Pencarian

Pedang Angin Berbisik 10

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 10


Perlahan-lahan, Tabib Shao Yong mengeluarkan sebilah pisau kecil, tipis dan sangat tajam. Pisau yang biasa digunakannya untuk membedah pasiennya. Dengan gerakan yang tepat dan cermat, dia menyobek baju Mao Bin. Mao Bin mati
tertelungkup, dengan sendirinya bagian punggungnya yang dibuka oleh Tabib Shao Yong, bagian punggung tepat di daerah
jantung. Sebuah luka lebam terlihat di sana. Luka itu tidak besar, kira-kira setebal dua jari dan sepanjang jari telunjuk.
Tabib Shao Yong dengan hati-hati meletakkan bagian sisi dasar telapak tangannya ke bagian yang lebam itu. Mereka
melihat bentuknya sesuai.
Liu Chun Cao yang baru selesai memeriksa bagiannya memperhatikan apa yang mereka kerjakan dan sambil
memperagakan sebuah pukulan dengan sisi dasar tangan dia bertanya, "Hmm" kira-kira seperti ini?"
Tabib Shao Yong menoleh, berpikir sejenak dan mengangguk, "Kukira begitu dan bukan sekedar pukulan dengan tenaga
luar, memang benar pukulan itu menyebabkan lebam, tapi kerusakan di bagian dalam kurasa jauh lebih parah. Satu
pukulan yang mematikan, aku tidak heran bila orang yang membedah mayat ini akan mendapati jantungya sudah dalam
keadaan hancur." "Hancur?", tanya Liu Chun Cao menegas.
"Ya, itu sebabnya tidak terlalu banyak dara menggenang, jantung yang berfungsi memompa darah rusak dan berhenti
berdetak dalam waktu sekejap. Sehingga darah pun berhenti berjalan seketika.", ujar Tabib Shao Yong sambil berdiri,
menegakkan badan dan mengambil nafas dalam-dalam.
"Apakah Pendeta Liu, tahu ilmu pukulan yang seperti itu?", tanya Ding Tao.
"Ilmu pukulan yang mementingkan hawa murni dan bertujuan merusak bagian dalam tubuh akan meninggalkan bekas yang
demikian. Menggunakan sisi dasar telapak tangan, sepertinya ada beberapa. Tidak ada bekas hangus kehitaman atau luka
membusuk oleh racun. Berarti bukan ilmu pukulan geledek, juga bukan tangan beracun", ujar Liu Chun Cao berpikir.
"Bukan pula ilmu tangan pasir besi, karena ilmu itu lebih mementingkan kekuatan keras, jika terpukul oleh pukulan itu,
beberapa tulangnya pasti sudah patah atau remuk. Kenyataannya hanya ada lebam saja, tulang tidak ada yang patah,
namun jantung yang di dalam hancur", sambung Tabib Shao Yong.
"Pukulan tenaga dalam dari Wudang sufatnya jauh lebih lembut, melumpuhkan, tentu saja masih bisa mematikan, tapi tidak
seketika. Ilmu pedangnya yang lebih kejam dari ilmu pukulan.", ucap Liu Chun Cao.
"Seperti ilmu tinju 7 luka?", Tanya Ding Tao.
"Ya seperti itu, selain itu masih ada pukulan penggetar jantung milik Hoasan. Pukulan tengkorak putih, dari aliran sesat.", ucap Liu Chun Cao sambil menghitung.
"Tapi hampir tidak ada gunanya mengetahui jenis pukulan apa yang membunuhnya. Ciri-ciri sebuah pukulan terkadang bisa
dipalsukan, apalagi ketika lawan sudah dalam keadaan tidak berdaya", ujar Tabib Shao Yong.
"Hmm" pukulan yang mematikan, sebuah tusukan tepat di kepala dan korban yang masih sempat menyeret dirinya
beberapa langkah sejak terkena luka pedang. Jadi pertama pembunuhnya menyerang dengan sebuah tusukan pedang yang
membuat korban tidak berdaya. Kemudian dengan tidak tergesa-gesa dia melancarkan sebuah pukulan yang mematikan",
ucap Chou Liang sambil memperhatikan mayat Mao Bin.
Beberapa orang yang lain mulai ikut bergabung dan mendengarkan serta memperhatikan keadaan mayat Mao Bin.
"Jika demikian, luka tusukan oleh pedang itu justru lebih penting daripada bekas luka pukulan yang ditinggalkan. Karena pukulan dilakukan dengan waktu yang cukup, sementara serangan pedang harus dilakukan dengan cepat dan tepat", kata
Wang Xiaho yang sudah ikut bergabung bersama mereka.
Liu Chun Cao berjongkok di dekat mayat Mao Bin, memperhatikan luka tusukan pedang di kepalanya. Dengan menggunakan
gagang pedangnya, digerakkannya kepala Mao Bin yang tertelungkup menghadap ke lantai, sehingga sekarang menghadap
ke samping. Bekas luka dari dahi sebelah kanan dan tembus di belakang kepala.
"Jika dilihat dari bekas lukanya, penyerang menusuk dengan menggunakan tangan kiri, saat dirinya berhadapan dengan
Mao Bin. Serangan itu sangat cepat hingga Mao Bin tidak sempat bereaksi, bahkan pedang itu dicabut dengan cepat pula
sebelum Mao Bin jatuh oleh lukanya. Terlihat dari jalur luka yang lurus, setebal mata pedang dan tidak terkoyak melebar, baik di ujung masuknya maupun di ujung yang lain", ujar Liu Chun Cao.
Wang Xiaho seorang jago golok, demikian pula Tang Xiong, Li Yan Mao lebih suka menggunakan tongkat, sedangkan baik
Ding Tao maupun Qin Bai Yu, meskipun sama-sama pengguna pedang namun dalam hal pengalaman mereka harus
mengakui kelebihan Liu Chun Cao.
Ding Tao merenungi perkataan Liu Chun Cao, kemudian tiba-tiba dia mencabut pedangnya dan menusuk setinggi dahi.
Gerakannya cepat dan bertenaga, yang melihat mau tidak mau merasa kagum oleh kecepatan pedangnya.
"Apakah kira-kira seperti ini?", tanya Ding Tao pada Liu Chun Cao.
"Hmm" kurang lebih, tapi kalau Ketua Ding Tao perhatikan jalur arah mata pedang ketua saat menusuk dan saat menarik
kembali serangan tidaklah dalam jalur yang lurus, melainkan ada sedikit gerakan mengungkit, karena titik awal serangan
lebih rendah dari serangan yang dituju", ujar Liu Chun Cao.
Ding Tao berpikir sejenak dan beberapa kali menggerakkan pedangnya dalam gerakan menusuk, mencoba menghasilkan
serangan yang akan meninggalkan jejak yang sama pada dahi Mao Bin. Tapi beberapa kali dia mencoba, tidak juga didapati
gerakan yang akan meninggalkan bekas seperti pada dahi Mao Bin. Ketika dia mendapatkan satu gerakan yang akan
meninggalkan bekas yang sama, dia justru merasa betapa tidak wajarnya gerakan itu.
"Hmm" sulit sekali, gerakan ini justru terasa tidak wajar.", ujarnya sambil memandang ke arah mereka yang ikut
memperhatikan percobaannya itu.
Pada saat itu orang yang terakhir, Li Yan Mao, ikut bergabung, di tangannya dia membawa beberapa lembar kertas dan
berseru, "Lihat ini, rupanya Mao Bin adalah kaki tangan Tiong Fa!"
"Coba berikan padaku", ujar Chou Liang sambil cepat menghampiri Li Yan Mao dengan terpincang-pincang.
Penemuan yang didapatkan Li Yan Mao dengan segera menyerap perhatian mereka semua. Dengan tidak sabar mereka
memperhatikan Chou Liang yang membaca surat-surat itu dengan cepat. Tapi setelah membaca semua surat itu dalam
waktu singkat, bukannya dia memberikan surat itu kepada yang lain, Chou Liang justru mengingatkan mereka.
"Ini penemuan penting, semuanya sudah selesai bukan?", ujarnya sambil melihat berkeliling.
Semuanya ikut saling menghitung jumlah mereka yang berkumpul dan mengangguk setelah melihat semuanya lengkap ada
di situ. "Baiklah sekarang kita pergi secepatnya. Sudah cukup banyak waktu kita habiskan di sini, sebentar lagi Hakim Huo dan para polisi pasti akan sampai."
"Ah benar, hampir saja aku lupa. Tabib Shao Yong, biarlah kau kugendong, kita lewat jalan belakang saja, melompati
dinding belakang rumah. Bagaimana?", ujar Ding Tao sambil menoleh ke arah Chou Liang yang tentunya lebih mengenali
jalan-jalan di perkampungan itu.
Chou Liang berpikir sejenak kemudian mengangguk, "Ya kurasa jalan itupun cukup bagus, aku tahu beberapa jalan kecil di
situ. Sebentar saja kita akan sampai dekat gerbang kota Wuling."
Bergegas mereka pergi ke bagian belakang rumah, Tang Xiong menggendong Chou Liang di punggungnya sementara Tabib
Shao Yong digendong oleh Ding Tao. Yang lain berlompatan dengan ringan melompati tembok halaman belakang yang tidak
terlalu tinggi. Dalam waktu singkat, Ding Tao dan rombongannya sudah tidak terlihat, tepat saat Hakim Huo dan para
polisinya sampai di tempat.
Di sepanjang jalan menuju ke penginapan, tiba-tiba Ding Tao berseru, "Astaga, gara-gara terlampau memikirkan
pembunuhan Mao Bin aku jadi lupa dengan nasib saudara-saudara yang lain. Sebaiknya kita periksa keadaan mereka
dahulu, bagaimana?" Sepikir dengan Ding Tao, rombongan kecil itupun mengubah arah, berbalik hendak menelusuri kembali perjalanan mereka
pagi ini, menjenguk satu per satu bekas pengikut keluarga Huang yang berhasil lolos. Chou Liang yang saat itu menekuni
surat-surat antara Tiong Fa dengan Mao Bin dengan alis berkerut, mengikut saja dalam diam, tapi tiba-tiba dia berhenti.
"Tunggu" tunggu sebentar.", ujar Chou Liang.
"Ada apa?", tanya Ding Tao.
"Aku sudah membaca habis surat-surat ini, dari beberapa bagian yang kubaca, ada petunjuk tempat markas besar Tiong Fa
saat ini. Bukankah ini lebih penting daripada memastikan keselamatan orang-orang yang menolak dirimu" Selalu saja ada
kemungkinan Tiong Fa akan menghilangkan jejak, setiap waktu tentu berarti.", jawab Chou Liang sambil memandangi Ding
Tao, menunggu pilihannya.
Ding Tao berdiri terdiam dan berpikir sejenak kemudian menjawab, "Kita kunjungi saudara-saudara kita sebentar saja,
untuk melihat apakah mereka baik-baik saja, sekaligus menyampaikan berita pembunuhan Mao Bin dan meminta mereka
untuk berhati-hati."
Chou Liang tidak mau berhenti dan bertanya lagi, "Tapi mendapatkan Tiong Fa di markas besarnya, berarti bukan hanya kau bisa membalaskan dendam keluarga Huang tapi juga mendapatkan Pedang Angin Berbisik."
Ding Tao menggelengkan kepala, "Tidak, aku tidak ingin pembalasan dendam bagiku lebih penting menyelamatkan nyawa
orang. Selisih satu atau dua hari tidak masalah. Kalaupun memang terlambat dan harus kehilangan jejak Pedang Angin
Berbisik untuk kesekian kalinya, berarti itu bukan jodohku. Yang penting hati nuraniku tidak akan terganggu oleh
karenanya." Chou Liang masih belum mau menyerah, "Dari surat-surat ini, nasib anak cabang keluarga Huang juga disinggung-
singgung. Kenyataannya mereka semua jatuh ke dalam kekuasaan Tiong Fa, yang melawan berarti memilih kematian.
Dengan menangkap dan mengadili Tiong Fa, akan ada lebih banyak yang bisa diselamatkan."
Mendengar perkataan Chou Liang yang terakhir, Qin Bai Yu maju dan bertanya dengan suara penuh kekuatiran, "Bagaimana
dengan anak cabang di kota Jiangling, apakah ada kabar mengenao keluargaku" Ayahku Qin Yang Xiu, bagaimana dengan
dia?" Chou Liang menengok ke arah Qin Bai Yu dan menggeleng dengan simpati, "Maaf nak, tidak ada kabar mengenao mereka
dalam surat ini." Kembali pada Ding Tao dia berkata, "Ada banyak urusan bisa diselesaikan dalam satu gebrakan, jika kita mulai bergerak
untuk menggebrak kedudukan Tiong Fa sekarang ini. Meskipun dia bukan otak utama dari pembantaian keluarga Huang tapi
dia adalah satu-satunya titik awal yang bisa kita telusuri. Dan sekarang kita sudah menemukan jejaknya, tidak boleh ada keterlambatan."
Ding Tao diam berpikir, sementara yang lain menunggu keputusan darinya.
Chou Liang berkata sekali lagi, "Sebagai seorang pimpinan, terkadang kita harus memilih antara dua hal yang sama-sama
tidak menyenangkan. Dalam satu perjuangan pasti ada korban, seorang pimpinan tidak boleh lemah hati dan meragu dalam
keputusannya. Adalah dosa seorang pimpinan jika dia gagal mencapai tujuannya, karena itu berarti orang-orang yang percaya padanya akan mati sia-sia."
Ding Tao memandangi Chou Liang kemudian mengangguk, "Saudara Chou Liang, sungguh kau penasihat yang baik. Tujuan
didirikannya perkumpulan ini bukan untuk merebut kekuasaan, tapi untuk menjadi pelindung bagi yang membutuhkan. Saat
ini ada kemungkinan saudara-saudara kita di kota ini sedang diincar bahaya. Kita tidak boleh menutup mata. Pada saat
yang sama, jejak Tiong Fa juga tidak boleh sampai hilang."
Sejenak Ding Tao diam, memandangi orang-orang di sekelilingnya yang memperhatikan dia dengan serius.
"Apa gunanya satu perkumpulan yang terdiri dari beberapa orang jika segala sesuatu harus dikerjakan bersama-sama"
Sebelumnya aku selalu ragu untuk memecah kelompok kita ini. Seperti induk ayam, mengkhawatirkan anak-anaknya.
Sekarang aku sadar, sikapku ini tidak benar dan merendahkan kalian semua. Untuk itu aku minta maaf", ujarnya dengan
tulus sambil sedikit membungkuk.
"Menyelidiki jejak Tiong Fa membutuhkan pengamatan yang tajam dan otak yang cerdik, Chou Liang sudah membuktikan
itu siang tadi, demikian juga Pendeta Liu Chun Cao. Bagaimana kalau aku mengutus kalian berdua untuk mendahului kami
melakukan penyelidikan" Kalian bisa memilih beberapa saudara untuk pergi bersama kalian. Hanya saja Paman Li Yan Mao
akan kubutuhkan untuk menghadapi saudara-saudara dari keluarga Huang, meskipun mereka tidak menyukai pendirianku,
tapi terhadap Paman Li Yan Mao tentu masih ada rasa hormat mereka."
Demikianlah akhirnya Ding Tao memulai perannya yang baru sebagai pemimpin sebuah perkumpulan. Sikapnya yang malu-
malu dan rendah diri, sudah mulai terkikis, terbentuk oleh rasa tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan padanya.
