Pencarian

Kisah Para Penggetar Langit 1

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagian 1


KISAH PARA PENGGETAR LANGIT:
Author: Normie Dated: Decemb er 2011 Blog link: http://kisahparapenggetarlangit.blogspot.com/2011/12/introduction.html
Composed by: fbms ( www.cersilanda.com ) dated: April 2012
PRAKATA by Author: Iseng banget ya bikin cerita silat. Tapi saya udah suka ama cerita silat sejak masih kecil.
Mulai dari video VHS, ama buku saku kecil yang disebut orang "Kho Ping Hoo". Padahal salah kaprah banget, Kho Ping Hoo itu nama salah seorang penulis cerita silat.
Awal mula punya ide untuk menulis cerita silat, adalah ketika saya tahu nenek saya dari pihak ibu, adalah orang cina asli. Marganya Tjio [dalam Ejaan Yang Disempurnakan: Cio].
Seru juga. Dari ibu saya, saya baru tahu lagi kalo nama buyut saya adalah Abdul ah Tjio.
Dia seorang keturunan Cina muslim. Saya kemudian tertarik untuk mempelajari asal-usul silsilah keluarga saya. Siapa tahu buyut saya itu adalah jagoan Baijiquan [nama salah satu cabang bela diri kungfu yang awalnya hanya dipelajari komunitas Cina muslim]. Iseng-iseng saya browsing di internet, gak nemu juga keturunan Cina lain yang marganya Tjio juga.
Adanya cuma Tjio Wie Tay, beliau ini salah satu tokoh keturunan Cina yang berjasa juga bagi Indonesia. Hmmm, siapa tahu, aku ada hubungan saudara dengan beliau.
Dari asal-usul inilah, saya jadi mengkhayal. Siapa tahu nenek moyang saya dulu di Cina adalah tokoh-tokoh silat super sakti dan keren. Punya ilmu meringankan tubuh kelas atas, pukulan sakti maha dahsyat, dan lain-lain. Akhirnya lahirlah seorang tokoh fiktif dalam benak saya yang saya namain Cio San.
Saya gak tau cerita silat yang saya buat ini bakalan kayak gimana. Semua mengalir saja.
Menulis cerita ini pun pada saat saya membuat blog ini. Jadi iseng-iseng aja. Tapi walaupun iseng, saya tetap akan bertanggung jawab atas apa yang saya tulis. Entah ada yang mau baca atau tidak, saya tetap akan menghormati 'kontrak tidak tertulis' antara pengarang dan pembaca.
Sekedar informasi saja, cerita-cerita silat di Indonesia awalnya adalah terjemahan dari cerita silat pengarang China [dan Taiwan atau Hongkong]. Penjualan buku terjemahan ini termasuk fantastis di era tahun 70an, akhirnya merangsang pengarang lokal Indonesia untuk menulis cerita silatnya sendiri. Lahirlah legenda pengarang cersil bernama Kho Ping Hoo. Saking ngetopnya dia, hampir semua buku silat dinamaiin Kho Ping Hoo, padahal ada yang bukan karangannya. Ini sama dengan kebiasaan kita menyebut "Honda" untuk segala jenis sepeda motor.
Di Indonesia, penerjemahan buku silat ini masih mempertahankan idiom-idiom bahasa aslinya. Misalnya seperti nama orang, nama jurus, atau nama tempat dan lain-lain masih disebutkan dalam bahasa aslinya . Tapi berhubung orang-orang keturunan cina yang tinggal di Indonesia itu menggunakan dialek Hokkian, maka idiom-idiom yang digunakan juga menggunakan dialek Hokkian, dan bukan Mandarin sebagai dialek resmi China. Perlu diketahui, ada 3 dialek utama dalam bahasa China, yaitu Mandarin, Hokkian, dan Kanton.
Jadi, walaupun seumpama huruf-hurufnya sama, cara bacanya agak berbeda, menurut dialek masing-masing.
Ambil contoh kata "Wo" yang dalam dialek Mandarin berarti saya, dalam dialek Hokkian berbunyi "Gua". Atau kata "Jin" yang berarti emas, dalam dialek hokkian menjadi "Kim'.
Begitulah. Hal ini menjadi membingungkan ketika banyak orang awam menganggap bahasa China itu cuma dialek Mandarin saja. Padahal di Indonesia, dialek yang umumnya digunakan adalah dialek Hokkian. Nama-nama orang pun masih menggunakan dialek Hokkian ini, seperti Kwik Kian Gie, Soe Hok Gie, dan lain-lain.
Karena itulah, saya juga tetap mempertahankan 'tradisi' ini dengan tetap menggunakan idiom-idiom Hokkian dalam cerita silat karangan saya. Contoh seperti kata "Thay-Kek Kun", yang dalam mandarinnya disebut "Tai Chi Cuan", dan lain-lain. Dalam perjalanan mempelajari dialek hokkian ini, saya malah menemukan banayk juga kata-kata bahasa Indonesia yang berasal dari dialek Hokkian, seperti "Gua/saya", "Lauteng/Loteng", "Lie Hay/Lihay". Dan masih banyak lagi. Ternyata juga, dialek hokkian itu deket banget dengan bacaan Kanji cara Onyomi dari Jepang. Misalnya kata Hokkian "Kiam-Sian" itu hurufnya sama dengan kata Jepang "Ken Shin" yang artinya sama: Dewa Pedang. Seru kan"
Btw, Selain karena mempertahankan tradisi, ternyata memang membaca cerita silat itu lebih enak ketika kita menggunakan dialek Hokkian. Entah kenapa. Dulu di awal tahun 2000an sempat digalakkan lagi penerbitan cerita silat, namun kali ini menggunakan dialek Mandarin. Ternyata banyak pembaca yang protes, karena merasa kesan 'silat'nya hilang.
Ok, moga-moga ada yang mau baca. Karena ini adalah hal baru buat saya. Semoga hasilnya gak mengecewakan. Saya benar-benar membuka pintu kritik dan saran untuk penulisan ini. Karena bagi saya ini bukan sekedar iseng. Saya gak mau terlalu ge-er dengan mengganggap cersil karangan saya sebagai "titik kebangkitan cersil", karena sungguh masih jauh banget. Tapi amat sangat menyenangkan jika kita menggalakkan lagi penulisan seperti ini oleh penulis-penulis muda.
Karena terus terang, walau banyak yang mengganggap cersil sebagai sampah, saya menganggapnya sebagai KARYA SASTRA.
PARA TOKOH Disclaimer: Gambar2 ini bukan milik saya, saya menemukannya di internet. Saya menggunakan gambar-gambar ini hanya untuk penggambaran karakter-karakter yang ada.
Cio San Beng Liong Lau Ciangbunjin Tan Hoat Bab 1 Duka Datang Bertubi-tubi
Pemandangan dari atas gunung Bu-Tong san memang tiada duanya. Saat ini musim semi, matahari sore bersinar dengan cerah. Angin sepoi-sepoi
menghembus menyejukkan hati siapa saja yang berada diatas gunung ini.
Tapi angin sejuk itu tidak mampu menembus ke dada ratusan murid Bu
Tong pai (partai silat Bu-Tong) saat ini. Guru besar mereka, sekaligus pendiri perguran Bu Tong dan juga ketua partai itu, Thio Sam Hong, baru saja meninggal dunia. Beliau adalah salah satu tokoh terbesar pada
jamannya. Bahkan kebesaran nama beliau tidak saja menggetarkan dunia
kang ouw (dunia persilatan), tapi bahkan juga mampu menembus hati
orang-orang biasa, dan rakyat jelata.
Thio Sam Hong memang adalah orang yang sangat dihormati. Para
pendekar aliran lurus sangat mengagumi beliau. Tokoh aliran sesat juga kagum, dan gentar mendengar namanya. Thio Sam Hong adalah pencipta
ilmu-ilmu hebat. Salah satu ilmu ciptaannya adalah Thay Kek Kun. Ilmu dahsyat ini menggetarkan dunia persilatan, dan jarang bisa ditemui
lawannya. Ia juga adalah seorang tokoh pendeta Tao yang kedalaman pengetahuan
agama serta filsafatnya jarang mempunyai tandingan. Banyak orang yang ketika mendengar namanya saja akan tunduk dan merasa takluk.
Selain itu, beliau juga memiliki umur yang sangat panjang. Beliau mencapai umur lebih dari 170 tahun. Konon kabarnya karena ilmu silatnya itu sangat hebat sehingga mempangaruhi usia dan kesehatannya.
Kematian tokoh seperti ini sudah pasti akan menggemparkan seluruh
Tionggoan (Cina daratan). Sudah bisa diramalkan berita kematiannya akan membuat dunia Kang ouw gempar. Proses penguburan jenazahnya akan
mengundang keramaian besar.
Namun, Thio Sam Hong adalah tokoh bijaksana yang sangat rendah hati.
Sebelum kematiannya beliau menulis surat wasiat agar berita kematiannya baru disebarkan ke dunia kang ouw 3 bulan setelah proses pemakaman
beliau. Surat wasiat itu juga menunjuk Lau Tian Liong sebagai Ciangbunjin (ketua) partai yang baru. Murid-murid Butong pay menerima isi surat wasiat itu dengan rasa haru.
Mereka merasa guru besar mereka itu pantas mendapatkan pemakaman
seperti seorang kaisar. Namun sang guru memilih dikuburkan dengan
suasana yang khidmat. Memang proses pemakaman beliau sangat
sederhana. Walaupun dihadiri ratusan murid Bu-Tong Pai, pemakaman itu sakral dan sederhana. Hanya diurusi beberapa orang yang sudah ditunjuk, dan beberapa pendeta Tao yang membaca kitab suci.
Butong pay memang sedang bersedih. Guru besar mereka meninggal.
Sedangkan murid-murid hebat mereka banyak yang gugur saat
pertempuran melawan bangsa Goan. Saat itu Butong, yang bergabung
dengan berbagai perguruan persilatan dari berbagai aliran, memutuskan untuk menumbangkan bangsa penjajah.
Gerakan perlawanan itu dipimpin oleh murid Butong yang paling hebat.
Murid legendaris itu berhasil menyatukan berbagai golongan bulim, dan berhasil memimpin perang melawan Goan (mongol). Padahal istrinya sendiri adalah putri dari jendral Goan yang masih punya hubungan saudara dengan Kaisar.
Sebuah penghianatan dari bawahannya, membuat murid terbaik Butong itu kecewa dan mengundurkan diri ke sebuah pulau terpencil beserta istrinya.
Kenyataan itu membuat Thio Sam Hong sangat terpukul karena ia menaruh harapan besar terhadap muridnya itu.
Selain bakat yang sangat besar, murid kesayangan Thio Sam Hong itu
adalah orang yang sangat lurus sifatnya. Ia juga memiliki ilmu tinggi dari berbagai macam aliran. Namun kerendahan hati membuatnya ia disukai
banyak orang, sehingga orang-orang mau mengangkatnya sebagai Bu Lim
Beng Cu (pemimpin dunia persilatan).
Murid lain asal Butong memang tidak sehebat murid kesayangan Thio Sam Hong itu, namun mereka juga memiliki ilmu yang dahsyat. Sayang banyak sekali dari mereka yang gugur dalam peperangan sehingga murid-murid
yang tersisa di Butong memang bukan mereka yang terlalu istimewa.
Karena kenyataan ini Thio Sam Hong tidak mampu menurunkan ilmu-
ilmunya yang paling hebat kepada murid-murid yang tersisa. Ia memang
berusaha menurunkan ilmu-ilmu itu, namun bakat dan pemahaman dari
murid-muridnya memang tidak ada yang sedalam dan sebesar murid
kesayangannya itu. Setelah sang murid mengasingkan diri ke pulau terpencil, Thio Sam Hong yang sangat kecewa berusaha memendam kekecewaannya, mengucilkan diri
dengan menciptakan ilmu-ilmu baru yang lebih dahsyat. Para murid yang mengerti dengan keadaan ini, berusaha untuk tidak menyebut-nyebut nama murid kesayangan Thio Sam Hong itu. Karena sering mereka lihat Thio Sam Hong berubah wajahnya menjadi sedih ketika ia mendengar nama muridnya itu disebut. Akhirnya karena lama tidak disebut, nama murid kesayangan itu mulai terlupakan. Bahkan mungkin kini tidak ada lagi orang yang tau siapa sebenarnya nama sang murid kesayangan itu.
Lau Tian Liong, sang ciangbunjin baru, adalah salah satu dari murid Thio Sam Hong yang paling hebat, yang masih hidup. Ia sudah berusia 70
tahunan. Saat terjadi kejadian besar peperangan pengusiran penjajah Goan itu, ia mungkin baru berusia belasan tahun. Thio Sam Hong sendiri sudah berusia sekitar 100 tahun lebih saat itu.
Lau Tian Long tidak ikut berperang, karena termasuk dalam golongan murid pemula yang masih belum cukup ilmu untuk turun ke kancah perang. Ia
memiliki bakat yang besar juga. Thio Sam Hong sudah melihat hal ini, dan mengajarkannya ilmu-ilmu yang sangat tinggi. Sekarang ini memang nama Lau Tian Long juga menggetarkan dunia kang-ouw, karena dianggap sebagai salah satu orang yang paling tinggi ilmunya.
Lau Tian Liong, sang Ciangbunjin baru
Namun tingginya ilmu Lau Tian Liong ini tidak diikuti dengan tingginya ilmu murid-murid Bu-tong saat ini. Oleh sebab itu, tepat setelah 3 bulan, batas yang diberikan Thio Sam Hong untuk memulai memberitakan kabar
kematiannya ke dunia ramai, ia juga memerintahkan murid-murid utama
Bu-tong untuk mulai mencari murid lebih banyak lagi.
Para calon murid ini harus memiliki bakat yang besar, dari keluarga yang lurus dan berasal-usul jelas. Orang-orang yang ditugaskan untuk
mengumpulkan murid ini adalah murid dari angkatan ketiga. Mereka ini
adalah terdiri dari murid-murid hebat yang ditugaskan untuk berkelana ke segala penjuru Tionggoan untuk menegakkan kebenaran. Tegasnya, mereka adalah pendekar-pendekar yang turun langsung ke dunia kang ouw.
Murid yang bisa tembus sampai angkatan ke 3, adalah murid-murid yang
sangat hebat. Dalam Bu-Tong Pay, ada 7 angkatan. Angkatan ke 7 adalah angkatan pemula. Begitu seterusnya sampai keatas. Mereka yang ingin naik angkatan harus melewati ujian berat. Jika tidak lolos maka ia diberi
kesempatan mencoba sampai 3 kali. Jika 3 kali itu tidak lulus, maka ia tidak bisa lagi naik tingkat, dan selamanya menjadi murid angkatan itu.
Mereka yang bisa lolos sampai angkatan ke 3, hanya beberapa orang.
Mungkin tidak sampai 20 orang. Untuk bisa naik menjadi angkatan ke 2, mereka harus turun gunung. Berkelana selama bertahun-tahun. Membantu
rakyat dengan ilmu yang sudah mereka miliki. Setelah itu baru mereka
berhak mengikuti ujian naik ke tingkat ke 2.
