Pencarian

Kuda Besi 6

Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong Bagian 6


Setelah menunggu beberapa saat tak kedengaran Kun Hiap mendebur pintu memanggilnya maka Hui Giok marah. Dengan susah payah dia menjerat Kun Hiap tetapi akhiruya tetap gagal. Sudah tentu marahnya bukan kepalang.
Dia segera lari ke luar. Biarlah Kun Hiap tertutup dalam ruang batu itu untuk selama-lamanya. Tetapi baru tiba di mulut gua, dari luar lembah terdengar derap kuda lari mendatangi. Dia terkejut, Siapa mereka" Apakah masih ada lain tokoh yang datang hendak membuat perhitungan dengan mamanya karena mendengar kalau mamanya telah tak punya kedua pusaka itu"
Belum sempat ia menemukan dugaannya, terdengar pula dua ekor kuda lari kencang mendatangi. Dan pada lain saat, terdengar suara seorang wanita melengking nyaring. "Mengapa engkau mengejar aku" Engkau ..... engkau sudah mencelakai aku sampai belasan tahun, apakah masih belum puas?"
"Dengarkanlah kata-kataku dulu, engkau harus mau mendengarkan omonganku dulu", terdengar seorang lelaki dengan suara parau berseru.
Tertariklah hati Hui Giok. Cepat dia melesat ke luar lembah. Dilihatnya di luar lembah terdapat dua ekor kuda tegar rubuh di tanah dan tak jauh dari tempat kuda itu, tampak seorang wanita berdiri bersandar pada segunduk batu besar, menuding ke arah seorang lelaki setengah tua dan berteriak, "Jangan mendekatiku!"
Lelaki yang maju selangkah terpaksa mundur lagi setelah mendengar bentakan itu, "Baik, dengarkanlah pembicaranku. Apakah engkau mengizinkan aku untuk menceritakan sejelas-jelasnya?"
Wajah wanita itu pucat seperti mayat tetapi kedua matanya memancarkan sinar dendam kebencian yang menyala-nyala. Dengan suara tajam ia brseru,"Tak perlu banyak bicara lagi. Engkau telah membunuh dia, engkau gunakan cara yang keji untuk membunuhnya lalu engkau mengelabuhi aku sampai bertahun-tahun..."
Makin lama sepasang mata wanita itu makin berapi-api. Dan sekali tangannya berayun sebuah benda mengkilap melayang. Karena cepatnya dia bergerak sampai Hui Giok tak dapat melihat benda apa yang diayunkan itu.
Lelaki itu miringkan tubuh dan cepat sekali dia sudah mencabut pedangnya. Pedang yang memancar sinar emas itu diangkat ke atas seraya berseru, "Engkau harus dengarkan omonganku!"
Ternyata benda yang dilontarkan wanita itu adalah sehelai sutera putih. Sutera putih itu telah tertabas kutung oleh pedang si lelaki dan pedang itupun sudah berhenti.
Pedang itu memang sepintas seperti pedang biasa tetapi tiada bergigir dan pada batangnya berbentuk seekor naga dengan lima cakar, menimbulkan perbawa yang dahsyat sekali-
Sebenarnya Hui Giok belum kenal siapa lelaki dan wanita setengah baya itu. Dan tak tahu apa yang telah terjadi dengan mereka. Tetapi setelah melihat bentuk naga emas pada batang pedang dia segera mengenali kalau lelaki itu tentulah Kim-liong-kiam-khek Wi Ki Hu. Dan wanita itu isterinya yang bernama Soh-jiu-sian-cu??? Tong Wan Giok.
Hui Giok dengan hati2 menyelinap bersembunyi dibalik segunduk batu besar untuk mengikuti apa yang akan terjadi dengan mereka. Ia menahan napas agar jangan sampai diketahui mereka.
Tong Wan Giok tertawa rawan, "Ilmupedang yang hebat sekali. Kepandaianmu lebih tinggi dari dia dan dari aku. Kalau duapuluh tahun yang lalu engkau dapat membunuhnya, mengapa sekarang engkau tak mampu membunuh aku" Perlu apa engkau masih bersangsi " Hayo, kalau engkau berani, aku takkan membalas!"
Dahi Wi Ki Hu berombak, menandakan kalau hatinya berduka sekali. Ujung pedang ditukikkan ke tanah dan berkatalah dia dengan nada sarat, "Wan Giok, apa engkau kira aku tega membunuhmu ?"
Tong Wan Giok memperdengarkan ketawa sinis dan berseru nyaring, "Tak perlu engkau berpura-pura. Waktu engkau membunuh dia sama dengan engkau membunuh aku. Duapuluh tahun lamanya aku berkumpul dengan engkau apa engkau kira aku bahagia " Aku hanya seonggok mayat hidup yang sudah tak berjiwa lagi. Ha, ha, sekarang setelah tahu keadaannya, setelah tahu kalau dia mati ditanganmu, akupun sudah tak ingin hidup lagi, hayo, lekas engkau turun tangan!"
Wajah Wi Ki Hu makin tak sedap dipandang. Tiap patah kata yang diucapkan Tong Wan Giok itu bagaikan ujung belati yang menusuk ulu hatinya. Dia kira selama duapuluh tahun itu Tong Wan Giok hidup dengan bahagia. Kini baru dia menyadari bahwa dalam mata wanita yang dicintainya, dia sama sekali tak mempunyai arti sedikitpun juga.
Wi Ki Hu tegak seperti sebnah patung Saat itu merupakan saat yang paling menyedihkan dalam hidupnya. Dalam dunia persilatan dia telah berhasil mendapat nama yang harum, Tetapi dia gagal untuk mendapatkan tempat dalam hati wanita yang dicintainya.
Beberapa saat kemudian, barulah dia mengangkat kepala dan berkata dengan terputus-putus, "Jika begitu, aku... aku telah menyiksa engkau selama.... duapuluh tahun. Bunuhlah aku .... untuk membalaskan sakithatinya !"
Wi Ki Hu terus melemparkan pedangnya ke hadapan TongWan Giok. Dia menggunakan tenaga-dalam yang hebat sehingga pedang itu amblas ke tanah dan hanya kelihatan tangkainya saja.
Tong Wan Giok mencabut pedang itu lalu menudingkan ujungnya kearah Wi Ki Hu, "Waktu engkau membunuhnya, apakah menggunakan pedang ini ?"
Dengan sedih Wi Ki Hu mengangguk, "Ya, memang dengan pedang itu kubunuhnya. Dialah yang mendesak aku untuk menggunakan senjata"
Berteriaklah Tong Wan Giok makin nyaring, "Engkau gunakan pedang ini untuk membunuhnya?"
"Katakanlah begitu," kata Wi Ki Hu. "Waktu kutinggalkan dia, walaupun dia belum mati tetapi waktu Wi sute kusuruh menengoknya ternyata dia sudah binasa. Ya, akulah yang menusuknya hingga binasa."
Tong Wan Giok maju dua langkah seraya majukan ujung pedang ke dada Wi Ki Hu. Wi Ki Hu pucat wajahnya tetapi tak mau bergerak menghindar.
"Engkau mengangkat saudara dengan dia, Dia pernah menolong engkau dari kepungan musuh. Pada waktu mengatakan tentang dirimu dihadapanku, dia selalu memuji dan mengagumi engkau. Sungguh tak kira engkau ... engkau ...."
Airmata Tong Wan Giok berderai-derai seperti banjir. Dia benci sekali kepada Wi Ki Hu ... Sebenarnya tak ingin dia menangis dihadapan musuh itu. Tetapi teringat akan hari2 bahagia bersama Can Jit Cui dahulu dan kemudian kebahagiaan itu akhirnya lenyap untuk selama-lamanya tak kuasa lagi dia menahan airmatanya. Kemudian dia menghela napas.
"Engkau manusia yang berhati binatang, mengapa sampai hati untuk menurunkan tangan sekeji itu ?" serunya pula.
Wi Ki Hu tetap tak menjawab dan hanya termangu2 memandangnya. Sinar matanya tidak membayangkan ketakutan dan rasa sesal. Bahkan sepertinya dia merasa tak berbuat sesuatu yang memyalahi batinnya.
Tong Wan Giokpun mengangkat pedang dan hendak diayunkan ke leher Wi Ki Hu. Sekali tabas, tentulah Wi Ki Hu akan menjadi setan tanpa kepala. Tetapi entah bagaimana ketika mata mereka saling beradu pandang, Tong Wan Giok terkesiap karena melihat sinar mata Wi Ki Hu yang begitu tenang dan bangga, seperti orang yang tak bersalah.
? Peding dihentikan dan berserulah Tong Wan Giok dengan dingin, "Dalam menjelang maut, apakah engkau tak merasa menyesal?"
Wi Ki Hu tertawa rawan, "Wan Giok, selama ini aku tak merasa telah melakukan hal yang menyalahi batinku."
"Hm," dengus Tong Wan Giok, "kata orang, pada saat menjelang kematian, orang tentu akan bicara dengan baik budi. Tetapi engkau tidak. Hal itu menandakan bahwa engkau memang berdarah binatang."
Wi Ki Hu tidak membantah melalnkan tertawa hambar, "Sebenarnya aku hendak menceritakan peristiwa itu kepadamu. Terserah saja engkau mau percaya atau tidak. Tetapi sekarang ah . .. . .
Daging pipinya berombak-ombak, menandakan kalau batinya berduka sekali. Nada suaranya pun makin lama makin pelahan, tetapi sekarang .... kutahu selama duapuluh tahun ini walaupun resminya kita ini menjadi suami isteri .... tetapi nyatanya engkau tetap menganggap aku sebagai orang luar. Ha, ha, peristiwa itu . . . . , tak perlu kuterangkan lagi."
"Waktu itu ketika jejaknya lenyap, engkau telah mengambii aku sebagat isteri agar aku terhindar dari malu. Untuk itu aku memang berterima kasih. Selama duapuluh tahun ini aku pun selalu bersikap sebagai orang yang berterima kasih kepadamu. Bahwa selama duapuluh tahun ini engkau tidak pernah menjamah tubuhku, sungguh makin menambah rasa kagumku kepadamu. Tetapi karena sekarang telah kuketahui di mana dia berada dan telah jelas pula bahwa engkau yang membunuhnya, perlu apa engkau masih berbelat belit hendak memutar-balikkan kenyataan?"
Wi Ki Hu mengangkat kepala pelahan, "Benar, memang tak berguna sedikitpun juga, Lekaslah engkau turun tangan, aku takkan membalas!"
Mata Tong Wan Giok yang memancar sinar dendam kebencian itu makin membara Dan ketika teringat akan hari2 yang bahagia dengan Cia Jit Gui dahulu, kebenciannya kepada Wi Ki Hu makin meluap, Pedangnyapun mulai
bergerak maju. Sebagai tokoh persilatan ternama, Wi Ki Hu sudah pernah mangalami berpuluh pertempuran yang dahsyat. Dan tadi dia sendirilah yang menyerahkan pedang Kim-liong-kiamnya kepada Tong Wan Giok. Tetapi ketika ujung pedang itu makin mendekati tenggorokannya, mau tak mau wajahnyapun berubah.
Apa yang terjadi di antara kedua suami isteri itu tdah diketahui dan didengar jelas oleh Hui Giok yang bersembunyi di balik gunduk batu besar. Ia tahu bahwa walaupun Tong Wan Giok menggerakkan pedangnya dengan pelahan tetapi apabila bersarang pada tenggorokan korbannya, tentulah Wi Ki Hu akan melayang jiwanya.
Timbul pergolakan dalam hati Hui G!ok akan dibiarkan saja Wi Ki Hu mati ataukah aakan dicegahnya. Kalau ia ke luar untuk melerai, apakah keuntungannya" Apakah dia dapat memanfaatkan peristiwa itu untuk mempertemukannya dengan Kun Hiap"
Asuhan dan didikan dalam lingkungan rumah tanggauya telah menyebabkan Hui Giok tumbuh merijadi seorang gadis yang egois. Setiap? menghadapi persoalan, bukan dengan dasar menilai baik atau buruknya melainkan atas dasar perhitungan menguntungkan atau merugikan kepada dirinya.
Pada saat dia masih sangsi tiba2 dari belakang terdengar bunyi memberosot. Dia terkejut.
Dan ketika berpaling dia makin terkejut lagi Entah kapan dan bagaimana caranya, ternyata Kun Hiap sudah muncul di belakangnya. Tetapi ada suatu hal yang aneh pada diri anakmuda itu. Dia tidak memandang kepada dirinya (Hui Giok) tetapi matanya memandang lurus ke depan.
Hui Giok terkesiap ketika Kun Hiap melangkah dengan cepat sekali. Sekali bergerak sudah lima langkah menuju ke tempat Tong Wan Giok dan Wi Ki Hu.
Saat itu ujung pedang Tong Wan Giok hanya tinggal dua inci dari tenggorokan Wi Ki Hu.
Ketika mendengar langkah orang, dia berpaling.
Betapa kejutnya ketika yang muncul itu Kun Hiap. Serentak dia berseru, "Engkau juga datang! Apakah engkau hendak membalas dengan tanganmu sendiri?"
Memang wajah Kun Hiap mirip sekali dengan ayahnya. Maka ketika pertama kali dia mengembara ke luar, banyak orang telah keliru menyangkanya sebagai Can Jit Cui. Dan karena itu maka pelahan-lahan Kun Hiap baru tahu tentang asal usul dirinya.
Karena saat itia perasaannya sedang tegang sekali, begitu melihat Kun Hiap, Tong Wan Giok telah menganggap Kun Hiap itu sebagai Can jit Cui.
Wi Ki Hu juga melihat kehadiran Kun Hiap. Dia menghela napas, "Wan Giok, itu Kun Hiap puteramu sendiri. Apakah engkau lupa?"
Sehabis berkata tadi, Tong Wan Giok menarik pedangnya lalu melangkah menghampiri Kun Hiap dan menyerahkan pedang itu. Pada saat Wi Ki Hu memperingatkan tentang kekhilafannya, barulah Tong Wan Giok sadar dan berteriak,"Hiap-ji, engkau! Maiiyingkirlah dan lihatlah, akan kubunuh musuh ayahmu itu dengan tanganku sendiri!"
Kuatir Kun Hiap yang tak tahu persoalannya akan mencegah maka Tong Wan Giok menyuruhnya menyingkir.
Tetapi tampaknya Kun Hiap seperti tak tahu kalau dihadapannya itu adalah mamahnya. Dia tetap berjalan lurus kemuka dan cepat sekali sudah tiba di tengah kedua orang itu. Rupanya dia tak mau berhenti dan tetap ayunkan langkah kemuka.
"Berhenti!" teriak Wi Ki Hu yang terkejut dan curiga, sambil menerkam bahu anakmuda itu.
"Jangan menyentuhnya," teriak Tong Wan Giok terus menusuk lambung Wi Ki Hu miringkan tubuh sedikit sehingga ujung pedang lewat di sisinya, sedang terkamannya masih mengarah bahu Kun Hiap.
Crek, Kun Hiap tertegun ketika bahunya diterkam. Tiba2 dia memekik keras dan aneh sepetrti kerbau menguak dan lalu meronta!'
Entah bagaimana, Wi Ki Hu rasakan dari bahu Kun Hiap memancarkan tenaga-sakti yang teramat kuat, menolak tangan Wi Ki Hu sehingga cengkeramannya terlepas dan dirinyapun tertolak mundur selangkah.
Pada saat itu Tong Wan Giok menusuk lagi seraya berseru, "Hiap-ji, lekas pergi! Bangsat iin masih belum puas mencelakai ayahmu dan masih hendak mencelakai engkau juga!"
Setelah berhasil mendorong Wi Ki Hu, Kun Hiap tertegun sejenak lalu berjalan lagi. Seruan mamanya tadi seolah tak dihiraukannya.
Baru saja dapat berdiri tegak sudah disambut tusukan Wan Giok, Wi Ki Hu terkejut tetapi tak gugup. Dia rebahkan tubuh ke samping lalu menekan tanah dan melenting ke udara seraya berteriak, "Berhenti! Rupanya Hiap-ji telah tertimpah sesuatu yang aneh !'
