Pencarian

Pedang Angin Berbisik 28

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 28


Yanyan yang sedikit mengerti ilmu pengobatan, berusaha menolong sebisanya, dengan hatu-hati senjata rahasia yang
menancap di tubuh Pendeta Chongxan dicabut untuk kemudian lukanya dibersihkan, ditaburi obat dan dibalut. Betapa pedih
perasaan Zhu Yanyan, ketika membuka jubah luar dan baju Pendeta Chongxan, tubuh yang kurus dan renta itu masih harus
dihiasi dengan luka-luka yang tidak ringan. Air mata tidak hentinya mengucur dari mata Zhu Yanyan.
"Sudahlah" memang sudah saatnya?", ujar Pendeta Chongxan lemah.
"Mengapa kalian justru berada di sini?", tanya Bhiksu Khongzhen yang keadaannya sedikit lebih baik dari Pendeta
Chongxan. Ditanya demikian, menunduklah Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya, tak mampu menjawab pertanyaan Bhiksu Khongzhen.
Tidak demikian dengan Ding Tao, dengan air mata bercucuran, pemuda itu menghaturkan hormat sambil membentur-
benturkan kepalanya ke atas tanah, penuh sesal dia berkata, "Maafkan saya yang datang terlambat" maaf" maaf" maaf?"
"Bocah tolol" Bagaimana bisa kau mengatakan terlambat, jika seharusnya kau sudah berada puluhan li jauhnya dari sini?", jawab Bhiksu Khongzhen dengan suara lembut.
"Kakak" maafkan kami gagal menjalankan tugas kami?", ujar Khongti dengan suara perlahan.
"Sudahlah" manusia berencana, langit yang menentukan", jawab Bhiksu Khongzhen tersenyum lembut.
Pendeta Chongxan hanya diam saja sambil memejamkan mata, berusaha mengatur jalannya hawa murni melewati jalur-
jalur energi yang sudah rusak parah.
"Kakak" apa yang harus kami lakukan sekarang?", tanya Zhu Yanyan putus asa tak mampu lagi berpikir, dia dan juga yang
lain sudah cukup maklum dengan keadaan kedua orang tua itu.
"Tidak ada yang bisa kalian lakukan, kecuali menjalankan rencana kita sebelumnya. Tidak perlu menghindari kenyataan,
baik kalian maupun kami sendiri, toh sudah cukup maklum dengan keadaan diri kami saat ini", ujar Bhiksu Khongzhen
lemah lembut, tak sedikitpun tersirat rasa takut menghadapi kematian.
Zhu Yanyan dan yang lain termangu, hendak pergi tak tega, tidak pergi tidak ada pula yang bisa mereka lakukan.
Tiba-tiba Pendeta Chongxan membuka matanya, "Tunggu sebentar, kukira kawanan serigala itu tidak akan kembali dalam
waktu dekat. Ketua Ding Tao, kemarilah?"
Ding Tao pun datang menghampiri Pendeta Chongxan dengan hormat, "Apakah tetua ada satu pesan?"
"Duduklah dekat di sini?", ujar Pendeta Chongxan sambil menunjuk dekat kakinya.
Ketika Ding Tao mengikuti perintahnya, cepat tangan Pendeta Chongxan bergerak dan mengunci telapak tangan Ding Tao
dengan jari tepat di titik energi di tengah telapak tangan Ding Tao, "Diamlah, jangan melawan atau aku mati sia-sia."
Bukan hanya Ding Tao yang terkejut, gerakan Pendeta Chongxan yang sebat di luar perkiraan setiap orang. Mereka semua
yang menyaksikan pun terkejut sebelum diam oleh rasa haru. Di saat-saat yang terakhir Pendeta Chongxan mengalirkan
simpanan hawa murninya yang tersisa ke dalam tubuh Ding Tao. Ding Tao tak tega untuk menerima, tapi juga tak tega
untuk menolak. Pemberian ini sungguh terlampau besar dan menjadi beban yang berat dalam hatinya. Tapi menolak pun
tak mungkin, karena seperti yang dikatakan Pendeta Chongxan, jika Ding Tao melawan atau mendorong balik hawa murni
yang masuk, sama saja dia membunuh Pendeta Chongxan yang keadaannya sudah sangat lemah.
Melihat apa yang dilakukan Pendeta Chongxan, Bhiksu Khongzhen tertawa perlahan dan berkata, "Ah" dalam segala hal kau
selalu selangkah lebih dahulu dariku."
Belum selesai dia berucap, Bhiksu Khongzhen sudah pula berpindah ke sisi Ding Tao yang lain, meniru apa yang dilakukan
Pendeta Chongxan dia pun mengalirkan sisa hawa murni yang masih ada padanya ke dalam tubuh pemuda itu.
Tidak ada yang bisa dilakukan Ding Tao kecuali menerima pemberian itu dengan air mata bercucuran.
"Tenangkan hatimu, kuasai pikiran dan kehendak, jangan biarkan hawa murni kami berkeliaran liar dalam tubuhmu", ujar
Bhiksu Khongzhen dengan lembut, m engingatkan Ding Tao yang batinnya sedang mudah tergerak.
Menyadari keadaan sendiri, Ding Tao pun berusaha keras untuk tidak menyia-nyiakan pengorbanan orang.
"Tak perlu merasa sungkan, tak perlu merasa bersalah. Sebentar lagi kami akan mati, tubuh kami sudah tak kuat bertahan, lalu apa gunanya hawa murni yang kami kumpulkan puluhan tahun lamanya ini" Tenangkan hatimu, jika kau ingin
membalas budi, inilah jalan yang terbaik.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan lembut.
"Jangan merasa berhutang budi pada kami berdua", sebenarnya justru kami hendak meminta tolong pada Ketua Ding Tao,
apa yang kami berikan tak lebih dari sebuah titipan dari kami. Dengarkanlah Zhu Yanyan berenam, pesan kami,
permohonan, harapan, kami yang kami minta darimu mereka berenam sudah mendengarnya.", ujar Pendeta Chongxan
menambahkan. "Saya mengerti" keinginan tetua berdua, tentu akan kuusahakan meski harus mempertaruhkan nyawa.", ujar Ding Tao
menjawab dengan sepenuh hati.
"Yang kami minta justru memerlukanmu dalam keadaan hidup. Jadi jangan berpikir tentang kematian, carilah jalan
kehidupan dan pikul beban yang kami berikan.", ujar Pendeta Chongxan dengan tegas.
"Kami tidak butuh orang putus asa yang mencari kematian. Yang kami cari adalah lelaki tangguh yang berani hidup memikul tanggung jawab", ujar Bhiksu Khongzhen dengan suara tidak kalah tegasnya.
"Mengerti" mengerti?", Ding Tao pun menjawab dengan sungguh-sungguh.
Mendengarkan percakapan antara Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan dan Ding Tao, tiba-tiba Zhu Yanyan bangkit
berdiri, "Adik, marilah kita bersihkan bekas-bekas kedatangan kita di tempat ini. Saat kita pergi nanti, janganlah ada
petunjuk bahwa pernah ada orang lain selain tetua berdua dan lawan-lawannya yang menginjak tempat ini."
Mendengar perkataan Zhu Yanyan, semangat yang lain pun jadi terbangkit, Hu Ban bangkit berdiri dan menjawab, "Kakak
benar, bagaimana pun juga belum terlambat, jika Zhong Weixia dan rekan-rekannya berpikir bahwa kita sudah pergi jauh
ketika mereka dihadang oleh tetua berdua, maka mereka pun akan membatalkan pengejaran dan segala usaha kita tidak
terbuang sia-sia." "Hmmm" benar juga, baik ayo kita kerjakan.", ujar Pang Boxi.
"Hati-hati, hanya hapuskan keberadaan kita saja, jangan menghapuskan jejak tetua berdua atau yang lain", ujar Hu Ban
sambil bergerak mulai menghapuskan keberadaan mereka, bekas jejak kaki mereka ketika memapah Pendeta Chongxan
dan Bhiksu Khongzhen, kuda-kuda mereka yang ditambatkan tak jauh dari sana dan segala sesuatunya yang tepikirkan.
Mereka berenam bekerja dengan teliti, sementara mereka bekerja, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan sudah selesai
pula menyalurkan hampir seluruh simpanan hawa murni mereka ke dalam tubuh Ding Tao. Hanya tersisa sedikit untuk
menyambung nafas mereka beberapa lama.
"Ketua Ding Tao, sekarang tinggalkanlah tempat ini, jangan berpikir untuk kembali sebelum kau menemukan jalan untuk
mengalahkan lawan.", kata Bhiksu Khongzhen.
"Ingat, beberapa hari lagi, keadaanmu tentu akan mulai memburuk, di Desa Hotu ada tabib yang cukup hebat, kuharap dia
bisa membantu.", sambung Bhiksu Khongzhen pula.
Mendengar ucapan Bhiksu Khongzhen, tiba-tiba teringatlah Ding Tao dengan bungkusan yang diberikan Tabib Shao Yong.
Bukankah pesan-pesan Tabib Shao Yong begitu jelas, jika dihubung-hubungkan dengan peristiwa yang terjadi sampai
dengan sekarang. Jelas Tabib Shao Yong adalah bagian dari pengikut Murong Yun Hua, namun di saat yang sama dia juga
mengasihi Ding Tao. Hanya saja bisakah dia mempercayai Tabib Shao Yong.
Dengan tangan bergetar Ding Tao mengeluarkan bungkusan itu dari balik jubahnya. Kemudian perlahan-lahan dibukanya,
ada secarik surat di situ.
"Ketua Ding Tao" apa itu?", tanya Bhiksu Khongzhen ingin tahu, melihat perubahan di wajah Ding Tao tentu bungkusan itu
punya arti yang penting. Kebetulan Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya juga sudah selesai dengan pekerjaan mereka dan baru saja datang. Mereka
pun sama memandang ke arah Ding Tao penuh rasa ingin tahu. Dengan terbata Ding Tao pun menjelaskan dengan serba
singkat tentang pembicaraannya dengan Tabib Shao Yong sebelum mereka pergi memasuki gedung tempat pernikahan Ding
Tao akan dirayakan. "Ah", bukankah ada surat di situ, coba bacakan.", ujar Bhiksu Khongzhen pula.
Ding Tao pun membuka secarik surat pendek yang disertakan bersama dengan bungkusan itu.
"Anak Ding Tao, saat kau membaca surat ini, mungkin kau dalam keadaan putus asa dan hilang semangat. Kuminta
janganlah hilang harapan, selama masih ada kehidupan, selalu masih ada harapan.
Nyonya Murong Yun Hua tidak akan membunuhmu, di sinilah kau memiliki kesempatan. Seperti yang dilakukannya pada
Pendekar pedang Jin Yong, dia akan menawanmu dalam keadaan hidup-hidup. Pengaruh Obat Dewa Pengetahuan akan
membuatmu tak ubahnya mayat hidup. Tapi dia tidak tahu kau memiliki obat ini, obat untuk menawarkan pengaruh buruk
dari Obat Dewa Pengetahuan terhadap tubuhmu.
Aku sudah menyelidiki ramuan ini sejak aku mendengar keputusan Nyonya Murong Yun Hua untuk memanfaatkan dirimu.
Maafkan aku yang renta ini, aku terjepit antara hutang budi serta janji setia pada keluarga Murong dan kasihku padamu,
sebagai seorang ayah pada anaknya. Pula kekuasaan keluarga Murong begitu besar, aku pun tak tahu, siapa-siapa yang
bisa dipercaya dan siapa yang tidak. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu.
Ingat baik-baik, tunggu selama dua minggu sebelum kau meminum obat ini. Supaya ada waktu untuk membersihkan
tubuhmu dari sisa-sisa Obat Dewa Pengetahuan. Masa dua minggu itu tentu sangat menyiksa, tapi tidak ada jalan lain, agar obat yang kuberikan bisa bekerja dengan sempurna.
Ada begitu banyak yang ingin kusampaikan, tapi hal itu tidaklah mungkin kusampaikan dalam surat ini. Sabarlah, aku akan mencari-cari kesempatan untuk menemuimu diam-diam."
Sejenak lamanya mereka semua terdiam, sampai Bhiksu Khongzhen memecahkan keheningan itu, "Bagus", bagus, jelas-
jelas langit sudah memberi jalan dan bantuan. Aku yakin Ketua Ding Tao pasti berhasil melewati semua cobaan ini."
"Ketua Ding Tao, hatiku sekarang merasa tenang. Kalian cepatlah pergi dari sini, jangan sia-siakan pertolongan dari langit.
Sudah tidak ada lagi yang perlu dikuatirkan, bahkan pengaruh buruk Obat Dewa Pengetahuan pun sudah ada obatnya",
ujarnya lagi penuh semangat.
"Selain itu, jika kalian baca baik-baik, terlihat ada jalan untuk membersihkan nama Ketua Ding Tao dari fitnahan orang.
Setidaknya membuat orang berpikir dua kali tentang siapa benar dan siapa yang salah.", tibat-tiba Pendeta Chongxan ikut menimbrung.
"Menurut tetua berdua" bisakah aku mempercayai Tabib Shao Yong?", tanya Ding Tao ragu-ragu, hatinya terbagi dua
antara curiga dan percaya.
"Aku yakin dengan ketulusan hatinya", jawab Pendeta Chongxan dengan mantap.
"Percayalah pada kami, sekarang jangan buang waktu lagi lebih lama di sini. Pergilah cepat, sejauh mungkin sebelum
kawanan serigala itu muncul kembali di sini.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan tegas.
"Bagaimana dengan tetua berdua?"", tanya Ding Tao dengan berat hati.
"Tolol, bocah bodoh, masakan kau masih juga bertanya" Sekarang pergilah, sungguh hati kami sudah merasa tenang
mendengar isi surat itu. Benar-benar satu penghiburan sebelum kami menutup mata untuk selama-lamanya.", jawab Bhiksu
Khongzhen sambil tertawa senang.
"Pergilah, cepatlah pergi", sambung Pendeta Chongxan, senyumnya lemah karena kekuatannya sudha mulai memudar.
"Ayolah pergi", ujar Zhu Yanyan sambil menggamit tangan Ding Tao.
Dengan berat hati akhirnya Ding Tao pun berpamitan, membungkuk memberi hormat untuk ke sekian kalinya.
Mengucapkan janji dan kata perpisahan. Betapapun berat hati mereka untuk meninggalkan tempat itu, pada akhirnya
mereka pun pergi juga. Menderap pergi, jauh meninggalkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang duduk bersila
menyambut kematian. "Saudara Khongzhen?", ketika sudah tidak ada orang lagi, Pendeta Chongxan tiba-tiba berkata.
"Ada apa?", tanya Bhiksu Khongzhen.
"Aku menyesal" di akhir hidupku ternyata aku membunuh orang lagi" Setelah sekian lama" hahh" ternyata aku masih
belum bisa menahan diri dan kelepasan tangan membunuh orang.", ujar Pendeta Chongxan dengan sedih.
Bhiksu Khongzhen pun terdiam, "Hehh" aku pun tidak lebih baik, jika tidak ada yang terbunuh oleh tanganku, itu bukan
karena kelebihanku tapi lebih karena kemampuan mereka sendiri?"
Lama keduanya sama-sama terdiam, kemudian Bhiksu Khongzhen berkata lagi, "Saudara Chongxan, apakah menurutmu
ilmu silat selamanya adalah ilmu untuk membunuh?"
