Pencarian

Makam Asmara 6

Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 6


Tetapi kini. karena menyadari bahwa hidup mereka sudah takkan lama lagi, kesempatan untuk
berjumpapun tak banyak, barulah mereka tak tahan dan menumpahkannya.
Nenek Bwe memberi isyarat agar Lam-hay-bun menyingkir. Tiba-tiba nenek itu menegur Kim
Loji yang masih tak pergi, "Hai, mengapa engkau tak mau pergi?"
Kim loji sejenak memandang Han Ping lalu memandang dara baju ungu. Dengan perasaan yang
campur aduk, diapun terus ayunkan langkah, menuju ke sudut ruang. Tetapi beberapa saat
kemudian ia tak tahan keinginan hatinya dan berpaling lagi.
"Hai, lihat apa!" bentak neneK Bwe. Tetapi nenek itu sendiripun tak henti-hentinya
memperhatikan keadaan si dara baju ungu.
Kim lojin berputar tubuh dan menghadap tembok. Tetapi berulang kali ia tak tahan dan
berpaling kebelakang. Demikianlah besarnya rasa sayang nenek Bwe kepada si dara baju ungu dan rasa sayang Kim
loji kepada Han Ping. Saat itu tinggallah Han Ping dan si dara baju ungu saling berhadapan dan beradu pandang.
Tetapi kedua hanya tegak seperti patung yang tak dapat bicara.
Tiba-tiba nenek Bwe berseru keras, "Hai, tahukah kalian tentang pepatah kuna yang
mengatakan" Sedetik itu berharga seribu mas" Pepatah itu hendak mengajarkan kepada orang
betapa berharganya sang tempo. Walaupun tak seluruhnya tetapi sebagaian besar pepatah itu
memang tepat sekali!"
Sekalian anak buah Lam-hay-bun heran dan saling berpandangan. Mereka tak tahu apa yang
dimaksudkan nenek Bwe. Tetapi mereka terpaksa menyambut, "Ya, tepat, tepat sekali"."
Dara baju ungu menghela napas, ujarnya kepada Han Ping, "Ah, Bwe Nio menganjurkan kita
bicara?" "Lalu mengapa engkau tak bicara?" sahut Han Ping.
"Bicara apa".?" kata si dara. "Bicara apa".?" kata Han Ping pula.
"Pada hari itu aku bertemu Ih Thian-heng. Dia mengatakan kalau engkau sudah meninggal,"
kata dara baju ungu. Han Ping menghela napas, "Ah, memang ada orang, walaupun mati tetapi masih seperti hidup.
Tetapipun ada orang yang walaupun masih hidup tetapi seperti mati"."
"Usiamu masih muda." kata si dara, "tetapi setiap orang persilatan yang mendengar namamu Ji
Han Ping itu, kalau tidak memuji dalam hati, tentu diam-diam mengakui bahwa engkau seorang
tunas muda yang amat cemerlang. Walaupun sampai seratus tahun lagi namamu tetap akan
diucapkan orang. Dengan demikian walaupun engkau sudah meninggal, tetapi masih hidup.
Mengapa engkau mengatakan walaupun masih hidup tetapi sudah seperti mati?"
Han Ping terdiam beberapa jenak, lalu berkata pelahan, "Engkau ". engkau masakan tak tahu
diriku?" "Aku". aku bagaimana tak mengetahui engkau," sahut si dara.
Keduanya lalu menundukkan kepala. Walaupun tidak mengucap apa-apa lagi, tetapi dalam hati
kedua remaja iu sudah saling bersentuhan rasa, saling merasakan suatu pancaran Asmara murni
yang mengalir dalam hati masing-masing.
Saat itu mereka rasakan suatu saat yang paling bahagia dalam hidupnya".
Asmara terpendam. "Ada orang yang menggunakan kata-kata untuk menguturakan maksud hatinya. Tetapi
menurut yang dilalukan kedua remaja itu, ternyata bahasa yang paling halus dan paling
menyentuh perasaan hati, bahasa yang paling berharga dan paling indah, adalah bahasa hati.
bahasa yang tak diucapkan dengan mulut melainkan dengan pancaran mata. Dan getar2 alunan
halus dari Asmara terpendam".diam-diam Kim loji yang menyaksikan pertemuan Kedua remaja
itu, mendapat kesan yang mendalam.
Tengah dia melamun, tiba-tiba nenek Bwe berseru melengking, "Hilang dan tumbuh, ada dan
tiada, dari manakah datangnya?"
Han Ping si dara baju ungu terkesiap dan serempak berpaling." Dibawah kain lian, tegak
seorang dara baju biru yakni Siangkwan Wan ceng.
Walaupun dara itu berusaha hendak menenangkan hatinya, tetapi kedua kakinya yang gemetar
keras itu tak dapat menyembunyikan lagi luapan hatinya yang bergoncang keras.
Dara baju ungu menghela napas pelahan lalu menghadap kemuka lagi.
"Huh, anak perempuan yang tak tahu diri," teriak nenek Bwe. Tetapi Siangkwan Wan-ceng tak
menghiraukannya. Pandang matanya makin kabur dan kabur, seperti terbungkus kabut.
"Nona Siangkwan"." baru Han Ping menegur, tiba-tiba dari belakang tumpukan kain lian itu
terdengar suara bentakan keras. Jelas berasal dari rombongan tokoh-tokoh yang masuk kedalam
tadi. Mereka tentu menghadapi kesulitan.
Tetapi kesemuanya itu tak dihiraukan Siangkwan Wan ceng. Dunia ini bagi Siangkwan Wanceng
sudah tak dirasakan apa-apa lagi. Ia tak mengacuhkan segala apa.
Oleh karena nona itu berdiri mengalingi sinar lilin dibelakang deretan kain2 bertulisan itu. maka
orang yang berada diruang muka, tak dapat melihat apa yang terjadi diruang dalam.
Tiba-tiba dara baju ungu menghela napas, serunya kepada Han Ping, "Dia tentu bersikap baik
sekali kepadamu. Selama beberapa hari ini berada bersama-sama, apakah kalian tidak gembira?"
Kata Han Ping, "Ah, dia seorang nona yang baik"."
"Kalau begitu mengapa engkau tak memanggilnya kemari." kata si dara baju ungu, "dia telah
minum racun buatan perguruan Lam-hay-bun yang bekerjanya pelahan. Dia hanya dapat hidup
selama satu bulan saja". "
"Apa?" Han Ping terkejut.
"Dia hanya dapat hidup sebulan lagi," kata dara baju ungu. "Oleh karena itu dia sangat
menghargakan sekali waktu yang tak berapa lama itu"."
"O, kiranya begitu," seru Han Ping.
Kembali dari ruargan dibelakang jajaran kain lian itu terdengar suara tertawa panjang dan
bentakan keras. Dan lilin yang menerangi tempat itupun tiba-tiba padam.
Seiring dengan suasana gelap, tiba-tiba hidung Han Ping tebaur bau yang harum. Dara baju
ungu menghampirinya dan pada lain saat terdengarlah bisikan lembut ditelingannya. Sedemikian
dekat suara itu sehingga hampir menyentuh pipi Han Ping, "Dalam beberapa waktu terakhir ini,
aku telah membohongi diriku sendiri. Aku telah mengubur engkau ditanah pegunungan itu. Pun
telah kubakar banyak sekali kertas-uang untukmu. Dan kubangun sebuah makam yang indah
bagimu agar engkau dapat hidup bahagia di alam baka". ."
Han Ping tertawa lawar . "Sayang orang yang engkau kubur itu bukan aku". tetapi orang itu
benar-benar mempunyai rejeki besar".
"Aku mengharuskan diri untuk mempercayai bahwa yang kukubur itu adalah engkau. Walau
pun kutahu engkau masih hidup tetapi aku harus berusaha mengelabuhi diriku sendiri"."
"Mengapa?" tanya Han Ping.
"Karena selama ini belum pernah ada orang orang yang bersikap begitu dingin kepadaku."
Han Ping tak menyahut melainkan dalam hati berkata, "Ah, kapankah aku bersikap dingin
kepadamu"." Kata-kata itu diucapkan dalam hati tetapi entah bagaimana si dara baju ungu rupanya seperti
mengerti. Segera ia berkata pula, "Ah, aku salah omong. Aku hendak mengatakan bahwa selama
ini tiada seorangpun yang tak mengalah kepadaku. Tetapi engkau tak mau mengalah kepadaku"."
Han Ping tertawa, "Mengapa aku harus mengalah kepadamu?"
Tiba-tiba dara baju ungu itu ulurkan tangan dan berbisik, "Aku tak minta engkau mengalah
Seorang anak perempuan memang harus bersikap lemah lembut. Ai, aku memang terlalu manja."
Pada saat tangan si dara bersentuhan dengan tangan Han Ping, seketika jantung Han Ping
barguncang keras sehingga ia menarik diri kebelakang.
Dara itupun perlahan-lahan menarik kembali tangannya lalu berbisik, "Sekarang aku baru
menyadari bahwa betapa hebat dan luar biasa kecerdasan dan bakat yang dimiliki seseorang,
namun akhirnya sukar juga untuk menentang kodrat alam. Lihatlah, peristiwa-peristiwa pada
waktu lampau, betapapun orang dapat mengerjakan usaha2 besar, namun tiada seorangpun yang
mampu untuk memutar balik jalannya rembulan dan matahari. Dan tak mungkin pula dapat
mengembalikan tempo yang telah lalu. Walaupun perjumpaan kita ini belum terlalu terlambat,
tetapi ruangan ini tak dapat memuat dua orang yang suka membawa kemauannya sendiri. Yang
lampau biarlah berlalu, biarlah seperti sang tempo yang takkan dapat kembali lagi"."
Berkata Han Ping dengan nada bersungguh, "Apa yang nona katakan memang benar. Aku
masih menyandang dendam sakithati orangtuaku yang belum terhimpas. Saat ini musuhku berada
disini. Kami tentu akan menghadapi suatu pertempuran maut. Dan siapa yang akan menang masih
sukar diketahui. Apa yang akan terjadi dihari depan masih belum pasti, kuharap nona suka
menjaga diri baik2. Nah, akupun hendak mohon diri"."
Habis berkata Han Ping terus ayunkan langkah kedepan.
Tunggu," seru dara baju ungu. Han Ping berhenti lalu berpaling, "Adakah nona masih hendak
memberi pesan lagi?"
"Nasib akan menentukan orang. Dunia ini penuh dengan orang yang ingin mancari nasib dan
ingin melepaskan nasib. Inilah dua butir pil penawar racun. Berikanlah kepada nona Siangkwan
itu. Kuberinya minum racun karena aku cemburu dan iri hati. Hendak kusuruh dia merasakan
derita siksaan yang hebat sebelum mati. Sekarang berikanlah pil itu kepadanya. Agar dia tetap
hidup dengan penderitaan kehidupannya."
Sambil menyambuti pil, Han Ping berkata, "Ucapan nona penuh dengan ujar2 yang bernilai
tinggi sehingga orang harus mengcamkan benar-benar."
"Lebih baik engkau jangan terlalu mengerti, lekas pergilah," kata si dara baju ungu.
Han Pingpun segera lanjutkan langkah.
Siangkwau Wan ceng masih berdiri diam dibelakang jajaran kain lian itu. Ia terlongong-longong
seperti patung. Ketika Hati Ping datang, nona itupun menyonsongnya, "Orangtua alis panjang itu
telah menolong jiwamu, tetapi dia yang mati lebih dulu "
"Hendak kuminta jenazah tabib itu dari Ih Thian-heng," kata Han Ping, "apabila kelak aku dapat
keluar dari makam ini, tentu akan kubangun sebuah makam untuknya."
"Dia seorang sakti yang menyembunyikan diri dipegunungan sepi," kata Siangkwan Wan-ceng,
"karena hendak menyertai engkau masuk kedalam kancah pergolakan dendam disini, dan berakhir
dengan kehilangan jiwa "
"Engkau telah memberiku minum racun, kebaikanmu lebih besar dari tabib itu," kata Han Ping.
"Tetapi aku mempunyai pamrih agar selalu dapat bersama engkau. Sebaliknya tabib itu tak ada
pamrih apa-apa. Bagaimana engkau mengatakan kebaikanku melebihi kebaikannya?" bantah si
nona. Sesaat Han Ping tak dapat menyelami kata-kata si nona. Perlahan lahan ia mengangsurkan pil,
"Nona Siau pesan kepadaku supaya menyerahkan pil penawar racun ini kepadamu."
"Apakah dia menghendaki aku supaya mengalami penderitaan hidup selama beberapa tahun
lagi?" "Dia memang mengatakan begitu," kata Han Ping, "tetapi aku tak mengerti maksudnya."
Siangkwan Wan-ceng menghela napas, ujarnya, "Tak perlu memikirkan hal itu," katanya,
"engkau harus menyapu semua keruwetan pikiran dan tumpahkan seluruh perhatian untuk
membalas dendam ayahbundamu. Ih Thian heng bukan seorang tokoh biasa. Dalam pertempuran
nanti, sukar ditentukan siapa yang akan menang"."
Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, "lekas pergilah, jangan memikirkan budak setan dari
Lam-hay- bun itu lagi. Karena hal itu akan menyebabkan engkau kesengsam dengan
kecantikannya. Suatu hal yang akan menyebabkan engkau lengah dalam kewaspadaan terhadap
musuh." Han Ping terdiam sejenak, lalu mengucapkan terima kasih dan terus melangkah ke muka.
Diam-diam ia telah merenungkan ucapan Siangkwan Wan-ceng. Memang sejak berhadapan
muka dengan si dara baju ungu, pikirannya selalu terbayang akan wajahnya yang cantik dan
senyumnya yang mengikat suksma. Kekerasan hati untuk membalas dendam sakithati
orangtuanya seolah-olah terpudar oleh bayangan si dara jelita itu. Beberapa patah kata Siangkwan
Wan-ceng itu telah menyadarkan hatinya.
Jalan terowongan itu gelap sekali dan amat sunyi pula. Seolah olah orang-orang yang masuk
kesitu tadi, hilang lenyap ditelan suatu tenaga gaib.
Han Ping berhenti dan diam-diam menyalurkan tenaga-dalam, Kegelapan suasana yang
mencengkam aneh itu seolah-olah membawa firasat akan sesuatu yang mengejutkan. Dalam
suasana yang seperti orang, indera perasaan orangpun makin bertambah tajam.
Dalam waktu akhir2 ini, bukan saja tenaga-dalam Han Ping telah mencapai kemajuan pesat,
pun pengertiannya tentu ilmu bernapas menurut ajaran kitab Tat-mo ih-kin-keng bertambah maju.
Dua kali bernapas, ia sudah dapat menjernihkan pikiran dan mempertajam kelima inderanya.
Secepat itu pula ia dapat mendegarkan suara napas dari tokoh-tokoh yang berada disitu.
