Pedang Angin Berbisik 27
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 27
melesat pergi menjauhi kerumunan orang, untuk diam-diam mengambil jalan memutar dan pergi ke barat, mengejar Bhiksu
Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang terlebih dahulu pergi ke arah itu.
Suasana yang demikian ramai, tiba-tiba terasa menjadi sepi karena puluhan orang yang membikin suasana ribut
meninggalkan tempat itu. Untuk beberapa lamanya, yang tersisa di sana, saling memandang dengan mulut terkatup rapat
dan hati ngilu. Hiasan-hiasan, kursi, bangku dan meja, hidangan dan segala pernak-pernik sebuah perayaan pernikahan
telah berwarna merah. Kata orang merah adalah warna perlambang kebahagiaan. Masihkan saat ini merah berarti bahagia"
Sementara merah yang memburat ke segala arah dan menyirati segala penjuru itu berasal dari puluhan tubuh yang
sekarang membujur kaku" Tubuh dan kepala, bergelimpangan dan terserak ke mana-mana. Meski setiap orang dalam dunia
persilatan punya ambisinya sendiri-sendiri, tapi kehormatan dan kesetiaan adalah salah satu tiang di mana dunia itu
dibangun. Jangankan mereka yang tak tahu ujung pangkal dari keributan hari ini, bahkan banyak dari mereka yang datang
ke pertemuan rahasia yang diadakan Zhong Weixia pun berdiri diam tak ikut mengejar larinya Ding Tao.
Dalam hati mereka yang terdalam, selirit rasa kekaguman menyebar perlahan-lahan. Setiap mulut pun terkatup,
membungkam, merenungi dan mengheningkan cipta, bagi jiwa-jiwa yang setia.
Meradang Murong Yun Hua, tak habis pikir bagaimana Ding Tao bisa lolos dari jeratannya. Matanya menatap nanar pada
tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Jantungnya berdenyut-denyut oleh rasa amarah, menyadari kesunyian yang ada,
memandangi wajah-wajah khidmat yang berdiri mematung di sekelilingnya, seperti orang-orang yang menghadiri
pemakaman para pahlawan. Kesunyian itu pun pecah oleh seruan Huang Renfu saat Murong Yun Hua tiba-tiba terkulai lemas, pingsan, tepat jatuh di
depan pemuda itu. "Yun Hua" Yun Hua", Paman Li, Paman Tang Xiong cepat bantu aku mengangkatnya ke dalam. Sepertinya dia tak kuat
melihat apa yang terjadi di halaman ini.", seru Huang Ren Fu sambil buru-buru membopong Murong Yun Hua masuk ke
dalam. Yang dipanggil pun, bergerak tanpa sadar mengikutinya masuk ke dalam, entah apa rasa dalam hati mereka, meski mereka
sejak awal adalah orang yang bekerja bagi Murong Yun Hua, tapi melihat puluhan orang yang pernah dipanggil saudara
bergelimpangan tak bernyawa, entah kenapa, hati mereka pun rasanya kosong dan hampa. Meski di sana berdiri Sun Liang,
Sun Gao, Qin Hun dan Qin Baiyu, tak ada seorang pun yang berpikir untuk menahan mereka berempat.
Dalam waktu sekejap, dari mereka yang merupakan bagian dari sisa-sisa Partai Pedang Keadilan, hanya Tabib Shao Yong,
Hua Ying Ying dan Hua Ng Lau yang berdiri. Masing-masing dengan pikirannya sendiri-sendiri.
Keributan yang sesaat ini seperti membangunkan setiap orang dari tidurnya. Perlahan-lahan, keheningan itu pun pecah, ada yang bergerak untuk mengumpulkan mayat yang bergelimpangan, ada pula yang diam-diam pergi dari kota Jiang Ling
menyadari badai yang baru saja berlalu, ada pula yang diam-diam menyingkir hanya untuk kemudian mengamati dan
menunggu perkembangan yang akan terjadi. Kehidupan dunia persilatan pun kembali berputar, setelah terhenti sejenak
lamanya, oleh pengorbanan orang-orang Partai Pedang Keadilan.
Ding Tao berlari saja tanpa melihat kiri dan kanan, jika bukan karena Bhiksu Khongzhen membuat setiap orang yang
hendak menangkap dirinya harus mengejar ke berbagai arah, tentu cepat atau lambat dia akan tertangkap.
Tenaganya sudah banyak terkuras, baru dua atau tiga li dilampaui, langkahnya sudah melambat, dengan langkah
terhuyung-huyung, seperti seorang yang baru saja minum arak dan sekarang sedang mabuk.
Di benaknya masih tergambar jelas, tubuh Ma Songquan yang berdiri tegak tanpa kepala, untuk kemudian jatuh rebah ke
atas tanah. Kemudian Chu Linhe, Chou Liang, Liu Chuncao, Wang Xiaho", setiap wajah dan nama mereka yang jatuh
bersimbah darah, terulang dan terulang dalam benaknya sampai akhirnya pemuda itu terkulai lemas. Sebelum tubuhnya
jatuh menyentuh tanah, seseorang sudah menyambarnya dan menyangga tubuh Ding Tao yang tinggi besar itu.
"Kakak Khongti, bagaimana keadaannya?", tanya Pang Boxi yang menyusul beberapa langkah lebih lambat dari Khongti.
"Sepertinya dia kehilangan kesadaran. Adik Pang Boxi, apa yang terjadi di sana tadi?", tanya Khongti sambil membimbing
tubuh yang terkulai itu ke sisi jalan, diikuti pandang ingin tahu dari banyak orang.
Dengan singkat Pang Boxi menceritakan apa yang terjadi.
"Pantas saja, tentu guncangan batin yang dia alami sudah tidak tertahankan lagi. Sebentar lagi tentu Ketua Pendeta
Chongxan dan Kak Khongzhen akan tiba pula menyusul ke mari. Marilah kita percepat perjalanan kita ke tempat yang sudah ditentukan.", ujar Khongti sambil mempercepat langkahnya.
Pang Boxi pun segera memapah Ding Tao dari sisi yang lain, berdua mereka bergerak dengan cepat menuju tempat yang
sudah mereka siapkan sebelumnya. Memasuki sebuah rumah di antara deretan rumah di sebuah perkampungan, mereka
disambut oleh saudara-saudara mereka yang lain dan Wang Shu Lin.
"Guru" apa yang terjadi dengannya?", tanya Wang Shu Lin dengan cemas.
"Nanti saja aku ceritakan, tidak ada banyak waktu, sekarang kita jalankan rencana kedua, ada banyak orang melihat aku
dan guru Khongti memapah dia ke tempat ini.", ujar Pang Boxi menjawab pertanyaan Wang Shu Lin sementara Khongti
sudah bergegas ke bagian lain dari rumah itu.
Tidak lama kemudian terlihat empat ekor kuda keluar dari perkampungan itu, menuju jalan utama kota di mana mereka
bisa bergerak lebih cepat. Masing-masing kuda ditunggangi dua orang. Sampai di sebuah persimpangan, rombongan itu pun
berpencar ke dua arah. Dua ekor kuda menuju ke arah barat, dua ekor yang lain menuju ke arah utara. Mencapai jarak
tertentu dan sampai pada persimpangan yang lain kembali mereka berpencar, hingga akhirnya masing-masing kuda dengan
dua penunggangnya, mengarah ke empat gerbang kota yang berlainan, barat, utara, timur dan selatan. Di mana mereka
berpencar dan jalan yang mereka lalui sudah mereka pilih sejak beberapa hari sebelumnya, dengan sendirinya mereka
bergerak dengan cepat tanpa ragu-ragu dalam memilih jalan yang hendak dilalui.
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang tentunya sudah tahu rencana mereka, mengejar seakan-akan tidak
mengetahui arah yang mereka tuju. Kedua orang tokoh itu berhenti di perkampungan tempat Ding Tao dibawa masuk,
bertanya-tanya pada orang di sekitar jalan, sebelum mengejar ke arah empat ekor kuda itu pergi. Sampai di persimpangan
pertama, mereka pun berpisah. Bhiksu Khongzhen mengejar pasangan kuda yang pergi ke arah barat, sementara Pendeta
Chongxan mengejar yang pergi ke arah utara.
Beberapa waktu kemudian, dalam waktu yang hampir bersamaan Tetua Xun Siaoma, Ketua partai pengemis Bai Chungho,
Ketua partai Kongtong Zhong Weixia dan Ketua perguruan Kunlun Guang Yong Kwang, sampai pula di perkampungan
tempat Ding Tao dibawa dan mendapatkan jawaban yang sama, seperti jawaban yang diberikan orang-orang di tempat itu
pada Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, tentu saja dengan tambahan bahwa beberapa saat sebelumnya ada
seorang Bhiksu Buddha dan seorang Pendeta Tao menanyakan hal yang sama.
"Empat ekor kuda" Hmm" kukira tentunya empat ekor kuda itu akan berpencaran pula ke empat mata penjuru", ujar Bai
Chungho, mereka berempat sedang berunding setelah mendengarkan keterangan dari orang-orang yang menyaksikan hal
itu. "Tidak disangka, Ding Tao sudah menyiapkan rencana untuk melarikan diri. Apakah menurut kalian ada yang membocorkan
rencana kita ini?", tanya Guang Yong Kwang dengan alis berkerut.
"Kemungkinan itu bukannya tidak ada, rencana ini melibatkan begitu banyak orang. Semakin banyak orang kemungkinan
bocor tentu semakin besar.", ujar Bai Chungho.
Zhong Weixia menggelengkan kepala, "Tidak" meskipun ada banyak orang yang diikutkan dalam rencana ini. Jumlah
mereka yang mengetahui detail rencana ini tidak sebanyak yang terlihat. Selain itu, setiap mereka yang diikutkan sudah
diperhitungkan dengan masak dan diawasi siang dan malam."
Tetua Xun Sioma mendengus kesal mendengar nada suara Zhong Weixia yang sedemikian yakinnya dengan rencana yang
dibuat Murong Yun Hua. Zhong Weixia pun melirik tajam pada Xun Sioama tapi Guang Yong Kwang lah yang pertama kali
menanggapi dengusan Xun Sioama.
"Tetua Xun sepertinya tidak suka dengan rencana kita, sejak awal terlihat setengah-setengah dalam bertindak. Jangan-
jangan kebocoran ini bermula dari pihak Hoasan. Tetua Xun, kuharap tetua tidak lupa, penerus generasi ketua Hoasan
sekarang sudah bermarga Murong.", ujar pemuda itu sambil menatap tajam pada Xun Siaoma.
Disindir demikian kemarahan Xun Siaoma pun timbul dengan cukup keras dia balik menjawab, "Hmph! Aku tidak pernah
setengah-setengah dalam melaksanakan sesuatu demi Partai Hoasan, meski hal itu berlawanan dengan nuraniku.Jadi
jangan samakan aku dengan anak kecil yang mencari jalan pintas untuk menjadi pendekar pedang nomor satu. Kemudian
menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya demi sekantung obat."
Dibalas demikian wajah Guang Yong Kwang berubah merah padam dan dengan pedas menjawab, "Ho" ho. Hahaha, baik
sekarang ini aku memang menjadi pesuruh orang karena berusaha menjadi pendekar pedang nomor satu. Tapi kukira masih
lebih baik, daripada menjadi pesuruh orang karena tergila-gila pada paha mulus dan dada montok."
Ganti Tetua Xun Siaoma yang wajahnya berubah merah padam, dengan suara sedikit bergetar dia menjawab, "Dengar",
Pan Jun bukan orang yang gila perempuan atau silap dengan kecantikan. Dia sungguh-sungguh mencintai wanita keparat
itu!" "Hah!!! Bukankah hal itu lebih memalukan lagi" Tergila-gila pada seorang pelacur yang akan mementangkan kedua pahanya
asalkan mendapatkan keuntungan" Dan sekarang, ketua generasi Partai Hoasan yang selanjutnya adalah anak seorang
pelacur. Ya" setidaknya dia seorang pelacur kelas tinggi. Entah ada berapa orang tokoh kelas atas dalam dunia persilatan yang sudah tidur dengan ibunya.", ejek Guang Yong Kwang sambil tertawa mengejek.
Mendengar perkataan Guang Yong Kwang, kemarahan Xun Siaoma pun memuncak melewati batas kesabarannya,
tangannya pun bergerak mencabut pedang yang ada di pinggang. Tidak kalah sebat Guang Yong Kwang pun sudah bergerak
untuk mencabut pedangnya. Tapi dua orang yang lain juga merupakan tokoh dunia persilatan kelas atas, dengan tidak kalah cepat Bai Chungho dan Zhong Weixia melerai keduanya, menahan keduanya jangan sampai mencabut pedang yang ada di
tangan. "Hei hei" sabar dulu sobat, kita semua toh sama terlibat dalam hal ini. Apa pun alasannya, tidak ada untungnya jika kita bertengkar dengan sesama kawan.", ujar Bai Chungho menyabarkan Xun Siaoma.
Tapi dengan keras Xun Siaoma menepiskan tangan Bai Chungho yang menahan dirinya, Xun Siaoma sudah tidak mencabut
pedang, namun matanya menatap tajam ke arah tiga orang yang lain bergantian, sebelum berhenti pada Bai Chungho.
"Kau" kita boleh jadi sama-sama terlibat, tapi kalian bertiga, juga kau, tak sedikitpun kupandang sebagai sahabat. Tidak kusangka, Bai Chungho yang tersohor kepahlawanannya, menjual harga dirinya demi kekayaan.", ujar Xun Siaoma dengan
keras. Ucapan Xun Siaoma itu pedas, tapi Bai Chungho tidak menjadi marah, dia terkekeh saja dan berkata, "Hahaha, baiklah kau
boleh tidak menganggap aku sahabat, di depan kita bertiga kaupun boleh saja memanggilku anjing asalkan bayarannya
sesuai. Yang penting jangan sampai ucapanmu itu terdengar orang luar. Jika tidak, kujamin, ucapan Ketua Guang Yong
Kwang barusan akan terdengar seantero dunia persilatan."
Xun Siaoma sudah siap menyahut ketika Zhong Weixia berdehem dan berkata, "Sudahlah, cukup, apapun alasannya kita
semua sudah terlibat. Tetua Xun Siaoma, kau boleh saja merasa diri paling benar, tapi ucapan mereka berdua tidak salah.
Jika sampai tersebar luas apa yang dilakukan Ketua Pan Jun demi cintanya pada Nyonya Murong Yun Hua, habislah reputasi
Hoasan. Demikian juga jika sampai tersebar tentang apa yang dilakukan oleh pihak Kunlun dan partai pengemis."
Berhenti sejenak agar apa yang dia ucapkan meresap, Zhong Weixia pun melanjutkan, "Dan di antara kita berempat, kurasa
hanya aku seorang yang tidak akan kehilangan nama bila alasan dari kita masing-masing bekerja demi Nyonya Murong Yun
Hua dibongkar di depan semua orang."
Mendengar ucapan Zhong Weixia itu, ketiganya pun terdiam, meskipun masih menyimpan amarah dalam hati, tapi ancaman
halus Zhong Weixia membuat mereka terdiam. Reputasi dan nama besar, apalagi yang sudah dipupuk selama belasan
generasi, memang sangat berharga bahkan mungkin lebih berharga dari nyawa mereka sendiri. Yang jelas, lebih berharga
dibandingkan nyawa puluhan anggota Partai Pedang Keadilan. Lebih berharga dari kebenaran dan keadilan.
Dengan suara tertahan Xun Siaoma berkata, "Jadi menurut Ketua Zhong, menghamba pada perempuan itu demi beberapa
jilid kitab tidaklah memalukan?"
Zhong Weixia tersenyum mengejek dan berkata, "Dalam pandanganku tidak memalukan. Berapa jilid kitab itu toh
merupakan warisan yang hilang dari para pendiri Partai Kongtong. Bukankah yang kulakukan adalah demi membalas budi
pada partai yang membesarkanku" Sebuah bentuk bakti pada pada pendiri yang telah meninggal?"
Xun Siaoma pun hanya mendengus tanpa bisa menjawab. Aneh memang, bakti pada orang tua, bakti pada guru, seringkali
menjadi alasan untuk melakukan apa pun juga atas nama bakti. Di jaman tiga kerajaan, Cao Cao membumi hanguskan
Xuzhou, membunuh puluhan ribu orang tak berdosa, termasuk anak-anak, perempuan, orang tua tidak satu pun disisakan,
dengan alasan membalaskan dendam ayahnya. Padahal bakti pada orang tua dan mereka yang sudah berjasa dalam hidup
kita adalah sesuatu yang mulia. Tapi entah dengan cara apa, manusia seringkali punya cara, untuk menyelewengkan
sesuatu yang mulia menjadi sesuatu yang salah. Cinta, sesuatu yang mulia, terkadang dijadikan alasan untuk melakukan
perbuatan zinah. Kecintaan pada negara, bisa diselewengkan menjadi kekejian dan kekejaman. Keadilan pun diselewengkan
menjadi pembalasan dendam, sementara kemurahan dan maaf diselewengkan justru dengan membebaskan yang bersalah
dan melupakan keadilan. Mungkin benar bahwa hati manusia tak ubahnya sebuah kaca atau cermin, jika hati itu kotor, maka segala apa yang
melaluinya pun akan menjadi kotor. Meski sebuah sinar yang jernih dan cemerlang pun, ketika ditangkap oleh hati yang
kotor, maka kotor pula yang dikeluarkan.
Tidak salah jika seorang guru besar di jaman yang lalu pernah berkata, jika terang yang ada dalam diri ini menjadi gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.
Orang buta bagaimana bisa melihat dan menilai, Xun Siaoma pun hanya bisa mendengus tanpa bisa menyalahkan tindakan
Zhong Weixia yang atas nama bakti pada partai dan guru, tanpa segan-segan mengorbankan nyawa orang-orang yang tak
bersalah. Apalagi sekarang dirinya sedang berjalan di atas jalan yang sama, demi masa depan Hoasan, dia melanggar hati
nuraninya sendiri. Ketua dari Partai Hoasan, sudah beberapa generasi diturunkan secara turun temurun dan keturunan Pan
Jun adalah anak Murong Yun Hua yang di pandangan banyak orang saat ini adalah anak Ding Tao. Tapi apakah hanya demi
mempertahankan kebiasaan selama beberapa generasi Xun Siaoma mati-matian membela anak keturunan Pan Jun"
Berita ini sendiri adalah berita miring yang sempat terdengar puluhan tahun yang lalu sebeum tiba-tiba menghilang, berikut dengan menghilangnya nyawa mereka yang berani berkicau. Isi berita itu, tidak lain mengenai siapa sesungguhnya ayah
dari Pan Jun, benarkan ayahnya adalah Pan Tong, ataukah hasil kisah asmara terlarang dari Xun Siaoma dengan isteri Pan
Tong. Ya.. dalam hatinya Xun Siaoma sungguh sedang menyesali dan menangisi kesalahannya di masa muda. Tidak salah jika ada
ujar-ujar, siapa menanam angin akan menuai badai, siapa menanam kejahatan akan menuai kesengsaraan. Sayang,
bukannya belajar dari masa lalu, Xun Siaoma ternyata belum juga bisa melepaskan diri dari kegelapan hati. Bukannya
dengan rela menerima hukuman dari langit, dia justru terus memberontak dan membuahkan kejahatan yang lebih besar.
Padahal siapa yang bisa melawan aturan langit" Hukum manusia boleh tak bermata, tapi hukum Sang Pencipta terus
bekerja meskipun terkadang tak bisa terlihat langsung akibatnya.
Diamnya Xun Siaoma membuat senyum di wajah Zhong Weixia makin lebar. Dalam persekutuan yang digalang Murong Yun
Hua, dia merasa dirinya berada di atas angin. Setiap rahasia buruk sudah ada di tangannya, betapa mudahnya bagi dirinya untuk menangguk keuntungan di saat Murong Yun Hua terpeleset nanti. Yang penting sekarang adalah kesabaran dan
Zhong Weixia punya batas kesabaran yang cukup tinggi. Kenapa tidak" Setiap kali dia tidak sabar atau kehilangan kendali, emosinya akan mereda setelah dia lampiaskan kekesalannya itu pada orang lain, jika orang itu adalah lawan dari Partai
Kongtong bagus, jika tidak masih ada anak murid Partai Kongtong yang bisa dia hajar.
"Baik, kalau kita semua sudah paham dengan kedudukan masing-masing, baiklah kita lanjutkan pengejaran ini. Sudah ada
banyak waktu terbuang sia-sia.", ujar Zhong Weixia sambil melihat ke arah tiga orang yang lain.
"Tunggu, adanya empat ekor kuda, kemungkinan besar pada akhirnya keempatnya akan berpisah arah.", ujar Bai Chungho
untuk kedua kalinya. "Lalu?", tanya Zhong Weixia sedikit tidak sabar.
Tersenyum simpul Bai Chungho melanjutkan, "Kita ada empat, dengan sendirinya akan dipaksa untuk membagi tugas,
masing-masing ke arah yang berlainan. Di lain pihak, 8 dari 10 bagian aku yakin, mereka yang membantu Ding Tao
melarikan diri ini tentu sudah sekongkol pula dengan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan."
"Itu artinya, siapapun yang mengejar kuda yang benar, harus berhadapan dengan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta
Chongxan.", sambung Xun Siaoma dengan senyum simpul, hatinya merasakan sedikit kenikmatan melihat ada orang yang
berpikir lebih cermat dari Zhong Weixia.
Senyum di wajah Zhong Weixia pun menghilang, dia benci sekali, harus mengakui ada orang lain yang berpikir lebih
panjang dari dirinya, "Hmm?"
Zhong Weixia berpikir sejenak, melihat ke arah tiga orang yang lain, akhirnya sambil mendengus kesal dia mengakui
kebenaran perkataan Bai Chungho, "Hahh!!! Ya sudahlah, kita kembali saja, hentikan saja pengejaran ini!"
"Tidak" tunggu dulu, bukan begitu maksudku?", ujar Bai Chungho dengan mata berkilat tajam.
"Baik" lalu apa maksudmu?", tanya Zhong Weixia dengan geraham mengatup erat.
"Kuda boleh ada empat, tapi Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen hanyalah dua orang.", ujar Bai Chungho dengan
nada penuh kemenangan. Ya, kuda yang dikejar boleh jadi ada empat, tapi momok yang sebenarnya, yang menjadi penghalang utama hanya ada dua.
"Kita ikuti saja mereka berdua, kalaupun mereka kemudian berpencar, entah nantinya berkumpul kembali atau tetap
berpisah untuk mengaburkan jejak. Pada akhirnya kita akan menemui mereka, dua lawan satu. Boleh saja Ding Tao lepas,
tapi saat ini mereka berdua adalah penghalang yang lebih besar dari Ding Tao.", lanjut Bai Chungho.
"Benar" Ding Tao sudah terkena pengaruh Obat Dewa Pengetahuan, jika dia tidak meminum obat itu dalam waktu
beberapa bulan dia akan jadi manusia lumpuh tak berguna.", sambung Guang Yong Kwang.
"Jadi" maksudmu, kita gunakan kesempatan ini untuk menyingkirkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan?", tanya
Zhong Weixia hati-hati. Senyum kejam terbentuk di wajah Bai Chungho dan dengan suara dingin dia menjwab, "Ya?"
Tiga orang yang lain pun memandang Bai Chungho dengan berbagai perasaan berkecamuk dalam hati. Ternyata di antara
mereka berempat, Bai Chungho-lah yang paling licik dan kejam. Xun Siaoma pun bertanya-tanya dalam hati, bagaimana
bisa selama ini dia tertipu oleh penampilan Bai Chungho yang bersandiwara sebagai tokoh tua dengan watak terbuka dan
bersahabat itu. Sementara Zhong Weixia mengakui kecerdikan Bai Chungho, di saat yang sama dia menandai Bai Chungho
sebagai tokoh yang berbahaya, dalam hati Zhong Weixia sudah mengambil keputusan, jika tiba saatnya dia hendak
menumbangkan Murong Yun Hua, Bai Chungho adalah orang pertama yang dia singkirkan. Guang Yong Kwang berbeda lagi,
dalam hatinya dia mengakui kedudukannya adalah yang paling lemah di antara yang lain dan dia mulai berharap bisa
menjadikan Bai Chungho sekutu untuk bekerja sama mengimbangi Zhong Weixia yang kedudukannya lebih kuat.
"Baiklah, kita lakukan", ujar Zhong Weixia dengan perasaan pahit, karena meskipun dia berlaku sebagai pemimpin di antara mereka berempat, saat ini dia terpaksa harus menerima pendapat Bai Chungho.
Dengan perkataan itu pun mereka ber-empat bergegas mengikuti jejak Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang
sudah terlebih dahulu bergerak. Empat orang yang bekerja sama, namun dalam hati menyimpan permusuhan satu dengan
yang lain dan masing-masing memiliki pamrih yang berbeda. Zhong Weixia menghibur diri, dengan mengingatkan dirinya
bahwa rahasia busuk tiga orang yang lain ada padanya. Sementara tiga orang yang lain, terutama Bai Chungho, menghibur
diri dengan mengingat, betapa Zhong Weixia sudah dibuat malu oleh Bai Chungho, ketika Bai Chungho berhasil
menunjukkan bahwa akalnya lebih panjang dari Zhong Weixia.
Empat orang itu bukan tokoh sembarangan, dengan pengalaman dan pemikiran yang sudah matang. Buruan yang mereka
kejar selalu mereka dapatkan. Cepat atau lambat, jejak Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun akan mereka
dapatkan tapi baik Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun sudah memperhitungkan hal ini, yang terpenting Ding Tao
dan mereka yang berusaha menolongnya sudah menang waktu. Di saat Zhong Weixia dan yang lain sedang mencari jejak
mereka, Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan, Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya sudah berkumpul.
"Di mana dia" Bagaimana keadaannya?", tanya Bhiksu Khongzhen ketika akhirnya dia dan Pendeta Chongxan sampai di
tempat persembunyian sementara yang sudah mereka siapkan.
"Dia masih belum sadar tapi kurasa itu lebih karena batinnya yang tidak tahan menerima guncangan hari ini bukan keadaan fisiknya sendiri yang bermasalah.", ujar Zhu Yanyan sambil mengantar dua orang tokoh tua itu menengok Ding Tao.
Melangkah masuk ke sebuah kamar yang kecil dengan penerangan seadanya, mereka berdua melihat Wang Shu Lin yang
dengan khawatir menunggui Ding Tao yang tidak sadarkan diri. Pendeta Chongxan pun mendekat dan meraba nadi di
pergelangan tangan Ding Tao sementara yang lain memperhatikan.
"Ketua" Pendeta Chongxan, apakah dia baik-baik saja?", tanya Wang Shu Lin dengan khawatir, meskipun sudah
mendapatkan penjelasan dari gurunya, hatinya masih khawatir.
Pendeta Chongxan pun menatap lembut gadis itu, bisa dilihatnya betapa gadis itu mengkhawatirkan Ding Tao, tersenyum
lembut dia menjawab, "Tidak apa, tidak ada luka yang berbahaya, baik di dalam maupun di luar. Hanya tekanan batin yang
terlampau kuat membuat dia tidak sadar, mungkin itu yang terbaik. Untuk sementara ini kita biarkan dia saja sampai dia
sadar sendiri, kukira tidak perlu menunggu lama tentu dia akan sadar kembali."
Bhiksu Khongzhen mengangguk setuju dan melanjutkan, "Sembari menunggu Ketua Ding Tao sadar ada beberapa hal yang
perlu aku bicarakan dengan kalian."
Setelah berkata demikian Bhiksu Khongzhen berjalan ke ruangan tengah diikuti Pendeta Chongxan, enam orang guru Wang
Shu Lin pun menyusul. Wang Shu Lin yang masih merasa sedikit khawatir pada keadaan Ding Tao, sempat meragu. Namun
Shu Sun Er yang memahami perasaan Wang Shu Lin menepuk pundak gadis itu.
"Ayolah", tidak akan terjadi apa-apa padanya.", ujar Shu Sun Er.
Wang Shu Lin memandang gurunya itu beberapa saat, ketika terpandang wajah gurunya yang tenang, hatinya pun ikut
merasa lebih tenang, "Baiklah?"
Ketika Wang Shu Lin sampai di ruangan tengah, ke-enam gurunya sedang mendengarkan pesan-pesan dari Pendeta
Chongxan dan Bhiksu Khongzhen.
"Jadi kalian lihat, saat ini ada dua kemungkinan, jika kesetiaan yang ditunjukkan oleh pengikut-pengikut Ketua Ding Tao mampu menggerakkan hati banyak orang, maka selain beberapa orang penting di bawah Murong Yun Hua tidak akan ada
yang mengejar Ketua Ding Tao. Jika demikian maka di depan para pengejar ini, kepada siapa kami berpihak tentu sudah
sangat jelas." "Jika mereka masih nekad mengejar, itu artinya mereka merasa punya kesempatan untuk mengalahkan kami berdua.", ujar
Bhiksu Khongzhen. "Tapi jika ada banyak orang dunia persilatan yang ikut mengejar, kukira kami berdua masih punya kesempatan untuk
mempengaruhi mereka. Bagaimana pun juga dunia persilatan dibangun atas nilai-nilai kehormatan dan kesetiaan,
mengingkari hal itu, sama juga mencari mati buat diri sendiri. Setiap kepala geng, ketua partai atau kepala dari sebuah perguruan tidak akan berbuat sesuatu yang bisa membuat orang-orang di bawah mereka mengecilkan nilai-nilai kesetiaan.", ujar Pendeta Chongxan menimpali.
"Jika demikian ketua, kenapa kami tidak ketua ijinkan untuk ikut bersiap menghadang pengejar yang mungkin tiba" Masih
ada Wang Shu Lin yang bisa membawa Ketua Ding Tao pergi.", ujar Zhu Yanyan dengan serius.
"Hmm" bisa dikatakan pada saat ini, kekuatan kita jauh berada di bawah lawan dan kami berdua tidak ingin membuat
kekuatan di pihak kita berkurang lebih jauh lagi.", jawab Pendeta Chongxan.
"Lagipula" jika benar mereka datang dalam jumlah tak terlalu banyak", bagaimana pun juga kami berdua masih belum
bisa melepaskan sedikit ego kami. Setidaknya masih ada harga diri kami sebagai seorang pesilat, kami tidak ingin
mendapatkan bantuan orang untuk menghadapi mereka.", ucap Bhiksu Khongzhen sambil tersenyum kecil.
