Pedang Angin Berbisik 5
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 5
diracun orang" Seharusnya ku pun lebih berhati-hati dalam soal makan dan minum. Kejadian yang menimpa Pendekar Jin
Yong dan pengalamanku kemarin malam, harus jadi pelajaran yang berharga."
Demikian pemuda itu berpikir dan berpikir.
Semakin lama dia berpikir, semakin kuat keyakinannya bahwa untuk sementara ini lebih baik dia tidak berusaha untuk
mendapatkan kembali Pedang Angin Berbisik.
"Biarlah tersimpan di sini, jika kami berusaha untuk mendapatkan kembali pedang itu tapi gagal. Tetua Tiong bisa saja
menghilang bersama dengan pedang itu dan makin sulit lagi bagi kami untuk mendapatkannya kembali. Biarlah Tetua Tiong
menyimpannya untuk sekarang ini, dalam keadaanku yang sekarang, kesempatan Tetua Tiong untuk berhasil menghadapi
Ren Zuocan dengan menggunakan pedang itu lebih besar daripada kesempatanku."
Jika bukan Ding Tao, siapa lagi yang bisa berpikir seperti itu"
Betapa banyak jago dunia persilatan yang rela mati untuk mendapatkan pedang itu, tapi Ding Tao bisa melepaskannya
tanpa sesal. Bukan berarti dia sudah melupakan pesan gurunya, tapi dia memahami semangat yang terkandung dalam
pesan gurunya itu. Bukan masalah kepemilikan pedang yang penting, melainkan usahanya untuk meredam ambisi Ren
Zuocan yang membahayakan negara.
Setelah mencapai satu keputusan, Ding Tao pun menjadi lebih tenang. Memejamkan mata, pemuda itu membiarkan rasa
lelah dan kantuk menguasai dirinya, memberikan waktu bagi tubuhnya untuk menyembuhkan diri.
Ketika semua orang sudah terlelap tidur, justru ke empat pimpinan dalam keluarga Huang sedang melakukan pertemuan
rahasia. "Tabib keparat !! Bagaimana bisa dia berani-beraninya menghubungi Adik Ying, jika bukan gara-gara dia, masalah tentu
tidak jadi serumit ini.", geram Huang Ren Fang.
Tiong Fa yang sedari tadi menundukkan kepala, menghela nafas, "Sudahlah, kali ini aku yang salah. Segala sesuatunya
berjalan tidak sesuai rencana. Dimulai dari kegigihan Ding Tao mempertahankan pedang itu dan kemudian berlanjut dengan
kekalahan demi kekalahan, pada puncaknya kekalahanku dalam pertandingan."
Menggeleng perlahan, Tiong Fa berdiri lalu berjalan hilir mudik di dalam ruangan itu, "Kegagalan yang berturut-turut itu, ditambah lagi oleh ketidak mampuanku dalam menerima kenyataan akan bakat Ding Tao yang melebihi dugaanku,
membuatku berbuat terlalu sembrono."
"Apa maksudmu?", tanya Tuan besar Huang Jin dengan dingin.
Tiong Fa menoleh ke arahnya dan maklum, pernyataannya tadi bisa juga dianggap sebagai satu sindiran, karena pada
akhirnya Tuan besar Huang Jin-lah yang membuat rencana untuk mengambil pedang Ding Tao malam itu juga. Malam yang
di mana kehidupan Zhang Zhiyi diakhiri.
"Tidak perlu gusar begitu Adik Jin, kalau kita mau berpikir lebih jernih, bukankah memang terlalu terburu-buru apa yang kita lakukan malam itu" Pertama Ding Tao masih beberapa hari tinggal di rumah kita, ada banyak waktu untuk membuat
rencana yang lebih matang. Tapi yang lebih penting lagi adalah, pun seandainya semuanya berjalan sesuai rencana,
bagaimana kita akan menjelaskan munculnya Pedang Angin Berbisik di tangan keluarga Huang?"
"Hampir semua orang penting dalam keluarga kita sudah mengetahui bahwa Ding Tao memilikinya, jika tiba-tiba pedang itu
jatuh ke tangan kita, bukankah dengan mudah bisa ditebak bahwa kita telah merampas pedang itu secara paksa" Pada
akhirnya masalah yang mirip meskipun tidak sama persis dengan masalah yang kita hadapi sekarang akan muncul. Yaitu
retakan-retakan dalam keluarga kita sendiri, yang akan melemahkan kedudukan kita."
"Kita semua berbuat kesalahan, terlalu terburu nafsu melihat pedang ada di depan mata. Tapi aku akui kesalahan terbesar ada padaku. Sejak kegagalanku untuk mendapatkan pedang itu dengan cara damai sampai dengan kegagalanku untuk
membungkam Ding Tao untuk selamanya. Kegagalanku yang berulang-ulang ini yang menempatkan kita pada posisi yang
sekarang ini." Huang Yunshu menatap sosok Tiong Fa dengan matanya yang tajam, meskipun keriput sudah menggariskan guratan waktu
di wajahnya yang tua, "Kau berbicara dengan cukup lancar, menganalisa kesalahan-kesalahan kita. Aku yakin, saat ini juga kau sudah memiliki jalan keluarnya."
"Benarkah itu Kakak Tiong?", tanya Tuan besar Huang Jin dengan raut wajah yang dingin.
Meskipun dia bisa menerima penjelasan Tiong Fa, hatinya masih panas mengingat kekacauan yang terjadi dan saat ini
kekesalannya itu tertumpah pada Tiong Fa. Tiong Fa bukan Tiong Fa namanya jika gugup atau marah melihat pandang ,ata
Huang Jin yang dingin. Di hadapan orang lain, wajahnya selalu terlihat tenang, tidak ada yang bisa tahu gejolak perasaan dalam hatinya.
"Sebenarnyalah demikian, sejak aku terpaksa membunuh Zhang Zhiyi, aku sudah sadar, terlalu banyak lubang dalam
pekerjaanku malam itu. Kecuali jika ada dewa-dewa yang menolongku, hampir sudah bisa dipastikan cepat atau lambat
akan ada orang-orang yang menyadari keterlibatanku, setidaknya mencurigai keterlibatanku. Jadi aku pun mulai membuat
rencana untuk membebaskan kita dari permasalahan itu."
"Jadi apa rencanamu itu?"
Dengan senyum tipis Tiong Fa menjawab, "Kita berikan saja apa yang mereka inginkan. Pada waktunya, kau berhasil
mengungkapkan bukti-bukti pengkhianatanku. Sayang aku terlalu cepat mencium hal itu dan berhasil melarikan diri."
Berkilat mata Huang Jin, "Dan apa yang akan kau lakukan setelah berhasil melarikan diri?"
"Hmm" beberapa orang dari keluarga Huang ternyata sudah lama beralih kesetiaannya padaku, dengan sendirinya mereka
itu pun ikut menghilang bersamaan dengan menghilangnya diriku. Tidak jelas apa yang terjadi, tapi jika ada kejahatan di luar yang dilakukan Tiong Fa, hal itu tidak ada hubungannya dengan keluarga Huang.", selesai mengucapkan hal itu Tiong
Fa kembali duduk di kursinya, dan dengan tenang menatap ke arah Huang Jin, menunggu keputusannya.
"Hmm" dengan jalan itu, maka nama keluarga Huang pun bisa dibersihkan dari keterlibatanmu dalam masalah Ding Tao
dan pedangnya. Meski sepertinya kekuatan keluarga Huang terpecah, tapi sebenarnya tidak, karena kau dan pengikutmu
tetap bekerja bagi keluarga. Justru pengaturan ini membuat kedudukan keluarga Huang semakin aman. Kami yang berdiri
dalam terang dan kau yang bekerja dalam gelap. Tapi apa keuntungannya bagimu" Pengaturan ini memang sangat
menguntungkan keluarga Huang, tapi bagaimana dengan dirimu?"
Tiong Fa menegakkan badannya dan menampilkan wajah sedih untuk beberapa saat lamanya, "Aku akan meninggalkan
keluargaku, mereka tidak ada sangkut pautnya dengan pengkhianatanku, dengan sendirinya keluarga Huang akan berdiri
untuk melindungi mereka. Kemurahan hati Tuan besar Huang Jin tiada bandingan, putera Tiong Fa si pengkhianat bahkan
diangkat anak." Melihat Tuan besar Huang Jin tidak mengatakan apa-apa, Tiong Fa melanjutkan uraiannya, "Dengan demikian, pekerjaanku
dalam gelap yang mendukung gerakan keluarga Huang untuk tampil ke depan dalam dunia persilatan, sama juga artinya
aku sedang bekerja demi anak keturunanku sendiri."
Kemudian dengan seringai di wajahnya dia menambahkan, "Lagipula, menikmati uang dan kekuasaan, entah itu dalam
kegelapan atau di bawah terangnya matahari, sama sekali tidak ada bedanya bagiku. Semua tetap sama, semakin keluarga
Huang berkuasa semakin besar pula kuasaku."
Dengan dingin Tuan besar Huang Jin menambahkan, "Pengaturan ini pun, justru semakin memperbesar kebebasanmu untuk
menggunakan kekuatan yang ada di tanganmu, demi tujuanmu sendiri."
Tiong Fa tidak merasa perlu untuk menutupi apapun dari saudara iparnya ini, kepercayaan mereka sejak lama dibangun
atas dasar saling membutuhkan, "Ya, tapi kaupun tahu, aku cukup bijak untuk mengetahui, bahwa lebih baik aku
bersungguh-sungguh bekerja demi keluarga Huang daripada mengkhianatinya. Kerajaan yang terpecah hanya akan menjadi
lemah dan menjadi mangsa empuk bagi lawan-lawannya."
"Hmm", lalu bagaimana dengan Pedang Angin Berbisik?", tanya Tuan besar Huang Jin.