Pendeta Chongxan tidak dapat segera menjawab, ketika akhirnya dia menjawab, dia berkata, "Entahlah" entahlah" tapi
kuharap tidak demikian, kuharap ilmu silat akan terus berkembang, cara pandang manusia terus berkembang dan filosofi
seni membunuh pun bisa melampaui dirinya dan sampai pada tujuan yang lebih mulia."
Keesokan paginya mayat mereka berdua pun ditemukan oleh Zhong Weixia yang pergi bersama-sama dengan orang
banyak. Kabar yang tersiar keluar, keduanya mati terbunuh dalam sebuah pertarungan ketika berusaha menangkap Ding
Tao hidup-hidup. Ada berbagai macam cerita, mulai dari ketangguhan Ding Tao yang di luar dugaan kedua jagoan tua itu,
sampai kecurangan yang dilakukan Ding Tao untuk menang, bahkan ada pula cerita yang mengatakan bahwa Ding Tao
mendapatkan bantuan dari orang luar. Kabar yang lebih mengejutkan muncul beberapa hari kemudian, yaitu kesepakatan
dari lima perguruan besar yang ada, Hoashan, Shaolin, Kongtong, Enmei dan Kunlun untuk mengangkat Murong Yun Hua
sebagai pengganti Ding Tao, dan mereka bersepakat untuk menurunkan ilmu-ilmu dari lima perguruan besar pada Murong
Yun Hua. Hanya Wudang yang diam dalam masalah ini, pihak Wudang menyatakan perkabungan atas kematian Pendeta
Chongxan dan menarik diri dari dunia persilatan selama waktu yang tidak ditentukan.
Menurut kabar burung, Murong Yun Hua ternyata sebenarnya menguasai ilmu tenaga dalam yang sangat dahsyat, di luar
sepengetahuannya sendiri. Selama ini dia melatihnya hanya sebagai ilmu kesehatan dan untuk menjaga kecantikan.
Kenyataan yang sebenarnya baru ketahuan secara tidak sengaja, ketika Bhiksuni Huang Feng memeriksa nadi Murong Yun
Hua yang pingsan setelah kejadian heboh larinya Ding Tao dari Jiang Ling.
Berdasarkan temuan itu, juga menilik kepribadian Murong Yun Hua dan sepak terjangnya selama ini, lima perguruan besar
itu pun sepakat untuk memberikan kedudukan Ding Tao sebagai Wulin Mengzhu pada Murong Yun Hua, karena untuk
mengadakan pemilihan kembali waktunya sudah tidak memungkinkan.
Satu minggu sudah berlalu, perjalanan ke Desa Hotu berjalan lancar tanpa halangan. Meskipun demikian masih butuh
beberapa minggu sebelum mereka akan sampai di perbatasan, sebelum akhirnya sampai ke Desa Hotu.
Mengikuti petunjuk surat Tabib Shao Yong, juga nasehat dari Zhu Yanyan, sampai dengan dua minggu berlalu Ding Tao
lebih berkonsentrasi untuk membersihkan tubuhnya dari sisa-sisa obat dewa pengetahuan. Zhu Yanyan berpendapat,
sebaiknya Ding Tao juga menahan diri untuk tidak makan daging dan minum arak dalam waktu dua minggu itu. Selama dua
minggu itu, Ding Tao hanya diperbolehkan makan sayur-sayuran dan akar-akaran.
Tubuhnya pun menjadi semakin kurus, ditambah lagi dengan efek samping dari terhentinya konsumsi Obat Dewa
Pengetahuan, wajahnya jadi kuyu, layaknya orang berpenyakitan. Bukan hanya sulit berpikir, tubuhnya pun terasa lemas
dan sakit-sakitan di seluruh persendian.
Di pagi dan siang hari, ketika mereka melakukan perjalanan Ding Tao akan duduk diam di dalam kereta atau tandu.
Sesekali bila dia sudah merasa sangat bosan, maka dia pun meminta untuk keluar dan berjalan kaki. Tapi tidak sampai
beberapa puluh langkah, tentu dia sudah kecapaian dan harus kembali duduk di dalam kereta. Tubuhnya yang tinggi
membuat dia tampak jauh lebih kurus daripada yang sebenarnya, mata dan tulang pipinya menonjol keluar dan kulitnya
berwarna pucat. Bukan hanya itu saja, dari hari ke hari, ingatannya makin sering datang dan pergi tak tentu arah. Pada
setiap orang yang bertanya, Ding Tao diakui sebagai suami Wang Shu Lin yang menderita penyakit berat dan saat ini dalam perjalanan untuk mencari tabib sakti yang katanya terdapat di luar perbatasan.
Jika ditanya siapa nama tabib sakti tersebut, maka mereka akan menjawab, bahwa mereka sendiri kurang tahu. Hanya saja
sudah tidak ada jalan lain, setiap tabib yang mereka temui sudah mengangkat tangan, menyerah tak bisa menyembuhkan
penyakit Ding Tao. Melihat wajah tampan yang kuyu itu, mudah saja orang merasa bersimpati dengan keadaan Ding Tao.
Tidak ada yang berpikir inilah Ding Tao yang terkenal itu, karena sedikitpun kegagahannya tidak tersisa. Tidak ada yang bisa membayangkan tengkorak hidup itu mengangkat senjata apalagi bertarung dengan garang.
"Kakak, ayo makan" aku masakkan sup kentang untukmu.", ujar Wang Shu Lin sambil masuk membawakan makanan
untuk Ding Tao. "Makan?"", tanya Ding Tao seperti orang bingung.
"Iya", makan, lihat apa yang aku masakkan untuk kakak hari ini. Memang Cuma sayur dan kentang, tapi aku sudah
bumbui, kentangnya juga manis, cobalah pasti rasanya enak.", ujar Wang Shu Lin dengan ceria.
"Makan" ah ya makan" terima kasih?", jawab Ding Tao sambil memandangi sup yang dibawakan Wang Shu Lin.
Lama dia hanya memandangi saja makanan yang sudah dibawakan Wang Shu Lin, sampai Wang Shu Lin kemudian bertanya, "Apa kakak mau aku suapi?"
"Suap" " tidak, tidak, aku bisa makan sendiri", ujar Ding Tao sambil menggelengkan kepala.
Dengan canggung dia mengangkat mangkuk dan mulai makan dengan sumpitnya. Sesuap, dua suap, lalu berhenti dengan
wajah berkerenyit. "Apakah tidak enak?", tanya Wang Shu Lin dengan nada sedih.
"Aku mual?", ujar Ding Tao.
"Cobalah beberapa suap lagi, jika tidak, mana ada tenaga nanti", bujuk Wang Shu Lin dengan sabar.
"Siapa gadis ini?", tiba-tiba Ding Tao lupa siapa gadis yang memaksa dia untuk makan itu.
Dipandanginya Wang Shu Lin lama sekali, sembari mengingat-ingat, "Ah ya, dia setiap hari yang membawakan makanan.
Dia juga tidak akan pergi kalau makanan ini belum habis."
"Tapi siapa dia" Siapa namanya?", dalam hati dia bertanya.
Lama sebelum nama itu tiba-tiba muncul di benaknya, "Wang Shu Lin" ya namanya Wang Shu Lin."
Teringat nama gadis itu dia merasa sedikit lebih baik, kembali dia makan beberapa suap, "Tapi siapa dia?"
Lama dia berpikir sampai sebuah ingatan terlintas dalam benaknya, kemarin ketika pemilik penginapan bertanya tentang
mereka, "Dia isteriku?"
Kebetulan waktu itu Wang Shu Lin mengaku dia sebagai isterinya, sedang Zhu Yanyan menjadi ayah mertuanya, Pang Boxi
dan yang lain ada yang menjadi paman ada pula yang berlaku sebagai pelayan. Teringat hal itu, hati Ding Tao jadi sedih
sekali, baik karena penyakitnya, maupun kesusahan yang harus ditanggung oleh "isterinya" yang masih muda dan cantik
itu. Betapa kaget Wang Shu Lin ketika Ding Tao tiba-tiba menarik dirinya, seberapa kuat sebenarnya Ding Tao, tentu saja tidak cukup kuat untuk menarik jatuh Wang Shu Lin ke dalam pelukannya. Namun antara terkejut dan terenyuh melihat keadaan
Ding Tao, tubuh gadis itu terasa lemas dan jatuh begitu saja dalam pelukan Ding Tao. Gemetarankarena lemah, Ding Tao
memeluk Wang Shu Lin dan membelai-belai rambutnya yang hitam tebal, sembari menciumi pipi gadis itu dengan air mata
menetes dia pun berkata berulang-ulang, "Isteriku" ah isteriku" aku sudah menyusahkanmu?"
Berdebaranlah jantung Wang Shu Lin dalam pelukan pemuda itu, wajah yang tirus dan cekung, tidak mengurangi
ketampanannya dalam pandangan Wang Shu Lin yang sudah jatuh cinta. Berada begitu dekat dengan Ding Tao tubuhnya
terasa panas dingin, tapi juga terenyuh mendengar perkataan Ding Tao.
"Ah" dia memang lelaki yang baik, andainya dia benar jadi suamiku?", keluh Wang Shu Lin dalam hati.
Wajah mereka satu dengan yang lain begitu dekat, betapa Wang Shu Lin menikmati kemesraan ini, dia masih ingat, setiap
saat bisa saja salah seorang gurunya memergoki mereka. Tapi kapan lagi akan ada kesempatan seperti ini" Sebentar lagi
Ding Tao akan mulai meminum penawa Obat Dewa Pengetahuan, secepatnya ingatannya pulih kembali, tentu tidak akan
ada lagi kejadian seperti ini. Wajah Wang Shu Lin tiba-tiba merah padam, sebuah keinginan muncul dalam hatinya,
sebagian dari dirinya melarang untuk mengikuti keinginannya itu, tapi sebagian yang lain mendorongnya untuk melakukan
hal itu. Jantungnya berdebar makin kencang, semakin dia berpikir untuk melakukannya, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar
suara Zhu Yanyan menyapa pemilih penginapan di luar. Entah setan dari mana yang datang, Wang Shu Lin pun mendekat
dan mencium bibir Ding Tao dengan mesra. Ding Tao yang menganggap Wang Shu Lin sebagai isterinya, tentu saja
menyambut ciuman itu dengan hangat. Sejenak lamanya Wang Shu Lin melayang-layang dalam sentuhan yang intim dan
mesra itu, kemudian dia pun menarik diri, melepaskan diri dari pelukan Ding Tao dengan lembut.
"Kakak", ayo cepat habiskanlah makanannya" Bukankah kakak ingin cepat sembuh" Untuk dirimu sendiri, juga untukku?",
pintanya dengan mesra. "Ya..ya", aku aku habiskan" tapi kau jangan pergi jauh-jauh?" jawab Ding Tao.
"Tidak" aku akan menunggu di sini ?", jawab Wang Shu Lin dengan mesra.
Tidak berapa lama Zhu Yanyan membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, "Bagaimana keadaannya?"
"Seperti biasa" sedangkan ingatannya" sepertinya semakin buruk saja.", jawab Wang Shu Lin dengan sedih.
Ding Tao pun memandangi Zhu Yanyan dengan pandangan mata kosong untuk beberapa lama sebelum tiba-tiba dia hendak
bangkit berdiri dan memberi hormat, "Ayah mertua?"
"Tidak usah bangun, duduk sajalah, habiskan makananmu", ujar Zhu Yanyan buru-buru menopang tubuh Ding Tao yang
goyah saat henda berdiri.
Zhu Yanyan melirik Wang Shu Lin dengan alis terangkat, Wang Shu Lin pun wajahnya bersemu merah dadu dan
mengangkat bahu, "Ayah", sudah kubilang, ingatannya semakin lama semakin buruk?"
"Benar ayah", maafkan aku bukan maksudku tidak sopan, tapi untuk beberapa saat aku tidak ingat siapa ayah.", ujar Ding
Tao dengan wajah sedih. Telinga Zhu Yanyan yang tajam membuat dia tahu, pemilik penginapan sedang ada di depan pintu memasang telinga. Zhu
Yanyan pun menggelengkan kepala dengan sedih, tidak tahu harus tertawa karena lucu atau menagis karena sedih.
Sekarang dia jadi ayah mertua Ding Tao dan Wang Shu Lin jadi anaknya. Hendak meluruskan kesalah pahaman Ding Tao
juga bukan urusan mudah, apalagi di depan ada telinga-telinga yang serba ingin tahu. Sudah bisa dia bayangkan, kisah
sedih yang akan dibicarakan keluarga pemilik penginapan ini nanti malam.
"Ya" ya.. tak apa.. sudahlah kau baik-baik makan, jika nanti kita dapatkan obatnya tentu kau akan jadi baik kembali.",
ucapnya dengan prihatin. "Shu Lin, kalau suamimu selesai makan, datanglah dahulu ke kamarku, ibumu ingin berbicara denganmu. Biarlah Boxi yang
menjaga suamimu nanti.", ujar Zhu Yanyan pada Wang Shu Lin dengan hati rawan.
Wang Shu Lin sudah bisa menduga untuk urusan apa dia dipanggil, dengan wajah bersemu merah dia menjawab, "Baik
ayah" apakah sebaiknya sekarang saja?"
"Tidak usah, kau temani dulu suamimu sampai dia selesai makan. Nak, aku tinggal dulu ya, kau makanlah yang banyak",
ujar Zhu Yanyan sebelum meninggalkan ruangan itu.
Benar saja dugaan Zhu Yanyan, di depan kamar pemilik penginapan itu berpura-pura sedang menyirami pot bunga yang
besar, padahal sejak tadi tentu telinganya dipasang baik-baik dekat pintu kamar. Sambil berbasa-basi sebentar Zhu Yanyan pun pergi kembali ke kamarnya sendiri, di sana sudah ada Shu Sun Er dan Hu Ban.
"Hehh" celaka" celaka?", keluh Zhu Yanyan begitu masuk ke dalam kamar.
"Ada apa memangnya" Apakah keadaannya semakin buruk?", tanya Hu Ban.
"Bukan itu, tapi celaka yang lain.", ucap Zhu Yanyan sambil menggelengkan kepala, kemudian dia pun bercerita apa yang
terjadi barusan. Mendengar cerita Zhu Yanyan Hu Ban justru terkekeh geli, "Heheheh, bocah nakal itu tentu sekarang merasa sedang ada di
awang-awang, pemuda yang dia cintai mengira dia adalah isterinya."
"Jangan sembarangan, ini bukan lelucon, kalau sampai terjadi sesuatu bagaimana?", Zhu Yanyan menggerutu.
"Kita nikahkan saja mereka berdua", jawab Hu Ban dengan entengnya.
"Orang sableng! Jangan bicara sembarangan, bagaimana kalau setelah Ding Tao sadar dia menyesalinya" Jangan main-main
urusan pernikahan.", sambar Shu Sun Er sembari memukul pundak Hu Ban.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mana mungkin dia menyesal" Kalau dia menyesal berarti matanya buta, atau dia bukan laki-laki", jawab Hu Ban tidak mau
kalah. "Hei" Sun Er benar, kita harus berhati-hati, bagaimana pun juga aku tidak rela kalau muridku sampai salah langkah dalam hidupnya.", sahut Zhu Yanyan.
"Jadi sekarang maunya bagaimana?", Hu Ban balik bertanya.
"Kukira Wang Shu Lin sudah tidak bisa dibiarkan terlalu sering berduaan dengan Ding Tao.", jawab Zhu Yanyan.
"Benar, aku akan lebih sering memperhatikan keduanya.", jawab Shu Sun Er.
