Pedang Angin Berbisik 29
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 29
Khongti keluar dengan tawa lebar dan menepuk-nepuk pundak Ding Tao dengan riang, "Kejutan bagus! Kejutan bagus! Alih-
alih harus membunuh orang, ternyata kita justru mendapat kawan seperjuangan."
"Benar sekali kata Kak Khongti, ini kejutan yang bagus, benar-benar menggembirakan.", sahut Hu Ban pula.
Begitulah mereka saling memberi semangat dan tertawa lepas, keprihatinan dan ketegangan yang mewarnai perjalanan
mereka selama beberapa hari ini tersapu habis oleh pertemuan mereka dengan Shin Su dan kawan-kawannya. Ding Tao
yang ikut larut dalam kegembiraan mereka, memandang ke sekelilingnya dan mendapati wajah-wajah yang cerah. Dan
kesadaran pun menyelip ke dalam hatinya, tidak seorang pun dari mereka merasa senang harus membunuh orang. Sejak
peristiwa di Jiang Ling, dalam benaknya, seisi dunia persilatan seakan hanyalah soal bunuh membunuh. Tapi peristiwa hari ini sekali lagi menyadarkan dia, ada banyak orang seperti dirinya, seperti Wang Jianho, seperti Guru Chen Wuxi, bahkan
seperti Ma Songquan dan Chu Linhe. Mereka semua sudah bosan dengan bunuh membunuh, tidak semuanya yang hidup
dalam dunia persilatan, mengejar nama besar dan reputasi. Ada juga yang hidup di dalamnya sekedar untuk mencari
penghidupan bagi dirinya dan keluarga. Ada pula yang ada di dalamnya karena kecintaan pada seni pedang.
Ada orang-orang seperti ke-enam guru Wang Shu Lin.
Ada dirinya, impiannya mungkin jauh dari kenyataan, tapi dia tidak sendirian. Ding Tao pun ikut tertawa lepas. Ada
kelegaan, ada beban yang terlepas dari hatinya. Di satu sisi dia semakin menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang
ketua dari sebuah partai, tanggung jawabnya atas harapan dan kepercayaan yang diletakkan di pundaknya. Di satu sisi dia menyadari betapa berat dan banyaknya halangan bagi dirinya untuk mencapai tujuan yang dia inginkan. Tapi di sisi lain dia melihat bahwa dia tidak sendirian. Dia bukan seorang diri melawan seluruh dunia persilatan, ada banyak orang dalam dunia persilatan yang memiliki pendirian serupa dengan dirinya. Setidaknya mereka memiliki kecenderungan yang sama dengan
dirinya. Hari itu Ding Tao baru benar-benar merasa terbuka matanya, atas kedudukan yang telah dia pilih, entah oleh karena nasib atau memang benar-benar merupakan pilihannya sendiri. Yang pasti inilah dia yang sekarang dan inilah jalan yang dia pilih, dia tahu halangannya, dia tahu keinginannya dan dia tahu berapa keras dan berliku jalan yang harus dia tempuh untuk
mencapai tujuannya. Perjalanannya boleh jadi panjang, tapi sekarang dia sudah memahami dengan jelas, di mana dia berada dan mau ke mana
dia pergi. Betapa banyak orang yang hidup tanpa tahu, di mana dia berada dan hendak pergi ke mana dia, seperti ikan yang mati, yang bergerak hanya mengikuti arus sungai.
Perjalanan ke Desa Hotu masih beberapa hari lamanya, tapi yang beberapa hari itu terasa sangatlah singkat. Tidak lagi
mereka berjalan dengan beban berat di hati, meski kewaspadaan tidak menjadi hilang, namun satu kebaikan bisa
menghapuskan banyak beban dan membuat langkah kaki menjadi lebih ringan. Melewati segala macam pengalaman, kecil
dan besar, mendapatkan berbagai macam pencerahan baik kecil maupun besar, akhirnya sampai juga mereka ke Desa
Hotu. Jika Ding Tao untuk sementara ini merasa lepas dari berbagai macam kekhawatiran, maka nun jauh di sana Murong Yun
Hua justru merasakan kegalauan. Kemenangan yang dia raih tidaklah memuaskan dirinya. Saat ini dia sudah berada di
puncak kekuasaan. Tiga dari enam perguruan besar berada di bawah kekuasaannya. Kekuasaannya sendiri tidaklah kecil,
pendekar yang bersenjatakan tombak berkait kemarin, tidaklah membuat ketika mengatakan bahwa Keluarga Murong
memiliki kekuatan tersembunyi, sekelompok pendekar pilihan yang terlatih. Masih ada lagi yang berada langsung di bawah
kekuasaannya, yaitu bagian dari Partai Pedang Keadilan yang memang sudah bersetia padanya dan bukan pada Ding Tao
lewat satu dan lain cara.
Tapi lolosnya Ding Tao hingga sekian lama berada di luar perhitungannya. Meski seharusnya tidak ada pula yang perlu
dikhawatirkan, karena tanpa Obat Dewa Pengetahuan, dalam hitungan minggu Ding Tao akan menjadi tak ubahnya sesosok
mayat hidup. Namun desas-desus yang beredar membuat dia merasa khawatir juga. Adakah dia salah perhitungan" Lagi
pula sampai sekarang, orang-orang yang dia kirim tidak berhasil membawa Ding Tao ke hadapannya, entah dalam keadaan
hidup atau mati. Malam itu Murong Yun Hua sedang menyisir rambutnya yang tebal dan panjang di dalam kamar, sendirian, berbicara pada
dirinya sendiri yang berada di dalam cermin.
"Apakah dia masih hidup?"
"Apakah benar dia berhasil bebas dari pengaruh Obat Dewa Pengetahuan?"
"Siapa yang membantunya?"
"Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Dia bertanya dan bertanya, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Dengan gemas dan gusar dia berdiri sambil
melemparkan sikat rambutnya ke atas meja. Seperti yang biasa dia lakukan, ditariknya ikat pinggangnya dan dia biarkan
jubahnya terjatuh ke atas lantai. Dipandanginya tubuhnya yang sempurna di depan cermin. Entah setan dari mana yang
datang, tiba-tiba yang terbayang dalam benaknya adalah Ding Tao yang sedang membelai tubuhnya. Tubuhnya
menggeletar, teringat pada sentuhan pemuda yang sempat menjadi suaminya itu. Tiba-tiba Murong Yun Hua disergap rasa
rindu yang tak pernah dia sadari ada dalam hatinya.
"Ding Tao?", bibirnya bergetar memanggil nama itu.
"Tapi dia Cuma seorang pemuda yang bodoh" seperti lelaki baik-baik lainnya, mereka bodoh dan rendah!", demikian dia
bergumam, memaki kerinduan dalam hatinya.
"Tapi benarkah pemuda itu bodoh" Jika benar, lalu mengapa dia merasa khawatir dengan tidak ditemukannya Ding Tao
sampai saat ini?", sebuah pertanyaan terselip dalam hatinya.
"Bukankah dia merasa khawatir, karena dalam hatinya dia mengakui ada potensi dalam diri Ding Tao yang bisa membuat dia
menjadi lawan yang berbahaya?", sebuah bisikan lain bertanya pada Murong Yun Hua.
"Tidak! Sudah pasti dia lelaki yang bodoh dan tak berharga. Lelaki yang punya otak, hanyalah lelaki macam ayahnya, kejam, sadis, penuh ambisi, tidak berperasaan, bejat?", dengan menggeram Murong Yun Hua menjawab keraguannya.
Sejenak tidak ada apa pun, hanya keheningan, lalu seperti setan yang tak puasnya menggoda manusia, sekali lagi sebuah
pikiran menyelinap diam-diam, "Jadi", maksudmu Ding Tao bukanlah lelaki demikian" Dia tidak seperti ayahmu, dia tidak
keji, tidak kejam, tidak bejat, dia memiliki perasaan yang halus, dia memiliki cinta" dia mencintaimu dengan tulus?"
Dan hati Murong Yun Hua pun tiba-tiba merasa nyeri, nyeri sekali, di luar sadarnya sebuah bisikan pedih keluar dari
bibirnya, "Ding Tao?"
Terdengarlah ketukan dari pintu dan Murong Yun Hua pun bergegas merapikan dirinya sebelum pergi membuka pintu.
Ternyata yang datang adalah Huang Ren Fu.
"Yun Hua" aku rindu padamu?", ujar pemuda itu dengan senyum penuh arti.
Biasanya Murong Yun Hua sudah mati rasa dengan hal-hal semacam ini, dengan mudah dia akan tersenyum, dan tak
terlihat sedikitpun apa yang ada dalam hatinya tentang lelaki yang datang padanya dengan senyum dan pandang mata
demikian. Tapi tidak malam ini, wajahnya berubah masam, tiba-tiba hatinya merasa sebal, sedih, marah dan tak ada
keinginan untuk menutupinya dengan sebuah senyuman mesra.
"Ren Fu, aku minta maaf, tapi jangan ganggu aku malam ini. Aku" aku sedang merasa " galau.", ujarnya dengan tegas,
namun masih sopan, bagaimana pun juga Murong Yun Hua masih memikirkan ambisinya dan Huang Ren Fu sekarang ada
dalam rencananya. "Oh?", terkejut Huang Ren Fu, karena sebelumnya tak pernah Murong Yun Hua menolak kunjungannya.
"Ehm" mungkin aku bisa menghiburmu" eh" kita bisa?"
"Tidak" tidak bisa, sudahlah kembalilah ke kamarmu, aku mau istirahat sekarang.", ujar Murong Yun Hua lebih tegas dari
sebelumnya dan tanpa menunggu jawaban dari Huang Ren Fu dia pun menutup pintu kamarnya.
Tertegun Huang Ren Fu berdiri dengan mulut terbuka, suara palang pintu kmar dipasang dari dalam terdengar jelas.
Perlahan wajahnya berubah, ada rasa marah dan malu di sana. Untuk sesaat lamanya dia tidak tahu apa yang akan dia
lakukan, sampai kemudian dia berbalik arah dan pergi dengan berbagai macam perasaan dalam hatinya.
Di dalam kamar Murong Yun Hua melepaskan jubahnya, melemparkan diri ke atas pembaringan dalam keadaan polos,
direngkuhnya apa saja yang bisa dia rengkuh dan peluk. Rasa rindu tiba-tiba menyerang dengan hebat, penuh tangis sesal
dia bertanya-tanya, mengapa dia baru sadar sekarang, Ding Tao bukanlah ayahnya. Ding Tao bukanlah ayahnya dan jika
terbukti bahwa pemuda itu bukan seorang bodoh yang tak berguna, itu artinya seluruh kebencian dan kejijikan yang dia
bangun atas laki-laki, semuanya tidak berarti di hadapan pemuda itu. Malam itu Murong Yun Hua tertidur dengan wajah
penuh air mata dan bibir memanggil-manggil nama Ding Tao.
Di kamar yang lain Murong Huolin berjalan dari satu ujung ke ujung lain dari kamarnya. Ding Tao, ya nama yang sama
sedang menghantui dirinya. Bagi gadis itu Ding Tao adalah satu-satunya lelaki yang pernah menyentuh dirinya, satu-
satunya lelaki, kepada siapa dia menyerahkan seluruh dirinya, hati dan tubuhnya. Di sisi lain ada pula Murong Yun Hua,
seorang yang lebih dari sekedar pengganti orang tua. Perang batin yang hebat membuat dia semakin hari semakin hilang
semangatnya untuk hidup, tubuhnya semakin kurus dan kantung matanya semakin terlihat jelas.
Tapi tidak ada yang memperhatikan dia, semua sibuk dengan rencana mereka sendiri. Tentu saja ada para pelayan, tapi
apakah dia bisa percaya pada mereka" Karena mereka pun adalah pelayan setia Murong Yun Hua. Baru kali ini dia
merasakan keberadaan Murong Yun Hua sebagai satu penghalang, satu sandungan dalam hidupnya.
"Ding Tao" apakah kau membenciku juga" Tapi aku tidak termasuk dari mereka" ", keluh gadis itu.
"Tapi kau benar" meski aku bukan bagian dari mereka, aku pun tidak melakukan apa-apa untuk menolongmu?",
gumamnya lagi. Terkenanglah dia dengan masa-masa ketika Hua Ying Ying belum muncul. Masa yang indah bagi dirinya, lepas dari segala
rencana Murong Yun Hua mereka bertiga hidup bahagia. Bahagiakah mereka" Perlahan Murong Huolin menggelengkan
kepalanya, mungkin Ding Tao merasa bahagia, tapi dirinya sendiri, bukankah sebenarnya dia sedang menipu dirinya sendiri.
Membungkam hati kecilnya yang merasa bersalah karena ada satu rahasia yang dia sembunyikan dari Ding Tao"
"Tapi semuanya tidak akan terjadi jika bukan karena kemunculan gadis itu!", sebuah bisikan penuh kemarahan tibat-tiba
terselip dalam hatinya. Ya, jika bukan karena Hua Ying Ying, kakaknya Yun Hua tidak akan mengambil keputusan untuk menyingkirkan Ding Tao
dan mereka bertiga akan hidup sebagai suami isteri sampai selamanya.
"Tidak" tidak", itu pun tidak benar. Sejak awal semuanya dimulai dengan kebohongan, bagaimana mungkin sesuatu yang
suci dibangun di atas satu kebohongan?", sebuah pikiran lain pun muncul dalam hatinya.
"Ding Tao?", Murong Huolin berbisik penuh rasa rindu.
"Ah Ding Tao" aku inilah yang bodoh, kau benar", ketulusan" kejujuran", Hua Ying Ying tak bersalah, kamilah yang
bersalah. Sejak awal aku sudah memulainya dengan salah.", keluh gadis itu.
Tertelungkup di atas pembaringannya, Murong Huolin pun terus bertanya dan bertanya.
"Ding Tao, ada dimanakah kau sekarang?"
"Apakah kau masih hidup" Apakah kau baik-baik saja?"
"Tentu kau masih hidup, karena sampai sekarang Enci Yun Hua tidak berhasil menangkapmu, tentu ada orang yang
membantumu. Kau orang baik, bukankah langit selalu membantu orang-orang baik sepertimu?"
"Akankah kau kembali?"
"Jika kau kembali, apakah kau datang dengan dendam?"
"Bagaimana perasaanmu padaku sekarang?"
Ratusan pertanyaan terus berdatangan hingga dia tertidur lelap dengan bantal basah oleh air mata.
Di kamar yang lain ada Hua Ying Ying dan ayah angkatnya. Gadis itu pun memiliki banyak pertanyaan.
"Ayah", apakah ayah tidak merasa aneh dengan semua ini?", gadis itu bertanya.
"Tentang Ding Tao" Ya" aku pun merasa ada yang tidak benar, tidak biasanya aku salah menilai orang.", jawab Hua Ng
Lau. "Tapi disaat yang sama ayah juga tidak yakin bahwa dia tidak bersalah.", desak gadis itu.
"Tidak ada bukti dan saksi yang meringankan dia, meski bila mataku tidak salah melihat, pada hari itu Bhiksu Khongzhen
dan Pendeta Chongxan dengan sengaja melepaskan dirinya.", jawab Hua Ng Lau sambil mengingat-ingat kembali kejadian
di hari itu. Malam itu diam-diam Hua Ying Ying pergi menemui Hua Ng Lau. Hua Ng Lau bukannya tidak tahu apa yang ingin
dibicarakan gadis itu, karena dia pun merasakan ada ganjalan dalam segala sesuatu yang terjadi di hari itu.
"Dan itu artinya, bukan Kak Ding Tao yang membunuh mereka berdua, ada orang lain, kekuatan lain yang bergerak di
sini.", gumam Hua Ying Ying sambil berjalan hilir mudik di depan Hua Ng Lau yang duduk dengan tenang.
"Ya" tapi jika itu benar, itu artinya kita sedang berhadapan dengan lawan yang menakutkan. Itu artinya, saat ini kita
sedang berada di antara musuh, di luar kita seperti tamu, kenyataannya kita adalah tawanan.", jawab Hua Ng Lau dengan
bijak. Hua Ying Ying berhenti berjalan, menatap lurus ke arah ayah angkatnya dia berkata, "Tapi bukan berarti kita akan diam saja kan ayah?"
Hua Ng Lau menganggukkan kepala dengan wajah serius, "Benar", itu bukan berarti kita akan diam saja" tapi kita harus
bergerak dengan sangat hati-hati. Apalagi kakakmu saat ini sudah tidak bisa kita percaya lagi."
Teringat kakaknya, Hua Ying Ying pun menggigit bibir dan mengangguk perlahan, "Ayah benar" aku tidak mengerti" apa
yang sebenarnya terjadi dengan Kakak Ren Fu."
Akhirnya mereka sampai juga di Desa Hotu, sebuah desa kecil dan terpencil, jauh dari jalur utama perdagangan. Ding Tao
berdelapan terlihat cukup mencolok dibandingkan penduduk asli desa itu. Tubuh mereka jauh lebih tinggi dibandingkan
kebanyakan ornag cina daratan, Ding Tao yang tertinggi di antara mereka berdelapan, tampak normal di antara penduduk
desa itu. Demikian juga pakian yang mereka kenakan, terlihat sedikit berbeda dengan kebanyakan jenis pakaian yang
dipakai oleh penduduk desa. Pakaian Wang Shu Lin dan Ding Tao terlihat begitu mewah di sana. Akibatnya ke mana pun mereka pergi, mata orang mengikuti mereka dengan pandang mata ingin tahu. Meski demikian penduduk desa itu cukup
ramah. Ding Tao dan yang lain pun menganggukkan kepala dengan sopan setiap kali pandang mata mereka bertemu dan
mereka membalasnya dengan senyuman.
Di depan mereka, mengantarkan menuju ke rumah kepala desa adalah salah seorang penduduk asli desa itu yang mereka
jumpai pertama kali mereka sampai di bagian terluar desa itu.
"Meng Ho, masih berapa jauh lagi kah rumah kepala desa?", tanya Ding Tao pada pemuda tanggung yang mengantarkan
mereka itu. "Tidak berapa lama lagi, tuan lihat rumah di sana itu?", ujar Meng Ho sambil menunjuk sebuah rumah kecil yang terlihat
dari kejauhan. "Ya, apakah itu rumahnya?", jawab Ding Tao.
"Bukan, tapi setelah rumah itu, kita akan melewati sebuah sawah dan setelah sawah itu kita akan sampai di pusat desa,
kebanyakan rumah berkumpul di sana dan rumah pak kepala desa ada di tengah-tengahnya.", jawab Meng Ho sambil
tertawa lebar, menunjukkan beberapa giginya yang hilang.
"Ah", begitu, cukup jauh juga. Kami benar-benar sudah merepotkanmu, apa nanti kau akan kembali ke sawahmu?", tanya
Ding Tao pada Meng Ho. "Tidak, tidak, pekerjaan hari ini sudah selesai kok, jadi sama sekali tidak merepotkan karena aku memang sudah mau
pulang.", jawab Meng Ho dengan ramah.
"Syukurlah kalau begitu, aku tidak enak kalau terlalu banyak menyusahkanmu.", ucap Ding Tao dengan lega.
"Hahaha, sama sekali tidak menyusahkan.", ujar Meng Ho sambil tertawa lebar.
Untuk beberapa saat mereka hanya berjalan tanpa bercakap-cakap, kemudian Meng Ho dengan sedikit ragu bertanya,
"Tuan", apa benar dugaanku bahwa tuan-tuan ini", orang-orang dunia persilatan?"
Ding Tao tidak segera menjawab, dia saling berpandangan dengan anggota rombongan yang lain. Zhu Yanyan mengangkat
bahunya, menyerahkan keputusannya pada Ding Tao.
"Meng Ho, kenapa kau bertanya demikian?", tanya Ding Tao hati-hati.
Meng Ho mengangkat bahunya, "Hmm" entahlah, kulihat beberapa dari tuan membawa senjata. Selain itu perjalanan dari
daratan ke luar perbatasan bukan perjalanan singkat. Setidaknya beberapa orang dari tuan-tuan ini tentunya bekerja
sebagai pengawal." "Kau pintar juga, kau benar, sebenarnya kami semua orang-orang dunia persilatan.", ujar Ding Tao sambil mengulum
senyum. "Wah" benarkah?", tanya Meng Ho dengan mata terbelalak.
"Tuan", apakah salah satu dari kalian bisa mengangkatku menjadi murid tuan" Maksudku", aku cukup pintar dan aku tidak
akan jadi beban untuk kalian.", pinta Meng Ho dengan sungguh-sungguh.
"Menjadi pendekar" Meng Ho, kalau aku boleh tahu, berapa usiamu sebenarnya?", kata Ding Tao balik bertanya.
"Ehm" tahun ini usiaku 15 tahun, tapi beberapa bulan lagi akan jadi 16.", jawab Meng Ho.
"Kenapa kau ingin terjun dalam dunia persilatan?", tanya Ding Tao pada pemuda itu.
"Karena" karena" karena itu hebat sekali, maksudku, menjadi pendekar, menjadi pahlawan, menolong orang yang lemah
melawan penjahat dan sebagainya.", ujar Meng Ho dengan bersemangat.
"Hmm" apakah desamu ini pernah diserang gerombolan penyamun?", tanya Ding Tao pada Mengho setelah terdiam berpikir
beberapa lama. "Tidak", tidak, semuanya tenang dan damai di sini.". jawab Meng Ho.
"Lalu penjahat mana yang mau kau lawan dengan ilmu silatmu nanti?", tanya Ding Tao kemudian.
"Ehm" tentu saja bukan di sini, jika tuan mulai berkelana lagi, tentunya sebagai murid aku akan mengikuti tuan-tuan
sekalian.", ujar Meng Ho setelah berpikir sebentar.
"Ah" kemudian kita pergi mencari penjahat dan mengalahkan mereka demi menolong orang banyak. Benar begitu?", tanya
Ding Tao pada Meng Ho. "Ya, ya, benar begitu.", jawab Meng Ho bersemangat.
Ding Tao tersenyum melihat keluguan Meng Ho, "Meng Ho, jika demikian hidup seorang pendekar, menurutmu, dari mana
dia mendapatkan uang untuk makanan, penginapan, kuda yang bagus, memperbaiki pedangnya di pandai besi, atau bahkan
rumah dan memberi makan seisi rumahnya?"
Meng Ho tentu saja tidak pernah berpikir demikian, dalam cerita pahlawan sepertinya tidak pernah diceritakan bagaimana
mereka mencari uang, "Hmm" entahlah, bukankah kita bisa berburu untuk mencari makan dan " tidur di kuil kosong jika
tak ada uang untuk penginapan."
"Jika kita berada di dekat hutan, mungkin bisa juga kita berburu untuk mencari makan, tapi jika sedang berada di kota
besar, hendak pergi ke mana untuk berburu" Lagipula, bagaimana dengan pakaian dan pedang" Apakah kau mau menjahit
pakaianmu sendiri dan menempa pedangmu sendiri?", tanya Ding Tao lebih lanjut.
Berkerut alis Meng Ho, "Ya" kupikir tidak perlu ke kota besar, di kota besar perlu banyak uang, kita berkelana ke kota kecil dan pedesaan saja. Bukankah perompak kebanyakan tinggal di jalan-jalan yang sepi" Soal pakaian" ya aku kira aku bisa
belajar menguliti binatang dan mungkin menjahitnya menjadi pakaian. Lalu dengan pedang" jika aku sudah sangat mahir
dalam ilmu silat, bukankah aku tidak perlu pedang lagi?"
"Boleh juga, jadi kita tinggal dan berkelana melalui hutan-hutan dan desa-desa kecil. Berburu untuk hidup dan mengurus
hidup kita sendiri, kulit binatang bisa juga dijual untuk mendapatkan beberapa keping uang. Lalu jika sudah mengerjakan itu semua, menurutmu kapan kau bisa berlatih agar menjadi benar-benar mahir dengan ilmu silatmu?", tanya Ding Tao
kembali. Dahi Meng Ho semakin banyak kerutannya, "Ehm" entahlah, menurut tuan berapa lama seseorang bisa menjadi seorang
pendekar yang tanpa tanding?"
Terbahak mereka semua mendengar pertanyaan Meng Ho, membuat wajah Meng Ho memerah karena malu.
Ding Tao buru-buru menghibur pemuda itu, "Maafkan kami Meng Ho, jika kami tertawa karena pertanyaanmu. Jangan
berkecil hati, bukan salahmu, kami semua dulu juga pernah berpikir untuk menjadi pendekar tanpa tanding. Setelah belasan bahkan puluhan tahun kami berlatih, ternyata kami belum juga menjadi pendekar tanpa tanding, itu sebabnya kami
tertawa." Khongti ikut menjawab, "Benar, menjadi pendekar tanpa tanding bukanlah hal yang mudah. Kau berlatih bertahun-tahun
dan berpikir kau sudah menjadi lebih kuat, itu mungkin memang benar, tapi orang lain pun juga berlatih sama kerasnya
atau bahkan lebih keras dari dirimu. Perompak-perompak itu pun berlatih dan berlatih, bahkan mungkin karena pilihan jalan hidup mereka, mereka punya kesempatan lebih banyak untuk bertarung daripada dirimu."
Meng Ho tampak kecewa, "Jadi" menurut tuan-tuan ini, tidak mungkin bagi diriku menjadi seorang pendekar yang hebat?"
Khongti tertawa, "Tidak juga, bukan begitu maksudku, untuk menjadi pendekar nomor satu. Pertama kau harus punya
bakat yang baik. Kedua kau harus mau berlatih dengan keras hampir seluruh waktumu harus kau gunakan untuk berlatih.
Itu artinya hanya ada sedikit waktu untuk hal-hal lain, termasuk untuk mengurus penghidupanmu sendiri."
"Ketiga, kau harus punya nasib yang baik. Nasib yang baik artinya kau bertemu dengan guru yang baik dan juga kau tidak
bertemu lawan yang tangguh sebelum kau berhasil mematangkan ilmumu."
Ding Tao kemudian menambahkan, "Lalu setelah kau melalui itu semua, dari mana kau tahu bahwa kau sudah menjadi
pendekar tanpa tanding" Atau dari mana orang akan tahu kehebatanmu" Kau pun kemudian mulai mencari lawan untuk kau
kalahkan. Mungkin dengan mendatangi sarang penjahat, atau mungkin dengan menantang bertarung pendekar lain yang
sudah memiliki nama. Jika kau cerdik dalam memilih lawan, maka kemenangan demi kemenangan akan kau raih dan
namammu pun akan menjadi terkenal."
Khongti dan yang lain sudah mulai mengerti ke arah mana pembicaraan ini akan pergi, karenanya Khongti pun
menyambung perkataan Ding Tao, "Nah, setelah kau berhasil memupun namamu, maka kau pun harus bersiap-siap, karena
akan datang anak muda lain yang juga ingin memiliki nama besar dan mereka akan menantangmu bertarung."
Hu Ban menambahkan, "Pada saat itu, jangan kau berpikir untuk pergi mengalahkan penjahat dan menolong orang. Karena
tanpa melakukan itu pun lawan demi lawan sudah mengantri untuk bertarung denganmu."
"Atau bisa juga kau mendirikan satu partai, sehingga kau memiliki bawahan dan kau tidak perlu turun tangan sendiri untuk melawan setiap orang yang ingin menantang dirimu.", ujar Chen Taijiang seakan memberi jalan keluar.
"Tapi itu artinya ada lebih banyak mulut untuk diberi makan, ada lebih banyak orang untuk diberi pakaian. Kau juga perlu rumah yang besar, kau perlu memastikan setiap anak buahmu merasa senang berada di bawah pimpinanmu. Tentu saja itu
artinya kau perlu punya usaha yang cukup besar untuk mendapatkan uang yang sangat banyak.", sambung Ding Tao sambil
mengenang betapa dia dulu sudah pernah sampai di sana dan bodohnya tak pernah terpikirkan tentang semua hal itu
sebelumnya. "Itu belum cukup, karena kau harus terus berlatih dengan keras, jika tidak bisa jadi akan datang lawan dan tidak
seorangpun dari anak buahmu bisa melawannya. Atau lebih buruk lagi, ada di antara bawahanmu yang nantinya memiliki
ilmu lebih tinggi darimu dan memancing timbulnya pengkhianatan.", sambung Wang Shu Lin yang mulai ikut menikmati
percakapan mereka ini. Mendengar panjang lebar pembicaraan mereka, Meng Ho jadi sakit kepala. Pertama sebelum dia menjadi pendekar tangguh
dia tidak bisa berkelana ke kota-kota besar, hanya berkelana di hutan-hutan dan desa-desa kecil. Lalu apa bedanya dengan kehidupan dia sekarang ini" Padahal dia membayangkan jika terjun ke dalam dunia persilatan dan menjadi pendekar, itu
artinya dia bisa keluar dari kehidupannya sebagai petani yang terasa membosankan ini. Melihat kota-kota besar dan
keramaian, dipuji dan disanjung orang. Lalu setelah mematangkan ilmunya, pujian dan sanjung puji itu tidak datang dengan sendirinya. Dia harus mempertaruhkan nyawa untuk mendapat nama besar. Setelah mendapatkan pun bukan berarti dia
bisa menikmati hasil usahanya, karena ancaman demi ancaman masih akan datang.
Pemuda itu pun menggeleng-gelengkan kepala, "Ah.. apakah tuan-tuan ini bersenda gurau denganku saja?"
"Hahaha, apakah kami hanya sekedar mempermainkanmu atau tidak, apakah tidak bisa kaupikirkan sendiri. Coba
renungkan, adakah perkataan kami itu masuk akal atau tidak.", jawab Khongti sembari tertawa ramah.
Cukup lama juga Meng Ho terdiam dan berpikir, "Kupikir tuan-tuan memang mempermainkanku, tapi maksud tuan-tuan itu
baik, untuk menunjukkan keadaan dunia persilatan yang sebenarnya."
Jawaban Meng Ho itu membuat mereka semua merasa kagum, pemuda tanggung itu rupanya punya pemikiran yang cukup
lumayan.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baguslah kalau kau mengerti.", ujar Ding Tao sambil menepuk-nepuk pundak pemuda itu.
"Tuan" kalau dunia persilatan sekeras itu, mengapa banyak orang masuk ke dalamnya" Kenapa pula tuan-tuan menjadi
pendekar?", tanya Meng Ho tiba-tiba.
"Hmm" ada banyak yang masuk ke dalam dunia persilatan karena sedari awal keluarga mereka sudah menjadi bagian dari
dunia persilatan. Ada pula yang tertarik mempelajari ilmu silat karena suka, seperti ada juga orang yang menyukai catur atau memancing.", jawab Ding Tao.
"Ada juga yang memulainya karena dendam, mungkin ada anggota keluarga yang terbunuh oleh orang-orang persilatan dan
mereka ingin membalasnya.", ujar Wang Shu Lin.
