Pencarian

Pedang Angin Berbisik 11

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 11


belenggu yang membuat mereka tunduk pada Tiong Fa akan patah.", ujar Ding Tao coba menjelaskan.
"Benar sekali dan akibat dari kemenangan Ketua Ding Tao tidak akan terhenti di kota Jiang Ling saja, tapi dengan seiring menyebarnya cerita itu, cabang-cabang keluarga Huang yang lain akan mendapatkan kembali semangat mereka.
Sementara ketenaran dan kekuatan perkumpulan kita akan meningkat, satu per satu cabang keluarga Huang dapat kita
rebut dari tangan Tiong Fa.", lanjut Chou Liang.
"Hmm" tapi jika
kita gagal dalam gebrakan
yang awal ini?", ujar Wang Xiaho sedikit ragu-
ragu. "Keadaannya sama-sama sulit, jika kita
menunggu kekuatan kita bertambah, di
saat yang sama kekuatan lawan juga semakin
mapan. Dalam pertandingan menggalang kekuatan ini, kita berada di pihak yang lebih
lemah.", ujar Chou Liang. Kemudian sambil mengitarkan pandangannya ke arah mereka semua, dia coba menjelaskan, "Tiong Fa menguasai cabang-
cabang keluarga Huang dan penghasilan mereka dalam berdagang. Sementara kita masih tertatih-tatih dalam mewujudkan
satu bentuk perkumpulan. Meskipun saat ini kita masih memiliki keunggulan dari segi semangat dan kesetiaan anggota
perkumpulan kita. Dengan uang yang dia miliki Tiong Fa bisa menutupi kekurangan tersebut dalam waktu yang singkat.
Tidak bisa dipungkiri uang memiliki kekuatan untuk menarik orang."
Terdengar desahan nafas dari beberapa orang, Wang Xiaho adalah salah satunya, dengan nada berat orang tua itu berkata,
"Penjelasan yang sangat baik, aku rasa, menyerang Tiong Fa sekarang juga adalah perjudian yang sangt berbahaya. Jika
ingin ikut dalam pertaruhan ini, seluruh modal harus dikeluarkan. Sementara kesempatan menang boleh dikatakan masih
50:50." Ding Tao berdiri menghampiri Wang Xiaho dan menepuk pundak orang tua itu, "Tidak apa paman, kita hanya perlu
memastikan kemenangan ada di pihak kita dan membuat ang 50:50 itu jadi kepastian bagi kita."
Chou Liang terdiam sejenak kemudian berkata, "Tapi jika Ketua Ding Tao tidak punya keyakinan untuk memenangkan
pertarungan itu, sebaiknya rencana ini dibatalkan. Jika kita mati dalam perjuangan tidaklah mengapa, karena sebagai
perkumpulan kita masih bisa bangkit lagi. Tapi tidak demikian jika hal itu terjadi pada diri ketua, karena keberadaan diri ketua sebagai perwujudan kesatuan cita-cita, tekad dan ketulusan kami."
Semua kepala sekarang menoleh ke arah Ding Tao, Ding Tao terdiam beberapa lama sebelum akhirnya dia berkata, "Beri
aku waktu satu hari satu malam untuk merenungkan hal ini, setelah itu baru aku bisa memberikan jawaban."
Tanpa terasa ketegangan menyelimuti mereka yang hadir di ruangan itu, apalagi setelah memberikan jawaban, saat itu juga Ding Tao kembali tenggelam dalam perenungannya. Kali ini tidak ada yang berani mengganggunya. Mau bicara salah, mau
pergi juga terasa tidak sopan, akhirnya mereka semua sama diamnya dengan Ding Tao. Berbagai macam hal lewat dalam
benak masing-masing orang. Chou Liang memikirkan rencana penyerangan. Li Yan Mao merenungkan sifat-sifat Ding Tao
dan keputusannya untuk menaruh seluruh hidupnya ke dalam usaha pemuda itu mewujudkan impiannya. Liu Chun Cao
justru memikirkan jurus-jurus pedang barunya yang dia dapatkan ilhamnya setelah bertarung dengan Ding Tao. Tabib Shao
Yong merenung tentang perjalanan hidup Ding Tao, perubahan-perubahan yang terjadi sejak dari kanak-kanak Ding Tao
hingga sekarang. Mendesah tabib tua itu mengambil kesimpulan betapa pemuda itu sendiri tidak pernah berubah, hanya keadaan dan
kejadian, menempatkan pemuda itu dalam posisi yang jauh berbeda. Secara pribadi, dia tetap pribadi yang sama, atau
mungkin lebih tepatnya, Ding Tao yang sekarang ini adalah versi Ding Tao kecil yang lebih dewasa dan matang. Dengan
sifat-sifat yang baik semakin terasah tajam dan sifat-sifat buruknya makin diredam.
Cukup lama mereka diam dalam keadaan itu sampai Ding Tao tersadar akan keadaan dalam ruangan itu. Pemuda itu pun
tersipu malu, kemudian buru-buru bangkit berdiri.
"Saudara sekalian, sepertinya aku ingin beristirahat terlebih dahulu. Kalian silahkan teruskan saja obrolan kalian. Maaf gara-gara aku melamun, suasana jadi tidak enak", ujar pemuda itu sambil membungkuk berpamitan.
"Tidak, tentu saja tidak apa-apa ketua, silahkan, silahkan jika hendak beristirahat terlebih dahulu", ujar Chou Liang.
"Ya, sebaiknya ketua beristirahat lebih dulu", sahut Wang Xiaho sambil tersenyum.
Setelah bertukar kata beberapa saat lagi, akhirnya Ding Tao pun diantarkan menuju ke kamar yang sudah disediakan
untuknya oleh Chou Liang. Dalam perjalanan itu Ding Tao mendesah sedih, terbayang betapa banyak keakraban yang jadi
terhalang oleh kedudukannya saat ini. Perlakuan mereka menjadi sedikit kaku dengan adanya embel-embel ketua.
"Apakah ketua sedang memikirkan ucapanku tadi" Tentang pertarungan antara ketua dengan pembunuh misterius itu?",
tanya Chou Liang yang mendengar desahan Ding Tao.
Ding Tao menoleh kemudian menggeleng, "Bukan, masalah itu tidak perlu kau khawatirkan, jika aku merasa bisa pasti aku
akan katakan bisa dan demikian juga sebaliknya. Bukan, bukan itu, tapi masalah ketua dan pengikut, sepertinya jadi ada
jarak antara diriku dengan yang lain."
Chou Liang merenungi perkataan Ding Tao dan menjawab, "Mungkin itu salah satu pengorbanan yang harus ketua berikan
demi tercapainya cita-cita. Setiap perjuangan menuntut pengorbanan dan bentuk pengorbanan itupun berbeda-beda.
Bahkan di masa yang mendatang, mungkin akan ada saatnya ketua harus mengeraskan hati dan meninggalkan orang-orang
yang dekat dengan ketua dalam bahaya demi perjuangan itu. "
Mereka sudah sampai di depan pintu kamar saat Chou Liang mengatakan hal itu. Ding Tao terdiam merenungi perkataan
Chou Liang, dalam hati dia bertanya, apakah saat seperti itu akan tiba. Jika ya, apa yang akan dia lakukan" Chou Liang
yang bisa menduga pergumulan hati Ding Tao ikut terdiam.
Perlahan Ding Tao membuka pintu kamar dan mengambil nafas dalam-dalam, kemudian berkata, "Perkataanmu itu berat
untuk dijalani, kukira hingga saat seperti itu tiba aku tidak akan pernah tahu pilihan apa yang nantinya akan kuambil."
Chou Liang tersenyum dan menjawab, "Jika saatnya tiba, aku yakin ketua akan mengambil keputusan yang tepat."
"Semoga saja begitu, baiklah aku beristirahat terlebih dahulu", jawab Ding Tao sambil membalas senyum Chou Liang.
Chou Liang pun berpamitan, Ding Tao pun masuk ke dalam kamar dan mulai bermeditasi, menyatukan pikiran dan segenap
rasa untuk merenungi pertarungannya dengan pembunuh misterius yang harus dia hadapi untuk kedua kalinya sebagai batu
loncatan, jika dia ingin perkumpulan yang dia dirikan menjadi kuat.
Semalaman Ding Tao bekerja keras untuk memikirkan cara melawan pemubunuh misterius yang memiliki ilmu pedang yang
sulit ditandingi itu.Para pengikutnya tidak ingin mengganggu konsentrasinya, karena itu meskipun Ding Tao tidak muncul pada saat makan malam, mereka tidak pergi untuk mengingatkan Ding Tao. Hanya saja satu baki hidangan, makan dan
minum, diletakkan di depan pintu kamar Ding Tao.
Keesokan paginya mereka melihat Ding Tao tidak menyentuh hidangan itu sedikitpun, tanpa banyak tanya, mereka pun
mengganti hidangan itu dengan satu baki hidangan yang baru.
Tengah hari, di hari kedua, Ding Tao berjalan keluar dari kamar, badannya terasa lemas karena sehari semalam tidak ada
makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Badannya boleh lemas, tapi semangatnya justru sedang bangkit, karena Ding
Tao merasa mendapatkan satu cara untuk menghadapi pembunuh misterius itu. Begitu Ding Tao membuka pintu dia
mendapati makanan dan minuman yang sudah disediakan baginya. Dengan rasa haru, Ding Tao membawa makanan dan
minuman itu ke dalam kamarnya.
Sebenarnya hal ini bukanlah sesuatu yang besar, namun bagi Ding Tao yang tumbuh dan besar sebagai tukang kebun
dalam keluarga Huang, mendapatkan pelayanan semacam ini adalah hal yang baru.
Setelah sedikit makan dan minum, Ding Tao kembali mulai dengan latihannya. Apa yang ada dalam bayangannya perlahan
dia tuangkan dalam gerak. Saat keringat sudah mulai membasahi tubuhnya dia beristirahat sekaligus kembali makan dan
minum secukupnya. Demikian hal itu berlanjut sampai hari mulai malam.
Saat Ding Tao akhirnya selesai dengan perenungan dan latihannya, diapun duduk mengumpulkan kembali kekuatan dan
semangatnya. Setelah nafasnya kembali teratur dan seluruh tubuhnya terasa segar, pemuda itupun mengumpulkan
mangkok dan piring yang kosong, ke atas baki. Lalu dibukanya pintu hendak membawa cucian piring itu ke tempatnya.
Saat pintu terbuka, Ding Tao pun melihat ternyata sudah ada Chou Liang dan Tabib Shao Yong yang berdiri menunggunya.
Chou Liang bergegas mengambil baki makanan yang sudah kosong dari tangan Ding Tao dan berkata, "Ketua, biar aku yang
membereskan ini, sementara biarlah Tabib Shao Yong memeriksa kesehatan ketua. Satu hari satu malam ketua berlatih
tentu menghabiskan banyak tenaga, sedangkan besok adalah hari penentuan yang penting."
Ding Tao tak kuasa mencegah Chou Liang, akhirnya dia pun mengangguk dan tersenyum, menyerah pada pengikutnya itu,
"Baiklah, sebenarnya aku merasa baik-baik saja tapi memang sebaiknya Tabib Shao Yong memeriksa kembali untuk
memastikan." Berdua Tabib Shao Yong dan Ding Tao masuk kembali ke dalam kamar, duduk di pinggir pembaringan, Tabib Shao Yong
mulai memeriksa denyut nadi Ding Tao dengan meletakkan 3 jarinya di pergelangan tangan Ding Tao. Muka tabib tua itu
berkerut saat dia berkonsentrasi mengamati denyut nadi Ding Tao. Jari-jari dan perasaannya yang sudah terlatih, begitu
pekanya hingga bisa mengamati keadaan tubuh seseorang lewat denyut nadi pada pergelangan tangan.
Sesaat kemudian tabib tua itu menghembuskan nafas lega, "Kukira keadaan ketua sehat-sehat saja, bahkan sangat sehat.
Kondisi ketua jauh di atas orang-orang pada umumnya. Tapi untuk memastikan, apakah ketua tidak keberatan jika aku
memeriksa lebih lanjut?"
"Tentu saja, tidak perlu sungkan, Tabib Shao Yong yang lebih mengerti tentang masalah kesehatan tubuh manusia."
Tabib Shao Yong pun memeriksa kedua bola mata Ding Tao, meminta Ding Tao untuk menjulurkan lidahnya dan
sebagainya. Alis tabib tua itu sedikit berpikir dan merenung, membuat hati Ding Tao sedikit berdebar.
"Ketua, sebenarnya semuanya terlhat baik-baik saja dan seperti yang aku katakan, justru kondisi ketua jauh lebih baik dari orang pada umumnya. Bahkan pada pesilat pada umumnya. Dari pemeriksaan yang kulakukan, aku mendapati reaksi dan
daya kerja urat dan syaraf ketua beberapa kali lebih cepat daripada kewajaran.", kata Tabib Shao Yong.
Ding Tao pun jadi teringat obat sakti pemberian Murong Yun Hua, dalam hati dia berterima kasih pada gadis itu. Sudah
beberapa lama dia hidup dalam keadaan demikian hingga daya pikir dan daya tangkapnya yang beberapa kali lipat
dibanding sebelum meminum obat itu, tidak lagi menjadi satu hal yang luar biasa. Tapi Ding Tao tidak berani
mengungkapkan hal itu pada Tabib Shao Yong, ada kekuatiran dalam hatinya jika dia bercerita tentang obat sakti itu, maka cerita itu bisa merembet pula sampai pada kisah cintanya dengan Murong Yun Hua. Padahal Ding Tao justru ingin mengubur
dalam-dalam kisah itu, karena kisah itu bertalian erat pula dengan perasaannya terhadap Huang Ying Ying.
Perasaan bersalah membuat Ding Tao terlampau menutup diri dalam satu hal ini. Ding Tao bukannya tidak menyadari hal
itu, namun dia tidak mampu menghindarinya. Ding Tao terkadang merasa malu bahwasannya dia tidak memiliki keberanian
untuk mengakui apa yang sudah terjadi antara dirinya dengan Murong Yun Hua. Dia merasa bersalah, baik pada Huang Ying
Ying, juga pada Murong Yun Hua. Sejenak lamanya Ding Tao terdiam sebelum dia berani memandang wajah Tabib Shao
Yong yang menunggu dia menanggapi perkataannya.
"Apakah ada masalah dengan hal itu?", tanya Ding Tao pada Tabib Shao Yong dengan wajah tersipu.
Tabib Shao Yong pun tersenyum maklum, dia sudah cukup tua dan sudah mengenal Ding Tao cukup lama untuk memahami
bahwa ada hal yang tidak ingin diceritakan oleh pemuda di depannya ini, "Tidak ada masalah, justru sepertinya ketua akan mampu meningkatkan kemampuan ketua dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan orang lain. Gerak refleks dan
kecepatan reaksi ketua menghadap lawan pun akan beberapa kali lebih cepat dibanding orang biasa."
"Oh, begitu?", ujar Ding Tao tidak tahu harus berkata apa.
