Pencarian

Mestika Burung Hong Kemala 1

Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Mestika Burung Hong Kemala
Karya : Asmaraman S Kho Ping hoo
Ebook by Dewi KZ Kang-zusi.info dewi-kz.info
Tiraikasih.co.cc Cerita-silat.co.cc
ebooksforyou.co.cc Jilid 1 Gadis itu duduk di seberang barat Sungai Kuning yang merupakan lembah yang subur dan datar, ia duduk seperti arca, mungkin sedang dibuai lamunan sendiri, atau mungkin juga terpesona oleh keindahan alam di pagi hari itu. Memang indah, keindahan yang tumbuh dari kewajaran, keindahan yang jarang dirasakan orang karena hati akal pikiran ini selalu disibukkan oleh urusan bermacam-macam yang menimbulkan banyak masalah. Matahari masih rendah di ufuk timur, nampak kemerahan seperti bola api yang belum membakar mata. Matahari itu membentuk garis emas permukaan air sungai yang pagi hari itupun nampak tenang. Arus air hanya menurut keadaan tanahnya. Di bagian pegunungan, Sungai Kuning dapat meluncur deras bukan main sehingga tidak ada perahu berani menyeberanginya, akan tetapi di bagian yang landai seperti tempat itu, tanahnya datar dan airnya tidak deras. Namun di musim hujan, airnya meluap sampai jauh kedua tepinya, menimbulkan banjir yang merupakan bencana bagi kaum petani . Namun pagi itu, semua nampak demikian indah, tenang dan tenteram penuh damai. Burung-burung . telah selesai bercengkerama sebelum berangkat ke tugas kerja, kini sudah beterbangan, berkelompok-kelompok, menuju ke tempat mereka dapat memperoleh makan untuk sehari itu. Ayam jantan tidak berkeruyuk lagi, dan jeng kerik belalang tidak mengerik lagi. Di kejauhan terdengar domba mengembik, babi menguik dan teriakan kanak-kanak. Namun, semua suara itu tidak mendatangkan kebisingan, bahkan nampak akrab dengan keheningan yang menghanyutkan batin gadis itu. Keheningan yang begitu lembut, begitu mesra menghanyutkan perasaan, membuat seseorang ingin menangis bukan karena sedih, bukan pula karena gembira, melainkan karena merasa bahwa dia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam sementara itu, dialah keheningan itu.
Gadis itu sendiri merupakan pemandangan yang amat indah, setidaknya bagi mata manusia, terutama mata manusia pria. Karena mahluk lain belum tentu akan menganggap gadis itu cantik dan menyenangkan untuk dilihat, bahkan mungkin menakutkan. Seperti ikan-ikan yang berenang di tepi sungai, tak jauh dari tempat ia duduk, seperti burung burung yang tadi berloncatan di pohon dekat situ, mereka terkejut ketakutan dan menjauhkan diri setelah tahu akan kehadiran gadis itu dekat mereka. Bagi kita, baik wanita maupun terutama pria pasti akan memuji dan mengagumi gadis itu. ia masih amat muda, paling banyak tujuh belas tahun usianya, dan duduk termenung seorang diri pada pagi hari itu di tepi sungai, di tengah alam yang indah, ia seperti setangkai bunga yang sedang mulai mekar, segar dan jelita, seolah tiada cacat-celanya. Tubuhnya ramping padat, belum sempurna benar lekuk-lengkungnya karena memang sedang mekar menjelang dewasa, namun wajahnya sudah memiliki daya tarik yang amat kuat karena wajah itu cantik jelita, manis melebihi madu. Rambutnya hitam tebal, agak keriting berombak, panjang sekali yang dapat dilihat dari sepasang kuncir yang digelung. Kalau dibiarkan rambut itu terurai, kiranya akan sampai ke belakang pinggulnya. Anak rambut seperti hiasan lembut di dahinya yang halus, anak rambut yang melingkar dan halus sekali, dan rambut yang melingkar di pelipis, di depan sepasang telinganya, seperti menantang. Alisnya hitam kecil dan melengkung panjang, menjadi pelindung sepasang mata yang aduhai! Sukar menggambarkan keindahan sepasang mata itu. Tidak sipit seperti kebanyakan wanita, melainkan agak lebar dengan kedua ujung di tepi mencuat ke atas, seperti sepasang mata seekor burung Hong. Bulu matanya panjang lentik, putih matanya putih sekali dan hitam matanya hitam sekali. Akan tetapi bukan itu yang mempesonakan, melainkan sesuatu pada mata itu, sinarnya, atau yang tersembunyi dalam kerlingnya. Pendeknya, mempesona! Hidungnya kecil mancung namun ada sesuatu yang menggemaskan pada hidung itu, entah karena ada tonjolan sedikit di punggung bukit hidung itu, atau karena ujungnya nampak seperti berdongak ke atas itu, atau mungkin karena cuping hidung yang tipis itu kadang dapat kembang kempis. Lalu mulutnya! Sukar dikatakan mana yang lebih menarik antara matanya dan mulutnya! Memang nampaknya wajar dan normal saja, nampaknya biasa saja mulut itu, akan tetapi sungguh sebuah mulut biasa yang luar biasa! Bibir itu! Lesung pipit di sebelah kiri mulut itu! Deretan gigi itu. Sukar mencari sesuatu yang dapat disebut kurang atau buruk pada mulut itu. Wajah itu bentuknya bulat telur, dengan dagu yang bentuknya meruncing, menambah kemanisan wajah itu. Kulit muka dan leher yang nampak demikian putih. mulus dan halus.
Demikian kira-kira penggambaran seseorang, terutama pria, yang sedang jatuh cinta kepada seorang wanita, bahkan mungkin lebih dari gambaran tadi. Memang, kalau orang sedang jatuh cinta apapun yang ada pada wanita yang dicintanya, selalu nampak hebat, tiada tara, bahkan kalau sedang cemberut nampak semakin manis, kalau marah-marah nampak semakin menggemaskan.
Kalau kita mengamati gadis itu lebih teliti, akan nampak jelas bahwa ia bukanlah gadis pribumi, bukan gadis bangsa Han. Memang kulitnya putih mulus, akan tetapi tidak kekuningan seperti kulit gadis pribumi, dan terutama sekali matanya jelas menunjukkan bahwa mata itu bukan mata pribumi. Juga rambutnya yang berombak, ia tentulah seorang gadis berdarah campuran, seperti yang banyak terdapat di perbatasan utara dan barat, hasil pernikahan antara orang pribumi dan suku bangsa lain. Biarpun ia mengenakan pakaian yang biasa dipakai seorang gadis Han, namun cara ia menguncir rambutnya merupakan pertanda bahwa ia sebetulnya masih berdarah suku Khitan, suku yang berada di sekitar perbatasan utara, suku yang merupakan golongan nomad, yaitu golongan yang hidup dari peternakan dan yang berpindah-pindah mencari tanah subur yang penuh dengan rumput dan daun hijau untuk ternak mereka.
"Hong-moi......!"
Panggilan itu mengejutkan dan menyadarkannya dari lamunan, ia menoleh dan seperti sudah diduganya, yang menegurnya adalah seorang pemuda yang tinggi besar dan tampar. Pemuda itu tampan dan gagah, dengan pakaian suku Khitan dan wajahnya juga wajah seorang Khitan aseli, dengan tulang pipi menonjol dan kumis melintang. Usianya sekitar dua puluh lima tahun dan sepasang matanya tajam seperti mata seekor burung rajawali.
Gadis yang disebut Hong-moi (adik Hong) itu bangkit dan setelah ia berdiri, baru nampak betapa ramping tubuhnya, dengan sepasang kaki yang panjang, pinggang yang ramping, dada dan pinggul yang padat, berdirinya tegak dengan dada terbuka dan kedua pundak lurus, tidak menurun seperti pundak kebanyakan wanita Han. Dan setelah ia berdiri tegak seperti itu, makin jelas bahwa ia bukan seorang gadis pribumi. Alisnya berkerut dan matanya memandang tak senang kepada pemuda itu.
"Suheng, mau apa kau mengganggu ketenanganku dan sudah berapa kali kukatakan bahwa tidak sepatutnya engkau menyebut aku Hong-moi" Aku adalah sumoimu (adik seperguruanmu)," Gadis itu memang merasa terganggu dan tidak senang. Hal ini adalah karena selama beberapa bulan ini, pemuda yang menjadi suhengnya ini mulai berubah sikapnya terhadap dirinya. Pandang mata itu pun berubah penuh gairah, senyumnya juga membujuk dan memikat, dan beberapa kali ucapannya menyinggung masalah hubungan kasih sayang yang tidak semestinya. Biasanya ia sayang kepada suhengnya ini, yang dikenalnya sejak ia kecil, sejak ia menjadi murid suhunya (Gurunya) yaitu ayah kandung pemuda itu. Akan tetapi sejak pemuda itu berubah sikap, iapun merasa tidak senang dan perubahan itu pula yang membuat ia tadi melamun sedih.
"Sumoi, kenapa engkau ribut soal panggilan itu?" pemuda itu tertawa dan nampak deretan giginya yang kuat dan terpelihara. "Apa bedanya antara sebut an adik Hong dan adik seperguruan" Kurasa sebutan Hong-moi lebih mesra dan aku memang menghendaki agar hubungan kita lebih mesra dari pada hubungan kakak beradik seperguruan. Nanti dulu, Hong-moi...." dia mengangkat tangan mencegah gadis itu mengeluarkan ucapan membantah, "kebetulan sekali kita bertemu di sini, di tempat sunyi di mana tidak akan ada orang lain yang mengganggu dan mendengarkan percakapan kita. Hong-moi, sudah berulang kali aku memperlihatkan sikapku, akan tetapi agaknya engkau belum mengerti benar. Sekarang, aku sudah mengambil keputusan untuk berterus terang saja kepadamu. Hong-moi, aku cinta padamu dan aku ingin engkau untuk menjadi isteriku."
Sepasang pipi yang putih mulus tanpa bedak itu mendadak berubah kemerahan, dan sepasang mata yang indah seperti mata burung Hong itu mendadak kini mencorong seperti harimau betina di usik.
"Suheng! Tidak sepantasnya engkau bicara seperti itu! Memang aku sudah merasa akan perubahan sikapmu dan terus terang saja, aku tidak suka dengan perubahan itu. Sekarang engkau berterus terang, akupun ingin berterus terang padamu sebagai jawabannya. Aku tidak mungkin dapat menerima cintamu seperti itu. Ingat, suheng, aku adalah murid yang sudah diaku sebagai anak angkat oleh suhu, sehingga kita ini dapat dibilang masih kakak beradik sendiri. Jangan sekali lagi kau ulangi ucapanmu yang tidak pantas itu."
"Sumoi, kau sendiri mengatakan bahwa engkau diaku sebagai anak angkat oleh ayah. Anak angkat, berarti orang lain, bukan kakak beradik dan tidak ada hubungan darah di antara kita. Karena itu, tidak ada halangan apapun bagi kita untuk menjadi suami isteri."
"Tidak, aku tidak sudi!" Kini gadis itu membusungkan dada menegakkan kepala dan pandang matanya penuh tantangan.
"Sumoi, kenapa engkau menolaki Ingat, sejak kecil engkau menerima budi berlimpah dari ayah, dari keluarga kami. Kami semua menyayangmu seperti keluarga sendiri, dan sekarang, setelah aku dengan sungguh hati menyatakan cintaku kepadamu, engkau menolak dengan kasar. Apakah engkau tidak mengenal budi?"
"Suheng, aku tidak pernah minta dipungut oleh suhu dan dijadikan murid atau diaku anak. Ketika itu aku masih kecil dan aku menurut saja. Memang keluargamu baik kepadaku, akan tetapi akupun bukan seorang yang duduk diam saja. Aku bekerja di sana, melakukan segala pekerjaan, membantu para pelayan, akupun menaati semua perintah suhu. Akan tetapi soal perjodohan, itu adalah urusanku pribadi, tidak boleh dicampuri oleh siapapun, bahkan keluargamupun tidak boleh memaksaku berjodoh dengan siapa saja tanpa persetujuanku. Dan terus terang saja, aku tidak ingin menjadi isterimu."
"Kau.... kau.... anak sombong! Kau banyak lagak!" pemuda itu nampak marah dan tersinggung.
"Kau yang sombong, suheng! Kaukira, setelah aku diambil murid oleh ayahmu, lalu aku harus menurut apa .saja yang kalian kehendaki terhadap diriku" Pula, suheng, bagaimana mungkin perasa an cinta dapat dipaksakan" Pernikahan tanpa cinta hanya akan mendatangkan derita sengsara. Tidak, aku tidak mau menjadi isterimu."
Perasaan kecewa, penasaran, dan marah membuat pemuda itu melotot dan sikapnya seolah hendak menyerang. Akan tetapi dia melihat betapa sumoinya itu pun marah dan siap untuk melawannya. Dia tahu benar bahwa kalau mereka sampai bertanding, dia tidak akan menang melawan sumoinya. Menurut keterangan ayahnya sendiri, bakat yang dimiliki sumoinya dalam ilmu silat amatlah besarnya dan di dalam latihan bersamapun dia sudah merasa bahwa dia tidak akan mampu menandingi sumoinya.
"Aku akan memberitahu ayah tentang sikapmu yang sombong ini!" katanya dan diapun membalikkan tubuh lalu pergi dengan cepat meninggalkan gadis itu.
Gadis itu termangu, lalu menghela napas panjang dan duduk kembali seperti tadi, melamun. Akan tetapi sekali ini keadaan batinnya berbeda jauh dari pada tadi. Kalau tadi batinnya tenteram dan hening karena hati akal pikiran tidak bekerja, sekarang hati akal pikirannya bekerja keras. Kenangan lama terbayang dan teringat akan keadaan dirinya, kedukaannya timbul.
Gadis jelita ini bernama Can Kim Hong. ia tidak pernah mengenal ayahnya. Bahkan wajah ibunyapun hanya nampak samar dalam kenangannya, karena ibunya meninggal dunia ketika ia berusia lima tahun. Ibunya seorang wanita suku Khitan, puteri seorang kepala suku. Menurut cerita Ibunya, seperti yang masih diingatnya" dengan baik, yaitu cerita yang didengar dari ibunya ketika ia berusia lima tahun, sebelum ibunya meninggal dunia, ia hanya mengetahui bahwa ayahnya seorang bangsa Han yang bernama Can Bu. "Dia seorang di antara para panglima perang dari pasukan Han," demikian kata ibunya. Kemudian ibunya menceritakan bahwa Can Bu tertawan oleh suku Khitan ketika bersama para panglima lain, memimpin pasukan menyerbu daerah utara. Karena sikapnya yang baik dan gagah, Can Bu tidak dibunuh, bahkan diperlakukan sebagai seorang tamu agung. Kemudian, terjalin cinta asmara antara Can Bu dan Khitan, mendiang ibunya. Atas persetujuan kepala suku, merekapun menikah. Akan tetapi, ketika ibunya mengandung tua dan ayahnya itu memperoleh kesempatan, ayahnya meloloskan diri.