"Tapi kakak?" Khongti yang tidak rela melihat bahaya mengancam kakak seperguruannya hendak membantah.
"Tidak" jangan katakan apapun, pikirkan juga, apa yang akan terjadi jika ternyata mereka membawa pengikut mereka
untuk ikut mengejar. Apa artinya tambahan 6 orang lagi, kecuali mengantarkan nyawa sia-sia" Juga bagaimana jika kita
kalah dalam pertarungan itu" Bukankah itu artinya, kita dari generasi tua, meninggalkan dua orang anak muda untuk
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menolong diri mereka sendiri?", potong Bhiksu Khongzhen sambil menggelengkan kepalanya.
"Jika demikian, kenapa kakak tidak ikut menghindar dari pertarungan ini" Bukankah lebih baik jika kakak dan Ketua
pendeta Chongxan menghindar dari mereka?", tanya Khongti tidak puas dengan keputusan mereka berdua.
"Tidak" tidak", kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan, jika kami menghindar dari pertarungan, bagaimana jika
mereka berhasil menyusul kalian" Selain itu seperti yang dikatakan Saudara Khongzhen, kami masih memiliki harga diri
sebagai seorang pesilat, masakan kami hendak melarikan diri dari kumpulan orang macam mereka?", kali ini Pendeta
Chongxan yang menjawab. "Hmm" apakah kau meragukan kemampuan kami?", tanya Bhiksu Khongzhen pada Khongti.
"Ah, kakak bilang... tidak berani", tidak berani" , tapi lawan adalah orang yang licik.", ujar Khongti terbata-bata.
"Heh" apa kau kira kami sampai pada kedudukan kami sekarang hanya mengandalkan otot saja" Dari dulu pun orang-
orang licik selalu ada, bahkan ada yang berpendapat siasat adalah bagian dari ilmu silat. Jadi ini bukan yang pertama
kalinya kami berhadapan dengan lawan yang licik.", jawab Bhiksu Khongzhen sambil tertawa pelan.
Khongti sudah membuka mulutnya untuk ke-sekian kalinya ketika Zhu Yanyan menepuk pundaknya dan berkata, "Adik
Khongti sudahlah, kukira ketua berdua sudah memutuskan hal ini sejak awal."
Khongti melihat ke arah Zhu Yanyan hendak membantah, tapi ketika dia melihat wajah Zhu Yanyan yang bersedih dia tak
sanggup berkata-kata. Akhirnya Khongti hanya bisa m enundukkan kepala dan mendesah sedih.
Melihat kesedihan yang tidak bisa diungkapkan di wajah Khongti, hati Bhiksu Khongzhen pun tergerak, dengan suara parau
dia berkata, "Sudahlah, kami berdua sudah semakin tua, kalaupun bukan mati dalam sebuah pertarungan, kami akan mati
oleh karena usia. Apakah ada bedanya?"
"Hahh" yang dikatakan Saudara Khongzhen benar, usia kami sudah terlalu tua dan beberapa tahun ke depan, tokoh-tokoh
seperti Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang akan melampaui kami yang mulai dimakan usia. Memikirkan bahwa orang-
orang seperti mereka akan berada di bawah arahan seseorang seperti Murong Yun Hua membuat kami ngeri.", ujar Bhiksu
Khongzhen melanjutkan. "Pada saat itu", maka harapan kami ada pada generasi muda yang cemerlang, seperti murid kalian Nona Wang Shu Lin dan
Ketua Ding Tao. Oleh karena itu, kami bersedia mempertaruhkan nyawa kami untuk menyelamatkan nyawa Ketua Ding
Tao.", ujar Bhiksu Khongzhen menutup penjelasannya.
Pendeta Chongxan tersenyum lembut memandangi wajah-wajah sedih di sekelilingnya dan menyambung, "Tidak ada alasan
untuk bersedih, segala sesuatunya memang berjalan alami, yang tua digantikan yang muda. Tidak ada kehidupan tanpa
akhir. Satu generasi mati digantikan generasi baru, itu sudah merupakan sesuatu yang wajar."
Wang Shu Lin dan ke-enam orang gurunya pun terdiam, terharu merenungi keputusan dua orang tokoh tua itu.
"Sudahlah, ada hal yang ingin kami sampaikan pada kalian, harap kalian dengarkan baik-baik.", ujar Bhiksu Khongzhen
setelah terdiam beberapa saat.
"Pada saat kami berpura-pura menyerang Ketua Ding Tao untuk membantu dia kabur, sebenarnya kami menggunakan ilmu
simpanan kami yang merupakan inti dari berbagai ilmu yang ada di Shaolin dan Wudang. Kami sadar kemungkinan besar
peristiwa yang terjadi akan sampai pula pada titik ini dan nyawa kami mungkin sulit dipertahankan melampaui malam ini.
Sayang apa yang sudah kami capai ini, tak dapat kami wariskan pada generasi Shaolin dan Wudang yang ada pada saat
ini.", lanjut Bhiksu Khongzhen.
"Kami berharap Ketua Ding Tao dapat kami titipi inti sari dari ilmu Shaolin dan Wudang yang sudah kami pahami ini, untuk disampaikan pada generasi muda anak murid Shaolin dan Wudang nanti. Ada beberapa anak murid Shaolin dan Wudang
yang berbakat dan kami yakin akan mampu memahaminya, hanya sayang, saat ini mereka masih belum cukup matang
untuk memahaminya, sementara waktu kami semakin singkat saja.", ujar Bhiksu Khongzhen.
"Zhu Yanyan, Khongti, kau mengerti apa artinya ini" Lindungilah nyawa Ketua Ding Tao, karena di atas pundaknya telah
kami titipkan pula masa depan Shaolin dan Wudang.", ujar Pendeta Chongxan pada Zhu Yanyan.
"Karena itu jangan kalian berpikir untuk mengikuti kami mempertaruhkan nyawa, tugas kalian adalah memastikan Ketua
Ding Tao selamat. Bukan hanya sekedar selamat karena dari tuduhan-tuduhan yang disampaikan padanya hari ini, kurasa
selama ini tentu dia mengkonsumsi pula Obat Dewa Pengetahuan yang dalam beberapa hari ke depan akan mulai
menunjukkan efek buruknya. Jika hal itu benar, maka kalian juga harus mencarikan jalan untuk menyembuhkan dia.",
sambung Bhiksu Khongzhen.
"Kakak, apa maksud kakak tentang Obat Dewa Pengetahuan?", tanya Khongti tak mengerti.
Maka Bhiksu Khongzhen pun menjelaskan sedikit banyak yang bisa dia tangkap dari tuduhan-tuduhan Murong Yun Hua pada
Ding Tao tentang penggunaan Obat Dewa Pengetahuan, "Sungguh kami baru mengetahuinya pada saat itu, jika tidak,
mungkin kami akan memikirkan cara lain untuk mewariskan apa yang berhasil kami sarikan dari kumpulan ilmu warisan
Shaolin dan Wudang?"
"Tidak" kukira tidak ada cara lain yang lebih tepat, menuliskannya dalam sebuah kitab tidak ada gunanya. Dalam bentuk
tulisan, kitab-kitab yang sudah ada sudah menyampaikannya dengan cara yang terbaik dan teratur. Yang tidak bisa
disampaikan dalam bentuk tulisan, yang hanya bisa disampaikan secara langsung, disesuaikan dengan sifat, pengalaman
dan pemahaman pendengarnya.", ujar Pendeta Chongxan sambil tersenyum.
Bhiksu Khongzhen memandang sekilas pada sahabatnya itu kemudian menganggukkan kepala sambil tersenyum, "Yah" kau
benar" memang tiap-tiap kejadian menyebabkan keputusan itu diambil. Hehh" sudah kehendak langit?"
"Kakak, ada muridku Wang Shu Lin di sini, otaknya pun cukup cerdas, mengapa tidak kakak sampaikan pula pada dia?",
tanya Khongti. Bhiksu Khongzhen menggelengkan kepala perlahan, "Muridmu memang memiliki bakat yang sangat bagus. Sayangnya
dasarnya kurang kuat, kami sudah melihat keduanya bertarung di kaki Gunung Songshan dan dari apa yang kami lihat itu
kami bisa mengira-ngira sejauh mana mereka berdua sudah berjalan. Itu sebabnya kami merasa Ketua Ding Tao
merupakan orang yang tepat untuk kami titipi warisan ini."
"Tapi jika benar dia mengkonsumsi Obat Dewa Pengetahuan, bukankah itu artinya hasil yang dia capai adalah berkat
bantuan obat itu. Sekarang dengan tidak adanya obat, bukan saja kemampuannya akan menurun tapi malah ada efek buruk
dari kebiasaan mengkonsumsi obat itu.", keluh Khongti tidak puas.
"Tidak juga, jika benar dia menerima obat itu dari Murong Yun Hua, itu artinya sebelum dia mendapatkan bantuan dari obat itu, dia sudah bisa mengembangkan ilmunya hingga dia bisa menandingi Sepasang Iblis Muka Giok hanya bermodalkan ilmu
pedang keluarga Huang yang diajarkan pada anggota luar. Menilik ini saja sudah bisa dikatakan bakatnya memang luar
biasa.", ujar Pendeta Chongxan membela Ding Tao.
"Lalu bagaimana sekarang dengan keadaannya setelah mengkonsumsi Obat Dewa Pengetahuan?", tanya Zhu Yanyan.
"Itulah yang menjadi salah satu dari tugas kalian.", ujar Pendeta Chongxan sambil tertawa kecil.
"Tetua " aku berjanji akan melindungi dia dan berusaha menyembuhkan dia dari pengaruh buruk Obat Dewa
Pengetahuan.", sela Wang Shu Lin sebelum Zhu Yanyan atau Khongti sempat menyahut.
"Anak baik" anak baik", baiklah kutitipkan masa depan Wudang padamu", ujar Pendeta Chongxan sambil tersenyum.
"Hanya saja, tidak enak juga meninggalkan dunia ini dengan berhutang, supaya hatiku tidak ada ganjalan, terimalah sejilid kitab ini. Hitung-hitung kau masih termasuk anak keturunan dari Perguruan Wudang.", ujar Pendeta Chongxan sambil
mengeluarkan sejilid kitab tipis dari kantung bajunya.
"Ah tidak-tidak" tetua mengapa berkata demikian, sebaiknya jangan, jika saya terima kitab ini, kesannya saya
menerimanya dengan satu pamrih di hati", ujar Wang Shu Lin dengan tulus, berusaha menolak pemberian Pendeta
Chongxan. Bhiksu Khongzhen tertawa mendengar penolakan Wang Shu Lin, "Hahahaha, Adik Khongti, sungguh kau sudah memilih
murid yang baik. Anak Shu Lin, janganlah merasa demikian, sebenarnya kami berdua sudah memutuskan untuk
memberikan sesuatu padamu. Kami merasa sayang padamu, kau adalah murid dari adik seperguruan kami, dengan
sendirinya masih ada hubungan dengan Shaolin dan Wudang. Terimalah kitab itu dan ini dariku."
Wang Shu Lin pun merasa terharu pada kebaikan mereka berdua, sementara ke-enam gurunya melihat dengan hati senang.
Dengan hormat Wang Shu Lin menerima kitab yang diangsurkan oleh Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen.
"Terima kasih banyak, terima kasih" aku akan mempelajarinya baik-baik, aku berjanji tidak akan menggunakannya di jalan
yang salah.", ucap gadis itu sambil menerima kedua kitab yang dihadiahkan padanya.
"Kitab yang kuberikan adalah ilmu pedang ciptaanku sendiri, meskipun berdasarkan ilmu dari peguruan Wudang, tapi juga
tidak bisa dikatakan sebagai warisan Wudang, karena aku sudah memutuskan untuk mewariskannya padamu seorang.",
ujar Pendeta Chongxan. "Sedangkan kitab yang kuberikan padamu, kitab itu bukan berasal dari Shaolin. Kitab itu kudapatkan dalam
pengembaraanku di masa muda. Sifatnya lembut, lebih sesuai untuk seorang gadis, kau boleh menggunakannya dengan
bebas.", ujar Bhiksu Khongzhen.
Sekali lagi Wang Shu Lin mengucapkan terima kasih, demikian pula ke-enam gurunya ikut pula mengungkapkan perasaan
terima kasih mereka pada kedua tokoh tua yang murah hati itu. Saat perpisahan pun akhirnya tiba, Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan tidak ingin terlalu lama berada di sana. Mereka berdua tidak ingin para pengejar Ding Tao sampai terlalu dekat dengan tempat persembunyian sementara mereka. Mereka pun menyarankan agar Wang Shu Lin dan enam orang
gurunya, sesegera mungkin membawa Ding Tao pergi ke desa Hotu, segera setelah Ding Tao sadar. Dengan wajah murung
Wang Shu Lin dan ke-enam orang gurunya mengantarkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pergi, hati mereka
terasa berat, membayangkan kedua orang tokoh tua itu akan berhadapan dengan lawan-lawan tangguh di usia mereka yang
sudah lanjut. Apalagi keduanya seperti bersiap hendak meninggalkan dunia ini, dengan pesan-pesan juga warisan yang
mereka berikan pada generasi muda. Seperti sebuah pertanda buruk sebelum berangkat berperang.
Melihat wajah muram mereka, Bhiksu Khongzhen tertawa lepas, "Sudahlah, segala sesuatunya belum ada kepastian, tidak
perlu terlalu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi."
Dengan perkataan itu, mereka pun berpamitan dan meninggalkan tempat itu. Perhitungan mereka berdua jarang meleset,
jika sekarang ini mereka pun seperti mendapat firasat akan akhir hidup mereka, kemungkinan besar keberangkatan mereka
ini benar-benar menyongsong maut. Namun meski maut membayang di depan mata, keduanya berjalan dengan tenang,
dengan hati bersih seperti air di danau yang tenang. Bisa hidup sesuai dengan nurani, matipun tidak ada yang disesali,
keduanya , menghadapi kematian seperti sepasang sahabat yang hendak pergi makan siang, semuanya diterima sebagai
satu kewajaran. Kematian memang tidak terelakkan, tidak satu pun di antara kita mampu lari dari kematian, tapi betapa susah untuk
menerimanya sebagai satu kewajaran.
Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya berdiri di pelataran memandangi punggung kedua orang itu sampai dua sosok tua itu
menghilang dalam kegelapan malam. Satu per satu kemudian kembali memasuki rumah tempat mereka bersembunyi
menanti Ding Tao sadar dari pingsannya. Khongti dan Zhu Yanyan adalah yang terakhir masuk ke dalam rumah.
Sementara yang pertama kali dilakukan Wang Shu Lin setelah memasuki rumah, adalah pergi untuk melihat keadaan Ding
Tao. Ketika dia memasuki kamar, dilihatnya Ding Tao sedang duduk termenung, tidak menyadari kehadirannya sama sekali.
Samar-samar terdengar dia bergumam.
"Ma Songquan, Chu Linhe, Chou Liang, Liu Chuncao, Chen Wuxi, Wang Xiaho, Fu Tong, ?"
Demikian Ding Tao menyebutkan satu per satu, nama pengikutnya yang hari itu berhadapan dengan kematian. Hati Wang
Shu Lin ikut terasa pedih melihat keadaan Ding Tao. Diam-diam dia keluar dari kamar.
"Guru, dia sudah sadar", ucapnya pada ke-enam orang gurunya.
"Benarkah" Bagus", dengar aku sudah berpikir, sebaiknya tiga orang dari kita kembali ke Jiang Ling diam-diam.
Mendengarkan berita-berita, yang lainnya bersama Wang Shu Lin akan mengawal Ketua Ding Tao ke Desa Hotu. Bagaimana
menurut kalian?", kata Zhu Yanyan menengok pada lima orang yang lain.
"Aku setuju, biar aku ikut dengan kakak menyerap berita di Jiang Ling.", ujar Khongti dengan cepat.
Empat orang yang lain saling pandang dalam hati segera mengerti, dua orang ini tentu merasa khawatir dengan keadaan
kakak seperguruan mereka, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Membuat dua orang tokoh tua itu membatalkan niat
mereka juga tidak mungkin, karena keduanya punya alasan yang cukup kuat. Melanggar pesan keduanya untuk tidak
membantu juga tidak berani, sehingga akhirnya yang bisa dilakukan hanyalah menanti berita tentang nasib mereka berdua.
Juga jika dipikir lebih jauh, memang ada pentingnya memasang telinga, dengan demikian dalam pelarian nanti mereka bisa
punya pegangan akan keadaan terakhir di Kota Jiang Ling. Maklum penyebaran berita tidaklah sepesat di jaman sekarang,
kecuali jika memang ada orang-orang yang bertugas untuk itu.
"Kalau begitu biar aku yang menemani kakak berdua", ujar Chen Taijiang.
Yang lain pun segera mengangguk setuju, karena setelah Zhu Yanyan, maka yang paling penyabar di antara mereka adalah
Chen Taijiang, harapannya tentu saja jika ada berita yang tidak mengenakkan hati dan membangkitkan emosi, Chen
Taijiang bisa meredamnya. Sementara Hu Ban yang panjang akal akan lebih dibutuhkan bagi mereka yang bergerak
membawa Ding Tao. Zhu Yanyan dan Khongti sendiri tampaknya puas dengan pembagian yang dilakukan.
"Baiklah, kalau begitu, sebaiknya kalian mulai bergerak sekarang. Sementara aku, Adik Khongti dan Adik Chen Taijiang
akan bergerak mendekati dini hari nanti, sehingga kami akan masuk kota bersamaan dengan orang-orang yang lain.", ujar
Zhu Yanyan memberi keputusan.
"Wang Shu Lin, mari kita tengok keadaan Ketua Ding Tao lebih dulu, sementara yang lain bersiap.", ujar Hu Ban sembari
bangkit dan menggamit tangan Wang Shu Lin.
"Aku ikut", ujar Shu Sun Er.
"Baiklah kalian pergi menengok dia, sementara aku akan mempersiapkan keberangkatan kita.", ujar Pang Boxi bangkit
berdiri. "Ayolah, akan kami bantu juga, toh masih lama sebelum kami berangkat", ujar Khongti diikuti oleh Zhu Yanyan dan Chen
Taijiang. Sekilas ada kepahitan memancar dari mata Zhu Yanyan dan Khongti ketika menyebutkan nama Ding Tao. Dalam hati tidak
rela, mengapa kakak seperguruan yang begitu mereka sanjung dan hormati, harus mempertaruhkan nyawa untuk Ding Tao
yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan mereka. Sungguhpun sebagai orang yang sudah berumur dan dibesarkan
dalam lingkungan yang mendidik mereka keras dalam hal keagamaan, toh masih ada bagian dari diri mereka yang belum
bisa menerima. Zhu Yanyan pun menghela nafas saat mengingat keikhlasan yang terpancar dari wajah Pendeta Chongxan
dan mengeluh pendek saat mengingat betapa dirinya masih sulit menerima sedangkan orang yang menjalaninya sendiri
sudah meng-ikhlas-kan. Sambil melangkah dan bekerja, menyiapkan segala sesuatunya, baik Zhu Yanyan dan Khongti terus menerus mengingatkan
diri sendiri, berusaha mengikis kepahitan yang mereka rasakan pada Ding Tao. Kalaupun mereka belum bisa sampai pada
keikhlasan yang ditunjukkan oleh kakak seperguruan mereka, setidaknya mereka sudah berada di jalan yang sama.
Di dalam kamar Ding Tao terlihat pemandangan yang berbeda. Ding Tao yang mulai menyadari keadaan dirinya dan
sekitarnya, melompat bangkit dan berdiri dengan sikap menantang ketika Wang Shu Lin, Hu Ban dan Shu Sun Er masuk ke
dalam kamar itu. "Siapa kalian!?", tanya Ding Tao dengan nada suara bermusuhan.
"Tenang Ding Tao" ini aku" Wang Shu Lin.", ujar Wang Shu Lin dengan sedih dan cemas.
"Wang Shu Lin?", jawab Ding Tao dengan nada bertanya, jelas pikirannya belum sepenuhnya bekerja dengan mapan.
"Wang Shu Lin", Ximen Lisi, kita bertemu pertama kali di kaki Gunung Songshan?", jawab Wang Shu Lin sedih melihat Ding
Tao melupakan dirinya. "Wang Shu Lin" Ximen Lisi" oh" Nona Wang Shu Lin?", suara Ding Tao pun berubah melembut, ketika ingatannya akan
Wang Shu Lin mulai kembali.
Tapi hanya sebentar saja karena rasa simpati yang dulunya dikaitkan dengan diri Wang Shu Lin sebagai seorang nona muda
yang cantik, gagah dan menarik hati, sekarang berubah menjadi rasa curiga. Ya, menjadi curiga, karena sekarang seorang
wanita yang cantik dan menarik hati sudah memiliki arti baru dalam benak Ding Tao. Sejak pengkhianatan Murong Yun Hua,
wanita cantik dan memikat hati sekarang sama dengan seorang pengkhianat, sama dengan udang di balik batu, sama
dengan tidak bisa dipercaya dan sederetan keburukan yang lain. Wajahnya yang sempat melembut pun berubah menjadi
dingin. Dengan sopan namun dingin dia bertanya, "Nona Wang Shu Lin", rupanya nona dan rekan-rekan nona yang menolong
diriku. Aku ucapkan terima kasih pada kalian. Sekarang apa rencana kalian selanjutnya" Kukira kalian tentunya sudah
memikirkan sesuatu."
Serasa diiris-iris dengan sembilu perasaan Wang Shu Lin mendengar cara Ding Tao menjawab, demikian dingin dan
pertanyaan yang terakhir seperti bermakna dua. Antara menanyakan rencana mereka untuk menyelamatkan Ding Tao
namun dibaliknya, yang tidak terkatakan adalah, apa mau kalian dariku" Bukan hanya Wang Shu Lin yang tertusuk hatinya,
kedua orang gurunya juga ikut tersentuh dan mereka bisa merasa amarah mulai muncul dalam hati mereka. Baiknya
keduanya merupakan tokoh-tokoh tua yang sudah matang pribadinya, dengan pengendalian diri yang sempurna mereka
menekan amarah hendak muncul dalam hati mereka itu.
"Ketua Ding Tao baru saja mengalami satu peristiwa yang sangat menyakitkan, kami mengerti jika Ketua Ding Tao merasa
curiga terhadap kami pula, meski kami adalah orang-orang yang menolong Ketua Ding Tao lepas dari bahaya.", ujar Hu Ban
dengan tenang, dengan ucapannya itu selain menegur Ding Tao secara halus, juga ingin mengingatkan dan menghibur
Wang Shu Lin muridnya. Wang Shu Lin pun mengerti maksud gurunya, dengan senyum sedikit dipaksakan dia tersenyum pada Hu Ban lalu
mengenalkan mereka pada Ding Tao, "Ding Tao", mereka ini adalah guru-guruku. Beliau ini adalah Guru Hu Ban dari
Hoashan dan ini Guru Shu Sun Er dari Enmei."
Wajah Ding Tao sedikit memerah mendengar sindiran halus Hu Ban, meski demikian kecurigaan dalam hatinya tidak hilang
begitu saja, tapi tetap saja dia kemudian membungkuk hormat dan nada suaranya berubah jauh lebih ramah, "Tetua,
rupanya tetua berdua adalah guru dari Nona Wang Shu Lin. Maafkan kecurigaanku" yang mungkin tidak pada tempatnya?"
"Tidak apa-apa" kami bisa membayangkan perasaan Ketua Ding Tao saat ini. Hanya saja kami harap, Ketua Ding Tao masih
menyediakan tempat untuk mempercayai orang lain. Memang hari ini Ketua Ding Tao dihadapkan pada pengkhianatan yang
sangat mengejutkan dan menyakitkan hati, tapi bukankah di saat yang sama Ketua Ding Tao juga melihat kesetiaan dan
persahabatan yang diberikan orang pada ketua, meski harganya adalah kematian?", ujar Hu Ban dengan lembut.
Wang Shu Lin memandang wajah Ding Tao dengan cemas dan tak habis pikir, mengapa gurunya justru mengingatkan
kembali Ding Tao pada kenangan buruk itu. Benar saja wajah Ding Tao tampak menggerenyit menahan nyeri di dada,
mengenangkan kematian puluhan orang yang merelakan nyawanya bagi keselamatannya.
"Ketua Ding Tao, mungkin sakit mendengarkan ucapanku barusan. Namun aku tetap harus menyampaikannya, jika tidak
bukankah sama saja aku membiarkan Ketua Ding Tao melupakan kesetiaan mereka" Membiarkan mata Ketua Ding Tao
tertutup dari satu sisi yang indah dari kehidupan ini dan hanya melihat pada sisi buruknya saja.", lanjut Hu Ban kemudian.
"Bukan berarti aku menyarankan Ketua Ding Tao untuk melupakan pengkhianatan yang terjadi dan hanya melihat pada
kesetiaan yang ditunjukkan oleh puluhan pengikut Ketua Ding Tao. Jika demikian maka peristiwa ini pun akan berlalu tanpa memberikan sumbangan kebaikan, yang kuharapkan dari Ketua Ding Tao adalah membuka mata pada kedua kenyataan itu
secara berimbang. Memang ada pengkhianatan ada penipuan, tapi juga ada ketulusan dan kesetiaan."
Ding Tao pun termenung mendengarkan uraian Hu Ban, inilah salah satu sifat baik dari Ding Tao. Berkat gemblengan orang
tuanya semasa dia kecil, telinganya terbuka pada nasihat orang lain, terutama mereka yang lebih tua dari dirinya.
Terkadang saat kita sakit, kita sulit mendengar nasihat orang. Orang yang datang dengan nasihat, tidak jarang kita
tanggapi dengan amarah. Biasanya kita akan berkata, memang mudah untuk bicara tapi siapa yang bisa melakukan"
Padahal bukankah lebih baik jika nasihat yang diberikan kita dengar dan renungkan lebih dahulu" Penghalang terbesar,
biasanya adalah kesombongan dan ego, merasa diri lebih baik dari orang lain, sehingga sulit menerima nasihat dari orang lain. Ini yang tidak ada dalam diri Ding Tao, pemuda yang rendah hati, sehingga dengan mudah menempatkan diri sebagai
orang yang kurang tahu, sebagai orang yang perlu diajar.
Pada hati yang demikian, sebuah nasihat mendapatkan tempat yang baik untuk bertumbuh. Bahayanya jika tidak diiringi
kebijakan dalam menyaring nasihat orang, bisa jadi dia akan menjadi pribadi yang terombang-ambing. Baiknya Ding Tao
adalah seorang yang jujur pada nuraninya sendiri, inilah pegangannya yang terakhir.
"Jadi, jangan mudah percaya, selalu waspada, tapi di saat yang sama juga jangan menghakimi seseorang bila belum
memiliki bukti yang kuat.", kata Hu Ban mengakhiri nasihatnya.
Selesai mendengarkan nasihat Hu Ban, Ding Tao pun menghela nafas, "Aku mengerti" aku mengerti" terima kasih untuk
nasihat tetua", tapi entah" apakah aku bisa melakukannya dalam kehidupan sehari-hari."
Hu Ban tersenyum senang, hatinya mulai merasa simpati pada Ding Tao, "Kita semua berusaha melakukan yang terbaik,
adapun keadaan kita yang sering lupa, itulah perjuangan kita, di mana kita selalu berusaha menengok ke dalam diri, adakah kita sudah menyerong dari jalan yang benar, masih adakah yang perlu diperbaiki dan demikian seterusnya, sampai ajal
menjelang." Setelah hatinya merasa tenang barulah Ding Tao bisa berpikir dengan lebih jernih, hatinya masih pedih jika mengingat
kematian Ma Songquan dan yang lainnya, namun setidaknya dia mulai bisa berpikir. Maka teringatlah dia, ketika dia baru
sadar, sepertinya ada suara yang dia kenal sedang bercakap-cakap di ruangan yang lain.
"Tetua", kalau tidak salah, tadi aku mendengar suara tetua Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Benarkah mereka
ada juga di sini?", tanya Ding Tao pada kedua guru Wang Shu Lin itu.
Shu Sun Er sekilas memandang Hu Ban, Hu Ban pun tidak segera menjawab, membuat jantung Ding Tao berdebar.
"Ada apa" Mengapa diam" Benarkah kedua tetua sempat datang ke mari, jika benar ke mana mereka pergi sekarang?",
tanya Ding Tao dengan perasaan tak enak.
Sebelum Hu Ban sempat menjawab, Zhu Yanyan dan yang lain sudah selesai menyiapkan segala sesuatunya dan sekarang
mereka sudah berkumpul di tempat itu. Mendengar pertanyaan Ding Tao, baik Zhu Yanyan dan Khongti merasa nyeri dalam
dada, namun di luar mereka tetap tenang.
"Bagus kalau Ketua Ding Tao sudah sadar. Kedua ketua memang sempat berada di sini, bisa dikatakan mereka berdualah
yang mengatur rencana penyelamatan dirimu. Sekarang mereka pergi pula untuk satu urusan. Penjelasannya cukup
panjang, sedangkan kita sedang diburu waktu, sebaiknya kita berangkat sekarang nanti akan aku jelaskan di jalan.", jawab Hu Ban dengan cerdik.
"Ah" baiklah, kita hendak pergi ke mana dan" maaf apa benar tetua berempat juga guru dari Nona Wang Shu Lin" Terima
kasih atas pertolongan kalian, budi baik ini tentu akan aku ingat selalu dalam hati.", ujar Ding Tao sambil membungkuk
hormat pada empat orang yang baru masuk.
"Benar mereka ini guruku", jawab Wang Shu Lin untuk kemudian memperkenalkan mereka satu per satu, sesaat kemudian
basa-basi sebuah perkenalan pun berjalan dengan singkat.
"Ayolah akan aku jelaskan sambil kita berjalan, tujuan kita kali ini adalah ke Desa Hotu, sebuah desa di luar perbatasan.", ujar Hu Ban menjawab pertanyaan Ding Tao selanjutnya.
Sambil menjawab, dia pun berjalan keluar dari kamar menuju ke pelataran di mana kuda dan perbekalan mereka sudah
disiapkan. Dengan sendirinya yang lain pun berjalan mengikuti Hu Ban dengan Ding Tao dan Wang Shu Lin sebagai yang
termuda berada paling belakang.