Han Ping melangkah maju lagi, langkah kakinya tangkas sekali, seringan kapas jatuh ketanah,
sama sekali tak mengeluarkan suara apa-apa. Dan indera penglihatannyapun bertambah tajam.
Dilihatnya para tokoh-tokoh tadi tengah tegak berdiri bersiap-siap2, seperti menunggu sesuatu.
Han Ping melintasi mereka terus menuju kesamping Ih Thian-heng. Tiba-tiba Ih Thian heng
ulurkan tangan kiri; Harap saudara Ji, jangan buru-buru masuk."
"Mengapa?" tanya Han Ping agak kurang puas.
Ih Tbian heng tersenyum, "Pemilik makam sudah mengeluarkan pernyataan, suruh kita
menunggu dulu " Han Ping mendengus, "Biasanya engkau angkuh sekali, heran mengapa sekarang engkau mau
menurut kata orang?"
"Aku benat2 kagum kepada pemilik makam ini," kata Ih thian-heng, "kupercaya dia tentu
takkan mengelabuhi secara licik".
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar ngiang suara yang halus tetapi cukup jelas, "Sepeminum teh
lamanya lagi, pintu Seng si bun akan terbuka dayang2 cantik akan menyambut dan melayani para
tetamu"." Berhenti sejenak, suara lembut itu berkata pula, "Sungguh tak kusangka kalau tuan2 datang
begitu cepat. Tetapi kaum persilatan Tiong goan tak pernah kehabisan orang sakti. Karena salah
menafsirkan kekuatan saudara sehingga tak sempat mengadakan penyambutan. Harap
dimaafkan." Han Ping kerutkan alis, berseru, "Siapakah orang itu?"
"Menilik nada bicaranya, tentulah pemilik makam ini," kata Ih Thian-heng.
Han Ping tertawa nyaring, "Apakah kita begini banyak orang harus mendengar saja
omongannya?" "Kegagahan saudara Ji, membuat aku kagum," kata Ih Thian-heng" kalau kita dapat menempur
pemilik makam, hanya tinggal pertempuran kita berdua. Apabila engkau dapat mengalahkan aku.
dengan mudah engkau pasti akan mendapat kehormatan sebagai pemimpin dunia persilatan"."
Terdengar beberapa kali tertawa dingin dan dengus menggeram, "Mungkin tak begitu."
Ih Thian-heng tertawa tawar, serunya, "Harap saudara jangan percaya omonganku. Tetapi soal
itu memang aku tak dapat berbuat apa-apa. Tetapi aku teringat akan suatu hal yang terpaksa
harus kuberitahukan lebih dulu. Siapa yang dapat menghadapi Pedang-terbang dialah yang mem
ilmu pedang terbang itu."
Ilmu pedang-terbang itu, bukan saja termasuk ilmu pedang yang paling hebat, pun dalam
kalangan ilmu kepandaian dunia persilatan, jarang sekali orang yang memilikinya.
Sekalian tokoh-tokoh itu terdiam.
Ih Thian-heng tertawa dan berkata pula, "Tetapi pada saat ini diantara kita, terdapat seorang
yang memiliki ilmu kepandaian itu. Dia bukan lain seorang pemuda yang masih muda belia yalah Ji
Han Ping"." "Perlu kuceritakan lagi," kata Ih Thian-heng pula, "bahwa pada pertama bertemu dengan
saudara Ji itu bukan aku menyombongkan diri, tetapi memang dia jauh sekali tingkatnya dengan
aku. Tetapi setiap kali bertempur dengan dia, dia tentu memperoleh kemajuan yang pesat sekali.
Belum sampai setengah tahun, dia sudah dapat mengimbangi kepandaianku. Hal yang tak wajar
dalam cara meyakinkan ilmusilat itu, benar-benar membuat orang"."
Tiba-tiba terdengar gelaran keras sehingga ucapan Ih Thian heng terputus. Dua buah lentera
berayun keluar. Dan sebuah suara yang parau, segera meluncur, ?"Pintu Seng-si-bun telah kubuka, silahkan
para tetamu masuk. Sebelum masuk, harap saudara2 tahu akan dua buah larangan. Para jelita
yang menyambut tetamu itu, dara2 yang luar biasa cantiknya. Tetapi mereka tak mengenakan
pakaian yang dapat mencelakai suadara. Apabila saudara2 yakin takkan terpengaruh oleh
kecantikan dara2 itu, silahkan masuk, tetapi kalau hati saudara tak kuat dan tersengsam dengan
bidadari2 itu, silahkan pilih saja yang mana dan ajaklah bersenang-senang dalam kamar sampai
puas. Ha, ha". ha, ha, ha"
Setelah tertawa, orang itu berseru pula, "Tetapi janganlah sekali kali saudara mencelakai
mereka. Apabila ada seorang saja yang melanggar pantangan itu, seluruh rombongan akan
kuhancurkan. Dan akupun tak mau lagi bertemu muka dengan saudara2 Segera akan kubuka alat rahasia dan
melepaskan ratusan ribu tawon beracun, tiga ribu ular berbisa, kupadamkan penerangan dalam
ruangan ini agar saudara menderita serangan tawon dan ular beracun. Betapapun kesaktian
saudara, tetapi dalam tempat sepanjang sepuluh tombak ini dan ditempat yang gelap, tak
mungkin saudara dapat menghindarkan diri dari serangan binatang2 itu. Inilah larangan yang
pertama. Harap saudara suka mematuhi, agar jangan terjadi hal yang tak diinginkan,"
ih Thian-heng berpaling kearah rombongan tokoh-tokoh, katanya, "Ular tanpa Kepala tentu tak
dapat berjalan. Burung tanpa sayap tentu tak dapat terbang. Baiklah kita mengangkat seorang
pemimpin rombongan untuk menjawab tuan rumah. Silahkan saudara menunjuk siapa yang layak
menjadi wakil rombongan ini."
Sambil mengambil buli2 arak dan meneguknya Pengemis-sakti Coag To berkata, "Menurut
pandangan pengemis tua, engkaulah yang paling tepat menjadi pemimpin rombongan kita."
"Ah, tetapi aku kuatir tak dapat memenuhi harapan saudara2," kata Ih Thian-heng.
Han Ping mendengus, " Ih Thian- heng, jangan lupa bahwa kita masih mempunyai hutang
piutang darah yang belum diselesaikan".
Ih Thian-heng tertawa, "Ditempat langit dan bumi buntu semua seperti ini, masakan engkau
takut aku akan melarikan diri."
"Jembatan kembali pada jembatan, jalanpun kembali pada jalan," kata Cong To, "kecuali Ih
Thian-heng rasanya tiada orang yang lebih sesuai lagi.
Tiba-tiba suara parau itu terdengar berseru lagi, "Setelah melalui ruangan bunga sepanjang
sepuluh tombak. Saudara2 akan berhadapan dengan pemandangan luar biasa yang belum pernah
saudara jumpahi. Benda aneh, permata2 yang indah tiada taranya. Walaupun benda berharga dan
permata itu memang sedianya hendak kuhaturkan kepada saudara2 tetapi kuminta harus diambil
dengan cara yang terang, jangan secara menggelap. Setelah aku bertemu muka dengan saudara2,
mungkin diantara saudara2 terdapat orang yang bakal memiliki harta karun itu bila ada orang
yang berani mempunyai hati jahat hendak mengambilnya, saudara2 semua akan menerima
hukuman yang paling ngeri dan kejam"."
Dengan girang Ih Thian heng berseru nyaring, "Hukuman ngeri yang bagaimana, dapatkah
memberitahu dulu agar Kami dapat bersiap siap?"
Terdengar tertawa panjang, "Akan kugerakkan pekakas rahasia, untuk mengurung saudara2


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam sebuah kamar batu. Kemudian akan kuhamburkan asap beracun agar kesadaran dan
semangat saudara2 hilang dan saling bunuh membunuh sendiri,"
"Cara itu memang paling ngeri dan akupun percaya kalau engkau memiliki asap beracun
semacam itu. Baiklah, kami setuju untuk mentaati kedua pantangan itu. Apabila ada angauta
rombongan kami yang melanggar, tak usah engkau turun tangan, kami akan dapat menindaknya
sendiri!" "Bagus, kita anggap saudara2 sudah setuju mentaati perjanjian itu," kata suara parau itu pula.
Seiring dengan lenyapnya suara parau itu tiba-tiba ujung peti mati besar yang berada didalam
ruangan, mereka pecah. Ketika sekalian orang memandang kearah peti mati itu ternyata disebelah dalamnya terang
sekali dan sosok2 tubuh pun tampak berkelebatan.
Pengemis-tua Cong To kerutkan alis, serunya, "Adakah kita barus masuk melalui peti mati itu?"
Ih Thian-heng tersenyum, "Biarlah aku yang berjalan dimuka." ia terus endapkan tubuh dan
melangkah maju " Sekalian tokohpun segera mengikuti dibelakangnya.
Ternyata peti mati besar itu merupakan sebuah pintu dari lorong terowongan yang panjangnya
empat lima tombak. Tiba diujung lorong, pemandanganyapun berobah. Mereka tiba disebuah pintu
bercat merah. Pintu itu ditulisi tiga buah huruf besar "Seng-si-bun" atau Pintu Mati-hidup.
Dibelakang pintu itu merupakan sebuah ruang yang luas, terang benderang dan penuh dengan
gadis2 cantik. Sambil masih memondong mayat tabib alis panjang, Ih Thian-heng melangkah masuk seraya
berseru nyaring, "Nona2 sekalian, harap memberi jalan agar janganlah pakaian nona terlumur
darah merah!" Kawanan gadis2 jelita yang berdiri dengan kepala menunduk itu, mengenakan pakaian warna
warni, merah, kuning, biru putih dan hitam.
Jaraknya satu sama lain menurut ukuran tertentu. Sepintas merupakan jajaran yang berbunyi Si
atau mati. Tiba-tiba terdengar suara tambur. Dan kawanan gadis jelita yang menunduk kepala itu,
serempak mengangkat kepala, tertawa cerah.
Mereka cantik sekali, bibirnya semerah delima merekah, raut wajahnya bagai kuntum bunga
mekar bersen. Alis melengkung bagai bulan muda. Kecantikannya benar-benar dapat
menyebabkan orang tua, merasa muda kembali. Bahkan orang yang tengah meregang jiwa dapat
bangun lagi. Ih Thian-heng berpaling kearah rombongan tokoh-tokoh, tertawa, "kalau saudara2 merasa tak
Kuat bertahan untuk melintasi ruangan sepanjang sepuluh tombak ini, lebih baik saudara berjalan
dengan menutup mata"."
Seiring dengan kata-kata Ih Thian-heng itu, kawanan gadis2 jelita itupun mulai pelahan-lahan
bergerak. Oleh karena sebelumnya sudah mendapat peringatan maka rombongan tokoh-tokoh itupun
sudah bersiap. Berhadapan dengan kawanan bidadari cantik itu, buru-buru merekapun sudah
mengempos semangat dan mengerahkan tenaga-dalam untuk menguasai perasaan hatinya.
Gerakan kawanan gadis2 itupun mulai makin cepat, saling bersilang berpindah tempat sehingga
menimbulkan hamburan warna yang menyilaukan.
Dengan mengandalkan tenaga dalamnya yang sakti Ih Thian heng tak terkecoh dengan
kecantikan gadis2 itu. Sambil memandang kesekeliling ia tertawa nyaring dan melangkah maju.
Sekalian tokohpun mengikuti rapat2 dibelakangnya, Tiba-tiba kawanan gadis cantik yang
takhenti-hentinya bergerak itu, berhamburan menyisih ke kanan kiri sambil melepaskan
pakaiannya. Dalam sekejab saja, merekapun sudah tak berpakaian lagi.
Ih Thian-heng batuk-batuk dan berseru nyaring, "Majikanmu sudah memberi perintah, tak
boieh kami melukai kalian. Tetapi kalianpun jangan menghadang jalan"."
Ia tertawa lagi, lain berkata, "Silahkan nona sekalian beraksi sekehendak hati nona agar kami
dapat menikmati melihatnya."
Dalam pada itu kawanan gadis cantik itupun sudah membentuk diri dalam sebuah barisan.
Masing-masing menduduki tempat yang tertentu. Dan salah seorangpun segera berderu dengan
suara yang merdu, "Silahkan tuan2 lewat ditengah barisan kami. Dalam saat tuan2 lewat nanti,
mereka akan menggunakan kepandaiannya untuk merayu dan memikat agar tun2 suka memilih
mereka"." Ketika ih Thian heng memperhatikan dengan seksama, dilihatnya sinar mata kawanan gadis
cantik itu memancarkan harapan kasih, bagaikan musafir di padang pasir yang mengharapkan
air". Tiba-tiba hati Ih Thian-heng tergerak. Berpaling kearah rombongannya ia berkata, "Selain
memang luar biasa cantiknya, gadis2 itu lelah minum semacam obat. Apabila diantara saudara
yang merasa tak kuat menahan nafsu, lebih baik pejamkan mata. Dengan mengandalkan
pendengaran, ikutilah dibelakangku." Habis berkata ia terus pelahan-lahan melangkah maju.
Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak, "Selama hidup, belum pernah pengemis tua
menyaksikan pemandangan yang begini hebat Apa yang terlihat saat ini, matipun sudah puas!
Ia terus maju mengikuti dibelakang Ih Thian-heng.
Ting Ling tiba-tiba cepatkan langkah menyusul kesamping Han Ping lalu membisiki, "walaupun
kawanan gadis2 itu cantik sekali tetapi kalau dibanding dengan dara baju ungu puteri ketua Lamhay-
bun itu, masih kalah jauh sekali. Asal engkau curahkan pikiranmu mengenangkan wajah dara
baju ungu itu, tak mungkin hatimu terpengaruh oleh kawanan gadis2 itu."
Karena seumur hidup belum pernah menyaksikan pemandangan yang sedemikian hebat, tanpa
disadari Han Pingpun memandang lekat kepada mereka, ia baru gelagapan ketika mendengar
kisikan Ting Ling. Buru-buru ia kerahkan semangat dan tenangkan hati lalu melangkah maju.
Berjalan beberapa saat memang mereka tak merasakan suatu apa. Tetapi setelah beberapa
saat kemudian, mereka merasa ada sesuatu yang tak wajar. Bau harum dari tubuh gadis2 cantik
itu berhamburan menusuk hidung dan menggetarkan hati. Pelahan-lahan hati merekapun mulai
tak tenang". Tubuh yang putih mulus dan bau yang harum, sudah cukup membuat hati orang kebat kebit
dan darah merangsang. Apalagi gadis2 cantik yang telanjang itu mulai memancarkan tertawa yang
menggelitik kalbu. Rombongan tokoh-tokoh itu berjalan dengan menutup mata. Tetapi saat itu telinga mereka
seperti mendengar suara napas yang lembut dan bisik-bisik yang merdu". , sesaat napas dan
suara itu seperti dihembuskan dari tenggorokan, sesaat dari dada dan sesaat pula dari hidung.
