Pencarian

Pangeran Perkasa 14

Pangeran Perkasa Pangeran Srigala Perkasa Karya Can I D Bagian 14


Gelak tertawa tersebut amat nyaring dan lantang di tengah keheningan malam, dapat bergema hingga ke tempat yang amat jauh. Menyusul kemudian terdengar seseorang berkata dengan suara yang parau tua :
"Hmm... mesra amat dekapan kalian berdua, tapi sayang sikap kalianitu justru memuakkan aku si nenek."
Dengan sikap acuh tak acuh Li Peng tertawa geli :
"Tentu saja kau muak, karena kau sudah tua lagi jelek, pipimu sudah kempot dan peyot, bukankah kau lagi iri?"
"Huuh, dengan tampangnya itu, biar umurnya lima puluh tahun lebih muda pun belum tentu ada orang akan mencintainya,"
sambung Sik Tiong Giok sambil tertawa.
Diiringi senda gurau dan ejekan-ejekan mereka berdua masuk ke ruang tengah.
Di bawah cahaya lentera, dapat dilihat bahwa si pembicara tersebut adalah seorang nenek berbaju kuning yang rambutnya telah beruban semua, tetapi dia memiliki wajah yang cantik.
Sambil mengawasi kedua orang muda mudi itu katanya kemudian sambil tertawa :
"Tuanya sih aku memang sudah tua, tapi wajahku tidak sejelek apa yang kalian bayangkan lima puluh tahun berselang aku pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kecantikan wajahku, kenapa" Apakah kalian anggap wajahku ini buruk?"
"Buruknya memang tidak, sayang kau sudah tua reyot dan hampir masuk kubur..." Li Peng tertawa.
Belum habis perkataan itu diucapkan, si nenek berbaju kuning itu sudah berseru dengan marah :
"Budah yang tak tahu tingginya langit, dan tebalnya bumi, besar amat nyalimu!"
Sembari berkata dia segera mengulapkan tangannya ke tengah udara, terdengar suara langkah kaki manusia bergema, dalam waktu singkat bermunculan puluhan orang manusia berbaju hijau dari balik kegelapan.
Semua orang itu membungkus wajahnya dengan kain hijau, sehingga di bawah sinar lentera hanya terlihat sepasang matanya ysaja yang berkilauan.
Li Peng memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, lalu katanya sambil tertawa :
"Engkoh Giok, coba kau lihat barisan yang dipersiapkan lawan.
Ehmm... betul-betul cukup bergaya!"
"Tapi yang kawanan manusia itu cuma gentong nasi belaka, tak bakal kita ketakutan," sahut Sik Tiong Giok sambil tertawa.
Nenek berbaju kuning itu segera mendengus :
"Barisan yang kusiapkan memang bukan bermaksud untuk menakut-nakuti orang tapi membunuh kalian."
Kembali Sik Tiong Giok tertawa :
"Ilmu silat dari Gi Liong oh kalian belum terhitung kepandaian silat yang maha tinggi, kalau dipakai untuk mencari sesuap nasi dengan menjual jam atau bermain akrobatik masih bisa, tapi kalau dipakai untuk membunuh orang... haaah... heeh nanti dulu!"
"Jadi kau tak percaya?" tegur nenek berbaju kuning itu ketus.
"Tentu saja tidak percaya, lima pos penjagaan dan tiga tempat berbahaya telah ku lewati, tapi belum pernah ku jumpai seorang manusia yang hebat."
Nenek berbaju kuning itu nampak agak tertegun, lalu serunya :
"Oooh rupanya kau telah berhasil menembusi lima pos penjagaan dan tiga tempat berbahaya, kalau begitu kemampuanmu hebat juga."
"Hey apakah kau adalah Gi Liong kuncu?"
"Aku rasa dia sih belum bertampang sejelek itu," sambung Li Peng sambil tertawa. "Jangan kau lihat gayanya luar biasa, padahal dia cuma seorang budak penjaga pintu belaka."
Meluap hawa amarah si nenek berbaju kuning itu sehabis mendengar perkataan tersebut, tiba-tiba dia mengangkat kepalanya dan melotot sekejap ke arah mereka berdua dengan penuh amarah, tapi sesaat kemudian telah menunduk kembali sambil berkata :
"Biarpun hanya menjadi seorang budak dari Gi Liong oh, kedudukan ini sudah amat membanggakan aku."
"Huuuh dasar berjiwa kere!" umpat Li Peng sambil tertawa,
"sudah menjadi budak pun masih merasa gembira, kau memang manusia kere yang berjiwa kerdil."
Sekali lagi nenek berbaju kuning itu mendongakkan kepalanya, sinar tajam mencorong keluar dari balik matanya, hawa amarah menyelimuti pula seluruh wajahnya.
Melihat perubahan sikap tersebut Sik Tiong Giok mengira lawannya sudah dibuat marah, mungkin juga dia akan segera turun tangan, maka secara diam-diam seluruh hawa murninya dihimpun dan bersiap sedia menghadapi segala kemungkina yang tidak diinginkan.
Siapa tahu, apa yang kemudian terjadi sama sekali di luar dugaan, nenek tersebut bukan saja tidak gusar, malahan sambil tertawa berkata :
"Kita tak usah membicarakan soal itu lagi, aku ingin tahu ada urusan apa kalian berkunjung kemari di tengah malam buta begini?"
"Aku datang kemari karena menerima surat undangan, aku merupkaan tamu agung dari Gi Liong kuncu, sungguh tak nyana beginilah cara kalian dalam menerima tamu."
"Hmm, coba kalau kau bukan datang atas undangan dari tuan putri kami, saat ini tubuhmu tentu sudah tergeletak di atas genangan darah."
"Hmm, belum tentu!" dengus Li Peng dengan suara dingin.
Sedang Sik Tiong Giok berkata lagi sambil tertawa :
"Sampai waktunya nanti kau akan menyesal sekali, karena itu kuanjurkan kepadamu, lebih baik bersikaplah lebih sungkan terhadap kami."
Untuk beberapa saat lamanya nenek berbaju kuning itu nampak tertegun, tapi kemudian ujarnya :
"Baiklah, silahkan kalian berdua duduk."
Li Peng memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian katanya sambil tertawa :
"Aku lihat orang-orang dari telaga Gi Liong oh sudah pada sinting dan tidak waras otaknya, masa kita dipersilahkan duduk tanpa disediakan tempat duduknya..."
Nenek berbaju kuning itu tertawa geli.
"Aaaai, betul! Aku jadi turut sinting oleh ulah kalian..."
Berbiara sampai disitu, sorot matanya segera dialihkan ke arah lelaki berbaju hitam yang berada di sisi ruangan, lalu bentaknya :
"Sediakan tempat duduk!"
Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki bergema datang, disusul munculnya dua orang gadis berbaju putih yang masing-masing membawa sebuah tempat duduk.
Ke dua gadis berbaju putih itu berusia dua tiga belas tahunan, semuanya berwajah ayu, halus dan menarik.
Sambil tertawa nenek berbaju kuning itu mengulapkan tangannya seraya berkata :
"Silahkan duduk, tuan putri kami baru bisa bertemu dengan kalian sejenak lagi."
Sik Tiong Giok mendengus dingin, pikirnya :
"Besar amat lagaknya, siapa tahu wajahnya bertampang jelek macam kuntilanak..."
Sementara itu, si nenek berbaju kuning itu telah mengawasi wajah Li Peng lekat-lekat, sambil katanya :
"Aku seperti pernah bertemu nona!"
"Betul, akupun merasa amat kenal dengan wajahmu itu," sahut Li Peng sambil tertawa.
"Siapakah nama nona?"
"Dan bolehkah aku tahu siapa namamu?" tanya Li Peng.
Nenek berbaju kuning itu segera tertawa.
"Waah, rupanya nona enggan menderita rugi barang sedikitpun juga, masa semua pertanyaanku kau kembalikan seutuhnya lagi kepadaku?"
Li Peng balas tertawa. "Tentu saja, masa ada tamu yang menerima hadiah dari tuan rumah, biasanya kan tuan rumah yang harus menerima hadiah lebih dahulu."
"Baiklah," kata si nenek berbaju kuning itu, kemudian sambil tertawa berkata, "aku adalah Ng liok congkoan dari telaga Gi Liong oh, orang menyebutku Pek hoat mo li (iblis perempuan berbaju putih), nah budak cilik, sekarang giliranmu yang menyebutkan namamu."
"Aku?" Li Peng tertawa, "aku tak punya nama..."
Jawabannya ini segera membangkitkan amarah si nenek berbaju kuning itu, rambutnya yang telah beruban berdiri semua bagaikan landak, wajahnya berubah pucat menyeramkan, segera bentaknya keras-keras :
"Budak setan, pingin mampus rupanya kau?"
Sambil membentak, tangannya segera diayunkan ke depan siap mencengkeram batok kepala Li Peng.
Tapi saat itulah tiba-tiba berkumandang datang suara irama musik yang lembut dari luar ruangan.
Begitu suara musik bergema, manusia-manusia berbaju hijau yang berjajar di kedua belah sisi ruangan itu serentak mengundurkan diri dari sana, disusul kemudian lampu puri dipadamkan.
Dalam waktu singkat, seluruh ruangan itu dicekam dalam kegelapan yang luar biasa.
Si nenek berbaju kuning itu menarik pula cengkeramannya sambil mendengus dingin, kemudian mengikuti di belakang kawanan jagolainnya segera mengundurkan diri dari situ.
Menanti semua orang sudah mundur, Sik Tiong Giok baru menghembuskan napas panjang sambil bisiknya :
"Adik Peng..." Namun yang terdengar hanya suara gema dari suara sendiri sedang suara jawaban dari Li Peng sama sekali tak terdengar.
Tak terlukiskan rasa kaget Sik Tiong Giok menghadapi kejadian ini, tak sabar lagi ia membalikkan badan sambil meraba ke bangku di sisinya, tapi ia segera meraba tempat yang kosong.
Pemuda itu mencoba untuk menghimpun tenaga dalamnya
sambil memperhatikan sekeliling situ, tapi bayangan tubuh Li Peng sudah hilang lenyap dengan begitu saja.
Ternyata dalam ruang tengah yang gelap gulita itu, kini tinggal dia seorang.
Perubahan yang amat tiba-tiba dan sama sekali tak terduga ini segera membuat Sik Tiong Giok yang biasa tenang, kini jadi gugup dan gelagapan.
Dengan cepat dia mengendalikan gejolak perasaannya yang meluap, kemudian akhirnya dia beranjak menuju ke ruang belakang.
Pintu di ruang belakang telah terbuka, ini membuktikankalau Li Peng telah diculik orang.
Rembulan bersinar lembut memancarkan cahayanya menerangi seluruh jagad.
Di luar gedung itu merupakan sebuah hutan pohon siong yang amat lebat.
Kerdipan cahaya lentera muncul di balik hutan yang lebat itu, sebentar terang sebentar lagi gelap, kesemuanya ini menambah suasana misterius di sekitar sana.
Sik Tiong Giok memperhatikan kembali keadaan di sekitar sana, lalu pikirnya :
"Hmm, dengan mengeluarkan barisan macam begini, dianggapnya aku jadi ketakutan" Hmm... aku harus
menerjangnya dengan kekerasan..."
Baru saja ia bersiap untuk meninggalkan tempat itu, mendadak terdengar suara mencicit yang aneh berkumandang dari sisi tubuhnya.
Dengan cepat Sik Tiong Giok berpaling, ternyata ada dua ekor monyet hitam yang tinggi besar dengan membawa sebuah nampan besar sedang mendekam jauh di hadapannya sementara matanya yang merah mengawasi Sik Tiong Giok lekat-lekat dan mulutnya mencicit tiada hentinya.
Sewaktu ia perhatikan isi nampan tersebut, selain buah-buahan terdapat juga sebuah poci arak kecil serta sebuah cawan arak yang terbuat dari batu kemala putih.
Pemandangan semacm ini lagi-lagi mencengangkan Sik Tiong Giok, tanpa terasa ia berdiri termangu.
Tiba-tiba dari kejauhan sana berkumandang datang suara seruan seseorang dengan suara yang dingin dan kaku :
"Aku telah mengutus monyet raksasa untuk menyambut kedatanganmu. Silahkan mencicipi dulu buah-buahan tsbu menambah tenaga, kita bersua lagi di tepi telaga Gi Liong oh nanti."
Sik Tiong Giok berpikir sejenak, lalu serunya lantang :
"Apakah kau adalah Gi Liong kuncu?"
"Bukan," sahut orang yang berada di kejauhan itu, "aku hanya seorang pembantu kepercayaan kuncu, masa suara laki-laki dan perempuan pun tak mampu kau bedakan?"
Sik Tiong Giok segera tertawa getir.
"Siapa suruh suaramu kelewat tajam dan melengking, sehingga susah sekali untuk dibedakan."
Orang itu tertawa dingin :
"Heeee... heee... heee... kau tidak ingin makan sesuatu?"
"Aku hanya ingin mengetahui kabar berita tentang rekanku itu, dia telah kalian culik kemana?"
"Dia adalah bekas dayang keraton kami yang melarikan diri, sekarang telah diseret kembali ke dalam keraton, asal kau merasa punya kepandaian untuk menyerbu ke dalam Gi Liong oh, tak akan sulit bagimu untuk bersua dengannya."
"Apakah kalian tidak merasa bahwa tindakan yang kalian lakukan terhadap diriku ini kelewat rendah, memalukan dan terkutuk?"
kata Sik Tiong Giok sambil tertawa.
"Membekuk dayang yang kabaur adalah urusan pribadi kami, apa sangkut pautnya dengan mu" Tapi, apabila kau merasa tidak terima dengan tindakan kami ini, silahkan saja mencoba untuk menerjang sendiri..."
Sik Tiong Giok mendengus dingin :
"Hmm, aku tak percaya kalau Gi Liong oh adalah sarang naga gua harimau, biarpun kalian telah memepersiapkan jaring langit jala bumi pun aku tidak takut."
"Baik! Kalau begitu terjanglah pertahanan kami, tapi kuanjurkan kepadamu agar bersikaplah lebih berhati-hati, daripada kau tuduh kami telah melayani tamu secara jelek."
"Haaaa... haaa... haaa... seandainya aku telah berhasil menerjang masuk ke Gi Liong oh, tanggung kaucu mu akan melayaniku secara baik, kalau buah-buahan mah hanya
makananmonyet utusan kalian ini."
Seusai berkata, ia segera menjejakkan kakinya ke atas tanah dan menerjang ke arah mana berasalnya suara itu.
Hutan itu lebat lagi gelap, meskipun rembulan bersinar terang, namun suasana dalam hutan gelap gulita sehingga susah untuk melihat kelima jari tangan sendiri.
Baru saja tubuhnya melayang turun, tiba-tiba dia merasa sesosok bayangan hitam melintas lewat di hadapannya.
Sebelum Sik Tiong Giok melihat jelas apa yang terjadi, tahu-tahu tengkuknya terasa kencang dan tubuhnya sudah melayang tinggalkan permukaan tanah.
Kedengaran seseorang mengejek lagi sambil tertawa dingin :
"Huuh... hanya mempunyai kepandaian sekecil inipun berani menerjang Gi Liong oh..."