"Desa Hotu?", ujar Ding Tao dengan nada bertanya.
"Benar Desa Hotu, ini adalah pesan dari Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, nanti di sana kita disuruh menemui
seseorang. Ada apa sebenarnya dengan desa itu kami sendiri kurang jelas, karena beliau berdua tidak cukup waktu untuk
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjelaskan semuanya. Yang pasti desa itu berada di luar perbatasan, itu pun sudah merupakan alasan yang cukup kuat
karena seperti yang kita ketahui, lawan kita kali ini punya pengaruh yang kuat hampir di seluruh daratan Tionggoan.", ujar Hu Ban menjelaskan.
Mendengar penjelasan Hu Ban, Ding Tao tercenung diam, terselip keraguan dalam hatinya. Hatinya masih belum sembuh
benar dari sakitnya dikhianati, tapi dengan cepat pemuda itu menyadari keadaannya dan berusaha mengusir kecurigaan
yang kurang beralasan itu dari dalam hatinya.
Dia pun berpikir, "Untuk saat ini, kukira itu jalan yang terbaik, menjauh sejauh mungkin dari daratan Tionggoan. Untuk
sampai ke sana masih butuh waktu berbulan-bulan. Jika ada siasat dibalik pertolongan mereka, masih belum terlambat
untuk membongkarnya dan memikirkan jalan keluarnya."
Diamnya Ding Tao bukannya tak lepas dari pengamatan Hu Ban yang tajam, melihat Ding Tao bisa menahan diri, Hu Ban
pun tersenyum dalam hati. Senyum yang sendu, karena terbayang pengorbanan demikian banyak orang demi pemuda ini.
Dalam hati Hu Ban pun berujar, "Ah " semoga pengalaman pahit ini membuat dia lebih dewasa. Dunia persilatan mungkin
butuh seorang jujur dan tulus seperti Tetua Bhiksu Khongzhen dan Tetua Pendeta Chongxan, tapi tokoh itu juga harus
secerdik dan sebijaksana mereka, jika tidak dia hanya akan jadi bulan-bulanan dari orang-orang licik yang ada dalam dunia persilatan."
Sebentar saja mereka sudah sampai di pelataran, dengan sigap mereka melompat ke atas punggung kuda. Wang Shu Lin
serta tiga orang gurunya yang ikut dalam perjalanan ke Desa Hotu pun berpamitan pada Zhu Yanyan bertiga. Kemudian
Ding Tao pun berpamitan. Zhu Yanyan dengan perasaan campur aduk memandangi pemuda itu, kemudian berkata, "Ketua Ding Tao, hati-hatilah
dalam perjalanan, jangan pikirkan apa pun kecuali menyelamatkan diri. Ada banyak tanggung jawab dan kepercayaan orang
yang diletakkan di atas pundakmu. Jangan sampai kau mengecewakan mereka."
Lama Ding Tao memandangi Zhu Yanyan, dia bisa merasakan kepedihan dalam suara itu, hatinya pun tersentuh dan untuk
sejenak seluruh kecurigaan yang sering mengganggunya hilang lenyap digantikan rasa empati. Meskipun dia tak mengerti
apa yang membuat Zhu Yanyan bersedih, namun ingin dia berbuat sesuatu untuk menghibur orang tua itu.
"Aku mengerti tetua" aku mengerti?", ujar Ding Tao dengan tulus.
Melihat ketulusan dan rasa simpati yang terpancar dari wajah Ding Tao, hati Zhu Yanyan dan Khongti jadi sedikit terhibur.
Muncul harapan dalam hati mereka, agar pemuda ini tumbuh menjadi tokoh besar seperti kakak seperguruan mereka.
Kiranya pengorbanan itu bukanlah pengorbanan yang sia-sia. Semoga harapan mereka berdua, terwujud benar dalam diri
pemuda ini. Terkadang ketulusan beribu-ribu kali lebih berarti dibandingkan kata-kata yang dirangkai dengan indah. Meski kadang orang lebih tersanjung oleh pujian dan bukan ketulusan. Buktinya banyak gadis tertipu oleh rayuan gombal seorang laki-laki atau sebaliknya.
"Bagus" sekarang cepatlah berangkat, kami pun memiliki tugas di sini.", jawab Zhu Yanyan dengan hati yang jauh lebih
lapang dari sebelumnya. Kemudian dia pun menengok ke arah Hu Ban yang menjadi pemimpin dari rombongan kecil ini. "Adik Hu Ban, segera
setelah kami selesai menyerap berita di Jiang Ling, kami akan pergi pula ke Desa Hotu, kita akan bertemu di sana."
"Baik, akan kami tunggu kedatangan kalian di sana, sepanjang jalan, jika ada perubahan rencana, tentu aku akan
meninggalkan tanda-tanda tertentu untuk menjadi petunjuk.", jawab Hu Ban.
"Baik, sudah pergilah kalian sekarang", ujar Zhu Yanyan mengakhiri percakapan.
Dalam gelapnya malam, empat ekor kuda pun pergi ke arah utara, meninggalkan tiga orang yang memandangi punggung
mereka sampai mereka menghilang dari pandangan.
"Kakak" sepertinya dia memang pemuda yang baik?", ucap Khongti sambil memandang ke kejauhan.
"Hmm" aku juga berpikir demikian. Lagipula mereka berdua sudah begitu terasah mata batinnya, jarang sekali mereka
salah menilai seseorang. Jika Kak Chongxan berpendapat dia adalah seorang pemuda yang baik, aku yakin memang
demikianlah kenyataannya.", jawab Zhu Yanyan.
"Sekarang masalahnya tinggal, apakah dia bisa selamat melewati cobaan ini" Apakah kepribadiannya tidak berubah akibat
cobaan yang berat ini.", ujar Chen Taijiang dengan prihatin.
"Itu adalah tanggung jawab kita semua, jangan sampai emas berubah jadi loyang.", ujar Zhu Yanyan.
"Kakak benar, tapi kukira hal itu tidak akan terjadi, bukankah ada ujar-ujar, meskipun mutiara terendam lumpur, dia akan tetap jadi mutiara.", sahut Khongti.
"Ya" sudahlah, tak ada gunanya menduga-duga masa depan. Yang bisa kita lakukan adalah berbuat sebaiknya di masa
sekarang demi masa depan yang lebih baik tentang hasil akhirnya hanya langit yang tahu.", desah Chen Taijiang sambil
berjalan masuk kembali ke dalam rumah.
Zhu Yanyan dan Khongti masih berdiri di depan pelataran beberapa lama sebelum bergerak lambat mengikuti Chen Taijiang
yang sudah lebih dahulu masuk ke dalam rumah. Meski mereka mengerti dan bisa memahami keputusan yang diambil
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan dalam satu gambaran yang luas, tetap saja terasa ada beban yang memberati
hati mereka. Ketulusan Ding Tao yang mereka lihat sekilas tadi, menjadi hiburan yang mengurangi beban di hati.
Sementara Ding Tao sedang bergerak ke arah utara, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan sedang duduk-duduk di
pinggir jalan dengan santai sembari membakar umbi-umbian semacam singkong. Di depan mereka api unggun menyala,
lidahnya menari-nari membentuk berbagai macam bayangan.
"Hmm" lama juga mereka ya", masakan mereka mengambil jalan berputar?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan suara
perlahan. "Kurasa tidak", coba saja pikirkan kalau kita ada di posisi mereka, saat ini siapa yang menjadi penghalang bagi mereka
untuk menguasai dunia persilatan" Ketua Ding Tao dengan ketergantungannya pada Obat Dewa Pengetahuan justru bisa
diletakkan ke nomor yang ke-sekian.", jawab Pendeta Chongxan.
"Tentu saja kau benar", tapi perhitungan kita sebagai manusia kadang meleset juga. Bagaimana jika Obat Dewa
Pengetahuan itu cuma satu bualan saja, sehingga Ketua Ding Tao tetap menjadi sasaran utama" Mungkin Zhong Weixia dan
yang lain melihat kita menghadang di jalan ini, kemudian mereka mencari jalan memutar untuk menghindari hadangan
kita.", ujar Bhiksu Khongzhen sembari meniup-niup singkong yang sudah matang.
"Heh.. biasanya orang menggunakannya dalam sup, siapa tahu dibakar pun enak rasanya", ujar Pendeta Chongxan sambil
mulai mengupas bagiannya.
"Haha, benar, tidak disangkan sudah sampai di penghujung usia, masih juga sempat merasakan makanan yang nikmat.",
jawab Bhiksu Khongzhen sambil tertawa.
"Nah", coba dengar, bukankah itu suara langkah kaki orang yang mengendap-endap?", ujar Pendeta Chongxan tiba-tiba, di
tengah mereka sednag menikmati umbi-umbian itu.
"Hoho" bagus", rupanya otak kita belum berkarat. Hmm" satu" dua" tiga" ah" tidak kurang dari tujuh orang.", kata
Bhiksu Khongzhen. "Mungkin itu sebabnya mereka datang sedikit terlambat, rupanya mereka mencari bala bantuan lebih dulu. Saudara
Khongzhen, sayang sekali, kita belum sempat menghabiskan makanan ini, mereka sudah keburu datang.", sahut Pendeta
Chongxan dengan santai. "Menurutmu, mereka mau tidak kita suguhi makanan ini?", tanya Bhiksu Khongzhen sambil menyisihkan umbi-umbian yang
sudah matang dari tengah api unggun.
"Coba saja kita tawarkan, sayang kalau terbuang", jawab Pendeta Chongxan tersenyum simpul.
"Sobat", kenapa tidak datang ke mari" Malam begitu dingin, di sini ada makanan panas dan api unggun, kami pun tidak
keberatan untuk berbagi", seru Bhiksu Khongzhen ke arah datangnya suara langkah kaki.
Mendengar seruan Bhiksu Khongzhen itu pun, segera muncul tujuh sosok laki-laki, dipimpin oleh Zhong Weixia di depan.
Seperti Bhiksu Khongzhen yang berlaku seolah-olah menyapa sesama pejalan kaki yang datang, demikian juga Zhong
Weixia dan ke-enam rekannya. Meskipun sedari awal sudah berencana untuk melenyapkan nyawa dua orang tokoh tua itu,
di luarnya mereka berlaku seakan-akan menemukan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan secara tidak sengaja.
"Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan, tidak kusangka akan bertemu kalian di sini, sedang menikmati bakar-bakaran.
Bagaimana dengan pengejaran kalian atas diri Ketua Ding Tao?", sapa Zhong Weixia setelah jarak mereka cukup dekat.
"Ah", kita bicarakan soal itu nanti dulu saja, sekarang kenapa kalian tidak ikut bergabung di sini bersama kami. Lihat
jumlah yang sudah matang cukup untuk kita semua.", jawab Pendeta Chongxan sambil menunjuk ke tempat-tempat yang
kosong di sekeliling api unggun.
Tanpa banyak cakap ke-tujuh orang itu pun memilih tempat masing-masing. Zhong Weixia, Xun Siaoma, Bai Chungho dan Guang Yong Kwang memilih duduk berhadapan mengelilingi Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Tiga orang yang
lain, duduk sedikit mundur di belakang, di sisi kiri dan kanan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Dengan punggung
bersandar pada pohon yang besar, kedua orang tokoh tua itu jadi terkepung dari semua sisi.
"Nah, cobalah rasa umbi-umbian ini, iseng-iseng kami coba membakarnya di api unggun, ternyata rasanya cukup nikmat
juga dimasak dengan cara demikian.", ujar Pendeta Chongxan sambil menawarkan umbi-umbian yang sudah matang.
Zhong Weixia dan Bai Chungho tampak meragu, sedangkan Xun Siaoma tanpa banyak cakap segera memilih yang terbesar
dan mulai mengupas kulit umbi yang kasar dan menikmati penganan itu. Yang lain menunggu sambil berpura-pura sibuk
dengan berbagai urusan, ketika mereka melihat Xun Siaoma tidak mengalami apa-apa, barulah mereka mengambil umbi-
umbian itu satu per satu. Melihat keraguan mereka Xun Siaoma mendengus pendek, sedangkan Pendeta Chongxan dan
Bhiksu Khongzhen hanya tersenyum-senyum saja sambil menikmati penganan mereka sendiri, seakan tak tahu kecurigaan
orang. Sambil makan itu, Zhong Weixia pun kembali bertanya, "Jadi apakah ketua berdua sudah menemukan jejak Ketua Ding
Tao?" "Hmm" hmm?", keduanya tidak langsung menjawab, tapi masih saja sibuk dengan makanan di tangan.
Zhong Weixia saling berpandangan dengan rekannya yang lain, Xun Siaoma justru sengaja tidak mau memandang wajah
Zhong Weixia dan ikut-ikutan sibuk dengan makanan di tangan, sedang Bai Chungho tersenyum-senyum geli. Melihat itu,
Zhong Weixia pun mulai naik darah, selama hidupnya dia senang kalau orang takut padanya, tapi hari ini mereka yang
berkumpul di situ bukanlah orang yang bisa dia takut-takuti.
Zhong Weixia sudah membuka mulut untuk bertanya kedua kalinya, ketika Pendeta Chongxan melemparkan sisa kulit umbi
yang ada di tangannya setelah melahap habis potongan terakhir, "Ah" nikmat sekali, dingin-dingin begini memang paling
nikmat memanaskan badan di dekat api unggun sambil menikmati makanan hangat."
Bhiksu Khongzhen menyusul sahabatnya itu melahap potongan terakhir umbi di tangannya dan menyahut, "Lebih nikmat
lagi kalau ada minuman yang menghangatkan tubuh."
"Aku ada sedikit arak, bagaimana apa Bhiksu Khongzhen mau melanggar pantangan?", ujar Pendeta Chongxan dengan mata
mengerdip jenaka. "Haa haa haa". Biasanya aku selalu menaati perintah dan larangan, tapi malam ini, boleh juga sedikit melanggar, mana
araknya?", jawab Bhiksu Khongzhen sambil tertawa terbahak-bahak.
Semakin keduanya bersikap wajar, malah semakin tegang perasaaan tujuh orang yang mengepungnya. Pendeta Chongxan
pun benar-benar mengeluarkan seguci arak dan berbagi dengan Bhiksu Khongzhen, masing-masing menyesap sedikit saja
untuk melegakan tenggorokan yang baru dilewati makanan.
"Hmm" benar-benar arak yang nikmat, entah sudah berapa puluh tahun aku tidak pernah merasakannya", ujar Bhiksu
Khongzhen sambil berkecap-kecap, sementara Pendeta Chongxan tertawa geli melihat laku sahabatnya itu.
Bhiksu Khongzhen kemudian menatap lurus ke arah Zhong Weixia, "Ketua Zhong Weixia, mengapa harus bertanya pula"
Sandiwara kami boleh saja menipu orang lain, tapi tentunya tidak menipu kalian. Larinya Ketua Ding Tao adalah polah
tingkah kami berdua, jadi mana mungkin kami mengejar untuk menangkap dia?"
Zhong Weixia berpura-pura terkejut dan menjawab, "Bhiksu Khongzhen, anda jangan bercanda, apa maksud anda ini"
Ketua Ding Tao adalah seorang penjahat yang berbahaya, apa benar ketua berdua memutuskan untuk melindunginya?"
Bhiksu Khongzhen tertawa hambar, "Malam sudah semakin larut, sudahlah apa perlunya kita terus bersandiwara. Pilihan
kalian cuma dua, kembali ke Jiang Ling atau berhadapan dengan kami berdua. Jangan harap kalian bisa menangkap Ketua
Ding Tao selama kami berdua masih ada di sini."
Tapi Zhong Weixia masih saja berkeras dengan sandiwaranya, "Bhiksu Khongzhen! Pendeta Chongxan! Apa kalian
bersungguh-sungguh dengan perkataan itu" Jika benar, jangan salahkan kami jika kami memberanikan diri mengangkat
senjata melawan kalian."
"Astaga", memangnya ada berapa orang di sini" Apa perlunya juga kau bersandiwara" Kami berdua yakin, seyakin-
yakinnya, bahwa Ketua Ding Tao telah dijebak. Siapa yang menjebak, aku rasa aku tak perlu mengatakannya, cukup ingat,
tak akan bisa kalian menangkapnya kalau belum melewati kami berdua.", jawab Bhiksu Khongzhen sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Sembilan orang itu duduk bersama, seperti sekumpulan pengelana yang sedang menikmati hangatnya api unggun, tapi
nyatanya urat syaraf setiap orang sudah menegang.
"Bhiksu Khongzhen, kalau aku bertanya sekali lagi, apa jawabmu?", tanya Zhong Weixia, diam-diam jari tangannya sudah
mengait salah satu rantai senjatanya.
"Kau bertanya ribuan kali pun jawabanku tetap sama. Sekarang aku tanya, kalian pilih yang mana" Kembali ke Jiang Ling
atau mau mencoba-coba kepandaian kami berdua?", jawab Bhiksu Khongzhen, hawa murni pun diam-diam sudah
dikerahkan melindungi tubuh.
"Kami ada di pihak yang benar, kenapa harus takut?", ujar Zhong Weixia menjawab, namun sebelum habis dia berkata,
roda bergeriginya sudah terlontar cepat menyambar mata Bhiksu Khongzhen.
Seperti anak panah dilepas dari busurnya, ke-enam orang yang lain bergerak dengan cepat pula, susul menyusul
melontarkan serangan mereka ke arah dua orang tokoh tua itu. Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan dengan tak kalah
sigapnya melompat berdiri dan menghalau serangan. Dalam sekejapan jalan yang sepi itu pun dipenuhi suara denting
pedang dan berbagai macam senjata yang saling beradu. Bhiksu Khongzhen menggunakan tasbih di tangannya sebagai
senjata, sedang Pendeta Chongxan sudah mencabut pedang di tangannya. Tetua Xun Siaoma dan Guang Yong Kwang
dengan pedangnya, Bai Chungho dengan tongkat pemukul anjingnya, Zhong Weixia menggunakan sepasang roda bergerigi
yang dikaitkan pada seuntai rantai besi. Tiga orang yang lain, masing-masing bersenjatakan pedang, tombak berkait dan
sebilah golok tipis. Dalam gebrakan pertama itu terbukti mereka bertujuh tak mampu mengambil keuntungan atas Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan, di saat yang sama dua orang tokoh tua itu ternyata juga tidak mendapatkan kesempatan untuk lolos
dari kepungan. Untuk beberapa lamanya mereka bersembilan pun hanya saling memandang, menunggu lawan membuat kesalahan.
Sesekali ada di antara mereka yang menyesuaikan kedudukannya, mencari lubang di pertahanan lawan, dan segera disusul
oleh ke-delapan orang yang lain yang menyesuaikan kedudukan mereka dengan perubahan yang terjadi. Perlahan-lahan
area pertempurang sedikit bergeser menjauhi api unggun.
"Kalian bertiga, aku tak pernah melihat kalian, tapi nyatanya gerakan kalian boleh dikata tergolong nomor satu dalam dunia persilatan. Jika boleh tahu, siapa nama kalian bertiga?", ujar Pendeta Chongxan kepada tiga orang yang tak dikenal itu.
Salah seorang dari mereka, yang sepertinya menjadi pemimpin dari dua orang yang lain menjawab dengan tenang, "Kami
bertiga adalah pelayan-pelayan setia dari keluarga Murong, sejak kecil kami sudah digembleng dengan berbagai macam
aliran ilmu silat sebelum memilih senjata tertentu untuk didalami. Tetua berdua tidak pernah mendengar nama kami,
karena memang selama puluhan tahun ini kami tidak pernah keluar rumah."
"Ah" menarik sekali, rupanya keluarga Murong menyimpan kekuatan dengan diam-diam. Ada berapa orang seperti kalian
dalam keluarga Murong?", tanya Pendeta Chongxan dengan tenang, seperti bercakap-cakap dengan seorang kenalan.
"Hmph" baiklah, kalian dengarkan baik-baik. Jumlah kami seluruhnya ada 34 orang dan kami bertiga berada di posisi
menengah. Sudah lama nyonya kami memperhitungkan kekuatan kalian berdua, jika nyonya hanya mengutus kami bertiga
itu artinya, dia yakin bantuan kami bertiga sudah cukup untuk melenyapkan nyawa kalian.", ujar orang itu dengan nada
sombong. "Ah" hebat sekali nyonya kalian", pernahkah kalian berpikir bahwa ada kemungkinan dia salah perhitungan" Jangan-
jangan justru kalian bertiga yang kembali ke Jiang Ling tanpa nyawa.", tanya Pendeta Chongxan dengan senyum mengejek.
Dari cara mereka berbicara terlihat jelas betapa tiga orang itu memiliki harga diri yang tinggi, sekaligus memuja Murong Yun Hua secara berlebihan. Ejekan Pendeta Chongxan yang biasa saja itu pun sudah cukup untuk menyentuh harga diri
mereka. Dengan teriakan marah ketiganya berkelebat menyerang Pendeta Chongxan, merusak kepungan yang mereka
buat. Dalam hati Zhong Weixia dan yang lain pun memaki kebodohan tiga orang itu, tapi bukan tokoh kelas satu jika
mereka terlambat bertindak. Dalam waktu yang singkat itu pun kedudukan sembilan orang itu bergese-geser dengan cepat.
Lubang pertahanan yang muncul akibat gerakan tiga orang anak buah Murong Yun Hua dengan cepat berusaha ditutup oleh
Zhong Weixia dan Bai Chungo. Namun Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan tidak kalah sigap memanfaatkan
kelemahan yang muncul sesaat itu. Sekali lagi jalan yang sunyi itu dipenuhi dengan dentangan senjata, pasir-pasir pun
berterbangan oleh hembusan serangan mereka.
Di sini dua orang tokoh tua itu menunjukkan kehebatan mereka, pedang Pendeta Chongxan berkelebatan menahan gerak
Zhong Weixia dan Bai Chungho yang berusaha menutup lubang dalam kepungan mereka. Dengan gerak langkah kaki yang
rumit dan tepat, sembilan orang itu pun dibuat kesulitan untuk saling membantu. Tidak jarang justru kawan sendiri yang
menjadi penghalang untuk bergerak lepas. Selain dari tiga orang anak buah Murong Yun Hua, empat orang yang lainnya
belumlah terbiasa untuk bekerja sama dalam sebuah serangan. Bisa dikata di antara mereka berempat hanya Xun Siaoma
dan Bai Chungho yang sering berlatih bersama, mereka berdua dengan mudah bisa menyesuaikan gerakan masing-masing.
Sayangnya mereka berdua pun memiliki ganjalan dalam hati, tidak seperti Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang
saling percaya dan memiliki rasa persahabatan yang kuat, sehingga sedetik dua detik, gerakan Bai Chungho dan Xun
Siaoma masih kalah cepat dan tepat dibandingkan lawannya.
Lagipula permainan pedang Pendeta Chongxan dan kekuatan hawa pukulan Bhiksu Khongzhen yang menyambar-nyambar,
cukup membuat jeri lawan-lawannya. Pertempuran pun berlangsung cukup berimbang. Di satu sisi menang jumlah, di sisi
lain menang dalam hal ilmu silat dan kerja sama.
Keuletan dan kegigihan dua orang jagoan tua itu pun akhirnya membuahkan hasil, dalam sebuah serangan kepungan tujuh
orang lawan mereka itu pun terpecahkan. Keduanya dengan sebat meloloskan diri dari kepungan lawan dan dengan satu
serangan mampu menghentikan lawan yang hendak bergerak mengepung mereka kembali.
Sekali lagi dua kelompok yang bertarung ini pun kembali diam. Kali ini mereka berdiri berhadap-hadapan. Pendeta
Chongxan dan Bhiksu Khongzhen sudah berada di luar kepungan, tujuh orang lawannya hanya mampu membentuk
setengah lingkaran dan tak melihat cara untuk bergerak ke belakang dua orang jago tua itu.
"Nama Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan benar-benar bukan nama kosong" Tapi jangan dulu berbangga hati?",
ujar Zhong Weixia dengan matanya yang tajam tak pernah lepas dari dua orang itu.
"Terima kasih" terima kasih", apakah sekarang kalian bersedia untuk berhenti mengejar Ketua Ding Tao?", jawab Bhiksu
Khongzhen, matanya pun tak pernah lepas dari tujuh orang di hadapannya.
"Dalam mimpimu!", dengan perkataan itu kembali Zhong Weixia berkelebat menyerang.
"Bagi jadi dua kelompok! Kalian bertiga layani Pendeta Chongxan,sedang keledai gundul ini serahkan pada kami berempat!
Pisahkan mereka berdua! Jangan biarkan mereka bertarung berpasangan!", seru Zhong Weixia sembari menghempaskan
tenaganya beradu pukulan dengan Bhiksu Khongzhen.
Kaget juga Bhiksu Khongzhen dengan tenaga Zhong Weixia yang besar, selamanya Zhong Weixia lebih dikenal dengan
serangan-serangan licik dan kejam menggunakan senjata roda bergeriginya, siapa nyana ketua Partai Kongtong itu
menyimpan juga pukulan-pukulan tangan yang berat, bahkan mampu mengimbangi tenaga raksasa Bhiksu Khongzhen yang
ditakuti lawan dan kawan.
"Ketua Zhong Weixia, selamat, rupanya sudah berhasil menyelami puncak ilmu tinju tujuh luka", seru Bhiksu Khongzhen
sembari menangkis pukulan tangan Zhong Weixia yang datang berkelebat dan tanpa berhenti bergerak, menggeser
kedudukannya untuk menghindari serangan pedang di tangan Guang Yong Kwang, tangan yang lain pun tidak menganggur
melainkan menggebahkan tasbihnya diiringi hawa murni untuk mendesak mundur Bai Chungho dan Xun Siaoma.
Seruan Bhiksu Khongzhen ini bukan hanya membuat Pendeta Chongxan mengerutkan alis, tapi juga sekutu-sekutu Zhong
Weixia sendiri ikut mencatatnya dalam hati. Rupanya Ketua Kongtong ini diam-diam menyempurnakan pukulan tenaga
dalam warisan perguruannya. Sejak Ketua Partai Kongtong dua generasi di atas Zhong Weixia, belum pernah terdengar lagi
ada anak murid Kongtong yang mampu menyempurnakan tinju tujuh luka, siapa nyana diam-diam Zhong Weixia
menyempurnakannya. "Hahaha, kalau sudah tahu apakah Bhiksu Khongzhen hendak menyerah sekarang?", jawab Zhong Weixia sambil tertawa
berkakakan, kedua tinjunya pun bergerak tanpa henti menyambar-nyambar mengincar titik-titik penting di tubuh Bhiksu
Khongzhen. "Hahaha, siapa bilang aku hendak menyerah, justru aku merasa senang, kalau demikian aku pun tidak perlu sungkan-
sungkan untuk mencoba Telapak Dewa Buddha tingkat 8 dan Genta emas tingkat akhir yang baru aku kuasai.", jawab
Bhiksu Khongzhen telapak tangannya pun bergerak dengan cepat menyambuti pukulan tangan Zhong Weixia.
Plak! Plak! Plak! Zhong Weixia pun menyeringai gemas, pukulan tangannya bertemu dengan telapak tangan Bhiksu
Khongzhen yang sama liatnya. Tadinya dia sudah bergirang hati, siapa sangka Bhiksu Khongzhen pun tidak berkurang
liatnya seiring dengan pertambahan umur. Tapi tiga orang yang lain pun tidak berhenti menyerang dan juga membantu
sekutunya bertahan, sehingga Bhiksu Khongzhen pun harus menguras tenaga untuk mengimbangi ke-empat lawannya.
Pertempuran berlangsung makin seru. Pukulan-pukulan yang dilancarkan makin berat dan angin pun menderu-deru di
sekeliling mereka berlima.
Di sisi lain pertempuran Pendeta Chongxan dan tiga orang lawannya pun berlangsung tidak kalah serunya. Pendeta
Chongxan yang sudah berumur masih mampu bergerak lincah dan efektif, meliuk-liuk di tengah serangan lawan. Pedangnya
bergulung-gulung, melipat dan mennghanyutkan serangan lawan. Tidak ubahnya sebuah pusaran angin, gerakannya yang
melingkar lingkar, mampu menyeret lawan ke dalam permainan pedangnya. Tapi tiga orang itu bukan orang sembarangan,
secara pengalaman mereka beberapa lapis di bawah Pendeta Chongxan, namun kekurangan itu mampu mereka tutupi
dengan kerja sama yang sangat apik. Jelas mereka sudah belasan tahun berlatih bersama. Terutama pemimpin dari tiga
orang itu yang bersenjatakan tombak berkait. Senjatanya yang panjang mampu bergerak dengan luwes, tombak besi yang
keras, bisa bergerak lentur tak ubahnya sebuah rantai panjang. Kaitan yang ada di ujung pun digunakan dengan sempurna,
bergerak menusuk, membacok dan mengait dari belakang, Pendeta Chongxan harus benar-benar waspada, tak boleh lengah
sedikitpun. Di lain pihak, golok yang tipis memang benar bergerak tanpa suara, namun golok tipis yang biasanya lentur, ternyata
bergerak seperti golok besar dan berat saat menyerang. Saat bergerak tak bersuara, saat ditangkis tenaga yang menekan
terasa berat benar. Yang keras bergerak lentur, yang lentur bergerak keraS, sedang pedang di tangan orang ketiga bergerak seperti cucuran air hujan, mengisi setiap kekosongan dari serangan dua orang yang lainnya. Pendeta Chongxan tidak bisa mengendurkan
semangatnya sedikit pun. Bagusnya jagoan tua itu mampu bergerak dengan hemat, gerakan-gerakannya tidak
menghamburkan tenaga yang tidak perlu, gulungan pedangnya mampu menggunakan kekuatan lawan untuk menangkis
serangan lawan. Ulet benar dua orang jagoan tua itu, seandainya lawan-lawan mereka hari ini bukan jagoan-jagoan kelas satu sudah sedari tadi mereka akan menyerah. Sekarang pun luka-luka kecil mulai menghiasi tubuh lawan Pendeta Chongxan. Luka kecil yang
tak berbahaya namun cukup mengganggu dan membangkitkan kemarahan. Melihat keadaan tiga orang itu, Zhong Weixia
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengeluh dalam hati. "Hmm, benar memang mereka berilmu tinggi, tapi terlalu sombong untuk melihat tingginya langit", pikir Zhong Weixia ketika sesekali melirik keadaan di kelompok yang lain.
