Pencarian

Mencari Bende Mataram 1

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 1


Lanjutan Bende Mataram Karya : Herman Pratikto Djvu koleksi : Ismoyo http://gagakseta.wordpress.com/
Convert ke Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
MENCARI BENDE MATARAM - 1
Gubahan: Herman Pratikto Gambar cover : Oengki S
Gambar dalam: Oengki S 181040118 ISBN: 979-20-4687-9 979-20-4688-7
? 2004 PT ELEX MEDIA KOMPOTINDO
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Diterbitkan
pertama kali tahun 2004 oleh PT ELEX MEDIA
KOMPOTINDO Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI,
Jakarta. Kupersembahkan untuk : - HIDUPKU - kebebasanku - dunia baru - ayah bunda - anak istri dan siapa saja yang mau kusebut
keluar gaku KINANTI : riwayat rineggeng kidung macapat sekar kinanti kang bade gumantya nata sakwise dahuru mbenjing SATRIA TRAHING KUSUMA kang sinung panggalih SUCI
alih bahasa riwayat tergubah dengan nyanyian
macapat dengan lagu kinanti
yang akan mengganti raja setelah kelak terjadi malapetaka
SATRIA KETURUNAN LUHUR yang berhati SUCI PROLOG TIADA MANUSIA DI JAGAD INI yang mengetahui,
apakah Bende Mataram sesunguhnya masih ada dalam
percaturan manusia ataukah sudah lenyap dari persada
bumi. Kecuali Sangaji. Dialah satu-satunya manusia yang
dapat menjadi sumber pertanyaan. Hanya saja tak dapat
ia menerangkan, bagaimana sebenarnya yang sudah ter-
jadi. Seperti diketahui, oleh rasa marah ia menghancurkan
keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram dengan
tenaga saktinya. Tenaga sakti Sangaji bukan main
hebatnya. Di jagad ini pada hakekatnya tiada yang
mampu menandingi. Namun pada detik ia meremas luluh
kedua pusaka tanah Jawa itu, mendadak muncul suatu
keajaiban di luar akal manusia. Setelah bumi berderak-
derak, di depannya muncul suatu makhluk tinggi besar.
Tubuhnya hampir mencapai lapis udara. Dan makhluk
itulah yang merampas pusaka Bende Mataram dari
tangannya dan membuangnya ke udara. Dia mengaku
bernama Patih Lawa Ijo 1.
Selanjutnya, tak dapat ia membawa saksi. Baik Titisari
maupun yang lain hanya melihat suatu letupan cahaya.
Malahan mereka meyakini, bahwa cahaya itu masuk ke
dalam tubuhnya, la jadi ternganga-nganga. Dan terus
menerus mengganggu benaknya dari tahun ke tahun.
Tetapi karena ia tak pandai berbicara, semuanya itu
1 Bende Mataram Jilid 15 hanya disimpannya di dalam hati. Teka-teki itu kemudian
menyibukkan setan, iblis dan siluman...
1 SEBUAH PESAN RAHASIA KURANG LEBIH dua belas kilometer dari Sigaluh
terdapat sebuah kota yang cukup ramai. Kota itu
bernama Kota Waringin. Terletak di tepi Kali Serayu
termasuk Kabupaten Banjarnegara. Kota itu sebenarnya
lebih tepat kalau di sebut kota kecil setengah dusun.
Meskipun demikian merupakan urat nadi lalu lintas
perdagangan. Tatkala itu sudah menjelang mahgrib. Para pedagang,
tukang sayur, penjual ikan dan penjual-penjual
kebutuhan dapur lainnya sudah berkemas-kemas hendak
bubaran. Pikulan, keranjang dan tenggok2 sudah
tersusun rapi di dekat dasarannya. Tiba-tiba terdengarlah
suatu derap kuda dari arah tenggara. Meskipun kuda
belum nampak dalam penglihatan, namun suara
derapnya ramai dan sibuk. Terang sekali bahwa kuda itu
dilarikan dengan cepat, dan jumlahnya tidak hanya satu
atau dua ekor. Kota Waringin kerapkali dilalui rombongan
penunggang kuda. Maklumlah kota itu kota lalu lintas
perdagangan. Itulah sebabnya derap kaki kuda yang
begitu ramai tidak termasuk di dalam perhatian. Masing-
masing sibuk dengan kepentingannya sendiri. Tetapi
setelah mereka melihat debu tebal membumbung ke
angkasa dan suara derap kuda yang luar biasa ramainya,
barulah mereka terkejut. Itulah suara rombongan
penunggang kuda yang berjumlah lebih dari dua puluh
2 Tenggok = bakul lima orang. Mereka heran, karena kuda-kuda itu dilarikan
begitu cepat, seolah-olah sedang berlomba.
"Hai! Apakah pasukan Kompeni?" teriak salah seorang.
Mendengar bunyi dugaan itu, yang lain lantas
terkesiap. Seseorang menyeletuk:
"Kalau begitu, cepat kita menyingkir! Dagangan kita
bisa rusak terinjak-injak."
"Hayo... hayo...daripada runyam bubar, kita
menyingkir dahulu!" "Hayo! Hayo! Mendingan kalau hanya diinjak-injak.
Kalau kena pajak, anak bini kita bisa mati kering!" sahut
yang lain dengan gopoh. Dewasa itu Gubernur Raffles telah memerintah di
lndische. Gubernur Inggris itu hanya membutuhkan
biaya. Ia bertindak keras terhadap Sultan Banten dan
Cirebon. Kedua Sultan itu bahkan dipaksanya untuk
menyerahkan daerah kekuasaannya. Setelah itu ia pun
mengasingkan Sri Sultan Hamengku Buwono II ke Pulau
Pinang. Dia juga belum puas. la memecah Kerajaan
Yogyakarta menjadi dua bagian. Daerah Kesultanan dan
Praja Paku Alam. Kemudian memungut pajak terhadap
penduduk. Pajak tanah dan pajak kepala. Masih juga
menguasai perdagangan pembuatan garam, candu, arak
dan menjual tanah kepada orang-orang yang mempunyai
uang. Karena yang beruang kebanyakan kaum Cina,
maka banyakiah tanah-tanah luas jatuh ke tangan orang-
orang Cina. Mendadak di antara suara gemuruh kuda terdengarlah
suara suitan melengking tajam. Dan suara suitan itu
sambung-menyambung dari delapan penjuru. Tiba-tiba
saja Kota Waringin telah terkepung rapat.
Menyaksikan kejadian itu, orang-orang jadi kaget.
Seorang laki-laki berusia pertengahan lalu berteriak:
"Jangan-jangan gerombolan Gunung Tugel."
Seorang pegawai toko kelontong "Terang Bulan"
berteriak, "Benar, benar! Mungkin sekali kedua-duanya."
Majikan toko semenjak tadi sudah bergemetaran.
Mendegar teriakan pegawainya, keruan saja ia
membentak: "Mengapa cerewet! Kau bilang dua-duanya
bagaimana?" "Dua-duanya kan sama saja" Baik kompeni maupun
perampok kan mengarah harta benda rakyat?" jawab
pegawainya. "Monyet! Kalau begitu baik aku maupun kau bakal
mati mampus.Tetapi mustahil! Mustahil kalau perampok
masakan bekerja di tengah hari bolong begini" Kalau
kompeni Ah, benar-benar aneh!" kata majikan toko "Terang
Bulan" dengan suara gemetar.
Belum lagi ia habis berpikir, dari arah barat datanglah
lima penunggang kuda berpakaian hitam. Mereka
mengenakan topi gede dan semuanya bersenjata golok
mengilat. "Hai penduduk Kota Waringin, dengarkan!" teriak
salah seorang dari mereka.
"Kami sudah berhasil menelanjangi satu regu Kompeni
Inggris yang sedang mengangkut harta benda rakyat.
Kalian diam-diamlah. Siapa yang berani bilang ke arah
mana kami melarikan diri, awas! Senjata kami tidak
bermata dan tidak memandang bulu!"
Mereka terus melarikan diri ke arah selatan. Suara
beradunya tapak kuda dan jalan berbatu menggetarkan
hati sekalian penduduk. Belum lagi suara derap kudanya
lenyap dari pendengaran, derapan penunggang kuda
lewat pula dengan cepat. Mereka mengenakan pakaian
hitam dan topi gede seragam. Muka mereka tidak terlihat
jelas. Orang-orang ini pun membentak-bentak agar
sekalian penduduk tetap berada di tempatnya masing-
masing. Mereka mengancam dengan senjatanya hendak
memangkas setiap mulut yang usilan.
Tetapi dasar mulut pegawai toko "Terang Bulan" tadi
memang cerewet dan usilan, ia tak betah membungkam
mulut. Kembali ia mengoceh kepada majikannya.
"Tuan! Apakah Tuan belum mengerti gerombolan
berpakaian hitam itu" Goloknya memang tajam dan enak
sekali. Tahukan Tuan apa sebab mereka kabur ke
selatan" Mereka...."
Belum habis ucapannya. Sekonyong-konyong salah
seorang penunggang kuda yang datang belakangan,
mengayun cambuknya Taar! Juang cambuk menyelonong
ke dalam toko lalu melilit pegawai cerewet itu. Tatkala
cambuk tertarik larinya kuda, si pegawai yang usilan tu
terangkat naik dan terbanting bergelundungan di tengah
jalan raya. Hebat hukuman pegawai toko "Terang Bulan" itu.
Belum lagi ia dapat menguasai diri, barisan kuda yang
berada di belakang punggungnya datang berderapan. Ia
kaget sampai menjerit minta pertolongan. Tapi belum
habis suaranya, ia kena terlempar dan terinjak-injak kaki
belasan kuda yang lewat bagaikan batu gunung runtuh
berguguran. Tak usah lama, ia mati terbanting-banting
dengan perut terobek-robek.
Melihat betapa jahat kawanan berkuda itu, seluruh
penduduk terpukau. Mereka tak berani memekik apalagi
bergerak. Yang tadinya bermaksud menutup
dagangannya batal dengan Sendirinya. Yang hendak lari
pulang, kedua kakinya mendadak menjadi lemas.
Beberapa belas meter dari toko "Terang Bulan" adalah
dagangan Kakek Wasiman. Orang tua itu berdagang
minuman hangat dan goreng pisang. Sebuah wajan
selalu bergemericik menggoreng pisang-pisang panjang
dan pendek. Di atas meja panjang tersedia tumpukan goreng
pisang, tempe, ketela dan tahu. Semuanya masih
nampak hangat. Uapnya yang tipis menguap ke udara.
Kakek Wasiman terkenal cekatan. Namun agak tuli.
Melihat kesibukan di jalan, ia seperti tak mengindahkan.
Masih saja ia sibuk menggoreng pisang dagangannya
dan merebus air. Dengan telaten ia memotong pisang
menjadi dua bagian. Kemudian memasukkannya ke
dalam adukan tepung. Setelah itu dengan hati-hati ia menceburkannya ke
dalam minyak yang sudah mendidih, la menunggu
dengan sabar. Kedua matanya tertuju kepada wajan.
Derap kuda yang berlari-larian kencang tidak menarik
perhatiannya. Pada saat itu sekonyong-konyong terdengarlah suara
suitan panjang. Setelah sambung menyambung sebentar,
lantas mereda. Gemuruh derap kuda tak terdengar lagi.
Dan suasana kota Kota Waringin menjadi sunyi mati.
Kemudian terdengarlah suara derap sepatu dari jurusan
barat. Makin prihatin seluruh penduduk Kota Waringin
mendengar suara sepatu itu. Tak usah menebak-nebak
lagi"itulah derap barisan Kompeni. Entah Kompeni
Belanda entah Inggris. Kebanyakan mereka terdiri dari
serdadu-serdadu Bumi Putera atau Cina. Kekejamannya
melebihi majikannya. Sering sekali mereka merampas
atau menggebuki penduduk. Itulah sebabnya, hati
penduduk Kota Waringin kian menciut. Hanya si Kakek
Wasiman seorang yang masih nampak aman tenteram
tak terganggu. Tak lama kemudian muncul seorang laki-laki
berperawakan tinggi besar, la berjalan menyusur tepi
jalan. Kawan-kawannya ditinggalkan jauh di belakang.
Setelah menebarkan penglihatan, akhirnya berhenti di
depan warung Kakek Wasiman. Ia mengamat-amati
wajah Kakek Wasiman. Kemudian perawakannya.
Sesudah itu kedua kakinya. Sejenak kemudian, ia tertawa
dengan sekonyong-konyong.
Perlahan-lahan Kakek Wasiman mengangkat kepala
dan memutar penglihatan menghadap padanya. Ia heran
melihat seorang laki-laki berperawakan begitu tegap dan
tinggi"besar. Usianya kurang lebih 45 tahun, la
mengenakan pakaian seragam serdadu. Bersenjata
pedang pendek. Gagah dan perkasa. Hanya sayang mu-
kanya buruk. Bentuk mukanya bulat seperti jeruk dan
kulitnya hitam kasar. Penuh dengan jerawat pula. Kedua
matanya kecil, tapi berkilat-kilat. Suatu tanda bahwa ia
memiliki ilmu kepandaian tak rendah.
"Apakah Tuan mau beli pisang goreng" Silakan!
Silakan! Sebentar kubuatkan secangkir air teh hangat."
Laki-laki itu tertawa dingin. "Berapa harganya?"
"Satu biji dua sen," ujar Kakek Wasiman. Dengan
tangan agak gemetaran, ia menyerok beberapa goreng


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pisang dan ditaruh hati-hati di atas meja yang beralas
daun pisang. "Baik. Satu biji dua sen. Mana" Berikan!" kata laki-laki
berparas buruk itu. Kakek Wasiman memanggut dan terus menaruhkan
pisang goreng yang baru diangkat dari wajan ke dalam
tangannya, keruan si muka buruk berjingkrak karena
kepanasan. Membentak. "Kurangajar, sampai saat ini kau
masih pandai main sandiwara dihadapanku?"
Terang sekali ia bergusar sampai kedua alisnya tegak
kaku. Tiba-tiba ia menyambitkan pisang goreng itu.
Ternyata ia bertenaga besar. Pisang goreng itu
membawa kesiur angin. Kalau muka Kakek Wasiman
sampai kena sam-barannya pastilah paling tidak akan
melepuh bengkak. Tetapi dengan memiringkan kepala sedikit saja, Kakek
Wasiman dapat meloloskan diri dari sambitan itu. Pisang
goreng lewat dengan suara deras dan menghantam tiang
warung sampai jadi bergoyangan.
"Bagus!" bentak orang yang bermuka buruk. Ia lalu
menghunus pedang pendeknya yang berkilat-kilat.
Dengan menudingkan ujungnya, ia berkata: "Sorohpati!
Masih saja kau bermain sandiwara dihadapanku. Kau kira
hari ini masih bisa menyelamatkan nyawamu" Kau
serahkan tidak wasiat itu?"
Mendengar namanya yang sesungguhnya kena
dipanggil, Kakek Wasiman lantas menatap wajah
tetamunya dengan pandang berkilat-kilat.
"Hm, biasanya berandal dari Gunung Tugel terkenal
kejam. Tapi bangsat yang bersembunyi di belakang
pakaian seragam, lebih kejam lagi. Aneh apa sebab
orang semacam engkau masih bisa lolos dari pendekar
Sangaji. Kartawirya, dari wilayah barat kau datang. Apa
perlu keluyuran sampai di sini?" sahut Kakek Warsiman
dengan tenang. Gusar orang yang berperawakan tinggi besar itu.
Tadinya ia hendak mengertak Kakek Wasiman dengan
menyebut namanya. Tak tahunya, si Kakek mengenal
diriya juga. Padahal dia sudah mengenakan pakaian
seragam. Malahan kakek tua itu tahu darimana dia
datang. Seperti diketahui Kartawirya dahulu anak buah sang
Dewaresi. Dialah dahulu yang menguntit Sangaji tatkala
memasuki wilayah Jawa Tengah. Kemudian kena
dipermainkan Titisari sampai babak belur Selanjutnya dia
dianggap sebagai pendekar tiada harganya untuk
dilawan. Setelah majikannya"Kebo Bangah dan sang
Dewaresi"mati dia bertekad hendak meneruskan cita-
citanya. Itulah perkara pusaka keramat Bende Mataram
yang ternyata menjadi sumber kesaktian Sangaji.