Saat itu Tong Wan Giok mengejar dan memakinya. "Bah, engkau manusia berhati binatang. Tadi engkau jelas hendak membunuhnya, sekarang pura2 memikirkan keadaannya?"
"Wan Giok, engkau ...," belum sempat Wi Ki Hu menyelesaikan kata-katanya, dia sudah diserang bertubi-tubi oleh pedang Tong Wan Giok. Terpaksa dia menghindar sambil mundur dan tak sempat untuk melanjutkan kata-katanya.
Dalam beberapa kejab saja Tong Wan Giok. sudah melancarkan tujuh kali serangan. Tetapi ilmupedang yang dimainkan itu adalah ilmupedang Kim-liong-kiam-hwat yang diajarkan Wi Ki Hu, sudah tentu Wi Ki Hu faham sekali dan mengerti bagaimana harus menghadapi. Walaupun serangan Wan Giok itu gencar dan dahsyat, tetap Wi Ki hu dapat menghindarinya.
Setelah lewat tujuh serangannya tak memberikan hasil, Tong Wan Giok kesal hati dan tiba-tiba hentikan serangannya, "Tadi engkau mengatakan kalau rela mati dibawah pedangku. Mengapa sekarang engkau berusaha menghindar "
Setelah berdiri tegak, Wi Ki Hu menjawab, "Wan Giok, apapun yang terjadi tetapi kuanggap Hiap-ji itu sebagai anakku sendiri. Apakah engkau tak memperhatikan bahwa tingkah lakunya tadi tidak sewajarnya ?"
Tong Wan Giok tertawa dingin, "Kata-katamu itu sedap sekali didengarnya. Dia tertimpa malapetaka apa saja, aku sendiri dapat merawatnya, tak perlu engkau ribut2!"
Tetapi walaupun begitu Tong Wan Giok juga tetap menguatirkan keselamatan puteranya, Maka sambil berkata, dia berpaling kearah Kun Hiap.
Saat itu Kun Hiap sudah melesat dua tiga tombak jauhnya. Pada waktu Tong Wan Giok berpaling memandangnya, dia melihat sesosok bayangan meluncur cepat kearah Kun Hiap. Tong Wan-Giok terkejut dan cepat membentaknya, "Hai sia-pa itu !"
Tetapi bayangan itu tak berhenti oleh karena itu Tong Wan Giokpun tak mau banyak pikir lagi terus memutar pedang Kim-liong-kiam dan dilontarkan kearah bayangan orang itu.
Orang itu tertegun lalu kebutkan lengan baju dan melibat tangkai Kim-liong-Kiam, Saat itu Tong Wan Giokpun sudah sempat melihat bahwa bayangan itu ternyata seorang dara yang cantik. Dan dengan masih membawa Kim-liong-kiam gadis itu masih terus melaju kearah Kun Hiap. Sekali lengannya berayun maka pedang itupun melayang menancap kesebatang pohon besar. Dan selekas tiba di hadapan Kun Hiap, nona itu terus menerkam bahu Kun Hiap.
Ternyata nona itu bukan lain adalah Tian Hui Giok yang bersembunyi dibalik gunduk batu besar tadi. Begitu Kun Hiap .muncul, bukan melainkan Wi Ki Hu saja yang merasa ada sesuatu yang tak wajar pada diri anakmuda itu, pun Hui Giok juga punya anggapan begitu. Bermula dia mengira kalau Kun Hiap memang pura2 bertingkah begitu karena tercengkam oleh rasa ketegangan berhadapan dengan Wi Ki Hu, pembunuh dari ayahnya. Tetapi pada lain saat dia merasa tingkah laku Kun Hiap itu memang aneh dan tak wajar. Maka diapun terus melesat keluar dan mengejar Kun Hiap.
Karena belum kenal pada Hui Giok maka Tong Wan Giok cemas. Lebih cemas lagi ketika melihat Hui Giok hendak menerkam bahu Kun Hiap. Maka tanpa menghiraukan Wi Ki Hu lagi, dia terus bertindak?? ?
Jilid 10. Melihat puteranya hendak diterkam orang itu Tong Wan Giok nekad, Tinggalkan Wi Ki Hu dia terus menyerbu orang itu.
Soh-jiu-hud-hun atau Tangan-mengebut-awan, demikian jurus yang dilancarkan Tong Wan Giok Kedua tangannya dirangkapkan lalu menghantam.
Saat itu Hui Giok telah menerkam Kun Hiap. Waktu merasa dirinya dilanda gelombang angin pukulan dahsyat, sebenarnya kalau mau dia dapat. menangkisnya. Tetapi karena dia mencintai Kun Hiap sudah tentu dia tak mau mencelakai mama Kun Hiap. Maka dia hanya kebutkan lengan baju kirinya kirinya ke belakang dengan pelahan. Setiup tenaga yang lunak menyongsong angin pukulan Tong Wan Giok dan menghapuskannya.
/> Sudah tentu Tong Wan Giok terkejut sekali
Saat itu dia baru menyadari bahwa kepandaian nona yang tak dikenalnya itu jauh, lebih tinggi dari dirinya.
"Nona, siapa engkau" Mengapa engkau menerkamnya ?" tegurnya.
Maksud Hui Giok menerkam Kun Hiap hanyalah mencegah jangan sampai dia melanjutkan langkahnya. Baru dia hendak menjawab pertanyaan Tong Wan Giok, tiba2 dia rasakan bahu Kun Hiap memancar tenaga-tolak yang luar biasa hebatnya sehingga cengkeramannya terlepas dan bahkan dirinya ikut terpental mundur sampai satu langkah.
Hui Giok kaget sekali Kembali dia menerkam bahu Kun Hiap. Kali ini dia gunakan tenaga yang lebih besar.
Saat itu Kun Hiap baru bergerak setengah langkah, tahu2 sudah diterkam Hui Giok lagi.
"Nona, siapa engkau," dalam pada itu Tong Wan Giokpun melesat tiba.
"Harap peh~bo (bibi) jangan kuatir. Aku adalah kawan baik dari puteramu," sahut Hui Giok tertawa.
Tong Wan Giok tertegun. Dia belum pernah kenal dengan nona itu mengapa nona itu sudah kenal padanya "
Tiba2 Hui Giok menjerit kaget. Cengkeramannya terlepas dan dia terpentai seelangkah ke belakang lagi.
Hui Giok makin kaget dan heran, Dia tahu sampai di mana kepandaian Kun Hiap, Tetapi mengapa dua kali pemuda itu mampu melepaskan diri dari cengkeramannya"
Dia ingat jelas bahwa hanya lebih kurang sejam lamanya Kun Hiap tertutup dalam ruang batu. Masa dalam waktu sesinakat itu kepandaiannya dapat mengungguli dirinya"
Hui Giok melesat ke samping Kun Hiap dan memandangnya lekat2. Dia terkejut lagi. Menilik sikapuya, Kun Hiap seperti tak tahu kalau dia (Hui Giok) berada di hadapannya. Nyatanya pemuda itu terus melanjutkan ayun langkah ke muka.
"Hai, engkau kena apa?" teriak Hui Giok sekeras-kerasnya, seraya menyurut mundur. Karena kalau tidak, tentulah akan ditubruk Kun Hiap.
Tetapi walaupun berturut-turut mundur sampai delapan langkah dan tidak henti-hentinya meneriaki supaya berhenti/tetap saja Kun Hiap tak menghiraukan dan maju terus.
Hui Giok kaget, akhirnya marah. Dia ulurkan tangan uniuk mencengkeram bahu Kun Hiap.
Dia sudah merasakan dua kali tadi bagaimana cengkeramannya telah dipentalkan oleh tenaga-tolak dari bahu pemuda itu. Maka kali ini dia menggunakan tenaga berat untuk menerkam. Dan sedianya begitu dapat menerkam, terus hendak diangkatnya.
Tetapi begitu menerkam, pancaran tenaga-tolak dari bahu Kun Hiap jauh lebih dahsyat la
gi dari tadi. Ih., ... Hui Giok mendesis ketika tangannya terpental. Dadanya terbuka tak .terlindung. Dan pada saat itu juga, Kun Hiap melangkah maju.
Tadi karena selalu mundur maka Hui Giok tak rapat pada Kun Hiap. Tetapi sekarang karena maju menerkam, dia melangkah ke hadapan Kun Hiap. Sudah tentu dia tak sempat menghindari lagi dari benturan Kun Hiap, Dia gugup dan berusaha untuk dapat cepat2 miringkan tubuh ke samping. Tetapi sekalipun begitu tak urung bahunya yang terlanggar.
Uh .... kembali Hui Giok mandesuh kaget ketika dia kehilangan keseimbangan tubuh. Terjangan Kun Hiap itu membuatnya terhuyung-huyung mundur sampai tujuh delapan langkah baru dia dapat berdiri tegak lagi.
Begitu memandang ke muka, Kun Hiap masih maju dan saat itu sudah berada di hadapannya. Sudah tentu dia gugup dan mundur. Diperhatikannya sepasang mata Kun Hiap memandang lurus ke muka tetapi tak berkedip.
Hui Giok gerakkan tangannya untuk membuat gerakan menampar di dekat mata Kun Hiap. Ah, benar mata anakmuda itu tak berkedip.
Hui Giok ketakutan dan menyurut mundur seraya berteriak-teriak memanggil Kun Hiap. Tetapi anakmuda itu tak menghiraukan. Hui Giok, gelisah sekali. Dia tahu bahwa pemuda yang dicintainya itu tertimpa suatu kejadian yang berbahaya tetapi dia tak tahu apa dan tak mengerti bagaimana harus menolongnya.
Kun Hiap masih berjalan lurus ke muka dan Hui Giok terpaksa mundur. Saat itu Kun Hiap tiba di depan sebatang pohon. tetapi masih tetap maju.
"Awas!" teriak Hui Giok.
Tetapi Kun Hiap tak mempedulikan dan tetap melangkah maju. Bum . . . pohon itu ditabraknya dan rubuh.
Pohon itu batangnya sebesar basi. Hui Giok mengira muka dan kepala Kun Hiap tentu remuk kalau membenturnya. Tetapi apa yang disaksikannya saat itu, benar2 tak pernah diduganya. Bukan Kun Hiap tetapi pohon itu yang rubuh sedang Kun Hiap masih tetap berjalan seperti tidak terjadi suatu apa.
Hui Gok kesima, Tadi waktu dibentur Kun Hiap dan terhuyung-huyung ke belakang, Hui Giok masih menganggap apabila hal itu terjadi secara kebetulan saja. Tetapi kini setelah melihat Kun Hiap dapat menabrak pohon sampai tumbang, barulah Hui Giok menyadari kalau hal itu bukan sesuatu yang kebetulan. Dia tahu kalau Kun Hiap sekarang memiliki tenaga-dalam yang luar biasa, lebih tinggi dari dirinya. Suatu hal yang mustahil tetapi toh kenyataannya begitu.
Hui Giok termangu-mangu. Dilihatnya Kun Hiap melanjutkan langkahnya dan sudah makin jauh. Hui Giok menimang. Kalau membiarkannya begitu saja, rasanya memang kurang enak. Maka dia lalu mengejarnya.
Baru dia bergerak, dari belakang terdengar orang berseru. "Giok-ji, berhentilah!"
Ternyata yang berseru itu adalah Tong Wan Giok yang terus melesat mengejar. Sikapnya tegang, rambut terurai.
Hui Giok terpaksa hentikan langkah.
"Aku tak bermaksud menyalahi engkau," tiba2 Wi Ki Hu loncat ke udara dan meluncur di samping Tong Wan Giok untuk ikut serta mengejar Kun Hiap.
Sebenarnya kepandaian Hui Giok tidak dibawah Tong Wan Giok maupun Wi Ki Hu Adalah karena tadi belum mengambil keputusan maka Tong Wan Giok dan Wi Ki Hu dapat mendahuluinya. Kini dia sudah mengambil keputusan. Sekali mengempos semangat, dalam beberapa loncatan saja dia sudah tiba di belakang Wi Ki Hu.
Tong Wan Giok berada di depan. Jaraknya dengan Kun Hiap hanya tinggal sepengulur tangan, tentu dapat menjamah bahu Kun Hiap. Dan memang Tong Wan Giokpun ulurkan tangan hendak memegang bahu puteranya.
Melihat itu Hui Giok terkejut. Dia sudah merasakan tenaga-tolak dari bahu Kun Hiap. Maka diapun hendak meneriaki agar Tong Wan Giok jangan melakukan hal itu. Tetapi belum sempat dia berteriak, tiba2 dari samping melesat seseorang yang menghadang di muka Tong Wan Giok.
Begitu orang itu bergerak barulah Wi Ki Hu dan Hui Giok tahu kalau bermula orang itu tegak bersandar pada pohon. Kalau saja orang itu tidak bergerak, Wi Ki Hu dan Hui Giokpun tentu tidak sempat mengetahui kalau di bawah pohon ada seseorang lain.
Saat itu Tong Wan Giok sudah terlanjur ulurkan tangan. Bagaimana mungkin hendak menariknya kembali. Namun dia paksakan diri untuk berusaha menarik tangannya dan hiattt .... bahu bajunya tertarik robek.
Orang itu tertawa gelak2, serunya, "Toa-soh, apa-apaan ini, mengapa engkau merobek bahu bajuku?"
Nadanya lemah seperti orang yang baru sembuh dari penyakit berat.
Tong Wan Giok memandang dengan seksama dan meneguruya, "Siapa engkau?"
Orang itu tertawa, "Toa-soh, engkau tidak kenal padaku?" katanya sambil menuding ke belakang.
Tong Wan Giok berpaling ke belakang, dilihatnya Wi Ki Hu berdiri di belakangnya. Seketika wajah Tong Wan Giok berobah. Mengangkat tangannya terus dihantamkan ke belakang.
Wi Ki Hu miringkan kepala, plak . .. . . . telinga kena tertampar sehingga wajahnya merah. Tong Wan Giok berputar diri dan melengking, "Siapa dia" Suamiku sudah lama meninggal. Mengapa engkau mengoceh tak keruan di sini?"
Orang itu menghela napas, "Toa-soh, jangan engkau anggap dia itu seorang buruk. Aku tahu betul peribadinya."
Saat itu perasaan Tong Wan Giok sedang diamuk dendam dan marah. Sudah tentu dia tak mau adu mulut dengan orang itu.
Di lain fihak, Wi Ki Hu diam heran. Orang itu mengatakan kenal padanya dan tahu akan peribadinya tetapi dia sendiri merasa belum pernah melihat orang itu.
"Siapakah anda ini?" serentak dia melangkah maju menghampiri dan menegur.
Dangan lemah orang itu terawa, "Sudahlah, sudahlah, kalian berdua suami isteri jangan bertengkar lagi, lekas kalian berjabatan tangan.''
Tiba2 dia sudah menyambar tangan Tong Wan Gok. Gerakannya lambat sekali.. Demikian pula dengan gaya cengkeramannya.
Mendengar ucapan orang itu tak sedap didengar, Tong Wan Giok marah. Dan melihat orang itu bergerak hendak menjamah lengannya dia makin kaget. Sebelum dia sempat memikir bagaimana harus menghadapi atau tiba2 tangannya sudah terasa mengencang karena sudah dicengkeram orang itu. Tampaknya lambat2 saja dia bergerak tetapi entah bagaimana ternyata Tong Wan Giok sudah tak sempat bergerak.
Dan serempak pada saat itu juga, sebelah tangan orang itu sudah menerkam pergelangan tangan Wi Ki Hu. Tong Wan Giok dan Wi Ki Hu berontak berusaha hendak meronta tetapi jari orang itu bagaikan jepitan besi kuatnya. Bukannya terlepas kebalikannya Tong Wan Giok dan Wi Ki Hu malah lebih mendekat selangkah lagi.
"Ayolah, kalian saling bergenggam tangan.. Biar hawa kemarahan menjadi hawa kemeraan. Masa ada persoalan di antara suami isteri diselesaikan dengan senjata?"
Kata-kata itu ditutup dengan merangkapkan tangan Tong Wan Giok dan Wi Ki Hu menjadi satu lalu dia lepaskan cengkeramannya dan mundur ke belakang.
