Pencarian

Kisah Para Penggetar Langit 4

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagian 4


Alangkah sedihnya ketika melihat yang tersisa hanya tulang belulang sang ular belaka. Cio San jatu berlutut menangis tersedu-sedu. Hatinya sedih sekali melihat kenyataan ini. Lama ia duduk terpekur memandangi tulang belulang itu. Bau amis yang ditimbulkan sudah tak diperdulikan Cio San lagi.
Daerah yang dulunya berupa terowongan dalam perut bumi, kini sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya berupa daerah lapang yang kini dialiri sungai kecil.
Cio San lalu berusaha menguburkan tulang belulang itu. Lama sekali baru ia berhasil menggali lubang dan mengumpulkan tulang-tulang itu.
Itu dikarenakan kondisi tubuhnya yang sangat lemah, dan ia tak sanggup mengerahkan tenaga dalamnya. Ketika akan meletakan tulang itu ke dalam lubang, ia menemukan sepotong kulit sang ular yang nampaknya tidak
terbawa oleh Tioanggoan Ngo Koay.
"Hanya ini yang tersisa dari tubuhmu Kim-ko...Bolehkah aku menyimpannya sebagai kenang-kenangan?" tanya Cio San pelan sambil mengelus-elus
tulang tengkorak kepala sang ular.
Alangkah kagetnya Cio San ketika terdengar suara derik ular itu
berbarengan dengn hembusan angin. Cio San terhenyak dan melihat bahwa suara itu keluar dari derik ekor si ular. Segera didekatinya bagian ekor itu dan melihatnya. "Apakah masih bergerak" Tidak mungkin kalau masih
hidup...." pikir Cio San dalam hati.
Lama ia memperhatikan akhirnya Cio San tahu. Ternyata suara derik itu lahir dari hembusan angin yang melewati ronga-rongga bagian ekor ular itu.
"Terima kasih Kim-ko....." Cio San menganggap suara derik itu sebagai bentuk ijin yang diberika sang ular kepada Cio san untuk membawa kulitnya yang tersisa sebagai kenang-kenangan.
Cio San baru berhasil menguburkan tulang sang ular ketika sudah hampir sore hari. Ia lalu bersujud 3 kali, dan mendoakan ular itu. Kemudian ia teringat dengan kuburan A Liang. Cio San lama mencari-cari ternyata
kuburan itu tidak ia temukan. Mungkin telah ikut hancur bersama runtuhnya goa itu. Hatinya sedih sekali.
"Apa yang kini harus kulakukan" Tempat tinggalku sudah hancur
berantakan. Nampaknya Thian tidak ingin aku hidup tenang, dan harus
menghadapi dunia ini?" tanyanya dalam hati.
"Bagaimana aku bisa hidup tenang, sedangkan aku sedang menghadapi
fitnah, dan juga kejaran murid-murid Butongpay". Apakah aku harus tinggal disini selamanya" Itu juga tidak bijaksana karena pasti akan ada orang yang datang kesini.Bagaimana cara terbaik supaya aku bisa tenang?"
Ia lalu teringat perkataan orang she Yap, bahwa bagian dalam kulit sang ular terdapat lapisan yang bisa digunakan sebagai topeng. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tetapi ia ingin mencoba saja dulu. Jika ia bisa memiliki topeng yang bagus untuk melindungi jati dirinya, ia bisa tetap bersembunyi dari kejaran orang-orang Butongpay.
Cio San memperhatikan kuliat ular itu. Di bagian dalamnya memang
terdapat sebuah lapisan yang tipis sekali. Pelan-pelan Cio San
mengelupasnya. Ia memperhatikan lapisan itu, memang seperti kulit
manusia. Cio Saan kaget sekali ketika kulit itu lengket dijari-jarinya dan tak bisa dilepaskan.
Dalam kebingungannya, Cio San mendengar sebuah benda jatuh. Ketika ia menoleh ke sumber suara, ternyata ada sebuah bungkusan tepat diatas
kuburan sang ular. Ia melihat ke sekeliling mencoba mencari tahu siapa pelempar bungkusan itu. Tetapi ia tidak menemukannya. Lama ia berkeliling di daerah sekitar situ untuk mencari tahu, tetapi ia tidak dapat menemukan siapa-siapa.
Cio San memutuskan untuk melikat isi bungkusan itu. Siapa tahu ada jati diri pelakunya di dalam bungkusan itu. Cepat-cepat Cio San membuka
bungkusan itu dengan menggunakan tangan kirinya, karena jari tangan
kanannya telah tertempel lapisan kulit itu.
Ternyata bungkusan itu berisi sebuah surat dan satu setel pakaian. Cio San membuka surat itu, dan membacanya:
"Jika kau ingin menggunakan lapisan kulit itu sebagai topeng, gunakan tenaga api untuk membentuknya. Jika terkena daging makhluk hidup maka lapisan itu akan menempel dengan kuat. Sifat lengketnya akan hilang jika kau mengunakan panas. Jika kau ingin membentuknya sesuai keinginanmu, gunakanlah api untuk membentuknya,
Aku kirimkan juga sebuah pakaian yang pantas kau pakai. Selamat datang di dunia Kang-ouw"
Salam" Hanya itu saja isi surat itu. Cio San yakin pasti ada seorang sakti yang ingin menolongnya. Akhirnya ia memutuskan untuk percaya saja kepada
surat itu. Siapapun yang ingin menolongnya pasti mempunyai maksud yang baik terhadapnya.
Cio San akhirnya membuat api dengan menggunakan batu-batuan dan
ranting kayu yang berserakan di sekitar situ. Benar saja ketika didekatkan kepada api, daya lengket lapisan kulit itu pun berangsur-angsur menghilang.
Setelah itu dengan berani Cio San meletakan lapisan itu ke wajahnya
setelah terlebih dulu membuat lubang untuk kedua matanya dengan
menggunakan ujung kayu yang terbakar api. Ketika melihat pantulan
bayangan wajahnya di sungai, Cio Sa kagum sekali. Wajahnya sudah
berubah. Kini seperti lebih tua 10 tahun.
Lapisan itu seperti merubah bentuk tulang Cio San, dan juga warna kulit wajahnya. Dengan kayu terbakar tadi, ia juga membuat lubang hidung,
serta mulut. Sisa-sia lapisan yang ada, dipotongnya juga dengan
menggunakan kayu terbakar itu.
Ia kini telah berbeda wajah. Memang lebih jelek daripada wajah aslinya.
Hidungnya sedikit bengkok. Bahkan ada kantung mata yang terbentuk di
bawah wajahnya. Kulit wajahnya pun pucat sekali, seperti orang
berpenyakitan. "Memang hebat sekali ciptaan Tuhan ini..." pikirnya dalam hati.
"Terimakasih tuan penolong, cayhe [saya] akan selalu mengingat
pertolongan tuan" teriak Cio San. Dia lalu bergegas menggunakan pakaian
yang ada dalam bungkusan itu. Pakaian itu lengkap ada baju panjang,
celana, dan juga pakaian dalam. Bahkan ada juga sekantong uang.
Walaupun tidak ada sepatu, Cio San bersyukur juga diberi pakaian berwarna biru muda itu. Cocok sekali ketika ia pakai. Tubuhnya yang tegap dan tinggi, membuat ia terlihat gagah sekali. Namun jika orang memperhatikan
wajahnya, akan terlihat rupa yang kusam dan pucat seperti orang
berpenyakitan. Karena hari sudah sore, Cio San memutuskan untuk besok pagi saja ia pergi dari situ. Ia membuat api unggun di dekat kuburan si ular sahabatnya. Dan tidur di situ.
Besok pagi-pagi ia sudah bangun dan bersiap-siap untuk pergi. Dia memberi hormat 3 kali di depan kuburan ular itu, dan juga di sebuah tempat yang dulunya berupa makam A Liang. Setelah itu dia berangkat. Entah kemana.
Manusia datang dan pergi. Itulah kehidupan.
Bab 12 Dunia Baru Yang Tidak Asing
Cio San berjalan ke arah barat. Dari posisi bintang tadi malam, ia tahu bahwa ia sedang berada di timur. Entah bagaimana ia bisa sampai ke dalam terowongan itu 3 tahun yang lalu. Mungkin ia terjatuh di dalam pusaran air, yang membawanya jauh sampai ke dalam terowongan itu. Entahlah. Hanya
Thian yang tahu. Dunia berputar dan manusia terjebak dalam gelombangnya. Siapa yang
mengikuti arus pastilah sampai tujuan. Siapa melawan arus pasti akan
tenggelam oleh jaman. Kehidupan ini alurnya siapapun tiada yang tahu.
Semua kejadian berhubungan dengan masa lalu dan masa depan.
Nasib Cio San ini, jelas dia sendiri tidak menyangka. Dari sebuah keluarga yang bahagia yang tinggal di kaki gunung Go Bi san. Lalu menjadi sebatang kara sampai kemudian diangkat menjadi murid Butongpay. Kemudian malah menjadi buronan Butongpay karena dianggap membantu pembunuhan
gurunya. Sehingga terdampar dan hidup di dalam perut bumi. Bertahan
hidup menghadapi keadaan hidup yang berat. Lalu berkelahi dengan ular, bahkan kemudian menjadi sahabat ular itu.
Lalu kini sang sahabat pun mati, sedangkan dia kini harus berkelana tanpa tujuan. Apa yang harus dilakukannya kini. Yang menderita adalah hidup tidak bahagia. Namun yang lebih menderita lagi adalah hidup tanpa tujuan.
Dengan tubuh terluka, bahkan dia sendiri tidak bisa menggunakan tenaga dalamnya. Apa yang bisa dilakukan di dunia kang ouw dengan keadaan
seperti itu". Cio San memutuskan untuk kembali ke dunia ramai, tapi dia tidak akan mencampuri urusan Kang-ouw. Ia ingin hidup tenang tanpa
pertempuran. Tanpa perebutan kekuasaan.
Cio San memutuskan untuk menjadi juru masak saja. Ia memiliki sedikit pengetahuan tentang memasak. Ia pun sudah banyak menghafal resep-resep masakan yang enak-enak. Kini ia berjalan dengan mantap. Walaupun agak sedikit gontai karena terluka. Setidaknya ia kini mempunyai arah hidup.
Selama 2 hari Cio San menyusuri hutan itu. Ternyata ia telah berada jauh dari gunung Butongsan. Karena dari letaknya kini, ia bisa melihat gunung itu. Indah sekali. Cio San merasa beruntung bahwa ia terdampar cukup jauh dari Butongsan. Air sungai ternyata membawanya cukup jauh.
Dalam 2 hari ini, Cio San bertahan hidup dengan memakan buah-buahan
dalam hutan, serta menangkap hewan buruan seperti kelinci dan ayam
hutan. Ia juga tidak lupa mengumpulkan beberapa bahan yang bisa
dipakainya untuk membuat bumbu masakan yang enak. Dari
pengetahuannya, ia mengumpulkan banyak sekali bahan-bahan. Ia juga tak lupa mengumpulkan beberapa bahan yang bisa dijadikan sebagai obat-obatan. "Mumpung berada di hutan, dan banyak sekali bahan-bahannya"
begitu pikir Cio San. Perjalanannya dilakukan dengan riang. Walaupun hatinya sedih terhadap kematian si ular, ia bisa menerima kematian itu sebagai satu takdir. Cio San telah anyak mengalami kematian orang-orang terdekatnya. Ayah ibunya,
keluarga besarnya, gurunya, sahabat terbaiknya, dan juga si ular.
Ayahnya mengajarkan bahwa kematian telah ditakdirkan. Tidak bisa
dimajukan atau dimundurkan. Ayahnya memang menganut agama dari
daerah barat, yang mengajarkan seperti itu. Walaupun bukan penganut
yang taat dan keras, setidaknya banyak nilai-nilai ajaran agama itu yang ayahnya percayai. Bahkan ayahnya pun juga tidak memaksa Cio San untuk mengikuti agama itu. "Biarlah kau memilih sendiri mana yang kau percayai, jika kau dewasa nanti" begitu kata ayah Cio San waktu itu.
Memang di hati Cio San tidak ada dendam, bahwa ia harus membalas
kematian-kematian ini. Tetapi jiwanya selalu menuntut keadilan nanti. Suatu hari kebenaran akan terkuak, dan keadilan akan ditegakkan. Siapa yang bersalah harus dihukum.
Hanya itulah yang ada di hatinya. Oleh sebab itu dia bisa berjalan dengan ringan dan menikmati hidup. Apa yang terjadi telah ditakdirkan. Apa yang belum terjadi harus diusahakan. Jika ingin kebenaran berjuanglah. Jika ingin keadilan berjuanglah. Itulah yang selama ini diajarkan ayah ibunya.
Teringat ia akan ayah ibunya, Cio San merasa bersalah. Selama ini ia tidak pernah mengunjungi makam mereka. Cio San memutuskan untuk
mengunjungi mereka ketika ia sudah mampu membeli kuda. Karena letk
kuburan ayah ibunya jauh sekali. Dan untuk membeli kuda yang bagus, ia harus bekerja.
Cio San telah memutuskan bahwa ia tidak akan menggunakan uang
pemeberian orang yang menolongnya itu, jika benar-benar tidak penting.
Jika masih bisa bekerja, maka ia lebih baik bekerja saja.
Saat menjelang siang hari, akhirnya ia bisa keluar dari hutan itu. Tak lama berjalan, ia melihat sebuah rumah. Ternyata rumah seorang petani. Si
petani itu baru saja selesai menggarap sawahnya dan kini sedang
beristirahat. Petani itu sudah tua, namun tubuhnya masih terlihat segar dan kokoh. Hanya wajahnya saja yang sudah terlihat keriput-keriputnya.
"Selamat siang lopek,...bolehkah saya numpang istirahat sebentar, saya tersesat beberapa hari di hutan" kata Cio San dengan hormat.
"Oh..tersesat" Memangnya anak ini mau kemana dan dari mana?" tanya si petani itu ramah namun sedikit kaget juga.
"Mmmm....saya sedang berkelana lopek. Tapi karena tidak tahu jalan, saya tersesat.." ujar Cio San sambil malu-malu.
"Wah ternyata anak ini dari kaum bu-lim [persilatan] ya" Mari-mari silahkan istirahat disini..." jawab si petani ramah.
Jaman itu kaum persilatan memang dihormati dan dikagumi rakyat jelata, karena terbukti mampu membebaskan tanah air dari penjajah Mongol.
Sehingga rakyat biasa jika bertemu dengan orang-orang kang-ouw pasti
akan hormat dan kagum. Si kakek petani yang merasa senang mendapat tamu orang kalangan Kang-
ouw itu malah bersemangat sekali untuk bercerita,
"Dulu sering sekali orang-orang kang-ouw lewat sini. Apalagi jaman
peperangan dengan penjajah mongol dulu. Daerah sini banyak dilewati
pahlawan-pahlawan. Saat itu aku masih kecil. Setelah peperangan, daerah ini jarang dilewati orang kang-ouw selama puluhan tahun. Baru beberapa tahun yang lalu ini, tempat ini mulai ramai lagi..." cerita si kakek.
