Pencarian

Mencari Bende Mataram 3

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 3


senjata rahasia itu dapat tersapu runtuh. Kemudian
dengan hati pilu, Sangaji mendarat dan memeluk tubuh
Fatimah. Ia tak gentar menghadapi racun betapa jahat
pun, karena dalam dirinya mengalir getah sakti pohon
Dewadaru. Dalam keadaan lupa-lupa ingat, Fatimah menyenakkan
mata. Begitu melihat wajah Sangaji, matanya terbelalak.
Serunya parau: "Eh kau Tolol! Benarkah engkau si
Tolol?" "Benar aku," sahut Sangaji dengan hati terharu.
Seperti diketahui, Fatimah selalu memanggilnya
dengan si Tolol, la pernah ditolong, tatkala kena siksaan
Keyong Buntet dan Mahesasura. Kali ini pun demikian.
Tak mengherankan, ia lega luar biasa. Justru demikian, ia
jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Sangaji tak berani mencabut tiga batang senjata
rahasia Sirtupelaheli yang menancap pada dada Fatimah.
Dengan sekali melihat tahulah dia, bahwa luka yang
diderita Fatimah sangat berat.
Satu-satunya jalan pertolongan pertama hanya
menyekat aliran darah dan melindungi tempat-tempat
penting dari bahaya racun.
"Benarkah engkau?" terdengar Gagak Seta berkata.
Kedua matanya masih terbebat kain. Namun
pendengarannya mengenal suara Sangaji.
"Benar aku," sahut Sangaji.
Mendengar tanya jawab itu, Sirtupelaheli berbatuk-
batuk. Selagi hendak membuka mulut, tiba-tiba
terdengarlah suara gemerincing di kejauhan. Kemudian
disusul dengan kata-kata mantram. Aneh, suara itu.
Perlahan, tapi berpengaruh hebat dan merdu. Tiba-tiba
saja bisa menusuk telinga.
Mendengar suara itu, jantung Sangaji, Gagak Seta dan
Sirtupelaheli sekonyong-konyong terlonjak-lonjak seolah-
olah mendengar ledakan halilintar yang dahsyat luar
biasa. Mereka bertiga adalah pendekar-pendekar yang
sudah memiliki ilmu sakti tertinggi pada zaman itu.
Masing-masing ilmunya sudah mencapai tataran sempur-
na. Segala kekotoran yang datang dari luar tidak akan
dapat merasuk. Namun heran! Suara mantram itu, dapat
menggetarkan jantung. Di antara ketiga pendekar itu, Sangajilah yang paling
terkejut. Selamanya ia yakin, bahwa dialah manusia satu-
satunya di jagad ini yang sudah memiliki ilmu warisan
tertinggi. Ilmu saktinya memang lebih tinggi daripada
ilmu sakti Gagak Seta. Kyai Kasan Kesambi dan rekan-
rekannya yang lain pun berada di bawahnya. Walaupun
demikian, begitu mendengar bunyi mantram yang aneh"
mendadak saja dirinya terasa seperti terombang-
ambingkan di angkasa. Itulah suatu kejadian yang benar-
benar luar biasa. "Ting! Ting! Ting!" terdengar bunyi suara yang
dibarengi dengan bunyi mantram. Di detik lain, suara itu
sudah terdengar mendekat. Setiap detik bisa berpindah
tempat. Inilah suatu perpindahan cepat di luar
kemampuan manusia. Selagi demikian, suara mantram itu kini berubah nada.
Kalau tadi begitu kaku, sekarang dengan berlagu. Enak,
nyaman, merdu dan lembut. Dalam cuaca malam dan
hembusan angin, alangkah menyedapkan. Hanya
anehnya iramanya seakan-akan kuasa membetot28)
nyawa. Sangaji segera sadar, bahwa ia lagi menghadapi
seorang manusia luar biasa. Entah kawan entah lawan,
dia belum tahu. Dengan memeluk Fatimah, ia berdiri
tegak. Bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi. Pada saat itu terdengarlah suara berbareng: Auuum...!
Dan dengan didahului suara dua batang pedang
dibenturkan, muncullah tiga orang dari bawah alang-
alang. Dua diantaranya bertubuh jangkung dan yang
berada di sebelah kiri seorang wanita. Mereka berdiri
dengan membelakangi rembulan, sehingga wajah
mereka tidak nampak jelas. Namun pakaian yang dikena-
kan cukup jelas, karena serba putih dengan potongan
jubah panjang. Tatkala itu, Gagak Seta sudah melepaskan bebatan
kain yang menutupi kedua matanya. Begitu melihat
mereka, ia lantas tertawa panjang.
"Ah, kukira siapa," katanya. "Bukankah kalian yang di
sebut tiga Pedande undangan Sultan Sepuh?"
"Benar dan bukan," sahut yang berada di tengah.
"Benar dan bukan bagaimana" Didepanku kau jangan
berlagak main teka-teki tak keruan," bentak Gagak Seta
sambil tertawa panjang. "Dahulu memang kami mengabdi kepada Sultan
Sepuh. Sekarang kami adalah pengawal pribadi Sultan
Hamengku Buwono III."
"Eh, bunglon!" ejek Gagak Seta. "Sultan Hamengku
Buwono III sudah wafat."
"Karena itu, kami kini mengabdi kepada Pangeran
Jarot," kata yang tengah dengan suara ayem29.)
Mendengar jawaban itu, Gagak Seta tertawa terkekeh-
kekeh. "Aku ini terkenal sebagai manusia edan-edanan. Tak
tahunya, kalian lebih gendeng dari-padaku. Bagaimana
kalian yang memiliki ilmu kepandaian tinggi bisa
berpindah majikan sampai tiga kali dalam waktu kurang
dari sepuluh tahun" Bukankah benar-benar bunglon?"
"Benar dan bukan."
"Benar dan bukan bagaimana?"
"Orang yang bisa melihat gelagat, dialah laki-laki
sejati," jawabnya. Gagak Seta hendak membuka mulutnya kembali,
tetapi tiba-tiba mereka mengarah kepada Sirtupelaheli.
"Puteri! Kau adalah bekas kekasih raja. Tapi raja yang
lama sudah wafat. Karena itu, wajiblah engkau
bersembah terhadap kami seumpama kami mewakili raja
baru." "Aku bukan seorang anggota istana. Kau siapa Tuan?"
Sirtupelaheli berlagak pilon.
Mendengar perkataan Sirtupelaheli, mereka saling
memandang sebentar. Kemudian berkatalah yang berada
di kanan. "Kalau kau bukan anggota istana seperti yang
dikabarkan kepada kami, nah, pergilah dari sini. Pergi!
Pergi!" Sirtupelaheli berbatuk-batuk riuh.
"Selamanya belum pernah aku dihina orang. Raja dari
tiga zaman memperlakukan aku dengan hormat. Hm,
hm! Sebenarnya apa, sih, kedudukan kalian dalam
istana?" Tiba-tiba ketiga orang itu bergerak dengan serentak.
Mereka mendekati dan tangan kirinya mencoba
mencengkeram. Buru-buru Sirtupelaheli menyapu
dengan tongkatnya. Entah bagaimana cara mereka
menggeser kaki, tahu-tahu kedudukan mereka sudah
berubah. Tongkat Sirtupelaheli yang berbahaya ternyata
hanya menyambar udara kosong.
Kaget Sirtupelaheli memutar badan. Ternyata mereka
sudah berada dibelakangnya dan mencengkeram.
Dengan sekali gerak, ketiga tangan menerkam tubuh
Sirtupelaheli dan dilontarkan tinggi ke udara.
Sangaji terkejut bukan main. Sirtupelaheli adalah adik
seperguruan Gagak Seta. Ilmu kepandaiannya tidak usah
kalah ditandingkan dengan pendekar-pendekar kelas
satu. Andaikata dia dikerubut tiga jago yang paling
hebat, belum tentu kena dirobohkan dalam satu
gebrakan. Tidak demikian halnya kali ini. Gerakan kaki
ketiga orang itu sangat aneh bin ajaib. Dengan
segebrakan saja, mereka dapat melontarkan Sirtupelaheli
tanpa daya. "Ih!" Sangaji terperanjat. "Bukankah itu:.."
la ragu-ragu. la seperti melihat gerakan demikian. Tapi
di mana" Di mana" Di mana" Tiba-tiba suatu gambaran
berkelebat didalam benaknya. Bukankah gerakan mereka
senyawa dengan kelompok-kelompok ukiran keris Kyai
Tunggulmanik" Hanya anehnya, bagaimana bisa
dimainkan oleh tiga orang yang bergerak begitu serasi, la
berbimbang-bimbang. Sebab, kadang-kadang bukan
begitu. Ataukah karena mereka sudah menguasai
intinya" Pada saat itu mendadak saja ia membutuhkan
hadirnya Titisari. Z4) Bende Mataram jilid 11 mulai halaman 114 -124
!)Bende Mataram jilid 11, halaman 114-124
"') Kanjeng Raja = Sultan Hamengku Buwono 111,
ayah Pangeran Diponegoro ') Pendekar Kebo Bangah **) membetot = menjebol, menarik
!) ayem = acuh tak acuh. !) Baca Bende Mataram mulai jilid 7
4 SEMBILAN JURUS PUKULAN SAKTI
WAKTU TERDENGAR suara gemerincing benda logam
yang ketiga kalinya, Fatimah tersadar dari pingsannya. Ia
menyenakkan mata. Dadanya terasa sakit luar biasa
seperti kena tusuk dari luar. Namun karena berada dalam
pelukan Sangaji, hatinya terhibur. Dan kembali ia
memejamkan matanya. Sangaji kini dapat melihat wajah mereka. Yang
bertubuh jangkung memiliki hidung bengkok seperti
patuk elang. Yang lainnya berambut keriting dan
berjenggot tebal. Sedang yang wanita, bermata tajam.
Umurnya paling tinggi dua puluh empat tahun.
"Guru menyebut mereka dengan Pedande. Apakah
mereka pendeta dari Bali?"
Sekarang ia memperhatikan senjata yang dibawanya.
Yang laki-laki menggenggam senjata mirip tongkat tetapi
agak tipis. Tongkat itu nampaknya bersambung-sambung
seperti berengsel. Setiap digerakkan berbunyi gemerin-
cing. Sedang yang wanita bersenjata logam bulat
seakan-akan piring keemas-emasan. Jumlahnya dua.
Setiap kali hendak bergerak, kedua piringnya digeserkan
sehingga bersuara nyaring nyeri.
"Gagak Seta! Bukankah engkau mengenal kami?"
tegur laki-laki yang berhidung bengkok.
Gagak Seta tertawa melalui hidungnya. "Tentu.
Mengapa tidak" Bukankah kalian orang-orang yang
datang dari Pegunungan Kapakisan?"
"Benar. Nah, sesudah kau mengenal anak-keturunan
Empu Kapakisan yang termasyur semenjak zaman
Majapahit, mengapa tidak cepat-cepat berlutut?"
Mendengar ucapannya, Gagak Seta tertawa terbahak-
bahak. "Kalian merasa diri apa sampai berani berbicara
begitu terhadap aku" Biar pun kalian keturunan malaikat,
apakah dasarnya sampai aku si Jembel harus bertekuk
lutut" Hm, hm! Kalian jangan berlagak yang bukan-
bukan di depanku. Aku dan kalian seperti telaga dan laut.
Masing-masing mempunyai jalannya sendiri."
Empu Kapakisan hidup pada zaman Majapahit. Dia
saudara seperguruan Mapatih Gajah Mada. Tatkala
Mapatih Gajah Mada menyerbu Pulau Bali, Empu
Kapakisan membantunya, sehingga Bali dapat dikuasai.
Itulah sebabnya, dia dihormati sebagai pahlawan negara
dan sahabat Mapatih Gajah Mada yang berilmu sangat
tinggi. "Guru!" Sangaji menungkas. "Apakah Guru kenal
mereka" Mengingat ilmu kepandaiannya, apa sebab Guru
tak pernah menyinggung-nyinggung nama mereka!"
"Hm! Terhadap manusia-manusia bunglon yang tidak
berwatak, gurumu tidak mempunyai waktu untuk
mengingat-ingat namanya," sahut Gagak Seta. "Kalau
kau ingin mengenal namanya, nah, tanyakanlah sendiri!"
Sangaji memutar pandangnya. Orang yang berhidung
bengkok lantas mengeluarkan dua potong logam dari
dalam sakunya. Logam itu bukan baja, bukan pula besi.
Tatkala digeser, mendadak berbunyi: Ting! Ting! Ting!
Suara inilah tadi yang mengejutkan jantung Sangaji,
Gagak Seta dan Sirtupelaheli. Dalam jarak dekat aung
dan getarannya terasa lebih hebat.
"Anak keturunan Empu Kapakisan mesti mempunyai
tanda ini," kata orang berhidung bengkok. "Inilah pusaka
turun-temurun." Sangaji mengamati-amati benda logam itu.
Tatkala orang itu merapatkan dua potongan logam
dikedua tangannya, hatinya kaget sampai berjingkrak.
Itulah sebuah bende yang terbelah menjadi dua.
"Kami berasal dari Pulau Lombok. Tahukan kau nama
ibukota Lombok?" kata si Hidung bengkok lagi. "Itulah
Mataram. Karena itu, benda ini kami namakan Bende
Mataram." Tak terasa Sangaji memutar pandang kepada Gagak
Seta. Gagak Seta demikian pula. Mereka saling
memandang untuk memperoleh pertimbangan.
Berkatalah si Hidung bengkok lagi. "Kami bertiga
bernama Mohe, Jahnawi dan Jinawi. Utusan suci untuk
membuat perdamaian dunia."
"Siapa yang bernama Mohe?"
"Aku," sahut yang berhidung bengkok.
"Mohe! Agaknya kau serumpun dengan jahe," kata
Gagak Seta dengan tertawa terbahak-bahak.
Mohe menggeram. Kedua matanya berputar. Terang
sekali hatinya bergusar. Namun ia berusaha
menyabarkan diri. "Semenjak lama padepokan Kapakisan kehilangan tiga
pusaka. Sebuah jala, sebuah bende dan sebuah keris.
Karena itu, anak keturunannya wajib menemukan ketiga
pusaka tersebut. Kami mendengar berada di pusat Pulau
Jawa. Itulah sebabnya kami sudi menjadi hamba raja


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jawa. Nah, tahulah kau sekarang"bahwa tujuan kami
adalah hendak mencari ketiga pusaka leluhur kami. Jadi
bukan berangan-angan memperoleh pangkat-derajat
atau kekayaan orang-orang Jawa. Karena itu, istilah
bunglon sungguh kurang tepat!"
"Benar! Memang bukan bunglon, tetapi cuma bunglon
perantauan," sahut Gagak Seta cepat. Terang sekali
mulutnya yang jahil hendak membakar hati mereka.
"Hm.... Tiap orang memang bisa mengaku sebagai anak-
keturunan Empu Kapakisan. Tetapi Kapakisan yang
mana" Di Jawa Timur ada Kapakisan. Di Bali ada
Kapakisan. Sekarang, di Lombok kalian menyebut-nyebut
Kapakisan pula. Hm, hm! Aku si tua bangka paling benci
terhadap mulut-mulut bunglon."
"Tuan!" bentak Jahnawi yang semenjak tadi berdiam
diri. "Di sini bukan sebuah surau tempat mengajarkan
ilmu dan pengetahuan hidup. Kapakisan tetap Kapakisan.
Biarpun berada di Pulau Bali atau Pulau Jawa atau di
Pulau Lombok. Kapakisan tetap Kapakisan. Sebab nama
Kapakisan hanya satu."
"Benar, benar! Sinting memang tetap sinting!" bentak
Gagak Seta pula. "Kami mendengar nama Gagak Seta dari pembicaraan
orang," sambung Jahnawi si wanita. "Dari mulut orang,
kami mendengar kabar, bahwa engkau pernah
mempunyai seorang murid yang secara kebetulan
memiliki pusaka-pusaka Kapakisan tersebut. Benarkah
itu?" "Hm, hm! Kalau benar bagaimana" Kalau tidak kalian
mau apa?" sahut Gagak Seta pendek.
