Pencarian

Mutiara Hitam 10

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


"Huah-ha-ha-heh-heh! Orang muda, kautangkas juga!" Terdengar suara ter-kekeh-kekeh dan muncullah seorang kakek bertubuh kecil dari balik sebatang pohon besar yang tiada berdaun lagi. Kakek ini amat kurus dan tua, hanya rangka terbungkus kulit keriput, bajunya tak berlengan, kedua pergelangan lengan-nya terlindung selubung hitam, entah dari bahan apa.
Kuku tangannya panjang-pan-jang seperti kuku setan, melengkung runcing. Kumisnya kecil menjuntai lesu. Kakinya telanjang pula. Pinggangnya memakai sabuk yang ada dompet-dompet-nya kecil berjajar. Punggungnya meng-gendong bambu besar dan bambu kecil, dan sepasang mata orang aneh ini keli-hatan menghitam menakutkan. Mulutnya bergerak-gerak tertawa terpingkal-pingkal dan terbahak-bahak, akan tetapi muka-nya, terutama matanya, sama sekali tidak membayangkan tawa, bahkan amat serius dan sungguh-sungguh.
Kiang Liong bersikap tenang. Ia mak-lum bahwa orang didepannya ini ada-lah seorang berilmu tinggi dan agaknya termasuk golongan hitam. Maka ia men-jura dan bertanya.
"Agaknya saya berhadapan dengan seorang Cian-pwe. Selamanya, belum pernah saya Kiang Liong dan kedua orang adik saya ini bertemu dengan Cian-pwe, mengapakah begitu bertemu Locianpwee lalu menyerang kami dan siapakah julukan Locianpwe?"
"Ha-ha-ha, heh-he-heh! Girang sekali hatiku mendengar orang-orang Beng-kauw terutama sekali si bedebah Liu Mo si mata keranjang yang banyak bininya itu mampus! Ha-ha-ha! Dan untungku ber-temu dengan dua orang cucunya. Heh, orang muda, apakah kau orang
Beng-kauw" Kalau bukan, lekas pergi jangan mencampuri urusan Siauw-bin Lo-mo!
Serahkan dua orang bocah ini kepadaku agar puas hatiku dan lunas perhitunganku dengan Beng-kauw!"
Kiang Liong mengerutkan keningnya dan diam-diam menjadi marah sekali. Kiranya inilah yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian"
"Hemm, Locianpwe yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian" Pantas saja tidak segan bersikap keji, tidak jauh bedanya dengan Bu-tek Siu-lam yang pernah saya jumpai. Saya tidak mempu-nyai kehormatan untuk menjadi anggauta Beng-kauw yang terkenal, akan tetapi para pimpinan Beng-kauw adalah orang--orang tua yang saya hormati, sedangkan yang muda-muda adalah saudara-saudara saya. Locianpwe baru dapat mengganggu kedua orang adik saya ini setelah melalui mayat saya!"
"Ha-ha-ha, heh-heh, orang muda yang bernyali besar! Kau sudah bosan hidup?" Sambil terkekeh-kekeh ketawa mengejek Siauw-bin Lo-mo menerjang maju. Gerak-an Siauw-bin Lo-mo amatlah cepatnya dan senjata-senjatanya hanyalah jari-jari kuku tangannya. Akan tetapi, kuku jari tangan ada sepuluh buah banyaknya dan setiap kuku runcing tajam mengandung racun sehingga sama dengan memegang sepuluh buah senjata yang amat berba-haya!
Tubrukannya liar ganas, gerakannya cepat laksana burung menyambar. Ia menerjang sambil tertawa, mengira bah-wa sekali tubruk ia akan mampu me-robohkan lawannya yang masih muda. Akan tetapi perkiraannya jauh meleset dan ia terheran-heran ketika ternyata menubruk tempat kosong dan pemuda yang tampan dan tenang itu tahu-tahu telah lenyap. Ia hanya mendengar angin berseliwer di samping kanannya, maka cepat Siauw-bin Lo-mo
membalikkan tubuhnya. Benar saja, pemuda itu sudah berdiri di belakangnya dan kini kedua tangan pemuda itu sudah memegang dua buah senjata yang lucu dan aneh. Tangan kanannya memegang sebatang pensil bulu sedangkan tangan kirinya memegang pen-sil kayu!
Sebetulnya kalau menurutkan watak-nya sebagai seorang pendekar yang eng-gan bersikap curang, melihat lawan ber-tangan kosong, Kiang Liong hendak me-layani dengan tangan kosong pula. Akan tetapi, serangan pertama tadi membuat ia terkejut karena kuku-kuku jari Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 226
tangan lawan mengeluarkan sinar hitam dan ia mencium bau amis, maka tahulah ia bahwa lawannya ini seorang tokoh jahat yang mempunyai keahlian tentang racun, maka ia tidak segan-segan lagi untuk mencabut keluar sepasang pensilnya. Juga gerakan kakek ini amat cepat, menanda-kan bahwa lawan ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh tidak di sebe-lah bawah tingkat Bu-tek Siu-lam yang lihai itu!
Di lain pihak, Siauw-bin Lo-mo ketika melihat betapa gerakan pemuda itu se-demikian cepatnya dan kemudian melihat sepasang senjata di tangan Si Pemuda, juga terkejut bukan main. Senjata itu saja sudah merupakan bukti bahwa pe-muda ini benar-benar bukan lawan sem-barangan karena hanya orang yang tinggi tingkat kepandaiannya saja dapat
mem-pergunakan senjata sekecil dan seringan itu. Makin kecil ringan serta lemah sen-jatanya, makin tinggilah kepandaian orang.
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang tokoh yang belum pernah bertemu tan-ding, kecuali ketika ia terpaksa mengakui keunggulan Kauw Bian Cinjin beberapa tahun yang lalu. Karena kekalahannya dari tokoh Beng-kauw inilah maka ia mendendam sakit hati kepada Beng-kauw. Karena merasa dirinya memiliki ke-pandaian tinggi jarang ada tandingnya, maka tentu saja kini ia tidak gentar menghadapi lawan yang masih muda, sungguhpun ia maklum bahwa lawan ini tak boleh dipandang ringan.
"Ho-ho-ha-ha, sayang kalau seorang muda seperti engkau mampus di tangan-ku. Kaulihat kelihaianku! Ha-ha-ha!" Kini ia menerjang maju dengan gerakan ter-atur, tidak asal tubruk lagi seperti tadi. Ternyata ilmu silatnya tangan kosong dahsyat, mengeluarkan angin pukulan yang bersuitan dan gerakan kedua tangannya cepat sekali. Kuku panjang itu terpen-tang dan menyambar-nyambar dari segala jurusan secara tidak terduga-duga. Agak-nya kakek ini sudah tidak sabar lagi untuk cepat-cepat menjatuhkan lawan mudanya, maka ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmunya yang dahsyat dengan keyakinan bahwa seorang muda seperti Kiang Liong tak mungkin dapat mengatasi serangannya ini.
Akan tetapi kenyataannya jauh berbeda dengan keyakinan hatinya. Pemuda itu dengan gerakan sigap dan amat indah dapat mengelak dan menghindarkan diri dari rangsangan serangannya, bahkan balas menyerang karena sepasang pensil itu menyambut serangan-serangannya dengan totokan-totokan pada jalan darah di pergelangan, telapak tangan, dan de-kat siku. Dengan cara ini, dari keadaan terserang Kiang Liong berbalik menye-rang karena sebelum setiap pukulan dan cakaran lawan mendekati tubuhnya, ia telah mendahului dengan totokan yang amat kuat dan tepat sasarannya. Keya-kinan Siauw-bin Lo-mo untuk mendesak pemuda itu menjadi berbalik kenyataan-nya sehingga dia sendiri yang terdesak dan kalau saja ia tidak lihai mainkan gelang baja pelindung pergelangan ta-ngan, tentu ia siang-siang sudah menjadi korban totokan!
"Heh-heh, kau berani mati!" bentak-nya sambil bergelak dan tubuhnya tiba-tiba merobah gerakan. Kini kuku-kukunya yang runcing itu tidak langsung menye-rang tubuh lawan, melainkan berusaha mencengkeram pensil lalu disusul ceng-keraman ke arah lengan atau bagian tubuh terdekat apabila Kiang Liong me-narik senjatanya karena khawatir terkena cengkeraman yang kuat itu. Dengan sia-sat gerakan macam ini, keadaan kembali menjadi terbalik dan kini pemuda itulah yang tampaknya terdesak. Kuku-kuku yang panjang runcing berbisa, ditambah baja pelindung pergelangan tangan kakek itu benar-benar amat menyulitkan sasar-an totokan kedua pensilnya. Kini bahkan kakek itu mulai berloncatan seperti mo-nyet, akan tetapi secara tidak terduga-duga kedua kakinya kadang-kadang mela-kukan tendangan-tendangan berantai, bukan tendangan biasa, melainkan ten-dangan disertai cengkeraman jari kaki yang dapat membentuk cakar garuda!
Lima jari kuku tangan kiri yang run-cing itu mencengkeram dengan gerakan cepat ke arah pansil bulu di tangan kanan Kian Liong. Pemuda ini mengelak-kan pensil bulunya dan cepat menotok dengan pensil kayu di tangan kiri meng-arah ke leher lawan. Akan tetapi terdengar suara keras ketika pensil kayu itu tertangkis oleh pelindung pergelangan kanan kakek itu yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 227
melanjutkan gerak-an tangan kanan dengan cengkeraman ke arah lengan kiri Kiang Liong.
Pemuda ini tidak membiarkan dirinya dicengkeram, cepat ia menggeser kaki ke kanan se-hingga tubuhnya miring dan cengkeraman itu luput. Pada detik itu secara tak ter-sangka-sangka kaki kiri lawannya ber-gerak menendang ke arah perut. Tendangan yang keras dan cepat sekali da-tangnya. Kiang Liong kaget dan mengge-rakkan pensil bulu ke arah kaki itu, menotok ke arah mata kaki, kemudian pensil kayunya secepat kilat menotok ke leher kanan lawan.
"Breettt....! Takkk....!"
Siauw-bin Lo-mo berseru kaget dan terhuyung. Kiang Liong juga berseru kaget dan cepat memutar kedua senjata-nya di depan tubuh untuk membentuk gaya bertahan. Kiranya tadi secara tak terduga-duga, kakek itu hanya mengelak sedikit dan membiarkan pundaknya mewakili leher menerima totokan sambil mengerahkan sin-kang dan tangan kirinya cepat-cepat mencengkeram ke arah ping-gang kanan Kiang Liong. Pemuda ini kaget bukan main, cepat ia mendoyong-kan tubuh ke belakang sehingga otomatis totokannya yang semula ditujukan ke le-her lawan kemudian oleh lawannya sengaja diterima dengan pundak itu tidak menge-nai secara tepat sekali. Namun karena tenaga yang tersalur melalui pensil kayu itu adalah tenaga sin-kang murni dan kuat, maka akibatnya cukup membuat Siauw-bin Lo-mo terhuyung ke belakang dengan muka berubah.
Kiang Liong juga kaget. Tahulah ia bahwa lawannya adalah seorang yang amat lihai, maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu merobah gerakan. Kini ia menerjang maju dan sepasang senjata-nya itu dipegang seperti orang hendak menulis, kemudian mulailah ia mengge-rakkan sepasang pensil seperti menulis huruf-huruf di udara, mencorat-coret ke arah lawan. Gerakannya wajar, seperti hendak menuliskan pensil-pensilnya di atas tubuh lawan.
Akan tetapi akibatnya hebat sekali. Silau rasanya mata Siauw-bin Lo-mo menghadapi coretan-coretan itu karena ia menjadi bingung sekali. Berkali-kali ia menangkis dengan kedua tangannya bahkan berusaha merampas se-pasang pensil yang amat lihai itu, namun sia-sia hasilnya malah hampir saja ia terkena totokan yang sama sekali tak disangkanya. Gerakan mencorat-coret seperti orang menulis itu ternyata meru-pakan serangan-serangan maut dan setiap gerakan mengandung tenaga yang amat kuat. Lebih hebat lagi tenaga yang ke-luar dari gerakan sepasang pensil itu berbeda, bahkan berlawanan sehingga amat membingungkan kakek yang tadinya merasa bahwa di dunia ini jarang ada orang mampu menandinginya. Kini meng-hadapi seorang pemuda saja ia sudah kewalahan, jangankan hendak mengalah-kannya atau mengenal ilmu silatnya yang luar biasa itu.
Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa ilmu silat yang dimainkan Kiang Liong itu adalah ilmu silat simpanan yang diturunkan oleh Suling Emas kepa-danya! Itulah Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang dahulu diciptakan oleh manusia dewa Bu kek Siansu dan kemudian
di-turunkan kepada Suling Emas. Ilmu silat ini adalah gerakan silat tinggi yang di-sesuaikan dengan ilmu kesusastraan. Ha-nya orang yang sudah menguasai sastra secara mendalam, yang dapat menulis huruf-huruf indah dan kuat saja akan mampu menguasai Hong-in Bun-hoat.
Tentu saja ia harus memiliki dasar ilmu silat tinggi yang sudah matang pula. Biarpun Kiang Liong adalah seorang pe-lajar yang pandai ilmu sastra dan juga sudah digembleng ilmu silat tinggi oleh gurunya, namun ia hanya mampu me-nguasai delapan bagian saja dari ilmu yang sakti ini. Untuk dapat menguasai ilmu ini sampai sepuluh bagian atau se-luruhnya membutuhkan pengalaman ber-tahun-tahun seperti Suling Emas. Betapa-pun, yang delapan bagian ini sudah cukup membuat seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo menjadi sibuk dan terdesak hebat.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui menonton pertempuran ini dengan pan-dang mata kagum.
Menyaksikan kehebat-an sepak terjang kakek aneh itu, mereka berdua tahu diri dan tidak berani maju membantu Kiang Liong. Mereka maklum bahwa tingkat kepandaian mereka
ma-sih jauh di bawah tingkat kakek itu, maka jika mereka membantu, hal ini tidak akan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 228
menguntungkan Kiang Liong. Betapa kagum hati mereka melihat Kiang Liong mendesak kakek itu dengan sepa-sang pensilnya.
