kemesraan sikap Hui Giok kepadanya. Dia termangu dan bingung sehingga tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan nyonya Ko.
Tiba2 dari dalam gua terdengar Biau-koh berseru, "Ko hujin, kedua pusaka itu jelas sudah tak berada padanya. Perlu apa engkau mendesaknya" Kalau mau menuntut balas, silakan masuk kemari untuk membuat perhitungan dengan kami berdua!"
Nyonya Ko hanya mendengus. Sebelum dia sempat menjawab, Biau-koh sudah tertawa dingin dan berseru pula, "Ko hujin, Po-to-song-ni, Thian Go lojin, kalian berempat adalah jago2 kelas satu dalam dunia perstlatan, tentulah segan untuk melakukan serangan pada orang yang lemah. Ko hu jin, coba engkau pikir, dari siapakah engkau tahu kalau kedua pusaka itu tak berada padaku lagi " Heh, heh, jangan terburu nafsu dulu. Kalau engkau sudah merenungkan dengan tenang, tentulah engkau takkan merasa tenang selama-lamanya."
Nyonya Ko memekik keras dan lemparkan Kun Hiap keluar gua, kemudian membentak kearah gua, "Percuma saja engkau bersilat lidah karena bagaimanapun juga tak mungkin engkau terhindar dari kematian !"
Sambil berkata, dia terus menyerbu kedalam gua. Bum, bum . . . . terdengar dua kali letupan keras dan nyonya itu kembali mundur keluar.
"Bagaimana ?" seru kedua rahib. Sambil menunjuk kearah gua, nyonya Ko berkata, "Didalam gua ternyata masih ada pintu besi lagi yang menghalangi.
Mendengar itu kedua rahib tertegun. Tadi mereka sudah mengerahkan segenap tenaga untuk menjebol pintu batu, apabila sekerang masih ada lagi pintu besi, tentulah lebih kokoh dari pintu batu. Sudah tentu mereka gentar untuk menggempurnya Ilmu tenaga Hok-mo-sin~kang bersifat keras. Apabila tak dapat menghancurkan benda yang dihantam, kekuatan tenaga itu akan mental balik menghancurkan pemiliknya.
Melihat keraguan kedua rahib itu, tahulah nyonya Ko apa sebabnya, "Mari kita bersama-sama menggempurnya dengan batu besar. Kalau memang gagal kita bakar saja, masa besi takkan lebur kalau dibakar!"
Sebenarnya nyonya itu berwajah cantik tetapi wajahnya telah dirusak oleh Tian Put Biat. bertahun-tahun nyonya itu mendendam kemarahan maka diapun sanggup untuk membuang waktu selama beberapa tahun asal dapat melampiaskan dendam kesumatnya, Dia akan menunggu sampai pintu besi meleleh. Tak peduli harus sampai berapa tahun lagi.
"Ya, benar," kedua rahib itu mengangguk.
Sementara itu Kun Hiap yang dilempar keluar oleh nyonya Ko tadi, pada saat melayang turun, dia berusaha hendak berdiri tegak. Tetapi sekonyong-konyong pantatnya ditampar orang sehingga dia tersiak beberapa langkah.
"Ha, ha, maaf, sahabat," tiba2 terdengar seseorang tertawa. Siapa lagi orang itu kalau bukan Sam Coat sianseng, Rupanya dia baru saja muncul dari tanah dan kebetulan Kun Hiap melayang ketempat dia hendak muncul. Maka dia lalu menghantam pantat anak muda itu.
Sesaat Kun Hiap berdiri tegak dilihatnya tubuh manusia pendek itu melesat ketempatnya dan tertawa terkial-kial, "Aku terlambat datang, ah.... aku terlambat nih. Apakah perempuan busuk itu sudah mampus" Celaka, kalau dia sudah mampus, seumur hidup akan tak dapat melampiaskan dendamku !"
Melihat Sam Coat muncul, girang nyonya Ko bukan kepalang, serunya, "Belum mati, dia masih ngumpat dalam gua !"
"Lho, mengapa tidak diseret keluar?" seru Sam Coat.
Kedua rahib dari gunung Po-to-san belum pernah bertemu dengan Sam Coat. Kedua rahib itu berwatak serius, tak suka guyon. Melihat orang kate itu begitu datang terus ngoceh seenaknya sendiri saja, kedua rahib kerutkan alis dan berseru dengan dingin, "Dan mengapa engkau sendiri tak lekas menyeretnya keluar ?"
Sam Coat memandang ke arah kedua rahib. Dia deliki mata. Ketika melihat kedua rahib itu seperti sepasang manusia kembar, cepat Sam Coat mengetahui siapa keduanya itu. Sebenarnya dia hendak ngoceh lagi yang lebih tak keruan untuk membangkitkan kemarahan orang. Tetapi serta tahu kedua rahib itu Po-to-song-ni yang sakti, terpaksa dia menelan kembali kata2 yang sudah siap di kerongkongannya.
Menelan kata2 memang menyesakkan dada memualkan perut maka untuk menumpahkan keluar, dia lalu menguak-uak dengan mulut tertutup rapat hingga menyerupai orang yang sakit gigi.
Kedua rahib deliki mata tetapi tak mau mendamprat. Setelah isi perutnya longgar, barulah Sam Coat berputar tubuh dan berseru, "Ada pintu besi" Coba kulihatnya."
"Benar," seru nyonya Ko, "engkau mempunyai banyak sekali alat2 rahasia. Kalau tak mampu membuka pintu besi itu, percuma saja engkau menyandang gelar Sim Coat sianseng."
Sam Coat terus melangkah masuk ke dalam gua. Nyonya Ko dan kedua rahib mengikuti. Melihat itu Kun Hiap juga menyusul sembari berteriak memanggil orang kate itu, "Sam Coat sian-seng! Sam Coat sianseng!"
Tetapi waktu tiba di muka gua, tiba2 dari sana dia didorong oleh segulung tenaga kuat.
"Sam Coat sianseng, di mana nona Tian yang bertempur dengan engkau tadi?" teriaknya.
Pikir Kun Hiap, tentulah beberapa tokoh yang berada di situ dalam waktu yang singkat tak dapat memecahkan pintu besi. Apabila dia segera dapat mencari Tian Hui Giok, dia akan meminta kembali kedua pusaka itu untuk diserahkan kepada Biau-koh. Kemungkinan akan dapat menolong Biau-koh.
Dengan keputusan itu maka walaupun terpental ke belakang, Kun Hiap tetap menerobos maju lagi tetapi tetap didorong oleh tenaga kuat itu.
Dia makin gugup ketika mendengar suara bergemerincingan dari dalam gua dan gua yang semula gelap, pun memancarkan penerangan. Keempat tokoh tadipun segera tampak. Tetapi Kun Hiap tak mampu melihat apa yang sedang dilakukan Sam Coat sianseng pada saat itu.
