Pencarian

Mayat Kesurupan Roh 1

Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Bagian 1


" Mayat Kesurupan Roh Karya : Khu Lung Saduran : Gan KL
PENGANTAR Coh Liu-siang atau Coh Liu-hiang, demikianlah nama tokoh
mania kita. si Pendekar Harum. Laki-laki, laki-laki sejati, meski Coh
Liu-hiang mendapatkan julukan pendekar 'Harum', tapi dia bukan
perempuan Harum tidak identik dengan perempuan, harum juga bukan
monopoli perempuan. Setiap insan di duni ini niseaya suka akan
keharuman, keharuman yang nyata maupun keharuman yang tak
berwujud. 2 Konon, pembawaannya memang berbau harum, harum yang
khas, bau harum yang lembut, halus, harum sejenis bunga tulip. Dia
cakap, ganteng namun usianya tidak terbilang muda lagi, tapi juga
belum terlalu tua, diatas tigapuluhan begitulah.
Karena itulah dia tetap menarik, menggiurkan, 'charming' kata
sementara orang. Dia suka hidup nikmat, ia pun tahu cara
bagaimana menik-mati kehidupan ini.Iapun suka arak, tapi jarang
minum hingga mabuk. Sudah barang tentu ia pun suka perempuan,
terutama perempuan yang pintar bergaul, dia selalu menghormati
mereka. Dia benci pada orang kaya vang kikir dan tak berbudi. seringkali
dia 'bantu' memindahkan harta benda mereka pada kaum miskin.
Orang yang pernah menerima pertolongannya sukar dihitung
jumlahnya. Dengan sendirinya banyak musuhnya, tapi kawannya
jauh lebih banyak. Siapa pun tidak dapat mengukur ilmu silatnya, yang jelas selama
hidup tak terkalahkan, terutama Ginkangnya, ilmu meringankan
tubuhnya boleh dikatakan tiada bandingannya.
Tiada yang tahu dari aliran mana ilmu silatnya, yang jelas ilmu
silatnya bergaya khas Coh Liu-hiang. ilmu silatnya adaiah
pembauran intisari berbagai ilmu silat aliran terkemuka di dunia
persilatan hasil pemikirannya.
Dia suka bertualang dan menyerempet bahaya, sebab itulah
meski dia sangai pintar dan cerdik, tapi sering berbuat hal-hal yang
tolol. Dia bukan seorang 'Kuncu', bukan ksatria tulen, bukan
'gentleman' yang tanpa cacat, tetapi dia juga bukan 'Siaujin'. bukan
orang yang rendah dan pengecut
Kebanyakan orana Kangouw mcnyebut Coh Hiang-swe' atau si
Bagus Harum she Coh sebagai tanda sanjung puji kepada tokoh
kesayangan mereka, tapi ia pun mendapat nama ejekan 'si kutu
busuk' dari Oh Tni-hoa yang berewok, seorang kawannya yang
paling karib. Diatas semua itu Coh Liu-hiang bukanlah seorang 'superman'
3 yang tanpa cacat ia pun punya kelemahan badaniah, yakni pada
hidugnya, pada indera penciumanmya. Hidungnya kurang tajam
kalau tidak boleh dikatakan hampir pati rasa.
Beginilah tokoh Coh Liu-hiang ini, hidupnya yang banyak gaya
dan ragamnya ini penuh dengan kisah yang aneh-aneh dan menarik.
1. MAYAT HIDUP KESURUPAN ROH
Supaya maklum sebelumnya, ini bukan cerita tentang setan,
akan tetapi, peristiwa ini, tidak kurang seram dan anehnya daripada
cerita setan manapun di dunia in,
Tanggal dua puluh delapan bulan sembilan, masih musim rontok,
namun hawa sudah terasa dingin. Apa yang terjadi dalam 'Cengpwe-
san-ceng,' (perkampungan Lempar cangkir) kalau tidak
disaksikan sendiri oleh Coh Liu-hiang, mungkin selamanya dia
takkan percaya. Ceng-pwe-san-ceng terletak di luar kota Siongkang, berjarak
kurang dari tiga li dengan Siu-ya-kio (jembatan alam permai) yang
termashur itu. Setiap tahun, bila musim dingin hampir tiba, dapat dipastikan
Coh Liu-hiang datang ke Ceng-pwe-san-ceng dan tinggal selama
beberapa waktu di situ. Sebabnya, untuk memenuhi kegemarannya,
yakni makan ikan Loh (sejenis ikan bandeng air tawar).
Maklumlah, di kolong langit ini, hanya ikan Loh yang hidup di
sungai di bawah Siu-ya-kio ini yang berinsang empat, benar-benar
lain daripada yang lain. Setiap orang Kangouw tahu, Cukong perkampungan Ceng-pwe,
yakni Cu Kin-hou. Cu-jiya, selain Ciang-hoat (ilmu pukulan dengan
telapak tangan) menjagoi wilayah Kanglam, dia masih mempunvai
kemahiran lain yang istimewa, yakni kemahiran memasak Loh-hikwe
(kuah ikan Loh) dengan bumbunya yang khas.
Lebih dari itu, setiap orang Kangouw juga tahu Cu-jiya adalah
seorang hartawan yang sosial, di rumahnya selalu penuh tamu, Akan
tetapi tetamu di seluruh kolong langit ini. hanya dua orang saja yang
4 dapat membuat Cu-jiya turun tangan sendiri ke dapur untuk
mengolah Loh-hi-kwe. Dan Coh Liu-hiang adalah seorang di antara kedua orang yang
beruntung itu. Akan tetapi, kedatangan Cob Liu-hiang ke Ccng-pwe-san-ccng
kali ini gagal menikmati Loh-hi-kwe yang dimasak Cu-jiya sendiri,
sebaliknya dia malah mengalami suatu peristiwa yang selamanya
belum pernah dialaminya, peristiwa ajaib, misterius dan sukar untuk
dipercaya. Selama hidup Coh Liu-hiang juga tidak percaya di dunia ini bisa
terjadi hal demikian. Seperti Coh Liu-hiang, Cu-jiya juga orang yang paling tahu cara
bagaimana hidup nikmat. Dia tidak suka pada kedudukan, tidak
kemaruk pangkat, yang dia barapkan hanya sehat dan gembira.
Di Ceng-pwe-san-ceng terdapat penyanyi yang paling tenar di
daerah Kanglam, ada arak yang paling tua dan enak. Di istal ada
kuda pacu yang paling cepat larinya. Di ruang makan penuh tamu
penggemar makan. Akan tetapi kesenangan Cu-jiya bukan cuma hal-hal begitu. Ada
tiga hal yang paling menyenangkan Cu-jiya selama hidupnya ini.
Pertama, dia mempunyai seorang sahabat karib seperti Coh Liuhiang.
DIa sering berkata pada siapa pun juga, dia lebih suka
menebas putus tangan kiri sendiri daripada kehilangan sahabat
seperti Coh Liu-hiang. Hal kedua yang menyenangkan dia ialah mempunyai musuh
yang ditakuti di dunia ini, yaitu Sih Ih-jin, Sih-tayhiap yang terkenal
sebagai 'Thian-he- te-kiam khek' si pendekar pedang nomor satu di
dunia. Sudah berlangsung tiga puluhan tahun permusuhannya
dengan Sih Ih-jin, tapi Cu-jiya masih dapat hidup gembira dan
bahagia hingga sekarang, biarpun Sih Ih-jin sangat disegani
namanya menggoncangkan jagat, tapi nyatanya tidak dapat berbuat
apa-apa terhadap Cu-jiya. Apabila membicarakan hal ini, tanpa
terasa Cu-jiya lantas bergelak tertawa dan merasa bangga.
5 Hal ketiga yang juga sangat menyenangkan dia adalah karena
dia mempunyai seorang anak perempuan yang sangat pintar, sangat
cantik dan juga sangat penurut. Cu-jiya tidak mempunyai anak lakilaki,
tapi hal ini tak pernah membuatnya menyesal, sebab ia anggap
anak perempuan satu-satunya ini beratus kali lebih baik daripada
orang lain yang mempunyai sepuluh anak laki-laki.
Cu Beng-cu, anak perempuan kesayangannya itu,
sesungguhnya tidak pernah membuat kecewa sang ayah. Sejak kecil
hingga besar, hampir tidak pernah Beng-cu jatuh sakit, lebih-lebih
tak pernah berbuat sesuatu yang mengesalkkan hati sang ayah. Kini
Beng-cu berusia delapan belas, tetapi masih tetap menyenangkan
dan penurut seperti anak umur tiga tahun.
Meski ilmu silat Beng-cu tidak terlalu tinggi, tapi di antara kaum
wanita sudah tergolong pilihan, tergolong top. Setelah berkelana dua
kali, sedikit banyak di dunia Kangouw juga mulai terdengar namanya
yang gemilang, orang menyebutnya 'Giok-sian-wa atau si boneka
dewi cantik. Walau orang tahu sebabnya dia mendapatkan nama sebagian
besar karena penghormatan kawan Kangouw kepada ayahnya, akan
tetapi Cu-jiya sendiri tidak memusingkan urusan itu.
Sesungguhnya Cu-jiya sendiri tidak mengharapkan anak
perempuannya akan menjadi seorang pendekar wanita. Apalagi
Beng-cu sendiri juga tiada waktu banyak untuk berlatih silat.
Maklum, dia harus meladeni sang ayah, mengiringi dia main
catur, mengiringi minum arak, mesti memetik kecapi bagi beliau,
belum lagi belajar mengarang bunga, membaca kitab, menulis sajak.
Pokoknya, apapun yang dilakukannya adalah demi sang ayah,
sebab dalam kehidupannya memang belum ada lelaki kedua.
Singkatnya, nona Cu ini adalah model anak perempuan permata
hati setiap ayah. Hampir tidak pemah Cu-jiya merisaukan anak
perempuannya. Sebegitu jauh Beng-cu memang tidak pemah
membikin susah sang ayah.
Akan tetapi sekarang, peristiwa yang paling ajaib, paling seram,
paling aneh dan paling sukar untuk dipercaya justru terjadi atas diri
Beng-cu. 6 * * * * Akhir bulan kesembilan, hawa sudah terasa sangat dingin
Namun, betapapun dinginnya cuaca, asalkan sudah berada di Cengpwe-
san-ceng, maka akan timbul rasa hangat, seperti pelarian yang
lelah dan telah pulang ke rumahnya sendiri.
Sebabnya tiada lain karena tiap orang di Ceng-pwe-san-ceng,
dari yang atas sampai ke bawah, dari yang tua sampai yang muda,
semuanya berwajah cerah dan menyambut setiap tamunya dengan
berseri, sekalipun penjaga pintu juga sopan santun dan penuh
hormat terhadap setiap tamunya.
Sebelum masuk pintu gerbang, segera akan terendus bau arak
yang sedap, bau masakan yang menimbulkan selera, harumnya
pupur dan semerbaknya bunga, dari jauhpun akan terdengar alunan
musik tiup dan petik yang mcrdu serta gelak tawa yang riang, tidak
ketinggalan suara nyaring benturan gelas.
Semuanya itu seakan-akan sedang memberitahukan bahwa
segala kegembiraan itu sedang menantikan kedatangan
tamu.Namun sekali ini selagi masih berada beberapa puluh tombak
jauhnya Coh Liu-hiang sudah merasakan gelagat yang tidak cocok
dengan biasanya. Kedua pintu gerbang Ceng-pwe-san-ceng bercat merah dan
selalu terbuka sepanjang tahun, kini tampak tertutup rapat, di depan
pintu juga sepi senyap , tiada kereta, tiada kuda, apalagi bayangan
manusa. Sampai sekian lama Coh Liu-hiang mengetuk pintu, akhirnya
seorang kakek membukakan pinlu Serta melihat Coh Liu-hiang
meski si kakek lantas menyambutnya dengan berseri tawa, akan
tetapi jelas tertawa yang canggung, tertawa ewa atau menyengir.
Suasana cerah dan gembira di perkampungan ini seperti
sediakala, kini sudah tidak nampak lagi sediktpun.
Malahan di halaman tampak banyak bersemikan daun rontok
yang hampir tidak pernah disapu, ketika angin meniup daun kering
itu kabur berhamburan, suasananya menimbulkan rasa pilu dan
7 hampa tak terkatakan. Coh Liu-hiang bertambah kaget setelah dia berhadapan dengan
Cu Kin-hou. Tokoh Kangouw budiman yang biasanya berwajah
cerah dan bersemu merah ini kini telah berubah pucat dan kurus,
sampai matanya juga mendelong. Baru satu tahun berpisah, rasanya
Cu Kin-hou sudah bertambah tua belasan tahun.
Di wajah Cu Kin-hou sekarang sudah tidak diketemukan lagi
bayangan riang dan bahagia, senyuman yang diperlihatkannya juga
tidak dapat menutupi mata alisnya yang penuh kesedihan itu.
Ruang tamu yang biasanya ramai penuh tamu itu kinipun sunyi
senyap, tiada seorang tamu pun, alat perabot sudah banyak
berdebu, sampai-sampai burung walet yang biasanya terbang kiankemari
menyusuri ruangan yang besar ini kinipun tidak kelihatan lagi,
mungkin sudali hijrah ke tempat lain.
Sesungguhnya apa yang telah terjadi di Ceng-pwe-san-ceng ini"
Mengapa berubah sebanyak ini" Heran dan kejut Coh Liu-ihiang tak
terkatakan. Cu-jiya menjabat tangan Coh Liu-hiang erat-erat, sekian lama
pula ia pun tidak sanggup bersuara.
"Jiko, selama......selama ini baik-baikkah kau?" Coh Liu-hiang
coba menjajaki. "Baik, baik..." sekaligus Cu Kin-hou mengucapkan "baik"
beberapa kali dan air mata pun berlinang, tangan Coh Liu-hiang
digenggamnya lebih kencang dan suaranya menjadi serak, "Cuma
Beng-cu......Beng-cu......"
"Beng-cu kenapa?" tanya Coh Liu-hiang. Cu Kin-hou menghela
napas panjang dan menjawab dengan murung, "Dia sakit, sakit berat
sekali." Padahal tanpa dijelaskan juga Coh Liu-hiang tahu Beng-cu pasti
sakit berat, kalau tidak, orang tua yang selalu riang gembira ini tidak
mungkin bersedih sedemikian rupa.