Siauw-bin Lo-mo masih berusaha mempertahankan diri, namun makin lama ia makin
terkurung dan tak dapat keluar dari lingkaran ujung pensil yang berge-rak-gerak secara aneh itu. Dalam pan-dang matanya, kini ada banyak sekali ujung pensil yang menyerang jalan-jalan darah terpenting di tubuhnya membuat ia sibuk dan akhirnya ia bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri, Siauw-bin Lo-mo tak dapat tertawa lagi dan agaknya baru kali ini selama hidup-nya ia bertanding melawan seorang pemu-da tanpa ketawa mengejek. Rasa penasar-an dan malu membuat ia menjadi marah. Tiba-tiba ia meloncat dari keadaan ber-gulingan itu, tangan kanan kiri sudah merenggut keluar dua buah benda hitam sebesar telur angsa, kemudian ia mem-banting dua "telur" itu ke atas tanah di sebelah depannya.
Terdengar suara mele-dak dua kali dan asap putih tebal me-nyelimuti sekelilingnya.
Kiang Liong terkejut dan dapat men-duga bahwa asap putih tebal bergulung-gulung ini tentu mengandung racun, maka ia cepat mengumpulkan napas dalam dada lalu menahan napas dan menerjang maju dengan totokan-totokan maut dalam bentuk tulisan. Dengan ketabahan luar biasa Kiang Liong menyerbu lawan yang bersembunyi dalam asap putih. Makin lama asap mengepul makin banyak dan tebal sehingga kedua orang itu lenyap ditelan gumpalan-gumpalan asap. Akan tetapi, kakek aneh ini sekarang sudah mengambil bambu kecil yang tadinya ia gendong di punggung dan begitu ia mem-buka sumbat bambu itu dari dalam bam-bu keluar asap hitam yang amat busuk baunya.
Kiang Liong terkejut bukan main. Inilah semacam asap beracun yang luar biasa jahatnya.
Jangankan tercium dan memasuki paru-paru, baru mengenai kulit saja sudah dapat
menimbulkan keracunan hebat. Maka ia cepat menggerakkan lengan-lengan bajunya
dikebutkan dengan pengerahan tenaga sin-kang asap itu buyar tidak jadi menyerangnya.
Keadaan di sekeliling gelap pekat dan ia tahu bahwa dirinya dikurung asap-asap bera-cun.
Kiang Liong cepat mengerahkan gin-kangnya karena pada saat itu ia su-dah tidak dapat melihat lagi ke mana perginya lawan. Ia meloncat cepat keluar dari kurungan asap. Setelah tiba di luar kurungan asap, ia dapat melihat betapa lawannya sudah lenyap dari tempat itu dan ketika ia menengok ke belakang, ternyata dua orang gadis itu pun sudah lenyap tak tampak bayangannya lagi!
"Kui-moi....! Hui-moi....!" Ia memang-gil dengan suara nyaring. Namun tidak ada jawaban sehingga hatinya menjadi khawatir sekali. Mungkinkan Si Kakek sakti itu ketika menghilang di dalam gumpalan asap berkesempatan pula untuk menawan dua orang gadis itu" Ah, tidak mungkin rasanya. Betapa pun lihainya Siauw-bin Lo-mo, tidak mungkin dapat melarikan diri sambil menculik dua orang gadis itu sedemikian cepat dan di luar tahunya. Apalagi kalau diingat bahwa dua orang kakak beradik itu bukanlah gadis-gadis lemah dan tentu akan melawan kalau akan diculik sehingga tidak mudah tertawan. Kiang Liong menyelidiki ke-adaan sekeliling tempat itu, bahkan memeriksa tanah dan rumput di mana Siang Kui dan Siang Hui tadi berdiri. Namun tidak terdapat tanda-tanda atau jejak-jejak yang mencurigakan.
Ia mendongkol sekali, merasa ditipu dan dipermainkan lawan.
"Siauw-bin Lo-mo kakek iblis!" teriak-nya marah. "Kalau engkau memang laki--laki, hayo maju dan lanjutkan pertan-dingan. Tak ada, gunanya bersikap penge-cut dan melarikan gadis-gadis itu!"
Betapapun kerasnya ia berteriak, tia-da jawaban kecuali tiupan angin yang membawa hawa panas terik matahari.
Dengan pandang mata seperti harimau marah, Kiang Liong lalu meloncat dan berlari-lari cepat. Tujuannya sudah tetap. Pergi ke Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang. Kalau tidak salah dugaannya, tentu kakek iblis tadi merupakan sekutu para pendeta Tibet yang memimpin pa-sukan Hsi-hsia menyerbu Nan-cao. Tentu ada permusuhan di antara Beng-kauw. Kalau ia harus pergi dulu mencari Kauw Bian Cinjin seperti yang direncanakan Siang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 229
Kui dan Siang Hui, ia khawatir kalau-kalau akan terlambat. Ia harus pergi menolong dua orang gadis itu dan adiknya.
Wajah yang tampan itu menjadi mu-ram. Ia berduka kalau teringat akan nasib malang yang menimpa keluarga Kam Bu Sin, adik gurunya dan nasib para pimpin-an Beng-kauw. Mereka tewas dan setelah pimpinan Beng-kauw terbasmi, siapa lagi yang dapat menggantikan mereka" Hanya tinggal Kauw Bian Cinjin seorang diri! Ah, betapa akan marah dan berduka hati gurunya kalau mendengar berita tentang malapetaka ini. Gurunya mempunyai hubungan yang amat erat dengan Beng-kauw. Di samping semua itu, kekuatan Nan-cao terletak kepada Beng-kauw. Kalau Beng-kauw runtuh, apa jadinya Kerajaan Nan-cao kelak"
Teringat akan ini, Kiang Liong mem-percepat larinya. Ia maklum bahwa tu-gasnya menolong Siang Kui, Siang Hui dan Han Ki, adik kedua orang gadis itu, bukanlah tugas ringan, bahkan merupakan tugas berbahaya sekali. Yang akan ia hadapi bukanlah lawan-lawan biasa, me-lainkan kekuatan yang amat besar, ke-kuatan yang telah membasmi Beng-kauw. Kalau tokoh-tokoh besar, terutama sekali Ketua Beng-kauw yang amat sakti, sam-pai tewas menghadapi kekuatan ini, te-rang bahwa dia seorang diri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Akan teta-pi, betapapun juga Kiang Liong tidak menjadi gentar. Ia harus cepat-cepat mengejar dan berusaha menolong anak-anak pamannya, Kam Bu Sin, kalau perlu dengan taruhan nyawa!
Girang dan juga bingung Kiang Liong ketika akhirnya ia dapat mengikuti jejak Siauw-bin Lo-mo. Dari para penduduk pegunungan ia mendengar bahwa kakek kurus kecil yang selalu tertawa itu me-lakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Kao-likung-san! Tepat seperti yang di-duganya. Akan tetapi ia merasa bingung mendengar bahwa kakek itu melakukan perjalanan seorang diri saja. Kalau begi-tu, ke manakah perginya Siang Kui dan Siang Hui" Siapakah yang menculik me-reka" Kalau yang menculik itu teman-teman Siauw-bin Lo-mo, kenapa kakek ini melakukan perjalanan seorang diri saja" Karena penasaran ia mengejar te-rus sampai ke kaki Pegunungan Kao-li-kung-san.
Sampai di kaki gunung ini ia menjadi bingung karena kehilangan jejak kakek yang
dikejarnya. Daerah itu amat sunyi tidak ada penduduk dan ia tidak dapat menduga ke arah mana kakek itu pergi, juga tidak tahu di mana adanya markas para pendeta Tibet yang telah membasmi Beng-kauw. Menurut penuturan kedua orang gadis itu, katanya para pendeta Tibet bermarkas di Pegunungan Kao-li-kung-san di lembah Sungai Nu-kiang.
Mulailah ia pergi mencari sungai yang dimaksudkan. Dua hari lamanya ia berpu-taran akhirnya ia dapat melihat sungai itu. Dari sebuah lereng yang tinggi dan terjal, ia melihat sungai itu jauh di ba-wah, tampak kecil berliku-liku dan airnya berwarna biru dengan buih putih mena-brak batu-batu.
Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan Kiang Liong cepat melempar diri ke bawah. Beberapa batang anak panah me-nyambar dan lewat di atas tubuhnya. Ketika ia meloncat bangun, tempat itu sudah terkepung oleh tujuh orang laki-laki tinggi besar, dipimpin oleh seorang hwesio berkepala gundul dan berjubah merah. Keadaan tujuh orang laki-laki itu sama dengan dua puluh orang yang me-ngeroyok Siang Kui dan Siang Hui, ma-ka Kiang Liong cepat menduga bahwa mereka ini tentulah orang-orang Hsi-hsia dan hwesio itu tentulah seorang di antara pendeta Tibet yang memimpin barisan itu. Maka ia bersikap waspada dan juga girang karena tanpa disangka-sangka ia mendapatkan jejak markas yang dicarinya. Dengan sikap tenang ia menghadapi hwesio itu dan berkata.
"Bukankah kalian ini orang-orang Hsi-hsia dan Lo-suhu ini seorang pendeta Tibet?"
Pertanyaan Kiang Liong menimbulkan kekagetan kepada mereka. Hwesio itu pun
membelalakkan matanya yang bundar dan memandang penuh selidik, kemudian terdengar suaranya yang nyaring dengan logat kaku.
"Orang muda, engkau siapakah dan bagaimana engkau dapat mengenal kami" Apakah engkau ada keperluan menghadap pimpinan kami?"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 230
"Aku she Kiang bernama Liong dan aku dapat mengenal Lo-suhu sekalian karena sudah banyak aku mendengar tentang pasukan Hsi-hsia. Memang aku ingin bertemu dengan
pimpinan kalian, terutama sekali untuk minta kembali seorang anak kecil bernama Kam Han Ki dan dua orang nona yang beberapa hari yang lalu kalian culik."
"Keparat! Orang Beng-kauw mencari mampus. Serbu!" teriak pendeta itu yang mendadak berubah sikapnya menjadi ga-lak sekali. Tujuh orang laki-laki tinggi besar itu serentak mentaati komando ini dan bagaikan harimau-harimau kelaparan mereka menubruk Kiang Liong dengan serangan-serangan ganas.
Kini mengertilah Kiang Liong menga-pa Siang Kui dan Siang Hui mengamuk dan
membunuhi semua orang Hsi-hsia yang mengeroyok mereka. Kiranya selain dua orang gadis itu mendendam karena kematian keluarga mereka dan terculik-nya adik mereka, juga orang-orang Hsi--hsia ini amat kejam dan ganas, seperti iblis-iblis yang haus darah. Bahkan ge-rakan tujuh orang ini berbeda dengan para pengeroyok Siang Kui dan Siang Hui. Gerakan tujuh orang Hsi-hsia ini biarpun sama ganas dan kasar, namun lebih dahsyat dan jelas bahwa mereka ini memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan dan keberanian yang nekat.
Kiang Liong tidak menyia-nyiakan waktu. Tubuhnya bergerak ke kiri dan begitu kaki tangannya menyambar, empat orang pengeroyok sudah roboh, tak mam-pu bangkit kembali!
Tiga orang Hsi-hsia yang lain kaget setengah mati, mata mereka sampai terbelalak kaget, akan tetapi hal ini sama sekali tidak disusul oleh rasa takut karena buktinya mereka berteriak parau dan menyerbu makin dahsyat lagi dengan golok mereka. Pen-deta berkepala gundul itu juga terkejut dan kini menghunus pedangnya lalu ikut menyerbu, gerakannya amat kuat dan pedangnya mendatangkan angin.
Kiang Liong kembali meloncat ke kanan, sengaja agak jauh untuk meman-cing para
pengeroyoknya. Tiga orang Hsi--hsia menyerbu, tidak peduli akan sesuatu agaknya dan mereka ini benar-benar merupakan perajurit-perajurit yang tak kenal takut sehingga orang-orang seperti ini kalau dipakai berperang tentu amat kuat. Kiang Liong sudah siap, begitu tiga orang ini maju diikuti oleh hwesio jubah merah yang lebih berhati-hati sikapnya, ia menerjang maju, jari tangannya me-nyambar dan hampir berbareng tiga orang Hsi-hsia ini pun roboh!
Hwesio itu cepat memutar pedang ketika melihat kaki Kiang Liong menyambar ke arahnya.
Akan tetapi ternyata pemuda lihai ini hanya menggertak dengan tendangannya. Begitu pedang membabat ke arah kaki-nya, ia menahan kaki itu dan tangan kirinya menotok ke arah pundak dengan totokan maut.
Hwesio itu terkejut, berseru keras dan berusaha menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke kanan, begitu keras gerakannya sehingga ia tidak melihat bahwa di sebelah kanannya adalah tebing yang curam. Tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke bawah. Hwesio itu mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali dan diam-diam Kiang Liong men-jadi kagum.
Sudah jelas bahwa nyawa hwesio itu berada dalam cengkeraman maut, akan tetapi hwesio dalam usaha terakhir, bukan berteriak minta tolong melainkan mengeluarkan suara suitan nyaring memberi peringatan teman-te-mannya! Sampai dekat ajal pun hwesio ini masih melakukan tugasnya!
Benar saja dugaannya, karena dari atas lereng kini muncul puluhan orang yang berlari-lari ke bawah dipimpin oleh beberapa orang hwesio berjubah merah. Dari jauh mereka itu sudah menghujan-kan anak panah sehingga terpaksa ia mencabut pensil dan memukul setiap anak panah yang mengancam dirinya. Ia sudah bersiap untuk melayani mereka semua, sungguhpun ia merasa sangsi apakah ia akan sanggup menghadapi pe-ngeroyokan demikian banyak orang sen-dirian saja. Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar sinar merah. Kiang Liong kaget, tak menyangka bahwa dari tempat dekat ada orang membokongnya. Untuk membikin gentar hati lawan, Kiang Liong mengeluarkan kepandaiannya. Tangan kirinya berputar dan dengan dua buah jari tangannya, ia menjepit senjata rahasia itu yang ternyata adalah sebatang piauw beronce merah dan ketika ia memandang terdapat sepotong kertas dibelitkan pada piauw ini!
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 231
Ia makin he-ran, cepat ia membuka kertas itu dan membaca tulisan tangan halus indah.
"Lekas mundur, dari bawah pohon Siong turun ke bawah sampai di sungai. Cepat sebelum terlambat!"
