Pencarian

Mutiara Hitam 12

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


"Ah, maafkan percobaan kami, Cian-pwe. Ternyata Cianpwe sakti seperti di-ceritakan kedua panglimaku. Siapakah nama julukan Cianpwe?"
"Hamba tidak ingat lagi nama ham-ba, orang hanya menyebut hamba Bu Beng Lojin (Kakek Tak Bernama)."
Ratu Yalina mengangguk-angguk. "Bu Beng Lojin, apakah engkau tidak mempu-nyai saudara muda atau keponakan atau putera?"
Hati Suling Emas berdebar. Ternyata pandang mata tajam dari Yalina dapat mengenal persamaan muka penyamaran-nya. Cepat ia menggelengkan kepala. "Hamba hidup sebatang kara di dunia ini. Apakah maksud pertanyaan Paduka?"
Ratu Yalina menarik napas panjang. "Tidak apa-apa, hanya kau mengingatkan aku akan seseorang...." Ia berhenti terme-nung sejenak, wajahnya terliputi kedukaan, kemudian menyambung. "Mulai se-karang kau kuangkat menjadi pengawal dalam Istana. Keselamatan kami seke-luarga kuserahkan ke dalam penjagaan-mu."
Suling Emas menunduk, hatinya ter-haru. "Terima kasih atas segala kebaikan dan kurnia Paduka"
Demikianlah, mulai saat itu Suling Emas menjadi kepala pengawal dan ting-gal pula di lingkungan istana. Dia diberi pakaian yang sesuai dengan pangkatnya.
Seperangkat pakaian yang indah dan ga-gah, dengan hiasan sulaman-sulaman benang emas dan di dadanya tersulam gambar sebagai tanda bahwa pangkatnya adalah panglima pengawal.
Kepalanya memakai topi bundar berhias bulu kuning, hiasan bulu bagi panglima yang tinggi.
Dalam beberapa hari setelah ber-tugas sebagai panglima pengawal, Suling Emas mendapatkan hal-hal yang mengharukan hatinya. Ia diperkenalkan de-ngan Pangeran Mahkota Talibu yang ma-sih muda belia dan amat tampan, bersikap halus sabar dan tidak sombong, pandai bergaul dengan rakyatnya sehingga timbul rasa suka di hati Suling Emas, apalagi mengingat bahwa putera angkat Ratu Yalina ini adalah putera Panglima Ka-yabu, bekas sahabatnya yang gagah per-kasa. Ia bertemu pula dengan Panglima Kayabu yang tidak mengenalnya dan ternyata bahwa Panglima Tinggi Kayabu ini masih tampak muda dan gagah se-perti dulu, juga sikapnya amat ramah terhadap bawahannya, namun penuh di-siplin keras. Pantas saja bangsa Khitan menjadi makin kuat berkat sikap Pang-lima Kayabu ini.
Terutama sekali keadaan Ratu Yalina, seringkali membuat Suling Emas hampir tidak kuat menahan hatinya. Hanya di waktu bersidang saja ratu ini nampak agung dan berwibawa. Akan tetapi kerap kali Suling Emas melihat ratu ini duduk termenung seorang diri di dalam ruangan dalam istana dan tidak jarang tampak matanya merah bekas menangis! Kalau sudah melihat keadaan ratu itu demikian, jantung Suling Emas serasa ditusuk-tusuk dan kalbunya menjerit-Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 276
jerit menyebut nama Lin Lin kekasihnya. Akan tetapi, ia merasa heran mengapa ratu ini bertekad memanggilnya" Setelah beberapa hari berada di situ, ia tidak melihat sesuatu yang mengancam keadaan di Khitan. Pemerintahannya berjalan baik, keadaan ratu itu dicinta dan dihormati bangsanya, dan para panglima juga setia. Rahasia apakah yang diderita Lin Lin"
Rahasia apakah yang membuat Lin Lin berduka seperti itu"
Beberapa hari kemudian, di dalam persidangan terbuka, datanglah seorang Perwira Khitan yang membawa laporan hebat, yaitu tentang diserbunya Nan--cao oleh bangsa Hsi-hsia dan tentang kematian Ketua Beng-kauw dan banyak tokoh-tokohnya termasuk Kam Bu Sin dan isterinya.
Mendengar ini, Ratu Yalina menge-luarkan teriakan aneh, wajahnya menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan hanya karena ingat bahwa ia seorang ratu saja yang mencegah dia roboh ping-san di atas kursinya. Cepat-cepat ia memberi isyarat membubarkan persidang-an lalu memasuki ruangan dalam istana. Begitu berada seorang diri, Ratu Yalina menjatuhkan diri di atas kursi dan me-nangis tersedu-sedu!
Sibuklah para dayang dan pelayan, sibuk menghibur namun mereka dibentak oleh Ratu itu yang terus menangis tanpa mau pindah dari atas kursinya. Ia me-nolak pelayanan para dayang, tidak mau makan, bahkan sampai malam tiba, Sang Ratu masih menangis di atas kursinya. Berkali-kali ia mengeluh dan membisik-kan nama Kam Bu Sin, kakak angkatnya yang baginya seperti kakak kandungnya sendiri
Tentu saja berita tentang malapetaka yang menimpa para pimpinan Beng-kauw ini juga membuat Suling Emas terkejut marah, dan berduka sekali. Kedukaannya tidak kalah besar dengan kedukaan Ratu Yalina karena Kam Bu Sin adalah adik tirinya, seayah lain ibu dan Suling Emas adalah sahabat baik semua pimpinan Beng-kauw. Akan tetapi dasar dia se-orang pendekar sakti yang sudah matang jiwanya dan kuat batinnya oleh gembleng-an pahit getir hidup, ia menerima berita ini dengan sikap tenang. Sekarang ia harus pergi dari Khitan, pikirnya. Ia harus pergi ke Nan-cao menyelidiki ke-adaan Beng-kauw yang tertimpa mala-petaka. Tiada gunanya ia berlama di Khitan karena ternyata bahwa Khitan tidak terancam bahaya apa-apa, keadaan Yalina juga sehat. Akan tetapi tak mung-kin ia pergi begitu saja. Malam ini ia harus bertemu dengan Yalina, memper-kenalkan diri dan berpamit.
Ia harus bertemu secara rahasia agar jangan ada yang tahu akan hubungan mereka.
Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja mudah bagi Suling Emas untuk memasuki semua ruangan istana dengan dalih memeriksa keamanan. Akhirnya ia sampai di luar pekarangan di mana Ya-lina menangis. Ruangan itu amat indah, juga diterangi lampu penerangan seperti di siang hari saja. Ia mengintai dari balik tirai tebal.
Tampak oleh Suling Emas betapa Ratu Yalina masih menangis, duduk di atas kursi dan menyandarkan kepala di atas lengan yang diletakkan di atas meja. Mukanya pucat sekali dan air mata bercucuran tiada hentinya di sepanjang pipinya. Seorang pelayan muda yang mem-bawa tempat hidangan berdiri di bela-kangnya dengan bingung. Baru saja hi-dangan yang sengaja ia bawa datang dan membawanya kepada Sang Ratu, ditolak dengan bentakan marah. Dari belakang datang seorang dayang lain membawa teng (lampu), mereka berdua saling mem-beri tanda dengan mata dan gerakan tangan, kemudian Si Pembawa hidangan mundur. Dengan menggerakkan pundak dan menghela napas panjang, kedua orang dayang itu lalu meninggalkan ruangan. Sunyi di ruangan itu, yang terdengar hanya isak tangis Sang Ratu Yalina.
Suling, Emas belum berani memper-lihatkan diri karena ia khawatir kalau-kalau para dayang akan melihatnya dan hal ini akan membikin malu Sang Ratu. Maka sambil menahan gelora keharuan hatinya, ia meninggalkan ruangan itu dan mengambil keputusan untuk menemui Yalina malam nanti di kamarnya untuk memperkenalkan diri dan berpamitan.
Sambil menanti saat yang baik, Suling Emas lalu menemui perwira yang me-laporkan tentang malapetaka yang me-nimpa Beng-kauw itu. Perwira itu adalah seorang di antara petugas-Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 277
petugas Khitan yang bekerja sebagai mata-mata atau penyelidik keadaan di luar Khitan.
Memang Panglima Kayabu amat cerdik. Biarpun pada waktu itu Khitan tidak punya musuh, namun ia selalu menyebar mata-mata baik ke Negara Sung, ke Nan--cao dan lain-lain tempat untuk mengeta-hui keadaan dan perubahan negara-negara lain itu.
Perwira ini menceritakan kepada Su-ling Emas dengan jelas akan penyerbuan bangsa Hsi-hsia ke Nan-cao.
"Bangsa Hsi-hsia secara tiba-tiba me-nyerbu ke selatan, akan tetapi berhasil dihalau pergi oleh tentara Nan-cao yang kuat. Akan tetapi, pimpinan Hsi-hsia yang terdiri dari pendeta-pendeta Tibet berjubah merah, dikepalai oleh pendeta kaki satu yang amat sakti dan kabarnya juga seorang wanita rambut panjang, menyerang Beng-kauw. Menurut keterangan yang hamba peroleh, Ketua Beng-kauw berikut pembantu-pembantunya terbunuh oleh pendeta kaki satu dan wanita ram-but panjang itu."
"Dan bagaimana dengan anak, mantu dan cucu-cucu Ketua Beng-kauw" Aku pernah singgah di sana dan mereka itu bersikap baik sekali kepadaku." tanya Suling Emas.
"Menurut kabar, juga puteri dan me-nantu Ketua Beng-kauw tewas, dan anak--anak mereka terculik...."
"Aihhh...!" Suling Emas menjadi marah sekali. Kalau mungkin, saat itu juga ia ingin terbang ke Nan-cao.
Sementara itu, Ratu Yalina sudah memasuki kamarnya. Ia masih menangis, duduk di atas kursi dalam kamarnya ketika sebuah tangan dengan halus me-nyentuh pundaknya.
"Ibu, jangan terlalu berduka...."
Suara Pangeran Talibu yang meng-hibur ibunya ini membuat tangis Ratu Yalina menjadi-jadi.
Karena Ratu ini teringat akan masa dahulu, ketika ia masih menjadi Kam Lin Lin, semenjak kecil bermain-main dengan Kam Bu Sin kakak angkatnya. Teringat pula ia akan
pengalamannya melakukan perantauan dengan Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng kedua orang saudara angkatnya, sampai bertemu dengan Suling Emas. Makin jauh pula ia melamun, teringat akan Suling Emas kekasihnya, ayah dari Pangeran Talibu ini yang sekarang menjadi anak angkatnya. Padahal dialah sendiri yang melahirkan anak ini.
"Ah, anakku....!" Ia membalik dan merangkul Talibu sambil menangis. Pangeran Talibu sungguhpun tahu bahwa Ratu ini hanya ibu angkatnya karena ia diangkat anak ketika berusia lima tahun, namun rasa kasih sayangnya kepada ibu angkat ini amat besar.
"Ibu, perbuatan orang-orang Hsi-hsia itu memang biadab. Biarpun aku belum pernah bertemu dengan Paman Kam Bu Sin yang menjadi kakak angkat ibu, namun aku sudah dapat
membayangkan kebaikannya dan betapa besar ibu me-nyayangnya. Memang kematiannya
me-nyedihkan, Ibu. Akan tetapi hal ini kira-nya tidak cukup untuk disedihkan. Biar-lah aku bersama Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun pergi menyelidik ke Nan-cao dan mencari pembunuh Paman Bu Sin, menangkapnya dan menyeretnya ke depan kaki Ibu!"
Mau tak mau di antara air matanya Ratu Yalina tersenyum. "Ah, Puteraku, engkau belum tahu tingginya langit da-lamnya lautan! Di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang sakti, Puteraku. Dalam ukuranmu, mungkin kedua orang Ciangkun kita itu sudah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, akan tetapi di dunia kang-ouw masih banyak sekali yang jauh melampaui mereka. Baru Bu Beng Lojin pengawal baru kita itu saja sudah jauh lebih lihai daripada mereka. Kau tahu Anakku, ilmu kepandaian Ketua Beng-kauw amat hebat, juga kepandaian pamanmu Bu Sin cukup tinggi terutama sekali Bibi Liu Hwee puteri Ketua Beng--
kauw. Mereka adalah orang-orang yang lihai dan sukar dicari tandingnya, namun mereka tewas di tangan pendeta Tibet kaki satu dan teman-temannya. Kalau mereka saja terbunuh, apakah yang akan dapat kaulakukan, biarpun kau dibantu oleh Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun?"
"Biarpun begitu, aku tidak takut, Ibu. Ah, betul juga! Pengawal tua itu amat lihai, biarlah dia Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 278
bersamaku pergi ke Nan-cao!" Wajah Pangeran Talibu tampak penuh semangat.
Ratu Yalina menggeleng-geleng ke-palanya. "Kita belum tahu benar siapa dia, Nak. Orang-orang yang membasmi pimpinan Beng-kauw adalah orang sakti. Hanya satu-satunya orang di dunia ini yang akan mampu membalaskan kematian para pimpinan Beng-kauw dan Paman serta Bibimu."
Pangeran Talibu membelalakkan mata-nya yang lebar dan bersinar tajam. "Si-apakah dia, Ibu?"
"....Suling Emas...."
"Ohh....!" Pangeran ini tentu saja su-dah tahu bahwa ibunya mengerahkan para panglima untuk mencari dan memanggil Suling Emas dan ia tahu pula bahwa Suling Emas adalah kakak angkat ibunya, juga kakak tiri Kam Bu Sin. "Begitu saktikah Paman Suling Emas"
Mengapa sampai sekarang dia belum datang, Ibu?"
Panas rasa kedua mata Ratu Yalina dan hanya dengan kekerasan hatinya saja ia dapat menahan turunnya air mata. Mendengar Talibu menyebut Paman ke-pada Suling Emas,
hatinya mengerti. "Dia Ayahmu! Dia Ayah kandungmu!" Akan tetapi mulutnya hanya berkata lirih,
"Mudah-mudahan usaha para panglima mencarinya akan berhasil dan dia suka datang ke sini, Talibu. Sekarang Ibumu hendak tidur." Dengan gerakan lemas Ratu itu lalu menghampiri pembaringan-nya menjatuhkan diri di atas pembaring-an, memeluk guling dan membanjirlah air matanya membasahi bantal.
Sejenak Pangeran Talibu berdiri be-ngong, kemudian menarik napas panjang dan hatinya ikut sedih sekali menyaksi-kan kedukaan ibunya. "Ibu, perkenankanlah aku malam ini tidur di sini menemani Ibu."
Dengan suara serak dan hati terharu, juga senang mendengar puteranya yang jelas
memperlihatkan kasih sayang ke-padanya, ia menjawab. "Baiklah, Talibu."
