Pencarian

Pedang Angin Berbisik 4

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 4


Meskipun Gu Tong Dang sudah berkali-kali meyakinkan pemuda itu bahwa ilmunya telah maju pesat, tak pernah
terbayangkan olehnya bahwa dia akan dapat mengalahkan tokoh-tokoh yang lebih tua seperti Wang Sanbo, Zhang Zhiyi
apalagi Tiong Fa. Bahkan Tuan besar Huang Jin pun mengakui bahwa sudah hampir seluruh ilmu keluarga Huang
dikuasainya secara sempurna.
Mendesah bahagia pemuda itu merasa betapa lelahnya dia sekarang, matanya mulai mengantuk dan hampir saja dia
memejamkan mata ketika terdengar ketukan lembut di pintu kamarnya.
Dengan kemalasan pemuda itu bangkit, sejenak dipandanginya saja pintu kamarnya itu, berharap yang mengetuk pintu
akan pergi setelah tidak dijawab beberapa lama.
Tapi harapannya itu tidak terpenuhi, malah setelah beberapa kali mengetuk tanpa dijawab, terdengar suara lirih memanggil,
"Ding Tao" Ding Tao" apakah kau sudah tidur?"
Suaranya memang lirih saja, tapi suara yang lirih itu justru lebih berarti dari ketukan pintu sekeras apapun, karena suara itu ada suara Huang Ying Ying. Senyuman muncul dari wajah Ding Tao, segala rasa malas dan lelah sepertinya jadi hilang saat dia mendengar suara gadis itu. Malah sekarang dia takut kalau gadis itu benar-benar menyangka bahwa dia sudah tidur dan pergi.
Cepat-cepat dia menjawab, "Tunggu, aku belum tidur."
Bergegas dia membukakan pintu, di depan Huang Ying Ying sudah menunggu dengan wajah cemberut manja, "Hiih" kau
bilang belum tidur, lalu kenapa tidak lekas kau buka pintunya."
Sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Ding Tao menyahut, "Ah" maafkan aku Adik Ying, aku tidak tahu kalau kau
yang mengetuk pintu."
"Kalau kau tahu itu aku, apa langsung kau bukakan pintu?", tanya gadis itu dengan manja sambil menundukkan kepala dan
wajah bersemu kemerahan. "Tentu?" Sejenak keduanya berdiri terdiam dengan jantung berdebaran. Biasanya Huang Ying Ying lah yang berceloteh tanpa henti
dan Ding Tao tinggal menimpali, tapi kali ini gadis itu tidak seramai biasanya.
Akhirnya Huang Ying Ying mengangkat wajahnya, dengan sorot mata prihatin dia bertanya, "Ding Tao, bagaimana dengan
lukamu?" Merasakan betapa besar perhatian Huang Ying Ying, setengah sakit yang dia rasakan sepertinya sudah sembuh, dengan
menyengir kuda dia menjawab, "Tidak terlalu masalah, hanya rasanya tubuhku sangat lelah itu saja. Tidur sedikit, besok
juga sudah baikan." "Huuh" kalian ini anak laki-laki, selalu saja menganggap enteng luka. Ini kubawakan obat untukmu, kau minum yang
bungkusan ini, kemudian lakukan latihan pernafasan. Lalu setelah itu minum dari bungkusan yang satunya lagi sebelum
tidur. Apa kau ada alat untuk memasak obat ini?"
"Ada" ada?", jawab pemuda itu sambil menatap Huang Ying Ying dengan tatapan penuh kasih.
Betapa terharu hati Ding Tao melihat besarnya perhatian Huang Ying Ying, digenggamnya tangan gadis itu dan dengan
penuh perasaan dia berterima kasih, "Adik Ying" kau baik sekali."
Huang Ying Ying yang terpegang tangannya, menunduk malu, jantungnya berdebaran. Hendak menarik tangannya dan lari,
tapi tubuhnya terasa lemas.
"Itu" itu" itu tadi pesan ayah padaku. Sudahlah aku harus cepat kembali.", katanya, ketika akhirnya dia berhasil
menenangkan hatinya. Ding Tao yang sadar sudah menggenggam tangan gadis itu cepat-cepat melepaskannya, "Ah benar, hari sudah malam.
Baiknya Adik Ying cepat kembali ke kamarmu."
"Sampai besok Kakak Ding."
"Ya, sampai besok."
Bercampur aduk perasaan keduanya, ada rasa senang, tapi juga ada rasa berat karena harus berpisah. Ding Tao berdiri saja menunggu di depan pintu sampai Huang Ying Ying menghilang di tikungan. Sebelum menghilang, gadis itu masih sempat
berbalik sekali lagi kemudian melambaikan tangan.
Agak lama Ding Tao terpekur memandangi jalan yang kosong, ketika akhirnya dia menutup pintu dipandanginya bungkusan
obat yang ada di tangannya.
Teringat tangan lembut Huang Ying Ying yang membawa bungkusan itu dengan sepenuh hati dia kemudian mendekap dan
menghirup dalam-dalam wangi dua bungkusan obat itu.
Seandainya saja benar dua bungkusan obat itu berbau wangi, sewangi bau Huang Ying Ying, tapi yang namanya ramuan
obat jarang-jarang yang berbau wangi. Dan dua bungkusan obat itu tidak satupun yang berbau wangi, bisa dibilang justru
dua bungkusan itu contoh paling bau dari segala macam obat yang berbau.
Karuan saja Ding Tao hampir muntah-muntah dibuatnya.
Tapi bau obat itupun tidak bisa membuat pemuda itu berhenti tersenyum. Sambil menjerang air dan memasak obat itu,
pemuda itu pun pelan-pelan menggumamkan lagu cinta yang sedang banyak dinyanyikan orang.
Saat obat yang satu telah siap dan habis diminum, dimasaknya pula bungkusan yang kedua.
Sambil menunggu obat itu siap, dia mulai bermeditasi, mengolah dan menghimpun hawa murni ditubuhnya. Obat yang
diberikan Huang Ying Ying, benar-benar baik. Perlahan-lahan tubuhnya jadi semakin segar, aliran hawa murni dalam
tubuhnya juga semakin lancar. Jika setelah benturan-benturan tadi aliran darahnya sempat terasa sedikit kacau dan
terhambat, maka sekarang bisa dia rasakan aliran darahnya kembali pulih.
Hanya rasa lelahnya tidak kunjung hilang, meskipun merasa sedikit heran, Ding Tao menduga hal itu karena dia terlalu
banyak memeras tenaga, jauh di luar pertimbangannya sendiri. Mungkin karena terbawa oleh suasana dan ketegangan,
sehingga rasa lelah ini tidak dirasakannya sebelumnya.
Merasa semakin lama semakin sulit baginya untuk berkonsentrasi, pemuda ini akhirnya memilih untuk mengakhiri
meditasinya, terlalu riskan jika dia memaksakan diri.
Akhirnya pemuda ini pun memilih termenung-menung, menatapi obat yang sedang dimasak. Beberapa kali kepalanya
terangguk-angguk hampir tertidur, tapi mengenangkan kebaikan Huang Ying Ying yang diwakili oleh obat itu, jangankan
sedikit kantuk, seandainya disuruh melatih kuda-kuda sambil menjinjing 2 ember air selama 2 batang hio pun mungkin akan dijalaninya.
Sambil tersenyum-senyum pemuda itu, menatap air yang mendidih dan bau khas obat ramuan yang teruar keluar dari
dalam poci. Akhirnya setelah menanti sekian lama, siap juga obat itu untuk diminum, dengan hati-hati, ditiup-tiupnya ramuan yang
masih panas itu, lalu pelan-pelan diseruput. Sehabis meminum obat itu, maka tubuhnya merasa sangat nyaman dan kepala
pun terasa semakin melayang.
Sambil menghempaskan diri ke atas pembaringan, Ding Tao bergumam, "Rupanya obat supaya tidurku pulas."
Ding Tao benar-benar tertidur pulas. Saat pintu kamarnya diketuk perlahan-lahan dari luar, pemuda itu sedikitpun tidak
terbangun. Bahkan ketika ketukan itu menjadi semakin keras, pemuda itu tidak juga terbangun.
Sebilah pedang tiba-tiba muncul di sela-sela antara daun pintu, dengan tebasan yang cepat pedang itu bergerak memotong
palang pintu yang mengunci pintu dari dalam.
Secepat pedang itu menebas, secepat itu pula sebuah sosok melompat ke dalam dan menahan agar palang pintu yang
sudah terpotong tidak jatuh bergelontangan ke lantai. Cahaya bulan yang samar tertutup awan hanya memperlihatkan dua
sosok berkedok dan berbaju hitam.
Kedua sosok itu dengan cepat memeriksa isi dalam kamar, ketika mereka menemukan Pedang Angin Berbisik milik Ding
Tao, keduanya saling berpandangan. Seorang di antara mereka jelas bertindak sebagai pemimpinnya, karena begitu
kepalanya mengangguk, yang seorang lagi dengan segera menghadiahkan satu pukulan ke arah ulu hati Ding Tao.
Tinju 7 luka, sebuah ilmu pukulan yang sempat dia curi dari perguruan Kongtong dari Gunung Kongtong
Dengan telak pukulan itu menghajar ulu hati Ding Tao, begitu kerasnya hingga tempat tidur anak muda itu ikut patah
menjadi dua. Darah pun menyembur dari mulutnya.
Tubuhnya bergulingan, seketika itu juga dia tersadar dari tidurnya yang lelap. Dadanya nyeri bukan kepalang, terasa anyir darah di mulutnya yang menggugah kesadarannya. Matanya terbelalak nyalang memandang ke arah dua orang berbaju dan
berkedok hitam. Dua orang itu tidak kalah kagetnya melihat pemuda itu belum mati terkena pukulan maut yang dilancarkan begitu telaknya.
Kesadaran Ding Tao dan kemauan dasarnya untuk bertahan hidup lebih cepat bereaksi dibandingkan kedua orang berkedok
hitam, sekelam hati mereka. Melihat pintu yang terbuka lebar, pemuda itu mengemposkan tenaga melompat keluar.
Lagi-lagi hal ini berada di luar dugaan kedua orang itu, hingga untuk beberapa saat keduanya hanya saling berpandangan, sebelum seorang di antara mereka memaki, "Goblok! Cepat kejar!!"
Bergegas keduanya mengejar, tapi Ding Tao sudah menang waktu, dia juga tampaknya lebih paham lika-liku di kediaman
keluarga Huang bagian itu, dibandingkan dua pengejarnya. Beberapa kali keduanya kehilangan jejak saat pemuda itu
menyusup masuk melewati celah-celah sempit atau gerumbulan semak yang menyembunyikan jalan setapak.
Untuk sesaat lamanya keduanya kehilangan jejak, rumah kediaman keluarga Huang sangatlah luas, mirip satu
perkampungan sendiri. Kelompok-kelompok rumah para pelayan dan penjaga, taman dan kolam, bangunan tempat keluarga
besar Huang tinggal dan bangunan utama. Apalagi di malam yang gelap.
Pembunuh yang gagal itu meneteskan keringat dingin, dipandangnya rekannya yang lain dengan sorot pandang mengiba,
"Tetua" aku sungguh" seharusnya pukulan itu?"
Guram wajah yang seorang lagi, sambil menggigit bibir dia berpikir, akhirnya dia berkata, "Kita pergi saja melaporkan hal ini pada Tuan Huang."
Rekannya yang masih gugup dengan segera menuruti perkataannya dan melangkah ke arah gedung utama di mana Tuan
besar Huang Jin menunggu laporan mereka. Hatinya berdebar membayangkan kemarahan Tuan Huang. Tiba-tiba dia
merasakan hembusan angin menyentuh belakang lehernya, matanya melebar saat sadar apa artinya tiupan angin itu.
Tapi belum sempat dia berkata apa-apa, dirasakan dunia di sekitarnya berputaran, sekilas dilihatnya tubuhnya sendiri
berdiri tanpa kepala, sebelum jatuh ke tanah, semakin lama semakin jauh dari dirinya. Telinganya masih sempat
mendengar teriakan memanggil para penjaga.
Dalam waktu singkat gegerlah rumah kediaman keluarga Huang, bukan hanya kediaman keluaraga Huang yang geger,
bahkan Kota Wuling pun ikut menjadi geger. Hampir setiap anggota keluarga laki-laki yang telah cukup umur, menenteng
senjata, bergerak menggeledah ke seluruh penjuru rumah itu, bahkan beberapa telah memacu kudanya keluar untuk
memeriksa ke sudut-sudut kota.
Dari mulut ke mulut beradar desas-desus yang mengatakan, Zhang Zhiyi telah memergoki Ding Tao sedang menyelinap ke
dalam ruangan khusus milik Tuan besar Huang Jin, dan sedang berusaha melarikan diri sambil membawa kitab pusaka
keluarga Huang yang hanya diwariskan pada pimpinan keluarga yang terpilih.
Zhang Zhiyi yang harus menghadapi pemuda itu dengan pedang pusakanya sangat kerepotan. Syukur saja Tiong Fa yang
sedang kesulitan tidur, sempat mendengar suara perkelahian mereka dan memburu keluar.
Sayang Tiong Fa tidak keburu membantu Zhang Zhiyi menahan Ding Tao, tapi setidaknya sebelum pedang Ding Tao dengan
kejamnya memotong leher anggota yang setia itu, Zhang Zhiyi masih sempat menjelaskan duduk perkaranya. Meskipun
dengan penjelasan yang sepotong-sepotong dan dibayar dengan nyawa.
Ding Tao tidak lolos begitu saja, diapun terluka oleh pukulan Tiong Fa sebelum berhasil melenyapkan diri dalam kegelapan.
Tapi pemuda itu masih sangat berbahaya dengan Pedang Angin Berbisik di tangan, itu sebabnya setiap anggota keluarga
Huang dan para penjaga yang menemukannya, diperintahkan untuk mengambil langkah sekeras mungkin. Tidak perlu
menangkapnya hidup-hidup, bunuh dulu baru urusan lain belakangan.
Terang saja seisi kota jadi ikut geger, derap kuda membelah malam yang sepi. Tidak sedikit pula orang-orang keluarga
Huang yang ikut di tempatkan menjaga gerbang-gerbang kota Wuling. Entah berapa ratus orang yang mencari Ding Tao
malam itu, tapi Ding Tao lenyap tanpa bekas. Bisik-bisik mengatakan bahwa sebenarnya pemuda itu merupakan pemuda
yang berbakat yang sulit ditemukan bandingannya dalam 10 tahun terakhir. Hanya sayang sifatnya ternyata licik hingga
tega menyatroni orang yang telah membesarkan dia selama ini.
Dalam keremangan malam Tiong Fa menyesali kericuhan yang terjadi ini. Dalam hati dia mengutuki kecerobohannya,
bagaimana mungkin pemuda itu bisa lolos darinya" Dia pun sangat menyesali terbunuhnya Zhang Zhiyi. Zhang Zhiyi adalah
salah satu orang kepercayaannya, tapi pada saat rencana itu rusak berantakan yang terlintas di benaknya adalah, sesedikit mungkin orang di luar kelompok inti boleh mengetahui hal itu.
Lepasnya Ding Tao membuat dia terdesak oleh waktu, setiap saat bisa saja Ding Tao bertemu dengan salah seorang
penjaga, dia harus terlebih dahulu memburukkan nama pemuda itu, sebelum pemuda itu sempat bertemu siapapun.