Kiang Liong merasa heran, akan te-tapi sebagai seorang cerdik ia tidak ragu-ragu lagi. Siapa pun orang yang mengirim surat secara aneh ini, belum tentu mempunyai niat buruk. Adapun puluhan orang yang berlari-lari turun dari atas itu, sudah jelas berniat mengeroyok dan membunuhnya. Maka ia pun cepat membalikkan tubuhnya dan mundur sampai ke pohon
siong yang dimaksudkan dalam surat. Ketika ia menjenguk ke bawah, ternyata bagian ini berbatu-batu sehingga memungkinkan dia untuk merayap turun. Ia menahan napas
mengumpulkan se-mangat, lalu turun melalui cabang-cabang pohon itu ke bawah, dari cabang yang melengkung ke bawah itu ia merayap terus berpegangan dan berpijak pada batu-batu gunung dan akar-akaran, terus merayap ke bawah dengan cepatnya. Sebelum ia mencapai dasar jurang yang amat curam dan seolah-olah tiada batas-nya ini, ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah atas kepalanya. Agaknya pu-luhan orang yang mengejar dari atas tadi sudah lewat di dekat pohon dan karena tidak melihatnya maka terus berlari me-lewati pohon.
Akan tetapi Kiang Liong masih tetap hati-hati dan ia terus merayap turun se-cepatnya. Ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya sebelum ia sampai di dasar jurang.
Kekhawatirannya ternyata terbukti ketika tiba-tiba terdengar sambaran angin dari atas. Ia cepat bergan-tung kepada sebatang akar dan mengayun tubuhnya mengelak. Sebuah panah tangan yang hitam meluncur dekat pundaknya. Ketika ia berdongak, ia melihat lima orang hwesio berjubah merah sudah me-rayap turun, pula mengejarnya. Kemudian hwesio-hwesio itu mengayun tangan dan kini belasan batang senjata rahasia me-nyambar ke bawah. Suara senjata-senjata itu bercuitan mengerikan dan sambaran-nya amat cepat. Terpaksa Kiang Liong menggunakan kekuatan kakinya untuk berdiri di atas akar melintang dan ia menggunakan ujung lengan bajunya yang digerakkan kuat-kuat untuk memukul runtuh semua senjata rahasia. Namun alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa senjata-senjata rahasia ini mengan-dung tenaga yang jauh lebih kuat dari para pengeroyok yang telah ia robohkan tadi.
Jelas bahwa tingkat kepandaian lima orang hwesio berjubah merah yang mengejarnya ini cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Apalagi ketika ia melihat betapa kini banyak sekali orang Hsi-hsia mulai pula menuruni tebing itu sambil berteriak-teriak. Dengan penge-rahan ilmu meringankan tubuhnya, Kiang Liong mempercepat gerakannya merayap turun dan akhirnya dengan hati lega ia sampai juga di atas tanah. Sungai Nu-kiang kini berada tak jauh di depan dan ia lalu lari ke tepi sungai. Akan tetapi ia tidak melihat tempat sembunyi yang baik.
Tiba-tiba ia mendengar suara halus memanggilnya dari sebelah kiri. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang wanita can-tik melambaikan tangannya, dan wanita itu berdiri di balik sebuah batu besar.
Memang banyak terdapat batu-batu besar sepanjang sungai sebelah kiri, agaknya batu-batu besar ini adalah batu-batu yang gugur dan longsor dari lereng gu-nung. Ia tidak tahu siapa wanita itu, akan tetapi mengingat akan tulisan surat yang ia terima di atas tadi, sangat boleh jadi wanita inilah yang memberi petun-juk kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu lari ke sebelah kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandang mata para pengejarnya yang masih merayap turun hati-hati dari atas tebing, karena ia terlindung dan tertutup oleh batu-batu besar. Wanita itu sudah lenyap dan ketika Kiang Liong mencari--cari dengan pandang matanya, terdengar suara halus.
"Ke sini.... masuk ke guha ini....!"
Suara itu datang dari sebuah guha yang terbentuk oleh tumpukan ba-tu-batu besar. Sebetulnya bukan guha melainkan batu-batu besar yang bertum-puk-tumpuk dan di antara batu-batu besar itu terdapat celah-celah yang sebesar tu-buh manusia. Kiang Liong berlari dan memasuki celah-celah itu. Ternyata agak dalam juga celah-celah itu dan di sebe-lah dalam makin lebar, Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 232
ada semeter lebarnya. Tempat ini remang-remang dan tampaklah sesosok bayangan wanita yang bertubuh ramping, memberi isyarat de-ngan tangan agar ia masuk terus. Dalam keadaan remang-remang mereka berha-dapan dan wajah wanita itu cantik ma-nis. Kiang Liong merasa pernah melihat wajah ini, akan tetapi ia lupa lagi di mana dan kapan.
"Nona siapakah dan mengapa...."
"Ssstt.... belum waktunya bicara." wanita itu berbisik, suaranya halus dan lirih, kemudian untuk dapat diterima oleh pendengarannya, ia mendekatkan mulut-nya di telinga Kiang Liong.
"Kongcu, kau sembunyilah di sini. Musuh terlalu ba-nyak dan lihai...."
Berdebar jantung pemuda itu. Sejak memasuki tempat yang sempit itu tadi bau yang amat harum telah menyengat hidungnya dan kini setelah nona itu ber-diri begitu dekat, bau harum semerbak itu lebih nyata lagi keluar dari rambut yang terurai panjang. Rambut panjang! Kini teringatlah ia! Nona ini adalah gadis cantik yang pernah diganggu Bu-tek Siu-lam, yang kemudian ditolong oleh Mutia-ra Hitam dan Si Berandal atau Tang Hauw Lam! Ketika hal itu terjadi, ia bersembunyi maka ia mengenal siapa gadis ini. Namanya Po Leng In wanita berpakaian merah yang berambut panjang dari Siang-mou Sin-ni!
"Kau.... kau.... murid Siang-mou Sin--ni...."
"Sstt, mereka tentu sudah dekat....!" Wanita itu berbisik lagi dan kini hawa yang hangat dari mulut wanita itu me-nyentuh pipinya. Agaknya saking tegang wanita itu mendekatkan mulutnya.
Kiang Liong teringat lagi akan ke-adaannya yang terancam pengeroyokan puluhan orang.
"Bersembunyi pun per-cuma, tentu mereka akan dapat mene-mukan kita." ia pun berbisik dan siap untuk menerjang keluar.
Dua buah tangan yang kecil dan ber-kulit halus menahan dadanya. "Jangan bergerak, Kongcu.
Kau di sinilah aku yang akan menahan mereka. Kaulihat saja, jangan khawatir!" Setelah berkata demikian, wanita itu melangkah keluar dan karena tadinya ia berada di sebelah dalam untuk keluar ia harus melewati Kiang Liong. Tempat itu sempit, jadi tentu saja tubuh mereka saling merapat. Merasa betapa tubuh padat penuh tonjolan yang halus dan keras mepet di tubuh-nya, Kiang Liong terpaksa memejamkan mata! Untung hanya sebentar saja godaan hebat ini dan kini Po Leng In sudah menyelinap keluar. Karena betapapun juga ia belum mengenal betul wanita itu dan belum tahu akan wataknya, apalagi kalau diingat bahwa wanita itu murid iblis betina Siang-mou Sin-ni, maka dengan hati-hati Kiang Liong lalu ber-gerak mendekati mulut celah-celah batu untuk mengintai keluar.
Ia melihat Po Leng In bersembunyi dibalik batu besar dan ia melihat pula lima orang pendeta berjubah merah memimpin hampir lima puluh orang Hsi-hsia berdiri mendekati tempat itu.
Jan-tung Kiang Liong berdebar dan kedua tangannya sudah siap meraba sepasang senjatanya, matanya tajam memandang ke depan. Tiba-tiba ia melihat Po Leng In menggerakkan tubuh dan bagaikan seekor burung berbulu merah, gadis can-tik manis itu melayang naik ke atas batu besar, bertolak pinggang dan dengan suara nyaring menegur ke bawah,
"Ngo-wi Suhu (Pendeta Berlima) membawa pasukan ke sini ada kepenting-an apakah?"
Aneh sekali lima orang pendeta yang usianya sudah setengah abad kurang lebih dan yang bersikap garang jelas memperli-hatkan tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, tiba-tiba bersikap hormat ketika melihat bahwa yang menegur mereka adalah nona baju merah itu. Mereka mengangkat kedua tangan depan dada sebagai tanda meng-hormat,
kemudian seorang di antara me-reka menjawab.
"Kiranya Kouwnio (Nona) yang ber-ada di sini. Pinceng berlima dan pasukan sedang mengejar seorang pemuda berpa-kaian putih. Dia telah membunuh seorang saudara kami dan sudah membunuh bebe-rapa orang anggauta pasukan. Kami me-lihat dia tadi lari turun ke bawah dan agaknya lewat di sini...." Pendeta itu agak sangsi lalu memandang kepada nona baju merah itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.
"Tidak ada orang lewat di sini, Twa-suhu." kata Po Leng In, suaranya ber-sungguh-sungguh Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 233
dan kini ia sudah me-layang turun di depan lima orang hwesio itu, menghadang jalan masuk melalui dua bongkah batu besar.
Lima orang itu saling pandang, ke-mudian yang tertua bicara lagi.
"Akan tetapi, Kouwnio. Ada di an-tara kami yang tadi melihat bayangan putih berlari menuju ke jurusan ini...."
"Twa-suhu! Hanya karena memandang muka ketua kalian maka aku masih ber-sikap sabar.
Hemmm! Guruku dan kepala kalian bersahabat dan sederajat. Aku sebagai murid kepala dari Guruku berarti mempunyai derajat lebih tinggi daripada kalian yang hanya menjadi anak buah Bouw Lek Couwsu! Apakah kalian berani mengatakan bahwa aku bersekongkol dengan
musuh" Apakah kalian tidak per-caya kepadaku" Beranikah kalian meng-hina murid
Guruku?" Ucapan itu ketus dan keras, penuh wibawa dan pengaruh-nya benar-benar hebat.
Lima orang hwe-sio itu menjadi pucat wajahnya dan me-reka menundukkan muka.
Akan tetapi pasukan yang terdiri dari orang Hsi-hsia yang kasar itu agaknya merasa penasaran. Mereka menganggap wanita muda ini sebagai tamu, sungguhpun para pimpinan, yaitu para pendeta Tibet berjubah merah amat menghormatinya, namun belum pernah mereka menyaksikan kelihaian wanita muda yang cantik ini. Bahkan diam-diam seringkali mereka membicarakan wanita ini dalam sendau- gurau yang kotor. Kini melihat betapa gadis ini berani menghadang, padahal mereka percaya bahwa musuh yang di-kejar lari ke jurusan ini, beberapa orang di antara mereka mulai bersungut-sungut
"Musuh tadi lari ke sini!"
"Masa harus membiarkan dia lari?"
"Dia sudah membunuh banyak teman kita!"
Melihat betapa anak buah pasukan itu mulai ribut-ribut, diam-diam Po Leng In mendongkol dan juga, khawatir sekali. Kalau mereka nekat dan kemudian dapat menemukan pemuda baju putih itu, selain ia mendapat malu, juga tentu akan mendapat teguran, mungkin hukuman keras dari gurunya. Akan tetapi, apa pun yanp terjadi, tak mungkin ia dapat membiarkan pemuda itu terancam bahaya maut.
"Berhenti!" Bentaknya ketika melihat pasukan itu bergerak maju. "Tidak per-caya kepadaku berarti menghina Guruku! Siapa menghina Guruku berarti akan mampus di tanganku! Lihat, siapa yang kepalanya lebih keras daripada batu ini?"
Setelah berkata demikian, Po Leng In menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang dan halus serta berbau harum itu menyambar ke depan, tampak sinar hitam dan terdengar suara meledak kecil seperti pecut. Ujung rambut meng-hantam batu dengan lecutan keras dan.... pinggir batu yang dihantam rambut ini pecah dan remuk berhamburan seakan--akan dipukul dengan senjata tajam!
Orang-orang Hsi-hsia itu boleh jadi merupakan orang-orang yang ganas dalam perang serta kuat, namun selama hidup mereka baru kali ini menyaksikan betapa rambut, apalagi rambut wanita yang halus lemas dan harum dapat menghan-curkan batu! Mereka menjadi takjub me-mandang dengan mata terbelalak, bahkan ada yang mengeluarkan lidah.
Lima orang pendeta itu bukan orang--orang biasa. Andaikata mereka tidak merasa segan terhadap tamu yang dihor-mati kepala mereka dan andaikata Po Leng In seorang lawan, mereka pasti akan melawannya dan tidak menjadi gen-tar. Karena tidak ingin timbul keributan di antara mereka, maka pendeta-pendeta itu lalu menjura.
"Maaf, Kouwnio. Bukan sekali-sekali kami tidak percaya, hanya kami mohon petunjuk. Ke mana gerangan larinya buronan kami tadi?"
"Entahlah. Kalian cari ke tempat lain. Kalau di sini terang tidak ada karena sejak tadi aku pun berada di sini dan kalau ia lewat di sini, apa kalian kira aku akan membiarkannya lewat begitu saja" Huh!"
"Sekali lagi maaf, Kouwnio." kata pendeta itu yang segera memberi koman-do kepada pasukannya. "Hayo kita cari ke jurusan lain. Tak mungkin ia akan dapat menghilang begitu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 234
saja!" Setelah lima orang pendeta itu ber-sama pasukannya beramai-ramai pergi mencari ke jurusan lain, barulah Po Leng In berani memasuki guha kecil itu. Ia tersenyum kecil ketika melihat Kiang Liong berdiri. dengan sikap tegang. "Ter-paksa untuk sementara waktu engkau bersembunyi dulu di sini, Kongcu. Biarlah aku menjaga di luar guha ini dan kita dapat bercakap-cakap tanpa khawatir didengar atau diintai orang." Sambil ter-senyum manis ia keluar lagi, lalu duduk di luar celah batu. Dari tempat itu ia dapat melihat ke sekelillng sehingga ia akan dapat melihat lebih dulu kalau ada orang datang. "Duduklah Kongcu dan mari kita bercakap-cakap.?"
Sambil menarik napas panjang Kiang Liong duduk di mulut guha, agak ke dalam. Dari tempat ia duduk itu ia dapat melihat wajah Po Leng In yang cantik manis, wajah yang ditimpa cahaya matahari, dan bentuk tubuh yang mem-bayang di dalam pakaian merah yang tipis.
"Nona, mengapa engkau menolongku" Bukankah engkau murid Siang-mou Sin-ni dan kalau tidak keliru dugaanku men-dengar percakapan tadi, agaknya gurumu Siang-mo Sin-ni yang membantu Bouw Lek Couwsu, kepala para pendeta Tibet berjubah merah. Bukankah Gurumu dan Bouw Lek Couwsu itu yang telah mem-basmi tokoh-tokoh Beng-kauw?"
Po Leng In mengangguk dan sepasang mata yang tajam itu menatap wajah Kiang Liong.
