Pencarian

Mencari Bende Mataram 2

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 2


anak buah sang Dewaresi. Jangan biarkan lolos!"
Pendekar awut-awutan itu memang Ki Hajar
Karangpandan. Seperti diketahui, ia tak pernah menetap
di padepokannya. Sebagian besar hidupnya, berkelana
tak keruan juntrungnya. Kerapkali ia melintasi daerah
Banyumas. Dahulu dalam perantauannya ia bertemu
dengan rombongan sang Dewaresi yang membawa pu-
lang dua pusaka sakti itu dari Cirebon, la
menghadangnya dan merampasnya yang kemudian
diserahkan kepada Wayan Suage dan Made Tantre.7)
Sekarang pun, secara kebetulan pula ia mendengar
peristiwa yang mirip pula.
Itulah disebabkan, lonceng tanda bahaya Titisari yang
disebarkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Begitu
mendengar dan menerima lonceng tanda bahaya itu,
segera ia berangkat menuju ke Kota Waringin. Ia
meskipun nampak edan-edanan, sesungguhnya seorang
yang berotak cerdas. Di Kota Waringin segera ia men-
cium berita pertempuran yang menarik. Pertempuran
antara Kakek Wasiman dan serdadu-serdadu Kompeni.
Dan Kakek Wasiman yang bongkok tiba-tiba bisa berdiri
tegak. Dari mulut ke mulut kejadian aneh itu dibicarakan
orang. Karena perjanjian adu kepandaian mereka diu-
mumkan secara terang-terangan, maka gampanglah ia
memperoleh keterangan. Segera ia menyusul dengan
menjejak perjalanan rakit Sorohpati. Ditepi sungai ia
7baca Bende Mataram jilid 1
mendengar keterangan para pengayuhnya. Cepat ia
melesat dan menyatroni perkemahan.
Kartawirya kenal Ki Hajar Karangpandan. Karena itu
segera ia mengenalnya pula. Sebaliknya Ki Hajar
Karangpandan semenjak dahulu tidak begitu
menggubrisnya. Itulah sebabnya ia heran, mengapa
dirinya segera dikenal. Namun sebagai seorang pendekar
yang berpengalaman, ia hanya tercengang sejenak.
Kemudian kumatlah sifat gendengnya. Dengan tertawa
berkakakkan ia berkata mengguruh.
"Hai! Hai! Di sini pun ada binatang yang mengenal
aku. Bagus, bagus! Ini kumpulan binatang dari mana?"
Orang berjenggot panjang yang justru berada
didepahnya merasa paling tersinggung kehormatannya.
Terus membentak. "Bangsat! Aku Didi Kartasasmita, kau anggap
binatang?" "O, tidak! Tidak! Kau cuma binatang berjenggot!
Bukankah kambing sembelihan?" sahut Ki Hajar
Karangpandan. Dalam hal mengadu mulut jahil, Ki Hajar
Karangpandan paling ahli. Jaga Saradenta dan Wirapati
dahulu kena terikat perjanjian selama dua belas tahun
karena pandainya memutar balik dan melagui kata-kata
jahil. "Bangsat! Kau benar-benar harus dihajar mampus!"
teriak Didi Kartasasmita.
Setelah berkata demikian, ia menerjang dengan
geram. Hajar Karangpandan tentu saja tak mau dirinya
kena diserang. Dengan tertawa berkakakkan, ia
melawan. Hebatnya masih bisa ia merabu yang lain-lain,
sehingga masing-masing kebagian gaplokan pulang
pergi. Ki Hajar Karangpandan memang memiliki serupa ilmu
yang sangat luar biasa. Dia bisa bergerak cepat sambil
menghantam. Tangan dan kakinya nampak
berserabutan, tetapi tiap gerakannya mengenai
sasarannya dengan jitu. Walaupun sedang dikerubut
puluhan orang, ia bisa tertawa berkakakkan seolah-olah
sedang bermain olahraga. Dan menyaksikan
ketangguhannya, diam-diam Watu Gunung terkesiap.
Pikirnya, "Melawan dia, tak usah aku kalah. Tapi kalau
sampai terlibat bisa membuat runyam. Baiklah aku
mengompres anak Sorohpati terlebih dahulu." Dan
setelah memperoleh pikiran demikian, dengan sekali
melesat ia menyambar tubuh Astika dan dibawanya
kabur. Hajar Karangpandan kaget mendengar suara kesiur
angin dahsyat. Cepat ia menoleh.
Begitu melihat Astika kena dibawa kabur Watu
Gunung, segera hendak ia memburu. Tetapi Didi
Kartasasmita menghadangnya.
"Kau hendak kabur kemana?" bentaknya.
KI Hajar Karangpandan tercengang sejenak. Kemudian
berbalik sambil menghantam.
Bentaknya pula. "Kurang ajar kau kambing berjenggot
berani berlagak didepanku?"
Hebat pukulannya sampai Didi Kartasasmita terpaksa
mundur tiga langkah. Dan kesempatan itu dipergunakan
Ki Hajar Karangpandan. Sekali melompat ia mendekati
Gandarpati dan berkata perlahan.
"Kenapa kau tidak lantas lari" Menunggu apa lagi"!"
Gandarpati seperti tersadar. Cepat ia memeluk tubuh
gurunya dan melesat menerjang barisan pengepung.
Sebentar saja tubuhnya hilang dari pengamatan.
Sekarang tinggallah Ki Hajar Karangpandan
menghadapi mereka. Hati pendeta gendeng itu jadi
berlega kini. Dengan tertawa lebar ia membagi pandang.
Sebaliknya Didi Kartasasmita mendongkol bukan main.
Seperti seorang pemain kartu, ia merasa sudah
kehilangan pokoknya. Namun ia tak sudi kepalang
tanggung. Dengan menggerung ia menerjang. Walaupun
demikian, melihat kegesitan lawan tak berani ia terlalu
mendesak. Brajabirawa yang menggeletak di atas pembaringan,
kagum menyaksikan pertarungan itu. Untuk sesaat ia
melupakan rasa sakitnya karena hatinya tegang. Setelah
menghela napas, ia berkata kepada dirinya sendiri: Di
dunia yang lebar ini, benar-benar terdapat orang pandai
banyak sekali. Kalau aku tidak kabur sekarang, tunggu
apalagi" Memikir demikian, dengan beringsut ia turun dari
pembaringan. Ia menggapai dua orang bawahannya dan
membisiki suatu perintah. Buru-buru dua orang
bawahannya melindungi. Kemudian menggotongnya
keluar perkemahan. Ia bebas kini. Tetapi dunia
selanjutnya memberi kesempatan lagi padanya untuk
melakukan perbuatan-perbuatan licik dikemudian hari.
Beberapa tahun kemudian setelah melakukan perbuatan-
perbuatan maksiat, ia kedapatan mati di tengah
jalan.Tak terang sebab musabab kematiannya. Entah
kena penyakit sampar entah kena aniaya orang. Maka
terasalah dalam hati manusia ini, bahwa sesungguhnya
babak perjalanan terakhir tiap insan sebagian besar
ditentukan oleh laku perbuatannya sendiri.
Dalam pada iiu, Ki Hajar Karangpandan merasa cukup
sudah merintangi mereka mencapai tujuannya. Tiba-tiba
saja ia tertawa terbahak-bahak.
"Hai, sudahlah, sudahlah! Cukup aku berkenalan
dengan moncongmu. Hm, hm! Seekor pun tiada yang
berharga." Setelah berkata demikian, kedua kakinya
menjejak. Tubuhnya melesat tinggi dan hinggap di atas
palang langitan.8) Di atas penglari ia tertawa terbahak-bahak lagi sambil
mengelus-elus perutnya. Tinggi penglari itu kurang lebih
empat meter. Meskipun di antara anak buah Brajabirawa
terdapat ahli-ahli silat, namun mereka tak sanggup
melompat ke atas penglari dengan sekali melesat.
Didi Kartasasmita yang berjenggot panjang
sesungguhnya seorang pendekar jempolan. Meskipun
kedudukannya dalam perkemahan itu menjadi bawahan
Brajabirawa, namun sesungguhnya dialah paman
gurunya. Tegasnya, dialah adik seperguruan pendekar
Watu Gunung. Karena itu, ilmu kepandaiannya paling
tinggi di antara mereka. Maka dapatlah dimengerti,
bahwa ia bergusar setinggi langit kena dikocok Hajar
Karangpandan. Dengan gregetan ia menghampiri tiang.
Maksudnya hendak memanjat menyusul. Dasar Ki Hajar
Karangpandan berwatak edan-edanan, ia girang luar
biasa melihat maksud Didi Kartasasmita. Ia menunggu
J) palang langitan = penglari
sampai Didi Kartasasmita merayap ke atas. Tapi belum
sampai mencapai penglari, kakinya lantas mendupak.
Untung Didi Kartasasmita bukan orang lemah. Buru-
buru ia memiringkan kepalanya. Tangannya bergerak
hendak menotok urat nadi. Sudah barang tentu Hajar
Karangpandan mengenal bahaya. Segera ia menutup
jalan darahnya, sehingga totokan Didi Kartasasmita tidak
seperti yang diharapkan. Sadar bahwa ia kena suatu
jebakan, buru-buru menarik jarinya. Tapi pada saat itu,
kaki kiri Hajar Karangpandan mendupak. Kali ini Didi
Kartasasmita mati kutu. Itulah disebabkan tangan kirinya
terpaksa dipergunakan untuk menggelendot tiang. Bres!
Mukanya kena dupak dan tubuhnya lantas melorot.
Lucu keadaan Didi Kartasasmita. Karena tubuhnya
pendek kecil, ia nampak meringkas sewaktu melorot
turun. Mulut jahil Hajar Karangpandan lantas mengoceh.
"Hooeee binatang! Lihatlah! Kambing berjenggot bisa
berak juga. Horeee..."
Bukan main mendongkolnya Didi Kartasasmita.
Dengan memaksa diri ia memeluk tiang erat-erat
untuk mempertahankan diri. la berhasil dan dengan
mengerahkan tenaga beringsut-ingsut memanjat lagi.
"Hai, hai, hai! Monyet bisa merangkak pula! Cuh! Cuh!
Cuh!" teriak Ki Hajar Karangpandan. Ludahnya lantas
menyemprot bagaikan hujan deras.
Dengan memejamkan mata, Didi Kartasasmita
menerima hujan ludah itu. Karena sangat lebatnya, ia
mengguncang-guncangkan kepalanya. Jenggotnya yang
panjang menyabet-nyabet kalang kabutan seperti seekor
anjing. Hebat sabetan janggut itu. Suatu kesiur angin
tajam menghantam dada. Hajar Karangpandan kaget. Namun selain edan-
edanan, ia berani pula. Ingin ia mencoba tenaga lawan.
Tangannya dikibaskan dan terdengarlah suatu bentrokan
nyaring. Heran, Hajar Karangpandan. Segera insyaflah
dia, bahwa jenggot itu tidak boleh dibuat gegabah. De-
ngan tangan kiri menyekal19) penglari, ia membuang
dirinya ke bawah dan bergelantungan seperti anak kecil
bermain ayun-ayunan. Dalam gebrakan itu, semua orang tahu bahwa Didi
Kartasasmita bukan tandingan Hajar Karangpandan. Jika
mau bersungguh-sungguh gampang saja ia mendupak
Didi Kartasasmita terpelanting dari ketinggian. Kartawirya
yang menyaksikan hal itu segera berteriak, "Naik, naik,
naik!" Empat orang bawahannya buru-buru memanjat tiang.
Enam orang lagi menyusul dari tiang lainnya. Dan
melihat naiknya orang-orang itu, timbullah kegembiraan
dalam hati Hajar Karangpandan yang berwatak angin-
anginan. Kenakalannya lantas saja kumat. Dengan sekali
berayun ia berdiri di atas penglari. Lalu membuka
celananya. Berteriak nyaring.
"Hayo, cepatan naik! Hayo, cepat naik!"
Dan begitu mereka berada di tengah perjalanan,
kencing Hajar Karangpandan berhamburan. Keruan saja
mereka jadi kelabakan. Tanpa menghiraukan segala,
mereka lantas melorot buru-buru dan jatuh di atas tanah
dengan tumpang tindih. Dan melihat hal itu, Hajar
Karangpandan tertawa berkakakkan. Hatinya puas bukan
main. "Nah, kalian sudah kebagian semua. Sekarang,
selamat tinggal!" katanya. Kemudian membentak dengan
bengis. "Aku mau pergi. Tapi awas, siapa yang berani
mengejar benar-benar aku tak segan-segan lagi
menghajar batok kepala kalian. Kalian dengar" Nah,
selamat malam!" Dengan gerakan cepat, tiba-tiba
tangannya sudah menggenggam sebatang pedang.
Sekali pedangnya digerakkan, tenda perkemahan rantas.
Tubuhnya lalu melesat membobol atap. Sebentar
terdengar langkahnya. Kemudian lenyap.
Kadatangan Hajar Karangpandan mengacau
perkemahan Brajabirawa, benar-benar merupakan
malaikat penolong bagi Gandarpati. Meskipun
memanggul tubuh gurunya, masih dapat ia membobol
kepungan. Itulah disebabkan perlindungan pendeta
edan-edanan itu. Maka untuk kesekian kalinya
terbuktilah, bahwa meskipun nampaknya edan-edanan
sesungguhnya Hajar Karangpandan adalah seorang
pendekar yang pandai menggunakan kecerdasannya.
Sewaktu Hajar Karangpandan mempermain-mainkan
Didi Kartasasmita, Gandarpati sudah jauh meninggalkan
perkemahan. la lari terus mengarah ke timur. Niatnya
hendak kembali pulang ke pondok gurunya. Hatinya
tegang luar biasa, takut kalau-kalau ia diburu. Justru
hatinya tegang, ia melupakan segalanya. Tapi setelah
merasa dirinya aman, barulah ingatannya terbuka.
"Guru! Benar-benar Guru sampai hati meninggalkan
aku?" katanya perlahan. Hatinya pilu mendengar
ucapannya sendiri. Tak terasa ia menangis menggerung-
gerung. Tiba-tiba teringatlah dia kepada Astika yang
dibawa kabur Watu Gunung. Entah bagaimana nasib adik
seperguruannya itu. Hatinya berduka, kacau, kecewa,
menyesal dan bingung. Ia merasa diri tak berdaya sama
sekali. Maka tangisnya tambah menggerung-gerung.
Adalah pada saat itu di belakang suatu ketinggian
mendadak terdengar suara luar biasa. Kemudian
terdengar suara seorang wanita yang sangat merdu.
"Siapa menangis di tengah malam buta begini?"
Gandarpati waktu itu dalam puncaknya suatu kesedihan.
Ia tak memedulikan pertanyaan itu. Namun mendengar
suara itu, hatinya seperti terhibur. Tanpa merasa ia
melirik.

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kala itu di atas, bulan sipit menghias udara. Walaupun
cahayanya semu, tapi cukup terang benderang bagi
seorang seperti Gandarpati yang memiliki mata tajam, la
melihat munculnya seorang wanita yang bersikap agung
dan cantik luar biasa. Baru wanita itu mengucap
demikian, suatu bayangan berkelebat mendampingi. Dia
seorang laki-laki berperawakan tegap dan berpem-
bawaan tenang. "Aji, lihatlah! Siapa yang dipanggul itu!" ujar wanita itu
sambil menuding. Laki-laki yang berada disampingnya melayangkan
pandang, dengan berdiam diri. Luar biasa tenang
sikapnya. Dan melihat ketenangan itu, tak terasa tangis
Gandarpati berhenti dengan mendadak. "Siapakah
mereka?" Selagi Gandarpati sibuk menduga-duga, sepasang pria
wanita itu datang menghampiri. Begitu melihat tubuh
siapa yang berada dalam panggulan, wanita itu kaget
sampai memekik perlahan. "Hai, Paman Sorohpati! Engkaukah muridnya?"
Mendengar pertanyaan itu, entah apa sebabnya tiba-
tiba Gandarpati membanting dirinya dan menangis
menggerung-gerung kembali dengan amat pedihnya.
Kedua suami isteri itu sesungguhnya Sangaji dan
Titisari. Setelah kawin, mereka kembali ke Jawa Barat
untuk memimpin perjuangan melawan Kompeni Belanda.
Pengaruh Himpunan Sangkuriang makin lama makin luas.
Banyak pendekar datang menggabungkan diri.