"Hmm" aku sih percaya dengan Wang Shu Lin, lagipula pakah tidak aneh, kita sudah terlanjur mengatakan pada setiap
orang bahwa Wang Shu Lin adalah isteri Ding Tao.", ujar Hu Ban menyanggah.
Zhu Yanyan saling berpandangan dengan Shu Sun Er kemudian berkata, "Itulah susahnya" aku pun inginnya percaya
dengan Wang Shu Lin, tapi anak itu seringkali lebih mengikuti apa kata hatinya."
"Aku percaya dia tidak akan membuat malu kita", jawab Hu Ban dengan tegas.
"Hhh" soal itu aku juga percaya, tapi seorang gadis yang sedang jatuh cinta?" Aku khawatir otaknya sama tidak lurusnya
dengan otak Ding Tao", ujar Shu Sun Er sembari menghela nafas.
Hu Ban terkekeh geli mendengar otak Wang Shu Lin disamakan dengan otak Ding Tao, "Jadi bagaimana baiknya?"
"Sudah kusuruh dia datang ke mari setelah Ding Tao selesai makan, Sun Er, kau nasehati dia baik-baik, kalian sama-sama
perempuan tentu lebih leluasa untuk bercakap-cakap. Kemudian sebisa mungkin kita jangan meninggalkan mereka
berduaan terlalu lama, setidaknya tentu itu akan membantu Wang Shu Lin untuk menahan diri dari godaan.", ujar Zhu
Yanyan memutuskan. "Hehe, baiklah biar aku yang jadi pengawasnya, sepertinya seru juga melihat sandiwara ini.", ujar Hu Ban dengan ringan, dibalas Shu Sun Er dengan mata melotot.
Di kamar Ding Tao sendiri, Wang Shu Lin memperhatikan pemuda itu dengan hati berdebar. Sikap dan perkataan Zhu
Yanyan sudah cukup dia pahami, apalagi sebelumnya dia memang sudah melakukan sesuatu yang kurang pantas dengan
Ding Tao. Dalam hatinya pun timbul peperangan batin, namun kegalauan itu tidak terlampau mengganggunya, sebagian
besar dari dirinya masih terbuai dengan ingatan akan apa yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Ding Tao.
"Tidak mengapa", sedikit saja.., sebentar saja, tidak lama lagi dia akan kembali ingat dan kami akan kembali berjauhan
meski dekat, terpisah oleh sebuah pembatas yang tak terlihat. Ya" sedikit saja aku ingin merasakan kedekatan itu, aku toh masih bisa menjaga diri agar tidak melampaui batas", pikir Wang Shu Lin menghibur dirinya sendiri.
Mendapatkan ketetapan itu, hatinya jadi jauh lebih tenang, ketika Ding Tao sudah selesai makan, dia pun menghampirinya
dengan mesra, "Nah sekarang, kakak beristirahatlah lebih dahulu, aku hendak pergi menemui ibu."
"Baiklah" apakah nanti kau akan kembali?" tanya Ding Tao sambil memegangi tangan Wang Shu Lin.
"Entahlah, kita lihat saja nanti", jawab Wang Shu Lin dengan lembut dia membantu Ding Tao berbaring ke atas
pembaringan. Sekali lagi mereka begitu dekat, tubuhpun terasa hangat. Tanpa ragu Wang Shu Lin membaringkan kepalanya di atas dada
Ding Tao beberapa lama, lalu mengecup bibirnya dengan mesra sebelum pergi meninggalkan Ding Tao sendiri dalam
ruangan. Satu ingatan seperti hendak muncul dalam benak Ding Tao, ingatan tentang kemesraan dengan isterinya. Sebuah
percintaan yang panas membara, hingga mengingatnya saja membuat darahnya bergejolak. Apakah itu Wang Shu Lin"
Tentu saja itu Wang Shu Lin, siapa lagi jika bukan dia" Kepalanya terasa pening karena terlalu banyak berpikir, Ding Tao pun akhirnya memejamkan mata, satu-satunya saat di mana dia bisa bebas dari penderitaan, meskipun tidurnya pun
seringkali pendek-pendek dan penuh dengan kesakitan dan mimpi buruk yang tidak dia mengerti keesokan paginya.
Di saat Ding Tao tidur, Wang Shu Lin sedang duduk manis di depan gurunya Shu Sun Er.
"Anak Shu Lin, apakah kau tahu mengapa gurumu mmeintamu untuk datang menghadap?", tanya Shu Sun Er langsung
pada masalahnya. "Murid bisa menduga guru, tentunya ini masalah hubunganku dengan Ketua Ding Tao.", jawab Wang Shu Lin.
"Bagus, kau memang murid yang cerdas, kebetulan juga watak kita berdua sedikit mirip, jadi kukira pembicaraan ini tidak perlu berputar-putar. Katakanlah padaku benarlah pengamatan kami bahwa kau menaruh hati pada pemuda itu?", kata Shu
Sun Er. Ditanya demikian, jantungnya berdegup dan wajahnya terasa panas, Wang Shu Lin menjawab dengan pipi memerah. "Benar
guru." Shu Sun Er menghela nafas lalu membelai rambut muridnya itu penuh rasa sayang, "Tak perlu kau malu atau menutupi
apa-apa dari gurumu ini. Dia memang pemuda pilihan, tidak heran jika kau jatuh hati padanya. Mungkin kau lupa, tapi
watak ayahmu sedikit banyak ada kemiripannya dengan dia."
"Benarkah itu guru?", tanya Wang Shu Lin sambil mencoba mengingat-ingat sosok ayah yang sudah meninggalkan dia saat
usianya masih sangat muda.
Shu Sun Er tertawa lembut, matanya menerawang mengingat sosok ayah Wang Shu Lin ketika dia masih hidup, "Ya", ada
kemiripannya, meskipun ayahmu lebih pandai bicara dari pemuda itu, tapi kukira dia menggemari ilmu silat sama seperti
ayahmu menggemari ilmu sastra. Selebihnya sifat mereka hampir tak ada bedanya."
Untuk sesaat lamanya, dua wanita beda generasi itu sama-sama terdiam, berusaha mengenang sosok seorang yang sudah
lama meningalkan mereka. Ingatan Shu Sun Er tentu saja jauh lebih hidup dan berwarna. Yang teringat oleh Wang Shu Lin
hanyalah ingatan samar tentang seorang ayah yang penyabar dan suka tertawa, bertubuh tinggi juga tampan. Apa benar
dia mirip Ding Tao" Entahlah, tapi mungkin itu sebabnya dia menyukai Ding Tao sejak pertama kali mereka bertemu.
Semakin dia mengingat ayahnya, semakin yakin dia dengan ucapan gurunya, semakin pula dia jatuh hati pada Ding Tao.
"Tapi kau harus tahu, cintamu bisa jadi cinta yang tak berbalas.", ucap Shu Sun Er tiba-tiba, menarik kembali Wang Shu Lin keluar dari khayalannya.
Wang Shu Lin terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku tahu guru" aku tahu itu" Dia sudah beristeri, kalaupun isterinya
mengkhianati dia belum berarti aku memiliki kesempatan karena dia juga sudah memiliki cinta pertamanya sendiri."
"Kalau kau sudah mengerti itu, mengapa kau masih saja berkeras dengan cintamu padanya" Padamkan saja api cinta itu
Shu Lin, karena itu hanya membawamu pada kesengsaraan dan penderitaan.", kata Shu Sun Er prihatin.
Wang Shu Lin menggelengkan kepala, "Aku tidak bisa guru" aku tidak bisa?"
Shu Sun Er menghela nafas, "Ai" sudahlah, hati memang sulit dikendalikan, aku pun tak akan memintamu untuk
melupakan cintamu padanya. Tapi Shu Lin, kau harus berhati-hati, jangan sampai kau melupakan kehormatanmu sebagai
seorang wanita. Gurumu Hu Ban mengarang cerita untuk menutupi perjalanan kita, aku tahu maksudnya tidaklah buruk. Dia
sayang padamu seperti juga kami semua, hanya saja pandangannya tentang nilai-nilai terlalu longgar. Apa kau mengerti
maksudku Shu Lin?" "Maksud guru, tentang sandiwara kita, bahwasannya aku berpura-pura menjadi isteri Ketua Ding Tao?", tanya Wang Shu Lin
masih dengan mata sedikit membasah.
"Ya. Dan kudengar dari gurumu Zhu Yanyan, Ding Tao saat ini mengira kau benar-benar adalah isterinya, benarkah itu?",
tanya Shu Sun Er. "Be" benar guru?", jawab Wang Shu Lin sedikit terbata.
"Apakah kau merasa senang dengan keadaan seperti ini?", tanya Shu Sun Er, matanya tajam mengawasi setiap gerak tubuh
dari muridnya. "Tentang itu" aku" murid?", Wang Shu Lin berusaha menjawab dengan jujur namun rasanya terlalu memalukan untuk
berkata. "Kau merasakan cintamu berbalas, sikapnya yang mesra padamu membuatmu seakan hidup dalam mimpi yang indah,
impianmu untuk hidup bersanding dengannya sebagai suami isteri yang selama ini bagimu tidak lebih dari sebuah khayalan
sekarang menjadi kenyataan. Benarkah demikian Shu Lin?", tanya gurunya dengan lembut tanpa nada menghakimi,
melainkan sekedar menggambarkan apa yang dirasakan muridnya.
"Benar guru" Guru" sungguh murid tidak pernah membayangkan akan jadi seperti ini, murid juga tahu setelah dia
meminum penawar Obat Dewa Pengetahuan, tentu sikapnya akan berubah 180 derajat. Tapi, tidak bolehkah aku
menikmatinya, walau sebentar saja. Setidaknya dalam waktu 1 minggu ini aku bisa merasakan, impianku jadi kenyataan.",
jawab Wang Shu Lin dengan nada mengiba.
"Anak bodoh", jika hanya karena mengikuti keinginan hati, kau tidak menjaga kehormatanmu sebagai seorang wanita
bagaimana jawabmu pada guru dan nenek moyangmu?", tegur gurunya
"Guru", aku tidak akan pernah mencintai lelaki lain. Jika aku akan menikah, aku hanya akan menikah dengannya. Dalam
hati dia sudah benar-benar kuanggap sebagai suamiku sendiri, jika sekarang dia memandang aku sebagai isterinya, itulah
satu-satunya masa dalam hidupku di mana itu bisa terjadi.", keluh Wang Shu Lin.
"Shu Lin", tapi itu semua adalah semu semata, kemesraannya padamu, bukankah kemesraan yang dia ingat dengan
isterinya" Cintanya padamu saat ini, adalah cintanya untuk orang lain, bukan untuk dirimu.", ujar Shu Sun Er
mengingatkan. Diingatkan demikian, pecahlah tangis Wang Shu Lin, meski tak terdengar suara isakannya, namun air matanya meleleh juga
akhirnya. Dengan sedih dia merebahkan kepalanya di atas dada gurunya yang memeluknya dengan rasa sayang.
"Maafkan aku guru" tapi" tapi" aku sudah terbawa suasana" aku tidak bisa berpikir lurus" aku sudah" sudah?", ujar
Wang Shu Lin terbata-bata.
Betapa terkejut hati Shu Sun Er, namun wanita yang sudah cukup kenyang dengan pahit manisnya kehidupan ini masih bisa
menahan hatinya dan bertanya hati-hati, "Apa yang sudah kau lakukan?""
Dan Wang Shu Lin pun menceritakan smua apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Ding Tao sebelum Zhu Yanyan
datang, perasaannya, ketakutannya tapi juga keinginan hatinya sampai pada apa yang kemudian dia lakukan. Dalam hati
Shu Sun Er pun menghela nafas lega, karena kejadiannya belum sejauh yang dia khawatirkan. Tapi juga sekaligus khawatir
dan sedih karena kekhawatiran mereka semua bukannya tak berdasar. Cukup lama dia biarkan Wang Shu Lin
menumpahkan segala isi hatinya.
Ketika gadis itu sudah mulai tenang barulah Shu Sun Er mulai bicara, "Muridku" kau selalu berkata, setelah satu minggu ini lewat, semuanya akan kembali seperti sebelumnya. Kau akan diam menyimpan cintamu dan kenangan indah bersamanya
dan dia dengan urusannya sendiri tanpa perlu tahu apa yang kau rasakan."
"Benar guru" biarlah satu minggu ini saja untukku, karena dia memang bukan milikku.", jawab Wang Shu Lin.
"Shu Lin" Shu Lin" kau tak tahu apa yang kau bicarakan, dulu aku pun pernah berpikir demikian, meski nasib tidak
memberikanku kesempatan yang satu minggu itu. Tapi hidup dengan cinta yang tak berbalas adalah hidup penuh
penderitaan apalagi jika kau terus mengikatkan dirimu pada cinta itu?", ujar Shu Sun Er dengan sedih.
Wang Shu Lin memandang gurunya ingin tahu, baru kali ini dia mendengar gurunya Shu Sun Er bicara tentang cinta.
Melihat pandang mata Wang Shu in, Shu Sun Er tersenyum sedih, "Aku mencintai ayahmu Shu Lin, bahkan sampai sekarang
pun dialah satu-satunya cinta dalam hidupku" tapi dia mencintai ibumu. Jangan berpikir yang buruk, tidak pernah lewat
dalam benakku sedikitpun untuk merebut cintanya. Aku mengatakan ini semua padamu sekarang, hanya agar kau mengerti,
bahwa aku bisa memahami perasaanmu."
Mendengar pengakuan gurunya, berbagai macam perasaan timbul dalam hati Wang Shu Lin, tapi pada akhirnya yang
menang adalah rasa iba dan rasa senasib sepenanggungan. Sambil mengeluh perlahan dia sekali lagi memeluk gurunya,
namun kali ini bukan untuk menumpahkan kegalauannya, tapi lebih pada keinginan untuk berbagi kekuatan dan duka.
"Oh" guru" aku tidak pernah tahu?", keluh gadis itu.
"Hahaha, sudahlah, aku toh sudah tidak muda lagi dan tidak seperti dirimu aku sudah tidak terikat dengan cinta. Tapi justru karena itu aku bisa mengatakan padamu, jalan yang kau pilih adalah jalan yang penuh kesusahan. Sebisa mungkin Shu Lin,
lupakan cintamu, kau masih muda dan masih banyak kesempatan untuk mendapatkan cinta yang lain.", ujar Shu Sun Er
sambil menepuk-nepuk punggung muridnya dengan sayang.
Kemudian Shu Sun Er berkata kembali, "Tapi aku juga tahu watakmu tak jauh berbeda dengan watakku, karenanya aku
tahu, kau pasti tidak akan mau melupakan cintamu ini, meski kau tahu cintamu itu hanya membawa penderitaan saja."
Wang Shu Lin hanya terdiam mendengar perkataan gurunya, tidak menyanggah, tidak pula menjawab, hanya diam
menundukkan kepala. "Karena itu aku tidak akan berkata apa-apa lagi padamu mengenai hal itu. Juga selama satu minggu ini, aku pun tidak akan mengatakan apa-apa, hanya saja pintaku, kau tetap menjaga kehormatanmu sebagai seorang wanita. Kamipun sebagai
gurumu tentu akan ikut memasang mata dan telinga, kukira tanpa kuberitahu pun kau mengerti.", kata Shu Sun Er.
Wang Shu Lin menganggukkan kepala, "Aku mengerti guru" aku juga mengerti untuk menjaga kehormatanku, tapi" aku
tidak berani berjanji apa-apa. Terkadang" terkadang hatiku berbicara lebih lantang dari pikiranku."