"Mulai ramai" Apa sebabnya lopek?" tanya Cio San
"Orang-orang kang-ouw itu ramai-ramai mengejar buronan. Katanya
buronan ini adalah murid Butongpay yang murtad. Menurut cerita yang
kudengar, ia bersekongkol dengan seorang tukang masak. Mereka
membunuh salah seorang guru di Butongpay, lalu mencuri kitab sakti milik Butongpay. Bahkan ia sempat juga meracuni Ciangbunjin nya partai Butong itu" kata si kakek.
Seketika itu juga Cio San terhenyak. Untuknya ia sedang memakai topeng sehingga perubahan raut mukanya tidak terlihat. Ia lalu bertanya,
"Lalu apakah buronan itu sudah ditemukan?"
"Selama hampir 2 tahun orang-orang kang-ouw mencari-cari namun
katanya tiada hasil. Akhirnya setahun ini daerah ini sudah sepi lagi...eh, anak sendiri ini ke daerah sini apa mencari buronan itu juga?"
Cio San cepat menjawab, "Ah sebenarnya tidak mencari, hanya mau melihat-lihat keramaian. Tapi karena saya ini masih hijau, sering-sering tersesat. Dan juga banyak
hambatan di jalan. Akhirnya baru sekarang sampai kemari..."
"Ooo begitu, anak ini asalnya darimana" Dan namanya siapa?" tanya si
kakek lagi. Sadar bahwa dari tadi ia belum meperkenalkan, Cio San malah merasa
kurang sopan "Ah maaf lopek sejak tadi saya lupa memperkenalkan diri. Saya berasal dari sebuah desa di dekat Kanglam.Hanya desa kecil tidak terkenal. Sejak kecil saya suka belajar silat. Setelah dewasa ingin berkelana..."
Si Kakek tersenyum, cerita seperti itu memang sering terjadi, pikirnya.
"Lalu nama anak siapa?" tanyanya lagi
Agak gelagapan juga Cio San menjawabnya,
"Mmmm...nama...saya Tan Liang San...." jawabnya terbata-bata. Cepat juga ia berfikir tentang nama ini. Sebenarnya itu di ambil dari she [marga]
gurunya Tan Hoat, nama A Liang, dan juga namanya sendiri. Akhirnya
terciptalah nama Tan Liang San.
"Oooo,..she Tan ya. Kalau aku she Oey bernama Hoa." kata si kakek.
"Senang berkenalan dengan Oey-lopek" kata Cio San sambil memberi
hormat ala kaum bu-lim. Si kakek senang sekali menerima penghormatan seperti itu, ia pun
membalasnya. Selama ini orang-orang kangouw yang berkeliaran di daerah situ tidak ada satupun yang memberi hormat seperti itu kepadanya. Karena memang dalam pandangan kaum kangouw, orang-orang seperti petani tua
ini adalah kaum rendahan yang tidak perlu diberi hormat seperti itu.
Mereka ngobrol lama sekali. Bahkan Cio San pun bahkan membantu kakek
itu bekerja mengurusi sawahnya. Sambil bekerja, mereka tetap ngobrol-
ngobrol dengan riang. Dari obrolan itu setidaknya Cio San bisa mengerti perkembangan yang terjadi di dunia Kangouw.
Ternyata perguruannya, Butongpay telah mengeluarkan pengumuman
bahwa ia telah dipecat dari Butongpay. Perbuatannya telah membawa
kegemparan di dalam dunia kangouw, sehingga banyak dari golongan
Kangouw ini pun yang mengejar dan mencarinya.
Tapi Cio San paham bahwa sebenarnya bukan dirinyalah yang diincar
melainkan kitab silat sakti yang diduga telah dibawa olehnya. Karena
dibawah kolong langit, hanya 3 hal lah yang paling menarik bagi orang kangouw. Kitab silat sakti, senjata pusaka, atau harta karun.
Sedih juga Cio San mendengar bahwa ia telah dipecat oleh Butongpay.
Bahkan kini telah menjadi incaran orang-orang kangouw."Suatu saat nanti, aku harus membersihkan namaku" begitu pikirnya.
Si kakek menawarkan untuk bermalam di gubuknya. Cio San dengan senang hati menerima tawaran itu. Semalaman mereka pun bercerita pula. Cio San sangat senang mendengarkan karena ia sudah lama tidak mengobrol
dengan manusia. Sampai larut malam akhirnya mereka tertidur.
Pagi-pagi sekali Cio San sudah bangun. Ternyata si kakek sudah bangun lebih dulu. Sempat membantu si kakek membuat sarapan, kemudian Cio
San pergi mandi. Selsai mandi baru mereka berdua makan. Lalu Cio San
berpamitan. Si kakek memberikan sepasang sepatu miliknya. Cio San sudah berkali-kali menolak tetapi si kakek terus memaksa. Akhirnya agar tidak mengecewakan sang kakek, ia menerima juga sepatu itu. Ada rasa haru juga di hati Cio San ketika mereka berpisah. Padahal baru kenal sehari. Tapi Cio San memang orang yang halus hatinya.
Ia kini berjalan menyusuri jalanan yang menuju kepada sebuah desa
terdekat. Si kakek yang menunjukkan jalan itu kepadanya. Kata si kakek jalan itu menuju desa terdekat. Jaraknya lumayan jauh, mungkin tengah hari baru sampai ke desa itu. Tapi di sepanjang jalan Cio San bertemu dengan beberapa rumah penduduk. Nampaknya itu rumah para petani,
karena di sekitar rumah itu pun terlihat banyak sawah. Cio San kadang berpapasan dengan orang. Mereka menyapa dengan ramah. Rupanya
daerah situ sering didatangi orang asing sehingga mereka tidak terlalu curiga kepada Cio San.
Sampai tengah hari baru akhirnya desa itu kelihatan. Kelihatannya memang desa yang ramai. Melihat keadaan seperti itu, Cio San lantas teringat desa tempat ayahnya berasal. Dulu waktu kecil sering sekali ia berkunjung
kesana. Ketika sampai ke desa yang ramai ini. Cio San senang namun juga khawatir.
Ia senang karena sudah lama memang tidak bertemu manusia. Dulu ia
memutuskan untuk hidup saja di dalam goa adalah bukan karena ia tidak suka untuk hidup lagi di tengah keramaian. Melainkan karena ia khawatir.
Khawatir terseret oleh banyak sekali kepentingan orang-orang kangouw.
Sejak kecil, ia sudah merasakannya. Kedua orang tuanya dibunuh, keluarga besarnya, gurunya, sahabatnya. Semua terbunuh karena begitu banyak
kepentingan orang-orang kangouw ini. Ia masih belum tahu apa
penyebabnya semua orang-orang yang dekat dengannya terbunuh. Tapi ia
yakin pasti suatu saat ia akan mengetahuinya.
Kenyataan bahwa ia harus terseret dalam pusaran kepentingan orang-orang kangouw inilah yang membuat ia khawatir. Cio San memang mewarisi sifat ayahnya yang penyabar, penyayang, dan romantis. Sifat ayahnya yang tidak suka berkelahi, lemah lembut, dan tenang itu memang mengalir ke dalam dirinya.
Ia memang kini senang sekali belajar silat. Tetapi itu bukan karena akan ia pakai untuk berkelahi, melainkan semata-mata karena ia menyukai silat.
Ibarat orang yang menyukai mancing, ikan yang ia tangkap bukan untuk ia makan, melainkan ia lepas kembali. Proses menunggu, memancing, dan
tarik ulur dengan ikan lah yang dicari oleh orang yang suka mancing.
Begitulah pula Cio San dengan kesukaannya terhadap ilmu silat.
Akan tetapi Cio San pun mewarisi kegagahan dan rasa keadilan dari ibunya, yang adalah pendekar ternama Gobi-pay. Cio San tidak suka melihat ada orang yang ditindas, dicurangi, atau dirampas haknya. Dalam hati kecilnya ia selalu ingin membela atau melakukan sesuatu.
Bukannya ia pendendam, tetapi ia merasa orang harus mendapatkan apa
yang diusahakannya. Jika yang diusahakannya itu kebaikan, maka kebaikan pula yang ia dapat. Jika kejahatan, maka kejahatan juga yang ia dapat.
Dorongan inilah yang membuat muncul suatu tekad di dalam hati Cio San untuk membersihkan namanya, dan nama A Liang. Dan juga untuk mencari
keadilan atas kematian keluarganya, dan juga gurunya.
Akan tetapi Cio San memutuskan untuk melakukannya dengan tenang dan
perlahan, agar semua permasalahan menjadi jelas dan terang benderang.
Rupanya sifat ayahnya ini yang mendorongnya untuk bersikap seperti itu.
Sifat orangtua ini memang selalu mengalir kedalam anak-anaknya. Buah
memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Benar juga pameo ini. Gabungan antara sifat pendekar Gobipay yang gagah dan benci dengan ketidakadilan ditambah dengan sifat seorang sastrawan yang halus, lemah lembat, namun tajam dalam berfikir inilah yang menjadi sifat Cio San sekarang.
Sambil berjalan kaki, Cio San menikmati segala pemandangan yang
terhampar di depan matanya. Selama sekitar 3 tahun ia telah terperangkap di dalam kegelapan. Ada perasaan suka cita yang timbul juga di dalam hatinya ketika melihat segala pemandangan ini.
Akan tetapi pikirannya pun juga tak berhenti berfikir tentang bagaimana ia harus menghadapi dunia ini. Saat ini posisinya telah menjadi buronan.
Bahkan telah menjadi buruan kaum kangouw karena disangka ialah yang
telah mencuri kitab sakti itu.
Cio San memutuskan bahwa untuk sementara ia harus berdiam dulu di
suatu tempat. Tempat itu harus ramai oleh banyak orang sehingga cerita dan kejadian-kejadian yang terjadi di dunia Kangouw dapat diketahui dan dipahami olehnya secara keseluruhan.
Ia merasa sangat beruntung bahwa saat ini ia memakai topeng dari kulit ari ular. Entah siapa yang telah menolongnya dan memberikan ide
kepadanya. Dalam hatinya Cio San pun memutuskan untuk mencari tahu
siapa orang yang telah membantunya itu.
Dari pemikiran itu, Cio San mengambil keputusan bahwa ia harus bekerja dulu di sebuah rumah makan. Karena itulah keahlian yang dimilikinya selain kemampuan silat. Banyak sekali resep-resep masakan yang dikuasainya,
yang pasti akan membantunya agar bisa diterima di sebuah rumah makan.
Rumah makan adalah tempat semua orang berkumpul. Dari sanalah ia bisa mendengar cerita-cerita dan kejadian dunia kangouw. Mungkin langkah-langkah selanjutnya akan bisa ia putuskan setelah mengetahui apa-apa saja kabar dan berita dunia kangouw. Karena baginya, ia harus mengetahui
segala sesuatunya dulu sebelum mengambil langkah apapun.
Tersenyum dia memikirkan semua ini. Akhirnya ada jalan juga baginya
untuk mengetahui kebenaran. Walaupun jaraknya masih jauh sekali, tetapi langkah pertama akan dijalaninya. Cio San menatap ke depan dengan
gagah. "Dunia, aku datang......."
Bab 13 Di Sebuah Warung Kecil
Cio San beristirahat sejenak untuk menikmati keindahan alam desa yang asri dan indah itu. Berbasi-basi sebentar dengan penduduk disana. Cio San memperkenalkan dirinya sebagai Tan Liang San, seorang pemuda hijau yang sedang berkelana mengenal dunia.
Sama seperti kakek petani yang pertama kali ditemui Cio San, penduduk desa disitu pun menerima kehadiran Cio San dengan tangan terbuka.
Bahkan ada beberapa yang menawarkan Cio San untuk menginap di rumah
mereka. Dengan halus Cio San menolak tawaran itu dan berkata bahwa ia harus buru-buru sampai di kota terdekat.
Dari para penduduk Cio San kemudian mengetahui arah jalan menuju kota Liu Ya. Kota ini termasuk kota besar di daerah Kanglam. Menuju kesana membutuhkan jalan kaki yang cukup lama, serta penyebrangan sungai
menggunakan perahu. Setelah berpamitan dan memberi salam hormat, berangkatlah Cio San
menuju kota Liu Ya. Perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki cukup panjang. Dari tengah hari sampai hampir menjelang senja baru Cio San tiba di sebuah dermaga kecil tempat perahu penyebrangan.
Ternyata hanya ada beberapa perahu yang ada disana. Cio San mendekati salah seorang yang ada disana, setelah menyepakati harga dimulailah
perjalanan Cio San menyebrang sungai. Ini memang bukan penyebrangan
pertama baginya, akan tetapi Cio San senang juga. Sudah lama sekali ia tidak menaiki perahu. Kenangan indah tentang masa kecil bersama ayah
ibunya menaiki perahu sekejap terlintas di dalam pikirannya.
Di sepanjang perjalanan kembali Cio San mengagumi pemandangannya
yang indah. Banyak rumah dan desa yang berada di sekitar sungai itu. Cio San juga menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan si tukang perahu.
Banyak cerita yang ia dapatkan tentang keadaan kota Liu Ya. Ternyata
menyenangkan juga mengobrol dengan si tukang perahu itu.
Hari sudah mulai gelap ketika Cio San tiba di dermaga kota Liu Ya. Si tukang perahu sangat senang sekali ketika menerima pembayaran Cio San.
Ternyata kelebihannya banyak sekali. Cio San memang orang yang murah
hati sejak kecilnya. Begitu tiba di dermaga, Cio San memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Walaupun sudah mulai malam nampaknya kegiatan di dermaga itu tidak
pernah sepi. Banyak orang masih menyebrang, atau membongkar barang
muatan. Atau juga sekedar duduk-duduk di daerah dermaga itu.
Dari cerita si tukang perahu, Cio San tahu bahwa kebanyakan yang duduk-duduk itu adalah anggota Hai Liong Pang [perkumpulan Naga Lautan].
Mereka ini adalah perkumpulan yang menguasai dermaga-dermaga.
Perkumpulan sejenis ini sangat banyak, dan kadang menguasai daerah
tertentu. Kebetulan Hai Liong Pang ini yang menguasai dermaga-dermaga di daerah Kanglam. Ciri-ciri anggota Hai Liong Pang adalah menggunakan
sabuk besi berwarna hijau dengan hiasan kepala naga di sabuknya.
Si tukang perahu berpesan agar jangan mencari gara-gara dengan mereka.
Cio San pun memang tidak ada maksud untuk mencari perkara. Ia sebisa
mungkin tidak melakukan hal-hal yang akan menimbulkan keributan agar
tidak terjadi masalah yang tidak diinginkannya. Cio San sendiri pun memang tidak ada niat mencari perkara. Iya sendiri masih belum tahu apa yang ia lakukan di kota ini. Ia hanya ingin menikmati saja dulu keramaian ini.