"Ah, orang muda kan bukan apa-apa kalau cuma jatuh sakit
8 saja" Setelah sembuh malahan akan bertambah kuat," ucap Coh
Liu-hiang dengan tertawa canggung Co Kin-hou menggeleng dan
berkata pula, "Kau tidak tahu, kau tidak tahu, penyakit anak ini
adalah...... adalah semacam penyakit aneh."
"Penyakit aneh?" Liu-hiang menegas. "Ya, dia berbaring di
tempat tidur, setetes air pun tak mau minum, sebutir nasi pun tak
mau makan, tanpa minum dan makan ini sudah berlangsung hampir
sebuian lamanya, seumpama kau, juga tidak tahan akan penderitaan
begini. apalagi dia...."
"Apakah sebab musabab penyakitnya sudah diketahui?"
"Hampir semua tabib ternama di wilayah Kanglam ini telah
kudatangkan, namun tetap tidak diketahui apa penyakitnya, ada
sementara tabib hanya memeriksa nadi, lalu parnit pulang, membuka
resep obat saja tidak mau. Apabila tiada obat Siok-beng-wan (pil
penyambung nyawa) pemberian Thio Kan-cay yang diminumya tiap
hari sehingga jiwanya masih terlindung, kalau tidak.....kalau tidak,
anak ini mungkin... mungkin sudah......" Sampai di sini suaranya
menjadi tersendat-sendat dan air mata pun bercucuran.
"Thio Kan-cay.yang dimaksud Jiko itu apakah Kan-cay Siansing
si tabib sakli dan pendekar ternama dengan julukan it ci-poan-sing-si
(satu jari menentukan mati dan hidup)?"
"Ehm, betul " jawab Ci Kin-hou.
"Jika Losiansing ini sudah datang apalagi yang dikuatirkan Jiko"
ujar Coh Liu-hiang dengan berseri "Asalkan Losiansing ini mau turun
tangan, masa ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya?"
"Kau... kau tidak tahu, sebenarnya ia pun tidak.....tidak mau
membuka resep, cuma lantaran......"
Belum habis penuturannya, mendadak seorang tua dengan
berpakaian mentereng dengan sorot mata yang tajam dan berwajah
bersih melangkah masuk dengan terburu-buru, ia mengangguk
kepada Coh Liu-hiang, lalu bergegas mendekati Ci Kin-hou serta


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memjejalkan satu biji obat ke mulutnya sambil berkata,
"Telan!" 9 Tanpa terasa Cu Kin-hou menelan obat itu, lalu bertanya dengan
kuatir, "Ada apa ini?"
Orang tua itu telah berputar kesana dan berkata, "Ikut kemari!"
Coh Liu-hiang kenal orang tua ini adalah Kan-cay Siansing, si
tabib sakti yang termashur itu. Melihat kelakuannya terhadap tuan
rumah, diam-diam Coh Liu-hiang merasakan gelagat tidak baik.
"Apakah...... apakah Beng-cu...... dia......dia...." Cu Kin-hou
bertanya dengan ragu-ragu.
Kan-cay Siansing tak menjawab, ia hanya menghela napas
panjang dan manggut-manggut. Cu Kin-hou menjerit terus
menerjang ke dalam. Waktu Coh Liu-hiang ikut masuk ke sana, Cu Kin-bou sudah
jatuh pingsan di depan pembaringan, di atas tempat tidur membujur
tenang sesosok tubuh gadis yang cantik dengan muka pucat lesi dan
kedua mata tertutup rapat
Kan-cay Siansing menarik selimut, menutupi muka yang pucat
itu, lalu ia berkata kepada Cu-jiya, "Lantaran kukuatir Cu-jiya akan
terlalu sedih dan mengganggu jantung sehingga terjadi pula hal-hal
yang tak terduga, maka lebih dahulu telah kuberi minum....... satu,
biji Hou-sim-tan (pil penguat jantung), kemudian kuberitahukan berita
duka ini, tak tersangka.........tak tersangka dia tetap............."
Tabib sakti yang biasanya memandang mati dan hidup sebagai
sesuatu yang wajar itu, kini air mukanya menampilkan rasa duka dan
pedih. Lalu dia menyambung, "Sudah sekian lama dia bersusah
payah, aku menjadi kuatir kalau-kalau dia pun ambruk, syukurlah
Hiang-swe hadir di sini, tolong kau menguatkan jantung nadinya
dengan tenaga dalammu, jika kau tidak datang. sungguh entah apa
yang harus kulakukan."
Tanpa disuruh lagi segera Coh Liu-hiang menempelkan telapak
tangannya pada hulu hati Cu Kin-hou, diam-diam ia menyalurkan
tenaga dalamnya. Cuaca remang-remang, malam sudah hampir tiba, namun CengKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
10 pwe-san-ceng yang luas itu belum lagi menyalakan lampu. Meski
angin meniup kencang, namun seakan-akan sukar men i up buyar
suasana yang sedih dan seram di perkampungan ini.
Perkampungan yang terdiri dari enam-tujuh lapis gedung ini
terasa sunyi senyap, tiada orang berbicara dan tiada orang yang
bergerak kian kemari, Setiap orang seakan-akan kuatir ke pergok
setan pencabut nyawa yang diutus dari neraka dan mungkin
bersembunyi di sudut yang gelap untuk menantikan sasarannya.
Keadaan bertambah hening, jenazah Cu Beng-cu masih berada
di ruangan itu, Cu Kin-hou melarang siapa pun menyentuhrrya, ia
sendin berlutut di samping, kaku seperti patung.
Perasaan Coh Liu-hiang juga tertekan, ia tahu betapa cintanya
orang tua ini kepada putri satu-satunya itu. Para tabib terkenal yang
datang dari berbagai penjuru itupun berduduk disana tanpa berkata,
rnereka merasa bingung apakah mesti mohon diri buat pergi atau
tidak" Mereka merasa malu karena usaha mereka tidak berhasil.
Sebegitu jauh kepala Cu-jiya terbenam dalam dekapan telapak
tangannya , mendadak dia mengangkat kepala , matanya yang
merah memandang jauh ke sana dengan hampa, ucapnya dengan
parau. "Mana lampunya" Mengapa tidak menyalakan lampu" Masa
kalian tidak mangizinkan kulihat mukanya?"
Tanpa bicara Coh Liu-hiang berdiri ia mendapatkan batu dan
pisau ketikan api di atas meja, tapi baru saja ia menyulut lampu
perunggu yang berkerudung kristal, sekonyong-konyong angin
kencang meniup dan luar jendela sehingga selimut putih yang
menutupi jenazah itu tersingkap, kelambu tempat tidur juga terselak
hingga gantungan kelambu yang terbuat dari tembaga membentur
tiang ranjang dan menerbitkan suara kelinting nyaring mirip bunyi
kelintingan setan pencabut nyawa yang sedang berkeliaran.
"Bres", lampu yang sudah dinyalakan Coh Liu-hiang itu padam
pula. Tanpa terasa Coh liu-hiang merinding juga sehingga kristal
kerudung lampu jatuh ke lantai, maka hancurlah kristal itu. Suasana
menjadi gelap gulita pula.
Angin masih meniup dengan kencangnya, beberapa tabib
menaikkan leher baju untuk menahan hawa dingin, ada di antaranya
11 sudah mnggigil, ada pula yang. berkeringat dingin.
Pada saat itulah, mayat di atas ranjang itu mendadak membuka
mata terus bangkit berduduk. Sesaat itu jantung setiap orang seolaholah
berhenti berdenyut. Habis itu lantas ada suara jeritan kaget,
Sampai-sarnpai Coh Liu-hiang tanpa terasa menyurut mundur satu
tindak. Pandangan 'mayat' itu mula-mula tampak termangu-mangu
terarah lurus ke depan, lalu pandangannya mulai menggeser namun
matanya tetap mengandung hawa orang mati yang seram dan
misterius. Tampaknya Cu Kin-hou juga melenggong terkejut, bibirriya
bergerak, tapi tak dapat mengeluarkan suara.
Biji mata 'mayat' itu tampak bergerak beberapa kali dengan kaku,
sekonyong-konyong menjerit dengan suaranya yang keras
melengking. Begitu keras dan seram suaranya sehingga ada diantara hadirin
segera hendak lari ketakutan, namun kaki serasa diganduli benda
beribu kati, hanya gemetar saja dan tiada tenaga buat melangkah.
Suara jeritan 'mayat' mulai serak. akhimya berhenti dengan
terengah-engah, ucapnya dengan parau, "Tempat apakah ini"
Meng......mengapa aku bisa berada di sini?"
Mata Cu-jiya terbelalak lebar, ucapnya dengan suara gemetar,
"O, Tuhan Maha Pengasih, Beng-cu ternyata tidak mati, Beng-cu
telah hidup kembali"
Siapa tahu mendadak "Beng-cu' meeronta keras dan
mendorong, dengan erat ia memegang selimut yang mcnyelimuti
tubuhnya, tampaknya gemetar tegang. dengan terkejut ia melotot
pada Cu Kin-hou. hitam matanya sepenti membesar saking takutnya
laksana melihat setan. "Beng-cu," dengan napas tersengal Cu Kin-hou berkata pula,
"Masa kau tidak......tidak kenal ayah lagi?"
'Mayat' itu meringkuk, mendadak ia berteriak dengan parau, "Aku
12 bukan Beng-cu, bukan anakmu, aku......aku tidak kenal kau!"
Tentu saja Cu-jiya melengak, tak terkecuali, Coh Liu-hiang juga
tercengang. "Jika begitu, apakah kau tahu siapakah dirimu sendiri?" tanya
Liu-hiang. "Sudah tentu kutahu." teriak 'mayal' itu. "Aku adalah nona besar
Si dari Si-keh-ccng (perkampungan keluarga Si)."
"Ha, jangan-jangan kau ini anak perempuan Kim-kiong Hujin?"
tanya Coh Liu-hiang sambil berkerut kening.
Mata 'mayat hidup' itu terbeliak, ucapnya, "BetuI, sedikitpun tidak
salah. setelah kalian tahu nama kebesaran ibuku, seyogyanya lekas
kalian mengantarku pulang agar tidak mendatangka kesukaran bagi
kalian." Sebaliknya muka Cu-jiya tampak merah padam saking gusarnya,
dia membanting kaki di lantai dan mengomel. "Coba lihat, budak....
budak ini malah mengaku maling sebagai ibunya!"
'Mayat hidup' itu mendelik, jawabnya, "Siapa maling" Kalian
sendiri maling, kalian berani menculik diriku"
Gemetar sekujur badan Cu-jiya saking menahan gusarnya, dia
menyurut mundur dan menjatuhkan diri di atas kursi dengan napas
terengah-engah sampai sekian lamanya, tiba-tiba ia mengucurkan
air mata pula dan berkata dengan suara gemetar.
"Anak......anak ini telah dihinggapi penyakit apa, bilamana
penyakitnya dapat disembuhkan. aku...... aku bersedia membagi
setengah dari seluruh harta benda kekayaanku kepadanya."
Coh liu-hiang juga merasakan kejanggalan pertstiwa ini, dengan
heran dan penuh tanda tanya, ia memandang Thio Kan-cay,
katanya, "Bagaimana menurut pendapat Thio-losiansing?"
Thio Kan-cay termenung sejenak, jawabnya kemudian, "Melihat
keadaan penyakitnya, rasanya seperti sejenis 'Li-hun-cing' (sakit
kehilangan ingatan), hanya orang yang mengalami pukulan batin dan
13 goncangan perasaan hebat baru bisa menderita penyakit ini. Sudah
hampir lima puluh tahun aku berpraktek dan belum pemah melihat
penyaki demikian......"
Wajah 'mayat hidup' itu mendadak juga merah padam, dengan
gusar ia membentak, "Siapa yang kena penyakit 'Li-hun-cing'"
Kukira kau sendiri yang sakit gila ngaco belo tak keruan membacot
sesukanya." Thio Kan-cay menatapnya lekat-lekat sekian lama, tiba-tiba ia
memindahkan sebuah cermin perunggu besar yang tertaruh di pojok
sana ke depan nona cantik ini, katanya dengan tegas
"Coba, sekarang kau perhatikan, tahukan kau siapakah dirimu
sendiri?" "Gila kau!" damprat nona itu dengan gusar. ''Sudah tentu kutahu
siapa diriku sendiri, tidak perlu kupandang.....". Meski mulutnya
bilang tidak perlu tidak urung ia menoleh juga memandang ke arah
cermin. Tapi pandangan sekilas ini mendadak membuatnya terkejut tak
terhingga dengan takut ia menjerit "He, siapa ini" Aku...aku tidak
kenal dia, aku tidak......tidak tahu siapa dia..."
"Yang tercernin di sini dengan sendirinya ialah dirimu sendiri,
masa kau tak kenal lagi pada dirimu sendiri?" kata Thio Kan-cay.
Mendadak anak dara itu menjatuhkan diri ke tempat tidur dan
menutupi muka dengan selimut. teriaknya parau, "Bukan, ini bukan
diriku, bukan diriku!" Sembari menjerit ia terus memukul tempat lidur
sekuatnya, lalu menangis tergerung-gerung.
Setiap orang yang menyaksikan melongo terkesima, tiada yang
dapat bersuara, meski dalam hati samar-samar dapat menerka apa
yang terjadi ini. tapi siapa pun tak berani percaya hal ini bisa terjadi.
Thio Kan-cay menarik Coh Liu-hiang dan Cu Kin-hou ke samping
sana, dengan suara tertahan ia berkata kepada mereka, '"Anak dara
ini tidak sakit." "Kalau tidak sakit kenapa......kenapa berubah jadi begini"!" ucap
14 Cu Kin-hou. "Meski dia tidak sakit, tapi aku malah berharap akan lebih baik
bila dia sakit," ujar Thio Kan-cay dengan menghela napas
"Seb......sebab apa?" tanya Cu-Jiya bingung.
'*Sebab dalam keadaan tidak sakit seperti ini akan jauh lebih....
lebih ,menakutkan daripada kalau dia sakit" tiitur Thio Kan-cay.
"Menakutkan?" Cu-jiya menegas dengan suara parau, keringat
dingin tampak merembes keluar di jidatnya.
"Kita tahu, sudah sebulan dia terbaring menderita sakit, bahkan
tidak makan tidak minum, seumpama sakitnya mendadak sembuh.
tentu tenaganya takkan pulih secepat ini." demikian tutur Thio Kancay.
"Apalagi tadi sudah jelas denyut nadinya sudah berhenti dan
tidak mungkin tertolong lagi. Untuk itu aku berani menjamin
kebenarannya dengan nama baikku yang sudah bersejarah hampir
lima puluh tahun, pasti tidak salah penentuanku ini."