Tengkuk Sik Tiong Giok waktu itu terjirat oleh seutas tali hingga susah untuk bernapas, ia menjadi amat gelisah sesuah mendengar perkataan tersebut, sepasang tangannya segera menyambar ke muka, hawa murninya dihimpun, lalu sambil membalikkan badan dia melayang turun kembali ke atas tanah.
Rupanya seutas tali meluncur datag secara tiba-tiba dan persis menyeret leher Sik Tiong Giok.
Untung saja kepandaian silat yang dimiliki Sik Tiong Giok sangat hebat, daya reaksinya pun cepat sekali, sebelum tali itu dijirat kencang-kencang, tangannya berhasil memutuskan benda tersebut.
Setelah mendengus penuh amarah, serunya :
"Hmm, hanya mengandalkan permainan setan macam begitu pun, kau bermaksud menghalangi perjalananku?"
Sembari berkata, sorot matanya yang jeli ditujuhkan ke atas sebatang pohon besar beerapa kaki di hadapannya dan begitu selesai berbicara, untuk kedua kalinya dia meluncur kembali ke aas pohon besar tersebut.
Dengan cepat tangannya menyambar seutas ranting, kemudian dengan pedang disilangkan melindungi dada, ia berjumpalitan dan melejit naik ke atas.
Tapi sungguh aneh sekali, biarpun Sik Tiong Giok elah bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, namun pemeriksaannya atas pohon besar itu mendatangkan h sil yang nihil, tak sesosok bayangan manusia pun ydg ditemukan, hal ini membuatnya berpikir di hati :
"Sungguh memalukan!"
Pada saat itulah, terdengar kembali seseorang berbiara dengan suara yang dingin dan beku :
"Telaga Gi Liong oh merupakan wilayah terlarang bagi umat persilatan, kau anggap tempat ini bisa didatangi setiap orang dengan seenak hatinya sendiri?"
Sik Tiong Giok melayang turun dari atas pohon lalu memandang ke depan, di bawah sebatang pohon besar dua kaki di
hadapannya berdirilah seorang manusia berbaju hitam.
Sambil tertawa dingin pemuda itu berseru :
"Heehh... heeh... hehh... sobat, cepat amat gerakan tubuhmu!"
"Hmm, ilmu silat dari Gi Liong oh tiada tandingannya di kolong langit, apa yang kumiliki sekarang tak pantas untuk dibicarakan."
"Huuh, siapa sih yang bermaksud memuji, padahal aku sendiri pun tidak memandang sekejap matapun terhadap kemampuan mu, aku hanya berniat memuji saja, siapa tahu kau lantas menganggapnya sungguh-sungguh.. tak tahu malu!"
?"Silahkan saja mencoba sendiri kalau kurang percaya, cukup dengan hutan lebat ini pun sudah mampu membuatmu mampus karena keletihan."
"Aku tidak percaya."
Seraya berkata, bahunya bergerak dan tiba-tiba saja ia menerjang maju ke muka.
Kali ini dia bergerak dengan menggunakan ilmu kelitan serigala, gerakan tubuhnya amat cepat bagaikan sambaran kilat, dimana tangannya kirinya berkelebat, ia sudah mencengkeram bahu manusia berbaju hitam itu.
Dengan cepat manusia berbaju hitam itu membalikkan
tangannya, dengan kelima jari yang dipentangkn bagaikan kaitan, dia balas mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan kiri Sik Tiong Giok.
Tak terlukiskan rasa kaget Sik Tiong Giok menghadapi peristiwa ini, cepat-cepat dia melompat mundur sejauh lima depa lebih, kemudian terkejut bercampuran keheranan serunya :
"Kau... kau juga bisa menggunakan ilmu Long san ki na jiu?"
"Hmm, cuma ilmu ki na jiu yang begitu sederhana, apanya yang aneh dan luar biasa?" jengek manusia berbaju hitam itu dingin.
"Bagus, ingin kulihat kepandaian aneh apalagi yang kau miliki, kenapa tidak sekalian kau pergunakan semua?"
"Asal kau berani memasuki hutan ini sedalam tiga kaki, akan kusuruh kau pergi mampus terkapas di tengah hutan."
Sik Tiong Giok segera tertawa.
"Gertak sambalmu itu tak akan membuat ku ketakutan dan mundur dari sini..."
"Kalau begitu coba saja untuk menerjangnya!"
Selesai berakta dia segera berkelebat dan menyembunyikan diri kembali.
Sik Tiong Giok termenung sambil berpikir sejenak, kemudian dengan pedang terhunus maju ke depan.
Tiga kaki kemudian merupakan sebuah tanah kosong di tengah kurungan pepohonan, luasnya kurang lebih tiga sampai lima kaki persegi, sinar rembulan mencorong masuk lewat celah-celah dedaunan dan secara lamat-lamat pemandangan di sekitar sana terlihat jelas.
Dedaunan yang rimbun dan rerumputan nan hijau membuat suasana di sekitar sana terasa segar.
Sik Tiong Giok memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian meneruskan perjalannya ke depan.
Di saat dia mulai melalui tanah berumput inilah, tiba-tiba suara yang dingin dan kaku itu berkumandang lagi.
"Bocah keparat she Sik, saat ini kau sudah berada di tempat yang berbahaya, hanya ada dua jalan yang bisa kau pilih."
"Dua jalan yang manakah itu?" tanya Sik Tiong Giok sambil menahan diri.
"Jalan pertama, kau harus menyerah kepada pihak Gi Liong oh kami...!"
"Lebih baik cepat-cepat bunuh diri saja, daripada mendatangkan banyak penderitaan bagimu."
Mendadak Sik Tiong Giok mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak :
"Haa... haa... haa... sobat, ap akah kau bermaksud menyampai dua patah kata tersebut dengan mengajakku masuk kemari"
Terus terang kukatakan kepadamu, aku sudah mempunyai jalan pilihan ku sendiri."
"Apa rencanamu?"
"Aku harus menyerbu ke dalam Gi Liong oh dan bertemu dengan Gi Liong kuncu ingin ku ketahui siluman macam apakah dirinya itu."
Mendadak orang itu membentak dengan suara sedingin es :
"Berhati-hatilah kau kalau berbiara."
Sik Tiong Giok tertawa. "Apa pula yang mesti kutakuti?" jengeknya.
Dengan penuh amarah orang itu membentak :
"Hmm, jika kau berani sembarangan memperolok-olok dan mencemooh tuan putri kami, hati-hati kalau kucabut lidah dan gigimu."
"Huuh, aku rasa kalian tak akan memiliki kemampuan untuk berbuat demikian."
Orang semakin marah. "Hmm, sekarang kau sudah berada di tengah kepungan kami, berani betul berbiara macam itu?"
"Bila kau memang berkepandaian, lebih baik turun tangan saja selekasnya, apa gunanya banyak berbicara yang tak berguna?"
Sembari berkata, sorot matanya yang tajam segera
memperhatikan sekejap sekitar tempat itu, tapi dengan cepat hatinya menjadi terperanjat.
Ternyata di sekeliling tanah lapang berumput itu telah berdiri tiga puluhan orang lelaki berbaju hitam, mereka sedang bergerak menuju ke tengah arena dengan langkah pelan.
Di bawah sebatang pohon di kejauhan sana, berdirilah manusia berbaju hitam yang menyiratnya dengan tali tadi.
Terdengar orang itu berseru sambil tertawa dingin :
"Heeh... heeh... heeh... aku lihat kau sedang mencari kematian buat diri sendiri."
Sik Tiong Giok segera tertawa :
"Lebih baik jangan main gertak sambal yang tak ada gunanya, kalau memang ingin menyelesaikan persoalan ini secepatnya, lebih baik turun tangan saja, mari kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita berdua."
Manusia berbaju hitam itu mendengus dingin, dia segera menjejakkan kakinya ke atas tanah dan melompat maju ke muka, bentaknya keras-keras :
"Sambut dulu sebuah pukulanku ini!"
Menyusul bentakan itu, sebuah pukulan maha dahsyat yang disertai dengan desingan angin dingin langsung menerjang ke dada Sik Tiong Giok...
Dalam pada itu, kawanan manusia berbaju hitam yang
mengurung di sekeliling arena telah mengundurkan diri selangkah, begitu melihat pertarungan telah berlangsung, dengan begitu terbukalah sebuah tanah lapangan yang cukup luas.
Sik Tiong Giok tertawa dingin, dia mengayunkan tangannya dan menyambut serangan tersebut dengan keras lawan keras, menyusul kemudian tubuhnya berkelebat maju ke depan dan mendesak lebih jauh, tangan kirinya diayunkan langsung menyambar kain kerudung hitam yang menutupi wajah orang itu.
Serta merta manusia berbaju hitam itu menggerakkan tangan kirinya untuk menangkis, sementara jari tangan kanannya menotok jalan darah penting pada pergelangan tangan Sik Tiong Giok.
Cepat-cepat Sik Tiong Giok menarik kembali tangan kirinya sedang pedang di tangannya disapu ke muka dengan jurus
'menembusi awan memetik rembulan', dia langsung menyerang dada manusia berbaju hitam itu.
Menghadapi ancaman itu, cepat-cepat manusia berbaju hitam itu menggerakkan lengannya sambil menyapu ke bawah, dia balas mencengkeram pergelangan tangan kanan Sik Tiong Giok yang menggenggam pedang itu...
Kecepatana serangannya mengagumkan perubahan jurusnya di luar dugaan lawan.
Mendadak Sik Tiong Giok merendahkan pergelangan tangan kanannya ke bawah untuk menghindarkan diri dari cengkeraman lawan, menyusul pedangnya menusuk dari samping dengan jurus
'mencuri tirai menjahit pakaian', di antara berkelebatnya cahaya tajam muncul empat lima kuntum bungan pedang yang secara langsung menyambar pergelangan tangan kiri lawan.
Ketajaman pendengaran manusia berbaju hitam itu benar-benar mengagumkan, baru saja Sik Tiong Giok merubah gerakan serangannya, tahu-tahu dia sudah menarik kembali tangan kirinya ke belakang.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Sik Tiong Giok, pikirnya :
"Gerak gerik dari orang ini terasa amat kukenal, heran, kenapa diapun bisa melakukan gerakan dengan ilmu silat aliran dari bukit serigala?"
Berpikir demikian, tiba-tiba saja pedangnya berubah gerakan, secara beruntun dia melancarkan tiga buah serangan secara berantai.
Dalam waktu singkat cahaya pedang berkilauan di seluruh angkasa dan membiaskan selapis bungan pedang yang secar terpisah menyergap beberapa buah jalan darah penting di tubuh manusia berbaju hitam itu.
Tampak manusia berbaju hitam itu menggerakkan tubuhnya dengan suatu gerakan yang aneh sekali, ternyata secara mudah sekali dia berhasil meloloskan diri dari ketiga serangan berantai dari Sik Tiong Giok, bersamaan waktunya telapak tangan kiri dan jari tangan kanannya menyerang bersama-sama.
Kedua orang itu sama-sama bertarung dengan kecepatan luar biasa, dalam waktu singkat tujuh delapan gebrakan sudah lewat, namun menang kalah masih susah ditentukan.
Sementara itu makin menyaksikan gerak gerik lawannya, Sik Tiong Giok merasa semakin keheranan, mendadak satu ingatan melintas di dalam benaknya, ia teringat akan seseorang, hal mana membuat hawa amarahnyalangsung saja berkobar.
"Cu Bu Ki!" segera bentaknya keras-keras, "rupana kau telah berpihak kepada Gi Liong kuncu. Hmm, setelah bertemukembali hari ini, aku tak dapat mengampuni dirimu lagi."
Di tengah bentakan, tiba-tiba permainan pedangnya berubah, dalam sekejap mata cahaya tajam berkilauan di seluruh angkasa, hawa pedang menyelimuti angkasa, segulung tenaga serangan yang maha dahsyat langsung saja menerjang ke depan.
Ketika mendengar suara bentakan Sik Tiong Giok tadi, manusia berbaju hitam itu kelihatan agak tertegun, dengan cepat dia kehilangan peluang baiknya.
Berhasil dengan serangan pedangnya, Sik Tiong Giok segera susulkan dengan serangkaian serangan lainnya, di tengah berkuntum-kuntum bunga pedang yang beterbangan di angkasa, mendadak muncul sekilas cahaya tajam yang langsung
mengancam sembilan buah jalan darah penting di tiba bagian tubuh manusia berbaju hitam itu.
Apa yang diduga oleh Sik Tiong Giok memang benar, manusia berbaju hitam itu bukan lain adalah si rasul serigala langit Cu Bu Ki, setelah identitasnya berhasil diketahui lawannya dia jadi tertegun dan segera terjerumus ke dalam posisi yang berbahaya sekali.
Tampaknya dia sadar kalau sukar baginya untuk menghindarkan diri dari serngan lawan, dalam gelisahnya, tiba-tiba dia melakukan gerakan mendayung dengan lengan kanannya, lalu menerobos masuk ke balik kabut pedang yang berkilauan itu.
Jurus serangan ini bukan lain adalah jurus ketiga dari dua belas ilmu cacad yang disebut 'Bidikan busur menembusi langit', suatu jurus serangan yang khusus dipakai untuk merampas senjata lawan di saat keadaan berbahay, tujuannya untuk merubah posisi berbahaya menjadi menguntungkan.
Sayang sekali dia bertemu dengan seorang ahli di dalam ilmu dua belas cacad tersebut, ditambah lagi jurus serangan dari ilmu Tay cou cap pwee ta justru merupakan tandingan dari dua belas ilmu cacad tersebut.
Bayangkan saja, bagaimana mungkin dia bisa berhasil"
Mendadak saja cahaya pedang yang menyelimuti angkasa menjadi lenyap tak berbekas disusul kemudian percikan darah segar berhamburan kemana-mana.
Terdengar Cu Bu Ki menjerit kesakitan, tiba-tiba tubuhnya melejit sejauh delapan depa lebih dari posisi semula, badannya sempoyongan kemudian roboh terjungkal ke atas tanah.
Semua jago yang berada di sekeliling arena dapat mengikuti kejadian tersebut dengan amat jelas, mereka melihat bahwa sebuah lengan Cu Bu Ki telah terpapas kutung, kini orangnya tergeletak tak sadarkan diri di atas tanah dengan bermandikan darah segar.
Namun tak seorang pun di antara mereka yang berusaha menolongnya, semua orang berdiri dengan sikap acuh tak acuh, seolah-olah tidak pernah melihat terjadinya peristiwa mana, posisi mereka tetap mengurung Sik Tiong Giok di tengah arena.
Dengan pandangan mata yang tajam Sik Tiong Giok memandang sekejap wajah kawanan jago itu, katanya sambil tertawa nyaring
: "Ular tanpa kepala tak akan berjalan, kalian telah kehilangan pemimpin, bila sampai bertarung nanti, jangan harap kamu semua mampu untuk membendung ketajaman pedangku ini."
Kawanan lelaki berbaju hitam itu tetap membungkam diri dalam seribu bahasa, tapi mereka tetap maju selangkah demi selangkah menuju ke tengah arena.
Mendadak Sik Tiong Giok berkerut kening, lalu sambil berpekik nyaring memutar pedangnya sambil menerjang maju ke depan.
Apa yang diduga ternyata benar, setelah Cu Bu Ki menderita luka parah, kawanan manusia berbaju hitam itu kehilangan pemimpin sehingga barisan mereka pun tak mampu lagi memperlihatkan daya pengaruh yang diharapkan.