Sekian lama hidup di dalam gua, membuat ia sedikit terasing, dan tertinggal pengetahuannya. Cio San memutuskan untuk sekedar mengobrol atau
mendengarkan pembicaraan orang-orang. Sekedar menambah
pengetahuannya atas apa yang terjadi di dunia ramai.
Sambil berjalan keluar dari dermaga, ia merasa kagum juga dengan
perkumpulan Hai Liong Pang itu. Mereka punya wibawa yang tinggi, dan
mampu mengatur dermaga dengan baik. Walaupun mereka berwajah
garang, mereka tetap bisa sopan kepada orang-orang di dermaga. Segala kegiatan di dermaga lumayan tertata rapi.
Kota Liu Ya, indah sekali di saat malam. Mungkin karena ini kota pelabuhan, Liu Ya sangat ramai. Lampion menyala dimana-mana. Di sepanjang jalan
terdapat warung dan toko-toko. Orang yang berjualan di pinggir jalan pun tak kalah banyak. Bangunan di kota ini terlihat megah dan besar-besar.
Sepertinya banyak orang kaya yang memilih tinggal disini. Mungkin karena kota pelabuhan seperti Liu Ya ini memang cocok untuk mengembangkan


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usaha dagang. Cio San memilih sebuah warung sederhana yang walaupun tidak terlalu
besar, tapi terlihat ramai. Ia ingin sekedar minum teh, dan mengisi perut.
Ketika memasuki warungnya, si pelayan dengan ramah mempersilahkannya
duduk. Untunglah masih ada sebuah bangku kosong di pojok warung itu.
Kagum juga Cio San melihat isi warung yang lumayan tertata rapi
Ia memesan seguci teh, sepiring nasi, sayur, dan daging. Tidak usah
menunggu terlalu lama, pesanannya sudah tiba. Ia pikir,, pantas saja
warung ini lumayan ramai. Pelayanannya lumayan menyenangkan. Rasa
makanannya walaupun tidak terlalu istimewa, sudah termasuk enak.
Sambil makan, Cio San memperhatikan sekelilingnya. Ramai orang di
warung ini rupanya sebagian besar dari kalangan Kang ouw (dunia
persilatan). Di lihat dari dandanan mereka, dan senjata yang mereka bawa.
Obrolan mereka pun seputar perkelahian dan dunia bu lim (kehidupan
persilatan). Percakapan yang kurang menarik, karena sebagian besar mereka hanya
menceritakan pertempuran-pertempuran yang mereka menangkan,
tentunya sambil ditambah-tambahi disana-sini.
"Saat aku menjatuhkannya, aku tidak perlu mengeluarkan pedangku dari
sarungnya. Ilmunya yang paling terkenal, Naga menjemput mangsa, cuma
kentut anak-anak. Hanya perlu beberapa jurus, sudah mampu kupecahkan
inti sari jurus andalannya itu" kata salah seorang.
"Lalu bagaimana kakak Bhok mengalahkannya" Pakai jurus apa?" Tanya
salah seorang "Cukup paka jurus ke 5 ilmu andalanku, Menyongsong Badai menguak tabir.
Begitu ia menyerang sambil melayang, aku sudah langsung melihat titik lemah serangannya, tanpa melolos pedang, segara ku totok titik hiat tit di lengan kirinya. Begitu tertotok, ia segera menyerah" jawabnya
"Terus?" "Ku tinggal pergi saja. Tentunya tidak lupa membawa perempuan yang
selama ini bersamanya. Hehehehe" jawabnya
"Oooh, berarti perempuan yang selama seminggu ini menemani kakak Bhok rupanya adalah gundik keparat itu" Pantas cantik sekali. Hahahahahahaah"
"Cantik memang, tapi bosan juga setiap hari perempuan itu menangis minta pulang. Aku bilang, "percuma kau pulang, si keparat Suma Kun Bun itu tidak bakalan menerima kau"
"Apa jawab si gundik?" Tanya temannya
"Dia cuma menangis saja, tapi setelah tidur bersama tiap hari, eh lama-lama tangisnya hilang. Dia malah minta tidur terus. Hahahahahahahah" jawabnya
"Ah perempuan itu ya begitu, bilang bosan, bilang takut, bilang marah, tapi kalau sudah diajak tidur, ya doyan juga" ucapan itu membuat seluruh isi warung tertawa. Maklum isinya laki-laki semua.
"Sekarang perempuan itu dimana, kakak Bhok?" Tanya salah seorang
"Di kamar penginapan" jawab orang yang dipanggil kakak Bhok itu.
"Wah, kau heras cepat-cepat pulang kakak Bhok, kalau dia kedinginan bisa masuk angin. Nanti harus kau lah juga yang mengkeroki punggungnya
dengan pedang "tumpul" mu" kata salah seorang, yang sudah pasti disambut dengan tawa gemuruh.
Obrolan saru macam ini, memang tidak lepas dari kehidupan Kang Ouw,
terutama mereka yang dari golongan Hek (hitam). Tapi golongan Pek (putih) pun kadang-kadang mengobrol seperti ini. Dulu waktu kecil, ketika ia sering diajak ibunya mengunjungi di beberapa tempat, ibunya menyuruh Cio San agar menutup kuping. Kadang-kadang karena rishi ibunya memilih untuk
mengajaknya pergi dari tempat-tempat dimana ada obrolan seperti ini.
Cuma karena Cio San memang masih kecil, ia kurang begitu paham maksud obrolan itu. Sekarang ketika sudah mulai dewasa, ia bisa mengerti kenapa ibunya selalu menyruhnya menutup kuping.
Warung mulai bertambah ramai. Cio San tak lupa memperhatikan siapa saja yang ada di warung itu. Memperhatikan senjata mereka, gaya berpakaian mereka, dan lain-lain. Sejak kecil ia memang suka memperhatikan sesuatu.
Banyak tamu yang pulang, tapi juga banyak tamu yang datang.
Mengikuti obrolan itu, tahulah Cio San, siapa-siapa saja yang ada di situ.
Orang yang disebut "kakak Bhok" itu bernama Bhok Gai Sun. Dia dijuluki Macan Barat. Makanya bajunya pun dari kulit macan. Bhok Gai Sun ini
walaupun bukan termasuk pendekar kelas atas, namanya lumayan terkenal.
Ia datang dari keluarga pemburu yang dikenal memiliki ilmu silat keluarga yang cukup baik. Tindak tanduk keluarga ini pun juga tidak terlalu tercela, walaupun juga tidak terlalu terkenal.
Teman-teman Bhok Gai Sun yang ada di warung itu pun juga adalah orang-orang kasta menengah di dunia kang ouw. Bukan pendekar-pendekar nomer satu, tapi juga bukan orang-orang lemah yang bisa dianggap enteng. Ada beberapa nama yang dikenal Cio San, seperti Oey See Kang, si malaikat wajah Iblis. Ada juga Tio Tay Li, orang dari Tionggoan selatan yang terkenal dengan jarum beracunnya. Nama-nama ini pernah Cio San dengar sekilas
saat masih di Bu Tong san. Nama-nama lain yang ada di warung ini tidak pernah Cio San dengar.
"Kalau menurut kaka Bhok, siapa pendekar nomer satu di dunia ini yang masih hidup?" Tanya Oey See Kang.
"Menurutku" Wah banyak sekali yang masuk daftarku. Mereka harus diadu, baru bisa lihat siapa yang nomer satu"
"Siapa saja itu?" Tanya Oey See Kang lagi.
"Ciangbunjin Bu Tong Pay (ketua Butong pay), Lau Tian Liong. Ciangbunjin Siau Lim Pay(ketua siau lim pay), biksu Hong Tung, dan Ciangbunjin Mo Kau (ketua partai iblis) , Ang Soat.. Ketiga pemimpin partai besar ini pantas dijuluki pendekar nomer satu" kata Bhok Gai Sun.
"Bagaimana dengan si Pendekar Kelana, Hu Liu Hoa?" Tanya Oey See Kang lagi,
"Ah pendekar kelana ini, tidak pernah ada kabar. Tindak tanduknya pun sangat misterius. Tidak pernah ada orang yang bisa melihatnya. Hanya
kalau berindak, meninggalkan nama dengan goresan pedang. Aku sendiri
tidak yakin orang ini betul-betul ada atau hanya dongeng saja." Sahut Bhok Gai Sun.
"Tapi banyak pendekar yang mengaku kalah olehnya" sahut salah seorang.
"Entahlah. Bisa saja mereka mengaku kalah dan terluka oleh si Pendekar kelana, hanya supaya menutup malu. Cerita itu bisa saja mereka karang-karang supaya terlihat hebat, kalah oleh si pendekar kelana" kata Bhok Gai Sun.
"Ah bisa juga seperti itu ya" kata hamper semua orang yang ada di situ sambil mengangguk-angguk. Memang orang kang-ouw itu senang
mendengar cerita seperti itu. Mereka kebanyakan senang jika ada pendekar lain yang kalah. Membuat mereka sedikit lega, bahwa ilmu silat mereka masih diatas pendekar-pendekar yang kalah itu.
"Nah itu kan pendekar kelas atas, angkatan tua. Semua orang mengakuinya, Bagaimana dengan yang angkatan muda?" Tanya salah seorang.
"Kalau angkatan muda, hmmm, tidak ada yang mampu mengalahkan
pangcu (ketua) dari Kay Pang, orang she (marga) Ji bernama Hau Leng"
kata Bhok Gai Sun. "Ah benar..benar. Ji Hau Leng memang terkenal sekali. Masih muda,
tampan, dan sudah mengepalai partai terbesar di Tiong Goan. Jumlah
anggota tidak resminya saja mencapai puluhan ribu" orang-orang
mengangguk tanda setuju. "Tapi jangan lupa juga, dengan pendekar muda dari Bu Tong Pay, si Naga Harum, Beng Liong" kata Oey See Kang.
Cio San terhenyak, Bhok Gai Sun berkata, "Ya benar, aku baru saja mau menyebut namanya.
Dia pendekar muda gagah, yang tindak tanduknya gagah. Cuma memang
sepertinya ilmunya masih dibawah Ji Hau Leng. Namun melihat tindak
tanduknya yang tidak kalah gagah, rasa-rasanya dia memang masuk dalam kelas pendekar muda nomer satu. Umurnya baru 20, mungkin juga belum
genap. Beda 7 tahun dengan Ji Hau Leng. Tapi rasa-rasanya ilmu mereka ya tidak begitu beda jauh. Masalah tampang, ya masih menang Beng Liong.
Cara berpakaiannya pun mengagumkan. Rasanya, kalau masalah
menjatuhkan perempuan, si Beng Liong jelas lebih unggul dari Ji Hau Leng."
Kalimat terakhir ini membuat yang hadir tertawa terbahak-bahak.
"Memang Beng Liong ini tampan dan gagah. Aku sudah pernah bertemu
dengannya sekali. Itu pun hanya melihat dari jauh. Aku saja yang laki-laki ini iri dengan tampangnya. Kenapa bukan tampangku yang sepert itu ya"
Hahahahahaha" ujar salah seorang.
"Iya, dia tampan sekali. Tindak tanduknya pun gagah. Dengar-dengar, ia tidak pernah mau membunuh orang ya" Walalupun itu perampok ganas
sekali pun, jika sudah kalah dan menyerah, pasti diampuni Beng Liong."
"Yang kudengar juga seperti itu, ia pun wangi sekali. Dari jauh saja
wanginya sudah sampai ke hidungku. Kadang ada orang yang wanginya itu menyenangkan. Aku tidak suka wangi-wangian yang keterlaluan. Tapi
wanginya si Beng Liong ini memang lembut sekali. Seperti wangi bayi.
Kudengar dari obrolan orang, sejak kecil tubuh Beng Liong memang sudah direndam orang tuanya di ramuan khusus. Makanya tubuhnya lah yang
wangi. Bukan wangi-wangi buatan yang biasa kita semprot di pakaian kita untuk menutupi bau keringat kita yang seperti cuka. hahahahahaha" seluruh ruangan tertawa, Cio San pun ikut tertawa. Sekian lama bersama Beng
Liong dulu di Bu Tong San, memang tubuh Beng Liong sangat harum. Saat berkeringat, harumnya pun semakin bertambah. Dulu Cio San mengira Beng Liong memakai pewangi khusus, tahunya ternyata sejak kecil memang ada memakai ramuan khusus.
"Jelas Beng Liong ini jadi pujaan hati perempuan. Kalo dibandingkan dengan ketua perkempulan pengemis yang kotor dan bajunya penuh tambal, jelas menang kelas lah. Hehe. Eh,,kakak Bhok, bicara tentang perempuan, siapa dari golongan muda, yang merupakan pendekar perempuan kelas atas?"
Tanya Tio Tay Li. "Aha, kalo bicara perempuan, inilah kehebatanku, haha. Menurutku,
pendekar wanita paling mantap adalah Khu Ling Ling. Huaaaaa,,dia cantik sekali." Kata Bhok Gai Sun, sambil membelalakkan mata, dan menjlita liur di lidahnya.
"Maksud kakak Bhok, Khu Ling Ling dari keluarga Khu yang terkenal itu?"
"Benar. Umurnya baru 19 tahun. Tindak tanduknya pun gagah. Wajahnya
cantik sekali, bagai dewi dari khayangan. Aku belum pernah melihat
perempuan secantik itu. Umurnya masih muda tapi sudah memiliki ilmu silat kelas atas. Guru-gurunya pun bukan orang sembarangan. Keluarga Khu
memang sangat kaya sanpai-sampai bisa mendatangkan guru-guru dan
pesilat hebat semua" kata Bhok Gai Sun.
"Bicara tentang keluarga Khu, memang tidak ada habis-habisnya, kakak
Bhok. Mereka itu keluarga paling kaya di Tiong goan (daratan china).
Keluarganya pun unik sekali." Kata Oey See Kang.
"Eh, kau tau juga tentang keluarga Khu" Tanya orang she (marga) Bhok
"Ah, siapa di kolong langit ini yang tidak kenal dengan keluarga Khu. Khu-Hujin (nyonya besar) Khu adalah salah satu wanita paling terkenal di toing goan. Hanya orang pikun yang belum pernah dengar namanya"
Lanjutnya, "Nyonya Khu ini, walaupun dipanggil nyonya, seumur hidup
belum pernah menikah. Umurnya sudah sekitar 70 tahun. Tapi amat cantik dan awet mude seperti wanita umur 40 tahunan. Rambutnya masih hitam
semua. Karena tidak pernah menikah, beliau hanya memiliki anak angkat.
Beliau memiliki 3 anak angkat. Semuanya menggunakan she (marga) Khu
juga. Yang pertama Khu Ho, yang sekarang menjadi jendral di istana. Yang kedua seorang wanita bernama Khu Swat Ing, dia menikah dengan seorang saudagar kaya juga, malah kekayaan keluarga Khu dan kekayaan keluarga itu sudah disatukan menjadi usaha dagang terbesar di Tiong goan ini. Anak nyonya Khu yang terakhir adalah Khu Kun Tiong. Seorang penggemar ilmu silat, namun bakatnya tidak besar. Si Khu Kun Tiong inilah ayah dari Khu Ling Ling. Dia berkuasa di seluruh Kang Lam. Usaha dagangnya amat maju, dan termasuk punya nama di kalangan Kang-ouw" jelas Oey See Kang.