"Ada juga yang ingin mendapatkan nama besar dan melihat dunia persilatan sebagai jalannya.", ujar Zhu Yanyan.
"Atau mereka ingin kaya lewat jalan yang cepat, menjadi perampok bisa jadi pilihan jika imanmu tipis", sambung Khongti.
"Bisa juga karena pekerjaanmu membuatmu sering berkelana, dan kau ingin belajar ilmu silat untuk melindungi dirimu
sendiri sepanjang perjalanan. Jadi kau lihat Meng Ho, ada banyak alasan mengapa seseorang masuk ke dalam dunia
persilatan. Tidak ada yang salah dengan belajar ilmu silat, yang penting kau tahu benar untuk apa dan mengapa.", ujar Zhu Yanyan memberi nasehat.
"Menurut tuan, jika aku ingin menjadi pendekar nomor satu, apakah itu alasan yang tepat?", tanya Meng Ho setelah
mendengar itu semua. "Tidak ada yang bisa mengatakan alasan mana yang lebih baik, meski secara pribadi aku lebih cenderung mengatakan,
mempelajari ilmu silat untuk melindungi diri sendiri dan orang lain adalah alasan yang paling tepat. Sementara menjadi
pendekar nomor satu adalah jalan yang paling sukar dan paling berdarah yang mungkin bisa dipilih seseorang.", ujar Ding Tao sambil menghela nafas.
Meng Ho pun bertanya kembali, "Tuan, lalu tentang kisah-kisah kepahlawanan dari para pendekar yang sering diceritakan
tukang keliling, apakah itu benar nyata?"
Ding Tao tersenyum, bukankah dia dulu juga suka mendengarkan cerita para pendekar dari tukang cerita keliling, "Ada yang benar, ada yang tidak benar dan ada pula yang tidak tepat benar. Kau boleh mengambil pelajaran yang baik dari cerita-cerita itu, tapi jangan langsung percaya jika kau belum mengerti sendiri pokok persoalannya. Banyak kejadian dalam dunia persilatan yang harus diselidiki benar-benar, jika kita mau tahu duduk persoalan yang sebenarnya."
"Apakah tuan-tuan ada mengenal seorang pahlawan yang benar-benar dalam dunia persilatan?", tanya Meng Ho dengan
wajah ingin tahu. "Hahaha, kenapa kau bertanya demikian pada kami, kau kan baru saja bertemu dengan kami, bagaimana jika ternyata kami
ini sebenarnya sekelompok orang jahat?", ujar Khongti sambil tertawa terbahak-bahak.
Meng Ho pun menjawab dengan malu-malu, "Kukira itu tidak mungkin, tuan-tuan ini tentu orang baik. Sikap tuan ramah
dan tidak menakutkan, pula berwajah penuh wibawa, tampan dan cantik."
Mendengar jawaban Meng Ho tertawalah mereka semua, apalagi Khongti, tertawanya paling keras, sambil menunjuk ke
arah Chen Taijiang dia tertawa dan berkata terputus-putus, diselingi oleh tawa, "Dia bilang kita berwajah tampan, hahaha, wajah seperti itu" hahaha, tampan, hahaha, penuh wibawa..."
Chen Taijiang tentu saja memasang wajah cemberut, "Hmm" kau saja yang tidak bisa menilai ketampanan orang. Bunga
peoni kau bilang buruk, tai kerbau kau bilang harum."
Mendengar jawaban dan raut muka Chen Taijiang, yang lain pun tertawa, termasuk Meng Ho ikut pula tertawa.
"Sudahlah" sudah, jangan diteruskan lagi", ujar Zhu Yanyan setelah mereka puas tertawa.
"Meng Ho, pelajaran pertama yang harus kau ingat baik-baik jika kau mau terjun ke dalam dunia persilatan. Jangan kau
terlalu lekas percaya pada orang, meski jangan pula kau terlalu cepat menghakimi seseorang. Kau harus memiliki sikap
waspada dan pemikiran yang terbuka. Kau harus pintar memilah untuk tahu, mana yang memang benar-benar kau ketahui
sendiri dan mana yang masih merupakan kemungkinan atau sekedar kesan.", ujar Zhu Yanyan dengan serius.
Meng Ho pun mendengarkannya dengan baik-baik, kemudian menjawab, "Ya, aku mengerti tuan. Dari jawaban tuan-tuan
sekalian, semakin kuat dugaanku bahwa tuan-tuan sekalian tentu termasuk mereka yang baik. Jika tidak tuan-tuan akan
memanfaatkan kebodohanku dan membuatku semakin yakin bahwa tuan-tuan ini baik. Tapi kenyataannya tuan-tuan justru
menasehatiku untuk bersikap waspada dan menilai tuan-tuan dengan lebih berhati-hati."
"Hahaha, kau sungguh anak yang pintar, pemikiranmu itu ada benarnya juga. Yang penting gunakan mata, telinga dan
otakmu untuk mencerna segala sesuatunya dengan jelas.", ujar Zhu Yanyan.
Meng Ho pun merasa senang, dipandangnya wajah Zhu Yanyan yang berwibawa dan terlihat bijak, jenggotnya dan
rambutnya yang berwarna putih, maka dia pun berkata, "Tuan, benarkah jika kukatakan tuan adalah yang paling hebat di
antara tuan-tuan sekalian?"
"Ho" mengapa kau berkata demikian?", jawab Zhu Yanyan balik bertanya.
"Karena tuan yang terlihat paling tua dan bijaksana", jawab Meng Ho tanpa ragu lagi.
"Hahahaha, tentang tua kau memang benar, aku yang tertua, tapi sesungguhnya bukan aku yang ilmunya paling tinggi di
antara kami berdelapan.", jawab Zhu Yanyan sambil tertawa lebar.
"Oh" benarkah" Lalu siapa yang paling tinggi ilmunya di antara tuan-tuan sekalian?", tanya Meng Ho dengan heran.
"Apakah tuan yang seperti raksasa ini?", tanya dia sambil menunjuk ke arah Pang Boxi.
"Hahaha, kau masih salah", jawab Pang Boxi sambil tertawa.
"Kalau begitu siapa?", tanya Meng Ho dengan bingung.
"Heh" kalau kau bertanya orangnya sendiri tentu tidak akan mengaku, jadi biar aku tunjuk saja orangnya. Nah inilah orang yang ilmunya paling tinggi di antara kami berdelapan.", ujar Khongti sambil tangannya menunjuk ke arah Ding Tao.
Meng Ho pun menatap Ding Tao penuh rasa kagum, membuat wajah Ding Tao memerah karena merasa malu.
"Apakah benar itu tuan?", Meng Ho bertanya pada Ding Tao.
"Ah", tidak juga, ilmu silat sukar diukur, siapa yang lebih tinggi juga sulit dikatakan, setiap orang yang rajin tentu ilmunya akan terus bertambah, yang hari ini unggul, belum tentu tahun depan masih unggul. Menang kalah dalam satu pertarungan
juga sangat dipengaruhi oleh keadaan sekitar. Yang menang ketika beradu di atas panggung, belum tentu menang ketika
bertarung di atas perahu atau bahkan di dalam air.", jawab Ding Tap merasa tidak enak ditanya demikian.
Tapi jawaban Ding Tao itu justru membuat Meng Ho semakin yakin, maka dengan penuh keyakinan pemuda itu menjawab,
"Ah" tuan sangat merendah, sudah pasti memang benar tuanlah yang terhebat. Tuan begitu rendah hati, pula tuan
bertubuh tinggi, tegap dan berwajah tampan. Sungguh tuan ini pastilah seorang pahlawan."
Mendengar perkataan Meng Ho itu, Khongti pun tertawa terbahak-bahak, "Eh anak muda bagus sekali pandanganmu menilai
orang. Kalau begitu bisakah kau menunjukkan siapa orang kedua terhebat dalam kelompok kami ini?"
Dan tanpa ragu Meng Ho pun menunjuk ke arah Wang Shu Lin, "Tentu saja nona ini, dia begitu cantik dan anggun,
pasangan yang sesuai untuk tuan pahlawan."
Wang Shu Lin dan Ding Tao pun tersipu malu, sementara ke-enam guru Wang Shu Lin tertawa terbahak-bahak mendengar
jawaban Meng Ho yang polos itu.
Apalagi ketika Khongti menunjuk ke arah Chen Taijiang dan berkata, "Bocah, itu artinya menurut cara penilaianmu tentu
dialah yang berada di nomor terakhir."
"Hmm" mengapa pula kau selalau mengolok-olok wajahku", jawab Chen Taijiang dengan sedih.
"Hohoho, jadi akhirnya kau mengaku kalau wajahmu itu buruk?", kata Khongti.
"Tidak, siapa bilang begitu" Hanya saja di antara kita semua berdelapan yang semuanya tampan, gagah dan cantik ini.
Memang wajahkulah yang terburuk. Tapi kalau dibandingkan dengan wajah tokoh-tokoh dunia persilatan yang ada, wajahku
termasuk nomor tujuh yang tertampan.", jawab Chen Taijiang dengan cepat.
Olok-olok di antara mereka berdua ini membuat semuanya tertawa. Meng Ho pun tersadar, betapa dangkalnya cara dia
berpikir tadi. "Tuan, jika kita tidak bisa menentukan kehebatan seseorang dari luar, lalu dari mana kita tahu siapa yang hebat dan siapa yang tidak?", tanyanya kemudian setelah tawa mereka semua mereda.
"Hmm", jika kau sudah berlatih dan kepekaanmu semakin tinggi, kau bisa menilai ketenangan seseorang dari cara dia
bernafas. Kau bisa melihat bagaimana lanngkah kakinya, apakah ringan atau berat. Mantap atau tidak seimbang.
Bagaimana posisi tubuhnya, apakah banyak celah kelemahan atau rapat terlindungi. Tapi itu semua hanya memberi
gambaran yang kasar, terkadang seorang yang ahli dengan sengaja menyembunyikan ciri-ciri tersebut dan berpura-pura
seperti orang yang lemah. Kau baru bisa tahu hebat atau tidaknya dia setelah kau bertarung dengannya.", ujar Zhu Yanyan panjang dan lebar.
"Itu sebabnya, seseorang harus selalu rendah hati dan sopan, siapa pun yang sedang dia hadapi. Karena kau tidak pernah
tahu.", ujar Khongti menyambung.
"Hmm dan sikap rendah hati, bukan saja karena rasa takut, tapi yang lebih penting adalah kerendahan hati itu timbul
karena kau menyadari keberadaanmu sebagai manusia yang serba terbatas. Di atas langit masih ada langit, ini ucapan yang baik, mengingatkan kita untuk tidak menjadi sombong oleh kebisaan kita.", lanjut Chen Taijiang berusaha melengkapi
nasehat-nasehat sebelumnya.
"Apa yang diucapkan saudaraku itu benar, kau harus ingat itu baik-baik. Apa pun jalan yang kau pilih, siapa pun dirimu.
Kerendahan hati adalah sifat yang baik dan sikap yang paling tepat dalam menghadapi segala keadaan.", ujar Khongti
membenarkan. Sambil bercakap-cakap dan bersenda gurau, perjalanan pun jadi terasa singkat.
"Lihat sepertinya kita sudah sampai di pusat desa.", ujar Hu Ban sambil melihat ke depan, di kiri dan kanan mereka sudah mulai terlihat rumah-rumah penduduk.
Melihat mereka sudah sampai di tujuan, Meng Ho terlihat sedikit kecewa.
"Ah" ya", kita sudah sampai. Padahal masih banyak yang ingin kutanyakan.", keluhnya dengan sedih.
Ding Tao tertawa kecil melihat kekecewaan Meng Ho, "Sudahlah, kau antar kami ke rumah kepala desa, nanti selesai kami
minta ijin untuk tinggal di desa kalian, kami akan pergi pula ke rumahmu. Bisa kita sambung nanti percakapan kita.
Bagaimana?" "Benar tuan mau mampir ke rumahku?", tanya Meng Ho bersemangat.
"Tentu saja, kenapa tidak, masa kau tidak percaya?", jawab Ding Tao.
"Percaya, percaya, tentu saya percaya, ayolah aku antar ke rumah kepala desa, nanti aku akan minta ibu menyiapkan
makanan dan minuman.", ujar Meng Ho dengan bersemangat.
"Hei, jangan sampai merepotkan ibumu", ujar Ding Tao sambil mengikuti Meng Ho yang sudah berjalan cepat ke rumah
kepala desa, tak sabar dia untuk buru-buru pulang dan bertemu dengan ibu serta adik-adiknya, juga tetangga dan teman-
temannya, kedatangan rombongan Ding Tao nanti benar-benar satu berita besar.
"Ah, tidak repot, tidak repot.", ujar Meng Ho sambil setengah berlari.
Ding Tao yang melihat itu jadi menggeleng-gelengkan kepala, dia sudah membuka mulut hendak mencegah Meng Ho, tapi
Khongti menggamit tangannya sambil menggelengkan kepala.
"Percuma dibilang apa juga. Dia tidak akan mendengarkan.", ujar Khongti pada Ding Tao.
Ding Tao pun tertawa kecut sambil mengangkat bahu, "Ya, sudahlah, bukan maksudku merepotkan orang."
Kepala Desa Hotu, orangnya sudah berumur, tapi seperti penduduk desanya, dia pun orangnya ramah dan rendah hati.
Namanya Li Su, biasa dipanggil Kepala desa Li. Bagi dia, rombongan Ding Tao sudah seperti rombongan seorang pejabat
besar. Jarang-jarang ada rombongan dari cina daratan yang berkunjung ke desanya. Apalagi sampai delapan orang
jumlahnya. Kebanyakan penduduk di Desa Hotu masih memiliki pertalian dengan bangsa Han, itu sebabnya mereka pun
menaruh hormat pada Ding Tao dan yang lainnya, yang datang dari dalam perbatasan.
"Jadi, tujuan kalian ke mari untuk berobat pada tabib di desa kami?", tanya Kepala Desa Li.
"Kurang lebih begitu, yang pasti kami butuh beberapa informasi darinya, mungkin juga nantinya akan nyata juga bahwa ada dari kami yang memerlukan pengobatan.", jawab Zhu Yanyan.
"Hmm" di desa ini Cuma ada Tabib Sheng, apakah dia orang yang kalian cari?", tanya salah seorang pembantu kepala desa
yang ikut menemui mereka, namanya Bo Tu.
"Petunjuk yang kami terima hanya mengatakan bahwa kami harus menemui tabib di desa ini, jika di desa ini hanya ada satu tabib, berarti dialah orangnya.", jawab Zhu Yanyan.
"Ya" kalau begitu memang tidak ada lagi tabib lain di desa ini, ya hanya ada Tabib Sheng, tapi aku tidak tahu kalau ilmunya sehebat itu, sampai ada orang jauh-jauh datang untuk meminta bantuannya.", jawab Bo Tu sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
Zhu Yanyan pun tersenyum lebar, "Ya" ada kalanya orang pintar justru mencari tempat sembunyi dan hidup dengan tenang
sembari menutupi kepandaiannya."
"Ya bisa juga begitu, tapi memang selama ini setiap kali ada yang sakit dan pergi ke Tabib Sheng, kebanyakan tentu
sembuh, kecuali memang sudah waktunya untuk berangkat menemui dewa Yama.", ujar Kepala desa Li.
"Lalu apakah kalian akan tinggal di tempat Tabib Sheng atau hendak mencari tempat lain" Kira-kira berapa lama kalian
akan tinggal di sini?", tanya Kepala desa Li.
Zhu Yanyan dan yang lainnya sudah pernah merundingkan hal ini, jadi Zhu Yanyan dengan cepat menjawab pertanyaan
Kepala desa Li, "Sebenarnya bisa dikatakan kami ini pelarian dari daratan, ada orang-orang yang mungkin akan mencari
jejak kami, meski kami rasa mereka tidak akan m ampu mengikuti kami sampai di sini. Tapi itu sebabnya kami sudah
sepakat, untuk tinggal di luar perbatasan desa, hanya pada saat-saat kami perlu bertemu Tabib Sheng atau perlu membeli
sesuatu dari desa, kami akan datang."
Mendengar penjelasan Zhu Yanyan, mata Kepala desa Li dan Bo Tu sedikit membesar dan jantung mereka sedikit berdebar.
"Hmm" rupanya begitu, agak riskan juga situasinya, tapi aku senang kalian mau berterus terang, dari jawaban kalian itu
artinya kalian pun tak mau menyusahkan kami. Kalian orang yang baik. Baiklah aku tidak keberatan, kalian bisa tinggal di utara desa ini, dengan begitu lebih mudah bagi kalian untuk menemui Tabib Sheng, juga di daerah itu hutan sudah mulai
dibuka meski baru sedikit-sedikit. Jadi kalian dengan mudah bisa mendapatkan kayu untuk membangun rumah, kami pun
akan ikut membantu. Tentu saja, hanya rumah yang sederhana saja. Sementara menunggu rumah itu siap, kalian bisa
tinggal di rumahku, rumahku cukup besar untuk kalian ber-delapan.", ujar Kepala desa Li setelah berpikir beberapa lama.
Bo Tu yang mendengar keputusan Kepala desa Li ikut mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. Zhu Yanyan dan yang
lain terlihat lega mendengar jawaban Kepala desa Li yang menyambut mereka dengan tangan terbuka.
"Terima kasih karena Kepala desa Li mau menerima kami dengan tangan terbuka", ujar Zhu Yanyan dengan sopan.
"Sama-sama, sama-sama, aku lihat kalian semua orang baik, yang aku harapkan dengan sungguh-sungguh adalah agar
kalian benar-benar memperhatikan keadaan desa ini, agar rakyat desa ini tidak ikut terlibat dengan masalah yang kalian
bawa. Seperti yang kalian lihat, kami hidup dengan damai, jauh dari kekerasan dan kuharapkan sampai nanti aku menutup
mata keadaan desa ini tetap damai.", jawab Kepala desa Li.
Zhu Yanyan pun menganggukkan kepala dengan tulus, "Kami mengerti, kami tidak akan membalas kebaikan kalian dengan
keburukan. Pada saat yang paling mendesak pun kami akan memilih mengorbankan diri kami sendiri daripada penduduk
desa ini." "Ya" ya" aku mengerti, aku percaya itu, itu sebabnya kedatangan kalian kami terima dengan tangan terbuka.", ujar Kepala desa Li.
Selesai dengan meminta ijin pada Kepala desa Li, maka mereka pun beralih pada pembicaraan yang ringan-ringan, sebelum
kemudian berpamitan. "Jadi kalian mau ke rumah Meng Ho?", tanya Kepala desa Li.
"Benar, tadi kami sudah berjanji mau mampir dulu ke rumahnya, setelah kami selesai meminta ijin pada Kepala desa Li.",
ujar Zhu Yanyan. "Hohoho, dia memang seorang pemuda yang penuh semangat, aku yakin pembicaraan di rumahnya nanti bakal cukup
menghibur. Mungkin nanti aku juga ikut mampir ke sana.", ujar Kepala desa Li sambil tertawa.
Selesai berpamitan, mereka pun bersama-sama mencari rumah Meng Ho. Tanpa banyak kesulitan mereka sampai di sana.
Begitu sampai di sana, Ding Tao dan rombongannya cukup terkejut karena rumah Meng Ho sudah ramai dengan orang.
Sedikit bersungut-sungut, Meng Ho menyambut tamu-tamunya dan menjelaskan, "Sudah kubilang pada ibu, jangan banyak
cerita pada tetangga, ternyata tetap saja dia cerita. Jadinya mereka ikut datang, ingin melihat tamu desa ini. Sudah lama tidak ada pengunjung dari luar."
Ibunya yang sedang menghidangkan makanan dan minuman rupanya mendengar ucapan Meng Ho dan sambil tertawa
keras dia berkata, "A Ho, jangan asal buka mulut, kau sendiri menyombong ke teman-temanmu, sekarang mereka juga
pada datang ingin mendengar cerita."
Melihat keramaian itu Khongti tertawa saja, "Wah, rupanya kita bakal jadi bintang utama malam ini."
Meng Ho mempersilahkan mereka duduk sambil tersipu malu karena tidak mampu menjaga mulutnya. Tapi penduduk desa
yang sudah cukup umur, dengan cepat membuat tamu-tamu mereka merasa betah dengan gurauan-gurauan ringan dan
pertanyaan-pertanyaan mereka tentang keadaan di luar desa mereka. Dengan cepat terbentuk kelompok-kelompok kecil,
ada yang suka mendengar cerita-cerita Khongti, Hu Ban dan Chen Taijiang. Ada yang memilih berbicara dengan Zhu Yanyan
dan Pang Boxi. Ibu-ibu lebih banyak berkumpul di sekitar Shu Sun Er dan Wang Shu Lin. Sementara mereka yang seumuran
dengan Meng Ho dan juga Meng Ho berkumpul di sekitar Ding Tao.
Tidak berapa lama, Kepala desa Li ikut pula datang dalam keramaian itu, dari cara penduduk memperlakukannya, jelas dia
seorang kepala desa yang dihormati dan disukai oleh penduduknya.
Pembicaraan itu pun berlangsung hangat, apalagi di kelompok Khongti yang pandai bicara, sebentar-sebentar tentu
terdengar tawa mereka meledak. Tapi waktu terus berjalan dan hari pun makin larut, satu per satu tamu berpamitan.
Pada saat sudah mulai sepi, justru tiba-tiba datang seorang tamu yang memiliki arti penting buat Ding Tao dan
rombongannya. Seorang tua dengan dandanan sederhana, wajahnya cekung saking kurusnya dia, tapi terlihat cerah dengan
senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.
"Malam Kepala desa Li, Meng Ho", apa kabar Bibi Wang ?", satu per satu mereka yang ada di sana disapanya.
"Tabib Sheng", begitu ramainya rumah kami sampai kau pun datang ya?", ujar ibu Meng Ho sambil membawakan secangkir
minuman untuk tabib tua itu.
Mendengar nama Tabib Sheng disebut, tentu saja Ding Tao berdelapan dengan sendirinya menoleh dan memperhatikan
tamu yang baru datang. Tabib Sheng pun tanpa berbasa-basi menyapa mereka dan berkata, "Kudengar kalian datang arena ada keperluan
denganku, apa benar?"
Zhu Yanyan sebagai yang tertua pun maju dan menjawab, "Benar sekali Tabib Sheng, sebenarnya kami datang diutus oleh
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan."
Mendengar dua nama itu, mata Tabib Sheng tampak berkilat, "Hmm" benarkah demikian" Menarik sekali, apakah mereka
menitipkan suatu pesan?"
"Tidak ada, kami hanya diperintahkan untuk menceritakan segala kejadian yang kami alami dan nantinya Tabib Sheng tentu
tahu apa yang harus dilakukan.", jawab Zhu Yanyan dengan jujur.
"Hmm..hmm" di mana nanti kalian akan tidur?", tanya Tabib Sheng.
"Kepala desa Li sudah menawari kami untuk menginap di rumahnya, sampai kami selesai membangun rumah untuk kami
sendiri di luar batas desa.", jawab Zhu Yanyan.
"Oh", mengapa demikian?", tanya Tabib Sheng heran.
"Kami sendiri yang memintanya demikian, karena sebenarnya, saat ini bisa dikatakan kami ini adalah pelarian. Lawan-lawan kami adalah orang kuat dalam dunia persilatan.", jawba Zhu Yanyan tanpa menutupi apa pun.
Berita ini tentu saja sebuah berita baru untuk penduduk desa yang lain, kecuali bagi Kepala desa Li dan Bo Tu yang sudah mendengar cerita Zhu Yanyan lebih dahulu.
"Ah", benar-benar menarik. Kalau begitu begini saja, biarlah kalian tinggal bersamaku sambil menunggu rumah itu selesai.
Bagaimana" Kepala desa Li, tidak keberatan kan, kalau tamunya aku rebut?", ujar Tabib Sheng sambil terkekeh.
"Haha, Tabib Sheng ada-ada saja, tentu saja tidak apa-apa. Sepertinya memang ada hal yang penting yang harus kalian
bicarakan.", ujar Kepala desa Li.
"Jadi bagaimana menurut kalian", tanya Tabib Sheng ke arah Zhu Yanyan.
"Kupikir itu usul yang bagus, asal Tabib Sheng tidak repot saja, karena kami ada berdelapan.", jawab Zhu Yanyan.
"Hehehe, tidak, tentu saja tidak.", jawab Tabib Sheng.
Setelah itu mereka pun kembali berbincang-bincang seperti biasa, namun tamu-tamu yang lain sadar juga ada hal penting
yang akan dilakukan tamu desa mereka ini di desa mereka. Lagipula hari memang sudah mulai menginjak malam dan
sebelumnya sudah banyak yang berpamitan. Maka dalam waktu singkat, rumah itu pun jadi sepi, tinggal Ding Tao
berdelapan, Meng Ho, ibu dan saudara-saudaranya, serta Tabib Sheng.
"Meng Ho, kurasa sudah saatnya kami berpamitan, terima kasih banyak untuk keramahan kalian.", ujar Zhu Yanyan
sembari mengangguk ke arah Meng Ho dan ibunya.
Ibu Meng Ho pun menjawab, "Ah, biasa saja, kami ini jarang ada hiburan, jadi berita tentang kedatangan kalian jadi berita besar. Kalian juga merupakan tamu-tamu yang menyenangkan, justru kami yang berterima kasih, cerita-cerita kalian
membuat desa yang sepi ini jadi hidup."
"Hahaha, syukurlah kalau begitu, besok-besok tentu kami akan mampir lagi.", ujar Khongti menjawab.
Selesai berpamitan, mereka pun pergi meninggalkan rumah Meng Ho dan pergi ke rumah Tabib Sheng. Di sepanjang
perjalanan tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara, karena Tabib Sheng sendiri hanya berdiam saja dan tampak tak
ingin membicarakan apa pun. Melewati beberapa rumah, bertemu dengan beberapa orang yang masih duduk-duduk di
pelataran, akhirnya mereka sampai juga di rumah Tabib Sheng.
"Ini rumahku, cukup besar juga kan" Tapi harap maklum kalau di dalamnya sederhana saja, tapi orang persilatan seperti
kalian tentu sudah biasa tidur di mana saja. Ada cukup banyak pembaringan, beberapa tahun yang lalu desa ini sempat
terserang penyakit menular dan akhirnya kami kumpulkan mereka semua di sini untuk aku rawat.", ujar Tabib Sheng.
"Eh" Tabib Sheng, tapi tidak menular kan kalau kami tidur di pembaringan itu?", tanya Shu Sun Er ragu-ragu.
"Hahaha, tentu saja tidak, sudah aku semprotkan obat-obatan, lagipula itu sudah beberapa tahun yang lalu, penyakit yang ada tentu sudah mati semua dalam jangka waktu selama itu.", ujar Tabib Sheng sambil membuka pintu dan
mempersilahkan tamu-tamunya masuk.
Rumah Tabib Sheng memang benar sederhana dan tidak banyak isinya, namun bersih dan rapi. Hanya saja ada samar-
samar bau obat-obatan di rumahnya, seperti biasa toko jual obat atau rumah tabib lainnya. Shu Sun Er tampak lega melihat betapa bersih dan rapinya rumah itu.
"Ini ada beberapa bangku, mari bantu aku memindahkannya ke mari, supaya kita bisa bicara dengan enak.", ujar Tabib
Sheng sambil berjalan ke ruangan yang lain.
Maka Ding Tao dan yang lain pun mengikuti Tabib Sheng dan dalam waktu yang singkat, di ruangan yang besar tadi sudah
ada bangku-bangku bahkan sebuah meja. Shu Sun Er dan Wang Shu Lin pun dengan cekatan sudah menghidangkan satu
poci besar teh panas untuk mereka semua.
"Hmm" begini baru nikmat" nah coba ceritakan apa yang terjadi dengan kalian. Apa hubungannya dengan Bhiksu
Khongzhen dan Pendeta Chongxan, lalu bagaimana sampai mereka berdua memberi pesan pada kalian untuk datang
mencariku di desa ini.", ujar Tabib Sheng setelah menyeruput teh yang dihidangkan.
Maka Zhu Yanyan pun menceritakan segala kejadian yang telah terjadi beberapa bulan terakhir di dalam perbatasan. Tabib
Sheng mendengarkan dengan serius, beberapa kali dia menghela nafas tapi dia tidak menyela penuturan Zhu Yanyan. Baru
ketika Zhu Yanyan sampai pada bagian di mana Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan mengambil keputusan untuk
mengorbankan nyawa mereka.
"Tunggu" ah" lalu apa yang terjadi" Apakah mereka" hmm" apakah mereka berdua sudah meninggalkan dunia ini?", sela
Tabib Sheng dengan suara bergetar dan sedih.
Zhu Yanyan yang melihat kesedihan dalam pertanyaan Tabib Sheng jadi merasa terharu. Meski duka mereka sudah lama
lewat dan tidak lagi membuat mereka kelu dan tidak dapat melanjutkan hidup mereka, tapi melihat ada orang lain yang
juga berduka oleh kematian mereka berdua, rasa harunya pun muncul.
Dengan suara sedikit serak Zhu Yanyan menjawab, "Kami terlambat", kedua tetua saat itu berhasil menghalau lawan, tapi
mereka pun menderita luka yang sangat parah. Luka dalam akibat terlalu memaksakan diri untuk menggunakan hawa
murni secara berlebihan, melampaui takaran tubuh fisik mereka."
Mendengar itu Tabib Sheng menutup matanya, tidak ada yang berani bersuara, setitik air mata tampak mengalir
membasahi pipinya. Lama kemudian baru dia membuka mata, air mata yang meleleh tak juga disekanya.
Ketika dia bicara, terdengar suaranya serak dan bergetar, "Tak kusangka mereka mendahuluiku" "
"Baiklah sepertinya giliranku yang harus bercerita, aku sudah bisa menduga mengapa mereka mengirimkan kalian
kepadaku. Tentu saja hal ini utamanya berhubungan dengan dirimu.", ujarnya sambil menunjuk ke arah Ding Tao.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmm" entah dari mana harus kumulai, mungkin aku lebih baik memulainya dengan memperkenalkan diriku sendiri.", ujar
Tabib Sheng setelah berpikir sejenak.
"Orang di desa ini mengenalku dengan panggilan Tabib Sheng, padahal namaku yang sebenarnya adalah Shen Goan", ujar
Tabib Sheng atau Shen Goan sambil mengamati reaksi orang-orang di sekitarnya.
Ketika melihat enam orang guru Wang Shu Lin berubah wajahnya, dia pun tersenyum dan berkata, "Benar dugaan kalian,
aku adalah Shen Goan, salah satu tetua dari Partai Matahari dan Bulan."
Sekarang bukan saja ke-enam guru Wang Shu Lin yang terkejut, Ding Tao dan Wang Shu Lin juga ikut berubah wajahnya.