Pikirnya, kalau bisa memiliki pusaka warisan itu
bukankah dia akan sesakti Sangaji. Kalau sudah memiliki
kesaktian demikian, dunia ini berarti berada dalam
genggamannya. Untuk mencapai angan-angannya itu, ia
berlindung dibawah organisasi militer. Dengan
mengenakan pakaian seragam ia dapat bebas melakukan
penyelidikan. Karena tekunnya, ia mencium suatu kabar
yang menggirangkan hati. Sekarang ia hendak mencoba
mengompres keterangan dari mulut Kakek Warsiman
yang sebenarnya seorang pendekar bernama Sorohpati.
"Sorohpati, kau jangan berlagak goblok!" , bentaknya
bengis. "Kau serahkan wasiat itu dan kau akan
kuampuni." "Hm! Enak saja kau mengoceh. Kamu merasa dirimu
apa sampai ikut-ikutan membicarakan perkara wasiat
segala. Enyahlah, sebelum aku mengambil kepalamu."
Dengan menggerung pedang pendeknya menyambar
pundak Sorohpati. Cepat Sorohpati mengelak, sehingga
pedang Kartawirya menikam, udara kosong. Tetapi tak
memalukan karena betapa pun juga dia adalah anak
murid sang Dewaresi. Begitu tikamannya luput,
mendadak ia menyabet dengan serangan susulan empat
kali beruntun. Dan dengan gesit ujung pedangnya
mengancam punggung Sorohpati.
Bidang gerak Sorohpati kala itu terbatas. Ia tidak
hanya terhalang meja dasaran saja, tapi juga luas
warungnya. Namun ia tidak kehilangan akal. Dengan
merendahkan badan, ia membiarkan pedang Kartawirya
menyambar diatasnya. Lalu kakinya mendupak. Tapi ia
bukan mendupak pedang atau kaki lawan. Yang didupak
adalah anglo pembakar minyak kelapa dalam wajan.
Kena dupakannya, anglo berapi buyar berhamburan. Dan
wajan yang penuh miyak mendidih dan goreng pisang
menyambar ke depan. Kartawirya kaget bukan kepalang. Dengan berteriak
tertahan, ia melesat mundur jumpalitan. Kemudian
melesat tinggi di udara dan hinggap di atas genting
diseberang jalan dengan masih menggenggam
pedangnya erat-erat. "Bagus! Rupanya dalam beberapa tahun ini, maju ilmu
kepandaianmu. Tapi jangan bermimpi bisa mengambil
nyawaku," kata Sorohpati. Dan begitu selesai berbicara,
ia pun melesat tingi. Seperti burung sedang melayang ia
mengejar dan hinggap di atas genting tak jauh dari
lawannya. Tangannya memegang besi penggoreng
pisang goreng. Dan baru saja ia menetapkan berdirinya, Kartawirya
sudah menyerang. Cepat ia mengerahkan tenaga dan
menangkis: Trang! Lelatu3) meletik.
Ternyata penggoreng pisang goreng itu, sebatang
tongkat baja yang murni. Pedang Kartawirya kena
dipentalkan miring. Tetapi pada saat itu, dua batang
golok menyerang dari kiri dan kanan.
"Ah! Semenjak dahulu begundal-begundal Dewaresi
senang main keroyok. Sekarang pun begitu. Dasar anak-
anak kadal. " Dikatakan sebagai binatang bengkarung, keruan saja
rekan-rekan Kartawirya bergusar. Dengan menggerung
mereka mengulangi serangannya yang kena tangkis.
Sorohpati mundur selangkah. Sret! Kedua tangannya kini
sudah menggenggam sebatang pedang dan sebatang
tongkat baja berbentuk penggoreng pisang goreng.
Cepat gerakannya. Begitu berada ditangannya, kedua
golok lawan disapunya balik.
Dua orang pengerubut itu pun mengenakan pakaian
seragam. Mereka kaget berbareng heran. Tadinya,
mereka hanya membantu kawan yang sedang bertempur
dengan seorang kakek bongkok. Diluar dugaan, si kakek
itu ternyata dapat berdiri tegak. Malahan pandangannya
begitu berwibawa dengan mata berkilat-kilat.
"Kartawirya, siapakah dia?" teriak salah seorang dari
mereka. "Tangkap hidup-hidup atau ambil nyawanya," sahut
Kartawirya pendek. "Dialah yang tahu benar dimanakah
pusaka keramat majikan kita dulu."
"Oh!" Mereka terkejut. Setelah tertegun sejenak lalu
menyerang dengan berbareng.
Hebat pertempuran itu. Satu dikerubut tiga.
Sedangkan di bawah, barisan serdadu bersiaga di jalan
raya. Penduduk yang menyaksikan peristiwa
mengherankan itu pun membatalkan niatnya hendak
pulang cepat-cepat. Mereka kenal si Kakek Wasiman
penjual pisang goreng. Setelah melihat betapa kakek
bongkok itu tiba-tiba bisa berdiri dengan gagah dan
pandai pula berkelahi, hati mereka tertarik. Terdorong
oleh ingin tahu siapa dia sesunguhnya, mereka
melupakan rasa takutnya. Dengan memutar pedang, tongkat baja Sorohpati
mengincar tempat-tempat bahaya lawannya. Walaupun
dikerubuti tiga, namun ia ternyata lebih tangguh.
"Kamu semua tidak mengenal tingginya langit.
Enyahlah!" teriaknya. Dan dengan memutar pedangnya
untuk menggertak, tongkat bajanya menikam. Suatu
jeritan terdengar menyayat hati. Salah seorang
pembantu Kartawirya jatuh ke bawah dengan
bergelundungan. Buru-buru barisan serdadu memburu untuk
menanggapi. Orang itu sudah mandi darah dan segera
digotong di tepi jalan. Seorang laki-laki berperawakan
kecil mengawasi dengan tajam. Setelah menimbang-
nimbang, ia berteriak: "Hai Sorohpati! Dengarkan
suaraku! Aku Dadang Kartapati murid pendekar Watu
Gunung, dengan ini menyampaikan salam. Kau memang
hebat! Tapi pertimbangkan baik-baik. Kalau kau menge-
nal kebaikan penduduk Kota Waringin, lekas kau
serahkan wasiat itu. Kalau membandel, sekalian
penduduk di sini akan kuludaskan sampai kebayi-
bayinya. Kau dengar kata-kataku ini?"
"Hm, iblis!" Maki Sorohpati. "Jangan bermimpi aku
bisa kau gertak demikian."
'"Baik. Aku sudah memberi peringatan. Ingin aku lihat,
apakah kau bisa melindungi penduduk atau tidak,"
ancam Kartapati. "Tahan!" bentak Sorohpati dengan bergusar. "Untuk
memperebutkan suatu wasiat, seorang laki-laki boleh
mati tanpa liang kubur. Tapi janganlah menyeret-nyeret
orang yang tidak berdosa."
"Bagus. Itulah namanya laki-laki jempolan." puji
Dadang Kartapati. "Aku Sorohpati. Aku mati atau hidup seorang diri.
Kalian boleh memusuhi aku, boleh mencincang, boleh
merajang diriku tapi jangan mengganggu penduduk yang
tak berdosa." "Bagus, bagus, bagus! Nah, serahkan wasiat itu.
Bukankah suatu jual beli yang adil?"
"Kau memang bangsat!" teriak Sorohpati. "Kau
menghendaki wasiat itu" Baik akan kuserahkan, tapi
setelah kita melalui suatu perkelahian secara laki-laki.
Begini saja. Nanti malam aku datang menemui kalian.
Dimanakah pesanggrahan kalian?"
Dadang Kartapati diam menimbang-nimbang.
Mengingat kegesitannya pastilah Sorohpati bisa
meloloskan diri dari kepungannya. Kalau sudah lolos,
biarpun membunuhi penduduk tiada guna. Maka ia lalu
memutuskan: "Baik. Kami tunggu kedatanganmu di tepi
Serayu dua puluh kilometer dari sini. Kau akan lihat
tanda lima pelita di atas rumpun bambu. Sebaliknya
kalau kau kabur, mampusnya seluruh penduduk Kota
Waringin adalah tanggung jawabmu. Nah, ingin kulihat
sampai di mana termasyurmu sebagai pendekar
pelindung rakyat." Sorohpati mengangguk. "Harga mulut laki-laki
melebihi harga sebuah kota. Satu bilang satu. Dua bilang
dua. Aku pun ingin pula membuktikan, apakah kau
pantas menerima wasiat ini. Sampai bertemu." Setelah
berkata demikian, ia melesat ke udara. Dengan
berjungkir balik ia turun ke tanah dan pergi dengan
cepat. Sebentar saja bayangannya tiada nampak.
"Hai, sekalian penduduk!" teriak Dadang Kartapati
nyaring. "Kalian telah mendengar sendiri. Mulai saat ini,
kalian kularang meninggalkan kota meskipun satu
langkah pun. Siapa yang melanggar, aku bisa
menggunakan kekuatan Kompeni untuk membasmi
seluruh kota ini. Kalian dengar?" Ia berhenti menunggu
kesan. Sesudah mendengar sahutan tak jelas, ia mene-
ruskan: "Serombongan berandal telah merampas harta
negara. Dalam pengejaran, kami menjumpai manusia
tadi. Dialah musuh negara. Karena itu, wajib kami
berantas. Kalian dengar" Dengan kurang ajar ia
membuat kalian menjadi jaminannya. Doakan semoga
kami dapat mengambil nyawanya pada malam hari nan-
ti." Sudah barang tentu keterangannya berputar balik.
Betapa seorang tolol pun akan segera mengetahui
kelicikan Dadang Kartapati. Namun mereka tak berani
membuka mulut. Dadang Kartapati"meskipun tidak segolongan dengan
Kartawirya"namun satu tujuan. Seperti diketahui
pendekar Watu Gunung parnah mendaki Gunung Damar
menemui Kyai Kasan Kesambi untuk minta keterangan
tentang pusaka Bende Mataram. Karena segan terhadap
orang tua itu, ia membatalkan niatnya. Tetapi setelah
memperoleh laporan tentang sepak terjang Sangaji di
Gunung Cibugis mengalahkan semua pendekar Jawa
Barat, ia jadi panas hati. Angan-angannya hendak
memiliki pusaka sakti itu, tergugah kembali, la lantas
memerintahkan puluhan anak muridnya untuk menguntit
Sangaji pulang ke Jawa Tengah. Sadar, bahwa Sangaji
tidak boleh dibuat gegabah, mereka sengaja menyamar
sebagai pasukan Kompeni. Kartawirya tahu akan hal itu.
Tapi ia sengaja membiarkan diri. Dalam hatinya ia
hendak menunggu-kesempatan yang baik. Apabila Bende
Mataram benar-benar sudah berada di tangan Dadang
Kartapati barulah ia bertindak dengan menggunakan
kedudukannya sebagai serdadu Kompeni. Dengan begitu
benarlah kata-kata Ki Hajar Karangpandan dahulu,
bahwa untuk memperebutkan pusaka sakti itu entah
sudah berapa banyak nyawa para pendekar mati tiada
liang kuburnya. (Baca kembali Bende Mataram)
Malam itu cepat saja datangnya. Di tengah-tengah Kali
Serayu bergeraklah sebuah rakit. Penumpangnya
berjumlah tujuh orang. Empat orang mengayuh galah
dan yang tiga berdiri tegak dengan penglihatan
mengarah ke barat. Yang berdiri di depan seorang laki-laki tegap agak tipis
perawakannya. Usianya sudah melampaui setengah
abad. Dialah Sorohpati. Yang kedua: seorang laki-laki
pula berperawakan tinggi besar dan kekar. Usianya
kurang lebih tiga puluh empat tahun. Kulitnya hitam
lekam bermata tajam. Dia berdiri di sebelah kanan


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sorohpati, namanya: Gandarpati, murid Sorohpati.
Sebenarnya nama kecilnya berbunyi Sariman. Tapi se-
menjak berguru kepada Sorohpati ia menyematkan nama
Gandarpati. Artinya bersedia mati untuk suatu tujuan
tertentu. Yang berdiri disebelah kiri Sorohpati seorang gadis
kecil kira-kira dua belas tahun. Perawakan gadis ini kecil
ramping. Alisnya lentik, matanya hidup, parasnya cantik.
Ia memiliki potongan wajah puteri Jawa Barat. Penuh
gairah dan kemauan hidup.
Ketiga-tiganya memandang jauh ke barat dengan
berdiam diri. Tiada seorang pun yang mencoba memulai
memecahkan kesunyian malam dengan membuka mulut.
Waktu itu musim panen. Udara penuh dengan angin
tajam. Kadang-kadang meniup rendah menebarkan hawa
udara yang panas. Pakaian mereka berkibar-kibar tertiup
angin, sehingga pedang mereka yang tergantung pada
pinggangnya masing-masing nampak menjadi jelas.
Tiba-tiba Sorohpati mendongak merenungi langit.
Lama ia berdiam diri. Kemudian berkata setengah
berbisik! "Esok hari, matahari akan muncul ke langit seperti
semenjak zaman Nabi Adam. Anakku, kau
bergembiralah!" Mendengar ucapan Sorohpati, Gandarpati
menundukkan kepala. Ia nampak berduka. Sebagai
seorang dewasa, tahulah dia apa maksud ucapan
gurunya itu. Ingin ia membuka mulut, tetapi Sorohpati
mendahului berkata lagi: "Dunia ini ibarat sebuah
kandang yang sudah bobrok, usang dan menjemukan.
Tetapi yang harus kita masuki dan kita lalui. Anakku, kau
mengerti maksudku ini" Ah, anakku usiamu masih sangat
muda. Tetapi malam ini sengaja kau kuajak serta agar
dapat menyaksikan, bahwa aku tidak akan membiarkan
siapa saja menghina kita."
Berbareng dengan ucapannya yang terakhir, gadis
kecil itu menghunus pedangnya. Dibolang-balingkan
pedang itu dan dibabatkan ke udara beberapa kali
sehingga jadi berkilauan. Katanya ketus: "Siapa berani
menghina ayahku, dia akan kutikam dengan pedang ini."
Sorohpati memutar pandang. Ia menatap wajah gadis
itu dengan penuh kasih. Kulit mukanya yang sudah kisut
membersitkan cahaya terang. Katanya dengan berbisik,
"Astika! Sewaktu berangkat dari rumah bukankah aku
sudah berpesan kepadamu agar jangan memedulikan
semua dan apa yang bakal terjadi" Sekarang kuulangi
lagi dan kuharap dengan sangat agar kau mematuhi
pesanku itu." Gadis kecil yang dipanggil Astika itu memangut kecil.
Dengan perlahan-lahan ia menyarungkan pedangnya.
"Ayah, aku berjanji akan patuh terhadap setiap
katamu. Hanya saja mereka...."
Tiba-tiba wajah Sorohpati nampak angker. Memotong
dengan keras: "Sudah! Jangan berbicara lagi!"
Astika tidak puas. Mulutnya bergerak-gerak hendak
meledakkan isi hatinya. Tapi tatkala itu Gandarpati lantas
berkata menyabarkan: "Astika, adikku. Kali ini engkau
harus mendengarkan pesan ayahmu. Di dalam satu
malam ini, janganlah engkau menarik pedangmu.
Sewaktu hendak berangkat, engkau sudah berjanji akan
patuh, bukan?" Astika melototi. Menungkas: "Aku tak boleh menarik
pedang. Kalau engkau bagaimana" "
Gandarpati membuang pandang kepada Sorohpati. Ia
tidak menjawab. Dan melihat sikap Gandarpati yang
menganggap dirinya sebagai anak belum pandai
beringus, membuat hatinya menjadi panas. Dengan mata
menyala, ia tiba-tiba berkata setengah menangis kepada
Sorohpati: "Ayah! Aku ikut engkau mati!"
Setelah berkata demikian, ia menubruk dan memeluk
tubuh Sorohpati. Lalu menangis sedu-sedan dengan hati
pedih. Mau tak mau air mata Sorohpati melompat keluar.
Ia memeluk puterinya dengan sebelah tangan, sedang
tangan yang lain mengusap-usap rambutnya yang bagus.
Ia berduka tetapi ia memperdengarkan tertawanya.
Walaupun demikian, masih saja terdengar kesedihan dan
kepiluan hatinya. Mendengar tertawa ayahnya, perlahan-lahan Astika
mengangkat kepalanya. Semenjak beberapa hari ini,
belum pernah ia mendengar suara tertawa ayahnya.
Itulah sebabnya begitu mendengar tertawa itu hatinya
timbul suatu harapan. Terus berkata dengan penuh
semangat. "Perjalanan ini tiada bahayanya, bukan?"