"Ya benar" sahut salah seorang, "Yang ku dengar, keluarga Khu ini memang kaya sekali. Khu hujin (nyonya Khu) ini memang lahir dari keluarga
saudagar. Ia anak tunggal. Berkat kerja kerasnya, ia mampu membangun
usaha dagang yang sangat besar dan berpengaruh. Kekayaan keluarga ini sudah tak bisa dihitung dan dibayangkan. Kata orang, jika kau keluar dari gerbang rumah mereka, dan membedal kudamu selama sepuluh hari
berturut-turut sekencang-kencangnya, kau masih akan tetap dalam tanah milik keluarga mereka."
Orang-orang di dalam warung menggumam terkagum-kagum. Tidak
terkecuali Cio San. Seumur hidup dia tidak bisa membayangkan ada orang sekaya itu.
"Usaha dagang keluarga ini sangat maju, hingga setiap kota dan desa di tionggoan ini salah satunya pasti ada cabang toko atau usaha milik keluarga Khu. Kalian bisa bayangkan betapa kayanya mereka. Apalagi anak sulung nyonya Khu adalah jenderal di kotaraja. Ini semakin menguatkan posisi keluarga Khu di mata orang"
"Belum lagi ditambah, anak keduanya itu yang menikah dengan saudagar
kaya juga. Bertambahlah kekayaan mereka. Cuma memang yang paling
dikenal orang0orang kang ouw, adalah anak bungsunya itu Khu Kun Tiong.
Ia akrab dengan orang-orang Kang Ouw, dan juga tindak tanduknya
lumayan gagah. Ia sering menolong banyak orang. Sumbangan-sumbangan
uang dan kebutuhan pokok pun tidak pernah berhenti. Orang-orang yang
tinggal di tempat ia tinggal semua merasakan "cipratan" nya."
" Ah bosan aku membahas keluarga ini. Cerita yang sama ku dengar
berulang-ulang. Aku lebih tertarik membahas Khu Ling Ling, hehehehe" kata Bhok Gai Sun. Ia melanjutkan, "Eh apa kalian tahu siapa saja guru Khu Ling Ling?"
Tanpa menunggu orang-orang menjawab, ia sudah melanjutkan lagi,
"Guru-guru Khu Ling Ling, ada 4 orang. Setahuku ada Nikoh sakti dari Go Bi Pay, dialah pemimpin Go Bay yang baru bernama Bu Goat. Walaupun
ilmunya masih dibawah ciangbunjin partai besar yang lain, tapi jelas
namanya masuk 5 besar orang-orang paling sakti di kang ouw pada jaman ini. Selain Bu Got, Khu Ling Ling juga belajar dari pendekar pengalana yang juga sakti bernama Chin Yoksu. Ada lagi satu orang guru yang aku lupa namanya. Tapi seingatku guru ini juga perempuan. Dia tidak begitu sakti ilmu silatnya, namun memiliki ilmu menukar wajah, alias menyamar."
"Apa yang kakak Bhok maksud, si dewi 100 wajah, Lu Pek Lian?" Tanya
salah seorang "Ya benar, si dewi 100 wajah. Konon yang katanya tidak ada seorang pun yang tahu wajah aslinya itu"
Mendengar ini Cio San teringat sesuatu. Dulu rasa-rasanya ketika masih kecil sekali, ia pernah diajak ibunya pergi ke rumah keluarga Khu Kun Tiong ini. Entah urusan apa, Cio San tidak begitu jelas. Yang pasti mungkin urusan Go Bi Pay, karena ibunya adalah murid Go Bi Pay. Cio San juga ingat
beremu seorang gadis kecil yang cantik sekali. Mungkinkah gadis itu adalah Khu Ling Ling yang dimaksud orang-orang itu" Entahlah.
"Eh teman-teman, aku harus pulang dulu, gundik ku nanti kedinginan, aku pun tahu-tahu kepingin tidur setelah kita membicarakan Khu Ling Ling,, hahahahahah" tawa Bhok Gai Sun.
"Hahaha,kita ini para laki-laki, kalau sudah terkena urusan perempuan harus segera disalurkan. Kalau tidak bisa jadi penyakit. Ayo kakak Bhok, aku juga mau mampir dulu ke Rumah Teng Teng"
mendengar rumah Teng Teng disebut, semua orang tertawa terbahak-
bahak. Ramai-ramai mereka pun berdiri dan menyahut, "Aku ikut-aku ikut"
Tak berapa lama, warung pun sepi. Cio San pun tertawa. Ia membayar
makan dan minumnya lalu ikut keluar juga.
Bab 14 Dua Orang Yang mencurigakan
Cio San keluar warung sederhana itu. Di luar masih ramai saja. Orang-orang disini berjualan sampai larut malam nampaknya. Sebuah ciri kota besar. Cio San berjalan tak tentu arah. Awalnya dia ingin mengikuti rombongan orang-orang tadi ke rumah Teng Teng. Namun ia membatalkan niatnya. Sedikit
banyak Cio San paham seperti apa rumah Teng Teng itu. Ayahnya pernah
bercerita bahwa ada sejenis rumah, yang isinya wanita-wanita cantik. Di situ banyak lelaki menghabiskan uang dan waktunya. Untuk bersenang-senang
tentunya. Rumah Teng Teng ini mungkin merupakan salah satu dari jenis rumah tersebut.
Ia berjalan dengan santai, sambil memperhatikan sekitarnya. Cio San pun mulai menghafal jalan. Daya ingatnya sejak kecil memang sangat baik.
Sekali tahu, tidak akan lupa. Cio San mencoba mengatur pernafasan, dan mengerahkan tenaga dalam. Walaupun belum pulih seluruhnya, setidaknya 8 dari sepuluh bagian tenaganya sudah pulih.
Sambil menkmati pemandangan megah dan keramaian, ia mengingat-ingat
tempat-tempat apa saja yang ia lalui. Ada toko pakaian, restoran-restoran makan, penginapan, toko bahan makan, toko baju, toko obat. Toko obat"
Wah tempat yang dicarinya.
Ia membeli beberapa bahan obat yang tidak didapatinya di hutan dan di sepanjang perjalanannya. Toko Obat ini lumayan lengkap bahan-bahannya.
Si pemilik toko obat ini juga lumayan heran dengan pengetahuan Cio San tentang obat-obatan. Ketika ditanya "belajar di mana?" , Cio San menjawab bahwa ia tidak paham obat, dan hanya membeli berdasarkan pesanan
tuannya yang sedang tinggal sementara di penginapan.
Selesai membeli obat, Cio San pun keluar. Pandangan matanya tak sengaja melihat dua orang yang berdiri mengobrol tak jauh dari pintu toko obat.
"Hmmm, aku melihat dua orang ini di dermaga, dan juga kemudian di
warung tadi. Mereka masuk ke warung tak berapa lama setelah aku"
Ada perasaan curiga di hati Cio San. Pengalamannya selama ini, sejak dari kecil ia sekeluarga dikejar-kejar orang. Lalu kemudian kejadian di Bu Tong San, membuat Cio San semakin waspada.
"Apakah kedua orang ini membuntuti aku?" tanyanya dalam hati. Cio San memutuskan untuk menguji saja.
Ia berjalan dengan santai. Dari perasaannya yang tajam, ia tahu kedua orang itu pun berjalan di belakangnya. Cio San mempercepat langkahnya, sambil pura-pura melihat keramaian. Kedua orang di belakangnya pun
berjalan cepat. Ia belok masuk ke sebuah gang. Lalu sebelum kedua orang itu ikut membelok, ia secepat kilat menggunakan ilmu ringan tubuhnya.
Sekejap mata Cio San telah berada jauh, dan menghilang ke gang yang lain.
Lama ia menunggu di gang itu, berpura-pura melihat barang-barang yang ada di toko kecil yang kebetulan berada di gang itu. Tak lama kedua orang itu pun muncul lagi. Cio San kini hampir yakin bahwa kedua orang itu
memang membuntutinya. Ia melakukan cara yang sama beberapa kali untuk memastikan. Ia berjalan pelan, memasuki keramaian, belok gang, lalu menghilang. Setiap kali kedua orang itu tertinggal jauh, namun selalu tepat mengetahui jalan mana saja yang diambil Cio San.
Kini ia sepenuhnya yakin ia sedang diikuti. Cio San sudah hampir berkeliling separuh pusat kota ini, dan ia telah hafal jalan dan gang-gang sempitnya.
Sekali lagi Cio San melakukan hal yang sama, jalan lambat, cepat, lalu menghilang di balik gang. Ia kini memilih gang sempit yang sunyi. Kebetulan gang itu pun buntu. Dalam gang buntu yang sempit dan gelap itu. Ia
melayang ka atas atap. Kakinya menginjak genteng dengan tanpa suara
sedikitpun. Tak lama kedua orang itu pun muncul di gang. Mereka kaget ketika ternyata gang itu adalah gang buntu. Salah satunya berbisik, "Ah gang buntu
rupanya, kemana dia?"
Suara bisikan itu sangat pelan, hampir tak terdengar. Tapi seluruh indra Cio San sudah terlatih sejak 3 tahun di dalam gua. Matanya sangat tajam dalam kegelapan. Telinganya sangat tajam mendengar suara sekecil apapun.
Tau-tau Cio San muncul di hadapan kedua orang itu. Mereka kaget setengah mati saat tau-tau Cio San sudah ada di hadapan mereka.
"Apakah tuan-tuan mencari boanpwee (sebutan untuk merendahkan diri)?"
Tanya Cio San sambil tersenyum.
Mereka kaget, tapi masih bisa menjaga gengsi, "Benar, kami mencarimu.
Kami adalah anggota Hai Liong Pang. Kami curiga kau mencuri sesuatu di dermaga, harap ikut kami ke markas pusat untuk di geledah"
"Baiklah" kata Cio San sambil tersenyum.
Kedua orang itu pun tersenyum, mungkin dalam pikiran mereka, gampang
sekali menaklukan orang ini. Tanpa harus melakukan perlawanan. Tapi
sebelum senyum mereka menghilang, tau tau tubuh mereka telah tertotok.
"Cepat kalian mengaku, apa maksud kalian sebenarnya". Sudah jelas kalian bukan orang Hai Liong Pang" Tanya Cio San
"Kami benar-benar orang Hai Liong Pang. Lihat sabuk tanda anggota kami.
Apa kau berani macam-macam dengan kami" ketahuilah bahwa
perkumpulan kami menguasai seluruh kota ini. Kau tak akan sanggup
macam-macam jika berurusan dengan kami" kata salah seorang..
"Jika aku memang dituduh mencuri, kenapa kalian repot-repot menguntitku"
Kalian bisa saja menangkapku saat aku sedang di warung, bukan?" Tanya Cio San
"Eh,..eh...kami harus memastikan dulu,...apa benar kau orang yang kalian cari" jawab salah seorang tergagap.
Cio San tersenyum, itu jelas jawaban mengada-ada. Ia bertanya lagi,
"Kalian berdua kan anggota perkumpulan terbesar disini, mengapa jalan saja tidak hapal" Kalian bahkan tidak tau kalau gang ini buntu bukan?"
" Kami...kami...."
Belum selesai omongan mereka, mata mereka melotot dan tubuh mereka
mengejang. Cio San kaget dan paham bahwa seseorang telah menyerang
kedua orang itu. Dengan sigap ia melompat ke arah datangnya suara.
Mungkin dari atas atap di belakang kedua orang itu. Namun begitu sampai diatas atap, tidak ada siapa-siapa disitu.
Ia melengok ke bawah dan melihat begitu banyak orang di pasar.
Bagaimana mungkin ia bisa mencari pelakunya di tengah pasar yang ramai.
"Seseorang membunuh mereka. Ia tidak mungkin berada di atas atap ini, karena aku pasti akan tahu. Kemungkinan besar, ia berada di seberang
jalan, di atap rumah lain yang dekat dengan pasar. Ilmu melempar am gi (senjata rahasia) nya hebat sekali. Dari jarak sejauh itu, ia bisa melempar dengan tepat" pikir Cio San
Ia memeriksa tubuh kedua orang itu, tapi ia bergidik ngeri ternyata mayat kedua orang itu sudah hangus menghitam. Cio San menyesal sekali tidak dapat menyelamatkan mereka.
"Aku seharusnya lebih waspada. Aku sudah dengar suara lemparan Am Gi
itu, tapi tidak bereaksi cepat. Ku pikir hanya sekedar suara yang berasal dari pasar. Cio San, kau harus lebih waspada, dan pintar" Ia berkata pada
dirinya. "Kedua orang ini pastilah orang suruhan. Mereka dibunuh untuk menutupi jejak. Mereka pasti bukan anggota Hai Liong Pang, dan hanya menyamar.
Tapi bagaimana mereka bisa mengikuti jejak ku. Setiap aku bergerak cepat dan menghilang, mereka pasti bisa menemukan jejakku. Apakah ada dari
bagian tubuhku yang meninggalkan jejak" Apakah bau badanku" Ataukah
jejak kaki". Bau badan jelas tidak mungkin, karena di daerah seramai ini, amat sulit membedakan bau badan. Jejak kaki pun sulit, karena daerah ini pun ramai dengan jejak kaki orang..."
Ia berfikir keras. Lalu ia mencopot sepatu dan memperhatikan bagian bawah telapak sepatunya. Ternyata di situ ada dua buah kayu kecil yang timbul.
Jika dipakai, kedua kayu kecil itu menandakan bekas kecil di tanah. Kecil saja, namun jelas bagi siapa yang mau memperhatikan.
"Kakek petani itu...yang memberikan sepatu kepadaku"., dia..dia.." Cio San sangat kaget. Dunia memang sungguh asing baginya.
Kejadian ini memang sungguh aneh baginya, tapi juga masuk akal.
Pertama-tama, kakek petani itu pasti memberikan sepatu yang memiliki
penanda jejak di kakinya. Sesudah itu ia bisa saja mengirimkan pesan
kepada orang-orangnya di dermaga. Mungkin dengan menggunakan burung
merpati. Karena itu satu-satunya cara menyampaikan pesan dengan cepat dan tepat, tanpa dicurigai.
Lalu setelah menerima pesan, kedua anggota itu lalu menguntitnya. Ciri-ciriya sudah ketahuan. Tinggal mengikuti tanda jejak sepatunya saja. Tapi buat apa membuntutinya" Ia tidak memiliki harta apa-apa. Tidak memiliki pusaka apa-apa yang bisa diperebutkan. Satu-satunya kemungkinan yang
paling masuk akal adalah: Kakek petani itu tahu siapa Cio San.