"Huh! Dasar anak-anak muda yang sombong.", geram Xun Siaoma yang rupanya juga menilik keadaan di sana.
Zhong Weixia tidak ingin menyinggung tiga orang kepercayaan Murong Yun Hua itu, namun menilik keadaan mereka dia
pun tidak mungkin mendiamkannya saja, dia pun berteriak,"Sobat! Lawanmu sudah tua, berbelas kasihan sedikitlah. Lihat!
Nafasnya sebentar lagi tentu akan habis!"
"Hahaha! Siapa bilang nafasku sudah hampir habis?", seru Pendeta Chongxan sambil mengemposkan semangatnya, dalam
satu ledakan tenaga lawan-lawannya seakan melihat bayangan naga berkelebatan menyambar-nyambar dari gulungan
pedang Pendeta Chongxan. Tiga lawan yang lebih muda pun dibuat terpukul mundur, menjauh beberapa langkah dari serangan yang menakutkan itu.
Melihat keadaan mereka yang kritis, Xun Siaoma pun melompat mendekat, meninggalkan Bhiksu Khongzhen yang ditahan
oleh Zhong Weixia, Guang Yong Kwang dan Bai Chungho. Bagai kilat pedang Xun Siaoma menyambar, tidak salah jika
Hoasan dikatakan Gunung Thaisannya ilmu pedang, sambaran kilat pedang Xun Siaoma diiringi hawa murni yang kuat,
melesat lurus menyerang pusat gulungan pedang Pendeta Chongxan. Memaksa Pendeta Chongxan untuk menarik kembali
serangannya dan tidak memburu tiga orang lawannya. Secepatnya perhatian Pendeta Chongxan pun berpindah ke arah Xun
Siaoma, namun Xun Siaoma cepat menarik mundur serangannya, tidak mau terlibat dalam pertarungan melawan Pendet
Chongxan. Waktu yang singkat itu sudah cukup untuk memulihkan keadaan tiga orang kepercayaan Murong Yun Hua yang
sempat terguncang. Dari pendekar pedang keluarga Murong, berkelebat meyambar Pendeta Chongxan, tujuh buah senjata
bidik yang dilontarkan dengan tenaga dalam.
Pendeta Chongxan terpaksa menarik serangannya dan mengalihkan kembali perhatiannya pada tiga orang kepercayaan
keluarga Murong, sementara Xun Siaoma dengan cepat sudah kembali membantu Zhong Weixia bertiga untuk menahan
serangan Bhiksu Khongzhen yang memanfaatkan kesempatan di saat lawannya berkurang seorang.
"Awas serangan!", seru pendekar dengan tombak berkait menyerang Pendeta Chongxan.
Tidak sia-sia seruan Zhong Weixia, tiga orang itu terbuka matanya oleh kelebihan lawan mereka, tapi juga dengan
kekurangannya. Mereka menyerang dengan berhati-hati dan mengambil jarak, sengaja membuat gerakan Pendeta
Chongxan semakin luas, dengan demikian mengeluarkan tenaga yang lebih besar. Menggunakan kelebihan panjang tombak,
si tombak berkait menyerang dari kejauhan. Menggunakan gerakan goloknya yang tak bersuara, pendekar golok itu
mencari-cari kesempatan untuk meyerang Pendeta Chongxan dari belakang. Sementara yang berpedang, sekarang lebih
sering menggunakan senjata rahasia untuk menyerang Pendeta Chongxan.
Jika Pendeta Chongxan berkelahi sambil menyimpan tenaga, mereka bertiga pun akan mencecar dengan serangan-serangan
yang memaksanya bergerak, tapi ketika Pendeta Chongxan balas menyerang dengan hebat, mereka akan bergerak
menjauh, memaksa Pendeta Chongxan untuk mengejar.
Melihat cara mereka berkelahi, mengeluhlah Pendeta Chongxan dalam hati. Dia sadar kelebihannya dalam hal ilmu silat
tidak berselisih jauh dengan ketiga orang lawannya. Ketika mereka bertiga melayani permainan pedangnya dengan keras
dalam jarak yang dekat, dia justru punya kesempatan untuk mencuri-curi serangan di sela serangan lawan. Sekarang
lawan, menyerang dengan berhati-hati dan bermain dalam jarak yang jauh, memaksa dia bekerja lebih keras, sementara
serangannya sulit berhasil karena lawan berjaga dengan ketat. Pendeta Chongxan pun sadar, cepat atau lambat, tenaganya
akan terkuras terlebih dahulu dibandingkan lawan yang usianya jauh lebih muda. Fisiknya yang tua tidak mampu
menunjang penggunaan hawa murni yang terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama. Ketika tadi dia memaksakan
diri untuk mengeluarkan jurus pamungkasnya, dia sudah bisa merasakan betapa gerakan itu membebani tubuh fisiknya
yang sudah renta. Seandainya tidak ada Xun Siaoma mungkin pengorbanan itu akan memberikan hasi l yang pantas,
setidaknya dia akan berhasil melukai satu atau dua orang lawannya.
Sayang ada Xun Siaoma di sana, dalam hal ilmu pedang dia tidak di bawah Pendeta Chongxan, meski dalam hal himpunan
hawa murni dan pengerahannya dia masih selapis dua lapis di bawah Pendeta Chongxan, tapi dalam hal ketajaman mata
untuk menganalisa jurus pedang lawan, Xun Siaoma merupakan lawan yang setanding.
Beberapa li jauhnya dari pertarungan itu, Ding Tao, Hu Ban, Pang Boxi, Wang Shu Lin dan Shu Sun Er sedang berpacu
dengan kuda mereka menuju ke utara. Sebuah perjalanan yang amat panjang, namun setiap langkah menjauh dari Zhong
Weixia dan sekutunya memperbesar kesempatan mereka untuk selamat.
"Tetua Hu, ada apakah di Desa hotu itu?", tanya Ding Tao memecahkan kesunyian.
Hu Ban mengerutkan alis, dia sendiri merasa penasaran dengan desa itu, "Tepatnya seperti apa, aku sendiri kurang jelas.
Tetua Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen yang lebih tahu, sayang waktunya sendiri sangat singkat, semuanya serba
terburu-buru tak ada kesempatan untuk menjelaskan segala sesuatunya. Petunjuk mereka berdua sendiri cukup jelas,
kukita semuanya akan jadi jelas begitu kita bertemu dengan tabib di desa itu."
"Menurut Tetua Hu Ban, kita akan bertemu dengan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan di sana?", tanya Ding Tao
lebih lanjut. Berat perasaan Hu Ban untuk menjawab, "Kukira demikian, tapi kedua tetua itu tidak bisa meninggalkan begitu saja urusan Shaolin dan Wudang di saat situasi demikian genting. Kemungkinan besar, anak murid kepercayaan mereka yang akan
datang." "Kedua tetua sungguh tokoh yang berjiwa ksatria, kuharap akan ada kesempatan untuk mengucapkan terima kasih pada
mereka.", ujar Ding Tao membuat mereka yang mendengarnya mendelu.
Wang Shu Lin pada dasarnya punya hati sangat berperasaan, terhadap lawan memang seperti api yang membara, terhadap
orang-orang yang kasar dia pun ikut bersikap berangasan dan tak kalah kerasnya. Namun sesungguhnya hatinya mudah
tersentuh, terhadap kebaikan orang tentu dia tidak akan lupa. Bagi gadis ini ke enam orang gurunya adalah dewa penolong, tempat dia mendapatkan kasih sayang, pengganti orang tua. Demi dirinya mereka terasing dari saudara-saudara
seperguruan mereka. Kebaikan orang pada enam orang gurunya ini, berkali lipat jauh lebih berarti dibandingkan kebaikan
orang pada dirinya sendiri, itu sebabnya kesannya pada Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan amatlah baik.
Mendengarkan percakapan Ding Tao dan Hu Ban, hati gadis itu mengharu biru, tenggorokan tercekat ingin menangis
menumpahkan perasaan. Demikian pula Hu Ban yang harus menjawab pertanyaan Ding Tao sementara dia tahu kedua orang tetua itu justru sedang
menjelang ajal, memasang badan agar mereka bisa berlari menjauh dari bahaya dengan tenggorokan sedikit tercekat Hu
Ban menjawab, "Kau banyak berhutang budi pada mereka berdua, karena itu jangan kecewakan mereka, ingat keduanya
mempercayakan satu tangggung jawab besar di atas pundakmu."
"Tanggung jawab besar" Apakah kedua tetua ada menyampaikan satu pesan untukku ketika aku tidak sadarkan diri?",
tanya Ding Tao heran. "Ya?", jawab Hu Ban sedikit ragu.
"Apa pesan mereka?" tanya Ding Tao dengan bersemangat.
"Hmm" saat mereka menyerangmu di Jiang Ling, apakah Ketua Ding Tao masih ingat?", tanya Hu Ban.
"Ya" aku ingat?", jawab Ding Tao sambil mengerutkan dahi.
"Menurut tetua berdua, serangan mereka itu adalah inti sari dari ilmu warisan Shaolin dan Wudang yang mereka dapatkan
setelah merenunginya selama puluhan tahun. Mereka titipkan perenungan mereka itu, untuk kau sampaikan pada anak
murid Shaolin dan Wudang di masa depan.", ujar Hu Ban menjelaskan.
Dahi Ding Tao semakin berkerut mendengarkan penjelasan Hu Ban.
"Apakah Ketua Ding Tao mengerti" Itu sebabnya saat ini Ketua Ding Tao harus menjaga baik-baik diri ketua, karena di atas pundak Ketua Ding Tao bukan hanya ada harapan pengikut-pengikut setia Ketua Ding Tao tapi juga warisan bagi anak
murid Shaolin dan Wudang di generasi berikutnya.", ujar Hu Ban berusaha menguatkan semangat Ding Tao untuk bertahan
hidup. "Tunggu " mengapa kesannya kedua tetua membuat pertanda buruk bagi dirinya sendiri?", keluh Ding Tao.
"Itu" situasi saat ini sangat genting, sementara di generasi sekarang belum ada yang siap untuk menerima tuntunan kedua tetua mengenai inti dari ilmu silat mereka. Karenanya kedua tetua tidak merasa tenang sebelum ada dari generasi yang
lebih muda yang mewarisi hasil pemikiran mereka selama bertahun-tahun.", Hu Ban berusaha menjawab ganjalan di hati
Ding Tao. Tapi perasaan Ding Tao yang peka bisa merasakan ada yang disembunyikan dari jawaban Hu Ban, sekilas dia melihat ke kiri dan ke kanan, mengamati ekspresi di wajah Wang Shu Lin, Pang Boxi dan Shu Sun Er. Seketika itu juga sebuah
pemahaman merasuk ke dalam pikiran Ding Tao. Kuda yang menderap maju, tiba-tiba berhenti karena ditahan tali
kekangnya. "Apakah kedua tetua hendak mengorbankan diri demi menyelamatkan aku dari kejaran lawan?", tanya Ding Tao tiba-tiba.
Ding Tao berhenti begitu mendadak, dengan sendirinya empat orang yang lain sekarang berada beberapa langkah di depan
Ding Tao, Hu Ban dengan wajah pucat berusaha menjawab, "Dengar", kedua tetua adalah tokoh terbesar di jaman ini, tak
ada orang yang dapat menyakiti mereka."
"Benar keduanya adalah tokoh terbesar golongan lurus di jaman ini, dengan sendirinya mereka berdua adalah penghalang
terbesar bagi mereka yang memiliki niat jahat.", jawab Ding Tao, kudanya perlahan-lahan bergerak mundur dan hendak
berbalik arah. "Tunggu! Apa yang hendak Ketua Ding Tao lakukan" Apakah sudah lupa dengan segala pengorbanan mereka" Apa yang
mereka percayakan pada Ketua Ding Tao, akankah ketua mengecewakan mereka berdua?", tegur Hu Ban dengan jantung
berdebar-debar. Bayangan tubuh-tubuh tak berkepala berkelebatan dalam benak Ding Tao, sambil menggertakkan gigi dia menjawab, "Itu
urusan mereka berdua! Aku tak pernah memintanya dan aku tak mau berhutang pada siapapun untuk kesekian kalinya!"
Ding Tao pun menark tali kekang kudanya kuat-kuat, berbalik arah dan menggebah kuda tunggangannya untuk melaju ke
arah yang berlawanan. "Sial!!! Ketua Ding Tao jangan jadi orang egois!!!", seru Hu Ban dengan kesal, keringat dingin membasahi dahinya, kudanya pun dipacu untuk mengejar Ding Tao.
Shu Sun Er dan Wang Shu Lin dibuat melengak bingung dengan perubahan yang terjadi dengan tiba-tiba.
"Hmph! Sungguh pemuda pujaanmu itu bukan pemuda sembarangan, hanya bikin pusing saja.", dengus Shu Sun Er
sebelum memacu kudanya menyusul Ding Tao dan Hu Ban yang sudah lebih dahulu melaju di depan.
"Ho! Ayolah kita mati berbareng saja, ini lebih baik daripada lari seperti anjing kurap.", gumam Pang Boxi sebelum memacu kudanya mengikuti yang lain.
Apa lagi yang bisa dilakukan Wang Shu Lin kecuali mengikuti ketiga orang gurunya, memacu kudanya mengejar Ding Tao
yang melesat cepat di depan. Sementara jauh di depan Hu Ban masih berteriak berusaha menghentikan Ding Tao.
"Ketua Ding Tao! Kau bahkan tak tahu mereka ada di mana saat ini! Semuanya baru dugaan saja!"
"Jika sembarangan bergerak, ketua justru mengacaukan semuanya!"
Tapi Ding Tao tak menggubris sedikit pun seruan-seruan Hu Ban. Kematian Ma Songquan dan yang lain kasih terlalu lekat
dalam benaknya untuk berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu.
"Celaka, rusak semuanya, semoga saat melewati pondokan Kakak Zhu Yanyan dan yang lain bisa membantuku untuk
menghentikannya.", keluh Hu Ban dalam hati.
Beberapa li jauhnya, kembali pada pertarungan sengit antara pihak yang lurus dan yang sesat, pertarungan semakin lama
semakin tidak berimbang. Tubuh renta Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen tidak dapat mengimbangi jurus-jurus
pamungkas mereka dan penerapan hawa murni yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama. Dua orang itu bukannya
tidak sadar dengan keadaan mereka, namun pilihannya hanyalah bertahan selama mungkin atau mempertaruhkan
segalanya dalam satu serangan yang bukan hanya membahayakan lawan, tapi juga merugikan tubuh mereka sendiri.
Di antara mereka berdua, Pendeta Chongxan lah yang keadaannya paling parah. Tiga orang lawannya sudah terlatih bekerja
sama selama belasan tahun, mereka juga berusia 30-an, tepat pada puncak fisiknya. Sementara lawan Bhiksu Khongzhen
yang berusia muda hanyalah Guang Yong Kwang dan Zhong Weixia, keadaan Bai Chungho dan Xun Siaoma sendiri sudah
sama payahnya dengan Bhiksu Khongzhen. Menyadari keadaannya muncul perasaan tak rela dalam hati Pendeta Chongxan.
Dia tiba-tiba merasa betapa puluhan tahun yang dia habiskan untuk melatih ilmunya terbuang sia-sia, mati di tangan orang tak bernama. Dalam keadaan itu, Pendeta Chongxan pun memutuskan untuk mempertaruhkan segala sesuatunya pada
serangan berikutnya. Setidaknya sebelum dia mati, dia bisa menunjukkan segala apa yang sudah dia capai, jangan sampai
orang lupa nama besar Pendeta Chongxan.
"Saudara Khongzhen! Aku jalan lebih dulu! Tolong jaga agar tidak ada yang mengganggu!", serunya sambil menghimpun
segenap hawa murni yang dia himpun selama belasan tahun lamanya di titik-titik pusat energi dalam tubuhnya.
"Saudara Chongxan! Aku akan mengiringimu!", seru Bhiksu Khongzhen menjawab.
"Awas hati-hati semuanya!" seru Zhong Weixia merasakan hawa pembunuh yang menekan berat keluar dari seluruh tubuh
Pendeta Chongxan. Tanpa peringatan Zhong Weixia pun, mereka bertujuh bisa merasakan tekanan yang keluar dari tubuh Pendeta Chongxan
yang kurus dan renta. "Xun Siaoma awas serangan!", seru Bhiksu Khongzhen berkelebat menekan Xun Siaoma.
Di saat yang bersamaan, Pendeta Chongxan bergerak menyerang, pedangnya bergerak cepat menusuk ke depan, terlihat
sangat sederhana, tapi tidak demikian bagi pendekar bergolok tipis yang harus menghadapi serangan itu. Seandainya
ilmunya tidak setinggi saat ini, tentu dia tidak merasakan kengerian seperti yang dia rasakan saat ini. Nalurinya
mengatakan betapa berbahayanya serangan Pendeta Chongxan di saat yang sama dia tidak mampu menentukan di mana
letak bahayanya. Dengan putus asa dia membuang tubuhnya bergulingan ke belakang, namun serangan Pendeta Chongxan
sampai lebih cepat dari yang ditangkap oleh panca inderanya. Serangan itu sampai sebelum dia bisa memahami bagaimana
serangan itu sampai di tubuhnya, dengan jeritan menyayat hati dia pun rubuh bergulingan dengan lubang di dadanya.
Serangan Pendeta Chongxan tidak berhenti di sana, pedangnya bergerak berbalik mencecar si tombak berkait dan pendekar
berpedang yang bergerak hendak membantu rekannya.
Yang paling mengerikan dari serangan Pendeta Chongxan adalah kecepatannya yang sulit diikuti, ketika dirasa telah tiba
ternyata belum tiba, ketika dikira belum tiba, ternyata serangan itu sudah sampai. Sepertinya sederhana, namun hanya
dengan pengerahan hawa murni yang sempurna saja serangan itu bisa dilakukan, kecepatan yang melebihi kecepatan yang
dapat diikuti oleh tokoh-tokoh kelas satu tersebut. Menciptakan serangan bayangan dan serangan sungguhan yang seakan
sama mematikannya. Dalam satu gerakan yang berkesinambungan, pedang Pendeta Chongxan bergerak menyerang tanpa bisa ditahan. Tombak
berkait terpotong menjadi dua, sebuah luka menyilang lebar di depan dada, beruntung dia masih cukup sigap untuk
menghindar sehingga tidak sampai melepas nyawa, namun rekannya yang bersenjatakan pedang dan senjata rahasia tidak
cukup cepat bergerak, terhuyung mundur dengan luka mengucur deras dari dadanya, dalam waktu yang sepersekian
saatnya dia menghamburkan senjata rahasia di kantungnya ke depan, berharap bisa menghambat gerakan Pendeta
Chongxan yang sudah tak bisa dia ikuti dengan panca inderanya. Tapi entah bagaimana caranya, pedang itu tetap saja
mampir ke dadanya. Yang dia tahu hanyalah dadanya yang tiba-tiba terasa basah, banjir oleh darah dan pandangan
matanya yang semakin gelap.
Sebelum dia jatuh dengan luka menganga dan kehilangan kesadaran dia masih sempat mendengar seruan Bhiksu
Khongzhen penuh rasa khawatir, "Chongxan! Saudara Chongxan!"
Lamat-lamat dia melihat Pendeta Chongxan terhuyung-huyung dengan dada dihiasi belasan luka. Pandangannya makin
mengabur, bayangan ronce-ronce merah yang menghiasi tubuh Pendeta Chongxan lamat-lamat bisa dia kenali sebagai
senjata rahasianya.Sisa-sisa ketegangan yang masih menjalari tubuhnya pun dia lepaskan, dengan seulas senyum puas,
tubuhnya terbanting ke atas tanah. Sementara Pendeta Chongxan yang sempat terhuyung-huyung sudah pula mendapatkan
keseimbanganya dan berdiri dengan gagah. Baju dan jubahnya sudah berwarna merah oleh darah, pada serangan yang
terakhir seharusnya dia masih bisa menghindar tapi Pendeta Chongxan memilih meneruskan serangannya. Akibatnya
tubuhnya pun penuh luka dihujani senjata rahasia lawan, beberapa sempat dia pukul jatuh dengan pukulan tangannya, tapi
belasan yang lain menghujani tubuhnya tanpa bisa dicegah.
Melihat keadaan sahabatnya, Bhiksu Khongzhen pun jadi gelap mata. Mengikuti jejak Pendeta Chongxan, tanpa
mempedulikan lagi keadaan fisiknya yang sudah renta, Bhiksu Khongzhen pun mengerahkan simpanan hawa murninya,
menerapkan ilmu andalannya meski aliran hawa murni yang berlebihan itu merusak sistem energi dalam tubuhnya.
Zhong Weixia yang tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sudah menyambar datang dengan pukulan tinju 7 lukanya.
Sebuah ledakan dengan suara tak terdengar namun menggetarkan dada terjadi saat tinju Zhong Weixia menghantam dada
Bhiksu Khongzhen. Hebat, sungguh hebat, pukulan telak Zhong Weixia seperti tak terasa sedikitpun oleh bhiksu tua itu,
malah Zhong Weixia yang terpental ke belakang seakan menabrak tembok yang tak terlihat.
"Genta emas tingkat akhir?", seru Xun Siaoma yang tergetar melihat pameran ilmu kebal yang ditunjukkan Bhiksu
Khongzhen. "Keparat"! Serang dia!", geram Zhong Weixia dengan gemas, bukan hanya tangannya saja, dadanya pun terasa nyeri
akibat benturan hawa murni yang terjadi.
Tidak menunggu aba-aba kedua kalinya, Guang Yong Kwang, Bai Chungho dan Xun Siaoma berkelebat cepat menyerang
Bhiksu Khongzhen yang berdiri kokoh seperti gunung karang.Mereka sadar saat ini adalah pertaruhan hidup mati, Bhiksu
Khongzhen yang sudah mengerahkan ilmunya sampai pada puncaknya tidak bisa dibuat main-main. Bhiksu Khongzhen pun
tidak berdiam diri saja, selesai menerapkan ilmu genta emas, tangannya bergerak menyerang dengan pukulan telapak
Buddha. Satu saja sudah menguras hawa murni dan membebani tubuh rentanya, apalagi dua sekaligus. Namun perbawanya
sungguh hebat, lawan pun dibuat kebat-kebit oleh serangan Bhiksu Khongzhen yang membadai.
Zhong Weixia yang berteriak untuk menyerang, justru dirinya sendiri tidak ikut maju menyerang. Dia berdiri diam,
mengatur hawa murninya yang bergerak liar tak terkendali setelah benturan yang terjadi melawan ilmu kebal Bhiksu
Khongzhen. Daya penghancur tinju 7 luka memang hebat, namun ilmu kebal genta emas milik Bhiksu Khongzhen berhasil
mementalkannya, menahannya sebelum daya hancur itu sepenuhnya lepas dari pukulan Zhong Weixia. Akibatnya sekarang
Zhong Weixia harus berhadapan dengan hawa pukulannya yang membalik, memukul diri sendiri. Lagipula Zhong Weixia
tidak ingin berhadapan dengan Bhiksu Khongzhen yang sedang kesetanan. Jika Zhong Weixia bisa berpikir demikian, sudah
tentu Bai Chungho yang tidak kalah liciknya dengan Zhong Weixia sampai pada kesimpulan yang sama. Di luarnya saja dia
terlihat maju bergebrak, kenyataannya dia lebih banyak menghindar dan memukul tempat kosong.
Tiga orang tokoh kelas satu itu pun dibuat jadi bulan-bulanan oleh serangan Bhikau Khongzhen yang bergerak tanpa henti.
Tidak kurang dari tiga kali pukulan Bhiksu Khongzhen mampir telak di tubuh Guang Yong Kwang, di ujung bibir ketua muda
perguruan Kunlun itu sudah dihiasi dengan darah segar. Keadaan mereka pun makin payah, ketika Pendeta Chongxan yang
sudah terluka tiba-tiba kembali bergerak menyerang. Meski pendekar yang bersenjatakan tombak berkait ikut pula maju
dalam pertarungan, namun kegarangannya sudah jauh berkurang, apalagi jika berhadapan dengan Pendeta Chongxan,
seakan dia berhadapan dengan hantu yang tidak bisa dibunuh.
Pucatlah wajah Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang, selamanya orang yang punya ambisi besar paling takut dengan
kematian. Keadaan berubah seratus delapan puluh derajat, sisa lima orang yang masih hidup dibuat kalang kabut oleh serangan dua
orang jagoan tua yang tak juga padam. Tadinya Zhong Weixia berharap kekuatan keduanya akan surut dengan cepat,
sudah bukan rahasia lagi jika pengerahan tenaga yang berlebihan itu menghancurkan tubuh keduanya yang sudah renta.
Namun saat yang ditunggu itu tak juga tiba, malah beberapa kali mereka hampir saja melewati gerbang neraka dan hanya
dengan gerakan menyelamatkan diri tanpa malu-malu saja mereka lolos dari kematian.
"Mundur! Mundur!", akhirnya Zhong Weixia pun tak tahan lagi.
Begitu mendengar seruan Zhong Weixia, lima orang jagoan itu pun berlari mundur tanpa ingat harga diri lagi. Lima orang
jagoan yang namanya menggetarkan dunia persilatan, lari lintang pukang, dikejar dua orang jagoan tua yang sudah
mendekati ajalnya. Kalau diceritakan, siapa pun juga tidak akan percaya, kenyataannya demikianlah yang terjadi.
Sementara itu Ding Tao terus yang berpacu dengan Hu Ban, Shu Sun Er dan Wang Shu Lin, bergerak dengan cepat semakin
lama semakin dekat dengan tempat pertempuran. Melewati pondok persembunyian mereka yang sebelumnya, Hu Ban pun
berteriak-teriak kesetanan.
"Tahan dia! Tahan dia! Kakak Zhu Yanyan! Khongti! ", seru Hu Ban panik.
Tapi bagaimana bisa Zhu Yanyan, Khongti dan Chen Taijiang yang tidak siap hendak menghentikan Ding Tao yang
menderap cepat melewati pondokan mereka. Saat ketiganya berlompatan keluar ke pelataran Ding Tao sudah jauh lewat di
depan. "Apa yang terjadi?", tanya Zhu Yanyan sambil berlari mengiringi kuda Hu Ban yang menderap dengan cepat.
"Ketua Ding Tao hendak mencari Tetua Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan.", jawab Hu Ban panik.
"Bodoh! Bagaimana bisa terjadi demikian?", seru Khongti yang berlari sedikit di belakang.
"Bagus! Apanya yang bodoh sejak semula seharusnya kita tidak melarikan diri!", seru Pang Boxi dari belakang.
"Gila! Kalian semua sudah jadi gila!", geram Khongti tanpa berhenti.
Malam yang tadinya sepi itu pun jadi ramai oleh suara derap kaki mereka. Rencana yang sudah diatur baik-baik rusak
semuanya, berbagai macam pikiran berkecamuk di kepala tiap-tiap orang. Tindakan Ding Tao yang dilakukan tanpa ada
pertimbangan, sebenarnya justru mewakili keinginan hati setiap orang. Di lain pihak, tindakan yang hanya menuruti
keinginan hati itu membahayakan seluruh rencana yang sudah disusun. Pengorbanan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta
Chongxan terancam jadi sia-sia oleh tindakan Ding Tao yang terburu-buru hanya mengikuti ledakan hati, tanpa
menggunakan pertimbangan sedikit pun.
Mereka berpacu tanpa berusaha menyembunyikan kehadiran mereka, dengan sendirinya bergerak cepat menuju ke arah
terjadinya pertarungan. Beberapa li ditempuh dalam waktu yang singkat, berbeda dengan saat mereka berangkat. Sampai di tempat Bhiksu
Khongzhen dan Pendeta Chongxan mencegat perjalanan Zhong Weixia dan rekan-rekannya. Bekas-bekas pertarungan pun
dengan mudah terlihat di mana-mana. Apalagi api unggun yang dibuat Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan belum
padam, cahayanya yang menari-nari menerangi keadaan di sekelilingnya.
Ding Tao pun melompat turun dari kudanya, "Tetua! Tetua! Bhiksu Khongzhen! Pendeta Chongxan!"
Tidak berapa lama kemudian Hu Ban, Zhu Yanyan dan yang lain pun sampai di tempat itu. Sudah sampai di sana, lupalah
mereka pada keperluan mereka untuk menahan Ding Tao. Mereka justru ikut mencari-cari Pendeta Chongxan dan Bhiksu
Khongzhen. Tidaklah sulit menyusuri pertarungan yang baru saja terjadi dari bekas-bekasnya yang jelas terlihat, Ding Tao sudah
mengambil sebuah potongan kayu dari api unggun dan membuat obor seadanya. Demikian juga yang lain, sembari berjalan
mereka mencari-cari berkeliling, semakin lama semakin dekat dengan tempat Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan
berdiri. Keduanya sudah dalam keadaan yang sangat payah, tubuhnya sudaj rusak dari dalam oleh sebab penggunaan hawa
murni yang berlebihan. Di saat yang sama, hanya simpanan hawa murni mereka yang berlimpah itu pula yang masih
menopang kehidupan mereka sampai pada saat itu. Keadaan mereka tak ubahnya sebatang lilin yang sudah mau terbakar
habis. Lilin yang membuat api terus menyala, tapi nyala api itu juga yang menghabiskan lilin, cepat atau lambat pastilah padam juga pada akhirnya.
"Kami di sini?", ujar Bhiksu Khongzhen dengan suara lembut.
Mendengar suara Bhiksu Khongzhen itu, Ding Tao dan yang lainnya pun bergegas menghampiri. Alangkah hancur hati
mereka ketika mendapati keduanya dalam keadaan kuyu, terlebih keadaan Pendeta Chongxan yang bukan saja mengalami
luka di dalam, tapi juga belasan senjata rahasia yang menghiasi tubuhnya.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetua?", cepat Ding Tao memburu ke arah mereka berdua.
"Kakak?", Zhu Yanyan dan Khongti tidak kalah cepat pula datang menolong.
Dua orang jagoan tua itu pun kemudian dipapah untuk duduk bersender pada pohon-pohon yang ada di dekat mereka. Zhu
Menjenguk Cakrawala 6 Rahasia Lukisan Kuno Seri Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Pedang Kayu Cendana 3
melesat pergi menjauhi kerumunan orang, untuk diam-diam mengambil jalan memutar dan pergi ke barat, mengejar Bhiksu
Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang terlebih dahulu pergi ke arah itu.
