Pencarian

Mayat Kesurupan Roh 2

Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Bagian 2


Liangma?" Si Toan-cong melengak bingung, lalu tanyanya. "Mencari Liangma?"
"Betul, boleh kau pilih satu diantara dua ini," jawab Coh Liuhiang.
Pilihan demikian sama dengan orang ditanya lebih suka makan
Ang-sio-bak atau lebih suka makan tahi. Tentu saja hati Si Toancong
lantas tenang kembali, tidak kebat-kebit lagi seperti tadi.
Ia kuatir Coh Liu-hiang berubah pikiran, maka cepat
mengangguk dan berkata, "Baik, akan kubawa kau mencari LiangKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
54 ma." Di suatu ruangan samping sana, kini sudah diubah menjadi
tempat Layon. Liang-ma tampak berduduk di samping dengan
kepala tertunduk, agaknya sedang mengantuk. Cahaya lilin yang
redup menyinari peti mati yang dipelitur kuning dengan hiasan
kelambu putih, suasana tampak rawan.Si toan-cong membawa Coh
Liu-hiang mengitari jalan kecil dan akhimya tiba di ruangan layon ini.
Dalam hati ia tidak habis pikir untuk apakah orang yang tak dikenal
ini mencari Liang-ma"
Dilihatnya Coh Liu-hiang mendekati sambil berdehem pelahan.
Orang tua itu berjingkat kaget, hampir saja terguling bersama
kursinya. Tapi setelah dia mengenali orang yang berdiri di depannya,
matanya yang bendul merah karena terlalu banyak menangis itu
seketika menampilkan rasa terhibur. Katanya. "Kiranya kau lagi,
Betapapun kau masih punya Liang-sim (hati nurani yang baik), tak
percumalah Siocia berkorban bagimu......"
Menyinggung sang Siocia, seketika ia tersendat-sendat dan tak
sanggup melanjutkan pula.
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Yang tidak
mengenalmu tentu akan mengira kau ibunya nona In."
Dengan terguguk-guguk Liang-ma berkata. "Meski In-ji bukan
anakku, tapi kuasuh sejak kecil, aku sendiri sebatangkara, tiada
sanak tak punya kadang, hanya In-ji satu-satunya orang yang paling
rapat denganku. Sekarang dia telah meninggal, aku menjadi
.....menjadi......" Pilu juga hati Coh Liu-hiang, sementara itu diam-diam Si Toancong
telah mengeluyur pergi tapi ia pura-pura tidak tahu.
Liang-ma mengusap air matanya dan berkata pula, "Kau sudi
kemari, betapapun kau sudah memperlihatkan hatimu yang baik,
sekarang lebih baik silakan pergi saja, kalau kepergok Hujin lagi,
mungkin bisa......" "Kau ingin bertemu lagi dengan nona In atau tidak?" tanya Coh
Liu-hiang tiba-tiba. 55 Liang-ma mengangkat kepalanya dan memandang Coh Liu-hing
dengan melongo, ucapnya kemudian. "Tapi".. tapi, dia kan sudah
meninggal?" "Jika kau masih ingin bertemu dengannya, aku juga ada akal,"
kata Coh Liu-hiang. "Kau......kau ada akal?" Liang-ma menegas dengan terkesiap,
"Masa......masakah kau mampu mengundang rohnya?"'
"Sekarang tidak perlu kau tanya, pokoknya lohor besok jika kau
mau menungguku di dekat jembatan Siu-ya-kio, tentu aku dapat
berusaha membawa nona In untuk bertemu denganmu."
Liang-ma termenung sejenak, gumamnya, "Lohor besok di Sioya-
kio, masa engkau..........."
Pada saat itulah sekonyong-konyong seorang berseru, "Bocah
brengsek, kemarin telah kuampuni jiwamu, sekarang kau berani
datang lagi!" Tanpa berpaling juga Coh Liu-hiang tahu yang bicara ini pasti
Hoa Kim-kiong adanya. Sama sekali ia tidak terkejut, sebab ia
memang lagi menantikan kedatangan nyonya rumah itu.
Terlihat Hoa-Kim-kiong dan Si-siaunaynay sekarang telah
berganti pakaian ketat, malahan di belakang mereka mengikut pula
belasan pelayan yang juga berbaju ringkas kencang, semuanya
membawa busur dan menyandang pedang, gerak-gerik mereka
sangat gesit. Dengan tertawa Coh Liu-hiang tertawa, "Sudah lama kudengar
'barisan putri' Hujin sangat perkasa, tampaknya memang luar biasa
dan tidak bemama kosong."
Hoa Kim-kiong mendengus,"Hm, tidak perlu kau menyanjung,
aku cuma ingin tanya padamu, sesungguhnva kau ini Coh Liu-hiang
atau bukan?" "Coh Liu-hiang" Apa aku kelihatan mirip Coh Liu-hiang?" tanya
Coh Liu-hiang dengan tertawa.
56 Dengan wajah kaku membesi Si-siaunaynay ikut bicara dengan
suara bengis. "Aku tidak perduli kau ini Coh harum atau Coh busuk,
yang jelas kau berani datang kemari, maka kami akan bikin kau tak
bisa pergi." "Wah, wah, gagah benar, galak benar, pantas Si-siaucengcu
takut padamu melebihi harimau," ucap Coh Liu-hiang sambil
menggeleng. Sekonyong-konyong Si Toan-cong melongok dari luar jendela
dan berteriak, "Kami suami isteri selalu hormat-menghormati seperti
tetamu, kau keparat jangan coba-coba mengadu domba dan
memecah belah." "Sudahlah, tidak perlu mengoceh urusan tetek-bengek," bentak
Hoa Kim-kiong, "Aku cuma ingin tanya, kamu ingin ingin mampus
atau ingin hidup?" "Hidupku terasa sangat menyenangkan, dengan sendirinya aku
ingin hidup,"jawab Coh Liu-hiang.
"Jika kau ingin hidup, nah, lekas bertekuk lutut menyerah, akan
kami tanyai asal-usulmu, habis itu mungkin takkan ku bunuh kau,
bisa jadi malah akan memberi keuntungan kepadamu."
Hoa Kim-kiong sengaja mengucapkan 'keuntungan' dengan nada
yang lembut dan menarik, namun Coh Liu-Hiang seperti tidak paham
maksudnya, dengan tak acuh ia malah bertanya, "Dan kalau aku
ingin mati saja?" "Itu jauh lebih mudah," seru Hoa Kim-kiong dengan gusar dan
mendongkol "Sekali aku memberi tanda, serentak akan hujan panah
dan kaupun akan berubah menjadi landak."
"Wah, bisa mati di bawah bunga, jadi setan juga tak sia-sia,
apalagi menjadi landak kukira bukan soal," kata Coh Liu-hiang
dengan tertawa. "Baik, kau sendiri yang cari penyakit dan jangan menyesalkan
diriku, " kata Hoa Kim-kiong, sekali ia angkat tangan, segera ia
mendahului pentang busur. Serentak belasan anggota barisan puteri
juga menarik busur, melihat gaya mereka, jelas anak-anak
57 perempuan itu sudah terlatih baik dalam hal membidikkan panah,
apalagi 'panah mitraliur' yang sambar menyambar secara berturutnirut,
sekalipun dapat menghindari panah pertama juga sukar
mengelakkan panah kedua, belum lagi panah ketiga dan keempat
serta masih banyak lagi. Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak bayangan Coh Liuhiang
berkelebat, terdengar suara jerit kaget berturut-turut, entah
bagaimana, tahu-tahu belasan busur sudah berpindah ke tangan
Coh Liu-hiang, sebaliknya belasan anak dara itu tampak berdiri
mematung tanpa bergerak, agaknya Hiat-to mereka telah tertutuk
semua. Meski Hoa Kim-kiong dan Si-siaunaynay sebelumnya sudah tahu
bahwa 'bocah bagus' ini memang punya kemampuan tapi mereka
pun tidak menduga cara turun tangannya bisa sedemikiao cepatnya.
Serentak mereka saling mengedip, sebuah busur dan dua pedang
segera menyerang seceepat kilat.
Hari ini tampaknya Coh Liu-hiang sengaja hendak memberi rasa
kepada mereka, maka kini ia tak sungkan-sungkan seperti kemarin,
sekali berputar, entah dengan gerakan apa, tahu-tahu pergelangan
tangan Si-siaunaynay sudah terpegang olehnya, sekalian pedang
lawan terus disodorkan ke depan, "trang", seketika busur Hoa Kim
kiong tertebas putus. Lalu Coh Liu-hiang menyurut mundur, ia memberi hormat sambil
berkata "Maaf mengganggu si cantik, soalnya terpaksa, harap maaf."
Muka Si-siaunaynay nampak pucat, namun dia memang puteri
tokoh ternama, dia dapat menilai lawan dan melihat gelagat, kini
disadarinya 'bocah bagus' ini memang bukan lawan empuk,
mendadak ia membuang pedangnya terus berlari keluar ia jewer
kuping dan seret Si Toan-cong ke dalam rumah sambil memaki, "
Kau keparat, bini sendiri dilabrak orang, kau cuma berdiri menonton,
caramu ini apakah dapat dianggap seoraog lelaki" Hayo lekas hajar
orang itu untuk membalas dendamku."
4. KUNJUNGAN KHUSUS Wajah Si Toan-cong tampak lebih putih daripada isterinya,
58 dengan tergagap ia menjawab sambil meringis kesakitan, "Baik,
baik, biar kuhajar mampus dia, untuk membalaskan dendammu!"
Meski mulutnya berucap, namun kedua kaki ternyata tidak bergeser
sedikitpun. Si-siaunaynay memukuli dada suami sialan itu sambil berteriak,
"Hayo maju, hajar dia! Masa kau tidak berani?"
SI Toan-cong sampai menyengir dan meringis karena dipukuli
sang isteri, berulang-ulang dia pun berseru, "Baik, baik, akan kuhajar
dia!" Habis itu ia terus berlari. Tapi bukannya melabrak musuh,
sebaliknya kabur melalui pintu belakang.
Si-siaunaynay jadi gregetan, ia menangis tergerung-gerung dan
berteriak, "O......aalah, suamiku tak becus begini, bagainana aku
bisa hidup....." Dia terus menjatuhkan diri ke pangkuan Hoa Kimkiong
dan menjerit pula. "Sungguh sialan aku menjadi menantu
keluarga Si kalian, kalau tidak, memangnya siapa yang berani
kurang ajar kepedaku" Biarlah, aku pun tak ingin hidup lagi, boleh
saja kalian bunuh saja diriku."
Geli dan dongkol Coh liu-hiang, tak terduga olehnya bahwa putri
Sih Ih-jin, si jago pedang nomor satu di dunia ini bisa mempunyai
seorang anak perempuan kolokan begini.
Dilihatnya Hoa Kim-kiong mendelik melulu, agaknya iapun mati
kutu menghadapi kelakuan menantu perempuannya itu.
Dengan tenang Coh Liu-hiang berkata, "Cara Siaunaynay kita
bergaya aleman ini apakah juga warisan keluarga?"
"Jangan kau sembarangan kentut!" damprat Si-siaunaynay
sambil melonjak bangun. "Selain menghina perempuan, memangnya
kau punya kepintaran apalagi?"
"Tadinya kuanggap kau benar-benar seorang perempuan, tapi
sekarang aku jadi rada sangsi," ucap Coh Liu-hiang.
"Hm, memangnya kau sendiri terhitung lelaki sejati?" jengek Sisiaunaynay
dengan geregetan. "Jika kau berani ikuti menemui
ayahku, nah, baru kupercaya kau seorang lelaki. Kalau tidak berani,
hm, anggaplah kau ini manusia setengah-setengah, bukan laki-laki
59 dan bukan perempuan."
"Hm, kalau aku tidak berani bertemu dengan ayahmu, tentu
malam ini aku takkan kemari lagi," jengek Coh Liu-hiang. Tapi
sementara ini paling baik kau tutup mulut jika kau tak ingin kusumbat
mulutmu dengan gombal."
Karena tantang menantang itulah, akhimya Coh Liu-hiang
berangkat ke Sih-keh-ceng dengan diantar oleh Hoa Kim-kiong dan
Si-siaunaynay. ***************** Perkampungan kediaman Sih Ih-jin tidak seluas dan semegah
Ceng-pwe-san-ceng, tapi gayanya lebih artistik, lebih antik. Meski
pajangan di ruangan tamu tidak terlalu mewah, namun sangat resik
dan teratur rapi, hampir tiada kelihatan berdebu, malahan di halaman
juga tersapu bersih, tiada daun secuil pun. Meski waktu itu fajar
menyingsing, namun sudah ada kaum hamba yang sedang
membersihkan halaman. Sepanjang jalan Si-siaunaynay ternyata sangat prihatin, tidak
berani rewel. Diam-diam Coh Liu-hiang merasa geli, baru sekarang
ia percaya pameo yang bilang 'setan pun takut pada orang jahat'
memang tidak salah. Akan tetapi begitu sampai di Sih-keh-ceng, seketika sang nyonya
muda mulai mengunjuk sikapnya yang garang, sambil berjingkrakjingkrak
ia tuding hidung Coh Liu-hiang dan berteriak, "Awas, jika
kau memang berani, jangan kau lari, akan ku panggil ayahku."
Dengan acuh tak acuh Coh Liu-hiang menjawab, "Kalau aku
bakal lari, untuk apa aku ke sini?"
Hoa Kim-kiong meliriknya, jengeknya, "Hm, jangan sok, terlalu
berani bisa jadi mengakibatkan cekak umur. "
Tak lama setelah Si-siaunaynay masuk ke belakang menemui
ayahnya, segera terdengar suara seorang berseru dengan ketus,
''Kau tidak meladeni kedua mertua di rumah, untuk apa kau pulang
ke sini?" 60 Dari suaranya yang keras berwibawa ini, segera dapat diduga
orang ini pasti sudah biasa memerintah dan disegani.
Terdengar Si-siaunaynay berkata sambil menangis, "Anak telah
dihina orang, ayah tidak tanya sama sekali, sebaliknya malah..."
Mendadak suara orang tadi memotong, "Asalkan kau hidup
prihatin, siapa berani menghina kau tanpa sebab" Tentu kau sendiri
yang sok berlagak........Ai, Cinkehnio (besan perempuan),
seharusnya engkau mengawasi lebih keras tak boleh sungkan."