Dipandanginya tubuh Zhang Zhiyi yang terpisah dari kepalanya, teringat pula akan keadaan kamar Ding Tao yang tidak
sesuai dengan cerita darinya baru saja. Tapi Tiong Fa belum bisa bergerak untuk membersihkan kamar Ding Tao dari
jejaknya. Rahangnya mengeras, bertanya-tanya, sampai berapa jauhnya kerusakan pada rencana mereka ini terjadi.
------------------------------ o ------------------------------
Sebenarnya apa yang terjadi malam itu" Ada juga keinginan dari penulis untuk membuat semacam cerita misteri,
sayangnya penulis termasuk orang yang bermulut ember, tidak bisa menyimpan rahasia, sehingga meskipun ada keinginan
tapi tidak ada kemampuan.
Sejak Tuan besar Huang Jin menyaksikan bakat Ding Tao, dalam hatinya lenyap sudah keinginan untuk menarik anak muda
itu ke dalam keluarganya. Hilang pula minatnya untuk mengambil Pedang Angin Berbisik dari tangan pemuda itu secara
baik-baik. Kekalahan Tiong Fa, kondisi Ding Tao yang sudah sangat kelelahan, membuat sangat tidak berwibawa jika Tuan besar Hung
Jin harus memaksakan diri untuk mengirim satu orang lagi untuk bertanding melawan Ding Tao. Lagipula siapa yang hendak
ditandingkan melawan pemuda itu"
Kondisinya sangat payah, siapa pun jagoan tingkat atas dari keluarga Huang yang diminta untuk bertanding melawan
pemuda itu akan kehilangan mukanya. Sementara bakat Ding Tao justru menunjukkan kemampuannya memberikan hasil
yang di luar dugaan. Mengirimkan salah satu jagoan muda memiliki resiko menelan satu lagi kekalahan, memperpanjang
daftar kemenangan Ding Tao dan membuat nama mereka jadi lebih terpuruk bila memaksa Ding Tao untuk bertanding lagi
dan lagi hingga mareka memenangkan pertarungan karena pemuda itu mati kepayahan.
Tuan besar Huang Jin tidak pernah suka berjudi, jika dia harus berjudi, maka jelas baginya kapan dia harus bertahan dan kapan harus mundur. Kali ini dia memilih mundur dari perjudian itu.
Itu sebabnya di depan semua orang dia memuji bakat Ding Tao, sekaligus mengesankan masih adanya jurus rahasia yang
tidak dipahami Ding Tao. Berjanji untuk membantu Ding Tao dan mengikat tali persahabatan. Di depan semua orang
ditunjukkannya bahwa tidak ada ganjalan, keluarga Huang sudah mempercayakan pula pedang pusaka itu ke dalam tangan
Ding Tao. Jika seorang mengusut satu kejahatan, yang pertama kali dia lakukan adalah mencari siapa yang memiliki motif untuk
melakukan kejahatan itu. Apa tujuan kejahatan itu dilakukan" Balas dendam" Keserakahan" Keuntungan apa yang ingi
diraih pelakunya lewat kejadian itu"
Setiap penjahat yang licin mengerti akan hal ini, sebelum memulai aksinya, terlebih dahulu dia berusaha untuk
mengaburkan motif itu. Dalam hal ini Tuan besar Huang Jin lah penjahatnya, meskipun bila kau tanya dirinya, mungkin dia tidak akan merasa apa yang dilakukannya adalah satu kejahatan. Inilah bentuk rasa baktinya bagi leluhur, bentuk rasa
kasihnya pada anak cucunya. Dengan berjuang, berusaha mengangkat nama keluarga meskipu dirinya harus berendam
dalam lumpur untuk dapat menggapainya.
Arak yang dia hidangkan mengandung racun yang akan membuyarkan himpunan hawa murni seseorang. Tidak cukup
demikian, diutusnya puteri kesayangannya untuk mengantarkan bungkusan obat untuk membantu Ding Tao memulihkan
kondisinya yang kelelahan. Obat itu mengandung ramuan semacam obat tidur, ditambah dosis yang lebih kuat dari racun
pembuyar hawa murni yang dicampurkan ke dalam arak.
Tidak perlu heran jika Ding Tao akan tertidur lelap setelah meminum obat itu, karena obat itu memang meredakan
ketengangan dan membantu seseorang yang mengalami luka-luka yang menyakitkan tubuh untuk tidur dengan tenang.
Lengkap sudah rencananya, Ding Tao akan tertidur dengan pulas dan hawa murni yang buyar.
Tuan besar Huang Jin sendiri harus meminum obat penawar dan memulihkan diri karena dia meminum racun yang sama
dengan yang diminum Ding Tao. Untuk melaksanakan tugas selanjutnya, diserahkannya pekerjaan itu pada orang
kepercayaannya Tiong Fa. Tiong Fa kemudian memilih Zhang Zhiyi untuk membantu dia mengerjakan hal itu.
Dia memilih Zhang Zhiyi karena jagoan yang satu itu mengenal banyak sekali ilmu dari perguruan lain. Rencana mereka
adalah meninggalkan bekas pukulan yang khas, yang akan dikaitkan dengan sebuah perguruan di daerah utara. Zhang Zhiyi
tidak perlu kuatir apakah ilmunya sudah cukup sempurna karena Ding Tao sudah buyar hawa murninya, yang penting
adalah bekas yang ditinggalkannya.
Jaring sudah dipasang dengan rapat, lalu bagaimana ikan itu bisa lolos"
Adalah Huang Ying Ying yang mengacaukan rencana itu, gadis yang sedang jatuh cinta ini mendapatkan ide untuk
mengambil pula obat penambah tenaga yang biasa dikonsumsi keluarga Huang untuk membantu mereka dalam proses
memperkuat himpunan hawa murni mereka. Tuan besar huang Jin tidak menyangka gadis itu akan berani mengambil obat
rahasia keluarga untuk orang luar.
Tapi gadis yang sedang jatuh cinta memang seharusnya tidak dipercaya. Apalagi gadis itu sama sekali tidak tahu menahu
tentang rencana jahat ayahnya terhadap Ding Tao. Dilihatnya ayahnya begitu kagum dan perhatian pada pemuda itu. Dalam
pikirannya jika sampai ayahnya tahu pun tentu tidak menjadi halangan.
Obat yang diambil Huang Ying Ying dengan diam-diam itulah justru yang menjadi penawar dari racun pembuyar hawa nurni.
Alhasil memang benar Ding Tao tertidur pulas bak orang sudah mati, tapi himpunan hawa murni dalam tubuhnya masih
bekerja dengan baik. Saat Zhang Zhiyi memukul dadanya, hawa murninya secara naluriah melindunginya dari kematian.
Pukulan itupun menyadarkan pemuda ini untuk sementara waktu sehingga dia masih sempat melarikan diri dari kedua
pembunuh itu. Setengah sadar pemuda itu melarikan diri dari ancaman bahaya yang bisa dirasakan oleh nalurinya untuk bertahan hidup.
Jika ada sifat yang diwariskan secara turun temurun pada manusia, itulah naluriah untuk bertahan hidup. Mereka yang tidak mewarisinya tentu tidak akan mampu bertahan hidup di dunia purba yang keras.
Lalu di mana pemuda itu menghilang" Bukankah kesadarannya terganggu oleh khasiat obat tidur yang diminumnya"
Ditambah dengan luka di jantungnya yang tidaklah ringan, bagaimana dia mampu menjaga kesadarannya sampai selamat di
luar perbatasan kota"
Rasanya jawaban dari pertanyaan ini bukanlah misteri bagi para pembaca. Sudah jelas Ding Tao tidak akan mampu
melarikan diri melampaui gerbang-gerbang kota yang dijaga ketat, dia juga tidak mungkin mampu merayap melewati
dinding-dingin kota yang tinggi. Jangankan melakukan hal-hal semacam itu, untuk lari keluar dari kediaman keluarga Huang pun dia tidak mampu.
Jadi di mana dia berada" Sudah tentu dia masih ada di dalam kediaman keluarga Huang.
Di mana" Tentunya di tempat orang yang paling dekat dengan hatinya, tempat orang yang paling dipercayainya, dalam keadaan
setengah sadar, hati dan nalurinya bekerja melampaui pikiran logisnya. Dengan langkah yang terhuyung-huyung, pemuda
itu telah mengambil jalan-jalan pintas hingga sampai di depan kamar nona muda keluarga Huang, Huang Ying Ying.
Pemuda itu pingsan begitu dia sampai di depan pintu kamar, Huang Ying Ying tentu saja tidak tahu Ding Tao sedang
terbaring pingsan di sana. Barulah ketika dia membuka pintu karena didengarnya ada keributan di luar, dia menemukan
pemuda itu di sana. Kaget dan khawatir, gadis itu tidak sempat berpikir panjang. Apalagi darah yang mengering, menodai sebagian besar bagian depan baju yang dikenakan pemuda itu.
Tanpa menunggu pertolongan orang lain, dengan susah payah, didukungnya tubuh Ding Tao hingga sampai ke atas
pembaringannya sendiri. Diaturnya baik-baik tubuh pemuda itu lalu diselimutinya. Setelah yakin pemuda itu aman berada di dalam kamarnya diapun
bergerak untuk meninggalkan kamar dan menemui tabib pribadi keluarga Huang, yang tinggal di salah satu bangunan
dalam kediaman keluarga Huang.
Tangannya sudah menyentuh pintu, ketika terpikir bahwa luka yang dialami Ding Tao menunjukkan bahwa ada orang yang
berniat mencelakai pemuda itu, tidak terpikir olehnya betapa berbahayanya berkeliaran di luar kamar, bila ada orang yang sedang menyatroni rumahnya. Yang terpikir olehnya adalah keselamatan Ding Tao saat ditinggalkan.
Cepat-cepat gadis itu kembali, kali ini disiapkannya selimut tebal di lantai, di bagian yang tersembunyi oleh pembaringannya yang besar. Tubuh Ding Tao yang sudah dinaikkan ke atas, diturunkannya ke sana, diaturnya barang-barang lalu
diperiksanya dari arah pintu. Setelah puas dengan hasil kerjanya barulah gadis itu pergi meninggalkan ruangan, hendak
menuju ke bangunan tempat tabib itu tinggal.
Dia tidak berani berjalan dengan terang-terangan, karena teringat orang yang menyerang Ding Tao bisa jadi masih
berkeliaran. Bersembunyi dalam bayang-bayang gadis yang pemberani ini mengendap perlahan namun pasti.
Langkahnya tiba-tiba terhenti saat dilihatnya dua sosok berbaju dan berkedok hitam sedang berhadapan dan
mempercakapkan sesuatu. Lamat-lamat terdengarlah percakapan mereka.
Semakin lama mendengarkan semakin pucat wajah gadis itu. Baju hitam, kedok hitam, di malam yang gelap, apa ada orang
berpikiran lurus bakal melakukan hal itu" Yang jelas apapun yang hendak mereka lakukan, keduanya menimbulkan
kecurigaan orang yang memergokinya. Betapa kaget Huang Ying Ying, saat mereka menyinggung-nyinggung nama
ayahnya. Lebih pucat lagi wajahnya saat melihat adegan yag sudah kita ketahui dalam bab sebelumnya.
Tanpa banyak bertanya, gadis ini bisa membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun hatinya memberontak dan
belum bisa menerima kenyataan yang ada di hadapannya, gadis itu tidak membuang-buang waktu untuk kembali ke
kamarnya. Ding Tao berada dalam bahaya dan tidak ada seorangpun di rumah itu yang bisa dipercayainya untuk menolong
pemuda pujaannya itu. Begitu sampai di dalam kamar ditutupnya pintu rapat-rapat, dengan jantung berdebaran dia bersandar di balik pintu.
Matanya berkeliaran dengan liar, menjelajahi setiap sudut kamarnya. Sudah belasan tahun dia tinggal di kamar yang sama.
Perubahan kecil dan besar dia lakukan, setiap apa yang ada di dalam kamar itu dia kenal benar, tapi kali ini matanya
memandang lewat sudut pandang yang berbeda.
Di mana dia bisa menyembunyikan Ding Tao dengan aman" Di bawah tempat tidurnya" Di balik pemisah ruangan dari
ukiran kayu tempat dia berganti pakaian" Atau di ruang sebelah, sebuah tempat dengan bak yang besar tempat dia mandi
dan membersihkan diri"
Kamar Huang Ying Ying sangatlah luas. Dalam kamar seorang gadis sudah wajar jika ada pula lemari besar yang berisi
pakaian. Jika kamarnya demikian luas, lemari pakaian gadis itu pun sepadan dengan luas kamarnya.
Segala macam kain dengan berbagai macam warna bisa ditemukan di situ. Dari jahitan penjahit di sebelah utara kota,
sampai penjahit yang tinggal di selatan kota ada juga di sana.
Di antara helai-helai kain dan baju yang bergantungan itulah Ding Tao menghabiskan waktunya, pingsan dengan tenangnya
sementara di luar ratusan orang mengubek-ubek segala penjuru untuk mencari dirinya.
Luka pemuda ini sebenarnya cukup parah, beruntung hawa murninya sudah cukup mapan dan Zhang Zhiyi pun belum
begitu menguasai ilmu pukulan yang digunakannya. Nafasnya tersengal-sengal, bahkan dalam tidurnya yang pulas oleh
obat tidur pun pemuda itu masih sering menyeringai kesakitan.
Huang Ying Ying yang merasa khawatir oleh keadaan pemuda itu hanya bisa menyeka bagian-bagian tubuhnya yang
ternoda darah. Dia mengatur kain-kain tebal supaya pemuda itu dapat berbaring dengan sehangat dan senyaman mungkin. Untuk sesaat


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipandanginya wajah Ding Tao yang pucat, dengan sapu tangan dia menghapus keringat yang memenuhi dahi pemuda itu.
Tidak berani berlama-lama, gadis itu cepat-cepat menutup lemarinya, dengan hanya menyisakan sedikit celah sebagai
lubang udara. Ketika suara ramai orang melewati depan kamarnya, gadis ini berpura-pura terbangun oleh suara itu. Dibukanya pintu lalu ia melongokkan kepalanya keluar, menanyai orang-orang yang lewat, "Paman, ada apa ribut malam-malam begini?"
"Ada pembunuhan nona muda!"
"Ada yang membunuh Tuan Zhang Zhiyi."
"Ada yang mencuri kitab pusaka ayah nona."
"Ding Tao pembunuhnya, sekarang dia sedang lari."
Beberapa orang menjawab berbarengan, suara mereka bercampur justru membuat penjelasan mereka tidak jelas, Huang
Ying Ying tentu saja sebenarnya sudah mengetahui yang terjadi, bahkan lebih jelas dari mereka yang berbicara, tapi dia
berpura-pura kebingungan.
"Paman, bicaralah satu per satu, apa yang sebenarnya terjadi?"
Akhirnya salah seorang dari mereka berusaha menjelaskan dengan runut apa yang sudah didengarnya dari penjelasan Tiong
Fa dan Tuan besar Huang Jin.
Sambil mengerutkan alis, Huang Ying Ying berpura-pura kesal, tidak sulit karena hatinya memang sedang penuh rasa
khawatir dan juga marah. Khawatir pada keselamatan Ding Tao, serta marah pada ayah dan keluarganya.