Tujuh orang terbaik dari angkatan ke 3 ini akan dilatih ilmu barisan pedang Butong yang sangat terkenal itu. Ke 7 orang ini tidak turun gunung, dan menetap di Butong sebagai penjaga utama perguruan ini. Sedangkan
sisanya, diwajibkan turun gunung, mengabdi untuk rakyat.
Tugas baru untuk mencari murid-murid berbakat ini dibebankan kepada
mereka yang turun gunung, termasuk Tan Hoat. Dia adalah salah satu murid Butong yang namanya mulai terkenal di dunia kang-ouw. Tindak tanduknya yang gagah membuat nama besar Butong semakin disegani.
Tan Hoat Hari itu hari yang cerah, ia menyusuri padang rumput di sebuah desa
terpencil. Perintah dari ciangbunjinnya yang baru sudah ia dengar. Cara anggota Butong menyampaikan berita memang unik. Jika pusat perguruan
menurunkan perintah atau berita, maka cukup satu orang saja membawa
kabar itu ke sebuah desa di kaki gunung. Tidak sampai 5 hari, berita itu sudah tersebar luas di Bulim (kalangan kaum persilatan). Kebesaran dan ketenaran Butong memang jarang ada bandingannya.
Itu termasuk berita-berita rahasia. Para murid angkatan Bu-tong memiliki sandi-sandi rahasia dan bahasa-bahasa tertentu yang hanya bisa dipahami mereka. Setiap angkatan memiliki sandi rahasia tersendiri. Biasanya sandi atau pesan-pesan rahasia ini tertulis di tempat yang sering dilewati orang namun tidak mudah untuk diperhatikan.
Begitulah cara mereka bertukar berita. Begitu pulalah cara Tan Hoat
menerima berita kematian guru besar, dan perintah mencari murid.
Sebenarnya ia ingin pulang secepatnya untuk menziarahi makam gurunya, namun perintah ketua Lau mengharuskannya mencari murid dulu. Sebelum
mendapatkan murid hebat, maka para murid tidak diijinkan naik ke Butong san.
Perasaannya sedih sekali. Kecintaan rakyat jelata kepada mendiang Thio Sam Hong saja sudah besar sekali. Apalagi kecintaan para muridnya sendiri.
Itulah mengapa Tan Hoat merasa terharu dan sedih sekali. Ia bangga
menjadi murid Butong. Sepanjang jalan, ia mendengar nama Thio Sam Hong disebut-sebut dengan penuh rasa hormat.
Di mana-mana orang-orang berdoa untuk kedamaian arwah Thio Sam Hong.
Dimana-mana orang memuji-mujinya. Tan Hoat bangga dan terharu. Kabar
beritanya sendiri ia lihat melalui goresan pedang di pintu sebuah rumah makan di kotaraja . Goresan pedang itu kecil saja. Tidak akan kelihatan jika mata tidak awas. Tapi sebagai murid Butong angkatan ketiga, hal-hal begini sudah menjadi bagian hidupnya sehari-hari.
Membaca pesan-pesan rahasia itu hatinya bagai teriris-iris. Tapi sebagai pendekar, ia sudah mampu menahan perasaannya. Ia tidak meneteskan
airmatanya di tengah keramaian. Ia berlari secepatnya. Namun begitu
sampai di luar gerbang ibukota, air matanya tumpah bagai air bah.
Butuh waktu lama sekali bagi Tan Hot untuk menguras air matanya. Baru ketika ia sudah merasa tenang dan kuat. Ia melanjutkan lagi perjalanannya.
Kali ini ia punya tugas baru dari sang pangcu. Mencari murid baru. Padahal ia sedang dalam perjalanan menumpas perampok-perampok yang mulai
berani menggerayangi ibu kota.
Tan Hoat memutuskan untuk mengunjungi rumah salah seorang kerabatnya, bernama Cio Kim. Cio kim adalah sahabat lama Tan Hot sejak mereka masih kecil. Ayah Cio Kim adalah salah seorang pemimpin pasukan perlawanan
yang berhasil mengusir penjajah. Ia berfikir mungkin ayah Cio Kim belum mendengar kabar meninggalnya Thio Sam Hong.
Desa di mana rumah Cio Kim adalah sebuah desa yang terkenal. Para
penghuni desa ini adalah para petani yang berhasil membangun pertanian mereka menjadi sebuah perdagangan yang lumayan besar. Mereka
membentuk perkumpulan tani yang berhasil mengurusi hasil tani mereka
dengan baik. Pengelolaan yang baik ini membuat desa mereka makmur, dan sangat terkenal di Tionggoan.
Bagitu menyusuri padang rumput yang luas, Tan Hoat teringat pada masa kecilnya. Ia adalah anak seorang petani. Keluarganya bukan asli orang desa itu, tapi merupakan perantauan dari daerah lain. Karena mendengar nama desa itu yang terkenal, ayahnya memutuskan untuk memboyong
keluarganya kesana dan mulai berusaha disana.
Di sanalah Tan Hoat yang baru berusia 10 tahun itu bertemu dengan Cio Kim. Mereka yang memang seumur memang langsung akrab. Setelah itu
mereka menjadi sahabat dekat. Ayah Cio Kim adalah kepala desa.
Pergolakan perang pengusiran bangsa Goan, membuat ayah Cio Kim yang
bernama Cio Hong Lim bergabung dengan tentara perlawanan. Dengan
bakat dan kecerdasannya, Cio Hong Lim malah mempunyai pangkat tinggi
dalam ketentaraan itu, padahal ia memang tidak bisa ilmu silat.
Cio Hong Lim memiliki otak yang sangat cerdas, sehingga ia diangkat
menjadi ahli strategi. Ia bahkan menjadi salah satu tokoh penting
berhasilnya pengusiran itu. Tidak seperti kebanyakan orang, ia memilih mundur dari jabatannya setelah perjuangan selesai. Ia memilih bertani, membangun perkumpulan petani yang dulu sempat terbengkalai di jaman
perjuangan itu. Usahanya kemudian berhasil. Desanya berkembang lagi. Sejak saat itu Cio Hong Lim menjadi orang yang termasuk kaya. Kekayaan yang
didapatkannya secara jujur, melalui kerja keras.
Ayah Tan Hoat sendiri, yang bernama Tan Leng meninggal beberapa bulan setelah sebelumnya ibu Tan Hoat juga meninggal karena sakit. Kepergian ayah Tan Hoat itu mungkin disebabkan rasa cinta yang mendalam dan
kesedihan karena ditinggal ibu Tan Hoat.
Sejak saat itu Tan Hoat menjadi yatim piatu di usia 15 tahun. Ia kemudian diasuh oleh keluarga Cio selama hampir setahun. Oleh Cio Hong Lim, Tan Hot dikirimkan ke perguruan Butong pay. Posisinya dulu saat menjadi ahli strategi membuatnya dekat dan kagum dengan para pendekar Butong. Cio
Hong Lim sendiri, walaupun tidak menyukai ilmu silat, mempunyai
pandangan yang luas. Ia melihat Tan Hot memiliki bakat unutk mempelajari ilmu silat, sehingga mengirimkannya ke Butong.
Cio Hong Lim tidak memaksakan pandangannya yang anti ilmu silat itu
terhadap Tan Hoat. Bahkan juga kepada anaknya semata wayang, Cio Kim.
Namun Cio Kim memang tidak memiliki bakat ilmu silat. Cio Kim malah
memiliki otak cerdas sehingga Cio Hong Lim mengirimkannya belajar ke
ibukota dan mendapat gelar siucai (sastrawan).
Kini Tan Hot sudah berusia 32 tahun. Ia belum menikah. Pada jaman itu, usia begitu sudah dianggap sangat terlambat untuk menikah. Tan Hoat
sendiripun tidak perduli. Walaupun tidak ada larangan menikah bagi anggota Butong angkatan ke 3, Tan Hoat sendiri memang lebih suka menjadi bujang.
Menurutnya itu malah membuatnya bisa lebih bebas dan tidak terikat.
Walaupun sudah menjadi murid Butongpay, dulu Tan Hot beberapa kali
masih sempat mengunjungi desa itu. Yang pertama, saat ia menemani salah seorang gurunya mengerjakan sebuah keperluan. Dan yang kedua, saat ia menjadi murid angkatan ke 3 dan turun gunung untuk pertama kalinya. Itu sudah 7 atau 8 tahun yang lalu.
Desanya pun tidak banyak berubah. Walaupun ini desa yang makmur,
penduduknya tidak serta merta langsung berubah gaya hidupnya bergaya
seperti saudagar kaya. Memang ada beberapa yang seperti itu. Namun sifat sebagian besar penduduknya yang sederhana, membuat desa itu tetap asri walaupun diakui sebagai salah satu desa yang paling makmur di Tionggoan.
Setelah melintasi padang rumput, kini Tan Hoat menyusuri jalan setapak menuju desanya. Tadi saat di padang rumput, desanya terlihat dari jauh.
Kini semakin dekat, rasa haru yang ada di hati Tan Hoat semakin menguat.
Begitu sampai di gerbang desa. Ia sudah disambut oleh beberapa penduduk desa yang sedang menggarap sawah. Sebagai 'bekas' penduduk desa itu,
apalagi ia murid perguruan Butong, ia memang lumayan dikenal di desa itu.
Setelah mengucap salam, dan menanyakan kabar orang-orang yang tadi
menyapanya, ia menanyakan kabar keluarga Cio.
Wajah orang-orang itu segera berubah. Kata mereka, "Tan-tayhiap
(pendekar Tan) belum dengar" Wah kalau begitu tayhiap secepatnya saja kesana"
"Memangnya ada apa?" tanya Tan Hoat penasaran
"Lebih baik tayhiap kesana dulu. Nanti pasti ada yang bercerita disana...."
jawab salah seorang penduduk desa dengan wajah khawatir.
Penasaran, Tan Hoat segera menggunakan Ginkang (ilmu meringankan
tubuh). Nalurinya sebagai seorang pendekar mengatakan bahwa ada
sesuatu yang tidak beres.
Ia berlari. Bahkan mungkin melayang. Karena kakinya hanya menginjak
tanah sekali-kali. Orang-orang desa hanya melihat kelebatan bayangan. Tapi mereka tidak tahu bayangan apa itu sebenarnya yang baru melewati
mereka. Sebuah belokan lagi, Tan Hoat tiba di depan rumah keluarga Cio. Begitu ia berbelok, ia kaget setengah mati. Tempat yang dulunya berdiri rumah
keluarga Cio sudah ksosng melompong. Tidak ada lagi rumah di tempat itu.
Berganti onggokan kayu-kayu kering bekas terbakar.
Seorang penduduk yang kebetulan lewat disitu mengenal Tan Hoat, "Ah
Tan-tayhiap baru datang rupanya"
"A..apa yang sudah terjadi" Apakah ada kebakaran?" tanya Tan Hoat
terbata-bata "Bukan kebakaran tayhiap...bukan kebakaran..." jawab orang itu
"Lalu apa?" tanya Tan Hoat lagi penasaran
"Bencana besar...rumah Cio-wangwe (saudagar Cio) dirampok orang" orang itu menjawab juga dengan terbata-bata
"Siapa yang berani?" Dalam amarahnya Tan Hoat mengerahkan tenaga
dalamnya sambil menghentakkan kakinya. Orang di depannya merasa
seperti sebuah gempa bumi dahsyat sedang terjadi
"ti..tidak tahu..tayhiap..., kejadiannya cepat, sekali" jawab orang itu kini ketakutan
"Lalu dimana keluarga Cio sekarang?" tanya Tan Hoat lagi, kegarangannya belum berkurang
"Su..su..sudah...." ia terbata-bata
"Sudah apa?" Tan Hoat sudah maju mendekat orang itu
Orang itu ketakutan, tanpa sengaja ia mundur perlahan-lahan
"Su...sudah..." ia ketakutan
Menyadari orang yang dihadapannya itu ketakuitan, Tan Hoat mulai
menghaluskan bahasanya, "Jawablah lopek (orang tua), tidak usah takut, maaf tadi saya tidak bisa menjaga aturan..." kata Tan Hoat
"Su..sudah meninggal semua tayhiap" jawab orang itu
"Apa?" kata-kata itu keluar bersamaan dengan jatuhnya tubuh Tan Hoat ke tanah. Ia berlutut matanya memandang ke tanah. Ia seperti tidak percaya atas apa yang didengarnya.
Berita kematian guru besar Thio Sam Hong saja sudah menguras tenaganya.
Ia butuh waktu lama untuk bisa menguasai hatinya. Bahkan sepanjang
perjalanan dari ibukota ke desa ini, yang membutuhkan waktu 5 hari, ia kadang menangis. Kini ditambah lagi berita ini, Tan Hoat seperti kehilangan separuh nyawanya. Kekuatan hati yang berusaha dikumpulkannya
sepanjang perjalanan akhirnya hilang, buyar begitu saja. Tan Hoat lemas seketika.
Lopek di depannya kemudian mengangkatnya dan menuntunnya ke dalam
rumahnya. Diletakkannya Tan Hoat diatas dipan, dan ia mengambil air dan memberikannya pada Tan Hoat.
"Minumlah, mungkin bisa membuatmu sedikit tenang" kata si orang tua itu
"Maaf saya tidak bisa menahan diri lopek" jawab Tan hoat, ia masih
berbaring diatas dipan. Tapi kesadaran jiwanya sudah mulai ia coba
pulihkan, lanjutnya "Saya mengalami hal-hal besar akhir-akhir ini sehingga tidak mampu menguasai diri lagi, lopek. Maafkan saya lopek"
"Tidak apa-apa tayhiap. Sejak tayhiap masih kecil aku sudah kenal tayhiap.
Aku dulu bekerja sebagai buruh Cio-wangwe. Tapi setelah punya uang, aku membuka sawahku sendiri" kata lopek itu, ia meneruskan, "Tan-tayhiap
adalah kebanggaan desa ini. Kau maafkanlah aku yang tidak bisa berbuat apa-apa atas kejadian keluarga Cio-wangwe"
"Sebenarnya bagaimana kejadiannya?" tanya Tan Hoat, ia bertanya sambil bangun untuk duduk.
"Kejadiannya berlangsung cepat. Ada rombongan perampok yang masuk
desa ini. Jumlahnya puluhan orang. Mereka memakai topeng. Ilmu silat
mereka tinggi sekali. Kami orang desa yang mencoba melawan tidak bisa melakukan apa-apa. Kami dibekuk dan diikat." kisah si lopek
"Kapan kejadiannya" Kenapa aku tidak pernah mendengar" tanya Tan Hoat
"Baru beberapa hari tayhiap. Mungkin baru 4 atau 5 hari. Kami sudah
mengirim laporan ke kotaraja. Mungkin dalam beberapa hari mereka akan mengirimkan petugas-petugas kemari." jawab lopek itu.
Tan Hoat bertanya-tanya dalam hati. Kenapa ia tidak mendengar kabar
perampokan ini. Cio wangwe adalah tokoh yang lumayan terkenal. Jasa-
jasanya dalam perjuangan membuat ia patut mendapat pemakaman
layaknya pahlawan negara. Tapi Tan Hoat akhirnya paham bahwa kabar ini tertutupi oleh kabar kematian mendiang guru besarnya sendiri, Thio Sam Hong.