Tiong Fa yang sudah memikirkan hal itu menjawab dengan ringan, "Sebaiknya untuk sementara pedang itu aku yang
membawa." Tuan besar Huang Jin tidak mengatakan apa-apa, hanya alis matanya saja yang terangkat, meminta penjelasan lebih lanjut.
Perasaannya sudah jauh lebih tenang, rencana Tiong Fa tampaknya akan membereskan semua kekacauan yang terlanjur
terjadi. "Hanya sampai aku berhasil membunuh Ding Tao, setelah itu, kita bisa mengatur siasat agar terjadi bentrokan antara
keluarga Huang dengan sekelompok pengkhianat. Hasil dari pertempuran itu, meskipun tokoh utamanya, yaitu aku, berhasil
lolos. Tapi Pedang Angin Berbisik jatuh ke tangan keluarga Huang.", jawab Tiong Fa, menjelaskan rencananya mengenai
Pedang Angin Berbisik. "Kurasa tidak perlu sejauh itu, Pedang Angin Berbisik, sebaiknya disimpan di sini, daripada Paman Tiong membawa-
bawanya keluar. Tentu saja kita tidak akan mempergunakannya, sampai Ding Tao mati dan rencana penyerangan ke sarang
Paman Tiong Fa terjadi.", ujar Huang Ren Fang.
Tajam mata Tiong Fa melirik ke keponakannya, kemudian dengan tersenyum dingin dia menjawab, "Tentu saja, tidak
masalah, meskipun membuat pekerjaan kita sedikit lebih banyak, karena jika pedang itu memang ada di tanganku, tentu
lebih mudah untuk menunjukkan hal itu, bahwa memang akulah yang malam itu menyatroni kamar Ding Tao."
"Ya paman benar, tapi kurasa paman cukup cerdik untuk mengerjakan itu semua tanpa benar-benar memiliki pedang itu di
tangan. Bahkan untuk sementara kita bisa menyebar desas-desus di luaran bahwa Ding Tao masih memiliki pedang itu dan
mempercepat matinya pemuda itu. Kalaupun dia lolos dari pelacakan kita, akan banyak orang di luar sana yang
mengendus-endus keberadaannya."
Kesal hati Tiong Fa, tapi dia tidak mau memperpanjang masalah itu, "Hmm, sudah kukatakan tadi, tidak ada masalah. Kalau menurutmu itu lebih baik, tapi tentu saja keputusan tetap ada di tangan ayahmu."
Huang Jin tersenyum dingin, "Kalau Kakak Tiong, tidak ada masalah, akupun tidak ada masalah. Jadi biar saja pedang itu
disimpan di sini." Tuan besar Huang Jin mengangguk-angguk puas, semua masalah sudah berhasil dipecahkan. Tidak ada kerugian berarti,
hanya seorang Zhang Zhiyi.
---------------------------- o --------------------------
Pagi hari datang memberikan kesegaran, untuk sesaat lamanya benak mereka yang baru saja terbangun setelah semalam
tertidur lelap, menikmati kesegaran yang dirasakan. Sebelum masalah-masalah yang kemarin dan kekuatiran tentang masa
depan, menyergap dan menarik kembali mereka pada kenyataan hidup yang seringkali tidak menyenangkan.
Bahagianya orang yang setelah bangun lalu sadar akan apa yang telah terjadi dan membayangkan apa yang di depan nanti,
justru tersenyum dan tertawa, lalu bangkit dengan sepenuh semangat menyambut hari yang baru.
Ding Tao dan Huang Ying Ying, Tiong Fa dan Tuan besar Huang Jin, hari itu mereka bangun pagi dengan semangat yang
menyala. Tersenyum mengenang hal-hal yang terjadi semalam dan dengan perasaan yang segar, menanti-nanti hal baik
yang akan terjadi hari ini.
Jika Ding Tao dan Huang Ying Ying ikut mendengar pembicaraan Tiong Fan dan Tuan besar Huang Jin semalam, tentu
berbeda lagi perasaan mereka. Demikian juga sebaliknya, jika saja Tuan besar Huang Jin ikut menyaksikan kejadian
semalam di kamar Huang Ying Ying, mungkin dia tidak akan tersenyum selebar sekarang.
Apakah ada yang menangisi matinya Zhang Zhiyi" Sayangnya pemuda itu belum berkeluarga, meskipun kematiannya masih
jadi bahan pembicaraan di hari yang ketiga ini, tapi tidak ada yang menangisi kepergiannya.
Saat Huang Ying Ying membuka pintu lemari, Ding Tao masih tertidur lelap. Perlahan gadis itu mengambil pakaian yang
hendak dipakainya. Lalu berlutut di depan pemuda itu dan untuk beberapa lama dia hanya diam mengamati wajah
kekasihnya. Dengan wajah bersemu merah, gadis itu melompat berdiri dan pergi untuk mandi.
Ding Tao terbangun oleh suara gemericik dari arah kamar mandi, sejenak dia tercenung dan mengingat-ingat di mana dia
berada sekarang. Ketika ingatannya sudah terkumpul, pemuda itu pun bangkit dan duduk bersila. Hatinya terasa ringan,
masalah pedang sudah tidak lagi membebani dirinya. Perasaan yang lama terpendam sudah diungkapkan dan mendapat
sambutan baik. Hari ini adalah hari terbaik buat dia. Dengan mudah pemuda itu menyatukan pikirannya dan mulai melatih himpunan hawa
murninya. Hawa liar dari Tinju 7 luka, masih bersembunyi dalam tubuhnya, tapi pemuda itu sudah mulai mengenali sifat-
sifat dari hawa murni asing dalam tubuhnya itu.
Meskipun dia belum bisa mengendalikan atau membebaskan diri darinya, tapi setidaknya dia bisa membuat hawa asing itu
tertidur dan tidak mengganggu saat Ding Tao sedikit demi sedikit berusaha menggunakan hawa murni miliknya untuk
membantu tubuhnya menyembuhkan diri dari luka.
Suara gemericik air sudah lama berhenti, langkah kaki terdengar mendekat ke arah lemari, kemudian terdengar suara
Huang Ying Ying berbisik, "Kakak Ding, aku mau pergi keluar untuk makan pagi bersama, kakak tunggu sebentar ya, nanti
aku bawakan sarapan untuk kakak."
Istirahat yang cukup dan hawa murni yang mulai terhimpun lagi, membuat tubuh Ding Tao terasa jauh lebih segar daripada
kemarin. Selama Huang Ying Ying berada di luar, Ding Tao menyibukkan dirinya dengan latihan tenaga dalam, menghimpun
hawa murni dan perlahan mencoba menyalurkannya ke bagian-bagian tubuh yang diinginkan.
Masih banyak jalur yang belum berhasil ditembus dan dengan adanya hawa murni asing dalam tubuhnya, Ding Tao tidak
bisa seleluasa sebelumnya dalam menggunakan hawa murni. Setiap kali dirasanya hawa murni yang asing itu ikut
bergejolak, maka ditahannya penggunaan hawa murni dalam tubuh. Menunggu hawa pukulan Tinju 7 Luka, kembali
tertidur. Cemas juga hati Ding Tao mengamati pergolakan yang terjadi dalam tubuhnya. Hawa pukulan Tinju 7 Luka, membuat dia
tidak bisa dengan leluasa mempergunakan himpunan hawa murni yang dia miliki.
Terbayang dalam benaknya, apa yang terjadi dalam sebuah pertarungan bila penggunaan hawa murni harus dibatasi.
Menghadapi lawan yang belum sampai pada taraf menggunakan hawa murni dalam bertarung, tidak akan menjadi masalah,
tapi lawan-lawan yang ada di hadapannya sekarang bukanlah anak-anak kemarin sore.
Dalam hati diulanginya keterangan Tabib Shao yang disampaikan oleh Huang Ying Ying.
Biksu Khongzhe dan Pendeta Chong Xan, dua orang sakti yang mungkin bisa menyembuhkan lukanya.
Ada juga Perguruan Kongtong, tapi jika orang yang menyerangnya masih ada hubungan dengan Perguruan Kongtong, pergi
ke sana, akan jadi perjalanan bunuh diri.
Kesempatan paling baik adalah pergi ke Shaolin atau ke Wudang. Menyadari situasinya yang sekarang kurang
menguntungkan bagi Huang Ying Ying, pemuda itu memutuskan, semakin cepat dia pergi, semakin baik. Sewaktu Huang
Ying Ying kembali ke kamarnya, Ding Tao sudah mengambil keputusan, untuk pergi malam itu juga.
Huang Ying Ying kembali ke kamarnya, diikuti oleh kakaknya Huang Ren Fu. Huang Ren Fu semalaman susah tidur,
membayangkan keadaan adik perempuannya yang "memasukkan" laki-laki ke dalam kamar. Ketika mereka bertemu pagi
itu, ingin rasanya dia menginterogasi Huang Ying Ying, tapi rasa sayangnya mencegah dia untuk bertanya. Dia hanya bisa
berharap dalam hati, kedua pasangan itu mampu menahan diri.
Tapi ketika Huang Ying Ying hendak kembali ke kamar, tanpa banyak omong, cepat-cepat pemuda itu menjajarinya. Huang
Ying Ying tentu saja bisa mengerti, dia tidak sekeras malam sebelumnya. Kejadian semalam menyadarkan dia, bahwa
godaan itu sedemikian besar, malah ada rasa bersyukur bahwa Huang Ren Fu mengikutinya. Sambil berjalan mengikuti
Huang Ying Ying, Huang Ren Fu masih menyempatkan diri untuk mencomot 3 buah bakpau daging. Dia lihat Huang Ying
Ying hanya sempat membawa sepotong kue dan beberapa macam buah-buahan.
Buat anggota keluarga yang lain, kedekatan dua bersaudara itu tidaklah terlalu mengundang pertanyaan. Mereka berdua
memang dikenal saling menyayangi.