"Tidak," sahut Sorohpati dengan tertawa. "Siapakah
yang bilang ada bahayanya."
Astika jadi girang. Seketika itu juga, tangisnya lenyap
dari pendengaran. Katanya ringan, "Kalau begitu,
berjanjilah Ayah kepadaku."
"Berjanji bagaimana?" tanya ayahnya.
"Ayah mau berjanji tidak" Kalau mau berjanji, aku
akan patuh. Patuh sekali!"
Sorohpati menatap wajah Astika dengan alis
terbangun. Melihat paras Astika tak terasa orang tua itu
menghela napas. Teringatlah dia kepada suatu wajah
yang mengharukan hatinya. Itulah wajah ibu Astika yang
gugur dengan kecewa. Dan teringat akan wajah itu,
lantas saja ia berkata menyahut: "Astika, kau berkatalah.
Aku harus berjanji bagaimana?"
Astika menatap wajah Sorohpati. "Ayah harus berjanji,
bahwa Ayah tidak bakal mati dalam perjalanan ini?"
Mendadak saja seluruh tubuh Sorohpati bergidik.
Pelukannya pun terlepas dengan tak dikehendaki sendiri.
Dengan pilu ia menatap wajah Astika. Sejenak kemudian,
matanya berkilat-kilat. Katanya di dalam hati: "Ah,
anakku. Masakan kau tak tahu, bahwa perjalanan ini
merupakan perjalananku terakhir" Ah, baiklah kubuka
saja riwayat hidupnya agar semuanya jadi jelas."
Dengan keputusan itu, hati Sorohpati menjadi tetap.
Lalu berkata dengan sungguh-sungguh. "Astika, tahukah
engkau bahwa perjalanan ini sebenarnya perkara
perebutan sebuah wasiat yang tiada ternilai dalam hidup
ini. Inilah suatu rahasia yang hendak kubeberkan
kepadamu. Malam ini. Saat ini juga."
"Suatu rahasia" Rahasia apakah itu?" Astika terbelalak.
"Dengarkan, anakku." Sorohpati mulai. "Dahulu hari"
semasa mudaku"aku ikut menghamba kepada Adipati
Surengpati yang memerintah Pulau Karimun Jawa.
Adipati Surengpati mempunyai seorang puteri yang
sangat disayanginya. Namanya, Titisari. Pada dewasanya
Titisari kawin dengan pendekar besar, Sangaji. Tatkala
Titisari melarikan diri dari Pulau Karimun Jawa aku
diperintahkan untuk mencarinya. Aku jadi merantau tak
keruan tujuanku." "Cantikkah Titisari puteri Adipati Surengpati itu?"
potong Astika tiba-tiba. Sorohpati tertegun. Sama sekali tak diduganya, bahwa
Astika akan memotong dengan pertanyaan demikian.
Sadar bahwa gadis itu masih berbau kanak-kanak, maka
segera ia menjawab: " Tentu saja cantik. Secantik
engkau, anakku." Mendengar jawaban ayahnya, wajah Astika menjadi
merah. Namun hatinya girang. Ya, gadis manakah di
dunia ini yang tidak senang mendengar pujian demikian.
Namun perempuan bukan perempuan kalau tidak dapat
bermain sandiwara. Maka katanya manja.
"Ah, Ayah bisa saja... Masakan aku secantik Titisari?"
"Hm, hm, apakah kau kira dirimu tidak cantikl?" sahut
Sorohpati menyenangkan hatinya.
Memang Astika seorang gadis yang cantik penuh
gairah. Tujuh tahun lagi, pastilah dia akan tumbuh
menjadi seorang gadis berdarah panas. Tetapi apabila
dibandingkan dengan kecantikan Titisari sebenarnya
masih kalah. Sebab selain cantik jelita, Titisari memiliki
kecerdasan luar biasa yang tak dapat ditandingi siapa
saja. Inilah suatu kecantikan yang sempurna. Perpaduan
antara kejelitaan dan kecerdasan otak yang jarang
terdapat dalam sejarah manusia.
"Dalam perantauanku, aku berkenalan dengan
sepasang suami-isteri Suhanda dan Rostika, namanya.
Mereka sepasang pendekar. Himpunan Sangkuriang di
Jawa Barat. Mereka mempunyai seorang anak
perempuan mungil dan meresapkan hati. Dialah engkau
anakku." "Apa?" Astika setengah memekik. Gadis ini seperti tak
percaya kepada pendengarannya sendiri.
Sorohpati menatapnya sambil menguatkan hatinya.
Berkata sabar dan sungguh-sungguh. "Sekian tahun
lamanya aku hidup berkumpul dengan engkau... Apakah
engkau menyesal?" "Menyesal" Tidak!" Astika jadi terheran-heran.
"Sayangkah engkau kepadaku?"
"Tentu saja. Engkau adalah ayahku! Tapi Ayah tadi
berkata apa?" "Anakku," kata Sorohpati. "Sebenarnya engkau bukan
anakku. Engkaulah anak sahabatku Suhanda dan Rostika
yang mati dengan sangat kecewa10).
Sekonyong-konyong dikejauhan terdengar suara
menggelegar. Angin meniup sangat tajam. Tak lama
kemudian tersusullah rintikan hujan. Inilah yang
dinamakan penduduk hujan kiriman. Artinya hujan tiba
pada musim tak semestinya. Dan kena ditiup angin tajam
rakit yang berada di tengah Kali Serayu hampir berputar
separoh. Buru-buru ke empat pengayuhnya menguasai
rakitnya dengan mati-matian.
Hati Astika pun menggelegar pula mendengar ucapan
Sorohpati. Ia berdiri tergugu dan tertegun. Tubuhnya
bergemetaran. Pikirannya tepat pada saat itu juga. la tak
memedulikan suara guntur, rintik hujan, angin tajam dan
rakitnya yang hampir kena diputar deras arus sungai.
"Ayah! Kau sedang bergurau, bukan" Kau bergurau
bukan?" "Tidak, anakku. Tidak!" sahut Sorohpati dengan
menggelengkan kepala. Berkata meneruskan dengan
menguatkan hati. "Aku tidak bergurau. Kau anak
sahabatku Suhanda dan Rostika. Rostika dibunuh
gurunya yang ganas seperti iblis, karena kawin dengan
ayahmu. Karena kematian ibumu, ayahmu terganggu ke-
warasan akalnya. Dia pun meninggal dengan sangat
kecewa di lereng Gunung Cibugis." .
Wajah Astika menjadi pucat lesi. Seluruh tubuhnya
mendadak saja terasa dingin. Hebat penderitaannya.
Hatinya terpukul dengan tiba-tiba. Sorohpati mengetahui
belaka kegoncangan Astika. Namun ia harus membeber
rahasia riwayat hidup gadis itu dengan jelas daripada
membawanya ke liang kubur. Seolah-olah tidak meng-
hiraukan kegoncangan hati gadis itu, ia berkata
meneruskan: "Mula-mula engkau dirawat seorang
pemuda. Manik Angkeran, namanya. Dialah
sesungguhnya kakakmu."
"Kakakku?" Astika berguman.
Sorohpati mengangguk. Menguatkan, "Ya, kekakmu.
Dia ikut merantau sampai ke Jawa Barat. Di sana ia
belajar menjadi tabib kepada seorang tabib sakti
bernama Maulana Ibrahim. Setelah itu ia mengikuti
pendekar besar Sangaji mendaki Gunung Cibugis.
Kemudian.... Ia menyerahkan engkau kepada pendekar
Sangaji yang baru saja kawin dengan Titisari. Karena
mereka berdua belum berpengalaman merawat kanak-
kanak, kau diserahkan kepadaku. Aku tertarik kepada
kemungilanmu selain pula teringat kepada ayah
bundamu. Aku menyanggupi, tetapi aku pun mohon agar
anakku diterima menjadi murid. Pendekar Sangaji dan
Titisari menerima permohonanku. Dan begitulah, engkau
kubawa pulang ke rumahku, Astika, atau Atika anakku...
Karena itu, aku mempunyai pesan. Apabila pada suatu
kali engkau menemukan suatu kesukaran, carilah Manik
Angkeran. Dia tak beda dengan kakak kandungmu, ayah
bundamu dan diriku sendiri."
"Ayah! Mengapa Ayah berkata begitu" Bukankah Ayah
sudah berjanji tidak bakal mati dalam perjalanan ini?"
tungkas Astika. "Bukankah tiap orang bakal mati?" bentak Sorohpati.
"Masakan aku akan dapat menungguimu selama-
lamanya?" Ia berhenti mengesankan. Tapi setelah
membentak demikian, timbullah rasa sesalnya. Bukankah
gadis itu seorang yatim piatu dan hidup sebatang kara"
Teringat akan perjalanan yang terakhir ini, hatinya jadi
terharu. Dengan menggapai tangan Gandarpati, ia
berkata: "Gandarpati, engkau adalah muridku. Selama
engkau kuasuh dan kudidik, pernahkah aku minta
sesuatu kepadamu?" "Tidak pernah," jawab Gandarpati cepat.
"Sekarang perkenankan aku memohon sesuatu
kepadamu." "Mengapa memohon?" Gandarpati terkejut. "Berilah
kami perintah dan kami akan melakukan meskipun harus
menerjang lautan golok."
"Hm, hm. Jangan banyak menggunakan adat usang
dengan kata-kata merendahkan diri. Apa itu kami, kami,
kami...." kata Sorohpati galak. "Sekarang dengarkan
permohonanku. Pertama, engkau harus mengawasi
Astika seperti bagian hidupmu sendiri. Sanggupkah
engkau?" "Tentu!" jawab Gandarpati sungguh-sungguh.
"Bagus. Yang kedua, apa yang bakal terjadi nanti, kau
tak boleh menarik pedangmu. Kau bawalah adikmu ini,
menyeberang ke Karimun Jawa dan kau sendiri, larilah
mencari perlindungan ke Gunung Damar. Belajarlah
dengan sungguh-sungguh. Setelah engkau benar-benar
berkepandaian tinggi, barulah aku mengijinkan engkau


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merantau menuruti suara hatimu. Kau berjanji?"
Dengan membungkuk hormat, Gandarpati menyatakan
janjinya. Dan mendengar janji itu, hati Sorohpati lega. la
berputar kepada Astika. 'Sekarang dengarkan sebuah
pesanku lagi, anakku. Malam ini aku harus menghadapi
gerombolan manusia yang berangan-angan besar.
Mereka ingin memiliki pusaka Bende Mataram. Aku
sendiri belum pernah melihat bentuk pusaka Bende
Mataram. Menurut kabar, Bende itu memuat kumpulan
guratan rahasia ilmu sakti dan entah apalagi. Di dunia ini,
hanya seorang belaka yang hafal guratannya. Dialah
junjunganku, Titisari yang mempunyai daya ingatan luar
biasa. Kabarnya sewaktu menolong menyembuhkan luka
pendekar besar Sangaji, Titisari diam-diam menghafalkan
di luar kepala. Kemudian dicatat dan wasiat itu dititipkan
kepadaku untuk disimpan. Sekarang, gerombolan
manusia itu hendak mencoba merebutnya. Masakan aku
gampang menyerahkan wasiat itu" Meskipun badanku
bakal dirajang, dicincang atau disiksanya dengan cara
apa saja, tak bakal aku menyerah kalah. Karena itu demi
wasiat itu"aku tak mengijinkan engkau menarik pedang.
Apa saja yang bakal terjadi, simpanlah di dalam
ingatanmu. Kemudian hari akan besar gunanya. Kau
dengar pesanku ini?"
Dengan air mata bercucuran, Astika mengangguk.
Hatinya bergoncangan tak keruan. Ingin ia menyatakan
perasaannya, tiba-tiba di sebelah barat nampak lima
cahaya diketinggian. "Ha, itulah sarang gerombolan manusia iblis," kata
Sorohpati. "Gandarpati, ingat-ingatlah pesanku."
Dengan suatu isyarat, Sorohpati memberi perintah
agar rakit menepi dengan perlahan-lahan. Selama
hidupnya baru untuk pertama kali itu, Astika menghadapi
sesuatu yang menegangkan hatinya. Tanpa merasa ia
menghunus pedangnya. Dan melihat kegopohan Astika,
Sorohpati tertawa perlahan.
"Astika, bukankah aku sudah berpesan kepadamu agar
kau jangan menghunus pedangmu" Mengapa engkau
lupa?" Astika menoleh. "Ayah!" katanya gopoh. "Ayah, eh.... Aku harus
menyebutmu bagaimana" Ah, lebih baik aku tetap
menyebutmu sebagai Ayah. Ayah, apa sebab engkau
memasuki sarang iblis itu?"
"Aku sudah berjanji, anakku," sahut Sorohpati
meyakinkan. "Harga ucapan laki-laki seharga sebuah
kota. Lagipula apabila malam ini aku tak menepati janji,
mereka akan membasmi penduduk Kota Waringin.
Sampaikah hatimu menyaksikan mereka mencelakai
penduduk yang tak tahu-menahu demi kepentingan
diriku sendiri?" Astika menggigit bibirnya. Hatinya masgul bercampur
dengki. Setengah mengutuk. "Alangkah jahatnya! Tapi
Ayah pasti selamat, bukan?"
Sorohpati menghela napas. Kemudian berkata
perlahan: "Kalau hanya menghadapi mereka ayahmu tak
kurang suatu apa. Yang kutakuti, apabila dibelakang
mereka bersembunyi seorang tokoh Gunung Mandalagiri
yang disegani di Jawa Barat."
"Siapakah dia?" Astika kaget.
"Watu Gunung. Dialah pendekar sakti anak murid Resi
Budha Wisnu. Pada zaman mudanya, Ratu Bagus Boang
yang menguasai daerah Jawa Barat merasa kuwalahan.
Apalagi aku." ujar Sorohpati. "Dia pernah mendaki
Gunung Damar untuk mencoba mendengar-dengar kabar
tentang pusaka sakti Bende Mataram. Tetapi karena
segan terhadap Kyai Kasan Kesambi, tak berani ia
mengumbar adat. Karena itu anakku, selain engkau
harus mencari Adipati Surengpati untuk melindungimu,
ingat-ingatlah dua nama lagi. Yang satu Wirapati, murid
Kyai Kasan Kesambi dan guru pendekar besar Sangaji.
Yang kedua, Demang Sigaluh: Jaga Saradenta. Dia pun
guru pendekar besar Sangaji. Dari mereka berdua
engkau bakal memperoleh petunjuk-petunjuk yang tulus
ikhlas dan dapat dipercayai...."
Astika mendengar pesan Sorohpati dengan berdiam
diri. Pikirannya terbenam dalam. Ia baru sadar, tatkala
mendengar suara keras melengking dalam
pendengarannya. Tatkala menajamkan penglihatan,
ditepi sungai sudah berjajar beberapa belas orang
bersenjata lengkap. Seorang di antara mereka
menyerukan selamat datang kepada ayahnya.
Hm, benar.... Mereka hanya sebangsa kurcaci yang
tiada harganya untuk diperhatikan, pikir Astika di dalam
hati. Hanya siapakah Watu Gunung itu" Ayah nampaknya
takut kepadanya. Rakit yang ditumpangi sudah menepi. Suara berisik
orang-orang ditepi sungai membangunkan semangat
tempur dalam diri Astika. Namun teringat akan nama
Watu Gunung, hatinya gelisah, ia berkata minta
keyakinan kepada ayahnya.
"Ayah! Sanggupkah engkau melawan orang yang
bernama Watu Gunung?"
Sorohpati tercengang mendengar pertanyaannya.
Menjawab tak tegas. "Kau camkan saja pesanku tadi ke
dalam hati sanubarimu! Adipati Surengpati, Wirapati,
Demang Jaga Saradenta... mereka bertiga adalah
pelindungmu. Sebenarnya leoih tenteram hatiku kalau
kau mampu mencari pendekar Sangaji dan Titisari.
Tetapi di mana mereka berdua berada, aku sendiri
kurang terang. Astika mengangguk. Hatinya pedih dan air matanya
berlinangan. Tak berani ia membuka mulut lagi.
Sementara itu, Sorohpati berpesan cepat pula kepada
Gandarpati. "Kau pun tak usah menghunus pedangmu. Kau
mengerti maksudku?" Gandarpati memanggut dengan muka penuh prihatin.
Kemudian menyahut, "Guru, kau berpesan apalagi?"