"Ketua Ding Tao setelah mendengar itu, apakah kau masih mempercayaiku?", tanya Shen Goan pada Ding Tao.
Ding Tao ternyata bisa menjawab dengan wajar, "Ya, siauwte memang sempat terkejut tapi siauwte tetap percaya pada
Tetua Shen, bukankah Tetua Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan juga percaya pada Tetua Shen" Selain itu dari apa
yang siauwte lihat, tidak ada alasan untuk tidak mempercayai Tetua Shen. Orang boleh berasal dari suku mana saja, dari
partai apa saja, dia dinilai bukan dari mana dia berasal tapi dari perbuatannya."
Tetua Shen tersenyum dan menganggukkan kepala, "Bagus, tidak salah Khongzhen dan Chongxan mempercayakan masa
depan dunia persilatan dari dua negara yang berbeda padamu. Dalam usia semuda ini, kau memiliki jiwa yang besar, pikiran yang terbuka dan jernih."
"O ya, kalau bisa kalian tetap panggil saja aku Tabib Sheng, sudah terlampau lama orang memanggilku dengan nama itu,
sekarang aku merasa lebih nyaman menjadi Tabib Sheng daripada Tetua Shen.", ujarnya kemudian.
"Baik, kalau begitu akan kuteruskan ceritaku, kuharap kalian mau bersabar karena ceritaku ini cukup panjang.", ujar Tabib Sheng yang kemudian membasahi lagi tenggorokannya dengan secangkir teh.
Maka mulailah Tabib Sheng bercerita, dia menjadi anggota Partai Matahari dan Bulan sejak masih kanak-kanak, ketika itu
Partai Matahari dan Bulan belumlah disebut Partai Matahari dan Bulan, juga belum memiliki bentuknya seperti yang
sekarang ini. Pada awalnya Partai Matahari dan Bulan adalah sebuah kumpulan keagamaan, ada seorang asing yang membawa ajaran
agama baru di tanah itu, berasal jauh dari barat daratan Cina. Ajaran dasarnya sendiri bahkan Tabib Sheng pun sudah tidak mengingatnya dengan jelas, tapi satu hal yang dia ingat, ajaran itu menitik beratkan pada rasa persaudaraan di antara
sesama manusia.Di antara mereka tidak ada yang namanya milik pribadi, semuanya saling membantu dan saling menolong.
Pada orang di luar kelompok mereka, mereka selalu siap untuk menolong tanpa memandang siapa yang ditolong. Di masa
yang sulit, di mana panen gagal dan bencana alam terjadi, ajaran itu memiliki daya tariknya sendiri. Di mana setiap
pengikutnya bersama-sama saling memikul, sama-sama menanggung penderitaan yang lain. Saling menghibur dan
menguatkan, dan dalam waktu yang singkat jumlah merekapun bertambah dengan pesat.
Tidak sedikit pula, mereka dari golongan perompak dan penjahat yang kemudian bertobat dan bergabung dalam kumpulan
mereka. Tertarik oleh tawaran akan pengampunan dan penerimaan sesama manusia yang tidak mengingat-ingat masa lalu
mereka yang kelam. Tapi perkembangan yang pesat tidak selalu merupakah berkat. Perkembangan yang pesat itu membuat pejabat setempat
merasa khawatir karena semakin lama kelompok itu menjadi semakin kuat. Salah satu yang mengkhawatirkan pihak
bangsawan, adalah pandangan bahwa semua manusia itu sederajat tidak ada yang lebih tinggi tidak ada yang lebih rendah.
Khawatir kekuasaan mereka akan melemah, dan diwarnai juga oleh kecemburuan dari pemuka-pemuka agama yang sudah
ada sebelumnya. Maka akhirnya muncullah keputusan dari pemegang kekuasaan waktu itu, bahwa ajaran tersebut adalah
ajaran sesat dan siapa pun yang menganutnya akan dianggap menjadi pengkhianat kerajaan, karena memandang kaisar
yang adalah putera langit sebagai manusia yang sederajat.
Mulailah timbul penangkapan-penangkapan dan pemaksaan untuk meninggalkan ajaran itu. Sebagai ajaran agama yang
tentu saja menentang perbuatan kekerasan, pada awalnya korban berjatuhan dengan banyak, karena meski tidak melawan,
di saat yang sama mereka pun menolak untuk meninggalkan iman mereka.
Perubahan mulai terjadi ketika pembawa ajaran agama itu sendiri tertangkap dan dihukum mati. Pada awalnya para
pemegang kekuasaan mengira itulah akhir dari pergerakan itu. Siapa sangka justru hilangnya pimpinan yang kharismatik itu membuat perubahan dalam pergerakan mereka. Para dedengkot tokoh sesat yang sudah bertobat, juga para pendekar dari
aliran putih yang menjadi pengikut dari ajaran itu mulai melawan kekerasan dengan kekerasan. Jatuhnya korban dari antara saudara-saudara mereka membuat mereka tidak tahan lagi untuk tidak menggunakan kepandaian mereka di masa
sebelumnya. Dan lahirlah Partai Matahari dan Bulan, setiap anggotanya pun dilatih oleh para pendekar dan tokoh sesat yang sudah
bertobat itu. Sebagai saudara, tidak ada yang disembunyikan, mereka pun dengan bebas mendiskusikan ilmu mereka
masing-masing. Dari berbagai macam pertemuan dan pembicaraan, lahirlah ilmu-ilmu tangguh yang memiliki cirinya
sendiri, berbeda dengan ilmu-ilmu yang ada sebelumnya.
Menilik keadaan yang mendesak, di mana mereka yang sudah terlampau berumur untuk bisa melatih ilmu kepandaian
secara efektif dan juga tidak mungkin membuat mereka siap dalam waktu yang singkat. Salah seorang mantan tokoh sesat
yang ahli dalam bidang obat-obatan dan racun, mulai mengolah obat-obatan semacam Obat Dewa Pengetahuan yang
tujuannya membantu para saudara yang awam itu, untuk menguasai ilmu untuk sekedar membela diri dalam waktu yang
singkat. Jumlah obat-obatan itu sendiri sangat beragam, mulai dari obat untuk menambah kekuatan, obat untuk membuat salah
satu anggota tubuh jadi beracun sampai obat perangsang syaraf untuk bekerja lebih cepat.
"Aku salah satu pewaris ilmu dari tabib itu, dulu dia dikenal dengan nama Tabib sesat dari Utara, Pa Yo Bong. Kukira itu salah satu alasan mengapa Saudara Khongzhen dan Chongxan mengirimku kepadaku.", ujar Tabib Sheng disela-sela
ceritanya. "Nah sekarang aku lanjutkan lagi kisahku meski memakan waktu agak lama, karena nanti pada akhirnya kalian akan
mendapatkan gambaran yang jelas, mengapa kalian sekarang berada di sini.", lanjutnya kemudian.
Dari sebuah perkumpulan agama, Partai Matahari dan Bulan pun berubah menjadi sebuah partai dunia persilatan, karena
bekas-bekas orang dunia persilatan-lah yang kemudian mengambil alih pimpinan dari perkumpulan itu. Bukan karena
mereka serakah dengan kekuasaan, namun karena penindasan dari penguasa setempat secara tidak langsung sudah
memaksakan posisi itu pada mereka. Generasi pun berganti generasi, semakin lama ajaran yang berlandaskan keagamaan
semakin ditinggalkan dan sifat-sifat dari sebuah organisasi dunia persilatan yang lebih menonjol. Yang terkuatlah yang
menjadi pimpinan, siapa kuat dia yang benar. Meski ada sedikit perbedaan dengan partai lain, di mana posisi ketua adalah seumur hidup. Dalam Partai Matahari dan Bulan, posisi ketua bukanlah seumur hidup, melainkan dibatasi oleh prinsip itu
sendiri, siapa yang terkuat dialah yang menjadi ketua. Hal ini dimaksudkan juga untuk memacu perkembangan ilmu silat
dari partai mereka dan terbukti persaingan yang timbul membuat muncul banyak tokoh-tokoh berkepandaian tinggi di
dalam partai mereka. Namun juga muncul pergerseran, ketika lama kelamaan, pemikiran itu bukan hanya diterapkan dalam partai mereka sendiri.
Pemikiran siapa yang terkuat, maka dia yang berkuasa juga berjalan ke arah keluar. Maka timbullah pemikiran bahwa Partai Matahari dan Bulan adalah partai yang terkuat, karenanya sudah sepantasnya jika partai mereka menjadi penguasa atas
yang lainnya. Ketika Ren Zhuocan menjadi ketua dari Partai Matahari dan Bulan, di dalam partai itu pun sudah terbagi
menjadi dua bagian. Mereka yang searah dengan kebijakan dan ambisi Ren Zhuocan untuk menguasai dunia dan mereka yang masih mengingat
ajaran awal dari perkumpulan mereka, meski itupun hanya samar dan hanya dalam bentuk semangatnya saja. Kedua
golongan itu pun diam-diam saling bersaing untuk menentukan arah dari Partai Matahari dan Bulan di masa depan. Namun
pada saat ini, golongan yang searah dan seambisi dengan Ren Zhuocan lebih kuat karena sampai saat ini tidak ada yang
memiliki ilmu setinggi Ren Zhuocan. Sudah beberapa kali pemilihan ketua partai diadakan, didorong oleh keinginan dari
golongan yang berseberangan dengan Ren Zhuocan untuk menjadikan salah satu dari mereka ketua Partai Matahari dan
Bulan menggantikan Ren Zhuocan. Tapi nyatanya, sekian kali mereka mencoba dan Ren Zhuocan selalu muncul sebagai
pemenang. "Sampai di sini kisahku, apakah Ketua Ding Tao sudah bisa meraba ke arah mana pembicaraan kita akan berlangsung?",
tanya Tabib Sheng pada Ding Tao.
Berkerut dahi Ding Tao, menyambung-nyambungkan antara keadaan dirinya dengan kedaan Partai Matahari dan Bulan yang
baru saja diceritakan oleh Tabib Sheng. Yang lain pun diam-diam ikut berpikir. Cukup lama Ding Tao berpikir, membuat
beberapa orang dari mereka mulai merasa gemas karena begitu lama dia berpikir.
Akhirnya Ding Tao pun menegakkan kepala dan menjawab, "Setelah memikirkannya, aku kira aku tahu apa jawabnya.
Hanya saja aku kuatir terlalu tinggi menilai diri sendiri dalam pemikiranku ini."
Tabib Sheng tertawa ramah, "Ah, tidak apa, cobalah kita dengar apa pemikiran Ketua Ding Tao mengenai masalah ini."
Ketika Ding Tao mulai menjawab, mereka pun membandingkan jawaban mereka dengan jawaban Ding Tao, sembari
bertanya-tanya dalam hati, benarkah dugaan mereka itu. Jawaban seperti apa yang diberikan oleh Tabib Sheng atas dugaan
mereka itu" Dan seperti apakah jawaban yang diberikan Ding Tao pada Tabib Sheng"
Ding Tao pun menjawab, katanya, "Sekali lagi aku merasa kurang yakin dengan jawabanku ini, tapi hanya jawaban ini yang
kupikir paling sesuai."
"Seperti yang kita ketahui, saat ini Partai Pedang Keadilan bisa dikatakan sudah lepas dari tanganku. Bila pun ada yang masih setia, baik dari segi jumlah maupun dari segi kemampuan tidak bisa menandingin lawan yang saat ini bersatu
membentuk satu kekuatan yang tidak tertandingi oleh kekuatan manapun dalam perbatasan."
"Di lain pihak, ada Partai Matahari dan Bulan, yang memiliki kekuatan sangat besar dan sejak belasan tahun yang lalu sudah muncul kekhawatiran bahwa tanpa bersatu, dunia persilatan di dalam perbatasan akan ditaklukkan olehnya. Tapi justru di
luar sepengetahuan kita semua, sebenarnya tidak semua anggota Partai Matahari dan Bulan menghendaki hal ini, hanya
saja mereka tidak memiliki tokoh yang bisa mengimbangi ilmu dari Ren Zhuocan."
"Dari dua hal itu, jelas baik dari pihak kami, maupun dari pihak Partai Matahari dan Bulan yang segolongan dengan Tabib Sheng, memiliki satu pertemuan kepentingan. Kami membutuhkan kekuatan untuk mengimbangi lawan di dalam
perbatasan. Tabib Sheng membutuhkan seseorang untuk menjatuhkan Ren Zhuoan dari tampuk kepemimpinannya."
"Tetua Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, tidak mungkin harus meninggalkan Shaolin dan Wudang untuk menjadi
ketua dari Partai Matahari dan Bulan. Maka mereka perlu tokoh lain yang bisa diharapkan dan tidak terikat dengan satu
partai tertentu. Pada generasi yang lalu, mungkin Pendekar pedang Jin Yong adalah tokoh yang mereka harapkan. Namun
dengan menghilangnya Pendekar pedang Jin Yong hilang pula harapan mereka. Sampai pada kejadian yang menimpa
diriku." "Sampai di sini, apakah menurut Tabib Sheng, uraianku sudah tepat?", tanya Ding Tao dengan sopan.
"Heheheh, tepat sekali, sungguh tepat sekali, Ketua Ding Tao tinggal memberikan kepastiannya saja, apakah Ketua Ding
Tao bersedia atau tidak.", jawab Tabib Sheng sambil terkekeh puas.
Ding Tao terdiam sejenak, seakan ragu untuk menjawab.
Pang Boxi-lah yang menyeletuk tidak sabar, "Ketua Ding Tao, kau terimalah tawaran ini, hajar Ren Zhuocan, kemudian
dengan menggunakan kekuatan Partai Matahari dan Bulan, kita bersihkan dunia persilatan di daratan dari kecoak-kecoak
busuk yang menghuninya!"
"Hehh.. dogol, bukan kau yang ditawari, jadi biarkan Ketua Ding Tao memutuskannya sendiri", sergah Khongti pada Pang
Boxi. "Kak Khongti, masa masih perlu dipikirkan lagi, jika Murong Yun Hua itu dibiarkan saja, bisa habis seluruh dunia persilatan dibakar oleh ambisinya. Atau jika mereka bertemu dengan Partai Matahari dan Bulan di bawah pimpinan Ren Zhuocan yang
sama besarnya ambisinya, jelas bakal terjadi banjir darah di kedua belah pihak.", jawab Pang Boxi.
"Tetua harap bersabarlah, aku sudah mengambil keputusan.", ujar Ding Tao sesaat kemudian.
Maka mereka semua pun menunggu jawaban
Ding Tao dengan hati berdebar. "Aku sendiri tidak berpikir demikian, benar memang aku harus mengalahkan Ren Zhuocan demi meredam ambisinya, namun aku tidak berkehendak untuk menjadi
ketua dari Partai Matahari dan Bulan.", ujar Ding
Tao dengan tegas. "Tunggu, lalu bagaimana dengan Murong Yun
Hua, apa kau mau membiarkan dia berkuasa dan
menggerakkan dunia persilatan sesuai dengan
ambisinya?", tanya Pang Boxi penasaran.
"Tidak, selama dalam perjalanan sebenarnya aku sudah berpikir, mungkin kalian ingat aku memberikan beberapa tugas
pada kelompok rahasia binaan Chou Liang. Aku berharap mendengar hasilnya beberapa hari lagi, berdasarkan apa yang
mereka kumpulkan aku akan membuat siasat untuk meruntuhkan kekuasaan Murong Yun Hua.", jawab Ding Tao.
Ganti Tabib Sheng yang bertanya, "Tapi jika kau menolak untuk menjadi ketua dari Partai Matahari dan Bulan, Ren Zhuocan tetap berkuasa dan ambisinya hanya menunggu waktu. Tidak ada bedanya dengan yang selama ini dilakukan oleh Saudara
Khongzhen dan Saudara Chongxan. Sebenarnya pertemuan 5 tahunan itu, kamilah yang merancangnya demi meredam
ambisi Ren Zhuocan."
"Saat itu dia sudah mendapat kata sepakat dari para pembesar militer negeri ini dan bersiap untuk menyerang ke daratan, menaklukkan orang-orang persilatan yang seringkali ikut menjadi pilar kokoh pertahanan negeri kalian."
"Aku yang tidak setuju dengan rencana itu, diam-diam menemui Saudara Khongzhen dan Saudara Chongxan. Dari
pertemuan itu lahirlah pemikiran untuk mengadakan pertemuan lima tahunan. Benar saja, prinsip Ren Zhuocan bahwa yang
terkuat yang berkuasa, berbalik membungkam ambisinya ketika berhadapan dengan orang yang lebih kuat dari dirinya. Tapi
pertemuan lima tahunan tidak lebih dari jalan keluar sementara, selama Ren Zhuocan berkuasa bahaya itu masih ada.",
lanjut Tabib Sheng. "Menurut pendapatku, seandainya aku menjadi ketua dari Partai Matahari dan Bulan pun, bahaya itu tidaklah hilang. Entah Ren Zhuocan, entah mereka yang sealiran dengan dia, selama pemikiran bahwa yang terkuat adalah penguasa tidak hilang,
maka bahaya itu masih ada, tinggal menunggu waktu muncul dari golongan mereka yang lebih kuat dariku.", ujar Ding Tao
sambil tersenyum. "Benarkah demikian" Ataukah Tetua Shen berharap aku mengadakan bersih-bersih rumah, hingga darah membanjir
mengaliri seluruh ruang-ruang Partai Matahari dan Bulan?", tanya Ding Tao.
Ditanya demikian, Tabib Sheng pun sadar dan bergidik dengan sendirinya, dalam usahanya mencegah partainya untuk
mengikuti jalan yang sesat, dia hampir saja melanggar prinsip yang dia junjung itu sendiri.
Bergetar hatinya dan buru-buru dia menjawab, "Tidak, tentu saja tidak."
"Ya, aku pun berpikir bahwa bukan itu yang Tetua Shen kehendaki. Tapi yang Tetua Shen perlu ingat, sebuah ide, sebuah
pemikiran, tidak bisa diperangi dengan kekuatan. Jika demikian maka hal itu hanya akan menghilang selama kekuatan yang
menekannya ada. Ketika kekuatan itu pergi, mereka pun kaan muncul kembali.", ujar Ding Tao dengan bijak.
"Sebuah pemikiran, hanya bisa diperangi dengan pencerahan batin. In ibukan peperangan antara daging dan tulang, tapi
peperangan antara ajaran yang baik dan ajaran yang salah. Medan perangnya adalah hati. Senjatanya adalah perkataan
dan teladan hidup." "Ketua Ding Tao sungguh bijaksana, membuat aku yang sudah tua ini menjadi malu.", ujar Tabib Sheng dengan rendah
hati. "Jangan begitu tetua, aku yakin tetua pun mengerti hal ini, hanya karena keprihatinan yang mendalam, tetua menjadi
lupa.", jawab Ding Tao merendah.
"Ho, kalau begitu apa orang jahat kita biarkan saja menjadi jahat, toh tidak ada gunanya kita melawan mereka. Jika kita pergi bukankah nanti mereka akan kembali lagi?", gumam Pang Boxi dengan sebal.
Ding Tao tertawa, "Tetua jangan marah, karena beberapa hari ini aku banyak berpikir jadi aku berani berkata seperti ini.
Masakan manusia mau melawan jalannya langit" Jika langit pun bertindak demikian pada orang-orang yang sesat, tentu
langit memiliki tujuan. Bukankah langit tidak mengirimkan petir setiap kali kita berbuat salah" Melainkan diberikannya
waktu buat manusia untuk bertobat, hanya jika sampai pada habis waktunya, barulah hukuman datang. Atau jika datang
hukuman pada masa hidupnya, seringkali kita bisa merunutnya degan hukum sebab akibat."
"Maksudnya?", tanya Pang Boxi.
"Maksudku, seakan langit bertindak bahwa hukum langit itu tak ada dan manusia bebas menentukan sendiri polah
tingkahnya dengan segala resikonya. Kalau kupikirkan jika langit bertindak sebaliknya dan setiap kali manusia berbuat salah akan datang hukuman seketika itu juga. Memang benar manusia akan menjadi baik semua. Tapi kebaikan itu adalah
kebaikan yang semu. Kebaikan yang muncul karena keterpaksaan, karena rasa takut."
"Manusia menjadi baik, karena mereka dipaksa menjadi baik. Mereka yang benar-benar baik pun, kebaikannya jadi tidak
berkembang, karena ada selalu ada rasa bahwa mereka sedang diawasi."
"Sebaliknya dalam keadaan seperti sekarang, di mana ada kalanya kejahatan meraja lela, justru kebaikan yang murni
timbul di hati sebagian manusia yang sadar. Mereka berjalan di jalan kebaikan, meskipun justru hal itu menimbulkan
kerugian. Mereka menjadi baik, karena mereka mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Mereka akan melawan
kejahatan meski hal itu membahayakan dirinya, karena mereka bukan lagi menjadi baik hanya demi kenyamanan diri
sendiri, tapi karena mereka mencintai kebaikan.", ujar Ding Tao dengan bersemangat.
"Hmm" jadi kejahatan pun ada gunanya" Penjahat pun jadi pahlawan karena dia berbuart jahat?", dengus Pang Boxi meski
terdengar nada ragu dalam suaranya.
"Kejahatan adalah jahat, setiap pelakunya tentu harus mempertanggung jawabkan perbuatan jahatnya pada Yang Maha
Adil. Namun langit yang Maha Bijak, mampu menggunakan kejahatan demi kebaikan mereka yang baik, yaitu untuk
memurnikan mereka. Meski sepertinya mereka ditindas, namun dalam penindasan itu, bukankah kebaikan mereka semakin
bersinar terang" Seperti malam yang gelap, membuat bintang-bintang berkilauan.", jawab Ding Tao pada Pang Boxi.
Pang Boxi pun terdiam, bukan hanya Pang Boxi, yang lain pun terdiam. Rupanya berhari-hari, berminggu-minggu, selama
dalam perjalanan Ding Tao diam dan menyendiri, selama ini dia selalu merenung dan sekarang menjadi sosok yang lebih
dewasa dan bijak. Wang Shu Lin merasa betapa sosok Ding Tao yang sekarang semakin jauh dari jangkauannya. Semakin
membuat dia mencintai pemuda itu, tapi di saat yang sama semakin jauh, seperti pungguk merindukan bulan. Setelah
cukup lama semuanya terdiam, Hu Ban yang kemudian memecahkan kediaman mereka dan bertanya pada Ding Tao.
"Ketua Ding Tao mungkin benar semua uraian ketua itu, namun kekuatan Murong Yun Hua saat ini begitu besar. Jika Ketua
Ding Tao belum memiliki keyakinan yang pasti, apakah tidak lebih baik jika Ketua Ding Tao meminjam kekuatan Partai
Matahari dan Bulan?", tanya Hu Ban pada Ding Tao.
"Hmm" sebenarnya setelah mendengar penjelasan Tetua Shen, aku pun sempat berpikir demikian. Namun ada beberapa
sebab mengapa aku menolaknya. Yang pertama adalah masalah patriotisme, bagaimana pun juga dimanakah letak
kecintaan kita pada negeri, di mana letak kebanggan kita sebagai anak negeri, jika untuk menyelesaikan masalah di antara kita sendiri, kita harus meminta bantuan dari luar?"
"Yang kedua, bila aku menggunakan kekuatan Partai Matahari dan Bulan untuk meredam ambisi Murong Yun Hua, maka itu
artinya kekerasan melawan kekerasan, jumlah korban yang jatuh akan sangat banyak dari kedua belah pihak. Sebisa
mungkin aku ingin menghindarkan jatuhnya korban yang tak berdosa. Dari sekian banyak yang mati, terbanyak adalah
mereka yang sebenarnya hanya mengikuti pimpinannya saja tanpa mengerti hitam dan putihnya urusan."
"Dan yang ketiga, aku juga akan merasa bersalah pada para pengikut Partai Matahari dan Bulan, demi satu urusan yang
bukan kepentingan mereka sendiri, aku manfaatkan mereka, aku korbankan mereka. Bagaimana aku bisa hidup dengan hati
nurani yang bersih jika aku melakukan hal itu"
"Pembunuhan-pembunuhan yang kita lakukan sepanjang perjalanan sudah membuatku merasa bersalah dan bahkan aku
telah sampai pada kesimpulan, seandainya hal itu terulang aku akan membebaskan mereka pergi dan tidak mengambil
nyawa mereka. Aku yakin hal itu pun sedikit banyak membebani hati kita semua, hanya karena logika kita
membenarkannya, kita masih bisa membungkamnya."
"Aku harap penjelasanku ini, bisa tetua sekalian mengerti dan terima. Aku harap tetua sekalian bisa memaafkan
keegoisanku, di mana aku berkeras mengikuti hati nuraniku sendiri.", ujar Ding Tao menutup penjelasannya.
Setelah lama mereka semua merenungkan jawaban-jawaban Ding Tao, akhirnya Zhu Yanyan pun membuka mulut, "Ketua
Ding Tao", jika manusia tidak mengikuti hati nuraninya, lalu apa lagi yang bisa menjadi pelita bagi dia menjalani hidupnya"
Mendengar penjelasan Ketua Ding Tao, rasa-rasanya aku berhadapan lagi dengan kakak seperguruanku Pendeta
Chongxan." "Benar, itu benar, aku pun serasa berbincang-bincang dengan kakak seperguruanku Bhiksu Khongzhen.", uajr Khongti
dengan mata sedikit membasah.
Tabib Sheng mengangguk-angggukkan kepala, "Ya, entah berapa lama aku sudah lupa dengan semua itu, Ketua Ding Tao
sungguh seorang yang bijaksana. Meski terselip rasa sayang karena Ketua Ding Tao tidak bersedia menggantikan
kedudukan Ren Zhuocan, tapi aku bisa menerima alasan ketua. Hanya saja ada satu pertanyaan kecil, mengapa ketua
memanggilku Tetua Shen?"
Ding Tao tersenyum kecil dan menjawab, "Karena itu lah sebenarnya diri anda. Anda adalah Tetua Shen Goan, tetua dari
Partai Matahari dan Bulan, bukan Tabib Sheng, seorang tabib di sebuah desa bernama Hotu. Banyak pengikut dari Partai
Matahari dan Bulan sedang memilih jalan yang salah. Lalu mengapa Tetua Shen berada di sini, bermain sandiwara menjadi
seorang tabib di desa kecil ini?"
Tersenyum pedih Tetua Shen menganggukkan kepala, "Sekali lagi Ketua Ding Tao benar, beberapa tahun ini aku sudah
berputus asa, pengikut Ren Zhuocan semakin banyak. Terutama mereka yang berusia muda. Dalam kegetiranku aku
melarikan diri di desa ini."
"Hahahahaha, sungguh memalukan, aku yang tua ini sampai harus disindir oleh yang lebih muda agar ingat pada tanggung
jawabku.", tertawa pedih Tabib Sheng, atau sekarang akan kita sebut Tetua Shen Goan tergelak membuat sendu mereka
yang mendengar suara tawanya.
"Aku minta maaf, jika sudah melukai perasaan Tetua Shen", ujar Ding Tao perlahan.
"Tidak", memang seekor keledai perlu disengat lebah supaya dia bisa berlari kencang. Hari ini aku merasa gembira
sekaligus sedih. Aku sedih karena aku baru sadar, beberapa tahun telah terbuang percuma, menantikan datangnya seorang
penyelamat, lupa untuk bekerja, lupa bahwa aku juga punya tanggung jawab."
"Tapi aku juga gembira, bahwasannya langit masih memberikan kesempatan padaku untuk memperbaiki kesalahanku itu.",
ujar Tetua Shen Goan dengan bersemangat.
Ding Tao pun tersenyum lega, "Syukurlah kalau begitu, memang waktu yang diberikan untuk memperbaiki kesalahan adalah
sesuatu yang sangat berharga, Pemberian langit yang tak ternilai yang harus kita syukuri."
"Baiklah malam ini, sebaiknya kita semua beristirahat dahulu. Besok pagi aku akan memeriksa keadaan Ketua Ding Tao,
akan kita lihat, apakah benar Obat Dewa Pengetahuan sudah bersih sepenuhnya dari tubuh Ketua Ding Tao dan apakah
tubuh Ketua Ding Tao sudah pulih kembali setelah lama tergantung padanya.", ujar Tetua Shen.
"Kemudian selanjutnya, ada hal lain yang perlu kita lakukan. Aku sudah yakin bahwa Ketua Ding Tao memang pilihan yang
tepat, tapi apakah Ketua Ding Tao mampu mengalahkan Ren Zhuocan atau tidak, besok akan kita lihat. Kita akan berlatih
tanding, Ketua Ding Tao harus mampu mengalahkanku sebelum 10 jurus berlalu. Jika tidak, jangan harap Ketua Ding Tao
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa menang melawan Ren Zhuocan.", ujar Tetua Shen kemudian.
"Dalam 10 jurus" Sedemikian hebatnyakah Ren Zhuocan?", hampir bersamaan Chen Taijiang dan Pang Boxi bertanya.
"Meskipun berat tapi aku harus menjawab ya, bahkan jika Ketua Ding Tao bisa mengalahkanku dalam 10 jurus pun aku
tidak memiliki keyakinan 100%. Ren Zhuocan berlatih sangat keras, terakhir kali aku mencoba kepandaiannya aku kalah
dalam hitungan 14 jurus dan itu sudah 3 tahun yang lalu. Sekarang" Hmm" aku pun tidak memiliki keyakinan apakah 10
jurus itu batas yang pantas.", jawab Tetua Shen Goan membuat semua orang tercenung memikirkannya.
"Hmm" kita beruntung ada Tetua Shen di sini, sehingga kita bisa mengira-ngira kepandaian Ren Zhuocan. Betapapun juga
,satu kenyataan harus dihadapi dengan lapang dada, baru kita bisa mencari pemecahannya. Tetua Shen benar, tidak ada
yang bisa kita lakukan kecuali beristirahat. Biarlah besok akan kita lihat, seberapa banyak Ketua Ding Tao harus berusaha.", ujar Zhu Yanyan menghibur yang lain.
"Benar, Tetua Zhu Yanyan benar, sudahlah, mari kita semua beristirahat saja", ujar Ding Tao membenarkan.
Mereka pun diantarkan oleh Tetua Shen menuju tempat masing-masing. Shu Sun Er dan Wang Shu Lin mendapatkan satu
kamar sendiri, sementara yang lain tidur bersama-sama di satu ruangan yang besar. Yang lain sudah lama tertidur, ketika Ding Tao masih menatap langit-langit dan berpikir. Sehebat apakah Ren Zhuocan" Tetua Shen tentu memiliki ilmu yang
tidak rendah, dari kisahnya dia sudah mulai mempelajari ilmu silat Partai Matahari dan Bulan sejak masih sangat muda.
Kecerdasannya tak perlu diragukan, terbukti dia menjadi pewaris dari Tabib sesat dari utara. Kelihaiannya dalam ilmu silat juga tidak perlu diragukan, terbukti tiga tahun yang lalu dia mencoba mengalahkan Ren Zhuocan, itu artinya dari golongan yang menentang Ren Zhuocan dia adalah orang terkuat.