Pendekar ini lantas bersiaga. Teringatlah dia, bahwa
ketiga orang itu dapat melontarkan Sirtupelaheli dalam
satu gebrakan. Itulah suatu ilmu kepandaian yang tak
boleh dibuat gegabah. Ilmu kepandaiannya sendiri
memang masih berada di atas Sirtupelaheli. Namun
untuk dapat melemparkan Sirtupelaheli dalam satu
gebrakan, rasanya tidak mungkin. Oleh pertimbangan itu,
ia merasa diri belum dapat melawan mereka apalagi
berangan-angan untuk menang. Rasanya belum
mendapat pegangan. Kecuali apabila dia bisa menimpali
gerakan-gerkan Sangaji yang aneh pula seperti yang
pernah disaksikan tatkala bertempur melawan Kebo
Bangah di padepokan Gunung Damar.
Ketiga orang itu lantas saja menjadi habis
kesabarannya. Mohe mengibaskan tangan kirinya.
Jahnawi dan Jinawi segera mengerti maksud kibasannya.
Dengan serentak ketiga orang itu bergerak. Mereka
melompat tinggi dan tahu-tahu sudah berada di depan
Sirtupelaheli. Diserang dengan mendadak Sirtupelaheli
tidak tinggal diam. Segera ia menimpukkan enam senjata
rahasianya dengan sekaligus. Tetapi dengan mudah
mereka dapat menyelamatkan diri. Mohe merangsak dan
mencoba mencengkeram leher Sirtupelaheli. Dengan
sebat Sirtupelaheli membabat tongkatnya. Entah apa
sebabnya, tiba-tiba saja Sirtupelaheli kena terangkat
tinggi-tinggi" dan punggungnya kena dicengkeram
Jahnawi dan Jinawi dengan berbareng.
Kena cengkeraman itu, Sirtupelaheli habis tenaganya.
Tubuhnya lantas kena diputar-putarkan pula. Mohe
lantas menghampiri dan melumpuhkan jalan darahnya
dengan pukulan tujuh kali.
Menyaksikan pertarungan segebrakan itu, berpikirlah
Sangaji: Melihat gerakannya, tidak terlalu luar biasa.
Mereka hanya bisa bergerak dengan lancar, licin dan
serasi. Yang luar biasa adalah cara memancing Nenek
Sirtupelaheli. Begitu kena terpancing, dengan kerja sama
yang rapih kedua rekannya lantas menerkam punggung.
Meskipun Nenek Sirtupelaheli kena diruntuhkan lagi
dalam segebrakan, namun apabila diadu dengan
perseorangan, tidak bakal kalah. Aku yakin, ilmu
kepandaian mereka perorangan tidak akan melebihi
Nenek Sirtupelaheli. Dalam pada itu, Mohe telah melemparkan tubuh
Sirtupelaheli kepada Gagak Seta.
"Tuan, meskipun Tuan akan membungkam seribu
bahasa, namun kami tahu"dia adalah adik
seperguruanmu. Menurut peraturan tata tertib dan
peradaban dimana saja, seorang murid tidak boleh
mengkhianati perguruannya. Tetapi dia cuma menuruti
hawa nafsunya belaka. Lantas meninggalkan perguruan
untuk mengabdikan nafsunya kepada seseorang. Eh,
tahu-tahu dia meracuninya pula. Lantas pindah majikan
berbareng menjual jasa-jasa baik. Kutungkan
kepalanya!" Gagak Seta terkejut." Bukan tentang keputusan untuk
mengutungkan kepala adik seperguruannya. Tetapi,
bahwasanya mereka tahu belaka riwayat perjalanan
hidup adiknya seperguruan itu begitu jelas seperti
membaca buku. Namun ia tak sudi kalah gertak.
Sahutnya setelah tertawa panjang. "Maaf! Perguruan
kami tidak mempunyai peraturan begitu. Sebab orang ini
lahir tanpa ada yang memerintah. Juga mati tiada yang
menyuruh. Dia bebas seperti awan bergerak di atas
kepala kita. Seumpama benar keteranganmu, itulah
urusan rumah tangga kami. Siapa kesudian minta jasa
baikmu." "Tapi mulai malam ini kami perintahkan kepadamu.
Semua tata tertib perguruan dan peradaban baru, harus
tunduk kepada peraturan kami. Kau dengar?"
Mendengar kata-katanya, Gagak Seta tercengang
sejenak. Kemudian tertawa terbahak-bahak sampai
terbatuk-batuk. Katanya mengguruh: "Hai! Semenjak
kapan otakmu sinting tak keruan" Kau sadar akan kata-
katamu itu?" "Mengapa tidak?" bentak Mohe. "Bukankah kami
sudah menyatakan, bahwa kami adalah utusan suci
untuk perdamaian dunia" Kedamaian bakal terjadi,
apabila tiap orang mengerti akan tata tertib. Kedamaian
bakal terjadi, manakala tiap insan sadar akan
peradabannya." "Eh, kau ngoceh seperti burung!" potong Gagak Seta.
"Aku Gagak Seta paling benci kepada mulut besar."
Mohe tertawa terkekeh-kekeh. "Kau benar-benar
rewel! Aneh dan lucu! Semenjak tadi kami tahu, bahwa
dia berusaha hendak mengambil nyawamu dengan jalan
meracuni tanah. Mengapa kau tak mau mengambil
nyawanya" Benar-benar aku tak mengerti!"
Sangaji tercekat. Teringat akan bunyi ringan seringan
jatuhnya selembar daun di atas tanah tadi, hatinya
terasa meringkas. 'Jadi benar-benar bunyi langkah
manusia," pikirnya. "Benar-benar tinggi kepandaiannya.
Syukur, aku tadi sudah berada di dalam
persembunyiannya. Kalau tidak, aku pun bakal kena
intip. Ah, kusangka tadi langkah Daniswara...."
Dalam pada itu terdengar Gagak Seta membentak.
"Aku Gagak Seta entah sudah berapa banyak membunuh
orang karena kesalahan tangan. Tetapi aku tak bakal
membunuh saudara seperguruan betapa jahat pun."
"Baik! Sungguh baik hatimu!" tungkas Mohe. "Tapi kau
mesti membunuhnya. Kalau kau menolak, artinya
melanggar perintah."
"Perintah siapa?"
"Perintah kami. Dan barang siapa berani melanggar
perintah, kami akan mengambil nyawanya," sahut Mohe.
"Karena kau kini ternyata berani melanggar perintah,
maka kami akan mengambil nyawamu dulu. Kemudian
baru adikmu." Gusar dan geli berkecamuk dalam hati Gagak Seta.
Saking tak betahnya, dia lantas tertawa terbahak-bahak.
Sejenak kemudian berkata sambil menggaruk-garuk
kepalanya. "Eh, benar-benar gendeng! Semenjak dahulu sampai
sekarang, aku baru mendengar peraturan edan ini. Coba
jawablah! Siapa yang memberi kuasa kepadamu untuk
melakukan kebajikan suci mendamaikan dunia" Siapa
yang memberi hak padamu untuk melakukan hukum
mengambil nyawa." "Tata tertib dan peradaban Kapakisan," sahut Mohe.
Gagak Seta merasa seperti lagi berhadapan dengan
rombongan manusia edan. Namun mengingat
kepandaian mereka, tak berani ia berlaku sembrono.
Meskipun demikian, tak dapat ia menguasai
kemendongkolannya. "Baiklah, taruh kata kalian ini utusan suci pembuat
perdamaian. Tetapi mengapa belum-belum sudah
menghukum orang dengan mengambil nyawa?"
"Kami tidak hanya membunuh. Kalau perlu membakar
kota. Apa bedanya?" "Hm, jadi begitulah cara kalian hendak menegakkan
perdamaian. Bagus, bagus! Aku si orang jembel paling
muak terhadap peraturan-peraturan kosong. Kalian mau
bikin apa terhadapku?"
"Gagak Seta! Kau berani melawan kami?" bentak
Mohe dengan mendelik. Gagak Seta tidak segera menjawab. Ia tertawa lagi
panjang-panjang untuk memuntahkan perasaan
mendongkolnya. Sangaji sendiri yang berwatak sabar
luar biasa, pada saat itu merasa jijik terhadap mereka.
Jadi mereka inilah yang membakar Kota Waringin" Sadar,
bahwa gurunya bakal menghadapi bencana, ia
meletakkan tubuh Fatimah hati-hati di atas tanah.
Kemudian berdiri tegak dengan meraba pedang
Sokayana. "Hai! Kau pun berani melawan kami?" bentak Mohe
kepada Sangaji. "Hei! Kau boleh main gila di pulaumu sendiri, tetapi
jangan mencoba-coba di sini," kata Gagak Seta. "Tanpa
sebab tanpa perkara, kalian menantang aku. Biar iblis
pun akan mengkentuti mulutmu yang kotor."
"Binatang!" bentak Mohe. "Kesalahanmu sudah
terang. Yang pertama tidak mau memberi keterangan
tentang muridmu yang dikabarkan mewarisi pusaka-
pusaka kami. Dan yang kedua: melanggar dan
membangkang perintah kami untuk mengutungi kepala
adik seperguruanmu. Manakah yang kurang terang?"
Gagak Seta mendongak dan tertawa nyaring luar biasa
sampai bumi tergetar. "Aku Gagak Seta, selamanya hidup malang melintang
seorang diri. Aku Gagak Seta, selamanya bekerja dengan
cara seorang laki-laki. Kau boleh mencincang aku,
membunuh aku tapi kau tak bisa memaksa aku untuk
membunuh salah seorang saudara seperguruanku.
Apalagi dia kini dalam keadaan tak berdaya. Gagak Seta
selama hidupnya belum pernah membunuh seorang yang
tidak bisa melawan lagi."
"Bagus! Benar-benar kau berani membangkang
perintah kami," teriak Mohe.
"Meskipun Gagak Seta seorang jembel, seorang yang
tak kebagian pangkat dan derajat, namun setidak-
tidaknya Gagak Seta masih sadar akan tujuan hidup,
sebisa-bisanya melakukan perbuatan baik dan
menyingkiri segala kejahatan. Demi menjunjung
peradaban manusia, Gagak Seta bersedia runtuh di atas
tanah. Kepala Gagak Seta boleh jatuh menggelinding di
tanah, tapi Gagak Seta tidak akan melakukan perbuatan
busuk membunuh adik seperguruan meskipun dia
hendak mengambil nyawaku sendiri."
Sirtupelaheli tidak bisa bergerak, tetapi pen-
dengarannya masih terang benderang. Begitu
mendengar ucapan Gagak Seta yang gagah luar biasa,
tak terasa air matanya menetes di atas tanah.
Sangaji sendiri merasa kagum sekali. Memang
semenjak dahulu, ia tahu gurunya berwatak ksatria
sejati. Sepak terjangnya jauh berlainan dengan Kebo
Bangah atau mertuanya sendiri. Tetapi pada saat itu,
kegagahan dan keperwiraan gurunya benar-benar
nampak lebih tegas. Mohe dan Jahnawi tertawa dengan berbareng. "Gila!
Gila!" kata mereka. Manusia ini hidup dengan angan-
angannya belaka." "Dia lagi bermimpi," Jinawi menambahi.
Sekonyong-konyong dengan membentak keras,
mereka menyerang dengan berbareng.
Gagak Seta segera memutar ilmu tongkatnya yang
termasyur untuk melindungi diri. Tiga jurus mereka
mendesak, namun tidak juga berhasil seperti tatkala
merobohkan Sirtupelaheli. Sadar bahwa ilmu kepandaian
Gagak Seta lebih tinggi daripada Sirtupelaheli, mereka
lantas mengeluarkan senjatanya masing-masing.
Kemudian merangsak dengan berbareng.
Mohe mengancam batok kepala, sedang Jahnawi
menyerang dari samping. Cepat luar biasa, Gagak Seta
menangkis. Traang! Pada detik itu Mohe menggelundung
di atas tanah sambil memukul betis. Gagak Seta
melompat tinggi. Di luar dugaan Jinawi yang bersenjata
piring logam sudah mendahului melayang ke udara.
Dengan suara gemerincing, senjatanya yang aneh meng-
ancam leher. Menghadapi serangan mendadak itu, Gagak Seta
mengayunkan tongkatnya. Begitu berbentrok, tahu-tahu
Jahnawi menggebukkan tongkatnya. Mendadak saja,
sebelum tongkatnya tiba pada sasaran, suatu tenaga luar
biasa telah membetotnya dari belakang. Dan tongkatnya
kena rampas. Inilah kejadian di luar dugaan. Hampir berbareng
Jahnawi dan Mohe berputar. Ternyata yang merampas
senjata Jahnawi adalah Sangaji yang tadi tidak begitu
dipandang mata. Perampasan senjata Jahnawi sendiri, dilakukan Sangaji
dengan gerakan yang cepat luar biasa. Dengan gusar


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mohe dan Jahnawi menyerang dari kiri dan kanan. Untuk
menyelamatkan diri, Sangaji melompat mundur ke
sebelah kiri. Diluar dugaan, Jinawi yang kena terpukul
balik oleh lontaran tenaga sakti Gagak Sakti, pada deik
itu sudah berada dibelakangnya. Ia tidak hanya
bersenjata piring logam lagi, tetapi tangan kanannya
telah mengayunkan senjata rantai yang berkilauan. Dan
begitu berkelebat, cepat-cepat Sangaji membungkuk.
Punggungnya kena terhajar.
Hebat pukulan itu. Meskipun Sangaji memiliki tenaga
sakti yang tiada keduanya dalam jagad ini, tetapi begitu
kena pukulan rantai berkilau matanya lantas berkunang-
kunang. Kejadian itu membuktikan, bahwa Jinawi
memiliki tenaga sakti tak boleh dianggap ringan.
Untunglah, dalam dirinya mengalir tenaga sakti Bayu
Sejati, Kumayan Jati dan Getah sakti Dewadaru. Sambil
melompat ke depan, segera ia menghimpun ketiga
tenaga itu. Kemudian menenteramkan hatinya.
Mohe, Jahnawi dan Jinawi yang menamakan diri tiga
tusan suci itu, tidak sudi memberi napas kepadanya.
Segera mereka mengurung dengan rapat. Sesudah
serang-menyerang beberapa jurus, dengan senjata
rampasan di tangan kanan"Sangaji melepaskan pukulan
gertakan kepada Mohe. Berbareng dengan itu, tangan
kirinya menjambret senjata tongkat Jinawi. Baru saja ia
hendak membetot, mendadak saja Jinawi melepaskan
genggamannya sehingga ujung senjatanya membal ke
atas dan menghantam pergelangan.
Seperti diketahui, senjata mereka berbentuk seperti
tongkat. Tapi agak tipis dan berengsel. Itulah sebabnya
bisa membal ke atas dan menghantam pergelangan. Dan
kena hantaman itu, jari tangan Sangaji kesemutan. Mau
tak mau, terpaksalah ia melepaskan senjata itu yang
telah digenggamnya erat-erat. Dan begitu terlepas dari -
genggaman, Jinawi segera menyambutnya.
Semenjak memiliki ilmu sakti Kyai Tunggul-manik dan
memperoleh pula petunjuk-petunjuk dari Kyai Kasan
Kesambi, belum pernah Sangaji memperoleh tandingan.
Di luar dugaan, dalam menghadapi wanita muda seperti
Jinawi, dua kali beruntun ia kena pukulan. Pukulan kedua
tadi lebih hebat daripada pukulan pertama yang me-
ngenai punggung. Seumpama dalam dirinya tidak
mengalir himpunan tenaga sarwa sakti, pastilah
pergelangan tangannya akan patah.
Sekarang"setelah memperoleh pengalaman"tak
berani lagi ia melayani keras dengan keras. Segera ia
merubah tata berkelahinya. Ia kini membela diri sambil
mengamat-amati serangan-serangan mereka bertiga.
Dilain pihak, ketiga utusan suci itu pun merasa kaget.
Belum pernah, mereka bertemu lawan seperti Sangaji.
Tiba-tiba Mohe menundukkan kepalanya dan
menyeruduk. Inilah serangan yang bertentangan dengan
semua ajaran tata berkelahi. Menyeruduk dengan bagian
tubuh yang terpenting tidak akan diakukan oleh
seseorang yang bisa berkelahi.
Meskipun aneh, Sangaji tak mau masuk perangkap. Ia
berdiri tegak bagaikan gunung, la mengerti, bahwa
serudukan itu pasti hanya digunakan untuk mengelabui
lawan. Dan serangan susulan yang bakal datang itulah
serangan yang benar-benar.
Dugaannya ternyata benar. Tatkala batok kepala Mohe
terpisah kira-kira satu kaki dari perutnya, tiba-tiba ia
mundur selangkah sambil menggeserkan letak kaki.
Sekonyong-konyong Jahnawi melompat tinggi dan tatkala
tubuhnya melayang turun, ia mencoba duduk di atas ke-
pala Sangaji. Ini pun serangan yang aneh bin ajaib.