Sorohpati tidak berkata lagi. la memusatkan seluruh
perhatiannya ke tepi sungai. Berkata berbisik kepada
mereka berdua. "Empat langkah di depanmu adalah
musuh. Janganlah kita perlihatkan kelesuan semangat
tempur kita... Bangun!"
Sesudah berkata demikian, ia berpikir di dalam hati,
malam ini aku masuki sarang mereka. Entah jebakan apa
yang sedang mereka siapkan. Pendeknya sembilan
bagian, aku pasti mati. Oleh karena itu, mengapa aku
tidak mempertontonkan kepandaianku kepada mereka"
Seumpama aku nanti binasa, namaku akan tetap disebut-
sebut. Memperoleh pikiran demikian, ia berkata nyaring:
"Hai, sahabat! Kami biasa hidup di dekat air. Untuk
mendarat ke tepi sungai apa perlu pakai upacara segala.
Papan-papan penyambut itu biarlah kalian singkirkan
saja." Gandarpati mengerti maksud gurunya. Lantas saja ia
membungkuk seraya berkata: "Guru, biarlah aku
berangkat dahulu." Begitu selesai berbicara dengan menjejak rakit, ia
terbang berjungkir balik ke udara dan mendarat dengan
gerakan yang manis sekali.
"Bagus!" seru rombongan penyambut dengan kagum.
Sekarang Astika hendak pula memamerkan
kesanggupannya. Tetapi ia baru beberapa tahun saja
belajar ilmu kepada Sorohpati. Kesanggupannya tidaklah
sebesar kakak seperguruannya. Namun hatinya keras
dan tak sudi mengalah terhadap siapa saja. Dengan
menguatkan hati, ia menjejak rakit yang jadi
bergoyangan. Tubuhnya terbang ke udara. Ia jadi
terkejut tatkala tubuhnya terasa turun sebelum
dikehendaki. Pastilah akan tercebur di dalam sungai atau
paling tidak bakal terbanting di atas tebing.
Sorohpati mengerti kesulitan anak angkatnya. Ia
membarengi melompat ke udara. Di dekat Astika, ia
berbisik: "Pegang kakiku!"
Mendengar bisik ayahnya, Astika lantas menjambret
kaki Sorohpati yang sengaja diulurkan. Begitu kakinya
kena raba, Sorohpati mengebaskan tangannya. Dan
seperti burung elang menggondol mangsanya, ia
membawa Astika mendarat jauh melewati tebing dengan
selamat. "Bagus!" Orang-orang kembali memuji dengan kagum.
Sorohpati tidak mengindahkan suara pujian itu. Cepat
ia menjelajahkan pandangannya; la sudah menduga, tapi
tak urung heran juga. Ternyata mereka yang datang
menyambut bukan mengenakan pakaian seragam. Tetapi
berseragam pakaian hitam polos. Inilah tadi rombongan
berkuda yang menginjak-injak tubuh pegawai toko
"Terang Bulan" dengan kejamnya.
Seorang laki-laki berperawakan tinggi jangkung
berseru nyaring. "Kawan-kawan, lihatlah! Si orang tua
sedang mengumbar kebisaannya."
Setelah berseru demikian, ia menghampiri Sorohpati
dan mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Tetapi
Sorohpati mengibaskan tangannya. Kena kibasan
tangannya, orang itu mundur sempoyongan. Buru-buru
dia berkata hormat: "Maaf, maaf. Aku bernama Yusuf.
Dengan ini aku diperintahkan ketua kami untuk
menyambut kedatanganmu."
"Tak usah banyak beradat," potong Sorohpati tegas.
"Di mana ketuamu kini berada" Tolong, tunjukkan!"
"Mari, Tuan kami antarkan," sahut Yusuf dengan
takzim. Senang hati Astika menyaksikan, betapa ayahnya
menghajarnya. "Hei, apakah kau tidak menyebut ayahku
dengan si orang tua lagi" Ha ha.... kau ini bangsa kurcaci
mengapa banyak berlagak" Ayahku sudah menjagoi
sekitar wilayah Kota Waringin semenjak belasan tahun
yang lalu. Tiada yang mampu menandingi. Apalagi
tampangmu." Merah padam muka Yusuf mendengar ucapan Astika.
Selagi hendak membalas menyemprot, terdengar
Sorohpati berkata kepada Astika.
"Janganlah bergurau tiada gunanya. Mari!"
Yusuf melototi Astika. Kemudian berputar dan berjalan
mendahului untuk memimpin tetamu yang diharapkan
ketuanya. Meskipun mendongkol, ia harus bisa
menguasai diri. Disepanjang jalan, Astika melihat beberapa orang
bersenjata bergerombol-gerombol. Mereka bersiaga
penuh seperti lagu menghadapi serangan musuh. Tetapi
ayahnya tidak memedulikan mereka. Dengan
mengangkat muka ia Derjalan tenang-tenang.
Tak lama kemudian sampailah mereka pada suatu
lembah yang diapit dua gundukan tanah. Sebuah
perkemahan besar nampak berdiri tegak menjulang
udara. Melihat mereka datang, seseorang datang
menyambut. "Ha, benar-benar jempolan. Aku kagum!
Mari, mari." Dialah Kartawirya yang membawa lagaknya ksatria, la
mendahului berjalan memasuki perkemahan. Dan
membawa Sorohpati menghadapi Dadang Kartapati.
"Sorohpati, terimalah hormatku!" kata Dadang
Kartapati menyambut. Sorohpati mengelanakan pandangnya. Hatinya
tercekat, tatkala melihat seseorang yang berberewok
tebal. Orang itu duduk di atas kursi menghadapi
sebatang tongkat panjang dan sebilah pedang. Cepat
Sorohpati mengingat-ingat ciri-ciri orang itu. Pikirnya di
dalam hati, ah... bukankah dia yang di sebut
Brajabirawa" Dia tersohor kelicikannya. Berhadapan
dengan dia aku harus berhati-hati."
Brajabirawa dahulu tidak ikut rombongan Gunung
Mandalagiri mendaki Gunung Cibugis dalam pembasmian
Himpunan Sangkuriang. Karena itu, dia masih membawa
lagaknya. Tatkala mendengar kabar kekalahan rekan-
rekan seperguruannya, dengan menggerung ia
bersumpah hendak mengejar Sangaji di mana dia
berada. Gurunya"Watu Gunung, menasihati, agar ter-
lebih dahulu merampas pusaka saktinya, la men-
dengarkan nasehat itu. Dan malam itu ia berada di
antara rombongannya. "Selamat datang!" Ia menyambut dengan suara
menggelegar. "Aku Sorohpati, pekerjaanku tukang jual goreng
pisang di sebuah kota kecil Kota Waringin. Malam ini aku
memperoleh penghargaan untuk datang menemui Tuan.
Sungguh pertemuan yang membanggakan," sahut
Sorohpati dengan membungkuk hormat.
"Aha, tak kusangka bahwa pendekar di Jawa Tengah
ini bersopan santun tebal," tungkas Brajabirawa dengan
tertawa berkakakkan. "Perkenalkan pula, inilah muridku Gandarpati dan
anakku Astika." Sorohpati tak menghiraukan tertawanya.
"Kami bertiga datang kemari untuk menemui pendekar
besar Watu Gunung. Dapatkah kami berjumpa?"
Brajabirawa tertawa mendongak. Menyahut, "Memang
benar, guruku Watu Gunung berada di sini. Tapi
mengapa buru-buru" Marilah kita minum teh dahulu. Aku
tanggung sebentar lagi Beliau akan menemui kalian."
Hati Sorohpati tercekat. Benar saja, Watu Gunung
berada di antara mereka. Inilah berarti, bahwa jiwanya
sukar ditolong lagi. Justru demikian, hatinya menjadi
tenang luar biasa, la mengangguk pendek dan duduk di
atas kursi yang sudah disediakan.
Astika yang berada disampingnya mengamat-amati
wajah Brajabirawa. Orang itu berperawakan tinggi besar.
Alisnya tebal. Brewoknya lebat dan berkumis jembros.
Meskipun nampak gagah, raut mukanya tidak begitu


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angker. Itu disebabkan matanya yang terlalu kecil,
sehingga mirip seekor tikus mengintip dari balik dinding
bambu. Diam-diam ia tertawa geli di dalam hati, apa
sebab Tuhan menciptakan potongan manusia semacam
dia. Pikirnya jahil, ia lebih mirip seorang badut daripada
seorang pendekar yang diagul-agulkan.
"Aku datang semata-mata untuk menemui pendekar
Watu Gunung," kata Sorohpati di atas kursinya. "Kalau
dia tidak sudi menemui aku, nah, kami bertiga akan
segera berangkat pulang." Setelah berkata demikian, ia
berdiri dan memutar tubuh hendak berjalan.
Brajabirawa tertawa berkakakan. Berkata nyaring,
"Sorohpati! Kau mempunyai keberanian untuk datang
kemari. Maka mustahil, apabila tidak berani pula minum
teh bersama aku." Sorohpati mengembarakan matanya. Ruang
perkemahan ternyata sudah terkepung rapat. Kartawirya
dan Dadang Kartapati nampak meraba senjatanya,
bersiaga untuk bertempur. Mereka mengawaskan dirinya
dengan pandang tajam. Menyaksikan hal itu, mau tak
mau Sorohpati berpikir keras demi keselamatan muridnya
dan Astika. Selagi memeras otak, tiba-tiba Astika yang
masih membawa lagak kekanak-kanakan berkata keras.
"Hai! Berandal tak tahu adat, masakan kami gentar
menghadapi kalian" Coba ingin kulihat, apakah kau
mempunyai keberanian pula meneguk air tehmu
dihadapan kami?" Lagi-lagi Brajabirawa tertawa berkakakan. Serentak ia
berdiri dan membungkuk hormat kepada Astika. Katanya
nyaring, "Nona kecil, terimalah hormatku. Kau benar-
benar berhati polos." Kemudian memutar pandang
kepada pelayannya. "Hai, mana tehnya?"
Sorohpati mengangkat kedua tangannya seraya
berkata menyanggah. "Tak usah. Kalau kau mau
berbicara, bicaralah!"
"Oho, aku. Aku mau berbicara perkara apa?" tungkas
Brajabirawa dengan suara licik. "Aku hanya ingin minta
keterangan kepadamu, dimanakah surat wasiat puteri
Adipati Surengpati" Nah, kau dengar bahwa kami tidak
menginginkan pusaka Bende Mataram."
Mendongkol hati Sorohpati mendengar kelicikan orang.
Astika yang beradat panas sampai mau mengumbar
mulutnya. Ia tadi sudah memperoleh keterangan tentang
surat wasiat Titisari. Itulah guratan ilmu sakti Bende
Mataram yang sudah dihafalkan diluar kepala. Meskipun
Brajabirawa tidak menghendaki pusaka Bende Mataram,
pada hakekatnya bukankah setali tiga uang" Hanya saja
dia heran, darimanakah orang itu mengetahui rahasia
tersebut" Dalam pada itu diam-diam Sorohpati melirik kepada
Gandarpati. Murid berkulit hitam itu pun melirik kepada
gurunya. Dua-duanya berubah parasnya. Sorohpati
lantas berlagak pilon. "Kau menyinggung-nyinggung tentang pusaka Bende
Mataram. Benar-benar aku tak mengerti."
Brajabirawa tertawa terbahak-bahak. Sahutnya,
"baiklah kujelaskan agar kau tidak penasaran. Bukankah
engkau mempunyai seorang anak laki-laki bernama
Manik Angkeran" Nah, dari mulutnya kami memperoleh
berita." "Bohong!" bentak Sorohpati dengan gusar.
Kiranya semuanya itu adalah tipu-muslihat Titisari di
luar pengertian Sorohpati sendiri. Seperti diketahui,
setelah kawin Sangaji kembali ke Jawa Barat dengan
Titisari. Di sana ia menghimpun suatu kesatuan
perjuangan melawan Kompeni Belanda. Karena anggota-
anggotanya terdiri dari berbagai golongan, Titisari yang
cermat dan cerdas luar biasa diam-diam mengadakan
suatu penyaringan. Sengaja ia menguarkan berita desas-
desus tentang pusaka sakti itu. Siapa yang berangan-
angan besar, pasti akan mengubernya ke Jawa Tengah.
Dengan begitu akan diketahui, siapa kawan perjuangan
yang sunguh-sungguh dan yang berpura-pura. Ternyata
Watu Gunung kena jaring jebakannya. Dengan sekalian
anak muridnya ia memburu ke Jawa Tengah. Sekarang
diketahui dengan jelas, bahwa Watu Gunung lebih
mengutamakan kepentingan pribadinya daripada
perjuangan mengusir Kompeni Belanda dari bumi
Nusantara. Titisari lantas membunyikan tanda bahaya ke
seluruh wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
"Kau tak percaya, itulah urusanmu sendiri," Kata
Brajabirawa. "Tapi kami berada di sini, itulah suatu
bukti." "Hm," dengus Sorohpati. "Coba kau suruh Watu
Gunung keluar menemui aku. Aku akan berbicara dengan
dia." "Itu gampang. Mengapa buru-buru?" kata Brajabirawa
tertawa lebar. Ia lantas bertepuk tangan dan
terdengarlah suara berisik sekali di luar tenda
perkemahan. Itulah suatu tanda, bahwa tenda
perkemahan telah terkepung rapat. Meskipun demikian,
air muka Sorohpati tidak berubah sedikit pun juga.
Dengan nyaring ia berkata: "Aku dan kamu sekalian,
selama hidup belum pernah berhubungan ibarat air laut
dan air telaga. "Sekarang kau mau apa" Bilanglah!"
"Sorohpati!" kata Brajabirawa. "Meskipun kau terkenal
sebagai seorang ahli pedang semenjak belasan tahun
yang lalu, tapi malam ini kau telah terkurung rapat. Aku
khawatirkan bahwa pedangmu tidak dapat membantu
meloloskan dirimu. Bukankah sayang" Hi haaa .............."
Mendengar perkataan Brajabirawa, wajah Sorohpati
berubah hebat. Serunya, "Bagus! Jadi kau memaksa aku
untuk bertempur?" "Bukan begitu. Asal saja kau serahkan wasiat puteri
Adipati Surengpati kepadaku, semua urusan kubuat
selesai. Nah, bukankah aku bertindak adil?"
"Jahanam! Kau bermimpi," teriak Sorohpati sambil
menghunus pedangnya. Astika yang berada
disampingnya, ikut pula menghunus medang. Bentaknya,
"Meskipun kau mengandalkan pada jumlah banyak, tapi
jangan berharap akan dapat menangkap ayahku. Aku
bersama ayahku akan mengadu nyawa di sini."'
Brajabirawa tercengang mendengar ucapan Astika.
Sejenak kemudian tertawa panjang.
"Kau bilang apa, nona kecil" Dia ayahmu" Nanti
kubilangi bahwa sebab musabab terbinasanya ibumu
adalah gara-garanya semata."
"Jahanam, tutup mulutmu!" teriak Sorohpati dan
pedangnya menikam. Tetapi Brajabirawa rupanya sudah bersiaga semenjak
tadi. Begitu melihat suatu tikaman, ia mengelak dengan
gampang. Sambil tertawa dingin ia mengancam.
"Kau berhenti menyerang atau tidak" Kalau tidak, kau
pun bakal mati kecapaian juga... Tapi untuk segera mati
di sini, tidaklah mudah. Kami "mempunyai cara-cara
sendiri untuk menyelamatkan jiwamu sebelum berbicara
habis. Hayo seranglah aku, bila kau mempunyai
keberanian!" Benar-benar Sorohpati menghentikan serangannya.
Katanya menyabarkan diri. "Brajabirawa, jika kau ingin
berbicara, bicaralah terus terang! Kau tahu, aku tidak
dapat kau paksa menuruti kehendakmu."
Lagi-lagi Brajabirawa tertawa berkakakkan.
"Baiklah. Sudah kukatakan tadi, bahwa aku akan
membuat urusan semua ini selesai asal saja kau
serahkan surat wasiat itu. Aku menjamin, bahwa murid
dan anak angkatmu itu pun akan kubebaskan pula. Kau
pikirlah baik-baik!" la berhenti mengesankan. Berkata
meneruskan, "Jangan kau kira aku tak mengerti segala
yang bersembunyi di belakangmu. Kau telah menerima
surat wasiat dari puteri Adipati Surengpati, Bukankah
begitu?" "Benar. Lantas bagaimana?" potong Sorohpati dengan
mata merah. "Aku tadi kau suruh berbicara terus terang. Bukankah
begitu?" ' "Lekas! Berbicaralah! Dan jangan main bukan, bukan,
bukan tak keruan juntrungnya!" Sorohpati tak bersabar
lagi. Dan melihat Sorohpati kehilangan kesabarannya,
Brajabirawa tertawa senang.
