Pencarian

Kisah Para Penggetar Langit 3

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagian 3


"Kenapa mencari lopek?"
"Karena kabar yang dibawanya sebenarnya berhubungan dengan aku dan
kau" jawab A Liang. Cio San baru akan bertanya sebelum akhirnya dipotong oleh A Liang
"Dengarkan saja dulu dan jangan banyak bertanya..."
Lalu ia melanjutkan, "Ia memintaku menemaninya ke atas gunung untuk mencarimu karena
katanya aku adalah satu-satunya orang yang paling ia percayai."
"Cio San, tahukah berita apa yang dibawanya itu?"
Cio San hanya menggeleng "Dalam perjalanan ia tidak menceritakan kepadaku, dan aku hanya
menebak-nebak saja. Menurut perkiraanku ia sudah tahu di mana letak
kitab rahasia yang menjadi incaran kaum kang-ouw itu. Dan ia mencarimu karena hanya kaulah yang tau bagaimana cara membaca kitab itu"
"Karena kitab itu ditulis dengan menggunakan aksara kuno itu. Di Tionggoan tidak banyak orang yang mengerti arti huruf-huruf kuno itu. Aku saja
terkaget-kaget ketika kau bilang kau bisa membaca huruf-huruf itu"
"Di Tionggoan hanya keluarga 10 jendral besar yang menguasai huruf-huruf itu"
[Catatan: Di jaman pengusiran penjajahan Goan {mongol} atas Tionggoan, terdapat jendral 8 besar yang membantu pemimpin utama pemberontakan itu. Pemimpin utama itulah yang menjadi kaisar pertama dinasti Ming.
Kesemua jendralnya beragama Islam. Setelah kemenangan diraih dan
perjuangan selesai, sang kaisar baru itu malah membunuh ke 8 jendral itu karena ia takut kekuasaannya direbut mereka]
"Setelah kau menyebut bahwa kakek dan ayahmu menguasai huruf-huruf
itu, aku menduga bahwa kau adalah keturunan dari salah satu 10 jendral besar itu"
Cio San seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi akhirnya dia diam saja.
"Aku yakin Tan Hoat pun menyadari hal ini, lalu ia berusaha menjemput secepatnya. Kami berdua mendaki puncak, namun begitu sampai di pondok, kau tidak ada. Kami pun lalu berpencar untuk mencarimu. Aku sudah hampir putus asa dan kembali lagi ke pondok karena aku mengira kami terlambat menyelamatkanmu. Begitu aku kembali, aku menemukan Tan Hoat sudah
sekarat, saat itu ia belum meninggal. Ia dengan terbata-bata mengatakan
"Cio San....Cio San..., Lau ciangbunjin...Lau ciangbunjin..."
"Aku segera mengerti maksudnya, bahwa ia ingin aku menyelamatkanmu
dan juga Lau-ciangbunjin. Aku lalu terus mencarimu. Saat aku
meninggalkannya aku yakin ia masih hidup. Saat itu berat sekali pilihan yang harus aku ambil. Namun aku memilih untuk mendengarkan
permintaannya untuk menyelamatkanmu dan Lau-ciangbunjin. Namun
sayang aku hanya berhasil menyelamatkanmu..."
Teringat akan nasib Lau-ciangbunjin yang sekarang menderita keracunan, tak terasa mereka terharu juga.
"Kini ada sebuah rahasia besar lagi yang harus kau tahu. Bahwa aku pun sebenarnya mengerti di mana keberadaan kitab rahasia itu"
Bola mata Cio San membesar tapi dia tidak berani berkata apa-apa.
"Bukan saja mengerti di mana kitab itu berada, tapi aku lah pemilik yang sah dari kitab itu. Ketahuilah bahwa nama asliku adalah Kam Ki Hsiang!"
Agak lama ia terdiam, baru kemudian melanjutkan,
"Sebelum bertarung dengan Thio-thaysuhu, aku meminta syarat kepada
beliau, bahwa jika aku mampu mengalahkan beliau, maka posisi sebagai
ketua Butongpay harus diberikan kepadaku. Beliau hanya tersenyum dan
menyetujuinya. Dan sebagai gantinya, aku sendiri yang memberi usul,
bahwa jika aku kalah aku rela memusnahkan seluruh ilmu silatku dan
seumur hidup mengabdi kepada Butongpay"
"Beliau pun hanya tersenyum saja. Kami pun bertempur. Dan pertempuran itu berlangsung tertutup di dalam ruang latihan pribadinya. Hampir 3 hari penuh kami bertarung. Bahkan tidak berhenti untuk makan dan minum. Aku sangat kagum bahwa dengan usia setua itu, tenaga dalam beliau tidak
berkurang sedikitpun. Akhirnya harus ku akui kematangan ilmu beliau, aku pun kalah"
"Lalu ketika aku menyerahkan diri bagi beliau untuk memutuskan seluruh urat dan otot sebagai cara orang-orang Kangouw memunahkan ilmu silat.
Beliau hanya tersenyum dan berkata bahwa janji itu bisa dilaksanakan tanpa harus memutuskan urat-uratku, karena beliau percaya aku adalah seorang lelaki sejati"
"Mendengar itu aku malu sekali sudah berani menantang beliau. Keluhuran budi pekertinya sungguh tidak ada yang menandingi. Padahal ketahuilah, bahwa aku juga sudah berhasil melukainya dengan berat. Namun saat aku kalah, beliau sama sekali tidak ingin membunuhku. Saat itu aku sadar
bahwa aku bisa melukai beliau sesungguhnya karena beliau terus menerus mengalah. Sesungguhnya jika beliau menggunakan ilmu barunya itu, beliau bisa mengalahkanku dalam seratus jurus. Jadi sebenarnya beliau
mengalahkan aku murni hanya dengan ilmu Thay Kek Kun nya yang terkenal itu"
"Tapi herannya, di luar banyak kabar yang berkembang bahwa beliau
mengalahkanku dengan jurus barunya. Aku sendiri malah heran kenapa
kabar itu bisa berkembang, dan Thio thaysuhu sendiri sepertinya tidak pernah meralat kabar itu. Belakangan aku baru tau bahwa niat beliau adalah untuk menjaga kehormatan dan namaku. Memang beliau sungguh mulia."
"Dengan berkembangnya kabar seperti itu, maka namaku akan diakui
sebagai salah satu orang yang sejajar dengan beliau"
Mata Kam Ki Hsiang terlihat berkaca-kaca,
"Aku lalu bersumpah untuk tidak lagi menggunakan ilmu silatku dan
sepenuhnya mengabdi kepada Butongpay. Tapi kau tidak ingin menjadi
murid Butongpay karena itu bukan merupakan perjanjianku dengan beliau.
Melihat pengorbananku seperti itu, beliau memberikan pujian dan
kekaguman" "Maka untuk melindungiku dari dendam atas banyaknya korban yang
terbunuh karena kesombonganku menantang semua ahli silat nomer satu,
beliau memutuskan untuk 'mematikan' Kam Ki Hsiang. Sejak saat itu tersiar kabar bahwa Kim Ki Hsiang sudah mati, dan kuburannya berada di
Butongpay." "Saat mendengar aku sudah mati, banyak tokoh silat yang punya dendam
terhadapku naik ke Butongsan untuk menanyakan langsung kepada Thio
thaysuhu apakah aku benar telah mati. Mereka tau bahwa Thio thaysuhu tak akan berbohong dan kata-katanya adalah emas"
"Thio thaysuhu tidak pernah berbohong sedikitpun, saat beliau berkata bahwa "Kim Ki Hsiang sudah mati" memang sebenarnya Kim Ki Hsiang yang sombong dengan silatnya itu sudah mati. Yang ada kini adalah A Liang si tukang masak.
"Lalu di dalam makam palsuku itu, aku kubur semua yang berhubungan
dengan Kam Ki Hsiang. Termasuk juga kitab-kitab sakti yang aku miliki itu"
"Kelanjutan cerita ini tentu kau tahu, bahwa rahasia ini sudah bocor dan orang-orang Kangouw sekarang tahu bahwa isi kuburan itu adalah kitab-kitab sakti milik Kam Ki Hsiang."
"Sesungguhnya aku kebetulan saja menemukan kitab itu di suatu tempat.
Dan kebetulan bisa menguasainya. Ketika kuburanku dibuat, Thio Thaysuhu sendiripun tidak tahu bahwa aku menyimpan kitab-kitab itu disana. Karena kitab yang dimaksud orang itu sebenarnya bukan kitab namun berupa kain sutra. Kain itu aku jadikan lapisan dalam bajuku sehingga tidak ada yang tau jika aku membawanya kemana-mana"
"Dan kau tak tahu betapa kagetnya aku ketika melihat engkau sanggup
memainkan jurus pertama dari kitab sakti itu, Cio San..."
Cio San heran namun tetap diam saja.
A Liang melanjutkan, "Aku mengira kau mempelajarinya dari buku masakan yang kuberikan
kepadamu itu. Ternyata setelah kuselidiki, kau hanyalah mencampurkan
ilmu Butongpay dengan petunjuk-petunjuk ketabiban di dalam buku itu."
"Aku pikir hanya kebetulan belaka bahwa engkau sanggup menciptakan
jurus-jurus itu. Tetapi setelah lama kupikir, aku merasa ilmu di dalam kitab yang kupelajari itu sebenarnya mempunyai sumber yang sama dengan ilmu-ilmu Butongpay sehingga mempunyai beberapa kemiripan".
"Kau adalah anak kecil yang sangat berbakat Cio San...." ucapannya tidak dilanjutkan karena A Liang kini terbatuk-batuk.
"Turunilah terus lembah ini, mudah-mudahan kita segera bisa lolos dari kejaran murid-murid Butongpay. Kau harus terus hidup Cio San, supaya kau bisa membersihkan nama kita dari fitnah besar ini. Aku yakin kematian orang tuamu juga ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa ini"
"Iya lopek, teecu akan terus berusaha..., lopek beristirahatlah sebentar menyimpan tenaga dalam gendongan teecu..."
Walaupun tenaganya semakin terus terkuras karena berjalan tanpa henti sambil mengendong A Liang, Cio San yang sekarang ini tidak lagi cepat kelelahan dan kehabisan tenaga. Latihannya yang hampir 3 bulan diatas puncak Butongsan sudah bisa membuatnya disebut pendekar muda
berbakat. Walaupun umurnya hanya baru belasan tahun.
Ia terus berjalan menuruni tebing hutan yang terjal itu. Pikirannya
menerawang dan terus berfikir. Tentang nasib dirinya, dan Lau-ciangbunjin yang mungkin saja sudah terbunuh. Juga tentang pengorbanan besar A
Liang menyelamatkan dirinya.
Tak terasa ia berjalan terus sehingga hampir pagi. Ia beristirahat sebentar dan memeriksa keadaan A Liang. Ia memegang nadi tangan A Liang.
Ternyata nadi itu sudah berhenti berdetak. Tak percaya, ia mencoba lagi.
Kali ini memegang dada A Liang untuk memeriksa detak jantungnya.
Ternyata memang tidak ada detakan di sana. A Liang sudah tewas.
Ingin rasanya Cio San berteriak melepaskan seluruh penderitaannya. Namun ia menahan diri karena tahu teriakannya mungkin akan terdengar oleh para pengejarnya. Ia hanya bisa meneteskan airmata dengan deras, menahan
kepiluan hatinya. Ia paham bahwa A Liang telah berkorban besar baginya, dan juga untuk
mempertahankan sumpah A Liang sendiri.
Jika seorang pendekar bersumpah untuk tidak mempergunakan ilmu silatnya lagi selamanya, maka janji itu harus dipegang walau nyawa taruhannya.
Itulah sebabnya A Liang hanya bisa menghindari pukulan dan keroyokan
para murid Butongpay tanpa bisa membalas atau bahkan menangkisnya.
Padahal jika ia mau, dengan ilmu yang dimilikinya, ia bisa saja mengalahkan atau bahkan membunuh mereka semua.
Teringat dia akan segala kebaikan dan ketulusan A Liang. Hanya dia dan Beng Liong yang mau bersahabat dengannya. Di dalam perguran sebesar
Butongpay yang berisi hampir seribu orang, mungkin hanya suhunya, Tan Hoat, A Liang, dan Beng Liong yang baik kepadanya. Ia juga mengingat jasa dan kebaikan Lau-ciangbunjin, sang ketua Butongpay. Hanya orang-orang inilah yang baik terhadapnya.
Kini mereka semua telah tiada. Hanya Beng Liong saja tersisa. Itupun
mungkin sekarang Beng Liong memusuhinya juga karena peristiwa yang
baru saja terjadi ini. Cio San melanjutkan perjalanan dalam kesedihan. Ia tak ingin meninggalkan jasad A Liang sendirian di hutan itu. Ia bertekad membawa jasad itu ke tempat yang aman, lalau akan ia kuburkan dengan khidmat.
Ia terus berjalan dan berjalan. Entah sudah berapa lama, entah sudah
berapa jauh. Tenaganya telah habis terkuras, kesadarannya pun sudah
mulai berkurang. Langkah demi langkah ia jalani. Di dalam kegelapan seperti ini mau pergi kemana" Ia hanya tau bahwa ia harus terus berjalan, terus menelusuri
hutan ini. Entah akan sampai dimana.
Tiba-tiba langkahnya gontai dan ia terjatuh. Di dalam gelap, di tengah kesadaran yang berkurang, serta tenaga yang hampir habis, Cio San
terjatuh. Ia tidak tahu lagi ia terjatuh di mana. Cio San pun kehilangan kesadarannya.
Ketika ia tersadar, hari telah semua masih terlihat gelap. Cio San tahu kini berada di mana. Ia menunggu sebentar agar kesadarannya pulih sempurna.
Tubuhnya terasa sakit semua. Ia berdiam diri lama sekali. Mencoba
mengalirkan chi ke seluruh tubuhnya. Lama-lama tubuhnya mulai terasa
segar. Perlahan-lahan kesadarannya pulih seluruhnya. Cio San kini sadar bahwa separuh tubuhnya terendam di dalam air.
Kiranya dia kini berada di tepian sungai. Tapi mengapa semuanya gelap.
Apakah ia kini telah menjadi buta" Ia menjadi panik, namun berusaha untuk tetap tenang. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan apakah ia benar-benar buta.
Tak sengaja ternyata ia melihat titik cahaya tak jauh dari tempatnya
berbaring. Ia lalu menuju ke titik itu dengan cara merangkak. Seluruhnya sangat gelap sehingga ia harus berhati-hati. Apalagi pijakannya sangat licin karena berupa batu-batuan dan air sungai.
Akhirnya setelah berjuang ia mencapai juga sumber titik cahaya itu.
Ternyata aliran sungai keluar lewat situ. Titik cahaya itu ternyata adalah terowongan tempat keluarnya aliran air sungai.