Sekalipun dapat menutup mata tetapi rombongan tokoh itu tak dapat menutup telinga. Oleh
karena itu, walaupun sudah menutup mata, tetapi karena mendengar bisik-bisik lembut yang
penuh dengan cumbu rayuan menantang kecabulan, mereka tak tahan lalu membuka mata lagi.
Ih Thian heng berpaling kebelakang. Tampak wajah mereka berobah merah, mata bersinar lain.
Bahkan ada yang dahinya bercucuran keringat dan geraham digigitkan erat2 seperti orang yang
tengah menahan nafsu. Kebalikannya mereka yang biasanya hidup dengan cara tak teratur, tampak bahkan lebih
tenang. Karena mereka banyak pengalaman, jadi sudah biasa dengan pemandangan semacam itu.
Dan mereka yang biasa hidup baik, saat itu seperti dibakar api panas rasanya.
Sekonyong-konyong terdengar suaru menggerung keras dan Theng Ban-li terus memeluk
seorang gadis telanjang itu lalu dibawa lari kebelakang. Gadis jelita itu tertawa menggelitik dan
menyerahkan diri dibawa lari oleh jago tua itu.
ih Thian-heng menghela napas, "Ah, sungguh tak kira, seorang jantan seperti dia, akhirnya
harus menyerah pada paras cantik"."
Tiba-tiba dari samping terdengar orang menyelutuk, "Walaupun dia tak dapat keluar dari
makam ini tetapi dia telah dapat merobah keadaannya. Dan seorang yang paling menderita
menjadi orang yang paling bahagia didunia."
Ih thian-heng kerutkan sepasang alis lalu beralih pandang. Tampak Ca Giok sedang kepalkan
tinju dengan geram tetapi tubuhnya gemetar. Matanya buas seperti seekor serigala lepas,
memandang seorang dara ayu yang telanjang.
"Fui!" ih thian-heng menbentaK dan menampar punggung pemuda itu.
Ca Giok tergetar dan tertegun beberapa saat. Kemudian ia menjurah, "Terima kasih, cianpwe."
ia terus mengikuti dibelakang Ih Thian-heng, melanjutkan langkah.
Barisan dara2 telanjang itu walaupun tak berapa menyeramkan tetapi jalanan yang harus
ditempuh, melingkar lingkar dan berbiluk-biluk. Langkah kaki orang-orang itu makin sarat. Sampai
sekian lama belum juga mereka keluar dari barisan itu. Sepanjang hidup, belum pernah mereka
menempuh suatu perjalanan seberat itu.
Tiba-tiba Ih Thian heng membentak keras lalu menyanyi dengan suara nyaring. Lagunya lagu
bersemangat dan keras, seperti palu besi menghantam batu. Seketika tergugahlah semangat
sekalian orang. Merekapun lalu tegakkan kepala, busungkan dada melangkah kearah jalan yang
dirintis Ih Thian-heng. "Seumur hidup aku tak pernah mengagumi orang. Tetapi hari ini aku harus memberi hormat
kepadamu karena belum pernah aku bertemu dengan orang seperti engkau," seru Pengemis-sakti
Cong To kepada Ih Thian heng.
Ih Thian heng tak menyahut melainkan tetap menyanyi dan tersenyum. Tak berapa lama
mereka pun dapat melintasi barisan itu.
"Sungguh berbahaya"."Ca Cu jing menengadah dan menghela napas pangjang.
Wajah Ih Thian-heng berobah serius, serunya, "Barisan paras cantik, walaupun Kita sudah
berhasil melintasi tetapi masih ada sebuah rintangan yang tak kurang hebatnya yalah Harta.
Mungkin godaan ini jauh lebih hebat dari paras cantik. Peribahasa mengatakan, "Semut mati di
gula, manusia mati di harta. Harap saudara2 ingat hal itu."
Rombongan Ih Thian-heng melanjutkan perjalanan kemuka. Setelah membiluk sebuah
tikungan, tiba-tiba disebelah muka tampak terang. Sederet lentera istana, bergelantungan tinggi
diatas lorong terowongan. Cahayanya terang benderang seperti hari pagi. Papan batu yang
menonjol dari kedua tepi lorong terowongan itu, penuh bertabur batu2 permata yang berkilaukilauan
cahayanya. Makin berjalan mendekati, makin hebat perhiasan yang menantang. Semua terdiri dan benda2
berharga yang jarang terlihat manusia. Setiap macam benda, cukup untuk menimbulkan rangsang
keinginan orang. Tak henti-hentinya Ih Thian-heng menghambur pujian, ujarnya, "Benar-benar sebuah istana
permata yang hebat. Walaupun istana raja belum tentu dapat menandingi tempat ini."
Nyo Bun-gian memberi sambutan, "Ah, intan permata, zamrud ratna mutu manikam yang
jarang terdapat diduma! Selama berpuluh-puluh tahun telah mengumpulkan barang2 permata.
Dimana terdapat permata yang aneh, tentu kubeli tanpa kuhiraukan harganya. Semula kukira
kumpulan benda2 permata yang berada di rumahku itu sudah paling banyak dan lengkap. Tetapi
apa yang kulihat saat ini, benar" menghapus kebangaanku itu. Seperti langit dengan bumi atau
bukit dengan gunung bedanya"."
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan melangkah maju, lari melampaui Ih Thian-neng, terus
menyelinap masuk kedalam sebuah ruang besar.
Didalam ruang besar yang diterangi dengan lampu dan lilin itu, penuh bertumpukan benda2
kuno dan zamrud permata yang tak ternilai indahnva.
Tiba-tiba terdengar suara orang berseru kaget, "Hai, Tenggoret-kumala dan Kupu2 Emas".!"
Sekalian orang terbeliak, mengangkat muka. Tampak diatas meja yang dibuat dalam bentuk
istimewa, terdapat kedua benda pusaka yang menggemparkan dunia persilatan itu.
Tenggoret Kumala, putih seperti salju, berbuat dari batu kumala yang bening dan cemerlang.
Sepasang matanya sebesar kedele berwarna merah bercahaya seperti benar-benar hidup.
Sedang Kupu2 Emas itu lebih besar dari Tenggoret Kumala. Panjangnya tak kurang dari
tigapuluhan senti. Entah terbuat dari apa, kedua sayapnya amat tipis sekali. Sepasang matanya
berkilauan jernih sekali.
Saat itu seseorang sudah menyelimpat ketempat kedua benda pusaka itu. Sambil berteliku
tangan, dia tegak berdiri dimukanya, memandang lekat2 pada kedua benda pusaka itu. Dari
pandang matanya jelas dia itu mengiler sekali melihat kedua pusaka itu.
Ih Thian-heng cepat dapat mengetahui bahwa orang yang berada didepan meja itu yaiah Nyo
Buti-giau. Dan yang berteriak kaget tadi, tentulah orang she Nyo itu juga.
Ih Thian hengpun memperhatikan, kecuali Pengemis-sakti Cong To seorang, yang lain2
memandang lekas-lekas pada kedua benda itu dengan sinar mata penuh keinginan.
Kedengaran Nyo Bun-giau menghela "napas panjang, ujarnya, "Orang mati karena harta,
burung mati karena makanan. Rupanya pepatah kuno itu memang benar. Memperoleh pusaka
yang hebat ini, rasanya matipun puas "
Habis berkata ia terus ulurkan tangan hendak mengambil kedua benda pusaka itu.
"Tahan!" tiba-tiba Ca Cu-jing berteriak seraya maju menghampiri.
Nyo Bun giau memandang ketua marga Ca itu, serunya dingin, "Mau apa engkau?"
Ih Tbian-heng berseru, "kalaupun mati atau hidup saudara Nyo tidak perlu disayangkan, tetapi
kami semua tak mau menenami mati"." Ia berhenti sejenak ia berkata pula . "Apakah engkau tak
mendengar kata-kata pemilik makam itu?"
Kata Nyo Bun-gian, "Ini"."
"Kalau saudara Nyo tetap hendak mengambil, dikuatirkan sekalian orang yang berada disini
takkan membiarkan saudara."
Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak, "Nyo Bun-giau, berpalinglah kemari!"
Ketika Nyo Bun-giau berpaling, dilihatnya berpuluh mata sekalian tokoh-tokoh itu mencurah
kepadanya. Jelas mereka sudah bersiap-siap hendak bertindak apabila Nyo Bun-giau berani
mengambil kedua pusaka itu.
Tetapi kebalikannya, saat itu Nyo Bun-giau malah tenang2 memandang sekalian orang,
serunya, "Apakah saudara2 sungguh percaya akan omongan pemilik makam ini tadi" Kalau dia
memang hendak membunuh kita, sekalipun kita tak megambil benda disini, dia tetap akan turun
tangan juga." "Tak peduli omongannya benar atau tidak," seru Ih thian-heng, "harap saudara Nyo jangan
temaha. Apabila saudara hendak mengambil kedua pusaka itu, sekalian orang disini termasuk aku
sendiri, tentu akan mengambil jiwamu."
Nyo Bun-giau terdiam lalu melangkah ke muka. Ih thian-heng tetap tegak tak bergerak. Setelah
sekalian tokoh-tokoh berjalan keluar barulah ia mengikuti dari belakang.
Sekeluarnya dari ruang harta permata itu mereka menghadapi sebuah lorong panjang lagi. Dan
pada ujung lorong, terdapat sebuah pintu batu yang setengah terbuka.
Pada pintu itu terdapat selembar kertas putih yang ditulis, Masuk pintu ini, semua larangan
hapus. Silahkan mengeluarkan se luruh kepandaian untuk menjaga serangan. Apabila dapat
melintasi Jalan maut sepanjang tigabelas tombak ini, baru dapat berjumpa dengan pelik makam
ini. Sekalian orang mengerumuni dan membaca kertas itu. Ih Thian- hengpun menghampiri.
Satelah meletakkan tubuh tabib alis paujang, ia berkata, "Saudara2 tentu sudah membaca tulisan
itu. Mau tak mau atu harus mengagumi kelicikan pemilik makam ini. Dia benar-benar dapat
mengetahui kelemahan2 orang dan sudah memperhitungkannya"."
Berhenti sejenak ia melanjutkan berkata, "Atas kepercayaan saudara2 yang telah menganggap
aku sebagai pemimpin darurat dan rombongan ini, kuanggap telah kuselesaikan. Sampai ditempat
dan saat ini, pimpinan rombongan akan kukembalikan kepada saudara2 lagi."
Habis berkata ia terus miringkan tubuh dan menyusup ke pintu batu.
"Ih Thian-heng, lekas mundur?" teriak Ting Ling.
Ih Thian-heng yang sudah berada didalam, karena teriakan si nona, lalu keluar lagi dan
tersenyum, "Nona cerdik, apa yang engkau pikirkan.
Ting Ling berkata dingin, "Kepintaran besar seperti tolol, Kejahatan besar pun seperti bijaksana.
Apabila menilik gerak gerikmu selama berada dalam makam ini, memang sukar orang untuk
percaya bahwa sebenarnya engkau ini seorang durjana besar"."
In Thian heng kerutkan alis, serunya, "Kalau mau omong, bicaralah yang baik, jangan memaki
orang." Ting Ling maju menghampiri kesamping Ih Thian-heng, serunya, "Ya, memang aku memakimu.
Apakah engkau berani membunuh aku?"
Ih Thian-h;ng mengangkat tangan kanan keatas, serunya, "Mengapa tak berani . , . ." tiba-tiba
ia menurunkan tangannya lagi, "engkau seorang gadis muda, kalau aku membunuhmu, bukankah
aku akan ditertawai seluruh kaum persilatan?"
Ting Ling mengangguk, "Benar, bukannya engkau lak mau membunuh aku. Tetapi engkau
merasa tak leluasa untuk turun tangan pada saat dan tempat seperti ini."
Ih Thian heng hanya tersenyum.
Ting Ling berpaling kearah rombongan tokoh-tokoh persilatan itu dan berkata pula, "Ih Thianheng
telah membawa kita melintasi barisan gadis2 telanjang dan ruang harta karun. Tetapi pada
saat tiba ditempat yang segawat ini, bukan saja dia lepas tangan bahkan terus hendak ngacir
pergi, meminjam golok untuk membunuh orang"."
Wajah Ih Thian-heng agak berobah. Dahinya tiba-tiba mengerut hawa pembunuhan dan
berserulah dia dengan suara yang sarat, "Saudara Ting, jika engkau tak dapat mengajar putrimu
yang nakal ini, terpaksa aku akan mewakili saudara untuk memberi hajaran kepadanya"."
Ting Ling tertawa mengikik, serunya, "Apakah engkau takut" Kukatakan kepadamu, aku taK
percaya dalam saat dan tempat seperti ini, engkau akan membunuh aku"."
Tiba-tiba Ih Thian-heng gerakkan tangannya menutuk, "Kalau tak percaya, cobalah ini "."
Tetapi serempnak dengan gerakan itu. Ih Thian-hengpun mendengar dua buah gelombang
angin pukulan menyambar kearahnya. yang satu melanda dada, yang satu menggempur jarinya
yang akan menutuk Ting Ling.
Ternyata kedua orang yang turun tangan menolong Ting Ling itu, Han ping dan Pengemis-sakti
Cerig To. Han Ping menolong, Cong To menyerang.
Kecuali kedua orang itu yang lain2 karena tak menyangka kalau Ih Thian-heng benar-benar
akan turun tangan. Maka mereka hanya tertegun dan tak sempat berbuat suatu apa. Bahkan Ting
Ko sendiri juga tertegun dan tak menyangka hal itu.
Walau Han Ping bertindak cepat tetapi gerakan Ih Thian-heng itupun lebih cepat dan tenagadalam
yang dipancarkan pada pukalan itu juga teramat dahsyatnya. Sekalipun dapat dihalangi Han
Ping tetapi sisa tenaganya masih dapat menembus dan mengenai tubuh Ting Ling sehingga nona
itu gemetar, berguncang lalu rubuh kebelakang".
Ting Ko cepat menghampiri, "Ting-ji. apakah engkau terluka?"dengan tangkas ia menyambuti
tubuh putrinya. Ting Ling batuk-batuk lalu dengan menahan kesakitan menjawab, "Parah sekali"."
Ca Cu-jing mendengus dingin, "Hm, tak kira kalau".
Ting Ling cepat memberi isyarat tangan, serunya, "Harap kalian jangan bicara. Dengarkan
sampai aku bicara habis. Kalau tidak sia2 aku menderita".