Sesampainya di kamar, mereka terlebih dahulu memastikan bahwa tidak banyak orang lalu lalang di luar. Huang Ren Fu
memilih duduk di dekat jendela yang sengaja dia buka, sehingga dia dapat dengan mudah mengamati keadaan di luar.
Setelah dia yakin keadaan cukup aman, Huang Ren Fu mengangguk perlahan pada Huang Ying Ying.
Hati kedua bersaudara itu tidaklah tenang, di siang hari begini, tentu akan ada saja orang yang lewat.
"Kakak Ding, kami membawa sedikit makanan untukmu", bisik Huang Ying Ying sambil membuka pintu lemari, tidak lebar-
lebar, hanya setengah terbuka.
Ding Tao yang sudah menyelesaikan latihannya, menyambut Huang Ying Ying dengan senyuman. Ketika dilihatnya Huang
Ren Fu duduk di pinggir jendela, pemuda itu pun mengangguk dengan sopan.
"Terima kasih Adik Ying, terima kasih Saudara Fu."
"Ini, makanlah saja dulu, tidak banyak yang bisa kubawa, tapi Kakak Ren Fu juga sempat mengambil 3 potong bakpau
buatmu.", dengan lembut Huang Ying Ying meremas tangan pemuda itu, lalu pergi ikut berduduk dengan Huang Ren Fu di
pinggir jendela. Huang Ren Fu sudah mengambil papan catur dan sedang mengaturnya di atas meja kecil yang ada. Dua bersaudara itu
dengan cepat mulai memainkan permainan catur sambil mengobrol, seakan-akan tidak terjadi sesuatu yang berbeda dari
hari biasanya. Dengan penuh syukur Ding Tao menikmati makanan yang mereka bawakan. Pemuda itu mengunyah makanannya perlahan-
lahan, sesekali dia mencuri pandang pada dua bersaudara yang sedang bermain catur. Terkadang dia sempat bertemu
pandang dengan Huang Ying Ying yang sedang melihat ke arah dirinya.
Sorot pandang keduanya, tentu saja tidak lepas dari pengamatan Huang Ren Fu. Dalam hati pemuda itu mengeluh, apakah
sepasang kekasih ini bisa bertahan melawan godaan, jika berhari-hari setiap malam mereka tinggal berdua dalam satu
kamar" Jangankan berhari-hari, baru satu malam saja, hubungan mereka sudah terlihat jauh melangkah. Mungkin mereka sendiri
tidak merasa, tapi Huang Ren Fu bisa melihat dengan jelas, perbedaan mereka berdua, hari ini dan hari-hari sebelumnya.
Sebagai seorang kakak, meskipun dia ikut berbahagia untuk adiknya, tidak urung terselip juga rasa khawatir dan dorongan untuk melindungi adiknya dari tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. Otaknya pun berputar keras, mencari cara untuk
mengeluarkan Ding Tao dari kamar Huang Ying Ying adiknya.
Tidak sabar rasanya pemuda ini menanti Ding Tao selesai bersantap, sebuah rencana sudah mulai terbentuk dalam
benaknya. Ingin dia segera mengajukan rencana itu pada Ding Tao, tapi Ding Tao justru makan dengan begitu lambatnya.
Dua kali permainan sudah Huang Ren Fu memenangkan permainan catur itu dan satu kali Huang Ying Ying
memenangkannya, sebelum Ding Tao selesai menyantap habis seluruh makanan yang dibawa.
Tiga kali sudah, ada pelayan yang datang dan pintu lemari pakaian harus terburu-buru ditutup sementara makanan
dipindahkan dulu ke meja. Sudah tentu perasaan ketiga orang itu sangat tegang dan tidak nyaman dan berharap malam
segera tiba kembali. Terkecuali Huang Ren Fu yang tidak tahu, haruskah dia merasa senang bila malam tiba. Rahasia
keberadaan Ding Tao di kamar Huang Ying Ying akan lebih aman, tapi justru "keamanan" adiknya yang akan membuat dia
susah tidur. Karena itu ketika dia melihat Ding Tao selesai bersantap, segera saja Huang Ren Fu mengajak pemuda itu berbicara, "Ding Tao, bagaimana keadaanmu hari ini?"
"Sudah lumayan baik Saudara Fu, kukira hari ini juga aku sudah bisa meninggalkan rumah kalian."
"Meninggalkan rumah kami?", Huang Ren Fu menegas, meskipun dia tidak ingin Ding Tao berlama-lama di kamar Huang
Ying Ying, tapi perkataan Ding Tao itu jauh di luar dugaannya.
Apalagi bagi Huang Ying Ying, bukan main kagetnya, dengan suara tercekat dia bertanya, "Kakak Ding, apa kakak sedang
bercanda" Kondisi kakak belum pulih benar, mengapa hendak cepat-cepat pergi" Apakah Kakak Ding merasa sakit hati pada
keluarga kami?" "Adik Ying benar Saudara Ding, apakah kondisimu sudah benar-benar pulih, jika belum sebaiknya kau bersabar dulu.",
tambah Huang Ren Fu yang merasa lega sekaligus khawatir.
Lega bagi adiknya tapi khawatir bagi Ding Tao, seperti sebagian besar dari anak muda yang menyaksikan pertandingan
antara Ding Tao dan keluarga Huang, pertandingan itu telah menimbulkan kekaguman dan rasa simpati dalam hatinya.
"Adik Ying, jangan berpikir yang tidak-tidak. Tidak sedikitpun aku menyimpan rasa sakit hati pada keluarga kalian.", ujar Ding Tao berusaha menenangkan hati Huang Ying Ying.
"Saudara Fu, Kondisiku sudah jauh lebih baik dan kurasa istirahat lebih banyak tidak akan membuatnya jadi lebih baik lagi.
Apalagi situasi sekarang tidak begitu nyaman untuk kita semua, karena itu setelah memikirkannya, aku memutuskan untuk
berusaha keluar dari rumah kalian malam ini juga."
Memerah wajah Huang Ying Ying mendengar penjelasan Ding Tao, tentu saja dia mengerti apa yang dimaksudkan dengan
situasi yang kurang nyaman, tapi hatinya masih berat untuk melepaskan pemuda itu.
Sambil menggigit bibir dia bertanya dengan lemah, "Tapi, bagaimana dengan urusan pedangmu" Apakah kau tidak
menginginkannya kembali?"
Ding Tao menggeleng, "Tidak, hal itu sudah kupikirkan pula baik-baik tadi malam. Dalam keadaanku sekarang ini, dengan
cara apa hendak merebut kembali pedang itu" Kalaupun kemudian aku berhasil mencuri kembali Pedang Angin Berbisik
dengan bantuan kalian, besar kemungkinan aku tidak akan berhasil mempertahankan pedang itu di luaran. Bukan tidak
mungkin pedang itu justru akan jatuh ke tangan antek-anteknya Ren Zuocan. Lebih baik pedang itu ada dalam tangan
Tetua Tiong daripada jatuh ke tangan mereka."
Sambil menggelengkan kepalanya sekali lagi dia menegaskan, "Tidak, sudah kupikirkan baik-baik dan menurutku untuk
sementara ini aku tidak akan melibatkan diri dengan masalah pedang itu."
"Saudara Ding, baik sekali pemikiranmu, tapi jika demikian apa yang akan kau lakukan dengan pesan Pelatih Gu
untukmu?", tanya Huang Ren Fu.
"Pesan guru yang utama, adalah menggunakan bekal yang akan kumiliki untuk membantu dunia persilatan kita
membendung ambisi Ren Zuocan dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhinya, dengan atau tanpa Pedang
Angin Berbisik. Menimbang keadaanku saat ini, maka yang terpenting adalah menyembuhkan luka dalam tubuhku terlebih
dahulu. Mungkin aku akan mencoba pergi ke Shaolin dan memohon kebaikan hati Biksu Khongzhe.", jawab Ding Tao dengan
suara yang wajar, tanpa menyembunyikan apa pun.
Huang Ren Fu semakin kagum pada pemuda itu, pada ketenangannya dan juga pada kebesaran hatinya.
"Saudara Ding, sungguh aku merasa kagum padamu. Jika kau mengijinkan aku memanggilmu sebagai sahabat, aku akan
sangat merasa berbahagia.", ujar Huang Ren Fu dengan tulus.
Wajah Ding Tao pun memerah karena malu, "Saudara Fu terlampau tinggi memuji, tentu saja aku akan dengan senang hati
menjadi sahabatmu." Tertawa bergelak Huang Ren Fu bergerak melompat, dalam satu lompatan yang ringan dia sudah sampai di depan Ding Tao,
tangannya terulur menawarkan persahabatan. Ding Tao pun dengan senang menerima uluran tangan itu. Jabatan tangan
yang hangat mewakili perasaan dalam hati.
"Sahabat.", ujar Huang Ren Fu pendek.
"Sahabat.", jawab Ding Tao tidak kalah pendeknya.
Tapi yang singkat itu membawa seribu arti, jauh lebih dalam daripada sebuah upacara mengikat sumpah setia sebagai
saudara. Huang Ying Ying tentu saja merasa ikut senang dengan hal itu. Yang satu adalah pemuda yang dia kasihi, yang
seorang lagi adalah kakak yang dia sayangi. Melihat mereka bersahabat demikian akrab, hatinya jadi terhibur.
Dengan manja dia pun mengeluh,"Huuh" dasar anak laki-laki, ketemu teman, lupa dengan saudara sendiri."
Ding Tao dan Huang Ren Fu tertawa mendengar keluhan Huang Ying Ying.
Tiba-tiba gadis itu berbisik, "Ssstt.. ada yang mau lewat."