"Aku mengerti" tapi Shu Lin, kau juga harus waspada, terkadang pikiran yang keruh sulit membedakan mana yang kata
hati dan mana yang godaan nafsu belaka. Setelah ini, kau pergilah bermeditasi, sungguh-sungguh kau berusaha tenangkan
pikiranmu dan tiliklah kembali apa yang terjadi hari ini. Apakah murni itu kata hatimu, ataukah nafsu ikut berbicara dengan menyamar sebagai cinta yang suci.", ujar Shu Sun Er dengan tegas.
Wang Shu Lin tercenung dengan rasa malu ingin dia menepiskan segala ucapan gurunya, tapi juga rasa hormat pada
gurunya membuat dia sungguh-sungguh dalam mendengarkan nasihat gurunya itu.
Pada akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh, "Aku mengerti guru" aku akan melakukannya."
Shu Sun Er menatap muridnya dengan tegas tapi juga jelas memancar perasaan sayangnya pada gadis itu, "Baguslah,
sekarang kau pergilah bermeditasi dan renungkan perkataanku barusan."
"Baik guru, aku pamit dulu kalau begitu", ujar Wang Shu Lin, memberi hormat kemudian beranjak pergi dari ruangan.
Ketika tangannya sudah hendak membuka pintu, tiba-tiba Shu Sun Er berkata, "Shu Lin", kau berkata setelah satu minggu
lewat dia akan lupa, tapi kukira belum tentu demikian, bisa jadi apa yang terjadi satu minggu ini akan teringat pula olehnya.
Entah apa akibatnya, tapi kau ingatlah ada kemungkinan dia mengingatnya."
Wang Shu Lin merasa darahnya berdesir kencang mendengar perkataan gurunya, tapi cepat dia mengendalikan diri,
"Baiklah guru, aku akan pikirkan semuanya itu."
"Ya, aku percaya padamu. Sekarang pergilah bermeditasi.", ujar Shu Sun Er pula.
Begitu keluar Wang Shu Lin bertemu dengan Zhu Yanyan dan Hu Ban yang berjaga di depan kamar sambil bermain catur.
"Guru?", kata Wang Shu Lin perlahan, dia yakin kedua gurunya pasti mendengar juga percakapan mereka di dalam.
"Hmm" pergilah bermeditasi ?", ujar Zhu Yanyan sambil menepuk tangan gadis itu.
Sekilas Wang Shu Lin memandang wajah Hu Ban yang terlihat muram, dalam hati Wang Shu Lin ikut bersedih untuk
gurunya itu, Dia bukannya tidak tahu Hu Ban menyimpan hatinya untuk Shu Sun Er, pengakuan Shu Sun Er tadi pasti
menyakiti hatinya. Atau mungkin sebenarnya gurunya itu pun sudah lama menyadarinya" Mungkin itu juga sebabnya dia
bersikap malas dan menganggap ringan segala urusan. Tapi tetap saja, dia tentu tergetar juga mendengar pengakuan Shu
Sun Er tadi, karena selamanya Shu Sun Er tak pernah mengungkapkan secara terang-terangan isi hatinya.
"Baiklah" aku pamit dulu guru?", ucap Wang Shu Lin sembari memberi hormat.
"Ya" Shu Lin" kami tidak menyalahkanmu sedikit pun, masalah hati memang masalah yang rumit. Kami hanya berharap
kau tidak mengambil jalan yang salah karenanya.", ujar Zhu Yanyan.
"Aku mengerti guru" terima kasih untuk perhatian guru sekalian.", jawab Wang Shu Lin.
"Ya" ya", kami percaya padamu?", ujar Zhu Yanyan.
"Shu Lin" aku mengerti perasaanmu, dengarkanlah nasehat gurumu Sun Er, dia pun pasti mengerti perasaanmu.", tiba-tiba
Hu Ban ikut bicara. Zhu Yanyan pun menghela nafas sedih, meski dia tidak ikut mengalami masalah percintaan tapi dia bisa membayangkan
perasaan mereka. Sejak kecil dia sudah memasuki Wudang untuk menjalani kehidupan membiara, meski seorang pendeta
Tao tidak dilarang untuk beristeri, tapi tidak jarang juga yang memilih untuk hidup selibat dan Zhu Yanyan entah mengapa sejak kanak-kanak sudah terpikat dengan kehidupan yang demikian. Ada masanya dia mulai tertarik dengan lawan jenis,
namun masa-masa itu singkat dan dengan cepat pendalaman ilmu agama dan limu pedang mengalihkan perhatiannya.
Satu minggu itu pun berlalu dengan berbagai macam pertentangan batin, baik bagi Wang Shu Lin juga bagi ke-enam
gurunya. Hanya Ding Tao yang benar-benar menikmati waktu yang satu minggu itu. Otaknya yang susah diajak berpikir dan
mengingat hal-hal yang lampau, justru membuat dia terhibur dengan keberadaan Wang Shu Lin yang mendampingi dia
sehari-hari. Pengkhianatan Murong Yun Hua, kematian para pengikutnya bahkan kematian Bhiksu Khongzhen dan Pendeta
Chongxan, adalah peristiwa yang terlalu lampau bagi Ding Tao untuk mengingatnya.
Satu-satunya penderitaan yang dia rasakan adalah keadaan tubuhnya yang sangat lemah, persendian yang ngilu-ngilu dan
nafsu makan yang hilang. Tapi semuanya itu bisa dia tanggung dengan keberadaan Wang Shu Lin yang selalu mendampingi
dia sejak dia bangun dari tidurnya sampai dia tertidur kembali.
Wang Shu Lin yang sangat menghormati guru-gurunya, mengikut nasehat mereka baik-baik. Direnungkannya setiap gejolak
hati dan perasaan yang timbul dalam dirinya. Dipilahnya, dipertanyakannya dan diselidikinya, dengan hati-hati dia berusaha berjalan menurut hati nuraninya, meski ada kalanya pula dia terlena dengan keadaan dan penjagaannya pun melonggar.
Namun sampai pada waktunya Ding Tao mulai meminum penawar Obat Dewa Pengetahuan, Wang Shu Lin masih bisa
menjaga kehormatannya sebagai seorang wanita.
Tiga hari terakhir menjelang berakhirnya waktu yang dua minggu itu, Zhu Yanyan memutuskan bahwa sebaiknya mereka
mencari tempat yang baik untuk tinggal selama beberapa waktu.
Perjalanan mereka pun terhenti di sebuah kota kecil di daerah utara, sebenarnya mereka sedikit segan berhenti di kota yang kecil karena kedatangan mereka jadi begitu mencolok. Namun Zhu Yanyan sendiri berkeras agar mereka bisa menetap
setidaknya selama beberapa hari sebelum dan sesudah Ding Tao memulai pengobatannya.
Setidaknya Wang Shu Lin sudah cukup lama hidup di daerah utara, sehingga dari kebiasaan maupun cara berbicara, cukup
sesuai dengan cerita yang mereka karang. Bahwa mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah mereka di daerah
dekat perbatasan di utara, setelah pergi untuk berobat di ibu kota. Tapi tetap saja, rombongan mereka yang cukup besar, menarik perhatian orang. Apalagi Wang Shu Lin yang masih muda dan cantik, dengan seorang suami yang penyakitan,
tentu saja mengundan beberapa pikiran nakal dari laki-laki mata keranjang yang tinggal di kota itu. Bagusnya ada Pang
Boxi yang bertubuh raksasa membuat orang berpikir beberapa kali lipat sebelum mencoba-coba menggoda nyonya muda
yang cantik itu. Itu pula sebabnya mereka memutuskan untuk memasuki kota sebagai satu rombongan. Meski lebih menarik perhatian, tapi
juga membantu mereka menghindari gangguan yang tidak diinginkan. Tidak ingin terjadi konflik dengan berandalan di kota
itu, pagi-pagi sejak datang mereka sudah unjuk kemampuan, utamanya Pang Boxi, Khongti dan Hu Ban yang beraksi
sebagai pengawal dari rombongan itu.
Hari itu sudah lewat 2 minggu Ding Tao bebas dari Obat Dewa Pengetahuan, dengan hilangnya seluruh sisa-sisa obat dalam
tubuhnya, hampir segala fungsi yang berhubungan dengan syaraf dan otak menurun dengan drastis.
Meski dia berpikir bahwa Wang Shu Lin adalah isterinya, toh Ding Tao juga tidak memiliki keinginan untuk melakukan
sesuatu yang lebih dari sekedar dekat dan menikmati kehangatan bersama seseorang yang mengasihinya.
"Ding Tao, sekarang kau minumlah obat ini, setelah kau minum obat ini, cobalah untuk bermeditasi, agar obat itu bekerja dengan lebih sempurna.", kata Zhu Yanyan sambil memberikan 3 buah pil pemberian Tabib Shao Yong.
Seluruhnya ada 27 buah pil yang harus diminum 3 pil setiap kali minum, 3 kali sehari, selama 3 hari berturut-turut.
"Meditasi ?", tanya Ding Tao mencoba mengingat apa maksud perkataan Zhu Yanyan.
Dengan sabar Zhu Yanyan tersenyum dan menjelaskan, "Ya, meditasi, selama tiga hari ini bukankah aku sudah
mengajarimu bagaimana cara melakukannya?"
"Tapi sekarang minum saja dahulu obatnya, lalu aku akan membantumu kembali mengingat-ingat cara bermeditasi yang
kuajarkan.", ujar Zhu Yanyan sambil memberikan obat pada Ding Tao.
Melihat obat di tangannya, Ding Tao menengok terlebih dahulu ke arah Wang Shu Lin. Ketika dia melihat gadis itu
mengangguk dan tersenyum, barulah dia meminum obat di tangannya itu dengan hati tenang.
"Nah sekarang kita mulai bermeditasi, cobalah ingat apa yang kuajarkan beberapa hari ini.", ujar Zhu Yanyan dengan sabar.
Berkerut dahi Ding Tao berusaha mengingat-ingat apa yang diajarkan Zhu Yanyan beberapa hari ini. Memang sebagai
persiapan, sudah beberapa hari menjelang hari ini Zhu Yanyan mengajarkan kembali pada Ding Tao bagaimana caranya
bermeditasi. "Hmm" seperti ini?", ujar Ding Tao sembari perlahan-lahan, mengambil posisi bersila dan menegakkan tubuhnya.
"Benar" lalu?"", kata Zhu Yanyan menyemangatinya.
"Lalu" aku tutup mata dan " dan mengatur pernafasan" kosongkan pikiran dan ikuti terus pernafasan di perut.", ujar Ding Tao sambil mulai melakukan apa yang dia katakan.
Tidak sulit tentunya bagi Ding Tao untuk mengosongkan pikiran dan sepenuhnya memfokuskan pikirannya pada pernafasan.
Justru pekerjaan yang sederhana itu sesuai sekali dengan otaknya yang saat ini begitu lambannya.
"Benar" rasakan pernafasanmu" masuk" tahan selama satu hitungan, kemudian keluarkan" lakukan dengan lembut dan
tidak terburu-buru?", kata Zhu Yanyan sambil matanya mengikuti gerak perut dan dada Ding Tao.
Ketika dilihatnya pernafasan Ding Tao sudah mulai teratur, Zhu Yanyan pun berkata, "Rasakan hawa hangat yang timbul
dalam tubuhmu." "Sekarang saat kau menarik nafas, buatlah hawa itu mengalir dari dari dantien, mengarah ke puncak kepala. Kemudian
sebaliknya, ketika kau melepaskan nafas tariklah hawa itu dari puncak kepala ke dantien.", demikian Zhu Yanyan
membimbing Ding Tao untuk mengalirkan hawa murni untuk membersihkan jalur energi dalam tubuhnya.
Kemudian setelah beberapa kali mengalirkan hawa murni dari atas ke bawah, sepanjang poros pusat dalam tubuhnya. Zhu
Yanyan kemudian mengarahkan Ding Tao untuk mengalirkan hawa itu mengelilingi permukaan tubuhnya, dari kiri ke kanan
dan juga dari atas ke bawah. Ding Tao menyukai latihan ini, karena tubuhnya terasa lebih baik setiap kali bermeditasi.
Apalagi kali ini setelah meminum obat penawar dari Tabib Shao Yong. Obat ini sebenarnya lebih bekerja untuk memulihkan
kembali fungsi-fungsi syaraf yang tadinya terbiasa bergantung pada Obat Dewa Pengetahuan, agar kembali bisa bekerja
sendiri. Seperti menguatkan otot-otot tubuh yang sudah lama lemah karena tidak pernah dipakai.
Cukup lama Ding Tao bermeditasi, pada dasarnya pemuda ini sudah menguasai ilmu tenaga dalam tingkat tinggi, ditambah
lagi dengan tambahan simpanan hawa murni yang diberikan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, hanya sekedar
mengalirkan hawa murni mengelilingi tubuh dan melancarkan peredaran energi dan darah bukanlah urusan yang sulit.
Dalam hitungan hari, perkembangan kesehatannya maju dengan pesat. Pada hari pertama dia sudah mulai bisa berpikir
dengan normal, meski belum bisa banyak mengingat masa lalunya sendiri. Pada hari kedua, perlahan-lahan ingatannya pun
sudah mulai pulih. Menginjak hari ketiga, ketika seluruh obat penawar sudah habis diminum, bisa dikatakan dia sudah
menjadi Ding Tao yang normal.
Pada hari ketiga itu, semalaman penuh Ding Tao terus bermeditasi tanpa henti, hingga esok harinya. Wang Shu Lin dan Zhu Yanyan ikut menunggu di dekatnya.
Seperti baru saja melewati gua yang gelap dan sekarang kembali melihat sinar matahari untuk pertama kalinya. Begitu
membuka mata Ding Tao merasa dunianya kembali sempurna, kabut yang menutupi pikirannya benar-benar sudah
terangkat. Bersamaan dengan kembalinya kemampuan dia untuk berpikir dengan jernih, ingatan-ingatan yang menyesakkan dada ikut
pula kembali, beban dan kekhawatiran tentang masa depan juga ikut kembali mengisi pikirannya. Diam-diam Ding Tao
menghela nafas, tubuhnya terasa jauh lebih ringan dan bebas, membuat perasaannya jauh lebih baik, meski dirundung
banyak beban. Pandang matanya pun jatuh pada Wang Shu Lin dan Zhu Yanyan yang tertidur di ruangan itu. Melihat Wang
Shu Lin hatinya merasa terharu tapi juga galau. Satu lagi masalah pertalian hati yang tidak bisa dia temukan jawaban yang memuaskan. Seperti yang dikatakan Shu Sun Er, nyatanya sekarang setelah otak dan syarafnya bekerja dengan normal,
apa yang terjadi selama dia dalam keadaan sakit masih diingat Ding Tao dengan baik. Meski tidak berani memastikan,
namun dia bisa menduga bahwa Wang Shu Lin menaruh hati padanya. Kebaikan gadis itu tentu saja menyentuh hatinya,
tapi di lain pihak urusan asmaranya sudah terlalu rumit untuk dia pikirkan. Sakitnya dikhianati Murong Yun Hua, penyesalan karena telah berlaku kurang setia kepada Hua Ying Ying, masih menghantui Ding Tao. Dia belum dapat memutuskan
bagaimana dia harus menanggapi cinta Wang Shu Lin.
Perlahan-lahan tanpa suara Ding Tao turun dari pembaringan. Meski sudah semalaman bersila tubuhnya tidak menjadi kaku,
justru terasa segar dan ringan.