Dan Ren Zhuocan mengalahkannya dalam 14 jurus, itu pun tiga tahun yang lalu. Selama tiga tahun itu pula Ren Zhuocan
tentu berlatih siang dan malam.
Dalam perjalanan ke Desa Hotu Ding Tao berhasil mengalahkan guru-guru Wang Shu Lin dalam latih tanding, meski
demikian dalam hatinya masih belum hilang perasaan bahwa ada yang kurang dari dirinya.
"Besok aku akan tahu apa kekuranganku itu", gumam Ding Tao.
"Hmm" Ding Tao." Kau berkata apa?", gumam Pang Boxi yang tidur di sebelah Ding Tao setengah bangun setengah tidur.
"Oh, maaf tidak ada apa-apa.", ujar Ding Tao merasa malu.
"Hei" kau sendiri yang bilang, untuk sementara lupakan semua urusan dan kita beristirahat dulu. Besok kau harus dalam
keadaan segar untuk mencoba kepandaian Tetua Shen.", ujar Pang Boxi mengingatkan.
"Tetua benar, baiklah aku akan segera tidur", jawab Ding Tao.
"Hmm.. yah..yah"cepatlah tidur, kalau aku sudah mulai mendengkur kau akan lebih susah untuk tidur", gumam Pang Boxi
yang sebentar kemudian terlelap.
Mengulum senyum Ding Tao pun mulai menutup mata dan menutup telinga, bagi yang sudah terlatih untuk menutup 5
panca indera dan bermeditasi tentu dengkuran Pang Boxi tidak menjadi masalah besar. Tidak lama kemudian mereka semua
pun tertidur pulas, mengumpulkan tenaga, menanti esok pagi, ketika ujian akan dimulai.
Keesokan paginya, hanya Ding Tao dan Tetua Shen yang tinggal di rumah, karena Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya
pergi membantu penduduk desa membangun rumah untuk mereka tinggal selama mereka ada di Desa Hotu.
"Baiklah coba kita periksa denyut nadimu", ujar Tetua Shen.
Tiga jarinya yang sangat peka sudah diletakkan pada pergelangan tangan Ding Tao, diam merasakan Tetua Shen berusaha
menentukan keadaan tubuh Ding Tao berdasarkan denyut nadinya di titik-titik pada pergelangannya.
"Hmm" obat yang diberikan oleh Tabib Shao Yong itu benar-benar sangat manjur, tapi perlu waktu lebih lama sebelum
tubuhmu benar-benar memulihkan dirinya. Pengaruh obat itu cukup keras, meski saat ini kau tidak merasakannya,
sebenarnya banyak organ tubuhmu yang berlum pulih total.", ujar Tetua Shen Goan.
"Tapi tetua, aku sudah mencoba berlatih dan aku tidak merasakan ada jalur-jalur energi yang terhalang atau pusat energi yang terluka. Meski memang, rasanya ada sesuatu yang mengganjal, seperti ada masalah tapi aku tidak bisa
menemukannya.", kata Ding Tao pada Tetua Shen.
"Hmm" kalau kau merasa seperti itu, kurasa masalahnya bukan ada pada tubuhmu. Memang benar banyak organ tubuh
yang belum pulih benar, tapi umurmu yang masih muda dan tubuh fisikmu yang kuat, membuat kerusakan yang ada tidak
akan terasa olehmu. Kecuali bila kau biarkan saja mereka tanpa diibati, nanti baru pada masa tuamu kau akan merasakan
ketidak beresan dalam tubuhmu.", ujar Tetua Shen menjawab Ding Tao.
"Begitukah" Jadi menurut tetua, luka yang aku derita ini tidaklah berbahaya?", tanya Ding Tao.
"Bukan tidak berbahaya, tapi tidak akan kaurasakan adanya luka, sampai kau nanti sudah mulai renta dan justru itu
bahayanya karena kau tidak merasakannya. Tapi sekarang sudah ketahuan ada masalah, tentu kita akan memulai
perawatan. Aku akan tuliskan resep obat, seandainya nanti kau perlukan, karena perlu bertahun-tahun untuk perawatan
lukamu ini. Juga akan aku ajarkan satu cara meditasi untuk memperkuat organ-organ dalam tubuhmu ini.", ujar Tetua Shen
setelah berpikir sejenak.
"Tetua, sampai berapa lama baru akan pulih benar kondisi tubuhku" Lalu jika obat itu terus aku minum apakah tidak
kemudian menimbulkan efek yang buruk?" ,tanya Ding Tao.
"Oh tidak, obat ini sifatnya ringan saja, bahkan baik juga untuk orang tua atau wanita hamil. Jadi sama sekali tidak
berbahaya, dia lebih mirip obat untuk menjaga kesehatan. Jadi sebisa mungkin setiap hari kau minum obat ini, kecuali jika belasan tahun dari sekarang kita kebetulan bertemu, bisa aku periksa lagi nadimu dan kulihat apakah masih perlu kau
minum atau tidak obat ini.", jawab Tetua Shen.
"Hmm" baiklah", ujar Ding Tao tampak ragu.
"Hahaha, apa kau takut obat ini akan membuatmu kecanduan?", tanya Tetua Shen membaca perasaan Ding Tao.
Ding Tao pun tersipu malu, "Maafkan aku Tetua Shen, sejak aku menyadari akibat dari Obat Dewa Pengetahuan aku jadi
sedikit takut untuk meminum segala macam obat."
"Tak apa, aku mengerti perasaanmu, justru itu perasaan yang bagus, dengan demikian kau akan memiliki kekuatan untuk
menghindari godaan dari meminum obat serupa. Tapi aku jamin padamu, obat ini tidak seperti itu, bahkan kau bisa
tanyakan pada tabib mana pun, karena obat ini cukup umum sifatnya, tidak ada yang rahasia.", ujar Tetua Shen
menenangkan Ding Tao. Mendengar penjelasan Tetua Shen, hati Ding Tao pun jadi lebih tenang, meski demikian dia berjanji dalam hati selekasnya dia bisa memeriksa kebenaran perkataan Tetua Shen tanpa menyinggung hatinya, dia akan melakukannya. Ya, Ding Tao
sudah jadi jauh lebih dewasa dalam bersikap sebagai seorang tokoh besar dalam dunia persilatan.
"Jadi menurut Tetua Shen, tidak ada yang perlu dikhawatirkan?", tanya Ding Tao.
"Tidak, yang penting ketua harus merawat baik-baik diri Ketua Ding Tao, jangan melalaikan latihan dan juga meminum obat yang nanti aku berikan.", ujar Tetua Shen.
"Lalu apakah luka yang tersembunyi ini akan berpengaruh dalam pertarunganku nanti melawan Ren Zhuocan?", tanya Ding
Tao. "Tidak, jangan khawatir Ketua Ding Tao bisa mengeluarkan kemampuan Ketua Ding Tao 100%, seperti yang kukatakan
umur ketua yang masih muda sangat menguntungkan dalam hal ini.", jawab Tetua Shen Goan.
"Baguslah kalau begitu, jadi sekarang apakah kita mulai coba latih tanding untuk menilai kesiapanku melawan Ketua Ren
Zhuocan?", tanya Ding Tao.
Tetua Shen berpikir sejenak kemudian menjawab, "Hmm.. sebaiknya kita lakukan nanti malam. Pertama kurasa kita butuh
yang lain untuk ikut mengamati, baik menilai kurang lebihnya juga untuk berjaga jika dalam latih tanding nanti kita terlalu berlebihan. Yang kedua, hehe, selama ini penduduk desa tidak tahu aku punya sedikit kepandaian, kalau bisa aku ingin
tetap seperti itu." "Ah", baiklah kalau begitu, jadi sekarang apa yangakan kita lakukan?", tanya Ding Tao.
"Pagi ini waktunya tepat untuk memberikan latihan yang tadi kukatakan, latihan ini fungsinya untuk memperkuat organ-
organ dalam tubuh. Kulihat himpunan hawa murnimu sudah sangat mapan, tentunya tidak akan mengalami kesulitan.
Setelah melatih latihan ini dua tiga kali, kita akan bergabung dengan yang lain untuk menyelesaikan rumah kalian."
Mulailah Tetua Shen mengajarkan cara latihan hawa murni untuk menguatkan organ-organ tubuh di dalam tubuh. Selesai
mengikuti pengajaran Tetua Shen dan melatih latihan itu beberapa kali Ding Tao merasakan tubuhnya nyaman.
Menceritakan itu pada Tetua Shen, Tetua Shen pun kemudian menjelaskan apa yang terjadi saat Ding Tao melakukan
latihan itu. Puas dengan penjelasan itu, mereka pun berangkat untuk bekerja bersama yang lainnya. Meng Ho ternyata ada
pula di sana, bagi pemuda itu Ding Tao sudah menjadi idolanya, meski dia belum kenal benar siapa itu Ding Tao. Pekerjaan mereka pun selesai dengan cepat, bangunan yang dibuat bukan bangunan yang mewah. Asalkan ada atap di atas dan ada
dinding yang melindungi mereka dari terpaan angin dan dinginnya malam. Sementara isi rumah itu pun juga dengan cepat
terisi dari pinjaman berbagai orang. Sementara dari untuk tempat tidur, dibawa dari rumah Tetua Shen Goan.
Sore itu sambil melepas lelah, mereka pun merayakan berdirinya rumah itu. Menanti seluruh tamu mereka pulang, barulah
Tetua Shen dan yang lain berkumpul di halaman belakang rumah mereka. Meski ini hanyalah satu latih tanding, tapi bila
melihat wajah mereka, maka terlihat ketegangan yang sulit digambarkan.
Tetua Shen dan Ding Tao saling berhadapan, sementara Wang Shu Lin dan ke enam gurunya berdiri di sekeliling mereka. Di
tangan Ding Tao sudah tergenggam sebilah pedang, sementara Tetua Shen bersenjatakan tongkat kayu sepanjang lengan.
"Marilah kita mulai saja dulu", ujar Tetua Shen.
"Silahkan Tetua Shen mulai lebih dahulu.", ujar Ding Tao.
"Baik, hati-hatilah, aku akan mulai lebih dahulu.", ujar Tetua Shen.
Meski demikian Tetua Shen pun tidak terburu-buru, kedua pihak berdiri berhadapan saling menimbang-nimbang.
Ketegangan perlahan-lahan semakin memuncak. Tiba-tiba Tetua Shen berkelebat ke depan, tongkat kayunya menebas ke
arah pinggang. Ding Tao pun tidak kalah cepat bergerak menjauh sembari menebas tongkat kayu Tetua Shen. Tidak kalah
cepat, Tetua Shen menarik mundur tebasannya dan berubah menjadi totokan ke arah pergelangan tangan Ding Tao.
Pertarungan pun berjalan cepat, jurus demi jurus dilancarkan bergantian, saling serang saling bertahan. Tapi perlahan
namun pasti, Ding Tao mulai terlihat di atas angin. Tapi batas 14 jurus dengan cepat dilampaui dan baru menginjak jurus ke 17 barulah Ding Tao berhasil memaksa Tetua Shen menyerah. Dengan sebuah tipuan yang cantik, pedang Ding Tao
membelah tongkat kayu Tetua Shen tepat di tengah, memaksa Tetua Shen untuk melepaskan senjatanya. Meski Tetua Shen
berusaha mengelak mundur, setiap langkah mundurnya dengan cepat dihadang oleh gerakan Ding Tao.
Penuh kekaguman Tetua Shen menghapus keringat di dahinya, "Benar-benar hebat, tidak disangka dalam usia semuda ini
Ketua Ding Tao berhasil menguasai ilmu setinggi ini."
Ding Tao pun berusaha merendah, "Tidak juga, sebagian besar berhasil kumenangkan menggunakan ilmu yang dititipkan
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan padaku. Bukan hasil perenunganku sendiri."
"Ya" bisa kulihat hal itu dari beberapa serangan Ketua Ding Tao. Seandainya Ketua Ding Tao lebih matang lagi dalam
penguasaan atas ilmu-ilmu yang mereka wariskan.", jawab Tetua Shen.
"Tetua Shen, bagaimana menurut tetua, mengenai kesempatanku untuk mengalahkan Ketua Ren Zhuocan?", tanya Ding
Tao meski dia sendiri sudah bisa menghitung jumlah jurus yang mereka lalui sebelum dia berhasil mendesak Tetua Shen di
posisi mati. "Hitunganku tadi 17 jurus, berapa hitungan ketua", jawab Tetua Shen tidak langsung menjawab.
"17?", jawab Ding Tao dengan lemas.
"Tunggu, Ren Zhuocan sudah berpuluh tahun mengenal ilmu Tetua Shen, tentu ada perbedaan dengan Ketua Ding Tao yang
baru kali ini berhadapan dengan Tetua Shen.", Khongti kemudian menyela.
Tetua Shen pun terdiam sejenak dan menjawab, "Benar juga, tentunya hal itu juga berpengaruh" Hmm" bagaimana
menurut Ketua Ding Tao kalau kita lakukan lagi latih tanding yang kedua. Kukira aku masih sanggup bermain-main
beberapa puluh jurus lagi."
Wajah Ding Tao pun menjadi sedikit cerah, "Baik, aku siap, kali ini ijinkan aku yang memulai serangan."
"Silahkan, itu cara yang baik juga, sekarang Ketua Ding Tao bisa mempelajari cara-cara pertahanan yang kumiliki. Pada
latih tanding yang ketiga Ketua Ding Tao punya kemungkinan untuk mengalahkanku lebih cepat. Silahkan.", jawab Tetua
Shen. Kedua jagoan beda generasi itu pun kembali saling berhadapan, kali ini Ding Tao yang akan memegang kendali jalannya
pertarungan, jika dia berhasil terus menekan sejak awal. Ding Tao pun tidak ingin terburu-buru menyerang, dipikirkannya baik-baik jurus serangan yang akan dia gunakan.
Ketika akhirnya dia menyerang, dia menusukkan pedangnya dalam gerakan yang tidak terlalu cepat. Meski demikian, Tetua
Shen ternyata menyurut mundur tiga langkah oleh serangan itu. Demikianlah mereka kembali saling menyerang dan
bertahan. Tidak seperti pada latih tanding sebelumnya, kali ini Ding Tao justru sering memberi jalan keluar pada lawan, pada jurus ke 20 dan 45 sebenarnya dia sudah bisa mematikan gerak Tetua Shen, namun dengan sengaja dia memberi
Tetua Shen kesempatan untuk mundur dan dengan cara itu Ding Tao berusaha lebih banyak melihat jurus-jurus andalan
milik Tetua Shen. Tetua Shen tentunya bukan tidak tahu akan hal ini, namun karena tujuan mereka memang untuk
mempersiapkan Ding Tao melawan Ren Zhuocan, maka Tetua Shen pun tidak pelit-pelit dengan ilmunya.
Mereka pun saling serang sampai puluhan jurus banyaknya sebelum Ding Tao melompat mundur dan menyudahi latih
tanding mereka tanpa ada ketentuan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
"Cukup tetua", kalau boleh, kita sudahi dulu sampai hari ini.", ujarnya sambil melompat mundur.
"Baiklah, apakah Ketua Ding Tao ingin merenungkan dulu apa yang ketua lihat hari ini?", tanya Tetua Shen sambil menarik pula serangannya.
"Ya", aku perlu waktu untuk memikirkannya, bagaimana menurut Tetua Shen, apakah akan mengurangi nilaiku jika aku
mengambil waktu semalam untuk merenungkannya?", jawab Ding Tao.
"Tidak juga, seperti yang Saudara Khongti tadi katakan, Ren Zhuocan memiliki kelebihan dibanding dirimu karena dia sudah mengenal ilmuku selama bertahun-tahun, meski saat aku berhadapannya waktu itu, ada juga aku memiliiki ilmu simpanan
baru.", ujar Tetua Shen.
Melihat latih tanding itu sudah selesai, yang lain pun sudah berjalan mendekat dan mengikuti pembicaraan mereka.
Zhu Yanyan pun bertanya, "Tetua Shen, menurut tetua bagaimana dengan ilmu kepandaian Ketua Ding Tao" Memang benar
dia tidak bisa mengalahkanmu dalam 14 jurus, tapi seperti Adik Khongti katakan, Ren Zhuocan memiliki keuntungan karena
dia sudah mengenal ilmumu dengan baik."
Tetua Shen terdiam sejenak kemudian bertanya, "Apakah kalian pernah melihat bagaimana Ren Zhuocan bertarung?"
"Ya, kami pernah menyaksikannya beberapa kali, pada saat pertemuan lima tahunan melawan Tetua Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan", jawab Hu Ban.
"Jadi kurasa kalian bisa mengerti kalau kukatakan, serangan-serangan Ketua Ding Tao serasa" tidak setajam, tidak
sekejam serangan Ren Zhuocan. Meski ada benarnya bahwa Ren Zhuocan memiliki keuntungan tapi bukankah juga
kukatakan aku kalah dalam 14 jurus, itu tiga tahun yang lalu. Pada waktu itu pun, jika kubandingkan dengan Ketua Ding
Tao yang sekarang, seperti yang kukatakan serangan-serangan Ketua Ding Tao kalah mengerikan dibandingkan dengan
serangannya.", ujar Tetua Shen sambil menggelengkan kepala.
"Tunggu" mungkin benar serangan Ketua Ding Tao tidak setelengas serangan Ren Zhuocan, tapi itu lbih karena sifat
manusianya, bukan karena kepandaiannya.", ujar Hu Ban dengan alis berkerut.
"Hmm" itu artinya Ketua Ding Tao belum sampai pada tingkatan tidak ada manusia yang ada adalah pedang. Pedang sudah
tidak ada lagi di tangan, tapi pedang ada di hati.", ujar Tetua Shen.
"Dan menurutmu" Ren Zhuocan, serangannya menjadi lebih tajam karena dia sudah mencapai tingkatan itu?", tanya Zhu
Yanyan. "Ya, aku percaya dia sudah sampai pada tingkatan itu, di mana perasaannya sedikitpun tidak menghalangi dia untuk
menjalankan jurus-jurus yang dia mainkan. Atau mungkin lebih tepatnya, pada saat dia bertarung dia sudah berada pada
kondisi" kosong. Tidak ada lagi aku.", ujar Tetua Shen.
"Hmm?", Zhu Yanyan pun terdiam.
Wang Shu Lin menggamit tangan Shu Sun Er, "Guru" apakah itu artinya Kak Ding Tao tidak memiliki kesempatan?"
Shu Sun Er tidak bisa segera menjawab, "Entahlah Shu Lin" siapa orangnya yang benar-benar pernah sampai pada tahap
itu" Banyak yang berpendapat bahwa diirnya sudah sampai di sana, tapi tidak ada yang bisa memastikan benar atau tidak.
Apalagi orang lain."
Ding Tao menghela nafas dan berkata, "Sudahlah", bisa jadi benar atau tidak, kalau memang benar maka yang dapat
kulakukan adalah berusaha untuk mencapai tingkatan yang sama."
"Waktunya sangat singkat jika kita ingin mencegah jatuhnya banyak korban pada pertemuan lima tahunan yang
berikutnya.", ujar Tetua Shen perlahan.
"Kita cuma bisa berusaha sekuatnya.", jawab Ding Tao sambil tersenyum kecil.
"Ya, Ketua Ding Tao benar, apa perlunya mengkhawatirkan hal itu sekarang ini, yang penting kita sudah berusaha
sekuatnya.", ujar Khongti.
Mereka pun kemudian masuk ke dalam rumah yang baru, Tetua Shen memutuskan untuk ikut menginap di sana. Ding Tao
pun berpamitan untuk pergi menyendiri, yang lain mengerti dan tidak mencegahnya pergi. Mereka hanya bisa berdoa demi
keberhasilan pemuda itu. Sendiri di bawah bintang-bintang, Ding Tao berlatih perlahan-lahan, dengan bergerak dia berusaha membuat pikirannya
menjadi tenang. Setelah pikirannya menjadi tenang dia berusaha menyelami setiap ilmu yang pernah dia lihat. Ding Tao
pun mendapati, ilmu yang ditunjukkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan adalah dua ilmu yang dia tahu, yang
paling mendekati kesempurnaan yang dia tahu. Menurut pendapat beberapa orang, pada awalnya hanya ada satu. Mungkin
itu sebabnya ketika Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan mencoba menyarikan apa yang mereka ketahui dalam satu
bentuk ilmu. Ilmu yang mereka dapatkan atau ciptakan, bisa bekerja sama dengan begitu baiknya. Meski yang satu
menyarikannya dari ilmu-ilmu yang ada di Shaolin dan yang seorang lagi berdasarkan pengetahuannya atas ilmu dari
Wudang. Namun ketika mereka berhasil menyarikannya menjadi satu ilmu, keduanya seakan-akan bersaudara.
Dalam pikirannya, secara pengertian bisalah Ding Tao meraba itu semua. Namun Ding Tao tahu, untuk bisa
mengamalkannya dengan sempurna, dia butuh lebih dari sebuah pengertian, sebuah pemahaman yang hanya sampai pada
tingkatan berpikir. Belum sampai pada menghidupi ilmu itu sendiri, belum sampai pada tingkatan menghayati ilmu itu
sendiri. Hingga seperti yang dikatakan Tetua Shen mengenai Ren Zhuocan, tidak ada lagi orangnya, yang ada adalah
pedangnya, ilmunya. Ilmunya dihayati sedemikian rupa sehingga ilmu itu sudah menjadi bagian dari dirinya. Semua
gerakan terjadi dengan sendirinya, dengan wajar.
Entah sudah berapa lama Ding Tao bergerak, berlatih, melakukan jurus demi jurus ketika dia sampai pada kesadaran itu. Ini tidak seperti berpikir yang melantur, tapi seperti menanyakan satu pertanyaan secara terus menerus, berusaha menemukan
jawaban yang terdalam, menyingkirkan dan menolak jawaban yang dangkal, terus menerus menggali dan tiba-tiba seakan
mendapatkan satu kesadaran.
Ding Tao pun berhenti bergerak, tubuhnya sudah basah dengan keringat, tandanya dia sudah melatih jurus-jurusnya
mungkin lebih dari seratus kali dia mengulang. Tubuhnya terasa begitu lelah dan kehabisan tenaga, namun semangatnya
bangkit. Ding Tao akhirnya mengerti apa yang membuat dia merasakan satu ganjalan dalam hatinya selama ini, setelah dia
lepas dari pengaruh Obat Dewa Pengetahuan.
Selama ini dia seakan-akan hampir mencapai tingkatan yang sama dengan Ren Zhuocan, tapi itu bukan disebabkan karena
ilmunya sudah menyatu dengan dirinya. Yang menyebabkan hanyalah karena kecepatan dia baik dalam menangkap gerakan
lawan, maupun memikirkan cara untuk mengalahkan jurus-jurus lawan yang berkali-kali lipat lebih cepat dari orang biasa.
Hingga seakan-akan dia sudah bergerak tanpa dia harus berpikir. Pada kenyataannya saat otaknya dipenuhi dengan
berbagai jenis ilmu, maka dia pun menjadi lebih bodoh dari pendekar biasa, karena pada saat itu, jumlah kemungkinan-
kemungkinan yang dia perhitungkan, jauh melampaui kemampuan otaknya, meski sudah dibantu dengan Obat Dewa
Pengetahuan. Jadi sampai sekarang, tidak ada satu ilmu pun yang dia hayati sepenuhnya, hingga menyatu dengan dirinya. Itulah
kelemahannya jika dibandingkan dengan Ren Zhuocan. Jika dia memiliki kelebihan dibanding yang lai, itulah kehebatan dari ilmu ciptaan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Lawanlah yang terperangkap dalam kerumitan serangan jurus
ciptaan dua orang itu. Bukan karena dirinya yang memiliki kemampuan. Dia sudah memegang sebuah pedang pusaka,
namun pedang itu belum benar-benar menjadi miliknya. Pengertian ini sulit dijabarkan dalam kata-kata, ini lebih bisa
ditangkap pada tataran rasa.
Sampai pada pengertian ini, Ding Tao pun tercenung. Dia sampai pada titik yang sangat penting, dengan situasi yang ada
sekarang ini, dia harus berusaha menerobos pintu ini untuk sampai pada tataran yang selanjutnya.
Di saat yang sama, dia juga menantikan kabar dari Shin Su dan kawan-kawannya. Jika dia berfokus hanya pada mencapai
tataran yang setingkat dengan Ren Zhuocan, maka ada bahayanya bahwa rencananya untuk menghadapi Murong Yun Hua
dan sekutunya akan mengalami kegagalan.
Maka Ding Tao pun mulai menimbang-nimbang, yang mana yang harus dia dahulukan. Jika dia berhasil melemahkan
persekutuan yang dibangun oleh Murong Yun Hua, tapi gagal dalam mengalahkan Ren Zhuocan, maka sebagai akibatnya
Ren Zhuocan akan melenggang masuk menaklukkan tokoh-tokoh dunia persilatan dalam perbatasan karena tidak ada lagi
yang menyatukan mereka. Sebaliknya jika dia berhasil mengalahkan Ren Zhuocan namun gagal dalam melemahkan Murong Yun Hua pada saat
pertemuan lima tahunan itu, maka yang terburuk adalah dia tidak memiliki bukti dan saksi untuk mengembalikan nama
baiknya. Pada pertemuan itu, Murong Yun Hua dan seluruh tokoh-tokoh dunia persilatan berdiri di belakangnya akan
berhadapan dengan dirinya bukan dengan Ren Zhuocan. Jika dia tidak yakin bisa menang, dia bisa mundur dari pertarungan
itu, mencari waktu yang lebih baik lagi untuk menghadapi Murong Yun Hua.
Menghela nafas Ding Tao pun memutuskan.
Esok paginya dia mengumpulkan Tetua Shen dan yang lainnya.
"Tetua sekalian, Wang Shu Lin, aku kemarin sudah berpikir baik-baik dan aku memutuskan untuk sementara akan
mengasingkan diri dan mencoba untuk memasuki tataran yang sama dengan Ketua Ren Zhuocan.", kata Ding Tao.
"Lalu bagaimana dengan rencanamu untuk menghadapi Murong Yun Hua?", tanya Zhu Yanyan.
"Mengenai hal itu, sudah kuputuskan untuk menitipkannya pada kalian semua, aku sudah menuliskan tanya jawab yang
menjadi penanda antara diriku dengan orang-orangnya Shin Su, harap Tetua Zhu Yanyan membaca dan menghafalkannya."
"Baiklah, tapi Ding Tao kami belum tahu apa rencanamu untuk menghadapi Murong Yun Hua.", ujar Zhu Yanyan sambil
menerima secarik kertas dari tangan Ding Tao.
"Tentang hal itu, aku sudah berpikir baik-baik dan aku berpendapat bahwa meski mereka terlihat kuat, sebenarnya
kekuatan mereka itu rapuh adanya. Mereka berhasil disatukan oleh Murong Yun Hua lewat berbagai bujuk rayu dan tipuan.
Bukan disatukan oleh satu tujuan dan cara berpikir yang sama.", ujar Ding Tao.
"Hmm" benar, bila kita bisa mengetahui alasan tiap-tiap orang untuk mengikuti Murong Yun Hua, maka kita bisa memecah
belah mereka menjadi kekuatan yang lebih lemah. Bahkan bisa jadi mereka akan saling berlawanan sendiri satu dengan
yang lain.", ujar Hu Ban merenungkan perkataan Ding Tao.
"Benar, salah satunya mereka yang mengikuti Murong Yun Hua karena kedudukannya sebagai Wulin Mengzhu. Yang
termasuk golongan ini, jika bisa diyakinkan bahwa aku tak bersalah dan masih hidup tanpa kurang suatu apapun, maka
mereka akan meninggalkan Murong Yun Hua dan berbalik mendukung diriku.", ujar Ding Tao.
"Kukira kau tentu akan berusaha membebaskan Pendekar Jin Yong untuk kau jadikan saksi bagimu", sahut Khongti.
"Benar, itu salah satunya, selain itu tentu saja ada tetua semua dan Wang Shu Lin yang bisa menjadi saksi tentang
terbunuhnya Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang saat ini dilemparkan tanggung jawabnya padaku.", ujar Ding
Tao. "Benar, setidaknya untuk hal itu kartu sudah ada di tangan, tapi untuk mendapatkan Pendekar Jin Yong bukanlah hal yang
mudah, tentunya dia dijaga sangat ketat.", kata Shu Sun Er menyambung.
"Ya, tentang soal itu, aku sudah berpikir dan ada dua hal yang kupikir bisa membantu. Pertama keberadaan Murong Huolin
dan Hua Ying Ying di rumah kediaman kami di Jiang Ling. Entah benar atau tidak, tapi jika berdua masih mencintaiku, ada kemungkinan kita bisa meyakinkan mereka untuk membantu."
"Yang kedua adalah, pada saat pertemuan lima tahunan nanti, tentunya Murong Yun Hua tidak akan mau mengambil resiko
gagal dan akan mengerahkan seluruh kekuatannya.", ujar Ding Tao menjelaskan pemikirannya.
Wang Shu Lin pun menepuk tangannya dan menyahut, "Benar, pada saat itu, rumah dalam keadaan kosong karena
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semuanya berangkat untuk menghadapi pertarungan besar. Di saat yang sama, kita memiliki orang dalam yang bisa
bekerja untuk membebaskan Pendekar pedang Jin Yong. Murong Yun Hua akan mendapatkan kejutan besar pada
pertemuan itu nanti."
Ding Tao tersenyum tapi dalam hati ada pula rasa sedih, dia pun bertanya-tanya dalam hati, "Apakah aku masih mencintai
Murong Yun Hua" Setelah semuanya ini terjadi" Apakah mungkin aku bisa memaafkannya?"
"Pemikiran yang bagus", ujar Khongti dengan bersemangat.
"Dan bukan hanya membersihkan nama Ding Tao saja, tapi aku yakin orang-orang munafik yang bersekutu dengan Murong
Yun Hua pun akan berpikir dua kali untuk terus menjadi pendukungnya bila kita berhasil membuka rahasia itu di depan
orang banyak.", ujar Hu Ban dengan mata berkilat-kilat.
"Benar, ditambah lagi jika kita bisa mengetahui apa yang ditawarkan Murong Yun Hua pada mereka, sehingga mereka
bersedia menjadi pembantunya. Memanfaatkan itu kita bisa menawarkan hal yang sama nilainya, membuat persekutuan
dengan Murong Yun Hua semakin tidak menarik untuk mereka.", tambah Ding Tao.