"Ayahmu seorang pahlawan, tentu saja tidak mau tinggal untuk selamanya di sini," demikian ibunya bercerita. "Tadinya dia hendak mengajakku ikut melarikan diri, akan tetapi karena aku dalam keadaan mengandung tua, aku menolak. Dia pergi sendiri dan sampai sekarang tidak ada berita darinya."
Hanya itu yang ia ketahui dari mendiang ibunya. Ayahnya seorang bangsa Han, bernama Can Bu dari meninggalkan nama pribumi untuk anak yang akan dilahirkan ibunya, nama pria dan nama wanita. Ketika terlahir wanita, ia diberi nama Can Kim Hong karena menurut ibunya, ketika ibunya mengandung, ia pernah bermimpi melihat seekor burung Hong emas (Kim Hong).
Can Kim Hong melanjutkan lamunan dan kenangannya. Setelah ibunya meninggal dunia, kakeknya, kepala suku itu, menjadi sedih dan mengundurkan diri. Jabatan kepala suku dipegang oleh seorang Khitan yang gagah perkasa dan terkenal sebagai seorang yang kuat dan pandai ilmu silat berbagai aliran. Kakeknya menitipkan ia kepada kepala suku baru itu dan sejak itu, iapun menjadi murid bahkan menjadi anak angkat dari kepala suku baru yang bernama Bouw Hun, yaitu ayah kandung suhengnya tadi yang bernama Bouw Ki. Dan sekarang, Bouw Ki .yang sejak beberapa bulan terakhir ini memperlihatkan sikap yang berlainan sekali, telah menyatakan cintanya dan ingin mengambilnya sebagai isteri. ia menolak, dan ia tahu bahwa penolakannya tentu akan menimbulkan perubahan besar dalam sikap keluarga Bouw itu. Bouw Ki tentu akan mengadu, dan gurunya tentu akan merasa tidak senang pula, demikian ibu gurunya dan para paman. ia akan menghadapi keadaan yang sama sekali tidak menyenangkan.
"Lebih baik aku meninggalkan semua itu," akhirnya ia mengambil keputusan dan merenung ke arah selatan. "Aku harus mencari ayah seperti yang pernah dipesankan mendiang ibu!"
Ketika tenggelam dalam pikiran, Kim Hong memiringkan kepalanya, meraba raba dan menjiwir-jiwir ujung telinga kirinya dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri, seperti kebiasaannya sejak kecil kalau ia sedang berpikir. Kini ia bangkit berdiri, sudah mengambil keputusan dan teringat akan sikap Bouw Ki dan membayangkan sikap keluarga Bouw kepadanya, ia merasa penasaran dan gemas. Aku akan menghadapi mereka dan menghadapi apapun yang akan terjadi! Berpikir demikian, Kim Hong menghentakkan kaki kanannya beberapa kali ke atas tanah. Kebiasaan tanpa disadari ini menandakan bahwa ia sedang marah. Kemudian ia melangkah dengan tegap meninggalkan tempat itu, menuju sebuah tebing yang tinggi di mana tinggal keluarga gurunya.
"Tidak, kami tidak setuju kalau engkau hendak memperisteri Kim Hong!" kata Bouw Hun yang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok dan berkulit hitam itu. Kepala suku Khitan yang berusia lima puluh tahun ini duduk didampingi isterinya yang berkulit putih dan masih cantik dalam usianya yang empat puluh lima tahun, menghadapi puteranya, Bouw Ki yang baru saja menyatakan keinginan hatinya untuk memperisteri Kim Hong.
"Akan tetapi kenapa ayah?" Bouw Ki membantah. "Bukankah sumoi seorang gadis yang baik, bahkan murid ayah dan juga anak angkat ayah yang bertubuh sehat, berwajah cantik dan berotak cerdas?" Kemudian dia menyambung sambil memandang kepada ibunya. "Dan aku amat mencintanya, ayah."
"Tidak, sekali lagi aku tidak setuju kalau ia menjadi isterimu! Memang ia cantik dan cerdik, akan tetapi ingat, ia seorang keturunan Han! Dan engkau tahu betapa liciknya orang-orang Han yang selalu menjadi musuh kita."
"Tapi mendiang ibunya adalah wanita Khitan, ayah."
"Hemm, engkau tentu ingat apa yang telah terjadi" Karena wanita Khitan itu mau menjadi isteri seorang bangsa Han, maka kehidupannya menjadi celaka. Dalam keadaan mengandung tua, ia ditinggalkan suaminya! Huh, dan engkau ingin memperisteri puteri seorang Han yang macam itu" Tidak, aku tidak setuju!"
"Anakku, ayahmu berkata benar. Ingat, engkau putera seorang kepala suku yang dihormati. Kalau engkau ingin menikah, carilah seorang gadis Khitan. Gadis yang terbaik sekalipun akan dengan senang menjadi isterimu. Kim Hong seorang gadis keturunan Han, tidak aseli, tentu kelak tidak dapat menjadi isteri yang baik," kata pula ibu pemuda itu.
Bouw Ki mengerutkan alisnya. Dia akan berani membantah ibunya, akan tetapi dia takut kepada ayahnya yang juga menjadi gurunya itu. Ayahnya berwatak keras.
"Akan tetapi, ayah dan ibu. Aku sungguh amat mencinta sumoi, aku tergila-gila padanya dan kalau ia tidak menjadi milikku, aku akan merasa sengsara sekali."
"Hemm, berulang kali engkau mengatakan cinta padanya. Apakah anak itu berani mengaku cinta kepadamu, suhengnya sendiri?" tanya Bouw Hun dengan suara bernada marah. Bouw Ki mengenal watak ayahnya. Orang tua itu selalu memandang tinggi derajat keluarganya sebagai kepala suku Khitan. Diapun tahu bahwa kalau dia ingin mencapai idaman hatinya, dia harus membakar hati ayahnya. Bujukan tidak akan ada hasilnya .
"Itulah yang merisaukan hatiku dan yang membuat aku penasaran dan bertekad untuk memilikinya. Sumoi secara kurang ajar dan memandang rendah telah berani menolak cintaku! ia menganggap dirinya terlalu tinggi untuk menjadi isteriku! .Justeru penolakannya ini yang membulatkan tekadku untuk mendapatkannya, ayah!"
Wajah yang berkulit hitam itu menjadi semakin gelap. "Apa" Anak itu berani ........ berani menolakmu" Huh, sombong sekali! Itulah kesombongan seorang peranakan Han! Akan kita buktikan bahwa bukan engkau yang tidak pantas menjadi suaminya, akan tetapi ia yang tidak pantas menjadi mantuku!"
"Akan tetapi aku menginginkannya ayah!"
"Baik, aku akan memaksanya untuk menjadi milikmu, bukan sebagai isteri, melainkan sebagai seorang selir saja!" kata kepala suku itu dengan hati geram karena merasa diremehkan oleh gadis yang sejak kecil dipelihara dan dididiknya itu. Siapa sih anak itu berani memandang rendah puteranya dan berani menolak cintanya" Justeru karena penolakan itu, ia harus menjadi milik puteranya, bukan sebagai isteri melainkan sebagai selir, isteri yang tidak sah agar kelak kalau mempunyai anak tidak berhak untuk menjadi kepala suku!
Ayah, ibu dan anak itu sama sekali tidak tahu bahwa selagi mereka berunding membicarakan Kim Hong, gadis yang mereka bicarakan itu berada di luar ruangan, di balik daun pintu dan sempat mendengarkan bagian terakhir dari percakapan mereka. Wajah gadis itu menjadi pucat, lalu merah sekali ketika ia mendengar kalimat terakhir yang diucapkan gurunya tadi
"Baik, aku akan memaksanya untuk menjadi milikmu, bukan sebagai isteri, melainkan sebagai seorang selir saja!"
Kim Hong dengan hati-hati menyelinap pergi. Jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemarahan. Gurunya sendiri yang berniat memaksanya menjadi selir Bouw Ki. Menjadi selir! Sedangkan menjadi isteri yang sah saja ia tidak sudi, apa lagi menjadi selir!
Maklum bahwa tidak mungkin ia dapat menentang gurunya yang hendak memaksanya, Kim Hong sudah mengambil keputusan bulat, ia harus pergi dari situ, sekarang juga sebelum terlambat, ia memang sudah agak lama mempunyai niat untuk merantau ke selatan, mencari ayah kandungnya. Dan peristiwa dengan suhengnya itu membuat ia bertekad untuk pergi sekarang juga.
Tergesa-gesa Kim Hong mengumpulkan pakaian, memasukkan dalam buntalan kain kuning, tidak lupa membawa pedangnya dan perhiasan untuk biaya dalam perjalanan, kemudian melalui pintu belakang, ia meninggalkan rumah itu. Ia bertemu dengan orang-orang Khitan yang membuat pondok-pondok darurat di sekitar tebing itu, akan tetapi tidak seorang di antara mereka yang bertanya, hanya menegur dan memberi salam saja kepada murid dan juga anak angkat kepala suku. Kelompok orang Khitan yang di pimpin Bouw Hun ini baru tiga bulan tiba di situ dan tinggal di lembah Sungai Kuning, memilih tempat yang tinggi agar tidak diserang banjir.
Setelah meninggalkan perkampungan suku Khitan, Kim Hong lalu mempercepat perjalanannya dengan berlari menuju ke bawah untuk mencapai tepi sungai yang landai di mana ia akan dapat membeli atau menyewa sebuah perahu untuk melanjutkan perjalanannya ke selatan. Kini ia sudah tiba di bawah tebing karang yang menjadi perkampungan suku Khitan. Hatinya merasa lega karena ia tidak melihat adanya pengejaran yang amat dikhawatirkan, dan begitu tiba di tanah datar, iapun cepat berlari menuju ke tepi Sungai Kuning. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan yang amat mengejutkan hatinya.
"Sumoi..........!"
"Kim Hong, berhenti dulu ....!"
Suhengnya dan suhunya! Celaka, pikirnya. Pasti mereka itu melakukan pengejaran dan sudah tahu akan rencananya untuk minggat. Biasanya, ia bebas untuk bermain di mana saja, tanpa pengawasan. Kalau sekali ini mereka mengejarnya, tentu mereka sudah menduga akan niatnya dan mungkin tadi ada seorang Khitan yang melaporkan kepada kepala suku itu bahwa ia pergi meninggalkan perkampungan.
Dilihatnya sebuah perahu kecil meluncur tenang di dekat pantai, sebuah perahu kecil didayung oleh seorang pria berusia enam puluhan tahun yang mengenakan sebuah camping lebar dan pakaiannya yang serba hitam itu amat sederhana. Melihat perahu itu, timbul harap an di hati Kim Hong.
"Heiiiii! Tukang perahu, ke sinilah, aku ingin bicara!" teriaknya ke arah tukang perahu yang mendayung perahunya lambat-lambat. Tukang perahu menoleh dan Kim Hong melihat bahwa wajah pria itu terang dan penuh senyum, wajah yang membayangkan kesabaran dan kelembutan hati
"Paman yang baik, pinggirkan perahumu. Aku ingin menyewanya, atau membelinya, atau menumpang saja. Cepatlah, aku membutuhkan pertolonganmu !" Kim Hong menoleh ke belakang dan kini sudah nampak bayangan ayah dan anak itu yang berlari cepat dan kembali terdengar teriakan-teriakan mereka.
"Kim Hong, aku perintahkan engkau untuk berhenti!" terdengar jelas teriakan gurunya.
"Paman tukang perahu, tolonglah!" Kim Hong berseru kembali melihat tukang perahu itu masih belum mendayung perahunya ke tepi. Untuk meloncat ke perahu itu, jaraknya masih terlalu jauh. "Ke sinilah, aku ingin menumpang perahumu, berapapun sewanya akan kubayar!"
Akan tetapi, orang bercamping itu hanya menahan lajunya perahu dengan dayungnya, dan hanya memandang seperti orang yang tidak mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu. Kim Hong yang tadinya berteriak dalam bahasa Khitan, kini berseru lagi, menggunakan bahasa Han yang dikuasainya dengan baik karena mendiang ibunya yang mengajarkannya Namun, tetap saja tukang perahu itu diam seperti patung. Sementara itu, Bouw Hun dan Bouw Ki tiba di situ!
"Kim Hong, apa yang kaulakukan ini" Engkau hendak pergi ke mana?" terdengar suara Bouw Hun yang dalam dan parau, dengan nada yang marah penuh teguran.
Terpaksa Kim Hong memutar tubuh menghadapi ayah dan anak itu. Karena sejak kecil ia menganggap Bouw Hun sebagai guru dan juga pengganti orang tuanya, maka ia bersikap lembut walaupun dalam hati ia masih marah mengingat akan ucapan guru ini tadi yang hendak memaksanya menjadi selir Bouw Ki .
"Suhu, aku sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan tempat ini, hendak mencari ayah sampai dapat bertemu. Harap suhu sudi memberi ijin dan tidak menghalangiku."
"Apa" Engkau ini anak tak mengenal budi! Sejak kecil engkau kami rawat, kami pelihara, kami didik, dan sekarang setelah menjelang dewasa, engkau akan minggat begitu saja tanpa pamit?" bentak kepala suku Khitan itu.
Kim Hong yang tadinya menundukkan muka, kini mengangkat mukanya dan menentang pandang mata gurunya dengan berani. Memang kalau menurut ucapan gurunya tadi, seolah ia yang tidak mengenal budi. Maka, iapun menjawab dengan lantang, "Suhu, sesungguhnya suhu sendiri yang memaksa aku pergi tanpa pamit. Kalau saja suhu tidak mengeluarkan ucapan itu, tentu aku akan minta ijin dan restu. Suhu yang memaksaku untuk pergi minggat seperti ini."
Bouw Hun mengerutkan alisnya. " Ucapanku yang mana" Jangan mencoba mencari alasan yang bukan-bukan!"
"Aku mendengar dengan kedua telingaku sendiri bahwa suhu akan memaksaku untuk menjadi selir suheng. Aku tidak sudi dan aku mengambil keputusan untuk minggat."
Ayah dan anak itu saling pandang, terkejut karena sama sekali tidak menduga bahwa gadis itu telah mendengarkan percakapan mereka tadi. Mereka tadi memang mendapat laporan dari seorang Khitan yang melihat Kim Hong meninggalkan perkampungan membawa buntalan pakaian maka mereka cepat melakukan pengejaran. Karena gadis itu sudah mengetahui, Bouw Hun tidak mau berpura-pura lagi.
"Memang benar, dan engkau tidak boleh menolak kehendak kami. Sejak dahulu engkau sudah seperti anggauta keluarga kami sendiri, kalau sekarang engkau menjadi selir suhengmu, apa salahnya?"
"Tidak, suhu. Aku tidak mau menjadi isteri suheng, apa lagi menjadi selirnya! Harap suhu membiarkan aku pergi mencari ayah. Aku tidak akan melupakan semua budi sekeluarga dan semoga kelak aku akan dapat membalas budi itu," kata gadis itu dengan suara yang tegas, akan tetapi pandang matanya penuh permohonan.