Ia paksakan diri melakukan pernapasan, lalu melanjutkan berkata, "Pemilik makam ini memang
ganas sekali. Setelah dapat melalui dua buah rintangan Harta dan Paras cantik, dia sudah
mempersiapkan Jalan maut ini. Dia me
manfaatkan terjadinya permusuhan sewaktu melintasi dua macam rintangan tadi, lalu
menghendaki agar disini kita saling berbunuhan sendiri. Disitulah letak kelemahan orang, terutama
orang persilatan yang paling mengutamakan soal balas dendam. Ih Thian-heng hendak
menggunakan kepercayaan yang telah diperolehnya selama memimpin rombongan melintasi


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua buah rintangan tadi, untuk mencelakai orang yang paling ditakutinya "-"
Ting Ling pejamkan mata, menghela napas dan berkata pula, "Tetapi seharusnya dia tak perlu
mengatakan hal itu sehingga aku terpaksa harus merangkai dugaan untuk meneropong isi hatinya.
Sepandai tupai melompat, sesekali terpeleset juga. Ih Thian-heng lengah memperhitungkan kalau
Ting Ling berada disini"."
Berhenti sebenar ia tertawa, "Apabila dia tak terasang kemarahannya dan memukul aku,
mungkin saudara2 takkan percaya pada omongan Ting Ling ini."
Setelah menangkis pukulan Pengemis-sakti Cong To, Ih Thian heng berseru, "Pemilik makam
itu berada disekeliling Jalan Maut ini. Dia tentu diam-diam sudah mempersiapkan jago2 sakti.
Apabila kita masuk kedalam pintu batu ini, serangan secara terang maupun gelap, tentu akan
segera melancar. Pemilik makam itu hendak menggunakan jalan yang gelap ini untuk membasmi kita."
Ting Ling berusaha mengangkat kepalanya dari pelukan sang ayah, serunya, "Engkau hendak
memancing ikan di air keruh. Engkau lebih dahulu hendak masuk lalu bersembunyi ditempat gelap
dan menggunakan kesempatan itu untuk menyerang orang, Dengan kepandaian yang engkau
miliki, sudah tentu mudah sekali engkau melaksanakan rencanamu itu"."
Ting Ling tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kerongkongannya serasa tersumbat oleh
hawa panas. "Nak, engkau memang terluka berat," kata Ting Ko lalu menepuk punggung puterinya. Ting
Ling batuk dan muntahkan ludah kental campur darah.
"Dengan meminjam tempat yang gelap ini, engkau hendak membunuh orang yang paling
engkau takuti," kata nona itu pula." setelah itu baru engkau akan menghadapi pemilik makam.
Orang yang ikut masuk kedalam ruangan itu tentu tak tahu apa yang telah terjadi.Mereka hanya
mengira engkau. Ih Thian heng. benar-benar telah menjadi pelopor untuk membuka jalan. Sudah
tentu mereka akan berterima kasih kepadamu. Engkau sudah mengucapkan sumpah yang bagus.
Sekalian rombongan patuh mendengar perintahmu. Uh, hebat benar siasatmu itu! Sayang Ting
Ling dapat membongkarnya?"
Wajah Ih Thian-heng makin membesi, serunya, "Budak setan, memang benar-benar cerdik"."
tiba-tiba pula ia tertawa nyaring, "Sayang masih ada sedikit yang belum dapat engkau, pikirkan.
Keadaan saat ini, sudah serba sukar. Maju, menghadapi Jalan Maut yang belum diketahui
bagaimana keadaannya. Mundur pun terbentur jalan ke matian. Ibarat anakpanah sudah direntang
pada busur, mau tak mau harus dilepas."
Ting Ling tertawa, "Jangan coba memaksakan dirimu bersikap tenang. Kutahu hatimu sudah
gelisah resah." Ih Thian-heng mengangkat tangan kanannya, berseru dingin, "Engkau sudah ibarat seperti
lampu kehabisan minyak. Cukup kugerakkan tanganku pelahan-lahan saja, tentu jiwamu sudah
melayang." Seiring dengan gerakan tangan Ih Thian heng, Han Ping dan Cong Tongpun serempak tampil
melindungi di muka Ting Ling.
Ih Thian-heng tertawa, "Tanpa kulepas hantaman, dia toh takkan hidup." Habis berkata ia terus
berputar tubuh dan menyelinap kedalam pintu batu.
Ting Ling tiba-tiba berdiri dan berkata kepada nya, "Yah, aku hendak pergi.
Dalam pertemuan ini aku belum dapat menunaikan kewajiban bhaktiku kepada ayah tetapi
malah menyuruh ayah mengantar kepergianku"."
Serta merta nona itu terus jatuhkan diri berlutut dihadapan ayahnya, "Yah, terimalah
hormatku"." Dalam tempat dan suasana yang seperti itu, berapa ganas hati ketua Lembah Raja-setan Ting
Ko, namun tak urung orangtua itu mengucurkan airmata juga. Cepat ia ulurkan kedua tangan dan
mengangkat puterinya. "Ling, engkau terluka dibagian mana?" tanyanya, "lekas beritahu kepada ayahmu. Demi
membongkar kelicikan Ih Ihian-heng engkau sampai menderita luka, tentu sekalian orang yang
hadir disini takkan tinggal diam. Nak, lekas bilanglah, dibagian mana engkau terluka?"
Ting Ling tertawa rawan, "Tak usah ayah sibuk, aku tahu bagaimana keadaan lukaku". ." ia
berpaling kearah Han Ping. Tampak pemuda itu tengah memandangnya dengan pandang
keharuan. Tiba-tiba dari dalam pintu batu itu terdengar dua buah bentakan keras dan menyusul
gelombang tenaga dahsyat mendampar keluar.
Cong To cepat menghantam dan tenaga dari dalam pintu batu itupun terdampar kembali.
Sejenak Ting Ling memandang kepada rombongan tokoh-tokoh itu. Ia memegang tangan
ayahnya dan berdiri. Wajahnya mengerut kesakitan, ia melambai kearah Han Ping, serunya, "Aku
sudah hampir mati. Entah apakah engkau mau mendengarkan dua patah pesanku?"
"Silahkan nona bilang, apabila mampu, aku tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk
melaksakakan," kata Han Ping.
Ting Ling mengangguk, katanya, "Engkau harus baik2 merawat adikku si Hong. . . dia seorang
anak perempuan yang tulus dan masih kekanak kanakan"." tiba-tiba ia batuk dan hentikan
ucapannya. "Jangan kuatir, nona," kata Han Ping, "nona Hong sudah kuanggap sebagai adikku sendiri.
Dalam hidupku ini, dia adalah adikku sekandung."
Berkata Ting LiDg dengan sedih, "Kutahu engkau selalu pegang janji. Dengan memperoleh
janjimu itu, aku dapat mati dengan meram"."
Tiba-tiba darah dalam tubuhnya meluap, menyumbat kerongkongannya sehingga ia tak dapat
bernapas. Dan rubuhlah nona itu.
Ting Ko menyambut! tubuh puterinya dengan kedua tangan, "Ling, Ling"."
Tetapi Ting Ling sudah pejamkan mata Wajahnya pucat lesi dan jiwanyapun melayanglah".
"Puteri sakti dari Lembah Setan, bermulut tajam, berotak cerdas, Disohorkan orang sebagai
gadis yang licin banyak muslihat.
Tetapi tipu muslihat demi budi kebajikan, kelicinan demi kebaikan," seru Pengemis-sakti Cong
To," sayang Tian tak memberinya umur panjang sehingga kematiannya sangat disayangkan sekali.
Aku sipengemis tua Cong To, paling merasa kagum pada orang begini. Harap nona tunggu
sebentar, terimalah sembahhormat pengemis tua"."
Tokoh yang menggemparkan dunia parsilatan, to k oh yang mendapat peindahan dari kaum
persilatan, saat itu dengan serta merta menjurah dan memberi hormat dihadapan jenazah Ting
Ling. Demikian pula Han Ping. Teringat akan budi kebaikan nona itu, Han Pingpun mengucurkan
airmata dan berlutut memberi hormat dalam2, "Nona banyak melepas budi kepadaku tetapi slama
itu aku belum dapat membalas Terimalah hormat Han Ping yang tulus ihklas"."
Sekalian tokoh-tokoh yang lain amat penasaran. Disamping timbullah rasa syukur yang tak
terhingga terhadap nona itu yang dalam detik-detik terakhir masih memberi peringatan kepada
sekalian orang, betapa licik dan jahat siasat hati ih Thian-heng yang sebenarnya terhadap mereka
itu. Sekalian tokoh-tokoh yang ternama dalam dunia persilatan itu serempak menjurah memberi
hormat yang terakhir kepada Ting Ling.
Tiba-tiba ketua lembah Raja-setan Ting Ko tertawa keras, serunya, "Anakku Ling, setelah
meninggal engkau mendapat penghormatan dari seluruh tokoh-tokoh persilatan begini rupa,
sungguh jauh lebih hebat dari aku. Matimu, Ling, adalah mati yang terhormat, mati yang
disayangkan oleh sekalian tokoh persilatan. Engkau akan terkubur dalam hati mereka!"
Kim loji tiba-tiba menghela napas panjang, serunya, ?"Sayang tabib alis panjang itu sudah mati
Kalau tidak, mungkin dia tentu dapat menghidupkan engkau."
tiba-tiba terdengar suara melengking, "Ah, tak mesti begitu. Apakah didunia ini tak terdapat
orang yang lebih pandai dari dia?"
Sekalian orang berpaling kebelakang. Tampak dara baju ungu yang berkerudung muka
melangkah masuk dibawah pengawalan dari jago2 Lam-hay-bun Han Ping, Kim loji dan Cong To
diam-diam girang dan berkata dalam hati, "Ya, benar, mengapa melupakan dia?"
Cepat Han Ping maju selangkah dan berseru gembira, "Sungguh menggirangkan sekali engkau
datang Kalau engkau tak datang, aku sungguh"."
"Engkau girang karena aku datang, bukan?" tukas dara baju ungu itu.
"Ya, tentu," sahut Han Ping.
"Engkau girang karena melihat aku, atau karena kedatanganku ini akan dapat menolong nona
Ting " kata si dara pula.
Han Ping tercengang. Sampai beberapa saat ia tak dapat menjawab.
dara itu terdengar mendesah pelahan lalu perlahan-lahan melangkahkan kaki. Han Pingpun
menghela napas dalam2. Saat itu nenek Bwe Nio sudah berada disamping Han Ping dan berkata pelahan, "Anak itu
memang luar biasa pintarnya. Dalam menghadapi setiap persoalan, cara berpikir, membahas dan
menyimpulkan, tak ada seorang persilatan didunia ini yang mampu menandingi. Tetapi". ah,
betapa pun dia itu tetap seorang anak perempuan."
Kembali Han Ping terkesiap. Walaupun mulut diam tetapi hatinya diam-diam berkata, "Ah,
sudah tentu aku tahu kalau dia seorang anak perempuan masakan"."
Belum sempat ia merenung lebih lanjut, nenek Bwe sudah melanjutkan berkata lagi,
"Betapapun pintarnya seorang anak perempuan itu apabila dia itu seorang anak perempuan, tentu
masih mempunyai hati cemburu. Terutama terhadap orang yang dicintainya. Memang itulah
penyakit dari anak perempuan, apakah engkau sudah mengerti?"
Han Ping tegak seperti patung. Dia memandang seorang pemuda yang mencurahkan seluruh
hidupnya untuk mengajar ilmu kesaktian agar danpat menuntut balas atas kematian kedua
orangtuanya Terhadap pergaulan dengan anak gadis, hampir dikata ia masih hijau.
Tiba di samping Ting Ling, sejenak dara baju ungu mengeliarkan pandang kearah sekalian
orang yang mengunjuk rasa sedih atas ke matian Ting Ling.
"Ah apabila aku mati, entah apakah ada orang yang berdukacita seperti itu?"
Kemudian ia berpikir lebih lanjut, "ia seorang anak perempuan, mengapa bisa mendapat
perhatian besar dari tokoh-tokoh itu" Karena ia telah mengorbankan diri untuk menolong lain
orang. Lalu aku ini?"."
Memang seorang yang cerdik dan cerdas, perasaannya makin keras, pikirannya makin luas.
Orang-orang begini, memang sukar dirabah hatinya. Dalam banyak hal, memang orang sukar
mengerti isi hatinya. Dia seorang manusia yang mempunyai perasaan kuat sehingga dapat
menindas perasaan hatinya sendiri.
Mata sekalian tokoh itu mencurah kearah dara baju ungu. Tampak dara itu berjongkok dan
memeriksa dada Ting Ling dan pergelangan. tangannya. Lalu membuka kelopak mata nona itu,
menengadah memandang keatas dan dara itupun merenung diam.
"Bagaimana, apakah dapat ditolong?" karena tak kuat menahan hatinya, Ting Ko segera
bertanya. Dara baju ungu itu tundukkan kepala dan menghela napas pelahan, "Ah, tiga urat besar sudah
berhenti, itu delapan nadi putus. Walaupun mendapat pil dari dewa tetap sukar untuk
menolongnya. Sekalian tokoh terkejut dan terkesiap. Dara baju ungu itu merupakan satu-satunya harapan
mereka. Dan keterangan dara itu, membuat lenyap harapan itu". .
"Tetapi," tiba-tiba dara baju ungu itu melanjutkan berkata lagi, "walaupun aku tak berdaya
untuk merebut jiwanya tetapi aku mempunyai cara untuk merawat jenazahnya agar tak rusak
selama-lamanya. Dengan demikian engkau dapat"."
Tiba-tiba kata-kata dara itu terputus oleh suara teriakan keras. Serentak tokoh-tokoh itu
berpaling. Tampak Han Ping melangkah maju dengan gopoh dan tegang. Ketika berhenti,
tubuhnya masih gemetar. "Ping ji. engkau kenapa " seru Kim loji terkejut.
Han Ping memandang lekat2 pada tubuh si dara baju ungu dan berserulah ia dengan keras
serta tersendat-sendat, "Engkau". engkau, engkau". engkau mengapa tak mau menolongnya"
Mengapa hatimu begitu ganas"."
Dara baju ungu tegak; berdiam diri.
"Eh, saudara, mengapa engkau berkata begitu?" tegur Pengemis-sakti Cong To, "nona Ting
sudah putus jiwanya. Hanya dapat menyalahkan nasib, mengapa engkau menyalahkan orang?"
"bukan begitu!" bentak Han Ping lalu menuding pada dara baju ungu," karena dia merasa
Cemburu, mencemburui nona Ting maka dia tak mau menolongnya."
Ujung jari dari itupun tampak gemetar, ujar, nya, "Engkau". sangka aku ini". orang macam
begitu?" "Benar orang semacam itu atau tidak, hanya engkau sendiri yang tahu. Asal tiap malam engkau
merenung dan merasa hari itu tak berbuat sesuatu yang menyalahi orang, orang tentu takkan
dapat berbuat apa-apa terhadapmu "
Tampak sekalian tokoh mengerut dahi. Mereka bersangsi dan kesangsian itu jatuh pada diri si
dara baju ungu. "Ji Han Ping!" seru nenek Bwe dengan bengis, mengapa seenakmu saja engkau berani
menghina anakku " Tetapi diam-diam nenek itupun sudah tahu akan watak si dara yang angkuh dan keras kepala.