Tetapi dari mana kakek itu tau". Tidak ada ciri-ciri mencurigakan pada diri Cio San. Bagaimana mungkin kakek ini tahu, bahwa dialah buronoan Bu
Tong Pay yang juga menjadi incaran kaum kang ouw. Lalu jika kakek itu tahu, kenapa sejak awal tidak menangkapnya" Malah menyuruh orang
menguntitnya. Otak Cio San berfikir keras sekali. Tak terasa ia bergidik juga. Dunia kang ouw penuh intrik, misteri, dan rahasia-rahasia yang tak dimengertinya. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah penginapan di dekat situ.
"Malam ini, aku mungkin tidak dapat tidur, dan harus menguras pikiranku.
Mulai saat ini, hidupku mungkin akan selalu "ramai". Tak ada waktu
sedikitpun untuk hidup bebas lepas. Rahasia-rahasia ini harus terpecahkan.
Hidupku, mulai saat ini tak akan pernah tenang. Akan ada pembunuhan
rahasia, akan ada penguntitan, akan ada banyak hal. Waspada dan
waspada. Hanya itu yang bisa ku lakukan."
Ia kini di pembaringan. Memutar otak dengan keras terhadap apa yang baru saja terjadi.
Bab 15 Pekerjaan Yang Disukai
Cio San tak bisa tidur sampai pagi. Pikirannya berputar untuk memecahkan permasalahan ini. Mengapa banyak sekali kejadian aneh" Mengapa banyak sekali orang yang membayang-bayangi dirinya". Siapa orang yang
meberikannya baju dan mengajarkannya cara membuat topeng" Siapa
kakek yang memberikannya sepatu" Apakah MEREKA ORANG YANG SAMA"
Siapa dua orang yang menguntitnya" Apa mau mereka" Mengapa mereka
dibunuh" Siapa pembunuhnya"
Berbagai macam pertanyaan dalam benaknya membuat ia tak bisa tidur.
Berusaha sedemikian keras pun, ia tidak sanggup memecahkan jawabannya.
Akhirnya Cio San memutuskan untuk tidur. Walaupun cahaya merah baru
saja timbul di ufuk langit, dan kehidupan pagi sudah akan dimulai, Cio San memutuskan untuk tidur. Ia harus mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya.
Perjalanan hidup yang penuh bahaya dan rahasia baru saja akan ia mulai. Ia harus mengumpulkan tenaga, dan menjernihkan pikirannya/ Ia telah
memutuskan, apapun yang terjadi pada dirinya, ia akan tidur dengan pulas.
Dan Cio San pun tertidur. Dengan tersenyum
Tengah hari baru Cio San terbangun. Tubuhnya terasa sangat segar. Ia lalu bangun, membuka jendela dan membiarkan matahari masuk. Cerah sekali
hari itu. Suara orang ramai di luar menjadi suara hiburan baginya.
Menyenangkan sekali mendengarkan keramaian setelah hidup sekian lama
di dalam kesunyian, Begitu membuka pintu kamarnya, ternyata sudah ada sarapan yang sudah
disiapkan di meja depan pintunya. Tanpa ragu Cio San membawanya
masuk, dan mulai menghabiskannya. Ia tidak perduli apakah makanan itu beracun atau tidak. Karena ia yakin, jika orang yang membuntutinya ingin membunuhnya, pasti bisa ia lakukan sejak dari lama, atau sejak Cio San tertidur. Ia malah menganggap orang yang membuntutinya itu adalah


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejenis malaikat penjaga bagi dirinya.
Setelah makan, Cio San mulai meracik obat yang semalam dia beli. Ini
sejenis obat untuk memulihkan tenaga yang ia baca dari buku resep A
Liang. Tidak sampai menunggu lama, khasiat obat itu bekerja cepat sekali.
Cio San tidak paham bahwa bukan obat itu yang bekerja dengan cepat,
namun tubuhnya lah yang mampu sembuh dan bekerja dengan cepat.
Karena tubuh Cio San bukanlah tubuhnya yang dulu yang sering sakit-
sakitan. Di dunia ini, mungkin tubuh Cio San lah yang paling sehat, dan paling aneh kerjanya.
Dia lalu melatih segala gerakan-gerakan silat yang dipelajarinya, dan diciptakannya di dalam gua,
"Heran, kenapa setiap aku melatih gerakan-gerakan ini, rasanya seperti kaku dan kurang mengalir" Apakah karena aku salah menghafal, ataukah
ada rahasia yang belum kupahami?" pikir Cio San dalam hati. Walaupun
begitu ia tetap melakukan latihan sampai selesai.
Begitu latihan selesai, Cio San mandi dan membersihkan diri. Tubuhnya terasa sangat segar dan penuh kekuatan. Tampaknya tenaga dalamnya
sudah pulih seluruhnya. Dengan tubuh yang segar, dan pikiran yang jernih Cio San kini telah siap menghadapi dunia.
Topeng kulit ular selalu dipakainya untuk menutup wajahnya.
"Hmmm, walaupun wajahku terlihat aneh dan pucat, topeng ini nyaman
sekali dipakai. Orang tak akan bisa mengetahui bahwa ini adalah sebuah topeng."
Begitu semua selesai, Cio San memutuskan untuk jalan-jalan. Walaupun ia belum bisa memecahkan rahasia-rahasia yang terjadi di sekelilingnya, ia tak menganggapnya sebagai beban lagi. "Apa yang terjadi, terjadilah." Begitu pikirnya. Masalah akan selesai, jika saatnya tiba. Berpikir begitu, serasa langkahnya menjadi ringan, dunianya cerah, dan hatinya lapang.
Kota Liu Ya sama indahnya di waktu malam dan siang. Kota ini walau ramai, tapi bersih sekali. Belum pernah Cio San melihat kota sebersih ini, bahkan kotaraja pun mungkin kalah bersih. Walaupun tengah hari, kota ini terasa sejuk karena banyak pohon rindang.
Saat berjalan-jalan, ia melihat beberapa anggota Hai Liong Pang yang lewat.
Wajah mereka sedikit tegang. Karena tertarik, Cio San memilih untuk
membuntuti mereka. Seumur hidup Cio San belum pernah membuntuti
orang. Pengalaman pertama ini membuatnya merasa bersemangat, dan
berharap mendapatkan pelajaran dari pengalaman pertama ini.
Cio San mengerahkan konsentrasi pada pendengarannya yang sangat tajam itu,
"Siapa dua mayat ditemukan di gang sempit dekat toko Fuk Cay itu" Mereka berpakaian seperti perkumpulan kita, tapi bukan anggota kita" kata salah seorang
"Itulah makanya tadi kita semua dikumpulkan dan dihitung jumlahnya,
lengkap 430 orang. Tidak berkurang satupun. Lalu mayat dua orang itu
siapa, ya?" "Menurutku mungkin itu orang yang ingin menyamar saja menjadi anggota kita, supaya bisa mengambil keuntungan menggunakan nama kita"
"Iya, ketua juga bilang begitu, makanya kita disuruh membuka mata dan telinga, supaya bisa lihat kalau-kalau ada yang mencurigakan."
Mendengar ini Cio San merasa gembira, bahwa dugaannya semalam benar.
Kedua orang yang mati itu bukan anggota Hai Liong Pang.
Cio San masih menguntit mereka beberapa lama, dengan hati-hati. Tapi
ketika ia merasa bahwa apa yang diomongkan anggota-anggota Hai Liong
Pang itu sudah tidak menarik hatinya lagi, ia memutuskan untuk berhenti menguntit mereka.
Ia kini berjalan-jalan saja sekenanya mengelilingi pusat kota. Sebagian jalan telah dihafalnya, ia memilih untuk mencari jalan yang belum pernah
dilewatinya, Tak lama berjalan, mata Cio San tertumbuk kepada sebuah
bangunan yang lumayan menarik hatinya. Bangunan itu terlihat kumuh, tua, dan tak terawat. Beda sekali dengan bangunan sekelilingnya yang megah, rapi, dan terawatt.
Setelah didekati, ternyata bangunan itu adalah sebuah restoran tempat makan. Tapi sepi sekali. Di dalamnya hanya ada dua orang. Pelayan yang menunggu di dekat pintu, dan seorang lagi yang duduk di balik meja kasir.
Karena tertarik, Cio San memasuki restoran itu,
"Wah selamat datang tuan"selamat datang..silahkan duduk, mau pesan
apa?" sambut si pelayan yang berdiri di depan pintu.
"Apa saja masakan khas restoran ini?" Tanya Cio San sambil tersenyum
"Eh, kami punya berbagai macam masakan, tapi andalan kami adalah bebek peking panggang saus khusus. Juga sayuran manis kuah daging. Itu
kesukaan tamu-tamu" jawab si pelayan sambil tersenyum ramah.
"Baiklah, bawakan aku makanan itu ya, dengan semangkok nasi dan seguci teh"
Cio San menunggu lama sekali, baru pesanan itu datang. Dari baunya pun Cio San tahu kalo masakan itu agak hangus. Dan sesuai tebakannya,
masakannya rasanya tidak enak!
Perlu waktu yang lama sekali bagi Cio San untuk bisa makan masakan itu.
Ia memakannya sedikit-sedikit. Tehnya pun rasanya hambar sekali. Karena tidak kuat akhirnya Cio San berhenti makan.
"Tuan, ada pesanan apa lagi, kami punya beberapa masakan yang patut
dicoba" Tanya si pelayan
"Ah tidak, terima kasih, aku sudah kenyang. Berapa harga makanan ini?"
Si pelayan tidak menjawab, ia malah melihat ke arah meja kasir.
Orang yang berada di balik meja kasir itu pun juga tidak menjawab. Hanya melihat Cio San.
"Berapa?" Cio San bertanya sekali lagi masih dengan tersenyum.
"Eh, tuan".eh?" si kasir terbata-bata.
Cio San juga tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandang dengan
pandangan bertanya. "Sebenarnya..sebenarnya?" si kasir masih terbata-bata
"Sebenarnya ada apa?" Tanya Cio San. Ia masih tersenyum, walaupun
senyumnya kini juga diwarnai rasa ingin tahu.
"Ah aku tidak tahu harus bilang apa"." Kata si kasir.
"Katakan saja apa yang ingin anda katakana, tuan.." kata Cio San
"Bagaimana rasa masakan kami tuan?" Tanya si kasir
Cio San tersenyum, "Aku harus jujur tuan, tukang masak anda sepertinya harus banyak belajar lagi"
Garis wajah sendu di wajah kasir tua itu semakin terlihat.
"Se"sebenarnya..anda adalah pelanggan pertama kami, setelah dua bulan ini" kata kasir
"Dua bulan" Memangnya kenapa" Cio San tidak perlu bertanya, dalam hati dia tahu kalau tidak ada orang yang mau makan makanan yang rasanya
seperti tadi. "Eh".Istriku meninggal 3 bulan yang lalu. Awalnya restoran kami ramai.
Tapi setelah dia meninggal, tidak ada lagi yang bisa masak enak." Kata kasir
"Ah?" Cio San telah paham, "Jadi sekarang siapa yang masak?" Tanya Cio San.
"Anakku, Mey Lan?" kata kasir
"Kenapa engkau tidak menggaji tukang masak saja?" Tanya Cio San lagi
"Sudah ada beberapa kali. Tapi masakan mereka tidak seenak istriku,
akhirnya pelanggan banyak yang pergi. Karena sepi, ta kahirnya aku harus memecat tukang masak. Aku tidak sanggup membayar gajinya. Bahkan
untuk bertahan hidup kami saja susah sekali"
Tiba-tiba sebuah pikiran muncul di fikiran Cio San.
"Tuan, saya bukanlah seorang juru masak, tapi sedikit banyak saya
mengerti cara masak. Bagaimana jika saya bekerja disini. Tuan tidak perlu mambayar saya selama 3 bulan. Jika 3 bulan restoran ini ramai, tuan baru membayar saya. Bagaimana?" kata Cio San
"Hah" Bagaimana bisa begitu" Saya sendiri belum pernah mencoba hasil
masakan tuan. Tapi saya yakin tuan bisa masak. Tapi, terus terang saya tidak mungin mengerjakan orang tanpa digaji."
"Saya adalah pengelana tuan. Saya sudah biasa hidup tak karuan. Begini saja, bagaimana jika saya memasak, dan tuan nilai rasanya. Kalau tidak suka masakan saya, ya sudah, tidak usah pekerjakan saya, tapi jika enak, silahkan pertimbangkan tawaran saya lagi" ujar Cio San.
Si kasir tua berfikir agak lama, lalu berkata, "Baiklah, mari kita ke dapur"
Seperti dugaan Cio San, dapurnya berantakan. Hal pertama yang dilakukan Cio San adalah menata ulang dapur itu. Membereskan peralatan masak, dan melihat bahan-bahan apa saja yang ada. Ia memutuskan untuk membuat
masakan yang sama persis dengan yang ia pesan tadi.
Tak butuh waktu yang lama, karena ia bekerja dengan sangat cepat. Si
kasir, anak perempuannya, dan si pelayan melihatnya sambil melongo.
Begitu makanan seslesai, dan mereka semua mencicpinya, mata mereka
lebih melongo lagi. "ini"ini..enak sekali" sambil bicara mulut mereka tak berhenti mengunyah.
"Terus terang, aku belum pernah merasakan masakan se enak ini. Mungkin justru lauh lebih enak daripada masakan istriku" kata si kasir masih dengan wajah terkagum-kagum.
"Bagaimana" Tuan menerima tawaran saya?"
"Ah..tapi bagaimana aku bisa menggajimu" Restoran ini sepi sekali, aku juga tidak tahu harus membayarmu berapa" kata si kasir
"Seperti yang saya tawarkan tadi, 3 bulan saya bekerja gratis disini, jika sudah ramai pelanggan baru saya dibayar" jawab Cio San
"Benar tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa tuan. Saya juga sebenarnya sedang mencari pekerjaan."
Jelas Cio San "Baiklah baiklah. Mulai kapan kau bisa bekerja disini?" Tanya si kasir.
"Mulai sekarang juga bisa, cuma lebih baik besok pagi saja. Sekarang
mungkin kita bisa menata ulang restoran, jika tuan tidak keberatan"
Begitulah. Akhirnya Cio San bekerja di restoran tua itu. Mereka berempat mulai menata ulang isi dapur, membersihkan banyak tempat, dan lain-lain.
Pekerjaan yang seharusnya sudah dilakukan dari dulu, tapi mungkin
semangat baru ini timbul saat kedatangan Cio San.
Cio San mulai memeriksa bahan-bahan apa saja yang tersedia. Ia memberi masukan banyak kepada si kasir. Kasir tua itu mendengarkan dengan
sungguh-sungguh semua saran Cio San. Termasuk membagi-bagi masakan
secara gratis di jalan-jalan sebagai bentuk "perkenalan" atas masakan mereka. Walaupun berat si kasir tua itu menyetujuinya juga.
Selain itu Cio San diberi sebuah kamar di dekat dapur. Kamar itu dulunya untuk pegawai, namun kosong karena tidak ada pegawai lain selain si
pelayan tadi. Si kasir tinggal bersama anak perempuannya di lantai atas bagian belakang restoran.