"Hemm, tidak perlu kelak, sekarangpun engkau dapat membalas budi itu dengan menaati perintahku. Jangan pergi dan engkau menjadi selir Bouw Ki."
"Maaf, suhu. Kalau aku harus membalas budi dengan itu, aku tetap menolak."
"Kim Hong, berani engkau membantah perintah gurumu dan juga ayah angkatmu!" Bouw Hun membentak, kini matanya mendelik dan mukanya yang penuh berewok dan kulitnya menghitam itu kelihatan bengis sekali.
"Sumoi, jangan membuat ayah menjadi marah. Taatilah perintah ayah, dan engkau akan hidup berbahagia. Aku amat mencintamu, sumoi," kata Bouw Ki membujuk.
Kim Hong memandang kepada Bouw Ki dengan mata bersinar-sinar, lalu ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda gagah tampan itu. "Suheng, ini semua gara-gara engkau! Kalau engkau tidak mempunyai niat kotor terhadap diriku, tidak akan terjadi keributan ini dan aku tentu akan pergi dengan baik-baik, dibekali ijin dan restu dari suhu. Pendeknya, aku tidak mau .menjadi isterimu atau selirmu......."
"Kim Hong! Engkau harus menaati perintahku!" bentak pula Bouw Hun yang sudah marah sekali.
"Maaf, aku tidak dapat menaati perintah yang ini, suhu."
"Engkau berani menentangku" Kau tahu apa hukuman orang yang berani menentangku?"
Kim Hong melepaskan buntalan pakaiannya ke atas tanah dan berdiri tegak. "Aku tidak menentang, suhu, akan tetapi kalau aku dipaksa, aku akan membela diri, dan aku lebih baik mati dari pada harus melakukan hal yang berlawanan dengan suara hatiku."
"Anak jahanam! Anak durhaka, murid murtad!" Bouw Hun marah bukan main dan dia sudah menerjang ke depan, menyerang Kim Hong.
"Ayah, jangan bunuh ia.......!!"
Bouw Ki berseru, khawatir kalau-kalau ayahnya yang marah itu membunuh gadis yang membuatnya tergila-gila itu.
"Teriakan puteranya ini menyadarkan Bouw Hun dan ketika Kim Hong mengelak ke kiri, tangannya cepat bergerak menyambar dan karena Kim Hong memang tidak berniat melawan orang yang selama ini menjadi guru dan pengganti orang tuanya, maka tanpa dapat dihindarkan lagi, jari tangan Bouw Hun yang lihai itu telah menotoknya dan membuatnya roboh terkulai lemas.
"Nah, bawalah dan kau tundukkan gadis liar itu!" kata Bouw Hun kepada puteranya. Sambil menyeringai puas Bouw Ki menghampiri tubuh Kim Hong yang rebah miring dengan lemas. Akan tetapi pada saat dia membungkuk untuk memondong tubuh itu, tiba-tiba ada angin berdesing menyambar, seperti angin berpusing dan Bouw Ki merasa dirinya terdorong oleh tenaga yang amat kuat sehingga dia terhuyung ke belakang dan hampir jatuh terjengkang.
Ayah dan anak itu memandang dengan kaget dan heran. Seorang pria telah berdiri di situ, menghadang dan melindungi tubuh Kim Hong. Dia berusia enam puluh tahun, berpakaian serba hitam sederhana, kepalanya tertutup sebuah camping hitam yang lebar pula. Wajah orang itu ramah dan penuh senyum, akan tetapi matanya mencorong seperti mata seekor naga dalam dongeng! Ketika ayah dan anak itu memandang kepadanya, dia balas memandang dengan senyum lembut dan mata mencorong.
Bouw Hun terkejut. Dia sendiri adalah seorang yang sudah banyak pengalaman dan sudah mendalam pengetahuanya tentang ilmu silat dan dia tahu bahwa di daerah selatan terdapat banyak sekali pendekar silat yang amat lihai. Melihat betapa munculnya orang yang serba hitam pakaiannya ini membuat puteranya terhuyung, diapun dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka kepala suku ini tidak berani bersikap lancang. Sebaliknya, dia bahkan melangkah maju dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada. Karena pakaian orang itu berpotongan pakaian orang Han, Bouw Hun lalu bicara dalam bahasa Han yang juga dikuasainya baik-baik.
"Maafkan kami, sobat. Aku adalah Bouw Hun, kepala suku Khitan yang hidup mencari makan di daerah ini, dan dia adalah Bouw Ki, puteraku. Gadis ini adalah muridku sendiri yang hendak minggat sehingga terpaksa aku menangkapnya dan hendak membawanya pulang. Harap engkau tidak mencampuri urusan keluarga kami."
Akan tetapi, orang bercamping dan berpakaian hitam itu kini membuat gerak-gerakan dengan tangannya. Dia menuding ayah dan anak itu, lalu menuding ke arah tubuh Kim Hong, dan mengangkat tangan ke atas depan dan menggoyang-goyangnya, kemudian menuding kembali kepada tubuh Kim Hong, lalu ke dadanya sendiri, kemudian menuding ke perahu yang berada di tepi sungai. Mulutnya tidak mengeluarkan suara apapun seperti biasanya orang gagu, akan tetapi melihat gerakan-gerakan itu dia seperti orang gagu yang hendak menerangkan maksudnya. Biarpun ayah dan anak itu tidak mengerti benar apa yang dia maksudkan dengan gerakan-gerakan itu, setidaknya mereka dapat menangkap bahwa si gagu itu melarang mereka menangkap Kim Hong, dan bahwa si gagu hendak membawa Kim Hong ke perahunya. Tentu saja Bouw Hun dan Bouw Ki menjadi marah.
"Singgg......!!" Bouw Hun mencabut sebatang pedang bengkok yang amat tajam.
"Singg!" Bouw Ki juga mencabut pedang berbentuk golok panjang.
"Sobat, sudah kukatakan bahwa lebih baik kalau engkau tidak mencampuri urusan keluarga kami, atau terpaksa kami tidak akan menganggapmu sebagai sobat, melainkan sebagai musuh," kata Bouw Hun yang masih ragu-ragu untuk memusuhi orang yang tidak diketahui siapa itu.
Akan tetapi si gagu menggoyang tangan kirinya seperti menyatakan bahwa mereka tidak boleh membawa Kim Hong
"Kalau begitu, engkau memang sengaja hendak memusuhi kami! Lihat senjataku!" bentak Bouw Hun dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, disusul oleh puteranya yang juga menyerang dari samping dengan dahsyat.
Si gagu menggerakkan tubuhnya tanpa mengeluarkan suara dan tubuh itu lenyap, yang nampak hanyalah bayangan hitam saja berkelebatan ke sana sini, menyelinap di antara dua gulungan sinar pedang, gerakannya ringan sekali dan cepat bukan main sehingga ayah dan anak itu menjadi bingung karena mereka merasa seperti melawan bayangan atau melawan setan. Ke manapun golok mereka menyambar, selalu mengenai tempat kosong. Kecepatan gerakan orang itu membuat mereka berdua bergidik. Mereka, seperti orang-orang Khitan yang masih sederhana, masih amat percaya akan tahyul, maka kini melawan seorang yang seolah-olah dapat terbang atau menghilang itu, mereka merasa ngeri dan mengira bahwa mungkin yang mereka lawan bukan manusia biasa, melainkan sebangsa siluman!
Tiba-tiba si gagu menggerakkan kedua tangannya, menangkis atau menoleh ke arah dua lengan yang memegang pedang.
"Plak! Tuk!!" Ayah dan anak itu berteriak dan pedang mereka terlepas dari pegangan. Ketika mereka memandang, lawan mereka telah berdiri tegak dan kedua batang pedang itu telah berada di tangannya. Kemudian, bagaikan orang mematahkan ranting kering saja, Si gagu itu menekuk kedua batang pedang dengan kedua tangannya, terdengar suara nyaring dan dua batang pedang itu telah patah di bagian tengahnya. Si gagu melemparkan patahan pedang itu ke atas tanah dan memandang kepada ayah dan anak itu dengan wajah tetap tersenyum akan tetapi matanya mencorong.
Bouw Hun dan Bouw Ki terbelalak. Maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi si gagu, Bouw Hun lalu berkata kepada puteranya, "Mari kita pergi. Biar murid murtad itu menjadi mangsa siluman hitam ini!" Ayah dan anak itu lalu melompat dan melarikan diri pergi walaupun dua kali Bouw Ki menoleh ke belakang karena bagaimanapun juga hatinya masih merasa sayang bahwa dia tidak jadi dapat memiliki gadis yang amat diinginkannya itu.
Kim Hong dapat menyaksikan semua, walaupun ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya tertotok lemas. Diam-diam ia kagum bukan main. Si pakaian dan camping hitam itu adalah tukang perahu yang tadi di panggilnya. Sama sekali ia tidak pernah menyangka bahwa tukang perahu yang tadi dipanggil-panggil adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu sehingga dengan kedua tangan kosong mampu mengalahkan suhu dan suhengnya dalam waktu singkat! Akan tetapi karena tidak mampu bergerak ia hanya memandang saja, dan timbul juga perasaan ngerinya. ia sama sekali tidak mengenal orang ini, tidak mengenal dia orang macam apa. Seorang pendekar sakti yang budimankah" Atau seorang manusia iblis" Kalau penolongnya itu seorang manusia iblis, tentu dia akan mengalami malapetaka yang lebih mengerikan lagi!
Si gagu itu sejenak mengamati Kim Hong, kemudian tangannya bergerak cepat. Tak dapat Kim Hong melihat jelas bagaimana tangan itu bergerak. ia hanya merasa ada sesuatu yang menotok kedua pundaknya dan iapun sudah dapat bergerak kembali. Cepat Kim Hong bangkit duduk, kemudian ia berlutut di depan orang itu.
"Aku Can Kim Hong menghaturkan terima kasih kepada locianpwe (orang tua gagah) yang telah menyelamatkan aku dari malapetaka," katanya. Orang Itu diam saja, hanya memandang dengan wajah cerah karena mulutnya selalu tersenyum, akan tetapi tidak ada sepatahpun kata keluar dari mulutnya, bahkan tidak ada suara yang keluar. Lalu ia teringat akan sikap si gagu hitam itu tadi terhadap suhu dan suhengnya. orang itu sama sekali tidak pernah mengeluarkan suara, dan membuat gerakan-gerakan seperti orang gagu! Orang ini tidak dapat bicara alias gagu!
"Maafkan aku, locianpwe," katanya hati-hati sambil menatap wajah yang cerah itu, "apakah.... apakah locianpwe......?" ia tidak mampu melanjutkan karena merasa sungkan sekali untuk menegaskan apakah orang itu benar-benar gagu, takut kalau-kalau menyingung perasaan penolongnya.
Agaknya si gagu mengerti akan apa yang diinginkannya. Dia mengangguk-angguk, kemudian menudingkan telunjuknya ke arah mulutnya, lalu menggeleng-geleng kepala seolah mengatakan bahwa dia tidak dapat mempergunakan mulutnya untuk bicara.
"Ah, jadi benar dugaanku bahwa locianpwe tidak dapat bicara?"
Si gagu mengangguk-angguk dan Kim Hong berpikir. Biasanya, orang gagu itu tuli, akan tetapi orang ini jelas tidak tuli, bukan hanya tidak itu, bahkan dapat mendengar dan mengerti kata-kata orang. Kemudian si gagu menjulurkan kedua tangan menyentuh kedua pundak Kim Hong. Gadis itu terkejut, menyangka buruk, akan tetapi ternyata kedua tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya, akan tetapi ada kekuatan dahsyat yang memaksanya untuk bangkit berdiri! Setelah ia bangkit berdiri, si gagu mengangguk-angguk dan nampak gembira.
Kim Hong mulai mengerti. Orang ini luar biasa sekali. Selain sakti, juga berhati sederhana, tidak mau menerima penghormatan berlebihan.
"Locianpwe, harap jangan kepalang menolongku. Aku harus pergi dari tempat ini karena mereka ingin memaksa ku untuk menjadi selir suhengku Bouw Ki itu. Aku mohon kepada locianpwe agar menerima aku menumpang perahumu pergi ke selatan. Sudikah locianpwe menolongku?"
Si gagu mengangguk-angguk, kemudian menghampiri perahunya, diikuti oleh Kim Hong yang sudah mengambil kembali buntalan pakaiannya. Mereka lalu menurunkan perahu kecil itu kembali ke sungai. Kim Hong menggunakan pedang bengkoknya untuk membuat sebatang dayung dan kini ia membantu kakek gagu itu mendayung perahu kecil yang meluncur cepat mengikuti arus air menuju ke selatan.
0odwo0 Pada waktu itu, Kerajaan Tang di pimpin oleh Kaisar Hsuan Tsung atau terkenal pula dengan sebutan Kaisar Beng Ong (712 - 755). Akan tetapi, sejak Kaisar Beng Ong tergila-gila kepada seorang wanita yang bernama Yang Kui Hui, maka timbullah banyak kekacauan. Para menteri yang setia merasa gelisah melihat betapa kaisar yang tua itu dipermainkan oleh selirnya yang tersayang itu. Baru peristiwa ditariknya Yang kui Hui ke dalam istana sebagai selir kaisar saja sudah merupakan peristiwa yang membuat para menteri setia mengerutkan kening dan merasa tidak setuju sama sekali.
Peristiwa itu terjadi tujuh tahun yang lalu, yaitu sekitar tahun 1175 Pada waktu itu, Kaisar Beng Ong sudah berusia enam puluh tahun lebih dan Kerajaan Tang mengalami kemajuan pesat, terutama di bidang kebudayaan dan Agama Buddha yang terbukti dari perkembangan kesenian dan kesusasteraan yang pada masa itu tidak lepas dari agama. Kaisar Beng Ong sebetulnya bukan seorang yang mata keranjang, bukan seorang pria yang selalu diperbudak oleh nafsu berahinya. Akan tetapi, ketika pada suatu hari kebetulan dia melihat isteri dari seorang di antara puteranya, yaitu Pangeran Shouw, dia terpesona dan terpikat oleh kecantikan mantunya sendiri. Isteri Pangeran Shouw itu, bernama Yang Kui Hui, memang merupakan seorang wanita yang amat cantik jelita, memiliki daya tarik yang amat kuat, bukan saja karena kecantikannya, akan tetapi juga oleh pembawaan dirinya yang pandai mengambil hati. lapun seorang wanita yang bukan aseli Han, melainkan seorang berdarah campuran. Memang suku atau bangsa yang berdarah campuran, selalu memiliki gadis-gadis yang cantik menarik. Bahkan dikabarkan orang bahwa selain cantik jelita, juga dari tubuh wanita ini keluar keringat yang berbau harum!
Dalam tahun 745 itu, setelah Kaisar Beng Ong terpesona oleh kecantikan Yang Kui Hui, terjadilah ketidakwajaran yang pertama, yaitu sang kaisar memaksa puteranya untuk menceraikan isterinya dan memberikan seorang gadis lain sebagai pengganti isteri Pangeran Shouw. Kemudian, kaisar menarik Yang Kui Hui yang dicerai secara paksa oleh suaminya itu ke dalam istana dan menjadilah ia selir terkasih dari Kaisar Beng Ong! Mantu sendiri dipaksa menjadi selirnya. Hal ini, biarpun tidak ada yang berani menentang, sudah menimbulkan perasaan tidak senang di hati para menteri setia, kecuali tentu saja, para menteri penjilat yang membenarkan tindakan kaisar untuk menyenangkan hati kaisar!