"Sudah tentu, siapa yang tidak tahu kemahiran pertabiban Thiolosiansing,
siapa pula yang tidak percaya?" ujar Coh Liu-hiang
Tapi dengan air muka prihatin Thio Kan-cay berkata pula, "Jika
demikian, harus pula kuminta pendapat Coh Hiang-swe, Coba
katakan, seorang sudah jelas mati, mengapa bisa hidup kembali
secara mendadak" Coh Hiang-swe berpengalaman lias dan
pengetahuan banyak, pernahkah kau melihat kejadian ini?"
Coh Liu-hiang melcnggong sekian lamanya, Jawabnya ke
mudian dengan senyum getir. "Ya, selamanya belum pemah kulihat,
bahkan mendengar saja tidak pernah."
"Tapi jelas pula anak dara ini telah hidup kembali," kata Thio
Kan-cay. "Coba, kalau menurut pandangan Coh Hiang-swe, cara
bagaimana harus menjelaskan persoalan ini?"
Kembali Coh Liu-hiang termangu sejenak, kemudian menjawab,
"Thio-losiansing sendiri merasa bagaimana harus menjelaskannya?"
Thio Kan-cay berpikir agak lama, sorot matanya menampilkan
15 rasa kuatir dan ngeri, dengan suara tertahan akhimya ia berucap,
"Menurut pandanganku, kejadian ini hanya bisa dijelaskan dengan
satu istilah......Mayat kesurupan Roh!"
******* Mayat kesurupan roh! Keterangan ini membuat Cu Kin-hou melonjak gerara dan
meraung gusar, "Thio Kan-cay tadinya kukira kau punya pandangan
berharga, siapa tahu kau bisa mengucapkan hal yang tidak masuk
akal ini. Hm, tabib sakti macam apa kau ini, sungguh tak berani
kuterima lagi. Silakan, silakan!"
Thio Kan-cay juga menarik muka, katanya, "Baik, jika demikian,
biarlah kumohon diri saja". Dengan gusar segera ia hendak tinggal
pergi. Tapi Coh Liu-hiang telah menarik dan membujuknya agar jangan
pergi, kemudian ia pun membujuk tuan rumah, katanya, "Urusan ini
memang luar biasa, kita harus berpikir dan bertindak secara
bijaksana, janganlah kila dipengaruhi emosi."
Cu Kin-hou melolot, katanya, "Memangnya kau.....kau pun
percaya kepada omongan setan begitu?"
Coh Liu-hiang termenung sejenak, lalu katanya, "Apapun juga,
harap kalian berdua suka tenang dulu, biarlah kulayani anak dara itu,
harus kutanya hingga jelas duduk perkaranya."
Lalu ia mendekati tempat tidur, ia tunggu setelah tangis anak
dara itu mulai mereda, dengan suara lembut ia lantas bertanya, "Aku
dapat memahami perasaan nona, bahkan aku bersimpati kepadamu.
Kutahu, siapapun kalau menghadapi urusan begini pasti juga akan
sangat berduka. Yang kuharapkan hendaklah nona percaya padaku.
Sungguh, sama sekali tiada maksud jahat kami hendak membikin
susah nona, lebih-lebih bukan kami yang menculik nona ke sini."
Suara Coh Liu-hiang yang lembut dan berdaya tarik itupun
mengandung tenaga yang dapat menenangkan pikiran orang. Tangis
nona itu benar-benar berhenti, namun kepalanya masih dibenamkan
dalam selimut, ucapnya dengan parau, "Bukan kalian yang menculik
16 diriku ke sini, mengapa aku bisa berada di sini?"
"Cobalah, silakan nona berpikir lagi secara tenang, coba ingatingat,
sesungguhnya apa yang telah terjadi sehingga nona bisa
berada di srni?" "Pikiranku kusut, aku......aku tak ingat apa-apa lagi......"
Tanpa terasa ia mengangkat kepalanya, matanya yang jeli
seolah-olah teraling oleh selapis kabut.
Coh Liu-hiang tidak mendesaknya, sampai agak lama ba rulah si
nona berkata pula dengan pelahan, "Ya. aku ingat,, aku jatuh sakit
hingga lama sekali, sangat berat sakitku."
Seketika timbul rasa girang pada sorot mata Cu Kin-hou,
serunya, "O, anak baik, akhirnya kau dapat mengingatnya juga. Kau
memang jatuh sakit lama sekali, selama sebulan ini kau senantiasa


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbaring di tempat tidur ini dan tak pernah bangun."
Dia mengerling sekeliling ruangan ini, lalu menyambung pula,
"Kamarku itu sama besarnya dengan kamar ini, tempat tidurku
terletak di sebelah sana. Di tempat tidur ada meja rias kayu cendana,
di samping meja rias adalah sebuah rak bunga dengan sebuah anglo
kecil yang selalu mengepulkan asap wangi."
Gemerlap sinar mata Coh Liu-hiang, ia bertanya pula, "Barang
apa saja yang tertaruh di meja rias itu?"
"Biasa, barang-barang yang kugunakan bersolek sehari-hari
sebangsa pupur dan minyak wangi, semuanya kupesan dari Pohiang-
cay, sebuah pabrik barang-barang kosmetik yang terkenal di
Pakkhia (Peking)," tiba-tiba wajah si nona seperti bersemu merah,
cepat ia menyambung pula, "Namun di kamarku itu tiada bunga,
sebab bila aku mencium bau serbuk bunga segera kulitku akan gatal,
malahan jendela kamarku terpasang tirai kain yang tebai, soalnya
sejak kecil aku tidak suka pada sinar matahari."
Jendela kamar ini juga terpasang tirai, namun tirai anyaman lidi
bambu yang halus dan bukan kain, di pojok kamar juga ada sebuah
pot bunga seruni yang sedang mekar. Melihat bunga seruni ini, sorot
mata si nona lantas mengunjuk rasa jemu.
17 Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, sebab ia tahu Cu
Beng-cu sangat menyukai bunga dan bunga yang paling disukainya
adalah bunga seruni, makanya di kamanya diberi hiasan bunga
seruni bersama potnya. Namun Coh Liu-hiang tidak memberi komentar apa-apa, segera
ia memindahkan pot bunga seruni itu keluar. Dengan rasa terima
kasih si nona itu memandang Coh Liu-hiang, ucapnya kemudian,
"Setelah tersekap sebulan lebih di dalam kamar, aku menjadi kesal
dan tiba-tiba ingjn melihat sinar matahari, sebab itulah pagi tadi
kusuruh orang membuka semua daun jendela kamarku."
"Pagi tadi" Siapa yang nona suruh membuka daun jendela?"
tanya Coh Liu-hiang. "Liang-ma (mak Liang), yaitu mak inangku, sudah sekian tahun ia
momong diriku. sebab ibu selalu sibuk, biasanya jarang berkumpul
dengan kami." Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Nama kebesaran Kim-kiong
Hujin sudah lama kukagumi." Cu-jiya mendengus mendengar katakata
Coh Liu-hiang ini, tetapi ia tetap menahan perasaannya dan
tidak membuka suara. Anak dara itu menatap jauh keluar jendela, katanya dengan
pelahan. "Kejadian pagi tadi masih kuingat dengan jelas, Cuma
sekarang......sekarang mengapa hari sudah gelap" Apa.....apa
sudah sangat lama aku tertidur?"
"Apa yang terjadi pagi tadi" Apakah nona masih ingat?" tanya
Liu-hiang. "Sudah tentu masih ingat," jawab si nona. "Karena kulihat sinar
matahari di luar sangat indah, aku menjadi gembira dan timbul
hasratku untuk jalan-jalan di taman."
"Nona dapat berjalan?" tanya Coh Liu-hiang.
Anak dara itu tersenyum pedih, jawabnya, "Sebenarnya aku tidak
kuat berdiri, tapi Liang-ma tidak tega membuat kecewa kehendakku,
maka dia memapah dan menurunkan aku dari tempat tidur serta
18 mengganti pakaianku."
"Apakah baju yang nona pakai sekarang ini?" tanya Coh Liuhiang
pula. "O. sama sekali bukan ini," jawab nona itu. "Baju itu adalah baju
kesukaanku yang dijahit sendiri oleh Liang-ma, bahan baju itupun
kupesan beli dari toko kain sutera Hu-swi-sian di Pakhia, warnanya
merah dengan sulaman burung Hong wama ungu."
Entah mengapa, bicara punya bicara. tiba-tiba muka si nona
bersemu merah seperti orang kemalu-maluan.
"Kemudian apakah nona jadi keluar berjalan-jalan?" tanya Coh
Liu-hiang. "Tidak jadi, sebab kebetulan ibu datang, malahan ibu membawa
serta seorang tabib ternama."
"Siapa tabib ternama itu ?" tanya Thio Kan-cay mendahului
bertanya. "Ibu bilang hampir semua tabib ternama di daerah Kang lam
telah diserobot oleh Ceng-pwe-san-ceng sehingga penyakitku sukar
disembuhkan, maka ibu sengaja mengundang tabib ternama Ong
Uh-han dari Utara, yaitu Ong-losiansing yang namanya sama
gemilangnya dengan Tiio Kan-cay di daerah selatan, mereka
terkenal dengan sebutan Ong di Utara dan Thio di se-latan."
"Bukan Ong di utara dan Tio di selatan, tapi harus Thio di selatan
dan Ong di utara," tutur Thio Kan-cay dengan menarik muka.
Rupanya ia tidak terima bila namanya ditaruh di bagian belakang.
Anak dara itu memandangnya sekejap, tiba-tiba ia berseru, "He,
apa kau Thio Kan-cay, mengapa kau berada di sini, konon kau
diundang ke Ceng-pwe-san-ceng?"
"Betul, Thio-losiansing ini memang betul Thio Kao-cay adanya,
tempat inipun Ceng-pwe-san-ceng," kata Coh Liu-hiang,
"Hah, jadi di sini Ceng-pwe-san-ceng, jadi kalian memang
menculik diriku" Sesungguhnya apa kehendak kalian?" seru si nona
19 dengan cemas. "Sudah kukatakan sejak tadi, kami sama sekali tidak berniat jahat
terhadap nona......"
"Jika tidak bermaksud jahat, mengapa tidak melepaskan aku
pulang?" sela si nona dengan aseran.
Coh Liu-hiang saling pandang dengan Cu Kin-hou sekejap,
ucapnya kemudian dengan tersenyum, "Penyakit nona sekarang
belum sembuh seluruhnya, lebih baik istirahat sementara waktu di
sini, nanti kalau sudah......"
Sekonyong-konyong anak dara itu melonjak bangun dan
berteriak, "Tidak, aku tidak mau istirahat di sini, aku ingin pulang.
Siapa berani merintangi aku, biarlah aku mengadu jiwa dengan dia.
Di tengah teriaknya segera ia pun melompat bangun dan bermaksud
menerjang keluar. "Rintangi dia, lekas cegah dia!" seru Cu Kin-hou.
Pandangan si nona serasa kabur, entah bagaimana caranya,
tahu-tahu Coh Liu-hiong yang berdiri di samping tempat tidur sudah
menghadang di depannya, mengalangi jalan keluarnya. Dengan
gregetan si nona lantas mencengkeram pundak Coh Liiu-hiang.
Jarinya yang lentik laksana cakar itu mengincar Koh-cing-hiat di
kanan kiri pundaknya. 2. MISTERI DAN TEKA-TEKI Namun dengan gesit sekali Coh Liu-hiang dapat menyeli nap
lewat di bawah tubrukan si nona. Karena telah telanjur
mencengkeram ke depan, mendadak tangan si nona mcmbalik terus
mencengkeram pula Seng-hong-hiat di bagian belakang bahu Coh
Liu-hiang, sedangkan tangan yang lain juga mencengkeram Hiat-to
maut di bagian iga. Perubahan serangannya sangat cepat dan lihai,
yang diarah adalah tempat mematikan. Tapi betapa tinggi ilmu silat
Coh Liu-hiang, jelas tak dapat dibayangkan oleh anak dara yang
masih muda belia ini. Dengan jelas ia merasa jari sendiri sudah mengenai Hiat-to di
20 tubuh Coh Liu-hiang, asalkan tenaga sudah tersalur ke ujung jari,
pasti Coh Liu-hiang akan tertutuk kaku dan kehilangan daya
perlawanannya. Tak tahunya, pada saat itu juga, selicin belut, tahu-tahu Coh Liuhiang
memberosot ke sana terus berputar ke belakang si anak dara
sambil berkata, ;"Silakan nona tidur lagi sebentar. setelah bangun
nanti urusan akan berubah Iebih baik."
Nona itu cuma merasa tangan Coh Liu-hiang seperti mengusap
pelahan di tubuhnya, ucapan yang halus laksana hembusan angin
semilir di musim semi dan tidak terasakan. Menyusul ia lantas
merasakan matanya sepat, rasa ingin tidur segera merangsang dan
tak tertahan, belum lagi ia berdiri tegak segera ia jatuh terpulas.
Sejak tadi Thio Kan-cay mengikuti gebrakan mereka, baru
sekarang ia menghela napas lega, ucapnya, "Tenang seperti anak
perawan, lincah sepcrti kelinci, sungguh tepat sekali
menggambarkan kecepatan Coh Hiang-swe dengan kedua kalimat
tersebut" Coh Liu-hiang tertawa setelah Cu Kin-hou membaringkan anak
dara itu di tempat tidur, baru tiba-tiba ia bertanya, "Gaya ilmu apa
yang digunakannya tadi" Apakah Losiansing dapat melihatnya?"
Thio Kia-cay berpikir sejenak, jawabnya kemudian, "Bukankah
sebangsa Eng-jiau-kang (ilmu pukulan cakar elang?"
"Betul, pandangan Losiansing memang tajam," ujar Coh Liuhiang.
"Yang digunakan memang betul Eng-jiau-kang terseling
gerakan 'Hun-kin-jo-kut-jiu' (ilmu membikin otot tulang terkilir),
bahkan tidak lemah tenaganya."
Sejenak Thio Kan-cay memandang Cu Kin-hou, katanya dengan
pelahan, "Setahuku, di dunia Kangouw jarang ada perempuan yang
mahir Eng-jiau-U-kang begini kecuali......" Dia berdehem dua kali lalu
tidak melanjutkan lagi. Sebaliknya Cu Kin-hou lantas berseru dengan beringas, "Ya, aku
pun tahu Eng-jiau-kang adalah ilmu silat keturunan keluarga bininya
Si Hau-liam, tapi jelas anak dara ini adalah putriku, siapa pun tak
dapat menyangkal" 21 "Apakah sebelum ini putrimu juga pemah meyakinkan ilmu ini?"
tanya Thio Kan-cay. Cu Kin-hou jadi melenggong dan tak bisa menjawab.
