Pencarian

Mutiara Hitam 13

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


Ia hanya terheran mengapa kakek ini bertanya, demikian, lebih heran lagi karena baru saja gurunya pun bertanya demikian.
"Aku tidak tahu, Lopek. Aku suka kepadanya tentu saja karena dia seorang yang baik, dia seorang sahabatku. Akan tetapi cinta...." Ah, aku sendiri tidak tahu apakah itu cinta, kurasa aku tidak mencinta siapa-siapa."
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira dan ia memegang tangan Kwi Lan.
"Ah, alangkah lega dan girang hatiku, Nona. Tapi.... tapi.... ah, apa bedanya" Dia tetap saja mencintamu."
"Kalau begitu mengapa, Lopek" Mengapa pernyataan cinta Siang Ki ke-padaku begini mendukakan hati Enci Goat dan kau?"
Kembali kakek itu menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya. "Dahu-lu, ayah pemuda itu adalah sahabat baik-ku. Yu Kang Tianglo pernah melihat Goat-ji di waktu anakku berusia satu tahun dan puteranya juga berusia satu tahun. Dan pada waktu itu, Yu Kang Tianglo mengikat jodoh antara kami, Goat-ji dan Siang Ki. Sudah bertahun--tahun aku membawa anakku merantau, mencari tunangannya. Akhirnya kami mendengar bahwa Yu Siang Ki telah menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang. Ka-mi menyusul ke sana akan tetapi dia sudah pergi.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 301
Kami mengikuti jejaknya terus sampai dapat berjumpa, bahkan menolongnya. Akan tetapi tadi pemuda itu menyatakan bahwa dia mencintamu dan tentu saja kau mengerti betapa hancur dan malu rasa hati Goat-ji...."
"Ahhh....!" Kwi Lan berseru kaget. "Kasihan sekali Enci Goat! Kenapa Siang Ki begitu tidak tahu aturan dan tidak mengenal budi?"
Melihat gadis itu kelihatan marah-marah, Song Hai memegang tangannya. Jangan
kaupersalahkan sahabatmu itu, Nona. Yu-pangcu sama sekali tidak tahu agaknya akan tali perjodohan yang diten-tukan mendiang ayahnya itu. Karena melihat sikapnya yang berbudi, kurasa kalau dia tahu tentu dia tidak akan me-lakukan hal yang begitu menyakitkan hati Goat-ji. Sudahlah, urusan ini tidak perlu dipersoalkan, soal jodoh berada di tangan Thian. Manusia tidak berkuasa memaksa-kan. Selamat berpisah, Nona." Kakek itu membalikkan diri
meninggalkan Kwi Lan. Akan tetapi baru saja berjalan beberapa langkah, ia membalik dan berkata.
"Ayah, tolong kausampaikan Gurumu. Kepadanya aku tadi tidak berani bicara karena khawatir menyinggungnya, akan tetapi mengingat engkau, Nona, maka wajib kuberitahukan agar kausampaikan kepada Gurumu. Agar dia cepat-cepat menghilangkan semua tenaga sinkang, menghentikan latihan dan tidak menge-rahkan tenaga lagi agar nyawanya dapat tertolong."
"Heee" Kenapa, Lopek?"
"Dia.... telah salah berlatih. Aku melihat cahaya maut di wajahnya, tanda bahwa hawa sakti yang terhimpun secara keliru di dalam tubuh meracuni darah dan merusak bagian dalam tubuhnya. Dan.... dan kau sendiri, Nona, karena kau masih muda dan kau kuat maka belum tampak tanda-tanda itu. Hanya meng-ingat keadaan Gurumu, bukan tidak mungkin engkau kelak akan terancam oleh bahaya yang sama. Maka lekas kau mencari guru yang sakti dan minta pe-tunjuknya. Dalam hal ini, aku sendiri tak dapat memberi petunjuk. Ilmu silatku belum setinggi itu." Setelah berkata de-mikian, kakek itu membalikkan tubuh dan kali ini ia tidak menengok lagi sampai lenyap di balik pohon-pohon besar.
Kwi Lan tergesa-gesa kembali ke pondok. Ia melihat Yu Siang Ki telah berdiri di luar pondok, agaknya menanti--nanti kedatangannya. Begitu melihat munculnya gadis itu, Siang Ki tersenyum gembira dan berkata, "Kwi Lan, kita harus cepat-cepat pergi dari sini, siapa tahu kalau-kalau iblis itu kembali lagi dan...."
Pemuda itu menghentikan kata-kata-nya karena melihat wajah gadis itu me-rah sekali dan sinar matanya seakan--akan dua batang pedang ditodongkan ke ulu hatinya. "Eh.... eh...., ada apakah....?"
Kwi Lan berdiri di depan pemuda itu, tangan kiri bertolak pinggang, lengan kanan diulur ke depan dengan telunjuk ditudingkan hampir menyentuh hidung Yu Siang Ki, suaranya ketus ketika kata-katanya keluar menghambur dari bibir yang merah.
"Kau ini seorang yang sangat bo-ceng-li!"
"Hah....?" Siang Ki memandang be-ngong, benar-benar kaget, heran dan tidak mengerti mengapa tiada hujan tia-da angin gadis ini marah-marah seperti kilat menyambar-nyambar, mengatakan ia bo-ceng-li (tak tahu aturan)!
"Kau tidak setia, tidak mengenal budi, dan berhati kejam!" Kembali Kwi Lan menyerang dengan hardikannya tanpa mempedulikan keheranan dan kebingungan pemuda itu.
"Aahhh....?" "Semenjak berusia setahun, kau telah ditunangkan dengan Enci Goat oleh men-diang Ayahmu!"
"Ehhh....?" "Enci Goat dan Ayahnya bertahun-tahun mencarimu, setelah bertemu me-reka telah
menyelamatkan nyawamu. Akan tetapi, apa yang kaulakukan kepa-danya" Di depan Enci Goat, kau secara bo-ceng-li sekali menyatakan bahwa kau mencintaku!"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 302
"Ohhhh....?" "Huh! Bisanya cuma ah-eh-oh! Laki-laki macam apa kau ini" Tidak setia, tidak mengenal budi, malah menghancur-kan hati Enci Goat yang begitu baik! Kalau tidak ingat engkau sahabatku, se-karang juga sudah kutusuk dadamu, ku-keluarkan hatimu!"
"Eeee-eeeh, nanti dulu Kwi Lan. Apa artinya semua ini" Tentang tunangan itu, dalam usia setahun, bagaimana pula ini" Sungguh aku tidak mengerti...."
"Benar kau tidak mengerti" Kau tidak tahu" Berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu akan ikatan jodoh antara kau dan Enci Goat" Bersumpahlah kalau kau berani menyangkal!"
"Sungguh mati aku tidak tahu seujung rambut pun. Kalau aku tahu dan me-nyangkal, biarlah aku disambar geledek!"
"Huh, enak saja laki-laki bersumpah. Di hari terang seperti ini, tiada hujan tiada angin, mana mungkin ada geledek?"
Siang Ki menahan senyum di hatinya yang perih. Ah, Kwi Lan, kau tidak tahu betapa miripnya kau dengan sinar kilat menyambar-nyambar ketika datang-datang marah tiada ujung pangkalnya, indah gemilang seperti kilat, namun amat berbahaya dan sambarannya kini sudah tera-sa nyeri jantungnya.
"Sungguh Kwi Lan. Mendiang Ayahku tidak pernah bicara sesuatu mengenai hal itu.
Bagaimana kau bisa tahu akan per-tunanganku itu" Siapa yang memberitahu kepadamu?"
Melihat sinar mata pemuda itu, Kwi Lan percaya bahwa memang benar Siang Ki belum tahu akan tali perjodohan yang mengikatnya, maka dengan suara yang lebih sabar ia lalu menceritakan perte-muannya dengan Song Hai dan tentang cerita kakek itu.
"Karena mendiang Ayahmu sendiri yang menentukan ikatan jodoh, tentu saja sejak kecil Enci Goat sudah menganggap dirinya calon isterimu, demikian pula Song-lopek tidak memandang lain pemuda karena menganggap kau sebagai calon mantu."
"Ah...., akan tetapi mengapa mereka tidak mau memberitahu kepadaku" Sung-guh mati, Kwi Lan. Andaikata aku tahu, betapapun hancur hatiku, kiranya aku tidak akan begitu keji untuk menyatakan cinta kasihku kepadamu di depan mereka. Aduh, Kwi Lan, aku menjadi bingung se-kali, aku menjadi malu kepada mereka. Katakanlah, Kwi Lan, engkau yang sudah tahu rahasia hatiku, engkau satu-satunya wanita yang pernah kucinta, apakah yang harus kulakukan sekarang?" Dengan lemas Siang Ki menjatuhkan diri, duduk di atas tanah dengan wajah muram.
Betapapun juga, di dalam hatinya Kwi Lan amat suka kepada pemuda yang ia tahu amat baik ini. Agaknya tidak akan sukar baginya untuk memperdalam rasa suka ini menjadi rasa cinta, kalau saja dia diberi waktu dan kesempatan. Akan tetapi pengertian bahwa pemuda ini ada-lah
"hak milik" Song Goat, tentu saja menghapus semua bibit-bibit cinta dari hatinya. Ia merasa kasihan, lalu duduk pula di atas tanah, menyentuh lengan pemuda itu sambil berkata, suaranya halus.
"Siang Ki, ke mana perginya sifat gagahmu" Mungkinkah seorang pendekar muda seperti engkau, seorang Ketua Khong-sim Kai-pang, menjadi begini le-mah hanya oleh urusan yang menyangkut perasaanmu sendiri" Hayo usirlah semua kebingungan dan kedukaanmu. Lihat baik-baik, Siang Ki. Aku tidak mencintamu, aku tidak mungkin bisa cinta kepadamu, kecuali sebagai seorang adik. Seorang gagah seperti engkau sudah sepatutnya menjunjung tinggi nama Ayahmu dan memenuhi janji Ayahmu, juga harus kau jaga masa depan Enci Goat yang tentu saja selamanya tidak akan sudi menikah dengan orang lain karena sejak kecil sudah merasa menjadi jodohmu. Sekarang Enci Goat melarikan diri dalam keadaan duka dan merana. Kewajibanmulah untuk mencarinya dan menyambung kembali ikatan yang kauputus tanpa kauketahui."
"Ke mana.... aku harus mencarinya?"
"Entahlah, aku sendiri akan pergi ke kota raja, memenuhi pesan Bibi Sian."
"Aku sedang mencari Paman Suling Emas. Apakah kau tidak jadi pergi ke Khitan?"
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 303
"Tentu jadi nanti, setelah selesai urusanku memenuhi pesan Bibi Sian di kota raja."
"Kalau begitu, kita dapat melakukan perjalanan bersama!"
Kwi Lan memandang pemuda itu de-ngan kening berkerut karena melihat seri gembira pada wajah itu. "Yu Siang Ki! Masih belum sadarkah engkau daripada lamunanmu yang kosong!
Engkau adalah calon suami Enci Goat, jangan kauharap untuk aku.... aku...."
Siang Ki tersenyum duka dan meng-geleng kepala. "Betapa pun perih hatiku, aku harus membenarkan pendapatmu dan aku tidak akan bertindak bodoh menurutkan hati dan
perasaan, Kwi Lan. Tidak, aku hanya ingin melakukan perjalanan bersamamu, pertama karena dengan de-mikian kita akan lebih kuat menghadapi musuh-musuh yang lihai. Kedua, kalau sampai kita dapat berjumpa dengan.... Nona Goat, hanya engkaulah yang dapat menolongku untuk menerangkannya ten-tang.... eh, tentang kebodohanku. Kalau bukan kau yang.
menjelaskannya, tentu ia tidak percaya kepadaku."
Kwi Lan berpikir sebentar lalu meng-angguk. "Alasanmu memang kuat. Baik-lah, kita melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi, awas dan ingat, aku hanya seorang sahabat dan kita saling mencinta seperti kakak beradik."
Kemudian Siang Ki menarik napas panjang melepaskan kedukaan hatinya.
"Sejak detik ini kau sudah kuanggap seorang gi-moi (adik angkat karena ikat-an budi)."
"Baiklah, kau menjadi gi-heng (kakak angkat). Mari kita berangkat, sedapat mungkin kita kejar Enci Goat."
Tanpa menjawab Siang Ki lalu melon-cat bangun dan pergilah dua orang muda itu
meninggalkan hutan. *** Setelah menuliskan pesan pada sapu-tangan putih yang ia pasang di batang pohon, Song Goat terus melarikan diri sambil menangis. Jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Teringat ia betapa dengan susah payah ayahnya membawanya me-rantau sampai bertahun-tahun, dan beta-pa hatinya berdebar tegang penuh pera-saan puas dan gembira ketika akhirnya ia melihat pemuda yang dijodohkan dengan-nya, pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Bahagia terasa di hatinya ketika ia dan ayahnya, dengan jalan menempuh bahaya maut, berhasil merampas Siang Ki dari tangan orang-orang Thian-liong-pang kemudian bahkan mengobatinya dan menyelamatkan nyawa calon suaminya itu. Rasa malu dan jengah tertutup oleh sinar cinta kasih yang mekar di lubuk hatinya ketika ia melihat calon suaminya ini. Akan tetapi, alangkah besar kedu-kaan dan kekecewaan hatinya mendengar orang yang sejak kecil dijodohkan dengan dirinya itu di depannya, dan di depan ayahnya, secara terang-terangan mengaku cinta kepada, Kwi Lan! Ia merasa dikhianati merasa dicurangi dan hatinya sakit sekali. Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw meminangnya, namun semua ditolak ayahnya yang memegang teguh janjinya dengan mendiang Yu Kang Tianglo, sahabatnya. Dan lebih banyak lagi dia sendiri menangkap sinar kagum dan mesra penuh kasih dari pandang mata banyak pemuda-pemuda tampan, namun ia selalu tidak sudi melayani mereka oleh karena hatinya sudah penuh dengan keyakinan dan kesetiaan bahwa dia adalah jodoh putera Yu Kang Tiang-lo!