Kemudian, apa yang dikhawatirkan oleh para menteri setiapun terjadilah. Kaisar Beng Ong benar-benar mabok dalam pelukan selir baru Yang Kui Hui. Dan sang selir yang cantik inipun seorang yang haus akan kekuasaan dan amat cerdik. Mulailah ia mempengaruhi kaisar dan mulailah pula ia mencampuri urusan pemerintahan sehingga banyak keputusan yang diambil kaisar sesuai dengan yang dikehendaki Yang Kui Hui! Tidaklah mengherankan apa bila seorang kakak laki-laki dari selir itu, yang bernama Yang Kok Tiong, berkat bujukan Yang Kui Hui, diangkat sebagai seorang pejabat tinggi oleh Kaisar Beng Ong. Dan berkat kekuasaan Yang Kui Hui, sebentar saja Yang Kok Tiong mempunyai pengaruh yang besar di antara para menteri, dan para menteri segan terhadap dia hanya karena dia adalah kakak Yang Kui Hui dan disayang oleh kaisar!
Biarpun usia Yang Kui Hui sudah tidak begitu muda lagi, sudah empat puluh tahun, namun ia masih cantik jelita dan nampak muda, bukan hanya muda di tubuh, akan tetapi juga muda di hati. Maka, setelah ia mendapat kekuasaan yang besar dan mempermainkan kaisar seperti anak-anak mempermainkan tanah liat, mulailah selir yang cantik ini merasa tidak puas dengan suaminya yang jauh lebih tua, kini sudah hampir tujuh puluh tahun! Mulailah matanya mengerling ke sana sini dan iapun tertarik kepada seorang perwira yang muda dan gagah perkasa. Perwira itu bernama An Lu Shan yang sebetulnya bukan seorang Han. An Lu Shan adalah keturunan Turki dari suku Khitan yang dilahirkan di luar Tembok Besar, yaitu di Liao-tung atau Mancuria Selatan. Ketika remaja, dia bahkan menjadi budak belian, dan akhirnya sebagai budak belian dia jatuh ke tangan seorang perwira Han. Karena dia seorang yang cerdik dan berambisi, maka dia bekerja dengan rajin dan belajar segala macam ilmu, terutama ilmu silat dan ilmu perang. Akhirnya, dia mendapat kesempatan untuk memperlihatkan keberanian dalam pertempuran di mana dia menjadi perajurit sehingga sebentar saja dia mendapat kepercayaan dan menjadi perwira. Karena jasa-jasanya membasmi atau memadamkan api pemberontakan yang terjadi di perbatasan utara, akhirnya dia dihadapkan kepada kaisar. Ketika Yang Kui Hui melihat perwira muda ini, ia membisikkan rayuannya kepada kaisar agar An Lu Shan diangkat menjadi seorang perwira istana. Kaisar menurut saja dan demikianlah, An Lu Shan menjadi seorang kepercayaan di istana, dekat dengan kaisar!
Dengan sendirinya, perwira muda inipun dekat dengan Yang Kui Hui dan segera tersiar desas-desus bahwa terjadi hubungan tidak senonoh antara An Lu Shan dan selir kaisar itu. Namun, dengan amat cerdiknya Yang Kui Hui dapat mengatur siasat untuk menghadapi desas-desus itu. Berkat rayuannya, ia berhasil membujuk kaisar untuk mengangkat An Lu Shan sebagai seorang panglima besar yang memimpin pasukan besar di darah utara, yaitu daerah Liao-tung tempat kelahirannya. Dengan menyingkirkan panglima itu ke luar istana, dengan sendirinya desas-desus itupun lenyap. Dan sebagai seorang panglima besar, apa lagi dia telah diangkat anak oleh Yang Kui Hui dan diberi gelar Pangeran bebaslah bagi panglima ini untuk sewaktu-waktu berkunjung ke kota raja, memasuki istana dan mengadakan hubungan dengan Yang Kui Hui setiap terbuka kesempatan bagi mereka.
Demikianlah sekelumit tentang keadaan Kerajaan Tang pada waktu kisah ini terjadi. Pada suatu malam, Yang Kok Tiong, kakak dari selir kaisar yang berkuasa itu, duduk termenung di dalam kamarnya seperti orang yang bersedih. Isterinya datang menghampirinya dan dengan khawatir isterinya bertanya mengapa suaminya nampak demikian muram.
"Suamiku, kenapa engkau nampak murung" Bukankah kini engkau telah memperoleh kedudukan tertinggi sebagai Menteri Utama" Semestinya kita bersyukur dan bergembira, bukan termenung dengan wajah murung."
Menteri Yang Kok Tiong, pria berusia lima puluh tahun itu, menghela napas panjang. "Ada dua hal yang membuat hatiku risau dan tidak pernah merasa puas. Yang pertama adalah anakmu, putera kita."
"Ehh" Kenapa dengan anak kita?" tanya isterinya, mengerutkan alisnya. "Dia anak tunggal yang amat baik, tampan, pandai dan cerdik, apa lagi kecurangannya?"
"Hemm, apa gunanya semua ketampanan, kepandaian bun (sastra) dan bu (silat) dan kecerdikannya itu kalau dia tidak pernah mau memegang jabatan" Sampai lelah dan jengkel aku membujuknya untuk suka kuberi kedudukan agar dapat menanjak dan kelak menjadi orang penting akan tetapi dia selalu menolak. Dia lebih senang berkeliaran. Huh semua ini karena engkau terlalu memanjakannya !"
"Suamiku, kenapa engkau marah-marah" Cin Han terlalu muda, baru sembilan belas tahun usianya, tentu dia masih suka bermain-main dengan kawan-kawan sebayanya dan ......"
"Itulah, engkau selalu membelanya dan memanjakannya! Sudahi ah, jangan bicara tentang dia, menjengkelkan saja. Ada hal lain lagi yang membuat hatiku risau bukan main dan semua ini gara-gara adikku Yang Kui Hui yang tidak tahu malu itu ! "
Kembali isteri menteri itu terbelalak heran. "Aih, aih.... suamiku, bagaimana engkau dapat berkata seperti itu" Untung di kamar ini hanya ada kita berdua. Kalau sampai terdengar orang lain! Bagaimana engkau dapat memaki adikmu" Pada hal, engkau mendapatkan kedudukan sampai sekarang menjadi Menteri Utama, semua berkat jasa adikmu itu yang membujuk Kaisar, bukan?"
"Semua itu benar, akan tetapi sekarang dia membuat aku merasa malu, juga khawatir sekali akan keselamatan Sribaginda Kaisar dan Kerajaan Tang."
"Ehhh......?" Isterinya memandang dengan muda berubah pucat. "Apa.. apa yang telah terjadi......?"
"An Lu Shan itu! Karena kegantengannya, dia berhasil mempengaruhi Yang Kui Hui!"
"Akan tetapi, itu hanya desas-desus dan fitnah, bukan" Panglima An Lu Shan itu bahkan telah diangkat menjadi anak oleh adikmu, dan bukankah hal itu pantas mengingat jasa-jasa panglima itu dan mengingat pula bahwa diapun masih mempunyai darah Khitan seperti juga engkau dan adikmu?"
"Kalau itu saja aku masih dapat menerima. Aku mengenal adikku, dan desas-desus itu bukan kosong. Akupun tidak mau mencampuri. Yang membuat hati ku kesal adalah melihat betapa An Lu Shan kini mendapatkan kedudukan yang amat penting. Dia diangkat menjadi panglima besar yang memimpin pasukan besar di Liao-tung, juga dia mendapat kekuasaan untuk keluar masuk istana seenak perutnya sendiri!"
"Akan tetapi, suamiku. Apa salahnya dengan itu" Dia mendapatkan kekuasaan di bidang ketentaraan, sedangkan engkau juga mendapatkan kekuasaan besar di bidang pemerintahan, semua ini jasa adikmu. Apakah engkau..... iri seperti terhadap An Lu Shan?"
Disentuh kelemahannya, wajah menteri utama itu menjadi merah. "Engkau tahu apa" Dengan kedudukan itu, aku khawatir suatu saat An Lu Shan akan memberontak. Bahkan aku sudah menyebar para penyelidik dan ada gejala-gejala bahwa dia mempersiapkan kekuatan untuk melakukan pemberontakan."
"Ahhh.....?" Isterinya menjadi pucat dan tidak berani membantah lagi. pada keesokan harinya, Menteri Utara Yang Kok Tiong segera mengutarakan kecurigaannya terhadap An Lu Shan kepada Sribaginda Kaisar.
"Hamba mohon agar paduka berhati-hati. Menghadapi An Lu Shan yang menguasai pasukan besar sekali di utara, seyogianya kalau paduka mengadakan pengawasan yang ketat. Hamba mendengar bahwa An Lu Shan menyusun kekuatan besar di utara, bahkan menerima perajuit-perajurit baru dari kalangan rakyat. Hamba khawatir kalau-kalau dia mempunyai itikad buruk terhadap Kerajaan paduka."
Menerima nasihat menteri utamanya itu, Kaisar Beng Ong merasa curiga juga. "Akan kami panggil dia, dan kalau benar dia hendak melakukan pemberontakan tentu akan kami hukum berat.
Kalau dia tidak datang memenuhi panggilan kami, berarti memang dia hendak memberontak dan kita serbu dan hancurkan pasukannya."
Biarpun di dalam kamarnya kaisar dihibur dan dibujuk Yang Kui Hui agar jangan mencurigai An Lu Shan, namun kaisar tetap memanggil datang An Lu Shan dari markasnya di perbatasan utara. Kecurigaan Yang Kok Tiong memang tidak tanpa dasar. Di utara, An Lu Shan menyusun kekuatan dan memperbesar pasukannya dengan menerima pasukan bayaran dari rakyat berbagai suku di utara. Ketika dia menerima panggilan Kaisar dan dari mata-matanya dia mendengar bahwa dia dicurigai, dia menjadi bimbang. Akan tetapi, pada saat itu, dia merasa belum kuat benar untuk memulai pemberontakan, maka dia bertekad untuk memenuhi panggilan karena hal inipun merupakan bukti akan kesetiaannya terhadap kaisar.
Demikianlah, ketika An Lu Shan menghadap kaisar, para menteri, termasuk menteri utama Yang Kok Tiong, terengang dan merekapun merasa bimbang.
"An Lu Shan, kami mendengar bahwa engkau hendak melakukan pemberontakan terhadap kami. Benarkah itu?"
An Lu Shan memperlihatkan sikap kaget, mukanya berubah kemerahan dan dia cepat memberi hormat sambil berlutut dan membentur-benturkan dahinya di lantai. "Ampun, Sribaginda, ampun beri bu ampun. Hamba sungguh terkejut mendengar sabda paduka tadi. Hamba.... memberontaki Hamba yang telah menerima anugerah yang berlimpah-limpah dari paduka, hamba yang bersumpah setia sampai mati, rela. mengorbankan nyawa hamba ini untuk membela paduka, hamba dituduh merencanakan pemberontakan" Sungguh hamba dapat mati penasaran, Sribaginda, dan hamba mohon penjelasan, mohon bukti dan saksi."
"An Lu Shan, kalau engkau tidak hendak memberontak, kenapa engkau menyusun kekuatan di utara, menambah besarnya pasukan dengan menerima perajurit-perajurit baru dari rakyat berbagai suku di perbatasan" Hayo jawab!"
"Ampunkan hamba, Sri baginda. Buktinya hamba datang menghadap paduka memenuhi panggilan saja sudah menyatakan bahwa hamba adalah seorang hamba yang setia kepada paduka. Dan tentang penyusunan kekuatan di utara itupun hamba lakukan demi kesetiaan hamba kepada paduka dan kerajaan paduka. Ancaman musuh yang terutama datang.dari utara! Kalau hamba tidak menghimpun tenaga sampai hamba dapat memperoleh pasukan yang amat kuat, bagaimana kerajaan paduka dapat membendung datangnya ancaman musuh dari utara" Pula, hamba sengaja menerima para pemuda berbagai suku di utara, hal itu untuk menjinakkan para suku liar itu agar mereka tidak ikut-ikutan menentang kerajaan paduka, melainkan membantu. Ahh, Sribaginda, kalau paduka masih menganggap hamba bersalah dan hendak memberontak, hamba hanya dapat menyerahkan jiwa raga hamba kepada paduka. Hamba siap dihukum mati walaupun arwah hamba akan menjadi arwah penasaran yang kelak akan selalu mengejar mereka yang melakukan fitnah atas diri hamba." Setelah kata demikian, sambil membenturkan bahu di lantai, panglima itu mencucurkan air mata.
Bukan hanya Kaisar, juga para menteri terkesan dan terharu oleh pembantahan diri An Lu Shan. Dan Sribaginda kaisar juga menghapus semua tuduhan kecurigaan, bahkan menjadi semakin percaya kepada An Lu Shan. Panglima kembali ke utara dengan wajah berseri karena kemenangan itu, membawa pula hadiah dari kaisar yang merasa menyesal telah mencurigai An Lu Shan. Serta selirnya tersayang kembali telah buktikan kebenarannya!
Sepulangnya dari menghadap kaisar dan melihat gagalnya rencananya menjatuhkan An Lu Shan, Menteri Yang Tiong pulang dengan wajah murung, aku sendiri merasa bimbang apakah benar An Lu Shan hendak memberontak seperti yang dikhawatirkannya berdasarkan laporan para mata-matanya. Alasan An Lu Shan demikian kuatnya.
Setibanya di rumah, dia disambut oleh isterinya dan oleh puteranya. Begitu melihat puteranya, hati menteri yang sedang risau dan kecewa itu, menjadi terbakar oleh kemarahan.
"Cin Han, ke sini kau, aku ingin bicara!" bentaknya sambil memasuki ruangan sebelah dalam. Cin Han memandang kepada ibunya yang mengangguk dan dia pun mengikuti ayahnya, maklum apa yang akan dibicarakan ayahnya dan maklum pula bahwa ayahnya sedang marah kepadanya. Ibunya sudah memberi tahu kepadanya tentang semua itu. Nyonya Yang tidak tega melihat puteranya akan dimarahi suaminya, maka iapun ikut pula masuk dengan sikapnya yang tenang.