Pangeran itu lalu menghampiri sebuah dipan di sudut kamar yang luas itu, me-rebahkan diri dan berkali-kali menarik napas panjang. Ratu Yalina dalam duka-nya terisak-isak tak dapat tidur, dan Pangeran Talibu juga gelisah sukar sekali pulas. Namun menjelang tengah malam, akhirnya mereka pulas juga.
Ibu dan anak itu tidak tahu bahwa semua percakapan mereka sejak tadi didengar oleh orang yang menjadi bahan percakapan mereka. Suling Emas telah berdiri di balik jendela mendengarkan dengan hati terharu. Ia juga merasa gi-rang mendapat kenyataan betapa Pange-ran Talibu, sungguhpun hanya putera angkat Ratu Yalina, namun ternyata amat mencinta ibunya. Anak itu me-warisi watak baik ayahnya, Panglima Kayabu, pikirnya.
Setelah ibu dan anak itu tidur pulas yang dapat diketahuinya dari pernapasan mereka yang halus teratur, Suling Emas lalu membuka jendela dan melompat ke dalam kamar peraduan.
Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja para pelayan yang tadi melihatnya di bagian pedalam-an istana tidak ada yang menaruh curiga. Bukankah kepala pengawal dalam
me-mang tugasnya menjaga keselamatan keluarga ratu" Karena itulah maka Suling Emas dapat mengintai dan kini melompat ke dalam tanpa ada yang tahu atau menduga.
Kini ia berdiri di tengah kamar. Hati-nya tidak berdebar lagi. Ia merasa seolah-olah berada di dalam kamarnya sendiri. Seolah-olah sudah selayaknya ia berada di dalam kamar di mana Lin Lin tidur nyenyak. Pula, kamar ini tidaklah asing baginya. Ketika Lin Lin mula-mula men-jadi ratu dua puluh tahun yang lalu, ia berdiam di kamar ini selama sebulan. Berdiam di kamar ini bersama Lin Lin, menikmati jalinan cinta kasih mereka, seperti sepasang mempelai berbulan ma-du! Maka kini ia merasa wajar berada di sini. Hanya adanya Pangeran Talibu yang tidur di sudut kamar, di atas dipan, rebah miring menghadapi dinding, mem-buat ia merasa canggung. Betapapun pemuda itu putera angkat Yalina, namun dengan dia bukan apa-apa. Namun, keberangkatannya ke Nan-cao berhubung dengan malapetaka yang menimpa Beng-kauw tak dapat diundur lagi. Besok pagi-pagi ia harus sudah berangkat dan malam Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 279
inilah saat dan kesempatan terakhir baginya untuk bertemu dan memperkenal-kan diri kepada Lin Lin.
Suling Emas lalu menanggalkan pe-nyamarannya. Mula-mula ia membuka kumis dan jenggot palsu yang menyembunyikan mukanya. Hatinya lega ketika melirik ke arah Pangeran Talibu yang masih tidur nyenyak. Setelah menanggal-kan jenggot palsu, ia lalu menanggalkan jubah panglima dan di sebelah dalamnya ia memakai pakaiannya sendiri yang se-derhana. Bahan penyamarannya itu ia lemparkan di sudut, kemudian ia melang-kah maju menghampiri pembaringan Ratu Yalina. Dari balik kelambu sutera tipis itu tampaklah tubuh yang masih langsing padat itu, berselimut sampai pinggang, tidurnya miring memeluk guling meng-hadap ke dinding.
"Lin-moi....!" Ia memanggil dengan suara gemetar dan dari luar kelambu tangannya bergerak, menggunakan angin dorongan tangannya yang amat kuat se-hingga tanpa menyentuh tubuh Ratu Yalina, ia dapat membuat tubuh itu ber-guncang keras.
Ratu Yalina, biarpun seorang ratu, adalah seorang ahli silat yang berkepan-daian tinggi.
Sebagaimana lazimnya se-orang ahli silat, dalam keadaan bagai-mana pun urat syarafnya selalu siap sedia menghadapi segala macam ancam-an. Oleh karena itu, biarpun seorang ahli silat sedang tidur nyenyak, apabila ter-sentuh atau terguncang sedikit saja tentu akan bangun dan seketika sadar dan siap membela diri. Ketika Yalina terguncang oleh angin dorongan tangan Suling Emas, segera tubuhnya mencelat keluar dari pembaringan dan berdiri di depan Suling Emas. Tangannya sudah siap mengirim pukulan ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak, mulutnya setengah terbuka, napasnya serasa terhenti dan kedua kakinya meng-gigil.
"....Song-koko (Kanda Song)....?" bisiknya meragu, tak percaya akan pan-dangan matanya sendiri.
"Lin-moi, sudah lama sekali...."
"Song-ko....!" Yalina menjerit dan menubruk, kedua tangannya merangkul leher Suling Emas dan mukanya merapat di dada laki-laki itu sambil menangis terisak-isak. "Song-koko.... ah, Song-koko....!"
Suling Emas menunduk, membenamkan mukanya di dalam rambut yang halus harum itu,
kedua matanya basah air mata, kedua tangannya memeluk. Sampai lama mereka berdua dalam keadaan seperti ini, tiada kata-kata keluar dari mulut mereka, namun getaran perasaan mereka mewakili seribu bahasa. Tiba-tiba Yalina merenggutkan dirinya ter-lepas, lalu melangkah mundur dua tindak, memandang dengan pipi dan mata basah. Bibirnya berbisik-bisik, matanya dikejap-kejapkan.
"Ah...., tak mungkin.... ini tentu hanya mimpi.... hanya mimpi....!" Ia tersedu dan.... "plakkk!"
ditamparnya pipinya sendiri dengan maksud agar ia sadar dari mimpi. Pipinya terasa panas dan kedua lengan Suling Emas yang memeluknya terasa hidup, bukan mimpi.
"Ahhh.... Song-koko.... kau benar-benar datang....?" Jeritnya kemudian dan ta-ngisnya makin menjadi-jadi. Demikian ketat ia memeluk Suling Emas, rapat-rapat ia menempelkan muka ke dada orang yang dicintainya itu seakan-akan tak hendak melepaskan kembali.
Suling Emas amat terharu, namun sebagai seorang sakti yang sudah dapat menguasai perasaannya, ia hanya meram-kan mata dan merasa betapa dadanya basah. Air mata yang membasahi dada dan terasa dingin itu seolah-olah air embun yang menyiram akar jantungnya yang telah lama melayu dan mengering. Ia meramkan kedua mata, merasa baha-gianya dapat memeluk wanita ini. Na-mun, dalam keadaan demikian, telinganya masih dapat menangkap gerakan di se-belah belakangnya, kemudian malah ia tahu ketika tiba-tiba ada sambaran angin pukulan menghantam punggungnya dengan keras. Ia tidak bergerak, hanya menge-rahkan sinkang menjaga punggung.
"Desss....!" "Auuuhhh....!" Pangeran Talibu me-loncat ke belakang, memegangi tangan kanannya yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 280
terasa sakit setelah me-mukul punggung orang yang memeluk ibunya itu.
Ratu Yalina terkejut dan cepat mele-paskan diri dari pelukan. Suling Emas dengan tenang membalikkan tubuh meng-hadap Pangeran Talibu. Biarpun tangan-nya terasa sakit dan maklum bahwa orang ini amat sakti, namun pemuda ini tidak takut dan dengan kemarahan meluap ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dinding, siap untuk me-nerjang. Pedang itu berkelebat cepat dibarengi bentakannya. "Keparat berani kau....!" Sinar pedang itu meluncur dan menusuk ke arah dada Suling Emas yang sekali tidak bergerak, hanya
tersenyum. "Plakk.... traanggg....!" Pedang itu ter-pental dari tangan Talibu ketika Yalina maju dan menepuk lengannya.
"Ibu....?" Pemuda itu berseru, heran, bingung dan marah.
"Jangan, Talibu. Tenanglah, dengarlah baik-baik. Dia inilah yang bernama Suling Emas!"
Pangeran Talibu melongo. Semenjak kecil sudah didengarnya nama Suling Emas ini, nama yang dikagumi dan dipuji-puji oleh ibunya, oleh Panglima Kayabu dan semua panglima tua di Khitan. Ia tahu bahwa selain Suling Emas ini se-orang pendekar sakti juga masih kakak angkat ibunya. Kini kemarahannya lenyap, terganti rasa malu dan canggung sung-guhpun masih ada perasaan heran mengapa pamannya itu menemui ibunya pada tengah malam, di dalam kamar pula dan mereka tadi berpelukan begitu mesra!
Talibu segera menjura dengan penuh hormat dan berkata, "Paman, mohon maaf atas
kekurangajaranku, karena saya tidak tahu...."
"Paman apa" Talibu, kini tiba saatnya Ibumu membuka semua rahasia. Dia ini adalah.... A...
Ayahmu....!" "Ibu!" "Lin-moi....!" Entah siapa lebih kaget antara Pange-ran Talibu dan Suling Emas mendengar ucapan ini, wajah Suling Emas sampai menjadi pucat sekali dan kedua kakinya menggigil, kepalanya pening. Pangeran Talibu memandang ibunya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya dan khawatir kalau-kalau saking sedihnya ibunya menjadi berubah ingatan!
Melihat keadaan dua orang yang di-cintanya itu, Ratu Yalina tersenyum di-antara air matanya, kemudian melangkah maju memegang tangan Suling Emas dan Talibu sambil
berkata, "Sebagai Ratu, tak boleh rakyatku mengerahui rahasia ini, akan tetapi sebagai Ibu, kalian dua orang yang paling kucinta di dunia ini harus mengetahuinya. Marilah, Song-koko dan kau Talibu, mari kita duduk dan dengarlah ceritaku."
Seperti dalam mimpi, Suling Emas dan Talibu menurut saja digandeng Ya-lina menuju meja di tengah ruangan itu. Ketika melihat jenggot palsu dan baju bertumpuk di sudut, Yalina tertawa. "Ah, kiranya engkau yang menyamar sebagai Bu Beng Lojin. Pantas saja aku merasa seperti mengenalmu dan begitu bertemu, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Koko, kenapa kau begini kejam meng-godaku, tidak langsung menemuiku yang sudah dua puluh tahun mengharap-harap-mu?"
Suling Emas menjatuhkan diri di atas kursi sambil menarik napas panjang. Pa-ngeran Talibu memandang wajah Suling Emas dengan bermacam perasaan menga-duk hatinya. Tentu saja pemuda ini men-jadi bingung setengah mati. Selama ini yang ia ketahui adalah bahwa dia adalah putera kandung Panglima Besar Kayabu yang pada usia lima tahun diangkat pu-tera oleh Sang Ratu. Dan kini dari Ratu Yalina sendiri ia mendengar bahwa dia adalah putera Suling Emas! Bagaimana ini"
"Lin-moi, semenjak.... pertemuan antara kita dua puluh tahun yang lalu, dengan terpaksa sekali dan dengan hati luka aku terpaksa meninggalkan Khitan, mening-galkan engkau yang sudah menjadi Ratu. Tak mungkin aku mencemarkan dan me-rusak namamu di mata
rakyatmu hanya demi kesenangan hatiku sendiri. Aku rela berkorban dan selama dua puluh tahun menderita sakit batin yang amat hebat. Akan tetapi, mengapa kau sekarang
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 281
me-ngatakan bahwa Pangeran ini adalah puteraku" Apa artinya semua ini?"
"Betul sekali ucapan Paman Suling Emas, Ibu. Bukankah aku putera tunggal Pangeran Kayabu yang Ibu angkat se-bagai putera?"
Ratu Yalina kembali memegang ta-ngan kedua orang itu di atas meja se-akan-akan ia mencari kekuatan dari me-reka untuk bercerita, "Anakku, kau bukan anak angkatku, engkau adalah anak kan-dungku sendiri. Akulah yang mengandung-mu dan melahirkanmu, Talibu. Dan Ayah-mu adalah dia inilah!" Ia berhenti seben-tar, merasa betapa dua pasang mata di depannya itu memandang seakan hendak menembus jantungnya dan betapa dua tangan yang dipegangnya itu gemetar.
"Bu Song Koko, ketahuilah bahwa se-peninggalmu, baru aku ketahui bahwa aku
mengandung! Tentu saja aku menjadi bi-ngung sekali. Untung ada Kayabu yang setia dan berbudi mulia. Dialah yang menolongku, menjaga teguh agar rahasia-ku tidak diketahui siapa pun di sini. Bahkan ketika aku melahirkan, yang tahu hanyalah seorang bidan dan Kayabu sen-diri. Tidak hanya itu, sebelumnya Kayabu lalu memilih seorang gadis untuk dikawin, karena menurut rencananya, anak yang akan kulahirkan itu akan diaku sebagai anak isterinya.
Sampai di sini ia ber-henti dan dari kedua mata Pangeran Talibu bertitik air mata, sedangkan ta-ngan pemuda itu kini menggenggam ta-ngan ibunya dengan erat. Sedu-sedan naik dari dada Yalina, dan Suling Emas men-dengarkan dengan muka pucat dan mata bersinar-sinar. Ketika dia menoleh ke-pada Talibu, pandang matanya mesra dan penuh kasih.
Setelah gelora perasaan harunya me-reda, Yalina melanjutkan, "Rencana Ka-yabu berjalan baik. Aku melahirkan, dan engkau, Talibu, begitu lahir terus secara diam-diam dibawa oleh Kayabu, dan diumumkan bahhwa isterinya melahirkan engkau. Baru setelah engkau berusia lima tahun, kuangkat menjadi puteraku. Aku ibu kandungmu, dan dia inilah Ayahmu yang sejati."
Talibu tak dapat menahan perasaan-nya lagi. Ia bangkit berdiri dari tempat duduknya lalu memeluk ibunya. Ibu...., Ibu....!" Mereka bertangisan, kemudian pemuda itu berlutut di depan Suling Emas sambil berkata dengan suara meng-getar, "Ayah....!"
Dua titik air mata menetes di atas pipi pendekar sakti itu ketika ia meme-luk puteranya dan mengangkat bangun. "Terima kasih kepada Thian bahwa aku dikaruniai seorang putera seperti engkau, Talibu. Engkau tampan dan gagah, sung-guh aku merasa bangga sekali!"
Akan tetapi tiba-tiba Yalina mena-ngis tersedu-sedu, tangis yang amat se-dih. Suling Emas dan Talibu menjadi terkejut dan heran. Mengapa Yalina ber-duka" Padahal bukankah pertemuan an-tara ibu, anak, dan ayah ini suatu pe-ristiwa yang amat menggembirakan"
Kalau Yalina menangis terharu, hal itu tidak mengherankan, akan tetapi tangis-nya amat menyedihkan.