Padahal tanpa jawabannya juga orang lain tahu. Cu-jiya terkenal
dengan ilmu silat kebanggaannya yaitu 'Hui-hoa-jiu' (ilmu pukulan
bunga bertaburan). Hui hoa-jiu adalah ilmu pukulan yang ruwet gaya perubahannya,
halus dan dingin, justru merupakan kebalikan ilmu pukulan keras
sebangsa Eng-jiau-kang. Dengan sendirinya tak mungkin anak
perempuan Cu-jiya disuruh belajar ilmu Eng-jiau-kang"
Meski Thio Kan-cay terkenal sebagai tabib sakti, tapi sebenamya
ia pun tokoh silat terkemuka, konon 'Tan-ci-sin-thong' (ilmu tenaga
jari sakti) yang merupakan ilmu kebanggaannya sudah mencapai
puncaknya kesernpurnaan, maka terhadap ilmu silat dari berbagai
golongan dan aliran ia pun cukup paham. Ia merasa simpati melihat
wajah Cu Kin-hou yang cemas dan berduka itu, dengan menyesal ia
berkata, "Perasaan Cu-cengcu sekarang betapapun dapat
kupahami, cuma saja, di dunia ini memang sering timbul hal-hal yang
sukar dibayangkan dengan akal dan sukar pula dipecahkan.
Sekarang setelah penstiwa ini terjadi....."
"Meng......mengapa kau menyuruh aku percaya pada hal-hal
yang mustahil inii" Masa kau benar-benar percaya ada kejadian
'mayat kesurupan roh' segala"' kata Cu Kin-hou dengan parau.
Lekas Coh Liu-hiang menyela, "Kukira maksud Thio-losiansing
cuma menginginkan Jiko suka berpikir dengan tenang, agar kita
bersama-sama dapat mencari akal untuk menghadapi persoalan ini."
'"Ucapan Hiang-swe memang tak salah, asalkan mau, urusan
apapun pasti dapai kita pecahkan ujar ," Thio Kan--cay.
Cu Kin-hou mengggeleng, ucapnya dengan murung,
"Perasaanku kusut-masai, terserah apa yang kalian anggap baik."
Setelah terdiam sejenak, lalu Coh Liu-hiang membuka suara,
"Urusan ini memang banyak segi-segi yang sukar untuk
22 dibayangkan. Sebab apakah mendadak Beng-cu menggunakan ilmu
silat keturunan Kim-kiong Hujin" Soal ini jelas sukar untuk dijawab,
tapi kjta tetap ingin menyelidiki kebenaran apa yang dikatakannya
tadi, kita harus tahu apakah betul-betul anak perempuan Hoa Kimkiong
telah mati?" Cu Kin-hou membanting kaki katanya dengan kurang senang.
"Jelas-jelas kau tahu Hoa Kim-kiong adalah besan musuh
bebuyutanku (maksudnya Sih Ih-jin), masa kau menghendaki aku
pergi ke Si-keh-ceng untuk menanyai dia?"
"Meski Cu-cengcu tidak dapat pergi ke sana, Coh Hiang-swe kan
dapat pergi?" ujar Thio Kan-cay
"Coh Liu-hiang adalah sahabat karib Cu-Kin-hou, siapa yang
tidak tahu hal ini?" kata Cu-jiya, "Jika Coh Liu-hiang pergi ke sana,
mustahil kalau dia tidak diusir dengan sapu oleh si perempuan tua
itu." Thio Kan-cay tertawa, katanya pula, " Tapi Ceng-cu juga jangan
lupa bahwa Ginkang Coh Hiang-swe tiada bandingannya di dunia ini,
sekalipun istana raja juga berani di terobosnya sesuka hati tanpa
rintangan, apalagi cuma perkampungan kecil seperti Si-keh-ceng.."
***************** Padahal Si-keh-ceng sama sekali tidak kecil, malahan luas dan
kemegahannya tak kalah dibandingkan Ceng-pwe-san-ceng. Cengcu
Si Hau-liam memang bukan orang Kangouw, tapi istrinya, HoaKimkoing,
cukup tenar di dunia persilatan, kepandainnya 'Kim-kiong-gintan-
thi-eng-jiau' atau gendewa emas berpeluru perak dan cakar
elang besi, terkenal sebagai kungfu kebanggaannya.
Selain itu terkenal juga sesuatu hal atas diri sang Cengcu, yaitu
'takut bini'. Orang kangouw mungkin tidak terlalu paham terhadap
'Say-hau-ceng atau perkampungan singa meraung sebagai
gambaran di situ ada istri yang galak, maka setiap orang tentu tahu
siapa yang di maksud. Yang lucu adalah tidak cuma sang bapak takut pada bini,
penyakit ini juga ternyata menurun kepada anaknya. Putra Si Hauliam,
Si Toan-cong, bahkan takut pada bininya melebihi takut pada
23 harimau. Sebenarnya orang pun tidak dapat menyalahkan Si Toan-cong
yang takut bini itu, sebab setiap orang tahu, bininya memang bukan
sembarang orang, asal-usulnya memang luar biasa. Bahkan Hoa
Kim-kiong, sang mertua perempuan yang terkenal galak dan garang
itupun tak berani mengusik pihak besannya.
Hakikatnya di kalangan Kangouw juga tiada orang yaing berani
mengusik besan keluarga Si ini, sebab besannya adalah sang
pendekar pedang nomor satu di dunia, yaitu Sih Ih-jin, Sih-tayhiap
yang termasyhur itu. Waktu mudanya Sih ih-jin terkenal dengan julukan 'Hiat-ih-jin'
atau si baju berdarah dan berkecimpung di dunia Kang?ouw tanpa
kenal kawan atau lawan, siapa pun, bila tidak disukai nya pasti
dilabraknya habis-habisan. cara turun tangannya keji tanpa kenal
ampun, orang yang terbunuh olehnya boleh dikata sukar dihitung
jumlahnya. Setelah menginjak setengah umur perangainya yang berangasan
itu mulai hilang dan akhimya hidup menyepi di perkampungannya,
namun permainan pedangnya tetap maha sakti,.konon selama
empat puluh tahun ini, belum pemah ada seorang pun yang mampu
melawan dia dalam sepuluh jurus.
Sih Ih-jin si pendekar pedang nomor satu di dunia inilah yang
menjadi musuh bebuyutan Cu Kin-hou, dari dulu hingga sekarang
*********************** Malam sudah larut, suasana di Si-keh-ceng sunvi senyap, gelap
tanpa cahaya lampu. Daun tetumbuhan di taman belakang perkampungan itu sama
gugur dan layu, musim rontok terasa hampa, semua serba sendu.


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angin malam berhembus dingin, sampai-sampai serumpun seruni
kuning, bunga yang mekar di musim rontok itupun kurang semarak di
bawah cahaya bulan yang remang-remang.
Perasaan Coh-Liu-hiang juga sangat tertekan. Meski Ginkangnya
tiada bandingannya, tetapi setiba di Si-keh-ceng ini, betapapun ia
24 tidak berani gegabah. ia sedang nonkrong di atas pohon dan
mengamati keadaan sekelilingnya.
Di tengah sayup-sayup desir angin itu tiba-tiba terdengar suara
orang menangis, cepat Coh Liu-hiang melayang ke sana segesit
burung walet, dipandang di suasana malam yang kelam nampaknya
seperti seekor kelelawar.
Di tengah hutan bambu sana ada beberapa buah rumah kecil,
nampak cahaya lampu menembus keluar dari jendela, suara
tangisan sedih itu jelas berkumandang keluar dari rumah ini.
Di pojok ruangan sana ada sebuah tempat tidur, di samping
tempat tidur terletak sebuah meja rias berukir indah, di sebelahnya
ada sebuah rak bunga, tampak asap dupa mengepul dan terhembus
oleh angin malam. Tampak sesosok tubuh terbaring di tempat tidur, seorang
perempuan tua dengan rambut beruban berlutut di depan tempat
tidur dan sedang menangis dengan sedih, jeias terdengar dia ber
gumam, "O, anak In, kenapa kau meninggal, kenapa anak In....
Hanya memandang sekejap saja Coh Liu-hiang merasa
merinding. Nyata, putri keluarga Si memang betul meninggal, suasana
kamarnya tertata cocok sebagaimana diuraikan oleh anak dara di
rumah Cu Kin-hou itu. Baju yang dipakainya juga berwarna merah
bersulam burung Hong warna ungu. Anehnya mengapa jenazahnya
belum lagi dimasukkan dalam peti mati" Siapa pula perempuan tua
yang menangis sedih di tepi ranjang ini"
Coh Liu-hiang tahu, perempuan tua ini pasti bukan Hoa Kimkiong.
Jika demikian apakah dia ini Liang-ma, si mak inang yang
dimaksudkan 'anak dara' itu"
Perempuan tua ini masih terus mengangis dengan sedih,
akhirnya kepalanya terjuntai lemas ke bawah dan mendekap di atas
ranjang, agaknya saking lelahnya dia tertidur tanpa terasa. Dari
kejauhan terdengar suara kentongan ronda malam, ternyata sudah
kentongon keempat. 25 Timbul juga rasa sedih dalam hati Coh Liu-hiang, ia pun
merasakan suasana yang seram ini, seakan-akan bau harum asap
dupa yang mengepul itupun membawa hawa kematian yang seram
dan misterius. Dia bersembunyi di balik jendela yang gelap, ia berdiri
termenung sekian lamanya, dilihat suara napas si perempuan tua
yang berat tampaknya benar-benar terpulas dengan nyenyaknya.
Pelahan-lahan Coh Liu-hiang menerobos jendela masuk ke
ruangan itu, betapa ringan langkahnya hingga tanpa menimbulkan
suara, sekalipun perempuan tua itu tidak tertidur juga pasti takkan
mendengar kedatangannya. Wajah anak yang membujur di tempat tidur itu pucat kuning.
kurus kering, hanya tinggal kulit membungkus tulang, dapat
dibayangkan sebelum ajalnya pasti sudah cukup lama bergelut
melawan penyakit. Mata, alis dan raut wajah anak gadis ini sama
sekali tidak mirip Cu Beng-cu, tapi lapat-lapat kelihatan bahwa pada
waktu hidupnya juga seorang gadis yang cantik.
Akan tetapi sekarang elmaut telah merenggut jiwanya dan juga
telah merenggut kecantikannya itu, elmaut memang tak kenal
kasihan, tidak pemah meninggalkan apapun bagi sasarannya.
Coh Liu-hiang berdiri di belakang perempuan tua itu dan
memandang jenazah di tempat tidur, dipandangnya sulaman burung
Hong di atas bajunya dan teringatlah apa yang diucapkan 'anak dara'
itu, tanpa terasa tangannya berkeringat dingin.
Ia coba mendekati meja rias itu, dipegang satu kotak pupur,
dilihatnya merek kotak pupur itu jelas tertulis "buatan Po hiang-cay di
Pakkhia', jadi cocok seperti apa yang dikatakan 'anak dara ' itu.
Seketika merinding pula Coh Liu-hiangg, bulu roma sama berdiri,
kotak pupur itupun basah oleh keringat dinginnya
Tiba-tiba terdengar perempuan tua itu menjerit, "Hai, kalian
berani membawa lari anak In hayo kembalikan!"
Tergetar tangan Coh-Liu-hiang sehingga kotak pupur yang
dipegangnya itu terjatuh. Dilihatnya tangan perempuan tua yang
kurus itu memegang erat baju sutra merah yang dipakai mayat itu,
26 selang sejenak barulah pelahan-lahan dilepaskannya.
Dahinya yang keriput itu tampak merembes butiran keringat, tapi
kepalanya lantas mendekap lagi diatas ranjang, lalu napasnya
tenang kembali, pelahan-lahan terpulas pula. Selama hidup Coh Liuhiang
entah sudah berapa banyak mengalami hal-hal yang seram
dan berbahaya, tapi belum pernah dia terkejut seperti sekarang.
Dengan sendirinya bukan lantaran jeri pada si perempuan tua atau
takut pada pada mayat di tempat tidur itu. Sesungguhnya ia pun
tidak tahu sebenarnya apa yang ditakutinya.
Yang jelas ia merasa rumah ini penuh hawa gaib dan penuh
misteri, rasanya setiap waktu bisa timbul hal-hal yang sukar diduga
dan sukar untuk dilawan siapa pun.
'Mayat kesurupan roh', kejadian ini sebenarnya tak mungkin
djpercayainya, tapi sekarang, bukti terpampang di depan mata, mau
tak mau ia harus percaya.
Tiba-tiba angin meniup kencang, tirai kain jendela tersing kap
sehingga membuat suasana tambah seram, cepat Coh Liu-hiang
mengusap tangannya yang berkeringat dingin itu pada bajunya, lalu
berjongkok hendak menjemput kotak pupuryang terjatuh tadi.
Ia harus membawa pulang kotak pupur ini untuk diperli hatkan
pada Cu Kin-hou agar sahabatnya itu menarik kesimpulan sendiri.
Maklum, ia sendiri tidak tahu cara bagaimana harus memberikan
keterangan kepada Cu Kin-hou.
Ya, hakikatnya urusan ini memang sukar untuk dijelaskan.
Akan tetapi baru saja ia berjongkok, segera dilihatnya sepasang
sepatu kain bersulam Selama hidup Coh-Liu-hiang entah telah berapa banyak melihat
sepatu kain bersulam dengan aneka macam ragamnya, serta dipakai
di kaki berbagai golongan wanita. Selama ini tak terpikir olehnya
bahwa sepasang sepatu begini juga dapat membuatnya terkejut.
Namun ia sekarang benar-benar terkejut.
Sepatu bersulam ini mirip muncul dari neraka secara mendadak.
27 Sesungguhnya yang dilihatnya bukanlah sepasang sepatu
melainkan cuma sepasang ujung sepatu. Ujung sepatu yang sangat
bagus, warna hijau, tampaknya seperti dua potong tunas rebung.
Bagian sepatu yang lain tertutup celana yang berwarna merah muda,
bagian tepi ujung celana malahan bersulam benang warna emas,
sulaman yang sangat indah.