Yang Cin Han berusia sembilan belas tahun, bertubuh sedang dengan dada bidang dan tubuh yang tegak, sikapnya jantan namun lembut seperti ibunya. Wajahnya tampan, berbentuk bulat dan bersih, alisnya hitam tebal, hidungnya mancung diapit sepasang mata yang bersinar-sinar. Mulutnya yang selalu tersenyum itu amat menyenangkan orang lain yang berhadapan dengannya. Dahinya yang lebar menunjukkan bahwa dia seorang pemuda yang suka berpikir. Biarpun usianya baru sembilan belas tahun, akan tetapi Cin Han sudah menguasai ilmu kesusasteraan yang cukup mendalam, sudah menghafal semua kitab Agama Buddha, banyak pula pengetahuannya tentang filsafat Agama To, dan pandai pula bermain yang-kim (siter) dan meniup suling. Selain ilmu kesusasteraan dan agama, juga pemuda ini sejak kecil oleh ayahnya dipanggilkan guru-guru silat yang pandai. Kedudukan ayahnya memungkinkan pemuda ini untuk memperoleh guru-guru yang menjadi jagoan-jagoan istana sehingga setelah berusia sembilan belas tahun, Cin Han memiliki ilmu silat yang tangguh. Namun, sikap dan pakaiannya tidak pernah menonjolkan kepandaian silatnya itu, dan dia lebih nampak sebagai seorang pelajar.
Kini mereka duduk berhadapan, ayah dan anak itu. Cin Han duduk di pinggir, hanya menyaksikan saja, tidak ingin mencampuri kalau saja suaminya tidak memarahi anaknya secara keterlaluan. Ruangan itu besar dan sunyi. Tidak akan ada seorangpun pelayan berani memasuki ruangan itu tanpa dipanggil. Setelah mereka saling berhadapan, duduk di kursi dan saling tatap pandang beberapa lamanya, akhirnya Cin Han merasa tidak enak karena agaknya ayahnya yang sedang marah itu menunggu dia bicara lebih dahulu.
"Ayah, keperluan apakah yang hendak ayah bicarakan denganku?"
"Cin Han, tahukah engkau berapa usiamu sekarang?"
"Kalau tidak keliru, bulan dua tahun depan usiaku sudah duapuluh tahun, jadi sekarang sembilan belas tahun lebih, ayah," jawab pemuda itu dengan sikap tenang dan wajah cerah, bibir terhias senyum.
Jelas engkau bukan anak kecil lagi. Lalu kalau tidak sekarang, kapan lagi engkau akan bertindak dewasa" Engkau adalah anakku., anak seorang Menteri Utama dari Kerajaan besar! Apakah engkau hendak menjadi seorang pemuda pengangguran saja" Lihat, siapa itu An Lu Shan! Dahulu dia seorang budak belian, sekarang" Dia menjadi panglima besar yang mengepalai pasukan besar di perbatasan, dan dia mendapat kepercayaan penuh oleh Sribaginda! Kalau engkau tidak cepat dari sekarang mencari kedudukan, kelak engkau akan menjadi apa" Apakah engkau tidak akan menjunjung tinggi nama keluarga Yang" Ingat, ayahmu ini hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu engkau!"
"Aih, harap jangan main-main! Bukankah ada kedua adik Yang kui an dan Yang Kui Bi ?" Cin Han berkelakar, pura-pura tidak tahu apa yang dimaksudkan ayahnya. Memang ayahnya mempunyai tiga orang anak. Dia adalah anak tunggal Isteri pertama, sedangkan Kui Lan dan Kui Bi anak dari dua orang ibu tirinya atau selir-selir ayahnya, dua orang adiknya itu. yang kini sudah berusia tujuh belas dan enam belas tahun.
"Siapa main-main" Maksudku, engkau adalah putera tunggalku yang kelak melanjutkan keturunan Yang! Mulai besok, engkau harus mengikuti ujian negara dan aku akan mengatur agar engkau memperoleh kedudukan yang sepadan dengan kemampuanmu!"
-oo0dw0ooo- Jilid 2 Kini Cin Han bersikap sungguh-sungguh. "Maaf, ayah. Terpaksa aku berani menolak apa yang ayah kehendaki. Ayah, biarpun aku sudah mempelajari banyak ilmu, akan tetapi semua kepandaian itu hanya merupakan teori belaka. Aku ingin menghayatinya, melaksanakan dalam kehidupan yang sesungguhnya. Aku ingin memperoleh pengalaman karena tanpa pengalaman, bagaimana aku akan dapat menjadi seorang pejabat yang baiki Apakah ayah menghendaki kelak anak ayah ini menjadi seorang pejabat yang hanya mampu menulis di belakang meja saja, hanya mampu menunjuk sana menunjuk sini, hanya mampu memerintah tanpa mampu melakukan apapun" Bagaimana aku akan dapat menjadi seorang pemimpin yang baik kalau aku tidak mampu melakukan sendiri apa yang kuperintahkan?"
Yang Kok Tiong mengerutkan alisnya. Ucapan puteranya itu seolah merupakan kritik kepada dirinya sendiri!
"Lalu apa maumu?" bentaknya.
"Ayah, berilah waktu kepadaku barang dua tiga tahun. Aku ingin merantau, meluaskan pengalaman dulu sebelum aku menerima usul ayah untuk menjadi seorang pejabat."
"Merantau" Engkau ingin menjadi petualang yang berkeliaran ke sana sini, bergaul dengan segala macam orang kang-ouw, hidup sebagai rakyat jembel ?"
"Ayah, justeru bergaul dengan orang kang-ouw itulah yang akan membuat aku mengerti akan segala keadaan di luar kota raja, dan bergaul dengan rakyat jelata dapat membuka mataku sehingga aku tahu apa saja yang diderita oleh rakyat, apa yang harus diperbaiki dan apa yang harus diubah demi kemakmuran rakyat. Tanpa terjun ke sana, bagaimana aku dapat merasakannya?"
"Sombong! Kau anak durhaka.....! Engkau tidak boleh berkeliaran, engkau harus mau menerima jabatan atau...."
Melihat suaminya marah-marah dan bangkit berdiri, Nyonya Yang segera bangkit dan menghampirinya, memegang lengannya dan menyabarkannya. "Sudahlah, tidak ada gunanya marah-marah didengar oleh para pelayan menjadi kurang baik. Engkau lelah dan perlu istirahat, marilah, nanti Cin Han biar aku yang membujuknya," kata isteri bijaksana itu dan ia menggandeng tangan suaminya, diajak masuk kekamar mereka.
Cin Han duduk termenung, alisnya yang tebal berkerut. Dia sudah cukup dewasa, dia sudah banyak mendengar tentang keadaan dalam istana, tentang kaisar, tentang bibinya yang menjadi selir terkasih Sribaginda, tentang desas-desus mengenai bibinya dan Panglima An Lu Shan. Dia melihat kenyataan betapa banyaknya penjilat kaisar, betapa banyaknya pembesar-pembesar yang sesungguhnya tidak becus apa-apa, akan tetapi memperoleh kedudukan tinggi karena ada main dengan para pejabat lainnya. Bahkan dia melihat kenyataan tentang ayahnya. Dia tahu bahwa ayahnya sebenarnya tidak tepat menjadi Menteri Utama. Ayahnya tidak memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Akan tetapi karena ayahnya kakak dari Yang Kui Hui, maka Sribaginda Kaisar mengangkat ayahnya menjadi Menteri Utama. Jabatan yang didapat bukan karena keahlian, melainkan karena bujukan dan rayuan bibinya. Jabatan anugerah! Dia muak melihat semua itu. Dia akan lebih senang kalau andaikata ayahnya itu mendapatkan kedudukan yang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Menjadi lurah dusun misalnya, atau camat paling tinggi! Bukan Menteri Utama! Dia malu kepada diri sendiri karena pengetahuannya ini.
Karena bagaimana juga, yang memarahinya adalah ayahnya, dan dia tahu betapa ibunya amat mencinta ayahnya dan ibunya akan ikut bersedih kalau ayahnya marah-marah, Cin Han akhirnya bangkit dari tempat duduknya dengan lesu. Dia lalu menuju ke belakang gedung yang besar itu, memasuki taman keluarga yang indah dan cukup luas. Di tengah taman itu terdapat sebuah pondok tempat istirahat dan dia selalu ke sana kalau hatinya sedang gundah. Juga di dekat pondok terdapat lapangan rumput yang luas di mana dia sering berlatih silat.
Dari jauh dia sudah melihat dua orang adiknya sedang berlatih silat. Wajah tampan yang tadinya agak muram karena memikirkan perselisihannya dengan ayahnya itu tiba-tiba menjadi cerah, berseri-seri dan Cin Han mempercepat langkahnya. Dia amat menyayang dua orang adik tirinya, teman bermainnya sejak kecil. Juga mereka berdua amat sayang kepadanya.
Karena tidak ingin mengganggu dua orang gadis yang sedang berlatih, diapun menyelinap dan mengintai di balik pondok, menonton kedua orang gadis remaja yang sedang berlatih silat pedang di lapangan rumput itu. Dan diapun tertegun. Dua orang adiknya itu sedang melatih ilmu pedang yang aneh, yang sama sekali tidak dikenalnya dan baru sekali ini dia melihat ilmu pedang itu. Bahkan baru kemarin dia berlatih pedang dengan kedua adiknya, akan tetapi mereka sama sekali tidak bicara tentang ilmu pedang baru itu, apa lagi memainkannya. Dan melihat gerakan mereka, dia yakin bahwa ilmu itu bukan ilmu yang baru dilatih sekarang. Tentu sudah lama mereka melatih ilmu pedang itu, dengan diam-diam dan di luar tahunya. Dia menonton sambil memperhatikan. Dia kagum bukan main. Ilmu pedang itu memang hebat. Dasar kuda-kuda dan perubahan geseran kaki mereka begitu kokoh kuat, menopang ilmu pedang yang tangguh. Gerakan pedang itupun mantap dan selain cepat juga memiliki perubahan yang luar biasa dan tidak terduga-duga. Aneh sekali ilmu pedang itu. Akan tetapi lebih aneh lagi adalah kenyataan betapa mereka menyembunyikan ilmu itu darinya. Tentu ada apa-apanya ini karena kedua orang adiknya itu selamanya belum pernah menyembunyikan sesuatu darinya. Diapun tidak ingin membuat mereka terkejut dan menanti sampai mereka selesai berlatih, barulah dia muncul dari balik pondok.
"Aih, Han-toako!" seru gadis yang lebih besar.
"Han-toako, kenapa engkau baru muncul" Ke mana saja engkau sejak tadi" Aku dengar ayah marah-marah kepadamu. ya" Ayah ingin engkau segera menjadi seorang pembesar, ya" "kata yang lebih kecil.
Cin Han tersenyum lebar dan menghampiri kedua orang gadis itu. Mereka adalah gadis-gadis yang sehat dan jelita, membuat dia bangga memandang mereka. Yang lebih besar, Yang Kui Lan , memiliki wajah yang menurut ibunya, mirip dengan wajahnya, atau lebih tepat, wajah mereka mirip dengan wajah bibi mereka, Yang Kui Hui yang cantik jelita. Karena itu, Kui Lan amat cantik jelita, seperti bibi mereka. Tubuhnya tinggi ramping, wajahnya cantik dengan dagu meruncing dan mata yang memiliki kerling tajam, dan tahi lalat kecil di dagu kiri menambah kemanisannya. Mulut ya indah, hidungnya mancung. Seraut wajah yang jelita, dan wataknya pendiam, anggun dan agung, seperti seorang puteri istana. Sungguh pantas ia menjadi puteri Menteri Utama, karena setiap gerak-geriknya, pembawaannnya, begitu agung seperti seorang puteri bangsawan tinggi. Sungguh jauh bedanya dengan Kui Bi, adiknya yang berusia enam belas tahun itu. Adiknya ini mirip ibu kandung gadis itu. tubuhnya kecil mungil Dengan wajah manis dan rambut hitam subur, matanya seperti sepasang bintang yang selalu tersenyum. Mata itu lebih nampak senyumnya dibanding bibirnya yang merah basah, sepasang mata yang Jenaka, pembawaannya lincah dan manja, pandai bicara, dan sama sekali tidak pendiam seperti enci tirinya. Gadis ini memang amat cerdik dan lincah, pandai" bergaul sehingga disayang oleh semua keluarga
Cin Han tidak merasa heran mendengar Kui Bi mengetahui persoalannya dengan ayahnya. Memang sudah lama ayahnya selalu membujuknya agar dia mau menjadi pejabat. Akan tetapi tentu ke dua orang adiknya itu tidak tahu apa yang baru saja terjadi antara dia dan ayahnya. Dia membelokkan arah percakapan dan sambil mengamati kedua orang gadis yang kini menggunakan saputangan untuk menyusut keringat yang membasahi leher dan muka mereka, dia bertanya.
"Lan-moi (adik Lan) dan Bi-moi (adik Bi), ilmu pedang apakah yang kalian latih tadi ?"
Dua orang gadis itu nampak terkejut, saling pandang dan Kui Lan tidak mampu menjawab, diam saja. Kui Bi tersenyum dan berpura-pura heran. "Aih, kenapa masih bertanya, Han-ko. Kami berlatih ilmu pedang biasa, Thian-te Kiam-hwat (Ilmu Pedang Langit Bumi) yang sudah kita kenal bersama, bahkan engkau sering memberi petunjuk kepada kami."
Cin Han mengerutkan alisnya dan memandang kepada adiknya dengan alis berkerut. "Bi-moi, sejak kapan engkau belajar berbohong" Kaukira begitu mudah engkau membohongi aku" Sudah sejak tadi aku menonton kalian berlatih ilmu pedang itu dan aku tahu bahwa itu adalah ilmu pedang aneh dan hebat yang sama sekali tidak kukenal. Nah, masihkah kalian tidak mau berterus terang kepada kakak kalian sendiri?"
"Maafkan kami, koko......." kata Kui Lan .
"Tidak perlu minta maaf, ceritakan saja dari mana kalian mempelajari ilmu pedang itu dan apa namanya," kata Cin Han dengan suara tegas dan menuntut .
"Hi-hik, Lan-ci (kakak Lan), aku berani bertaruh bahwa Han-ko baru saja mendapat marah besar dari ayah!" kata Kui Bi sambil tertawa-tawa sehingga nampak deretan giginya yang mengkilap rapi .
"Hemm, dari mana kau tahu?"
"Itu mudah saja, koko. Engkau di marahi ayah, tidak berani membalas dan untuk melampiaskan kedongkolanmu, engkau memarahi kami. Belum pernah kita melihat Han-ko marah-marah kepada kita, bukan, Lan-ci ?"
Cin Han memandang dengan sungguh sungguh. "Lepas dari soal marah atau tidak, aku sungguh ingin tahu sekali. Ilmu pedang kalian tadi memang hebat. Dari siapa kalian mempelajarinya?"
Kembali kakak beradik itu saling pandang, kemudian Kui Lan menghela napas dan berkata kepada adiknya, "Bi-moi, tiada salahnya kalau kita berterus terang saja kepada Han-ko. Kau ceritakanlah kepadanya apa adanya, Bi-moi ."
Mendengar ucapan encinya, Kui Bi tidak bimbang lagi. "Begini, Han-ko, bukan kami tidak mau berterus terang kepadamu, akan tetapi sesungguhnya, orang yang mengajarkan ilmu pedang ini kepada kami memesan agar kami tidak menceritakan kepada orang lain...."
"Akan tetapi aku bukan orang lain, Bi-moi! Kalau tidak kauceritakan padaku, akan kuberi tahu ayah bahwa kalian menyembunyikan rahasia dan kalian tentu akan dipaksa mengaku dan mendapat kemarahan besar." Cin Han mengancam.