Song Goat berjalan terus tanpa tu-juan. Hatinya yang pedih membuat kaki-nya bergerak menempuh jalan-jalan yang paling sukar. Pandang matanya muram tertutup air mata dan wajahnya agak pucat. Setelah hari menjadi gelap, baru-lah ia terpaksa berhenti karena tak mungkin melanjutkan perjalanan yang amat sukar itu di malam gelap. Betapa pun nelangsa hatinya, Song Goat sama sekali tidak mempunyai niat untuk bunuh diri. Pendidikan ayahnya tentang kebatin-an sudah mendalam sehingga perbuatan ini merupakan pantangan besar baginya. Ayahnya sebagai ahli pengobatan berpen-dirian bahwa manusia harus menjaga diri harus memelihara tubuh dan memperta-hankan nyawa sekuatnya, menentang maut sedapat mungkin karena hal ini merupakan satu daripada kewajiban hi-dup. Bunuh diri merupakan perbuatan yang paling hina dan pengecut.
Tidak, dia tidak mau membunuh diri dan melanjutkan perjalanan dalam gelap melalui jurang-Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 304
jurang berbatu-batu itu yang sama halnya dengan usaha bunuh diri. Rasa lapar di perutnya menambah kesengsaraannya, namun sambil menggigit bibir Song Goat menahan lapar lalu men-cari tempat di antara batu-batu besar yang merupakan dinding tinggi di sebelah kirinya, untuk tempat berlindung mele-watkan malam.
Tempat di lereng gunung ini amat sunyi. Tiada terdengar sesuatu, tiada terlihat sesuatu yang hidup. Hanya penuh batu-batu dan guha-guha batu. Mula-mula sebelum datang malam, tidak tampak sesuatu yang menandakan bahwa di se-kitar tempat itu ada manusia lain. Akan tetapi setelah cuaca menjadi gelap, dari tempat ia mengaso, Song Goat dapat melihat cahaya menyorot keluar dari guha-guha batu sejauh sepelepasan anak panah. Cahaya yang menyorot keluar di antara celah-celah batu itu bergerak-gerak, tanda bahwa itu adalah cahaya api yang menyala dan bergerak-gerak terhembus angin. Ia merasa, heran dan curiga. Siapakah orangnya menjadi peng-huni tempat yang sunyi dan liar ini" Keinginan tahu yang besar menyelubungi hatinya dan membuat ia bangkit dan per-lahan-lahan ia menunduk dan
menyelinap di antara batu-batu besar menghampiri guha itu. Dari celah-celah batu di luar guha yang diterangi sinar api unggun itu ia mengintai dan.... otomatis tangan kiri Song Goat menutup mulutnya untuk men-cegah suara keluar dari mulut itu, mata-nya terbelalak dan mukanya menjadi merah saking jengah. Ia tentu akan segera membuang muka dan mundur agar tidak melihat lagi pemandangan yang tidak sopan itu kalau saja pengertiannya tentang cara pengobatan tidak membuat ia sadar dan maklum bahwa dua orang di dalam guha itu tengah melakukan latihan untuk penyembuhan luka di dalam yang amat hebat. Dua orang sedang duduk bersila, saling berhadapan, kedua pasang tangan saling menempel pada telapakan, mata meram dari kepala mereka tampak uap mengebul ke atas. Yang membuat ia malu dan jengah adalah keadaan mereka yang telanjang bulat dan mereka itu adalah seorang pemuda tampan dan se-orang gadis cantik!
Song Goat banyak belajar ilmu peng-obatan dari ayahnya. Biarpun belum per-nah ayahnya melakukan cara pengobatan seaneh yang dilakukan dua orang di da-lam guha, namun gadis itu pernah men-dengar tentang pengobatan dengan cara menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh ke tubuh orang lain yang diobati. Ia bah-kan tahu pula cara menyalurkan ini da-pat pula ia membantu seorang yang ter-luka di bagian dalam tubuhnya dengan penyaluran tenaga melalui telapak ta-ngan. Akan tetapi dalam keadaan telan-jang bulat seperti itu! Benar-benar baru kali ini ia melihatnya! Tentu ini merupa-kan cara pengobatan kaum sesat pikir-nya.
Karena ingin tahu, ia melawan perasaan malu dan jengah serta terus memandang keadaan dua orang muda yang ia anggap tidak tahu akan susila itu.
Setelah pandang matanya mulai ter-biasa dengan sinar api unggun yang ber-gerak-gerak itu, ia mengenal wanita cantik yang telanjang bulat itu. Kiranya wanita itu adalah gadis berpakaian merah yang memimpin para hwesio Tibet me-nyerang Siauw-bin Lo-mo, gadis yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni! Ah, pantas saja mereka melakukan cara pengobatan macam ini, pikirnya. Tidak salah lagi, pemuda tampan ini pun tentu seorang anggauta kaum sesat. Ber-pikir demikian, Song Goat menjadi muak dan hendak menyelinap pergi, akan tetapi ia urungkan niatnya ketika melihat ber-kelebatnya bayangan empat orang tinggi besar memasuki guha itu. Ia mengintai dan melihat bahwa empat orang ini ada-lah hwesio-hwesio berjubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu! Hemmm, kira-nya tempat ini menjadi tempat berkum-pul kaum sesat ini, pikirnya dengan hati berdebar. Kini tahulah ia bahwa ia ter-sesat ke sarang harimau, ke tempat musuh dan kalau sampai ia diketahui orang, tentu akan celaka. Baru murid Siang-mou Sin-ni saja sudah amat hebat dan tinggi tingkat kepandaiannya, tidak terlawan olehnya. Apalagi ditambah hwe-sio-hwesio itu dan pemuda tampan tak tahu malu ini! Dia harus cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya ini, ma-lam ini juga.
Akan tetapi, kembali Song Goat menahan gerakan kakinya yang sudah melangkah hendak pergi dan matanya terbelalak memandang ke dalam guha. Hal yang sama sekali tidak Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 305
disangka-sangkanya terjadi. Empat orang hwesio jubah merah itu mencabut golok dan pedang masing-masing, lalu serempak menyerang pemuda yang masih duduk bersila tak bergerak sambil meramkan mata! Hampir saja Song Goat berseru kaget melihat gemerlapnya empat batang senjata tajam itu melayang ke arah Si Pemuda. Juga kini baru tampak oleh Song Goat bahwa tubuh pemuda tampan itu dari leher ke bawah berwarna kehitaman. Tadi ia tidak sampai hati memandang tubuh telanjang bulat itu, kini dalam sekilas pandang karena pemuda itu terancam bahaya, baru ia melihatnya dan tahulah ia bahwa pemuda itu telah keracunan secara hebat sekali. Melihat betapa tubuh wanita itu putih bersih dan kemerahan
membayangkan kesehatan, ia kini tahu bahwa Si Wanita itulah yang sedang menyalurkan hawa sakti untuk membantu dan mengobati Si Pemuda. Dan kini pemuda itu diserang hebat da-lam keadaan tidak berdaya sama sekali.
Song Goat melihat betapa wanita cantik murid Siang-mou Sin-ni itu mem-buka mata, terbelalak, lalu tangan ka-nannya yang tadinya menempel pada telapak tangan pemuda itu terlepas, dan secepat kilat tangan itu mendorong ke depan melalui atas kepala pemuda itu, empat kali berturut-turut mendorong ke arah empat orang hwesio jubah merah yang tidak memperhatikannya. Dari ta-ngan kanan itu meluncur hawa pukulan yang jelas tampak bersinar merah ke arah empat orang hwesio jubah merah dan.... empat orang hwesio itu menge-luarkan pekik mengerikan, senjata mere-ka terlepas dan mereka terjengkang ke belakang dengan mata terbelalak dan tewas seketika!
Akan tetapi tubuh wanita cantik itu sendiri tergetar hebat, tangan kirinya menggigil kemudian tubuhnya sendiri terjengkang, telentang, seluruh tubuhnya kini menjadi menghitam napasnya terengah-engah. Anehnya tubuh Si Pemuda yang tadinya menghitam itu kini menjadi putih bersih dari leher sampai ke ping-gang, dan warna kehitaman hanya tam-pak dari pinggang ke bawah.
"Celaka....!" seru Song Goat dalam hatinya. Melihat wanita cantik itu meno-long Si Pemuda dan mengorbankan diri- sendiri, timbul rasa simpatinya dan ia dapat menduga bahwa wanita itu kini terluka hebat sekali, sebaliknya Si Pe-muda itu sudah terobati sebagian besar dan masih ada harapan tertolong nyawanya.
Setelah kedua telapak tangannya ter-lepas dari kedua tangan wanita itu, Si Pemuda tubuhnya bergoyang-goyang, kemudian ia membuka matanya. Melihat wanita itu telentang dengan tubuh meng-hitam dan di sekelilingnya rebah empat orang hwesio jubah merah yang sudah tewas semua, pemuda itu meloncat dan menubruk wanita cantik itu mengangkat kepalanya dan dipangkunya kepala itu.
"Leng In.... ah, Leng In...." pemuda itu berbisik, penuh perasaan terharu dan khawatir.
Po Leng In, wanita itu, membuka mata dan tersenyum, senyum yang mem-bayangkan maut, senyum yang amat menyedihkan, kedua lengannya bergerak seperti hendak merangkul leher, akan tetapi rebah kembali dengan lemas, bi-birnya bergerak.
"....aku puas.... dapat mengakhiri hidup dalam keadaan begini.... aku baha-gia.... dapat menolongmu, kekasihku.... " Po Leng In masih berusaha menggerakkan tubuh, agaknya ingin sekali bicara banyak, akan tetapi ia menjadi lemas, tubuhnya tiba-tiba kejang dan kemudian lemas, tak bernyawa lagi.
"Leng In !" Pemuda itu mempererat pelukannya, membenamkan muka pada rambut yang
hitam halus itu menahan sedu sedan yang naik ke tenggorok-annya. Melihat ini, Song Goat terharu.
Siapa pun pemuda itu, betapapun ia men-jadi sekutu murid Siang-mou Sin-ni, men-jadi kekasih wanita sesat itu dan terang juga seorang sesat, namun melihat pe-muda itu berduka dan terharu, ia ikut merasakan kedukaannya. Ia dapat merasa betapa perih hati ditinggali orang yang dicintanya. Dan ia pun merasa seolah--olah ia dipaksa berpisah dari orang yang dicintanya, dari calon suaminya. Tak ter-tahankan lagi, ia pun terisak, namun ditahan-Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 306
tahannya. Tiba-tiba tubuh pemuda yang telan-jang bulat itu mencelat keluar dari guha. Terbuktilah kelihaian pemuda itu. Suara-nya menahan isak yang begitu lirih ternyata didengar pemuda itu dan gerakan pemuda itu meloncat bukan main ringan-nya, tahu-tahu sudah berada di depannya dengan sikap mengancam dan bengis, siap hendak menyerang. Akan tetapi agaknya pemuda itu kaget, heran, ragu dan jengah ketika melihat bahwa yang meng-intai adalah seorang gadis cantik bukan seorang hwesio jubah merah. Dan wajah yang tampan dan penuh keheranan dan kedukaan itu tiba-tiba menyeringai me-nahan sakit tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan di depan kaki Song Goat.
Keinginan pertama yang memenuhi hati Song Goat adalah cepat-cepat pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi watak yang dibentuk ayahnya semenjak kecil, watak yang ingin menolong orang yang sedang menderita sakit, watak yang ingin melawan segala macam penyakit yang hendak merenggut nyawa orang siapa pun adanya orang itu, membuat ia menekan perasaannya, mem-perbesar nyalinya dan ia segera melon-cat ke dalam guha. Ia membungkuk dan memeriksa nadi serta dada Po Leng In, hanya untuk mendapat keyakinan bahwa wanita itu tak dapat ditolong lagi, sudah tewas akibat racun yang menerobos melalui telapak tangan pemuda itu. Hawa beracun itu menerobos memasuki tubuhnya karena wanita ini tadi mengerahkan semua tenaga untuk merobohkan empat orang hwesio jubah merah.
Dengan sendirinya, tubuhnya menjadi lemah dan kosong, tidak ada daya tahan sehingga penyaluran hawa sakti dari pemuda itu menerobos dan membawa sebagian besar hawa
beracun pindah ke dalam tubuhnya! Ketika Song Goat melirik ke arah empat orang hwesio jubah merah, tanpa memeriksa lagi ia sudah yakin bahwa mereka semua tewas dengan mata mendelik, mata terbuka lebar namun sama sekali tidak bergerak dan tidak ada cahayanya, mata orang-orang mati.
Ia menghela napas panjang. Tidak ada yang dapat ia kerjakan lagi di dalam guha yang menjadi kuburan lima orang itu, maka ia lalu menyambar tumpukan pakaian warna putih di dekat tumpukan pakaian warna merah, membawa pakaian itu keluar dan ia membungkuk lalu memeriksa detik nadi dan dada pemuda tampan itu. Benar seperti diduganya, pemuda ini tertolong dari pinggang ke atas sudah bebas hawa beracun, akan tetapi di bagian bawah tubuhnya masih menghitam. Kalau tidak cepat mendapat pertolongan yang tepat, nyawa pemuda ini pun masih terancam bahaya maut. Sebagai puteri tunggal Yok san jin, ia maklum bahwa hawa beracun yang me-racuni pemuda ini aneh dan jahat bukan main. Dan sudah menjadi watak ayahnya apabila menghadapi penyakit atau racun yang amat jahat, makin jahat makin ter-tariklah hatinya, makin besar semangat-nya untuk melawan dan mengalahkan penyakit atau racun itu! Ia lalu menge-nakan pakaian pemuda itu sedapatnya dengan perasaan jengah dan seberapa dapat tanpa melihat tubuh pemuda itu sehingga cara ia mengenakan pakaian itupun tidak karuan, seolah olah tubuh pemuda itu hanya ia bungkus saja dengan pakaian putih itu. Kemudian ia mengem-pit tubuh pemuda itu, dikempit bagian pinggangnya dan pergilah Song Goat me-ninggalkan guha yang mengerikan tadi.
Ia harus cepat ditolong, kalau tidak, menurut taksirannya, dalam waktu kurang dari tiga puluh enam jam tentu sukar ditolong pula. Dan ia membutuhkan banyak benda, air mendidih, beberapa daun obat. Mulailah Song Goat merayap dan berjalan perlahan menuruni lereng dari atas mencari cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia melihat cahaya pe-nerangan dari sekelompok rumah rumah, tentu sebuah dusun. Dipercepatnya jalan-nya dan menjelang fajar ia sudah me-masuki sebuah dusun yang cukup besar. Ia mencari cari kemudian mengetuk pintu sebuah kedai makan di sudut dusun. Tak lama kemudian daun pintu dibuka dan seorang laki laki gemuk setengah tua muncul. Dia pemilik kedai dan selalu bangun pagi pagi untuk mempersiapkan kedainya. Kini ia memandang dengan heran melihat seorang gadis cantik jelita sepagi ini sudah datang berkunjung sam-bil mengempit tubuh seorang laki laki yang pingsan.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 307
....ehh...., Nona siapakah...." Mau apa...." Dan.... dia ini...."