"Lin-moi, ke mana perginya kegagah-anmu dan ketabahanmu" Bukankah hal menggirangkan sekali pertemuan diantara kita bertiga ini?"
Ibu...., kenapa Ibu begini berduka?"
Ratu Yalina mengangkat muka, me-nahan isaknya lalu berkata, "Song-ko, anakku Talibu, ada hal yang selama kau terlahir menjadi derita batin hebat bagi-ku. Ketika engkau terlahir, Talibu, lahir pula seorang Adikmu. Engkau adalah anak kembar...."
"Ibu....!" Talibu terkejut dan menang-kap tangan ibunya. Suling Emas hanya memandang seperti orang dalam mimpi.
"Adik kembarmu itu kemudian oleh Panglima Kayabu diserahkan kepada Ne-nek bidan untuk dipelihara baik-baik dan dirahasiakan dari orang lain, sementara engkau sendiri dibawa pergi Panglima, Kayabu. Akan tetapi.... ah.... pada keesok-an paginya, Nenek bidan itu kedapatan mati di dalam taman istana!"
"'Ahhh....!" Kini Suling Emas yang ber-seru.
"Dan anak itu.... Adikku itu, bagai-mana, Ibu?"
"Itulah yang menyusahkan hatiku, Adikmu itu telah lenyap tak meninggal-kan jejak sama Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 282
sekali. Tentu saja aku dan Kayabu tidak berani ribut-ribut ten-tang hilangnya anak itu karena takut rahasiaku akan terbongkar. Bu Song Koko, inilah sebabnya mengapa selama ini aku berusaha keras untuk mencari dan memanggilmu ke sini. Tak kuat aku menanggung rahasia ini lebih lama lagi. Kalau aku teringat akan anak perempuan kita itu, tak dapat menahan kesedihan hatiku.... dan kini.... mendengar akan malapetaka yang menimpa Kanda Bu Sin....
ah....!" Kembali Ratu Yalina me-nangis sedih.
Dua orang laki-laki itu, ayah dan anak, saling pandang dan hanya bengong tak dapat bicara.
Hati mereka tidak karuan rasanya. Pukulan hebat menghan-tam batin mereka mendengar semua ke-nyataan yang sama sekali tak pernah mereka duga.
Tiba-tiba Suling Emas menampar pahanya sendiri. "Ah! Dia.... tentu dia.... tak salah lagi....!"
Yalina mengangkat muka memandang, "Apa maksudmu, Song-ko?"
Suling Emas memegang kedua pundak Ratu Yalina, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar.
"Lin-moi, aku telah ber-temu dengan anak perempuan kita! Dia seorang gadis jelita, serupa benar dengan engkau, ilmu kepandaiannya amat lihai. Julukannya Mutiara Hitam dan namanya.... kalau tak salah Kwi Lan. Dia menjadi murid Sian Eng!"
Yalina meloncat bangun, matanya terbelalak. "Ah...., betul juga! Mayat Nenek bidan itu mengalami pukulan yang hebat. Kiranya Enci Sian Eng yang membunuhnya dan
membawanya pergi anakku! Akan tetapi, mengapa ia tidak menjumpai aku" Mengapa ia berbuat begitu aneh?"
"Hemm, kau tahu keadaan Sian Eng, Lin-moi....!" Mereka termenung, teringat akan keadaan Kam Sian Eng yang men-jadi gila.
"Song-ko, ceritakan keadaan gadis itu, anak kita itu kalau kau tak salah sangka. Di mana kau bertemu dengannya" Bagai-mana dia?"
"Benar, ceritakan, Ayah. Aku ingin sekali mendengar tentang Adikku...." kata pula Pangeran Talibu dengan suara ter-sendat karena terharu. Mengingat bahwa ia mempunyai adik kembar, sesuatu yang amat mesra dan aneh bergejolak di dalam hatinya.
Maka berceritalah Suling Emas ten-tang pertemuannya beberapa kali dengan Kwi Lan. Ketika ia menceritakan sikap Kwi Lan yang marah-marah, yang me-negurnya mengapa
meninggalkan Ratu Khitan, kemudian betapa Kwi Lan yang marah-marah itu menyatakan sebagai anak Ratu Khitan.
Mendengar penuturan ini, Ratu Yalina kembali menangis saking terharu dan girang hatinya karena mendapat kenyata-an bahwa anaknya yang lenyap sejak baru lahir itu ternyata masih hidup dan menjadi murid encinya.
"Dia cantik dan gagah, ilmu silatnya ganas dan dahsyat lagi aneh, tentu saja karena dia murid Sian Eng yang mewarisi semua kitab mendiang Ibuku dan mempelajarinya secara ngawur dalam keadaan sakit ingatan. Kwi Lan amat galak dan jujur, berani tak mengenal takut, persis seperti.... seperti Ibunya!" Suling Emas teringat akan ini tertawa dan Yalina dalam tangisnya juga ikut tertawa.
Melihat betapa ayah dan ibunya saling berpandangan mesra, mengingat pula bahwa selama dua puluh tahun mereka tak saling jumpa, Pangeran Talibu yang sudah menjelang dewasa dan yang hati-nya masih terguncang menghadapi ke-nyatan luar biasa tentang dirinya, lalu berkata,
"Harap Ayah dan Ibu maafkan aku...., aku.... aku masih bingung dan pusing akan kenyataan yang hebat dan membahagia-kan hati ini.... aku ingin mengaso." Tanpa menanti jawaban pemuda ini segera lari keluar dari kamar ibunya sambil menutup-kan daun pintu. Pemuda ini sesungguhnya tidak pergi ke kamarnya, melainkan men-jaga di ruangan luar untuk melarang siapa saja, juga pelayan-pelayan ibunya, andaikata malam itu ada yang memasuki kamar ibunya!
Sampai lama Suling Emas dan Yalina saling pandang, kemudian seperti ditarik oleh besi Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 283
semberani, keduanya saling peluk. Semua kerinduan hati, semua rasa cinta kasih yang selama ini ditahan-tahan dan dipendam, kini tercurahkan. Sampai pagi mereka tidak tidur, berbisik-bisik mesra dan menceritakan pengalaman masing-masing.
Akhirnya, ketika malam terlewat menjelang pagi, Suling Emas berkemas dan berkata,
"Sekarang juga aku akan berangkat, Lin-moi. Betapapun juga, malapetaka yang menimpa Beng-kauw tak mungkin kudiamkan begitu saja."
"Engkau benar, Koko. Akan tetapi.... betapa aku akan kehilangan dan kesepian lagi.... ah, betapa inginku selamanya ting-gal di sampingmu tak pernah berpisah lagi. Agaknya aku rela meninggalkan kedudukanku sebagai Ratu...."
"Lin-moi, tidak mungkin begitu, belum tiba waktunya. Engkau harus ingat akan nasib bangsamu dan kulihat putera kita Talibu amat cakap menjadi calon raja. Apabila ia sudah cukup masak dan kau angkat menjadi penggantimu memimpin bangsanya, barulah tepat rasanya kalau engkau ingin menghabiskan masa hidup di sampingku. Aku pun sudah bosan meng-hadapi segala macam urusan dunia ramai dan setelah putera kita menjadi raja, marilah ikut bersamaku ke puncak gu-nung berdua dan menghabiskan sisa hidup di sana. Akan tetapi sekarang kita ber-dua masih menghadapi tugas berat. Engkau menuntun Talibu memimpin rakyat-mu, dan aku akan pergi ke Nan-cao se-kalian mencari puteri kita, Kwi Lan atau Mutiara Hitam."
Mendengar kalimat terakhir ini, ber-serilah wajah Ratu Yalina. "Mutiara Hi-tam.... alangkah seremnya julukan Anak-ku...., Song-ko, jahatkah dia?"
"Kurasa tidak jahat, hanya aneh se-perti Gurunya."
Tak lama kemudian berangkatlah Su-ling Emas, berangkat dengan diam-diam meninggalkan istana Khitan, diantar oleh peluk cium penuh kasih sayang Ratu Yalina dan pandang mata berlinang air mata sampai bayangannya lenyap di balik kesuraman fajar. Dengan
kepandaiannya yang luar biasa, mudah saja bagi Suling Emas untuk pergi tanpa diketahui se-orang pun penjaga.
Pada keesokan harinya, Panglima Talibu memberi tahu para panglima bah-wa kepala
pengawal Bu Beng Lojin se-malam berpamit dan pergi. Karena se-mua panglima mengenal Bu Beng Lojin sebagai seorang yang aneh, mereka tidak menjadi heran, hanya kagum karena kepergian kakek itu seperti iblis saja, tak terlihat oleh seorang pun penjaga. Di antara para panglima tentu saja hanya Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun yang tahu bahwa kakek aneh itu sebetul-nya adalah Suling Emas, kakak angkat Sang Ratu.
*** Ruangan itu lebar dan indah. Dinding-nya terhias lukisan-lukisan yang amat indah dan kuno.
Mereka duduk meng-hadapi sebuah meja bundar yang lebar masing-masing duduk di atas sebuah bangku berukir naga. Kiang Liong tampak tenang, sungguhpun diam-diam ia mencari akal untuk dapat meloloskan diri. Kalau ia tidak ingat akan Kam Han Ki, tadi setelah Siang Kui dan Siang Hui dibebaskan, tentu ia sudah memberontak dan lari pula. Akan tetapi dia sudah meng-ambil keputusan untuk menolong Kam Han Ki.
Di sebelah depannya, terhalang meja itu, duduk Bouw Lek Couwsu dan Siang--mou Sin-ni.
Bouw Lek Couwsu juga nam-pak tenang namun sepasang matanya bersinar gembira,
mulutnya tersenyum-senyum. Wajahnya yang masih tampan membayangkan kecerdikan.
Adapun Siang-mou Sin-ni yang duduk di sampingnya, memandang Kiang Liong dengan bibir tersenyum dan matanya kadang-kadang memandang kagum akan ketampanan dan kemudaan pemuda itu akan tetapi juga kadang-kadang dengan penuh kebencian kalau ia teringat bahwa pemuda ini ada-lah murid Suling Emas musuh bebuyutan yang dibencinya.
"Kiang-kongcu, kami telah mendengar bahwa kau adalah putera pangeran, ber-arti engkau adalah seorang pemuda bang-sawan tinggi. Juga engkau adalah murid Suling Emas, berarti kepandaianmu juga amat lihai. Karena kedua kenyataan itu-lah maka pinceng tidak mau Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 284
bermusuhan denganmu dan rela membebaskan dua orang gadis tawanan, Kiang-kongcu,
se-bagai seorang pemuda bangsawan, apakah engkau tidak bercita-cita untuk memiliki kedudukan yang paling tinggi?"
Kiang Liong memandang tajam penuh selidik. "Apa maksudmu?" tanyanya te-nang.
"Heh-heh-heh, Kiang-kongcu yang cer-dik pandai masa belum dapat menduga maksud
pinceng" Kerajaan Sung adalah amat buruk pemerintahannya dan amat lemah, hal ini sudah jelas dan Kongcu tentu mengetahuinya. Terhadap kekuasaan Khitan dan Nan-cao yang kecil saja tidak mampu melawan."
"Bukan tidak mampu melawan, me-lainkan karena kedua kerajaan itu adalah kerajaan sahabat," Kiang Liong memban-tah sungguhpun diam-diam di hatinya ia membenarkan
omongan pendeta itu. "Ha-ha-ha! Mana bisa bersahabat de-ngan orang-orang Khitan dan dengan Nan-cao yang kecil dan mengganggu" Kerajaan Sung seringkali dipaksa mem-bayar upeti kepada Kerajaan Khitan, hal itu jelas menandakan bahwa Sung hanya dapat menghadapi lawan dengan
sogokan. Dan untuk memperoleh harta benda so-gokan itu tentu saja caranya memeras rakyatnya.
Kiang-kongcu, hal itu sudah pinceng ketahui jelas berdasarkan penye-lidikan bertahun-tahun, tak perlu Kongcu menyangkal pula."
"Andaikata benar pendapatmu bahwa Kerajaan Sung lemah, habis apakah yang kauhendaki?"
Pertanyaan Kiang Liong masih tenang, padahal di dalam hatinya ia berdebar keras. Inilah merupakan inti daripada tugasnya diutus Kaisar, menye-lidiki keadaan tentara Hsi-hsia dan se-karang ia bahkan berhadapan muka de-ngan pemimpin Hsi-hsia, bicara tentang politik Hsi-hsia terhadap Sung!
"Pinceng harap Kiang-kongcu bijak-sana dan dapat memilih mana yang me-nguntungkan bagimu. Pinceng menawar-kan kerja sama denganmu, kita gempur bersama Kerajaan Sung!
Pinceng bergerak dari luar dan engkau bergerak dari da-lam!"
Kiang Liong mengangguk-angguk. Dari ucapan ini saja ia tahu bahwa Bouw Lek Couwsu belum mengadakan hubungan dengan pengkhianat-pengkhianat di da-lam kerajaan dan
hatinya menjadi lega. Hal ini merupakan salah satu hal yang ia selidiki. Dengan suara tenang ia ber-tanya,
"Dan balas jasaku....?"
"Ha-ha-ha-ha! Engkau benar-benar se-orang yang cerdik, Kiang-kongcu! Benar, urusan besar ini harus dirundingkan masak-masak. Bagaimana kalau engkau menjadi Raja Kerajaan Sung, Kiang-kongcu?"
Sikap Kiang Liong masih tenang, na-mun jantungnya seperti meloncat ke atas saking kagetnya mendengar janji yang amat muluk ini. Sampai beberapa lama ia tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah Bouw Lek Couwsu dengan mata terbelalak. Melihat
sikap pemuda ini, Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, apakah balas jasa itu ku-rang besar, Kongcu?"
Kiang Liong dapat menentramkan hatinya lagi dan ia tersenyum lebar.
"Cukup hebat dan muluk, Couwsu. Se-orang muda dan bodoh seperti aku, mana bisa menjadi Raja" Harap kau jangan main-main."
"Mengapa tidak" Raja Sung yang se-karang ini bisa apakah" Engkau jauh lebih pandai lebih gagah dan lebih cakap menjadi Raja. Pinceng tidak main-main, Kiang-kongcu. Kalau kau suka membantu dari dalam dan gerakan kita berhasil me-nundukkan Kerajaan Sung,
engkaulah yang akan menjadi pengganti Raja Sung. Bagai-mana?"
Kiang Liong mengangguk-angguk. "Hemm, memang muluk dan enak sekali kalau hanya
dibicarakan begini saja. Akan tetapi, apakah engkau tahu sampai di mana hebatnya kekuatan Kerajaan Sung, Bouw Lek Couwsu" Apakah yang kau andalkan untuk dapat menaklukkan Sung?" Dengan cerdik sekali, berkedok kesangsi-annya akan hasil persekutuan itu, ia ingin Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 285
mengetahui rahasia kekuatan barisan Hsi-hsia!