Cio San lega. Ternyata ia tidak menjadi buta.
Mata manusia secara spontan ternyata menyesuaikan diri dengan
kegelapan. Begitulah juga dengan mata Cio San. Lambut laun ia akhirnya mulai bisa melihat sedikit di dalam kegelapan. Ia ternyata berada dalam sebuah goa di dalam perut bumi. Entah bagaimana ia bisa berada di dalam satu. Mungkin ia terjatuh di dalam sungai, lalu air sungai membawanya masuk ke dalam perut bumi. Ia tidak tahu pasti.
Tiba-tiba ia teringat akan jasad A Liang yang digendongnya. Apa yang
terjadi dengan jasad itu". Cio San memberanikan diri untuk mencari jasad A Liang itu.
Tak berapa lama akhirnya ia menemukan jasad A Liang. Dibawanya jasad itu ke lubang terowongan air, agar bisa melihat dengan jelas menggunakan
cahaya yang masuk dari situ. Ternyata jasad A Liang sudah rusak. Sebagian tubuhnya remuk.
Apa yang sebenarnya terjadi"
Ternyata ketika mereka terjatuh dari puncak tebing, jasad A Liang lah yang secara tidak sengaja menyelamatkan Cio San. Jasad itu menjadi sejenis tameng yang menjaga Cio San dari batu-batuan sungai. Jasad itu jugalah yang mungkin menjaga agar Cio San tidak tenggelam.
Sungguh beruntung.Keputusan Cio San untuk teras menggendong jasad A
Liang ternyata membawa kebaikan bagi dirinya sendiri. Begitulah. Jika orang melakukan sesuatu penuh ketulusan, maka yang ada hanyalah balasan yang baik.
Cio San hanya bisa bersedih menyadari ini semua. Tapi paling tidak ia masih hidup, dan masih punya semangat untuk terus hidup.
Ia lalu teringat bahwa di kantongnya terdapat batu api yang diberikan oleh A Liang. Begitu dicarinya, ternyata batu itu masih ada, namun basah.
Tiba-tiba muncul dalam pikirannya untuk memeriksa kantong baju di jasad A Liang juga. Setelah mencari, ternyata ia menemukan pisau. Pisau itu
memiliki sarung yang terbuat dari kulit hewan.
"Betapa mulianya Liang lopek", pikir Cio San."Bahkan saat sudah meninggal pun, ia masih memberi pertolongan kepadaku. Memang sebagai tukang
masak, A Liang selalu membawa batu api dan pisau.
Cio San lalu meletakkan pisau dan batu api tadi di tempat yang kering.
Lebar terowongan itu memang cukup besar. Dan ada terdapat beberapa
bagian yang sama sekali kering dan tidak dialiri aliran sungai.
Ia lalu memutuskan untuk beristirahat sebentar. Kejadian yang baru saja dialaminya memang sangat menguras tenaga dan pikiran.
Lama ia tertidur pulas. Begitu bangun, ia terpikir untuk menguburkan jasad A Liang. Cio San mencari-cari pijakan yang agak lembek yang bisa digali menjadi kuburan A Liang. Lama ia berputar-putar namun tidak
ditemukannya. Dengan berat hati ia memutuskan untuk membakar saja
jasad A Liang. Tetapi setelah ia berfikir, ia khawatir asap yang ditimbulkan malah memenuhi goa itu dan tidak bisa keluar. Ia terus memutar akal
bagaimana cara mengurusi jenazah orang yang sangat dihormatinya itu.
Karena masih bingung, untuk sementara Cio San mencoba melupakannya.
Ia lalu memeriksa batu api yang tadi dikeringkannya. Nampaknya sudah
mulai kering. Ia lalu mencoba membuat api. Cio San berjalan mengelilingi terowongan itu mencari kayu-kayuan yang mungkin saja hanyut terbawa
aliran sungai. Dasar beruntung, tidak lama kemudian kayu itu ditemukannya. Malah
lumayan banyak. Ada yang kering ada yang basah. Ranting-ranting itu ia kumpulkan di suatu tempat. Dengan hati-hati Cio San mencoba membuat
api. Lama ia mencoba akhirnya batu api memercik juga. Lalu dibakarkannya ke kayu dan berhasil. Gua itu lumayan terang sekarang. Cio San lalu
memandang ke sekelilingnya. Memandang dindin-dinding gua itu.
Ternyata tembok itu di penuhi tanaman sejenis lumut dan jamur. Cio San mendekati tanaman itu dan memeriksa apakah lumut dan jamur itu bisa
dimakan. Kesenangannya membaca buku, ternyata berbuah manis.
Pengetahuannya tentang tumbuh-tumbuhan ternyata sangat berguna
sekarang. Dari buku masak A Liang, Cio San belajar bagaimana cara membedakan
jamur yang beracun dengan yang tidak. Cara ini bahkan pernah ia coba
ketika tinggal di puncak Butongsan saat menjalani hukuman.
Ia memetik berbagai macam jamur yang tumbuh disitu. Sebagian jamur ada yang dikenalnya. Ada yang beracun dan ada yang tidak beracun. Masing-masing ia kelompokkan sendiri-sendiri. Jika ia menemukan jamur yang
belum pernah dikenalnya. Ia melakukan uji coba untuk mengetahui jenis jamur itu.
Menurut kitab yang dibacanya, cara mengetahui kandungan racun dalam
sebuah jamur adalah dengan merendamnya di dalam air untuk beberapa
lama. Jika kemudian jamur itu berwarna keungu-unguan, maka jamur itu
beracun. Jika tidak, maka jamur itu aman.
Begitulah, akhirnya Cio San menemukan makanan. Dengan mengguhakan
beberapa batu-batuan serta ranting-ranting kayu, Cio San akhirnya
memanggang jamur-jamuran itu. Rasanya nikmat juga setelah dimakan.
Setelah kenyang. Cio San beristirahat sebentar. Ia merasa sangat segar dan seperti mendapat kekuatan baru. Ia mulai memikirkan lagi bagaimana cara menguburkan A Liang.
"Mungkin jika kutelusuri terus awal mengalirnya sungai ini, aku bisa
menemukan jalan keluar"
Ia lalu menyalakan api yang ia gunakan sebagai penerang. Lalu menuyusuri sungai itu. Ia ingin mencari dimana sumber air itu. Jalan itu ternyata panjang sekali. Bahkan kira-kira sepembakaran hio (sekitar 15 menitan), ia belum menemukan sumber air itu.
"Panjang juga terowongan ini" pikirnya.
Tapi di sepanjang perjalanan ia menemukan bahwa ternyata pijakannya
tidak hanya berupa bebatuan keras saja, namun juga ada yang berupa
tanah. "Hmmm...daerah yang diliputi tanah ini bisa dijadikan sebagai kuburan Liang-lopek. Syukurlah"
Walaupun sudah menemukan tempat yang baik untuk kuburan A Liang, Cio
San memutuskan untuk terus menyusuri jalan itu. Sampai kira-kira
sepeminum teh baru akhirnya ia mendengar suara bising yang cukup keras.
Cio San bergegas ke arah suara itu, ternyata suara itu berasal dari deburan air terjun.
"Ah ternyata ada sebuah air terjun yang muncul dari dinding gua. Indah sekali"
"Mungkin dari dalam air terjun inilah aku bisa masuk ke dalam terowongan ini."
Cio San lalu memeriksa air terjun itu. Walaupun tidak cukup besar, air terjun itu lumayan deras. Cio San lalu memeriksa lubang tempat keluar air terjun itu. Ternyata cukup untuk dilewati orang dewasa, tapi dengan cara
berbaring. "Bagaimana mungkin aku bisa melawan kekuatan air terjun itu dengan cara berbaring" Berenang jelas tidak mungkin karena untuk lubang itu tidak cukup lebar saat aku merentangkan tangan. Sungguh suatu keajaiban aku dan jasad A Liang bisa melewati lubang ini dan sampai disini"
Jika bisa berenang pun tentulah sangat kuat, karena kekuatan dorongan air itu sungguh dahsyat. Cio San meletakan tangannya di air terjun itu mencoba merasakan kekuatan hempasan airnya.
"Wah sungguh dahsyat sekali air terjun ini. Kekuatannya bahkan mungkin bisa memecahkan buah kelapa jika kuletakan buah itu dibawahnya" pikir Cio San
Agak kecewa juga Cio San melihat kenyataan bahwa ia tidak mungkin keluar melewati sumber air terjun itu. Ia lalu melihat ke sekeliling mencoba untuk mencari tempat lain yang bisa ia gunakan sebagai jalan keluar.
Tetapi setelah lama mencari ia akhirnya putus asa juga. Ada rasa takut yang hinggap dalam dirinya bahwa ia mungkin harus tinggal di dalam goa itu.
"Tapi tampaknya itu lebih baik daripada hidup terus dikejar-kejar orang"
Berfikir seperti itu, rasa takutnya perlahan-lahan menghilang.
Cio San lalu kembali ke tempat ia meletakkan jasad A Liang. Dibawanya jasad itu ke tempat dimana ia tadi menemukan daerah yang bertanah. Ia lalu menggali tanah itu dan menguburkan jasad A Liang.
"Terima kasih lopek. Walaupun aku ingin sekali memanggilmu "Suhu",
namun engkau pasti akan marah jika kupanggil suhu. Persahabatanmu
begitu tulus, engkau pun lelaki sejati yang memegang janji sampai mati.
Semua pertolongan, kebaikan, dan segala yang engkau ajarkan kepadaku
tidak akan pernah kulupakan"
Setelah berdoa lama sekali, Cio San mekakukan kow tow (sujud) sebanyak tiga kali. Matanya basah mengingat sosok A Liang. Memang persahabatan mereka hanya sebentar saja, namun cukup memberi bekas yang amat
dalam bagi Cio San. Ia kini sendirian. Kembali duduk di tempat tadi ia memasak. Karena hanya dari situlah ada sedikit cahaya yang masuk dari luar. Namun cahaya itu perlahan-lahan meredup. Nampaknya malam telah datang.
Sekali lagi Cio San memanggang jamur-jamuran untuk makan malamnya.
Setelah makan ia lalu tertidur pulas.
Bab 8 Kehidupan Cio San di dalam Goa
Setelah tertidur pulas, ia akhirnya bangun. Cahaya kecil sudah muncul lagi dari "jendela air", begitu Cio San sekarang menyebut lubang tempat
keluarnya air sungai itu.
"Hey, bagaimana jika aku mencari ikan" Siapa tahu di dalam sungai ini ada banyak ikan"
Segera ia menyalakan api, dan mencari ranting-ranting lain. Kebetulan ia menemukan beberapa bilah bambu di sebuat tempat. Bilah-bilah ini
memang tidak terlalu panjang, yang terpanjang hanya kira-kira 1 depa. Tapi itu sudah cukup membuatnya senang. Dengan pisau peninggalan A Liang, ia membuat berbagai keperluan dengan bambu-bambu itu. Seperti membuat
tempat minum, dan juga tempat penyimpanan jamur-jamur, pisau, dan batu api.. Ia juga membuat tombak ikan.
Setelah tombaknya selesai, mulailah ia berburu ikan. Ternyata walaupun tidak banyak, ikan-ikan di dalam sungai lumayan besar juga. Cio San
menangkap 2 ekor. Satu dimakannya pagi hari, satunya lagi ia simpan untuk malam hari.
Untuk siang hari Cio San memanggang jamur. Sedangkan jamur-jamuran
yang beracun ia pakai untuk bahan bakar dan penerangan. Lumayan juga
apinya malah menjadi besar. Cio san kaget juga. Tapi ia malah
menganggapnya sebagai pertolongan Tuhan.Ternyata jamur-jamur beracun
itu bisa dipakai sebagai alat penerang yang tahan lama.
Setelah makan Cio San pergi ke kuburan A Liang. Ia bertekad untuk setiap hari berdoa di kuburan itu.
"Liang lopek, hari ini aku memasak ikan. Rasanya enak sekali. Walaupun tidak ada bumbu, tapi rasanya jauh melebihi bumbu apapun. Ku harap
Lopek mendapatkan makanan lezat di langit sana. Eh, ada kejadian ajaib.
Tadi aku tidak sengaja membuang jamur-jamur beracun ke dalam api,
ternyata apinya menjadi besar. Ku tunggu sekian lama ternyata api itu awet juga. Terima kasih Liang lopek, telah mengirimkan jamur-jamur itu untuk menerangi gua ini"
Cio San berbicara kepada A Liang seperti ketika orang itu masih hidup. Ini mungkin ia lakukan untuk mengusir rasa kesepiannya yang hanya ditemani suara gemericik air.
Ia lama sekali berada di kuburan A Liang. Perasaannya yang halus kembali membuatnya menangis mengingat A Liang. Cio San melamun dan berpikir,
"Aku tidak boleh terus diam saja dan melamun seperti ini, bisa-bisa aku jadi gila"
Ia akhirnya memutuskan untuk berlatih silat. Tempat dekat kuburan A Liang memang lumayan lebar sehingga cocok untuk berlatih silat.
Cio San lalu mengingat-ingat kembali jurus-jurus yang ia latih ketika berada di puncak Butongsan. Awalnya memang agak kaku, tapi tak sampai lama
akhirnya ia bergerak dengan mantap dan lincah. Daya ingatnya memang
sangat kuat sehingga ia tidak melupakan satu bagian pun dari jurus-jurus silat ataupun kata-kata di buku masak A Liang.
Ia bersilat cukup lama, menggabungkan silat Butongpay, petunjuk di buku masakan, serta permainan khim. Dari silat butongpay ia mengambil kuda-kuda, langkah, serta gerak silat tangannya. Dari buku masakan A Liang, ia mengambil bagian pengerahan energinya. Sedangkan dari permainan khim, ia mengambil bagian tentang penggunaan perasaannya.
Perasaan yang mengalun bagai lagu ini membuatnya menemukan jurus-
jurus silat. Cio San hanya mengikuti perasaannya saja. Di dalam hati ia bernyanyi. Di dalam pikirannya ia merasa seperti sedang bernyanyi dan bermain khim.
Ia hafal betul lagu-lagu yang ia mainkan bersama A Liang di puncak
Butongsan. Ada lagu yang sedih dan sendu, ada lagu yang riang gembira.
Ketika sedang membayangkan lagu sendu, langkah-langkahnya berat
namun mantap. Ketika sedang memikirkan lagu riang, geraknya cepat dan lincah.
Ia menutup matanya. Tubuhnya bergerak seperti mengikuti irama lagu.
Hatinya bernyanyi dengan sepenuh hati.
Bagi Cio San, ia bergerak sekenanya saja. Hanya mengikuti aliran lagu yang ada di dalam kepalanya. Namun jika ada orang lain yang melihatnya,
mereka akan kagum dengan gerakan-gerakan silat yang dimainkan oleh Cio san.