Sebenarnya sepasang sepatu yang bagus dan celana yang
indah, tapi entah mengapa, tanpa terasa timbul pikiran Coh Liuhiang,
jangan-jangan di bagian atas kaki itu tidak ada kepalanya. la
jadi ingin melihat ke bagian atas, tapi sebelum ia menengadah,
sekonyong-konyong seseorang telah mendengus. "Jangan bergerak,
berjongkok terus seperti sekarang ini, bagian mana saja dari anggota
badanmu bila berani bergeser sedikit segera kupecahkan batok
kepalamu!'' Jelas itulah suara seorang perempuan, nadanya dingin dan kaku.
sedikitpun tiada rasa kelembutan seorang perempuan. Cukup
didengar dari suaranya saja, kalau perempuan begini sudah
mengancam akan menghancurkan kepala seseorang, maka hal ini
dapat dilaksanakannya, tidak mungkin cuma gertakan belaka.
Dengan sendirinya Coh Liu-hiang tidak berani bergerak. Di
depan kaum perempuan, selamanya ia tidak mau bertindak sesuatu
yang mungkin mendatangkan bahaya. Apalagi, bila yang
dihadapinya sekarang bukanlah orang perempuan. tapi setan
perempuan. Terdengar suara itu berkata pula, "Siapa kau" Kerja apa kau
main sembunyi-sembuniy di sini" Lekas mengaku terus terang! Tapi
ingat, hanya mulutmu saja yang boleh bergerak."
Cukup lama juga Coh Liu-hiang menimbang, ia pikir dalam
keadaan begini akan lebih baik jika bicara terus terang.
Maklum, baik manusia maupun setan juga akan terkejut
bilamana mendengar nama 'Coh Liu-hiang' . Dan kalau orang
sampai terkejut, maka inipun berarti kesempatan baik untuk
bertindak baginya. Segera ia menjawab,"Aku Coh Liu-hiang......"
28 Di luar dugaan, belum lagi lanjut ucapannya, cepat perempuan
itu lalu mengejek, "Hm, Coh Liu-hiang" He he, jika kau Coh Liuhiang,
maka aku inilah ibumu!"
Terpaksa Coh Liu-hiang hanya menyengir saja. Biasa, setiap kali
kalau dia mengaku bernama Li A-sam atau Tan A-si maka orang lain
pasti akan mencurigai ia ini Coh Liu-hiang adanya, sebaliknya jika ia
mengaku sejujumya, maka orang justru tak percaya, bahkan
menganggap dia sinting dan menggelikan.
Begitulah terdengar perempuan tadi mengejek pula, "Hm,
sebenarnya sejak tadi sudah kuketabui siapa kau ini, jangan kau
harap dapat mengelabui aku."
"Habis siapa diriku kalau bukan Coh Liu-hiang?" kata Liu-hiang
sambil menyengir. "Kutahu kau pasti binatang kecil itu, binatang kecil yang pantas
mampus," damprat perempuan tadi. "Sungguh tak pernah kuduga
bahwa kau berani datang pula ke sini."
Sekonyong-konyong suaranya berubah bengis dan penuh rasa
murka, katanya pula, 'Tahukah kau cara bagaimana matinya anak
In" Dia justru mati di tanganmu. kau telah membikin celaka dia
selama hidup, kau telah mengakibatkan kematiannya dan belum
cukup, sekarang kau datang ke sini pula untuk apa?"
Karena tidak paham apa maksud pertanyaan orang, terpaksa
Coh Liu-hiang bungkam saja.
Tentu saja perempuan itu bertambah murka, kembali ia
mendamprat, "Jelas kau tahu anak In telah dijodohkan kepada
Jikongcu (putra kedua) Sih-tayhiap, tapi kau tetap berani memelet
dia, memangnya kau kira aku tidak tahu persoalan ini?"
Dengan sendirinya sekarang Coh Liu-hiang tahu perempuan ini
bukan setan melainkan orang, malahan terhitung ibu Si In, nona
yang meninggal itu, ialah Kim-kiong Hujin yang terkenal galak dan
bawel itu. Padahal selama hidup ini yang paling membikin pusing kepala
Coh Liu-hiang justru adalah perempuan judas dan cerewet.
29 Tiba-tiba terdengar suara seorang ikut bicara, "Apakah keparat
ini Yap Seng-lan adanya" Hm, besar juga nyalinya berani menyusup
ke sini?" Suara ini lebih melengking daripada suara Hoa Kim-kiong,
juga lebih tajam. Maka di depan Coh Liu-hiang segera muncul pula sepasang kaki
yang mengenakan celana wama jambon dengan sepatu melengkung
warna merah tua, di atas ujung sepatu terikat sebuah bola benang
merah. Biasanya untuk mengetahui perangai seorang gadis, asalkan
melihat sepatu yang dipakainya, maka sebagian besar sifat nya
sudah dapat diterka. Kini sepatu yang dikenakan perempuan ini
justru melengkung mirip dua tangkai lombok merah raksasa
Diam-diam Coh Lhi-hiang menghela napas, "Sialan!" pikirnya.
Memang jika di dunia ini ada urusan yang lebih memusingkan
daripada bertemu dengan perempuan bawel, maka hal itu adalah
bertemu dengan dua perempuan bawel sekaligus. Dalam keadaan
demikian kalau bisa sungguh Coh Liu-hiang ingin angkat langkah
seribu alias kabur saja. Tapi ia pun tahu peluru perak Hoa Kim-kiong yang terkenal itu
pasti sudah mengincar batok kepalanya, apalagi perempuan yang
datang belakangan dengan celana merah ini, besar kemungkinan
adalah puteri tertua Sih Ih-jin, menantu Si Hau-liam.
Bahwa, ilmu pedang Sih Ih-Jin tiada tandingannya di dunia ini,
maka anak gadisnya pasti bukan tukang cuci pedang belaka.
Sebenarnya bukan Coh Liu-hiang takut pada mereka, soalnya dia tak
mau berkelahi dengan kaum wanita.
Maka terdengar Hoa Kim-kiong lagi berkata, "Kedatanganmu
sangat kebetulan. Siaunaynay (nyonya mantu), menurut
pendapatmu cara bagaimana sebaiknya kita bereskan keparat ini?"
"Pemuda bangor begini, pintarnya cuma menggoda perempuan
baik-baik setiap hari, kukira paling baik kalau kita kubur dia hiduphidup,"
jengek Siau-naynay, sang nyonya mantu.
30 Mendongkol dan juga geli Coh Liu-hiang, pantas Si-siau cengcu
(tuan muda keluarga Si) takut bini melebihi takut pada harimau,
nyatanya nyonya mantu ini memang galak lagi kasar, tanpa tanya
duduknya perkara segera hendak mengubur orang hidup-hidup.
Terdengar Hoa Kim-kiong berkata pula. "Terlalu enak baginya
jika cuma dipendam hidup-hidup saja, menurut pendapatku, paling
baik kalau kita padamkan lenteranya (maksudnya butakan
matanya)." "Padamkan lenteranya juga boleh," ujar Si-siaunaynay tapi ingin
kulihat dulu bagaimana macamnya, dalam hal apakah dia melebihi
Loji (tuan muda kedua) keluarga Sih kami sehingga membikin nona
In tergila-gila padanya."
"Ya, betul juga," kata Hoa Kim-kioog. Lalu ia membentak " He,
anak muda, coba angkat kepalamu!"
Sudah tentu mereka tak perlu memerintah untuk kedua kalinya,
sebab Coh Liu-hiang sendiri ingin tahu bagaimana corak kedua
perempuan mertua dan menantu itu.
Maka terlihatlah sang nyonya Kim-kiong ini berusia lima puluhan
lebih, namun dandanannya waduh, jangan ditanya, pupur di
mukanya kalau dikerok sedikitnya ada dua kati.
Akan tetapi matanya yang kemilau itu, lirikannya bisa membikin
gila setiap lelaki, mungkin sekali dahulu Si Hau-liam justru terpikat
oleh lirikannya yang menggiurkan ini.
Sedangkan si-siaunaynay kita itu sukar untuk bisa disebut
perempuan cantik kalau tidak mau dikatakan seperti siluman.
Mukanya lonjong bak kuda, mulutnya lebar bagai baskom, bahkan
hidung hapir sebesar mangga golek.
Bayangkan, perempuan yang berwajah luar biasa begini, kalau
saja dia bukan puteri Sih-tayhiap yang pendekar pedang nomor satu
di dunia, mustahil dia bisa mendapatkan pasangan hidup.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang menaruh simpati kepada Si-siau cengcu
itu, sungguh malang nasibnya, punya istri bawel dan galak saja
sudah cukup kasihan, apalagi istrinya lebih mirip se eker kuda
31 betina. Beginilah tatkala Coh Liu-hiang mengamat-amati kedua mertua
dan menantu itu, mereka pun mengawasi Coh Liu-hiang lekat-lekat
Mata Hoa Kim-kiong yang kemilau itu seakan meneteskan air,
bahkan mata kuda sang nyonya mantu juga berkilau-kilau, air
mukanya yang garang tadi segera berubah lebih ramah


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah, memang benar seorang pemuda hidung belang, pantas
saja nona besar kita terpikat olehnya," Jengek Si-siaunaynay
kemudian. Hendaklah maklum bahwa nama Coh Liu-hiang sudah
termasyhur puluhan tahun, setiap orang Kangouw tahu ilmu
pukulannya sangat lihai. Ginkangnya tiada bandingannya, tapi hanya
beberapa orang saja yang pernah melihat wajah asli Coh Liu-hiang.
Dengan sendirinya semua orang semua berpikir kalau nama Coh
Liu-hiang sedemikian tenar dan begitu tinggi kepandaiannya, dengan
sendirinya usianya juga tidak terbilang muda lagi, malahan ada yang
beranggapan dia pasti seorang kakek-kakek.
Maka Coh Liu-hiang hanya menyengir saja mendengar ucapan
antara mertua dan menantu tadi.
Dalam pada itu si nenek Liang-ma entah sejak kapan telah
bangun dari tidurnya, ia pun tampil ke muka, agaknya ia pun ingin
melihat bagaimana bentuk si 'bangor' yang telah berhasil memikat
nona asuhannya. Kini Coh Liu-hiang dapat melihat jelas, Liang-ma ini ternyata
seorang perempuan tua yang nampaknya welas asih. Tiba-tiba
timbul suatu pikiran dalam benaknya.
Namun pada saat itu juga Hoa Kim-kiong telah berteriak,
"Apakah nanti kita akan pendam dia hidup-hidup atau
memadamkan lenteranya. yang penting kita sekarang harus
membekuknya lebih dahulu."
Begitu sinar keemasan berkelebat, gendewa emas yang di
pegangnya itu segera menutuk ke Hi-hay-hiat di bagian perut Coh
32 Liu-hiang, rupanya gendewa ini tidak melulu untuk menjepretkan
peluru perak, tapi kedua ujung gendewa yang melengkung itupun
dapat digunakan menutuk Hiat-to seperti belati. Cara menutuknya
jitu, gerakannya cepat, tampaknya ia pun seorang ahli Tiam-hiat.
Dengan sendirinya sekarang Coh Liu-hiang tak dapat berlagak
pilon, sedikit mengkeret tubuh, segera ia mundur beberapa langkah
ke samping, cara mundumya temyata tidak kalah cepat nya daripada
lawan. Serangan pertama luput, segera Hoa Kim-kiong memutar terus
menyabet pula dengan gendewanya, sekali ini yang diarah adalah
pinggang Coh Liu-hiang, gendewanya kini telah berubah menjadi
pentung. Baru sekarang Coh Liu-hiang tahu Hoa Kim-kiong benar-benar
tidak boleh diremehkan, gendewa emasnya sekaligus ternyata dapat
dimainkan sebagai berbagai senjata, pantas orang Kangouw bilang
Kim-kiong Hujin adalah jago wanita utama dunia persilatan daerah
Kanglam. Sementara itu Coh Liu-hiang sudah mundur sampai di meja rias
dan tak dapat mundur lagi. Sedangkan serampangan gendewa
lawan sudah menyambar tiba. jelas dia tak dapat menghindar ke
kanan atau ke kiri, kalau mundur ke belakang pasti akan menumbuk
meja rias. Malahan serangan Kim-kiong Hujin tampaknya masih
membawa daya ikutan lain, umpama Coh Liu-hiang mundur dan
tersandung meja rias, bukan mustahil gendewanya akan terus
menutuk pula. Di luar dugaan, tiba-tiba Coh Liu-hiang mengkeret tubuh lagi dan
melompat ke atas meja rias, menyusul terus memberosot ke
samping menempel dinding Melihat betapa gesit dan lihainya Coh Liu-hiang, baru sekarang
air muka Hoa Kim-kiong berubah, bentaknya, "Keparat, benar juga
kau punva kemampuan.'"
"Maling cabul rendah begini, dengan sendirinya mahir sedikit
kepandaian cara mencuri ayam dan mencilok anjing," jengek Sisiaunaynay.
33 Berbareng ia meraba bajunya dan tahu-tahu sudah memegang
sebilah pedang pendak yang bersinar gemerlapan, belum lenyap
suaranya, sekaligus ia sudah melancarkan tujuh kali tikaman ke arah
Coh Liu-hiang. Pedang pandak begini adalah senjata beladiri kaum wanita di
zaman kuno. Si-siaunaynay ini bahkan mahir ilmu pedang keturunan,
begitu menyerang lantas menggunakan tipu serangan tanpa kenal
ampun. Apalagi ruangan ini tidak terlalu besar dan cocok bagi orang
yang bersenjata pendek, kalau saja lawannya bukan Coh Liu-hiang,
sekali sudah terdesak ke pojok pasti sukar menghindarkan tujuh kali
serangan sekailgus itu. Cuma sayang, lawan Si-siaunaynay sekarang adalah Coh Liuhiang.
"Ai, seumpama betul aku ini Yap Seng-lan, masa kalian harus
membunuhku secara keji begini?" gumam Coh Liu-hiang dengan
gegetun. Dia cuma bicara dua-tiga kalimat saja, tapi di tengah ucapannya
itu dia sempat menyelinap ke sana dan meluncur ke sini, melompat
ke atas untuk kemudian hinggap pula ke bawah dan akhirnya
menggeser sampai di ambang plntu.
"Keparat, kau ingin merat" Memangnya Si Keh-ceng boleh kau
buat pergi-datang sesukamu?" damprat Hoa Kim-kiong.