Betapa kemarahan Tong Wan Giok dapat dimaklumi. Selekas orang itu lepaskan cengkeramannya, ia terus menghantam dada Wi Ki Hu.
Kepandaian Wi Ki Hu jauh lebih tinggi dari Tong Wan Giok. Kalau dia mau mencelakai Tong Wan Giok, tentulah dia lebih berhasil. Tetapi dia tak mempunyai maksud begitu. Dan karena itu diapun tak sempat untuk menghindar dari pukulan Tong Wan Giok.
Tong Wan Gok telah menggunakan segenap tenaganya untuk memukul. Dan pukulannya itu di arahkan pada jalandarah berbahaya pada tubuh Wi Ki Hu, hum . . . . tubuh Wi Ki Hu rebah ke belakang dan terlempar ke udara Tetapi dia tak sampai rubuh. Dia berjumpalitan lalu berdiri. Tetapi tubuhnya berputar-putar seperti kitiran dan mulutpun muntah darah. Dan ketika tubuhnya berhenti berputar maka darah yang disembutkan dari mulut itupun berbentuk seperti sebuah lingkaran merah.
Sejenak menenangkan diri, Wi Ki Hu menengadah dan tertawa keras. Nadanya penuh kepiluan. Wajahnya pucat, sudut mulutnya masih mengalirkan darah dan mulailah tubuhnya terhuyung-huyung mau rubuh.
Orang tadi cepat melangkah maju lalu menutuk dada Wi Ki Hu beberapa kali, lalu mendelong. Wi Ki Hu pun rubuh terlentang di tanah. Kemudian orang itu berputar tubuh dan kerutkan alis, Toa-soh, tindakanmu itu keterlaluan."
"Dia membunuh suamiku dan .... membohongi aku selama 20 tahun, mengapa aku engkau katakan keterlaluan?" teriak Tong Wan Giok.
Orang itu gelengkan kepala dan berkata dengan pelahan, "Dialah suamimu siapa lagi yang engkau katakan suamimu itu?"
Tong Wan Giok mendesuh, "Engkau tahu apa" Sebenarnya aku dapat membunuhnya tetapi biarlah nanti anakku yang melakukan itu sendiri untuk membalas sakithati ayahnya."
Tong Wan Giok marah sekali sehingga gerahamnya bergemerutukan. Tetapi orang yang tampak berpenyakitan itu tenang saja dan berkata dengan santai, "Toa-soh, engkau salah besar."
Sudah tentu Tong Wan Giok makin marah, "Engkau hanya tahu kentut busuk!" teriaknya. Sebenarnya Tong Wan Giok itu seorang pendekar wanita dari perguruan ternama. Baik dalam ilmu silat maupun ilmu sastra, dia menguasai semua. Dan selama ini tak pernah dia berkata dengan omongan kasar kepada orang. Tetapi karena saat itu dia sedang marah sekali, barulah dia mengeluarkan kata-2 sekasar itu. Suatu hal yang pertama kalinya ia lakukan kepada orang. Maka sehabis memaki, mukanyapun merah.
"Mengapa aku tak tahu" Semuanya aku tahu jelas. Engkau menganggap bahwa suamimu itu Can Jit Cui, bukan?"
Mendengar orang itu menyebut nama Can Jit Cui, Tong Wan Giok terkesiap kaget. Dan pada lain saat airmatanya berderai-derai membasahi kedua pipinya.
"Orang mecam apakah Can Jit Cui itu" Mana dia layak menjadi suamimu" Dan lagi bukan Wi ki Huiah yang membunuhnya," kata orang itu pula.
Mendengar makin lama omongan orang itu makin tak keruan, bahkan perbuatan yang telah diakui Wi Ki Hu sendiri masih dianggap tidak benar, dia merasa muak sekali. Dia berpaling. dilihatnya Kun Hiap masih tetap ayunkan langkah maju ke muka saja. Serentak dia tak mau menggubris orang itu lagi dan lantas menuding Wi Ki Hu yang masih rebab di tanah, "Tunggulah, aku dan anakku takkan melepaskan engkau!" serunya.
Wi Ki Hu yang ditutuk jalahdarahnya oleh orang tadi, tak dapat menjawab melainkan memandang Tong Wan Giok dengan terlongong-longong saja.
Habis berkata Tong Wan Giok terus melesat ke arah Kun Hiap
"Pehbo, tunggulah aku," tiba-tiba Hui Giok berseru.
Tong Wan Giok tertegun, "Engkau siapa?"
Hui Giok menunduk dan menyahut dengan pelahan, "Aku adalah . . . kawan baik Kun Hiap."
Melihat sikap nona itu, tahulah Tong Wan Giok apa maksudnya, "Kalau begitu, mari kita mengejarnya!"
Girang Hui Giok bukan kepalang. Dengan ajakan Tong Wan Giok itu berarti terbukalah sebuah jalan baru untuk menyampaikan cita-citanya. Keduanya lalu mengejar.
Tampak Kun Hiap masih melanjutkan langkah. Jaraknya antara delapan tombak di sebelah depan. Dengan sekali bergerak, kedua wanita itu tentu dapat mengejarnya.
Pada saat keduanya tiba di belakang Kun Hiap, kebetulan saat itu Kun Hiap sedang melintas di samping sebatang pohon. Waktu kedua wanita hendak mengejarnya, tiba2 sesosok bayangan melesat ke luar dari balik pohon itu dan menghadang Tong Wan Giok berdua.
Sudah tentu Tong Wan Giok dan Hui Giok terkejut. Ternyata penghadang itu tak lain adalah orang yang berpenyakitan tadi. Tong Wan Giok dan Hui Giok makin kaget. Jelas ketika mereka berdua mulai mengejar Kun Hiap, orang tua berpenyakitan itu masih tertinggal di belakang. kapan dia lari dan tiba di bawah pohon itu, sama sekali mereka tak tahu. Bermula mereka masih menyangka kalau orang itu tentulah orang lain yang kebetulan wajah dan perawakannya menyerupai dengan orang tadi yang berpenyakitan.
Mereka berpaling ke belakang untuk membuktikan di manakah orang tua berpenyakitan itu. Huh, mereka serentak mendesuh dalam hati. Sudah tentu di belakang tak ada lagi orang tua berpenyakitan itu.
Bukan melainkan itu saja. Bahkan Wi Ki Hu yang tadi terluka dan rebah di tanah, juga tidak ada di tempatnya lagi.
"Toa-soh," sebelum Tong Wan Giok sempat membuka mulut, orang tua berpenyakitan itu sudah berkata lebih dulu, "jika engkau tak mau mendengarkan nasehatku, akupun tak berdaya apa-apa. Tetapi apa yang kukatakan semua tadi, tidak ada sepatahpun yang tidak sesuai dengan kenyataannya."
Saat itu baru Tong Wan Giok menyadari kaau dia sedang berhadapan dengan seorang sakti. Maka dengan masih tetap bernada dingin, dia berkata, "Benar, ya baik, palsu juga baik. Tetapi apa maksudmu menghadang jalanku ini?"
Tiba-tiba orang tua itu ulurkan tangan, huh, tangannya menjulur panjang sekali ke muka dan mencapai bahu Kun Hiap. Dan sekali menarik, Kun Hiappun berputar tubuh dan berdiri tegak. Matanya mendelik memandang ke muka.
Sambil menepuk pelahan bahu Kun Hiap, orang tua berpenyakitan itu berkata, "Kalian mengejarnya, masa tak tahu kalau ada kalian pada dirinya?"
Tong Wan Giok mengira karena mengetahui pertengkaran antara dirinya dengan Wi Ki Hu maka Kun Hiap menderita shock dan seperti limbung. Kini baru dia tahu kalau puteranya memang berobah seperti orang tolol.
"Dia .... dia bagaimana?" setelah terlongong berapa jenak barulah dia bertanya.
"Orang itu tak menyahut melainkan bertanya kepada Hui Giok, "Engkau berotak cerdas, Segala apa tahu dan segala apa berani melakukan. Tahukah engkau bagaimana dia?"
Mendengar kata2 orang tua itu bernada sinis, diam-diam Hui Giok terkejut dan marah. Tetapi dia tetap tenang saja dau hanya gelengkan kepala, menyatakan tak tahu.
Orang tua itu menghela napas, "Karena kalian tak tahu apa sebabnya, akupun tak mau bilang. Adakah dia bakal beruntung atau celaka, sekarang belum dapat diketahui. Berikan dia kepadaku saja."
"Siapa engkau!" seru Tong Wan Giok.
"Aku adalah sahabat ayahnya."
"Apakah anda tahu siapa ayahnya?" tanya Hui Gok.
Orang tua itu memandang Hui Gok, kemu-dian balas benanya, "Apakah engkau tahu?"
"Tentu saja tahu," sahut Hui G..ok, "ayahnya tokoh tampan yang romantis dan mendapat gelar Giok-biu siau-long dan dunia persilatan, ya-itu Can Jit Cui."
Untuk mengambil muka Tong Wan Giok maka Hui Giok sengaja memuji Can Jit Cui dengan sanjungan yang begitu merdu. Dan memang Tong Wan Giok menghela napas waktu mendengarnya.
Tetapi di luar dugaan orang tua berpenyakitan itu dengan tenang gelengkan kepala, "itu salah besar! Orang macam apakah Can Jit Cui itu sehingga layak menjadi ayahnya?"
"Aku adalah mamanya," teriak Tong Wan Giok sengit, "siapa ayahnya, masakan aku tidak tahu dan harus engkau yang menunjukkan?"
"Memang," sahui orang tua itu, "ayah yang menurunkan dia adalah Can Jit Cui. Tetapi pernahkah anak itu melihat ayahnya" Pernahkah Can Jit Cui memelihara dan mendidiknya sampai besar" Pernahkah dia mengajari ilmusilat kepadanya?"
"Hm, engkau sudah tahu tetapi pura2 tidak tahu," seru Tong Wan Giok, "sebelum dia lahir, ayahnya sudah mati ditangan manusia khianat. Bagaimana mungkin ayahnya akan mendidiknya?"
"Siapakah manusia hianat itu?" tanya orang tua berpenyakitan.
"Wi... Ki .? . . Hu!" dengan menggertak gigi Tong Wan Giok berkata gemas.
"Kalau Wi Ki Hu seorana hianat, di dunia ini tak ada lain manusia yang pantas disebut kuncu (ksatrya) Dalam hal itu tentu terdapat liku-likunya. Wi hujin, jangan engkau ringan tangan dan bertindak sembarangan."
Tong Wan Giok tak dapat bersabar lagi.
Serentak dia mengangkat tangan dan menghantam dada orang tua itu. Tetapi pukulannya itu agak dimiringkan, maksudnya hanya supaya orang itu itu terdorong saja.
Plak .... pukulan Tong Wan Giok seperti mengenai kayu lapuk dan orang tua itu tetap tak bergerak dari tempatnya. Dia balikkan tangan menerkam siku lengan Tong Wan Giok dan entah dengan gerakan bagaimana, sekali tangan dilepaskan tubuh Tong Wan Giok terpelanting jatuh ke belakang.
"Cobalah engkau renungkan sedalam-dalamnya," kata orang tua dengan nada sarat, "dalam hal apa Wi Ki Hu telah menyalahi engkau?"
Melihat Tong Wan Giok jatuh, buru2 Hui Giok melesat maju untuk memapahnya bangun. Tetapi Tong Wan Giok berteriak gugup, "Sudah, jangan mengurus aku, lekas kejar Kun Hiap."
Ketika Hui Giok mengangkat muka, dilihatnya orang tua berpenyakitan itu sudah menggandeng tangan Kun Hiap dan berjalan pelahan-lahan.
Hui Giok juga gugup sekali. Dia tak tahu siapakah orang tua itu dan kemanakah Kun Hiap hendak dibawanya. Sekali enjot tubuh, Hui Giok melesat dua tombak dan tiba di belakang orang tua berpenyakitan.
Sebenarnya sekali sambar, dia tentu sudah. dapat merebut Kun Hiap. Tetapi dia tahu bahwa orang tua tak dikenal itu berilmu sakti, kalau tidak dikuasai dulu tentu akan merebut Kun Hiap lagi.
Hui Giok julurkan jari tengah lalu menutuk jalandarah berbahaya di punggung orang. Menutuk jalandarah vital atau berbahaya, memang jarang dilakukan orang persilatan apanila tidak berhadapan dengan musuh besar. Bahwa sekali turun tangan, Hui Giok menutuk jalanmaut orang tua berpenyakitan itu, menunjukkan betapa ganas hatinya.
Waktu dia turun tangan, jaraknya hanya setengah meter dari orang tua itu. Sudah tentu tutukannya itu tak mungkin akan meleset, tetapi alangkah kejutnya ketika tiba2 ia merasa jarak orang tua itu dengan dirinya menjadi jauh sedikit. Walaupun hanya beberapa senti tetapi tak terjangkau oleh tutukan jarinya.
Orang tua itu mendengus tetapi tidak mau berpaling. Justeru itu yang membuat Hui Giok makin mengkal. Melihat orang tua itu tidak mau membalas, ia mengira kalau kegagalannya hanyalah secara kebetutan saja orang tua itu mengisar ke muka. Serentak menghimpun tenaga lebih besar dia segera menghantam pula.
Tetapi pada saat tangan melayang, tubuh orang tua itu sudah berkisar setengah meter ke muka lagi. Dengan begitu pukulan Hui Giokpun menemui angin kosong.
Namun Hui Giok telah terlanjur dirangsang hawa pembunuhan. Cepat sekali dia melesat maju. Memang tampaknya pelahan-lahan saja orang tua itu memimpin Kun Hiap diajak berjalan tetapi bukan saja makin dekat kebalikannya, jarak. Hui Giok dengan orang tua dan Kun Hiap itu makin jauh.
Meski Hui Giok belum sadar. Dia mengira hal itu suatu kejadian yang kebelulan saja. Ayunkan lengan baju, tiga batang senjata rahasja serentak melayang ke muka dalam formasi segitiga.
Hui Giok menabur dengan kecepatan yang tinggi dan jarak dengan orang itu hanya dua tiga meter jauhnya. Seharusnya tentu akan mengenai sasarannya.
Tetapi suatu peristiwa aneh terjadi lagi. Pada saat senjata-rahasia melayang sampai satu tombak jauhnya, tiba-tiba lajunya mulai mengendor dan berhamburan jatuh ke tanah. Terpisah dari punggung si orang tua masih ada setengah meter jauhnya.
Bukan kepalang kejut Hui Giok. Bagaimana pun dia itu puteri seorang tokoh silat yang ternama. Sudah tentu dia segera tahu apa yang dihadapinya saat itu. Orang tua berpenyakitan itu jelas menggunakan ilmu lwekang tingkat tinggi yarag disebut Sut-te-seng-cun atau ilmu menyurutkan tanah.
Dengan ilmu itulah maka tampaknya dekat tetapi dia ternyata berada dalain jarak yang jauh. Gerakannya lamban tetapi sesungguhnya bukan main cepatnya, itulah sebabnya Hui Giok tidak mampu mengejarnya.
Apabila orang tua itu menguasai ilmu yang begitu sakti dan jarang dimiliki oleh setiap tokoh persilatan maka dapat dibayangkan tentulah dalam ilmu lain-lainnya, dia pasti hebat sekali. Mungkinkan dia mampu merebut Kun Hiap dari tangan orang tua berpenyakitan itu" Bagaimana dia nanti akan memberi partanggungan jawab kepada Tong Wan Giok"
Saat itu diihatnya orang tua itu sangat dekat di sebelah muka. Ya, hanya tinggal dua langkah lagi dia tentu dapat mengejarnya. Dengan bernafsu sekali Hui Giol lari memburu. Tetapi sampai dua tiga li jauhnya, toh tetap dia terpisah beberapa meter dari orang tua itu.
"Cianpwe," akhirnya dia tak dapat menahan diri lagi dan berseru, "Hendak engkau bawa kemanakah dia?"