Kun Hiap seperti semut yang berada di atas kuali panas. Dia kelabakan setengah mati. Tiba-tiba dia teringat bahwa Sam Coat tak mau melepaskan Hui Giok dan Hui Giokpun tak mau melepaskan Sam Coat. Kalau Sam Coat sekarang berada di gua, tentulah Hui Giok juga akan menyusul, bahkan mungkin sudah berada di dekat situ.
Ah, kalau begitu aku harus lekas2 mencari gadis itu, pikirnya. dan diapun terus melesat keluar dari lembah. Baru beberapa tombak meninggalkan lembah, tiba2 dari belakang terdengar sebuah suara bernada dingin menegurnya, "Mau kemana sicu ini?"
Kun Hiap tertegun dan setiup angin berkelebat di sampingnya. Ternyata salah seorang dari Po-to-song-ni yang bernama Bu Siang taysu sudah tegak menghadang di hadapannya, dengan wajah yang dingin memandangnya.
? "Aku .... aku hendak keluar," sahut Kun Hiap.
"Perlu apa engkau? hendak keluar?" tanya rabib Bu Siang taysu pula.
Kun Hiap memang tak biasa bohong, Karena mencemaskan keadaan Biau-Koh dan puterinya maka dengan lantang dia berseru polos, "Aku hendak mencari orang untuk meminta kembali Kim-wi-kah dan Hiat-hun-jiau dan akan kuberikan kepada Biau-koh.
Wajah Bu Siang taysu berobah makin dingin, "Hm, apakah engkau hendak memusuhi kami" "
"Kalian berlima adalah tokoh2 ternama tetapi mengapa kalian hendak mencelakai orang yang sedang lemah" Dan lagi berita tentang Biau-koh kehilangan pusakanya itu juga kalian peroleh dari puterinya. Taruh kata kalian berhasil membunuh Biau-koh, pun .... juga suatu perbuatan yang memalukan!"
Rupanya rasa ingin membela kebenaran dan keadilan menyebabkan Kun Hiap menjadi kalap dan tak menghiraukan lagi dengan siapa dia berhadapan saat itu. Selesai bicara, dilihatnya sepasang mata rahib itu berkilat-kilat memancarkan api yang seolah hendak membakar dia.
Kun Hiap gugup. Dia menyadari kalau kepandaiannya jauh di bawah Bu Siang taysu. Apabila rahib itu turun tangan, dia tentu binasa, Dia tegak membusungkan dada, tak gentar.
Sejenak menatapnya, Bu Siang taysu tertawa dingin, "Engkau merasa penasaran dan hendak membelanya" Silakan pergi!"
Tetapi baru rahib Bu Siang berkata begitu dari dalam gua lerdengar Sam Coat berteriak, "Taysu, jangan biarkan dia pergi!"
Tetapi seperti tak mendengarkan, Bu Siang taysu berkisar menyisih ke samping. Dan takut kalau rahib itu akan menarik kembali ucapannya, Kun Hiappun segera melesat ke luar. Sambil berlarian dia berpaling ke belakang, diihatnya Bu Si-ang taysu masih tetap tegak di tempatnya.
Kua Hiap merasa lega karena mengira rahib itu menetapi janji tak mengejarnya. Tadi Sam Coat berteriak meminta Bu Siang taysu jangan melepaskan Kun Hiap. Dengan demikian jelaslah kalau Sam Coat tahu bahwa Hui Giok berada di sekeliling gua situ.
Dengan tujuan harus cepat2 mendapatkan Hui Giok maka sambil berlari Kun Hiap berteriak sekeras-kerasnya, "Hui Giok! Hui Giok Engkau dimana " Lekas datanglah kemari!"
Sampai diulang beberapa kali tetap dia tak mendapat jawaban. Dia gugup sekali. Akhirnya Sam Coat tentu dapat membakar pintu besi itu. Waktu amat berharga sekali.
Dalam keadaan hampir putus asa, tiba2 didengarnya suara Hui Giok memanggilnya, "Kun Hiap ....!"
Kun Hiap tertekun, Suara Hui Giok bernada tangis. Cepat dia berpaling dan dilihatnya Hui Giok muncul dengan air mata bercucuran sehingga kedua matanya sampai membengkak. Dengan iba hati, Kun Hiap lari menghampiri.
Sebelum Kun Hiap sempat membuka mulut, nona itu sudah mendahului berkata dengan menangis, "Kun Hiap, aku .... aku kira bakal tak ketemu dengan engkau lagi. Sekarang setelah dapat bertemu dengan engkau, sekalipun mati aku sudah merasa puas . . . ."
Kun Hiap terbeliak, "Mati " engkau .. . ."
"Kutahu," cepat Hui Giok menukas, "dalam dunia ini, manusia yang dapat mengerti dan tahu isi hatiku, hanya engkau seorang, Bukankah aku harus merasa bahagia dan mati dengan meram setelah bertemu dengan engkau ?"
Kun Hiap tertawa tawar, "Hui Giok, harap jangan mempersoalkan hal itu dulu. Saat ini Ko hujin dan empat tokoh lihay sedang mengepung mamamu. Keadaan Biau-koh sangat berbahaya, Lekas antarkan baju Kim-wi-kah dan Hiat-hun-jiau kepada beliau agar beliau dapat tertolong."
Tiba2 Hui Giok melengking keras dan tubuhnya menggigil, wajah pucat lesi sehingga membuat Kun Hiap keget setengah mati, "Engkau. ...? kenapa?"
"Aku, aku bersalah, aku bersalah. ..." seru Hui Giok.
? Saat itu Kun Hiap sudah tak mempercayai Hui Giok lagi. Dan diapun percaya kalau Hui Giok yang memberitahukan berita tentang keadaan Biau-koh kepada musuh2. Itulah sebabnya maka musuh2 itu segera berdatangan untuk membunuh Biau-koh.
Kini setelah mendengar berulang kali Hui Giok mengaku bersatah, Kun Hiap menganggap nona itu tentu sudah sadar, "Kalau salah, biarlah...tak apa. Sekarang masih dapat dibetulkan. Saat ini Sam Coat sianseng sedang berusaha untuk membobol pintu best. Lekaslah engkau menyerahkan kembali kedua pusaka itu kepada mamamu, kalau tidak..."
"Pusaka" "Hui Giok mengangkat muka," kedua pusaka itu sudah direbut orang!
Mendengar itu, Kun Hiap seperti disambar petir. Dia tegak mematung dan mengucurkan keringat dingin. Mulutnya serasa terkancing rapat.