Cepat Hoa Kim-kiong berdiri menyambut keluarnya tuan rumah,
jawabnya dengan mengiring tawa, "Ai..... urusan ini sungguhnya
memang tidak dapat menyalahkan Si-siaunaynay, tapi semua garagara
bocah ini...." Apa yang menerocos keluar lagi dari mulut Hoa Kim-kiong sudah
malas diikuti lagi oleh Coh Liu-hiang, sebab dia memperhatikan
munculnya tuan rumah, si pendekar pedang nomor satu di dunia, Sih
Ih-jin. Dilihatnya wajah orang tua itu jernih bersih bersepatu kain
dengan kaus kaki putih, berbaju panjang warna biru, gerak-geriknya
tiada sesuatu yang istimewa, hanya matanya saja yang mencorong
tajam, sehingga membuat orang tidak berani lama lama
memandangnya. Dengan suara keras Si-siaunaynay sedang berkata, "Orang ini
bernama Yap Seng-lan, adik In mati karena dia, sekarang dia malah
berani mentang-rnentang dan meremehkan, ayah."
"Kabarnya orang ini biasa luntang-lantung di kotaraja, tiada
mempunyai kepandaian apa-apa, pekerjaannya hanya menggoda
perempuan, entah sudah berapa banyak orang yang telah dibikin
susah olehnya," demikian Hoa Kim-kiong menambahkan.
"Ya, makanya diharap ayah suka turun tangan memberi hajaran
setimpal padanya," cepat Si-siaunaynay mengimbuhi bumbu pula.
Namun apa yang diuraikan mereka, seolah-olah sama sekali tak
diperharikan oleh Sih Ih-jin, sejenak tadi ia memandang Coh LiuKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
61 hiang tanpa berkedip. Kini mendadak ia memberi soja (hormat
dengan kedua tangan merangkap di depan dada) dan berkata,
"Maaf, jika anak perempuanku ini sekiranya menyinggung


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaanmu, mohon saudara sudi memberi maaf"
"Ah, terlalu berat ucapan Sih-tayhiap," cepat Coh Liu-hiang
menjawab. "Silakan duduk dan minum teh dulu, sebentar akan kusiapkan
arak sekedar tanda selamat datang bagi saudara," kata Sih Ih-jin
pula. "Terima kasih," jawab Coh Liu-hiang.
Terkesima juga Si-siaunaynay mengikuti basa-basi sang ayah
menghadapi tamu yang tak disukai ini, segera ia menimbrung,
"Ayah, mengapa kau sungkan terhadap orang begini, dia..."
"Dia kenapa?" tukas Sih Ih-jin dengan menarik muka "Bilamana
orang tidak mengingat usiamu yang masih muda dan kehijauanmu,
hm, masakah kau dapat pulang pula menemui aku dengan hidup?"
Si-siaunaynay yang nama kecilnya Sih Hong-hong itu jadi
melengak. Ia bingung darimana sang ayah dapat tahu dirinya telah
dikalahkan orang" Dengan mengiring tawa, Hoa Kim-kiong berkata. "Namun orang
ini....."...... "Cinkehnio," potong Sih Ih-jin dengan kurang senang. "Apabila
mataku ini belum lamur, dapat kupastikan bahwa sahabat ini pasti
bukan kaum luntang-lantung dari kotaraja segala, dia juga bukan
Yap Seng-lan. Sebab kalau dia orang seperti sangkaanmu, tentu dia
takkan datang kemari." Lalu dia berpaling ke arah Coh Liu-hiang,
dengan tersenyum ia menyambung pula, "Melihat cahaya muka
saudara yang cemerlang denga semangat yang penuh, nyata
angkatan muda dunia Kangouw memang selalu melampaui
angkatan tua. Sepanjang tahuku, ksatria muda seperti saudara ini, di
seluruh dunia ini paling-paling juga cuma ada dua-tiga orang saja."
"Ah, Cianpwe terlalu memuji," ujar Coh Liu-hiang. "Konon Pianhok
Kongcu dari Jian-liu-ceng sudah menjagoi dunia persilatan
62 zaman ini, baik ilmu silatnya, maupun dalam hal nama baiknya, akan
tetapi saudara jelas bukanlah Pian-hok Kongcu," kata Sih Ih-jin
dengan sorot mata berkilat.
"Ah, mana Cayhe dapat dibandingkan dengan Pian-hok Kongcu,"
jawab Coh Liu-hiang dengan rendah hati dan tertawa.
Sih Ih-jin juga tertawa, katanya pula, "Tapi baik ilmu silat maupun
nama, mungkin sekali malah berada di atas Pian hok Kongcu,
apabila dugaanku tak keliru, mungkin saudara ini...." Dia merandek
sejenak sambil menatap lekat-lekat, lalu menyambung sekata demi
sekata.".....ialah Coh Liu-hiang?"
Bahwa orang tua ini sekali pandang saja lantas dapat
mengetahui asal-usulnya, hal ini membuat Coh Liiu-hiang terkejut
juga, cepat ia menjawab, "Pandangan Locianpwe sungguh setajam
kilat, wanpwe merasa sangat kagum."
"Haha, jika demikian mataku yang sudah tua ini memang belum
lamur dan masih dapat mengenali seorang ksatria," ucap Sih-Ih-jin
dengan tertawa puas sambil mengelus jenggotnya, keruan air muka
Hoa-Kim-kiong dan Si-siaunaynay alias Sih Hong-hong berubah
pucat, lalu merah kemalu-maluan, seru mereka, "He, jadi kau ini
benar-benar Coh Liu-hiang"!"
Coh liu-hiang tersenyum dan mengangguk.
"Ken......kenapa tidak kau katakan sejak semula?" gerutu Hoa
Kim-kiong dengan mata melotot.
"Semalam juga sudah Cayhe katakan, apa mau dikatakan lagi
jika Hujin tidak percaya," ujar Coh Liu-hiang.
Setelah melenggong sejenak, Hoa Kim-kiong menghela napas
panjang, lalu berkata pula, "Jika kau bukan Yap Seng-lan, untuk apa
pula kau datang ke tempat kami?"
"Ah, lantaran sudah lama mendengar nama kebesaran Hujin,
maka sengaja berkunjung untuk belajar kenal." jawab Coh Liu-hiang.
Hoa Kim-kiong tertawa puas, katanya, "Baik, baik betapa pun
kau masih menghargaiku, rasanya aku menjadi tidak enak. Baiklah
63 begini saja, besok malam akan kujamu kau makan Loh-hi-kwe, aku
akan turun ke dapur sendiri, nanti boleh kau nilai apakah masakanku
kalah atau menang jika dibandingkan masakan si tua she Cu".
Engkau mesti datang lho."
"Tentu, tentu datang, undangan Hujin mana boleh ditolak," jawab
Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Mendadak Sih Hong-hong berlari ke dalam sambil berseru
dengan tertawa, "Aku pun bisa mengolah Loh-hi, sekarang juga aku
turun ke dapur memasak sendiri,"
Hoa Kim-kiong tertawa, katanya, "Coh Hiang-swe, sungguh
besar rezeki mulutmu, sudah sekian tahun anak Cong menjadi
suaminya, tapi tak pernah dia turun ke dapur memasak sendiri."
Tapi Sih-Ihjin hanya pura-pura tidak tahu, sebab ia cukup
memahami masakan anak perempuannya itu, mendingan kalau tidak
bikin tumpah tetamu yang makan masakannya.
Maka setelah berdehem beberapa kali, lalu ia berkata, "Konon
sudah lama Coh Hiang-swe tidak menggunakan pedang, tapi pedang
ternama di dunia ini asalkan sudah dilihat olehmu, maka nilainya
seketika melonjak beratus kali. Kebetulan aku pun punya simpanan
beberapa pedang tua dan ingin mohon penilaian Coh Hiang-swe."
"Wah, sungguh suatu kesempatan bagus yang sukar
kuharapkan," ujar Coh Liu-hiang dengan girang.
"Wah. tampaknya hari ini bukan cuma rezeki mulut Coh Hiangswe
saja yang lagi baik, bahkan rezeki matanya juga sama
mujumya," sela Hoa Kim-kiong dengan tertawa. "Beberapa pedang
simpanan Cinkehong (besan laki) kita ini biasanya tidak pernah
diperlihatkan kepada siapa pun juga, bahkan aku sendiri pun tak
pernah melihatnya." "Pedang adalah alat pembunuh, maka sekarang Cinkehnio juga
jangan melihatnya," ucap Sih Ih-jin dengan hambar.
*********************** 64 Sih-keh-ceng atau perkampungan keluarga Sih itu dibangun
dengan membelakangi bukit. Lereng bukit yang kehijau-hijauan
membujur panjang jauh ke sana, kabut di taman yang luas ini
seakan-akan lengket dengan kabut yang mengambang di lereng
bukit. Melalui jalan berbatu kecil mereka menyusuri kamar belakang, di
dalam taman tiada pepohonan dan bunga yang semarak dan
menyolok, semuanya teratur sederhana dan indah bergaya antik.
Coh Liu-hiang berjalan berendeng dengan Sih-Ih-jin, tapi kedua
orang itu diam tanpa bicara. Seseorang kalau sudah mencapai
sesuatu tingkatan kedudukan tertentu, biasanya akan berubah
menjadi tidak banyak omong.
Angin di pagi hari musim rontok tidak terlalu dingin, mereka telah
memasuki sebuah hutan bambu, air embun menggelintir diatas daun
bambu yang hijau segar mirip mutiara yang terbingkai di tengah
jamrud. Di ujung hutan bambu sana rapat bergandengan dengan kaki
gunung, dinding tebing penuh lumut, di situ ada sebuah pintu tua dari
besi, tampaknya sangal berat tapi kukuh.
Sih Ih-jin mcmbuka pintu besi itu dan menyilakan Coh Liu-hiang
masuk. Di balik pintu adalah sebuah jalan batu yang panjang lagi
gelap, hawa dingin menyeramkan.
Sesudah Coh Liu-hiang masuk, segcra Sih Ih-jin menutup
kembali pintu itu, seketika cahaya terang dan kehangatan sinar
matahari pagi terpotong di luar, suasana berubah menjadi sunyi,
setitik suara saja tak terdengar.
Untuk membunuh orang, di sinilah memang tempat pilihan yang
sukar dicari. Namun Coh Liu-hiang tenang-tenang saja tanpa
sesuatu tanda kuatir, tampaknya ia percaya penuh pada Sih Ih-jin,
baru pertama kali kenal Sih Ih-jin lantas membawanya ke tempat
yang begini penting dan penuh rahasia, untuk ini ia pun tidak merasa
heran. Setelah berbelok beberapa kali di lorong geIap ini, sampailah
mereka di suatu gua yang tak kelihatan ujungnya. Di bawah sinar
65 lampu perunggu yang terletak di lekukan dinding, kelihatan sekeliling
gua itu penuh dengan meja batu, di setiap meja batu terdapat
sebuah kotak besi hitam. Peti besi yang tertaruh pada meja batu yang melintang di depan
sana berbentuk pmjang sempit, di dalam peti tentu tersimpan pedang
pusaka kebanggaan Sih Ih-jin, lalu benda apa pula yang tersimpan di
peti-peti yang lain"
Sih Ih-jin mendekati peti panjang sempit itu dan memegangnva
dengan hati hati, seakan-akan sudah lupa di samping masih ada
Coh-Liu-hiang, ia benar-benar mencurahkan sepenuh perhatiannya
terhadap pedangnya, hingga melupakan segalanya
Mendadak Coh Liu-hiang merasa orang tua ini telah berubah
sama sekali. Waktu pertama kali melihatnya tadi, Coh Liu-hiang merasa Sih-
Ih-jin ini seorang cendekiawan yang punya ciri khas, gaya seorang
pertapa y?ng bosan pada kehidupan ramai, karena itu sikapnya
menjadi rada hambar, tapi sama sekali tiada tanda-tanda membuat
orang merasa tidak aman. Waktu berjalan berendeng tadi. Coh Liu-hiang juga merasakan
sesuatu yang tidak menyenangkan, sama saja seperti berjalan
bersama seorang tua biasa.
Akan tetapi sekarang, belum lagi pedang terlolos dari sarungnya,
lapat-lapat Coh Liu-hiang sudah merasakan hawa pedang yang
dingin dan mengerikan. Jelas hawa pedaog ini bukan timbul dari
pedangnya. Hawa pedang ini justru timbul dari tubuh Sih-Ih-jin
sendiri. Kin, Sih Ih-jin bukan lagi orang tua yang lagi ngomong iseng
bersama petera-puteri dan besannya, begini masuk ke gua ini
mendadak dia berubah kembali sebagai pendekar pedang nomor
wahid yang pernah merajai dunia Kangouw dulu.
Di tempat ini tidak cuma tersimpan pedangnya, tapi juga
menyimpan kenangan-kenangannya di masa lampau, sebab itu lah
dia tidak pernah mengizinkan siapa pun masuk ke gua ini.
66 Tapi sebab apa pula dia justru membawa Coh Liu-hiang kesini"
************* Pelahan-lahan Sih Ih-jin membuka peti hitam yang panjang dan
sempit itu dan mengeluarkan sebilah pedang.
Bentuk pedang ini sangat antik dan sederhana, batang pedang
yang kehitam-hitaman itu bersemu hijau, tiada cahaya kemilau,
namun Coh Liu-hiang yang berdiri sekian jauhnya dapat merasakan
hawa dingin yang menusuk kulit.
"Cring", Sih Ih-jin menyelentik pedangnya sehingga
menimbulkan suara mendenging nyaring
"Pedang bagus," seru Coh Liu-hiang.
Berkilat sorot mata Sih Ih-jin, katanya kemidian, "Apakah Coh-
Hiang-swe kenal pedang?"
"Konon di zaman kerajaan Ciu, ada ayah beranak bernama Siau
Khong dan Thay Khong, telah mengundang semua pandai besi di
seluruh kolong langit ini dan mengumpulkan besi dari segenap
penjuru, selama sepuluh tahun, hasilnya adalah sebilah pedang,
yaitu pedang yang disebut Pat-hong-tang-kiam (pedang segenap
penjuru)." "Ya, benar pandangan yang tepat dan bagus!" puji Sih Ih-jin.
Meski di mulut ia memuji, namun air mukanya tidak
memperlihatkan sesuatu tanda perasaan apapun. Lalu ia
mengeluarkan sebilah pedang pula.
Pedang ini memakai sarung kulit yang sangat indah. gagang
pedang berbingkai batu permata dan diikat dengan benang emas,
batang pedang seperti buatan emas, tapi berwama kuning ke merahmerahan.
"Bagaimana dengan pedang ini?" tanya Sih Ih-jin.