Suasana yang demikian ramai, tiba-tiba terasa menjadi sepi karena puluhan orang yang membikin suasana ribut
meninggalkan tempat itu. Untuk beberapa lamanya, yang tersisa di sana, saling memandang dengan mulut terkatup rapat
dan hati ngilu. Hiasan-hiasan, kursi, bangku dan meja, hidangan dan segala pernak-pernik sebuah perayaan pernikahan
telah berwarna merah. Kata orang merah adalah warna perlambang kebahagiaan. Masihkan saat ini merah berarti bahagia"
Sementara merah yang memburat ke segala arah dan menyirati segala penjuru itu berasal dari puluhan tubuh yang
sekarang membujur kaku" Tubuh dan kepala, bergelimpangan dan terserak ke mana-mana. Meski setiap orang dalam dunia
persilatan punya ambisinya sendiri-sendiri, tapi kehormatan dan kesetiaan adalah salah satu tiang di mana dunia itu
dibangun. Jangankan mereka yang tak tahu ujung pangkal dari keributan hari ini, bahkan banyak dari mereka yang datang
ke pertemuan rahasia yang diadakan Zhong Weixia pun berdiri diam tak ikut mengejar larinya Ding Tao.
Dalam hati mereka yang terdalam, selirit rasa kekaguman menyebar perlahan-lahan. Setiap mulut pun terkatup,
membungkam, merenungi dan mengheningkan cipta, bagi jiwa-jiwa yang setia.
Meradang Murong Yun Hua, tak habis pikir bagaimana Ding Tao bisa lolos dari jeratannya. Matanya menatap nanar pada
tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Jantungnya berdenyut-denyut oleh rasa amarah, menyadari kesunyian yang ada,
memandangi wajah-wajah khidmat yang berdiri mematung di sekelilingnya, seperti orang-orang yang menghadiri
pemakaman para pahlawan. Kesunyian itu pun pecah oleh seruan Huang Renfu saat Murong Yun Hua tiba-tiba terkulai lemas, pingsan, tepat jatuh di
depan pemuda itu. "Yun Hua" Yun Hua", Paman Li, Paman Tang Xiong cepat bantu aku mengangkatnya ke dalam. Sepertinya dia tak kuat
melihat apa yang terjadi di halaman ini.", seru Huang Ren Fu sambil buru-buru membopong Murong Yun Hua masuk ke
dalam. Yang dipanggil pun, bergerak tanpa sadar mengikutinya masuk ke dalam, entah apa rasa dalam hati mereka, meski mereka
sejak awal adalah orang yang bekerja bagi Murong Yun Hua, tapi melihat puluhan orang yang pernah dipanggil saudara
bergelimpangan tak bernyawa, entah kenapa, hati mereka pun rasanya kosong dan hampa. Meski di sana berdiri Sun Liang,
Sun Gao, Qin Hun dan Qin Baiyu, tak ada seorang pun yang berpikir untuk menahan mereka berempat.
Dalam waktu sekejap, dari mereka yang merupakan bagian dari sisa-sisa Partai Pedang Keadilan, hanya Tabib Shao Yong,
Hua Ying Ying dan Hua Ng Lau yang berdiri. Masing-masing dengan pikirannya sendiri-sendiri.
Keributan yang sesaat ini seperti membangunkan setiap orang dari tidurnya. Perlahan-lahan, keheningan itu pun pecah, ada yang bergerak untuk mengumpulkan mayat yang bergelimpangan, ada pula yang diam-diam pergi dari kota Jiang Ling
menyadari badai yang baru saja berlalu, ada pula yang diam-diam menyingkir hanya untuk kemudian mengamati dan
menunggu perkembangan yang akan terjadi. Kehidupan dunia persilatan pun kembali berputar, setelah terhenti sejenak
lamanya, oleh pengorbanan orang-orang Partai Pedang Keadilan.
Ding Tao berlari saja tanpa melihat kiri dan kanan, jika bukan karena Bhiksu Khongzhen membuat setiap orang yang
hendak menangkap dirinya harus mengejar ke berbagai arah, tentu cepat atau lambat dia akan tertangkap.
Tenaganya sudah banyak terkuras, baru dua atau tiga li dilampaui, langkahnya sudah melambat, dengan langkah
terhuyung-huyung, seperti seorang yang baru saja minum arak dan sekarang sedang mabuk.
Di benaknya masih tergambar jelas, tubuh Ma Songquan yang berdiri tegak tanpa kepala, untuk kemudian jatuh rebah ke
atas tanah. Kemudian Chu Linhe, Chou Liang, Liu Chuncao, Wang Xiaho", setiap wajah dan nama mereka yang jatuh
bersimbah darah, terulang dan terulang dalam benaknya sampai akhirnya pemuda itu terkulai lemas. Sebelum tubuhnya
jatuh menyentuh tanah, seseorang sudah menyambarnya dan menyangga tubuh Ding Tao yang tinggi besar itu.
"Kakak Khongti, bagaimana keadaannya?", tanya Pang Boxi yang menyusul beberapa langkah lebih lambat dari Khongti.
"Sepertinya dia kehilangan kesadaran. Adik Pang Boxi, apa yang terjadi di sana tadi?", tanya Khongti sambil membimbing
tubuh yang terkulai itu ke sisi jalan, diikuti pandang ingin tahu dari banyak orang.
Dengan singkat Pang Boxi menceritakan apa yang terjadi.
"Pantas saja, tentu guncangan batin yang dia alami sudah tidak tertahankan lagi. Sebentar lagi tentu Ketua Pendeta
Chongxan dan Kak Khongzhen akan tiba pula menyusul ke mari. Marilah kita percepat perjalanan kita ke tempat yang sudah ditentukan.", ujar Khongti sambil mempercepat langkahnya.
Pang Boxi pun segera memapah Ding Tao dari sisi yang lain, berdua mereka bergerak dengan cepat menuju tempat yang
sudah mereka siapkan sebelumnya. Memasuki sebuah rumah di antara deretan rumah di sebuah perkampungan, mereka
disambut oleh saudara-saudara mereka yang lain dan Wang Shu Lin.
"Guru" apa yang terjadi dengannya?", tanya Wang Shu Lin dengan cemas.
"Nanti saja aku ceritakan, tidak ada banyak waktu, sekarang kita jalankan rencana kedua, ada banyak orang melihat aku
dan guru Khongti memapah dia ke tempat ini.", ujar Pang Boxi menjawab pertanyaan Wang Shu Lin sementara Khongti
sudah bergegas ke bagian lain dari rumah itu.
Tidak lama kemudian terlihat empat ekor kuda keluar dari perkampungan itu, menuju jalan utama kota di mana mereka
bisa bergerak lebih cepat. Masing-masing kuda ditunggangi dua orang. Sampai di sebuah persimpangan, rombongan itu pun
berpencar ke dua arah. Dua ekor kuda menuju ke arah barat, dua ekor yang lain menuju ke arah utara. Mencapai jarak
tertentu dan sampai pada persimpangan yang lain kembali mereka berpencar, hingga akhirnya masing-masing kuda dengan
dua penunggangnya, mengarah ke empat gerbang kota yang berlainan, barat, utara, timur dan selatan. Di mana mereka
berpencar dan jalan yang mereka lalui sudah mereka pilih sejak beberapa hari sebelumnya, dengan sendirinya mereka
bergerak dengan cepat tanpa ragu-ragu dalam memilih jalan yang hendak dilalui.
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang tentunya sudah tahu rencana mereka, mengejar seakan-akan tidak
mengetahui arah yang mereka tuju. Kedua orang tokoh itu berhenti di perkampungan tempat Ding Tao dibawa masuk,
bertanya-tanya pada orang di sekitar jalan, sebelum mengejar ke arah empat ekor kuda itu pergi. Sampai di persimpangan
pertama, mereka pun berpisah. Bhiksu Khongzhen mengejar pasangan kuda yang pergi ke arah barat, sementara Pendeta
Chongxan mengejar yang pergi ke arah utara.
Beberapa waktu kemudian, dalam waktu yang hampir bersamaan Tetua Xun Siaoma, Ketua partai pengemis Bai Chungho,
Ketua partai Kongtong Zhong Weixia dan Ketua perguruan Kunlun Guang Yong Kwang, sampai pula di perkampungan
tempat Ding Tao dibawa dan mendapatkan jawaban yang sama, seperti jawaban yang diberikan orang-orang di tempat itu
pada Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, tentu saja dengan tambahan bahwa beberapa saat sebelumnya ada
seorang Bhiksu Buddha dan seorang Pendeta Tao menanyakan hal yang sama.
"Empat ekor kuda" Hmm" kukira tentunya empat ekor kuda itu akan berpencaran pula ke empat mata penjuru", ujar Bai
Chungho, mereka berempat sedang berunding setelah mendengarkan keterangan dari orang-orang yang menyaksikan hal
itu. "Tidak disangka, Ding Tao sudah menyiapkan rencana untuk melarikan diri. Apakah menurut kalian ada yang membocorkan
rencana kita ini?", tanya Guang Yong Kwang dengan alis berkerut.
"Kemungkinan itu bukannya tidak ada, rencana ini melibatkan begitu banyak orang. Semakin banyak orang kemungkinan
bocor tentu semakin besar.", ujar Bai Chungho.
Zhong Weixia menggelengkan kepala, "Tidak" meskipun ada banyak orang yang diikutkan dalam rencana ini. Jumlah
mereka yang mengetahui detail rencana ini tidak sebanyak yang terlihat. Selain itu, setiap mereka yang diikutkan sudah
diperhitungkan dengan masak dan diawasi siang dan malam."
Tetua Xun Sioma mendengus kesal mendengar nada suara Zhong Weixia yang sedemikian yakinnya dengan rencana yang
dibuat Murong Yun Hua. Zhong Weixia pun melirik tajam pada Xun Sioama tapi Guang Yong Kwang lah yang pertama kali
menanggapi dengusan Xun Sioama.
"Tetua Xun sepertinya tidak suka dengan rencana kita, sejak awal terlihat setengah-setengah dalam bertindak. Jangan-
jangan kebocoran ini bermula dari pihak Hoasan. Tetua Xun, kuharap tetua tidak lupa, penerus generasi ketua Hoasan
sekarang sudah bermarga Murong.", ujar pemuda itu sambil menatap tajam pada Xun Siaoma.
Disindir demikian kemarahan Xun Siaoma pun timbul dengan cukup keras dia balik menjawab, "Hmph! Aku tidak pernah
setengah-setengah dalam melaksanakan sesuatu demi Partai Hoasan, meski hal itu berlawanan dengan nuraniku.Jadi
jangan samakan aku dengan anak kecil yang mencari jalan pintas untuk menjadi pendekar pedang nomor satu. Kemudian
menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya demi sekantung obat."
Dibalas demikian wajah Guang Yong Kwang berubah merah padam dan dengan pedas menjawab, "Ho" ho. Hahaha, baik
sekarang ini aku memang menjadi pesuruh orang karena berusaha menjadi pendekar pedang nomor satu. Tapi kukira masih
lebih baik, daripada menjadi pesuruh orang karena tergila-gila pada paha mulus dan dada montok."
Ganti Tetua Xun Siaoma yang wajahnya berubah merah padam, dengan suara sedikit bergetar dia menjawab, "Dengar",
Pan Jun bukan orang yang gila perempuan atau silap dengan kecantikan. Dia sungguh-sungguh mencintai wanita keparat
itu!" "Hah!!! Bukankah hal itu lebih memalukan lagi" Tergila-gila pada seorang pelacur yang akan mementangkan kedua pahanya
asalkan mendapatkan keuntungan" Dan sekarang, ketua generasi Partai Hoasan yang selanjutnya adalah anak seorang
pelacur. Ya" setidaknya dia seorang pelacur kelas tinggi. Entah ada berapa orang tokoh kelas atas dalam dunia persilatan yang sudah tidur dengan ibunya.", ejek Guang Yong Kwang sambil tertawa mengejek.
Mendengar perkataan Guang Yong Kwang, kemarahan Xun Siaoma pun memuncak melewati batas kesabarannya,
tangannya pun bergerak mencabut pedang yang ada di pinggang. Tidak kalah sebat Guang Yong Kwang pun sudah bergerak
untuk mencabut pedangnya. Tapi dua orang yang lain juga merupakan tokoh dunia persilatan kelas atas, dengan tidak kalah cepat Bai Chungho dan Zhong Weixia melerai keduanya, menahan keduanya jangan sampai mencabut pedang yang ada di
tangan. "Hei hei" sabar dulu sobat, kita semua toh sama terlibat dalam hal ini. Apa pun alasannya, tidak ada untungnya jika kita bertengkar dengan sesama kawan.", ujar Bai Chungho menyabarkan Xun Siaoma.
Tapi dengan keras Xun Siaoma menepiskan tangan Bai Chungho yang menahan dirinya, Xun Siaoma sudah tidak mencabut
pedang, namun matanya menatap tajam ke arah tiga orang yang lain bergantian, sebelum berhenti pada Bai Chungho.
"Kau" kita boleh jadi sama-sama terlibat, tapi kalian bertiga, juga kau, tak sedikitpun kupandang sebagai sahabat. Tidak kusangka, Bai Chungho yang tersohor kepahlawanannya, menjual harga dirinya demi kekayaan.", ujar Xun Siaoma dengan
keras. Ucapan Xun Siaoma itu pedas, tapi Bai Chungho tidak menjadi marah, dia terkekeh saja dan berkata, "Hahaha, baiklah kau
boleh tidak menganggap aku sahabat, di depan kita bertiga kaupun boleh saja memanggilku anjing asalkan bayarannya
sesuai. Yang penting jangan sampai ucapanmu itu terdengar orang luar. Jika tidak, kujamin, ucapan Ketua Guang Yong
Kwang barusan akan terdengar seantero dunia persilatan."
Xun Siaoma sudah siap menyahut ketika Zhong Weixia berdehem dan berkata, "Sudahlah, cukup, apapun alasannya kita
semua sudah terlibat. Tetua Xun Siaoma, kau boleh saja merasa diri paling benar, tapi ucapan mereka berdua tidak salah.
Jika sampai tersebar luas apa yang dilakukan Ketua Pan Jun demi cintanya pada Nyonya Murong Yun Hua, habislah reputasi
Hoasan. Demikian juga jika sampai tersebar tentang apa yang dilakukan oleh pihak Kunlun dan partai pengemis."
Berhenti sejenak agar apa yang dia ucapkan meresap, Zhong Weixia pun melanjutkan, "Dan di antara kita berempat, kurasa
hanya aku seorang yang tidak akan kehilangan nama bila alasan dari kita masing-masing bekerja demi Nyonya Murong Yun
Hua dibongkar di depan semua orang."
Mendengar ucapan Zhong Weixia itu, ketiganya pun terdiam, meskipun masih menyimpan amarah dalam hati, tapi ancaman
halus Zhong Weixia membuat mereka terdiam. Reputasi dan nama besar, apalagi yang sudah dipupuk selama belasan
generasi, memang sangat berharga bahkan mungkin lebih berharga dari nyawa mereka sendiri. Yang jelas, lebih berharga
dibandingkan nyawa puluhan anggota Partai Pedang Keadilan. Lebih berharga dari kebenaran dan keadilan.
Dengan suara tertahan Xun Siaoma berkata, "Jadi menurut Ketua Zhong, menghamba pada perempuan itu demi beberapa
jilid kitab tidaklah memalukan?"
Zhong Weixia tersenyum mengejek dan berkata, "Dalam pandanganku tidak memalukan. Berapa jilid kitab itu toh
merupakan warisan yang hilang dari para pendiri Partai Kongtong. Bukankah yang kulakukan adalah demi membalas budi
pada partai yang membesarkanku" Sebuah bentuk bakti pada pada pendiri yang telah meninggal?"
Xun Siaoma pun hanya mendengus tanpa bisa menjawab. Aneh memang, bakti pada orang tua, bakti pada guru, seringkali
menjadi alasan untuk melakukan apa pun juga atas nama bakti. Di jaman tiga kerajaan, Cao Cao membumi hanguskan
Xuzhou, membunuh puluhan ribu orang tak berdosa, termasuk anak-anak, perempuan, orang tua tidak satu pun disisakan,
dengan alasan membalaskan dendam ayahnya. Padahal bakti pada orang tua dan mereka yang sudah berjasa dalam hidup
kita adalah sesuatu yang mulia. Tapi entah dengan cara apa, manusia seringkali punya cara, untuk menyelewengkan
sesuatu yang mulia menjadi sesuatu yang salah. Cinta, sesuatu yang mulia, terkadang dijadikan alasan untuk melakukan
perbuatan zinah. Kecintaan pada negara, bisa diselewengkan menjadi kekejian dan kekejaman. Keadilan pun diselewengkan
menjadi pembalasan dendam, sementara kemurahan dan maaf diselewengkan justru dengan membebaskan yang bersalah
dan melupakan keadilan. Mungkin benar bahwa hati manusia tak ubahnya sebuah kaca atau cermin, jika hati itu kotor, maka segala apa yang
melaluinya pun akan menjadi kotor. Meski sebuah sinar yang jernih dan cemerlang pun, ketika ditangkap oleh hati yang
kotor, maka kotor pula yang dikeluarkan.
Tidak salah jika seorang guru besar di jaman yang lalu pernah berkata, jika terang yang ada dalam diri ini menjadi gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.
Orang buta bagaimana bisa melihat dan menilai, Xun Siaoma pun hanya bisa mendengus tanpa bisa menyalahkan tindakan
Zhong Weixia yang atas nama bakti pada partai dan guru, tanpa segan-segan mengorbankan nyawa orang-orang yang tak
bersalah. Apalagi sekarang dirinya sedang berjalan di atas jalan yang sama, demi masa depan Hoasan, dia melanggar hati
nuraninya sendiri. Ketua dari Partai Hoasan, sudah beberapa generasi diturunkan secara turun temurun dan keturunan Pan
Jun adalah anak Murong Yun Hua yang di pandangan banyak orang saat ini adalah anak Ding Tao. Tapi apakah hanya demi
mempertahankan kebiasaan selama beberapa generasi Xun Siaoma mati-matian membela anak keturunan Pan Jun"
Berita ini sendiri adalah berita miring yang sempat terdengar puluhan tahun yang lalu sebeum tiba-tiba menghilang, berikut dengan menghilangnya nyawa mereka yang berani berkicau. Isi berita itu, tidak lain mengenai siapa sesungguhnya ayah
dari Pan Jun, benarkan ayahnya adalah Pan Tong, ataukah hasil kisah asmara terlarang dari Xun Siaoma dengan isteri Pan
Tong. Ya.. dalam hatinya Xun Siaoma sungguh sedang menyesali dan menangisi kesalahannya di masa muda. Tidak salah jika ada
ujar-ujar, siapa menanam angin akan menuai badai, siapa menanam kejahatan akan menuai kesengsaraan. Sayang,
bukannya belajar dari masa lalu, Xun Siaoma ternyata belum juga bisa melepaskan diri dari kegelapan hati. Bukannya
dengan rela menerima hukuman dari langit, dia justru terus memberontak dan membuahkan kejahatan yang lebih besar.
Padahal siapa yang bisa melawan aturan langit" Hukum manusia boleh tak bermata, tapi hukum Sang Pencipta terus
bekerja meskipun terkadang tak bisa terlihat langsung akibatnya.
Diamnya Xun Siaoma membuat senyum di wajah Zhong Weixia makin lebar. Dalam persekutuan yang digalang Murong Yun
Hua, dia merasa dirinya berada di atas angin. Setiap rahasia buruk sudah ada di tangannya, betapa mudahnya bagi dirinya untuk menangguk keuntungan di saat Murong Yun Hua terpeleset nanti. Yang penting sekarang adalah kesabaran dan
Zhong Weixia punya batas kesabaran yang cukup tinggi. Kenapa tidak" Setiap kali dia tidak sabar atau kehilangan kendali, emosinya akan mereda setelah dia lampiaskan kekesalannya itu pada orang lain, jika orang itu adalah lawan dari Partai
Kongtong bagus, jika tidak masih ada anak murid Partai Kongtong yang bisa dia hajar.
"Baik, kalau kita semua sudah paham dengan kedudukan masing-masing, baiklah kita lanjutkan pengejaran ini. Sudah ada
banyak waktu terbuang sia-sia.", ujar Zhong Weixia sambil melihat ke arah tiga orang yang lain.
"Tunggu, adanya empat ekor kuda, kemungkinan besar pada akhirnya keempatnya akan berpisah arah.", ujar Bai Chungho
untuk kedua kalinya. "Lalu?", tanya Zhong Weixia sedikit tidak sabar.
Tersenyum simpul Bai Chungho melanjutkan, "Kita ada empat, dengan sendirinya akan dipaksa untuk membagi tugas,
masing-masing ke arah yang berlainan. Di lain pihak, 8 dari 10 bagian aku yakin, mereka yang membantu Ding Tao
melarikan diri ini tentu sudah sekongkol pula dengan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan."
"Itu artinya, siapapun yang mengejar kuda yang benar, harus berhadapan dengan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta
Chongxan.", sambung Xun Siaoma dengan senyum simpul, hatinya merasakan sedikit kenikmatan melihat ada orang yang
berpikir lebih cermat dari Zhong Weixia.
Senyum di wajah Zhong Weixia pun menghilang, dia benci sekali, harus mengakui ada orang lain yang berpikir lebih
panjang dari dirinya, "Hmm?"
Zhong Weixia berpikir sejenak, melihat ke arah tiga orang yang lain, akhirnya sambil mendengus kesal dia mengakui
kebenaran perkataan Bai Chungho, "Hahh!!! Ya sudahlah, kita kembali saja, hentikan saja pengejaran ini!"
"Tidak" tunggu dulu, bukan begitu maksudku?", ujar Bai Chungho dengan mata berkilat tajam.
"Baik" lalu apa maksudmu?", tanya Zhong Weixia dengan geraham mengatup erat.
"Kuda boleh ada empat, tapi Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen hanyalah dua orang.", ujar Bai Chungho dengan
nada penuh kemenangan. Ya, kuda yang dikejar boleh jadi ada empat, tapi momok yang sebenarnya, yang menjadi penghalang utama hanya ada dua.
"Kita ikuti saja mereka berdua, kalaupun mereka kemudian berpencar, entah nantinya berkumpul kembali atau tetap
berpisah untuk mengaburkan jejak. Pada akhirnya kita akan menemui mereka, dua lawan satu. Boleh saja Ding Tao lepas,
tapi saat ini mereka berdua adalah penghalang yang lebih besar dari Ding Tao.", lanjut Bai Chungho.
"Benar" Ding Tao sudah terkena pengaruh Obat Dewa Pengetahuan, jika dia tidak meminum obat itu dalam waktu
beberapa bulan dia akan jadi manusia lumpuh tak berguna.", sambung Guang Yong Kwang.
"Jadi" maksudmu, kita gunakan kesempatan ini untuk menyingkirkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan?", tanya
Zhong Weixia hati-hati. Senyum kejam terbentuk di wajah Bai Chungho dan dengan suara dingin dia menjwab, "Ya?"
Tiga orang yang lain pun memandang Bai Chungho dengan berbagai perasaan berkecamuk dalam hati. Ternyata di antara
mereka berempat, Bai Chungho-lah yang paling licik dan kejam. Xun Siaoma pun bertanya-tanya dalam hati, bagaimana
bisa selama ini dia tertipu oleh penampilan Bai Chungho yang bersandiwara sebagai tokoh tua dengan watak terbuka dan
bersahabat itu. Sementara Zhong Weixia mengakui kecerdikan Bai Chungho, di saat yang sama dia menandai Bai Chungho
sebagai tokoh yang berbahaya, dalam hati Zhong Weixia sudah mengambil keputusan, jika tiba saatnya dia hendak
menumbangkan Murong Yun Hua, Bai Chungho adalah orang pertama yang dia singkirkan. Guang Yong Kwang berbeda lagi,
dalam hatinya dia mengakui kedudukannya adalah yang paling lemah di antara yang lain dan dia mulai berharap bisa
menjadikan Bai Chungho sekutu untuk bekerja sama mengimbangi Zhong Weixia yang kedudukannya lebih kuat.
"Baiklah, kita lakukan", ujar Zhong Weixia dengan perasaan pahit, karena meskipun dia berlaku sebagai pemimpin di antara mereka berempat, saat ini dia terpaksa harus menerima pendapat Bai Chungho.
Dengan perkataan itu pun mereka ber-empat bergegas mengikuti jejak Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang
sudah terlebih dahulu bergerak. Empat orang yang bekerja sama, namun dalam hati menyimpan permusuhan satu dengan
yang lain dan masing-masing memiliki pamrih yang berbeda. Zhong Weixia menghibur diri, dengan mengingatkan dirinya
bahwa rahasia busuk tiga orang yang lain ada padanya. Sementara tiga orang yang lain, terutama Bai Chungho, menghibur
diri dengan mengingat, betapa Zhong Weixia sudah dibuat malu oleh Bai Chungho, ketika Bai Chungho berhasil
menunjukkan bahwa akalnya lebih panjang dari Zhong Weixia.
Empat orang itu bukan tokoh sembarangan, dengan pengalaman dan pemikiran yang sudah matang. Buruan yang mereka
kejar selalu mereka dapatkan. Cepat atau lambat, jejak Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun akan mereka
dapatkan tapi baik Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun sudah memperhitungkan hal ini, yang terpenting Ding Tao
dan mereka yang berusaha menolongnya sudah menang waktu. Di saat Zhong Weixia dan yang lain sedang mencari jejak
mereka, Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan, Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya sudah berkumpul.
"Di mana dia" Bagaimana keadaannya?", tanya Bhiksu Khongzhen ketika akhirnya dia dan Pendeta Chongxan sampai di
tempat persembunyian sementara yang sudah mereka siapkan.
"Dia masih belum sadar tapi kurasa itu lebih karena batinnya yang tidak tahan menerima guncangan hari ini bukan keadaan fisiknya sendiri yang bermasalah.", ujar Zhu Yanyan sambil mengantar dua orang tokoh tua itu menengok Ding Tao.
Melangkah masuk ke sebuah kamar yang kecil dengan penerangan seadanya, mereka berdua melihat Wang Shu Lin yang
dengan khawatir menunggui Ding Tao yang tidak sadarkan diri. Pendeta Chongxan pun mendekat dan meraba nadi di
pergelangan tangan Ding Tao sementara yang lain memperhatikan.
"Ketua" Pendeta Chongxan, apakah dia baik-baik saja?", tanya Wang Shu Lin dengan khawatir, meskipun sudah
mendapatkan penjelasan dari gurunya, hatinya masih khawatir.
Pendeta Chongxan pun menatap lembut gadis itu, bisa dilihatnya betapa gadis itu mengkhawatirkan Ding Tao, tersenyum
lembut dia menjawab, "Tidak apa, tidak ada luka yang berbahaya, baik di dalam maupun di luar. Hanya tekanan batin yang
terlampau kuat membuat dia tidak sadar, mungkin itu yang terbaik. Untuk sementara ini kita biarkan dia saja sampai dia
sadar sendiri, kukira tidak perlu menunggu lama tentu dia akan sadar kembali."
Bhiksu Khongzhen mengangguk setuju dan melanjutkan, "Sembari menunggu Ketua Ding Tao sadar ada beberapa hal yang
perlu aku bicarakan dengan kalian."
Setelah berkata demikian Bhiksu Khongzhen berjalan ke ruangan tengah diikuti Pendeta Chongxan, enam orang guru Wang
Shu Lin pun menyusul. Wang Shu Lin yang masih merasa sedikit khawatir pada keadaan Ding Tao, sempat meragu. Namun
Shu Sun Er yang memahami perasaan Wang Shu Lin menepuk pundak gadis itu.
"Ayolah", tidak akan terjadi apa-apa padanya.", ujar Shu Sun Er.
Wang Shu Lin memandang gurunya itu beberapa saat, ketika terpandang wajah gurunya yang tenang, hatinya pun ikut
merasa lebih tenang, "Baiklah?"
Ketika Wang Shu Lin sampai di ruangan tengah, ke-enam gurunya sedang mendengarkan pesan-pesan dari Pendeta
Chongxan dan Bhiksu Khongzhen.
"Jadi kalian lihat, saat ini ada dua kemungkinan, jika kesetiaan yang ditunjukkan oleh pengikut-pengikut Ketua Ding Tao mampu menggerakkan hati banyak orang, maka selain beberapa orang penting di bawah Murong Yun Hua tidak akan ada
yang mengejar Ketua Ding Tao. Jika demikian maka di depan para pengejar ini, kepada siapa kami berpihak tentu sudah
sangat jelas." "Jika mereka masih nekad mengejar, itu artinya mereka merasa punya kesempatan untuk mengalahkan kami berdua.", ujar
Bhiksu Khongzhen. "Tapi jika ada banyak orang dunia persilatan yang ikut mengejar, kukira kami berdua masih punya kesempatan untuk
mempengaruhi mereka. Bagaimana pun juga dunia persilatan dibangun atas nilai-nilai kehormatan dan kesetiaan,
mengingkari hal itu, sama juga mencari mati buat diri sendiri. Setiap kepala geng, ketua partai atau kepala dari sebuah perguruan tidak akan berbuat sesuatu yang bisa membuat orang-orang di bawah mereka mengecilkan nilai-nilai kesetiaan.", ujar Pendeta Chongxan menimpali.
"Jika demikian ketua, kenapa kami tidak ketua ijinkan untuk ikut bersiap menghadang pengejar yang mungkin tiba" Masih
ada Wang Shu Lin yang bisa membawa Ketua Ding Tao pergi.", ujar Zhu Yanyan dengan serius.
"Hmm" bisa dikatakan pada saat ini, kekuatan kita jauh berada di bawah lawan dan kami berdua tidak ingin membuat
kekuatan di pihak kita berkurang lebih jauh lagi.", jawab Pendeta Chongxan.
"Lagipula" jika benar mereka datang dalam jumlah tak terlalu banyak", bagaimana pun juga kami berdua masih belum
bisa melepaskan sedikit ego kami. Setidaknya masih ada harga diri kami sebagai seorang pesilat, kami tidak ingin
mendapatkan bantuan orang untuk menghadapi mereka.", ucap Bhiksu Khongzhen sambil tersenyum kecil.