"Apa tidak salah" Apa gunanya bagi Ding Tao untuk melakukan hal itu" Tidak tahukah kalian, baru saja dalam satu
pertandingan persahabatan, tidak ada seorang pun jagoan dari keluarga Huang yang mampu mengalahkannya!"
Mereka yang tahu bahwa nona muda mereka ini dekat dengan Ding Tao jadi merasa serba salah.
"Soal itu", kami juga tidak mengerti" mengapa tidak nona bertanya pada ayah nona saja?"
Sambil membanting kaki nona muda itu pun menjawab, "Huh, kau kira aku tidak berani menanyakan pada ayahku" Lihat
saja, selekasnya aku akan menghadap ayah."
Pintu pun dibanting tertutup, orang-orang saling berpandangan lalu mengangkat bahu. Salah seorang di antara mereka
menyeletuk, "Sebenarnya aku juga merasa ragu, masa Ding Tao bisa berbuat sekeji itu?"
Tiba-tiba pintu kembali dibuka dan kepala Huang Ying Ying muncul di situ, tentu saja mengagetkan semua orang, "Nah betul itu, kalian sudah kenal Ding Tao belasan tahun, apa dia ada potongan macam maling atau pembunuh?"
Dan secepat kepala itu menongol keluar, secepat itu pula dia menghilang kembali di dalam.
Menghela nafas sambil menggelengkan kepala, mereka yang di luar saling berpandangan sambil tersenyum geli. Tapi
pertanyaan itu ada dalam kepala mereka, bagi mereka yang mengenal dekat pemuda itu, tuduhan Tiong Fa tentu saja
sangat tidak sesuai dengan watak Ding Tao yang mereka kenal. Hanya saja siapa yang berani meragukan perkataan Tiong
Fa" Tidak lama waktu yang dihabiskan Huang Ying Ying untuk merapikan diri, dengan bergegas dia pergi untuk menemui
ayahnya. Setiap kali dia bertemu dengan rombongan orang yang mencari Ding Tao, percakapan yang kurang lebih sama
terjadi. Dengan caranya sendiri gadis itu berusaha membersihkan nama pemuda pujaannya. Tangisannya disimpan rapat-rapat
dalam hati, tidak ada yang bisa tahu betapa kalut dan hancur sesungguhnya hati gadis ini. Kebanggaannya sebagai nona
muda keluarga Huang yang terhormat, tokoh aliran lurus yang dikenal akan kejujuran dan keadilannya, sekarang hancur
berkeping-keping. Lebih-lebih lagi, adalah pemuda yang dia kasihi yang sudah menjadi korban fitnah dan kekejian mereka.
Langkahnya yang cepat membawa dia menemui ayahnya yang sedang berunding dan memberi jawab pada orang-orang
yang datang untuk bertanya.
Ketika melihat gadis itu, semua orang yang di sana terdiam. Ayahnya berjalan mendekati dengan raut sedih. Diraihnya
puteri kesayangannya itu lalu dipeluknya, seperti ketika dia masih kecil. Tanpa terasa air mata meleleh dari kedua bola mata Huang Ying Ying yang bening.
Terisak-isak, dia menumpahkan segala perasaannya dalam dekapan ayah, yang masih dikasihinya, siapapun dia, apapun
yang sudah dilakukan. Perasaan kasih yang tertanam bertahun-tahun lamanya tidak bisa dihilangkan begitu saja. Semua
yang menyaksikan, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada dalam hati gadis itu.
"Ayah" ayah" apakah benar kata orang?", sambil terisak dia bertanya, dalam hati dia berteriak, memohon ayahnya agar
mengatakan yang sejujurnya.
Memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi, sosok ayah yang selalu tampil sebagai penyelamat. Akankah kali ini kembali
tampil sebagai penyelamat" Bisakah ayahnya meluruskan yang salah, ketika itu dilakukan olehnya sendiri"
"Nak" Ying Ying, hentikan tangismu, dia bukan Ding Tao yang kaukenal dua tahun yang lalu. Kita semua tidak tahu, apa
saja yang dialaminya selama dua tahun itu di luaran."
"Tapi ayah" ini Ding Tao. Dia" dia" dia tidak mungkin sekeji itu.", sambil menjauhkan diri ditatapnya kedua mata ayahnya dalam-dalam.
Tuan besar Huang Jin mengeluh dalam hati, terbayang masa kecil gadis itu, entah berapa kali gadis itu datang padanya
dengan mata basah seperti sekarang ini dan dia akan selalu bisa membuatnya tersenyum kembali. Tapi tidak kali ini,
dengan sedih orang tua itu menggelengkan kepalanya.
"Saudara Tiong Fa sendiri melihat kejadiannya."
"Apakah tidak mungkin salah?"
"Apa kau menuduh Paman Tiong Fa berbohong?"
"Bagaimana kalau Zhang Zhiyi yang berbohong?"
"Kalau begitu mengapa Ding Tao harus lari" Dia bisa menjelaskan kebenarannya pada pamanmu."
"Bagaimana kalau Ding Tao khawatir bila Paman Tiong Fa tidak percaya padanya" Terbukti Paman Tiong Fa telah membantu
Zhang Zhiyi melawan dirinya?"
"Pamanmu sudah menyuruh mereka berhenti berkelahi, tapi Ding Tao yang terus menyerang, bahkan mengambil
kesempatan saat Zhang Zhiyi mengendurkan serangan untuk memenuhi permintaan kakekmu, Ding Tao memenggal
kepalanya." Akhirnya gadis itu menggigit bibir dan membanting kaki, "Aku tidak percaya!"
"Ying Ying! Jangan keras kepala!"
"Ayah jahat!", teriak gadis itu sambil menyentakkan badannya dari pelukan sang ayah dan berlari kembali ke kamar.
Sambil berlari kembali ke kamar, air matanya bercucuran. Habis sudah harapannya, ayahnya tidak akan berbalik dari
kesalahannya. Meskipun Huang Ying Ying tidak terlalu mengharapkan hal itu terjadi, tapi sungguh dia berdoa agar hal itu terjadi.
Sedikit penghiburan dalam hatinya, dia sudah berhasil menjalankan rencana yang terpenting. Sekarang, tidak akan ada
seorangpun yang menyangka bahwa Ding Tao saat ini sudah berada dengan aman di dalam kamarnya.
Tuan besar Huang Jin menatap kepergian anak gadisnya dengan muka memerah. Memerah karena marah, marah karena
perlawanan anak gadisnya terhadap dirinya sendiri, marah karena terpaksa mengorbankan perasaan anak gadis
kesayangannya. Marahnya itu pun akhirnya tertumpah pada Ding Tao dan Gu Tong Dang, jika saja mereka tidak berkeras
untuk mengangkangi Pedang Angin Berbisik"
Dengan menggeram dia memberikan perintah, "Apa pun yang terjadi, kalian cari anak itu dan bunuh dia di tempat! Tidak
perlu membawanya menghadapku."
"Baik Tuan Huang.", gumam mereka yang ada di sana. Tidak berani lagi mereka bertanya lebih lanjut, siapa yang mau
menanggung murka Tuan besar Huang saat itu"
Sungguh malam yang sangat sibuk, seperti sudah diceritakan sebelumnya, orang-orang Tuan besar Huang menjelajahi
seluruh Kota Wuling dan untuk beberapa hari ke depan cerita tentang Ding Tao menjadi pembicaraan paling hangat, bukan
hanya di Kota Wuling, tapi disebut-sebutnya Pedang Angin Berbisik membuat cerita itu menjadi cerita terhangat dalam
dunia persilatan. Nama Ding Tao pun terkenal sebagai jagoan pedang baru dalam dunia persilatan, sayang nama itu juga dikenal sebagai
nama seorang tokoh yang tidak kenal budi dan kejam. Tapi untuk sementara kita tidak sibuk mengurusi keramaian di dunia
luas, kita harus berfokus pada apa yang terjadi di rumah kediaman keluarga Huang.
Bahkan lebih tepatnya lagi, kita berfokus hanya di salah satu bagian dari kediaman keluarga Huang yang sangat luas itu.
Yaitu di kamar pribadi nona muda keluarga Huang.
Malam itu, setelah bertengkar dengan ayahnya di depan banyak orang, masih ada beberapa hal penting lain yang terjadi.
Sesosok bayangan tampak bersembunyi di sudut bangunan, mengamat-amati kamar tempat Huang Ying Ying berada. Saat
terlihat nona muda itu berlari menuju ke kamarnya sambil berulang mengusap mata, mengeringkan air mata yang tidak
hentinya mengucur, terdengar desahan sedih bayang-bayang itu.
Menengok ke kiri dan ke kanan dilihatnya apakah ada orang di sana, keadaan sepi sudah lama orang menghentikan
pencarian di bagian itu. Tapi masih juga ditunggunya beberapa lama. Saat orang itu yakin tidak ada orang lain di sekitar tempat itu, dengan sedikit membungkuk dia berlari cepat ke arah Huang Ying Ying yang baru saja hendak membuka pintu kamarnya.
"Nona muda Ying, Nona muda Ying.", setengah berbisik, setengah memanggil, bayang-bayang itu ingin memanggil tapi
takut juga jika suaranya terdengar orang lain.
Terlonjak kaget gadis itu saat tiba-tiba didengarnya suara memanggil. Cepat dia menutup kembali pintu yang baru saja
dibuka, sambil bersender di depan pintu dengan suara gemetar dia bertanya, "Siapa?"
"Oh" Tabib Shao Yong" ada apa" Kau mengagetkanku."
"Maaf nona, maaf"sebentar" biar kuatur dulu nafasku.", dengan nafas tersengal tabib yang cukup berumur itu menyandar
di tiang dekat pintu kamar Huang Ying Ying.
Sembari menunggu nafasnya teratur, matanya melihat ke sana ke mari, mengawasi keadaan di sekitar tempat itu, khawatir
ada orang lain yang melihat. Huang Ying Ying yang melihatnya, jadi ikut pula melihat ke kiri dan ke kanan.
"Eh Tabib Shao, sebenarnya ada apa?", lenyap sudah tangisnya yang tadi berderai.
Maklum sifatnya memang periang jika dia tadi hingga sampai menangis itu karena memang beban yang tidak tertahan. Tapi
menghadapi situasi yang unik dari Tabib Shao Yong, tidak urung rasa ingin tahunya lebih menonjol daripada kesedihan
sebelumnya dan untuk sementara lupalah gadis itu dengan masalah antara ayah dan pemuda pujaan.
Tabib Shao Yong yang sudah tidak tersengal, sekali lagi memandang ke sekeliling tempat itu sebelum berbisik, "Nona muda, tahukah kau obat apa yang tadi kauberikan pada Ding Tao?"
Dengan perlahan Huang Ying Ying menggeleng, matanya menatap tajam pada Tabit Shao, mengharap penjelasan lebih
lanjut. "Menurut nona muda, apakah Ding Tao meminumnya?"
Terdiam sesaat Huang Ying Ying akhirnya dengan ragu-ragu dia menjawab, "Entahlah Tabib Shao, jika menurut setahuku
Ding Tao yang kukenal akan meminum obat itu, tapi Ding Tao yang kukenal juga tidak akan membunuh Zhang Zhiyi apalagi
jika alasannya untuk mencuri ilmu pusaka keluarga kami."
Tabib Shao, menggigit bibirnya sebelum dengan muka pucat dan keringat dingin menetes berkata, "Nona, jika kukatakan
bahwa Ding Tao tidak bersalah, akankah nona percaya" Jika kukatakan aku memiliki bukti-buktinya dengan jelas, akankah
nona melindungiku?" Berkilat mata Nona muda Huang, "Tabib Shao, aku percaya sepenuhnya bahwa Ding Tao tidak bersalah dan jika kau
memiliki buktinya, aku akan melakukan apa pun yang ada dalam kemampuanku untuk melindungimu."
Kata-katanya jelas dan tegas, saat dia bersikap demikian, sikapnya tidak kalah berwibawa dari ayahnya. Tabib Shao yang
menanggung beban di hatinya merasakan satu kelegaan besar.
"Nona, bisakah kita membicarakan ini di dalam kamarmu?"
Dan cepat-cepat dia menambahkan, "Saya tahu ini permintaan yang tidak sopan, tapi nyawaku mungkin berada dalam
bahaya, dan bila aku meneruskan apa yang kuketahui pada nona, bukan tidak mungkin nyawa nona pun akan terancam
bahaya." Tercenung sesaat Huang Ying Ying dengan cepat mengambil keputusan, setelah memastikan tidak ada orang di sekitar situ,
ia membuka pintu kamarnya dan menggamit Tabib Shao untuk ikut masuk. Ketika Tabib Shao hendak menutup pintu
kamar, cepat gadis itu mencegahnya, "Jangan, biarkan saja terbuka."
"Cukup paman berdiri menempel di sana, tidak akan terlihat dari luar.", ujarnya sambil menunjuk ke sebuah sisi dalam
kamarnya, tidak jauh dari pintu, tapi dari luar tidak terlihat karena terhalang oleh tembok kamar.
Tabib Shao mengangguk tanpa banyak memprotes. Melihat Tabib Shao bergerak ke arah yang dia tunjukkan, Huang Ying
Ying mengambil jarak, lalu duduk di sebuah kursi yang ada di sana, lalu mengarahkan pandangan matanya keluar, tidak
menatap ke arah Tabib Shao.
Dari luar tidak terlihat Huang Ying Ying sedang berbicara dengan seseorang di dalam kamarnya. Bila hal itu ketahuan juga atau bila Tabib Shao ternyata berniat jahat, maka pintu yang terbuka maka pintu yang terbuka bisa jadi bukti bahwa Huang Ying Ying tidak melakukan perbuatan yang tercela di sana. Dengan pengaturan yang demikian Huang Ying Ying juga dapat
melihat keluar, mengamati keadaan di luar.
Dengan suara yang tidak terlalu keras dan pandangan mata ke arah luar Huang Ying Ying bertanya, "Jadi, apa yang mau
kau katakan Tabib Shao?"
"Obat yang diminta ayahmu itu, memang baik buat kondisi Ding Tao yang menderita banyak luka luar di tubuhnya. Yang
paling penting baginya adalah istirahat yang secukupnya, obat itu akan membuat pernafasannya menjadi longgar, aliran
darah yang lancar, tapi juga" obat itu akan membuat Ding Tao tertidur dengan pulasnya."
"Jadi maksud paman, bila Ding Tao meminum obatnya, maka tidak mungkin dia akan dapat berkeliaran malam-malam dan
menyatroni kamar ayahku?"
"Ya, itulah nona."
?"Tapi seperti yang kukatakan, Ding Tao yang dulu pasti akan meminum obat yg kuberikan, Ding Tao yang dulu juga tidak
akan melakukan kejahatan yang dituduhkan.", berdebar hati Huang Ying Ying, karena Tabib Shao mengatakan bahwa dia
memiliki bukti, berarti ada jalan untuk membersihkan nama Ding Tao. Tapi jika itu benar, maka Tabib Shao memegang
bukti yang akan menghancurkan nama keluarganya.
Tabib Shao menelan ludah beberapa kali sebelum dia menjawab, tanpa terasa tubuhnya sedikit gemetar membayangkan
akibat dari apa yang telah dia lakukan, "Nona" ketika aku mendengar apa yang dilakukan Ding Tao. Aku teringat dengan
obat yang nona minta dariku, karena merasa penasaran, aku pergi ke kamarnya untuk memeriksa."