Berjalan ke arah jendela, dibukanya daun jendela dan dihirupnya dalam-dalam udara pagi yang segar dan bersih. Menatap
langit yang berwarna keunguan, Ding Tao memutuskan untuk berhenti berpikir dan menikmati saja suasana pagi itu.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Peristiwa-peristiwa yang menyakitkan hatinya, masih diingatnya dengan jelas, namun peristiwa itu sudah berjarak cukup
lama sehingga tidak lagi terlalu menyakitkan. Waktu yang berjalan membantu dia menerima kenyataan. Pengaruh Obat
Dewa Pengetahuan yang menumpulkan ingatannya, secara tidak langsung membantu dia menghadapi goncangan yang
berat itu. Dengan demikian apa yang dipandang orang sebagai bencana, ternyata menyelipkan satu pertolongan bagi
dirinya. Merenungi hal ini Ding Tao memikirkan perkataan Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen tentang kehendak
langit. Betapa Thian bermurah hati pada dirinya, dalam kesedihan yang sendu, terselip juga rasa hangat dan syukur.
Berkat obat dari Tabib Shao Yong, dia terhindar dari nasib menjadi seorang mayat hidup. Waktu yang 2 minggu, tiga hari, bisa dikatakan amatlah singkat jika dibandingkan dengan nasib yang dialami Pendekar pedang Jin Yong. Teringat apa yang
dituliskan oleh Tabib Shao Yong mengenai pendekar pedang itu, Ding Tao merasa miris, hampir saja dirinya bernasib sama
dengan Jin Yong. "Tapi apakah semudah itu lepas dari pengaruh Obat Dewa Pengetahuan?", tanya Ding Tao meragu dalam hatinya.
Berpikir demikian, maka dia pun keluar dari ruangan menuju ke pelataran. Karena mereka tinggal beberapa hari lamanya,
Zhu Yanyan memutuskan untuk berusaha menyewa satu rumah sendiri, kebetulan ada beberapa rumah kosong yang
sebenarnya hendak dijual oleh pemiliknya, namun dengan kepandaian Hu Ban berbicara, mereka bisa mendapatkan satu
rumah untuk disewa satu bulan lamanya. Dengan sendirinya, di pelataran dalam rumah yang mereka sewa, Ding Tao cukup
leluasa untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan. Perlahan-lahan dia memulai latihan pukulan tangan kosong. Tidak
terburu-buru, dia mulai dari ilmu keluarga Huang yang dia pelajari sejak dia masih sangat muda.
Meskipun otot-ototnya masih belum pulih seperti sedia kala, tapi Ding Tao bisa merasakan semuanya bekerja dengan
normal. Perlahan-lahan dia mulai meningkatkan kecepatan dan kekuatannya dalam melakukan jurus-jurus yang ada. Puas
berlatih tanpa menggunakan hawa murni, Ding Tao pun mulai bergerak dengan jurus-jurus yang lebih rumit yang dia
pelajari setelah dia menjadi Ketua Partai Pedang Keadilan. Semuanya bekerja dengan baik, semangatnya pun mulai
meningkat. Teringat dengan titipan ilmu dari Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, maka Ding Tao pun mulai mencoba
jurus-jurus yang belum pernah dia latih sebelumnya itu.
Gerakannya memang masih kaku, namun dengan ingatan dan kepekaan perasaannya yang tajam, Ding Tao sudah mampu
menangkap inti dari jurus-jurus yang digunakan Bhiksu Khongzhen. Meskipun tidak secepat dan setepat saat dia melatih
jurus-jurus yang sudah dia kuasai, perbawa yang keluar justru lebih hebat, karena memang jurus-jurus ini adalah inti sari ilmu dari dua orang tokoh terbesar di masa itu. Tenggelam dalam latihannya, meski dia merasakan ada orang-orang yang
datang mendekat, Ding Tao tak hendak menghentikan gerakannya. Lagipula dia masih belum berhasil meyakinkan benar
ilmu yang baru dicobanya ini. Seperti anak kecil yang memutar-mutar tongkat besi yang berat, benar memang tenaga yang
dihasilkan amat besar, semakin lama semakin besar, tapi jika berhenti mendadak atau lengah sedikit saja, maka akibatnya tongkat besi itu pun akan lepas dari tangan dan bergerak dengan liar. Demikian juga keadaan Ding Tao saat ini, baik dari segi pengerahan tenaga dan gerakan serta jurus, sudah hampir tepat benar sesuai dengan intinya, namun gerakan itu
belum menyatu, belum melebur dengan dirinya. Jika dia lengah atau berhenti pada saat yang tidak tepat, niscaya tenaga
besar yang ditimbulkan oleh ilmu itu akan memukul dirinya sendiri.
Karena itu, kalaupun dia ingin berhenti, dia tidak berani melakukannya, tidak jika gerakannya belum selesai dilakukan
sampai sempurna pada gerakan terakhir. Dalam hal ini Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang memang
menghendaki ilmu itu diturunkan pada Ding Tao lewat serangan pura-pura mereka, sudah melakukan serangan dengan
jurus-jurus yang urut dari awal hingga akhir. Sehingga Ding Tao pun sekarang tidaklah mengalami kesulitan untuk bergerak mengikuti ingatannya yang sudah kembali, mengikuti serangan-serangan yang dulu dilakukan Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan secara urut dari awal hingga akhir.
Satu per satu jurus dilakukan, bergantian antara jurus miliki Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, semuanya persis
tiruan dari apa yang dialaminya saat bertarung melawan dua orang jagoan tua itu di Jiang Ling. Berselang-seling antara
ilmu pedang dan ilmu pukulan, dilakukan dengan tangan kosong. Pada hakekatnya menggunakan senjata atau tidak, tidak
ada bedanya dalam pelaksanaannya. Pedang menjadi perpanjangan tangan, pedang menjadi bagian tubuh. Ada orang ada
pedang, meski pedang tidak ada di tangan, namun ada pedang dalam hati. Apa yang ditunjukkan Ding Tao hari ini membuat
semua yang melihatnya merasa kagum. Dalam usia semuda itu, apa yang dia tunjukkan menempatkan dia dalam urutan
tokoh-tokoh kelas satu dalam dunia persilatan.
Akhirnya Ding Tao pun sampai pada akhir jurus yang dia lakukan, sebuah pohon tua yang sudah tumbuh puluhan tahun di
halaman rumah itu menjadi sasaran ilmunya. Pohon raksasa itu pun tumbang dengan suara berderak keras, bagian yang
terkena pukulan Ding Tao sudah hancur dalam keadaan remuk dan layu seperti kayu yang habis dimakan rayap.
"Hebat?" "Dahsyat?" "Mengerikan?" "Selamat Ketua Ding Tao, sepertinya keadaanmu sudah pulih sepenuhnya."
Hampir bersamaan ke-enam guru Wang Shu Lin mengucapkan pujian sambil berjalan mendekat untuk melihat hasil pukulan
Ding Tao. Sedikit memerah, Ding Tao menjawab, "Tidak" tidak" ini" jurus yang diajarkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan
padaku. Jurus yang hebat dan aku belum sepenuhnya menguasai jurus ini" sungguh jurus yang dahsyat bila sudah dikuasai
dengan benar. Tapi juga sangat sulit untuk menguasainya, menggunakan jurus ini serasa seperti menunggang seekor kuda
liar yang gagah." "Oh begitu rupanya" menurut Ketua Ding Tao, apakah ketua bisa menguasainya dengan sempurna saat kita sampai di Desa
Hotu, kukira jika memang ada sesuatu di sana, mempersiapkan diri sebaik mungkin sangatlah penting.", ujar Hu Ban sambil berjongkok memeriksa akibat pukulan Ding Tao pada batang pohon yang besar itu.
Ding Tao ikut berjongkok dan memeriksa akibat dari pukulannya, "Entahlah", aku merasa dalam hatiku, jika jurus-jurus itu bisa kukuasai dengan sempurna, seharusnya seberapa besar daya hancurnya, seberapa luas pengaruhnya, semuanya
seharusnya bisa aku tentukan sekehendak hatiku."
Terdiam sejenak Ding Tao kemudian berkata lagi, "Aku merasa sangat baik, jauh lebih baik daripada yang kurasakan selama ini. Tapi" di saat yang sama" aku juga merasa otakku tidak bekerja sebaik saat aku mulai meminum Obat Dewa
Pengetahuan. Aku merasa" normal" dalam artian yang rasanya benar dalam hati ini, tapi tidak bisa kusangkal, sebagian
besar kemajuan yang kudapatkan dalam waktu yang singkat adalah berkat obat sesat itu."
"Tanpa obat itu, aku tak tahu, berapa tahun lamanya aku butuhkan untuk menyempurnakan jurus-jurus ini. Dan jika jurus
ini tidak bisa kujalankan dengan sempurna, menggunakannya dalam sebuah pertarungan, tiada bedanya menunggangi
seekor harimau yang lapar, setiap saat bisa saja terjadi jurus itu berbalik merugikan diriku sendiri.", kata Ding Tao dengan lambat-lambat, seakan memikirkan setiap kata-katanya baik-baik sebelum mengucapkannya.
Mereka yang mendengar jawaban Ding Tao ikut tercenung, memang jurus-jurus yang diturunkan Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan adalah jurus-jurus yang dahsyat. Tidak mungkin seorang biasa, menyempurnakannya dalam hitungan
bulan. Kedua orang tua itu pun butuh waktu belasan bahkan mungkin puluhan tahun untuk menyempurnakannya, setelah
memeras puluhan jurus dan ilmu yang pernah mereka pelajari, menjadi belasan jurus saja. Bakat Ding Tao boleh jadi lebih menonjol dibandingkan orang lain seusianya, namun tentu bukan juga berkali lipat melampaui bakat dua orang tokoh besar
itu. "Kita lakukan semuanya perlahan-lahan saja, kesembuhan Ketua Ding Tao saat ini saja sudah merupakan suatu berkah
yang tak terkira. Kita pikirkan langkah selanjutnya perlahan-lahan sembari kita menjalankan apa yang sudah pasti, seperti pergi ke Desa Hotu.", ujar Zhu Yanyan memecahkan keheningan.
Mereka semua saling berpandangan lalu menganggukkan kepala, memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali
berusaha melakukan yang terbaik.
"Ketua Ding Tao aku bisa membayangkan, kau pasti ingin sesegera mungkin menyempurnakan ilmu yang diwariskan kedua
tetua. Tapi lakukan segalanya setahap demi setahap, ingat tubuh kasarmu baru saja mengalami penurunan yang luar biasa.
Meski himpunan hawa murnimu tak terganggu, tapi alangkah baiknya jika kau pulihkan dulu tubuhmu perlahan-lahan
sebelum berlatih dengan keras.", kata Zhu Yanyan kepada Ding Tao.
"Aku mengerti tetua, terima kasih untuk nasehatnya, aku akan mengingatnya baik-baik.", jawab Ding Tao dengan hormat.
"Jadi kapan sebaiknya kita mulai kembali perjalanan ke Desa Hotu?", tanya Khongti.
Zhu Yanyan terdiam sejenak untuk berpikir kemudian menjawab, "Baiklah kita beristirahat dua hari lagi, setelah itu
perjalanan ke Desa Hotu bisa kita mulai. Dengan berjalan kaki di udara bebas, kesehatan Ketua Ding Tao juga akan cepat
pulih. Yang penting lamanya perjalanan kita ukur sesuai dengan perkembangan kesehatan Ketua Ding Tao."
"Bagaimana menurut ketua?", tanya Khongti pada Ding Tao.
Ding Tao pun mengangguk, "Aku percaya pada penilaian tetua sekalian, kukira itu adalah satu rencana yang baik."
"Baik, kalau begitu sudah kita putuskan, kita tinggal di sini dua hari lagi, untuk kemudian melanjutkan perjalanan.", ujar Zhu Yanyan disambut anggukan kepala oleh yang lain.
"Sebentar lagi makanan akan aku siapkan, tapi teh hangat bisa kusiapkan sekarang juga. Mari kita masuk kembali ke dalam rumah.", kata Wang Shu Lin sambil tersenyum lega melihat kesembuhan Ding Tao.
Ding Tao pun tersenyum melihat kegembiraan gadis itu, tapi kemudian dia berkata, "Kalian masuklah lebih dahulu, aku
ingin berada di sini sebentar lagi. Masih ada beberapa hal yang mengganggu benakku."
"Ini mengenai ilmu silatku setelah lepas dari pengaruh Obat Dewa Pengetahuan.", cepat-cepat dia menambahkan.
"Hmm" baiklah kukira kau tentu ingin merenunginya sendirian, tapi ingat jangan terlalu memaksa tubuh fisikmu.", ujar Zhu Yanyan mengingatkan.
Satu per satu mereka pun masuk kembali ke dalam rumah, meninggalkan Ding Tao sendirian. Ding Tao kemudian
mematahkan satu dahan pohon dan membersihkannya, meski secara kasar membentuknya seperti sebuah pedang. Puas
dengan berat dan setelah menemukan titik kesetimbangannya, mulailah dia memainkan jurus-jurus pedang keluarga
Huang. Kemudian beberapa jurus lain yang sempat dia pelajari, semuanya hanya gerakan-gerakan ringan tanpa pengerahan
hawa murni. Semuanya bisa dia lakukan dengan lancar tanpa ada satu halangan sedikitpun, tapi entah mengapa masih ada
sesuatu yang mengganjal dalam hati Ding Tao. Sepertinya dia melupakan sesuatu yang penting, tapi belum bisa
menemukan apa yang kurang itu.
Merasa tubuhnya yang sudah lama tidak bekerja itu mulai kelelahan, Ding Tao pun menghentikan latihannya sambil
menghela nafas dalam-dalam. Di sudut hati kecilnya, dia tahu ada sesuatu yang terlewatkan olehnya. Sesuatu yang
penting, sesuatu yang akan sangat berpengaruh pada kemampuannya untuk menghadapi satu pertarungan besar, yang
tentunya cepat atau lambat akan terjadi. Dengan langkah kaki yang sedikit berat, dengan satu ganjalan di hati, dia berjalan memasuki rumah untuk berkumpul dengan yang lain.
Dengan keadaan Ding Tao yang membaik, perjalanan menuju ke Desa Hotu berjalan lebih cepat. Apalagi Ding Tao yang
merasakan masih adanya ganjalan dengan pengaruh Obat Dewa Pengetahuan, ingin agar dia bisa secepatnya
menghilangkan ganjalan di hati itu. Di Desa Hotu ada seorang tabib dan Ding Tao berharap bisa mendapatkan jawaban dari tabib itu. Bagaimana pun juga Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan mempercayai tabib itu.
Berita tentang apa yang terjadi di dunia persilatan pun sampai ke telinga mereka. Kehebohan yang demikian tentu saja
menyebar ke empat penjuru. Di mana ada orang persilatan, tentu akan mendengar berita itu. Kematian Pendeta Chongxan
dan Bhiksu Khongzhen dan berita terpilihnya Murong Yun Hua menjadi Wulin Mengzhu dengan dukungan lima perguruan
besar. Berita-berita ini adalah berita besar. Dengan sendirinya Ding Tao juga menjadi salah satu berita yang
menghebohkan. Untuk menghindari perhatian orang, Ding Tao pun harus menyamar. Baiknya semakin jauh mereka dari
daerah selatan, semakin sedikit orang yang mengenali Ding Tao. Pemuda itu belum lama menjadi Wulin Mengzhu, sebagian
besar tokoh di daerah selatan sudah mengenal pemuda itu dengan baik. Tapi mereka yang berasal dari utara, mungkin
hanya satu kali melihat Ding Tao, yaitu saat pemilihan Wulin Mengzhu di kaki Gunung Songshan. Itu pun mungkin sekali
hanya dari kejauhan dan dengan penampilannya sebagai seorang ketua dari partai yang besar.