"Benar tidak ada keluarga tersisa" Cio Kim bagaimana?" tanya Tan Hoat
"Kami sudah mengirim orang untuk memberitahukan kabar ini kepadanya,
dalam beberapa hari ini Cio-siucai pasti sudah kesini.
"Syukurlah. Kupikir ia berada disini juga menjadi korban. Dimana dia tinggal sekarang" Terakhir yang ku tahu ia tinggal di sini" tanya Tan Hoat lagi
"Beliau pindah mengikuti istrinya"
"Ke tempat Li Swat Ing" Dimana itu" Apakah di Gobipay (partai Gobi)?"
"Iya, beliau ikut Li-liehiap [pendekar wanita Li] ke puncak Go bi. Dengar-dengar ketua Gobi sedang sakit keras dan memerintahkan seluruh murid
Gobipay untuk kembali" jawab lopek itu
"Ah iya benar. Kenapa aku bisa lupa. Aku dengar Gobi-ciangbunjin (ketua partai Gobi) memang sedang sakit keras beberapa tahun ini. Jadi Cio Kim ikut ke Gobi?"
"Iya benar. Menurut kabar yang saya dengar, mereka sekeluarga tinggal di kaki gunung Gobi, jadi bila ada apa-apa Li-liehiap bisa langsung naik ke atas" kata lopek.
Tan Hoat menghela napas, pikirannya berkecamuk. Ia memikirkan langkah-langkah yang harus ia lakukan,
"Apakah penguburan Cio-wangwe sudah dilaksanakan?" tanyanya tiba-tiba
"Sudah tayhiap. Kondisi mayat mereka mengenaskan. Mereka diikat dan
dibakar hidup-hidup. Kami langsung menguburkan mayat mereka begitu
para perampok itu kabur" jawab si lopek
"Tolong antarkan aku ke kuburan mereka" kata Tan Hoat menahan
kegeramannya. Hatinya membayangkan penderitaan Cio-wangwe
sekeluarga "Baiklah. Mari ikut saya"
Kuburan anggota keluarga Cio-wangwe terletak di halaman belakang rumah mereka sendiri. Mereka dikumpulkan dalam satu liang, karena kondisi mayat mereka tidak lagi dapat dibedakan. Si Lopek menceritakan hal itu kepada Tan Hoat, yang mendengarkannya sambil meneteskan air mata.
Hatinya teringat Cio Kim. Bagaimana perasaannya mendengar kabar
pembantaian ini. Tan Hoat ikut bersedih pula memikirkan nasib Cio Kim Saat pikirannya melayang-layang itulah terdengar suara orang minta tolong,
"Tolong...tolong" gaduh sekali karena ketambahan lagi suara orang yang minta tolong.
Secepat kilat Tan Hoat berlari ke arah suara gaduh itu.


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata suara itu berasal dari gerbang selatan desa. Tan Hoat berlari kesana. Nampak penduduk desa sedang mengelilingi kuda dan keretanya.
Alangkah kagetnya hati Tan Hoat ketika melihat isi kereta itu adalah Cio Kim beserta istrinya. Mereka sudah berlumuran darah. Tapi masih hidup.
Walaupun wajah Cio Kim berlumuran darah, Tan Hoat masih mengenal
wajah saudara angkatnya ini.
"Cio Kim apa yang terjadi"..ya Tuhan..apa yang terjadi?" Tan Hoat bertanya sambil menyalurkan tenaga murni ke dada Cio Kim
"Jangan..salurkan ke istriku saja..." kata Cio Kim. Walaupun tidak mengerti ilmu silat, istrinya adalah seorang pendekar, tentunya Cio Kim paham
maksud tindakan Tan Hoat Segera Tan Hoat menyalurkan tenaga dalamnya melalui punggung Li Swat
Ing. Saat itu posisinya memang tidur tertelungkup. Tubuh Li Swat Ing sudah penuh luka bacokan. Darah ada dimana-mana. Keadaannya mungkin lebih
parah dari suaminya "Selamatkan anakku...selamatkan anakku" kata Li Swat Ing terbata-bata Ternyata ia menelungkup sambil memeluk anaknya. Beberapa penduduk
langsung mengangkat anak ini. Ia menangis meraung-raung saat dipisahkan dari pelukan ibunya
"Aku mau ibu..aku mau ibu.." tangisnya
"Sudahlah Tan-tayhiap....jangan memaksa diri...aku sudah tidak mungkin tertolong" kata Li Swat Ing. Dengan perlahan ia mendorong tangan Tan
Hoat. "Siapa yang melakukan ini semua?" tanya Tan Hoat
"Tidak tahu....kami diserbu orang ditengah jalan...enam sampai 8 orang.
Koko (kakak, panggilannya terhadap suami) terus menggeber kuda...aku
menahan penyerang-penyerang itu..." jawab Li Swat Ing. Nafasnya sudah satu-satu.
"Aku titip anakku kepadamu. Bawa dia ke Butong..." kata Cio Kim
"Thia...(ayah)..." teriak sang anak yang sedang dalam gendongan salah seorang penduduk.
"San-ji ('Ji' adalah panggilan untuk anak),...kau jadilah manusia yang baik...jangan jadi orang pendendam...tidak usah kau balas ini. Semua
terjadi ada karmanya...tidak usah kau teruskan dendam mendendam..."
kata Cio Kim kepada anaknya.
"Thia...thia...Cio san dengar thia...."
"Kau harus patuh kepada Tan-Gihu..mulai sekarang dia adalah Gihu (ayah angkat) mu...." kata Cio Kim
"Iya thia..." si anak menjawab sambil menangis
"Ayah pergi dulu..ingat kata-kata ayah ya...., Ing-moay aku pergi
duluan...ku tunggu kamu adindaku sayang" Cio Kim mengecup kening
istrinya dengan bersusah payah, saat itu juga nyawanya melayang pergi.
Li Swat Ing tersenyum, ia seperti berbicara kepada arwah suaminya, "Aku bahagia bisa mati bersamamu koko..." ia lalu menoleh kepada Tan Hoat
"Tan-tayhiap di Gobi-san ada..ada" Li Swat Ing terbata-bata
"Ada apa Li-liehiap?" tanya Tan Hoat
"Ada..ada..." nafasnya berhenti
"Ayah....ibu......" tangisan si kecil membahana. Tangisan orang-orang desa pun membahana.
Hari ini adalah hari yang terlalu berat bagi Tan Hoat. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Bab 2 Tan Hoat dan Cio San pergi ke Butong san
Tan Hoat menyelesaikan segala proses pemakaman dengan dibantu orang-
orang desa. Cio San masih tetap menangis. Tetapi ia berusaha tabah.
Sedikitnya Tan Hoat heran juga melihat kekuatan hati anak itu.
"Cio san," kata Tan Hoat " Kau sudah mendengar sendiri kata-kata ayah-ibumu bukan. Mulai sekarang aku adalah gihumu"
"Iya gihu...." kata Cio San
"Karena kau sudah tak ada keluarga lagi, maka ikutlah kau ke Butong. Kau akan kuangkat menjadi muridku" kata Tan Hoat perlahan
Cio San menjatuhkan diri dan berlutut. Ia mengangkat tangan ke dada,
"Gihu...gihu adalah orang yang paling 'anak' hormati. Ayah dan ibu sudah sering bercerita tentang gihu"
Lanjutnya, "Bukannya 'anak' kurang ajar, tetapi 'anak' tidak menyukai ilmu silat. Ayah pun sering mengajarkan bahwa perkelahian itu tidak baik, gihu ampuni 'anak'..."
Tan Hoat hanya memandangnya, kagum. Ia tidak menyangka anak sekecil
ini sudah begitu paham tata cara dan sopan santun.
Cio San lalu melanjutkan lagi, "Apakah boleh anak belajar ilmu sastra saja"
Anak mendengar bahwa guru besar Thio Sam Hong adalah tokoh yang
dalam sekali ilmu agama, ilmu surat, dan ilmu-ilmu lainnya selain ilmu silat.
Sekali lagi maaf gihu" sambil berkata begitu ia bersujud
"Sudahlah anakku, tidak ada yang akan memaksamu untuk belajar silat
kalau kau tidak mau. Sudah.sudah bangunlah kau...bangunlah kau...."
Mereka kemudian tinggal disitu selama beberapa hari sebagai tanda
berkabung. Lalu berangkat menuju Butong san. Para penduduk melepas
mereka dengan hati haru dan sedih. Entah apa lagi nanti yang akan dialami oleh anak sekecil itu.
Banyak penduduk yang memberikan bekal, dan sangu makanan. Juga baju-
baju untuk mereka pakai. Tan Hoat dan Cio San menerimanya dengan
hormat. Setelah mengucapkan salam perpisahan, akhirnya kedua orang itu berangkat. Tan Hoat masih terkagum-kagum dengan sopan santun Cio San.
Tidak percuma ia menjadi anak dari Cio-siucay (sastrawan Cio) dan Li-liehap (pendekar wanita Li).
Perjalanan ke Butong san memakan waktu sekitar 7 hari. Tan Hoat memilih menggunakan kuda supaya lebih cepat, dan juga mengingat ia sedang
membawa anak kecil berusia 7 tahun. Untunglah sepanjang perjalanan Cio San tidak rewel. Hanya sekali-kali ia meneteskan airmata jika teringat nasib ayah-ibunya dan keluarganya. Tapi jika menangis, Cio San melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Ia tidak ingin gihunya menganggapnya
cengeng. Lebih-lebih ia tidak ingin menyusahkan hati gihunya.
Tan Hoat bukan tidak tahu perbuatan Cio San ini. Diam-diam ia kagum, dan menganggap anak kecil ini sungguh keras hatinya. Tapi lama-lama ia
berkata juga, "Cio San, kehilangan keluarga itu adalah hal yang menyedihkan, maka tidak apa jika engkau menangis. Menangis bahkan membuat perasaan lebih lega, dan terasa lebih lapang" kata Tan Hoat.
"Iya gihu. 'anak' hanya mencoba menguatkan hati. Biar nanti tidak
menyusahkan gihu" jawab Cio San.
"Menyusahkan aku" mengapa aku harus susah melihatmu menangis" tanya
Tan Hoat sambil tersenyum.
"Gihu baru kehilangan seorang guru besar, gihu juga baru kehalangan
keluarga angkat gihu. Keluargaku bukankah juga keluarga gihu" Sudah
begitu, gihu masih ketambahan lagi mengurusi seorang anak cengeng" kata Cio San
"Hahahahahaahah, anak pintar..." Tan Hoat terbahak-bahak, lanjutnya "Aku malah sama sekali tidak repot mengurusi engkau. Sekarang bukankah aku harusnya bahagia memiliki anak yang pintar?"
"Anak belum lagi melakukan apa-apa untuk gihu, sudah dibilang pintar."
"Ah kau ini memang pintar. Persis ayahmu..."
Ia lalu menatap langit dan berkata pelan,
"Cio Kim..Cio Kim, umurmu pendek, tapi semoga kau bangga jika anakmu
bisa menjadi orang besar nanti"
"Anak jadi teringat thia (ayah)." Cio San menunduk
"Oh..maafkan gihumu ini anakku, aku..aku tak sengaja" Tan Hoat terbata-bata
"Tak apa gihu" Cio San tersenyum, "Anak cuma teringat kata-kata thia
setelah mendengar ucapan gihu tadi..." lanjut Cio San
"Ucapanku yang mana?" tanya Tan Hoat heran
"Tentang anak menjadi orang besar kelak" jawab Cio San
"Apa kata-kata thia mu itu?" tanya Tan Hoat lagi
"Thia berkata, menjadi orang besar tidak lah harus melakukan perbuatan-perbuatan besar. Karena sejarah tidak ditentukan oleh orang-orang besar, para kaisar, para raja, para jendral perang, atau pendekar-pendekar
ternama. Sejarah dilakukan oleh kita, orang-orang kecil, rakyat jelata yang namanya tidak tertulis dalam kitab-kitab." terang Cio San
"...dalam sekali maknanya" Tan Hoat berkata sambil menerawang
"Anak sendiri tidak begitu mengerti artinya, tapi...."
"Tapi apa..." Tan Hoat penasaran
"Rasa-rasanya anak sudah menangkap sedikit...."
"Coba jelaskan..." kata Tan Hoat
"Waktu anak ditolong oleh orang desa. Mereka itu orang-orang biasa, tidak punya ilmu silat. Mereka dengan sukarela menolong. Membersihkan anak, memberi pakaian, memberi makan. Coba kalo mereka tidak ada, pasti gihu dan anak akan kelaparan, dan mengurusi pemakaman ayah-ibu sendirian
saja" "Hahahaha...pintar-pintar..., lanjutkan-lanjutkan" Tan Hoat tertawa senang
"Kalau nanti seumpama anak jadi orang besar, maka sebenarnya orang-
orang desa itu punya andil paling besar. Karena jika mereka tidak ada, kan anak tidak mungkin bisa selamat dari lapar, dan haus, dan lainnya" lanjut Cio San
"Bukan main!" saking senangnya Tan Hoat menepuk pundak Cio San keras
sekali, sampai ia terbatuk-batuk
"Maaf...maaf..ahhahaha..aku terlalu senang mendapatkan anak secerdas
kau, Cio San" Cio San pun tersenyum, senyumnya yang pertama sejak keluarganya
dibantai Tan Hoat memilih untuk secepatnya sampai ke Butong sehingga ia tidak
terlalu lama beristirahat. Istirahat hanya dilakukan jika mereka benar-benar lelah, atau kudanya yang butuh istirahat. Suatu saat ketika mereka sedang beristirahat di sebuah penginapan, Tan Hoat terkaget-kaget mendengar cerita dari Cio San
Ternyata Gobi-ciangbunjin (ketua partai Gobi) sudah meninggal.
Kedudukannya digantikan oleh pangcu yang baru. Sebelum meninggal ia
telah menunjuk pangcu yang baru bernama Bu Goat"nikow Bhiksu wanita =
Bikhu) , tetapi penunjukkan itu ditentang oleh banyak pihak dalam perguran Gobipay. Bahkan pertentangan itu berubah menjadi perkelahian untuk
memperebutkan posisi Ciangbunjin.
Dalam Gobipay sendiri memang sudah terjadi pergesekan antar murid sejak lama. Ini dimulai sejak jaman pengusiran bangsa Goan dulu, beberapa puluh tahun yang lalu.
Dulu, pangcu yang sekarang telah meninggal itu menemukan kitab
rangkuman ilmu-ilmu tinggi sakti dan rahasia. Ilmu-ilmu sangat tinggi, dan bahkan melegenda dalam dunia persilatan. Pangcu itu kemudian
memutuskan untuk mengajarkan ilmu-ilmu dalam perguran Gobipay.
Pertentangan timbul karena ternyata ilmu-ilmu tidak hanya berasal dari ilmu kaum lurus, tapi juga ada ilmu-ilmu kaum sesat. Pihak yang menentang
merasa bahwa, perguran Gobipay harus terus mempertahankan ilmu asli
mereka yang berasal dari leluhur pendiri Gobipay. Sedangkan pihak yang setuju merasa bahwa ilmu adalah ilmu, tergantung siapa yang
menggunakannya, dan digunakan untuk apa.