67 Coh Liu-hiang memandangnya sejenak, katanya kemudian,
"Hampir setiap penguasa di zaman dahulu pasti memiliki pedang
ternama seperti halnya Siau Khong dan Thay Khong tadi, pedang ini
adalah hasil gemblengan Bu Ting, namanya Ciau-tan (pemberani)
hanya sarung pedangnya telah banyak diberi hiasan oleh
pemegangnya di kemudian hari.''
"Bagus, memang pandangan yang tajam," puji Sih Ih-jin.
Meski tetap tenang-tenang saja, tapi sorot matanya sudah
menampilkan perasaan kagum dan memuji. Selang sejenak,
pelahan-lahan ia mengeluarkan pula sebilah pedang. Pedang ini
memakai sarung kulit ikan hiu yang kasap, baru saja pedang terlolos
sebagian, sudah nampak sinarnya yang hijau kelabu.
Sambil memegang pedang ini, sorot mata Sih Ih-jin tampak
bertambah mencorong, Setelah menatap mata pedang yang tajam
itu dan berdiam sekian lama, kemudian dia berucap sekata demi
sekata, "Silakan Coh Hiang-swe menilai pula , pedang apakah ini?"
Coh Liu-hiang memandangi pedang itu hingga cukup lama, habis
itu baru menjawab pelahan. "Ini pedang tanpa nama."
"Pedang tanpa nama?" alis Sih Ih-jin tampak menjengkit.
"Betul, pedang tanpa nama," kata Coh Liu-hiang, "Tapi, meski
pedang tiada punya nama, namun orangnya jelas benama".
"Apa artinya ucapanmu ini?" tanya Sih Ih-jin. "Tentu Locianpwe
tahu ahli-ahli pembuat pedang pusaka zaman dahulu, antara lain
seperti Kan Ciang dan Bok Sia.....?"
"Ya, Kan Ciang dan Bok Sia adalah ahli pedang di zaman
dahulu, ceritanya pernah kubaca," kata Sih Ih-jin.
"Padahal Kan Ciang dan Bok Sia adalah nama sepasang suami
istri," kata Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Tapi beberapa ratus tahun
kemudian, bilamana nama mereka disebut, yang dimaksud adalah
pedang gemblengan mereka dan bukan lagi orangnya."
"Betul, memang begitulah kebiasaan orang Bulim," ujar Sih Ih-jin.
68 "Nah, meski pedang yang dipegang Cianpwe ini tidak bernama,
namun yang dapat menggunakan pedang ini pasti orang yang lain
dari pada yang lain."
" O" Darimana bisa diketahui hal ini?"
"Pedang ini bersinar gemerlapan, hawa membunuhnya
mencorong terang, jika bukan tokoh kelas wahid, bila tidak memiliki
kepandaian luar biasa, jelas tidak mampu menggunakan pedang ini,
kalau tidak, mungkin sebaliknya akan terluka sendiri oleh pedang
ini," setelah tertawa, lalu Coh Liu-hiang melanjutkan, "Bila mataku
belum lagi lamur kuyakin pasti senjata pribadi Locianpwe waktu
masih malang melintang di Kangouw dahulu."
Ucapan inipun tiada ubahnya seperti pujian kepada Sih-Ih-jin,
maka keduanya saling pandang dengan tertawa , dalam hati masingmasing
timbul rasa suka dan saling menghormat.
"Pandangan Coh Hiang-swe benar-benar setajam kilat, sunguh
sangat mengagumkan," kata Sih-Ih-jin kemudian, "Sekarang,
tahukah Coh Hiang-swe apa isi kotak-kotak di sekeliling ini?"
"Yang biasa tersimpan bersama pedang ternama, juga pasti
benda yang luar biasa," ujar Coh Liu-hiang.
Lalu Sih Ih-jin membuka sebuah kotak besi, di dalam kotak
hanya terdapat sehelai baju panjang.
Baju warna putih mulus itu sudah kekuning-kuningan, suatu
tanda sudah lama sekali tersimpan.
Waktu Sih Ih-jin mengebaskan baju itu hingga terbentang, baru
Coh Liu-hiang melihat di bagian dada baju ada tapak bekas darah,


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bekas darah itu memanjang seperti lingkaran ular, di bawah cahaya
lampu yang remang-remang tampak bekas darah itu menghitam.
"Tahukah Hiang-swe darah siapakah yang mengotori baju ini?"
tanya Sih Ih-jin. Meski dia menatap bekas darah di atas ba ju, tapi
juga seperti memandang jauh ke sana. Sedang agak lama barulah ia
menyambung pula dengan tersenyum hambar "Itu kejadian yang
sudah lama, mungkin Hiang-swe belum pernah mendengar nama
orang ini, tapi pada tiga puluh tahun lalu, nama 'Sat-jiu-bu-siang' (si
69 setan pembunuh) Hui Goan bukanlah tokoh sembarangan".
"Meski usia Wanpwe masih muda dan berpengetahuan cetek,
tapi tahu juga Sat-jiu-bu-siang yang pernah menjagoi tujuh propinsi
utara, sepasang gaetannya konon tiada tandingannya, tak tahunya
kalau orang ini pun mati di tangan Locianpwe."
"Ya, peristiwa itu terjadi di Kau-lan-san......" tutur Sih Ih-jin, ia
lantas terkenang kepada kejadian di masa lalu dan bercerita dengan
pelahan. Di depan mata Coh-Liu-hiang seakan terbayang lukisan
pemandangan pegunungan dalam suasana tegang, dimana dua
jagoan pedang berhadapan, Sih-Ih-jin yang berbaju putih mulus
laksana salju itu berdiri memandangi Sat-jiu-bu-siang yang sedang
mendekati, mendadak sinar pedang berkelebat, darah lantas
berhamburan menciprat di bajunya....
"Kini tiga puluh tahun sudah berlalu, tapi darah mereka takkan
lenyap untuk selamanya," demikian ucap Sih Ih-jin pula.
"Darah mereka?" Coh Liu-hiang menegas, " Masa di dalam
kotak-kotak besi ini semuanya......"
"Apakah Coh Hiang-swe tidak tahu darimana timbulnya sebutan
Hiat Ih-jin?" tanya Sih Ih-jin.
Coh Liu-hiang memandang kotak-kotak besi yang tertaruh di
meja di sekeliling gua itu, terpikir olehnya pada setiap kotak itu
tersimpan sepotong baju putih berlepotan darah manusia, setiap titik
darah itu pasti mengandung cerita yang menggetarkan sukma, setiap
cerita pasti mengalami suatu pertarungan sengit dan banjir darah......
Terpikir semua ini, tanpa terasa timbul semacam rasa seram
dalam hati Coh Liu-hiang.
Sorot mata Sih Ih-jin setajam sembilu, dengan sekata demi
sekaia ia bicara pula, '"Orang tidak melanggar diriku, aku pun tidak
melanggar orang lain. Jika orang menggangguku, pedang tidak
kenal ampun lagi. Ya, pedang inilah, entah berapa banyak pedang ini
telah minum darah manusia."
70 Sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, langsung ia tusuk
Coh Liu-hiang. Sudah banyak pengalaman Coh Liu-hiang Dahulu waktu bertemu
dengan 'It-tiam-ang' (setitik merah), Coh Liu-hiang merasa kecepatan
pedangnya tiada bandingannya di dunia ini. Kemudian dia pernah
bertemu dengan tokoh bernama Swe It-hoan. Lalu, waktu bertemu
dengan si sinting Sih Po-po, kembali Coh Liu-hiang merasa
kecepatan Swe lt-hoan tiada artinya lagi.
Baru sekarang akhirnya Coh Liu-hiang tahu 'pedang kilat' yang
sebenarnya. (Baca seri ke-1, 2 dan 3 oleh Gan KH)
Tusukan Sih Ih-jin itu sama sekali tidak terasa olehnya, seolaholah
umpama bayangan, tanpa wujud, siapa pun tidak tahu cara
bagaimana Sih Ih-jin melancarkan serangannya, dan Coh Liu-hiang
sendiri tidak dapat mengelak sama sekali. Cuma, serangan kilat itu
setiba di depan tengorokan, kira-kira cuma satu centi saja jaraknya,
lalu berhenti. Cara berhentinya juga sama cepatnya seperti waktu
menyerang, sama-sama terjadi dengan mendadak dan sukar
dibayangkan. Sungguh, cara berhenti menyerang mendadak ini jauh
mengejutkan Coh Liu-biang daripada kecepatan menyerangnya tadi.
Jelas waktu menyerangnya tadi Sih Ih-jin tidak menggunakan
seluruh tenaganya, kalau tidak tentu serangannya tak bisa berhenti
mendadak. Dan kalau serangannya yang tidak menggunakan
sepenuh tenaga itu sudah sedemikian lihainya, lalu betapa hebat
pula bilamana ia menyerang dengan sepenuh tenaga".
Sih Ih-jin memandang Coh Liu-hiang lekat-lekat, agaknya ia pun
terkesiap heran, jelas ujung pedangnya sudah berada di depan
tenggorokannya, tetapi Coh Liu-hiang tetap tenang-tenang saja,
bahkan mengedipkan mata saja tidak. Ketenangan orang muda ini
sudah mencapai tingkatan yang sukar dibayangkan pula, melulu
daya ketenangan ini saja sudah cukup memadai seorang maha guru
persilatan manapun juga. Meski ujung pedang tidak sampai menyentuh kulit leher Coh Liuhiang,
tapi hawa pedang yang dingin sudah terasa menyayat kulit
namun Coh Liu-hiang tetap diam saja.
Bagi Coh Liu-hiang, kejadian ujung pedang mengancam di
71 tenggorokan bukan cuma sekali saja. Meski ia pun tahu, sekali ini
jauh lebih cepat daripada pedang manapun juga dan tidak mungkin
dapat dihindari. Sil Ih-jin memandangnya dengan dingin, selang sejenak baru
berkata pula, "Apakah kedatanganmu mi karena mengincar
pedangku ini?" Coh Liu-hiang tertawa, jawabnya, "Kaukira kedatanganku ini
hendak mencuri pedangmu?"
"Nama harum Coh-Hiang-swe telah lama kukagumi " ujar Sih Ihjin.
"Jika begitu seharusnya kau tahu selamanya dia tidak pernah
mengincar sesuatu barang sahabatnya. "
"Segala apa tentu juga ada kecualinya, bisa jadi sekali ini pun
terkecuali dari kebiasaanmu itu."
"Mengapa sekali ini harus kukecualikan?"
"Bukankah kau sangat tertarik dalam hal pedang, dan kau pun
mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang ini."
"Betul, urusan pedang memang sangat menarik bagiku, sama
halnya aku tertarik untuk makan Ang-sio-bak, akan tetapi untuk itu
aku kan tidak perlu mencuri seekor babi ke rumah dan diam-diam
menyembelihnya?" "Habis, untuk tujuan apa kedatanganmu ini?" Sih Ih-jin bertanya
dengan suara bengis. "Bilamana tenggorokanku terancam oleh ujung pedang orang,
biasanya aku tak suka berbicara dengannya," jawab Coh Liu-hiang
dengan tak acuh. "Kau lebih suka kutusukkan pedangku ini?"
"Kalau Sih Ih-jin adalah manusia yang suka menyerang orang
secara mendadak tanpa diketahui lawannya lebih dahulu, maka pasti
akulah yang salah menilai dirimu. Dan kalau aku salah menilai
72 dirimu, sekalipun aku mati di tanganmu juga tidak perlu penasaran,
anggap saja mataku sendiri yang lamur?"
Sih Ih-jin menatapnya sekian lama pula, katanya kemudian
dengan pelahan, "Memangnya kau belum pernah salah menilai
orang selama ini?" "Apabila dapat kubiarkan seseorang berdiri di sampingku dengan
pedang terhunus, maka aku pasti takkan salah menilainya," ujar Coh
Liu-hiang dengan tersenyum.
"Bagus, bagus!" Sih Ih-jin bergelak "Nyata Coh-Liu-hiang
memang seorang pemberani, sungguh hebat dan tidak bernama
kosong." "Creng", segera Sih Ih-jin sarungkan pedangnya Lalu dengan
tersenyum ia berkata pula, "Tetap bila kedatangan Coh Hiang-swe
ini melulu karena urusan Hoa Kim-kiong, betapapun aku juga tidak
percaya." "Ya, aku sendiri pun tak percaya," tukas Coh Liu-hiang.
Senyum di wajah Sih lh-jin pelahan-lahan lenyap, katanya,
"Kunjungan Coh Hiang-swe ke Sih-keh-ceng jangan-jangan maksud
tujuannya agar Hoa Kim-kiong membawamu menemui aku?"
Dengan tertawa Coh Liu-hiang menjawab, "Sih-tayhiap sudah
lama mengasingkan diri, kalau Cayhe ingin menemui orang yang
luar biasa, terpaksa harus menggunakan cara yang luar biasa pula."
"Mengapa kau terburu-buru ingin menemui aku." tanya Sih Ih-jin
dengan sorot mata gemerlap.
Coh Liu-hiang berpikir sejenak, jawabnya kemudian. "Dua tahun
terakhir ini, di dunia Kangouw tiba-tiba muncul suatu komplotan
pembunuh bayaran." "Apa" Pembunuh bayaran?" Sih Ih-jin menegas dengan
melengak. "Ya, orang-orang ini tidak membedakan salah dan benar, tidak
peduli baik atau jahat, pekerjaan mereka hanya membunuh orang,
73 siapa yang berani membayar dan mereka pun akan membunuh."
Setelah menghela napas gegetun, Coh Liu-hiang menyambung
pula, "Mereka membunuh tanpa peduli siapa yang menjadi sasaran,
orang dari kalangan mana pun dapat mereka bunuh, sekalipun orang
yang tiada sangkut paut dengan dunia persilatan juga dapat mereka
bunuh. Sebab itulah aku menganggap mereka jauh lebih busuk dan
lebih menakutkan daripada kawanan bandit, sebab kawanan bandit
sedikitnya masih memilih sasaran dan tak mungkin turun tangan
kepada sembarang orang."
Tampak tertarik juga Sih Ih-jin, katanya, "Di dunia Kang ouw
timbul orang macam begini, mengapa kabar mereka sedikitpun tidak
pernah kudengar?" "Komplotan ini sangat misterius dalam setiap gerakan, jika
mereka tidak menyatroni diriku, sama sekali aku tidak tahu."
"Tetapi kalau mereka berani mengincar Hiang-swe, mungkin
mereka pun sudah dekat dari tamat," ujar Sih Ih-jin dengan tertawa.