Sambil banting kaki ketanah seperti orang yang menyesal, Hui Giok berseru, "Ah, seharusnya aku tak menganjurkan engkau untuk meminta kedua pusaka itu dari mama. Dan seharusnya aka tak perlu memikirkan kepentinganmu dengan memberitahukan tentang kedua pusaka itu kepada beberapa tokoh, agar mereka jangan sampai merebut dari tanganmu. Ah, memang sudah banyak orang yang memburukkan diriku. Dan sekarang sekalipun aku bunuh diri mencebur ke dalam bengawan Hong-ho, rasanya tetap tak dapat mencuci bersih kedosaanku. Kun Hiap, tadi kukatakan bahwa diseluruh muka bumi ini hanya engkau seorang yang tahu tentang diriku. Maka kuharap engkau mau mempercayai omonganku ini."
Kun Hiap terlongong-longong mendengarkan. Kini baru dia mengerti bahwa apa yang dimaksudkan kesalahan oleh Hui Giok tadi, bukan seperti yang diduganya. Hui Giok mempunyai tafsiran sendiri.
Dari kata-katanya, Hui Giok hendak mengatakan bahwa kedatangan beberapa tokoh tangguh untuk mencari balas kepada Biau-koh itu,memang merupakan kesalahannya tetapi yang tak disengala dan diduga-duga. Dia tak bermaksud hendak mencelakai mamanya tetapi bermaksud hendak melindungi Kun Hiap dari gangguan tokoh-tokoh persilatan.
Pikiran Kun Hiap menjadi kacau. Tetapi kalau dia berpikiran terang, tentulah dia segera dapat menarik kesimpulan yang tegas. Dengan melihat dan mendengar pembicaraan serta perbuatan tokoh2 yang datang itu, dia seharusnya dapat menilai apakah omongan Hui Giok itu benar atau hanya sandiwara saja.. Tetapi ternyata Kun Hiap memang lebih banyak dibius oleh rasa asmaranya dalam menilai Hui Giok.
"Kedua pusaka itu .... direbut siapa.?" tanya beberapa saat kemudian.
"Seorang manusia aneh yang mukanya memakai kedok dari kulit manusia. Aku tak kenal siapa dia," kata Hui Giok.
Sebenarnya Kun Hiap tak mudah mempercayai keterangan itu tetapi dia tak dapat membantahnya juga.
Hui Giok melangkah maju ke muka Kun Hiap, dia sandarkan pipinya ke dada si pemuda dan pelahan-lahan mengangkat muka. Dengan air mata berlinang-linang dia berkata, 'Kun Hiap, aku . . . tahu bagaimana orang telah menjelek-jelekkan diriku. Mungkin engkau juga percaya pada mereka. Aku bersedia mati untuk membuktikan isi hatiku. Aku hanya membutuhkan sepatah kata dari mulutmu.."
Tanpa sadar, Kun Hiap pelahan-lahan memeluknya, "Mengapa engkau ingin mati?"
"Katakanlan, engkau mengerti aku atau tidak," kata Hui Giok, "mengerti bahwa aku telah difitnah orang atau tidak?"
Menerima pertanyaan itu sesaat Kun Hiap tak dapat menjawab. Melihat itu Hui Giok menghela napas panjang, "Apakah engkau tak mau mengatakan" Sebenarnya, engkau mau mengatakan atau tidak, juga tak ada pengaruhnya. Toh aku akan mati untuk membersihkan dri. Bedanya aku akan mati dengan meram atau melek saja."
Kata2 itu diucapkan dengan nada penuh haru dan iba sehingga hidung Kun Hiap ikut berkembang kempis. Teringat betapa banyak nona itu telah berbuat kebaikan untuk dirinya, timbul keraguan dalam hati Kun Hiap, mungkin saja benar kalau Hui Giok telah difitnah orang. Tanpa terasa dia mendekap nona itu makin kencang. Dan Hui Giokpun bagaikan anak burung yang menyu,supkan kepala dalam dada induknya.
Setelah diam beberapa jenak, Kun Hiap berkata pula, "Hui Giok, sudah tentu aku mengerti engkau."
Hui Giok mengangkat kepala dan tertawa rawan, "Baiklah, Kun Hiap, yang penting kita telah saling mengenal maka walaupun sekarang akan berpisah umuk selama-lamanya, janganlah engkau bersedih."
Kalau dia tak mengucap begitu, mungkin Kun Hiap takkan bersedih. Tetapi karena Hui Giok berkata begitu maka Kun Hiap seperti disayat-sayat hatinya, "Hui Giok, walaupun tidak semua orang mengerti akan dirimu, tetapi perlu apa engkau harus mati?"
"Kini aku telah kehilangan dua buah pusaka, Walaupun orang tidak mengatakan apa2 terhadap diriku, engkau tent tetap akan menyalahkan aku," kata Hui Giok.
Tadi sebelum bertemu Hui Giok, Kun Hiap sudah membulatkan tekad. Kalau Hui Giok sampai tak mau menyerahkah kedua pusaka itu, dia akan mengadu jiwa untuk merebutnya kembali. Dan kini setelah berhadapan dengan nona yang pandai bermain saadiwara itu, rencana Kun Hiap seperti awan tertiup angin. Dia kehilangan pikiran yang terang.
"Hui Giok, aku takkan menyalahan engkau. Tetapi ....,, ah, keadaan Biau-koh berbahaya sekali. Bagaimana kita harus membantunya?" katanya
"Mari kita kesana, walaupun tak banyak menolong, tetapi paling tidak kita dapat berbuat sesuatu untuk mama," kata Hui Giok.
Kun Hiap tahu kalau dirinya tak berguna. Kepandaian Hui Giok walaupun jauh lebih tetapi kalau menghadapi keempat tokoh seperti sepasang rahib Po-to-san, kedua suami istri Ko Thian Hoan, Thian Go tojin dan Sam Coat sianseng, juga tak mungkin menang. Tetapi karena kedua pusaka itu sudah hilang, kecuali menuruti ajakan Hai Giok, rasanya tiada lain cara yang lebih baik lagi.
Kun Hiap menghela napas tetapi sebelum dia sempat msmbuka suara, Hui Giok sudah menarik tangannya diajak berlari.
Cepat sekali keduanya tiba di tengah lembah. Tetapi mereka segera disambut dengan letusan yang dahsyat yang berasal dari tengah gua
"Celaka ....," seru Kun Hiap dengan kaget dan terus hendak menerjang maju. Tetapi cepat dicegah Hui Giok..
Saat itu terdengar lengking teriakan aneh dari Sam Coat. Bermula nyaring tetapi lama kelamaan makin sirap, menandakan kalau orangnya sudah masuk jauh ke dalam gua.
"Mereka .... .mereka sudah menjebolkan pintu besi dan masuk ke dalam gua," teriak Kun Hiap.
"Ya, lihatlah, Thian Go lojin juga menyusul masuk," sahut Hui Giok.