Ia sedang memainkan sebuah ilmu silat yang baru.
Lama ia bersilat. Ia tidak sadar bahwa saat itu sudah melewati tengah hari.


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bergegas ia pulang untuk makan siang. Jamur panggang adalah santapan
siang harinya. Setelah menyantap jamur-jamur itu, tubuhnya menjadi
semakin segar, dan kuat. "Heran, setiap aku selesai makan jamur-jamur ini, tubuhku terasa sangat enteng, dan segar sekali. Mungkin jamur-jamur ini memang punya khasiat yang sangat tinggi" pikir Cio San
Dan memang tebakannya itu sungguh tepat. Cio San tidak tahu bahwa
jamur yang dijadikannya sebagai santapan siang sehari-hari itu adalah sebuah tumbuhan yang dijadikan bahan rebutan oleh kalangan kang ouw.
Jamur itu bernama jamur "Sin Hong". Jamur itu hanya tumbuh di daerah
tertentu di Tionggoan dan sangat langka sekali. Belum tentu dalam seratus tahun, jamur itu akan muncul. Itulah sebabnya jarang ada orang yang tahu tentang jamur itu.
Kalangan kang-ouw saja juga hanya mendengar-dengar saja tentang jamur sakti itu, namun jarang ada dari mereka yang pernah memakannya. Jika
memakan satu lembar daun jamur itu, orang akan menjadi sehat dan
panjang umur. Jamur itu mampu menghilangkan segala macam penyakit
dan racun-racun di dalam tubuh.
Bayangkan jika jamur-jamur itu dimakan setiap hari"
Cio San yang tidak tahu tentang jamur itu malah menjadikannya sebagai santapan sehari-hari seperti sayur biasa. Sayangnya ia tidak tahu
bagaimana cara mengolah jamur itu sehingga khasiatnya tidak bisa
berfungsi sepenuhnya. Jamur Sin Hong haruslah direndam di dalam arak khusus selama 3 hari.
Barulah kemudian dimakan dan arak rendamannya juga diminum. Begitulah baru khasiatnya bisa diperoleh sepenuhnya.
Cio San memakannya setelah dipanggang, tentulah khasiatnya tidak
sebanding dengan jika diolah dengan benar. Namun Cio San memakan
jamur itu setiap hari. Bisa dibayangkan betapa sehat tubuhnya. Bahkan secara tidak sengaja tubuhnya pun menjadi kebal dari segala racun.
Ia pun seperti memperoleh tenaga sakti di dalam tubuhnya. Namun Cio San tidak menyadarinya. Yang ia rasakan, ia merasa tubuhnya selalu terasa segar dan enteng setiap hari.
Begitulah kegiatan Cio San sehari-hari di dalam goa. Hampir satu bulan lamanya ia berlatih jurus-jurus gubahannya sendiri itu. Lalu memakan jamur jamur Sin Hong setiap hari. Cio San bahkan menciptakan jurus-jurus baru.
Jurus-jurus itu ia ciptakan, setelah secara iseng menciptakan lagu baru. Ia memang memiliki bakat musik yang kuat dari ayahnya, sehingga ia bisa
menciptakan lagu hanya dengan menggunakan pikiran tanpa harus
menggunakan alat musik. Cukup dengan membayangkan saja, ia bisa mendengar nada-nada itu di
dalam kepalanya. Ia lalu menggabungkan jurus-jurus silat dengan lagu baru itu.
Cio San bersilat dengan riang gembira seperti menemukan suatu hal yang baru. Sungguh ia tidak sadar bahwa ia sedang menciptakan jurus-jurus silat yang sangat dahsyat.
Berhari-hari ia di dalam perut bumi itu, ilmu silatnya semakin hebat. Itu dikarenakan karena ia selalu rajin melatihnya, dan juga karena
kecerdasannya sehingga ia bisa menciptakan ilmu baru dari hal-hal
sederhana. Adanya jamur Sin Hong menambah tenaga dalam yang sangat dahsyat di
dalam tubuhnya. Dalam kurun waktu sebulan lebih, kepandaian silatnya
sudah jauh melebihi kebanyakan orang di dunia Kang ouw.
Suatu hari ketika selesai menggoreskan penanda di dinding goa, Cio San termenung. Tanda yang ia goreskan di tembok menggunakan pisau A Liang sudah berjumlah 50. Itu berarti sudah hampir 2 bulan ia berada di dalam perut bumi.
Betepa mengherankannya nasibnya. Mampu bertahan hidup di tengah
kegelapan dan kesepian. Namun begitulah takdir. Cio San pun tak pernah lupa bersyukur kepada Thian (langit), bahwa ia masih dinaungi keselamatan dan perlindungan.
Ketika sedang asik melamun, Cio San seperti merasa ada yang aneh. Ia
merasa bahwa air di dalam terowongan ini semakin meninggi. Biasanya air tidak pernah menyentuh kakinya jika ia duduk di tempat biasanya ia duduk.
Lama ia menunggu dan memperhatikan. Ternyata memang benar air
semakin mulai meninggi. Terkejutlah Cio San. Jika air semakin meninggi tanpa henti, maka bisa-bisa ia mati tenggelam. Apa yang harus diperbuatnya"
Ia mencoba untuk berpikir tenang. Pertama-tama ia mengambil bambu
tempat penyimpanan pisau dan batu apinya. Ia ikat erat-erat dan pastikan ikatan itu tidak mungkin lepas dari tubuhnya. Selama ini Cio San jarang memakai bajunya karena sayang cuma itu baju satu-satunya yang ia miliki.
Kini ia memakai kembali baju itu.
Ia memeriksa memang benar air semakin meninggi. Ia mencari tempat yang lebih tinggi sebagai pijakannya. Tapi tak berapa lama air itu kini sudah menyentuh ujung jarinya.
Kini tak ada lagi tempat kering. Semakin lama air naik, dan kini menyentuh lututnya.
Cio San panik. Tapi ia tetap mencoba tenang. Ia telah berusaha keras
mencari pemecahannya, tapi ia tetap tidak bisa juga.
Tak berapa lama air telah menyentuh dadanya. Cio San kini malah harus berenang. Ia kini pasrah. Jika memang harus mati tenggelam biarlah nanti ia mati tenggelam. Tapi sekarang setidaknya ada hal yang bisa ia lakukan.
Tekanan air pun semakin deras. Ia kini merasa dadanya dihempaskan air.
Untuk menahan hempasan itu ia mengerahkan tenaga dalamnya ke seluruh
tubuhnya. Dorongan air itu sangat kuat dan ia terhempas ke dindng goa.
Untunglah tenaga dalamnya mampu melindunginya sehingga ia tidak terluka sedikitpun.
Air kini telah mencapai lehernya, dan Cio san terus berenang.
"Tak lama lagi, jika air menyentuh langit-langit maka tamatlah riwayatku"
Dan air memang akhirnya menyentuh langit-langit. Cio San akhirnya
mengalirkan tenaga dalamnya ke paru-parunya. Hasilnya ia bisa menyelam lama sekali, karena tenaga dalamnya menyediakan udara yang cukup
banyak bagi paru-parunya.
Sekarang ia harus memusatkan pikiran untuk membagi jalannya tenaga
dalamnya itu. Sedangkan arus yang deras itu ters menghempaskannya ke
dinding goa yang terasa tajam dan sangat dingin.
Cio san mencoba untuk terus bertahan. Bermenit-menit lamanya ia berada di dalam keadaan seperti itu. Pasokan tenaga dalam ke dalam seluruh organ tubuhnya pun masih banyak. Cio San mencoba untuk tetap tenang, namun
tak urung dia merasa panik juga.
Ia tidak yakin sampai berapa lama ia bisa bertahan dengan hanya
menggunakan tenaga dalamnya. Akhirnya ia menemukan suatu ide. Dengan
mengumpulkan segenap tenaga di ujung kepalannya, ia memukul langit-
langit goa itu. Cio San memukul keras-keras. Ia tidak tahu bahwa kini kekuatannya sudah sangat dahsyat. Sebuah lobang yang sebesar kepalan tangannya muncul di langit-langit. Ia senang sekali usahanya ini berhasil. Di dalam lubang itu ia meletakkan mulut dan hidungnya. Walaupun kecil, lubang itu membantunya untuk menarik nafas.
Kepalanya sudah tidak bisa ia munculkan lagi diatas permukaan air, hanya lubang dilangi-langit goa inilah, ia bisa meletakkan hidung dan mulutnya untuk mengambil nafas. Tangannya mencengkeram langit-langit goa agar
bisa tetap meletakkan hidung dan mulutnya di dalam lobang itu.
Entah sudah berapa lama ia berada dalam posisi seperti itu. Cio San terus mencoba bertahan. Ia melihat "jendela air" sekarang sudah tak ada cahaya lagi dari situ, berarti sudah malam.
Lama sekali ia berada dengan posisi seperti itu. Rasa lapar pun muncul.
Untunglah jamur-jamur pun tumbuh di langir-langit sehingga Cio San bisa memakannya.
Hari berganti hari tak terasa sudah 5 hari ia bertahan dengan kondisi seperti itu. Cio San tak menyadari bahwa ia sebenarnya mengalami latihan yang amat berat. Kekuatan dorongan air, udara yang sangat tipis, dan khasiat jamur Sin Hong membuatnya seperti mengalami tempaan 10 tahun.
Dalam 5 hari saja, pernafasannya kini sangat kuat. Ini sebenarnya berguna saat ia menghimpun kekuatan tenaga dalam. Kulitnya pun kini sangat kuat karena derasnya dorongan air, tidak hanya membawa batu-batu yang
menghujam tubuhnya, tapi juga karena air sungai itu juga telah merendam banyak sekali jamur Sin Hong. Air yang sudah mengandung khasiat jamur sakti itu membuat tubuh luarnya seperti mata, kulit, daging dan rambut mulai kebal dengan racun-racun.
Baru pada hari ke 7, air mulai perlahan-lahan menurun. Cio San senang sekali. Tapi memang surutnya tidak secepat naiknya. Butuh 3 hari baru seluruh air dalam terowongan itu menyurut. Itupun masih tersisa setinggi lutut Cio San.
Dengan lega ia menghempaskan tubuhnya. Ia merasa letih sekali.
Mengerahkan tenaga dalam selama hampir sepuluh hari di tengah kuatnya dorongan air serta hujaman batu-batuan, membuat ia letih sekali.
Cio san akhirnya pingsan.
Setelah sadar dari pingsannya ia mencoba mengerahkan energi ke seluruh organ tubuhnya. Ternyata cepat sekali badannya terasa segar kembali. Cio San lalu mengisi perutnya dengan jamur-jamuran yang tumbuh lebat di
dinding. Untungnya, walaupun air banjir sangat deras, tidak mengikis
seluruh jamur-jamuran yang ada di dalam terowongan goa itu.
Ia mulai melihat ke sekeliling mencoba melihat keadaan 'rumah'nya itu. Cio San tak sadar bahwa perlahan-lahan ia sudah mulai bisa melihat di dalam kegelapan. Kehidupannya yang prihatin di dalam goa itu membuatnya harus menghemat segalanya. Mulai dari makanan, ranting-ranting untuk bahan
bakar, serta penggunaan batu api. Dia malahan kadang bertelanjang untuk menghemat penggunaan bajunya. Karena bila terlalu sering dipakai akan cepat rusak. Apalagi jika dipakai untuk berlatih silat.
Peristiwa banjir tadi malah semakin merusak bajunya. Cio mencari cara untuk mencari pengganti bajunya itu. Akhirnya ia menemukan ide untuk
menggunakan kulit kayu yang dianyam sebagai pakaian. Cio San lalu
bergegas mengumpulkan kayu-kayuan. Banjir membawa banyak sekali
kayu-kayuan. Setelah lama sekali mengumpulkan kayu-kayu itu, ia lalu
mengulitinya satu persatu, lalu menganyam kulit-kulit itu.
Cio San bekerja dengan riang. Setelah lolos dari maut beberapa kali, ia akhirnya lebih menghargai hidup. Ia merasa ia harus menikmati segala detik dalam kehidupannya, karena kematian bisa datang kapan saja. Jika kita suatu saat pasti akan mati, mengapa hidup dalam kesedihan dan
keputusasaan" Toh pada akhirnya akan mati juga. Kenapa tidak menjalani hidup dengan riang gembira" Begitu pikir Cio San.
Akhirnya selesai juga anyaman kulit kayu yang ia jadikan celana setinggi lutut. Sisanya akan ia simpan untuk membuat baju. Cio San terkagum-kagum sendiri dengan celana anyaman buatannya. Sangat tidak rapi, namun ia tetap saja bangga.
Ia langsung memakainya. Rasanya agak kebesaran. Tapi dia lalu mengambil lagi satu lembar kulit kayu yang agak panjang untuk dijadikan ikat
pinggang. Pas lah sudah. Sambil tersenyum-seyum ia menggerak-gerakan
pinggulnya untuk melihat apakah celana itu tidak akan melorot lagi.
Beberapa hari dilalui Cio San di dalam terowongan itu dengan tentram. Tak lupa ia memberi tambahan goresan penanda hari waktu hidupnya di dalam goa itu. Sudah 3 bulan lebih. Ia sudah merasa nyaman. Bahkan ia sudah melihat dengan jelas di dalam kegelapan. Hanya sekali kali ia menggunakan penerangan. Itu pun hanya disaat ia memasak, atau pun mengerjakan hal-hal yang butuh ketelitian seperti membedakan jamur.
Cio san tidak lupa berlatih ilmu silatnya. Sekarang sudah 6 bulan di dalam goa, Cio San malah menemukan jurus-jurus baru lagi. Kejadiannya, seperti biasa, adalah berawal dari ketidaksengajaan. Karena hidup di dalam gelap, dan terus menerus mendengar suara aliran air yang deras, pendengaran
serta perasaan Cio San berkembang sangat pesat. Ini juga mungkin
dikarenakan khasiat jamur Sin Hong juga.
Jika dulu ia menangkap ikan harus menggunakan penerangan, kini ia bisa menangkap ikan hanya dengan menggunakan pendengarannya saja.
Awalnya ia merasa telinganya mulai bisa membedakan sura-suara yang ada di dalam air. Lama-lama ia malah bisa mendengarkan suara-suara yang
ditimbulkan ikan-ikan saat berenang. Mulanya memang hanya ikan ikan
besar saja, namun akhirnya ia bisa juga membedakan suara yang
ditimbulkan ikan kecil di dalam air.
Suara itu jelas memang bukan suara dari mulut ikan, melainkan kepakan sirip dan ekor ikan-ikan tersebut. Memang dibutuhkan pemusatan pikiran yang cukup berat. Tapi karena memang Cio San sering melakukannya, maka tak lama kemudian ia bisa menentukan posisi ikan-ikan itu di dalam air.
Cio San mengambil tombak ikannya lalu mencoba 'ilmu' barunya itu.