Pandangan yang menghormat dan menghargai dia dari para pengikutnya, membantu dia untuk membuang sikapnya yang
tidak menguntungkan sebagai seorang pimpinan. Ding Tao sadar, mulai hari ini, dia harus bisa bersikap sebagai seorang
pemimpin dari sebuah perkumpulan. Jika tidak maka bukan saja orang akan menghina dirinya, tapi mereka juga akan
merendahkan para pengikutnya, dan itu tidak dia inginkan. Orang-orang ini telah mempercayakan kehidupan mereka di
tangannya, demi bersama meraih satu tujuan. Ding Tao berketetapan hati untuk melakukan yang terbaik bagi mereka.
Chou Liang mengangguk puas, "Baiklah, sepertinya itu jalan keluar yang terbaik. Hmm" menyelidiki markas besar Tiong
Fa" Kebetulan dia bermarkas besar di kota Jiang Ling, jadi biarlah Saudara kecil Qin Bai Yu ikut bersama kami. Aku juga ingin mengajak Saudara Tang Xiong untuk menambah banyak mata dan telinga. Biarlah Paman Wang Xiaho dan Paman Li
Yan Mao yang menemani Ketua Ding Tao, bagaimana?"
"Baik, dalam satu-dua hari ini tentu aku sudah akan menyusulmu, segera setelah urusan di kota Wuling selesai.
Sebelumnya kita tentukan saja tempat pertemuan kita. Saudara Qin Bai Yu, kau yang tinggal lama di Jiang Ling,
menurutmu di mana kita bisa bertemu dengan tanpa menarik banyak perhatian?", tanya Ding Tao pada Qin Bai Yu.
"Hmm" mungkin di Penginapan keluarga Cang, usahanya tidak terlalu besar dan ramai, tapi juga tidak terlalu sepi.
Letaknya ada sedikit di tengah kota, namun tidak dekat dengan keramaian pasar. Banyak orang yang menyukai suasananya
yang tenang.", jawab Qin Bai Yu setelah berpikir-pikir.
"Bagus kalau begitu kita bertemu di sana saja, coba jelaskan jalan yang nanti harus kami ambil", ujar Ding Tao.
Qin Bai Yu pun berusaha menjelaskan jalan yang harus diambil seta tanda-tanda untuk membantu mereka menemukan
simpangan dan jalan yang benar. Chou Liang dan Liu Chun Cao, juga ikut bertanya, tentang tempat-tempat yang ramai dan
yang sepi, jalan-jalan kecil yang ruwet dan menyesatkan yang perlu dihindari oleh orang asing. Tempat yang tepat jika
orang ingin menghilangkan jejak dan banyak pertanyaan lain. Setelah selesai tanya jawab mereka, gambaran yang cukup
jelas sudah dimiliki setiap orang mengenai keadaan di kota Jiang Ling. Meskipun tidak sepaham Qin Bai Yu yang besar di
sana, setidaknya mereka bisa membayangkan, apa yang harus mereka lakukan jika menemui kesulitan dan jalan-jalan yang
baik untuk diambil jika tidak ingin mudah ditemukan orang.
"Aku rasa sudah cukup jelas, jika kita ingin mengejar waktu, sebaiknya kita pergi sekarang", ujar Liu Chun Cao.
"Benar-benar tapi apakah kita akan berjalan kaki saja atau naik kuda?", tanya Tang Xiong.
"Tentu saja naik kuda, kenapa" Apa kau takut aku suruh untuk menggendongku lagi?", tanya Chou Liang.
Sambil terkekeh, Tabib Shao Yong yang menyimpan uang perbekalan mereka, segera mengeluarkan kantung uang,
menghitungnya lalu menyerahkannya pada Chou Liang, "Nah, kurasa ini cukup untuk membeli 4 ekor kuda dan makan-
minum kalian selama beberapa hari."
Chou Liang menerimanya dan berkata, "Nah, ini bagian yang paling kusuka, Saudara Tang Xiong, aku akan traktir dirimu
bebek panggang malam ini."
Kemudian berbalik pada Ding Tao, Li Yan Mao, Wang Xiaho dan Tabib Shao Yong dia membungkuk dan berpamitan, "Ketua
Ding Tao, saudara-saudara sekalian, kalau begitu aku pamit dulu sekarang, sampai ketemu lagi di Kota Jiangling."
"Selamat jalan, hati-hatilah kalian semua. Hindari konflik, ingat kalian pergi ke sana hanya untuk mengamat-amati saja, jangan lakukan apapun sebelum kita berkumpul lagi.", ujar Ding Tao sambil tersenyum.
Setelah Chou Liang dan rombongannya tidak terlihat lagi, tiba-tiba Wang Xiaho menyeletuk, "Pandai juga Chou Liang
mengatur, kita orang-orang tua tidak diikutkan dalam rombongannya. Aku tidak bisa membayangkan duduk di atas kuda
selama berhari-hari. Bisa putus pinggang tuaku ini."
Mendengar itu yang lain pun ikut tertawa, termasuk Ding Tao yang membayangkan bagaimana dia memaksa Wang Xiaho
untuk berkuda sepanjang malam dengan istirahat yang minim. Dalam hati dia jadi merasa terharu pada kebaikan orang tua
itu. "Baiklah Chou Liang dan yang lain sudah mulai bekerja, kitapun juga. Siapa yang sebaiknya kita temui terlebih dahulu?"
tanya Ding Tao setelah tawa mereka mereda.
Li Yan Mao menjawab, "Chu Xiang yang paling tua di antara mereka tapi Lu Feng yang paling menonjol dan berpengaruh.
Tadi pun saat mereka memisahkan diri dari kita, bukankah Lu Feng yang pertama-tama menentang pendapatmu" Dia pula
yang kemudian diikuti oleh yang lain. Jadi kurasa, saat ini mereka tentu berkumpul di tempat Lu Feng. Jika tidak ada di sana, baru kita lihat ke tempat kediaman Chu Xiang."
"Hmm, masuk akal, bagus, kebetulan aku juga masih ingat tempat persembunyian Lu Feng. Ayolah kita ke sana, lebih cepat
urusan ini selesai lebih baik", ujar Ding Tao.
Rumah tempat Lu Feng tinggal saat ini cukup besar dan berada di dekat sebuah pasar. Sewaktu masih bekerja pada
keluarga Huang, Lu Feng sudah menunjukkan kelebihannya dalam memutar uang. Tapi Lu Feng tidak pernah curang dalam
pekerjaannya, secara berterang dia meminta ijin pada Tuan besar Huang Jin untuk mencoba peruntungannya dengan
membuka usaha dalam bidang barang pecah belas. Tuan besar Huang Jin bukan saja memberikan ijin tapi juga membantu
dia mendapatkan pelanggan.
Pada saat terjadi serangan Lu Feng sedang berada di rumahnya sendiri, rumah yang juga menjadi toko pribadinya. Itu yang menyelamatkan dia dari pembantaian. Itu juga sebabnya tidak seperti bekas orang keluarga Huang yang lain, Lu Feng tidak merasa takut dengan para penyerang itu. Tentu saja dia jadi lebih berhati-hati karena jika keluarga Huang saja bisa
dihancurkan apalagi dirinya. Namun pengertian ini tidak sampai merasuk ke dalam hatinya, karena dia belum merasakan
sendiri kehebatan mereka.
Seperti dugaan Li Yan Mao pada saat itu, semua orang yang meninggalkan Ding Tao sedang berkumpul di kediaman Lu
Feng. Di depan pintu rumah kediaman Lu Feng terlihat dua orang berjaga.
Ding Tao yang mengenal dua orang itu dengan segera menghampiri dan menyapa dengan ramah, "Saudara Si Sun, Saudara
Yan Bao, apakah yang lain juga sedang berkumpul di sini" Bisakah aku bertemu sejenak dengan kalian semua?"
"Ding Tao" Apa maumu ke mari" Apakah kau hendak membujuk kami untuk mengikutimu lagi" Jangan bermimpi, kami
tidak mau mengikuti seorang pengecut seperti dirimu!", jawab Si Sun dengan ketus.
Beruntung mereka yang mengikut Ding Tao sudah cukup berumur dan memiliki kesabaran di atas rata-rata, hanya Wang
Xiaho saja yang mengerutkan alisnya, merasa tersinggung dengan sambutan mereka.
Ding Tao yang sempat melihat itu, segera meletakkan tangannya di atas pundak Wang Xiaho, "Tidak apa-apa."
Berbalik menghadapi Si Sun dan Yan Bao untuk kedua kalinya Ding Tao berkata, "Jangan salah paham, aku kemari hendak
mengabarkan kejadian yang kami temui di rumah Mao Bin."
Mendengar jawaban Ding Tao, Si Sun dan Yan Bao saling berpandangan, kemudian Yan Bao bertanya dengan hati-hati pada
Ding Tao, "Maafkan sikap Si Sun, Ding Tao, terus terang banyak dari kami yang kecewa terhadap sikapmu. Kalau boleh
tahu, apa yang terjadi dengan Mao Bin?"
Ding tao berpikir dan memutuskan bahwa sepertinya dari cara mereka menyambutnya kecil kemungkinan dia akan diijinkan
masuk, sementara kedatangannya adalah untuk memperingatkan mereka agar lebih berhati-hati. Bukan masalah jika
mereka tidak bisa menerima dirinya, asalkan dia sudah bisa memperingatkan mereka.
Setelah berpikir demikian tanpa ragu Ding Tao menjelaskan, "Mao Bin dibunuh orang, ketika kami sampai di sana dia sudah meninggal. Dari bekas-bekas yang ada, bisa disimpulkan bahwa penyerangnya punya kepandaian yang tidak bisa
diremehkan. Aku berharap, kalian pun berhati-hati. Bisa jadi orang ini masih mengincar orang-orang yang tersisa dari
keluarga Huang." Ding Tao dengan sengaja tidak menyebutkan tentang penemuan mereka akan hubungan Mao Bin dengan Tiong Fa. Dia
tidak tega untuk memburukkan nama orang yang sudah meninggal itu. Kabar yang disampaikan Ding Tao mengejutkan dua
orang yang berjaga tersebut, muka mereka memucat, teringat dengan penyerangan yang terjadi beberapa bulan yang lalu.
Tanpa sadar keduanya melihat ke sekitar mereka, seakan-akan pembunuh Mao Bin berada di dekat mereka dan sedang
bersiap-siap untuk menyerang.
"Ding Tao, kau tidak berbohong bukan?", tanya Si Sun dengan sikap yang sedikit melunak.
Ding Tao menggelengkan kepala, "Tidak, aku tidak berbohong. Kalian bisa mengirim salah seorang dari kalian untuk
memeriksa kebenarannya. Kalian toh kurang lebih, sudah tahu di mana rumah Mao Bin. Tidak jauh lagi dari kedai tempat
kita beristirahat, kurasa pemilik kedai itu pun sudah mendengar kabar tentang pembunuhan Mao Bin sekarang ini. Kalian
bisa bertanya pada dia."
Si Sun dan Yan Bai saling berpandangan sekali lagi, Yan Bao kemudian berkata pada Ding Tao, "Ding Tao, kalian tunggu
sebentar di sini, aku akan masuk untuk memberitahukan hal ini pada saudara-saudara yang lain."
"Baiklah, aku akan menunggu di sini, tapi aku datang hanya untuk memperingatkan kalian, jika kalian ada keperluan dan
tidak bisa menerimaku di sini pun tidak menjadi masalah.", ucap Ding Tao dengan tegas, mengingat kedudukannya saat ini
dan perasaan mereka yang mengikut dia, dia tidak ingin terlalu merendah juga.
Yan Bao pun masuk ke dalam rumah, sementara Si Sun masih berjaga di luar. Si Sun berdiri menunggu dengan perasaan
campur aduk dan serba salah. Dia teringat dengan perkataannya yang terlalu ketus pada Ding Tao tapi untuk meminta maaf
dia juga merasa malu. Ding Tao yang menyadari kecanggungan Si Sun, jadi jatuh kasihan.
Sambil tersenyum dia mencoba mengajak Si Sun berbicara, "Saudara Si Sun, bagaimana dengan rencanamu setelah ini?"
Sekesal-kesalnya Si Sun pada keputusan Ding Tao sebelumnya, disapa dengan ramah membuat permusuhan dalam hatinya
sedikit mencair meskipun dengan sedikit canggung dia menjawab, "Entahlah, aku capek hidup dalam ketakutan. Aku
memutuskan untuk tidak bersembunyi lagi. Mau mati atau tidak, biarlah aku sudah pasrah saja."
Ding Tao merasa trenyuh mendengar hal itu, dengan tulus dia berkata, "Kuharap semuanya sudah berakhir dengan
kematian Mao Bin. Sungguh aku berharap kalian semua bisa hidup dengan tenang."
Si Sun memandangi Ding Tao untuk beberapa lama, menimbang ketulusan Ding Tao, akhirnya dengan suara perlahan dia
menjawab, "Terima kasih Ding Tao, aku pun berharap demikian."
Sedikit ragu Si Sun menambahkan, "Apakah kau akan tinggal di Wuling atau pergi lagi ke tempat lain?"
"Aku ada keperluan di tempat lain, guru memberi tugas padaku dan aku akan coba untuk menyelesaikannya", jawab Ding
Tao. "Kalau kau mampir ke Wuling kembali, jangan lupa untuk mencari diriku. Kau bisa mampir dan berbagi cerita, kau banyak
pergi ke berbagai tempat tentu memiliki banyak cerita", ujar Si Sun, di luar dugaan Ding Tao.
Senyum merekah di wajah Ding Tao, "Tentu saja, aku tidak akan lupa."
Si Sun mengangguk sambil tersenyum, sebelum dia berkata sesuatu, Yan Bao keluar dan mendekati mereka dengan wajah
mendung. Setelah sampai di depan Ding Tao dan kawan-kawan, dia terdiam sejenak dan tidak bisa berbicara. Menilik
keadaannya Ding Tao merasa bahwa jawaban dari dalam tentu tidak sesuai dengan harapan Yan Bao.
Merasa kasihan dengan kedudukan Yan Bao, Ding Tao segera menyapanya, "Saudara Yan Bao, terima kasih sudah
menyampaikan berita itu pada saudara-saudara lain yang ada di dalam. Sepertinya urusanku di sini sudah selesai, biarlah aku dan saudara yang lain berpamitan dulu untuk saat ini, mungkin lain kali kami akan mampir kembali."
"Maafkan sikap kami Ding Tao", ujar Yan Bao pendek, tidak tahu harus berkata apa lagi.
"Ah sudahlah, tidak apa-apa, dalam hubungan antara manusia denga manusia lain memang sering ada salah paham. Aku
tidak menyimpan sakit hati pada kalian. Baiklah aku pamit lebih dahulu.", ujar Ding Tao sambil sedikit membungkuk hormat dan berpamitan.
"Hati-hati di perjalanan Ding Tao, sampai ketemu lagi", ujar Si Sun dengan nada yang ramah, membuat Yan Bao menengok
ke arah temannya itu dengan heran.
Tapi tidak lama kemudian Yan Bao lah yang sedikit berteriak pada Ding Tao dan rombongannya yang mulai menjauh, "Ding
Tao, Li Yan Mao, Tabib Shao Yong, hati-hatilah kalian di perjalanan."
Teriakannya itu disambut dengan lambaian tangan dari Ding Tao dan mereka yang mengikutinya. Setelah mereka cukup
jauh dari rumah kediaman Lu Feng, Li Yan Mao bertanya pada Ding Tao.