Tetapi orang tua berpenyakitan itu tak menjawab. Hui Giok mengulang teriakannya sampai beberapa kali dan tetap tak dijawab. Yang jelas jarak orang tua itu makin lama makin jauh dan akhirnya lenyap ditikungan gunung-
Hui Giok gugup. Dia lari balik hendak menemui Tong Wan Giok. Belum berapa lama berlari, dilihatnya Tong Wan Giok berlari-lari mendatangi dengan rambut terurai.
"Mana dia?" teriak wanita itu demi melihat Hui Giok.
"Aku tak dapat mengejarnya. Dia menggunakan ilmu lwekang tinggi Sut-te-seng-cun,'' sahut Hui Giok.
Tong Wan Giok tertegun. Mata terlongong dan airmatanya berderai-derai. Beberapa saat kemudian baru berkata, "Kalau aku .... . sampai kehilangan puteraku lagi, lalu . . . . , punya apa lagi?"
"Peh-bo, jangan kuatir, Akupun juga gelisah karena tak tahu kemana perginya Kun Hiap, tetapi aku tentu akan berusaha untuk mendapatkannya kembali."
"Bagaimana upayamu" Kini aku seorang diri siapa yang akan kumintai bantuan?"
Berkata Hui Giok, "Waktu mendiang ayahku masih hidup, beliau mempunyai beberapa sahabat yang semuanya jagoan kelas satu. Aku dapat meminta bantuan dari mereka."
"Di mana mereka?" tanya Tong Wan Giok serentak.
"Yang paling dekat dari sini," kata Hui Giok, adalah Cui Hwat cuncia dari gunung Liok-poan-san. Kalau kita mencarinya, dia tentu ......
Belum sempat Hui Giok menyelesaikan kata-katanya, Tong Wan Giok sudah menyurut mundur dua langkah dan berseru kagct, "Cui Hwat cuncia! Siapakah ayahmu?"
Ternyata Cui Hwat cuncia itu adalah benggolan nomor satu dari kalangan Shia-pay atau aliran Hitam. Itulah sebabnya Tong Wan Giok sampai terkejut dan bertanya.
Tetapi rupanya Hui Giok sudah siap, sahutnya, "Mendiang ayahku adalah Tian Put Biat."
Seperti orang mengingau, berkatalah Tong Wan Giok, "Tian Put Biat" Engkau ini puteri dari . . . . iblis nomor satu di dunia?"
Hui Giok menghela napas, "Ya. Mendiang ayah dan Cui Hwat cuncia walaupun namanya kurang baik dalam dunia persilatan, tetapi sesungguhnya mereka adalah orang2 baik yang menjunjung kebaikan. Dibandingkan dengan mereka yang hanya menyandang nama harum tetapi tidak sesuai dengan kenyataannya, masih lebih baik."
Hui Giok memang cerdas dan pandai dalam merangkai kata untuk menyindir. Dan benar juga, kata2 itu memang menusuk perasaan hati Tong Wan Giok apabila teringat akan Wi Ki Hu.
"Benar," sahut Tong Wan Giok yang sudah kenyang menderita kegoncangan batin, "misalaya seperti Kim-liong-kiam-khek Wi Ki Hu. Setiap orang persilatan siapa yang tidak menyanjungnya sebagal seorang 'tayhiap'. tetapi nyatanya tak lebih hina dari babi dan anjing!"
Melihat Tong Wan Giok sudah masuk perangkap, Hui Giok melanjutkan pula, "Pehbo, dendam berdarah itu tak boleh tidak harus Kun Hiap sendiri yang menghimpaskan. Tetapi dikuatirkan akan terjadi hal2 yang tak diinginkan. Maka kurasa lebih baik kita kerahkan secara besar-beseran, mengundang beberapa sahabat dari mendiang ayahku untuk bersama-sama tampil ke luar. Selain Cui Hwat cuncia, masih ada beberapa cianpwe yang jarang muncul di dunia perailatan, ditambah pula dengan Thau-san Sin-ki, ketua "Thian-sim-kau dan lain2 yang pernah menerima budi dari mendiang ayahku. Jika kita undang mereka, tentulah kekuatan kita besar sekali dan dendam itu tak mungkin tak dapat dihimpaskan."
Memandang kepada nona itu, bertanyalah Tong Wan Giok dengan nada heran, "Engkau. . .. . . mengapa begitu memikirhan kepentingan kami?"
Hui Giok menunduk, pipinya bersemu merah dan menyahut pelahan, "Pehbo, pertanyaanmu itu, bagaimana aku . . . harus menjawabnya?"
Sebagai wanita yang pernah muda, tahulah Tong Wan Giok akan hati gadis itu. Segera digenggamnya tangan Hui Giok, katanya, "Ah, Kun Hiap memang besar rejekinya."
"Ah, pehbo, harap jangan memuji saja," kata Hui Giok tersipu tawa.
Sejak mengetahui kalau Can jit Cui mati di tangan Wi Ki Hu, baru saat itu Tong Wan Giok merasakan suatu kegembiraan hati, "Aku tidak mengada-ada, tetapi engkau memang benar-benar seorang gadis yang baik. sekarang mari kita segera mengundang tokoh yang engkau sebut tadi.
Memang terhadap lain orang, bahkan mama dan saudaranya sendiri, Hui Giok bersikap ganas, Tetapi terhadap Kun Hiap, dia memang cinta setengah mati. Setelah mengetahui Tong Wan Giok mempunyai kesan baik terhadap dirinya, diam2 ia berbesar hati dan percaya Kun Hiap pasti takkan membencinya. pemuda itu tentu tidaklah berani membantah kehendak mamanya-
"Baik, biar ku ambil kedua pusaka warisan ayah dulu, baru nanti kita berangkat," kata Hui Giok.
"Ah, apakah bukan baju Kim-Wi-kah dan cakar Hiat-hun jiau?" tanya Tong Wan Giok.
Hui Giok mengiakan. Keduanya lalu lari dan setelah tiba di tempat Hui Giok menyembunyikan kedua pusaka dan mengambilnya mereka lalu menuju ke gunung Liok-poan san.
Sekarang kita tinggaikan dulu kedua wanita itu dan mari kita ikuti perjalanan orang tua berpenyakitan yang membawa Kun Hiap. Mereka berjalan terus, bahkan sampai menjelang malam masih melanjutkan perjalanan saja. Orang tua berpenyakitan itu seolah-olah tak menghirauken tempat yang dilaluinya, entah itu pegunungan, hutan atau lembah.
Saat itu hari mulai gelap. Dari arah muka terdengar derap bunyi kuda berjalan. Tak berapa lama dari tikung gunung muncul seorang yang naik seekor keledai. Orang itu bukan lain adalah Koan Sam Yang si Ing-put-hoan-jiu atau Selamanya-tak-pernah-balas-menyerang.
Orang tua berpenyakitan mengangkat muka dan berseru menegur, "Koan tocu, sudah beberapa hari tak bertemu."
Saat itu Koan Sam Yang sedang membiluk di sebuah keluk gunung dan cuacapun gelap. Sebelum dia sempat melihat apa2, tiba2 saja dia sudah ditegur orang. Mau tak mau dia terkejut juga-
"Siapa itu?" serunya.. Sebagai seorang tokoh yang berilmu tinggi, dia sudah tahu bahwa orang yang menegurnya itu tentu bukan tokoh sembarangan. Maka setelah balas bertanya diam2 diapun lalu menghimpun tenaga untuk bersiap-siap.
Serempak pada saat itu "pandang matanya melebar dan tiba2 dari tempat kegelapan muncul dua sosok tubuh, "Koan tocu, apa engkau tak kenal kepadaku?"
Koan Sam Yang memandang dengan cermat. Setelah melihat orang tua berpenyakitan itu, seketika wajahnya berobah dan buru2 turun dari keledainya dan memberi hormat, "Ah, engkau orang tua juga terlalu sungkan. Masa memanggil tocu kepadaku" Kalau tak ketemu engkau, sudah tentu aku tak tahu siapa yang memanggil aku tadi."
Baik sikap dan ucapan Koan Sam Yang, tampak hormat kepada orang tua berpenyakitan itu. Dan oiang tua itu hanya tertawa hambar saja.
"Engkau juga sudah berusia banyak, Kalau tidak menyebutmu Koan Sam Yang, apakah harus memanggilmu Siao Sam-cu?" katanya.
Rupanya Siao Sam-cu adalah nama kecil dari Koan Sam Yang. Maka waktu mendengar nama itu Koan Sam Yangpun tertawa menyengir dan berkata, "Ah, tak apalah."
Sejenak merenung, orang tua berpenyakitan itu berkata, "Aku memang hendak mencarimu. Kalau berjumpa di sini, itu sungguh kebetulan sekali."
Koan Sam Yang merasa tak enak dalam hati. Sialan, mengapa tidak cari jalanan lain saja supaya tidak ketemu dengan dia, gumamnya dalam hati..
Kalau tak berjumpa, tentulah orang tua berpenyakitan itu akan tetap menuju ke pulau tempat tinggalnya yaitu pulau Moh-hun-to di Lamhay dan tentu akan menemukan angin kosong. Dengan begitu paling tidak dia (Koan Sam Yang) dapat menunda pertemuan itu sampai beberapa bulan lagi.
Tetapi pada lain saat, dia berpikir lagi. Ah. kalau orang tua itu memang bertujuan hendak mencarinya, cepat atau lambat pasti akan bertemu juga, tak mungkin dia mampu menyembunyikan diri. Daripada besok lebih baik sekarang saja dia bertemu. Apapun yang akan terjadi, biarlah dia hadapi saat itu. Akhirnya Koan Sam Yang membulatkan tekad.
"Ada soal apa hendak mencari aku?" sesaat kemudian dia bertanya.
"Termenung-menung sampai beberapa saat, apa saja yang engkau pikirkan" Apakah tadi engkau sedang memaki-maki aku?" seru orang tua itu.
Saking takutnya, leher Koan Sam Yang sampai menjulur ke atas beberapa inci dan dia pun gopoh berseru, "Ah, tidak, tidak!"


Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata orang tua itu, "Syukur kalau tidak begitu. Beberapa tahun yang lalu, aku pernah mertamu di pulau Moh-hun-to. Waktu itu ayahmu pernah mengatakan bahwa di pulau Moh-hun-to terdapat sebuah kuda kecil dari besi . . . ."
Mendengar kata-kata2 si orang tua, seketika leher Koan Sam Yang panjang tampak bergerak naik turun seperti ular mendengar bunyi seruling. Jelas dia sedang tegang perasaannya tetapi dia berusaha untuk bersikap tenang.
Orang tua itu melanjutkan lagi, "Ayahmu bilang, kuda besi itu berjumlah 18 buah buah tetapi tersebar di mana-mana. Sedang dalam perut kuda besi yang paling besar, terdapat seonggok jenis daun yang paling beracun di dunia, namanya Bi-hun-sian cao. Benarkah begitu?"
"Ya, ya," Koan Sam Yang gopoh menyahut, "aku juga pernah mendengar ayah mengatakan begitu. Tetapi mengapa disebut rumput yang paling beracun di dunia, aku sendiri juga tak jelas."
"Apakah engkau benar2 tidak tahu?"
"Ya, memang tak tahu. Cobalah pikirkan. Kalau memangnya rumput beracun perlu apa disebut leng-cau-sian-yok (rumput-sakti-obat-dewa) " Sebutan bi-hun-sian-cau (rumput-dewa-pelelap-sukma) itu juga berlawanan dengan keadaan yang sebenarnya. Kurasa itu hanya berita burung saja. Yang percaya, boleh. Tidak percayapun boleh."
Koan Sam Yang mengantar keterangannya sambil menggoyang-goyang tangan dalam sikap untuk meyakinkan orang supaya jangan percaya pada cerita tentang rumput itu.
Tetapi tampaknya orang tua berpenyakitan itu tak terpengaruh. Pelahan-lahan dia menepuk-nepuk bahu Kun Hiap dan berkata, "Koan tocu, anak muda ini, apakah engkau pernah bertemu?"
Koan Sam Yang julurkan leher dan memandang Kun Hiap dengan seksama, "Ya, aku pernah bertemu."
"Waktu bertemu, bagaimana pendapatmu mengenai ilmu silatnya?"
Koan Sam Yang cebirkan bibir, "Biasa sajalah."
"Tetapi cobalah sekarang engkau boleh memukulnya," kata orang tua itu.
"Memukulnya" Apakah dia mampu menerima pukulanku?" teriak Koan Sam Yang.
"Ilmu tenaga-dalam sam-yang-cin-gimu itu," kata onang itu dengan tenang, "selain hanya dapat melukai seorang nona, kurasa tak pernah terdengar dapat menundukkan seorang tokoh yang lihay. Mengapa engkau takut untuk memukul anak muda ini?"
Terhadap orang tua berpenyakitan itu, dalam hati kecilnya Koan Sam Yang memang mengindahkan dan takut. Kini setelah mendengar kata-kata orang tua itu, tahulah kalau yang dimaksud nona yang menjadi korban hantamannya itu, bukan lain adalah Tian Hui Yan. Seketika merahlah mukanya dan menyeringai.
Memang lucu sekali. Seorang tokoh persilatan yang termasyhur seperti Koan Sam Yang saat itu tak beda seperti anak kecil saja.
Beberapa saat kemudian barulah dia dapat berkata pula, "Aku .... aku tak sengaja melakukan hal itu."
"Apakah tadi aku memang kalau engkau sengaja?" balas orang tua, "lekaslah engkau menjajal anakmuda itu baru nanti kita bicara lagi."
Koan Sam Yang tak mau banyak bicara. Serentak dia melangkah maju ulurkan tangan menutuk bahu Kun Hiap. Sebelum menyentuh bahu orang, jarinya sudah berbunyi mendesis-desis. Jelas kalau sedang memancarkan tenaga sam-yang-cin-gi.
Tetapi alangkah kejutnya ketika jari menyentuh bahu Kun Hiap, tiba" bahu anak muda itu memantulkan tenaca-tolak yang hebat sehingga jarinya terpental. Celakanya tenaga sam-yang-cin-gi itu membalik deras dan membentur pergelangan tangannya. Seketika lengannyapun lunglai.
"Nah, tahu tidak," seru orang tua itu, "sekarang kepandaiannya lebih tinggi dari engkau!"
Karena lengannya lunglai akibat dibentur oleh sam-yang-cin-ginya yang mengalir balik, untuk beberapa saat Koan Sam Yang terlongong-longong kesima dan tak dapat berkata apa2.
Orang tua berpenyakitan itu menghela napas, "Engkau mau tahu apa yang menyebahkan dia menjadi begitu sakti" Tak lain karena akibat dari rumput leng-cau yang paling beracun itu. Tetapi kesadaran pikirannya juga kabur sehingga dia seperti orang limbung. Itu akibat daya-guna racun yang mulai bekerja. Sebuah benda dapat memancarkan dua jenis daya guna yang berbeda. Rasanya dalam dunia ini tiada keduanya lagi kecuali rumput Bi-hun-sian-cau itu."
Muka Koan Sam Yang seperti orang yang makan makanan kecut tetapi ditahan supaya jangan kelihatan orang.
"Yas ya, engkau orangtua memang benar " dia hanya dapat mengatakan begitu.
"Sudah tentu racun itu bukan tak mungkin diobati, benarkah itu ?" tanya orang tua pula.
Wajah Koan Sam Yang makin tak sedap dipandang, katanya, "Kalau engkau mengatakan dapat diobati, tentu saja bisa diobati."
Wajah orang tua itu mulai mengerut serius, "Koan tocu, baiklah, tak usah kita bicara seperti orang bermain teka-teki. Begitu racun dari Bi-hun-sian-cau itu bekerja, delapan uratnadi besar segera macet tetapi delapan kuda besi yang lain, setiap kuda besi, didalamnya,, berisi obat mujarab yang dapat membuat setiap uratnadi utama itu melancar lagi. Maka kalau bisa memperoleh delapan kuda besi itu, racun tentu dapat dilenyapkan, tenaga kepandaian orang itu tiada yang melawan. lagi. Koan tocu, kedelapan kuda besi itu jelas berada di pulau Mo-hun-to, Kalau tidak masa ayah mu mengatakan hal itu " Terus terang anakmuda ini berjodoh dengan aku. Kalau engkau mau memberikan kedelapan kuda besi itu kepadaku, sudah tentu aku takkan melupakan budi kebaikanmu. Begitu uratnadinya sudah pulih kembali, kelak akan kusuruh dia menerima engkau sebagai mu-ridnya!'