"Komplotan itu sekarang memang telah banyak yang mati dan
terluka, jelas mereka tidak bisa banyak beraksi lagi, cuma pemimpin
mereka sampai saat ini masih bebas dari pencarianku."
"Siapakah pemimpin mereka?" tanya Sih Ih-jin.
"Sampai saat inipun aku tidak tahu siapa dia, hanya kutahu
orang ini cerdik luar biasa, ilmu pedangnya juga maha tinggi," tutur
Coh Liu-hiang. "Wah, maka Hiang-swe lantas mencurigai orang ini ialah diriku?"
kata Sih Ih-jin dengan tersenyum.
Coh Liu-hiang juga tersenyum, jawabnya, "Jika tidak, tentu aku
juga tidak akan datang kemari."
"Dan sekarang apakah Hiang-swe sudah mendapatkan tandatanda
yang meyakinkan?" tanya Sih Ih-jin dengan sorot mata tajam.
"Seranganmu tadi memang ada tujuh bagian mirip dengan cara
mereka," jawab Coh Liu-hiang dengan tenang.
74 "Jika demikian, jadi kau anggap aku inilah pemimpin pembunuh
bayaran itu?" tanya Sih Ih-jin dengan suara berat.
Coh Liu-hiang tersenyum, jawabnya, "Jika kau pemimpin
komplotan pembunuh itu, tentu seranganmu tadi takkan kau tarik
kembali" Sih lh-jin tidak bicara lagi, pelahan ia membalik tubuh dan
menyimpan kembali pedangnya ke peti panjang tadi, terlihat
pundaknya bergerak naik turun, agaknya perasaannya sangat
terguncang. Selang agak lama barulah ia berkata dengan pelahan,
"Apakah kau tahu sebab apa hingga sekarang Cu Kin-hou belum
kubunuh?" Pertanyaan tiba-tiba dan tak terduga ini membuat Coh Liu-hiang
melengak seketika.. Syukurlah tanpa menunggu jawaban, segera Sih lh-jin berkata
pula, "Sebabnya selama hidupku ini, tidak saja sangat sedikit
sahabatku, bahkan musuh juga tak banyak, lebih-lebih musuh
serupa Cu-Kin-hou itu, bilamana kubunuh dia tentu hidupku akan
lebih kesepian lagi."
Meski Coh Liu-hiang tidak dapat melihat air mukanya, karena Sih
lh-jin bicara menghadap ke sana, namun timbul juga rasa haru dan
pedih melihat bayangan punggung orang yang agak kurus dengan
rambut yang sudah ubanan itu, ucapnya dengan menghela napas,
"Sejak zaman dahulu, ksatria sejati memang banyak yang hidup
kesepian. Seorang kalau masih berada di bawah selalu ingin
menanjak ke atas, makin menanjak makin tinggi. Tapi kalau sudah
terlalu tinggi, orang yang ikut naik ke atas semakin berkurang pula.
Apabila diketahuinya di tempat ketinggian itu kini tinggal dia sendiri,
maka sukarlah baginya untuk balik lagi ke bawah."
Tubuh Sih lh-jin yang jangkung itu tiba-tiba seperti rada-rada
bungkuk, setelah termenung lama pula kemudian dia menghela
napas panjang dan berkata pula, "Namun lambat laun aku sudah tua,
seorang kalau sudah mendekati ajalnya tentu ingin segera
membereskan utang piutang semasa hidupnya, supaya tidak ikut
masuk ke dalam liang kubur."
75 Coh Liu-hiang terdiam, sebab ia tidak tahu apa yang harus
dikatakan. Maka Sih lh-jin menyambung pula, "Sebab itulah aku sudah
berjanji dengan Cu Kin-hou untuk duel pada malam penghabisan
sebelum ganti tahun ini, bukan duel pribadi antara kami berdua saja,
tapi duel bagi kedua keluarga Sih dan Cu. Sebab kedua keluarga
kami telah bermusuhan selama beratus tahun, begitu lama sejarah
permusuhan ini, hingga hampir membuat orang yang bersangkutan
lupa mengenai sebab musabab permusuhan itu."
Coh Liu-hiang sangat tertarik, katanya, "Mengapa Cu Kin-hou
tidak memberitahukan padaku mengenai janji duel kalian ini?"
Sekarang ia pun paham sebabnya Cu Kin-hou buru-buru ingin
menikahkan putrinya, sebab kalau anak perempuannya sudah
menikah, itu bukan lagi anggota keluarga Cu dan tidak perlu ikut
dalam pertarungan maut ini, nyata betapa cinta kasih seorang ayah
terhadap puterinya terbukti dari timbang rasa Cu Kin-hou ini.
Mendadak Sih lh-jin membalik tubuh dan menatap tajam Coh
Liu-hiang, lalu berkata, "Tadinya kusangka kau telah diberi tahu
urusan ini, maka kukira kedatanganmu ini adalah untuk membantu
dia, untuk itu kau sengaja hendak menyelidiki keadaanku bagi Cu
Kin-hou." "Ya, menurut dugaanmu tentu kau mengira aku akan mencuri
pedangmu," ucap Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Memang,
bilamana seorang hendak berduel dengan seekor harimau, paling
efektif jika sebelumnya berusaha mencabut gigi sang raja hutan itu."
Dia merandek dan tertawa, lalu menyambung pula, "Tapi
seumpama Coh Liu-hiang adalah manusia rendah begini, jelas Cu
Kin-hou tidak mungkin bertindak demikian, kalau tidak, tentu dia
tidak ada harganya untuk menjadi musuh Sih lh-jin, Sih-tayhiap."
"Dan kalau Coh liu-hiang adalah manusia demikian, seumpama
aku salah lihat akan dirimu, maka itupun salahku sendiri, mataku
yang lamur, mana boleh menyalahkan orang lain, betul tidak?".
Ucapannya ini tepat sama seperti apa yang dikatakan Coh Liuhiang
kepadanya tadi. 76 Memandangi wajah orang yang dingin itu lapat-lapat dalam hati
Coh Liu-hiang timbul rasa hangat, sebab sekarang ia tahu bahwa
orang tua itu sesungguhnya tidak sedingin sebagai mana terlihat dari
wajahnya. Katanya kemudian, "Jadi duel kalian di malam tahun baru
sudah tidak dapat dihindarkan lagi?"
Sih Ih-jin terdiam sejenak, mendadak ia tertawa dan berkata,
"Ikan yang dimasak Hong-hong tentu sudah siap, marilah kita minum
barang secawan dahulu."


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesungguhnya Coh Liu-hiang bukan setan arak sebagaimana
kawan karibnya, Oh Thi-hoa. Biasanya ia jarang minum arak di siang
hari, hanya pada waktu hatinya sedang sangat senang atau sangat
berduka saja memang harus dikecualikan.
Dan sekarang juga suatu kekecualian bagi Coh Liu-hiang, tapi ia
sendiri tidak tahu apakah sekarang ini dia teramat gembira atau
sebenarnya bersedih. Sesungguhnya banyak persoalan yang
merundung pikirannya, bahkan persoalan yang rumit, ia ingin
mencari waktu yang baik untuk merenungkannya. Sebelum
persoalan-persoalan itu terpikir jelas, urusan apapun takkan di
lakukannya. Rasa Loh-hi yang disajikannya sebenarnya memang cukup lezat,
cuma Coh Liu-hiang menyangsikan masakan ini pasti bukan olahan
Si-siaunaynay sendiri, sebab pada tangannya tidak nampak
sedikitpun lepotan minyak.
Sudah banyak Coh Liu-hiang kenal perempuan yang tidak becus
masak, tapi perempuan begitu justru sok pamer, pura-pura sembunyi
di dapur, lalu mengeluarkan masakan yang sudah siap kepada
tamunya serta berkata, "Maaf, masakan tidak enak". Dengan
demikian dia ingin memberi kesan kepada tamunya bahwa dia
sendiri yang mengolah masakan itu.
Maklum, perempuan yang sok begini, juga tahu bahwa mahir
memasak bukan hanya kebanggaan seorang isteri, tapi juga
kebanggaan sang suami. Benar seperti sudah diduga Coh Liu-hiang, dengan tertawa genit
Si-siaunaynay lantas berkata, "Mungkin kurang lezat masakan ikan
77 ini, harap Hiang-swe jangan menertawakan diriku."
Sungguh sial bagi Si-siaunaynay alias Sih Hong-hong, belum lagi
Coh Liu-hiang menjawab, sang ayah sudah menyela dengan
hambar, "Hakikatnya goreng telur saja kau tidak becus, masa kau
mengaku masak ikan segala......"
Keruan Si-siaunaynay menjadi tersipu-sipu, belum habis ucapan
Sih Ih-jin, terus saja ia mengeluyur masuk ke dalam.
Hoa Kim-kiong lantas menanggapi dengan tertawa, "Ah, tak
kusangka Cinkehong juga suka berseloroh, mungkin hatimu menjadi
senang setelah bertemu dengan Coh Hiang-swe, untuk ini engkau
mesti berterima kasih kepadaku."
"Betul, apabila Si-cinkehong hadir, tentu akan kuhormati dia satu
cawan," kata Sih lh-jin.
Melengak juga Hoa Kim-kiong, katanya kemudian sambil
menyengir, "Silakan Hiang-swe omong-omong dulu, biarlah ku cari
Cinkehnio di belakang."
Setelah Hoa Kim-kiong pergi, Sih lh-jin menghela napas lega,
katanya, "Akhirnya dia dapat memahami arti ucapanku dan tahu
kemana dia harus pergi. Sungguh tidak mudah untuk membikin
mengerti orang perempuan."
"Ya, tidak mudah," tukas Coh Liu-hiang dengan tertawa, "Jika
perempuan tidak dienyahkan, mana orang lelaki dapat minum arak
dengan tenang. Marilah kita habiskan secawan!"
Coh Liu-hiang mengiringi ajakan tuan rumah, sekali tenggak
mereka menghabiskan isi cawan masing-masing, tiba-tiba ia
menghela napas dan berkata dengan menyesal, "Apabila antara
keluarga Sih dan Cu tidak saling bermusuhan, tentu kau dan Cu Kinhou
dapat menjadi sahabat yang baik."
Air muka Sih lh-jin tampak berubah, katanya. "Kau memang
kawan baik Cu Kin-hou, sekarang juga kawanku, cuma kuharap kau
mesti paham satu hal, yakni permusuhan antara ke luarga Sih dan
Cu tak mungkin didamaikan oleh siapa pun juga."
78 "Sebab apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Tahukah kau, selama seratus tahun ini betapa banyak korban
dari keluarga Sih yang terbunuh oleh orang she Cu?"
"Kukira kematian di pihak keluarga Cu juga sama banyaknya,"
ujar Coh Liu-hiang. "Memang," kata Sih Ih-jin. "Justru lantaran inilah, maka
permusuhan kedua keluarga juga bertambah mendalam, kecuali
salah satu keluarga sudah hancur dan mati seluruhnya, kalau tidak,
siapapun jangan berharap akan dapat mendamaikan permusuhan
ini." Ngeri juga Coh Liu-hiang, seketika ia tidak tahu apa yang harus
dikatakannya lagi. Pada saat itulah mendadak seorang berteriak, "Bagus, kalian
makan enak di sini tanpa mengundangku."
Seseorang lantas menerobos masuk, siapa lagi dia kalau bukan
si sinting Sih Po-po. Baju yang dipakainya sekarang ber warna
merah dengan sulaman seekor kura-kura di depan dada nya.
Tampaknya Sih Po-po sudah tidak kenal Coh Liu-hiang lagi,
tanpa permisi segala, segera ia ikut duduk di meja perjamuan itu,
satu porsi ikan terus dipindahkan ke depan sendiri, tanpa cuci
tangan, terus saja ia comot sepotong ikan dan dilalap begitu saja.
Sih Ih-jin berkerut kening, sambil menyengir ia perkenalkan Sih
Po-po kepada Coh Liu-hiang, "Inilah saudaraku Siau-jin, dia........."
Belum lanjut ucapannya. Sih Po-po yang mulutnya penuh ikan itu
sembari menumpahkan duri ikan, ia pun menyela dengan tertawa,
"Sih Ih-jin adalah jago pedang nomor satu, Sih Siau-jin adalah jago
gegares nomor satu. Sejak kecil Sih Siau-jin selalu kalah bila
berkelahi dengan Sih Ih-jin, tapi kalau bertanding makan, betapapun
Sih Ih-jin pasti angkat tangan dan menyerah."
"Siapa yang suruh kau datang kemari?" tanya Sih Ih-jin dengan
gusar. 79 "Ini kan juga rumahku, mengapa aku tidak boleh kemari" jawab
Sih Po-po dengan tertawa. "Kau boleh memaki aku goblok, boleh
memaki aku tidak becus, tapi kau kan tidak dapat bilang aku bukan
anaknya ayah" Sih Ih-jin menggeleng sambil menghela napas, katanya, "Harap
Hiang-swe jangan menertawakan, tadinya dia tidak begini, baru
tujuh-delapan tahun yang lalu, entah mengapa mendadak
dia...........dia berubah."
Diam-diam Coh Liu-hiang merasa gegetun. Memang, setiap
rumah tangga tentu mempunyai kesukaran sendiri-sendiri, setiap
rumah tentu ada hal-hal yang tak diketahui orang luar. Meski
pendekar pedang nomor satu seperti Sih Ih-jin juga tiada ubahnya
seperti orang biasa, ia pun mempunyai kemalangan dan kekesalan
rumah tangga, hanya saja hal-hal demikian tertutup oleh namanya
yang gemilang, orang luar cukup tahu nama Sih Ih-jin yang
cemerlang, tapi lupa bahwa di bawah cahaya yang cemerlang itupun
ada bayangan yang gelap. ******** Maksud kedatangan Coh Liu-hiang sebenarnya ingin menyelidiki
rahasia pemimpin komplotan pembunuh bayaran yang penuh misteri
itu, tapi sekarang tujuannya telah berubah.