Menombak ikan dengan hanya menggunakan pendengaran saja. Tak lama
mencoba ia berhasil menangkap beberapa ikan besar. Hari demi hari ia lalui untuk melatih kemampuannya ini.
Hingga suatu saat ia mencoba menggabungkan keahlian menombak ikan ini dengan gerakan silat. Ia duduk bersila di dalam sungai. Jika bersila maka air sungai akan setinggi lehernya. Dengan menggunakan gerak tangan Thay
kek dari Butongpay, Cio san mencoba meyelaraskankannya dengan
pendengarannya. Ia berkonsentrasi penuh. Tak terasa gerakan tangannya malah kini
mengikuti gelombang air. Lembut, namun mengalir kuat dan pasti. Thio Sam Hong memang menciptakan Thay Kek Kun dari gerakan-gerakan alam yang
selaras. Gerak air, udara, awan, dan lain-lain. Cio San secara tidak sengaja, justru menemukan inti ajaran Thio Sam Hong itu. Makna utama Thay Kek
Kun memang menselaraskan diri dengan alam. Maka ketika Cio san berhasil mengosongkan pikirannya, lalu gerak tubuhnya mengikuti gerak air, maka secara tak sengaja ia sudah menguasai inti dari Thay kek Kun itu.
Ia mulai bersilat. Tangannya membentuk sebuah gerak lingkaran di atas air di depannya. Gerak lingkaran itu mulanya perlahan-lahan dan lembut. Tapi lama-lama gerakannya semakin cepat dan kuat. Lalu semakin kuat, semakin kuat, dan semakin kuat. Lalu dengan kecepatan tinggi, Cio San memukulkan kedua telapaknya diatas air yang bergolak itu, dan bllaaaaarrrrrr.......
Cipratan air itu sungguh dahsyat sehingga membuat dinding di samping kiri kanan, juga atasnya bergetar hebat, menimbulkan suara yang keras sekali.
Cio San malah terkaget-kaget dengan hasil perbuatannya tadi. Sungguh
dahsyat tenaga yang ia hasilkan. Itu bahkan tidak menggunakan
seperduapuluh tenaga dalamnya. Jika digunakan semua, pasti ia mampu
menjebol dinding-dinding goa itu.
Memikirkan itu ia senang sekali. Tapi kemudian ia berfikir lagi, "Jika aku keluar dari sini, pasti aku akan difitnah dan dikejar-kejar lagi. Lebih baik tinggal disini selama-lamanya saja. Toh aku bisa bertahan hidup dengan apa yang ada disini. Aku pun bisa menemani A Liang"
Teringat akan A Liang, ia lalu berkunjung ke kuburannya. Untungnya walau banjir sangat deras, tidak begitu merusak kuburan A Liang, karena
sebelumnya Cio San sudah menumpuk beberapa batuan besar diatas
kuburan itu. Walaupun begitu, ternyata batu-batu bergesar juga, meskipun tidak jauh. Cio San lalu mengembalikan batu-batu itu ke posisi semula, dan membersihkan kotoran berupa ranting-ranting dan tumbuh-tumbuhan yang
terbawa oleh banjir itu. Ia lalu 'bercerita' kepada A Liang bahwa ia baru saja menemukan ilmu baru yang sangat dahsyat. Lama bercerita akhirnya ia kembali ke 'tempat
tinggalnya' di dekat 'jendela air'. Hari sudah malam rupanya.
Begitulah Cio San melewati hari-harinya dengan melatih ilmu barunya itu.
Jika dulu ia berlatih di dalam air kini ia memutuskan untuk berlatih di air terjun, untuk melatih kekuatan ilmunya itu. Bergegas ia ke air terjun tempat masuknya aliran air ke dalam terowongan itu. Cukup lama juga
perjalanannya di dalam terowongan itu.
Sampailah Cio san di sekitar air terjun itu. Bentuk nya sungguh indah namun menyimpan kekuatan alam yang sangat dahsyat. Cio San menjadi
teringat dengan ilmu Thay Kek Kun ciptaan mahagurunya, "Ternyata
thaysuhu menciptakan ilmu-ilmu hebatnya dari alam ini. Orang yang
pikirannya terbuka, pasti bisa menangkap ilmu apapun dari alam"
Memang benar. Semua ilmu manusia berasal dari alam. Alam
memperolehnya dari Tuhan. Namun Tuhan menggunakan alam sebagai
media pengajarannya. Dari alam lah manusia belajar untuk bertahan hidup dan menyesuaikan diri. Dari alamlah manusia bisa menjadi 'manusia'. Maka manusia yang meninggalkan alam, pasti dialah manusia bodoh yang suatu saat akan dimangsa oleh alam itu sendiri.
Cio San selain otaknya cerdas, bakat silatnya ternyata sangat besar sekali.
Dengan sedikit memperhatikan, ia bisa menangkap makna-makna. Ia
bahkan menciptakan ilmu silat berdasarkan pengamatan-pengamatan dan
uji cobanya. Beruntunglah dia dibantu oleh segala kejadian-kejadian yang membuatnya bertemu dengan segala macam peristiwa yang menambah
pengalaman dan mengasah pikirannya.
Peristiwa itu sambung menyambung dari awal hingga detik ia berada
disini.Hingga nanti mungkin saat ia mati, peristiwa sambung menyambung ini akan bersambung kepada anak cucunya. Begitu terus sampai kiamat
nanti. Tuhan begitu perkasa, sehingga kejadian sambung menyambung ini tiada henti.
Siapa yang menyangka seorang anak kecil yang lemah, karena lahir tidak genap sembilan bulan di dalam kandungan, bisa menjadi murid Butongpay"
Siapa yang menyangka anak kecil yang seluruh organ dalamnya berfungsi tidak semestinya mampu bertahan hidup di dalam perut bumi seperti ini"
Siapa yang menyangka anak kecil yang dianggap sangat tidak berbakat
dalam ilmu silat, malah mampu menciptakan jurus-jurus sakti yang
dahsyat" Hidup sebenarnya memang selalu seperti itu. Bukankah teramat sering kau menyaksikan ada seorang anak ketika kecil berwajah biasa-biasa saja,
namun setelah dewasa ia berubah menjadi cantik jelita" Bukankah sudah sering kau lihat ada anak yang sangat cantik dan lucu ketika kecil, namun saat dewasa ia malah menjadi jelek dan tidak menarik"
Atau bukankah sudah sering kau lihat anak yang dianggap bodoh dan malas oleh guru dan teman-temannya malah berubah menjadi orang yang paling
berhasil dan kaya raya dibanding teman-temannya"
Begitu juga sebaliknya sering kau lihat anak yang dulu pintar dan rajin hanya menjadi pegawai rendahan di desanya"
Kehidupan selalu bagaikan roda. Tuhan menggilirkan kenikmatan diatas
penderitan. Saat Tuhan memberimu banyak penderitaan, sesungguhnya
Tuhan sedang melatih dan mempersiapkanmu untuk menerima banyak
anugrah dan kenikmatan'Nya.
Itulah juga yang terjadi pada Cio san. Sejak kecil ia sering sakit-sakitan, karena terlahir tidak normal. Seluruh keluarganya dibunuh orang. Lalu saat belajar di perguruan pun ia sering menerima perlakuan buruk dari sesama murid, bahkan juga dari beberapa suhu-nya.
Lalu ia difitnah ikut serta dalam pembunuhan gurunya sendiri. Ia lalu dikejar-kejar bagai maling. Kehilangan sahabat terbaiknya, dan malah hidup di dalam perut bumi seperti sekarang ini.
Kalau mau dipikir-pikir, tidak ada orang yang akan tersenyum memikirkan hal ini.
Cio San kini sedang tersenyum. Tapi bukan tersenyum karena alasan tadi. Ia tersenyum karena ia merasa mendapat tantangan baru. Melawan tekanan
air terjun yang dahsyat. Air terjun itu tingginya kira-kira 5 tombak. Dengan kepercayaan diri yang penuh Cio San memasuki air dan berjalan ke bawah air terjun itu.
Dengan berani disambutnya curahan air yang menghujam itu. Amat sangat berat dan juga tajam. Cio San mengerahakan segala tenaganya. Ia
menggunakan seluruh tenaganya yang disalurkan melalui telapak-
telapaknya untuk melawan derasnya air itu. Dadanya seperti terjepit oleh hempasan air dan dorongan tenaga dalamnya sendiri. Ia bertahan cukup
lama, tapi keadaan ini sungguh amat dhsyat. Tak terasa darah mulai
mengalir dari mulut dan hidungnya. Pertempuran manusia melawan alam
sudah pasti akan dimenangkan alam. Kecuali jika manusia menggunakan
senjata utamanya, yaitu akalnya.
Begitu teringat kata-kata ini, yang seingatnya pernah diucapkan ayahnya, membuat ia seperti mendapat ide baru. Ia tidak lagi melancarkan serangan melalui telapak tangan, namun menerima deras air itu dengan cara berputar putar. Namun perputaran itu dilakukan saatnya tubuhnya melayang secara sejajar dengan bumi. Gerak putaran itu sangat dahsyat. Ia bahkan
melayang terus di udara. Tenaga hujaman air, dan tenaga dalamnya sendiri membuatnya tetap melayang sambil berputar-putar ditengah-tengah air
terjun itu. Ia lalu mengumpulkan tenaganya di dalam dada. Tenaga yang terkumpul itu bergerak bagaikan magnet yang menghisap segala dorongan derasnya air
terjun. Kekuatan air terjun itu seperti terhisap ke dalam tubuhnya. Lalu ketika kekuatan itu semakin membesar dan memenuhi tubuhnya, Cio San
merasa tak tahan lagi. Ia lalu menyalurkan energi yang terkumpul itu ke telapak tangannya, lalu memukulkannya ke atas menghadapi air terjun, dan Blllaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrr........
Kembali suara dentuman itu terdengar, namun jauh lebih keras dan lebih dahsyat. Dinding-dinding banyak yang hancur berantakan. Bahkan lubang air tempat keluarnya air terjun itu kini menganga semakin besar.
Memang dahsyat sekali kekuatan yang ia hasilkan. Dengan cara mengikuti aliran tenaga dorongan air terjun, Cio San malah berhasil mengumpulakn tenaga itu di dalam dirinya. Lalu dengan kemampuannya mengarahkan
tenaga, kekuatan dahsay itu ia jadikan kekuatannya sendiri. Hasilnya sangat dahsyat. Jika ini dipukulkan pada seratus orang, maka bisa dipastikan mereka semua akan mati dengan tubuh hancur luluh.
Menyadari hal ini, Cio San ngeri. Ia menjadi sangat takut. Bagaimana
mungkin seorang manusia bisa memiliki kekuatan sebesar ini" Jika ada
orang punya kekuatan sebesar ini, pastilah nafsunya akan menyuruhnya
untuk mengalahkan siapa saja. Pantas saja ahli-ahli silat gemar sekali bertarung. Adalah untuk memuaskan nafsu bertarung ini.
Cio San menjadi sangat takut jika nanti ia akan berakhir seperti Liang-lopeknya. Sang lopek di masa mudanya telah melatih ilmu hebat, dan
sanggup mengalahkan jagoan-jagoan kelas satu. Bahkan menantang tokoh
paling terkemuka di dunia kang-ouw sehingga akhirnya kalah dan terpaksa memenuhi janjinya menjadi pengabdi dan kacung di Butongpay.
Ia lalu berlari-lari ke makam Liang lopek-nya. Menangis dan berdoa, agar diberi kekuatan untuk menahan dorongan nafsu bertarung itu. Pada
dasarnya Cio San memang anak yang perasa dan halus. Ia tidak ingin
menyakiti siapapun. Jika seorang anak sangat takut kepada pisau, maka jika kau memberinya golok untuk ia pegang, ia pasti akan sangat ketakutan.
Bab 9: Tahun Berikutnya Di Dalam Goa
Sudah setahun lebih Cio San tinggal di dalam perut bumi. Ia terus berlatih silat, bukan karena ingin kuat, namun karena tiada hal lain yang bisa dikerjakannya. Akhirnya ia memeras otak dan keringat untuk melatih jurus-jurus silatnya, supaya bisa mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang
menggelisahkannya. Masalah kematian orang tuanya, kematian suhunya, kematian A Liang,
peracunan Lau Ciangbunjin, dan hilangnya kitab sakti milik A Liang dari dalam kubur kosongnya di Butongsan. Adalah semua hal yang
menggelisahkan hatinya. Ia harus membersihkan namanya dari segala tuduhan. Ia yakin saat ini ia sudah dituduh berkomplot dengan A Liang membunuh suhunya,
meracuninya Lau Ciangbunjin, serta mencuri kitab sakti itu. Itu adalah sebuah pekerjaan yang amat sangat berat baginya. Memikirkan hal ini ia malah lebih memeilih untuk tinggal saja di dalam goa itu selama-lamanya.
Suatu hari ketika sedang memakan ikan untuk sarapan paginya, telinga Cio San mendengar sesuatu. Suara air sungai berbeda dengan biasanya. Kini pendengarannya sudah sangat tajam, sehingga suara berbeda sedikit saja ia sudah bisa merasakan. Cio San memperhatikan ketinggian air dan tahulah dia bahwa banjir akan segera datang lagi.
Berbeda dengan dulu kini ia sudah lebih siap. Segera ia melompat tinggi lalu memukul langi-langit goa itu. Tidak begitu keras. Namun lubang yang
ditimbulkan sebesar dua kali kepalanya. Ia lalu mengikat erat-erat semua peralatan yang dimilikinya seperti batu api, pisau, dan lain-lain ke tubuhnya.
Lalu menunggu datangnya banjir itu.
Banjir yang datang memang agak berbeda kali ini. Kini datangnya bagai air bah. Cio San kaget juga. Karena banjir yang dulu dialaminya datang tidak secepat dan setiba-tiba ini. Secara kebetulan, timbul di pikirannya untuk mencoba ilmu yang selama ini dilatihnya. Ilmu itu adalah sejenis ilmu pemindahan tenaga. Yaitu jika mendapat serangan tenaga dari luar, tenaga itu bisa dihisap dan malah dipakai untuk menyerang lawan.
Begitu air bah datang, bhesi [kuda-kuda] Cio San sudah siap. Ia menyambut air bah itu dengan gerakan memutar ke belakang. Yaitu gerakan mengikuti arah air itu. Gerakan itu sangat cepat, secepat serangan air bahw di dalam terowongan itu.
Begitu Cio San berputar, secara aneh tenaga putaran tubuhnya membuat air bah itu ikut berputar mengitar tubuhnya. Pemandangan itu indah sekali. Air mengelilingi tubuhnya seperti sebuah lapisan yang menyelimuti sekujur badannya. Bentuknya berputar-putar sangat indah.