"Benar, benar, tidak kuduga kau sudah berpikir sejauh itu. Anak baik", anak baik?", ujar Pang Boxi dengan mata penuh
Golok Halilintar 3 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Keris Pusaka Sang Megatantra 7
Khongti keluar dengan tawa lebar dan menepuk-nepuk pundak Ding Tao dengan riang, "Kejutan bagus! Kejutan bagus! Alih-
alih harus membunuh orang, ternyata kita justru mendapat kawan seperjuangan."
"Benar sekali kata Kak Khongti, ini kejutan yang bagus, benar-benar menggembirakan.", sahut Hu Ban pula.
Begitulah mereka saling memberi semangat dan tertawa lepas, keprihatinan dan ketegangan yang mewarnai perjalanan
mereka selama beberapa hari ini tersapu habis oleh pertemuan mereka dengan Shin Su dan kawan-kawannya. Ding Tao
yang ikut larut dalam kegembiraan mereka, memandang ke sekelilingnya dan mendapati wajah-wajah yang cerah. Dan
kesadaran pun menyelip ke dalam hatinya, tidak seorang pun dari mereka merasa senang harus membunuh orang. Sejak
peristiwa di Jiang Ling, dalam benaknya, seisi dunia persilatan seakan hanyalah soal bunuh membunuh. Tapi peristiwa hari ini sekali lagi menyadarkan dia, ada banyak orang seperti dirinya, seperti Wang Jianho, seperti Guru Chen Wuxi, bahkan
seperti Ma Songquan dan Chu Linhe. Mereka semua sudah bosan dengan bunuh membunuh, tidak semuanya yang hidup
dalam dunia persilatan, mengejar nama besar dan reputasi. Ada juga yang hidup di dalamnya sekedar untuk mencari
penghidupan bagi dirinya dan keluarga. Ada pula yang ada di dalamnya karena kecintaan pada seni pedang.
Ada orang-orang seperti ke-enam guru Wang Shu Lin.
Ada dirinya, impiannya mungkin jauh dari kenyataan, tapi dia tidak sendirian. Ding Tao pun ikut tertawa lepas. Ada
kelegaan, ada beban yang terlepas dari hatinya. Di satu sisi dia semakin menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang
ketua dari sebuah partai, tanggung jawabnya atas harapan dan kepercayaan yang diletakkan di pundaknya. Di satu sisi dia menyadari betapa berat dan banyaknya halangan bagi dirinya untuk mencapai tujuan yang dia inginkan. Tapi di sisi lain dia melihat bahwa dia tidak sendirian. Dia bukan seorang diri melawan seluruh dunia persilatan, ada banyak orang dalam dunia persilatan yang memiliki pendirian serupa dengan dirinya. Setidaknya mereka memiliki kecenderungan yang sama dengan
dirinya. Hari itu Ding Tao baru benar-benar merasa terbuka matanya, atas kedudukan yang telah dia pilih, entah oleh karena nasib atau memang benar-benar merupakan pilihannya sendiri. Yang pasti inilah dia yang sekarang dan inilah jalan yang dia pilih, dia tahu halangannya, dia tahu keinginannya dan dia tahu berapa keras dan berliku jalan yang harus dia tempuh untuk
mencapai tujuannya. Perjalanannya boleh jadi panjang, tapi sekarang dia sudah memahami dengan jelas, di mana dia berada dan mau ke mana
dia pergi. Betapa banyak orang yang hidup tanpa tahu, di mana dia berada dan hendak pergi ke mana dia, seperti ikan yang mati, yang bergerak hanya mengikuti arus sungai.
Perjalanan ke Desa Hotu masih beberapa hari lamanya, tapi yang beberapa hari itu terasa sangatlah singkat. Tidak lagi
mereka berjalan dengan beban berat di hati, meski kewaspadaan tidak menjadi hilang, namun satu kebaikan bisa
menghapuskan banyak beban dan membuat langkah kaki menjadi lebih ringan. Melewati segala macam pengalaman, kecil
dan besar, mendapatkan berbagai macam pencerahan baik kecil maupun besar, akhirnya sampai juga mereka ke Desa
Hotu. Jika Ding Tao untuk sementara ini merasa lepas dari berbagai macam kekhawatiran, maka nun jauh di sana Murong Yun
Hua justru merasakan kegalauan. Kemenangan yang dia raih tidaklah memuaskan dirinya. Saat ini dia sudah berada di
puncak kekuasaan. Tiga dari enam perguruan besar berada di bawah kekuasaannya. Kekuasaannya sendiri tidaklah kecil,
pendekar yang bersenjatakan tombak berkait kemarin, tidaklah membuat ketika mengatakan bahwa Keluarga Murong
memiliki kekuatan tersembunyi, sekelompok pendekar pilihan yang terlatih. Masih ada lagi yang berada langsung di bawah
kekuasaannya, yaitu bagian dari Partai Pedang Keadilan yang memang sudah bersetia padanya dan bukan pada Ding Tao
lewat satu dan lain cara.
Tapi lolosnya Ding Tao hingga sekian lama berada di luar perhitungannya. Meski seharusnya tidak ada pula yang perlu
dikhawatirkan, karena tanpa Obat Dewa Pengetahuan, dalam hitungan minggu Ding Tao akan menjadi tak ubahnya sesosok
mayat hidup. Namun desas-desus yang beredar membuat dia merasa khawatir juga. Adakah dia salah perhitungan" Lagi
pula sampai sekarang, orang-orang yang dia kirim tidak berhasil membawa Ding Tao ke hadapannya, entah dalam keadaan
hidup atau mati. Malam itu Murong Yun Hua sedang menyisir rambutnya yang tebal dan panjang di dalam kamar, sendirian, berbicara pada
dirinya sendiri yang berada di dalam cermin.
"Apakah dia masih hidup?"
"Apakah benar dia berhasil bebas dari pengaruh Obat Dewa Pengetahuan?"
"Siapa yang membantunya?"
"Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Dia bertanya dan bertanya, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Dengan gemas dan gusar dia berdiri sambil
melemparkan sikat rambutnya ke atas meja. Seperti yang biasa dia lakukan, ditariknya ikat pinggangnya dan dia biarkan
jubahnya terjatuh ke atas lantai. Dipandanginya tubuhnya yang sempurna di depan cermin. Entah setan dari mana yang
datang, tiba-tiba yang terbayang dalam benaknya adalah Ding Tao yang sedang membelai tubuhnya. Tubuhnya
menggeletar, teringat pada sentuhan pemuda yang sempat menjadi suaminya itu. Tiba-tiba Murong Yun Hua disergap rasa
rindu yang tak pernah dia sadari ada dalam hatinya.
"Ding Tao?", bibirnya bergetar memanggil nama itu.
"Tapi dia Cuma seorang pemuda yang bodoh" seperti lelaki baik-baik lainnya, mereka bodoh dan rendah!", demikian dia
bergumam, memaki kerinduan dalam hatinya.
"Tapi benarkah pemuda itu bodoh" Jika benar, lalu mengapa dia merasa khawatir dengan tidak ditemukannya Ding Tao
sampai saat ini?", sebuah pertanyaan terselip dalam hatinya.
"Bukankah dia merasa khawatir, karena dalam hatinya dia mengakui ada potensi dalam diri Ding Tao yang bisa membuat dia
menjadi lawan yang berbahaya?", sebuah bisikan lain bertanya pada Murong Yun Hua.
"Tidak! Sudah pasti dia lelaki yang bodoh dan tak berharga. Lelaki yang punya otak, hanyalah lelaki macam ayahnya, kejam, sadis, penuh ambisi, tidak berperasaan, bejat?", dengan menggeram Murong Yun Hua menjawab keraguannya.
Sejenak tidak ada apa pun, hanya keheningan, lalu seperti setan yang tak puasnya menggoda manusia, sekali lagi sebuah
pikiran menyelinap diam-diam, "Jadi", maksudmu Ding Tao bukanlah lelaki demikian" Dia tidak seperti ayahmu, dia tidak
keji, tidak kejam, tidak bejat, dia memiliki perasaan yang halus, dia memiliki cinta" dia mencintaimu dengan tulus?"
Dan hati Murong Yun Hua pun tiba-tiba merasa nyeri, nyeri sekali, di luar sadarnya sebuah bisikan pedih keluar dari
bibirnya, "Ding Tao?"
Terdengarlah ketukan dari pintu dan Murong Yun Hua pun bergegas merapikan dirinya sebelum pergi membuka pintu.
Ternyata yang datang adalah Huang Ren Fu.
"Yun Hua" aku rindu padamu?", ujar pemuda itu dengan senyum penuh arti.
Biasanya Murong Yun Hua sudah mati rasa dengan hal-hal semacam ini, dengan mudah dia akan tersenyum, dan tak
terlihat sedikitpun apa yang ada dalam hatinya tentang lelaki yang datang padanya dengan senyum dan pandang mata
demikian. Tapi tidak malam ini, wajahnya berubah masam, tiba-tiba hatinya merasa sebal, sedih, marah dan tak ada
keinginan untuk menutupinya dengan sebuah senyuman mesra.
"Ren Fu, aku minta maaf, tapi jangan ganggu aku malam ini. Aku" aku sedang merasa " galau.", ujarnya dengan tegas,
namun masih sopan, bagaimana pun juga Murong Yun Hua masih memikirkan ambisinya dan Huang Ren Fu sekarang ada
dalam rencananya. "Oh?", terkejut Huang Ren Fu, karena sebelumnya tak pernah Murong Yun Hua menolak kunjungannya.
"Ehm" mungkin aku bisa menghiburmu" eh" kita bisa?"
"Tidak" tidak bisa, sudahlah kembalilah ke kamarmu, aku mau istirahat sekarang.", ujar Murong Yun Hua lebih tegas dari
sebelumnya dan tanpa menunggu jawaban dari Huang Ren Fu dia pun menutup pintu kamarnya.
Tertegun Huang Ren Fu berdiri dengan mulut terbuka, suara palang pintu kmar dipasang dari dalam terdengar jelas.
Perlahan wajahnya berubah, ada rasa marah dan malu di sana. Untuk sesaat lamanya dia tidak tahu apa yang akan dia
lakukan, sampai kemudian dia berbalik arah dan pergi dengan berbagai macam perasaan dalam hatinya.
Di dalam kamar Murong Yun Hua melepaskan jubahnya, melemparkan diri ke atas pembaringan dalam keadaan polos,
direngkuhnya apa saja yang bisa dia rengkuh dan peluk. Rasa rindu tiba-tiba menyerang dengan hebat, penuh tangis sesal
dia bertanya-tanya, mengapa dia baru sadar sekarang, Ding Tao bukanlah ayahnya. Ding Tao bukanlah ayahnya dan jika
terbukti bahwa pemuda itu bukan seorang bodoh yang tak berguna, itu artinya seluruh kebencian dan kejijikan yang dia
bangun atas laki-laki, semuanya tidak berarti di hadapan pemuda itu. Malam itu Murong Yun Hua tertidur dengan wajah
penuh air mata dan bibir memanggil-manggil nama Ding Tao.
Di kamar yang lain Murong Huolin berjalan dari satu ujung ke ujung lain dari kamarnya. Ding Tao, ya nama yang sama
sedang menghantui dirinya. Bagi gadis itu Ding Tao adalah satu-satunya lelaki yang pernah menyentuh dirinya, satu-
satunya lelaki, kepada siapa dia menyerahkan seluruh dirinya, hati dan tubuhnya. Di sisi lain ada pula Murong Yun Hua,
seorang yang lebih dari sekedar pengganti orang tua. Perang batin yang hebat membuat dia semakin hari semakin hilang
semangatnya untuk hidup, tubuhnya semakin kurus dan kantung matanya semakin terlihat jelas.
Tapi tidak ada yang memperhatikan dia, semua sibuk dengan rencana mereka sendiri. Tentu saja ada para pelayan, tapi
apakah dia bisa percaya pada mereka" Karena mereka pun adalah pelayan setia Murong Yun Hua. Baru kali ini dia
merasakan keberadaan Murong Yun Hua sebagai satu penghalang, satu sandungan dalam hidupnya.
"Ding Tao" apakah kau membenciku juga" Tapi aku tidak termasuk dari mereka" ", keluh gadis itu.
"Tapi kau benar" meski aku bukan bagian dari mereka, aku pun tidak melakukan apa-apa untuk menolongmu?",
gumamnya lagi. Terkenanglah dia dengan masa-masa ketika Hua Ying Ying belum muncul. Masa yang indah bagi dirinya, lepas dari segala
rencana Murong Yun Hua mereka bertiga hidup bahagia. Bahagiakah mereka" Perlahan Murong Huolin menggelengkan
kepalanya, mungkin Ding Tao merasa bahagia, tapi dirinya sendiri, bukankah sebenarnya dia sedang menipu dirinya sendiri.
Membungkam hati kecilnya yang merasa bersalah karena ada satu rahasia yang dia sembunyikan dari Ding Tao"
"Tapi semuanya tidak akan terjadi jika bukan karena kemunculan gadis itu!", sebuah bisikan penuh kemarahan tibat-tiba
terselip dalam hatinya. Ya, jika bukan karena Hua Ying Ying, kakaknya Yun Hua tidak akan mengambil keputusan untuk menyingkirkan Ding Tao
dan mereka bertiga akan hidup sebagai suami isteri sampai selamanya.
"Tidak" tidak", itu pun tidak benar. Sejak awal semuanya dimulai dengan kebohongan, bagaimana mungkin sesuatu yang
suci dibangun di atas satu kebohongan?", sebuah pikiran lain pun muncul dalam hatinya.
"Ding Tao?", Murong Huolin berbisik penuh rasa rindu.
"Ah Ding Tao" aku inilah yang bodoh, kau benar", ketulusan" kejujuran", Hua Ying Ying tak bersalah, kamilah yang
bersalah. Sejak awal aku sudah memulainya dengan salah.", keluh gadis itu.
Tertelungkup di atas pembaringannya, Murong Huolin pun terus bertanya dan bertanya.
"Ding Tao, ada dimanakah kau sekarang?"
"Apakah kau masih hidup" Apakah kau baik-baik saja?"
"Tentu kau masih hidup, karena sampai sekarang Enci Yun Hua tidak berhasil menangkapmu, tentu ada orang yang
membantumu. Kau orang baik, bukankah langit selalu membantu orang-orang baik sepertimu?"
"Akankah kau kembali?"
"Jika kau kembali, apakah kau datang dengan dendam?"
"Bagaimana perasaanmu padaku sekarang?"
Ratusan pertanyaan terus berdatangan hingga dia tertidur lelap dengan bantal basah oleh air mata.
Di kamar yang lain ada Hua Ying Ying dan ayah angkatnya. Gadis itu pun memiliki banyak pertanyaan.
"Ayah", apakah ayah tidak merasa aneh dengan semua ini?", gadis itu bertanya.
"Tentang Ding Tao" Ya" aku pun merasa ada yang tidak benar, tidak biasanya aku salah menilai orang.", jawab Hua Ng
Lau. "Tapi disaat yang sama ayah juga tidak yakin bahwa dia tidak bersalah.", desak gadis itu.
"Tidak ada bukti dan saksi yang meringankan dia, meski bila mataku tidak salah melihat, pada hari itu Bhiksu Khongzhen
dan Pendeta Chongxan dengan sengaja melepaskan dirinya.", jawab Hua Ng Lau sambil mengingat-ingat kembali kejadian
di hari itu. Malam itu diam-diam Hua Ying Ying pergi menemui Hua Ng Lau. Hua Ng Lau bukannya tidak tahu apa yang ingin
dibicarakan gadis itu, karena dia pun merasakan ada ganjalan dalam segala sesuatu yang terjadi di hari itu.
"Dan itu artinya, bukan Kak Ding Tao yang membunuh mereka berdua, ada orang lain, kekuatan lain yang bergerak di
sini.", gumam Hua Ying Ying sambil berjalan hilir mudik di depan Hua Ng Lau yang duduk dengan tenang.
"Ya" tapi jika itu benar, itu artinya kita sedang berhadapan dengan lawan yang menakutkan. Itu artinya, saat ini kita
sedang berada di antara musuh, di luar kita seperti tamu, kenyataannya kita adalah tawanan.", jawab Hua Ng Lau dengan
bijak. Hua Ying Ying berhenti berjalan, menatap lurus ke arah ayah angkatnya dia berkata, "Tapi bukan berarti kita akan diam saja kan ayah?"
Hua Ng Lau menganggukkan kepala dengan wajah serius, "Benar", itu bukan berarti kita akan diam saja" tapi kita harus
bergerak dengan sangat hati-hati. Apalagi kakakmu saat ini sudah tidak bisa kita percaya lagi."
Teringat kakaknya, Hua Ying Ying pun menggigit bibir dan mengangguk perlahan, "Ayah benar" aku tidak mengerti" apa
yang sebenarnya terjadi dengan Kakak Ren Fu."
Akhirnya mereka sampai juga di Desa Hotu, sebuah desa kecil dan terpencil, jauh dari jalur utama perdagangan. Ding Tao
berdelapan terlihat cukup mencolok dibandingkan penduduk asli desa itu. Tubuh mereka jauh lebih tinggi dibandingkan
kebanyakan ornag cina daratan, Ding Tao yang tertinggi di antara mereka berdelapan, tampak normal di antara penduduk
desa itu. Demikian juga pakian yang mereka kenakan, terlihat sedikit berbeda dengan kebanyakan jenis pakaian yang
dipakai oleh penduduk desa. Pakaian Wang Shu Lin dan Ding Tao terlihat begitu mewah di sana. Akibatnya ke mana pun mereka pergi, mata orang mengikuti mereka dengan pandang mata ingin tahu. Meski demikian penduduk desa itu cukup
ramah. Ding Tao dan yang lain pun menganggukkan kepala dengan sopan setiap kali pandang mata mereka bertemu dan
mereka membalasnya dengan senyuman.
Di depan mereka, mengantarkan menuju ke rumah kepala desa adalah salah seorang penduduk asli desa itu yang mereka
jumpai pertama kali mereka sampai di bagian terluar desa itu.
"Meng Ho, masih berapa jauh lagi kah rumah kepala desa?", tanya Ding Tao pada pemuda tanggung yang mengantarkan
mereka itu. "Tidak berapa lama lagi, tuan lihat rumah di sana itu?", ujar Meng Ho sambil menunjuk sebuah rumah kecil yang terlihat
dari kejauhan. "Ya, apakah itu rumahnya?", jawab Ding Tao.
"Bukan, tapi setelah rumah itu, kita akan melewati sebuah sawah dan setelah sawah itu kita akan sampai di pusat desa,
kebanyakan rumah berkumpul di sana dan rumah pak kepala desa ada di tengah-tengahnya.", jawab Meng Ho sambil
tertawa lebar, menunjukkan beberapa giginya yang hilang.
"Ah", begitu, cukup jauh juga. Kami benar-benar sudah merepotkanmu, apa nanti kau akan kembali ke sawahmu?", tanya
Ding Tao pada Meng Ho. "Tidak, tidak, pekerjaan hari ini sudah selesai kok, jadi sama sekali tidak merepotkan karena aku memang sudah mau
pulang.", jawab Meng Ho dengan ramah.
"Syukurlah kalau begitu, aku tidak enak kalau terlalu banyak menyusahkanmu.", ucap Ding Tao dengan lega.
"Hahaha, sama sekali tidak menyusahkan.", ujar Meng Ho sambil tertawa lebar.
Untuk beberapa saat mereka hanya berjalan tanpa bercakap-cakap, kemudian Meng Ho dengan sedikit ragu bertanya,
"Tuan", apa benar dugaanku bahwa tuan-tuan ini", orang-orang dunia persilatan?"
Ding Tao tidak segera menjawab, dia saling berpandangan dengan anggota rombongan yang lain. Zhu Yanyan mengangkat
bahunya, menyerahkan keputusannya pada Ding Tao.
"Meng Ho, kenapa kau bertanya demikian?", tanya Ding Tao hati-hati.
Meng Ho mengangkat bahunya, "Hmm" entahlah, kulihat beberapa dari tuan membawa senjata. Selain itu perjalanan dari
daratan ke luar perbatasan bukan perjalanan singkat. Setidaknya beberapa orang dari tuan-tuan ini tentunya bekerja
sebagai pengawal." "Kau pintar juga, kau benar, sebenarnya kami semua orang-orang dunia persilatan.", ujar Ding Tao sambil mengulum
senyum. "Wah" benarkah?", tanya Meng Ho dengan mata terbelalak.
"Tuan", apakah salah satu dari kalian bisa mengangkatku menjadi murid tuan" Maksudku", aku cukup pintar dan aku tidak
akan jadi beban untuk kalian.", pinta Meng Ho dengan sungguh-sungguh.
"Menjadi pendekar" Meng Ho, kalau aku boleh tahu, berapa usiamu sebenarnya?", kata Ding Tao balik bertanya.
"Ehm" tahun ini usiaku 15 tahun, tapi beberapa bulan lagi akan jadi 16.", jawab Meng Ho.
"Kenapa kau ingin terjun dalam dunia persilatan?", tanya Ding Tao pada pemuda itu.
"Karena" karena" karena itu hebat sekali, maksudku, menjadi pendekar, menjadi pahlawan, menolong orang yang lemah
melawan penjahat dan sebagainya.", ujar Meng Ho dengan bersemangat.
"Hmm" apakah desamu ini pernah diserang gerombolan penyamun?", tanya Ding Tao pada Mengho setelah terdiam berpikir
beberapa lama. "Tidak", tidak, semuanya tenang dan damai di sini.". jawab Meng Ho.
"Lalu penjahat mana yang mau kau lawan dengan ilmu silatmu nanti?", tanya Ding Tao kemudian.
"Ehm" tentu saja bukan di sini, jika tuan mulai berkelana lagi, tentunya sebagai murid aku akan mengikuti tuan-tuan
sekalian.", ujar Meng Ho setelah berpikir sebentar.
"Ah" kemudian kita pergi mencari penjahat dan mengalahkan mereka demi menolong orang banyak. Benar begitu?", tanya
Ding Tao pada Meng Ho. "Ya, ya, benar begitu.", jawab Meng Ho bersemangat.
Ding Tao tersenyum melihat keluguan Meng Ho, "Meng Ho, jika demikian hidup seorang pendekar, menurutmu, dari mana
dia mendapatkan uang untuk makanan, penginapan, kuda yang bagus, memperbaiki pedangnya di pandai besi, atau bahkan
rumah dan memberi makan seisi rumahnya?"
Meng Ho tentu saja tidak pernah berpikir demikian, dalam cerita pahlawan sepertinya tidak pernah diceritakan bagaimana
mereka mencari uang, "Hmm" entahlah, bukankah kita bisa berburu untuk mencari makan dan " tidur di kuil kosong jika
tak ada uang untuk penginapan."
"Jika kita berada di dekat hutan, mungkin bisa juga kita berburu untuk mencari makan, tapi jika sedang berada di kota
besar, hendak pergi ke mana untuk berburu" Lagipula, bagaimana dengan pakaian dan pedang" Apakah kau mau menjahit
pakaianmu sendiri dan menempa pedangmu sendiri?", tanya Ding Tao lebih lanjut.
Berkerut alis Meng Ho, "Ya" kupikir tidak perlu ke kota besar, di kota besar perlu banyak uang, kita berkelana ke kota kecil dan pedesaan saja. Bukankah perompak kebanyakan tinggal di jalan-jalan yang sepi" Soal pakaian" ya aku kira aku bisa
belajar menguliti binatang dan mungkin menjahitnya menjadi pakaian. Lalu dengan pedang" jika aku sudah sangat mahir
dalam ilmu silat, bukankah aku tidak perlu pedang lagi?"
"Boleh juga, jadi kita tinggal dan berkelana melalui hutan-hutan dan desa-desa kecil. Berburu untuk hidup dan mengurus
hidup kita sendiri, kulit binatang bisa juga dijual untuk mendapatkan beberapa keping uang. Lalu jika sudah mengerjakan itu semua, menurutmu kapan kau bisa berlatih agar menjadi benar-benar mahir dengan ilmu silatmu?", tanya Ding Tao
kembali. Dahi Meng Ho semakin banyak kerutannya, "Ehm" entahlah, menurut tuan berapa lama seseorang bisa menjadi seorang
pendekar yang tanpa tanding?"
Terbahak mereka semua mendengar pertanyaan Meng Ho, membuat wajah Meng Ho memerah karena malu.
Ding Tao buru-buru menghibur pemuda itu, "Maafkan kami Meng Ho, jika kami tertawa karena pertanyaanmu. Jangan
berkecil hati, bukan salahmu, kami semua dulu juga pernah berpikir untuk menjadi pendekar tanpa tanding. Setelah belasan bahkan puluhan tahun kami berlatih, ternyata kami belum juga menjadi pendekar tanpa tanding, itu sebabnya kami
tertawa." Khongti ikut menjawab, "Benar, menjadi pendekar tanpa tanding bukanlah hal yang mudah. Kau berlatih bertahun-tahun
dan berpikir kau sudah menjadi lebih kuat, itu mungkin memang benar, tapi orang lain pun juga berlatih sama kerasnya
atau bahkan lebih keras dari dirimu. Perompak-perompak itu pun berlatih dan berlatih, bahkan mungkin karena pilihan jalan hidup mereka, mereka punya kesempatan lebih banyak untuk bertarung daripada dirimu."
Meng Ho tampak kecewa, "Jadi" menurut tuan-tuan ini, tidak mungkin bagi diriku menjadi seorang pendekar yang hebat?"
Khongti tertawa, "Tidak juga, bukan begitu maksudku, untuk menjadi pendekar nomor satu. Pertama kau harus punya
bakat yang baik. Kedua kau harus mau berlatih dengan keras hampir seluruh waktumu harus kau gunakan untuk berlatih.
Itu artinya hanya ada sedikit waktu untuk hal-hal lain, termasuk untuk mengurus penghidupanmu sendiri."
"Ketiga, kau harus punya nasib yang baik. Nasib yang baik artinya kau bertemu dengan guru yang baik dan juga kau tidak
bertemu lawan yang tangguh sebelum kau berhasil mematangkan ilmumu."
Ding Tao kemudian menambahkan, "Lalu setelah kau melalui itu semua, dari mana kau tahu bahwa kau sudah menjadi
pendekar tanpa tanding" Atau dari mana orang akan tahu kehebatanmu" Kau pun kemudian mulai mencari lawan untuk kau
kalahkan. Mungkin dengan mendatangi sarang penjahat, atau mungkin dengan menantang bertarung pendekar lain yang
sudah memiliki nama. Jika kau cerdik dalam memilih lawan, maka kemenangan demi kemenangan akan kau raih dan
namammu pun akan menjadi terkenal."
Khongti dan yang lain sudah mulai mengerti ke arah mana pembicaraan ini akan pergi, karenanya Khongti pun
menyambung perkataan Ding Tao, "Nah, setelah kau berhasil memupun namamu, maka kau pun harus bersiap-siap, karena
akan datang anak muda lain yang juga ingin memiliki nama besar dan mereka akan menantangmu bertarung."
Hu Ban menambahkan, "Pada saat itu, jangan kau berpikir untuk pergi mengalahkan penjahat dan menolong orang. Karena
tanpa melakukan itu pun lawan demi lawan sudah mengantri untuk bertarung denganmu."
"Atau bisa juga kau mendirikan satu partai, sehingga kau memiliki bawahan dan kau tidak perlu turun tangan sendiri untuk melawan setiap orang yang ingin menantang dirimu.", ujar Chen Taijiang seakan memberi jalan keluar.
"Tapi itu artinya ada lebih banyak mulut untuk diberi makan, ada lebih banyak orang untuk diberi pakaian. Kau juga perlu rumah yang besar, kau perlu memastikan setiap anak buahmu merasa senang berada di bawah pimpinanmu. Tentu saja itu
artinya kau perlu punya usaha yang cukup besar untuk mendapatkan uang yang sangat banyak.", sambung Ding Tao sambil
mengenang betapa dia dulu sudah pernah sampai di sana dan bodohnya tak pernah terpikirkan tentang semua hal itu
sebelumnya. "Itu belum cukup, karena kau harus terus berlatih dengan keras, jika tidak bisa jadi akan datang lawan dan tidak
seorangpun dari anak buahmu bisa melawannya. Atau lebih buruk lagi, ada di antara bawahanmu yang nantinya memiliki
ilmu lebih tinggi darimu dan memancing timbulnya pengkhianatan.", sambung Wang Shu Lin yang mulai ikut menikmati
percakapan mereka ini. Mendengar panjang lebar pembicaraan mereka, Meng Ho jadi sakit kepala. Pertama sebelum dia menjadi pendekar tangguh
dia tidak bisa berkelana ke kota-kota besar, hanya berkelana di hutan-hutan dan desa-desa kecil. Lalu apa bedanya dengan kehidupan dia sekarang ini" Padahal dia membayangkan jika terjun ke dalam dunia persilatan dan menjadi pendekar, itu
artinya dia bisa keluar dari kehidupannya sebagai petani yang terasa membosankan ini. Melihat kota-kota besar dan
keramaian, dipuji dan disanjung orang. Lalu setelah mematangkan ilmunya, pujian dan sanjung puji itu tidak datang dengan sendirinya. Dia harus mempertaruhkan nyawa untuk mendapat nama besar. Setelah mendapatkan pun bukan berarti dia
bisa menikmati hasil usahanya, karena ancaman demi ancaman masih akan datang.
Pemuda itu pun menggeleng-gelengkan kepala, "Ah.. apakah tuan-tuan ini bersenda gurau denganku saja?"
"Hahaha, apakah kami hanya sekedar mempermainkanmu atau tidak, apakah tidak bisa kaupikirkan sendiri. Coba
renungkan, adakah perkataan kami itu masuk akal atau tidak.", jawab Khongti sembari tertawa ramah.
Cukup lama juga Meng Ho terdiam dan berpikir, "Kupikir tuan-tuan memang mempermainkanku, tapi maksud tuan-tuan itu
baik, untuk menunjukkan keadaan dunia persilatan yang sebenarnya."
Jawaban Meng Ho itu membuat mereka semua merasa kagum, pemuda tanggung itu rupanya punya pemikiran yang cukup
lumayan.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baguslah kalau kau mengerti.", ujar Ding Tao sambil menepuk-nepuk pundak pemuda itu.
"Tuan" kalau dunia persilatan sekeras itu, mengapa banyak orang masuk ke dalamnya" Kenapa pula tuan-tuan menjadi
pendekar?", tanya Meng Ho tiba-tiba.
"Hmm" ada banyak yang masuk ke dalam dunia persilatan karena sedari awal keluarga mereka sudah menjadi bagian dari
dunia persilatan. Ada pula yang tertarik mempelajari ilmu silat karena suka, seperti ada juga orang yang menyukai catur atau memancing.", jawab Ding Tao.
"Ada juga yang memulainya karena dendam, mungkin ada anggota keluarga yang terbunuh oleh orang-orang persilatan dan
mereka ingin membalasnya.", ujar Wang Shu Lin.
"Ada juga yang ingin mendapatkan nama besar dan melihat dunia persilatan sebagai jalannya.", ujar Zhu Yanyan.