"Tapi kakak?" Khongti yang tidak rela melihat bahaya mengancam kakak seperguruannya hendak membantah.
"Tidak" jangan katakan apapun, pikirkan juga, apa yang akan terjadi jika ternyata mereka membawa pengikut mereka
untuk ikut mengejar. Apa artinya tambahan 6 orang lagi, kecuali mengantarkan nyawa sia-sia" Juga bagaimana jika kita
kalah dalam pertarungan itu" Bukankah itu artinya, kita dari generasi tua, meninggalkan dua orang anak muda untuk
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menolong diri mereka sendiri?", potong Bhiksu Khongzhen sambil menggelengkan kepalanya.
"Jika demikian, kenapa kakak tidak ikut menghindar dari pertarungan ini" Bukankah lebih baik jika kakak dan Ketua
pendeta Chongxan menghindar dari mereka?", tanya Khongti tidak puas dengan keputusan mereka berdua.
"Tidak" tidak", kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan, jika kami menghindar dari pertarungan, bagaimana jika
mereka berhasil menyusul kalian" Selain itu seperti yang dikatakan Saudara Khongzhen, kami masih memiliki harga diri
sebagai seorang pesilat, masakan kami hendak melarikan diri dari kumpulan orang macam mereka?", kali ini Pendeta
Chongxan yang menjawab. "Hmm" apakah kau meragukan kemampuan kami?", tanya Bhiksu Khongzhen pada Khongti.
"Ah, kakak bilang... tidak berani", tidak berani" , tapi lawan adalah orang yang licik.", ujar Khongti terbata-bata.
"Heh" apa kau kira kami sampai pada kedudukan kami sekarang hanya mengandalkan otot saja" Dari dulu pun orang-
orang licik selalu ada, bahkan ada yang berpendapat siasat adalah bagian dari ilmu silat. Jadi ini bukan yang pertama
kalinya kami berhadapan dengan lawan yang licik.", jawab Bhiksu Khongzhen sambil tertawa pelan.
Khongti sudah membuka mulutnya untuk ke-sekian kalinya ketika Zhu Yanyan menepuk pundaknya dan berkata, "Adik
Khongti sudahlah, kukira ketua berdua sudah memutuskan hal ini sejak awal."
Khongti melihat ke arah Zhu Yanyan hendak membantah, tapi ketika dia melihat wajah Zhu Yanyan yang bersedih dia tak
sanggup berkata-kata. Akhirnya Khongti hanya bisa m enundukkan kepala dan mendesah sedih.
Melihat kesedihan yang tidak bisa diungkapkan di wajah Khongti, hati Bhiksu Khongzhen pun tergerak, dengan suara parau
dia berkata, "Sudahlah, kami berdua sudah semakin tua, kalaupun bukan mati dalam sebuah pertarungan, kami akan mati
oleh karena usia. Apakah ada bedanya?"
"Hahh" yang dikatakan Saudara Khongzhen benar, usia kami sudah terlalu tua dan beberapa tahun ke depan, tokoh-tokoh
seperti Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang akan melampaui kami yang mulai dimakan usia. Memikirkan bahwa orang-
orang seperti mereka akan berada di bawah arahan seseorang seperti Murong Yun Hua membuat kami ngeri.", ujar Bhiksu
Khongzhen melanjutkan. "Pada saat itu", maka harapan kami ada pada generasi muda yang cemerlang, seperti murid kalian Nona Wang Shu Lin dan
Ketua Ding Tao. Oleh karena itu, kami bersedia mempertaruhkan nyawa kami untuk menyelamatkan nyawa Ketua Ding
Tao.", ujar Bhiksu Khongzhen menutup penjelasannya.
Pendeta Chongxan tersenyum lembut memandangi wajah-wajah sedih di sekelilingnya dan menyambung, "Tidak ada alasan
untuk bersedih, segala sesuatunya memang berjalan alami, yang tua digantikan yang muda. Tidak ada kehidupan tanpa
akhir. Satu generasi mati digantikan generasi baru, itu sudah merupakan sesuatu yang wajar."
Wang Shu Lin dan ke-enam orang gurunya pun terdiam, terharu merenungi keputusan dua orang tokoh tua itu.
"Sudahlah, ada hal yang ingin kami sampaikan pada kalian, harap kalian dengarkan baik-baik.", ujar Bhiksu Khongzhen
setelah terdiam beberapa saat.
"Pada saat kami berpura-pura menyerang Ketua Ding Tao untuk membantu dia kabur, sebenarnya kami menggunakan ilmu
simpanan kami yang merupakan inti dari berbagai ilmu yang ada di Shaolin dan Wudang. Kami sadar kemungkinan besar
peristiwa yang terjadi akan sampai pula pada titik ini dan nyawa kami mungkin sulit dipertahankan melampaui malam ini.
Sayang apa yang sudah kami capai ini, tak dapat kami wariskan pada generasi Shaolin dan Wudang yang ada pada saat
ini.", lanjut Bhiksu Khongzhen.
"Kami berharap Ketua Ding Tao dapat kami titipi inti sari dari ilmu Shaolin dan Wudang yang sudah kami pahami ini, untuk disampaikan pada generasi muda anak murid Shaolin dan Wudang nanti. Ada beberapa anak murid Shaolin dan Wudang
yang berbakat dan kami yakin akan mampu memahaminya, hanya sayang, saat ini mereka masih belum cukup matang
untuk memahaminya, sementara waktu kami semakin singkat saja.", ujar Bhiksu Khongzhen.
"Zhu Yanyan, Khongti, kau mengerti apa artinya ini" Lindungilah nyawa Ketua Ding Tao, karena di atas pundaknya telah
kami titipkan pula masa depan Shaolin dan Wudang.", ujar Pendeta Chongxan pada Zhu Yanyan.
"Karena itu jangan kalian berpikir untuk mengikuti kami mempertaruhkan nyawa, tugas kalian adalah memastikan Ketua
Ding Tao selamat. Bukan hanya sekedar selamat karena dari tuduhan-tuduhan yang disampaikan padanya hari ini, kurasa
selama ini tentu dia mengkonsumsi pula Obat Dewa Pengetahuan yang dalam beberapa hari ke depan akan mulai
menunjukkan efek buruknya. Jika hal itu benar, maka kalian juga harus mencarikan jalan untuk menyembuhkan dia.",
sambung Bhiksu Khongzhen.
"Kakak, apa maksud kakak tentang Obat Dewa Pengetahuan?", tanya Khongti tak mengerti.
Maka Bhiksu Khongzhen pun menjelaskan sedikit banyak yang bisa dia tangkap dari tuduhan-tuduhan Murong Yun Hua pada
Ding Tao tentang penggunaan Obat Dewa Pengetahuan, "Sungguh kami baru mengetahuinya pada saat itu, jika tidak,
mungkin kami akan memikirkan cara lain untuk mewariskan apa yang berhasil kami sarikan dari kumpulan ilmu warisan
Shaolin dan Wudang?"
"Tidak" kukira tidak ada cara lain yang lebih tepat, menuliskannya dalam sebuah kitab tidak ada gunanya. Dalam bentuk
tulisan, kitab-kitab yang sudah ada sudah menyampaikannya dengan cara yang terbaik dan teratur. Yang tidak bisa
disampaikan dalam bentuk tulisan, yang hanya bisa disampaikan secara langsung, disesuaikan dengan sifat, pengalaman
dan pemahaman pendengarnya.", ujar Pendeta Chongxan sambil tersenyum.
Bhiksu Khongzhen memandang sekilas pada sahabatnya itu kemudian menganggukkan kepala sambil tersenyum, "Yah" kau
benar" memang tiap-tiap kejadian menyebabkan keputusan itu diambil. Hehh" sudah kehendak langit?"
"Kakak, ada muridku Wang Shu Lin di sini, otaknya pun cukup cerdas, mengapa tidak kakak sampaikan pula pada dia?",
tanya Khongti. Bhiksu Khongzhen menggelengkan kepala perlahan, "Muridmu memang memiliki bakat yang sangat bagus. Sayangnya
dasarnya kurang kuat, kami sudah melihat keduanya bertarung di kaki Gunung Songshan dan dari apa yang kami lihat itu
kami bisa mengira-ngira sejauh mana mereka berdua sudah berjalan. Itu sebabnya kami merasa Ketua Ding Tao
merupakan orang yang tepat untuk kami titipi warisan ini."
"Tapi jika benar dia mengkonsumsi Obat Dewa Pengetahuan, bukankah itu artinya hasil yang dia capai adalah berkat
bantuan obat itu. Sekarang dengan tidak adanya obat, bukan saja kemampuannya akan menurun tapi malah ada efek buruk
dari kebiasaan mengkonsumsi obat itu.", keluh Khongti tidak puas.
"Tidak juga, jika benar dia menerima obat itu dari Murong Yun Hua, itu artinya sebelum dia mendapatkan bantuan dari obat itu, dia sudah bisa mengembangkan ilmunya hingga dia bisa menandingi Sepasang Iblis Muka Giok hanya bermodalkan ilmu
pedang keluarga Huang yang diajarkan pada anggota luar. Menilik ini saja sudah bisa dikatakan bakatnya memang luar
biasa.", ujar Pendeta Chongxan membela Ding Tao.
"Lalu bagaimana sekarang dengan keadaannya setelah mengkonsumsi Obat Dewa Pengetahuan?", tanya Zhu Yanyan.
"Itulah yang menjadi salah satu dari tugas kalian.", ujar Pendeta Chongxan sambil tertawa kecil.
"Tetua " aku berjanji akan melindungi dia dan berusaha menyembuhkan dia dari pengaruh buruk Obat Dewa
Pengetahuan.", sela Wang Shu Lin sebelum Zhu Yanyan atau Khongti sempat menyahut.
"Anak baik" anak baik", baiklah kutitipkan masa depan Wudang padamu", ujar Pendeta Chongxan sambil tersenyum.
"Hanya saja, tidak enak juga meninggalkan dunia ini dengan berhutang, supaya hatiku tidak ada ganjalan, terimalah sejilid kitab ini. Hitung-hitung kau masih termasuk anak keturunan dari Perguruan Wudang.", ujar Pendeta Chongxan sambil
mengeluarkan sejilid kitab tipis dari kantung bajunya.
"Ah tidak-tidak" tetua mengapa berkata demikian, sebaiknya jangan, jika saya terima kitab ini, kesannya saya
menerimanya dengan satu pamrih di hati", ujar Wang Shu Lin dengan tulus, berusaha menolak pemberian Pendeta
Chongxan. Bhiksu Khongzhen tertawa mendengar penolakan Wang Shu Lin, "Hahahaha, Adik Khongti, sungguh kau sudah memilih
murid yang baik. Anak Shu Lin, janganlah merasa demikian, sebenarnya kami berdua sudah memutuskan untuk
memberikan sesuatu padamu. Kami merasa sayang padamu, kau adalah murid dari adik seperguruan kami, dengan
sendirinya masih ada hubungan dengan Shaolin dan Wudang. Terimalah kitab itu dan ini dariku."
Wang Shu Lin pun merasa terharu pada kebaikan mereka berdua, sementara ke-enam gurunya melihat dengan hati senang.
Dengan hormat Wang Shu Lin menerima kitab yang diangsurkan oleh Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen.
"Terima kasih banyak, terima kasih" aku akan mempelajarinya baik-baik, aku berjanji tidak akan menggunakannya di jalan
yang salah.", ucap gadis itu sambil menerima kedua kitab yang dihadiahkan padanya.
"Kitab yang kuberikan adalah ilmu pedang ciptaanku sendiri, meskipun berdasarkan ilmu dari peguruan Wudang, tapi juga
tidak bisa dikatakan sebagai warisan Wudang, karena aku sudah memutuskan untuk mewariskannya padamu seorang.",
ujar Pendeta Chongxan. "Sedangkan kitab yang kuberikan padamu, kitab itu bukan berasal dari Shaolin. Kitab itu kudapatkan dalam
pengembaraanku di masa muda. Sifatnya lembut, lebih sesuai untuk seorang gadis, kau boleh menggunakannya dengan
bebas.", ujar Bhiksu Khongzhen.
Sekali lagi Wang Shu Lin mengucapkan terima kasih, demikian pula ke-enam gurunya ikut pula mengungkapkan perasaan
terima kasih mereka pada kedua tokoh tua yang murah hati itu. Saat perpisahan pun akhirnya tiba, Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan tidak ingin terlalu lama berada di sana. Mereka berdua tidak ingin para pengejar Ding Tao sampai terlalu dekat dengan tempat persembunyian sementara mereka. Mereka pun menyarankan agar Wang Shu Lin dan enam orang
gurunya, sesegera mungkin membawa Ding Tao pergi ke desa Hotu, segera setelah Ding Tao sadar. Dengan wajah murung
Wang Shu Lin dan ke-enam orang gurunya mengantarkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pergi, hati mereka
terasa berat, membayangkan kedua orang tokoh tua itu akan berhadapan dengan lawan-lawan tangguh di usia mereka yang
sudah lanjut. Apalagi keduanya seperti bersiap hendak meninggalkan dunia ini, dengan pesan-pesan juga warisan yang
mereka berikan pada generasi muda. Seperti sebuah pertanda buruk sebelum berangkat berperang.
Melihat wajah muram mereka, Bhiksu Khongzhen tertawa lepas, "Sudahlah, segala sesuatunya belum ada kepastian, tidak
perlu terlalu mengkhawatirkan apa yang akan terjadi."
Dengan perkataan itu, mereka pun berpamitan dan meninggalkan tempat itu. Perhitungan mereka berdua jarang meleset,
jika sekarang ini mereka pun seperti mendapat firasat akan akhir hidup mereka, kemungkinan besar keberangkatan mereka
ini benar-benar menyongsong maut. Namun meski maut membayang di depan mata, keduanya berjalan dengan tenang,
dengan hati bersih seperti air di danau yang tenang. Bisa hidup sesuai dengan nurani, matipun tidak ada yang disesali,
keduanya , menghadapi kematian seperti sepasang sahabat yang hendak pergi makan siang, semuanya diterima sebagai
satu kewajaran. Kematian memang tidak terelakkan, tidak satu pun di antara kita mampu lari dari kematian, tapi betapa susah untuk
menerimanya sebagai satu kewajaran.
Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya berdiri di pelataran memandangi punggung kedua orang itu sampai dua sosok tua itu
menghilang dalam kegelapan malam. Satu per satu kemudian kembali memasuki rumah tempat mereka bersembunyi
menanti Ding Tao sadar dari pingsannya. Khongti dan Zhu Yanyan adalah yang terakhir masuk ke dalam rumah.
Sementara yang pertama kali dilakukan Wang Shu Lin setelah memasuki rumah, adalah pergi untuk melihat keadaan Ding
Tao. Ketika dia memasuki kamar, dilihatnya Ding Tao sedang duduk termenung, tidak menyadari kehadirannya sama sekali.
Samar-samar terdengar dia bergumam.
"Ma Songquan, Chu Linhe, Chou Liang, Liu Chuncao, Chen Wuxi, Wang Xiaho, Fu Tong, ?"
Demikian Ding Tao menyebutkan satu per satu, nama pengikutnya yang hari itu berhadapan dengan kematian. Hati Wang
Shu Lin ikut terasa pedih melihat keadaan Ding Tao. Diam-diam dia keluar dari kamar.
"Guru, dia sudah sadar", ucapnya pada ke-enam orang gurunya.
"Benarkah" Bagus", dengar aku sudah berpikir, sebaiknya tiga orang dari kita kembali ke Jiang Ling diam-diam.
Mendengarkan berita-berita, yang lainnya bersama Wang Shu Lin akan mengawal Ketua Ding Tao ke Desa Hotu. Bagaimana
menurut kalian?", kata Zhu Yanyan menengok pada lima orang yang lain.
"Aku setuju, biar aku ikut dengan kakak menyerap berita di Jiang Ling.", ujar Khongti dengan cepat.
Empat orang yang lain saling pandang dalam hati segera mengerti, dua orang ini tentu merasa khawatir dengan keadaan
kakak seperguruan mereka, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Membuat dua orang tokoh tua itu membatalkan niat
mereka juga tidak mungkin, karena keduanya punya alasan yang cukup kuat. Melanggar pesan keduanya untuk tidak
membantu juga tidak berani, sehingga akhirnya yang bisa dilakukan hanyalah menanti berita tentang nasib mereka berdua.
Juga jika dipikir lebih jauh, memang ada pentingnya memasang telinga, dengan demikian dalam pelarian nanti mereka bisa
punya pegangan akan keadaan terakhir di Kota Jiang Ling. Maklum penyebaran berita tidaklah sepesat di jaman sekarang,
kecuali jika memang ada orang-orang yang bertugas untuk itu.
"Kalau begitu biar aku yang menemani kakak berdua", ujar Chen Taijiang.
Yang lain pun segera mengangguk setuju, karena setelah Zhu Yanyan, maka yang paling penyabar di antara mereka adalah
Chen Taijiang, harapannya tentu saja jika ada berita yang tidak mengenakkan hati dan membangkitkan emosi, Chen
Taijiang bisa meredamnya. Sementara Hu Ban yang panjang akal akan lebih dibutuhkan bagi mereka yang bergerak
membawa Ding Tao. Zhu Yanyan dan Khongti sendiri tampaknya puas dengan pembagian yang dilakukan.
"Baiklah, kalau begitu, sebaiknya kalian mulai bergerak sekarang. Sementara aku, Adik Khongti dan Adik Chen Taijiang
akan bergerak mendekati dini hari nanti, sehingga kami akan masuk kota bersamaan dengan orang-orang yang lain.", ujar
Zhu Yanyan memberi keputusan.
"Wang Shu Lin, mari kita tengok keadaan Ketua Ding Tao lebih dulu, sementara yang lain bersiap.", ujar Hu Ban sembari
bangkit dan menggamit tangan Wang Shu Lin.
"Aku ikut", ujar Shu Sun Er.
"Baiklah kalian pergi menengok dia, sementara aku akan mempersiapkan keberangkatan kita.", ujar Pang Boxi bangkit
berdiri. "Ayolah, akan kami bantu juga, toh masih lama sebelum kami berangkat", ujar Khongti diikuti oleh Zhu Yanyan dan Chen
Taijiang. Sekilas ada kepahitan memancar dari mata Zhu Yanyan dan Khongti ketika menyebutkan nama Ding Tao. Dalam hati tidak
rela, mengapa kakak seperguruan yang begitu mereka sanjung dan hormati, harus mempertaruhkan nyawa untuk Ding Tao
yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan mereka. Sungguhpun sebagai orang yang sudah berumur dan dibesarkan
dalam lingkungan yang mendidik mereka keras dalam hal keagamaan, toh masih ada bagian dari diri mereka yang belum
bisa menerima. Zhu Yanyan pun menghela nafas saat mengingat keikhlasan yang terpancar dari wajah Pendeta Chongxan
dan mengeluh pendek saat mengingat betapa dirinya masih sulit menerima sedangkan orang yang menjalaninya sendiri
sudah meng-ikhlas-kan. Sambil melangkah dan bekerja, menyiapkan segala sesuatunya, baik Zhu Yanyan dan Khongti terus menerus mengingatkan
diri sendiri, berusaha mengikis kepahitan yang mereka rasakan pada Ding Tao. Kalaupun mereka belum bisa sampai pada
keikhlasan yang ditunjukkan oleh kakak seperguruan mereka, setidaknya mereka sudah berada di jalan yang sama.
Di dalam kamar Ding Tao terlihat pemandangan yang berbeda. Ding Tao yang mulai menyadari keadaan dirinya dan
sekitarnya, melompat bangkit dan berdiri dengan sikap menantang ketika Wang Shu Lin, Hu Ban dan Shu Sun Er masuk ke
dalam kamar itu. "Siapa kalian!?", tanya Ding Tao dengan nada suara bermusuhan.
"Tenang Ding Tao" ini aku" Wang Shu Lin.", ujar Wang Shu Lin dengan sedih dan cemas.
"Wang Shu Lin?", jawab Ding Tao dengan nada bertanya, jelas pikirannya belum sepenuhnya bekerja dengan mapan.
"Wang Shu Lin", Ximen Lisi, kita bertemu pertama kali di kaki Gunung Songshan?", jawab Wang Shu Lin sedih melihat Ding
Tao melupakan dirinya. "Wang Shu Lin" Ximen Lisi" oh" Nona Wang Shu Lin?", suara Ding Tao pun berubah melembut, ketika ingatannya akan
Wang Shu Lin mulai kembali.
Tapi hanya sebentar saja karena rasa simpati yang dulunya dikaitkan dengan diri Wang Shu Lin sebagai seorang nona muda
yang cantik, gagah dan menarik hati, sekarang berubah menjadi rasa curiga. Ya, menjadi curiga, karena sekarang seorang
wanita yang cantik dan menarik hati sudah memiliki arti baru dalam benak Ding Tao. Sejak pengkhianatan Murong Yun Hua,
wanita cantik dan memikat hati sekarang sama dengan seorang pengkhianat, sama dengan udang di balik batu, sama
dengan tidak bisa dipercaya dan sederetan keburukan yang lain. Wajahnya yang sempat melembut pun berubah menjadi
dingin. Dengan sopan namun dingin dia bertanya, "Nona Wang Shu Lin", rupanya nona dan rekan-rekan nona yang menolong
diriku. Aku ucapkan terima kasih pada kalian. Sekarang apa rencana kalian selanjutnya" Kukira kalian tentunya sudah
memikirkan sesuatu."
Serasa diiris-iris dengan sembilu perasaan Wang Shu Lin mendengar cara Ding Tao menjawab, demikian dingin dan
pertanyaan yang terakhir seperti bermakna dua. Antara menanyakan rencana mereka untuk menyelamatkan Ding Tao
namun dibaliknya, yang tidak terkatakan adalah, apa mau kalian dariku" Bukan hanya Wang Shu Lin yang tertusuk hatinya,
kedua orang gurunya juga ikut tersentuh dan mereka bisa merasa amarah mulai muncul dalam hati mereka. Baiknya
keduanya merupakan tokoh-tokoh tua yang sudah matang pribadinya, dengan pengendalian diri yang sempurna mereka
menekan amarah hendak muncul dalam hati mereka itu.
"Ketua Ding Tao baru saja mengalami satu peristiwa yang sangat menyakitkan, kami mengerti jika Ketua Ding Tao merasa
curiga terhadap kami pula, meski kami adalah orang-orang yang menolong Ketua Ding Tao lepas dari bahaya.", ujar Hu Ban
dengan tenang, dengan ucapannya itu selain menegur Ding Tao secara halus, juga ingin mengingatkan dan menghibur
Wang Shu Lin muridnya. Wang Shu Lin pun mengerti maksud gurunya, dengan senyum sedikit dipaksakan dia tersenyum pada Hu Ban lalu
mengenalkan mereka pada Ding Tao, "Ding Tao", mereka ini adalah guru-guruku. Beliau ini adalah Guru Hu Ban dari
Hoashan dan ini Guru Shu Sun Er dari Enmei."
Wajah Ding Tao sedikit memerah mendengar sindiran halus Hu Ban, meski demikian kecurigaan dalam hatinya tidak hilang
begitu saja, tapi tetap saja dia kemudian membungkuk hormat dan nada suaranya berubah jauh lebih ramah, "Tetua,
rupanya tetua berdua adalah guru dari Nona Wang Shu Lin. Maafkan kecurigaanku" yang mungkin tidak pada tempatnya?"
"Tidak apa-apa" kami bisa membayangkan perasaan Ketua Ding Tao saat ini. Hanya saja kami harap, Ketua Ding Tao masih
menyediakan tempat untuk mempercayai orang lain. Memang hari ini Ketua Ding Tao dihadapkan pada pengkhianatan yang
sangat mengejutkan dan menyakitkan hati, tapi bukankah di saat yang sama Ketua Ding Tao juga melihat kesetiaan dan
persahabatan yang diberikan orang pada ketua, meski harganya adalah kematian?", ujar Hu Ban dengan lembut.
Wang Shu Lin memandang wajah Ding Tao dengan cemas dan tak habis pikir, mengapa gurunya justru mengingatkan
kembali Ding Tao pada kenangan buruk itu. Benar saja wajah Ding Tao tampak menggerenyit menahan nyeri di dada,
mengenangkan kematian puluhan orang yang merelakan nyawanya bagi keselamatannya.
"Ketua Ding Tao, mungkin sakit mendengarkan ucapanku barusan. Namun aku tetap harus menyampaikannya, jika tidak
bukankah sama saja aku membiarkan Ketua Ding Tao melupakan kesetiaan mereka" Membiarkan mata Ketua Ding Tao
tertutup dari satu sisi yang indah dari kehidupan ini dan hanya melihat pada sisi buruknya saja.", lanjut Hu Ban kemudian.
"Bukan berarti aku menyarankan Ketua Ding Tao untuk melupakan pengkhianatan yang terjadi dan hanya melihat pada
kesetiaan yang ditunjukkan oleh puluhan pengikut Ketua Ding Tao. Jika demikian maka peristiwa ini pun akan berlalu tanpa memberikan sumbangan kebaikan, yang kuharapkan dari Ketua Ding Tao adalah membuka mata pada kedua kenyataan itu
secara berimbang. Memang ada pengkhianatan ada penipuan, tapi juga ada ketulusan dan kesetiaan."
Ding Tao pun termenung mendengarkan uraian Hu Ban, inilah salah satu sifat baik dari Ding Tao. Berkat gemblengan orang
tuanya semasa dia kecil, telinganya terbuka pada nasihat orang lain, terutama mereka yang lebih tua dari dirinya.
Terkadang saat kita sakit, kita sulit mendengar nasihat orang. Orang yang datang dengan nasihat, tidak jarang kita
tanggapi dengan amarah. Biasanya kita akan berkata, memang mudah untuk bicara tapi siapa yang bisa melakukan"
Padahal bukankah lebih baik jika nasihat yang diberikan kita dengar dan renungkan lebih dahulu" Penghalang terbesar,
biasanya adalah kesombongan dan ego, merasa diri lebih baik dari orang lain, sehingga sulit menerima nasihat dari orang lain. Ini yang tidak ada dalam diri Ding Tao, pemuda yang rendah hati, sehingga dengan mudah menempatkan diri sebagai
orang yang kurang tahu, sebagai orang yang perlu diajar.
Pada hati yang demikian, sebuah nasihat mendapatkan tempat yang baik untuk bertumbuh. Bahayanya jika tidak diiringi
kebijakan dalam menyaring nasihat orang, bisa jadi dia akan menjadi pribadi yang terombang-ambing. Baiknya Ding Tao
adalah seorang yang jujur pada nuraninya sendiri, inilah pegangannya yang terakhir.
"Jadi, jangan mudah percaya, selalu waspada, tapi di saat yang sama juga jangan menghakimi seseorang bila belum
memiliki bukti yang kuat.", kata Hu Ban mengakhiri nasihatnya.
Selesai mendengarkan nasihat Hu Ban, Ding Tao pun menghela nafas, "Aku mengerti" aku mengerti" terima kasih untuk
nasihat tetua", tapi entah" apakah aku bisa melakukannya dalam kehidupan sehari-hari."
Hu Ban tersenyum senang, hatinya mulai merasa simpati pada Ding Tao, "Kita semua berusaha melakukan yang terbaik,
adapun keadaan kita yang sering lupa, itulah perjuangan kita, di mana kita selalu berusaha menengok ke dalam diri, adakah kita sudah menyerong dari jalan yang benar, masih adakah yang perlu diperbaiki dan demikian seterusnya, sampai ajal
menjelang." Setelah hatinya merasa tenang barulah Ding Tao bisa berpikir dengan lebih jernih, hatinya masih pedih jika mengingat
kematian Ma Songquan dan yang lainnya, namun setidaknya dia mulai bisa berpikir. Maka teringatlah dia, ketika dia baru
sadar, sepertinya ada suara yang dia kenal sedang bercakap-cakap di ruangan yang lain.
"Tetua", kalau tidak salah, tadi aku mendengar suara tetua Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Benarkah mereka
ada juga di sini?", tanya Ding Tao pada kedua guru Wang Shu Lin itu.
Shu Sun Er sekilas memandang Hu Ban, Hu Ban pun tidak segera menjawab, membuat jantung Ding Tao berdebar.
"Ada apa" Mengapa diam" Benarkah kedua tetua sempat datang ke mari, jika benar ke mana mereka pergi sekarang?",
tanya Ding Tao dengan perasaan tak enak.
Sebelum Hu Ban sempat menjawab, Zhu Yanyan dan yang lain sudah selesai menyiapkan segala sesuatunya dan sekarang
mereka sudah berkumpul di tempat itu. Mendengar pertanyaan Ding Tao, baik Zhu Yanyan dan Khongti merasa nyeri dalam
dada, namun di luar mereka tetap tenang.
"Bagus kalau Ketua Ding Tao sudah sadar. Kedua ketua memang sempat berada di sini, bisa dikatakan mereka berdualah
yang mengatur rencana penyelamatan dirimu. Sekarang mereka pergi pula untuk satu urusan. Penjelasannya cukup
panjang, sedangkan kita sedang diburu waktu, sebaiknya kita berangkat sekarang nanti akan aku jelaskan di jalan.", jawab Hu Ban dengan cerdik.
"Ah" baiklah, kita hendak pergi ke mana dan" maaf apa benar tetua berempat juga guru dari Nona Wang Shu Lin" Terima
kasih atas pertolongan kalian, budi baik ini tentu akan aku ingat selalu dalam hati.", ujar Ding Tao sambil membungkuk
hormat pada empat orang yang baru masuk.
"Benar mereka ini guruku", jawab Wang Shu Lin untuk kemudian memperkenalkan mereka satu per satu, sesaat kemudian
basa-basi sebuah perkenalan pun berjalan dengan singkat.
"Ayolah akan aku jelaskan sambil kita berjalan, tujuan kita kali ini adalah ke Desa Hotu, sebuah desa di luar perbatasan.", ujar Hu Ban menjawab pertanyaan Ding Tao selanjutnya.
Sambil menjawab, dia pun berjalan keluar dari kamar menuju ke pelataran di mana kuda dan perbekalan mereka sudah
disiapkan. Dengan sendirinya yang lain pun berjalan mengikuti Hu Ban dengan Ding Tao dan Wang Shu Lin sebagai yang
termuda berada paling belakang.