"Mari ketua, kita pergi ke ruang tengah, seluruh saudara yang lain sudah berkumpul di sana. Bahkan Tuan dan Nyonya Ma
Songquan pun sudah ikut bergabung dengan kita di sini.", kata Tabib Shao Yong memecahkan suasana yang jadi sedikit
kaku. "Ah" Kakak Ma Songquan berdua juga sudah bergabung, sungguh bagus sekali. Tapi dari mana mereka bisa tahu kita
berada di sini?" "Rupanya mereka berdua sudah mengikuti kita sejak kita keluar dari kota Wuling dan kemudian memutuskan untuk
melakukan sedikit penyisiran di kota Jiang Ling sebelum bergabung kembali dengan kita. Tentu saja mereka berdua tidak
tahu kode untuk masuk ke dalam rumah, tapi dengan sabar mereka berdua menanti sampai melihat Saudara Li Yan Mao
keluar dari pintu itu dan menyapanya.", ujar Tabib Shao Yong, menceritakan serba singkat tentang kedatangan sepasang
pendekar tersebut. "Ah, kedua orang itu selalu saja mengejutkan, kalau begitulah ayolah cepat, jangan biarkan orang-orang menunggu.", kata Ding Tao sambil bergegas pula menuju ke ruang tengah diikuti oleh Tabib Shao Yong di belakangnya.
Di ruang tengah semua orang sudah berdiri menunggu, begitu Ding Tao memasuki ruangan, mereka semua berdiri dengan
hikmat dan memberi hormat. Ding Tao membalas penghormatan mereka kemudian duduk di kursi yang sudah disediakan
untuknya. Baru setelah Ding Tao duduk yang lain mengikuti. Qin Bai Yu, Tang Xiong dan Chou Liang memilih untuk berdiri karena
jumlah kursi yang terbatas.
Ding Tao memandang Chou Liang kemudian menganggukkan kepala. Melihat itu Chou Liang pun berjalan ke depan dan
menyapa sekalian yang hadir.
"Seperti yang sudah kita semua ketahui, kita berencana untuk berhadapan muka dengan muka, melawan Tiong Fa dan
orang-orang yang berada di belakangnya. Laporan terakhir mengabarkan munculnya kurir yang sepertinya mengirimkan
satu kabar pada Tiong Fa, sebelum kemudian pergi dengan diam-diam."
"Kemungkinan besar, keberadaan Ketua Ding Tao dan kita di sini sudah berhasil diketahui lawan. Atau mungkin ada
perkembangan lain dalam organisasi lawan yang tidak kita ketahui. Selain kabar yang kurang menyenangkan ini, ada kabar
lain yang cukup membuat kita berbesar hati. Orang-orang dalam yang berhasil kita hubungi, sudah menyatakan siap untuk
berdiri di belakang kita jika kita hendak melakukan serangan terhadap Tiong Fa."
Mendengar kabar itu sekalian yang datang mengangguk dengan puas, dengan bertambahnya pendukung tentu kesempatan
mereka untuk menang menjadi semakin besar.
"Meskipun demikian, mereka memberikan satu syarat.", ujar Chou Liang melanjutkan penjelasannya.
"Syarat apa?", tanya Ding Tao.
"Mereka tidak akan segera terjun maju dalam pertempuran itu, melainkan akan berdiri menunggu, dan akan menentukan
sikap selanjutnya setelah melihat hasil pertarungan antara Ketua Ding Tao dengan jagoan misterius yang menjadi tulang
belakang Tiong Fa. Itu artinya, sampai dengan Ketua Ding Tao berhasil mengalahkan orang tersebut, kita akan bertarung
sendirian melawan orang-orang Tiong Fa yang lebih banyak dari segi jumlah.", urai Chou Liang menjelaskan syarat yang
diajukan oleh orang-orang bekas pengikut keluarga Huang di kota Jiang Ling.
Muka Li Yan Mao memerah, sambil menggeram jago tua itu memaki, "Pengecut! Apa maksud syarat mereka itu?"
Ding Tao segera mengangkat tangannya sehingga kekecewaan dan kemarahan yang mulai menyebar itu terhenti,
"Sebentar, sebentar, jangan emosi kalian menjadi tinggi karena hal itu. Syarat yang mereka berikan aku terima dan aku
pun bisa memahaminya. Sebagian besar yang berada di Jiang Ling adalah perajin dan pedagang, mereka bukan orang yang
hidup dengan pedang. Mereka pun tentu tidak ingin keluarganya mengalami nasib seperti apa yang terjadi di kota Wuling."
"Kita datang meminta mereka untuk mempertaruhkan keamanan yang mereka miliki saat ini. Janji yang mereka berikan
menunjukkan bahwa merekapun tidak menerima keadaan saat ini. Bukan suatu hal yang salah jika mereka menunggu
sampai kita bisa memberikan bukti akan kemampuan kita, kesediaan mereka untuk tidak turun dalam pertempuran saja
sudah merupakan satu keberanian. Karena jika nanti ternyata kita kalah, tentu sikap mereka itupun akan dihadapi dengan
tangan besi oleh Tiong Fa. Akan ada orang yang menanggung hukuman atas sikap menunggu mereka.", ujar Ding Tao
berusaha meredakan amarah yang hadir saat itu.
Chou Liang mengangguk-anguk puas dan kemudian menyahut, "Sebenarnyalah uraian Ketua Ding Tao cukup tepat mewakili
kejadian sesungguhnya. Adalah orang dalam keluarga Huang yang kita hubungi yang berusaha membujuk anggota yang
lain untuk bersikap menunggu. Akhirnya mereka semua setuju setelah orang tersebut berjanji akan maju mempertanggung
jawabkan semuanya jika kita kalah dalam pertempuran itu."
Mendengar penjelasan Ding Tao dan Chou Liang, amarah orang-orang itupun jadi sedikit mereda.
"Siapakah orang yang pemberani itu?", tanya Wang Xiaho.
"Nama orang itu adalah Qin Hun, ayah saudara kita Qin Bai Yu", jawab Chou Liang sambil tersenyum pada Qin Bai Yu.
Tang Xiong yang berada di samping Qin Bai Yu menepuk pundak pemuda itu dengan rasa sayang, yang lain pun
menganggukkan kepala pada pemuda itu. Wajah Qin Bai Yu jadi kemerahan karena malu, dalam hati pemuda itu merasa
bangga akan sikap jantan ayahnya, sekaligus merasakan kekhawatiran pada nasib yang akan menimpa ayahnya jika sampai
mereka gagal. Dengan penuh harap pemuda itu memalingkan wajah pada Ding Tao, orang yang akan menjadi kunci dari
pergerakan mereka kali ini.
Chou Liang pun berpaling pada Ding Tao dan mewakili yang lain menanyakan apa yang ada dalam pikiran mereka semua,
"Ketua, bagaimana hasil latihan ketua" Akankah kita maju atau menunggu lagi sampai beberapa waktu?"
Pertanyaan itu menggantung dalam ruangan yang sunyi senyap untuk beberapa lamanya, sebelum kemudian Ding Tao
menjawab dengan tegas, "Kita laksanakan rencana itu, jika langit berkenan, besok saat aku bertarung dengannya adalah
hari penghabisa bagi dirinya."
Tidak terdengar sorak-sorai, namun bagi yang hadir dalam ruangan itu terasalah bagaimana udara dalam ruangan itu
serasa dipenuhi oleh sorak-sorai. Ketegangan yang tadi menyelimuti ruangan itu segera meleleh, diganti dengan
ketegangan yang berbeda. Ketegangan seekor kuda liar dalam kekangan yang ingin lepas dan berlari di padang rumput.
Atau kuda pacuan yang menunggu aba-aba untuk berlari. Hanya Ding Tao yang sedikit berbeda, bukan berarti dia tidak
memiliki kemauan atau kesungguhan sekuat pengikutnya, namun bayangan bahwa dirinya harus membunuh seseorang
tidaklah menyenangkan hatinya.
Sejak peristiwa yang mengakibatkan terbunuhnya Fu Tsun oleh siasat Ding Tao, pemuda ini berusaha untuk menghindari
terjadinya pertumpahan darah. Namun Ding Tao menyadari pentingnya kemenangan esok hari dan pembunuh itu terlalu
kuat untuk dapat dia kalahkan tanpa menumpahkan darah.
Malam itu mereka membahas rencana mereka untuk keesokan harinya. Tidak ada yang terlampau rumit karena lawan jauh
lebih mapan dari kedudukan mereka, sehingga kecil kemungkinan lawan merasa perlu untuk menghadapi Ding Tao dengan
siasat. Di saat yang sama, Ding Tao dan kawan-kawannya pun tidak ingin memenangkan pertempuran lewat siasat, karena
mereka justru hendak menunjukkan kekuatan mereka kepada orang-orang bekas pengikut keluarga Huang. Menang lewat
siasat tidak akan menarik bagi mereka. Ding Tao perlu memenangkan pertarungannya dengan gemilang.
Setelah pertemuan yang cukup singkat, masing-masing pergi ke ruangannya untuk beristirahat, mengumpulkan tenaga
untuk pertempuran esok pagi. Masing-masing dengan isi benak dan hati yang berbeda.
Pagi itu seperti pagi biasa di kota Jiang Ling, tidak ada yang berbeda. Para pedagang yang mulai memenuhi pasar,
berdatangan seperti biasa. Yang pergi bekerja juga pergi bekerja seperti biasa, yang biasa bermalas-malasan mencari
kesenangan masih bermalas-malasan di tempat tidurnya.
Tapi ada yang tidak biasa di satu tempat di kota Jiang Ling itu. Di depan sebuah bangunan yang menjadi tempat tinggal
Tiong Fa terasa satu ketegangan yang mencekam. Orang yang biasa berlalu lalang lewat jalan itu, terhenti beberapa jauh
dari bangunan itu. Tidak berani untuk melangkah lebih dekat, tapi tidak kuasa pula untuk berbalik dan menjauh. Hawa
pembunuhan memenuhi tempat itu dengan pekat. Berjajar di depan bangunan itu Ding Tao dan segelintir pengikutnya.
Di kiri dan kanan Ding Tao berdiri Ma Songquan dan Chu Lin He. Berjajar sedikit di belakang mereka bertiga adalah Tang
Xiong, Qin Bai Yu, Li Yan Mao, Wang Xiaho dan Liu Chun Cao.
Mereka berdiri dengan tenang, meskipun pedang belum terhunus namun setiap orang yang hendak lewat bisa melihat
bahwa mereka sedang mencari gara-gara. Pemandangan itu sekilas nampak konyol bagi orang bayaran Tiong Fa yang
sedang berjaga di depan gerbang. Kebetulan ada tiga orang yang bertugas berjaga saat itu. Mereka baru saja membuka
gerbang rumah usaha mereka, ketika melihat Ding Tao dan yang lainnya berdiri berjajar, dengan mata tajam memandangi
mereka. Sejenak ketiga orang itu saling berpandangan dengan wajah keherenan dan geli, akhirnya salah seorang dari mereka
mengangkat bahu lalu maju ke depan.
Sambil menunjuk ke arah wajah Ding Tao dan yang lain dia bertanya, "He, kalian ini mau apa" Apa mau cari gara-gara di
sini" Sudah sana cepat pergi jangan ganggu usaha orang atau kami akan mengusir kalian dengan jalan kekerasan."
Ditunjuk-tunjuk dengan kasar Ding Tao tidak menunjukkan kemarahan, dengan tenang dia mengangguk dan menjawab,
"Aku memang kemari untuk mencari perkara dengan kalian. Kami kemari ingin menuntut keadilan bagi keluarga Huang di
Wuling. Katakan pada tuanmu, Tiong Fa untuk keluar dan menghadapi kami."
Mendengar jawaban Ding Tao yang diucapkan dengan tenang ketiga orang itu makin heran dan tidak habis pikir. Sekali lagi mereka memperhatikan keadaan sekelilingnya, membayangkan ada puluhan orang yang tak terlihat sedang berbaris siap
menyerang. Tapi seperti apapun dipandang, yang berdiri di hadapan mereka dan berkata hendak membuat perhitungan
jumlahnya tidak lebih dari sepuluh jari mereka.
Ingin tertawa dan berolok-olok, namun ketenangan dan keseriusan wajah Ding Tao dan rekan-rekannya membuat hati
ketiga orang itu tergetar juga.
"Laporkan ke dalam", salah seorang dari antara mereka yang bertindak sebagai pemimpin bagi kawannya akhirnya berkata.
"Apa yang harus dilaporkan?", bisik salah seorang dari mereka bertanya, sambil memandangi rombongan Ding Tao dengan
wajah bingung. "Bodoh, ceritakan saja apa yang terjadi di sini.", ujar yang seorang lagi.
"Pada Tuan besar Tiong Fa?", tanya kawannya lagi, tidak sempat merasa tersinggung oleh makian temannya, karena
jantungnya berdebaran dengan kencang menyaksikan tingkah polah Ding Tao dan rekan-rekannya.
"Jangan, laporkan saja pada Kakak Fu Shien, biar dia yang memutuskan", jawab yang memimpin di antara mereka, sambil
menjawab matanya tidak lepas-lepas mengamati Ding Tao dan rombongannya.
Setelah mendapat kepastian, bergegas orang yang dari bertanya masuk kembali ke dalam bangunan. Pada dasarnya
jantungnya sudah mengerut melihat ketenangan Ding Tao dan rombongannya. Sebenarnya bukan hanya dia, tapi dua
rekannya pun merasakan kegawatan situasi mereka saat itu. Jika segelintir orang bisa mendatangi markas mereka dan
dengan tenang menantang Tiong Fa, pimpinan mereka, tentu orang-orang ini punya pegangan yang tidak bisa dianggap
enteng. Hanya saja nyali dua orang itu lebih besar dari nyali kawannya yang masuk untuk melapor tadi.
Ingin melihat bagaimana reaksi Ding Tao, pemimpin penjaga gerbang itu menggerakkan kepalanya, menunjuk kawannya
yang berlari masuk, "Kau lihat, kawanku tadi sudah masuk untuk melapor. Jika kalian masih sayang badan, kusarankan
kalian pergi saja sekarang. Jika kalian berlambat-lambat, tentu akan menyesal."
Wang Xiaho tidak tahan dan mendengus, "Heh" jangan kau anggap kami anak kecil yang tidak memiliki perhitungan dan


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa kau gertak dengan ancaman macam itu. Jika kami berani datang, tentu kami punya perhitungan sendiri pula."
Wajah kedua penjaga gerbang itu pun menjadi gelap dan mengeras, tangan mereka meraba gagang golok yang tergantung
di pinggang, sadar bahwa sebentar lagi akan terjadi pertarungan hidup dan mati.
Ding Tao yang melihat gerak-gerik kedua orang itu berkata pula, "Urusan kami sebenarnya hanyalah dengan Tiong Fa, aku
tahu kalian hanya orang bayaran. Jika kalian mau minggir, kami pun tidak akan menurunkan tangan keras pada kalian. Tapi siapapun yang berani menghalangi, kami tidak akan sungkan-sungkan, jika ada darah tertumpah, jangan salahkan kami
karena pedang tidak bermata."
Kedua orang itu menggertakkan gigi mereka, salah seorang di antara mereka menjawab, "Tidak usah banyak bicara, kita
hidup dengan pedang, sudah wajar jika matipun oleh pedang. Jika darah kami bisa tertumpah, demikian pula dengan darah
kalian, karena golok kamipun tidak bermata."