"Atau mereka ingin kaya lewat jalan yang cepat, menjadi perampok bisa jadi pilihan jika imanmu tipis", sambung Khongti.
"Bisa juga karena pekerjaanmu membuatmu sering berkelana, dan kau ingin belajar ilmu silat untuk melindungi dirimu
sendiri sepanjang perjalanan. Jadi kau lihat Meng Ho, ada banyak alasan mengapa seseorang masuk ke dalam dunia
persilatan. Tidak ada yang salah dengan belajar ilmu silat, yang penting kau tahu benar untuk apa dan mengapa.", ujar Zhu Yanyan memberi nasehat.
"Menurut tuan, jika aku ingin menjadi pendekar nomor satu, apakah itu alasan yang tepat?", tanya Meng Ho setelah
mendengar itu semua. "Tidak ada yang bisa mengatakan alasan mana yang lebih baik, meski secara pribadi aku lebih cenderung mengatakan,
mempelajari ilmu silat untuk melindungi diri sendiri dan orang lain adalah alasan yang paling tepat. Sementara menjadi
pendekar nomor satu adalah jalan yang paling sukar dan paling berdarah yang mungkin bisa dipilih seseorang.", ujar Ding Tao sambil menghela nafas.
Meng Ho pun bertanya kembali, "Tuan, lalu tentang kisah-kisah kepahlawanan dari para pendekar yang sering diceritakan
tukang keliling, apakah itu benar nyata?"
Ding Tao tersenyum, bukankah dia dulu juga suka mendengarkan cerita para pendekar dari tukang cerita keliling, "Ada yang benar, ada yang tidak benar dan ada pula yang tidak tepat benar. Kau boleh mengambil pelajaran yang baik dari cerita-cerita itu, tapi jangan langsung percaya jika kau belum mengerti sendiri pokok persoalannya. Banyak kejadian dalam dunia persilatan yang harus diselidiki benar-benar, jika kita mau tahu duduk persoalan yang sebenarnya."
"Apakah tuan-tuan ada mengenal seorang pahlawan yang benar-benar dalam dunia persilatan?", tanya Meng Ho dengan
wajah ingin tahu. "Hahaha, kenapa kau bertanya demikian pada kami, kau kan baru saja bertemu dengan kami, bagaimana jika ternyata kami
ini sebenarnya sekelompok orang jahat?", ujar Khongti sambil tertawa terbahak-bahak.
Meng Ho pun menjawab dengan malu-malu, "Kukira itu tidak mungkin, tuan-tuan ini tentu orang baik. Sikap tuan ramah
dan tidak menakutkan, pula berwajah penuh wibawa, tampan dan cantik."
Mendengar jawaban Meng Ho tertawalah mereka semua, apalagi Khongti, tertawanya paling keras, sambil menunjuk ke
arah Chen Taijiang dia tertawa dan berkata terputus-putus, diselingi oleh tawa, "Dia bilang kita berwajah tampan, hahaha, wajah seperti itu" hahaha, tampan, hahaha, penuh wibawa..."
Chen Taijiang tentu saja memasang wajah cemberut, "Hmm" kau saja yang tidak bisa menilai ketampanan orang. Bunga
peoni kau bilang buruk, tai kerbau kau bilang harum."
Mendengar jawaban dan raut muka Chen Taijiang, yang lain pun tertawa, termasuk Meng Ho ikut pula tertawa.
"Sudahlah" sudah, jangan diteruskan lagi", ujar Zhu Yanyan setelah mereka puas tertawa.
"Meng Ho, pelajaran pertama yang harus kau ingat baik-baik jika kau mau terjun ke dalam dunia persilatan. Jangan kau
terlalu lekas percaya pada orang, meski jangan pula kau terlalu cepat menghakimi seseorang. Kau harus memiliki sikap
waspada dan pemikiran yang terbuka. Kau harus pintar memilah untuk tahu, mana yang memang benar-benar kau ketahui
sendiri dan mana yang masih merupakan kemungkinan atau sekedar kesan.", ujar Zhu Yanyan dengan serius.
Meng Ho pun mendengarkannya dengan baik-baik, kemudian menjawab, "Ya, aku mengerti tuan. Dari jawaban tuan-tuan
sekalian, semakin kuat dugaanku bahwa tuan-tuan sekalian tentu termasuk mereka yang baik. Jika tidak tuan-tuan akan
memanfaatkan kebodohanku dan membuatku semakin yakin bahwa tuan-tuan ini baik. Tapi kenyataannya tuan-tuan justru
menasehatiku untuk bersikap waspada dan menilai tuan-tuan dengan lebih berhati-hati."
"Hahaha, kau sungguh anak yang pintar, pemikiranmu itu ada benarnya juga. Yang penting gunakan mata, telinga dan
otakmu untuk mencerna segala sesuatunya dengan jelas.", ujar Zhu Yanyan.
Meng Ho pun merasa senang, dipandangnya wajah Zhu Yanyan yang berwibawa dan terlihat bijak, jenggotnya dan
rambutnya yang berwarna putih, maka dia pun berkata, "Tuan, benarkah jika kukatakan tuan adalah yang paling hebat di
antara tuan-tuan sekalian?"
"Ho" mengapa kau berkata demikian?", jawab Zhu Yanyan balik bertanya.
"Karena tuan yang terlihat paling tua dan bijaksana", jawab Meng Ho tanpa ragu lagi.
"Hahahaha, tentang tua kau memang benar, aku yang tertua, tapi sesungguhnya bukan aku yang ilmunya paling tinggi di
antara kami berdelapan.", jawab Zhu Yanyan sambil tertawa lebar.
"Oh" benarkah" Lalu siapa yang paling tinggi ilmunya di antara tuan-tuan sekalian?", tanya Meng Ho dengan heran.
"Apakah tuan yang seperti raksasa ini?", tanya dia sambil menunjuk ke arah Pang Boxi.
"Hahaha, kau masih salah", jawab Pang Boxi sambil tertawa.
"Kalau begitu siapa?", tanya Meng Ho dengan bingung.
"Heh" kalau kau bertanya orangnya sendiri tentu tidak akan mengaku, jadi biar aku tunjuk saja orangnya. Nah inilah orang yang ilmunya paling tinggi di antara kami berdelapan.", ujar Khongti sambil tangannya menunjuk ke arah Ding Tao.
Meng Ho pun menatap Ding Tao penuh rasa kagum, membuat wajah Ding Tao memerah karena merasa malu.
"Apakah benar itu tuan?", Meng Ho bertanya pada Ding Tao.
"Ah", tidak juga, ilmu silat sukar diukur, siapa yang lebih tinggi juga sulit dikatakan, setiap orang yang rajin tentu ilmunya akan terus bertambah, yang hari ini unggul, belum tentu tahun depan masih unggul. Menang kalah dalam satu pertarungan
juga sangat dipengaruhi oleh keadaan sekitar. Yang menang ketika beradu di atas panggung, belum tentu menang ketika
bertarung di atas perahu atau bahkan di dalam air.", jawab Ding Tap merasa tidak enak ditanya demikian.
Tapi jawaban Ding Tao itu justru membuat Meng Ho semakin yakin, maka dengan penuh keyakinan pemuda itu menjawab,
"Ah" tuan sangat merendah, sudah pasti memang benar tuanlah yang terhebat. Tuan begitu rendah hati, pula tuan
bertubuh tinggi, tegap dan berwajah tampan. Sungguh tuan ini pastilah seorang pahlawan."
Mendengar perkataan Meng Ho itu, Khongti pun tertawa terbahak-bahak, "Eh anak muda bagus sekali pandanganmu menilai
orang. Kalau begitu bisakah kau menunjukkan siapa orang kedua terhebat dalam kelompok kami ini?"
Dan tanpa ragu Meng Ho pun menunjuk ke arah Wang Shu Lin, "Tentu saja nona ini, dia begitu cantik dan anggun,
pasangan yang sesuai untuk tuan pahlawan."
Wang Shu Lin dan Ding Tao pun tersipu malu, sementara ke-enam guru Wang Shu Lin tertawa terbahak-bahak mendengar
jawaban Meng Ho yang polos itu.
Apalagi ketika Khongti menunjuk ke arah Chen Taijiang dan berkata, "Bocah, itu artinya menurut cara penilaianmu tentu
dialah yang berada di nomor terakhir."
"Hmm" mengapa pula kau selalau mengolok-olok wajahku", jawab Chen Taijiang dengan sedih.
"Hohoho, jadi akhirnya kau mengaku kalau wajahmu itu buruk?", kata Khongti.
"Tidak, siapa bilang begitu" Hanya saja di antara kita semua berdelapan yang semuanya tampan, gagah dan cantik ini.
Memang wajahkulah yang terburuk. Tapi kalau dibandingkan dengan wajah tokoh-tokoh dunia persilatan yang ada, wajahku
termasuk nomor tujuh yang tertampan.", jawab Chen Taijiang dengan cepat.
Olok-olok di antara mereka berdua ini membuat semuanya tertawa. Meng Ho pun tersadar, betapa dangkalnya cara dia
berpikir tadi. "Tuan, jika kita tidak bisa menentukan kehebatan seseorang dari luar, lalu dari mana kita tahu siapa yang hebat dan siapa yang tidak?", tanyanya kemudian setelah tawa mereka semua mereda.
"Hmm", jika kau sudah berlatih dan kepekaanmu semakin tinggi, kau bisa menilai ketenangan seseorang dari cara dia
bernafas. Kau bisa melihat bagaimana lanngkah kakinya, apakah ringan atau berat. Mantap atau tidak seimbang.
Bagaimana posisi tubuhnya, apakah banyak celah kelemahan atau rapat terlindungi. Tapi itu semua hanya memberi
gambaran yang kasar, terkadang seorang yang ahli dengan sengaja menyembunyikan ciri-ciri tersebut dan berpura-pura
seperti orang yang lemah. Kau baru bisa tahu hebat atau tidaknya dia setelah kau bertarung dengannya.", ujar Zhu Yanyan panjang dan lebar.
"Itu sebabnya, seseorang harus selalu rendah hati dan sopan, siapa pun yang sedang dia hadapi. Karena kau tidak pernah
tahu.", ujar Khongti menyambung.
"Hmm dan sikap rendah hati, bukan saja karena rasa takut, tapi yang lebih penting adalah kerendahan hati itu timbul
karena kau menyadari keberadaanmu sebagai manusia yang serba terbatas. Di atas langit masih ada langit, ini ucapan yang baik, mengingatkan kita untuk tidak menjadi sombong oleh kebisaan kita.", lanjut Chen Taijiang berusaha melengkapi
nasehat-nasehat sebelumnya.
"Apa yang diucapkan saudaraku itu benar, kau harus ingat itu baik-baik. Apa pun jalan yang kau pilih, siapa pun dirimu.
Kerendahan hati adalah sifat yang baik dan sikap yang paling tepat dalam menghadapi segala keadaan.", ujar Khongti
membenarkan. Sambil bercakap-cakap dan bersenda gurau, perjalanan pun jadi terasa singkat.
"Lihat sepertinya kita sudah sampai di pusat desa.", ujar Hu Ban sambil melihat ke depan, di kiri dan kanan mereka sudah mulai terlihat rumah-rumah penduduk.
Melihat mereka sudah sampai di tujuan, Meng Ho terlihat sedikit kecewa.
"Ah" ya", kita sudah sampai. Padahal masih banyak yang ingin kutanyakan.", keluhnya dengan sedih.
Ding Tao tertawa kecil melihat kekecewaan Meng Ho, "Sudahlah, kau antar kami ke rumah kepala desa, nanti selesai kami
minta ijin untuk tinggal di desa kalian, kami akan pergi pula ke rumahmu. Bisa kita sambung nanti percakapan kita.
Bagaimana?" "Benar tuan mau mampir ke rumahku?", tanya Meng Ho bersemangat.
"Tentu saja, kenapa tidak, masa kau tidak percaya?", jawab Ding Tao.
"Percaya, percaya, tentu saya percaya, ayolah aku antar ke rumah kepala desa, nanti aku akan minta ibu menyiapkan
makanan dan minuman.", ujar Meng Ho dengan bersemangat.
"Hei, jangan sampai merepotkan ibumu", ujar Ding Tao sambil mengikuti Meng Ho yang sudah berjalan cepat ke rumah
kepala desa, tak sabar dia untuk buru-buru pulang dan bertemu dengan ibu serta adik-adiknya, juga tetangga dan teman-
temannya, kedatangan rombongan Ding Tao nanti benar-benar satu berita besar.
"Ah, tidak repot, tidak repot.", ujar Meng Ho sambil setengah berlari.
Ding Tao yang melihat itu jadi menggeleng-gelengkan kepala, dia sudah membuka mulut hendak mencegah Meng Ho, tapi
Khongti menggamit tangannya sambil menggelengkan kepala.
"Percuma dibilang apa juga. Dia tidak akan mendengarkan.", ujar Khongti pada Ding Tao.
Ding Tao pun tertawa kecut sambil mengangkat bahu, "Ya, sudahlah, bukan maksudku merepotkan orang."
Kepala Desa Hotu, orangnya sudah berumur, tapi seperti penduduk desanya, dia pun orangnya ramah dan rendah hati.
Namanya Li Su, biasa dipanggil Kepala desa Li. Bagi dia, rombongan Ding Tao sudah seperti rombongan seorang pejabat
besar. Jarang-jarang ada rombongan dari cina daratan yang berkunjung ke desanya. Apalagi sampai delapan orang
jumlahnya. Kebanyakan penduduk di Desa Hotu masih memiliki pertalian dengan bangsa Han, itu sebabnya mereka pun
menaruh hormat pada Ding Tao dan yang lainnya, yang datang dari dalam perbatasan.
"Jadi, tujuan kalian ke mari untuk berobat pada tabib di desa kami?", tanya Kepala Desa Li.
"Kurang lebih begitu, yang pasti kami butuh beberapa informasi darinya, mungkin juga nantinya akan nyata juga bahwa ada dari kami yang memerlukan pengobatan.", jawab Zhu Yanyan.
"Hmm" di desa ini Cuma ada Tabib Sheng, apakah dia orang yang kalian cari?", tanya salah seorang pembantu kepala desa
yang ikut menemui mereka, namanya Bo Tu.
"Petunjuk yang kami terima hanya mengatakan bahwa kami harus menemui tabib di desa ini, jika di desa ini hanya ada satu tabib, berarti dialah orangnya.", jawab Zhu Yanyan.
"Ya" kalau begitu memang tidak ada lagi tabib lain di desa ini, ya hanya ada Tabib Sheng, tapi aku tidak tahu kalau ilmunya sehebat itu, sampai ada orang jauh-jauh datang untuk meminta bantuannya.", jawab Bo Tu sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
Zhu Yanyan pun tersenyum lebar, "Ya" ada kalanya orang pintar justru mencari tempat sembunyi dan hidup dengan tenang
sembari menutupi kepandaiannya."
"Ya bisa juga begitu, tapi memang selama ini setiap kali ada yang sakit dan pergi ke Tabib Sheng, kebanyakan tentu
sembuh, kecuali memang sudah waktunya untuk berangkat menemui dewa Yama.", ujar Kepala desa Li.
"Lalu apakah kalian akan tinggal di tempat Tabib Sheng atau hendak mencari tempat lain" Kira-kira berapa lama kalian
akan tinggal di sini?", tanya Kepala desa Li.
Zhu Yanyan dan yang lainnya sudah pernah merundingkan hal ini, jadi Zhu Yanyan dengan cepat menjawab pertanyaan
Kepala desa Li, "Sebenarnya bisa dikatakan kami ini pelarian dari daratan, ada orang-orang yang mungkin akan mencari
jejak kami, meski kami rasa mereka tidak akan m ampu mengikuti kami sampai di sini. Tapi itu sebabnya kami sudah
sepakat, untuk tinggal di luar perbatasan desa, hanya pada saat-saat kami perlu bertemu Tabib Sheng atau perlu membeli
sesuatu dari desa, kami akan datang."
Mendengar penjelasan Zhu Yanyan, mata Kepala desa Li dan Bo Tu sedikit membesar dan jantung mereka sedikit berdebar.
"Hmm" rupanya begitu, agak riskan juga situasinya, tapi aku senang kalian mau berterus terang, dari jawaban kalian itu
artinya kalian pun tak mau menyusahkan kami. Kalian orang yang baik. Baiklah aku tidak keberatan, kalian bisa tinggal di utara desa ini, dengan begitu lebih mudah bagi kalian untuk menemui Tabib Sheng, juga di daerah itu hutan sudah mulai
dibuka meski baru sedikit-sedikit. Jadi kalian dengan mudah bisa mendapatkan kayu untuk membangun rumah, kami pun
akan ikut membantu. Tentu saja, hanya rumah yang sederhana saja. Sementara menunggu rumah itu siap, kalian bisa
tinggal di rumahku, rumahku cukup besar untuk kalian ber-delapan.", ujar Kepala desa Li setelah berpikir beberapa lama.
Bo Tu yang mendengar keputusan Kepala desa Li ikut mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. Zhu Yanyan dan yang
lain terlihat lega mendengar jawaban Kepala desa Li yang menyambut mereka dengan tangan terbuka.
"Terima kasih karena Kepala desa Li mau menerima kami dengan tangan terbuka", ujar Zhu Yanyan dengan sopan.
"Sama-sama, sama-sama, aku lihat kalian semua orang baik, yang aku harapkan dengan sungguh-sungguh adalah agar
kalian benar-benar memperhatikan keadaan desa ini, agar rakyat desa ini tidak ikut terlibat dengan masalah yang kalian
bawa. Seperti yang kalian lihat, kami hidup dengan damai, jauh dari kekerasan dan kuharapkan sampai nanti aku menutup
mata keadaan desa ini tetap damai.", jawab Kepala desa Li.
Zhu Yanyan pun menganggukkan kepala dengan tulus, "Kami mengerti, kami tidak akan membalas kebaikan kalian dengan
keburukan. Pada saat yang paling mendesak pun kami akan memilih mengorbankan diri kami sendiri daripada penduduk
desa ini." "Ya" ya" aku mengerti, aku percaya itu, itu sebabnya kedatangan kalian kami terima dengan tangan terbuka.", ujar Kepala desa Li.
Selesai dengan meminta ijin pada Kepala desa Li, maka mereka pun beralih pada pembicaraan yang ringan-ringan, sebelum
kemudian berpamitan. "Jadi kalian mau ke rumah Meng Ho?", tanya Kepala desa Li.
"Benar, tadi kami sudah berjanji mau mampir dulu ke rumahnya, setelah kami selesai meminta ijin pada Kepala desa Li.",
ujar Zhu Yanyan. "Hohoho, dia memang seorang pemuda yang penuh semangat, aku yakin pembicaraan di rumahnya nanti bakal cukup
menghibur. Mungkin nanti aku juga ikut mampir ke sana.", ujar Kepala desa Li sambil tertawa.
Selesai berpamitan, mereka pun bersama-sama mencari rumah Meng Ho. Tanpa banyak kesulitan mereka sampai di sana.
Begitu sampai di sana, Ding Tao dan rombongannya cukup terkejut karena rumah Meng Ho sudah ramai dengan orang.
Sedikit bersungut-sungut, Meng Ho menyambut tamu-tamunya dan menjelaskan, "Sudah kubilang pada ibu, jangan banyak
cerita pada tetangga, ternyata tetap saja dia cerita. Jadinya mereka ikut datang, ingin melihat tamu desa ini. Sudah lama tidak ada pengunjung dari luar."
Ibunya yang sedang menghidangkan makanan dan minuman rupanya mendengar ucapan Meng Ho dan sambil tertawa
keras dia berkata, "A Ho, jangan asal buka mulut, kau sendiri menyombong ke teman-temanmu, sekarang mereka juga
pada datang ingin mendengar cerita."
Melihat keramaian itu Khongti tertawa saja, "Wah, rupanya kita bakal jadi bintang utama malam ini."
Meng Ho mempersilahkan mereka duduk sambil tersipu malu karena tidak mampu menjaga mulutnya. Tapi penduduk desa
yang sudah cukup umur, dengan cepat membuat tamu-tamu mereka merasa betah dengan gurauan-gurauan ringan dan
pertanyaan-pertanyaan mereka tentang keadaan di luar desa mereka. Dengan cepat terbentuk kelompok-kelompok kecil,
ada yang suka mendengar cerita-cerita Khongti, Hu Ban dan Chen Taijiang. Ada yang memilih berbicara dengan Zhu Yanyan
dan Pang Boxi. Ibu-ibu lebih banyak berkumpul di sekitar Shu Sun Er dan Wang Shu Lin. Sementara mereka yang seumuran
dengan Meng Ho dan juga Meng Ho berkumpul di sekitar Ding Tao.
Tidak berapa lama, Kepala desa Li ikut pula datang dalam keramaian itu, dari cara penduduk memperlakukannya, jelas dia
seorang kepala desa yang dihormati dan disukai oleh penduduknya.
Pembicaraan itu pun berlangsung hangat, apalagi di kelompok Khongti yang pandai bicara, sebentar-sebentar tentu
terdengar tawa mereka meledak. Tapi waktu terus berjalan dan hari pun makin larut, satu per satu tamu berpamitan.
Pada saat sudah mulai sepi, justru tiba-tiba datang seorang tamu yang memiliki arti penting buat Ding Tao dan
rombongannya. Seorang tua dengan dandanan sederhana, wajahnya cekung saking kurusnya dia, tapi terlihat cerah dengan
senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.
"Malam Kepala desa Li, Meng Ho", apa kabar Bibi Wang ?", satu per satu mereka yang ada di sana disapanya.
"Tabib Sheng", begitu ramainya rumah kami sampai kau pun datang ya?", ujar ibu Meng Ho sambil membawakan secangkir
minuman untuk tabib tua itu.
Mendengar nama Tabib Sheng disebut, tentu saja Ding Tao berdelapan dengan sendirinya menoleh dan memperhatikan
tamu yang baru datang. Tabib Sheng pun tanpa berbasa-basi menyapa mereka dan berkata, "Kudengar kalian datang arena ada keperluan
denganku, apa benar?"
Zhu Yanyan sebagai yang tertua pun maju dan menjawab, "Benar sekali Tabib Sheng, sebenarnya kami datang diutus oleh
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan."
Mendengar dua nama itu, mata Tabib Sheng tampak berkilat, "Hmm" benarkah demikian" Menarik sekali, apakah mereka
menitipkan suatu pesan?"
"Tidak ada, kami hanya diperintahkan untuk menceritakan segala kejadian yang kami alami dan nantinya Tabib Sheng tentu
tahu apa yang harus dilakukan.", jawab Zhu Yanyan dengan jujur.
"Hmm..hmm" di mana nanti kalian akan tidur?", tanya Tabib Sheng.
"Kepala desa Li sudah menawari kami untuk menginap di rumahnya, sampai kami selesai membangun rumah untuk kami
sendiri di luar batas desa.", jawab Zhu Yanyan.
"Oh", mengapa demikian?", tanya Tabib Sheng heran.
"Kami sendiri yang memintanya demikian, karena sebenarnya, saat ini bisa dikatakan kami ini adalah pelarian. Lawan-lawan kami adalah orang kuat dalam dunia persilatan.", jawba Zhu Yanyan tanpa menutupi apa pun.
Berita ini tentu saja sebuah berita baru untuk penduduk desa yang lain, kecuali bagi Kepala desa Li dan Bo Tu yang sudah mendengar cerita Zhu Yanyan lebih dahulu.
"Ah", benar-benar menarik. Kalau begitu begini saja, biarlah kalian tinggal bersamaku sambil menunggu rumah itu selesai.
Bagaimana" Kepala desa Li, tidak keberatan kan, kalau tamunya aku rebut?", ujar Tabib Sheng sambil terkekeh.
"Haha, Tabib Sheng ada-ada saja, tentu saja tidak apa-apa. Sepertinya memang ada hal yang penting yang harus kalian
bicarakan.", ujar Kepala desa Li.
"Jadi bagaimana menurut kalian", tanya Tabib Sheng ke arah Zhu Yanyan.
"Kupikir itu usul yang bagus, asal Tabib Sheng tidak repot saja, karena kami ada berdelapan.", jawab Zhu Yanyan.
"Hehehe, tidak, tentu saja tidak.", jawab Tabib Sheng.
Setelah itu mereka pun kembali berbincang-bincang seperti biasa, namun tamu-tamu yang lain sadar juga ada hal penting
yang akan dilakukan tamu desa mereka ini di desa mereka. Lagipula hari memang sudah mulai menginjak malam dan
sebelumnya sudah banyak yang berpamitan. Maka dalam waktu singkat, rumah itu pun jadi sepi, tinggal Ding Tao
berdelapan, Meng Ho, ibu dan saudara-saudaranya, serta Tabib Sheng.
"Meng Ho, kurasa sudah saatnya kami berpamitan, terima kasih banyak untuk keramahan kalian.", ujar Zhu Yanyan
sembari mengangguk ke arah Meng Ho dan ibunya.
Ibu Meng Ho pun menjawab, "Ah, biasa saja, kami ini jarang ada hiburan, jadi berita tentang kedatangan kalian jadi berita besar. Kalian juga merupakan tamu-tamu yang menyenangkan, justru kami yang berterima kasih, cerita-cerita kalian
membuat desa yang sepi ini jadi hidup."
"Hahaha, syukurlah kalau begitu, besok-besok tentu kami akan mampir lagi.", ujar Khongti menjawab.
Selesai berpamitan, mereka pun pergi meninggalkan rumah Meng Ho dan pergi ke rumah Tabib Sheng. Di sepanjang
perjalanan tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara, karena Tabib Sheng sendiri hanya berdiam saja dan tampak tak
ingin membicarakan apa pun. Melewati beberapa rumah, bertemu dengan beberapa orang yang masih duduk-duduk di
pelataran, akhirnya mereka sampai juga di rumah Tabib Sheng.
"Ini rumahku, cukup besar juga kan" Tapi harap maklum kalau di dalamnya sederhana saja, tapi orang persilatan seperti
kalian tentu sudah biasa tidur di mana saja. Ada cukup banyak pembaringan, beberapa tahun yang lalu desa ini sempat
terserang penyakit menular dan akhirnya kami kumpulkan mereka semua di sini untuk aku rawat.", ujar Tabib Sheng.
"Eh" Tabib Sheng, tapi tidak menular kan kalau kami tidur di pembaringan itu?", tanya Shu Sun Er ragu-ragu.
"Hahaha, tentu saja tidak, sudah aku semprotkan obat-obatan, lagipula itu sudah beberapa tahun yang lalu, penyakit yang ada tentu sudah mati semua dalam jangka waktu selama itu.", ujar Tabib Sheng sambil membuka pintu dan
mempersilahkan tamu-tamunya masuk.
Rumah Tabib Sheng memang benar sederhana dan tidak banyak isinya, namun bersih dan rapi. Hanya saja ada samar-
samar bau obat-obatan di rumahnya, seperti biasa toko jual obat atau rumah tabib lainnya. Shu Sun Er tampak lega melihat betapa bersih dan rapinya rumah itu.
"Ini ada beberapa bangku, mari bantu aku memindahkannya ke mari, supaya kita bisa bicara dengan enak.", ujar Tabib
Sheng sambil berjalan ke ruangan yang lain.
Maka Ding Tao dan yang lain pun mengikuti Tabib Sheng dan dalam waktu yang singkat, di ruangan yang besar tadi sudah
ada bangku-bangku bahkan sebuah meja. Shu Sun Er dan Wang Shu Lin pun dengan cekatan sudah menghidangkan satu
poci besar teh panas untuk mereka semua.
"Hmm" begini baru nikmat" nah coba ceritakan apa yang terjadi dengan kalian. Apa hubungannya dengan Bhiksu
Khongzhen dan Pendeta Chongxan, lalu bagaimana sampai mereka berdua memberi pesan pada kalian untuk datang
mencariku di desa ini.", ujar Tabib Sheng setelah menyeruput teh yang dihidangkan.
Maka Zhu Yanyan pun menceritakan segala kejadian yang telah terjadi beberapa bulan terakhir di dalam perbatasan. Tabib
Sheng mendengarkan dengan serius, beberapa kali dia menghela nafas tapi dia tidak menyela penuturan Zhu Yanyan. Baru
ketika Zhu Yanyan sampai pada bagian di mana Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan mengambil keputusan untuk
mengorbankan nyawa mereka.
"Tunggu" ah" lalu apa yang terjadi" Apakah mereka" hmm" apakah mereka berdua sudah meninggalkan dunia ini?", sela
Tabib Sheng dengan suara bergetar dan sedih.
Zhu Yanyan yang melihat kesedihan dalam pertanyaan Tabib Sheng jadi merasa terharu. Meski duka mereka sudah lama
lewat dan tidak lagi membuat mereka kelu dan tidak dapat melanjutkan hidup mereka, tapi melihat ada orang lain yang
juga berduka oleh kematian mereka berdua, rasa harunya pun muncul.
Dengan suara sedikit serak Zhu Yanyan menjawab, "Kami terlambat", kedua tetua saat itu berhasil menghalau lawan, tapi
mereka pun menderita luka yang sangat parah. Luka dalam akibat terlalu memaksakan diri untuk menggunakan hawa
murni secara berlebihan, melampaui takaran tubuh fisik mereka."
Mendengar itu Tabib Sheng menutup matanya, tidak ada yang berani bersuara, setitik air mata tampak mengalir
membasahi pipinya. Lama kemudian baru dia membuka mata, air mata yang meleleh tak juga disekanya.
Ketika dia bicara, terdengar suaranya serak dan bergetar, "Tak kusangka mereka mendahuluiku" "
"Baiklah sepertinya giliranku yang harus bercerita, aku sudah bisa menduga mengapa mereka mengirimkan kalian
kepadaku. Tentu saja hal ini utamanya berhubungan dengan dirimu.", ujarnya sambil menunjuk ke arah Ding Tao.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmm" entah dari mana harus kumulai, mungkin aku lebih baik memulainya dengan memperkenalkan diriku sendiri.", ujar
Tabib Sheng setelah berpikir sejenak.
"Orang di desa ini mengenalku dengan panggilan Tabib Sheng, padahal namaku yang sebenarnya adalah Shen Goan", ujar
Tabib Sheng atau Shen Goan sambil mengamati reaksi orang-orang di sekitarnya.
Ketika melihat enam orang guru Wang Shu Lin berubah wajahnya, dia pun tersenyum dan berkata, "Benar dugaan kalian,
aku adalah Shen Goan, salah satu tetua dari Partai Matahari dan Bulan."
Sekarang bukan saja ke-enam guru Wang Shu Lin yang terkejut, Ding Tao dan Wang Shu Lin juga ikut berubah wajahnya.
"Ketua Ding Tao setelah mendengar itu, apakah kau masih mempercayaiku?", tanya Shen Goan pada Ding Tao.