"Bau obat di kamar itu memastikan bahwa dia telah memasak obatnya, aku periksa ke setipa sudut dan bisa kupastikan
obat bukan pula dibuang. Lagipula untuk apa dia memasaknya jika obat itu hendak dibuangnya?"
"Hanya itu saja Tabib Shao?"
"Bukan nona, bukan hanya itu?", terdiam ragu Tabib Shao, haruskah dia meneruskan penjelasannya"
"Lalu, lanjutkan keteranganmu Tabib Shao."
"Sebenarnya saat aku sampai di kamar Ding Tao, bukan masalah obat yang menarik perhatian pertamaku. Tapi ceceran
darah di lantai, tempat tidur yang patah, bekas-bekas orang memeriksa kamar itu."
Meskipun jantung Huang Ying Ying berdebaran, tapi dia berusaha tenang, "Lalu apa kesimpulan paman, bagaimana hal itu
menjadi bukti bahwa Ding Tao tidak bersalah?"
Setelah mengambil nafas dalam-dalam, Tabib Shao melanjutkan, "Nona muda, kita semua tahu sifat Ding Tao, kejadian
malam ini tidak sesuai dengan sifatnya itu. Kemudian ada obat tidur itu, setelah melihat keadaan kamarnya satu gambaran terbentuk dalam pemikiranku."
"Jika Ding Tao ini Ding Tao yang kita kenal. Dan apa yang kita lihat sepanjang hari ini, menunjukkan bahwa Ding Tao yang sekarang sama jujur dan setianya dengan Ding Tao dua tahun yang lalu. Ding Tao tentu telah meminum obat yang
kuberikan dan tidak lama kemudian dia akan tertidur pulas.Terbukti dari bau obat yang memuhi kamar, bahkan dari ceceran darah itu. Ya, ceceran darah itu sudah kuselidiki pula dan jelas bukan hanya ceceran darah, tapi ada juga bekas-bekas obat yang sudah bercampur dengan asam lambung, ikut tersembur bersama muntahan darah."
Menceritakan penemuannya tanpa terasa Tabib Shao menjadi semakin bersemangat, lupalah sudah tabib tua itu pada
ketakutannya, "Jadi nona lihat, ada cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa Ding Tao tertidur pulas oleh obat itu, lalu apa yang terjadi" Dari patahnya tempat tidur dan dari pola semburan darah yang terlhat berawal dari bagian pembaringan
dekat bantal Ding Tao, bisa kubayangkan apa yang terjadi. Seseorang telah memanfaatkan keadaan Ding Tao yang tertidur
pulas dan mengirimkan pukulan yang keras ke arah pemuda itu."
"Pukulan itu tentu dilambari pula dengan hawa murni, sehingga cukup berat sampai melukai bagian dalam tubuh Ding Tao
dan membuat dia menyemburkan darah. Meskipun sudah meminum obat tidur, tapi pukulan itu tentu akan
membangunkannya dan mungkin saat itulah, entah dengan cara apa, Ding Tao melarikan diri dari penyerangnya."
Huang Ying Ying yang mendengarkan penjelasan Tabib Shao menjadi semakin tegang, kejadian itu bisa tergambar dengan
jelas dalam benaknya. Ada perasaan bersalah karena dialah yang mengantarkan obat tidur itu pada Ding Tao, ada juga
ketakutan bahwa Tabib Shao akan berhasil mengungkap rahasia yang akan menghancurkan nama keluarganya. Jika
demikian, apakah yang harus dia lakukan" Tegakah dia untuk mengkhianati kepercayaan Tabib Shao pada dirinya dan
melenyapkan tabib itu"
"Tapi satu hal yang pasti nona, bahwa cerita Tuan Tiong Fa adalah cerita bohong. Kukira, kejadian sebenarnya adalah dia menyusup ke dalam kamar Ding Tao untuk mencuri Pedang Angin Berbisik. Kemudian Zhang Zhiyi memergokinya sedang
mengejar Ding Tao, saat itulah dengan Pedang Angin Berbisik di tangannya Tuan Tiong Fa memenggal kepala Zhang Zhiyi."
Sedikit terengah Tabib Shao bercerita, dipandangnya wajah Huang Ying Ying yang menegang, apakah gadis itu akan
percaya pada keterangannya" Dengan tegang dia menanti reaksi dari gadis itu.
"Tabib Shao, sadarkah kau dengan tuduhanmu itu" Lalu bagaimana dengan tercurinya buku pusaka keluarga Huang milik
ayah?" "Kukira nona, Tuan Tiong Fa sudah terlebih dahulu mencurinya sebelum pergi ke kamar Ding Tao, atau bisa juga Zhang
Zhiyi memergoki dia saat dia keluar dari kamar ayah nona dan bukan saat dia keluar dari kamar Ding Tao. Meskipun kupikir kemungkinan pertama yang lebih mungkin, karena jika tidak tentu Tuan Tiong Fa tidak akan berani melemparkan kesalahan
pada Ding Tao." Mendengar jawaban Tabib Shao, perlahan-lahan pahamlah gadis ini akan sangkaan dari Tabib Shao itu dan sebagian besar
dari ketegangannya menghilang. Rupanya tabib tua ini tidak menyangka bahwa Tiong Fa melakukan itu semua atas perintah
ayahnya. Dan kalau dipikir baik-baik, memang ini lebih mudah dipercaya daripada kenyataan yang sesungguhnya.
Dihadapkan pada pertentangan antara, kenyataan yang dia lihat di kamar Ding Tao dan pernyataan Tiong Fa, sampailah
tabib tua ini pada kesimpulan itu.
Sekarang tabib tua ini menemui dirinya, tentu karena berharap bahwa dia bisa menyampaikan hal itu pada ayahnya.
Sekarang apa yang harus dia lakukan, otak gadis ini berputar keras. Apa yang diketahui Tabib Shao sangatlah penting bagi Ding Tao. Jika dia tidak berhati-hati, nyawa tabib tua itu bisa hilang. Pada saat yang sama gadis itu harus memikirkan nama baik keluarganya.
"Tabib Shao, mengapa tidak kau temui ayah dan menceritakan hal ini?", tanya gadis itu dipicu rasa ingin tahu.
"Masalahnya, ketika aku hendak menemui ayah nona, kulihat Tuan Tiong Fa ada juga di sana. Menunggu sekian lama, tidak
juga Tuan Tiong Fa beranjak dari sisi ayah nona. Kemudian aku berpikir, bahwasannya Tuan Tiong Fa adalah salah satu
orang kepercayaan ayah nona. Aku takut, keteranganku tidak dipercaya. Kemudian teringat di antara keluarga Huang,
hanya nona yang berlaku sangat baik terhadap Ding Tao, dari dulu hingga sekarang. Jadi dalam kebingunganku, kuputuskan
untuk menemui nona. Kuharap nona bisa memberi jalan keluar.", jawab tabib tua itu dengan sedih, mengingat situasinya
yang serba sulit saat ini.
Lama gadis itu terdiam, saat dia berbicara suaranya terdengar tenang, sebuah rencana sudah terbentuk dalam benaknya,
"Tabib Shao apakah kau sempat melihat Kakak Ren Fu" Apakah dia ikut dengan orang-orang lain mencari-cari Ding Tao?"
"Terakhir kulihat, kakak nona Huang Ren Fu memimpin sekelompok penjaga, mencari-cari di sekitar kompleks utara."
Nona muda itu berdiri lalu melangkah ke luar, sekali lagi dilihatnya keadaan yang sepi-sepi saja. Sesudah kelompok yang tadi lewat, tidak ada lagi yg melewati bagian ini untuk kedua kalinya. Tangannya mengepal, rencana sudah tersusun, seperti orang yang hendak melemparkan dadu dalam sebuah perjudian. Berhasil atau gagal, menang atau kalah, bahkan hidup atau
mati, terkadang hasil akhir dari hal-hal yang penting dalam hidup ini terasa tidak ubahnya seperti perjudian.
Sambil menutup pintu kamar dia berkata pada Tabib Shao, "Tabib Shao, sebelum aku kembali, jangan buka pintu kamar
dan jangan biarkan seorangpun masuk ke dalam, sebisa mungkin biarkan orang berpikir bahwa tidak ada siapa-siapa di
dalam." "Sebentar aku akan pergi mencari Kakak Ren Fu dan merundingkan hal ini bersamanya, sementara itu kau periksalah isi
lemari pakaianku." Dadu sudah dilemparkan, tidak ada lagi kesempatan untuk mundur. Huang Ying Ying menutup pintu kamarnya dan
bergegas mencari kakaknya yang dia percayai Huang Ren Fu.
Dua bersaudara ini memang sangat dekat satu dengan yang lain. 6 tahun lamanya Huang Ren Fu menjadi anak bungsu
dalam keluarga itu. Ketika tahu ibunya sedang mengandung anak yang ke-5 bukan main senangnya anak itu. Akhirnya dia
bukan lagi menjadi yang terkecil.
Kakaknya yang sulu Huang Ren Fang, memiliki sifat yang keras pada adik-adiknya. Bukan jahat, hanya keras, sebagai
putera sulung, dia memiliki kesadaran yang tinggi akan aturan keluarga dan hal itu diterapkannya pula pada adik-adiknya.
Anak yang kedua, Huang Ren Yi, sifatnya pendiam, dia lebih suka menyendiri dan membaca buku. Anak yang ketiga, Huang
Ren Ho, orangnya sangat jahil, Huang Ren Fu seringkali dikerjainya, lagipula kakaknya yang ketiga ini lebih suka keluyuran di luar dan bermain dengan teman-teman sebayanya.
Itu sebabnya Huang Ren Fu sangat menantikan kehadiran adiknya, saat yang lahir adalah seorang bayi perempuan yang
mungil dan manis, Huang Ren Fu kecil memandangi bayi itu dengan tatapan mata yg penuh rasa kagum dan sayang. Belum
pernah dia melihat makhluk semungil dan semanis itu.
Dalam hati Huang Ren Fu kecil berjanji untuk melindungi dan menjaga adik bungsunya ini. Tentu saja seluruh keluarga
memberikan perhatian dan kasih sayang yang besar pada anak perempuan keluarga Huang yang satu-satunya ini, tapi tidak
sebesar Huang Ren Fu. Sepasang kakak beradik ini pun menjadi sepasang bersaudara yang seperti tidak terpisahkan. Di mana ada Huang Ying
Ying, tentu ada Huang Ren Fu, demikian juga sebaliknya.
Sekarang dalam menghadapi permasalahan yang rumit Huang Ying Ying sadar, dia butuh orang-orang yang akan dapat
membantunya. Kehadiran Tabib Shao telah menyadarkan gadis itu, masalah ini terlalu besar untuk diselesaikannya sendiri
tanpa bantuan orang lain dan dia butuh orang-orang yang dapat dipercayainya.
Gadis itupun pergi ke sana ke mari untuk mencari Huang Ren Fu, karena sang kakak sudah tidak ada di kompleks utara.
Bertanya kian ke mari ditelusurinya jejak sang kakak.
Pada saat itu, Tabib Shao yang ditinggal sendirian di kamar Huang Ying Ying sedang terkejut karena mendapati Ding Tao
terbaring di dalam lemari pakaian Huang Ying Ying.
Muncul banyak pertanyaan, mengapa Ding Tao bisa berada di sana, tapi dorongan panggilan hidupnya sebagai seorang
tabib dengan segera mengambi alih. Cepat dibukanya baju pemuda itu dan memeriksa luka di dada pemuda itu. Dengan
kening berkerut, dia meraba denyut nadi Ding Tao, kemudian sekali lagi diperiksanya luka-luka pemuda itu.
"Hmmm" apakah tinju 7 luka" Siapa yang melukainya" Apakah aku sudah salah sangka?"
Kemudian sambil menggelengkan kepala dia bergumam pada dirinya sendiri, "Tidak, tidak, keadaan Ding Tao saat ini justru membuktikan kebenaran dugaanku, dia masih tertidur pulas oleh obat itu, meskipun dalam keadaan terluka. Mungkin
masalahnya lebih rumit dari dugaanku tapi Ding Tao tidak melakukan yang dituduhkan Tuan Tiong Fa, entah Tuan Tiong Fa
membohong dengan kemauan sendiri atau masih ada intrik lain adalah masalah yang berbeda. Bisa juga bahwa ternyata
secara diam-diam Tuan Tiong Fa sudah membuat persetujuan dengan pihak luar."
Cepat tabib tua itu mengambil sekantong jarum dari jubahnya yang longgar, dengan gerakan yang cekatan dia
menancapkan jarum-jarum itu di tempat tertentu. Kemudian dikeluarkannya sebotol kecil obat gosok, dengan sabar
diurutnya tubuh pemuda itu.
Tidak lama kemudian, nafas Ding Tao sudah jauh lebih teratur. Melihat itu Tabib Shao menarik nafas lega.
Di tempat yang lain Huang Ying Ying berhasil menemukan kakaknya Huang Ren Fu, setelah berhasil mengajak kakaknya itu
untuk berbicara empat mata, dengan terbuka diceritakannya semua yang terjadi tanpa menutupi satu hal pun.
Huang Ren Fu yang mendengar bagaimana para pimpinan keluarga Huang sudah tersangkut paut dengan fitnahan pada diri
Ding Tao dan juga usaha pembunuhan terhadap pemuda itu, menjadi pucat wajahnya.
Setelah tercenung beberapa saat lamanya, dengan perlahan dia berkata, "Sungguh memalukan. Jika kabar ini sampai


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersiar keluar, nama keluarga Huang akan hancur seluruhnya. Adik Ying, kita harus berhati-hati dalam masalah ini. Aku
sependapat denganmu, kita harus berusaha menolong Ding Tao lolos dari rumah ini dengan selamat. Tapi masalah siapa
penyerangnya dan keterlibatan orang-orang keluarga Huang juga tidak boleh sampai tersiar keluar."
"Menurut kakak, apakah rencana yang kuceritakan pada kakak tadi mungkin berhasil?"
"Hmm, kurasa rencanamu adalah rencana yang terbaik yang bisa kita lakukan. Hasilnya bukan yang terbaik, tapi itu yang
terbaik yang bisa kita capai pada situasi saat ini."
Tidak lama kemudian, kakak beradik itu pergi menemui Tabib Shao di kamar Huang Ying Ying. Ding Tao masih saja tertidur
pulas. Huang Ren Fu kemudian memaparkan sebagian dari rencananya pada Tabib Shao, yang dengan senang hati
menerima rencana itu. Tentu saja, yang diketahui Tabib Shao, hanyalah sebagian saja bahkan hanya kulit luar dari rencana itu. Karena dugaan Tabib Shao masih jauh dari kenyataan yang sebenarnya, akan tetapi justru dengan memanfaatkan
kesalah pahaman inilah Huang Ying Ying mendapatkan jalan keluar bagi masalah yang dia hadapi saat ini.
"Tapi ingat Tabib Shao, tentang keberadaan Ding Tao, janganlah kau katakan pada siapapun, bahkan terhadap ayah."
Alis Tabib Shao sedikit berkerut, keberadaan Ding Tao di kamar gadis itu memang bisa menimbulkan pertanyaan-
pertanyaan yang akan menyudutkan gadis itu. Tapi bukankah justru sebaiknya ayah gadis itu mengetahuinya" Dengan
demikian Tuan besar Huang Jin akan dapat mengatur pengaturan yang sebaik-baiknya bagi pemuda itu.