"Benar dugaanmu, Kongcu.
"Dan tahukah engkau siapa aku?"
Po Leng In menggeleng kepala. "Aku tidak tahu engkau siapa, Kongcu. Hanya aku tahu engkau bukan orang-orang Beng-kauw. Ilmu silatmu sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa engkau anak murid Beng-kauw. Yang aku tahu hanya bahwa engkau seorang pria yang gagah perkasa dan terutama sekali bah-wa.... bahwa, engkau telah menyelamatkan nyawaku dengan sambitan kerikil dari tangan Bu-tek Siu-lam."
Kiang Liong berpikir sejenak, kemu-dian berkata. "Nona, tentang perbuatanku mencegah Bu-tek Siu-lam membunuhmu adalah kewajiban setiap orang, tak perlu kau berterima kasih.
Sebaliknya, kau berusaha menolongku dari pengeroyokan para pendeta Tibet dan anak buahnya.
Sungguhpun aku merasa bersyukur dan berterima kasih kepadamu, namun hal itu sebetulnya tidak begitu perlu kaulakukan karena aku tidak takut menghadapi mereka."
"Aku tahu akan kelihaianmu, Kongcu. Akan tetapi.... tanpa petunjukku bagai-mana mungkin kau akan dapat pergi me-masuki markas para pendeta Tibet dan menolong tiga orang cucu Ketua Beng-kauw itu?"
Kiang Liong terkejut dan juga girang sekali sehingga tanpa ia sadari lagi ta-ngannya bergerak memegang tangan gadis itu yang berkulit halus dan hangat.
"Bagaimana kau bisa tahu" Betulkah kau mau menolongku?"
Po Leng In tersenyum dan ketika ia memandang ke arah tangan Kiang Liong yang memegang tangannya, kedua pipinya merah dan matanya bersinar-sinar, wa-jahnya berseri dan jari-jari tangannya bergerak balas menggenggam tangan pemuda itu. Ketika jari-jari tangan gadis itu memijit-mijit dan menggetar, barulah Kiang Liong sadar dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya, bibirnya ter-senyum, Kiang Liong adalah seorang pe-muda tampan putera pangeran pula. Di kota raja namanya sudah amat terkenal, bukan hanya terkenal karena keampuhan-nya dan kegagahannya, juga terkenal sebagai pemuda yang tak pernah menolak perhatian wanita-wanita cantik! Dia bu-kan seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita, apalagi menggunakan kepandaian dan ketampanan memaksa wanita, sama sekali ia tidak pernah me-lakukan hal buruk ini. Akan tetapi, ia seorang yang mempunyai watak amat romantis dan karena ini agaknya maka setiap kali ada wanita cantik tergila-gila kepadanya dan memperlihatkan tan-da-tanda mencinta, ia akan menerima dengan kedua lengan terbuka.
Dan amat banyaklah wanita cantik tergila-gila ke-padanya sehingga ia amat terkenal di kota raja. Bahkan kenalan-kenalan ke-luarga orang tuanya, mereka yang mem-punyai isteri-isteri Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 235
cantik amat berhati-hati dan tidak memberi kesempatan ke-pada isteri-isteri mereka untuk bertemu dengan pemuda ganteng ini!
"Aku tahu, Kongcu karena selama ini aku mengikutimu. Apa kaukira aku dapat melupakan engkau begitu saja setelah kau menyelamatkan nyawaku" Aku tahu tentang cucu laki-laki Ketua Beng-kauw yang tertawan, juga tentang dua orang gadis yang terculik ketika kau bertanding melawan Siauw-bin Lo-mo. Tanpa ban-tuanku, jangan harap kau akan dapat menolong mereka, karena selain amat sukar untuk menyelundup ke dalam mar-kas, juga Bouw Lek Couwsu dan para pembantunya amat kuat, belum lagi di-ingat bahwa Guruku juga berada di sana! Nah, apakah kau sekarang tidak perlu dengan bantuanku?" Sepasang mata yang bening dan genit itu memandang penuh arti, bibir yang merah itu tersenyum menantang.
"Ah, sungguh kau baik sekali, Nona. Tentu saja aku membutuhkan bantuanmu! Kalau aku berhasil menolong mereka, budimu amat besar dan aku Kiang Liong takkan melupakan budi pertolonganmu itu!"
"Betulkah itu, Kongcu" Sampai berapa besarnya kau akan ingat budiku" Ah, Kongcu, aku murid Siang-mou Sin-ni, ingat" Apakah kau betul telah percaya kepadaku dan tidak khawatir kalau aku menipu dan menjebakmu?"
"Aku memang merasa heran sekali mengapa engkau melakukan semua ini untukku" Tak
mungkin kalau hanya untuk membalas budi saja. Aku sudah cukup banyak mendengar tentang Siang-mou Sin-ni, dan biarpun baru sekarang aku berjumpa denganmu, namun sebagai murid Siang-mou Sin-ni, janggallah kalau kau begitu ingat budi, bahkan akan membelakangi Gurumu sendiri demi untuk membantuku. Nona, katakanlah terus terang, apa yang
kaukehendaki dan mengapa kau membantuku?" Sekarang Kiang Liong memandang tajam
penuh selidik. Po Leng In tertawa manis, giginya yang putih berkilauan dan berderet rapi tampak menarik sekali. Tanpa ragu-ragu Po Leng In menaruh tangannya di pundak pemuda itu dan sekali menggerakkan kepala, rambutnya yang panjang hitam dan harum itu berpindah ke depan dada. Bau harum menyambar ke hidung Kiang Liong yang tidak dapat menahan diri lagi, tangannya memegang dan membelai rambut yang panjang halus dan harum itu.
"Kata-katamu betul, Kongcu. Memang orang-orang seperti Guruku dan aku, kami sama sekali tidak peduli tentang budi. Andaikata yang menolongku tempo hari bukan kau, aku pun tidak akan peduli lagi. Akan tetapi, engkau lain lagi. Begi-tu bertemu, aku tahu bahwa engkau se-orang pemuda yang selain ganteng, juga gagah perkasa dan kuat lahir batin. Eng-kau tenang, tidak ceroboh, berpengalam-an dan berhati teguh seperti gunung. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepada-mu" Koko (Kanda), aku cinta kepadamu, bersikaplah manis kepadaku dan aku akan menyerah kepadamu, akan membantumu dan kalau perlu bertaruh nyawa
untuk-mu!" Dengan sikap manja dan memikat, tangan kecil halus yang tadinya berada di pundak itu kini bergerak merayap, lengan itu merangkul leher Kiang Liong. Biarpun muka mereka sudah saling ber-dekatan sehingga napas wanita itu sudah menyentuh hidung dan mulutnya, namun Kiang Liong masih tenang dan tersenyum sambil menatap tajam.
Tangannya yang tadi membelai kini menjambak rambut, menarik sedikit sehingga muka yang tadi berkulit halus kemerahan, mata yang merayu-rayu, bibir yang menggetar itu agak tertarik menjauh.
Keteguhan hati Kiang Liong inilah yang membuat banyak wanita tergila-gila kepadanya.
Menghadapi wajah cantik jelita dan cumbu rayu yang akan men-cairkan hati seorang pendeta, ia tetap teguh dan tenang, tak pernah ia diroboh-kan oleh keteguhan hatinya sehingga selalu si wanita yang terpikat. Biarpun Kiang Liong seorang pria yang romantis dan tidak menolak cinta kasih wanita cantik, namun ia bukan seorang lemah.
"Betulkah semua kata-katamu ini" Leng In, betulkah kau akan membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki dari tangan mereka setelah aku me-layani cinta kasihmu?"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 236
"Betul...., betul...., aku bersumpah...." Po Leng, In terengah-engah, napasnya diburu nafsu sendiri.
"Dan kau benar-benar menghendaki aku....?"
Po Leng In mengangguk-angguk dan seluruh tubuhnya lemas. Ketika Kiang Liong
melepaskan jambakannya, dia men-jatuhkan mukanya di atas dada Kiang Liong yang
tersenyum mengejek sambil memeluknya.
Semalam itu mereka berdua tidak ke-luar dari dalam guha yang lebarnya ha-nya satu meter itu, Po Leng In yang mabuk cinta dan seolah-olah menjadi makin lemas di tangan Kiang Liong, menceritakan semua keadaan orang Hsi-hsia. Kiranya orang-orang Hsi-hsia itu diperalat oleh para pendeta Ti-bet jubah merah yang dikepalai oleh Bouw Lek Couwsu.
Pendeta jubah merah Bouw Lek Couwsu ini memiliki kepandai-an yang dahsyat dan
merupakan pendeta yang murtad di Tibet sehingga ia di-musuhi oleh para pendeta lain. Untuk menyelamatkan diri karena tidak kuat menentang pendeta-pendeta Tibet yang banyak di antaranya amat sakti, Bouw Lek Couwsu melarikan diri dari Tibet bersama murid-murid dan pengikut-pengikutnya, yaitu para pendeta jubah merah. Dengan ilmu kepandaiannya, Bouw Lek Couwsu akhirnya dapat menalukkan Hsi--hsia yang gagah berani dan ulet, bahkan berhasil melatih mereka menjadi pasukan yang kuat. Setelah memiliki pasukan kuat, mulailah Bouw Lek Couwsu men-cari kesempatan memukul musuh-musuh-nya.
Ia menganggap Kerajaan Sung masih terlampau kuat untuk dipukul, maka ia lalu mengalihkan perhatian kepada Kera-jaan Nan-cao yang kecil dengan maksud menalukkan kerajaan ini untuk memper-besar pengaruh dan kekuasaan. Dalam usahanya ini, Bouw Lek Couwsu
teringat akan sahabat baiknya, juga bekas kekasih-nya, yaitu, Siang-mou Sin-ni! Kalau Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang tak pernah tua lahir batinnya, maka Bouw Lek Couwsu biarpun berpakaian pendeta, juga merupakan seorang laki-laki tampan gagah yang tak pernah tua lahir batinnya pula. Karena terlalu suka mengganggu wanita cantik inilah maka ia dimusuhi di Tibet sehingga ia kehilangan sebelah kakinya. Ia segera mengunjungi Siang-mou Sin-ni yang sudah bertahun--tahun tak pernah turun di dunia kang-ouw semenjak Thian-te Liok-kwi dihan-cur-binasakan oleh Suling Emas dan para orang gagah (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Karena pada dasarnya memang berwatak rendah, bekas selir kaisar
yang lebih terkenal dengan julukan Siang-mou Sin-ni dan yang sudah bertahun-tahun bertapa di pulau kosong di laut selatan ini tertarik oleh bujukan Bouw Lek Couwsu bekas kekasihnya, lalu ikut membantu dan tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh mereka berdua untuk mengikat kembali hubungan mereka yang telah putus selama bertahun-tahun.
"Beng-kauw boleh jadi amat kuat dan banyak terdapat orang pandai, akan te-tapi menghadapi serbuan Bouw Lek Couwsu dibantu oleh Guruku, mana me-reka mampu mempertahankan
diri" Di antara para pendeta jubah merah banyak pula yang memiliki kepandaian tinggi. Itulah sebabnya mengapa Ketua Beng-kauw den beberapa orang pimpinan Beng-kauw dapat
ditewaskan dan anak laki-laki itu amat disuka oleh Guruku, maka diculik. Penyerbuan untuk menjatuhkan Kerajaan Nan-cao tentu saja gagal kare-na sesungguhnya bukan itulah yang diuta-makan Bouw Lek Couwsu, melainkan memukul Beng-kauw yang menjadi musuh
besarnya." Semua diceritakan oleh Po Leng In dan ia menjadi makin tergila-gila kepada Kiang Liong.
Selama hidupnya belum pernah Po Leng In bertemu dan menda-patkan seorang pemuda
seperti ini, penuh kegagahan, penuh kejantanan. Semalam suntuk sambil bercerita, Po Leng In mempergunakan segala bujuk rayu dan keahliannya dalam bercinta untuk men-jatuhkan hati Kiang Liong, namun sebaliknya dia sendirilah yang jatuh dan men-jelang pagi ia menjadi penurut dan patuh kepada laki-laki itu seperti seekor dom-ba yang lemah.
"Koko...., akan kubantu kau menolong kedua orang nona dan anak laki-laki itu.... biarpun untuk itu aku harus mem-pertaruhkan nyawa...." bisiknya sambil merangkul.
Setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya di permukaan bumi, barulah mereka berdua Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 237
keluar dari dalam guha batu. Wajah Po Leng In yang pucat itu kini berseri gembira, rambutnya kusut namun menambah kecantikan wanita yang berambut panjang ini. Sambil melangkah keluar ia menggandeng tangan Kiang Liong yang sikapnya masih tenang dan sama sekali tidak tampak perubahan.
"Mari, Koko. Mari kita berangkat. Akan tetapi berhati-hatilah jangan kau-pandang rendah kepandaian Bouw Lek Couwsu, apalagi kepandaian Gurumu."
Kiang Liong mengangguk. "Aku sudah banyak mendengar tentang kepandaian Gurumu dan aku tidak takut."
Po Leng In menghentikan langkahnya, merangkul dan mengusap-usap dagu yang
membayangkan kekerasan dan kekuatan itu sambil tersenyum. "Aku tahu bahwa engkau lihai sekali, Koko. Akan tetapi Guruku sekarang bukan seperti dahulu ketika masih suka muncul di dunia kang-ouw. Engkau tentu tidak pernah men-dengar. bahwa Guruku kini telah dan se-dang memperdalam ilmu mujijat Hun--beng-to-hoat (Ilmu Patahkan Semangat) dan untuk menyempurnakan ilmu itulah maka ia menculik Han Ki itu...."
Kiang Liong yang sedang dicium itu lalu memegang kedua pundak Po Leng In, dan
mendorongnya agak menjauh, me-mandang wajahnya penuh selidik dan ber-tanya, suaranya keras.
"Apa kaubilang" Diculik untuk.... kau maksudkan....?"
"Ya, Koko. I-kin-hoan-jwe (Ganti Urat Pindahkan Sumsum)!"
"Celaka! Mari kita cepat-cepat meno-longnya!" Setelah berkata demikian, Kiang Liong menyambar lengan Po Leng In dan secepat terbang mereka berdua lalu lari menuju ke tempat persembunyi-an Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couw-su. Kiang Liong bukan tidak
maklum bahwa ia sedang menuju ke tempat yang amat berbahaya, seperti guha singa dan telaga naga, akan tetapi mendengar akan bahaya yang mengancam Han Ki, ia tidak pedulikan itu semua. Lebih-lebih lagi ketika di tengah jalan ia mendengar Po Leng In bercerita bahwa Bouw Lek Couw-su adalah seorang tokoh tua yang per-caya akan ilmu menambah semangat dan tenaga yang didapat dari gadis-gadis muda, maka tahulah ia malapetaka hebat sekali mengancam pula keselamatan Siang Hui dan Siang Kui!