Mendengar ucapan tu bukan main kejut dan marah Koan Sam Yang. Dia meringis. Betapa tidak. Koan Sam Yang, kepala dari pulau Mo-hun-to yang bergelar Ing-put-hoan-jiu atau Selamanya-tak pernah-balas-menyerang, sudah termasyhur di seluruh jagad, mengapa dianjurkan menjadi murid Kun Hiap, seorang anakmuda yang belum hiIang bau pupuknya " Dan lagi, disuruh menyerahkan kedelapan kuda besi itu sebagai tanda bakti seorang murid kepada calon gurunya " Wah. wah?? ?
"Jangankan kedelapan kuda besi itu memang tak ada di pulau Mo-hun-to," teriak Koan Sam Yang dengan kalap, "taruh kata ada, pun aku juga .,.."
"Engkau akan bagaimana ?" cepat orangtua itu serentak menukas.
Koan Sam Yang terkesiap tak tahu bagai-mana hendak menjawab. Sebenarnya dia sendiri juga tidak begitu jelas siapakah orang tua itu. Tetapi dia masih ingat, dulu ketika masih kecil, orang tua becpenyakitan itu memang pernah berkunjung ke pulau Mo-hun-to. Waktu itu ayahnya masih hidup. Ayahnya bersikap menghormat sekali terhadap orang tua berpenyakitan itu dan pernah memberitahu kepadanya bahwa orang tua yang tam-paknya seperti orang sakit itu sesungguhnya seorang sakti yang memili kepandaian luar biasa. Pesan ayahnya itu hingga sekarang dia masih ingat be-tul.
Sejak itu dia tak pernah hertemu lagi dengan orang tua itu. Dan pertemuan kah ini sudah berselang 40 tahun lebih dari pertemuan yang pertama kali dahulu. Anehnya, orang tua itu masih tetap seperti dahulu, tidak berobah lebih tua Masih tetap kurus kering dan bicaranyapun masih lemah seperti orang yang habis sakit. itulah sebabnya begitu melihat, Koan Sam Yang lantas mengenalinya.
Diam2 Koan Sam Yang menimang. aigin meniup roboh pohon yang. lapuk. Demikian siasat gerakan. Kalau gertakannya berhasil, orang tentu akan mengkeret mundur. Ah, benarkah orang tua yang lemah itu mempunyai kepandaian yang luar biasa saktinya " Hm, jangan2 hanya main gertak saja.??? .
Terlintas pula dalam benak Koan Sam Yang bahwa pemuda Kun Hiap itu memang telah berobah hebat sekali kepandaiannya. Tetapi kesadaran pikirannya hilang. Hm, kalau dapat mengalahkan orang tua lemah itu, dia akan membawa Kun Hiap. Dia akan berusaha cara bagaimana dapat memindahkan tenaga-sakti Kun Hiap kepada dirinya.
Nanti kalau rencana itu berhasil, pikirnya le-bih lanjut, biarlah dia tebalkan muka berguru pada Tok Liong cuncia, seorang durjana besar di daerah Biau-ciang. Dia akan minta pada Tok Liong untuk mengajarkan ilmu Sip-seng-sin kang atau ilmu Menghisap-bintang. Ilmu itu dapat dia-gunakan untuk menyedot tenaga-dalam orang. Setelah menguasai ilmu itu baru dia nanti akan menyedot tenaga-sakti Kun Hiap untuk dipindah kedalam tubuhnya.
Lintasan rencana itu telah membangkitkan angan-angan jahat dalam benak Koan Sam Yang.
Dan cahaya mukanyapun pelahan-Iahan mulai be-robah bengis.
"Taruh kata barang itu berada padaku, aku-pun takkan memberikan," katanya sesaat kemu-dian.
Orang tua itu tidak terkejut mendengar pernyataan Koan Sam Yang. Tenang2 saja dia bertanya, "Koan tocu, masih ingatkah engkau bagai-mana dulu ayahmu sampai meninggal itu?"
Koan Sam Yang seperti dipagut ular kejut-nya sehingga punggungnya sampai basah dengan keringat dingin, Tetapi dia tetap pada rencananya tadi dan berkata, "Beliau meninggal tanpa menderita suatu penyakit apapun juga."
Tiba2 orang tua itu tertawa gelak2, "Koan tocu, harap jangan membengkakkan pipimu su-paya dianggap orang gemuk. Tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi dari keluargamu itu, jauh lebih unggul dari ilmu tenaga-dalam partai2 persilatan baik dari aliran Ceng-pay maupun Shia-pay, Jelas tenaga-sakti Sam-yang-cin-gi itu memang hebat bukan kepalang. Tetapi orang yang berlatih ilmu iti, tubuhnya juga menderita akibat. Sampai akhirnya apabila latihannya sudah mencapai tingkat tinggi, akibat yang dideritanya itupun makin he-bat. Dia akan menderita kesakitan yang mengerikan dan akhirnya mati. Kurasa para leluhurmu dulu, semua juga mengalami kematian seperti itu, Maka engkaupun harus menyadan bahwa umurmu juga takkan panjang juga."
Mendengar itu wajah Koan Sam Yang pucat seketika. Serentak dia berseru tidak lampias, "Aku .... aku masih . . . ."
Tetapi tiba2 dia hentikan kata-katanya. Dia memang sudah tahu bahwa hidupnya hanya ting-gal tiga tahun lagi. Kecuali dia mendapat saluran tenaga-dalam yang hebat agar tenaga Sam-yang-cin gi dalam tubuhnya dapat ditindas, maka da-lam tiga tahun lagi dia bakal mengalami penderi-taan yang hebat dan mati, Tetapi saat itu dia tak mau mengatakannya karena dia sudah mempunyai rencana tadi. Yalah hendak menyedot tena-ga-sakti dari tubuh Kun Hiap agar Sam-yang-cin-gi itu dapat di halau.
Dengan tatapan mata yang dingin, berkataIah orang tua itu pula, "Kalau engkau bersedia meluluskan dan mau menjadi muridnya, tiap hari dia akan menyalurkan tenaga-murni kepadamu untuk melenyapkan sam-yang-cin-gi dalam tubuhmu. Dengan begitu engkau akan dapat hidup lebih panjang."
Dalam mendengar kata si orang tua, Koan Sam Yang miringkan kepala, memutar otak ba-gaimana cara menyerang orang tua lemah itu.
"Benarkah budak ini mempunyai tenaga-dalam yang begitu hebat" Aku tak percaya dan hendak mengujinya sekali lagi."
"Silakan saja. Apakah aku bilang melarang-mu?" kata orang tua itu.
Koan Sam Yang maju selangkah, selekas ja-ri tangan kirinya merentang, dia terus menerkam bahu Kun Hiap.
Kepandaian Koan Sam Yang jelas lebih ting-gi dari Hui Giok. Tetapi terkamannya itu, juga mengalami nasib seperti Hui Giok. Tiba2 dia mera-sa dari bahu Kun Hiap telah memancar ge-lombang tenaga dahsyat yang menghalau balik kelima jarinya. Kalau saja dia tak Iekas2 menank pulang tangannya, jelas tentu akan menderita.
Selekas tangan kiri ditarik, tangan kanan Koan Sam Yang cepat sudah menerkam jalanda-rah jwan-hiat di pinggang Kun Hiap. Jalandarah itu dapat melumpuhkan tenaga orang.
Tetapi waktu telunjuk dan jari tengahnya menyentuh jalandarah itu, seketika Koan Sam Yang rasakan pancaran tenaga-hebat telah melandanya. Untung sebelumnya dia sudah bersiap-siap. Telunjuk jarinya di lingkarkan ke atas, crer . . . sam-yang-cin-gipun dipancarkan dari telunjuk jari itu, tepat membentur tenaga-dahnyat yang-me-mancar dari jalandarah Kun Hiap.
Akibatnya, Koan Sam Yang terpental mundur selangkah. Tetapi Kun Hiap lebih parah. karena pemuda iitu kesadaran pikirannya kabur maka dia tak tahu bagaimana harus mengerahkan tenaga-dalam. terbentur sam-yang-cin-gi dari Koan Sam, Yang, dia mencelat ke udara ....
Waktu memancarkan sam-yang-cin-gi, Koan Sam Yang. sudah memperhitungkan arah jatuhnya Kun Hiap. Dan benar juga. Kun Hiap ter~ pental dan melayang ke udara lalu persis jatuh di atas punggung keledai. Koan Sam Yangpun serentak bersuit, keledai itu meringkik aneh lalu lari dengan kencang sekali.
Setelah bersuit nyaring, Koan Sam Yang menjorok ke muka dan wut, wut, wut, kedua ta-ngannya susul menyusul melepaskan hantaman dahsyat ke arah orang tua itu. Dalam pukulan itu juga disaluri dengan tenaga sam-yang-cin-gi. He-batnya bukan alang kepalang, seperti beribu-ribu senjata pisau yang mencurah lebat.
Jarak orang tua lemah dengan Koan Sam Yang hanya setombak. Koan Sam Yang memperhitungkan, keempat hantamannya kalau tidak da-pat merobohkan orang tua itu paling tidak tentu dapat mendorongkan mundur bebetapa langkah. Dan itu sudah cukup untuk memberi kesempatan kepadanya melankan diri.
Tetapi setelah keempat pukulannya dilan-carkan, hatinya sangat mengeluh melihat apa yang disaksikan pada saat itu sehingga pukulan yang kelima tak jadi dilontarkan. Apa yang terjadi "
Ternyata orang tua yang tampaknya akan rubuh apabila tertiup angin, masih tetap tegak di tempatnya. Empat buah pukulan dahsyat dari Koan Sam Yang itu, hanya seperti kesiur angin lembut pada bulan kelima. Hanya pakaian orang tua itu saja yang tampak berkibaran dan rambutnya sedikit bergerak-gerak.
Sebagai seorang tokoh yang berkepandaian tinggi sudah tentu Koan Sam Yang segera menyadari bahwa yang dihadapinya itu bukan tokoh sembarangan. Karena jetas bahwa orang tua itu telan mencapai tataran yang tinggi dalam latihan ilmu tenaga-dalam sehingga mampu memancarkan tenaga-dalamnya keluar untuk melindungi diri dari pukulam Sam-yang-cin-gi.
Dalam soal memancarkan tenaga-dalam, bia-sanya memang bisa saja dilakukan oleh tokoh.2 sakti, tetapi harus dengan gerakan tangan atau kakinya, Bahwa orang tua itu tetap tegak berdiam diri tetapi dapat memancarkan tenaga-dalam untuk melindungi diri, benar2 jarang bahkan hampir tak pernah dimiliki oleh tokoh persilatan yang manapun dalam dunia persilatan.
Koan Sam Yang menimang, kalau melanjutkan pertempuran jelas dialah yang akan menderita sendiri. Maka dia memutuskan, lebih lekas tinggal kan tempat itu,.lebih baik dan lebih aman baginya.
Sekali menghimpun semangat, dia terus enjoti tubuh melambung ke udara, berjumpalitan dan terus melayang sampai empat lima tombak jauhnya lalu meluncur turun ke tanah. Karena berjumpalitan maka waktu menukik ke tanah, kepalanya yang berada di bawah. Begitu hampir tiba di tanah dia gunakan kedua tangan untuk menekan tanah dan , melambung ke udara lagi lalu melayang turun.
Dua kali melambung keudara dan melayang turun itu telah mencapai delapan tombak jauhnya. Gerakannya cepat bukan kepalang. Dan dengan beberapa kali mengadakan gerakan semacam itu dalam sekejab saja Koan Sam Yang sudah jauh sampai setengah li. Setelah tiba di bagian tengah yang sepi dan dalam lembah, barulah dia berhenti.
Ah, dia menghela napas longgar karena mengira sudah terlepas dari orang tua berpenya kitan itu" Tetapi betapa kageinya ketika baru saja dia berhenti atau tiba2 terdengar suara orang tua itu berseru dengan nada yang lemah, "Apakah keledai hitam lari ke arah sini" Kukuatir engkau saIah hitung!"
Koan Sam Yang melengking, tanpa berpaling ke belakang lagi, dia terus lari sekencang-kencangnya.
Kali ini setelah mencapai lima enam li jauhnya barulah dia berani berhenti dan terus saja berseru tergagap-gagap, "Apakah eng . .. engkau masih mengikuti ?"
Seperti mendengar petir meletus, Koan Sam Yang kaget setengah mati ketika. suara orang tua yang lemah itu terdengar dari belakang, "Cobalah engkau berpaling ke belakang, apakah aku ada atau tidak ?"
Koan Sam Yang cepat berpaling. Tampak orang tua berpenyakitan itu berada antara lima tombak di sebelah belakang dan sedang berjalan menghampirinya.
Semula Koan Sam Yang mengira kalau orang tua itu tentu berada dekat di belakangnya. Kini setelah tahu bahwa orang tua itu masih terpisah lima tombak jauhnya, timbullah semangat Koan Sam Yang. Dia percaya masih ada harapan untuk lolos.
Dia lari lagi dan berputar-putar di tengah. gunung. Tetapi setiap kali dia mengira kalau sudah terlepas dari bayangan orang tua itu, setiap 'kali itu juga terdengar suara orang tua tersebut mengiangkan nada suaranya yang lemah.
Tak terasa Koan Sam Yang telah lari pon-tang panting selama delapan jam. Walaupun ilmu kepandaian tinggi tetapi mau tak mau napasnya makin lama makin berkembang kempis, keringat sederas hujan mencurah.
Mau tak mau dia terpaksa berhenti juga. Eh, ternyata orang tua itu sambil mendukung kedua tangannya dengan langkah tertatih-tatih tengah berjalan menghampirinya.
"Eh, mengapa berhenti?" serunya dengan nada lemah.
Koan Sam Yang julurkan Iehernya sampai panjang dan deliki mata. Sampai beberapa detik baru berkata, "Kedelapan .... kuda besi itu tersebar di seluruh penjuru tanah air. tidak berada padaku."
Orang tua mengangguk, "Bagus, tetapi dimana saja" Apakah satupun tidak berada pada mu?"
Dalam hati Koan Sam Yang terlintas sesuatu atau tetapi rupanya orang tua berpenyakitan itu seperti dapat mengetahui isi hatinya sehingga dia mati kutu dan kehilangan akal.
"Aku hanya.... hanya ada.... ada satu," akhirnya dia mengaku terus terang.
"Hanya satu ?" orang tua itu menegas.
Koan Sam Yang terbelalak kaget dan gopoh menyusuh keterangan, "tidak ... ada dua, ya
dua !" "Betul ?" kembali orang tua menegas.
Dibawah cengkam tatapan mata orang tua yang tajam seperti seorang hakim yang menekan pesakitan, hati Koan Sam Yang kebat kebit tak karuan.
"Engkau .... engkau jangan menekan aku terlalu kelewatan," akhirnya tertawa meringis.
"Berapa biji" Berapa biji yang ada padamu?" kata orang tua itu.
"Tiga, sungguh, hanya tiga biji, tidak lebih dan tidak kurang," seru Koan Sam Yang.
Apakah benar keterangan Koan Sam Yang itu" Mari kita kembali sejenak pada peristiwa. dalam Istana Tua dulu itu. Sebenarnya Koan Sam Yang sendiri memang memiliki satu biji. Kemudian ketika di Istana Tua, dia berjumpa dengan Im Som ketua Thian--sim-kau yang waktu itu sedang menderita luka parah. Tanpa banyak cing-cong, Koan Sam Yang merampas kuda besi yang berada di tangan Im Som.?? ?
Kun Hiap memperoleh satu biji tetapi dibe-rikan kepada Hui Giok. Kemudian Kun Hiap ditangkap Koan Sam Yang dan agar Koan Sam Yang mau melepaskan pemuda itu maka Hui Giok terpaksa menyerahkan kuda besinya kepada Koan Sam Yang. Dengan begitu dia memang mempunyai tiga biji kuda besi.