Cio San lalu memukulkan kedua tangannya. Pukulan itu ia lakukan sambil berputar. Ketika badannya berhenti berputar, air bah itu seperti mandeg dan malahan mundur ke belakang.
Betapa dahsyat tenaga itu sampai bisa memukul mundur air bah. Tiada
seorang pun yang bisa melukiskannya. Seluruh isi gua bergetar. Bahkan dinding goa itu banyak yang pecah-pecah. Begitu air bah terpukul mundur, segera air bah itu maju kembali dengan lebih cepat karena mendapat
dorongan dari deras air di belakangnya. Cio San segera bersiap-siap lagi menerimanya.
Saat air bah datang lagi, kembal Cio San melakukan hal yang sama. Ia
berputar lagi, hanya satu putaran saja. Lalu memukulkan lagi tangannya. Air bah mundur lagi beberapa tombak. Suara ledakan terdengar lagi. Dinding batu pecah berantakan lagi.
Lalu air bah meluncur lagi lebih deras dari sebelumnya. Cio San melakukan hal yang sama lagi. Begitu terus sampai beberapa kali.
Ia tertawa senang. Ia kini menemukan hal baru lagi. Jika seseorang
di'keroyok' dari depan dan belakang, maka ia bisa menghasilkan tenaga serangan yang jauh lebih besar. Contohnya ada pada air bah itu.
Ketika air bah itu dipukul Cio San, air itu bergerak mundur. Tetapi karena menerima dorongan dari arus di belakangnya, maka air bah itu maju
menjadi lebih cepat. Pemahaman ini hanya muncul sekelebat di dalam
kepala Cio San, dan ia sangat senang menemukan lagi hal baru.
"Berdasarkan gerak air ini, aku bisa membuat jurus baru" Bagitu ucapnya dalam hati.
Karena khawatir goa ini bisa hancur karena perbuatannya menantang air bah, Cio San memilih untuk berhenti. Ia kini tak lagi berputar dan
memukulkan tangannya kepada serangan air itu. Tapi ia kini berputar dan bergerak mengikuti arus air. Serangan air yang semakin lama semakin
dahsyat itu malah membuat gerakannya menjadi lembut dan lentur.
Ia kini tidak lagi menantang air, namun bergerak mengikuti liukan itu. Malah kini Cio San merasa enteng dan ringan mengikuti alur tenaga air bah itu.
Ketika hampir menabrak tembok, ia menggunakan tenaga arus itu untuk
melompat tinggi. Kali ini ia tidak perlu menggunakan tenaganya sendiri untuk melompat. Ia menggunakan kekuatan arus itu untuk melompat tinggi. Cio San kembali
menemukan ilmu baru. Bergerak dan melompat menggunakan tenaga
serangan dari luar. Setelah melompat tangannya mencengkeram dinding batu. Ia lalu
bergelatungan menggantung di langit-langit dengan menggunakan
cengkeramanya. Ia mencari lubang yang sudah tadi dibuatnya. Lalu
meletakkan mulut dan hidungnya di lubang itu. Kejadian yang dulu terulang kembali.
Ia harus bertahan bergelantungan lagi sampai air banjir itu berhenti.
Sesudah beberapa hari, air itu mulai surut dan semakin surut. Cuma kali ini lebih cepat surutnya daripada banjir yang pertama. Cio San menghitungnya hampir 7 hari. Begitu semuanya selesai ia kini merasa bahagia. Kedatangan air bah yang tiba-tiba itu memberinya ide-ide baru untuk menciptakan ilmu silat.
Bahkan secara tidak sengaja, ia juga telah melatih daya cengkeramannya.
Tujuh hari bergelantungan melawan air bah hanya menggunakan
cengkeramannya, membuat daya cengkeramannya meningkat berkali-kali
lipat. Apalagi Cio San terus mengalirkan chi [tenaga dalam] nya kedalam kedua cengkeramannya itu sepanjang 7 hari ini.
Sungguh hebat Cio San, setiap kejadian yang terjadi padanya, bisa
membuatnya menangkap intisari makna kejadian itu, dan malah
menggubahnya menjadi ilmu silat.
Di dunia ini juga kau sudah ditakdirkan untuk melakukan sesuatu, maka pasti akan terjadi. Entah itu kau suka atau tidak. Sebaliknya, jika kau ingin sekali melakukan sesuatu, tetapi ternyata kau tidak ditakdirkan untuk itu, ya tetap tidak akan kejadian.
Kata orang bijak, manusia bisa menentukan takdirnya sendiri. Tetapi jika nasibmu memang bukan ditakdirkan menjadi kaisar, mau jungkir balik
sampai kiamat pun kau tidak akan menjadi kaisar.
Begitulah rahasia Tuhan, yang kita sulit memahaminya. Tetapi harus
disadari bahwa tugas manusia itu bukan untuk memahami Tuhan. Tetapi


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menjalani apa yang sudah digariskanNya dengan penuh rasa syukur dan bahagia.
Bukankah jika kita sudah memahami ini, amka dunia akan lebih cerah"
Cio San tanpa disadarinya sebenarnya sudah mengerti tentang pemahaman ini. Ia menjalani semua kejadian dengan hati lapang dan pikiran terbuka.
Akhirnya ia malah bisa mengambil makna dan menciptakan hal hal baru.
Kalau diibaratkan penyair, jika mengalami banyak kejadian, pastilah ia menangkap makna itu dn menjadikannya syair puisi.
Kalau diibaratkan pemain musik, pastilah ia menjadikan kejadian dan
pengalamannya menjadi lagu yang merdu dan indah.
Kalau pesilat, maka pastilah juga ia menciptakan ilmu-ilmu silat melalui kejadian dan makna yang bisa ia tangkap. Karena itulah ilmu silat itu selalu berkembang semakin luas dan hebat. Karena ilmu silat tidak lahir dengan sendirinya. Ia harus diciptakan.
Memang banyak sekali orang yang beruntung belajar ilmu silat dari guru atau menemukan kitab-kitab sakti. Namun bukankah guru pun belajar dari gurunya. Gurunya pun belajar dari gurunya. Begitu terus runut keatas
sampai pada pencipta ilmu silat itu.
Begitu juga dengan kitab sakti. Pastilah ada orang yang menciptakan ilmu-ilmu sebelum ia menuliskannya ke dalam kitab.
Manusia diberkati bakat oleh Tuhan agar mampu bertahan hidup, dan
berguna bagi sesamanya. Tuhan memberkati manusia dengan kejadian-
kejadian dan peristiwa agar manusia bisa terus belajar memperbaiki
hidupnya agar menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Sudah hampir dua tahun Cio San hidup di dalam goa ini. Ilmu-ilmu yang ia ciptakan pun semakin banyak. Terkadang tanpa melalui sebuah peristiwa pun, Cio San bahkan bisa menciptakan jurus jurus. Mendengar arus air saja ia malah bisa menciptakan jurus. Melihat batu ia bisa menciptakan jurus.
Ini tidak lah mengherankan. Orang jika sudah tak ada lagi yang bisa
dilakukannya selain hanya satu hal saja, pastilah akan mencurahkan hatinya ke satu hal itu.
Jika kau terdampar sendirian di pulau bersama sebuah seruling sudah pasti kau akan belajar memainkan seruling itu. Setelah bisa kau akan
memainkannya terus menerus. Malahan kau akan menjadi hebat dalam
bermain seruling. Karena seluruh hidupmu tidak ada yang kau kerjakan
selain bermain seruling. Begitu juga Cio San. Tidak ada lagi kegiatan yang bisa dilakukannya di dalam goa yang gelap gulita itu. Selain berlatih silat, dan mengembangkan kemampuan tubuhnya. Memang terkadang ada rasa bosan dan Cio San
hanya malas-malasan dan tidur-tiduran saja. Tetapi panggilan hatinya selalu memberinya semangat bahwa ia bisa menciptakan banyak hal baru dan
menggunakan sisa hidupnya untuk hal yang berguna.
Ia memang tidak ada keinginan untuk keluar dari dalam goa itu. Tetapi jika harus duduk diam saja tidak melakukan apa-apa juga malah membuat ia
semakin bosan dan malahan ingin keluar. Cio San sudah memutuskan untuk tinggal saja di situ. Justru karena ada kegiatan belajar silatlah, ia betah tinggal disitu.
Dua tahun ini kekuatannya silatnya sudah sangat pesat. Gerakannya sangat lincah dan cepat. Kekuatan pukulannya sangat dahsyat. Bahkan jika ia mau ia bisa menghancurkan seluruh isi gua itu. Pendengarannya sangat tajam.
Segala jenis suara kecil apapun itu bisa di dengarnya. Pandnagn matanya sudah sangat terbiasa di dalam kegelapan.
Kekuatan tubuhnya kini sanagt kuat. Khasiat jamur Sin Hong memang
sangat dahsyat. Di umurnya yang kini sekitar 16 tahun, ia sudah menjadi orang yang sangat hebat ilmu silatnya. Jika ia turun ke dunia ramai, maka sebenarnya pantaslah nama Tayhiap disandangkan pada namanya.
Tapi Cio San sama sekali tidak menyadari bahwa kehebatan ilmunya sudah sangat pesat sekali. Ia hanya menikmati saja waktunya saat berlatih.
Menikmati kesehatan tubuhnya.
Menikmati. Bukankah kata itu jarang sekali kita rasakan" Kita bekerja siang malam, namun hasilnya jarang sekali kita nikmati.
Hari ini Cio San sedang membuat pedang-pedangan dari ranting kayu yang ditemukannya. Ia ingin belajar memainkan pedang. Saat ini ilmu yang ia ciptakan melulu adalah pukulan dan tendangan. Saat sedang membuat
pedang ia mendnegarkan suara aneh lagi.
Kali ini bukan deras air bah. Bukan juga suara ikan-ikan di dalam sungai.
Sesuatu bergerak di dalam sungai. Bentuknya sangat besar. Ia bergerak dari arah air terjun menuju kemari.
Apakah ada orang yang datang" Cio San lalu berlari menuju arah suara itu, Gerakannya lincah. Ia melompat-lompat bagai terbang. Hatinya senang
sekali jika ia bisa bertemu manusia lagi.
Alangkah kagetnya ketika ia sampai pada sumber suara itu. Ternyata itu adalah sebuah ular yang sangat besar. Panjangnya mungkin sepuluh
tombak. Kepalanya sebesar tubuh laki-laki dewasa.
Bulu kuduk Cio San berdiri. Baru kali ini ia bertemu ular sebesar ini. Dulu saat di 'pengasingan' di atas puncak Butongsan ia sering menangkap ular untuk dijadikan santapannya. Namun bertemu ular sebesar ini........
Sekujur tubuh Cio San serasa lemas. Ular itu pun kaget melihat kedatangan Cio San. Ia lalu memasang posisi menyerang. Kepalanya berdiri tegak.
Tubuhnya meliuk-liuk. Ekornya mengeluarkan suara derik yang sangat
bising. "Masa aku harus mati dibunuh ular. Aku tidak mau menjadi makanan ular"
Pikiran seperti itu memberinya semangat baru. Ia lalu menyalurkan chi ke sekujur tubuhnya bersiap-siap menghadapi segala yang terjadi.
Ular itu lalu menyerang. Ia mamatuk cepat sekali. Cio San kaget sekali.
Inilah awal pertama kali ia bertarung dengan menggunakan ilmunya. Musuh pertamanya pun tidak tanggung-tanggung, sebuah ular raksasa.
Cio San berhasil menghindari patukan itu dengan bergerak ke samping.
Kepala ular hanya mematuk tanah. Namun segera ekornya menyerang pula.
Suara bising dari ekornya membuat Cio San sudah mengerti gerak serangan itu. Tapi tak urung dia kewalahan juga.
Ia seperti melawan dua kepala ular. Yang satu kepala sebenarnya, yang satunya lagi ekornya. Serangan ekor dan kepala itu oun sangat cepat. Cio San hanya menghindar-menghindar saja.
Setelah merasa mampu menghindari serangan ular itu, kini timbul
kepercayaan diri yang besar di dalam dirinya. Ia malah tertarik untuk mempelajari gerakan ular itu. Cio San terus menghindari serangan kepala dan ekor sambil memperhatikan gerak tubuh ular.
Ada kekaguman tersendiri yang ditimbulkan oleh ular itu. Kulitnya berwarna emas yang sangat indah. Gerakan tubuhnya lincah dan gesit untuk tubuh sebesar itu. Bahkan gerakan serangannya pun menyerupai serangan-serangan dalam teori ilmu silat.
Ketika diserang, Cio San mencoba menghindar lagi ke samping dan
memukul leher ular itu. Gerakan serangan ular dan pukulan balasan Cio San ini sangatlah cepat, bahkan mata seorang ahli silat pun susah untuk melihat ini.
Kaget sekali Cio san ketika mengetahui bahwa kulit ular itu sungguh keras seperti logam. Cio San bergerak menggunakan tenaga dorongan dari ular itu untuk membumbung tinggi. Ia melesat ke arah kepala ular itu. Sebuah
tendangan berputar yang ama cepat dilakukannya ke arah kepala, namun
ular itu berhasil menghindar.
Kagum sekali Cio San. "ular ini seperti mengerti ilmu silat" pikirnya. Ia malah senang sekali. Akhirnya menemukan juga lawan latih tanding.
Walaupun itu sebuah ular besar yang menakutkan.
Begitu ular itu berhasil menghindar, ia malah memutur tubuhnya
kebelakang, dan kini menggunakan ekornya untuk menyerang Cio San.
Melihat datang serangan ekor itu, Cio San berfikir untuk mencoba
menangkisnya. Cio San menyerang tepat pada bagian tubuh yang
mengeluarkan suara derik.
Getaran suara derik itu bertubrukan dengan tenaga tangkisan yang
dilakukan Cio San. Ia malah terlempar ke belakang dengan tubuh tergetar.
"Sungguh hebat sekali" gumamnya. Ia tidak terluak dalam karena ada
tenaga sakti yang melindunginya. Melihat serang ekor derik itu, Cio San sekali lagi mendapatkan ide baru.
"Serangan yang cepat ditambah getaran yang sangat kuat bisa
menimbulkan serangan yang dahsyat"
Berdasarkan pemikiran yang timbul di kepalanya itu, Cio San langsung
menciptakan pukulan baru. Ia menyalurkan tenaga dalam ke telapak
kanannya. Segera ia bergerak mencari kepala ular itu. Cio San berada di udara dan langsung berhadap-hadapan dengan ular itu.
Saat di udara memang sangat sulit bergerak, karena tidak memiliki pijakan.
Tapi entah bagaimana bagaimana Cio San bisa berputar bagai gasing. Ketika ular itu menyerang gerak gasing itu seperti bergerak ke samping karena dorongan patukan kepala ular.