Paman, aku seorang ahli pengobatan, sahabatku ini sakit keras. Hari ini ku-sewa kedaimu, atau setidaknya dapurmu.
Tapi.... tapi.... mana bisa...."
Tidak ada tapi, Paman. Demi nyawa orang ini, kau harus menolongku. Hanya sehari kusewa kedai dan dapurmu. Pula, adakah kedaimu dapat menghasilkan sebanyak ini dalam sehari"
Song Goat mengeluarkan sebuah gelang emas dan melemparkannya ke atas meja. Kau
terimalah gelang itu, untuk sewa kedai sehari.
Tukang kedai itu dengan bingung dan ragu-ragu memandang Song Goat, kemudian
memandang wajah pemuda yang sakit, lalu melirik ke arah gelang emas di atas meja, kalamenjingnya naik turun. Sudah amat lama ia sebagai duda ter-gila gila kepada seorang janda muda di dusun itu akan tetapi belum juga berhasil memikatnya. Dengan gelang emas seindah itu agaknya... hemm, akan tetapi ia ha-rus hati hati.
Orang ini.... bagaimana kalau mati di tempatku"
Tidak, Paman. Ia akan hidup dan ini tergantung pertolonganmu juga. Lekas kau nyalakan perapian di dapur dan ada-kah Paman mempunyai sebuah ember besar yang cukup besar dimasuki orang ini"
Haaah?" Si Gendut itu terbelalak, heran akan tetapi mengangguk-angguk dan ia segera memasuki dapur diikuti Song Goat setelah merapatkan kembali daun pintu depan.
Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu memilih sebuah tempat masak air yang amat besar, dengan gantungan ka-wat yang kuat. Juga ia melihat bahwa tempat perapian cukup besar.
Memang kedai itu adalah kedai makanan. Hatinya puas.
Paman, harap kautolong isi panci besar itu dengan air dan persiapkan pe-rapian. Aku hendak mencari beberapa daun obat di hutan, kata Song Goat sambil menurunkan dan merebahkan tu-buh pemuda itu di atas sebuah bangku panjang yang terdapat di ruangan belakang.
Pemuda itu mengeluh lalu membuka matanya, menoleh ke kanan kiri. Ketika melihat dirinya rebah di atas bangku dalam sebuah kamar yang tidak begitu bersih, ia terheran. Lebih lebih lagi ke-heranannya ketika ia melihat seorang gadis cantik bersanggul tinggi berdiri di dekatnya dan dengan gerakan dan tangan berkulit halus menahan dadanya, men-cegahnya untuk bangkit.
Kau keracunan hebat. Aku berusaha mengobatimu. Kau akan sembuh dan bebas dari bahaya maut kalau mentaati pesanku. Kalau kau membangkang kau akan mati. Kau rebah saja di sini, jangan turun dan banyak bergerak. Aku akan pergi mencari daun obat di hutan. Tak perlu bercerita apa-apa dengan Paman pemilik kedai yang sibuk di dapur. Sikap Song Goat kasar dan ketus. Makin ketus dan kasar sikapnya ketika melihat bahwa laki-laki muda ini benar-benar amat tampan dan sepasang matanya menge-luarkan sinar lembut tapi tajam menem-bus jantung. Terhadap seorang pemuda sesat sahabat dan kekasih murid Siang--mou Sin ni, tak perlu ia bersikap halus pikirnya.
Pemuda itu kini sudah membuka mata lebar-lebar dan bibirnya tersenyum ketika dapat mengenal sikap kasar dan ketus yang dibuat-buat itu. Ia sudah terlampau, masak dalam pengalamannya untuk mengenal sifat wanita-wanita cantik seperti ini!
Ah, kiranya aku diselamatkan oleh seorang dewi dari kahyangan. Apakah engkau Kwan Im Pouwsat (Dewi Kasih Sayang), Nona"
Merah muka Song Goat. Selama hi-dupnya belum pernah Ia dirayu laki laki, apalagi kalau laki laki itu setampan dan segagah ini, dengan kata-kata merayu yang halus tapi
menyenangkan hati. Akan tetapi kembali ia teringat bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda sesat, maka ia memaksa diri cemberut dan pandang matanya galak. Bahkan ia tidak men-jawab hanya sibuk mempersiapkan sebuah bungkusan kuning dari saku dalam baju-nya, lalu menuang isi bungkusan yang berwarna merah ke dalam tekoan (tem-pat teh) itu.
Kemudian, juga masih cem-berut tanpa bicara, ia menghampiri pe-muda itu dan dengan jari-Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 308
jari tangannya ia memeriksa dan menekan jalan darah di di dekat mata kaki kanan.
Pemuda itu terus mengikuti semua gerakan gadis itu dengan senyum dan mata memandang kagum.
Nona, kau hebat. Kalau bukan penjelmaan Kwan Im Pouwsat, entah siapa dan entah dewi dari kahyangan mana....
Kau diamlah. Simpan kelakarmu itu untuk orang orang segolonganmu! Aku Song Goat....
hemm, aku puteri Song Yok san jin. Engkau dalam keadaan se-tengah hidup setengah mati.
Kalau kau mau kuobati, kau diam saja. Aku mau pergi mencari beberapa daun obat. Pada saat itu, Si Gendut pemilik kedai muncul dari dapur dan Song Goat segera berkata kepadanya, Paman, aku pergi sekarang mencari obat. Kaugodok obat bubuk ini dengan air setekoan penuh, dan sisakan setengah mangkok, kemudian suruh diminum sampai habis. Setelah berkata demikian dengan sikap marah tanpa me-noleh lagi sedikit pun kepada pemuda itu, Song Goat berkelebat dan bayangannya lenyap menerobos lubang jendela. Pemilik kedai memandang melongo sampai lama, tercengang keheranan, juga pandang matanya
membayangkan rasa ketakutan. Ketika ia memandang pemuda yang sakit itu, ia makin heran karena pemuda itu tersenyum lebar, agaknya sama sekali tidak heran melihat betapa gadis cantik tadi terbang begitu saja keluar jendela seperti seekor burung!
Kau kenapa, Paman Gedut" pemuda itu menegurnya sambil tertawa.
Kau tanya kenapa, orang muda" Tidakkah kau melihat semua keanehan ini" Gadis cantik itu datang di waktu fajar mengempit tubuhmu, lalu menyewa kedaiku dengan bayaran tinggi, kini ia menghilang begitu saja melalui jendela. Biar disambar geledek aku kalau hal ini bukan aneh namanya! Mimpikah aku" Atau... setan... eh, bidadarikah dia" Dan kau, orang muda, kau benar benar sakit- kah"
Pemuda itu tertawa dan memang amat mengherankan seorang yang kata-nya sakit terancam maut bisa tertawa dan bersikap setenang itu. Paman, dia itu tadi seorang bidadari. Lebih baik aku dan Paman mentaati semua perintahnya agar mendapat berkahnya!
Pemilik kedai itu menjulurkan lidahnya, menggeleng geleng kepala kemudian bergegas memasuki dapur membawa te-koan berisi obat untuk dimasaknya se-suai dengan perintah Si Dewi tadi. Se-telah Si Gendut itu pergi, pemuda itu lalu bangkit, duduk bersila dan meramkan mata, mengumpulkan hawa murni di tu-buh untuk menekan racun yang masih mengotori separuh tubuhnya agar jangan menjalar makin luas. Ia tentu saja pernah mendengar akan nama Song Yok -san jin si ahli obat, dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek ahli obat itu mempunyai seorang puteri yang demikian cantik jelita, lebih lebih lagi tak pernah menyangka bahwa ia akan tertolong oleh seorang gadis cantik lain yang jauh bedanya dengan Po Leng In. Teringat akan Po Leng In, ia menarik napas panjang. Patut dikasihani wanita itu.
Memang harus diakui bahwa Po Leng In bukan wanita baik baik dan sudah terlalu banyak dosanya. Akan tetapi ia harus berani mengakui pula bahwa Po Leng In amat baik kepadanya dan ia berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada murid Siang mou Sin ni itu! Ter-ingat akan itu semua, ia tidak dapat mengosongkan pikirannya maka cepat--cepat ia menggunakan kekuatan batin untuk mengusir bayangan-bayangan itu.
Setelah kamar belakang ini diterangi sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela, barulah Song Goat mun-cul dengan cara seperti tadi, yaitu melompat masuk melalui lubang jendela. Wajahnya yang cantik itu kemerahan karena sepagi itu sudah bekerja keras dan berlari-lari, tangannya menggenggam beberapa daun obat dan lehernya ber-keringat. Melihat pemuda itu duduk ber-sila dan bersamadhi dengan cara yang bersih, ia terheran. Sudah ia ketahui bahwa pemuda itu amat lihai akan tetapi cara bersiulian (bersamadhi) seperti itu benar benar di luar dugaan-nya. Pemuda itu pun membuka mata dan melihat Song Goat ia lalu berkata.
Nona, terus terang saja, apakah kau anggap keadaanku masih ada harapan"
Song Goat menggerakkan kedua pun-daknya, Gerakan yang lucu bagi scorang gadis muda Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 309
dan cantik seperti dia, ge-rakan yang ia tiru dari ayahnya. Lucu akan tetapi manis! Entahlah, akan ku-coba menyembuhkannya, kalau dapat. Sayangnya, aku tidak tahu pasti racun apa yang menyerangmu. Setelah minum obat bubuk yang kutinggalkan tadi, bagaimana rasanya dalam perutmu"
Tidak terasa apa-apa. hanya dingin.
Tidak ada rasa gatal-gatal di sekitar pusar"
Tidak. Aneh, kalau terkena pukulan beracun biasanya obat bubukku tadi tentu akan menimbulkan rasa gatal. Hemm, mudah--mudahan saja usahaku menolongmu ber-hasil.
Nona Song, mengapa begini keras benar kau berusaha untuk menolongku"
Gadis itu memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan Si Gadis menjadi marah. Huh, apalagi kalau bu-kan karena kebetulan aku puteri ayahku seorang ahli obat" Sudah menjadi ke-wajiban kami untuk berusaha menyembuhkan siapa saja. Ia berhenti dan cepat
menyambung, Tentu saja kalau si sakit suka diobati!
Pemuda itu tersenyum. Gadis ini se-benarnya halus dan baik budi, akan te-tapi entah mengapa terhadap dia ber-pura pura galak. Kalau begitu, biarlah kubantu usahamu dengan keterangan yang mungkin berguna bagimu. Luka yang me-racuni tubuhku adalah luka dalam akibat pukulan Tok hiat Hoat lek dari Siang- mou Sin ni. Lambungku kena pukul Siang--mou Sin ni.
Song Goat tercengang. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Mengapa pemuda ini yang jelas adalah sahabat dan kekasih murid Siang mou Sin ni, terluka hebat karena pukulan iblis betina itu" Teringatlah ia kini betapa pemuda ini diserang oleh empat orang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!
Hemmm, mengapa kau dipukul Siang--mou Sin ni"
Mengapa" Karena aku musuhnya.
Musuh...." Song Goat terheran. Ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Engkau musuh Siang-mou Sin-ni"
Pemuda itu tersenyum lalu membung-kukkan tubuhnya yang masih duduk ber-sila. Nona Song, maaf, seharusnya eng-kau mengenal siapa yang kautolong ini. Aku she Kiang bernama Liong. Aku tadi-nya berusaha menolong cucu cucu Beng--kauw yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu dan Siang mou Sin ni, akan te-tapi aku dicurangi mereka dan terkena pukulan Tok hiat Hoat lek.
Hemmm...., Song Goat masih ragu-ragu. Kalau kau musuh mereka, kenapa kau dan murid iblis betina itu ....
Ah, kau maksudkan Po Leng In"
Kiang Liong mengerutkan keningnya. Dia memang murid Siang-mou Sin-ni akan tetapi dia telah menolongku, menyela-matkan nyawaku, bahkan.... ia telah me-ngorbankan nyawanya untukku. Dia seorang gadis yang patut dikasihani. Nona Song, aku berterima kasih sekali atas kebaikanmu yang berusaha mengobatiku, akan tetapi pukulan Siang-mou Sin-ni hebat sekali, apakah kiranya masih dapat diobati"
Agak lega hati Song Goat mendengar keterangan Kiang Liong. Ternyata ia tidak menolong orang jahat bahkan me-nolong bekas lawan kaum sesat. Juga kini ia tahu bahwa Po Leng In mencinta pemuda ini dan mengorbankan nyawa, mengkhianati guru sendiri. Ah, Po Leng In lebih bahagia daripada aku, pikirnya duka. orang sesat macam dia saja mem-punyai kekasih yang patut dicinta dan dibela dengan pengorbanan nyawa!
"Akan kucoba dan agaknya sebagian besar tergantung daripada sinkang di tubuhmu sendiri.
Obat-obatku ini harus dicampur dengan air panas dan kau harus merendam diri dalam air panas itu, lebih panas lebih baik kiranya. Akan tetapi, kalau sifat sinkangmu berlawanan, mung-kin akan berbahaya. Bolehkah aku me-mgetahui, siapa gurumu agar aku dapat mengira-ngira tentang hawa sakti di tubuhmu?"
"Kalau bukan engkau yang tanya, Nona, aku segan mengaku. Akan tetapi karena kau
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 310
penolongku dan keterangan ini mungkin berguna, ketahuilah bahwa Suhu adalah Kim-siauw-eng...."
"Suling Emas....?" Song Goat memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia memandang pakaian yang membungkus tubuh Kiang Liong. "Dan kau.... jadi kau adalah.... Kiang-kongcu yang terkenal itu?"
Kini wajah Kiang Liong yang menjadi merah, "Ah, kau berlebihan, Nona. Nona, ayahmu Song-cianpwe barulah nama yang terkenal. Aku Kiang Liong hanya seorang yang.... pada saat ini menggantungkan nyawa kepadamu."
Mau tak mau Song Goat tersenyum. Jantungnya berdebar aneh. Kiranya pemuda yang
disangkanya pemuda sesat, adalah Kiang-kongcu yang menjadi buah bibir dunia persilatan, murid tunggal pendekar sakti Suling Emas! Bukan hanya dunia persilatan yang membicarakan sepak terjang pemuda perkasa ini, juga gadis-gadis banyak yang menyebut-menyebut namanya dengan wajah berseri-seri dan senyum dikulum.
"Kalau begitu aku boleh dua kali menarik napas lega."