"Aji! Lihatlah! Siapa yang dipanggul itu?" ujar wanita
itu sambil menuding. Laki-laki yang berada disampingnya
melayangkan pandang, dengan berdiam diri. Luar biasa
tenang sikapnya. Justru hal itu, membuat hati Titisari curiga. Sebagai
seorang wanita yang berakal, ia lebih banyak
menggunakan kecerdasan otaknya daripada perasaannya
belaka. Untuk mengetahui siapa lawan siapa kawan, ia
lantas membuat suatu jebakan. Sengaja ia menulis
ukiran pusaka Bende Mataram di atas suatu kertas yang
telah dihafalkan diluar otaknya kala menolong Sangaji
sewaktu luka parah di dalam benteng kuno dahulu.9)
Surat itu lalu dipercayakan kepada Sorohpati dan
diperintahkan menyimpan di Jawa Tengah. Kemudian,
dengan pertolongan Manik Angkeran, ia sengaja
membuat berita desas-desus tentang wasiat tulisan sakti
itu. Watu Gunung kena terjebak. Ia memburu ke Jawa
Tengah dengan membawa pengikut-pengikutnya yang
terpercaya. Titisari segera membunyikan lonceng tanda
bahaya. Ayahnya dan sekalian pendekar bekas rekan-
rekannya dahulu dihubungi dengan surat pemberitahuan.
Ia sendiri menyusul ke Jawa Tengah bersama Sangaji.
Demikianlah malam itu mereka berdua melintasi wilayah
Banyumas. Dan dengan tidak terduga-duga bertemu
Gandarpati yang sedang berlari-larian dengan menangis
menggerung-gerung. Menangis menggerung-gerung di
tengah malam buta dengan berlari-larian ditambah pula
dengan menggendong sesosok tubuh, benar-benar
menarik perhatian. Sekaligus terbangunlah sifat usilan
J) baca Bende Mataram jilid 9
Titisari. Sekali melesat ia menghampiri Gandarpati dan
melepaskan pertanyaan tadi.
Gandarpati sendiri, belum pernah melihat wajah
Titisari dan Sangaji. Ia hanya mendengar nama mereka
dari tutur kata gurunya. Seperti diceritakan di atas, entah
apa sebabnya, mendadak ia membanting dirinya dan
menangis menggerung-gerung makin menghebat, la
merasa diri seperti bertemu dengan malaikat pelindung
jagad. "Eh, siapa engkau?" Titisari mengulangi per-
tanyaannya. "Kau murid Paman Sorohpati?"
Dalam tangisnya, Gandarpati memanggut. Dan melihat
anggukan itu, hati Titisari tercekat.
"Kenapa gurumu" Coba terangkan! Kami berdua orang
sendiri. Kau pernah mendengar nama Sangaji dan
Titisari" Inilah kami berdua."
Mendengar keterangan itu, Gandarpati kaget luar
biasa sampai mencelat bangun. Tangisnya berhenti
dengan mendadak setelah mengamat-amati wajah
mereka berdua dengan terlongong-longong sejenak,
kemudian ambruk memeluk kaki mereka. Dan kembali ia
melagukan tangisnya. "Tuhan memang adil! Tuhan memang adil!" katanya di
antara sedannya. Meskipun menangis tapi tangisnya kali
ini tidaklah sesedih tadi. Ada rasa syukur terbesit di
antara sedu-sedannya. Sangaji yang selamanya berhati sabar dapat
membiarkan Gandarpati memuntahkan semua
perasaannya. Sebaliknya Titisari yang berhati lincah
sebentar saja sudah merasa risih. Tetapi dasar otaknya
cerdas luar biasa, segera ia dapat menebak sembilan
bagian. "Ini perbuatan Watu Gunung, bukan?"
Gandarpati tercengang. Dan kembali lagi tangisnya
berhenti. Katanya tak jelas.
"Bagaimana tuanku puteri mengerti?"
"Pendekar mana yang dapat mengalahkan gurumu
selain Watu Gunung?" sahut Titisari dengan gampang.
Kami berangkat kemari untuk menyusulnya. Dimana dia
sekarang berada" Pastilah dia sudah mengantongi
sesuatu." "Benar." Gandarpati heran. "Tapi yang dibawa kabur
adalah adik seperguruan kami, Astika. Surat wasiat
tuanku puteri dibawa Guru ke liang kubur.
Mendengar keterangan Gandarpati, Sangaji nampak
bergerak. Memang dialah yang tahu benar asal-usul
Astika. Karena itu hatinya tergetar.
"Mari kita susul!" ajaknya dengan perkataan pendek.
"Benar," sahut Titisari. Tiba-tiba menggoda, "Kau
berani melawan Watu Gunung?"
Dalam kesengitannya dahulu, pernah Sangaji
menghantam dada Watu Gunung dengan ilmu pukulan
ciptaan Kyai Kasan Kesambi.10) Namun mendengar
godaan Titisari dengan pendek ia menjawab, "Entahlah."
"ldih! Makin tua, kau makin jadi penakut."
Sangaji tertawa. 10) baca Bende Mataram jilid 7
"Kau hendak membawa jenasah gurumu kemana?"
Titisari mengalihkan pembicaraan kepada Gandarpati.
"Pulang," jawab Gandarpati sederhana.
"Baiklah. Kau rawat jenasah gurumu baik-baik.
Perkara anak asuhnya, kamilah nanti yang mencarinya,"
kata Titisari. Perlahan-lahan, Gandarpati melepaskan pelukannya.
Lalu mundur beberapa langkah.
Baru saja ia menegakkan kedua kakinya, mereka
berdua telah hilang dari pengamatan. Bukan main
herannya Gandarpati. Selama hidupnya baru kali itu
menyaksikan kesanggupan sepasang manusia yang
terdiri dari darah dan daging seperti dirinya juga. Kalau
saja ia tak menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri,
pastilah hanya pantas menjadi suatu dongengan belaka.
Masakan manusia bisa bergerak secepat itu. Tiba-tiba
saja terdengarlah suara bergelora menusuk udara. Hebat
suara itu, sampai hatinya tergetar. Itulah suara Sangaji
dan Titisari yang mengumandangkan tantangan terhadap
Watu Gunung. Dan mendengar suara bagaikan guruh itu,
Gandarpati kian terlongong-longong. la menjadi bengong
lama sekali. Tatkala itu Watu Gunung sudah lari belasan pal dari
perkemahan. Ia seorang pendekar yang sudah banyak
makan garam. Tak sudi ia lari mengarah ke barat,
sebaliknya ia malahan ke timur. Maksudnya terang.
Meskipun tak takut bakal kena buru, tetapi ia perlu
menjalankan suatu tipu muslihat. Selagi demikian, Astika
yang berada dalam pelukannya berontak.
"Tua bangka! Hendak kau bawa kemana aku?" Watu
Gunung tertawa mendengus.
"Tergantung kepada keadaanmu sendiri. Kalau kau
mau terus terang, jiwamu bakal selamat. Sebaliknya
kalau tidak "hm" aku bisa membuatmu mati tidak, hidup
pun tidak. Kau tak percaya?"
"Aku bukan anakmu. Lepaskan aku!" teriak Astika.
"Itulah gampang. Nah, tunjukkan dahulu di mana
ayahmu menyimpan surat wasiat itu!"
"Bagaimana aku tahu?" sahut Astika. Memang, ia
benar-benar tidak mengetahui.
Tapi mana bisa Watu Gunung percaya kepada
keterangannya. Sengit ia mengancam.
"Untuk sementara kubiarkan engkau berlagak pilon.
Tapi rasakan sebentar lagi. Aku akan membuatmu
menjadi boneka permainan...."
Astika yang beradat panas tidak takut. Ia berontak
dan menghantam serabutan. Meskipun hantamannya
tidak bisa menyakiti, namun hati Watu Gunung
mendongkol. Tangannya bergerak dan menampar pipi
Astika sampai melempuh. Astika menjerit. "Tolong!" Nyaring jeritannya dalam malam buta. Tiba-tiba
berkelebatlah suatu bayangan yang langsung menubruk
Watu Gunung. "Berhenti!" bentak bayangan itu seraya melintangkan
tongkatnya. "Binatang! Siapa?" Watu Gunung membalas
membentak. Tangannya bergerak menangkap tongkat
yang dilintangkan didepannya. Diluar dugaan, bayangan
itu dapat menggerakkan tongkatnya dengan gesit pula
tak ubah sebilah pedang. Watu Gunung kaget. Buru-buru
ia menarik tangannya dan menyampok. "Lepaskan!"
Gerakan Watu Gunung adalah gerakan meminjam
tenaga lawan. Ia menyampok sambil menyambar. Tapi
kali ini pun, sambarannya memukul udara kosong. Watu
Gunung heran dan kaget bukan main.
"Siapa?" bentaknya.
"Kau siapa membawa-bawa seorang gadis kecil?"
pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan.
"Hm! Kau kira siapa aku" Coba terka!" damprat Watu
Gunung. "Siapa sudi main tebak di malam hari buta begini" Aku
Demang si Galuh Jaga Saradenta selamanya main
terang-terangan," kata bayangan.
Memang dialah Jaga Saradenta yang dahulu, rekan
Wirapati, Guru Sangaji semasa umur belasan tahun.
Setelah Sangaji dan Titisari terangkap jodohnya, ia
pulang ke kandang, la jadi dapat mengurus wilayahnya
kembali. Pada suatu hari ia menerima sepucuk surat
edaran dari Titisari yang memberitahukan tentang sepak
terjang Watu Gunung. Begitu menerima surat edaran itu,
sering ia meronda wilayahnya sendiri. Dan malam itu ia
justru ke sampok Watu Gunung yang sedang kabur
dengan membawa anak asuh Sorohpati.
"Ah! Kaulah Jaga Saradenta guru si tolol dahulu?" ujar
Watu Gunung dengan tertawa. "Inilah justru kebetulan
sekali." "Sebenarnya kau siapa?"
Watu Gunung tidak menjawab. Di luar perhitungan,
Astika yang berada dalam pelukannya membuka
mulutnya. "Tolong! Dialah si bangsat Watu Gunung yang...."
"Tutup mulut!" bentak Watu Gunung dan membanting
Astika ke tanah sampai bergelundungan. Untung,
pendekar itu tidak bermaksud membunuhnya. Ia hanya
menggunakan dua bagian tenaganya. Walaupun
demikian, Astika jatuh bergulingan dengan tak sadarkan
diri. Sekarang, Jaga Saradenta tidak bersangsi-sangsi lagi.
Dengan membentak, ia menyodok-kan tongkatnya. Watu
Gunung menangkapnya berbareng membetot. Ia percaya
akan tenaga sendiri. Tapi mimpi pun tidak, bahwa
lawannya adalah seorang pendekar ahli tenaga luar. Mes-
kipun ia mengerahkan tenaga sampai tujuh bagian, tetap
saja tongkat itu tak dapat terbetot11) dari genggaman.
Namun ia tidak menjadi gugup. Cepat ia menyodokkan
dengan membarengi suatu sambaran.
Jaga Saradenta kaget bukan kepalang. Dadanya tiba-
tiba menjadi sesak dan ia terdorong mundur sampai
terhuyung tiga langkah. Memang selain usianya kini
sudah bertambah menjadi lanjut, tenaganya masih kalah.
Namun ia masih tetap galak dan berangasan seperti
11) terbetot = terlepas dahulu, la cepat penasaran. Tanpa memperhitungkan ke-
mampuan diri, tongkatnya berputar membuat serangan
balasan. Watu Gunung sendiri tidak sudi kena libat. Begitu
berhasil mengundurkan Jaga Saradenta, ia melompat
menyambar Astika dan dibawanya melesat kabur.
"Binatang! Kau hendak lari ke mana?" bentak Jaga
Saradenta. Watu Gunung tidak memedulikannya. Ia mengerahkan
tenaga dan lari secepat kilat.
Pikirnya di dalam hati, "Dia guru Sangaji. Kalau aku
melukai apalagi sampai membunuhnya, aku bisa disatroni
sebelum aku berhasil menekuni surat wasiat. Inilah
artinya aku mencari penyakitku sendiri. Lebih baik aku
kabur jauh-jauh." Dan dengan pikiran itu, ia kabur seperti dikejar iblis.
"Hm, keparat anak ini." Ia menggerendeng. "Karena
gara-garanya hampir saja membuat runyam...."
Astika kala itu telah memperoleh kesadarannya
sendiri. Teringatlah dia, bahwa ia tadi kena banting.
Meskipun terasa masih sakit, namun hatinya lebih sakit


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Dengan menggertak gigi ia memaki kalang kabut.
"Kau Watu Gunung benar-benar seperti batu gunung!
Kau biadab! Kau tak tahu malu, kau tua-bangka...
Kau...." "Binatang kecil! Masih saja kau mengumbar mulut"
Apakah kau mencari mampusmu sendiri?" bentak Watu
Gunung geregetan. "Lihat, apakah ini?" Ia
memperlihatkan sebatang jarum. "Inilah jarum beracun.
Kalau sampai menusuk kulitmu, kau bakal kelojotan
seperti cacing kena bara. Dan kau bakal tidak hidup dan
tidak mati selama tiga hari. Dagingmu akan membusuk
dan kau bakal mampus dengan kesakitan luar biasa.
Apakah kau menghendaki aku mencobamu?"
Melihat jarum dan keterangan Watu Gunung, betapa
pun juga hati Astika mencelos. Teringat akan wajahnya
yang bengis, pendekar itu bisa membuktikan
ancamannya. Seluruh tubuhnya lantas saja jadi bergidik.
Mendadak saja, pada saat itu terdengarlah suara
kesiur angin tajam. Serupa benda melesat di udara dan
memancarkan cahaya terang. Itulah panah berapi Jaga
Saradenta yang mengabarkan tanda bahaya.
Watu Gunung mengutuknya kalang kabut. Justru pada
detik itu suatu benda melesat menyambar dadanya.
Secara wajar, tangannya bergerak menangkis. Tahu-tahu
jarum beracunnya terlepas dari tangannya dan runtuh di
tanah. Bukan main kagetnya Watu Gunung sehingga tanpa
merasa ia melepaskan pelukannya. Ia terus meloncat dan
memungut benda yang dapat menyambar jarumnya
sampai runtuh. Ternyata hanya sebutir batu kerikil, la jadi ternganga
keheranan. "Ilmu kepandaian orang yang menimpuk aku ini, tak
dapat kujajagi berapa dalamnya. Ah, tak kusangka
bahwa di Jawa Tengah ini terdapat banyak orang pandai.
Kalau aku tidak cepat-cepat kabur, malam ini belum
tentu aku bisa menolong jiwaku sendiri, pikir Watu
Gunung. Setelah memperoleh pikiran demikian, tangannya
diangkat hendak menghabisi nyawa Astika. Tiba-tiba
teringatlah dia akan surat wasiat itu. Kalau ia sampai
menghabisi nyawa dara cilik itu, bukankah berarti sia-sia
perjalanannya ke Jawa Tengah" Memikir demikian, ia
membatalkan niatnya. Mendadak, selagi tangannya menurun sepotong batu
menyambar padanya. Buru-buru ia menyampok. Batu itu
dapat disampok sampai hancur berpuing. Tetapi
tangannya terasa panas dan pegal. Mengingat batu itu
sangat kecil dapat membawa tenaga begitu besar,
pastilah orang yang menyerang padanya memiliki
kepandaian yang luar biasa tinggi. Segera ia memutar
kepalanya menyiratkan pandang. Tak jauh daripadanya
berdiri sesosok tubuh menyandang jubah. Dengan
pertolongan cahaya rembulan, matanya yang tajam
dapat menangkap warnanya. Jubah itu berwarna kelabu.
Siapa" la menajamkan penglihatan menatap wajahnya.
Tiba-tiba hatinya bergidik. Wajah orang itu bukan main
jeleknya. Pucat lesi seperti mayat. Ia teringat sesuatu.
Maka tanpa berani berayal lagi, segera ia meyambar
tubuh Astika dan dibawanya kabur kembali.
la sekarang tak berani lagi lari mengarah ke timur, la
merasa diri tidak aman. Setelah berlari-larian beberapa
waktu lamanya, sampailah ia di tepi Sungai Serayu, la
lantas lari menyusur tepi sungai. Entah sudah berapa
lama ia berlari-lari kencang, tiba-tiba fajar hari datang
dengan diam-diam. Udara makin nampak cerah dengan
cahaya gemilang. Ia berhenti dan menoleh. Hatinya mencelos. Ternyata
orang berjubah kelabu itu berada tak jauh daripadanya.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia lari kembali.
Demikianlah"Watu Gunung yang ditakuti lawan dan
disegani kawan"pada fajar hari itu, kena diubar-ubar
lawan yang tidak menampakkan diri.