Buru-buru Sangaji mengegos ke samping. Mendadak
ia merasa dadanya nyeri. Itulah serangan Mohe yang
dilepaskan dengan kepala ditundukkan. Tetapi Mohe
sendiri pun kaget. Ia kena terdorong himpunan tenaga
sakti Tunggulmanik sampai terhuyung mundur beberapa
langkah. Ketiga utusan suci itu lantas saja berubah wajahnya.
Kalau tadi percaya kepada ketangguhan sendiri, kini
menjadi pucat. Tetapi mereka segera merangsak lagi.
Selagi Mohe membabat dengan senjatanya, Jahnawi
terbang tinggi dan berungkir-balik di udara sampai tiga
kali. Mau tak mau Sangaji heran menyaksikan cara
mereka berkelahi. Apa sebab Jahnawi berjungkir-balik
sampai tiga kali di udara tanpa alasan"
Tetapi sadar bahwa lawannya bisa menyerang di luar
dugaan, cepat-cepat ia mengegos ke kiri. Mendadak
seleret sinar putih berkelebat dan pundaknya kena
pukulan senjata Jahnawi. Ia terkesiap. Itulah pukulan
yang sangat aneh. Bagaimana cara dia bisa memukul
selagi berjungkir-balik" Herannya lagi, apa sebab ia tak
berdaya untuk menangkis atau mengelakkan"
Pukulan itu sangat hebat. Meskipun seluruh tubuhnya
dilindungi himpunan tenaga sarwa sakti, rasa sakitnya
dapat menggigit sampai ke tulang sungsumnya. Kalau
bisa, ingin ia mundur. Tetapi sekali mengundurkan diri,
gurunya pasti dalam bahaya. Memperoleh pertimbangan
demikian, ia jadi nekat. Setelah menarik napas dalam-
dalam, ia melompat menghantam dada Jahnawi dengan
telapak tangannya. Pada detik yang bersamaan, mendadak Mohe yang
bersenjata rangkap melompat ke depan sambil
memukulkan kedua senjatanya. Trang! Sungguh aneh!
Himpunan tenaga sakti Sangaji yang dahsyat seumpama
dapat merobohkan gunung, lenyap tak keruan perginya,
sebelum sadar apa sebabnya, tiba-tiba punggungnya
kena hanjar rantai Jinawi. Bres!
Karena sakit secara wajar kakinya bergerak.
Sekonyong-konyong selagi hendak mengadakan
serangan balasan, pinggangnya terasa sakit luar biasa.
Itulah tendangan kaki si Brewok Jahnawi yang dikirim
dengan mendadak. Tetapi kena tenaga tolak himpunan
sakti, ia terpental berjungkir-balik. Dan saat itu, Mohe
berhasil mendaratkan senjatanya di pundak Sangaji lagi.
Gagak Seta yang berada di pinggir tahu Sangaji dalam
kesukaran. Berkali-kali ia menyaksikan Sangaji kena
pukulan telak. Ia sendiri tak dapat membantu, karena
mengingat kedudukannya sendiri maupun Sangaji.
Mereka berdua kini menduduki tingkat teratas. Meskipun
lawannya berjumlah tiga, namun satu pengucapan.
Sebaliknya apabila dia turun ke gelanggang, itulah suatu
pengeroyokan. Sebab ilmu kepandaiannya berbeda
dengan ilmu kepandaian Sangaji sekarang. Dan apabila
peristiwa pengeroyokan itu sampai terdengar diluaran,
akan meruntuhkan martabat orang-orang gagah di
seluruh tanah air. "Anakku! Coba kau minggir! Biar kulawannya lagi...."
serunya. Sangaji hendak berseru agar gurunya menjauhi atau
melarikan diri. Tiba-tiba teringatlah dia, bahwa ia tak
boleh memanggil Guru dengan terang-terangan di depan
mereka. Bukankah gurunya merahasiakan
perhubungannya" Pada saat itu, Mohe menghantam dengan senjata
engselnya. Sangaji segera menangkis dengan senjata
rampasannya. Trang! Senjata Mohe terlepas dari
genggaman. Cepat Sangaji melesat tinggi. Tangannya
menjambret. Mendadak bret" baju di punggungnya
terobek oleh cengkeraman Jinawi. Goresan kukunya
sangat tajam dan pedih. Tatkala darahnya keluar, rasa
perih menusuk sampai ke jantungnya. Apakah beracun"
Sangaji tak gentar menghadapi sarwa racun. Namun
karena serangan itu, gerakannya agak terlambat. Tangan
Mohe dapat menyambar senjatanya kembali.
Sesudah bertempur beberapa gebrakan lagi, tahulah
Sangaji bahwa tenaga himpunannya menang jauh
daripada mereka bertiga. Yang sukar dilawan adalah ilmu
tata berkelahinya. Selain kerjasamanya, senjata mereka
aneh pula. Tata kerja mereka cepat rapih dan caranya sangat luar
biasa. Sangaji tahu apabila bisa merobohkan salah
seorang dari mereka, akan memperoleh kemenangan.
Tetapi hal itu ternyata mudah dipikir, sebaliknya sukar
dilakukan. Dengan menggunakan tenaga himpunanya, Sangaji
melepaskan pukulan Kumayan Jati yang dahulu disegani
tidak hanya Kebo Bangah tapi pun pendekar-pendekar
jempolan lainnya. Dan kena pukulan Kumayan Jati, baik
Jahnawi maupun Mohe hanya terhuyung mundur. Tetapi
sama sekali tidak terluka. Bukan karena mereka kebal
atau memiliki tenaga sakti melebihi pendekar Kebo
Bangah atau Adipati Surengpati, tapi tertolong berkat
suara benturan senjata Jinawi. Bunyi benturan itu
gemerincing bening. Anehnya, tenaga dorong Kumayan
Jati yang terkenal dahsyat seperti punah sebagian besar
di tengah jalan. Lambat laun Sangaji jadi penasaran juga. Ia kini
mengarah kepada Jinawi. Hanya saja setiap kali
bidikannya terlepas, dua rekan lainnya dengan cepat
datang membantu. Salah seorang dari mereka
mengeluarkan bunyi senjatanya yang dapat melarutkan
tenaga sakti. Demikianlah terus menerus terjadi. Apabila
yang satu kena serang, dua lainnya segera menolong.
Kalau dua-duanya diserang, yang satu menyekat dengan
bunyi senjatanya yang aneh. Sesungguhnya benda logam
apakah yang dibuat bahan senjata itu sampai bisa
mempunyai tenaga pelarut himpunan tenaga sarwa
sakti" Sebaliknya setelah berkali-kali mengadu tenaga, tiga
utusan suci itu tidak berani lagi membentur kulit daging
Sangaji. Setiap kali dipaksa mengadu tenaga, buru-buru
mereka menghindari. Sebab setiap kali mencoba, selalu
kalah jauh. 1 Tentu saja, Gagak Seta mengetahui kelemahan itu.
Segera ia memperoleh pikiran. Terus saja berteriak:
"Anakku! Kau gunakan pedangmu itu!"
Dengan sekali melihat tahulah Gagak Seta, apa daya
guna pedang Sokayana yang memiliki ukuran melebihi
pedang lainnya. Itulah sebatang pedang yang bagus
untuk alat menyalurkan tenaga sakti agar terhimpun
manunggal. Apabila tenaga saktinya bisa tersalur dengan
manunggal, akan bisa mengimbangi tenaga gabungan
mereka. la tak percaya, bahwa di jagad ini masih
terdapat semacam tenaga sakti yang bisa berlawanan
dengan tenaga himpunan Sangaji.
"Ia benar!" pikir Sangaji. "Senjata mereka bisa
melarutkan tenaga himpunanku. Tapi masakan bisa pula
memunahkan berat pedang Sokayana yang terdiri dari
logam pula?" Memikir demikian, tangannya segera meraba pedang
Sokayana yang tersisip dipunggungnya. Tapi begitu
tangannya bergerak, Mohe mendadak menyerang
dengan tinjunya. Duk! Dengan mengaduh Sangaji
mundur. Isi perutnya seperti terbalik.
Benar-benar ajaib! Tenaga sakti apakah yang bisa
membodol himpunan tenaga sakti keris Kyai
Tunggulmanik yang melindungi-seluruh tubuhnya"
Secara wajar ia menatap wajah penyerangnya. Sekarang
ia mendapat suatu kenyataan, bahwa setiapkali mereka
melepaskan serangan, mulutnya berkomat-kamit
membunyikan mantram. Ah! Adakah mantram sakti di
dunia ini yang benar-benar melahirkan tenaga gaib.
Mendadak teringatlah dia kepada ceramah Panembahan
Tirtomoyo dahulu tentang adanya tenaga mantram tak
kelihatan. Bahwasanya dengan mantram, seseorang bisa
memukul lawan dari jauh. Bahwasanya dengan mantram,
seseorang tahan bertapa beberapa tahun lamanya.
Bahwasanya dengan mantram, seseorang bisa kebal dari
senjata.30) Teringat akan hal itu, segera ia menggigit bibir
menahan rasa sakit. Kemudian dengan sekali tarik ia
membabatkan pedang Sokayana. Suatu kesiur angin
bergulungan dahsyat, Mohe dan si Brewok Jahnawi
kaget. Dengan berbareng mereka menghantamkan
senjatanya pada bagian pedang Sokayana. Inilah
kesempatan yang bagus untuk segera mengerahkan dan
menyalurkan tenaga himpunannya buat menggempur.
Diluar dugaan, mendadak saja tangan Sangaji tergetar,
sehingga pedang Sokayana hampir terlepas dari
genggaman. Hatinya mencelos, dan pada saat itu benar-
benar ia mengemposkan tenaga saktinya yang meruap
keluar bagaikan gugur gunung.
Merampas senjata lawan dengan mengandalkan
senjata engselnya adalah salah satu ilmu keahlian
mereka. Selamanya belum pernah gagal. Sebab bahan
senjata itu sendiri sudah mempunyai pengaruh ajaib
yang berada di luar nalar manusia. Benda apa saja yang
kena ditempel senjata engselnya akan kena dirampas
dengan mudah. Tetapi sekarang mereka menumbuk
batu. Ternyata Sangaji tidak bergeming. Keruan mereka
berdua kaget bukan kepalang. .
Melihat hal itu, si Brewok Jahnawi buru-buru merogoh
saku Mohe dan mengeluarkan dua benda gabungan yang
berbentuk sebuah bende. Dengan membentak, ia segera
menempelkan. Tenaga berat pedang Sokayana lantas
saja menjadi larut seperti terhisap.
Sangaji sudah menderita luka. Walaupun tidak berat,
namun mengurangi tenaganya juga. Sesudah bertahan
beberapa saat lamanya, mendadak Jinawi membantu
kedua rekannya pula dengan mengerahkan tenaga
saktinya lewat senjata rantainya. Pada saat itu, tubuh
Sangaji merasa panas seperti terbakar. Dan tangannya
yang menggenggam pedang Sokayana bergemetaran.
Heran Gagak Seta menyaksikan kejadian itu. Ia
hampir-hampir tak mempercayai penglihatannya sendiri.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada hakekatnya di jagad ini, tiada manusia lain yang
memiliki tenaga sedahsyat Sangaji. Biarpun bergabung
sepuluh dua puluh orang. Tapi kini, dengan dilawan tiga
tenaga gabungan saja, tenaga himpunan Sangaji yang
biasanya tiada habis-habisnya bisa terdesak. Orang tua
itu, tidak melihat bahwa senjata-senjata mereka yang
aneh, sesunguhnya mempunyai kadar kimia yang bisa
melarutkan tenaga berat benda berbareng pemunah
tenaga sakti. Tak ubah air raksa ditambah tenaga gaib
pelarut sarwa sakti. Paras muka Mohe waktu itu pucat luar biasa. Juga si
Brewok Jahnawi. Dengan mati-matian, mereka mencoba
menggosok-gosokkan belahan bendenya pada pedang
Sokayana. Sekarang sedikit demi sedikit, Sangaji berhasil
menyatukan tenaga himpunan saktinya. Meskipun
dikerubut tiga, ia tak bergeming. Perlahan-lahan mulailah
ia mengamat-amati senjata mereka bertiga. Ternyata
masing-masing memiliki senjata rangkap. Mohe dan
Jahnawi bersenjata engsel rangkap. Syukur, Sangaji tadi
berhasil merampas sebatang senjata engsel Jahnawi.
Dengan demikian tenaga perlawanan mereka berdua jadi
berkurang. Tapi sebagai gantinya, Jahnawi
menggenggam senjata belahan berbentuk sebuah bende
yang terus menerus bergerak untuk digesek-gesekan.
Sedangkan Jinawi selain bersenjata dua piring logam
keemasan, juga sejalur rantai yang berkilauan.
Dengan tubuh tak bergerak mereka mengerahkan
tenaga saktinya yang paling tinggi. Sedangkan Sangaji
sudah mulai memasuki tingkatan sakti tataran kelima dan
kemudian keenam. Maka jelaslah, bahwa tiada
maksudnya hendak membunuhnya benar-benar. Seperti
diketahui, kelompok ukiran sakti keris Kyai Tunggulmanik
berjumlah empat belas. Dia kini baru menggunakan
tingkat kelima dan lagi mulai memasuki tingkat enam.
Meskipun demikian, mereka bertiga sudah berkutat mati-
matian. Coba ia menggunakan tingkat kesembilan atau
kesepuluh, maka tulang-belulang mereka akan hancur
berantakan. Dengan kenyataan itu, benarlah dugaan
Gagak Seta tadi. Sebenarnya dalam jagad ini, hakekatnya
tiada yang dapat menandingi tenaga himpunan sakti
Sangaji. Kalau tadi kelihatan repot, sebenarnya Sangaji
hendak mengukur sampai dimana tenaga sakti gabungan
mereka, selain ia memang benar-benar sulit mencari
titik-tolak dan rahasia ilmu tata berkelahi mereka.
Tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar mulut
mereka berkomat-kamit. Lapat-lapat mereka
menyemburkan kata-kata mantram:
"Auuum Auuum hawastut purnaum sidha...
Aauuum... "Sebelum mengerti apa maksudnya,
mendadak saja ia merasa dadanya kena ditusuk suatu
tenaga tak nampak. Rasanya seperti ruji baja atau jarum
panjang yang menelusup memasuki tulang dan terus
menggerayangi perut. Hampir berbareng pedang
Sokayana kena ditarik tenaga gabungan mereka lewat
senjata engsel dan kedua piring logam si gadis.
Sangaji kaget. Tetapi sebagai seorang jago kelas
utama, dalam kagetnya tak menjadi bingung. Cepat ia
meningkatkan himpunan tenaga saktinya ketataran
tujuh. Kemudian tangan kirinya meraba senjata
rampasannya yang tadi dimasukkan ke dalam saku.
Begitu terpegang, ia menggunakan ilmu sakti ciptaan
Kyai Kasan Kesambi yang bernama Sura Dira Jajaningrat
Lebur Dening Pangastuti. Seperti diketahui, ilmu sakti itu
berpangkal pada gerak hidup yang tiada berkeputusan.
Maka begitu senjata rampasan terangkat dari saku, terus
dibawanya berputar berlingkaran. Tiba-tiba memapas
kempungan ketiga utusan suci.
Diserang dengan mendadak, mereka kaget dan
serentak melompat mundur. Sangaji terus memasukkan
senjata rampasannya kesakunya kembali dan dengan
sekali bergerak ia menyambar pedang Sokayana yang
terlepas dari genggaman. Benar-benar indah gerakan Sangaji yang dilakukan
dengan secepat kilat. Ahli silat dimana pun juga tidak
akan dapat melakukan gerakan tersebut. Melepaskan
pedang Sokayana"memutar pedang rampasan,
memapas dan berbareng memasukkan kembali ke dalam
saku" dan menangkap kembali pedang Sokayana yang
telah melayang runtuh dari genggaman. Gerakannya
cepat dan berkesan lembut Itulah gerakan hidup yang
berasal dari tataran ketujuh tataran sakti kelompok
ukiran keris Kyai Tunggulmanik warisan Pangeran
Semono di zaman purba. Bukan main kaget dan herannya ketiga orang itu yang
menamakan dirinya tiga utusan suci pembuat
perdamaian. Begitu kaget mereka, sampai mengeluarkan
seruan tertahan. Mimpi pun tak pernah, bahwa di tanah
Jawa ini ilmu saktinya yang tinggi bakal kena dikalahkan
oleh seorang pemuda yang berusia belum melebihi - tiga
puluh tahun. Begitu berteriak, senjata mereka yang masih melekat
pada badan pedang Sokayana kena terbetot Sangaji.