"Hmm" apakah kalian berdua tidak tahu kejadian di Wuling, kami datang menuntut keadilan. Tumpahnya darah kami dan
tumpahnya darah kalian tentu saja beda harganya. Jika kami mati, kami mati berusaha menegakkan keadilan. Jika kalian
mati, kalian mati hanya karena masalah harta.", jawab Ding Tao dengan dingin.
"Hmph" Omong kosong dengan keadilan, kalian datang menghantar nyawa, apa kalian tidak tahu berapa jumlah orang
yang ada dalam gedung ini?", jawab salah satu penjaga, matanya menyipit tajam, biarpun tidak kentara dan singkat saja,
suara golok yang dicabut dari sarungnya terdengar oleh setiap orang.
Dengan senyum mengejek Ma Songquan menjawab, "Hmm" jika hal kecil begitu saja kami tidak tahu, anggap saja kami
memang pantas mati di tangan cecurut macam kalian. Jumlah lelaki yang mampu mengangkat senjata seluruhnya ada 68
orang. 35 di antaranya adalah bekas-bekas pengikut keluarga Huang yang kalian taklukkan. Sedangkan 33 orang sisanya
adalah orang-orang bayaran Tiong Fa. Dari 33 orang itu yang bisa dibilang ada harganya tidak lebih hanya 7-8 orang saja dan kalian berdua ini bukan termasuk di antaranya."
Memerah wajah kedua penjaga itu, antara menahan marah dan juga tegang karena lawan ternyata bukan hanya bisa bicara
kosong saja. Apa yang dikatakan sungguh tepat dengan keadaan sebenarnya. Ada sementara orang semakin ketakutan
justru semakin marah untuk menutupi rasa takutnya, demikian juga dengan salah seorang dari penjaga itu. Dengan tangan
gemetaran dia mencabut goloknya dan mengacung-acungkannya ke arah Ma Songquan.
"Jaga mulutmu, atau kurobek mulutmu yang kurang ajar itu dengan golokku ini!"
Ma Songquan tersenyum dingin mendengar ancaman itu, jika kata-kata yang sama didengarnya beberapa waktu yang lalu,
orang itu tentu sudah tidak bernyawa saat ini. Beruntung sifatnya sudah banyak berubah setelah bertemu Ding Tao.
"Hoo, kau diam saja, apa kau merasa takut sekarang?", ejek orang itu sambil menggoyangkan goloknya.
Ding Tao yang bisa merasakan kemarahan yang menggelegak dalam hati Ma Songquan, meletakkan tangannya ke pundak
Ma Songquan, kemudian dengan nada menegur dia menasihati penaga yang mengacung-acungkan goloknya.
"Sobat, sarungkan golokmu, tidak ada perlunya mengusik kemarahan kawanku ini. Jika kau memang ingin bertarung,
tunggu sebentar sampai tuanmu, Tiong Fa memberikan jawaban. Janganlah ketakutanmu membuatmu kehilangan akal."
Dinasihati demikian tentu saja membuat orang itu semakin kebakaran jenggot, dia bergerak seperti akan melangkan maju,
namun rekannya jauh lebih bijaksana.
Dia segera menahan temannya untuk tidak maju ke depan, "Tunggu dulu, tidak perlu kehilangan kesabaran. Jangan tolol
dan maju sembarangan, apa kau mau menjual nyawa sia-sia?"
Kemudian dengan dingin dia mengangguk pada Ding Tao, seperti berterima kasih telah bermurah hati pada rekannya.
Tampaknya orang itu cukup disegani dan dihormati oleh rekannya, sehingga rekannya tersebut tidak lagi mengumbar caci
maki. Suasanapun diliputi kesunyian, karena dari dua kelompok itu tidak seorangpun mencoba mengajak berbicara yang
lain. Kesunyian itu baru pecah ketika terdengar suara tertawa keras dari dalam gedung.
Seorang lelaki berpakaian mewah keluar dari dalam gedung tapi dia bukan Tiong Fa. Ding Tao memandangi orang yang baru
tiba ini dengan kening berkerut. Di belakang lelaki itu mengikut kira-kira tiga puluhan orang lainnya.
"Hahahaha, kusangka siapa tamu yang datang, ternyata ada juga wajah kenalan lama di sini. Wang Xiaho! Liu Chun Cao!
Apa-apaan kalian ini, mengapa urusan anak kecil seperti inipun kalian bisa ikut tersangkut di dalamnya?", ujar lelaki
berpakaian mewah tersebut sambil tertawa-tawa.
Wang Xiaho dan Liu Chun Cao pun mengamati orang itu baik-baik, Liu Chun Cao yang terlebih dahulu membuka mulut, "Fu
Pendekar pedang ganda, Fu Shien, rupanya kau di sini sekarang."
Wang Xiaho yang mulai teringat pula dengan sosok di hadapannya itu menyahut pula, "Bukankah kau jadi pengawal
seorang pejabat di istana" Kenapa sekarang berada pula di sini?"
Fu Shien tertawa tawa saja, "Wah syukurlah kalau kalian tidak lupa dengan namaku, pejabat itu tertangkap sedang bermain mata dengan isteri seorang pangeran, apa boleh buat aku pun terpaksa mencari pekerjaan baru. Karena itu harap kalian
memberi muka dan tidak mengganggu periuk nasiku."
"Maafkan kami, tapi kedatangan kami bukan sekedar mencari gara-gara, tapi menuntut keadilan atas nama keluarga
Huang", jawab Ding Tao mewakili yang lain.
Fu Shien dengan senyum sedikit terpaksa memalingkan wajahnya menghadap ke arah Ding Tao, sebagai angkatan yang
lebih tua dia memandang sebelah mata pemuda di depannya ini.
"Menuntut keadilan" Apakah kalian memiliki bukti dan saksi bahwa Tuan Tiong Fa tersangkut dalam urusan itu?", tanyanya
dengan dingin. "Tentu saja ada, beberapa saudara di sini adalah saksi dari kejadian itu, mereka pun mengetahui ketika Tiong Fa pertama kali berkhianat pada keluarga Huang.", jawab Ding Tao dengan tenang.
"Oh, tentang hal itu Tuan Tiong Fa telah bercerita pula pada kami, kejadian itu adalah satu siasat yang sudah disetujui oleh Tuan besar Huang Jin sendiri, untuk mengelabui satu kelompok rahasia yang diduga hendak menyerang keluarga Huang.
Siapa sangka serangan itu terjadi lebih cepat dari dugaan mereka berdua. Sekarang Tuan besar Tiong Fa berusaha
menyelamatkan sisa-sisa yang ada, agar jerih payah Tuan besar Huang Jin tidak musnah begitu saja.", ujar Fu Shien
dengan cerdiknya. Tiba-tiba terdengar teriakan dari kerumunan orang yang menonton kedua kelompok itu dari kejauhan, "Pembohong! Aku
melihat dengan mata kepalaku sendiri Tiong Fa menerima perintah dan bekerja sama dengan orang-orang yang membantai
keluarga Huang di Wuling malam itu!"
"Siapa itu" Jika bukan pengecut, keluarlah. Kalau tidak berbohong, mengapa harus bersembunyi!", bentak Fu Shien dengan
suara menggelegar. Ding Tao dan orang-orang di sekelilingnya mengerutkan alis, rupanya mereka mengenal suara Tabib Shao Yong yang
berteriak dari antara kerumunan orang. Sudah menjadi kesepakatan mereka semalam, bahwa Tabib Shao Yong dan Chou
Liang yang tidak memiliki dasar-dasar ilmu silat yang cukup untuk mempertahankan diri dalam satu pertempuran, untuk
bersembunyi dan tidak ikut dalam penyerbuan itu. Siapa sangka Tabib Shao Yong tidak mampu menahan diri dan justru
menunjukkan keberadaannya pada lawan.
Sejak awal Tabib Shao Yong selalu dihantui oleh kejadian saat pembantaian tersebut. Saat dirinya beku oleh rasa takut,
bersembunyi dari lawan, tanpa melakukan apa-apa untuk menolong kawan-kawannya. Rasa malu dan penyesalan
menumpuk dalam hatinya, saat mendengar Fu Shien memutar balikkan kenyataan dan memuji-muji Tiong Fa, Tabib Shao
Yong pun tidak bisa lagi menahan perasaannya. Denga wajah merah padam oleh kemarahan, tabib tua itu berjalan dengan
gagah ke arah dua kelompok yang saling berhadapan, penampilannya begitu berbeda dari keadaan biasanya yang penuh
belas kasih. Fu Shien memandangi Tabib Shao Yong dengan pandang tertarik, saat Tabib Shao Yong makin mendekat diapun maju ke
arah Tabib Shao Yong dan bertanya, "Orang tua, apakah benar perkataanmu bahwa kau adalah saksi mata keterlibatan
Tuan besar Tiong Fa dalam penyerangan atas keluarga Huang?"
"Tentu saja benar, saudara yang lain kebetulan berada di tempat yang berbeda, hingga mereka tidak menyaksikannya
secara langsung. Tapi aku kebetulan berada di tempat yang tepat dan melihat dengan mata kepalaku sendiri Tiong Fa
bekerja sama dengan para pembunuh itu!", jawab tabib tua itu dengan tegas.
"Hmm, kalau begitu kau adalah satu-satunya saksi mata. Apakah perkataanmu bisa dipercaya?", ujar Fu Shien dengan
pandang menghina. Bertonjolan urat di dahi Tabib Shao Yong ditanya demikian, "Tentu saja bisa dipercaya?"
Tiba-tiba selarik garis gelap berbau amis, melesat ke arah Tabib Shao Yong, Fu Shien saat itu berdiri di antara Ding Tao dan Tabib Shao Yong, menghalangi pandangan Ding Tao, sehingga pemuda itu terlambat beberapa saat untuk menolong Tabib
Shao Yong. Liu Chun Cao yang lebih awas dan berada di posisi yang lebih tepat, masih sempat bergerak hendak menolong
Tabib Shao Yong, tapi Fu Shien sudah siap dan dengan cepat memotong pergerakan Liu Chun Cao.
Nyawa Tabib Shao Yong sudah berada di ujung tanduk, tapi tiba-tiba, satu desingan yang sangat kuat menyambar melewati
belakang kepala Fu Shien yang sedang menghadang Liu Chun Cao. Lemparan yang kedua ini lebih kuat dan cepat dari
lemparan senjata rahasia beracun yang dilemparkan ke arah Tabib Shao Yong. Bukan hanya kuat dan cepat, tapi
ketepatannya pun nomor satu.
Lemparan yang kedua dengan tepat menghadang jalan senjata rahasia beracun itu sehingga Tabib Shao Yong pun selamat
dari usaha pembunuhan. Waktu yang terciptakan sangat singkat, tapi di saat yang singkat itu dengan cepat Ding Tao sudah melompat melindungi Tabib Shao Yong.
Wajah tabib tua itu menjadi pucat, namun tidak dalam waktu yang lama. Tabib Shao Yong sudah cukup dengan rasa
takutnya, tidak mau lagi dia membeku oleh rasa takut. Kali ini tabib tua itu bukannya bersembunyi ketakutan, namun justru membusungkan dada dan berteriak, "Pengecut kalian semua! Bukti apa lagi yang kalian perlukan, perbuatan kalian justru
membuktikan kebusukan kalian."
Liu Chun Cao juga marah karena pihak lawan sudah menyerang secara menggelap, "Fu Shien, manusia rendah, kiranya
masih ada yang bersembunyi! Siapa itu" Apa manusia beracun dari Utara?"
Fu Shien hanya mendengus saja, dengan satu gerakan tangan, mereka yang berkumpul di belakangnya segera bergerak
menyerang Ding Tao dan rombongannya. Ding Tao dan rombongannya tidak kalah sigap, tanpa ragu Ding Tao
menggunakan jurus ciptaannya untuk membentuk perisai pelindung bagi dirinya dan Tabib Shao Yong.
Ma Songquan dan Chu Lin He dengan sigap memimpin sisanya untuk bertahan menghadapi lawan yang berjumlah lebih
banyak. Liu Chun Cao tidak salah menebak, orang yang melemparkan senjata rahasia beracun ke arah Tabib Shao Yong
adalah si racun dari utara, beruntung di antara mereka ada Ma Songquan dan Chu Lin He yang keahliannya dalam
melempar senjata rahasia tidak berada di bawah jagoa tersebut. Beberapa jagoan ternama lain ikut pula bermunculan di
antara tiga puluh orang tersebut.
Pertempuran pun terjadi dengan seru, meskipun kalah jumlah, namun Ma Songquan, Chu Lin He dan Ding Tao memiliki
kemampuan beberapa tingkat di atas lawan mereka. Serangan ketiganya mampun membuat barisan lawan kocar kacir. Jika
bukan karena permintaan Ding Tao semalam, sepasang suami isteri Ma Songquan dan Chu Lin He mungkin sudah berhasil
membunuh beberapa orang lawan. Namun tujuan serangan mereka kali ini adalah untuk memancing pembunuh misterius
yang mereka jadikan sandaran untuk keluar.
Fu Shien dan rekan-rekannya mulai terbuka matanya, tidak berani lagi mereka meremehkan pemuda yang sedang
mengamuk dengan jurus pedangnya yang mengurung ke segala arah itu. Ding Tao sendiri sudah mulai ragu-ragu, apakah
rencana mereka akan berjalan sesuai rencana. Ataukah orang yang mereka incar tidak mau terpancing dan sudah pergi jauh
dari Jiang Ling" Kekhawatiran yang tidak perlu muncul karena pada saat itu sebuah desingan yang tajam menyerang ke arah perisai hawa
pedang yang diciptakan Ding Tao untuk melindungi Tabib Shao Yong. Belasan jagoan tidak mampu menggetarkan sedikit
mungkin benteng yang diciptakan Ding Tao itu, tapi sebilah pedang dengan jurus yang cepat dan tajam merobeknya tanpa
ampun. Ding Tao dengan cekatan mengubah jurus. Tenaga yang menyebar dikumpulkan pada satu titik, kemudian dengan indah dia
membentur serangan yang baru datang itu. Dua bilah pedang yang penuh dengan hawa murni berbenturan, dua tenaga
sama kuat, suara dentang dan dengungan kedua pedang memekakkan telinga mereka yang berada di dekatnya.
Dua orang pendekar pedang berdiri tegak dengan pedang bersilangan, para pendekar tertegun, tergoncang oleh hebatnya
benturan yang terjadi. Sejenak mereka terdiam, dengan tegang memandangi Ding Tao dan seorang lelaki bertopeng yang
saling berhadapan dan menggenggam pedang yang saling bersilang.
Jika diamati baik-baik, maka terlihatlah bagaimana kedua pedang itu bergetar, karena pemiliknya berusaha saling
mendorong. "Kita bertemu lagi rupanya", ujar orang bertopeng itu menyapa Ding Tao.
"Begitulah, pertemuan kemarin belum ada hasil yang memuaskan", jawab Ding Tao.
"Hehehehe, waktu itu perintah yang kuterima adalah untuk membiarkanmu hidup", jengek orang bertopeng itu.
"O" apakah itu berarti sekarang perintahnya sudah berubah" Dan kau merasa sekarang kau bakal bisa mengalahkanku?"
"Hohoho, kenyataannyalah demikian, rupanya perasaan orang padamu sudah berubah, mungkin matanya sudah terbuka
dan melihat betapa tidak pentingnya orang macam dirimu ini. Hari ini akan jadi penentuan antara dirimu dan diriku.", jawab pembunuh bertopeng itu dengan nada jumawa.