Dengan cepat Huang Ren Fu kembali ke tempat duduknya, berpura-pura sedang berpikir untuk mengalahkan adiknya dalam
permainan catur. Ding Tao dengan cepat menutup kembali pintu lemari. Menunggu sampai keadaan aman, barulah mereka
kembali bercakap-cakap.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saudara Ding, apakah sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu untuk meninggalkan rumah kami malam nanti"
Seperti kata Adik Ying, kiranya keputusan itu janganlah karena terdorong oleh rasa sakit hati, jangan pula kau terlalu
mengkhawatirkan situasimu saat ini yang terpaksa bersembunyi di dalam kamar Adik Ying. Karena kupikir, aku sudah
menemukan jalan untuk memindahkanmu dari kamar ini ke kamarku.", ujar Huang Ren Fu.
Mendengar itu Ding Tao jadi berpikir pula sejenak, memang alasan utama dari keputusannya untuk keluar malam itu juga,
adalah untuk mejaga kehormatan gadis yang dikasihinya. Dengan hati berdebar, Huang Ying Ying menunggu jawaban dari
Ding Tao. Sesaat kemudian Ding Tao menegakkan kepala dan menjawab, "Ya, sudah kupikirkan matang-matang, rasanya ini
keputusan yang terbaik, jika orang-orang sudah selesai memeriksa segenap penjuru kota, tentu mereka akan berpikir ulang dan sadar bahwa kemungkinan terbesar justru aku masih bersembunyi di sini. Pada saat itu, untuk meloloskan diri akan jadi semakin sulit."
"Hemm" benar juga pemikiranmu, semakin lama berada di sini keadaanmu justru semakin berbahaya.", gumam Huang Ren
Fu. Huang Ying Ying mendesah sedih, sadar bahwa alasan Ding Tao cukup kuat, gadis ini tidak dapat lagi menahan Ding Tao
lebih lama. Perpisahan dengan Ding Tao akan menyedihkan hatinya, tapi dia tidak ingin Ding Tao terancam bahaya hanya
untuk menyenangkan dirinya.
"Kakak Ding, jika demikian, aku akan menyiapkan bekal bagimu.", sambil berbangkit berdiri dan menyembunyikan mata
yang mulai membasah, Huang Ying Ying cepat-cepat meninggalkan kamar.
Pandang mata Huang Ren Fu dan Ding Tao mengikuti kepergian gadis itu. Huang Ren Fu mendesah, dia sadar akan
perasaan Huang Ying Ying pada Ding Tao. Diapun berdiri hendak meninggalkan kamar itu, "Saudara Ding aku pun akan
berusaha menyiapkan kepergianmu, akan coba kuatur penjagaan di sekitar rumah ini, supaya ada celah bagimu untuk
keluar." "Terima kasih, dan jika Saudara Fu punya cara untuk memindahkan aku secara diam-diam ke kamarmu, kupikir lebih baik
jika aku berusaha meloloskan diri dari sana."
Sambil mengangguk, tanpa menoleh ke arah lemari yang sudah tertutup lagi, Huang Ren Fu mengiyakan, "Tentu,
selekasnya aku akan kembali lagi untuk memberimu kabar, tentang hal itu, sebaiknya dilakukan lewat malam pula."
Kamar itu pun kembali lenggang, dalam lemari tinggal Ding Tao sendiri yang dengan hati berdebar, menunggu malam tiba.
Keputusan sudah dibuat dengan tekad yang bulat, tapi tak urung hatinya berdebar, apakah dia akan berhasil lolos ataukah mati di ujung pedang. Jika dia harus mati malam ini, betapa dia akan penasaran, tugas dari gurunya belum juga berhasil dia selesaikan. Dalam hidup juga dia merasa belum melakukan sesuatu yang berarti, jika harus mati betapa sia-sia dia
dilahirkan. Beberapa kali Huang Ying Ying kembali ke kamarnya, tapi tidak berlama-lama di sana, hanya sekedar meninggalkan
makanan dan beberapa pesan dari Huang Ren Fu untuk Ding Tao.
Ding Tao menggunakan waktu yang ada, untuk menenggelamkan dirinya dalam latihan tenaga dalam. Tidak ada lagi yang
bisa dia lakukan sekarang, kecuali menunggu, dan Ding Tao bukanlah orang yang suka membuang waktu dengan percuma.
Baru setelah matahari tenggelam dan rumah kediaman keluarga Huang hanya diterangi cahaya dari lampu-lampu yang
dipasang, Huang Ying Ying kembali ke dalam kamarnya. Lama sebelum dia memberanikan diri untuk mengajak bicara Ding
Tao. "Kakak Ding, apakah kakak sudah bersiap?"
Perlahan pintu lemari membuka, Ding Tao sudah bersiap sejak tadi. Hatinya yang sudah dikuat-kuatkan sekarang terasa
berat, saat Huang Ying Ying ada di hadapannya. Lidahnya terasa kelu, tidak tahu hendak berkata apa. Wajah gadis itu
terlihat begitu sedih, hingga Ding Tao rasanya ingin menangis saja.
Melihat Ding Tao, Huang Ying Ying mencoba tersenyum meskipun pahit dalam hati, "Kakak Ding, berhati-hatilah."
Ding Tao hanya bisa mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa. Sesuai dengan pesan Huang Ren Fu, Ding Tao akan
berpindah dari kamar Huang Ying Ying menuju ke kamar Huang Ren Fu melewati langit-langit rumah, kedua kamar itu
masih terhubung lewat langit-langit rumah yang sama. Dengan ringan Ding Tao melompat ke atas lemari pakaian Huang
Ying Ying, dan dari situ baru dia membuka salah satu papan yang ada.
Terlihat lubang gelap menganga, dengan mudah Ding Tao mengangkat tubuhnya menghilang ke dalam lubang itu.
Saat Huang Ying Ying melihat dia menghilang, tak kuasa menahan dia berseru tertahan, "Kakak Ding?"
Mendengar panggilan Huang Ying Ying, Ding Tao menjenguk kembali ke bawah. Hatinya semakin berat untuk meninggalkan
Huang Ying Ying sendiri. "Adik Ying", aku harus pergi.", ujarnya dengan sedih.
Huang Ying Ying mengangguk dengan mata yang basah, "Ya aku tahu", Kakak Ding, jangan lupa, aku akan selalu
menunggumu." Ding Tao mengangguk, tidak tahan menahan tangis, Huang Ying Ying mendorong pemuda itu untuk selekasnya pergi
dengan senyum yang dipaksakan, "Pergilah cepat. Kakak Fu sudah menunggumu."
Kali itu Ding Tao benar-benar pergi, sekali lagi dia menghilang ditelan lubang yang gelap, papanpun digeser kembali ke
tempatnya. Air mata yang tadi ditahan-tahan, akhirnya tercurah juga. Di atas sana, Ding Tao masih sempat mendengar
sayup-sayup isak tangis Huang Ying Ying, tapi pemuda itu mengeraskan hati dan terus berjalan.
Tidak sulit untuk menemukan kamar Huang Ren Fu, karena Huang Ren Fu sudah terlebih dahulu menggeser salah satu
papan penutup langit-langit kamarnya. Dari kegelapan tempat Ding Tao berada, lubang itu tampak begitu mencolok.
Sesampainya di lobang itu Ding Tao melongokkan kepalanya, Huang Ren Fu sudah menanti di sana.
"Saudara Ding, keadaan aman, cepatlah turun."
Tanpa banyak suara, Ding Tao melompat ke bawah dengan ringan. Tidak banyak kata diucapkan di antara mereka, bekal
berupa buntalan pakaian, sejumlah uang dan sebilah pedang sudah disiapkan.
"Saudara Ding, berita tentang dirimu dan Pedang Angin Berbisik sudah mulai menyebar dalam dunia persilatan, sebisa
mungkin sebaiknya dirimu berpergian dengan menyamar. Ini ada sedikit uang, bisa kau gunakan untuk menyewa tandu
atau keperluan yang lain. Besok pagi, aku dan beberapa orang akan pergi ke gerbang timur kota. Jangan sampai terlambat
di sana, jika ada orang-orang dari keluarga Huang atau orang-orang dunia persilatan yang berusaha menunggumu di sana,
kami yang akan mengalihkan perhatian mereka."
"Saudara Fu, terima kasih banyak.", ujar Ding Tao dengan suara tercekat karena haru.
Sambil menepuk pundak Ding Tao, Huang Ren Fu menjawab, "Tidak usah banyak kaupikirkan, hanya satu pintaku, jika
suatu hari nanti keluarga kami berbuat salah padamu. Moga-moga kau tidak lupa, di sini ada orang-orang yang sudah
dengan tulus berusaha membantumu."
"Tentu, hutang budi harus dibalas, lepas dari itu, kau adalah sahabatku. Seandainya ada kejadian aku bentrok dengan
keluarga kalian, mengingat persahabatan kita, sebisa mungkin aku akan mengalah.", jawab Ding Tao dengan tulus.
Tidak banyak lagi yang bisa dikatakan, sebentar kemudian Ding Tao sudah lenyap dalam gelapnya malam. Di pesannya
siang tadi Huang Ren Fu sudah menjelaskan jalan-jalan yang aman untuk dilalui sampai keluar dari kediaman keluarga
Huang. Tidak sulit untuk mengatur hal itu bersama dengan mereka, yang mengikat sumpah untuk mempertahankan
keluarga Huang dari kelicikan Tiong Fa.
Dalam gelapnya malam, Ding Tao berhasil keluar dari rumah kediaman keluarga Huang tanpa banyak mengalami gangguan.
Keesokan harinya, seperti yang sudah dijanjikan Huang Ren Fu bersama beberapa orang yang lain pergi ke gerbang timur
kota. Huang Ren Fu tidak bisa melihat Ding Tao ada di sana, tapi setelah beberapa lama menunggu, Huang Ren Fu
memutuskan untuk memulai kericuhan kecil. Sebuah perkelahian pura-pura, antara Huang Ren Fu dan kelompoknya,
melawan beberapa orang dari mereka yang menyamar.
