Pencarian

Mutiara Hitam 11

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


Gadis itu kaget sekali. Kalau ia meng-hadapi penyerbuan mereka, tentu Ketua Thian-liong-pang itu terlepas dari tangan-nya. Sebaliknya kalau ia mengejar dan menyerang Ma Kiu yang bergulingan, ten-tu ia akan menjadi korban serbuan sepuluh orang Cap-ji-liong! Tentu saja yang ter-penting adalah menyelamatkan dirinya sendiri, karena kalau ia roboh, berarti Siang Ki takkan dapat tertolong lagi. Dengan geram ia memutar pedangnya menyambut serbuan sepuluh orang ang-gauta Cap-ji-liong itu. Demikian hebat gerakan pedangnya yang
dirangsang ke-marahan sehingga tubuhnya berkelebat lenyap dan gerakan pedang yang aneh itu tidak saja dapat menangkis senjata yang mengancamnya, juga ia berhasil pula merobohkan dua orang pengeroyok. Sung-guhpun pedangnya tidak mengenai tepat, hanya menyerempet saja namun dua orang anggauta Cap-ji-liong itu roboh karena terluka dekat leher.
Segera Kwi Lan dikurung oleh sisa anggauta Cap-ji-liong dan anak buah Thian-liong-pang yang amat banyak. Ter-dengar suara Ma Kiu marah sekali, "Se-ret ketua jembel itu dan bawa pergi! Siapkan barisan Am-gi (Senjata Rahasia), keroyok iblis betina ini!"
Makin bingung dan gelisah hati Kwi Lan mendengar perintah yang dikeluarkan Ketua Thian-liong-pang ini. Ia masih dan belum berpengalaman seperti Siang Ki. Andaikata ia menurut nasihat Yu Siang Ki dan menyelamatkan diri, agaknya tidak terlalu sukar bagi Kwi Lan untuk meloloskan diri di dalam kegelapan ma-lam. Namun gadis ini luar biasa berani-nya dan juga tak dapat menahan kema-rahannya. Melihat betapa temannya ter-ancam bahaya maut, ia tidak pedulikan lagi akan keselamatan diri sendiri, terus saja mengamuk seperti seekor naga sakti.
Namun Ma Kiu yang maklum akan kelihaian gadis ini dan menghendaki agar gadis ini ditawan dalam keadaan hidup, lalu mengatur barisan. Mereka lalu me-ngeluarkan tambang-tambang yang di-ayun-ayun untuk menyerimpung kedua kaki Kwi Lan, di samping itu hujan sen-jata rahasia membuat Kwi Lan sibuk bukan main. Selain ia harus menghindar-kan diri dari hujan senjata, ia pun harus berloncatan karena kakinya diancam oleh ayunan tambang-tambang yang dipegangi para pengeroyok dari depan dan belakang serta kiri kanan. Kini ia terkepung rapat dan andaikata ia mempunyai maksud hati untuk melarikan diri sekalipun sudah tak mungkin lagi, sudah terlambat.
Sementara itu, Ma Kiu yang cerdik dan banyak siasat, diam-diam sudah mengambil jaring yang berada di tepi sungai, jaring para nelayan dijemur di tepi sungai. Diam-diam Ketua Thian--liong-pang ini mengatur siasat dan alang-kah kaget hati Kwi Lan ketika tiba-tiba banyak sekali jaring melayang dari atas menyelimutinya. ia berusaha memutar pedang membela diri. Banyak jaring yang robek oleh pedangnya, akan tetapi tiba-tiba kakinya terasa sakit tertusuk senjata rahasia anak panah, sehingga ia terhu-yung-huyung. Pada saat itu, beberapa buah jaring menutup tubuhnya, dan ada tambang melibat kakinya dan menjegal-nya.
Betapa pun kuatnya Kwi Lan, ia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan roboh terguling.
Para anggauta Thian-liong-pang bersorak-sorak dan se-bentar saja tubuh Kwi Lan sudah dilibat-libat jaring. Ia tertawan dalam libatan jaring-jaring itu dan hanya mampu me-maki-maki akan tetapi sama sekali tidak dapat meronta lagi. Ma Kiu memimpin orang-orangnya membawa pergi Kwi Lan dan Yu Siang Ki sebagai dua orang ta-wanan penting. Masih untung bagi dua orang muda itu. Kwi Lan adalah gadis yang pernah mengacau Thian-liong-pang akan tetapi juga mengaku sebagai utusan Pak-sin-ong mengirim kuda hitam, maka ia bukan orang biasa dan oleh Ma Kiu akan dibawa dan dihadapkan kepada Siauw-bin Lo-mo yang kini hendak meng-adakan hubungan dengan barisan Hsi--hsia. Adapun Yu Siang Ki adalah Ketua Khong-sim Kai-pang yang menjadi musuh besar Bu-tek Siu-lam karena pemuda ini berani memusuhi para pengemis baju bersih, maka juga merupakan orang pen-ting yang patut dihadapkan kepada Siauw-bin Lo-mo untuk diambil keputusan nasibnya. Selain ini, juga Ma Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 251
Kiu yang melihat kecantikan Kwi Lan, merasa sayang kalau membunuh gadis ini secara begitu saja!
Rombongan orang Thian-liong-pang ini lalu pergi meninggalkan desa Ci-chung sebagian naik kuda dan ada yang berja-lan kaki mendorong dua buah kereta kecil, yaitu kereta tawanan yang bentuk-nya seperti kurungan binatang buas di mana menggeletak Yu Siang Ki yang pingsan dan Kwi Lan yang memaki-maki di sepanjang jalan.
*** Lembah Sungai Nu-kiang yang melun-cur turun dari lereng Gunung Kao-likung-san memang merupakan tempat yang selain amat indah, juga amat strategis untuk dijadikan tempat persembunyian para pendeta Tibet yang memimpin sisa pasukan Hsi-hsia. Lembah ini penuh de-ngan hutan-hutan liar, tanahnya amat subur dan selain banyak tetumbuhan yang dapat menjadi bahan makanan, juga di situ banyak terdapat binatang hutan. Di samping ini semua, keadaan daerah pegu-nungan yang amat sukar didatangi orang itu merupakan daerah sunyi dan tidaklah mudah bagi musuh untuk datang menyer-bu.
Karena tempat itu dijadikan markas untuk Bouw Lek Couwsu tokoh pendeta jubah merah dari Tibet bersama anak buahnya dan pasukan Hsi-hsia, maka di situ telah dibangun pondok-pondok daru-rat yang cukup besar. Sisa pasukan yang menyerbu Nan-cao dan gagal karena dapat dipukul mundur, sebagian besar sudah mengalihkan rencana ke utara untuk memasuki dan mengganggu perbatasan Kerajaan Sung. Akan tetapi Bouw Lek Couwsu yang suka
dengan markas baru ini, hanya menyerahkan penyerbuan atau pengacauan itu kepada anak buahnya, sedangkan ia sendiri beristirahat di mar-kas baru ini, ditemani Siang-mou Sin--ni yang biarpun tua namun masih keli-hatan cantik dan menyenangkan hatinya, apalagi kalau diingat bahwa hadirnya iblis betina ini disampingnya merupakan pembantu yang amat boleh diandalkan ilmu kepandaiannya menghadapi musuh. Dan kakek berkepala gundul yang
wajah-nya masih tampan ini maklum bahwa setelah ia berhasil merusak dan membu-nuh tokoh-tokoh Beng-kauw, tentu akan banyak lawan tangguh yang mencarinya.
Biarpun usahanya menyerbu Nan-cao gagal dan pasukan Hsi-hsia dipukul mun-dur, namun hati Bouw Lek Couwsu tidak-lah terlalu kecewa. Pertama, ia memang tidak terlalu ingin menaklukkan Nan-cao karena yang ia incar adalah Keraja-an Sung. Ke dua, ia telah berhasil mem-bunuh Ketua Beng-kauw dan para tokoh-nya sehingga ia dapat membalas
keka-lahannya dahulu. Ke tiga, anak buahnya juga sudah cukup puas karena dalam
penyerbuan itu mereka merampas banyak harta benda dan menculik banyak wanita muda.
Untuk kakek pendeta yang hanya menggunakan kependetaannya sebagai kedok belaka ini saja disediakan belasan orang gadis rampasan yang tercantik, sehingga sambil beristirahat di Lembah Nu-kiang kakek ini akan dapat berse-nang-senang sepuas hatinya.
Juga Siang-mou Sin-ni yang tidak ambil pusing akan apa yang dilakukan bekas kekasihnya, menjadi amat girang ketika ia dapat menculik Kam Han Ki, putera bungsu Kam Bu Sin. Ia melihat bahwa selain anak berusia sebelas tahun ini amat tampan dan berwatak gagah, juga memiliki darah murni dan tulang bersih sehingga terpenuhilah kebutuhan-nya untuk menyempurnakan ilmunya Hun-beng-to-hoat! Siang-mo Sin-ni memesan kepada para penjaga untuk menjaga tawanan anak kecil ini baik-baik dan setiap hari supaya diberi makan minum secu-kupnya, bahkan diberi hidangan lezat yang sudah ia campuri obat untuk mem-perkuat keadaan tubuh anak itu sebelum ia "pergunakan" untuk keperluan ilmunya.
Akan tetapi tidaklah mudah membu-juk dan membohongi Kam Han Ki. Anak ini semenjak diculik dan dibawa ke dalam rimba lalu dijebloskan ke dalam kamar tahanan, selalu memperlihatkan sikap melawan dan menentang. Sedikit pun anak ini tidak pernah menangis lagi sejak ditangkap, namun tidak mengenal takut dan selalu menolak apabila diberi makan.
Setidaknya, ia menerima makanan dengan sikap menentang dan baru mau makan sedikit kalau tidak ada penjaga melihatnya, ini pun hanya untuk menjaga agar ia tidak kelaparan saja, sedangkan sisanya ia lemparkan ke lantai dan mi-numan yang lezat dan berlebihan, ditung-gu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 252
sampai satu dua pekan tubuh Han Ki tidak makin segar, melainkan makin kurus dan pucat.
Setengah bulan kemudian, pada pagi hari itu Siang-mou Sin-ni sendiri datang memasuki kamar tahanan Han Ki yang berpintu jeruji besi dan terkunci dari luar. Melihat masuknya wanita cantik berpakaian mewah dengan rambut terurai panjang yang mengeluarkan bau wangi memabokkan itu, sepasang mata Han Ki sudah bersinar-sinar seperti mengeluarkan kilat. Wanita inilah yang bersama pende-ta gundul berkaki buntung, yang membu-nuh ayah bundanya dan wanita inilah yang telah menculiknya, menotok dan memondongnya sambil berlari seperti terbang cepatnya ke tempat ini.
Melihat wanita ini memasuki kamar tahanan yang bersih dan tidaklah seburuk kamar tahanan biasa, Han Ki melangkah mundur sampai kedua kakinya menyentuh tempat tidur, lalu ia duduk di pemba-ringannya. Matanya tak pernah berkedip memandang wanita ini, jantungnya berdebar karena di samping kemarahan dan kebenciannya, ia dapat menduga bahwa wanita ini tak mungkin berniat baik ter-hadap dirinya.
Sejenak Siang-mou Sin-ni memandang dengan matanya yang genit, kemudian ia tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, suaranya halus dan manis.
"Anak baik, namamu Kam Han Ki, bukan" Ah, mengapa kau mengecewakan hatiku" Kau
tidak mau makan dengan baik-baik, sehingga tubuhmu makin kurus. Kenapa kau menyiksa dirimu" Aku sa-yang padamu, Han Ki."
"Kalau sayang kenapa kaubunuh Ayah bundaku" Tidak, kau jahat dan biarkan aku pergi dari sini" Sambil berkata de-mikian, Han Ki yang melihat betapa pintu tahanan yang kokoh kuat itu kini sudah terbuka, lalu mengerahkan tenaga dan melompat ke arah pintu untuk melarikan diri. Betapapun juga ia adalah putera suami isteri pendekar, sejak kecil sudah menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga gerakannya cepat dan sebentar saja ia sudah lari keluar mene-robos pintu.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya ter-betot ke belakang, bahkan melayang kembali ke dalam kamar. Han Ki meron-ta dan kaget sekali melihat betapa tu-buhnya sudah terbelit rambut yang hitam dan harum memabokkan, kemudian ia mendengar suara tertawa merdu yang amat dibencinya itu.
"Hi-hi-hik, Kam Han Ki, kau tampan dan nyalimu besar. Bagus"
Han Ki hendak meronta, namun sia-sia. Rambut itu seperti hidup, membelit dan mengikatnya, membuat kaki tangan-nya tak dapat bergerak. Ia tahu-tahu telah berada di atas dada wanita itu seperti dipegangi rambut yang amat kuat. Kedua tangan iblis betina itu mulai membelai-belainya, mengelus-elus kepala, meraba-raba muka, dan dagu dan leher, mengurut-urut dada dan punggung penuh kasih sayang. Namun sentuhan-sentuhan ini menimbulkan rasa dingin dan ngeri di hati Han Ki, seakan-akan bukan kedua tangan, melainkan ratusan ekor ular yang menggeliat-geliat dan merayap-rayap di sekujur tubuhnya. Akan tetapi ia tidak mampu bergerak, hanya menatap wajah yang amat dekat itu dengan mata terbe-lalak. Karena wajah wanita itu amat dekat dengan wajahnya, ia merasa betapa hawa panas keluar dari mulut dan hidung wanita itu menyentuh pipinya, dan ia melihat betapa wajah itu sebenarnya penuh gurat-gurat halus tersembunyi di balik bedak dan yanci. Ia makin serem dan ngeri.
"Hi-hi-hik, anak baik, anak tampan dan ganteng. Engkau tampan dan ganteng seperti Kam Bu Sin, Ayahmu. Hi-hik Ayahmu dahulu pernah menjadi kekasih-ku, tahukah kau anak baik" Dia amat cinta kepadaku.... hi-hik"
"Bohong....!" Han Ki tidak begitu mengerti akan arti ucapan wanita ini akan tetapi mendengar bahwa ayahnya mencinta iblis betina ini, mana ia mau percaya"
"Hi-hi-hik, siapa bohong" Kau lebih tampan dari dia, hem.... kulitmu lebih halus, darahmu lebih bersih dan murni.... hemmm....!" Tiba-tiba wanita itu men-cium dahinya, pipinya hidungnya, bahkan kemudian mulut yang merah itu mencium mulutnya!
Han Ki gelagapan hampir pingsan, mengira bahwa wanita itu akan menggi-giti dan seperti Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 253
seekor serigala akan me-makannya. Ia merasa ngeri, jijik, takut dan terutama sekali marah.