Dengan sedikit ragu Tabib itu mengemukakan pendapatnya, "Tapi nona, jika Tuan besar Huang Jin sudah menerima laporan
dariku, tentu dia akan dapat menimbang yang sebaik-baiknya. Dengan kedudukannya akan lebih mudah bagi ayah nona
untuk mengatur pengamanan terhadap Ding Tao yang saat ini masih terluka dalam."
Huang Ren Fu-lah yang menjawab, "Ada juga bahayanya paman, tidakkah paman tahu bahwa Paman Tiong Fa selama
bertahun-tahun ini menjadi orang kepercayaan ayah" Ada dua kemungkinan, ayah kurang percaya dengan uraian Paman
Shao, kemudian menyampaikan temuan paman pada Paman Tiong Fa. Meskipun Paman Tiong Fa tidak akan berani
menurunkan tangan jahat pada Paman Shao karena akan membangkitkan kecurigaan ayah. Tapi bukan tidak mungkin
Paman Tiong Fa akan memiliki siasat untuk menghabisi nyawa Ding Tao yang memang sedang terluka parah."
"Mungkin dengan satu cara, dia bisa membuat keadaan Ding Tao menjadi semakin parah lalu seperti meninggal oleh luka-
lukanya." "Mungkin juga ayah mempercayai kita sepenuhnya dan tidak membocorkan rahasia ini pada Paman Tiong Fa. Tapi sudah
bertahun-tahun Paman Tiong Fa menjadi orang kepercayaan ayah, apakah tidak ada orang-orang kepercayaannya yang
sudah diselipkan dalam keluarga kita" Kemungkinan besar ada, tapi ada berapa orang dan siapa orangnya" Paman Shao
tahu sendiri, betapa cerdiknya Paman Tiong Fa."
Bergidik Tabib Shao Yong mendengarkan penjelasan Huang Ren Fu, dalam benaknya sudah terbentuk bayangan akan
adanya orang-orang jahat bermuka manis, tersebar dalam keluarga Huang dan pimpinannya adalah Tiong Fa, bahkan bukan
tidak mungkin Tiong Fa sendiri hanyalah seorang pion. Teringat temuannya atas luka pukulan yang membuat Ding Tao luka
parah. "Ah, saya jadi teringat, ada sesuatu dengan luka Ding Tao ini. Luka ini menurut pengamatanku disebabkan oleh Tinju 7 luka mliki Perguruan Kongtong."
"Tinju 7 luka?", terangkat alis Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying mendengar temuan terbaru dari Tabib Shao.
"Ya, benar, Tinju 7 luka. Pukulan ini adalah ilmu pukulan khas Perguruan Kongtong, meskipun aku bisa meringankan
penderitaan Ding Tao. Tapi aku kuatir, aku tidak akan bisa menyembuhkannya sampai sembuh total. Pada waktu-waktu
tertentu, bisa jadi lukanya akan kambuh tiba-tiba, membuat jalan darah dan aliran hawa murninya terganggu. Seiring
dengan bertambahnya umur dan melemahnya tubuh, bekas luka yang ditimbulkan oleh pukulan ini akan memburuk."
Dengan cemas Huang Ying Ying bertanya, "Apakah luka itu akan membahayakan jiwanya Tabib Shao?"
"Dibilang membahayakan jiwa tidak juga, mungkin lebih mirip penyakit rematik yang diderita orang tua. Tapi sebagai orang dunia persilatan, jika bekas luka itu kambuh di tengah-tengah suatu pertarungan kan berabe juga."
"Apakah Paman Shao tidak bisa berbuat apa-apa lagi?"
Dengan sedih tabib tua itu menggeleng, "Ilmu pengobatanku hanya bisa menyembuhkan sebagian besar luka yang
disebabkan oleh pukulan itu, tapi hawa murni yang bersifat merusak dari pukulan itu sendiri masih mengeram di dalam
tubuh Ding Tao. Masih baik, dasar hawa murni dari Ding Tao sudah cukup mapan, sehingga dengan begitu mampu menahan
serangan hawa murni jahat yang mengeram dalam tubuhnya. Mungkin suatu saat nanti jika himpunan hawa murni Ding Tao
sudah jauh lebih sempurna, dia bisa mengenyahkan sendiri hawa murni jahat itu dari dalam tubuhnya."
"Apakah tidak ada jalan lain, Tabib Shao?"
Berpikir sejenak tabib tua itu merenung, "Kukira dalam masa ini hanya 3 orang yang memiliki ilmu tenaga dalam yang
cukup mahir dan mapan untuk menyembuhkan Ding Tao. Biksu Khong Zhe dari Shaolin, Pendeta Chongxan dari Wudang
dan Ren Zuocan, ketua sekte Matahari dan Bulan dari luar perbatasan."
"Bagaimana dengan ayah?", dalam kecemasannya Huang Ying Ying sempat terpikir untuk mengambil resiko dan memohon
pada ayahnya. Tabib Shao menggeleng, "Maafkan aku nona, kukira tingkatan ilmu tenaga ayah dalam nona belum mampu untuk itu. Masih
ada satu jalan lain juga sebenarnya."
"Jalan apa itu Tabib Shao?", dengan mata berbinar Huang Ying Ying bertanya.
"Pergi ke Perguruan Kongtong, atau setidaknya mendapati murid Perguruan Kongtong yang sudah sempat mewarisi ilmu
pukulan Tinju 7 luka. Karena luka itu diakibatkan oleh ilmu mereka, dengan sendirinya bisa diharapkan kalau mereka pula tahu cara pengobatannya."
"Ah" Perguruan Kongtong begitu jauh di utara, lagipula kata orang ketua perguruan Kongtong saat ini, sifatnya sukar
diduga, lurus tidak, gelap juga tidak. Lebih sukar dibanding mengharapkan pertolongan dari Biksu Khongzhe di Shaolin ?", ujar Huang Ying Ying dengan sedih.
Mereka bertiga terdiam sejenak, kemudian Tabib Shao yang pertama memecahkan keheningan, "Dalam beberapa hari
kondisi Ding Tao akan pulih, sejauh ilmu pengobatanku memungkinkannya. Saat itu dia sudah dapat beraktivitas seperti
biasa, kecuali jika luka itu kambuh. Tidak ada jalan lain, dia harus pergi menemui mereka yang bisa menyembuhkannya.
Biksu Khongzhe dan Pendeta Chongxan terkenal dengan wataknya yang penuh belas kasih, kukira besar kemungkinan
mereka akan membantu anak muda itu."
"Tapi perjalanan begitu jauh, belum lagi masalah Ding Tao dengan keluarga Huang dan desas-desus tentang Pedang Angin
Berbisik tentu sudah tersebar luas pada saat itu. Perjalanannya akan dipenuhi mara bahaya.", keluh Huang Ying Ying
dengan sedih. "Tidak ada jalan lain nona, hanya itu yang bisa kita lakukan, sisanya sepenuhnya tergantung pada usaha dan nasib baik
anak itu sendiri.", sahut Tabib Shao dengan perlahan.
Huang Ren Fu mengangguk sambil menggertakkan rahangnya kuat-kuat, "Ya, kita tidak perlu terlampau jauh
mengkhawatirkan hal itu. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah membantu Ding Tao sebisa mungkin. Ding Tao seorang
laki-laki sejati, cobaan ini akan semakin menggembleng dirinya menjadi orang kuat. Sudahlah Adik Ying, dia bukan anak
cengeng yang masih memerlukan seorang ibu untuk memeluknya setiap kali kakinya terantuk batu."
Dengan wajah sedih, Huang Ying Ying mengangguk perlahan.
Menghela nafas dalam-dalam, Huang Ren Fu menepuk bahu adiknya yang sedang bersedih dan mengambil alih pimpinan,
"Tabib Shao, mari kita sembunyikan kembali Ding Tao ke dalam lemari pakaian Adik Ying. Kemudian tunggulah di kamar ini
sementara aku dan Adik Ying mengumpulkan orang-orang yang bisa dipercaya untuk mengokohkan kedudukan kita
menghadapi siasat gelap Paman Tiong Fa."
Hari sudah menjelang subuh saat belasan orang pemuda berkumpul dengan diam-diam di depan kamar Huang Ying Ying, di
antara mereka terlihat ada Feng Xiaohong dan Zhu Lizhi. Wang Sanbo mungkin adalah satu-satunya orang tua yang ada di
situ. Terlihat mencolok di antara wajah-wajah muda dan penampilan yang rapi. Tapi jago tua itu tidak ambil peduli,
bersandar di salah satu tiang, dia diam saja sementara yang lain saling berbisik, menduga-duga mengapa Huang Ying Ying
dan Huang Ren Fu mengumpulkan mereka di situ.
Ada juga yang sempat berpikiran sedikit nyeleneh, membayangkan sebentar lagi mereka akan mengintip masuk ke dalam
kamar seorang gadis. Apalagi gadis itu Huang Ying Ying yang cantik dan menggemaskan. Yang berpikir demikian tentu saja
hanya menyimpannya dalam hati tidak berani mengucapakan keras-keras.
Tidak lama kemudian Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu muncul dari tikungan bersama dengan seorang pemuda lainnya.
Begitu mereka sampai Huang Ying Ying segera membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, Huang Ren Fu pun
mempersilahkan mereka semua untuk masuk ke dalam. Meskipun Huang Ying Ying sedikit kelaki-lakian dan adatnya pun
sangat terbuka, tidak urung hatinya sempat merasa jengah sudah membiarkan belasan pemuda masuk ke dalam kamarnya.
Tapi demi keselamatan Ding Tao, ditekannya kuat-kuat segala perasaan itu. Dalam hati dia berjanji, awas saja kalau ada
yang berani nyengir kurang ajar, bakal dia tendang sampai mampus orang itu.
Ruangan yang luas itu pun jadi terasa sedikit sempit karena tiba-tiba terisi dengan belasan orang jumlahnya.
Ketegangan menghiasi hampir setiap wajah, dalam hati mereka menebak-nebak apa tujuan Huang Ying Ying dan Huang Ren
Fu mengumpulkan mereka di sini. Apakah ada hubungannya dengan terbunuhnya Zhang Zhiyi" Lalu mengapa pula di sana
sudah menunggu Tabib Shao Yong"
Di antara mereka mungkin hanya Wang Sanbo saja yang berdiri diam dengan wajah tanpa ekspresi. Bukan tanpa alasan
kalau Tuan besar Huang suka mengirimkan jagoan tua ini untuk menagih hutang langganan yang nakal. Dipandangi oleh
Wang Sanbo yang sangar ini, tanpa seucap katapun, lama kelamaan orang yang pemberani pun menjadi keder hatinya.
Yang pandai bersilat lidah pun akan mati kutu menghadapi Wang Sanbo yang pendiam. Dirayu, diberi ribuan alasan,
dimintai belas kasihan bahkan diancam, dia hanya berdiri diam dengan bon penagihan utang di tangan.
Ketika diperhatikan siapa saja yang datang, maka bisa didapati mereka semuanya adalah orang-orang yang diundang ke
perjamuan makan malam kemarin dan mereka semua adalah orang-orang yang bersimpati pada Ding Tao.
Tidak mudah menyusun siapa-siapa yang akan diundang, tapi Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu akhirnya berhasil juga
menyusun daftar itu. Mereka yang masuk dalam daftar itu, memiliki kedudukan yang cukup pentin tapi belum cukup penting
untuk dipercayai dengan rahasia-rahasia keluarga. Mereka ini juga dikenal jujur dalam perbuatannya. Faktor terakhir
adalah, dalam pertandingan persahabatan itu, mereka ini menunjukkan simpati pada Ding Tao.
Setelah memastikan keadaan sudah tenang dan perhatian semua orang mulai tertuju pada dirinya dan Huang Ying Ying,
Huang Ren Fu pun membuka pertemuan.
"Kukira, kita semua sudah bisa menduga, jika aku dan Adik Ying sekarang ini mengumpulkan kalian malam. Hal ini
berhubungan erat dengan terbunuhnya Saudara Zhang Zhiyi dan tuduhan yang dilemparkan ke atas pundak Ding Tao. Kita
semua sudah cukup mengenal watak pemuda itu, hingga sulit rasanya untuk menerima tuduhan yang diberikan. Tapi bukan
hanya berdasarkan rasa simpati dan persahabatan aku mengumpulkan kalian, melainkan karena Tabib Shao menemukan
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Ding Tao tidak bersalah seperti yang dituduhkan padanya."
Terkejutlah setiap orang, meskipun mereka sudah bisa menduga-duga hal ini namun mau tidak mau, ketika Huang Ren Fu
membenarkan dugaan mereka, ada juga rasa terkejut dalam hati, karena ini menyangkut erat dengan Tiong Fa, salah satu
pimpinan dari keluarga Huang.
Pandang mata mereka, langsung saja berpindah ke arah Tabib Shao Yong yang sedikit gemetar.
Huang Ren Fu menepuk pundak Tabib itu untuk menenangkannya, "Tabib Shao, sampaikanlah penemuanmu ini pada
mereka. Ceritakan saja seperti kau menceritakannya padaku dan Adik Ying kemarin."
Dengan mengumpulkan segenap keberanian mulailah Tabib Shao menjelaskan satu per satu, kecurigaan dan dugaannya,
pemeriksaan yang dia lakukan, temuan yang dia dapati, sampai dengan kesimpulan yang bisa dia tarik darinya.
Gegerlah kamar itu dengan seruan-seruan terkejut dan marah. Pertanyaan-pertanyaan diajukan pada Tabib Shao Yong.
Sedapat mungkin tabib itu menjawab, sesekali Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu membantu. Tidak jarang dari mereka
sendiri saling berdebat dan mengajukan pandangan.
Tapi secara keseluruhan bisa tertangkap, bahwa mereka mempercayai kebersihan Ding Tao dalam hal ini dan lebih condong
untuk menunjuk Tiong Fa sebagai pihak yang dengan licik sudah memfitnah Ding Tao. Perkembangan ini tentu membuat
Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu lega.
"Lalu mengapa tidak sekarang juga kita temui saja Tuan besar Huang Jin dan bersama-sama menangkap penjahat licik
itu?", seru salah seorang dari mereka.
Yang berseru itu tiba-tiba sadar bahwa di sampingnya berdiri Zhu Lizhi yang merupakan salah seorang murid asuhan Tiong
Fa. Tanpa terasa dia jadi terdiam dan menggeser tubuhnya menjauh dari Zhu Lizhi. Beberapa yang lain jadi ikut menyadari hal itu, pandang mata merekapun jatuh pada Zhu Lizhi.
Zhu Lizhi yang melihat itu jadi tersenyum getir, dalam hatinya tentu saja ada rasa sakit, karena gurunya dituduh telah
melakukan satu pengkhianatan. Tapi Zhu Lizhi bukan membuta bersetia pada Tiong Fa, dia justru lebih paham akan
kelicikan gurunya dibandingkan orang lain dan karenanya lebih mudah untuk menerima kemungkinan itu. Apalagi bukti dan
dugaan yang disebutkan Tabib Shao Yong cukup kuat.
Dengan lemah pemuda ini menggelengkan kepala, "Jangan kuatir, aku tidak akan membocorkan hal ini pada guru. Lagipula
pada dasarnya kesetiaanku yang pertama adalah pada keluarga Huang. Keluargaku sudah berpuluh tahun bekerja pada
keluarga Huang. Niatku untuk mengabdikan diri pun adalah pada keluarga Huang. Hanyalah satu kebetulan jika kemudian
aku ditempatkan di bawah pengawasan Guru Tiong Fa."