Melihat Thian Go lojin meluncur turun dan terus masuk ke dalam gua, Kun Hiap hendak menerobos, tetapi ditahan Hui Giok lagi.
"Percuma engkau masuk, biarlah aku saja yang masuk," kata Hui Giok.
Sudah tentu Kun Hiap menolak tetapi dia tak dapat melepaskan diri dari cekalan si nona. Hui Giok menggeram, crek??? dia menusuk jalandarah bahu pemuda itu seraya mengbela napas, "Kun Hiap, maafkan, engkau harus tahu, kalau engkau pergi berarti engkau hanya akan mengantarkan jiwa dengan sia-sia saja."
Karena jalandarahnya tertutuk, Kun Hiap tak dapat berkutik dan bersuara. Tetapi dalam hati pemuda itu berteriak, "Dan engkaupun juga percuma saja kalau ke sana , . , . "
Namun karena tak dapat berkutik dan bersuara, dia menelan rasa mendongkol yang hebat sehingga dia sampai mengucurkan airmata.
Hui Giok pelahan-lahan meletakkan tubuh pemuda itu ke tanah. Pada saat ia menunduk iapun mengucurkan airmata yang menetes ke pipi Kun Hiap. Dia tampak bersedih sekali. Beberapa saat kemudian sekonyong-konyong dia memberingas loncat bangun dan berseru dengap nada haru, "Kun Hiap, selamat tinggal ......" selekas melesat, diapun sudah lenyap di balik tikungan.
Walaupun orangnya sudah pergi tetapi bayangannya masih melekat di benak Kun Hiap. Bagaimana suara rintihannya yang menyayat, bagaimana wajahnya yang bersedih dan airmatanya yang mengucur mencurah ke pipinya, masih melekat segar dalam mata Kun Hiap. Dia makin pilu dan airmatanyapun makin mengucur deras Walaupun tahu kalau sia2 menghadapi tokoh2 yang sakti, tetapi Hui Giok tetap nekad hendak menolong mamanya. Dan Hui Giokpun tak mau melibatkan dia (Kun Hiap) maka ditutuknya pemuda. Dengan begitu jelas bahwa apa yang dikatakan orang2 tentang keburukan Hui Giok itu hanyalah fitnah belaka, Pikir Kun Hiap.
Dan dengan pemikiran itu hati Kun Hiap makin hancur. Dia ingin menangis sekeras-kerasnya tetapi karena jalandarahnya tertutuk, dia tak dapat mengeluarkan suara tangisan.
Lebih kurang dua peminum teh lamanya, dia mendengar langkah kaki orang yang berjalan dengan berat. Suara langkah kaki orang yang berja-lan dengan berat. Suara langkah berat itu dari jauh makin lama makin dekat. Dia segera tahu bahwa langkah2 kaki itu milik empat lima orahg. Dengan pelahan mereka menuju keluar.
Kun Hiap terkesiap. Adakah Biau-koh dan kedua puterinya sudah begitu cepat dapat dilenyapkan" Kalau tidak mengapa rombongan rahib Po-to-san keluar dan gua" Karena saat itu dia direbahkan dibalik segunduk batu besar oleh Hui Giok. maka dia tak dapat melihat jelas siapa2 saja yang keluar dari gua itu. Tetapi dia menduga keras tentulah rahib Po-to-san beserta beberapa tokoh.
Tetapi beberapi saat kemudian dia heran mendengar langkah kaki itu luar biasa pelahannya
Ada dua taisiran untuk langkah kaki yang sedemikian itu. Kalau orangnya tidak menderita luka pnrah tentulah hatinya yang sedang terluka kesedihan besar.
Kalau memang Biau-koh dan kedua puterinya sudah binasa, perlu apa tokoh2 itu harus bersedih sedemikian rupa" Apakah mungkin Biau-koh yang menang dan musuh-musuhnya mundur dengan membawa luka" Tetapi kalau menilik iring langkah kaki yang begitu sarat sehingga tanah yang dipijaknya tentu membekas telapak kaki, bukankah pertanda dari orang yang terluka berat melainkan orang yang sedang melampiaskan kemengkalan hati dengan mengunjukkan tenaga-dalam sakti.
Ingin sekali Kun Hiap mengetahui tetapi dia mengkal sekali karena tak dapat berkutik dan bersuara. Apa boleh buat terpaksa dia menekan kesabarannya.
Tak berapa lama langkah kaki berat itu makin dekat dan beruntung Kun Hiap dapat melihatnya.
Yang pertama adalah Thian Go lojin. Wajahnya sarat dan menundukkan kepala dengan masygul. Berulang kali menghela napas sambil berjalan.
Dibelakangnya adalah nyonya Ko. Karena nyonya itu masih mengenakan tutup muka, maka tak dapat melihat bagaimana. mimik wajahnya.
Tetapi dari tingkah lakunya yang berjalan pelahan-lahan sambil menunduk, rasanya dia pun juga menderita sesuatu dalam hatinya.
Dibelakang nyonya itu adalah kedua rahib dari gunung Po-to-san. Wajah keduanya membeku seperti patung batu. Dibelakang sendiri adalah Sam Coat sianseng. Wajahnya menyengir seperti monyet kepedasan.
"Ini bagaimana," serunya mengeluh, "mengapa kalian tak mau bicara " Heh, heh, anggap saja kali ini kita tidak bekerja percuma . . ."
Kedua rahib serempak berpaling dan serentak membentaknya, "Tulup mulutmu ! Kalau pada saat seperti ini engkau masih cekikikan tak keruan, . apakah tidak memalukan ?"
Sam Coat deliki mata dan berjingkrak-jingkrak; "Sahabat lama, engkau memaki dengan jitu sekali. Memang memalukan. Tetapi siapakah yang datang lebih dulu kesini " Hm, hm, kalau memaki orang berkepala gundul, harus lebih dulu memeriksa apakah kepalanya juga masih ada rambutnya ?"
Rupanya tersinggunglah kedua rahib itu atas ucapan Sam Coat yang begitu kasar Serentak keduanya mengebutkan lengan jubahnya.
Sam Coat itu memang tokoh yang aneh yang suka mengolok orang. Coba dia tak menyadari kalau kedua rahib itu berilmu sakti, dia tentu sudah mengajak mereka berkelahi. Kini walaupun tahu kalau bukan tandingan kedua rahib itu namun karena diserang lebih dulu, Sam Coatpun bertindak juga. Dia juga ingin menjajal sampai dimanakah ilmu tenaga-dalam Hok-mo-sinkang dari kedua rahib yang dikabarkan hebat sekali itu.
Waktu pukulannya beradu, ternyata dia memang tak kuat menghadapi kedahsyatan Hok-mo-sinkang itu. Dia terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang dan terus berjumpalitan, berjungkir kepala, bum ... ambles kedalam tanah.