"Baik, berikan ketiga kuda besi. itu kepada-ku semua," kata orang tua tersebut.
Rupanya Koan Sam Yang masih bersangsi. ?
"itu akan bermanfaat besar sekali kepadamu. Mengapa engkau masih berat hati untuk memberikan?" seru orang tua pula.
Koan Sam Yang mundur selangkah dan berdiri melekatkan punggungnya pada segunduk baru besar. Sekali menghimpun tenaga, tiba2 tubuhnya meluncur ke atas batu itu dan pada lain kejab su-dah turun ke belakang batu, Tetapi baru saja dia menginjak bumi, orang tua berpenyakitan itu sudah berdiri menunggu di muka.
Koan Sam Yang benar2 mati kutu. Dia mengbela napas panjang lalu mengeluarkan ketiga biji kuda besi dari kantong bajunya dan lengan bergemetaran, berkata, "Berpuluh puluh tahun lamanya kuhabiskan umurku untuk mencari jejak kedelapan biji kuda besi itu. Dan lagi kecuali aku, tak ada lain orang lagi yang tahu akan rahasia hubungannya antara kuda besi itu dengan rumput Bi-hun-sian-cau. Pernah aku mengun-dang mereka di Istana Tua.
"Mengapa harus di Istana Tua" Apakah tidak ada lain tempat lagi" Bukankah setiap tempat itu juga baik untuk mengadakan pertemuan?" seru orang tua.
Koan Sam Yang terkesiap, serunya, "Mengapa tak bisa di istana itu" pemilik istana tua itu kan sudah mati, takut apa"
Kedengaran orang tua itu, menghela napas panjang dan tak bicara apa2.
Tampak Koan Sam Yang juga termangu-mangu beberapa saat, baru berkata, "Tetapi entah bagaimana, sebelum aku tiba di tempat itu mereka yang kuundang sudah sama datang ke si-tu. Dan di dalam peristiwa itu telah terjadi beberapa peristiwa aneh. Lui Toa Gui kepala keluarga Lui di Hopak, Thian-san-sim-kau Lo Pit Hi telah ma-ti dengan cara yang mengherankan. Juga Im Som, ketua Thian-sim-pay dari gunung Bu h juga menderita luka parah . .. '" Karenanya aku tak sem-pat lagi untuk bertanya kepada mereka."
Orang tua itu menengadabkan kepala memandang ke langit dan berkata, "Ah, rupanya engkau juga tak tahu kekuatanmu sendiri. Kuda besi yang paling beasr berada pada Tian Put Bi-at. Taruh kata engkau berhasil memperoleh ke delapan biji kuda besi itu, tetapi apa gunanya?"
Sebenarnya Koan Sem Yang sedang meran-cang rencana tetapi setelah orang tua berpenyakitan berbata begitu, diapun tidak dapat bicara apa2.
"Puteri sulung dari Tian Put Biat, punya satu biji tetapi sudah diberikan kepadaku, Nyo Hwat ketua partai Hoa-san-pay juga punya satu biji demikian pula Thay-san Sin-ki Pek Ing Ing dan Thian Go lojin ketua partai Ceng-Shia-pay, mereka masing2 punya satu biji."
"Lalu mana ada dua biji lagi. ke mana?" seru orang tua berpenyakitan.
"Bermula tentu berada pada Lui Toa Gui dan Lo Pit Hi.. Tetapi anehnya, waktu keduanya mati, kuda besi yang mereka milikipun lenyap entah kemana" kata Koan Sam Yang.
Orang itu diam. Tiha2 dia membenturkan ke tiga kuda besi yang dipegangnya, tring, tring.
Dengan muka sedih Koan Sam Yang berkata, "Dengan menumpahkan segenap waktu dan tenaga, baru aku berhasil mengumpulkan tiga biji kuda besi itu. Te.tapi sekarang harus kuberikan kepadatnu, aku . . . . "
"Aku kan sudah bilang," tukas si orang tua. "Nanti setelah ke delapan uratnadi utama Kun Hiap terbuka lancar lagi, engkau. boleh menjadi muridnya."
Jelas Koan Sam Yang tentu tak sudi menjadi mmid Kun Hiap maka buru2 diapun berseru, "Soal .... soal menjadi murid itu, sebaiknya ja-ngan dibicarakanlah."
"Kalau begitu apakah engkau rela menderita siksa urat2 nadimu akan dihancurkan oleh tenaga Sam-yang-.cin-gi dan kemudian mati?" tanya orang tua.
Koan Sam Yang meringis, "Dalam hal ini .... aku telah memberinya tiga biji kuda besi dan akan kuberitahu di mana kelinia kuda besi yang lainnya. Karena hal itu merupakan pertolongan baginya bagaimana kalau dia saja yang menjadi muridku?"
Orang tua tertawa gelak2. Biasanya dia bi-cara dengan lemah seperti orang yang habis menderita sakit berat. Tetapi ternyata sekali dia tertawa, Koan Sam Yang terkejut bukan kepalang.
Nada tawa orang tua itu bagaikan halilintar yang memekik, sehingga bumi bergetar-getar, Karena kejutnya Koan Sam Yang sampai tersurut mun-dur tujuh delapan langkah. Keringat dingin seperti dicurahkan.
Untunglah orang tua itu segera hentikan ta~ wanya. Kalau tidak tentulah Koan Sam Yang akan terjungkal rubuh.
"Oho, kiranya engkau ini seorang mayat yang masih mengutamakan soal muka" Baik, kelak pada saatnya engkau pasti akan menyesal karena engkau tak mau menurut perintahku saat ini.
Dengan bukti tawa yang dahsyat tadi, makin yakinlah Koan Sam Yang bahwa orang tua itu memang seorang yang luar biasa saktinya. Ya, hanya dengan tertawa saja, orang tua itu sudah da-pat menghancur berantakkan nyali Koan Sam Yang menjadi berkeping-keping.
Dalam pada itua diam2 Koan Sam Yang bergembira dalam hati karena orang tua itu tidak menanyakan di mana kelima biji kuda besi yang lainnya.
Sambil mundur ke belakang dia berseru, "IImu kepandaian pulau Moh-hun-to turun temurun sampai beberapa turunan. Selamanya tak pernah menerima pelajaran dari orang luar. Maka kuharap anda suka memaakan . . . . "
Waktu habis berkata ternyata dia sudah berada tiga tombak jauhnya.. Melihat orang.tua itu tidak mengejar dan hanya tersenyum meman-dangnya, diam2 Koan Sam Yang malah berdebar sendiri.
Bukankah orang tua itu melihat bagaimana tadi Kun Hiap telah dibawa lari oleh keledai hitam" Mengapa orang tua itu tidak menanyakan hal itu kepadanya " Apakah dia sudah tak menghiraukan keselamatan Kun Hiap lagi " Ah, aneh, aneh.
Merenungkan hal itu tanpa disadari Koan Sam Yan berhenti dan berseru, "Selamat ting-ga!. aku mohon pamit."
Orang tua itu tertawa, "Aku toh tidak bergerak dari tempatku " Uruslah dirimu sendiri saja."
Koan Sam Yang makin heran sehingga tak pergi.
"Kalau begitu, aku sungguh2 akan mohon diri," katanya sekali lagi.
Dia memang benar2 merasa aneh dan diam2 pun curiga, jangan2 orang tua itu memang sudah mengadakan persiapan kalau tidak, mengapa orang tua itu tidak menanyakan tentang diri Kun Hiap" Koan Sam Yang bersangsi sendiri dan hendak menyelidiki apa sebenarnya yang dikandung orang tua itu.
Diluar dugaan orang tua itu masih tetap tersenyum simpul dan berkata, "Pergilah. Mengapa harus bilang sampai beberapa kali " "Dan mengapa tidak lekas angkat kaki ?"
Masih Koan Sam Yang meragu tetapi diam2 dia memperhitungkan bahwa keledai hitam itu tentu sudah lari sampai tujuh delapan li jauhnya, Asal dia dapat memilih jalan yang sepi, tentulah orang tua itu sukar untuk mengikuti jejaknya.
Hm, kalau sekarang tidak lekas2 kahur, mau tunggu kapan lagi, pikirnya. Dalam menimang-nimang itu, Koan Sam Yang mundur sambi! terus memandang lekat2 pada si orang tua Dia kuatir kalau2 orang tua itu akan bergerak untuk mengejarnya.
Tetapi diluar dugaan, ternyata orang tua itu tetap tak bergerak. Saat itu Koan Sam Yang sudah mundur sampai setengah li dan mengitari tikung gunung. Tiba2 dia menyelinap dan dengan bcberapa gerak loncat, dia segera menyusup masuk kedalam sebuah gua. Mulut gua itu penuh ditumbuhi semak rotan dan dia bersembunyi didaIamnya. Disitu dia menahan pernapasannya agar tidak menimbulkan suatu gerak dan bunyi.
Lebih kurang setengah jam lamanya, ternyata orang tua itu tak kelihatan muncul Walaupun belum tahu pasti dimana dan bagaimana keadaan orang tua itu, tetapi paling tidak dia sudah dapat benapas longgar.
Kemudian setelah melongok ke luar, melihat ke sana ke mari dsn ternyata sudah tak ada jejak-jejak muuculnya seseorang, barulah dia berani ke luar lagi dan terus lari sampai sepuluh li jauhnya.
Saat itu hari sudah mulai gelap. Koan Sam Yang muncul dalam dunia dengan gelar yang mengagumkan yakni ing-put-hoan-jiau atau Selamanya, tak-pernah-balas-menyerang. Dari gelagatnya jelas menandakan betapa saktilah kepandaiannya, Orang bolah menyerangnya sampai puas tetapi dia takkan balas menyerang.
Tetapi keadaannya saat itu benar2 menyedihkan sekali. Tokoh yang sehebat dia, terpaksa harus lari pontang panting dan ketakutan setengah mati karena kuatir dikejar oleh seorang tua yang lemah dan berpenyakitan. Selama hidup baru pertama kali itu dia mengalaminya.
Sekalipun saat itu sudah merasa aman namun dia tetap tak berani bersuit untuk memanggil keledai peliharaannya itu. Dia tahu selama tak mendengar tanda suitannya, keledai hitam itu ten-tu tetap akan melanjutkan lari. Keledai itu akan lari non stop siang dan malam. Diperhitungkan pada hari kedua keesokan harinya, tentulah bina-tang itu sudah dapat mencapai 200an li jauhnya. Pada waktu itu barulah dia akan bersuit untuk menghentikannya.
Setelah menunggu beberapa waktu sampai fajar, barulah dia mulai melancarkan suitan yang nyaring. Suitan itu berkumandang jauh sampai ke empat penjuru. Setelah itu dia berhenti dan menunggu begaimana reaksinya.
Hatinya tegang sekali. Kemungkinan orang tua itu memang bisa saja tidak mengejarnya tetapi siapa tahu kalau orang tua itu mengalihkan perhatian untuk mengejar keledai dan lal.u merebut Kun Hiap.
Setelah menunggu beberapa saat, dari jauh terdengar derap lari binatang yang kencang. Su-dah tentu dia gembira sekali dan cepat memanjat keatas sebetang pohon. Dari situ dia memandahg ke empat penjuru.
Tak berapa lama suara derap lari kuda itu makin dekat dan memang tak lain adalah keledai hitam. Diatas punggungnya masih terdapat tubuh seseorang, Posisi orang itu agak aneh, seperti tidak naik, seperti rebah tetapi juga tidak rebah.
Tetapi Koan Sam Yang melihat jelas bahwa orang itu tak lain memang pemuda Kun Hiap. Dia bersuit girang dan terus melayang turun lalu lari menyambut.
Melihat tuannya, keledai itu memperdengar-kan ringkik aneh. Koan Sam Yang memperhatikan Kun Hiap. Wajah pemuda itu masih hampa menandakan kalau dia masih belum sadar pikirannya.
Koan Sam Yang pelahan-Iahan menyongsong keledai hitam. Tiba2 dia mendengar keledai itu mendesus-desus dan serempak terdengar suara seorang nona melengking, Hai, keledai maling, men
gapa engkau lari begitu cepat " Sudah tahu kalau tenagaku masih lemah, kan aku tak dapat mengejarmu !"
Walaupun suara itu terengah-engah tetapi Koan Yang cukup mengenalinya.. Cepat dia memandang kearah suara itu. Tampak seorang dara cantik berpakaian warna kuning tengah bergegas mendatangi. Siapa lagi dara itu kalau bukan...? Tian Hui Yan.
Koan Sam Yang terkejut Cepat dia melesat ke muka dara itu. Tetapi rupanya Hui Yan sudah menduga, Wajahnya yang pucat itu tak mengunjukkan rasa kejut. Dara itu hanya memandangnya dingin2..
"Ih, kiranya engkau yang memanggilnya. Makanya dia lari kemati-matian." seru dara itu.
Koan Sam Yang tak mau menjawab melainkan kibaskan lengan bajunya. Setiup tenaga-sakti Sam-yang cin-gi menderu kearah Hui Yan, Dara itu buru2 miringkan tubuh tetapi tetap kesrempet hamburan tenaga Sam-yang-cin-gi dan jatuh. Wajahnya makin pucat
"Tahu kalau aku belum sembuh dari lukaku, mengapa engkau bertindak begitu sadis ?" seru Hui Yan.
tenaga-dalam dahsyat dari punggung Kun Hiap itu melandanya lagi sehingga dia terpaksa melambung ke udara. Dia mengira setelah menghindar ke uda-ra, tentulah gelombang tenaga-sakti itu dapat terhapus. Tetapi sungguh tak terduga sama sekali, dia rasakan tubuhnya terdampar lagi sehingga hilang-lah keseimbangannya. Bagaikan layang2 putus ta-li, tubuhnya seperti dibanting ke tanah.
Waktu masih berada di udara tadi, dia su-dah berusaha sekuat mungkin untuk menjaga ke seimbangan tubuh dengan menghimpun semangat dan tenaga murni, namun sia2 saja.
Brakkkkk ..,. tubuhnya terlempar melayang sampai 7-8 tombak dan membentur sebatang pohon. Pohon roboh, dengan begitu layang tubuhnyapun terhenti dan dia jatuh ke tanah, Tetapi begitu tiba di tanah dia masih terhuyung-huyung dua tiga langkah baru dapat berdiri tegak.
Saat itu dia mendapatkan dirinya terpisah 10an tombak dari keledai hitam. Wajahnya merah padam dan jantung berdetak keras, napas terengah-engah.
Peristiwa itu dirasakannya seperti dalam im-pian yang seram, Jika dia tak menyadari kalau saat itu terpisah sepuluhan tombak jauhnya dari .keledai yang membawa Kun Hiap, tentulah dia, takkan percaya bahwa peristiwa yang dialaminya itu benar2 terjadi sungguh2..
Setelah menghela napas berulang-ulang ba-rulah perasaannya tenang Kembali. Saat itu dia baru menyadari benar bahwa tubuh Kun Hiap itu memang mengandung tenaga-dalam yang luar biasa hebatnya.
Pikirannya mulai bergolak lagi. Ya, kalau dia mampu menyedot tenaga-dalam anak muda i-tu ke dalam tubuhnya, bukan saja tenaga-dalam sam-yang-cin-gi akan dapat dilenyapkanpun dia tentu akan menjadi seorang tokoh nomor satu yang tiada lawannya.
Kesimpulan itu membawanya teringat akan Tok Liong cuncia atau si Naga Berbisa dari dae-rah Bau-ciang. Dahulu dia pernah mempertim-bangkan untuk berguru pada tokoh itu. Tetapi dia takut kalau diejek dan ditertawakan tokoh dunia persilatan.
Tetapi sekarang tetelah menyadari bahwa so-al itu menyangkut mati hidupnya, diapun mulai mempertimbangkan lagi. Walaupun kalau menjadi murid Tok Liong cuncia itu dia harus memberikan pengorbanan yang besar, tetapi apablla sudah dapat memiliki ilmu Sip-seng-sin-kang (il-mu-sakri-menyedot-bintang), kemudian dapat menyedot tenaga-sakti dari tubuh Kun Hiap, rasanya segala pengorbanan itu cukup memadai.