"Tapi aku bisa menjawab, mengapa Tuan muda Huang Ren Fu tidak akan memutuskan untuk dengan segera menangkap
guru. Yaitu karena kedudukan guru yang sangat penting dalam keluarga Huang, lagipula hitam putihnya masalah ini
belumlah diketahui dengan jelas, siapa saja yang tersangkut di dalamnya" Apakah masih ada susupan-susupan lain dalam
keluarga Huang" Lebih dari siapapun di dalam ruangan ini, aku mengetahui kecerdikan guru dan ketelitiannya dalam
mengerjakan satu masalah."
"Jika kita pergi sekarang ke kamar Ding Tao, aku yakin bahwa kamar itu sekarang sudah bersih tanpa bekas-bekas yang
mencurigakan. Adalah satu keberuntungang bahwa Tabib Shao bisa memeriksa tempat itu tanpa terpergok siapapun.
Terlambat sedikit saja, mungkin mereka yang disuruh untuk membersihkan jejak dari tempat itu akan memergokinya dan
nyawa Tabib Shao Yong pun ikut dibersihkan."
Mendengar uraian Zhu Lizhi, tanpa terasa bulu kuduk Tabib Shao jadi berdiri. Keingin tahuannya mendorong dia untuk
menyelidik kamar Ding Tao tanpa sebelumnya terpikir betapa berbahayanya hal itu. Karena jika benar Ding Tao tidak
bersalah, itu berarti Tiong Fa sudah membohongi mereka, dan betapa berbahayanya memiliki musuh seperti Tiong Fa.
"Saudara Zhu benar, itu sebabnya aku dan Adik Ying tidak langsung menemui ayah, melainkan mengumpulkan kalian
semua di sini terlebih dahulu." , sahut Huang Ren Fu.
"Menghadapi intrik yang rumit dengan Paman Tiong Fa berdiri di pihak yang berlawanan, aku ingin meminta bantuan kalian, yaitu yang pertama untuk membantu kami melindungi Tabib Shao Yong sebagai saksi kunci. Yang kedua untuk dengan
berahasia mengamati gerak-gerik Paman Tiong Fa. Yang ketiga adalah dengan diam-diam berusaha mengetahui keberadaan
Ding Tao saat ini.", pemuda itu kemudian menjelaskan secara lebih terperinci rencana yang sudah dipikirkan oleh dia dan adiknya.
Pertama mereka yang berkumpul di kamar Huang Ying Ying ini, akan bersumpah setia, membentuk satu kelompok rahasia
dalam keluarga Huang, dengan tujuan sebagai upaya untuk membela diri terhadap kelompok rahasia lain yang tampaknya
secara diam-diam hendak menghancurkan keluarga Huang dari dalam. Dugaan ini timbul saat mereka melihat bagaimana
Tiong Fa, diam-diam telah melanggar perintah Tuan besar Huang Jin yang sudah diberikan sebelumnya.
Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu kemudian akan menemui ayah mereka dan menyampaikan temuan Tabib Shao Yong,
serta inisiatif mereka untuk mengumpulkan orang-orang yang dapat dipercaya. Yang nantinya akan digunakan untuk
mengawasi dan berusaha untuk mengungkap tabir di balik kebohongan Tiong Fa.
Huang Ren Fu pun dengan sigap membagi-bagi tugas di antara mereka. Zhu Lizhi sebagai murid Tiong Fa akan bertindak
mengawasi tokoh itu, dibantu oleh beberapa orang lainnya. Bila memungkinkan Zhu Lizhi akan berupaya menemukan
kembali Pedang Angin Berbisik yang diambil oleh Tiong Fa dari Ding Tao.
Sebagian lagi akan bertugas memastikan keselamatan Tabib Shao Yong sebagai saksi kunci dalam kasus terbunuhnya
Zhang Zhiyi dan difitnahnya Ding Tao.
Sisanya akan bertugas untuk secara diam-diam berusaha mencari jejak Ding Tao, baik untuk menolong pemuda itu,
sekiranya dia dalam masalah. Juga untuk mendapatkan lebih banyak lagi bukti dan petunjuk untuk meringkus Tiong Fa dan
kelompok rahasianya. Penugasan akan dilakukan secara bergantian, tanpa aturan dan pembagian yang ketat. Mereka harus mampu mengatur
sedemikian rupa sehingga jumlah yang belasan itu bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dalam pertemuan itu mereka
juga merundingkan bagaimana cara mereka saling mengirimkan pesan tanpa membocorkan rahasia kelompok kecil ini.
Kapan pertemuan dilakukan dan sebagainya.
Mereka yang berkumpul ini, kecuali Wang Sanbo, adalah bibit-bibit muda keluarga Huang, pemuda-pemuda berbakat dan
berotak encer. Sekian tahun mereka sudah berlatih tanpa ada tantangan yang benar-benar nyata. Darah muda mereka
menggelegak menginginkan petualangan yang berbahaya. Sehingga pertemuan itu seakan menjadi saluran yang paling
tepat kegairahan mereka. Itu sebabnya ajakan Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying disambut dengan antusias, jika sebelumnya Huang Ying Ying dan
Huang Ren Fu yang membuat rencana, dengan cepatnya anggota kelompok yang lain saling berdiskusi dan dalam waktu
singkat pembentukan kelompok rahasia ini bukan lagi melulu milik Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu.
Kedua besaudara itu pun saling melirik sambil tersenyum, Huang Ren Fu yang merasakan sebagian beban di pundaknya
terangkat menarik nafas panjang dan menyandarkan tubuhnya di dinding. Dibiarkannya saja yang lain dengan bersungguh-
sungguh mendiskusikan langkah yang terbaik.
Wang Sanbo yang sejak tadi berdiam diri, berdiri, lalu melangkah mendekati Huang Ren Fu. Tidak ada yang memperhatikan
keberadaan jagoan tua itu. Di mana pun dia berada, selalu saja dia menyendiri dan diam dalam kesendiriannya.
Tapi kali ini dia berdiri mendekati Huang Ren Fu. Huang Ren Fu menegakkan badannya dan menanti jago tua itu
mengatakan sesuatu, alisnya terangkat bertanya tanpa kata, "Ada apa?"
Lama jago tua itu hanya berdiri, diam, kemudian dengan sopan dia membungkuk memberi hormat. Huang Ren Fu yang
kaget dengan gerakan Wang Sanbo yang di luar dugaan itu, hanya menatap dengan mata terbuka lebar. Heran, heran
karena belum pernah jago tua ini sedemikian menghormat pada seseorang. Sikapnya dingin, tidak peduli aturan, mungkin
hanya pada ayahnya jago tua ini membungkuk memberi hormat, itupun dilakukan dengan dingin.
Belum hilang kekagetannya, jago tua itu mendekat dan berbisik, "Tuan muda, hati-hatilah dalam mengambil keputusan dan
jangan pernah mengorbankan nilai-nilai yang kau pegang saat ini."
Dengan kata-kata itu, jago tua itu membalik badan lalu keluar dari kamar. Tidak ada orang lain yang melihat kejadian itu, kecuali Tabib Shao Yong dan adiknya Huang Ying Ying. Yang lain masih sibuk dengan diskusi mereka.
Tabib Shao Yong mengangguk-angguk seperti memahami sesuatu, lalu orang tua itu mengikuti apa yang dilakukan Wang
Sanbo, dia berdiri memberi hormat pada Huang Ren Fu dan Huang Ying Ying, lalu berpamitan dengan suara rendah
meninggalkan ruangan. Tinggallah Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu yang saling berpandangan dengan alis terangkat.
Huang Ren Fu hanya bisa mengangkat bahu kemudian bergabung dengan yang lain, memoles rencana yang sudah mereka
buat. Ayam sudah berkokok di kejauhan saat pertemuan rahasia itu bubar.
Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu hanya sempat tidur beberapa jam, tapi pagi itu hampir semua orang dalam keluarga
Huang tidur larut malam. Pada kesempatan yang pertama kedua bersaudara itu menemui ayah mereka. Betapa terkejutnya
Tuan besar Huang Jin mendengar penuturan kedua anaknya itu.
Pimpinan keluarga Huang itu pun tersudut, jika dia ingin "membungkam" Tabib Shao, berarti dia harus "membungkam" pula
kedua anaknya. Bukan hanya mereka tapi juga belasan orang lain yang telah diilbatkan oleh Huang Ying Ying dan Huang
Ren Fu. Kekuatan keluarga Huang akan merosot jauh jika dia memaksakan hal itu.
Dengan senyum di wajah, tapi pahit di dalam dia menerima kenyataan bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk Tabib
Shao Yong. Dalam hati dia bersyukur bahwa setidaknya belum ada yang tahu tentang keterlibatannya. Juga mereka yang
mendengarkan bukti-bukti yang dipaparkan Tabib Shao Yong ternyata mampu berpikir dengan cukup dingin dan tidak
memaksa untuk menindak Tiong Fa secepatnya. Sehingga dia tidak dipaksa untuk mengambil keputusan yang drastis.
Untuk sementara masalah "pengkhianatan" Tiong Fa akan dikuburkan dahulu sampai mereka bisa memperkuat kedudukan.
Dalam hal ini reputasi akan kecerdikan dan kelicinan Tiong Fa membantu Tuan besar Huang Jin untuk memperpanjang
waktu, sebelum muncul desakan untuk membuka temuan Tabib Shao Yong.
Tapi cepat atau lambat, masalah ini tentu akan muncul juga ke permukaan. Keadaan ini seperti peledak yang siap disulut
setiap saat. Tiba-tiba saja Tuan besar Huang Jin merasa seperti berdiri di atas tumpukan bara yang panas.
Antara merasa kesal, tapi bercampur juga dengan kagum, melihat kedua anaknya yang terkecil ternyata mampu mengambil
tindakan yang cerdik dan bijaksana. Sudah agak lama dia mengkhawatirkan keadaan keluarga Huang sepeninggal dirinya.
Puteranya yang sulung, cenderung terlalu ambisius dan kejam, meskipun dalam kondisi tertentu hal itu menguntungkan,
tapi muncul juga kekhawatiran bahwa seperti pedang bermata dua, hal itu pun bisa merugikan dirinya sendiri dan juga
keluarga Huang. Puteranya yang kedua lebih memilih untuk menarik diri dan menekuni buku-buku sastra, sedangkan yang ketiga tidak bisa
diandalkan dan lebih sering keluar bersama teman-temannya daripada tertarik dengan urusan keluarga.
Tapi sekarang ternyata dua orang yang tidak pernah dia perhitungkan dan harapkan menunjukkan kemampuan yang ada
dalam dirinya. Hatinya jadi khwatir, ketika dia membayangkan, apa yang akan terjadi jika urusan Ding Tao berhasil
diketahui kedua anaknya itu.
Kepala Tuan besar Huang Jin jadi terasa pening memikirkan semuanya itu. Rasa bencinya pada Ding Tao menjadi semakin
bertambah saja. Tadinya dia berharap dengan mendapatkan Pedang Angin Berbisik, keluarga Huang bisa semakin
memantapkan kedudukan mereka dalam dunia persilatan. Tiong Fa dan jaringannya sudah pula berhasil mengumpulkan
berbagai macam ilmu rahasia dari perguruan-perguruan besar yang tersebar di daratan.
Berbekal dua hal itu Tuan besar Huang Jin berharap dirinya akan mampu menduduki kedudukan yang lebih penting lagi
dalam dunia persilatan. Mengangkat nama keluarga mereka dalam dunia persilatan. Tapi sekarang adanya urusan pedang
itu justru mengancam timbulnya retakan dalam keluarga Huang yang dulunya solid.
Di luar dia berusaha menampilkan perhatian penuh pada rencana Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu, di dalam dia sudah
merancangkan untuk mengadakan pertemuan rahasia dengan Tiong Fa secepatnya. Hanya Tiong Fa dengan kelicinannya
yang bsia diharapkan Tuan besar Huang Jin untuk mengurai benang yang kusut ini.
Lagipula, Tiong Fa harus mempertanggung jawabkan semuanya ini, dialah yang memberikan jaminan bahwa dia akan dapat
mengatur agar keluarga Huang bisa mendapatkan pedang pusaka milik Ding Tao. Kenyataannya dia sudah gagal lewat jalan
halus, lewat jalan kasar, meskipun berhasil mendapatkan pedang, tapi keberhasilan itu harus dibayar pula dengan
permasalahan lain yang cukup berbahaya bagi kelangsungan keluarga Huang.
---------- o ---------- Sore harinya setelah semua urusan selesai, Huang Ying Ying yang mengaku tidak enak badan meminta agar makanan
diantarkan ke kamarnya. Rencananya dia akan memberikan sebagian makanan itu untuk Ding Tao. Dia dan kakaknya belum
berani memindahkan pemuda itu ke tempat lain.
Huang Ren Fu sebenarnya keberatan dengan pengaturan itu, tapi Huang Ying Ying dengan sungguh-sungguh dan sedikit
kesal berkata, "Boleh saja kau tidak percaya pada Ding Tao, masakan kau juga tidak percaya padaku" Apa kaupikir adikmu
ini perempuan murahan yang akan menjajakan dirinya pada setiap lelaki?"


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan menahan kesal Huang Ren Fu menjawab, "Tapi apa kata orang nantinya?"
"Aku tidak peduli apa kata orang, yang penting nuraniku sendiri. Apa kakak pikir aku senang dengan keadaan seperti ini, akupun terganggu dengan keadaan ini. Tapi apa ada cara lain yang lebih baik" Memindahkan Ding Tao di saat ini sangatlah susah dilakukan tanpa menarik perhatian orang. Apalagi Paman Tiong Fa punya mata yang bukan main tajamnya.", jawab
Huang Ying Ying dengan air mata merebak.
Akhirnya Huang Ren Fu mengalah, sambil membuang muka dia berkata, "Aku tahu" sudahlah kuharap pemuda itu cukup
berharga untuk kau berani mempertaruhkan nama baikmu sendiri."
Huang Ying Ying hanya bisa menggigit bibir tanpa mampu menjawab, karena menjawab berarti mengakui perasaannya pada
Ding Tao. Huang Ren Fu akhirnya terpaksa meninggalkan adiknya sendirian dengan seorang laki-laki di kamarnya. Sebenarnya dia
yakin tidak akan ada yang terjadi di antara keduanya. Dia mempercayai Huang Ying Ying sepenuhnya, gadis itu mungkin
saja terkadang bersikap tidak pedulian terhadap pendapat orang, tapi dia percaya Huang Ying Ying bisa menentukan sendiri batas-batasnya.
Demikian juga dengan Ding Tao, Huang Ren Fu percaya pada pemuda itu, hanya orang buta yang tidak bisa melihat sorot
mata Ding Tao yang penuh cinta saat bersama dengan Huang Ying Ying. Tapi sorot cinta yang terpancar dari mata pemuda
itu begitu tulus, bersih dari sorot mata nakal dan kurang ajar. Lagipula Ding Tao sedang terluka parah, jangankan berbuat macam-macam, untuk menggerakkan tubuhnya pun pemuda itu pasti akan sangat kesakitan. Setidaknya itu yang dikatakan
Tabib Shao sebelum meninggalkan sebungkus obat untuk Ding Tao.
Tidak banyak yang bisa dilakukan Tabib Shao sekarang ini, kecuali menunggu tubuh Ding Tao memulihkan dirinya sendiri.