"Saudara, kurasa kita belum pernah bertemu sebelum ini, meskipun aku tidak bisa yakin karena kau memakai topeng. Tapi
kau berkata-kata seakan-akan ada urusan khusus antara dirimu dan diriku. Sungguh membuat orang merasa penasaran.",
ujar Ding Tao dengan alis berkerut.
Orang bertopeng itu tertawa berkepanjangan, pandangannya tak pernah lepas dari Ding Tao, sambil bercakap-cakap, kedua
orang itu tidak lupa untuk terus mencari-cari kelengahan lawan. Pedang yang bersilang terkadang condong ke arah Ding
Tao, kadang terdorong balik ke arah pembunuh bertopeng itu. Terkadang pedang yang seorang bergeser melepaskan diri,
tapi kemudian ditempel pula cepat-cepat oleh yang lain. Secara sekilas sepertinya kedua orang itu hanya sedang bercakap-cakap saja, tapi sebenarnya pertarungan sudah dimulai sejak tadi.
Pergeseran-pergeseran pedang dan kedudukan kedua orang itu tidaklah besar dan hanya orang yang benar-benar jeli saja
yang bisa melihat pertarungan yang sedang terjadi di antara dua jagoan itu.
Karena yang hadir di tempat itu hampir semuanya orang persilatan, tentu saja pertarungan yang unik itu mengundang
perhatian mereka. Orang-orang seperti Liu Chun Cao dan Fu Shien yang berpengetahuan lebih luas dibanding rekan-rekan
mereka, dalam waktu singkat menjadi komentator bagi pertandingan itu.
Ma Songquan dan isterinya, lebih memilih untuk mengamatinya dengan berdiam diri. Wajah keduanya begitu tegang
mengikuti pertarungan yang terjadi, maklum di antara banyak orang, mungkin hanya sepasang pendekar ini saja yang
benar-benar dapat mengamati apa yang sedang terjadi. Liu Chun Cao, Fu Shien, Li Yan Mao, Tang Xiong, si racun dari
utara, Wang Xiaho dan beberapa orang jagoan lain yang sudah kenyang makan asam garam, namun belum sampai pada
tingkatan mereka, lebih berada dalam posisi menebak-nebak.
Keasyikan mereka menonton, mungkin hanya bisa dimengerti oleh para pecinta catur yang sedang menonton pertandingan
antara dua grandmaster catur. Bagi mereka yang tidak mengerti atau tidak menyukai permainan itu, menonton
pertandingan begitu membosankan. Tapi bagi mereka yang mengerti dan sedikit banyak bisa meraba apa yang sedang
terjadi, menonton pertandingan itu bisa menjadi sesuatu yang mengasyikkan dan menegangkan.
Diam-diam berkembanglah rasa penasaran mereka atas dua orang itu. Yang seorang masih sangat muda dan yang lainnya
menutupi identitasnya begitu rupa. Hingga ketika menjadi tamu di rumah orang pun selalu saja memakai topengnya.
"Jangan kau pikirkan tentang mengapa aku ingin mengenyahkanmu yang pasti keberadaanmu sudah menjadi duri dalam
dagingku. Seandainya saja ambisimu tidak terlalu besar dan kau mau menyingkir dari dunia persilatan selama 4-5 tahun,
tentu kehidupanmu bakal terjamin langgeng. Sayang, ambisimu terlampau besar, bahkan kau berani bermimpi untuk
mejadi Wulin Mengzhu.", ujar orang bertopeng itu, menjawab pertanyaan Ding Tao.
Perkataan orang bertopeng itu mengundang berbagai macam reaksi. Orang-orang dari pihak Ding Tao terkejut, mengetahui
lawan bisa sampai tahu akan rencana mereka itu. Di mana letaknya kebocoran"
Dari pihak lawan sendiri, orang-orang seperti Fu Shien, Si Racun dari utara dan beberapa orang jagoan lainnya, memandang Ding Tao dengan berbagai macam pemikiran. Ada yang menilai pemuda itu kelewat ambisius dan sombong. Ada pula yang
diam-diam mengakui kelebihan Ding Tao dalam hal ilmu silat, apalagi jika menilik umur pemuda itu yang masih sangat
muda. Tapi secara keseluruhan mereka membenarkan perkataan orang bertopeng itu. Seandainya saja Ding Tao menunggu
barang 5 tahun lagi, pada saat itu tentu ilmunya sudah sulit dijajaki, sementara jagoan-jagoan kelas satu di masa ini sudah mengalami masa penurunan.
Mereka ini memandangi wajah Ding Tao, penasaran, bagaimana tanggapan Ding Tao atas tuduhan itu. Apakah akan marah
karena kedoknya terbongkar" Atau justru bersikap merendah dan menyangkal telah memiliki ambisi sedemikian tinggi"
Ding Tao yang sebenarnya juga terkejut karena lawan sudah mengetahui keinginannya untuk mengikuti pemilihan Wulin
Mengzhu, otomatis bertanya, "Saudara, dari mana kau mendengar berita itu?"
Orang bertopeng itu pun menjawab, "Hmm" satu berita, cepat atau lambat tentu akan menyebar. Guru Chen Wuxi tanpa
mengira-ngira besar kecilnya kekuatan yang dia miliki sudah mulai menghubungi rekan-rekannya dan menceritakan tentang
dirimu dan keinginannya untuk mendukung dirimu menjadi Wuling Mengzhu. Apakah kau masih akan menyangkal lagi?"
Mendengar jawaban orang bertopeng itu diam-diam Ding Tao dan rekan-rekannya menarik nafas lega, karena itu berarti
tidak ada kebocoran dalam organisasi mereka. Ada juga perasaan bersalah dalam hati Wang Xiaho dan Liu Chun Cao karena
mereka lupa memberi kabar pada rekan mereka itu. Tapi sulit untuk menyalahkan kedua orang itu, kejadian demi kejadian
berlangsung dalam hitungan hari, sementara di masa itu perjalanan dari kota ke kota membutuhkan waktu yang cukup
lama. Mau tidak mau Wang Xiaho dan Liu Chun Cao terikat dengan pergerakan Ding Tao. Tidak mungkin meninggalkan
pemuda itu, karena jumlah mereka yang masih terlalu sedikit, sehingga secara tidak langsung rekan-rekan mereka seperti
Chen Wuxi dan Fu Tong si tongkat besi, seperti terlupakan.
Bagi Ding Tao selain merasa terharu oleh dukungan yang tulus dari Guru Chen Wuxi, dia juga merasa kagum pada jaringan
informasi yang dimiliki oleh lawan. Teringat dia dengan penjaga kedai teh di luar kota Wuling dan jaringan yang mulai
dibentuk oleh Chou Liang. Dalam hati pemuda itu berjanji, segera setelah mereka berhasil mengenyahkan Tiong Fa dari
kota Jiang Ling, sesegera mungkin dia akan menugaskan Chou Liang untuk mengurusi hal yang satu ini.
"Kenapa diam saja" Bagaimana jawabmu he?", ujar orang bertopeng itu.
Ding Tao menjawabnya dengan tersenyum, hatinya ringan karena lega mengetahui tidak ada kebocoran atau pengkhianat
dalam perkumpulan yang baru dibentuk, "Hmm"aku tidak menyangkal perkataanmu itu, tapi satu hal perlu kau ketahui, hal
itu aku lakukan bukan karena ambisi pribadi. Aku sadar kemampuanku masih jauh di bawah para tetua dalam dunia
persilatan. Masih banyak yang lebih pantas untuk menduduki kursi itu dibanding diriku."
"Hoo" kalau begitu kenapa juga kau masih berniat untuk mengikutinya" Bahkan menyuruh orang-orang seperti Chen Wuxi
dan Fu Tong untuk mulai mencari dukungan bagimu?", kejar orang bertopeng itu.
Wang Xiaho yang sudah tidak sabar menjawab pertanyaannya sebelum Ding Tao sempat menjawab, "He, pengecut
bertopeng, jangan buka mulut jika tidak tahu urusan. Tentang majunya Ding Tao dalam pemilihan Wulin Mengzhu, justru
hal itu timbul terlebih dahulu dari pemikiran sahabat Guru Chen Wuxi, Fu Tong, diriku dan rekan Pendeta Liu Chun Cao.
Ding Tao sendiri pada awalnya meragu, tapi kamilah yang mendorong dia untuk berusaha mengikuti pemilihan Wulin
Mengzhu tersebut." Orang bertopeng itu memandang Wang Xiaho dengan tatapan mata yang dingin, Ding Tao sampai merasa merinding dan
berkuatir terhadap keselamatan pengikutnya yang setia itu.
"Wang Xiaho" umurmu sudah tua, tapi kenapa otakmu belum juga dewasa" Jika benar ceritamu, maka kau dan rekan-
rekanmu itu tentu sudah kehilangan akal. Apa yang hendak kalian cari" Apa sudah putus asa melihat keadaan kalian yang
tidak juga mengalami perbaikan dalam hidup" Apa ingin cari nama?", jengek orang bertopeng itu dengan suara dingin.
Merah wajah Wang Xiaho dikatakan demikian, "Pengecut buduk! Anjing kurap! Jika kau orang kenamaan, buka topengmu!
Aku memang cuma kelas rendahan, tapi aku tidak buta, Ding Tao memiliki bakat yang baik, dan terlebih penting dia
memiliki sifat2 yang baik. Jika memilih Wulin Mengzhu hanya berlandaskan kekuatan, siapa yang bisa menjamin bahwa
dunia persilatan tidak akan dimanfaatkan orang-orang busuk macam dirimu untuk mengejar ambisi pribadi?"
Terpancar keinginan membunuh yang kuat dari sorot mata orang bertopeng itu mendengar caci maki Wang Xiaho. Meskipun
hanya lirih saja, tapi ada perubahan dalam pergerakan hawa murni dari orang bertopeng itu. Ding Tao yang merasakan
pergerakan itu segera pula menyalurkan hawa murni ke dalam pedangnya untuk menekan tempat yang melemah. Tentu
saja hal itu tidak luput dari pengamatan orang bertopeng itu, yang segera menarik kembali hawa murni yang tadinya
disiapkan untuk melontarkan serangan ke arah Wang Xiaho.
Pandang mata orang bertopeng itu pun beralih dari Wang Xiaho ke arah Ding Tao, suaranya tidak keras namun mendirikan
bulu roma, "Hmm" jangan kau pikir bisa melindungi orang tua itu dari kematian. Hari ini akan kubunuh terlebih dahulu
dirimu, baru kemudian segenap orang yang mengikutimu."
Kemudian dia kembali memalingkan wajahnya ke arah Wang Xiaho dan menjawab, "Kau sudah bisa menduga bahwa aku
memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Namun kau masih berani berkata demikian. Hari ini akan kubuat dirimu
menjadi contoh buat segenap kecoak-kecoak dalam dunia persilatan, supaya belajar menaruh hormat pada golongan yang
lebih tinggi. Akan kutunjukkan perbedaan antara golongan kami dan golongan kalian, akan kuperlihatkan betapa sia-sianya mimpi-mimpi kalian. Orang lemah jangan harap mengangkat kepala dalam dunia persilatan."
Giliran wajah Ding Tao yang menjadi gelap, dengan suara berat dia berkata, "Yang kuat melindungi yang lemah, itu salah
satu bagian dari prinsip hidup seseorang yang mendalami ilmu bela diri. Jika kalian semua sudah lupa akan hal itu, jika kalian sudah mabuk oleh kekuasaan dan kekuatan kalian. Maka aku yang masih muda ini akan mengingatkan kalian sekali
lagi. Akan aku goncangkan dunia kalian sampai hilang rasa mabuk kalian itu."
Tiba-tiba saja udara di sekitar kedua orang itu menjadi pekat. Sarat oleh hawa murni dan semangat bertarung yang meruap keluar dari kedua orang itu. Tanpa terasa segenap orang yang ada di situ melangkah mundur. Bahkan Ma Songquan dan
isterinya yang sudah kenyang bertarung dengan jagoan-jagoan kelas atas pun mundur selangkah, tergetar oleh hawa dan
semangat yang terpancar. Jika Ma Songquan dan Chu Linhe saja merasa tergetar, bagaimana dengan yang lainnya"
Orang-orang seperti Liu Chuncao, Wang Xiaho, Fu Shien dan si racun dari utara, lebih-labih lagi, mereka mundur sampai
beberapa langkah. Insting, naluri terdalam dalam diri manusia yang muncul saat merasakan ada bahaya terhadap diri
mereka terpicu, menggerakan kaki mereka di luar sadar mereka, menuju ke tempat yang dirasa lebih aman.
Beberapa orang yang tingkatannya lebih rendah justru lebih parah lagi, ada yang justru pikiran dan hatinya menjerit untuk lari, namun kakinya sudah tidak mau lagi menurut dan justru mereka terpaku di tempatnya. Di antara orang-orang itu
antara lain adalah Qin Bai Yu dan Tabib Shao Yong, untungnya ada Ma Songquan dan Chu Linhe yang cepat tanggap.
Segera setelah mereka menguasai diri mereka kembali, sepasang pendekar itu dengan cepat meraih dan menarik kedua
orang itu ke tempat yang lebih aman.
Terlambat beberapa detik saja mungkin tubuh kedua orang itu sudah dipenuhi oleh sayatan pedang, karena peningkatan
semangat dan hawa pedang dari Ding Tao dan orang bertopeng itu dalam hitungan detik sudah mencapai puncaknya.
Dengan sebuah teriakan yang mengerikan, kedua orang itu melontarkan jurus-jurus mereka. Menyerang dan bertahan
dilakukan dalam selisih waktu sepersekian kejapan mata.
Dua orang dari pihak Tiong Fa yang membeku di tempatnya dan tidak sempat diselamatkan oleh rekan-rekannya jatuh
menjadi korban dari jurus-jurus serangan Ding Tao dan orang bertopeng itu. Meskipun bukan mereka yang dituju, namun
mereka tidak sempat pula untuk menghindari hawa pedang yang berkelebatan memenuhi ruangan di sekitar kedua orang
yang bertarung itu. Tanpa sempat mengelak ataupun membela diri, kedua orang itu pun tiba-tiba mendapati tubuhnya
tersayat-sayat oleh hawa pedang.
Dengan jeritan yang mengerikan, keduanya meregang nyawa, jatuh ke atas tanah dan tidak pernah bernafas lagi.
"Bagaimana?", tanya Wang Xiaho kepada Ma Songquan yang saat itu sudah berdiri di dekatnya, membawa Tabib Shao Yong
dan Qin Bai Yu bersama mereka.
Wajah Ma Sonquan tampak tegang, selamanya wajah itu tidak pernah menunjukkan rasa gentar, bahkan ketika nyawanya
terancam, tapi menyaksikan Ding Tao bertaruh nyawa, justru pada saat itu wajahnya mengunjuk rasa tegang yang tidak
terkira. Di dekat sepasang pendekar itu, Tang Xiong, Wang Xiaho, Li Yan Mao, Qin Bai Yu dan Tabib Shao Yong menanti jawaban
dari Ma Songquan, maklum kali ini mereka sudah merasa tidak bisa lagi mengikuti apa yang sedang terjadi dan hanya
bergantung pada Ma Songquan berdua untuk menceritakan pada mereka, analisa dari pertarungan kedua orang itu.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setengah berbisik, Ma Songquan dengan perlahan menjawab, "Sama kuat" tapi orang bertopeng itu terlalu bernafsu dan
memandang remeh Ketua Ding Tao. Sementara Ketua Ding Tao meskipun amarah dan semangatnya terbangkit oleh
perkataan orang bertopeng itu, dia tetap bertarung dengan hati yang dingin."