"Lalu nikow Bu Goat itu berasal dari golongan mana?" tanya Tan Hoat
"Dari golongan yang setuju untuk mempelajari seluruh ilmu termasuk diluar Gobipay. Karena beliau sendiri memang ditunjuk langsung oleh ketua Gobipay sebelumnya." jawab Cio San
"Memang dari yang teecu dengar, pertentangan ini sudah berlangsung sejak ciangbunjin terdahulu. Cuma karena ilmu beliau begitu sakti, tidak ada yang berani melawan. Baru saat beliau meninggal dan menunjuk penggantinya, baru para penentang itu berani melawan.
"Ah..kacau juga ini....., eh lalu kau tau cerita ini dari siapa" tanya Tan Hoat lagi
"Ayah dan ibu sering mengobrol" jawab Cio San
"Lalu kau mencuri dengar bukan?" tanya Tan Hoat sambil tersenyum
Ciuo san hanya tersenyum. Tan Hoat menjewer telinganya sambil
tersenyum, "Anak nakal, lain kali kau tidak boleh begitu. Laki-laki sejati.
Tidak mencuri. Tidak mencuri barang orang. Tidak mencuri istri orang, tidak juga mencuri dengar pembicaraan orang"
"Anak mendengar gihu...."
"Sana tidur lah kau, besok pagi-pagi kita harus berangkat" tukas Tan Hoat
"Baik gihu, selamat tidur gihu"
Tan Hoat mematikan penerangan kamarnya.
Besoknya, pagi-pagi sekali mereka sudah siap berangkat. Perbakalan pun sudah disiapkan oleh pelayan. Tan Hoat memang memesan kepada pelayan
penginapan untuk menyiapkan bekal dan membangunkannya pagi-pagi
sekali. Malah Tan Hoat yang bangun duluan sebelum si pelayan.
Si pelayan kemudian tergopoh-gopoh membawakan bekal yang dipesan Tan
Hoat, sambil meminta maaf karena dia sendiri terlambat bangun.
"Tidak apa-apa, tapi lain kali jangan begitu, nanti kamu dimarahi tamu mu"
kata Tan Hoat Setelah sarapan pagi, mereka berangkat. Naik satu kuda. Cio San duduk dibagian depan.
"Dulu thia-thia (ayah) suka sekali berkuda. Dia punya kuda yang bagus, tapi katanya sudah dijual. Sayang anak tidak sempat belajar berkuda pada thia-thia" kata Cio San
"Ayahmu sempat mengajarkan apa saja padamu?" tanya Tan Hoat
"Banyak. Yang paling sering ayah mengajarkan huruf-huruf. Anak sudah
mengenal banyak sekali huruf. Ayah juga sering menyuruh anak membaca
kitab-kitab kuno." Selesai berkata begitu ia melafalkan banyak sekali ujar-ujaran. Yang ternyata itu merupakan isi kitab-kitab karya nabi Konghu Chu.
"Wah hafalanmu malah sepertinya lebih banyak dari gihu. Hahahahha" Tan Hoat berkata sambil tertawa.
"Ibu kadang-kadang mengajarkan silat. Tapi anak tidak begitu tertarik"
tukas Cio San "Kenapa tidak tertarik?"
"Anak tidak suka memukul orang" jawan Cio San
"Lalu, kalau kau dipukul orang apa kau tidak membalas?" Tan Hoat bertanya
"Kalau anak berbuat baik, mana mungkin dipukul orang?" jawab Cio San
santai. "Ah kau.." Tan Hoat tidak bisa berkata-kata. Dia cuma bisa melanjutkan,
"Kau ini masih kecil. Masih polos. Belum tahu dunia seperti apa. Nanti kalau kau sudah besar, baru kau tahu bahwa ilmu silat itu penting sekali"
"Hmmm.." Cio San cuma menngangguk-angguk
"Lalu, apa saja yang sudah diajarkan ibumu?" tanya Tan Hoat
"Cara berdiri, cara menangkis, cara memukul....lalu..." Cio san terdiam sebentar, ia lalu melanjutkan "Banyak sekali gihu, hanyak anak yang bodoh karena tidak begitu memperhatikan"
"Ah..aku jadi tertarik, coba kita istirahat sebentar dibawah pohon itu. Lalu kau tunjukkan pada gihu, apa saja yang sudah diajarkan ibumu" tegas Tan Hoat
"Baik gihu" tukas Cio San
Setelah mengikat kuda dan meluruskan kaki sejenak, sambil duduk
bersandar dibawah pohon, Tan Hoat memerintahkan Cio San untuk
menunjukkan gerakan-gerakan yang pernah dipelajarinya.
Cio San melakukannya dengan baik. Mulai dari Bhesi, atau "kuda-kuda", yang disebutnya sebagai 'cara berdiri', beberapa cara menangkis, dan jurus memukul. Semuanya merupakan ilmu silat Gobipay.
"Wah bagus, tapi kamu melakukannya tidak sungguh-sungguh. Seharusnya
begini" Tan Hoat lalu bersilat. Kesemuanya gerakan yang tadi ditunjukkan Cio San, tapi lebih tegas, lebih kuat, dan lebih cepat.
"Kenapa kau diam saja?" tanya Tan Hoat
"Anak.....anak cepat sekali capai jika disuruh bersilat.." jawab Cio San
"Ah jangan berkilah, ayo cepat lakukan seperti yang kutunjukkan tadi" tegas Tan Hoat
Cio san pun melakukan seperti yang diperintahkan. Namun tak beberapa
lama, dia sudah mulai ngos-ngosan, dan pucat. Tan Hoat segera melihat hal ini dan menyuruhnya berhenti.
"Ah ternyata betul kau lemah" sambil berkata begitu ia memegang urat nadi di pergelangan tangan anak itu
"Hah?" Tan Hoat heran, "Organ dalam mu banyak yang lemah. Apakah
kamu pernah dipukul orang"
"Tidak. Tapi kata ibu, anak lahir sebelum sembilan bulan., sejak kecil anak sudah sakit-sakitan" jawab Cio San
"Ah kasihan sekali kau" tak terasa Tan Hoat meneteskan airmata. Ia
memeluk anak kecil itu. "Sejak lahir kau sudah menderita. Sepanjang
umurmu ini sudah sakit-sakitan. Malah kau sekarang yatim piatu...."
Sejak saat itu, rasa sayang Tan Hoat terhadap Cio San lebih bertambah lagi.
Ia bertekad sepenuh jiwa untuk melindungi anak itu. Melakukan apapun
demi kebahagiaan Cio San. Anak dari saudara angkatnya. Anak yang
sekarang yatim piatu, anak yang sakit-sakitan, anak yang sungguh patut dikasihani.
Beberapa hari kemudian, mereka sudah sampai ke Butongsan. Tan Hoat
langsung menuju ke makam Thio Sam Hong. Di sana ia berlutut dan
bersujud lama sekali. Di sana ia menumpahkan air mata. Saudara-saudara seperguruannya pun membiarkan saja. Sepertinya memang hal itu sudah
sering terjadi saat anak murid butongpay yang baru mendengar kabar
kematian itu setelah 3 bulan itu tiba di kuburan itu.
Setelah puas menumpahkan kesedihan dan penghormatannya. Tan Hoat
baru membersihkan diri dan beristirahan sejenak. Lau ciangbunjin berada di biliknya, dan tidak keluar dari pagi sampai sore. Berhubung saat itu masih pagi, Tan Hoat menggunakan waktunya itu untuk menemui murid-murid
yang lain. Bercengkerama dan bertukar cerita. Sekaligus memperkenalkan Cio San sebagai muridnya, dan juga menceritakan asal-usulnya.
Semua orang kagum mendengar bahwa anak itu adalah cucu dari Cio Hong
Lim. Panglima terkenal yang taktik perangnya banyak berhasil mengusir pasukan penjajah Goan. Cio San sendiri bersikap santun dan merendah.
Pada dasarnya dia memang anak yang tidak suka tampil menonjol.
Pembawaan yang sebenarnya diturunkan dari kakeknya itu.
Ayahnya, Cio-siucay, atau sastrawan Cio. juga mewarisi sifat merendah itu.
Jika kakeknya lebih suka mengucilkan diri dan menjadi petani di desa, ayah Cio San ini malah lebih suka mempelajari kitab-kitab kuno, musik, dan sastra. Ia tidak mau menjadi menjadi pegawai di ibukota. Padahal dengan gelarnya, ia bisa saja memiliki jabatan yang tinggi, bahkan bekerja di istana kaisar, mengingat jasa-jasa Cio Hong Lim. Tapi Cio-siucay malah lebih suka mendekatkan diri dengan keluarga.
Akhirnya sifat merendah dan tidak suka menonjolkan diri itu pun mengalir jugalah kedalam jiwa Cio San. Ia paling tidak suka dipuji. Paling tidak suka menjilat-jilat. Tapi tutur katanya sopan, polos, dan jujur. Itulah kenapa murid-murid Butong yang lain langsung suka padanya. Padahal mereka baru beberapa saat kenal dengan dia.
Hari itu ternyata ada 3 murid butong yang pulang ke Butongsan. Selain Tan Hoat, ada juga Wan Siau Ji, dan Kwee Leng. Keduanya turut membawa
murid pula. Dan yang mereka lakukan persis sama dengan yang dilakukan Tan Hoat ketika pertama kali sampai ke Butongsan. Yaitu bersujud di
makam Thio Sam Hong. Lalu kemudian bercengkerama dan bertukar cerita.
Setelah agak siang murid-murid angkatan 3 yang baru pulang itu kemudian istirahat. Sambil menanti sore untuk bertemu dengan Lau-ciangbunjin.
Ketua mereka yang baru. Sore pun tiba, Lau Tian Liong keluar dari biliknya. Usianya sudah 70
tahunan, tapi raut mukanya terhiat lebih muda. Benar juga kata orang yang bilang bahwa ilmu-ilmu Butomgpay bisa membuat orang jadi awet muda.
Ciangbunjin partai Butong ini malah berkeliling melihat keadaan perguruan.
Dari murid-muridnya ia mendengar bahwa 3 orang murid angkatan ketiga
sudah pulang, dengan membawa murid masing-masing. Ia lalu berkunjung
ke kamar-kamar murid itu. Hal ini menunjukkan kerendahan hati sang
ciangbunjin. Padahal sebagai ciangbunjin (kepala partai besar), ia bisa saja memerintahkan para murid menghadapnya di biliknya sendiri.
Pintu kamar Tan Hoat diketuk orang. Padahal ia tidak mendengar langkah seorang pun yang mendekat. Seperti tersadar, ia lalu berlari cepat membuka pintu, setelah itu ia berlutut, dan berkata, "Teecu, Tan Hoat berlaku tidak sopan, tidak mengetahui kedatangan ciangbunjin. Apakah ciangbunjin
sehat-sehat saja?" "Ah jangan terlalu banya adat, berdirilah" sambil berkata begitu ia
mengangkat Tan Hoat. Begitu tangannya menempel ke tangan Tan Hoat, seperti ada getaran
tenaga besar yang menghantam Tan Hoat. Ia sadar. Rupanya sang
ciangbunjin sedang mengujinya. Tan Hoat tidak melawan desakan tenaga
besar itu, ia malah menerimanya dengan ilmu Thay kek kun. Ilmu lembut ciptaan Thio Sam Hong. Desakan tenaga itu malah punah seperti hilang
ditelan samudra yang luas.
Lau Tian Long tersenyum, ia berkata "Bagus, ilmumu meningkat. Tidak
percuma kau mengaku angkatan ke 3"
"Atas petuah-petuah suhu, teecu berhasil sampai ke tingkat 6 thay kek kun"
"Bagus-bagus. Teruslah berlatih. Aku ini hanya berhasil mencapai tingkat 11. Aku sudah memutar otak mencari rahasia tingkat ke 12, tapi masih saja otak bebalku ini tidak bisa memecahkannya. Mudah-mudahan nanti kau
yang bisa memecahkannya" kata Lau-ciangbunjin pelan
Ketika Tan Hoat baru membuka mulut menjawab, Lau-ciangbunjin sudah
memotong dengan pertanyaan 'Eh mana muridmu, aku belum melihatnya"
"Dia sedang berkenalan dengan murid-murid yang lain. Teecu menyuruhnya memperkenalkan diri ke bilik-bilik murid angkatan 7, dan 6."
"Oh baiklah kalau begitu. Nanti malam aku akan kesini lagi untuk
melihatnya" "Teecu akan menyuruhnya ke bilik suhu saja" kata Tan Hoat cepat. Memang sudah menjadi kebiasaan di Butongpay untuk memanggil ketua mereka
sebagai 'Suhu' atau guru, dan membahasakan diri sendiri sebagai Teecu atau murid.
"Tidak usah biar aku saja yang kesini lagi, nah kau istirahatlah, nanti malam kita bercerita ya" Lau Tian Liong pun pergi. Lebih tepatnya menghilang.
"Ilmu suhu semakin hebat saja" Tan Hoat hanya menggeleng-geleng. "Ah
aku sampai lupa memberinya selamat atas pengangkatan menjadi
ciangbunjin..." Malamnya, Lau-ciangbunjin memang benar-benar mengunjungi kamar Tan
Hoat untuk berbincang-bincang. Cio San sudah menggunakan pakaian
terbaiknya yang didapatkan dari pemberian orang-orang desa. Setelah
memberi salam dan penghormatan, Ia memperkenalkan dirinya,
"Boanpwee (artinya "saya yang rendah", ini cara membahasakan diri yang sopan, jika berbicara dengan orang yang tingkatannya lebih tinggi) bernama Cio San, ayah boanpwee bernama Cio Kim, dan ibu boanpwee bernama Li
Swat Ing" katanya "She Cio, ada hubungan dengan jendral Cio Hong Lim?" tanya Lau-
ciangbunjin "Beliau adalah kong-kong (kakek) boanpwee" jawab Cio San
"Ah kau keturunan orang besar rupanya, bagus-bagus. Eh nafasmu kenapa berat, dan wajahmu pucat" sambil bicara begitu, Lau-ciangbunjin meraih tangan Cio San, dan memeriksa nadinya.
"Boanpwee dalam kandungan ibu tidak lengkap 9 bulan. Jadi kata ibu, tubuh boanpwee lemah dan sering sakit-sakitan" kata Cio San perlahan
"Aih.., tak apa-tak apa..." Lau-Ciangbunjin seperti membatin
"Boanpwee sering terkena serangan sesak nafas, dan sering lemah. Harap ciangbunjin maafkan. Jika nanti dikira boanpwee merepotkan butongpay, lebih baik boanpwee tidak..." ucapan Cio San itu dipotong Lau-pangcu
"Ah bicara apa kau ini. Butongpay punya ilmu hebat-hebat. Nanti pasti bisa menolong kesehatanmu jika kau rajin berlatih"
"Terima kasih ciangbunjin" Cio San berkata dengan penuh hormat


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmmm, kau sudah memperoleh ijin dari kedua orang tuamu bukan" Untuk
menjadi anak murid butongpay?" tanya Lau-pangcu
"Eh..orang tua boanpwee baru saja meninggal. Boanpwee lalu dititipkan kepada Tan-gihu (ayah angkat Tan)" Cio San menjawab perlahan
"Oh.." Lau-pangcu merasa pasti sudah terjadi sesuatu, lalu ia melanjutkan,
"Kau istirahlah Cio San, nanti mudah-mudahan beberapa hari lagi kalau murid-murid baru sudah terkumpul semua, kita adakan upacara penerimaan murid. Untuk sementara, kau nikmati dulu suasana Butong san (gunung
Butong) ini, dan berkenalan dengan yang lain"
"Baik ciangbunjin, terima kasih" kata Cio San
"Tan Hoat, ikutlah ke bilikku, ada beberapa hal penting yang ingin
kubicarakan" Setelah sampai di bilik, Lau Tan Liong mulai bertanya,
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan Cio San?"