Sedikit obat yang diberikan adalah untuk membantu Ding Tao tidur dan mengistirahatkan tubuhnya tanpa diganggu oleh
rasa sakit yang disebabkan oleh luka-lukanya.
Mungkin ada banyak alasan bagi Huang Ren Fu untuk merelakan, meninggalkan keduanya bersamaan. Semoga saja
kepercayaan Huang Ren Fu itu tidak salah tempat.
Baru setelah kakaknya pergi dan Huang Ying Ying menutup pintu kamarnya, barulah gadis itu meresapi keadaannya saat
itu. Dia sedang berdua sendirian dengan Ding Tao di dalam kamarnya, gadis itu tiba-tiba merasakan jantungnya berdebaran dan mukanya memerah.
Untuk beberapa saat lamanya gadis itu melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan, tengkurap gadis itu menutupkan
bantal ke atas kepalanya dan memaki-maki dirinya sendiri karena tiba-tiba merasa gugup dan salah tingkah.
"Sialan, sialan, Ding Tao sialan, kenapa perasaanku jadi begini. Ah sial, ini gara-gara ucapan Kakak Ren Fu, memangnya
apa yang akan kami lakukan?", gerutunya sambil memukul-mukul kasur.
Dasar sedang sial, di saat itu terbayang cerita emban pengasuhnya yang centil tentang bagaimana rasanya berciuman
dengan kekasih untuk pertama kalinya, di luar kemauannya Huang Ying Ying membayangkan dirinya dicium oleh Ding Tao
dan membaralah wajahnya. Dengan kesal bercampur debar-debar aneh gadis itu memukuli kepalanya sendiri, "Bodoh! Bodoh! Bodoh! Huang Ying Ying
bodoh sekali kamu! Ah sialan!"
Dengan geram gadis itu berdiri lalu mengambil pedang pendeknya dan dengan menggertak gigi dia mulai berlatih.
Gerakannya cepat dan gesit, perlahan-lahan dia mulai larut dalam latihan.
Obat tidur yang diminum Ding Tao sudah mulai hilang efeknya, kesadarannya perlahan datang. Rasa nyeri yang tadi ditekan oleh obat juga perlahan datang kembali. Sambil mengeluh panjang Ding Tao membuka matanya.
Dikerjap-kerjapkannya matanya, otaknya terasa sulit sekali disuruh bekerja. Lama Ding Tao mengamati keadaan
sekelilingnya, tidak mengerti, tempat apa ini"
Perlahan tangannya meraba-raba ke sekelilingnya, agak lama baru dia sadar ada segaris cahaya. Pemuda itu mencoba
bangkit berduduk, menggigit bibir menahan nyeri, berhasil juga dia duduk dan segera saja kepalanya menyentuh baju-baju
yang digantungkan. "Kain?", pikirnya.
"Ini" wangi ini?", meskipun kesadaran itu datang sedikit demi sedikit, Ding Tao mulai menduga-duga, apakah dia ini
sekarang ada dalam lemari pakaian Huang Ying Ying" Bau ini, bau wangi khas yang sering dia cium saat berdekatan dengan
gadis itu. Dengan gugup Ding Tao berusaha bangkit berdiri dan keluar dari tempat itu. Tapi setelah berhasil berdiri, kakinya terasa lemah, tidak tahan untuk menopang tubuhnya yang sudah bangkit berdiri. Semakin guguplah pemuda itu saat dia merasa
tubuhnya terguling ke depan tanpa bisa berbuat apa-apa. Gerakan jatuh yang tiba-tiba itu membebani tulang-tulang
rusuknya yang baru saja dihajar kemarin. Nyeri yang sangat menusuk luka-luka di bagian yang terpukul dan tanpa bisa
ditahan Ding Tao terpekik menahan sakit.
Diiringi oleh suara gedubrakan saat dia membentur lantai, Ding Tao keluar dari lemari pakaian Huang Ying Ying.
Huang Ying Ying pun terlonjak kaget mendengar suara itu. Wajahnya jadi pucat, bagaimana kalau suara itu terdengar
sampai di luar" Cepat dia menendang bangku yang ada di dekatnya sambil memaki, "Sialaaan !!"
Kemudian dengan jari di bibir, dia memberi tanda untuk Ding Tao yang sedang memandang ke arahnya untuk diam. Dia
sendiri cepat-cepat mendekati pintu kamarnya dan menempelkan telinga. Mendengar-dengar apakah ada orang di sana.
Saat tidak terdengar apa-apa di luar, perlahan Huang Ying Ying membuka pintu kamarnya dan mengintip keluar. Dengan
nafas lega dia masuk kembali sambil menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Matanya pun jatuh tertuju pada Ding Tao yang
memandang ke arahnya dengan raut wajah kebingungan. Cukup lama mereka hanya saling memandang, tidak tahu apa
yang harus dikatakan. Ding Tao dengan perasaan bersalah mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi hingga dirinya bisa berada di dalam
lemari pakaian Huang Ying Ying. Akhirnya dengan nada bersalah dan putus asa dia berusaha menjelaskan, "Adik Ying, aku
tidak tahu bagaimana aku bisa ada di sini. Yang kuingat?"
"Ssst" jangan terlalu keras bersuara, tenanglah. Aku tahu, kemarin malam ada orang coba membunuhmu.", bisik Huang
Ying Ying yang sekarang telah duduk di sisi pembaringannya dekat dengan tempat Ding Tao terjatuh.
"Benar, benar, Adik Ying apa mereka sudah tertangkap" Lalu mengapa aku sampai berada di sini?"
Huang Ying Ying menggeleng, dari sorot matanya Ding Tao menangkap satu kepedihan, "Tidak Ding Tao, mereka belum
tertangkap. Tahukah kamu siapa yang melakukannya?"
Ding Tao menggeleng, "Tidak, waktu itu aku sangat mengantuk, tidak sedikitpun aku mendengar suara mereka. Aku baru
tersadar setelah merasakan satu nyeri yang hebat di hatiku. Saat sadarpun aku tidak sepenuhnya bisa menangkap kejadian
di sekitarku dan kedua orang itu, mereka memakai topeng hitam menutupi wajahnya."
Membayangkan keadaan Ding Tao saat itu, air mata merebak di pelupuk mata Huang Ying Ying, dengan lembut
dipegangnya tangan Ding Tao, "Maafkan aku Ding Tao, akulah yang memberikan obat itu padamu?"
Ding Tao yang bisa merasakan kepedihan hati gadis itu mencoba menenangkannya, "Adik Ying, jangan bersedih, aku tahu
maksud baik dirimu dan ayahmu. Hanya waktunya saja sangat bertepatan dengan datangnya dua orang itu."
Mendengar itu Huang Ying Ying jadi merasa makin bersalah, karena ayahnya yang telah merencanakan pencurian dan
pembunuhan itu. Tapi dia tidak bisa mengatakan hal itu pada Ding Tao, tidak berani dia membayangkan apa yang akan
terjadi jika Ding Tao tahu hal itu. Bagaimana jika pemuda itu kemudian membencinya" Atau bagaimana jika pemuda itu
kemudian pergi untuk berkelahi dengan ayahnya" Huang Ying Ying tidak peduli dengan Pedang Angin Berbisik, dia tidak
peduli dengan Ren Zuocan. Tidak perlu Ding Tao jadi pendekar pedang nomor satu asal pemuda itu tidak membencinya saja
dia sudah bahagia. Dengan sedih gadis itu menggeleng lemah, Ding Tao yang melihat gadis itu semakin bersedih menjadi semakin bingung.
"Adik Ying, Adik Ying, janganlah bersedih, jangan pernah merasa bersalah terhadapku. Adik Ying hanya engkau selalu baik padaku sejak dulu, itu aku tahu dengan jelas. Adik Ying ingatkah kau dua tahun yang lalu" Saat aku lulus ujian naik
peringkat waktu itu?"
Dengan mata yang membasah Huang Ying Ying menatap Ding Tao lalu mengangguk perlahan.
+ "Hari itu, hari yang selalu kuingat selama dua tahun ini, apakah kau tahu mengapa aku merasa bahagia saat
mengenangnya?" "Karena kau jadi juara waktu itu?"
"Bukan, bukan karena itu, tentu saja ada rasa senang, tapi bukan itu yang membuatku terkenang. Melainkan senyummu,
tawamu saat kau melihat aku dinyatakan sebagai lulusan terbaik. Aku masih teringat sorakanmu saat itu. Hari itu kau
terlihat begitu gembira, dan akulah yang membuatmu tertawa serta bersorak. Karena itu Adik Ying, janganlah lagi bersedih, karena hal itu akan membuatku merasa bersedih pula."
Rayuan gombal pemuda udik macam Ding Tao tentu saja kalah jauh dengan rayuan seorang pemuda romantis yang sudah
ahli. Tapi ketulusan Ding Tao tidak bisa disamai mereka ini, apalagi yang mendengarnya adalah Huang Ying Ying yang
sedang jatuh cinta pada pemuda itu. Langsung saja mukanya bersemu merah, senyum di bibir merekah, dengan pipi masih
dihiasi tetesan air mata yang belum mengering, membuat dirinya tampak lebih cantik dari biasanya.
Ding Tao yang merasa lega, melihat senyum di wajah Huang Ying Ying, tanpa terasa menjadi lebih longgar lidahnya.
Dibantu dengan efek obat yang diminumnya belum benar-benar hilang. Meskipun Ding Tao sudah tidak lagi diserang rasa
kantuk, tapi kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Suasana dan kondisi saat itu juga terasa begitu aneh bagi nalar Ding
Tao dan di luar akal sehatnya, membuat Ding Tao tidak memijak pada kenyataan sehari-hari. Apa yang biasanya dia
pendam saja, terlontar keluar dengan begitu mudahnya.
"Adik Ying, tahukah kau betapa berat saat guru dan aku memutuskan untuk pergi tanpa pamit dua tahun yang lalu" Bukan
karena aku gentar oleh beratnya kehidupan berkelana, tapi karena aku takut dipandang rendah oleh dirimu, sebagai orang
yang tidak tahu berterima kasih. Jika ada penghiburan bagiku, itu adalah janji guru, bahwa setelah aku menamatkan ilmu
keluarga Huang, aku akan mempunyai cukup bekal untuk menghadapi bahaya dan kembali untuk menjelaskan semuanya ini
padamu." Huang Ying Ying jadi makin terharu, mengingat justru karena hal itulah nyawa Ding Tao jadi terancam dan pemuda itu
kehilangan pedang pusaka yang sangat berharga. Mengeluh pendek, gadis itu menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Ding
Tao. Ding Tao yang untuk bangkit berdiri pun harus bersusah payah, menyeringai kesakitan saat tubuh Huang Ying Ying yang
lembut itu membentur tubuhnya yang masih nyeri. Dengan sekuat tenaga pemuda itu menahan diri agar tidak berteriak
kesakitan. Tubuhnya memang sakit dan perlu waktu cukup lama sebelum nyeri itu tidak lagi menusuk, tapi jangankan rasa
sakit, jika saat itu dia ditembusi pedangpun, pemuda itu rela.
"Adik Ying" selama dua tahun, hanya bayanganmu yang memberiku kekuatan.", gemetar suara Ding Tao, dengan
memberanikan diri pemuda itu memeluk tubuh Huang Ying Ying dengan lembut.
"Ah" Kakak Ding" aku.. aku pun demikian.", balas Huang Ying Ying dengan jantung berdebaran.
Tentu saja ini tidak sepenuhnya benar, memang Huang Ying Ying sudah sejak lama menyukai pemuda itu, tapi tidak seperti
saat ini. Rasa kagumnya baru benar-benar tumbuh saat Ding Tao kembali dari pengembaraannya yang dua tahun itu. Dan
rasa kagum itu semakin bertumbuh hingga benar-benar berkembang menjadi rasa cinta saat Ding Tao menunjukkan
kegagahanny adalam pertandingan persahabatan di hari sebelumnya.
Tapi kata-kata itu terasa manis di telinga Ding Tao, dan bagi Huang Ying Ying pun rasanya kata-kata itu sudah tepat. Saat itu rasanya sudah bertahun-tahun lamanya dia mencintai Ding Tao, bahkan sejak mereka masih kanak-kanak.
Bersandar di dada Ding Tao yang bidang, gadis itu merasa begitu bahagia, berbisik pada Ding Tao, dengan tulus dia
berjanji, "Kakak Ding, mengenai pedangmu, aku berjanji akan membantumu untuk mendapatkannya kembali."
"Pedangku" Pedang?""
Ding Tao dengan tiba-tiba melepaskan pelukannya dan melonjak kaget. Baru sekarang dia teringat akan pedangnya, pedang
yang dipercayakan gurunya kepadanya. Begitu kagetnya hingga dia lupa pada luka di dadanya dan meloncat berdiri. Baru
setelah dia meloncat berdiri dan rasa sakit itu menyerang hebat, pemuda itu mengaduh dan berpegangan pada lemari
pakaian yang ada di dekatnya, menahan agar tubuhnya tidak sampai jatuh.
Huang Ying Ying memandang Ding Tao dengan cemas, cemas akan luka Ding Tao, cemas pula pada reaksi pemuda itu, yang
rupanya belum sadar bahwa dia sudah kehilangan Pedang Angin Berbisik. Padahal Huang Ying Ying yang mengenal baik
pemuda itu, tahu betul bagaimana Ding Tao menjunjung tinggi tanggung jawab yang dibebankan pada dirinya.
"Kakak Ding" jangan terlampau kuatir, duduklah dahulu."
Ding Tao yang sudah bisa menguasai dirinya, menganggukkan kepala dengan lemas, lalu dibantu oleh Huang Ying Ying,
perlahan-lahan dia duduk di samping Huang Ying Ying.
"Adik Ying, apa yang sebenarnya terjadi" Aku ingat ada orang yang menyerangku, sewaktu aku tertidur pulas. Tidak banyak yang kuingat selanjutnya, yang ada hanya keinginan untuk melarikan diri dari bahaya dan mencari tempat yang aman."
Huang Ying Ying kehilangan akal, apa yang harus dia ceritakan pada pemuda itu"
Dengan terbata-bata, gadis itu menceritakan bagaimana Ding Tao jatuh pingsan di depan kamarnya. Peristiwa terbunuhnya
Zhang Zhiyi, tuduhan Tiong Fa pada Ding Tao dan juga penemuan Tabib Shao Yong yang telah membersihkan nama Ding
Tao meskipun di luaran temuan itu masih dirahasiakan. Diceritakannya juga tentang apa yang telah dia lakukan bersama
dengan kakaknya dan reaksi Tuan besar Huang Jin yang mendukung keputusan mereka.
Dalam hatinya gadis itu merasa bersalah, karena telah menutupi kejadian yang sesungguhnya.
Ding Tao yang baru saja sadar dari tidurnya, untuk beberapa lamanya tidak mampu berkata apa-apa. Jangankan berbicara,
pikirannya masih dengan lambatnya berputar untuk mengolah masukan-masukan baru yang sangat berat dan susah
dicerna. "Tetua Tiong Fa yang merencanakan ini semua?", tanyanya dengan nada tidak bisa percaya.
"Iya, setidaknya itu dugaan kami. Kakak Ding, apakah kau marah padaku" Jika bukan karena obat itu?", air mata kembali
merebak di mata Huang Ying Ying. Tapi jari Ding Tao dengan cepat menyentuh bibir gadis itu, memberi tanda agar dia
berhenti berbicara. "Adik Ying, jangan salahkan dirimu sendiri. Aku tidak menyalahkanmu, bahkan aku sangat berterima kasih padamu. Kalau
bukan karena pertolonganmu, bukan hanya kehilangan pedang, akupun akan kehilangan nyawa."