Kembali pendeta itu tertawa bergelak dan mengangkat cawan araknya. "Mari kita minum dulu dan bersiaplah untuk bergembira mendengar keteranganku yang membesarkan hati, Kongcu!"
Kiang-kongcu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum mengangkat cawan dan minum araknya. Bahkan Siang-mou Sin-ni agaknya gembira juga melihat pemuda itu suka menjadi sekutu mereka. Kalau pemuda ini menjadi sekutu, tentu saja ia tidak menganggapnya sebagai musuh dan memang sejak tadi ia me-mandang kagum, membayangkan betapa akan senang hatinya kalau ia dapat "bersahabat" dengan pemuda tampan dan gagah ini. Selama ini, ia hanya dapat bermesra dengan pemuda-pemuda lemah seperti kucing kalau dibanding dengan pemuda ini yang seperti singa!
"Kiang-kongcu, jangan kaukira bahwa pinceng tidak tahu akan keadaan dan kekuatan Kerajaan Sung. Sudah bertahun-tahun pinceng melakukan penyelidikan. Raja Sung yang gila kesenangan dan ke-senian itu hanya mengerahkan sebagian besar tentaranya di perbatasan utara, menjaga penyerbuan bangsa-bangsa di utara yang sejak dahulu mengancam Sung.
Sebagian pula untuk menjaga perbatasan di selatan, sedangkan sebagian kecil ter-sebar di pantai timur menjaga kerusuhan yang ditimbulkan bajak laut. Akan tetapi bagian barat hanya dijaga oleh pasukan-pasukan kecil karena daerah pegunungan yang sambung-menyambung sukar diada-kan penjagaan kecuali dengan pasukan besar. Pula Raja Sung tidak menganggap akan datang ancaman dari barat. Inilah keuntungan kita, Kongcu. Jika pinceng menyerbu dari barat, dibagi menjadi tiga empat barisan besar menyerbu, tentu dengan mudah akan dapat kami hancur-kan penjagaan di perbatasan itu dan kami akan terus menyerbu Kerajaan Sung dari tiga jurusan, terbesar dari barat, yang lainnya dari utara dan selat-an kami kepung kota raja. Sementara itu, engkau bergerak dari dalam dengan pasukan yang dapat kaukumpulkan.
De-ngan begini, apa susahnya menjatuhkan Kaisar boneka itu" Ha-ha!"
Diam-diam Kiang Liong terkejut se-kali. Hebat rencana pimpinan Hsi-hsia ini. Ia sudah mendapat keterangan dari para penyelidik bahwa barisan Hsi-hsia tidak kurang dari seratus ribu orang banyaknya. Dan memang tepat apa yang dikatakan Bouw Lek Couwsu. Keadaan penjagaan Kerajaan Sung memang seperti yang diutarakannya tadi. Kalau siasat itu dipergunakan oleh pimpinan Hsi-hsia ini, agaknya akan besar bahaya kehancuran mengancam Kerajaan Sung! Dan ia harus mencegahnya. Satu-satunya jalan untuk mencegahnya, ia harus dapat mening-galkan tempat ini, kembali ke kerajaan dan melaporkannya kepada Kaisar agar dapat diatur siasat untuk menghadapi bala tentara Hsi-hsia. ia harus berlaku cerdik dan tiada cara lain kecuali mene-rima usul persekutuan Bouw Lek Couwsu!
"Hebat! Rencana yang kauatur itu benar-benar mengagumkan, Couwsu. Ka-lau siasat itu dijalankan, apalagi ada bantuan yang kuat dari dalam, akan mu-dahlah merebut singgasana!"
Ia sengaja memasang muka berseri-seri dan sepa-sang matanya berkilat penuh harapan.
"Akan tetapi.... bagianku dalam rencana ini amat berbahaya! Kalau ketahuan ren-canaku, tentu akan ditangkap sebagai pengkhianat dan dihukum mati! Akan sepadankah balas jasa untukku" Apakah engkau kelak tidak akan melanggar jan-jimu tadi?"
Bouw Lek Couwsu menenggak araknya lalu tertawa. "Ha-ha-ha pinceng Bouw Lek Couwsu adalah pemimpin besar bangsa Hsi-hsia, juga ketua para pendeta jubah merah. Tak nanti akan menarik kembali janji. Kalau berhasil usaha kita, pasti engkau yang akan menduduki sing-gasana Kerajaan Sung! Pinceng tidak ingin menjadi raja di Kerajaan Sung. Cukup bagi pinceng asal Kongcu pun mengenal budi membagi keuntungan dan menghadiahkan setengah wilayah keraja-an bagian barat kepada bangsa Hsi-hsia, bukankah ini adil?"
Bukan main gemasnya hati Kiang Liong kepada pendeta yang licik ini, akan tetapi wajahnya tidak berubah, tetap gembira penuh harapan. "Aku me-nerima usulmu, Bouw Lek Couwsu, dan aku akan berusaha menghubungi para panglima pasukan yang merasa tidak puas dengan Kaisar. Percayalah, banyak di antara para panglima adalah sahabat baik Ayahku, Pangeran Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 286
Kiang." "Ha-ha-ha, mari kita minum arak untuk persekutuan kita ini!"
Mereka bertiga kembali minum arak dan pada saat itu, seorang pelayan wani-ta datang berlari-lari dan berlutut di depan Siang-mou Sin-ni sambil berkata gugup.
"Mohon maaf kalau hamba menggang-gu. Akan tetapi hamba melaporkan bah-wa bocah yang ditawan itu tahu-tahu sudah berada di dalam kamar Paduka dalam keadaan pingsan,
sedangkan penja-ganya kedapatan tewas di kamar ta-hanan."
Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara melengking panjang dan pelayan yang melapor itu sudah mencelat beberapa meter dan roboh pingsan karena diten-dang, sedang tubuh Siang-mou Sin-ni sendiri sudah mencelat seperti terbang meninggalkan ruangan itu menuju ke kamarnya! Seorang pelayan pria lalu mengangkat pelayan wanita yang pingsan itu,
membawanya ke ruangan belakang.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kiang Liong mendengar laporan tadi. Tak salah lagi, pikirnya, bocah yang dimak-sudkan itu tentulah Han Ki. Pantas ia tidak berhasil menemukan anak itu, kira-nya pingsan di kamar Siang-mou Sin-ni!
"Bouw Lek Couwsu." katanya menahan getaran hati dan suaranya tetap tenang, "Setelah kita menjadi sekutu dan orang sendiri, apakah engkau tidak mau me-mandang mukaku
membebaskan Kam Han Ki itu" Betapapun juga, Kam Bu Sin adalah Paman guruku sehingga amat tidak enak bagiku kalau anak itu tidak kubawa pulang. Tentu akan mencurigakan orang dan menduga bahwa aku berbaik denganmu."
Bouw Lek Couwsu mengangguk-angguk dan bangkit berdiri. "Masuk akal pula omonganmu ini. Akan tetapi karena anak itu merupakan tawanan Sin-ni, sebaiknya aku membujuknya.
Harap Kongcu menunggu di sini." Setelah berkata demi-kian, Bouw Lek Couwsu lalu
meninggal-kannya, masuk menyusul Siang-mou Sin-ni dengan langkah lebar.
Kiang Liong terhenyak di atas bangkunya seperti patung. Ketika ia me-lirik, ternyata bangunan itu terkurung ratusan orang Hsi-hsia yang agaknya diam-diam telah menerima perintah un-tuk menjaga dan mencegah dia melari-kan diri! Ia menghela napas dengan pe-rasaan tegang. Berhasilkan bujukan Bouw Lek Couwsu" Kalau berhasil dan dia boleh membawa Han Ki, alangkah untungnya! Tentang persekutuan dan janji-nya kepada Bouw Lek Couwsu, janji itu hanya ia adakan bukan sekali-kali untuk semata-mata menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali untuk menye-lamatkan Kerajaan Sung. Karena andaika-ta ia berkeras menolak sampai tewas di situ, bukankah rencana Bouw Lek Couwsu tadi akan dijalankan tanpa sepengetahuan Kerajaan Sung sehingga terjadi malapetaka hebat"
Tiba-tiba ia menyeringai dan menahan napas. Rasa yang amat nyeri menusuk perutnya, rasa nyeri yang hampir tak tertahankan. Ia mengumpulkan hawa mur-ni di tubuhnya, mengerahkan sin-kangnya diarahkan ke perut sambil menarik napas panjang. Rasa nyeri lenyap seketika, namun hatinya menjadi gelisah. Tahulah ia bahwa ia telah terluka oleh pukulan Siang-mou Sin-ni tadi, luka yang aneh karena entah di bagian mana. Rasanya di perut, akan tetapi begitu dilawan sin-kang rasa nyeri itu hilang. Ia tidak tahu bahwa pukulan tadi adalah pukulan yang meracuni darahnya dan tentu saja yang pertama-tama terasa adalah bagian yang tadi terpukul.
Tak lama kemudian dari ruangan da-lam muncul keluar Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Jantung Kiang Liong serasa berhenti berdetik ketika melihat Siang-mo Sin-ni mendukung se-orang anak laki-laki. Ia tidak mengenal Han Ki karena ketika ia mengunjungi pamannya dahulu Han Ki masih seorang bayi. Akan tetapi ia dapat menduga bahwa anak berusia sebelas tahun itu tentulah Han Ki. Anak itu sudah sadar akan tetapi melihat keadaannya yang tak dapat bergerak dan lemas, Kiang Liong maklum anak itu tentu tertotok.
Menu-rutkan kata hatinya, ingin ia meloncat dan merampas bocah itu untuk kemudian dibawa lari. Akan tetapi, pikirannya yang cerdik melarang ia melakukan hal itu. Kalau ia lakukan berarti ia mencari mati dan Han Ki juga takkan tertolong. Yang lebih hebat lagi, Kerajaan Sung akan ter-ancam bencana hebat! Biarpun hatinya seperti ditusuk ia tetap bersikap tenang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 287
dan ketika mereka berdua sudah datang dekat, ia bertanya.
"Bagaimanakah, Couwsu dan Sin-ni, apakah persekutuan kita cukup berharga untuk Ji-wi (Kalian) mengampuni anak itu dan memberikannya kepadaku?"
Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu memben-tak keras, "Kiang Liong! Apakah hatimu palsu dan kau tidak menghargai perjan-jian kita?" Sikap kakek ini jelas mencu-rigai dan menentang. Kiang Liong terke-jut. Ia harus berhati-hati. Kakek gundul ini amat cerdik.
"Eh, apa alasannya engkau menyangka seperti itu, Couwsu?"
"Kalau engkau memang jujur, menga-pa kau ingin benar menolong anak ini" Sepatutnya sebagai tanda persahabatan engkau merelakan anak ini kepada Sin--ni. Urusan kita amatlah besar. Urusan anak ini tidak ada artinya. Apa artinya nyawa seorang bocah seperti ini" Nah, jawablah bagaimana pikiranmu" Kalau kau mementingkan anak ini, berarti kau tidak sungguh-sungguh hendak bersekutu dengan kami!"
Kiang Liong terkejut dalam hatinya. Tak disangkanya kakek gundul ini se-demikian cerdik. Ia memutar otak men-cari siasat, namun tidak melihat jalan lain kecuali berpura-pura tidak mengerti dan mengalah.
"Aku hanya ingin menolong karena dia putera Paman guruku, akan tetapi sama sekali bukan berarti aku melupakan per-sekutuan kita. Habis, bagaimanakah kehendakmu dengan anak ini, Couwsu" Beritahulah dan aku tentu saja akan menerima usulmu asalkan demi kebaikan kita bersama, terutama sekali tentu saja, demi berhasilnya usaha besar kita." Sengaja Kiang Liong menekankan usaha besar karena ia maklum bahwa kepala gundul ini amat membutuhkan bantuannya untuk menghimpun tenaga yang akan bergerak dari dalam kota raja.
"Hi-hi-hik, alasanmu dibuat-buat, Kiang-kongcu. Kalau memang benar kau begitu
mementingkan persekutuan di antara kita mengapa kau hendak meram-pas anak ini dari tanganku" Susah payah anak ini kupelihara, kubebaskan dari ke-matiannya di rumahnya, kemudian kubikin gemuk sehat untuk keperluanku yang amat penting, menyempurnakan ilmu yang sedang kulatih. Kalau aku berkeras tidak mau menyerahkan anak ini kepa-damu, kau mau apa, Kiang-kongcu" Apa-kah kau akan membatalkan persekutuan kita hanya karena anak ini?"
Dapat dibayangkan betapa bingung dan gelisah rasa hati Kiang Liong. Ia menghadapi jalan buntu. Membatalkan persekutuan berarti kematian baginya dan membahayakan Kerajaan Sung, kalau tidak mana mungkin ia membiarkan anak itu dijadikan korban secara
mengerikan" Dari Po Leng In ia sudah mendengar betapa iblis betina ini hendak melakukan Ikin-hoan-jwe, untuk kesempurnaan ilmu-nya Hun-beng Toh-wat, dan untuk keper-luan inilah Han Ki ditawan. Ia sendiri belum tahu secara jelas bagaimana orang melakukan I-kin-hoan-jwe mengambil sumsum dan darah putih dalam urat, akan tetapi dapat membayangkan bahwa hal itu tentu mengerikan dan kejam se-kali.
"Jadi engkau akan membunuhnya. Siang-mou Sin-ni?"
Melihat keraguan pemuda itu Bouw Lek Couwsu lalu memandang tajam. Pen-deta ini adalah seorang yang cerdik. Ka-lau tidak, tentu saja ia tidak menjadi pemimpin bangsa Hsi-hsia. Ia melihat betapa Siang-mou Sin-ni dan pemuda itu saling berhadapan saling siap untuk ber-tanding. Hal ini tidak ia inginkan karena ia benar-benar mengharapkan bantuan pemuda ini yang telah terpikat karena dijanjikan kedudukan raja. Maka cepat-cepat ia melangkah maju dan berkata.
"Antara orang sendiri tak perlu ribut-ribut, kalau memang kita semua berik-tikad baik." ia memandang Siang-mou Sin-ni penuh arti kemudian melanjutkan. "Kiang-kongcu, pinceng telah bicara pan-jang lebar dengan Sin-ni. Memang Sin-ni membutuhkan anak ini untuk menyempurnakan ilmunya, akan tetapi pinceng yang menanggung bahwa anak ini tidak akan dibunuhnya. Biarlah kita sama lihat. Kalau kelak engkau dapat memegang janjimu dan mengerahkan tenaga bantuan dari dalam kota raja, pinceng berjanji akan menyerahkan anak ini dalam keada-an hidup kepadamu!"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 288
Diam-diam Kiang Liong menyumpahi pendeta yang amat licik ini di dalam hatinya. Ia mengerti bahwa Han Ki di-jadikan "barang tanggungan" untuk meng-uji kesetiaannya dalam persekutuan itu. Tidak ada pilihan lain. Kalau kelak pasu-kan Hsi-hsia menyerbu, Kerajaan Sung akan mengatur penjebakan yang meng-hancurkan barisan musuh dan dia sendiri akan mengumpulkan tenaga, bahkan guru-nya sendiri tentu akan membantunya untuk menangkap Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni dan kalau tidak terlam-bat akan menolong Han Ki.