Sambil berpikir, dia ayunkan 1angkah
***** edit: salah tempat *****
Dengan hati2 Koan Sam Yang menutuk jalan darah leng-tayhiat pada punggung anakmuda itu. Dan begitu tangan sudah melekat dia lalu salurkan hawa murni. Seketika telapak tangannya memancarkan daya keras. Maksudnya, dia ingin menguji apakah dia mampu untuk menghisap tenaga-dalam sakti dari tubuh Kun Hiap kedalam tubuhnya.
Dan ternyata dia berhasil. Dia merasa suatu gelombang tenaga-dansyat melancar kearah telapak tangannya, Bukan main girangnya. Buru2 dia menghimpun tenaga-murni untuk menyedot gelombang tenaga-dalam itu.
Tetapi astaga! Gelombang tenaga-dalam dari punggung Kun Hiap itu sedemikian dahsyatnya sehingga bukan saja Koan Sam Yang tak mampu menyedot bahkan dia telah dilemparkan sampai tersurut tiga langkah ke belakang. Setelah berdiri tegak lagi, dia lalu kendorkan tenaga-murninya.
Tetapi siapa tahu, kalau semula gelombang tenaga dalam punggung Kun Hiap itu sudah agak reda tiba2 saat itu kembali melancar keras sekali dan mendorongnya sampat terjungkal ke belakang dan rubuh ke tanah.
Koan Sam Yang berusaha untuk menekan-kan tangannya ke tanah dan meminjam tenaga ke kanan itu dia terus melenting bangun. Tetapi baru dia menginjakkan kaki ke tanah, kembali
***** akhir dari salah tempat *****
Koan Sam Yang mendengus, "Sam-ahthau, mengapa engkau mengejar keledaiku?"
Hui Yan menghela napas pelahan, lalu memandang ke arah tubuh yang merebah di punggung keledai. Koau Sam Yang cepat mengisar tubuh untuk menutup pandang mata dara itu dan membentak, "Apa yang engkau lihat!"
"Ih, aneh," desuh Hui Yan, "apa saja yang kulihat, apa pedulimu?"
"Sam-ah-thau," teriak Koan Sam Yang, "ingatlah. Kalau engkau sampai bilang kepada orang bahwa aku bersama Kun Hiap, terpaksa aku akan mencabut nyawamu."
Hui Yan kicupkan matanya dan balas bertanya, "Mengapa aku tak boleh bilang?"
"Tak perlu engkau ketahui!" bentak Koan Sam Yang.
"Kalau engkau melarang aku mengatakan hal itu," jawab Hui Yan, "mudah saja. bawa saja aku bersamamu, kan beres,"
Mata Koan Sam Yang berkilat-kilat memandang si dara. Dia tahu kalau dara itu berwatak aneh dan banyak akal muslihatnya. Dan saat itu dia (Koan Sam Yang) bermaksud hendak berguru pada Tok Liong cuncia. Tujuannya itu jangan sampai diketahui orang dan bahwa Kun Hiap dibawanya itupun sekali-kali tak boleh tersiar..
Kedua hal itu amat penting sekali. Karena kalau Tok Liong cuncia sampai tahu hal itu, kemungkinan durjana itu timbuI nafsunya untuk menyedot tenaga-sakti dari tubuh Kun Hiap.
Sejenak menatap tajam pada Hui Yan, dia membentakaya lagi, "Engkau mau memasang tipu muslihat apa lagi kepadaku?"
Hui Yan tertawa hambar, engkau telah melukai aku dengana tenaga Sam yang-cin gi. ke-mungkinan dalam waktu dua bulan ini belum ten-tu dapat sembuh. Mengapa engkau takut kalau aku menggunakan tipu muslihat?"
Koan Sam Yang mendengus. Pikirnya, kalau dia melepaskan dara itu, mengingat dara itu bermulut tajam tentulah akan membocorkan rahasianya sewaktu bertemu orang, Dan kalau sampai terjadi begitu, jelas akan membahayakan rencananya.
Tctapi kalau menuruti permintaan Hui Yan untuk membawanya bersama dalam perantauan, dia kuatir pada suatu saat akan menderita tipu muslihatnya. Jalan satu-satuiiya yang paling aman, tak lain hanyalah melenyapkan saja budak perempuan itu agar jangan sampai menimbulkan bahaya di kemudian hari.
Dengan membayangkan keputusan itu, sinar matanya memancarkan hawa pembunuhan. Teta-pi agar jangan sampai diketahui si dara, dia ce-pat mencerahkan wajah dan tertawa berseri.
"Kalau engkau tidak mengacau, tak' apa kalau kuajak engkau bersama-sama. Tetapi tahukah engkau aku hendak menuju ke mana" Apakah .engkau tidak keberatan berpisah dengan mamamu?" tanyanya.
Mendengar orang mengatakan tentang mamanya, sepasang mata Hui Yan menjadi merah seketika.
"Hai, mengapa engkau ini ?" seru Koan Sam Yang.
Dengan airmata bercucuran, Hui Yan menjawab, "Ma... ma.. , mamaku sudah meninggal."
Koan Sam Yang terbeliak. Dia memang be-Ium mendengar berita tentang kematian Biau-koh. Tadi mengapa dia tak serentak membunuh Hui Yan karena masih takut kepada Biau-koh. Kini setelah mendengar keterangan dara itu bahwa mamanya sudah mati, diam2 Koan Sam Yang terkejut gembira
"Mengapa dia sampai mati?" tanyanya.
Dengan airmata masih mengalir deras, Hui Yan hanya terisak-isak tak dapat menjawab. Koan Sam Yangpun tak mau mendesak. Biau-koh adalah janda dari tokoh durjana besar Tian Put Biat. Ka!au wanita itu sampai mati, dunia persilatan pasti gempar membicarakan dan mencari tahu bagaimana, sebab kematiannya itu Dengan begitu lambat laun, dia toh akan mengetahui hal itu juga.
Kini setelah mendengar keterangan dari mu-Iut Hui Yan sendiri tentang kematian Biau-koh, apa lagi yang harus dia takuti " Dengan gerak yang hati2 sehingga tak diketahui Hui Yan, diam-diam dia sudah berkisar ke belakang dara itu.
Saat itu Hui Yan sedang menangis sedih. Sama sekali dia tak tahu akan gerak gerik Koan Sam Yang yang saat itu sudah mulai mengangkat tangan kanan, henghimpun tenaga-dalam dan setelah. mengarah ubun-ubun kepala si dara, diapun segera mengayunkan tinjunya.
Saat itu di sekeliling penjuru tiada barang sesosok mahluk yang hadir. Tindakan Koan Sam Yang itu tak ada setan yang tahu. Dan saat itu Hiu Yan sedang menumpahkan tangis kesedihannya. Koan Sam Yang yakin, sekali hantam tentu hancurlah kepala dara itu.
Tetapi pada saat tinju Koan Sam Yang melayang turun, secara kebetulan atau tidak, Hui Yan sedikit miringkan tubuhnya ke samping sembari menyurutkan lengan kanannya untuk membenturkan siku lengannya kepada Koan Sam Yang.
Gerakan dara itu begitu mendadak dan tak terduga sama sekali. Jarak keduanya mera-pat dekat, bagaimanapun Koan Sam Yang tak mungkin dapat menghindar lagi, Duk, dagunya, kena kesikut dengan telak-
Andaikata Hui Yan tidak terluka, pun dia takkan dapat melukai Koan Sam Yang, apalagi saat itu dia masih menderita luka. Jelas tidak mempunyai pengaruh apa2 bagi Koan Sam Yang. Sekalipun begitu, paling tldak Koan Sam Yang telah menderita kejut yang hebat. Karena sebelumnya tak menduga si dara bakal melakukan gerakan begitu, Koan Sam Yang tak sempat memancarkan tenaga-sakti Sam-yang-cin-ginya.
Karena kaget, Koan Sam Yang hentikan tinjunya di tengah jalan atau di atas kepaIa Hui Yan.
Tepat pada saat itu, Hui Yan berpaling, dia terkejut karena tangan Koan Sam Yang sedang mengancam di atas kepalanya, "Koan tocu, maaf, karena tak tahu aku tak sengaja telah menyikut-mu."
Koan Sam Yang meringis. Dia tahu gerakan si dara Itu bukan suatu tindakan yang tidak di,sengaja. Tetapi mengapa dara itu tahu kalau dia hendak membunuhnya" Ah, tak mungkin begitu apabila dara itu tak mengetahui rencananya (Koan Sam Yang) kepada Kun Hiap.
Walaupun bersangsi tetapi karena dia seorang tokoh yang mati-matian menjaga gengsi sebagai Ing-put-hoan-jiu (selamanya-tak-pernah-balas-menyerang) maka diapun lalu menarik pulang ta-ngannya dan tertawa lebar.
"Sam-ah-thau, engkau anggap pamanmu Koan ini orang yang limbung pikirannya?" serunya.
Sambil menghapus airmatanya, Hui Yan berkata, "Koan tocu, mamaku sudah meninggal. Aku sudah sebatang kara, tidak punya tempat tinggal tidak punya sanak keluarga lagi. Aku akan ikut engkau ke mana saja engkau pergi."
Apabila Koan Sam Yang tadi berhasil membunuh si dara, dia tentu segera membawa pergi Kun Hiap. Tetapi kini dia harus memikirkan ren-cana lebih jauh untuk menyembunyikan Kun Hi-ap, setelah itu baru dia akan berangkat ke daerah Biau-ciang untuk berguru pada Tok Liong cuncia. Serentak dia mendapat pikiran. Dara itu baik sekali hubungannya dengan Kun Hiap. Ya, dia dapat memanfaatkan tenaga dara itu.
Cepat dia merobah sikapnya. Sambil menunjuk ke arah Kun Hiap, dia berkata, "Engkau tentu kenal dengan orang itu. Dia terkena racun aneh sehingga kesadaran pikirannya hilang. Aku hendak berusaha menolongnya dan memerlukan orang untuk merawatnya. Kalau engkau mau ikut aku, boleh saja. Tetapi engkau harus merawat dan menjaganya baik2, jangan sampai dia hilang," .
Hui Yan mengangguk, "Ah, itu mudah sekali."
Sekali lagi Koan Sam Yang memandang wajah dara itu dengan tajam2. Dia mendapat kesan wajah dara itu hanya pucat tetapi tidak mengandung maksud buruk. Pikirnya, sekalipun dara itu sudah sembuh, toh tetap takkan mampu melawannya. Mengapa ia harus takut " Lebih baik dia mengajak dara itu ke Biau-ciang. Nanti dia akan mencari sebuah tempat di pegunungan yang sepi dan suruh dara itu menjaga Kun Hiap disitu, kemudian dia sendiri baru akan menemui Tok Liong cuncia.
"Baik," akhirnya dia berseru dengan gembira," kalau begitu engkau boleh naik keledai itu bersamanya dan kita segera berangkat sekarang."
Hui Yan tak mau banyak bicara lagi dan terus melakukan perintah.
(bersambung ke jilid 11).
Hui Yan meletakkan posisi tubuh Kun Hiap di atas punggung keledai supaya enak. melihat keadaan si anakmuda yang lunglai tak sadarkan diri, diam2 Hui Yan mengeluh dalam hati.
Dia lantas naik dan duduk di belakang Kun Hiap. Walaupun membawa dua orang tetapi keledai itu tetap lincah sekali larinya . Koan Sam Yang lari di samping keledai.
Memang selama dalam perjalanan, mereka banyak berjumpa dengan orang-orang persi!atan. Orang2 persilatan itu tentu berhenti dan memberi hormat. Setelah Koan Sam Yang dan keledainya jauh, barulah mereka beramai bergerak lagi.
Tetapi ada juga yang tak begitu kenal, mereka pura tak tahu dan menyingkir. Sedang tokoh persilatan yang ternama terpaksa baru menyapa dengan tegur salam.
Setiap tokoh persilatan tahu sampai di mana kelihayan Koan Sam Yang itu, Sudah tentu mereka tak berani cari penyakit.
Selama menempuh perjalanan, bermula da-lam beberapa hari Koan Sam Yang masih cemas kalau orang tua berpenyakitan itu akan mengejar. Tetapi setelah melintasi sungai Hong-ho dan be-ngawan Tiangkang kemudian tiba di wilayah Kang-lam, waktunya malah hampir sebulan dan tetap tak melihat bayang orang tua itu, barulah hatinya longgar.
Pada hari itu menjelang sore mereka berja-lan di sepanjang tepi lembah sungai kecil sampai setengah li jauhnya, baru mereka melihat sebuah jembatan batu.
Setiap jembatan tentu dibawahnya terdapat anak sungai yang mengalirkan air. Hal itu memang umum di wilayah Kanglam. Koan Sam Yang menuju ke jempatan kecil itu, maksudnya hendak memberi minum keledainya.
Waktu tiba di tengah jembatan, kebetulan di bawah jembatan sedang melintas sebuah pera-hu. Tukang perahunya mendayung dengan ga-lah bambu. Tetapi entah bagaimana tiba2 galah bambu itu ditusukkan ke muka Hui Yan..
Selama sebulan ini, luka Hui Yanpun ma-kin sembuh. Tusukan galah bambu itu dengan mudah dapat dihindarinya. Tetapi dia terkejut ketika pada ujung galah itu terselip secarik kertas. Cepat sekali dia menyambar kertas itu dan galah itupun ditarik si tukang perahu ke bawah lagi.
Tukang perahu itu memakai topi nelayan yang berdaun lebar sehingga menutupi mukanya.. Dan perahu melaju cepat sekali sehingga dalam beberapa kejab sudah membiluk pada tikungan dan lenyap dari pandang mata.
Pertama Hui Yan mengangkat muka. Dilihatnya Koan Sam Yang berjalan di depan dan tak mengetahui peristiwa itu. Maka dara itu baru be-rani membuka gulungan kertas itu. Sebuah surat yang berisi huruf2 kurus, berbunyi;
Menunggu di pohon itu tepi sungai kita nanti berjumpa.
Surat itu tanpa tanda tangan. Tetapi meli-hat bentuk tulisan itu, diam2 Hui Yan tergerak hatinya. Dia melepas pandang ke muka tetapi tukang perahu itu sudah lenyap.
Hui Yan menyimpan surat itu. Setelah melintasi jembatan dan makan malam," barulah dia berkata, "Koan tecu, silakan berjalan dulu, nanti kususul."
"Kenapa?" tanya Koan Sam Yang berpaling.
Hui Yan banting2 kaki, "anak perempuan yang sudah dewasa, kalau bilang ada perlu, papa mama sendiri juga tak dapat bertanya melilit. Perlu apa engkau mau tahu?"
Koan Sam Yang meringis. Selama sebulan dalam perjalanan itu memang Hui Yan bersikap baik sekali. Oleh karena itu kecurigaannya terhadap dara itupun mulai berkurang.
"Baik," dia mengangguk, "kutunggu di sebelah muka. Jangan terlalu lama."
"Tentu, masa aku tak dapat menyusul," kata Hui Yan.
Setelah Hui Yan turun dari keledai, baru Koan Sam Yang menceplak keledai dan membawa Kun Hiap melanjutkan perjalanan.
Setelah melihat Koan Sam Yang dengan keledainya sudah jauh, barulah Hui Yan bergegas menyusur tepi sungai dan tak berapa lama melihat sebatang pohon liu yang tumbuh di tepi sungai itu.
Dahan dari pobon liu yang rindang daunnya itu bergeliatan menaburkan bayang2 pada permukaan air.Di bawah pohon itu tampak seseorang sedang duduk dengan santai, Cepat sekali Hui Yan mengenalnya sebagai orang tua yang berpenyakitan itu. Dia terbeliak kaget.
Orang tua itu menggapaikan tangannya, "Kemarilah!"
Jarak Hui Yan dengan orang tua berpenya-kitan itu masih enam tujuh tombak. Tetapi ucapan orang tua itu seperti terngiang jelas sekali di telinga si dara.