Ketika Siang-mo Sin-ni mencium mulutnya se-perti orang gila, atau lebih mirip dengan seekor kucing yang hendak menggerogoti tubuh tikus, Han Ki merasa betapa dada di mana tubuhnya menempel itu ter-engah-engah, merasa betapa mulut yang mencium bibirnya itu panas terengah dan betapa rambut yang membelit tubuhnya mengendur. Saking takut, jijik dan ma-rahnya, ia menggunakan kesempatan se-lagi rambut yang membelitnya itu
me-ngendur, ia meronta sekuat tenaga sam-bil menarik mukanya ke belakang
Gerakannya yang tiba-tiba membuat ia merosot dan cepat kedua tangannya merangkul pundak dan leher Siang-mou Sin-ni, kemudian dengan buas dan ter-dorong kemarahan meluap-luap, Han Ki membuka mulutnya dan.... menggigit ternggorokan Siang-mou Sin-ni! Mulutnya bertemu kulit leher yang halus, terus saja ia menggunakan giginya yang kuat menggigit sekuat tenaga, bertekad untuk menggigit dan tidak akan melepaskan gigitannya biarpun ia dipukul sampai mati!
"Aiihhh....!" Siang-mou Sin-ni men-jerit lirih. Dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan jarang ada tokoh kang-ouw yang dapat menandinginya. Dialah seorang di antara Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) yang tersohor puluhan tahun, yang bahkan dialah satu-satunya orang di antara Enam Iblis yang masih hidup. Ilmu kepandaiannya amat hebat bahkan mengerikan bagi banyak tokoh kang-ouw. Baru ilmunya mempergunakan rambut panjang saja sudah sukar dicari jagoan yang mampu menghadapinya, be-lum lagi ilmunya yang disebut Tok-hiat-hoat-lek, yaitu semacam pukulan darah beracun, bukan main kejinya. Akan tetapi karena dalam detik-detik tadi ketika ia mencium Han Ki, ia dikuasai oleh naf-su binatang karena mengilar akan kemur-nian darah dan kebersihan tulang anak itu, maka ia berada dalam keadaan se-orang mabok dan pada detik-detik itu, semua tenaga sakti seakan-akan melayang meninggalkan raganya yang di-kuasai oleh nafsu binatang dan semua pikiran dan perasaannya hanya ditujukan akan kenikmatan menguasai darah dan sumsum bocah itu untuk menyempurna-kan ilmu yang sedang dilatihnya. Inilah sebabnya mengapa gigitan Han Ki dengan tepat mengenai sasaran, bahkan kulit tenggorokannya robek oleh gigitan itu. Padahal dalam keadaan biasa, bukan kulit lehernya yang robek, melainkan gigi anak itu yang rontok!
Betapapun juga, sebagai seorang ber-ilmu tinggi, hanya sedetik Siang-mou Sin-ni terkejut.
Kalau saja ia bukan orang yang memiliki kesaktian luar biasa, agaknya dalam kaget dan marah ia tentu sekali menggerakkan jari tangan membu-nuh anak itu. Namun ia cukup sadar bahwa ia amat membutuhkan bocah ini, maka ia tidak menurunkan tangan maut, melain-kan menggunakan tangan mengetuk perlahan tengkuk Han Ki. Bocah itu menge-luh dan
gigitannya terlepas, lalu roboh di atas pembaringannya karena dilemparkan, dalam keadaan pingsan.
Siang-mou Sin-ni meraba tenggorokan-nya dan tersenyum memandang anak itu.
"Hebat," bisiknya, "kulit leherku sam-pai pecah-pecah terluka." Ia lalu melang-kah keluar dan memanggil penjaga yang datang berlarian. "Jaga baik-baik anak ini dan mulai sekarang, semua hidangan- dariku untuknya harus dia makan, kalau perlu dijejalkan ke dalam mulutnya se-cara paksa."
Ketika malam hari itu Han Ki siuman dari pingsannya, ia bergidik ngeri dan jijik teringat akan peristiwa pagi hari tadi. Ia merasa beruntung masih hidup, dan se-malam itu ia duduk termenung memikir-kan pengalamannya. Yang selalu terngi-ang di telinganya adalah pengakuan Siang-mou Sin-ni bahwa mendiang ayahnya dahulu adalah kekasih iblis betina itu!
Ia tidak sudi untuk mempercepat hal ini, akan tetapi entah bagaimana, ucapan itu selalu teringat olehnya.
Tentu saja anak ini sama sekali tidak mau percaya karena ia menjunjung tinggi kepada mendiang ayahnya, seorang pen-dekar dan menantu Ketua Beng-kauw. Padahal, apa yang diucapkan iblis betina itu memang ada benarnya. Pernah Kam Bu Sin menjadi kekasih iblis Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 254
betina ini dahulu akan tetapi kekasih paksaan kare-na Kam Bu Sin melayani semua kehen-dak dan nafsu iblis Siang-mou Sin-ni dalam keadaan tidak sadar karena telah dicekoki obat perampas semangat. (baca cerita CINTA BERNODA DARAH)!
Pada keesokan harinya, seperti biasa, pagi-pagi sekali orang sudah mengantar makanan lezat untuknya. Akan tetapi bedanya, kali ini yang datang mengantar makanan adalah seorang hwesio jubah merah yang bermuka bengis.
"Kaumakan ini, kalau tidak mau akan kujejalkan ke mulutmu secara paksa." hwesio itu mengancam sambil menye-ringai, tampak giginya yang besar-besar dan berwarna kuning dekil. Melihat gigi besar-besar kuning dekil dan mencium bau memuakkan dari mulut hwesio yang didekatkan di mukanya itu saja sudah membuat Han Ki mual perutnya dan tidak ada nafsu makan sama sekali biar-pun perutnya lapar. Apalagi karena ia masih marah terhadap Siang-mou Sin--ni. Wajah yang cukup bengis itu tidak mendatangkan rasa takut pada hati anak pemberani ini.
"Aku tidak sudi. Kaumakan sendiri!" ia menjawab sambil membuang muka.
"Ha-ha-ha, memang kuharapkan kau akan menolak, biar puas hatiku menje-jalkan makanan ini di mulutmu, bocah bandel!" bentak hwesio itu dan secepat kilat tangan kirinya yang penuh bulu hitam itu meraih, mencengkeram pundak Han Ki dan menarik naik anak ini men-dekat.
Ia tidak pedulikan Han Ki meron-ta-ronta, mendudukkan anak itu dipang-kuannya dan menelikung kedua lengan anak itu. Tangan kirinya lalu membuka mulut Han Ki secara paksa.
Tentu saja amat mudah bagi hwesio yang memiliki tenaga besar dan berkepandaian tinggi ini untuk memaksa Han Ki membuka mulut, kemudian ia menjejalkan makanan itu da-lam mulut Han Ki. Bocah ini tersedak-se-dak, terengah-engah dan karena makanan itu dijejalkan sampai menutup leher dan menghalangi jalan pernapasannya, mau tak mau ia terpaksa harus menelannya! Percuma saja ia meronta-ronta, dan per-cuma saja ia berusaha untuk tidak mene-lan makanan, karena hal ini tidak mung-kin. Akhirnya semua makanan semangkok penuh itu terjejal ke mulut dan mema-suki perutnya! Masakan ini memang lezat dan hal ini sudah diketahui Han Ki yang kadang-kadang makan pula, akan tetapi dijejal seperti ini lenyaplah rasa lezat-nya. Ketika hwesio itu selesai menjejal-kan makanan dan melemparkan tubuh Han Ki kembali ke atas ranjang, dua bu-tir air mata meloncat keluar dari mata Han Ki yang melotot dan hinggap di atas kedua pipinya. Ia memandang hwesio itu dengan mata melotot penuh kebencian. Akan tetapi hwesio itu mengebut-ngebut-kan bajunya dan berkata.
"Aku masih ingin sekali menjejalkan makanan beberapa kali sampai perutmu penuh dan bibirmu robek. Ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, hwesio itu keluar dari kamar. Penjaga segera da-tang, mengambil mangkok dan menutup pintu lalu menguncinya.
Setelah berada seorang diri, Han Ki duduk terlongong. Hampir ia menangis menggerung-gerung kalau saja hatinya tidak menahannya. Ia tidak mau mena-ngis, apalagi di depan hwesio itu. Ia tidak mau memberi kesenangan pada musuh-musuhnya dengan tangisnya! Akan tetapi Han Ki seorang anak yang cerdik. Ia pun maklum bahwa kalau ia tidak mau makan, tentu hwesio itu memenuhi an-camannya dan kalau sampai dijejali lagi, berarti ia mengalami penghinaan dan agaknya hal itu menyenangkan hati Si Hwesio bengis. Inilah sebabnya maka mulai saat itu, setiap kali hwesio itu membawa masakan, ia segera memakan-nya dengan sukarela sampai habis.
Luar biasa sekali hasilnya. Dalam waktu sepekan saja tubuh Han Ki menja-di gemuk, dagingnya penuh, kedua pipi-nya kemerahan dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam!
Inilah hasil obat kuat dalam masakan-masakan yang dibuat oleh Siang-mou Sin-ni sendiri.
Obat yang mengandung hawa panas, memanaskan darah dan menguatkan tulang, menambah sumsum.
Han Ki merasa sehat dan kuat, hanya ia seringkali kepanasan sampai sering ia membuka bajunya di waktu siang, tidak kuat karena merasa tubuhnya seolah--olah terbakar. Dan kini yang membawa datang makanan bukan lagi hwesio be-ngis. Agaknya karena Han Ki tidak Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 255
per-nah menolak untuk makan hidangan, Siang-mou Sin-ni tidak mau lagi menggu-nakan hwesio untuk mengancam, dan kini masakan dibawa datang oleh penjaga biasa. Penjaga itu seorang Hsi-hsia, biarpun cukup kuat dan galak, akan te-tapi tidak mempunyai watak sadis (suka menyiksa) seperti hwesio itu.
Malam itu Si Penjaga kembali datang membawa makanan untuk Han Ki. "Mungkin malam ini yang terakhir kau di sini." kata Si Penjaga sambil lalu. Ber-debar jantung Han Ki mendengar ini.
"Mengapa" Aku hendak diapakan?" tanyanya.
Penjaga itu tertawa mengejek. "Apa lagi" Kau anak musuh, tidak disembelih sejak dulu sudah untung! Ha-ha, agak-nya Sin-ni suka kepadamu. Entah ba-gaimana aku tidak tahu.... heh-heh, me-nurut pikiranku, kau masih terlalu kecil, mana bisa melayaninya?"
Tentu saja Han Ki tidak mengerti maksudnya, akan tetapi ia dapat men-duga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang tidak baik atas dirinya. Harus se-karang kulaksanakan, pikirnya.
Untung atau buntung. Hidup atau mati, tidak ada pilihan lagi.
"Paman yang baik, apa pun yang akan terjadi, sampai mati aku tidak akan me-lupakan kebaikanmu." Han Ki sengaja terisak-isak seperti bocah terharu dan menangis.
Belasan hari lamanya, Si Penjaga diam-diam amat kagum menyaksikan Han Ki. Bocah
berusia sebelas tahun menjadi tawanan, namun tak pernah menangis, tak pernah mengeluh, tak pernah keta-kutan. Maka kini melihat Han Ki me-nangis di depannya dan menyatakan tidak melupakan kebaikannya, ia tentu saja terheran-heran.
"Huh" Apa maksudmu?"
"Selama ini kau telah menjaga diriku, Paman. Aku tidak punya apa-apa, hanya ini kubawa dari rumah orang tuaku, akan kutinggalkan kepadamu sebagai kenang-kenangan dan balas budi...." Dari balik bajunya, Han Ki mengeluarkan sebuah benda yang macamnya seperti sehelai tambang, akan tetapi sesungguhnya ada-lah baju dalamnya yang terbuat daripada sutera putih dan yang selama ini ia pi-lin-pilin menjadi seperti tali. Tadinya ia melepas baju dalam ini karena merasa tubuhnya panas, akan tetapi ketika ia bermain-main dan memilin-milinnya, timbullah gagasan untuk menyelamatkan diri dengan tali istimewa ini.
"Huh" Apa ini....?" Orang Hsi-hsia yang belum banyak mengerti tentang benda-benda milik orang kota, meman-dang heran.
"Inilah kalung jimat para bangsawan di Nan-cao, Paman. Sebagai cucu Ketua Beng-kauw, aku selalu memakai kalung ini. Kau diamlah, biar aku memakaikan-nya kepadamu, Paman, dan kau akan tahu nanti bagaimana besar manfaatnya." Tanpa menanti jawaban. Han Ki memutari tubuh penjaga itu dan berdiri di be-lakangnya.
Orang Hsi-hsia itu terlampau heran dan ingin tahu, maka ia hanya tersenyum menanti.
"Beginilah pakainya, Paman." Han Ki lalu menggunakan kedua tangan meme-gangi kedua ujung tali sutera itu, me-ngalungkan secepatnya di leher penjaga, kemudian ia membelit-belit kedua ujung pada lengannya dan menarik sekuat tena-ga!
Orang Hsi-hsia itu terkejut, meronta hebat, namun Han Ki sekarang sudah menempelkan tubuh pada punggungnya seperti seekor lintah, kedua kakinya mengempit pinggang, kedua tangan se-kuat tenaganya menarik ujung tali. Se-menjak kecil Han Ki telah digembleng orang tuanya maka ia telah memiliki dasar tenaga dalam. Namun, andaikata ia tidak kebetulan diberi makan obat yang dicampurkan dalam masakan oleh Siang-mou Sin-ni, kiranya tenaga anak berusia sebelas tahun ini belum tentu akan dapat mencekik Si Penjaga yang kuat. Kebetul-an sekali, pengaruh obat Siang-mou Sin-ni luar biasa hebatnya, membuat tenaga dalam anak itu bertambah kuat beberapa kali lipat! Beberapa menit lamanya orang Hsi-hsia yang tak dapat berteriak dan tak dapat bernapas itu meronta-ronta, bergulingan, namun tubuh anak itu tetap lengket di punggungnya dan akhirnya ia berkelojotan dan matanya mendelik, li-dahnya terjulur keluar.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 256
Setelah penjaga itu tidak berkutik lagi, barulah Han Ki melepaskan cekikan talinya lalu meloncat menjauhi. Seluruh tubuhnya berpeluh, bukan hanya karena hawa panas yang menyelubungi tubuhnya, juga karena tegang dan tadi mengerah-kan tenaga. Ia memegangi kedua kaki penjaga itu dan menyeretnya. Ia sendiri merasa heran mengapa tubuh penjaga itu demikian ringan. Ia tidak tahu bahwa bukan tubuh Si Penjaga yang ringan, me-lainkan tenaganya yang kini menjadi amat kuat. Diseretnya mayat itu ke ba-wah pembaringannya dan ditariknya tilam pembaringan ke bawah sehingga menutupi kolong pembaringannya.