"Baiklah, Han-ko, kami ceritakan akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan menceritakannya kepada orang lain," kini Kui Lan berkata.
Cin Han mengangkat kedua tangan ke atas. "Baik, aku berjanji. Nah, sekarang ceritakan kepadaku."
"Peristiwanya terjadi tiga bulan yang lalu, koko," Kui Bi mulai bercerita. "Kami berdua sedang melakukan perjalanan pulang dari kuil di mana kami bersembahyang. Di depan kuil, sebelum kami naik joli, kami melihat seorang kakek pengemis duduk melenggut. Kami merasa kasihan sekali kepada kakek jembel itu, maka kami lalu mengambil dua keping uang emas dan kami berikan kepadanya."
"Kalian memberi sedekah dua keping uang emas kepada seorang pengemis" Luar biasa sekali! Kalian terlalu royal!" Cin Han berseru heran. Mana ada orang memberi sedekah dengan kepingan emas kepada seorang pengemis"
"Memang luar biasa, koko, dan kami berduapun merasa heran mengapa mendadak kami merasa iba kepadanya. Akan tetapi akibat perbuatan. kami itupun luar biasa, koko!" kata Kui Bi .
"Eh, Bi-moi, apa hubungannya urusan pengemis itu dengan ilmu pedang kalian" Jangan mencoba mengibuli aku!"
"Aih, engkau sungguh tidak sabar, koko. Jelas ada hubungannya! Dengarkan saja," sela Kui Bi. "Tiga hari kemudian, ketika pada suatu pagi kami berdua sedang berlatih ilmu pedang, tiba-tiba terdengar suara orang yang mencela gerakan kami dan memberi petunjuk. Tentu saja kami terkejut dan penasaran, akan tetapi petunjuknya itu memang tepat sekali. Anehnya, suara itu tidak ada orangnya. Baru ketika kami minta kepada suara itu agar kalau dia seorang manusia suka memperlihatkan diri, tiba-tiba saja muncul seorang kakek dan bukan lain adalah kakek jembel depan Kui Bi itu!"
Kisah itu mulai menarik dan Cin Han terbelalak. "Lalu bagaimana, Bi" Lanjutkan, lanjutkan.....!"
Bibir yang merah basah itu merekah dalam senyum yang menggoda. "Akan ku lanjutkan, akan tetapi janji dulu bahwa lain kali engkau tidak akan galak kepadaku, dan akan selalu bersikap manis sebagai seorang kakak yang baik. Berjanjilah!" Gadis ini memang nakal dan suka menggoda, lagi manja.
"Baiklah, baiklah..... aku berjanji. Tapi cepat lanjutkan, lalu bagaimana" Apakah pengemis itu muncul di sini, di taman ini?"
"Benar, dia muncul, bukan seperti engkau tadi yang bersembunyi di balik pondok. Dia melayang turun dari atas pondok seperti burung saja. Kami terkejut dan bertanya apa maunya dan bagaimana dia dapat memasuki taman. Dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa dia datang.untuk membalas budi kami. Dan diapun segera mengajarkan ilmu pedang itu kepada kami dengan janji bahwa kami tidak akan menceritakan kepada orang lain......"
"Tapi aku bukan orang lain, aku adalah kakak kalian yang baik dan tersayang. Nah, lanjutkan!" kata Cin Hari tak sabar. "Siapa nama orang itu, apa nama ilmu pedang itu dan berapa lama dia mengajarkan kepada kalian, apakah! dia masih suka datang ke sini dan....!"
"Aihh, repot juga aku menghadapi! serangan pertanyaanmu yang seribu satu macam banyaknya itu, koko! Dia tidak memperkenalkan namanya, dan tidak suka kami sebut sebagai guru. Dia hanya Angin membalas budi. Ilmu pedang itu dia sebut Sian-li Kiam-sut (ilmu Pedang Dewi) yang katanya amat cocok untuk kami. Tadinya dia datang setiap hari sampai kurang lebih sebulan, kemudian dia mengatakan bahwa kami sudah mempelajari semua teorinya hanya tinggal berlatih berdua saja dan dia tidak pernah datang lagi . "
"Dan selama sebulan itu, dia datang ke sini dan pergi tanpa dilihat orang lain?"
"Agaknya tidak ada yang melihatnya kecuali kami berdua, Han-ko," kata Kui Lan . "Memang dia mempunyai gerakan yang luar biasa, datang dan pergi hanya nampak bayangannya berkelebat."
"Luar biasa! Sungguh luar biasa!" seru Cin Han. "Bagaimana orangnya, sikapnya, bentuk badannya, wajahnya, kepandaiannya?" Kembali dia menghujankan pertanyaan, membuat Kui Bi terkekeh.
"Wah-wah, engkau murka sekali, koko. Engkau hanya berjanji satu, akan tetapi minta banyak sekali. Nah, aku akan menceritakan bagaimana keadaan orang itu, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa engkau nanti akan menceritakan tentang ayah, apakah engkau tadi di marahi ayah dan mengapa dimarahi" Maukah engkau berjanji?"
"Baiklah, baiklah, engkau rewel sekali, Bi-moi. Hayo katakan bagaimana keadaan orang itu!"
"Orangnya berusia kurang lebih enam puluh tahun, kurus kering dan bongkok, seperti ebi....."
"Ebi?" "Ya, udang kering itu lho! Rambutnya dibiarkan riap-riapan, sudah banyak ubannya, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi bersih, dan mukanya seperti ...... seperti...... monyet."
"Bi-moi!" Kui Lan menegur adiknya. "Bagaimana juga, dia itu guru kita, bagaimana engkau dapat mengatainya seperti itu?"
"Aih, enci. Aku bukan bermaksud menghinanya, akan tetapi bagaimana pula harus menerangkan kepada Han-koko Kita harus jujur, enci. Bukankah memang mukanya mirip muka seekor monyet Coba kau yang menggambarkan, bagaimana bentuk wajahnya agar Han-koko mengerti, enci Lan."
"Sudahlah, aku tidak tahu. Keteranganmu sudah cukup, hanya yang kutahu, dia selalu membawa sebatang tongkat."
"Ah, benar! Han-ko, orang itu selalu membawa sebatang tongkat hitam panjangnya sedepa, kadang dia selipkan di pinggang. Nah, sekarang kauceritakan tentang ayah dan engkau, Han-ko."
Ditanya demikian, kegembiran dan ketegangan mendengar tentang pengemis itu, seperti tersapu dari wajah Cin Han. Wajahnya berubah agak muram dan diapun duduk di atas bangku yang terdapat di situ, lalu termenung dan menghela napas berulang kali.
"Ihh! Bagaimana, ini, Han-ko" Kalau ceritamu hanya helaan napas panjang saja, tidak perlu aku mendengarnya. Aku sendiri pun mampu dan pandai kalau hanya menghela napas!" Kui Bi bersungut-sungut.
Sikap adiknya ini sedikit banyak mengurangi tekanan batin yang di derita Cin Han dan diapun tersenyum. "Ayah memang marah-marah kepadaku. Seperti biasa, ayah hendak memaksa aku untuk menjadi pejabat, akan tetapi aku menolak dan aku mengatakan bahwa aku ingin pergi merantau selama dua tiga tahun dulu mencari pengalaman."
"Wah, bagus! Menyenangkan sekali! Aku ikut, Han-ko!" teriak Kui Bi dengan gembira sehingga suaranya seperti orang bersorak.
"Hushh, Bi-moi, lupakah engkau bahwa engkau seorang wanita?" Kui Lan menegurnya.
Kui Bi membalikkan tubuh menghadapi encinya. "Kalau aku wanita, habis mengapa, enci" Wanitapun manusia seperti Han-koko, bukan" Dan akupun ingin mencari pengalaman, merantau bersama Han-ko. Akupun sudah mampu menjaga dan membela diri, bukankah begitu, koko?" Dengan manja Kui Bi memegang tangan kakaknya. "Han-ko, aku boleh ikut denganmu pergi merantau, bukan" ,Boleh kan, koko yang baiki"
Cin Han tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya. "Aih, BI-moi, engkau ini seperti anak kecil saja. Sedangkan aku sendiri begitu memberi tahu ayah bahwa aku akan pergi merantau, ayah sudah marah bukan main dan melarangku, apa lagi kalau dia mendengar engkau akan ikut pergi. Tentu kemarahannya akan memuncak.
"Jadi.... kalau begitu, engkau tidak jadi pergi merantau?" tanya Kui Bi kecewa. Kakaknya menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Entah, Bi-moi. Aku masih bingung, belum dapat mengambil keputusan. Kalau aku pergi, tentu ibu akan berduka karena ayah marah. Dan engkau, jangan harap engkau dapat pergi, tentu ayah akan melarang keras."
Kui Bi menjatuhkan diri duduk di atas bangku dan bertopang dagu, alisnya berkerut dan nampak giginya yang rapi putih Itu menggigit-gigit bibir bawah, tanda bahwa hatinya kesal dan jengkel.
"Sudahlah, Bi-moi, jangan macam-macam. Kita ini wanita, tidak mungkin ayah memperbolehkan kita pergi merantau. Sedangkan Han-ko yang laki-laki pun tidak diperkenankan, apa lagi kita."
"Wah, aku sudah tahu! Ya, hanya itulah jalan satu-satunya!" Tiba-tiba Kui Bi meloncat bangun, mengejutkan kedua orang kakaknya, dan Kui Bi kembali memegang tangan Cin Han, mengguncang-guncangnya sambil berkata, "Han-ko, engkau harus menolong kami sekali ini! Engkau harus menolong kami agar kami diperkenankan ayah untuk keluar dari rumah, dari kota raja!"
"Ehh" Bagaimana pula ini" Yang akan merantau adalah aku, bukan kalian!" kata Cin Han.
"Tentu saja. Engkau pergilah merantau, koko. Engkau pergi tanpa pamit alias minggat. Nah, tentu ayah dan para ibu bingung, lalu aku dan enci Lan akan menghadap ayah, dan mengusulkan agar kami diperkenankan pergi mengejar dan mencarimu sampai dapat, memaksamu untuk pulang! Dengan demikian, ayah tentu akan mengijinkan dan berarti kita bertiga semua pergi merantau! Asyiiik!"
Mau tidak mau Cin Han tertawa melihat adiknya yang manis itu menari-nari gembira. Juga Kui Lan yang amat mencinta adiknya ikut tersenyum. "Ihh, engkau menganggap segala hal dapat dilaksanakan dengan mudah saja, Bi-moi."
"Apa sih sukarnya" Kalau Han-ko minggat malam-malam, siapa yang akan menghalanginya. Dan pada keesokkan harinya, kita menghadap ayah dan menyatakan akan mengejar Han-ko sampai dapat. Serahkan saja kepadaku untuk membujuk ayah, pasti berhasil!"
"Terserah kepada Han-ko, kita tidak bisa memaksanya," kata pula Kui Lan sambil memandang kepada pemuda itu. Kui Bi juga memandang dan pemuda itu kembali menghela napas panjang.
"Hal ini akan kupertimbangkan dulu," katanya dan diapun meninggalkan taman itu bersama dua orang adiknya yang akan pergi mandi.
0oodwoo0 Cin Han berjalan santai di jalan raya depan kuil itu. Banyak memang di depan kuil, di kanan kiri, terdapat para pengemis yang menanti para tamu keluar dari kuil untuk minta sedekah. Biasanya, orang yang memasuki kuil tentu untuk bersembahyang dan memohon sesuatu dan orang-orang seperti itulah yang biasanya suka memberi sedekah kepada para pengemis.
Suatu kekeliruan besar telah kita perbuat, sejak sejarah kehidupan manusia dimulai sampai sekarang, yaitu menjadi peminta-minta. Mungkin caranya yang berubah dan berbeda-beda, namun pada hakekatnya, tetap saja kita meminta-minta, mengemis. Kepada Tuhan, kepada para dewa, kepada arwah leluhur, bahkan kepada setan dan iblis kita selalu menadahkan tangan untuk minta-minta, untuk memohon sesuatu! Yang kita lakukan dalam sembahyang, selalu berisi penuh permintaan, permohonan! Dan dalam keadaan memohon sesuatu, masih kita sogok lagi dengan perbuatan yang dianggap baik, seperti beramal, memberi sedekah, menolong orang, semua itu untuk memperkuat doa kita agar permohonan kita terkabul! Kalau permintaan dengan segala macam bentuk sogokan itu ditujukan kepada para dewa, kepada arwah atau kepada segala macam setan dan iblis, masih dapat dimengerti, karena mereka memang mungkin masih membutuhkan sogokan. Akan tetapi kalau segala macam permintaan itu ditujukan kepada Tuhan Maha Pencipta, sungguh hal ini patut kita renungkan bersama.
Tuhan Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Kasih! Tuhan telah menciptakan Segala sesuatu dalam keadaan sempurna! Kitapun diciptakan ke dunia ini dalam keadaan yang sempurna, disertai segala macam alat yang paling lengkap untuk dapat hidup. Setiap helai rambut, Setiap lubang pori-pori, kuku, gigi, setiap lekukan jari, bulu mata, alis, Panca indera, hati akal pikiran, lengkap dengan segala macam yang ada pada diri kita luar dalam, semua itu mempunyai daya guna untuk dapat kita pergunakan demi kepentingan kehidupan di dunia ini. Sudah diberi sejak lahir secara lengkap. Berkah Tuhan juga, berlimpahan. Kita diberi tanah, udara, panas matahari, air, semua yang diperlukan untuk kehidupan tanam-tanaman yang akan menjadi makanan kita, sampai ke benih segala macam tumbuh-tumbuhan, jutaan macam banyaknya. Ada pula jutaan macam binatang yang dagingnya dapat pula menjadi makanan kita. Segala sudah tersedia, TINGGAL MENGERJAKAN saja. Namun, kita masih saja minta-minta! Sepatutnya, dalam sembahyang, kita berbakti, kita memuja, kita bersyukur, berterima kasih, karena segalanya telah disediakan Tuhan untuk kita. Kita hanya tinggal mengerjakan segala yang ada pada kita, mengerjakan anggauta badan kita, hati akal pikiran kita, demi mencukupi kebutuhan hidup kita. Demikian Maha Kasih Tuhan sehingga dalam segala macam tumbuh-tumbuhan itu telah terdapat yang bisa mengenyangkan, yang bisa menguatkan, bahkan ada pula yang dapat menyembuhkan kita kalau kita terserang penyakit.
Hidup ini berarti gerak. Siapa tidak menggerakkan dirinya untuk bekerja, tentu akan terjadi gangguan pada dirinya. Bekerja, mempergunakan segala sarana yang telah diberikan Tuhan untuk kita, berarti kita tidak menyia-nyiakan pemberian Tuhan, berarti bahwa kita telah berdosa. Mengerjakan segala sarana yang telah diberikan Tuhan kepada kita berarti berbakti dan memuja ke pada Sang Maha Pencipta. Karena itu, tidak ada gunanya memohon tanpa bekerja. Kalau kita lapar, kita harus mencari makanan sendiri, bukan minta makanan kepada Tuhan!