Di saat Sik Tiong Giok melancarkan serangkaian serangan yang gencar itulah, barisan lawan segera kocar kacir tak karuan.
Selama beberapa hari belakangan ini, Sik Tiong Giok sudah banyak menghadapi ancaman-ancaman yang berbahaya, di atahu untuk menghadapi kawanan manusia tersebut ia tak perlu berbelas kasihan.
Mendadak bentaknya dengan suara keras :
"Siapa yang berani menghalangiku, mampus!"
Di tengah bentakan, gerakan pedangnya segera berubah, tampak selapis cahaya tajam yang berkilauan menyapu ke depan langsung melancarkan serangan yang mematikan.
Sesungguhnya barisan dari kawanan lelaki berbaju hitam itu sudah kalu sedari tadi, ditambah pula dengan gertakan Sik Tiong Giok yang cukup meluluhkan semangat itu, tak heran kalau mereka semua jadi gugup dan gelagapan sendiri.
Terdengar suara jeritan ngeri yang memilukan hati
berkumandang silih berganti, percikan darah segar pun berhamburan dimana-mana menodai seluruh permukaan tanah.
Tampaknya sepasang mata Sik Tiong Giok sudah dibuat merah karena napsu membunuhnya, cahaya tajam berkilauan dimana-mana, pedangnya diayunkan berulang kali, percikan darah segar dan hancuran daging tubuh segera berhamburan kemana-mana.
Dalam waktu singkat belasan orang lelaki berbaju hitam itu sudah dibantainya secara kejam dan terbukalah sebuah jalan berdarah yang membuat pemuda itu lolos dari kepungan.
Dengan berlangsungnya pertarungan sengit ini tampaknya Sik Tiong Giok telah melampiaskan pula rasa mangkel dan
mendongkolnya yang telah ditahan selama beberapa hari, menyaksikan korban yang bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan mengerikan itu, dia malah merasa tak tega sendiri, sehingga tak kuasa lagi dia menghembuskan napas panjang...
Belum habis hembusan napas itu lewat, mendadak terdengar seseorang berseru sambil tertawa nyaring :
"Tak heran kalau namamu bisa menggemparkan seluruh dunia persilatan begitu muncul di dalam dunia persilatan, tampaknya kau si Pangeran Serigala memang bukan orang bodoh."
Dengan perasan terkejut cepat-cepat Sik Tiong Giok membentak
: "Siapakah kau?"
"Aku hanya seorang anggot Gi Liong oh, buat apa kau tanyakan soal ini lagi?" sahut orang itu sambil tertawa.
Menyusul perkataan itu, dari balik sebatang pohon besar muncul seorang sastrawan berusia pertengahan yang berwajah tampan dan berlangkah lembut, pelan-pelan dia berjalan menuju ke hadapan Sik Tiong Giok.
Berada dalam keadaan begini, tentu saja si anak muda tersebut tidak membiarkan orang itu mendekatinya, apalagi musuh atau teman belum jelas.
Dengan suara keras tiba-tiba saja pemuda itu membentaknya :
"Berhenti, bila kau berani mendekat lagi, jangan salahkan kalau aku tak akan bersikap sungkan-sungkan lagi kepadamu."
Sastrawan berusia pertengahan itu maju lagi sejauh lima depa sebelum menghentikan langkahnya, sambil tertawa dia berkata :
"Buat apa kau merasa takut..."
"Aku sama sekali tidak takut, cuma aku perlu waspada dan berjaga-jaga terhadap orang-orang Gi Liong oh... bukankah kalian semua licik dan tidak bisa dipercaya?"


Pangeran Perkasa Pangeran Srigala Perkasa Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sastrawan berusia pertengah itu tertawa.
"Sejak memasuki wilayah Gi Liong oh, kau berhasil menembusi lima pos penjagaan dan tiga tempat berbahaya kami,
kemampuan yang telah kau perlihatkan ini benar-benar membuat orang merasa amat kagum."
"Aah, kepandaian ku tidak seberapa, belum terhitung apa-apa,"
jawab Sik Tiong Giok tertawa.
Mendadak sikap si sastrawan berusia pertengahan itu berubah menjadi kaku, nada suaranya juga berubah menjadi dingin dan kaku, sambil menuding ke arah mayat-mayat yang
bergelimpangan di atas tanah lapang itu serunya :
"Apakah orang-orang itu mati di tanganmu?"
"Dalam suatu pertarungan, senjata tak bermata, tentu saja di satu pihak akan jatuh korban, apa sih yang kau herankan dengan situasi semacam ini?"
"TAhukah kau dengan peraturan dari Gi Liong oh kami?"
"Aku tidak perlu tahu, tapi aku t ebak di bawah pimpinan kaum iblis, tak mungkin mempunyai peraturan yang baik."
Sastrawan berusia pertengahan itu segera tertawa dingin.
"Apakah kau bermaksud untuk bertemu dengan tuan putri kami?"
"Aku datang untuk memenuhi janji, sudah barang tentu harus bertemu dengannya."
"Tapi kau telah membunuh para busu pelindung hukum dari Gi Liong oh, aku rasa tidak gampang bagimu untuk bertemu dengan tuan putri kami."
Sik Tiong Giok tertawa dingin, serunya :
"Semua persoalan yang telah kuputuskan biasanya jarang sekali berubah kembali.
"Kalau begitu kau harus menangkan diriku lebih dahulu."
"Apa yang harus kita pertandingkan?"
"BAIK ILMU SILAT MAUPUN ILMU sastrawan, main khim, main catur, melukis dan membaca syair terserah pilihanmu sendiri, pokoknya aku akan mengiringi semua keinginanmu itu."
"Waaaah... tampaknya besar juga bacot mu itu!" jengek Sik Tiong Giok sambil tertawa dingin.
"Kau pun tidak usah kelewat sombong dengan kemampuan yang kau miliki itu."
Sik Tiong Giok tertawwa. "Buat apa kita mesti membuang waktu dengan berbicara yang tidak-tidak" Aku ingin sekali mencoba kehebatan dari ilmu silat mu itu."
"Bagus sekali, kalau begitu turun tanganlah lebih dulu!" kata sang sastrawan sambil tertawa.
"Seorang tamu yang baik tak akan mendahului tuan rumah, lebih baik kau loloskan senjatamu lebih dulu!"
Sastrawan berusia pertengah itu segera tertawa dingin :
"Heeeeehhh... heeehh... heeeehhh... semenjak terjun ke dalam dunia persilatan, belum pernah aku menggunakan secuwil besi pun, biar kupergunakan sepasang tanganku ini untuk bertarung dengan ilmu pedangmu itu."
"Kalau toh saudara enggan menggunakan senjata, aku tebak dalam permaian ilmu pukulan pasti memiliki kelebihan yang luar aisa, baiklah kalau begitu aku pun tak akan sungkan-sungkan lagi."
"Mengapa tidak menyerang saja secara langsung?"
"Baik!" sahut Sik Tiong Giok.
Dengan cepat pedangnya digetarkan ke depan lalu menusuk dengan jurus 'Burung bangau merentangkan sayap'.
Sastrawan berusia pertengah itu segera menggerakkan
tangannya secara berantai, tangan kirinya berputar sambil menyerang, sementara tangan kanannya melepaskan pukulan tanpa menggerakkan tubuhnya sama sekali, jelas dia
memandang enteng lawannya dan tak memandang sebelah
matapun terhadap kemampuan anak muda tersebut.
Sik Tiong Giok mendengus dingin, mendadak permainan
pedangnya dipercepat, selapis cahaya tajam segera menyelimuti seluruh angkasa dan mengurung tubuh si sastrawan berusia pertengahan itu rapat-rapat...
Agaknya sastrawan berusia pertengahan itu sama sekali tidak menyangka kalau gerak serangan pedang dari Sik Tiong Giok dapat bergerak secepat itu, cepat-cepat dia melompat mundur ke belakang, tangan kanannya melakukan gerakan melingkar di depan dada lalu didorong ke depan...
Seketika itu juga Sik Tiong Giok merasakan segulung tenaga pukulan yang maha dahsyat meluncur ke muka dengan hebatnya membendung gerakan pedangnya, bukan cuma begitu, hal ini membuatnya amat terkesiap, cepat-cepat dia menghimpun hawa murninya dan secara berantai pedangnya melakukan sapuan ke depan.
Waktu itu dia telah menghimpun segenap tenaga dalam yang dimilikina ke dalam ujung pedang, dengan begitu di saat pedangnya melancarkan serangan, teriringlah selapis angin pedang yang tajam dan kuat menyapu ke muka.
Setelah mengetaahui akan kehebatan lawannya, si sastrawan berusia pertengahan tak berani lagi memandang enteng lawannya, sorot matanya segera berkilat dan memancarkan sinar tajam, sudah jelas dia telah meningkatkan kewaspadaan hatinya.
Bukan cuma begitu, jurus-jurus serangan yang kemudian dipergunakan juga dilancarkan dengan lebih berhati-hati serta seksama.
Tampak tangannya sebentar memacok dengan ilmu telapak tangan, sebentar lagi menotok dengan jari tangannya, semua ancaman tersebut ditujukan ke arah urat nadi pada pergelangan tangan kanan Sik Tiong Giok yang mengenggam pedang itu.
Begitu pertarungan berkobar di antara mereka berdua, dalam waktu singkat dua tiga puluh jurus telah lewat, namun menang kalah di antara mereka berdua masih sukar ditentukan.
Sik Tiong Giok mendengus katanya tiba-tiba :
"Hmm, ternyata kau memiliki ilmu silat yang cukup hebat dan luar biasa..."
Sastrawan berusia pertengahan itu tertawa dingin, sahutnya :
"Terbukti kau mampu bertahan sebanyak tiga puluhan gebrakan di tanganku tanpa menderita kalah, nyata juga kalau
kemampuanmu setarap dengan seorang jago kelas satu dalam dunia persilatan."
Sik Tiong Giok tersenyum :
"Apakah kau mempunyai keyakinan untuk menang?"
"Aku yakin kau pun tidak mempunyai kemampuan untuk mengalahkan diriku."
"Hmm, aku justru akan mengalahkan kau dalam sepuluh jurus dan mencabut nyawamu dalam dua puluh jurus, percayakah kau?"
"Perkataan mu itu sungguh membuat aku sukar untuk percaya,"
sahut sastrawan itu dingin.
Kembali Sik Tiong Giok tertawa.
"Baik, kalau begitu bersiap-siaplah untuk menerima serangan!"
katanya. Sembari berbincang-bincang, pertarungan sama sekali tak berhenti, kedua orang itu bertarung lagi sebanyak belasan jurus tanpa diketahui siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Ketika Sik Tiong Giok telah selesai berkata tadi, mendadak ia menarik kembali serangannya sambil mundur sejauh lima depa dari posisi semula, begitu berdiri tegak, pelan-pelan pedangnya diangkat ke atas.
Dari pancaran sinar mata Sik Tiong Giok yang tajam dan berkilauan, sastrawan berusia pertengahan itu dapat
menyaksiakn betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki anak muda tersebut, hatinya menjadi terkesiap, pikirnya :
"Tampaknya bocah keparat ini benar-benar mampu mengalahkan aku dalam sepuluh gebrakan, mungkin tiada manusia kedua di dunia ini yang mampu mengungguli dirinya lagi."
Sementara dia masih berpikir tampak olehnya Sik Tiong Giok telah menggerakkan pedangnya dengan jurus 'hawa unggu datang dari timur' langsung menusuk ke dadanya.
Sastrawan berusia pertengahan itu sudah waspada sedari tadi, sudah barang tentu ia tak berani berayal lagi, sambil bergeser selangkah ke samping tangan kanannya diayunkan ke depan mencengkeram pergelangan tangan kanan lawan.
Tiba-tiba Sik Tiong Giok menggerakkan pergelangan tangan kanannya ke bawah lalu secara mendadak pedangnya membalik ke atas sambil melancarkan tusukan.
Rupanya dia sudah menaruh perasaan was-was
terhadapkemampuan sastrawan berusia pertengahan itu, dia tahu jurus pedang yang biasa tak bakal melukainya.
Oleh sebab itu di saat pedangnya membalik sambil melakukan gerakan menusuk tadi secara tiba-tiba dia merubah gerakannya di tengah jalan.
Sebaliknya sastrawan berusia pertengahan itu pun merasa agak sangsi setelah menyaksikan gerak serangan Sik Tiong Giok yang aneh itu, karenanya begitu melihat gerakan pedang lawan membalik ke aas cepat-cepat dia mengundurkan diri untuk menghindarkan diri.
Melihat musuhnya mundur, Sik Tiong Giok segera memanfaatkan kesempatan itu untuk mendesak lebih ke depan, pedangnya langsung ditusukkanke depan dari kejauhan.
Nyata sekali kalau sastrawan berusia pertengahan itu belum melihat dimanakah letak kehebatan dari jurus serangan ini, baru saja dia tertegun, tahu-tahu melihat Sik Tiong Giok mendesak ke depan sambil melancarkan serangan.
Berada dalam keadaan begini, cepat-cepat telapak tangan kanannya diayunkan ke depan melepaskan sebuah pukulan dahsyat, sedangkan tubuhnya berkelit ke sisi kiri.
Siapa sangka belum lagi kakinya berdiri tegak, pedang Sik Tiong Giok tanpa bergeser sedikitpun dari posisinya semula telah menempel di atas jalan darah penting di dadanya.
Hal ini membuatnya amat terperanjat, dengan cepat dia menghindar ke samping lalu sepasang telapak tangannya dibacokkan berulang kali.
Biarpun sepasang telapak tangannya sudah diayunkan beruntun dan tubuhnya sudah menghindar dengan gerakan cepat namun pedang Sik Tiong Giok seperti besi semberani saja, menempel terus dari depan dadanya.
Kejadian ini tentu saja amat mengejutkan sastrawan berusia pertengahan itu di samping perasaan ngeri, diam-diam dia menggertak giginya kencang-kencang lalu mengeluarkan semua kemampuan yang dimilikinya selama ini.
Tiba-tiba dia melancarkan dua puluh empat buah pukulan berantai dan tubuhnya menghindar pula ke dua belas posisi yang berbeda.
Tapi ujung pedang Sik Tiong Giok seakan-akan sudah menempel dengan tubuhnya, kemana pun dia menggeser, ujung pedang tersebut tetap menempel dan tak bergerak dari dadanya.
Lambat laun cucuran keringat dingin mulai membasahi seluruh wajah sastrawan berusia pertengahan itu.
Sambil tersenyum Sik Tiong Giok segera berkata :
"Walaupun kau telah melancarkan dua puluh buah pukulan, padahal jurus pedang yang kugunakan hanya lima gerakan saja, tampaknya untuk mencabut nyawamu, aku tidak usah menunggu sampai dua puluh jurus lagi."
Mendengar perkataan tersebut sastrawan berusia pertengahan itu jadi bergidik, dia sadar apa yang dikatakan lawannya benar, tapi diapun tak sudi mengaku kalah dengan begitu saja.
Sebab umat persilatan pada umumnya mempunyai penyakit yang sama yakni suka akan 'nama besar', bagi mereka lebih baik jiwa melayang daripada nama baik menjadi hancur, itulah sebabnya sastrawan tersebut segera mendengus dingin.