Meski demikian, tidak sedikit orang-orang yang menyelidiki keberadaan Ding Tao, entah mereka yang mencari jasa di depan Murong Yun Hua dan sekutunya, atau mereka yang ingin menjadi terkenal dengan menangkap Ding Tao.
Mereka yang berambisi ini tentu saja bukan tokoh-tokoh sembarangan, setidaknya mereka pernah membuat nama, jika
tidak mana berani mereka mencari perkara dengan orang yang diyakini berhasil mengalahkan dua orang jagoan terbesar di
jaman itu. Mengingat hal itu, Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya sepaham dengan Ding Tao yang ingin secepatnya sampai ke Desa
hotu. Tentu saja dengan alasan yang berbeda dengan alasan Ding Tao. Keamanan Ding Tao jadi alasan utama, karena itulah
tanggung jawab yang dibebankan Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen pada mereka semua. Terkadang Ding Tao
masih tidak percaya jika Murong Yun Hua-lah yang menjadi dalang dari semua kejadian. Dalam benaknya lebih mudah
baginya untuk berpikir bahwa Zhong Weixia adalah dalang yang sebenarnya dari semua kejadian itu. Jika sudah demikian
maka pemuda itu akan pergi menyendiri dan jadi sangat pendiam. Yang lain tidak berani mengganggunya, karena Ding Tao
juga tidak meminta pertimbangan mereka. Beberapa kali Zhu Yanyan dan yang lain, meminta agar Ding Tao lebih terbuka
bila ada masalah, tapi sampai saat itu Ding Tao tidak juga bisa membicarakannya secara terbuka.
Tapi perjalanan itu bukan hanya dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang buruk dan kekhawatiran. Dalam perjalanan itu, baik Wang Shu Lin maupun Ding Tao tidak melupakan latihan mereka. Meski waktu yang ada tidaklah banyak, karena hampir
sepanjang hari bahkan sampai malam, waktu yang ada mereka gunakan untuk menempuh perjalanan ke Desa Hotu. Kitab
pemberian Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan sangat menarik hati Wang Shu Lin, tidak bosan-bosannya dia
membaca dan merenungi kitab-kitab itu. Jika ada kesulitan maka dia akan datang bertanya pada enam orang gurunya.
"Guru" aku mengalami kesulitan untuk memahami bagian ini?", demikian suatu malam Wang Shu Lin mendatangi Zhu
Yanyan yang sedang berkumpul dengan lima orang gurunya yang lain di dekat api unggun.
Ding Tao baru saja berpamitan pergi untuk berlatih sendirian di tempat yang lebih lega.
Sekilas guru-guru Wang Shu Lin saling berpandangan, Zhu Yanyan pun kemudian melihat pada halaman yang ditunjukkan
Wang Shu Lin padanya dan bertanya, "Hmm.. apa yang tidak kau mengerti?"
"Murid berpikir, gerakan ini sepertinya merupakan satu kesatuan dengan beberapa gerakan sebelumnya, posisi kedua
tangan memungkinkan kita untuk bergerak memukul lurus ke depan, atau bergerak menebas ke samping atau bisa juga
dalam keadaan tertentu dilanjutkan seperti jurus tangkapan pergelangan tangan.", ujar Wang Shu Lin.
"Hmm" benar, sepertinya pemikiranmu sudah benar, tapi mungkin kau merasa aneh dengan kedudukan kaki yang sedikit
merapat ini, benarkah demikian?", tanya Zhu Yanyan.
"Benar guru", posisi kedua tangan sepertinya memungkinkan perubahan gerak serang yang menjangkau jarak serang yang
begitu bervariasi, namun posisi kedua kaki justru merapat dan tidak memungkinkan adanya variasi pergerakan yang begitu
berbeda jaraknya.", kata Wang Shu Lin membenarkan dugaan Zhu Yanyan.
Mengikuti tanya jawab itu, lima orang yang lain pun ikut membaca isi kitab yang diberikan Pendeta Chongxan untuk Wang
Shu Lin itu. Melihat posisi kaki yang dibicarakan Zhu Yanyan dan Wang Shu Lin, Chen Taijiang pun menyeletuk, "Itu seperti langkah kaki jurus monyet Shaolin yang biasa digunakan Kakak Khongti."
"Benar", meskipun demikian ada sedikit perbedaan, Boxi, apakah kau melihat titik berat di kaki kiri dan kanan yang
berbeda" Tidakkah ada salah satu jurus dalam ilmu milik Kongtong yang menggunakan variasi seperti itu?", jawab Khongti
membenarkan Chen Taijiang sekaligus bertanya pada Pang Boxi.
Pang Boxi mengamati gambar itu beberapa lama sebelum menjawab, "Ya" kukira aku pernah melihat beberapa orang
saudara seperguruan melatih ilmu langkah kaki yang mirip dengan gambar ini. Aku sendiri tidak mempelajarinya, aku lebih suka menggunakan jurus-jurus yang lurus tanpa banyak kembangan."
"Apakah tidak teringat sesuatu yang bisa membantu Shu Lin?", tanya Shu Sun Er pada Pang Boxi.
"Hmm" kalau benar ada kemiripannya dengan ilmu langkah kaki itu, tentu akan ada lebih banyak gambar yang
menjelaskan perkembangannya. Yang kutahu, perbedaan titi berat yang dikatakan Kak Khongti menjadi kunci untuk
memahaminya.", jawab Pang Boxi setelah berpikir beberapa lama.
"Nah Shu Lin, kau coba amati perbedaan titik berat yang dikatakan gurumu Khongti, kemudian lihat lagi gerakan-gerakan
sebelum dan sesuhan gerakan ini. Mungkin kau akan mendapatkan petunjuknya nanti.", kata Shu Sun Er pada Wang Shu
Lin. "Benar, kau cobalah ikuti petunjuk guru-gurumu dan pelajari lagi kitab itu, jika masih tidak menemukan jalan keluar,
bolehlah kau kembali bertanya pada kami.", kata Hu Ban pada Wang Shu Lin.
"Baik guru, sepertinya petunjuk guru akan memecahkan masalah ini, memang aku tidak terlalu memperhatikan masalah
titik berat tubuh di kedua kaki seperti yang dikatakan Guru Khongti dan Guru Pang Boxi tadi.", jawab Wang Shu Lin dengan ceria, merasa ada jalan terbuka setelah sebelumnya membentur jalan buntu.
Wang Shu Lin pun berpamitan dan pergi menyendiri untuk mempelajari isi kitab pemberian Pendeta Chongxan itu. Setelah
gadis itu cukup jauh, barulah Hu Ban berkata.
"Sepertinya mereka berdua saling menghindar" Jika Ding Tao sedang ada bersama kita, pasti Shu Lin mencari-cari alasan
untuk mengerjakan sesuatu. Demikian juga sebaliknya.", ujar Hu Ban.
"Bukan sepertinya lagi, selama perjalanan Shu Lin selalu saja menempel padaku, sudah seperti anak kecil saja.", sahut Shu Sun Er.
"Heh" dan Ding Tao bersikap sangat sopan padanya, benar-benar membikin aku gemas saja.", tambah Khongti menyahut.
Zhu Yanyan menghela nafas, "Sudahlah urusan anak muda, kita yang tua jangan ikut-ikutan, nanti malah membuat mereka
makin serba salah. Biar saja mereka selesaikan sendiri, kita cukup ikut mengamati dari jauh saja."
"Sudah kubilang pada Shu Lin, jika Ding Tao ingat apa yang terjadi selama dia kehilangan daya pikirnya, tentu akan timbul keadaan seperti sekarang ini. Shu Lin merasa jengah, demikian juga Ding Tao.", keluh Shu Sun Er.
"Masalah ini, Ding Tao saja yang terlalu malu-malu.", kata Pang Boxi sambil mendengus keras.
"Lebih baik begitu daripada dirimu, bukannya malu-malu tapi memalukan", sahut Khongti sambil terkekeh-kekeh.
Pang Boxi yang kena semprot, karuan saja menggerutu panjang lebar, disambut tawa yang lain. Suasana yang tadinya
mendung jadi cerah kembali gara-gara ucapan Khongti.
Setelah reda tawa mereka semua Khongti pun berucap lagi, "Yang penting kulihat baik Shu Lin maupun Ding Tao masih
berjalan sesuai nilai-nilai yang benar, Shu Lin masih bisa menjaga kehormatannya dan Ding Tao juga seorang pemuda yang
jujur dan tidak memanfaatkan kesempatan dalam kondisi Shu Lin saat ini."
"Kak Khongti benar, tentang masalah hati, biarlah pelan-pelan terurai sendiri. Yang terpenting keduanya tidak melupakan mana yang benar dan mana yang salah. Dalam situasi apa pun mereka masih mengedepankan nurani mereka dan tidak
mengikuti keinginan nafsu orang muda.", ujar Chen Taijiang membenarkan.
"Kau bilang nafsu orang muda, apa kau sendiri sudah tidak memiliki keinginan sedikitpun?", tiba-tiba Khongti bertanya.
Wajah Chen Taijiang pun berkerenyit sedih, tapi dia tidak kurang akal untuk menjawab, "Memang kubilang nafsu orang
muda, tentang diriku sendiri, apa pernah kubilang kalau aku sudah tua. Wajahku boleh tua, tapi semangat masih anak
muda." Ucapan Chen Taijiang yang berlawanan dengan raut mukanya itu sudah tentu membuat mereka yang mendengarnya jadi
geli dan tertawa terbahak-bahak. Nun jauh di sana, baik Wang Shu Lin dan Ding Tao yang sedang berlatih, mendengar
suara tawa mereka. Ya, selain memikirkan Murong Yun Hua, ingatan tentang kemesraan yang sempat ditunjukkan Wang
Shu Lin juga ikut mengisi pikiran Ding Tao. Dalam hati sempat pula Ding Tao bertanya dengan wajah bersemu dadu dan
dada berdebar, "Ah" siapa pula yang mereka tertawakan" Jangan-jangan mereka sedang membicarakan aku dan Nona
Wang Shu Lin." Teringat dengan Wang Shu Lin, Ding Tao pun berhenti berlatih, ingatannya kembali pada masa-masa, di mana dia
menganggap gadis itu sebagai isterinya. Dalam keadaan ingatannya yang sudah kembali pulih, dapatlah dia mengerti,
betapa dia sudah mencampur adukkan antara kemesraan yang pernah dia jalani bersama Murong Yun Hua dengan kesalah
pahaman bahwa Wang Shu Lin adalah isterinya. Tapi di lubuk hatinya yang terdalam dia pun bertanya-tanya, benarkah
hanya demikian" Ataukah sebagian dari hatinya sudah terpikat pula dengan kecantikan dan kelembutan gadis itu" Terutama
dengan kebaikannya saat dia merawat Ding Tao dengan penuh kesabaran.
Ding Tao menggeleng-gelengkan kepalanya, ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan masalah asmara.
"Nona Wang Shu Lin juga pasti mengerti, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa untuknya?", pikir Ding Tao.
Tiba-tiba Ding Tao pun menampar mukanya sendiri, "Bodoh, apa pula yang kupikirkan ini" Beraninya aku berpikir kalau
Nona Wang Shu Lin memiliki perasaan untukku. Semua yang dia lakukan adalah untuk membantuku melewati masa-masa
yang sulit. Keluar dari kebaikan hatinya, tidak lebih dan tidak kurang. Aku yang sudah mengkhianati kesetiaan Ying Ying, mana mungkin dia menaruh hati padaku."
"Ah" Ying Ying" Yun Hua", mungkin sudah sepantasnya aku dikhianati Yun Hua, itu pembalasan yang pantas buatku" tapi
mengapa harus sampai mengorbankan saudara-saudara yang lain?", pikir Ding Tao dengan sedih.
"Yun Hua", aku masih belum bisa menerima bahwa dia yang ada di balik semua kekejian ini. Tapi apakah dia yang menjadi
otak di balik semuanya atau hanya menjadi diperalat oleh seseorang, aku tidak boleh membiarkan mereka menguasai dunia
persilatan demi ambisi mereka pribadi."
"Tidak ada waktu untuk memikirkan masalah asmara!", geram pemuda itu pada dirinya sendiri.
Ding Tao pun menghela nafas, malam sudah semakin larut, latihannya tidak menunjukkan ada masalah pada dirinya.
Dengan mudah dia menjalankan jurus-jurus yang sudah pernah dia kuasai. Tentang ilmu warisan Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan, meski Ding Tao mengalami kesulitan, tapi setiap saat dia bisa merasakan adanya kemajuan. Tidak
secepat saat dia masih berada di bawah pengaruh Obat Dewa Pengetahuan, tapi pemuda itu tidak sampai menemui jalan
buntu dalam latihannya. Dia tahu tak mungkin dia bisa menguasainya secara sempurna pada saat pertemuan lima tahunan
akan diadakan, tapi Ding Tao memiliki keyakinan bahwa setidaknya dia akan bisa menggunakan ilmu itu bila dia berhati-
hati. Jika terpaksa dia bisa menggunakannya dengan kekuatan penuh, meski hal itu akan membahayakan dirinya sendiri
selain membahayakan lawan.
Ding Tao berpikir dia perlu waktu beberapa minggu lagi, sebelum dia akan meminta salah satu guru Wang Shu Lin untuk
menjadi lawan latih tandingnya, di mana dia akan mencoba menggunakan ilmu yang dia dapatkan dari Pendeta Chongxan
dan Bhiksu Khongzhen, dengan pengerahan tenaga yang terukur.
Perlahan Ding Tao menyusuti keringat yang membasahi tubuhnya, kemudian mencari tempat yang nyaman untuk bersila
dan mulai bermeditasi. Bukan saja untuk meningkatkan penguasaannya atas himpuanan hawa murninya yang melonjak
pesat, tapi lebih utama lagi, dia ingin menenangkan pikirannya. Membersihkannya dari segala beban pikiran yang tidak
perlu. Satu malam dari sekian banyak malam-malam lain dalam perjalanan mereka ke Desa Hotu. Perjalanan mereka bisa
dikatakan berjalan tanpa halangan, hanya dua atau tiga kali mereka bertemu sekelompok orang yang sedang mencari Ding
Tao. Tapi mereka sama sekali tidak memberikan kesulitan yang berarti, dengan kembalinya kemampuan Ding Tao ditambah
dengan Wang Shu Lin dan enam orang gurunya, dengan mudah mereka mengalahkan lawan-lawan yang berusaha
menghadang mereka. Demi menghilangkan jejak, maka Ding Tao dan kawan-kawannya harus mengeraskan hati dan tidak
melepaskan seorang pun hidup-hidup. Semuanya itu menambah beban di hati Ding Tao, meski hal itu dengan mudah bisa
dijawab oleh akal sehatnya.
"Bukan kita yang mencari masalah, tapi mereka sendiri yang mencari kematian.", ujar Pang Boxi dengan tegas saat dia melihat wajah Ding Tao yang murung setelah mereka baru saja menguburkan lawan-lawan mereka.