Hui Yau cepat melesat, Dengan beberapa loncatan dia sudah tiba di samping orang tua itu tetapi tak berani bicara.
Sejenak orang tua itu memandang Hui Yan dan berkata, "Apakah lukamu sudah sembuh sa-ma sekali?"
Hui Yan menghela napas. "Ya, sudah."
"Tempo hari kubilang, engkau hanya boleh menjenguk Kun Hiap. Tetapi mengapa sampai sebulan lamanya" Dari pesisir utara sungai meman-dang ke pesisir selatan, apakah masih belum cukup?"
Hui Yan tundukkan kepala tak bicara. Orang tua itu pelahan-lahan berbangkit, "Jangan cari perkara lagi, ikutlah aku."
"Cianpwe," seru si dara, "menilik gelagat-nya, Koan Sam Yang memang hendak membawa Kun Hiap ke daerah Biau-cang."
"Ya, memang," sahut orang tua itu, "Koan Sam Yang re!a menerima hinaan dunia persilatan. Dia hendak masuk menjadi murid ToK Liong cuncia. setelah dapat memiliki ilmu Sip-sing-sin-kang, dia hendak menyedot tenaga-sakti dari tubuh Kun Hiap."
Dengan napas terengah engah tegang, Hui Yan berseru, "Cianpwe, tahu kalau dia akan melakukan rencana begitu jahat, mengapa engkau tidak mencegahnya?"
Orangtua berpenyakitan itu tersenyum, "Jangan kuatir, ilmu kepandaiannya memang hebat sehingga setiap orang persilatan takut kepadanya. Dan yang jelas, dia tentu tak akan membiarkan Kun Hiap sampai diketahui oleh anakbuah Tok Liong cuncia. Sebenarnya Kun Hiap aman kalau dibawanya itu. Mengapa engkau harus kuatir?"
"Tetapi bagaimana kalau dia sampai dapat-mempelajari ilmu Sip-seng-sin-kang?" tanya Hui Yan.
Orang tua itu menepuk pelahan bahu si da-ra, "Apa engkau kira ilmu Sip-seng-sinkang itu mudah dipelajari" Kemungkinan sampai nanti Koan Sam Yang akan menderita siksaan, belum tentu dia sudah bisa mempelajari ilmu itu. Taruh kata dia berhasil, juga paling tidak harus makan waktu selama dua atau tiga tahun lagi. Dalam waktu dua tiga tahun itu, kita kan sudah berhasil menemukan ke delapan biji kuda besi itu. Pada wak-tu itu kiranya masih belum terlambat kalau kita ke Biau-cang utuuk mencari Kun Hiap. Untuk saat ini biarlah Kun Hap berada padanya saja."
Walaupun apa yarg diucapkan orang tua itu memang beralasan sekali namun Hui Yan tetap cemas. Sejenak terdiam, ia berkata pula, "Ah, dia .... hanya seorang diri . . . . "
"Sekalipun engkau menemaninya, dia toh takkan tahu. Bukankah hal itu malah akan menga-baikan urusanmu sendiri. Lekaslah cari ji-cimu dan minta kuda besi yang ada padanya. Menurut katamu, engkau sendiri sebenarnya juga punya satu biji tetapi waktu engkau terluka, barang itu telah hilang. Sudah tentu diambil oleh jicimu i-tu,"
Rupanya Hui Yan masih enggan, katanya, "Di mana jiciku, bagaimana aku .... tahu?"
"Uh, sudahlah. jangan banyak alasan lagi," kata orang tua, "kudengar berita orang bahwa ji-cimu saat ini sudah tiba di Kanglam, bersama dengan Tong Wan Giok. Rupanya hendak menuju ke gunung Ki-lok hong, minta bantuan pada ne-nek tua yang menetap di situ. Kalau engkau cepat-cepat pergi, tentulah engkau dapat berjumpa dengan mereka,"
Mendengar itu Hui Yan tak dapat berdalih lagi. Namun teringat keadaan Kun Hiap yang kesadaran pikirannya hilang dan ditawan oleh Koan Sam Yang yang membawanya ke Biau-ciang, ra-sanya beratlah kaki dara itu untuk melakukan perintah orang tua berpenyakitan.
Tiba2 wajah orang tua itu berobah sarat dan membentaknya, "Lekas berangkat!"
Dia berdiri berhadapan Hui Yan. Tanpa menggerakkan tangan, tahu2 dari lengan bajunya menghamhur setiup tenaga dahsyat sehingga Hui Yan mencelat ke ud ra.
Ih . . . dara itu mendesis ketika melayang turun dan dapatkan dirinya sudah berada di lain seberang tepi sungai kecil itu.
"Cianpwe, kalau sampai terjadi sesuatu pada diri Kun Hiap, engkau . . , , " belum Hui Yan sempat menyelesaikan kata-katanya, orang tua itu sudah berputar tubuh dan melesat pergi.
Hui Yan terkesiap kesima. Menilik gerakan orang tua yang sekali berkelebat sudah lenyap dari pandang maka jelas orang tua itu tentu seorang sakti sekali. Tetapi anehnya, sampai sekarang, ia belum tahu siapakah sesungguhnya orang tua itu.
Karena orang tua itu sudah membuat ren-cana tertentu, apa boleh buat, tiada lain pilihan bagi Hui Yan kecuali harus melakukan perintahnya, Dia akan menuju ke telaga Thay-ou untuk mencari ji-cinya (Hui Giok). Sebenarnya dia enggan bertemu dengan taci yang berhati buruk itu.
Dia berjalan menyusur tepi sungai, Hatinya penuh dengan kesan dan pesan, pahit dan pedih. Kini sikapnya tidak lagi sebagai seorang yang lincah dan nakal, melainkan lebih bersifat pendiam.
Lebih kurang berjalan setengah li, dari arah muka terdengar suara burung berbunyi riuh rendah, macam ribuan ekor burung yang sedang pulang ke sarang.
Memandang ke muka, dilihainya di tepi su-ngai terdapat segunduk batu besar yang di atasnya diduduki oleh seorang imam, Anehnya, di sebelah imam itu tengah berkumpul lima atan enam jenis burung yang tengah terbang naik turun sem-bari tak henti-hentInya berbunyi riuh sekali. Ada yang hinggap di lengan baju imam itu, bahkan ada yang menclok di kepala imam itu.


Kuda Besi Kuda Hitam Dari Istana Biru Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Imam itu tak bergerak dan tak tampak akan berusaha untuk menghalau mereka. Malah mulutnya tak hentihentinya bercuit seperti menirukan bunyi burung2 itu.
Sudah tentu Hui Yan heran. Pelahan-lahan dia menghampiri. Setelah dekat baru dia melihat jelas bagaimana imam itu. Kulit imam itu hitam mengkilap, tubuh kurus kering, memberi kesan menyeramkan bagi pandang mata. Sepasang ma-tanya memancarkan sinar berapi-api. Waktu melihat Hui Yan, dia hanya dingin2 saja menatap sejenak dan tetap melanjutkan bermain-main dengan burung2 itu.
Justeru ilmu tenaga-dalam dari keluarga Tian itu adalah ilmu yang disebut Peh tia-tian-beng, cu-sim-toh-hun atau Ratusan-burung-serempak-berbunyi. Melelapkan-perasaan mencabut nyawa.
Pelajaran pertama dari ilmu itu, adalah mempelajari berbagai jenis bunyi burung.
Melihat imam itu juga tengah mempelajari bunyi burung, diam2 tergeraklah hati Hui Yan. Serentak dia juga mengeluarkan bunyi burung kenari. Beberapa ekor burung kenari yang tengah beterbangan di depan imam itu, begitu mende-ngar bunyi dari Hui Yan, tiba2 terus terbang ke udara, Rupanya burung kenari itu lari ketakutan karena bunyi yang di keluarkan Hui Yan.
Imam itu deliki mata dan. membentaknya, "Pergi :."
Sebenarnya Hui Yan sendiri juga akan pergi. Tetapi karena dibentak Imam itu, dia malah tak mau pergi. Diapun balas deliki mata dan berseru, "Aku tak mau pergi, engkau mau apa?"
Mata imam itu terbeliak dan serentak berdi-ri. Hui Yan mengira kalau imam itu hendaki tu-run tangan, Tetapi di luar dugaan, setelah mengebutkan lengan jubahnya, imam itu terus melangkah pergi.
Beratus-ratus burung itu makin berbunyi riuh dan mengikuti terbang di sebelah si imam. Sudah tentu Hui Yan heran. Pikirnya, imam itu tentu bukan orang semharangan. Mengapa ia tak bertanya kepadanya.
Hui Yan cepatkan langkah menyusul kesam-ping imam itu dan bertanya. "Tolong tanya kalau ke telaga Thay-ou harus mengambil jalan yang mana?"
Dia sudah memperhitungkan. Kalau imam itu tak mengacuhkan, dia sudah siap dengan lain rencana,. Tetapi di luar dugaan imam itu menja-wab, "Telaga Thay-ou itu luasnya tiga puluh enam ribu meter. Tepi sebelah barat dengan sebelah timur berpisah ratusan li. Engkau hendak ke~telaga itu bagian yang mana?"
"Ke puncak Ki-lok-hong," sembarangan sa-ja Hui Yan memberi keterangan.
Tiba2 imam itu mendesuh dan serentak menebarkan kedua tengannya sehingga kawanan burung yang mengerumuninya sama terbang ke udara. Dan dari matanya yang cekung tampak memancar berkilat-kilat, menatap Hui Yan sampai beberapa saat.
Sudah tentu Hui Yan risih dipandang begitu lekat oleh imam itu, tegurnya, "Mengapa engkau tak bicara?"
"Di bawah puncak gunung Ki-lok-bong, saat ini sedang terjadi peristiwa besar. Perlu apa engkau ke sana?"
"Sudah tentu ada keperluan," sahut Hui Yan seenaknya," cukuplah kalau engkau beritahukan jalannya saja."
Imam itu tertawa aneh, serunya, "Kalau menunjukkan engkau jalan mati, apa sukarnya" Terus saja menuju ke timur, sebelum hari gelap engkau tentu sudah melihat kemilau air telaga. Asal engkau bilang pada orang kalau engkau hendak menuju ke Ki-lok hong, Anakbuah Pek lobo ten-tu akan mengirim perahu meayambutmu."
Hui Yan mendapat kesan banwa imim itu tahu tentang keadaan di telaga Thay-ou, bahkan tentang diri wanita tua yang ditebut Pek lobo, dia juga mengatakannya. Hanya apa yang di mak-sud dengan kata2 "jalan mati' tadi, ia tidak mengerti. Siapakah sesunggubnya imam itu. diapun belum tahu
Tetapi akhirnya Hui Yan memutuskan un-tuk menurut apa yang ditunjukkan lmam itu saja. Daa segera memberi hormat dan menghaturkan terima kasih kepada imam itu. "Totiang. sampai bertemu lagi."
Imam itu tertawa dingin, "Budak perempuan kecil, kelak jangan engkau belajar bunyi bu-rung lagi. Kalau mau belajar, baiklah engkau masuk dalam perguruanku.''
Sambil berkata sepasang mata aneh dari, imam itu masih tetap memandang lekat pada Hui Yan.
Sebenarnya Hui Yan tidak tahu siapakah i-mam itu. Tetapi dia teringat orang persilatan sering mengatakan bahwa di didunia penilatan terdapat seorang tokoh aneh yang berilmu tinggi dan pandai menirukan segala macam bunyi burung. Dia adalah keturuuan dari tokoh Kongyap Tiang, namanya Kongyap Hong bergelar Pek-lin-Cin-jin atau pertapa Raja-burung.
Konon kabarnya dia memang seorang tokoh yang aneh wataknya. Tetapi sekali dia mau bicara dengan orang, betapapun tak enak kata-katanya, itu berarti dia mempunyai kesan baik kepada orang itu.
Imam itu luas sekali pengetahuannya, pikir Hui Yan lebih lanjut. Kepergiannya ke puncak Ki-Ink-hong kali ini tentu akan mengalami rintang-an-rintangan, mengapa dia tak mau minta petun-juk kepada imam itu taja. Barang kali imam itu mau membantunya"
Tiba2 terdengar suit burung seriti dan dua ekor burung seriti melesat terbang ke muka imam itu, terbang melayang berputar-putar sambil berbunyi tak henti-hentinya.
Imam itu lalu mengeluarkan bunyi burung se-riti juga-maka ramailah percakapan antara seorang manusia dengan dua ekor burung. Tampak wajah imam itu makin lama makin serius. Bebe-rapa saat kemudian .terdengar dia menghe!a napas panjang dan kedua burung seriti itupun lantas terbang pergi lagi.
Sebenarnya Hui Yan merasa kalau dia juga tahu bahasa burung seriti, Tetapi ternyata apa yang dibicarakan kedua burung seriti dengan imam itu, sama sekali dia tak dapat mendengarnya. Terpaksa dia memandang Imam itu.
"Hm," si imam mendesuh, "kalau mau mengantar jiwa, pergilah, tunggu apa lagi?"
Hui Yan tertawa, "Cianpwe ini apakah bu-kan pek lin cinjin Kongyap Hong?"
Imam itu deliki mata. "Kalau ya lalu ba-gaimana" aku kau tidak minta uang kepadamu, perlu apa engkau harus tahu namaku?"
Hui Yan tertawa, "Kongyap cianpwe, aku hendak ke puncak Ki-lok-hong tetapi totiang mengatakan kalau di sana itu merupakan jalan kematian. Entah apa maksud totiang?"
Kongyap Hong berbalik tubuh dan berkata, "Entahlah, jangan tanya kepadaku."
Dari belakang si imam, Hui Yan menyengir muka dan berkata, "Kongyap cianpwe, jangan mengelabuhi aku, Apa yang dilaporkan kedua bu-rung seriti tadi, akupun mendengar semua."
Hui Yan mangira dengan menjual bual itu tentulah si imam terpaksa akan memberi keterangan. Tetapi siapa tahu sekonyong-konyong imam itu berbalik badan dan terus menerkam bahu Hui Yan.
Terkaman itu tak terduga sama sekali. Te-tapi Hui Yan memang tangkas sekali. Begitu me-lihat bahaya mengancam dia terus miringkan tu-buh sehingga hanya bahu bajunya yang kena se-dikit.
Kongyap Hong terbeliak. Dia tidak menye-rang lagi, katanya, "Ha, 'aku salah lihat. Kalau engkau mempunyai kepandaian begitu, bolehlah engkau lanjutkan perjalanan mengantar nyawa."
"Kongyap cianpwe," kata Hui Yan, "apakah sebenarnya yang terjadi di Ki-lok-hong dan berbahaya tidak kalau aku ke sana?"
Tetapi Kongyap Hong hanya mengelus-elus burung2 yang hinggap di bahunya dan tidak menyahut. Sampai Hui Yan mengulang beberapa kali pertanyaan itu tetapi si imam tak menjawab.
Lama kelamaan Hui Yan mendongkol juga. Sudah bebarapa kali dia menyebut cianpwe na-mun tak digubris. Dia seorang dara yang centil. Biasanya dialah yang mengolok-olok orang, bukan yang diolok..
"Hm," akhirnya dia mendengus, "Biar ba-gaimana bahaya itu masa aku tak jadi ke sana,"
Dia tahu bagaimana kelihayan imam itu maka diapun tak mau bicara lebih panjang lagi Setelah menyengir dan menyeringai kearah imam itu, baru dia berputar tubuh dan melesat pergi.
Waktu dia mencapai jarak lima tombak jauhnya, terdengar imam itu tertawa dingin bebera-pa kali Tetapi Hui Yan tak mau berpaling mela-inkan hanya mengejek, "Ih, kalau dirinya sendiri takut pergi lalu mengira kalau semua orang tentu takut juga. Rasanya di dunia ini tiada yang. lebih menggelikan dari anggapan begitu."
Dikira kalau mendengar, Kongyap Hong tentu marah. Maka sehabis mengejek dia terus melesat loncat lebih kencang. Tetapi ternyata Kong-yap Hong tidak mengejarnya dan hanya memperdengarkan dua kali tawa dingin yang tidak sedap didengar.
Dendam Empu Bharada 38 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 8
^