Cio San menerima pekerjaan ini dengan hati mantap. Sudah ada banyak
rencana di dalam pikirannya.
Bab 16 Pertemuan Setelah Perpisahan
Saat ini telah genap sebulan Cio San bekerja di restoran itu. Restoran tua yang kini telah di sulap bersih, dan menyenangkan. Mereka tidak merubah namanya. Tetap bernama "Lai Lai". Perlahan-lahan dalam satu bulan,
pelanggan sudah mulai ramai. Masakan Cio San yang memang nikmat,
ditambah dengan keputusan untuk membagi-bagi masakan secara gratis
dimana-mana, memang berbuah manis. Bahkan kini "Lai Lai" telah memiliki pelanggan tetap, yang datang tiap hari, untuk sekedar sarapan, atau makan siang.
Kwee Lai, si kasir sekaligus pemilik restoran, setiap hari berseri-seri wajahnya. Pemasukan restoran dari hari ke hari kian membaik. Walaupun perjanjiannya ia akan membayar gaji Cio San pada bulan ke empat, ia tidak melakukannya. Ia sudah membayar gaji Cio San sejak bulan pertama. Ia
suka sekali dengan Cio San. Masakannya enak, tingkah lakunya sopan, tutur katanya halus. Yah, walaupun wajahnya sedikit pucat aneh.
Selama sebulan ini, Cio San telah masak berbagai macam masakan.
Kesempatan bekerja jadi koki seperti ini digunakannya juga untuk
mempelajari berbagi macam resep yang sempat dibacanya di buku
pemberian Liang Lopek. Kadang-kadang Cio San malah menciptakan sendiri resep-resepnya. Dan herannya semua rasanya enak.
Bulan berikutnya, yang datang di Lai Lai semakin banyak lagi. Kali ini bukan hanya penduduk setempat, melainkan orang-orang dari luar. Mungkin
karena posisi kota Liu Ya sebagai kota dermaga maka banyak orang luar kota yang datang, atau mungkin juga karena kabar kenikmatan masakan di Lai-Lai yang telah tersebar lewat mulut ke mulut.
Dalam dua bulan ini, terpaksa Kwee Lai menambah seorang koki lagi untuk membantu pekerjaan Cio San. Memang selama ini anaknya, si Kwee Mey
Lan, juga ikut membantu Cio San memasak. Bahkan setelah diajari Cio San selama sebulan ini, masakan Kwee Mey Lan juga ikut-ikutan enak. Tapi
berhubung jumlah pelanggan yang semakin banyak, akhirnya Kwee Lai
memutuskan untuk menambah koki lagi/ Pelayan pun kini bertambah
seorang. Di bulan ketiga, yang datang makan di Lai Lai sudah bukan orang-orang biasa saja, tapi juga mereka dari kalangan Kang Ouw. Ini bisa dilihat dari dandanan serta senjata yang mereka bawa. Sebenarnya amat sulit untuk
membuat kaum Kang Ouw menyukai sebuah restoran. Karena sifat mereka
yang penuh gengsi. Maka restoran itu masakannya harus enak, tempatnya harus nyaman dan bersih, serta bangunannya harus megah.
Karena urusan makan sudah tidak lagi jadi urusan perut. Apa yang kau
makan, dan di mana kau makan, akan menunjukkan jati dirimu. Atau
setidaknya akan memberi gambaran yang kau inginkan kepada orang lain.
Begitulah juga yang ada dalam pikiran orang Kang Ouw (kalangan
persilatan). Maka adalah suatu berkah bahwa Lai Lai menjadi tempat makannya orang
kang ouw. Harganya yang murah, rasa masakannya yang nikmat,
tempatnya yang menyenangkan menjadi nilai jual tersendiri. Cio San sendiri memang sengaja memilih masakan-masakan yang unik dan jarang ada. Ini
juga yang menjadi daya tarik Lai Lai sebagai sebuah tempat makan.
Masakannya unik-unik namun rasanya tidak kalah nikmat dari masakan
umum yang sudah terkenal, bahkan mungkin jauh lebih enak.
Cio San sangat menikmati pekerjaannya itu. Dengan kemampuannya, ia
bisa bekerja jauh lebih cepat. Jika tidak ada orang yang melihat, ia mampu memotong sayur dengan amat sangat cepat, menguliti dan memotong
daging dilakukannya sekejap mata. Mey Lan dan koki satunya kadang-
kadang heran melihat begitu cepat sayuran atau daging sudah terpotong-potong dengan rapi. Tetapi karena sibuknya pekerjaan, mereka tidak
sempat memikirkan lebih jauh.
Dalam 3 bulan ini, Cio San memang selalu bekerja sama dengan Mey Lan.
Ini membuat mereka berdua juga semakin akrab. Pembawaan Cio San yang
ramah membuat Mey Lan merasa senang dekat-dekat dengannya.\
Ada cerita suatu kali jari Mey Lan terluka karena melamun saat memotong sayuran. Dengan sigap Cio San mengobati luka itu. Hanya dengan
menggunakan beberapa bumbu dapur, luka di jari Mey Lan itu langsung
kering dalam beberapa menit.
Mereka pun melakukan apa-apa selalu berdua. Saat bekerja dan beristirahat pun mereka selalu berdua. Seperti di hari ini. Lai Lai sedang memasuki jam sepi, sudah lewat jam makan siang. Memasuki waktu sore. Walaupun sepi, tapi memang masih ada sekitar 10 sampai 15 orang yang makan di situ.
"San-ko (kakak san), marilah beristirahat dulu, sejak jam makan siang tadi, kau belum beristirahat sejenakpun" kata Mey Lan.
"Tunggu sebentar lagi meymey, ini ku siapkan dulu bahan-bahan untuk
masakan malam" jawan Cio San sambil tersenyum.
"Baiklah, ku bantu saja kau San-ko, biar cepat selesai"
"Ah, tidak usah meymey, ini sudah hampir selesai, kok" Cio San masih
tersenyum. Entah kenapa Mey Lan suka melihat senyum itu. Pada awalnya terasa aneh.
Wajah Cio San pucat seperti orang sakit. Rautnya pun kaku. Kalau
tersenyum seperti orang menahan sakit perut. Tapi lama-lama, Mey Lan
malah suka melihat senyuman itu.
Di pihak lain, Cio San pun suka sekali melihat Mey Lan tersenyum. Walaupun tidak ada lesung pipit, pipinya selalu memerah segar. Hidungnya mancung.
Dagunya indah sekali. Belum lagi bicara tentang alis, bulu mata, dan sinar mata itu sendiri. Yang paling indah memang adalah bibirnya. Bibirnya itu jika dimiliki oleh orang yang wajahnya paling jelek di dunia, akan membuat orang itu menjadi orang paling cantik yang kau temui. Apalagi jika berada di wajah Kwee Mey Lan yang memang sudah cantik dari sononya.
Kalau tersenyum sepertinya selalu bagian dari wajahnya itu tersenyum.
Alisnya tersenyum, dahinya tersenyum, hidungnya tersenyum. Cio San suka khawatir jantungnya copot. Karena setiap kali Mey Lan tersenyum, jantung Cio San selalu berdebar-debar.
Setelah menyelsaikan pekerjaannya, mereka berdua kini makan siang. Lebih tepatnya makan sore. Mey Lan memang belum makan dari tadi siang, ia
sengaja tidak makan supaya bisa makan bersama Cio San. Ia suka sekali makan bersama Cio San. Biasanya Cio San pasti punya cerita-cerita lucu dan menarik hatinya.
Ketika sedang asik makan di ruang belakang, terdengar suara dari ruang depan, tempat makan para tamu Lai Lai, "Selamat siang juga, siapkan saya makanan apa saja, jangan lupa seguci arak"
Di ruang belakang, hanya kuping Cio San yang mendengar ini. Seluruh
suara orang mengobrol dari ruang depan, mampu di dengarnya. Pujian
terhadap masakannya, cemoohan orang terhadap orang lain, masalah di
tempat kerja, masalah cinta antar kekasih. Dan semua perkara yang orang obrolkan saat makan di ruang para tamu, semua mampu di dengarnya di
dapur tempat ia bekerja. Kini telinganya yang tajam dan telah terlatih bertahun, mendengar sebuah suara. Di saat ramai saja, ia mampu membedakan suara-suara. Kini saat Lai Lai sepi, alangkan mudah ia membedakan suara itu. Suara yang pemiliknya ia kenal bertahun-tahun.
Raut mukanya pun berubah. Tapi tidak ada orang yang bia melihat karena ia memakai topeng kulit ular.
"Meymey. Tunggu sebentar ya, ada yang lupa kulakukan" kata Cio San
kepada Mey Lan. Yang dijawabnya dengan mengangguk dan tersenyum.
Cio San segera ke dapur. "Wah, sudah selesai makan siang A San" Ada tamu lagi. Ia meminta
makanan apa saja. Kau ada siapkan masakan apa tadi?" Tanya pelayan yang tadi menerima tamu di depan. Cio San kini memakai nama A San. Sebuah
nama yang umum pada waktu itu.
Tiba-tiba timbul sebuah ide di benak Cio San. Ia akan membuatkan masakan yang pasti disukai tamu di depan itu, "Aku akan memasak sesuatu yang
khusus. Kau bawakanlah seguci arak ini, biar dia tidak bosan menunggu"
"Dari mana kau tau di memesan seguci arak juga?" Tanya si pelayan
"Ah bukankah biasanya jam segini, memang biasanya orang pesan arak?"
jawab Cio San "Betul juga, arak apa yang paling cocok untuk sore seperti ini?"
"Arak Ciu Pek, pasti enak" katanya sambil tersenyum
(Arak Ciu Pek dibuat dari susu sapi yang diasamkan, dan dicampur dengan beberapa sari bauh. Rasanya segar. Manis, sedikit asam, dan sedikit pahit.
Warnanya hampir seperti susu. Jika terlalu banyak juga akan memabukkan) Si pelayan menyuguhkan arak, Cio San memasak. Ia memasak ang sioa
bak. Karena ia tahu, itulah makanan kesukaan si "tamu" di depan.
Cio San pun kembali ke Mey Lan, yang menyambutnya dengan pertanyaan,
"Ada tamu lagi ya?"
"Iya, ku masakkan Ang Sio Bak"
"Tidak usah kau bilang, baunya saja sudah tercium. Heran kenapa setiap mencium bau masakanmu, lantas aku menjadi lapar. Padahal ini sedang
makan" "Karena ku tau kau pasti pengen, makanya ku sisakan sedikit" Cio San
tersenyum sambil menyodorkan piring berisi ang sio bak panas.
"Memangnya kau pikir aku wanita gembul tukang makan?"" matanya
melotot tapi bibirnya tersenyum
"Haha, tidak mau makan ya sudah, sini aku saja yang makan" goda Cio San
"Siapa bilang aku tidak mau, sini dagingnya" sambil bilang begitu, seluruh isi piring sudah Mey Lan tumpahkan ke mangkoknya.
Siapapun yang cukup sering kumpul perempuan, sepertinya memang
harusnya tahu, bahwa kalau perempuan bilang "tidak mau", itu bisa saja berarti "Mau". Cio San walaupun baru kali ini dekat dengan perempuan, sedikit banyak sudah paham.
"Hey sisakan sedikit untukku" kata Cio San dengan padangan mata memelas Mey Lan menjawabnya dengan menjulingkan mata, dan mengeluarkan lidah.
Entah kenapa ada sebagian perempuan yang jika mereka menjelekan raut
wajahnya, justru membuat mereka terlihat tambah cantik dan
menggemaskan. Mey Lan jelas masuk golongan ini.
Cio San hanya bisa tersenyum
"A San, kemarilah sebentar" terdengar panggilan dari ruang dapur
"Tepat seperti yang kuduga" kata Cio San dalam hati, ia pun bergegas ke dapur, sambil bilang "Tunggu sebentar" ke Mey Lan. Yang dijawab Mey Lan dengan senyuman.
"Itu, tamu di depan, suka sekali dengan masakanmu, ia membayar banyak sekali, ketika diberi kembalian ia malah menolak." kali ini si Kasir sendiri yang datang ke dapur.
"Lalu?" Tanya Cio San sambil tersenyum
"Ia meminta dikenalkan dengan yang memasak, makanya kau kupanggil.
Segeralah kau menemuinya" kata si kasir.
"Baiklah" Ketika Cio San memasuki ruang para tamu, ia sudah tahu siapa tamu itu.
Suaranya, harum tubuhnya yang tercium. Kini begitu melihat orang itu, yakinlah dia dengan hasil tebakannya.
Orang itu tersenyum dan berkata,
"Selamat siang, nama saya Beng Liong, dari Bu Tong Pay"
Beng Liong Bab 17 Beng Liong dari Butongpay
"Nama saya A San" Cio San menjawab dengan terbungkuk-bungkuk dan
menghaturkan hormat seperti layaknya yang dilakukan Beng Liong tadi.
Suaranya pun dibuat sedikit meninggi. Cio San belum mau menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya.
"Masakan anda enak sekali tuan, bahkan masakan dan arak yang anda
sajikan kepada saya tadi, adalah dua hal kesukaan saya" ujar Beng Liong sambil tersenyum. Senyum yang sangat menawan. Laki-laki saja akan
terkesima melihat senyuman seperti itu, apalagi perempuan"
"Ah, Beng-Enghiong (ksatria Beng) terlalu memuji. Masakan ini memang
salah satu masakan andalan kami. Jika Beng-Enghiong menyukainya, justru kami lah yang merasa sangat tersanjung" kata Cio San, masih dengan gaya membungkuk-bungkuk, dan suara yang ia rubah sedikit.
Beng Liong tersenyum dan terkesima juga melihat tutur kata koki yang
sopan ini, "Bahasa anda seperti orang-orang kang-ouw (dunia persilatan)" kata Beng Liong
"Sudah tak terhitung berapa banyak orang kang-ouw yang mampir makan
disana, enghiong. Sedikit banyak pun Siauw Jin (orang kecil, ucapan untuk menyebut rendah diri sendiri) banyak belajar tata bahasa mereka" ujar Cio San
"Wah jangan terlalu sungkan, dan terlalu menurut aturan. Dan jangan
panggil saya Enghiong (ksatria), saya hanya murid bawahan Bu Tong Pay.
Kebetulan turun gunung karena mencari pengalaman. Marilah temani syaa minum arak" kata Beng Liong dengan ramah, sambil menarik lengan Cio San untuk duduk semeja dengan dirinya.
"Tidak berani".tidak berani enghiong" Cio San menolak sambil terbungkuk-bungkuk
"Ah jangan terlalu sungkan, mari..mari San-ko (kakak San). Malah saya yang merasa terhormat bisa makan dan minum dengan koki yang hebat.
Ketahuilah, saya memang suka sekali makan. Jika bisa sedikit belajar dan bertanya tentang makanan kepada koki hebat, saya akan sangat gembira
sekali" Beng Liong ramah sekali meminta.