Kini pagi hari telah datang. Ia menetapkan hati.
Segera menoleh. Orang berjubah kelabu tetap
menguntitnya. Dengan penasaran ia mengamat-amati
wajah orang itu. Ah, ternyata dia mengenakan topeng
mayat yang menakutkan. Pantas wajahnya nampak
kejang dan menggigilkan hati dalam gelap malam hari.
la jadi tertawa terbahak-bahak teringat dirinya sendiri
yang ketakutan tak keruan. Dengan nyaring ia berkata:
"Hm, aku Watu Gunung berani mengembara sampai di
sini. Masakan takut menghadapi orang semacam
engkau?" Ia maju menghampiri beberapa langkah. Tiba-tiba
tangannya bergerak. Belasan jarum beracun menyambar
bagaikan hujan gerimis. Orang aneh itu tidak menyangka, bahwa dirinya bakal
diserang dengan jarum beracun secara mendadak.
Namun dalam bahaya, ia berlaku sangat tenang. Dengan
sekali menotolkan ujung kakinya, badannya melesat
mundur. Jarum Watu Gunung terkenal cepat semenjak
belasan tahun yang lalu. Namun gerakan orang berjubah
kelabu itu lebih cepat lagi. Dan jarum-jarum itu runtuh ke
tanah tanpa sasaran. "Bagus! Kau bisa membebaskan diri," bentak Watu
Gunung. Kemudian tertawa terbahak-bahak. "Kau
pendekar darimana sampai menguntit aku" Bukankah
engkau bermaksud merebut bocah ini" Baiklah, ini
kuberikan!" Setelah berkata demikian, ia melemparkan Astika ke
tanah semacam barang rongsokan. Lalu kabur secepat
angin. "Celaka!" seru orang berubah kelabu itu kaget. Cepat
ia menghampiri Astika dan memeriksanya sejenak. Ia
terlongong sebentar. Kemudian menggendongnya dan
lari kejurusan timur. Dan pada saat itu, terdengarlah suara gemuruh
bergulungan. Bumi seolah-olah berderakderak hendak
runtuh. Dan mendengar suara gemuruh itu, Watu
Gunung mempercepat larinya. Juga orang berjubah
kelabu. "Aji! Aji! Lihat! Bukankah ini jarum beracun, semacam
jarum beracunnya Edoh Permanasari?" terdengar suatu
suara. Dialah Titisari. Sangaji menghampiri. Melihat hebatnya jarum
beracun, ia terbengong sejenak. Kemudian berkata
perlahan. "Siapakah yang mengunakan jarum sejahat
ini?" Wajahnya lantas berubah hebat. Dengan menarik
napas ia mendongak ke udara. Kemudian berteriak
tinggi. Suaranya bergelora menyusup udara.
3 SUATU PERTARUNGAN YANG ANEH
DALAM MEMBURU SUATU BURUAN, baik Sangaji
maupun Titisari tergolong ahli. Itulah disebabkan,
keuletan dan kesabaran Sangaji disamping ilmu
kepandaiannya yang sudah mencapai tataran sempurna.
Sedangkan Titisari memiliki otak cemerlang yang tiada
bandingnya pada zamannya.
Demikianlah "begitu menaruh curiga, pandang mata
mereka yang tajam luar biasa, terus saja mengarah ke
barat. Watu Gunung boleh merasa diri seorang cerdik,
namun menghadapi mereka berdua tiada mungkin
sanggup mengingusi. Seperti berjanji, mereka berdua
lantas melesat tak ubah bayangan. Sekonyong-konyong,
Titisari berseru setengah memekik.
"Aji, lihat!" Mendengar suara Titisari, Sangaji menghentikan
langkahnya, la menoleh ke arah timur laut. Samar-samar
nampak asap tebal membumbung ke udara. Pada saat
itu, ia mengerinyitkan dahi.
"Bukankah suatu kebakaran besar-besaran?"
Titisari berpaling kepadanya. Ia tidak menyahut.
Setelah menyenak napas, lalu berkata mengajak.
"Biarlah kita menitipkan kepalanya dahulu. Sepuluh
tahun lagi belum kasep. Sekarang kita lihat, siapakah
yang main gila?" "Apakah engkau memperoleh firasat buruk?" Sangaji
terkesiap. Selamanya, Sangaji menganggap Titisari berada di
atas kepandaiannya sendiri. Itulah disebabkan, ia merasa
kalah cerdas. Malahan ia menganggap otak Titisari
seencer otak malaikat yang tak pernah salah melihat
dunia. Sebenarnya hal ini berlebih-lebihan. Namun dalam
hal mengadu kecerdasan, ia benar-benar merasa takluk.
"Mari, kita lihat saja!" sahut Titisari mengangguk.
Mereka berdua lantas mengarah ke timur laut.
Ternyata yang sedang mengalami kebakaran besar-
besaran adalah Kota Waringin. Tatkala mereka hampir
mencapai perbatasan kota, perjalanan pepat oleh
penduduk yang lari pontang-panting tanpa tujuan.
Untunglah, Sangaji dan Titisari bukan manusia baru
lagi. Begitu merasa diri terhalang, terus saja menerjang
pagar dan halaman. Dari sana mereka menyaksikan Kota
Waringin terbakar ludas serata tanah. Benar-benar
mengherankan! Siapa yang berbuat sekejam itu"
"Aji! Paman Sorohpati menyembunyikan diri di kota
ini," kata Titisari. "Setelah ia terbunuh semalam, rupanya
ada tangan kotor lain membakar kotanya."
"Apakah Watu Gunung?" Sangaji memotong.
"Mustahil!" sahut Titisari cepat. "Meskipun dia
termasuk manusia yang besar angan-angannya, namun
tak mungkin ia melakukan perbuatan rendah.
Alasan Titisari masuk akal. Sangaji jadi sibuk sendiri.
"Apakah engkau mengira, perbuatan gerombolan
penjahat atau Kompeni Inggris?" Titisari tak segera
menjawab. Setelah merenung sejenak berkata: "Mari kita
lihat!" Memeriksa kota dalam kebakaran besar, tidaklah
mudah. Itulah disebabkan, mereka tak dapat
menghampiri dekat-dekat. Selagi mereka menebarkan
penglihatan, mulailah terdengar suara kentung tanda
kebakaran dikejauhan. Kentung itu lantas jadi sambung-
menyambung. "Mengapa begitu?" Sangaji terkejut. "Hidup tanpa
engkau apalah artinya" Itulah sebabnya aku memburumu
sampai ke Jawa Barat."
"Aneh! Kutaksir kebakaran ini sudah terjadi semenjak
pagi belum menyingsing. Tetapi kentung tanda bahaya
lagi berjalan sekarang," gerendeng Titisari. "Rupanya,
ada lagi hal yang menekan hati penduduk. Eh, Aji!
Apakah semenjak kita meninggalkan wilayah Jawa
Tengah telah terjadi hal-hal diluar pengamatan kita?"
Sangaji tidak mengemukakan pendapatnya, la
membiarkan isterinya berpikir dan ia percaya akan
memperoleh suatu penglihatan yang benar.
"Pusaka warisan Bende Mataram memang hebat!"
kata Titisari lagi. "Tadinya aku hanya bermaksud untuk
memancing musuh-musuhmu di Jawa Barat. Tapi
rupanya, di sini kita bakal melihat suatu keramaian baru!"
Perlahan Titisari berjalan mengarah ke timur. Dan
Sangaji mengikuti dibelakangnya dengan pikiran penuh.
Pikirnya di dalam hati, "Mengusut kebakaran ini,
sebenarnya mudah. Dengan meminta keterangan
penduduk, bukankah akan jadi terang-gamblang"
Mengapa Titisari tak mau berbuat demikian" Barangkali
dia mempunyai pikiran lain."
Memang, dugaan Sangaji benar belaka. Sebagai
seorang wanita yang memiliki otak cemerlang pada
zaman itu, mustahil Titisari tidak mempunyai pikiran
demikian. Soalnya tujuannya bukan untuk mencari
keterangan tentang terjadinya kebakaran belaka.
Sebaliknya, ia hendak menyingkap alasan pembakaran
itu. Pastilah ada latar belakangnya yang hebat.
Sebab musababnya, sudah terang. Itulah yang
bersangkut-paut dengan wasiat sakti Bende Mataram.
Tadinya, dia bermaksud hendak memancing musuh-
musuh Sangaji keluar dari sarangnya. Itulah Watu
Gunung dengan sekalian anak muridnya. Tetapi melihat
kebakaran itu, Titisari kini berpikir lain.
Watu Gunung boleh berani. Boleh pula yakin kepada
kepandaian sendiri. Namun kalau sampai berani
membakar kota di wilayah Jawa Tengah adalah mustahil.
Itulah lonceng kematiannya sendiri. Sebab berani
mengumandangkan tantangan dengan terang-terangan,
sebelum bersiaga. Di Jawa Tengah dia bakal diubar
pendekar-pendekar sakti. Di Jawa Barat ia diserbu
pendekar-pendekar Himpunan Sangkuriang yang kini
berada di bawah bendera Sangaji.
Siapakah yang tak tahu, bahwa di atas Gunung Damar
bermukim pendekar kelas wahid Kyai Kasan Kesambi
beserta kelima muridnya yang terkenal" Mereka ini tak
boleh dibuat gegabah. Siapa yang tak tahu pula, sepak terjang Gagak Seta
dan Adipati Surengpati yang namanya menggetarkan
jagad" Siapa tak kenal akan lagak lagu Ki Hajar
Karangpandan dan Jaga Saradenta" Mereka akan keluar
dengan serentak, manakala wilayahnya kena rusak
tangan-tangan kotor. Oleh pertimbangan itu"Titisari ya-
kin"bahwa Watu Gunung tidak akan berani membakar
sebuah kota di Jawa Tengah. Sebaliknya kalau bukan dia,
lantas siapa" Inilah suatu hal masih merupakan teka-teki bagi
pendekar wanita itu yang memiliki otak paling cemerlang
pada zamannya. Pastilah yang membakar Kota Waringin
mempunyai andalan yang luar biasa tangguh. Dan bukan
gerombolan kurcaci yang hanya mengadu untung belaka.
Sekonyong-konyong Titisari menegakkan mukanya.
Seperti terkejut ia berseru: "Ah! Benar-benar tolol aku!"
Heran Sangaji mendengar bunyi seruan Titisari.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau berkata apa?"
"Kau ingat bunyi kentungan itu, tidak?"
Sangaji mengangguk dengan pandang penuh
pertanyaan. "Mengapa tidak semenjak tadi dibunyikan?" kata
Titisari berteka-teki. "Itulah suatu kesengajaan yang
ditujukan kepada kita."
"Kepada kita?" Sangaji tambah tak mengerti.
Titisari tertawa geli seakan-akan menertawakan
ketololannya sendiri. Berkata mengajak, "Mari, kita
kembali ke tempat Gandarpati! Entah siapa memancing
kita agar menjauhi Gandarpati. Kalau ini suatu kerja
sama, kita bakal menghadapi lawan yang tersusun baik."
Sesudah berkata demikian, Titisari mendahului berlari.
Ia kembali ke tempat Gandarpati tadi. Dan Sangaji
segera mengikuti dengan meningkatkan
kewaspadaannya. Baru saja sampai ditanjakan, di atas
bukit sekonyong-konyong terdengar suatu teriakan
dahsyat yang kemudian disusul dengan suara gelak
panjang. Hebat suara teriakan dan suara tertawa itu
sampai seluruh tanah pegunungan terasa bergetaran.
Mendengar teriakan dan suara tertawa itu. Sangaji
kaget bercampur girang. Itulah suara yang dikenalnya
dan sudah lama dirindukan. "Bukankah Guru?" ia berkata
kepada Titisari. Titisari tersenyum dengan memanggut kecil.
Sahutnya, "Benar. Sudah selang sekian tahun, namun
suara Paman Gagak Seta masih saja tetap angker. Hanya
entah apa sebabnya, dia terdengar sedang bergusar."
Buru-buru Sangaji mendaki pegunungan itu tanpa
berpikir panjang lagi. la melompat ke atas batu besar
dan menebarkan penglihatannya.
Di atas gundukan lain"tempat mereka tadi bertemu
dengan Gandarpati nampak empat orang bersenjata
sedang mengepung seorang berusia lanjut yang
berperawakan tegap ramping. Dan orang yang sedang
dikepung itu, benar-benar Gagak Seta pendekar sakti
dan besar yang namanya berendeng dengan Kyai Kasan
Kesambi, Adipati Surengpati, Kyai Haji Lukman Hakim,
Mangkubumi I, Pangeran Sambernyawa dan Kebo
Bangah. Meskipun usianya kini tambah menanjak, namun
menghadapi kerubutan empat orang tak usahlah Sangaji
mengkhawatirkan. Tidak hanya satu dua kali, Sangaji
pernah menyaksikan gurunya bertempur menghadapi
lawan kelas wahid. Dan selamanya ia kagum. Malahan,
meskipun kini sudah memiliki ilmu sakti di atas gurunya
sendiri, masih saja ia mengagumi ke-gagahannya. Tak
mengherankan bahwa nama Gagak seta akan tetap abadi
sampai kemudian hari. Gagah dan berwatak ksatria
sejati. Diluar dugaan, keempat pengeroyoknya ternyata
bukan lawan enteng. Karena jauh, Sangaji tak dapat
melihat muka mereka. Mereka mengenakan pakaian
seragam hitam. Bersenjata pedang dan golok panjang.
Tiga orang lainnya berdiri menonton. Mereka
mengenakan pakaian seragam hitam. Nampaknya
mereka mengatur pertarungan itu dengan bergiliran.
Sekiranya keempat rekannya kena dikalahkan, mereka
bertiga lantas melompat menggantikan kedudukannya.
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang.
"Eh! Buat apa kau melindungi murid Sorohpati" Kau
bujuklah saja, agar dia menyerahkan surat wasiat Bende
Mataram... Kami akan melindungi nyawamu! Bukankah
adil pertukaran ini?"
Ia masih berbicara selintasan lagi. Tapi meskipun
Sangaji bertelinga tajam, tak dapat ia menangkap kata-
katanya terakhir. Yang terang ia tahu maksud mereka.
Mereka hendak merampas surat wasiat tulisan Titisari
yang mungkin berada dalam saku Gandarpati murid
Sorohpati. Mendengar teriakan itu, Gagak Seta tertawa panjang.
"Kamu kumpulan binatang apa sampai berani
mengancam aku si orang tua" Surat wasiat memang
berada di sini. Niiih disakuku. Ambillah sendiri kalau
mampu." Sambil berbicara, ia menggebu kembali tiap
serangan lawan-lawannya. Mendadak saja, dari arah timur muncullah seorang
nenek dengan berbatuk-batuk. Dibelakangnya menguntit
seorang gadis yang berambut rereyapan. Dan melihat
perawakan gadis itu, hati Sangaji tercekat. Ia seperti
pernah melihat dan mengenalnya. Segera ia menajamkan
matanya. Namun lantaran jaraknya sangat jauh, belum
berhasil ia memperoleh pengamatan terang.
Setelah berbatuk-bauk, nenek itu berteriak nyaring.
"Para pendekar Tunggul Wulung! Apa maksud kalian"
Kalian datang dengan begini saja, tanpa mengajak aku
berunding. Apakah kalian menganggap aku sudah
mampus?" Mendengar bunyi teriakan nenek itu, Sangaji heran.
Kalau tiada hubungan dengan mereka, pastilah nenek itu
bukan orang sembarangan. Pikirnya di dalam hati, baru
beberapa tahun aku meninggalkan Jawa Tengah.
Rupanya di sini telah muncul pendekar-pendekar sakti
baru di luar pengamatanku. Ah, hebat!
Mendengar teriakan nenek-nenek itu, keempat
pengeroyok Gagak Seta menjadi bingung. Dalam usaha
menjatuhkan Gagak Seta, mereka memperhebat
serangannya. Terang sekali tujuannya. Mereka ingin
cepat-cepat menguasai Gagak Seta. Dan melihat hal itu
Sangaji tersenyum. Hm, pikirnya di dalam hati, rupanya kamu belum
mengenal siapa Gagak Seta. Kalau kamu sampai
membangkitkan amarahnya, masakan bisa menolong
jiwamu. Bertempur begitu bernafsu menghadapi Gagak
Seta, memang suatu kesalahan besar. Tadi, Gagak Seta
masih bisa main bersenyum. Tetapi begitu melihat
datangnya si nenek, wajahnya berubah menjadi tegang.