"Ketua Ding Tao, apa rencana kita selanjutnya, akankah kita segera pergi menyusul saudara-saudara yang lain, ataukah
kita hendak beristirahat dahulu malam ini dan besok pagi-pagi kita baru bergerak?"


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita berangkat besok pagi-pagi, malam ini aku ingin berjaga sebentar di dekat kediaman Lu Feng. Aku ingin memastikan
tidak akan terjadi apa-apa atas mereka sebelum pergi meninggalkan Wuling", jawab Ding Tao dengan mata lurus menatap
ke depan. Li Yan Mao dan yang lain tidak ada yang menentang, mereka sudah cukup mengenal sikap Ding Tao sekarang ini.
Wang Xiaho bertanya, "Ketua Ding Tao, bagaimana kalau aku ikut menemani berjaga?"
Ding Tao berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Tidak perlu, tapi hari ini kita perlu mencari tempat yang baik untuk
bermalam, kalian pun tidak boleh lengah. Bukan tidak mungkin pembunuh itu juga mengincar kita."
"Kita cari tempat menginap di dekat kediaman Lu Feng saja, jika ada sesuatu, kalian bisa memberi tanda padaku dan aku
akan segera datang", lanjut Ding Tao setelah berpikir lagi.
"Malam hari, tanda paling baik adalah panah api, biarlah aku akan mencari sebuah busur panah dan membeli sedikit minyak untuk bersiap", sahut Li Yan Mao.
"Aku akan pergi bersamamu", kata Ding Tao.
Li Yan Mao tersenyum menunjukkan giginya yang ompong, "Jangan begitu Ketua Ding Tao, berikanlah sedikit kepercayaan
pada orang tua ini. Masa untuk membeli sedikit barang saja harus ditemani. Aku bukan anak kecil yang baru belajar
berjalan." Memerah muka Ding Tao mendengar jawaban Li Yan Mao, "Maafkan aku Paman Li Yan Mao, jika tidak ada kejadian
pembunuhan Mao Bin tentu aku tidak akan bersikap demikian. Entahlah aku jadi merasa selalu kuatir dia akan menyerang
salah satu dari kita."
"Kita semua sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan dan kami memilih untuk mengikuti dirimu dengan segala
resikonya. Hidup dalam dunia persilatan memang harus berhadapan dengan bahaya. Tenangkanlah hatimu, kami tentu akan
berhati-hati tapi apapun yang terjadi, Ketua tidak perlu merasa bersalah. Ini adalah keputusan kami sendiri", ujar Li Yan Mao dijawab dengan anggukan kepala oleh Ding Tao.
"Aku mengerti paman, maafkan sikapku yang sebelumnya."
Li Yan Mao dengan senyum bijak menjawab, "Tidak ada yang perlu dimaafkan Ketua Ding Tao, justru sikap Ketua itu
membesarkan hatiku. Sudahlah, cukup pembicaraan kita mengenai hal itu, mengenai penginapan, jika hendak mencari
penginapan dekat kediaman Lu Feng, sepertinya Penginapan Burung Hong Emas yang paling dekat."
Ding Tao membuat keputusan dan berkata, "Hmm.. baiklah, aku dan Paman Wang Xiaho harus mengambil barang-barang
dan kuda kami dari penginapan kami yang sebelumnya, sekalian juga mengantar Tabib Shao Yong untuk berkemas.
Sementara Paman Li Yan Mao mencari busur dan minyak untuk menyiapkan panah api sebagai isyarat. Setelah selesai
semuanya berkumpul di Penginapan Burung Hong Emas."
"Aku tidak perlu diantar Ketua Ding Tao, jangan kuatir, doakan saja semoga semuanya berjalan lancar.", ujar Tabib Shao
Yong. Ding Tao yang ingin melarang, teringat dengan perkataan Li Yan Mao, dengan berat hati akhirnya dia mengijinkan, "Baiklah Tabib Shao Yong, cepatlah selesaikan berkemas dan menemui kami di Penginapan Burung Hong Emas."
"Ketua Ding Tao, mengapa tidak menemani Tabib Shao Yong saja" Aku bisa mengurus barang-barang kita sendirian", ujar
Wang Xiaho memberi jalan, bagaimanapun di antara mereka berempat Tabib Shao Yong-lah yang paling lemah.
Ding Tao merasa gembira, namun tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dua kali, dia pun menengok pada Tabib Shao
Yong dan bertanya, "Tabib Shao Yong, bagaimana menurut pendapatmu?"
Tabib Shao Yong terkekeh, "Hahaha, kalau Saudara Wang Xiaho mau bersusah-susah, ya sudahlah, aku tidak mau jadi
orang yang tidak tahu terima kasih."
Setelah tercapai kesepakatan, mereka berempat tidak membuang-buang waktu lagi. Masing-masing menuju ke tempat
masing-masing dan mengerjakan bagiannya. Sebelum hari gelap, ke empatnya sudah berkumpul di Penginapan Burung
Hong Emas. Ding Tao masih sempat bercakap-cakap bahkan memberi petunjuk satu-dua gerakan pada Li Yan Mao dan
Wang Xiaho. Bahkan Tabib Shao Yong yang sudah terlalu tua untuk mulai belajar ilmu silat pun, minta untuk diajari
beberapa gerakan untuk dipelajari.
Ketika hari sudah jauh malam, Ding Tao pun keluar dari penginapan dengan diam-diam, memakai baju berwarna gelap, dia
bersembunyi dalam bayang-bayang bangunan di sekitarnya. Dengan cepat namun tanpa menarik banyak perhatian, Ding
Tao mendekat ke arah kediaman Lu Feng. Keadaan terlihat tenang saat Ding Tao sampai di sana, hatinya pun merasa lega.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena sesaat kemudian telinganya yang tajam menangkap bunyi denting pedang dan
keluhan tertahan seseorang yang mendapatkan luka. Suara itu tidak terlalu keras, namun dalam suasana malam yang sunyi
dan dari tempat Ding Tao mengintai, suara itu masih bisa tertangkap.
"Astaga, aku terlambat", keluh Ding Tao.
Tanpa membuang waktu,c epat-cepat dia berlari menuju ke arah kediaman Lu Feng. Sampai di depan rumah, dilihatnya
pintu sedikit terbuka, dengan hati-hati Ding Tao mendorong pintu hingga terbuka. Terlihat ada dua orang yang tergeletak tak berdaya dengan luka kecil di keningnya. Mereka berdua mati seketika dengan satu serangan yang mematikan. Tidak
mau membuang waktu Ding Tao cepat-cepat masuk ke dalam rumah Lu Feng, dipasangnya telinga baik-baik, sambil terus
berjalan mencoba memeriksa dari satu ruangan ke ruangan yang lain.
Keringat dingin menetes saat dia menemukan dua orang lagi dalam keadaan tewas, salah seorang di antara mereka terlihat
sedang menghunus pedang, sementara yang lain tewas di atas pembaringannya.
Ketika denting pedang yang lain terdengar, cepat Ding Tao berlari menuju ke arah sumber suara sambil berteriak, "Awas
ada pembunuh!" Setelah beberapa kali berteriak, mulailah rumah itu dipenuhi dengan suara aktivitas manusia penghuninya. Di saat yang
sama Ding Tao berhasil mencapai sumber suara perkelahian itu, kedatangannya masih terlambat, karena pembunuh itu
sudah berhasil membunuh satu orang lagi, meskipun kali ini orang itu masih sempat mengadakan sedikit perlawanan. Tapi
berkat kecepatan Ding Tao, pembunuh itupun tidak sempat untuk melarikan diri dan dalam waktu yang singkat, belasan
orang yang tersisa, mengepungnya bersama-sama dengan Ding Tao.
Tapi pembunuh itu tidak menjadi gugup atau takut, sebaliknya dia justru tertawa dingin melihat mereka semua. Ditatapnya Ding Tao lekat-lekat.
"Hmm" anak muda, sengaja aku tidak menyatroni dirimu untuk kuberi kesempatan hidup dan kulampiaskan rasa kesalku
pada cecunguk-cecunguk ini. Siapa sangka kau justru tidak sayang nyawa dan mencari mati. Kuberi kau satu kali lagi
kesempatan untuk hidup, pergi dari sini atau kau akan mati."
"Jangan main-main, mengapa aku harus pergi" Apa aku harus takut pada orang yang tidak berani untuk menunjukkan
mukanya sendiri" Jika kau memanggil saudara-saudaraku ini cecunguk, lalu apa sebutan yang pantas untuk orang
bertopeng macam dirimu" Cucu kura-kura?", balas Ding Tao.
Melihat keberanian Ding Tao, semangat yang lain jadi ikut terbangkit, dari beberapa orang terdengar dengusan menghina
dan tawa kecil sambil menyebut-nyebut panggilan cucu kura-kura.
Orang bertopeng itu tampaknya belum pernah dihina orang sebelumnya, begitu mendengar jawaban Ding Tao dan sikap
dari sisa-sisa keluarga Huang yang lain, sorot matanya berubah jadi semakin beringas.
"Baguslah kalau kau tidak mau pergi, tanganku pun sudah gatal-gatal untuk memenggal kepalamu", dengus orang itu.
Dengan senyum-senyum Ding Tao menjawab, "Ah sobat, apa kau ini jarang mandi sehingga tanganmu pun sering diserang
rasa gatal?" Lepas sudah kendali diri dari pembunuh bertopeng tersebut, sambil membentak keras dia menyerang Ding Tao, "Kurang
ajar!" Dilepaskan dengan segenap amarah, serangan itu datang begitu cepat. Untung Ding Tao sudah bersiap, bekas luka yang
ditinggalkan pada mayat Mao Bin dan analisa Liu Chun Cao akan kecepatan serangan dari pembunuh itu, memberikan satu
pegangan sendiri bagi Ding Tao. Apalagi saat memasuki rumah Lu Feng, korban-korban yang lain juga mati oleh luka
tusukan. Dengan gesit Ding Tao berkelit menghindar, bukannya mundur dia justru berkelit lalu maju mendekat.
Dalam perhitungan Ding Tao, jika lawan hendak menyerang, tentu dengan menabasnya bukan dengan cara menusuk. Siapa
sangka ternyata mata pedang lawan bisa berbalik arah dengan cepat, pergerakan tangan lawan begitu luwesnya, pedang
yang di genggamannya, sekarang digenggam terbalik. Dengan demikian dia bisa menusuk Ding Tao meskipun posisi Ding
Tao berada di sebelahnya. Ding Tao yang pada saat itu hendak melancarkan serangan, terpaksa membatalkan niatnya saat
dia merasakan desiran angin dari arah belakang tubuhnya.
Tanpa memikirkan gengsi, dia membuang tubuhnya ke depan dan bergulingan untuk menyelamatkan diri. Tidak urung
ujung pedang lawan masih sempat merobek sebagian dari bajunya.
Pedang yang digenggam terbalik dengan cepat dioperkan ke tangan yang lain dan tusukan kilat kembali menyambar.
Bagusnya Ding Tao bukan lagi pemuda yang tidak berpengalaman, meskipun dalam keadaan terdesak, pedangnya masih
bisa menahan serangan lawan, sambil tubuhnya menghindar dan mencari kedudukan yang lebih baik.
Dalam sekejapan 7-8 tusukan dan tangkisan terjadi, bunga api berpercikan dan hawa pedang memenuhi seluruh ruangan.
Ding Tao tidak sempat menyerang namun dia berhasil memperbaiki kedudukannya. Lawan yang melihat Ding Tao sudah
berhasil memperbaiki kedudukan, tidak memaksakan diri untuk menyerang secara serampangan, melainkan berdiam diri
dengan pedang masih dalam posisi siap menyerang. Sedikit saja Ding Tao menunjukkan lubang kelemahan pada
pertahanannya, tentu pedang itu akan kembali berkelebat dengan kecepatan kilat.
Sebagian rambut Ding Tao lepas dari ikatan, beberapa bagian dari bajunya koyak oleh serangan pedang lawan, namun
matanya menatap tajam lawan, siap bertahan dan juga siap menyerang jika lawan menunjukkan sedikit saja kelemahan.
Jarak di antara mereka berdua sedikit berjauhan setelah Ding Tao berhasil menghindar tadi. Keduanya diam dengan tenang, pernafasan mereka tidak memburu meskipun baru saja mereka bertarung dengan ketatnya. Dalam bertarung dengan
menggunakan senjata, kelengahan sedikit sja bisa berakibat fatal. Pertarungan yang terjadi bukan hanya masalh fisik dan tehnik tapi juga masalah mental.
Pada awalnya Ding Tao memiliki sedikit keunggulan karena dia sudah memiliki sedikit pegangan mengenai jurus andalan
lawan, ditambah dengan keberhasilannya memancing amarah lawan. Tapi keuntungan itu berbalik, ketika lawan
mengeluarkan jurus serangan di luar dugaannya. Lawan yang merasa berada di atas angin tidak mau melepaskan
kesempatan. Tapi begitu melihat Ding Tao berhasil memperbaiki kedudukan dan dia tidak lagi memiliki kelebihan atas Ding Tao, dia memilih berhenti dan menunggu munculnya kesempatan lain yang lebih baik.
Diam-diam pembunuh bertopeng itu mengakui bahwa tingkatan Ding Tao tidaklah rendah. Sedari tadi dia dengan mudah
membunuhi penghuni rumah ini, kecepatan dan ketepatan pedangnya , serta keunikan dari jurus yang dilancarkan,
membuat dia berhasil membunuh lawan dalam 1-2 gerakan saja.
Siapa sangka kali ini, sasaran pedangnya, Ding Tao berhasil meloloskan diri dari serangannya, padahal posisi Ding Tao
sudah tidak menguntungkan.
Pertarungan antara dua jago pedang itu mendatangkan perasaan yang berbeda-beda pada sisa-sisa anggota keluarga
Huang. Meskipun mereka mendengar cerita tentang kehebatan Ding Tao, baru kali inilah mereka menyaksikannya sendiri.
Demikian juga kecepatan pedang dari pembunuh bertopeng itu, membayangkan bahwa mereka harus berhadapan dengan
pembunuh bertopeng itu, keringat dingin menetes di punggung mereka. Antara tercekam oleh kehebatan pedang pembunuh
bertopeng dan terkagum-kagum melihat kelihaian Ding Tao, apapun yang mereka pikirkan tentang Ding Tao sebelumnya,
saat ini Ding Tao adalah sosok malaikat pelindung bagi mereka. Diam-diam mereka berdoa demi kemenangan pemuda itu,
meskipun jika mereka melihat keadaan Ding Tao saat ini, bulu kuduk merekapun meremang, membayangkan kekalahan
Ding Tao dan kematian mereka.
Meskipun malam sudah larut dan di luar rumah hawa terasa dingin, namun di dalam rumah udara malam tidak leluasa
untuk bertiup, semilir angin malam yang memasuki pintu depan rumah yang terbuka lebar, tidak mencapai ruangan tempat
mereka berkumpul. Tapi bukan hawa dinginnya malam yang membuat setiap orang menggigil gemetar, melainkan hawa pembunuh yang
menyebar keluar dari pembunuh bertopeng itu yang membuat mereka menggigil ketakutan. Hanya Ding Tao yang masih
berdiri dengan tenang, meskipun dialah yang berhadapan langsung dengan pembunuh bertopeng itu.
"Sobat, mengapa diam, apa kau menunggu aku yang memulai?", tanyanya dengan nada santai.