Yang dimaksudkan oleh Po Leng In tentang I-kin-hoan-jwe memang merupa-kan latihan ilmu hitam yang amat keji. Untuk melatih ilmu ini guna memper-dalam Hun-beng-to-hoat yang mujijat, di-perlukan seorang anak laki-laki yang ber-tulang bersih dan berdarah murni. Siang-mou Sin-ni yang melatih ilmu ini telah lama sekali mencari-cari dan entah sudah berapa banyaknya anak laki-laki menjadi korbannya, namun ilmunya masih kurang sempurna karena belum pernah ia men-dapatkan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat.
Han Ki adalah putera Kam Bu Sin dan Liu Hwee, dua orang yang berdarah pendekar, maka Han Ki merupakan seorang anak laki--laki yang benar-benar memenuhi syarat. Begitu melihat anak ini, Siang-mau Sin-ni sudah menjadi girang sekali dan ia lalu menculik Han Ki. I-kin-hoan-jwe di-lakukan dengan cara yang amat mengeri-kan, yaitu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, setiap hari anak itu akan disedot darah dan sumsumnya. Tidak disedot sekaligus sampai mati, melainkan sedikit demi sedikit sambil setiap hari diberi makan obat-obat penambah darah dan sumsum. Tentu saja akhirnya anak ini akan mati juga, karena selain kehabisan darah dan sumsum, terutama sekali ka-rena hawa murni dalam tubuhnya sedikit demi sedikit tersedot keluar dan pindah ke tubuh orang yang melatih diri dengan ilmu hitam itu!
Kiang Liong yang sudah pernah men-dengar penuturan suhunya tentang pel-bagai ilmu hitam, tentu saja menjadi ngeri dan mempercepat larinya untuk segera menolong tiga orang anak paman gurunya. Kalau perlu ia akan memper-taruhkan nyawanya!
*** Kwi Lan lari sambil menggigit bibir, menahan tangis. Hatinya mengkal bukan main. Ia marah, kecewa, duka dan pena-saran. Ia telah bertemu dengan pendekar sakti Suling Emas dan makin Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 238
kagumlah hatinya menyaksikan sepak terjang pen-dekar sakti itu. Makin banggalah hatinya bahwa pendekar sakti yang hebat itu, hebat kepandaiannya dan hebat pula orangnya, adalah kekasih ibu kandungnya! Akan tetapi justeru hal inilah yang selain mendatangkan kebanggaan hati, juga mendatangkan penyesalan, kekecewaan, kemarahan dan penasaran. Kalau
pen-dekar sakti ini kekasih ibu kandungnya, mengapa mereka saling berpisah" Me-ngapa Suling Emas meninggalkan ibu kandungnya yang menjadi Ratu Khitan" Dan mengapa pula ia menjadi anak Ratu Khitan" Kalau ibu kandungnya itu bukan isteri Suling Emas, berarti dia adalah anak Ratu Khitan dengan orang lain. Alangkah akan bahagia hatinya kalau Suling Emas menjadi suami ibu kandung-nya. Ia berayah Suling Emas! Alangkah hebatnya! Dan sebaliknya, kalau Suling Emas itu bukan bekas kekasih ibunya, tentu ia akan suka menjadi sahabatnya, sahabat baik!
Kwi Lan menghela napas panjang dan berhenti lari, menghempaskan dirinya di atas rumput.
Ia sudah berlari lama dan jauh, lega bahwa pendekar sakti itu tidak mengejarnya karena kalau mengejarnya, ia tidak tahu bagaimana akan dapat me-larikan diri. Hatinya tertarik sekali oleh Suling Emas. Ia sendiri merasa heran mengapa begitu. Dalam pandangannya, Suling Emas yang sudah tua dan yang rambutnya sudah bercampur uban itu lebih menarik dan
menyenangkan dari pada orang-orang muda gagah perkasa yang pernah ditemuinya. Lebih menarik daripada Yu Siang Ki si Pengemis Muda yang halus, lebih menang daripada Tang Hauw Lam yang berandalan dan lucu, lebih hebat daripada Siangkoan Li yang gagah dan tampan! Alangkah akan se-nangnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas tentu akan terasa aman dan tenteram di samping seorang pen-dekar yang demikian saktinya, sebagai seorang sahabat baik! Atau sebagai anak, atau murid!
"Ah, tapi dia sudah menghina Ibuku....! Katanya dia kakak angkat ibu kandungku yang menjadi Ratu di Khitan, akan te-tapi juga sebagai kekasih.... hemmm, tentu kekasih yang tidak setia, buktinya Ibuku telah ditinggalkannya!"
Kwi Lan meloncat bangun, memban-ting-banting kakinya lalu berjalan pergi, ia akan mencari ibunya ke Khitan dan bertanya tentang Suling Emas! Kemudian ia teringat akan Tang Hauw Lam dan seketika wajahnya yang muram menjadi berseri gembira. Tak mungkin ia
ber-muram kalau teringat kepada Si Berandal itu.
Bagaimana Hauw Lam dapat muncul ketika ia hendak menolong Po Leng In dari tangan Bu-tek Siu-lam" Dan ketika ia dibawa lari Thai-lek Kauw-ong, ke mana perginya Si Berandal itu"
Sambil bertanya-tanya arah perjalanan ke Khitan, Kwi Lan melanjutkan perja-lanannya dan beberapa hari kemudian ia melihat banyak orang menunggang kuda memasuki sebuah dusun yang ramai. Ka-rena Kwi Lan juga bermaksud menuju ke dusun itu yang menurut keterangan ada-lah dusun Ci-cung yang terletak di tepi sungai, maka ia pun mempercepat lang-kahnya memasuki dusun itu. Debu masih mengebul di atas jalan yang baru saja dilalui rombongan orang sebanyak belasan orang tadi. Hati Kwi Lan tertarik karena ia melihat betapa seorang di antara me-reka di dahinya terhias mutiara. Seorang anggauta Thian-liong-pang, seorang di antara dua belas Cap-ji-liong! Mau apa-kah orang-orang Thian-liong-pang itu datang ke tempat ini, pikirnya. Ia tahu bahwa kalau bertemu dengan mereka, tentu akan terjadi keributan, akan tetapi tentu saja Kwi Lan tidak takut. Ia bukan mencari perkara melainkan ia bermaksud melanjutkan perjalanan dengan perahu melalui sungai di dusun itu dan untuk memenuhi maksudnya, ia tidak peduli apakah ada setan atau iblis yang meng-hadangnya!
Dusun itu ternyata ramai karena me-rupakan pelabuhan perahu-perahu yang berlayar di sepanjang sungai. Di dekat pantai terdapat sebuah kelenteng. Kwi Lan merasa heran karena tidak melihat belasan orang Thian-liong-pang tadi di dalam dusun. Apakah mereka itu hanya lewat saja di dalam dusun lalu melanjut-kan perjalanan melalui pintu sebelah sana" Mungkin sekali dan ia tidak peduli, juga tidak bertanya-tanya tentang me-reka. Karena dusun itu banyak dilewati orang-orang asing yang melakukan per-jalanan, dan karena pada masa di Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 239
mana perang selalu mengancam daerah perba-tasan semua orang, juga wanita-wanita
membawa pedang, maka munculnya Kwi Lan tidaklah amat mengherankan orang. Kalau
orang memandangnya, adalah ka-rena terpesona oleh kecantikannya saja, bukan
mengherankan pedangnya dan kejanggalan seorang wanita muda melakukan perjalanan
sendirian saja. Kwi Lan yang tidak bermaksud menginap di dalam dusun ini, langsung pergi ke pantai untuk mencari perahu.
Dalam perjalanan mencari perahu inilah ia lewat di depan kuil dan melihat tiga huruf Ban Hok Tong di depan ke-lenteng, juga melihat beberapa orang hwesio sibuk melayani orang-orang yang bersembahyang di kelenteng. Sebetulnya Kwi Lan tidak akan mempedulikan ke-lenteng ini, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda di sebelah be-lakang kelenteng sehingga hatinya ter-tarik dan teringatlah ia akan belasan orang Thian-liong-pang tadi. Hemm, agaknya mereka itu tadi masuk ke dalam kelenteng ini, pikirnya. Mengapa orang-orang Thian-liong-pang yang jumlahnya belasan, orang itu bermalam di dalam sebuah kelenteng"
"Ah, peduli amat dengan mereka!" Akhirnya ia berkata dalam hati dan kembali
melangkahkan kaki meninggalkan depan kelenteng menuju ke pelabuhan di mana terdapat banyak perahu-perahu besar kecil dan kesibukan orang-orang yang mengangkut dan
membongkar muat-an. Mereka yang sibuk di pelabuhan itu semua adalah laki-laki dan mulailah Kwi Lan dihujani pandang mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.
Di dalam dusun seperti itu memang jarang terdapat wanita cantik seperti Kwi Lan dan kalau pun ada di antara para tamu, mereka itu tidak datang seorang diri dan secara berterang seperti ini, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memandangnya.
Kwi Lan tidak peduli dan selagi ia hendak bertanya untuk mencari perahu sewaan, tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Minggir! Heiii, kau.... minggir!"
Dua orang laki-laki tinggi besar ber-jalan cepat dan mendorong seorang yang sedang sibuk bekerja untuk membuka jalan. Para pekerja itu adalah orang-orang kasar yang kuat, maka mereka menjadi marah. Seorang di antara ne-layan yang kena dorong hampir jatuh tertimpa keranjang ikan yang dipanggul-nya, meloncat bangun.
"Dari mana datangnya dua ekor ker-bau....?"
Akan tetapi hanya sampai di situ ia dapat membuka mulut karena seorang di antara dua laki-laki tinggi besar itu sudah mengayun kakinya dan.... Si Nelayan terlempar jatuh ke dalam sungai! Dua orang laki-laki tinggi besar itu ber-diri dengan kedua kaki terpentang lebar, bertolak pinggang dan berkata,
"Hayo, siapa lagi yang berani?"
Melihat betapa seorang temannya sampai terlempar ke sungai, empat orang nelayan menjadi marah. Mereka ini juga tinggi besar dan kuat. Sambil memaki mereka ini serentak maju menyerang, akan tetapi begitu dua orang itu meng-gerakkan kaki kanannya, terdengar jerit-jerit kesakitan dan empat orang nelayan itupun jatuh tersungkur dengan hidung berdarah dan muka meringis kesakitan. Demikian cepat gerakan dua orang tinggi besar ini sehingga mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi dapat dirobohkan.
"Masih ada lagi?" Mereka berdua me-nantang dan semua nelayan menjadi gen-tar. Seorang di antara mereka yang sudah tua segera maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Maafkan kami, Tuan. Apakah yang dapat kami lakukan untuk Ji-wi (Anda Berdua) dan karena tidak mengenal orang gagah maafkan kelancangan kawan-kawan kami. Apakah yang Ji-wi kehendaki?"
Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya empat puluhan tahun itu terse-nyum menyeringai, tampak puas dan bangga. Setelah memandang ke sekeliling lalu berkatalah seorang di antara mereka yang brewok. "Sediakan perahu yang bercat merah itu untuk kami.
Besok pagi-pagi kami pakai." Dia menuding ke arah sebuah perahu kosong. Perahu itu bercat merah dan kelihatan memang paling baik di antara perahu-perahu yang berlabuh di situ.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 240
Perahu itu masih baru agaknya belum lama diturunkan di sungai.
"Ahh, Ji-wi hendak menyewa perahu" Baiklah, akan tetapi perahu merah itu tak mungkin dapat disewakan karena besok akan dipakai mengantar pengan-tin...."
"Apa kaubilang" Kami berani bayar sewanya dan siapapun juga tidak boleh mendahului kami.
Pendeknya, sediakan perahu itu besok pagi-pagi, kalau tidak.... kau yang akan kami lemparkan ke dalam sungai!"
Nelayan tua itu menjadi pucat wajah-nya, akan tetapi sambil membungkuk-bungkuk ia berkata, "Baik...., baik.... dan sewanya...."
"Berapa pun akan kami bayar! Kami hendak memeriksanya dulu!" Dua orang tinggi besar itu diantar oleh nelayan tua menuju ke perahu cat merah. Mereka melangkah masuk dan....
tercenganglah mereka melihat Kwi Lan sudah duduk di dalam perahu itu sambil tersenyum ma-nis! Kiranya Kwi Lan yang tadi mengikuti percekcokan, menjadi tak senang dengan sikap dua orang itu, maka diam-diam ia lalu memasuki perahu cat merah yang dipilih oleh dua orang itu secara paksa.
"Eh, mau apa kalian berdua longak-longok seperti monyet memasuki perahu yang sudah kusewa ini tanpa ijin!" kata Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.
Sejenak dua orang tinggi besar itu tertegun. Mereka kagum akan kecantikan gadis dalam perahu dan mendengar ben-takan itu, mereka terkejut dan saling pandang. Kemudian seorang di antara mereka yang brewok tadi dapat mene-nangkan hatinya lalu menoleh kepada nelayan tua yang juga bengong terlo-ngong. "Eh, Paman tua, apakah ini yang akan menjadi
pengantin" Cantik benar!"
"Bu.... bukan, bukan dia.... saya tidak mengenalnya...., Nona, siapakah kau dan mau apa kau di sini?"
"Paman tua, aku lebih dulu memasuki perahu ini, berarti aku lebih dulu menye-wanya. Dua orang kasar seperti monyet ini boleh mencari perahu lain untuk disewa atau.... mereka ini boleh terjun ke air!"
Pada waktu itu, dua orang tinggi besar tadi sudah melihat gagang pedang di pinggang Kwi Lan dan ketika melihat sebuah mutiara hitam bersinar di gagang pedang itu, mereka terkejut.
"Mu.... Mutiara Hitam....?" teriak me-reka sambil mencabut golok.