"Kau mengira, aku ini masih murid Watu Gunung
bukan" Hiahaa.... Memang benar aku akan tetap murid
Watu Gunung. Tetapi, aku sendiri mempunyai
kepentingan hari depan. Watu Gunung yang terkenal
semenjak sebelum Ratu Bagus Boang11) bukanlah Watu
Gunung sekarang. Beliau sekarang ini, adalah murid
keturunan ketiga. Untuk memperingati jasa leluhur.
Beliau masih menyematkan nama itu. Nah, kau sekarang
sudah tahu bukan?" "Hm. Kau mengoceh tak keruan."
"'Demi Iblis! Setan atau siluman! Aku berkata benar.
Kau tak tahu apa sebabnya"
Karena malam ini kau toh takkan bisa berlalu dari sini
dengan selamat, bukan" Bukan?"
Jengkel hati Sorohpati mendengar lagu suaranya.
Apalagi Astika yang beradat panas . Dengan mendelik,
gadis itu membentak: "Hai, si Bukan! Kau ini seperti
setan, bukan" Bukan" Hm. Matamu yang sipit itu
mengingatkan aku kepada tikus bukan" Benar begitu,
bukan" Bukan" Bukan?"
"Tutup mulut!" bentak Brajabirawa. "Kau ingin aku
berbicara atau tidak?"
Sorohpati mengedipi Astika yang hendak mengumbar
mulutnya. Gadis itu lantas terdiam, tapi matanya tetap
mendelik. "Baiklah kuteruskan," kata Brajabirawa berlagu lagi.
"Meskipun aku ini masih mempunyai sangkut paut
dengan Watu Gunung, tapi perkara wasiat itu aku
mempunyai jalanku sendiri. Aku sekarang bekerja di
bawah perintah Letnan Jendral Gubernur Raffles. Beliau
ini seorang pembesar tinggi yang gemar mengumpulkan
pusaka-pusaka kuno.12) Maka, kalau aku
mempersembahkan wasiat itu kepada Beliau, bukankah
kau pun berarti ikut menyumbang kepada kesejahteraan
dunia?" "Jahanam tak mempunyai malu!" bentak Sorohpati.
Kemudian membantin: Hari ini"meskipun Watu Gunung
tidak muncul"tampaknya aku tak gampang-gampang
pula lolos dari sini. Baiklah aku bersabar dahulu. Dia mau
apa" Karena memikir demikian, tiba-tiba ia menyarung-
kan pedangnya kembali. "Jadi kau hendak menangkap
aku untuk kau serahkan kepada tentara Inggris?"
"Bukan! Bukan!"sahut Brajabirawa cepat. Dan Dadang
Kartapati yang semenjak tadi berdiam diri, ikut
menimbrung. "Kami hanya pinjam surat wasiat itu saja."
Sederhana bunyi kata-katanya. Terlalu sederhana,
malah. Ia menggunakan istilah pinjam seperti hendak
meminjam sekaleng beras. Wajah Sorohpati lantas saja
menjadi pucat lesi, kemudian merah padam, la heran,
kaget, mendongkol dan bergusar menyaksikan kelicikan
dan kelicinan mereka. Saking mendongkolnya, mulutnya
sampai terkunci rapat. Berkatalah Dadang Kartapati lagi. "Kami ini semua
segolongan dengan engkau bertiga. Bedanya, kami
dilahirkan di Jawa Barat dan kalian disini. Kau pun seperti
kami, kalau bilang satu memang satu. Dua memang dua.
Aku bilang pinjam, maka aku meminjam benar. Kau tak
perlu berbicara. Cukup mengangguk! Dan perkara Watu
Gunung, tak usah kaupusingkan. Kami akan sanggup
membereskan." Mendengar keterangan Dadang Kartapati, Tahulah
Sorohpati bahwa di belakang mereka terjadi suatu
peristiwa yang hebat dalam perguruannya. Entah siapa
yang di sebut Watu Gunung itu. Dia sendiri belum pernah
melihat Watu Gunung yang termasyhur di Jawa Barat.
Seumpama sekarang muncul seorang yang mengaku
ternama Watu Gunung, ia sendiri tak dapat memperoleh
kepastian tulen atau palsunya.
Mendadak saja Kartawirya ikut berbicara. "Sadarlah!
Semua orang di seluruh penjuru ini sedang mencari
dirimu. Kami, mencarimu. Pendekar Watu Gunung
mencarimu. Brajabirawa mencarimu. Dadang Kartapati
mencarimu. Tentara Inggris mencarimu. Entah, siapa lagi
yang bakal mencarimu. Dan meskipun engkau mem-
punyai tujuh kepala dan kepandaian setinggi langit,
dapatkah engkau mempertahankan hidupmu" Paling
baik, kau serahkan wasiat itu!"
"Benar," sambung Dadang Kartapati. "Kepada tentara
Inggris! Dengan begitu kau bisa mengandalkan kepada
kekuatannya dan perlindungannya.
Beragam tiga orang itu cara berbicaranya. Mereka
berbicara bergantian dengan gaya dan lagu suaranya
masing-masing. Astika yang mendengar bunyi kata-
katanya jadi pusing. Pikirnya diam-diam"wasiat apakah
itu, sampai semua orang mencari Ayah" Dan kenapa
Ayah dituduhnya sebagai biang keladi terbunuhnya Ibu.
Ah, pastilah itu suatu fitnah belaka!"Dalam bingungnya,
ia menggenggam hulu pedangnya erat-erat.
Sorohpati melihat gerakan tangan Astika. Dia pun
terbenam dalam kesangsian. Meskipun licik dan licin
mereka, tetapi ada benarnya juga. Ia jadi beragu untuk
mengambil suatu keputusan. Kalau ia menyerahkan surat
wasiat itu, berarti mensia-siakan kepercayaan puteri
Adipati Surengpati yang kini sedang sibuk menyusun
kekuatan mengusir semua bentuk penjajahan dari bumi
Nusantara. Entah di mana beradanya puteri itu kini.
Sebaliknya kalau bersitegang, suatu pertempuran mati


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup bakal terjadi. Ia sendiri sudah tidak memikirkan
mati hidupnya. Tetapi bagaimana dengan Gandarpati"
Bagaimana pula Astika" Anak sebatang kara itu, masakan
hanya diberi kesempatan hidup selama dua belas tahun
saja" la jadi terharu dan pilu. Mendadak timbullah
kejantanannya. "Biar bagaimana juga, tak boleh aku mensia-siakan
suatu kepercayaan." Lalu berbisik kepada Astika.
"Anakku, lebih baik hidup satu hari menjadi harimau
daripada hidup satu tahun menjadi kambing. Kau
mengerti maksudku?" Semenjak tadi, Astika sudah tahu bahwa pertempuran
akan segera terjadi. Walaupun tidak mengerti benar apa
hikmah kata-kata itu, dia lantas menyahut dengan cara
berpikirnya sendiri. Ayah, biar bagaimana pun juga
jangan dengarkan bujukan mereka. Mereka semua bukan
makhluk baik-baik. Mereka kumpulan setan dan iblis
yang hendak menghina Ayah. Aku tidak akan
membiarkan Ayah terhina. Biar seuntai rambut pun akan
kupertahankan nama baik Ayah."
Bukan main terharunya hati Sorohpati. Kalau saja
tidak dihadapan orang banyak, pastilah ia akan
memeluknya dan mengusap-usap rambutnya. Tak
pernah disangkanya, bahwa keadaan yang tegang itu
bisa mematangkan cara berpikir gadis itu begitu cepat.
Sebaliknya Kartawirya lantas membentak. "Hai, nona
kecil! Kau berhak apa berbicara dihadapan kami?"
Astika tiada gentar, la malahan bergusar. Sambil
memasang pedangnya dia melompat maju. Katanya
menantang, "Kau manusia apa sampai berani menegur
aku?" Kartawirya terhenyak mendengar tantangan si bocah
ingusan yang begitu ketus. Hatinya mendongkol. Karena
mendongkolnya, ia sampai tertawa terbahak-bahak.
"Apa! Kau menantang aku" Kau tak pantas menjadi
tandinganku!" Lalu menoleh kepada salah seorang. "Hai,
Ujang! Kau hajarlah bocah yang tak tahu adat itu!"
Orang yang dipanggil Ujang berusia kurang lebih 24
tahun. Ia terkenal berani, tapi sembrono. Begitu
dipanggil, lantas saja melompat dengan menyabetkan
goloknya. Sorohpati hendak membuka mulut mencegah, tetapi
Astika sudah terlanjur maju. Alis gadis itu yang lentik
terbangun sekaligus. Dengan suatu gerakan, pedangnya
menyambar. Sasarannya mengarah dada.
ujang mengayunkan tangan kirinya untuk menangkis.
Akan tetapi sesungguhnya hanya suatu gertakan belaka.
Maksudnya agar Astika membatalkan tikamannya.
Berbareng dengan itu, tangan kanannya menyambar
menghantam kepala. Hebat tenaganya. Itulah jurus
menggempur Gunung Jamur Dwipa. Dengan gempuran
itu, ia memandang enteng lawannya. Dan sengaja
menggunakan gerak tipu yang sederhana. Kalau berhasil
dengan sekali gebrak saja sudah menjatuhkan lawan.
Akan tetapi, Astika sedikit banyak sudah mewarisi ilmu
pedang Sorohpati. Meskipun usianya lagi dua belas
tahun, tetapi dia bukan dara yang belum pandai
beringus. Dengan sebat ia berkelit13). Tapi kelihatannya
bukan untuk menyingkirkan diri. Sebaliknya ia
memperlihatkan kegesitannya. Tiba-tiba maju selangkah
membalas menyerang. Kedua tangannya bergerak.
Kakinya bergerak pula. Kelihatannya dia sedang
menangkis tak tahunya kakinya membangkol.
"Awas kaki!" teriak Kartawirya memberi peringatan.
Ternyata gerakan kaki Astika sangat cepat. Sebelum
Ujang sadar akan peringatannya, dia sudah roboh
terjengkang. Dan melihat robohnya Ujang, Astika puas.
Dasar masih kanak-kanak ia menggertak Ujang. "Hai,
badut! Kau gaploklah kedua telingamu pulang pergi. Dan
aku akan ampuni jiwamu."
Keruan saja, Ujang seperti diguyur air panas. Dengan
murka ia melompat. Sekarang ia jadi mata gelap. Kaki
dan tangannya bekerja dengan berbareng. Tenaga yang
dikerahkan sangat besar. Ingin ia meremuk tulang
belulang dara bermulut jahil itu.
Astika pun lantas mengumbar adatnya. Melihat Ujang
membangkang kemauan baiknya, ia jadi bergusar.
Mengapa dia masih melawan juga selagi telah
kukalahkan, pikirnya, la tak tahu bahwa dalam suatu
perkelahian benar-benar tidaklah mirip berkelahi di atas
panggung latihan. Tatkala mendengar kesiur angin
tenaga lawan, diam-diam ia menyiapkan senjata bidiknya
yang berwujud jarum, la berpura-pura berkelit dengan
teriakan cemas. Tangan kanannya yang membawa
pedang menangkis. Tahu-tahu tangan kirinya melepas ja-
rumnya. Ujang berani tapi sembrono, la percaya betul kepada
tenaga dan kemampuannya sendiri. Pastilah kali ini akan
berhasil. Tatkala kedua tangannya hendak
mencengkeram dada, tiba-tiba ia menjerit. Talapak
tangannya nyeri dan gatal. Tatkala diperiksa ternyata
kena jarum berbisa. "Manusia rendah!" makinya. "Mengapa kau
menggunakan senjata berbisa. Kalau begitu, kau harus
membayar dengan nyawamu!"
Setelah berkata demikian, ia melompat sambil
menggerung. Astika tidak takut. Ia bahkan iertawa.
"Engkaulah yang menyerang aku dan bukannya aku.
Kau ini sudah terluka, apakah masih serani maju pula!"
katanya. Astika berlagak sebagai seorang pendekar besar.
Sambil mengoceh tangan dan kakinya bekerja melayani
Ujang. Memang ilmu warisan Sorohpati bukan bernilai
rendah. Sekali lagi, kaki kirinya berhasil menjejak perut.
Kemudian kaki kanannya mendupak. Bres! Ujang
terpental dan terbanting di atas tanah. Kali ini ia tak
dapat bangun dengan segera.
Astika tertawa senang. Namun hatinya belum puas.
Katanya menegur Kartawirya: "Eh, kau! Kau pun harus
menggaploki mukamu sendiri sampai matang biru!"
"Astika, jangan sembrono! Mundur!" teriak Sorohpati.
Kartawirya sudah merah padam kena direndahkan
Astika. Dengan perlahan-lahan ia maju mendekati.
Namun Astika masih saja tertawa.
"Nona kecil, kau hebat. Bukankah kau menggunakan
jarum berbisa," kata Kartawirya dengan bergusar.
Astika menegakkan kepala. Diam-diam ia menyiapkan
jarumnya lagi. Tiba-tiba hatinya terkesiap, la mendengar
rintih Ujang. Inilah untuk yang pertama kalinya ia
melukai seseorang. Betapa pun juga, ia bukan seorang
gadis yang kejam. Maka ia menyesal apa sebab tadi ia
buru-buru menggunakan senjata beracunnya.
Senjata rahasia yang digunakan, sesungguhnya
senjata rahasia Sorohpati. Pendekar ini memperoleh
senjata beracun itu dari anaknya yang sudah mewarisi
ilmu tabib sakti Maulana Ibrahim.
Racunnya jahat dan bekerja sangat cepat. Dan jarum
itu sendiri sangat halus. Panjangnya setengah dim.
Apabila mengenai sasarannya akan menembus sampai
kejalan darah. Untuk mencabutnya kembali harus
menggunakan besi berani. Dan untuk mengobati
lukanya, akan membutuhkan waktu selama satu dua
bulan. Inilah pengalamannya Astika yang belum disadari
betapa hebat akibatnya. Dan pengalamannya ini kelak akan tersimpan terus di
dalam hatinya, sehingga tujuh tahun kemudian tak sudi
lagi ia menggunakan senjata be--acun.
"Paman! Bolehkah aku membantu mengobati
lukanya?" katanya dengan setulus-tulusnya.
Tetapi Kartawirya tertawa lebar. "Bagus! Hatimu
sangat baik." Astika tidak menduga buruk, la merobek ujung
bajunya dan menghampiri Ujang yang merintih-rintih
kesakitan, la berjongkok hendak menolong korbannya, la
seorang gadis yang berpengalaman. Tak tahu ia akan
keburukan orang-orang yang hidup dalam petualangan.
Baru saja membungkuk tiba-tiba ia merasakan sesuatu
sambaran angin yang dibarengi dengan berkelebatnya
bayangan hitam. Terdengar bentakan nyaring pula.
"Perempuan rendah! Hari ini kau akan kubuat mati
tidak wajar." Dalam keadaan demikian, sudah barang tentu Astika
tak berdaya menghadapi serangan gelap itu. Ia hanya
dapat menjerit kaget. Matanya dimeremkan menunggu
maut. Mendadak terdengar suara gedebrukan. la
menoleh dan melihat Kartawirya terbanting bergulingan
diatas tanah. "Kartawirya! Benar-benar engkau seorang pendekar
hebat sampai perlu membokong 14) gadis yang belum
pandai beringus!" terdengar suara bentakan.
Dialah Sorohpati yang melesat dari tempat duduknya
dan menghantam Kartawirya dengan kibasan tangannya.
Setelah bergelundungan, Kartawirya meletik bangun,
la tidak terluka parah. Maka dengan cepat pula ia sudah
berhadapan dengan Sorohpati.
"Sorohpati, kau datang kemari untuk mengumbar
adat. Huh!" tegurnya. "Kau memang seorang pendekar
jempolan. Bukankah kau berjanji hendak menyerahkan
surat wasiat itu" Mengapa sekarang begini?"
'Bagus! Rupanya dalam beberapa tahun ini, "laju
ilmukepandaianmu. Tapi jangan bermimpi bisa
mengambil nyawaku," kata Sorohpati. Dan begitu selesai
berbicara, ia pun melesat tinggi ........
Dengan sekali gerak, Kartawirya menarik goloknya
yang panjang. Ia terus maju menyerang dengan dahsyat.
Besar tenaganya, sampai angin terasa bergulungan.