Menyaksikan seorang manusia dapai ambles-bumi seperti yang dilakukan Sam Coat, kejut kedua rahib sampai terlongong-longong. Pada lain saat mereka mendengus lalu ayunkan langkah lagi.
Waktu tenaga kebutan lengan jubah mereka beradu dengan tenaga pukulan Sam Coat. terjadilah benturan hebat yang menyebabkan tenaga hantaman kedua belah fihak itu bertebaran keempat penjuru, Kebetulan ada setiup tebaran tenaga mereka yang membentur pinggang Kun Hiap. Seketika jalandarah Kun Hiap dapat berjalan lancar lagi.
Sebenarnya setelah jalandarahnya terbuka, Kun Hiap dapat bergerak lagi. Tetapi karena tadi mendengar Sam Coat berkata 'perjalanan kita kali ini juga tidak sia-sia', lunglailah sarasa sendi tulang Kun Hiap. Dia tetap tak bergerak. Baru setelah Thian Go lojin dan keempat tokoh itu lenyap dari pandang mata, dia baru menggigil.
"Apakah artinya itu?" serunya tertahan. Tetapi karena dia hanya seorang diri maka pertanyaan itu tak ada yang menjawah.
Dia berbangkit dan ayunkan langkah. Setelah mengitari batu besar, dia berteriak keras, "Hui Giok, Hui Giok ....!"
Tiba2 dia berhenti karena perasaannya ngeri. Kata2 Sam Coat tadi jelas menandakan bahwa Biau-koh dengan kedua puterinya tentu sudah binasa.
Teringat akan hal itu seketika tubuh Kun Hap terasa lemas. Kalau tidak sedang bersender pada batu, tentulah dia sudah rubuh. Dengan bertekan pada batu besar itu, dia kuatkan diri untuk berdiri tegak. Setelah itu baru dia berjalan dengan terhuyung-huyung. Tiba di mulut gua, dilihatnya separoh dari pintu besi sudah roboh. Keadaan dalam gua gelap dan sunyi sekali, memberi kesan kalau di sini habis terjadi peristiwa yang mengerikan.
Setelah tenangkan diri, dia masuk ke dalam gua. Dia pernah masuk ke situ dan tahu kalau gua itu mempunyai banyak sekali ruangannya. Ruang demi ruang dia mendatangi, pada waktu tiba di ruang batu yang ketiga, baru dia melihat Biau-koh dan Tian toa-siocia berada di stu.
Kedua orang itu berbaring di atas ranjang batu. Tubuhnya membujur lurus dan wajah menunjukkan kemarahan. Di samping mereka terda-pat dua baris kata yang berbunyi:
Anak perempuan mendurhakai memberi kabar supaya menggunakan kesempatan selagi orang dalam keadaan lemah. Coba tuan2 tanya kepada batin kalian sendiri, bagaimana nanti kalau bertemu orang.
Tulisan itu digurat dalam sekali. Bukan dengan benda tajam melainkan dengan jari2 Biau-koh yang diiambari dengan tenaga-dalam.
Melihat tulisan itu kini Kun Hiap menyadari apa sebab Thian Go dan rombongannya seperti orang yang kehilangan semangat. Memang mereka datang ke situ karena tahu kalau Biau-koh sudah tak memiliki kedua pusaka itu lagi. Selama Biau-koh masih punya kedua pusaka, tak seorang musuh yang betapa saktinya berani datang mencari balas kepadanya.
Thian Go dan rombongannya, merupakan tokoh-tokoh golongan Ceng-pay. Sudah tentu mereka merasa malu atas tindakannya itu. Bahkan tokoh yang setengah Ceng-pay setengah Sia-pay (setengah Putih setengah Hitam) seperti Sam Coat, juga tak luput dari rasa kerupukan.
Kun Hiap memandang ke arah Biau-koh dan Tian toa-siocia. Menilik keadaannya, pada saat pintu besi hampir jebol, keduanya lalu bunuh diri.
Kun Hiap terlongong-longong seperti orang yang kehilangan semangat. Sejak dalam rumah tangganya terjadi perobahan besar maka dia lalu mengembara dalam dunia persilatan. Biau-koh memperlakukan seperti puteranya sendiri. Bahkan waktu dia minta kedua pusaka itu dari Biau-koh, Biau-kohpun mau memberikannya. Pada hal kedua pusaka itu merupakan pelindung utama bagi jiwa Biau-koh. Jika dia tak meminta kedua benda itu tak mungkin Biau-koh akan mati begitu mengenaskan. Teringat akan semua itu, airmatanya turun seperti hujan . . . .
Beberapa saat kemudian tiba2 dia mendengar suara langkah kaki yang ringan Dia terkejut. Adakah Thian Go dan rombongannya kembali hgi" Kalau benar mereka, dia akan memaki mereka habis-habisan.
Untuk menjaga segala kemungkinan. dia melesat dan bersembunyi di belakang aling2 angin.
Beberapa saat kemudian, sesosok tubuh berkelebat masuk. Ketika melihat siapa yang datang itu, Kun Hiap terkejut gembira. Kiranya yang datang itu adalah Hai Giok sendiri.
Menilik keadaannya, Hui Giok tidak menderita luka apa2. Tentulah karena dia belum bertemu dengan Thian Go lojin dan rombongannya.
Waktu Kun Hiap hendak memanggil, Hui Giok sudah lebih dulu membuka suara, "Hm, jangan kira aku tak dapat menemukan, sekalipun harus mengobrak-abrik beberapa ruangan di sini, akupun tetap akan mencari sampai ketemu."
Waktu mengucap begitu, dia menghadap ke arah Biau-koh dan Tian toa-siocia, jelas dia berkata kepada mereka. Biau-koh adalah ibu kandungnya. Melihat mamanya terkapar tak bernyawa di atas ranjang batu, bukan menangis sedih, sebaliknya Hui Giok malah mengoceh tak keruan. Tubuh Kun Hiap menggigil seram.
Tiba2 Hui Giok melihat beberapa huruf di samping Biau-koh. Seketika wajahnya berobah dan tertawa sinis, "Sampai ajalmu tiba, engkau masih menganggap aku ini anak perempu-anmu. Tetapi cobalah engkau bayangkan. Selama belasan tahun ini bagaimana engkau memperlakukan aku" Selain membentak, memaki dan memperbudak, apakah engkau pernah menunjukkan aikap sepetti seorang ibu terhadap anak-nya" Taci dan adik mendapat segala apa, tetapi aku tidak. Sedang kalau aku punya barang, mereka tentu akan memintanya. Jelas engkau tidak menganggap aku sebagai anak perempuanmu, bagaimana engkau mengatakan kalau aku ini anak perempuanmu yang mendurhaka " Kentut, kentut!"