Hingga akhir perkelahian sandiwara itu berakhir, Huang Ren Fu dan teman-temannya tidak melihat Ding Tao keluar dari
gerbang kota. Mereka hanya bisa berharap, kericuhan itu sudah cukup untuk menarik perhatian, dan memberi kesempatan
bagi Ding Tao untuk keluar dari kota dengan selamat, tanpa ada orang yang berhasil mengenalinya.
Sebenarnyalah demikian, Ding Tao mungkin seorang yang lugu, tapi dia bukan seorang yang bodoh.
Ding Tao menyamar dengan mengenakan sehelai jubah panjang dan buntalan baju diselipkan di baliknya, lalu berjalan
dengan setengah berjongkok. Sebuah topi anyaman, menutupi wajahnya. Bagi orang yang melihat, dia terlihat seperti
seorang gendut dan pendek, dengan jubah yang sedikit kepanjangan. Salah satu ciri yang paling menonjol dari Ding Tao
adalah tinggi badannya yang di atas rata-rata. Dengan sedikit penyamaran itu, Ding Tao berhasil mengelabui orang-orang
yang berusaha mencarinya.
Berjalan dengan cara demikian tentu sangat melelahkan, segera setelah melewati gerbang kota dan berada di tempat yang
jauh dari pandang mata orang, pemuda itu melepas lelah, duduk bersandar di sebuah pohon besar.
Menatap lama ke arah kota, Ding Tao mengenang segala kebaikan keluarga Huang padanya. Dalam hati dia berharap, suatu
saat dia bisa kembali ke sana dengan kepala tegak. Ya, suatu saat nanti, setelah tugas yang dipercayakan gurunya selesai dilaksanakan.
Selama beberapa hari perjalanan Ding Tao menuju Bukit Songshan berjalan tanpa banyak halangan. Setiap kali melewati
kota atau desa kecil, atau berjalan bersama-rombongan lain, Ding Tao tetap dengan penyamaran yang sama. Hanya saat
berjalan sendirian, dia berjalan seperti biasa.
Tapi salah jika Ding Tao mengira dirinya sudah aman dengan penyamaran yang sederhana itu. Penyamaran Ding Tao
mungkin bisa menipu mereka yang belum berpengalaman. Tapi mata awas mereka yang sudah kenyang makan asam
garamnya dunia persilatan, bisa mengendus penyamaran Ding Tao yang sederhana itu.
Ding Tao yang cermat dalam bekerja tidak mudah terbuai dengan keadaan yang tenang itu. Meskipun Ding Tao kurang
dalam pengalaman, tapi sifatnya yang cermat membuat pemuda itu tidak lalai dalam mengamati keadaan di
sekelilingnya, serta orang-orang yang dia temui sepanjang perjalanan. Setelah berjalan beberapa hari dan melewati dua tiga kota, Ding Tao mulai sadar bahwa dirinya sedang diikuti orang. Pemikiran itu mulai timbul ketika dia menyadari bahwa ada orang-orang yang sama, yang pernah dia temui beberapa hari sebelumnya, secara mengherankan muncul kembali di
kota dia berada. Padahal mereka sudah dia tinggalkan beberapa hari sebelumnya.
Sejak itu pengamatannya ditingkatkan, terutama terhadap orang-orang yang dia curigai itu. Dengan sengaja Ding Tao
mengambil jalan memutar, pemuda itu tidak mengambil jalan yang akan langsung mengantarnya menuju ke pusat Biara
Shaolin. Sedikit menyimpang, Ding Tao melewati terlebih dahulu beberapa kota kecil.
Otaknya yang cerdas, matanya yang awas dan sifatnya yang tekun, bekerja keras. Satu hari, Ding Tao dengan sengaja
berlama-lama, melepas lelah di sebuah penginapan. Dari hasil pengamatannya ada tiga kelompok berbeda yang sedang
mengikuti dirinya. Kelompok pertama, terdiri dari sekitar 11 orang, bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara bergantian.
Terkadang dua orang akan mengikuti Ding Tao dari dekat, sampai dia beristirahat di kota tertentu. Kemudian untuk
menyamarkan pengintaian mereka, kelompok yang berbeda akan ganti mengikuti Ding Tao. Menurut perkiraan Ding Tao,
tentu kelompok-kelompok kecil yang lain, mengikuti dari jarak yang lebih jauh, di mana Ding Tao tidak melihat mereka,
namun mereka masih bisa berhubungan lewat kode ataupun tanda yang ditinggalkan.
Dengan cara mengintai bergantian ini, Ding Tao tidak merasa sedang diikuti, sampai kelompok yang sama kembali bertugas
mengikuti dirinya. Jika saja Ding Tao tidak dengan cermat selalu mengamati orang-orang yang dia temui, tentu muslihat
mereka ini tidak akan diketahuinya.
Inilah salah satu kesalahan banyak orang dalam menilai Ding Tao. Seringkali orang mengartikan kejujuran Ding Tao sebagai kebodohan. Ding Tao jujur dan sering mudah ditipu karena kejujurannya, tapi dia bukan bodoh. Apalagi dia baru saja kena dikelabui oleh Tiong Fa, seorang tetua yang menimbulkan kekaguman dalam hatinya, ternyata seorang pengkhianat yang
bermuka dua. Ding Tao yang jujur jadi lebih berhati-hati dalam bertindak, apalagi menghadapi orang yang tidak dia kenal.
Kelompok kedua, adalah sepadang laki-laki dan perempuan yang ahli menyamar. Pada satu hari mereka akan berjalan di
dekat Ding Tao sebagai sepasang pedagang, yang perempuan pun menyamar jadi laki-laki. Kemudian setelah sampai di
kota, mereka berganti samaran pula menjadi sepasang kakek dan nenek. Pernah juga mereka menyamar sebagai seorang
ayah dengan anak perempuannya.
Penyamaran mereka sungguh bagus. Jika saja Ding Tao tidak menjadi lebih waspada setelah terbongkarnya muslihat dari kelompok yang pertama, mungkin dia tidak akan pernah menyadari muslihat sepasang laki-laki dan perempuan ini.
Semenjak Ding Tao curiga dirinya sedang diikuti, maka pengamatannya terhadap rekan-rekan seperjalanannya semakin
dipertinggi. Ketika Ding Tao sadar, dalam perjalanannya, kapanpun itu, setiap saat, setidaknya selalu ada dua orang dengan tinggi badan yang sama, yang berada dalam jarak jangkauan untuk mengikuti dirinya. Timbul pula rasa curiganya.
Tinggi kedua orang itu jadi makin nampak, karena keduanya selalu bersama. Tentu saja Ding Tao sadar, bisa jadi perasaan itu timbul karena ketakutannya. Sudah hal yang jamak, ketika seorang pencuri mau beraksi, seakan-akan jalan dipenuhi
polisi. Atau ketika seorang pasangan suami istri menginginkan keturunan, tiba-tiba jalanan sepertinya dipenuhi dengan ibu yang sedang hamil. Ding Tao sadar, pengamatannya pun tentu dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya yang merasa
terancam oleh tersebarnya berita bahwa dirinya memiliki Pedang Angin Berbisik.
Oleh karena itu Ding Tao pun menyiapkan satu ujian. Dengan sengaja dia berpura-pura sudah beristirahat di dalam kamar,
padahal dari celah kecil di jendela dia mengamati pasangan yang dia curigai itu. Ketika mereka berlalu, maka ganti Ding Tao yang dengan diam-diam mengikuti mereka. Sampai didapatnya keterangan di mana pasangan itu menginap dan di kamar
nomor berapa. Keesokan paginya, pagi-pagi buta, Ding Tao sudah pergi untuk mengawasi kamar tempat pasangan itu menginap dan benar
juga pasangan yang berbeda muncul dari kamar itu.
Belum puas, Ding Tao pun mengikuti pasangan itu diam-diam dan benar juga, pasangan itu menunggu di tempat yang
strategis, mengintai, siap untuk mengikuti Ding Tao kembali di hari itu. Tidak ingin orang tahu bahwa muslihatnya sudah terbongkar, Ding Tao masuk kembali ke penginapannya kewat pintu belakang dan baru setelah matahari terbit cukup lama
dia melanjutkan perjalanan.
Kelompok pengintai ketiga, terbongkar secara tidak sengaja. Ding Tao yang sedang menikmati indahnya alam dan
mengawasi langit yang cerah, secara tidak sengaja melihat seekor burung merpati pos terbang menuju ke arah kota yang
dia tuju. Merpati pos memang sering digunakan, tapi sekali lagi bagi orang dalam situasi seperti Ding Tao, setiap hal bisa menjadi sebuah tanda dari satu ancaman terhadap dirinya.
Seandainya saja pemuda ini bukan seseorang yang berkarakter kuat, mungkin syarafnya sudah terlalu tegang dan jadi gila.
Atau jadi terhimpit ketakutan, putus asa lalu bunuh diri.
Tapi Ding Tao dengan cermat dan tenang menguji setiap keanehan yang dia tangkap. Maka melihat hal itu, timbul
pertanyaan apakah burung merpati itu terbang untuk memberi tanda pada orang di kota tujuan dia berikutnya bahwa dia
sedang mengarah ke sana"
Maka dengan sengaja Ding Tao berbalik arah, masuk kembali ke dalam kota yang baru saja dia tinggalkan. Matanya yang
awas mengamati sekelilingnya, benar saja, seekor merpati pos kembali dilepaskan.