Sorohpati masih mendongkol melihat puterinya hampir
kena serangan gelap. Ia mencabut pedangnya dan
menyapu serangan Kartawirya. Kedua senjata beradu.
Trang! Hebat kesudahannya. Lengan Kartawirya menjadi
pegal dan terasa nyeri sampai menusuk jantung.
Sedangkan Sorohpati tidak sudi menyudahi gebahannya
sampai di situ saja. la bergerak menikam. Kakinya maju
mengadakan serangan balasan. Ujung pedangnya selalu
bergerak dan berputar-putar mencari kelemahan lawan.
Walaupun tangannya sakit, namun Kartawirya masih
sempat untuk mengelak. Tapi Sorohpati benar-benar
gesit di luar dugaannya. Sesudah gagal menikam, ia
menyabet. Kemudian menyusuli dengan serangan
berantai tiga kali beruntun. Dan diberondong terus-
terusan begitu. Kartawirya benar-benar jadi kelabakan. la
hanya mampu menangkis dengan mundur. Bayangan
maut selalu memburunya dari tempat ke tempat. Mau tak
mau hati Kartawirya kebat kebit tak keruan rasanya.
"Orang ini benar-benar hebat," katanya di dalam hati.
"Pantas puteri Adipati Surengpati mempercayakan surat
wasiatnya." Memikir demikian, tak malu lagi ia berteriak
minta bantuan. "Tahan!" teriak Brajabirawa sambil melompat. Dengan
tongkat bajanya ia menghantam ujung pedang Sorohpati
yang jadi miring. Sorohpati kaget. Pikirnya, selain terkenal licik,
tampaknya ia tangguh pula di luar dugaanku sendiri. Hm,
aku bakal ketemu tandingku.
la lantas mencelat mundur. Sambil melintangkan
pedangnya di depan dadanya, katanya, Brajabirawa!
Meskipun anakku bandel dan nakal, tapi membokong
dengan pukulan maut adalah keterlaluan."
Kartawirya waktu itu lagi mengatur napas. Benar-
benar ia baru terlepas dari lubang jarum, a mundur tiga
langkah meskipun hatinya gentar, namun masih bisa ia
membawa lagaknya. Dia tertawa seram sambil
menyahut: "Itulah urusan kcecil. Apa perlu kau
pusingkan. Sorohpati, kita semua sudah berusia lanjut.
Marilah kita membicarakan hal-hal yang menyangkut
urusan kita saja." "Hm. Sekarang kalian mau apa" Coba bicarakan lagi!"
bentak Sorohpati. "Bukankah sudah terang?" kata Kartawirya. "Kami
ingin pinjam surat wasiat itu. Semuanya ini demi
kebaikanmu sendiri. Aku sudah bilang, seluruh penjuru
dunia orang mencarimu. Kau akan mengungsi ke mana?"
"Ih! Bisa saja kau berbicara begini baik seolah-olah
engkau malaikat penyelamat," bentak Sorohpati yang
sudah mengambil suatu keputusan. Berkata nyaring,
"Dengarkan jawabanku. Aku Sorohpati sudah biasa hidup
malang-melintang seorang diri. Mati hidup bukanlah soal.
Siapakah yang tidak bakal mati" Karena itu, meskipun
kau hendak mengutungi kepalaku, aku tidak akan
menyesal. Kau jangan bermimpi yang bukan-bukan!"
Hebat kata-katanya, sampai mereka yang mendengar
berubah wajahnya. Mereka lantas saling pandang
menunggu sesuatu keputusan. Dan sejenak kemudian,
Brajabirawa tertawa tinggi. Katanya menggertak. "Jadi
benar-benar engkau tidak memikirkan hari depanmu"
Ingat, anakmu masih di rantau orang. Pada suatu kali dia
mesti datang mencarimu. Kau pertimbangkan hal itu!
Apakah tidak terpukul hatinya, manakala dia hanya
menemui kuburanmu?" la berhenti mengesankan.
"Sekarang begini saja.
Biarlah atas nama Pemerintah Inggris aku mengganti
biaya jerih payahmu. Kau sebutkan jumlahnya. Dan aku
berjanji tidak akan menawar-nawar."
Sorohpati sudah tak dapat terbujuk lagi. Baik hati dan
raut mukanya sedikit pun tidak goyang-goyang. Dengan
pandang menyala ia menyahut. "Brajabirawa! Benar-
benarkah kau menghendaki barang itu?"
Inilah suatu penyahutan yang sama sekali tak terduga
sama sekali, sehingga membuat Brajabirawa tercengang.
Suatu harapan timbul dalam dadanya.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar. Di mana wasiat itu?" katanya menegas.
Sorohpati tertawa terbahak-bahak lama sekali. Baru
menjawab. "Kalau kau benar-benar menghendaki surat
wasiat itu, aku bersedia menunjukkan."
"Di mana" Lekas, katakan!" Brajabirawa kini yang
berganti tak sabar. "Kau sanggup?" "Katakan! Cepat!"
Dengan mengelus-elus jenggotnya, Sorohpati berkata
di tekan-tekan: "Wasiat itu kini sudah berada di dasar
lautan. Nah, gerayangi dasar lautan di seluruh penjuru
dunia. Kau pasti akan menemukan."
Dan mendengar keterangan Sorohpati, Brajabirawa
menggerung karena meluapnya hawa marah. "Bagus!
Bagus!" ia berseru seraya tertawa panjang saking
marahnya. "Benar-benar engkau manusia kurang ajar.
Kalau tidak diberi hajaran setimpal, kau belum mengerti
siapa aku sebenarnya. Dadang Kartapati, Kartawirya,
maju!" Setelah berkata demikian, tongkat bajanya bergerak,
la menyapu pinggang Sorohpati dengan hati geram.
Hebat tenaganya. Angin bergulungan melanda dada
Sorohpati. Namun Sorohpati tidak gentar, la pantang
mundur biar selangkah pun juga. Dengan mata menyala
ia melintangkan pedangnya. Kemudian membabat.
2 ORANG BERJUBAH KELABU DADANG KARTAPATI dan Kartawirya segera maju
pula. Melihat lawannya tidak boleh dibuat gegabah,
mereka hanya mengambil sikap mengurung.
"Sorohpati!" teriak Dadang Kartapati. "Kau datang
kemari karena memegang janji hendak menyerahkan
surat wasiat itu. Aku pun memegang janji pula tidak
membasmi sekalian penduduk Kota Waringin. Tapi
ternyata kau ingkar janji. Maka jangan sesalkan! Kami
terpaksa merajang tubuhmu menjadi bergedel!"
"Kau berani" Boleh coba!" tantang Sorohpati.
Dadang Kartapati jadi panas hati. Berbareng dengan
Brajabirawa, ia melompat menyerang dengan
cempulingnya. Dikerubut dua orang dengan sekaligus,
Sorohpati tidak takut. Masih bisa ia berbicara. Serunya,
"Aku telah berusia lanjut. Sudah waktunya aku
merangkaki liang kubur. Legakan hati kalian"aku tidak akan menyesal atau
berpenasaran." Dengan gesit ia mengelakkan serentetan serangan,
kemudian membalas. Pedangnya bergerak seperti kitiran
dan mencecar dari samping. Sasarannya kini kepada
Kartawirya yang didengkinya.
Kartawirya buru-buru menangkis. Ia tahu, dirinya
berada di antara teman-temannya. Lagi-pula disarangnya
sendiri. Di luar tenda puluhan anak buahnya berbaris
rapat menunggu perintah. Karena itu hatinya gede.
Walaupun agak jeri terhadap Sorohpati, namun bisa ia
berlagak. Setelah terbebas dari suatu serangan
mendadak, ia maju mendesak.
Brajabirawa bersenjata sebatang tongkat panjang
semacam tombak. Bersama Dadang Kartapati yang
bersenjata cempuling, ia mendesak dari samping.
Dengan begitu, Sorohpati kini benar-benar terkurung.
Namun jago tua itu sedikit pun tiada gentar. Pe-
dangnya berkeredepan mengundurkan Kartawirya
dahulu, kemudian balik menikam Dadang Kartapati dan
Brajabirawa dengan berbareng. Hebat dan gesit gerakan
pedangnya. Tiba-tiba suatu samberan angin terasa
berada dibelakangnya. Ia menoleh dan melihat seorang
berperawakan tinggi jangkung datang menimbrung.
Rupanya dia salah seorang ketua pasukan yang sengaja
datang membantu rekan-rekannya. Tak peduli siapa dia,
pedang Sorohpati terus menyapu. Trang! Pedangnya
terpental balik dan memapas cempuling Dadang
Kartapati sambil berseru, "Bagus!"
Itulah salah satu tipu muslihat menggunakan tenaga
lawan. Begitu pedangnya kena terpental balik, tiba-tiba
menyambar dada Brajabirawa yang tidak berjaga-jaga.
Hebatnya lagi, ujung pedangnya hanya menggores
lengan. Sasarannya yang benar ialah dada Kartawirya.
Orang ini lantas saja menjerit tinggi.
"Bangsat! Dadang Kartapati. Di sini kau mau
mengumbar adatmu?" Panas hatinya pendekar ini. Cempulingnya lantas
berkesiur menghantam kepala. Tapi Sorohpati hanya
cukup memiringkan kepala. Pedangnya bergerak
memukul tangkainya. Kemudian mental menghantam
tongkat baja Brajabirawa.
"Lepas atau kutung lenganmu!" teriaknya garang.
Brajabirawa kaget kena serangan yang sama sekali tak
terduga. Dalam keadaan tak bersiaga, buru-buru ia
mengangkat tongkat bajanya melintang untuk
melindungi dirinya. Tetapi lengannya tadi sudah tergores
pedang. Betapa pun juga mengurangi pemusatan pikiran.
Tiba-tiba saja tongkat bajanya terlepas dari genggaman
dan terlempar tinggi ke udara.
Inilah kesempatan yang bagus. Sorohpati lantas maju
dan membabatkan pedangnya. Brajabirawa menjerit
tinggi. Lengannya kutung, sehingga ia terbanting di atas
tanah dan mengerang-erang kesakitan.
Tetapi pada saat itu juga, Sorohpati mundur pula
dengan sempoyongan. Ia memekik tertahan. Matanya
berkunang-kunang dan kedua kakinya terasa lemas.
Hampir saja ia tak sanggup mempertahankan diri. Sebab
selagi ia tadi menghajar Brajabirawa, Dadang Kartapati
dan si Jangkung menyerang pula dengan berbareng.
Tentu saja gabungan mereka bukan main besarnya.
"Tahan!" seru Sorohpati setelah terhajar. "Aku hendak
berbicara." Selagi membuka mulut demikian, ia melontakkan
darah, jelaslah, bahwa ia terkena hajaran berat. Dan
melihat ia terluka parah, orang-orang yang mengepung
arena menjadi lega. Mereka yakin, bahwa dia bakal
merubah sikap. "Sorohpati, berbicaralah!" kata Dadang Kartapati
dengan tertawa. Sorohpati melontakkan darah lagi. Kemudian sambil
menuding Gandarpati dan Astika, ia berkata: "Kau
dengarkan, kata-kataku ini. Aku semenjak berangkat
kemari, tak lagi aku memikirkan mati hidupku. Mula-mula
aku bermaksud untuk mencoba menjalin suatu
persahabatan dengan kamu bertiga. Betapa pun juga,
kamu bertiga sebenarnya adalah tuan-tuan budiman.
Tetapi ternyata kesudahannya lain sekali. Namun aku
tetap percaya, bahwa kamu semua adalah tuan-tuan
yang terhormat. Yang dapat membedakan antara denda
dan budi. Yang dapat memisahkan antara yang
tersangkut dan tidak. Maka itu tuan-tuan dalam hal ini
murid dan anakku hendaklah jangan kamu bawa-bawa.
Sebagai pengganti mereka, nah majukanlah lagi dua
orang untuk mengembut aku."
"Hm!" Dadang Kartapati menggerendeng. Ia tahu
maksud Sorohpati yang hendak menyelamatkan murid
dan anaknya. Dasar ia licin, justru terbangunlah akalnya.
Sahutnya, "Dalam hal ini kita lihat saja nanti bagaimana
nasib mereka. Bagus atau tidak, tergantung kepada
keadaan." Sekian lama, Gandarpati tidak membuka mulut atau
meraba pedang karena patuh terhadap perintah gurunya.
Tapi begitu mendengar ucapan Dadang Kartapati, ia tak
dapat membungkam terus. "Guru!" serunya sambil meraba hulu pedangnya.
Benar-benar ia tak dapat berdiam diri menyaksikan luka
parah gurunya. "Jangan bergerak!" teriak Sorohpati.
Akan tetapi Astika yang beradat panas telah melompat
dengan teriak nyaring. Cepat Gandarpati menyambar
lengannya dan ditariknya. Katanya perlahan, "Adik,
dengarlah dulu kata ayahmu."
Astika merenggut tangannya sambil membentak
sengit. "Hm, pengecut!"
Masih dapat Gandarpati menguasai mulutnya. Dasar ia
memang seorang pendiam. Lalu membuang mukanya ke
arah gelanggang. Di sana babak baru mulai lagi.
"Tua bangka, kau hendak berpesan apalagi?" teriak
Dadang Kartapati. Sambil berteriak, cempuling bergerak
menghantam dahsyat. Buru-buru Sorohpati menangkis sambaran cempuling
itu. Sekarang ia merasakan kuat tenaga lawan, sehingga
seluruh sendi-sendi tulangnya terasa nyaris lumpuh.
Tetapi menyaksikan kelicikan Dadang Kartapati tak dapat
ia tinggal menyerah saja. Insyaflah sekarang, saat mati
hidup terjadi dalam babak baru ini. Lolos atau mati. Maka
dengan mengerahkan semangat tempurnya, ia membalas
menyerang. Dengan rapat ia membela diri dengan ilmu-
ilmu simpanannya dan dengan ganas ia menikam dan
mendesak. Dadang Kartapati benar-benar kagum atas
ketangguhannya. Coba dia tak terluka, pastilah akan
lebih hebat. Katanya dalam hati. "Tidak kusangka ia
begini tangguh. Untung aku tadi berhasil menghajar
kepungannya. Kalau tidak..." Teringatlah dia, bahwa
Sorohpati tadi memperkenankannya mengajukan dua
orang lagi sebagai pengganti kedudukan Gandarpati dan
Astika. Karena licik, segera ia memanggil empat orang
pembantunya sekaligus. Kemudian barulah ia menyerang
berbarengan seperti turunnya hujan lebat.
Dalam keadaan mati hidup, Sorohpati memperlihatkan
kemampuannya. Pedangnya ber-keredep menghadapi
keroyokan mereka. Air mukanya tenang berwibawa.
Meskipun diserang bagaikan hujan badai, sama sekali tak
bergeming. Inilah suatu pertempuran mati-matian yang
tidak memikirkan lagi keselamatan jiwa. Tujuannya
hanya satu: mati berbareng dengan sekalian musuhnya.
Melihat pertarungan itu, tergoncang hati Astika. Ia pilu
terharu, cemas dan panas. Benar-benar keterlaluan
pengeroyok itu. Beberapa kali ia hendak melompat maju,
namun setiap kali Gandarpati mencegahnya. Dengan
suara tenang Gandarpati menghibur.
"Legakan hatimu, Guru belum kalah."
"Tapi kalau Ayah sudah keteter4), bagaimana kita
akan menolongnya?" Astika menegas.
Gandarpati tidak menjawab. Tangannya hanya
menuding. Katanya, "Lihatlah! Itulah suatu tipu-muslihat
ilmu simpanan ayahmu!"
") keteter: terdesak
Memang benar. Pada saat itu Sorohpati menggunakan
ilmu simpanan warisan tabib sakti Maulana Ibrahim yang
diwarisi lewat anaknya: Manik Angkeran. Tiba-tiba ia
mendesak Dadang Kartapati tiga langkah. Kemudian
melesat menikam Kartawirya yang sudah terluka dan
berada di pinggir arena. Orang ini kelabakan kena dise-
rang dengan mendadak. Belum lagi dapat berbuat
sesuatu, kembali lagi dadanya berlubang.
la terbanting tertengkurap dengan mengaduh sedih.
Sorohpati tidak hanya berhenti sampai di situ saja.
Mendadak tubuhnya melesat mundur dan menghantam
dua lawannya dengan sikunya. Kemudian merabu
Dadang Kartapati yang sedang tercengang-cengang
menyaksikan kegesitannya. Untung, dia bukan orang
lemah. Buru-buru ia mengayun cempulingnya dan
menangkis dengan mengadu tenaga.