Buru-buru mereka mengerahkan tenaga himpunan
saktinya dan keadaan mereka pulih seperti sedia kala.
Keempat orang lantas saja saling menarik.
Beberapa saat kemudian, kembali lagi dada Sangaji
terasa sakit seperti tertusuk jarum panjang yang tajam
luar biasa. Tetapi sekarang ia sudah bersiaga. Meskipun
kena serang, pedang Sokayana tidak bakal terlepas dari
genggaman. Untuk menangkis serangan jarum tak nampak itu,
cepat-cepat ia melindungi dirinya dengan hawa getah
sakti Dewadaru berbareng mengerahkan ilmu sakti Bayu
Sejati yang berendeng dengan Kumayan Jati. Heran!
Mendadak serangan jarum yang tak nampak itu berubah
sifatnya menjadi sejalur benang yang bergerak seperti
cacing panjang. Dan cacing panjang itu sedikit demi
sedikit bisa menyelusup memasuki ini perut.
Sangaji tahu, bahwa itulah tenaga sakti mereka
bertiga yang merayap keluar melalui senjata-senjata
mereka yang aneh. Seluruh tubuh Sangaji sudah
terlindungi himpunan sarwa sakti tak ubah selimut hawa
yang membungkus rapat-rapat. Sifatnya panas dan
membal. Sebaliknya tenaga sakti mereka bertiga
merupakan tenaga manunggal yang bersifat dingin kaku.
Sasaran serangannya hanya satu. Karena itu, tenaga
himpunan mereka tidak terbagi-bagi. Apabila kena
tenaga membal ilmu sakti Sangaji, sifatnya yang kaku
berubah lemas dan terus menyusup masuk tak ubah
angin memasuki pori-pori. Inilah pengalaman Sangaji
yang terhebat dalam sejarah hidupnya, "bahwasanya
tenaga raksasa belum tentu bisa menangkis tenaga
tusukan jarum. Maka benarlah dongeng kanak-kanak
bahwa pada suatu kali seekor gajah dapat dikalahkan
seekor semut karena semut itu dapat memasuki
telinganya. Biarpun demikian, ketiga utusan suci itu kaget dan
heran bukan kepalang menyaksikan , ketangguhan
Sangaji. Sekian lamanya mereka menyerang, masih saja
Sangaji bertahan. Bahkan tenaga perlawanannya makin
lama makin tinggi. Ilmu sakti apakah yang tak bisa
dilarutkan senjata ajaibnya" Mereka tak pernah
menduga, bahwa senjatanya adalah alat untuk
memunahkan tenaga sakti yang meruap keluar. Dan bu-
kan untuk menyedot tenaga sakti yang bergolak
seumpama di belakang tembok bendungan. Itulah
sebabnya, mereka merasa seakan-akan menghadapi
tembok baja yang kokoh luar biasa.
Memang ada keinginan mereka untuk merampas
pedang Sokayana itu. Bahkan Jahnawi yang penasaran
berangan-angan ingin merampas senjatanya kembali
yang berada dalam saku Sangaji. Namun angan-angan
itu tinggal angan-angan belaka. Sekali berani
mengalihkan perhatian atau menggerakan tangan,
mereka akan kena dibobol himpunan tenaga sakti
Sangaji yang bergolak hebat.
Tatkala itu Sangaji berpikir di dalam hati, "Aku bisa
bertahan"kalau perlu"satu dua minggu lagi. Tetapi
bagaimana dengan urat nadiku yang kena tusuk tenaga
sakti tak kelihatan" Barangkali aku pun kena runtuh
terkulai sebelum menjelang pagi. Namun dia tidak dapat
berbuat lain, kecuali mempertahankan diri."
Gagak Seta yang semenjak tadi masih belum
memperoleh keputusan mendadak berseru: "Hai,
binatang! Sekian lamanya aku bersikap diam, masakan
kalian tidak sadar" Sekali aku memukul kamu bertiga,
apakah jadinya! Apakah kamu bisa membagi tenaga?"
Hebat ancaman Gagak Seta itu. Kalau benar-benar
dilakukan, mereka akan mati kutu.
"Hai, binatang! Kamu mau bertekuk lutut atau tidak?"
bentak Gagak Seta lagi. "Memang kalau aku memukul
dengan tongkatku, semuanya akan terluka. Tetapi aku
mempunyai cara lain. Kalian ingin mencoba" Baik! Hai
anakku, biarlah aku mencoba menguji kebandelannya.
Aku ingin memecahkan kepala mereka dengan Kumayan
Jati. Begitu aku mendorong. Lepaskan pedangmu?"
Sangaji kenal ilmu Kumayan Jati gurunya. Hebatnya
tak terkatakan. Jangan lagi manusia yang terdiri dari
darah dan daging, sedangkan batu raksasa bisa rontok
berguguran. Memang mereka tadi bisa memunahkan
tenaga sakti Kumayan Jati lantaran bunyi gesekan
senjata ajaibnya. Tetapi senjata mereka kini telah mele-
kat pada pedang Sokayana. Kecuali itu, tenaga mereka
sedang dikerahkan habis-habisan untuk melawan dirinya.
Dengan begitu, keadaan mereka tak ubah tiga batang
tiang yang keropos. Jangan lagi bakal dihantam ilmu
sakti Kumayan Jati, pukulan seorang anak kecil pun bisa
mencelakakan. Menurut hati, pantas mereka dihajar demikian. Tetapi
mengingat pembicaraan mereka. Sangaji memperoleh
keterangan yang jelas siapakah mereka sebenarnya.
Siapa pula yang berada di belakang mereka. Dan apa
sebab mereka kenal Nenek Sirtupelaheli dengan lika-liku
hidupnya serta gurunya sendiri. Bahkan mereka pun
menyinggung-nyinggung dirinya secara langsung
mengenai pusaka warisan. Di samping itu, ia tertarik pula
terhadap ilmu tata berkelahi yang senyawa dengan ilmu
sakti warisan Pangeran Semono. Terngiang-ngianglah
istilah Titisari di dalam pendengarannya. Memang gam-
pang membunuh mereka. Tetapi semenjak itu, teka-teki
besar bakal lenyap untuk selama-lamanya. Memperoleh
pikiran demikian, segera ia berseru menyanggah.
"Tahan! Berilah aku kesempatan untuk berbicara
dengan mereka." Gagak Seta tertawa terbahak-bahak.
"Berbicara dengan kumpulan binatang apakah
faedahnya!" "Tapi mereka manusia. Masakan manusia tak sudi
diajak berbicara?" "Ah, hatimu masih semulia dahulu. Kau dengarkan
kata-kataku. Kemuliaan belum menjamin
keselamatanmu. Berapa banyak pendekar-pendekar
bangsa yang mati karena menjadi korban kemuliaannya
sendiri." Ketiga utusan itu kagum dan kaget luar biasa
mendengar Sangaji berani berbicara begitu leluasa.
Dimana saja seorang yang lagi mengerahkan himpunan
tenaga sakti untuk menghadapi suatu perlawanan tidak
berani membuka mulut atau memecah perhatian. Sebab
begitu berbicara, tenaga himpunannya akan buyar
berderai. Sebaliknya Sangaji dapat berbicara dengan leluasa.
Dan desakan himpunan tenaga saktinya sama sekali tidak
terganggu. Dalam pada itu terdengar Sangaji berkata: "Mari kita
berhenti dahulu untuk sementara waktu. Aku ingin
berbicara dengan kalian. Bagaimana" Setuju?" Mohe
memanggut. "Bagus!" Sangaji Girang. "Dengan saudara-saudaraku
di Pulau Lombok, aku sebangsa dan setanah air. Sama
sekali tiada permusuhan atau mendendam angan-angan
yang tidak baik. Kalau aku kini berkutat melawan kalian,
itulah lantaran terpaksa. Kalian yang memaksa aku.
Meskipun demikian perkenankan aku memohon maaf.
Sekarang, marilah kita menarik tenaga sakti kita masing-
masing. Apakah kalian setuju?"
Kembali lagi Mohe mengangguk mewakili kedua
rekannya. Sangaji bersyukur. Segera ia menarik himpunan
tenaga saktinya yang tersalur lewat pedang Sokayana.
Mereka bertiga pun menarik pulang tenaga saktinya.
Di luar dugaan, mendadak saja semacam tenaga
dingin setajam pisau menikam urat dada Sangaji.
Seketika itu juga sesaklah napas Sangaji. Ia tak dapat
bergerak lagi. "Ah, tak pernah mengira, bahwa aku bakal mati di sini.
Baikiah dimana saja, orang boleh mati, pikirnya di dalam
hati. "Tetapi bagaimana dengan Himpunan Sangkuriang"
Ah, suatu malapetaka dahsyat bakal terjadi lagi di
seluruh Jawa Barat."
Selagi berpikir demikian, Mohe sudah mengangkat
senjatanya. Terang sekali ia hendak menghantam batok
kepala Sangaji. Pada saat itu Gagak Seta membentak
bagaikan guntur. Dan berbareng dengan bentakannya,
sekonyong-konyong berkelebat sesosok bayangan.
"Utusan Suci berada di sini!" terdengar suatu suara
nyaring merdu. Mohe terkejut. Karena kena bentakan Gagak Seta dan
munculnya bayangan itu, senjatanya yang tinggal


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menabas turun berhenti di tengah jalan.
Bagaikan kilat, bayangan itu mencabut pedangnya dan
menubruk Mohe. Sangaji terperanjat berbareng girang.
Ternyata bayangan itu, Titisari yang tiba dengan pedang
Sanggabuwana. Seperti seekor singa betina Titisari
menyerang pukulan ilmu sakti Witaradya warisan
ayahnya. Itulah pukulan liar yang berintikan mati
berbareng dengan lawan. Mohe mencelos hatinya, la tak pernah bermimpi,
bahwa sesudah memperoleh kemenangan dengan jalan
licik, kena diserang dengan mendadak. Buru-buru ia
menangkis dengan senjata engselnya. Traang!
Hebat akibatnya. Seperti diketahui, pedang
Sanggabuwana adalah sebatang pedang yang tajam luar
biasa. Titisari memperoleh pedang itu dari tangan Edoh
Permanasari. Sebaliknya senjata Mohe ajaib pula
bahannya. Ternyata senjatanya tahan berlawanan
dengan pedang Sanggabuwana.
Dengan bergulingan di tanah, Mohe menyelamatkan
diri. Tatkala bangun berdiri dagunya terasa dingin-dingin
lengket. Ternyata kulit dagunya kena terpapas pedang
Sanggabuwana. Benar pedang Sanggabuwana kena
dilontarkan balik oleh tenaganya, tapi buktinya masih
bisa menyerempet dagunya. Hal itu membuktikan betapa
tajam pedang Sanggabuwana. Seumpama bukan kena
tangkis senjatanya yang luar biasa pula, saat itu lehernya
telah terkutung. Titisari pun tak bebas dari ancaman pedangnya
sendiri. Begitu terpental balik, mendadak saja memapas
rambutnya. Syukur, dia gesit. Detik itu ia memiringkan
kepalanya. Yang kena hanya ikatan sanggulnya.
Rambutnya lantas saja buyar berurai menutupi punggung
dan sebagian pundaknya. Karena wajahnya memang
cantik jelita, maka pada saat itu ia nampak agung ber-
wibawa. Munculnya Titisari memang pada saat yang tepat
sekali. Setelah menyerahkan pedang Sokayana kepada
Sangaji, dia sendiri lantas menyisipkan pedang
Sanggabuwana yang tajamnya tiada keduanya di dunia,
la menaruh curiga terhadap Sirtupelaheli, Daniswara dan
Fatimah. Disamping itu, ia heran menyaksikan sikapnya
Gagak Seta. Pendekar besar itu tidak seperti biasanya, la
nampaknya berusaha mengekang dan mengendalikan
diri. Hal itu, pasti ada alasannya.
Tatkala Sangaji lari mengarah ke utara, ia berada di
sebelah selatan. Kebusukan Sirtupelaheli menaburi bubuk
racun pada tanah di depan gubuk, diketahuinya belaka.
Juga pembicaraan Fatimah.
Sesudah Sangaji bertempur melawan ketiga orang
utusan itu. Perhatian Titisari bertambah. Aneh gerakan
mereka. Namun otak Titisari bukan sembarang otak.
Ingatannya tajam luar biasa. Meskipun masih samar-
samar, tetapi ia sudah mendapat pegangan untuk
menyingkap tabir. la girang tatkala melihat Sangaji mulai mengadu
tenaga himpunan sakti. Seperti Gagak Seta ia yakin
bahwa Sangaji bakal memperoleh kemenangan.
Mendadak terjadilah penundaan adu himpunan tenaga
sakti, la kenal watak Sangaji yang mengukur tabiat dan
perangai manusia seperti dirinya sendiri. Segera ia
hendak meneriaki agar berwaspada. Tetapi sudah tak
keburu. Demikianlah, pada detik-detik berbahaya"ia
lantas melesat menyambarkan pedangnya.
Setelah berhasil dalam jurus pertama, ia membuat
setengah lingkaran dan menikam Jahnawi dengan
menubrukkan badannya sendiri.
"Hai!" Gagak Seta dan Sangaji kaget.
Itulah jurus bunuh diri yang bertekat mati berbareng
dengan musuh. Darimanakah dia memperoleh jurus itu"
Gagak Seta dan Sangaji tak pernah mengira, bahwa jurus
itu adalah warisan Ratu Fatimah lewat muridnya Edoh
Permanasari yang kemudian bersahabat dengan Titisari.
Jurus itu dipersiapkan Ratu Fatimah untuk menghadapi
Ratu Bagus Boang. Tekatnya hendak mati berbareng
dengan lawannya berbareng kekasihnya.12)
Karena watak Titisari mewarisi sebagian besar watak
ayahnya, ia mencatat jurus tersebut dengan diam-diam.
Sebenarnya dia pun merencanakan bunuh diri seperti
yang hendak dilakukan Ratu Fatimah, manakala Sangaji
benar-benar mengawini Sonny de Hoop.
Sekarang untuk menolong suaminya dari bencana, dia
bersedia mati. la tahu, bahwa lawan Sangaji sangat
tinggi ilmu kepandaiannya. Jangan lagi dirinya, Sangaji
sendiri nampak berada di bawah angin. Tapi dasar
otaknya cerdas dan berwatak liar, masih ia menemukan
suatu kemungkinan. Waktu itu suatu penglihatan terbesit
dalam hatinya. "Entah siapa mereka ini sampai Sangaji kuwalahan.
Mengingat mereka mengumandangkan diri sebagai
utusan suci pembawa perdamaian, terang sekali mereka
berangan-angan besar. Orang yang berangan-angan
besar paling takut bila mati terlalu cepat."
Begitu memperoleh penglihatan itu, diam-diam ia
sudah bersiaga. Demikianlah ia segera membentur
senjata engsel lawan dan kemudian barulah menikam
dengan pedang Sanggabuwana.
Diserang dengan jurus bunuh diri itu, baik Mohe
maupun Jahnawi kaget sampai terpaku. Begitu kecil
hatinya, sampai pula tidak berdaya lagi. Betapa tidak"
Setelah membentur senjata engsel, gerakan yang
kedua ialah menikam. Seumpama senjata Mohe sebatang
pedang, Titisari menembuskan dadanya sendiri dengan
tubrukannya tadi dan baru menikam. Biarpun
berkepandaian tinggi, seseorang takkan bisa meloloskan
diri diserang dengan cara demikian. Kecuali manakala dia
memiliki kecepatan kilat, sehingga tatkala pedangnya
kena tubruk, cepat-cepat melepaskan genggaman
berbareng meloncat mundur. Dengan begitu lawan akan
tercublas mati tanpa dapat membalas.
Mohe sadar akan gerakan berikutnya. Namun ia
seakan-akan sudah kehilangan diri. Untunglah,
senjatanya bukan pedang yang berujung tajam.
Sebaliknya mirip tongkat yang berengsel. Begitu kena
bentur, membal bergoyangan. Saat itulah yang memberi
kesempatan bagi Mohe untuk melesat mundur dengan
tetap menggenggam senjata engselnya.
Sebaliknya, Titisari tiada terluka akibat menubrukkan
diri tadi. Namun tatkala pedang Sanggabuwana
digerakkan untuk menikam, mendadak Jahnawi
memeluknya dari belakang. Dengan pelukan itu, Titisari
tak dapat menikam lagi. Saat itu insyaflah dia, bahwa
bahaya kematian tak dapat dielakkan lagi. Tapi lagi-lagi
ia ditolong otaknya yang cerdas bukan kepalang. Dengan
berpangkal pada kerelaan hendak membunuh diri demi
menolong suaminya, timbullah pikirannya untuk
membalikkan pedangnya menikam dirinya sendiri.