Kiang Liong adalah seorang pemuda yang wataknya romantis. Pandai sekali ia bergaul dengan wanita! Agaknya watak ini ia dapatkan dari Ibunya! Kini melihat betapa nona penolongnya sudah tidak ke-lihatan galak dan ketus, ia tersenyum dan mendapatkan kembali kelincahannya.
"Wah, penarikan napas lega seorang gadis sehebat engkau tentu ada alasannya yang amat kuat. Bolehkah aku menge-tahui alasannya, Nona Song?"
Kini gadis itupun tersenyum. Ber-hadapan dengan Kiang Liong yang pandai bicara dan jenaka, timbul pula kegem-biraannya. "Tentu saja boleh, memang bukan hal yang perlu dirahasiakan. Per-tama, dengan kepandaianmu tentu saja engkau akan dapat mengatasi cara pe-ngobatan ini dan tentu hawa beracun yang mengeram di tubuhmu dapat diusir dalam waktu singkat. Ke dua, aku tidak perlu khawatir lagi karena ternyata kau bukan seorang pemuda sesat seperti yang tadinya kusangka."
"Aduh, hal yang pertama itu membuat aku menjadi besar kepala karena kaupuji-puji, akan tetapi hal kedua membuat aku amat tidak enak hati, Nona. Kenapa kau mengira aku seorang sesat?"
Merah wajah Song Goat teringat akan keadaan pemuda ini dan Po Leng In yang berhadapan dalam keadaan telanjang bulat. "Karena karena.... kau dan wani-ta murid Siang-mou Sin-ni itu...."
Kiang Liong menepuk kepalanya. "Be-nar juga! Tentu saja kau akan mengang-gap begitu.
Memang Leng In yang beru-saha menyembuhkan aku secara itu. Dia adalah murid Siang-mou Sin-ni dan aku terluka oleh pukulan gurunya, maka ia berusaha menyembuhkan aku dengan cara gurunya pula."
Pada saat itu, Si Gendut, pemilik kedai muncul dan seperti lagak seorang perajurit ia berkata,
"Perapian dan air sudah siap!"
Song Goat mengangguk dan ketika Si Gendut itu pergi lagi, ia berkata kepada Kiang Liong.
"Kiang-kongcu, maafkan aku. Cara pengobatan Ayahku mengharuskan engkau berendam di air sepanas-panasnya dicampur daun-daun obat ini. Silakan kau masuk dulu ke dapur membuka.... membuka pakaian dan merendamkan diri di daiam air di atas perapian. Nanti aku menyusulmu setelah kau siap. Suruh saja Paman Gendut itu memberi kabar kepadaku."
Setelah Kiang Liong keluar dari kamar itu pergi ke dapur. Song Goat lalu memasukkan daun-daun obat ke dalam tekoan (cerek teh). Dari situ ia dapat mendengar suara Kiang Liong yang halus dan tenang diseling seruan heran pemilik kedai. Song Goat tersenyum geli. Tentu saja bagi pemilik kedai yang belum me-lihat cara pengobatan seperti ini, apa yang akan mereka lakukan ini amat me-ngejutkan dan mengherankan. Akan tetapi ia yakin betul bahwa hanya inilah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Kiang Liong daripada pengaruh hawa beracun yang mengotori darah itu. Menurut ajar-an ayahnya, semua pukulan yang mengan-dung hawa Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 311
beracun dan selalu menjadi sumber kelihaian kaum sesat, jika pukulan itu meracuni darah, maka tentu di-dasari hawa pukulan yang bersifat dingin. Tok-hiat Hoat-lek, pukulan Siang-mou Sin--ni yang melukai Kiang Liong ini pun seperti dinyatakan namanya, meracuni darah dan betapa pun hebatnya, jelas didasari pukulan dingin karena hanya hawa dingin saja yang dapat meracuni darah.
Terdengar langkah kaki berat dan pemilik kedai sudah muncul pula di pin-tu, matanya malotot lebar dan wajahnya merah sekali, "Siocia (Nona), apakah yang akan Nona lakukan"
Mau.... mau.... rebus dia....?"
"Kau diam dan jangan mencampuri urusan kami." Song Goat menegur kesal. Percuma saja menerangkan orang yang sama sekali tidak mengerti, "Apakah Kongcu (Tuan Muda) sudah siap?"
"Sudah.... sudah...., dan api sudah saya nyalakan." Si Gendut itu menggerakkan pundak menyatakan rasa ngerinya. Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu mem-bawa tekoan memasuki dapur diikuti oleh Si Gendut yang mengeluarkan suara se-perti ayam biang memanggil anaknya dengan bibirnya yang tebal memberengut.
Kiang Liong sudah duduk bersila di dalam tahang penuh air itu, tergantung di atas perapian yang mulai menyala apinya. Air dalam tahang hampir penuh, meredam pemuda tubuh
pemuda yang duduk bersila itu sampai atas pinggang. Untuk menjaga agar gadis penolongnya tidak merasa jengah, ia sengaja duduk membelakangi meja, menghadap ke jen-dela dapur.
Topi pelajar masih menutupi kepalanya, akan tetapi bagian tubuh lain semua telanjang bulat.
Tubuh bagian atas tampak berkulit putih bersih dan berisi otot-otot kekar.
"Kiang-kongcu, kalau terlalu panas harap katakan agar aku dapat mengecil-kan apinya atau memadamkan sama se-kali." kata gadis itu sambil mengisi tekoan dengan air dan menaruhnya pula di atas api.
Kiang Liong hanya mengangguk dan berkata lirih, "Sama sekali tidak panas, boleh
kaubesarkan apinya."
Dengan tongkat pengorek api, Song Goat membuka-buka arang dan kayu di perapian dan makin besarlah nyala api. Tak lama kemudian tekoan yang isinya daun obat dan sedikit air itu mendidih, maka dituangkanlah isi tekoan ke dalam tahang air. Api makin membesar dan hawa di dapur mulai panas, air di dalam tahang pun makin lama makin mendekati mendidih.
Makin lama sepasang mata tukang kedai makin melebar pula, kemudian ia tak dapat menahan perasaannya lagi dan berseru, "Nona, sungguh mati! Kalau Nona hendak merebus daging manusia, saya tidak mau ikut campur! Saya bu-kan tukang masak orang, bukan pembu-nuh!"
Ia hampir berteriak-teriak saking tegang dan ngerinya.
Air di tahang sudah mulai mendidih, uap mengepul dan seluruh tubuh Kiang Liong dan dengan hati penuh ketegangan dan kegirangan Song Goat melihat betapa air di tahang itu sudah mulai berubah warnanya, tidak sebening tadi. Maka ia menjadi gemas sekali melihat sikap Si Gendut itu dan mendengar teriakannya.
"Diam dan keluarlah dari dapur ini! Kalau tidak, kaupun akan kurebus hidup-hidup!"
Muka Si Gendut menjadi pucat, matanya terbelalak dan bagaikan seekor anjing digebuk ia lalu berlari keluar dari dapur itu, kedua tangan memegangi kepalanya! Song Goat tersenyum geli lalu berkata halus dari belakang punggung Kiang Liong,
"Kiang-kongcu, agaknya berhasil usaha kita...."
Kian Liong mengangguk, "Syukurlah, dan makin besar terima kasihku kepadamu, Nona Song"
"Tak perlu berterima kasih kepadaku, Kongcu. Lebih tepat kau berterima kasih kepada gurumu yang telah menurunkan ilmu yang hebat kepadamu sehingga sin-kangmu begini kuat menahan panasnya air mendidih. Apakah tidak terlalu panas?"
"Tidak, boleh kau tambah apinya agar lebih panas. Bukankah kau bilang tadi lebih panas Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 312
lebih baik?" "Betul, makin panas makin cepat hawa beracun dibersihkan."
"Kalau begitu, lekas besarkan apinya, Nona tidak enak terlalu lama begini dianggap babi rebus oleh tukang kedai!"
Song Goat tersenyum dan dari bela-kang ia memandang kagum. Bukan main! Dia sendiri biarpun akan dapat bertahan dalam air mendidih, namun harus ia ke-rahkan seluruh lwee-kangnya, mengguna-kan hawa sin-kang di tubuh melawan panas dan untuk ini tentu saja ia tidak sanggup untuk bicara. Akan tetapi pemu-da ini tidak hanya menyuruh besarkan api, malah masih dapat enak-enak bicara dan berkelakar! Pemuda hebat!
Sementara itu, pemilik kedai yang gendut dan merasa amat gelisah itu tak dapat menahan hatinya lagi dan bahkan tidak berani berada di dalam kedainya. Ia keluar dan sebentar saja banyak ke-nalan dan langganannya datang bertanya. Saking tak dapat menahan
kegelisahan-nya, ia menceritakan kejadian aneh di dalam dapur kedainya dan ramailah me-reka bercakap-cakap dan berbisik-bisik di luar kedai. Ibu-ibu yang mendengar bah-wa ada orang merebus daging manusia, menjadi pucat dan berlarilah mereka ketakutan mencari anak-anak masing-masing, melarang mereka bermain di luar rumah dan menyembunyikan mereka ke dalam kamar. Setan pemakan daging manusia tentu lebih suka akan anak-anak yang dagingnya masih lunak!
"Tentu dia perempuan siluman rase!" bisik seorang kakek sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh keyakinan.
"Tapi.... Kongcu itu menurut saja di-rebus." kata Si Gendut pemilik kedai.
"Uuuhh, kau tahu apa" Siluman rase tentu saja pandai ilmu hitam. Sekali senyum dan sekali kerling, laki-laki akan terpikat dan disuruh apapun juga takkan membantah." kata pula Si Kakek yang tahu segala.
"Memang dia cantik sekali, cantik jelita dan muda dan.... galak."
"Wah, tak salah lagi. Tentu siluman rase, pandai memikat hati pria, suka makan daging manusia. Ihhh....!" kata Si Kakek.
"Ihhh....!" kata yang lain.
"Celaka, dia harus dibinasakan. Mari kita serbu, jangan sampai dia lolos dan merebus anak-anak kita!" seru seorang laki-laki tinggi besar yang ingat akan dua orang anaknya yang gemuk-gemuk.
"Betul, hayo serbu!"
"Cari senjata!"
"Panggil Losuhu di kelenteng, minta jimat!"
Ramailah kini para penduduk dusun itu dan sebentar saja mereka semua, termasuk seorang hwesio tua kurus ber-pakaian butut, berdiri di depan kedai dengan segala macam senjata di tangan. Ada yang membawa golok penyembelih babi, ada yang membawa palang pintu,
cangkul, linggis dan sebagainya. Bahkan beberapa orang wanita yang cukup pem-berani, karena mendengar bahwa setan itu setan betina, ikut pula datang mem-bawa pisau dapur atau besi pengorek api!
Mereka bersemangat untuk menangkap siluman, akan tetapi juga ngeri dan takut karena mendengar penuturan tukang ke-dai betapa siluman rase itu pandai ter-bang menghilang!
Dipimpin oleh tukang kedai yang diikuti kakek yang mengenal siluman dan hwesio yang dianggap suci serta ditakuti siluman, rombongan pen-duduk dusun ini memasuki kedai ber-indap-indap dan tak berani mengeluarkan suara. Bahkan yang nyalinya kecil dan memilih tempat di ujung belakang hampir tak berani bernapas.
Di luar pintu dapur, hwesio tua sudah mulai kemak-kemik membaca mantera dan doa
pengusir setan. Mendengar suara ini semua orang meremang bulu tengkuk-nya, termasuk Si Kakek yang mengenal siluman. Kakek ini melirik ke belakang dan melihat betapa semua mata Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 313
dituju-kan kepadanya, ia menahan napas dan menerobos maju ke pintu sambil mem-bentak.
"Siluman jahat! Kami sudah mengenal-mu, kau siluman rase, hayo menyerah kalau tak ingin kami bunuh!" Akan tetapi sambil maju ia menarik lengan Si Hwesio karena kakek ini mempunyai keyakinan bahwa selama ia berdampingan dengan pendeta suci, siluman itu tidak akan mampu mengganggunya. Mereka kini masuk ke dalam dapur dan.... semua mata
melongo karena di dalam dapur itu tidak tampak seorang pun manusia!
"Eh, mana dia....?" tanya suara me-ragu. Si Tukang Kedai melihat bahaya dalam suara ini, bahaya bahwa semua orang nanti akan mengira dia membo-hong. Maka ia lalu lari ke jendela, me-mandang keluar, kemudian kembali meng-hampiri tahang isi air yang masih mendidih!
"Lihat....!" Suaranya gemetar, telun-juknya menggigil menuding ke arah air di dalam tahang.
"Lihat air ini....!"
Semua orang memandang. Air itu kehitaman dan mendidih, akan tetapi tidak ada daging manusia seperti yang tadi diceritakan Si Gendut tukang kedai. Betapapun juga, bukti bahwa benar ada tahang air direbus dengan airnya meng-hitam, membuat mereka masih percaya bahwa di dalam dapur ini tadi ada si-luman rase.
"Tentu ia menghilang, membawa kor-bannya yang sudah matang untuk dima-kan dalam
gulai" kata Si Tukang Kedai.
"Omitohud....! Memang ada hawa bu-suk ditinggalkan di kamar ini...., pinceng harus membuat sembahyangan malam ini, harap saudara sekalian sudi mengumpul-kan perbekalan dan keperluan sembah-yang...." kata Si Hwesio. Terdengar se-mua orang mengeluarkan keluhan perlahan karena ucapan hwesio ini berarti bahwa mereka harus mengeluarkan se-bagian milik mereka yang tidak banyak, menambah beban hidup mereka yang sudah berat.
Akan tetapi mereka tidak berani membantah pada saat itu karena ketika mereka mencium-cium dengan hidung, memang tercium bau yang tidak enak, tanda bahwa ucapan hwesio itu benar. Dan keluarlah mereka perlahan-lahan, termasuk dia yang cepat-cepat menyelinap pergi agar tidak ketahuan rahasianya bahwa saking takutnya, ia sampai menjadi mulas secara mendadak dan tak tertahankan lagi mencret di dalam celana. Dialah pencipta bau si-luman!
*** Siang-mou Sin-ni berhasil melarikan diri ketika orang-orang Beng-kauw me-nyerbu markas Bouw Lek Couwsu di Kao-likung-san. Wanita ini memang licik dan cerdik. Dengan
meminjam tangan Bouw Lek Couwsu dan orang Hsi-hsia, ia ber-hasil membinasakan Ketua Beng-kauw dan juga Kam Bu Sin bersama isterinya dan banyak tokoh Beng-kauw lainnya.