Kemudian ia meng-atur letak guling bantal, ditutupnya de-ngan selimut sehingga sepintas lalu tam-pak seolah-olah ia tidur dan berselimut dari kaki sampai menutupi kepala. Sete-lah itu, dengan cepat namun hati-hati ia keluar dari pintu, menutupkan pintu dan mengancingkannya dari luar.
Ia tidak tahu sama sekaii bahwa tem-pat ia ditahan itu merupakan kamar be-lakang dari bangunan yang menjadi tem-pat tinggal Bouw Lek Couwcu dan Siang-mou Sin-ni! Bangunan ini biarpun dibuat secara darurat, namun amat luas. Di sinilah Bouw Lek Couwsu tinggal dite-mani gadis-gadis rampasan yang menem-pati beberapa buah kamar-kamar besar ini, Sian-mou Sin-ni tinggal terpisah.
Karena dari kamar tahanan itu tidak ada jalan keluar kecuali melalui ruangan belakang dan yang pertama-tama me-nembus ke kamar Siang-mou Sin-ni yang selalu ingin berdekatan dengan ka-mar tahanan calon korbannya, maka ke-tika Han Ki menyelinap keluar dan ber-jalan melalui lorong dalam rumah itu, ia makin mendekati kamar Siang-mou Sin--ni seperti seekor kelinci mendekati sa-rang macan! Tiba-tiba suara ketawa cekikikan membuat ia berhenti bergerak dan merasa jantungnya seakan-akan copot karena suara ketawa itu ia kenal sebagai suara Siang-mou Sin-ni. Suara itu keluar dari jendela yang tepat berada di pinggir kepalanya, jendela kamar Siang-mou Sin-ni! Dengan jantung berdebar Han Ki lalu mengintai dari celah-celah daun jendela, menahan napas. Untung bahwa ia berte-lanjang kaki sehingga tapak kakinya tidak menerbitkan suara. Sedikit saja ada sua-ra, tentu takkan terlepas dari telinga Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang berada di kamar itu.
"Hi-hi-hik, kau bajul buntung tua bangka tak bermalu!" Terdengar suara Siang-mou Sin-ni.
Han Ki yang meng-intai kini melihat kakek yang kaki kiri-nya buntung dan bertubuh tinggi besar berjubah merah, sedang duduk bersila di atas pembaringan yang indah. Kakek ini tersenyum-senyum dan wajahnya yang tampan itu masih kelihatan muda dan sehat. Tangan kanannya memegang sebuah cawan emas yang besar. Siang-mou Sin-ni rebah dengan kepala di atas pang-kuan Bouw Lek Couwsu, rambutnya yang panjang terurai sampai ke lantai.
Wanita ini tertawa-tawa dengan sikap genit dan manja, lalu menyambung kata-katanya.
"Kau sudah tua bangka akan tetapi hatimu lebih muda daripada orang yang paling muda!
Masih kurangkah perempuan muda yang kaukeram di sini" Masa kau menginginkan pula dua orang dara itu?"
Bouw Lek Couwsu yang sudah men-dekatkan cawan emas pada bibirnya, menunda
minumnya dan memandang wa-jah yang menengadah di atas pangkuan-nya, tersenyum dan berkata.
"Kim Bwee, setua ini kau masih cem-buru?" Ia tertawa bergelak.
Siang-mou Sin-ni cepat bangkit duduk dan matanya mendelik. "Tua bangka me-nyebalkan!
Aku cemburu padamu" Huh, memalukan! Kau tahu aku tidak cemburu, aku tidak peduli kau akan mengumpulkan ribuan perempuan seperti juga kau tidak cemburu dan peduli kalau aku mengumpulkan ribuan pemuda-pemuda tampan. Akan tetapi, dua orang dara itu adalah puteri Kam Bu Sin, mereka itu adalah cu-cu-cucu Ketua Beng-kauw yang sudah ber-hasil kita bunuh. Mereka tadinya, dapat lolos, sekarang dapat tertawan oleh murid-muridmu, itu baik sekali. Kenapa tidak lekas bunuh mereka" Makin lama mereka dibiarkan hidup, makin banyak pula kesempatan bagi mereka untuk lo-los. Lebih baik kita singkirkan bahaya di hari depan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 257
kita." "Hemmm, omonganmu selalu benar, Kim Bwe. Akan tetapi, aku merasa sa-yang untuk
membunuh mereka begitu saja. Seperti juga bocah laki-laki yang akan kauambil darah dan sumsumnya, dua orang dara itu adalah keturunan orang pandai, mereka memiliki tulang yang baik dan darah bersih, juga.... hemm, amat cantik jelita. Malam ini, aku janji padamu, mereka akan kutundukkan mau atau tidak mau, dan besok masih belum terlambat untuk membunuh mereka."
"Huh, dasar mata keranjang. Akan kulihat besok, kalau kau belum bunuh mereka, aku sendiri yang akan turun tangan!"
Bouw Lek Couwsu mendekatkan mu-kanya dan mencium pipi Siang-mou Sin-ni sambil
tertawa ia mendekatkan cawan emas pada bibirnya, tetapi kembali ia menunda karena Siang-mou Sin-ni berkata mencela.
"Kau akan mencelakai dirimu dengan minuman seperti itu!"
"Ha-ha-ha, mana bisa celaka" Darah ular salju amat besar khasiatnya, tentu saja terutama sekali kepadaku. Kau tahu, aku ahli Im-kang aku membutuhkan racun dingin untuk
memperkuat tenagaku, tidak seperti kau yang suka akan yang panas-panas, ha-ha-ha!"
Pada saat itu terdengar pintu terke-tok dari luar. Han Ki yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan dengan wa-jah pucat dan tubuh menggigil saking gelisahnya mendengar dua orang kakak perempuannya juga tertawan, menjadi makin kaget dan cepat-cepat ia menarik kepalanya, mendekam di bawah jendela yang gelap. Ia hanya mendengarkan sam-bil menahan napas. Akan tetapi ternyata bahwa yang datang memasuki kamar itu adalah seorang pendeta jubah merah anak buah Bouw Lek Couwsu dan mereka bicara dalam bahasa Tibet yang sama sekali tidak dimengerti Han Ki. Kemu-dian terdengar Bouw Lek Couwsu me-maki-maki, juga Siang-mou Sin-ni berseru marah.
"Mari kita lihat bagaimana macam-nya iblis itu!" Terdengar mereka mening-galkan kamar.
Setelah keadaan di situ sunyi, barulah Han Ki berani menggerak-kan lehernya mengintai.
Kamar itu ko-song. Hatinya berdebar. Kedua orang kakaknya tertawan pula. Di mana"
De-ngan hati-hati ia lalu naik ke atas jen-dela, lalu memasuki kamar itu. Tubuh-nya masih gemetar dan jantungnya masih berdebar. Lehernya seperti dicekik, amat kering dan haus.
Keadaan sudah amat sunyi dan agaknya ia akan dapat melari-kan diri, akan tetapi ia mendengar bah-wa dua orang kakaknya tertawan, lenyap-lah keinginan hatinya untuk melarikan diri. Ia lama menyelidiki dan mencari dimana kedua orang kakaknya ditahan dan ia akan berusaha menolong nya!
Bau harum sedap menarik perhatian-nya. Cawan emas itu masih di atas meja dan isinya penuh. Agahnya Bouw Lek Couwsu tidak sempat meminumnya, ke-buru datang pelapor yang membuatnya marah-marah dan meninggalkan kamar. Mencium bau sedap dan melihat isi ca-wan yang kuning kemerahan dan jernih, makin kering rasa tenggorokannya. Se-bagai putera pendekar yang dilatih silat sejak kecil Han Ki tidak asing dengan arak, karena seringkali ia diharuskan minum arak obat untuk memperkuat tu-lang-tulangnya dan
membersihkan darah-nya. Dalam keadaaan gelisah ia menjadi haus sekali melihat arak dalam cawan emas itu tak dapat ia menahan keinginan hatinya. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu menyambar cawan emas dan menuang isinya ke mulut. Sedap dan manis! Rasa enak membuat ia minum terus sampai cawan itu kosong. Ketika ia melempar kembali cawan ke atas meja, ia menge-luh dan terhuyung-huyung ke kanan kiri.
Tubuhnya terasa aneh sekali, sebentar terasa panas yang selama ini memenuhi tubuhnya menjadi makin panas seperti terbakar, akan tetapi di lain saat men-jadi dingin sampai giginya atas bawah saling beradu dan tubuhnya menggigil. Selain ini, di dalam dada dan seluruh tubuhnya terjadi tarik menarik antara dua macam tenaga raksasa yang membuat tubuh anak itu terhuyung-huyung dan kemudian robohlah Han Ki dalam keada-an pingsan di atas lantai dalam kamar Siang-mou Sin-ni!
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 258
Apakah yang terjadi pada anak ini" Dia menjadi korban pengaruh dua macam obat yang bertentangan! Mula-mula ia dijejali makanan yang mengandung hawa panas luar biasa, yang membuat darahnya seolah-olah mendidih dan tubuhnya men-jadi panas sekali. Kemudian, tanpa ia ketahui, ia minum obat dalam cawan emas, obat yang disangkanya arak biasa.
Padahal obat itu adalah milik Bouw Lek Couwsu, obat yang mengandung hawa dingin luar biasa karena terbuat daripada darah ular salju. Dengan demikian, dua macam obat berbahaya, yang memiliki daya kekuatan luar biasa, panas dan dingin, bertemu di dalam tubuhnya, di-serap oleh darahnya yang menjadi medan pertempuran antara dua kekuatan. Darah-nya keracunan secara hebat sekali.
Ketika akan roboh pingsan, dari mulut anak ini keluar bisikan. "Aku harus me-nolong kedua enciku (kakak perempuan-ku) .... harus kutolong mereka....!"
Seperti kita ketahui atau dapat men-duga, dua orang enci anak ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, telah lenyap ketika mereka sedang menonton pertandingan antara Siauw-bin Lo-mo melawan Kiang Liong. Pada saat Siauw-bin Lo-mo meledakkan senjata rahasianya yang mengeluarkan asap tebal, dua orang gadis itu secara tiba-tiba roboh tertotok. Mereka kaget dan heran sekali karena tidaklah sembarang orang mampu me-robohkan mereka begitu mudah dengan serangan gelap dari belakang. Akan teta-pi ketika mereka melihat bahwa yang mengempit tubuh mereka dengan kedua lengan adalah searang pendeta gundul jubah merah yang berkaki satu, tahu-lah mereka bahwa nyawa mereka teran-cam maut. Mereka terjatuh ke dalam tangan musuh besar mereka, Bouw Lek Couwsu yang sakti, yang telah membunuh ayah bunda dan kakek mereka! Ketika kakek itu tidak segera membunuh mereka dan
menjebloskan mereka ke dalam ka-mar tahanan, dibelenggu dan dijaga oleh hwesio-hwesio jubah merah, dua orang gadis itu dapat menduga bahwa nasib yang lebih mengerikan daripada maut sendiri yang tengah menanti mereka. Na-mun mereka tidak berdaya sama sekali, hanya mengambil keputusan bahwa setiap kesempatan akan mereka pergunakan untuk mengamuk dan mengadu nyawa.
*** "Ke sini jalannya," Po Leng In berbi-sik sambil menarik tangan Kiang Liong yang
digandengnya. Mereka menyusup di antara pohon-pohon kecil, setengah me-runduk dan mendaki naik lereng gunung itu. "Sekeliling puncak terjaga kuat, ha-nya bagian ini yang tidak terjaga karena sukar dilewati." Setelah berbisik demi-kian, karena muka mereka saling ber-dekatan, Po Leng In merangkul leher dan mencium.
"Sudah, bukan saatnya bersenang-se-nang!" Kiang Liong mencela sambil men-jauhkan mukanya.
Po Leng In menarik napas panjang. "Liong-koko...., bisiknya dengan suara mesra dan manja,
"Aku.... aku cinta pa-damu...., selamanya aku tak ingin berpi-sah dari sampingmu...."
"Huh, cukuplah. Kita bertemu dan bersenang-senang, cukup sudah. Kau ber-janji untuk membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki. Jalan hidup kita bersimpang, setelah selesai tugasku, kita berpisah sebagai sahabat."
"Tapi...." "Cukup sudah! Tidak ada cinta di antara kita, tidak ada kecocokan dalam jalan hidup. Asal kelak kita tidak saling bertentangan dalam jalan hidup masing-masing, hatiku akan lega. Nah, ke mana sekarang jalannya?"
Wajah yang cantik itu menjadi mu-ram, mulutnya yang tadinya tersenyum bahagia itu kini menjadi pahit. "Aku tahu.... aku harus tahu diri...." Po Leng In menahan isak yang keluar dari dalam dada, kemudian menudingkan telunjuknya ke depan. "Lewat lereng berbatu-batu itu dan kita akan berada di wilayah kediam-an mereka. Lihat itu Sungai Nu-kiang sudah tampak."
Kiang Liong memandang ke kanan yang ditunjuk wanita itu. Di bawah sana tampak air sungai yang berliku-liku, ber-warna putih dan di sebelah depan, masih remang-remang di senja hari itu, tampak puncak Kao-likung-san yang menjadi mar-kas para pendeta jubah merah. Di Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 259
sana-lah kedua orang gadis dan adik mereka ditawan dan diam-diam Kiang Liong ber-doa semoga tiga orang itu masih dalam keadaan selamat.
Tiba-tiba Po Leng In memegang le-ngannya. "Sst, Koko, lihat....!"
Tempat mereka berdiri merupakan le-reng yang tinggi dan dari situ mereka dapat melihat pemandangan terbuka di sebelah timur Gunung Kao-likung-san. Kiang Liong dapat melihat serombongan orang mendaki bukit itu, gerakan mereka cepat dan tangkas dan di tengah-tengah rombongan terdapat dua buah kereta tahanan yang didorong-dorong naik.
Po Leng In mengeluarkan suara me-lengking tinggi, mengagetkan Kiang Liong. Pemuda itu memegang lengannya erat-erat dan membentak lirih. "Apa yang kaulakukan?"
"Aku memberi peringatan kepada para penjaga dan semua yang berada di atas."
"Eh, apa maksudmu" Bukankah hal itu membuat mereka siap dan akan menyu-karkan aku menolong anak-anak mendiang Paman Bu Sin?"
Po Leng In menggeleng kepalanya. "Sebaliknya malah. Jika para penjahat melihat rombongan orang asing itu tentu mereka akan turun dan semua perhatian akan dicurahkan terhadap rombongan itu. Di dalam keributan, apalagi di waktu malam, penjagaan di atas menjadi kurang diperhatikan dan kau dapat bergerak leluasa."
Kiang Liong mengangguk-angguk dan melepaskan lengan gadis, itu. "Marilah kita lanjutkan perjalanan ke atas."