Begitu posisinya sudah berhasil berada disamping, Cio San melepaskan
sebuah pukulan telapak. Namun pukulan ini tidak hanya berisi tenaga dalam semata. Cio San juga menggetarkan tangannya mengikuti derik ekor ular itu. Jadi di dalam serangan telapak itu, berisi juga serangan berupa getaran yang menyerupai derik ekor ular.
Cio San sengaja tidak mengincar mata ular itu, walaupun ia bisa. Ada
perasaan kasihan terhadap ular yang indah itu. Ia memukul daerah di atas mata luar itu. Hasil pukulan itu sungguh hebat. Kepala itu terpukul mundur 2 tombak.
Melihat jurus pukulan 'baru'nya ini berhasil Cio San semakin bersemangat.
Ular yang kena pukul itu kini semakin marah. Kepalanya mematuk-matuk
dan ekornya menyerang secara bersamaan. Cio San yang melihat ini
memperhatikan dengan seksama gerakan ular itu.
Ia ingin mempelajari gerakan serangan ular itu. Sambil menghindar Cio San memperhatikan terus serangan ekor dan kepala ular itu. Sungguh dahsyat.
Air berdeburan dimana-mana. Suara derik ekor ular ditambah suara deburan air terjun semakin membuat suasana di dalam terowongan itu hingar bingar.
Cio San bergerak lincah ditengah liukan tubuh ular. Kadang ia menangkis serangan dengan pukulan barunya itu. Sang ular terpukul mundur untuk
kemudian menyerang lebih ganas lagi. Cio San masih menikmati
pertempuran ini. Kali ini seluruh pukulan dan tendangannya penuh terasa tenaga dalam yang dahsyat sehingga membuat sang ular kesakitan.
Walaupun memiliki kulit yang sangat keras, ular itu tetap tidak bisa
meredam tenaga dahsyat Cio San. Bahkan bebatuan saja akan hancur
terpukul pukulan itu. Cuma memang karena kasihan dengan ular itu, Cio San tidak mengerahkan seluruh tenaganya.
Setelah lama mempehatikan gerak serangan ular itu, kini Cio san mencoba menirunya. Ujung telapak tangannya kini membentuk seperti moncong ular.
Telapak tangan kirinya berada disamping perut menghadap ke depan,
sedangkan jari-jarinya menghadap ke tanah. Namun telapak kiri itu
walaupun terlihat diam namun menyimpan getaran yang sama dengan derik ekor ular. Bahkan telapak tangan itu kini berdengung juga seperti suara derik ular karena bergetar hebat.
Kini telapak tangannya bergerak-gerak menyerang dan mematuk bagai
kepala ular. Dengan berani ia menggunakan telapak tangan kanan itu
menyongsong serangan kepala ular yang ganas. Begitu kepala ular itu dekat dengan tangan kanannya, secara tiba-tiba Cio San berputar sehingga kini posisinya dibawah kepala ular.
Ternyata tangan kanannya itu hanya tipuan. Begitu ular bergerak mundur menarik kepalanya, dengan secepat kilat tangan kiri Cio San mengirimkan pukulan bergetar. Daya dorongnya, ditambah lagi dengan posisi ular yang menarik mundur kepalanya, membuat hasil dari gerakan itu berlipat-lipat.
Kepala ular yang besar itu terlempar ke belakang sampai menabrak dinding goa. Saat ketika kepala itu tertabrak dinding goa, bersamaan dengan itu Cio San sudah melancarkan tendangan dahsyatnya. Kepala ular itu mengalami goncangan yang sangat berat karena empat hal. Pertama, pukulan getaran tangan kiri Cio San. Kedua, tabrakan dangan dinding goa. Ketiga.
Tendangan keras Cio San, dan keempat, tabrakan lagi dengan dinding goa.
Semua itu membuat dinding goa hancur berantakan.
Herannya ular itu seperti tidak merasakan apa-apa. Serangannya tetap
ganas, walaupun sudah tidak secepat awal-awal. Mungkin ular itu sudah mulai takut dengan lawan di depannya itu.
Di dalam goa yang gelap itu, bagi mata orang biasa, mungkin hanya bisa melihat cahaya mata ular yang berwarna kuning. Memang ada sedikit
cahaya dari api unggun yang dibuat Cio San. Tapi tak akan mungkin bisa melihat gerakan-gerakan yang dihasilkan kedua makhluk yang berbeda ini.
Bahkan sekalipun di tengah lapangan yang disinari cahaya matahari siang bolong pun, tidak banyak orang yang bisa melihat gerakan-gerakan itu.
Sungguh aneh, ketika kedua 'makhluk' itu saling menyerang. Terlihat seperti mereka adalah ahli-ahli silat paling ungkulan. Padahal mereka hanyalah seorang anak muda belasan tahun, dan seekor ular raksasa.
Jika gerakan ular semakin perlahan dan terkesan hati-hati, sebaliknya gerakan Cio San sangat cepat dan percaya diri. Dia telah memahami segala bentuk serangan ular itu sehingga dengan mudah membaca arah gerakan
serangan. Selama ini memang serangan sang ular hanyalah berupa 'tipuan' yang
dilakukan kepala, dan 'serangan utama' yang dilakukan ekor. Kadang-
kadang sang ular menukar-nukarnya saja, yaitu kepala menjadi 'serangan utama' dan ekor menjadi 'tipuan'. Tetapi hanya dengan beberapa kali
menghindar saja, Cio San sudah bisa membaca 'maksud' ular ini.
Lama kelamaan Cio San bingung juga. Memang dia sudah bisa menguasai
keadaan. Memberikan serangan-serangan dahsyat. Tapi semua itu tidak bisa melemahkan sang ular. Pada dinding goa yang berupa batu karang dan
batu-batuan perit bumi yang sangat keras, telah hancur di sana-sini.
Cio San tidak tega untuk memukul mata ular itu dan membutakannya. Dia telah memutuskan untuk membiarkan ular itu hidup-hidup. Entah kenapa, ada perasaan 'kasihan' yang timbul di hatinya melihat ular itu.
Melihat Cio San yang diam saja tidak melakukan gerakan apapun, ular itu pun diam saja. Namun kepalanya tetap dalam posisi menyerang. Lidahnya kadang terjulur keluar dari mulutnya. Cio San tahu ular ini bukan ular berbisa, karena sejak dulu ia telah diajarkan bagaimana cara membedakan ular yang beracun dengan yang tidak.
Tapi ia menjadi sedikit ragu, karena ia belum pernah membaca tentang ular jenis ini. Segala ciri-ciri ular ini menunjukkan bahwa ia tidak berbisa. Tetapi ekornya yang berderik membuatnya menjadi berbeda, karena tidak ada ular berderik yang tidak berbisa. Bahkan bisanya pun ganas sekali.
Cio San berpikir keras mencoba mencari jalan untuk menaklukan ular itu.
Akhirnya dia memutuskan untuk 'bertaruh' saja. "Jika nanti aku mati karena ular ini ya sudahlah. Bisanya pasti akan mematikanku dalam beberapa
detik" Dia sesungguhnya tidak tahu bahwa tubuhnya kini kebal segala jenis racun, karena khasiat jamur Sin Hong.
Ular itu mulai bergerak sedikit demi sedikit. Ekornya pun mulai berderik mengeluarkan suara bising yang menakutkan. Cio San membuka kuda-kudanya. Gaya kkuda-kuda Thay kek Kun, adalah menggunakan kuda-kuda
agak rendah, tubuh tegak, tangan kanan mengambang kedepan, dan
telapak tangan menghadap ke wajah sendiri. Sedangkan tangan kiri
mengambang agak tinggi ke belakang. Telapak tangan agak dibengkokan ke bawah. Gaya ini melambangkan Im dan Yang.
Tapi dengan kecerdasan Cio San dengan cepat gaya bhesi [kuda-kuda] Thay Kek Kun itu digabungnya dengan jurus ularnya yang baru itu. Tangan kanan kini membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kiri yang mengambang
tinggi di belakang, kini mulai bergetar dan menimbulkan suara seperti ekor ular derik.
Suara itu sebenarnya ditembulkan dari getaran jari bertemu dengan jari.
Namun karena dilakukan dengan cepat, gerakan itu hampir tidak terlihat.
Sang ular tidak paham apa yang dilakukan Cio San. Nalurinya berkata
bahwa ia harus 'menerkam' Cio San. Kepalanya bersiap-siap. Cio San pun menunggu. Ia tahu dengan pasti kapan ular itu akan mematuk. Karena
sebelum mematuk ular itu akan mengambil ancang-ancang dulu ke
belakang. Sebenarnya ancang-ancang itu cepat sekali, dan tidak terlihat. Namun mata dan telingan Cio San yang sudah terlatih mampu memperhatikannya.
Ular itu lalu 'menerkan'. Cio San sudah melihat gerakan ancang-ancangnya itu. Tapi Cio San tidak bergerak. Ia malah menunggu kepala itu.
Kepala itu cepat sekali menyambar. Tak terlihat mata. Lalu ketika sudah dekat dengan tubuh Cio San, ular itu membuka mulutnya. Memperlihatkan taringnya yang panjang. Tapi Cio San tidak bergerak.
Hanya kurang beberapa jengkal dari kepala ular itu, baru tubuh Cio San melesat kencang. Tidak ke samping, tidak ke belakang. Tapi langsung
menuju mulut ular itu dan masuk di dalamnya.
Dengan kelincahannya Cio San berhasil mengelak dari gigi-gigi ular itu ia masuk ke daerah di belakang gigi itu.
Semua ini dituliskan dengan begini runut, namun pada kenyataannya
gerakan-gerakan tadi jauh lebih cepat dari saat kita mengedipkan mata.
Ular yang kaget dan merasa Cio San menginjak bagian dalam mulutnya,
dengan serta mengatupkan rahangnya erat-erat untuk melumat tubuh Cio
San. Tetapi itu adalah sebuah kesalahan besar yang sudah ditunggu-tunggu oleh Cio San.
Begitu ular mengatupkan rahangnya, Cio San menggunakan kedua telapak
tanggannya untuk menyerang dua bagian berbeda dari ular itu. Yaitu langit-langit mulut, dan lidahnya. Hasilnya dhsyat sekali karena ketika ular itu mengatupkan rahangnya, ia juga menggunakan tenaga yang besar.
Pertemuan tenaga telapak Cio San, serta kuatnya tenaga katupan rahang sang ular mengeluarkan suara yang keras sekali.
Bruuuaaaaaaaaakkkkkkkkkk......
Tulang rahang ular itu patah.
Cio San pun keluar dari mulut ular.
Tenaga hasil serangan tadi berkali kali lipat. Selain rahangnya patah, tenaga besar yang dihasilkan itu menggetarkan pula isi dalam tengkoraknya. Ular itu langsung lulai dan pingsan. Bagian dalam mulutnya hancur pula.
Darah pun ada dimana-mana. Bahkan Cio San pun bermandikan darah sang
ular. Ada perasaan bersalah di hati Cio San melihat nasib ular itu. Awalnya dia senang bahwa serangan yang sudah direncanakannya itu berhasil. Tetapi saat melihat keadaan ular itu, ia malah menangis.
" Maafkan aku Sin Coa [ular sakti]....maafkan aku...."
Cio San buru-buru memeriksa keadaan ular itu. Tulang rahangnya patah dan malahan ada yang hancur. Bagian dalam mulutnya pun berlinangan darah.
Bagaimana cara menghentikan pendarahan itu" Cio San mengerti tentang
pengobatan manusia seperti yang telah ia baca di dalam buku pemberian A Liang. Tetapi ia sama sekali belum pernah menyembuhkan orang kecuali
menyembuhkan racun A Liang. Itu pun tidak berhasil karena beberapa saat setelah itu, A Liang meninggal.
Apalagi kini yang mengalami luka berat adalah seekor ular raksasa, yang bentuk tubuh, aliran darah, serta titik-titik pusat tenaganya berbeda dengan manusia. Di dalam kebingungannya, Cio Sa teringat dengan jamur yang
setiap hari ia santap. Cio San ingat bahwa setiap menyantap jamur itu tubuhnya langsung segar, bahkan luka-luka luar seperti teriris atau lecet pun sembuh dengan cepat.
Segera dikumpulkannya jamur-jamur itu dari dinding goa, karena
disepanjang terowongan goa itu jamur itu tumbuh dengan lebat.
Setelah jamur-jamur itu terkumpul banyak sekali, dijejalkannya gumpalan kumpulan jamur itu kedalam bagian mulut ular yang terluka. Cio San pun membubuhkan jamur-jamur itu di tulang rahang ular yang patah.
Tak berapa lama darah pun berhenti mengalir, dan daerah yang patah itu sudah mulai menghangat, tanda bahwa tubuh ular itu sendiri pun membantu penyembuhannya dari dalam. Dengan berani Cio San tetap berada di dalam mulut ular yang lunglai dan 'pingsan' itu.
Ia menyalurkan tenaga dalamnya kepada ular itu melalui mulutnya. Karena Cio San tahu, percuma menyaluirkannya melalui tubuh, karena kulit ular itu tebal sekali, dan sepertinya mampu meredam tenaga dalam.
Berjam-jam Cio San mengalirkan tenaganya. Berangsur-angsur ular itu
pulih. Memang tubuh ular berbeda dengan tubuh manusia. Apalagi ini
tergolong ular sakti yang langka, sehingga serangan dahsyat tadi tidak sampai membuatnya mati.
Perlahan-lahan kesadaran ular itu pulih. Dia merasakan sakit sekali pada mulut dan rahangnya. Kekuatannya seperti terserap habis, tubuhnya lunglai.
Tetapi dia juga merasakan kehangatan yang nyaman di dalam mulutnya.
Lama kelamaan rasa nyaman itu berhasil mendorong pergi rasa sakitnya.
Cio San tahu bahwa ular itu sudah mulai pulih. Ia lalu memberhentikan penyaluran tenaganya, dan keluar dari mulut ular. Lalu mengelus-elus
kepala ular. Sang ular sepertinya paham bahwa musuhnya baru saja
menolongnya. Ia pun diam saja dan tidak berusaha melakukan apa-apa.
Cio San pun mengelus-elus ular itu dengan lembut.
Bab 10 Persahabatan Yang Aneh
Beberapa hari kemudian ular itu sudah pulih tenaganya. Serangan Cio San yang dahsyat di dalam mulut ular itu tidak sampai menyebabkan kematian.
Tetapi jelas menguras tenaga ular itu. Selama beberapa hari, Cio San lah yang memberi makan ular itu dengan jamur dan ikan-ikan hasil
tangkapannya. Dasar memang khasiat jamur sakti itu, dan memang tubuh ular itu juga
sangat kuat dalam beberapa hari lukanya sudah pulih. Cio San sampai
terheran-heran melihat cepat pulihnya luka ular itu. Dia malah menganggap mungkin karena tenaga sakti ular itu yang menyembuhkannya. Padahal
sebagian besar karena khasiat jamur sakti itu.