Cu Kin-hou adalah sahabat baiknya, dia harus bantu
menyelesaikan soal pelik ini. Apalagi peristiwa 'mayat kesurupan roh'
ini sesungguhnya sukar untuk dibayangkan, ia sendiri pun ingin
membikin terang kejadian ini, maka sebelum tiba di Sih keh-ceng,
sebenarnya sudah disiapkan macam-macam pertanya an yang akan
diajukan kepada Sih Ih-jin, tapi sekarang mendadak ia merasa di
balik persoalan ini masih banyak hal-hal lain yang perlu diselidiki dan
dipelajari, maka ia ambil keputusan untuk sementara ini takkan
banyak bicara. Sih Ih-jin juga tidak menahannya, dia cuma menentukan
pertemuan berikutnya dengan Coh liu-hiang, lalu mengantar
tamunya keluar dan menyaksikan keberangkatannya hingga
menghilang di kejauhan. Sih Po-po menyaksikan kepergian Coh Liu-hiang juga, cuma dia
80 tidak mengantar, melainkan sembunyi di belakang pintu sambil
tertawa nyekikik. Coh Liu-hiang tidak menumpang kereta, juga tidak naik kuda,
baginya berjalan kaki terkadang otaknya bisa bekerja lebih jernih.
Sebab berjalan dapat membuat aliran darah bertambah lancar, aliran
darah ke bawah bisa turun lebih cepat dan otakpun bisa lebih dingin
dan tenang. Maklum, pada saat ini dia sangat memerlukan otak yang
tenang. Sesungguhnya apa yang telah ditemukan olehnya" Apa pula
yang dipikirnya" Setelah serangan pertama berhasil, segera si baju hitam
bermaksud menusuk pula untuk kedua kalinya, tapi pada saat itu
mendadak tertampak kabut putih bersemu merah berhamburan dari
tangan Coh Liu-hiang, hidung pun mengendus bau harum semerbak.
Keruan ia terkejut, cepat ia menahan napas dan memejamkan
mata, untuk menjaga segala kemungkinan dia putar pedangnya
seperti kincir, berbareng itu ia pun menyurut mundur ke ambang
pintu. Waktu dia membuka mata dan dapat melihat jelas, tertampak
Coh Liu-hiang masih berdiri tegak di tempatnya dan sedang
memandangnya dengan tenang, malah mengulum senyum pula.
Namun jelas juga ujung pedangnya ada tetesan darah segar. Jadi
Coh Liu-hiang pasti juga sudah terluka.
Si baju hitam tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Kecepatan
reaksi Coh Hiang-swe sungguh tiada bandingnya di dunia ini, cuma
sayang tetap tak mampu menghindarkan tusukanku tadi."
Coh liu-hiang tersenyum tak acuh, jawabnya, 'Sebenarnya aku
sangat heran, siapakah gerangan yang dapat menyerang secepat
ini, tak tersangka kiranya engkau adanya."
"Bukankah engkau sedang mencari jejakku?" tanya si baju hitam
dengan tertawa. "Memang betul, sudah sekian lama kucari kau, tak terduga kau
benar-benar berada di sini."
81 "Jika kau berada di sini, dengan sendirinya aku pun berada di
sini." "O, jadi kau selalu menguntit aku?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ya," jawab si baju hitam.
Nyata dia inilah orang yang sedang diselidiki Coh Liu hiang, yaitu
pemimpin komplotan pembunuh bayaran yang lihai itu (hal ikhwal
tentang komplotan pembunuh bayaran ini dikisahkan pada seri
Maling Romantis sebelumnya........oleh Gan K.L).
Dengan sorot mata tajam seperti mata elang, si baju hitam
menatap Coh-Liu-hiang, dengusnya, "Telah sekian lama kau mencari
diriku, sekian lama pula kucari dirimu. Kau inginkan jiwaku, aku
menghendaki jiwamu, di antara kita berdua memang cuma seorang
saja yang berhak hidup terus."
Coh Liu-hiang tersenyum, jawabnya, "Menurut pendapatmu,
siapa yang berhak hidup terus?"
Sorot si baju hitam jatuh pula pada tetesan darah di ujung
pedangnya, katanya dengan tenang, "Sampai kini, masa kau masih
ingin hidup lagi?" Coh Liu-hiang tertawa jawabnya tak acuh, "Kecepatan
pedangmu memang luar biasa, cuma sayang......."
Mendadak si baju hitam menyela, "Jika seranganku pertama tak
dapat kau hindari, seranganku yang kedua pasti akan merenggut
nyawaku." "Betul, setelah terluka, dengan sendirinya aku tidak mampu
mengelakkan lagi kecepatan pedangmu, " kata Coh Liu-hiang
dengan tersenyum. "Akan tetapi seranganmu yang kedua apakah
kiranya dapat kau lontarkan lagi?"
"Hm, untuk membunuh orang selamanya aku tidak kenal
kasihan," jengek si baju hitam.
"Ada pameo yang tersiar luas di dunia Kangouw, masa kau tidak
82 pernah mendengarnya?"
"Pameo apa," tanya si baju hitam.
Coh Liu-hiang lantas tarik suara seperti orang bersenandung,
"Dupa perenggut nyawa si maling cakap, diam-diam akan merantas
usus orang......" Sekonyong-konyong terbelalak mata si baju hitam, serunya, "Apa
katamu" Dupa perenggut nyawa?"
"Betul, baru saja kau telah terkena Siau-hun-hiang (dupa
perenggut nyawa) yang kutaburkan, tanpa pertolonganku, dalam
waktu satu jam, racun akan bekerja dan tak tertolong lagi."
Untuk sejenak si baju hitam melototi Coh Liu-hiang, mendadak ia
menengadah dan tertawa terbahak-bahak pula. katanya, "Hahahaha!
Coh Liu-hiang, jangan kau harap akan dapat menipuku. Yang kau
taburkan tadi tidak lebih hanya satu kotak pupur wangi yang biasa
digunakan kaum wanita."
Coh Liu-hiang menghela napas menyesal, gumamnya, "Pupur
wangi kaum wanita" Di sini memangnya ada pupur wangi kaum
wanita segala" Memangnya siang malam dan kemana pun pergi,
senantiasa aku membawa pupur......?" Makin bicara makin menjadi
geli dan akhirnya ia pun bergelak tertawa
Mendadak si baju hitam membentak dengan bengis. "Pokoknya,
selama kau masih hidup di dunia ini, maka selama itu pula aku akan
tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur, betapapun kau harus
kubunuh dulu." "O, boleh silakan." jawab Coh Liu-hiang.
"Seumpama Siau hun-hiang yang kau katakan itu benar, maka
padamu tentu juga ada obat penawarnya, setelah kucabut jiwamu,
tentu pula obat penawarnya akan dapat kutemukan."
"Hahaha, pikiran yang bagus," seru CohLiu-hiang sambil
tersenyum. Si baju hitam menggenggam pedangnya erat-erat, gigi
83 gemerutuk saking menggeregetnya, meski ucapannya tegas dan
garang, tapi hati menjadi ragu dan tangan terasa rada lemas,
serangan kedua ternyata tidak dapat dilontarkan lagi.
"Kenapa engkau tidak lekas menyerang" Jika lebih cepat
membunuhku, kan obat penawarnya juga lebih cepat kau dapatkan?"
kata Coh Liu-hiang dengan tersenyum tenang.
"Ap....... apakah obat penawarnya tidak berada padamu?" tanya
si baju hitam dengan sangsi. .
"Apa yang kukatakan toh takkan kau percaya, lalu untuk apa kau
tanya padaku?" Dengan gregetan si baju hitam berkata pula, "Seumpama
kulepaskan kau, tapi cara bagaimana kuyakin kau akan memberi
obat penawarnya?" "Ya memang tiada pegangan," kata Coh Liu-hiang.
Mendadak sorot mata si baju hitam berubah tenang, ia menatap
lekat-lekat wajah Coh Liu-hiang, sejenak kemudian barulah berkata
pula "Jika aku tidak membunuhmu, apakah kau akan memberi obat
penawarnya?" "Kukira tukar menukar ini takkan merugikan siapa-siapa," ujar
Coh Liu-hiang. "Kemudian?" tanya si baju hitam.
"Kemudian kau akan tahu apa yang harus kau lakukan lagi,"
jawab Coh Liu-hiang. "Akan kutulis cara menawarkan racun itu pada
pohon pertama yang mudah kau lihat di luar sana, tapi hendaklah
ingat betul-betul, kau harus menghitung sampai seribu bulat baru


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

boleh keluar. Kalau tidak, maka gugurlah perjanjian ini."
Si baju hitam berpikir sejenak, katanya kemudian "Coh Liu-hiang
selamanya tidak pernah ingkar janji, entah kabar ini benar apa
tidak?" Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Benar atau tidak, dalam waktu
singkat kau akan buktikan sendiri." Segera ia melangkah lewat di
84 samping si baju hitam, padahal cukup dengan sekali bergerak,
pedang si baju hitam dapat menembus lehernya, namun Coh Liuhiang
tidak gentar sedikit pun, bahkan memandang sekejap saja
tidak kepada si baju hitam.
Pertaruhan kini sudah jadi, Coh Liu-hiang tahu, mau tak mau
lawan pasti bertaruh dan menunggu sampai terbuka hasil pertaruhan
ini. Dengan melotot si baju hitam menyaksikan kepergian Coh Liuhiang,
otot dagingnya serasa menegang. Dilihatnya Coh Liu-hiang
telah keluar dan merapatkan pintu.
Maka dengan mengepal kencang menahan perasaannya, ia
mulai menghitung. "Satu, dua, tiga, empat................."
Bukan soal sulit untuk menghitung satu sampai seribu, jika
hitungnya cepat, hanya sekejap saja akan selesai. Akan tetapi bagi
si baju hitam, sekarang bilangan seribu itu seolah-olah tidak habishabisnya
terhitung. Sesungguhnya dia memang seorang petualang, seorang
petaruh. Cuma sekali ini taruhannya memang kelewat besar dan
juga terlalu berbahaya, apabila ada sedikit pilihan baginya, tidak
mungkin dia mau bertaruh secara demikian.
Karena itu ia mempercepat hitungannya, "Sembilan ratus
sembilan puluh empat................. sembilan ratus sembilan puluh
delapan........" Begitu hitungan seribu sudah lengkap, serentak si baju hitam
membuka pintu dan melompat keluar. Hanya beberapa kali lompatan
saja, ia menuju ke pohon pertama yang dilihatnya. Benar juga, di
bawah pohon terdapat beberapa huruf yang dicoret dengan ranting
kayu. 'Kau tidak keracunan!' demikian bunyi tulisan itu. Tulisan yang
lebih tepat dikatakan corat-coret itu seakan-akan sedang mengejek
padanya. Keruan si baju hitam melengak, setelah tertegun sejenak,
akhirnya ia meludahi corat-coret itu disertai injakan dan menyapu
85 dengan kakinya. "Maknya dirodok, pukima, diamput........" demikianlah saking
gregetan ia memaki habis-habisan, hampir segala kata makian dari
daerah dihamburkan seluruhnya ke alamat Coh Liu-hiang.
Nyata ia telah kena dikibuli oleh orang she Coh itu. Padahal tadi
cukup hanya sekali lagi ayun pedang dan Coh Liu-hiang dapat
dibinasakannya. Sungguh tak habis terpikir olehnya mengapa tadi sedikit pun Coh
Liu-hiang tidak memperlihatkan rasa gentar dan tegang. Padahal
kalau waktu itu tertampak setetes keringat saja di dahi Coh Liuhiang,
mungkin saat itu juga pedangnya sudah bekerja.
"Bagus kau, Coh Liu-hiang." demikian si baju hitam bergumam
sendiri dengan gemas, "Tapi kau pun jangan keburu senang dulu,
meski sekarang kau dapat lolos dari tanganku, akhirnya kau akan
menjadi setan di bawah pedangku."
Tiba-tiba teringat olehnya Coh Liu-hiang sudah terluka parah,
andaikan kabur pasti juga belum jauh, jika dikejar mungkin masih
dapat menyusulnya. Ia lihat diatas tanah memang ada beberapa titik darah yang
sudah mengering, segera ia berjongkok dan mulai meneliti, seperti
anjing pelacak saja, akhirnya ia dapat menemukan sederetan bekas
kaki. Lalu ia mengejar ke sana.
Jika ditimbang menurut luka Coh Liu-hiang yang cukup parah itu,
sesungguhnya dia memang tidak mungkin dapat lari jauh dan
dengan cepat pasti akan dapat disusul oleh si baju hitam.
Cuma sayang, si baju hitam telah salah sangka, kembali dia
kena diingusi pula. Sebab pada hakikatnya Coh Liu-hiang tidaklah
lari pergi, dia justru sembunyi di atas pohon itu. Maka dia dapat
mendengar jelas semua kata makian si baju hitam tadi.
Mau tak mau ia hanya menyengir saja. Selama hidupnya
mungkin tidak pernah dimaki orang sedemikian rupa komplet seperti
sekarang. 86 Dilihatnya si baju hitam sudah pergi jauh dan akhirnya lenyap
dari pandangan, mata Coh Liu-hiang sendiri pun mulai terasa
berkunang-kunang, tubuh terasa lemas, akhirnya ia jatuh terbanting
ke bawah pohon. Jika sekarang si baju hitam memutar balik, jelas Coh Liu-hiang
tidak mampu melawan sama sekali. Apapun juga dia manusia,
manusia yang terdiri dari darah dan daging, kalau punggungnya
tertusuk pedang seberat itu, tentu lukanya tidak boleh dibuat mainmain.
Coh Liu-hiang sendiri tidak dapat melihat luka di bagian
punggung, tapi ia tahu lukanya sangat dalam, rasanya tertusuk
hingga tulang punggung, darah yang mengalir dengan sendirinya
juga tidak sedikit. Dalam keadaan seperti sekarang, jelas dia tidak sanggup pulang
ke Ceng-pwe-san-ccng. Dengan napas terengah-engah dia bersandar pada batang
pohon. Selagi bermaksud mencari tempat sembunyi darurat
mendadak didengarnya suara kresak-kresek orang datang menyusur
hutan sana. Napas Coh Liu-hiang serasa terhenti saking cemasnya. Ia pikir
kalau si baju hitam yang kembali, maka jiwanya pasti akan
melayang. Didengarnya suara orang sedang berkata, "Di tempat begini
mana ada cukong murah hati, tampaknya aku tertipu lagi olehmu."
"Untuk apa kutipu kau?" terdengar seorang lagi berkata. "Yang
jelas setiap kali kudatang, sekali mereka memberi, sedikitnya lima
uang." "Lima uang untuk pengemis, apakah orang itu sudah gila?" kata
orang pertama tadi "Kau tidak tahu, pada umumnya lelaki sok pamer di depan orang
perempuan, berlagak murah hati dan royal," kata orang pertama
dengan tertawa. "Sudah tentu yang kumaksudkan bukanlah suami
istri, tetapi kekasih, lelaki takkan royal di depan isterinya."
87 "Memangnya berada dimana kedua lelaki perempuan yang
murah hati itu?" kata orang pertama dengan tertawa.