"Desa Hotu?", ujar Ding Tao dengan nada bertanya.
"Benar Desa Hotu, ini adalah pesan dari Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, nanti di sana kita disuruh menemui
seseorang. Ada apa sebenarnya dengan desa itu kami sendiri kurang jelas, karena beliau berdua tidak cukup waktu untuk
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjelaskan semuanya. Yang pasti desa itu berada di luar perbatasan, itu pun sudah merupakan alasan yang cukup kuat
karena seperti yang kita ketahui, lawan kita kali ini punya pengaruh yang kuat hampir di seluruh daratan Tionggoan.", ujar Hu Ban menjelaskan.
Mendengar penjelasan Hu Ban, Ding Tao tercenung diam, terselip keraguan dalam hatinya. Hatinya masih belum sembuh
benar dari sakitnya dikhianati, tapi dengan cepat pemuda itu menyadari keadaannya dan berusaha mengusir kecurigaan
yang kurang beralasan itu dari dalam hatinya.
Dia pun berpikir, "Untuk saat ini, kukira itu jalan yang terbaik, menjauh sejauh mungkin dari daratan Tionggoan. Untuk
sampai ke sana masih butuh waktu berbulan-bulan. Jika ada siasat dibalik pertolongan mereka, masih belum terlambat
untuk membongkarnya dan memikirkan jalan keluarnya."
Diamnya Ding Tao bukannya tak lepas dari pengamatan Hu Ban yang tajam, melihat Ding Tao bisa menahan diri, Hu Ban
pun tersenyum dalam hati. Senyum yang sendu, karena terbayang pengorbanan demikian banyak orang demi pemuda ini.
Dalam hati Hu Ban pun berujar, "Ah " semoga pengalaman pahit ini membuat dia lebih dewasa. Dunia persilatan mungkin
butuh seorang jujur dan tulus seperti Tetua Bhiksu Khongzhen dan Tetua Pendeta Chongxan, tapi tokoh itu juga harus
secerdik dan sebijaksana mereka, jika tidak dia hanya akan jadi bulan-bulanan dari orang-orang licik yang ada dalam dunia persilatan."
Sebentar saja mereka sudah sampai di pelataran, dengan sigap mereka melompat ke atas punggung kuda. Wang Shu Lin
serta tiga orang gurunya yang ikut dalam perjalanan ke Desa Hotu pun berpamitan pada Zhu Yanyan bertiga. Kemudian
Ding Tao pun berpamitan. Zhu Yanyan dengan perasaan campur aduk memandangi pemuda itu, kemudian berkata, "Ketua Ding Tao, hati-hatilah
dalam perjalanan, jangan pikirkan apa pun kecuali menyelamatkan diri. Ada banyak tanggung jawab dan kepercayaan orang
yang diletakkan di atas pundakmu. Jangan sampai kau mengecewakan mereka."
Lama Ding Tao memandangi Zhu Yanyan, dia bisa merasakan kepedihan dalam suara itu, hatinya pun tersentuh dan untuk
sejenak seluruh kecurigaan yang sering mengganggunya hilang lenyap digantikan rasa empati. Meskipun dia tak mengerti
apa yang membuat Zhu Yanyan bersedih, namun ingin dia berbuat sesuatu untuk menghibur orang tua itu.
"Aku mengerti tetua" aku mengerti?", ujar Ding Tao dengan tulus.
Melihat ketulusan dan rasa simpati yang terpancar dari wajah Ding Tao, hati Zhu Yanyan dan Khongti jadi sedikit terhibur.
Muncul harapan dalam hati mereka, agar pemuda ini tumbuh menjadi tokoh besar seperti kakak seperguruan mereka.
Kiranya pengorbanan itu bukanlah pengorbanan yang sia-sia. Semoga harapan mereka berdua, terwujud benar dalam diri
pemuda ini. Terkadang ketulusan beribu-ribu kali lebih berarti dibandingkan kata-kata yang dirangkai dengan indah. Meski kadang orang lebih tersanjung oleh pujian dan bukan ketulusan. Buktinya banyak gadis tertipu oleh rayuan gombal seorang laki-laki atau sebaliknya.
"Bagus" sekarang cepatlah berangkat, kami pun memiliki tugas di sini.", jawab Zhu Yanyan dengan hati yang jauh lebih
lapang dari sebelumnya. Kemudian dia pun menengok ke arah Hu Ban yang menjadi pemimpin dari rombongan kecil ini. "Adik Hu Ban, segera
setelah kami selesai menyerap berita di Jiang Ling, kami akan pergi pula ke Desa Hotu, kita akan bertemu di sana."
"Baik, akan kami tunggu kedatangan kalian di sana, sepanjang jalan, jika ada perubahan rencana, tentu aku akan
meninggalkan tanda-tanda tertentu untuk menjadi petunjuk.", jawab Hu Ban.
"Baik, sudah pergilah kalian sekarang", ujar Zhu Yanyan mengakhiri percakapan.
Dalam gelapnya malam, empat ekor kuda pun pergi ke arah utara, meninggalkan tiga orang yang memandangi punggung
mereka sampai mereka menghilang dari pandangan.
"Kakak" sepertinya dia memang pemuda yang baik?", ucap Khongti sambil memandang ke kejauhan.
"Hmm" aku juga berpikir demikian. Lagipula mereka berdua sudah begitu terasah mata batinnya, jarang sekali mereka
salah menilai seseorang. Jika Kak Chongxan berpendapat dia adalah seorang pemuda yang baik, aku yakin memang
demikianlah kenyataannya.", jawab Zhu Yanyan.
"Sekarang masalahnya tinggal, apakah dia bisa selamat melewati cobaan ini" Apakah kepribadiannya tidak berubah akibat
cobaan yang berat ini.", ujar Chen Taijiang dengan prihatin.
"Itu adalah tanggung jawab kita semua, jangan sampai emas berubah jadi loyang.", ujar Zhu Yanyan.
"Kakak benar, tapi kukira hal itu tidak akan terjadi, bukankah ada ujar-ujar, meskipun mutiara terendam lumpur, dia akan tetap jadi mutiara.", sahut Khongti.
"Ya" sudahlah, tak ada gunanya menduga-duga masa depan. Yang bisa kita lakukan adalah berbuat sebaiknya di masa
sekarang demi masa depan yang lebih baik tentang hasil akhirnya hanya langit yang tahu.", desah Chen Taijiang sambil
berjalan masuk kembali ke dalam rumah.
Zhu Yanyan dan Khongti masih berdiri di depan pelataran beberapa lama sebelum bergerak lambat mengikuti Chen Taijiang
yang sudah lebih dahulu masuk ke dalam rumah. Meski mereka mengerti dan bisa memahami keputusan yang diambil
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan dalam satu gambaran yang luas, tetap saja terasa ada beban yang memberati
hati mereka. Ketulusan Ding Tao yang mereka lihat sekilas tadi, menjadi hiburan yang mengurangi beban di hati.
Sementara Ding Tao sedang bergerak ke arah utara, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan sedang duduk-duduk di
pinggir jalan dengan santai sembari membakar umbi-umbian semacam singkong. Di depan mereka api unggun menyala,
lidahnya menari-nari membentuk berbagai macam bayangan.
"Hmm" lama juga mereka ya", masakan mereka mengambil jalan berputar?", tanya Bhiksu Khongzhen dengan suara
perlahan. "Kurasa tidak", coba saja pikirkan kalau kita ada di posisi mereka, saat ini siapa yang menjadi penghalang bagi mereka
untuk menguasai dunia persilatan" Ketua Ding Tao dengan ketergantungannya pada Obat Dewa Pengetahuan justru bisa
diletakkan ke nomor yang ke-sekian.", jawab Pendeta Chongxan.
"Tentu saja kau benar", tapi perhitungan kita sebagai manusia kadang meleset juga. Bagaimana jika Obat Dewa
Pengetahuan itu cuma satu bualan saja, sehingga Ketua Ding Tao tetap menjadi sasaran utama" Mungkin Zhong Weixia dan
yang lain melihat kita menghadang di jalan ini, kemudian mereka mencari jalan memutar untuk menghindari hadangan
kita.", ujar Bhiksu Khongzhen sembari meniup-niup singkong yang sudah matang.
"Heh.. biasanya orang menggunakannya dalam sup, siapa tahu dibakar pun enak rasanya", ujar Pendeta Chongxan sambil
mulai mengupas bagiannya.
"Haha, benar, tidak disangkan sudah sampai di penghujung usia, masih juga sempat merasakan makanan yang nikmat.",
jawab Bhiksu Khongzhen sambil tertawa.
"Nah", coba dengar, bukankah itu suara langkah kaki orang yang mengendap-endap?", ujar Pendeta Chongxan tiba-tiba, di
tengah mereka sednag menikmati umbi-umbian itu.
"Hoho" bagus", rupanya otak kita belum berkarat. Hmm" satu" dua" tiga" ah" tidak kurang dari tujuh orang.", kata
Bhiksu Khongzhen. "Mungkin itu sebabnya mereka datang sedikit terlambat, rupanya mereka mencari bala bantuan lebih dulu. Saudara
Khongzhen, sayang sekali, kita belum sempat menghabiskan makanan ini, mereka sudah keburu datang.", sahut Pendeta
Chongxan dengan santai. "Menurutmu, mereka mau tidak kita suguhi makanan ini?", tanya Bhiksu Khongzhen sambil menyisihkan umbi-umbian yang
sudah matang dari tengah api unggun.
"Coba saja kita tawarkan, sayang kalau terbuang", jawab Pendeta Chongxan tersenyum simpul.
"Sobat", kenapa tidak datang ke mari" Malam begitu dingin, di sini ada makanan panas dan api unggun, kami pun tidak
keberatan untuk berbagi", seru Bhiksu Khongzhen ke arah datangnya suara langkah kaki.
Mendengar seruan Bhiksu Khongzhen itu pun, segera muncul tujuh sosok laki-laki, dipimpin oleh Zhong Weixia di depan.
Seperti Bhiksu Khongzhen yang berlaku seolah-olah menyapa sesama pejalan kaki yang datang, demikian juga Zhong
Weixia dan ke-enam rekannya. Meskipun sedari awal sudah berencana untuk melenyapkan nyawa dua orang tokoh tua itu,
di luarnya mereka berlaku seakan-akan menemukan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan secara tidak sengaja.
"Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan, tidak kusangka akan bertemu kalian di sini, sedang menikmati bakar-bakaran.
Bagaimana dengan pengejaran kalian atas diri Ketua Ding Tao?", sapa Zhong Weixia setelah jarak mereka cukup dekat.
"Ah", kita bicarakan soal itu nanti dulu saja, sekarang kenapa kalian tidak ikut bergabung di sini bersama kami. Lihat
jumlah yang sudah matang cukup untuk kita semua.", jawab Pendeta Chongxan sambil menunjuk ke tempat-tempat yang
kosong di sekeliling api unggun.
Tanpa banyak cakap ke-tujuh orang itu pun memilih tempat masing-masing. Zhong Weixia, Xun Siaoma, Bai Chungho dan Guang Yong Kwang memilih duduk berhadapan mengelilingi Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Tiga orang yang
lain, duduk sedikit mundur di belakang, di sisi kiri dan kanan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Dengan punggung
bersandar pada pohon yang besar, kedua orang tokoh tua itu jadi terkepung dari semua sisi.
"Nah, cobalah rasa umbi-umbian ini, iseng-iseng kami coba membakarnya di api unggun, ternyata rasanya cukup nikmat
juga dimasak dengan cara demikian.", ujar Pendeta Chongxan sambil menawarkan umbi-umbian yang sudah matang.
Zhong Weixia dan Bai Chungho tampak meragu, sedangkan Xun Siaoma tanpa banyak cakap segera memilih yang terbesar
dan mulai mengupas kulit umbi yang kasar dan menikmati penganan itu. Yang lain menunggu sambil berpura-pura sibuk
dengan berbagai urusan, ketika mereka melihat Xun Siaoma tidak mengalami apa-apa, barulah mereka mengambil umbi-
umbian itu satu per satu. Melihat keraguan mereka Xun Siaoma mendengus pendek, sedangkan Pendeta Chongxan dan
Bhiksu Khongzhen hanya tersenyum-senyum saja sambil menikmati penganan mereka sendiri, seakan tak tahu kecurigaan
orang. Sambil makan itu, Zhong Weixia pun kembali bertanya, "Jadi apakah ketua berdua sudah menemukan jejak Ketua Ding
Tao?" "Hmm" hmm?", keduanya tidak langsung menjawab, tapi masih saja sibuk dengan makanan di tangan.
Zhong Weixia saling berpandangan dengan rekannya yang lain, Xun Siaoma justru sengaja tidak mau memandang wajah
Zhong Weixia dan ikut-ikutan sibuk dengan makanan di tangan, sedang Bai Chungho tersenyum-senyum geli. Melihat itu,
Zhong Weixia pun mulai naik darah, selama hidupnya dia senang kalau orang takut padanya, tapi hari ini mereka yang
berkumpul di situ bukanlah orang yang bisa dia takut-takuti.
Zhong Weixia sudah membuka mulut untuk bertanya kedua kalinya, ketika Pendeta Chongxan melemparkan sisa kulit umbi
yang ada di tangannya setelah melahap habis potongan terakhir, "Ah" nikmat sekali, dingin-dingin begini memang paling
nikmat memanaskan badan di dekat api unggun sambil menikmati makanan hangat."
Bhiksu Khongzhen menyusul sahabatnya itu melahap potongan terakhir umbi di tangannya dan menyahut, "Lebih nikmat
lagi kalau ada minuman yang menghangatkan tubuh."
"Aku ada sedikit arak, bagaimana apa Bhiksu Khongzhen mau melanggar pantangan?", ujar Pendeta Chongxan dengan mata
mengerdip jenaka. "Haa haa haa". Biasanya aku selalu menaati perintah dan larangan, tapi malam ini, boleh juga sedikit melanggar, mana
araknya?", jawab Bhiksu Khongzhen sambil tertawa terbahak-bahak.
Semakin keduanya bersikap wajar, malah semakin tegang perasaaan tujuh orang yang mengepungnya. Pendeta Chongxan
pun benar-benar mengeluarkan seguci arak dan berbagi dengan Bhiksu Khongzhen, masing-masing menyesap sedikit saja
untuk melegakan tenggorokan yang baru dilewati makanan.
"Hmm" benar-benar arak yang nikmat, entah sudah berapa puluh tahun aku tidak pernah merasakannya", ujar Bhiksu
Khongzhen sambil berkecap-kecap, sementara Pendeta Chongxan tertawa geli melihat laku sahabatnya itu.
Bhiksu Khongzhen kemudian menatap lurus ke arah Zhong Weixia, "Ketua Zhong Weixia, mengapa harus bertanya pula"
Sandiwara kami boleh saja menipu orang lain, tapi tentunya tidak menipu kalian. Larinya Ketua Ding Tao adalah polah
tingkah kami berdua, jadi mana mungkin kami mengejar untuk menangkap dia?"
Zhong Weixia berpura-pura terkejut dan menjawab, "Bhiksu Khongzhen, anda jangan bercanda, apa maksud anda ini"
Ketua Ding Tao adalah seorang penjahat yang berbahaya, apa benar ketua berdua memutuskan untuk melindunginya?"
Bhiksu Khongzhen tertawa hambar, "Malam sudah semakin larut, sudahlah apa perlunya kita terus bersandiwara. Pilihan
kalian cuma dua, kembali ke Jiang Ling atau berhadapan dengan kami berdua. Jangan harap kalian bisa menangkap Ketua
Ding Tao selama kami berdua masih ada di sini."
Tapi Zhong Weixia masih saja berkeras dengan sandiwaranya, "Bhiksu Khongzhen! Pendeta Chongxan! Apa kalian
bersungguh-sungguh dengan perkataan itu" Jika benar, jangan salahkan kami jika kami memberanikan diri mengangkat
senjata melawan kalian."
"Astaga", memangnya ada berapa orang di sini" Apa perlunya juga kau bersandiwara" Kami berdua yakin, seyakin-
yakinnya, bahwa Ketua Ding Tao telah dijebak. Siapa yang menjebak, aku rasa aku tak perlu mengatakannya, cukup ingat,
tak akan bisa kalian menangkapnya kalau belum melewati kami berdua.", jawab Bhiksu Khongzhen sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Sembilan orang itu duduk bersama, seperti sekumpulan pengelana yang sedang menikmati hangatnya api unggun, tapi
nyatanya urat syaraf setiap orang sudah menegang.
"Bhiksu Khongzhen, kalau aku bertanya sekali lagi, apa jawabmu?", tanya Zhong Weixia, diam-diam jari tangannya sudah
mengait salah satu rantai senjatanya.
"Kau bertanya ribuan kali pun jawabanku tetap sama. Sekarang aku tanya, kalian pilih yang mana" Kembali ke Jiang Ling
atau mau mencoba-coba kepandaian kami berdua?", jawab Bhiksu Khongzhen, hawa murni pun diam-diam sudah
dikerahkan melindungi tubuh.
"Kami ada di pihak yang benar, kenapa harus takut?", ujar Zhong Weixia menjawab, namun sebelum habis dia berkata,
roda bergeriginya sudah terlontar cepat menyambar mata Bhiksu Khongzhen.
Seperti anak panah dilepas dari busurnya, ke-enam orang yang lain bergerak dengan cepat pula, susul menyusul
melontarkan serangan mereka ke arah dua orang tokoh tua itu. Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan dengan tak kalah
sigapnya melompat berdiri dan menghalau serangan. Dalam sekejapan jalan yang sepi itu pun dipenuhi suara denting
pedang dan berbagai macam senjata yang saling beradu. Bhiksu Khongzhen menggunakan tasbih di tangannya sebagai
senjata, sedang Pendeta Chongxan sudah mencabut pedang di tangannya. Tetua Xun Siaoma dan Guang Yong Kwang
dengan pedangnya, Bai Chungho dengan tongkat pemukul anjingnya, Zhong Weixia menggunakan sepasang roda bergerigi
yang dikaitkan pada seuntai rantai besi. Tiga orang yang lain, masing-masing bersenjatakan pedang, tombak berkait dan
sebilah golok tipis. Dalam gebrakan pertama itu terbukti mereka bertujuh tak mampu mengambil keuntungan atas Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan, di saat yang sama dua orang tokoh tua itu ternyata juga tidak mendapatkan kesempatan untuk lolos
dari kepungan. Untuk beberapa lamanya mereka bersembilan pun hanya saling memandang, menunggu lawan membuat kesalahan.
Sesekali ada di antara mereka yang menyesuaikan kedudukannya, mencari lubang di pertahanan lawan, dan segera disusul
oleh ke-delapan orang yang lain yang menyesuaikan kedudukan mereka dengan perubahan yang terjadi. Perlahan-lahan
area pertempurang sedikit bergeser menjauhi api unggun.
"Kalian bertiga, aku tak pernah melihat kalian, tapi nyatanya gerakan kalian boleh dikata tergolong nomor satu dalam dunia persilatan. Jika boleh tahu, siapa nama kalian bertiga?", ujar Pendeta Chongxan kepada tiga orang yang tak dikenal itu.
Salah seorang dari mereka, yang sepertinya menjadi pemimpin dari dua orang yang lain menjawab dengan tenang, "Kami
bertiga adalah pelayan-pelayan setia dari keluarga Murong, sejak kecil kami sudah digembleng dengan berbagai macam
aliran ilmu silat sebelum memilih senjata tertentu untuk didalami. Tetua berdua tidak pernah mendengar nama kami,
karena memang selama puluhan tahun ini kami tidak pernah keluar rumah."
"Ah" menarik sekali, rupanya keluarga Murong menyimpan kekuatan dengan diam-diam. Ada berapa orang seperti kalian
dalam keluarga Murong?", tanya Pendeta Chongxan dengan tenang, seperti bercakap-cakap dengan seorang kenalan.
"Hmph" baiklah, kalian dengarkan baik-baik. Jumlah kami seluruhnya ada 34 orang dan kami bertiga berada di posisi
menengah. Sudah lama nyonya kami memperhitungkan kekuatan kalian berdua, jika nyonya hanya mengutus kami bertiga
itu artinya, dia yakin bantuan kami bertiga sudah cukup untuk melenyapkan nyawa kalian.", ujar orang itu dengan nada
sombong. "Ah" hebat sekali nyonya kalian", pernahkah kalian berpikir bahwa ada kemungkinan dia salah perhitungan" Jangan-
jangan justru kalian bertiga yang kembali ke Jiang Ling tanpa nyawa.", tanya Pendeta Chongxan dengan senyum mengejek.
Dari cara mereka berbicara terlihat jelas betapa tiga orang itu memiliki harga diri yang tinggi, sekaligus memuja Murong Yun Hua secara berlebihan. Ejekan Pendeta Chongxan yang biasa saja itu pun sudah cukup untuk menyentuh harga diri
mereka. Dengan teriakan marah ketiganya berkelebat menyerang Pendeta Chongxan, merusak kepungan yang mereka
buat. Dalam hati Zhong Weixia dan yang lain pun memaki kebodohan tiga orang itu, tapi bukan tokoh kelas satu jika
mereka terlambat bertindak. Dalam waktu yang singkat itu pun kedudukan sembilan orang itu bergese-geser dengan cepat.
Lubang pertahanan yang muncul akibat gerakan tiga orang anak buah Murong Yun Hua dengan cepat berusaha ditutup oleh
Zhong Weixia dan Bai Chungo. Namun Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan tidak kalah sigap memanfaatkan
kelemahan yang muncul sesaat itu. Sekali lagi jalan yang sunyi itu dipenuhi dengan dentangan senjata, pasir-pasir pun
berterbangan oleh hembusan serangan mereka.
Di sini dua orang tokoh tua itu menunjukkan kehebatan mereka, pedang Pendeta Chongxan berkelebatan menahan gerak
Zhong Weixia dan Bai Chungho yang berusaha menutup lubang dalam kepungan mereka. Dengan gerak langkah kaki yang
rumit dan tepat, sembilan orang itu pun dibuat kesulitan untuk saling membantu. Tidak jarang justru kawan sendiri yang
menjadi penghalang untuk bergerak lepas. Selain dari tiga orang anak buah Murong Yun Hua, empat orang yang lainnya
belumlah terbiasa untuk bekerja sama dalam sebuah serangan. Bisa dikata di antara mereka berempat hanya Xun Siaoma
dan Bai Chungho yang sering berlatih bersama, mereka berdua dengan mudah bisa menyesuaikan gerakan masing-masing.
Sayangnya mereka berdua pun memiliki ganjalan dalam hati, tidak seperti Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang
saling percaya dan memiliki rasa persahabatan yang kuat, sehingga sedetik dua detik, gerakan Bai Chungho dan Xun
Siaoma masih kalah cepat dan tepat dibandingkan lawannya.
Lagipula permainan pedang Pendeta Chongxan dan kekuatan hawa pukulan Bhiksu Khongzhen yang menyambar-nyambar,
cukup membuat jeri lawan-lawannya. Pertempuran pun berlangsung cukup berimbang. Di satu sisi menang jumlah, di sisi
lain menang dalam hal ilmu silat dan kerja sama.
Keuletan dan kegigihan dua orang jagoan tua itu pun akhirnya membuahkan hasil, dalam sebuah serangan kepungan tujuh
orang lawan mereka itu pun terpecahkan. Keduanya dengan sebat meloloskan diri dari kepungan lawan dan dengan satu
serangan mampu menghentikan lawan yang hendak bergerak mengepung mereka kembali.
Sekali lagi dua kelompok yang bertarung ini pun kembali diam. Kali ini mereka berdiri berhadap-hadapan. Pendeta
Chongxan dan Bhiksu Khongzhen sudah berada di luar kepungan, tujuh orang lawannya hanya mampu membentuk
setengah lingkaran dan tak melihat cara untuk bergerak ke belakang dua orang jago tua itu.
"Nama Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan benar-benar bukan nama kosong" Tapi jangan dulu berbangga hati?",
ujar Zhong Weixia dengan matanya yang tajam tak pernah lepas dari dua orang itu.
"Terima kasih" terima kasih", apakah sekarang kalian bersedia untuk berhenti mengejar Ketua Ding Tao?", jawab Bhiksu
Khongzhen, matanya pun tak pernah lepas dari tujuh orang di hadapannya.
"Dalam mimpimu!", dengan perkataan itu kembali Zhong Weixia berkelebat menyerang.
"Bagi jadi dua kelompok! Kalian bertiga layani Pendeta Chongxan,sedang keledai gundul ini serahkan pada kami berempat!
Pisahkan mereka berdua! Jangan biarkan mereka bertarung berpasangan!", seru Zhong Weixia sembari menghempaskan
tenaganya beradu pukulan dengan Bhiksu Khongzhen.
Kaget juga Bhiksu Khongzhen dengan tenaga Zhong Weixia yang besar, selamanya Zhong Weixia lebih dikenal dengan
serangan-serangan licik dan kejam menggunakan senjata roda bergeriginya, siapa nyana ketua Partai Kongtong itu
menyimpan juga pukulan-pukulan tangan yang berat, bahkan mampu mengimbangi tenaga raksasa Bhiksu Khongzhen yang
ditakuti lawan dan kawan.
"Ketua Zhong Weixia, selamat, rupanya sudah berhasil menyelami puncak ilmu tinju tujuh luka", seru Bhiksu Khongzhen
sembari menangkis pukulan tangan Zhong Weixia yang datang berkelebat dan tanpa berhenti bergerak, menggeser
kedudukannya untuk menghindari serangan pedang di tangan Guang Yong Kwang, tangan yang lain pun tidak menganggur
melainkan menggebahkan tasbihnya diiringi hawa murni untuk mendesak mundur Bai Chungho dan Xun Siaoma.
Seruan Bhiksu Khongzhen ini bukan hanya membuat Pendeta Chongxan mengerutkan alis, tapi juga sekutu-sekutu Zhong
Weixia sendiri ikut mencatatnya dalam hati. Rupanya Ketua Kongtong ini diam-diam menyempurnakan pukulan tenaga
dalam warisan perguruannya. Sejak Ketua Partai Kongtong dua generasi di atas Zhong Weixia, belum pernah terdengar lagi
ada anak murid Kongtong yang mampu menyempurnakan tinju tujuh luka, siapa nyana diam-diam Zhong Weixia
menyempurnakannya. "Hahaha, kalau sudah tahu apakah Bhiksu Khongzhen hendak menyerah sekarang?", jawab Zhong Weixia sambil tertawa
berkakakan, kedua tinjunya pun bergerak tanpa henti menyambar-nyambar mengincar titik-titik penting di tubuh Bhiksu
Khongzhen. "Hahaha, siapa bilang aku hendak menyerah, justru aku merasa senang, kalau demikian aku pun tidak perlu sungkan-
sungkan untuk mencoba Telapak Dewa Buddha tingkat 8 dan Genta emas tingkat akhir yang baru aku kuasai.", jawab
Bhiksu Khongzhen telapak tangannya pun bergerak dengan cepat menyambuti pukulan tangan Zhong Weixia.
Plak! Plak! Plak! Zhong Weixia pun menyeringai gemas, pukulan tangannya bertemu dengan telapak tangan Bhiksu
Khongzhen yang sama liatnya. Tadinya dia sudah bergirang hati, siapa sangka Bhiksu Khongzhen pun tidak berkurang
liatnya seiring dengan pertambahan umur. Tapi tiga orang yang lain pun tidak berhenti menyerang dan juga membantu
sekutunya bertahan, sehingga Bhiksu Khongzhen pun harus menguras tenaga untuk mengimbangi ke-empat lawannya.
Pertempuran berlangsung makin seru. Pukulan-pukulan yang dilancarkan makin berat dan angin pun menderu-deru di
sekeliling mereka berlima.
Di sisi lain pertempuran Pendeta Chongxan dan tiga orang lawannya pun berlangsung tidak kalah serunya. Pendeta
Chongxan yang sudah berumur masih mampu bergerak lincah dan efektif, meliuk-liuk di tengah serangan lawan. Pedangnya
bergulung-gulung, melipat dan mennghanyutkan serangan lawan. Tidak ubahnya sebuah pusaran angin, gerakannya yang
melingkar lingkar, mampu menyeret lawan ke dalam permainan pedangnya. Tapi tiga orang itu bukan orang sembarangan,
secara pengalaman mereka beberapa lapis di bawah Pendeta Chongxan, namun kekurangan itu mampu mereka tutupi
dengan kerja sama yang sangat apik. Jelas mereka sudah belasan tahun berlatih bersama. Terutama pemimpin dari tiga
orang itu yang bersenjatakan tombak berkait. Senjatanya yang panjang mampu bergerak dengan luwes, tombak besi yang
keras, bisa bergerak lentur tak ubahnya sebuah rantai panjang. Kaitan yang ada di ujung pun digunakan dengan sempurna,
bergerak menusuk, membacok dan mengait dari belakang, Pendeta Chongxan harus benar-benar waspada, tak boleh lengah
sedikitpun. Di lain pihak, golok yang tipis memang benar bergerak tanpa suara, namun golok tipis yang biasanya lentur, ternyata
bergerak seperti golok besar dan berat saat menyerang. Saat bergerak tak bersuara, saat ditangkis tenaga yang menekan
terasa berat benar. Yang keras bergerak lentur, yang lentur bergerak keraS, sedang pedang di tangan orang ketiga bergerak seperti cucuran air hujan, mengisi setiap kekosongan dari serangan dua orang yang lainnya. Pendeta Chongxan tidak bisa mengendurkan
semangatnya sedikit pun. Bagusnya jagoan tua itu mampu bergerak dengan hemat, gerakan-gerakannya tidak
menghamburkan tenaga yang tidak perlu, gulungan pedangnya mampu menggunakan kekuatan lawan untuk menangkis
serangan lawan. Ulet benar dua orang jagoan tua itu, seandainya lawan-lawan mereka hari ini bukan jagoan-jagoan kelas satu sudah sedari tadi mereka akan menyerah. Sekarang pun luka-luka kecil mulai menghiasi tubuh lawan Pendeta Chongxan. Luka kecil yang
tak berbahaya namun cukup mengganggu dan membangkitkan kemarahan. Melihat keadaan tiga orang itu, Zhong Weixia
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengeluh dalam hati. "Hmm, benar memang mereka berilmu tinggi, tapi terlalu sombong untuk melihat tingginya langit", pikir Zhong Weixia ketika sesekali melirik keadaan di kelompok yang lain.