"Tapi Kakak Ding, pedang itu bukankah sangat berharga" Bagaimana juga dengan pesan Pelatih Gu padamu?"
Dengan lembut Ding Tao meraih tangan Huang Ying Ying. Begitulah awal pertama berpegangan tangan masih ragu, setelah
ternyata Huang Ying Ying tidak marah, bahkan gadis itu sempat merebahkan tubuhnya, bersandar di dada Ding Tao,
pemuda ini pun jadi makin berani.
"Adik Ying, seluruh orang di dunia persilatan boleh saja memandang pedang itu sebagai pusaka yang paling berharga. Tapi bagiku?", sampai di sini jantung Ding Tao berdebaran makin cepat.
"Bagiku" bagiku, dirimu jauh lebih berharga. Aku" aku" sudah sejak lama, aku mencintaimu.", merah padam wajah Ding
Tao seusai mengucapkan kata-kata itu. Tiba-tiba muncul rasa khawatir, khawatir jika Huang Ying Ying menolak cintanya.
Berbeda dengan perasaan Ding Tao, perasaan Huang Ying Ying bagaikan dibuai ke angkasa. Sekali lagi gadis itu
merebahkan dirinya ke atas dada Ding Tao yang bidang, dengan berbisik dia menjawab, "Aku, aku juga?"
Singkat saja jawaban Huang Ying Ying, tapi yang singkat itu sudah membuat Ding Tao merasa bahagia sekali. Belasan
tahun lamanya dia memendam rasa suka, entah sudah berapa kali sejak dia meninggalkan kediaman keluarga Huang, dia
membayangkan saat-saat seperti ini. Ketika saat itu akhirnya tiba, sungguh sulit untuk dilukiskan bagaimana perasaannya.
"Maksudmu, aku juga bagaimana?", tanyanya menegas.
"Ya begitu itu?", dengan malu-malu Huang Ying Ying menjawab.
"Begitu itu bagaimana?", mata Ding Tao berkilat nakal, saat huang Ying Ying melirik ke arah wajahnya dan dengan gemas
gadis itu pun mencubit Ding Tao keras-keras, sampai anak muda itu mengaduh-aduh minta ampun.
Untuk sesaat sepasang kekasih itu tertawa, lupa akan keadaan mereka yang sesungguhnya. Bahaya masih mengintai di
luar, tapi tidak salah kalau ada yang mengatakan, bagi orang yang sedang jatuh cinta, dunia serasa milik berdua.
Setelah beberapa lama, tertawa tertahan, keduanya akhirnya berhenti tertawa dan saling pandang. Dengan suara yang
lebih tenang Huang Ying Ying bertanya, "Kakak Ding" benarkah kau mencintaiku" Meskipun keluargaku sudah" sudah
merebut pedangmu dengan cara yang licik?"
Ding Tao tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan lembut ditariknya pundak gadis itu, dan bibirnya dengan
lembut mengecup bibir Huang Ying Ying. Sebenarnya debaran jantung Ding Tao sudah membuat telinganya serasa mau
pecah, tapi entah bisikan setan dari mana. Keinginan itu tiba-tiba muncul tanpa bisa ditahan. Huang Ying Ying yang bisa menduga apa yang akan dilakukan Ding Tao pun, sama-sama terbawa suasana. Bukannya menolak, gadis itu justru
menutup matanya. Seandainya Huang Ren Fu melihat adegan itu, mungkin pemuda itu bakal menyesal tujuh turunan.
Nafas keduanya memburu, debaran jantung mereka semakin kencang, getaran-getaran yang belum pernah mereka rasakan
membuat pikiran mereka makin berkabut. Perlahan bibir mereka bukan hanya bertemu, tapi menempel semakin erat,
bertaut, saling memagut. Kepala Ding Tao terasa berdenyut keras, tapi dia tidak juga berhenti, seperti mereguk air yang manis tapi dahaga tidak juga hilang. Samar-samar terasa tubuh Huang Ying Ying yang lembut tapi panas membara,
semakin merapat di dadanya.
Sepasang tangan yang lembut melingkar di lehernya, bibir yang merah merekah menempel erat di bibirnya dan sepasang
dada yang ranum sekarang menyentuh tubuhnya. Tangan Ding Tao dengan sendirinya bergerak, perlahan, bergerak hendak
membelai sepasang dada yang ranum itu"
Huang Ying Ying terpekik kaget saat dirasanya kedua tangan Ding Tao membelai lembut sepasang buah dadanya.
Bajunya dari sutra yang halus dan baik kualitasnya, membuat jari Ding Tao yang membelai lembut terasa jelas dan ketika
bagian tertentu dari dadanya tersentuh, sensasi yang dia rasakan begitu kuatnya hingga gadis itu pun memekik kaget.
Jengah dan malu gadis itu menggeliat dan melepaskan diri dari pelukan Ding Tao.
Tubuhnya menginginkan lebih, tapi yang sekejap itu sempat membuat pikirannya jernih. Huang Ying Ying terbagi oleh dua
kekuatan, sebagian dirinya ingin melompat kembali ke pelukan Ding Tao, tapi bagian dirinya yang lain menahan tubuhnya
untuk mendekati pemuda itu. Tapi batas keseimbangan itu begitu tipis, satu sentuhan saja dari Ding Tao mungkin akan
meluluhkan pertahanan terakhir gadis itu.
Ding Tao sama terkejutnya dengan Huang Ying Ying, meskipun sedikit berbeda. Saat Huang Ying Ying menggeliat dan
melepaskan dirinya, sensasi yang mengabutkan pikirannya terputus sejenak dan untuk sesaat pikirannya menjadi jernih.
Yang sesaat itu cukup, cukup untuk mengingatkan Ding Tao akan akibat dari perbuatan mereka, kehormatan Huang Ying
Ying, hati nuraninya. Yang sesaat itu sudah cukup untuk menahan pemuda itu melakukan lebih jauh.
Nafasnya masih memburu, jantungnya masih berpacu kencang, tubuhnya masih meminta lebih, tapi Ding Tao sudah
kembali menguasai dirinya. Dengan penuh rasa khawatir dipandanginya Huang Ying Ying, yang duduk terdiam dengan
kepala menunduk. Dibukanya mulut untuk berbicara, tapi tidak yakin apa yang harus dikatakan, "Adik Ying, maafkan aku. Aku tahu seharusnya aku tidak boleh melakukan" apa yang baru saja kita lakukan. Tapi saat itu, sulit sekali untuk berpikir dengan jernih.", Sulit sekali untuk meluruskan benaknya. Kata-kata seperti bertaburan tanpa arti.
Akhirnya dengan menghela nafas Ding Tao menyerah untuk memikirkan alasan-alasan, dengan jantung berdegup dia
meminta maaf, "Aku belum pernah merasakan yang seperti itu sebelumnya. Maaf, aku jadi tidak bisa menahan diri."
Lama mereka terdiam, masing-masing tidak ada yang berani mendekat. Tiba-tiba Huang Ying Ying bertanya, "Kakak Ding, tentang tadi, apakah itu mengubah pikiranmu tentang diriku" Apakah aku jadi " menjijikkan di matamu?"
Cepat Ding Tao menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tidak, tidak, tentu tidak demikian. Aku" aku mencintaimu, di mataku,
kau seorang gadis yang sempurna. Tidak mungkin aku, tadi itu, akulah yang salah. Untung Adik Ying cepat sadar, jika tidak, entah apa yang bisa kulakukan."
Memerah wajah Huang Ying Ying, kata-kata Ding Tao mengingatkan dia pada pengalaman yang tadi terjadi, dengan lemah
gadis itu menggelengkan kepala, namun tidak ada kata-kata yang keluar. Saat pandang matanya jatuh pada makanan yang
sudah tersedia, Huang Ying Ying merasa lega, ada bahan untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Kakak Ding, kau seharian tidak makan, tentu kau lapar."
Ding Tao ikut merasa lega karena terlepas dari topik yang menyulitkan dia. Dengan antusias dia menyambut tawaran Huang
Ying Ying, "Ya", perutku memang lapar sekali. Tiba-tiba baru saja terasa betapa lemasnya badan ini. Tapi Adik Ying tentu juga belum makan, ayolah, jangan aku sendirian yang makan."
Mengangguk kecil Huang Ying Ying bergegas menghampiri meja, perlahan diaturnya mangkok-mangkok dan alat makan
yang lain, di atas pembaringan. Ketika Ding Tao hendak membantu dengan lembut tapi tegas dia melarang, "Jangan, Kakak
Ding masih harus banyak beristirahat, selain karena belum makan sepanjang hari, Kakak Ding juga sedang terluka. Duduk
sajalah, sebentar juga selesai."
Ada rasa bersalah tapi juga bahagia karena dilayani dengan telatennya oleh gadis yang dia cintai, Ding Tao memaksakan
diri untuk duduk dan menunggu dengan sabar.
Tidak lama kemudian, mereka berdua mulai menikmati hidangan yang sudah mulai dingin. Meskipun dingin, tapi karena
disantap berduaan, hidangan yang dingin pun rasanya sudah seperti makan masakan kerajaan. Baik Huang ying Ying
maupun Ding Tao masih teringat oleh perbuatan mereka sebelumnya, sebagai akibat, cara berbicara dan tingkah laku
mereka pun jadi terlampau sungkan.
Selesai mereka bersantap, sejenak mereka saling berpandangan dengan perasaan hati yang kikuk.
"Ehm, Adik Ying, kupikir, sebaiknya aku kembali bersembunyi dalam lemari pakaianmu."
"Ya?" "Besok setelah beristirahat, kita bisa membicarakan lagi masalah Pedang Angin Berbisik dan pengkhianatan Tetua Tiong.
Sesungguhnya terlalu banyak kejutan yang aku alami hari ini. Moga-moga besok, pikiranku sudah jauh lebih jernih."
Sekali lagi Huang Ying Ying mengangguk lalu menunduk malu. Ding Tao pun ragu, jika dia menuruti kata hatinya, mungkin
saat itu dia akan memeluk dan mengecup gadis itu sekali lagi sebelum meninggalkannya. Tapi dia tidak bisa membayangkan
apa yang akan terjadi jika lagi-lagi dia kehilangan pengamatan diri. Setelah berdiri diam tanpa kata untuk beberapa lama, dia mengangguk pada Huang Ying Ying, kemudian berbali badan untuk bersembunyi di dalam lemari pakaian gadis itu lagi.
Sesaat sebelum dia menutup pintu lemari, terdengar Huang Ying Ying berkata, "Selamat malam Kakak Ding, aku" aku
mencintaimu." Seulas senyum menghiasi wajah Ding Tao di dalam lemari yang remang-remang, dengan suara lembut dijawabnya,
"Selamat malam Adik Ying, aku juga mencintaimu."
Setelah itu Huang Ying Ying memadamkan lilin yang ada di kamarnya, tidak terdengar suara apa pun dari kamar itu.
Meskipun sebenarnya cukup lama Huang Ying Ying berbaring dengan wajah merona merah, mengingat kejadian yang telah
terjadi. Lama, sebelum akhirnya dia tertidur pulas, terbuai dalam mimpi yang indah.
Jika Huang Ying Ying tertidur, beda lagi dengan Ding Tao. Segera setelah dia berpamitan pada Huang Ying Ying, pemuda ini mulai bermeditasi, berusaha memulihkan himpunan hawa murninya yang sedikit banyak membuyar. Berkerut alis pemuda
itu ketika dia merasakan adanya hawa murni liar di dalam tubuhnya.
Mungkin itulah hawa murni dari pukulan Tinju 7 Luka, yang dikatakan Tabib Shao. Pemuda itu tidak berani terlalu gegabah, perlahan-lahan dia berusaha mengatur hawa murni dalam tubuhnya.
Awalnya dia berupaya untuk mendorong hawa murni yang liar itu ke dalam tantien, menyatukannya dengan hawa murninya
sendiri. Tapi usaha itu gagal, keduanya tidak bisa menyatu, melainkan saling melawan.
Gagal dengan usahanya, maka usaha lain coba dilakukan oleh pemuda itu, diusahakannya untuk mendorong keluar hawa
murni liar itu dari tubuhnya. Tapi usaha inipun gagal, hawa murni yang liar ini tidak mudah untuk diatur. Kembali dua hawa murni yang berbeda sifat dalam tubuhnya saling melawan.
Semakin keras Ding Tao berusaha mengendalikan hawa murni liar itu, semakin kuat pula perlawanannya.
Khawatir justru memperparah luka di tubuhnya, Ding Tao terpaksa membiarkan hawa murni yang liar itu bercokol dalam
tubuhnya. Sekarang perhatiannya lebih tercurah pada usaha untuk menguatkan hawa murninya sendiri. Setidaknya hal itu
akan dapat membantu dirinya untuk "mengamankan" hawa murni asing itu dari kemungkinan untuk merusak tubuhnya dari
dalam. Entah berapa lama Ding Tao larut dalam latihannya, ketika dia berhenti, tubuhnya terasa jauh lebih nyaman, meskipun jauh di dalam sana, masih terasa ada kekuatan asing yang diam tapi tidak juga menghilang.
Ketika teringat dengan penjelasan Huang Ying Ying mengenai keadaan dirinya, sesuai dengan pengamatan Tabib Shao
Yong, pemuda itu mengeluh perlahan. Tanpa menggunakan hawa murninya dalam sebuah pertarungan, ibaratnya dia harus
berkelahi dengan tangan dan kaki yang terikat.
Mau tidak mau Ding Tao pun jadi teringat dengan Pedang Angin Berbisik, berbekal pedang itu di tangan dalam keadaannya
sekarang ini tentu akan sangat membantu. Kekurangannya dalam hal tenaga, masih bisa diimbangi dengan tajamnya
pedang. Kembali teringat pemuda itu dengan pesan-pesan gurunya.
Tekad yang kuat terbentuk dalam dirinya, selama dia masih hidup, dia akan berusaha untuk memenuhi pesan gurunya.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah dengan pedang pusaka atau tanpa pedang. Sebuah rencana mulai terbentuk di benaknya, yang pertama kali harus
dia lakukan adalah menyembuhkan dirinya. Sepanjang dirinya masih menderita luka yang menghalangi dia untuk dengan
bebas menggunakan hawa murninya, tidak ada artinya Pedang Angin Berbisik ada di tangannya.
Jangankan dalam keadaan terluka, dalam keadaan segar bugar pun, masih perlu dipertanyakan apakah dia bisa
menandingin Ren Zuocan atau tidak.
Lebih baik Pedang Angin Berbisik berada dalam tangan Tiong Fa, daripada jatuh ke tangan Ren Zuocan. Apalagi pemuda itu
masih teringat tutur kata Tiong Fa yang penuh semangat. Ding Tao pun berharap, serangan Tiong Fa pada dirinya tidak
sepenuhnya didorong oleh ketamakan pribadi seperti dugaan Huang Ying Ying dan kakaknya.
"Mungkin saja dia masih berpikir jika aku tidak pantas untuk menyandang pedang itu. Kalau dipikir-pikir, ada benarnya
juga, terlampau mudah pedang itu lepas dari tangan. Bukankah Pendekar besar Jin Yong, kehilangan pedang itu karena
Alap Alap Laut Kidul 14 Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum 16
^