Cepat juga turun tangannya, baru habis ucapannya. Mendadak
terdengar suara jepretan gendewa berulang-ulang, peluru sudah
berhamburan ke arah Coh Liu-hiang seperti hujan.
Hebatnya, peluru-peluru itu menyambar dengan cara yang
berbeda-beda, ada yang membidik dengan keras, ada yang lambat,
yang terbidik belakangan terkadang datang lebih cepat ke arah
sasarannya, ada yang saling bentur di udara untuk kemudi an
mendadak berganti arah. Ada yang membentur dinding terus mental
balik menyerang Coh Liu-hiang.
"Peluru perak bergendewa emas' Kim-kiong Hujin ini memang
lain daripada yang lain, cuma sayang yang menjadi lawannya ialah
Coh Liu-hiang. Entah cara bagaimana, tahu-tahu tubuh Coh LiuKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
34 hiang berputar-putar, secepat terbang terus menerobos pergi ke
tengah hujan peluru itu, sekali berkelebat pula, orangnya sudah
berada jauh belasan tombak di sana.
Kim-kiong Hujin terkesiap, cepat ia memburu ke depan pintu dan
berseru, "He, anak muda, ingin kutanya padamu, apakah kau benarbenar
Coh Liu-hiang?" Sementara itu Coh Liu-hiang telah melompat ke pucuk pohon
bambu, dengan daya melenting pohon bambu itu ia melayang pula
jauh ke sana sambil memberi tangan ke arah sini, cuma tidak jelas
dia sedang menggapai sebagai tanda selamat tinggal atau
menggoyang tangan. "Selamanya kita tiada pemusuhan dengan Coh Liu-hiang,
mengapa dia bisa datang kemari?" ucap Si-siaunaynay dengan
gemas. Setelah melenggong sejenak, Kim-kiong Hujin tertawa. katanya,
"Peduli dia Coh Liu-hiang atau bukan, yang pasti dia tak kan mampu
kabur." "O ya?" Si-siaunaynay merasa ragu-ragu.
Kim-kiong Hujin lantas menuding ke sebuah gardu taman di
sebelah sana dan berkata pula, ''Jicek (paman kedua) mestika kalian
itu kan belum pulang setelah mengantar kita kesini, sebelum
disuguhi makan enak. kuyakin dia belum mau pergi dan sekarang dia
pasti menunggu di gardu sana."
Tersembul senyuman benci di ujung mulut Si-siaunaynay,
katanya, " Ya, betul, asalkan Po-jicek berada di gardu sana,
betapapun dia pasti tidak dapat kabur, baik dia Coh Liu-hiang atau
bukan." Memang betul, di gardu taman yang dimaksudkan itu ada
seseorang lagi duduk di undak-undakan batu dan sedang
menengadah memandangi langit, mulutnya tampak berkomat-kamit
entah apa yang diucapkannya.
Tapi bila didengarkan dengan cermat, aneh, rupanya orang ini
sedang menghitung bintang di langit
35 "Senbu tiga ratus dua puluh tujuh, seribu tiga ratus dua puluh
delapan, seribu tiga ratus dua......"
Beginilah dia terus menghitung satu demi satu. Usia orang ini
sedikhnya sudah lebih empat puluh, jenggotnya saja sudah beruban
tapi bajunya justru berwarna merah tua yang lebih la yak dipakai
anak muda, malah pakai sulaman lakon 'Lau-hay memancing katak'
dalam cerita Pat-sian (delapan dewa) segala. Sepatunya juga
berwrna merah dengan ujung kepala harimau. Di bawah kerlipan
sinar bintang, air mukanya tampaknya juga merah licin, tapi bila
dipandang dengan cermat baru ketahuan bila dia memakai pupur
pemerah pipi. Tampaknya dia menghitung bintang dengan penuh perhatian,
tangannya juga ikut menuding-nuding sehingga menimbulkan bunyi
gemerincing, kiranya ia pun memakai beberapa gelang yang
berkelintingan. Sebenamya Coh Liu-hiang ingin lekas-lekas meninggalkan Sikeh-
ceng, ia pun tidak memperhatikan bahwa di gardu taman ini ada
duduk seseorang. Ketika mendengar suara gemerincing itulah baru
dia melirik sekejap ke sana.
Tapi hanya sekali melirik saja hampir-hampir tertawa geli, jika
dalam kaadaan biasa pasti dia akan mendekat ke sana untuk melihat
siapakah orang istimewa ini. Tapi sekarang dia tiada waktu
senggang, begitu kaki menutul tanah, segera ia melayang lewat
gardu taman ini, asalkan dua kali naik turun lagi, dapatlah dia
melayang keluar taman ini.
Di luar dugaan, pada saat itu juga, "serr" mendadak sesosok
bayangan orang meluncur keluar dari gardu tadi dan menghadang di
depan Coh Liu-hiang Bahwasanya Coh Liu-hiang melayang melintasi gardu untuk
kemudian hinggap ke bawah, sebaliknya orang ini langsung
meluncur keluar dari gardu, sudah tentu jaraknya lebih dekat
daripada Coh Liu-hiang, namun gerak tubuhnya jelas luar biasa
cepatnya dan cukup mengejutkan.
36 Sungguh tak tersangka oleh Coh Liu-hiang akan bertemu tokoh
dengan Ginkang setinggi ini di sini, waktu ia memandang lebih jelas
lagi, kiranya 'tokoh' ini ialah 'si sinting' yang asyik menghitung
bintang tadi. Dalam keadaan berdiri, kini terlihat jelas baju yang dipakainya
sempit lagi cekak, mirip baju pinjaman kalau bukam cu rian. Namun
rambut dan jenggotnya tersisir dengan kelimis, malahan pakai
minyak rambut segala, ditambah lagi mukanya ber pupur merah,
kalau dipandang sepintas lalu orang akan mengira dia ini pelawak yg
baru turun panggung. Coh Liu-hiang tercengang juga melihat si 'jimat' ini ternyata
memiliki kungfu yang mengejutkan.
Sebaliknya si 'jimat' juga mengamat-amati Coh Liu-hiang. tibatiba
ia mengikik tawa dan berkata, "Hihi, paman ini datang
darimana" Rasanya aku belum pernah melihat engkau?"
Seorang tua memanggilnya dengan sebutan 'paman', karuan
Coh Liu-hiang jadi serba konyol. Untunglah Hoa Kim-kiong dan
menantunya tidak mengejar tiba. Maka dengan tenang Coh Liu-hiang
menjawab dengan tertawa, "Ah, Losiansing jangan sungkansungkan,
sebutan paman tak berani kuterima."
Siapa tahu, baru habis ucapannya. seketika si 'jinat tertawa
terbahak-bahak, ucapnya," Hahaha, kiranya kau seorang yang
dungu. Jelas-jelas usiaku baru dua belas, tapi kau panggil
Losiansing padaku, jika didengar oleh Toakoku, pasti perutnya akan
meledak saking geli."
Kembali Coh liu-hiang melengak, tanpa sadar ia meraba hidung.
katanya kemudian. "Masa kau baru...... baru dua belas?"
"Betul, tepat dua belas," jawab si 'jimat' sambil menghitung
dengan menekuk jari-jarinya, "Hari ini usiaku persis genap dua belas,
satu hari pun tidak lebih dan tidak kurang."
"Lantas umur Toakomu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Haha, kalau umur Toakoku sih jauh lebih tua daripada aku,
bahkan mungkin lebih tua daripadamu paman," tutur si 'jimat' dengan
37 tertawa. "Siapa namanya?" tanya pula Coh Liu-hiang.
"Dia bernama Sih Ih-jin," jawab si 'jimat'. "Aku sendiri Sih Siaujin,
tapi orang lain sama memanggilku Sih Po-po... Po-po, Sih Po-po,
eh, enak tidak kedengarannya namaku ini"'"
Bahwa si sinting ini ternyata adik Sih Ih-jin, si pendekar pedang
nomor satu di dunia ini, sungguh sukar untuk dipercaya, diam-diam
Coh Liu-hiang merasa gegetun. Ia pun tidak ingin banyak cingcong
dengan orang sinting begini, dengan tertawa lantas ia menjawab,
"Namamu memang enak didengar, jika nama mu Po-po, maka kau
harus menjadi Po-po kesayangan. Nah biarkan aku pergi dari sini,
lain kali pasti akan kubawakan pemen bagimu."
Sekarang dia malah menyebut kakek yang sudah berumur empat
lima puluhan tahun sebagai 'Po-po kesayangan', tentu saja ia
merasa geli. Maka sambil memberi tangan, berbareng ia terus
melayang ke sana. Tak tahunya, mendadak Sih Po-po juga melenting ke atas,
berbareng ia melolos pedangnya yang lemas, "sret-sret-sret",
sekaligus ia menusuk tiga kali. Sungguh serangan yang cepat, jitu
lagi keji, betapa lihai ilmu pedangnya ini boleh dikatakan dapat
disejajarkan dengan jago pedang kelas wahid.
Meski Coh Liu-hiang dapat menghindarkan tiga kali tusukan
namun terpaksa ia harus turun lagi ke bawah.
Dilihatnya Sih Po-po berdiri di depan, dengan tertawa lagi
berkata. "Kau telah mengacaukan pekerjaanku, paman, sebelum kau
mengganti rugi, mana boleh kau pergj begitu saja!"
Coh Liu-hiang memandangnya lekat-lekat, ia sendiri menjadi
bingung apakah orang ini sinting atau waras.
Kalau melihat dandanannya dan cara bicaranya, jelas seorang
sinting seratus persen, tapi orang sinting mana bisa memainkan ilmu
pedang selihai ini. Terpaksa ia menjawab sambil menyengir, "Pekerjaan apa yang
38 kukacau" Masa pakai ganti rugi segala?"
Sih Po-po lantas goyang-goyang pundaknya seperti anak
kolokan, ucapnya dengan aleman, "Tadi......tadi aku lagi menghitung
bintang di langit, dengan susah payah bintang-bintang di sebelah
sana sudah selesai kuhitung, tapi paman mendadak datang
sehingga kacau-balau bilangan hitunganku. Nah, kau harus ganti
rugi padaku,. harus."
"Baik, akan kuganti kerugianmu," ujar Coh Liu-hiang pu la. "Tapi
cara bagaimana membayarnya?" Sembari bicara, secepat terbang ia
terus melayang miring ke sana.
Gerakan ini sudah menggunakan Ginkang Coh Liu-hiang yang
tiada taranya, siapa pula di dunia ini yang mampu menyusulnya"
Siapa tahu. Sih Po-po seolah-olah sudah tahu lebih dahulu kalau
Coh Liu-hiang akan kabur mendadak, maka baru saja tubuh Coh Liuhiang
bergerak, serentak gelang emas yang terpakai di tangan Sih
Po-po juga menyambarnya"
Terdengar suara gemerincing nyaring, empat buah gelang emas
memancarkan cahaya emas di udara malam gelap, secara melingkar
gelang-gelang itu terus menyambar ke arah Coh Liu-hiang.


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandangan Coh Liu-hiang terasa silau oleh cahaya emas terdengar
suara "tring-tring" dua kali, empat gelang saling bentur di udara,
habis itu mendadak menyambar ke muka
Nyata, bukan cuma Ginkangnya yang sangat tinggi dan lihai pula
ilmu pedangmya, bahkan cara menyambitkan senjata rahasia 'si
sinting' inipun sangat hebat, peluru perak Hoa Kim-kiong boleh
dikatakan seperti anak kecil main gundu jika dibandingkan
kepandaiannya. Karena daya melayang Coh l.iu-hiang ke depan sangat cepat,
tampaknya dia akan termakan oleh sambaran gelang-gelang emas
itu. Syukurlah pada detik terakhir sekonyong-konyong tubuhnya
melenting balik ke belakang. berbareng kedua tangannya meraup
dan meraih, sehingga tiga dari empat gelang emas itu tertangkap
olehnya, sisa sebuah gelang emas itupun kena dipukul mencelat
oleh ketiga gelang yang terpegang olehnya.
39 Gerakan melenting mundur disertai tangan menangkap senjata
rahasia ini mudah diceritakan, tapi praktek sesungguhnya sangat
sukar. Sebab tubuh. mata, waktu dan tempat harus diperhitungkan
secara tepat, sedikitpun tidak boleh meleset.
Bila gerak tangannya kurang cepat, maka keempat gelang emas
tak mungkin tertangkap dan terpukul jatuh pula, kalau tidak memiliki
Ginkang yang maha sakti, sukar juga memunahkan tenaga
sambaran gelang emas itu, umpama dapat menangkapnya juga
tangan akan pecab tergetar.
Apapun juga, setelah Coh Liu-hiang dapat menangkap gelanggelang
emas itu, tidak urung ia pun terdesak mundur kembali ke
tempatnya semula. Dilihatnya Sih Po-po lagi berjingkrak-jingkrak aleman seperti
anak kecil dan berkata, "Aku emoh, paman kan sudah janji akan
memberi ganti rugi, mengapa mendadak mau mengeluyur pergi",
Orang tua masa menipu anak kecil."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang merasa si sinting ini adalah lawan yang
paling sukar dilayani, belum pemah ia ketemu lawan se lihai ini.
Meski sudah banyak pengalamannya, seketika ia menjadi mati kutu
dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Dalam pada itu Sih Po-po berjingkrak-jingkrak pula, ucapnya
dengan manja, "Hay, paman, katamu hendak mengganti rugi
padaku, nah, jadi ganti atau tidak?"
"Sudah tentu akan kuganti," jawab Coh Liu-hiang dengan
tertawa, "Tapi cara bagaimana kubayar ganti ruginya?"
"Mudah sekali," sahut Sih Po-po gembira. "Asalkan kau
menghitung bintang-bintang di langit hingga selesai dan urusan pun
menjadi beres." "Bintang sebelah mana" tanya Coh Liu-hiang sambil meraba
hidung. "Sana," sahut Sih Po-po sambil menuding.
Di langit hakikatnya tiada rembulan, melainkan penuh bertaburan
40 bintang, meski seorang mempunyai lima ratus pasang mata dan
seribu tangan juga tidak mampu menghitung seluruh bintang di langit
itu. Tapi Coh Liu-hiang sengaja menjawab, "O, maksudmu sebelah
sana, baiklah. tanggung beres."
"Tanggung beres bagaimana" tanya Sih Po-po sambiJ ber kedipkedip.
"Sebab bintang-bintang yang di sebelah sana itu baru saja
selesai kuhitung, seluruhnya ada dua puluh sembilan ribu enam
ratus tujuh puluh tiga."