"Huh! Dasar anak-anak muda yang sombong.", geram Xun Siaoma yang rupanya juga menilik keadaan di sana.
Zhong Weixia tidak ingin menyinggung tiga orang kepercayaan Murong Yun Hua itu, namun menilik keadaan mereka dia
pun tidak mungkin mendiamkannya saja, dia pun berteriak,"Sobat! Lawanmu sudah tua, berbelas kasihan sedikitlah. Lihat!
Nafasnya sebentar lagi tentu akan habis!"
"Hahaha! Siapa bilang nafasku sudah hampir habis?", seru Pendeta Chongxan sambil mengemposkan semangatnya, dalam
satu ledakan tenaga lawan-lawannya seakan melihat bayangan naga berkelebatan menyambar-nyambar dari gulungan
pedang Pendeta Chongxan. Tiga lawan yang lebih muda pun dibuat terpukul mundur, menjauh beberapa langkah dari serangan yang menakutkan itu.
Melihat keadaan mereka yang kritis, Xun Siaoma pun melompat mendekat, meninggalkan Bhiksu Khongzhen yang ditahan
oleh Zhong Weixia, Guang Yong Kwang dan Bai Chungho. Bagai kilat pedang Xun Siaoma menyambar, tidak salah jika
Hoasan dikatakan Gunung Thaisannya ilmu pedang, sambaran kilat pedang Xun Siaoma diiringi hawa murni yang kuat,
melesat lurus menyerang pusat gulungan pedang Pendeta Chongxan. Memaksa Pendeta Chongxan untuk menarik kembali
serangannya dan tidak memburu tiga orang lawannya. Secepatnya perhatian Pendeta Chongxan pun berpindah ke arah Xun
Siaoma, namun Xun Siaoma cepat menarik mundur serangannya, tidak mau terlibat dalam pertarungan melawan Pendet
Chongxan. Waktu yang singkat itu sudah cukup untuk memulihkan keadaan tiga orang kepercayaan Murong Yun Hua yang
sempat terguncang. Dari pendekar pedang keluarga Murong, berkelebat meyambar Pendeta Chongxan, tujuh buah senjata
bidik yang dilontarkan dengan tenaga dalam.
Pendeta Chongxan terpaksa menarik serangannya dan mengalihkan kembali perhatiannya pada tiga orang kepercayaan
keluarga Murong, sementara Xun Siaoma dengan cepat sudah kembali membantu Zhong Weixia bertiga untuk menahan
serangan Bhiksu Khongzhen yang memanfaatkan kesempatan di saat lawannya berkurang seorang.
"Awas serangan!", seru pendekar dengan tombak berkait menyerang Pendeta Chongxan.
Tidak sia-sia seruan Zhong Weixia, tiga orang itu terbuka matanya oleh kelebihan lawan mereka, tapi juga dengan
kekurangannya. Mereka menyerang dengan berhati-hati dan mengambil jarak, sengaja membuat gerakan Pendeta
Chongxan semakin luas, dengan demikian mengeluarkan tenaga yang lebih besar. Menggunakan kelebihan panjang tombak,
si tombak berkait menyerang dari kejauhan. Menggunakan gerakan goloknya yang tak bersuara, pendekar golok itu
mencari-cari kesempatan untuk meyerang Pendeta Chongxan dari belakang. Sementara yang berpedang, sekarang lebih
sering menggunakan senjata rahasia untuk menyerang Pendeta Chongxan.
Jika Pendeta Chongxan berkelahi sambil menyimpan tenaga, mereka bertiga pun akan mencecar dengan serangan-serangan
yang memaksanya bergerak, tapi ketika Pendeta Chongxan balas menyerang dengan hebat, mereka akan bergerak
menjauh, memaksa Pendeta Chongxan untuk mengejar.
Melihat cara mereka berkelahi, mengeluhlah Pendeta Chongxan dalam hati. Dia sadar kelebihannya dalam hal ilmu silat
tidak berselisih jauh dengan ketiga orang lawannya. Ketika mereka bertiga melayani permainan pedangnya dengan keras
dalam jarak yang dekat, dia justru punya kesempatan untuk mencuri-curi serangan di sela serangan lawan. Sekarang
lawan, menyerang dengan berhati-hati dan bermain dalam jarak yang jauh, memaksa dia bekerja lebih keras, sementara
serangannya sulit berhasil karena lawan berjaga dengan ketat. Pendeta Chongxan pun sadar, cepat atau lambat, tenaganya
akan terkuras terlebih dahulu dibandingkan lawan yang usianya jauh lebih muda. Fisiknya yang tua tidak mampu
menunjang penggunaan hawa murni yang terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama. Ketika tadi dia memaksakan
diri untuk mengeluarkan jurus pamungkasnya, dia sudah bisa merasakan betapa gerakan itu membebani tubuh fisiknya
yang sudah renta. Seandainya tidak ada Xun Siaoma mungkin pengorbanan itu akan memberikan hasi l yang pantas,
setidaknya dia akan berhasil melukai satu atau dua orang lawannya.
Sayang ada Xun Siaoma di sana, dalam hal ilmu pedang dia tidak di bawah Pendeta Chongxan, meski dalam hal himpunan
hawa murni dan pengerahannya dia masih selapis dua lapis di bawah Pendeta Chongxan, tapi dalam hal ketajaman mata
untuk menganalisa jurus pedang lawan, Xun Siaoma merupakan lawan yang setanding.
Beberapa li jauhnya dari pertarungan itu, Ding Tao, Hu Ban, Pang Boxi, Wang Shu Lin dan Shu Sun Er sedang berpacu
dengan kuda mereka menuju ke utara. Sebuah perjalanan yang amat panjang, namun setiap langkah menjauh dari Zhong
Weixia dan sekutunya memperbesar kesempatan mereka untuk selamat.
"Tetua Hu, ada apakah di Desa hotu itu?", tanya Ding Tao memecahkan kesunyian.
Hu Ban mengerutkan alis, dia sendiri merasa penasaran dengan desa itu, "Tepatnya seperti apa, aku sendiri kurang jelas.
Tetua Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen yang lebih tahu, sayang waktunya sendiri sangat singkat, semuanya serba
terburu-buru tak ada kesempatan untuk menjelaskan segala sesuatunya. Petunjuk mereka berdua sendiri cukup jelas,
kukita semuanya akan jadi jelas begitu kita bertemu dengan tabib di desa itu."
"Menurut Tetua Hu Ban, kita akan bertemu dengan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan di sana?", tanya Ding Tao
lebih lanjut. Berat perasaan Hu Ban untuk menjawab, "Kukira demikian, tapi kedua tetua itu tidak bisa meninggalkan begitu saja urusan Shaolin dan Wudang di saat situasi demikian genting. Kemungkinan besar, anak murid kepercayaan mereka yang akan
datang." "Kedua tetua sungguh tokoh yang berjiwa ksatria, kuharap akan ada kesempatan untuk mengucapkan terima kasih pada
mereka.", ujar Ding Tao membuat mereka yang mendengarnya mendelu.
Wang Shu Lin pada dasarnya punya hati sangat berperasaan, terhadap lawan memang seperti api yang membara, terhadap
orang-orang yang kasar dia pun ikut bersikap berangasan dan tak kalah kerasnya. Namun sesungguhnya hatinya mudah
tersentuh, terhadap kebaikan orang tentu dia tidak akan lupa. Bagi gadis ini ke enam orang gurunya adalah dewa penolong, tempat dia mendapatkan kasih sayang, pengganti orang tua. Demi dirinya mereka terasing dari saudara-saudara
seperguruan mereka. Kebaikan orang pada enam orang gurunya ini, berkali lipat jauh lebih berarti dibandingkan kebaikan
orang pada dirinya sendiri, itu sebabnya kesannya pada Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan amatlah baik.
Mendengarkan percakapan Ding Tao dan Hu Ban, hati gadis itu mengharu biru, tenggorokan tercekat ingin menangis
menumpahkan perasaan. Demikian pula Hu Ban yang harus menjawab pertanyaan Ding Tao sementara dia tahu kedua orang tetua itu justru sedang
menjelang ajal, memasang badan agar mereka bisa berlari menjauh dari bahaya dengan tenggorokan sedikit tercekat Hu
Ban menjawab, "Kau banyak berhutang budi pada mereka berdua, karena itu jangan kecewakan mereka, ingat keduanya
mempercayakan satu tangggung jawab besar di atas pundakmu."
"Tanggung jawab besar" Apakah kedua tetua ada menyampaikan satu pesan untukku ketika aku tidak sadarkan diri?",
tanya Ding Tao heran. "Ya?", jawab Hu Ban sedikit ragu.
"Apa pesan mereka?" tanya Ding Tao dengan bersemangat.
"Hmm" saat mereka menyerangmu di Jiang Ling, apakah Ketua Ding Tao masih ingat?", tanya Hu Ban.
"Ya" aku ingat?", jawab Ding Tao sambil mengerutkan dahi.
"Menurut tetua berdua, serangan mereka itu adalah inti sari dari ilmu warisan Shaolin dan Wudang yang mereka dapatkan
setelah merenunginya selama puluhan tahun. Mereka titipkan perenungan mereka itu, untuk kau sampaikan pada anak
murid Shaolin dan Wudang di masa depan.", ujar Hu Ban menjelaskan.
Dahi Ding Tao semakin berkerut mendengarkan penjelasan Hu Ban.
"Apakah Ketua Ding Tao mengerti" Itu sebabnya saat ini Ketua Ding Tao harus menjaga baik-baik diri ketua, karena di atas pundak Ketua Ding Tao bukan hanya ada harapan pengikut-pengikut setia Ketua Ding Tao tapi juga warisan bagi anak
murid Shaolin dan Wudang di generasi berikutnya.", ujar Hu Ban berusaha menguatkan semangat Ding Tao untuk bertahan
hidup. "Tunggu " mengapa kesannya kedua tetua membuat pertanda buruk bagi dirinya sendiri?", keluh Ding Tao.
"Itu" situasi saat ini sangat genting, sementara di generasi sekarang belum ada yang siap untuk menerima tuntunan kedua tetua mengenai inti dari ilmu silat mereka. Karenanya kedua tetua tidak merasa tenang sebelum ada dari generasi yang
lebih muda yang mewarisi hasil pemikiran mereka selama bertahun-tahun.", Hu Ban berusaha menjawab ganjalan di hati
Ding Tao. Tapi perasaan Ding Tao yang peka bisa merasakan ada yang disembunyikan dari jawaban Hu Ban, sekilas dia melihat ke kiri dan ke kanan, mengamati ekspresi di wajah Wang Shu Lin, Pang Boxi dan Shu Sun Er. Seketika itu juga sebuah
pemahaman merasuk ke dalam pikiran Ding Tao. Kuda yang menderap maju, tiba-tiba berhenti karena ditahan tali
kekangnya. "Apakah kedua tetua hendak mengorbankan diri demi menyelamatkan aku dari kejaran lawan?", tanya Ding Tao tiba-tiba.
Ding Tao berhenti begitu mendadak, dengan sendirinya empat orang yang lain sekarang berada beberapa langkah di depan
Ding Tao, Hu Ban dengan wajah pucat berusaha menjawab, "Dengar", kedua tetua adalah tokoh terbesar di jaman ini, tak
ada orang yang dapat menyakiti mereka."
"Benar keduanya adalah tokoh terbesar golongan lurus di jaman ini, dengan sendirinya mereka berdua adalah penghalang
terbesar bagi mereka yang memiliki niat jahat.", jawab Ding Tao, kudanya perlahan-lahan bergerak mundur dan hendak
berbalik arah. "Tunggu! Apa yang hendak Ketua Ding Tao lakukan" Apakah sudah lupa dengan segala pengorbanan mereka" Apa yang
mereka percayakan pada Ketua Ding Tao, akankah ketua mengecewakan mereka berdua?", tegur Hu Ban dengan jantung
berdebar-debar. Bayangan tubuh-tubuh tak berkepala berkelebatan dalam benak Ding Tao, sambil menggertakkan gigi dia menjawab, "Itu
urusan mereka berdua! Aku tak pernah memintanya dan aku tak mau berhutang pada siapapun untuk kesekian kalinya!"
Ding Tao pun menark tali kekang kudanya kuat-kuat, berbalik arah dan menggebah kuda tunggangannya untuk melaju ke
arah yang berlawanan. "Sial!!! Ketua Ding Tao jangan jadi orang egois!!!", seru Hu Ban dengan kesal, keringat dingin membasahi dahinya, kudanya pun dipacu untuk mengejar Ding Tao.
Shu Sun Er dan Wang Shu Lin dibuat melengak bingung dengan perubahan yang terjadi dengan tiba-tiba.
"Hmph! Sungguh pemuda pujaanmu itu bukan pemuda sembarangan, hanya bikin pusing saja.", dengus Shu Sun Er
sebelum memacu kudanya menyusul Ding Tao dan Hu Ban yang sudah lebih dahulu melaju di depan.
"Ho! Ayolah kita mati berbareng saja, ini lebih baik daripada lari seperti anjing kurap.", gumam Pang Boxi sebelum memacu kudanya mengikuti yang lain.
Apa lagi yang bisa dilakukan Wang Shu Lin kecuali mengikuti ketiga orang gurunya, memacu kudanya mengejar Ding Tao
yang melesat cepat di depan. Sementara jauh di depan Hu Ban masih berteriak berusaha menghentikan Ding Tao.
"Ketua Ding Tao! Kau bahkan tak tahu mereka ada di mana saat ini! Semuanya baru dugaan saja!"
"Jika sembarangan bergerak, ketua justru mengacaukan semuanya!"
Tapi Ding Tao tak menggubris sedikit pun seruan-seruan Hu Ban. Kematian Ma Songquan dan yang lain kasih terlalu lekat
dalam benaknya untuk berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu.
"Celaka, rusak semuanya, semoga saat melewati pondokan Kakak Zhu Yanyan dan yang lain bisa membantuku untuk
menghentikannya.", keluh Hu Ban dalam hati.
Beberapa li jauhnya, kembali pada pertarungan sengit antara pihak yang lurus dan yang sesat, pertarungan semakin lama
semakin tidak berimbang. Tubuh renta Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen tidak dapat mengimbangi jurus-jurus
pamungkas mereka dan penerapan hawa murni yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama. Dua orang itu bukannya
tidak sadar dengan keadaan mereka, namun pilihannya hanyalah bertahan selama mungkin atau mempertaruhkan
segalanya dalam satu serangan yang bukan hanya membahayakan lawan, tapi juga merugikan tubuh mereka sendiri.
Di antara mereka berdua, Pendeta Chongxan lah yang keadaannya paling parah. Tiga orang lawannya sudah terlatih bekerja
sama selama belasan tahun, mereka juga berusia 30-an, tepat pada puncak fisiknya. Sementara lawan Bhiksu Khongzhen
yang berusia muda hanyalah Guang Yong Kwang dan Zhong Weixia, keadaan Bai Chungho dan Xun Siaoma sendiri sudah
sama payahnya dengan Bhiksu Khongzhen. Menyadari keadaannya muncul perasaan tak rela dalam hati Pendeta Chongxan.
Dia tiba-tiba merasa betapa puluhan tahun yang dia habiskan untuk melatih ilmunya terbuang sia-sia, mati di tangan orang tak bernama. Dalam keadaan itu, Pendeta Chongxan pun memutuskan untuk mempertaruhkan segala sesuatunya pada
serangan berikutnya. Setidaknya sebelum dia mati, dia bisa menunjukkan segala apa yang sudah dia capai, jangan sampai
orang lupa nama besar Pendeta Chongxan.
"Saudara Khongzhen! Aku jalan lebih dulu! Tolong jaga agar tidak ada yang mengganggu!", serunya sambil menghimpun
segenap hawa murni yang dia himpun selama belasan tahun lamanya di titik-titik pusat energi dalam tubuhnya.
"Saudara Chongxan! Aku akan mengiringimu!", seru Bhiksu Khongzhen menjawab.
"Awas hati-hati semuanya!" seru Zhong Weixia merasakan hawa pembunuh yang menekan berat keluar dari seluruh tubuh
Pendeta Chongxan. Tanpa peringatan Zhong Weixia pun, mereka bertujuh bisa merasakan tekanan yang keluar dari tubuh Pendeta Chongxan
yang kurus dan renta. "Xun Siaoma awas serangan!", seru Bhiksu Khongzhen berkelebat menekan Xun Siaoma.
Di saat yang bersamaan, Pendeta Chongxan bergerak menyerang, pedangnya bergerak cepat menusuk ke depan, terlihat
sangat sederhana, tapi tidak demikian bagi pendekar bergolok tipis yang harus menghadapi serangan itu. Seandainya
ilmunya tidak setinggi saat ini, tentu dia tidak merasakan kengerian seperti yang dia rasakan saat ini. Nalurinya
mengatakan betapa berbahayanya serangan Pendeta Chongxan di saat yang sama dia tidak mampu menentukan di mana
letak bahayanya. Dengan putus asa dia membuang tubuhnya bergulingan ke belakang, namun serangan Pendeta Chongxan
sampai lebih cepat dari yang ditangkap oleh panca inderanya. Serangan itu sampai sebelum dia bisa memahami bagaimana
serangan itu sampai di tubuhnya, dengan jeritan menyayat hati dia pun rubuh bergulingan dengan lubang di dadanya.
Serangan Pendeta Chongxan tidak berhenti di sana, pedangnya bergerak berbalik mencecar si tombak berkait dan pendekar
berpedang yang bergerak hendak membantu rekannya.
Yang paling mengerikan dari serangan Pendeta Chongxan adalah kecepatannya yang sulit diikuti, ketika dirasa telah tiba
ternyata belum tiba, ketika dikira belum tiba, ternyata serangan itu sudah sampai. Sepertinya sederhana, namun hanya
dengan pengerahan hawa murni yang sempurna saja serangan itu bisa dilakukan, kecepatan yang melebihi kecepatan yang
dapat diikuti oleh tokoh-tokoh kelas satu tersebut. Menciptakan serangan bayangan dan serangan sungguhan yang seakan
sama mematikannya. Dalam satu gerakan yang berkesinambungan, pedang Pendeta Chongxan bergerak menyerang tanpa bisa ditahan. Tombak
berkait terpotong menjadi dua, sebuah luka menyilang lebar di depan dada, beruntung dia masih cukup sigap untuk
menghindar sehingga tidak sampai melepas nyawa, namun rekannya yang bersenjatakan pedang dan senjata rahasia tidak
cukup cepat bergerak, terhuyung mundur dengan luka mengucur deras dari dadanya, dalam waktu yang sepersekian
saatnya dia menghamburkan senjata rahasia di kantungnya ke depan, berharap bisa menghambat gerakan Pendeta
Chongxan yang sudah tak bisa dia ikuti dengan panca inderanya. Tapi entah bagaimana caranya, pedang itu tetap saja
mampir ke dadanya. Yang dia tahu hanyalah dadanya yang tiba-tiba terasa basah, banjir oleh darah dan pandangan
matanya yang semakin gelap.
Sebelum dia jatuh dengan luka menganga dan kehilangan kesadaran dia masih sempat mendengar seruan Bhiksu
Khongzhen penuh rasa khawatir, "Chongxan! Saudara Chongxan!"
Lamat-lamat dia melihat Pendeta Chongxan terhuyung-huyung dengan dada dihiasi belasan luka. Pandangannya makin
mengabur, bayangan ronce-ronce merah yang menghiasi tubuh Pendeta Chongxan lamat-lamat bisa dia kenali sebagai
senjata rahasianya.Sisa-sisa ketegangan yang masih menjalari tubuhnya pun dia lepaskan, dengan seulas senyum puas,
tubuhnya terbanting ke atas tanah. Sementara Pendeta Chongxan yang sempat terhuyung-huyung sudah pula mendapatkan
keseimbanganya dan berdiri dengan gagah. Baju dan jubahnya sudah berwarna merah oleh darah, pada serangan yang
terakhir seharusnya dia masih bisa menghindar tapi Pendeta Chongxan memilih meneruskan serangannya. Akibatnya
tubuhnya pun penuh luka dihujani senjata rahasia lawan, beberapa sempat dia pukul jatuh dengan pukulan tangannya, tapi
belasan yang lain menghujani tubuhnya tanpa bisa dicegah.
Melihat keadaan sahabatnya, Bhiksu Khongzhen pun jadi gelap mata. Mengikuti jejak Pendeta Chongxan, tanpa
mempedulikan lagi keadaan fisiknya yang sudah renta, Bhiksu Khongzhen pun mengerahkan simpanan hawa murninya,
menerapkan ilmu andalannya meski aliran hawa murni yang berlebihan itu merusak sistem energi dalam tubuhnya.
Zhong Weixia yang tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sudah menyambar datang dengan pukulan tinju 7 lukanya.
Sebuah ledakan dengan suara tak terdengar namun menggetarkan dada terjadi saat tinju Zhong Weixia menghantam dada
Bhiksu Khongzhen. Hebat, sungguh hebat, pukulan telak Zhong Weixia seperti tak terasa sedikitpun oleh bhiksu tua itu,
malah Zhong Weixia yang terpental ke belakang seakan menabrak tembok yang tak terlihat.
"Genta emas tingkat akhir?", seru Xun Siaoma yang tergetar melihat pameran ilmu kebal yang ditunjukkan Bhiksu
Khongzhen. "Keparat"! Serang dia!", geram Zhong Weixia dengan gemas, bukan hanya tangannya saja, dadanya pun terasa nyeri
akibat benturan hawa murni yang terjadi.
Tidak menunggu aba-aba kedua kalinya, Guang Yong Kwang, Bai Chungho dan Xun Siaoma berkelebat cepat menyerang
Bhiksu Khongzhen yang berdiri kokoh seperti gunung karang.Mereka sadar saat ini adalah pertaruhan hidup mati, Bhiksu
Khongzhen yang sudah mengerahkan ilmunya sampai pada puncaknya tidak bisa dibuat main-main. Bhiksu Khongzhen pun
tidak berdiam diri saja, selesai menerapkan ilmu genta emas, tangannya bergerak menyerang dengan pukulan telapak
Buddha. Satu saja sudah menguras hawa murni dan membebani tubuh rentanya, apalagi dua sekaligus. Namun perbawanya
sungguh hebat, lawan pun dibuat kebat-kebit oleh serangan Bhiksu Khongzhen yang membadai.
Zhong Weixia yang berteriak untuk menyerang, justru dirinya sendiri tidak ikut maju menyerang. Dia berdiri diam,
mengatur hawa murninya yang bergerak liar tak terkendali setelah benturan yang terjadi melawan ilmu kebal Bhiksu
Khongzhen. Daya penghancur tinju 7 luka memang hebat, namun ilmu kebal genta emas milik Bhiksu Khongzhen berhasil
mementalkannya, menahannya sebelum daya hancur itu sepenuhnya lepas dari pukulan Zhong Weixia. Akibatnya sekarang
Zhong Weixia harus berhadapan dengan hawa pukulannya yang membalik, memukul diri sendiri. Lagipula Zhong Weixia
tidak ingin berhadapan dengan Bhiksu Khongzhen yang sedang kesetanan. Jika Zhong Weixia bisa berpikir demikian, sudah
tentu Bai Chungho yang tidak kalah liciknya dengan Zhong Weixia sampai pada kesimpulan yang sama. Di luarnya saja dia
terlihat maju bergebrak, kenyataannya dia lebih banyak menghindar dan memukul tempat kosong.
Tiga orang tokoh kelas satu itu pun dibuat jadi bulan-bulanan oleh serangan Bhikau Khongzhen yang bergerak tanpa henti.
Tidak kurang dari tiga kali pukulan Bhiksu Khongzhen mampir telak di tubuh Guang Yong Kwang, di ujung bibir ketua muda
perguruan Kunlun itu sudah dihiasi dengan darah segar. Keadaan mereka pun makin payah, ketika Pendeta Chongxan yang
sudah terluka tiba-tiba kembali bergerak menyerang. Meski pendekar yang bersenjatakan tombak berkait ikut pula maju
dalam pertarungan, namun kegarangannya sudah jauh berkurang, apalagi jika berhadapan dengan Pendeta Chongxan,
seakan dia berhadapan dengan hantu yang tidak bisa dibunuh.
Pucatlah wajah Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang, selamanya orang yang punya ambisi besar paling takut dengan
kematian. Keadaan berubah seratus delapan puluh derajat, sisa lima orang yang masih hidup dibuat kalang kabut oleh serangan dua
orang jagoan tua yang tak juga padam. Tadinya Zhong Weixia berharap kekuatan keduanya akan surut dengan cepat,
sudah bukan rahasia lagi jika pengerahan tenaga yang berlebihan itu menghancurkan tubuh keduanya yang sudah renta.
Namun saat yang ditunggu itu tak juga tiba, malah beberapa kali mereka hampir saja melewati gerbang neraka dan hanya
dengan gerakan menyelamatkan diri tanpa malu-malu saja mereka lolos dari kematian.
"Mundur! Mundur!", akhirnya Zhong Weixia pun tak tahan lagi.
Begitu mendengar seruan Zhong Weixia, lima orang jagoan itu pun berlari mundur tanpa ingat harga diri lagi. Lima orang
jagoan yang namanya menggetarkan dunia persilatan, lari lintang pukang, dikejar dua orang jagoan tua yang sudah
mendekati ajalnya. Kalau diceritakan, siapa pun juga tidak akan percaya, kenyataannya demikianlah yang terjadi.
Sementara itu Ding Tao terus yang berpacu dengan Hu Ban, Shu Sun Er dan Wang Shu Lin, bergerak dengan cepat semakin
lama semakin dekat dengan tempat pertempuran. Melewati pondok persembunyian mereka yang sebelumnya, Hu Ban pun
berteriak-teriak kesetanan.
"Tahan dia! Tahan dia! Kakak Zhu Yanyan! Khongti! ", seru Hu Ban panik.
Tapi bagaimana bisa Zhu Yanyan, Khongti dan Chen Taijiang yang tidak siap hendak menghentikan Ding Tao yang
menderap cepat melewati pondokan mereka. Saat ketiganya berlompatan keluar ke pelataran Ding Tao sudah jauh lewat di
depan. "Apa yang terjadi?", tanya Zhu Yanyan sambil berlari mengiringi kuda Hu Ban yang menderap dengan cepat.
"Ketua Ding Tao hendak mencari Tetua Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan.", jawab Hu Ban panik.
"Bodoh! Bagaimana bisa terjadi demikian?", seru Khongti yang berlari sedikit di belakang.
"Bagus! Apanya yang bodoh sejak semula seharusnya kita tidak melarikan diri!", seru Pang Boxi dari belakang.
"Gila! Kalian semua sudah jadi gila!", geram Khongti tanpa berhenti.
Malam yang tadinya sepi itu pun jadi ramai oleh suara derap kaki mereka. Rencana yang sudah diatur baik-baik rusak
semuanya, berbagai macam pikiran berkecamuk di kepala tiap-tiap orang. Tindakan Ding Tao yang dilakukan tanpa ada
pertimbangan, sebenarnya justru mewakili keinginan hati setiap orang. Di lain pihak, tindakan yang hanya menuruti
keinginan hati itu membahayakan seluruh rencana yang sudah disusun. Pengorbanan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta
Chongxan terancam jadi sia-sia oleh tindakan Ding Tao yang terburu-buru hanya mengikuti ledakan hati, tanpa
menggunakan pertimbangan sedikit pun.
Mereka berpacu tanpa berusaha menyembunyikan kehadiran mereka, dengan sendirinya bergerak cepat menuju ke arah
terjadinya pertarungan. Beberapa li ditempuh dalam waktu yang singkat, berbeda dengan saat mereka berangkat. Sampai di tempat Bhiksu
Khongzhen dan Pendeta Chongxan mencegat perjalanan Zhong Weixia dan rekan-rekannya. Bekas-bekas pertarungan pun
dengan mudah terlihat di mana-mana. Apalagi api unggun yang dibuat Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan belum
padam, cahayanya yang menari-nari menerangi keadaan di sekelilingnya.
Ding Tao pun melompat turun dari kudanya, "Tetua! Tetua! Bhiksu Khongzhen! Pendeta Chongxan!"
Tidak berapa lama kemudian Hu Ban, Zhu Yanyan dan yang lain pun sampai di tempat itu. Sudah sampai di sana, lupalah
mereka pada keperluan mereka untuk menahan Ding Tao. Mereka justru ikut mencari-cari Pendeta Chongxan dan Bhiksu
Khongzhen. Tidaklah sulit menyusuri pertarungan yang baru saja terjadi dari bekas-bekasnya yang jelas terlihat, Ding Tao sudah
mengambil sebuah potongan kayu dari api unggun dan membuat obor seadanya. Demikian juga yang lain, sembari berjalan
mereka mencari-cari berkeliling, semakin lama semakin dekat dengan tempat Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan
berdiri. Keduanya sudah dalam keadaan yang sangat payah, tubuhnya sudaj rusak dari dalam oleh sebab penggunaan hawa
murni yang berlebihan. Di saat yang sama, hanya simpanan hawa murni mereka yang berlimpah itu pula yang masih
menopang kehidupan mereka sampai pada saat itu. Keadaan mereka tak ubahnya sebatang lilin yang sudah mau terbakar
habis. Lilin yang membuat api terus menyala, tapi nyala api itu juga yang menghabiskan lilin, cepat atau lambat pastilah padam juga pada akhirnya.
"Kami di sini?", ujar Bhiksu Khongzhen dengan suara lembut.
Mendengar suara Bhiksu Khongzhen itu, Ding Tao dan yang lainnya pun bergegas menghampiri. Alangkah hancur hati
mereka ketika mendapati keduanya dalam keadaan kuyu, terlebih keadaan Pendeta Chongxan yang bukan saja mengalami
luka di dalam, tapi juga belasan senjata rahasia yang menghiasi tubuhnya.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetua?", cepat Ding Tao memburu ke arah mereka berdua.
"Kakak?", Zhu Yanyan dan Khongti tidak kalah cepat pula datang menolong.
Dua orang jagoan tua itu pun kemudian dipapah untuk duduk bersender pada pohon-pohon yang ada di dekat mereka. Zhu
Menjenguk Cakrawala 6 Rahasia Lukisan Kuno Seri Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Pedang Kayu Cendana 3