Liu Chun Cao yang matanya melekat memandangi pertarungan kedua orang itu, ikut pula mendengar perkataan Ma
Songquan, lama dia merenung dan mengamati, akhirnya perlahan-lahan dia mengangguk, "Benar" jika diteruskan, 7 dari
10 bagian Ketua Ding Tao bisa menang."
Perkataan kedua orang itu tentu saja membuat hati mereka yang menonton menjadi sedikit berkurang ketegangannya.
Sesuai pengamatan Ma Songquan dan Liu Chun Cao, pertarungan antara Ding Tao dan orang bertopeng itu berlangsung
sangat ketatnya, dengan orang bertopeng itu menyerang bagaikan semburan air bendungan yang pecah atau semburan
gunung berapi yang meledak. Sementara semangat Ding Tao berkobar namun tertahan, ibaratnya danau yang tenang tapi
menyimpan jutaan kubik air di dalamnya.
Serangan-serangan orang bertopeng tenggelam dalam pertahanan Ding Tao, tapi serangan Ding Tao pun tidak mampu
mencapai orang bertopeng itu. Ding Tao tidak pernah sempat mengembangkan serangannya secara sempurna karena
serangan orang bertopeng yang bagaikan badai itu memaksa dia untuk lebih banyak bertahan.
Beberapa luka kecil mulai tergores di tubuh keduanya, tapi luka itu tidak mempengaruhi jalannya pertarungan.
Pertarungan baru berjalan beberapa puluh jurus, namun keringat sudah membasahi tubuh keduanya dan nafas kedua orang
itu sudah mulai sulit untuk diatur. Berbeda dengan pertarungan antara Ding Tao melawan sepasang iblis muka giok, di
mana kedua pihak bertarung dengan mengatur tenaga. Kali ini kedua pihak menjalankan serangan dengan segenap tenaga
dan semangat, memaksa pihak yang bertahan untuk mengimbangi pula dengan pengerahan tenaga dan semangat pada
puncaknya. Jika diibaratkan, pertarungan antara Ding Tao melawan sepasang iblis muka giok, mirip sebuah pertandingan lari marathon, di mana antara kecepatan dan stamina harus diatur keseimbangannya. Kali ini pertarungan Ding Tao melawan orang
bertopeng lebih mirip pertandingan lari jarak 100m, di mana ledakan tenaga di saat yang singkat lebih diutamakan daripada ketahanan untuk bertarung di waktu yang panjang.
Kemampuan Ding Tao untuk menandingi kekuatan jurusnya, membuat orang bertopeng itu semakin emosi. Padahal dalam
bayangannya Ding Tao sudah akan terkapar di bawah 10 jurus, kemudian dia akan membantai satu per satu pengikut Ding
Tao tanpa ampun. Siapa sangka, pertarungan sudah berjalan melampaui 40 jurus dan Ding Tao belum menunjukkan tanda-tanda kekalahan.
Hatinya mulai meragu, di saat yang sama, kemarahannya memuncak. Rasa frustasi memenuhi hatinya, serangannya
menjadi semakin keji sementara pengendalian tenaganya semakin liar.
Ding Tao pun dipaksa untuk bekerja berkali-kali lipat untuk mempertahankan nyawanya, jika tadi dia masih sempat
menyerang, kali ini seluruh perhatiannya tertumpah hanya untuk bertahan.
Ma Songquan, Chu Linhe dan Liu Chun Cao yang menyaksikan pertarungan itu pun menjadi semakin tegang, tanpa terasa
wajah Liu Chun Cao memucat dan tangannya mengepal keras.
Tang Xiong yang melihat hal itu, segera pula bertanya, "Pendeta Liu Chun Cao, ada apa, apakah keadaan membahayakan
buat ketua Ding Tao?"
Samar-samar Liu Chun Cao mendengar pertanyaan itu, namun mulutnya terkatup bicara, seluruh pikirannya terserap oleh
pengamatannya atas pertarungan itu. Pertanyaan Tang Xiong tidak lebih seperti dengungan lalat bagi Liu Chun Cao saat itu.
Ma Songquan dan Chu Linhe yang lebih bisa mengendalikan perasaan menjawab pertanyaan Tang Xiong, "Inilah saat yang
paling genting, pembunuh bertopeng itu sedang mengerahkan puncak jurus dan segenap sisa tenaganya. Jika Ketua Ding
Tao mampu bertahan melewati jurus serangan ini, maka kemenangan pun sudah ada di tangan. Tapi lalai sedikit saja,
nyawa Ketua Ding Tao akan melayang."
Mendengar jawaban Ma Songquan itu, keruan saja keringat dingin menetesi tubuh Tang Xiong dan yang lainnya, dengan
pandangan mata yang nanar mereka mengamati jalannya pertarungan.
Jangankan mereka, Ma Songquan dan Chu Linhe pun merasakan ketakutan mencengkeram jantung mereka. Saat ini orang
bertopeng itu sedang mengerahkan jurus pamungkasnya. Hingga saat ini, setiap langkah Ding Tao masih berjalan sesuai
perubahan dan pergerakan dari jurus pamungkas orang bertopeng itu. Seperti seekor laba-laba yang sedang merajut
sarangnya, atau seperti seorang pemain catur sedang mempersiapkan satu serangan skak-mat, seperti itulah sebuah jurus
serangan dilakukan. Pembunuh bertopeng itu sudah merasa putus asa dan karenanya menggunakan segenap kekuatan yang dia miliki dalam
setiap serangannya. Sementara Ding Tao masih memiliki ketenangan dan tidak berniat untuk mengempos habis tenaganya.
Karena dua hal itu, maka sampai gerakan ke sekian ini, Ding Tao selalu kalah perbawa dan bergerak sesuai dengan
keinginan lawan, tapi di saat yang sama tenaga lawan terkuras lebih cepat dibanding dengan tenaga Ding Tao.
Hingga pada akhirnya orang bertopeng itu sampai pula pada puncak pengembangan jurus pamungkasnya dan dengan
teriakan menggelegar dia melontarkan serangan terakhir.
"M A T I !!!" "M A T I !!!!", teriak orang bertopeng itu mengiringi serangan yang bergerak dengan kecepatan hampir di luar nalar
manusia. Hawa pedang yang tadinya memenuhi ruangan di sekitar kedua orang itu dan membuat sesak nafas mereka yang menonton
tiba-tiba mengerucut, mengecil dan terkonsentrasi pada satu titik, pada satu serangan, pada satu sasaran.
Ding Tao. Bagi yang menonton perasaan mereka seperti muncul ke permukaan air setelah beberapa lama menyelam di sebuah danau.
Setelah beberapa lama berada di bawah tekanan hawa pedang kedua orang itu, sebenarnya mereka sudah mulai
beradaptasi dan tekanan itu mulai menjadi bagian dari keadaan sekeliling mereka.
Tiba-tiba saja tekanan hawa pedang itu terangkat, tanpa terasa hampir setiap orang yang berada di sana, perasaan mereka seperti sedikit berjingkat. Seperti ketika kedua kakimu sudah berjam-jam berusaha menahan dan mendorong beban yang
berat ke atas, tiba-tiba beban itu hilang dari sana.
Saat itu hanya sekejap saja, tapi yang sekejap itu sempat membuat mereka hilang pengamatan atas pertarungan yang
terjadi di depannya. Dari kelompok Ding Tao hanya Ma Songquan, Chu Linhe dan Liu Chun Cao yang tidak sampai hilang
pengamatan. Dalam kasus Liu Chun Cao, pendeta itu sudah begitu terfokusnya pada pertarungan antara Ding Tao dan pembunuh
bertopeng itu, keadaannya mirip seorang yang bermeditasi dan sudah sampai pada titik di mana dia berhasil berfokus pada objek yang menjadi pusat meditasi. Dalam keadaan demikian jangankan perubahan yang sedikit saja pada dunia
sekelilingnya, ibaratnya langit runtuh pun dia tidak akan lepas dari konsentrasinya saat itu.
Di pihak lawan, hanya Fu Shien, Si racun dari utara dan satu orang lagi, yaitu Pang Ho Man, yang berhasil terus mengamati jalannya pertandingan, keadaan mereka serupa dengan Liu Chun Cao. Pengamatan mereka ini nantinya akan membantu
mereka untuk meningkatkan pemahaman mereka akan ilmu bela diri yang mereka miliki beberapa tingkat.
Pang Ho Man ini sendiri pekerjaan awalnya adalah seorang pengawal kawalan barang terkenal dari ibu kota. Kehidupannya
sudah cukup makmur buat seorang jagoan persilatan, nama pun sudah cukup terkenal, namun dia merasa tidak puas
dengan kehidupannya yang terasa tanpa tantangan. Itu sebabnya ketika Tiong Fa menawari dia untuk bergabung dengan
organisasinya, Pang Ho Man akhirnya bersedia untuk ikut membantu, meskipun dengan keragu-raguan. Tapi Pang Ho Man
memiliki ambisi yang tinggi dan di saat yang sama, seperti kebanyakan orang dunia persilatan di masa itu, yang kuat
berkuasa yang lemah ditindas, itulah hukum yang alami bagi mereka. Selamanya kelinci dan kambing akan jadi makanan
bagi harimau. Jika tidak mau dimakan, maka pilihannya haruslah menjadi yang terkuat.
Jika tekanan atas diri semua orang tiba-tiba lenyap, bagaimana dengan Ding Tao yang dalam waktu sekejapan itu menjadi
sasaran dan pusat konsentrasi dari segenap hawa dan tenaga yang menyatu dalam satu serangan"
Dalam waktu yang sekejapan itu, tekanan yang dirasakan Ding Tao naik berpuluh-puluh kali lipat, tapi Ding Tao tidak
lengah, diapun bisa merasakan bagaimana dari serangan yang satu ke serangan yang lain, dirinya diarahkan pada satu
kedudukan. Di sini letak kepekaan dan daya tanggap Ding Tao menjadi kunci dari hasil pertarungan antara dirinya dan
pembunuh bertopeng itu. Dengan tepat Ding Tao berhasil membaca serangan lawan, sehingga serangan terakhir lawan bisa diantisipasinya dengan
tepat. Saat seluruh tenaga dan semangat lawan, tiba-tiba terkonsentrasi pada dirinya, Ding Tao sudah pula menarik kembali segenap semangat dan tenaganya ke satu titik, tempat di mana serangan itu akan dilancarkan.
Itu sebabnya mereka yang menonton pertandingan itu merasakan kelegaan yang luar biasa secara tiba-tiba, karena dua
hawa pedang yang tadinya mengamuk dan menekan keberadaan mereka, ditarik dalam waktu yang hampir bersamaan
secara tiba-tiba. Jika para penonton merasakan kelegaan yang tiba-tiba dan Ding Tao merasakan peningkatan tekanan atas dirinya berpuluh-puluh kali lipat dalam waktu yang sekejapan mata, maka berbeda pula perasaan orang bertopeng itu.
Dalam waktu yang sekejapan itu, dia tahu bahwa dirinya sudah kalah. Saat dia menarik seluruh hawa dan semangat ke
dalam satu serangan, dia masih memiliki keyakinan dan dengan teriakannya dia berusaha menguatkan keyakinannya itu.
Sepersekian kejap mata dia bisa merasakan serangannya mulai menembus hawa pertahanan Ding Tao, tapi dalam hitungan
yang singkat dia bisa merasakan serangannya menghadapi hambatan yang makin lama makin kuat dan dalam sekejapan
mata serangannya terhenti sepenuhnya, tertahan oleh hawa dan tenaga yang tidak kalah kuatnya.
Di titik itu, orang bertopeng ini menyadari kekalahannya dan kesadaran ini menyergap tiba-tiba, seluruh keyakinan dirinya runtuh. Sejak semula dia menempatkan dirinya sebagai juara dan pemenang dari pertarungan ini, semangatnya,
kemarahannya, semuanya adalah berdasarkan perasaan superioritas ini.
Ketika dia menghadapi kenyataan yang berbalik 180 derajat, seluruh dasar dan pijakannya pun runtuh ke dalam jurang
keputus asaan yang dalam.
Hawa murni dan semangatnya membuyar.
Pedang di tangannya bergetar dan hancur menjadi ratusan keping baja, berterbangan ke segala arah. Beberapa orang yang
tidak siap jatuh menjadi korban, yang beruntung hanya mengalami luka-luka saja. Dua-tiga orang mati seketika karena
luncuran kepingan baja itu menembus organ tubuh yang penting.
Dari pihak Ding Tao ada Ma Songquan dan Chu Linhe yang sekali lagi dengan sigap menghalau semua pecahan pedang dan
mengamankan rekan-rekannya. Di pihak Tiong Fa, jagoan-jagoan yang ada sudah kerepotan untuk menolong dirinya
sendiri, tidak ada yang sempat untuk menolong yang lain.
Ding Tao masih sempat menahan pedangnya yang sudah bergerak lurus ke arah lawan. Meskipun tidak mampu untuk
menahan seluruhnya, setidaknya pemuda itu masih sempat membelokkan arah serangan, hingga pedang tidak sampai
menembus jantung lawan. Yang menjadi korban adalah pundak kanan lawan yang tertembus oleh pedang Ding Tao.
Ma Songquan dan Chu Linhe menghembuskan nafas kagum karena di saat yang paling kritis itupun pemuda itu masih
sempat berusaha menyelamatkan nyawa lawan.
Tapi takdir manusia sudah dituliskan oleh langit, orang bertopeng itu sudah membuyar seluruh hawa murni dan
semangatnya. Sebagai orang yang terdekat dari pusat ledakan tenaga, jumlah pecahan pedang yang terlempar ke arah
dirinya lebih banyak dibanding orang lain.
Puluhan pecahan pedang dengan kecepatan tinggi, melesat menembusi seluruh tubuhnya.
Dalam sekejapan mata, tubuhnya pun sudah dibanjiri oleh darah, jantung, otak dan lambungnya ditembusi oleh pecahan
pedangnya sendiri. Orang bertopeng itu mati tanpa dapat ditolong lagi.
Ding Tao yang baru saja dipaksa untuk mengerahkan segenap semangat dan hawa murninya, terpaku di tempatnya untuk
beberapa lama. Tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya, pemuda itu segera mengambil posisi bermeditasi dan
mengatur kembali hawa murninya. Bisa dikatakan pemuda ini mendapatkan peruntungan yang baik, karena berhasil
menguasai Ilmu Tenaga Dalam Inti Bumi.
Dengan penguasaannya itu, pemuda inipun mampu menyerap dan mengolah hawa murni yang terpancar dari bumi, dia juga
mampu menggunakan getaran alam yang ada untuk membantu dirinya menenangkan kembali hawa murninya yang
bergejolak keras. Sifat tanah yang tenang, teguh dan tidak bergerak, membantu Ding Tao mengatur pernafasan, energi dan semangatnya
menjadi tenang kembali. Ma Songquan dan rekan-rekannya yang lain pun tidak kalah sigap untuk segera berjaga atas segala kemungkinan. Meskipun
hal-hal yang tidak diiginkan tampaknya tidak akan terjadi. Pertarungan yang baru saja terjadi sudah mengguncang hati
semua orang. Termasuk mereka yang menjadi pengikut Tiong Fa.