Siapa yang mampu menolak senyuman dan keramahan seperti itu" Biasanya kau akan merasa tidak nyaman jika ada orang terlalu ramah kepadamu.
Tetapi keramahan Beng Liong ini berbeda. Keramahan dan senyuman itu


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepertinya memang benar-benar lahir dari hatinya. Siapapun yang melihat dan merasakan justru akan "terbeli" hatinya oleh keramahan seperti itu.
Cio San memang sangat paham "kelebihan" Beng Liong ini. Sejak dari dulu, Beng Liong memang pribadi yang hangat, dan tulus. Kata-katanya bisa
membuat orang sangat tersanjung, tanpa terkesan menjilat dan bermuka
dua. Dan akhirnya, mereka berdua duduk bersama. Cio San menemaninya
minum arak. Beng Liong bercerita dan juga bertanya banyak hal. Tapi
senyuman menawannya tidak pernah luntur. Lama sekali mereka mengobrol tentang banyak hal. Bagaikan kawan lama yang sudah lama tidak bertemu.
Memang, sebenarnya mereka berdua adalah kawan lama yang sudah lama
tidak bertemu. "Yah begitulah, San-ko (kakak San). Hidup di dunia kang ouw memang
menyulitkan. Seandainya boleh memilih, saya sendiri mungkin akan memilih menjadi SiuCay (sastrawan atau pelajar) saja. Mengikuti ujian di ibukota, dan bekerja saja melayani Istana dan rakyat. San-ko sendiri, apa memang suka masak dan bercita-cita jadi koki" Atau ada keinginan lain?" kata Beng Liong
"Wah, keluarga saya memang sejak dulu tukang masak. Saya dari kecil
belajar masak, dan keluarga kami memiliki restoran kecil-kecilan sejak jaman dulu. Berhubung saya anak bungsu, dan kakak sulung saya yang
mewarisi restoran kecil itu, saya memilih berkelana saja. Rencananya mau buka restoran kecil juga. Apa daya, dalam perjalanan modal malah habis, akhirnya malah bekerja di sini. Untung lah Kwee-Loya (tuan Kwee) mau
menerima" Cio San sendiri baru sadar betapa pintarnya ia berbohong. Sebuah
kebiasaan yang harus ia lakukan selama beberapa bulan ini.
"Seharusnya kau ke ibukota dan melamar jadi tukang masak istana, San-ko.
Menurutku makananmu enak sekali. Eh, boleh ku tahu apa nama restoran
keluargamu" Siapa tahu aku bisa mampir kesana kapan-kapan. Di kota
mana?" Tanya Beng Liong
"Untuk itu, aku tidak dapat memberitahukan kepada anda, Beng-enghiong"
jawab A San sambil tersenyum.
"Eh" Kenapa bisa begitu?" Beng Liong nampak tertarik, senyumnya tidak hilang
"Kalau aku memberitahukan, nanti enghiong tidak akan mampir kesini lagi, hahahahaha" tawa A San
"Aha,,,persaingan usaha dagang rupanya" Hahahaha Baiklah aku mengerti.
Tapi untuk itu, San-ko harus dihukum 3 cawan arak" tawa Beng Liong
sambil menuangkan arak ke cawan A San.
"Kenapa siauw jin (sebutan untuk merendahkan diri) harus dihukum?" Tanya A San sambil tersenyum pula
"Engkau sudah bermain rahasia kepadaku, San-ko. Padahal sejak mengobrol tadi, aku tidak pernah bermain rahasia"
"Wah baik lah, demi nama baik dan keuntungan restoran lai-lai, mabuk juga tidak jadi soal".
Mereka berdua pun minum arak sampai beberapa guci. Hampir 2 jam
lamanya mereka mengobrol. A San pun sudah kelihatan mabuk. Akhirnya
karena melihat restoran sudah mulai ramai lagi, ASan terpaksa harus
meminta diri. "Maafkan saya, Beng-enghiong. Nampaknya saya harus bekerja lagi.
Sungguh tidak enak meninggalkan enghiong"
"Ah tak apa San-ko, aku mengerti. Kembalilah bekerja. Aku masih mau
duduk-duduk disini sampai malam. Makanan di sini enak, dan
pemandangannya juga sempurna. Dari sini aku bisa menikmati
pemandangan sungai yang sangat indah. Selamat bekerja, San-ko" ia
tersenyum sambil memberikan salam hormat.
Cio San kembali ke dapur dan memasak. Mey Lan memandanginya saja. Cio San tidak berkata apa-apa, ia tetap bekerja saja. Lama kedua orang itu tidak bersuara, akhirnya Mey Lan yang buka suara duluan,
"Sudah puas minum-minumnya?"
Cio San menatapnya, tidak menjawab hanya tersenyum
"Wah salahku juga bertanya kepada orang bisu,,"
"Meymey jangan marah ya, tadi itu aku dipaksa menemani tamu. Ayahmu
sendiri yang menyuruh. Kalau tidak kuturuti bisa-bisa si tamu tersinggung, dan tidak mau datang kembali kesini lagi" kata Cio San
"Jika ayah menyuruhmu lompat ke jurang, apa kau akan lompat juga?"
"Kalau di dalam jurang ada meymey aku pasti meloncat..heehehe"
"Dasar tukang gombal" mulutnya menggerutu tapi tatapan matanya mesra.
Laki laki manapun yang mendapat hal demikian dari perempuan pasti bisa dikatakan beruntung. Apalagi perempuan cantik seperti Mey Lan.
Mereka berdua tersenyum dan meneruskan bekerja seperti biasa.
Di luar, hari semakin gelap. Tamu semakin banyak yang datang. Pekerjaan para pekerja di Lai Lai pun semakin banyak saja. Dari pendengaran Cio San, dia tahu kalau kali ini banyak juga kalangan Kang Ouw yang datang makan.
Tapi kali ini pendengarannya pun mendengar suatu percakapan yang unik,
"Apakah engkau yang bernama Jiong Say Ong?" Cio San mengenal suara
Beng Liong "Kalau benar, engkau mau apa?" dari pemilik suaranya, sepertinya orang itu memiliki tubuh sebesar banteng.
"Harap ikut aku keluar, aku mencarimu berkenaan dengan perkara di hutan Oh Hau lima hari yang lalu" kata Beng Liong.
"Hahaha, siapa kau berani-beraninya mengungkit urusan itu" Tanya si
pemilik suara satunya "Cayhe adalah Beng Liong, dari Butongpay" jawab Beng Liong
Ada jeda sebentar, sebelum keluar jawaban "Ah kalian butongpay selalu turut campur urusan orang" kali ini suara itu terdengar menggelegar. Tamu-tamu menjadi sunyi,
Yang terdengar kemudian adalah suara orang mencabut senjata dari
sarungnya. Dari suaranya, Cio San tau itu adalah sebuah golok. Dengan segera ia pergi ke ruang depan. Rupanya semua orang sedang menyaksikan tontonan gratis,
Orang yang disebut Jiong Say Ong itu menyerang Beng Liong secara
membabi buta dengan goloknya. Jurus-jurusnya cepat, dan kejam. Setiap serangan ditujukkan untuk secepatnya menghabisi lawannya. Di pihak lain, Beng Liong seperti bergerak lambat dan lemah gemulai. Ia hanya
menghindari serangan-serangan ganas Jiang Say Ong. Semua orang yang
mengerti ilmu silat, pasti paham bahwa itulah langkah-langkah sakti yang terkenal dari Butongpay, Berlari Di Atas Awan.
Melihat gerakan ini, hati Cio San trenyuh sekali. Sudah lama sekali ia meninggalkan Butongsan. Ingatannya kembali ke saat-saat ia pernah tinggal di sana.
Tapi lamunannya ini segera ia hentikan, karena pertarungan di depan
matanya ini snagat mengasyikkan untuk dinikmati.
Serangan Jiong Say Ong sungguh ganas. Walaupun tubuhnya besar,
gerakannya sangat lincah dan cepat. Justru Beng Liong yang tubuhnya lebih kecil dan ramping, malah yang bergerak lambat. Beng Liong malah belum mengeluarkan pedang sama sekali. Hal inilah yang membuat Jiong Say Ong semakin marah dan tersinggung. Ia merasa diremehkan oleh Beng Liong.
Karena itu jurus-jurus andalannya yang ganas itu ia kerahkan seluruhnya.
Tapi apa daya" Yang sedang dihadapinya adalah pendekar muda utama dari Butongpay. Bahkan dianggap salah satu pendekar muda utama jaman itu.
Dalam jurusnya yang kesepuluh, Jiong Say Ong sudah terpukul jatuh. Itu bahkan adalah serangan pertama dari Beng Liong!
Saat terpukul jatuh, semangatnya langsung membumbung lebih tinggi. Ia penasaran, bagaimana mungkin satu serangan saja ia bisa terpukul jatuh.
Jioang Say Ong pun tahu, lawan di depannya itu terkenal tidak pernah
membunuh orang. Jadi ini malah membuatnya semakin berani, dan nekat.
Beng Liong pun paham apa yang ada di benak lawan di depannya ini. Jika tidak segera dihentikan, ia mungkin akan semakin nekat. Beng Liong sudah sering bertemu orang-orang seperti ini. Oleh karena itu, ia kini menyerang.
Serangannya kali ini tidak lagi lambat dan gemulai seperti tadi saat ia menghindari serangan. Serangannya kini sungguh cepat. Saking cepatnya sampai tidak ada seorang pun yang melihat bagaimana ia menyerang.
Kecuali Cio San, tentunya. Tahu-tahu, dua jari Beng Liong sudah menotok tepat di daerah ulu hati Jiong Say Ong.
Sentuhan itu walaupun sangat cepat, berhentinya pun sangat cepat. Jiong Say Ong sudah terpelanting ke tembok. Ia langsung jatuh pingsan karena serangan ini. Mungkin juga karena bagian belakang kepalanya menghantam tembok. Kini bahkan sudah tidak ada tembok. Yang ada hanyalah sebuah
pintu baru ke ruangan sebelah.
Dengan cepat pula Beng Liong menoleh ke kasir dan berkata,
"Jangan khawatir Loya (tuan) saya akan mengganti semua kerugian"
katanya sambil tersenyum Orang-orang yang berada disitu semua bersorak, "Hebat"hebat".."
Beng Liong mengangguk dalam memberi salam hormat kepada semua tamu
yang ada, "Maafkan ketidaknyamanan ini, tuan-tuan, saya Beng Liong bersedia
mengganti jika ada tuan-tuan yang merasa rugi atas keramaian tadi"
Herannya, jawaban dari puluhan orang yang berada di situ semuanya sama,
"Ah tidak-tidak, Butongpay-enghiong (satria dari butongpay) memang
sungguh hebat. Tidak rugi..tidak rugi" mereka malah bertepuk tangan.
Memang sungguh jarang melihat pertarungan kelas tinggi. Walaupun Jiong Say Ong bukan termasuk lawan kelas tinggi, ia jatuh karena jurus kelas tinggi. Melihat ini, orang-orang sudah sangat puas. Makin bertambah
kagumlah mereka kepada Butongpay. Terlebih-lebih terhadap Beng Liong.
Apalagi saat Beng Liong berkata,
"Makanan tuan-tuan kali ini, biar saya yang bayar"
Semua orang bersorak gembira.
Bab 18 Nama Yang tidak Asing
Hampir tengah malam Lai lai baru tutup. Kwee Lai gembira sekali dengan pendapatan hari itu. Beng Liong sudah pergi, tentunya setelah menepati janjinya dengan membayari seluruh pesanan makanan yang ada dan
kerugian yang dialami Kwee Lai. Entah berapa pemasukan semalam, Cio San tidak mau tahu. Yang penting ia bahagia karena telah bertemu Beng Liong lagi, suko (kakak seperguruan) nya yang dulu sangat baik kepadanya.
Tidak tahu Beng Liong kemana setelah bertarung tadi. Cio San menebak
bahwa ia pasti pergi meneruskan urusannya. Sejauh yang Cio San dengar dari obrolan-obrolan tamu, Jiong Say Ong telah melakukan kejahatan. Ia dulu adalah seorang piawsu (pengantar/pengawal barang) yang lumayan
ternama. Beberapa hari yang lalu, ia mendapat tugas mengawal sebuah
keluarga yang akan pindah kota. Di tengah hutan, ia malah membunuh
seluruh keluarga itu. Mungkin karena tertarik dengan harta kawalannya itu.
Bahkan 2 orang anak gadis di keluarga itu pun ia perkosa dulu sebelum ia bunuh.
Urusan seperti ini walau bukan urusan yang terlalu menggemparkan bu lim (orang-orang yang berkecimpung di kang-ouw). Tapi tetap saja membuat
orang-orang gemas. Kejahatan seperti apapun harus diberi keadilan, tidak perduli besar atau kecilnya. Para satria Butongpay yang memang terkenal karena kegagahannya tentu saja tidak bisa berpangku tangan melihat
kejadian ini. Untuk itulah memang Beng Liong datang ke kota Lau Ya. Dengan kepintaran dan pengetahuannya yang luas, ia menduga bahwa Jiong Say Ong berada di kota itu. Entah bagaimana ia bisa tahu kalau Jiong Say Ong akan mampir ke restoran Lai Lai. Itulah kenapa Beng Liong menunggu sekian lama di lantai atas Lai Lai. Mungkin selain pemandangannya yang indah, hampir seluruh isi kota Lau Ya bisa terlihat dari atap Lai lai yang tinggi. Memang lai Lai pun sendiri terletak di sebuah daerah yang cukup tinggi di bagian ujung pusat kota.
Dengan adanya kejadian pertarungan ini, Lai Lai justru semakin ramai.
Orang kang ouw semakin banyak yang mampir, orang biasa pun banyak
yang mampir. Selain makanan, dan pemandangan yang indah, siapa tahu
ada "tontonan" dan "hiburan" gratis.
Ya memang ada beberapa pertarungan. Tapi kebanyakan pertarungan biasa antara orang bu lim kelas menengah ke bawah. Walaupun bukan
pertarungan kelas tinggi, dengan jurus-jurus sakti, tak urung ya tetap ramai juga penontonnya.
Cio San memanfaatkan ini untuk mempelajari juus-jurus silat. Karena
pertarungan ini memang bukan pertarungan dahsyat, justru semakin mudah bagi Cio San untuk mempelajari gerakan-gerakannya. Ia semakin
menemukan banyak sekali kesamaan dalam dasar-dasar gerak dan berbagai macam aliran silat.
"Pada dasarnya ilmu silat hanyalah menyerang dan bertahan. Sehingga
gerakan yang ada hanyalah kembangan dari kedua inti itu. Jika bisa
mengenal gerakan inti dan gerakan kembangan, maka sebenarnya pada
dasarnya seluruh ilmu silat itu sama"
Begitu pemahaman Cio San selama ia memperhatikan beberapa pertarungan yang terjadi di Lai Lai. Dari pemahaman ini semakin gampang ia menebak arah pertarungan silat. Jika ada dua orang bertempur, hanya dengan
menggunakan daya pikirnya ia sudah tahu jurus-jurus apa yang akan
dikeluarkan para petarungnya. Kapan memukul, kapan menendang, kapan
menghindar, ke arah mana arah pukulan dan tendangan, semua bisa diduga Cio San dengan sekali melihat.