Seorang dari mereka yang baru saja terbunuh, masih sangat muda, hampir seumur dengan Ding Tao dan Ding Tao bisa
membayangkan kehidupan yang baru saja terbentang di hadapan lawannya itu. Ding Tao tidak membantah Pang Boxi,
diapun bisa mengerti apa yang dimaksudkan Pang Boxi. Pemuda itu sudah memilih jalannya, dengan segala resiko yang
ada, termasuk kematian. Ding Tao menghela nafas dan bergumam, bertanya, "Apakah kekuasaan dan ketenaran yang memikat dirinya" Atau
keinginan untuk menegakkan kebenaran?"
Khongti menjawab dengan tegas, "Kukira yang pertama, mereka bukan dari Shaolin, bukan pula berasal dari Wudang,
karena jika tidak tentu aku atau Kak Zhu Yanyan akan mengenal ilmu yang mereka perguanakan. Jika mereka bagian dari
keluarga Huang tentu kau mengenalnya. Atas alasan apa mereka mengejarmu, jika bukan sedang mencari nama."
Zhu Yanyan lebih bersimpati pada Ding Tao dibanding saudara-saudaranya yang lain, "Aku mengerti perasaanmu, tapi inilah kenyataan dalam dunia persilatan. Orang-orang seperti mereka ada puluhan bahkan ratusan jumlahnya. Sebagian besar
dari mereka mati terbunuh sebelum sempat mencapai apa yang mereka inginkan."
"Ketua Ding Tao mungkin tidak banyak berurusan dengan orang-orang seperti mereka. Tapi aku yakin pengikut-pengikut
Ketua Ding Tao banyak berjumpa dengan orang-orang seperti mereka. Yang sampai berhadapan dengan Ketua Ding Tao
sendiri, tentu hanya dedengkot-dedengkot saja dan cara mereka jauh lebih halus dan banayk perhitungan.", sambung Hu
Ban dengan tenang. Ding Tao pun terdiam dan berpikir, selama dia menjadi ketua dari Partai Pedang Keadilan, memang yang lebih banyak dia
lakukan adalah berlatih ilmu silat siang dan malam. Hampir seluruh urusan dikerjakan oleh para pengikutnya. Ding Tao pun menyadari betapa naifnya dia selama ini, yang dia tahu hanyalah laporan dari Chou Liang dan yang lain, bahwa masalah
sudah diselesaikan. Ada berapa nyawa yang hilang dalam satu laporan yang pendek itu" Semakin lama dia berpikir, semakin dia merasa malu atas kebodohannya selama ini.
Banyak sekali yang harus dipikirkan Ding Tao selama perjalanannya ke Desa Hotu, hingga pemuda itu pun mengalami


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak perubahan pada cara berpikirnya. Mendekati mereka sampai ke perbatasan, Ding Tao sudah bisa menerima
kenyataan bahwa kemungkinan besar, Murong Yun Hua-lah yang menjadi dalang dibalik semuanya.
Di saat yang sama, ada satu penemuan yang sedikit membesarkan hati pemuda itu, sekaligus membuat dia terharu akan
kesetiaan pengikut-pengikutnya yang sudah pergi mendahului dia. Waktu itu tinggal dua hari lagi sebelum mereka akan
melewati perbatasan. Sudah sejak beberapa hari sebelumnya, Hu Ban dan Khongti memberi kisikan bahwa sepertinya ada
beberapa orang yang sedang mengikuti mereka. Setelah mendapatkan peringatan itu, mereka pun menajamkan
pengamatan mereka dan memang benar, ada beberapa orang yang tampak mencurigakan.
Sudah terbayang dalam benak Ding Tao, sebentar lagi mereka harus melenyapkan nyawa beberapa orang demi
menyembunyikan jejak mereka.
Dengan hati berat dia pun memulai perjalanan hari itu, pada malam sebelumnya mereka sudah menentukan jalur yang akan
mereka tempuh hari itu. Ada beberapa tempat yang bagus untuk menghadang orang, entah mereka yang akan dihadang
atau mereka yang akan lebih dahulu menghadang orang, tergantung situasi nanti. Keduanya sama saja, meski dalam hati
Ding Tao, dia lebih memilih untuk dihadang orang daripada menghadang orang. Sebenarnya jika bisa dia ingin memberi
kelonggaran pada orang, seandainya bisa dia tidak ingin membunuh mereka. Tapi kalaupun mereka membatalkan keinginan
mereka untuk berusaha menangkap Ding Tao, Ding Tao dan rekan-rekan yang lain tidak mungkin membiarkan ada
kemungkinan jejak mereka sampai bocor. Jadi entah mereka akan memanfaatkan jalan yang sepi untuk menghadang Ding
Tao atau Ding Tao yang harus menghadang mereka, nyawa mereka harus lenyap hari itu juga.
Meski tidak menyukainya Ding Tao tidak lari dari kenyataan, di saat yang sama dia juga tidak serta merta menerimanya
sebagai satu kewajaran. Ding Tao merenungkan keadaannya, dia bergumul dengan konflik antara dua hal yang
bertentangan ini. Terkadang dia berpendapat, reputasi, nama besar, menjadi ahli pedang nomor satu, mungkin bisa
membuat dia terhindar dari masalah ini. Di lain pihak, Ding Tao juga sadar reputasi dan nama besar, mengundang orang
untuk merebutnya. Apakah seseorang yang terjun dalam dunia persilatan, sama artinya dengan mengikuti arus bunuh
membunuh yang tiada hentinya sampai mereka meninggalkan dunia itu" Entah lewat acara cuci tangan di baskom emas,
atau meninggalkannya dengan tubuh dingin tak bernyawa. Bahkan pada akhir hidupnya tokoh sebesar Pendeta Chongxan
dan Bhiksu Khongzhen pun tak bisa lepas dari lingkaran bunuh membunuh itu, meski selama belasan bahkan puluhan tahun
sepertinya mereka sudah bisa lepas dari jeratan itu.
Sekarang Ding Tao sudah terjerat dalam lingkaran yang tidak dia inginkan. Dia menyadari betul hal itu sekarang ini,
sebelum pengkhianatan Murong Yun Hua, dengan naifnya dia menyangka dia tidak ikut terjerat dalam lingkaran bunuh
membunuh yang tidak ada habisnya. Tapi sekarang matanya sudah terbuka, meski tangannya tidak ikut berlumuran darah,
secara tidak langsung dia sudah berada dalam lingkaran itu bahkan jauh sebelum dia menjadi ketua dari Partai Pedang
Keadilan. Dia sudah mulai terjerat begitu dia mendapatkan Pedang Angin Berbisik dari Wang Chen Jin. Bukankah saat dia
melarikan diri dari Wuling dia sudah mulai melumuri tangannya dengan darah" Tapi untuk sekilas dia seperti mendapatkan
harapan, saat dia berhasil mengubah lawan menjadi kawan, saat dia bertarung untuk kedua kalinya dengan Sepasang Ibils
Muka Giok. Adakah sebuah ilmu, untuk mengalahkan lawan tanpa harus membunuhnya" Mungkinkah dia sampai pada
tingkatan setinggi itu atau tidak ada tingkatan setinggi itu"
Tanpa pedang di tangan, ada pedang di hati" Apakah itu tingkatan yang tertinggi yang bisa dicapai seseorang" Tapi itu
artinya, dia semakin lihai dalam membunuh lawan-lawannya, bahkan ketika tidak ada pedang di tangan pun dia bisa
membunuh lawannya dalam satu tebasan yang tidak terlihat. Sejak melihat jurus-jurus yang disarikan dari ilmu Shaolin dan Wudang, yang dia warisi dari Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan lewat sebuah pertarungan. Pikiran Ding Tao mulai
terbuka pada tahap akhir, yang banyak dikatakan para tetua dan tokoh-tokoh dunia persilatan, namun hanya beberapa
orang dalam puluhan generasi yang bisa dikatakan telah benar-benar sampai pada tahap itu.
Tokoh-tokoh yang dalam sejarah kehidupannya hampir-hampir tak pernah terkalahkan dalam setiap pertarungan. Sekalipun
demikian keraguan mulai merasuki hati Ding Tao. Kali ini dia tidak memiliki seorang guru, di mana dia bisa bertanya,
apakah dia sudah sampai pada tahap itu atau belum. Hanya penilaiannya pada diri sendiri saja yang bisa memutuskan,
adakah dia benar-benar sampai di sana atau belum. Ini adalah perjalanan menuju ke daerah, di mana tidak ada orang lain
yang pernah sampai ke sana. Seandainya Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan masih hidup, mungkin akan berbeda,
Ding Tao masih bisa bertanya pada mereka. Dua orang tetua yang dipercaya telah sampai di tahap itu, meski mereka
berdua sendiri belum pernah mengakuinya.
Setiap kali dia dihadapkan pada situasi di mana dia harus membunuh atau dibunuh, seperti saat ini, tentu pertanyaan yang sama akan bergema di benaknya. Zhu Yanyan dan guru-guru Wang Shu Lin yang lain pun tidak bisa membantu Ding Tao
untuk memberikan jawaban yang memuaskan. Beberapa hari terakhir Ding Tao lebih sering menyendiri, pergumulan
batinnya ini bahkan lebih menyita tenaga dan pikiran dibandingkan hal-hal lainnya. Ini bukan kehidupan yang dia inginkan, tapi bila dia menghindarinya, sama juga artinya dia memilih menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Itu pun bukanlah
jenis kehidupan yang dia inginkan.
Sembari bergumul dengan dirinya sendiri, akhirnya Ding Tao dan yang lain pun sampai di bagian yang sepi dari jalan yang mereka pilih. Ding Tao, Wang Shu Lin dan Zhu Yanyan berjalan bertiga saja, sementara yang lain bergerak dengan hati-hati membayangi mereka berdua dan seperti yang mereka harapkan, orang-orang mencurigakan yang sudah mengikuti mereka
selama berhari-hari muncul.
Otot dan syaraf Ding Tao sudah menegang, bukan karena rasa takut, juga bukan karena dia bersiap untuk bertarung. Ding
Tao tidak merasakan tekanan seperti saat dia menghadapi lawan yang setanding. Nalurinya mengatakan dia bisa
mengalahkan mereka dengan cepat. Ketegangannya muncul karena dia tahu apa yang harus dia lakukan setelah dia
mengalahkan mereka, karena tidak cukup hanya dengan mengalahkan lawannya, dia harus bertindak lebih jauh lagi.
Tapi tiba-tiba terjadilah hal yang mengejutkan, belasan orang yang menghadang jalan mereka itu tiba-tiba meletakkan
senjata mereka di tanah dan membungkuk hormat di depan Ding Tao, serempak mereka berkata, "Hormat pada Ketua Ding
Tao." Tertegun di tempatnya Ding Tao membalas penghormatan mereka dengan hati-hati, "Salam saudara, bolehkah aku tahu
apa alasan kalian menghadang jalan kami?"
Salah seorang dari mereka maju ke depan dan berkata, "Ketua Ding Tao, namaku Shin Su, kami semua adalah bagian dari
Partai Pedang Keadilan yang dirahasiakan dari semua orang, termasuk dari Ketua Ding Tao sendiri."
"Tunggu, apa maksud kalian bagian rahasia dari Partai Pedang Keadilan" Apakah maksud kalian, kalian termasuk bawahan
Guru Chen Wuxi" Dan mengapa aku tidak tahu tentang kalian?", tanya Ding Tao tak mengerti.
Sementara Zhu Yanyan dan yang lain pun cukup terkejut dengan perkembangan ini dan hanya diam mendengarkan di
tempat masing-masing. Mereka yang bersembunyi, tetap menunggu perkembangan selanjutnya.
"Bukan, kami bukan bagian dari organisasi rahasia di bawah Guru Chen Wuxi. Kami dibentuk secara rahasia oleh Tuan Chou
Liang dan hanya Tuan Chou Liang sendiri yang tahu tentang keberadaan kami.", jawab Shin Su.
"Tuan Chou Liang berpendapat bahwa, meski segala sesuatunya terlihat berjalan lancar, Partai Pedang Keadilan harus
punya satu rencana untuk menghadapi segala macam keadaan, termasuk keadaan terburuk sekalipun. Karena itu diam-
diam dia memilih dan mencari 50 orang dan melatih mereka diam-diam. Tidak ada seorang pun yang tahu mengenai
keberadaan kami kecuali Tuan Chou Liang seorang.", ujar Shin Su menjelaskan.
Ding Tao pun menggelengkan kepala tak percaya, "Bagaimana mungkin Chou Liang bisa melatih kalian" Sementara dia
sendiri baru-baru saja sedikit belajar mengenai ilmu silat?"
Terlihat wajah Shin Su sedikit tersipu dan dia menjawab, "Kami pun demikian, sebelum Tuan Chou Liang merekrut kami,
sebagian besar dari kami tidak paham sedikitpun dengan ilmu silat, sejak dipilih hingga sekarang, kira-kira lamanya barulah setengah tahun kami berlatih dan apa yang kami bisa, hanyalah satu pelajaran dasar yang terus diulang-ulang. Hanya diriku sendiri yang pernah belajar selama beberapa tahun sebelum Tuan Chou Liang merekrutku menjadi bagian dari kelompok
ini." "Oh" rupanya demikian?", ujar Ding Tao tanpa bermaksud menghina.
"Tapi Ketua Ding Tao, apa yang tidak kami miliki dalam hal ilmu silat, kami memiliki kelebihan dalam bergerak secara
rahasia, mengumpulkan informasi, menggunakan racun dan di atas segalanya, kami dilatih untuk berpikir dengan cepat,
terperinci dan beradaptasi dengan segala macam situasi.", ujar Shin Su cepat-cepat, seakan takut membuat Ding Tao
kecewa. "Ya", ya", aku yakin Chou Liang tidak sembarangan membentuk satu kelompok khusus seperti kalian. Hanya saja", ini
sungguh di luar dugaan. Adakah kalian memiliki satu tanda untuk membuktikan kebenaran perkataan kalian?", ujar Ding
Tao dengan hati-hati. Mendengar pertanyaan Ding Tao, wajah Shin Su menjadi sedikit lebih cerah, cepat dia maju dan memberikan satu surat
pada Ding Tao, "Tuan Chou Liang tidak pernah berharap, kami akan bertemu muka dengan Ketua Ding Tao, karena itu
artinya telah terjadi sesuatu pada Tuan Chou Liang dan juga orang-orang kepercayaan Ketua Ding Tao yang terpercaya."