Sambil tertawa Sik Tiong Giok segera berkata :
"Tampaknya sebelum melihat peti mati kau tak akan menangis, nah sambutlah seranganku ini!"
Di tengah bentakan keras, pedangnya segera meluncur ke depan dengan jurus 'ikan terbang belut melompat'.
Dalam waktu singkat selapis cahaya hijau yang disertai dengan bunga pedang telah memancar kemana-mana.
Kontan saja sastrawan berusia pertengahan itu dibuat kalang kabut dan gelagapan tiada hentinya, dengan mengerahkan sisa kekuuatan yang dimilikinya dia melepaskan kembali dua buah pukulan, maksudnya untuk membendung ancaman yang tiba sementara tubuhnya bergerak mundur ke belakang.
Cahaya tajam kembali berkilauan, mata pedang ikut mendesak ke depan dan mengurung seluruh tubuhnya rapat-rapat.
Dalam terkejut dan ngerinya, cepat-cepat sastrawan berusia pertengahan itu menyodokkan tangan kanannya ke muka dengan jurus 'melukis naga membuat mata'.
Dalam sekejap mata itulah serangan jari yang dilepaskan telah tergulung oleh cahaya tajam yang luar biasa itu, ternyata serangannya kena terbungkus oleh hawa pedang si anak muda itu.
Dalam gugup dan takutnya, satu ingatan untuk 'kabur' segera melintas lewat, ceapt-ceapt ia menarik hawa murninya sambil menjatuhkan badannya ke belakang, maksud dia akan berusaha kabur dari balik kabut pedang dengan gerakan 'ikan leihi melentik'.
Siapa tahu gerakan serangan pedang dari Sik Tiong Giok jauh lebih cepat daripada gerakan tubuhnya, sebelum dia sempat menjatuhkan diri ke belakang cahaya tajam telah menyambar lewat.
Sastrawan berusia pertengahan itu segera merasa hawa dingin menyambar lewat dari atas kepalanya, cepat-cepat dia menarik kepalanya ke bawah, namun batok kepalanya sudah keburu terasa dingin.
Untung saja Sik Tiong Giok masih punya welas kasih sehingga sambaran pedangnya ini hanya mematas kutung rambutnya, coba kalau dua inci lebih ke bawah, niscaya batok kepala sastrawan berusia pertengahan itu sudah terpapas kutung menjadi dua bagian.
Begitu berhasil dengan serangannya, Sik Tiong Giok segera menarik pula serangannya dan berkata sambil tertawa :
"Sampai sekarang aku hanya menggunakan lima jurus saja, tahukah kau apa sebabnya aku berbelas kasihan kepadamu?"
Setelah rambutnya tersambar pedang lawan hingga rontok tadi, sastrawan berusia pertengahan itu merasakan seluruh badannya jadi lemas, rambutnya jadi kusut, matanya terbelalak lebar-lebar dan mengawasi Sik Tiong Giok dengan tertegun tanpa bicara maupun bergerak.
Kedengaran Sik Tiong Giok berkata lebih jauh :
"Maksudku tak lain agar kau bisa membawa ku pergi menjumpai Gi Liong kuncu."
Sastrawan berusia pertengahan itu menghela napas, katanya kemudian :
"Nyata sekali kepandaian silat yang dimiliki pangeran cilik memang luar biasa, baiklah, ikutilah aku!"
Dia segera membalikkan badan dan beranjak pergi dengan langkah lebar...
Sik Tiong Giok segera menyusul di belakangnya, lalu berkata sambil tertawa :
"Ehmm, sebenarnya kepandaian silat yang kau miliki pun terhitung lumayan juga, syang sekali kau justru menggabungkan diri dengan kaum sesat. Yaa, patut disayangkan!"
Agaknya sastrawan berusia pertengahan itu merasa amat mendongkol sekali, dia sama sekali tak menggubris ocehan Sik Tiong Giok dan meneruskan perjalannya dengan langkah cepat.
Setelah menempuh perjalanan yang berliku-liku sejauh beberapa li, lambat laun mereka keluar dari hutan siong dan di depan mata sekarang terentang sebuah telaga yang sangat besar.
Sementara itu fajar telah menyingsing di ufuk timur, matahari yang memancarkan sinar keemas-emasannya memercikan
pantulan cahaya yang amat tajam di atas permukaan air.
Di tengah telaga terdapat sebuah bukit kecil, di atasnya berdiri beberapa buah bangunan rumah.
Sambil menuding ke arah bangunan rumah di seberang sana, Sik Tiong Giok segera berkata :
"Istana Gi liong kiong tentu terletak di atas bukit di tengah telaga, bukan?"
Sastrawan berusia pertengahan itu masih membungkam diri dalam seribu bahasa, tiba-tiba ia bersuit nyaring.
Dengan bergemanya suara suitan itu, tiba-tiba muncul sebuah sampan yang bergerak cepat sekali mendekati tepi pantai.
Dengan suara dingin sastrawan berusia pertengahan itu berseru :
"Cepat bawa pangeran ini menyeberang telaga!"
Di ujung sampan berdiri seorang nona cantik berbaju hijau, ketika mendengar perintah tersebut, dia segera menyahut :
"Budak mengerti!"
Sastrawan berusia pertengahan itu segera membalikkan badan seraya berkata lagi :
"Silahkan pangeran naik ke atas kapal!"
Sik Tiong Giok ragu-ragu sejenak, tapi dengan cepat dia melompat naik ke atas sampan itu.
Dengan cepat nona berbaju hijauitu mendayung sampannya dan melaju ke tengah telaga dengan membelah gulungan ombak.
Sampan itu sudah bergerak puluhan kaki lebih, tapi sikap nona berbaju hijau itu tetap acuh tak acuh, seakan-akan kehadiran Sik Tiong Giok disana sama sekali tidak dianggap, suasana hening mencekam sekeliling tempat itu.
Sik Tiong Giok benar-benar takk sabar, tiba-tiba ujarnya kepada nona berbaju hijau itu sambil tertawa :
"Bolehkah aku tahu siapa nona" Dan bangunan di atas bukit di tengah telaga itu apa betul istana Gi liong kiong?"
Nona berbaju hijauitu membungkam diri dalams seribu bahasa, dia hanya mengayuh sampan tiada hentinya, jangan lagi menjawab pertanyaan Sik Tiong Giok, memandang sekejap pun tidak.
Beberapa kali Sik Tiong Giok mengulangi pertanyaannya, tapi setiap kali tidak memperoleh tanggapan sebagaimana mestinya, lama-lama pemuda itu sadar juga kalau lawannya memang sengaja tidak menggubris dirinya.
Setelah berpikir sejenak, mendadak ia menjerit kaget :
"Hei, siapa sih nona berbaju merah itu?"
Nona berbaju hijau itu nampak seperti terkejut oleh teriakan itu, cepat-cepat dia berpaling dan celingukan kesana kemari, tapi suasana di sekitar sana tetap hening, tak sesosok bayangan manusia pun yang nampak.
Tak kuasa lagi dia mendelik ke arah Sik Tiong Giok sambil menegur :
"Hey, bersikaplah lebih jujur!"
"Kalau dugaanku tak keliru, orang-orang yang mengenakan pakian hijau seperti kau ini tentu mempunyai kedudukan yang palng rendah di dalam istana Gi liong kiong, selanjutnya urutannya pasti baju merah, baju kuning dan Gi Liong kuncu sendiri mengenakan pakaian berwarna hitam."
Nona berbaju hijau itu kelihatan amat terperanjat setelah mendengar perkataanitu dengan suara dingin ia segera berseru :
"Darimana kau dengar kesemuanya ini" Apakah pelindung hukumdi tepi telaga yang memberitahukan kepadamu" Hmm, aku lihat dia sudah hampir mampus."
"Eeeei, kau jangan menuduh orang baik-baik secara sembarangan," seru Sik Tiong Giok sambil tertawa, "kesemuanya ini hanya hasil dugaanku sendiri."
"Ehmm, tak nyana kau secerdik itu!"
Kembali Sik Tiong Giok tertawa.
"Terima kasih banyak atas pujianmu, sesungguhnya aku bisa menduga kalau Gi Liong kuncu pasti memakai baju hitam karena ku nilai dia adalah seorang yang misterius dan berhati kejam, biasanya manusia yang hatinyahitam paling gemar memakai baju warna gelap."
"Lebih baik jangan berceloteh yang bukan-bukan, hati-hati kalau ada halilintar yang akan memotong lidahmu, jangan membuat istana Gi liong kiong sebagai tempat kuburan untuk selamanya,"
kata nona berbaju hijau itu dingin.
"Setiap pesilat pasti mendambakan tempat kubur yang ideal dan indah baginya, bila aku mesti mati disini, hatiku pun amat puas apalagi ditemani gadis-gadis cantik macam kalian..."
Ketika berbicara sampai disitu, tiba-tiba dia mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, kembali ujarnya :
"Apakah Gi Liong kuncu berwajah cantik?"
Mendadak nona berbaju hijau itu membentak nyaring :
"Sekali lagi kuperingatkan kepadamu, hal-hal yang tak pantas dipertanyakan lebih baik jangan kau tanyakan."
Sementara pembicaraan masih berlangsung, mendadak sampan itu bergetar keras, ternyata sampan tersebut telah menumbuk di atas sebuah batu karang.
Baru saja Sik Tiong Giok hendak bertanya lagi, nona berbaju hijau itu sudah membentak lebih dulu dengan suara dingin :
"Silahkan naik ke daratan!"
Sik Tiong Giok mengalihkan pandangan matanya dan
memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, ternyata di hadapannya terbentang dinding batu karang yang amat terjal, pada hakekatnya tiada jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai puncak tebing itu.
Tanpa terasa ia bertanya dengan wajah keheranan :
"Disini sama sekali tidak tersedia jalanan, apa maksudmu kau menyuruh aku turun disini?"
Tiba-tiba tersungging sekulum senyuman di wajah nona berbaju hijau itu setelah mendengar perkataan tadi, akan tetapi di saat sorot matanya saling beradu dengan Sik Tiong Giok, mendadak mukanya berubah lagi jadi dingin dan kaku seperti es, ujarnya dingin :
"Huuuh, katanya saja pintar, tak tahuna bodoh sekali, mengapa kau lupa dengan ucapan yang berbunyi 'Merambat rotan naik ke tebing...'
Satu ingatan segera melintas dalam benak Sik Tiong Giok sehabis mendengar perkataa ini, cepat dia melompat naik ke atas sebuah batu besar kemudian memeriksa dinding batu itu dengan seksama.
Benar juga, di sepanjang dinding itu penuh ditumbuhi pepohonan rotan liar daun yang lebat menutupi sebuah mulut gua di bawahnya.
Setelah berpikir sejenak dia segera mengambil ancang-ancang dan segera melompat ke depan.
Begitu masuk ke dalam gua, disana terbentang undak-undakan tiga huruf yang besar sekali :
GI LIONG KIONG Sik Tiong Giok mencoba untuk memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian meneruskan perjalannya dengan menaiki tangga batu itu.
Tatkala dia sudah mencapai pada anak tangga yang terakhir, mendadak kakinya terpeleset sehingga tanpa sadar tangannya segera menyambar dinding batu untuk berpegangan disitu.
Siapa tahu begitu sepasang tangannya memegang dinding batu itu, tiba-tiba berkelebat lewat sinar kuning yang menyilaukan mata langsung menjirat sepasang tangannya.
"Criiiing...!" Ternyata benda kuning itu membelenggu pergelangan tangannya erat-erat, jelas merupakan sebuah alat borgol.
Sementara Sik Tiong Giok masih terperanjat, tahu-tahu bahunya sudah dicengkeram sebuah tangan disusul seseorang berkata dengan suara nyaring :
"Setiap orang yang ingin memasuki istana Gi liong kiong dilarang membawa senjata tajam, tak nyana kau berani sekali melanggar peraturan yang berlaku dalam istana kami."
Di dalam kagetnya, Sik Tiong Giok segera meraskan tubuhnya menjadi lemas dan sama sekali tak mampu digunakan kembali.
Saat itulah dia merasa pedang diloloskan oleh orang, menyusul kemudian sepasang tangannya ditelikung ke belakang serta diborgol dengan sebuah borgol emas, setelah itulah dia baru dilepaskan tanpa menotok jalan darahnya.
Menanti Sik Tiong Giok berpaling, dia segera mengenali orang itu sebagai seorang nona berbaju merah, saking jengkelnya dia segera mendengus sambil serunya :
"Beginikah cara kalian orang-orang Gi Liong oh dalam menyambut tamunya?"
Nona berbaju merah itu segera terenyum :
"Seandainya aku tidak berbuat begini, bagaimana mungkin kau akan menuruti perkataanku" Ayohlah ikuti diriku!"
"Kau hendak mengajakku kemana?"
"Bukankah kau hendak berjumpa dengan tuan putriku?"
"Dia berada dimana?"
"Di atas pagoda Tuan hun kek dalam istana Gi liong kiong ini."
Sik Tiong Giok segera mendengus dingin :
"Oooh, rupanya dia berdiam dalam pagoda pemutus sukma, nama ini betul-betul membuat hati orang bergidik, aku tebak dia pasti seorang manusia latah yang sudah sedikit sinting!"
"Hey... kuanjurkan kepadamu lebih baik berhati-hatilah kalau berbicara di tempat ini."
Sik Tiong Giok segera tertawa.
"Sekarang mati hidupku sudah berada di tangan kalian, tanpa berbicarapun tidak nanti bisa mempertahankan hidupku, apa salahnya kalau aku berbicara sebanyak mungkin sebelum mati?"
Nona berbaju merah itu melotot sekejap ke arahnya, kemudian membalikkan badan dan sama sekali tidak menggubris lagi.
Sik Tiong Giok sendiripun mati kutunya saat itu, terpaksa dia harus mengikuti di belakang nona itu dengan mulut
membungkam. Setelah menembusi hutanpohon siong mereka membelok
menelusuri jalan yang penuh dengan rerumputan batu
menempuh jarak sejauh beberapa kaki, Sik Tiong Giok telah menemukan bahwa orang yang berjaga-jaga di sepanjang jalan makin lama semakin banyak jumlahnya.
Waktu itu si nona berbaju merah itu berjalan dengan wjah serius, apa pun yang dikatakan Sik Tiong Giok sama sekali tidak digubris dan ditanggapi olehnya.
Setelah terlepas dari jalanan berumput, pemandangan alam di sekelilingnya tiba-tiba berubah.
Di depan sana terbentang sebuah kebun bunga, bangunannya megah dan indah.
Kemudian setelah melewati kebun bunga itu dan membelok ke kanan berjalan sejauh puluhan kaki, di depan mata terbentang sebuah tanah lapang yang luas.
Di tengah tanah lapang berdiri beberapa buah gedung, semua bangunan itu tampak kokoh dan luas.
Beberapa orang nona berpakaian ringkas berjalan mondar mandir di muka bangunan tersebut semuanya menyoren pedang dan kelihatan angker serta gagah.
Tiba di depan tanah lapang seorang nona berbaju ringkas segera maju mendekat, setelah memberi hormat kepada gadis berbaju merah itu dan berlangsung tanya jawab secara ringkas, Sik Tiong Giok diajak menuju ke sebuah bangunan yang letaknya sebelah kiri.
Dari tanya jawab yang berlangsung tadi, Sik Tiong Giok dapat mendengar kalau sudah banyak jago lihay yang ditawan serta disekap di dalam gedung sebelah kanan.