Po Leng In menggeleng kepalanya. "Jangan, kau menanti di sini sampai ge-lap. Aku harus pergi dulu."
Kembali tangan pemuda ini memegang lengannya. "Leng In, apa sebetulnya ke-hendakmu?"
pertanyaan ini disertai pan-dang mata penuh selidik dan curiga.
"Aih, Liong-koko, kau masih belum percaya kepadaku, kepada orang lain, mungkin aku akan melakukan pengkhia-natan atau aku akan membunuhnya, habis perkara. Akan tetapi tidak mungkin ter-hadapmu. Kau tahu, setelah aku mengeluarkan suaraku tadi, Guruku dan yang lain-lain akan tahu bahwa aku telah da-tang. Kalau aku tidak lekas-lekas menemui mereka, apa kaukira mereka tak-kan menjadi curiga" Aku harus segera naik ke sana, dan akan kuusahakan agar mereka semua turun puncak menghadapi rombongan. Kalau sudah gelap, kau boleh merayap terus, melalui lereng berbatu itu. Kemudian setelah kau melihat ba-ngunan-bangunan di puncak, carilah ba-ngunan yang paling besar di tengah. Di sanalah dua orang gadis itu ditawan, sedangkan adik mereka itu ditawan da-lam bangunan di samping kanannya, tem-pat tinggal Guruku. Kurasa, hanya pen-jaga-penjaga lemah saja yang akan meng-halangimu."
"Maafkanlah kecurigaanku tadi, Leng In. Baiklah aku menurut petunjukmu."
Po Leng In tiba-tiba merangkulnya. "Koko, kau.... kau takkan melupakan Po Leng In, bukan....?"
Kiang Liong menggeleng kepalanya, akan tetapi lalu menyambung lirih. "Aku akan tetap mengenangmu sebagai saha-bat, kecuali.... kecuali kalau kelak kita saling jumpa dalam keadaan lain. Kalau jalan kita bersimpang, terpaksa aku me-nentang kau dan Gurumu."
Po Leng In terisak, melepaskan rang-kulannya lalu lari ke depan, menuju ke puncak. "Gadis yang hebat," Kiang Liong berkata seorang diri, "sayang terjerumus menjadi murid iblis betina itu."
Ia duduk terlindung pohon-pohon kecil dan dari tempat ia duduk, ia dapat me-mandang ke bawah, ke sebelah timur. Dari tempat ia berada, ia tak dapat melihat siapa adanya rombongan orang yang gerakannya tangkas itu, juga tidak tahu siapa yang berada di dalam dua buah kerangkeng tahanan. Akan tetapi ia mengenal kakek yang kurus, yang berja-lan di depan rombongan itu. Kakek itu menggendong bambu di punggung, ping-gangnya dilingkari
dompet-dompet tempat senjata-senjata rahasianya yang aneh. Kakek itu adalah Siauw-bin Lo-mo! Ter-ingat akan ini, Kiang Liong terkejut dan ia mengerahkan ketajaman pandang ma-tanya untuk menembus cuaca senja yang remang-remang untuk melihat lebih jelas siapa Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 260
yang berada di dalam kereta ke-rangkeng itu. Tidak tampak jelas, namun hatinya berdebar.
Siapa mereka" Ada dua orang dalam dua buah kerangkeng itu.
Kiang Liong tak dapat menduga bah-wa yang berada di dalam kereta kerang-keng itu, yang seorang adalah Mutiara Hitam! Memang, Kwi Lan dan Yu Siang Ki yang berada di dalam kereta kerang-keng itu. Rombongan itu adalah orang-orang Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Cap-ji-liong. Setelah mereka ini herhasil menawan Yu Siang Ki dan Kwi Lan, mereka lalu melanjutkan perjalanan seperti yang telah diperintahkan oleh Siauw-bin Lo-mo. Ke Gunung Kao-likung--san. Di kaki gunung ini Siauw-bin Lo-mo telah menanti dan betul saja seperti dugaan Ma Kiu dan adik-adiknya, kakek ini menjadi gembira sekali melihat dua orang tawanan itu.
"Yang seorang Ketua Khong-sim Kai-pang! Bagus, bagus. Ha-ha-ha, tentu akan kecut muka Bu-tek Siu-lam si banci me-lihat betapa musuh mudanya terjatuh ke tanganku. Ini merupakan sebuah jasa yang mengangkat aku lebih tinggi dari-padanya, memungkinkan aku menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian! Dan gadis ini" Mutiara Hitam" Ha-ha-ha, dia cantik.
Kudengar Bouw Lek Couwsu pa-ling suka gadis cantik, kebetulan sekali karena aku tidak membawa oleh-oleh untuknya. Hadiah seperti ini tentu akan menyenangkan pemimpin orang-orang Hsi-hsia. Ha-ha-ha-ha!"
Demikianlah, dengan girang Siauw-bin Lo-mo lalu memimpin Cap-ji-liong dan beberapa orang pentolan perampok dan bajak yang menjadi anak buahnya untuk mengunjungi,
pimpinan pendeta jubah merah, yaitu Bouw Lek Couwsu karena ia sudah mendengar akan sepak terjang pendeta itu yang sudah membas-mi Beng-kauw dan ingin bersahabat untuk memperkuat kedudukannya. Tokoh yang sudah berhasil membunuh Beng-kauw patut
dijadikan sahabat kalau dapat di-tarik untuk menguntungkan kedudukannya, sebaliknya bila perlu juga patut dibasmi kalau membahayakan! Dibantu oleh Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan para kepala bajak dan rampok, tentu saja ia tidak takut menghadapinya andaikata Bouw Lek Couwsu memperlihatkan sikap tidak bersahabat.
Siauw-bin Lo-mo yang belum menge-nal watak Bouw Lek Couwsu dan para pendeta jubah merah dari Tibet, juga tidak menduga bahwa di situ terdapat pula Siang-mou Sin-ni orang terakhir Thian-te Liok-kwi, dengan hati besar memimpin rombongannya mendaki lereng Gunung Kao-likung-san. Akan tetapi ke-tika rombongan tiba di padang rumput yang berada di lereng itu, hari sudah mulai gelap. Karena tidak mengenal daerah ini, Siauw-bin Lo-mo memerintah-kan rombongannya berhenti.
"Besok kita lanjutkan pendakian ke puncak." katanya.
Akan tetapi keadaan yang sunyi dan aman itu segera terganggu oleh suara lengking tinggi yang datangnya dari ba-wah puncak, lengking aneh yang meng-ingatkan Siauw-bin Lo-mo akan wanita muda yang pernah datang menemui para tokoh Bu-tek Ngo-sian di puncak Cheng-liong-san. Lengking gadis baju merah yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni.
Salahkah pendengarannya" Akan teta-pi kakek ini tidak sempat memikirkan hal itu karena tiba-tiba terdengar pekik kesakitan dan kemarahan di antara anak buahnya. Di antara sinar obor yang dipa-sang anak buahnya, ia melihat beberapa orang perampok roboh dan kini tampaklah olehnya hujan anak panah menyerang mereka.
Siauw-bin Lo-mo kaget sekali. Ia melompat ke depan, menyampok anak--anak panah yang menyambar ke arahnya, mengerahkan khikang dan berseru keras.
"Tahan anak panah! Di sini aku, Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, memimpin Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan orang-orang gagah dari hutan sungai, bermaksud mengun-jungi Bouw Lek Couwsu pemimpin pasu-kan Hsi-hsia!"
Suara Siauw-bin Lo-mo amat nyaring dan bergema di empat penjuru. Seketika terhentilah hujan anak panah dan tiba-tiba tampak api obor yang banyak sekali menerangi tempat itu muncul puluhan orang pasukan Hsi-hsia, pasukan panah yang dipimpin oleh belasan orang hwesio berjubah merah yang berwajah keren. Tempat itu sudah terkurung! Seorang di antara Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 261
mereka, pendeta jubah merah, melangkah maju dan berkata kepada Siauw-bin Lo-mo,
suaranya parau besar dan logatnya kaku.
"Nama Siauw-bin Lo-mo sudah ter-kenal, akan tetapi belum cukup besar untuk berlancang datang membawa anak buah ke wilayah kami tanpa ijin. Apakah gerangan niat yang
dikandung di hati Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya?"
"Ha-ha-heh-heh, bagus sekali kalau orang telah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo!
Kalau kami datang dengan maksud hati buruk, tentu tidak datang secara terang-terangan. Aku da-tang dengan hati terbuka, ingin bersaha-bat dengan Bouw Lek Couwsu dan mem-bawa hadiah dara jelita untuk Couwsu!"
"Tidak ada perintah dari Couwsu untuk menerima tamu. Kalau ada hadiah, boleh serahkan kepada kami dan selanjutnya kami harap Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya suka
meninggalkan gunung seba-gai sahabat."
"Ha-ha-ha-ha! Para pendeta Tibet benar-benar tidak memandang mata ke-pada Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi kare-na kedatanganku memang bukan berniat buruk, biarlah kalian boleh membawa gadis jelita yang menjadi tawanan di dalam kerangkeng itu untuk dipersembah-kan kepada Bouw Lek Couwsu diiringi hormatku. Juga harap disampaikan bahwa aku Siauw-bin Lo-mo mohon berjumpa besok pagi."
Pendeta jubah merah itu kelihatan ragu-ragu. Betapapun juga, ia tidak be-rani memandang ringan Siauw-bin Lo--mo yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang tokoh sakti dan agaknya permintaannya ini cukup pantas untuk dipertimbangkan. Kalau ia pergi mengha-dap Bouw Lek Couwsu, menyampaikan persembahan berupa seorang gadis muda cantik yang
memang ia tahu menjadi kesukaan ketuanya dan mohon persetu-juannya menerima
permintaan Siauw--bin Lo-mo yang sudah merendahkan diri untuk menghadap, agaknya ketuanya tak-kan marah.
"Hemm, asal cianpwe suka berjanji akan menjaga agar anak buahmu tidak menimbulkan kekacauan dan tidak pergi dari tempat ini, agaknya kami akan da-pat menerima permintaan yang layak ini." katanya dan ia pun sudah menyebut cianpwe kepada Siauw-bin Lo-mo sebagai tanda bahwa ia mengakui kakek itu se-bagai seorang sakti.
Lega hati Siauw-bin Lo-mo. Setelah melakukan perjalanan jauh tentu saja ia cukup cerdik dan sabar untuk mengalah dan sedikit merendah terhadap pemimpin pendeta-pendeta Tibet yang sekaligus juga merupakan pimpinan bala tentara Hsi-hsia yang kuat itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras yang didahului dengan lengkingan tinggi.
"Tidak mungkin! Para Lo-suhu jangan kena dikelabuhi oleh kakek kurus kering yang jahat ini! Namanya Siauw-bin Lo-mo, mukanya tersenyum-senyum akan tetapi hatinya busuk dan palsu!"
Siauw-bin Lo-mo terbelalak meman-dang dengan penuh kemarahan. Ternyata yang muncul adalah gadis berpakaian merah, murid Siang-mou Sin-ni yang ber-nama Po Leng In. Tampak cantik dan gagah di bawah sinar banyak obor, tangannya memegang pedang dan rambut-nya yang hanya tinggal separuh itu ter-gantung di depan dada.
"Po-kouwnio (Nona Po), apakah yang kaumaksudkan dengan ucapan itu?" tanya hwesio tinggi besar muka merah.
"Maksudku, dia ini adalah orang jahat yang tidak mempunyai niat baik. Kalau berniat baik, masa ia membawa-bawa pasukan" Nah, para Lo-suhu dengar baik-baik, aku akan mengajukan beberapa per-tanyaan kepadanya." Setelah berkata demikian, Po Leng In melangkah maju mendekati Siauw-bin Lo-mo sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung kakek itu.
"Heh, Siauw bin Lo-mo, kalau kau benar-benar sebagai seorang tokoh besar dan maksud kedatanganmu baik-baik, tentu kau akan menjawab semua perta-nyaanku dengan sebenar dan sejujurnya. Bukankah engkau pernah bertemu dengan aku?"
"Benar, pernah aku melihat Nona di Cheng-liong-san." jawab Siauw-bin Lo-mo, sedikit pun tidak khawatir karena ia memang tidak tahu akan hubungan guru nona ini dengan Bouw Lek Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 262
Couwsu. "Bagus, engkau ternyata masih cukup berani untuk menjawab sebetulnya. Bu-kankah engkau bersama dengan Thai-lek Kauw-ong, Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, dan seorang tokoh lain lagi membentuk apa yang kalian sebut Bu-tek Ngo-sian?"
Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk bangga. "Memang benar dan akulah orang
pertamanya!" "Bagus! Sekarang katakan, ketika aku muncul di sana mewakili Guruku untuk menghadiri pertemuan puncak, engkau melihat Bu-tek Siu-lam menangkapku dan menghinaku, menghina nama baik Guruku, dan hampir membunuhku. Betulkah" Dan engkau sama sekali tidak
mencampuri urusan itu malah engkau lalu pergi, be-tul?"
Siauw-bin Lo-mo masih tidak menger-ti apa artinya semua itu dan apa hu-bungan dengan Bouw Lek Couwsu serta para hwesio jubah merah ini. Namun sebagai seorang cerdik, kini melihat munculnya Po Leng In di antara para hwesio jubah merah, ia dapat menduga tentu ada hubungan baik di antara mereka itu. Maka ia lalu menjawab.
"Yang menghinamu adalah Bu-tek Siu-lam, tidak ada sangkut pautnya dengan aku."
"Bagus, tidak ada sangkut-pautnya kaubilang" Akan tetapi kau tadi mengaku bahwa Bu-tek Siu-lam adalah sekutumu, saudaramu dalam kelompok Bu-tek Ngo-sian! Engkau melihat Guruku diperhina nama baiknya tanpa bilang apa-apa, me-lihat aku hampir dibunuh kau pun tidak bilang apa-apa, sekarang masih berani datang dengan maksud baik?"
"Eh-eh, apa sangkut-pautnya dirimu atau Gurumu dengan kunjunganku pada Bouw Lek
Couwsu" Aku...."
"Tutup mulutmu! Engkau tentu datang sebagai pembela Beng-kauw!" Setelah berkata
demikian, serta-merta Po Leng In lalu menerjang maju, menyerang Siauw-bin Lo-mo dengan pedangnya yang bergerak cepat seperti kilat menyambar. Namun dengan mudah sekali Siauw-bin Lo-mo miringkan tubuh mengelak, bahkan sekali tangannya diulur ke depan, hampir saja gagang pedang di tangan Po Leng In dapat dirampasnya. Gadis itu berseru kaget dan meloncat mundur.
Sementara itu, para hwesio jubah me-rah yang mendengar betapa kakek ini berani menghina nama baik Siang-mou Sin-ni, tentu saja sudah menjadi terpe-ngaruh dan serentak mereka maju mener-jang dengan senjata mereka.