Akan tetapi awaslah kalian, kutuknya dalam hati, kalau anak ini kalian bunuh, jangan harap kalian dapat terlepas dari hukumanku!"
Ia mengangkat kedua bahunya dan duduk kembali. "Apa boleh buat, kalau kau tidak percaya penuh kepadaku, boleh saja anak ini kautahan, Bouw Lek Couwsu. Betapapun juga, urusan besar itu tentu saja jauh lebih penting."
"Bagus! Mari kita minum arak untuk saling pengertian yang baik ini!" Kembali mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya.
Siang-mou Sin-ni tersenyum, lalu cekikikan. "Hi-hi-hik! Siapa tahu hati manusia" Memang aku tidak akan mem-bunuh anak ini, akan tetapi aku harus mengambil sedikit darahnya, sedikit-se-dikit tiap hari dan kuganti dengan obat agar darahnya pulih. Sekarang pun akan kubuktikan caranya agar hati Kiang-kongcu tidak ragu-ragu lagi!"
Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni meletakkan tubuh Han Ki di atas meja bundar yang besar itu. Anak itu telentang di atas meja, matanya yang lebar memandang Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu penuh kebencian. Ke-tika melirik ke arah Kiang Liong, dia hanya memandang sekilas karena tidak mengenal siapa pemuda itu yang agaknya tidak sepenuh hati hendak menolongnya.
Kiang Liong kagum bukan main dan hatinya diliputi keharuan. Bocah itu amat tampan, dan sedikit pun tidak tampak sinar takut dalam sepasang matanya yang bening, dan lebar. Biarpun ia tidak dapat bergerak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata, namun jelas pandang matanya menyinarkan kebencian dan sakit hati terhadap Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang telah membasmi keluarganya. Anak yang luar biasa dan mengagumkan, pikirnya.
Sementara itu, Siang-mou Sin-ni sudah mengeluarkan sebatang jarum emas yang panjangnya kurang lebih dua dim dan di sepanjang batang jarum itu berlubang. Dengan jarum di tangan kanan sambil tersenyum dan mengerling ke arah Kiang Liong, ia menghampiri bocah yang telentang di atas meja itu.
Terjadi perang di dalam hati Kiang Liong. Kalau mengingat akan tugasnya sebagai
penyelidik, teringat akan kewa-jiban sebagai seorang yang setia dan mencinta
pemerintahannya, ia harus membiarkan Siang-mou Sin-ni melanjut-kan apa yang hendak dilakukan kepada Han Ki. Akan tetapi kalau menurutkan perasaan dan wataknya sebagai seorang pendekar gagah, tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia dapat menduga kini apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni. Jarum emas itu akan ditusukkan di bagian tubuh yang tidak membahayakan nyawa anak itu, sampai mengenai dan menembus tulang, kemudian dari
lubang jarum akan disedot sumsum dari dalam tulang anak itu!
Bouw Lek Couwsu menyeringai lebar dan Siang-mou Sin-ni tersenyum manis. -Matanya berkilat-kilat penuh nafsu, keti-ka tersenyum bibirnya tampak merah seperti berlepotan darah dalam pandang-an Kiang Liong, gigi yang berderet rapi dan putih itu seakan-akan bercaling.
"Hanya sedikit darah dan sumsum untukku, tidak akan mematikan anak ini!" katanya sambil membalikkan tubuh anak itu menelungkup di atas meja. Sekali tangan kirinya bergerak, ia sudah merobek baju atas dan tampaklah punggung Han Ki yang putih dan sehat.
Kini wajah Siang-mou Sin-ni tampak buas oleh nafsu yang menggelora. Tangan-nya agak menggigil dan setelah jari-jari tangan kirinya meraba-raba punggung atas bawah tengkuk, tangan kanannya yang memegang jarum emas bergerak perlahan menemplekan ujung jarum ke kulit punggung anak itu, siap untuk me-nusuk!
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 289
Meledaklah rasa penasaran dan kema-rahan di hati Kiang Liong. Tanpa dapat terkendalikan lagi, tubuhnya berkelebat ke depan dan mulutnya membentak, "Iblis betina, lepaskan dia!"
Hebat bukan main gerakan Kiang Liong ini karena saking marahnya ia langsung menerjang Siang-mou Sin-ni dengan Ilmu Silat Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Pengacau Lautan) yang sifatnya paling dahsyat di antara ilmu silat yang ia pelajari dari Suling Emas. Karena terjangannya ini tidak tersangka-sangka, biarpun Siang-mou Sin-ni amat lihai na-mun sebagian besar perhatiannya tertuju kepada Han Ki dan nafsunya sedang me-lonjak-lonjak, maka ia kurang cepat menghindar. Memang benar ia dapat meloncat ke samping, namun hawa pu-kulan Kiang Liong tetap saja mengenai bahu kanannya sehingga bahu kanan itu terasa lumpuh dan jarum emasnya ter-lempar!
"Keparat!" Siang-mou Sin-ni mengum-pat, rambutnya kini sudah bergerak me-nyambar ke pinggang Kiang Liong. Na-mun pemuda itu dengan sigapnya meng-hindar dan dengan cepat tangan kirinya meraih ke arah meja hendak menyambar tubuh Han Ki.
"Perlahan dulu, orang muda!" Suara ini keluar dari mulut Bouw Lek Couwsu dan sinar yang amat kuat menangkis ke arah lengan tangan Kiang Liong yang meraih tubuh Han Ki. Untung Kiang Liong maklum akan bahaya dan cepat menarik kembali lengannya. Kalau tidak tentu lengannya akan patah bertemu dengan tongkat yang berat dan digerak-kan tenaga hebat pula.
Dari arah kanan menyambar hawa pukulan yang dingin. Kiang Liong cepat miringkan tubuh dan menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan te-naga sin-kang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit sekali sehingga be-gitu lengannya terbentur lengan Siang--mou Sin-ni yang memukul dari kanan, ia terpental ke belakang. Kiang Liong ter-huyung-huyung dan sambaran tongkat Bouw Lek Couwsu tak dapat ia elakkan dan jalan satu-satunya hanya menangkis dengan telapak tangan.
"Plakk!!" Tongkat terpental akan te-tapi Kiang Liong merasa betapa kenye-rian dari perutnya naik ke dada, terus ke tenggorokannya dan ia menyemburkan darah dari mulutnya. Tahulah ia bahwa ia terluka hebat, maka tanpa pedulikan apa-apa lagi ia lalu duduk bersila di atas lantai, mengatur pernapasan dan menge-rahkan hawa murni melawan luka dan racun yang
mengamuk di perut.

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siang-mou Sin-ni terkekeh dan sudah menggerakkan tangan untuk memberi pukulan terakhir.
Tangannya penuh deng-an hawa beracun dari Ilmu Tok-hiat-hoat-lek dan sekali mengenai kepala Kiang Liong yang dijadikan sasaran, tak dapat dihindarkan lagi pemuda itu tentu akan menggeletak tak bernyawa lagi. Ketika tangan Siang-mou Sin-ni menyam-bar, Kiang Liong sedang siulian (sama-dhi) untuk mengerahkan hawa murni di tubuhnya.
"Plakk!" Tangan yang halus namun keji dari Siang-mou Sin-ni bertemu de-ngan ujung tongkat Bouw Lek Couwsu. Wanita itu membelalakkan matanya dan memandang marah.
Akan tetapi Bouw Lek Couwsu berkedip kepadanya, kemudi-an mendekatinya dan berbisik-bisik di dekat telinga Siang-mou Sin-ni.
"Ia terluka oleh pukulanmu Tok-hiat-hoat-lek yang tadi." bisiknya. "Berapa lamakah ia akan dapat bertahan untuh hidup?"
Siang-mou Sin-ni yang belum dapat menangkap maksud pendeta itu menjawab ragu.
"Dia lihai dan kuat, tentu dapat ber-tahan sampai tiga bulan. Namun darah-nya sudah keracunan dan ia tidak dapat tertolong lagi."
"Bagus." bisik pendeta itu. "Kita tak perlu membunuhnya. Kita lanjutkan ren-cana, biarkan dia kembali dan menyusun kekuatan di kota raja membantu kita dengan janji kalau dia tidak melanggar janji, selain anak ini kelak kita kembali-kan, juga kaujanjikan obat penawar pu-kulanmu Tok-hiat-hoat-lek! Dengan tanggungan nyawa anak ini dan nyawanya sendiri, agaknya tidak ada jalan lain baginya untuk mengkhianati kita."
Siang-mou Sin-ni tersenyum dan meng-angguk-angguk. "Tok-hiat-hoat-lek ilmuku itu akibatnya luar biasa. Di dunia ini tidak akan ada yang dapat mengobatinya kecuali aku Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 290
sendiri. Ilmu yang baru ini belum dikenal orang, biar Suling Emas sendiri tak mungkin dapat menyembuhkan muridnya, hi-hik!" Ia lalu mengambil jarum emas yang tadi terlempar di atas lantai, kemudian menghampiri Han Ki yang masih tertelungkup di atas meja.
Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk di luar, suara so-rak-sorai gemuruh disusul suara jerit-jerit mengerikan, suara senjata-senjata berte-mu dan banyak sekali orang bertempur. Pintu kamar itu terpentang lebar dari sebelah luar dan dua orang Hsi-hsia ber-teriak, "Barisan Beng-kauw menyerbu....!" Mendadak mereka roboh terjungkal dan di punggung mereka menancap dua buah hui-to (golok terbang)!
"Tar-tar-tar....!" Suara meledak-ledak ini adalah suara lecutan cambuk yang berada di tangan seorang kakek bertopi lebar. Ke mana pun cambuknya menyam-bar, di situ tentu ada beberapa orang musuh terjungkal tewas. Di sampingnya tampak seorang laki-laki gagah berusia lima puluh lima tahun yang mengamuk pula dengan sebatang pedang berhawa dingin dan bersinar kuning terang. Masih ada lagi seorang kakek tinggi kurus berjenggot panjang bermata tajam yang mengamuk dengan tangan kosong, akan tetapi setiap pukulan atau tendangan kakinya tentu merobohkan seorang lawan. Di samping tiga orang kakek luar biasa ini tampak Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang gadis yang telah dibebaskan, mengamuk pula dengan pe-dang mereka. Selain mereka, ratusan orang anggauta Beng-kauw sedang menyerbu dan melakukan penyembelihan terhadap orang-orang Hsi-hsia dengan hati penuh kemarahan karena penyerbuan ini adalah pembalasan dendam mereka terhadap para pendeta jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia.
Kakek bertopi lebar bersenjata cam-buk yang luar biasa lihainya itu bukan lain adalah Kauw Bian Cinjin. Usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan dia-lah satu-satunya tokoh Beng-kauw yang lolos dari kematian. Kauw Bian Cinjin adalah sute (adik seperguruan) Ketua Beng-kauw yang tewas, akan tetapi da-lam hal kepandaian, kakek ini melebihi suhengnya.
Sudah bertahun-tahun ia mengundurkan diri dari Beng-kauw dan bertapa di puncak Ta-liang-san.
Pada beberapa hari yang lalu, selagi Kauw Bian Cinjin bercakap-cakap dengan dua orang kakek yang menjadi tamunya, datang seorang anggauta Beng-kauw yang sambil menangis melaporkan tentang malapetaka yang menimpa Beng-kauw. Tentu saja Kauw Bian Cinjin menjadi marah sekali. Dua orang kakek yang menjadi tamunya itu juga menawarkan tenaga bantuan mereka. Mereka ini bu-kan orang-orang sembarangan. Yang ber-senjata pedang dan bertubuh gagah ada-lah ketua penghuni Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan, bernama Lie Bok Liong.
Pembaca CINTA BERNODA DARAH tentu masih ingat akan nama ini, nama seorang
pemuda yang mencinta Lin Lin atau Puteri Yalina akan tetapi tidak terbalas sehingga ia mengasingkan diri dan tetap tinggal membujang sampai tua sambil memperdalam ilmu silatnya. Adapun ka-kek kedua yang kurus berjenggot panjang dan amat lihai kaki tangannya itu adalah seorang sahabat baiknya yang tinggal di Ang-san-kok, bernama Ong Toan Liong.
Demikianlah, dengan disertai bantuan dua orang sahabat yang menjadi tamu-nya, Kauw Bian Cinjin bergegas turun gunung, mengumpulkan para anggauta Beng-kauw sejumlah empat lima ratus orang kemudian mengadakan penyerbuan ke Lembah Nu-kiang di Kao-likung-san.
Kebetulan sekali di lereng gunung itu Kauw Bian Cinjin berjumpa dengan Siang Kui dan Siang Hui yang malam itu dibe-baskan karena pertolongan Kiang Liong. Dengan cepat dan singkat dua orang gadis ini menceritakan pengalamannya, tentang Kiang Liong dan tentang adiknya yang masih tertawan. Penyerbuan dilan-jutkan dengan cepat dan begitu tiba di markas Bouw Lek Couwsu, terjadilah pe-rang yang hebat dan berat sebelah.
Biarpun para hwesio jubah merah rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun jumlah orang-orang Beng-kauw yang menyerbu terlalu banyak. Apalagi di sebelah depan dipimpin oleh tiga orang kakek yang demikian lihai, terutama sekali yang bercaping dan bersenjata cambuk, amat mengerikan. Dengan cepat dan mudahnya, Kauw Bian Cinjin yang diikuti oleh Lie Bok Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 291
Liong, Ong Toan Liong, dan kedua orang gadis cucunya itu menyerbu terus sampai ke bangunan ter-besar yang menjadi tempat kediaman Bouw Lek Couwsu.