Brak, brak, brak, tiga kali dia menghantam tepi ranjang batu itu hingga bertebaran. Guratan huruf2 itupun hilang lenyap.
Memang dahulu, Biau-koh lebih menyayangi puteri sulung dan puteri bungsunya. Tetapi sama sekali dia tak menyangka bahwa puteri keduaaya akan mendendam kebencian begitu rupa kepadanya sehingga sampai hati untuk memberitahu kepada musuh2 agar menyerang Biau koh karena Biau-koh sudah tak punya pusaka lagi.
Kun Hiap belum banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Selama itu dia terus tinggal di rumah saja. Begitu rumahtangganya dilanda perobahan besar, dia hampir saja kalap karena tak tahu bahwa tiang andalan yang dianggap sebagai ayah kandungnya itu ternyata malah musuh besar yang telah membunuh ayahnya.
Kini setelah mendengar dan menyaksikan sendiri, barulah dia sadar bahwa Hui Giok itu ternyata seorang anak perempuan yang ganas dan kejam terhadap mamanya sendiri. Untuk yang kedua kalinya, Kun Hiap menderita shock besar.. Dunia ini serasa gelap dan seketika kepalanya berbinar-binar, tubuh mau jatuh.
"Dulu engkau tak mau memberi kepadaku. Tetapi sekarang, heh, heh, segala apa menjadi milikku," kembaii terdengar Hui Giok tertawa mengekeh, kitab pusaka peninggalan ayah, walau-pun hendak engkau sembunyikan dimana saja, aku tetap pasti dapat mencarinya sampai ketemu. Engkau menunggu aku selama 20 tahun, sekarang siapakah yang masih hidup " Ha, ha, ha-ha ..."
Hui Giok tertawa dengan sepuas-puasnya. Karena tak tahan lagi, Kun Hiap roboh ke muka. Cepat dia bergeliatan untuk mencari pegangan dan kebetulan memegang pintu-angin. Pintu-angin itupun terdorong jatuh kemuka.
Hui Giok serentak berpaling diri seraya dorongkan kedua tangannya. Tetapi pada saat itu juga dia menyadari bahwa yang berada dimukanya itu adalah Kun Hiap. Buru2 dia berusaha untuk menarik pulang tenaga-pukulannya.
Sebenarnya Kun Hiap mau pingsan tetapi karena dorongan tenaga Hui Giok tadi, dia terdorong mundur bebelapa langkah dan bersandar pada dinding karang, Dia malah tersadar. Keduanya kini saling berpandangan. Kun Hiap memandang Hui Giok dan Hui Giokpun menatap Kun Hiap. Keduanya sama2 tegak termangu.
Setelah beberapa saat berdiam diri, akhirnya Hui Giok yang buka suara lebih dulu dengan tertawa tersipu-sipu, "Mengapa engkau kemari ?"
Kun Hiap tak mau menjawab.
"Sudah .... berapa lama engkau datang kemari?"' kembali Hui Giok berkata lagi.
Namun Kun Hiap tetap tak menyahut.
Hui Giok melangkah maju beberapa tindak dan tertawa sinis, "Apa yang kukatakan tadi tentunya engkau sudah mendengar semua, bukan "'
Mata Kun Hiap merentang tetapi tetap tak menyahut.
Hui Giok menarik napas, "Mengapa engkau diam saja " Apakah engkau tak mendengar apa yang kuucapkan tadi ?"
Pada saat itu barulah Kun Hiap membuka suara. Dia sendiri merasa heran mengapa dapat bicara sedemikian tenangnya, "Engkau ,,.. menyisih sedikit."
Hui Giok tertegun dan menyisih ke samping Tiba2 Kun Hiap menekan dinding karang dan terus melesat keluar. Hui Giok cepat menerkamnya tetapi luput, "Hai, hendak lari kemana engkau," teriaknya.
"Jangan pedulikan aku lagi !" teriak Kun Hiap. Begitu keluar dia lalu membiluk ke lain lorong.
"Jangan lari," kembali Hui Giok melengking.
Walaupun tahu kalau kepandaian Hui Giok lebih tinggi dan tentu tak mungkin dapat lolos, tetapi Kun Hiap tetap nekad untuk melarikan diri. Dia tak tahu akan lari kemana. Pokoknya, jangan sampai dia bertemu dengan Hui Giok lagi.
Tiba disebuah tempat dia lantas mendorong sebuah pintu batu. Dalam ruangan itu ternyata terang sekali dan ditengahnya terdapat sebuah patung manusia, Ah, patung Tian Put Biat. Ketika mendapatkan ruang itu tiada berpintu lain, Kun Hiap cepat2 hendak keluar lagi. Tetapi pada saat itu juga, Hui Giok sudah melesat tiba di muka pintu.
Kun Hiap cepat mundur dan masuk kedalam ruang lagi. Wajah Hui Giok tampak memberingas. Selangkah demi selangkah, maka ia maju menghampirinya.
"Berhenti!" teriak Kun Hiap dengan keras. Kemudian menunjuk pada patung Tian Put Biat, dia berseru, "engkau .... engkau masih punya muka masuk ke ruang ini ?"
Menurut arah yang ditunjuk Kun Hiap, Hui Giok berada pandang dengan patung mendiang ayahnya. Teringat akan perbuatannya selama ini, dia terkejut sekalidan tanpa disadari, mundur selangkah.
"Engkau.... engkau telah melakukan perbuatin senista itu. Kalau engkau memang anak anjing, bunuhlah aku supaya tidak ada saksi lagi!" kembali Kun Hiap berseru.
Memandang Kun Hiap, sampai beberapa saat baru dia tertawa hambar, "Kun Hiap," serunya,"kukira engkau dapat mengerti hatiku. Ternyata engkau juga tidak mengerti. "
"Baru sekarang ini aku tahu jelas bagaimana peribadimu," seru Kun Hiap dengan tajam.
"Bagaimana peribadiku?"
"Sekarang aku percaya sepenuhnya bahwa engkau memang seperti ular berbisa!" seru Kun Hiap pula.
Mendengar itu Hui Giok gemetar dan berubah wajahnya. Beberapa saat kemudian baru kelihatan tenang lagi, tanyanya, "Coba jawablah pertanyaanku kali ini. Bagaimana sikapku terhadapmu?"