"Keluarganya semua dibantai, kakeknya, ayah ibunya, seluruh keluarganya dibantai dalam waktu yang hampir berdekatan" jawab Tan Hoat
"Hmm...kau sudah tau siapa pelakunya?"
"Belum suhu..akan teecu selidiki nanti, teecu masih sungkan bertanya
kepada Cio San. Khawatir dia jadi sedih" kata Tan Hoat
"Ya..ya selidikilah setuntas mungkin. Aku khawatir banyak orang yang
dendam terhadap keluarganya. Untunglah kau menemukannya dan cepat
membawanya kesini. Di Butongsan kita bisa menjaganya" kata Lau Tian
Liong, ia melanjutkan, "Ada hal penting lain yang ingin kubicarakan
denganmu" "Teecu siap menerima perintah"
"Sebelum thay-suhu (guru besar) Thio Sam Hong meninggal, beliau
sebenarnya berhasil menciptakan sebuah ilmu yang jauh lebih dahsyat dari Thay kek kun!"
Tan Hoat hanya berdecak kagum dalam hati
Lau-ciangbunjin berkata, "Aku sendiri sudah mencoba kedahsyatan ilmu itu.
ah...kesaktian thay-suhu memang tak bisa diukur lagi..." ia berhenti
sebentar "Sayangnya guru belum menurunkan ilmu itu kepada siapapun..."
"Ah....." Tan Hoat tak bisa berkata apa-apa
"Tapi beliau sempat memberi aku petunjuk, yang sampai sekarang tidak
bisa kupecahkan, beliau berkata, "Segala itu hampa. Memiliki ilmu
sebenarnya tidak memiliki ilmu. Tidak memiliki ilmu sebenarnya yang paling sakti diantara semua"
"Bukankah itu ujar-ujaran kuno..suhu?" tanya Tan Hoat
"Benar...tapi apa hubungannya dengan ilmu silat ciptaan guru itu". Eh tapi ada lagi sambungannya, beliau berkata: Segala yang bukan ilmu silat,
adalah ilmu silat" Tan Hoat diam karena berpikir keras tentang ujar-ujaran guru besarnya itu
"Eh apakah suhu sempat melihat bagaimana jurus-jurusnya?"
"Aku..aku, sebenarnya sempat mencoba ilmu itu. Aku memukul thay-suhu
satu kali, hanya satu kali saja. Beliau tidak memasang kuda-kuda, tidak menangkis, juga tidak memukul..."
"lalu...." Tan Hoat bertanya penasaran
"Sebelum pukulanku sampai, beliau sudah menyentuh pundakku, saat itu
sepertinya seluruh kekuatan hilang, beliau lalu berbisik: berlatihlah terus....."
"Hah?" "Iya, ilmu beliau itu seperti tanpa jurus dan kuda-kuda. Sepertinya beliau hanya berjalan saja menuju aku, menyambut pukulan itu seperti...seperti pukulanku hanya berupa uluran tangan...."
Tan Hoat hanya menggeleng-geleng, memang kesaktian Thay-suhunya itu
sudah tidak bisa diukur lagi. Padahal Lau Tian Long sudah memiliki ilmu kelas tinggi yang menempatkannya di puncak nama-nama dunia kang-ouw,
bahkan setara dengan pemimpin Siaulimpay (Partai shao lin) sekarang.
Nama Lau Tian Long mungkin sekarang termasuk 3 besar orang yang paling tinggi ilmunya di dunia kang-ouw. Bisa dibayangkan betapa tingginya ilmu Thio Sam Hong yang mampu mengalahkan Lau-pangcu dalam satu pukulan
saja! "Pikir-pikirkanlah ucapan thay-suhu yang tadi kuceritakan padamu. Otakmu cerdas, dan pikiranmu tajam"
"Teecu sudah hafal dan akan teecu pikirkan terus suhu..." kata Tan Hoat
"Baiklah, jangan kau ceritakan ini kepada murid lain. Aku menceritakan ini hanya kepadamu saja" kata Lau-pangcu
"Eh..kenapa suhu?"
"Ah sungguh berat mengatakannya, aku tak tahu harus memulainya dari
mana..." Lalu Lau Tian Lioang melanjutkan, "Sebelum thay-suhu meninggal, beliau bercerita bahwa di dunia kang-ouw ini, ada sebuah kitab rahasia ilmu silat yang sampai sekarang belum ditemukan orang. Kitab itu adalah kitab tulisan Tat-mo. Kita tahu bahwa Tat-mo sendiri adalah pencipta ilmu silat. Seluruh jurus, dan aliran ilmu silat yang ada sekarang, bersumber dari kitab itu.
Kitab itu tersembunyi di suatu tempat rahasia. Thay-suhu Thio Sam Hong memerintahkan aku untuk menugaskan salah satu murid Butongpay untuk
menyelidiki keberadaan kitab itu. Bukan karena thay-suhu ingin kita
menguasai isi kitab itu, tetapi untuk menjaganya dari tangan-tangan sesat.
Bisa kau bayangkan betapa hebohnya jika kitab itu nanti jadi rebutan semua aliran"
Lau Tian Long melanjutkan,
"Semua pelajaran ilmu pernafasan, ilmu silat, dan ilmu-ilmu lainnya
bersumber dari kitab itu. Dulu seratus tahun lebih, sempat ada kitab serupa yang jadi rebutan pendekar-pendekar kang-ouw. Tapi kitab rebutan itu
hanya berupa ringkasan dari kitab tulisan Tat-mo itu. Bisa kau bayangkan, kitab ringkasan saja, sudah bisa menghasilkan ilmu-ilmu dahsyat yang tiada tanding, apalagi kitab aslinya"
"Thay suhu berkata, bahwa ilmu thay-suhu sendiri sebenarnya belumlah
menyamai isi kitab Tat-mo itu. Tapi pemahaman beliau sebenarnya sudah bisa menjangkau isi kitab itu. Sayang sebelum beliau sempat memberi aku petunjuk-petunjuk, beliau sudah keburu meninggal. Hanya ujaran-ujaran yang tadi aku sampaikan padamu itu yang sempat disampaikan guru
kepadaku" "Jadi sekarang, aku harus merepotkanmu untuk menyelidiki keberadaan
kitab ini. Lakukan secara rahasia, jangan sampai menimbulkan kehebohan di dunia kang-ouw. Menurut thay-suhu, keberadaan kitab itu mungkin hanya diketahui tidak lebih dari 3 orang."
"Teecu siap berangkat saat ini juga, jika itu perintah suhu" tegas Tan Hoat
"Jangan, beberapa hari lagi saja. Nanti bisa menimbulkan kecurigaan jika kau langsung berangkat, padahal baru saja sampai di Butongsan.
Istirahatlah dulu. Pergunakan waktumu untuk memberi petunjuk-petunjuk dasar ilmu Butongpay pada muridmu. Walaupun ia belum resmi diangkat
menjadi murid Butongpay, secara tidak langsung ia berhak belajar dasar ilmu Butongpay karena ia sudah menjadi anak angkatmu"
"Teecu siap laksanakan perintah"
"Nah, pergilah"
Setelah mengucap salam dan menghaturkan hormat, Tan Hoat
meninggalkan kamar Lau Tian Long. Hatinya tidak enak mendengar adanya kabar kitab Tat-mo itu. Dunia kang-ouw pasti akan heboh tidak lama lagi.
Sekitar 10 hari kemudian, seluruh murid angkatan ketiga sudah kembali, dan membawa muridnya masing-masing. Dua hari setelah itu diadakan
upacara penerimaan murid. Upacara ini merupakan salah satu acara besar di Butongpay, oleh karena itu harus diikuti oleh seluruh murid Butongpay, kecuali yang mendapat tugas lain seperti berjaga, ronda, atau mengurus pekerjaan 'rumah tangga' seperti memasak, mengurusi air, bersih-bersih, atau mengurus ternak.
Balai yang digunakan untuk upacara ini adalah balai utama. Ukurannya
besar, dan sanggup menampung seluruh murid Butongpay. Bahkan masih
sanggup lagi menampung beberapa ratus orang lagi. Banyak sekali kejadian di ruangan ini sejak dahulu. Seperti kekacauan acara peringatan ulang tahun Thio Sam Hong ke 100. Saat itu Butongpay kedatangan banyak 'tamu' yang ingin memberi selamat, namun maksud sebenarnya untuk memperebutkan
benda-benda perebutan dunia kang-ouw
Ada juga penyerbuan yang dilakukan seorang putri Goan beserta anak
buahnya. Penyerbuan ini berhasil digagalkan murid kesayangan Thio Sam Hong dulu itu. Malah akhirnya, murid kesayangan itu jatuh hati dan menikah dengan sang putri Goan, lalu menghilang dan menyepi entah kemana.
Banyak lagi cerita-cerita mengharukan yang terjadi di balai utama ini. Maka memang ada suasana haru yang timbul di hati para murid jika memasuki
ruangan ini. Apalagi bayangan thay-suhu mereka masih membekas di
ingatan mereka kala memimpin upacara-upacara. Ada suasana syahdu, dan sendu yang mengiringi suasana sakral jika memasuki ruangan ini.
Murid-murid sudah berbaris rapi. Para tianglo (penasehat) dari sang
ciangbunjin sudah hadir, dan berada di posisi samping dari mimbar pangcu.
Tapi pangcu sendiri belum datang.
Beberapa murid membaca ujar-ujaran dari kitab kuno, dan juga ujar-ujaran Thio Sam Hong.
"Ciangbunjin memasuki balai utama" terdengar teriakan dari sudut ruangan Semua orang lalu berlutut. Ini adalah ciangbunjin pertama sejak kepergian Thio Sam Hong. Wibawanya tidak seperti Thio Sam Hong. Wibawa siapapun TIDAK AKAN mungkin seperti Thio Sam Hong. Tapi Lau-ciangbunjin memiliki wibawa sebagai seorang ciangbunjin. Itu saja sudah cukup.
"Murid-murid Butongpay, kini kita berkumpul untuk melakukan upacara
penerimaan murid baru. Murid baru ini adalah murid-murid pilihan, yang cara pencariannya agak sedikit berbeda, dari cara-cara dahulu.
"Seperti kita semua tahu, Butong harus menambah banyak murid berbakat.
Kepergian Thay-Suhu membuat kita harus rajin berbenah. Tidak ada
satupun murid yang bisa lulus ujian naik ke tingkat 4. Sehingga kami, memutuskan untuk mencari banyak murid berbakat, melalui cara yang
sedikit berbeda, agar Butong tidak kekurangan murid-murid hebat
nantinya." "Bagi kalian yang sudah menjadi murid Butong. Berlatihlah lebih giat untuk bisa mengharumkan nama perguruan Butong. Yang terpenting, kalian harus bisa mengharumkan nama bangsa ini ke semua penjuru bumi"
"Saat ini, Butong kedatangan 15 murid baru. Mereka telah melewati syarat-syarat yang ditetapkan. Mereka berasal dari keluarga dan keturunan yang jelas. Memiliki bakat, dan tubuh, dan tulang yang cocok untuk belajar ilmu silat. Kecuali Cio San, yang memiliki masalah kesehatan. Ia diterima karena walaupun sering sakit, dan mempunyai tubuh yang lemah, ia memiliki
susunan tulang yang bagus untuk belajar silat. Iya juga memiliki
ketertarikan untuk belajar kitab-kitab kuno, dan kitab nabi-nabi. Kita sedang kekurangan murid-murid yang mempelajari ilmu surat, karena selama ini kita terlalu memusatkan perhatian untuk mempelajari ilmu silat. Ini mungkin disebabkan pergolakan perang pengusiran penjajah dulu."
"Sekarang kita harus menata lagi perguruan ini, karena kita sudah ditinggal oleh thay-suhu. Aku harap seluruh murid Butongpay, mendukung rencana-rencana ini, dan melakukan yang terbaik untuk mendukungnya"
"Murid siap menaati perintah" jawaban ratusan murid Butongpay menggema di dalam balai utama.
"Aku memanggil kelima belas calon murid Butongpay..." Lau Tian Long lalu menyebutkan nama-nama itu.
Kelima belas nama murid itu, termasuk Cio San lalu maju kedepan. Mereka semua memang sudah diajarkan tata cara upacara penerimaan murid ini
sebelumnya. "Ucapkanlah sumpah setia Butong ini, tirukan kata-kataku...." perintah sang ciangbunjin
Terdengar Lau Tian Long mengucapkan sumpah yang ditirukan oleh kelima belas murid baru itu. Isi ucapan sumpah itu tidak begitu panjang. Intinya semua murid Butong menyatakan tunduk dan patuh kepada semua aturan
yang ada di Butongpay. Butong Pay Bab 3: Kehidupan di Butong-san
Kelima belas murid pilihan itu ternyata memang tidak mengecewakan.
Hanya dalam beberapa tahun saja, ilmu silat mereka mulai terlihat istimewa.
Ini mungkin karena bakat mereka memang besar. Ditambah lagi dengan
kenyataan bahwa hampir seluruh kelima belas murid itu sebelumnya
memang sudah digembleng ilmu silat sebelum masuk ke Butongpay. Mereka sebagian besar berasal dari keturunan ahli silat, atau keluarga terpandang.
Hal ini berbeda dengan Cio San, yang sama sekali berbeda latar
belakangnya. Walaupun ia adalah anak dari seorang ahli silat Gobi-pay, ia tidak diajarkan silat secara mendalam oleh ibunya. Karena tubuhnya
memang lemah sejak lahir. Memang ibunya pernah sedikit menunjukkan
gerakan silat Gobipay padanya. Tapi karena kondisi tubuhnya yang lemah, latihan silat itu tidak diteruskan. Jadi, bisa dibilang Cio San itu memang tidak bisa ilmu silat. Walaupun ia paham sedikit-sedikit gerakan silat.
Ayahnya pun juga bukan seorang ahli silat. Malah ayahnya adalah seorang sastrawan, yang mana golongan sastrawan seperti ini memang dikenal
lemah lembut tingkah lakunya. Tidak menyukai kekerasan seperti adanya orang kang ouw (dunia persilatan).
Namun walaupun tidak begitu berbakat dalam ilmu silat, Cio San sangat berbakat dalam ilmu surat (sastra). Pengetahuannya tentang huruf-huruf kuno sangat banyak. Ini mungkin karena sejak kecil ia memang sudah
diajarkan ayahnya. Karena pengetahuan dan bakat ini jugalah yang
membuat ia kemudian diterima ke dalam rencana pencarian bakat
Butongpay. Ditambah kenyataan bahwa dulu kakeknya adalah orang yang
sangat dekat dengan Butongpay.