Serangan pembalasan yang cepat ini benar-benar
diluar dugaan mereka. Itulah jurus sakti berasal dari
perguruan Sadewata, guru Maulana Ibrahim, Tatang
Manggala dan Diah Kartika. Dengan jurus itu pula, Diah
Kartika pernah melukai dua puluh lawan dengan sekali
gerak5) Maka tak mengherankan, bahwa dalam gerakan
itu Sorohpati dapat melukai tiga lawannya secara cepat
sekali. Brajabirawa yang menggeletak di pinggir arena
berseru keras karena kagetnya. Serunya tak jelas.
"Dadang! Awas!"
Waktu itu Dadang Kartapati sedang maju
mengayunkan cempulingnya. Karena penasaran ia
,5) baca Bende Mataram jilid 12
hendak membuat perhitungan. Ia yakin dalam hal
mengadu tenaga ia menang seurat, karena Sorohpati
telah terluka. Itulah sebabnya, ia ber-besar hati. Tanpa
memedulikan kemampuan diri ia lantas menghantam.
Sorohpati ternyata masih gesit. Melihat berkelebatnya
cempuling Dadang Kartapati, ia berkelit, pedangnya
lempang ke depan dan menikam dengan mendadak. Dan
pada saat itu juga, Dadang Kartapati menjerit kesakitan.
Lengan kirinya kena tertikam dan hampir rantas dari
tubuhnya sehingga ia terus mengiang-iang.
Astika yang tadinya berkecil hati, berbalik menjadi
bangga. Terus saja ia bertepuk-tepuk girang. Dasar
masih kanak-kanak, ia lalu berteriak: "Ah, benar-benar
hebat! Kalau begini mana bisa kawanan tikus melawan
ular?" Sorohpati sendiri terbangun pula semangat
tempurnya. Dalam keadaan demikian, masih bisa ia
merobohkan seorang lawan lagi di luar dugaannya
sendiri. Dengan begitu, tekanan terhadap dirinya agak
jadi ringan. Dengan mulut dan pedang yang berlepotan
darah, ia memutar menghadapi empat lawan lagi yang
datang mengepung. Sekarang dari luar tenda, masuklah sepuluh orang lagi
dan terus bergerak mengepung. Meskipun Sorohpati
tangguh namun ia tak dapat berkelahi terus menerus.
Mulutnya terus-menerus menyemburkan gumpalan darah
pula. Lambat-laun tenaganya nampak habis. Entah bera-
pa lama lagi ia dapat mempertahankan diri.
Brajabirawa waktu itu telah digotong anak buahnya


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan didudukkan di atas kursi. Ia pingsan beberapa kali.
Tetapi setiap sadar dari pingsannya, masih ia ingat
rencana kelicikannya. Serunya: "Jangan... dibunuh...
kamu mengerti maksudku?"
Seruan ini segera disampaikan kepada siapa saja yang
mendengar. Maka sebentar kemudian terdengar pula
suatu jawaban. "Baik, baik. Kami tahu maksud Tuan...."
Sorohpati dapat menebak maksud lawannya. Katanya
dengan tertawa: "Kalian hendak menangkap aku hidup-
hidup untuk kalian tukarkan dengan pangkat... jangan
harap!" Semua orang tahu, bahwa jago tua itu berkepala batu.
Mereka tak sudi meladeni. Dengan secara bergiliran dan
bergantian mereka menyerang dan mundur. Dan
diserang dengan cara demikian habislah tenaga
Sorohpati: Matanya mulai berkunang-kunang. Kepalanya
puyeng dan telinganya pengang. Kembali lagi ia
memuntahkan darah. Namun tak sudi ia menyerah men-
tah-mentah. Masih saja ia berusaha mengeluarkan ilmu
simpanannya sambil berseru kepada muridnya.
"Gandarpati, kau perhatikan semuanya ini. Di
kemudian hari akan besar faedahnya."
Sebenarnya tidak boleh ia bergerak di luar batas sisa
tenaganya, mengobral tenaga dengan cara demikian,
berarti membunuh diri sendiri. Tetapi pada saat itu, ia
tak mengharapkan hidup lagi. Tujuannya sekarang
hendak memperlihatkan semua ilmu simpanannya yang
belum sempat diwariskan kepada murid satu-satunya itu.
Ia sadar, bahwa hal itu sebenarnya hanya merupakan
hiburan pengantar perjalanannya yang terakhir. Dalam
keadaan demikian, alangkah terasa nikmat.
Dengan mengobral latihannya selama empat puluh
tahun lebih, ia mendesak belasan lawannya dalam tiga
puluh jurus. Setelah itu mulailah ia membela diri. Guru
Maulana Ibrahim, memang seorang ahli pedang pada
zaman Ratu Bagus Boang. Ilmu pedangnya berisi tiga
puluh enam jurus pokok. Di samping menyerang, ingat
pula untuk membela diri. Dengan ilmu pedang itu pulalah
Diah Kartika menjagoi di seluruh Jawa Barat. Edoh
Permanasari satu-satunya pewaris ilmu pedang Ratu
Fatimah sukar menandingi. Dan ilmu pedang guru besar
Sadewata itu, diwarisi Sorohpati lewat anaknya Manik
Angkeran. Dasar mempunyai bakat baik, dapat ia
menyelami sampai kedasarnya. la mencampur adukkan
dengan ilmu pedang ajaran Adipati Surengpati. Maka tak
mengherankan- meskipun dalam keadaan luka parah-
belasan pengeroyoknya tak dapat mendekatinya. Mereka
hanya menunggu kelelahannya belaka.
Setelah lewat beberapa jurus lagi, mendadak
Sorohpati menyampok lima batang golok yang
mengancam dengan berbareng. Begitu ber-gelontangan
di atas tanah, segera ia berseru: "Tahan sebentar! Aku
hendak berbicara...."
"Kau mau ngomong apa lagi?" bentak salah seorang.
"Mana Dadang Kartapati" Apakah dia masih bisa diajak
berbicara?" Kala itu, lengan Dadang Kartapati yang yaris rantas
sudah mendapat pertolongan.
Meskipun agak mendingan, namun sakitnya luar biasa.
Ia mengatupkan giginya untuk menahan rasa sakit. Tak
urung kedua matanya merah berlinangan juga. Tapi
begitu mendengar suara Sorohpati, tak sudi ia berada di
bawah pengaruh. Dengan membusungkan dada, ia me-
maksa menyahut. "Aku di sini. Kau mau pesan apa?"
"Apakah kau benar-benar menghendaki barang itu?"
"Hm, apakah kau sangka, aku cuma main-main saja?"
Dadang Kartapati mendongkol.
"Baik," tungkas Sorohpati. "Akan kuserahkan barang
itu, asal saja kau sudi menerima dua syaratku."
"Syarat apakah itu" Coba bilang!" sahut Dadang
Kartapati dengan mengatupkan giginya.
"Yang pertama, kau menjamin keselamatan dua
pengikutku ini. Bagaimana?"
Menuruti hati, ingin ia mengutuk dan memakinya. Tapi
kemudian ia berpikir di dalam hati, tujuanku untuk
memperoleh surat wasiat. Kalau dipikir, buat apa
menginginkan kedua pengikutnya" Bisa-bisa membuat
repot. Memikir demikian, ia segera memanggut.
"Sekarang yang kedua," kata Sorohpati berlega hati.
"Kau menghendaki barang itu.
Seharusnya kau harus merebutnya secara ksatria. Asal
dalam seratus jurus kau dapat memenangkan aku, surat
wasiat itu lantas menjadi milikmu. Nah, bagaimana?"
"Bagus..." Hampir Dadang Kartapati memaki. Itulah
disebabkan ia sudah terluka.
Jangan lagi dalam keadaan demikian. Seumpama
segar bugar pun belum tentu dapat memenangkan ilmu
pedang orang tua itu. Meskipun orang tua itu berada
dalam keadaan luka parah. Syukur ia licin. Setelah
mengasah otak, ia memaksa diri untuk tertawa meskipun
peringisan menahan rasa nyeri.
"Kau sudah tahu, aku tak dapat melawanmu lagi.
Mengapa kau berbicara perkara adu kepandaian?"
Sorohpati terdiam sejenak, la seperti lagi menimbang-
nimbang. Pikirnya di dalam hati, Brajabirawa sudah
terluka. Kartawirya juga. Kau pun begitu. Kurasa didalam
perkemahan ini tiada lagi yang dapat diandalkan, selain
main kerubut menunggu habisnya tenagaku. Baiklah aku
suruh dia mencari orang yang dapat melawan aku. Siapa
lagi" Memikir demikian, lantas ia menyahut: "Siapa saja
boleh melawan aku." "Bagus! Jadi aku kau perkenankan memilih
tandingmu?" Dadang Kartapati menegas.
"Benar." Sorohpati membenarkan tanpa pikir lagi.
Astika terharu mendengar pembenaran ayahnya.
Hatinya penuh syukur pula. Bukankah ayahnya sedang
berjuang demi keselamatannya, meskipun dalam
keadaan luka parah" Mengingat ketangguhannya tak
usah berkhawatir lagi. Tapi mengingat luka parahnya ia
meragukan ketahanan tenaganya.
Dalam pada itu, Dadang Kartapati telah berkata:
"Sorohpati, apakah kau memegang janjimu?"
"Aku seorang laki-laki seperti kau juga," sahut
Sorohpati. "Bagus! Jadi, kalau dalam seratus jurus kami menang
kau harus menyerahkan surat wasiat itu, bukan?"
"Benar." "Tapi selain itu, kau pun harus tunduk kepada
peraturan kami. Bukankah kau mengajukan dua syarat
pula?" "Tak usahlah kau berkepanjangan," potong Sorohpati.
"Kalau aku kalah, kau boleh memotong kepalaku,
merajang atau merebus diriku dalam minyak mendidih.
Sesukamulah. Sebaliknya kalau kau kalah, aku masih
mau berbicara lagi."
Sorohpati memang sengaja hendak mengulur waktu
untuk sedikit merebut tenaganya kembali. Meskipun dia
sendiri sudah memutuskan untuk mati, tapi mengingat
keselamatan Astika dan Gandarpati ia mencoba mencari
jalan keluar. Dalam pada itu, mendadak Brajabirawa
yang dalam keadaan lupa-lupa ingat ikut berbicara pula.
Katanya menimbrung. "Dadang Kartapati! Kita pun laki-laki. Mengapa
mengoceh tak keruan juntrungnya" Bilang, kalau kita
kalah dia pun bisa memperlakukan kita sekehendaknya."
Mendengar suara Brajabirawa yang gagah sedang
dirinya sudah terluka parah, tiba-tiba ingatan Astika
seperti tergugah. Teringatlah dia tadi kepada kata-kata
ayahnya, bahwa ayahnya hanya menyegani satu orang.
Itulah pendekar Watu Gunung yang selama pertemuan
ini belum menampakkan batang hidungnya. Maka
dengan gopoh ia berseru, "Ayah! Jangan sampai kena
jebak!" "Apa?" Sorohpati kaget. "Jebak apa?"
"Bukankah Watu Gunung yang katanya berada dalam
perkemahan ini belum muncul?"
Sorohpati benar-benar kaget sampai telinganya
pengang. Hampir saja ia pingsan.
Pikirnya, Celaka! Kalau wasiat puteri Adipati
Surengpati jatuh ke tangan Brajabirawa atau Dadang
Kartapati tidaklah apa. Mereka berkata hanya akan
dipersembahkan kepada Gubernur Inggris. Tetapi kalau
jatuh ke tangan Watu Gunung, inilah lain. Dunia semesta
akan menjadi geger. Ya Tuhan... celaka! Pendekar
Sangaji untung seorang yang berbudi luhur. Tapi Watu
gunung ... Ih! Benar-benar hebat akibatnya....
Ia jadi menyesal atas kecerobohannya. Maklumlah, ia
dalam keadaan luka parah. Dirinya dalam keadaan lupa-
lupa ingat pula. Namun ia sudah berjanji. Sebagai
seorang Ksatria tak boleh ia menarik ucapannya.
Sungguh pun demikian pikirannya kini kacau. Hatinya
gelisah bukan main. Astika berduka melihat perubahan wajah ayahnya.
Hampir sepuluh tahun lamanya ia hidup serumah dengan
ayahnya. Selama itu belum pernah ia melihat perubahan
wajah ayahnya sehebat ini. Tahulah dia, bahwa hati
ayahnya sedang terpukul hebat. Diam-diam ia menarik
lengan Gandarpati. Bertanya dengan berbisik:
"Wasiat itu sebenarnya berharga sampai di mana"
Mengapa Ayah rela menukar dengan jiwanya sendiri?"
Gandarpati membuka mulut. Tapi aneh jawabannya. la
tidak langsung memberi keterangan tentang arti wasiat
itu bagi keselamatan hidup manusia.
"Ayahmu datang kemari, sebenarnya untuk menemui
pendekar Watu Gunung untuk diajak berunding.
Sekarang keadaannya sudah lain. Rupanya mereka sudah
bersekongkol sebelumnya, meskipun masing-masing
mempunyai kepentingannya sendiri. Ah, adikku. Mulai
saat ini, engkau harus mendengarkan semua kata-kata
kakakmu ini. Dan barulah jiwamu terjamin...."
Astika mendongkol mendengar bunyi jawabannya.
Katanya keras: "Kau mengoceh sendiri. Kau belum
menjawab pertanyaanku."
"Sst!" Gandarpati mencegah. "Tentang surat wasiat itu
lambat laun kau mengerti sendiri. Baiklah kuterangkan
sedikit. Barangsiapa dapat memahami bunyi dan isi surat
wasiat itu, ia akan menjagoi seluruh dunia. Kalau
manusia bertabiat buruk, dunia ini bakal terbakar
musnah. Itulah yang diprihatinkan ayahmu sekarang "
Astika kaget mendengar keterangan Gandarpati.
Setelah kaget, ia tercengang.
Kepalanya lantas sibuk menebak-nebak, rahasia
apakah yang tersimpan dalam surat wasiat itu sampai
dapat menyulap manusia begitu hebat.
Sorohpati mendengar semua pembicaraan itu,
meskipun hanya berbisik-bisik. Lalu berkata nyaring.
"Brajabirawa, Dadang Kartapati! Perkenankan aku
berbicara sebentar dengan muridku dan anakku.
Bolehkah?" "Boleh! Mengapa tidak" Masakan kau bisa kabur dari
kepungan kita?" sahut Dadang Kartapati mewakili
Brajabirawa. Sorohpati segera menghampiri Astika dan Gandarpati.
Kemudian dibawanya menyendiri. Katanya perlahan,
"Astika, masih aku hendak berpesan kepadamu. Kalau
aku nanti mati, orang yang terdekat denganmu harus
ditambah seorang lagi. Dialah Demang di galuh, Ki Jaga
Saradenta. Dan untukmu Gandarpati ceritakanlah
kejadian ini kepada Kyai Kasan Kesambi. Nah, kalian
jangan lupa. Ingat-ingatlah nama itu!"
Astika pilu. la lantas menangis sesenggukan. Katanya
sedih, "Ayah! Benar-benarkah Ayah tak dapat meloloskan
diri?" Sorohpati tidak menjawab. Dengan melempangkan
pedang ke udara ia berteriak nyaring: "Adipati
Surengpati, junjunganku! Semenjak muda aku mengabdi
padamu. Kau didik. Aku... Kau asuh aku... untuk menjadi
seorang pendekar bangsa, musuh segala bentuk angkara
murka di persada bumi ini. Sayang, otakku terlalu tumpul
untuk dapat mewarisi semua ilmu kepandaiannya.
Sekiranya begitu, apakah arti bangsa kurcaci ini. Hm,
hm! Puterimu Titisari yang berotak cerdas luar biasa, kini
mendampingi suaminya pendekar besar Sangaji, entah di
mana dia sekarang berada. Aku diberi kepercayaan
puterimu untuk menyimpan sepucuk surat wasiat yang
paling berharga di dunia ini. Meskipun ilmu kepandaianku
dangkal, aku tidak akan memalukan engkau. Demi
namamu dan kesejahteraan umat manusia, aku bersedia
mengorbankan jiwaku. Moga-moga kau dengar suaraku
ini... Hebat kata-kata Sorohpati. Semuanya jadi tercengang-
cengang. Sorohpati sendiri setelah meledakkan isi
hatinya, terus melompat ke tengah gelanggang kembali.