Ia sendiri heran betapa cepat ia paham akan ilmu silat ini. Betapa gampang ia mempelajarinya. Tapi Cio San segera sadar, bahwa ilmu-ilmu yang ia lihat itu hanyalah ilmu kelas rendahan yang ketinggalan beratus-ratus tingkat dengan ilmu-ilmu unggulan tokoh-tokoh nomer satu.
Namun Cio San sudah cukup senang. Baginya ilmu bisa datang dari mana
saja. Baginya ini pelajaran yang bisa diambil hikmahnya. Keadaan Lai Lai yang sudah sangat maju dalam beberapa bulan saja, juga membuatnya
senang. Tidak ada yang tidak membuatnya senang di masa ini. Lai Lai makmur.
Tubuhnya sehat. Sekarang ia sangat dekat dngan Kwee Mey Lan. Ah,
mengingat Mey Lan membuat jantungnya berdebar. Cio San tetap tidak tahu mengapa.
Kata orang ini cinta. Cio San pun sering mendengarkan kata "cinta" dalam lagu-lagu yang dinyanyikan A Liang dan ayahnya dulu. Juga pernah baca puisi dan tulisan-tulisan kuno tentang cinta. Tapi baru kali ini Cio San merasakannya benar-benar dalam hati.
"Inikah 'cinta'" pantas setiap orang menyanyikannya, pantas setiap orang menulis syair tentangnya"
Cio San sendiri belum paham benar. Usianya baru beberapa belas tahun.
Mencapai umur dua puluh mungkin masih 2-3 tahun lagi. Tapi getaran
hatinya yang tidak ia mengerti membuat ia menyimpulkan sendiri apa
"cinta" itu. Di dunia ini, seberapa banyak orang yang paham cinta" Apakah umur
menambah pemahamanmu tentang cinta" Tidak sama sekali. Tidak ada satu orang pun yang paham apa itu cinta. Tua dan muda sama-sama bingung
tentang cinta. Orang muda jatuh dan menangis karena cinta. Orang yang sudah tua pun
tidak sedikit yang jatuh dan menangis karena cinta. Apakah dengan
banyaknya luka membuat orang semakin paham dengan cinta" Tidak juga.
Banyak pemuda pemudi yang terluka dan menderita, terlihat bangkit
kembali untuk menemukan cinta lagi. Dan tidak sedikit mereka yang sudah tua pun jatuh bangun berkali-kali dalam meraihnya.
Umur tidak akan membuatmu paham akan cinta.
Pengalaman bercinta yang kesekian kali, juga tidak akan membuatmu
paham akan cinta, Orang yang pernah terluka mungkin akan berkata,
"Cukup!, tidak lagi kubiarkan diriku jatuh cinta". Tapi apa yang terjadi" Tak lama kemudian mereka akan menemukan cinta yang baru. Lalu ketika
mereka terluka lagi, mereka akan mengatakan hal yang sama, untuk
kemudian melupakan kata-kata itu jika telah menemukan cinta yang baru lagi.
Tak ada orang yang mengerti cinta.
Ketika ia berjanji untuk setia selamanya kepada kekasihnya. Ketika ia berjanji untuk menemaninya sampai tua, dan menggenggam tangannya
ketika mereka telah rapuh. Ketika ia berjanji untuk menemani kekasihnya sampai maut memisahkan. Betapa lucu janji itu teringat kembali, ketika ternyata ia menemukan orang yang lebih menarik hatinya.
Maka semua kata-kata terlupakan, dan janji terbatalkan.
Lalu ketika luka menganga bagi mereka yang ditinggalkan dan dikhianati, luka itu cepat sekali sembuhnya ketika ada cinta baru lagi yang datang.
Cio San menjadi saksi dari semua pemahaman yang tertulis ini. Dari
pendengaran dan pandangannya yang tajam, ia menjadi saksi betapa cinta adalah sesuatu yang aneh. Banyak pasangan kekasih yang datang ke Lai
Lai. Mengucapkan berjuta kata mesra, dan janji sehidup semati. Lalu
beberapa hari kemudian, mereka datang dengan kekasih yang lain pula.
Untuk mengucapkan janji dan kata-kata manis yang sama.
Yang terjadi tidak cuma satu atau dua orang di Lai Lai. Bahkan mungkin di kolong langit ini, begitulah yang terjadi kepada setiap orang. Kau berjanji pada kekasihmu, mengucapkan kata cinta yang indah dan manis. Lalu ketika kau menemukan kekasih yang baru, janji dan kata manis yang sama itulah yang kau ucapkan juga.
Maka di sinilah Cio San. Sedang menjadi saksi dari kejadian ini. Seorang gadis sedang berlutut menangis, di hadapan sepasang kekasih. Si gadis ini menangis bahwa ia sedang hamil. Mengandung benih hasil hubungannya
dengan laki-laki di hadapannya. Si lelaki itu dengan santainya tetap
menggandeng wanita lain di lengannya dan acuh tak acuh saja dengan
tangisan si gadis di depannya.
Apakah hati kedua pasangan itu sudah mati" Mengapa tidak tersentuh
sedikitpun. Mengapa si lelaki tidak perlu menjelaskan hal ini kepada kekasih yang digandengnya" Mengapa si wanita ini tidak bertanya tentang asal usul gadis yang berlutut mengiba-iba itu"
Mereka hanya terdiam sambil menikmati arak dan makanan. Sedangkan si
gadis masih berlutut dan menangis, kini bahkan sudah bersujud
membenturkan dahi ke lantai.
Cio San tak sabar melihat dan mendengar ini. Segera ia ke ruang sebelah ingin menghardik pasangan kekasih itu, tapi sebelum ia mengucapkan kata pertama, terdengar suara seorang wanita,
"Keparat cabul, jika kau tidak segera menghampiri gadis itu dan meminta maaf padanya, segera ku tebas lehermu"
Suara ini datang dari seorang wanita di lanta atas. Cio San menoleh ke atas.
Tapi tidak terlihat siapa-siapa. Karena dari lantai bawah, hanya sebagian lantai atas yang kelihatan. Rupanya pemilik suara tadi sedang duduk di pojok ruangan, atau di teras lantai atas.
Dari suaranya Cio San tahu, pemiliknya adalah seseorang yang memiliki tenaga dalam tinggi. Getaran suara dari pemilik tenanga dalam tinggi atau rendah, dapat dibedakannya. Kini ia penasaran seperti apa pemilik suara itu.
Dari pendengarannya Cio San tahu bahwa si pemilik suara ini berdiri dari tempat duduknya. Dan sekali lompat, ia sudah sampai ke lantai bawah. Si pemilik suara ini adalah seorang gadis yang cantik. Rambutnya di kepang dua di belakang. Kepangan itu melewati kuping belakang, dan jatuh dengan anggun di kedua bahunya. Anggun sekali. Tapi pandangan matanya tajam.
Ia memakai baju merah jambu. Ringkas dan sederhana, tapi membuatnya
malah bertambah cantik. Di punggungnya terdapat buntelan. Munkin berisi baju-baju dan peralatan perempuan. Ia menjinjing sebuah pedang yang
indah. Cio San paham, pastilah ini gadis yang berkelana di dunia kang-ouw.
"Cici (kakak perempuan) berdirilah dan jangan menyakiti dirimu sendiri" si gadis merah jambu berkata sambil memeluk gadis yang tadi menangis
mengiba-iba itu. Si gadis masih menangis, namun tidak lagi membenturkan dahi di lantai.
"Mengapa kau diam saja, kura-kura?" Tanya si merah jambu kepada lelaki itu.
Ternyata yang menjawab adalah pasangan wanitanya,
"Siapa kau" Apa urusanmu dengan hubungan suamiku" Ini urusan dia, kau tidak perlu ikut campur"
Si gadis merah jambu sedikit terhenyak,
"Apakah kau sama sekali tidak cemburu, suamimu menghamili gadis lain?"
Tanya dia "Dia menghamili gadis lain, itu urusannya dengan gadis itu" si wanita malah menjawab sambil minum arak.
Dari seluruh permasalahan cinta antara kekasih yang pernah mampir di Lai Lai, baru kali ini Cio San menemukan urusan seperti beginian.
Dan nampaknya si merah jambu juga baru bertemu urusan beginian.
"Ini memang bukan urusanku, tapi sebagai orang yang punya hati,
setidaknya kalian bisa menunjukkan belas kasihan. Dan kau kura-kura,
seharusnya bertanggung jawab" hardik si merah jambu
Si laki-laki nampaknya risih juga dipanggil kura-kura,
"Aku dan A Yong melakukannya atas dasar suka sama suka. Kalaupun dia
hamil, belum tentu aku pelakunya. Dia sudah bukan gadis ketika tidur
dengan aku" Di jaman ini, kata-kata yang keras dan membuka aib seperti ini hampir tidak mungkin diucapkan orang di muka umum. Jika sampai si kura-kura berani bicara seperti ini, berarti dia terlalu banyak minum arak. Atau bapaknya adalah seekor singa.
Maka bisa dibayangkan bagaimana perasaan si gadis itu ketika mendengar ucapan demikian, tangisannya tambah hebat, ia meraung-raung di lantai.
Ucapannya yang keluar dari mulutunya sudah tidak jelas lagi, karena
bercampur teriakan, tangisan, dan makian.
Ia malah bergerak menyerang sepasang kekasih itu.
Si merah jambu juga tidak merintanginya. Nampaknya memang setuju
dengan tindakan si gadis. Tapi begitu si gadis menghampiri si kura-kura untuk menamparnya, justru tubuhnya sendiri yang terlempar kena tendang wanita pasangan si kura-kura.
Tak sedikitpun Cio San, si merah jambu dan orang-orang disitu yang
menyangka bahwa wanitanya kura-kura itu bisa ilmu silat. Ia terlihat lemah gemulai dan sedikit mabuk. Tidak ada yang menyangka bahwa ilmunya
tinggi juga. Untunglah si merah jambu sempat menangkap si gadis agar tidak terhempas lebih jauh.
Dengan marah kini si merah jambu menyerang si wanita.
Serangannya dahsyat namun tertata rapih. Gerakannya indah bagaikan
burung merak. Cio San hafal sekali ilmu itu. Itu jurus "Menari di bawah Rembulan". Ibunya dulu sering berlatih jurus itu.
"Kau anak murid Go Bi pay" Hmmm, boleh juga" si wanita kini sudah
bangkit dari duduknya dan menghindari serangan-serangan itu.
Cio San bisa melihat bahwa serangan si merah jambu sungguh dahsyat, tapi si wanita itu malah menerimanya dengan santai dan tersenyum.
Mereka bersilat dengan indah. Masih menggunakan jurus tangan kosong.
Serangan itu sungguh dahsyat. Angin pukulan meraka terasa sampai ke
"penonton". Suara ketika tangan mereka beradu pun terdengar sangat
keras. Ini bukan pertarungan dua perempuan cerewet. Ini pertempuran pendekar kelas atas.
Jurus-jurus silat si merah jambu tidak cuma dari Go Bi Pay, tapi dari berbagai macam aliran. Cio San melihat gerakan Bu Tong Pay, jurus-jurus Kay Pang, bahkan beberapa jurus aneh yang tidak dikenalnya. Si merah
jambu ini jelas bukan murid Go Bi Pay.
Si wanita itu juga serangannya tidak kalah dahsyat. Dari pola gerakan dan sasaran serangan yang dituju, jelas sekali kalo ini ilmu silat golongan hitam, alias golongan Liok Lim.
"ini bukan ilmu silat kacangan, ini serangan-serangan dahsyat" batin Cio San.
Hatinya malah gembira melihat pertarungan ini. Jika diibaratkan orang yang suka mancing, begitu melihat sungai yang isinya ikan-ikan besar, pasti jiwanya akan "gila". Begitulah juga Cio San, ia yang dulu tidak bisa silat dan bahkan membenci ilmu silat, sekarang malah jadi penggemar nomer satu.
Ia mendalami dan mempelajari setiap gerakan yang ada. Setiap serangan, setiap tangkisan, setiap hindaran. Kembangan pola serang kedua orang ini sungguh bermacam-macam. Pukulan tipuan juga cerdik sekali. Tapi bicara tentang serangan tipuan, memang masih lebih dahsyat punya si wanita.
Lima belas jurus berlalu, dan tidak kelihatan siapa yang menang dan kalah.
Memang sudah lima belas jurus, namun waktu yang berlalu mungkin cuma
baru beberapa ratus detik. Kecapatan serangan mereka mungkin cuma Cio San yang bisa melihat. Orang selain dia cuma bisa melihat bayangan merah jambu dan hijau muda, warna pakaian si wanita.
Cio San baru teringat si gadis yang ditendang tadi. Sejak tadi perhatiannya tertuju pada pertarungan dahsyat ini, ia lupa terhadap nasib si gadis.
Secepatnya ia menuju ke arah gadis itu, yang sekarang sedang tertelungkup di lantai menahan perih. Cio San memegangnya dan mengangkatnya,
tubuhnya panas sekali, dan wajahnya pucat. Darah mengalir dari bibirnya.
Yang lebih mengagetkan lagi, darah juga mengalir lewat pahanya.
"Ya Tuhan, bukankah dia hamil" Jangan"jangan.." Cio San kaget dan
menyesal sekali, mengapa ia baru teringat nasib gadis ini.
Segera ia membawa gadis ini ke ruang belakang, langsung masuk ke
kamarnya. Cio San sudah tidak perduli aturan kesopanan lagi. Nyawa
seseorang dalam bahaya. Aturan bisa dikesampingkan. Seluruh mata sedang tertuju ke pertempuran. Hanya Mey Lan saja yang menemani cio San masuk ke dalam kamar.
"Meymey, tolong kau siapkan beberapa bahan untuk mengobati nona ini"
dengan sigap meymey segera ke dapur. Cio San meneriakkan bahan-bahan
apa saja yang harus disiapkan Mey Lan. Dan berhubung Mey Lan tidak
melihatnya, kesempatan itu dipakainya untuk menyalurkan tenaga dalam


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada si gadis. "Selamatkan bayiku..selamatkan bayiku"." Begitu rintih si gadis
Cio San tidak berkata apa-apa karena ia tahu si "calon" bayi tidak mungkjin tertolong lagi. Ia hanya berkata,
"Bertahanlah cici, kami akan berusaha sekuat mungkin,
bertahanlah"bertahanlah"."
Si cici itu tersenyum, airmatanya masih mengalir. Darahnya juga terus mengalir. Lalu ia terdiam. Nafasnya berhenti.
Cio San tahu ia tidak bisa apa-apa lagi. Beberapa organ dalam si gadis sudah terluka. Bahkan mungkin sudah hancur.
Iblis Sungai Telaga 30 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Duel 2 Jago Pedang 4
^