Pedang Sanggabuwana sangat tajam. Mengandal kepada
ketajamannya, ia mengharap menembus sedalam
hulunya sehingga masih dapat menikam Jahnawi yang
memeluk punggungnya. Benar-benar suatu ketekatan yang luar biasa. Sebagai
seorang ahli silat, tentu saja Jahnawi sadar begitu
melihat tangan Titisari bergerak membalikkan hulu
pedangnya. Begitu melihat berkelebatnya pedang
membalik menikam diri, hatinya mencelos. Saking
takutnya, tangannya menggelendot dan melompat
kesamping. Kena gerakan itu, tubuh Titisari terputar.
Inilah justru yang menolong nyawanya. Pedang Sangga-
buwana menikam meleset dari sasaran yang di-
kehendaki. Tidak menembus dada tetapi menyerempet
lengan dekat ketiak. Seketika itu darah Titisari mengucur
deras. Jahnawi pun tidak luput dari suatu goresan karena
gerakan Titisari yang penuh nafsu benar-benar cepat
diluar dugaan seorang ahli seperti dia. Tahu-tahu
pundaknya mengucurkan darah. Untung dia tadi
membuang diri kesamping. Seumpama hanya mundur,
dadanya akan kena tertembus.
Pada saat itu, Sangaji sudah berhasil membebaskan
diri dari totokan gelap. Melihat ketekatan Titisari, dengan
menjejakkan ia melesat dan merampas pedang
Sanggabuwana. "Titisari, mengapa kau...?"
Titisari masih membungkam. Wajahnya pucat lesi.
Namun dalam keadaan demikian masih saja otaknya
bekerja dengan cemerlang. Agar memperoleh waktu
untuk bernapas, ia merogoh senjata rampasan dalam
saku Sangaji. Setelah dikeluarkan, segera melemparkan
ke dalam tanah beracun. Ketiga utusan suci begitu besar sayangnya kepada
senjata andalannya melebihi nyawanya sendiri. Semenjak
tadi, mereka berprihatin tentang senjata Jahnawi yang
kena dirampas Sangaji. Sekarang senjata itu dilemparkan
Titisari di atas tanah terbuka. Keruan saja mereka
bergirang bukan main. Seperti anjing mencium tulang
penuh daging bakar, mereka berlari-larian hendak
mengambilnya. Tapi begitu melihat tanah, mereka sadar
akan bahaya. Terpaksalah mereka maju lambat-lambat
sambil menahan napas untuk melawan racun. Inilah
yang dikehendaki Titisari.
"Biarkan mereka mengambil senjatanya kembali," kata
Titisari. "Dan begitu mereka memasuki tanah itu, mereka
akan kehilangan kegalakannya satu malam ini.
Sementara itu, kita bisa berunding Mari kita mencari
tempat!" 3?) Baca Bende Mataram jilid 3 bagian belakang
1) Baca: Bunga Ceplok Clngu dari Banten.
1) Kegelisahan Titisari dapat dibaca kembali di Bende
Mataram dimulai jilid 11-halaman 95
MENCARI BENDE MATARAM - 2
5 SIRTUPELAHELI TIADA BEDA DENGAN REKAN-REKANNYA Gagak Seta
adalah seorang pendekar yang angkuh hati. Tetapi
mendengar anjuran Titisari, tak berani ia
menganggapnya enteng. Pasti ada alasannya yang
mendasar. Tanpa ragu-ragu lagi, ia terus menguatkan.
"Benar!" Setelah berkata demikian, ia membungkuki
Sirtupelaheli yang masih meringkuk tak berkutik di atas
tanah. Segera ia membebaskan.
Sangaji mengira, bahwa setelah mengalami
perjuangan antara hidup dan mati bersama-sama,
pastilah permusuhannya dengan gurunya akan terhapus
dari ingatannya. Maka kebebasannya disambutnya
dengan rasa syukur. "Mari!" katanya mengajak sambil mendukung Fatimah.
Setelah berlari-larian beberapa puluh meter, ia
menyerahkan Fatimah kepadanya. Sebab meskipun
antara Fatimah dan dia tiada terdapat suatu
perhubungan istimewa, rasanya ia canggung membawa-
bawa seorang gadis dalam dukungannya. Apalagi ia
berada disamping Titisari. -
Titisari waktu itu telah mendahului lari paling depan.
Kemudian Gagak Seta, Sirtupelaheli dengan mendukung
Fatimah berada ditengah-tengah, sedangkan Sangaji di
belakang sebagai pelindung.
Sekonyong-konyong terdengarlah bentakan Gagak
Seta. Orang tua itu ternyata tidak hanya membentak,
tetapi tangannya bergerak meninju punggung
Sirtupelaheli. "Sirtupah! Mengapa lagi-lagi engkau mencoba
membunuh Fatimah?" Sirtupelaheli kaget. Untuk menangkis pukulan Gagak
Seta, ia melemparkan tubuh Fatimah ke tanah. Dia
sendiri lantas tertawa mendengus.
"Mengapa engkau mencampuri urusanku?"
Sangaji terkejut menyaksikan kejadian diluar
dugaannya. Segera ia mendekati Fatimah sambil berkata
keras. "Kularang kau membunuh manusia dengan
serampangan!" "Siapa engkau sebenarnya sampai berani melarang
aku" Apakah belum cukup engkau mencampuri urusan
yang sebenarnya bukan urusanmu?"
"Belum tentu bukan urusanku," sahut Sangaji. "Musuh
akan segera mengejar. Apakah kau ingin mati tanpa liang
kubur?" Nenek Sirtupelaheli mendengus lalu lari ke jurusan
barat. Sekonyong-konyong tiga benda berkeredep
menyambar kepala Fatimah. Sangaji mengebutkan
lengan bajunya. Dan senjata berkeredep itu berbalik me-
nyambar majikannya dengan suara mengaung. Dahsyat
tenaga balik itu. Menyambarnya cepat tak ubah tiga pelor
yang meletus lewat larasnya.
Sirtupelaheli kaget setengah mati. Mimpi pun tidak,
bahwa Sangaji memiliki tenaga dahsyat demikian
besarnya. Ia tak berani menyambut. Buru-buru ia
menggulingkan badannya ke tanah. Ketiga benda itu
melesat lewat punggungnya dan merobek pakaiannya.
Jantung Sirtupelaheli bergetar melonjak-lonjak tak
keruan. Terus saja ia kabur tanpa menoleh lagi.
Selagi Sangaji membungkuki Fatimah untuk
mendukungnya, tiba-tiba Titisari mengeluh sambil
menekap pinggangnya. "Kau kenapa?" Sangaji tercekat dan terus mendekati.
Ia terkejut tatkala melihat tangan Titisari berlepotan
darah. Ternyata tikaman tipu membunuh diri tadi, benar-
benar melukai pinggangnya, meskipun sasarannya ku-
rang penuh.

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana" Parah?" tanya Sangaji dengan cemas.
Sebelum Titisari sempat menjawab, tiba-tiba terdengar
Jahnawi berteriak girang.
"Ha, ini dia! Sudah kembali" Sudah kembali!"
"Ah!" Titisari mengeluh. Parasnya pucat dan
membayangkan rasa putus asa. Katanya tersekat-sekat.
"Jangan pedulikan aku! Cepat lari! Kau dakilah bukit itu!"
Pada saat itu, dari suatu tikungan muncul seorang
tinggi besar. Dialah Gandarpati murid Sorohpati. Dia
terus menghampiri Sangaji sambil menyerobot tubuh
Fatimah. Katanya, "Biarlah aku yang membawanya.
Marilah kutunjukkan suatu tempat yang aman."
Tanpa berkata lagi, Sangaji meninggalkan Fatimah dan
segera memeluk pinggang Titisari. Setelah itu ia
membawanya kabur mendaki bukit.
"Kau ikuti dia..." bisik Titisari. "Gurunya dahulu setia
kepada Ayah. Aku percaya, dia pun akan berusaha
menyelamatkan kita dengan sungguh-sungguh."
Sangaji mengangguk. Dengan memapah Titisari, ia lari
sekeras-kerasnya. Gandarpati yang tadi berada di depan,
tertinggal jauh. Dengan napas tersengal-sengal, ia
berteiak: "Ke kanan!"
Sangaji lantas berhenti. Ia memandang ke kanan dan
melihat sebuah gubuk berada di seberang jurang curam.
Tebing jurang itu berbatu licin. Ditengah-tengah
melintang sebuah jembatan batu yang hanya cukup
untuk dilintasi seorang. Ia berbimbang-bimbang
sebentar. Akhirnya mengambil keputusan untuk
menunggu tibanya Gandarpati dan Gagak Seta yang lari
sambil melindungi dari belakang.
"Anakku!" kata Gagak Seta sambil tertawa nyaring.
"Kau sangat memikirkan isterimu, sampai lari membabi-
buta seperti kuda binal. Kau bisa lari, tapi bagaimana
dengan murid Sorohpati ini?"
Sangaji tertawa menyeringai. Segera ia turun
menyambut tibanya Gandarpati. Kemudian dengan sekali
tarik, ia membawa Gandarpati naik melompati suatu
ketinggian. Betapapun juga, Gagak Seta kagum kepada tenaga
dahsyat bekas muridnya itu, ia tahu muridnya tiada
mempunyai kesombongan hati untuk memamerkan
kesanggupannya. Semuanya itu terjadi karena rasa
gopohnya memikirkan keadaan Titisari dan Fatimah.
Kalau salah seorang tidak dapat ditolongnya, hatinya
akan menyesal seumur hidupnya. Sambil melompat
menyusul, ia berdoa semoga tiada terjadi sesuatu atas
diri mereka berdua. Dalam pada itu, setelah ketiga utusan suci
mendapatkan senjatanya kembali, mereka segera
mengadakan pengejaran. Ternyata racun Sirtupelaheli
tak dapat mengusiknya karena larut kena perbawa
senjata ajaibnya. Untung, dalam hal kecepatan berlari
mereka kalah jauh dibandingkan dengan Sangaji dan
Gagak Seta. Melawan kegesitan Gandarpati saja, mereka
masih kalah seurat. Dengan demikian, mereka baru
sampai pada tanjakan pertama tatkala Sangaji, Gagak
Seta dan Gandarpati telah tiba di tebing jurang.
"Itulah pondok Guru," kata Gandarpati dengan napas
terengah-engah. "Mari kita menyeberang!"
Setelah memasuki pondok, Sangaji segera
merebahkan Titisari di pembaringan. Fatimah pun
diletakkan pula di atas pembaringan yang berada tak
jauh dari pembaringan Titisari. Ia kemudian memeriksa
luka mereka berdua. Tikaman pedang Sangga Buwana
kurang lebih setengah ibu jari dalamnya. Meskipun
mengeluarkan darah segar, namun luka itu sendiri tidak
membahayakan jiwa. Tetapi tidaklah demikian halnya
yang diderita Fatimah. Tiga senjata rahasia Nenek
Sirtupelaheli menancap dalam di dadanya. Apakah nyawa
Fatimah dapat tertolong, masih merupakan suatu teka-
teki. Dengan dibantu Gandarpati, Sangaji membubuhi
obat luka dan membalutnya. Gadis itu masih saja tak
sadarkan diri. Sedangkan Titisari merintih perlahan.
"Anakku!" kata Gagak Seta. "Kau kini agaknya
mempunyai pengetahuan pula tentang ilmu ketabiban.
Syukurlah!" "Aku hanya sedikit mempelajari pengetahuan orang
tabib pandai yang katanya tunangan Fatimah. Dia
bernama Manik Angkeran. Kabarnya, dialah putera satu-
satunya Paman Sorohpati, guru saudara Gandarpati ini,"
sahut Sangaji. Gagak Seta tertawa perlahan sambil mengurut-urut
jenggotnya. Wajahnya sangat puas. Katanya perlahan,
"Dengan tambah satu pengetahuan lagi, kau tidak bakal
lagi disebut si Tolol!"
Titisari terganggu kesehatannya oleh tikamannya
sendiri. Badannya mulai terasa panas. Tetapi mendengar
ucapan Gagak Seta, tak dapat ia menguasai mulutnya.
Katanya dari atas pembaringan.
"Siapakah yang berani menyebut suamiku si Tolol?"
Gagak Seta tercengang sejenak. Menyahut sambil
tertawa berkakakkan. "Setidak-tidaknya ayahmu sendiri.
Bukankah ayahmu selalu menganggap dirinya sebagai
seorang yang paling pandai di jagad ini?"
Titisari tahu, bahwa antara ayahnya dan gurunya
selalu timbul rasa saingan dalam dirinya masing-masing.
Itulah disebabkan riwayat hidupnya semenjak masa
mudanya. Mereka berdua pernah mengadu kepandaian
selama tujuh hari tujuh malam untuk memperebutkan
nama. Kedua-duanya tiada yang kalah dan menang.
"Menjelang fajar hari kemarin, aku melihat ayahmu,"
kata Gagak Seta "Ah, ya." Titisari seperti diingatkan. "Bagaimana
Paman sampai berada di sini?"
"Itulah karena surat pengumumanmu," sahut Gagak
Seta pendek. "Waktu aku lewat di daerah ini, kebetulan
aku melihat cahaya tanda bahaya di udara. Ternyata si
Dogol Jaga Saradenta yang melepaskan. Katanya dia lagi
memburu Watu Gunung. Tepat pada saat itu, aku
melihat berkelebatnya seseorang yang mengenakan
jubah abu-abu. Siapa lagi kalau bukan ayahmu. Dialah
yang merebut seorang nona kecil dari tangan Watu
Gunung." Mendengar keterangan Gagak Seta, wajah Gandarpati
berseri-seri. Dengan suara gemetaran ia menyambung.
"Ah! Kalau Gusti Adipati Surengpati sudah turun tangan
dan sudi melindungi jiwa adikku, dia pasti selamat."
"Kau begitu memikirkan bocah itu. Sebenarnya
siapakah dia?" Gagak Seta menegas.
Belum lagi Gandarpati memberi keterangan, di luar
terdengar berisiknya langkah mendatang. Gandarpati
lantas saja mencelat keluar gubuk sambil berkata, "Untuk
mengusir mereka, cukuplah dengan tenagaku seorang."
Gagak Seta tersenyum mendengar kejumawaannya. la
melemparkan pandang kepada Sangaji. Pemuda itu
nampak menjadi gugup. Itulah disebabkan ia mendengar
langkah banyak. Tatkala melongok keluar pintu, ia
melihat puluhan obor merentep seperti kunang-kunang.
Pikirnya di dalam hati, " Melawan tiga orang saja, belum
tentu aku dapat merebut kemenangan. Sekarang mereka
membawa teman-temannya."
Ia tidak bisa berbuat lain, kecuali menunggu
kedatangan mereka. Ia berharap semoga bukit ini tidak
memungkinkan ketiga utusan suci itu bisa bekerja rapi
dan secepat tadi. Ia lantas mengamat-amati sifat
jembatan batu yang menghubungkan tebing seberang-
menyeberang. Setelah itu, cepat ia memindahkan pembaringan
Titisari dan Fatimah memipit dinding belakang yang agak
sentosa. Kemudian melesat keluar gubuk mendampingi
Gagak Seta yang berdiri tegak mengawaskan kedatangan
mereka. Dalam hati ia memutuskan hendak bertempur
mengadu jiwa sendiri. Tiba-tiba mereka bersorak-sorai sambil mengacung-
acungkan obornya. Hebat perbawanya. Sekitar jurang
lantas menjadi terang benderang. Selagi demikian,
mendadak terdengar suara berdesing.
"Ah, senapan!" Sangaji terkejut. "Sebenarnya siapakah
mereka?" Gagak Seta tidak menjawab. Dengan tubuh tak
bergeming ia menatap ke bawah. Dan pada saat itu,
sekali lagi terdengar suara letupan. Kali ini bukan
senapan lagi. Tetapi suatu meriam berukuran sedang
yang jatuh meledak di samping rumah.
Sangaji jadi bingung. Pada saat itu, Gandarpati
mendekati. "Tuanku tak perlu berkecil hati. Guruku dahulu
mempunyai sebuah alat simpanan untuk menggebu
musuh yang berjumlah terlalu banyak."
"Apakah itu?" Sangaji menegas.