"Hmm" kenapa" Apa kau sudah tidak tahan lagi untuk terus hidup dan ingin cepat-cepat mati?", jawab pembunuh
bertopeng itu. "Hoho" bukankah kau tadi sudah menyerangku dan buktinya aku masih hidup sampai sekarang. Hanya saja aku ingin
cepat-cepat menyelesaikan pertarungan ini, karena aku sudah mulai mengantuk, menunggu kau berani menyerangku",
jawab Ding Tao dengan senyum mengejek.
"Heh" kalau kau mau cepat, kenapa tidak kau saja yang mulai menyerang", dengus pembunuh bertopeng itu.
Mulut mereka bercakap-cakap dengan santai, namun sorot tajam mata mereka memperlihatkan bahwa sekejap pun mereka
tidak kehilangan kewaspadaan. Siapapun tahu bahwa saat menyerang akan ada lubang yang terbuka, jika mereka tidak
yakin akan keberhasilan dari serangannya tidak nanti mereka akan bergerak. Baik pembunuh itu maupun Ding Tao, tidak
berani bergerak sembarangan.
Otak Ding Tao pun berputar keras, setiap kali dia hendak bergerak, dia bisa merasakan ujung pedang lawan seakan-akan
hendak menusuk bagian yang terbuka oleh gerakannya itu. Saat dia beringsut sedikit ke belakang, tentu lawan pun
beringsut ke depan, menutup jarak yang hendak diciptakan. Dengan demikian Ding Tao selalu berada dalam tekanan lawan,
bagaimanapun juga lawan tidak ingin melepaskan kedudukannya yang lebih baik dari Ding Tao. Tentu saja hal ini sangat
merugikan Ding Tao dan pemuda itu sadar, dia harus terlebih dahulu menyerang lawan, jika tidak akan tiba saatnya ketika dia kehilangan kewaspadaannya sebentar saja dan yang sesaat itu bisa berarti nyawanya.
Keringat dingin mulai menetes di dahinya, rambut yang lepas dari ikatan sesekali melambai menggelitik kelopak matanya,
namun Ding Tao tidak berani untuk berkedip sedikitpun.
Melihat lawan bisa dengan sabar menanti dia lengah, jantungnya berdegup semakin kencang. Dalam hati dari memaki pula
saudara-saudara yang lain, yang hanya bisa terdiam terpaku. Tapi Ding Tao tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya,
hawa pembunuh dari pembunuh bertopeng itu harus dia akui sangat mencengkam.
Akhirnya Ding Tao memutuskan untuk berjudi, hawa murni mulai dialirkan, bersiap untuk melakukan serangan. Jika dia
beruntung, setelah gebrakan-gebrakan ini berakhir, dia akan mendapatkan posisi yang sama kuatnya dengan lawan. Jika
dia kurang beruntung, bisa jadi kedudukannya akan makin memburuk atau malah nyawanya melayang. Selama ini, sejak
dia menghilang dua tahun yang lalu dan memperdalam ilmu silatnya, baru kali ini dia bertemu lawan yang sedemikian
tangguh. Bahkan saat melawan Sepasang Iblis Muka Giok pun, keadaannya masih lebih baik daripada sekarang. Dia masih bisa
menyelami ilmu pedang lawan dan menguraikannya. Namun kali ini jagoan pedang yang dia hadapi tidaklah demikian.
Serangannya begitu cepat dan tajam, sehingga Ding Tao kesulitan untuk bertahan sambil mengamati serangan lawan.
Jurus-jurusnya pun terasa menyimpan berbagai kejutan yang tidak bisa dia pikirkan dalam keadaan bertarung seperti saat
ini. Di luar jurus serangan pembunuh bertopeng ini terlihat sederhana, namun Ding Tao mengambil pelajaran dari
kecerobohannya yang pertama, jurus-jurus pembunuh bertopeng ini menyimpan kejutan yang tak terduga. Jika bukan
seorang yang sangat ahli tentu tidak bisa menggunakan jurus-jurus tersebut dengan baik.
Mengubah pegangan pada pedang yang sedang menyerang dengan kecepatan tinggi dan tanpa jeda berbalik menyerang
kemudian, pedang dengan kecepatan dan ketepatan yang sama beralih ke tangan yang lain, menyerang beruntun dengan
kecepatan kilat. Meskipun Ding Tao tahu apa yang dilakukan lawan, dia tahu tidak mungkin dirinya bisa meniru jurus itu
dalam waktu singkat tanpa latihan yang tekun selama bertahun-tahun.
Pedang Ding Tao mulai bergetar, bersiap untuk menyerang, namun lawan masih berdiri bagai benteng yang kokoh dan Ding
Tao belum bisa memutuskan dengan cara bagaimana dia akan menyerang lawan. Pembunuh bertopeng itu tentu saja
melihat gelagat ini, dibalik topengnya, dia tersenyum sinis.
Di saat yang kritis itu, tiba-tiba terdengar suitan melengking dari luar ruangan. Diikuti dengan melesatnya sebuah senjata dengan kecepatan yang pesat, ke arah punggung pembunuh bertopeng. Senjata itu dilemparkan melewati pintu ruangan
dari sudut yang sangat sempit, tidak ada yang bisa melihat siapa pelempar senjata itu.
"Pengecut!", bentak pembunuh bertopeng dengan rasa kesal yang memuncak.
Mau tidak mau dia harus bergerak menghindari senjata lempar tersebut dan Ding Tao yang sudah ada dalam kondisi siap
menyerang, bagaikan busur sudah dipentang penuh dan hanya tinggal menunggu kesempatan, dengan refleks melontarkan
jurus serangan ke arah pembunuh bertopeng tersebut, begitu dia melihat ada lubang kelemahan dalam pertahanan
pembunuh bertopeng itu. Serangan Ding Tao datang dengan membadai, bukan hanya menyerang bagian atas, terkadang Ding Tao tiba-tiba
bergulingan dan menyerang kaki dari pembunuh bertopeng. Meskipun semua serangan bisa ditangkis atau dihindari, namun
Ding Tao tidak memberi kesempatan pada pembunuh bertopeng itu untuk menarik napas. Serangan demi serangan
dilancarkan, nafas keduanya sedikit demi sedikit mulai memburu. Tapi Ding Tao dengan hawa murni tenaga inti buminya
ternyata memiliki cadangan tenaga yang lebih kuat daripada lawan.
Pembunuh bertopeng itupun mulai sadar akan keadaannya yang tidak menguntungkan, setelah berpuluh-puluh jurus dia
menunggu serangan Ding Tao untuk mengendor, ternyata serangan Ding Tao tidak juga mengendor. Sementara dirinya
sudah mulai kelelahan, jika diteruskan tentu saja akan berakibat buruk bagi dirinya.
Dengan menggertak gigi pada salah satu serangan Ding Tao yang mengarah ke lengan kanannya, dengan sengaja dia tidak
menghindar namun balik menyerang. Sebuah luka pun menggores dalam-dalam lengan kanannya, namun karena dia
membalas menyerang, Ding Tao tidak bisa melanjutkan serangannya dan harus cepat-cepat menarik serangan untuk
menghadapi jurus pembunuh bertopeng.
Jurus yang dikeluarkan oleh pembunuh bertopeng kali ini sungguh memusingkan. Mata pedang bergerak-gerak, seakan arah
serangannya belum ditentukan. Tidak berani untuk menganggap remeh serangan lawan, Ding Tao memilih untuk
menempatkan dirinya untuk bertahan dengan rapat terhadap serangan lawan. Pertimbangan Ding Tao, lawan sudah mulai
terluka sementara dirinya belum terluka. Tujuan utama dari serangannya tadi adalah untuk menyamakan kedudukan, tapi
berbalik justru dia berhasil mengambil keuntungan dari lawan. Ding Tao tidak mau terlalu serakah seperti pada permulaan pertarungan, di mana justru lawan berhasil membuat kejutan yang membalikkan keadaan.
Di luar dugaannya pembunuh bertopeng itu bukan mengejar dirinya atau membenahi kedudukannya, pembunuh bertopeng
itu justru melesat mundur ke belakang sambil tangannya menjambret orang-orang yang dia lewati dan melemparkannya ke
arah Ding Tao. Sungguh hebat tenaga orang itu dan bukan hanya ilmu pedangnya yang mengerikan, ilmu cengkeraman
tangannya juga tidak kalah hebat.
Setiap kali lawan terpegang oleh tangannya, dengan sendirinya tidak mampu melepaskan diri, diiringi dengan totokan yang kuat menggunakan gagang pedang, lawan dibuat tidak mampu bergerak dalam sekejapan mata.
Dengan cara yang ganas ini, pembunuh bertopeng itu tidak memberi kesempatan pada Ding Tao untuk mengejar, karena
yang menghalangi jalannya adalah kawan-kawan sendiri. Ding Tao tentu saja tidak bisa menggunakan tangan dan kakinya
untuk menangkis tubuh kawan-kawan yang dilemparkan pada dirinya. Dalam keadaan tertotok, tidak bisa bergerak dan
mengerahkan tenaga, jika Ding Tao menyingkirkan mereka dari jalannya dengan sembarangan tentu mereka akan terluka
berat. Bukan terluka di tangan pembunuh bertopeng itu melainkan terluka oleh Ding Tao.
Orang yang paling dekat dengan pintu keluar tidak seberuntung teman-teman lainnya yang dijadikan penghalang bagi
kejaran Ding Tao, melihat Ding Tao kerepotan untuk menangkap dan menurunkan teman-temannya tanpa melukai mereka,
pembunuh bertopeng itu melepaskan kekesalan hatinya dengan membunuh orang tersebut.
Gerakannya cepat, bisa dikatakan dia membunuh atau langsung pergi, tidak selisih jauh waktu yang dia butuhkan untuk
menghilang. Tinggallah Ding Tao ditinggalkan sendiri, memandangi belasan tubuh yang terbaring tak berdaya, melengong dan menyesali
kekurangan diri sendiri. Menyaksikan pembunuh bertopeng itu pergi tanpa bisa berbuat apa-apa. Lebih pahit lagi dia harus menyaksikan korban jatuh, tanpa bisa berbuat apa-apa/ Tentu saja terlampau keras Ding Tao menilai diri sendiri, jika
malam itu dia tidak datang, korban yang jatuh tentu akan lebih banyak lagi.
Setelah semua kawan yang dilemparkan terbaring di lantai dengan selamat, Ding Tao bergegas mengejar keluar, tapi
bayangan pembunuh bertopeng itu sudah tidak kelihatan sama sekali.
Ding Tao berdiri termangu, matanya memandang ke arah Penginapan Burung Hong Emas dan mencemaskan keadaan ketiga
pengikutnya. Tapi di saat yang sama orang-orang sisa keluarga Huang yang ada di dalam rumah Lu Feng juga dalam
keadaang tidak berdaya. Sehebat-hebatnya ilmu meringankan tubuh Ding Tao, toh dia masih manusia biasa dan tidak
mungkin berada di dua tempat sekaligus. Apalagi ilmu meringankan tubuhnya tidak bisa dibilang nomor satu.
Dalam keragua itulah tiba-tiba dia merasakan hadirnya dua orang di belakang tubuhnya. Cepat dia berbalik dan betapa
terkejutnya Ding Tao saat dia melihat sepasang pendekar lelaki dan perempuan, yang lelaki gagah dan yang perempuan
cantik. "Eh" siapa kalian?", tanya Ding Tao dengan terbata.
"Ah tunggu, apakah kalian tadi yang membantuku dengan melemparkan senjata rahasia ke arah orang bertopeng itu?",
tiba-tiba dia teringat dengan kejadian yang membuat dia berbalik menjadi unggul di saat keadaannya sangat kritis.
"Hehehe, Ding Tao, setelah menjadi ketua perkumpulan silat, kau sudah lupa dengan kami?", tanya pendekar wanita itu
sambil terkekeh geli dengan suara lembut.
Mendengar suara itu segeralah Ding Tao mengetahui siapa yang ada di hadapannya.
"Ah kalian berdua rupanya", dengan penuh rasa terima kasih Ding Tao tersenyum memandangi keduanya, "Sungguh aku
berhutang banyak pada kalian kali ini."
"Heh, tak usah dipikirkan, sekarang cepatlah kau kembali ke penginapan, kuharap teman-temanmu tidak apa-apa, arah
larinya pembunuh bertopeng tadi bukan ke arah sana. Tapi tetap saja lebih baik kau memastikan keselamatan mereka.
Tentang keselamatan orang-orang di dalam, serahkan saja padaku. Setelah itu, kau bisa kemari secepatnya bersama tabib
itu untuk memeriksa keadaan mereka.", ujar iblis jantan dengan senyum bersahabat.
Ya siapa lagi sepasang pendekar itu jika bukan Sepasang Iblis Muka Giok. Mengikuti Ding Tao dari kejauhan, membekal ilmu meringankan tubuh yang mumpuni dan ilmu menyamar yang tiada tandingan, keduanya bagaikan bayangan tubuh Ding Tao
sendiri. Ding Tao tidak membuang-buang waktu, setelah mengangguk hormat kepada keduanya, dia pun segera berlari
secepat mungkin, ke arah Penginapan Burung Hong Emas. Betapa besar rasa percaya Ding Tao pada sepasang iblis itu.
Kepergian Ding Tao yang demikian buru-buru, mendatangkan perasaan bersahabat yang luar biasa dalam hati sepasang
iblis itu. Lebih daripada jika Ding Tao menghujani mereka dengan kata-kata terima kasih yang tiada putusnya.
Mengapa" Tentu saja karena hal itu menunjukkan rasa percaya Ding Tao pada mereka. Tanpa ragu dia meninggalkan orang-
orang yang tidak berdaya di tangan sepasang iblis. Jika ada tokoh persilatan yang melihat hal itu, tentu dia akan
menggeleng tidak percaya. Bagaimana mungkin, sepasang iblis yang terkenal kejam hendak dipercaya untuk menjaga
keselamatan orang" Apakah bukan seperti mempercayakan sekumpulan domba pada sepasang serigala"
Apakah Ding Tao seorang yang bodoh" Atau dia seorang yang memiliki mata batin yang jernih dan mampu menembusi isi
hati seseorang" Biarlah pembaca sendiri yang menentukan, yang pasti sepasang iblis itu kian yakin pada persahatan yang
ditawarkan Ding Tao. Bisa saja mereka dulu adalah sepasang iblis, tapi perlakuan Ding Tao pada mereka sudah mengubah
mereka menjadi sepasang sahabat, setidaknya bagi Ding Tao dan kawan-kawannya.
Demikianlah Ding Tao meninggalkan Sepasang Iblis Muka Giok untuk berjaga di rumah Lu Feng. Ding Tao berlari
mengerahkan segenap kemampuannya, dia tidak lagi peduli apakah ada orang yang memergoki dirinya atau tidak. Dengan
sendirinya waktu yang dia butuhkan untuk sampai ke penginapan jauh lebih cepat daripada waktu dia pergi.
Saat dia sampai, keadaan terlihat tenang dan damai, tapi hatinya tidaklah tenang. Bukankah rumah kediaman Lu Feng juga
tadinya terlihat tenang" Dengan mengendap-endap Ding Tao melompat ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Mereka
menyewa dua kamar, Ding Tao bersama Tabib Shao Yong sementara Li Yan Mao bersama Wang Xiaho. Perlahan diketuknya
jendela kamar. "Siapa itu?", terdengar suara Tabib Shao Yong bertanya dengan suara perlahan.
"Ini, Ding Tao?", jawab Ding Tao.
Dengan segera jendela pun terbuka dan Ding Tao melompat masuk ke dalam. Di dalam kamar terlihat penuh, karena Li Yan


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mao dan Wang Xiaho pun ternyata ikut menunggu Ding Tao.