Diam ia sendiripun juga mempunyai setitik kesangsian. Maka walaupun menyemprot Han Ping
dengan keras tetapi nadanya tidak marah.
Ting Ko berbangkit, serunya, "Nona, asal engkau dapat menghidupkan anakku ini, apapun yang
hendak engkau perintahkan, aku ketua Lembah Raja-setan akan menurut perintahmu untuk
selama-lamanya". ."
Tubuh dara baju unga itu gemetar. Kain kerudung yang menutupi mukanyapun ikut
berguncang ketika ia menjawab, "Apakah kalian mengira aku dapat menolongnya?"
Sekalian tokoh tak menjawab. Diam mereka mengakui pernyataan dara itu.
Tiba-tiba dara itu menengadahkan muka dan tertawa nyaring, "Mengapa aku harus
menghidupkan dia" Mengapa yang lain orang tak mampu melakukan, kalian suruh aku
mengerjakan" Kalau aKu tak mampu, kalian terus menuduh aku berhati iri dan cemburu, berhati
kejam dan ganas"."
Mendengar itu sekalian tokoh terkesiap. Tampak dara itu terus menerus tertawa sampai pada
akhirnya ia terkulai rubuh.
Nenek Bwe Nio terkejut. Cepat ia memeluk tubuh dara itu.
"Ai". engkau". kenapa". ah"."
JILID 6 Suami dan isteri. Si dara baju ungu setengah membuka kelopak mata dan berkata tersendat-sendat, "Bwe Nio".
aku". tak bersalah"."
Nenek Bwe memeluknya erat2. Dengan airmata berlinang-linang ia menghibur, "Nak, engkau".
menolong orang tetapi sekarang". siapakah yang akan menolongmu"."
Nenek itu terus menangis keras.
Kim loji terkejut, serunya, "Apakah". apakah dia"."
"Engkaulah yang mencelakainya. Dia penasaran sekali dan terus mengigit mutiara beracun".
tiada obatnya lagi". nenek Bwe berseru geleng sedih.
Han Ping maju selangkah, "Apakah dia benar-benar meninggal dunia?"
Tampak rambut nenek Bwe gemetar. Jelas nenek itu sedang dilanda kesedihan, kemarahan dan
ketenangan. Airmatanya membanjir".
"Engkau pembunuh .,,"." tiba-tiba terdengar sebuah bentakan serta angin hantaman tongkat
kearah Han Ping. Han Ping berpaling dan melihat bahwa yang menyerangnya itu lelaki baju merah yang kakinya
buntung. Namun dia hanya tertawa tawar, "Baik, aku akan mengganti jiwanya Han Ping;
pejamkan mata menunggu maut.
Pada saat tongkat hendak merenggut jiwa Han Ping, tiba-tiba sebatang tongkat bambu
menjulur untuk merintangi tongkat besi sibaju merah.
"Jangan melukainya?" seru Bwe Nio.
Lelaki berkaki buntung itu merah padam mukanya. Matanyapun merah seperti terbakar api.
Tetapi ketika mengetahui bahwa yang merintangi itu nenek Bwe Nio, diapun tak berani
melanjutkan serangannya. "Bwe Nio". ia mengapa".?" seru lelaki kaki buntung itu dengan wajah pucat membesi.
Bwe Nio memeluK tubuh si dara baju ungu dan menyahut, "To ji sudah meninggal. Engkau
membunuhnya, To jipun tak dapat hidup kembali"."
Memandang pada tubuh si dara yang berada dalam pelukan nenek Bwe, meluaplah kemarahan
lelaki kaki buntung itu serunya, "Membunuh dia berarti dapat menghilangkan penasaran sumoay di
alam baka. Mengapa engkau setan tua". ."
"Tutup mulutmu! Apa engkau sudah gila "."
tiba-tiba Ong Kwan-tiong, suheng dari dara baju ungu membentak keras.
Menyurutlah nyali lelaki kaki buntung itu. Ia menghela napas dan menitikkan dua butir airmata,
ujarnya, "Adakah kita tinggal diam atas kematian sumoay?"
Ong Kwan-tiong tak kalah tegangnya tetapi dia lebih kuat untuk menekan perasaan hatinya.
Sahutnya, "Kurasa Bwe Niolo-cianpwe tentu dapat mengatur, tak perlu engkau sibuk tak
keruan"." Bwe Nio menghela napas panjang, ujarnya, "Jangan menyalahkan dia seorang. Dalam soal
kematian Toji ini, aku sendiri juga merasa sedih sekali. Ingin kubunuh semua orang disini, apalagi
dia". ." Ong Kwan-tiong tertawa rawan, "Memang Lau sute terlalu merangsang. Tetapi apa yang
diucapkan itu benar. Sumoay tak kuat menerima hinaan orang lalu bunuh diri. Masakan kita tak
menyelesaikan perhitungan itu?"
"Memang Toji mati dengan membawa penasaran. Tetapi sebab dan Kemauannya itu, bukan
dan peristiwa saat ini. Penyelesaiannya tak bisa dilakukan dari apa yang kita lihat saat ini."
Tiba-tiba lelaki kaki buntung itu tertawa nyaring dalam nada yang seram, "Benar, setiap orang
yang terlibat dalam kematian sumoay,satupun takkan diberi ampun". "
Pengemis-sakti Cong To tertawa dingin, "Jangan kata belum tentu orang Lam-hay-bun
mempunyai tokoh yang mampu melakukan pembersihan itu. Taruh kata ada, pun dara yang sudah
mati itu takkan hidup kembali. Ha, ha, ha, ha". Kiranya orang-orang Lam hay-bun itu tak lebih
dari kantong nasi semua". "
Ong Kwan-tiong menyambut dingin, "Sudah lama kudengar nama Pengemis Sakti itu. Apakah
saudara berani bertanding dengan aku sampai mati?"
"Jangan ribut2".!" bentak nenek Bwe dan matanyapun memancarkan sinar yang seram.
Memandang kesekeliling dan berseru pula, "Urusan ini memang harus dibereskan. Kalau bukan
orang Lam-hay-bun yang akan berserakan menjadi mayat di makam ini, tentulah kalian orangorang
persilatan Tiong-goan"."
Tiba-tiba Han Ping membuka mata memandang kearah jenazah dara baju ungu dan Ting Ling
lalu menghela napas panjang, "Dosa paling besar yang menyebabkan kematian kedua nona itu,
seharusnya terletak pada ih Thian-heng yang menganti jiwa"."
"Benar." sahut nenek Bwe. "pertama memang dia. Dan kedua yalah engkau!"
han Ping tertawa hambar, "Daripada bercermin bangkai, lebih baik berkalang kubur. Kalau
kalian menganagap aku yang seharusnya mengganti jiwa nona Siau, aku takkan menolak. Tetapi


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daripada kalian harus turun tangan dua kali, membunuh aku lalu membunuh Ih Thian-heng,
mengapa kalian tak membiarkan aku dan dia bertempur sampai mati. Bukankah kalian boleh
melihat di samping dan nanti tinggal membunuh saja siapa yang menang dalam pertempuran itu?"
"Apakah engkau mempunyai dendam kepadanya?" tanya nenek Bwe.
"Sakit hati ayah bunda dibunuh, merupakan musuh yang tak dapat kubiarkan hidup bersama
aku "." sahut Han Ping.
bwe Nio tiba-tiba berpaling kearah Cong To. serunya, "Engkau bilang kalau orang-orang Lamhay-
bun itu hanya kantong nasi sernja. Dapatkah engkau menunjukkan alasanya?"
Cong To tertawa dingin, "Seharusnya engkau sudah tahu kalau dia mengulum mutiara-beracun.
Mengapa tak lekas-lekas mengambilnya dan menunggu sampai dia mengunyah mutiara itu"
Satelah nona itu meninggal, lalu kalian mengumbar suara basar seperti geledek?"
"Soal menjaga bahaya, masakan aku tak tahu," sahut nenek Bwe.
"Yang tahu tetapi diam, dia berdosa. Menurut keadilan, engkaulah yang harus dibunuh lebih
dulu untuk menemani jiwanya" seru Cong To pula.
Bwe Nio menunduk memandang dara baju ungu yang berada dalam pelukannya. Ia tertawa
sedih, ujarnya, "Ah, anak yang manja, Thian telah mengaruniai engkau kecantikan dan kecerdasan
yang luar biasa tetapi Thian tak memberikan engkau kebahagiaan dan umur panjang, Engkau
seperti bercengkerama di sorga tetapi hatimu rawan dan resah. Anak yang malang, jika engkau
tak begitu pandai, tentu engkau takkan mengalami hari penghabisan seperti saat ini. Nak, dengan
sisa-hidupku, kuiringkan engkau berkelana ke daerah Tiong-goan. Dengan harapan mudahmudahan
kesepian dan kerawanan hatimu dapat terhibur oleh alam pemandangan Tiong-goan
yang indah permai. Sunggah tak kira hal itu malah membuat engkau lekas-lekas tinggalkan dunia
fana ini. Nak, betapa menderita engkau dalam menjelang kematianmu itu"."
Nada nenek Bwe penuh dengan jeritan hati yang tersayat kesedihan. Rambutnya yang putih
gemetar dan airmatanya berderai-derai seperti banjir dan akhirnya menangislah ia tersedu sedan.
Anak buah Lam hay-bun menangis semua.
Tampak wajah Han Ping merah padam dan tubuhnya gemetar. Jelas dia sedang mengalami
ketegangan hebat dalam hatinya. Kemudian berserulah ia, "Apa yang Cong lo cianpwe katakan
tadi memang benar. Sudah tahu bahwa nona Siau mengulum mutiara-beracun, mengapa tak lekas
berusaha untuk mengambilnya .
Dalam pada itu dari belakang pintu batu terdengar suara angin pukulan menderu-duru.
Rupanya telah berlangsung pertempuran yang dahsyat.
Nenek Bwe menghela napas . "Hal itu yang harus disesalkan yalah mengapa Thian
memberkahinya kecantikan yang luar biasa. Demi menjaga kesucian dirinya ia memang selalu
mengulum mutiara beracun. Sungguh tak terduga kalau karena tak kuat menahan goncangan
hatinya, ia terus menelan mutiara itu."
Memikirkan kematian kedua nona cantik itu, diam-diam Han Ping merasa bahwa kematian
mereka mempunyai sangkut paut juga dengan dirinya. Ia menimang, "Sebelum meninggal,
mereka berdua merupakan gadis yang amat cantik sekali. Entah berapa banyak lelaki yang jatuh
binasa dibawah kaki mereka. Tetapi saat ini mereka sudah menjadi mayat, dan dalam beberapa
bulan lagi akan berobah menjadi seperangkat kerangka tulang Jelita dan ksatrya hampir setali tiga
uang. Akhirnya hanya merupakan sosok kerangka tulang yang di timbuni gunduk tanah. Matinya
seseorang ternyata hanya begitu tawar dan dingin, mudah"."
Tiba-tiba nenek Bwe seperti teringat sesuatu yang penting Ia cepat berpaling dan membisiki
kepada Ong Kwan-tiong. Ong Kwan-tiong tampak mengangguk kepala. Ia terus ayunkan langkah kemuka. Tetapi baru
dua langkah ia berputar balik lagi dan gelengkan kepala, "Jalanan dimuka panjang dan penuh
dengan pekakas rahasia yang berbahaya. Sekali pun aku dapat melintasi keluar tetapi sukar untuk
kembali kedalam makam ini lagi. Kalau mau kita sama-sama pergi."
Nenek Bwe merenung. Pelahan lahan ia letakkan mayat dara baju ungu, serunya, "Jagalah
baik2 jenazahnya, aku hendak pergi sebentar dan segera kembali." Habis berkata nenek itu
berputar tubuh lalu lari. Tampak wajahnya amat tegang. Rupanya ia teringat sesuatu.
Dalam pada itu Ting Kopun mengangkat mayat puterinya. katanya, "Anakku, makam ini penuh
bahaya maut. Masih belum dapat diketahui apakah ayah bisa keluar dan makam ini dengan
selamat atau tidak. Waktu engkau masih hidup, ayah tak menyayangimu. Apabila kita ayah dan
anak dapat mati bersama dalam satu tempat, tentu akan kurawatmu dengan baik."
Han Ping menjurah dihadapan jenazah si dara baju ungu. katanya, "Harap nona suka tunggu
sebentar. Setelah dapat membalaskan sakithati orangtuaku, aku tentu akan menyusul nona".
Habis berkata, tiba" ia. berputar tubuh lalu melesat masuk kedalam pintu batu.
Sikaki buntung baju merah hendak mencegah tetapi terlambat. Dan serempak dengan itu
terdengar Pengemis-sakti Cong tertawa gelak-gelak.
"Hampir sembilanpuluh bagian dari perjalanan sudah dapat dilalui. Masakan kita takut untuk
menghadapi dengan Jalan Maut ini". "serunya lalu melangkah menyusul Han Ping. Tetapi baru
dua langkah, tiba-tiba ia berpaling.
"Jalanan sepanjang tigabelas tombak ini, selain jago2 yang diperintahkan pemilik makam untuk
menjaga, pun terdapat juga Ih Thian-heng yang secara sembunyi akan melancarkan serangan2
gelap. Pengemis tua mengharap agar saudara2 mengubur dendam permusuhan pribadi dan suka
saling membantu agar dapat melintasi bahaya ini," serunya.
"Baik, aku setuju dengan pendapat saudara Cong," sambut Nyo Bun giau.
Ting Ko dan Ca Cujirgpun mengangguk, "Memang Ih Thiau-heng luar biasa liciknya. Kalau satu
lawan satu. terus terang tiada seorangpun diantara kita yang mampu menandingi kesaktian dan
kepandaiannya. Dan seorang manusia jahat yang pura2 baik. Dia gemar sekali mempelajari
kepandaian untuk mencelakai orang. Tak perlu kita harus menggunakan cara2 perwira seperti
yang lazim dalam dunia persilatan. Marilah kita bersatu padu membasmi orang itu!"
Cong To hendak bicara tetapi tak jadi. Ia terus berputar tubuh dan berjalan kemuka.
Sejenak memandang kesekalian orang, Nyo Bun-giau berbisik, "Saudara Leng"."
Sejak berkumpul dengan rombongan tokoh-tokoh itu. ketua lembah Seribu-racun tak mau
bicara. Dia hanya meramkan mata. Baru setelah Nyo Bun-biau menegurnya, ia gelagapan dan
membuka mata, "Apa?"
Kiranya dia tengah salurkan tenaga-dalam untuk memulihkan tenaganya dan saat itu
semangatnya pun sudah tampak penuh.
Nyo Bun-giau agak terkesiap, serunya, "Pikirku, aku dan saudara Leng akan berjalan di muka.