"Seharusnya jika terjadi sesuatu pada Tuan Chou Liang, sehingga dia tidak bisa meneruskan kewajibannya pada Ketua Ding
Tao, kami harus pergi terlebih dahulu pada Nyonya Murong Yun Hua, Tuan Ma Sonquan, lalu di urutan berikutnya, Tuan
Pendeta Liu Chuncao, Tuan Fu Tong dan Tuan Wang Xiaho. Tapi sekarang?", Shin Su pun tidak berani melanjutkan
ucapannya. Ding Tao mengangguk dengan sedih, tapi mereka semua sekarang telah mati dan yang masih hidup adalah pengkhianat
dari Partai Pedang Keadilan, demikian pikirnya dengan sedih. Perlahan-lahan dibukanya surat yang diberikan Shin Su, jelas sekali itu adalah tulisan Chou Liang, di dalamnya Chou Liang menjelaskan kelompok rahasia yang dia bentuk itu, satu
senjata rahasia terakhir bagi Partai Pedang Keadilan. Seharusnya kelompok itu akan terus dilatih sampai menjadi kelompok elit dalam Partai Pedang Keadilan. Mereka memang sepenuhnya akan berada dalam kekuasaan Chou Liang dan di luar tahu
semua anggota yang lain termasuk Ding Tao sendiri. Hanya bila terjadi sesuatu dengan dirinya, mereka akan membuka diri
pada orang-orang yang sudah dipilih Chou Liang untuk menggantikan dirinya. Jumlah orang-orang ini sendiri sangatlah
sedikit dan mereka adalah orang-orang yang sudah diperiksa Chou Liang berkali-kali sampai Chou Liang benar-benar
merasa yakin pada kesetiaan mereka terhadap Ding Tao. Dengan demikian, bahkan bila terjadi kebocoran yang hebat, di
mana kelompok rahasia yang berada di bawah Guru Chen Wuxi ikut terbongkar, selama masih ada pimpinan dari Partai
Pedang Keadilan yang hidup, mereka masih ada kekuatan yang tersimpan untuk menjadi modal bagi mereka bangkit
kembali. Selain menjelaskan tentang keberadaan mereka dan tujuan dibentuknya kelompok ini, Chou Liang masih
menyertakan beberap hal yang hanya diketahui Chou Liang dan Ding Tao sebagai bukti bahwa surat ini benar-benar berasal
dari Chou Liang. Membaca surat dari Chou Liang itu, Ding Tao pun merasa sangat terharu. Betapa dia memiliki pemikiran yang jauh ke depan dan begitu teliti, hingga untuk keadaan yang di luar dugaan pun, Chou Liang sudah mempunyai satu persiapan. Lama Ding
Tao terdiam dan menyesali kebebalannya selama ini, tidak seharusnya ada orang-orang berbakat seperti Chou Liang, yang
sampai kehilangan nyawa karena ketidak mampuannya untuk menjadi ketua dari sebuah perkumpulan yang besar. Selama
menjadi ketua, yang dia tahu hanyalah berlatih ilmu silat saja.
Chou Liang dan yang lainnyalah, yang berpikir dan bekerja untuk membentuk dasar bangunan dari perkumpulan yang
mereka dirikan. Mengeluhlah Ding Tao perlahan, "Ah" sungguh aku ini tidak pantas kalian panggil sebagai ketua" Chou Liang" Chou Liang"
seharusnya kaulah yang menjadi ketua" aku ini lebih pantas menjadi pesuruhmu saja."
Mendengar keluhan Ding Tao, Shin Su cepat menjawab, "Tidak", itu tidak benar. Tentang hal ini pun Tuan Chou Liang
sudah pernah membahasnya dengan kami. Ketua Ding Tao memiliki jiwa yang besar yang diperlukan sebagai seorang
pemimpin. Kekurangan Ketua Ding Tao adalah ketidak mampuan atau ketidak mauan Ketua Ding Tao untuk melihat dunia
dan orang-orang dengan pandangan yang lebih dekat pada kenyataan. Ketua Ding Tao memiliki impian, memiliki satu
gambaran akan dunia yang ideal."
"Hal itu diperlukan seorang pemimpin, tapi dia tidak akan menjadi pemimpin yang baik jika dia tidak mau melihat kenyataan yang sebenarnya. Dia hanya akan menjadi seorang pemimpi, bukan pemimpin. Tapi Tuan Chou Liang percaya, dengan
berjalannya waktu Ketua Ding Tao akan sampai pada pengertian yang benar. Tahu yang mana impian dan mana yang
kenyataan, baru setelah itu, Ketua Ding Tao akan mulai berpikir, bagaimana untuk mencapai yang diimpikan dari apa yang
ada dan nyata saat ini.", ucap Shin Su panjang lebar menjelaskan, dari cara dia menjelaskan terlihat jelas bagaimana Chou Liang berhasil menanamkan keyakinan itu pada orang-orang pilihannya.
Di sini terlihat kelebihan Chou Liang, dia tahu bagaimana menilai orang, tahu orang seperti apa yang harus dia pilih dan dia tahu pula cara membentuk mereka menjadi orang-orang pilihan yang sesuai dengan apa yang dia butuhkan.
"Tuan Chou Liang juga berkata, jika sampai kami pada situasi di mana kami harus menemui Ketua Ding Tao, maka pada
hari itu, tentunya apa yang dialami Ketua Ding Tao akan membuat Ketua Ding Tao satu langkah lagi lebih dewasa dan lebih siap untuk menjadi ketua yang sebenarnya dari Partai Pedang Keadilan.", ujar Shin Su setelah membiarkan Ding Tao
terdiam dan berpikir sendiri beberapa lama.
Mendengar uraian Shin Su, Ding Tao seakan mendapatkan satu kekuatan baru. Apa yang dia gumuli selama ini, memang
dia belum mendapatkan jawabannya. Tapi satu hal yang dia tahu, dia tidak boleh lari dari tugas dan tanggung jawabnya.
Dia memang belum bisa melepaskan diri dari lingkaran bunuh membunuh yang menghiasi dunia persilatan. Tapi menghilang
dari dunia persilatan dan lari dari tanggung jawab yang dia pikul, bukanlah jawabannya. Ada orang-orang yang sudah
mempercayakan hal itu padanya dan mereka saat ini sudah tidak hidup lagi di dunia ini untuk melakukan perubahan. Apa
pun yang membuat mereka memilih untuk mengikuti dirinya, sekarang mereka bahkan sudah tidak bisa memilih
lagi.Kemudian, di depannya masih ada orang-orang yang melanjutkan impian yang sama dan mereka ini pun menaruh
harapan di pundaknya. Dia tidak akan bisa melepaskan diri dari beban ini tanpa melanggar hati nuraninya sendiri. Dia berhutang pada Chou Liang, Ma Songquan dan yang lain. Dia berhutang pula pada Shin Su dan kawan-kawannya.
Lalu datanglah perubahan itu, perubahan itu tidak terlihat dengan mencolok, namun mereka yang saat itu berada di tempat itu dan menyaksikan peristiwa itu, bisa merasakan perubahan yang terjadi pada diri Ding Tao.
"Shin Su", dari surat ini dan dari yang kalian katakan, jumlah kalian seluruhnya ada 50 orang, benarkah itu?", tanya Ding Tao.
"Benar, benar sekali Ketua.", jawab Shin Su dengan bersemangat, dia pun bisa merasakan perubahan yang sedang terjadi
dalam diri Ding Tao. "Baiklah, perintah pertamaku pada kalian, usahakan sebaiknya agar jumlah itu tidak berkurang. Aku tidak mau ada satu
korban pun yang jatuh dari kelompok kalian.", ujar Ding Tao dengan berwibawa.
"Kami mengerti ketua", jawab Shin Su dengan terharu.
Ding Tao terdiam sejenak, dia seperti berusaha memahami apa yang sebenarnya dirasakan Shin Su dan kawan-kawannya,
kemudian dia berkata pula, "Tidak, kau belum benar-benar mengerti. Ini bukan hanya karena aku menganggap kalian
sebagai kawan seperjuangan, yang sesungguhnya memang itu yang kurasakan. Tidak, bukan karena itu aku meminta kalian
untuk menjaga agar tidak ada satu pun korban yang jatuh dari antara kalian."
"Karena pengorbanan itu sesuatu yang pasti akan terjadi. Hal itu sudah terjadi dan akan terjadi lagi, dalam sebuah
perjuangan korban nyawa adalah sesuatu yang sulit dihindari. Meski aku tidak menginginkannya terjadi.", ujar Ding Tao
sembari mengenang kematian mereka yang telah berkorban demi dirinya.
"Aku memerintahkan hal itu pada kalian, karena saat ini kekuatan kita sangatlah lemah. Aku membutuhkan tiap-tiap kalian, aku tidak mau satu pun dari kalian berkurang, kecuali telah tiba saatnya kita bersama-sama mengadu nyawa dengan
lawan.", ujar Ding Tao sambil matanya bergerak memandang mereka yang ada di hadapannya seorang demi seorang.
"Mengertikah kalian?", tanyanya dengan lantang.
Dan mereka pun menjawab dengan penuh semangat, "Kami mengerti Ketua!"
"Bagus, sekarang aku hendak bertanya pada kalian, dari mana kalian bisa mengendus jejak kami?", tanya Ding Tao pada
mereka. "Sejak awal terjadinya peristiwa di Jiang Ling, kami selalu mengendus-endus kabar yang berkaitan dengan menghilangnya
Ketua Ding Tao.", ujar Shin Su memulai penjelasannya.
"Beberapa minggu yang lalu, kami mulai mendengar kabar tentang menghilangnya sekelompok orang yang berusaha
mencari nama dengan membunuh Ketua Ding Tao. Kemudian desas-desus yang sama kami dengar beberapa kali lagi.
Ketika kami memeriksa di mana terakhir kali kelompok-kelompok itu terlihat, maka kami melihat adanya satu pola."
"Menganalisa pola itu, kami melihat ada satu kemungkinan bahwa Ketua Ding Tao dan mereka yang membantu ketua
bergerak ke arah perbatasan di utara, jadi kami pun berangkat dan berusaha menelusuri jejak Ketua dan memperkirakan
jalur yang ketua ambil dari pola yang kami dapat tersebut.", jawab Shin Su menjelaskan, dari cara dia menjelaskan, terlihat jelas dia cukup merasa bangga dengan hasil pemikirannya dan kawan-kawannya.
Ding Tao pun merasa kagum dengan penalaran mereka, sekaligus khawatir, "Bagus sekali pemikiran kalian", hmm" tapi
jika kalian bisa mengendus jejak kami, lawan-lawan kita pun bukan anak kemarin sore. Terbukti lebih dari satu kali kami dipergoki orang.", ujar Ding Tao sembari berpikir.
Hal yang sama sudah beberapa kali dibicarakan, namun hal itu tidaklah terelakkan, mereka sudah mencoba mengambil
jalan memutar, tidak mungkin mereka terus berputar-putar karena semakin lama mereka sampai ke perbatasan semakin
kecil pula peluang mereka untuk mencegah Murong Yun Hua berkuasa.
"Ketua Ding Tao jangan kuatir, kamipun sudah memikirkan hal itu, jadi sudah beberapa lama ini, kami membagi tugas dan
dengan sengaja menyebarkan pula desas-desus palsu yang mengaburkan jejak Ketua Ding Tao.", ujar Shin Su, sekali lagi
dengan rasa bangga. "Benar ketua, bahkan ada dua kali kami berhasil melenyapkan kelompok yang serupa di daerah yang menyimpang dari arah
perjalanan ketua.", ujar seorang yang lain, diikuti anggukan kepala Shin Su dengan penuh semangat.
Mendengar jawaban Shin Su itu pun wajah Ding Tao dan Zhu Yanyan menjadi cerah.
"Bagus, bagus sekali, kalian benar-benar kelompok bentukan Saudara Chou Liang, otak kalian sungguh lincah.", puji Ding
Tao membuat dada setiap pengikutnya mengembang oleh rasa bangga.
"Bagus, kalau begitu masalahnya jadi lebih mudah. Nah dengarkanlah kalian semua, kami saat ini sedang menuju ke Desa
Hotu yang berada di luar perbatasan. Ini semua sesuai dengan amanah dari Tetua Bhiksu Khongzhen dan Pendeta
Chongxan. Setelah kalian tahu ini, tentu kalian tahu dan menentukan sendiri, di mana dan dengan cara apa bisa
berhubungan dengan kami.", ujar Ding Tao.
"Baik ketua, kami mengerti", ucap Shin Su.
"Bagus, nah sekarang aku memiliki beberapa tugas untuk kalian.", ujar Ding Tao lagi.
"Kami siap melaksanakan", jawab Shin Su dengan tegas.
"Yang pertama, aku ingin kalian meneruskan usaha kalian untuk mengaburkan keberadaan kami. Aku percayakan tentang
bagaimana caranya pada kalian semua."
"Yang kedua, ada satu surat untukku dari Tabib Shao Yong, yang aku yakin akan menarik bagi kalian. Seperti yang nanti
kalian baca dalam surat ini, kita memiliki saksi kunci yang mungkin bisa kita gunakan. Aku ingin kalian secara berhati-hati, berusaha memeriksa kebenaran dari hal ini dan sebisa mungkin mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai
keberadaan saksi kunci kita ini.", ujar Ding Tao sambil menyerahkan surat dari Tabib Shao Yong yang masih dia simpan
kepada Shin Su. "Simpan surat itu baik-baik, itu adalah bagian dari bukti bahwa kita telah dijebak orang.", ucap Ding Tao pada Shin Su
dijawab dengan sebuah anggukan.
"Baik ketua, apakah masih ada tugas lain untuk kami?", jawab Shin Su.
"Ya", kita semua tentu sampai pada kesimpulan bahwa isteriku Murong Yun Hua telah mengkhianatiku. Tapi selain dia,
masih adakah orang yang tidak termasuk dalam rencananya, mereka yang masih bersimpati padaku, meskipun secara
diam-diam dari antara apa yang tersisa dari partai kita" Aku ingin kalian memeriksa hal ini. Jika kalian menemukan orang-orang seperti ini, jangan kalian menemui mereka, jalian cukup kumpulkan namanya dan biarkan aku yang nanti menemui
mereka. Aku ingin keberadaan kalian tetap menjadi rahasia bagi semua orang."
"Baik ketua, kami mengerti", ucap Shin Su dengan takzim.
"Lalu tugas terakhir untuk saat ini, kalian tahu ada lebih dari satu orang yang bekerja sama entah di bawah kendali Nyonya Murong Yun Hua atau sebagai sekutu yang sederajat. Aku ingin kalian mencari tahu, apa motivasi mereka, apa pertalian di antara mereka, adakah persaingan di antara mereka, adakah mereka mengikut karena terpaksa dan sebagainya. Singkat
kata, aku ingin kalian mencari celah dan retakan dalam persekutuan ini. Kalian mengerti?", ujar Ding Tao.
Wajah Shin Su pun menjadi cerah, keyakinannya pada perkataan Chou Liang semakin tebal. Ketua Ding Tao yang dia lihat
sekarang benar-benar pantas dipanggil sebagai ketua.
Dengan penuh semangat dia pun menganggukkan kepala, "Baik, kami mengerti ketua, kami akan segera mulai
melaksanakannya." "Bagus, pergilah kalian sekarang, tapi ingat baik-baik. Lakukan dengan sangat berhati-hati, jumlah kita sudah jauh di bawah lawan, tidak boleh berkurang satu orang pun.", ujar Ding Tao memperingatkan.
"Kami mengerti ketua, kami pergi sekarang.", ujar Shin Su diiringi pula oleh kawan-kawannya yang lain.
"Sebagai tanda pengenal, apabila kami mengirim seseorang maka ketua harus bertanya seperti ini", ujar Shin Su sambil
memberikan secarik kertas sebelum pergi.
Ding Tao melihat sekilas isi kertas itu yang berisi tanya jawab, sebagai sandi pengenal, dia pun tersenyum puas, "Bagus, baik aku mengerti."
Shin Su pun tersenyum dan berkata pula, "Setiap kali ada utusan yang menemui Ketua Ding Tao, tentu dia akan
memberikan secarik kertas berisi sandi untuk utusan yang berikutnya. Harap ketua mengingatnya baik-baik."
"Aku mengerti", jawab Ding Tao sambil balas tersenyum.
"Ketua kami pergi sekarang.", ujar Shin Su sambil membungkuk hormat, satu per satu mereka berpamitan dan pergi
meninggalkan Ding Tao dan rombongannya.
Menunggu tidak satu pun dari mereka terlihat lagi, melompatlah keluar Hu Ban, Pang Boxi, Khongti, Chen Taijiang dan Shu Sun Er dari tempat persembunyian mereka.
Pendekar Aneh Dari Kanglam 4 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Dan Naga Siluman 8
^