"Hemm, kiranya orang-orang Thian--liong-pang yang tak kenal mampus!" seru Kwi Lan tanpa bangkit dari tempat du-duknya. Melihat gerakan dua orang yang menerjangnya ini, ia memandang rendah. Ketika mereka sudah menubruk maju diikuti teriakan kaget dan ngeri dari kakek nelayan, secepat kilat kedua kaki Kwi Lan bergerak menendang ke depan. Ia menggunakan kedua tangan untuk me-nekan papan perahu sehingga kedua kakinya dapat melakukan tendangan sekali-gus. Tepat sekali ujung kedua sepatunya mencium sambungan lutut dua orang lawan itu. Terdengar suara "krekk!" dan sambungan lutut kanan mereka terlepas. Tentu saja mereka itu seketika ambruk dan sebelum tubuh mereka menyentuh papan perahu, kembali kedua kaki Kwi Lan bergerak, kini mendorong dada me-reka. Tak dapat dicegah lagi tubuh dua orang laki-laki tinggi besar itu terlempar masuk ke dalam sungai!
Biarpun bagi Kwi Lan peristiwa ini biasa saja, namun bagi para nelayan merupakan hal yang amat hebat. Hampir mereka tak dapat percaya betapa hanya dengan dua buah kaki yang kecil mungil, tanpa menggerakkan tangan dan tanpa bangkit dari tempat duduknya, gadis remaja cantik manis itu mampu melem-parkan dua orang lawan kuat ke dalam sungai dengan tulang lutut terlepas sambungannya! Mereka bersorak-sorai dan mentertawai dua orang laki-laki tadi yang kini dengan susah payah berenang ke tepi sungai. Lenyaplah kegagahan mereka berdua yang terpaksa harus pergi dengan sebelah kaki meloncat-loncat sambil menyumpah-nyumpah!
Seketika Kwi Lan dirubung para ne-layan yang kagum. Mereka berbondong menawarkan perahu mereka untuk mengantar gadis ini melakukan pelayaran ke utara, akan tetapi Kwi Lan tersenyum dan berkata,
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 241
"Aku hanya membutuhkan sebuah perahu dan karena yang kupilih perahu merah ini, maka perahu inilah yang akan kusewa. Sudah, kalian pergilah, aku ingin mengaso."
Pada saat itu, seorang nelayan datang berlari-lari dan melaporkan kepada Kwi Lan bahwa dua orang tinggi besar itu lari terpincang-pincang ke dalam kuil Ban-hok-tong. "Harap Nona hati-hati, bahaya besar mengancam. Kiranya dua orang itu temannya banyak sekali dan galak-galak."
"Tak perlu melayani mereka."
"Tapi.... harap Lihiap (Pendekar Wa-nita) sudi mengasihani kami," kata ne-layan tua. "Lihiap sudah menyaksikan sendiri betapa mereka itu ganas dan kejam terhadap kami. Kalau Lihiap pergi dari sini, tentu kamilah yang akan dijadikan korban untuk melampiaskan ke-marahan mereka!"


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huh, apa peduliku!" Kwi Lan men-dengus. Memang ia tidak suka mengacuh-kan urusan orang lain yang tiada sangkut pautnya dengan dirinya.
"Tapi, Lihiap.... kami akan dibasmi.... akan dipukuli, dibunuh....!" kata seorang nelayan lain.
"Peduli apa" Kalau kalian begitu le-mah dan tidak becus melakukan perla-wanan sampai terbunuh, adalah salah kalian sendiri!" Kwi Lan menjawab jeng-kel karena merasa terganggu.
"Tapi.... semua ini terjadi gara-gara Lihiap merobohkan dua orang itu!" Si Nelayan Tua menyambung. "Saya mende-ngar bahwa seorang gagah sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya...."
"Cukup!" Kwi Lan membentak marah. "Aku tunda perjalananku sampai besok dan kalian lihat malam ini akan kuhajar habis mereka itu!"
Setelah berkata demikian Kwi Lan merebahkan dirinya di atas papan perahu, dan para nelayan bubaran dengan hati lega, akan tetapi juga masih khawatir. Menurut penyelidikan mereka, jumlah pendatang di kelenteng itu ada belasan orang dan para hwesio di Ban-hok-tong sendiri kelihatan takut menghadapi me-reka. Bagaimana kalau pendekar wanita muda ini sampai kalah" Tentu mereka akan mendapat bagian pahit pula. Betapa pun juga, karena harapan mereka ber-gantung kepada kesanggupan Kwi Lan, mereka lalu melayanl gadis ini dengan hidangan dan minuman yang diterima oleh Kwi Lan dengan hati gemblra.
Benar juga, pikirnya, dia harus bertang-gung jawab. Apalagi, jelas rombongan Thian-liong-pang itu tidak akan membiar-kan ia lolos begitu saja. Daripada menghadapi mereka di atas air sungai yang pernah membuat ia hampir tewas dahulu, lebih baik sekarang menghadapi mereka di darat. Turun tangan di waktu siang hanya akan menimbulkan geger di dalam dusun ini, maka lebih baik malam nanti turun tangan menghajar mereka dan me-ngusir mereka dari dalam dusun. Dengan pikiran ini, legalah hati Kwi Lan dan se-telah makan kenyang, ia pun tidur di atas perahu dengan nyenyaknya.
Malam itu terang bulan. Tiada awan mengotori udara sehingga sinar bulan se-penuhnya menerangi bumi. Bagaikan se-ekor burung hantu, tubuh Kwi Lan ber-kelebat diantara sinar bulan. Dengan pedang terhunus di tangannya, gadis per-kasa ini meloncat ke atas genteng kuil Ban-hok-tong, mendekam di atas wu-wungan dan mengintai ke bawah. Sunyi sepi di
kelenteng itu. Hemm, pikirnya geram, tentu mereka siap sedia menyam-butku, dan sudah siap memasang jebakan. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan gerakan yang lincah sekali ia lalu berlari di atas genteng, sengaja memberatkan tubuhnya sehingga menim-bulkan bunyi pada genteng, agar musuh muncul menyerangnya. Namun tidak ter-jadi apa-apa dan Kwi Lan terus berlari menuju ke belakang. Dari atas genteng di belakang bangunan, ia dapat melihat halaman belakang yang luas dan terkejut-lah ia ketika melihat beberapa orang hwesio sudah menjadi mayat berserakan di halaman itu. Seorang laki-laki yang mengempit tongkat membungkuk dan agaknya memeriksa mayat-mayat itu seorang demi seorang.
Kwi Lan menjadi heran sekali, tidak mau sembarangan turun tangan. Siapakah laki-laki itu dan mengapa pula hwesio-hwesio itu tewas" Ke mana perginya orang-orang Thian-liong-Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 242
pang" Tentu laki-laki itu yang membunuh para hwesio, dan siapa lagi orang itu kalau bukan seorang di antara anggauta dari Thian-liong-pang" Kwi Lan mengeluarkan jarumnya dan se-kali tangannya bergerak, sinar hijau me-nyambar ke arah leher orang yang se-dang memeriksa mayat-mayat itu.
Akan tetapi Kwi Lan terkejut melihat orang itu tanpa menoleh mengibaskan tangannya sehingga jarum-jarum itu run-tuh oleh lengan bajunya yang lebar, kemudian lebih kaget lagi Kwi Lan ke-tika mendengar orang itu berkata,
"Kwi Lan Siauw-moi, kau turunlah. Jarum-jarummu sudah terlalu banyak membunuh orang tak berdosa!"
Kwi Lan mengenal suara ini dan ke-tika orang itu kini berdiri sambil mem-balikkan tubuh ia mengenal wajah yang tampan itu.
"Yu Siang Ki....!" Cepat ia melayang turun sambil membawa pedangnya. Pe-muda itu memang Yu Siang Ki yang me-ngempit tongkatnya. Caping bututnya tergantung di belakang punggung.
Kalau Kwi Lan berseri wajahnya ka-rena pertemuan yang tak terduga-duga ini, sebaliknya Yu Siang Ki memandang dengan wajah keruh dan sepasang mata-nya memandang penuh
teguran. "Kenapa mereka....?"
"Kwi Lan, betapa pun kagum hatiku terhadapmu, namun sungguh aku kecewa dan menyesal melihat sepak terjangmu yang terlalu ganas. Kau terlalu mudah membunuh orang sehingga kadang-kadang kau tidak segan-segan membunuh orang-orang tak berdosa seperti mereka ini.
Kwi Lan, aku tidak percaya kau memiliki dasar yang ganas dan...."
"Ihhhh, apa-apaan ini tiada hujan tiada angin suaramu menyambar-nyambar laksana kilat bergeluduk" Siang Ki, apa maksudmu memberi kuliah kepadaku?"
Kwi Lan memotong dengan marah. Se-pasang matanya kini menyambar seperti api, penuh selidik ke arah wajah yang tampan itu.
Akan tetapi Siang Ki tidak mundur. Wajahnya tetap muram dan suaranya tetap kering. "Kwi Lan, kalau kau mem-basmi dan membunuhi orang-orang jahat, aku masih dapat mengerti.
Akan tetapi hwesio-hwesio ini, bukankah mereka itu orang-orang yang menjalani hidup suci, sama sekali tidak jahat dan tidak ber-dosa" Mengapa kau membunuh mereka ini secara keji"
Apa sebabnya kau membunuh empat orang hwesio pengurus kuil Ban-hok-tong ini" Sungguh aku tidak mengerti....!"
"Apa kaubilang?" Kwi Lan kembali memotong. "Kalau kau tidak mengerti, aku lebih tidak mengerti lagi akan sikap-mu yang aneh ini. Gilakah engkau, Siang Ki" Kau menuduh yang bukan-bukan. Aku tidak membunuh hwesio-hwesio itu! Kalau aku membunuh mereka, perlu apa aku takut mengaku padamu?"
Siang Ki terheran, kini dialah yang menatap wajah gadis itu yang cantik jelita tersinar cahaya bulan, penuh se-lidik. "Ah, mengapa kau menyangkal" Mereka itu kaubunuh....!"
"Siang Ki! Tak usah banyak cerewet. Kalau kau memang ingin memusuhiku, jangan kira aku takut. Tak perlu meng-gunakan alasan yang bukan-bukan, tuduh-an dan fitnah yang bukan-bukan. Kalau memang kau hendak menantang, hayo, aku sudah siap!" Setelah berkata demikian, gadis ini meloncat mundur, pedang-nya siap di depan dada dan ia sudah
me-masang kuda-kuda, matanya mencorong seperti mata harimau.
Akan tetapi Siang Ki tidak melayani-nya, bahkan pemuda ini kelihatan me-longo, terheran dan ragu-ragu. "Kwi Lan, aku sama sekali tidak menuduh yang bukan-bukan. Ada buktinya.
Aku menge-nal jarum-jarum hijaumu yang lihai, yang kaupergunakan untuk menyerangku tadi. Kaulihat, empat orang hwesio itu semua tewas karena jarum-jarum hijaumu. Lihat baik-baik leher mereka!"
Kagetlah Kwi Lan. Kemarahannya lenyap seketika, terganti keheranan yang amat sangat. Ia lalu meloncat, mendekati empat mayat itu dan berjongkok, meme-riksa. Alangkah heran dan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 243
kagetnya ke-tika melihat betapa leher empat mayat itu benar-benar menunjukkan tanda-tanda keracunan, yang hanya dapat ditimbulkan oleh jarum-jarum hijaunya! Hati gadis ini menjadi penasaran. Ia menggunakan ujung pedangnya, menusuk dan mengorek keluar sebatang jarum dari leher mayat.
"Aiihhh.... aneh sekali....!" Ia berseru ketika melihat jarum hijau di ujung pe-dangnya. Jarum itu serupa benar dengan jarumnya dan warna hijau itu tak salah lagi adalah racun bunga hijau yang ia pergunakan untuk meracun jarum-jarum-nya. Inilah jarumnya, tak salah lagi. Ia bangkit berdiri, wajahnya berubah. Melihat wajah gadis ini, Siang Ki mulai per-caya.
"Kwi Lan, agaknya ada orang yang mencuri jarum-jarummu dan mempergu-nakannya untuk membunuh hwesio-hwesio ini." katanya sambil maju mendekat.
Kwi Lan menggeleng kepala dan mengingat-ingat. "Tak mungkin." katanya kemudian penuh keyakinan. "Jarum-ja-rumku tidak pernah terpisah dari badan, selalu berada di saku dalam bajuku. Sia-pa dapat mencurinya?"
"Akan tetapi buktinya, hwesio-hwesio ini tewas karena jarum-jarum hijau...."
"Benar, tak dapat disangkal lagi. Pan-tas saja kau menuduh aku...."
"Maafkan aku, Kwi Lan. Aku kebetul-an lewat di sini, curiga terhadap rom-bongan orang-orang Thian-liong-pang, mengikuti secara diam-diam. Aku tahu akan perbuatanmu menghajar orang-orang Thian-liong-pang di sungai Siang tadi, akan tetapi karena aku sedang menyelidiki mereka, aku menyembunyikan diri. Ma-lam ini aku datang menyelidik, melihat hwesio-hwesio ini sudah tewas dan orang--orang Thian-liong-pang tidak kelihatan seorang pun di sini."
"Hemm, tentu ada hubungannya anta-ra mereka dengan kematian para hwesio ini."
Yu Siang Ki mengerutkan keningnya yang tebal, "Aku meragukan hal ini, Kwi Lan. Kalau mereka yang membunuh hwe-sio-hwesio ini, mengapa menggunakan jarum-jarummu atau
lebih tepat lagi.... jarum-jarum yang serupa dengan jarum-jarummu" Mari kita kejar mereka!"
Kwi Lan mengangkat mukanya dan sepenuhnya muka itu kini tertimpa sinar bulan. Alangkah cantik jelita muka ini. Siang Ki meramkan mata dan menarik napas panjang sambil menekan isi dada yang bergerak-gerak.
"Mengapa?" "Mereka sudah membunuh hwesio--hwesio tak berdosa!" kata Siang Ki sewa-jarnya.
Bukankah wajar seorang pendekar menjadi marah melihat pembunuhan atas orang-orang tak berdosa"
"Hemm, bukan urusanku. Aku tidak mengenal hwesio-hwesio ini." jawab Kwi Lan
seenaknya. Kerut di kening Siang Ki makin men-dalam. Ia kagum akan kecantikan dan kelihatan gadis ini, namun kecewa meli-hat sikap dan wataknya. "Akan tetapi mereka telah menggunakan senjata raha-sia seperti milikmu, itu berarti mence-markan nama baikmu. Siapa tahu mereka sengaja memalsukan senjatamu."
"Hemm, justeru karena itu aku tidak mau mengejar. Mereka tentu melakukan hal ini menurut rencana dan tentu me-reka akan datang mencari aku kalau tiba saatnya. Aku mau menanti di perahu dan kalau sampai besok mereka tidak datang aku akan melanjutkan perjalananku."
"Ke mana?" "Ke utara." Wajah Yu Siang Ki berseri. "Aihh, mengapa begini kebetulan" Aku pun hendak ke utara."