Saudara Ca, berjalan dibelakang kita. Dengan ilmu pukulannya Peh-poh sin kun, dapat membantu
rombongan ini untuk melintasi serangan Ih Thian heng."
Ketika ketua Lembah-seribu racun hendak menjawab tiba-tiba nenek Bwe Nio muncul.
Dibelakang nenek itu mengikuti seorang dara berambut panjang.
Melihat dara itu serentak ketua Lembah-seribu-racun berseru, "Ceng, lekas kemari!"
Tetapi Siangkwan Kopun cepat berseru, "Ceng, kemari!"
Ketua Lembah-seribu-racun tertawa meloroh, "Saudara Siangkwan. marga Siangkwan dan
Lembah-seribu-racun, sama-sama mempunyai nama yang gemilang dalam dunia persilatan.
Apabila kita bisa terangkap dalam perjodohan, sungguh merupakan keluarga yang hebat,
Siangkwan Ko tertawa dingin, " Masakan puteriku yang begitu cantik dan pintar, sudi menjadi
isteri puteramu yang buruk muka, hm! Saudara Leng, harap hapus saja keinginanmu itu agar
jangan menimbulkan kesusahan."
Seketika berobahlah wajah Leng Kong-siau, serunya dingin, "Dalam tempat dan saat yang
masih belum diketahui bagaimana jadinya dengan diri kita, aku tak mau bertengkar mulut dengan
saudara Siangkwan. Tetapi soal pernikahan itu puterimu sendiri yang sudah meluluskan. Kalau tak
percaya silahkan tanya kepadanya."
Siangkwan Ko terlawa dingin, "Urusan penting seperti pernikahan itu, masakan seperti
permainan kanak-anak. Harus ada juga jomlang dan enam yang saksi. Satupun tak boleh kurang.
Lalu siapakah saksi saudara Leng itu?"
Dengan terlongong Siangkwan Wan-ceng memandang ayahnya dan Leng Kong-siau. Kemudian
tanpa mengacuhkan keduanya,ia terus melangkah masuk kedalam pintu batu.
Rupanya Siangkwan Ko dapat melihaT perubahan muka puterinya. Maka cepat ia berseru "
Ceng Ji, Ceng Ji! Mengapa engkau tak kenal lagi ayahmu?"
Tetapi bukan berhenti atau menyahut, nona itu malah terus pesatkan langkah masuk ke dalam.
Tetapi Leng Kongsian lebih cepat. Apalagi dia lebih dekat dengan pintu. Maka ia terus
mendahului menyusul masuk.
Nyo Bun-giau, Siangkwan Ko, Ting Ko dan Kim loji. pun segera mengikuti masuk kedalam pintu
batu itu. Kini yang tinggal di ruang itu hanya orang Lam-hay bun. Nenek Bwe segera mengeluarkan
mustika Tenggoret Kumala, "Menurut apa yang tersiar dalam dunia persilatan Tiong-goan, mustika
ini dapat menyembuhkan segala macam racun. Entah apakah dapat menyembuhkan racun
mutiara yang berada dalam tubuh "to-ji?"
Ong Kwan-tiong menyahut gopoh, "Sumoay sudah menelan mutiara racun itu kedalam perut.
Apakah kita harus menghancurkan mustika itu dan diminumkan pada sumoay?"
Bwe Nio tertegun, "Ah, hal itu sebelumnya tak pernah kupikirkan."
Ong Kwan-tiong menghela napas, "Entah apakah suhu sudah mengetahui kalau sumoay biasa
mengulum mutiara beracun itu?"
"Ayah To ji, tahu segala apa. Kukira dia ten tu sudah tahu hal itu dan mempunyai cara untuk
menolongnya. Sayang dia tinggal di Lam hay yang jauh sehingga tak tahu kalau to ji sudah
menelan mutiara beracun itu"."
Sibuntung baju merahpun mcnyelutuk, "Sekali pun tahu, tentu terlambat juga Begitu dia tiba
jenazah sumoay tentu sudah membeku."
Tiba-tiba sibungkuk Au yang sejak tadi diam saja, saat itu berkata, "Maafkan aku yang lancang
mulut. Karena hal ini sudah begini, menurut pendapatku, lebih baik kita hancurkan saja mustika
Tenggoret Kumala itu dan kita minumkan pada nona Siau. Mustika itu sudah termasyhur sebagai
obat mujarab untuk menyembuhkan segala rupa racun, mungkin saja masih ada harapan untuk
menolong nona." Nenek Bwe menghela napas, "Makam ini memang tak baik terhadap kaum wanita. To-ji
menelan mutiara beracun lalu bedak perempuan dari lembah Raja setan itupun karena terluka lalu
meninggal Nona Siangkwan tadipun telah kututuk jalandarahnya sehingga menjadi orang longong.
Empat jam lagi, dia tentu takkan tertolong jiwanya".
"Waktu Bwe Nio lo-cianpwe hendak mengambil mustika Tenggoret Kumala, aku lantas"."
belum Ong Kwan-iiong menyelesaikan kata-katanya, nenek Bwe sudah menukas, "Engkau lantas
tak setuju, bukan?" Ong Kwan-tiong mengangguk.
"Maka kuminta engkau pergi. Tetapi walaupun meluluskan, engkau tetap tak mau pergi," kata
nenek Bwe pula. Ong Kwan-tiong menghela napas panjang, "Bwe Nio cianpwe, apakah karena nona Siaugkwaa
melihat engkau hendak mengambil mustika Tenggoret Kumala itu engkau lalu menutuk
jalandarahnya?" "Ya," nenek Bwe mengiakan.
"Bwe Nio cianpwe. engkau". huh, huh"." tiba-tiba Ong Kwan-tiong tundukkan kepala batukbatuk
tak henti-hentinya. "Sudahlah, jangan batuk-batuk," kata Bwe Nio, "kutahu apa yang hendak engkau katakan.
Bukankah engkau mengatakan aku keliwat ganas?" Ong Kwan- tiong diam saja. "Benar, memang
aku keliwat ganas," kata nenek Bwe, "tetapi demi To ji, perbuatan yang lebih kejam dari itu, pun
akan kulakukan juga.!?" Ong Kwan liong mengangkat kepala, berkata dengan nada sarat, "Bwe Nio
cianpwe, mustika Tenggoret Kumala itu jangan sekali-kali dibuat mengobati sumoay!"
"Mengapa?" "Segala yang terdapat dalam makam ini, penuh dengan hal yang diluar dugaan orang. Kita
harus hati-hati Selruh isi makam dan kabar tentang makam ini ternyata hanya bohong semua.
Maka tentang kedua mustika Tenggoret Kumala dan Ku-pu2 Emas itu, tentulah juga"."
"Palsu?" Bwe Nio menukas.
"Ya," Ong Kwan-tiong mengiakan.
Bwe Nio menghela napas, "Akupun juga mempunyai kecurigaan begitu. Maka aku masih sangsi
untuk memberikan kepada To ju tetapi dia benar-benar terancam jiwanya, kecuali dengan jalan
mencobakan mustika ini, rasanya kita sudah tak ada lain daya lagi."
Ong Kwan-tiong menjawab dengan serius, "Lebih baik kita biarkan keadaan begini dan
menunggu perobahan, daripada bertindak dengan gegabah,"
Sejenak merenung, Bwe Nio menghela napas pelahan, "Menuruf engkau"."
Rupanya nenek itupun juga tak berani mengambil keputusan sendiri.
Ong Kwan-tiong menjurah, "Harap cianpwe memondong tubuh sumoay dan aku yang akan
membuka jalan." "Aku saja" tiba-tiba sikaki buntung baju merah berseru.
Ong Kwan tiong berkata dengan wajah serius, "Saat ini gawat sekali, soal mati hidup. Engkau
dan aku demi kepentingan sumoay, seharusnya lekas keluar dari makam ini. Tak mungkin kita
mundur dan kalau maju terus kita harus hati-hati. Sejak saat ini, dendam dan kepentingan
peribadi diantara engkau dan aku harus disingkirkan. Perlu apa engkau hendak berebut dengan
aku?" Kata-katanya itu tepat dan serius. Kaki buntung tundukkan kepala diam.
Diam-diam nenek Bwe merenung, "Ong Kwan tiong anak ini, biasanya tak tampak
keluarbiasaannya. Tetapi pada saat yang genting, dapatlah diketahui betapa tegas dan tepat ia mengambil
keputusan. Tak heran kalau ayah To ji, suruh dia mengawal perjalanannya. Hanya sayang dia.?"
ia tak mau melanjutkan pemikirannya. Mengangkat tubuh si dara baju ungu terus melangkah
masuk kedalam pintu batu. Melihat itu Ong Kwan- tiong cepat mendahului berjalan dimuka nenek
itu. Si kaki buntung, si Bungkuk dan si Pendekpun segera mengikuti dibelakang nenek bwe.
Seketika mereka mendengar deru angin pukulan yang keras kira2 pada jarak beberapa tombak
jauhnya. Jelas kalau disebelah muka sedang berlangsung pertempuran dahsyat.
Suasana sunyi tetapi penuh maut.
Tiba-tiba Ong Kwan tiong tergelincir dan menginjak sebuah benda yang lunak. Cepat ia
menyambar dan mengangkatnya Ternyata sesosok mayat.
"Ah, ruangan ini penuh mayat," ia menghela napas.
Tampak sinar berkilat-kilat sampai beberapa tombak dan menyusul terdengar suara jeritan
melengking. Jelas terdapat seseorang yang mati.
"Kawan tiong," bisik nenek Bwe, "pelahan saja. Biarlah mereka yang membukakan jalan untuk
kita"." Kaki buntung menyelutuk, "Bwe Nio memang tepat. Kita memang tak dapat menghindari
bertempur dengan jago2 Tionggoan. Baiklah kita beristirahat untuk memulangkan tenaga dulu."
Angin pukulan makin menderu tajam dan tak henti-hentinya. Tetapi tetap ditempat itu saja.
Suatu pertanda bahwa rombongan tokoh-tokoh silat tadi sedang menghadapi musuh yang
tangguh dan tak dapat melintasi maju.
"Pemilik makam ini, memang tak boleh dianggap enteng. Dia dapat menahan jurus serangan
dari sekian banyak jago2 silat Tionggoan yang sakti," kata Ong Kwan-liong. Iapun terus maju
kearah tempat pertempuran itu.
Wut". tiba-tiba serangkum angin pukulan melanda dada Ong Kwan-tiong. Cepat ia kebutkan
lengan bajunya untuk menghalau lalu cepat-cepat balas memukul.
Tiba-tiba kedengaran Pengemis sakti Ceng To berseru, "Saudara Siangkwan, kita harus lekas
menahan kebelakang Rupanya orang Lam-hay-bun menggunakan kesempatan saat ini untuk
menyerang kita! " Dalam keadaan yang remang, terdengar Han Ping berteriak marah, "Siapa yang menghadang
aku, tentu mati!" Sinar berkelebatan menyilaukan lorong jalan yang sunyi dan gelap itu Sesaat terdengar jeritan
ngeri susul menyusul. Rupauya ada beberapa orang yang rubuh dibawah sabatan pedangnya.
Sebuah suara yang parau terdengar dari tengah lorong, "Kalau kalian tak mampu merintangi,
baik menyisih saja!"
Tiba-tiba Bwe Nio rasakan tubuhnya gemetar hampir mau rubuh. Ia segera berbisik kepada
Ong Kwan-tiong, "Kwan-tiong, suara itu benar-benar tak asing lagi."
"Ya, akupun merasa demikian juga. Seperti nada suara suhu?" kata Ong Kwan-tiong.
"Aneh," kata Bwe Nio, "dalam beberapa tahun ini, dia belum pernah pergi dari Lam-hay. Mana
mempunyai waktu untuk membangun makam kuna ini?"
Jawab Ong Kwan-tiong, "Kepandaian suhu, setanpun tak dapat menduga"."
Tiba-tiba beberapa mata manusia memancar disebelah muka. Rupanya ada beberapa orang
yang hendak menghadang jalan.
"Siapa?" bentak Ong Kwan-tiong. Si kaki buntung, si bungkuk dan si Kate cepat berhamburan
menerjang maju. Rupanya orang-orang Lam-hay-bun itu sudah terbakar dengan kemarahan. Kesedihan atas
meninggalnya suamoay mereka, hendak ditumpahkan kepada setiap musuh yang dijumpahinya.
Wut". si Bungkuk mendahului lepaskan hantaman. Siangkwan Ko menggembor keras dan
menangkis, benturan kedua tenaga pukulan itu, kumandangnya bergulung-gulung memenuhi
terowongan jalan. "Kalau ayah To-ji benar berada dalam makam ini, anak ini tentu tertolong," kala bwe Nio.
"Mudah mudahan Thian melindungi agar sumoay dapat hidup kembali," kata Ong Kwan tiong.
Tiba-tiba terdengar si kaki buntung baju merah berseru keras, "Pengemis tua benar-benar tak
bernama kosong. Cobalah engkau terima lagi sebuah pukulanku ini!"
Pengemis sakti Cong To tertawa nyaring, "Kita memperoleh kesempatan baik sekali untuk
mengadu kepandaian. Tak usah heran."
Pedang berkelebat dan Siangkwan Ko berteriak, "Saudara Cong hanya bertangan kosong dan
dia menyerang dengan tongkat besi. apakah tak rugi" Baiklah saudara Cong menghadapi si
Bungkuk dan si Pendek itu saja, aku yang menghadapi dia!"
Cong To tertawa, "Tak perlu saudara Siangkwan sungkan. Karena kedua orang itu maju
berbareng, saudara boleh gunakan senjata menghadapi mereka.
Siangkwan Ko dua kali menahas dan mengundurkan kedua Bungkuk dan Pendek lalu berteriak
keras, "Bungkuk dan Pendek itu penghianat dari Tionggoan. Dahulu ketika di Sepak, aku pernah
bertempur dengan mereka berdua sampai lebih dari tiga ratus jurus. Kepandaiannya hanya begitu
saja"." "Saudara Siangkwan jangan bermulut besar," bentak si Pendek," hari ini kalau tidak sampai ada
yang rubuh, kita jangan berhenti."
Sambil berkata si Pendek sudah mengeluarkan senjatanya, sebatang pit (pena) besi lalu
menyerang maju. Serentak terdengar dering tajam ketika pit besi beradu dengan pedang. Dalam terowongan
yang gelap, bunga api memercik berhamburan.
Siangkwan Ko menggembor keras. Tangan kiri menabas dingan jurus Heng toan-san atau
Menebas- putus awan-gunung. Dan pedang di tangan kanan menusuk kearah si kaki buntung
dengan jurus Pek-hun jut-san atau Awan putih-keluar-gunung, seraya membentak, "Siapakah
yang melukai puteriku?"