"Ah, Paman Wang Xiaho dan Paman Li Yan Mao jadi ikut berjaga di sini?", tanya Ding Tao sambil tersenyum, suasana
hatinya masih hangat karena teringat persahabatan yang ditawarkan oleh sepasang iblis muka giok.
"Haha, orang tua susah tidur, daripada Tabib Shao Yong sendirian, sekalian saja kami menunggumu di sini sambil
mengobrol.", jawab Li Yan Mao dengan tawa gigi ompongnya.
"Heh Ding Tao, wajahmu terlihat cerah, kukira itu artinya kabar bagus yang kau bawa", ujar Wang Xiaho.
Diingatkan oleh kejadian di rumah Lu Feng, wajah Ding Tao pun berubah menjadi murung. Dengan singkat dia menceritakan
kejadian yang sebenarnya.
"Hoo.. tapi mengapa wajahmu terlihat cerah tadi?", tanya Wang Xiaho dengan keheranan.
Orang tua ini sudah merasa mengenal watak Ding Tao dengan baik, sehingga tidak ada pikiran buruk tentang Ding Tao yang
ada hanyalah keheranan. Demikian juga Tabib Shao Yong dan Li Yan Mao.
"Ah", ya sejenak aku terlupa dengan kemalangan yang menimpa teman-teman di kediaman Saudara Lu Feng. Hal itu
adalah karena aku bertemu kembali dengan Sepasang Iblis Muka Giok", jawab Ding Tao, teringat kembali dengan sepasang
iblis itu hatinya jadi sedikit terhibur.
"Ha" Ini lebih aneh lagi, apakah kau berhasil menghajar mereka untuk ketiga kalinya sehingga perasanmu jadi ringan?"
"Bukan paman, bukan, justru mereka datang untuk membantu. Bukankah tadi aku bercerita tentang seseorang yang
menyambit pembunuh bertopeng itu dengan senjata rahasia, nah sepasang iblis itulah yang melakukannya."
Saat menceritakan kebaikan sepasang iblis itu, wajah Ding Tao tidak bisa menyembunyikan rasa harunya. Berbeda lagi
dengan ketiga orang yang mendengarkan, betapa keheranan menghiasi wajah mereka.
"Lalu saat aku kebingungan, antara kembali ke penginapan dan menilik keadaan kalian atau tinggal di rumah Lu Feng untuk menjaga mereka sampai mereka mampu menjaga diri sendiri. Sepasang iblis itu menyanggupi untuk menjaga mereka, itu
sebabnya aku bisa dengan tenang kembali ke penginapan. Itulah sebabnya perasaanku terasa hangat, oleh tali
persahabatan yang mereka ulurkan.", ujar Ding Tao mengakhiri penuturannya.
Wajah ketiga orang pendengarnya pun berubah menjadi pucat pasi. Hendak memaki, tapi yang akan dimaki adalah
pimpinan mereka, lagipula wajah Ding Tao yang polos membuat mereka tidak tega untuk memaki. Hendak memuji, orang
bodoh mana yang mempercayakan sekumpulan orang tertotok pada sepasang pembunuh yang terkenal sadis dan kejam.
Dengan suara agak gemetar Tabib Shao Yong berkata, "Kalau mereka dalam keadaan terluka, sebaiknya aku pergi ke sana
secepatnya untuk melihat apakah aku dapat menolong mereka. Apakah kau bisa mengantarkanku Ding Tao?"
Li Yan Mao dan Wang Xiaho mengangguk-angguk setuju, dalam hati memuji kecerdikan Tabib Shao Yong yang bisa
menutupi kekhawatirannya dengan alasan yang baik. Dengan demikian mereka akan kembali secepatnya ke rumah Lu Feng,
meskipun jika sepasang iblis itu benar menurunkan tangan kejam, tentu saja kedatangan mereka akan sangat terlambat.
Tapi hati mereka bertiga tentu saja tidak tenang jika mereka berlama-lama di penginapan.
"Ayolah cepat, biar tidak lama biar Tabib Shao Yong aku yang gendong", kata Wang Xiaho.
"Jangan paman, biar aku saja", jawab Ding Tao.
Jika dalam keadaan biasa tentu Tabib Shao Yong menolak digendong-gendong berlarian di tengah kota, meskipun dalam
malam hari. Namun kali ini Tabib Shao Yong tidak mau buang waktu, begitu Ding Tao memberikan punggungnya segera
saja tabib itu melompat naik ke punggung Ding Tao.
"Tabib Shao Yong, sudah siap?", tanya Ding Tao.
"Ya, ya, ya, aku sudah siap cepatlah.", ujar Tabib Shao Yong dengan sedikit geram melihat betapa santainya Ding Tao.
Ke empat orang itu pun berlarian melintasi jalanan kota menuju ke rumah Lu Feng. Untung malam sudah benar-benar larut
dan tidak ada orang yang nelihat mereka. Jadi bagaimana nasib sisa-sisa anggota keluarga Huang di rumah Lu Feng"
Apakah benar kepercayaan Ding Tao pada sepasang iblis itu" Ataukah kekhawatiran Wang Xiaho bertiga yang lebih tepat"
Begitu sampai di depan rumah Mao Bin, Tabib Shao Yong, Wang Xia Ho dan Li Yan Mao buru-buru masuk ke dalam rumah.
Pintu tertutup tapi tidak dikunci, Ding Tao menyusul di belakang mereka. Langkah mereka terhenti saat mereka berhadapan dengan Sepasang Iblis Muka Giok. Sebenarnya dandanan sepasang iblis itu tidak menyeramkan, tidak seperti yang mereka
bayangkan. Seandainya Ding Tao tidak bercerita bahwa Sepasang Iblis Muka Giok sedang menunggui rumah itu, mungkin
mereka juga tidak akan menduga.
Iblis jantan dan iblis betina menyambut mereka dengan senyum ramah dan membungkuk menyapa dengan sopan,
"Selamat malam saudara sekalian, Tabib Shao Yong, kuharap kau memeriksa keadaan mereka. Kami sudah mencoba
membuka totokan mereka, namun beberapa di antara mereka masih lemah, meskipun totokannya sudah terbuka."
Tabib Shao Yong dengan terbata-bata dan sedikit gemetar menjawab, "Ah.. begitu ya" eh di mana mereka, biar coba
kulihat." Iblis jantan menunjuk ke arah ruangan, tempat Ding Tao tadi bertarung dengan pembunuh bertopeng itu, "Mereka ada di
sana." Tabib Shao Yong, Wang Xiaho dan Li Yan Mao pun bergegas ingin melihat keadaan mereka, namun sedikit banyak
kekhawatiran dalam hati mereka jauh berkurang ketika melihat sikap sepasang iblis itu yang tidak bermusuhan. Sementara
itu Ding Tao tidak mengikuti ketiganya melainkan menemui sepasang iblis muka giok untuk mengucapkan terima kasih.
Membungkuk hormat pemuda itu dengan tulus menyampaikan rasa terima kasihnya, "Kakak, Cici, terima kasih banyak atas
bantuan kalian. Bukan saja kalian menyelamatkan nyawaku, kalian juga bersedia bersusah payah untuk menjaga bahkan
mencoba merawat luka teman-temanku."
"Hmm" sudahlah, anggap saja ini cara kami untuk membayar hutang kami padamu.", ujar iblis jantan.
"Ah, hutang apa" Justru sekarang aku yang berhutang pada kalian", jawab Ding Tao.
Iblis betina tersenyum dengan manis dan menjawab, "Sudahlah, tidak perlu berpura-pura tidak tahu, sekarang ini kami pun juga tidak malu-malu untuk mengakuinya. Tempo hari jika bukan Adik Ding Tao yang mengalah, tentu salah satu dari kami
sudah mati di ujung pedangmu."
"Ya" dan jika satu dari kami mati, itu sama saja kematian bagi yang lain", tambah iblis jantan dan ketika dia melihat Ding Tao hendak menyanggah pula cepat dia berkata, "Nah, cukup sudah, jangan kau menyanggah lagi. Aku paling tidak suka
bertele-tele masalah kecil."
Ding Tao yang sudah membuka mulut, akhirnya tidak jadi berkata, hanya tersenyum kecut, "Hehe" Saudara Iblis Jantan,
tetap saja menyeramkan."
"Hahaha, menyeramkan kentut busuk, ilmumu sudah makin maju saja, jika lain kali kita bertarung lagi mungkin justru aku
akan ketakutan dan lari", jawab Iblis Jantan sambil tertawa terbahak-bahak.
Iblis betina tertawa sambil menutup mulutnya, saat tawa mereka mereda diapun berkata, "Adik Ding Tao, jangan kau
panggil lagi kami dengan sebutan iblis jantan dan betina. Kami sudah memutuskan untuk berhenti bermain setan-setanan."
"Ah, bagus sekali. Kalau begitu siapa nama Kakak dan Cici berdua" Apa aku boleh mengetahuinya?", ujar Ding Tao dengan
kegembiraan tulus yang tidak disembunyikan.
"Kami memutuskan untuk mengubur masa lalu kami, jadi kami membuat nama kami sendiri", Iblis betina menjelaskan.
Menunjuk ke arah Iblis jantan, dia memperkenalkan, "Nah, perkenalkan, nama kakak yang ganteng ini adalah Tuan Ma
Songquan." Kemudian sambil membungkukkan badan dengan luwes dia berkata, ?" dan namaku adalah Nyonya Ma Songquan tentu
saja, Chu Lin He." Senyum lebar menghiasi wajah Ding Tao saat dia ikut membungkuk dengan hormat, "Ah, senang bertemu dengan kalian
Tuan dan Nyonya Ma Songquan."
Iblis jantan atau Tuan Ma Songquan tertawa terbahak-bahak kemudian berkata, "Hahaha, Ding Tao kami sudah berpikir
beberapa lamanya dan jika kau tidak keberatan, biarlah kami bergabung dengan perkumpulan yang baru kau dirikan.
Sebenarnya kami tidak ingin membantu dirimu dengan berterang karena masa lalu kami. Tapi melihat keadaanmu saat ini
yang sering kesulitan dalam membagi tugas karena keterbatasan orang dalam perkumpulanmu, kami memutuskan untuk
secara resmi bergabung dalam perkumpulanmu, bagaimana?"
Ding Tao terkejut mendengar itu, namun tanpa berpikir panjang dia menerimanya dengan bersemangat, "Wah, kalau kalian
mau bergabung, tentu saja aku dengan senang hati menerimanya. Tapi apakah tidak salah" Rasanya aku yang muda ini jadi
tidak enak kalau kalian memanggilku ketua."
"Ha.., kami juga tidak setua beberapa orang dalam perkumpulanmu, nah apakah kami perlu mengucapkan sumpah dan
melakukan upacara?", ujar Ma Songquan dengan senyum lebar di wajahnya.
"Tunggu dulu kakak, Ding Tao aku tahu dirimu tidak menyimpan pikiran buruk tentang kami, tapi bukankah sebaiknya kau
bertanya dulu terhadap pengikutmu yang lain" Kelamnya masa lalu kami tidak bisa dipandang ringan. Bisa jadi kau akan
kehilangan lebih banyak orang jika kau menerima kami sebagai pengikutmu", ujar Nyonya Ma Songquan, Chu Lin He.
Ma Songquan mengerutkan alis dan hendak mengucapkan sesuatu, tapi Chu Lin He meletakkan tangannya menyentuh
tangan Ma Songquan. Ma Song quan menoleh dan melihat Chu Lin He menggeleng dengan lembut, diapun batal berkata
apa-apa. Ding Tao menghela nafas dan berpikir. Bukannya dia takut kehilangan pengikut, namun dia juga tidak ingin
menyakiti atau mengecewakan beberapa gelintir orang yang sudah bersumpah setia pada dirinya. Dalam waktu yang
singkat dia merasakan jalinan yang kuat.
Setelah berpikir beberapa lama akhirnya Ding Tao berkata, "Aku menerima kalian, bukan hanya karena aku membutuhkan
kalian, tapi karena kalian adalah sahabat-sahabatku. Tidak mungkin aku mengorbankan seorang sahabat demi sahabatku
yang lain. Jikalau mereka kemudian menjauhiku karena aku bersahabat dengan kalian, biarlah itu terjadi, dalam hatiku
mereka tetap seorang sahabat."
Pada saat itu justru Tabib Shao Yong, Wang Xiaho, Li Yan Mao, diikuti mereka yang berhasil diselamatkan, datang mendekat dan ikut pula mendengar jawaban Ding Tao. Ding Tao, Ma Songquan dan Chu Lin He yang menyadari kehadiran mereka,
mengalihkan pandanganmereka ke arah mereka yang baru datang.
"Tabib Shao Yong, bagaimana hasil pemeriksaanmu" Saudara sekalian, bagaimana keadaan kalian?", tanya Ding Tao.
"Semua dalam kedaan baik-baik Ketua Ding Tao, memang ada beberapa yang mengalami gangguan pada tubuhnya karena
totokan dari lawan yang terlalu kuat. Tapi setelah kugunakan tusuk jarum untuk melancarkan jalur energi mereka, sekarang mereka sudah membaik.", jawab Tabib Shao Yong.
Kemudian Tabib Shao Yong dan yang lain mengalihkan pandangan ke arah Sepasang Iblis Muka Giok. Dengan hormat dan
sopan Tabib Shao Yong sedikit membungkuk lalu berkata, "Aku mewakili saudara-saudara yang lain mengucapkan rasa
terima kasih yang sedalam-dalamnya atas bantuan Tuan dan Nyonya berdua."
"Kebetu;an kami ikut mendengar tentang keinginan Tuan dan Nyonya berdua untuk ikut menyumbangkan tenaga bagi
perkumpulan kami yang baru dibentuk, bahkan belum bernama. Kami juga mendengar penerimaan Ketua Ding Tao juga
kekhawatiran kalian. Untuk itu biarlah kami mengucapkan selamat datang dan menegaskan bahwa bagi kami, tidak ada lagi
Sepasang Iblis Muka Giok, yang ada adalah Saudara Ma Songquan dan Nyonya Ma Songquan."
Mendengar perkataan Tabib Shao Yong, wajah Ding Tao pun menjadi cerah, meskipun tidak mengatakan apa-apa, perasaan
hatinya dengan mudah terbaca. Wajah tuan dan nyonya Ma SongQuan juga ikut berubah, jika tadinya Ma Songquan sudah
seperti ayam kago yang hendak bertarung, ketegangan di wajahnya sekarang meleleh, digantikan rasa terima kasih. Salah
satu dari mereka yang kemarinnya tidak setuju dengan pemikiran Ding Tao tiba-tiba berucap.
"Ketua Ding Tao, tadinya aku tidak habis mengerti dengan apa yang Ketua impikan, tapi sekarang ini, mataku jadi terbuka dan aku minta maaf atas sikapku sebelumnya. Kalau dipikir, memalukan sebenarnya, dalam beberapa saat setelah
bersumpah setia, justru aku berubah pikiran dan menentang Ketua Ding Tao. Jika Ketua Ding Tao mau memaafkan kami,
biarlah kami kembali mengikut Ketua Ding Tao."
"Ah, Saudara Yu Wan, tidak perlu bersikap terlalu sungkan. Tentu saja aku gembira jika kalian bisa menerima pemikiranku.
Soal yang lalu, lupakan saja. Lebih baik, kita pikirkan saja, apa yang akan kita lakukan sekarang", jawab Ding Tao.