Keesokan paginya Ding Tao berpura-pura hendak melanjutkan perjalanan, matanya dengan awas mengamati hingga
dilihatnya orang yang kemarin melepaskan merpati pos, ternyata sudah siap lagi di sana. Dengan tenang Ding Tao berjalan ke arah orang itu. Orang itu terlihat sedikit gugup, namun berpura-pura sedang sibuk dengan peliharaannya. Ding Tao tidak menegur orang itu, tapi dia lewat cukup dekat untuk mengamati lebih jelas orang tersebut.
Setiap ciri yang tidak wajar, terekan di benaknya. Hari itu Ding Tao kembali tidak melanjutkan perjalanan.
Keesokan paginya Ding Tao memilih tujuan yang berbeda, dan keluar dari gerbang lain kota itu. Matanya sekali lagi
mengawasi di sekitar jalan keluar dari kota dan benar saja, ada yang siap melepaskan merpati. Berlagak sedang
menanyakan jalan, Ding Tao pergi untuk menegur orang itu, bertanya macam-macam tentang jalan yang hendak dia
tempuh. Setelah puas bertanya-tanya, Ding Tao pun mengambil jalan itu dan seekor merpati dilepaskan mengarah ke
sebuah persimpangan yang akan dia lewati.
Tapi satu hal membuat DIng Tao tersenyum, dua orang yang berbeda, sama-sama membawa merpati pos dan di
pergelangan tangan mereka, terdapat sebuah tatoo yang sama. Sebuah tatoo berbentuk laba-laba berkaki tujuh.
Demikianlah setiap kecurigaan dia uji dan akhirnya setelah puas menguji Ding Tao sampai pada kesimpulan bahwa ada 3
kelompok berbeda yang sedang mengikuti dirinya. Setelah sampai pada kesimpulan itu, Ding Tao pun beristirahat dambil
memikirkan langkah apa yang harus dia lakukan.
Beberapa pertanyaan dia ajukan pada dirinya sendiri.
Apa tujuan dari mereka mengikutinya" Pertanyaan ini cukup mudah untuk dijawab, jawabannya adalah Pedang Angin
Berbisik. Jika demikian, bukankah dia bisa membebaskan diri dari ancaman bahaya dengan mengungkapkan kebenarannya, bahwa
pedang itu sudah dicuri oleh Tiong Fa" Sambil menggeleng-geleng pemuda itu mengenyahkan ide itu dari benaknya. Yang
pertama, hal itu akan menyusahkan keluarga Huang, meski Tiong Fa yang dituju, tapi hingga saat ini Tiong Fa masih
menjadi bagian dari keluarga Huang.
Yang kedua, semakin sedikit orang yang tahu bahwa pedang itu ada dalam genggaman Tiong Fa, semakin besar
kesempatan bagi dirinya untuk merebut kembali pedang itu dari tangan Tiong Fa.
Dan yang ketiga, tidak ada jaminan bahwa mereka akan membiarkan dia hidup setelah dia mengungkap keberadaan Pedang
Angin Berbisik yang sebenarnya. Yang lebih mungkin adalah, mereka akan membungkam mulutnya untuk selamanya agar
sesedikit mungkin orang yang tahu jejak terakhir dari Pedang Angin Berbisik.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa mereka tidak juga bergerak untuk menangkap dirinya, merebut pedang itu. Atau kalau
mereka dapatkan Ding Tao tidak membawa pedang itu, setidaknya berusaha mengorek keberadaan pedang itu dari dirinya,
mengapa" Ding Tao berpikir untuk beberapa lama sebelum dia menjawab. Jawabannya adalah karena ketiga kelompok itu
sadar bahwa ada kelompok lain yang juga mengikuti dirinya. Tentunya saat yang satu bergerak yang lain tidak akan diam
saja. Lalu jika benar demikian, apa yang akan mereka lakukan"
Menghela nafas Ding Tao berusaha membayangkan dirinya sedang berada dalam situasi yang dihadapi oleh pengintai-
pengintainya itu. Yang pertama, dia akan menunggu, jika dua pihak bertempur memperebutkan dirinya, maka pihak ketiga
dapat mengambil keuntungan. Tapi hal itu pula yang menyebabkan ketiganya saling menunggu sampai sekarang. Tentunya
harus ada langkah lain yang diambil.
Hanya ada satu langkah lagi, yaitu, ketiga kelompok itu akan berusaha memperkuat kedudukannya sebelum berusaha
menangkap Ding Tao. Dan itu berarti, jika Ding Tao larut dalam permainan mereka, maka suatu saat, salah satu dari ketiga kelompok itu akan
sampai pada kedudukan yang cukup kuat. Pada saat itu, nasib Ding Tao akan ditentukan, tapi siapapun yang menang, Ding
Tao lah yang merugi. Dia sadar akan kondisi tubuhnya saat ini, dengan hawa murni Tinju 7 Luka yang masih mengeram di
dalam tubuhnya, dia menjadi mangsa empuk bagi orang-orang dunia persilatan.
Jika nasibnya baik, maka keseimbangan di antara ketiga penguntit itu akan terus terjaga sampai dia mencapai Shaolin. Tapi semakin dekat dia dengan tujuan, akan semakin mudah untuk menebak bahwa Ding Tao berencana untuk pergi ke Shaolin
dan ketiga kelompok itu tentu tidak akan mengijinkan hal itu terjadi.
Ding Tao mulai memikirkan rencana untuk menggerakkan permainan ke arah yang menguntungkan dirinya. Setiap ingatan
digali, setiap informasi dikumpulkan, setiap kemungkinan dijajagi. Mungkin agak aneh bagi pembaca yang mengikuti
keadaan pemuda ini, seulas senyum berkembang di mulut pemuda ini. Apa artinya ini" Bukankah hidupnya dalam ancaman
bahaya" Apakah senyum ini hanyalah sebuah senyum palsu, tapi jika palsu siapa yang hendak ditipu" Bukankah dia sedang
sendirian di dalam kamar"
Masalahnya Ding Tao, mulai terjangkit penyakit yang sama dengan orang-orang berwatak kuat dan berotak encer lainnya.
Ketika menemui masalah yang menantang otaknya untuk bekerja keras, mereka cenderung memandangnya sebagai sebuah
tantangan yang mengasyikkan.
Seperti ilmuwan yang mengotak-atik satu formula hingga lupa makan dan lupa waktu. Atau seperti detektif ulung yang
dengan asyiknya berusaha mengungkap satu kejahatan.
Semakin sering mereka berhasil memecahkan masalah dengan sel abu-abunya itu, semakin haus pula mereka pada
tantangan untuk otak mereka. Ding Tao sudah menggumuli permasalahan jurus-jurus silat dan berhasil memecahkannya.
Sudah beberapa kali pula dia bertempur dengan tipe-tipe yang berbeda dan dia berhasil menghadapi setiap tantangan itu
bukan melulu bersandar pada kekuatan atau kecepatan, tapi juga dengan menggunakan pemikiran yang cerdas.
Kelemahannya saat ini, situasinya saat ini, jadi satu tantangan baru bagi Ding Tao. Tantangan yang lebih menantang,
ibaratnya sudah biasa menang berkelahi dengan dua tangan, kemudian dengan sengaja mengikat satu tangan untuk
membuat perkelahian jadi lebih menantang.
Dengan kondisinya yang tidak memungkinkan dia untuk lolos dengan mengandalkan permainan pedang, Ding Tao jadi
tertantang untuk mengandalkan kecerdikannya untuk lolos dari situasi yang membahayakan jiwanya ini. Apakah dia tidak
takut mati" Tentu saja Ding Tao pun takut mati, tapi jika dia masih bisa tersenyum saat ini, setidaknya ada dua alasan yang bisa dikatakan.
Yang pertama, orang muda memang cenderung untuk kurang menyadari betapa pendeknya hidup. Lihat saja dari mereka
yang suka menyerempet bahaya, sebagian besar berumur muda. Semakin muda umurnya, semakin mereka tidak
menyadari akan kematian yang bisa menjemput kapan saja.
Yang kedua, kalau seseorang sudah kecanduan pada sesuatu, kenikmatan dari memenuhi kecanduan ini tidak jarang
melampaui ketakutan mereka pada kematian. Itu sebabnya tidak sedikit orang yang memiliki hobby yang menyerempet
bahaya. Sedikit demi sedikit, sebuah rencana mulai terbentuk dalam benak Ding Tao. Menjelang tengah malam, pemuda itu sudah
memiliki keputusan yang mantap. Dengan tubuh dan pikiran yang lelah, tapi hati tenang, pemuda itu memejamkan mata
dan tidur dengan nyenyak.
Keesokan paginya, ketiga kelompok penguntit itu mendapat kejutan besar. Sedikit lebih siang dari biasanya, Ding Tao
keluar dari penginapan tanpa penyamaran. Dengan pakaian ringkas dan pedang di tangan, wajah penuh semangat dan
senyum dikulum. Semalam dia sudah beristirahat baik-baik, setelah bangun pemuda itu tidak lupa untuk melatih hawa murninya dan berlatih jurus-jurus yang dia miliki. Kemudian dia mandi air hangat dan sekarang dalam keadaan segar dan siaga, pemuda itu
melangkah menuju ke sebuah rumah makan. Setelah selesai makan pun dia tidak terburu-buru bangun dari kursinya,
dibiarkannya tubuhnya mencerna makanan itu dengan sebaik-baiknya. Tubuh segar, tenaga terkumpul, hati tenang, perut
kenyang. Sambil bangkit berdiri Ding Tao merenggangkan otot-ototnya, senyum dikulum tak pernah lepas dari wajahnya. Pandang
matanya tajam menyorot ke sekeliling ruangan. Ketiga kelompok yang menguntit dirinya berada pula di sana, buru-buru
mereka mengalihkan pandangan pada makanan masing-masing. Benak mereka penuh dengan pertanyaan, menebak-nebak,
apa isi otak Ding Tao saat ini.