"Ha-ha-ha! Pendeta-pendeta Tibet mudah dibujuk murid Siang-mou Sin-ni!" Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak dan kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak dengan ilmu silatnya yang dahsyat dan aneh. Dua orang hwesio yang ilmunya tinggi, setingkat dengan ilmu Po Leng In, kena ditendang mencelat.
Adapun Cap-ji-liong tokoh-tokoh Thian-liong-pang, para ketua bajak dan rampok, yang melihat betapa datuk me-reka diserang dan dikeroyok, segera ber-teriak marah dan menyerbu, diikuti anak buah mereka. Demikian pula dari pihak anak buah para pendeta, yaitu orang Hsi-hsia yang berani dan liar, sambil menge-luarkan teriakan lantang lalu maju menggerakkan senjata masing-masing. Terjadi-lah perang kecil yang dahsyat dan seru di antara sinar-sinar obor.
Di bawah pimpinan Siauw-bin Lo-mo yang sakti, Cap-ji-liong mengamuk hebat dan tentu akan banyak jatuh korban di tangan Siauw-bin Lo-mo dan dua belas orang naga itu kalau saja Siauw-bin Lo--mo yang cerdik tidak cepat berseru nya-ring. "Hajar kerbau-kerbau dungu ini, akan tetapi jangan bunuh mereka!"
Inilah sebabnya maka orang-orang Hsi-hsia yang roboh, juga beberapa orang hwesio jubah merah, hanya terluka saja dan tidak sampai tewas. Melihat hebat-nya sepak terjang para penyerbu, seorang hwesio jubah merah cepat-cepat lari naik seperti terbang cepatnya, membuat pela-poran kepada Bouw Lek Couwsu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Lek Couwsu yang sedang bersenang-se-nang dengan Siang-mou Sin-ni di dalam kamar iblis betina ini, segera lari keluar ditemani Siang-mou Sin-ni.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 263
Kwi Lan yang terkurung dalam ke-rangkeng tidak luka parah seperti Yu Siang Ki yang sampai lama berada dalam keadaan pingsan. Ketika sadar dan men-dapatkan kedua tangannya terbelenggu, demikian pada kedua kakinya, dan ia meringkuk di dalam kerangkeng, Kwi Lan cepat bangkit dan meneliti keadaannya. Ia melihat Siang Ki yang masih pingsan berada dalam kerangkeng lain, tak jauh dari kerangkeng yang mengurung dirinya, didorong-dorong oleh beberapa orang, dan dijaga oleh Cap-ji-liong.
Sekarang tahulah Kwi Lan mengapa Siang Ki mendesaknya untuk melarikan diri. Pemuda itu ternyata benar. Kalau ia menurut nasihatnya dan membebaskan diri, biarpun Siang Ki menjadi tawanan, namun dia sendiri masih bebas dan tentu akan dapat mencari akal untuk menolong Siang Ki. Akan tetapi, segala hal telah terlanjur, kini ia sendiri tertawan sehing-ga tidak saja Siang Ki tak dapat ditolong bahkan keselamatannya sendiri terancam malapetaka hebat.
Kwi Lan meneliti tubuhnya. Tidak terluka parah. Juga belenggu pada kaki tangannya, kalau ia mau, dapat ia patah-kan. Namun kerangkeng itu cukup kuat, dan terutama sekali di sekeliling kerang-keng terdapat tokoh-tokoh Cap-ji-liong. Tidak ada harapan baginya untuk melo-loskan diri pada waktu itu. Saking jengkelnya, Kwi Lan lalu memaki-maki di sepanjang jalan. Ia amat marah, akan tetapi pengalaman ini membuat ia ber-tambah kecerdikannya dan ia tidak mau melepaskan atau mematahkan belenggu kaki tangannya pada saat itu karena maklum bahwa hal ini akan percuma saja. Pedang Siang-bhok-kiam dan jarum hijau dalam kantung telah dirampas mu-suh dan di sekeliling kerangkeng terdapat Cap-ji-liong yang kosen ditambah banyak kepala bajak dan rampok. Ia menanti ke-sempatan dan saat baik untuk dapat meloloskan diri dengan berhasil sambil menolong Yu Siang Ki. Akan tetapi, alangkah kaget dan kecewa hatinya keti-ka di kaki Gunung Kao-likung-san, rom-bongan orang Thian-liong-pang ini berte-mu dengan Siauw-bin Lo-mo yang agak-nya memang sudah menanti di situ.
De-ngan adanya kakek ini, lenyaplah harap-annya untuk dapat membebaskan diri!
Kwi Lan tadinya sudah merasa putus asa dan sudah mengambil keputusan untuk
memberontak malam hari itu, nekat mengadu nyawa. Maka dapat diba-yangkan betapa tegang dan gembira hati-nya ketika ia melihat munculnya kesem-patan yang baik sekali yaitu pada waktu para pendeta jubah merah yang didahului oleh Po Leng In menyerang Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya.
Kwi Lan segera mengenal Po Leng In dan begitu pertempuran dimulai diam-diam ia
mengerahkan sin-kangnya. Sete-lah beberapa kali membetot dan menarik, putuslah belenggu kedua tangannya. Tan-pa banyak kesukaran, ia membebaskan kedua kakinya.
Seorang di antara kepala rampok yang ditugaskan menjaga kedua kerangkeng, berseru kaget dan cepat menghampiri kerangkeng Kwi Lan. Namun tiba-tiba lengan tangan Kwi Lan
menyambar dari dalam kerangkeng dan tahu-tahu rampok itu sudah tercengkeram lengannya, dita-rik ke kerangkeng dan sebelum orang itu mampu berteriak, nyawanya sudah
me-ninggalkan raganya karena pukulan Siang-tok-ciang yang amat dahsyat dari tangan kiri Kwi Lan.
Penjaga kerangkeng semua ada tujuh orang. Enam orang yang lain melihat be-tapa temannya tewas, cepat maju me-ngurung kerangkeng Kwi Lan dengan tombak di tangan. Biarpun Kwi Lan ber-kepandaian tinggi, namun bertangan ko-song menghadapi ancaman tombak, dari enam penjuru ini sedangkan dirinya masih dikurung di dalam kerangkeng, amat berbahaya juga. Pada saat itu, enam orang perampok ini sudah menjerit ke-sakitan dan roboh bergulingan. Kwi Lan hanya melihat sinar menyambar, sinar halus. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa muka seorang di antara perampok yang dite-rangi sinar obor, menjadi hijau ketika orang ini toboh. Itulah tanda bahwa dia terkena racun hijau dari senjata rahasia jarum. Jarum hijau, seperti senjata raha-sianya yang kantungnya kini dipegang seorang di antara para perampok, bersa-ma pedang Siang-bhok-kiam. Kini ia akan melihat orang yang telah membunuhi hwesio-hwesio dalam kelenteng memper-gunakan
jarum-jarum hijau! Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 264
Ketika dua orang berkelebat datang mendekati kerangkeng, Kwi Lan terkejut. Yang seorang adalah laki-laki tua ber-jenggot, pakaiannya sederhana, usianya tentu sudah enam puluh tahun, tubuhnya kecil kurus, sepasang matanya bersinar lembut, punggungnya membawa pundi-pundi. Orang ke dua adalah seorang gadis amat cantik, senyumnya manis, rambut-nya digelung ke atas, usianya sebaya dengannya. Kedua orang ini memegang sebatang pedang dan di pinggang gadis itu terdapat, sebuah kantong kulit. Agak-nya gadis itulah yang tadi melepaskan jarum-jarum hijau yang merobohkan para penjaga kerangkeng.
Kwi Lan mengerahkan tenaganya, menghantam kerangkengnya sehingga ter-dengar suara keras dan jebollah kerang-keng itu.
"Engkau hebat sekali, Adik manis!" kata gadis itu melihat cara Kwi Lan menjebol
kerangkengnya. Akan tetapi sambil berkata demikian ia menggunakan pedangnya untuk dibabatkan ke arah kerangkeng yang mengurung tubuh Yu Siang Ki.
"Jangan ganggu dia!" Kwi Lan me-nyambar cepat, mengirim pukulan Siang-tok-ciang ke arah gadis cantik itu. Hebat sekali serangannya dan karena hal ini ia lakukan dari belakang selagi gadis itu membabatkan pedangnya ke arah kerang-keng, maka tentu serangannya akan me-ngenai sasaran.
"Desss....!" Tubuh Kwi Lan terhuyung mundur dan lengannya terasa sakit. Ka-kek kurus yang menangkisnya itu pun terhuyung mundur dan berubah wajahnya ketika berseru, "Ihhh....!
inikah Siang-tok-ciang" Keji sekali....!"
Akan tetapi Kwi Lan tidak mempe-dullkan kakek ini karena perhatiannya tertuju kepada keselamatan Yu Siang Ki yang ia sangka akan dicelakakan gadis cantik itu. Ketika ia membalikkan tubuh memandang, ternyata dugaannya keliru karena kini gadis itu telah membabat" beberapa orang hwesio jubah merah putus kerangkeng dan bahkan sudah
me-lepaskan belenggu tangan Yu Siang Ki.
"Siapa kalian" Mau apa....?" tanyanya gagap.
"Nona, kami datang menolong kalian. Selagi ada kesempatan tidak lekas lari mau tunggu apalagi" Goat-ji (Anak Goat) kaujaga dibelakangku, biar kugendong dia!"
Tanpa pedulikan Kwi Lan lagi, laki--laki kurus itu lalu melompat ke dekat kerangkeng Siang Ki, menyambar tubuh pemuda itu dan memanggulnya, kemudian melompat hendak lari.
Gadis cantik yang disebut Goat itu pun dengan pedang ter-hunus melompat di belakangnya, melindungi kakek yang menggendong pemuda itu.
Kwi Lan cepat mengambil pedang dan kantong jarumnya dari tubuh penjaga yang sudah menjadi mayat, kemudian berpaling menonton pertempuran yang berlangsung hebat. Ia melihat betapa Po Leng In terdesak hebat biarpun gadis ini mengeroyok Siauw-bin Lo-mo dengan beberapa orang Hwesio jubah merah. Timbul keinginan hatinya untuk memban-tu Po Leng In karena dianggapnya bahwa munculnya Po Leng In merupakan pertolongan baginya, membuka kesempatan baginya untuk membebaskan diri. Akan tetapi ia teringat akan
keselamatan Yu Siang Ki. Pemuda ini dalam keadaan luka-luka parah, kini dibawa lari dua orang yang sama sekali tak dikenalnya. Bagaimana kalau pemuda itu terjatuh di tangan musuh" Berpikir demikian, tanpa banyak cakap lagi Kwi Lan lalu melom-pat dan lari mengejar bayangan dua orang yang membawa lari tubuh Yu Siang Ki.
*** "Tahan, senjata....!"
Bentakan ini keras luar biasa, seakan--akan menggetarkan Gunung Kao-likung-san. Apalagi bagi anak buah Siauw-bin Lo-mo karena sambil membentak, Bouw Lek Couwsu melakukan gerakan mendorong sehingga empat orang anggauta Cap-ji-liong terpental dan terhuyung-huyung mundur hanya oleh hawa pukulan yang amat kuat, keluar dari dorongannya tadi.
Para hwesio jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia cepat menarik senjata masing-masing dan melompat mundur. Siauw-bin Lo-mo juga memberi perintah kepada anak buahnya untuk menghentikan pertandingan.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 265
Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang di bawah sinar obor yang amat banyak, Siauw-bin Lo-mo melihat seorang hwesio tinggi besar berkaki satu, memegang sebatang tongkat kuningan yang amat besar dan berat dengan ke-pala tongkat berukirkan patung Buddha yang amat indah. Di dekat kakek ini berdiri seorang wanita yang amat cantik dan garang, berambut terurai panjang. Wanita ini sukar ditaksir berapa usianya, bibirnya manis tersenyum-senyum akan tetapi matanya membuat orang berdiri bulu tengkuknya karena sinar mata itu amat keji dan ganas. Melihat wanita ini jantung Siauw-bin Lo-mo berdebar saking kagetnya karena biarpun selamanya ini belum pernah bertemu dengan wanita ini, sekarang ia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah Siang-mou Sin-ni, seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah terbasmi habis itu. Ia memang mende-ngar kabar bahwa hanya Siang-mo Sin-ni seorang yang masih hidup di antara Thian-te Liok-kwi, akan tetapi menurut berita, wanita sakti ini sudah mengasing-kan diri di pulau kosong di laut selatan. Kini mengertilah Siauw-bin Lo-mo meng-apa Po Leng In bersekutu dengan hwesio jubah merah, kiranya gurunya berada di tempat ini, bersama Bouw Lek Couwsu!
"Ha-ha-ho-ho-ho! Terima kasih bahwa Bouw Lek Couwsu berkenan keluar sen-diri
menyambut. Sungguh merupakan kehormatan besar bagiku. Tidak kelirukah dugaanku bahwa sahabat yang perkasa ini adalah Bouw Lek Couwsu, pemimpin pasukan Hsi-hsia yang gagah berani?" Siauw-bin Lo-mo menegur sambil mende-kati Bouw Lek Couwsu.
Bouw Lek Couwsu mengerutkan alis-nya yang tebal, lalu matanya menyapu keadaan di sekeliling tempat itu. Ia me-lihat beberapa orang anak buahnya ter-luka dan dirawat teman-temannya, akan tetapi tak seorang pun tewas. Ia meng-angguk-angguk dan kembali
memandang Siauw-bin Lo-mo sambil berkata, meng-gerakkan tongkat kuningan itu di depan dada.
"Pinceng pernah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo. Apakah Lo-mo mengandalkan
kepandaian tidak memandang mata kepada pinceng (aku) dan malam ini sengaja hendak mencoba ke-pandaianku?"
"Ho-ho-ha-ha-ha! Sama sekali tidak. Salah mengerti.... salah mengerti! Mana bisa aku begitu tak tahu diri membentur gunung" Aku Siauw-bin Lo-mo selamanya mengenal orang gagah.
Aku sengaja da-tang untuk berkenalan dan bersahabat, dan sebagai bukti kemauan baikku, aku datang membawa hadiah seorang dara jelita yang liar, bukan sembarangan dara berjuluk Mutiara Hitam, untuk dipersem-bahkan kepada Bouw Lek Couwsu...."
Pada saat itu Ma Kiu sudah lari menghampiri Siauw-bin Lo-mo dan ber-kata, suaranya gugup.
"Locianpwe...., dalam keributan.... dua orang tawanan telah lolos....!"
"Apa?" Sekali ini Siauw-bin Lo-mo lupa ketawanya dan mukanya kelihatan marah sekali.