Setiap anggota 15 murid pilihan ini, mempunyai guru pengawasnya sendiri-sendiri. Guru pengawas adalah orang yang bertanggung jawab langsung
atas masing-masing anggota 15 "naga muda" ini. Guru pengawas ini adalah orang yang dulu membawa murid ke Butong pay. Seperti Tan Hoat yang
menjadi guru pengawas bagi Cio San.
Guru pengawas berkewajiban untuk mendidik langsung, mengajari, dan
memperhatikan kemajuan murid yang dibawahinya. Jadi ada 15 guru
pengawas, yang satu persatu bertugas untuk mengawasi dan mendidik
masing-masing 15 murid tersebut.
Selain guru pengawas, ada juga guru umum, yang hanya bertugas melatih mereka. Namun tidak berkewajiban untuk bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap 15 naga muda, seperti kewajiban guru pengawas
Butong pay Sekarang, beberapa tahun telah lewat. Kelima belas murid pilihan
Butongpay itu telah berusia belasan tahun. Yang paling tua diantara mereka berumur 18 tahun. Sedangkan yang paling muda adalah Cio San, saat ini ia terlah berumur 16 tahun.
Sebutan '15 Naga Muda Butongpay' adalah istilah yang dipakai untuk kelima belas murid istimewa ini.
Murid-murid pilihan ini walaupun mendapat perlakuan istimewa dari seluruh Butong, tidak serta merta membuat hidup mereka enak. Mereka harus
berlatih lebih giat, dengan lama waktu latihan yang jauh lebih lama dari murid biasa. Latihan mereka pun lebih berat.
Mereka juga harus tunduk kepada murid yang lebih tinggi golongannya, dan yang lebih dahulu masuk sebelum mereka. Jadi walaupun istimewa, kelima belas murid pilihan ini malah menjalani kehidupan yang lebih berat dalam Butongpay.
Terutama Cio San. Tubuhnya yang paling lemah diantara kelima belas orang itu. Ilmu silatnya juga yang paling ketinggalan. Apalagi, sang guru
pengawasnya, Tan Hoat, sering naik turun Butongpay karena tugas
perguruan selama beberapa tahun ini, sehingga Cio San juga menjadi jauh tertinggal dengan 15 naga muda yang lain.
Posisinya sebagai salah satu dari kelima belas murid yang dianggap
istimewa itu, malah menjadikannya sasaran empuk dari rasa iri murid-murid lain yang tidak termasuk dalam barisan 15 naga muda itu.
Seperti yang terjadi sekarang ini.
Cio San kebetulan lewat dihadapan sekumpulan murid yang sedang berlatih ilmu totok Butongpay.
"Nah Cio San, mumpung sekarang kamu ada. Kami sedang berlatih ilmu
totok yang baru kemarin bisa kami kuasai dengan baik. Bagaimana kalau kita berlatih bersama?" tanya A Pao, salah seorang murid Butongpay yang bertubuh tinggi besar.
"Ah maaf suheng (kakak seperguruan), saya capek sekali, kebetulan ini baru selesai latihan pernafasan tingkat 5, lain kali saja ya?" sambil bicara begitu dia tersenyum,
"Heh" Anggota '15 Naga Muda' baru sampai pada pernafasan tingkatan 5"
kami saja yang murid 'Biasa' sudah sampai di tingkat 7. Kalian itu belajar apa saja sih?" A Pao berkata sambil tertawa, yang juga ditimpali gelak tawa teman-temannya yang lain.
"Ah sebenarnya yang lain sudah sampai pada tingkat 11, cuma saya
memang kurang bakat, jadinya yah harus mengulang-ngulang terus
pelajarannya" jawab Cio San sambil mencubit-cubit kupingnya sendiri dan tertawa.
"Nah, karena kau itu suka mengulang-ngulang latihan, bagaimana jika
sekalian kau mengulang juga latihan ilmu totok bersama kami?" kata A Pao.
"Aduh suheng, sungguh badan saya pegal-pegal semua. Saya takut malah
tidak bisa latihan dengan baik" jawab Cio San
"Alah sudahlah ayo latihan. Pasang kuda-kuda ya. Lihat jurus!" sambil berteriak, A Pao langsung melancarkan jurusnya tanpa menanti jawaban
dari Cio San. Gerakannya cepat. Tidak malu sebagai anak murid Butong. Ia mengincar
sebuah titik di daerah dada kiri Cio San. Diserang seperti itu Cio San tidak kaget. Ia bersikap tenang dan menerima serangan itu dengan gerakan
menyapu dengan tangan kiri. Gerakan menyapu ini adalah bagian dari
gerakan dasar Thay Kek Kun ciptaan mendiang Thio Sam Hong. Dilakukan
dengan lembut dan mengalir.
Saat serangan pertamanya berhasil dipunahkan, A Pao menggunakan
tangan kirinya untuk mengincar sebuat titik di pelipis kanan Cio San. Melihat serangan ini, Cio San hanya memutar lehernya mengikuti aliran serangan, sehingga serangan totokan itu hanya lewat di depan matanya.
Melihat dua serangannya gagal, A Pao semakin bersemangat untuk
menyerang. Gerakannya semakin cepat, namun gerakan Cio San juga tak
kalah cepat. Setelah beberapa lama beradu silat, keringat mulai terliat di dahi Cio San. Ia memang gampang sekali capek. Sistem kerja organ dalam tubuhnya
memang kurang baik sehingga membuatnya susah mengendalikan
pernafasan, yang membuatnya mudah letih. Itulah juga sebabnya ia masih mengulang-ngulang pelajaran pernafasan tingkah 5.
Melihat lawannya sudah mulai kedodoran, A Pao melencarkan serangannya lebih cepat lagi. Bagi orang Butong, gerakan kedua orang ini biasa-biasa saja. Tapi bagi orang luar, apalagi bagi orang yang tidak mengerti ilmu silat, kedua orang murid Butong ini bergerak sangat cepat dan juga indah.
Menghadap gerakan cepat ini, Cio San mulai terdesak. Ia sudah tidak bisa menghindar seperti tadi lagi. Ia tidak mencoba menyerang karena sibuk terus mempartahankan diri. Karena kalah cepat, Cio San memilih langkah-langkah mundur sambil mengelak sebiasanya. A Pao yang merasa dirinya
diatas angin semakin mendesak Cio San yang terus merangsak mundur.
Sesekali tubuh Cio San terkena serangan totokan jari A Pao. Tapi karena memang mereka belum terlalu menguasai penyaluran tenaga ke jari-jari, hasil serangan ini hanya cukup menyakiti saja namun tidak sampai
menimbulkan akibat yang fatal.
Cio San lalu berkata, "Suheng, saya mengaku kalah, seranganmu hebat
sekali" sambil berkata begitu ia memberi hormat. A Pao yang masih
penasaran karena belum bisa menjatuhkan anggota '15 Naga Muda' tidak
menghentikan serangannya.
"Ah..." Cio San hanya mendesah. Sudah sering ia menerima perlakuan
seperti ini. Banyak sekali anggota Butong 'Biasa' yang ingin menjajal dan mengalahkan anggota '15 Naga Muda'. Dan selalu yang menjadi sasaran
adalah Cio San. Ini mungkin karena dia dianggap yang paling lemah dan paling ketinggalan ilmunya. Bagi murid 'Biasa'. Menjatuhkan salah seorang anggota '15 Naga Muda' itu adalah sebuah kehormatan, maka dijajal lah anggotanya yang paling lemah.
Sudah amat sering Cio San mengaku kalah, namun mereka selalu ingin
menjatuhkannya dulu. Bagi sebagian orang, memang jauh lebih
menyenangkan memukul jatuh lawan, ketimbang mendengar dia minta
menyerah saja. Sering juga Cio San babak belur karena dihajar mereka. Apa daya" Dia
memang paling lemah, dan merupakan sasaran empuk bagi mereka yang iri akan kedudukan '15 Naga Muda'. Tapi Cio San memang tidak pernah
mengeluh. Perlakuan seperti itu malah semakin membuatnya rajin berlatih.
Terkadang ia ditertawai orang karena dianggap tidak pantas menjadi bagian
'15 Naga Muda'. Kadang ia malah terluka, karena serangan-serangan
mereka selalu dilancarkan dengan niat melukai, bukan dengan niat berlatih.
Dalam '15 Naga Muda', ia sendiri juga mengalami hal yang tidak
mengenakkan. Ia selalu dimarahi dan dikerasi oelh guru-gurunya karena kemajuan ilmunya yang lambat. Kadang-kadang gihu dan sekaligus guru
pengawasnya, Tan Hoat bahkan kehilangan kesabaran dengan
menghukumnya. Memang bukan hukuman berat, cuma sekedar
membersihkan dapur, atau mengurusi ternak-ternak babi milik Butong. Cio San pun juga tidak mendendam terhadap gurunya itu, karena ia tahu
gurunya bermaksud baik untuk memacunya lebih bersemangat latihan.
Kadang juga ia melihat pandangan 'menghina' dari sesama anggota '15
Naga Muda'. Para anggota ini menilai Cio San tidak pantas menjadi murid unggulan seperti mereka dan sering memperlakukannya dengan tidak baik.
Seperti menertawainya, mengatakannya dengan berbagi perkataan yang
menyinggung, bahkan juga mengerjainya saat latihan. Seperti
mempelorotkan celananya saat ia latihan kuda-kuda, menyiraminya dengan kotoran babi dengan alasan 'tidak sengaja' dan lain-lain.
Cio San tidak pernah melaporkan perlakuan ini kepada guru-gurunya. Ia menganggap itu hanya candaan belaka. Sering ia tersenyum dalam
menghadapi semua itu. Tapi kadang ia juga menangis sendirian saat sedang mandi, atau saat tidur. Ia malu memperlihatkan kelemahannya. "Seorang laki-laki harus sanggup menghadapi cobaan apapun dalam hidupnya".
Begitu kata ayahnya dahulu.
Kekuatan dan ketabahan hati Cio San ini, malah membuat orang semakin
tidak suka padanya, dan semakin ingin mengerjainya, karena mereka tahu Cio San tidak akan mengadukannya kepada guru-guru mereka. Perlakukan
mereka terhadap Cio San semakin tidak mengenakan. Ia bahkan lebih sering berlatih sendirian. Karena sepertinya kawan sesama 15 Naga Muda sudah tidak lagi menganggap dirinya.
Semua kejadian tidak mengenakkan ini lewat di dalam pikirannya dalam
sekejap mata, saat ia menghadapi serangan A Pao. Tidak terasa matanya berkaca-kaca, air matanya meleleh. Pemusatan pikiran terhadap
pertarungan pun buyar seketika.
Seluruh serangan A Pao pun tepat mengenai sasarannya. Cio San terjatuh dan mengeluh kesakitan. Ulu hatinya terasa sakit sekali. Dalam sekali serangan, A Pao menyerang lima titik di tubuhnya, hasilnya ulu hatinya seperti ditendang 10 kuda.
Nafasnya tersengal-sengal. Tapi murid-murid lain malah menertawainya.
"Anggota 15 Naga Muda, menangis saat diserang, hahahahha" mereka
berteriak sambil tertawa. Suara teriakan, hinaan, dan tawa itu terasa jauh lebih menyakitkan daripada rasa sakit di ulu hatinya. Ia hanya menutup mata, air matanya mengalir.
Sesudah itu dia pingsan Saat siuman, ia merasa perutnya sakit sekali. Cio San kini sedang berada di biliknya sendiri. Ia terbaring diatas tempat tidurnya. Ada bau ramuan obat.
Mungkin juga bau ini yang membuatnya tersadar. Di samping tempat tidur Cio San, Tan Hoat, sang gihu duduk disebuah bangku kayu kecil.
Raut wajahnya kelam sekali. Biasanya gihunya ini tidak seperti ini wajahnya.
Tan Hoat baru kembali dari tugas perguruan. Selama beberapa tahun ini, Tan Hoat memang sering sekali naik turun gunung untuk menunaikan tugas perguran. Melihat ada gihunya di sampingnya, Cio San merasa senang
sekali, namun kemudian gihunya bertanya dengan ketus,
"Kau sudah siuman?" kata gurunya
"Iya gihu" jawab Cio San. Ada rasa tidak enak di ulu hatinya ketika ia berbicara
"Orang-orang bilang kau menangis karena menerima serangan A Pao?"
Cio San menutup matanya. Ia tidak menangis karena serangan A Pao. Ia
menangis karena merasa tidak diperlakuakan dengan adil oleh saudara-
saudara seperguruannya sendiri. Tapi bagaiman ia menceritakan ini kepada gurunya. Selama ini gurunya tidak pernah tahu akan perlakukan mereka
terhadapnya. Jika kemudian ia bercerita, bukankah nanti ia akan dianggap mencari-cari alasan. Apalagi jika nanti kalau dia bercerita, dan semua orang itu menyangkal ceritanya, maka hasilnya akan lebih parah lagi. Ia akan semakin tersudut.
"Iya gihu" Cio San menjawab pelan.
Gihunya juga hanya berbicara dengan pelan, namun kata-katanya menusuk sekali
"Kau....kau membuatku malu. Kau membuat semua murid Butongpay malu.
Seorang laki-laki lebih baik mati di dalam pertempuran, daripada menangis ketakutan dalam perkelahian"
"Maafkan teecu (murid), guru....teecu..." Cio San juga sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Suhu (guru) sekaligus gihunya itu berdiri lalu keluar dari bilik itu. Berjalan dengan gontai
Cio San hanya menghela nafas. Ia menangis lagi. Ia sudah mempermalukan gurunya.
Ia tidak pernah menangis karena rasa takut. Ia tidak menangis karena
kesakitan. Tidak. Ia menangis karena kemarahan. Karena perlakukan tidak adil. Iya benar! Ia menangis karena melihat ketidakadilan. Ia lalu teringat ayahnya lagi yang dulu pernah berkata, "Laki-laki hanya pantas meneteskan airmata karena melihat penindasan."
Cio San berpikir, apakah memang ia menangis karena alasan itu. Semakin lama ia berpikir. Akhirnya ia tersadar. Yang dimaksudkan ayahnya adalah
'penindasan' terhadap orang lain. Jika penindasan itu terjadi kepada dirinya, maka itu bukanlah penindasan. Tapi itu karena ia tidak mampu membela
dirinya sendiri.

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesadaran berpikir seperti ini, bagi anak berumur 12 tahun sebenarnya boleh juga dibilang ajaib. Biasanya anak-anak itu lebih suka mencari
pembenaran dan membela diri. Tapi Cio San sudah mulai paham bahwa,
jangan-jangan ia memang hanya mencari pembenaran.
Dalam hati ia menguatkan dirinya. Ia harus menerima resiko karena
kelemahannya sendiri. Apapun nanti hukumannya, harus ia terima dengan berani. Ia tidak boleh menangis lagi. Ia tidak boleh membuat gihunya
kecewa dan marah lagi seperti tadi. Dan yang lebih penting, ia tidak boleh LEMAH lagi.
Akhirnya ia tersenyum. Senyum pahit yang selalu dilakukannya. Tapi senyum seperti itu terkadang memang bisa mengobati luka hatinya. Luka hati siapa saja.