Lecutan cambuk Kauw Bian Cinjin menghancurkan pintu kamar Bouw Lek Couwsu dan
mereka menyerbu ke dalam. Akan tetapi kamar itu kosong! Tidak tampak Bouw Lek Couwsu maupun. Siang--mou Sin-ni, juga tidak tampak. Kiang Liong maupun Kam Han Ki. Kedua orang gadis yang pernah menjadi tawanan di tempat ini segera menjadi penunjuk ja-lan, menggeledah dan mencari di seluruh bangunan yang berada di situ, namun sia--sia saja. Dua orang musuh besar yang menjadi biang keladi penghancuran Beng-kauw, dua orang tawanan yang hendak mereka tolong, tak tampak ba-yangannya. Mereka mengamuk dan membunuh semua pelayan dan orang-orang Hsi-hsia. Ketika mereka keluar lagi, ter-nyata perang kecil itu sudah selesai. Di mana-mana bertumpuk mayat orang-orang Hsi-hsia dan ada juga beberapa korban orang-orang Beng-kauw, tetapi ketika diperiksa, hanya terdapat tujuh orang mayat pendeta jubah merah. Ternyata bahwa semua orang Hsi-hsia yang ber-tugas di situ, sejumlah kurang lebih se-ratus orang tewas. Akan tetapi para hwesio jubah merah agaknya sebagian besar melarikan diri dan sudah terang bahwa Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni juga melarikan diri. Yang menyu-sahkan hati Kauw Bian Cinjin terutama sekali Siang Kui dan Siang Hui adalah lenyapnya Kiang Liong dan Kam Han Ki. Ke manakah perginya dua orang tawanan itu"
Ketika tadi mendengar laporan ten-tang penyerbuan orang-orang Beng-kauw dan melihat sekelebatan bahwa jumlah penyerbu jauh lebih besar, Siang-mou Sin-ni sudah menyambar tubuh Han Ki dan lari secepat terbang melalui bela-kang bangunan, turun gunung melalui jurusan lain. Dia seorang cerdik, tidak mau kehilangan Han Ki dan tidak mau pula mempertaruhkan nyawanya mengha-dapi penyerbuan orang-orang Beng-kauw yang kini jauh lebih kuat.
Bouw Lek Couwsu juga bukan seorang bodoh. Ia memang menerjang keluar dan merobohkan beberapa orang penyerbu, akan tetapi melihat dari jauh akan ke-lihaian tiga orang kakek yang mengamuk dan melihat pula betapa banyaknya orang-orang Beng-kauw yang menyerbu,
diam-diam ia memberi tanda rahasia kepada para muridnya untuk melarikan diri. Sebagai perisai, mereka meninggalkan orang-orang Hsi-hsia yang memang bodoh akan tetapi penuh keberanian itu. Bouw Lek Couwsu teringat akan Kiang Liong yang tadi masih duduk bersila di dalam kamarnya. Hatinya bimbang. Pe-muda itu sudah mengetahui rahasia per-gerakannya.
Bagaimana kalau mengkhia-natinya" Di samping kebimbangan ini, ia pun merasa betapa, pentingnya bantuan pemuda itu. Akan tetapi ketika ia me-masuki kamarnya Kiang Liong sudah tidak ada lagi di situ! Ia yakin benar pihak musuh belum ada yang menyerbu kamarnya!
Siang-mou Sin-ni memang sudah pergi membawa lari Han Ki, akan tetapi tadi Kiang Liong masih duduk ber-sila di situ. Ke manakah perginya pemu-da itu"
Karena keadaan sudah amat mendesak dan melihat betapa murid-muridnya sudah tersebar melarikan diri, Bouw Lek Couw-su juga berkelebat pergi turun gunung dari sebelah belakang.
Kini setelah perang selesai, tinggallah Kauw Bian Cinjin berulangkali menghela napas panjang. Alangkah menyesal hati-nya bahwa ia terpaksa harus membunuh begitu banyak manusia, padahal selama bertahun-tahun ia hidup aman di perta-paan. Namun, betapa mungkin ia tinggal diam saja mendengar pimpinan Beng--kauw terbasmi" Di sampingnya, Siang Kui dan Siang Hui menangis karena dua orang ini mengkhawatirkan nasib adik mereka Kam Han Ki. Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka turun dari gunung itu dengan hati gelisah. Ke-menangan mereka itu tidak memuaskan hati karena yang hendak mereka tolong terutama Han Ki lenyap dilarikan musuh.
*** Kamar itu amat terang dan hawanya bersih sejuk karena jendela dan pintunya terbuka lebar menerima masuknya hawa dan sinar matahari pagi. Hawa pegunung-an amat sejuk memasuki ruangan.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 292
Yu Siang Ki yang rebah telentang di atas dipan mengeluh perlahan, lalu mengerang kesakitan.
Tujuh belas bagian tubuhnya telah ditusuk jarum emas dan perak oleh kakek kurus yang melarikan-nya dari dalam kerangkeng, dan baru saja jarum-jarum itu dicabut kembali.
"Aduhh...." Ia menggerak-gerakkan pelupuk mata dan kaki tangannya yang lemas.
"Siang Ki, syukur kau telah terto-long...."
Siang Ki membuka matanya dan pan-dang matanya bertemu dengan wajah ayu, wajah Kwi Lan! Gadis ini dengan senyum lebar dan wajah berseri saking girangnya melihat Siang Ki tertolong nyawanya, memegang sebuah cangkir, lalu mendekatinya.
"Siang Ki, kauminumlah obat ini."
"Kwi Lan....! Bagaimana kita bisa berada di sini...." Bukankah kita berdua tertawan....?"
Saking herannya Siang Ki memegang tangan Kwi Lan, menahannya meminumkan obat.
Kwi Lan tertawa. "Tiga hari tiga malam kau pingsan terus, kusangka mati! Kauminum dulu ini baru bicara." Tanpa menanti jawaban ia membawa cangkir itu ke bibir Siang Ki yang terpaksa memi-num obat yang pahit dan harum itu.
"Kwi Lan, bagaimana....?"
"Hush, kau tertolong Song Yok san--jin (Orang Gunung Ahli Obat she Song), dan puterinya, Enci Goat yang cantik manis!" Berkata demikian, Kwi Lan menudingkan telunjuknya ke sebelah kiri dipan.
Siang Ki cepat menoleh. Barulah tampak olehnya seorang kakek kurus berjenggot jarang sedang memeriksa se-suatu dalam dua tabung kaca dan se-orang gadis yang cantik manis bergelung tinggi berada di depan kakek itu.
"Hemmm, tak salah dugaanku. Racun Peluru Bintang itu adalah racun jamur laut yang terdapat di selatan. Ah, sung-guh keji orang-orang Thian-liong-pang. Tentu mendapat racun ini dari datuk mereka, Siauw-bin Lo-mo. Biarpun racun ini ganas, namun pemunahnya tidak su-kar. Jalan darahnya telah kututup, racun tidak menjalar. Goat-ji (Anak Goat), kauambillah batu penghisap dan bubukan biji delima putih."
Setelah gadis cantik itu pergi untuk melakukan perintah ayahnya, kakek itu membalikkan tubuhnya dan membuang darah dalam kedua tabung itu keluar pintu lalu menaruh tabung ke dalam jambangan air yang berada di sudut. Barulah ia menghampiri dipan dan berta-nya ramah.
"Siauw-pangcu (Ketua) sudah sadar"
Syukurlah...." Siang Ki cepat melompat turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlu-tut di depan kakek itu sambil berkata. "Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah penyelamat nyawa kami berdua orang muda, harap jangan bersungkan kepada saya. Terimalah hormat dan terima kasih saya Yu Siang Ki."
Kakek itu tertawa sambil berdongak ke atas, mengelus jenggotnya yang ja-rang.
"Ha-ha-ha! Pangcu muda dari Khong-sim Kai-pang benar-benar tidak menge-cewakan
menjadi putera sahabatku Yu Kang Tianglo! Jangan banyak sungkan, kita di antara orang sendiri. Bangkitlah!" Sambil berkata demikian kakek itu mengangkat bangun Yu Siang Ki dan pemuda ini mendapat kenyataan betapa di balik telapak tangan yang halus itu
tersembunyi tenaga yang amat kuat se-hingga ia menjadi amat kagum dan se-gera bangkit berdiri.
"Locianpwe mengenal mendiang Ayah saya sebagai sahabat, sungguh merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi saya." katanya, akan tetapi tiba-tiba Siang Ki memejamkan kedua mata karena kepalanya terasa pening.
"Siauw-pangcu harap rebahan dulu karena racun masih belum lenyap dari tubuhmu." kata ahli pengobatan itu. Tan-pa diperintah kedua kalinya, juga karena Kwi Lan memegang dan mendorong pundaknya, pemuda itu kembali merebahkan diri telentang di atas dipan.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 293
Gadis cantik berambut hitam pan-jang yang disanggul tinggi itu muncul dengan langkah kakinya yang ringan, membawa obat dan batu penghisap yang tadi diminta ayahnya. Kakek itu meneri-ma obat dari tangan puterinya, kemudian berkata kepada Kwi Lan dan puterinya itu, "Kalian keluarlah dulu dari kamar ini karena aku akan menyedot hawa beracun dari luka-lukanya."
Song Goat, gadis cantik itu menggan-deng lengan Kwi Lan dan ditariknya gadis itu keluar.
Kwi Lan menurut saja karena memang ia ingin bicara dengan gadis ini yang mempunyai jarum-jarum hijau persis senjata rahasianya. Setelah dua orang gadis itu keluar, Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin itu lalu meng-gulung kedua lengan jubahnya, kemudian mulai menanggalkan pakaian Yu Siang Ki. Luka-luka karena senjata rahasia Peluru Bintang dari tokoh-tokoh Thian-liong-pang itu tampak kebiruan, bahkan ada yang sudah menghitam.
Dengan tangan kanannya, kakek itu memegang batu penghisap, sebuah batu yang berwarna putih dan banyak lubang-lubang kecil, seperti batu bintang yang terdapat di dasar laut, kemudian tangan kirinya de-ngan jari-jari yang panjang halus itu memijit di sekitar luka sambil menekan batu itu pada lukanya.
Yu Siang Ki meringis kesakitan akan tetapi pemuda ini lalu menggigit bibir menahan rasa nyeri sehingga tidak sedi-kit pun keluhan keluar dari mulutnya. Hanya keringat yang besar-besar berkum-pul di dahinya. Tak lama kemudian batu yang berwarna putih itu menjadi hijau lalu hitam! Kakek itu menunda pekerja-annya menghisap hawa beracun lalu me-masukkan batu yang menghitam itu ke dalam air yang sudah dicampuri obat. Seketika warna hitam itu luntur, batu menjadi putih kembali akan tetapi airnya yang berubah agak kehitaman seperti dimasuki tinta bak! Lalu penghisapan itu dilakukan lagi pada semua luka sampai luka-luka itu kelihatan merah. Usaha pembersihan hawa beracun ini amat nye-ri, perih dan seperti ditusuk-tusuk rasa-nya, dan baru selesai setelah satu jam lebih. Barulah kakek itu membantu Siang Ki mengenakan pakaiannya kembali.
"Aman sudah. Tinggal minum obat ini dan dalam beberapa hari lagi Siauw-pangcu akan pulih kembali kesehatannya seperti biasa."
Kakek itu lalu menuangkan obat bu-buk delima putih, ditaburkan pada luka dan terasalah oleh Siang Ki betapa keperihan dan kenyerian pada luka-lukanya lenyap seketika, terganti oleh rasa dingin dan menyenangkan. Tanpa disadarinya, ia sudah memejamkan mata menarik napas lega dan pulas seketika! Kakek itu ter-senyum, lalu mencuci kedua tangannya dan duduk di atas bangku dekat pemba-ringan.
Sementara itu, setelah berada di luar pondok kecil itu, Kwi Lan segera me-nangkap tangan Song Goat dan berkata.
"Cici yang baik, hampir mati aku menahan sabar untuk mendengar semua keteranganmu.
Hayo lekas ceritakan, pertama-tama, mengapa kau mengguna-kan jarum-jarum hijauku untuk membu-nuhi para hwesio itu, kemudian menggu-nakan juga ketika kau menolong kami" Dari mana kau mendapatkan jarum-jarum hijau itu?"
Song Goat tersenyum dan dua buah lekuk kecil muncul di sepasang pipinya dekat mulut sehingga ia tampak manis sekali. "Adik yang baik, bukankah engkau yang berjuluk Mutiara Hitam" Kenapa kau tak dapat menebak sendiri" Hi-hik!"
"Eh, eh, jangan jual mahal, Enci yang baik. Lekas ceritakan, kalau tidak...."
"Hemm, anak ganas, kalau tidak ku-ceritakan kepadamu apakah kau akan memaksaku dengan pedangmu yang li-hai?" Song Goat yang ternyata pandai berkelakar itu menggoda, sepasang mata-nya disipitkan ketika mengerling.
"Aihhh! Kalau tidak mau, kucubit pipimu yang, manis ini!" Kwi Lan tertawa dan mengancam dengan jari-jari tangan-nya yang kecil.
"Aduh, ampun.... kau anak ganas!" Song Goat tertawa, menutupi kedua pipi-nya. "Mari kita duduk di sana dan kau-dengarkan ceritaku."
Dua orang gadis remaja yang cantik jelita itu lalu duduk di atas batu-batu besar tidak jauh dari Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 294
pondok itu. Song Goat mengeluarkan dua buah kantong dari saku bajunya. "Kaulihat ini, yang sekantong terisi jarum-jarum biasa, dan kantong kedua terisi jarum-jarum hijau beracun.
Jangan kira bahwa aku mencuri jarum-jarummu, Adik Kwi Lan. Kau ten-tu mengerti bahwa Ayahku adalah se-orang yang ahli dalam hal segala macam racun, dan agaknya secara kebetulan saja jarum-jarum kita menggunakan racun hijau yang sama. Akan tetapi ada perbe-daannya di antara kita."
"Apa bedanya?" "Kau selalu menggunakan jarum hijau beracun, akan tetapi aku hanya meng-gunakan jarum biasa tanpa racun, kecuali kalau harus merobohkan orang jahat yang patut dibunuh."
"Seperti yang kaulakukan kepada hwesio-hwesio dalam kuil itu" Kau mau bilang bahwa pendeta-pendeta itu adalah orang-orang jahat?" Kwi Lan mengejek.
"Lebih jahat daripada penjahat biasa, Adik manis! Penjahat biasa memang pen-jahat, akan tetapi penjahat-penjahat keji itu berkedok di balik Agama Buddha yang suci, benar-benar menjemukan sekali! Apa kau belum dapat menduga bahwa mereka itu adalah sekutu orang-orang Thian-liong-pang dan perampok-perampok di bawah pengaruh Siauw-bin Lo-mo"
Apakah kau tidak tahu bahwa kedatangan orang-orang Thian-liong-pang yang menginap di rumah mereka itu mengorbankan belasan orang gadis baik-baik yang mereka tangkap untuk disuguhkan kepada orang-orang Thian-liong-pang" Kebetulan Ayah dan aku tahu akan hal ini, maka kami turun tangan membunuh mereka membebaskan gadis-gadis itu. Para tamu, orang-orang Thian-liong-pang itu, segera bubar me-larikan diri. Karena sepak terjangmu bersama.... eh, Pangcu itu, Ayah meng-ajak aku diam-diam mengikuti karena khawatir kalau-kalau kalian terjebak oleh orang-orang Thian-liong-pang yang lihai dan curang. Dugaan Ayah ternyata ter-bukti. Kami tak dapat segera turun tangan karena tidaklah mudah membebas-kan kalian dari tangan dua belas orang tokoh Thian-liong-pang itu, apalagi sete-lah ternyata mereka itu berkumpul de-ngan Siauw-bin Lo-mo si iblis tua...."