Mendengar pertanyaan itu Kun Hiap tertegun tak bisa ngomong. Memang nona itu bersikap baik sekali kepadanya. Tetapi merenungkan lebih jauh, dia memang telah diperalat oleh nona itu untuk melakukan satu hal yang menguntungkan kepentingannya {Hui Giok). Apakah yang begitu itu dapat diartikan kalau Hui Giok memikirkan kepentingannya"
"Engkau mengatakan kalau aku yang mencelakai sam-siocia," katanya dengan nada sarat "kemudian engkau suruh aku meminta kedua pusaka dari Biau-koh cianpwe sehingga menyebahkan Biau-koh cianpwe sampai kehilangan jiwa. Hal itu akan menyiksa hidupku selama-lamanya. Apakah begitu itu yang engkau katakan telah banyak berbuat kebaikan kepadaku?"
Wajah Hui Giok dari putih berobah legam dan akhirnya seperti wajah. besi yang menakutkan, "Dengan kata-katamu itu, engkau tak mau lagi bersama-sama aku?" katanya dengan tandas..
Kun Hiap tahu kalau kata2 nona itu suatu pernyataan dari keputus-asaan. Jika dia menjawab secara langsung, tentulah nona itu akan bertindak nekad.
Setelah merenung sejenak, dia menjawab, "Aku masih mempunyai beban berat untuk membalas sakit hati ayahku. Sehari sakithati itu belum terbalas, sehari aku merasa tak enak. Oleh karena itu kita .... terpaksa berpisah umuk melakukan tujuan masing2."
Sekonyong-konyong Hui Giok tertawa aneh, serunya, "Bagus, jawaban yang bagus! Tetapi ketahuilah. Bahwa setiap benda yang kukehendaki, jika sampai gagal, bagaimanakah akibatnya?"
Kun Hiap menggigil. Dilihatnya mata nona itu memancarkan sinar berapi-api. Dia tak berani beradu pandang dan gelengkan kepala, "Entahlah, aku tak tahu. Tetapi tak peduli engkau akan bagaimana, apa yang telan kuputuskan, tak mungkin berobah lagi."
Hui Giok tertegun sejenak, wajahnya yang membesi mulai kendor kembali, Dia menghela napas pelahan lalu menghampiri ke tempat Kun Hiap. Dia berhenti di hadapan pemuda itu.
Menyerap bau harum yang ditebarkan dari tubuh Hui Giok dan menatap dekat wajahnya yang cantik, mau tak mau goyahlah hati Kun Hiap.
"Mungkinkah nona secantik Hui Giok ini akan melakukau perbuatan yang begitu durhaka" Ataukah di dunia ini ada seorang nona lain yang jahat tetapi kebetulan she, nama dan wajahnya mirip dengan Hui Giok?" hatinya menimang-nimang di antara percaya dan tidak.
Bibir Hui Giok yang merah basah mulai bergetaran kata2, "Kun Hiap, apakah engkau benar-benar sampai hati tidak mempedulikan aku lagi?"
Benak Kun Hiap serasa berdenyut-denyut dau mata berkunang-kunang sehingga sesaat dia tidak dapat menjawab.
Tadi waktu bersembunyi di balik pintu-angin dan menyaksikan segala tingkah laku serta ucapan Hui Giok, Kun Hiap sudah menetapkan keputusan dalam hatinya. Tidak sudi lagi dia hidup bersama dengan seorang gadis cantik yang berhati ular berbisa.
Tetapi kini setelah berhadapan muka dengan gadis cantik itu yang dengan suara lemah lembut merayunya, goyahlah pendirian Kun Hiap. Dia tertegun tak dapat menjawab.
Memang Kun Hiap itu seorang pemuda yang tidak berpendirian teguh dan gampang berobah. Andaikata Hui Giok mau bersabar untuk melanjutkan rayuannya, kemungkinan besar Kun Hiap akan terpengaruh. Tetapi karena melihat Kun Hiap diam saja, Hui Giok mengira, diam Kun Hiap itu karena tetap pada keputusannya. Hui Giok geram dan gugup.? Seketika wajahnya gelap lagi.
"Kun Hiap," dia mendengus, "renungkanlah sejernih-jernihnya dulu, dalam hal apa aku telah melakukan kesalahan kepadamu. Apabila engkau sudah selesai merenungkannya deburlah pintu dan panggillah aku. Kalau engkau tak dapat mengha-yati dengan jelas, jangan harap engkau dapat keluar dari pintu ruang batu ini!"
Selesai berkata dia terus berputar tubuh, mengebutkan lengan bajunya ke belakang sehingga Kun Hiap terdorong mundur dua langkah. Sekali melesat keluar, pintu kamar yang juga terbuat dari batu tebal, menutup lagi.
Perobahan yang terjadi pada Hui Giok yang berusaha membujuk Kun Hiap, dari halus sampai kasar, berlangsung dengan cepat sekali. Sebelum Kun Hiap sempat menemukan kembali kesadaran pikirannya, tahu-tahu dia telah dilanda angin kuat yang mendorongnya ke belakang.
Kebutan lengan baju Hui Giok itu selain mendorong Kun Hiap ke belakang, pun telah meniup padam beberapa lentera Ting-beng-teng yang menerangi ruangan itu. Oleh karena itu ruanganpun menjadi gelap gulita.
Kun Hiap terkejut dan tegak termangu ditempat yang gelap itu. Tadi Hui Giok mengancam, kalau dia tak mau merobah keputusannya, jangan harap dia dapat keluar dari ruang yang gelap itu untuk selama-lamanya. Teringat hal itu, betapa mendelu hati Kun Hiap.
Dia lalu mengisar langkah dan pelahan-lahan menghampiri pintu. Dia hendak menghantam pintu dan berteriak memanggil Hui Giok. Tetapi baru setengah jalan tangan diangkat, entah bagaimana, dia hentikan dan pelahan-lahan diturunkan lagi.
Dia menghela napas lalu mendekap kepalanya dan diguncang-guncangkan seperti hendak memaksa diri untuk mencari penyelesaian.
Entah sudah berapa lama dia berada dalam keadaan yang gelap itu, dia tetap tak dapat mengambil keputusan apa2. Akhirnya dia berputar teguh, duduk bersandar pada pintu, Tanpa sengaja dia mengangkat muka dan astaga... dia sampai loncat berjingkrak.
Tak jauh di sebelah muka, tampak sepasang mata yang bersinar hijau gelap tengah memandangnya. Dan lebih lanjut, diapun tahu mata siapakah itu.
Setelah menelan airliurnya, dia serentak berseru menegur, "Hai siapakah itu?"
Tetapi tegurannya itu tiada terbalas. Ah, goblok benar aku ini, pikirnya. Jelas yang berada dalam ruang gelap itu tiada lain orang kecuali dirinya sendiri. Tetapi mengapa sekarang bertambah dengan sepasang mata manusia yang begitu menyeramkan"
Pada lain saat tiba2 saja dia teringat akan sesuatu dan hatinyapun berdetak keras. Yang jelas, dalam ruang itu terdapat patung dari Tian Put Biat, suami Biau-koh dan ayah dari ketiga taci-beradik Tian. Patung itu dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai orang hidup. Dan karena mirip dengan orang hidup maka waktu Koan Sam Yang masuk kedalam ruang itu, dia sampai terkejut dan melankan diri.