''Apa betul" Paman tidak keliru?" tanya Sih Po-po dengan ragiragu.
"Sudah tentu betul, masa orang tua menipu anak kecil?" jawab
Coh Liu-hiang. "Jika kau tidak percaya boleh kau menghitungnya
lagi." Diam-diam Coh Liu-hiang sudah ambil keputusan, apabila si
sinting ini tidak tertipu olehnya, maka sintingnya itu pasti cuma purapura
saja. Meski Coh Liu-hiang tidak sudi berkelahi dengan orang
sinting sungguh-sungguh, terhadap orang sinting palsu pun tentu
tidak perlu sungkan lagi.
Ternyata Sih Po-po lantas tertawa dan berkata, "Apa betul
jumlahnya dua puluh sembilan ribu enam ratus tujuh puluh tiga"
Baiklah akan kuhitung lagi sekali"
Lalu ia benar-benar menengadah dan mulai menghitung.
mulutnya berucap, jarinya bergerak, sambil manggut-manggut lagi.
Diam-diam Coh Liu-hiang merasa lega, secepat anak panah ia
terus melesat ke sana. Sekali ini Sih Po-po benar-benar asyik
menghitung, sehingga lupa daratan dan tidak memperhatikan
kepergian Coh Liu-hiang. Baru sekarang Coh l.iu-hiang percaya benar-benar telah bertemu
seorang sinting yang berilmu silat maha tinggi, ia merasa geli dan
juga tercengang. 41 Kejadian ini sungguh sukar untuk dibayangkan dan belum lagi
ada penyelesaiannya, yaitu perkara 'mayat kesuruian roh'
Roh Si In seolah-olah benar telah hidup kembali melalui mayat
Cu Beng-cu. Saat Cu-jiya melihat pupur yang dibawa pulang oleh Coh Liuhiang,
mau tak mau ia melongo juga dan berkeringat dingin, sampai
lama sekali ia tidak sanggup bicara.
Thio Kan-cay juga melenggong melihat kotak pupur itu. Ia
mengernyitkan kening, tanyanya kemudian. "Apakah keadaan di
sana memang tepat seperti uraiannya?"'
"Ya, sama persis," jawab Coh Liu-hiang.
"Nona Si itu benar-benar mati hari ini?" tanya Thio Kan-cay pula.
"Betul, malah jenazahnya pun belum masuk peti, pakaiannya
juga kulihat dengan jelas, sama seperti
Mendadak Cu-jiya melonjak bangun dan berteriak, "Aku tak
perduli pakaian apa segala" Aku pun tak pusing anak perempuan
keluarga Si mampus atau tidak, yang jelas Beng-cu adalah puteriku,
siapa pun tak dapat merampasnya."
"Akan......akan tetapi. bagaimana kalau dia tak mengakui kau
sebagai ayahnya?" tanya Thio Kan-cay.
"Jika dia berani menyangkal aku sebagai ayahnya, segera.......
segera kubunuh dia!" Cu-jiya meraung murka
"Kau benar- benar tega membunuhnya?" " tanya tabib sakti.
"Melenggong juga Cu-jiya jawabnva kemudian "Meng...mengapa
tidak tega" Aku....Aku..." Ia tidak sanggup melanjutkan lag karena air
matanya bercucuran, tubuhnya yang kekar itu lantas terkulai lemas
di sandaran kursi, seakan-akan tak sanggup tegak lagi.
Thio Kan-cay menghela napas sambil menggeleng katanya,
"Nasib....nasib orang kalau sudah begini, apa yang dapat dikatakan
42 lagi?" Sambil mendekap kepalanya, Cu-jiya berkata dengan sedih.
"Apakah kalian menghendaki aku membenarkan Beng-cu adalah
puteri perempuan judas itu" Masa kalian menyuruhku menyerahkan
anak perempuanku sendiri kepada orang lain?"
3. KELUARGA YANG SERBA KONYOL
Dengan kuat Thio Kan-cay mengelus jenggot sendiri sambil
berjalan mondar-mandir. Tabib sakti yang terkenal telah banyak
menolong orang dari renggutan elmaut kini juga bingung kehabisan
akal. Setelah merenung sejenak, kemudian Coh Liu-hiang bertanya,
"Apakah dia masih tidur?"
"Ya, bahkan sangat nyenyak tidurnya," jawab Cu-jiya dengan
sedih. Coh Liu-hiang berbangkit, katanya, "Jiko, bila kau percaya
padaku, serahkan saja urusan ini kepadaku."
Thio Kan-cay menghela napas, ucapnya, ''Memang, kalau di
dunia ini masih ada orang yang dapat menyelesaikan persoalan ini,
maka dia pasti Coh Hiang-swe adanya. Jika Cu-jiya tidak percaya
padamu, memangnya siapa yang dapat dipercaya pula."
Sementara hari sudah terang. Sang surya yang baru
menyingsing memancarkan cahaya yang gemilang, wajah si nona
tertampak pucat ditimpa sinar matahari pagi itu, sepasang matanya
kelihatan penuh garis-garis merah.
Jelas itulah wajah Cu Beng-cu, jelas pula mata Cu Beng-cu.
Akan telapi apa anak dara ini benar-benar Cu Beng-cu" Untuk ini
Coh Liu hiang sendiri pun tidak tahu dan tidak dapat menjawabnya.
Bahkan ia pun tidak tahu bagjumana cara memanggilnya jika
menyebutnya 'Cu Beng-cu', jelas dia mempunyai pikiran dan arwah
Si In. 43 Jika memanggil dia 'Si In', terang dia ini adalah Cu Beng-cu.
Nona ini menunduk, katanya kepada Coh Liu-hiang sambil
menggigit bibir, "Setelah kau membuktikannya ke sana, tentunya kau
percaya pada ucapanku, bukan?"
"Ya, memang kau tidak berdusta," jawab Coh Liu-hiang dengan
gegetun. "Jika demikian, mengapa aku tidak kau bebaskan?"
"Tentu saja aku dapat membebaskanmu, tapi dapatkah kau
pulang ke sana?" "Mengapa aku tidak dapat pulang?" tanya si nona.
"Sebab dengan keadaanmu sekarang, sepulangmu ke sana,
apakah orang lain akan tetap menganggap kau sebagai Si In?"
Seketika nona itu mencucurkan air mata, ucapnya dengan sedih,
"O, Tuhan, mengapa aku berubah menjadi begini" O, apa yang
harus kulakukan sekarang?"
"Kalau aku sudah mau percaya pada ucapanmu, sepantasnya
kaupun harus percaya pada perkataanku," ujar Coh Liu-hiang
dengan suara lembut. Pokoknya, biar perasaanmu itu siapa adanya,
yang jelas tubuhmu adalah Cu Beng-cu, puteri Cu Kin-hou.!'
Si nona memukul tempat tidur dan berkata dengan parau,
"Tetapi.....tetapi aku bukan Cu Beng-cu, aku pun tidak kenal siapa
Cu Kin-hou, mana boleh aku mengakui dia sebagai ayah?".
"Tapi sekarang Si Hau-liam mungkin juga takkan mengakui kau
sebagai puterinyi," ucap Coh Liu-hiang. "Bahkan Yap Seng-lan
mungkin juga tidak kenal kau lagi, lebih-lebih takkan membelikan
padamu pupur buatan Po-hiang-cay ."
Tubuh si nona bergetar, tanyanya dengan tergagap,
"Dar....darimana kau tahu namanya?" Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Cara bagaimana kau kenal dia?"
Nona itu menunduk, tuturnya kemudian "Itulah kejadian yang
44 sudah lama sekali, aku pun tidak tahu, mengapa aku bisa di....."
Ia merandek sejenak, mendadak ia mengangkat kepala dan
berseru, "Tapi apapun juga urusan ini sudah lalu, sekarang aku tidak
lagi kenal Yap Seng-lan, aku hanya tahu, aku ini bakal menantu
keluarga Sih." Coh Liu-hiang menghela napas. di sinilah letak kesulitan
persoalan ini. Ia tahu Cu-jiya telah mengikat tali perjodohao Cu
Beng-cu dengan putera kedua keluarga Ting. Seumpama Cu-jiya
dan Si Hau-liam dapat menyelesaikan urusan dengan damai,
seumpama anak perempuan ini mau mengakui mereka sebagai
ayah, tapi tak mungkin dia menjadi istri dua lelaki sekaligus.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara '"blang" yang keras
di luar, menyusul terdengar pula suara gemuruh ramai, seperti suara
botol dibanting dan kaleng dilempar, ada batu pula yang jatuh di atap
dan suara hancurnya genting, berbareng terseling pula suara orang
membentak dan memaki. Coh Liu-hiang mengerut kening, ia heran ada orang berani
mengacau ke Ceng-pwe-san-ceng. Segera terdengar pula suara
nyaring seorang berteriak dengan tajam, "Cu Kin-hou, hayo
kembalikan anak perempuanku!" .
Seketika terbeliak mata anak dara itu, serunya girang. "He, ibuku
datang, dia sudah tahu aku berada di sini, sekarang kalian masih
belum mau melepaskan diriku?"
"Kedatangannya ke sini pasti bukan untuk mencarimu," kata Coh
Liu-hiang "Habis mcncari siapa kalau bukan diriku?" ujar si nona.
Belum lagi Coh Liu-hiang menjawab, suara Hoa Kim-kiong
terdengar berkumandang pula, "Anak perempuanku mati gara-gara
perbuatan kau bangsat tua she Cu ini, kau tahu dia sakit, kau
sengaja mengundang seluruh tabib temama dan disembunyikan di
rumahmu, sehingga penyakit anak perempuanku sukar untuk
disembuhkan, kalau tidak. mustahil dia bisa mati. Untuk itu kau harus
mengganti jiwa anak perempuanku."
45 Anak dara itu sudah hampir menerjang keluar, seketika ia
melenggong setelah mendengar suara Hoa Kim-klong itu.
"Nah, kau dengar sendiri, tentu sekarang kau tahu untuk apa dia
datang kemari?" kata Coh Liu-hiang.
Selangkah demi selangkah anak dara itu kembali ke tempat tidur,
ucapnya dengan suara gemetar, "Jadi ibu juga bilang aku telah mati,
masakah aku benar-benar telah......telah mati"''
"Sudah tentu kau tidak mati," kata Coh Liu-hiang. "Cuma urusan
ini memang teramat aneh, kalau diceritakan pasti sukar dipercaya
oleh siapa pun, bahkan ibumu sendiri takkan percaya. jika sekarang
kau keluar, tentu pula dia takkan mengakui kau sebagai anak
perempuannya." Si nona termangu sejenak, lalu menjatuhkan diri di tempat tidur,
teriaknya dengan suara serak sambil memukuli ranjang. "O, lalu
bagaimana aku ini, bagaimana......?"
Dengan suara halus Coh Liu-hiang menghibumya, "Jika kau
percaya sepenuhnya kepadaku, bisa jadi aku ada akal dapat
memecahkan urusanmu ini."
Si nona mendekap mukanya di ranjang dan menangis sekian
lama, tiba-tiba ia menengadah dan menatap Coh Liu-hiang lekatlekat,
katanya kemudian, "Apakah kau...... kau benar-benar Coh
Hiang-swe?" Coh Liu-hiang tertanva getir jawabnya, "Terkadang aku memang
berharap bukan Coh Liu-hiang, namun rupanya aku sudah
ditakdirkan harus menjadi Coh Liu-hiang, mau atau tidak mau."
Anak dara itu menatapnya tajam-tajam, katanya pula "Baiklah,
aku akan tinggal tiga hari disini, lewat tiga hari, jika kau masih belum
memecahkan persoalan ini, terpaksa aku akan mati saja, mati akan
lebih baik daripada hidup seperti ini."
Coh liu-hiang pikir untuk sementara ini dirinya lebih baik jangan
bertemu dengan Hoa Kim-kiong, maka ia ambil keputusan akan tidur
dulu sekenyang-kenyangnya, kalau semangat sudah pulih, malam
nanti tentu dapat bekerja lebih baik.
46 Agaknya dalam hati Coh Liu-hiang sudah terancang banyak
tindakan yang akan dilakukannya, cuma belum dia ceritakan kepada
orang lain. Waktu dia bangun tidur, sementara itu hari sudah gelap. Entah
sudah berapa kali Cu-jiya datang menjenguknya, melihat Coh Liuhiang
sudah mendusin. ia kegirangan dan segera memegang
tangannya serta berkata, ''O, saudaraku, nyenyak benar tidurmu,
tahukah kau betapa tersiksa batinku selama seharian ini" Sungguh
aku bisa botak memikirkan urusan ini." Sesudah berhenti sejenak,
lalu menyambung pula, "Tahukah kau, perempuan bawel she Hoa itu


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah kemari" Dia malah membawa rombongan buaya dan sengaja
mengacau ke sini, bahkan dia menuntut aku mengganti jiwa anak
perempuannya." "Lalu cara bagaimana kau mengenyahkan dia?" tanya Coh Liuhiang
dengan tertawa. "Menghadapi perempuan judas begitu, akupun kehabisan akal,"
ujar Cu Kin-hou dengan gemas. "Jika kulukai dia, tentu aku akan
ditertawakan kawan-kawan Kangouw."
"Memang betul, justru dia tahu Jiko tidak nanti main kasar
padanya, makanya berani datang kemari," kata Coh Liu-hiang.
"Ya, terpaksa kulampiaskan rasa dongkolku kepada kawanan
buaya yang di bawa kemari itu, melihat begundalnya ku robohkan
semua barulah dia rada jeri. Akan tetapi waktu mau pergi dia masih
menggerutu, katanya besok akan datang pula."
Cu Kin-hou memegang tangan Coh Liu-hiang dan melanjutkan,
"Saudara yang baik, betapapun malam nanti kau harus pergi sekali
lagi ke Si keh-ceng, berilah hajaran setimpal kepada macan betina
itu. Sebab bila dia besok benar-benar datang lagi, wah, sungguh aku
tidak sanggup melayaninya."
Cu Kin-hou sendiri tak suka bergebrak dengpn Hoa Kim-kiong,
maka Coh Liu-hiang yang disuruh pergi ke sana, meski Coh Liuhiang
sudah banyak menelan pil pahit urusan demikian, betapapun
permintaan Cu Kin-hou ini membuatnya serba susah dan tak dapat
menolak. 47 Cu Kin-hou sendiri juga merasa tidak enak hati, segera ia
berkata pula, "Aku pun tahu urusan ini sangat memusingkan kepala,
syukur di dunia ini masih ada seorang yang dapat membereskan
persoalan ini, orang itu tak lain dan tak bukan ialah kau, Coh Hiangswe."