Demikianlah pula kalau kita sakit, kita harus berusaha mencari obatnya. Segala apapun yang kita butuhkan, harus kita cari sendiri. Itulah kewajiban manusia dalam kehidupan di dunia ini. Berikhtiar agar hidup ini terpenuhi semua kebutuhannya, kemudian berikhtiar agar hidup ini terisi oleh manfaat bagi manusia lain. Ikhtiar adalah wajib, dan tanpa mau berikhtiar, hanya memohon dan mengandalkan kepada Tuhan saja, sama dengan mempersekutukan Tuhan, membebani Tuhan dengan segala pekerjaan demi keenakan kita! Betapa besar dosanya kalau sikap ini kita pertahankan!
Sembahyang kepada Tuhan merupakan wajib, yaitu kewajiban kita untuk berbakti, bersyukur dan berterima kasih. Tuhan Maha Tahu Tidak usah kita minta, Tuhan sudah Tahu apa yang kita butuhkan, dan sudah disediakan segalanya, pasti akan kita dapatkan dengan jalan berikhtiar, dengan landasan iman dan kepasrahan kepada Tuhan yang menentukan segalanya. Puji syukur kepada Tuhan. Dan kalaupun ada suatu permohonan suatu permintaan, maka sepatutnya kalau satu-satunya permohonan kita adalah mohon ampun atas segala kesalahan kita yang lalu. Dengan penyerahan kepadaNya, pasrah, tawakal, ikhlas, sabar, maka kita akan mendapatkan bimbinganNya. Bukan dengan cara minta-minta, apa lagi menyogok. Perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan balas jasa, bukan perbuatan baik lagi namanya, melainkan kepalsuan. Sama seperti kalau kita berbuat baik terhadap seorang pembesar dengan harap an agar kelak pembesar itu akan memberi suatu kemudahan bagi kita! Perbuatan baik seperti itu bukan lain hanyalah perbuatan menyogok, menyuap.
Cin Han akhirnya menemukan apa yang dicarinya di pagi hari itu. Kakek itu duduk melenggut di sudut pekarangan kuil. Dia tidak meratap meminta-minta kepada orang-orang yang berlalu-lalang di depannya seperti para pengemis lain. Dia bahkan melenggut dan mengantuk, kedua matanya terpejam, rambutnya yang riap-riapan kelabu itu bagian atasnya, menutupi ubun-ubun kepalanya, dilindungi sebuah topi butut yang bentuknya seperti tempurung kelapa. Tubuhnya yang kurus memang seperti ebi, seperti udang kering ketika dia melingkar di sudut itu. Yang membedakan dia dari para pengemis lain bukan hanya karena dia tidak merengek dan mengemis, akan tetapi kebersihan pada dirinya, baik pada rambutnya, pakaian dan mukanya. Bajunya memang butut dan tambal-tambalan, akan tetapi bersih! Dan sebatang tongkat hitam terletak di atas ke dua pahanya.
Jelas, inilah orangnya, pikir Cin Han, terheran-heran. Orang seperti ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi" Sungguh amat sukar dipercaya. Melihat tubuh yang kerempeng itu, agaknya tertiup angin agak keraspun dia akan terpelanting! Berbeda dengan guru-gurunya, para jagoan istana, hampir semua bertubuh kokoh kuat. Akan tetapi, dari para gurunya itu dia sudah mendengar pula bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak orang aneh, orang-orang yang kelihatannya amat lemah, akan tetapi justeru memiliki kesaktian. Karena itu, dia tidak berani memandang rendah, apa lagi teringat akan cerita Kui Bi .
Cin Han mengambil sepotong emas dari sakunya. Emas itu sedikitnya setail beratnya, puluhan kali lebih banyak dari pada keping emas yang pernah diberikan Kui Lan dan Kui Bi kepada kakek ini. Setelah melihat ke kanan kiri dan tidak ada seorangpun yang melihat apa yang diperbuatnya, Cin Han menghampiri kakek itu dan meletakkan sepotong emas itu ke dalam tangan kakek itu, menekankan emas itu di telapak tangannya sambil berkata, "Kakek yang baik, terimalah sedekahku ini!"
Kakek Itu membuka mata dan setelah Cin Han melihat bahwa kakek itu memandang kepadanya, dia mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah pergi. Tanpa menoleh Cin Han pergi menuju ketimur dan keluar dari pintu gerbang kota raja. Dia lalu memilih tempat yang sunyi, yaitu di tepi Sungai Wei, sungai yang mengalir di tepi kota raja dan yang mengalir ke timur dan menjadi anak Sungai Kuning. Di tepi sungai itu dia duduk termenung. Dia merasa yakin bahwa kakek sakti itu pasti terpikat dan akan menemuinya di tempat itu, seperti dia menemui kedua orang adiknya yang telah memberinya hanya dua keping uang emas.
Apa yang diduga dan diharapkannya kemudian terbukti benar. Belum setengah jam dia duduk di tepi sungai yang lebar dan airnya tenang itu, terdengar suara orang batuk-batuk di belakangnya. Dia menoleh dan melihat kakek tadi telah berdiri di situ, tubuhnya bungkuk dan dia berdiri bertopang pada tongkat hitamnya, matanya yang sipit itu mengamatinya, mulutnya menyeringai seperti orang mengejek.
Cin han segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu. Melihat ini, kakek itu nampak terheran-heran dan mencoba untuk membelalakkan matanya yang sipit. Akan tetapi sia-sia, karena mata itu terlalu sipit, coba dibelalakkan malah menjadi semakin terpejam!
"Ah, kongcu, apa yang kaulakukan ini?" katanya.
"locianpwe, aku Yang Cin Han menghaturkan hormat kepada locianpwe," kata Cin Han dengan sikap hormat.
Kakek itu mengeluarkan suara tawa aneh dan mulutnya menyeringai.
"Heh-heh-heh, apa engkau sudah gila" Tadi engkau lewat dan sepotong emasmu terjatuh ke tanganku, sekarang engkau memberi hormat secara berlebihan kepadaku. Nah, kau terima kembali emasmu ini, kongcu."
"locianpwe, emas itu memang sengaja kuberikan kepadamu sebagai sedekah," kata Cin Han tegas.
"Ehh" Memberi sedekah sebanyak ini" Apa maksudmu memberi sedekah emas sebesar ini?"
"locianpwe, aku memberikan emas itu kepadamu dengan maksud agar locianpwe suka mengajarkan ilmu kepadaku. Aku tahu bahwa locianpwe adalah seorang ahli silat yang pandai., maka aku mohon agar locianpwe suka mengajarkan ilmu silat yang tinggi kepadaku ."
"Hemm, orang muda. Kaukira ilmu dapat dibeli dengan emas" Biar kau sediakan emas yang banyaknya seribu kali ini, engkau tidak akan dapat memaksa aku mengajarkan ilmu kepadamu!" Suara kakek itu mengandung teguran. "Biarpun engkau putera menteri, kaya raya, namun tidak akan dapat memaksaku mengajarkan ilmu kepadamu."
Mendengar ini, Cin Han mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, locianpwe telah menerima dua keping emas dari dua orang adikku dan locianpwe telah mengajarkan Sian-li Kiam-sut kepada mereka! Kalau aku sekarang memberi sepotong emas kepada locianpwe dan minta agar locianpwe suka mengajarkan ilmu silat kepadaku seperti yang locianpwe lakukan kepada dua orang adikku, salahkah itu?"
Kakek itu tertawa. "Heh-heh-heh, orang.muda. Kaukira aku mengajarkan silat kepada dua orang nona itu karena mereka telah memberi uang emas kepadaku" Sama sekali tidak! Aku mengajarkan silat kepada mereka bukan karena emas itu, melainkan karena budi mereka."
"Hem, emasnya memang sama, akan tetapi dasar yang mendorong pemberian itu yang sama sekali berbeda. Mereka memberikan emas kepadaku terdorong oleh perasaan iba sehingga mereka memberi tanpa pamrih karena merasa kasihan. Sebaliknya, engkau memberi emas kepada ku karena terdorong keinginanmu untuk dapat mempelajari ilmu silat dari ku. Berarti, kau hendak menyogokku, hendak membeli ilmuku. Tak mungkin aku mau mengajarimu!" Berkata demikian, kakek itu menjatuhkan sepotong emas tadi ke depan Cin Han yang masih berlutut.


Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu, locianpwe tidak adil! Sama sekali tidak adil!" kata Cin Han yang melihat betapa kedua kaki orang itu sudah diputar dan agaknya hendak meninggalkan dia yang masih berlutut terasa matanya seperti menjuling dan mendelik, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat melihat kakek itu. Celaka, dia benar-benar pergi! Kakek yang keras hati, pikirnya. Akan tetapi, diapun kalau perlu dapat berkeras hati, pikirnya. Dia sudah berjanji akan berlutut terus. Biarlah dia berlutut terus sampai kakek itu kembali, atau sampai jatuh pingsan, biar orang lain yang mengangkat dan membangunkannya. Yang jelas, dia tidak akan bangun. Malu rasanya kalau melanggar janji sendiri. Biarpun dia tidak diajar silat, yang jelas sudah mendapatkan satu pelajaran dari kakek itu, yaitu harga diri! Kakek itu, biar diberi emas satu ton, tidak mau menjual ilmunya. Diapun, sesudah berjanji, takkan melanggarnya. Ini namanya harga diri!
Dapat dibayangkan betapa lelahnya tubuh, terutama kedua kaki dan terutama sekali di bagian lutut, kalau orang berlutut terus sejak pagi sampai sore, bahkan sampai malam gelap tiba. Dan kakek itu sama sekali tidak nampak Kembali! Dan juga tempat itu sunyi, tidak ada seorangpun lewat! Untung jauh lari hutan, pikirnya. Kalau di dalam hutan lalu ada binatang buas datang, bagaimana" Dia sudah hampir tidak kuat Tertahan lagi. Ingin sekali dia meloncat bangun dan lari pulang. Akan tetapi, Cin Han menggigit bibir dan bertahan terus! Malam itu hawa udara dingin bukan main. Bagaimana kalau sungai itu banjir dan airnya menyambar tempat dia berlutut, pikirnya. Malam itu gelap dan suara angin bertiup pada pohon-pohon membuat daun bergoyang dan menimbulkan suara seperti ada seribu setan saling berbisik dan menertawankannya! Bermacam penglihatan khayal menggoda Cin Han. Bulu kuduknya meremang ketika terdengar suara burung hantu di atas pohon.
Setelah lewat tengah malam dan kakek itu belum ada tanda-tandanya akan kembali, hati Cin Han mulai mengomel dan memaki-maki. "Kakek kejam! Kakek sadis! Tentu dia bukan orang baik-baik. Tentu dia seorang datuk sesat. Kalau dia manusia baik-baik tentu tidak sekejam ini, kakek berhati iblis" Demikian dia memaki-maki dalam hatinya, akan tetapi tetap saja dia tidak bangkit berdiri. Pertama karena dia masih ada sedikit sisa kenekatannya, dan kedua karena memang kedua kakinya sudah terasa kaku dan tidak dapat digerakkan sehingga kalau dia bangkit berdiri, tentu dia akan jatuh, dan ke tiga, malam begitu gelap, andaikata dapat berdiripun, dia tidak berani melanjutkan, salah-salah dia bisa tercebur ke dalam sungai!
Menjelang pagi, rasa lelah dan kantuk tak tertahankan lagi. Cin Han masih berlutut dan kini kepalanya semakin menunduk sampai akhirnya menyentuh tanah di depannya, kedua matanya terpejam dan rasanya dalam mimpi. Dalam mimpi itu, matanya melirik ke atas dan dia melihat dua buah tiang mencuat depan hidungnya dan tercium bau ya tidak enak. Dia mengingat-ingat karena walaupun bau itu tidak enak, akan tetapi seperti tidak asing bagi hidungnya, diapun teringat. Itu bau kaki! Biasa, kalau dia berganti kaus kaki, seperti itu baunya! Matanya melirik terus makin ke atas, dan dia bantu dengan mukanya yang dia angkat dan ..... kakek itu telah berdiri di depannya, kedua buah tiang itu adalah kaki pengemis tua itu dan yang bau adalah kakinya, kaki yang berdiri dekat hidungnya!
"locianpwe......!" kata Cin Han dengan girang.
"Heh-heh, agaknya keluarga Yang memang mempunyai darah keturunan orang yang bandel, keras hati dan tahan uji. Pantas Yang Kok Tiong menjadi Menteri utama dan Yang Kui Hui menjadi selir terkasih. Engkau cukup berkemauan keras dan tahan uji. Bangkitlah, Cin an."
Makin kagumlah hati Cin Han terhadap kakek itu. Bukan orang sembarangan, pikirnya, buktinya sudah mengetahui nama ayah dan bibinya. "Terima kasih, locianpwe," katanya dan dia menggerakkan tubuh untuk bangkit berdiri. Akan tetapi, kedua kakinya terasa kaku dan nyeri ketika dia bangkit berdiri sehingga dia jatuh berlutut kembali, menyeringai kesakitan.
Kakek itu kembali terkekeh dan tiba-tiba tongkat bergerak, bagaikan seekor capung bermain di atas air, ujung tongkatnya menyentuh kedua kaki Cin Han di beberapa bagian dan tiba-tiba pemuda itu merasa betapa kedua kakinya sudah pulih kembali!
Dia bangkit berdiri, lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat lagi . "Suhu, teecu menghaturkan terima kasih atas kebaikan hati suhu," katanya, langsung saja menyebut suhu dan memberi hormat delapan kali seperti sudah menjadi lajimnya seorang murid baru memberi hormat kepada gurunya.
Kakek itu membiarkannya saja memberi hormat. Dari keteguhan hati pemuda itu, dan ketika dia menggunakan tongkat menotoknya, dia dapat mengetahui bahwa pemuda ini memiliki bakat dan kemampuan yang tidak akan mengecewakan kalau menjadi muridnya.
"Bangkitlah sekarang, dan ketahuilah bahwa tidak mudah menjadi murid Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti)! Engkau harus berani berkorban."
Berdebar jantung dalam dada Cin Han ketika dia mengetahui bahwa kakek itu adalah Sin-tung Kai-ong. Jarang ada orang mengenalnya, akan tetapi namanya dikenal oleh semua jagoan istana yang pernah mengajarkan silat kepadanya. Nama itu adalah nama seorang datuk persilatan yang aneh, tidak pernah memihak, akan tetapi jelas tidak termasuk datuk sesat! Bahkan condong berwatak pendekar walaupun wataknya angin-anginan dan aneh.
"Teecu siap untuk melaksanakan segala perintah suhu, walaupun harus berkorban apa saja!" kata Cin Han dengan suara tegas dan wajah gembira. Lenyaplah semua perasaan lelah dan kantuknya karena luapan rasa gembira.
"Kalau engkau memang ingin menjadi muridku, sekarang juga engkau harus pergi ikut denganku, tidak boleh pulang dulu untuk berpamit atau mengambil bekal apapun. Sanggupkah engkau?"