Kemudian, melihat keadaan bahaya, mana ia mau bersetia kawan kepada Bouw Lek Couwsu si hwesio tua itu" Apalagi ia ingin sekali membawa lari Han Ki untuk menyempurnakan ilmunya yang baru, menyedot hawa murni dan darah boca ini. Maka tanpa mempedulikan nasib sahabatnya itu, ia mendahului lari sambil memondong tubuh Han Ki, melarikan diri melalui belakang gunung.
Sebagai seorang yang berpengalaman, ia maklum bahwa Kauw Bian Cinjin dan orang-orang Beng-kauw lainnya tentu akan mencarinya dalam usaha mereka merampas kembali Han Ki cucu Ketua Beng-kauw, maka ia tidak mau terhenti dan terus melakukan perjalanan melalui Sungai Yang-ce-kiang dan sampai di kaki Gunung Ta-liang-san ia mendarat lalu membawa anak itu ke Puncak Ta-liang-san di mana ia membuat pondok bambu dalam sebuah hutan penuh bunga. Tempat ini sunyi dan indah, membuat ia merasa aman. Tak mungkin ada orang Beng-kauw yang akan menduga bahwa dia bersembu-nyi di Puncak Ta-liang-san. Kalau ia sudah menyempurnakan Ilmu Hun-beng-to-hoat dengan mengorbankan nyawa Han Ki baru ia akan turun gunung dan hendak ia lihat siapa orangnya yang akan mampu melawannya lagi!
Han Ki biarpun masih kecil maklum akan bahaya maut yang mengancam diri-nya. Akan tetapi anak ini tidak pernah menangis dan selalu membangkang tidak sudi menurut perintah Siang-mou Sin--ni. Disuruh makan ia tidak mau, diajak bicara ia memaki-maki dan setiap kali Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 314
ia dibebaskan dari totokan, ia lalu menga-muk dan berusaha melawan mati-matian!
Siang-mou Sin-ni adalah seorang yang
semenjak muda berkecimpung dalam dunia persilatan. Menyaksikan sikap anak kecil ini, ia merasa amat kagum di da-lam hatinya. Kagum akan ketabahan yang luar biasa, akan
kekerasan hati dan akan daya tahan anak ini. Akan tetapi di sam-ping rasa kagumnya, ia pun merasa jeng-kel.
"Kau makanlah, apa kau ingin mati kelaparan?" bentaknya sambil menyodor-kan makanan yang sudah ia campur obat karena selama beberapa pekan dalam perjalanan, tubuh anak ini menjadi agak kurus.
"Tidak sudi! Kaumakanlah sendiri, iblis betina tak tahu malu!" Han Ki men-jawab sambil memandang dengan mata melotot.
Sesudah begitu, mau tak mau, terpak-sa Siang-mou Sin-ni memaksa anak itu menelan makanan dengan menotok leher membuat Han Ki kehilangan tenaga se-hingga mudah saja mulutnya dibuka dan makanan dijejalkan masuk melalui ke-rongkongannya. Anak ini hanya bisa me-mandang penuh kemarahan.
Pagi hari itu Siang-mou Sin-ni tampak gembira di dalam pondok. Han Ki rebah miring di atas dipan. Sinar matahari pagi menyorot masuk melalui jendela pondok yang terbuka lebar. Pagi yang cerah, akan tetapi bukan ini yang membuat wajah Siang-mou Sin-ni berseri. Ia gem-bira melihat Han Ki sekarang tampak sehat dan segar dan pagi ini ia mengam-bil keputusan untuk memulai dengan I--kin-hoan-jwe, menyedot darah dan sum-sum Han Ki untuk
penyempurnaan ilmu-nya yang mujijat, yaitu Ilmu Hun-beng--to-hoat!
Sambil bersenandung kecil seperti seorang dara remaja yang bahagia, iblis betina ini mempersiapkan jarumnya yang panjang, kemudian dengan sinar mata penuh nafsu binatang, ia mulai menang-galkan pakaian Han Ki. Tubuh anak ini sungguh mengagumkan, kulitnya putih bersih dan di bawah kulit, penuh daging yang gempal dan padat. Warna kemerah-an membuktikan akan kesehatan yang amat baik sehingga Siang-mou Sin-ni menjadi ngilar dibuatnya. Biarpun mata-nya melotot penuh perlawanan, namun Han Ki yang ditotok itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu menge-luarkan suara. Ada juga rasa takut dan ngeri menyerang hati anak ini, namun sungguh luar biasa, anak ini dapat meng-atasinya dan sama sekali tidak tampak sinar takut di wajahnya!
Han Ki rebah telentang. Matanya bersinar-sinar penuh api menatap wajah wanita itu. Kembali Siang-mou Sin-ni menjadi amat kagum. Anak ini memang hebat bukan main, memiliki
ketabahan yang luar biasa. Teringatlah ia akan ayah anak ini, Kam Bu Sin, yang juga amat tabah dan betapapun dahulu ia pernah menyiksanya, Kam Bu Sin sama sekali tidak pernah mau menyerah tidak mau menurutkan keinginannya. Bahkan ia dahulu menggantungkan
tubuh Kam Bu Sin di dahan pohon, membiarkan tubuhnya dikeroyok dan digigiti semut, namun tetap saja laki-laki gagah ini tidak mau menyerah (baca cerita CINTA BERNODA DARAH) sehingga akhirnya ia terpaksa menggunakan obat bius dan perangsang yang
merampas ingatan Kam Bu Sin. Dan sekarang, anak ini memperlihatkan keta-bahan dan sikap pantang menyerah yang hebatnya melebihi ayahnya!"
Teringat akan ayah anak ini, makin menggelora nafsu iblis di tubuh Siang--mou Sin-ni.
Pandang matanya yang penuh nafsu itu menjadi haus dan perlahan ia membalikkan tubuh Han Ki menelungkup di atas dipan. Jari-jari tangan kirinya yang panjang-panjang meraba punggung di bawah tengkuk, kemudian tangan kanan-nya menusukkan jarum panjang ke dalam punggung Han Ki.
Han Ki yang tak dapat bergerak itu dapat merasa nyeri dan perih di pung-gungnya, namun ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tenaganya tak dapat disalurkan. Anak ini lalu meramkan mata dan mengumpulkan semua semangat, berusaha mengerahkan tenaga yang
berkumpul di dalam pusarnya. Ia meraba betapa di dalam pusarnya terjadi perten-tangan antara panas dan dingin yang amat hebat, demikian hebatnya rasa nyeri dalam pusar, kadang-Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 315
kadang seperti terbakar dan kadang-kadang seperti membeku sehingga ia tidak merasakan lagi tusukan pada punggungnya.
Siang-mou Sin-ni sudah duduk ber-sila di dekat Han Ki. Jarum sudah ia tusukkan sampai menembus tulang pung-gung. Wajahnya berkilat saking girang dan dikuasai nafsu. Ia lalu menahan na-pas dan menekan gelora nafsunya, me-nenteramkan hati dan mengendorkan semua tenaga. Dalam melakukan I-kin-hoan-jwe ini ia harus "mengosongkan" diri dan karena inilah maka ia sengaja menjejalkan obat yang sifatnya panas yang sesuai dengan keadaan dirinya se-waktu kosong sehingga tidak ada bahaya terhadap tubuhnya bagian dalam yang kosong dan tidak terlindung hawa sakti. Darah dan sum-sum yang akan disedotnya itulah yang akan menjadi "bahan bakar" bagi penyempurnaan ilmunya Hun-beng--to-hoat yang sedang dilatihnya, dan kalau ia berhasil, ia akan mampu melawan orang sakti manapun juga di dunia ini!
Setelah keadaan dirinya sudah kosong benar, Siang-mou Sin-ni lalu menunduk-kan tubuhnya ke depan, mulutnya meng-gigit ujung jarum yang menancap di punggung Han Ki lalu
menghisap!

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hawa di dalam pusar Han Ki bergu-lung-gulung antara hawa panas dan di-ngin. Hawa panas luar biasa adalah aki-bat obat-obat Siang-mou Sin-ni yang di jejalkan kepadanya, sedangkan hawa dingin adalah akibat obat minuman Bouw Lek Couwsu yang diminumnya di dalam
kamar Bouw Lek Couwsu. Sejak kecil anak ini memang sudah digembleng ayah bundanya dan telah memiliki dasar penggunaan hawa sakti di dalam tubuh. Biar-pun ia belum dapat memelihara dan menghimpun hawa sakti, namun ia tahu bagaimana cara menghimpunnya.
Kini merasa betapa pusarnya bergerak-gerak dan di dalamnya bergulung-gulung hawa yang amat kuat, anak ini tidak mempe-dulikan lagi punggungnya dan tidak mem-pedulikan apa yang akan terjadi kepada-nya, melainkan mencurahkan seluruh perhatiannya ke pusar dan berusaha me-ngerahkan tenaga untuk menguasai hawa yang bergulung-gulung itu.
Bagaikan seorang penghisap madat, Siang-mou Sin-ni menghisap jarum panjang itu. Terasa segar dan manis darah yang memasuki mulutnya. Ia menyedot makin kuat dan.... jeritan ngeri keluar dari dadanya, wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak. Ia begitu kaget tanpa disadari lagi ia sudah menarik mukanya ke belakang sehingga jarum yang digigit pada ujungnya itu ikut ter-arik, keluar dari punggung Han Ki.
Anak itu sendiri tiba-tiba dapat ber-gerak meloncat bangun, mukanya merah seperti dibakar, akan tetapi tubuh bagian bawah menggigil kedinginan. Seperti seorang yang mabok Han Ki memandang ke depan, melihat betapa Siang-mou Sin--ni duduk bersila dengan mata meram, muka pucat, tubuh bergoyang-goyang dan napas terengah-engah. Ketika melihat jarum panjang menggeletak di atas dipan, depan kaki Siang-mou Sin-ni yang bersila. Han Ki menjadi kalap. Ia menyambar jarum panjang itu lalu dengan gerakan penuh kebencian ia menusukkan jarum itu ke dada Siang-mou Sin-ni.
"Blessss....!" Jarum panjang itu am-blas menembus dada langsung menusuk dan menembus jantung!
Siang-mou Sin-ni terbelalak kaget mengeluarkan jerit melengking tinggi, tangan kirinya bergerak menghantam ke arah dada Han Ki.
"Krakk....!" Tubuh anak itu terpental jauh, terbanting dalam keadaan pingsan dan beberapa tulang iganya patah-patah!
Namun Siang-mou Sin-ni sekarang sudah berkelojotan. Betapapun sakti dan kuatnya, namun jarum panjang yang menembus jantungnya itu membuat ia tidak dapat menahan lagi. Dari lehernya keluar jeritan-jeritan melengking mengerikan, ia terguling dari atas dipan, berkelejotan, menjambak-jambak rambutnya, kemudian menggeliat-geliat dan akhirnya dia tek bergerak lagi. Siang-mou Sin-ni yang dahulu terkenal sebagai seorang di entara Enam Iblis, tewas di tangan seorang anak kecil berusia sebelas tahun!
Apakah yang telah terjadi" Ternyata ketika Siang-mou Sin-ni melakukan penyedotan, bukan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 316
hanya darah dan sum-sum yang disedotnya, melainkan juga hawa yang bergelombang di tubuh anak itu. Dan hawa itu bukan hanya hawa pa-nas yang amat dibutuhkan Siang-mou Sin-ni, melainkan bercampur dengan hawa dingin yang amat kuat. Hal ini sama sekali tidak diduga oleh Siang-mou Sin-ni yang sedang dimabok nafsu sehingga ia yang sedang dalam keadaan kosong, itu sekaligus terpukul hebat oleh hawa dingin yang menyerang dalam tubuhnya. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, reaksi per-tama dari tubuhnya tentu saja serentak bangkit dengan pengerahan sin-kang dan menolak atau melawan hawa dingin ini.
Dan inilah kekeliruannya yang dilakukan dalam keadaan tak sadar. Kalau ia tidak melawan ia hanya akan luka ringan oleh hawa dingin ini yang biarpun kuat, namun tidak ada
pendorongnya, mengingat Han Ki belum pandai menggunakan hawa ini dan dalam keadaan tertotok pula. Akan tetapi begitu ia melawan, ia yang tadi dalam keadaan kosong terpukul oleh pengerahan tenaganya sendiri membuat ia pening dan hampir pingsan. Bukan itu saja akibatnya, bahkan pengerahan hawa saktinya itu melalui jarum menjalar kedalam tubuh Han Ki dan seakan-akan merupakan bantuan yang tak disangka--sangka oleh anak ini. Han Ki sedang berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai peperangan hawa di dalam pusar.
Kini, tiba-tiba hawa panas mema-suki tubuhnya dan tenaga ini amat kuat sehingga mendadak menerobos jalan darahnya, melenyapkan pengaruh totokan dan membuatnya dapat bergerak lagi.
Akan tetapi, pengaruh dua hawa yang berlainan tadi masih membuat ia pening dan seperti mabok. Betapapun juga, ka-rena dia masih kanak-kanak dan berdarah bersih, ia lebih dulu sadar daripada Siang-mou Sin-ni dan anak kecil ini ber-hasil membunuh musuh besarnya dengan jarum Si Iblis Betina itu sendiri! Namun karena Siang-mou Sin-ni lihai luar biasa, biarpun sudah tertembus jarum jantung-nya, pukulan jari-jari tangannya masih mampu mematahkan beberapa tulang iga anak itu.
Sunyi di dalam pondok itu. Hawa pagi yang sejuk menerobos masuk diantar angin yang menggerakkan ujung atap daun di atas jendela yang terbuka. Suara burung berkicau di antara dahan-dahan pohon yang tadinya riang gembira, kini seolah-olah menjadi tangis duka, agaknya menangisi kelakuan manusia yang saling menyakiti dan saling membunuh tanpa sebab yang penting. Sinar matahari pagi yang tadinya menerobos masuk, melalui jendela menjadi agak suram mengurangi seri wajah bumi yang tadinya cerah.
Akan tetapi, lengking maut yang tadi keluar dari kerongkongan Siang-mou Sin--ni dalam kemarahan, kesakitan dan per-gulatan melawan maut, agaknya bukan tidak ada yang
mendengar sama sekali. Kecuali burung-burung dan binatang-bina-tang hutan yang
mendengarnya, juga ter-dengar oleh seorang kakek tua renta yang berjalan perlahan di dalam hutan. Kini kakek tua renta yang berpakaian serba putih bersih dan sederhana, berjenggot dan berambut panjang juga sudah putih semua dan halus seperti sutera, masih kelihatan berjalan, melangkah se-enaknya. Akan tetapi yang hebat, biarpun ia kelihatan melangkah biasa, tubuhnya berkelebat laksana burung terbang saja dalam waktu singkat telah memasuki pondok yang sunyi itu.