Kata-kata sanjungan demikian sudah banyak juga didengar oleh
Coh Liu-hiang, ia menghela napas, gumamnya, "Sayang Oh cilik
(maksudnya Oh Thi-hoa, kawan karibnya) tidak datang, kalau dia
hadir, dia orang yang paling tepat disuruh menghadapi perempuan
judas seperti Hoa Kim-kiong."
"Apakah......apakah kau tidak mau pergi?" tanya Cu Kin-hou
kuatir. ''Jangan kuatir, Jiko, tentu aku ada akal untuk membuat dia tak
berani datang lagi besok," kata Coh Liu-hiang.
Cu Kin-hou lega mendengar janji Coh Liu-hiang itu, tiba-tiba ia
berkata pula sambil berkerut kening, "Masih ada urusan lain juga
perlu minta bantuanmu. Ketika Hoa Kim-kiong baru saja pergi,
segera tempatku ini kedatangan tamu pula."
''O, siapa dia" Masa di dunia ini ada orang yang lebih sukar
dilayani daripada Hoa Kim-kiong?"
"Tentunya kau tahu Ting-si-siang-hiap (dua pendekar she Ting)
dari Jit-seng-tong?" tutur Cu Kin-hou. "Nah, yang datang tadi adalah
Ting-loji dari kedua pendekar terkenal itu."
"Bukankah Ting-si-siang-hiap adalah sahabat baik Jiko sendiri?"
kata Coh Liu-hiang. "Betul. bukan cuma sahabat haik saja, bahkan juga bakal
besanku," kata Cu Kin-hou, "Karena itu di sini pula letak
persoalannya yang ruwet."
" O, Jangan-jangan kedatangannya untuk berunding tentang
pernikahan putera puteri kalian?"
"Memang begitulah," ucap Cu Kin-hou. "Soalnya bulan yang lalu
48 kami sudah berunding dengan baik, kami akan melangsungkan
pernikahan Beng-cu dengan Ting Ju-hong, kedatangan Ting-loji
justru untuk urusan ini."
"Bulan yang lalu bukankah Beng-cu sudah jatuh sakit^ tanya Coh
Liu-hiang. "Justru lantaran dia jatuh sakit, maka kupikir hendak menikahkan
dia supaya sakitnya bisa lekas sembuh, bila nanti berkumpul dengan
suaminya, siapa tahu sekarang terjadi persoalan yang rumit ini."
Setelah menggeleng, lalu ia menyambung pula. "Kalau sekarang
kusetujui upacara nikah dilanjutkan bulan ini, lalu apakah...... apakah
Beng-cu mau diboyong ke sana". Sebaliknya jika aku tak setuju lalu
dengan alasan apa aku harus menolaknya" Ai, rasanya aku benarbenar
mati kutu." Coh Liu-hiang merasa bingung juga, ia meraba-raba hidung
sendiri dan bergumam, "Entah Hoa Kim-kiong juga sudah
menetapkan hari nikah puterinya dengan putera kedua Sih Ih-jin atau
belum?" Pada saat itulah seorang centeng muncul dengan tergesa-gesa,
setelah memberi hormat ia berkata, "Hamba disuruh Ting-jihiap
untuk bertanya pada Loya apakah Coh Hiang-swe sudah mendusin"
Jika sudah. beliau ingin datang kemari untuk menyuguh arak kepada
Coh Hiang-swe, kalau belum mendusin, maka Loya diharap kembali
ke depan dulu." "Aha, kabarnya kedua Ting bersaudara juga ahli minum arak,"
kata Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Tapi Thio Kan-cay tidak suka
minum karena ingin menjaga kesehatan, dengan sendirinyo Ting-loji
tiada teman minum dan merasa kesal.."
"Betul, makanya lekas kau mengawani aku ke sana untuk
melayani dia," kata Cu Kin-hou.
"Ah, masa Jiko ingin aku pergi ke Si-keh-ceng dalam kadaan
mabuk"'' kata Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Di dunia Kangouw ada cerita tentang 'Ciu Kay' (pengemis tukang
minum arak) dan 'Ciu Sian' (dewa peminum), katanya samakin
banyak arak yang ditenggak, semakin tinggi pula ilmu silatnya.
49 Bagi Coh Liu-hiang dongeng demikian sangat menggelikan.
Sebab ia tahu, seorang kalau terlalu banyak minum arak, mungkin
nyalinya akan bertambah besar dan tenaga juga tambah kuat, akan
tetapi daya reaksinya pasti juga akan lamban.
Padahal pertarungan antara tokoh silat terkemuka seringkali
ditentukan dalam sekejap saja, jika daya reaksi seorang lebih
lamban, maka dia pasti kalah.
Sebab itulah meski Coh Liu-hiaog suka minum arak, tapi dia
minum dengan melihat waktu dan tempat. Apabila dia harus
menghadapi musuh tangguh, maka pertama-tama yang dia jaga
adalah jernihnya pikiran.
Anehnya di dunia Kangouw justru ada orang bilang semakin
banyak Coh Hiang-swe menenggak arak, semakin tinggi pula ilmu
silatnya. Coh Liu-hiang meduga cerita itu pasti datang dari orang yang
justru tidak minum arak, sebab orang yang tidak minum arak mengira
kaum peminum adalah manusia super, bangun tubuhnya tentn
berbeda daripada orang biasa. Padahal baik dia ahli minum, kaum
pengemis atau pendekar, mereka pun orang biasa, jika terlalu
banyak menenggak arak, otak mereka pun bisa berubah linglung.
Sekarang Coh Liu-hiang tidak mau minum arak, soalnya bukan
karena dia merasa Hoa Kim-kiong sukar dihadapi, yang menjadi
pertimbangannya justru Sih Po-po, si sinting yang aneh itu. Ia
merasa si sinting itu rada-rada misterius dan tidak boleh di
remehkan. ****** Menjelang tengah malam, kembali Coh Liu-hiang sudah
berkunjung pula ke Si-keh-ceng Sekali ini dia sudah hapal jalannya,,
langsung dia menuju ke taman belakang, di sana suasana sunyi,
hanya rumah kecil di tengah rumpun bambu itu saja yang masih ada
cahaya lampu. Diam-diam Coh liu-hiang ragu-ragu apakah jenazah Si In masih
50 berada di situ" Dengan enteng sekali Coh Liu-hiang melayang ke atas tu mah
kecil itu, dengan gerakan 'Cu-liam-to-kua' (kerai mutiara
bergelantungan), kakinya menggantol pada emper, tubuhnya terus
menjulur ke bawah untuk mengintip. Dilihatnya jenazah Si In sudah
dipindah keluar, seorang anak perempuan berbaju hijau muda
sedang berbenah perabotan di dalam rumah, dari dandanannya,
nampaknya anak perempuan itu seorang pelayan atau babu.
Cantik juga babu muda ini, dia lagi sibuk membenahi tempat
tidur, matanya selalu melirik meja rias, dimana masih terdapat
beberapa macam barang bersolek seperii pupur dan gincu.
Sejenak kemudian dia mendekati meja rias, lebih dahulu dia
celingukan, habis mendadak ia sambar sekotak gincu, terus
dimasukkan ke dalam baju. Selang sejenak, ia memandang cermin
kuningan, lalu menggerak-gerakkan pinggulnya, sambil berlengganglenggok,
lalu tertawa cekikikan sendiri.
Coh Liu-hiang merasa geli juga melihal kelakuan babu genit itu.
Pada saat itulah mendadak seorang membentak dengan suara
tertahan, ''Nah, sekali ini kau tak dapat lari lagi!" Menyusul dari pojok
sana sesosok bayangan orang lantas melompat keluar.
Terkejut juga Coh Liu-hiang dibuatya, ia pikir lihai benar mata
orang ini sehingga bisa mengelahui tempat sembunyinya.
Di luar dugaan, orang ini sama sekali tidak memandang ke
arahnya, tapi terus menerjang ke dalam rumah. Kiranya seorang
pemuda yang memakai baju berkabung warna putih.
Agaknyn si babu muda juga terkejut, tapi begitu menoleh dan
mengenali pemuda itu, ia tertawa sambil menepuk dada semdiri dan
berkata, "Ai, kiranya Siaukongcu (tuan muda), bikin kaget saja."
Baru sekarang juga Coh Liu-hiang dapat melihat jelas tuan muda
perkampungan keluarga Si ini bermuka putih bersih dan agak
tembam, biasanya orang yang bermuka gemuk begini tentu karena
makan kenyang dan tidur cukup.
51 Meski berpakaian berkabung, namun di bagian dalam jelas
kelihatan bajunya yang berwama hijau, air mukanya juga tiada
tanda-tanda berduka cita sedikitpun. Sebaliknya dia malah cengarcengir
terhadap babu muda itu dan berkata, "Apa yang kau takuti"
Aku kan tidak dapat makan orang, paling-paling hanya merah
bibirmu saja akan kucicipi bagaimana rasanya."
Budak itu tertawa dan menjawab, "Ah, hari ini orang kan tidak
memakai gincu?" "Masa. aku tidak percaya?" kata Si-siaucengcu, Si Toan-cong,
dengan tetap cengar-cengir. "Tidak memakai gincu mengapa bibirmu
semerah ini" Coba kucicipi." Sembari bicara ia terus mendekat dan
sebelah tangan merangkul pinggang si babu. "He, besar amat
nyalimu," seru si budak dengan suara tertahan "Hayo, lekas
lepaskan aku......aku akan menjerit lho!"
"Menjeritlah!'' kata Si Toan-cong, tampak napasnya sudah
terengah-engah. "Masa aku takut, aku kan tak mencuri barang!"
Si babu mengerling genit, omelnya dengan berlagak marah,
"Bagus, rupanya main ancam dan ingin memerasku. Huh, cuma
sekotak gincu begini, jika mau, entah berapa banyak orang akan
memberi padaku " "Baik, baik, aku yang memberi," cepat Si Toan-cong membujuk,
"Eng-ji yang molek, asalkan kau menuruti kehendaku akan kuborong
seluruh pupur dan gincu keluaran Po-hiang-cay untukmu."
Babu yang bernama Eng-ji itu menggigit bibir jawabnya
kemudian, "Ah aku tidak berani, jangan-jangan nyonya muda akan
membeset kulitku nanti."
Tidak, jangan kuatir...... macan betina itu tak mungkin tahu."
sambil bicara ia terus mendesak maju dan tubuh kedua orang itu
lantas bertindihan di tempat tidur.
"O, tidak, jangan sekarang, jangan......jangan di sini," terdengar
suara Eng-ji rada ngos-ngosan. "Kemarin......kemarin Ji-siocia
baru......" Belum habis ucapannya, mendadak mulutnya seperti tersumbat
52 oleh sesuatu. Kemudian terdengar napas Si Toan-cong yang memburu,
ucapnya dengan suara tertahan, "Sek......sekarang saja, besok
mungkin tiada kesempatan lagi. Macan betina itu selalu mengawasi
diriku...... O, Eng-ji molek, asalkan kau menuruti kehendakku sekali
ini, sekali saja, dan segala apapun akan kuberikan kepadamu.?"
Ya dongkol, ya geli, Coh Liu-hiang menyaksikan tontonan cumacuma
ini, bila ingat pada wajah Si-siaunaynay yang luar biasa itu,
memang tidak perlu heran jika sang tuan muda suka menggerayangi
babu sendiri. Memang begitulah kehidupan nyata di sekeliling kita ini. Hampir
tidak ada lelaki yang polos dan jujur, hanya lelaki yang miskin saja
yang sok prihatin, Jika ada cukup uang dan diberi kesempatan, lelaki
mana yang tidak suka main perempuan.
Dalam kehidupan suami isteri juga begitu, makin ketat
pengawasan sang isteri, semakin besar hasrat sang suami untuk
'mencuri makan'. Semua lelaki di dunia ini sama, maka Si-siau
cengcu ini juga tidak dapat disalahkan.
Hanya saja kelakuan Si Toan-cong sekarang memang rada
ngawur, baik waktu maupun tempatnya. Meski Coh Liu-hiang tidak
suka ikut campur urusan pribadi begituan, sekarang mau tak mau
meski bertindak. Sementara itu ranjang tampak berguncang keras, paha yang
putih mulus tampak menggelantung di tepi ranjang.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang mengetuk jendela dan mendesis,
"Sssst. awas ada orang!"
Belum Habis keempat kata terucapkan, kedua orang yang lagi
bergumul di tempat tidur seketika melonjak bangun seperti kucing
terinjak ekomya. Tubuh Si Toan-cong tampak meringkuk di pojok ranjang dengan
gemetar. Tampaknya Eng-ji malah lebih tabah, sambil memakai baju
bertanya, "Siapa itu" Apakah ingin mencuri ya?"
53 Segera Si Toan-cong menyambung, "Betul, pasti pencuri, akan
kupanggil orang menangkapnya." Sambil bicara ia terus hendak
mengeluyur pergi. Namun Coh Liu-hiang sudah menyelinap masuk dan mengadang
jalan lolosnya. Dengan sendirinya Si Toan-cong terkejut, sama sekali
tidak tersangka olehnya ada orang bisa bergerak begitu cepat.
Dengan tergagap ia bertanya, "Sia......siapa kau" Besar amat
nyalimu, berani mencuri di sini" Lekas kau lari mencawat ekor, untuk
itu Siau-cengcumu masih dapat mengampuni jiwamu.".
Rupanya Si Toan-cong menjadi tabah karena melihat yang
mengadangnya itu adalah seorang yang tidak dikenalnya.
Dengan tertawa Coh Liu-hiang lantas berkata, "Lebih dahulu
hendaklah kau tahu tiga hal. Pertama, tidak nanti aku lari. Kedua,
kau bukan tandinganku. Ketiga, aku pun tidak takut kau akan
berteriak memanggil orang."
Sama sekali Coh Liu-hiang tidak perlu menggunakan sesuatu
gerakan mengancam, sebab ia tahu pemuda bangor macam Si
Toan-cong cukup ditundukkan dengan beberapa patah kata gertakan
saja. Benar juga, wajah Si Toan-cong lantas pucat, ucapnya dengan
tergagap, "Ap......apa kehendakmu?"
"Aku justru ingin tanya kepadamu apa kehendakmu" Apakah
ingin kupanggilkan binimu atau membawaku pergi mencari
Istana Pulau Es 20 Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Kelelawar Hijau 3
^