"Pertama-tama, biarlah aku dan saudara yang lain mengurus mereka yang terbunuh. Besok juga hasur ada orang yang
melapor pada pertugas keamanan di Kota Wuling. Juga masalah keluarga yang ditinggalkan. Biarpun kebanyakan dari kita
sudah tinggal sendirian saja di dunia ini sejak penyerbuan kediaman keluarga Huang beberapa bulan yang lalu. Kebetulan
salah satu yang menjadi korban malam ini adalah Saudara Lu Feng, setelah pemberitahuanmu tadi sore, dia memindahkan
keluarganya ke rumah yang lain.", ujar Li Yan mao diiringi anggukan kepala dari beberapa orang, rupanya tadi mereka
sudah sempat bercakap-cakap pula di dalam.
"Baiklah, aku akan ikut membantu", jawab Ding Tao.
"Biarlah kita semua bekerja bersama, siapapun yang tidak ikut bekerja tentu akan merasa tidak enak. Selain itu, semakin cepat selesai semakin baik. Salah satu dari kita, yang mengenal dekat keluarga dari yang meninggal sebentar lagi bisa
menghubungi mereka sekarang juga. Langit sudah mulai berubah warna, sebentar lagi sudah pagi", kata Ma Songquan
sambil membuka jendela dan melihat ke arah langit.
Melihat langit yang mulai berubah warna, barulah terasa betapa semalaman dirinya tidak sempat tidur sama sekali, tiba-tiba saja kantuk menyerang dan Ding Tao menguap.
Sambil tertawa Wang Xiaho berkata, "Ketua, jika merasa mengantuk, tidak apalah kalau mau tidur sejenak. Jangan
disamakan dengan orang tua seperti diriku yang memang susah tidur."
Ding Tao menggeleng sambil tersenyum, "Tidak, tidak tenang hati ini kalau tidur sementara saudara yang lain masih sibuk bekerja. Segera setelah segala sesuatunya beres aku kan tidur, tapi tidak sebelumnya."
Apapun dikerjakan bersama-sama, akan terasa lebih ringan, apalagi jika dikerjakan bersama kawan-kawan yang senasib
sepenanggungan. Begitu hari sudah mulai terang, semua mayat sudah selesai diurus. Beberapa orang segera pergi
menemui petugas keamanan, yang lain ada yang menghubungi toko peti mati dan menyiapkan upacara sembahyangan dan
beberapa orang lagi, pergi untuk menemui keluarga Lu Feng untuk menyampaikan berita duka ini. Selain Lu Feng ada pula
beberapa korban, yang memiliki keluarga di kota Wuling, mereka ini pun tentu saja harus diberi kabar.
Tapi untuk sementara waktu, sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menunggu. Ding Tao yang merasa sangat
lelah dan ngantuk pun berpamitan untuk kembali ke penginapan dan beristirahat. Serta berjanji akan kembali siang nanti.
Ding Tao hanya kembali sendirian saja, Wang Xiaho, Li Yan Mao dan Tabib Shao Yong memilih untuk beristirahat di rumah
Lu Feng yang sekarang ini untuk sementara jadi rumah duka. Tentu saja Ding Tao merasa tidak enak, namun karena
desakan mereka dan juga memang keadaan yang tidak memungkinkan untuk beristirahat di rumah itu, Ding Tao akhirnya
kembali ke penginapan. Sendirian di kamar tidurnya, jauh dari segala kebisingan dan masalah dunia persilatan, barulah Ding Tao bisa sedikit
memanjakan hatinya sendiri. Kenangan akan Huang Ying Ying mulai berkelebatan dalam benaknya. Tanpa terasa air mata
mulai meleleh keluar dari kedua matanya. Hatinya terasa sesak dan tenggorokannya tercekat. Ingin dia meraung-raung
menangisi apa yang sudah terjadi tapi Ding Tao hanya bisa menangis dalam diam.
Ingin rasanya dia lari, pergi ke hutan yang terasing, ke puncak gunung yang tertinggi. Menyendiri menjauhi kehidupan,
menutup diri pada dunia. Hanya dirinya sendiri dan kenangan akan Huang Ying Ying, menghabiskan waktu, meratapi
cintanya yang hilang. Tapi Ding Tao sadar dirinya tidak boleh larut dalam kesedihan, amarah dan dendam. Dia sedang
memikul sebuah tanggung jawab demi kepentingan bersama. Kepentingan dirinya pribadi, tidak boleh membuat dia
melupakan hal itu. Dia tidak bisa menyerah pada tuntutan hatinya yang cengeng dan lemah. Dia tidak bisa berhari-hari
meratapi keadaan. Huang Ying Ying sudah meninggal dan dia meninggal justru saat Ding Tao bermesraan dengan wanita
lain. Kenyataan itu pahit buat dirinya, kesalahan itu tidak terhapuskan dan tidak termaafkan. Huang Ying Ying sudah meninggal, dengan cara apa dia hendak memperbaiki kesalahannya" Tiba-tiba saja dia menyesali pertemuannya dengan Murong Yun
Hua, ada sebagian kecil dari dirinya yang menyalahkan gadis itu, karena sudah menyalakan api cinta dalam hatinya. Dalam hati yang seharusnya hanya ada Huang Ying Ying seorang. Tapi Ding Tao bukan pemuda pengecut yang melemparkan
kesalahan pada orang lain. Walau pahit, dia mengakui, bahwa dirinya lah yang lebih patut dipersalahkan. Imannya lah yang kurang teguh.
Ada juga kalanya Ding Tao mengingat perbuatan Tuan besar Huang Jin dan mencoba mengatakan alam hati bahwa apa
yang terjadi pada keluarga Huang dan di dalamnya Huang Ying Ying adalah hukuman atas dosa-dosa Tuan besar Huang Jin.
Tapi sekali lagi hati nuraninya tidak mengijinkan dia untuk lari dari kesalahannya sendiri dan mencari jalan yang mudah.
Apalagi lepas dari apa yang dilakukan Tuan besar Huang Jin, perlakuan Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying pada dirinya
terkampau baik dan tulus untuk dia abaikan.
Ketika bersama-sama dengan yang lain, semua pikiran ini secara tidak sadar dia tekan jauh ke dalam hatinya.
Sekarang semuanya muncul bersamaan seperti air memancar dari bendungan yang pecah. Ding Tao yang biasanya selalu
bisa menguasai diri sendiri, apa pun keadaannya kali ini menyerah pada perasaannya. Lelah secara fisik dan mental,
pemuda itu tertidur lelap dengan pembaringan basah oleh air mata.
---------------------------- o ---------------------------
Begitu lelahnya Ding Tao hingga tanpa sadar, matahari sudah jauh berjalan ke arah barat baru dia terbangun. Di luar
keadaan sudah mulai remang senja, Ding Tao yang tersadar buru-buru mencuci muka dengan sebaskom air yang
disediakan, merapikan diri lalu bergegas keluar kamar. Di luar ternyata sudah ada dua orang yang menunggunya.
"Ah, maafkan aku, tidak terasa tiba-tiba sudah sore, baru saja aku terbangun. Bagaimana keadaannya?"
"Semua berjalan dengan baik Ketua Ding, saudara-saudara yang meninggal sudah di tempatkan dalam peti, upacara
sembahyangan juga sudah dilakukan. Besok pagi-pagi kita akan menguburkan mereka, jika Ketua ingin datang untuk
bersembahyang sekarang, mari kami antarkan.", jawab salah seorang di antara mereka.
"Tentu saja, mari cepat kita ke sana. Sungguh hatiku merasa tidak enak sudah tidur seharian.", jawab Ding Tao dengan
wajah serba salah. "Tidak apa Ketua Ding, kami tahu semalaman Ketua tidak tidur dan memeras tenaga."
Bertiga mereka berjalan ke arah rumah Lu Feng, dari kejauhan terlihat tamu-tamu yang berdatangan untuk ikut
mengucapkan bela sungkawa dan menunggui hingga esok pagi saat jenazah akan dimakamkan.
"Apakah semua saudara hadir di sana?", tanya Ding Tao.
"Sebagian besar ya, hanya Tuan dan Nyonya Ma Songquan yang tidak ada. Mereka berdua hendak menelusuri kota mencari
jejak pembunuh bertopeng itu. Yang dikhawatirkan dalam suasana duka ini, pembunuh bertopeng itu kembali muncul dan
mencari gara-gara." "Ah, baguslah kalau begitu. Kita boleh merasa tenang kalau mereka berdua sudah mau turun tangan."
"Tapi menurut sepasang i " eh maksudku menurut sepasang pendekar itu, ilmu Ketua justru berada di atas mereka."
"Mungkin, ada selisih sedikit, tapi seperti yang kalian lihat kemarin, di atas langit masih ada langit. Pembunuh bertopeng itu sungguh lihay, jika bukan karena bantuan Ma Songquan berdua, tentu aku akan berada dalam kesulitan."
"Jangan berkecil hati Ketua, ilmu pedang pembunuh bertopeng itu memang aneh. Jika bukan ketua yang menghadapinya
semalam, tentu baru satu dua jurus sudah mati oleh tusukan pedangnya. Justru ketenangan ketua membuat kami berbesar
hati." "Hmm" jangan terlalu memuji, kalian pun bisa menghadapi pembunuh bertopeng itu asalkan rajin berlatih. Kalian sudah
memiliki dasar-dasar ilmu pedang keluarga Huang, sebelum aku pergi menyusul saudara lain yang menyelidiki markas Tiong
Fa, akan aku tinggalkan petunjuk-petunjuk bagi kalian untuk menyelami tingkat yang selanjutnya."
"Terima kasih banyak Ketua Ding, tapi apa maksud Ketua Ding tentang markas Tiong Fa?"
Teringatlah Ding Tao bahwa hubungan Mao Bin dan Tiong Fa sebenarnya masih dirahasiakan, cepat otaknya berputar untuk
mengarang cerita, "Ehm" sepertinya Mao Bin sedang menelusuri jejak Tiong Fa dan menemukan beberapa petunjuk,
mungkin itu sebabnya dia dibunuh. Namun saat kami memeriksa rumahnya, kami berhasil menemukan beberapa catatan."
"Ah rupanya begitu" baguslah, Tiong Fa tidak boleh dibiarkan meraja lela semaunya."
Sambil bicara tak terasa sampai juga mereka ke rumah Lu Feng, dengan hormat Ding Tao maju ke depan, peti mati
berjajar, mereka yang kemarin masih hidup dalam semalam sudah berubah menjadi mayat. Keluarga yang ditinggalkan
berbaju putih sebagai tanda berkabung, berdiri di kiri dan kanan. Tanpa terasa Ding Tao mendesah sedih, selesai memberi penghormatan terakhir pada yang meninggal dan keluarga, Ding Tao pun diantarkan ke meja di mana Li Yan Mao, Tabib
Shao Yong dan Wang Xiaho sudah duduk menunggu.
"Maafkan aku paman, tertidur begitu lelap hingga tak tahu waktu. Paman sekalian, apakah tidak ganti beristirahat
sejenak?", tanya Ding Tao setelah selesai saling menyapa.
"Tidak perlu, kami pun tadi sudah sempat beristirahat sejenak.", jawab Li Yan Mao.
"Yang lebih penting sekarang adalah memikirkan rencana kita selanjutnya. Mungkin terlihat kurang baik dalam keadaan
berduka seperti sekarang. Tapi kita harus ingat bahwa Tiong Fa dan organisasi rahasia yang menyerang Keluarga Huang,
juga masalah pemilihan Wulin Mengzhu tidak diam menunggu."
"Ya, ya, aku mengerti, baiklah mari kita bicarakan masalah-masalah itu. Untuk mudahnya, marilah kita pilah masalah dan
urusan yang ada, baru kita lihat bagaimana sebaiknya kita mengatasi masalah-masalah tersebut.", ujar Ding Tao dengan
prihatin. "Baiklah, coba kita uraikan setiap masalah yang ada, yang pertama adalah masalah penyerangan terhadap keluarga Huang
dan hilangnya Pedang Angin Berbisik. Yang kedua adalah masalah pemilihan Wulin Mengzhu. Kemudian yang ketiga adalah
masalah yang paling utama, yaitu masalah ancaman Ren Zuocan. Bagaimana, kira-kira masih ada yang lain?", Wang Xiaho
mencoba menguraikan masalah yang mereka hadapi.
"Masalah ketiga bisa dilupakan saja untuk saat ini", ujar Ding Tao mengundang pertanyaan yang tertera di wajah Wang
Xiaho. "Bukan karena tidak penting, tapi karena dua masalah sebelumnya menyangkut erat dengan masalah ketiga. Baik itu
dengan menjadi Wulin Mengzhu ataupun berhasil mengungkap organisasi rahasia yang menyerang keluarga Huang,
keduanya akan menuntun kita pada masalah yang ketiga, yaitu masalah ancaman dari Ren Zuocan.", ujar Ding Tao
menjelaskan sambil tersenyum simpul.
"Hoho, begitu rupanya, kalau melihat cara berbicara ketua yang lancar sepertinya Ketua Ding sudah punya suatu rencana.
Mengapa tidak dijelaskan saja?"
"Rencana yang matang sebenarnya belum, hanya saja sempat terkilas satu gambaran. Untuk masalah yang pertama dan
kedua sebenarnya juga berkaitan. Sudah bisa dipastikan Tiong Fa tidak bekerja sendiri, aku pernah beradu pedang dengan
Tiong Fa, ilmunya jauh di bawah pembunuh bertopeng tadi malam. Hal itu membuktikan ada sosok yang lebih besar lagi di
belakang Tiong Fa." "Sosok itu adalah Ren Zuocan.", tukas Wang Xiaho dengan penuh keyakinan.
"Mungkin Paman Wang Xiaho benar, tapi pembunuh bertopeng kemarin malam aku yakin bukanlah Ren Zuocan, dialek yang
dipakai bukan dialek orang luar perbatasan."
"Itulah yang kita curigai, bahwa ada orang-orang dalam sendiri yang sudah diam-diam bergabung dengan Ren Zuocan."
"Jika pembunuh bertopeng itu adalah salah satu di antaranya, maka orang-orang yang terlibat juga bukan ikna-ikan teri.
Tapi tokoh kenamaan dalam dunia persilatan. Dari cerita Paman Li Yan Mao dan yang lain, bisa kita bilang ada lebih dari satu atau dua tokoh yang sudah menyeberang dan berkhianat pada negaranya. Untuk menghadapi mereka tidak cukup,
kita-kita yang ada sekarang ini."
"Ya, memang kekuatan kita sekarang ini jelas masih jauh dari cukup.", ujar Li Yan Mao sambil menghela nafas.
"Itu sebabnya, meskipun masalah pertama tidak boleh dilupakan, tapi yang lebih penting adalah masalah yang kedua,
karena pada sukses tidaknya mengurus masalah yang kedua inilah, dua masalah yang lain bergantung.", jawab Ding Tao
menutup uraiannya. "Hmm" benar juga, lalu bagaimana rencana ketua mengenai masalah yang kedua ini?", tanya Li Yan Mao.
"Justru dalam hal ini aku belum punya pegangan yang jelas, jika paman-paman sekalian punya usul tentu akan sangat
membantu.", jawab Ding Tao terus terang.
"Untuk maju menjadi calon Wulin Mengzhu, jelas kau harus punya dukungan yang kuat dari banyak orang dalam dunia
persilatan, jika tidak maka hanya akan jadi bahan tertawaan. Itu sebabnya tidak selalu orang yang paling tangguh dalam
dunia persilatan yang menjadi Wuling Mengzhu", kata Wang Xiaho.