Ia menangkis serangan keempat pengeroyoknya
selintasan. Sekonyong-konyong ia membentak dan
tinjunya mendarat di dada salah seorang lawan yang
berada dikirinya. Dan begitu kena gempurannya, orang
itu terpental tinggi dan jatuh menggelinding ke bawah.
Kepalanya terbentur batu dan pecah berantakan.
Menyaksikan perubahan itu, orang yang berteriak tadi
lantas membentak. "Mundur!" Berbareng dengan bentakannya, ia melesat maju
sambil mengirimkan pukulan aneh.
Nampaknya seperti meninju udara kosong, tapi
akibatnya di luar dugaan. Seperti suatu gelombang yang
tiada nampak, pukulannya datang menghampiri Gagak
Seta. Gagak Seta pada saat itu sedang repot menggebu
ketiga sisa pengeroyoknya. Meskipun demikian,
telinganya yang tajam mendengar sambaran angin. Ia
lantas tertawa. "Kepandaian semacam ini hendak kau pamerkan
kepada aku si orang tua" Hm, kau jangan bermimpi yang
bukan-bukan!" Tangannya lantas mengusap udara. Suatu benturan
kemudian terjadi. Dan si penyerang terpental mundur.
Syukur ia kena ditahan seorang kakek-kakek yang berdiri
menonton di luar garis. Dengan demikian, ia tidak sampai
mengalami nasib seperti kawannya. Meskipun demikian
baik dia maupun kakek itu, berkisar dari tempatnya
berpinjak. Itulah membuktikan betapa hebat tenaga
balasan Gagak Seta. Tak mengherankan bahwa ketika
sisa pengeroyoknya cepat-cepat melompat mundur
berjaga-jaga. Pukulan udara kosong bagi Gagak Seta tidak asing
lagi. Adipati Surengpati memiliki ilmu itu. Mereka berdua
pernah mengadu kepandaian. Itulah sebabnya, Gagak
Seta tidak perlu repot menghadapi pukulan demikian.
"Wira Kuluki! Alpikun!" teriak si Nenek. "Kalian bangsa
pendekar mahaperwira. Mengapa menggunakan ilmu
pukulan udara" Kalau hanya pukulan wajar, tidak apalah.
Mengapa kalian menggunakan beracun terhadap seorang
ksatria sejati seperti Gagak Seta?"
Setelah berteriak demikian, ia melesat mendaki bukit
tak ubah bayangan. Gadis yang berada dibelakangnya
berusaha mengikuti dengan mengerahkan segenap
tenaganya. Sangaji kaget mendengar bunyi teriakan nenek itu.
Khawatir akan keselamatan gurunya, Sangaji segera
menyusul. Titisari memburunya dan menangkap
pundaknya. Bisiknya, "Aji! Mengapa kau jadi bingung tak
keruan! Dengan hadirnya nenek itu, kau tak usah cemas.
Yang paling penting kau jangan memperkenalkan diri
atau muncul dengan tiba-tiba."
Sangaji mengangguk mengerti. Sambil memegang
pergelangan tangan Titisari, ia terus berlari-lari
dibelakang gadis berereyapan itu. Sambil mengikuti,
mencoba mengumpulkan semua ingatannya. Gerak-
geriknya yang gesit dan sifatnya yang tak pedulian. Ia
kaget, tatkala Titisari berbisik di tengah telinganya.
"Kau memikirkan siapa?"
"Aku?" sahut Sangaji gugup.
"Kau lagi mengingat-ingat gadis di depan itu, bukan?"
potong Titisari. "Benar," kata Sangaji dengan muka merah.
"Kau tak usah bersegan-segan. Dialah bibiku.... Bibi
kita berdua." "Bibi kita berdua?" Sangaji heran. "Siapa?"
"Fatimah, adik gurumu Paman Wirapati dan dahulu
pernah mengaku sebagai murid Paman Suryaningrat.23)
"Ah, benar!" "Hm," dengus Titisari bernada mendongkol. "Bisa saja
dia membawa lagaknya yang ketolol-tololan dan angin-
anginan. Kau percaya dia murid Paman Suryaningrat
benar-benar" Paling tidak.... Dengan diam-diam, ia
berguru kepada seorang pendekar lain?" . "Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan nenek itu."
"Siapa dia?" "Siapa tahu?" sahut Titisari dengan bisikan tinggi.
Sangaji tercengang mendengar kata-kata Titisari.
Dengan Fatimah ia mempunyai kesan baik dan aneh.
Mula-mula bertemu di dalam sebuah benteng kuno,
tatkala ia menderita luka parah. Kemudian menolongnya
tatkala gadis itu menderita luka parah. Yang terakhir,
Fatimah mengantarkan keberangkatannya ke Jakarta di
lereng pegunungan Gunung Damar. Aneh gerak gerik
dan lagak lagu Fatimah. Sayang karena dia bukan
seorang pemuda yang berwatak usilan kesannya yang
aneh tidak begitu menjadi buah pikirannya. Tapi kini
setelah memperoleh penglihatan aneh lagi, perhatiannya
jadi tergugah. Mungkin pula kisikan Titisari yang
menyebabkan. "Ya, benar. Dia seorang gadis tanpa perlindungan
tanpa bekal hidup. Namun berani hidup menyendiri
dengan seorang diri pula di dalam benteng kuno.
Alasannya lantaran menunggu makam orang tuanya.
Benarkah itu" Atau bukankah dia lagi menekuni suatu
ilmu sakti di luar ajaran paman gurunya, Suryaningrat"
Jangan-jangan benar dugaan Titisari. Ucapannya pun
aneh pula tatkala mengantarkan aku berangkat ke
Jakarta. Ia bercerita tentang seorang kekasih yang
dirahasiakan. Yang dikatakan, bercita-cita menjadi
seorang raja. Benarkah dia lagi membicarakan Manik
Angkeran"24) Sibuk pikiran Sangaji. Sayang, dia bukan Titisari.
Meskipun ilmunya kini tinggi, namun jalan pikirannya
masih sangat lamban dibandingkan dengan Titisari.
Sekian lamanya ia mencoba mencari suatu pegangan,
namun masih saja merupakan suatu teka-teki besar
baginya. Tak lama kemudian, ia sudah tiba dipinggang
pegunungan. Dari sini ia nampak jelas, betapa cara
gurunya mempertahankan diri dari pukulan udara.
Ternyata gurunya mempertahankan diri dengan pukulan-
pukulan pendek. Terang sekali, itulah suatu siasat untuk
memunahkan pukulan lawan yang berbahaya. Hanya
saja ia tak mengerti, apa sebab gurunya begitu sabar
menghadapi suatu keroyokan. Kalau mau, pastilah dia
bisa mengusir sekalian lawannya dengan satu pukulan
geledek yang pernah dilakukan terhadap lawan-lawannya
yang setaraf. Menimbang demikian, tahulah Sangaji
bahwa Gagak Seta pastilah menggenggam suatu maksud
rahasia. Dengan hati tegang, Sangaji mengikuti jalannya
pertarungan itu dari belakang gerombol pohon. Tiba-tiba
Titisari berbisik menasehati.
"Kau dandanlah sebagai petani. Aku pun begitu
supaya bisa bebas dari pengamatan Fatimah. Kau
mengerti?" Terang sekali, Titisari menaruh purbasangka terhadap
Fatimah. Gadis itu memang menimbulkan suatu teka-
teki. Makin dikenangkan, makin menjadi buah pikiran
yang berbelit. Maka segera ia melepas ikat kepalanya
dan menanggalkan pakaian luarnya. Kemudian dengan
berjingkit-jingkit ia kembali ke tempat
persembunyiannya. "Hai!" kata Titisari berbisik. "Kau masih belum bisa
menyamar sebagai petani. Rupamu masih seperti
seorang raja." "Raja?" "Kau bisa memerintah sekalian Raja Muda Himpunan
Sangkuriang. Apakah namanya bukan seorang raja?"
sahut Titisari menggoda. Sewaktu Sangaji hendak membuka mulut, sekonyong-


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

konyong ia mendengar nenek itu berkata dengan suara
nyaring. "Rekan Alpikun! Pukulan udara kosongmu sudah
termasyur semenjak belasan tahun yang lalu. Mengapa
engkau perlu menebarkan bubuk racun" Hm, sayang!
Sayang! Sungguh sayang! Bukankah lantas nampak
kelemahannya" Dan kau Wira Kuluki! Kau menggunakan
langkah tipu muslihat bintang penjuru. Apakah kau
mengira, pendekar Gagak Seta bisa kau ingusi. Hm, ja-
ngan harap! Oh, oh, oh! CIh,uh...." ia berhenti berbatuk-
batuk. Berkata lagi, "Dahulu, sewaktu pendekar Kebo
Bangah masih hidup, golonganmu sangat dihormati dan
disegani. Meskipun pendekar Kebo Bangah terkenal
sebagai seorang pendekar licin, namun dia tak pernah
menggunakan racun secara menggelap.
Sayang... sungguh sayang Kau merusak nama besarnya!" Mendengar kata-kata nenek itu, Gagak Seta seperti
tersadar. Memang, dahulu di atas padepokan Kyai Kasan
Kesambi ia pernah melihat saudara-saudara seperguruan
pendekar Kebo Bangah, yang berkepandaian tinggi pula.
Karena itu, tak sudi lagi ia berkelahi dengan ayal-ayalan.
Terus saja tangannya berputar dan melepaskan pukulan
geledek. Hebat pukulan Gagak Seta. Mengherankan lagi adalah
kedua lawannya. Dengan berbareng mereka menyambut
pukulan itu. Ternyata mereka hanya kena digeser dari
tempatnya dan mundur dengan sempoyongan. Mereka
tak sampai roboh. Maka teranglah, bahwa ilmu
kepandaiannya hampir dapat mengimbangi Kebo Bangah
dalam masa jayanya. Diam-diam Sangaji mengamat-amati mereka yang di
sebut Alpikun dan Wira Kuluki. Alpikun berperawakan
gemuk bulat. Badannya pendek. Mukanya menyinarkan
warna merah. Muka ini mengingatkan kepada muka
Keyong Buntet adik seperguruan pendekar Kebo Bangah.
Dan orang yang disebut Wira Kuluki berperawakan
seperti Maesasura. Badannya agak kurus. Sekalipun
demikian, pandang matanya samalah berbahayanya
dengan adik seperguruan Kebo Bangah itu. Benar-benar
merupakan lawan yang tak boleh dibuat gegabah. Dan
orang yang tadi berkata nyaring adalah seorang pemuda
berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ia pun
mengenakan pakaian seragam tak beda dengan rekan-
rekannya. Hanya saja dia nampak bersih. Bahwasanya
orang semuda itu bisa berhadap-hadapan dengan Gagak
Seta, membuktikan ilmu kepandaiannya tidak lemah.
Pastilah dia berada di atas kepandaian sang Dewaresi
pada zaman jayanya. Tiba-tiba pemuda itu berkata kepada si nenek.
"Nenek Sirtupelaheli! Memang kau tidak sudi
membantu Gagak Seta dengan terang-terangan.
Sebaliknya membantu dengan diam-diam. Apakah
caramu itu tidak curang?"
"Apakah Tuan seorang anggauta Tunggul Wulung
pula?" Nenek Sirtupelaheli menegas. "Maaf, belum
pernah aku melihat mukamu."
"Tentu saja Nenek belum pernah melihat aku.
Sewaktu Nenek sedang mencari nama, aku masih belum
pandai beringus. Aku bernama, Daniswara adik sang
Dewaresi. Akulah putera bungsu Kebo Bangah."
"Kau putera pendekar Kebo Bangah, apa perlu
memasuki perkumpulan Tunggul Wulung yang tak
keruan tujuannya?" bentak Nenek Sirtupelaheli.
Daniswara tertawa. "Lucu! Sungguh lucu!" katanya.
"Dunia ini begini luas, masakan aku harus tetap
menyimpan diri seperti katak dalam tempurung?" Kata-
katanya diucapkan dengan mantram sakti warisan Kebo
Bangah. Hebat pengaruhnya sampai bumi terasa
tergetar. Sangaji terkejut. Benar-benar hebat pemuda itu!
Pastilah dia bukan sembarang orang. Pantaslah gurunya
melayani keragaman ilmu kepandaiannya dengan hati-
hati. Dalam pada itu, gelanggang pertempuran mengalami
suatu perubahan. Tiba-tiba saja dua orang lagi memasuki
gelanggang. Dengan demikian, Gagak Seta dikerubut
enam musuh tangguh. Itulah tak mengapa. Tapi ternyata
mereka mulai menggunakan bubuk beracun seperti per-
ingatan Sirtupelaheli. Dan kena bubuk beracun itu Gagak
Seta nampak limbung. Ia jadi terdesak selangkah demi
selangkah. Melihat limbungnya Gagak Seta, hati Sangaji gelisah.
Lantas saja ia bersiaga hendak menolong.
"Ssst! Kau tak usah bingung!" bisik Titisari. "Kau kira
siapa Paman Gagak Seta. Ilmu kepandaiannya sejajar
dengan Ayah. Kalau hanya menghadapi racun, bukankah
dia jauh lebih berpengalaman daripada engkau" Ingat
saja Paman Kebo Bangah yang memiliki ilmu beracun
tiada bandingnya. Meskipun demikian, Paman Kebo
Bangah tak mampu mengalahkan Paman Gagak Seta."
Diingatkan kepada Kebo Bangah, Sangaji jadi tersadar.
Kalau begitu limbungnya Gagak Seta sebenarnya hanya
suatu tipu muslihat belaka. Selagi berpikir demikian,
Titisari berbisik lagi. "Sirtupelaheli, pasti tidak akan tinggal diam. Dia pasti
menolong. Kau percaya tidak?"
"Mengapa menolong?"
"Hm, lihat sajalah! Justru itulah yang dikehendaki
Paman Gagak Seta. Kalau tidak begitu, apa perlu Paman
Gagak Seta berlagak limbung segala. Dia bermaksud
hendak menepuk dua lalat sekali jadi..."
Tetapi Nenek Sirtupelaheli nampak masih tenang-
tenang saja. Ia hanya bersenyum pendek sambil
menyandarkan diri pada tongkat bajanya. Dan
menyaksikan sikapnya, hati Sangaji ber-gelisah.
Pada saat itu, tiba-tiba Gagak Seta tertawa terbahak-
bahak. "Kamu semua ini sebenarnya kumpulan binatang yang
tak tahu diri. Kalau sampai sekarang kepalamu masih
bercokol dilehermu masing-masing itulah disebabkan aku
belum mengetahui diri kamu. Sekarang semuanya sudah
terang. Nah, kalian mau pergi atau tidak" Aku sudah
bosan!" Mendengar perkataan Gagak Seta, Alpikun dan
keempat rekannya tertawa terbahak-bahak pula.
"Kau tua bangka sudah linglung. Jiwamu sudah
diambang pintu, masih saja mengoceh tak keruan..."
Sangaji tercekat. Pikirnya, "Ah, benar-benar mereka
belum kenal Paman Gagak Seta! Dahulu saja hati sang
Dewaresi kuncup begitu mendengar namanya. Angkatan
mudanya ini, mengapa begini gegabah" Rupanya mereka
dididik asal berani saja."
Benar saja, Gagak Seta sudah mulai bosan, la
langsung mundur mendekam. Begitu kelima
pengeroyoknya menyerang, dengan satu kali gerak
tangannya membabat. Inilah pukulan ilmu sakti Kumayan
Jati yang disegani lawan dan kawan. Dan dengan
didahului suara patahnya senjata mereka, lima tubuh
terpental di udara. Seperti layang-layang putus mereka
jatuh ber-gedebrukan dilereng bukit. Empat orang mati
dengan berbareng. Hanya Wira Kuluki seorang masih
nampak berkempas kempis. Walaupun demikian ia
menderita luka berat. Sebelah tangannya putus seperti
terbabat. Daniswara kaget bukan kepalang. Dengan
mengerahkan tenaga-ia melompat tinggi ber-jungkir-
balik. Begitu mendarat terdengar Gagak Seta
membentak. "Hai, binatang! Ayahmu sendiri tidak berani sembrono
melawan aku. Kau bersikap tak memandang mata
kepadaku. Bagaimana?"
Dengan sikap gagah Daniswara menguasai rasa
kagetnya. Lalu menyahut, "Paman! Jiwaku memang
pantas kau ambil. Tapi perkenankan aku mengajukan
satu permohonan." "Kau berkatalah! Cepat!"
"Ampunilah Paman Wira Kuluki. Aku bersedia
mengganti dengan nyawaku sendiri. Silakan. Ambil
nyawaku!" Semua yang mendengar kata-kata Daniswara kaget.