Diam-diam Cin Han terkejut. Pergi, begitu saja" Soal bekal tidak merupakan hal penting baginya, akan tetapi tidak pamit kepada ayahnya dan terutama kepada ibunya" Kemudian dia teringat akan siasat yang diusulkan oleh Kui Bi dan diam-diam dia tersenyum. Keadaan ini cocok sekali dengan apa yang diinginkan Kui Bi. Kui Bi tentu akan menghadap ayah mereka dan menyatakan ingin mencarinya bersama Kui Lan sehingga mereka berdua mendapat kesempatan untuk pergi merantau.
"Bagaimana" Benar-benarkah engkau rela berkorban?"
"Tentu saja, suhu. Teecu siap melaksanakan perintah suhu!"
"Kalau begitu, mari kita pergi dari sini." Kakek itu lalu melangkah pergi, menuju ke selatan, langkahnya nampak biasa saja akan tetapi tubuhnya seperti terbang cepatnya meluncur ke depan. Cin Han terkejut dan terpaksa dia harus berloncatan dan mengerahkan tenaganya untuk mengejar agar jangan sampai tertinggal oleh suhunya.
Tepat seperti diduga oleh Cin Han dan sudah diperhitungkan oleh Kui Bi yang cerdik, setelah dua hari Cin Han tidak pulang, keluarga Yang menjadi panik. Yang Kok Tiong menjadi marah dan bingung, dan hatinya yang keras membuat dia memaki-maki puteranya dan memarahi isterinya yang dianggap terlalu memanjakan Cin Han. Sudah dikerahkan pasukan mencari Cin Han, namun tidak berhasil dan dalam keadaan seperti itu, Kui Bi mengajak Kui Lan menghadap ayah mereka.
"Ayah, aku dan enci Lan akan pergi mengejar dan mencari Han-koko sampai dapat. Kami berdua mengenal baik koko, dan kalau kami yang membujuknya, tentu dia akan suka pulang. Andaikata ada petugas yang berhasil menemukannya, kalau dia berkeras tidak mau pulang, petugas itu tentu tidak dapat memaksanya. Hanya kami berdua yang akan dapat mengajaknya pulang, ayah."
Andaikata Yang Kok Tiong tidak sedang pusing dan marah kepada puteranya, tentu dia akan mempertimbangkan permintaan kedua orang puterinya itu. Akan tetapi dia menghendaki agar puteranya pulang, putera tunggalnya, maka diapun tidak begitu memperhatikan atau memiliki ilmu kepandaian silat yang tangguh, maka diapun mengangguk dan menyetujuinya.
Mendapat ijin dari ayahnya, Kui Bi menarik tangan Kui Lan dan mereka berdua segera berkemas, membawa buntalan berisi pakaian dan perhiasan yang cukup banyak untuk bekal, tidak lupa membawa pedang mereka. Ibu-ibu mereka merasa cemas, akan tetapi kedua orang gadis itu dapat menghibur ibu masing-masing, mengatakan bahwa mereka pasti akan dapat menyusul dan mengajak pulang kakak mereka. Kemudian, mereka memilih kuda terbaik dan pada hari itu, pagi-pagi sekali, mereka berangkat, melalui pintu gerbang sebelah utara. Setelah mereka tiba di tepi sungai Wei, mereka menyusuri tepi sungai terus menuju ke timur.
"Bi-moi, ke mana kita harus mencari Han-ko?" dalam perjalanan itu, sambil menjalankan kuda perlahan dan berdampingan dengan kuda adiknya, Kui Lan bertanya. Dua orang gadis yang sejak kecil mempelajari ilmu silat ini, sudah biasa pula menunggang kuda.
"Lan-ci, Han-koko tidak memberitahu kepada kita ke mana dia pergi, bagaimana mungkin dapat mencarinya. Sekarangpun, ketika kita menuju ke timur, mungkin saja dia sedang menuju ke jurusan lain atau bahkan berlawanan dengan arah yang kita tuju."
Kui Lan mengerutkan alisnya. "Lalu, kalau begitu kenapa kita pergi mencarinya" Kita tidak akan mungkin berhasil."
"Memang kita tidak mengharapkan berhasil, enci. Bukankah kita pergi mencari Han-ko hanya untuk alasan agar kita diperbolehkan pergi merantau" Dan sekarang kita sudah berhasil meninggalkan kota raja memulai petualangan dan perantauan kira."
"Tapi..... tadinya aku bermaksud untuk ikut Han-ko merantau. Kalau hanya kita berdua.... ah, aku merasa khawatir juga, Bi-moi. Kemana kita akan pergi dan apa yang akan kita lakukan?"
"Aihh, Lan-ci, kenapa hatimu begitu kecil" Apa yang perlu kita khawatirkan" Kita mampu membela diri! Dan kita pergi ke mana saja untuk mencari pengalaman dan meluaskan pengetahuan, kalau mungkin menambah ilmu kita, mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi. Selain itu, untuk apa kita bersusah-payah mempelajari ilmu silat sejak kecil, enci" Kita harus mempergunakan ilmu kita untuk membantu pemerintah menenteramkan negara!"
"Wah, kalau ayah mendengar ucapanmu itu, tentu engkau akan ditertawakan dan dimarahi. Kita ini hanya wanita, apa yang dapat kita lakukan untuk membantu pemerintah?"
"Apa bedanya laki-laki dan perempuan" Lan-ci, kita melihat betapa kacaunya di istana. Mata melihat betapa kaum pria yang menduduki jabatan tinggi hanya bersaing dan saling bermusuhan memperebutkan kedudukan. Kita melihat pula betapa Sri baginda Kaisar dipermainkan oleh bibi Yang Kui Hui. Seperti juga Han-ko, aku muak melihat semua itu dan sekarang, selagi kita mendapat kesempatan, sebaiknya kalau kita bergembira, dapat melepaskan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan di kota raja dan dapat beterbangan seperti burung bebas di udara. Senang, bukan?"
Kui Lan menghela napas panjang, ia selalu kalah kalau berbantahan dengan adik tirinya yang amat disayangnya ini. "Baiklah, akan tetapi semua ada batasnya, adikku. Setelah kita puas berpesiar, kita harus kembali ke rumah orang tua kita."
"Tentu saja, enci. Akupun tidak ingin selamanya berkeliaran di luar. Kita hanya mencari pengalaman, seperti juga Han-ko. Dan siapa tahu, kita kebetulan akan dapat bertemu dengan dia."
"Tapi kenapa engkau memilih jurusan ini?" tanya Kui Lan .
"Enci Lan, sekarang ini keadaan .tidak aman dan banyak orang jahat suka mengganggu orang yang melakukan perjalanan. Jalan menyusuri sungai ini merupakan jalan yang paling ramai dan paling aman karena terdapat banyak dusun nelayan dan petani, selain itu, tidak akan mudah tersesat. Sungai Wei ini akan bergabung dan masuk ke dalam Sungai Kuning di depan sana, enci, dan setelah tiba di Sungai Kuning, kita dapat melanjutkan perjalanan dengan kuda atau dengan perahu, kita lihat saja nanti bagaimana enaknya. Lihat, bukankah pemandangan alam di tepi sungai ini amat indahnya?"
Kui Lan melayangkan penglihatannya ke sekitarnya dan harus ia akui bahwa adiknya memang benar. Di dalam kota tidak ada pemandangan seindah dan sesegar ini. Serba hijau segar menyedapkan mata mengamankan hati. Tumbuh-tumbuhan dengan suburnya memenuhi sungai. Sawah ladang yang subur, dan biarpun tidak terlalu sering, namun mereka bertemu juga dengan pejalan kaki atau penunggang kuda, bahkan kereta yang berpapasan dengan mereka.
Lewat tengah hari, udara amat pasnya dan ketika kakak beradik itu melihat sebuah kedai minuman di tepi jalan, mereka merasa gembira. Mereka juta membawa tempat minum, akan tetapi mereka ingin minum air teh yang harum dan melepas lelah, juga memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk mengaso dan makan rumput yang tumbuh di belakang kedai. Kedai itu agaknya didirikan orang sengaja untuk memberi kesempatan kepada mereka yang melakukan perjalanan dan lewat di situ untuk mengaso dan minum-minum. Selain rak dan teh, juga di situ dijual makanan ringan.
Setelah menambatkan kuda mereka di belakang kedai dan membiarkan dua ekor itu melepas lelah dan makam rumput segar, kakak beradik itu lalu memasuki kedai sederhana namun cukup bersih dengan belasan buah meja dan bangku-bangku. Ketika mereka masuk, ternyata di situ telah duduk tujuh orang menghadapi dua meja, dibagi dua kelompok dari tiga dan empat orang. Mereka semua yang tadinya bercakap-cakap, bersendau-gurau, segera menghenti percakapan mereka dan mereka semua memandang kepada enci dan adik yang memasuki kedai dengan sikap tenang. Kain buntalan mereka terisi pakaian dan hiasan, juga pedang, maka Kui Lan Kui Bi membawa buntalan mereka masuk kedai. Mereka berdua maklum betapa pandang mata tujuh orang itu mengamati mereka dengan sinar mata mengandung keheranan, kekaguman, akan tetapi rata-rata mengandung kenakalan yang membuat kakak beradik ini maklum bahwa mereka bertujuh itu adalah orang-orang kasar yang kurang ajar. Tujuh orang itu ia tertawa-tawa dan pandang mata mereka semakin kurang ajar.
Kui Lan dan Kui Bi tidak mempedulikan mereka, dan memilih meja di sudut agar agak jauh dari tujuh orang yang agaknya mabok-mabokan itu. Kepada pelayan tua kurus yang menghampiri, meminta disediakan empat buah bak dan air teh secukupnya. Karena tidak mau memperdulikan tujuh orang itu, maka ia sengaja duduk membelakangi mereka, Kui Lan dan Kui Bi tidak melihat betapa tujuh orang itu berkasak-kusuk, berbisik dan mata mereka kadang dituju kepada enci adik itu dan kadang arah belakang kedai. Kemudian, tanpa di ketahui Kui Lan dan Kui Bi, dua orang di antara mereka menyelinap keluar dari kedai melalui pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh dua orang disitu.
Kui Lan dan Kui Bi sudah makan bakpauw mereka dan sedang minum teh kemudian terdengar derap kaki kuda dari belakang kedai. Mereka terkejut dan cepat menoleh, masih sempat melihat betapa ada dua orang menunggangi kuda mereka yang berlari congklang meninggalkan pekarangan kedai minuman itu.
"Heii, itu kuda kami........!" teriak Kui Bi yang cepat meloncat berdiri, lalu berlari keluar, diikuti pula oleh encinya. Akan tetapi, setelah tiba di luar kedai, mereka hanya melihat bayangan dua ekor kuda mereka sudah berlari jauh sehingga akan sia-sia saja mengejar. Keduanya menjadi marah sekali, akan tetapi kalau Kui Lan hanya memandang dengan mata bersinar marah, Kui Bi mengepal tinju dan mengacung-ngacungkan ke arah bayangan dua orang pencuri kuda sambil memaki-maki
"Jahanam keparat, maling busuk pencuri laknat!"
Tiba-tiba terdengar suara laki laki di belakang mereka. "Nona-nona kalau ingin mendapatkan kembali kuda kalian, serahkan saja kepada kami."
Dua orang gadis itu cepat membalikkan tubuh mereka dan mereka melihat bahwa lima orang laki-laki telah berdiri di depan mereka sambil menyeringai dengan sikap kurang ajar. Mereka berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun dan karena mereka hanya lima orang, maka tahulah kakak beradik itu, bahwa yang mencuri kuda adalah dua orang di antara mereka!
"Heii, itu buntalan kami. Kembalikan!" bentak Kui Lan yang melihat betapa buntalan pakaian mereka berdua kini telah berada di punggung dua orang di antara lima laki-laki itu.
Akan tetapi lima orang itu hanya tertawa-tawa saja dan seorang di antara mereka, yang bertubuh jangkung dengan muka kekuning-kuningan, berkata dengan suaranya yang kecil tinggi searti suara wanita.
"Nona-nona manis, apakah kalian berdua menginginkan agar kuda dan buntalan pakaian kalian kami kembalikan?"
Kui Bi memandang dengan mata seperti bernyala. "Tentu saja! Kembalian kuda dan buntalan kami!"
"Boleh, boleh!" kata si muka kuning. "Akan tetapi kalian berdua ikutlah dengan kami. Kami akan menjadi pegawai dan pelindung kalian, dan kuda serta buntalan pakaian pasti tidak akan ada yang berani menyentuhnya!" Lima orang itu tertawa-tawa, dan Kui Bi mengepal tinju.
Pada saat itu, pemilik kedai minuman, seorang kakek yang kurus, tergopoh keluar dan berkata kepada si muka kuning. "Kalian sudah mengambil kuda dan pakaian ji-wi siocia (dua nona) ini, harap lepaskan dan jangan ganggu mereka lagi. Ji-wi siocia, relakanlah kuda dan buntalan itu, mari masuk saja ke dalam," jelas bahwa pemilik kedai minuman itu merasa iba kepada kakak beradik itu dan hendak mencegah agar dua orang gadis itu tidak diganggu lagi setelah barang-barangnya dirampas.
Akan tetapi, dengan galak Kui Bi membentaknya. "Engkau agaknya menjadi kaki tangan para perampok ini, ya" Awas, akan kuhancurkan kedaimu nanti!"
Laki-laki tua itu menggeleng-geIeng tangan dan kepalanya. "Tidak, tidak.... aku tidak ikut-ikut......"
"Lo-sam, pergi atau kau ingin kami bunuh?" bentak si muka kuning dengan bengis dan pemilik kedai yang tua itu terbongkok-bongkok lagi memasuki kembali kedainya.
Yang Kui Bi sudah saling pandang dengan encinya. "Enci, mereka ini perampok jahat! Ini tugas pertama kita" Kui Lan tidak menjawab hanya mengaguk dan siap untuk berkelahi. Kui Bi ini melangkah maju menghampiri si muka kuning, mulutnya tersenyum akan tetapi matanya bersinar-sinar. "Heh, muka kuning! Agaknya engkau yang menjadi kepala gerombolan perampok ini. Cepat kau perintahkan anak buahmu mengembalikan buntalan pakaian kami dan dua ekor kuda kami atau terpaksa kami akan menghajar kalian!"
Si muka kuning sengaja membelalakkan matanya. "Kalian Menghajar kami" Ha-ha-ha-ha, dengar, kawan-kawan. Mereka ini hendak menghajar kita, ha-ha!" Mereka semua tertawa dan seorang di antara mereka yang mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar dan tubuhnya tinggi besar kokoh kuat, melangkah maju sambil tertawa paling keras di antara mereka.
"Ha-ha-ha-ha, anak kucing bisa mengaum seperti harimau! Toako, biar kutangkapkan anak kucing cantik ini untukmu, heh-heh!" dan diapun sudah menubruk ke depan, seperti seorang yang benar-benar hendak menangkap seekor kucing saja, kedua tangannya menyambar dan hendak menangkap kedua pundak Kui Bi.
Alap Alap Laut Kidul 14 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Pukulan Naga Sakti 25
^