"Hemmm" Benarkah?" Kwi Lan ku-rang percaya, menyangka bahwa pemuda ini mencari-
cari alasan untuk melakukan perjalanan bersamanya.
"Mengapa tidak" Aku hendak mencari Suling Emas."
Berdebar jantung Kwi Lan mendengar ini. "Kenapa mencari ke utara?"
"Menurut laporan anak buahku, Lo-cianpwe itu menuju ke utara. Ada kepen-tingan besar Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 244
sekali yang memaksa aku mencarinya ke utara."
Kwi Lan melamun. Suling Emas ke utara" Hendak bertemu ibu kandungnya, Ratu Khitan"
"Kalau kau tidak keberatan, kita da-pat melakukan perjalanan bersama."
Kwi Lan tersenyum. "Mengapa kebe-ratan" Asal kau tidak lagi menuduh aku dengan fitnah yang bukan-bukan seperti tadi."
"Maafkan aku sekali lagi, Siauw-moi." Yu Siang Ki menjura dan Kwi Lan ter-tawa geli.
"Mari ke perahuku. Kuharap saja me-reka akan muncul agar enak kita berdua mengganyang mereka di perahu!"
Namun Yu Siang Ki tidak segembira Kwi Lan. Hatinya tetap merasa gelisah dengan
munculnya hal yang merupakan teka-teki ini. Siapa pembunuh hwesio-hwesio itu" Andaikata orang-orang Thian--liong-pang, apakah maksudnya" Namun ia tidak sempat bicara lagi karena Kwi Lan sudah berkelebat dan meloncat jauh dari tempat itu. Cepat ia mengejar dan se-bentar saja mereka sudah berada di perahu cat merah yang disewa Kwi Lan.
"Aku mau tidur." kata Kwi Lan dan terus saja ia tidur telentang di atas papan perahu berbantal bungkusan pakaiannya. Sejenak Siang Ki tertegun memandang tubuh yang melintang di depannya, kagum bukan hanya oleh keindahan bentuk tubuh, juga oleh sikap yang demikian polos dan wajar. Ah, ada remaja yang jujur dan bersih, tidak berpura-pura, liar seperti bunga mawar hutan, pikirnya terharu.
"Aku duduk menjaga di luar." katanya dengan suara tergetar sambil duduk di atas papan melintang di kepala perahu, memandangi bulan purnama yang ber-main-main di dalam air sungai.
Sinar bulan dan keadaan yang sunyi itu membuat Siang Ki melamun. Pela-buhan sungai itu sunyi sekali karena setelah peristiwa yang terjadi siang tadi, semua nelayan merasa takut dan meng-hentikan kegiatan pekerjaan malam. Me-reka menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang hebat antara nona perkasa itu dengan para penjahat yang bermalam di Kuil Ban-hok-tong.
Siang. Ki berkali-kali menarik napas panjang. Ia terpaksa meninggalkan Kang-hu karena peristiwa yang amat penting telah terjadi. Mula-mula berita itu tidak dipercayanya. Berita yang didengar dari beberapa orang pengemis anggauta per-kumpulannya bahwa di daerah selatan muncul Suling Emas yang memusuhi para pengemis. Mula-mula ia mengutus Gak-lokai dan Ciam-lokai untuk menyelidiki berita yang tak masuk akal itu. Dan dua orang kakek pengemis itu pulang dengan babak-belur. Mereka telah bertemu de-ngan Suling Emas itu dan ternyata ber-beda dengan Suling Emas yang telah me-nyamar sebagai Yu Kang Tianglo!
Akan tetapi Suling Emas yang baru ini berpa-kaian seperti Suling Emas dengan tanda gambar sulaman suling di depan dadanya. Hebatnya, Suling Emas baru ini pun ber-kepandaian tinggi sehingga Gak-lokai dan Ciam-lokai tidak mampu menandinginya dan dirobohkan. Bahkan Suling Emas itu menantang agar supaya Yu Kang Tianglo datang sendiri menandinginya!
Mendengar ini, panas hati Yu Siang Ki. Maka ia lalu melakukan perjalanan ke selatan, me-nemui Suling Emas ini sebagai wakil ayahnya, Yu Kiang Tianglo. Ia menjadi bingung, tidak tahu mana yang tulen mana yang palsu antara Suling Emas yang pernah menyamai sebagai mendiang ayahnya dengan Suling Emas yang se-karang. Akan tetapi nyatanya, dalam be-lasan jurus saja ia roboh oleh orang ini! Karena inilah Yu Siang Ki lalu mengam-bil keputusan untuk pergi mencari Suling Emas pertama, untuk dimintai tolong menghadapi Suling Emas kedua ini!
Kini duduk melamun di kepala perahu, memandang sepasang bulan, yang di atas dan di dalam air, teringatlah ia akan sepasang Suling Emas yang membingung-kan hatinya. Suling Emas kedua ini selain lihai juga agaknya sengaja memusuhi pihak pengemis, namun tak pernah ter-dengar melakukan kejahatan dan tidak pula melukai berat kepada para pengemis termasuk Gak-lokai berdua dan dirinya sendiri. Agaknya asal dapat menang cu-kuplah bagi Suling Emas ke dua itu!
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 245
Kembali ia menarik napas panjang memandangi dua bulan berganti-ganti, lalu tanpa disadarinya Yu Siang Ki ber-senandung.
"Bulan terapung di angkasa
bermain dengan mega tak mungkin terbang menjangkau-nya!
Bulan tenggelam di air bercanda dengan gelombang
tak mungkin menyelaminya!"
Kembali Siang Ki menarik napas pan-jang. Dua orang Suling Emas itu seperti dua bulan ini, bulan dan bayangannya, yang mana tulen dan mana palsu" Ke-duanya sakti, dan sukar menyelidiki ke-adaannya.
"Ah.... kau.... kau gagah...."
Siang Ki terkejut dan menoleh. Ia melihat Kwi Lan menggeliat perlahan dan mulut gadis itu berbisik-bisik. Hati-nya berdebar. Tak salahkah pendengaran-nya bahwa gadis itu dengan suara bisik merayu menyebutnya gagah" Tak salah-kah penglihatannya bahwa gadis itu menggeliat dan seolah-olah mengharapkan dia datang membelainya" Tanpa disadari-nya lagi Siang Ki melangkah maju mendekati tubuh yang masih tidur telentang itu. Sinar bulan tertutup atap perahu sehingga wajah gadis itu terlindung da-lam cuaca remang-remang.
Bergerak--gerakan bulu mata panjang lentik itu" Sampai lama Siang Ki berdiri menatap wajah yang amat cantik itu. Bibir gadis ini seperti tersenyum menantang, tangan kiri di atas perut dan tangan kanan di bawah dagu. Rambutnya harum hitam halus yang dikucir dua itu terletak di atas dada, kanan kiri, ikut bergerak-ge-rak turun naik bersama dadanya. Ada dorongan hasrat yang amat kuat merang-sang dari dalam dada Siang Ki, membuat ia
membungkuk dan hampir saja ia men-cium pipi dan bibir itu, namun kesadaran dan
keteguhan hatinya menahannya. Dia seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang hidup sebagai seorang pendekar. Tak mungkin melakukan hal sekeji ini, menggunakan kesempatan selagi seorang dara tidur untuk menciumnya. Pekerjaan hina! Sama dengan mencuri, sama dengan memperkosa!
Dua macam perasaan berperang di hati Siang Ki, yang satu mendorong yang lain menahan.
Untung pada saat itu pe-rasaannya yang tajam dapat merasa betapa perahu bergoyang sedikit.
Cepat ia me-noleh dan tampaklah dua orang laki-laki meloncat ke atas perahu. Gerakan me-reka ringan bagai burung, membuktikan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki, ilmu kepandaian tinggi. Bayangan beberapa orang lagi tampak berloncatan di perahu-perahu yang berada di pelabuhan, juga di pantai tak jauh dari situ. Perahunya telah terkepung! Seorang di antara dua laki-laki yang sudah meloncat ke perahu itu dahinya berhias mutiara, itulah salah seorang di antara Cap-ji-liong, jago-jago Thian-liong-pang yang tersohor lihai!
"Kau gagah Suling Emas....!" Kembali terdengar suara Kwi Lan barbisik dan Siang Ki yang masih menoleh ke bela-kang itu seperti ditusuk jantungnya. Kiranya gadis ini tadi bukan memuji dia yang gagah, melainkan memuji Suling Emas di dalam mimpi! Dengan muka
merah saking malu mengingat akan sikap dan persangkaannya sendiri tadi, Siang Ki meloncat bangun sambil menyambar tongkatnya.
"Kalian siapa dan mau apa meng-ganggu kami?" bentaknya sambil melin-tangkan tongkat di depan dada. Akan tetapi sebagai jawaban, dua orang itu sudah mencabut golok masing-masing, menerjang maju sambil berteriak,
"Kepung! Tangkap sepasang anjing muda ini!"
Siang Ki marah sekali, tongkatnya berkelebat dan saking dahsyatnya serang-an tongkatnya, dua orang itu berseru kaget dan meloncat mundur, keluar dari perahu! Yu Siang Ki menoleh dulu se-belum mengejar, dan melihat betapa Kwi Lan sudah bangkit duduk mengucek-ucek Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 246
mata, ia berseru. "Kwi Lan, setan-setan itu sudah da-tang hayo bantu aku basmi mereka!" Setelah berseru demikian, pemuda ini dengan gerakan gesit telah melayang keluar dari perahu ke darat.
Sebentar saja ia sudah dikepung dan alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang mengepungnya adalah dua belas orang yang memakai mutiara di dahinya. Kedua belas orang Cap-ji-liong, jagoan dari Thian-liong-pang lengkap ber-ada di situ! Dan di samping dua belas orang ini masih ada sedikitnya tiga puluh orang laki-laki tinggi besar yang merupa-kan anak buah mereka dan kesemuanya sudah siap dengan senjata di tangan. Hebat, pikirnya dengan hati kecut.
Akan tetapi karena keadaan mende-sak, ia tidak mau banyak cakap lagi dan cepat ia menggerakkan tongkatnya yang panjang sambil berteriak. "Kiranya dua belas ekor cacing dari Thian-liong-pang yang datang. Kalian mau apa?"
"Tranggg....!" Tongkatnya tertangkis oleh sepasang pedang panjang di tangan seorang yang brewok, tinggi besar dan bermata lebar. Inilah Ma Kiu, atau Thian-liong-pangcu, ketua perkumpulan itu, juga merupakan orang pertama atau pimpinan Cap-ji-liong yang tersohor.
Siang Ki sudah pernah mendengar ten-tang orang ini, akan tetapi belum pernah bertemu. Kini ia dapat menduganya dan pantas saja tangkisan tadi demikian kuat, pikirnya. Makin tidak enak hatinya ka-rena ia maklum bahwa kali ini ia meng-hadapi banyak lawan pandai.
"Orang muda, siapa pun adanya eng-kau, jangan mencampuri urusan kami. Pergilah kalau kau ingin selamat. Kami hanya membutuhkan Mutiara Hitam!" kata Ma Kiu yang marah sekali mengingat akan semua perbuatan Mutiara Hitam yang pernah mengacaukan Thian-liong-pang bersama seorang pemuda be-randalan bernama Tang Hauw Lam. Tadi-nya ketika ia mendapat laporan, hatinya girang, menyangka bahwa Mutiara Hitam yang dilaporkan bersama seorang pemuda di perahu itu tentulah Tang Hauw Lam. Kiranya pemuda tampan itu hanya penge-mis muda yang tidak dikenalnya. Sebagai Ketua Thian-liong-pang yang merasa derajatnya jauh lebih tinggi, tentu saja Ma Kiu tidak mau melayani pengemis muda ini maka mengeluarkan ucapan seperti itu.
Panas juga hati Siang Ki men-dengar ucapan itu. Ia tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang ini, memandang rendah kepadanya, maka sambil meng-angkat dada ia menjawab.
"Kalau tak salah dugaanku, engkau tentulah yang bernama Ma Kiu, yang menjadi pimpinan Cap-ji-liong dan juga menjadi Ketua Thian-liong-pang."
"Orang jembel sudah mengenal tidak lekas pergi!" bentak seorang di antara Cap-ji-liong.
"Thian-liong-pangcu! Biarpun jalan ki-ta bersimpangan, namun sudah lama aku mendengar tentang Thian-liong-pang dan Cap-ji-liong. Ketahuilah, aku adalah pangcu dari Khong-sim Kai-pang! Dan Mutiara Hitam adalah sahabatku. Kuha-rap, mengingat akan kedudukan kita ber-sama, engkau suka melihat mukaku dan tidak mengganggunya. Kalau engkau ber-keras, marilah kita sama-sama pangcu dari perkumpulan besar melihat siapa di antara kita yang lebih unggul!"
Ma Kiu dan sute-sutenya terkejut dan memandang lebih teliti. Kiranya penge-mis muda ini adalah Pangcu dari Khong-sim Kai-pang. Tentu saja mereka sudah mendengar akan sepak terjang pangcu baru ini, betapa Khong-sim Kai-pang di bawah pimpinan pangcu muda ini telah membasmi golongan pengemis baju bersih yang tadinya menguasai kai-pang-kai-pang (perkumpulan pengemis) di daerah Kang-hu. Karena para pengemis golongan baju bersih adalah sekutu Thian-liong-pang, maka tentu saja dua belas orang Cap-ji-liong ini menganggap Yu Siang Ki sebagai musuh.
"Ah, kiranya engkau jembel muda pengacau itu" Bagus kau datang menye-rahkan diri!" Ma Kiu membentak dan sepasang pedangnya berkelebat menyam-bar, Siang Ki yang sudah siap cepat menggerakkan tongkat, sekaligus menangkis sepasang pedang itu dan membalikkan tongkat mengirim serangan dengan tusuk-an ke arah perut yang gendut. Ma Kiu meloncat ke kanan dan pada saat itu, sebelas orang sutenya yang menyaksikan gerakan cepat Siang Ki, Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 247
segera maju mengeroyok! "Dua belas ekor cacing Thian-liong-pang tak tahu malu!" terdengar bentakan Kwi Lan disusul sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam. Gadis ini sudah melom-pat maju dan begitu ia memutar pedang-nya, empat batang pedang lawan telah dapat tertolak mundur berikut pemilik-nye.
Akan tetapi pada saat itu anak buah yang bertubuh tinggi besar dan me-reka ini adalah bekas-bekas bajak sungai yang sudah takluk kepada Siauw-bin Lo-mo, kini maju mengepung Kwi Lan!