Tanpa kemampuan untuk melawan, dia dimasukkan ke dalam sebuah ruangan, ketika nona berbaju ringkas itu mengundurkan diri pintu kamar ditutup dan dikunci dari luar.
Sambil menghela napas Sik Tiong Giok mencoba untuk
memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, terasa ruangan itu sangat redup dan cuma terdapat sebuah jendela seluas satu depa yang diberi terali besi kuat.
Dengan ketajaman pedangnya dia mencoba untuk
memperhatikan sekeliling tempat itu, tak lama kemudian ia berhasil menemukan kalau di luar jendela ada seseorang yang selalu mengawasi gerak geriknya, ini berarti seandainya dia bermaksud melepaskan diri dari borgol pun perbuatannya pasti ketahuan.
Lambat laun dia merasa di tempat itu dicekam oleh semacam suasana yang misterius.
Lamat-lamat dia pun seperti mendengar suara rintihan yang dikumandangkan dari balik kepedihan hati.
Tapi bersamaan waktunya dia pun mendengar suara tertawa cekikikan dari sekawanan gadis muda.
Ia mulai bertanya pada diri sendiri, haruskah dia memutuskan borgol itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya, lalu
mendobrak pintu dan menerjang keluar.
Pada saat itulah terdengar suara langkah kaki manusia bergema datang, disusul kemudian terdengar suara kunci di depan pintu dibuka orang.
Kraaaak...! Pintu ruangan terbuka dan berdirilah seorang nona berbaju merah di muka pintu, dengan suara dingin diapun berseru :
"Hey orang she Sik, hayo cepat turut aku."
Meski hanya beberapa patah kata yang amat singkat, namun diutarkan dengan suara yang dingin dan kaku bagaikan es, sehingga menimbulkan perasaan bergidik bagi siapa pun yang mendengarnya.
Sik Tiong Giok tersenyum dan beranjak ke luar dari ruangan itu, lalu berlalu dengan mengikuti si nona berbaju merah tersebut.
Setelah melewati sebuah halaman besar, tiba-tiba dilihatna seorang nona berbaju kuning berdiri di sisi pintu.
Nona berbaju merah itu segera mengulapkan tangannya seraya berseru :
"Seng leng budak dari gedung Soh ciu piat wan mendapat perintah untuk menjemput Pangeran Serigala, kini kuserahkan kepada nona...!"
"Baik, kau boleh pergi dari sini," jawab nona berbaju kuning itu sambil mendengus.
Menyusul kemudian dia mengawasi wajah Sik Tiong Giok dengan pandangan terkejut bercampur keheranan, lalu diperhatikanna beberapa kejap dari atas hingga ke bawah.
Sambil bergendong tangan, Sik Tiong Giok segera menegur :
"Heran, mengapa kalian orang-orang dari Gi Liong oh hampir semuanya tak berperasaan" Aku toh tamu agung yang diundang oleh tuan putri kalian, mengapa kalian justru memperlakukan diriku seperti seorang tawanan?"
"Memang beginilah peraturan kami, kau tak bakal mengerti,"
sahut nona berbaju kuning itu.
Kembali Sik Tiong Giok mendengus.
"Hmm, aku tidak mengerti dengan peraturan kentut kalian ini, apakah kamu semua tidak merasa bahwa sikap semacam ini terlalu besar dan tak tahu aturan" Kau harus mengerti, aku seorang she Sik bukan seorang manusia yang mau dipermainkan orang dengan begitu saja!"
"Aku tahu bahwa ilmu silat yang kau miliki memang hebat, tapi kau tak bakal bisa melepaskan diri dari borgol tersebut."
"Huuh... borgol sekecil itu mana mungkin bisa membelenggu ku terus menerus" Aku tak percaya!"
"Jika kau tak percaya, mengapa tidak kau coba untuk mengerahkan tenaga dalam mu, coba dilihat dapatkah kau getarkan borgol tersebut hingga terlepas?" jengek nona berbaju kuning itu sambil tertawa.
"Aku tak ingin berbuat begitu, tuan putri kalian yang harus membukakan borgol tersebut bagiku."
Nona berbaju kuning itu kembali tertawa.
"Terus terang saja kukatakan kepadamu, borgolini terbuat dari besi baja Tee sim han shi golok atau pedang mestika pun tak nanti dapat mematahkannya, kecuali kau mempunyai lapisan kayu Leng lo hol dari Kang sim!"
Tiba-tiba saja satu ingatan melintas dalam benak Sik Tiong Giok setelah mendengar perkataan itu, dia teringat kembali dengan lapisan kayu yang berada dalam sakunya sekarang, pikirnya kemudian :
"Aaah, tidak kusangka kedua lempengan kayu yang begitu sederhana ternyata mampu mematahkan besi baja."
Berpikir sampai disitu, diapun mulai memutar otak serta mencari akal bagaimana caranya mengambil keluar kedua lempengan kayu tersebut dari sakunya.
Ketika menyaksikan anak muda itu membungkam diri, sambil tersenyum nona berbaju kuning itu menegur :
"Hey, apa yang sedang kau pikirkan" Ayo cepat turut aku!"
"Tapi aku tak bisa berjalan lagi sekarang," sahut Sik Tiong Giok dengan kening berkerut.
"Kenapa?" "Desakan dari dalam perut tiba-tiba saja mau menyambar keluar, aku kuatir bila bergerak kelewat cepat maka ampasku bakal menyemprot keluar dalam celana, coba bayangkan bagaimana mungkin aku bisa bertemu dengan tuan putri kalian?"
Begitu mendengar perkataan tersebut, nona berbaju kuning itu seakan-akan sudah mengendus bau busuk yang menusuk hidung, cepat-cepat ia menutup hidungnya sambil membentak :
"Aduh... baunya! Bagaimana sih kamu ini" Benar-benar menjengkelkan."
"Yaa, apa boleh buat, aku toh tak bisa menahan lebih lanjut, tapi kesemuanya ini kesalah si nona berbaju merah bercelana hijau tadi, sudah berulang kali kuajukan permintaan kepadanya, tapi dia tak pernah memenuhi keinginanku dengan lega hati, yaa...
apalagi yang bisa kuperbuat?"
"Waah.. mereka memang kebangetan, tapi akupun tak lega membiarkan kau masuk kakus seorang diri..."
"Waduh, celaka!" kembali Sik Tiong Giok berteriak secara tiba-tiba, "aku benar-benar sudah tak mampu menahan diri lagi, oh nona, berbuatlah kebaikan bagiku... cukup kau bebaskan sebuah tanganku saja."
"Tapi aku harus menotok jalan darah Seng hu dan Yang leng hiat mu..."
Dengan kaki sebelah, bagaimana caraku untuk berjalan?" sahut Sik Tiong Giok kemudian sambil mengeluh.
Nona berbaju kuning itu segera mengerling sekejap ke arahnya, lalu menjawab :
"Kau jangan kelewat mendesak diriku, sedikitlah tahu diri, kalau tidak, aku pun tidak akan memperdulikan dirimu lagi."
"Baiklah," ujar Sik Tiong Giok kemudian sambil menghela napas panjang, "bila berada di bawah atap rumah orang, memang mesti menundukkan kepala."


Pangeran Perkasa Pangeran Srigala Perkasa Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara pembicaraan masih berlangsung si nona berbaju kuning itu sudah mengajak Sik Tiong Giok menuju ke sebuah kakus, mula-mula dia menotok dulu jalan darah Sik Tiong Giok kemudian baru melepaskan borgolnya dan menyingkir jauh.
Padahal Sik Tiong Giok sama sekali tidak merasa ada desakan yang hebat dari perutnya, dia justru menggunakan kesempatan yang sangat baik itu untuk mengeluarkan kedua lembar kayu itu serta disisipkan ke balik ujung bajunya, lalu dengan lagak membuang hajad, sekian saat kemudian dengan melompat-lompat memakai kaki sebelah, dia muncul kembali.
Nona berbaju kuning itu segera tersenyum melihat tingkat laku pemuda tersebut, dengan cepat dia mengenakan borgolnya kembali, setelah itu baru membebaskan jalan darahnya.
Sambil tertawa Sik Tiong Giok berseru :
"Nona, kau memang baik hati, di kemudian hari pasti akan mendapat seorang sami yang ideal."
"Hey, lebih baik jangan berbicara sembarangan," bentak nona berbaju kuning itu, "sekarang, ayo cepat ikut aku..."
Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ, terpaksa Sik Tiong Giok mengikut di belakangnya.
Setelah menulusuri sebuah serambi yang panjang, akhirnya mereka tiba di dalam sebuah halaman gedung.
Dalam halaman tersebut tak ada tanaman bunga atau
pepohonan, hal ini membuat suasana di sekitar situ terasa seram dan menggidikkan hati...
Di depan halaman adalah halaman besar, dari undak-undakan hingga ke serambi panjang, masing-masing berdiri dua puluh empat orang gadis tanpa bergerak sedikit pun, semuana memakai baju ringkas dengan pedang tersoren di punggungnya.
Nona berbaju kuning itu mengajak Sik Tiong Giok berjalan melalui antara kerumunan gadis-gadis berpakaian ringkas itu.
Sik Tiong Giok sendiripun menunjukkan sikap yang aneh, dia tersenyum dan mengangguk pada setiap orang gadis yang dijumpainya.
Sebaliknya kawanan nona berbaju ringkas itupun diam-diam memuji dalam hati.
"Ehmm... bocah muda ini memang ganteng sekali wajahnya."
Di bagian tengah ruangan terletak sebuah kursi kebesaran, di kedua sisinya berderet dua puluh empat buah tungku api, di sisi setiap tungku terletak sebuah alat penjepit besi.
Yang aneh, ternyata ruangan tersebut kosong melompong dan tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Nona berbaju kuning itu langsung menyembah ke arah kursi kebesaran yang kosong itu sambil serunya :
"Budak telah membawa kemari Pangeran Serigala!"
"Tinggalkan dia disini, dan kau segera kembali ke pos mu semula..." perintah seseorang dengan suara sedingin es.
Nona berbaju kuning itu mengiakan dan segera bangkit berdiri, tanpa memandang sekejap matapun terhadap Sik Tiong Giok, dia membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.
Sik Tiong Giok memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, ketika tidak dijumpaina sesosok bayangan manusia pun, tanpa terasa dia mendengus dingin :
"Hmm, tampaknya pihak Gi Liong oh tak mampu memperlihatkan kemampuan yang lain selain segala macam permainan busuk, hmmm, sekalipun begitu, Sik Tiong Giok tak akan menjadi takut."
"Huhh sekalipun tak akan menakutkan dirimu, sayang sekali kau sudah tidak memiliki tenaga perlawanan lagi."
"Belum tentu begitu, sekalipn kau persiapkan bukit golok atau kuali berisi minyak mendidih, tak nanti kau sanggup mengurung aku orang she Sik di tempat ini.
"Hmm, kau tak usah tekebur lebih dulu, buktinya kau sudah terbelenggu sekarang, aku tak percaya kalau kau memiliki kepandaian yang begitu hebat hingga mampu melepaskan diri dari borgol tersebut."
"Oooh kau anggap borgol kecil ini dapat membat diriku mati kutuna?"
Suara yang dingin dan kaku itu kembali kedengaran :
"Aku lihat bacotmu memang besar sekali, ingin kulihat dengan cara apakah kau hendak membuka borgol itu?"
"Akan kugunakan tenaga dalam yang kumiliki untuk mematahkan borgol ini, aku yakin biarpun borgol tersebut dibuat dari besi baja sekalipun tak akan mampu menahan terjangan hawa murniku."
"Bagus sekali, kalau begitu cobalah untuk melepaskan diri dari belenggu, ingin kulihat sampai dimanakah kemampuan yang kau miliki itu..."
Sik Tiong Giok segera tertawa.
"Tentu saja borgol ini akan kulepaskan, tapi sebelumnya kau harus memberitahukan kepada lebih siapakah kau?"
"Gi Liong kuncu!"
"Hmm, aku tidak percaya kalau kau adalah Gi Liong kuncu, bayangkan saja, Gi Liong kuncu menyebut dirinya sebagai penguasa di telaga Gi Liong oh, namanya juga cukup
menggetarkan dunia persilatan, bisana manusia semacam ini kalau bukan seorang jagoan dari golongan iblis tentulah seorang pendekar gagah dari dunia persilatan, mana mungkin manusia sehebat ini cuma main sembunyi belaka dan tak berani bertem orang?"
"Hal ini cuma bisa salahkan ketajaman mata mu yang belum mencapai tingkat kesempurnaan, karena itu orang yang berdiri di hadapan mu pun tak sempat kau lihat."
Sik Tiong Giok segera menghimpun ketajmaan matanya untuk memperhatikan keadaan di sekitar situ, benar juga, di belakang kursi kebesaran berdiri seorang bayangan hitam yang ramping lagi tinggi, kecuali sepasang matanya, hampir seluruh badannya disembunyikan di balik kain hitam.
Sambil tertawa dingin Sik Tiong Giok berkata lagi :
"Aku tetap tak percaya kalau kau adlaah Gi Liong kuncu."
"Lalu bagaimana baru bisa membuatmu percaya?"
"Kecuali kau bersedia menemui ku dengan wajah aslimu, bayangakan sendiri siapa yang sudi menganggap sesosok makhluk yang manusia bukan manusia, setan bukan setan sebagai Gi Liong kuncu."
"Mudah sekali bila kau ingin beremu dengan wajah asli ku, tapi kau mesti menggunakan langkah Bwee hoa untuk memadamkan kedua puluh empat buah tungku api itu lebih dahulu."
Sik Tiong Giok segera memperhatikan tungku-tungku api itu dengan seksama, benar juga, semuanya memang diatur menurut langkah bwee hoa, tanpa terasa pikirnya :
"Langkah Bwee hoa tak ada yang hebat dan perlu ditakuti, biarpun diberi bambu atau pisau tajam, keadaan tersebut masih dapat diatasi dengan pengerahan tenaga dalam, tapi kalau bentuknya berupa tungku api, waah... susah jadinya, jangan lagi tenaga dalam tak bisa dipakai untuk menghadapi api, kalau kakik sampai terperosok, paling tidak bakal melepuh atau hangus."
Dengan perasaan ragu-ragu diawasinya kedua puluh empat tungku api itu tanpa berbicara.
"Bagaimana" Kau sudah merasa takut?" jengek Gi Liong kuncu sambil tertawa dingin, "tapi bila kau bersedia menyerah kepada kami, aku pun bersedia menemui dirimu dengan wajah asliku."
Kontan saja Sik Tiong Giok tertawa dingin :
"Oooh, beginikah maksud tujuan mu mengirim surat ke tempat jauh dan sengaja mengundang kedatanganku ke telaga Gi Liong oh ini?"
"Yaa, boleh juga dibilang begitu, tapi yang kuudang bukan hanya kau seorang."
"Masih ada siapa lagi?"
"Kecuali para ketua dari sembilan partai besar, banyak pula jago-jago kenamaan dari dunia persilatan."
"Oooh, dtampaknya kau memang berniat untuk menggulung semua jago-jago silat yang ada dalam dunia persilatan, kau benar-benar berhati kejam."
"Tapi aku sama sekali tak bermaksud hendak mencelakai mereka semua..."