Dengan tenang Ding Tao melangkah ke arah salah satu dari kelompok penguntit itu. Hati setiap orang pun mulai berdebar-
debar, terutama mereka yang didekati oleh Ding Tao. Tangan-tanganpun mulai bergerak memegang gagang senjata.
Semakin dekat Ding Tao melangkah, tanpa terasa gagang senjata pun semakin erat digenggam. Saat Ding Tao sampai di
hadapan mereka, buku-buku jari mereka sudah memutih saking eratnya mereka menggenggam senjata. Berbalik 180
derajat keadaannya dengan Ding Tao, pembawaannya tenang, tubuhnya berdiri dengan rileks, wajahnya terang. Sambil
membawa pedang yang masih tersimpan aman dalam sarungnya, pemuda itu memberi hormat dan menyapa dengan sopan.
"Apa kabar" Kalau tidak salah, paman ini Paman Fu Tsun. Bagaimana kabarnya Wang Chen Jin" Kuharap dia tidak dihukum
terlalu berat oleh Paman Wang Dou karena menghilangkan Pedang Angin Berbisik."
Ya, salah satu dari 3 kelompok yang menguntit Ding Tao, adalah anak buah Wang Dou. Sejak kehilangan Pedang Angin
Berbisik, Wang Dou menanamkan beberapa orang kepercayaannya untuk mengawasi keluarga Huang. Dengan sendirinya
mengenai kedatangan Ding Tao mereka termasuk yang pertama mengendus berita itu.
Hanya sayang sumber kekuatan mereka jauh berada di utara, sehingga mereka sedikit terlambat bertindak dan saat sudah
bergerak pun, kekuatan mereka tidak sebesar kelompok lain yang sudah ikut bergerak.
Kelompok kedua adalah sebuah persekutuan rahasia yang kekuatannya menyebar cukup merata di Selatan. Meskipun
secara orang per orangan, 7 pimpinan Persekutuan Laba-Laba Kaki Tujuh ini bisa dikatakan berimbang dengan jagoan-
jagoan dari kelompok Wang Dou, namun jumlah dan luas jaringan mereka jauh lebih di atas kelompok Wang Dou.
Meskipun di atas dan di dalam air kelompok Wang Dou bisa dikatakan sebagai rajanya di Sungai Yangtze.
Sapaan Ding Tao itu mengundang reaksi yang berbeda-beda dari mereka yang mendengar.
Orang-orang dunia persilatan yang mendengar perkataan Ding Tao, memasang telinga baik-baik, tertarik oleh berita yang
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka dengar ini dan ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
3 orang yang dipimpin Fu Tsun saat itu saling berpandangan. Ini baru berita bagi mereka, ternyata Pedang Angin Berbisik sudah terlebih dahulu jatuh di tangan Wang Dou sebelum pedang itu dihilangkan Wang Chen Jin dan jatuh ke tangan Ding
Tao. Ada perasaan kecewa karena Wang Dou menyembunyikan hal itu dari mereka, juga ada perasaan penasaran, mengapa
Wang Chen Jin sampai menghilangkannya.
Beberapa pertanyaan yang jadi misteri bagi mereka, mendapatkan jawaban dari keterangan Ding Tao barusan.
Fu Tsun tentu saja merasa darahnya naik sampai ke ubun-ubun kepala. Meskipun biasanya dia tenang dan cermat dalam
menghadapi masalah tapi apa yang dilakukan Ding Tao saat ini jauh di luar dugaannya dan terlampau banyak mengundang
kenangan yang pahit. Dengan senyum masam dia menjawab, "Hemm.., aku tidak mengerti apa maksudmu. Tapi jika kau mengira bahwa
keberadaan kami di sini ada hubungannya dengan Pedang Angin Berbisik yang ada di tanganmu, kau tidak salah."
"Hehehe, tentunya paman tidak membayangkan aku berjalan kian kemari dengan membawa pedang itu kan?", sahut Ding
Tao dengan tenang dan gaya sedikit mengejek.
Mata Fu Tsun mendelik, "Keparat, kalaupun kau tidak membawanya, akan kuperas keterangan itu darimu."
Pengunjung yang lain sudah mulai merasakan gelagat yang tidak baik, satu per satu mereka pergi keluar dari rumah makan
itu. Bahkan ada juga yang ambil kesempatan untuk makan tanpa bayar, sementara para pelayan dan pemilik rumah
makanhanya bisa bergemetaran dan berdoa pada dewa-dewa supaya tidak terjadi kerugian yang parah.
Rumah makan tidak sepenuhnya jadi kosong, masih ada orang-orang dari persekutuan Laba-Laba Kaki 7, ada pula sepasang
pendekar lelaki dan perempuan itu, ada pula beberapa rombongan lain yang sebenarnya hanya secara kebetulan berada di
sana. Meskipun tidak ada kekuatan dan persiapan untuk ikut berebut Pedang Angin Berbisik, kesempatan untuk menambah
pengalaman dan mendapat berita tidak mereka lewatkan. Dengan wajah tertarik mereka menyaksikan peristiwa di depan
mereka. Jika memungkinkan, siap untuk menarik keuntungan dari peristiwa itu.
Fu Tsun merasa terdesak oleh keadaan, tidak disangka Ding Tao yang dipandang remeh, berhasil membongkar penyamaran
mereka. Jika ia mundur sekarang, nama kelompok Wang Dou bisa hancur, jadi bahan tertawaan di dunia persilatan dan bagi
kelompok seperti mereka, reputasi adalah hal yang penting.
"Kepung dan tangkap pemuda sombong ini!", perintahnya singkat pada ketiga orang pembantunya.
Dalam waktu singkat 4 orang mengepung Ding Tao, tanpa banyak memberi peringatan sepasang golok Fu Tsun sudah
menggunting tubuh Ding Tao. Tapi Ding Tao tidak kalah cepat dalam bertindak, tubuhnya mendoyong ke belakang untuk
menghindari serangan Fu Tsun, kakinya cepat menendang meja ke arah dua orang di sisi seberang.
Dengan gerakan yang indah dia berkelit dari serangan orang ke-empat, lalu menggunakan lubang yang terbuka saat dua
orang yang lain menghindari meja, dia menggebrak ke arah terlontarnya meja, mendesak dua orang yang lain untuk
mundur lebih jauh dan kepungan pun jadi terpecah.
Dengan cerdik Ding Tao terus bergerak, tidak mau terjebak dalam kepungan ke-empat orang itu.
Dalam waktu singkat, kursi dan meja berserakan, terbalik dan patah-patah, mangkok dan piring berceceran di lantai. Isteri pemilik rumah makan sudah pingsan sejak tadi dan cepat-cepat diungsikan ke rumah tetangga.
Melawan 4 orang Ding Tao menunjukkan kebolehannya, meskipun tidak dengan mudah memenangkannya, tapi ke empat
orang itu pun tidak bisa mendesaknya.
Gerakannya lincah dan pedangnya menyambar bagai kilat di antara sinar golok dan pedang lawan. Beberapa luka mulai
nampak menghiasi tubuh anak buah Fu Tsun. Jika keadaan terus berlanjut seperti demikian maka dalam beberapa puluh
jurus ke depan Ding Tao tentu akan berhasil menjatuhkan mereka satu per satu.
Golongan Laba-laba Kaki 7 yang bersaing dengan kelompok Wang Dou tidak segan-segan memberi dukungan pada Ding
Tao, setiap kali Ding Tao berhasil meloloskan diri dari serangan lawan, mereka berteriak, "Luput! Luput!"
Atau kata ejekan, "Orang buta pun bisa menghindarinya dengan gampang!"
Dan jika serangan Ding Tao kena, mereka pun akan berteriak, "Kena! Kena! Satu anjing kena tusuk!"
Jelas saja sorakan mereka itu membuat tekanan darah Fu Tsun dan anak buahnya semakin tinggi, salah seorang dari
mereka yang kurang bisa menahan marah menyerang Ding Tao dengan tenaga yang berlebihan. Tanpa menyia-nyiakan
kesempatan Ding Tao menyusup maju, memasuki lubang pertahanan yang tercipta. Dengan sebuah tusukan pedang yang
tepat dan efektif, sebatang pedang segera saja menghiasi tenggorokan orang tersebut.
Ding Tao tidak mau membuang waktu dengan mencabut pedangnya yang menancap kuat di leher orang tersebut.
Sebaliknya dengan sebuah gerakan yang indah dia merebut pedang di tangan orang tersebut.
Semuanya dilakukan dalam sebuah rangkaian gerakan yang mengalir.
Mereka yang menyaksikan mau tak mau merasa kagum pada kebolehan pemuda itu memainkan pedang. Bahkan Fu Tsun
dan anak buahnya pun terkesiap melihat kebolehan pemuda itu dan untuk beberapa saat tertegun di tempatnya masing-
masing. Kesempatan yang hanya sesaat itu tidak disia-siakan Ding Tao, hampir saja Fu Tsun kehilangan satu orang lagi pembantu
ketika serangan Ding Tao datang bagaikan kilat, beruntung orang itu masih sempat melemparkan tubuhnya ke belakang
dan Fu Tsun bersama seorang yang lain cepat-cepat menyerang Ding Tao dari kiri dan kanan secara berbareng, sehingga
Ding Tao terpaksa tidak melanjutkan jurus serangannya.
Tak urung sebuah luka memanjang dari pundak kanan ke dada kiri, menghiasi tubuhnya.
Sorakan dari Laba-laba Kaki 7 semakin membahana, di saat yang kritis bagi Fu Tsun dan kelompoknya, tiba-tiba
berloncatan dari luar 6 orang untuk membantu mereka. Rupanya kelompok Wang Dou yang lain sudah mendengar kabar
perkelahian itu. Melawan 9 orang ganti Ding Tao yang mulai terdesak, keganasannya jadi berkurang karena harus lebih banyak
memperhatikan pertahanan sendiri.