Sama sekali mereka tak menyangka, bahwa pemuda itu
mempunyai perasaan setia kawan. Inilah suatu
kejantanan sejati. Sangaji yang tadinya berkesan kurang
senang terhadapnya, saat itu berbalik mengagumi.
"Bagus!" seru Gagak Seta. "Mengingat ayahmu dan
keberanianmu, engkau menang setingkat dengan
kakakmu, Dewaresi. Nah, pergilah. Bawalah pula
kawanmu itu. Aku takkan mengganggu selembar
rambutmu. Hanya saja, dengan berbekal ilmumu itu kau
jangan mencoba-coba mencari penyakit dengan anakku,
Sangaji." "Terima kasih atas budi Paman," kata Daniswara.
"Tetapi sakit hati ayahku harus terbalas. Aku belajar,
menekuni ilmu warisan keluargaku sepuluh atau dua
puluh tahun lagi. Dan aku akan mencari Paman atau
Sangaji untuk menuntut balas."
Gagak Seta tertawa panjang. Katanya memotong,
"Bagus, bagus! Ayahmu kerbau bangkotan mampus
karena kesalahannya sendiri. Mengapa kau
mempersalahkan aku?"
"Tentu saja. Coba, kalau Paman membiarkan Ayah
memiliki pusaka warisan, bukankah tak perlu ia mati
dengan penasaran?" Kembali lagi Gagak Seta tertawa panjang.
"Baiklah! Kau boleh menimbuni aku si orang tua
dengan tuntutan balasanmu. Masakan aku takut" Nah,
pergilah sebelum hatiku berubah!"
Daniswara berputar menghadapi Nenek Sirtupelaheli.
Berkata dengan sikap menghormat.
"Nenek, maaf aku sampai lancang memasuki
wilayahmu. Kalau kau ingin menguji kepandaianku,
tunggulah barang empat lima tahun lagi. Aku pasti
datang mencarimu." Setelah berkata demikian, dengan memanggul Wira
Kuluki, Daniswara lari menuruni bukit. Cepat gerakannya.
Sebentar saja, tubuhnya hilang dari pengamatan.
Nenek Sirtupelaheli mengawaskan hilangnya
Daniswara sejenak. Kemudian berputar menghadap
Gagak Seta. "Adikku, kau masih hebat seperti dahulu. Maaf, aku
tak dapat membantumu. Karena kau manusia yang tak
senang dibantu. Apalagi hanya menghadapi musuh-
musuh sebangsa kurcaci. Kau bergusar terhadapku atau
tidak?" Kaget bercampur heran, Sangaji mendengar
Sirtupelaheli memanggil adik terhadap gurunya. Tentu
saja ia menajamkan telinganya.
"Tak usah kau mengungkat-ungkat soal lama," sahut
Gagak Seta. "Apakah kau datang pula untuk surat wasiat anakku
Titisari?" Sirtupelaheli tertawa terbatuk-batuk.
"Aku akan masuk liang kubur sebentar lagi. Buat apa
ikut-ikutan memperebutkan surat wasiat yang tiada
gunanya bagiku. Hanya saja..."
"Hm... Kau berkatalah!" desak Gagak Seta.
Sirtupelaheli meruntuhkan pandang kepada Fatimah.
Lalu berkata perlahan. "Pastilah engkau sudah pernah
bertemu dengan anak ini. Dialah sesungguhnya cucuku.
Untuk dia aku berjuang."
Lagi-lagi Gagak Seta tertawa panjang. "Sirtupah!
Masakah aku tak kenal dirimu. Hm, hm! Kau berlagak
hendak berjuang bagi masa depan bocah ini. Aku pun
saat ini lagi melindungi seseorang yang hendak
mengubur tubuh gurunya. Baiklah, mari kita bersimpang
jalan." Setelah berkata demikian, tubuh Gagak Seta
berkelebat, la mengarah ke timur laut. Apakah
Gandarpati pada saat itu berada di timur laut" Mengingat
letak Kota Waringin"nampaknya dia berada di rumah
gurunya. Nenek Sirtupelaheli menarik napas. Dengan mata
melotot ia memandang wajah Fatimah.
Katanya setengah mengutuk. "Dasar! Kaulah yang
membuat perjalanan ini sampai sial begini. Hayo, jalan!"
Dengan menurut Fatimah mengikuti gurunya. Sangaji
dan Titisari yang mengenal lagak lagu Fatimah heran
menyaksikan sikap penurutnya. Mereka tahu, adat
Fatimah sangat panas. Ia tak takut terhadap ancaman
bagaimana pun besarnya. Tetapi terhadap Nenek
Sirtupelaheli apa sebab adatnya berubah" Mengherankan
lagi adalah Gagak Seta. Pendekar besar ini kenal Fatimah. Betapa tolol pun
orang akan segera melihat, bahwa gadis itu dalam
kesukaran. Apa sebab Gagak Seta tak mau turun tangan"
Nampaknya dia bersegan-segan terhadap Nenek
Sirtupelaheli. Sangaji menunggu beberapa saat lamanya. Kemudian
muncul sambil memperbaiki letak pakaiannya.
"Kau hendak kemana?" tegur Titisari.
"Aku mau menengok Fatimah."
"Apakah engkau tak melihat sinar mata nenek itu yang
sangat ganas?" "Masakan aku harus takut kepadanya?"
"Eh, semenjak kapan kau jadi galak begini" Bagus!"
tungkas Titisari. "Kau tak takut kepadanya. Tapi aku
justru takut." Mendengar kata-kata Titisari, Sangaji heran.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selamanya belum pernah ia mendengar puteri Adipati
Surengpati itu menyatakan rasa takutnya. Mau tak mau
ia menatap wajah Titisari dengan pandang penuh
pertanyaan. Titisari tak menunggu pertanyaannya, la segera
memberi alasannya. "Aji! Justru sekarang ini, aku merasa
seperti lagi menghadapi sesuatu kejadian yang diliputi
kabut rahasia. Siapa yang membakar Kota Waringin"
Siapa Nenek Sirtupelaheli dan apa sebab Paman Gagak
Seta segan terhadapnya" Mengapa Fatimah berada pula
dengan dia dan sikapnya begitu penurut" Kita
membutuhkan jawaban dan keterangannya. Dan bukan
dugaan-dugaan belaka. Memang tak sukar engkau
membinasakan nenek itu. Tetapi begitu dia mati, semua
teka-teki ini akan tersimpan untuk selama-lamanya."
"Aku pun bukan mau membunuh nenek itu," tungkas
Sangaji dengan sunguh-sungguh. "Aku hanya ingin
menengok Fatimah seperti kataku tadi. Kukira aku bisa
memperoleh keterangan lebih banyak dan gampang
daripada nenek itu."
"Belum tentu!" kata Titisari dengan suara tegas.
"Mengapa belum tentu?"
"Aji!" Titisari tersenyum. "Selamanya kau mengukur
manusia dengan dirimu sendiri. Mana bisa begitu" Belum
tentu wajah baik, hatinya masti baik. Belum tentu kata-
kata gagah, orangnya gagah pula. Coba, kita harus lebih
berwaspada terhadap Nenek Sirtupelaheli atau
Daniswara?" "Menurut pendapatku, Daniswara seorang ksatria
tulen, la lebih mengabdi kepada budi persahabatan
daripada nyawamu sendiri."
Titisari tertawa perlahan.
"Aji! Kau sekarang bukan Sangajiku dahulu. Lantaran
kau sekarang memimpin kancah perjuangan di Jawa
Barat. Mengapa engkau main tipu terhadapku?"
"Main tipu?" Sangaji benar-benar tak mengerti.
"Benarkah engkau berkata dengan setulus hati?"
"Tentu! Tentu saja! Coba"Daniswara berani
mengganti dengan jiwanya sendiri demi sahabatnya Wira
Kuluki yang menderita luka parah. Apakah itu bukan
suatu perbuatan jantan tulen" Manusia semacam dia,
sukar kita jumpai lagi. Karena itu aku menghormati dan
mengagumi." Titisari menatap wajah Sangaji. la menghela napas
dan wajahnya tiba-tiba nampak berprihatin.
"Itulah sebabnya engkau kupilih. Itulah sebabnya pula
aku tak boleh meninggalkan dirimu lama-lama. Aji, ah,
Ajiku... Kau seorang pemimpin besar yang harus
membina perjuangan rakyat Jawa Barat. Engkau pulalah
pemimpin para Raja Muda Himpunan Sangkuriang dan
orang-orang gagah di seluruh bumi Pasundan. Mengapa
engkau bisa dikelabui dan ditipu seseorang dengan cara
begitu mudah?" "Ditipu" Siapa yang menipu aku?" Sangaji tambah tak
mengerti. "Daniswara. Siapa lagi?"
"Daniswara?" "Benar. Paman Gagak Seta pun kena ditipunya pula.
Hebat! Hebat dia! Dihari terang-benderang begini, ia bisa
menipu dua pendekar besar pada zaman ini dengan
sekaligus. Hebatnya lagi, baik kau maupun Paman Gagak
Seta belum juga sadar sampai kini. Hm, hm.... benar-
benar kau belum tersadar juga" Bukankah engkau
melihat dengan terang benderang?"
"Aku dan guru kena tipunya?" Sangaji berjingkrak.
"Dengan sekali gerak saja Paman Gagak Seta dapat
membinasakan empat orang jago dan melukai seorang
pendekar seperti Wira Kuluki," kata Titisari menerangkan.
"Andaikata Daniswara memiliki ilmu kepandaian lebih
tinggi daripada ilmunya sekarang, dia pun tak dapat lolos
dari serangan balasan Paman Gagak Seta yang dahsyat.
Menghadapi kenyataan demikian, siapa saja akan berpikir
untuk memilih dua jalan. Melawan dengan tekat mati
atau minta ampun dengan bertekuk lutut."
Sangaji mengangguk menyetujui. Dan Titisari
meneruskan. "Mereka kenal, siapa Gagak Seta. Itulah
seorang ksatria besar yang benci kepada perbuatan licik
dan sikap pengecut. Mereka datang untuk merebut surat
wasiatku, surat wasiat Bende Mataram yang tiada
keduanya di dunia. Paman Gagak Seta pasti tidak akan
membiarkan seorang pun lolos dari tangannya. Karena
gurumu itu mempunyai kepentingan besar. Ialah:
dirimu." "Diriku?" Sangaji terharu.
"Tentu saja, tololku. Guru di seluruh dunia ini akan
sangat bangga dan berbesar hati, manakala muridnya
menjadi manusia satu-satunya di dunia. Sebab namanya
akan ikut naik tinggi pula. Bukankah begitu, tololku?"
Sangaji tersenyum. Memang semenjak dahulu, dia di
sebut si tolol oleh Titisari yang nakal.
Bagi pendengarannya, alangkah nikmat. Untuk
kenikmatan itu, dia tersenyum.
"Karena itu, walaupun Daniswara bersedia berlutut
dan bersembah mengangguk-anguk sampai ratusan kali
"Paman Gagak Seta tidak bakal mengampuni jiwanya,"
kata Titisari melanjutkan. "Ah, benar-benar Daniswara
seorang manusia luar biasa. Pada detik itu, otaknya yang
cerdas memperoleh suatu jalan kemungkinan satu-
satunya. Yaitu: ia harus berlagak seorang ksatria tulen
dihadapan pendekar besar Gagak Seta yang berwatak
laki-laki sejati. Sangaji! Meskipun aku senang
menyebutmu dengan si tolol, tapi sesungguhnya engkau
bukan tolol dengan arti sebenarnya. Otakmu cerdas dan
cermat. Kalau tidak, masakan bisa mewarisi ilmu tersakti
di dunia dan kini dapat memimpin seluruh Raja Muda
Himpunan Sangkuriang di Jawa Barat. Coba, kau melihat
apa" Mustahil penglihatanmu bisa dikelabui lama-lama..."
Hebat teka-teki Titisari yang ditumpukan kepada otak
Sangaji yang lamban. Pemuda itu lantas saja berdiri
dengan terlongong-longong. la percaya, keterangan
Titisari pasti mempunyai dasar yang kuat. Sebaliknya
sikap Daniswara yang benar-benar jantan, menyangsikan
kekacauan Titisari. Ah, masakan Daniswara hanya
berlagak" Apakah buktinya"
"Baikiah, aku akan mengajukan suatu pertanyaan
kepadamu," Titisari memutuskan. Sewaktu dia lagi
berbicara dengan Paman Gagak Seta, bagaimana sikap
tangan dan kakinya?"
Sangaji tertegun, tak dapat ia menjawab pertanyaan
Titisari. Waktu Daniswara berbicara dengan gurunya, ia
hanya memperhatikan wajahnya dan paras muka
gurunya. Sama sekali ia tidak mengindahkan sikap kedua
tangan dan kedua kaki pemuda itu. Tentu saja ia
melihat, tetapi seperti tak melihat. Dan sekarang, setelah
Titisari mengemukakan pertanyaan itu, terbangunlah
ingatannya. Di depan matanya muncul kembali bayangan
Daniswara tatkala berbicara dengan gurunya. Segera ia
mengerahkan ingatannya. Bayangan kaki dan tangan
Daniswara dicetaknya kembali dalam benaknya. Selang
beberapa saat kemudian, mendadak ia kaget. Katanya
bergumam. "Ya, benar. Ingatlah aku sekarang. Tangan
kanannya terangkat sedikit, sedang tangan kirinya
melintang di depan dadanya. Ha! Inilah gaya gerakan
ilmu kepandaian sang Dewaresi dahulu di gedung
pesanggrahan Desa Gebang... Kakinya" Hai, benar!
Kedua kakinya menduduki jurus Kala Lodra, ilmu sakti
pendekar Kebo Bangah. Inilah gerakan kaki Kebo Bangah
apabila sedang bertempur melawan Guru. Apakah dia
bermaksud melawan Guru, meskipun mulutnya sudah
berkata hendak mengganti keselamatan Wira Kuluki
dengan jiwanya sendiri" Tapi... Ah, mustahil! Mustahil dia
mempunyai kepercayaan bisa melawan Guru, manakala
Guru benar-benar bermaksud mengambil jiwanya...."
Titisari tertawa manis sekali.
"Aji! Pengetahuanmu tentang hati manusia, benar-
benar sangat menyedihkan. Inilah disebabkan hatimu
sangat sederhana dan mulia."
"Hayoooo Kau mau menggoda apalagi?"
potong Sangaji. "Bukan! Masakan aku menggodamu. Kau memang
seorang berhati mulia. Karena itu, aku memilihmu,"
sahut Titisari dengan wajah bersemu dadu. Kemudian
cepat-cepat mengembalikan persoalan. Katanya
menggurui. "Betapa tinggi ilmu Daniswara, dia pun sadar
takkan mampu menangkis gempuran Paman Gagak Seta.
Jika demikian, sikap tangan dan kakinya itu dipersiapkan
untuk siapa" Hayo coba terka!"
Sangaji sesungguhnya bukan manusia tolol.
Karena hatinya memang mulia, ia menganggap
manusia ini sama mulianya dengan dirinya sendiri. Itulah
sebabnya, ia tak melihat kebusukan Daniswara. Tetapi
begitu disadarkan, segera ia dapat memecahkan teka-
teki itu. Pada saat itu, ia merasa dirinya seakan-akan
kena terguyur angin dingin sampai paras mukanya
menjadi pucat. "Ya, Tuhan.... Celaka!" ia mengeluh saking kagetnya.
"Sekarang aku mengerti.... la akan menendang tubuh
Wira Kuluki yang berada di depannya. Sedang kedua
tangannya dipersiapkan untuk menubruk Fatimah...
Tetapi mengapa begitu" Mengapa begitu?"
"Benar. Apakah kau baru tersadar?" Titisari
tersenyum. "Memang, dalam saat terpaksa, ia akan
menendang Wira Kuluki ke arah Paman Gagak Seta.
Berbareng dengan itu, ia akan menubruk Fatimah dan
dilemparkan pula ke arah Guru. Dengan tipu demikian, ia
akan memperoleh kesempatan untuk melarikan diri.
Itulah kemungkinan satu-satunya. Kemungkinan, kataku.
Sebab belum tentu dia berhasil. Tetapi kecuali itu, tiada
jalan lain yang lebih baik. Andaikata aku menghadapi
saat kritis demikian. Aku pun akan berbuat begitu juga.
Sampai pada saat ini, belum aku memperoleh jalan yang
lebih baik. Ah, benar-benar luar biasa! Bahwa dalam
sekejap mata, dia bisa memperoleh tipu begitu hebat"
membuktikan betapa licin dan cerdas dia." Setelah
berkata demikian, Titisari menghela napas kagum.