"Goblok kau! Hayo lekas kejar sampai dapat!" Ia lalu menjura kepada Bouw Lek Couwsu setelah meli-hat Cap-ji-liong berkelebat pergi untuk mengejar tawanan yang lolos, menjura dan berkata, "Maaf, Couwsu, aku harus menangkap kembali tawanan itu dan
mempersembahkan kepadamu sebagai bukti niat baikku. Besok aku naik untuk menghadap."
Tanpa menanti jawaban, Siauw-bin Lo-mo lalu berkelebat pergi menyusul anak buahnya.


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hemm, iblis tua itu mencurigakan!" kata Siang-mou Sin-ni.
"Dia, memang jahat dan sama sekali tidak boleh dipercaya!" kata Po Leng In. "Sudah teecu (murid) laporkan bahwa dia adalah seorang di antara Bu-tek Ngo-sian yang membiarkan saja ketika teecu dihina di Cheng-liong-san."
"Hemm, harus diberi hajaran!" Siang--mo Sin-ni sudah siap untuk mengejar ke-tika tiba-tiba terdengar suara tanduk ditiup dari puncak. Itulah tanda rahasia yang digunakan oleh pasukan Hsi-hsia untuk memberi tanda bahaya.
"Agaknya di puncak terjadi hal yang tidak baik. Marilah, Kim Bwe, kita lihat ke atas. Urusan Siauw-bin Lo-mo kita tunda sampai besok, kita lihat apa kehendaknya besok."
Ketika dua orang sakti itu dengan gerakan cepat laksana terbang berkelebat ke arah puncak, wajah Po Leng In men-jadi pucat. Ia dapat menduga apa makna-nya tanda bahaya yang ditiup Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 266
orang di puncak itu. Tentu Kiang Liong sudah turun tangan dan agaknya ketahuan pen-jaga.
Dengan jantung berdebar tak enak ia lalu berlari cepat pula menyusul guru-nya dan Bouw Lek Couwsu, mendahului para pendeta jubah merah yang juga ber-lari-lari naik.
Dugaan Po Leng In memang tepat. Kiang Liong yang ditinggalkan wanita ini di lereng gunung itu, menanti sampai cuaca menjadi gelap dan tepat seperti yang dipesankan Po Leng In. Ia lalu mendaki ke puncak melalui lereng ber-batu. Gerakannya cepat sekali akan te-tapi ia berlari naik dengan amat hati-hati dan waspada.
Begitu tiba di puncak, hatinya girang melihat keributan dan melihat para pendeta baju merah berlari-larian keluar masuk pintu gerbang yang terjaga kuat oleh orang-orang Hsi-hsia.
Kemudian dari tempat persembunyiannya di luar tembok, ia melihat pula pendeta baju merah yang buntung kaki kirinya berkelebat cepat keluar tembok bersama seorang wa-nita cantik berambut panjang. Ia dapat menduga bahwa tentu mereka inilah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin--ni. Biarpun hanya mendengar keterangan dari Po Leng In, namun kini melihat ge-rakan mereka berdua demikian cepat, ia tahu bahwa dua orang itu amat sakti.
Maka legalah hatinya ketika malihat dua orang ini berlari turun diikuti beberapa orang pendeta baju merah dan sepasukan orang-orang Hsi-hsia. Ia segera meloncat ke atas tembok pada saat peronda dan penjaga sedang lengah karena keributan yang terjadi di bawah puncak.
Makin terasa olehnya jasa Po Leng In, karena ia maklum bahwa andaikata tidak terjadi keributan di bawah puncak, andaikata Po Leng In tidak sengaja memancing ke-ributan dan memancing keluar dua orang sakti itu serta menimbulkan kesibukan di puncak, akan sukarlah baginya untuk dapat melompati tembok yang selalu terjaga rapat itu.
Gerakan Kiang Liong memang amat cepat sehingga tubuhnya sukar diikuti pandangan mata orang biasa. Ketika ia meloncat ke dalam dan bergerak menye-linap di antara bangunan-bangunan di situ, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan putih saja. Betapapun juga, ketika ia tiba di bangunan terbesar di tengah-tengah kelompok bangunan itu, seperti yang ditunjuk oleh Po Leng In, ia menghadapi kesulitan. Bangunan ini terjaga, baik di bagian depan, kanan kiri, belakang maupun atas! Dengan hati-hati sekali Kiang Liong mengintai dan menga-tur siasat. Agaknya bangunan besar-besar yang menjadi tempat tinggal Bouw Lek Couwsu dan para selirnya, juga termasuk tempat kediaman Siang-mou Sin-ni, mem-punyai penjaga-penjaga tetap. Di depan terjaga empat orang, di belakang, kanan dan kiri masing-masing tiga orang dan di atas genting tampak menjaga dua orang. Dari semua penjaga itu, agaknya penjaga di atas genteng merupakan penjaga ber-kepandaian tinggi karena mereka adalah dua orang pendeta jubah merah. Adapun penjaga lain adalah orang-orang Hsi-hsia tinggi besar.
Kiang Liong lalu mengumpulkan bebe-rapa buah batu kecil, kemudian menye-linap ke sebelah kiri bangunan itu. Be-berapa detik kemudian, tiga orang penja-ga di sebelah kiri rumah besar itu roboh dan tak sempat mengeluarkan sedikit pun suara karena tengkuk mereka disambar batu-batu kecil yang membuat mereka roboh pingsan tanpa mengetahui sebab-nya.
Cepat bagaikan bayangan setan, Kiang Liong melompat keluar dan sekaligus mengempit tiga tubuh penjaga itu dibawa ke tempat gelap, ditotok lumpuh dan disembunyikan di bawah gerombolan pohon kembang. Berturut-turut ia lakukan hal seperti pada penjaga di kanan, depan dan belakang sehingga dalam waktu be-berapa menit saja tiga belas orang Hsi-hsia yang menjaga rumah itu sudah rebah tumpang-tindih dalam keadaan pingsan di bawah pohon.
Tepat seperti dugaan Kiang Liong, dua orang penjaga di atas rumah, yaitu dua orang pendeta jubah merah, ternyata adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, tidak seperti tiga belas orang Hsi-hsia yang hanya kuat saja. Buktinya, sambitan kerikil, dari tangan Kiang Liong itu tidak merobohkan dua orang hwesio jubah merah ini, hanya membuat mereka terhuyung-huyung saja di atas genteng. Kiang Liong tidak mau memberi kesempatan.
Tubuhnya berkele-bat cepat melayang naik ke atas gen-teng. Dua orang pendeta jubah merah yang masih belum pulih kagetnya, me-nyambutnya dengan usaha perlawanan.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 267
Namun sia-sia, tingkat kepandaian mere-ka masih terlalu rendah untuk menan-dingi pemuda sakti ini. Dua kali tangan Kiang Liong bergerak dan mereka sudah tertotok lumpuh dan di saat lain tubuh mereka sudah dilempar di tumpukan tu-buh para penjaga lain dalam keadaan pingsan dan lumpuh.
Akan tetapi, Kiang Liong tertegun dan mau tidak mau harus mengagumi kesetiaan dan kegagahan para penjaga dan dua orang pendeta itu karena beta-papun dipaksa dan
diancamnya, ketika ia mencari keterangan tentang dua orang gadis tawanan, mereka itu tetap membungkam! Terpaksa Kiang Liong lalu mencari sendiri, menyelinap ke dalam bangunan besar itu.
Ketika empat orang pelayan wanita menyambut munculnya dengan mata ter-belalak
ketakutan, Kiang Liong cepat mengangkat tangan dan berkata, "Aku tidak akan menyusahkan kalian, aku da-tang untuk menolong dua orang tawanan, dua orang gadis yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu. Beritahu di mana mereka dan aku akan membawa pergi mereka dari sini dengan segera."
Dengan tubuh gemetar empat orang pelayan itu berlutut dan saking takutnya tak seorang pun dari mereka dapat men-jawab! Dan pada saat itu kembali bermunculan wanita-wanita pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik, diam-diam Kiang Liong mengeluh dalam hatinya. Tidak dirobohkan berbahaya, untuk me-nyerang mereka ia tidak tega karena mereka itu adalah wanita-wanita lemah!
"Hayo lekas beritahukan di mana adanya dua orang gadis tawanan itu. Kalau tidak, terpaksa aku bunuh kalian!" ia sengaja mengancam.
"Ampun.... mereka.... mereka di sana.... di kamar belakang....!" Seorang pelayan akhirnya dapat menjawab.
"Lekas bawa aku ke sana!"
Pelayan itu terhuyung-huyung keta-kutan, akan tetapi dapat berjalan menuju ke ruang belakang, diikuti oleh Kiang Liong dari belakang. Akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar yang pintu-nya bercat merah, daun pintunya tertu-tup. Dengan pengerahan tenaganya, sekali dorong saja daun pintu itu terbuka dan.... Kiang Liong mengeluarkan suara mengu-tuk ketika ia melihat Siang Kui dan Siang Hui, dua orang gadis cucu Ketua Beng-kauw yang cantik itu, terbelenggu di atas pembaringan dalam keadaan te-lanjang! Melihat tumpukan pakaian mere-ka di atas pembaringan, Kiang Liong cepat meloncat dekat dan sebentar saja semua belenggu yang mengikat dua orang gadis itu sudah dipatahkan.
"Lekas pakai pakaian kalian!" bisiknya sambil membalikkan tubuh, tidak mau melihat kakak beradik yang telanjang itu. Siang Kui dan Siang Hui dengan muka merah sekali cepat-cepat mengenakan pakaian mereka.
"Untung kau datang tepat pada wak-tunya, Liong-twako." kata Siang Kui dengan suara terharu.
"Terima kasih, Twako. Mari sekarang kita hajar sampai mampus monyet-mo-nyet gundul itu!" seru Siang Hui penuh kemarahan.
Kiang Liong menoleh menghadapi mereka. Mendengar ucapan mereka, me-lihat sikap dan keadaan mereka, hatinya lega. Ia maklum bahwa kedatangannya belum terlambat.
"Siauw-moi, jangan bicara tentang menghajar mereka. Jumlah mereka ba-nyak sekali, yang paling penting seka-rang, di mana adanya Han Ki adik ka-lian?"
Barulah enci adik itu teringat dan mereka menjadi bingung. "Kami berdua begitu terculik, selalu dikeram ke dalam kamar ini dan tak seorang pun di antara pelayan ada yang mau membuka mulut memberi tahu di mana adanya Han Ki. Mari kita cari." kata Siang Kui penuh semangat.
Kiang Liong menggeleng kepala, lalu menarik tangan mereka keluar dari da-lam kamar itu, terus ke ruang depan. Di ruangan ini terdapat rak senjata dan ia menyuruh kakak beradik itu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 268
memilih senjata. Siang Kui dan Siang Hui memilih sebatang pedang dan begitu tangan me-reka memegang senjata, dua orang nona ini kelihatan bersemangat sekali. Mereka sudah gatal tangan untuk mengamuk dan mengadu nyawa dengan orang yang telah membasmi
keluarga mereka dan bahkan telah menculik mereka, nyaris membunuh mereka.
Melihat sikap ini, Kiang Liong ber-bisik. "Lekas kalian lari dari sini, ambil jalan dari kiri bangunan ini. Di sana ada sebatang pohon, kalian loncati pagar tembok melalui pohon itu dan melarikan diri keluar. Aku akan mencari Han Ki baru menyusul kemudian...."
"Mana bisa begini?" Siang Hui men-cela. "Aku tidak mau lari, aku akan mengadu nyawa dengan monyet-monyet gundul itu!"
"Biarkan kami berdua membantumu, Twako." Siang Kui juga berkata nadanya mendesak.
"Ji-wi Siauw-moi harap jangan salah mengerti. Keadaan di sini berbahaya sekali dan amat kuat. Kalau tidak kebe-tulan ada musuh menyerbu sehingga semua tokoh di sini terpancing keluar, aku sen-diri agaknya belum tentu dapat menolong kalian dengan mudah. Kalau Han Ki sudah dapat kutolong tentu aku ikut me-larikan diri bersama kalian. Akan tetapi sekarang aku harus mencari Han Ki lebih dulu."
"Justeru untuk adik kami itu kami harus bantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa!" kata Siang Hui.
Kiang Liong habis sabar. "Kalian harus mengerti, kepandaian mereka he-bat, aku sendiri belum tentu dapat menang menandingi mereka, masih harus melindungi kalian, berarti kita semua berempat akan binasa semua."
"Kami tidak takut mati!" Siang Kui dan Siang Hui berseru saling mendahului.
Kiang Liong melotot. "Kalau aku bekerja sendirian, lebih besar harapan dapat menolong adikmu. Kalian hendak menggangguku" Ingin semua ditangkap dan semua mati sehingga tidak akan ada orang yang membalas kematian Ayah Bunda kalian" Masih tidak cepat-cepat pergi?"
Dua orang gadis itu seketika menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian bagaikan dua ekor ayam digebah, mereka meloncat keluar dan menghilang di dalam gelap. Hanya terdengar mereka mening-galkan isak tertahan. Kiang Liong terse-nyum geli. "Dasar puteri-puteri Paman Bu Sin gagah perkasa dan berani mati." Ia memuji, hatinya perih teringat akan kematian Kam Bu Sin dan Isterinya yang begitu menyedihkan. Segera ia teringat akan Kam Han Ki, maka cepat ia me-nyelinap keluar dari bangunan besar itu dan mendatangi para pelayan wanita yang berkumpul di sebuah ruangan de-ngan tubuh menggigil dan muka pucat.
"Aku tidak akan ganggu kalian. Akan tetapi kalian harap memberi tahu, di mana adanya Kam Han Ki, anak laki--laki kecil yang diculik dan dibawa ke sini sebagai tawanan!"
Setelah ribut bicara sendiri akhirnya seorang pelayan berkata. "Kami tidak tahu orang gagah.
Yang menahannya adalah Siang-mou Sin-ni...."
"Di mana kamar Siang-mou Sin-ni?"
Pelayan itu hanya dapat menudingkan telunjuknya pada bangunan sebelah kanan bangunan besar itu. Tampak bayangan putih berkelebat dan pemuda baju putih itu sudah lenyap dari depan mata mere-ka. Para pelayan itu cepat berlutut dan saling peluk penuh rasa takut. Akan te-tapi dua orang di antara mereka lalu berlari keluar, biarpun kaki mereka menggigil namun akhirnya mereka sampai juga ke tempat penjaga. Di sini dengan suara terputus-putus mereka lalu men-ceritakan tentang serbuan pemuda pakaian putih.