Bab 4: Hukuman di Puncak Gunung
Setelah mendapat sedikit perawatan dari gurunya, Cio San merasa lebih baik. Selama 3 hari gihunya merawatnya dengan memberi obat-obatan dari ramuan-ramuan rebusan daun. Pahit sekali rasanya. Tapi Cio San merasa pahitnya obat itu masih kalah pahit dengan sikap gihunya. Selama
merawatnya 3 hari itu, Tan Hoat tidak pernah menyapa, atau berbicara
dengan Cio San sama sekali. Untuk menanyakan kabarnya saja tidak. Tan Hoat cuma meraba nadi di pergelangan tangan Cio San untuk mengetahui
kondisi kesehatannya. Cio San mencoba memecah kebuntuan dengan mengajak gihunya berbicara,
namun cuma dibalas dengan anggukan atau gelengan. Walaupun begitu, Cio San tetap berusaha tersenyum kepada gihunya dan bersikap selalu hormat kepadanya.
Setelah 3 hari dirawat, pada pagi hari ke empat Cio San merasa tubuhnya sudah pulih sepenuhnya. Merasa bosan selama 3 hari di kamar terus, Cio San memutuskan untuk keluar biliknya. Suasana pagi itu sangat cerah.
Terdengar suara murid-murid Butongpay yang sedang berlatih.
Cio San berjalan sebentar merasakan cahaya matahari di pagi yang indah itu. Nyaman rasanya. Ia menarik nafas sebentar, mencoba melatih ilmu
pernafasan tingkat 5 nya. Ia mengembangkan kedua tangannya kedepan.
Menekuk sedikit lututnya. Inilah gerakan pembuka dari Thay Kek Kun.
Gerakannya mengalir, kesamping, melangkah ringan ke depan. Melihat
gerakan-gerakan ini, orang awam pasti mengira dia sedang menari. Memang Thay Kek Kun ini terlihat mengalun pelan, dan gemulai. Seperti orang
menari. Cio San pun sendiri seperti menikmati gerakan-gerakan itu. Ia menutup matanya dan bergerak dengan indah. Sepertinya seluruh tubuhnya seperti dituntun untuk bergerak. Bukan ia yang menggerakkan tubuhnya, melainkan sebuah ombak atau angin yang menggerakaan tubuhnya.
Ia merasa nikmat sekali. Perasaannya seperti dibawa terbang. Ia sudah mulai merasa mabuk dan terbang ke dunia lain. Sudah dilupakannya
gerakan apa yang dia lakukan sekarang. Sudah berapa jurus yang ia
lakukan sekarang. Perasaan hati yang riang karena ia telah sembuh total, suasana pagi yang indah, sinar matahari yang cerah, sejuknya udara pegunungan, kicau
burung diatas pohon, dan semua rahmat Tuhan di alam ini seperti membuai Cio San. Ia seperti menjadi tidak sadar atas gerakannya sendiri. Entah sudah jurus keberapa! entah ia sedang melakukan apa! Ia tidak tahu
sekarang berada dimana! Ia seperti terbang, ia seperti bermimpi!
Ia bahkan tidak sadar ada orang berdiri dihadapannya. Tapi dia tidak tahu.
Bahkan bisa dibilang dimana kini dia berada, sedang melakukan apa, pada hakekatnya Cio San sudah tidak tahu lagi.
Seketika terasa seluruh tubuhnya semakin segar. Ada kehangatan aneh
yang timbul di beberapa bagian tubuhnya. Ada tenaga baru yang terkumpul di perutnya, ada tenaga di kedua tangannya, ada tenaga di kedua kakinya.
Perasaan seperti ini baru pertama kali ia rasakan. Tenaga yang mulai
terkumpul di seluruh tubuhnya, tiba-tiba mulai mendesak untuk keluar. Ada apa ini" Mengapa sekarang seluruh tenaga ini mulai mendesaknya"
Cio San mulai merasa dadanya sesak. Gerakannya mulai kacau, ia mulai
tersadar lagi. Ah, ia kini sedang berada di halaman depan bilik para murid.Ia sedang melakukan gerakan dasar pernafasan. Lalu kenapa kini dadanya
sesak. Kesadarannya mulai pulih, ketika itulah terdengar teriakan...
"Salurkan hawa panas di perut ke kedua tangan....jangan menahan nafas, tutup 'pintu belakang' jangan sampai ada tenaga yang bocor, dorong tenaga itu keluar.....!!"
Seketika itu juga terdengar suara blarrr!
Sekeliling Cio San seperti terasa bergetar. Pohon besar yang berada di sebelahnya terasa bergetar dan bergoyang-goyang
Cio San mulai melihat ke sekeliling
Ada gihunya, Tan Hoat berdiri di hadapannya.
Cio San seperti baru terbangun dari tidur dan mimpi indah. Namun
bangunnya itu seperti orang disiram air. Seperti orang gelagapan. Cio San baru mulai menyadari keadaan sekitarnya.
Gihunya sedang berdiri di hadapannya, dengan tatapan mata yang aneh,
beliau lalu bertanya, "Dari siapa kau mempelajari ilmu silat Thay Kek Kun?" katanya menyelidik
"Teecu..teecu.., tidak mengerti..." kata Cio San terbata-bata
"Gerakanmu itu tadi adalah Thay Kek Kun jurus ke 8....., Siapa yang
mengajarkannya kepadamu?" pandangan mata gihunya sungguh menusuk
hatinya "Teecu...., ah..., teecu.., tidak ada yang mengajarkannya kepada teecu, gihuu. Teecu hanya mencoba melatih pernafasan tingkat ke 5...tahu-tahu teecu seperti lupa diri. Tahu-tahu sepertinya tubuh teecu bergerak sendiri, dan teecu tak tahu lagi teecu ada dimana. Lalu tahu-tahu seperti ada tenaga yang timbul...lalu..lalu teecu mendengar suara guru yang menuntun
teecu...." "Benarkah" Aku kan sama sekali belum mengajarimu ilmu itu..." gihunya sendiri juga heran, lalu melanjutkan,
"Atau apakah suhu-suhu yang lain pernah mengajarimu?"
"Tidak pernah gihu..." jawab Cio San
"Atau apakah kau mencuri belajar dari murid-murid tingkatan 4?" tanya gurunya lagi
"Demi Tuhan, tidak gihu. Teecu ingat betul dulu gihu mengingatkan kalau mencuri belajar adalah perbuatan yang hina, teecu tidak mungkin
melakukannya..." jawab Cio San
"Selama ini aku mendengar dari suhu-suhu yang lain bahwa tingkat ilmu silatmu mengalami kemajuan yang sedikit sekali. Malahan ada yang bilang bahwa silatmu tidak maju-maju. Itupun sudah aku perhatikan sendiri tanpa harus menerima laporan suhu yang lain. Lalu bagaimana bisa kau
menguasai jurus ke 8 Thay Kek Kun, padahal untuk bisa belajar Thay Kak Kun saja, kau harus menamatkan pelajaran pernafasan yang sampai tingkat 15. Sampai tingkat berapa ilmu pernafasanmu?" tanya Tan Hoat cepat
"Ba..baru..sampai tingkat 5 gihu" jawab Cio San sambil menunduk
"Coba tunjukkan padaku, pernafasan tingkat 5 mu" perintah Tan Hoat
Cio San mulai melakukan gerakan. Sama indahnya dengan gerakan-gerakan yang tadi ia buat. Namun kini ia memusatkn perhatian untuk melakukan
gerakan ini sebaik-baiknya. Tapi tidak sampai berapa lama. Ia merasa
nafasnya sesak. Ada rasa sempit di dadanya. Hal ini berbeda dengan
perasaan dorongan tenaga yang tadi sempat dirasakannya. Seketika Cio San merasa kepalanya pening. Ia lalu berhenti. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya.
Tan Hoat memegang nadi di pergelangan tangannya. Denyut itu agak sedikit kacau. Sang gihu berkerut dahinya,
"Tingkatan 5 pernafasan saja belum kau kuasai, tapi kau sudah bisa
mengeluarkan jurus ke 8 Thay Kek Kun ....aneh..." Ia seperti berbicara kepada diri sendiri. Lalu meneruskan,
"Apa yang tadi kau lakukan sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan jurus itu?" tanyanya
"Teecu hanya bergerak seenaknya saja. Tidak memikirkan macam-macam.
Teecu keluar kamar dengan perasaan riang karena sudah sembuh. Teecu
menikmati suasana pagi yang segar, dan harumnya bunga-bunga di pagi
hari. Lalu teecu pikir, ada baiknya mencoba gerakan-gerakan pernafasan, karena teecu merasa hawa pagi ini nikmat sekali. Barangkali cocok untuk berlatih pernafasan..." jelas Cio San
"Lalu?" tanya suhunya lagi
"Lalu saat bergerak itu, tahu-tahu teecu seperti dibawa oleh ombak atau angin yang lembut. Gelombang ini seperti menuntun teecu bergerak. Tahu-tahu teecu seperti tidak sadar. Seperti mimpi dalam tidur. Lalu tahu-tahu ada tenaga yang muncul dan mendesak dalam tubuh teecu. Saat itu
kemudian teecu mendengar ada suara yang menuntun teecu mengeluarkan
tenaga itu. Setelah itu teecu membuka mata, dan baru sadar bahwa itu
ternyata suara gihu...." jawab Cio San
"Hmmm...aneh juga"
Tan Hoat berkata begitu sambil berusaha berpikir. Memang Cio San tidak mungkin bisa mencuri belajar dari murid atau suhu lain. Karena tidak
mungkin dia bisa menguasai jurus Thay Kek Kun tingkat pertama sedangkan ia belum bisa menguasai seluruh tingkat 15 pernafasan. Padahal pernafasan itu adalah dasar dari ilmu Thay Kek Kun. Ini bahkan Cio San sudah bisa memainkan jurus ke 8 Thay Kek Kun.
"Sudahlah", lanjutnya "Aku ke sini memberitahukan kepadamu bahwa nanti siang engkau dipanggil menghadap Ciangbunjin. Membahas kejadian
kemarin" "Baik suhu. Teecu siap menghadap" Cio San tahu bahwa perbuatannya
kemarin sangat memalukan. Seorang murid Butong menangis karena
diserang oleh lawan. Itu adalah perbuatan yang sangat memalukan di dunia kang ow. Jika dunia luar tahu bahwa ada murid Butong yang seperti itu, tentu saja nama Butong akan jatuh.
"Hari ini kau tidak usah latihan dulu, karena kau baru sembuh dari lukamu.
Pergilah kau ke dapur dan ambil sarapanmu"
"Baik gihu, terima kasih"
Cio San menghaturkan salam dan membungkuk, saat ia selesai
membungkuk suhunya sudah tidak berada di hadapannya.
Karena memang merasa lapar, Cio San menuju ke dapur umum. Seharusnya
para murid Butong makan di ruang makan yang besar menyerupai aula.
Namun ia memang bangun agak terlambat sehingga lewat waktu makan.
Biasanya murid yang terlambat makan, harus menunggu waktu makan
berikutnya. Tetapi kondisi Cio San yang baru sembuh dari luka ini
merupakan pengecualian. Begitu di dapur, suasana sudah sepi. Tapi di bagian belakang memang
masih ramai, karena ada beberapa murid yang kebagian tugas mencuci
piring. Saat Cio San masuk, ia disapa oleh tukang masaknya,
"Ah kau terlambat, tapi sudah kusediakan makanmu. Ambil saja di lemari kayu belakang. Di sebelah jendela besar itu." katanya ramah seperti biasa Cio San memang lumayan akrab dengan A Liang, si juru masak Butong.
Mungkin karena A Liang sendiri memang tidak bisa silat, mereka jadi
mempunyai kedekatan tersendiri. A Liang memang bukan murid resmi
Butong. Ia adalah seorang juru masak yang bekerja di Butong. Ia tinggal di Butong sudah lama sekali. Puluhan tahun malah. Umurnya sekarang sudah lebih dari 70 tahun.
"Ah terima kasih Liang-lopek (panggilan kepada orang yang sudah tua)"
kata Cio San ramah "Bagaimana lukamu" Sudah sembuh?" tanya A Liang
"Sudah lopek, berkat perawatan Tan-suhu, teecu sudah segar bugar" Cio San menjawab sambil tersenyum.
"Ah lain kali kalau berlatih hati-hatilah, jangan sampai terluka lagi. Ayo sana ambil makanmu. Kudengar perutmu sudah keruncongan begitu. Hahaha...."
Mereka berdua tertawa. Memang kalau dibanding dengan berlatih ilmu silat, sebenarnya Cio San lebih suka bercanda seperti ini. Sifatnya memang
periang suka bercanda. Cocok juga dengan si tua A Liang yang memang
suka tertawa juga. Selesai makan. Cio San membantu A Liang bersih-bersih, dan menyiapkan makan siang. Pagi itu Cio San memang tidak ada kegiatan berlatih karena sudah disuruh beristirahat dulu oleh suhunya. Ia memutuskan untuk
membantu A Liang. Sebenarnya A Liang juga mempunyai beberapa
pembantu yang masih kecil-kecil, mungkin berumur 10an tahun. Tapi
daripada nganggur, yah lebih baik membantu A Liang saja, begitu pikir Cio San
Setelah beberapa lama bekerja memotong sayur, mengiris daging, dan
menyiapkan bahan-bahan lain, Cio San pun diajak A Liang untuk memasak.
Walaupun selama ini berteman dengan A Liang, belum pernah sekalipun Cio San belajar masak dari sahabat tuanya ini.
Pengalaman baru ini membuatnya tertarik dan senang. Membuatnya lupa
akan masalah yang dihadapinya itu. Cio San pun juga ternyata baru tahu kalau dia itu memiliki bakat memasak. Setelah diajarkan sebentar Cio San mulai bisa.
Dasar rasa tahunya memang tinggi, ia pun rajin bertanya mengenai semua langkah-langkah memasak. Apa guna bahan ini" Apa guna bumbu itu"
Mengapa bahan ini harus dibungkus daun terlebih dahulu" Kenapa minyak ini harus dipanaskan lama" Dan lain-lain.
Herannya, jika belajar silat kemajuan Cio San lambat sekali, belajar masak malah dia cepat bisa. Hanya hal memotong-motong atau mengupas yang dia perlu waktu untuk menyesuaikan. Tapi dalam hal mengolah, dan
pemahamannya tentang bumbu, bahan, dan rasa, Cio San cepat sekali bisa.
A Liang pun dengan sabar mengajarkan dan menunjukkan cara memasak
kepadanya. Dari pagi sampai hampir siang Cio San membantu A Liang
memasak. Jadi bisa dibilang banyak sekali pengetahuan yang ia dapatkan dalam setengah hari itu.
Kadang-kadang banyak pertanyaan aneh-aneh yang keluar dari mulut Cio
San, seperti 'Mengapa merebusnya tidak menggunakan bahan ini" Bukankah bahan ini lebih harum?" atau "Kenapa harus membungkus daging dengan
daun pisang", dan masih banyak lagi pertanyaan Cio San yang dijawab
dengan sabar oleh A Liang.
"Kau ini punya minat yang besar ya tentang masak" Baiklah tiap hari jika menganggur kau kesini sajalah. Ku ajarkan resep-resep masak yang hebat-hebat" kata A Liang
"Benarkah" Terima kasih Liang-lopek" tukas Cio San girang
Waktu makan siang pun datang. Cio San membantu A Liang menata piring-
piring dan masakan. Mereka juga dibantu oleh beberapa murid Butong lain.