Setelah sembuh, ular itu menjadi sangat jinak kepada Cio San. Mungkin karena tahu bahwa ia telah diselamatkan oleh Cio San. Memang walaupun sudah sembuh, ular itu masih belum bisa menggunakan rahangnya. Oleh
karena itu Cio San masih 'menyuapi' ular itu. Sambil mengelus-elus dengan lembut, bahkan mengajaknya bicara. Ular itu seperti mengerti perkataan Cio San.
Mungkin ular itu bukanlah jenis ular yang benar-benar liar. Akan tetapi dahulu mungkin pernah dipelihara orang. Dan orang yang bisa memelihara ular macam begini, jelas bukan orang sembarangan.
Memang dalam dunia Kang-ouw peliharaan-peliharaan macam begini
bukanlah hal yang aneh. Ada pendekar-pendekar yang memiliki burung
raksasa, atau ada yang memelihara harimau, dan lain-lain.
Cio San memang beranggapan bahwa ular ini mungkin adalah peliharaan
pendekar yang sakti. Ini dilihat dari serangan-serangan ular itu yang seperti mengerti ilmu silat. Bisa saja ular itu memang diajari silat oleh pemiliknya.
Berfikir seperti itu, Cio San malah senang sekali. Akhirnya kini dia memiliki teman yang bisa diajak berlatih silat nantinya.
Dan benar saja, ketika ular itu sudah benar-benar pulih mereka pun berlatih silat. Cio San sengaja berbicara bahwa mereka hanya berlatih saja dan bukan saling membunuh. Dan ular itu pun seperti mengerti maksud Cio San.
Mereka pun hidup seperti itu berbulan-bulan. Berlatih silat, makan, tidur, dan bermain bersama. Berlatih bersama ular semakin menambah kelincahan Cio San. Ia bahkan menciptakan gerak tubuh seperti ular, yang membelit, dan menyerang dengan cepat, dan terasa menempel di tubuh lawan. Tubuh Cio San kini bahkan bisa menempel dan membelit tubuh ular itu. Tubuhnya bisa bergerak dengan cepat dan licin.
Ia juga menciptakan sebuah gerakan sakti yang diciptakannya dari
gabungan gerak ular dengan inti Thay Kek Kun. Yaitu kedua kakinya diam disatu tempat, namun tubuhnya bisa miringdengan sangat miringbahkan
melekuk-lekuk dan membelit, Persis seperti posisi ular yang menyerang. Ia menamakan kedua jurus itu sebagai 'Kim Coa Hoat' atau Ilmu Ular Emas.
Sebenarnya jurus-jurus itu bisa dikembangkan menjadi berbagi macam
gerak dan langkah, dan Cio San paham dengan itu. Tetapi ia tidak
melatihnya. Ia merasa, jika ia melatih sesuatu berdasarkan daya ingat, maka ia akan cepat lupa. Justru ketika ia tidak mengingat-ingat dan
melatihnya, jurus-jurus yang ia keluarkan saat bertarung malah memiliki banyak kembangan dan perluasan.
Dengan pemahaman seperti ini justru kehebatan ilmunya semakin
bertambah. Karena ilmu silatnya tidak dibatasi oleh jurus, atau ingatan terhadap gerak-gerak, namun berdasar pada perubahan-perubahan yang
terjadi di dalam pertarungan. Ilmu seperti ini bahkan tidak memiliki batasan apapun.
Bergerak mengikuti alam. Itulah inti sari yang dipahami Cio San
berdasarkan kecerdasan pemikirannya. Padahal itu juga dasar pemikiran Thio Sam Hong ketika ia menciptakan Thay Kek Kun. Sehingga jika dilihat dari gerakannya, sesungguhnya gerakan Cio San adalah gerakan dasar Thay Kek Kun. Tetapi kini menjadi jauh lebih cepat, lincah, dan juga ganas.
Karena dicampurnya dengan gerakan silat sang ular sakti.
Begitulah 'persahabatan' aneh ini malah membuat Cio San semakin betah berada di dalam goa itu. Perilaku ular emas kini sangat jinak terhadap Cio San. Bahkan jika Cio San berbicara kadang ular itu menganggung atau
menggeleng. Hingga pada bulan ke 7 persehabatan itu,sesuatu yang aneh terjadi. Pada suatu malam ular itu menggeliat-geliat. Cio San yang saat itu telah tidur terbangun. Ia heran melihat perilaku sahabatnya itu. Ketika disentuhnya, badan ular itu panas sekali.
"Apakah ular juga bisa sakit demam?" begitu pikir Cio San.
Walaupun mengerti tentang pengobatan, dia belum pernah merawat orang
sakit demam. Apalagi ular yang sakit demam. Ular itu terus menggelit-
geliat. Dari tubuhnya keluar bau wangi yang bercampur dengan bau amis.
"Ada apa Kim-ko?", tanya Cio San lembut. Ia memang memanggil ular itu dengan sebutan Kim-koko atat kakak Emas.
Ular itu hanya menggeleng-geleng, dan menggeliatkan badannya yang
panjang. Suara derik kini mulai muncul. Tetapi ika biasanya suara derik itu muncul hanya dari ekornya saja, kini suara derik itu keluar dari seluruh tubuhnya.
"Ada apa ini?" pikir Cio San. Ia berputar berkeliling memeriksa badan sang ular.
Tak lama pertanyaannya terjawab. Sedikit demi sedikit, terlihat retakan di kulit si ular. Lalu retakan itu menjadi banyak. Ternyata ular itu sedang berganti kulit.
"Oh ternyata kau sedang berganti kulit, Kim-ko". Bikin kaget saja..haha" Cio San menjadi lega. Memang ular itu sedang mengganti kulit.
Tetapi ada yang aneh. Jika biasanya ular berganti kulit, kulit yang baru sudah ada di dalam kulit yang lama. Akan tetapi ular ini tidak ada sedikitpun kulit baru di tubuhnya.
Ketika seluruh kulitnya tanggal, yang terlihat hanyalah dagingnya yang berwarna putih bersih.
"Hey kenapa begini Kim-ko" Apakah kau sakit hingga penggantian mu tidak sempurna?" tanya Cio San. Seperti mengerti, ular itu malah menggeleng-geleng.
"Tidak sakit" Berarti memang begitukah cara pergantian kulitmu?" Tanya Cio San lagi. Kali ini ular itu mengangguk-angguk.
Hawa tubuh ular itu panas sekali. Bahkan sanggup memanaskan air tempat ia berbaring dan merendam. Malah sampai bisa menguapkan air itu.
"Hebat sekali" pikir Cio San. Ia kagum dengan keagungan Tuhan yang
menciptakan hewan-hewan seperti ini. Belum pernah ia melihat yang seperti ini.
Tubuh ular itu panas sekali. Warna dagingnya yang putih, malah hampir tembus pandang, menampakkan urat-uratnya. Cio San kaget dan kagum
sekail. Baru kali ini dia bisa melihat urat-urat dan jalan darah seekor ular.
Otaknya yang cerdas dan pikirannya yang sangat terbuka, merangsangnya untuk memperhatikan jalan darah itu.
Cio San memperhatikan terus. Melihat dan mempelajari jalan darang sang ular. Bahkan ia hampir bisa melihat tulang-tulang ular itu. Dagingnya ternyata tipis sekali. Mungkin karena itulah ular itu memiliki kulit sisik yang sangat tebal yang bahkan tidak bisa ditembusi oleh tenaga dalam.
"Tuhan memang Maha Segalanya..." pikir Cio San. Matanya tak lepas
mempelajari susunan tulang dan jalan darah ular itu. "Kim-ko bolehkah aku memperhatikan tubuhmu" Memepelajari tubuhmu?" tanya Cio San.
Sang ular hanya mengangguk-angguk pelan. Sepertinya ia kesakitan dan
sangat kepanasan. Uap-uap air yang dihasilkan oleh air-air yang dipanaskan oleh tubuhnya semakin memenuhi terowongan goa itu.
Cio San terus mempelajari tubuh sahabatnya itu, sambil terus menyiramkan air ke tubuh ular itu agar tidak terlalu kepanasan. Si ular nampaknya merasa tertolong juga dengan perbuatan Cio San itu.
Setelah lama mempelajari, akhirnya Cio San paham juga seluruh seluk beluk ular itu. Dan sang ular pun kini sudah mulai membaik. Cio San tak henti-hentinya menyirami sekujur tubuh ular itu. Walaupun sang ular sudah
berendam di dalam sungai, karena tubuhnya besar dan panjang membuat
ada beberapa bagian tubuhnya yang tidak terkena air.
Melihat keadaan ular yang semakin membaik, Cio San senang sekali. Selain karena sahabatnya itu kini tidak menderita lagi, ia kini menemukan
pengetahuan baru. Ia kini mengerti tentang jalan darah ular, serta susunan tulang-tulangnya. "Pantas ular bisa menggeliat dan melingkar-lingkar


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan sangat lentur. Itu karena ia memiliki jalan darah yang berbeda dengan makhluk lain serta tulang-tulang yang sangat lemas." pikir Cio San
Setelah pergantian kulit itu selesai, dan tubuh sang ular mulai mendingin, akhirnya sang ular itu bisa tidur dengan pulas. Melihat ini Cio San hanya tersenyum.
"Selamat tidur Kim-ko. Besok kita bermain lagi" Sambil berkata begitu, ia menepuk-nepuk kepala sang ular. Lalu berbaring dan tidur di sebelahnya.
Bab 11 Kedatangan dan Kepergian
Pagi-pagi benar Cio San sudah bangun. Ia membereskan kulit-kulit sang ular yang terkelupas. Saking beratnya sampai kulit-kulit itu tidak hanyut terbawa air sungai. Sang ular masih tertidur pulas. Karena khawatir terjadi sesuatu, Cio San meraba tubuh ular itu. Ia bersyukur bahwa keadaan ular itu sehat-sehat saja. Mungkin cuma agak lemah karena kejadian penggantian kulit itu.
Ia mengumpulkan kulit-kulit yang berserakan itu dan meletakkannya di
tempat yang kering. Kulit-kulit itu sangat berat sehingga ia bahkan harus menggunakan tenaga dalamnya untuk bisa mengangkat kulit-kulit itu.
Tak berapa lama saat Cio San bekerja, ular itu pun terlihat telah bangun. Ia seperti mengerti akan apa yang dilakukan Cio San. Karena tubuhnya yang masih lemah, ular itu hanya memperhatikan saja. Lalu sang ular dengan mengunakan mulutnya menggali daerah berpasir yang ada di dekatnya.
Setelah ada lubang, dengan kepalanya, si ular mendorong Cio San
mendekati lubang itu. "Eh kenapa Kim-ko" Kau ingin agar aku menguburkan kulit-kulit ini?" tanya Cio San
Si ular mengangguk-angguk.
"Baiklah, tapi ku kuburkan yang kecil-kecil dulu ya..." tukas Cio San Ia kemudian mengumpulkan kulit-kulit kecil yang bisa dengan mudah
dibawanya. Si ular membantu dengan membuat beberapa lubang dengan
menggunakan mulutnya. Karena daerah bertanah yang ada disekitar situ
hanya sedikit, maka Cio San hanya berhasil menguburkan sedikit.
"Kim-ko ayu kita ke daerah dekat air terjun. Di situ banyak daerah yang bertanah, tidak berbatu-batu seperti disini" ajak Cio San.
Si ular pun menuruti. Jalannya sangat pelan karena masih lemah. Dengan tubuh yang tidak terlindungi kulitnya, tentu saja sangat sakit jika harus menuyusuri batu-batuan seperti, Cio San yang mengerti keadaan si ular, lalu berkata, "Kau tunggu disini saja Kim-ko. Biar aku yang kesana menggali lubang-lubang disana"
Baru saja Cio San akan melangkah, terdengarlah suara ledakan yang amat sangat keras. Bllllaaaaaaaaaaararrrrrrrrrrrrrr..................
Seluruh gua serasa runtuh. Langit-langit pecah berjatuhan, dinding-dinding goa pun hancur. Air bah lalu menerobos masuk melalui dinding-dinding itu.
Dalam kekagetannya Cio San menghalau semua bebatuan yang mengarah
ke arah dirinya dan si ular.
Suasana di dalam terowongan itu menjadi terang benderang. Masuknya
sinar ke dalam goa itu secara tiba-tiba langsung menyakiti mata Cio San.
Setelah bertahun-tahun hidup di dalam kegelapan, dengan cahaya yang
kecil sekali, matanya kini tidak dapat menahan sinar seterang itu.
Untungnya air bah yang mengalir bergerak ke segala arah sehingga tidak menyerang Cio San dan ular. Dengan menggunakan kelincahan tubuh, ilmu silat, serta pendengarannya yang tajam Cio San menghalau batu-batu yang menghujama pada dirinya dan ular. Tetapi tak urung beberapa bebatuan
mengenai bagian tubuh ular itu. Sang ular menggeliat marah namun karena tubuhnya lemas, ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Terdengar ramai suara manusia, "Berhasil...berhasil...Kim Liong Ong [raja naga emas]berada di dalam sini...."
Dengan telinganya Cio San bisa mendengar bahwa ramai suara itu berasal dari 6 atau 7 manusia. Dan ia pun bisa mendengarkan kekagetan mereka
ketika melihat ternyata di bawah situ, di tempat ketika dulu ada gua perut bumi, si ular tidak sendirian. Melainkan ada seorang manusia yang hampir telanjang, hanya mengenakan cawat dari kulit kayu.
Si manusia, yang adalah Cio San, sedang sibuk menangkis batu-batuan
besar yang mengarah kepadanya. Ledakan dalam goa itu sangat dahsyat
sehingga menghancurkan seluruh terowongan. Untunglah dengan ilmu
silatnya ia berhasil 'menghadapi' bebatuan-bebatuan itu.
Apalagi kini Cio San 'buta' karena cahaya matahari yang menerobos masuk.
Terowongan itu kini telah menjadi lapangan terbuka. Dan sinar matahari yang tajam itu telah menyilaukan mata Cio San. Ia menutup matanya
sekuatnya. Tetapi sakit yang muncul akibat cahaya yang masuk tiba-tiba membuatnya merasa tersiksa sekali.
"Ada manusia aneh...lihat ada manusia aneh...." terdengar seruan orang-orang itu.
Begitu batu-batu berhenti berhamburan dan air telah surut, Cio San dengan geram bertanya,
"Siapa kalian" Dan apa yang telah kalian perbuat?" ia masih tidak dapat membuka matanya.
"Justru kami ingin bertanya siapa kau" Bagaimana bisa berada di dalam sini?" tanya salah seorang dari rombongan itu.