Bukan hanya harta Tiong Fa yang menarik mereka untuk masuk mengikutinya, tapi juga karena adanya dukungan dari
orang-orang misterius yang berilmu tinggi. Orang seperti Pang Ho Man, sudah memperhitungkan bahwa orang bertopeng
yang menjadi pelindung dari Tiong Fa tentunya memiliki kedudukan dan nama dalam dunia persilatan. Bukan hanya karena
menilik dari tingginya ilmu mereka, tapi juga karena kemisteriusan mereka yang berusaha menyembunyikan jati diri mereka yang sesungguhnya.
Karena itu kemenangan Ding Tao dan kekalahan orang misterius itu, membuat semangat bertarung merekapun menguap
entah ke mana. Itulah perbedaan antara mereka yang berjuang demi ketenaran dan harta, dibandingkan dengan mereka yang berjuang
demi kebenaran dan keadilan. Selama dunia masih ada kebenaran dan keadilan pun tidak akan hilang. Nilai-nilai yang
tertuliskan dalam hati nurani setiap manusia, abadi keberadaannya, sementara harta dan ketenaran sifatnya sementara
saja. Keadaan sudah terlanjur memasuki tahap yang demikian, Ma Songquan dan kawan-kawan tidak mau mengambil keputusan
tanpa ada persetujuan dari Ding Tao. Fu Shien dan kawan-kawannya tidak mungkin pula untuk diam-diam pergi setelah
sebelumnya saling menepuk dada dan mengadu pedang.
Mau tidak mau kedua kelompok itupun terdiam di tempatnya masing-masing, menunggu Ding Tao selesai memulihkan
tenaga. Cukup lama Ding Tao duduk, menghimpun dan menenangkan hawa murninya kembali. Sepanjang waktu itu, tidak ada
petugas keamanan yang berani muncul. Meskipun sempat ada yang datang pula ke tempat kejadian, mereka tidak berani
untuk menerjunkan diri ke dalam pertikaian tersebut. Apalagi kedua kelompok itu tidak mengusik warga yang lain,
kekacauan yang terjadi juga tidak menyebar ke bagian lain dari kota. Jika ada sedikit masalah dalam kota, itulah
berkumpulnya orang-orang yang ingin menyaksikan peristiwa itu dari kejauhan.
Demikian cerita tentang pertarungan Ding Tao melawan orang bertopeng itu disaksikan ratusan orang di kota Jiang Ling.
Saat Ding Tao akhirnya membuka mata dan bangkit berdiri, isi dada Fu Shien dan kawan-kawannya bergemuruh tak
menentu. Tangan yang memegang pedang, tak terasa basah oleh keringat. Tapi meskipun terasa tak nyaman, tidak berani
mereka mengendurkan pegangan untuk mengeringkan telapak tangan yang basah. Berbalik 180 derajat adalah Ding Tao
dan kawan-kawannya, dengan tenang Ding Tao melangkah ke arah Fu Shien yang berada di depan, mewakili rekan-
rekannya. Di belakang Ding Tao mengiringi para pengikutnya yang jumlahnya tidak sampai sepuluh orang.
"Kungfu hebat", ujar Fu Shien menangkupkan dua kepalan tangan untuk memberi salam hormat.
"Terima kasih, bukan apa-apa, hanya sedikit keberuntungan saja.", jawab Ding Tao tidak kalah sopannya.
"Tidak perlu basa-basi, seberapa tinggi tingkatan tuan dan seberapa tinggi tingkatan kami, sepertinya sudah bukan rahasia lagi. Kita berhadapan sebagai lawan dan tuan yang memenangkan pertarungan, sekarang apa mau tuan terhadap kami?",
jawab Fu Shien dengan suara tenang.
Tidak perlu malu jadi jagoan macam Fu Shien, dalam segala situasi bisa menjaga agar kepalanya tetap dingin. Itu sebabnya dia bisa malang melintang dalam dunia persilatan selama belasan tahun. Soal ilmu silat, tentu di atas langit masih ada
langit. Yang biasanya berumur panjang, justru bukan yang memiliki ilmu silat tinggi, melainkan mereka yang bisa melihat situasi. Jagoan muda yang berbakat tidak sedikit, tapi yang tidak berdarah panas, bisa dihitung dengan jari. Mereka yang berbakat tapi berdarah panas, bisa dipastikan umurnya dalam dunia persilatan tidak lebih dari beberapa tahun saja.
Jagoan seperti Ding Tao sedikit sulit dicari bandingannya, benar-benar berbakat dan memiliki keberuntungan yang baik,
sehingga meskipun memiliki sifat yang sulit berkompromi dengan orang lain, mereka masih sempat hidup bertahun-tahun
lamanya dan meningkatkan ilmu silatnya sampai pada taraf di mana tidak ada orang berani mencari masalah dengan
mereka. Segelintir orang-orang macam inilah yang membuat cerita dunia persilatan menjadi menarik untuk diikuti. Kisah-
kisah kepahlawanan mereka, membuat banyak pemuda memiliki cita-cita yang sama, sayang sebagian besar dari mereka
hanya akan menambah jumlah batu nisan di pekuburan.
Tapi kali ini belum waktunya bagi Ding Tao untuk mati, masih banyak tugas dan kesulitan yang harus dia jalani.
Kali ini, Ding Tao berdiri dengan tegap, di kiri dan kanannya para pengikutnya yang setia. Di depannya adalah lawan yang sudah kehilangan semangat bertarung dan menanti kemurahannya saja.
Apa yang terjadi sudah masuk dalam perhitungan Chou Liang, perkumpulan yang dibangun Tiong Fa, dibangun dengan uang
dan bersandar pada tokoh misterius yang berilmu tinggi. Sekarang tokoh itu sudah mati di tangan Ding Tao, sandarannya
sudah hilang. Dan apakah uang punya arti jika harus kehilangan nyawa" Tentu saja tidak dan dengan satu gebrakan, satu
perkumpulan yang terlihat kokoh kuat itu disapu habis.
"Seperti yang telah aku katakan sebelumnya, aku tidak mencari perkara dengan siapa pun. Kami ke tempat ini hanya
menuntut keadilan pada Tiong Fa. Jika kalian tidak menghalangi usaha kami untuk bertemu Tiong Fa, kami pun juga tidak
akan mengganggu kalian.", ujar Ding Tao dengan tenang.
Sejenak Fu Shien saling berpandangan dengan orang di kiri kanannya, tapi tidak ada satupun yang berniat menjual nyawa.
Akhirnya dengan senyum tawar Fu Shien mengangkat pundak dan menjawab, "Kalaupun kami ingin menghalangi, apakah
kami ada kemampuan" Silahkan jika tuan ingin mencari Tiong Fa, hanya saja menilik keadaannya orang itu tentu sudah
menghilang." Ding Tao menghela nafas, dengan senyum tawar dia menjawab, "Sepertinya memang demikian, tapi biarlah kami coba
mencarinya." "Bagaimana dengan orang itu?", tanya Fu Shien sambil menunjuk pada mayat orang bertopeng yang terbaring di atas
genangan darahnya sendiri.
"Ketua, biar aku yang mengurusnya, ketua dan saudara-saudara yang lain bisa coba mencari Tiong Fa di dalam", sela Ma
Songquan mengajukan diri.
"Jika diperbolehkan, aku ingin membantu Saudara Ma Songquan mengurus jenazah ini, ilmunya begitu tinggi, kurasa dia
bukan orang sembarangan", ujar Liu Chun Cao menambahkan.
Ma Songquan berpikir sejenak kemudian berkata, "Kurasa cara begitu juga lebih baik. Bagaimana menurut ketua?"
Ding Tao tanpa banyak berpikir, segera saja mengangguk setuju, "Baiklah kalian lakukan apa yang menurut kalian baik.
Yang lain, mari ikut aku memeriksa gedung ini."
Ding Tao dan beberapa orang lain segera bergerak memasuki gedung tempat markas besar Tiong Fa. Kali ini tidak ada
seorangpun yang berusaha menahan mereka. Pengikut-pengikut Tiong Fa dengan jinaknya menyibak ke kiri dan kanan,
memberikan jalan bagi Ding Tao dan kawan-kawannya. Sementara itu, bukan hanya Ma Songquan dan Liu Chun Cao yang
bergerak mendekati mayat orang bertopeng itu, Fu Shien dan rekan-rekannya juga melakukan hal yang sama.
Liu Chun Cao yang melihat gerakan mereka, memalingkan wajah dan menyapa, "Heh, apa kalian juga penasaran?"
"Tentu saja penasaran, tadinya kupikir kali ini aku mendapatkan sandaran yang cukup kuat, siapa nyana, baru beberapa
bulan bekerja harus melihat kenyataan yang di luar dugaan", jawab Fu Shien dengan ringan.
Wajah Pang Ho Man tampak gelap, maklum dia bukan orang yang terbiasa berpindah-pindah pekerjaan macam Fu Shien.
Tapi diapun mau tidak mau harus mengakui bahwa keputusan Fu Shien sudahlah tepat. Pada pertarungan tadi, meskipun
mereka menang jumlah, namun dari kelompok Ding Tao ternyataa ada beberapa orang yang kemampuannya di atas
dugaan. Untuk mengimbangi Ma Songquan dan pasangannya saja mereka harus menempatkan banyak orang. Satu-satunya
harapan mereka adalah orang bertopeng itu. Siapa sangka, orang bertopeng itu justru kalah pula di tangan Ding Tao.
Berbeda dengan Fu Shien dan Pang Ho Man, adalah Si racun dari Utara, pekerjaannya memang seorang pembunuh bayaran.
Pindah-pindah majikan bukan barang baru baginya, oleh karena itu manusia yang satu ini tampak tidak terganggu sama
sekali dengan kekalahan mereka.
Tapi ada satu kesamaan, mereka semua penasaran dengan wajah di balik topeng itu.
Semua ingin melihat wajah di balik topeng itu, tapi tidak ada juga yang bergerak untuk membuka topeng itu. Dalam hati
mereka semua merasa, wajah di balik topeng itu tentu akan membuat kehebohan baru dalam dunia persilatan dan ada
keengganan jika tidak mau dikatakan takut, untuk menjadi orang yang membongkar misteri itu.
Di antara mereka mungkin Ma Songquan yang paling tidak ambil peduli dengan tokoh-tokoh dalam dunia persilatan, selain
ilmunya cukup tinggi wataknya memang sedikit sesat, tidak peduli aturan dan unggah-ungguh yang biasa dipakai dalam
dunia persilatan. Namun kali ini Ma Songquan tidak langsung membuka topeng itu, orang ini justru terdiam memandangi mayat bertopeng
itu, seakan tidak sadar bahwa orang lain justru menunggu dirinya untuk membuka topeng itu.
Liu Chun Cao akhirnya tidak sabar lagi dan bergerak hendak membuka topeng itu sambil berkata gemas, "Buka topeng ya
buka topeng, memangnya siapa orang ini hingga terhadap mayatnya pun harus berpikir seribu kali."
Tangan sudah bergerak ke arah topeng yang menutupi wajah, hati Fu Shien dan yang lain berdetak kencang, tapi tiba-tiba
Ma Songquan bergerak dengan sangat cepat, menahan gerak tangan Liu Chun Cao yang hendak membuka topeng.
"Tunggu" bagaimana kalau dikubur saja tanpa membuka topengnya?", tanya Ma Songquan.
Melengak Liu Chun Cao mendengar perkataan Ma Songquan, yang lain mungkin tidak tahu siapa Ma Songquan sebenarnya,
tentu saja tidak seheran Liu Chun Cao sewaktu mendengar pertanyaan yang kedengaran pengecut tersebut.
Si racun dari utara tiba-tiba terkekeh geli, "Wah sobat, kalau melihat caramu berkelahi, pantasnya malaikat penjaga pintu nerakapun akan ketakutan jika harus berhadapan dengan dirimu. Siapa sangka hanya urusan kecil begini membuat nyalimu
mengkerut." Alis Ma Songquan berkerut sampai hampir bertaut kedua ujungnya, dengan menggeram bengis dia berkata, "Bocah cebol,
lidahmu sama beracunnya dengan senjata rahasiamu. Untung aku punya obat penawarnya, kalau kau buka mulut sekali
lagi, boleh aku berikan padamu."
Si racun dari utara hanya meleletkan lidah sambil menyengir, matanya melirik ke arah Fu Shien yang cepat tanggap dan
menimpali ucapan si racun dari utara, "Saudara jangan keburu marah, memang lidahnya beracun, tapi ada benarnya juga.
Memang apa masalahnya kalau topeng ini dibuka?"
Ma Songquan bukan anak kemarin sore, sudah tentu dia melihat lirikan mata si racun dari utara. Oleh karena itu perkataan Fu Shien membuat dia makin geram, tapi orang berkata dengan sopan, diapun segan untuk mengumbar kekesalannya.
Dengan menahan kesal dia memalingkan wajah ke arah Liu Chun Cao dan berkata, "Sudah kupikirkan masak-masak dan
aku sudah bisa mengira-ngira siapa orang ini. Jika sampai tersiar bahwa dia terbunuh di tangan ketua, tentu akan
mengundang banyak kesulitan bagi ketua, itu sebabnya menurutku, paling baik dia dikuburkan atau dibakar saja dalam
keadaan masih bertopeng."
Liu Chun Cao mengerutkan alisnya tapi kemudian mengangguk setuju, kepetingan Ding Tao tentu lebih didahulukan
daripada sekedar rasa ingin tahu, "Baiklah aku setuju."
Fu Shien dan kawan-kawannya pun hanya mampu menyeringai kecut saat Ma Songquan melotot pada mereka dan
bertanya, "Bagaimana, ada yang keberatan?"
"Tidak, tentu saja tidak keberatan. Marilah kami bantu menggalikan makam untuk orang ini. Di mana dia sebaiknya
dikuburkan?", jawab Fu Shien sambil menyengir masam.
Ma Songquan memalingkan wajah ke antara kerumunan orang yang mulai mendekat, dari antara mereka terlihat Chou
Liang yang berjalan dengan beberapa orang petugas keamanan kota Jiang Ling. Melihat Chou Liang wajah Ma Songquan
langsung menjadi cerah, meskipun baru mengenal orang itu beberapa hari, dia sudah merasa bisa mempercayai orang ini
untuk mengurus setiap persoalan hingga masalah sekecil-kecilnya.
Begitu mendekat, Chou Liang menunjuk ke arah mayat orang bertopeng itu dan berkata pada petugas keamanan yang
berjalan ke arahnya, "Nah ini mayatnya, semua orang di sini bersedia menjadi saksi bahwa orang yang mati ini sudah
melakukan banyak pembunuhan di kota Wuling. Anda lihat sendiri sejak tadi orang ini memakai topeng, sudah jelas orang


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini punya niatan yang tidak baik. Tapi kalau anda buka topengnya, urusannya bisa jadi panjang. Kenapa tidak diurus saja diam-diam, tentu ada imbalan untuk uang tutup mulut."
Petugas itu mengusap-usap dagunya yang baru ditumbuhi beberapa helai rambut yang kasar, "Hmm?"