Li Yan Mao menimpali pula, "Dan keputusan untuk membentuk satu perkumpulan adalah langkah awal yang cukup baik,
dengan begitu ada wadah yang jelas bagi mereka yang ingin mendukung dirimu. Tidak ada salahnya mulai dipikirkan juga
nama yang akan dipakai. Mungkin sepertinya tidak penting, tapi dalam operasinya sehari-hari tentu akan menyulitkan bila perkumpulan kita tidak bernama."


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian Li Yan Mao dan Wang Xiaho saling menimpali, saling mengisi, perlahan-lahan, bentuk dari perkumpulan yang
dibentuk Ding Tao makin menunjukkan wujudnya. Diskusi mereka itu berlanjut hingga larut malam. Saat akhirnya sudah
dicapai satu kesepakatan, tiap-tiap orang sudah beberapa kali menguap menahan kantuk.
"Sebaiknya kita beristirahat sebentar, jika memang ingin pergi menyusul Chou Liang dan yang lain besok pagi-pagi benar", kata Tabib Shao Yong, disetujui dengan anggukan kepala oleh yang lain.
"Kalian pergilah beristirahat lebih dulu. Aku akan menemui saudara-saudara yang ada dan menjelaskan bahwa besok kita
akan pergi menelusuri jejak Tiong Fa, sementara itu mereka bisa mempersiapkan perkumpulan yang akan kita dirikan", ujar Li Yan Mao.
"Kalau begitu, uang yang sudah terkumpul kemarin biarlah aku titipkan saja padamu", kata Tabib Shao Yong sambil
menyerahkan kantung uang kepada Li Yan Mao.
"Hoo" Tabib Shao Yong, jangan bilang kalau selama ini uang itu selalu kau bawa ke manapun kita pergi", ujar Li Yan Mao
sambil mengangkat alis. "Hehehe, kenyataannya demikian, menyimpan uang banyak orang hati jadi berdebar terus, akhirnya supaya hatiku tenang,
kubawa-bawa saja terus kantung uang itu. Jumlahnya mungkin tidak seberapa, tapi itu tanda kepercayaan dari kalian
semua", jawab Tabib Shao Yong sambil tersenyum.
"Hmm" ya, secara keuangan perkumpulan kita masih terlalu miskin. Aku harap nama besar keluarga Huang di masa lalu
bisa membantu kita.", ujar Li Yan Mao.
"Keuangan Biro Pengawalan Golok Emas dakan segera aku masukkan ke dalam kas perkumpulan kita, moga-moga bisa jadi
sedikit bantuan", ujar Wang Xiaho.
"Paman Wang Xiaho, tidak perlu begitu, apakah tidak sayang dengan tabungan bertahun-tahun?", ujar Ding Tao.
"Heh, uang tidak akan kubawa mati, ada tujuan bagus kenapa harus disayang, setidaknya sekarang aku yakin uang itu tidak akan habis sia-sia", jawab Wang Xiaho.
"Benar, perkumpulan yang nantinya dibangun adalah penyatuan segala usaha dan jerih payah kita untuk mencapai satu
tujuan yang sama. Kita semua rela berkorban nyawa demi tercapainya tujuan, apalah artinya sedikit uang", ujar Li Yan Mao.
"Ayolah, kita segera kembali ke penginapan, tidak akan ada habisnya kalau mau dibicarakan", ujar Tabib Shao Yong sambil bangkit berdiri, diikuti oleh mereka yang lain.
Setelah selesai memberikan penghormatan kepada yang meninggal dan berpamitan pada keluarga mereka, Ding Tao dan
kawan-kawan pun pergi untuk beristirahat. Kecuali Li Yan Mao yang masin menyempatkan diri untuk meninggalkan pesan
pada saudara-saudara yang masih berjaga. Tapi sebelum Ding Tao dan yang lain mencapai penginapan, Li Yan Mao sudah
menyusul mereka. Bersama-sama mereka sampai di penginapan dan beristirahat. Esok paginya mereka bergegas pergi ke
Jiang Ling, untuk berkumpul kembali dengan Chou Liang dan yang lainnya. Bayangan Ma Songquan dan isterinya tidak juga
kelihatan sejak semalam hingga mereka meninggalkan Wuling, namun Ding Tao dan yang lain tidak mengkhawatirkan
sepasang jagoan yang sudah malang melintang dan membuat nama di dunia persilatan tersebut.
Perjalanan mereka tidak mengalami banyak hambatan, dalam waktu yang relatif singkat Ding Tao dan pengikut-
pengikutnya sampai juga di kota Jiang Ling. Di dalam kota, petunjuk yang diberikan Qin Bai Yu terasa sangat berguna, jika bukan oleh petunjuk-petunjuk darinya mungkin Ding Tao dan rombongan kecilnya akan butuh waktu cukup lama untuk
menemukan Penginapan Keluarga Cang, penginapan itu dikelola oleh seisi rumah. Dari Tuan Cang hingga anak-anaknya.
Suasana yang ditawarkan pun sangat lebih terasa seperti berada di rumah seorang teman daripada sedang berada di
sebuah penginapan. Dengan cepat Ding Tao dan rombongannya merasa akrab dengan pemilik penginapan tersebut dan betah tinggal di
penginapan keluarga Cang tersebut.
Satu hari lewat tanpa kejadian apa-apa, tidak ada seorang pun yang muncul di penginapan keluarga Cang, tidak Chou
Liang, tidak pula yang lain. Baru pada malam hari kedua Qin Bai Yu menemui mereka diam-diam.
Ding Tao terbangun ketika dia mendengar sebuah ketukan pelan dari luar jendela kamarnya. Bergegas dia membuka
jendela perlahan tanpa suara.
"Qin Bai Yu?", bisiknya dengan bersemangat.
Cepat Qin Bai Yu masuk ke dalam kamar tanpa suara, segera dia memberi hormat pada Ding Tao, "Ketua Ding Tao."
"Bagaimana dengan yang lain" Baik-baik saja bukan?", tanya Ding Tao dengan sedikit nada khawatir dalam suaranya.
"Baik-baik saja ketua, semuanya baik-baik saja. Kami sudah berhasil memastikan keberadaan Tiong Fa di sini.", jawab Qin Bai Yu.
"Ah, baguslah kalau begitu, tunggu sebentar di sini, aku akan membangunkan saudara yang lain", kata Ding Tao.
"Jangan ketua, aku tidak punya waktu banyak, aku ke mari hanya memberikan pesan dan kemudian harus segera kembali
ke tempat pengintaian kami. Saudara Tang Xiong yang di sana, sudah berjaga cukup lama, dia tentu perlu beristirahat."
"Oh, begitu, baiklah ada pesan apa?"
"Paman Chou Liang memintaku untuk memberikan pesan ini, kita bertemu besok di tempat ini.", ujar Qin Bai Yu sambil
menyerahkan selembar kertas kecil.
Ding Tao membuka dan membacanya, di sana tertera nama sebuah tempat dan sebuah denah kasar, "Hmm.. baiklah,
kapan waktunya ?" "Selepas pagi, menjelang tengah hari, kebanyakan penduduk sedang tidur siang jadi Ketua dan saudara yang lain akan
mendapati jalan tidak ramai di sana. Lewat jalan kecil ini ketua akan sampai di markas sementara kita.", jawab Qin Bai Yu.
"Baik, aku mengerti, sekarang kau hendak pergi ke tempat pengintaian?", tanya Ding Tao sambil tersenyum ramah.
"Ya ketua, Saudara Tang Xiong bisa mengomel berjam-jam kalau aku datang terlampai lama", sahut Qin Bai Yu sambil
tersenyum kecil. Rupanya Qin Bai Yu yang pemalu pun mulai tertular sifat Tang Xiong dan Chou Liang yang suka beradu mulut.
Ding Tao mengangguk sambil menepuk pundak pemuda itu dia berkata, "Baiklah, pergilah, hati-hati dalam tugasmu."
Seperti kedatangannya, kepergiannya pun dilakukan dengan diam-diam. Ding Tao masih memandangi jalanan yang kosong
dan menajamkan telinga, sebelum akhirnya dia menutup jendela dan pergi untuk tidur kembali. Tidak mudah untuk tidur
kembali, ada berbagai perasaan yang selalu mengejar-ngejarnya, sejak dia mengetahui penyerangan atas keluarga Huang.
Ada rasa sedih, rasa bersalah dan akhir-akhir ini timbul perasaan marah dan dendam pada Tiong Fa. Ding Tao yang
berusaha untuk selalu menyadari gejolak perasaan dan pikirannya, akhirnya memilih untuk bermeditasi dan memfokuskan
pikiran pada hal lain. Keesokan paginya Ding Tao memberitahu teman-teman yang lain tentang pertemuannya dengan Qin Bai Yu semalam.
Setelah satu hari lewat tanpa ada kabar berita, berita ini membuat semangat mereka jadi bangkit kembali.
"Syukurlah tidak terjadi apa-apa, aku sudah khawatir kita terlalu lama menghabiskan waktu di Wuling. Jika sampai terjadi sesuatu pada saudara yang ada di sini, tentu akan sangat menyesal sekali", ujar Wang Xiaho sambil menghembuskan nafas
lega. Ding Tao tersenyum mengerti, bagi Wang Xiaho yang tidak memiliki masa lalu sebagai bagian dari keluarga Huang, tentu
saudara-saudara yang ada di Jiangling lebih dekat di hatinya daripada mereka di Wuling yang sempat berdiri di pihak yang bertentangan.
"Ya, syukurlah tidak terjadi apa-apa. Siang ini kita akan pergi ke markas sementara dan bertemu lagi dengan mereka.", ujar Ding Tao dengan ringan, hatinya juga merasa lega sejak bertemu dengan Qin Bai Yu semalam.
Mereka berangkat dari penginapan keluarga Cang sebelum matahari sampai tepat di atas kepala, sampai di tempat yang
dituju, tepat pada saat makan siang. Rumah yang dijadikan markas sementara terletak di seberang kantor cabang keluarga
Huang. Pintu belakang rumah itu dihimpit oleh beberapa bangunan lain, sehingga menyerupai sebuah lorong kecil yang
tidak diduga oleh orang yang lewat. Jika Qin Bai Yu tidak memberikan peta pada Ding Tao, merekapun akan kesulitan untuk mendapati jalan belakang dari rumah itu. Tapi dengan peta itu, Ding Tao dan rombongan kecilnya berhasil memasuki rumah
itu tanpa diketahui oleh siapapun.
Ding Tao mengetuk perlahan pintu belakang rumah, satu ketukan, tiga ketukan, tiga ketukan dan satu ketukan.
"Cari siapa?" , terdengar dari dalam orang bertanya.
"Mencari Paman Wang", jawab Ding Tao.
"Paman Wang sedang keluar, sebaiknya kalian kembali sore nanti."
"Tapi saat matahari terbenam, langit sudah gelap, kami bekerja di terang hari dan bukan dalam kegelapan."
Pintu terbuka dan dari dalam terlihat wajah Tang Xiong yang menyengir lebar, "Selamat datang Ketua, selamat datang
semuanya, jangan salahkan aku kalau kode rahasianya kedengaran aneh. Chou Liang memaksa kami untuk menggunakan
kode rahasia." Sambil tertawa-tawa, mereka semua masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian, terdengar ketukan pintu dengan irama
yang berbeda. Tang Xiong kembali ke belakang pintu dan melakukan sederetan percakapan dengan orang yang mengetuk,
sebelum membukakan pintu. Muncul Liu Chun Cao yang berpakaian seperti seorang pengemis.
Ding Tao-lah yang pertama-tama berseru, "Pendeta Liu Chun Cao, apakah tadi itu adalah dirimu yang kulihat sedang
mengemis di pinggir jalan?"
"Wah, mata Ketua Ding Tao benar-benar tajam, kukira samaranku sudah cukup sempurna", jawab Liu Chun Cao sambil
tertawa. "Ah, Pendeta Liu Chun Cao, jika kau tidak datang dengan samaran yang sama, tentu aku pun tidak akan mengetahuinya",
jawab Ding Tao masih dengan sorot mata kagum.
"Chou Liang menugaskan Pendeta Liu untuk berjaga di belakang kalian, siapa tahu ada orang yang mengenali dan kemudian
membuntuti kalian", ujar Tang Xiong sambil tertawa.
"Chou Liang itu benar-benar seekor musang, untung saja dia ada di pihak kita", sahut Li Yan Mao sambil tersenyum.
"Omong-omong, di mana Chou Liang" Apakah dia sedang keluar?", tanya Wang Xiaho.
"Ya, tapi sebentar lagi tentu akan kembali", jawab Tang Xiong.
Sambil berjalan menuju ke ruang utama mengikuti Tang Xiong dan Liu Chun Cao, Li Yan Mao bertanya pula, "Pergi ke mana
orang itu?" "Silahkan duduk ketua", ujar Tang Xiong saat mereka sudah sampai di ruang utama, sambil menarik sebuah bangkut untuk
Ding Tao. Beberapa saat kemudian, mereka semua sibuk menata bangku dan mengistirahatkan sejenak tubuh mereka di atas bangku,
sementara Tang Xiong menuangkan secangkir teh untuk Ding Tao dan yang lain sibuk melayani diri sendiri. Setelah semua
bisa duduk dengan enak dan menikmati sedikit minuman dan cemilan yang ada, baru Tang Xiong menjawab pertanyaan Li
Yan Mao. "Saudara Chou Liang, setiap hari tentu menyempatkan diri untuk berkeliling kota dan mencoba merekrut beberapa orang
untuk menjadi informan bagi perkumpulan kita. Dalam dua tiga hari ini dia sudah berhasil mendapatkan 4-5 orang yang
bekerja bagi dirinya."
"Wah, benar-benar orang satu ini sangat bersemangat dalam bekerja", puji Wang Xiaho.
"Hehehe, ya memang, terlalu bersemangat sampai membuat kita jadi malu hati untuk bermalas-malasan", jawab Tang
Xiong. Ding Tao mendengarkan itu sambil tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala, merasa senang dengan cara kerja Chou
Liang, sekaligus teringat pula dengan pemilik kedai di dekat rumah Mao Bin. Sekarang dia sudah mendapatkan orang yang
tepat untuk dipercaya dalam mengurus jaringan informasi bagi perkumpulan mereka.
"Chou Liang memang cerdik dan berpandangan jauh ke depan, memiliki jaringan informasi seperti yang sedang dia bentuk,
tentu sangat menguntungkan pergerakan kita. Sun Tzu mengatakan, tahu akan diri sendiri memenangkan sebagian
pertempuran dan kalah di sebagian yang lain. Tahu diri sendiri dan tahu lawan, tidak terkalahkan dalam setiap
pertempuran. Lawan yang kita hadapi bersembunyi dalam kegelapan, jika kita ingin menang melawan mereka, maka sambil
menyembunyikan kekuatan sendiri, berusaha mencari tahu kekuatan lawan", ujar Liu Chun Cao menjelaskan dan disambut
oleh anggukan kepala oleh yang lain.
"Wah, tidak kusangka, kepalamu yang kurus kering itu ternyata berisi bermacam-macam ilmu juga", kata Wang Xiaho
berolok-olok. Liu Chun Cao dan Tang Xiong saling berpandangan kemudian tertawa, Liu Chun Cao kemudian menjawab, "Jangan salah,
perkataan itu hanya kujiplak dari Chou Liang saja. Aku sendiri meskipun bisa mengerti maksudnya tentu tidak bisa
menjabarkannya dengan cara demikian."
Jawaban Liu Chun Cao yang jujur disambut gelak tawa oleh yang lain.