Dengan hati berdebaran, Sangaji mendengarkan
keterangan. Semenjak kanak-kanak, entah sudah berapa
puluh kali ia berjumpa dengan manusia-manusia licin dan
cerdik luar biasa. Namun manusia sehebat Daniswara,
belum pernah ia berjumpa. Sesudah tertegun karena
rasa kagum dan kaget, akhirnya ia berkata perlahan.
"Titisari.... Kau pun hebat pula. Dengan sekali melirik,
engkau sudah dapat melihat tipu-muslihatnya yang luar
biasa. Itulah suatu bukti, bahwa engkau lebih unggul dari
dia." "Ih! Kau mengejek aku?" tungkas Titisari dengan
wajah merah tua. "Kalau kau takut kepadaku, nah"kau
pergilah jauh-jauh dari-ku...."
Sangaji tertawa. "Otakmu cemerlang, tapi tidak
beracun. Selamanya aku tak pernah melihat
kejahatanmu." "Belum tentu!" kata Titisari cepat. "Coba kau berani
meninggalkan aku benar-benar, pasti kau akan
kuracuni." "Mengapa begitu?" Sangaji terkejut.
"Hidup tanpa engkau, apakah artinya" Itulah sebabnya
aku memburumu sampai ke Jawa Barat. Seumpama kau
pergi keseberang dunia, aku pun akan menyusulmu."
Terharu hati Sangaji mendengar pengakuan Titisari
yang memang berhati polos. Itulah suatu tanda rasa
cinta kasih yang besar luar biasa. Terus saja ia
memeluknya dengan rasa penuh syukur.
"Hai, apa-apaan nih?" tegur Titisari nakal. "Masakan di
tengah jalan" Hm, kau ini memang benar-benar tolol.
Apakah kau belum tersadar juga, bahwa gurumu Paman
Gagak Seta akan menghadapi lawan tangguh lagi...."
"Lawan tangguh lagi" Siapa?" Sangaji kaget.
Titisari tiada menjawab. Tapi dengan menjejak tanah
ia lari mengarah ke timur laut, Sangaji segera mengikuti.
Ia merasa heran dan aneh. Bukan lagak lagu Titisari,
tetapi mengenai gurunya. Gurunya semenjak mudanya
terkenal sebagai pendekar, seumpama seekor harimau
hanya terdengar suaranya tetapi tiada tubuhnya. Gerak-
geriknya sukar diduga-duga. Dia bisa datang dan pergi
seperti iblis. Tapi kali ini, mengapa mengubah adat" Dia
seperti terkait dan merasa tak leluasa lagi terhadap
Nenek Sirtupelaheli. Mengapa demikian"
Dengan pikiran itu, sampailah ia pada suatu
ketinggian. Dari jauh nampaklah sebuah gubuk yang
berdiri di antara dua batu raksasa. Pastilah itu gubuk
Sorohpati. Sangaji ingin segera menghampiri. Tiba-tiba
Titisari mencegahnya. "Jangan dulu!" "Mengapa" Kalau kau takut, biarlah aku sendiri."
Sangaji heran. "Hm"meskipun maksudmu baik, tetapi aku tak bakal
mengijinkan." "Mengapa?" "Entahlah. Nenek Sirtupelaheli sukar ditebak
maksudnya. Disamping itu masih ada pula Daniswara.
Apakah kau mengira, dia benar-benar pergi" Hm, belum
tentu. Dan munculmu dengan tiba-tiba akan
menyukarkan gurumu Paman Gagak Seta dan..."
"Dan siapa?" Titisari tertawa geli. Sahutnya tak pedulian. "Itumu."
"ltuku siapa?" Sangaji gelisah dan dengki. "Bibi kita,
Fatimah." Sangaji terhenyak, la tertawa geli. Namun keras
keinginannya hendak segera menemui gurunya. Karena
itu, ia mencoba memperoleh keterangan Titisari.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanyanya minta penjelasan.
"Kau berkata, bahwa kedatanganku akan
menyukarkan Guru. Bagaimana bisa begitu?"
"Eh, apakah kau tak mengenal tabiat gurumu?" Titisari
menyesali. "Sekali dia sudah mengijinkan Sirtupelaheli
dan Daniswara berbicara. Tetapi tidak untuk yang kedua
kalinya. Dan disinilah justru kita bakal memperoleh
keterangan siapa mereka berdua sesungguhnya dari si-
kap Paman Gagak Seta sebentar nanti," kata Titisari.
Tiba-tiba ia berhenti berpikir. Kemudian memutuskan.
"Baiklah. Kau boleh pergi seorang diri. Aku pun akan
berada di sebelah sana. Hanya saja, kurasa kali ini
engkau harus bersiaga. Bawalah pedang Sokayana.
Barangkali ada gunanya."
Sesudah berkata demikian, Titisari melemparkan
pedang Sokayana yang selalu dibawanya. Kemudian
melesat mendahului mengarah dibalik gundukan.
Dengan jantung memukul, Sangaji menerima pedang
Sokayana. Semenjak Titisari berada di Jawa Barat, ia
menghadiahkan pedang itu kepadanya untuk
menolongnya berlatih menghimpun tenaga sakti. Untuk
kaum pendekar, pedang Sokayana adalah merupakan
benda mustika tiada tara. Sekarang pedang tersebut
diberikan kepadanya. Itulah suatu ramalan, bahwa dia
bakal menghadapi suatu kejadian yang pelik. Tak
mengherankan, jantungnya memukul dan kepalanya
penuh dengan teka-teki. Setelah menyisipkan pedang Sokayana
dipunggungnya, dengan menggunakan ilmu berlari
ringan Sangaji mendaki mengarah utara. Dia pun
menelan gerak-gerik Titisari yang menghampiri bukit
secara tak langsung. Teringat kepada Manik Angkeran,
timbullah dugaannya bahwa padepokan Sorohpati pasti
pula banyak ragam serba bisa serta racun. Seperti
diketahui Manik Angkeran adalah murid tabib sakti
Maulana Ibrahim yang selain seorang ahli obat-obatan
juga seorang ahli racun. Tiada mustahil bahwa Manik
Angkeran pandai membuat racun dan bisa pula. Karena
Sorohpati adalah ayahnya, kemungkinan besar ia
mempersembahkan ilmu kepandaiannya kepadanya.
Sangaji tiada takut kepada racun atau bisa betapa
jahatnya. Itulah disebabkan getah sakti Dewadaru
mengalir dalam tubuhnya. Tapi daripada akan
memperoleh kesukaran, lebih baik ia berhati-hati. Maka
setiap kali meloncat, kakinya mendarat pada batu-batu
yang menconggakkan diri. Gubuk Sorohpati sudah nampak jelas kini. Ia lantas
berhenti dan menunggu. Waktu itu matahari sudah
condong ke barat. Karena awan hitam nampak
membayangi udara, suasana alam cepat sekali nampak
suram. Selagi berbimbang-bimbang, telinganya yang tajam
mendengar suara langkah. Segera ia mendekam.
Kemudian merangkak maju mendekati gubuk. Tiba-tiba
suara langkah itu lenyap. Secara kebetulan angin meniup
keras dan sedang membungkuk-bungkukkan mahkota
daunan sehingga menerbitkan suara gemersak. Inilah
suatu tanda bahwa hujan sebentar lagi akan turun atau
jatuh sebaliknya. Sangaji tidak memedulikan ancaman alam. Dengan
menggunakan kesempatan itu, ia melesat mendekati
datangnya suara langkah tadi yang tiba-tiba menghilang.
Sewaktu hampir tiba di dekat dua batu raksasa, ia
mendengar suara orang sedang berbicara berbisik.
"Fatimah! Kenapa kau berdiam saja semenjak tadi?"
Sangaji kaget. Itulah suara Sirtupelaheli. Cepat-cepat ia
merandek sambil menahan napas. Ia memasang
telinganya tajam-tajam mengikuti pembicaraan itu.
Terdengar Fatimah menyahut dengan nada prihatin.
"Bibi.... Gubuk ini, adalah gubuk calon mertuaku.
Kalau aku berbuat yang tidak-tidak.... Bukankah berarti
aku berani menentang orang tua?"
Sirtupelaheli tertawa perlahan di antara batuknya.
"Eh! Semenjak kapan adatmu berubah" Sorohpati itu
manusia macam apa sampai kau merasa hormat
kepadanya" Toh, dia belum jadi orang tuamu."
Fatimah tiada menjawab. Dan Sirtupelaheli berkata
lagi: "Coba jawab, aku ini siapa?"
"Bibi, puteri seorang bupati. Adik Gusti Ayu
Mangkarawati. Bibi Pangeran Diponegoro."
"Bagus! Kau sudah mengerti. Mana yang lebih
terhormat, aku ataukah Sorohpati?"
"Tentu saja.... Ah, dalam hal ini tak berani aku
menjatuhkan pilihanku. Baik Bibi maupun Paman
Sorohpati, kuhormati dengan setulus hatiku."
Mendengar pembicaraan mereka, terbangunlah
ingatan Sangaji. Yang disebut Pangeran Diponegoro
adalah Pangeran Ontowiryo, dahulu tunangan
Retnaningsih. Puteri ini adalah murid paman gurunya,
Suryaningrat. Juga Fatimah murid Suryaningrat. Teringat
betapa rapat hubungannya antara Fatimah dan
Retnaningsih, samar-samar ia seperti mengerti. Hanya
saja kurang jelas. Hal itu disebabkan dengan hadirnya
Nenek Sirtupelaheli. "Fatimah! Benar-benarkah engkau mencintai Manik
Angkeran anak Sorohpati" Hm... hm! Mana Bisa kau
mengelabuhi aku," kata Sirtupelaheli dengan berbatuk-
batuk. "Hayo! Bukankah engkau ingin mengabdikan
dirimu kepada anakku, Diponegoro" Coba bilang tidak!"
"A... Aku..." Mana berani aku begitu! Pangeran
Diponegoro adalah suami saudara-seperguruanku, Puteri
Retnaningsih," jawab Fatimah sulit.
Sekonyong-konyong terdengar suara tamparan. Lalu
Sirtupelaheli membentak. "Kalau kau berhati jujur, apa
sebab engkau mempelajari ilmu racun" Bukankah engkau
bermaksud hendak meracuni Retnaningsih?"
Hebat tuduhan ini. Jangan lagi Fatimah, Sangaji pun
merasa telinganya pengang. Inilah disebabkan ia teringat
akan kata-kata gadis itu tatkala mengantarkan
keberangkatannya ke Jakarta. Fatimah membicarakan
perkara kekasihnya yang bercita-cita menjadi seorang
raja dan juga perkara racun.25) Apakah yang
dimaksudkan Pangeran Ontowiryo yang kini bergelar
Pangeran Diponegoro" Mustahil! Meskipun demikian,
Fatimah tak terdengar membantah, la hanya mengerang
kesakitan. "Pikirkan masak-masak! Kalau perbuatanmu ini
kubongkar dihadapan Retnaningsih, apakah jadinya?"
ancam Sirtupelaheli. "Sebaliknya, kau hanya kusuruh
minta surat wasiat itu dari murid Sorohpati. Untuk siapa
surat wasiat itu" Sesungguhnya hendak kupersembahkan
kepada anakku, Pangeran Diponegoro. Jika engkau
benar-benar bersih hati. Nah, tunjukkan buktinya
kepadaku, ketulusan hatimu kepadaku."
"Bibi, tak dapat aku berbuat begitu," sahut Fatimah
dengan suara mengeluh. "Binatang!" bentak Sirtupelaheli. "Kalau begitu, perlu
apa aku menghidupi engkau" Tahukah engkau, apa
sebab surat wasiat itu harus jatuh ketangan anakku
Diponegoro" Ini demi cita-cita negara dan bangsa. Lihat,
ayahnya Hamengku Buwono III wafat sebelum
waktunya. Juga kakeknya Sultan Sepuh. Mahkota
sekarang kosong. Yang dicalonkan adalah seorang
kanak-kanak lemah, Pangeran Jarot. Kau belum juga
menyadari bahaya ini?"
Fatimah tak segera menjawab. Selang beberapa saat
lamanya, ia terdengar berkata perlahan:
"Tak dapat. Bibi, tak dapat aku berbuat begitu."
Sangaji tersenyum mendengar jawaban Fatimah.
Inilah watak gadis itu yang dikenalnya dahulu. Sekali
berkata tidak, dia pasti akan tetap membandel biar
mendapat siksaan betapa berat pun.
"Mengapa tidak" Mengapa tidak?" Sirtupelaheli
kuwalahan. "Jangan-jangan... Surat wasiat itu akan Bibi serahkan
kepada Patih Danureja IV atau Paman Tumenggung
Pringgadiningrat atau Paman Tumenggung Mertanegara.
Kalau sampai demikian... Bagaimana kau berbicara
dengan anak-anakku Titisari dan Sangaji."
Tercekat hati Sangaji mendengar keterangan Fatimah
mendengar pula namanya disinggung-singgung.
Sekonyong-konyong ia mendengar bentakan
Sirtupelaheli. Suara tamparan kemudian menyusul.
Sesudah Fatimah mengerang kesakitan, ia menghela
napas panjang. Dewasa itu, Sultan Sepuh Hamengku Buwono II telah
lama ditawan dan dibuang ke Penang oleh Pemerintah
Inggris. Kemudian dipindah ke Ambon. Kanjeng Raja
diangkat kembali menjadi Sultan Hamengku Buwono III
pada tanggal 28 Juni 1812. Untuk jasa ini, Sultan
Hamengku Buwono III kehilangan haknya atas tanah-
tanah di Kedu, Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan.
Dalam usia 43 tahun, Beliau wafat pada tanggal 3
November 1814. Sebagai penggantinya, Pemerintah
Inggris memilih Pangeran Jarot yang baru berumur 10
tahun (lahir tanggal 3 April 1804) Tata pemerintahan
diserahkan kepada Dewan Perwakilan yang terdiri dari
Patih Danureja IV, Tumenggung Pringgadiningrat dan
Tumenggung Mertanegara. Akan tetapi Pemerintah Inggris tidak setuju. Yang
dipilihnya adalah Pangeran Natakusuma seorang untuk
menjadi wali Sultan. Hal ini ada sebabnya. Karena
Pangeran Natakusuma pernah membuat jasa terhadap
Pemerintah Inggris tatkala berperang melawan Sultan
Sepuh. Inggris menghadiahi sebagian tanah Sultan dan
memberinya gelar Paku Alam I pada bulan Maret 1813.
Dan semenjak itu, terjadilah pertentangan-pertentangan
hebat di dalam kalangan keluarga raja. Mereka saling
menggunakan tipu muslihat, fitnah dan racun.
Sangaji pada saat-saat itu berada di Jawa Barat. Tidak
mengherankan bahwa ia belum mengetahui
perkembangan di wilayah Kerajaan Yogyakarta. Hanya
saja, sebagai seorang yang pada saat itu mengendalikan
tata perjuangan di Jawa Barat, ia merasa curiga
mendengar Fatimah kena tamparan setelah menyebut-
nyebut serentetan nama. Diluar dugaan, tiba-tiba ia mendengar suara
Sirtupelaheli berubah menjadi sabar. Kata nenek itu:
"Baiklah. Kau memang benar-benar mencintai anak
Sorohpati tak apalah, meskipun sebenarnya aku
mempunyai rencana sendiri. Bakal mertuamu Sorohpati,
mestinya orang baik-baik. Anaknya pun pasti demikian
pula. Ingatlah Fatimah, tunanganmu, Manik Angkeran
kini berada di Jawa Barat. Kalau dia pulang kemari, mes-
tinya akan membawamu ke Jawa Barat. Karena itu, perlu
apa engkau berpusing-pusing perkara surat wasiat"
Sebaliknya, anakku Pangeran Diponegoro memerlukan
wasiat itu demi keselamatan bangsa dan negara. Kalau
tidak, Pangeran Jarot bakal menjadi raja boneka belaka.
Kau pertimbangkan hal ini. Apakah engkau sampai hati,
bila rajamu sampai menjadi boneka" Sebaliknya kalau
kau bisa membawa surat wasiat itu... hm... setidak-
tidaknya engkau terhitung sebagai wanita yang berjasa
bagi kebangunan bangsamu...."
Fatimah menghela napas. Lama sekali ia berdiam diri.
Sekonyong-konyong dia berkata: "Tapi surat wasiat itu
kini sudah berada di tangan pendekar Gagak Seta."