Sejenak kakek itu berdiri memandang mayat Siang-mou Sin-ni dan tubuh Han Ki yang keduanya menggeletak tak ber-gerak. Kemudian kakek ini menarik napas panjang, berdongak dan mengelus jenggot putihnya sambil berbisik halus.
"Aahhhhh.... yang pintar maupun yang bodoh, yang kaya atau yang miskin, yang menang maupun yang kalah, akan berakhir dalam keadaan yang sama. Mati! Kehidupan apakah yang takkan disusul kematian" Semua orang tahu akan saat terakhir baginya yang pasti datang menjemputnya, akan tetapi.... mengapa selagi hidup banyak tingkah, tidak mengisi de-ngan hal yang berguna, baik, bagi orang lain maupun bagi diri sendiri" Manusia....!" Kakek tua renta itu maju, mem-bungkuk dan mengangkat tubuh Han Ki, memeriksanya sebentar lalu memondong-nya keluar dari pondok. Ia masih me-langkah biasa, namun kini lebih cepat lagi daripada tadi, pergi menghilang ke dalam rimba. Dilihat dari belakang, tampak sebuah alat Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 317
musik yang-kim butut tergantung di punggungnya.
Kakek ini bukanlah manusia biasa. Jarang sekali ada manusia dapat bertemu dengan kakek ini. Dia bukan lain adalah Bu Kek Siansu! Kakek sakti dan dianggap manusia dewa oleh dunia persilatan, yang saking tuanya tidak ada lagi yang dapat menaksir berapa usianya.
Kalau Tuhan menghendaki, maka pagi hari itu Han Ki dapat tertolong oleh kakek sakti ini, seperti ayahnya pada belasan tahun yang lalu juga ditolong Bu Kek Siansu (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Hanya bedanya, kalau mendiang Kam Bu Sin hanya
menerima sedikit petunjuk dari kakek ini yang membuat dia menjadi seorahg pendekar, adalah Kam Han Ki dibawa terus oleh Bu Kek Siansu dan sampai belasan tahun tidak seorang pun manusia tahu ke mana anak ini dibawa pergi. Maka dalam cerita ini, kita tidak akan berjumpa kembali dengan Kam Han Ki yang kelak akan muncul di dalam cerita lain.
Beberapa pekan kemudian, mayat Siang-mou Sin-ni ditemukan beberapa orang tukang kayu yang kebetulan sampal di puncak Tai-liang-san, dan mereka itu segera mengubur mayat yang tinggal tulang-tulang itu. Siang-mou Sin-ni le-nyap dari dunia persilatan tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya dan di mana tempat kuburnya!
*** Kota Lok-yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai, terletak di se-belah barat kota raja Kerajaan Sung. Selain menjadi kota indah yang banyak dikunjungi pelancong dan pelajar dari daerah-daerah yang ingin memperdalam ilmu kesusasteraan di kota ini, juga Lok-yang ramai dikunjungi pedagang. Bahkan di kota ini banyak terdapat pengunjung dari utara, yaitu bangsa-bangsa Khitan, Mongol, dan lain-lain yang datang untuk berdagang kulit dan bulu dan berbelanja kebutuhan-kebutuhan hidup yang tak dapat mereka temukan di utara. Ada pula yang datang untuk mengunjungi kota basar ini yang namanya sudah terkenal sampai ke pedalaman di utara. Tentu saja bangsa Khitan yang paling banyak datang bsrkunjung, karena memang pada waktu itu, Kerajaan Sung bersahabat dengan Kerajaan Khltan
Akan tetapi pada pagi hari itu, pen-duduk kota Lok-yang dibikin kagum oleh sepasang orang muda yang berpakaian serba indah gemerlapan, menunggang dua ekor kuda yang besar dan diberi pakaian indah pula, dikawal oleh dua losin tentara Khitan, Si Pemuda berusia sembilan belas tahun, amat tampan dan gagah, alisnya tebal hitam, pandang matanya tajam berkilat, senyumnya manis akan tetapi penuh wibawa, pakaiannya seperti seorang panglima muda dengan pedang panjang berukir indah tergantung di ping-gang. Topinya dihias naga emas berkliau-an dan anehnya, di pinggang pemuda ini terselip sebatang suling! Ada pun dara remaja yang menunggang kuda di sebelahnya amatlah menarik perhatian orang saking cantik jelitanya. Wajahnya khas orang Khitan, dengan sepasang mata lebar, senyum terbuka dan anting-anting-nya besar, manis bukan main. Pinggang-nya ramping, tubuhnya padat berisi dan dari cara ia menunggang kuda, jelas tampak bahwa gadis ini pun bukan orang sembarangan serta memiliki ketangkasan yang mengagumkan.
Semua orang yang melihat sepasang orang muda ini bertanya-tanya dan men-duga bahwa dua orang muda itu tentulah bangsawan-bangsawan tinggi di Kerajaan Khitan. Dugaan mereka itu memang ti-dak keliru, akan tetapi jarang di antara mereka dapat mengenal bahwa Si Pemu-da itu bukan lain adalah Putera Mahkota Kerajaan Khitan, yaitu Pangeran Talibu. Adapun dara remaja berusia tujuh belas tahun yang amat cantik jelita itu adalah Puteri Mimi. Puteri dari Panglima Kayabu yang sudah dikenal sebagai adik kandung Sang Pangeran oleh seluruh rakyat Khitan. Semua orang Khitan tahu bahwa Putera Mahkota itu sesungguhnya adalah putera kandung Panglima Kayabu, atau kakak kandung Sang Puteri itu, yang semenjak berusia lima tahun diangkat putera oleh Sang Ratu. Akan tetapi se-menjak beberapa pekan yang lalu Pange-ran Talibu sendiri tidak mempunyai anggapan demikian. Ia telah mengetahui rahasia dirinya dan dengan hati girang kini ia memandang wajah Puteri Mimi yang cantik jelita, dengan pandang mata yang lain daripada biasanya. Sikapnya lebih mesra dan sungguhpun hal ini amat mengherankan hati Mimi, namun puteri itu pun menjadi gembira Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 318
karena sesung-guhnya ia amat mencinta kakak kandung-nya yang menjadi pangeran mahkota ini.
Talibu meninggalkan Khitan beberapa, hari setelah Suling Emas pergi. Keingin-annya untuk pergi ke selatan dan men-cari adik kembarnya tak dapat ditahan lagi oleh Ratu Yalina dan akhirnya be-rangkatlah pangeran ini bersama Mimi yang berkeras hendak ikut, dikawal oleh dua losin tentara pengawal pilihan. Ratu Yalina membolehkan puteranya pergi karena selain ia tahu akan kelihaian puteranya yang tentu dapat menjaga diri,-juga karena kerajaannya bersahabat dengan Kerajaan Sung sehingga kiranya tidak ada bahaya mengancam
keselamat-an puteranya. Selain itu, Mimi sendiri juga seorang puteri yang memiliki kepan-daian tinggi, ditambah dengan dua losin pengawal pilihan. Biarpun perjalanan Pangeran itu tidak resmi, akan tetapi di sepanjang jalan, mereka dielu-elukan oleh penduduk dan pembesar setempat yang mengenal mereka.
Pagi hari itu, rombongan Pangeran Talibu tiba di kota Lok-yang. Pangeran itu bersama Puteri Mimi menahan kuda di depan sebuah losmen yang sudah di-pesan lebih dulu oleh kusir pasukan pe-ngawal. Beberapa orang pengawal mem-bantu dua orang muda bangsawan itu menahan kuda mereka yang besar-besar. Dengan wajah gembira Talibu melompat turun.
Matanya yang berpemandangan tajam itu melihat empat orang laki-laki berpakaian pengemis yang berteduh di ba-wah sebuah rumah butut di pinggir losmen. Seperti juga terdapat di lain-lain kota, di Lok-yang terdapat banyak rumah-rumah kecil butut di samping rumah-rumah besar dan megah, seperti rumah kecil dan busuk ini di sebelah kanan losmen yang besar.
Talibu maklum bahwa empat orang pengemis itu bicara tentang dia. Mata mereka semua dituju-kan kepadanya, bahkan seorang di antara mereka yang berjenggot menudingkan te-lunjuknya secara terang-terangan kepada-nya. Talibu tersenyum ramah kepada mereka.
Biarpun ia seorang Pangeran Khitan, namun ia banyak tahu akan kehidup-an kang-ouw di selatan ini. Ibunya ba-nyak bercerita tentang orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh di selatan yang akan ia temui di antara rombongan pengemis kotor, pendeta dan pelajar. Melihat ge-rak-gerik empat orang pengemis itu, Talibu dapat menduga bahwa mereka bukanlah pengemis-pengemis biasa. Akan tetapi ia heran melihat betapa pandang mata mereka itu mengeluarkan sinar kebencian atau kemarahan. Ketika se-nyumnya tidak dibalas, ia lalu tak meng-acuhkan mereka, apalagi pada saat itu, Mimi sudah melompat turun pula dari atas kuda. Sambil bercakap-cakap dan tersenyum-senyum kedua orang muda bangsawan ini memasuki losmen, disambut oleh pemilik losmen dan anak buahnya.
Pembesar di Lok-yang ketika men-dengar akan kunjungan Putera Mahkota Khitan, menjadi kaget dan sibuk sekali, serta-merta mengirim undangan makan malam. Akan tetapi Talibu menolak de-ngan halus, mengirim pesan bahwa dia dan Puterl Mimi melakukan kunjungan tidak resmi, hanya ingin melancong dan karenanya minta supaya diperlakukan sebagai pelancong biasa, bukan sebagai tamu. Biarpun merasa tidak enak hati dan takut kalau-kalau terdengar oleh Kaisar dan mendapat teguran, namun para pembesar itu tidak dapat berbuat apa-apa, hanya diam-diam memperingat-kan semua penduduk dan pedagang agar bersikap ramah dan hormat kepada tamu agung ini.
Penyambutan penduduk dan pembesar Lok-yang ini membuat Talibu menjadi jengkel sekali.
Ia ingin bebas, ignin merantau seperti burung di udara dalam usahanya mencari adik kembarnya. Ia ingin mencari adiknya dan menghadapi pengalaman-pengalaman tegang
seperti yang sering ia dengar dari penuturan ibunya. Akan tetapi penyambutan dan sikap penduduk yang selalu membungkuk-bungkuk dan menghormatinya secara berlebih-lebihan itu membuat ia merasa tidak leluasa dan tidak enak. Malam itu juga ia memanggil komandan pengawal-nya dan memberi perintah.
"Mulai saat ini, aku tidak mau dika-wal lagi. Aku akan melakukan perjalanan seorang diri dan besok pagi kalian harus mengawal Sang Puteri kembali ke Khi-tan."
Tentu saja komandan. pengawal itu kaget sekali. "Akan tetapi Pangeran...."
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 319
"Tidak ada tapi! Ini perintahku, me-ngerti" Mau membantah?"
Komandan itu tentu saja tidak berani membantah, mengangguk-angguk lalu di-perkenankan keluar untuk membubarkan pengawalan mulai saat itu juga. Talibu sama sekali tidak tahu bahwa perintah-nya ini diam-diam terdengar oleh Puteri Mimi dari balik jendela ketika puteri ini hendak mengunjungi kamarnya. Puteri Mimi yang mendengar perintah ini ter-kejut, cepat kembali ke kamarnya dan termenung. Akan tetapi puteri yang re-maja dan lincah ini lalu tersenyum dan mengangguk-angguk seorang diri, sudah mengambil keputusan sendiri.
Malam hari itu juga Talibu sudah me-lepaskan pakaian pangerannya, mengena-kan pakaian biasa, menyamar sebagai seorang pelajar dan lolos dari dalam losmen, menggunakan Ilmu kepandaiannya melompat keluar dari jendela dan pergl melalui genteng rumah. Pada keesokan harinya, para pengawal tidak saja kehi-langan Sang Pangeran, bahkan dengan kaget mereka tidak lagi melihat adanya Puteri Mimi yang sudah lenyap pula dari dalam kamarnya.
Ketika memeriksa ke seluruh kota, sama sekali tidak ada jejak Sang Puteri. Tentu saja para pengawal menjadi bingung dan gelisah, akan tetapi mereka tak dapat berbuat lain kecuali berusaha mencari. Komandan pengawal sudah cepat menyuruh dua orang anak buahnya
kembali ke Khitan menyampai-kan laporan tentang hilangnya Puteri Mimi dan tentang perintah Sang Pangeran yang melarang mereka mengawal karena Sang Pangeran berkenan melaku-kan perjalanan seorang diri Talibu adalah seorang pemuda yang amat berani dan ilmu kepandaian-nya bukan lemah. Ia menerima gembleng-an langsung dari ibunya sendiri, yaitu Ratu Yalina yang di waktu mudanya mewarisi ilmu kesaktian yang amat rahasia, sim-panan tokoh pendiri Beng-kauw yaitu ilmu silat yang hanya terdiri dari tiga belas jurus, bernama Cap-sha Sin-kun (Kepalan Sakti Tiga Belas Jurus). Biarpun hanya tiga belas jurus, akan tetapi kalau Ratu Yalina yang mainkan, kiranya to-koh-tokoh kang-ouw jarang yang akan dapat menandinginya. Talibu tentu saja tidak sematang dan sekuat ibunya, namun dengan ilmu ini ia pun menjadi orang muda paling lihai di seluruh kerajaan ibunya. Dengan bekal ilmu kepandaian-nya, kini pemuda bangsawan yang meru-pakan orang paling penting sesudah ratu ini sekarang melakukan perjalanan se-orang diri, diam-diam meninggalkan los-men, lolos dengan pakaian seorang pe-lajar.
Ketika tubuhnya berkelebat keluar dari pintu gerbang kota sebelah timur, karena ia bermaksud pergi ke kota raja yang berada di sebelah timur Lok-yang, ia melihat berkelebatnya bayangan be-berapa sosok tubuh di sebelah belakang-nya. Talibu boleh jadi gagah perkasa, namun ia kurang pengalaman dan tidak mengenal keadaan dunia kang-ouw. Maka ia tidak menaruh curiga dan dengan la-pang ia melanjutkan perjalanan keluar dari kota Lok-yang. Malam itu amat indah dengan bulan bersinar penuh tanpa gangguan awan. Ia kini tidak lari lagi melainkan berlenggang seenaknya melalui jalan yang sunyi di tepi sawah ladang. Suara banyak katak membentuk perpa-duan musik yang indah dan amat menarik hatinya. Sambil tersenyum-senyum Pange-ran ini berjalan, pertama kali selama hidupnya merasa sebagai seorang yang benar-benar bebas, tidak terikat oleh segala macam peraturan, tidak terganggu oleh hadirnya para pengawal. Ia pada saat itu merasa benar-benar sebagai seorang pendekar muda perantau seperti yang sering ia dengar didongengkan ibu-nya. Sambil tersenyum ia meraba gagang pedangnya.