"Biarlah aku bekerja," Gandarpati menjawab tak
langsung. Murid Sorohpati itu, lantas lari melesat melalui
jembatan penghubung. Sampai di seberang ia lari
pontang-panting ke kiri dan ke kanan, la membungkuki
sesuatu seperti lagi memeriksa sesuatu. Ia nampak puas.
Kemudian berkata nyaring kepada Sangaji
"Tuanku! Inilah alat penggebu yang tepat. Tumpukan
batu pegunungan yang segera akan menggelundung ke
bawah." Mendengar keterangan Gandarpati, Sangaji girang.
Terus saja ia lari melintasi jembatan. "Aku akan
membantumu," katanya penuh semangat. Sekarang ia
mengerti, kata-kata kejumawaannya13) Gandarpati tadi.
Memang dengan menggelundungkan tumpukan batu-
batu dari atas tebing akan bisa mengusir beberapa puluh
musuh dengan seorang diri. Sebab jalan yang menuju ke
tebing tinggi hanya sebuah. Sempit dan licin. Dan diapit
jurang curam pula. Pada saat itu, kembali lagi mereka bersorak-sorai
dengan mengacung-acungkan obornya. Dan melihat hal
itu, terbitlah kegembiraan dalam hati Gagak Seta.
Dengan tertawa berkakakkan, ia berseru nyaring.
"Anakku! Kau tunggu saja sampai mereka berada
tepat di bawahmu. Lantas hujani dengan batu
pegunungan. Aku ingin tahu, apakah mereka bangsa
malaikat yang tak mempan kena guguran batu."
Seruan Gagak Seta yang nyaring itu, rupanya
menyadarkan mereka yang berada di depan. Mereka
lantas berhenti dengan tiba-tiba. Dan melihat mereka
berhenti, Sangaji tak sudi memberi kesempatan berpikir.
Terus saja ia memberi isyarat kepada Gandarpati agar
mulai bekerja. "Batu-batu yang diatur guru hanya dijagangi dengan
dua cagak besi sebagai penyangga," Gandarpati
menerangkan. "Sekali kita merobohkan cagak itu,
tumpukan batu di atasnya akan meluruk ke bawah."
"Bagus!" Sangaji berseru girang. "Kau atau aku yang
menggempur cagaknya?" Seperti kuda kena lecut,
') dari perkataan jumawa. Artinya: sombong berkepala besar
Gandarpati lantas saja mendepak cagak penyangga. Dan
begitu kena sentuh kakinya, cagaknya roboh. Batu yang
berada di atasnya bergoyang-goyang. Kemudian
menggelundung ke bawah. Dan batu-batu sampingan
yang agak kecilan, ikut meluruk ke bawah pula.
Hebat akibatnya gugurnya batu-batu itu. Dengan
suara bergemuruh, barisan batu menggelundung ke
bawah. Makin lama makin cepat. Dan melihat hal itu,
barisan yang berada di depan berteriak kaget.
"Mundur!" mereka berseru dan lari ber-balik.
Tetapi gerakan mundur mereka, betapa bisa
menandingi kecepatan menggelundungnya batu-batu
yang meluruk tanpa rintangan. Sebentar saja
terdengarlah suara jerit menyayatkan hati. Mereka
disapu bersih. Dilontarkan dan dilemparkan. Yang tak
sempat menyingkir, lantas saja kena gilas serata tanah.
Di antara mereka yang jatuh terbalik susun tindih,
nampaklah tiga orang berkelebat melompati kepala-
kepala mereka. Merekalah Mohe, Jahnawi dan Jinawi,
ketiga utusan suci yang sakti. Mereka bertiga merupakan
benteng teguh yang dahsyat tatkala melawan ilmu sakti
Sangaji. Tetapi menghadapi barisan batu, mereka mati
kutu. Syukur, mereka dapat bergerak cepat. Tubuhnya
ringan pula. Dan dengan mengandalkan kecepatan itu,
mereka berhasil menyelamatkan diri dengan
mengorbankan teman-temannya.
"Sayang! Sayang! Sayang!" kata Gagak Seta nyaring.
"Mestinya mereka pantas kena giling...."
Selama hidupnya baru untuk pertama kali itu Sangaji
menggunakan batu untuk mengusir musuh. Ia mengerti
betapa hebat akibatnya, tetapi tak pernah mengira
bahwa dahsyatnya melebihi gambaran pikirannya.
"Gandarpati, sudahlah!" perintahnya.
Untuk mengusir mereka tadi, Gandarpati baru
melepaskan dua tumpukan batu. Walaupun demikian,
kedahsyatannya sudah cukup untuk menghadapi mereka.
Maklumlah, tiap tumpukan berisi lima batu besar dan
ratusan batu-batu kecil sebesar kepala. Bisa dibayangkan
betapa hebat perbawanya, sewaktu meluruk berguguran
ke bawah. Seperti dilontarkan, batu-batu itu
menggelundung melalui jalan berbatu yang licin. Setelah
melindas semua rintangan yang berada di depan, terus
melompat ke dalam jurang pada tikungan pertama.
Coba, seumpama jalan tiada tikungan, korban yang akan
terjadi akan berjumlah berlipat ganda.
Ketiga utusan suci yang berhasil menyelamatkan diri,
sebenarnya tertolong berkat tikungan jalan yang
bertebing tinggi. Tebing tinggi itulah yang merupakan
benteng perlindungan yang tak terusik. Setelah mengua-
sai ketenangannya, mereka segera memberi perintah


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengundurkan diri. "Padamkan obor!" teriak Mohe dengan menggerung
dahsyat. "Biarlah malam ini kita beri mereka kesempatan
menyenak napas...." Gagak Seta adalah seorang pendekar yang sedikit
banyak berwatak setengah liar. Melihat mundurnya
ketiga utusan, ia lantas berteriak nyaring sambil tertawa
berkakak-kan. "Hai, Jahe...! Kenapa lari ngacir14) Hayo,
14) ngacir = berbirit-birit
tongolkan kepalamu! Aku ingin melihat apakah kalian
masih bisa mengumbar mulutmu yang besar..."
Mohe menggerung dan memaki-maki tak jelas dari
bawah bukit. Dan mendengar makian itu, suara tertawa
Gagak Seta bertambah riuh.
"Paman!" tiba-tiba terdengar suara merdu. "Malam ini,
mereka takkan mengusik. Esok pun mereka belum tentu
berani mencoba-coba mengadu untung. Mari kita
beristirahat." Gagak Seta menoleh. Ia melihat Titisari berdiri dengan
bersandar pada tiang pintu. Putri Adipati Surengpati itu,
tak tahan berada di atas pembaringan, begitu
mendengar suara hiruk-pikuk menggelundungnya batu-
batu. Tanpa memedulikan luka yang sedang dideritanya,
ia turun dari pembaringan dan sempat menyaksikan
adegan terakhir tadi. "Kau puas tidak?" sahut Gagak Seta.
Titisari tersenyum. Pandangnya berseri-seri. Sebagai
anak Adipati Surengpati yang terkenal ganas ibarat
harimau, ia mewarisi sedikit banyak ayahnya, la bisa
merasakan kegembiraan hati Gagak Seta seperti ke-
gembiraan hatinya sendiri.
Sebaliknya Sangaji yang berhati mulia, mempunyai
kesan sendiri terhadap peristiwa yang berlaku di
bawahnya. Alangkah cepat kejadian itu. Begitu
sederhana. Batu digelundungkan. Lantas semuanya
lenyap. Dilindas atau dilontarkan ke dalam jurang. Dan
semuanya itu manusia"tak beda dengan dirinya sendiri.
Itulah sebabnya, ia segera memberi perintah
menghentikan menggelundungkan batu.
Kala itu, alam kembali gelap. Bulan di atas mulai
suram. Udara hanya dipenuhi bintang-bintang yang
bergetar lembut. Dengan sedikit menundukkan kepala,
Sangaji melintasi jembatan batu, Gandarpati
mengiringkan beberapa langkah di belakangnya. Murid
Sorohpati ini nampak puas luar biasa. Bukankah jasa itu
berada padanya" "Titisari! Kenapa kau turun dari pembaringan?" Sangaji
menegur isterinya dengan kata-kata halus.
"Kenapa?" "Lukamu." "Memang lukaku kenapa?" sahut Titisari nakal.
"Aku dapat berdiri tegak. Artinya lukaku tidak
seberapa. Kau tak perlu khawatir."
Sangaji tertawa syukur. Lalu menoleh kepada Gagak
Seta. "Guru, sebenarnya mereka ini rombongan dari
mana" Mereka memiliki senapan dan meriam."
Gagak Seta tertawa. "Semenjak kanak kanak kau
bergaul dengan kompeni. Kemudian para pendekar.
Sekarang memimpin kancah perjuangan laskar Jawa
Barat. Siapa lagi yang memiliki senjata begitu, kecuali
Kompeni Belanda?" "Inggris, maksud Guru?" Sangaji menegas. .
"Belanda," jawab Gagak Seta.
Sangaji heran. Dewasa itu yang memegang
pemerintahan di Jakarta adalah Gubernur Raffles.
Pemerintah Belanda sudah tiada lagi. Maka heranlah ia,
apa sebab gurunya menyebut Kompeni Belanda. Mene-
gas. "Kompeni Belanda masakan masih berkeliaran di sini?"
Gagak Seta tertawa. "Isterimu menyuruh kita
beristirahat dahulu. Mari kita gunakan kesempatan ini
untuk memulihkan tenaga. Tentang Kompeni Belanda
berada di belakang mereka, nanti kujelaskan dengan per-
lahan-lahan...." Menuruti kata hati, sebenarnya ingin memperoleh
penjelasan dengan segera. Banyaklah kejadian-kejadian
yang masih merupakan teka-teki besar baginya. Seperti:
siapakah Sirtupelaheli" Mengapa puteri itu mengenakan
kedok" Mengapa gurunya bersikap segan terhadapnya"
Apakah hubungannya antara Fatimah dan Sirtupelaheli"
Dan apa sebab tiba-tiba Fatimah hendak dibunuhnya"
Siapa sebenarnya ketiga utusan suci itu yang ternyata
kini mendapat dukungan Kompeni Belanda" Untunglah,
dia seorang pemuda yang berhati sabar. Maka ia bisa
menahan gejolak hatinya. "Mari kudukung!" katanya mengalihkan perhatiannya
sendiri kepada Titisari. Titisari tersenyum senang, la tak menolak tatkala
Sangaji memeluk pinggangnya dan mendukungnya ke
pembaringan. Gagak Seta yang berada d belakangnya,
tertawa senang. Katanya menjahili, "Hai anak iblis" Kalau
ayahmu melihat engkau kena didukung oleh pemuda
tolol itu, ingin aku melihat tampangnya."
"Memangnya kenapa, Paman?" sahut Titisari cepat.
"Bukankah muridmu kini suamiku?"
"Benar. Tetapi aku si orang tua jadi dengki dan iri hati.
Baiklah. Aku berjanji hendak mencari seorang pengemis
perempuan yang gagah biar bisa mendukung-dukung
aku. Kalau aku sampai kena didukung seorang perempuan
ketat, bukankah ayahmu jadi jelus juga?"
Titisari dan Sangaji tertawa mendengar kata-kata
Gagak Seta. Mereka kenal adat gurunya yang liar dan
senang berkelakar. Sebaliknya, Gandarpati tak berani
mengumbar bibirnya, la takut kena salah. Syukur, ia
seorang pendiam. Maka dapatlah ia menguasai diri.
"Hai, anak iblis!" kata Gagak Seta lagi kepada Titisari.
"Sebenarnya ingin aku mendengar alasanmu apa sebab
kau menggunakan jurus nekat-nekatan untuk menolong
si Tolol" Sebelum tidur, cobalah dengarkan dugaanku.
Jurusmu yang pertama bukankah kau ambil dari salah
satu jurus ilmu sakti Witaradya gubahan ayahmu sendiri"
Itulah pukulan liar yang berintikan mati bersama, dengan
lawan. Ayahmu seorang siluman. Meskipun begitu, belum
pernah aku melihat dia teringat kepada jurus edan itu.
Mengapa kau lebih edan dari ayahmu" Yang kedua,
bukahkah salah satu jurus bunuh diri dari Banten" Kukira
engkau memperoleh jurus itu dalam perantauanmu ke
Jawa Barat kala mencari Sangaji. Bukankah begitu" Dan
yang ketiga, hm... hm... darimana kau peroleh jurus
terkutuk itu?" Titisari terkejut. Ia tak pernah menduga, bahwa
dengan sekali melihat saja gurunya mengenal jurus-jurus
tersebut yang mungkin takkan nampak di depan umum
dalam waktu sepuluh tahun untuk satu kali saja. Sebab
jurus itu hanya muncul bilamana keadaan sudah sangat
memaksa. "Guru menebak kedua jurus dengan tepat" katanya.
"Yang ketiga adalah ciptaanku sendiri. Inilah jurus yang
kupersiapkan untuk menghadapi Sangaji. Aku kalah jauh
dengan dia. Aku tahu, dia takkan menyakiti aku. Pastilah
dia akan memelukku dari belakang. Dan pada saat itu,
aku menikam diriku dalam-dalam sampai ujung pedang
menikam dada Sangaji yang memelukku rapat-rapat.
Dengan begitu, bukankah aku dan dia bakal berangkat
ke dunia lain dengan berbareng."
Menggeridik bulu roma Sangaji mendengar keterangan
isterinya. Itulah jurus bunuh diri dengan berbareng,
apabila dirinya benar-benar mengawini Sonny de Hoop.
Syukur, ia tak jadi kawin. Dan jurus terkutuk itu sendiri,
membuktikan batapa besar cinta kasih isterinya
kepadanya. Dan memperoleh kesan demikian, ia lantas
memeluk isterinya rapat-rapat.
Gagak Seta tertawa terbahak-bahak. "Dasar kau anak
siluman! Tapi mengapa kini kau gunakan dalam
menghadapi ketiga utusan itu?"
"Karena aku tak rela Sangaji kena dikalahkan. Aku
melihat tidak sungguh-sungguh melayani mereka," sahut
Titisari tegas. "Tak bersungguh-sunguh?" Gagak Seta tercengang.
"Apa maksudmu?"
"Bukankah dia hanya menggunakan tenaga saktinya
tujuh bagian saja" Kalau aku kena dibunuh mereka, aku
percaya dia akan menentukan dendamku."
Gagak Seta terkejut mendengar keterangan itu. Ia
memang tahu, muridnya seorang pemuda yang berhati
mulia. Dalam menghadapi musuh betapa jahat pun, tak
pernah terlintas di ingatannya untuk membunuhnya.
Sebenarnya ini suatu kelemahan yang akan digunakan
oleh musuh-musuhnya yang cerdik. Sebaliknya,
keputusan Titisari hanya bisa terjadi dalam diri seorang
siluman belaka. Memperoleh pertimbangan itu, ia meng-
hela napas. Dan ia tak berkata-kata lagi.
Menjelang tengah malam, keadaan alam berubah.
Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Turunnya hujan,
membuat hati mereka kian tenteram. Setelah
memperoleh pengalaman pahit, pastilah laskar Utusan
Suci tak berani mengulangi perbuatannya dengan
mencoba-coba mengepung buruannya dekat dekat.
Yakin akan hal itu, mereka lantas tidur dengan nyenyak.
Kira-kira mendekati fajar hari, Gagak Seta yang
berusia lanjut tersadar lebih dahulu dari tidurnya. Kala
itu, hujan telah reda. Dengan penuh kasih, ia
mendengarkan suara napas keempat orang yang saling
menyahut seakan-akan sedang berlomba. Napas Fatimah
terdengar agak sesak. Napas Titisari perlahan dan
panjang. Napas Gandarpati pendek-pendek penuh
kekuatan. Dan yang luar biasa adalah suara napas
Sangaji. Suara napasnya terdengar seperti terputus dan
bersambung. Antara ada dan tiada.
Dan mendengar napas Sangaji, bukan main rasa
kagumnya Gagak Seta. Dia adalah seorang pendekar
besar yang jarang menemukan tandingan. Beberapa
manusia yang dikenalnya, tidaklah terhitung lagi jum-
lahnya. Tetapi mendengar napas Sangaji yang luar biasa
itu, berkatalah dia di dalam hati. "Benar-benar hebat ilmu
warisan yang diperolehnya. Pantaslah orang-orang berani
mengadu jiwa untuk mendapatkannya."
Napas Fatimah pun lambat laun berubah aneh pula.