Ding Tao ternyata bisa menjawab dengan wajar, "Ya, siauwte memang sempat terkejut tapi siauwte tetap percaya pada
Tetua Shen, bukankah Tetua Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan juga percaya pada Tetua Shen" Selain itu dari apa
yang siauwte lihat, tidak ada alasan untuk tidak mempercayai Tetua Shen. Orang boleh berasal dari suku mana saja, dari
partai apa saja, dia dinilai bukan dari mana dia berasal tapi dari perbuatannya."
Tetua Shen tersenyum dan menganggukkan kepala, "Bagus, tidak salah Khongzhen dan Chongxan mempercayakan masa
depan dunia persilatan dari dua negara yang berbeda padamu. Dalam usia semuda ini, kau memiliki jiwa yang besar, pikiran yang terbuka dan jernih."
"O ya, kalau bisa kalian tetap panggil saja aku Tabib Sheng, sudah terlampau lama orang memanggilku dengan nama itu,
sekarang aku merasa lebih nyaman menjadi Tabib Sheng daripada Tetua Shen.", ujarnya kemudian.
"Baik, kalau begitu akan kuteruskan ceritaku, kuharap kalian mau bersabar karena ceritaku ini cukup panjang.", ujar Tabib Sheng yang kemudian membasahi lagi tenggorokannya dengan secangkir teh.
Maka mulailah Tabib Sheng bercerita, dia menjadi anggota Partai Matahari dan Bulan sejak masih kanak-kanak, ketika itu
Partai Matahari dan Bulan belumlah disebut Partai Matahari dan Bulan, juga belum memiliki bentuknya seperti yang
sekarang ini. Pada awalnya Partai Matahari dan Bulan adalah sebuah kumpulan keagamaan, ada seorang asing yang membawa ajaran
agama baru di tanah itu, berasal jauh dari barat daratan Cina. Ajaran dasarnya sendiri bahkan Tabib Sheng pun sudah tidak mengingatnya dengan jelas, tapi satu hal yang dia ingat, ajaran itu menitik beratkan pada rasa persaudaraan di antara
sesama manusia.Di antara mereka tidak ada yang namanya milik pribadi, semuanya saling membantu dan saling menolong.
Pada orang di luar kelompok mereka, mereka selalu siap untuk menolong tanpa memandang siapa yang ditolong. Di masa
yang sulit, di mana panen gagal dan bencana alam terjadi, ajaran itu memiliki daya tariknya sendiri. Di mana setiap
pengikutnya bersama-sama saling memikul, sama-sama menanggung penderitaan yang lain. Saling menghibur dan
menguatkan, dan dalam waktu yang singkat jumlah merekapun bertambah dengan pesat.
Tidak sedikit pula, mereka dari golongan perompak dan penjahat yang kemudian bertobat dan bergabung dalam kumpulan
mereka. Tertarik oleh tawaran akan pengampunan dan penerimaan sesama manusia yang tidak mengingat-ingat masa lalu
mereka yang kelam. Tapi perkembangan yang pesat tidak selalu merupakah berkat. Perkembangan yang pesat itu membuat pejabat setempat
merasa khawatir karena semakin lama kelompok itu menjadi semakin kuat. Salah satu yang mengkhawatirkan pihak
bangsawan, adalah pandangan bahwa semua manusia itu sederajat tidak ada yang lebih tinggi tidak ada yang lebih rendah.
Khawatir kekuasaan mereka akan melemah, dan diwarnai juga oleh kecemburuan dari pemuka-pemuka agama yang sudah
ada sebelumnya. Maka akhirnya muncullah keputusan dari pemegang kekuasaan waktu itu, bahwa ajaran tersebut adalah
ajaran sesat dan siapa pun yang menganutnya akan dianggap menjadi pengkhianat kerajaan, karena memandang kaisar
yang adalah putera langit sebagai manusia yang sederajat.
Mulailah timbul penangkapan-penangkapan dan pemaksaan untuk meninggalkan ajaran itu. Sebagai ajaran agama yang
tentu saja menentang perbuatan kekerasan, pada awalnya korban berjatuhan dengan banyak, karena meski tidak melawan,
di saat yang sama mereka pun menolak untuk meninggalkan iman mereka.
Perubahan mulai terjadi ketika pembawa ajaran agama itu sendiri tertangkap dan dihukum mati. Pada awalnya para
pemegang kekuasaan mengira itulah akhir dari pergerakan itu. Siapa sangka justru hilangnya pimpinan yang kharismatik itu membuat perubahan dalam pergerakan mereka. Para dedengkot tokoh sesat yang sudah bertobat, juga para pendekar dari
aliran putih yang menjadi pengikut dari ajaran itu mulai melawan kekerasan dengan kekerasan. Jatuhnya korban dari antara saudara-saudara mereka membuat mereka tidak tahan lagi untuk tidak menggunakan kepandaian mereka di masa
sebelumnya. Dan lahirlah Partai Matahari dan Bulan, setiap anggotanya pun dilatih oleh para pendekar dan tokoh sesat yang sudah
bertobat itu. Sebagai saudara, tidak ada yang disembunyikan, mereka pun dengan bebas mendiskusikan ilmu mereka
masing-masing. Dari berbagai macam pertemuan dan pembicaraan, lahirlah ilmu-ilmu tangguh yang memiliki cirinya
sendiri, berbeda dengan ilmu-ilmu yang ada sebelumnya.
Menilik keadaan yang mendesak, di mana mereka yang sudah terlampau berumur untuk bisa melatih ilmu kepandaian
secara efektif dan juga tidak mungkin membuat mereka siap dalam waktu yang singkat. Salah seorang mantan tokoh sesat
yang ahli dalam bidang obat-obatan dan racun, mulai mengolah obat-obatan semacam Obat Dewa Pengetahuan yang
tujuannya membantu para saudara yang awam itu, untuk menguasai ilmu untuk sekedar membela diri dalam waktu yang
singkat. Jumlah obat-obatan itu sendiri sangat beragam, mulai dari obat untuk menambah kekuatan, obat untuk membuat salah
satu anggota tubuh jadi beracun sampai obat perangsang syaraf untuk bekerja lebih cepat.
"Aku salah satu pewaris ilmu dari tabib itu, dulu dia dikenal dengan nama Tabib sesat dari Utara, Pa Yo Bong. Kukira itu salah satu alasan mengapa Saudara Khongzhen dan Chongxan mengirimku kepadaku.", ujar Tabib Sheng disela-sela
ceritanya. "Nah sekarang aku lanjutkan lagi kisahku meski memakan waktu agak lama, karena nanti pada akhirnya kalian akan
mendapatkan gambaran yang jelas, mengapa kalian sekarang berada di sini.", lanjutnya kemudian.
Dari sebuah perkumpulan agama, Partai Matahari dan Bulan pun berubah menjadi sebuah partai dunia persilatan, karena
bekas-bekas orang dunia persilatan-lah yang kemudian mengambil alih pimpinan dari perkumpulan itu. Bukan karena
mereka serakah dengan kekuasaan, namun karena penindasan dari penguasa setempat secara tidak langsung sudah
memaksakan posisi itu pada mereka. Generasi pun berganti generasi, semakin lama ajaran yang berlandaskan keagamaan
semakin ditinggalkan dan sifat-sifat dari sebuah organisasi dunia persilatan yang lebih menonjol. Yang terkuatlah yang
menjadi pimpinan, siapa kuat dia yang benar. Meski ada sedikit perbedaan dengan partai lain, di mana posisi ketua adalah seumur hidup. Dalam Partai Matahari dan Bulan, posisi ketua bukanlah seumur hidup, melainkan dibatasi oleh prinsip itu
sendiri, siapa yang terkuat dialah yang menjadi ketua. Hal ini dimaksudkan juga untuk memacu perkembangan ilmu silat
dari partai mereka dan terbukti persaingan yang timbul membuat muncul banyak tokoh-tokoh berkepandaian tinggi di
dalam partai mereka. Namun juga muncul pergerseran, ketika lama kelamaan, pemikiran itu bukan hanya diterapkan dalam partai mereka sendiri.
Pemikiran siapa yang terkuat, maka dia yang berkuasa juga berjalan ke arah keluar. Maka timbullah pemikiran bahwa Partai Matahari dan Bulan adalah partai yang terkuat, karenanya sudah sepantasnya jika partai mereka menjadi penguasa atas
yang lainnya. Ketika Ren Zhuocan menjadi ketua dari Partai Matahari dan Bulan, di dalam partai itu pun sudah terbagi
menjadi dua bagian. Mereka yang searah dengan kebijakan dan ambisi Ren Zhuocan untuk menguasai dunia dan mereka yang masih mengingat
ajaran awal dari perkumpulan mereka, meski itupun hanya samar dan hanya dalam bentuk semangatnya saja. Kedua
golongan itu pun diam-diam saling bersaing untuk menentukan arah dari Partai Matahari dan Bulan di masa depan. Namun
pada saat ini, golongan yang searah dan seambisi dengan Ren Zhuocan lebih kuat karena sampai saat ini tidak ada yang
memiliki ilmu setinggi Ren Zhuocan. Sudah beberapa kali pemilihan ketua partai diadakan, didorong oleh keinginan dari
golongan yang berseberangan dengan Ren Zhuocan untuk menjadikan salah satu dari mereka ketua Partai Matahari dan
Bulan menggantikan Ren Zhuocan. Tapi nyatanya, sekian kali mereka mencoba dan Ren Zhuocan selalu muncul sebagai
pemenang. "Sampai di sini kisahku, apakah Ketua Ding Tao sudah bisa meraba ke arah mana pembicaraan kita akan berlangsung?",
tanya Tabib Sheng pada Ding Tao.
Berkerut dahi Ding Tao, menyambung-nyambungkan antara keadaan dirinya dengan kedaan Partai Matahari dan Bulan yang
baru saja diceritakan oleh Tabib Sheng. Yang lain pun diam-diam ikut berpikir. Cukup lama Ding Tao berpikir, membuat
beberapa orang dari mereka mulai merasa gemas karena begitu lama dia berpikir.
Akhirnya Ding Tao pun menegakkan kepala dan menjawab, "Setelah memikirkannya, aku kira aku tahu apa jawabnya.
Hanya saja aku kuatir terlalu tinggi menilai diri sendiri dalam pemikiranku ini."
Tabib Sheng tertawa ramah, "Ah, tidak apa, cobalah kita dengar apa pemikiran Ketua Ding Tao mengenai masalah ini."
Ketika Ding Tao mulai menjawab, mereka pun membandingkan jawaban mereka dengan jawaban Ding Tao, sembari
bertanya-tanya dalam hati, benarkah dugaan mereka itu. Jawaban seperti apa yang diberikan oleh Tabib Sheng atas dugaan
mereka itu" Dan seperti apakah jawaban yang diberikan Ding Tao pada Tabib Sheng"
Ding Tao pun menjawab, katanya, "Sekali lagi aku merasa kurang yakin dengan jawabanku ini, tapi hanya jawaban ini yang
kupikir paling sesuai."
"Seperti yang kita ketahui, saat ini Partai Pedang Keadilan bisa dikatakan sudah lepas dari tanganku. Bila pun ada yang masih setia, baik dari segi jumlah maupun dari segi kemampuan tidak bisa menandingin lawan yang saat ini bersatu
membentuk satu kekuatan yang tidak tertandingi oleh kekuatan manapun dalam perbatasan."
"Di lain pihak, ada Partai Matahari dan Bulan, yang memiliki kekuatan sangat besar dan sejak belasan tahun yang lalu sudah muncul kekhawatiran bahwa tanpa bersatu, dunia persilatan di dalam perbatasan akan ditaklukkan olehnya. Tapi justru di
luar sepengetahuan kita semua, sebenarnya tidak semua anggota Partai Matahari dan Bulan menghendaki hal ini, hanya
saja mereka tidak memiliki tokoh yang bisa mengimbangi ilmu dari Ren Zhuocan."
"Dari dua hal itu, jelas baik dari pihak kami, maupun dari pihak Partai Matahari dan Bulan yang segolongan dengan Tabib Sheng, memiliki satu pertemuan kepentingan. Kami membutuhkan kekuatan untuk mengimbangi lawan di dalam
perbatasan. Tabib Sheng membutuhkan seseorang untuk menjatuhkan Ren Zhuoan dari tampuk kepemimpinannya."
"Tetua Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, tidak mungkin harus meninggalkan Shaolin dan Wudang untuk menjadi
ketua dari Partai Matahari dan Bulan. Maka mereka perlu tokoh lain yang bisa diharapkan dan tidak terikat dengan satu
partai tertentu. Pada generasi yang lalu, mungkin Pendekar pedang Jin Yong adalah tokoh yang mereka harapkan. Namun
dengan menghilangnya Pendekar pedang Jin Yong hilang pula harapan mereka. Sampai pada kejadian yang menimpa
diriku." "Sampai di sini, apakah menurut Tabib Sheng, uraianku sudah tepat?", tanya Ding Tao dengan sopan.
"Heheheh, tepat sekali, sungguh tepat sekali, Ketua Ding Tao tinggal memberikan kepastiannya saja, apakah Ketua Ding
Tao bersedia atau tidak.", jawab Tabib Sheng sambil terkekeh puas.
Ding Tao terdiam sejenak, seakan ragu untuk menjawab.
Pang Boxi-lah yang menyeletuk tidak sabar, "Ketua Ding Tao, kau terimalah tawaran ini, hajar Ren Zhuocan, kemudian
dengan menggunakan kekuatan Partai Matahari dan Bulan, kita bersihkan dunia persilatan di daratan dari kecoak-kecoak
busuk yang menghuninya!"
"Hehh.. dogol, bukan kau yang ditawari, jadi biarkan Ketua Ding Tao memutuskannya sendiri", sergah Khongti pada Pang
Boxi. "Kak Khongti, masa masih perlu dipikirkan lagi, jika Murong Yun Hua itu dibiarkan saja, bisa habis seluruh dunia persilatan dibakar oleh ambisinya. Atau jika mereka bertemu dengan Partai Matahari dan Bulan di bawah pimpinan Ren Zhuocan yang
sama besarnya ambisinya, jelas bakal terjadi banjir darah di kedua belah pihak.", jawab Pang Boxi.
"Tetua harap bersabarlah, aku sudah mengambil keputusan.", ujar Ding Tao sesaat kemudian.
Maka mereka semua pun menunggu jawaban
Ding Tao dengan hati berdebar. "Aku sendiri tidak berpikir demikian, benar memang aku harus mengalahkan Ren Zhuocan demi meredam ambisinya, namun aku tidak berkehendak untuk menjadi
ketua dari Partai Matahari dan Bulan.", ujar Ding
Tao dengan tegas. "Tunggu, lalu bagaimana dengan Murong Yun
Hua, apa kau mau membiarkan dia berkuasa dan
menggerakkan dunia persilatan sesuai dengan
ambisinya?", tanya Pang Boxi penasaran.
"Tidak, selama dalam perjalanan sebenarnya aku sudah berpikir, mungkin kalian ingat aku memberikan beberapa tugas
pada kelompok rahasia binaan Chou Liang. Aku berharap mendengar hasilnya beberapa hari lagi, berdasarkan apa yang
mereka kumpulkan aku akan membuat siasat untuk meruntuhkan kekuasaan Murong Yun Hua.", jawab Ding Tao.
Ganti Tabib Sheng yang bertanya, "Tapi jika kau menolak untuk menjadi ketua dari Partai Matahari dan Bulan, Ren Zhuocan tetap berkuasa dan ambisinya hanya menunggu waktu. Tidak ada bedanya dengan yang selama ini dilakukan oleh Saudara
Khongzhen dan Saudara Chongxan. Sebenarnya pertemuan 5 tahunan itu, kamilah yang merancangnya demi meredam
ambisi Ren Zhuocan."
"Saat itu dia sudah mendapat kata sepakat dari para pembesar militer negeri ini dan bersiap untuk menyerang ke daratan, menaklukkan orang-orang persilatan yang seringkali ikut menjadi pilar kokoh pertahanan negeri kalian."
"Aku yang tidak setuju dengan rencana itu, diam-diam menemui Saudara Khongzhen dan Saudara Chongxan. Dari
pertemuan itu lahirlah pemikiran untuk mengadakan pertemuan lima tahunan. Benar saja, prinsip Ren Zhuocan bahwa yang
terkuat yang berkuasa, berbalik membungkam ambisinya ketika berhadapan dengan orang yang lebih kuat dari dirinya. Tapi
pertemuan lima tahunan tidak lebih dari jalan keluar sementara, selama Ren Zhuocan berkuasa bahaya itu masih ada.",
lanjut Tabib Sheng. "Menurut pendapatku, seandainya aku menjadi ketua dari Partai Matahari dan Bulan pun, bahaya itu tidaklah hilang. Entah Ren Zhuocan, entah mereka yang sealiran dengan dia, selama pemikiran bahwa yang terkuat adalah penguasa tidak hilang,
maka bahaya itu masih ada, tinggal menunggu waktu muncul dari golongan mereka yang lebih kuat dariku.", ujar Ding Tao
sambil tersenyum. "Benarkah demikian" Ataukah Tetua Shen berharap aku mengadakan bersih-bersih rumah, hingga darah membanjir
mengaliri seluruh ruang-ruang Partai Matahari dan Bulan?", tanya Ding Tao.
Ditanya demikian, Tabib Sheng pun sadar dan bergidik dengan sendirinya, dalam usahanya mencegah partainya untuk
mengikuti jalan yang sesat, dia hampir saja melanggar prinsip yang dia junjung itu sendiri.
Bergetar hatinya dan buru-buru dia menjawab, "Tidak, tentu saja tidak."
"Ya, aku pun berpikir bahwa bukan itu yang Tetua Shen kehendaki. Tapi yang Tetua Shen perlu ingat, sebuah ide, sebuah
pemikiran, tidak bisa diperangi dengan kekuatan. Jika demikian maka hal itu hanya akan menghilang selama kekuatan yang
menekannya ada. Ketika kekuatan itu pergi, mereka pun kaan muncul kembali.", ujar Ding Tao dengan bijak.
"Sebuah pemikiran, hanya bisa diperangi dengan pencerahan batin. In ibukan peperangan antara daging dan tulang, tapi
peperangan antara ajaran yang baik dan ajaran yang salah. Medan perangnya adalah hati. Senjatanya adalah perkataan
dan teladan hidup." "Ketua Ding Tao sungguh bijaksana, membuat aku yang sudah tua ini menjadi malu.", ujar Tabib Sheng dengan rendah
hati. "Jangan begitu tetua, aku yakin tetua pun mengerti hal ini, hanya karena keprihatinan yang mendalam, tetua menjadi
lupa.", jawab Ding Tao merendah.
"Ho, kalau begitu apa orang jahat kita biarkan saja menjadi jahat, toh tidak ada gunanya kita melawan mereka. Jika kita pergi bukankah nanti mereka akan kembali lagi?", gumam Pang Boxi dengan sebal.
Ding Tao tertawa, "Tetua jangan marah, karena beberapa hari ini aku banyak berpikir jadi aku berani berkata seperti ini.
Masakan manusia mau melawan jalannya langit" Jika langit pun bertindak demikian pada orang-orang yang sesat, tentu
langit memiliki tujuan. Bukankah langit tidak mengirimkan petir setiap kali kita berbuat salah" Melainkan diberikannya
waktu buat manusia untuk bertobat, hanya jika sampai pada habis waktunya, barulah hukuman datang. Atau jika datang
hukuman pada masa hidupnya, seringkali kita bisa merunutnya degan hukum sebab akibat."
"Maksudnya?", tanya Pang Boxi.
"Maksudku, seakan langit bertindak bahwa hukum langit itu tak ada dan manusia bebas menentukan sendiri polah
tingkahnya dengan segala resikonya. Kalau kupikirkan jika langit bertindak sebaliknya dan setiap kali manusia berbuat salah akan datang hukuman seketika itu juga. Memang benar manusia akan menjadi baik semua. Tapi kebaikan itu adalah
kebaikan yang semu. Kebaikan yang muncul karena keterpaksaan, karena rasa takut."
"Manusia menjadi baik, karena mereka dipaksa menjadi baik. Mereka yang benar-benar baik pun, kebaikannya jadi tidak
berkembang, karena ada selalu ada rasa bahwa mereka sedang diawasi."
"Sebaliknya dalam keadaan seperti sekarang, di mana ada kalanya kejahatan meraja lela, justru kebaikan yang murni
timbul di hati sebagian manusia yang sadar. Mereka berjalan di jalan kebaikan, meskipun justru hal itu menimbulkan
kerugian. Mereka menjadi baik, karena mereka mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Mereka akan melawan
kejahatan meski hal itu membahayakan dirinya, karena mereka bukan lagi menjadi baik hanya demi kenyamanan diri
sendiri, tapi karena mereka mencintai kebaikan.", ujar Ding Tao dengan bersemangat.
"Hmm" jadi kejahatan pun ada gunanya" Penjahat pun jadi pahlawan karena dia berbuart jahat?", dengus Pang Boxi meski
terdengar nada ragu dalam suaranya.
"Kejahatan adalah jahat, setiap pelakunya tentu harus mempertanggung jawabkan perbuatan jahatnya pada Yang Maha
Adil. Namun langit yang Maha Bijak, mampu menggunakan kejahatan demi kebaikan mereka yang baik, yaitu untuk
memurnikan mereka. Meski sepertinya mereka ditindas, namun dalam penindasan itu, bukankah kebaikan mereka semakin
bersinar terang" Seperti malam yang gelap, membuat bintang-bintang berkilauan.", jawab Ding Tao pada Pang Boxi.
Pang Boxi pun terdiam, bukan hanya Pang Boxi, yang lain pun terdiam. Rupanya berhari-hari, berminggu-minggu, selama
dalam perjalanan Ding Tao diam dan menyendiri, selama ini dia selalu merenung dan sekarang menjadi sosok yang lebih
dewasa dan bijak. Wang Shu Lin merasa betapa sosok Ding Tao yang sekarang semakin jauh dari jangkauannya. Semakin
membuat dia mencintai pemuda itu, tapi di saat yang sama semakin jauh, seperti pungguk merindukan bulan. Setelah
cukup lama semuanya terdiam, Hu Ban yang kemudian memecahkan kediaman mereka dan bertanya pada Ding Tao.
"Ketua Ding Tao mungkin benar semua uraian ketua itu, namun kekuatan Murong Yun Hua saat ini begitu besar. Jika Ketua
Ding Tao belum memiliki keyakinan yang pasti, apakah tidak lebih baik jika Ketua Ding Tao meminjam kekuatan Partai
Matahari dan Bulan?", tanya Hu Ban pada Ding Tao.
"Hmm" sebenarnya setelah mendengar penjelasan Tetua Shen, aku pun sempat berpikir demikian. Namun ada beberapa
sebab mengapa aku menolaknya. Yang pertama adalah masalah patriotisme, bagaimana pun juga dimanakah letak
kecintaan kita pada negeri, di mana letak kebanggan kita sebagai anak negeri, jika untuk menyelesaikan masalah di antara kita sendiri, kita harus meminta bantuan dari luar?"
"Yang kedua, bila aku menggunakan kekuatan Partai Matahari dan Bulan untuk meredam ambisi Murong Yun Hua, maka itu
artinya kekerasan melawan kekerasan, jumlah korban yang jatuh akan sangat banyak dari kedua belah pihak. Sebisa
mungkin aku ingin menghindarkan jatuhnya korban yang tak berdosa. Dari sekian banyak yang mati, terbanyak adalah
mereka yang sebenarnya hanya mengikuti pimpinannya saja tanpa mengerti hitam dan putihnya urusan."
"Dan yang ketiga, aku juga akan merasa bersalah pada para pengikut Partai Matahari dan Bulan, demi satu urusan yang
bukan kepentingan mereka sendiri, aku manfaatkan mereka, aku korbankan mereka. Bagaimana aku bisa hidup dengan hati
nurani yang bersih jika aku melakukan hal itu"
"Pembunuhan-pembunuhan yang kita lakukan sepanjang perjalanan sudah membuatku merasa bersalah dan bahkan aku
telah sampai pada kesimpulan, seandainya hal itu terulang aku akan membebaskan mereka pergi dan tidak mengambil
nyawa mereka. Aku yakin hal itu pun sedikit banyak membebani hati kita semua, hanya karena logika kita
membenarkannya, kita masih bisa membungkamnya."
"Aku harap penjelasanku ini, bisa tetua sekalian mengerti dan terima. Aku harap tetua sekalian bisa memaafkan
keegoisanku, di mana aku berkeras mengikuti hati nuraniku sendiri.", ujar Ding Tao menutup penjelasannya.
Setelah lama mereka semua merenungkan jawaban-jawaban Ding Tao, akhirnya Zhu Yanyan pun membuka mulut, "Ketua
Ding Tao", jika manusia tidak mengikuti hati nuraninya, lalu apa lagi yang bisa menjadi pelita bagi dia menjalani hidupnya"
Mendengar penjelasan Ketua Ding Tao, rasa-rasanya aku berhadapan lagi dengan kakak seperguruanku Pendeta
Chongxan." "Benar, itu benar, aku pun serasa berbincang-bincang dengan kakak seperguruanku Bhiksu Khongzhen.", uajr Khongti
dengan mata sedikit membasah.
Tabib Sheng mengangguk-angggukkan kepala, "Ya, entah berapa lama aku sudah lupa dengan semua itu, Ketua Ding Tao
sungguh seorang yang bijaksana. Meski terselip rasa sayang karena Ketua Ding Tao tidak bersedia menggantikan
kedudukan Ren Zhuocan, tapi aku bisa menerima alasan ketua. Hanya saja ada satu pertanyaan kecil, mengapa ketua
memanggilku Tetua Shen?"
Ding Tao tersenyum kecil dan menjawab, "Karena itu lah sebenarnya diri anda. Anda adalah Tetua Shen Goan, tetua dari
Partai Matahari dan Bulan, bukan Tabib Sheng, seorang tabib di sebuah desa bernama Hotu. Banyak pengikut dari Partai
Matahari dan Bulan sedang memilih jalan yang salah. Lalu mengapa Tetua Shen berada di sini, bermain sandiwara menjadi
seorang tabib di desa kecil ini?"
Tersenyum pedih Tetua Shen menganggukkan kepala, "Sekali lagi Ketua Ding Tao benar, beberapa tahun ini aku sudah
berputus asa, pengikut Ren Zhuocan semakin banyak. Terutama mereka yang berusia muda. Dalam kegetiranku aku
melarikan diri di desa ini."
"Hahahahaha, sungguh memalukan, aku yang tua ini sampai harus disindir oleh yang lebih muda agar ingat pada tanggung
jawabku.", tertawa pedih Tabib Sheng, atau sekarang akan kita sebut Tetua Shen Goan tergelak membuat sendu mereka
yang mendengar suara tawanya.
"Aku minta maaf, jika sudah melukai perasaan Tetua Shen", ujar Ding Tao perlahan.
"Tidak", memang seekor keledai perlu disengat lebah supaya dia bisa berlari kencang. Hari ini aku merasa gembira
sekaligus sedih. Aku sedih karena aku baru sadar, beberapa tahun telah terbuang percuma, menantikan datangnya seorang
penyelamat, lupa untuk bekerja, lupa bahwa aku juga punya tanggung jawab."
"Tapi aku juga gembira, bahwasannya langit masih memberikan kesempatan padaku untuk memperbaiki kesalahanku itu.",
ujar Tetua Shen Goan dengan bersemangat.
Ding Tao pun tersenyum lega, "Syukurlah kalau begitu, memang waktu yang diberikan untuk memperbaiki kesalahan adalah
sesuatu yang sangat berharga, Pemberian langit yang tak ternilai yang harus kita syukuri."
"Baiklah malam ini, sebaiknya kita semua beristirahat dahulu. Besok pagi aku akan memeriksa keadaan Ketua Ding Tao,
akan kita lihat, apakah benar Obat Dewa Pengetahuan sudah bersih sepenuhnya dari tubuh Ketua Ding Tao dan apakah
tubuh Ketua Ding Tao sudah pulih kembali setelah lama tergantung padanya.", ujar Tetua Shen.
"Kemudian selanjutnya, ada hal lain yang perlu kita lakukan. Aku sudah yakin bahwa Ketua Ding Tao memang pilihan yang
tepat, tapi apakah Ketua Ding Tao mampu mengalahkan Ren Zhuocan atau tidak, besok akan kita lihat. Kita akan berlatih
tanding, Ketua Ding Tao harus mampu mengalahkanku sebelum 10 jurus berlalu. Jika tidak, jangan harap Ketua Ding Tao
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa menang melawan Ren Zhuocan.", ujar Tetua Shen kemudian.
"Dalam 10 jurus" Sedemikian hebatnyakah Ren Zhuocan?", hampir bersamaan Chen Taijiang dan Pang Boxi bertanya.
"Meskipun berat tapi aku harus menjawab ya, bahkan jika Ketua Ding Tao bisa mengalahkanku dalam 10 jurus pun aku
tidak memiliki keyakinan 100%. Ren Zhuocan berlatih sangat keras, terakhir kali aku mencoba kepandaiannya aku kalah
dalam hitungan 14 jurus dan itu sudah 3 tahun yang lalu. Sekarang" Hmm" aku pun tidak memiliki keyakinan apakah 10
jurus itu batas yang pantas.", jawab Tetua Shen Goan membuat semua orang tercenung memikirkannya.
"Hmm" kita beruntung ada Tetua Shen di sini, sehingga kita bisa mengira-ngira kepandaian Ren Zhuocan. Betapapun juga
,satu kenyataan harus dihadapi dengan lapang dada, baru kita bisa mencari pemecahannya. Tetua Shen benar, tidak ada
yang bisa kita lakukan kecuali beristirahat. Biarlah besok akan kita lihat, seberapa banyak Ketua Ding Tao harus berusaha.", ujar Zhu Yanyan menghibur yang lain.
"Benar, Tetua Zhu Yanyan benar, sudahlah, mari kita semua beristirahat saja", ujar Ding Tao membenarkan.
Mereka pun diantarkan oleh Tetua Shen menuju tempat masing-masing. Shu Sun Er dan Wang Shu Lin mendapatkan satu
kamar sendiri, sementara yang lain tidur bersama-sama di satu ruangan yang besar. Yang lain sudah lama tertidur, ketika Ding Tao masih menatap langit-langit dan berpikir. Sehebat apakah Ren Zhuocan" Tetua Shen tentu memiliki ilmu yang
tidak rendah, dari kisahnya dia sudah mulai mempelajari ilmu silat Partai Matahari dan Bulan sejak masih sangat muda.
Kecerdasannya tak perlu diragukan, terbukti dia menjadi pewaris dari Tabib sesat dari utara. Kelihaiannya dalam ilmu silat juga tidak perlu diragukan, terbukti tiga tahun yang lalu dia mencoba mengalahkan Ren Zhuocan, itu artinya dari golongan yang menentang Ren Zhuocan dia adalah orang terkuat.