"Biarpun begitu, dunia persilatan sudah dilanda oleh pembunuhan-pembunuhan berdarah gara-gara ulahmu itu."
"Siapa suruh mereka membangkang dan enggan takluk" Kau harus tahu, siap amenentang dia harus mati, itulah peraturan yang telah ditetapkan pihak kami."
"Aku tebak di dalam hatimu masih tetap jeri terhadap seseorang bukan?"
Gi Liong kuncu segera menghela napas panjang.
"Aaaii.. tebakanmu memang benar, dapatkah kau jelaskan kepadaku, atas dasar apa kau berkata begitu?"
"Aku dapat berbicara demikian atas dasar kemunculan Cu Bu Ki di dalam kelompok Gi Liong oh ini, sudah jelas badai pembunuhan yang melanda dunia persilatan selama ini tak lain adalah atas perintah darimu, bukankah begitu?"
"Kau memang amat cerdik, tapi Cu Bu Ki bukan manusia yang bisa diandalkan, hampir saja dia menghancurkan semua rencanaku."
"Aku tahu, oleh karena dia adalah murid si kakek serigala langit, maka kau membujuknya agar berkhianat, lalu dengan
mengenakan topeng si rasul serigala langit kau perintahkan dia melakukan pelbagai keonaran dan pembunuhan, bukankah tujuanmu untuk memaksa si kakek serigala agar munculkan diri lalu kau manfaatkan kesempatan itu untuk melenyapkan duri dari pelupuk mata?"
Tiba-tiba Gi Liong kuncu tertawa ringan :
"Waah, apa yang kau katakan bagaikan melihat dengan mata kepala sendiri, kau betul-betul amat cerdik."
"Oleh sebab itulah menurut pendapatku, kau paling takut dengan si kakek serigala langit bukankah begitu?"
Gi Liong kuncu termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian baru berkata :
"Kau hanya berhasil menebak benar separuhnya saja, karena terhadap si kakek serigala langit aku cuma punya rasa benci, sama sekali tidak takut kepadanya."
"Jawabanmu itu tak sesuai dengan perasaan hatimu, seandainya kau tidak takut kepadanya, mengapa kau selalu berdaya upaya untuk menipuku hingga memasuki Gi Liong oh ini?"
"Sebab kau adalah anak angkatnya, juga merupakan ahli warisnya, bila aku mampu melenyapkan kau dari muka bumi, berarti aku telah berhasil melampiaskan separuh dari rasa dendamku."
"Boleh aku tahu, dendam kesumat macam apakah yang telah terjalin di antara kalian?"
"Asal kau mampu memadamkan kedua puluh emapt api dalam tungku-tungku tersebut dengan langkah Bwe hoa cun, tentu saja akan kuceritakan hal itu kepadamu."
Sik Tiong Giok segera tertawa.
"Baiklah! Kalau begitu tolong buka dulu borgol di tanganku ini."
"Barusan, bukankah kau mengatakan bahwa membuka borgol tersebut sama mudahnya seperti membalik tangan" Kenapa tidak kau buktikan di hadapanku sekarang?"
"Jikalau aku dapat melepaskan diri dari borgol ini, dapatkah kau membatalkan syarat untuk memadamkan api dalam kedua puluh empat buah tungku itu?"
"Aaah, pertaruhan ini kelewat tinggi."
"Lalu apa maksudmu?"
"Akan kusambut dirimu dengan penghormat seperti seorang tamu agung!"
"Eei, bukankah aku memang tamu agung yang kau undang" Aku tak mau kalau taruhannya terlalu enteng?"
"Apa usulmu?" "Seandainya aku mampu melepaskan diri dari borgol ini, bagaimana kalau kau mesti menjumpai aku dengan wajah aslimu?" kata Sik Tiong Giok sambil tertawa.
Gi Liong kuncu termenung sejenak, kemudian baru berkata :
"Boleh saja, cuma kaupun mesti memadamkan kedua puluh empat tungku berapi itu dengan langkah Bwee hoa."
"Maaf, aku akan melakukan hal tersebut kecuali bila kau sanggup memaksa ku naik dengan ilmu silatmu!"
"Bila kau tak berhasil membebaskan diri dari borgol tersebut?"
"Apalagi yang bisa kukatakan" Tentu saja aku bersedia menjadi budakmu untuk selamanya."
"Baik!" seru Gi Liong kuncu kemudian.
Dengan sepasang mata yang tajam diawasina Sik Tiong Giok tanpa berkedip, dia ingin melihat dengan cara apakah si anak muda tersebut akan membebaskan diri dari borgol itu.
Sik Tiong Giok segera berlagak seakan-akan sedang menghimpun tenaga dalamnya, padahal pada saat itulah secara diam-diam ia mengeluarkan lempengan kayu yang disembunyikan di balik ujung baju kemudian diiriskan ke atas borgol tersebut.
Kalau dibilang memang aneh sekali, borgol yang tak mempan dibacok dengan pedang maupun golok mestika ini ternyata tak berguna sama sekali setelah bertem dengan kedua lempengan kayu itu, seperti memotong tahu saja, borgol tersebut segera terpapas putus.
Tapi Sik Tiong Giok tidak langsung mencopotnya dari
pergelangan tangan, secara diam-diam ia sembunyikan lagi kedua lempeng kayu itu ke balik ujung bajunya, setelah itu baru ujarnya sambil tertaw tergelak :
"Nah, perhatikanlah secara baik-baik, kini hawa murniku telah ku himpun semua, borgol tersebut segera akan kupatahkan..."
Berbicara sampai disitu, tiba-tiba ia membentak keras :
"Lepas!" "Criiingg...!" Diiringi suara gemerincingan nyaring, borgol itu segera jatuh ke atas tanah dan Sik Tiong Giok pun memperoleh kebebasannya kembali.
Kejadian ini kontan saja membaut Gi Liong kuncu amat terperanjat, sepasang matanya sampai terbelalak bear dan mulutnya melongo, sampai lama kemudian ia baru berkata :
"Kepandaian sialt apakah yang kau latih?"
Sik Tiong Giok tertawa : "Itu mah rahasia pribadiku, bagaimana mungkin dapt kusampaikan kepadamu" Tapi jika kau memaksaku naik ke atas tungku api itu..."
"Hmm, kau anggap aku tak mampu mendesakmu naik?"
Kembali Sik Tiong Giok tertawa :
"aku bisa berpendapat demikian lantaran menang kalah masih susah untuk diduga, itu tergantung sampai dimanakah taraf kepandaian silat yang kau miliki."
Gi Liong kuncu mendengus dingin, menyusul kemudian ia munculkan diri dari balik tirai di belakang kursi kebesaran.
Dalam lamat-lamatnya suasana, samar-samar dapat terlihat selembar wajahnya yang cantik molek.
Terdengar Gi Liong kuncu berkata :
"aku telah melepaskan kain kerudung muka ku dan telah kupenuhi janjiku tadi, sekarang kau pun harus naik ke atas tungku-tungku berapi itu!"
Sik Tiong Giok segera tertawa lagi :
"Kepandaian silat aneh macam apa sih yang kau miliki" Tak ada salahnya bila kau keluarkan semua, mari kita buktikan bersama, sanggupkah kau memaksaku naik ke atas tungku-tungku berapi itu."
"Kalu begitu, berhati-hatilah kau..."
Tidak nampak bagaimana dia menggerakkan tubuhnya, di antara kain hitam yang berkibar terhembus angin, tahu-tahu saja tubuhna sudah berada di samping tungku api nomor satu.
Dengan suatu gerakan yang amat cepat bagaikan sambaran kilat, tangannya menyambar penjepit besi yang berada di sisinya.
Sementara Sik Tiong Giok terperanjat, Gi Liong kuncu telah mendesak datang dan menjojohkan alat besi yang membara itu ke wajah si anak muda itu.
Hawa panas yang menyengat menerpa ke atas kulit wajah, mendatangkan perasaan yang tak sedap.
Sik Tiong Giok tak berani berayal, cepat-cepat dia lepaskan sebuah pukulan ke muka, lalu mengigos ke samping.
Gi Liong kuncu mengejar lebih jauh, alat besi yang membara itu disodok dan dijojoh berulang kali, ia meneter si anak muda tersebut habis-habisan.
Setelah terdesak hebat, Sik Tiong Giok baru menyesal karena tindakannya kelewat ceroboh, dengan hilangnya pedang andalannya berarti sulit baginya untuk menangkis sodokan alat besi lawan yang membara itu.
Ini berarti hanya ada satu cara baginya untuk mengatasi kesulitan tersebut, yakni mengerahkan gerakan tubuhnya yang enteng untuk bermain petak umpet dengan lawan.
Begitulah, sambil mengitari tungku-tungku berapi itu mereka bedua saling berkejaran satu dengan lainnya, makin berputar makin cepat saja gerakanya.
Setiap kali mengerakkan tubuhnya mengejar, Gi Liong kuncu selalu mengganti alat besinya dengan alat lain yang masih panas.
Dalam waktu singkat dalam arena hanya tampak dua sosok bayangan manusia yang berkelebat tiada hentinya.
Lebih kurang setengah jam kemudian, mendadak Gi Liong kuncu menghentikan gerakannya, kemudian dengan panas tersengkal-sengkal berseru :
"Kau yang menang!"
Padahal Sik Tiong Giok sendiripun sudah merasa kecapaian, coba kalau Gi Liong kuncu tidak segera berhenti dan pertarungan berlangsung seperminum teh lagi, niscaya pemuda itu akan terdesak hingga terpaksa melompat naik ke atas tungku api itu.
Sik Tiong Giok segera tersenyum, dengan berlagak seakan-akan tetap santai ia berkata :
"Kemenangan yang kuraih kali ini benar-benar tak gampang, padahal aku sendiri pun sudah mulai lelah."
"Tak perduli bagaimanapun keadaanmu, yang pasti pertarungan ini berhasil kau menangkan, maka mulai sekarang kau telah menjadi tamu agungku."
Sik Tiong Giok merasa sedikit di luar dugaan sehabis mendengar perkataan itu, pikirnya :
"Sungguh tak nyana kalau budak ini sangat tahu aturan."
Sementara dia masih berpikir, Gi Liong kuncu telah bertepuk tangan sambil berseru :
"Mana pengawal" Cepat ajak Sik siangkong menuju ke kamar tamu untuk minum teh."
Muncul seorang gadis berbaju kuning dari balik pintu, sambil memberi hormat kepada Sik Tiong Giok katanya :
"Silahkan Sik siangkong!"
Menanti Sik Tiong Giok berpaling lagi ke arah Gi Liong kuncu, ternyata tirai sudah diturunkan dan orangnya tak kelihatan lagi, terpaksa dia mengikuti di belakang nona berbaju kuning itu keluar dari ruangan tengah.
Di bagian belakang merupakan sebuah halaman luas, meski tiada aneka bunga namun pepohonan yang tumbuh disitu amat lebat sehingga mendatangkan suasana yang menyeramkan.
Di bagian depan gedung merupakan sebuah ruangan kecil yang indah, dalam ruangan itu berjejer rak-rak buku yang penuh dengan aneka kitab.
Sik Tiong Giok melangkah masuk ke dalam ruangan itu sambil memperhatikan sekejap sekelilingnya, lalu setelah mengambil tempat duduk, nona berbaju kuning itu muncul menghidangkan air teh.
Terdengar nona itu berkata sambil tertawa :
"Silahkan mencicipi air teh dulu, sebentar sayur dan arak akan dihidangkan."
Sik Tiong Giok sama sekali tidak menggubris, dia mengawasi terus sekeliling tempat itu sambil berpikir di hati :
"Tak nyana kalau Gi Liong kuncu gemar membaca buku, tapi mengapa sikapnya begitu kejam dan buas?"
Sementara dia masih berpikir, mendadak terdengar nona berbaju kuning itu berkata lagi :
"Sayur dan arak telah dihidangkan, silahkan Sik siangkong ambil tempat duduk."
Ketika Sik Tiong Giok berpaling, dilihatnya nona berbaju kuning itu sedang melangkah masuk ke dalam ruangan sambil membawa sebaki hidangan lezat.
Dasar sudah lapar, pemuda itu segera beranjak menuju ke tempat duduk yang telah disediakan, lalu tidak menunggu sampai nona berbaju kuning itu selesai menghidangkan hidangan yang ada, dia sudah menyambar sepotong paha ayam dan dimakannya dengan lahap.
"Sik siangkong, nampaknya sudah lama kau tak pernah bersantap?" goda nona berbaju kuning itu sambil tersenyum.
Sik Tiong Giok tertawa jengah.
"Yaa, sudah tiga hari aku tak makan apa-apa, sekali pundl perjalanan menuju ke telaga Gi Liong oh aku pernah makan daging menjangan, tapi berhubung ada racunnya, aku telah memuntahkannya kembali dengan mengerahkan tenaga dalam."
"Apakah kau tidak kuatir dalam hidangan ini telah diberi racun?"
tiba-tiba nona berbaju kuning itu bertanya lagi sambil tertawa.
Mendadak Sik Tiong Giok mendelik besar, kemudian berkata dengan suara dingin :
"Aku tak percaya kalau tuan putri kalian akan meracuni hidangan ini, lagi pula andaikata benar-benar hendak diracuni, akupun tak bakal takut."
Sekali lagi nona berbaju kuning itu tersenyum, diambilnya poci perak dan memenuhi cawan Sik Tiong Giok dengan arak, ujarnya
: "Kalau memang tidak takut, silahkan kau teguk arak ini sampai habis..."
"Minum yaa minum, lihat saja sampai dimana pengaruh racun itu terhadap diriku," dengus Sik Tiong Giok dingin.
Sambil berkata dia mengangkat cawan dan meneguk isinya sampai habis, lalu sambil meletakkan kembali cawan kosong itu ke atas meja, dia berseru :
"Mari tuang secawan lagi..."
Belum habis ia berkata, tiba-tiba tubuhnya terasa ada sesuatu yang tak beres, dengan sepasang mata memancarkan sinar tajam menggidikkan hadi dia segera berseru :
"Bagus sekali, ternyata dalam arak ini..."
Belum habis perkataan itu diutarakan, tangannya sudah menyambar ke muka siap mencengkeram tubuh si nona berbaju kuning itu.
Dengan cekatan nona berbaju kuning itu berkelit ke samping kemudian serunya sambil tertawa :
"DUGAAN MU KELIRU, DI DALAM SAYUR dan arak itu sama sekali tak ada racunnya, siapa suruh takaran arakmu kelewat jelek sedang arak tadi kau teguk begitu cepat dan terburu-buru, tentu saja kepala mu jadi pening."
Ketika cengkeraman Sik Tiong Giok atas nona berbaju kuning itu mengenai sasaran yang kosong, hampir saja dia tidak mampu menahan tubuhnya yang sedang menerjang ke muka, dia mesti maju empat lima langkah dengan terhuyung-huyung lebih dulu sebelum akhirnya dapat mengendalikan keseimbangan badannya.
Saat ini dia baru merasa kalau dia memang tak kuat minum arak, perutnya erasa panas seperti dibakar, matanya berkunang-kunang dan tubuhnya terasa ringan.
Akan tetapi kesadaran pikirannya masih tetap jernih, semua yang diucapkan nona berbaju kuning itu pun dapat didengarnya dengan jelas, sambil maju dengan sempoyongan lalu
berpegangan di tepi meja ia berseru :
"Arak apakah itu" Mengapa hanya secawan pun sudah memabukkan orang?"