Mula-mula sesak karena lukanya yang parah. Kemudian
berubah sangat cepat dan perlahan. Itulah suatu tanda,
bahwa gadis itu telah memiliki ilmu sakti yang bersifat
luar biasa. "Aneh," pikirnya heran. "Apakah dia diam-diam
memperoleh semacam kesaktian di luar pengetahuan
Kyai Kasan Kesambi?"
Gagak Seta tahu, gadis itu murid Suryaningrat dan
Suryaningrat adalah murid Kyai Kasan Kesambi kelima.
Dengan sendirinya, macam ilmu sakti yang diajarkan
kepada Fatimah pastilah sealiran pula. Apa sebab, gadis
itu memiliki tata napas yang jauh berlainan dengan anak-
anak murid Kyai Kasan Kesambi "
Tiba-tiba suatu ingatan berkelebat dalam benak Gagak
Seta. Tak terasa terloncatlah perkataannya: "Ah! Apakah
dia..." Pada saat itu, mendadak Fatimah membentak-bentak:
"Sangaji! Kau memang anak setan cilik! Kau bilang mau
membawa isterimu kepadaku. Tapi sekian lamanya aku
menunggu, kau tak pernah muncul. Kalau tahu begini,
siang-siang aku harus meracunimu..."
Sangaji, Titisari dan Gandarpati tersadar dari
impiannya begitu mendengar suara bentakan. Dengan
berbareng mereka menoleh.
"Sangaji!" bentak Fatimah. "Kau memang anak tolol!
Tapi untungmu besar. Kau tahu, aku hidup sebatang
kara dalam benteng batu. Mengapa engkau cepat-cepat
pergi, begitu bertemu dengan gadis pilihanmu".... Gadis
pilihanmu itu memang cantik luar biasa. Tapi mengapa
engkau hendak kawin dengan anak seorang Kompeni
Belanda. Dasar kau anak setan! Seumpama aku jadi
Titisari, kau sudah kupotong-potong menjadi dua puluh
tujuh bagian... Kau... Kau..."
Sangaji menghampiri dan meraba pipinya. Bukan main
panasnya. Tak ubah bara menyala. Maka tahulah dia,
bahwa Fatimah mengigau karena pengaruh suhu
badannya. Setelah bergaul dengan Manik Angkeran, ia
mengerti ilmu ketabiban. Tapi pada saat itu, ia tidak
membawa ramuan obat dalam. Satu-satunya jalan yang
dapat dikerjakan, hanyalah merobek ujung bajunya dan
dicelupkan ke dalam kubang air. Kemudian meletakkan di
atas dahi Fatimah sebagai kompres.
Kena dingin air, tetap saja Fatimah mengigau. Bahkan
makin hebat. Ia berteriak-teriak tak keruan. Jeritnya:
"Kakak.... Kakak... Kak Wirapati! Mengapa engkau
meninggalkan kami" Ayah Bunda mati karena memi-
kirkan engkau... Hm! Bukankah kau pergi ke barat
lantaran bocah bau itu?"
Terharu hati Sangaji mendengar bunyi igauan
Fatimah. Ia tahu siapakah yang dimaksudkan dengan
bocah bau. Itulah dia sendiri. Seperti diketahui,
gurunya"Wira-pati dan Jaga Saradenta bertaruh dengan
Ki Hajar Karangpandan. Selama dua belas tahun,
Wirapati harus bisa menemukan Sangaji dan Ki Hajar
Karangpandan menemukan Sanjaya. Mereka bertiga
harus mengasuh anak didiknya masing-masing untuk
diadu kepandaiannya setelah selang dua belas tahun.
Karena pertaruhan itu, Wirapati tak berkesempatan
berpamit. Ia pergi tanpa kabar selama dua belas tahun.
Dan teringat akan hal itu, bukan main gejolak hati
Sangaji. Ia merasa diri berhutang budi setinggi gunung.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Fatimah! Kakakmu sangat besar budinya kepadaku,"
kata Sangaji. "Untuk membalas budinya, aku bersedia
melakukan apa saja."
Tentu saja, Fatimah yang berada di bawah sadar tak
dapat dibuatnya mengerti. Setelah mengucapkan
beberapa patah perkataan yang sukar ditangkap,
terdengarlah kata-katanya yang agak terang.
"Sangaji...Kau ini memang membuat aku susah saja.
Coba kau tak berada di dalam bentengku, pastilah aku
tidak bakal terseret-seret dalam peristiwa ini. Semua
orang lantas tahu, bahwa kau telah menemukan
semacam ilmu sakti terhebat dalam dunia ini, berkat
mengeram di bentengku. Untuk mencoba-coba
mencarimu, mereka tak berani. Lalu akulah yang menjadi
kambing hitamnya.... Aku ditawan.... Disiksa.... lantaran
mereka yakin, aku mengerti tentang bunyi-bunyi bait
ilmu saktimu. Untunglah aku ditolong Bibi Sirtupelaheli.
Kau tahu siapa dia" Dialah adik Ratu Mangkarawati....
Kabarnya dia puteri Bupati Pacitan."
Sangaji menoleh kepada Gagak Seta. Orang tua itu
mengangguk membenarkan. Dan ia jadi tertarik. Segera
ia menatap wajah Fatimah kembali. Tetapi gadis itu, tiba-
tiba membungkam. Ia tak berkata-kata lagi. Wajahnya
nampak mengharukan. Dan melihat wajah demikian,
Sangaji yang berperasaan halus tergetar hatinya. Tak
dikehendaki sendiri ia menghela napas. Berkata kepada
Titisari: "Bagaimana pendapatmu!"
Puteri Adipati Surengpati itu mengkerutkan keningnya.
Sejenak kemudian menjawab: "Bibi kita ini, rupanya
menderita sengsara begitu berpisah dengan kita. Hanya
sayang, kata-katanya belum begitu jelas untuk
dimengerti." Sangaji mengangguk. Pada saat itu, mendadak
Fatimah menjerit tinggi. Lalu berteriak: "Mengapa kau
memaksa aku meneguk minuman ini" Bukankah ini
mengandung racun"... Oh Bibi, jangan kau berkata bu-
kan-bukan. Pangeran Ontowiryo adalah suami
saudaraku, Retnaningsih. Mengapa kau menuduh aku
hendak merebut suaminya" Aku ini anak apa".... Tidak,
bukan itu yang kau maksudkan. Kau hanya meng-
inginkan benda itu pula. Ah, kau pun akhirnya seperti
yang lain-lain.... Sangaji! Sangaji! Tolong! Tolong aku.
Aku harus meneguk minuman ini. Tolong... aku takut...."
"Fatimah! Fatimah! Jangan takut! Aku berada
disampingmu " seru Sangaji dengan hati tersayat-sayat.
"Sangaji " bisik Fatimah. "Kau merantau ke Jawa
Barat. Apakah kau bertemu dengan tunanganku, Manik
Angkeran" Bilang padanya, bahwa racun yang mengeram dalam
diriku makin lama makin parah.
Kalau dia belum berhasil juga menemukan obat
pemunahnya... sudahlah. Suruhlah dia pulang menemui
aku.... Dan aku akan mati meram...."
Sangaji terkejut. Minum racun" Ia menoleh kepada
Gagak Seta dan Titisari untuk memperoleh pendapatnya.
Kedua-duanya ternyata membungkam mulut.
"Baiklah kukatakan kepadamu...." bisik Fatimah. "Aku
pernah didatangi seorang yang mengaku bernama
Dipajaya. Dialah yang mengajarkan aku semacam ilmu
sakti. Untuk bisa mewarisi ilmu saktinya, aku diwajibkan
minum obat ramuannya Manik Angkeran bilang, itulah
racun. Tapi ia tak bisa menyembuhkan. Lantaran itu, ia
minggat lagi entah kemana. Dia bilang mau balik kembali
setelah dapat memunahkan racun jahat yang mengeram
dalam diriku. Baiklah, hal tu bisa dimengerti. Tapi
mengapa engkau yang sudah memiliki ilmu sakti, tidak
sudi menolong aku" Iddiih... bukankah engkau sudah
memakan habis dua ekor ayamku15) Kau ini memang
anak setan!" Setelah berbisik demikian, ia lalu bersenandung. Jernih
suaranya. Di atas bukit dalam alam kelam, suara
senandung itu terasa meraba-raba perasaan.
kalau maut tiba nanti siapakah, yang sanggup
melarikan diri maka nikmatilah, hari-hari bahagiamu
kalau bisa seratus dua ratus tahun sekiranya engkau
telah pergi kemanakah tujuanmu"sayang kau pergi
laksana angin tanpa bekas tanpa tujuan danaku...
siapakah lagi yang bakal menjadi temanku menunggu
hari-hari maut tiba ah, sayang...
semuanya bakal pergi satu demi satu
dan aku bakal kesepian bakal pergi ke tempatmu juga Ia mengulangi senandung itu berulang kali. Makin
lama makin perlahan. Dan akhirnya bibirnya tak bergerak
15) Sewaktu Sangaji teriuka parah, ia membawakan dua ekor
ayam. Baca Bende Mataram jilid 9.
lagi. Dan napasnya yang sebentar cepat dan sebentar
perlahan, mulai terdengar kembali.
Mereka yang mendengar bunyi senandung Fatimah
diam dengan merenung-renung. Memang benar semua
orang yang pernah dilahirkan akan pergi entah kemana.
Tak peduli ia seorang gagah, sakti, mulia atau jahat.
Kemana mereka bakal pergi, siapakah dapat
menjawabnya. Semuanya tak bakal diketahuinya seperti
darimana mereka tadinya tiba di dunia.
Sangaji merenungi Fatimah sebentar. Kemudian balik
ke pembaringan memeriksa pergelangan tangan Titisari.
Ia bersyukur, karena ketegaran tubuh isterinya tidak
terganggu lagi. Sekonyong-konyong di kesunyian itu, Gagak Seta
berkata: "Ah, benar. Aku sudah mengira. Jadi dia masih hidup?"
"Siapa?" Titisari minta keterangan.
"Dipajaya. Siapa lagi?"
"Siapakah Dipajaya?"
Gagak Seta menghela napas. "Itulah berhubungan
dengan Sirtupelaheli. Senandung yang dinyanyikan
Fatimah adalah ajarannya. Beberapa puluh tahun yang
lalu, pernah aku mendengar Sirtupelaheli menyanyikan
senandung itu. Hai! Sama sekali tak kusangka,
Sirtupelaheli bisa berlaku sangat kejam terhadap anak
ini." "Paman," kata Titisari. "Kau belum memberi
keterangan, siapakah orang yang bernama Dipajaya. Kau
malah menghubung-hubungkan dengan Nenek
Sirtupelaheli. Kemudian Fatimah. Mengapa Paman mem-
beri keterangan terpotong-potong?"
"Kau ini memang anak siluman! Selamanya kau
memaksa aku." Gagak Seta meng-gerendeng. "Tapi
mengingat ayahmu, biarlah kujelaskan. Apakah kau tak
dapat menduga bahwa ketiga orang itu berhubungan
pula dengan datangnya mereka bertiga yang
menamakan diri Utusan Suci?"
Mendengar ucapan Gagak Seta, baik Sangaji maupun
Titisari terkejut. Serentak mereka berkata menegas:
"Mempunyai hubungan dengan ketiga Utusan Suci?"
Gagak Seta tertawa melalui dadanya. Kemudian
berkata menerangkan: "Kamu tahu darimanakah aku
datang" Aku ini anak Jawa Timur. Sirtupelaheli anak
Jawa Timur. Dipajaya pun anak Jawa Timur. Umur kami
bertiga hampir sebaya. Sebenarnya aku lebih tua
daripada Sirtupelaheli. Tetapi aku membiarkan diriku
dipanggil adik. Hal ini ada sebab-musababnya. Begini... "
Sampai di sini Gagak Seta nampak ragu-ragu. Sangaji
dan Titisari kenal watak serta tabiatnya. Mereka tidak
berani terlalu mendesak. Kalau ingin memperoleh apa
yang dikehendaki, mereka harus berani menunggu
kerelaan hatinya. Kalau Gagak Seta tak ingin berbicara,
siapa pun tak dapat memaksanya. Sebaliknya kalau
senang mengumbar mulut, orang akan dipaksanya untuk
mendengarkan omongannya. Pada waktu itu, fajar hari telah menyingsing. Hawa
pegunungan yang segar dingin mulai menggerayangi
kulit dan tulang. Gntung mereka yang berada dalam
gubuk itu adalah manusia-manusia kuat. Mereka tak
terpengaruh oleh hawa betapa dingin pun. Secara wajar,
ilmu saktinya melindungi tubuhnya.
Fatimah tiada terdengar suaranya. Gandarpati yang
berada di dekat pintu tetap membungkam mulut seperti
sikapnya semalam. Ia lagi dirundung malang, karena
ditinggalkan gurunya untuk selama-lamanya. Tetapi
berada di tengah mereka hatinya terhibur. Apalagi dia
tadi mendengar kabar, bahwa Astika telah diselamatkan
Adipati Surengpati. Kegelisahan hatinya sirna sebagian.
"Baiklah kumulai saja siapakah sebenarnya mereka
yang menamakan diri Utusan Suci." Gagak Seta tiba-tiba
membuka mulutnya lagi. "Itulah sebuah aliran suatu
kepercayaan. Suatu kepercayaan, bahwa mereka yang
bernaung di bawah panji-panji alirannya menganggap
diri sebagai pembina kedamaian dunia. Terjadinya
kepercayaanitu, lantaran sejarah leluhurnya. Ceritanya
begini: Alkisah pada zaman Raja jayanegara bertahta di
Majapahit, terdapatlah seorang guru besar bernama:
Empu Suradharma. Dia mempunyai lima orang murid
terkemuka. Gajah Mada, Purusyadasyanta yang kelak
terkenal dengan nama Empu Kapakisan, Prapanca,
Kertayasya dan Brahmaraja.
Prapancha mengutamakan ilmu sastra. Dikemudian
hari ia menjadi pujangga istana yang meninggalkan
warisan sastera sangat banyak. Tapi sejarah hanya
menemukan sebuah karyanya, ialah:
Negarakertagama.16) Kertayasya dan Brahmaraja
menjadi pujangga pula, tetapi lebih mengutamakan pada
ilmu keprajuritan dan ketuhanan. Mereka berdua menjadi
4) Diketemukan di Lombok pada tahun 1904
pendeta pada hari tuanya dan membuka suatu
perguruan dengan pahamnya masing-masing.
Sebaliknya, Gajah Mada lebih mengutamakan pada
soal-soal tata negara dan ilmu negara. Sedangkan
Purusyadasyanta unggul dalam hal ilmu kawiryan.17)
Mereka berlima bersahabat erat, malahan dikemudian
hari bersumpah seia-sekata untuk sama-sama suka dan
duka. Setelah turun dari rumah perguruan, Gajah Madalah
yang paling beruntung. Ia menjadi Mantrimukya18) Raja
Hayam Wuruk. Waktu keempat sahabatnya datang
bukan main girangnya. Segera ia memohon kepada Raja,
agar Prapancha, Kertayasya dan Brahmaraja diangkat
menjadi pujangga-pujangga istana.
Mereka semua menerima pengangkatan itu dengan
gembira. Sebaliknya Purusyada-syanta malahan
menghilang dalam perjalanan ke istana. Gajah Mada
menyesal dan kecewa bukan main. Namun ia tak dapat
menghalang-halangi atau mencoba mencari kembali
sahabatnya seorang itu. Ternyata Purusyadasyanta sudah semenjak lama
mendirikan suatu padepokan di atas Gunung Kapakisan.
Dan selanjutnya ia menyebut diri sebagai Empu
Kapakisan. Di dalam padepokannya itu ia menggubah
bermacam-macam ilmu kepandaian yang ditulisnya pada
dinding gua. Di antara gubahannya terdapat ilmu sakti
bernama Witaradya. Itulah ilmu sakti kebanggaan Adipati
Su-rengpati. Bukankah begitu?"
17) Kesaktian 18) Perdana Menteri Titisari tercengang. Hatinya begitu tertarik sampai ia
terbangun dari pembaringan.
Namun tak berani ia membuka mulut, lantaran takut
memotong cerita Gagak Seta. Diluar dugaan Gagak Seta
menegas padanya. "Bukankah begitu?"
"Benar." Titisari lantas menyahut.
Gagak Seta tertawa menang.
"Ayahmu mengira, bahwa catatan Witara-dya yang
ada padanya dikiranya tiada lagi keduanya di jagad ini.