"Apa lagi yang perlu dipikirkan" Yang mati sudah jelas tidak akan ada yang mengurus, anda tidak ingin lebih banyak
keributan, kami pun tidak ingin ada keributan lebih lanjut. Paling baik urusan ini dikubur dalam-dalam.", ujar Chou Liang berusaha meyakinkan petugas yang ada di depannya itu.
"Hmm.. baiklah, tentu saja ini menyimpang dari prosedur yang benar, mau tidak mau harus ada uang tutup mulut untuk
beberapa orang. Kulihat memang lebih baik jika dirahasiakan, jadi aku mau mengusahakannya, tapi ingat jangan terlalu
kikir dengan uang tutup mulutnya.", jawab petugas itu diikuti oleh anggukan kepala oleh rekan-rekan yang lain.
"Sudah tentu, toh ini urusan termasuk urusan keluarga Huang dan kukira kalian sudah tahu, seperti apa royalnya keluarga Huang pada kalian selama ini", jawab Chou Liang.
"Tentu, tentu, soal itu kami tidak lupa, baiklah biarlah mayat ini kami bawa sekarang dan soal uang tutup mulut itu, kami serahkan saja urusannya pada kalian.", ujar petugas itu sambil menggerakkan kepalanya ke arah mayat orang bertopeng
itu, memberi kode pada teman-temannya untuk segera mengangkat mayat itu.
Wajah Liu Chun Cao dan Ma Songquan pun menjadi cerah, merasa lega urusan ini sudah selesai dengan hanya beberapa
kata dari Chou Liang. Sambil tertawa lebar Ma Songquan menyambut Chou Liang.
"Nah, kukira tidak lama lagi akan ada peri bahasa baru, Chou Liang datang, masalah hilang", ujarnya sambil tertawa
tergelak. "Hahaha, kedengarannya seperti iklan penjual obat di pinggir jalanan", sahut Chou Liang sambil tertawa.
Liu Chun Cao pun bertanya pada Ma Songquan, "Tadi kau bilang sudah bisa mengetahui identitas mayat bertopeng itu, jadi
siapa dia sebenarnya?"
"Hmm, tahu persis sih tidak, tapi kukira kecil kemungkinan dugaanku ini meleset", ujar Ma Songquan.
"Jadi siapa dia?", tanya Liu Chun Cao tidak sabar.
Tiba-tiba terdengar seruan orang kaget.
"He ! Apa yang kau lakukan!?", seru petugas keamanan yang mendapat suap dari Chou Liang.
Disusul suara si racun dari utara, "Ini Ketua Partai Hoasan!"
Seruan kaget si Racun dari utara, segera disusul teriakan kaget dari orang-orang lain yang mendengar seruannya itu.
"Pendekar pedang Pan Jun si pedang kilat"!"
"Jangan omong sembarangan, mana mungkin ketua Hoasan jadi pembunuh bayaran?"
"Lihat saja sendiri"
"He itu benar Pan Jun ketua partai Hoasan yang baru, aku pernah bertemu dengannya sekali sewaktu upacara
pengangkatan dirinya menjadi ketua."
"Jangan omong sembarangan, orang macam dirimu memangnya ikut diundang?"
"Jangan kurang ajar, diundang atau tidak, kenyataannya aku datang."
Riuh rendah ributnya orang saling bersahutan, tapi Ma Songquan, Liu Chun Cao dan Chou Liang hanya tertegun di
tempatnya, wajah mereka memucat. Karena merasa urusan sudah selesai, Ma Songquan dan rekan-rekannya pun
melonggarkan kewaspadaan. Siapa sangka si racun dari utara, berani mati, nekat membuka topeng mayat itu.
Ma Songquan mengedarkan pendangan matanya, tapi orang yang dicari sudah menghilang. Fu Shien yang kena pandang Ma
Songquan, merasa bergidik bulu kuduknya, dalam hati dia memaki si racun dair utara yang mencari perkara kemudian
dengan seenaknya menghilang, meninggalkan kawan-kawannya untuk memakan getah perbuatannya.
Ma Songquan berjalan mendekati Fu Shien, hawa pembunuhan menguar keluar dari setiap langkahnya. Sambil
menggelengkan kepala Fu Shien berjalan mundur selangkah demi selangkah, tangannya sudah menggenggam pedang,
namun dalam hati dia tidak memiliki keyakinan.
"Tunggu, bukan aku yang membuka topeng mayat itu?", ujarnya dengan sedikit gemetar.
Suasana yang tadi riuh, tiba-tiba menjadi senyap. Beruntung buat Fu Shien, Liu Chun Cao cepat tersadar dengan apa yang
sedang terjadi. Cepat-cepat pendeta itu memburu Ma Songquan dan dengan hati-hati menggamit lengannya.
"Saudara, tunggu dulu, jangan kesalahan tangan membunuh orang yang tidak lagi mau melawan", ujarnya menahan Ma
Songquan. Chou Liang yang ikut tersadar, secepat mungkin mendekati Ma Songquan, meskipun dengan terpincang-pincang, "Ingat,
ingat tujuan kita. Ingat apa yang hendak dicapai oleh Ketua Ding Tao, jangan menumpahkan darah yang tidak perlu. Kita
bukan sedang mendirikan perkumpulan yang bersandar pada kekuatan dan menyebar ketakutan."
Perkataan kedua orang itu, masih terdengar oleh Ma Songquan. Bukan pembunuh berdarah dingin jika keinginan
membunuh dengan mudahnya menulikan dan membutakan panca indera. Bertahun-tahun malang melintang sebagai
sepasang iblis, Ma Songquan dan Chu Linhe bukanlah orang yang kehilangan akal dan takluk pada nafsu membunuh.
Sebenarnya justru di sinilah letak kengerian mereka, sebenar-benarnyalah jika mereka mendapat julukan sepasang iblis.
Tapi bagaimana dengan para pendekar pedang dan tokoh dunia persilatan lain" Seperti Pan Jun misalnya, bukankah dia
juga bisa membunuh orang tanpa berkedip, dengan akal sehat yang tidak diselimuti nafsu" Sama-sama iblis, yang seorang
digelari pahlawan dan yang lain digelari iblis.
Semuanya hanya permainan kata dan cara pandang yang diputar balikkan, disesuaikan dengan kebutuhan dari pelakunya.
Ma Songquan yang sekarang apakah bedanya dengan Ma Songquan yang dulu, sulit dikatakan, tapi yang pasti berbeda, Ma
Songquan yang dulu pasti akan menepis peringatan kedua sahabatnya dengan senyum sinis, sementara pedang di
tangannya tetap berkelebat memenggal sasaran. Ma Songquan yang sekarang, menghela nafas dalam-dalam, lalu
menyarungkan kembali pedang yang sudah sempat setengah ditarik keluar.
Fu Shien pun menghela nafas lega, untuk sesaat nafasnya memburu karena sebelumnya tanpa sadar dia menahan nafas
menanti pedang menjemput ajal.
Di saat ketegangan sudah mencair itu, muncul pula Ding Tao dan rekan-rekan yang lain, memburu keluar. Mengikuti di
belakang mereka, orang-orang bekas pengikut keluarga Huang yang berada di kota Jiang Ling itu. Wajah-wajah yang
terlihat bersemangat dan bergembira atas kemenangan Ding Tao, berubah menjadi khawatit melihat keadaan yang
menegangkan di luar. "Ada apa?", tanya Ding Tao melihat suasana yang terlihat kaku.
"Kau sajalah yang cerita", ujar Ma Songquan sambil berjalan pergi mendekati isterinya yang tadi mengikuti Ding Tao
berusaha mencari Tiong Fa.
Liu Chun Cao dan Chou Liang yang ditinggalkan, bergantian menceritakan kejadian barusan. Fu Shien mau tidak mau
merasa malu juga atas tingkah laku Si Racun dari Utara, bagaimanapun juga mereka berdua berdiri di pihak yang sama
beberapa saat yang lalu. "Maafkan kami, sungguh tindakan biang racun dari Utara itu di luar sepengetahuan kami", ujarnya dengan wajah tersipu.
Ding Tao yang mudah jatuh kasihan pada orang segera mengulapkan tangan dan menjawab, "Tidak perlu dipikirkan, bukan
kalian yang bersalah. Lagipula apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Mau ditutupi atau tidak, kenyataannya hari ini aku sudah membunuh seseorang. Siapapun dia, apakah dia ketua Partai Hoasan atau seorang pembunuh bertopeng."
Jawaban Ding Tao yang menyejukkan itu, menggerakkan hati Fu Shien dan rekan-rekannya. Pang Ho Man yang dari tadi
diam saja, tiba-tiba bertanya," Pendekar muda, apakah benar perkataan Ketua Partai Hoasan tadi, bahwa dirimu ingin maju dalam pemilihan Wulin Mengzhu yang akan diadakan kira-kira ? tahun lagi?"
"Rasanya pertanyaanmu itu sudah terjawab saat kami bercakap-cakap dengan pembunuh bertopeng tadi", jawab Ding Tao.
"Aku ingin mendengarkan ketegasanmu sekali lagi, apakah dirimu maju karena memang keinginan dari dirimu pribadi,
ataukah dirimu hanya mengikuti permainan orang belaka?", tegas Pang Ho Man.
Berkerut dahi Ding Tao, sambil mendesah pemuda itu menjawab, "Jika menuruti keinginan pribadi, sudah tentu aku tidak
ingin maju dalam pemilihan itu. Tapi tidak benar juga jika dikatakan aku maju sebagai boneka yang digerakkan oleh orang-orang lain. Karena keinginan mereka pada satu titik bersesuaian pula dengan keinginanku."
"Dan apakah keinginan kalian itu?", kejar Pang Ho Man.
Di luar sadarnya Ding Tao menegakkan badan, suaranya tidak gemetar, tidak pula penuh perhitungan, semuanya diucapkan
dengan sederhana dan wajar tanpa nada suara yang dibuat-buat, "Perdamaian atas dasar kebenaran, keadilan dan
pengampunan." "Pengampunan?", ujar Pang Ho Man dengan nada bertanya dan alis diangkat.
"Ya, pengampunan. Kenapa?", tanya Ding Tao balik.
"Hmm" bagaimana keadilan bisa berjalan seiring dengan pengampunan?", tanya Pang Ho Man.
"Bagaimana kedamaian bisa tercapai tanpa adanya pengampunan?", Ding Tao bertanya balik.
Pertanyaan Ding Tao membuat mereka semua tercenung, Fu Shien akhirnya membuka mulut bertanya, "Jika seorang anak
tidak membalaskan kematian ayahnya, apakah dia bisa dikatakan berbakti" Jika hutang nyawa tidak dibayar dengan nyawa,
apa bisa dinamakan adil" Jika keadilan tidak ditegakkan tentu rasa permusuhan itu tidak akan hilang, dan tidak akan ada pula kedamaian."
Ding Tao mengangguk setuju, "Memang pertanyaan-pertanyaan semacam itu tentu akan sulit untuk dijawab. Tapi dendam
hanya melahirkan dendam yang lain, kita semua di sini sudah pernah menyaksikan atau setidaknya sering mendengar
bagaimana hal seperti itu berlanjut. Sampai-sampai muncul perkataan, membasmi rumput harus sampai ke akar-akarnya.
Dengan dasar pemikiran yang kita miliki saat ini maka satu-satunya jalan yang terbuka hanyalah pembantaian habis-
habisan." "Lalu kapankah kedamaian itu akan tercapai" Saat kita semua mati terbunuh oleh pedang dan tinggal seorang pendekar
atau satu golongan saja yang hidup dengan pedang berlumuran darah di tangannya?", tanya Ding Tao pada mereka yang
berdiri di hadapannya dengan wajah-wajah merenung.
"Keadilan memang harus ditegakkan, seseorang yang menggunakan kekuatannya untuk menekan pihak lain, mencari
keuntungan untuk diri sendiri atau golongannya, harus dihentikan. Tapi bukan berarti tidak ada pengampunan, dan hanya
ada jalan kematian bagi orang tersebut. Penindasannya harus dihentikan, tapi penindasnya harus diberi kesempatan untuk
memlilih jalan hidup yang baru. Dengan demikian, rantai dendam boleh diputuskan tanpa kita membiarkan ketidak adilan
meraja lela.", ujar Ding Tao berusaha menjelaskan gambaran yang ada dalam benaknya.
"Dengan demikian, menegakkan keadilan bukanlah dimaksudkan membalaskan kejahatan dengan kejahatan yang setimpal,
tapi menegakkan keadilan, diartikan sebagai menghentikan segala tindakan dan keadaan yang tidak adil."
"Itulah yang aku maksudkan dengan kedamaian atas dasar kebenaran, keadilan dan pengampunan.", ujar Ding Tao
menutup uraiannya. Lama tidak ada yang berbicara, kemudian dengan suara perlahan Fu Shien berkata, "Kedengarannya indah, namun
kenyataannya hal tersebut tidak lebih hanyalah satu impian kosong saja. Ketika pedang sudah beradu, korban selalu akan
berjatuhan. Hari ini adalah salah satu contohnya, meskipun mungkin dirimu tidak ingin membunuh, kenyataannya
seseorang sudah terbunuh dan akan datang orang yang akan menagih hutang nyawa ini padamu."
Ganti Ding Tao yang tercenung, pemuda itu memandangi pedang dan pakaiannya yang penuh noda darah. Ding Tao
memandangi mayat Pan Jun yang dipapah oleh dua orang petugas keamanan, topengnya sudah terbuka dan wajahnya
terlihat jelas. Beberapa jalur darah yang sudah mengering menghiasi wajahnya dengan sepasang mata yang terbuka,
seakan tak percaya kematian sudah datang menjemput. Betapa kematiannya adalah sebuah kesia-siaan. Ding Tao
memikirkan bakat yang dimiliki oleh orang ini, latihan berat yang tentu dia jalani bertahun-tahun lamanya untuk mengasah permainan pedangnya hingga tingkat yang sedemikian tinggi.
Perlahan pemuda itu menggelengkan kepala dan berkata lirih, seakan berkata pada dirinya sendiri, "Entahlah, aku pun tidak tahu ke manakah jalan yang kupilih ini akan mengantarkanku. Tapi ke mana jalan yang atasnya aku memalingkan wajahku,
aku tahu ke mana jalan itu menuju. Jika aku memlih jalan itu, makan yang ada hanyalah kehancuran dan kebinasaan."
Ding Tao kemudian memalingkan wajahnya ke arah Fu Shien dan dengan tersenyum menjawab, "Impian tidak akan menjadi
impian kosong, selama ada orang yang mau mempercayai dan memperjuangkannya."
Tiba-tiba terdengar Pang Ho Man tertawa terbahak-bahak, otomatis semua orang jadi memalingkan wajah pada orang ini
dengan alis berkerut merasa tidak suka atau alis terangkat dengan keheranan.
Saat tawanya terhenti, Pang Ho Man tiba-tiba membungkuk hormat ke arah Ding Tao dan berkata, "Aku Pang Ho Man, sejak
aku mulai belajar ilmu silat aku sudah memiliki rencana untuk masa depanku. Dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak saat itu, aku sudah menjadi salah seorang pengawal dalam sebuah biro pengawalan yang ternama. Hidupku sudah
berkecukupan, namaku pun cukup dikenal orang. Siapa sangka, setelah semua yang kurencanakan itu kuraih, hidup terasa
hampa. Aku pun memutuskan untuk meninggalkan itu semua dan mengadu nasib terjun dalam carut marutnya dunia
persilatan. Tapi hal itu pun ternyata terasa membosankan."