"Apakah... apakah patung itu dapat hidup kembali?" tanyanya dalam hati. Walaupun tahu kalau hal itu mustahil akan terjadi namun tak mau menggigillah hati Kun Hiap karena merasa seram sekali.
Beberapa saat kemudian karena sepasang mata itu masih tetap terpancang ditempatnya, nyali Kun Hiap mulai timbul. Dia lalu menghampiri kedekat patung. Dia ulurkan kedua tangan untuk merabah patung. Dan saat itu dua titik benda bersinar kebiru-biruan itu memang sepasang mata. Tetapi bukan mata orang melainkan mata dari patung itu.
Kun Hiap menghela napas longgar. Sudah bertahun-tahun Tian Put Biat meninggal, tetapi dia tetap meninggalkan bayangan yang menyeramkan orang. Dapat dibayangkan betapa kewibawaannya dahulu ketika dia masih hidup. Dan dia memiiiki kepandaian yang luar biasa saktinya. Wa-tak Hui Giok yang ganas dan kejam, kemungkinan memang warisan dari ayahnya. Hanya bedanya kalau Tian Put Biat itu menyeramkan tetapi kalau Hui Giok itu cantik menyenangkan hati.
Tanpa terasa tangan Kun Hiap meraba kepala patung itu dan dia masih terlongong-longong. Pikirannya kacau karena tak tahu bagaimana dia harus bertindak. Tiba2 karena khe-ki, dia ayunkan tangannya menampar kepala patung itu, plak.
Dia terkejut sendiri dan mundur beberapa langkah. Hai .... sepasang mata patung itupun copot dan jatuh ke lantai.
Kun Hiap makin kaget dan buru2 maju menghampiri untuk memasang kembali sepasang gundu mata itu Alangkah kejutnya ketaka dia melihat patung itu telah berkisar setengah meter ke samping. Tempat bekas patung itu terbuka sebuah lubang dan sepasang gundu mata tadi pun jatuh ke dalam lubang itu.


Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Kun Hiap menunduk hendak mengambil gundu mata itu, di dalam lubang itu samar-samar seperti memancarkan sinar cahaya. Sementara gundu mata itu setelah bergelundungan sedalam dua meter lalu berhenti. Dengan begitu menandakan kalau dasar lubang itu dalamnya lebih kurang dua meter.
Kun Hiap tertarik. Ingin dia mengetahui apa yang terdapat di bawah lubang. Dia lalu meluncur turun ke dasar lubang. Saat itu dia baru tahu kalau sinar tadi memancar dari arah muka. Menurutkan sinar itu barulah Kun Hiap tahu kalau sinar itu berasal dari sebuah pintu. Di dalam pintu itu terdapat penerangan yang terang dan sinar tadi menyusup keluar melalui cela-cela daun pintu.
Kun Hiap maju menghampiri, mendorong pintu. Pintu itu terbuat dari batu tetapi sekali do-rong terus terbuka. Apa yang dilihatnya dalam ruang itu, membuatnya menahan napas.
Sebuah ruang batu seluas satu tombak persegi, pada keempat sudut ruang dipasangi dengan lentera Tiang-beng-ting. Sebenarnya sinar lentera itu tak berapa gemilang, tetapi yang menyebahkan sinar lentera itu menjadi gilang gemilang tak lain karena ruang itu berisi penuh dengan permata berlian yang berkilau-kilauan menyilaukan mata.
Kun Hiap melangkah masuk. Dia menjemput ke dalam baskom emas dan sejemput permata berada dalam genggamnya. Setelah tangan terbuka, butir2 permata itu berhamburan ke dalam baskom kencana lagi dengan bunyi yang meng-gemerincing nyaring. Dia hampir tak percaya apa yang disaksikan dalam ruang itu. Beraneka ragam emas permata, ratna mutu manikam dan bermacam macam zamrud yang tidak ternilai harganya. Seumur hidup belum pernah dia menyaksikan harta permata yang sedemikian banyaknya.
Bagi orang yang berhati serakah, tentulah akan silau melihat harta karun sedemikian besarnya itu. Dan tentu akan gopoh membenahinya. Tetapi Kun Hiap tidak demikian. Setelah melihat sejenak dia lalu beralih pandang memeriksa keadaan ruang itu lebih lanjut.
Pandang matanya segera terpancang pada sebuah benda kecil yang terletak di atas meja kayu jati. Benda itu berwarna hitam mengkilap dan berbentuk seekor kuda, terbuat dari besi.
Serentak dia teringat akan beberapa kuda besi semacam itu yang pernah diperoleh dari Istana Tua tempo hari. Kemudian benda itu, demi menolong keselamatan jiwanya dari ancaman Koan Sam Yang, oleh Tian toa-siocia telah diberikan kepada orang she Koan itu.
Kuda besi yang berada di atas meja itu juga serupa bentuknya dengan kuda besi yang pernah diperolehnya tempo hari. Hanya bedanya, yang sekarang ini jauh lebih besar, panjangnya lebih kurang 30 senti.
Setelah melampaui beberapa gunduk timbunan permata, Kun Hiap menghampiri meja itu dan ulurkan tangan hendak mengambil. Uh, ternyata kuda besi iyu berat sekali sehingga tak kuat diangkat dengan satu tangan. Dia lalu gunakan kedua tangan. Tetapi baru, hendak mengangkat, tiba-tiba ia melihat permukaan meja itu terdapat ukiran huruf yang berbunyi : Jangan sembarangan mengangkat.
Kun Hiap terkejut dan menarik pulang ta-ngannya tetapi kuda besi itu sudah terlanjur bergerak-gerak, busss .... perut kuda itu menyembur alap kuning yang harum baunya. Muka dan kepala Kun Hiap terlingkup asap kuning itu.
Seketika kepalanya terasa pening, mata berbinar-binar dan kaki lemas. Asap itu makin tebal, bluk .... Kun Hiap rubuh di atas baskom besar berisi permata merah dan tak berkutik lagi.
Asap kuning itu seperti telah tersedot semua oleh Kun Hiap karena tak ada sisanya lagi. Dengan meram2 ayam, Kun Hiap kehilangan kesadaran pikirannya.
Tadi waktu Kun Hiap masih bingung dalam ruangan gelap, dia meraba pintu dan berdiri di situ. Kebetulan saat itu Hui Giok juga berdiri di luar pintu.
Karena sama2 tak bicara maka keduanya tak tahu kalau mereka hampir berdiri merapat dan hanya teraling pintu batu.
Memanah Burung Rajawali 24 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Dendam Empu Bharada 31
^