Mendengar itu segera Cong To dapat menyadari bahwa karena Siangkwan Wan-ceng terluka


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka Siangkwan Ko baru mau menempur orang-orang Lam-haybun. Diam-diam Cong Topun
hendak membantu Siangkwan Ko mencari balas. Setelah menghindari tongkat si kaki buntung, ia
mengangkat tangan kanan menangkis pukulan si Bungkuk. Dengan peralihan yang cepat itu, kini
mereka bertukar lawan. Rupanya antara Siangkwan Ko dan lelaki kaki buntung itu sebelumnya memang sudah saling
mengincar dan hendak mendahului menyerang. Begitu terjadi perkisaran, keduanyapun cepat
gerakkan pit besi dan pedang. Tring, tring, terdengar dering senjata beradu tak mendengingdenging
sampai lama. Walaupun Siangkwan Ko menggunakan sepasang pedang tetapi kedua pedangnya itu amat
berat, paling sedikit setiap pedang beratnya sepuluh kati.
Beda dengan pedang pusaka yang umumnya tipis dan ringan. Sepasang pedang pusaka dari
Siangkwan Ko itu dapat dibuat menyerang tetapi pun dapat digunakan untuk beradu dengan
senjata lawan. Kedua orang itu, yang seorang bersedih karena sumoaynya meninggal dan marah terhadap
semua jago2 silat daerah Tionggoan. Dan yang seorang marah karena puterinya dilukai orang
Lamhay-bun. Keduanya sama-sama mengandung dendam kemarahan. Yang satu hendak
membasmi orang Tiong-goan yang satu hendak membunuh orang Lam-hay-bun.
Maka begitu bertempur, keduanyapun segera lancarkan serangan yang ganas dan dahsyat.
Tengah bertempuran berlangsung seru, tiba-tiba Han Ping berseru, "Harap cianpwe berdua
berhenti bertempur. Pemilik makam sudah memberi perintah kepada anak buahnya supaya
berhenti"." Tergopoh-gopoh Pengemis-sakti Cong To lepaskan hantaman untuk mengundurkan si Bungkuk
dan si Pendek, kemudian berseru, "Saudara Siangkwan, jangan menyia-nyiakan waktu, mari kita
jalan terus!" Sesaat kemudian pengemis sakti itupun berseru kepada orang-orang Lam-hay-bun, "Pemilik
makam sudah memerintahkan anak buahnya untuk berhenti. Pintupun sudah terbuka untuk para
tetamu. Kalau kalian memang benar-benar hendak adu kepandaian dengan jago2 persilatan
Tiong-goan, tak mesti harus kalian lakukan sekarang. Mari kita temui pemilik makam itu dulu,
setelah itu kita boleh lanjutkan pertempuran lagi."
Si kaki buntung tak mau menghiraukan tetapi ia terpaksa menurut setelah diperintah nenek
Bwe supaya berhenti menyerang.
"Mari kita pergi," Cong To menarik lengan baju Siangkwan Ko terus diajak melangkah kemuka.
Cepat sekali mereka sudah mencapai sepuluh tombak jauhnya. Kecuali lorong terowongan,
pemandangan disitu tiba-tiba berobah. Sebuah ruang yang besar penuh dihias dengan pot2
bunga. Delapan anak berpakaian biru, dengan pedang terhunus menjaga dimuka pintu bercat
merah. Leng Kong-siau, ketua Lembah-seribu-racun cepat maju menyambut dan berkata kepada
Siangkwan Ko, "Selamat saudara Siangkwan Berkat lindunganku, puterimu telah selamat tak
kurang suatu apa dapat melintasi jalan Maut tadi."
Siangkwan Ko memandang kemuka. Tampak puterinya tegak di samping dengan sinar mata
yang rawan. "Ceng"." jago tua itu berseru seraya menghampiri.
Siangkwan Wan ceng memandang ayahnya, tertawa dan pelahan-lahan berputar tubuh.
Siangkwan Ko terhenti, dua butir airmata menitik keluar. Perasaan orangtua itu terharu sekali.
Merawat dan mendidik berpuluh tahun dari kecil sehingga sampai remaja, menyebabkan ayah
itu merasa terharu karena dirinya diperlakukan sebagai orang tak dikenal oleh puterinya.
Penderitaan itu amat menyiksa batin Siangkwan Ko.
"Saudara Siaugkwan," bisik Pengemis-sakti Cong To, "puterimu hanya menderita serangan
gelap dari orang dan untuk sementara ini hanya pingsan saja. Asal kita dapat keluar dari makam
ini, tentu mudah kita dapat mengobatinya."
Siangkwan Ko berpaling memandang pengemis tua itu, mengusap airmatanya dan berkata, "
Terima kasih saudara Cong."
Sejenak memandang kesekeliling. Pengemis-sakti Cong To tiba-tiba tersenyum, "Ah, rupanya
tempat ini sangat bagus sekali untuk kuburan tulang2 manusia."
Ih Thian-heng berseru nyaring, "Kalau saudara sudah menggantikan orang-orang saudara dan
mempersilahkan kita masuk, mengapa saudara tak lekas mengunjuk diri?"
Tiba-tiba terdengar pintu bercat merah yang tertutup rapat tadi, berderak-derak terbuka.
Seorang yang bertubuh pendek kecil dan berpakaian hitam, melangkah keluar, dandanan orang itu
memang lucu, memelihara kumis berkepang dan tangannya memegang sebatang pipa yang
mengkilap, berbaju pendek tetapi celananya panjang sekali sampai menebar ke tanah.
Han Ping kerutkan alis, berpaling kearah Kim loji, "Paman, apakah orang itu juga tergolong
orang sakti dalam dunia persilatan?"
"Aku sendiri juga belum pernah melihat dia, entah dari golongan apa," sahut Kim loji.
Tampak orang pendek baju hitam itu berputar-putar tubuh dan tegak berdiri di samping kiri
pintu bercat merah. Tak lama kemudian, muncul pula seorang wanita pendek baju putih yang terus berdiri
disamping kanan pintu merah itu.
Kemunculan kedua orang pendek itu, disambut dengan gerakan dari kedelapan kacung baju
biru yang berkisar dari pintu dan berhenti pada jarak dua meter. Serempak mereka acungkan
pedang merebah kmuka sehingga membentuk sebuah pagar pedang.
Pengemis-sakti Cong To mendengus ejek, "Hm, hebat benar pertunjukan mereka. "
Tepat pada saat ia bicara, dari dalam ruang terdengar suara orang tertawa gelak-gelak.
Seorang lelaki tua berpakaian biru, sambil memanggul kedua tangannya kepunggung, berjalan
pelahan-lahan keluar. Sekalian tokoh tegang regang. Pada saat itu mereka bakal menghadapi jawaban dari rahasia
makam gua yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi buah pembicaraan didunia persilatan.
Dengan suara yang "nyaring orangtua itu berseru, "Sejak berpisah digunung Heng-san, cepat
sekali sekarang sudah sepuluh tahun lamanya Entah apakah diantara seudara2 yang datang ini,
ada yang kenal padaku."
Pada saat dia bicara, kedelapan kacung itupun segera berpencar mundur ke dua belah samping
dan tegak berdiri dengan menjulaikan pedangnya.
Ih Thian-hengpun tertawa keras, "O, kukira siapa, kiranya engkaulah! Sungguh hebat sekali
engkau ini karena dapat mengelabuhi kaum persilatan Tionggoan selama lebih dari sepuluh
tahun!" Tenang2 orangtua baju biru itu keliarkan matanya memandang sekalian tokoh lalu berkata,
"Yang merancang siasat pengelabuhan ini, bukan berasal dari aku. Tetapi kalian tokoh-tokoh sakti
dari dunia persilatan Tiong-goan yang mengadakan dan menciptakannya sendiri. Siasat kalian itu
cepat dapat kucium dan kugunakan jerih payah mereka untuk mempermainkan kawan2 mereka!"
Sekalian tokoh terkesiap. Mereka mendugaduga siapakah yang dimaksud oleh orangtua baju
biru atau pemilik makam itu.
Cong To memandang kearah tokoh-tokoh itu, akhirnya Pandang matanya runtuh pada diri Ih
Thian-heng, serunya, "Kecuali Ih Thian-heng, aku tak percaya didunia persilatan ini terdapat orang
yang mempunyai akal daya begitu!"
Ih Thian-heng tertawa hambar, "Terpaksa aku harus mengecewakan harapan saudara Cong.
Tetapi kali ini saudara telah menebak salah."
Wajah orangtua baju biru itu berobah serius, katanva, "Orang itu masih berada dalam makam
ini. Nanti akan kusuruh keluar untuk bertemu dengan saudara2 .
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula, "Makam ini dihias indah sekali dan dilengkapi dengan
bermacam-macam pekakas rahasia. Apabila terkubur disini, sungguh tak mengecewakan."
Wajah ih Thian heng berobah, "Apakah maksud ucapanmu, itu?"
Orangtua baju biru tertawa gelak-gelak, "Karena saudara2 sudah berkunjung kemari, masakan
saudara hendak keluar?"
Ih Thian-heng memandang kearah Pengemis-sakti Cong To, hendak bicara tetapi tak jadi.
Rupanya dia menyadari bahwa saat itu, ia sudah dimusuhi oleh rombongan tokoh-tokoh itu.
Apabila ia berdebat dengan orangtua baju biru itu. kemungkinan rombongan tokoh-tokoh itu
takkan membelanya. Maka lebih baik ia diam Saja.
Tiba-tiba Nyo Bun-giau menyelutuk, "Dengan kekuatanmu seorang diri, apakah engkau yakin
dapat menahan kami" Ah aku tak percaya."
Tetapi Pengemis sakti Cong To mencurahkan pikirannya kepada pemilik makam yang
sesungguhnya, maka ia berseru, "Kalau memang pencipta dan pemilik dari makam itu berada
disini. mengapa tak mengundangnya keluar?"
Orangtua baju biru itu tertawa hambar, "Ini, tak usah terburu-buru tiba-tiba wajahnya berobah
dan tak melanjutkan kata katanya.
Ketika sekalian tokoh berpaling ternyata nenek Bwe Niopun sudah muncul dibelakang mereka.
Sambil membopong tubuh si dara baju ungu, nenek itu pelahan-lahan menghampiri.
Rupanya nenek itu juga terkejut melihat orang tua baju biru sehingga tubuh si dara hampir
terle pas jatuh. Pun sekalian anak buah Lam-hay-bun tegang sekali memandang kearah lelaki baju biru itu.
Sekalian tokoh yang berada disitu sebagian besar adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama.
Mereka mempunyai pengalaman yang luas dalam dunia persilatan. Melihat wajah anak buah Lamhay-
bun mengerut tak wajar, sekalian tokoh itu cepat dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu
hal yang aneh. Benar juga, setelah menenangkan hatinya, nenek Bwe tertawa dingin dan mendamprat, "Hm,
nyalimu besar sekali"."
Lelaki baju biru itu mengangkat tangan memberi hormat, serunya, "Bwe Nio, peristiwa yang
lampau, baiklah besok saja kita bicarakan."
Saat ini karena para tetamu kaum persilatan Tiong-goan berkunjung datang, aku tak
mempunyai waktu untuk membicarakan urusan kita"."
Nenek bwe yang sudah putih rambutnya tiba-tiba merahlah pipinya, ia membentak bengis: Aku
ingin sekali makan dagingmu dan membeset kulitmu. Kwantiong, pondonglah sumoyku ini"."
Ong Kwan-tiong cepat melangkah maju dan membisiki, "Harap lo cianpwe jangan marah dulu,
dalam tempat dan saat seperti ini ".
Tetapi nenek Bwe sudah dirangsang kemarahan. Cepat ia berputar tubuh dan menyerahkan si
dara baju ungu kepada ong Kwan-tiong. Kemudian gentakkan tongkat bambunya menyerang
orang-tua baju biru mi. Rupanya lelaki baju biru itu takut sekali kepada nenek bwe. Ia terkejut ketika melihat nenek itu
menyerangnya. Buru-buru ia berteriak memberi perintah kepada anak buahnya; "Lekas tangkap
dia!" Kedelepan kacung baju biru cepat mengiakan dan berhamburan berbaris menghadang nenek
Bwe. "Siapa yang menghadang aku, tentu mati!" nenek Bwe menyapu dengan tongkatnya. Tring,
tring! Terdengar gemerincing senjata beradu keras. Pedang kedelapan kacung itu tersiak kebelakang.
Tetapi kedelapan kacung itu rupanya sudah berpengalaman dalam pertempuran. Mereka
menyadari kalah sakti dengan si nenek. Kalau adu kekerasan terang tentu kalah. Maka mereka
membentuk barisan pedang Untuk mengepung nenek itu rapat2.
Sekalian tokoh tahu bahwa nenek Bwe itu memang sakti. Tetapi selama itu belum pernah
seorangpun dari mereka yang bertempur dengan Bwe Nio. Sekalipun demikian apa yang mereka
saksikan saat itu, benar-benar menimbulkan kekaguman hati mereka.
Tongkat bambu dari nenek itu menjulur surut bagai ular memagut, cepat dan sukar diduga
gerak perobahannya. Waktu melancarkan serangan, pun permainan nenek itu rapat sekali.
Namun barisan pedang dari kedelapan kacung baju biru itupun bukan kepalang hebatnya.
Gerak perobahannya indah dan sukar diduga juga. Walaupun didesak gencar oleh tongkat, namun
mereka tetap dapat berputar-putar dan bertahan sampai! duapuluh jurus. Nenek Bwe tetap belum
mampu maju selangkahpun juga.
Si Bungkuk dan si Pendek serta si Kaki buntung baju merah, diam-diam sudah kerahkan
tenaga-dalam untuk sewaktu-waktu memberi bantuan.
Karena sampai sekian lama belum juga dapat menghancurkan barisan lawan, tiba-tiba Bwe Nio
membentak keras. Tongkat dimainkan lebih gencar.
Tongkat menyambar-nyambar laksana kilat merobek angkasa, Anginpun menderu-deru bagai
prahara, mengamuk. Dahsyatnya serangan nenek itu membuat barisan pedang kedelapan kacung
agak kacau. Gerak silang perpindahan-tempat, pun mulai ricuh.
Melihat itu Nyo Bun-giau berbisik kepada Ca Cu-jing: Saudara Ca, kepandaian perempuan tua
itu hebat sekali! Gerakan tongkatnya menghamburkan tenaga seperti gelombang lautan. Sungguh
seorang lawan yang tak boleh dipandang enteng.
"Benar," sahut CaCujing. "seorang yang sudah mencapai umur tua masih memiliki tenaga
begitu hebat, sungguh sukar dicari keduanya "."
Nyo Bun-giau menggunakan ilmu Menyusup suara untuk berkata lagi, "Saudara Ca,
bagaimanakah kepandaian nenek itu dibanding dengan Ih Thian-heng?"
Ca Cu jing terkesiap tetapi sesaat rupanya ia dapat menebak maksud pertanyaan orang. Ia
tertawa hambar lalu gunakan ilmu Menyusup-suara untuk menjawab, "Menurut kesanku, agaknya
Ih Ihian-heng masih setingkat lebih tinggi."