"Itu, di rumah kecil sana itu," jawab orang kedua. "Tampaknya
mereka sedang mengadakan pertemuan gelap di sana." Dari
suaranya, jelas.kedua orang ini masih anak-anak.
Diam-diam Coh Liu-hiang merasa lega. Waktu ia berpaling ke
sana, dilihatnya dua pengemis berusia belasan tahun sedang
mendatangi dengan tertawa-tawa. Meski pakaian mereka compangcamping,
tapi nampak riang gembira, yang di sebelah kiri bermuka
burik, matanya besar, tampaknya sangat bengal dan suka
mengacau. Yang sebelah kanan berkepala gundul, tampaknya jauh lebih
dugal lagi daripada si burik. Gerak gerik kedua bocah ini kelihatan
gesit, agaknya dasar ilmu silat mereka tidak lemah.
Selama hidup Coh Liu-hiang, hampir tidak pernah segembira
sekarang demi melihat pengemis cilik ini. Belum pernah terbayang
olehnya bahwa dua pengemis cilik ini ternyata sedemikian
menariknya. Sementara si burik dan si gundul juga sudah melihat Coh Liuhiang,
serentak mereka berhenti melangkah, dengan terbelalak
mereka memandang Coh Liu-hiang yang berlepotan darah itu.
Coh Liu-hiang tertawa pada mereka dan menyapa, "Kungfu
bagian kaki kedua saudara cilik tampaknya tidak lemah, apakah
kalian anak murid Kay-pang?"
Si gundul mengerling, jawabnya, "Untuk apa aku harus
menjawab?" "Apakah kalian dapat membawaku menemui Liongthau-toako
(saudara pimpinan) kalian?" tanya Coh Liu-hiang.
Si burik mengerling dan menjawab, "Untuk apa harus kubawa
kau ke sana?" Coh Liu-hiang berkata pula, "Namaku Coh L.u-hiang, kupikir
88 Liongthau-toako kalian pasti suka menemui aku."
"Apa itu Coh Liu-hiang......"
Belum lanjut ucapan si burik, mendadak mukanya dipersen
sekali gamparan oleh si gundul.
Keruan si burik berjingkat kaget, segera ia pun berteriak gusar,
"Kenapa kau memukul aku?"
Sambil mencibir si gundul menjawab, "Jika Coh Hiang-swe saja
kau tidak tahu, biarpun ditempeleng sepuluh kali juga belum cukup
banyak." Sambil meraba mukanya yang sakit, mendadak mata si buruk
terbeliak, serunya, "He, Coh Hiang-swe katamu" Apakah maksudmu
Coh Hiang-swe yang terkenal sebagai Pendekar Harum itu?"
"Selain Coh Hiang-swe ini, darimana ada Coh Hiang-swe yang
lain," ujar si gundul.
"Plok", kembali muka si burik dipersen lagi satu kali gamparan,
tapi bukan ditampar si gundul, melainkan ditampar oleh si burik itu
sendiri. "Wah, tolol benar aku ini......" demikian si burik menggerutu.
******* Di suatu kelenteng bobrok, tampak berkumpul belasan orang
pengemis, semuanya berbaju compang-camping, tapi semangat
mereka tidak seorang pun yang lesu, sekali pandang saja, orang
akan tahu mereka pasti anak murid Kay-pang.
Di tengah ruangan kelenteng itu ada api unggun dengan sebuah
kuali besar, terendus bau sedap daging rebus, tapi daging itu tidak
sembarang daging melainkan daging anjing.
Andaikan di dunia ini ada anjing yang tidak menggigit pengemis,
tapi jarang ada pengemis yang tidak makan daging anjing.
Ini sama halnya kalau waktu minum arak boleh tanpa makan
89 daging anjing, tapi bila makan daging anjing, justru tidak boleh
kekurangan arak Jadi pengemis, daging anjing dan arak, ketiganya
seperti tidak pernah terpisahkan
Pengemis-pengemis yang hadir dalam 'perjamuan' ini
kebanyakan memanggul dua tiga buah kantong atau karung goni.
Satu di antaranya bermuka hitam manis dan berperawakan kecil, tapi
karung goni yang dipanggulnya ada enam buah, pada pinggangnya
tampak terselip sebuah bumbung besi, entah apa gunanya.
Setelah diperkenalkan, baru kemudian Coh Liu- hiang tahu si
pendek kecil ini berjuluk 'Siau-hwe-sin' atau malaikat api kecil, dia
inilah Liongthau-toako, pimpinan Kay-pang ranting setempat.
Waktu itu belasan pasang mata sedang memandangi Coh Liuhiang
dengan penuh rasa hormat dan kagum serta penuh
persahabatan, sebab setiap anggota Kay-pang (organisasi
persatuan kaum pengemis) sama tahu Coh Liu-hiang adalah sahabat
Kay-pang. Inipun selalu ditonjolkan setiap anggota Kay-pang
sebagai suatu kebanggaan.
Saat itu Siau-hwe-sin sedang mendampingi Coh Liu-hiang,
dengan tertawa ia berkata, "Sudah lama Tecu mengagumi nama
kebesaran Coh Hiang-swe, sungguh mimpi pun Tecu tidak
menyangka akan dapat berjumpa dengan Coh Hiang-swe sekarang,
ini benar-benar suatu kehormatan besar bagiku dan juga
kebanggaan bagi para saudara Kay-pang kami."
Sementara itu luka Coh Liu-hiang sudah terbalut dengan rapi,
sekarang dia ikut duduk di lantai dan sedang menikmati tim daging
anjing yang lezat dan bergizi itu.
"Sekarang kalian bangga dan suka padaku, jangan-jangan
selanjutnya akan menjadi bosan dan jemu pula" demikian Coh Liuhiang
berseloroh. Setelah menghirup kuah sop daging anjing lalu ia menyambung
pula dengan tertawa, "Kalian telah menjamu aku makan daging,
tetapi kedatanganku justru akan membikin repot kalian."
Siau-hwe-sin tampak melengak, tanyanya dengan ragu-ragu,
"Apakah......apakah di antara saudara Kay-pang kami ada yang
90 bersalah kepada Hiang-swe?"
"Mana bersalah padaku?" jawab Coh Liu-hiang tertawa "Malahan
ada beberapa urusan ingin kuminta bantuan kalian."
Baru sekarang Siau-hwc-sin tahu duduknya perkara, ia
menghela napas lega dan bertanya pula, "Budi kebaikan Coh Hiangswe
kepada Kay-pang sukar diukur, jangankan Cuma suruh kami
bekerja sesuatu, sekalipun kami disuruh terjun ke laut juga kami
lakukan tanpa pikir."
Kebanyakan anggota Kay-pang adalah lelaki yang gilanggemilang,
Coh Liu-hiang tahu bila bicara sungkan-sungkan dengan
mereka malah akan kelihatan kemunafikan sendiri. Maka dengan
serius ia lantas berkata, "Ada beberapa urusan perlu kuminta
bantuan kalian. Pertama, tolong selidikilah satu orang, orang ini
aslinya bernama Yap Seng-lan, konon suka luntang-lantung di
kotaraja dan cukup terkenal di sana. Tapi menurut perkiraanku, sejak
beberapa hari ini dia pasti berada di sini. Kuharap kalian dapat
mencari tahu dimana dia tinggal dan apa yang diperbuatnya, apakah
ada orang lain pula yang tinggal bersama dia."
Mendengar urusannya cuma disuruh menyelidiki gerak-gerik
seorang bernama Yap Seng-lan, Siau-hwe-sin jadi geli, ucapnya,
"Jangan kuatir Hiang-swe, mencari berita sesuatu adalah pekerjaan
kami yang paling dapat diandalkan. Asalkan di dunia ini memang
ada orang yang bernama Yap Seng-lan, maka berani kujamin pasti
akan dapat diselidiki dengan jelas."
"Dan urusan kedua, kuharap kau menugaskan beberapa saudara
antuk mengawasi gerak-gerik Sih-jikongcu. Sih Bun dari Sih-kehceng,
juga seorang mak inang keluarga Si yang bernama Liang-ma,
awasilah mereka, kemana pun mereka pergi harus dikuntit dan
dicatat apa yang mereka lakukan."
"Inipun pekerjaan mudah," kata Siau-hwe-sin.
"Urusan ketiga, kuharap kau mencari suatu akal untuk
memancing Ting-lojj dari Ting-si-sianghiap (dua pendekar she Ting)
yang waktu ini berada di Ceng-pwe-san-ceng supaya cepat pulang."
"Setelah berpikir sejenak, Siau-hwe-sin berkata, "Urusan ini
91 tanggung beres, pasti akan kami kerjakan dengan baik."
Coh Liu-hiang menghela napas lega, katanya kemudian, "Dan
urusan keempat terasa rada sulit."
"Asalkan pekerjaan yang Coh Hiang-swe serahkan pada kami,
betapapun sulitnya juga pasti akan kami selesaikan," ujar Siau-hwesin
dengan terrtawa. "Baiklah jika begitu," kata Coh Liu-hiang, "Harap kalian bersiapsiap
malam nanti ikut aku pergi menggali kuburan."
Keterangan ini membuat Siau-hwe-sin melenggong benar-benar.
Ia heran mengapa Coh Liu-hiang yang dikagumi ini menjatuhkan
incarannya pada orang mati dan bukan pada perempuan cantik"


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, untuk sejenak ia terkesima dan serba susah.
Mendadak si gundul berseru, "Jika Toako tak berani pergi, biar
aku saja yang ikut pergi."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kau benar-benar berani?"
"Jika orang lain yang menyuruhku menggali kuburan, mustahil
kalau tidak kuajak perang tanding," kata si gundul. "Tapi sekarang
Hiang-swe yang menyuruhku, maka aku pun menurut saja."
"Sebab apa?" tanya Coh Liu-hiang.
Si gundul berkedip-kedip, katanya, "Sebab kuyakin Hiang-swe
tidak mungkin menyuruh kami berbuat kejahatan."
"Betul, aku pun ikut," tukas si burik.
Siau-hwe-sin menghela napas, katanya sambil tersenyum,
"Tampaknya kedua setan cilik ini jauh lebih tahu urusan dari padaku,
juga lebih tahu tentang baik dan busuknya. Bilakah Hiang-swe
menghendaki kami bekerja. Pada waktunya kami pasti siap sedia."
"Tengah malam nanti," kata Coh Liu-hiang, lalu ia pegang tangan
kedua pengemis cilik itu, katanya tertawa," Kalian adalah sahabat
sejatiku, namun terkadang aku dapat membawa kalian melakukan
hal-hal yang jahat. Dua tahun lagi, apabila kalian sudah lebih
92 dewasa, akan kuajak kalian minum dua tiga cawan dan akan
kucarikan duan nona cantik untuk melayani kalian."
Setelah terbahak-bahak, lalu Coh Liu-hiang menyambung pula,
"Semua itupun bukan perbuatan baik, tetapi jelas lebih menarik
daripada menggali kuburan "
Bahwa Coh Hiang-swe telah memandang mereka sebagai
sahabat dan berjanji akan menjamu minum arak bagi mereka,
keruan si gundul dan si burik kegirangan setengah mati.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang berkata pula, "Eh, tadi kalian mestinya
hendak pergi ke rumah kecil itu bukan?"
"Ya, menurut si gundul, katanya di sana ada dua orang yang
royal" tutur si burik. "Ketika pertama kali si gundul ketemu mereka,
sekaligus mereka telah memberinya satu tahil perak, waktu ketemu
lagi kedua kalinya mereka memberi persen pula satu tahil."
"Tapi kepergianku ke sana bukan untuk memeras," sambung si
gundul. "Waktu pertama kalinya, maksudku hanya ingin menangkap
kupu-kupu dan kebetulan memergoki mereka keluar dari rumah kecil
itu. Mereka sendiri berkeras memberikan uang padaku, kalau ada
rezeki, masa kutolak?"
"Dan kedua kalinya" Apakah juga kebetulan saja?" tanya si
burik. Si gundul melototi sekejap, lalu menjawab dengan tertawa,
"Selanjutnya aku pun cuma malas saja ke sana, tidak pernah ku
ketuk pintu dan minta sedekah pada mereka, pula tidak setiap kali
bertemu dengan mereka."
Si burik menjadi dongkol, jengeknya, "Hm, katanya ada rezeki
sama dirasakan, ada kesulitan sama dihadapi. Padahal sudah
belasan kali kau ke sana, tapi tidak pernah mengajak diriku."
"Soalnya mukamu terlalu buruk, kukuatir mereka akan
ketakutan," Ujar si gundul dengan tertawa.
Keruan si burik berjingkrak gusar, "Mukaku buruk, memangnya
kau cakap?" Hm gundul-gundul pacul......"
93 Coh Liu-hiang tertawa geli melihat perang mulut kedua bocah itu,
tapi sorot matanya tampak mencorong, ia bertanya pula, "Kedua
orang itu terdiri dari lelaki dan perempuan bukan?"
"Ya, betul." tutur si gundul. "Keduanya masih muda belia,
pakaian mereka pun mentereng, sekali pandang saja dapat diketahui
mereka adalah putera puteri keluarga hartawan, namun sikap
mereka sangat ramah-tamah."
"Bagaimana bentuk mereka?" tanya Coh Liu-hiang.
"Keduanya biasa saja, tiada sesuatu yang istimewa, tapi juga
tidak jelek, terutama nona itu, bila terawa lantas kelihatan lesung
pipinya yang menarik"
"Bila bertemu lagi lain kali, apakah kau masih kenal mereka?"
tanya Coh Liu-hiang. "Tentu saja kenal," jawab si gundul. "Aku si gundul ini bukanlah
manusia yang suka melupakan budi orang, siapa yang pernah
berbuat baik kepadaku, selama hidupka takkan terlupakan."
Coh Liu-hiang menepuk pundak si gundul sambil memuji,
"Bagus, bagus sekali."
******** Petangnya, hari belum lagi gelap, Ciok Siu-hun sudah menunggu
di tempat yang dijanjikan.
Ia tidak tahu mengapa Coh Liu-hiang berjanji bertemu
dengannya di sini, lebih-lebih tak terpikir olehnya bahwa dia akan
mengadakan janji pertemuan dengan seorang lelaki yang baru
dikenalnya di depan kuburan kakak kandungnya, akan tetapi ia toh
datang juga ke sini. Ia heran mengapa hari ini sedemikian lambat datangnya tabir
malam. Untung tempat ini sangat sepi, sepanjang hari juga tiada
tampak bayangan orang berlalu di situ, apalagi sekarang hari sudah
hampir gelap. 94 Ia pandang makam kakaknya, seharusnya hatinya merasa pilu,
merasa sedih, tapi sekarang bilamana teringat kepada Coh Liuhiang,
hatinya lantas menjadi bahagia, terasa manis urusan lain
sudah terlupakan semua. Kakinya memang masih sakit, namun sapu tangan sutera Coh
Liu-hiang yang digunakan membalut luka kakinya itu sudah
dibukanya dan disimpannya baik-baik., kini dia memakai sepasang
sepatu baru bersulam bunga.