Tiba-tiba Kwi Lan meloncat bangun, diikuti Song Goat yang pendengarannya masih kalah tajam oleh Mutiara Hitam. Dua orang gadis ini membalikkan tubuh sambil mencabut pedang dan di depannya telah berdiri seorang kakek yang ter-tawa-tawa, kakek kurus yang bukan lain adalah Siauw-bin Lo-mo!
"Ha-ha-ha-ha, bocah manis, ini aku Si Iblis Tua sudah datang. Jadi engkaukah yang telah berani main-main dan men-culik tawananku" Ha-ha-ha, bagus sekali.
Bouw Lek Couwsu tentu akan senang ha-tinya mendapat tambahan hadiah seorang dara lagi secantik engkau. Mari, kalian ikut bersamaku!" Sambil berkata demi-kian, Siauw-bin Lo-mo menerjang maju, dua lengannya bergerak aneh hendak mencengkeram dua orang gadis itu.
"Siauw-bin Lo-mo iblis tua! Rasakan pembalasanku!" Kwi Lan sudah berseru keras dan marah sekali, pedang Siang-bhok-kiam di tangannya berubah menjadi sinar hijau bergulung panjang membabat kedua lengan kakek itu.
"Aiihhh....!" Siauw-bin Lo-mo menge-luarkan seruan panjang saking kagetnya dan cepat menarik kembali kedua lengan-nya. Ia tadi terlalu memandang rendah kepada dua orang gadis itu, apalagi Kwi Lan yang pernah tertawan oleh Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang, anak buahnya. Tak disangkanya gadis ini dapat menyam-butnya sehebat itu dan ia maklum bahwa gadis remaja yang galak ini ternyata benar-benar lihai dan hebat ilmu pedang-nya, sesuai dengan kegalakannya ketika memaki-maki di dalam kerangkeng. Baru sekarang ia mengerti mengapa orang-orangnya menawan gadis ini di dalam kerangkeng dan menjaganya ketat, kira-nya gadis ini benar-benar amat berba-haya.
Song Goat juga membantu Kwi Lan menggerakkan pedangnya. Biarpun gadis puteri ahli obat ini tidak seganas dan sehebat Kwi Lan ilmu pedangnya, namun juga termasuk seorang muda yang ber-ilmu tinggi.
"Ha-ha-ha-ha, memang Bouw Lek Couwsu bernasib baik! Ha-ha, kiranya selama hidup dalam Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 295
petualangannya de-ngan wanita, belum pernah ia mendapat-kan dua orang gadis cantik yang begini lihai!" Biarpun maklum bahwa dua orang gadis lawannya bukan lawan lunak, na-mun Siauw-bin Lo-mo sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan tentu saja tidak menjadi gentar. Sehabis tertawa lebar, ia lalu menerjang maju dengan kedua tangan kosong menghadapi dua orang lawannya yang bersenjata pedang. Dan Kwi Lan mengeluarkan seruan tertahan. Hebat memang kakek kurus ini!
Gerakannya demikian aneh dan ringan sehingga setiap kali pedangnya hendak mengenai sasaran, bagian tubuh kakek itu seperti terdorong lebih dulu dan selalu dapat mengelak, bahkan beberapa kali gagang pedangnya hampir kena dirampas! Saking marahnya, Kwi Lan lalu berseru nyaring dan pedangnya kini mainkan ilmu pedang yang tiada keduanya dalam soal keanehan di dunia ini. Siauw-bin Lo-mo yang memandang rendah ilmu pedang Song Goat karena segera mengenal ilmu pedang gadis ini yang bersumber pada ilmu pedang Kun-lun-pai, kini terbelalak heran menghadapi ilmu pedang yang di-mainkan Kwi Lan. Dalam gerakan ilmu pedang ini ia mengenal jurus-jurus cam-puran yang mirip ilmu pedang dari Hoa--san-pai, tusukan-tusukan jalan darah se-perti ilmu silat Siauw-lim, pengerahan tenaga berdasarkan ilmu dari Go-bi-san! Repot juga untuk sementara kakek ini menghadapi ilmu pedang Kwi Lan. Akan tetapi oleh karena tingkatnya memang jauh lebih tinggi dan ia sudah memiliki pengalaman banyak dalam pertempuran, segera ia dapat menyesuaikan diri dan kini ia malah berhasil mengirim tendang-an ke arah tangan Song Goat yang me-megang pedang.
Pedang gadis itu terle-pas dan ia sendiri terhuyung.
"Ha-ha-ha!" Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa-tawa melesat dari depan Kwi Lan ke dekat Song Goat untuk meroboh-kan gadis ini, akan tetapi tiba-tiba ia terdorong oleh hawa pukulan dari bela-kang yang membuatnya terhuyung-huyung dan berseru heran dan kaget.
Sebagai seorang ahli, Siauw-bin Lo-mo mengerti betapa hebatnya hawa pu-kulan itu, maka cepat ia menggulingkan dirinya sambil mengerahkan hawa sakti dan akibat pukulan jarak jauh itu dapat dipunahkan. Ia selamat dari bahaya akan tetapi mengalami malu karena ternyata ia hampir celaka dalam tangan seorang gadis remaja, hanya karena pukulan jarak jauh tangan kiri Kwi Lan. Ia tidak tahu bahwa gadis itu disamping ilmu pedang-nya yang luar biasa, juga menguasai ilmu pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).
Song Goat yang tidak terluka, men-dapat kesempatan untuk mengambil pe-dangnya kembali dan kini ia sudah maju lagi membantu Kwi Lan yang sudah me-nerjang kakek lihai itu.
Namun kini Siauw-bin Lo-mo sudah bersikap hati-hati sekali dan gerakan yang aneh dari kedua lengannya membuat Kwi Lan dan Song Goat menjadi pening! Lebih celaka lagi, dua orang gadis itu melihat betapa kini bermunculan dua belas orang yang bukan lain adalah Thai-lek-kwi Ma Kiu Ketua Thian-liong-pang bersama sebelas orang adik seperguruannya! Akan tetapi Cap-ji-liong ini hanya berdiri di pinggir menonton, tidak berani bergerak meng-ganggu datuk mereka yang yang sedang mempermainkan dua orang gadis remaja itu!
Pada saat itu, dari dalam pondok melompat keluar Yok-sanjin Song Hai si ahli obat. Ia sudah memegang sebatang pedangnya dan melihat betapa Kwi Lan dan Song Goat terdesak hebat dan mengenal kakek kurus itu, ia berseru.
"Siauw-bin Lo-mo, tidak malu engkau melawan anak-anak?"
Siauw-bin Lo-mo menoleh dan terta-wa. "Ha-ha-ha, kiranya tukang obat Song yang berada di sini. Ah, kiranya gadis ini anakmu" Ha-ha, majulah kau sekalian, dikeroyok tiga pun aku tidak takut!"
Akan tetapi, dua belas orang Cap--ji-liong sudah maju pula menghadang kakek ahli obat itu yang segera me-ngurungnya dengan senjata di tangan. Melihat ini, Song Hai segera memasang kuda-kuda dan bersikap waspada karena dapat menduga bahwa dua belas orang tokoh Thian-liong-pang ini tentulah bukan orang-orang lemah.
"Ha-ha-ha-ha! Song Hai tukang obat, sebelum main-main dengan aku, kaurasa-kanlah dulu kelihaian anak buahku!" Ucapan Siauw-bin Lo-mo ini merupakan perintah bagi Cap-ji-liong Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 296
dan lenyaplah keraguan mereka. Segera mereka mener-jang maju secara teratur, mengurung kakek tukang obat itu dengan barisan yang terkenal kuat.
Kwi Lan menggigit bibir dan menge-luarkan semua kepandaiannya. Betapapun juga kakek itu terlampau kuat untuknya. Biarpun ia dibantu Song Goat yang juga lihai ilmu pedangnya, namun tetap saja dua orang gadis ini terdesak hebat dan akhirnya terhuyung oleh bayangan kedua tangan Siauw-bin Lo-mo yang seolah--olah berubah menjadi puluhan banyaknya. Song Goat yang lebih dulu merasa pening dan sebuah tamparan membuat ia ter-huyung ke belakang kembali terlepas dari tangan. Tamparan yang mengenai pundak kanan itu membuat tangan kanannya serasa lumpuh!
Kwi Lan berseru marah dan menusuk pinggang lawan yang sedang miring tu-buhnya. Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan berjungkir balik, kemudian menyambut pukulan tangan kiri Kwi Lan dengan tang-kisan tangan kanan.
"Plakk....!" Siauw-bin Lo-mo terhuyung mundur, akan tetapi Kwi Lan harus ber-jungkir balik beberapa kali untuk men-cegah terguling. Ketika gadis ini sudah berdiri lagi, ia diserang secara bertubi-tubi di antara suara ketawa lawannya. Ia berusaha untuk membalas, namun karena sudah terdesak dan kalah dulu, ia tidak mendapat kesempatan dan hanya dapat mengelak dan menggerakkan pedang membabat tangan yang hendak menangkap dan
menotoknya. Pada saat Kwi Lan terdesak hebat, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang tidak hanya mengejutkan hati Siauw-bin Lo-mo, akan tetapi juga amat mengagetkan Song Hai dan dua belas orang pengeroyoknya. Lengking yang menggetarkan jantung dan menulikan telinga itu seketika membuat mereka se-mua menghentikan pertandingan dan Kwi Lan menjadi girang sekali ketika menoleh ke arah datangnya suara melengking yang tentu saja ia kenal baik ini.
Bagaikan bayangan setan, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita bertubuh ramping berpakaian serba putih dan mukanya dikerudungi sutera jarang seperti rajut berwarna hitam.
Kam Sian Eng guru Kwi Lan!
"Siauw-bin Lo-mo, kau berani menye-rang muridku, berarti engkau tidak me-mandang mata kepadaku!"
Siauw-bin Lo-mo mengenal wanita ini dan tertawa, akan tetapi suara ketawa-nya canggung karena hatinya merasa tidak enak. "Eh.... Sian-toanio (Nyonya Sian), jadi gadis yang ganas dan lihai ini muridmu" Pantas begitu hebat. Aku tidak tahu bahwa dia muridmu, Sian-toanio karena dia pun tidak mengatakan apa--apa kepadaku."
"Sekarang kau tahu Siauw-bin Lo-mo, apakah kau masih akan melanjutkan pertempuran?"
tanya Kam Sian Eng, suaranya kaku.
"Ha-ha-ha, tentu saja aku tidak mau mengganggu keponakan sendiri! Bouw Lek Couwsu akan cukup puas kalau aku membawa nona puteri tukang obat ini. Hayo engkau ikut bersamaku!"
Sambil berkata demikian, tubuh kakek kurus ini melesat ke depan, ke arah Song Goat untuk menyambar tubuh gadis ini yang tentu saja sama sekali bukan lawan Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan kakek itu harus menarik kembali kedua tangannya karena Kwi Lan telah membabat ke arah kedua tangan yang hendak menerkam Song Goat itu.
Kini gadis ini dengan pe-dang di tangan berdiri menghadang di depan Song Goat, sikapnya menantang, matanya mendelik marah.
"Ha-ha-ha-ha, keponakanku yang baik, apakah kau hendak menantang aku" Sian-toanio apakah begini kau mengajar mu-ridmu?"
"Kwi Lan! Mundur kau! Mau apa kau mencampuri urusan orang lain" Sejak kapan kau begini usil dan lancang?" Kam Sian Eng membentak, suaranya dingin seperti suara dari lubang kubur membuat Cap-ji-liong yang terkenal gagah sekalipun menggigil dan merasa seram.
"Bibi, aku tidak suka mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Enci Goat ini dan ayahnya, Song-locianpwe, telah menyelamatkan nyawaku ketika aku menjadi tawanan tua bangka iblis Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 297
ini!" Ia menuding ke arah Siauw-bin Lo-mo. "Ba-gaimana mungkin aku sekarang
membiar-kan iblis tua ini mencelakai Enci Goat?"
Kam Sian Eng adalah seorang yang memiliki watak aneh sekali karena me-mang jiwanya sakit, ingatannya terganggu oleh peristiwa hebat di waktu mudanya. Ia tidak mengenal budi, tidak mengenal apa itu baik atau jahat, namun terhadap diri Kwi Lan ada perasaan kasih sayang di hatinya. Maka melihat sikap dan men-dengar pembelaan Kwi Lan, ia menarik napas panjang dan menoleh kepada Siauw-bin Lo-mo, berkata singkat.
"Lo-mo, pergilah. Tidak ada urusan apa-apa lagi di sini. Setahun kemudian kelak kita bertemu kembali."
Siauw-bin Lo-mo tertawa masam. Ia menjadi serba salah. Ia tidak takut ke-pada Kam Sian Eng, akan tetapi juga tidak menghendaki nama Bu-tek Ngo-sian menjadi pecah hanya karena urusan seorang gadis! Selain itu, juga otaknya yang cerdik bekerja cepat. Kalau terjadi pertempuran karena ia kukuh, pihaknya tentu rugi. Dia sendiri melawan Sian-toanio ini masih merupakan keadaan setengah-setengah, belum tentu siapa yang akan menang atau kalah.
Akan tetapi, dua belas orang Cap-ji-liong itu kalau harus menghadapi kakek tukang obat Song bersama puterinya dan Si Mu-tiara Hitam, agaknya akan terancam bahaya kehancuran. Maka ia lalu tertawa dan agar jangan terlalu kehilangan muka ia berkata.
"Ha-ha-ha-ha! Melihat muka Sian-toanio yang menjadi saudaraku sendiri, tentu saja aku tidak akan meributkan soal seorang gadis! Hanya sayang sekali, saudaraku yang menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, ternyata harus tunduk kepada muridnya. Ha-ha-ha! Hayo, kita pergi!"
Ia berseru kepada Cap-ji-liong yang tanpa banyak cakap tidak berani membantah dan segera mengikuti datuk mereka pergi dari dalam hutan.
Biarpun perangainya aneh dan otaknya tidak waras, namun Kam Sian Eng adalah seorang wanita yang memiliki watak angkuh dan tinggi hati. Oleh karena itu, ejekan yang keluar dari mulut Siauw-bin Lo-mo tadi sedikit banyak telah me-racuni hatinya, membuat keningnya berkerut dan sepasang matanya mengeluar-kan sinar dingin menakutkan. Melihat betapa sepasang mata Sian Eng memandangnya seperti itu, tahulah Kwi Lan bahwa gurunya atau bibinya ini sedang marah sekali. Maka ia menjadi khawatir dan bersikap waspada.