"Arak itu dihasilkan dari wilayah Inlam, sama tersohornya seperti teh dari Phu oh to, namanya arak seratus buah Pek kok sin ciu.
Bila sampai mabuk maka empat jam kemudian baru akan sadar, karena itu kuanjurkan kepadamu untuk meneguk secawan lagi agar mabuk kepayang dan tidur senyenyaknya, dengan begitu semua kelelahan yang kau derita selama beberapa hari inipun akan hilang lenyap tak berbekas."
Waktu itu Sik Tiong Giok memang sedang dipengaruhi oleh arak, mendengar perkataan tersebut ia pun bergumam :
"Baik... baik... akan kuteguk secawan lagi biar betul-betul mabuk..."
Diangkatnya cawan araknya lalu meneguk isinya sampai habis.
Ketika arak kedua sudah masuk ke dalam perut, dia pun jatuh tak sadarkan diri.
Menanti dia sadar kembali, pemandangan di sekeliling tempat itu sama sekali telah berubah.
Kini dia sudah berada dalam sebuah ruangan batu yang gelap gulita tanpa cahaya lentera, suasana hening dan gelap, namun secara lamat-lamat dia mengendus bau harum semerbak yang menusuk hidung.
"Aaaaaii..." Suara helaan napas panjang mendadak bergema dari sisi tubuhnya, hal ini membuatnya cepat-cepat berpaling ke samping.
Pada jarak tiga kaki di sisinya terdapat pula sebuah pembaringan, dari balik kelambu dia seperti melihat ada orang sedang duduk disitu.
Apa yang terlihat tentu saja amat mencengangkan Sik Tiong Giok, tanpa terasa pikirnya :
"Aaaai, siapa pula orang itu?"
Belum habis ingatan tersebut melintas lewat, tiba-tiba dari balik kelambu sudah kedengaran seseorang berkata :
"Kau sudah sadar dari mabuk" Gara-gara rakus minum akibatnya urusan jadi terbengkalai, akan kulhat bagaimana caramuu menyelesaikan persoalan ini."
Nada suaranya halus dan lembut, sudah jelas berasal dari seorang perempuan.
"Siapakah kau" Mengapa kau pun bisa berada disini?" tanya Sik Tiong Giok cepat.
"Aku adalah Li Peng, sudah tiga hari terkurung di tempat ini..."
Sik Tiong Giok menjadi girang sekali setelah mendengar perkataan itu, cepat dia berseru :
"Oooooh, adik Peng akhirnya aku berhasil juga menemukan dirimu..."
Li Peng menghela napas : "Aaaaai, sekalipun berhasil ditemukan tapi apa gunanya" Paling tidak kau harus berusaha untuk melepaskan diri dari kurangan ini..."
"Baik, akan kuusahakan!"
Pada saat itulah pintu ruangan dibuka orang kemudian muncul seorang perempuan jelek yang bertubuh kekar, kepada si anak muda itu segera serunya :
"Hey bocah muda, cepat keluar! Tuan putri kami hendak bertemu dengan mu."
Sik Tiong Giok segera mendengus dingin :
"Hmmm, bagus sekali, kebetulan aku memang hendak berjumpa dengannya, hayo berangkat!"
Dia melompat bangun dari atas pembaringan lalu mengikuti di belakang perempuan jelek itu.
Setelah melalui sebuah halaman, di sekitar situ tidak nampak gedung lain selain sebuah ruangan besar.
Di tengah ruangan telah siap tiga buah meja yang diatur dalam posisi segitiga, Sik Tiong Giok dipersilahkan duduk di meja sebelah kanan...
Suasana di sekeliling tempat itu amat hening, selain Sik Tiong Giok seorang, pada kedua meja lainnya nampak kosong.
Di kedua belah sisi meja berdiri dua belas gadis berbaju ringkas, semuana memegang pedang yang terhunus, sikapnya seperti lagi menghadapi musuh besar.
Sik Tiong Giok memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, lalu ujarnya dingin :
"Dimanakah tuan putri kalian?"
"Kenapa sih kau mesti terburu napsu" Sebentar toh akan datang juga..."
Belum habis perkataan itu diutarakan, mendadak terdengar suara irama musik bergema dari kejauhan dsana dan makin lama semakin mendekat...
Mula-mula yang muncul lebih dulu adalah empat orang gadis berdandan keraton yang masing-masing membawa sebuah baki kemala berisi barang kebutuhan, di belakangnya menyusul empat orang bocah perempuan yang membawa dupa, masing-masing meletakkan dupa tersebut di meja bagian tengah.
Dalam waktu singkat bau dupa menyelimuti seluruh ruangan serta menyiarkan bau harum semerbak.
Diam-diam Sik Tiong Giok mengumpat setelah menyaksikan kejadian tersebut :
"Besar amat lagaknya..."
Mendadak terdengar suara bentakan nyaring berkumandang datang dengan lantang :
"Tuan putri tiba!"
Bersamaan dengan suara bentakan itu tampak seorang nona cantik berbaju hitam pelan-pelan masuk ke dalam ruangan dan menduduki kursi utama.
Sik Tiong Giok segera mendengus sambil mengomel :
"Tak heran kalau Gi Liong oh didirikan jauh di luar perbatasan, ternyata pengikutnya adalah sekawanan manusia yang belum berbudaya..."
"Atas dasar apa kau berkata begitu?"
"Tolong tanya apa kedudukanku sekarang?"
"Kenapa mesti ditanya lagi, tentu saja seorang tamu agung."
"Kalau memang seorang tamu agung, mengapa kau menyekapku dalam penjara batu" Beginikah cara Gi Liong oh melayani tamu agungnya?"
Gi Liong kuncu segera tertawa.
"Tahukah kau antara lelaki dan perempuan dipisahkan oleh batas-batas moral tertentu" Sebagaimana kau ketahui, semua penghuni Gi Liong oh adalah anak gadis, selain kau seorang yang laki-laki tak ada cowok disini, padahal kau lagi mabuk, apa salahnya bila kuambil tindakan pengamanan sebelum terjadi sesuatu yang melanggar susila?"
"Huuh, kau betul-betul kelewat memandang hina aku! Tapi bukankah dalam ruangan batu itu terdapat juga seorang nona?"
"Dia sih dayang kami yang kabur, tentu saja lain ceritanya."
"Baik, kita jangan membicarakan soal semacam itu lagi, sekarang sampaikan kepadaku, ada urusan apa kau mengundangku
kemari." "Sejak keraton kamididirikan pada tiga puluh tahun berselang, selama ini hanya kau seorang yang berhasil masuk kemari, tahukah kau akan peraturan yang berlaku disini?"
"Peraturan yang berlaku disini kelewat banyak, membuat aku mengingat pun menjadi segan," sahut Sik Tiong Giok sambil tertawa.
"Bagi setiap lelaki yang memasuki daerah terlarang dari istana kami maka dia hanya mempunyai dua pilihan saja."
Mendadak Sik Tiong Giok tertawa tergelak :
"Haaahhh... haaahhh... haaahhh... aku mengerti, bukankah kau hendak mencari menantu" Sayang sekali pangeranmu tak punya minat dalam hal ini."
Paras muka Gi Liong kuncu segera berubah hebat, serunya dingin
: "Apabila kau masih saja berbicara semaunya sendiri, jangan salahkan kalau aku tak akan bersikap sungkan-sungkan lagi kepadamu."
"Sejak permulaan dulu kalian tak pernah bersikap sungkan kepadaku, kalau memang tak senang, mari kita melangsungkan pertarungan lagi."
Untuk sesaat lamanya Gi Liong kuncu jadi tertegun, bisiknya kemudian :
"Kau memang sangat... sangat..."
"Kau tak usah mengumpak diri lagi."
"Kau pun sombong!"
"Aku orang she Sik lebih suka mati daripada dihina."
"Apakah kau beranggapan ilmu silatku tak mampu melebihi dirimu?"
"Dalam ilmu silat terdapat dua aliran yang berbeda yaitu aliran keras dan aliran lunak, masing-masing aliran pun mempunyai kelebihan yang tersendiri, apakah nona berhasrat untuk melangsungkan suatu pertarungan lagi dengan ku?"
Sembari berkata dia segera bangkit berdiri.
Tiba-tiba ke delapan orang gadis berbaju ringkas yang berdiri di kedua belah sisi ruangan bertindak cepat dengan mengepung di sekelilingnya sementara ke delapan bilah pedang mereka mengancam datang dari delapan penjuru serta menempelkan ujung pedangnya di depan tubuh Sik Tiong Giok...
Menyaksikan kejadian tersebut Sik Tiong Giok segera tertawa terbahak-bahak :
"Haaa haaa haaa... apakah kalian hendak mengandalkan jumlah yang banyak" Tapi sayang ancaman semacam ini tak akan membuat ku takut."
Gi Liong kuncu termenung beberapa saat lamanya, kemudian sambil mengulapkan tangannya pelan-pelan dia berkata :
"Kalian boleh mengundurkan diri dari ruangan ini, aku percaya dia tak akan berani bertindak kasar kepadaku."
"Budak terima perintah," sahut kawanan gadis berpakaian ringkas itu serentak.
Kembali Gi Liong kuncu berkata :
"Bila kau bertarung melawanku, aku percaya dengan kepandaian silat yang sekarang kau miliki, kita dapat bertarung seimbang tanpa ada yang menang dan tak ada yang kalah, tetapi kau harus mengerti, di dalam istana Gi liong kiong ku ini masih terdapat seratusan orang jago lihai yang berilmu tinggi, kau tak nanti mampu menandingi mereka semua."


Pangeran Perkasa Pangeran Srigala Perkasa Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lebih baik hancur sebagai kemala daripada utuh sebagai genteng, aku punya semangat untuk bertarung hingga titik darah penghabisan."
"Ehmm, kegagahanmu memang sangat mengagumkan," seru Gi Liong kuncu tertawa.
Setelah mengucapkan perkataan itu tiba-tiba saja dia tutup mulut dan tidak berbicara lagi.
Untuk beberapa saat lamanya suasana dalam ruangan itu menjadi sunyi senyap dan tak kedengaran sedikit suara pun.
Secara diam-diam Sik Tiong Giok segera menghimpun seluruh tenaga dalam yang dimilikinya untuk bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan, asal pihak musuh menyerang lebih dulu, maka diapun akan melancarkan serangan balasan dengan sekuat tenaga.
Siapa tahu suasana tetap berlalu dalam keheningan dan tak nampak suatu gerakan pun, malah suara napas pun seakan-akan tak terdengar lagi.
Lama kelamaan Sik Tiong Giok jadi keheranan, dengan cepat dia mengangkat kepalanya dan memandang sekejap ke arah Gi Liong kuncu.
Ternata Gi Liong kuncu sedang berdiri tak bergerak di tempat semula persis seperti sebuah patung batu.
Selisih jarak di antara mereka berdua boleh dibilang dekat sekali, lagipula Gi Liong kuncu telah melepaskan kain hitam pelindung badannya. Hal ini membuat Sik Tiong Giok dapat melihat wajah perempuan itu dengan jelas sekali.
Rambutna yang panjang terurai sepanjang bahu, alis matanya panjang dan melentik, sepasang matanya bulat besar, bibirnya kecil mungil dan saat itu sedang menyungging sekulum senyuman.
Tiba-tiba Sik Tiong Giok meraskan wajahnya berubah jadi merah padam, buru-buru dia melengos ke arah lain, sementara hati kecilnya dia memuji :
"Benar-benar seorang perempuan yang amat cantik!"
Mendadak terdengar suara teguran lembut menggema di sisi telinganya :
"Mengapa sih kamu tak berani menengok ku?"
Sik Tiong Giok segera mendengus :
"Hmmm, mengapa aku tak berani menengokmu?"
"Kalau begitu berpalinglah dan coba tengok wajahku dengan penuh seksama."
Sik Tiong Giok benar-benar berpaling serta mengamati wajah perempuan itu dengan seksama.
Tapi begitu dia memandang dengan serius tiba-tiba saja pemuda itu merasakan peredaran di dalam tubuhnya mengalir dengan cepatnya bahkan denyut jantungnya terasa bertambah keras.
Ia merasa Gi Liong kuncu yang canti itu memancarkan semacam rangsangan napsu birahi yang membuat perasaan orang jadi bergolak keras dan pikirannya jadi kalut.
Dalam keadaan seperti inilah, terdengar Gi Liong kuncu berkata lagi dengan lembut :
"Sekarang ikutilah aku, mari..."
Suara halus itu, lembut dan amat manis, bahkan secara lamat-lamat mengandung daya rangsangan yang dapat membetot sukma.
Sik Tiong Giok merasakan hatinya bergetar keras tanpa terasa dia berjalan mengikuti di belakang nona tersebut, ia tak tahu kemana mereka telah pergi dan menempuh perjalanan berapa jauh.
Lebih kurang seperminum teh kemudian, tiba-tiba pandangan matanya jadi silau.
Ternyata mereka telah memasuki sebuah kamar tidur yang sangat indah dan menawan.
Mendadak kesadaran Sik Tiong Giok seperti menjadi jernih kembali, ia membalikkan badan dan siap berlalu dari situ.
Tiba-tiba segulung bau harum semerbak berhembus lewat kemudian pandangan matanya jadi silau, wajah yang cantik molek itu tahu-tahu sudah menghadang di hadapannya.
Terdengar nona itu berkata sambil tertawa :
"Setelah kemari, kenapa harus pergi lagi" Kau hendak pergi kemana...?"
Sik Tiong Giok segera berpaling, sorot matanya persis saling beradu pandangan dengan sinar mata perempuan itu.
Dari balik matanya yang jeli, terasa pancaran daya pengaruh yang kuat membuat perasaan Sik Tiong Giok segera bergolak kembali dengan hebatnya.
Sebuah tangan yang putih dan lembut diulurkanke depan dan menggenggam pergelangan tangan kanannya.
Di balik telapak tanganna yang halus dan lembut itu seakan-akan membawa aliran listrik yang sangat kuat, membakar api birahi di dalam tubuh Sik Tiong Giok sehingga berkobar dengan hebatnya.
Terutama sekali di bawah kerdipan matana yang jeli, seperti ada dua buah pisau tajam yang menembusi lubuk hati pemuda itu.
Kesemuanya ini membuat orang tak berani membangkang juga tak berani membantah.
Untung juga Sik Tiong Giok mempunyai bakat yang baik, dengan sekuat tenaga dia berusaha mengendalikan gejolak perasaannya dengan mengabitkan tangannya keras-keras, lalu sambil mendengus ujarnya :
"Cepat lepaskan aku..."
Sayang sekali genggaman tangannya yang halus lembut itu seperti susah untuk dilepaskan.
Saat itulah terdengar suara yang halus lembut itu kembali berbisik dengan pelan :
"Apa sih yang kau takuti" Aku toh tak akan menelanmu."
Sik Tiong Giok tak sanggup mempertahankan diri lagi, napasnya jadi tersengkal-sengkal, mendadak dia menyambar pinggang orang yang langsing dengan tangan kirinya kemudian dipeluknya kencang-kencang, bibirnya digerakkan mendekati bibir perempuan itu sambil bergumam, entah apa saja yang dikatakan olehnya.
Dalam keadaan kritis dan sangat berbahaya inilah, mendadak terdengar suara genta dibunyikan bertalu-talu.