Padahal kakaknya baru meninggal beberapa hari yang lalu dan
dia telah memakai sepatu bersulam bunga, tindakan ini sebenarnya
tidak pantas bagi orang yang sedang berkabung. Ia pun merasa
dirinya salah, tapi sepatu baru itu toh dipakainya juga. Maklumlah, ia
merasa pandangan Coh Liu-hiang senantiasa tertuju kepada
kakinya, ia merasa bila sekarang dia memakai sepatu baru ini, tentu
akan bertambah menarik. Akhirnya hari mulai gelap, angin pun meniup santer, Ciok Siuhun
merasa tubuhnya membara luar biasa panasnya.
"Mengapa belum nampak muncul" Jangan-jangan dia tidak
datang," demikian ia pikir dengan gelisah.
Ia menggigit bibir dan memandang bulan yang baru menongol,
pikirnya, "Bila bulan sudah sebatas dahan pohon sana dan dia masih
belum muncul, akan kutinggal saja."
Tidak lama kemudian bulan sudah melampaui dahan pohon itu
dan dia toh tetap menunggu di situ. Ia menunggu dengan
termenung-menung, saat lain ia jadi mendongkol, pikirnya,
"Seumpama dia datang sebentar lagi juga, takkan kugubris dia."
Hati berpikir begitu, tetapi ketika bayangan Coh Liu-hiang
nampak muncul, maka lupalah segalanya, secepat terbang ia berlarilari
menyongsong ke sana. Akhirnya Coh Liu-hiang datang juga, malahan membawa
pengikut yang tidak sedikit. Baru saja Ciok Siu-hun hendak
menyongsong ke sana, mendadak ia urungkan maksudnya.
Dilihatnya Coh Lhi hiang sedang tersenyum padanya, senyuman
95 yang lembut dan manis. "Untuk apa kau membawa orang sebanyak ini?"tanya Ciok Siuhun,
dengan mendongkol lantas ia berpaling dan melangkah pergi.
Dia berharap Coh Liu-hiang akan menyusulnya, tapi justru tidak
terdengar adanya suara orang berjalan, tanpa terasa ia
mengndurkan langkahnya, ia ingin menoleh, tapi kuatir ditertawakan
orang. Ia menjadi serba salah, ya mendongkol, ya gemas, ya duka, ya
menyesal. Selagi bingung, tiba-tiba terdengar orang tertawa di
sampingnya, entah sejak kapan Coh Liu-hiang sudah menyusul tiba
dan memandangnya dengan tertawa, tertawa yang menggiurkan,
tertawa yang menggemaskan, seakan-akan perasaannya telah dapat
diselami olehnya. Muka Siu-hun menjadi merah. Sebelum Coh Liu-hiang menyusul
tiba, ia sengaja berhenti menunggu, setelah Coh Liu-hiang
menyusulnya, mendadak ia percepat pula langkahnya dan
menerobos lewat di samping Coh Liu-hiang.
Akan tetapi Coh Liu-hiang sempat menariknya dan menegur
dengan suara lembut, "Akan kemana kau?"
Siu-hun menggigit bibir dan menjawab dengan mendongkol.
"Lepaskan, biarkan kupergi, jika engkau tidak sudi bertemu dengan
aku, untuk apa pula engkau mengganduli diriku?"
"Siapa bilang aku tidak suka bertemu dengan kau?" tanya Coh
Liu-hiang. "Jika begitu, anggaplah aku yang tidak suka bertemu dengan
kau, nah biarkan kupergi," kata si nona.
"Kalau kau tidak suka bertemu denganku, mengapa kau
menungguku di sini?" tanya Coh Liu-hiang.
Muka Ciok Siu-hun bertambah merah, matanya menjadi basah
juga, ucapnya sambil membanting kaki, "Ya, betul, aku memang
ingin bertemu dengan kau. Lantaran kau tahu aku pasti
menunggumu di sini, makanya kau membawa penonton sebanyak ini
96 untuk membuktikan betapa kelihaianmu memikat anak perempuan,
dimana-mana kau selalu ditunggu anak perempuan."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Sesungguhnya aku pun tidak
ingin membawa serta mereka, cuma ada ada suatu urusan, terpaksa
aku harus minta bantuan mereka."
"Urusan apa?" si nona menjadi heran.
"Kuminta mereka menggali kuburan ini," tutur Coh Liu-hiang.
"Apa katamu?" teriak Ciok Siu-hun. "Ap......apa kau sudah gila"
Untuk apa kau hendak menggali kuburan kakakku?"
"Ini bukan kuburan kakakmu," jawab Coh Liu-hiang. "Bilamana
tidak keliru dugaanku, ini pasti cuma sebuah kuburan kosong
belaka." "Siapa bilang?" teriak Ciok Siu-hun. "Dengan mata kepalaku
sendiri kusaksikan peti mati kakakku ditanam di sini......"
"Meski peti mati ditanam di sini, tapi di dalam peti pasti tiada
isinya," ucap Coh Liu-hiang sambil mengelus tangan si nona dengan
pelahan, lalu katanya pula dengan lembut. "Percayalah, aku pasti
tidak berdusta padamu, kalau tidak, tentu aku tidak akan
mengajakmu ke sini. Asalkan kau mau menunggu sebentar, tentu
akan terbukti apa yang kukatakan memang tidak keliru."
********** Benar juga, setelah digali, di dalam peti mati memang tiada
mayat segala, hanya berisi beberapa potong batu saja.
Lalu kemana perginya mayat di dalam peti ini" Apakah benar
mayat kesurupan roh dan telah hidup kembali"
Gemetar sekujur badan Ciok Siu-hun, akhirnya ia tidak tahan dan
menangis tergerung-gerung, ratapnya, "O, Cici, kemana perginya
Ciciku" Mengapa Ciciku beruban menjadi batu?"
Jerit tangis dan ratapan memilukan itu menggema jauh dan
menimbulkan kumandang suara yang seram seperti tangisan setan
97 dan juga seperti tertawa iblis, segala setan iblis di sekeliling tanah
pekuburan ini seolah-olah. membanjir keluar dalam kegelapan dan
mengejek. Menghadapi suasana yang seram ini, sekalipun anak murid Kaypang
yang sudah biasa berkecimpung di Kangouw, juga merasa
merinding. Pelahan Coh Liu-hiang merangkul bahu Ciok Siu-hun katanya,
"Apakah kau pun menyaksikan sendiri mayat kakakmu dimasukkan
ke dalam peti oleh mereka?"
"Ya, kusaksikan sendiri, kusaksikan dengan jelas." jawab Siuhun.
"Dan waktu peti mati ditutup dan dipantek, juga kau saksikan?"
"Waktu......waktu peti mati ditutup dan dipantek, mestinya aku
juga ingin menyaksikan, tapi.....tapi bibi kuatir aku terlalu berduka,
aku dipaksa kembali ke kamar."
"Apakah pamanmu sendiri yang memantek peti matinya?" tanya
Coh Liu-hiang. Siu-hun mengiyakan sambil terisak-isak. "Dan sekarang dimana
pamanmu?" "Pada hari kedua setelah Cici dikubur, paman lantas pergi ke
kota." "Kerja apa di kota?"
"Berbelanja tahun baru bagi keluarga Sih." tutur Siu-hun.
Tugas belanja jelas adalah pekerjaan yang enak, di samping
dapat pelesir ke kota, juga pasti dapat banyak kesempatan untuk
korupsi. Maka terbeliaklah mata Coh Liu-hiang, tanyanya pula,
"Apakah tugas belanja tahun baru itu selalu jatuh pada diri pamanmu
?" "Tidak, tahun-tahun sebelumnya paman tidak pernah
mendapatkan tugas itu." jawab Siu-hun.
98 Tersembul senyuman Coh Liu-hiang yang penuh arti dan sukar
diraba, ia berguman, "Tahun-tahun sebelumnya tidak pernah, tapi
tahun ini tugas baik ini mendadak jatuh padanya......Ehm, menarik,
sunguh menarik peristiwa ini."
Sejenak kemudian, mendadak ia bertanya pula, "Apakah tugas
belanja itu diperolehnya dari Sih-jikongcu?"
"Betul, justru lantaran itulah, makanya aku bertambah yakin Cici
pasti dicelakai oleh Sih-jikongcu," kata Siu-hun. "Agaknya dia ingin
menebus dosa, maka sengaja memberikan tugas baik kepada
pamanku.7* Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Mungkin bukan untuk
menebus dosa, tapi......"
"Tapi apa?" sela Siu-hun.
"Persoalan ini sangat rumit, andaikan kukatakan sekarang juga
kau takkan paham," kata Coh Liu-hiang.
"Aku pun tidak perlu paham, aku cuma ingin tahu kemana
perginya mayat Ciciku?" keluh Siu-hun sambil mencucurkan air
mata. Coh Liu-hiang berpikir sejenak, katanya kemudian, "Apabila tidak
meleset dugaanku, tidak sampai tiga hari, mayatnya pasti dapat
kukembalikan kepadamu."
"Kau...... kau tahu dimana beradanya mayat Ciciku?" Siu-hun
menegas. "Sampai detik ini, aku pun hanya menduga-duga saja dan belum
pasti" "Apakah......apakah mayatnya telah dicuri orang?"
"Ehm, bisa jadi," Coh Liu-hiang mengangguk.
"Siapa yang mencuri mayatnya" Memangnya untuk apa" Kan
tiada sesuatu barang berharga yang ikut dikebumikan bersama Cici,
99 apa gunanya orang itu mencuri mayat Ciciku?"
"Sebaiknya sekarang jangan kau tanya terlalu banyak," ucap
Coh Liu-hiang dengan suara lembut. "Kuberjanji padamu, dalam
waktu tiga hari pasti akan kujelaskan seluruh persoalannya."
******* Waktu Coh Liu-hiang pulang sampai di Ccng-pwe-san-ceng,
sementara itu hari pun sudah hampir terang tanah.
Meski Cu Kin-hou belum lagi bangun, tapi demi mendengar


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulangnya Coh Liu-hiang, cepat-cepat ia mengenakan pakaian dan
mendatangi kamar Coh Liu-hiang, begitu berhadapan segera ia
pegang tangan sahabatnya itu dan berkata, "Saudaraku sepanjang
hari tak nampak bayanganmu, sungguh aku sangat cemas.
Kemanakah kau sebenarnya" Adakah kau memperoleh susuatu
berita?" Coh Liu-hiang tertawa, ia tidak menjawab pertanyaan itu, malah
balas bertanya "Bagaimana dengan Ting-jihiap?"
"Sejak tiba, Ting-loji terus mendesak padaku sehingga aku
menjadi kehilangan akal," tutur Cu Kin-hou. "Tapi sampai semalam,
entah mengapa mendadak, ia mohon diri dan pergi tanpa bicara apaapa.
Melihat gelagatnya, mungkin terjadi sesuatu di rumahnya."
Setelah menghela napas, lalu ia menyambung pula sambil
menyengir, "Saudaraku, bukan maksudku mengharapkan
kemalangan orang lain, tapi aku benar-benar berharap terjadi apaapa
di rumahnya sehingga dia tidak sempat mendesak aku lagi."
"Dan bagaimana dengan nona?" tanya Coh Liu-hiang pula.
"Dia mau juga menurut perkataanmu, sepanjang hari dia
mengurung diri di dalam kamar, tidak pernah keluar."
"Dia memang anak yang baik," ujar Coh Liu-hiang.
"Akan...... akan tetapi, sebenarnya bagaimanakah urusannya"
Apa yang harus kulakukan" Aku kan tidak dapat mengulur waktu
terus menerus terhadap pihak keluarga Ting?"
100 Cu Kin-hou memegang erat-erat tangan Coh Liu-hiang, lalu
menyambung pula, "Saudaraku yang baik, betapapun kau harus
berdaya upaya bagiku."
"Daya akal sih ada, cuma Jiko tidak boleh terburu napsu, kukira
tidak lebih dari tiga hari urusannya pasti sudah dapat dipecahkan,"
kata Coh Liu-hiang. "Tiga hari, lagi-lagi tiga hari, memangnya di dalam tiga hari bisa
bisa terjadi suatu mukjizat?" Mestinya Cu Kin-hou ingin tanya lebih
jelas, namun Coh Liu-hiang sudah mengantuk dan terpulas.
Esoknya pagi-pagi, baru saja Coh Liu-hiang bangun tidur
diberitahu bahwa dua orang sedang menunggu di luar.
Seorang anak murid Kay-pang telah diundang ke kamar tamu Cu
Kin-hou dan disuguhi teh. Seorang lagi tidak mau menjelaskan
maksud kedatangannya, malahan tidak mau masuk ke dalam, hanya
menunggu saja di luar pintu.
Coh Liu-hiang mengerut kening demi mendengar keterangan ini,
tanyanya, "Bagaimana macam orang itu?"
Pelayan yang menyampaikan laporan itu bernama Cu Seng,
orang kepercayaan Cu-jiya, dengan sendirinya juga cekatan dan
gesit, ia mengingat-ingat sejenak, lalu menutur, "Wajah orang itupun
biasa saja, cuma gerak-geriknya mencurigakan, bahkan tidak mau
bicara sejujurnya." "O," heran juga Coh Liu-hiang.
"Dia mengaku datang dari jauh,'' tutur Cu Seng pula. "Tapi dari
pakaiannya yang rapi dan bersih itu, hamba yakin dia pasti berdusta,
apalagi kedatangannya juga tidak ada tanda-tanda habis menempuh
perjalanan jauh.'' "Menurut pandanganmu, apakah dia mirip orang terlatih?" tanya
Coh Liu-hiang. "Langkahnya tampak enteng, gerakannya juga gesit, tampaknya
memang memiliki sedikit kepandaian, tapi jelas bukan orang
101 Kangouw, hamba berani garansi selama hidupnya pasti tidak pernah
menjelajah seratus li di luar Siong-kang-hu."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Pantas Cu-jiya suka memuji
kecerdikanmu, melulu pandanganmu yang tajam ini sudah jarang
ada bandingannya di dunia Kangouw."