Cio San ingat bahwa ia telah menjadi kejaran orang-orang Butongpay. Oleh karena itu ia menjawab, "Aku tidak tahu siapa namaku, tetapi aku tinggal di dalam goa itu sudah lama sekali sejak aku kecil. Dan ular ini adalah sahabat baikku" Cio San sengaja berkata bahwa ular itu adalah sahabatnya karena tadi ia mendengar mereka menyebut-nyebut tentang Kim Liong Ong [raja
naga emas]. Pastilah yang mereka maksud adalah Kim-ko nya itu.
"Kau tidak tahu siapa kami?" tanya salah seorang, tapi segera ia sadar bahwa orang yang ditanya telah hidup sekian lama di dalam goa. Tentulah tidak tahu keadaan dunia luar. Segera ia menyambung lagi, "Kami adalah Tionggoan Ngo Koay [5 orang aneh tionggoan]" jawabnya dengan bangga.
"Kenapa kalian membongkar tempat tinggalku?" Cio San bertanya dengan
polos. Sebenarnya kelima orang itu adalah orang-orang yang sangat ganas dari kaum Hek-to [golongan hitam]. Akan tetapi melihat keanehan bahwa ada
orang yang tinggal bersama perut bumi bersama seekor ular, mau tak mau mereka agak heran juga. Sehingga kegarangan mereka agak berkurang.
"Kami telah mengincar ular itu sejak lama. Kami menyelidiki jejak-jejaknya.
Dan mengubernya sampai kemari. Tak tahunya ia tinggal disini bersama
seorang manusia" jawab salah seorang.
"Buat apa kalian mengincarnya?" tanya Cio San lagi.
"Kau pasti tak tahu. Kulitnya sangat mahal. Jauh lebih mahal daripada emas. Isi jeroan tubuhnya sangat berkhasiat menambah tenaga dalam."
jawab salah seorang "Kau mnggirlah dari situ, dan biarkan kami menghabisi ular itu" sambil berbicara begitu, salah satu yang berbicara itu lalu lompat menyerang Cio San.
Menerima serangan ini, Cio San bersikap tenang. Ia menghadapinya dengan telapak tangan kanannya. Pertemuan kedua telapak itu sangat dahsyat
sehingga keduanya mundur beberapa tombak. Namun sang penyerang
mundur sambil memuntahkan darah sedangkan Cio San hanya mundur
selangkah, sambil tersenyum pula.
Ia senang karena ilmu yang dilatihnya di dalam goa ternyata hebat juga. Ia lalu berkata, "takkan kubiarkan kalian mengganggu sahabatku walau
seujung kuku saja" katanya kereng.
Sebenarnya penyerang itu bukanlah orang yang lemah. Justru ia sangat
kuat, dan silatnya tergolong kelas atas. Hanya saja ketika menyerang Cio San ia menggunakan ? tenaganya karena ingin cepat-cepat membunuh Cio
San. Dengan ilmunya, Cio San bisa membalikan tenaga penyerang itu
kepada dirinya sendiri. Melihat kenyataan bahwa sahabat mereka terluka hanya dalam satu jurus saja, ke empat orang lainnya langsung menyerang mereka dengan
menggunakan serangan-serangan yang ganas. Cio San kini hanya dapat
mengandalkan pendengarannya saja, dan hanya bisa bergerak menghindar.
Ia memang belum mau menghadapi langsung serangan-serangan itu karena
ingin mempelajari dulu. Memang ada sebuah sifat 'aneh' di dalam diri Cio San. Ia kini menjadi sangat tertarik mempelajari ilmu silat.
Setelah 5 jurus, Cio San sudah paham seluruhnya. Ia kini balik menyerang dengan menggunakan jurus-jurus mereka sendiri.
"Gila...darimana anak ingusan ini mencuri jurus-jurus kita?"
Tionggoan Ngo Koay yang malang melintang di dunia hitam, kini malah
dihajar seorang anak ingusan dengan menggunakan jurus mereka sendiri.
Dari 5 jurus yang Cio San perhatikan, ia malah bisa mengembangkannya
menjadi jurus-jurus lain. Bahkan ada yang digabungkannya dengan jurus-jurus Butongpay.
Keempat orang yang mengeroyok Cio San itu semakin terbelalak matanya,
"bagiamana mungkin" seru mereka.
Akhirnya karena putus asa, mereka sepakat untuk menggunakan jurus
pamungkas mereka, "Memindahkan Gunung Bersama-sama". Jurus ini
sangat dahsyat jika dilakukan oleh mereka berlima. Tetapi walaupun kini berempat, karena salah satu anggotanya dilukai Cio San, ilmu itu tetap dahsyat juga.
Cio San dengan ilmu-ilmu ciptaannya di dalam goa menerima serangan
gabungan itu dengan percaya diri. Ia menghadapinya seperti menghadapi serangan air bah ketika di dalam goa. Ketika serangan itu tiba tubuhnya berputar. Ketika putaran itu kembali ke posisi semula tangannya telah menyambut kedelapan telapak itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi 'braaaaaakkkkk' yang keras, dan kata-kata
"mampus kau ular jelek"
Seketika itu pemusatan pikiran dan tenaga yang dilakukan Cio San buyar. Ia tahu bahwa ada orang yang telah menyerang dan membunuh ular
sahabatnya itu di belakangnya. Ketika pemusatan itu buyar, kedalapan
tapak yang menyalurkan tenaga itu menghantam tubuhnya.
Padahal sebenarnya keempat orang itu telah terhisap tenaganya oleh Cio San. Justru ketika keempat tenaga yang baru terhisap itu akan dilepaskan kembali oleh Cio San untuk menyerang mereka sendiri, konsentrasinya
pecah. Maka dengan dahsyat keempat tenaga dalam yang sudah dilatih
bertahun-tahun itu menghantam tubuh Cio San.
Memang ilmu silat Cio San sudah sangat hebat. Tetapi pengalamannya
dalam pertarungan masihlah sangat sedikit. Karena kurang pengalaman
inilah Cio San menjadi kurang perhitungan dan kurang awas.
Tubuhnya mencelat beberapa tombak, ia pun muntah darah. Karena
walaupun tubuhnya memiliki tenaga sakti hasil latihan dan khasiat jamur Sin Hong, justru tenaga itu menghantamnya balik karena salah perhitungan. Ia terkapar dari mulutnya keluar darah segar.
"Mampus kau anak ingusan. Susullah temanmu si ular ini menghadap langit barat [mati]" kata salah seorang.
"Untung kau cepat turun tangan Yap-heng, kalau tidak kami semua ini
sudah jadi santapan ular juga"
Yang tidak Cio San ketahui, dan juga kebanyakan orang-orang Kang-ouw, ialah bahwa Tionggoan Ngo Koay ini tidaklah berjumlah 5 seperti julukan mereka. Melainkan 6. Orang yang dipanggil Yap-heng itu adalah anggota mereka yang tersembunyi, dan tidak pernah terlihat. Ia selalu mengiringi Tionggoan Ngo Koay itu. Dan akan bergerak membantu mereka jika mereka terdesak. Intinya tugas utama orang she [marga] Yap itu adalah untuk
membokong musuh-musuhnya.
Itulah sebabnya Kelima orang aneh berkibar namanya dalam dunia
persilatan. Mereka menggunakan kelengahan musuh untuk memenangkan
pertarungan. Ketika melihat bahwa walaupun membokong Cio San pun, ia
tidak bisa mengalahkannya, orang she Yap itu menggunakan ular sebagai titik kelemahan Cio San. Dan benar saja, saat konsentrasi Cio San buyar ketika mengetahui bahwa ular itu terbunuh, tenaganya kini membalik
menyerang dirinya sendiri.
Urusan-urusan licik seperti ini adalah memang keahlian orang she Yap itu.
Dan Cio San yang polos dan berhati jujur seperti itu adalah korbannya yang kesekian ratus.
Cio San yang terlempar beberapa tombak dan bahkan tubuhnya menghujam
ke bebatuan itu memang seperti telah mati. Ia tidak sanggup bergerak lagi.
Tetapi kesarannya masih pulih seutuhnya. Ia bisa tahu apa yang telah
terjadi. Keempat tenaga musuh dan juga tenaga dalamnya sendiri telah
menyerang tubuhnya. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa selamat dari hal
sedahsyat itu. Memang ternyata khasiat jamur Sin Hong itu adalah
melindungi seleuruh organ tubuh. Tapi Cio San sendiri tidak paham akan hal itu.
Walaupun kini tubuhnya tak mampu digerakkan sama sekali, Cio San
berusahan keras 'menjinakkan' tenaga yang sekarang berada di dalam
tubuhnya. Beruntunglah Cio San ia pernah belajar Thay Kek Kun. Ilmu inilah yang juga melindungi dirinya dari serangan tenaga dahsyat tadi. Tetapi karena Cio San menggabungkannya dengan ilmu silat Tionggoan Ngo Koay
tadi, maka Thay Kek Kun menjadi tidak murni dan kotor, Apalagi ilmu silat Kelima orang aneh itu adalah ilmu silat golongan hitam. Thay Kek Kun
menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Padahal walaupun pemusatan pikirannya buyar, denga Thay kek Kun yang
telah dipelajarinya, seharusnya otomatis melindungi tubuhnya, dan mampu menghalau tenaga serangan keempat orang itu. Cio San dengan
kecerdasaannya akhirnya memahami hal ini.
Di dalam kondisinya yang kritis itu, pikiran dan kecerdasannya tidak hilang.
Ia lalu mengererahkan tenaganya yang tersisa untuk mengatur jalan darah dan jalan nafas. Ini ia lakukan sambil tergeletak, karena memang ia tak mampu bergerak sama sekali.
Orang yang dipanggil Yap-heng itu memriksa tubuh Cio San. Rupanya ia
berfikir bahwa Cio San telah mati, ia lalu berkata, "Bangsat ingusan ini sudah mati. Ayo kita garap ular itu"
Mereka kemudian berduyun-duyun mulai bekerja memotong-motong ular
itu. Dagingnya mereka ambil. Darahnya mereka tampung. Lalu organ bagian dalam ular itu juga mereka ambil. Cio San walau tak dapat melihat, tapi ia bisa mendengar semuanya.
Memang setelah ledakan besar yang menghancurkan goa itu,
pendengarannya agak tidak berfungsi dengan semestinya. Ini mungkin
karena telinganya yang terlalu peka menjadi terluka, karena ledakan
sebesar itu. Itulah sebabnya kenapa Cio San tidak bisa mendengar bahwa ada orang lain selain kelima orang musuhnya itu. Apalagi ditambah dengan
'tugas' orang ke enam itu adalah untuk bersembunyi dan membokong
secara tiba-tiba sehingga ia memang harus bergerak dengan sangat hening.
Cio San hanya bisa meneteskan air mata menghadapi kenyataan ini. Ia telah kehilangan sahabat baik untuk kali kedua. Dibunuh karena ketamakan
manusia. Mendengar suara daging diiris-iris, serta suara tertawa keenam orang itu, hati Cio San semakin sedih.
Bahkan mereka memasak daging itu pun disitu. Sambil makan mereka
mengobrol, "Ah memang nikmat daging ini. Walaupun tipis, rasanya mungkin yang
paling enak di dunia. Apalagi darahnya sudah dicampur dengan
arak....Hmmm lezaaaaatttt...."
"Iya memang tak percuma jerih payah kita melacak jejak ular ini bertahun-tahun. Sulit sekali menangkapnya"
"Eh Yap-heng, coba ceritakan apa saja khasiat ular ini..."
Orang yang dipanggil Yap-ko itu lalu berkata,
"Khasiatnya banyak sekali. Dagingnya menambah kekutan tubuh bagian luar Gwa-Kang. Bagian orang yang seperti kita, Gwa kang ini berguna untuk
meniduri perempuan" Terdengar suara tawa bergema
Ia melanjutkan lagi, "Darahnya jika dicampur arak khusus yang kubawa ini, bisa untuk menyembuhkan segala penyakit. Bagian jeroan tubuhnya,
terutama jantungnya akan menambah tenaga dalam kita berlipat-lipat.
Sedangkan empedunya akan membuat kita kebal dengan berbagi jenis
racun. Dan tak ketinggalan adalah kulitnya. Kulitnya ini jauh lebih mahal daripada emas. Karena selain sangat indah, juga tahan segala macam jenis senjata. Bahkan juga tenaga dalam sekalipun. Ada lagi yang unik. Dibagian dalam kulitnya itu, ada sebuah lapisan kulit yang sangat tipis. Sangat berguna untuk membuat topeng yang sangat halus."
Terdengar suara salah seorang menimpali,
"Oh jadi itulah sebabnya engkau menyuruh kita untuk bersabar
menangkapnya, Yap-heng" Sampai ia berganti kulit?"
"Benar sekali. Jika ia berganti kulit, maka yang seluruh tubuhnya menjadi lemah dan tak terlindungi. Itulah sebabnya aku menyuruh kalian menunggu bertahun-tahun. Karena ular ini hanya berganti kulit 5 tahun sekali setiap musim gugur. Ia selalu mencari tempat yang dingin, karena saat berganti kulit, tubuhnya akan menjadi panas sekali. ia bisa mati jika berganti kulit saat terkena sinar matahari" jawab orang she Yap itu.
Mendengar itu Cio San menjadi paham. Ternyata ular itu mmasuk ke dalam terwongan goa itu untuk mencari tempat yang aman untuk tinggal. Juga
sebagai persiapan untuk mengganti kulit. Karena saat mengganti kulit ia berada di dalam keadaan yang sangat lemah sehingga tidak bisa melindungi diri sendiri. "Sungguh kasihan engkau Kim-ko...." Cio San hanya bisa
menangis. Entah berapa jam lamanya keenam orang itu makan dan mengobrol disitu.
Akhirnya setelah puas mendapatkan apa yang mereka cari, mereka pun
pergi dari situ. Nasib Cio San pun sudah tidak mereka perdulikan, karena menganggapnya sudah mati. Mereka bahkan tidak memeriksanya, karena
telah terdorong untuk segera menikmati dan merasakan khasiat ular itu.
Cio San masih belum sanggup untuk menggerakkan tubuhnya. Ia akhirnya
tertidur pulas di situ sampai keesokan paginya. Saat ia tersadar matahari sudah tinggi. Rasa sakit di matanya sudah berkurang. Ia pelan-pelam
membuka matanya. Masih dengan hati-hati karena khawatir akan silau dan sakit lagi. Ketika perlahan-lahan ia sanggup membuka matanya, ia senang sekali. Walaupun masih agak silau, dan perih setidaknya ia kini bisa melihat walaupun masih terbatas.
Ia mencoba menggerak-gerakan tubuhnya. Tubuhnya kini sudah mulai bisa ia gerakkan namun rasanya masih sakit sekali. Luka dalamnya pun masih belum sembuh. Dengan perlahan ia bangkit. Berjalan dengan gontai menuju letak si ular sahabatnya tadi.
Pertemuan Di Kotaraja 5 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pukulan Naga Sakti 26
^