Gi Liong kuncu kelihatan sangat terkejut, paras mukanya segera berubah hebat dan sikapna pulih kembali jadi dingin dan kaku.
Mendadak dia mendorong tubuh Sik Tiong Giok yang berada di dalam pelukannya lalu bertepuk tangan keras.
Seorang nona berbaju kuning segera munculkan diri sambil berseru :
"Budak menanti perintah!"
"Bawa kembali orang ini ke ruang batu!" perintah Gi Liong kuncu dingin.
Nona berbaju kuning itu mengiakan, dia segera berpaling ke arah Sik Tiong Giok sambil katanya :
"Mari ikut aku!"
Dalam pada itu Sik Tiong Giok masih tetap berdiri termangu sambil mengawasi Gi Liong kuncu tanpa berkedip, tampaknya dia seperti berat hati untuk meninggalkan tempat tersebut.
Sambil tersenyum Gi Liong kuncu segera berkata :
"Pergilah bersamanya!"
Sik Tiong Giok menyahut dan membalikkan badan, lalu berjalan keluar dari ruangan dengan langkah lebar.
Nona berbaju kuning itu membawa Sik Tiong Giok melalui dua buah gedung besar sebelum akhirnya tiba di sebuah ruangan, disana terlihat ada beberapa orang perempuan jelek bertubuh kekar sedang melakukan penjagaan.
Setelah menyerahkan Sik Tiong Giok kepada perempuan jelek itu, nona berbaju kuning tadi balik badan dan beranjak pergi dari situ.
Setelah memandang wajah perempuan jelek itu, di dalam benak Sik Tiong Giok segera muncul bayangan tubuh dari Li Peng, kesadaran pikirannya juga segera p ulih kembali seperti sedia kala, tanpa terasa dia berpikir :
"Apa yang telah kulakukan selama ini?"
Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, dari sisi telinganya sudah terdengar suara yang parau dan kasar berseru :
"Hey, si burung dungu, ayoh cepat jalan kenapa masih berdiri saja disana?"
Mendadak Sik Tiong Giok meraskan hatinya bergetar keras, satu ingatan melintas lewat di dalam benaknya, kemudian sambil tersenyum dia berjalan menuju ke depan.
Beberapa langkah kemudian setelah mengikuti di belakang perempuan jelek itu, secara diam-diam dia menggerakkan jarinya secepat kilat ia totok jalan darah di bawah iganya.
Seketika itu juga perempuan jelek bertubuh kekar itu berdiri kaku di tempat semula seperti sebuah patung batu.
Tanpa memperhatikan barang sekejap pun, Sik Tiong Giok segera membalikkan badan sambil berlarian ke muka dalam waktu singkat dia telah berhasil menyusul si nona berbaju kuning itu.
Hawa napsu membunuhnya kini subah berkobar, dengan suatu gerakan yang amat ceapt dia menyelinap ke belakang tubuh gadis tersebut kemudian mencengkeram lengannya.
Dalam kagetnya nona berbaju kuning itu bermaksud akan berpaling tapi Sik Tiong Giok mengayunkan kembali jari tangannya menotok jalan darah nona tadi.
Kontan saja gadis itu tak mampu bergerak maupun berbicara, hanya sepasang matanya terbelalak lebar dengan pandangan tertegun.
Sambil menggertak gigi Sik Tiong Giok segera melemparkan tubuh itu ke tengah udara.
Bagaikan sebutir kelereng tubuh nona berbaju kuning itu terpental ke atas atap rumah, kemudian terbanting kembali ke bawah dengan kepalanya lebih dulu...
"Praaaakk...!" Tak ampun batok kepalanya hancur berantakan dan selembar jiwanya melayang meninggalkan raganya.
Sik Tiong Giok tidak berhenti lama setelah melakukan pekerjanan tersebut, dengan suatu gerakan cepat dia balik kembali ke sisi perempuan jelek tadi kemudian menepuk pula punggungnya.
Perempuan jelek itu segera memperoleh kembali kesadarannya dan meneruskan perjalannya ke depan.
Oleh karena gerakan tangan Sik Tiong Giok yang lincah dan cekatan serta waktu yang teramat singkat, maka perempuan bermuka jelek itu hanya merasa sedikit tertegun saja lalu sadar kembali, ia sama sekali tidak curiga kalau jalan darahnya baru saja ditotok orang.
Oleh sebab itu tanpa rasa curiga sedikit pun juga, dia meneruskan perjalanannya membawa Sik Tiong Giok menuju ke ruang batu.
Baru saja dia muncul di depan ruang batu Li Peng sudah berseru kegirangan :
"Engkoh Giok, akhirnya kau kembali juga, saking tak sabarnya hampir saja aku hendak menerjang keluar dari sini."
"Mengapa kau tidak berbuat begitu?" tanya Sik Tiong Giok dengan perasaan tercengang.
Li Peng tertawa. "Aku percaya kau pasti punya akal untuk balik kemari, aku takut mengganggu rencana besarmu sehingga urusannya jadi
terbengkalai dan sekarang..."
"Sekarang kenapa?"
"Sekarang aku berharap mempunyai banyak waktu untuk berkumpul bersama dirimu..."
Ketika berbicara sampai disini, tiba-tiba saja sepasang pipinya berubah jadi semu merah setelah tersenyum malu-malu, ia menundukkan kepalanya rendah-rendah.
Cepat-cepat Sik Tiong Giok mengalihkan pokok pembicaraan ke masalah lain, katanya sambil tertawa :
"Keadaanku pada hari ini sungguh amat berbahaya, andaikata suara genta tidak bergema pada saatnya yang tepat mungkin aku sudah terjerumus ke dalam neraka dan tak bisa menolong diri lagi."
"Ooooh... apa yang telah kau jumpai" Cepat ceritakan kepadaku..."
Sik Tiong Giok tertawa hambar.
"Aku tak akan berani mengelabui mu, tentu saja apa yang ku alami akan kuceritakan semua."
Secara ringkas dia pun menceritakan apa yang telah dialaminya belum lama berselang.
Ketika selesai mendengar kisah tersebut, Li Peng jadi amat marah dan mendongkol, dengan kening berkerut serunya seraya mendengus :
"Hmmm, betul-betul tak tahu malu, menggunakan paras cantiku menyesatkan orang, terhitung orang macam apakah dia itu?"
Sementara mereka berdua sedang bercakap-cakap, mendadak dari luar sana terdengar suara gaduh, dengan perasaan keheranan mereka pun mendekati pintu melongok ke luar.
Di luar gedung tampak lima orang nona beraju kuning sedang melarikan diri terbirit-birit sedngkan di belakang mereka nampak dua sosok bayangan manusia mengejar dengan ketatnya.
Dalam waktu singkat kedua belah pihak telah saling susul menyusul...
"Hmmm, habis sudah riwayat hidup beberapa orang budak sialan itu..." dengus Li Peng tiba-tiba.
Dengan perasaan tercengang Sik Tiong Giok berseru :
"Semenjak telaga Gi Liong oh didirikan, konon selama tiga puluh tahun belum pernah ada lelaki yang masuk kemari, siapakah kedua orang itu" Nyata sekali mereka berhasil menerobos istana Gi liong kiong."
Belum habis perkataanitu diutarakan dari kejauhan sana telah berkumandang datang dua kali jeritan ngeri yang memilkan hati, dua orang gadis berbaju kuning roboh terjengkang ke atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Berhasil dengan serangan mautnya, kedua sosok bayangan manusia itu tidak berhenti sampai disitu saja, dengan kecepatan luar biasa mereka menyusul kembali ke arah ke empat korban lainnya.
Gerakan tubuh dari mereka berdua memang sangat hebat, dalam sekejap mata kembali korbannya berhasil tersusul, ketika ke empat kepalan mereka diayunkanke depan, di antara deruan angin pukulan yang kuat, jeritan ngeri yang memilukan hati segera bergema saling susul menyusul.
Tahu-tahu ke empat orang gadis berbaju kuning itu sudah roboh terjungkal ke atas tanah.
Dengan kematian semua korbannya, kedua orang pengejarnya baru menghentikan pengejaran dan celingukan sekejap
memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu.
Pangeran Serigala langit Sik Tiong Giok benar-benar dibuat tercengang oleh adegan yang baru saja berlangsung di hadapannya, apalagi di dalam beberapa gebrakan saja kedua orang tersebut berhasil membunuh beberapa orang budak berbaju kuning, pikirnya kemudian :
"Ak dengar selama tiga puluh tahun terakhir ini belum pernah ada seorang lelaki pun yang pernah memasuki istana Gi liong kiong, lalu siapakah ke dua orang itu?"
Setelah kedua orang pembunuh itu menghentikan pengejaran, keadaan mereka pun dapat terlihat dengan lebih jelas.
Ternyata ke dua orang itu adalah lelaki berusia pertengahan yang berbaju ringkas dan menyoren senjata di punggungnya, yang seorang berwajah tampan sebaliknya yang lain berwajah jelek.
Setelah memeriksa sekejap keadaan di sekeliling tempat itu, akhirnya lelaki bermuka jelek itu memandang ke arah ruang batu dimana Sik Tiong Giok disekap, serunya kemudian dengan lantang :
"Apabila kalian adalah tawanan yang disekap Gi Liong kuncu disana, cepatlah manfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan tempat tersebut..."
Baru saja Li Peng hendak menjawab, Sik Tiong Giok telah menghalangi niatnya itu sambil berbisik :
"Jangan bergerak dulu, sebentar akan ada keramaian untuk ditonton..."
Benar juga, baru saja ia selesai berbicara, suara genta telah bergema di seluruh istana Gi liong kiong.
Menyusul kemudian serentetan suara musik yang lembut berkumandang pula membelah angkasa.
Pada saat yang bersamaan, dari balik lapangan telah muncul sejumlah manusia.
Begitu melihat kemunculan orang-orang itu, Li Peng segera berseru lirih :
"Coba kau lihat, banyak juga yang datang! Ada jago-jago dariSiau lim pay, Go bi pay, Hoa san pay..."
"Coba kau lihat, pihak Bu tong pay pun turut hadir," ser Sik Tiong Giok pula sambil tertawa.
"Yaa, mereka benar-benar punya kemampuan, nyatanya semua jago berhasil menyerbu masuk ke dalam istana Gi liong kiong ini."
"Aku tebak mereka bukan menyerbu masuk dengan kekerasan, tapi dijemput oleh orang-orang yang diutus Gi liong kiong."
"Aah mana mungkin" Aku tidak percaya!"
Sik Tiong Giok segera tertawa.
"Apakah kau tidak melihat sederet bangunan rumah kayu di sisi tanah lapang itu?" ujarnya.
"Maksudmu mereka adalah orang-orang yang semula disekap dalam rumah kayu itu?"
"Yaa, aku rasa memang begitu," sahut Sik Tiong Giok sambil mengangguk, "hanya entah siapa yang telah membebaskan mereka semua?"
Sementara mereka masih berbincang-bincang, situasi dalam arena telah terjadi perubahan, jago-jago dari pihak Gi liong kiong telah bermunculan pula dari segala penjuru lapangan, dengan begitu kedua belah pihak pun telah saling berhadapan satu dengan lainnya.
Di satu tempat jagonya terdiri dari lelaki semua, sedangkan di pihak lain jago-jagonya terdiri dari perempuan semua.
Di pihak kaum perempuan tentu saja dipimpin oleh Gi Liong kuncu, tampak ia duduk di balik sebuah kelambu dan lamat-lamat masih kelihatan bayangan tubuhnya.
Sedangkan di pihak kaum lelaki ada yang berdandan hwesio, pendeta maupunorang preman namun tak ada pentolannya, mereka sedang menanti dengan perasaan gelisah.
Tiba-tiba dari balik tirai kelambu berkumandang suara teguran yang dingin dan kaku :
"Siapa yang telah membebaskan kalian semua" Siapa pemimpin kalian" Hayo suruh keluar untuk menjawab!"
Biarpunnada suaranya sangat halus dan lembut, namun setiap patah katanya serasa menusuk pendengaran.
Dari kelompok kaum lelaki segera berjalan keluar seorang kakek ceking yang bertubuh kerdil, sahutnya sambil tertawa terkekeh-kekeh :
"Heeeehh... heeehhh... heeehhhh... berhubung dari kelompok kami tidak terpilih seorang pemimpin pun, terpaksa biar aku si kerdil yang mewakili mereka untuk berbicara."
Sik Tiong Giok terkejut sekali sesudah mengetahui siapa orang itu, sebelum ia sempat berbicara terdengar Li Peng berseru dengan perasaan kaget bercampur keheranan :
"Hey, kenapa susiok cebol pun berada disini?"
"Coba kau lihat sepasang manusia jelek dari szuchuan pun ikut datang!:"
Li Peng segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya
: "Aku tidak kenal dengan mereka, belum pernah aku bertemu dengan kedua orang itu!"
Si kakek ceking yang bertubuh kerdil itu tak lain adalah si kakek cebol yang berjalan di bawah tanah Kongsun Swan, tampaknya sudah menjadi pembawaannya, setiap pembicaraannya maupun gerak gerikna baik di saat tenang ataupun tegang, ia tak pernah lupa dengan gerakannya yang kocak.
Gi Liong kuncu yang berada di balik tirai segera berkata dengan suara ketus :
"Kalau toh kau sudah menampilkan diri, apakah bisa juga mengambilkan keputusan untuk mereka semua?"
Kakek cebol berjalan di bawah tanah tertawa terkekeh-kekeh :
"Heeehhh... heeehhh... heeehhh... setelah terpilih di antara mereka, paling tidak aku toh bisa mengambilkan setengah keputusan bagi mereka, bukan begitu?"
Gi Liong kuncu segera mendengus dingin :
"Bagus sekali, sekarang katakan dahulu, siapa yang telah membebaskan kalian dari sekapan di rumah-rumah kayu itu?"
"Memang ada seseorang telah melakukan hal tersebut, sayang sekali aku tidak kenal siapakah orang itu."
"Hmmm, apakah arti perkataanmu?" umpat Gi Liong kuncu amat gusar.
Kakek cebol berjalan di bawah tanah segera tertawa lagi :
"Jangan perduli apa arti perkataan itu, yang jelas kami semua benar-benar sudah erlepas dari kurungan."
"Sekarang ku perintahkah kepada kalian semua agar segera kembali ke dalam kamar tahanan masing-masing serta
menunggu keputusan ku nanti...!"
"Kau anggap kami akan bebuat seperti apa yang kau perintahkan...?"
"KEnapa" Jadi kalian bermaksud hendak menantang perintahku ini" Mau memberontak rupanya?"
"Kecuali sanggup menaklukkan kami semua sekali lagi, kalau tidak, jangan bermimpi lagi di siang hari bolong, sebab aku tahu, perbuatan itu bukan suatu pekerjaan yang gampang.
Baru saja perkataan itu selesai diucapkan mendadak tirai hitam itu disingkapkan dan muncullah seorang perempuan berparas cantik duduk di sebuah bangku.
Sekilas pandangan orang tidak akan tertarik oleh kecantikannya, tapi bila kau sudah memandangnya sekejap maka tak tahan akan memandang lagi untuk kedua kalinya, begitu seterusnya, nyata dia memang seorang perempuan yang sangat cantik.
Darah Dan Cinta Di Kota Medang 9 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Lambang Naga Panji Naga Sakti 4
^