Pada saat itu, nampak bayangan ber-kelebat keluar dari pondok. Ternyata dia adalah Yu Siang Ki yang sudah sembuh, hanya belum pulih tenaganya. Namun karena tadi ia terbangun dari tidurnya dan mendengar suara melengking nyaring, ia segera mengerahkan tenaga,
menyam-bar tongkat dan setelah tubuhnya tidak begitu lemah lagi, kini ia meloncat ke-luar, siap membantu Song Hai dan pu-terinya, terutama sekali Kwi Lan jika ada bahaya
mengancam. Ketika ia meli-hat mereka itu berhadapan dengan se-orang wanita yang memakai kerudung, yang sikapnya aneh, yang matanya me-nyinarkan keseraman yang mengerikan, ia meloncat dan sudah berada di samping Kwi Lan. Gerakannya tidaklah sekuat biasa, namun pemuda ini tidak kehilangan kelincahannya.
"Siapa jembel ini?" Suara Kam Sian Eng dingin sekali, membuat Siang Ki meremang bulu tengkuknya, dan sinar mata yang menyambar ke arah mukanya seperti tangan dingin
menyentuh leher. Ia bergidik.
Song Hai atau Yok-san-jin yang se-menjak tadi memandang kepada Kam Sian Eng dengan penuh rasa kagum dan heran, segera melangkah maju dan men-jura sebagai penghormatan, lalu berkata, "Kouw-nio, orang muda ini bukan lain adalah kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis) dari Khong-sim Kai-pang, pu-tera mendiang Yu Kang Tianglo yang gagah
perkasa." Sian Eng melirik ke arah kakek ber-jenggot itu. Hatinya senang mendengar dirinya disebut kouwnio (nona). Tentu saja kakek itu merasa tepat menyebut nona kepada wanita
berkerudung ini ka-rena ia jauh lebih tua dan memang Sian Eng kelihatan masih muda, baik dipandang pada wajah di balik kerudung itu maupun bentuk tubuh yang langsing pa-dat. Akan tetapi kalau hati Sian Eng merasa senang dengan sebutan kouwnio, ia mengerutkan kening Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 298
mendengar bahwa pemuda ini adalah Ketua Khong-sim Kai-pang, putera Yu Kang Tianglo yang me-rupakan seorang di antara lawan golong-an sesat yang dipimpin Bu-tek Ngo-sian.
Dia tentu saja tidak mau memusuhi orang-orang seperti Suling Emas, akan tetapi ia sama sekali tidak ada hubungan dengan Yu Kang Tianglo ataupun putera-nya. Maka kalau ia hendak mengumpul-kan jasa untuk mengalahkan empat orang yang lain dari Bu-tek Ngo-sian, ia boleh mulai dengan putera Yu Kang Tianglo yang menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang ini.
"Hemm, jembel muda ini Ketua Khong-sim Kai-pang" Begini muda men-jadi pangcu"
Hendak kulihat sampai di mana kemampuannya!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangan kanan Kam Sian Eng bergerak, secepat kilat tangan itu sudah menampar dengan jari tangan terbuka ke arah dada Yu Siang Ki!
"Bibi....!" Kwi Lan menjerit, mengenal pukulan itu yang bukan lain adalah Siang-tok-ciang!
Di tangan gurunya, Siang-tok-ciang ini hebat bukan main karena ketika berlatih, kalau dia dengan pengerahan tenaga seluruhnya hanya mampu memukul pohon menjadi layu daun-daunnya, adalah gurunya ini sekali pukul membuat pohon itu mati seketika karena hangus sebelah dalamnya!
Yu Siang Ki bukanlah seorang muda yang bodoh. Dia cukup waspada dan tahu betapa hebat dan berbahayanya pukulan itu yang meniupkan hawa panas dan bau yang wangi. Cepat ia mengelak dengan jalan melempar tubuhnya ke belakang. Betapa pun cepat gerakannya mengelak ini, namun hawa pukulan dari tangan Kam Sian Eng tetap saja menyerempet pundaknya, membuat tubuh pemuda itu bergulingan akan tetapi ia terbebas dari-pada bahaya maut.
Bibir Kam Sian Eng tersenyum dan makin gelisah hati Kwi Lan. Ia tentu saja mengenal senyum gurunya ini, senyum maut karena senyum ini berarti bahwa gurunya merasa
tersinggung dan marah sekali melihat betapa pukulannya dapat dielakkan. Ia melangkah maju dan kem-bali tangannya bergerak hendak memukul dengan Siang-tok-ciang yang lebih hebat.
"Bibi, jangan....!"
Akan tetapi pukulan sudah dilancarkan dan terpaksa Kwi Lan berkelebat maju sambil mengangkat tangannya menangkis. "Plakk!!" dan tubuh gadis itu bergulingan sampai lima meter jauhnya, di mana ia meloncat bangun, wajahnya agak pucat, akan tetapi tidak terluka.
Sian Eng sejenak berdiri seperti patung meman-dang muridnya, sinar matanya makin dingin, senyumnya melebar.
"Bibi, kau tidak boleh membunuh Yu Siang Ki. Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dibunuh?"
"Dia....apamu?" tanya Sian Eng, sua-ranya penuh kemarahan yang ditahan-tahan.
"Dia sahabat baikku, Bibi. Banyak kualami suka duka, kualami bahaya maut di sampingnya, dia pernah menolongku dan...."
Sejak tadi Sian Eng memang sudah merasa kecewa dan marah kepada Kwi Lan, yaitu ketika ia diejek oleh Siauw-bin Lo-mo bahwa dia tunduk kepada muridnya. Kini kejengkelan hatinya itu makin menjadi-jadi seperti api disiram minyak oleh perbuatan Kwi Lan yang dengan nekat berani menangkis pukulan-nya dan menghalangi dia turun tangan terhadap Yu Siang Ki.
Marah dan kecewa apalagi melihat betapa tukang obat dan gadisnya memandang dengan muka jelas berpihak kepada Kwi Lan. Watak Sian Eng memang aneh dan ganas, makin
ditentang makin ganas dan kini kemarah-an hatinya membuat gilanya kumat dan ia tidak peduli atau tidak ingat lagi bahwa Kwi Lan adalah muridnya, juga keponakannya. Ia kini maju mendekati Kwi Lan dan membentak.
"Setan cilik! Berani kau menentang aku" Dua kali kau menghina Gurumu sendiri, tahukah kau apa hukumannya untuk itu?"
Kwi Lan menjatuhkan dirinya ber-lutut. Ia seorang pemberani, tidak takut mati dan tidak takut melawan siapapun juga. Akan tetapi tak mungkin ia mau melawan gurunya yang mendidiknya sejak ia masih kecil. Ia pun tahu bahwa sekali gurunya marah seperti ini, biarpun ia melawan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 299
juga tidak ada gunanya, lari pun percuma.
"Bibi, kebaikanmu tidak cukup kubalas dengan nyawa. Kalau kau menghendaki, aku bersedia menerima hukuman apapun juga, bahkan kematian tidak akan membikin aku menyesal.
Silakan!" Sian Eng tercengang. Dia berwatak aneh, keras dan ganas. Akan tetapi me-lihat betapa Kwi Lan menantang maut dengan sikap sedingin dan setenang ini, ia terkejut juga, terkejut dan kagum. Akan tetapi hanya untuk sesaat karena kemarahannya kembali memuncak.
"Kau sudah berani menangkis pukulan-ku, nah, kaucobalah tangkis ini!" Tangan kanannya bergerak menyambar ke arah kepala Kwi Lan yang menunduk.
"Wuuuutttt.... prakkkk....!" Hancur luluh tongkat di tangan Yu Siang Ki ketika ia pergunakan untuk menangkis tangan Siang Eng dalam usahanya meno-long Kwi Lan yang terancam
bahaya maut. Ia sendiri terhuyung ke belakang. Akan tetapi pemuda ini sudah melompat maju lagi, membusungkan dada menan-tang kepada Sian Eng.
"Cianpwe, tidak semestinya membunuh Kwi Lan karena dia tidak berdosa. Kalau dia
menolong saya dianggap salah oleh Cianpwe, maka kesalahannya adalah ka-rena saya dan saya bersedia menerima hukumannya, sekali-kali bukan Kwi Lan yang harus menanggung."
Kam Sian Eng tercengang. Sama se-kali tidak pernah disangkanya bahwa pengemis muda ini begini nekat, berani menangkis pukulannya dan melindungi Kwi Lan. Ia makin marah, akan tetapi ke-heranannya melihat pembelaan pemuda itu kepada muridnya, membuat ia ragu-ragu untuk turun tangan dan sebaliknya ia membentak.
"Mengapa kau membela dia" Dia apa-mu?"
Yu Siang Ki tersenyum duka dan menggeleng kepalanya. "Memang bukan apa-apa, Cianpwe.
Akan tetapi saya siap untuk mempertaruhkan nyawa untuknya."
Terdengar isak tertahan yang keluar dari kerongkongan Song Goat. Gadis ini ternyata telah menangis perlahan sambil menutupi mukanya. Ayahnya sudah ber-diri di sampingnya dan merangkul pundak puterinya, wajah kakek ini pun diliputi kedukaan.
"Hemm....! Kau.... kau mencinta Kwi Lan?"
Kwi Lan sendiri memandang dengan mata terbelalak. Semua orang meman-dang kepada
Siang Ki dan keadaan di situ hening oleh ketegangan menanti jawaban Siang Ki yang ditanya secara terus terang oleh wanita berkerudung yang menyeramkan itu.
"Benar! Saya mencinta Kwi Lan dan siap mati untuknya!" jawab Siang Ki kemudian dengan suara tenang. Kembali Song Goat terisak, kini menangis ter-sedu-sedu dan meronta dari rangkulan ayahnya, terus melarikan, diri sambil me-nangis.
"Goat-ji (Anak Goat)....!" Song Hai kakek ahli obat itu lalu lari mengejar puterinya setelah ia memandang ke arah Yu Siang Ki dengan sinar mata mengandung penyesalan.
"Bibi, apakah Bibi masih berkeras hendak membunuh kami" Silakan!" Kwi Lan berkata, nada suaranya marah dan ia menantang dengan nekat sedangkan Yu Siang Ki memandang dengan sikap te-nang.
Kam Sian Eng ragu-ragu, "Hemm, kau mencinta Kwi Lan" Eh, Kwi Lan, apakah kau juga mencinta pemuda jembel ini?" Orang yang dicinta Kam Sian Eng dahulu adalah seorang putera pangeran, maka tentu saja ia memandang rendah kepada Yu Siang Ki yang biarpun tampan namun berpakaian jembel.
"Cinta....?" Kwi Lan menggeleng ke-pala. "Aku tidak tahu...., aku tidak men-cinta siapa-siapa, akan tetapi Siang Ki amat baik kepadaku dan pernah meno-longku. Yang sudah jelas, dia adalah sahabat baikku, Bibi."
Sinar mata kemarahan di balik keru-dung itu berseri sebentar. Di sudut be-naknya, wanita aneh ini tentu saja tidak ingin mendengar Kwi Lan mencinta laki-laki lain karena sudah ia harapkan untuk menjadi isteri puteranya!
"Bagus, biarlah kuampunkan nyawa jembel muda ini. Akan tetapi kau harus segera menyusul Suhengmu."
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 300
Biarpun sejak kecil sering cekcok dengan Suma Kiat putera tunggal guru-nya, akan tetapi karena sejak kecil men-jadi teman bermain, Kwi Lan gembira mendengar ini. "Di mana adanya Suma-suheng?"
"Di kota raja Kerajaan Sung. Kau le-kaslah menyusul ke sana. Awas kalau kau tidak berada di sana dalam waktu dua bulan." Setelah berkata demikian tubuh wanita berkerudung ini berkelebat dan lenyap dari situ.
Kwi Lan dan Siang Kwi saling pan-dang. Baru saja mereka terlepas dari bahaya maut yang sudah mengancam hebat. Siang Ki yang tadinya amat te-gang, kini menarik napas panjang.
"He-bat.... Gurumu hebat.... katanya dan te-rasalah kini oleh pemuda itu betapa tu-buhnya masih amat lemah, biarpun rasa nyeri sudah hilang.
"Ah, ke mana perginya Enci Goat tadi" Siang Ki, kau mengasolah di pon-dok, biar aku mengejar mereka!" Tanpa menanti jawaban Siang Ki, Kwi Lan lalu melompat jauh dan mengerahkan gin-kang dan berlari secepat larinya kijang memasuki hutan di mana tadi ia melihat Song Goat melarikan diri kemudian di-kejar ayahnya.
Jauh di dalam hutan, Kwi Lan men-dapatkan kakek Song itu berdiri seperti arca, mukanya pucat dan diliputi awan kedukaan, bahkan ada bintik-bintik air mata di kedua pipinya!
"Song-lopek! Ada apakah" Mana Enci Goat?"
Kakek itu tidak menjawab, hanya me-nudingkan telunjuk kanannya ke batang pohon di depannya. Kwi Lan memandang dan ternyata di pohon itu terdapat se-helai saputangan sutera putih yang ter-tusuk jarum keempat ujungnya dan sapu-tangan itu ada tulisannya, agaknya ditulis dengan ranting pohon dengan tinta getah pohon.
"Ayah, biarkan anak merantau melupakan duka. Sampai jumpa."
"Eh, apa artinya semua ini, Lopek" Adakah ini saputangan Enci Goat" Tulis-annya?" tanya Kwi Lan yang masih be-lum mengerti.
Song Hai mengangguk dan menarik napas panjang. "Kalau aku mau, tentu saja aku akan dapat mengejarnya sampai tersusul. Akan tetapi apa gunanya" Sejak kecil dia berkeras hati.
Dan dia tulis sampai jumpa, berarti kelak ia akan kembali kepada ayahnya...." Muka yang tua itu kelihatan berduka sekali. "Biarlah aku menunggu..., menunggu dan mengha-rap.... dan berdoa semoga Thian Yang Maha Adil akan memberi jalan kepada Anakku...."
"Akan tetapi.... mengapa Enci Goat melarikan diri" Mengapa kalian berduka?"
Tiba-tiba kakek itu membalikkan tu-buh memandangnya dengan tajam sam-bil bertanya, suaranya tegas, "Nona apa-kah.... maaf, apakah kau mencinta. Yu Siang Ki?"
Kwi Lan melongo dan wajahnya men-jadi merah. Untung ia teringat bahwa kakek ini telah menolong dia dan Siang Ki, kalau tidak, tentu pertanyaan itu akan dianggapnya kurang ajar.
Pendekar Kembar 14 Alap Alap Laut Kidul Seri Ke 3 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Rahasia 180 Patung Mas 7
^