Maklum, jumlah seluruh murid Butong ada sekitar 1000an lebih.
Letak meja-meja di ruang makan Butong diatur berdasarkan tingkatan.
Setiap tingkatan mempunyai posisi sendiri-sendiri. Begitu juga posisi meja para anggota 15 naga muda. Cio San pun makan di situ juga. Cuma kalau seluruh anggota naga muda makan dengan riang dan bertegur sapa. Cio San makan dengan diam dan sepi. Memang tidak ada orang yang
menganggapnya ada. Apalagi mengajaknya berbicara.
Hanya Beng Liong yang mau duduk di dekatnya dan berbicara padanya.
Beng Liong ini adalah anggota 15 naga muda yang paling tua umurnya.
Sekitar 18 tahun. Dia ini juga adalah anggota yang paling berbakat, paling tampan, dan paling gagah. Semua orang suka padanya. Ia punya tutur kata yang sangat sopan, dan halus. Ia juga ramah dan sama sekali tidak
sombong. Walaupun ilmunya paling hebat diantara para naga muda, dia
tidak pernah semena-mena pada orang lain. Malahan dia paling sering
mengajarkan dan memberi petunjuk kepada murid lain yang belum lancar
penguasaan silatnya. Asal-usul Beng Liong sendiri pun sebenarnya hampir sama dengan Cio San.
Inilah mungkin yang membuat kedua orang ini lumayan akrab. Beng Liong berasal dari keluarga yang sangat kaya raya. Ia tinggal di sebuah provinsi yang dekat dengan perbatasan luar tembok besar. Karena bisnis yang
semakin surut, keluarganya memutuskan untuk pindah ke daerah ibukota.
Apa nyana, di tengah jalan mereka diserang perampok. Seluruh keluarganya mati, termasuk ayahnya dan ibu serta beberapa orang ibu tirinya. Ayahnya memang punya beberapa istri. Untunglah Beng Liong tidak ikut terbunuh.
Pada saat-saat akhir, ia ditolong oleh salah seorang pendekar Butong yang turun gunung.
Kisah hidup Beng Liong yang hampir sama dengan Cio San ini membuat
kedekatan mereka bahkan seperti adik kakak. Orang-orang yang mengerjai Cio San, tidak akan berani melakukannya jika ada Beng Liong. Sayangnya Beng Liong jarang sekali melakukan kegiatan bersama-sama dengan Cio
San. Ini karena ilmu dan kemajuan Beng Liong yang pesat, sehingga ia
bahkan sudah dilatih oleh tetua-tetua Butong angkatan kedua, yang tempat latihannya berbeda dengan Cio San yang selalu tertinggal ilmunya itu. Jika Beng Liong berlatih di bagian atas kuil, tempat para tetua, Cio San malah berlatih di bagian paling bawah kuil, karena ilmunya jauh tertinggal.
Kini kedua orang anak muda itu sedang makan dan bercakap-cakap.
"Eh Cio San, aku dengar, katanya kau sudah berhasil menguasai Thay Kek Kun jurus ke 8?" tanya Beng Liong
"Ah tidak Liong-heng (kakak Liong), hanya kebetulan saja" jawab Cio San pelan.
"Bagaimana ceritanya itu?" tanya Beng Liong tertarik
"Aku hanya iseng-iseng sekenanya bergerak melatih pernafasan tingkat 5.
Tahu-tahu tubuhku bergerak sendiri dan ada tenaga yang timbul dalam
tubuhku. Untung kemudian Tan-suhu datang dan memberi petunjuk. Kalau
tidak, mungkin aku bisa terkena luka dalam karena terserang tenaga ku sendiri"
"Hmmmm, apa benar" Kau beruntung sekali sute (adik perguruan)" tukas
Beng Liong "Eh suheng (kakak perguruan) dengar dari siapa cerita ini" Apakan dari Tan-suhu" tanya Cio San
"Aku mendengar dari murid-murid lain. Kebetulan mereka melihat kejadian tadi pagi" jawab Beng Liong, lanjutnya lagi "Sayang aku tidak melihat sendiri. Padahal menarik juga, mungkin aku bisa belajar banyak"
"Liong-heng ini suka bercanda, mana mungkin aku bisa mengajari Liong-
heng" Harusnya Liong-heng lah yang mengajari aku"
"Ah, ilmu itu datang dari mana saja. Jiwa dan hati harus terbuka, baru bisa memahami ilmu silat yang sungguh dalam dan luas bagai samudera" kata
Beng Liong "Iya Liong-heng, terima kasih petunjuknya" Cio San memang sangat
menghormati kakak seperguruannya itu
"Hey, ayo cepat kita habiskan makan kita, nanti aku terlambat berlatih. Hari ini aku harus bisa menguasai Thay Kek Kun jurus pertama..." seru Beng Liong
"Ah kakak sudah mulai belajar Thay Kek Kun" hebat-hebat...para naga
muda yang lain saja baru belajar pernafasan tingkat 12...." Cio San bertanya dengan kagum
"Iya, syukurlah para guru mau sabar mengajariku...hey ayo cepat makan, aku dengar kau nanti dipanggil oleh Ciangbunjin..."
"Iya..." Cio San menjawab sambil menunduk
"Aku sudah dengar cerita kemarin. Sabar saja. Semua pasti ada hikmah
kalau kau mau memahaminya" ucapan Beng Liong ini sebenarnya pantas
diucapkan orang tua. Tapi memang Beng Liong ini selalu jauh lebih maju dalam hal apa saja.
"Terima kasih, Liong-heng" sambil tersenyum Cio San menghabiskan
makannya. Setelah makan kedua orang sahabat ini berpisah lagi. Beng Liong
meneruskan latihannya. Padahal jadwal setelah makan siang adalah jam
istirahat siang bagi murid-murid Butong. Tapi semangat dan kecintaan Beng Liong pada ilmu silat membuatnya merasa rugi menghabiskan waktu tanpa belajar silat.
Murid-murid yang lain memilih beristirahat. Ada yang duduk sambil
bercengkerama berkelompok, ada yang memilih tidur-tiduran, ada juga yang mengulang-ulang pelajaran silatnya tadi pagi. Cio San memilih pergi mandi membersihkan diri di sebuah sungai kecil yang mengalir di belakang kuil.
Kegiatannya tadi membantu Liang-lopek membuat tubuhnya berkeringat
dan bahkan bau asap. Jika nanti bertemu ciangbunjin dengan keadaan
seperti ini, ia takut dianggap tidak tahu aturan.
Setelah menceburkan diri beberapa lama disungai, Cio San sudah berganti pakaian. Ia memilih pakaian yang jarang dipakainya. Jika bertemu dengan Lau Tian Liong memang ada perasaan tunduk dalam hati Cio San.
Apalagi pertemuan nanti, sepertinya membahas hukuman yang harus ia
lalui. Cio San mencoba mengeraskan dan menguatkan hatinya. Sebagai laki-laki, ia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ia memilih
untuk tidak menceritakan semua perbuatan dan perlakuan murid-murid lain terhadap dirinya.
Walaupun ia sering merasa disepelekan, bahkan keberadaannya itu sering dianggap tidak ada oleh orang lain, bolehlah menyakiti hatinya. Tapi jika itu harus dia pakai sebagai alasan supaya tidak usah dihukum, maka ia merasa dirinya adalah seorang pengecut.
Anak laki-laki umur seperti Cio San, memang sedang senang-senangnya
menunjukkan kelaki-lakiannya. Umur seperti ini memang beranjak dari usia anak-anak memasuki usia remaja. Masa dimana seorang anak kecil merasa ia sudah 'dewasa'. Padahal sebenarnya remaja sungguh tak jauh beda
dengan anak-anak. Malahan orang dewasa pun juga tak jarang masih sama dengan anak-anak.
Cio San kini berjalan dari sungai menuju biliknya. Sering ia berpapasan dengan beberapa murid Butong. Sekedar bertegur dan bertukar senyum.
Masih banyak juga ternyata yang ramah-ramah. Tapi orang-orang ini
memang tidak begitu kenal dengan Cio San.
Yang paling tidak menyenangkan itu jika kau disepelekan dan tidak
diacuhkan sahabat-sahabatmu. Kalau kau tidak diacuhkan oleh orang-orang yang tidak mengenalmu, maka boleh dibilang semua orang di dunia ini
mengalaminya. Itulah yang dirasakan Cio San selama ini. Beberapa orang yang dianggap sahabatnya, malah tidak menganggapnya sama sekali. Makan bersama tidak diajak, keluar bermain tidak diajak, berlatih bersama pun tidak diajak.
Mengobrol pun kadang mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati.
Bagusnya Cio San, ia tidak menyalahkan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri.
Memang dalam hati, sejak lama ia sudah ingin memperbaiki dirinya.
Menunjukkan kepada orang-orang bahwa dia itu bukan 'anak bawang'.
Bukan pecundang yang hanya bisa ditertawakan. Mungkin inilah satu-
satunya alasan Cio San ingin bertahan disini. Membuktikan pada orang-
orang bahwa dia bisa menjadi 'sesuatu'.
Berpikir seperti ini, membuat Cio San semakin bersemangat.
Ia kini sedang berada di biliknya. Berbaring terlentang diatas dipan dengan berbantalkan kedua telapak tangannya. Posisi seperti ini memang posisi kesukaannya.
Tak berapa lama, terdengar suara,
"Cio San, ayo naik ke ruang ketua"
Suara itu kecil saja. Tidak keras, namun terdengar jelas. Cio San lekas bangkit dan keluar. Ia tidak melihat siapa-siapa di dekat situ. Tanpa menunggu lebih lama ia berlari mendaki tangga menuju ruang ketua. Ada jarak sekitar seratus tombak. Gihunya, Tan Hoat ternyata sudah menunggu di depan pintu ketua. Rupanya ilmu mengirimkan suara gurunya itu sudah sangat hebat, sehingga bisa mengirimkan suara dengan jelas dari jarak sebegitu jauhnya.
"Ayo masuk. Ciangbunjin sudah menunggu" kata gihunya
Cio San mengangguk. Ia lalu memberi salam kepada gihunya itu. Lalu
mengucap salam kepada Lau-Ciangbunjin,
"Teecu, Cio San, anggota dari 15 Naga Muda memberi salam kepada
Ciangbunjin. Semoga Thian (langit) selalu memberi
kesehatan dan kebaikan" kata Cio San dari luar pintu
Dari dalam, terdengar suara sang pangcu,
"Masuklah, Cio San"
Begitu pintu dibuka, nampaklah ruang ketua itu. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu sempit. Ruangan ini biasanya dipakai sebagai ruang tugas Ciangbunjin. Tempat ia menerima tamu, atau memberi perintah. Intinya, ruang ini dipakai sebagai ruang resmi kepala Butongpay.
"Teecu, Cio San menghadap ketua" sambil berkata begitu, Cio San
mengatup tangan di depan dada.
Sambil tersenyum Lau-pangcu berkata, "Sudahlah jangan terlalu banyak
aturan" Cio San mengangguk hormat.
Ternyata di dalam ruangan ini, Lau-ciangbunjin tidak sendirian. Ada 4 orang disebelahnya. Dua di kiri, dan dua di kanan. Ke empat orang ini adalah penasehat utama ketua Butongpay. Mereka adalah dari angkatan ke 2.
Wajahnya mereka angker. Cio San mengenal nama-nama orang ini.
Cou Leng, berdagu panjang, dengan jenggot yang semakin membuat
wajahnya terlihat lebih panjang
Yo Han, bertubuh tinggi besar, matanya selalu tertutup, dan bibirnya selalu berkomat-kamit
Yo Ang, kakak dari Yo Han tapi justru tubuhnya kecil. Tatapan matanya, Cio San bahkan tidak berani melihat karena khawatir 'tertusuk'.
Oey Tang Wan, selalu tersenyum.
Usia ke empat ini sekitar awal 60 tahunan. Tapi seperti Lau-pangcu, wajah mereka terlihat lebih muda sepuluh atau lima belas tahun.
Ada rasa tergetar juga di hati Cio San. Ia memang jarang bertemu orang-orang ini. Tapi kekosenan ke 4 orang ini memang sudah sering terdengar.
Kabarnya ilmu keempat orang ini hanya satu tingkat dibawah Lau-
ciangbunjin.

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam hati Cio San kagum jaga. Dari cahaya pancaran wajah mereka saja, bisa diukur kesaktian mereka.
"Cio San", kata Lau-ciangbunjin, suaranya tenang sekali,
"Teecu mendengar suhu" jawab Cio San menghormat
"Kejadian beberapa hari yang lalu, sudah kudengar. Bahkan seluruh
Butongpay ini sudah mendengar" lanjut Lau-ciangbunjin
Cio San menunduk khidmat "Mengapa kau menangis saat kau diserang A Pao?" tanya sang pangcu
Cio San terdiam beberapa detik. Ia telah memikirkan jawaban atas
pertanyaan ini sejak beberapa hari. Dan mantap ia menjawab,
"Teecu tidak mempunyai alasan apa-apa suhu. Teecu siap bertanggung
jawab dan menerima hukuman atas perbuatan teecu itu, suhu"
"Benar kau tidak mempunya alasan apapun" Apakah saat bertarung itu kau sedang dirundung masalah" Atau kau teringat ayah ibumu?" tanya Lau
pangcu lagi "Sama sekali tidak suhu. Mungkin teecu saja yang terlalu berhati lemah, sehingga terjadi kejadian seperti kemarin"
"Para totiang (tetua) ada pertanyaan kepada Cio San?" tanya Lau-
ciangbunjin kepada keempat orang penasehatnya
Yo Ang, yang bertubuh kecil dan bermata tajam membuka suara,
"Apakah kau takut diserang oleh A Pao?" ternyata suaranya cempreng,
cocok dengan badannya yang kecil
Cio San jelas tidak takut. Tapi mau menjawab apa dia bingung. Akhirnya dia diam saja. Bagi sebagian orang, diam itu berarti 'Iya'.
"Memalukan....." kata Yo Ang
Oey Tang Wan, yang wajahnya selalu tersenyum, kini juga membuka suara
"Cio San, anakku, jika ada ganjalan di hati, bicarakanlah. Seorang laki-laki sejati tidak akan takut mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya"
Bagaimana mungkin Cio San membuka semua masalah yang dialaminya.
Hatinya terlalu berat untuk kemudian menyalahkan orang lain. Jika dia menceritakan semua perlakuan buruk yang dihadapinya, bukankah akan
semakin memperlihatkan kelemahannya" Bukankah hal seperti ini malah
akan menambah kemarahan orang" Cio San memilih untuk menyimpan
semua itu. Apalagi jika ia mengungkapkannya, bukankah nanti akan timbul berbagai masalah baru dan pergesekan di dalam perguruan"
Bisa jadi ketika ia membuka cerita, hubungannya dengan murid-murid yang lain akan semakin buruk, dan dia akan semakin dijauhi karena dianggap sebagai pengadu. Anak-anak seusia Cio San memang tak jarang berfikiran seperti ini. Rasa kesetiakawanan mereka yang masih polos selalu membuat mereka takut kehilangan teman.
Riwayat Lie Bouw Pek 8 Bara Naga Karya Yin Yong Wanita Iblis 4
^