"Bagus, makin banyak makin baik! Memang pedangku sudah haus darah!" teriak gadis itu sambil membabat ke sekelilingnya. Hebat bukan main gerakan Kwi Lan ini dan lebih-lebih karena para pengeroyoknya yaitu para bajak, hanya mengandalkan tenaga besar dan
kekasar-an saja, maka dalam sekejap mata ter-dengar teriakan kesakitan dan lima orang sudah roboh mandi darah!
Kalau Kwi Lan dengan enaknya mem-babati para pengeroyoknya, adalah Yu Siang Ki yang benar-benar menghadapi pengeroyokan berat. Cap-ji-liong terdiri dari orang-orang pandai dan mereka ini bergerak bukan sembarangan, melainkan menurut aturan dalam bentuk barisan yang amat rapi dan kuat. Tingkat kepan-daian Yu Siang Ki sudah tinggi dan an-daikata Cap-ji-liong maju seorang demi seorang, biarpun Ma Kiu sendiri takkan dapat menangkan pemuda ini. Akan te-tapi begitu Cap-ji-liong maju bersama dalam bentuk barisan yang mengurung rapat, Siang Ki menjadi repot sekali dan terdesak hebat. Dua belas orang itu menggunakan bermacam-macam senjata sehingga gerakan mereka itu bagi Siang Ki amat kacau-balau dan sukar diduga. Karena itulah, maka pemuda ini hanya dapat memutar tongkat melindungi tubuhnya dari hujan senjata para pengero-yok yang rata-rata memiliki tenaga lwee-kang cukup besar.
Biarpun ia sedang mengamuk, Kwi Lan tidak melepaskan perhatiannya ter-hadap Siang Ki yang ia tahu menghadapi pengeroyokan Cap-ji-liong yang lihai. Maka ia dapat melihat betapa pemuda itu betapa pun lihainya, repot sekali menyelamatkan diri dari ancaman sen-jata-senjata lawan. Maka ia lalu berseru keras, merobohkan dua orang pengeroyok terdepan lalu sekali meloncat ia sudah tiba di luar barisan Cap-ji-liong yang mendesak Siang Ki. Pedangnya berkelebat menyerbu barisan Cap-ji-liong dari bela-kang sehingga tiga orang anggauta barisan terpaksa membalikkan tubuh dan menangkis, kemudian secara teratur se-kali mereka bergerak diikuti teman-te-mannya dan di lain saat Kwi Lan telah terkurung pula bersama Siang Ki!
"Siang Ki, mari kita basmi cacing-cacing yang menjemukan ini!" seru Kwi Lan marah sambil memutar pedangnya menerjang kepungan. Akan tetapi barisan itu teratur rapi sekali dan betapapun lihainya pedang Kwi Lan, karena sekali-gus ditangkis oleh sedikitnya tiga senjata secara berbareng, ia kalah tenaga dan berbalik ia pun dijadikan sasaran hujan senjata!
"Kwi Lan, kita berdua beradu pung-gung!" Siang Ki berseru dan Kwi Lan yang maklum akan maksud temannya segera membelakangi pemuda itu dan kini mereka berdiri saling
membelakangi. Dengan demikian, kedudukan mereka lebih kuat dan tidak perlu lagi mereka membagi perhatian ke belakang karena bagian belakang masing-masing telah ter-lindung sehingga perhatian dapat dicurah-kan ke depan. Bahkan kanan kiri dapat terjaga oleh kedua orang muda perkasa ini. Benar saja, setelah beradu punggung, dua orang muda ini dapat melawan lebih ringan dan biarpun kadang-kadang para pengepungnya berlari-lari memutari me-reka, kedua orang muda ini tidak usah ikut berlari-lari takut diserang dari belakang lagi.
Mereka melayani dengan tenang dan kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang, sungguhpun se-rangan mereka kurang berhasil karena selalu ditangkis oleh banyak lawan.
Diam-diam Siang Ki menjadi gelisah karena balasan lawan benar-benar hebat. Andaikata dia dan Kwi Lan dapat ber-tahan mengandalkan kegesitan, tenaga dan ilmu silat mereka yang lebih tinggi tingkatnya, namun sampai berapa lama mereka mampu bertahan" Di luar barisan dua belas orang Thian-liong-pang ini masih terdapat puluhan orang anak buah mereka.
Ma Kiu yang memimpin sute-sutenya ketika melihat betapa barisannya tidak berdaya Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 248
menghadapi dua orang muda yang benar-benar lihai itu, menjadi pena-saran dan marah sekali.
Tak disangkanya bahwa Ketua Khong-sim Kai-pang yang masih muda ini ternyata juga amat lihai sehingga diam-diam ia harus meragukan kepandaiannya sendiri apakah ia akan sanggup menghadapi orang muda itu satu lawan satu. Ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa rahasia perkumpulannya. Mendengar aba-aba ini dua belas orang Cap-ji-liong itu lalu berlari-lari mengeli-lingi dua orang muda itu dan makin lama lingkaran itu menjadi makin jauh.
"Awas....!" Siang Ki berseru keras dan Kwi Lan yang sudah menduga segera memutar pedangnya, melindungi tubuhnya dari sambaran senjata-senjata rahasia mereka, yaitu Sin-seng-piauw yang ber-bentuk bintang. Juga Siang Ki memutar tongkatnya sehingga sebentar saja di sekitar mereka berdiri berserakan senjata rahasia musuh.
Hebatnya, tidak hanya Sin-seng-piauw yang menyambar bagaikan hujan, kini banyak anak panah yang dilepas oleh anak buah bajak. Sibuk sekali Siang Ki dan Kwi Lan menghadapi hujan serangan senjata rahasia ini.
"Kwi Lan.... kau larilah.... lekas serbu sayap kiri... aku membantu dan melin-dungimu, kau harus lari....!" Terdengar Siang Ki berkata dengan napas memburu. Ketika Kwi Lan melirik tanpa menghentikan putaran pedangnya, ia terkejut melihat pemuda itu terluka pundak kiri-nya sehingga mengeluarkan darah.
"Huh, enak kau bicara! Kaukira aku pengecut yang takut mampus" Kaulihat!"
Sambil berkata demikian, tangan kiri Kwi Lan bergerak menyambitkan jarum-ja-rumnya ke sebelah kanan. Sinar hitam menyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan disusul robohnya lima anggauta bajak yang menjadi korban sambaran jarum-jarum hijau beracun.
Akan tetapi gerakan ini hampir men-celakakan Kwi Lan juga karena dengan gerak
serangannya ini, putaran pedangnya kurang kuat dan kalau ia tidak cepat meloncat ke kiri, tentu ia menjadi kor-ban sambaran sebuah di antara puluhan senjata rahasia.
"Tiada guna.... mereka terlalu banyak dan lihai. Lekas kau lari selagi ada ke-sempatan Kwi Lan."
"Ih, kalau kau takut, kau larilah. Aku tidak takut, akan kulawan sampai mam-pus!"
"Aku tidak takut, aku ingin kau me-nyelamatkan diri, jangan pikirkan diri-ku...."
"Eh, orang bernama Yu Siang Ki! Apakah kau mau menjadi orang gagah sendiri dan aku harus menjadi pengecut"
Tidak, kalau kita lari, harus lari bersa-ma, kalau melawan terus harus berdua!" jawab Kwi Lan dengan kukuh dan suara-nya jelas memperdengarkan kemarahan.
"Ah, kau bodoh!" kata Siang Ki sam-bil memutar tongkat dan mengebutkan lengan baju lalu melompat tinggi. Biar-pun sudah terluka ternyata ia masih gesit sekali. "Bukan berani atau takut, melainkan kita harus gunakan otak! Ka-lau melawan terus dan keduanya mati, siapa akan tolong" Kau lari dulu, kalau aku tertawan, masih ada kau yang meno-longku. Kenapa nekat" Hayo lekas serbu ke sayap kiri, aku bantu kau melarikan diri!"
Kwi Lan menjadi gemas sekali. Sam-bil memutar pedang menangkis senjata rahasia, ia berhasil menangkap sebuah peluru bintang dan cepat mengembalikan-nya dengan sambitan kuat. Kembali terdengar jerit seorang anggauta bajak roboh dan tewas.
"Aku punya rencana. Hayo kaulindungi aku!" bentaknya kepada Siang Ki, kemu-dian tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk membantah, ia sudah meloncat dan menyerbu, bukan ke kiri melainkan ke kanan. Yang mengurung di sebelah kiri adalah anggauta-anggauta termuda Cap-ji-liong dan ketika bertem-pur tadi Siang Ki sudah dapat melihat bahwa sayap kiri ini yang paling lemah. Akan tetapi gadis ini sekarang malah menyerbu sayap kanan di mana terdapat Ma Kiu, Ketua Thian-liong-pang yang tentu saja paling kuat di antara adik--
adiknya! Karena melihat Kwi Lan sudah menyerbu, tentu saja ia pun tak dapat mencegah cepat ia melindungi gadis itu dari dekat.
Ma Kiu terkejut dan cepat ia bersa-ma adik-adiknya menyambut serangan Kwi Lan dan sekaligus tiga orang menangkis sedangkan tiga orang lain mem-balas dengan serangan dari Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 249
kanan kiri. Akan tetapi Kwi Lan tidak peduli akan serangan ini, bahkan ia terus menerjang maju ke arah Ma Kiu dengan tikaman dan sabetan pedang bertubi-tubi! Melihat ini, tiga orang anggauta Cap-ji-liong menjadi girang dan mengira bahwa se-rangan mereka tentu akan mengenai sasaran.
"Trang-trang-trang....!" Tangkisan tongkat Siang Ki amat kerasnya sehingga golok dan pedang yang mengancam Kwi Lan itu sampai terpental dari tangan pemegangnya. Akan tetapi karena Siang Ki sudah terluka dan dalam tangkisan ini ia mempergunakan terlalu banyak tenaga maka ketika ruyung di tangan Cap-ji-liong ke empat menyambar punggung, ia tidak dapat menghindar lagi sehingga punggungnya kena hantaman ruyung! Siang Ki mengeluh dan cepat memutar tubuh menggerakkan tongkat. Robohlah orang Cap-ji-liong pemegang ruyung itu dan pingsan karena perutnya terkena sodokan tongkat! Akan tetapi Siang Ki yang menjadi gelap pandang matanya oleh hantaman ruyung di punggungnya tadi juga roboh karena pada saat itu, dua buah peluru bintang yang mengan-dung racun telah menyambar dan menge-nai dada dan lehernya! Siang Ki roboh pingsan dengan tongkat masih terpegang erat-erat.
Pada saat yang hampir berbareng, Kwi Lan yang menyerang Ma Kiu juga telah berhasil.
Dengan gerakan seperti burung walet terbang miring, gadis itu melompat menghindarkan sambaran se-pasang pedang Ma Kiu, Kemudian dari samping atas tangan kirinya bergerak dan tanpa dapat dicegah lagi jari-jari tangan-nya yang kecil halus namun kuat dan cekatan itu telah menotok tengkuk Ma Kiu. Ma Kiu mengeluarkan jeritan parau dan roboh, kedua pedangnya terlepas. Se-belum adik-adik seperguruannya mampu menolongnya, Kwi Lan sudah meloncat turun, menginjakkan kaki kirinya pada tubuh Ma Kiu yang pingsan itu, meno-dongkan pedangnya ke dada Ketua Thian-liong-pang ini sambil membentak.
"Mundur semua atau kurobek perut Ketua Thian-liong-pang!"
Ancaman yang dikeluarkan dengan suara nyaring penuh amarah ini berhasil. Orang-orang Thian-liong-pang yang tadi-nya sudah menggerakkan senjata hendak membunuh Siang Ki yang sudah tak ber-daya itu menarik kembali senjata masing-masing, juga mereka yang hendak menyerbu Kwi Lan kini terpaksa melang-kah mundur. Akan tetapi sepuluh orang Cap-ji-liong yang belum terluka masih mengurung tubuh Siang Ki yang sudah pingsan.
Mereka bukan orang bodoh dan melihat kepala mereka terjatuh di tangan gadis itu, mereka pun mengurung dan menawan Siang Ki.
"Bebaskan kawanku itu, baru aku akan membebaskan Ketua Thian-liong-pang!" kembali Kwi Lan membentak dan pe-dangnya masih ditodongkan ke arah dada Ma Kiu.
Seorang di antara sepuluh anggauta Cap-ji-liong yang bertubuh kurus bermuka pucat, melangkah maju mewakili teman-temannya. Ia melihat betapa banyaknya anak buah bajak yang roboh menjadi korban nona perkasa itu, dan melihat pula betapa nyawa ketuanya terancam bahaya maut! Akan tetapi ia pun melihat betapa bulu mata Ma Kiu bergerak-gerak, tanda bahwa ketuanya itu tidak pingsan! Memang dalam hal ini Kwi Lan kurang menghargai kepandaian lawan. Ia tidak tahu bahwa Ma Kiu berjuluk Thai-lek-kwi (Setan Bertenaga Besar), memi-liki gwa-kang yang bukan main kuatnya sehingga jalan darah di tubuhnya seakan-akan terlindung oleh otot-otot baja dan kulit besi! Tadi ketika terkena totokan, Ketua Thian-liong-pang ini hanya puyeng sebentar akan tetapi jalan darahnya ti-daklah terhenti seperti yang disangka Kwi Lan. Ia hanya setengah pingsan se-bentar saja dan kini ia sudah sadar kembali. Akan tetapi dasar ia cerdik, ia diam saja karena maklum bahwa sedikit saja ia bergerak, tentu gadis yang sakti ini akan curiga dan menusuk dadanya.
"Hemm, Mutiara Hitam." kata ang-gauta Cap-ji-liong yang bermuka pucat tadi, "keadaanmu tidak menguntungkan akan tetapi kau masih membuka mulut besar! Kau boleh mengancam ketua kami akan tetapi kami pun dapat mengancam nyawa kawan baik dan kekasihmu ini. Ha-ha-ha!"
Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, pandang matanya melotot dan ia mem-bentak, "Baik, Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 250
kau boleh bunuh dia, akan tetapi selain ketuamu ini kubunuh, juga semua orang Thian-liong-pang takkan kubiarkan hidup!" Tiba-tiba anggauta Cap-ji-liong yang bermuka pucat itu bersuit nyaring dan mereka berbareng menerjang maju pada saat Ma Kiu meng-gerakkan tubuh bergulingan menjauhi Kwi Lan!
Golok Sakti 6 Pusaka Tongkat Sakti Karya Tjoe Beng Siang Si Pemanah Gadis 6
^