Kemudian dengan nada yang sungguh-sungguh dia melanjutkan, "Namun hari ini, mendengar perkataan seorang muda
tentang impiannya yang terdengar naif, hatiku justru bergolak. Jika tuan berkenan, ijinkan aku untuk ikut dalam
perkumpulan tuan, menghidupi dan memperjuangkan impian yang tuan miliki."
Orang banyak terdiam mendengar ucapan Pang Ho Man yang terdengar hikmat, mereka ikut bersama Pang Ho Man,
menunggu jawaban dari Ding Tao. Rasa haru memenuhi dada Ding Tao, dengan suara tersendat pemuda itu lekas-lekas
meraih bahu Pang Ho Man dan menegakkannya.
"Tentu saja, tentu saja, sudahlah tidak perlu terlalu banyak adat. Di antara saudara, segala macam peraturan tidak perlu terlalu dijaga dengan kaku."
Dengan senyum lebar, para pengikut Ding Tao yang lain mendekat dan ikut memberikan selamat pada Pang Ho Man. Tiba-
tiba saja Fu Shien dan beberapa orang rekannya merasa iri dengan Pang Ho Man. Entah mengapa, dalam hati mereka
muncul keinginan untuk merasakan ikatan yang sama, yang saat ini dirasakan oleh Pang Ho Man. Tapi untuk menyatakan
hal itu sekarang ini, ada pula rasa enggan, karena sepertinya mereka mengikuti perbuatan Pang Ho Man. Fu Shien pun
memutuskan untuk memikirkan hal ini beberapa hari lagi, sebelum dia akan mengambil keputusan.
Setelah mengambil keputusan itu, hatinya merasa sedikit lega. Dengan mulut ikut tersenyum dia mengitarkan pendangan
ke sekitarnya. Tanpa sengaja pandangan matanya terbentur pada ketiga petugas keamanan yang berdiri dengan canggung.
Teringatlah Fu Shien dengan masalah mayat Pan Jun, ketua Partai Hoasan, dengan sedikit ragu dia menyela pembicaraan
Pang Ho Man dan para pengikut Ding Tao yang lain.
"Bagaimana dengan mayat ini?", ujarnya sambil menunjuk mayat Pan Jun.
Serentak mata setiap orang memandang lagi mayat dari tokoh kenamaan yang kini tinggal nama saja.
Sambil menghela nafas Ding Tao menjawab, "Yang terjadi sudah tidak bisa diubah lagi, tapi setidaknya kita bisa melakukan penguburan yang layak dan mengirimkan berita serta permintaan maaf pada partai Hoasan. Mungkin aku dan beberapa
saudara yang lain akan pergi ke Hoasan."
"Tunggu dulu.", ujar Chou Liang.
"Apakah Kakak Chou Liang punya pendapat yang berbeda?", tanya Ding Tao.
"Penguburan yang layak memang tidak ada salahnya dilakukan, tapi jika saudara-saudara yang ada di sini sekalian setuju, biarlah kita menutup mata terhadap identitas mayat tersebut.", ujarnya sambil mengitarkan pandangan pada setiap orang
yang berada di sana. "Benar, selama identitasnya sebagai ketua Partai Hoasan tidak dibuka secara terang-terangan. Aku yakin, dengan desas-
desus dan gosip yang beredar tentang pertarungan yang mengakibatkan kematiannya dan alasan dari pertarungan tersebut,
maka Partai Hoasan pun akan ragu-ragu untuk menuntut keadilan pada perkumpulan kita.", ujar Ma Songquan
membenarkan. "Hmm", aku kurang mengerti dengan apa yang kalian katakan. Bagaimana bisa demikian?", tanya Ding Tao.
"Ah, tentu saja benar. Partai Hoasan adalah partai yang cukup besar, berita tentang kekalahan ketua mereka tentu akan
menjatuhkan pamor perguruan pedang mereka. Apalagi jika ada yang mengatakan ketua partai mereka, mengenakan
topeng dan melakukan pembunuhan, nama besar Partai Hoasan sebagai perguruan pedang yang lurus akan tercoreng.",
ujar Fu Shien sambil menepuk pahanya.
"Oleh sebab itu, selama kita sendiri tidak menyiarkan berita ini, Partai Hoasan akan memilih diam dan ikut merahasiakan kejadian ini, berpura-pura bahwa ketua mereka tidak pernah terbunuh di tangan Ketua Ding Tao.", sambung Liu Chun Cao
sambil tersenyum lebar. "Tapi bagaimana jika Si Racun dari Utara menyebarkan kabar ini?", tanya Ding Tao.
"Bukan masalah, perkataannya akan dipandang sebagai gosip tidak sedap dalam kalangan dunia persilatan. Tentu saja
diam-diam akan banyak orang yang membicarakannya, tapi dengan sikap diam Partai Hoasan, maka tidak akan ada
seorangpun yang berani membicarakannya secara terang-terangan.", jawab Wang Xiaho sambil menepuk-nepuk pundak
pemuda itu. Wajah Ding Tao terlihat galau, sambil memandangi wajah Pan Jun yang sudah memucat dan dihiasi oleh aliran darah yang
mengering dia mengeluh, "Sungguh sayang, sungguh kasihan. Ilmunya begitu tinggi, bakat dan ketekunannya dalam
berlatih ilmu pedang, sungguh sulit dicari bandingannya. Masakan sekarang setelah dia meninggal, justru keberadaannya
dipandang sebagai ketiadaan" Siapa yang akan menyembahyanginya" Siapa yang akan mengurus makamnya?"
Chou Liang berusaha menenangkan hati Ding Tao dan berkata, "Ketua Ding Tao jangan lupa, sudah ada berapa nyawa yang
melayang oleh perbuatannya. Lagipula, perbuatan kita ini akan menyelamatkan banyak nyawa orang. Jika kita memaksa
untuk mengatakan secara berterang bahwa Ketua partai Hoasan, terbunuh oleh tangan Ketua Ding Tao, maka Partai Hoasan
pun tidak akan memiliki pilihan lain kecuali membalaskan dendam ketuanya. Pertempuran antara perkumpulan kita dengan
Partai Hoasan pun tidak terelakkan lagi. Saat itu terjadi, entah berapa banyak nyawa akan melayang."
Ding Tao tercenung dan akhirnya mengangguk, "Tentu saja kakak benar, sudahlah, lakukan yang terbaik menurut kalian."
Melihat wajah Ding Tao yang masih suram, Ma Songquan pun berkata, "Tentu saja kita tidak bisa menyiarkan bahwa yang
mati ini adalah ketua Partai Hoasan, tapi tidak ada pula yang bisa mencegah ketua untuk melakukan upacara pemakaman
yang layak untuk dirinya. Untuk selanjutnya, biarlah perkumpulan kita yang mengurus dirinya, baik acara pemakamannya
maupun adat istiadat lain yang akan dilakukan secara rutin."
Ding Tao menoleh ke arah Ma Songquan, sejenak lamanya dia terdiam berpikir, kemudian dengan senyum yang lebih cerah
diapun mengangguk setuju, "Itu jalan keluar yang terbaik, bagaimanapun dia ini seorang yang pantas disebut pahlawan.
Saat ini sulit untuk menerka apa yang menjadi latar belakang perbuatannya, tapi aku yakin, tokoh seperti dia tentu memiliki alasannya sendiri. Apapun itu, sekarang orangnya sudah mati, segala kesalahannya tidak perlu kita ungkit-ungkit lagi,
biarlah dia menerima penghormatan yang selayaknya bagi tokoh sebesar dia."
Chou Liang tersenyum dan menepuk pundak Ma Songquan atas jalan keluar yang dia berikan, "Baiklah kalau itu keputusan
ketua, biarlah aku yang mengurus segala sesuatunya."
Dengan perkataan itu, masalah Pan Jun pun terselesaikan, Chou Liang segera mendekati ketiga petugas keamanan yang
terlihat lega mendengar hasil pembicaraan mereka. Bagaimanapun ketiga orang itu merasa khawatir dengan kemungkinan
bentrokan antara bekas keluarga Huang dengan partai Hoasan.
Tidak semua orang memiliki perasaan yang sama seperti ketiga petugas keamanan tersebut. Sebagian besar di antara
bekas pengikut keluarga Huang dari kota Jiang Ling sendiri berbagi rasa dan kekhawatiran yang sama. Namun ada juga
sebagian dari mereka dan banyak bekas orang-orang Tiong Fa yang diam-diam justru mengharapkan hal yang sebaliknya.
Tidak semuanya berharap demikian karena maksud buruk, tidak sedikit pula yang berharap demikian karena rasa penasaran
dan juga kebiasaan jelek orang dunia persilatan yang selalu saja keranjingan menonton perkelahian. Pada beberapa orang
yang masih muda terselip juga keyakinan bahwa Ding Tao yang berhasil menundukkan ketua dari Partai Hoasan, tentu tidak
akan mengalami kesulitan menghadapi anak murid partai Hoasan yang lain.
Padahal kenyataannya dalam Partai Hoasan tentu saja masih tersembunyi orang-orang golongan tua yang ilmunya tidak
berada di bawah Pan Jun ketua Partai Hoasan sendiri.
Lepas dari apa yang berkelebatan dalam benak dan hati setiap orang, dengan selesainya masalah pembunuh bertopeng itu,
perhatian mereka mulai beralih pada nasib mereka masing-masing. Seorang yang sudah berumur cukup lanjut tapi masih
berpenampilan gagah, maju ke depan berhadapan dengan Ding Tao, dia membungkuk hormat di depan Ding Tao.
"Ketua Ding Tao", ujarnya dengan hormat.
Cepat Ding Tao berbalik dan membalas penghormatannya, "Paman Qin Hun, tidak perlu sungkan-sungkan."
"Ketua, saya hanya ingin menyampaikan keinginan rekan-rekan yang lain.", ujarnya dengan sopan.
"Silahkan paman, silahkan.", jawab Ding Tao.
"Kami sudah membicarakan hal ini. Pada akhirnya kami semua memutuskan untuk menggabungkan diri dengan
perkumpulan yang Ketua dirikan dan menyerahkan seluruh kegiatan yang ada di Jiang Ling ini menjadi bagian dalam
perkumpulan yang baru berdiri ini.", ujarnya diikuti anggukan kepala dari rekan-rekannya yang ikut berdiri di belakang Qin Hun.
Meskipun apa yang terjadi ini sudah berada dalam perhitungan Chou Liang dan menjadi salah satu pertimbangan mereka
untuk menyerang secepatnya, setelah hal ini benar-benar terjadi, Ding Tao justru merasa keripuhan dan sungkan.
"Tunggu dulu?" ujar Ding Tao.
Wajah Qin Hun pun berubah, "Ada apa Ketua Ding Tao" Apakah ada yang tidak berkenan?"
"Bukan begitu, bukan begitu. Sesungguhnya penyerangan kali ini sudah pula memperhitungkan hal ini, dengan kemenangan
ini memang kami mengharapkan penyatuan cabang kota Jiangling?"
Saat mendengar penjelasan Ding Tao sampai di situ, memerahlah wajah Chou Liang, dengan berbatuk kecil dia berharap
bisa menarik perhatian Ding Tao, tapi Ding Tao yang sedang menjelaskan apa yang ada dalam benaknya pada Qin Hun tidak
mendengar suara batuk Chou Liang dan terus saja berusaha menjelaskan.
?" kami berpikir, dengan demikian tentu perkumpulan akan menjadi kuat dan kemungkinan untuk mencapai tujuan kami
bisa semakin besar. Namun setelah sekarang semuanya terjadi, entah mengapa aku merasa tidak enak pada kalian semua.
Sepertinya kami memanfaatkan keadaan kalian yang sedang terjepit. Karena itu, tentu masuknya cabang usaha di kota
Jiang Ling ini, rasa-rasanya sebaiknya tidak dilakukan.", ujar Ding Tao tanpa menutupi apapun.
Qin Hun pun tertegun dan tak tahu hendak menjawab apa. Pada dasarnya sejak dia mendengar puteranya Qin Bai Yu
menjadi pengikut Ding Tao, dia sudah berkeinginan untuk mengikuti puteranya. Dengan susah payah dia berusaha
meyakinkan rekan-rekannya untuk mengikuti jejaknya. Siapa sangka, justru Ding Tao menggagalkan rencana mereka saat
semuanya sudah terlaksana dengan baik.
"Ah.. tentang hal itu?", dan terdiamlah Qin Hun memikirkan apa yang harus dia katakan.
Untunglah di saat yang membingungkan bagi Qin Hun tersebut, salah seorang rekannya yang berdiri di belakangnya,
menepuk pundaknya dan maju untuk menjawab permintaan Ding Tao.
"Sudahlah Saudara Qin Hun, Ketua Ding Tao tidak menghendaki usaha cabang kota Jiang Ling menyatukan diri dengan
perkumpulannya, tapi aku yakin beliau juga tidak akan mencegah tiap-tiap orang yang dengan keinginannya sendiri ingin
bergabung ke dalam perkumpulannya.", ujar rekannya itu.
Wajah Qin Hun pun menjadi cerah dan dengan cepat dia berbalik pada Ding Tao dan bertanya, "Apakah yang dikatakan
saudaraku Wu Long ini salah Ketua Ding Tao?"
Sedikit terkejut melihat perkembangan percakapan mereka Ding Tao cepat-cepat menjawab, "Tentu saja tidak, kami
mendirikan satu perkumpulan karena memiliki satu cita-cita, jika banyak orang yang memiliki cita-cita yang sama ingin
bergabung, tentu saja kami akan sangat gembira."
Rekan Qin Hun yang bernama Wu Long itu pun dengan senyum lebar segera membungkuk hormat pada Ding Tao dan
berkata, "Kalau begitu aku orang she Wu akan mengikuti Kakak Qin Hun untuk memohon agar diterima menjadi anggota
perkumpulan yang diketuai oleh Ketua Ding Tao."
Demikianlah dengan senyum lebar dan tawa kecil, satu per satu orang-orang bekas pengikut keluarga Huang dari cabang
kota Jiang Ling yang berada di sana, maju, membungkuk hormat dan menyatakan keinginan mereka untuk bergabung.
Sikap ini bahkan mengundang beberapa orang yang tadinya bekerja untuk Tiong Fa, untuk melakukan hal yang sama.
Jika perkataan tiap orang diceritakan, tentu akan menghabiskan berlembar-lembar halaman untuk mengisahkan hal yang
sama. Singkat cerita kemenangan Ding Tao di kota Jiang Ling hari itu adalah kemenangan mutlak. Bukan hanya berhasil
menang dalam pertarungan, Ding Tao juga berhasil memenangkan hati banyak orang. Dalam waktu satu hari perkumpulan
yang baru saja dibuat, bahkan belum memiliki nama yang resmi, tumbuh menjadi kekuatan baru yang patut
diperhitungkan.

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkin hasil terbesar dalam perjudian kali ini bagi Ding Tao dan kawan-kawannya adalah usaha dagang yang dulunya milik keluarga Huang, kini jatuh dalam pengawasan mereka. Meskipun tetap dijalankan oleh orang-orang lama, namun setelah
Bukit Pemakan Manusia 5 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Hong Lui Bun 6
^