Ributlah para penjaga, dan para pen-deta jubah merah lalu membunyikan tan-da tiupan tanduk untuk memberi tahu para tokoh yang sedang turun puncak menghadapi lawan. Sebagian pula dengan senjata di tangan lalu menyerbu, lari ke arah bangunan yang menjadi tempat tinggal Siang-mou Sin-ni.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 269
Kiang Liong yang berhasil memasuki tempat tinggal Siang-mou Sin-ni, kaget mendengar suara tiupan tanduk itu. Ia maklum bahwa bahaya mengancamnya, bahwa suara itu
merupakan tanda bahaya dan persiapan pihak lawan. Ia harus se-gera menemukan Han Ki.
Rumah itu kosong, agaknya para pelayan sudah lari keluar. Ia cepat menuju ke belakang.
Biasanya, tempat tawanan adalah di ba-gian belakang. Kamar-kamar di belakang
dimasukinya, yang pintunya tertutup di-dobraknya, namun ia tidak dapat mene-mukan anak itu.
"Han Ki....! Kam Han Ki....!"
Teriakan panggilan berkali-kali ini menggema di sekitar puncak karena sua-ra Kiang Liong didorong oleh khi-kang yang amat kuat. Namun tidak ada ja-waban. Tentu saja Han Ki tak dapat menjawab karena pada saat itu Han Ki menggeletak di dalam kamar Siang-mou Sin-ni dalam keadaan pingsan!
Suara tapak kaki banyak orang me-nyatakan bahwa rumah itu telah terku-rung. Ia lalu melayang keluar dari dalam rumah melalui jendela. Dalam sekejap mata, belasan buah senjata tajam me-nyambutnya seperti hujan.
"Trang-trang-trang....!" Suara perte-muan senjata nyaring ini disusul robohnya lima orang pengeroyok sekaligus. Ketika meloncat keluar tadi ia telah mencabut, keluar sepasang senjatanya yang aneh, yaitu sepasang pensil. Dengan tubuh ma-sih melayang dapat menangkis dan sekaligus merobohkan lima orang pengeroyok, dapat dibayangkan betapa lihainya pemu-da ini.
Akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah. Orang-orang Hsi-hsia sung-guh pun tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, namun mereka adalah orang-orang peperangan yang ulet dan berani, lagi pula amat kuat sehingga robohnya banyak kawan tidak mengecilkan hati mereka yang terus mengamuk dan mengeroyok. Jumlah mereka yang puluhan orang ba-nyaknya ini diperkuat oleh belasan orang hwesio jubah merah yang memiliki ilmu silat cukup lihai karena mereka ini ada-lah kaki tangan, juga murid Bouw Lek Couwsu.
Hebat sekali amukan Kiang Liong. Dalam waktu setengah jam lebih, tidak kurang dari dua puluh orang Hsi-hsia roboh tak dapat bangun lagi ditambah tujuh orang pendeta jubah merah roboh terluka! Ia tidak akan melarikan diri se-belum dapat menolong Han Ki. Sepasang siang-pit (pensil) di tangannya menjadi dua gulungan sinar memanjang seperti dua ekor ular sakti saling belit dan me-layang-layang di angkasa.
"Tahan senjata, mundur semua....!" Tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring berpengaruh, Kiang Liong tidak mengenal suara ini, akan tetapi semua pengeroyok seketika meloncat mundur sambil menarik senjata masing-masing, bahkan lalu mundur dan berdiri menjadi dua barisan dengan sikap menghormat. Karena menduga bahwa kini yang muncul tentulah Bouw Lek Couwsu yang terkenal sakti bersama Siang-mou Sin-ni yang kesaktiannya pernah ia dengar dari suhu-nya, maka Kiang Liong memegang sepa-sang senjatanya erat-erat, pandang mata ditujukan ke depan, seluruh urat syaraf-nya siap menghadapi lawan tangguh.
Di bawah sinar obor yang dipegang kedua barisan berjajar di kanan kiri, tampaklah kini seorang pendeta gundul berkaki satu yang berjubah merah. Biar-pun kaki kirinya buntung, namun dengan bantuan tongkat, ia dapat berjalan de-ngan tegak dan cepat sekali. Di samping hwesio ini berjalan seorang wanita cantik yang berambut panjang.
"Bagus! Engkau tentulah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, iblis tua jantan betina yang amat keji!" Kiang Liong membentak marah sekali.
Bouw Lek Couwsu membelalakkan matanya. Kalau seorang tokoh benar seperti Siauw-bin Lo-mo yang terkenal sakti masih jerih terhadap dirinya, bagai-mana ada seorang pemuda seperti ini berani memaki dia dan Siang-mou Sin-ni" Dan menyaksikan pengeroyokan tadi, Melihat banyaknya murid-murid dan orang-orang Hsi-hsia roboh, benar-benar pemuda ini luar blasa sekali. Keheranan-nya melampaui kemarahannya ketika ia bertanya.
"Orang muda yang tak takut mati, engkau siapakah?"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 270
Dengan sikap tenang pemuda itu menjawab, "Aku she Kiang bernama Liong. Karena engkau melakukan kebiadaban di kalangan Beng-kauw dan menculik wanita dan kanak-kanak, maka aku datang untuk menghadapimu. Bouw Lek Couwsu, hayo kaubebaskan Kam Han Ki, anak kecil itu tidak tahu apa-apa!"
Bouw Lek Couwsu mengangguk-ang-gukkan kepala sambil meraba kepalanya yang gundul.
"Aih-aih.... pantas kau seberani ini. Kiranya engkau inikah yang bernama Kiang-kongcu, putera Pangeran Sung yang terkenal sebagai murid Suling Emas?"
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melompat ke depan dan tertawa, suara ketawanya melengking tinggi menyeramkan, sungguh-pun wajahnya menjadi menarik sekali ketika tertawa, karena tampak giginya berderet rapi dan putih berkilauan di balik bibir merah, cuping hidungnya berkembang kempis dan matanya menyinar-kan api. "Hi-hi-hik! Inikah murid Suling Emas"
Bagus, kauwakili Gurumu mampus di tanganku!" Berkata demikian, kepala wanita ini bergerak dan dari kanan kiri pundaknya menyambar bayangan hitam.
"Siuuuuttt!" Dahsyat sekali gulungan dua, sinar hitam ini menyambar ke arah leher dan pusar Kiang Liong. Pemuda ini sudah menyaksikan kelihaian Po Leng In menggunakan rambut sebagai senjata, namun dibandingkan dengan gerakan ini, Po Leng In bukan apa-apa. Dua gumpal rambut panjang ini menyambar seperti dua ekor naga, mengeluarkan bunyi
me-ngerikan dan mendatangkan bau harum yang mencekik leher! Pemuda ini maklum bahwa terkena hantaman ujung rambut ini akibatnya hebat, apalagi kalau sampai terbelit. Karena itu, cepat ia sudah menggerakkan sepasang pensilnya, menggetarkan sepasang senjata itu dengan tenaga sin-kang.
"Plak-plak.... aiihhh....!" Siang-mou Sin-ni terkejut bukan main sampai me-ngeluarkan suara kaget ketika sepasang gumpalan rambutnya itu terpukul membalik. Getaran pensil itu tidak memung-kinkan rambutnya untuk melibat. Rasa kaget ini berbalik menjadi kemarahan.
Kembali kepalanya bergerak dan kini dua gumpalan rambut bergabung menjadi satu dan menyambar ke depan, gerakannya seperti sebatang toya baja menghantam kepala Kiang Liong. Karena bergabung menjadi satu, maka tenaganya menjadi lipat dua kali. Menyusul serangan rambut ini, kedua tangan Siang-mou Sin-ni juga bergerak melakukan pukulan dengan jari-jari tangan terbuka. Hebatnya, dari kedua telapak tangan itu keluarlah bau yang amis sekali, amis busuk dan tampak telapak tangannya merah seperti menge-luarkan darah.
Kiang Liong yang tahu bahwa ia ber-hadapan dengan orang sakti, bekas musuh besar gurunya, tidak mau bersikap sem-brono. Ia sudah siap dan kini ia menggerakkan kedua pensilnya seperti orang mencorat-coret di udara, menuliskan huruf-huruf indah dengan gerakan indah pula. Dalam sekejap mata, sepasang pensilnya sudah membuat gerakan menyilang dan seperti menggunting rambut, Siang-mou Sin-ni terkejut dan menarik kembali rambutnya melanjutkan pukulan telapak tangan merah ke arah dada dan lambung pemuda itu.
Namun gerakan corat-coret selanjutnya itu secara otomatis membuat sepasang pensil sudah maju menyambut pergelangan kedua tangan Siang-mou Sin--ni dengan totokan-totokan pada jalan darah. Kalau pukulan dilanjutkan, sebe-lum telapak tangan menyentuh baju Kiang Liong, tentu saja ujung penaakan lebih dulu bertemu dengan pergelangan tangan menotok jalan darah. Gerakan ini dilakukan seperti orang menulis huruf sehingga tak tersangka dan membingung-kan lawan. Kembali Siang-mou Sin-ni berseru keras dan menarik kedua
tangan-nya sambil menggeser kaki mundur se-langkah sehingga ia pun berhasil
membe-baskan diri daripada totokan kedua pensil.
"Kiang Liong, kau masih tidak mau menyerah" Lihat siapa mereka ini!" Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu yang tadi mem-beri tanda kepada anak buahnya, menu-dingkan telunjuknya kepada dua orang gadis di sampingnya. Kiang Liong me-mandang dan matanya terbelalak, wajah-nya pucat karena dua orang gadis itu adalah Siang Kui dan Siang Hui, tampak lemas dan kakinya tangannya terbeleng-gu, memandang kepadanya dengan mata duka namun sedikit pun tidak takut.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 271
"Liong-twako, maaf, kami tertangkap kembali." kata Siang Kui, sedih melihat kekagetan dan kekecewaan yang memba-yang di mata Kiang Liong.
"Liong-twako, jangan hiraukan kami!" kata Siang Hui dengan suara lantang.
"Ha-ha-ha-ha, Kiang-kongcu. Dua orang cucu Ketua Beng-kauw ini sungguh gagah dan manis. Sayang kalau mereka mati. Menyerahlah, dan mereka akan ku-bebaskan!"
"Liong-twako, kami tidak takut mati teriak Siang Hui.
"Benar Twako, jangan hiraukan kami. Jangan menyerah, lawanlah dan kalau dapat larilah!"
teriak pula Siang Kui. Kiang Liong berdiri tegak ragu-ragu, wajahnya pucat. Melihat Bouw Lek Couwsu
memalangkan tongkatnya, meng-ancam di atas kepala dua orang gadis itu, maklumlah ia bahwa sekali ia ber-gerak, dua orang gadis itu tentu akan tewas. Dan dia seorang diri belum tentu akan dapat mengalahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, apalagi dibantu banyak sekali pendeta jubah me-rah dan orang-orang Hsi-hsia. Baru Siang-mou Sin-ni seorang saja tadi ia sudah merasakan kelihaiannya. Kiang Liong seorang pemuda yang cerdik dan tenang, maka sebentar saja ia sudah dapat mengambil keputusan.
"Bouw Lek Couwsu, jangan seperti anak kecil! Bebaskan gadis-gadis itu dan adik mereka, kemudian kalau kau dan Siang-mou Sin-ni ada kepandaian, cobalah untuk mengalahkan dan membunuhku!" Sikapnya tenang, suaranya berpengaruh sehingga kembali Siang-mou Sin-ni me-ngeluarkan suara kagum.
"Seperti Suling Emas benar....! Begini-lah Suling Emas di waktu mudanya!"
Akan tetapi Bouw Lek Couwsu terta-wa bergelak. "Orang muda sombong! Gurumu sendiri Si Suling Emas belum tentu dapat menandingi pinceng, apalagi engkau muridnya! Kaulepaskan senjatamu dan menyerahlah, pinceng ingin bicara denganmu dan pinceng memerlukan
ban-tuanmu. Pinceng berjanji akan membe-baskan dua orang gadis ini. Tentang anak laki-laki itu, dia adalah hak Siang-mou Sin-ni."
"Bagaimana aku dapat percaya omong-anmu, Bouw Lek Couwsu?"
Pendeta jubah merah itu marah seka-li. "Kiang Liong, kau benar-benar me-mandang rendah kepada pinceng! Tak tahukah engkau dengan siapa kau bicara" Pinceng adalah ketua yang terhormat dari para pendeta jubah merah. Sebagai pendeta kepala, sekali pinceng
mengeluarkan kata-kata, pasti tak ditarik kem-bali!"
Kiang Liong tersenyum mengejek. Ia sengaja hendak memanaskan hati pendeta ini. Makin panas hatinya, kelak ia akan makin malu untuk menarik kembali kata--katanya. "Hemm, siapa tidak tahu bahwa engkau menjadikan jubah merah dan ke-pala gundul sebagai kedok belaka, Bouw Lek Couwsu" Engkau berpakaian pendeta akan tetapi tidak hidup sebagai pendeta, bagaimana aku bisa percaya omongan seorang pendeta palsu" Akan tetapi aku akan lebih percaya kalau engkau bicara sebagai pimpinan barisan Hsi-hsia yang terkenal jujur dan perkasa!" Suara Kiang Liong diucapkan nyaring dan lantang sekali sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ, termasuk orang-orang Hsi-hsia.
Diam-diam Bouw Lek Couwsu mengu-tuk di dalam hatinya. Ia merasa benar-benar dilucuti oleh pemuda ini. Sebagai seorang pimpinan suku bangsa Hsi-hsia yang mengharapkan kedudukan besar, tentu saja ia tidak akan berani menarik kembali kata-kata dan merendahkan diri dan martabat dalam pandangan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi di samping ini, ia pun amat membutuhkan bantuan Kiang Liong. Pemuda ini adalah putera pangeran di Kerajaan Sung yang sudah terkenal. Kalau ia dapat menarik pemuda ini men-jadi sekutu! Alangkah akan baiknya, akan memudahkan rencananya menyerbu Sung.
"Baiklah, aku berjanji sebagai pimpin-an Hsi-hsia untuk membebaskan dua orang gadis ini setelah kau melepaskan senjata dan menyerah."
Kiang Liong tersenyum lalu meman-dang sepasang pensilnya.
"Twako, jangan menyerah!"
"Twako, mari kita berontak, lawan dan adu nyawa dengan mereka!"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 272
Namun Kiang Liong menggelengkan kepala dan memandang dua orang gadis itu sambil
berkata. "Kalian harus menu-rut kepadaku. Setelah dibebaskan, lekas turun gunung dan jangan hiraukan aku lagi!" Di dalam suara ini terkandung wibawa besar, dan sepasang mata itu menatap dengan begitu pasti sehingga dua orang gadis itu menunduk sambil terisak menangis.
Kiang Liong mendongak ke atas, me-lihat tiang bendera yang amat tinggi berdiri di situ.
Bendera pasukan Hsi-hsia berkibar di puncak tiang. Ia lalu berkata.