"Jangan banyak mulut! Bawa kemari kaleng itu!"
bentak Sirtupelaheli. Sangaji melongokkan kepalanya. Tiba-tiba bulu
kuduknya meremang. Lapangan didepannya nampak
berasap setelah Sirtupelaheli menuangkan isi kalengnya.
Itulah suatu racun yang hebat.
Kalau begitu, nenek itu sudah bersiaga untuk
bertempur. Karena merasa diri belum tentu bisa
memenangkan Gagak Seta, ia menebarkan racun di
seluruh lapangan. Kemudian dia hendak menantang
Gagak Seta agar bertempur di atas tanah beracun itu.
Dia sendiri sudah barang tentu telah bersiaga untuk
melawan racun. Sebaliknya begaimana dengan Gagak
Seta" Mengingat kasih sayang gurunya Gagak Seta
terhadap dirinya, darahnya lantas saja mendidih
menyaksikan kejahatan dan kebusukan hati nenek itu.
Teringat akan masalah yang mengehantui, ia jadi
menyesal. Mengapa orang ini mendadak jadi linglung
begitu mendengar guratan rahasia ilmu sakti berada
dalam surat wasiat Titisari"
"Benarlah kata Ibu dahulu," kata Sangaji di dalam hati.
"Benda keramat itu akan menerbitkan suatu kekeruhan
saja. Karena itu aku menghancurkannya. Eh tak tahunya,
Titisari membuat gara-gara lagi."
Hati-hati Sangaji merangkak-rangkak maju. Makin
mendekat, makin terasa hatinya seperti terguyur air
dingin. Tanah yang tadi nampak menguap, kini tiada
tanda-tandanya lagi. Benar-benar hebat racun itu. Nenek
Sirtupelaheli dan Fatimah nampak mengenakan sepatu.
Dengan demikan, meraka berdua bebas dari hawa tanah.
Ah, benar-benar jahat. Tatkala melihat wajah Fatimah
yang matang biru, ia jadi iba. Fatimah dikenalnya sebagai
gadis setengah liar, karena wataknya angin-anginan.
Tetapi terhadap orang tua itu, ia mati kutu. Pastilah ada
sebabnya yang beralasan kuat. Alasan apakah itu,
sampai sekarang Sangaji belum jelas.
Sangaji adalah seorang yang sangat sabar. Tapi
darahnya sekarang meluap-luap. Dengan mati-matian ia
mencoba menguasai pergolakan hatinya. Ia sadar bahwa
sekali mengumbar nafsu akan merusak urusan besar
yang sedang bermain di depan matanya.
"Nenek itu memanggil adik terhadap guru.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pastilah dahulu mempunyai hubungan yang sangat
erat. Sekarang biarlah mereka berdua bertengkar dahulu.
Baru aku muncul. Hari ini" hidupku membuka mataku"
untuk melihat tontonan yang pasti menarik. Nenek ini
terus menerus membawa-bawa nama Pangeran
Diponegoro. Benarkah hatinya setulus ucapannya?"
Setelah mengambil keputusan demikian, hatinya
menjadi tenang kembali. Segera ia bersender pada batu
dengan melindungi dirinya dengan gerombol rumpun
alang-alang. Angin yang semenjak tadi membawa berita hujan,
datang lagi dengan sangat keras. Tiba-tiba telinga
Sangaji yang tajam luar biasa, mendengar suatu suara
seperti jatuhnya selembar daun. Kaget Sangaji
mendengar suara seringan itu. Kalau suara ini suara
langkah kaki pastilah orang itu berkepandaian sangat
tinggi. Segera ia mengelanakan pandang. Pada saat itu,
ia melihat berkelebatnya sesosok bayangan. Segera ia
mengenalnya. Itulah Daniswara yang datang dengan
membawa sebatang golok panjang. Golok itu sangat
tipis. Bentuknya agak melengkung dan dibungkus
dengan kain tipis pula. Menyaksikan lagak-lagunya, diam-
diam Sangaji memuji ketajaman penglihatan Titisari.
Pikirnya di dalam hati: Benar-benar dia bukan manusia baik. Aku harus
berwaspada. Mendadak terdengar Nenek Sirtupelaheli berseru
tinggi. "Adikku Gagak Seta! Anjing yang tak kenal terima
kasih tadi, datang kembali."
Sangaji terkejut. Nenek Sirtupelaheli benar-benar tak
boleh dibuat gegabah. Pikirnya di dalam hati: "Jangan-
jangan dia sudah mengetahui kedatanganku semenjak
tadi." Ia melihat Daniswara merebahkan diri di atas
rerumputan tanpa berani bergerak.
Sejenak kemudian, maju merayap dengan sangat hati-
hati kira-kira dua puluhan langkah ke depan. Melihat hal
itu, ia maju pula mendekati Nenek Sirtupelaheli untuk
menjaga kemungkinan terjadinya penyerangan gelap
terhadap gurunya. Pada saat itu Gagak Seta muncul dari dalam gubuk
dengan mengucak-ucak matanya sambil menguap
beberapa kali. Katanya bermalas-malasan:
"Kenapa kau mengganggu orang lagi tidur?"
"Adikku!" sahut Sirtupelaheli. "Kau percaya kepada
orang lain, sebaliknya mencurigai aku. Lihatlah"tadi
siang kau melepaskan Daniswara. Tapi sekarang dia balik
kemari lagi." Kembali lagi Gagak Seta menguap lebar. Berkata di
antara uapnya. "Alrtupah! Tombak terang gampang
dikelit. Tapi anak-panah gelap sukar dijaga. Hm, puluhan
tahun Gagak Seta malang-melintang seorang diri. Selama
itu, aku sering menderita karena perbuatan kawan
sendiri yang menusuk dari belakang. Itulah termasuk kau
pula. Kalau Daniswara mau mencari aku, biarlah dia
mencari aku. Kau tak usah berpura-pura berbaik hati
kepadaku." "Mengapa kau mencurigai aku?" Sirtupelaheli
bergusar. Gagak Seta tertawa terbahak-bahak selintasan.
"Bocah yang mengikuti engkau saja, semenjak tadi
menaruh curiga kepadamu. Apa lagi aku..."
Sirtupelaheli terkejut. Teringat akan pembicaraannya
tadi, sadarlah dia bahwa Gagak Seta sudah mendengar
dengan terang. Teringat pula akan racunnya, diam-diam
ia mengeluh. Cepat ia mencoba mengatasi.
"Jangan kau dengarkan omongan yang bukan-bukan.
Anak ini cuma seorang gadis yang kebetulan kupungut di
tengah jalan. Betapa aku mencoba mengangkatnya,
tetapi loyang tetap loyang."
"Hm," dengus Gagak Seta.
"Adikku! Kau dengarkan aku!" Sirtupelaheli
mengalihkan pembicaraan. "Kau sendiri pasti tahu,
bagaimana sikap kaki dan tangan binatang Daniswara,
tatkala lagi berbicara gagah kepadamu. Bukankah dia
berhati palsu?" Setelah berkata demikian, Sirtupelaheli
tertawa nyaring tinggi. Kaget Sangaji mendengar ucapannya. Pikirnya, kalau
begitu nenek itu benar-benar hebat pula. Kelicinannya
tak beda dengan Daniswara sendiri. Kata-katanya
membuktikan pula, bahwa ia memiliki otak cemerlang
seperti Titisari. Sebaliknya Gagak Seta tiada berubah sikapnya. Hanya
wajahnya tiba-tiba nampak bersunguh-sungguh.
Tangannya meraba saku, mengeluarkan kain hitam yang
segera dibebatkan pada kedua belah matanya. Aneh
perbuatannya. Sebelum Sangaji tahu maksudnya, ia
mendengar Gagak Seta berkata angker.
"Sirtupah, tak usah kau berkata aku pun masakan
tidak tahu. Tetapi aku seorang laki-laki. Selamanya
membiasakan diri menghargai kata-kata ucapan seorang
laki-laki pula. Sebaliknya, aku hanya heran terhadap
sikapmu. Terang-terangan kau sudah mengerti maksud
busuknya. Mengapa kau berdiam saja" Maka teranglah, se-
sungguhnya kau menggenggam maksud apa terhadapku.
Hm, hm! Kalau begitu, kau pun menganggap enteng
Gagak Seta. Lihat, sekarang semuanya sudah kasep. Aku
telah mengenakan pita hitam untuk menutupi kedua
mataku. Artinya, aku sudah tidak mengenal sahabat atau
golongan sendiri." Sesudah berkata demikian, tiba-tiba ia
melesat cepat luar biasa. Tahu-tahu ia sudah berhadapan
dengan Daniswara. Dengan sekali menggerakkan tangan kirinya, ia
merampas golok bengkok. Sedang tangan kanannya
mencengkeram leher Daniswara. Bentaknya, "Binatang!
Aku bisa mengambil nyawamu segampang memutar
leher ayam. Tetapi aku sudah meluluskan engkau untuk
belajar sepuluh dua puluh tahun lagi agar dikemudian
hari bisa menuntut balas kepadaku. Dengan kejadian ini,
engkau kuberi waktu lima tahun. Pada saat itu manakala
aku bertemu dengan dirimu, engkau hanya mempunyai
dua pilihan. Kalau mampu kau harus melawan aku
mengadu kepandaian sampai mampus. Sebaliknya, kalau
kau merasa diri belum mampu, kau harus pergi cepat-
cepat sebelum aku melihatmu. Sebab kalau mataku
sampai melihat, aku akan membunuhmu."
Setelah berkata demikian, ia mengangkat tubuh
Daniswara dan dilontarkan. Apa mau, Daniswara justru
melayang hendak menjatuhi tanah yang sudah tersiram
racun. Keruan Sirtupelaheli kaget setengah mati. Kalau
Daniswara sampai jatuh di atas tanah jebakan itu, artinya
rencananya gagal. Secepat kilat ia melompat dan
memukul punggung Daniswara dengan tongkatnya.
"Pergi!" bentaknya. ?"Aku pun benci kepadamu."
Kena pukulan Sirtupelaheli, Daniswara terpental tinggi
dan tubuhnya melayang keluar tanah beracun. Terdengar
Sirtupelaheli membentak lagi. "Kamu kumpulan binatang
berpura-pura menjadi pembantu Sultan Sepuh dengan
melindungkan diri dibawah panji-panji Tunggul Wulung.
Uh, uh, uh! Masakan aku bisa kalian ingusi" Kau bawalah
bala-bantuan untuk mencari aku. Nih, biar aku
menghadiahi sebatang senjata bidikanku."
Dengan sekali gerak, Sirtupelaheli menyambitkan
sebuah benda yang berkeredep kuning keemas-emasan.
Dan menancap pada urat leher Daniswara. Sangaji
tertegun menyaksikan kelicinan nenek itu. Pikirnya,
dilihat sepintas lalu, dia seperti membantu guru. Tetapi
sebenarnya ia bergulat demi kepentingannya sendiri. Dia
perlu memukul urat leher Daniswara untuk menjaga
mulut pemuda itu kalau-kalau membuka rahasianya. Ah,
benar-benar licin! Untunglah; begitu kena senjata bidik, Daniswara lari
lintang-pukang turun bukit, sejenak Sangaji
mengawaskan kepergiannya. Kemudian kembali
mengintip wajah Gagak Seta yang nampak angker. Pada
saat itu, ia benar-benar kagum kepada kegagahan
gurunya. Dia sendiri sudah memiliki ilmu sakti tertinggi
dijagad. Namun dibandingkan dengan kecerdikan
gurunya ia merasa kalah. Katanya di dalam hati,
"Tahulah aku sekarang, apa sebab guru belum mening-
galkan Nenek Sirtupelaheli" Dia berpura-pura ber-
musuhan dengan Daniswara, tetapi sebenarnya bidikan
hatinya kepada si nenek. Guru merasa curiga, hanya saja
belum memperoleh bukti. Tetapi sekarang pastilah lain."
Memang benarlah pendapat Sangaji. Gagak Seta
bukanlah seorang pendekar lumrah. Namanya sejajar
dengan Adipati Surengpati dan Kebo Bangah yang
terkenal serba pandai, licin dan licik. Karena itu, sudah
barang tentu mengetahui belaka sikap tangan dan kaki
Daniswara tatkala berbicara kepadanya. Hanya saja ia
berpura-pura goblok. Tetapi sebenarnya justru lagi
menjebak Sirtupelaheli. Sekiranya Sirtupelaheli masih mengingat hubungan
lama, pastilah dia bakal memberi peringatan kepadanya.
Sebaliknya, tidak. Untuk meyakinkan lagi, Gagak Seta
membuat gerakan diluar dugaan. Sengaja ia
melemparkan tubuh Daniswara ke arah Sirtupelaheli.
Tetapi tidak langsung mengarah tempatnya. Sebaliknya
hanya dilemparkan sekeliling tempat beradanya. Karena
takut ketahuan rahasianya, cepat-cepat Sirtupelaheli
mengadakan reaksi. Justru hal itu, malahan membuka
kedoknya. Dan sebagai seorang pendekar besar yang
cukup berpengalaman, Gagak Seta lantas saja tertawa
terbahak-bahak dengan mendongak ke udara.
"Ah! Guru benar-benar manusia hebat!" Sangaji
kagum dalam hati. "Nenek Sirtupelaheli boleh merasa diri
seorang manusia cerdik, licin dan banyak akal. Tetapi
Guru terbukti lebih pandai daripadanya. Titisari pun
ternyata dilagaki Guru pula, sehingga mengira Guru
belum sadar akan tipu daya Daniswara. Hm, inilah yang
dinamakan menggunakan racun untuk melawan racun.
Guru, kau benar-benar manusia jempolan!"
Dalam pada itu terdengar Gagak Seta berkata nyaring.
"Sirtupah! Entah berapa banyak manusia busuk di dunia
ini seperti Daniswara. Membunuhnya atau tidak bukanlah
suatu soal pelik, yang berbahaya sekarang, justru
menghadapi engkau." "Adikku..." potong Sirtupelaheli. "Kita berdua adalah
saudara-saudara seperguruan. Sampai sekarang masih
aku teringat ucapan Guru yang memuji hari depanmu.
Ternyata benar. Menyaksikan ketajaman telinga dan
matamu, aku percaya engkau masih bisa malang
melintang tanpa tandingan sepuluh tahun lagi...."
"Hm, Sirtupah! Dalam hal kelicinan, kau memang
sepuluh kali lipat dari padaku," potong Gagak Seta. "Tapi
lihatlah kedua mataku ini. Bukankah sudah kubebat"
Kalau kau masih teringat ucapan Guru, pasti pula masih
teringat adat-istiadat perguruan kita. Apa artinya aku
membebat kedua mataku dengan kain hitam?"
Tertarik hati Sangaji mendengar pembicaraan itu.
Sadar, bahwa ia lagi menghadapi dua tokoh manusia
yang berilmu sangat tinggi, segera ia menggunakan ilmu
saktinya yang tertinggi pula untuk meniadakan dirinya.
Sirtupelaheli berbatuk-batuk sekian lamanya. Lalu
berkata menyesali. "Benar-benarkah engkau akan melupakan saudara
seperguruanmu?" "Kau jawablah yang terang!" Gagak Seta tidak
memedulikan. "Meskipun kau memanggil diriku adik,
sesungguhnya hanyalah disebabkan suatu pertalian
keluarga. Kau sepuluh atau lima belas tahun lebih muda
dari padaku. Aku ingin minta keteranganmu yang jelas,
apa sebab engkau senang memakai topeng yang tak
keruan macamnya." "Ih! Pertanyaanmu ini sungguh memalukan!"
gerendeng Sirtupelaheli. "Aku memakai kedok atau tidak,
apa pedulimu?" "Juga terhadap aku?"
"Justru terhadapmu, aku harus memakai topengku
kuat-kuat. Karena semuanya ini justru engkaulah yang
menyebabkan," jawab Sirtupelaheli.
Sangaji adalah seorang yang berhati sederhana.
Tetapi begitu mendengar serentetan tanya jawab itu, ia
seperti bisa menangkap. Tetapi sebelum mengerti
dengan jelas, wajahnya terasa panas. Dan pada saat itu,
ia mendengar Gagak Seta menghela napas prihatin. Kata
pendekar besar itu, "Sirtupah! Baikiah, aku mengingat
hubungan kita dahulu, aku masih mau memberimu
peluang untuk sekali ini saja. Hanya saja cobalah kau
berbicara yang benar, apa sebab kau ikut-ikutan
mengincar surat wasiat?"
"Itulah karena kemenakanku, Pangeran Diponegoro,"
sahut Sirtupelaheli. Mendengar jawaban itu. Gagak Seta tertawa terbahak-
bahak. Lalu berkata dengan bergusar.