Dan Ren Zhuocan mengalahkannya dalam 14 jurus, itu pun tiga tahun yang lalu. Selama tiga tahun itu pula Ren Zhuocan
tentu berlatih siang dan malam.
Dalam perjalanan ke Desa Hotu Ding Tao berhasil mengalahkan guru-guru Wang Shu Lin dalam latih tanding, meski
demikian dalam hatinya masih belum hilang perasaan bahwa ada yang kurang dari dirinya.
"Besok aku akan tahu apa kekuranganku itu", gumam Ding Tao.
"Hmm" Ding Tao." Kau berkata apa?", gumam Pang Boxi yang tidur di sebelah Ding Tao setengah bangun setengah tidur.
"Oh, maaf tidak ada apa-apa.", ujar Ding Tao merasa malu.
"Hei" kau sendiri yang bilang, untuk sementara lupakan semua urusan dan kita beristirahat dulu. Besok kau harus dalam
keadaan segar untuk mencoba kepandaian Tetua Shen.", ujar Pang Boxi mengingatkan.
"Tetua benar, baiklah aku akan segera tidur", jawab Ding Tao.
"Hmm.. yah..yah"cepatlah tidur, kalau aku sudah mulai mendengkur kau akan lebih susah untuk tidur", gumam Pang Boxi
yang sebentar kemudian terlelap.
Mengulum senyum Ding Tao pun mulai menutup mata dan menutup telinga, bagi yang sudah terlatih untuk menutup 5
panca indera dan bermeditasi tentu dengkuran Pang Boxi tidak menjadi masalah besar. Tidak lama kemudian mereka semua
pun tertidur pulas, mengumpulkan tenaga, menanti esok pagi, ketika ujian akan dimulai.
Keesokan paginya, hanya Ding Tao dan Tetua Shen yang tinggal di rumah, karena Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya
pergi membantu penduduk desa membangun rumah untuk mereka tinggal selama mereka ada di Desa Hotu.
"Baiklah coba kita periksa denyut nadimu", ujar Tetua Shen.
Tiga jarinya yang sangat peka sudah diletakkan pada pergelangan tangan Ding Tao, diam merasakan Tetua Shen berusaha
menentukan keadaan tubuh Ding Tao berdasarkan denyut nadinya di titik-titik pada pergelangannya.
"Hmm" obat yang diberikan oleh Tabib Shao Yong itu benar-benar sangat manjur, tapi perlu waktu lebih lama sebelum
tubuhmu benar-benar memulihkan dirinya. Pengaruh obat itu cukup keras, meski saat ini kau tidak merasakannya,
sebenarnya banyak organ tubuhmu yang berlum pulih total.", ujar Tetua Shen Goan.
"Tapi tetua, aku sudah mencoba berlatih dan aku tidak merasakan ada jalur-jalur energi yang terhalang atau pusat energi yang terluka. Meski memang, rasanya ada sesuatu yang mengganjal, seperti ada masalah tapi aku tidak bisa
menemukannya.", kata Ding Tao pada Tetua Shen.
"Hmm" kalau kau merasa seperti itu, kurasa masalahnya bukan ada pada tubuhmu. Memang benar banyak organ tubuh
yang belum pulih benar, tapi umurmu yang masih muda dan tubuh fisikmu yang kuat, membuat kerusakan yang ada tidak
akan terasa olehmu. Kecuali bila kau biarkan saja mereka tanpa diibati, nanti baru pada masa tuamu kau akan merasakan
ketidak beresan dalam tubuhmu.", ujar Tetua Shen menjawab Ding Tao.
"Begitukah" Jadi menurut tetua, luka yang aku derita ini tidaklah berbahaya?", tanya Ding Tao.
"Bukan tidak berbahaya, tapi tidak akan kaurasakan adanya luka, sampai kau nanti sudah mulai renta dan justru itu
bahayanya karena kau tidak merasakannya. Tapi sekarang sudah ketahuan ada masalah, tentu kita akan memulai
perawatan. Aku akan tuliskan resep obat, seandainya nanti kau perlukan, karena perlu bertahun-tahun untuk perawatan
lukamu ini. Juga akan aku ajarkan satu cara meditasi untuk memperkuat organ-organ dalam tubuhmu ini.", ujar Tetua Shen
setelah berpikir sejenak.
"Tetua, sampai berapa lama baru akan pulih benar kondisi tubuhku" Lalu jika obat itu terus aku minum apakah tidak
kemudian menimbulkan efek yang buruk?" ,tanya Ding Tao.
"Oh tidak, obat ini sifatnya ringan saja, bahkan baik juga untuk orang tua atau wanita hamil. Jadi sama sekali tidak
berbahaya, dia lebih mirip obat untuk menjaga kesehatan. Jadi sebisa mungkin setiap hari kau minum obat ini, kecuali jika belasan tahun dari sekarang kita kebetulan bertemu, bisa aku periksa lagi nadimu dan kulihat apakah masih perlu kau
minum atau tidak obat ini.", jawab Tetua Shen.
"Hmm" baiklah", ujar Ding Tao tampak ragu.
"Hahaha, apa kau takut obat ini akan membuatmu kecanduan?", tanya Tetua Shen membaca perasaan Ding Tao.
Ding Tao pun tersipu malu, "Maafkan aku Tetua Shen, sejak aku menyadari akibat dari Obat Dewa Pengetahuan aku jadi
sedikit takut untuk meminum segala macam obat."
"Tak apa, aku mengerti perasaanmu, justru itu perasaan yang bagus, dengan demikian kau akan memiliki kekuatan untuk
menghindari godaan dari meminum obat serupa. Tapi aku jamin padamu, obat ini tidak seperti itu, bahkan kau bisa
tanyakan pada tabib mana pun, karena obat ini cukup umum sifatnya, tidak ada yang rahasia.", ujar Tetua Shen
menenangkan Ding Tao. Mendengar penjelasan Tetua Shen, hati Ding Tao pun jadi lebih tenang, meski demikian dia berjanji dalam hati selekasnya dia bisa memeriksa kebenaran perkataan Tetua Shen tanpa menyinggung hatinya, dia akan melakukannya. Ya, Ding Tao
sudah jadi jauh lebih dewasa dalam bersikap sebagai seorang tokoh besar dalam dunia persilatan.
"Jadi menurut Tetua Shen, tidak ada yang perlu dikhawatirkan?", tanya Ding Tao.
"Tidak, yang penting ketua harus merawat baik-baik diri Ketua Ding Tao, jangan melalaikan latihan dan juga meminum obat yang nanti aku berikan.", ujar Tetua Shen.
"Lalu apakah luka yang tersembunyi ini akan berpengaruh dalam pertarunganku nanti melawan Ren Zhuocan?", tanya Ding
Tao. "Tidak, jangan khawatir Ketua Ding Tao bisa mengeluarkan kemampuan Ketua Ding Tao 100%, seperti yang kukatakan
umur ketua yang masih muda sangat menguntungkan dalam hal ini.", jawab Tetua Shen Goan.
"Baguslah kalau begitu, jadi sekarang apakah kita mulai coba latih tanding untuk menilai kesiapanku melawan Ketua Ren
Zhuocan?", tanya Ding Tao.
Tetua Shen berpikir sejenak kemudian menjawab, "Hmm.. sebaiknya kita lakukan nanti malam. Pertama kurasa kita butuh
yang lain untuk ikut mengamati, baik menilai kurang lebihnya juga untuk berjaga jika dalam latih tanding nanti kita terlalu berlebihan. Yang kedua, hehe, selama ini penduduk desa tidak tahu aku punya sedikit kepandaian, kalau bisa aku ingin
tetap seperti itu." "Ah", baiklah kalau begitu, jadi sekarang apa yangakan kita lakukan?", tanya Ding Tao.
"Pagi ini waktunya tepat untuk memberikan latihan yang tadi kukatakan, latihan ini fungsinya untuk memperkuat organ-
organ dalam tubuh. Kulihat himpunan hawa murnimu sudah sangat mapan, tentunya tidak akan mengalami kesulitan.
Setelah melatih latihan ini dua tiga kali, kita akan bergabung dengan yang lain untuk menyelesaikan rumah kalian."
Mulailah Tetua Shen mengajarkan cara latihan hawa murni untuk menguatkan organ-organ tubuh di dalam tubuh. Selesai
mengikuti pengajaran Tetua Shen dan melatih latihan itu beberapa kali Ding Tao merasakan tubuhnya nyaman.
Menceritakan itu pada Tetua Shen, Tetua Shen pun kemudian menjelaskan apa yang terjadi saat Ding Tao melakukan
latihan itu. Puas dengan penjelasan itu, mereka pun berangkat untuk bekerja bersama yang lainnya. Meng Ho ternyata ada
pula di sana, bagi pemuda itu Ding Tao sudah menjadi idolanya, meski dia belum kenal benar siapa itu Ding Tao. Pekerjaan mereka pun selesai dengan cepat, bangunan yang dibuat bukan bangunan yang mewah. Asalkan ada atap di atas dan ada
dinding yang melindungi mereka dari terpaan angin dan dinginnya malam. Sementara isi rumah itu pun juga dengan cepat
terisi dari pinjaman berbagai orang. Sementara dari untuk tempat tidur, dibawa dari rumah Tetua Shen Goan.
Sore itu sambil melepas lelah, mereka pun merayakan berdirinya rumah itu. Menanti seluruh tamu mereka pulang, barulah
Tetua Shen dan yang lain berkumpul di halaman belakang rumah mereka. Meski ini hanyalah satu latih tanding, tapi bila
melihat wajah mereka, maka terlihat ketegangan yang sulit digambarkan.
Tetua Shen dan Ding Tao saling berhadapan, sementara Wang Shu Lin dan ke enam gurunya berdiri di sekeliling mereka. Di
tangan Ding Tao sudah tergenggam sebilah pedang, sementara Tetua Shen bersenjatakan tongkat kayu sepanjang lengan.
"Marilah kita mulai saja dulu", ujar Tetua Shen.
"Silahkan Tetua Shen mulai lebih dahulu.", ujar Ding Tao.
"Baik, hati-hatilah, aku akan mulai lebih dahulu.", ujar Tetua Shen.
Meski demikian Tetua Shen pun tidak terburu-buru, kedua pihak berdiri berhadapan saling menimbang-nimbang.
Ketegangan perlahan-lahan semakin memuncak. Tiba-tiba Tetua Shen berkelebat ke depan, tongkat kayunya menebas ke
arah pinggang. Ding Tao pun tidak kalah cepat bergerak menjauh sembari menebas tongkat kayu Tetua Shen. Tidak kalah
cepat, Tetua Shen menarik mundur tebasannya dan berubah menjadi totokan ke arah pergelangan tangan Ding Tao.
Pertarungan pun berjalan cepat, jurus demi jurus dilancarkan bergantian, saling serang saling bertahan. Tapi perlahan
namun pasti, Ding Tao mulai terlihat di atas angin. Tapi batas 14 jurus dengan cepat dilampaui dan baru menginjak jurus ke 17 barulah Ding Tao berhasil memaksa Tetua Shen menyerah. Dengan sebuah tipuan yang cantik, pedang Ding Tao
membelah tongkat kayu Tetua Shen tepat di tengah, memaksa Tetua Shen untuk melepaskan senjatanya. Meski Tetua Shen
berusaha mengelak mundur, setiap langkah mundurnya dengan cepat dihadang oleh gerakan Ding Tao.
Penuh kekaguman Tetua Shen menghapus keringat di dahinya, "Benar-benar hebat, tidak disangka dalam usia semuda ini
Ketua Ding Tao berhasil menguasai ilmu setinggi ini."
Ding Tao pun berusaha merendah, "Tidak juga, sebagian besar berhasil kumenangkan menggunakan ilmu yang dititipkan
Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan padaku. Bukan hasil perenunganku sendiri."
"Ya" bisa kulihat hal itu dari beberapa serangan Ketua Ding Tao. Seandainya Ketua Ding Tao lebih matang lagi dalam
penguasaan atas ilmu-ilmu yang mereka wariskan.", jawab Tetua Shen.
"Tetua Shen, bagaimana menurut tetua, mengenai kesempatanku untuk mengalahkan Ketua Ren Zhuocan?", tanya Ding
Tao meski dia sendiri sudah bisa menghitung jumlah jurus yang mereka lalui sebelum dia berhasil mendesak Tetua Shen di
posisi mati. "Hitunganku tadi 17 jurus, berapa hitungan ketua", jawab Tetua Shen tidak langsung menjawab.
"17?", jawab Ding Tao dengan lemas.
"Tunggu, Ren Zhuocan sudah berpuluh tahun mengenal ilmu Tetua Shen, tentu ada perbedaan dengan Ketua Ding Tao yang
baru kali ini berhadapan dengan Tetua Shen.", Khongti kemudian menyela.
Tetua Shen pun terdiam sejenak dan menjawab, "Benar juga, tentunya hal itu juga berpengaruh" Hmm" bagaimana
menurut Ketua Ding Tao kalau kita lakukan lagi latih tanding yang kedua. Kukira aku masih sanggup bermain-main
beberapa puluh jurus lagi."
Wajah Ding Tao pun menjadi sedikit cerah, "Baik, aku siap, kali ini ijinkan aku yang memulai serangan."
"Silahkan, itu cara yang baik juga, sekarang Ketua Ding Tao bisa mempelajari cara-cara pertahanan yang kumiliki. Pada
latih tanding yang ketiga Ketua Ding Tao punya kemungkinan untuk mengalahkanku lebih cepat. Silahkan.", jawab Tetua
Shen. Kedua jagoan beda generasi itu pun kembali saling berhadapan, kali ini Ding Tao yang akan memegang kendali jalannya
pertarungan, jika dia berhasil terus menekan sejak awal. Ding Tao pun tidak ingin terburu-buru menyerang, dipikirkannya baik-baik jurus serangan yang akan dia gunakan.
Ketika akhirnya dia menyerang, dia menusukkan pedangnya dalam gerakan yang tidak terlalu cepat. Meski demikian, Tetua
Shen ternyata menyurut mundur tiga langkah oleh serangan itu. Demikianlah mereka kembali saling menyerang dan
bertahan. Tidak seperti pada latih tanding sebelumnya, kali ini Ding Tao justru sering memberi jalan keluar pada lawan, pada jurus ke 20 dan 45 sebenarnya dia sudah bisa mematikan gerak Tetua Shen, namun dengan sengaja dia memberi
Tetua Shen kesempatan untuk mundur dan dengan cara itu Ding Tao berusaha lebih banyak melihat jurus-jurus andalan
milik Tetua Shen. Tetua Shen tentunya bukan tidak tahu akan hal ini, namun karena tujuan mereka memang untuk
mempersiapkan Ding Tao melawan Ren Zhuocan, maka Tetua Shen pun tidak pelit-pelit dengan ilmunya.
Mereka pun saling serang sampai puluhan jurus banyaknya sebelum Ding Tao melompat mundur dan menyudahi latih
tanding mereka tanpa ada ketentuan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
"Cukup tetua", kalau boleh, kita sudahi dulu sampai hari ini.", ujarnya sambil melompat mundur.
"Baiklah, apakah Ketua Ding Tao ingin merenungkan dulu apa yang ketua lihat hari ini?", tanya Tetua Shen sambil menarik pula serangannya.
"Ya", aku perlu waktu untuk memikirkannya, bagaimana menurut Tetua Shen, apakah akan mengurangi nilaiku jika aku
mengambil waktu semalam untuk merenungkannya?", jawab Ding Tao.
"Tidak juga, seperti yang Saudara Khongti tadi katakan, Ren Zhuocan memiliki kelebihan dibanding dirimu karena dia sudah mengenal ilmuku selama bertahun-tahun, meski saat aku berhadapannya waktu itu, ada juga aku memiliiki ilmu simpanan
baru.", ujar Tetua Shen.
Melihat latih tanding itu sudah selesai, yang lain pun sudah berjalan mendekat dan mengikuti pembicaraan mereka.
Zhu Yanyan pun bertanya, "Tetua Shen, menurut tetua bagaimana dengan ilmu kepandaian Ketua Ding Tao" Memang benar
dia tidak bisa mengalahkanmu dalam 14 jurus, tapi seperti Adik Khongti katakan, Ren Zhuocan memiliki keuntungan karena
dia sudah mengenal ilmumu dengan baik."
Tetua Shen terdiam sejenak kemudian bertanya, "Apakah kalian pernah melihat bagaimana Ren Zhuocan bertarung?"
"Ya, kami pernah menyaksikannya beberapa kali, pada saat pertemuan lima tahunan melawan Tetua Bhiksu Khongzhen dan
Pendeta Chongxan", jawab Hu Ban.
"Jadi kurasa kalian bisa mengerti kalau kukatakan, serangan-serangan Ketua Ding Tao serasa" tidak setajam, tidak
sekejam serangan Ren Zhuocan. Meski ada benarnya bahwa Ren Zhuocan memiliki keuntungan tapi bukankah juga
kukatakan aku kalah dalam 14 jurus, itu tiga tahun yang lalu. Pada waktu itu pun, jika kubandingkan dengan Ketua Ding
Tao yang sekarang, seperti yang kukatakan serangan-serangan Ketua Ding Tao kalah mengerikan dibandingkan dengan
serangannya.", ujar Tetua Shen sambil menggelengkan kepala.
"Tunggu" mungkin benar serangan Ketua Ding Tao tidak setelengas serangan Ren Zhuocan, tapi itu lbih karena sifat
manusianya, bukan karena kepandaiannya.", ujar Hu Ban dengan alis berkerut.
"Hmm" itu artinya Ketua Ding Tao belum sampai pada tingkatan tidak ada manusia yang ada adalah pedang. Pedang sudah
tidak ada lagi di tangan, tapi pedang ada di hati.", ujar Tetua Shen.
"Dan menurutmu" Ren Zhuocan, serangannya menjadi lebih tajam karena dia sudah mencapai tingkatan itu?", tanya Zhu
Yanyan. "Ya, aku percaya dia sudah sampai pada tingkatan itu, di mana perasaannya sedikitpun tidak menghalangi dia untuk
menjalankan jurus-jurus yang dia mainkan. Atau mungkin lebih tepatnya, pada saat dia bertarung dia sudah berada pada
kondisi" kosong. Tidak ada lagi aku.", ujar Tetua Shen.
"Hmm?", Zhu Yanyan pun terdiam.
Wang Shu Lin menggamit tangan Shu Sun Er, "Guru" apakah itu artinya Kak Ding Tao tidak memiliki kesempatan?"
Shu Sun Er tidak bisa segera menjawab, "Entahlah Shu Lin" siapa orangnya yang benar-benar pernah sampai pada tahap
itu" Banyak yang berpendapat bahwa diirnya sudah sampai di sana, tapi tidak ada yang bisa memastikan benar atau tidak.
Apalagi orang lain."
Ding Tao menghela nafas dan berkata, "Sudahlah", bisa jadi benar atau tidak, kalau memang benar maka yang dapat
kulakukan adalah berusaha untuk mencapai tingkatan yang sama."
"Waktunya sangat singkat jika kita ingin mencegah jatuhnya banyak korban pada pertemuan lima tahunan yang
berikutnya.", ujar Tetua Shen perlahan.
"Kita cuma bisa berusaha sekuatnya.", jawab Ding Tao sambil tersenyum kecil.
"Ya, Ketua Ding Tao benar, apa perlunya mengkhawatirkan hal itu sekarang ini, yang penting kita sudah berusaha
sekuatnya.", ujar Khongti.
Mereka pun kemudian masuk ke dalam rumah yang baru, Tetua Shen memutuskan untuk ikut menginap di sana. Ding Tao
pun berpamitan untuk pergi menyendiri, yang lain mengerti dan tidak mencegahnya pergi. Mereka hanya bisa berdoa demi
keberhasilan pemuda itu. Sendiri di bawah bintang-bintang, Ding Tao berlatih perlahan-lahan, dengan bergerak dia berusaha membuat pikirannya
menjadi tenang. Setelah pikirannya menjadi tenang dia berusaha menyelami setiap ilmu yang pernah dia lihat. Ding Tao
pun mendapati, ilmu yang ditunjukkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan adalah dua ilmu yang dia tahu, yang
paling mendekati kesempurnaan yang dia tahu. Menurut pendapat beberapa orang, pada awalnya hanya ada satu. Mungkin
itu sebabnya ketika Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan mencoba menyarikan apa yang mereka ketahui dalam satu
bentuk ilmu. Ilmu yang mereka dapatkan atau ciptakan, bisa bekerja sama dengan begitu baiknya. Meski yang satu
menyarikannya dari ilmu-ilmu yang ada di Shaolin dan yang seorang lagi berdasarkan pengetahuannya atas ilmu dari
Wudang. Namun ketika mereka berhasil menyarikannya menjadi satu ilmu, keduanya seakan-akan bersaudara.
Dalam pikirannya, secara pengertian bisalah Ding Tao meraba itu semua. Namun Ding Tao tahu, untuk bisa
mengamalkannya dengan sempurna, dia butuh lebih dari sebuah pengertian, sebuah pemahaman yang hanya sampai pada
tingkatan berpikir. Belum sampai pada menghidupi ilmu itu sendiri, belum sampai pada tingkatan menghayati ilmu itu
sendiri. Hingga seperti yang dikatakan Tetua Shen mengenai Ren Zhuocan, tidak ada lagi orangnya, yang ada adalah
pedangnya, ilmunya. Ilmunya dihayati sedemikian rupa sehingga ilmu itu sudah menjadi bagian dari dirinya. Semua
gerakan terjadi dengan sendirinya, dengan wajar.
Entah sudah berapa lama Ding Tao bergerak, berlatih, melakukan jurus demi jurus ketika dia sampai pada kesadaran itu. Ini tidak seperti berpikir yang melantur, tapi seperti menanyakan satu pertanyaan secara terus menerus, berusaha menemukan
jawaban yang terdalam, menyingkirkan dan menolak jawaban yang dangkal, terus menerus menggali dan tiba-tiba seakan
mendapatkan satu kesadaran.
Ding Tao pun berhenti bergerak, tubuhnya sudah basah dengan keringat, tandanya dia sudah melatih jurus-jurusnya
mungkin lebih dari seratus kali dia mengulang. Tubuhnya terasa begitu lelah dan kehabisan tenaga, namun semangatnya
bangkit. Ding Tao akhirnya mengerti apa yang membuat dia merasakan satu ganjalan dalam hatinya selama ini, setelah dia
lepas dari pengaruh Obat Dewa Pengetahuan.
Selama ini dia seakan-akan hampir mencapai tingkatan yang sama dengan Ren Zhuocan, tapi itu bukan disebabkan karena
ilmunya sudah menyatu dengan dirinya. Yang menyebabkan hanyalah karena kecepatan dia baik dalam menangkap gerakan
lawan, maupun memikirkan cara untuk mengalahkan jurus-jurus lawan yang berkali-kali lipat lebih cepat dari orang biasa.
Hingga seakan-akan dia sudah bergerak tanpa dia harus berpikir. Pada kenyataannya saat otaknya dipenuhi dengan
berbagai jenis ilmu, maka dia pun menjadi lebih bodoh dari pendekar biasa, karena pada saat itu, jumlah kemungkinan-
kemungkinan yang dia perhitungkan, jauh melampaui kemampuan otaknya, meski sudah dibantu dengan Obat Dewa
Pengetahuan. Jadi sampai sekarang, tidak ada satu ilmu pun yang dia hayati sepenuhnya, hingga menyatu dengan dirinya. Itulah
kelemahannya jika dibandingkan dengan Ren Zhuocan. Jika dia memiliki kelebihan dibanding yang lai, itulah kehebatan dari ilmu ciptaan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Lawanlah yang terperangkap dalam kerumitan serangan jurus
ciptaan dua orang itu. Bukan karena dirinya yang memiliki kemampuan. Dia sudah memegang sebuah pedang pusaka,
namun pedang itu belum benar-benar menjadi miliknya. Pengertian ini sulit dijabarkan dalam kata-kata, ini lebih bisa
ditangkap pada tataran rasa.
Sampai pada pengertian ini, Ding Tao pun tercenung. Dia sampai pada titik yang sangat penting, dengan situasi yang ada
sekarang ini, dia harus berusaha menerobos pintu ini untuk sampai pada tataran yang selanjutnya.
Di saat yang sama, dia juga menantikan kabar dari Shin Su dan kawan-kawannya. Jika dia berfokus hanya pada mencapai
tataran yang setingkat dengan Ren Zhuocan, maka ada bahayanya bahwa rencananya untuk menghadapi Murong Yun Hua
dan sekutunya akan mengalami kegagalan.
Maka Ding Tao pun mulai menimbang-nimbang, yang mana yang harus dia dahulukan. Jika dia berhasil melemahkan
persekutuan yang dibangun oleh Murong Yun Hua, tapi gagal dalam mengalahkan Ren Zhuocan, maka sebagai akibatnya
Ren Zhuocan akan melenggang masuk menaklukkan tokoh-tokoh dunia persilatan dalam perbatasan karena tidak ada lagi
yang menyatukan mereka. Sebaliknya jika dia berhasil mengalahkan Ren Zhuocan namun gagal dalam melemahkan Murong Yun Hua pada saat
pertemuan lima tahunan itu, maka yang terburuk adalah dia tidak memiliki bukti dan saksi untuk mengembalikan nama
baiknya. Pada pertemuan itu, Murong Yun Hua dan seluruh tokoh-tokoh dunia persilatan berdiri di belakangnya akan
berhadapan dengan dirinya bukan dengan Ren Zhuocan. Jika dia tidak yakin bisa menang, dia bisa mundur dari pertarungan
itu, mencari waktu yang lebih baik lagi untuk menghadapi Murong Yun Hua.
Menghela nafas Ding Tao pun memutuskan.
Esok paginya dia mengumpulkan Tetua Shen dan yang lainnya.
"Tetua sekalian, Wang Shu Lin, aku kemarin sudah berpikir baik-baik dan aku memutuskan untuk sementara akan
mengasingkan diri dan mencoba untuk memasuki tataran yang sama dengan Ketua Ren Zhuocan.", kata Ding Tao.
"Lalu bagaimana dengan rencanamu untuk menghadapi Murong Yun Hua?", tanya Zhu Yanyan.
"Mengenai hal itu, sudah kuputuskan untuk menitipkannya pada kalian semua, aku sudah menuliskan tanya jawab yang
menjadi penanda antara diriku dengan orang-orangnya Shin Su, harap Tetua Zhu Yanyan membaca dan menghafalkannya."
"Baiklah, tapi Ding Tao kami belum tahu apa rencanamu untuk menghadapi Murong Yun Hua.", ujar Zhu Yanyan sambil
menerima secarik kertas dari tangan Ding Tao.
"Tentang hal itu, aku sudah berpikir baik-baik dan aku berpendapat bahwa meski mereka terlihat kuat, sebenarnya
kekuatan mereka itu rapuh adanya. Mereka berhasil disatukan oleh Murong Yun Hua lewat berbagai bujuk rayu dan tipuan.
Bukan disatukan oleh satu tujuan dan cara berpikir yang sama.", ujar Ding Tao.
"Hmm" benar, bila kita bisa mengetahui alasan tiap-tiap orang untuk mengikuti Murong Yun Hua, maka kita bisa memecah
belah mereka menjadi kekuatan yang lebih lemah. Bahkan bisa jadi mereka akan saling berlawanan sendiri satu dengan
yang lain.", ujar Hu Ban merenungkan perkataan Ding Tao.
"Benar, salah satunya mereka yang mengikuti Murong Yun Hua karena kedudukannya sebagai Wulin Mengzhu. Yang
termasuk golongan ini, jika bisa diyakinkan bahwa aku tak bersalah dan masih hidup tanpa kurang suatu apapun, maka
mereka akan meninggalkan Murong Yun Hua dan berbalik mendukung diriku.", ujar Ding Tao.
"Kukira kau tentu akan berusaha membebaskan Pendekar Jin Yong untuk kau jadikan saksi bagimu", sahut Khongti.
"Benar, itu salah satunya, selain itu tentu saja ada tetua semua dan Wang Shu Lin yang bisa menjadi saksi tentang
terbunuhnya Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang saat ini dilemparkan tanggung jawabnya padaku.", ujar Ding
Tao. "Benar, setidaknya untuk hal itu kartu sudah ada di tangan, tapi untuk mendapatkan Pendekar Jin Yong bukanlah hal yang
mudah, tentunya dia dijaga sangat ketat.", kata Shu Sun Er menyambung.
"Ya, tentang soal itu, aku sudah berpikir dan ada dua hal yang kupikir bisa membantu. Pertama keberadaan Murong Huolin
dan Hua Ying Ying di rumah kediaman kami di Jiang Ling. Entah benar atau tidak, tapi jika berdua masih mencintaiku, ada kemungkinan kita bisa meyakinkan mereka untuk membantu."
"Yang kedua adalah, pada saat pertemuan lima tahunan nanti, tentunya Murong Yun Hua tidak akan mau mengambil resiko
gagal dan akan mengerahkan seluruh kekuatannya.", ujar Ding Tao menjelaskan pemikirannya.
Wang Shu Lin pun menepuk tangannya dan menyahut, "Benar, pada saat itu, rumah dalam keadaan kosong karena
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semuanya berangkat untuk menghadapi pertarungan besar. Di saat yang sama, kita memiliki orang dalam yang bisa
bekerja untuk membebaskan Pendekar pedang Jin Yong. Murong Yun Hua akan mendapatkan kejutan besar pada
pertemuan itu nanti."
Ding Tao tersenyum tapi dalam hati ada pula rasa sedih, dia pun bertanya-tanya dalam hati, "Apakah aku masih mencintai
Murong Yun Hua" Setelah semuanya ini terjadi" Apakah mungkin aku bisa memaafkannya?"
"Pemikiran yang bagus", ujar Khongti dengan bersemangat.
"Dan bukan hanya membersihkan nama Ding Tao saja, tapi aku yakin orang-orang munafik yang bersekutu dengan Murong
Yun Hua pun akan berpikir dua kali untuk terus menjadi pendukungnya bila kita berhasil membuka rahasia itu di depan
orang banyak.", ujar Hu Ban dengan mata berkilat-kilat.
"Benar, ditambah lagi jika kita bisa mengetahui apa yang ditawarkan Murong Yun Hua pada mereka, sehingga mereka
bersedia menjadi pembantunya. Memanfaatkan itu kita bisa menawarkan hal yang sama nilainya, membuat persekutuan
dengan Murong Yun Hua semakin tidak menarik untuk mereka.", tambah Ding Tao.
"Benar, benar, tidak kuduga kau sudah berpikir sejauh itu. Anak baik", anak baik?", ujar Pang Boxi dengan mata penuh
Golok Halilintar 3 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Keris Pusaka Sang Megatantra 7