Li Yan Mao yang terlihat puas dengan cerita kawan-kawannya kemudian berkata, "Ketua Ding Tao mendapatkan bantuan
Chou Liang, benar-benar menunjukkan dukungan langit pada usahanya. Seperti Liu Bei yang berjodoh dengan Zhuge
Liang." "Ya, ya aku setuju, asal Saudara Li Yan Mao jangan kemudian menyamakan diri dengan Zhao Yun, karena aku tidak bisa
membayangkan seorang Zhao Yun yang tidak bergigi", ujar Tang Xiong menyahut membuat ruangan itu semakin penuh
dengan tawa. Pada saat itu terdengar sebuah kelenengan kecil berbunyi, Tang Xiong segera melompat berdiri sambil berseru, "Astaga,
aku lupa berjaga di pintu belakang, Chou Liang bisa mengomeliku sepanjang malam."
Bergegas Tang Xiong berlari menuju ke pintu belakang, sementara Liu Chun Cao tertawa ringan. Wang Xiaho yang melihat
kejadian itu pun dengan heran bertanya, "Suara kelenengan apa itu dan mengapa Tang Xiong tiba-tiba berlari seperti
kesetanan?" "Haha, kelenengan kecil itu beberapa dari jebakan yang kita pasang di sekitar rumah, tujuannya bukan untuk mencelakai
orang, hanya untuk memberitahukan pada kita jika ada orang yang datang ke rumah ini dan lewat jalan mana mereka ke
mari. Tang Xiong lari seperti kesetanan, karena hari ini adalah tugasnya untuk berjaga di pintu belakang, tapi saat kalian datang dia lupa pada tugasnya.", jawab Liu Chun Chao sambil tertawa kecil.
"Oh begitu rupanya, kalau begitu jalan mana lagi yang bisa digunakan untuk ke rumah ini dan siapa yang berjaga di sana?", tanya Wang Xiaho lebih lanjut.
"Tentu saja ada pintu depan, Qin Bai Yu yang berjaga di sana. Sisi kiri dan kanan diapit oleh bangunan lain jadi kita tidak berjaga di sana. Tapi di tingkat dua ada jendela yang bisa dilalui orang karena tidak ada yang bisa berjaga di sana, maka kami memutuskan untuk menutup saja jalan dari tingkat dua ke lantai ini dengan papan-papan kayu."
"Hohoho, lawan boleh saja lewat tapi kita tidak akan terperangkap oleh kejutan lawan. Bagus-bagus, apakah ini juga diatur oleh Chou Liang?", tanya Li Yan Mao.
"Tentu saja, sejak kita sampai di sini, bisa dikatakan Chou Liang yang mengatur segala sesuatunya", jawab Liu Chun Cao
tanpa merasa malu. Memang demikianlah sifat Liu Chun Cao, jika ada orang yang dia anggap lebih baik dari dirinya, dia tidak akan malu-malu mengakui hal itu. Sebaliknya jika ada orang yang dipandang rendah oleh dirinya, meskipun seluruh dunia hendak memuji
orang itu, dia tidak akan ambil peduli. Dia tidak akan sudi memberikan kata-kata yang baik mengenai orang itu, pun jika hal itu menguntungkan dirinya.
"Lalu siapa yang berjaga untuk mengamati pergerakan Tiong Fa?", tanya Ding Tao.
"Saat malam, kita semua berkumpul dan salah satu dari kita akan pergi mengawasi Tiong Fa. Tapi di pagi hari, ada orang-
orang hasil rekrut Chou Liang yang mengerjakan hal itu.", jawab Liu Chun Chao.
"Ah", kalian semua tentu kurang tidur beberapa hari ini", desah Ding Tao sambil memandangi wajah Liu Chun Chao yang
terlihat lelah meskipun terpancar juga ekspresi puas di wajahnya.
Kepuasan yang muncul karena telah bekerja keras demi sesuatu yang berarti, sambil tersenyum dia menjawab, "Sama
sekali tidak ada masalah. Sedikit tidur baik juga buat mendisiplinkan diri."
"Hm.. sekarang kami ada di sini, kalian boleh beristirahat dengan puas. Biarlah untuk satu-dua hari ini kami yang
menggantikan kalian mengerjakan tugas-tugas yang ada.", ujar Li Yan Mao penuh semangat.
"Haha, ya aku tahu, tentu saja aku tidak akan membiarkan kalian bersantai-santai besok pagi. Bukankah dua hari ini kalian sudah cukup beristirahat.", jawab Liu Chun Cao.
"Heh, ya dua hari ini kami sudah beristirahat dengan sangat nyaman, aku yakin hal ini bukan pula hasil pemikiranmu, tapi hasil pemikiran Chou Liang, benar tidak?", ujar Wang Xiaho sambil menyodok kawan lamanya itu.
"Hehehe, tentu saja, kalau terserah aku, akan kupaksa kalian bekerja begitu kalian menginjakkan kaki di kota ini", jawab Liu Chun Cao.
"Pendeta Liu Chun Cao, boleh kutahu apa saja yang sudah kalian dapatkan tentang Tiong Fa selama beberapa hari ini?",
tanya Li Yan Mao setelah tawa mereka mereda.
"Hmm.. soal itu biarlah dijelaskan oleh Chou Liang saja, dia sudah bersusah payah mengatur rencana dan bekerja, kukira
lebih pantas jika dia saja yang menjelaskan apa yang kami dapatkan selama beberapa hari ini.", jawab Liu Chun Cao.
Derit pintu terdengar dan suara langkah kaki yang mendekat memberi tahukan mereka ada yang sedang berjalan ke arah
ruangan utama di mana mereka sedang bersantai. Tidak lama kemudian muncul Chou Liang yang segera pergi untuk
menghormat pada Ding Tao.
"Ketua Ding Tao, selamat datang", ujarnya sambil membungkuk hormat.
"Tidak perlu sungkan-sungkan, kudengar kau sudah bekerja keras beberapa hari ini", jawab Ding Tao sambil berdiri dan
menarik sebuah bangku untuk Chou Liang duduk.
Cara Ding Tao menunjukkan betapa dia menghargai hasil kerjanya membuat Chou Liang merasa terharu dalam hati. Di luar
tentu saja hal itu tidak dia tunjukkan, senyum setengah senyum setengah tidak masih saja menempel di wajahnya. Namun
senyumnya yang setengah mengejek, tidak lagi menyebalkan hati yang melihatnya. Chou Liang tidak punya kemampuan
limu silat, namun Liu Chun Cao dan yang lain, yang bisa saja menghajarnya dengan sebelah tangan, menunjukkan rasa
hormat mereka pada orang itu. Rasa hormat yang timbul dari pengakuan akan kelebihan-kelebihan dalam diri Chou Liang.
Bukan hanya kecerdikan dan kepandaiannya, tapi terlebih lagi pada pengabdiannya pada apa yang menjadi tanggung
jawabnya. "Terima kasih banyak ketua, memang benar sudah kukerjakan beberapa hal sepanjang beberapa hari ini. Namun hasilnya
masih jauh dari memuaskan.", jawab Chou Liang.
"Nah, nah, jangan terlalu keras pada diri sendiri, sekarang coba aku ingin mendengar apa hasil yang kau dapatkan selama beberapa hari ini", ujar Ding Tao sambil tertawa.
Chou Liang ikut tertawa kemudian berkata, "Yah, memang hasilnya tidak cukup memuaskan, tapi aku yakin orang lain tidak
akan bisa mendapatkan hasil sebaik yang kudapatkan."
Jawaban Chou Liang ini disambut tawa oleh yang lain, Li Yan Mao menyeletuk, "Nah, ini lebih mirip Chou Liang yang aku
kenal." Celetukan Li Yan Mao ini membuat tawa beberapa orang semakin keras. Setelah puas dengan tertawa, mereka pun kembali
memusatkan perhatian pada Chou Liang, karena mereka yakin akan mendengar hal-hal yang cukup penting dari orang ini.
Mengitarkan pandangan ke sekitarnya, Chou Liang mengangguk dan kemudian memulai penjelasannya.
"Seperti yang kukatakan, tidak banyak yang berhasil kami ketahui dalam beberapa hari ini.", ujar Chou Liang membuka
penjelasannya. Dari caranya berbicara terlihat Chou Liang menikmati saat-saat seperti ini, di mana kekurangannya dalam hal fisik, bisa dia kompensasikan dengan pengamatannya yang tajam. Orang toh tidak perlu rendah diri akan kekurangan yang dibawa sejak
lahir, selama dia bisa berjuang untuk memaksimalkan bakat dan kelebihan yang dikaruniakan pada dirinya. Orang
seharusnya lebih malu, jika dia dikaruniai tubuh yang sehat atau akal yang cerdik, tapi menggunakannya melulu untuk
kepentingannya sendiri, sehingga dia bukan memberikan manfaat pada kehidupan di sekitarnya, melainkan menjadi benalu
bahkan ancaman bagi orang-orang di sekitarnya. Orang semacam ini jelas lebih busuk daripada seorang cacat yang
hidupnya tergantung pada kebaikan orang lain.
Chou Liang bukan orang busuk, dia juga bukan seorang cacat yang membebani kehidupan orang lain, dia adalah seorang
cacat yang masih memiliki kelebihan dibandingkan kebanyakan manusia dan dia mengasahnya sedemikian rupa hingga
kelebihannya itu bersinar dan kemudian menggunakannya demi suatu tujuan yang baik.
"Hasil pengamatan kami yang pertama adalah, bisnis usaha keluarga Huang berjalan seperti biasa, tanpa ada kendala yang
berarti. Meskipun keluarga Huang sudah musnah, namun roda mesin penghasil uang mereka masih bekerja dengan
kapasitas penuh." "Hasil pengamatan kami yang kedua, orang-orang penting yang berhubungan keluarga dengan Tuan besar Huang Jin,
mereka yang dipercaya untuk mengepalai cabang Jiang Ling, tidak pernah terlihat lagi, beberapa saat setelah terjadinya
pembunuhan besar-besaran dalam keluarga Huang."
"Hasil pengamatan kami yang ketiga menunjukkan bahwa kesetiaan orang-orang dalam keluarga Huang, tidak sepenuhnya
beralih pada Tiong Fa. Setiap 2-3 minggu sekali, akan ada orang asing yang datang berkunjung ke cabang Jiang Ling ini. Ia akan menetap selama 1-2 hari, kemudian pergi kembali. Orang asing ini tidak pernah menunjukkan wajahnya secara jelas,
bahkan di dalam rumah sekalipun, hanya Tiong Fa seorang yang menemui orang asing ini."
"Hal-hal ini berhasil kami ketahui setelah kami mencoba menjalin hubungan dengan beberapa orang bekas keluarga Huang
yang ada di Jiang Ling ini lewat Qin Bai Yu dan Tang Xiong. Selama kami mengawasi, kami juga melihat orang asing yang
mereka ceritakan itu, baru saja sampai di kota Jiang Ling, kira-kira 1 hari sebelum kedatangan ketua."
"Ah" jangan-jangan itu pembunuh yang membunuh Mao Bin dan beberapa saudara-saudara yang lain.", ujar Li Yan Mao
begitu mendengar adanya orang asing yang datang 1 hari lebih dulu dari mereka.
"Ada kemungkinan begitu, Chou Liang dari arah mana orang itu memasuki kota, apakah kau tahu?", tanya Ding Tao.
"Dari Wuling, kebetulan waktu itu kami mengawasi jalan dari Wuling untuk melihat apakah ketua dan kawan-kawan yang
lain datang. Apakah ada orang lain yang terbunuh selain Mao Bin" Apakah kalian bertemu dengan pembunuhnya?", tanya
Liu Chun Cao dengan tertarik, matanya berpindah dari satu orang ke orang yang lain.
Wang Xiaho, Tabib Shao Yong dan Li Yan Mao saling berpandangan, sedangkan Ding Tao sedang terdiam, sibuk oleh
pikirannya sendiri. Wang Xiaho akhirnya berkata pada Li Yan Mao, "Sebaiknya kau saja yang bercerita."
Li Yan Mao mengangguk kemudian menceritakan dengan serba singkat tentang apa saja yang terjadi selama mereka berada
di kota Wuling. Mendengar kisah Li Yan Mao, Chou Liang dan kawan-kawan terdiam untuk beberapa saat lamanya, pikiran mereka bekerja
mencerna kejadian yang baru saja dituturkannya.
"Benar-benar mengejutkan" Sepasang Iblis Muka Giok?", ujar Liu Chun Cao sambil menggelengkan kepala tak percaya.
Chou Liang merenungi setiap detail kejadian, kemudian dia melihat ke arah Ding Tao yang masih terdiam merenungi
penjelasan Chou Liang sebelumnya.
"Ketua", ketua Ding Tao.", ujar Chou Liang berusaha mendapatkan perhatian dari Ding Tao.
"Ah ya, ada apa Saudara Chou Liang?", tanya Ding Tao, lepas dari lamunannya.
"Ketua Ding Tao, kau yang pernah berhadapan langsung dengan pembunuh Mao Bin, menurutmu apakah kau bisa
mengalahkannya satu lawan satu, jika kau harus bertarung melawan orang itu lagi?", tanya Chou Liang.
Mendengar pertanyaan Chou Liang itu, kepala setiap orang diarahkan ke arah Ding Tao, ingin tahu jawaban Ding Tao. Ding
Tao tidak langsung menjawab, tapi berpikir beberapa lama sebelum perlahan-lahan dia menjawab, "Hal yang sama sudah
aku pikirkan selama beberapa hari ini, kurasa, asal diberikan waktu beberapa hari lagi untuk merenungkan dan melatih
diriku untuk menghadapi jurus-jurus pedangnya yang sulit diduga. Ada kemungkinan cukup besar, kali kedua kami
bertarung aku bisa mendapatkan kemenangan."
Jawaban Ding Tao yang optimis membangkitkan semangat para pengikutnya. Wajah Chou Liang sedikit menegang sebelum
kemudian berkata, "Kalau begitu aku ingin mengusulkan agar kita menyerang Tiong Fa sekarang secara berterang."
"Wah, apa maksudmu" Kedudukan mereka sedang kuat-kuatnya, sebelumnya kami sudah sempat berdiskusi dengan Ketua
Ding Tao dan kami berpikir, langkah yang terbaik saat ini adalah memperkuat perkumpulan kita dengan menarik lebih
banyak lagi pengikut dan barulah kita melakukan gerakan melawan Tiong Fa.", ujar Wang Xiaho sedikit penasaran.
Ding Tao menggerakkan tangannya menenangkan Wang Xiaho, "Tunggu sebentar Paman Wang Xiaho, sesungguhnya itulah
yang kita bicarakan dan setujui sebelumnya. Tapi setelah mendengar penjelasan Saudara Chou Liang, ada beberapa bagian
yang aku sepaham dengannya, mengapa ini adalah waktu yang baik untuk menyerang Tiong Fa, lepas dari kedudukan kita
yang masih lemah." "Benarkah?", tanya Wang Xiaho.
"Dari uraian Saudara Chou Liang, bisa kita simpulkan genggaman Tiong Fa atas sisa-sisa keluarga Huang masih rapuh. Dia
berkuasa atas mereka hanya berdasarkan rasa takut. Terutama pada beberapa jagoan misterius yang berdiri di
belakangnya. Jika aku berhasil mengalahkan salah satu jagoan misterius itu dalam pertarungan satu lawan satu. Maka


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Misteri Kapal Layar Pancawarna 2 Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo Lentera Maut 3
^