"Ah, semua ini kan berkat ajaran Jiya dan Hiang-swe," ujar Cu
Seng dengan hormat. "Dan dimanakah Jiya?" tanya Coh Liu-hiang.
"Jiya telah makan obat penenang pemberian Thio-losiansing dan
baru masuk tidur dini hari, maka saat ini belum lagi mendusin," jawab
C u Seng. "Lalu bagaimana dengan nona?"'
"Air muka nona tampak baik baik saja, bahkan juga sudah mau
makan, hanya orang dilarang masuk kamarnya sepanjang hari ia pun
menutup diri di kamarnya......." Cu Seng menghela napas, kemudian
menyambung dengan suara tertahan,"Tentunya Hiang-swe tahu,
dahulu nona tidak pernah bersikap begini, tidak pernah menutup diri
di dalam rumah , hamba merasa persoalan ini rada........ rada aneh."
"Sebentar boleh kau laporkan kepada nona, katakan besok pasti
ada kabar dariku, suruh dia jangan gelisah," kata Coh Liu-hiang
setelah berpikir. "Apakah Hiang-swe sekarang akan menemui saudara cilik dari
Kay-pang yang telah menunggu cukup lama itu?" tanya Cu Seng.
"Ya, akan kutemui dia," kata Coh Liu-hiang.
Jelas si gundul sedang gelisah karena sudah menunggu sekian
lamanya, ketika melihat Coh Liu-hiang, segera ia menyongsong dan
memberi hormat, katanya, "Pekerjaan yang Hiang-swe serahkan
kepada kami itu kini sudah ada hasilnya."
"Cepat juga cara kerja kalian," puji Coh Liu-hiang dengan
tertawa. 102 "Kemarin, begitu selesai Hiang-swe memberi pesan, segera
Toako menyuruh segenap saudara di seluruh kota mencari berita di
setiap pelosok, maka siang tadi masuklah kabar baik."
Coh Liu-hiang tersenyum dan menantikan cerita lanjutannya.
Si gundul lantas menyambung, "Tamu dari daerah utara yang
masuk Siong-kang-hu akhir-akhir ini cuma ada beberapa orang saja,
rata-rata adalah saudagar yang sudah berumur, tentu bukan orang
yang hendak dicari Hiang-swe. Hanya dua orang diantaranya yang
rada mencurigakan, yaitu terdiri dari pasangan suami isteri yang
masih muda dan juga cakap, konon putra bangsawan kotaraja yang
sedang berbulan madu dengan isterinya yang baru dinikahinya.
Akan tetapi dari gerak-gerik mereka, biarpun pelayan hotel juga tahu
kalau mereka berdusta."
"O, apa dasarnya?" tanya Coh Liu-hiang.
"Sebab, mereka mengaku sedang berbulan madu dan ingin
pesiar, akan tetapi sepanjang hari mereka sembunyi di dalam kamar
dan tidak berani keluar. Meski dandanan mereka sangat perlente,
namun sangat pelit, sedikitpun tiada tanda-tanda tuan muda yang
kaya. "Apakah dia she Yap?" tanya Coh Liu-hiang.
"Menurut buku hotel, nama yang tercatat adalah Li Beng-seng,"
tutur si gundul. " Tapi nama kan dapat diubah."
"Betul, apa susahnya pakai nama palsu," ujar Coh Liu-hiang. "Di
hotel mana mereka tinggal?"
"Hotel Hok-seng di gerbang timur," kata si gundul. "Baiklah,
kalian berangkat dulu dan tunggu saja di sana, segera aku
menyusul," kata Coh Liu-hiang.
Dia masih harus menemui dulu orang kedua yang telah
menunggunya di luar rumah. Yaitu seorang berbaju hijau, berdiri di
bawah pohon dengan seekor kuda pulih, tampaknya agak gelisah
karena sudah menunggu sekian lama.
Coh Liu-hiang tidak kenal dia, tapi dia kenal Coh Liu-hiang,
103 segera ia menyongsong dan memberi hormat. "Ada keperluan apa?"
tanya Coh Liu-hiang. "Ada urusan penting, majikan mohon bertemu dengan Hiangswe,"
jawab si baju hijau. "Siapakah majikanmu?" tanya pula Coh Liu-hiang.
"Beliau adalah sahabat lama Hiang-swe." kata si baju hijau
dengan tertawa. "Bila sudah bertemu, tentu Hiang-swe akan tahu
sendiri, kini beliau sedang menunggu di depan sana dan hamba
disuruh mengundang Hiang-swe."
"Kenapa majikanmu tidak datang sendiri dan sebab apa pula kau
tidak boleh menyebutkan namanya," tanya Coh Liu-hiang.
Namun si baju hijau tidak mau bicara apa-apa lagi, ia hanya
munduk-munduk sambil tertawa, namun jelas tertawa palsu, tertawa
yang tak bermaksud baik. Coh Liu-hiang juga lertawa, dengan lekat-lekat ia pandang si
baju hijau, katanya kemudian "Sama sekali kau tidak mau
menjelaskan apa-apa, cara bagaimana kau tahu aku akan ikut pergi
bersamamu?" "Jika Hiang-swe tidak ikut pergi kan berarti untuk selamanya
engkau takkan tahu siapa siapa majikanku, untuk ini pasti Hiang-swe
akan sangat menyesal," ujar si baju hijau.
"Bagus, ternyata majikanmu dapat menyelami ciriku,," kata Coh
Liu-hiang sambil tertawa.
"Memang, jika tidak kutemui dia, mungkin aku takkan enak tidur."
"Majikan juga sudah bilang, di dunia ini tiada orang yang tak
berani ditemui oleh Hiang-swe dan juga tiada tempat yang tak berani
didatangi olehmu," kata si baju hijau dengan tertawa, sembari
melepaskan tali tambatan kuda, ia kebut-kebut debu diatas pelana
lalu berkata pula sambil membungkuk tubuh, "Silakan Hiang-swe."
"O, kuda ini untukku, lalu bagaimana dengan kau?" tanya Coh
Liu-hiang. 104 Hamba tidak diperlukan lagi, kuda ini sanggup membawa Hiangswe
ke sana," kata si baju hijau dengan tertawa.
Rupanya si baju hijau dapat menyelami watak Coh Liu-hiang,
urusan yang semakin berbahaya dan semakin misterius, semakin
menarik pula bagi Coh Liu-hiang. Terkadang, meski sudah jelas
diketahui di depan adalah perangkap, tapi dia malah sengaja terjun
ke sana. Begitulah lantas Coh Liu-hiang berangkat mengikuti kuda putih
itu, ketika melintasi jembatan kecil sayup-sayup dapat didengarnya
suara tertawa si baju hijau tadi, suara tertawa vang mengandung
ejekan dan jahat. Siapakah sebenarnya gerangan majikan si baju hijau" Janganjangan
si pemimpin komplotan pembunuh bayaran ini"
Namun Coh Liu-hiang sangat bergairah, sama riangnya seperti
anak kecil yang sedang main sembunyi-sembunyian atau kucingkucingan,
terasa permainan ini cukup merangsang dan
menegangkan. Lari kuda itu sangat kencang, jelas kuda yang sudah terlatih baik.
Coh Liu-hiang tidak memegang tali kendali, ia membiarkan kuda itu
lari sesukanya, ternyata begitu saja ia menyerahkan nasibnya
kepada kuda putih ini, malahan sama sekali tidak merasa kuatir.
Bahkan ia sengaja memejamkan mata, ia berharap bilamana
nanti ia membuka mata, maka akan dilihatnya sesuatu atau seorang
yang menarik. Lama juga kuda itu berlari ke depan, mendadak kuda
itu berhenti, lalu meringkik. Habis itu suasana terasa sunyi senyap,
namun ia tetap tidak membuka matanya.
Sejenak kemudian terdengarlah suara kresekan pelahan, suara
orang berjalan yang sedang menuju kemari.
Langkah orang ini sangat enteng, sedemikian lirih suara yang
ditimbulkannya, meski kakinya menginjak daun kering, kecuali Coh
Liu-hiang, mungkin di dunia ini tiada orang yang mampu
mendengarnya. 105 Masih berjarak belasan tindak, terasa oleh Coh Liu-hiang hawa
pedang yang tajam, ia tidak terkejut, sebaliknya malah tertawa dan
berkata, "Kiranya kau, sungguh tak tersangka oleh ku,"
Yang berhadapan dengan Coh Liu-hiang sekarang ternyata Sih
Ih-jin adanya. Berdiri tegak dengan pakaiannya yang putih mulus
melambai-lambai tertiup angin, di belakang punggung Sih Ih-jin
menyandang pedang panjang bersarung kulit hitam, caranya pedang
tersandang di punggungnya itu mempunyai gaya tersendiri, yaitu
supaya pedang dapat di lolos pada waktu yang sesingkatsingkatnya.
Sekarang belum lagi pedang terlolos sarungnya, namun hawa
tajam pedangnya sudah terpancar keluar. Sorot matanya tiada
ubahnya seperti hawa pedangnya, maklum pada hakikatnya ilmu
pedang Sih Ih-jin sudah terlatih sedemikian rupa sehingga pedang
dan pribadinya seolah-olah sudah melebur menjadi satu.
Dengan tenang dan tajam ia pandang Coh Liu-hiang, jengeknya,
"Tentunya sudah kau duga akan diriku bukan?"
"Betul, seharusnya kuduga akan dirimu, sampai-sampai Cu-Seng
saja dapat melihat pesuruhmu itu bukanlah oarang yang dari jauh,
orang Sih-keh-ceng mendatangi keluarga Cu sudah tentu tidak mau
mengatakan namanya."
"Soalnya pertarungan maut sudah dekat waktunya, aku tidak
ingin mencari perkara lagi dengan keluarga Cu."
"Tapi di hadapanku mengapa dia juga menolak untuk
mengatakan maksud kedatangannya?"
"Sebab dia kuatir kau tidak berani ikut datang kemari"
"Tidak berani kemari" Kenapa tidak berani" Diundang sahabat,
betapapun aku pasti akan datang."
"Tapi kemungkinan kau tidak berani datang, sebab kau sudah
bukan lagi sahabatku," ucap Sih Ih-jin sekata demi sekata dengan
melotot. Coh Liu-hiang meraba-raba hidungnya, katanya dengan tertawa,
106 "Kan kemarin kita masih bersahabat, mengapa sekarang sudah
bukan lagi?" "Sebenarnya aku ingin bersahabat dengan kau, makanya kau
kubawa ke ruangan senjataku, siapa tahu kau...." Tiba-tiba Sih lh-jin
menarik muka dan menyambung pula, "Siapa tahu kau tiada
harganya untuk dijadikan kawan."
"O, apa kau kira aku.....aku telah mencuri pedangmu?"
"Lantaran sudah kuperlihatkan tempatnya, dengan sendirinya
kau sudah tahu jalannya, kalau tidak masakah kau dapat
menggerayanginya?". Hampir merah hidung Coh-Liu-hiang tersosok-gosok, ucapnya
dengan menyengir, "Jadi....jadi pedangmu memang benar telah
tercuri?" Sih Ih-jin tidak menjawab, ia menunduk memandangi baju sendiri
yang putih itu, lalu berkata pelahan, "Baju ini buatan dua tahun yang
lalu dan baru hari ini aku memakainya, sebab baru sekarang
kutemukan orang yang harus kubunuh, orang yang pantas kubunuh."
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Dan hari ini setelah
aku berkunjung ke tempatmu dan pedangmu lantas dicuri orang,
pantaslah bila engkau mencurigai diriku, akan tetapi bila kubunuh
diri, maka selamanya engkau pun takkan tahu lagi siapa
sesungguhnya pencuri pedangmu itu."
"Siapa lagi kalau bukan kau sendiri?" kata Sih Ih-jin.
"Memangnya aku sengaja memfitnahmu" Jika aku sudah berniat
membunuhmu, kan tidak perlu mencari alasan segala?"
"Dengan sendirinya kau tidak memfitnahku, tapi ada orang lain
lagi yang ingin memfitnah diriku. Dia mencuri pedangmu, tujuannya
supaya kau membunuhku, masakah kau tidak pernah mendengar
akal 'pinjam golok membunuh orang'?"
"Memangnya siapa lagi yang memfitnah dan ingin
membunuhmu?" "Bicara terus terang, orang yang ingin mencelakai diriku
107

Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jumlahnya tidak sedikit." tutur Coh Liu-hiang sambil tersenyum getir.
"Kemarin aku malahan telah kena disergap orang dan terkena........."
"Kau terluka?" tukas Sih Ih-jin ragu.
"Terluka kan bukan sesuatu kebanggaan, kenapa aku harus
berdusta?" jawab Coh Liu-hiang dengan gegetun.
"Siapa yang melukaimu?" tanya Sih Ih-jin.
"Ialah pentolan pembunuh bayaran yang kucari itu."
Sorot mata Sih Ih-jin yang tajam menyapu sekejap di tubuh Coh
Liu-hiang, lalu bertanya pula, "Terluka di bagian mana?"
"Punggung," jawab Coh Liu-hiang.
"Hm, masakah orang menyerangmu dari belakang dan Coh
Hiang-swe kita yang gagah berani sama sekali tidak tahu?" jengek
Sih-Ih-jin. Memang, hal ini seharusnya tidak mungkin terjadi atas diri Coh
Liu-hiang, akan tetapi kenyataan memang sudah terjadi. Ia meraba
hidung pula dan menjawab, "Waktu kutahu apa yang terjadi, namun
sudah terlambat untuk mengelak."
"Kalau engkau seringkali disergap orang dan masih hidup
sampai sekarang, sungguh perjuangan vang tidak mudah," kata Sih
Ih-jin. "Cayhe memang tidak jarang disergap orang, akan tetapi untuk
pertama kali inilah aku terluka," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Apakah pedangnya sangat cepat?"
"Tentu saja cepat, bahkan cepat luar biasa, selama hidupku ini
belum pernah melihat pedang secepat itu," tutur Coh Liu-hiang
dengan gegetun. Sih Ih-jin berpikir sejenak, katanya kemudian, "Ada jago pedang
secepat itu, ehm, aku jadi ingin bertemu dengannya."
108 Kembali Coh Liu-hiang tersenyum, senyuman yang aneh dan
penuh rahasia, ucapnya pula, "Jika dia sudah datang ke sini, cepat
atau lambat Sih Ih-jin pasti akan bertemu dengannya."
Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya 1 Sepasang Pedang Pusaka Matahari Dan Rembulan Karya Aminus, B_man, Kucink Payung Sengkala 6
^