Pedangnya berkelebat hendak memagas lehernya sendiri.
"Ayah! Jangan!" teriak Astika memburu tapi seluruh
tenaganya seperti punah. Sehingga ia hanya tertegun dengan pandang kejang.
Brajabirawa, Dadang Kartapati, Kartawirya dan
sekalian bawahannya tak dapat mencegah. Mereka
hanya kaget dan sibuk tak keruan. Dan pada detik itu,
tiba-tiba pedang Sorohpati terpental ke udara. Sesosok
bayangan berkelebat menyambar pedang itu. Dan
berdirilah seorang laki-laki yang berperawakan tinggi
besar di depan Sorohpati sambil membentak.
"Hai, binatang! Kau hendak bunuh diri" He, he, hee...
tidaklah gampang, sebelum kau membuka mulut dan
menyerahkan surat wasiat itu. Mana barang itu!?"
Laki-laki itu berusia kurang lebih tujuh puluh tahun.
Namun masih nampak gagah sekali. Romannya bengis


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan matanya tajam luar biasa. Astika yang beradat panas
begitu melihat perawakan dan kesan mukanya, kuncup
hatinya. "Guru! Syukurlah Guru datang tepat pada waktunya,"
seru Brajabirawa dan Dadang Kartapati hampir
berbareng. Dialah pendekar Watu Gunung. Brajabirawa dan
Dadang Kartapati tadi menyatakan, bahwa Watu Gunung
itu bukanlah Watu Gunung pada zaman Ratu Bagus
Boang. Dialah murid Watu Gunung angkatan ketiga.
Namun sudah mewarisi seluruh kepandaian gurunya.
Selain ilmu kepandaiannya tinggi, memiliki ilmu racun
pula. Ia termasyur di seluruh wilayah Jawa Barat.
Tatkala Sangaji berada di atas Gunung Cibugis
mempertahankan Himpunan Sangkuriang, ia hanya
mengirimkan serombongan muridnya. Karena itu, belum
pernah ia berjumpa dengan Sangaji. Mendengar
ketangguhan Sangaji, hatinya penuh penasaran. Karena
tahu darimana sumber ilmu Sangaji, ia berjanji hendak
merebutnya. Dahulu tatkala berhadap-hadapan dengan
Kyai Kasan Kesambi, ia masih segan-segan. Kini, setelah
merasa diri ilmu kepandaiannya maju berlipat ganda,
tiada lagi yang ditakuti. Meskipun demikian, masih ia
ragu-ragu mencoba mengadu tenaga dengan Sangaji.
Ia berjanji di dalam hati, manakala sudah memperoleh
surat wasiat puteri Adipati Surengpati, hendak segera
mencari pendekar yang bisa mentaklukkan suara Raja
Muda Himpunan Sangkuriang itu. Dalam hati, tak rela ia
menyerahkan mahkota pendekar besar dalam tangan
seorang yang berasal dari daerah lain.
Sorohpati terkejut. Ia mundur sempoyongan tiga
langkah. Perlahan-lahan ia menurunkan lengannya.
Setelah memanggut hormat, ia berkata: "Tuanlah yang
bernama Watu Gunung?"
"Benar. Nah, lihatlah yang terang!" sahut Watu
Gunung dengan membusungkan dada.
"Tuanlah yang kabarnya dahulu mendaki Gunung
Damar menemui Kyai Kasan Kesambi?" "Benar."
"Hm. Kyai Kasan Kesambi dahulu mengira, bahwa
kaulah murid Resi Buddha Wisnu. Alihkan engkau adalah
murid angkatan ketiga. Benarkah itu?"
"Benar. Aku memang murid angkatan ketiga. Aku pun
berani menyematkan nama Watu Gunung. Artinya,
meskipun mereka ketiga angkatan seumpama bisa
bangun dari liang kuburnya, saat ini ilmu kepandaiannya
masakan bisa menjajari aku" "
Sorohpati tercengang mendengar kata-katanya yang
begitu sombong. Namun hantamannya dari jauh tadi,
memang luar biasa kuat sampai pedangnya kena
terpental ke udara, la teringat kepada tenaga sakti
Adipati Surengpati yang jarang tandingannya di dunia ini.
"Tuan pun ingin memiliki surat wasiat puteri Adipati
Surengpati?" "Binatang!" tungkas Watu Gunung dengan suara
bergelora. "Belasan tahun aku mencari wasiat warisan
itu. Mustahil kau tak tahu. Nah, sekarang kau hendak
berbicara apa?" "Tidak banyak," sahut Sorohpati pendek. "Hanya saja
aku heran. Apa sebab Tuan ingin memiliki warisan itu
yang sebenarnya bukan hak Tuan?"
"Binatang, kau bilang apa?" bentak Watu Gunung
dengan mendelik. "Apakah Sangaji pun berhak
mengangkangi warisan sakti itu" Coba bilang, apa
haknya?" "Pangeran Semono dahulu bertahta di Jawa Tengah.
Kalau warisannya kini jatuh kepada Sangaji yang
dilahirkan di Jawa Tengah, itulah sudah wajar. Tapi
Tuan...." "Tutup mulutmu!" potong Watu Gunung. Kemudian ia
tertawa terbahak-bahak sampai pesanggrahan jadi
bergoncang. "Kau rupanya tahu satu tapi tidak tahu dua.
Pangeran Semono dahulu anak siapa" Bukankah putera
Dewi Rengganis" Dewi Rengganis anak siapa" Bukankah
keturunan Kyai Bagelen" Kyai Bagelen keturunan siapa"
Bukankah keturunan Sri Panuwun" Dan Sri Panuwun
adalah Raja Pejajaran Purba. Kalau sekarang aku
memburu wasiat itu, bukankah berarti aku sedang
berusaha mengembalikan kerbau ke kandangnya" Kau
bilanglah salah atau tidak?"
Sorohpati tercengang-cengang. Tak pernah ia
menduga, bahwa Watu Gunung mempunyai alasan
begitu teguh dan paham akan lika-liku sejarah. Inilah
hebat! Katanya di dalam hati, aku tadi berkata bahwa
pendekar Sangaji pantas memperoleh warisan sakti
Pangeran Semono, karena dia dilahirkan di Jawa Tengah.
Itulah hanya suatu akal untuk mengendorkan nafsunya.
Tak tahunya, ia bisa menjawab dengan tepat. Kalau aku
tidak bisa mengatasi keterangannya, akan jelek
akibatnya. Sedikit banyak akan menimbulkan semangat
perasaan daerah, yang tidak dikehendaki pendekar besar
Sangaji maupun puteri Titisari... Dan setelah itu, dia
berkata nyaring. "Pendekar Watu Gunung yang kuhormati. Memang
benar kata Tuan, bahwa siapa saja boleh memiliki
warisan itu bila mampu. Soalnya di sini, apakah pewaris
itu berbudi luhur atau tidak. Tuan termasyur di seluruh
wilayah Jawa Barat sebagai keturunan dan pewaris
pendekar besar yang bertahta di atas Gunung
Mandalagiri. Bagus. Bagus! Hanya sayang...."
"Sayang apa?" Watu Gunung menggerung.
"Di dalam nilai budi, kau tidak nempil dengan budi
pendekar besar Sangaji yang mengagumkan tiap insan.
Baiklah kubuktikan, Tuan. Karena demi surat wasiat ini,
engkau telah mengerahkan semua murid dan
pengikutmu. Tak peduli dengan jalan bagaimana, surat
wasiat itu haruskau peroleh. Hm, sampai membiarkan
murid-murid Tuan mengenakan pakaian seragam
serdadu VOC dan Inggris. Terpaksalah aku
mendampratmu sebagai seorang pengkhianat terkutuk.
Sungguh sayang! Meskipun andaikata kau berhasil
menongkrong sebagai Raja karena memiliki surat wasiat
sakti itu, hm aku Sorohpati akan tetap menganggapmu
tak melebihi boneka tanpa jiwa."
Watu Gunung menjadi gusar sekali. Ia mengumbar
adatnya. Tangannya bergerak. Tapi yang diarah bukan
Sorohpati. Sebaliknya Gandarpati yang sedang
memegangi tangan Astika. Maksudnya jelas, hendak
membuat semangat Sorohpati runtuh. Bukankah orang
tua itu sedang berjuang mempertaruhkan jiwa demi
keselamatan murid dan anaknya" Begitu tangannya
bergerak, Gandarpati terpental tinggi dan jatuh
bergedubrakan di atas tanah berbatu.
"Watu Gunung, tahan! Aku ingin berbicara." Sorohpati
buru-buru menengahi. "Kau binatang mau berbicara apa?" bentak Watu
Gunung. Romannya berkerut-kerut bengis sekali,
sehingga Astika yang mendongkol tak berani berkutik.
Sorohpati sendiri berlaku tenang. Ia tidak memikirkan
nasibnya lagi. Katanya, menguji sekali lagi.
"Kau datang untuk surat wasiat itu bukan?"
"Kurang ajar! Dengan aku kau masih berani berputar
mulut." Watu Gunung mendongkol. "Kau berlututlah
meminta maaf!" Tentu saja, Sorohpati tak sudi mendengarkan. Dengan
gagah ia tetap berdiri tegar.
"Dalam hal usia, memang akulah sepatutnya
membungkuk-bungkuk hormat padamu. Tapi kau
seorang pengkhianat bangsa. Buat apa aku berlutut
dihadapanmu?" Bukan kepalang gusarnya Watu Gunung. Ia mengira
dirinya sudah bisa membuat kuncup hati pendekar itu.
Tak tahunya ia menumbuk batu. Keruan mukanya merah
padam dan pucat lesi bergantian. Dengan menggerung ia
melompat menyambar pantat Sorohpati.
"Berjongkok!" bentaknya dengan suara keras. Dan
tubuh Sorohpati terpelanting meskipun sudah berusaha
memperteguh kuda-kudanya. Justru ia mengambil sikap
bersitegang, membuat lukanya kian menjadi parah.
Kedua matanya lantas saja menjadi gelap, la
melontakkan darah lagi. Tubuhnya menggigil dan tak
tahan lagi ia berdiri tegak. Kedua kakinya lemas dan ia
lantas roboh dengan berjongkok.
Gandarpati yang baru tertatih-tatih bangun dan Astika
yang kuncup hati kaget menyaksikan kejadian itu.
Mereka sampai memekik dengan berbareng. Kemudian
berbareng pula mereka menubruk tubuh Sorohpati.
Setelah itu berputar menghadap Watu Gunung.
"Mari kita mati berbareng!"
Sorohpati yang berada dalam lupa-lupa ingat,
mendengar teriakan murid dan anaknya.
Gugup ia berseru menegur: "Apakah kalian lupa
kepada pesanku?" Mendengar teguran itu, Gandarpati segera sadar akan
kecerobohannya. Cepat ia sambar lengan Astika dan
dibawanya melompat mundur.
Dadang Kartapati yang menyaksikan peristiwa itu,
tertawa mengejek meskipun dengan menahan rasa sakit.
Katanya mengangkat diri, "Sorohpati, kau bilang kalau
bisa mengalahkanmu dalam seratus jurus, kau akan
menyerah. Sekarang, marilah kita bertanding. Kau
mampu mengalahkan kami atau tidak?"
Sorohpati sedang merayap bangun. Tatkala
mendengar kata-kata bernada merendahkan itu, tiba-tiba
saja ia mencelat bangun. Tangannya berkelebat
menyambar kepala Dadang Kartapati. Semua orang yang
melihat serangan mendadak itu, terkesiap. Darimanakah
dia memperoleh tenaganya"
Dadang Kartapati sendiri sudah terluka parah. Secara
wajar ia harus mengelak. Namun tubuhnya tidak mau
membawanya pergi. Tahu-tahu, bres! Lehernya kena
pukulan telak dan ia terbanting bergulingan.
Anak buahnya segera memburu. Begitu melihat
mukanya, mereka memekik tertahan. Wajah Dadang
Kartapati pucat bagaikan kertas. Napasnya telah lenyap
pula. Keruan saja mereka bergusar. Serentak mereka
menoleh kepada Sorohpati. Tetapi pada saat itu,
Sorohpati roboh pula. Kedua kakinya berkelejatan.
Sejenak kemudian tubuhnya tak berkutik. Ia menarik
napas panjang. Panjang sekali. Lalu berhenti untuk
selama-lamanya. Astika kaget. Ia menjerit dan roboh pingsan. Memang,
Sorohpati telah menggunakan seluruh sisa tenaganya.
Itulah sebabnya, begitu melepaskan tenaganya yang
penghabisan, ia kehilangan nyawanya juga.
- . Astika pingsan tidak seberapa lama. Tatkala
memperoleh kesadarannya kembali, ia melihat
Gandarpati tengah memondong tubuh ayahnya. Kakak-
seperguruannya itu memandang padanya.
"Astika, adikku. Mari kita berangkat!" ia berkata
mengajak setelah melihat Astika sadar dari pingsannya.
Terhadap Gandarpati, Astika merasa jemu. Tapi tadi,
ia melihat kegagahannya tatkala kena dihantam Watu
Gunung. Sekarang pun ia menyaksikan betapa dia setia
terhadap ayahnya. Rasa jemu terhadapnya lantas saja
buyar berderai. Kesannya berbalik menjadi rasa terharu.
"Kita pergi kemana?" Astika menangis.
"Pulang .... " sahut Gandarpati pendek. Kemudian
berputar kepada Brajabirawa. "Perkenankan kami pergi."
Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa bergemuruh.
Itulah pendekar Watu Gunung.
"Gampang kau kuijinkan pergi. Tapi tinggalkan dahulu
surat wasiat itu!" "Hai! Apakah laki-laki tidak bisa memegang janji?"
damprat Astika. "Aku pernah berjanji apa padamu?" Watu Gunung
mendelik. Sambil menuding Dadang Kartapati, ia
meneruskan: "Bukankah dia yang kalian ajak berbicara.
Dia sudah mampus. Bisa apa lagi" Tapi aku Watu
Gunung mempunyai caraku sendiri. Nah, kau serahkan
tidak surat wasiat itu?"
Bukan main mendongkolnya hati Astika. Namun ia tak
berdaya menghadapi pendekar sakti itu. Segera ia melirik
kepada Gandarpati yang nampak mengkerutkan
keningnya. Dasar tak pandai berbicara kena desak
demikian, ia bertambah bungkam. Dan menyaksikan
bungkamnya Gandarpati, kembali rasa jemu Astika
menjalari tubuhnya. Dengan kalap ia menatap wajah
Watu Gunung yang bengis. Ia terkesiap sewaktu melihat
puluhan orang bergerak mengepung atas pimpinan
seorang laki-laki pendek kecil berjenggot panjang.
Selagi demikian, tiba-tiba di luar tenda terdengar
suatu kesibukan. Mereka semua menoleh. Seorang laki-
laki berambut rereyapan masuk dengan pandang
beringas. Ia mengenakan pakaian pendeta. Namun
kesannya awut-awutan6) Begitu masuk ia lantas
berkelebatan menghantam mereka yang sedang
bergerak mengepung. Cepat dan tangkas gerakannya.
Dengan mendadak saja, mereka semua kebagian
pukulan telak. "Siapa?" bentak Watu Gunung.
Pendeta awut-awutan itu tidak sudi menjawab
pertanyaannya. Gesit ia menerjang dan mengirimkan
pukulan. Astika mengira, bahwa pukulanya ini pun akan
mengenai telak. Tak terduga, dengan sedikit
menggeserkan tubuhnya, Watu Gunung terbebas dari
pukulan mendadak itu. Pendeta awut-awutan itu tercengang menyaksikan
kepandaian Watu Gunung. Dengan penasaran ia


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengulangi serangannya, tapi kala itu si Jenggot Panjang
menghadang didepannya. Tangannya bergerak cepat
menyodok bawah ketiak pendekar itu dan dengan
gerakan itu terpunahlah serangannya.
"Bangsat! Kau mempunyai kepandaian juga. Siapa
kau?" bentak pendeta awut-awutan itu.
"Siapa kau?" si Jenggot membalas pertanyaan dengan
pertanyaan pula. Pendeta awut-awutan itu terhenyak sejenak.
Kemudian tertawa berkakakkan seperti orang gendeng.
5) awut-awutan = baca edan-edanan
Tiba-tiba Kartawirya yang berada di luar arena, berseru
kaget. "Awas! Dialah Ki Hajar Karangpandan! Dia pulalah
yang dahulu merampas kedua pusaka sakti dari tangan
Cinta Bernoda Darah 17 Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pendekar Pemabuk 7
^