Karena itu, ayahmu menganggap ilmu sakti Witaradya
melebihi jiwanya sendiri. Sewaktu kehilangan sebagian ia
sampai menyiksa berpuluh-puluh orang yang tidak
berdosa. Malahan suamimu hampir-hampir dituduh
mencuri naskah catatannya. Untung, waktu itu aku hadir
di sana. Kalau tidak, suamimu sekarang ini bakal cacat
jasmaninya selama hidupnya.19)
Teringat pengalaman itu, Sangaji bergidik. Memang
hebat tuduhan Adipati Surengpati kala itu. Apalagi ia
kena dibakar Kebo Ba-ngah. Untung, Gagak Seta
berpihak padanya. Dengan gagah orang tua itu
mempertahankan dirinya. Tak tahunya, dia pun se-
sungguhnya mengerti tentang latar belakang ilmu sakti
Witaradya. Maka tak mengherankan, ia bisa melawan
kesaktian Adipati Surengpati. Sampai pun ia mengenal, jurus bunuh diri
ilmu sakti Witaradya yang diperlihatkan Titisari semalam.
19) baca Beride Mataram jilid 8
"Kalau ayahmu dahulu tidak terlalu besar kepala, aku
akan menunjukkan dimanakah dia bisa memperoleh
catatan ilmu sakti Witaradya," kata Gagak Seta lagi.
"Dimana?" terloncat pertanyaan Titisari.
"Tentu saja di gua Kapakisan," jawab Gagak Seta.
"Pada dinding gua sebelah dalam, Empu Kapakisan
meninggalkan warisannya. Tapi di luar dugaan, terjadilah
suatu keajaiban, seseorang yang menamakan diri Lawa
ljo menulis pula sebuah warisan ilmu sakti. Katanya,
itulah ilmu sakti yang dapat menindas Witaradya."
Mendengar Gagak Seta menyebut nama Lawa ljo,
paras Sangaji berubah menjadi pucat. Ingatlah dia
pengalamannya dahulu tatkala seorang tinggi besar yang
mengaku bernama Patih Lawa ljo merampas kedua
pusaka sakti warisan Pangeran Semono dari tangannya.
Sayang. Kejadian itu hanya dia seorang yang mengalami.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tak dapat membawa persoalan itu kepada orang
lain.20) "Paman!" potong Titisari. "Paman sudah mengetahui
belaka dimanakah rahasia ilmu sakti Witaradya
tersimpan. Apa sebab Paman tak mau menekuni sendiri?"
"Buat apa" Ayahmu sudah memiliki ilmu sakti
tersebut. Masakan aku sudi berebutan" Lagipula, apakah
di dunia ini hanya Witaradya yang dapat menjagoi" Hm,
hm!" Gagak Seta mendengus.
Titisari tak berani menarik panjang lagi. la kenal watak
gurunya itu. Sekali tersinggung kehormatannya,
semuanya bisa buyar di tengah jalan. Ia mencoba
mengerti, bahwa hal itu terjadi karena alasannya
') Baca Bende Mataram jilid 15
kehormatan diri. Baik ayahnya maupun gurunya ini
adalah dua pendekar yang berkepala besar, angkuh dan
tinggi hati. Tak sudi mereka mencuri ilmu sakti orang lain
untuk merebut suatu kemenangan. Mereka tahu, bahwa
semua, ilmu sakti di dunia adalah baik dan sempurna.
Tinggi rendahnya hanya ditentukan oleh bakat yang
mempelajari. "Semenjak kejadian itu, dinding gua Kapakisan lantas
menjadi medan pertarungan mengadu pengetahuan ilmu
sakti." Gagak Seta melanjutkan. "Sebab seorang sakti
lain meninggalkan corat-coret. Ilmu saktinya bernama
Brahmasakti. Penulisnya bernama Empu Brahmacarya.
Dan ilmu sakti ini kena tindih ilmu sakti Brahcarya.
Kemudian muncul lagi ilmu sakti Garuda Winata,
Witaradya Sandhy Yadi-putera, Panca Yoga, Panca
Kumara dan lain-lainnya. Anak keturunan Empu
Kapakisan dikemudi-an hari mengira, bahwa corat-coret
ilmu sakti yang terdapat pada dinding goa Kapakisan
diperkirakan buah tangan beberapa orang sakti saudara
seperguruan Empu Kapakisan.
Prapanca, Brahmaraja, Kertayasya dan dengan
sendirinya Gajah Mada. Tetapi yang mencemaskan anak-
keturunan Empu Kapakisan adalah buah peninggalan
orang sakti yang manamakan diri Lawa ljo. Ternyata ilmu
saktinya benar-benar hebat dan kuasa menindih lainnya.
Hanya saja sangat sukar dipelajari. Karena takut kena
dipelajari orang luar, maka anak keturunan Empu
Kapakisan memindahkan corat-coret ilmu saktinya pada
tiga pusaka tanah Jawa. Itulah Jala Karawelang, keris
Kyai Tunggul-manik dan Bende Mataram." Sampai disini
Gagak Seta berdiri. Dan dengan mata berkilat-kilat ia
memandang Sangaji. Wajahnya membayangkan suatu
rasa syukur tiada taranya.
"Apakah Paman mau berkata, bahwa ilmu sakti yang
diwarisi Sangaji merupakan ilmu sakti tertingi di dunia?"
Titisari minta ketegasan.
"Kalau tidak, masakan aku sudi mengalah?" jawab
Gagak Seta. "Paman mengenal sejarah itu. Apa sebab tidak
mempelajari ilmu sakti warisan Patih Lawa ljo?"
"Pertama-tama, ilmu sakti itu sudah dipindah ke dalam
tiga benda pusaka. Pada dinding gua Kapakisan, tiada
lagi bekasnya. Lagipula setelah melampaui masa
berabad-, abad, terdengarnya seperti dongeng." Gagak
Seta memberikan alasannya. "Kedua, masakan mudah
orang mempelajarinya. Sebab orang itu harus bisa
melebur dan manunggalkan tiga sumber sakti lainnya.
Rangsang naluriah manusia, pengendapan naluriah per-
tahanan jenis dan tenaga gaib yang tersekap dalam tiap
insan. Sangaji memperoleh ilmu Kumayan Jati dariku.
Kumayan Jati bersifat menyerang. Itulah seumpama
rangsang kodrat manusia. Kemudian Bayu Sejati dari Ki
Tunjungbiru. Sifatnya bertahan. Itulah pengendapan
naluriah pertahanan jenis. Dan secara kebetulan ia
menghisap getah sakti De-wadaru yang mempunyai
tenaga gaib seumpama mantram sakti yang aneh luar
biasa. Setelah kena cekik pendekar Bagas
Wilatikta,ketiga unsur ilmu sakti itu melebur diri dan
manunggal.21) Dan kemudian berkat kecerdasanmu,
Sangaji menekuni ilmu sakti warisan Patih Lawa ljo yang
5) Baca Bende Mataram jilid 9 halaman 85
berada pada benda sakti pusaka Pangeran Semono pada
zaman dahulu. Coba ia mempelajari pula rahasia yang
terukir pada pusaka Bende Mataram... Ah, di dunia ini
siapakah yang dapat melawannya" Sebaliknya, justru ia
tidak mempelajari rahasia yang terdapat pada pusaka
Bende Mataram, ia kini bisa dibikin susah oleh
keragaman ilmu sakti ketiga Utusan Suci. Bukankah
ketiga Utusan Suci bersenjata belahan benda yang
bentuknya mirip sebuah bende. Meskipun benda itu pasti
bukan pusaka Bende Mataram yang pernah dimiliki
Sangaji, tetapi setidak-tidaknya mempunyai tenaga sakti
yang aneh luar biasa sifatnya...."
Mendengar keterangan Gagak Seta, Titisari nampak
berenung-renung. la melupakan rasa nyerinya.
Sebaliknya ia menatap wajah Sangaji untuk mencari
kesan. Tetapi Sangaji tiada terpengaruh sesuatu.
Katanya dengan suara rendah.
"Bahwasanya aku dapat mewarisi ilmu sakti tersebut,
sudahlah merupakan suatu karunia besar. Aku
menghendaki apa lagi?"
Gagak Seta tertawa perlahan. Bukan main kagumnya
terhadap kemuliaan dan kesederhanaan hati muridnya
itu. la bersyukur bukan kepalang memperoleh murid
demikian. Kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Peristiwa yang terjadi di gua Kapakisan itu, dianggap
sebagai suatu peringatan bagi anak-murid atau anak
keturunan Empu Kapakisan dikemudian hari. Lima
saudara-seperguruan yang seia-sekata akhirnya dengan
diam-diam mengadu ilmu kepandaiannya. Meskipun
mereka tidak pernah saling bertempur, tetapi dengan
memperlihatkan ilmu kepandaiannya masing-masing
bukankah berarti sudah saling bentrok" Maka adanya
warisan ilmu sakti di dinding gua Kapakisan, dianggapnya
sebagai sumber perpecahan. Dibelakang hari, istilah
sumber perpecahan, berubah menjadi sumber
malapetaka. Maka kebajikan tiap murid aliran Kapakisan
diwajibkan mengumpulkan semua keragaman ilmu
berkelahi di seluruh negara sebagai pembantu
menyirnakan malapetaka dunia."
"Mengapa begitu?" potong Titisari. "Setelah
melampaui masa berabad-abad, pandangan hidup aliran
Kapakisan berubah dari sikap ksatria menjadi sikap
kebrahman-an," jawab Gagak Seta. "Mereka berpaham,
bahwa yang membuat malapetaka dunia ini ialah: adanya
ksatria. Karena seorang ksatria mempelajari ilmu
kawiryan, mereka saling bertempur, saling membunuh,
saling bentrok, saling mengagulkan diri dan akhirnya
saling fitnah-memfitnah. Karena itu, untuk menggalang
kedamaian dunia, mereka harus meniadakan ksatria-
ksatria atau pendekar-pendekar dengan dalih apa pun
juga. Tetapi untuk membunuh semua orang gagah di
seluruh dunia, berapa banyak tenaga yang dibutuhkan"
Selain itu untuk membunuh seorang pendekar, tidaklah
mudah seperti yang dibayangkan. Maka mereka
membentuk aliran yang bernama Utusan Suci. Tujuan
Utusan Suci ialah untuk merampas dan melebur sumber
kesaktian para pendekar. Itulah segala macam ilmu sakti
yang terdapat di kolong dunia."
"Hebat! Sungguh hebat!" seru Titisari. "Mereka
memusuhi segala bentuk ilmu sakti. Tapi apa sebab
mereka justru mempelajari ilmu sakti untuk membuat
susah orang lain?" "Tentu saja mereka tak mau kau tuduh demikian.
Sebaliknya mereka mempunyai alasannya sendiri.
Umpamanya untuk mengatasi orang yang dianggapnya
membandel perintahnya," jawab Gagak Seta.
Titisari mendengus tak puas.
"Sifat Nenek Sirtupelaheli menyerupai sifat tiga Utusan
Suci itu. Paman mencintainya, tetapi dia hendak
mencelakai Paman." Gagak Seta menghela napas. Katanya berduka: "Di
dalam dunia ini membalas suatu kebaikan dengan
kejahatan adalah lumrah."
Kau tak usah heran " "Menurut pengakuannya, Nenek Sirtupelaheli adalah
adik seperguruan Paman. Mengapa waktu dia diserang
ketiga Utusan Suci, roboh dalam segebrakan saja."
Gagak Seta menundukkan muka. la seperti malas
membalas pertanyaan Titisari. Nampaknya ia capai
karena berbicara teralu banyak. Memang tidak biasanya,
Gagak Seta berbicara begitu berkepanjangan. Hal itu ada
sebabnya, seperti yang dikatakan tak lama kemudian,
"Anakku! Aku sudah berbicara terlalu banyak. Sangat
banyak sampai lidahku terasa copot. Ini semua demi
keselamatan Sirtupelaheli, adikku seperguruan dengan
sendirinya bibimu pula."
Mendengar kata-kata Gagak Seta yang diucapkan
dengan nada luar biasa, Sangaji menegakkan kepalanya.
Menyahut: "Guru kau menghendaki apa" Katakanlah! Kalau aku
mampu, biarpun menyerbu lautan golok akan kutempuh
juga..." "Tidak. Masakan aku sampai minta yang bukan-bukan
kepadamu?" kata Gagak Seta. "Aku hanya menghendaki
agar kalian memperhatikan nasib Sirtupelaheli. Sebab
kukira, pada saat ini dia sudah kena tangkap. Dan
apabila tiada untung baik, dia akan menerima hukum
bakar hidup-hidup." "Ah!" Sangaji dan Titisari berseru tertahan.
Gagak Seta menatap wajah mereka berdua dengan
sungguh-sungguh. Katanya mengesankan:
"Dialah adik-seperguruanku. Kesengsaraannya ini,
lantaran seorang laki-laki bernama Dipajaya. Biarlah
kujelaskan." "Tetapi siapakah yang hendak menghukum bibi
Sirtupelaheli ?"Titisari memotong Selamanya dia bisa
membawa diri. Maka dengan cepat pula ia bisa merubah
sebutan nenek menjadi bibi."
"Bukankah Utusan Suci?"
"Kenapa Utusan Suci?" Titisari tak mengerti.
"Kau seorang anak siluman. Masakan tak dapat
menduga?" Gagak Seta tertawa.
"Apakah Paman hendak berkata, bahwa dia salah
seorang anggota aliran itu?"
Gagak Seta mengangguk. Kemudian menarik napas
panjang. Sejenak kemudian berkata dengan suara
berduka: "Itulah terjadi pada waktu aku dan dia masih
berkumpul di rumah perguruan."
Titisari dan Sangaji memusatkan perhatiannya. Mereka
berdua adalah murid Gagak Seta. Tetapi Gagak Seta
belum pernah menjelaskan asal-usul ilmu saktinya yang
diwariskan kepadanya. Tak mengherankan, hati mereka
sangat tertarik. "Kakek gurumu bermukim di atas Gunung Lawu
sebelah timur," Gagak Seta mulai. "Kakek gurumu
bernama, Ki Gede Rangsang. Pada waktu itu nama
perguruan kita lagi tenar-tenarnya. Pada suatu hari
datanglah serombongan utusan dari Bupati Pacitan.
Bupati Pacitan pada masa mudanya adalah sahabat karib
kakek gurumu. Dalam suratnya, Beliau menitipkan
puterinya agar diterima menjadi muridnya. Syukurlah
apabila Guru sudi mengasuhnya sebagai anaknya sendiri.
Guru lantas saja mengiakan dan minta agar puteri yang
disebutkan dalam surat itu dibawa masuk. Begitu dia
masuk, kami bertujuh menjadi gempar."
"Bertujuh?" Titisari minta keterangan.
"Itulah paman-paman gurumu, Tunggul, Gandring,
Kumitir, Sotor, Kumbina dan Cakradara. Maklumlah,
waktu itu kami bertujuh masih muda remaja. Selagi
puteri itu membungkuk membuat sembah, kami bertujuh
mengawasinya dengan mata membelalak dan hati
berdebar-debar. Dialah Sirtupelaheli dan aku biasa
memanggilnya Sirtu-pah. Setelah rombongan utusan
pulang, selanjutnya ia menetap di rumah perguruan."
Titisari tertawa. Katanya menggoda:
"Guru! Pastilah Bibi Sirtupelaheli cantik luar biasa,
sehingga Paman pun " Gagak Seta menggelengkan kepalanya. Katanya
mengakui: "Memang dia cantik luar biasa. Tetapi dia
puteri seorang bupati, sedangkan aku anak seorang
jembel. Meskipun mempunyai hati, lebih baik kupendam
dalam-dalam " Titisari tersenyum. Mau ia menggodanya lagi,
mendadak teringatlah dia bahwa gurunya itu tidak
pernah kawin. Apakah karena patah cinta" Takut akan
menyingung perasaannya, ia membatalkan niatnya.
"Guruku adalah seorang gagah sejati.
Hatinya terbuka pula. Sirtupelaheli waktu itu baru
berusia tujuh belasan tahun. Dia memang pantas
menjadi anaknya. Apalagi ayahnya meminta kepada Guru
agar menganggap Sirtupelaheli sebagai anaknya sendiri.
Maka semenjak datang di rumah perguruan, Sirtupelaheli
diperlakukan sebagai anaknya sendiri. Guru sangat kasih
sayang kepadanya. Begitu kasih dia kepada Sirtupelaheli
sehingga kami bertujuh dimintanya untuk menjaga
kesejahteraannya seumur hidupnya. CIntuk menjaga hal-
Amanat Marga 9 Elang Pemburu Karya Gu Long Pedang Dan Kitab Suci 23
^