"Berhenti....!" Bentakan ini membuat Talibu menahan kaki dan memasang kuda-kuda. Ia dapat mencium bahaya, apalagi ketika ia mengenal empat orang berpakaian pengemis yang pagi hari tadi memandangnya dengan pandang mata penuh kemarahan ketika ia turun dari atas kudanya, di depan losmen. Kini empat orang pengemis yang berpakaian tambal-tambalan namun bersih ini berdi-ri menghadapinya dengan sikap mengan-cam!
Namun Talibu memiliki keberanian yang luar biasa. Tidak percuma ia men-jadi putera Ratu Yalina yang di waktu mudanya merupakan seorang wanita se-perti naga betina yang tak pernah me-ngenal takut! Ia bersikap tenang, namun sedikit pun tidak merasa takut. Bahkan bibirnya yang merah itu tersenyum keti-ka ia bertanya.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 320
"Kalian ini siapakah" Apakah golongan orang gagah dari kai-pang" Dan apa kehendak kalian malam-malam meng-ganggu perjalanan orang?"
"Menyerahlah menjadi tawanan kami dan kami takkan menggunakan kekeras-an." kata
seorang di antara empat pe-ngemis ini, yang berjenggot panjang.
"Eh-eh, apakah kalian tidak salah mengenal orang" Aku adalah seorang pelajar yang melakukan perantauan, sama sekali tidak pernah mempunyai permu-suhan dengan orang lain, apalagi dengan golongan kai-pang. Mengapa tanpa sebab kalian hendak menawan aku?"
"Harap kau tidak banyak membantah. Kami tahu bahwa kau adalah Pangeran Mahkota dari Khitan." kata Si Jenggot Panjang.
Talibu membusungkan dadanya. "Kalau sudah tahu aku Pangeran Mahkota Khi-tan, mengapa menggangguku" Kerajaan Khitan bersahabat dengan negara ini dan tak tahukah kalian bahwa jika kalian menggangguku maka hal ini bukan hanya membikin marah Negara Khitan, bahkan juga negara kalian sendiri" Apakah kalian ini pengkhianat-pengkhianat kerajaan yang memusuhi kerajaan?" Sebagai Pu-tera Mahkota Khitan, tentu saja Talibu maklum akan keadaan kedua kerajaan itu. Ucapannya yang tepat dan bengis membuat empat orang
pengemis itu ber-ubah. Akan tetapi kelirulah kalau Talibu mengira bahwa ucapannya akan mengundur-kan mereka. Tidak sama sekali, mereka itu malah maju mengurung dan Si
Jeng-got berkata. "Kami hanya menjalankan perintah. Harap Sang Pangeran suka menyerah saja!"
"Hemm, penjahat-penjahat rendah. Kalian kira aku Talibu takut menghadapi empat ekor tikus seperti kalian?"
Empat orang pengemis ini menubruk maju, akan tetapi mereka disambut ten-dangan dan pukulan tangan yang mem-buat mereka roboh terguling-guling. Me-reka adalah orang-orang yang berkepandaian akan tetapi begitu Talibu meng-gerakkan kaki tangannya, mereka sudah roboh jatuh bangun. Hal ini adalah ka-rena empat orang pengemis baju bersih ini sama sekali tidak menduga bahwa seorang pangeran bangsa Khitan yang mereka anggap sebagai bangsa kasar, akan dapat bergerak sebagai seorang ahli silat pilihan! Mereka menjadi marah dan kini mereka sudah mencabut keluar sen-jata mereka, yaitu tongkat berbentuk ular yang berwarna hitam. Senjata ini menandakan bahwa mereka ini adalah tokoh-tokoh perkumpulan pengemis Hek-coa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Ular Hitam).
"Bagus, kalian hendak mencoba ke-lihaianku. Majulah!" Pangeran Talibu mencabut
pedangnya dan tampak sinar gemerlapan ketika pedang pusaka yang panjang itu tertimpa sinar bulan purna-ma. Pedang itu mengeluarkan cahaya ke-merahan. Itu bukanlah pedang biasa, melainkan sebuah pedang pusaka dari Kerajaan Khitan!
Begitu empat orang pengeroyoknya menyerbu, Talibu menggerakkan pedang-nya membabat.
Sinar merah menyilaukan mata dan angin sambaran pedang mem-buat dua orang pengemis cepat menarik kembali tongkatnya. Akan tetapi dua pengemis yang sudah terlanjur
menyerang tak dapat menghindarkan bentrokan sen-jata.
"Trang.... trang....!"
Dua orang pengemis ini mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur, tongkat mereka tinggal sepotong karena tengahnya terbabat buntung oleh pedang bersinar merah! Marahlah mereka dan segera mereka mengurung dari empat penjuru, kini menjaga agar tongkat me-reka tidak bentrok lagi dengan pedang Si Pangeran. Biarpun tongkat mereka tinggal sepotong, namun dua orang pengemis itu masih lihai gerakannya.
Talibu mewarisi ilmu dari ibunya sen-diri, karena ilmunya hebat. Sayang sekali bahwa pemuda ini kurang pengalaman. Kalau ia sudah matang ilmunya, agaknya dalam sepuluh gebrakan saja ia akan mampu merobohkan empat orang lawan-nya tanpa pedang.
Sesungguhnya, ilmunya tangan kosong Cap-sha Sin-kun merupa-kan ilmu yang jarang
bandingnya, akan tetapi pemuda yang belum berpengalaman ini merasa ngeri untuk
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 321
menghadapi pengeroyokan empat lawan bersenjata de-ngan tangan kosong. Justeru karena ia berpedang, maka ia malah tidak dapat merobohkan lawan dalam waktu singkat.
Betapapun juga, karena dasar ilmu silatnya memang lebih tinggi, tenaga sin-kangnya lebih kuat dan ditambah pedang-nya adalah benda pusaka yang ampuh, tidak sampai empat puluh jurus kemu-dian, empat orang pengemis itu sudah roboh terluka semua. Akan tetapi Pange-ran itu bukanlah seorang kejam. Hal ini terbukti bahwa empat orang pengemis itu hanya terluka goresan pedang di pundak, lengan atau paha saja. Tentu saja kalau ia mau, luka di pundak bisa menjadi pemenggalan leher, luka di lengan bisa menjadi tusukan di dada, dan luka di paha bisa menjadi babatan di pinggang.
Sambil melintangkan pedang di depan dadanya, Pangeran yang perkasa itu membentak.
"Sekarang mengakulah, siapa pimpinan kalian yang menyuruh kalian mencoba untuk
menangkap aku?" "Kami tidak berani mengaku!" kata seorang di antara mereka dan seterusnya mereka membungkam tidak berani bicara lagi hanya mengeluh karena kesakitan.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan tahu-tahu dari tempat gelap muncullah sesosok bayangan. Ketika Tali-bu memandang, ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar bertubuh ramping padat, rambutnya panjang dan ketawanya seperti wanita bahkan kemudian orang itu lalu menya-nyi-nyanyi dengan suara kecil merdu! Orang ini bukan lain adalah Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi Talibu tidak mengenal orang aneh ini maka ia lalu bertanya dengan hormat karena munculnya orang aneh ini menimbulkan dugaan bahwa dia tentu bukan orang sembarangan.
"Maaf, siapakah Tuan dan mengapa datang ke tempat ini menjumpai saya?"
"Ha-ha-hi-hi-hik! Pemuda tampan, Pangeran Mahkota Khitan. Aku disebut Bu-tek Siu-lam dan Pangeran menjadi tamu agung. Harap saja kau suka ikut bersamaku. Maafkan sikap jembel-jembel yang tidak sopan ini, dan saya persilakan Pangeran menjadi tamu kami secara terhormat."
Talibu biarpun belum banyak penga-laman, namun dapat mengenal orang pandai. Menurut ibunya, orang-orang sakti amat banyak di dunia kang-ouw dan sikap mereka memang aneh-aneh. Orang ini sukar ditaksir, laki-laki atau wanita. Pakaiannya aneh dan jelas adalah pakaian pria, namun lagaknya amat genit, bicara-nya seperti wanita dan suara serta keta-wanya jelas suara wanita! Maka ia lalu menjura dengan hormat dan menjawab.
"Saya memang Pangeran Mahkota Khitan, akan tetapi pada saat ini saya sedang merantau sebagai orang biasa. Saya tidak mempunyai hubungan dengan Tuan, maka harap Tuan jangan meng-ganggu dan maafkan penolakanku."
"Hi-hik! Kalau para pembesar yang mengundang boleh saja Paduka menolak, akan tetapi Bu-tek Siu-Lam adalah seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, dan dalam hal ini undangan bukan hanya datang dari saya pribadi, melainkan juga dari Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Kami perlu memperundingkan sesuatu yang amat penting dengan Pa-duka. Apakah Paduka tidak memandang mata kepada kami?"
Talibu seorang pemuda cerdik. Men-dengar bahwa orang aneh ini sekutu pim-pinan bangsa Hsi-hsia, ia terkejut sekali. Dan pada saat itu ia pun sudah melihat munculnya puluhan orang di sekitar tem-pat itu, sebagian besar hwesio-hwesio berjubah merah. Teringatlah ia akan ce-rita tentang penumpasan Beng-kauw dan ia maklum bahwa melawan pun akan sia-sia belaka. Maka ia lalu menjawab.
"Undangan resmi dari bangsa Hsi--hsia untuk Pangeran Mahkota bangsa Khitan tentu saja tak dapat saya tolak. Saya pun tidak percaya bahwa bangsa Hsi-hsia yang gagah akan
menyalahguna-kan undangan ini. Marilah, Tuan, saya menerima undangan terhormat itu."
Kembali Bu-tek Siu-lam tertawa ter-kekeh, kemudian dengan lagak genit ia mempersilakan Pangeran itu berjalan di sampingnya. Pergilah mereka ke barat dan mendaki sebuah bukit.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 322
Menjelang pagi barulah mereka tiba di puncak bukit dan ternyata di situ terdapat bangunan--
bangunan darurat dari bambu yang di-jadikan tempat persembunyian Bouw Lek Couwsu dan anak buahnya.
Pangeran Talibu disambut dengan penuh kehormatan oleh Bouw Lek Couw-su dan murid-muridnya. Hwesio tinggi besar berkaki buntung ini menjura penuh hormat sambil menyambut di depan pin-tu.
"Selamat datang, Pangeran Mahkota Talibu dari Khitan! Kunjungan Paduka Pangeran ini merupakan sebuah kehor-matan besar sekali dan membuktikan bahwa bangsa Khitan adalah bangsa yang besar dan mempunyai keinginan baik terhadap bangsa Hsi-hsia. Juga
membuk-tikan kesetiaan orang gagah Bu-tek Siu-lam terhadap kami, ha-ha-ha!"
Pangeran Talibu balas memberi hor-mat dan berkata, suaranya tenang dan sikapnya agung.
"Sudah lama kami mendengar akan bangkitnya bangsa Hsi-hsia yang dimulai dari Tibet dan kami merasa kagum bahwa bangsa yang kecil itu da-pat bangkit menjadi bangsa yang kuat.
Akan tetapi saya tidak melihat hubungan sesuatu yang dapat menjadi alasan bagi Losuhu untuk mengundang saya menjadi tamu pimpinan bangsa Hsi-hsia."
Sebagai putera kandung seorang pang-lima besar, tentu saja Pangeran Talibu ini pandai pula dalam hal siasat, dan diplomasi. Di dalam kata-katanya ia memuji-muji bangsa Hsi-hsia, akan tetapi di lain pihak ia pun membanting dan menganggap bangsa Hsi-hsia sebuah bang-sa yang kecil dan tidak ada hubungannya dengan Khitan yang besar!
"Ha-ha-ha! Pangeran Talibu dari Khi-tan benar tinggi hati! Justeru pertemuan antara kita inilah yang menjadi jembatan penyambung hubungan itu. Pangeran Talibu, silakan duduk dan mari kita berun-ding seperti dua pihak pimpinan bangsa yang besar dan yang memiliki kepenting-an bersama."
Talibu mengikuti Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam memasuki ruangan besar dan duduk menghadapi meja yang bulat telur dan panjang. Pelayan-pelayan wanita muda dan cantik segera datang membawa arak hangat dan hidangan. Para pelayan ini amat menghormati Bouw Lek Couwsu dan keadaan di situ tiada ubahnya dengan ruangan istana raja. Diam-diaLm Talibu merasa heran mengapa pendeta ini bermata demikian genit penuh nafsu dan mengapa pula seorang pendeta, biarpun dia pemimpin suku bangsa Hsi-hsia, mempunyai pela-yan-pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi sebagai seorang tamu yang tahu akan tata susila dan peraturan istana, ia diam saja, me-lirik pun tidak untuk menyembunyikan perasaan herannya. Namun diam-diam ia merasa bahwa ia berada di dalam ke-adaan bahaya, maka ia bersikap hati-hati.
Setelah mereka makan minum, di-temani Bu-tek Siu-lam yang menjadi makin geenit sikapnya terhadap dirinya, Talibu tak sabar lagi lalu bertanya,
"Losuhu, kalau saya tidak keliru men-duga, Losuhu ini tentulah Bouw Lek Couwsu, pimpinan para hwesio Tibet yang menggerakkan orang-orang Hsi-hsia, yang terkenal sampai ke Khitan."
"Pandang mata Pangeran Talibu amat tajam dan dugaan itu tepat sekali. Pin-ceng adalah Bouw Lek Couwsu yang merasa tidak tega menyaksikan kemiskin-an bangsa Hsi-hsia, maka sengaja me-mimpin mereka untuk memperjuangkan perbaikan nasib mereka."
Pangeran Talibu mengangguk-angguk. "Setelah saya memenuhi undangan Losuhu yang
disampaikan oleh Bu-tek Siu-lam ini, harap Lo-suhu suka memberi penje-lasan, apakah yang akan Losuhu bicara-kan dengan saya."