"Sirtupah! Benar-benar kau manusia yang tidak
seharusnya hidup lama-lama lagi." Setelah berkata
demikian, ia maju selangkah mendekati tanah yang
sudah beracun, la berdiam sejenak. Kemudian berkata
dengan suara agak lunak. "Sirtupah! Lihatlah, bahwa engkau sudah menjadi
seorang isteri tingkatan atas. Itulah sebabnya pula, kau
berhak memanggil aku adik, karena suamimu tingkatan
darahnya lebih tua daripadaku. Aku menyaksikan dengan
mata kepalaku sendiri, betapa engkau dahulu sangat
cinta kepadanya. Coba terangkan, apa sebab pada suatu
hari suamimu mati dengan mendadak?"
"Eh, manusia manakah yang tidak akan mati?"


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sirtupelaheli bergusar. "Benar. Manusia ini pasti mati. Tetapi mati dan mati
ada bedanya. Suamimu masih segar-bugar. Kutaksir dia
masih bisa hidup empat atau lima puluh tahun lagi. Apa
sebab tiba-tiba mati tanpa sakit. Bukankah engkau yang
meracuni" Hayo, bilanglah!"
"Gagak Seta! Kau ikut-ikutan pula menuduh aku?"
bentak Sirtupelaheli. "Lihatlah, aku sampai mengenakan
topeng. Untuk apa" Karena aku hampir gendeng kena
tuduhan itu. Untuk membuktikan bahwa aku tidak
bersalah, aku bersumpah tidak akan kawin lagi. Lalu
mengenakan topeng seburuk ini dan berlagak seperti
nenek-nenek tua bangka benar-benar. Bukankah aku
sudah cukup menyiksa sendiri. Lihat, lihatlah yang
terang. Kalau aku berangan-angan membunuh suami
sendiri untuk mencari suami yang lain, bukankah
wajahku masih lumayan juga" lihat!"
Setelah berkata demikian dengan sekali meng-
gerakkan tangan, ia melocoti topengnya.
Sangaji bukan seorang pemuda bongor. Tetapi karena
merasa tertarik, ia melongokkan pandang. Dan begitu
topeng terlocot ia melihat suatu wajah .yang cantik luar
biasa. Sayang dia bukan seorang pemuda yang
berpembawaan romantis sehingga tiada dapat
melukiskan kejelitaan wajah Sirtupelaheli.
Gagak Seta sendiri tetap berdiri tegak. Kedua
"Lihat! Lihatlah yang terang. Kalau aku berangan-
angan membunuh suami sendiri untuk mencari suami
yang lain, bukankah wajahku masih lumayanjuga! Lihat"
matanya tetap terbebat kencang-kencang. Terang
sekali, ia tak sudi melihat wajahnya saudara-
seperguruannya lagi. Sesudah menjenak napas, ia
berkata: "Sirtupah! Meskipun kedua mataku terbebat,
tetapi jangan khawatir. Masih saja aku teringat akan
kecantikanmu. Tapi... Ah! Moga-moga tidaklah benar
warta yang pernah kudengar. Kudengar, engkau
menutupi mukamu dengan topeng, justru untuk
menutupi kebusukan hatimu. Benarkah engkau sudah
mengabdikan cintamu kepada almarhum Kanjeng Raja"
26) Mendadak dua benda kuning keemas-emasan
berkeredep menyambar dada Gagak Seta. Kedua mata
Gagak Seta terbebat kain hitam. Walaupun demikian"
perasaannya yang sudah peka"mendengar suara
sambaran. Tongkatnya mengibas dan dua senjata
rahasia Sirtupelaheli lenyap masuk ke dalam lengan baju.
Senjata bidik Sirtupelaheli terbuat dari emas lapisan,
sedangkan tongkat Gagak Seta mengandung besi berani.
Tak mengherankan"begitu dikibaskan"kedua senjata
bidik Sirtupelaheli kena tertarik. Dan dengan mudah
dapat dimasukkan ke dalam lengan baju. Inilah suatu hal
yang tak pernah terduga, bahwa tongkat Gagak Seta
yang nampaknya tiada berharga sebenarnya merupakan
alat penakluk segala macam senjata rahasia. Pantas,
Titisari dahulu pernah tertarik.
Dengan beruntun, Sirtupelaheli telah melepaskan
tujuh sampai delapan senjata rahasianya. Dan semuanya
dapat disedot lenyap oleh tongkat Gagak Seta. Tatkala
itu, matahari sudah tenggelam. Dalam kemuraman
cuaca, senjata rahasia Sirtupelaheli berkeredep seperti
kunang-kunang. Sekonyong-konyong, dengan berbatuk-batuk
Sirtupelaheli meraup segenggam senjata rahasianya
kemudian ditebarkan dengan sekaligus. Dengan bersiul
Gagak Seta menyambut serangan itu. Sebagian masuk
ke dalam lengan baju. Sebagian lagi menempel pada
tongkatnya atau runtuh di atas tanah.
"Sirtupah! Ada tetamu harus dibalas!" seru Gagak Seta
dengan nada girang. "Kuingat, selamanya Guru sayang
padamu sampai engkau mewarisi senjata rahasia
semahal sebuah kota. Aku sih manusia miskin, manusia
jembel. Karena kepingin mempunyai senjata bidik pula,
pada suatu hari seorang muridku mencarikan bahan yang
murah. Itulah biji-biji sawo. Tadinya kusediakan untuk
menggebah tabuhan si Kerbau bangkotan27) Eh, biarlah
hari ini kucoba untuk menguji ketangkasanmu."
Setelah berkata demikian, tangan kirinya tiba-tiba
bergerak. Sifat biji sawo lain dengan senjata bidik yang
terbuat dari bahan logam. Pada malam hari, sama sekali
tidak nampak. Tiba-tiba saja seperti hujan lebat biji-biji
sawo Gagak Seta menyerang dengan berbondongan.
Bukan main kagetnya si nenek. Untunglah, dia pun
seorang pendekar wanita tangguh. Kepandaiannya
barangkali hanya setingkat di bawah gagak Seta. Maka
begitu melihat bahaya, dengan berbatuk-batuk ia
melompat tinggi ke udara. Tangannya berserabutan
kalang kabut. Setelah berjuang mati-matian, ia dapat
turun kembali ke tanah dengan selamat.
"Bagus! Bagus! Kau pun tidak menyia-nyiakan kasih
sayang Guru. Hanya saja kalau penyakitku kumat, belum
tentu kau bisa berhasil menyelamatkan diri."
Sirtupelaheli bergidik. Ucapan Gagak Seta bukan
omong kosong belaka. Kalau bermaksud jahat benar-
benar, sewaktu tubuhnya melayang turun, dia bisa kena
serang kembali. Rasanya sekalipun mempunyai sayap,
belum tentu bisa lolos. Terlebih-lebih apabila kain
pembebat mata tiba-tiba dibukanya. Bisa dibayangkan
betapa bertambah berbahaya.
Memperoleh pertimbangan demikian, segera ia sadar
tidak boleh menyia-nyiakan suatu kesempatan bagus.
Mumpung Gagak Seta masih membebat kedua matanya,
cepat-cepat ia menyerang. Dan dengan suatu kecepatan
luar biasa, tongkatnya bergerak menyabet pundak. Inilah
suatu serangan tak terduga. Tetapi seumpama kedua
mata Gagak Seta tidak tertutup, betapa cepat
Sirtupelaheli tidak akan seberapa me-nyukarkan
pendekar besar itu. Sebaliknya, kini kedua matanya
terbebat, la hanya mengandal kepada suara sambaran
angin. Itulah sebabnya tak berkesempatan lagi ia
mengelakkan serangan mendadak itu. Tiba-tiba
pundaknya kena terpukul miring. Dengan mengaduh, ia
terhuyung mundur beberapa langkah.
Melihat hal itu, Sangaji kaget bercampur girang. Itulah
disebabkan ilmu saktinya yang tinggi. Pada waktu itu,
Sangaji sudah menduduki suatu tingkat sangat tinggi
dalam ilmu silat. Selain pengalamannya bertambah, ia
pun mewarisi salah satu ilmu sakti warisan Pangeran
Semono. Dengan sekali melihat, ia bisa menduga bahkan
meramalkan pukulan-pukulan kedua belah pihak yang
bakal mendatang. Maka begitu melihat limbungnya
Gagak Seta tahulah dia, bahwa gurunya sedang
melakukan suatu tipu. Pikirnya di dalam hati, Guru
membiarkan dirinya kena pukulan, la mundur terhuyung
beberapa langkah. Sebenarnya dengan diam-diam, ia sedang
mengumpulkan senjata rahasia Sirtupelaheli, yang
berada dalam lengan bajunya. Kalau ia menimpuk,
Sirtupelaheli pasti akan mundur ke kiri. Pada saat itu,
guru pasti membabatkan tongkatnya. Dan karena segan
terhadap tongkat guru, Sirtupelaheli pasti akan mundur
lagi ke kiri. Setelah dua kali mundur, tak dapat lagi ia
mundur untuk yang ketiga kalinya.
Inilah suatu kesempatan bagus bagi Guru, untuk
mengerahkan segenap himpunan tenaga saktinya.
Dengan tenaga sakti itu, Guru akan menggebah senjata
rahasia Sirtupelaheli yang menempel pada tongkatnya.
Meskipun belum tentu bisa membinasakan Sirtupelaheli,
tetapi setidak-tidaknya akan bisa melukai berat. Ah, Guru
benar-benar cerdik! Apa yang diduga, ternyata benar belaka. Tiba-tiba
terlihatlah berkeredipnya senjata rahasia Sirtupelaheli
menyerang majikannya. Dan seperti dugaan Sangaji,
Sirtupelaheli mundur ke kiri. Dan pada saat itu, Gagak
Seta membabatkan tongkatnya. Diluar dugaan, tongkat
itu mengenai pundak. "Ih!" Sangaji terkejut. Mestinya dia bisa mundur ke kiri
sekali lagi. Tapi mengapa pundaknya sudah kena"
Celaka! Dia pun membalas tipu dengan tipu pula."
Sesudah mengaduh kesakitan, Sirtupelaheli mundur ke
kiri. la sengaja menyakiti diri dengan membiarkan kena
babatan tongkat untuk memancing Gagak Seta
mendekati. Dan mendekati dirinya, berarti pula
mendekati tanah beracun. Pancingannya berhasil. Karena
perhitungan Gagak Seta agak meleset, ia lantas melom-
pat menubruk. Ini disebabkan, babatan tongkatnya
sudah mengenai sasaran di luar perhitungan.
Dengan demikian tidak perlu ia menimpukkan senjata
rahasia Sirtupelaheli yang menempel pada tongkatnya.
Justru inilah yang dikehendaki Sirtupelaheli. Coba dia tadi
mengelakkan babatan tongkat, pastilah dia bakal
diserang senjata rahasianya sendiri yang menempel pada
tongkat Gagak Seta. Cepat ia mundur. Pada saat itu
Gagak Seta menubruk. Tubuhnya melayang dan
tongkatnya menyambar. Mendadak terdengarlah suatu teriakan nyaring.
"Awas! Tanah dibawah beracun!"
Gagak Seta kaget. Inilah tipu Sirtupelaheli yang dapat
ditangkap Sangaji. Begitu melihat Gagak Seta menubruk
ia sudah mengeluh. Pada detik itu, belasan senjata rahasia menyambar
tubuh Gagak Seta. Hebat! Hebatlah Nenek Sirtupelaheli.
Sebenarnya dialah tadi yang terancam bakal kena
serangan senjata rahasia. Tak tahunya, Gagak Seta kini
justru terancam bahaya. Inilah berkat kecerdasan
otaknya. Gerak-geriknya sukar diduga seperti peringatan
Titisari. Tubuh Gagak Seta pada saat itu berada di tengah
udara. Tiada kesempatan lagi untuk menghindari atau
mundur dengan jungkir-balik. Makiumlah, ia berada
dalam gerakan menubruk. Betapa mungkin bisa mundur
berjumpalitan. Dan tanah beracun dibawahnya
mengancam jiwanya. Sekali ini, Gagak Seta benar-benar berada dalam saat-
saat tak berdaya. Dia dapat menyapu runtuh belasan
senjata rahasia yang menyerang dirinya. Tetapi untuk
mengelakkan tanah yang berada dibawahnya tidak
mungkin lagi. Tiba-tiba pada saat kakinya hendak
meraba tanah, suatu kesiur angin dahsyat mengangkat
tubuhnya berbalik tinggi ke udara. Dan oleh pertolongan
angin itu, dia bisa berjungkir-balik dan hinggap di atas
batu yang berada di luar tanah beracun.
Gagak Seta bergusar bercampur kaget, la bergusar,
karena tak mengira bahwa saudara seperguruannya
benar-benar menghendaki nyawanya. Sedangkan dia
sendiri, meskipun sudah membebat kedua matanya
tetapi untuk membinasakan Sirtupelaheli dengan
sungguh-sungguh"masih belum sampai hati. Sebaliknya
ia kaget, karena telah memperoleh suatu pertolongan
dari seseorang yang berkepandaian sangat tinggi.
Malahan, mungkin sekali kepandaian si penolong berada
diatasnya. "Hebat sungguh kepandaian orang ini. Sudah lama dia
menonton, namun aku tidak mengetahui. Sekiranya ilmu
kepandaiannya tidak berada diatasku, mustahil dia luput
dari pengamatanku," pikirnya di dalam hati. Tak terasa
keringat dingin membasahi sekujur dahinya.
Maklumlah, selamanya ia tak pernah gentar
menghadapi siapa saja. Pada zaman itu, pendekar
tingkat wahid adalah Kyai Kasan Kesambi, Adipati
Surengpati, Mangkubumi I, Kyai Haji Lukman Hakim,
Kebo Bangah dan Pangeran Sambernyawa. Ilmu
kepandaian mereka setataran dengan ilmu
kepandaiannya. Tiga puluh tahun yang lalu, mereka
pernah mengadu kepandaian. Masing-masing memiliki
keunggulannya sendiri. Tiada yang menang maupun
yang kalah. Sebaliknya, kali ini adalah lain. Kepandaian si penolong
benar-benar berada diatasnya. Tak mengherankan,
hatinya menjadi ciut. "Baru sepuluh tahunan aku menyekap diri. Tak
kusangka, dunia melahirkan seorang tokoh lain yang
melebihi diriku. Benar-benar tulangku sudah "keropos!"
Sekarang, baik Gagak Seta maupun Sirtupelaheli"
telah menderita luka pada pundaknya masing-masing.
Meskipun tidak berat, betapa pun juga mengganggu
ketegarannya. Setelah berbatuk-batuk sambil mengenakan
topengnya kembali, Sirtupelaheli berputar
Ke arah tempat persembunyian Sangaji. "Siapakah
kau, Tuan yang berani mengacau kegembiraanku" Kalau
kau seorang jantan, nah, muncullah dihadapanku,"
bentaknya. - Mendengar teguran Sirtupelaheli, Sangaji segera
hendak menjawab. Tiba-tiba ia mendengar teriakan
menyayat hati. Nanar ia menoleh dan melihat Fatimah
rebah terkapar di atas tanah. Tiga batang senjata rahasia
Sirtupelaheli menancap di dadanya. Inilah kejadian diluar
dugaan dan terjadi dengan sangat cepat.
Rupanya Sirtupelaheli mendongkol, karena teriakan
peringatan Fatimah tadi kepada Gagak Seta agar
berwaspada terhadap tanah beracun. Inilah yang
membuat rencananya buyar. Coba Fatimah tidak
berteriak memperingatkan pastilah Gagak Seta bakal
mampus keracunan di atas tanah jebakan. Itulah
sebabnya selagi mulutnya membentak ke arah Sangaji,
tangannya bekerja. Tiga batang senjata rahasianya
ditimpukkan ke arah dada Fatimah. Benar-benar sukar
diduga gerak-gerik Sirtupelaheli. Pantaslah, Gagak Seta
yang biasanya berwatak terbuka, tak berani gegabah
menghadapi Sirtupelaheli yang ternyata adalah adik


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperguruannya. Sangaji terkejut bukan kepalang. Mimpi pun tidak,
bahwa nenek itu bisa berbuat sekejam itu. Tanpa berpikir
panjang lagi, ia terus melesat tinggi ke udara.
Sirtupelaheli menimpukkan dua batang senjata
rahasianya lagi. Dengan mengibaskan tangan, kedua
Pendekar Riang 6 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Pendekar Latah 2
^