"Biarlah sepasang pensilku kusimpan di atas sana!" Kedua tangannya bergerak, terdengar suara berdesing nyaring sekali dan dua sinar menyambar ke atas. Ke-tika semua orang memandang, ternyata dua buah pensil itu telah manancap ber-jajar di puncak tiang bendera!
Semua orang terbelalak memandang penuh keha-ranan dan kekaguman. Bahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni sendiri menjadi kagum.
"Ha-ha-ha, engkau benar seorang mu-da gagah perkasa." kata Bouw Lek Couwsu yang
kemudian menoleh dan memberi perintah kepada anak buahnya. "Bebaskan dua orang nona ini dan jangan halangi mereka turun gunung!"
Belenggu kedua orang nona ini dile-paskan. Mereka sejenak meragu, meman-dang ke arah Kiang Liong dengan se-pasang mata basah, akan tetapi Kiang Liong menggerakkan mukanya dan ber-kata. "Pergilah, Ji-wi Siauw-moi dan berhati-hatilah."
Dua orang nona itu sedih sekali. Tadi pun ketika mereka dipaksa oleh Kiang Liong setelah mereka ditolong, dipaksa pergi dan tidak diperbolehkan ikut pe-muda itu mencari Han Ki, mereka me-nangis kecewa. Sekarang tahulah mereka bahwa pemuda itu ternyata benar ketika menyuruh mereka melarikan diri. Musuh terlampau banyak dan sakti. Baru saja mereka tiba di lereng bukit, mereka itu bertemu dengan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni yang berlari cepat naik ke puncak sehingga tanpa dapat melaku-kan perlawanan berarti mereka telah ditangkap kembali! Dan sekarang karena mereka berdua, Kiang Liong menjadi ta-wanan tanpa dapat melawan. Tentu saja mereka berduka sekali. Kali ini mereka tidak berani membantah dan sambil me-nangis mereka pergi meninggalkan tem-pat itu, di dalam hati berjanji akan ce-pat-cepat mencari adik mendiang kakek mereka yang bertapa di puncak Tai-liang-san, minta pertolongannya kemudian kembali ke tempat ini untuk menolong Kiang Liong dan Han Ki. Kalau terlam-bat dan dua orang itu sudah terbunuh, mereka akan mengamuk dan mengadu nyawa.
Setelah dua orang gadis itu pergi, Bouw Lek Couwsu berkata.
"Orang muda, pinceng sudah berjanji membebaskan mereka dan sekarang me-reka sudah bebas. Engkau menjadi ta-wananku, dan pinceng juga tidak ber-maksud membunuhmu, kalau saja engkau tidak menolak tawaranku. Sebagai seorang tawanan, kau harus dibelenggu dan harap saja kau tidak melawan agar kami tidak perlu membunuhmu sebelum be-runding!"
Kiang Liong bukan seorang bodoh. Kalau sepasang pensilnya masih berada di kedua
tangannya sekalipun, belum tentu akan dapat membebaskan diri dari dua orang sakti ini bersama seratus orang lebih anak buah mereka yang sudah me-ngurung tempat itu. Kini sepasang sen-jata sudah ia simpan di atas tiang ben-dera, dan ia sudah berjanji pula untuk menyerah. Seorang pendekar harus me-megang janjinya dan ia menyerah, ke-cuali tentu saja kalau ia akan dibunuh, ia akan melawan sedapat mungkin. Maka mendengar ucapan ini ia tersenyum dan menjawab.
"Silakan Bouw Lek Ciouwsu." Ia me-masang kedua tangan dengan merangkap pergelangan tangannya.
Seorang pendeta jubah merah murid Bouw Lek Couwsu tanpa diminta segera melompat maju.
Ia sudah membawa se-buah rantai besi dan untuk menyenangkan hati gurunya ia segera mengikat kedua pergelangan tangan itu erat-erat kemu-dian mengaitkan ujungnya kepada mata rantai. Demikian kuatnya belenggu itu sehingga kedua tangan Kiang Liong se-dikit pun tak dapat bergerak. Dengan hati puas dan muka bangga pendeta jubah merah itu melangkah Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 273
mundur dan memandang ke arah gurunya mengharap-kan pujian.
"Goblok kau! Goblok dan tolol!"
Pendeta jubah merah itu kaget se-tengah mati, takut mendongkol dan he-ran terbayang di mukanya.
"Tapi.... Suhu...."
"Kaukira belenggu itu dapat menahan kedua tangannya?" bentak Bouw Lek Ciouwsu.
Kiang Liong kagum akan kecer-dikan dan ketajaman mata pendeta ke-pala itu. Ia tersenyum dan tak perlu berpura-pura lagi. Sekali ia mengerahkan tenaga Kim-kong-kiat, terdengar suara keras dan rantai besi yang membelenggu-nya itu patah-patah! Kemudian ia me-nyodorkan kedua tangannya lagi kepada Bouw Lek Couwsu. Semua anak buah yang berada di situ mengeluarkan seruan kaget dan melongo. Seekor harimau se-kalipun tak mungkin dapat mematahkan belenggu seperti itu, dan pemuda ini mematahkannya sedemikian mudah.
"Biar kubelenggu dia untukmu!" ter-dengar Siang-mou Sin-ni berkata, sebagi-an jengkel menyaksikan kegagahan Kiang Liong dan juga sebagian benci karena mengingat bahwa pemuda ini adalah murid Suling Emas, musuh besar yang amat dibencinya karena Suling Emaslah yang mengenyahkan dia dari dunia kang-ouw (baca cerita CINTA BERNODA
DARAH). Sambil berkata demikian, kepalanya bergerak dan segumpal rambutnya telah menyambar ke arah kedua tangan Kiang Liong, seperti seekor ular hidup rambut itu membelit-belit pergelangan tangan!
Kiang Liong dapat merasa betapa rambut yang membelit kedua lengannya itu mengandung tenaga yang luar biasa, terasa panas dan maklumlah ia bahwa wanita sakti yang terkenal karena ram-butnya ini sama sekali tak boleh dipan-dang ringan dan sekiranya ia berusaha melepaskan ikatan rambut, ia masih sangsi apakah dia akan berhasil. Maka ia diam saja dan bahkan memuji.
"Rambutmu memang amat hebat, Siang-mou Sin-ni!"
Untuk kedua kalinya anak buah yang berada di situ melongo. Mereka sudah dapat menduga bahwa tamu kehormatan pemimpin mereka itu tentulah seorang wanita sakti dan pandai mempergunakan rambut sebagai senjata. Akan tetapi kalau rambut itu bisa lebih kuat daripada rantai besi, benar-benar hal ini membuat mereka menjulurkan lidah saking heran!
Setelah kedua tangan Kiang Liong terbelenggu, tiba-tiba sekali Siang-mou Sin-ni
mengeluarkan suara melengking tinggi, tangan kanannya bergerak meng-hantam ke depan.
Kiang Liong terkejut, karena ia sama sekali tidak menyangka akan diserang. Ia tak dapat menangkis maupun mengelak, hanya dapat mengerahkan tenaga, dan menerima pukulan itu.
"Bukkk....!" Lambungnya terkena pu-kulan. Tidak sakit rasanya akan tetapi hawa panas menjalar di seluruh tubuhnya dan terkumpul di lambung kembali, mendatangkan rasa gatal-gatal dan hidungnya mencium bau amis. Diam-diam ia kaget sekali karena ia maklum bahwa pukulan Siang-mou Sin-ni yang dilakukan secara curang itu adalah pukulan yang amat hebat, pukulan beracun yang ia sendiri tidak tahu akan bagaimana akibatnya.
Tentu saja Kiang Liong sebagai tokoh muda tidak mengenal pukulan ini. Selain ilmu menggunakan rambut yang amat hebat di waktu mudanya Siang-mou Sin--ni menciptakan ilmu dahsyat mengerikan yang bernama Tok-hiat-hoat-lek. Dahulu ketika ia sering
menghadapi Suling Emas (dalam cerita CINTA BERNODA DARAH), dia menggunakan
Tok-hiat-hoat-lek pula, yaitu dengan cara menyemburkan darah dari dalam perutnya, langsung keluar dari mulut. Darah yang beracun ini amat berbahaya dan jlka mengenai kulit lawan, dapat membuat kulit dan daging lawan membusuk dan tidak ada obatnya! Akan tetapi makin tua, Siang-mou Sin-ni makin matang ilmunya dan kini ia dapat meng-gunakan Tok-hiat-hoat-lek menjadi pukul-an tangan terbuka. Darah beracun yang, dikumpulkannya itu dapat ia robah men-jadi hawa beracun yang jika mengenal lawan akan meracuni darah lawan itu. Tanpa diketahuinya, Kiang Liong telah terkena pukulan Tok-hiat-hoat-lek ini dan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 274
perlahan-lahan darah di tubuhnya mulai keracunan.
"Kim Bwe, jangan bunuh dia!" bentak Bouw Lek Couwsu sambil melompat maju
menghadang. Keduanya saling pandang dan akhirnya Siang-mou Sin-ni tertawa.
"Hi-hi-hik, tidak bunuh juga tidak apa. Hatiku sudah puas dapat memukul-nya!"
Bouw Lek Couwsu menghampiri Kiang Liong yang kini kedua tangannya sudah terlepas dari ikatan rambut Siang-mou Sin-ni. "Kiang Liong Kongcu, maafkan sikap sahabatku ini yang dulu disakitkan hatinya oleh Gurumu, Percayalah, kami berniat baik dan ingin bersahabat dengan kau yang muda dan perkasa. Kalau kau berjanji takkan melawan dan manyerah baik-baik, pinceng tidak berani membe-lenggumu. Marilah, engkau kini menjadi tamuku yang terhormat."
Kiang Liong hanya tersenyum dingin dan tanpa bicara ia mengikuti, pendeta ini naik ke puncak.
Siang-mou Sin-ni tertawa ha-ha-hi-hi di belakang mereka dan para anak buah ikut pula naik kem-bali ke markas sambil membawa mereka yang terluka.
*** Dapat dibayangkan betapa berdebar tegang dan penuh haru rasa hati Suling Emas ketika ia berlutut bersama pang-lima-panglima lain menghadap Sang Ratu Yalina, ratu bangsa Khitan yang pada waktu itu amat kuat.
Begitu datang menghadap tadi dibawa oleh Loan Ti Ciangkun dan Hoa Ti Ciangkun, dalam keadaan menyamar se-bagai seorang kakek yang berjenggot panjang, Suling Emas
memandang Yalina atau Lin Lin dengan jantung seakan-akan ditusuk. Bekas kekasihnya, juga adik angkatnya itu dalam pandangannya masih seperti dulu, dua puluh tahun yang lalu! Masih cantik jelita, masih kelihatan muda, hanya bedanya, kalau sepasang mata itu dahulu bersinar-sinar penuh kegembiraan, kelincahan dan kenakalan orang muda, kini pandang matanya su-ram. Kalau bibir yang masih merah mu-ngil ini dahulu tersenyum-senyum dan menghadapi dunia dengan seri gembira, kini tertarik seperti orang menderita tekanan batin hebat. Hanya sikapnya kini membayangkan keagungan dan kematang-an. Begitu pandang mata sayu itu dituju-kan ke arah mukanya dan sepasang alis yang kecil panjang menghitam itu ber-gerak membayangkan keheranan dan perhatian, Suling Emas cepat-cepat me-nundukkan mukanya dengan sikap amat menghormat.
Dengan jantung berdebar dan pikiran melamun jauh sehingga suara Loan Ti Ciangkun yang memberi laporan kepada ratunya hanya terdengar sebagian saja olehnya, Suling Emas berlutut sambil menundukkan kepala. Akhirnya ia men-dengar suara Lin Lin atau Ratu Yalina, suara yang selama puluhan tahun tak pernah ia lupakan, yang selalu terngiang di telinganya dalam mimpi.
"Kami amat berterima kasih kepada Cianpwe dan kami setuju akan usul ke-dua panglima kami untuk mengangkat Cianpwe sebagai pengawal dalam istana. Betapapun juga, hati kami takkan puas kalau belum menguji kepandalan Cian-pwe."
Di dalam hatinya Suling Emas merasa geli dan kagum. Biarpun sudah menjadi ratu selama puluhan tahun, ratu besar yang disanjung dan disembah orang-orang Khitan, namun Lin Lin masih belum kehilangan hormatnya terhadap tokoh kang--ouw sehingga dia yang dianggap seorang tokoh besar di dunia kang-ouw disebut cianpwe! Ia hanya menunduk dan menja-wab, merobah suaranya dibesarkan.
"Silakan apa yang akan Paduka laku-kan, hamba hanya menurut."
"Lihat serangan!" Tiba-tiba ratu itu berseru keras dan tangan kanannya me-nyambar ke arah dada Suling Emas.
Suling Emas kaget bukan main. Ia mengenal pukulan ini karena pukulan ini memiliki dasar ilmu silat Beng-kauw. Teringatlah ia betapa Yalina ini mewarisi ilmu ciptaan mendiang Pat-jiu Sian-ong Liu Gan, pendiri Beng-kauw, yaitu Ilmu Cap-sa Sin-kun (Tiga Belas Pukulan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 275
Sak-ti) yang dirahasiakan, namun secara kebetulan terjatuh ke tangan Lin Lin (baca CINTA BERNODA DARAH). Tentu saja dengan Hong-In Bun-hoat ia akan dapat memu-nahkan
pukulan dahsyat ini, akan tetapi kalau ia pergunakan Hong-in Bun-hoat, sudah pasti Lin Lin akan mengenalnya. Karena inilah maka ia sengaja mengerah-kan sin-kang di pundaknya, lalu mengelak setelah pukulan itu menyentuh dadanya. Dengan gerakan ini, pukulan ke dada itu menyeleweng dan menghantam pundaknya sehingga tubuhnya mencelat sampai empat meter akan tetapi ia jatuh dalam keadaan masih berlutut seperti tadi.
"Aiihhh....! Hampir aku kesalahan tangan membunuhmu!" teriak Yalina dan memberi isyarat supaya Suling Emas maju lagi. Dari tempat ia berlutut, Su-ling Emas mengerahkan gin-kang dan.... dalam keadaan masih berlutut itu tubuh-nya melayang dan kembali di tempat tadi, sama sekali tidak merobah kedu-dukan tubuhnya. Semua orang yang hadir melongo dan mengeluarkan seruan kaget. Itulah ilmu sihir, pikirnya. Bahkan Yalina sendiri terkejut. Hebat Ilmu orang ini, pikirnya. Dengan gin-kang seperti itu, dia sendiri takkan mungkin menandinginya. Juga pukulannya tadi hebat sekali, biar pun hanya mengenai pundak namun kalau seorang di antara panglima tingginya terkena hantaman itu sedikitnya tentu akan pingsan. Akan tetapi kakek itu tidak apa-apa, hanya mencelat dan tidak terluka.
Lentera Maut 7 Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Rahasia Peti Wasiat 6
^