"Ha-ha-ha! Pangeran Mahkota Khitan sungguh gagah dan bicara seperti laki-laki." Pendeta ini memberi isyarat dan semua pelayan lalu mengundurkan diri, meninggalkan mereka bertiga di dalam ruangan itu. Setelah mengisi cawan arak tamunya dan mempersilakan minum, Bouw Lek Couwsu berkata.
"Pangeran Talibu, memang tepat. Urusan harus diutamakan, kesenangan baru nanti menyusul, kita rayakan. Terus terang saja, kami mengundang Paduka Pangeran dengan maksud untuk Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 323
mengikat tali persahabatan dan membicarakan urusan antara bangsa kita dalam menghadapi Kerajaan Sung."
Talibu cukup cerdik. Segera ia dapat menduga sedalamnya apa yang terkandung di hati pendeta dengan senyum yang me-mikat dan pandang matanya yang tajam itu. Ia sudah mendengar akan serbuan Hsi-hsia ke Beng-kauw, sudah mendengar pula bahwa sejak lama bangsa Hsi-hsia mulai dengan gangguan-gangguan di tapal batas sebelah barat Kerajaan Sung. Jelas bahwa bangsa ini tidak mempunyai maksud baik terhadap Sung dan sekarang pendeta ini bicara tentang persahabatan. Tentu saja tidak bisa lain daripada maksud mengulurkan tangan, mengajak bersekutu dengan bangsa Khitan untuk memusuhi Sung!
Padahal pada waktu itu, Kerajaan Khitan bersahabat dengan Kerajaan Sung dan betapa pun bangsanya banyak yang tidak suka kepada Kerajaan Sung, namun ibunya sebagai Ratu Khitan selalu men-cegah bangsanya bermusuhan dengan Kerajaan Sung. Ia maklum bahwa tak
mungkin ia dapat menerima persekutuan dengan Hsi-hsia, apalagi atas nama bang-sanya.
Namun sebaliknya, biarpun ia dianggap tamu agung, namun ia telah berada di sarang Hsi-hsia, sehingga pe-nolakannya akan membahayakan kese-lamatannya.
"Membicarakan urusan kepentingan bangsa bukanlah soal remeh, Couwsu. Sungguhpun saya Putera Mahkota Khitan, namun saya tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan urusan pemerintahan. Apalagi pada saat ini saya hanya seba-gai seorang pelancong bagaimana saya dapat merundingkan urusan besar ini" Setidaknya haruslah seorang utusan khu-sus dari Sang Ratu di Khitan."
"Hi-hi-hik! Pangeran Mahkota Khitan yang tampan gagah kenapa seperti se-orang gadis kemalu-maluan saja" Menga-pa harus bersembunyi di bawah jubah Sang Ratu"
Mengecewakan betul!" kata Bu-tek Siu-lam sambil terkekeh.
Talibu bangkit berdiri, jari tangan kanan meraba gagang pedang, sikapnya menantang.
"Apakah ini sebuah penghina-an?"
Bu-tek Siu-lam terkekeh makin geli dan Bouw Lek Couwsu segera bangkit lalu melerai. "Ah, Paduka Pangeran mengapa belum dapat mengenal watak Bu-tek Siu-lam" Sahabatku ini sama se-kali tidak menghina, akan tetapi suka bicara secara terus terang dan sejujur-nya. Apa yang dikatakan memang tidaklah terlalu salah. Paduka adalah seorang Pangeran Mahkota, demi untuk kebaikan bangsa tentu saja berhak mengambil keputusan. Secara kebetulan kita bertemu di Lok-yang, bukankah ini sudah menjadi kehendak Thian bahwa di antara kedua bangsa kita memang sudah ditakdirkan menjadi sekutu?"
Pangeran Talibu duduk kembali dan menarik napas panjang. "Hemm, sebagai seorang
Pangeran Mahkota yang mencinta bangsanya, tentu saja saya selalu siap bicara tentang kebaikan bangsaku. Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar dapat kuper-timbangkan apakah aku berhak memutus-kan atau tidak."
Bouw Lek Couwsu tertawa lega dan tidak mempedulikan Bu-tek Siu-lam yang tertawa ha-ha-hi-hi. "Bagus, memang ini-lah sikap yang pinceng harapkan dari Paduka sebagai Pangeran Mahkota calon raja besar bangsa Khitan. Bangsa Hsi-hsia dan bangsa Khitan adalah dua bang-sa yang besar gagah perkasa, mempunyai kepentingan yang sama dan musuh yang sama pula, yaitu Kerajaan Sung yang selalu menganggap kami sebagai bangsa biadab. Kami bangsa biadab" Huh, bangsa Han yang lemah itu harus dihajar. Ke-rajaan Sung harus dirampas dan kami bangsa Hsi-hsia ingin membagi keuntung-annya dengan bangsa Khitan. Dalam ke-adaan bangsa Sung lemah sekarang ini, kalau Khitan bergerak dari utara dan Hsi-hsia menyerbu dari barat, menakluk-kan Sung sama mudahnya dengan membalik telapak tangan saja. Kami meng-ulurkan tangan kepada bangsa Khitan untuk bekerja sama dan menjadi bangsa besar bersama yang memiliki wilayah kekuasaan sampai ke tepi laut timur dan selatan!
"Agaknya Couwsu lupa bahwa biarpun Kaisarnya lemah, Sung masih mempunyai banyak
panglima yang pandai dan pasu-kan-pasukan yang kuat."
"Ha-ha-ha! Hal ini sudah pinceng seli-diki, akan tetapi jangan Paduka khawatir. Pinceng telah Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 324
mempunyai hubungan de-ngan banyak pejabat dan panglima di kota raja Kerajaan Sung.
Mereka akan mengadakan pergerakan dari dalam dan membantu kita pada saat kita bergerak menyerbu. Juga banyak sekali orang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi anak buah Bu-tek Ngo-sian siap membantu kita."
"Bu-tek Ngo-sian" Siapakah mereka?" Pangeran Talibu banyak mendengar dari ibunya tentang orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan pernah mendengar dari ibunya tentang Thian-te Liok-koai yang sudah dihancurkan oleh Suling Emas, ayah kandungnya itu, dan orang-orang gagah lainnya. Akan tetapi belum pernah ia mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian ini.
"He-heh-heh, tidak heran kalau Pa-duka Pangeran yang tampan dan gagah belum mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian! Aku Bu-tek Siu-lam adalah orang pertama Bu-tek Ngo-sian.
Seluruh kai-pang menjadi anak buahku dan mereka merupakan pasukan-pasukan yang amat kuat. Orang ke dua adalah Thai-lek Kauw-ong, raja monyet raksasa itu. Ke tiga adalah Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang tentu Paduka sudah kenal karena banyak orang Khitan menjadi anak buahnya pula di samping orang-orang Mongol. Ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo yang menguasai semua perampok dan bajak, sedangkan ke lima adalah Sian-toanio, iblis betina yang aneh dan memi-liki kepandaian mengerikan."
"Apa yang dituturkan Bu-tek Siu-lam tentu sudah jelas betapa kuatnya kedu-dukan kita, Pangeran Talibu. Karena itu, pinceng harap Paduka tidak ragu-ragu lagi untuk membuat persekutuan dengan kami."
"Bouw Lek Couwsu, aku hanya se-orang Pangeran dan urusan amat penting ini tidak
mungkin dapat kuputuskan sen-diri. Apakah yang harus kulakukan se-karang?"
"Paduka menjadi tamu agung kami dan harap Paduka suka menulis surat tentang persekutuan ini kepada Sang Ratu di Khitan, membujuk agar Ratu Khitan menyetujuinya."
"Kalau Ibuku menolak....?"
"Ha-ha-ha, tidak mungkin menolak melihat kemungkinan besar bagi Kerajaan Khitan
terutama selama Paduka menjadi tamu agung kami...."
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar dan tak lama kemudian, seorang kakek kurus tua yang tertawa-tawa gembira melangkah masuk sambil menggiring lima orang gadis muda yang cantik-cantik. Begitu tiba di ruang-an itu, Si Kakek tua mendorong mereka ke depan. Lima orang gadis cantik itu jatuh berlutut dan menundukkan muka menahan tangis.
Mereka kelihatan bi-ngung, sedih dan ketakutan. Namun harus diakui hahwa kedua orang gadis itu amat cantik jelita.
"Bouw Lek Couwsu, aku datang untuk menebus kesalahanku dan membayar hu-tang
kepadamu!" kakek itu berkata sambil berdiri tanpa memberi hormat. "Aku tidak berhasil menangkap kembali Mutia-ra Hitam, akan tetapi sebagai gantinya, lima orang gadis paling cantik yang ku-temui di sepanjang perjalanan ke sini, kuhadiahkan kepadamu. Eh, Siu-lam si genit, kau sudah berada di sini" Bagus! Dan kudengar tadi kalian menjamu Pa-ngeran Mahkota Khitan. Dia inikah orangnya" Ha-ha-ha, bagus, bagus! Wah, kebetulan sekali kalau begini. Untung aku membawa lima orang gadis cantik, Couwsu, kau menjamu tamu agung tanpa suguhan wanita cantik, sungguh kurang ramah!"
Melihat kedatangan Siauw-bin Lo--mo, hati Bouw Lek Couwsu girang.
Memang ia membutuhkan sekali tenaga bantuan Bu-tek Ngo-sian, apalagi setelah ia
kehilangan bantuan Siang-mou Sin-ni yang entah ke mana perginya itu. Ia tertawa bergelak.
"Bagus, terima kasih, Siauw-bin Lo-mo. Pangeran Talibu, Paduka sebagai tamu kehormatan, silakan memilih di antara lima orang dara ini. Hayo kalian bangkit berdiri dan layani Pangeran Ta-libu!" perintahnya kepada lima orang gadis yang masih berlutut.
Karena sudah mengalami siksaan apa-bila tidak menurut perintah Siauw-bin Lo-mo, lima orang gadis itu seperti ke-hilangan semangat untuk melawan lagi. Kini mendengar perintah Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 325
pendeta tinggi besar yang kelihatan lebih galak daripada Siauw-bin Lo-mo yang menculik mereka, mereka makin takut dan cepat mereka bangkit berdiri. Wajah mereka yang can-tik itu menjadi agak terang ketika me-reka melihat siapa yang harus mereka layani. Kalau disuruh melayani seorang pemuda demikian tampan dan gagahnya, apalagi yang disebut Pangeran, kiranya tanpa dipaksa mereka akan sungkan, untuk menolak! Terutama sekali melihat bahwa ada kemungkinan mereka tidak terpilih oleh Si Pangeran sehingga harus melayani Siauw-bin Lo-mo atau Si Pen-deta yang biarpun tampan akan tetapi sudah tua dan berkaki buntung, atau juga laki-laki tinggi yang memiliki wajah tampan akan tetapi aneh dengan dandan-an seperti orang gila, kini lima orang gadis itu seperti berlumba menghampiri Pangeran Talibu hendak merebut perhatiannya.
Talibu hampir tak dapat mengendali-kan kemarahan hatinya. Ketika ia tadi mendengar Bu-tek Siu-lam memperkenal-kan Pak-sin-ong sebagai seorang di an-tara lima orang sakti yang membantu Bouw Lek Couwsu, ia sudah marah seka-li. Tokoh jahat Pak-sin-ong itu adalah musuh besar ibunya, merupakan seorang pengkhianat Khitan, mana mungkin Khi-tan dapat bekerja sama dengannya" Akan tetapi ia masih dapat menahan perasaannya. Kini lima orang gadis itu berdiri dan menghampirinya dengan langkah le-mas dan pandang mata penuh harap, bibir kepucatan dipaksa senyum. Ia mera-sa seolah-olah sebagai seekor kucing yang tertangkap, kini musuh-musuhnya melepas lima ekor anjing untuk mener-kam dan
mengeroyoknya! Ia memandang dan hatinya dipenuhi rasa iba. Lima orang gadis cantik itu sama sekali tidak menimbulkan benci di hatinya. Sebalik-nya, mereka itu bukan lima ekor anjing ganas, melainkan lima ekor kelinci yang ketakutan dan hampir mati karena sedih.
Pandang mata mereka membuat hatinya merasa tertusuk.
Mereka pun menjadi korban kebiadaban orang-orang yang me-musuhinya ini. Tak dapat pula ia mena-han kemarahannya, dan ia segera bangkit berdiri, menggerakkan tangannya dengan halus sambil berkata.
"Nona berlima saya bebaskan, silakan keluar dari sini dan pergi kembali ke rumah masing-masing."
Lima orang gadis itu kelihatan bi-ngung, saling pandang, meragu dan seper-ti tidak percaya kepada telinga mereka sendiri. Mereka melirik ke arah Siauw--bin Lo-mo yang masih duduk sambil ter-tawa. Melihat ini serentak timbul harap-an mereka bahwa mereka benar-benar dibebaskan seperti yang dikatakan pemu-da tampan itu. Otomatis mereka men-jatuhkan diri berlutut menghadap Talibu, mengangguk-anggukkan kepala lalu bang-kit dan tergesa-gesa mereka berjalan menuju pintu.
Mendadak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bu-tek Siu-lam sudah me-loncat melalui lima orang gadis itu, ber-diri di tengah pintu mengembangkan kedua lengannya yang panjang sambil tertara-tawa.
"Hi-hi-hik, Nona-nona manis mau ke mana" Kalau Pangeran Talibu tidak suka kepada kalian, masih ada aku dan yang lain-lain yang membutuhkan hiburan dan pelayanan kalian. Ha-ha, mari kembali dan duduk minum arak, temani kami Nona-nona cantik! Aku memilih yang dua ini!" Sekali rangkul, ia telah menangkap dan memondong dua orang gadis, sambil tertawa-tawa ia menciumi muka mereka bergantian. Dua orang gadis yang usianya kurang lebih enam belas tahun itu men-jadi pucat wajahnya dan tubuhnya meng-gigil ketakutan. Tiga yang lain juga menggigil dan dengan kaki lemas mereka digiring kembali ke meja oleh Bu-tek Siu-lam.
"Tahan!" Talibu membentak dengan suara marah sekali. Muak hatinya me-nyaksikan
perbuatan Bu-tek Siu-lam dan hatinya penuh iba kepada lima orang gadis itu. "Bouw Lek Couwsu, engkau sudah menyerahkan gadis-gadis itu untuk melayaniku dan aku berhak melakukan apa saja terhadap mereka. Setelah ku-bebaskan dia, kenapa dihalangi" Apakah aku tidak dipandang sebelah mata di sini?"
"Eh-eh, orang muda! Aku yang mem-bawa datang anak-anak ini, dan hanya akulah yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 326
Pedang Ular Mas 16 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Putri Ular Putih 3
^