"Kalau kita dapat mengadu Ih Thian-heng supaya bertempur dengan nenek itu lebih dulu.
kemudian ia ajak seorang lagi dan ditambah dengan putera saudara, tentulah akan dapat
mengatasi keadaan." Jawab Ca Cu jing, "Budak lelaki she Ji itu, mempunyai dendam darah atas kematian kedua
orangtuanya. Dia tentu takkan melepaskan Ih Thian-heng. Soal itu harap saudara Nyo tenang-2
saja, tak perlu kita bersusah payah membuang tenaga, mereka tentu sudah beres sendiri."
Berkata pula Nyo Bun-giau, "Asal selain Ih Thian-heng dan anak she Ji itu, tokoh-tokoh yang
lainnya entah karena memperhitungkan untung rugi atau karena menjaga gengsi atau karena
terikat dendam permusuhan, sehingga tak dapat bersatu. Kita dapat menggunakan siasat
mengeruhkan keadaan dan mengadu domba mereka. Kemudian satu demi satu, kita lenyapkan
mereka. Dengan begitu harta karun dalam makam ini beserta kedua benda mustika Tenggoret
Kumala dan Kupu2 Emas itu, pasti akan jatuh ketangan kita berdua"."
Karena dalam pembicaraan itu mereka menggunakan ilmu Menyusup-suara, maka lain
orangpun tak dapat mendengar yang mereka bicarakan.
?"hm kalian hendak merancang siasat apa?" tiba-tiba Pengemis-sakii Cong To mendengus
dingin. Nyo Bun-giau tertawa, "Aku dan saudara Ca sedang membicarakan keadaan makam ini. Liku2
perobahan yang terdapat dalam makam ini, benar-benar membingungkan orang dan sukar
diduga." Pengemis- sakti CongTo tertawa "Nyo bun giau, tak usah engkau jual sandiwara dihadapan
pengemis tua ini. Kejahatan Ih Thian heng karena nafsunya besar sekali untuk menjadi pemimpin
dunia persilatan. Mungkin setelah dapat menaklukkan dunia persilatan dia akan mempersiapkan
pasukan untuk memberontak. Tetapi dalam soal kelicikan dan keserakahan mengumpulkan harta
benda, engkau jauh lebih menang dari dia. Aku tak percaya, mulut anjing itu dapat tumbuh
gading." Makian pengemis tua ilu benar-benar tajam dan tepat sekali. Dia seolah olah menelanjangi diri
Nyo Bun giau dimuka umum. Betapa tebalpun kulit muka Nyo Bun-giau, tetapi mendengar makian
itu, merah juga mukanya. Saat itu pertempuran antara nenek Bwe dengan kedelapan kacung baju biru sudah hampir
mencapai penyelesaian. Tongkat nenek Bwe bergerak menyambar keatas dan menabas kebawah
dengan perkasa. Barisan kedelapan kacung itu sudah terkuasai amukan nenek Bwe. Bagian tengah
barisan sudah terpecah dua, perputaran gerak barisanpun macet. Sehingga mereka seperti sudah
tak dapat berhubungan lagi dan harus bertempur sendiri2. Dalam beberapa detik lagi, jelas
kedelapan kacung itu tentu akan remuk dibawah tongkat nenek Bwe.
Melihat gelagat buruk, lelaki tua baju biru tadi cepat berputar tubuh terus lari masuk.
Nenek Bwe menggembor keras, rambut kepalanya yang sudah putih itu sama tegak berdiri. Ia
menghantam sekuatnya, dua orang kacung terlempar ke belakang, secepat itu nenek Bwepun
terus menerjang kemuka. Orangtua baju biru baru tiba dimuka pintu merah, tongkat nenek
Bwepun sudah tiba dibelakangnya.
Lelaki kate dan perempuan kate yang menjaga di kanan kiri pintu, saling bertukar pandang dan
diam saja. Rupanya mereka tak mengacungkan keselamatan orangtua baju biru itu.
Pada saat2 maut hendak merenggut, tiba-tiba lelaki baju biru itu berputar tubuh dan menjerit:
Bwe Nio"." Nenek Bwe yang berhati baja, tiba-tiba tubuhnya gemetar dan tongkat yang menghantam lurus
kemuka itupun tiba-tiba ia miringkan ke samping Bum". daun pintu yang bercat merah itu
termakan ujung tongkat hingga menggurat sampai dua tiga dim dalamnya.
Lelaki baju biru itu leletkan lidah, "Sayangku kalau tongkat itu jatuh di tubuhku, tentu
punggungku sudah berlubang."
Nenek Bwe mendengus, "Manusia yang lebih nista dari binatang, ternyata engkau masih
hidup." Orangtua baju biru itu memandang sekalian tokoh. Wajahnya sama sekali tak merah karena
dampratan nenek Bwe itu. Ia berkata. "Karena melakukan perintah tang-cu (majikan)
"Apakah suhu juga berada disini?" bentak Omg Kwan-tiong.
Lelaki baju biru itu kerutkan alis dan berpaling kearah nenek Bwe, "Apakah orang ini juga anak
murid Lam-hay-bun?" Ong Kwan-tiong memperhatikan bahwa orang tua baju biru itu selain mempunyai hubungan
erat dengan perguruan Lam-hay-bun, pun agaknya mempunyai hubungan juga dengan nenek
Bwe. Maka cepat ia menyusuli kata-kata lagi dengan nada yang ramah, "Aku memang murid
pertama dari Lam-hay-bun ".?"."
Tiba-tiba Ong Kwan-tiong hentikan kata-katanya. Ia menyadari kalau dirinya sudah diusir dari
perguruan dan sampai saat itu masih belum resmi diberi ampun oleh suhunya.
Nenek Bwe menjawab dingin, "Kita tak ada waktu bicara dengan engkau. Dimana tangcu
sekarang" Lekas bilang!"
Orangtua baju biru itu merenung lalu menjawab, "Tangcu sedang melakukan semedhi"."
"Toto terancam maut jiwanya, harus menemui tangcu. Lekas menyisih, aku hendak menghadap
tangcu," seru nenek Bwe cemas.
Tiba-tiba orangtua baju biru itu berbisik, "Bwe Nio, dekatkanlah telingamu kemari."
Sebagai jawaban, nenek Bwe ayunkan tongkatnya dan membentak, "Enyah kau!" Ia terus
melangkah masuk kedalam pintu merah."
Orangtua baju biru itu kaget dan terus ulurkan tangan mencengkeram nenek Bwe, "Jangan
Bwe Nio, jangan masuk."
Plak, nenek Bwe ayunkan tangan menampar bahu lelaki itu sehingga jatuh jungkir balik sampai
beberapa langkah. "Jangan bergerak," cepat Han Ping mencekal tangan orang itu dan melekatkan pedang
kemukanya Orang itupun tak berani berkutik lagi.
Tetapi nenek Bwe memandang Han Ping dengan beringas, serunya, "Anak buah Larn-hay-bun,
betapapun besar kesalahannya, lain orang tak boleh ikut menghukumnya. Lekas lepaskan dia!"
Wajah Han Ping berobah gelap. Setelah merenung beberapa saat, barulah pelahan lahan ia


Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lepaskan tangan orang itu. Jelas pemuda itu tak senang dengan ucapan neneK Bwe, tetapi dia tak
mau memperbesar bentrokannya dengan orang Lam-hay-bun dan terpaksa melepas orangtua baju
biru itu. Begitu dibebaskan, lelaki baju biru itu terus lari menghadang dimuka pintu dan berkata dengan
nada bersungguh kepada Bwe Nio, "Bwe Nio, apabila tangcu tak menderita sesuatu yang terpaksa,
masakan dia mau melepaskan aku keluar. Kalau engkau tak mau mendengar kataku dan tetap
berkeras hendak masuk, tentulah kelak engkau akan menderita dendam kusumat seumur hidup.
Semula nenek Bwe tertegun tetapi kemudian ia tertawa dingin, "Selama hidup, aku takkan
percaya omonganmu lagi." Ia terus menyiak orang itu dengan tongkatnya lalu melangkah masuk.
"Berhenti!" sekonyong-konyong lelaki tua baju biru yang ketakutan tadi berobah memberingas
bengis dan menyerang Bwe Nio.
"Hm, engkau cari mati!" nenek Bwe marah, ayunkan tangannya menghantam kebelakang.
Hantaman itu cepat mengenai dada seorang baju biru. Ia mendesah, muntah darah terus rubuh
terkapar ditanah. Tiba-tiba Bwe Nio menghela napas panjang. Ia tertegun seperti patung. Lelaki tua baju biru itu
merangkak bangun, berseru, "Tangcu, tangcu menduga". salah"." ia deliki mata lalu rubuh lagi.
Sikaki buntung baju merah cepat maju. Tangan kirinya mencengkeram tubuh lelaki baju biru itu
dan tangan kanannya menampar punggung orang. Lelaki baju biru itu menghembus panjang dan
pelahan-lahan membuka mata.
"Suhuku bagaimana?" seru si kaki buntung cemas.
Kata lelaki baju biru itu, "Kalau dalam waktu sepenanak nasi tangcu masih belum keluar,
silakan kalian masuk"."
Si kaki buntung membentak, "Aku tanyakan bagaimana keadaan suhu?"
"Ji-sute, jangan bersikap keras!" bentak Ong Kwan-tiong.
Lelaki tua baju biru berkata, "Tangcu, tangcu, saat ini berada dalam keadaan yang gawat". ah,
peristiwa dunia, mengapa". begini". . kebe". tulan". pada saat dia"." orang itu tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena darah dalam tubuhnya menggelora keras dan pingsanlah dia.
Walaupun demikian, jelas orang itu mengatakan bahwa ketua Lam-hay-bun yang mendirikan
makam kuna itu, sedang menghadapi suatu peristiwa hebat.
Rupanya Bwe Nio juga menyadari hal itu. Cepat ia mencengkeram lelaki baju biru itu lagi dan
membentak, "Apa yang terjadi dengan tangcu, lekas bilang?"
Pun si kaki buntung segera lekatkan tangan kanannya kepunggung orang untuk menyaluri
tenaga-dalam. Tak berapa lama darah orang itupun mengalir lagi. Setelah menumpahkan dua kali
muntahan darah dari mulut, ia dapat membuka mata lagi dan berkata, "Tancu". pada saat
hendak keluar menghadapi mereka". tidak terduga-duga". bertemu dengan subo"."
"Engkau maksudkan ibu dari Toto?"
"Benar"." Bercucuran airmata Bwe Nio ketika mendengar berkata, "Ibu dari To-to, apakah benar-benar
masih hidup?" Lelaki baju biru menjawab, "Tak mungkin salah, aku melihat jelas dengan mata kepalaku
sendiri. Sesaat berjumpa kembali, keduanya segera bicara nericis". ah, tangcu dan cu-bo
memang sepasang suami isteri yang luar biasa. Mereka bercakap Cakap lama sekali tetapi aku tak
mengerti bahasa apa yang mereka gunakan"."
Sambil memondong tubuh si dara baju ungu yang ternyata bernama Siau Toio iiu. Ong Kwantiong
menghampiri dan bertanya, "Lalu"."
Lelaki baju biru menghela napas panjang, "Mengapa engkau terburu- buru" Lalu". mereka".
tiba-tiba bertempur"."
"Sekarang mereka dimana?"
Lelaki baju biru berkata, "Mereka adu tenaga-dalam. Saling berlekatan tangan dengan tegang."
"Ai, pertempuran semacam itu merupakan pantangan besar dalam dunia persilat," seru Bwe
Nio, "lekas bahwa aku kesana!"
Tetapi lelaki baju biru itu gelengkan kepala, "Sambil bertempur dengan cu-bo, tang cu gunakan
ilmu Menyusup-suara memberitahu kepadaku. Suruh aku menyaru menjadi dia dan keluar untuk
menyambut mereka. Asal dapat mengulur waktu sampai sepenanak nasi saja, tangcu tentu sudah
dapat mencari daya."
"Daya apa?" seru nenek Bwe. "Aku tak tahu"."
Berkata Ong Kwan-tiong dengan nada seram, "Apakah suhu hendak". membunuh subo?"
"Hal itu sukar dibilang," kata nenek Bwe, "suhumu itu berwatak angkuh dan subomu juga keras
hati. Sekali keduanya beradu kepandaian, tentu tak mau berhenti sebelum ada yang mati".
kemungkinan sukar untuk menghentikan mereka."
Lelaki tua baju biru itu terengah-engah. Namun ia masih paksakan diri berkata, "Jika saat ini
kalian hendak menerobos masuk, dikuatirkan kedua orang itu akan menderita luka". . ."
"Jangan bilang lagi"." bentak nenek Bwe.
Lalu ia meminta kepada Ong Kwan-tiong supaya menyerahkan Toto kepadanya.
Setelah menerima tubuh Toto, nenek Bwe berkata pula, "Mereka sedang mengerahkan tenaga.
Jaga pintu ini, jangan sampai ada orang yang masuk."
Ong Kwan-tiong mengiakan, ia terus berkisar kesamping pintu dan mencabut senjatanya yang
aneh, disebut Liang-gi ci yang bentuknya seperti penggaris.
Nenek Bwe lalu menghampiri ketempat sikaki buntung baju merah dan memberi pesan,
"Usahakan supaya dia jangan mati."
Sikaki buntungpun giat menyalurkan tenaga-dalam pada punggung leaki baju biru itu.
Darah kesatrya. Selesai mengatur seperlunya, nenek Bwe pun segera melangkah masuk kedalam pintu merah.
Setelah nenek itu masuk, Ong Kwan-tiong lalu mengangkat kedua tangan dan berseru keras,
"Thian te goan hong, su jiong hoa seng".
Kata-kata itu merupakan aba2 barisan. Artinya: Langit dan bumi menguning, empat gajah
hidup kembali. Kedelapan kacung baju biru yang sudah porak poranda barisannya dan saat itu bersembunyi
disamping, begitu mendengar suara aba2 dari Ong Kwan-tiong segera loncat keluar dan pada lain
saat sudah membentuk sebuah barisan pedang dimuka pintu merah.
Ong Kwan-tiong tegak ditengah pintu. Memandang sekalian tokoh dengan sikap seperti seorang
panglima yang berwibawa. Beberapa tokoh itu saling bertukar pandang. Pertama tama kedengaran Pengemis-sakti Cong
To menghela napas, "Perobahan kejadian didunia ini memang sukar diduga Benar-benar membuat
orang kehilangan faham. Makam tua yang didupa hanya sebuah perangkap, ternyata berisi Lamhay
Ki-siu ketua perguruan Lain hay-bun. Tetapi aku sipengemis tua ini masih belum percaya dan
Kehidupan Para Pendekar 2 Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Kisah Pendekar Bongkok 6
^