Tidak lama kemudian 3 orang ikut masuk ke dalam arena pertarungan dan keadaan Ding Tao pun jadi semakin terdesak.
Mereka tidak menyerang secara serampangan, meskipun tidak pernah berlatih dalam barisan tertentu, tapi mereka ini
adalah orang-orang yang sudah punya pengalaman bekerja sama dalam membegal dan merampok selama bertahun-tahun.
Mereka pandai membagi diri menjadi beberapa lapis, orang-orang yang terkuat menghadapi Ding Tao secara langsung, yang
lain ikut mengepung dalam lingkaran yang lebih luas, tugas mereka ini adalah menutup jalan lari Ding Tao dan membantu
pertahanan rekan-rekan yang ada di depan. Sesekali mereka ikut pula melontarkan serangan melalui celah-celah yang ada,
meskipun bukan serangan yang berbahaya, tetapi cukup mengganggu konsentrasi Ding Tao.
Melihat keadaan Ding Tao yang memburuk, orang-orang dari kelompok Laba-laba Kaki 7, mulai berunding. Jika dibiarkan
saja, lama kelamaan Ding Tao pasti akan kalah, sementara di pihak Fu Tsun baru kehilangan 1 orang mati dan 1 orang luka parah. Jika menunggu Fu Tsun dan kelompoknya menangkap Ding Tao baru bergerak, korban dari pihak mereka pasti cukup
besar. Sebaliknya jika sekarang mereka membantu Ding Tao, menyerang dengan membokong orang-orang Fu Tsun dari
belakang, mereka akan dapat menghabisi kelompok Fu Tsun dengan mudah.
Baru kemudian mereka mengikuti cara Fu Tsun dan anak buahnya untuk mengepung dan menangkap Ding Tao.
Rencana itu terdengar bagus dan dengat cepat keputusan pun dibuat, sambil berteriak-teriak menyatakan ketidak puasan
mereka melihat Fu Tsun bermain keroyokan, pedang-pedang merekapun ikut berbicara.
Dalam satu serangan bokongan itu 5 orang Fu Tsun mati tanpa pernah melihat siapa yang telah membunuhnya. Fu Tsun
yang melihat itu mencaci maki sepenuh hati, "Anjing kurap, keparat! Pembokong! Pengecut tak tahu malu!"
Pemimpin dari kelompok Laba-laba Kaki 7, tertawa terbahak-bahak dengan suaranya yang mirip gagak, "Hakhakhakhak, Fu
Tsun, hari ini waktunya kau bertemu dengan raja neraka, sebaiknya kau jaga mulutmu baik-baik supaya tidak menambah
dosa, hakhakhakhak."
2 orang lagi dari kelompok Fu Tsun jatuh jadi korban, satu dari serangan Ding Tao dan satu lagi tertusuk 3 belah pedang sekaligus dikeroyok oleh orang-orang Laba-laba Kaki Tujuh.
Fu Tsun meneteskan keringat dingin, keadaannya sungguh runyam, Ding Tao adalah lawan yang berat dan tidak bisa dibuat
main-main, jika dia lengah maka pedang Ding Tao akan mengancam. Tapi jika mereka terus berfokus pada Ding Tao maka,
orang-orang Laba-laba Kaki Tujuh akan dengan mudah membabat mereka, membokong dari belakang.
Putus asa menyelimuti Fu Tsun sekalian, Fu Tsun sebagai pemimpin kehilangan pegangan dan tak mampu mengambil
keputusan. Anak buahnya tidak ubahnya seperti ular tanpa kepala, satu per satu, mereka dihabisi tanpa ampun.
Melihat ini Ding Tao yang sudah merencanakan semua inipun jadi tidak tega. Ding Tao hanya bertahan tanpa banyak
menyerang, tekanan dari Ding Tao banyak berkurang sehingga Fu Tsun dan anak buahnya bisa lebih banyak membagi
perhatian untuk bertahan dari serangan bokongan. Tapi kekuatan mereka sudah terlalu jauh berkurang, sementara lawan
masih segar bugar. Pada saat-saat terakhir bahkan terjadi tidak seorangpun yang menyerang Ding Tao, dua kelompok yang saling bersaing
untuk mendapatkan Pedang Angin Berbisik itu saling bertarung mati-matian, membiarkan Ding Tao berdiri dengan pedang
di tangan dengan tenangnya.
Menyaksikan pembantaian itu, hati Ding Tao jadi tergetar, hati kecilnya merasa bersalah. Siasat ini, sesungguhnya dia yang membuatnya, meskipun lebih banyak darah tertumpah dan nyawa yang melayang oleh tangan orang-orang Labah-Labah
Kaki Tujuh, tetap saja Ding Tao melihat betapa ini akibat dari siasat yang dibuatnya. Mungkin hanya 2 orang yang terbunuh oleh tangannya, tapi pada hakekatnya belasan orang yang sekarang bakal meregang nyawa, semuanya terbunuh olehnya.
Setidaknya itulah kata hati pemuda ini.
Fu Tsun sudah terluka di puluhan tempat, tidak ada sejengkal pun dari tubuhnya yang tidak berwarna merah. Tenaganya
pun akhirnya hilang, sepasang golok masih tergenggam di tangan, tapi tangan itu sudah lunglai tergantung tanpa daya.
Pemimpin dari kelompok Laba-Laba Kaki Tujuh mendekatinya dengan raut wajah serius, tidak seperti sebelumnya yang
penuh ejekan. Nasib yang sama bisa saja terjadi padanya, pada saat-saat terakhir ini, timbul juga rasa simpatinya.
"Fu Tsun, jangan salahkan aku tidak memberimu ampun. Selama kau masih hidup, tentu tidurku tidak akan pernah tenang."
Fu Tsun hanya diam menatapnya dengan sorot mata dingin tanpa arti.
"Selamat tinggal Fu Tsun!", dengan sebuah tebasan pedang, kepala Fu Tsun terbelah dari kiri atas kepala hingga ke leher.
Sejenak setiap orang berdiri diam di tempatnya masing-masing. Para pelayan dan pemilik rumah makan sudah lama
menghilang, sejak darah mulai bercurahan dan bercipratan ke segenap penjuru ruangan. Orang-orang yang masih duduk di
sana, sudah jelas tidak aka pergi hanya karena melihat kucuran darah. Pandang mata mereka jatuh pada Ding Tao yang
berdiri dengan tenang. Entah sejak kapan, dia sudah memungut pedangnya sendiri. Bahkan sempat pula membersihkan
pedang itu dari noda-noda darah yang melekat.
Tampilannya yang penuh percaya diri tapi dibarengi sorot mata yang penuh kesedihan, memberi kesan yang tidak mudah
dilupakan. "Ding Tao, namaku Xiang Long, pimpinan utama kelompok Laba-Laba Berkaki Tujuh. Kau bisa pegang ucapanku, menyerah
dengan damai dan aku tidak akan menyakitimu sedikitpun.", ujar pemimpin dari Kelompok Laba-Laba Berkaki Tujuh itu,
yang rupanya bernama Xiang Long.
Ding Tao tersenyum dingin, hatinya kelu menyaksikan kekejaman orang di hadapannya itu, meskipun hal itu sudah dia
perhitungkan sebelumnya. Menyaksikan kejadian itu secara langsung ternyata menyisakan kesan yang berbeda
dibandingkan memikirkannya saat rencana masih merupakan rencana saja.
"Hmmm" Saudara Xiang Long, sebaiknya kau yang menyerah saja, dan aku Ding Tao akan menganggap urusan ini selesai
hari ini juga." Melotot mata Xiang Long mendengar jawaban Ding Tao, "Anak bau kencur, jangan sombong, selagi aku sudah membunuh
orang, mulutmu masih bau tetek ibumu!"
"Hmm" selagi aku masih menetek pada ibuku, otakku sudah jauh lebih terang daripada otakmu.", jawab Ding Tao dengan
senyum mengejek. "Keparat! Serbu!", bentak Xiang Long dengan penuh kemarahan.
Sekali lagi peristiwa yang sama terjadi, Ding Tao dikepung dari segenap jurusan dengan serangan dan pertahanan
kepungan lawan yang berlapis. Menilik cara Ding Tao saat bertahan melawan Fu Tsun dan kelompoknya, sebenarnya Xiang
Long sudah berhitung bahwa dia akan mampu menundukkan pemuda itu.
Sebagian besar orang-orang yang dibawanya memiliki kemampuan setara di atas orang-orang yang dibawa Fu Tsun. Tiga
atau empat orang, lima termasuk dirinya memiliki kemampuan di atas orang-orangnya Fu Tsun, dengan jumlah yang lebih
banyak dari orang-orang Fu Tsun, disangkanya Ding Tao akan bisa ditundukkan.
Betapa kaget dia, ketika mendapati Ding Tao mampu mengimbangi kepungan mereka. Pedangnya berkelebatan dengan
cepat, membentuk perisai di sekeliling tubuhnya.
Jika tadi Ding Tao bertarung menggunakan pedang yang tidak disaluri hawa murni, berbeda dengan keadaan saat ini.
Pedangnya yang sudah disaluri hawa murni, mengaung-ngaung, senjata lawan yang berbenturan dengan pedangnya akan
terpental bahkan rompal sebagian.
Gerakan Ding Tao bukan saja hanya lincah tapi juga bertenaga. Bukan hanya mengandalkan kelihaian jurus dan kecekatan,
tapi pemuda ini berani pula mengadu tenaga. Xiang Long yang tadinya berpikirm nasib yang dialami Fu Tsun tidak akan
dialaminya, karena dia memiliki lebih banyak orang, sekarang meneteskan keringat dingin karena keadaaannya sama saja
dengan keadaan Fu Tsun tadi.
Segenap perhatian dan kekuatan orang-orangnya terserap untuk menyerang dan bertahan melawan Ding Tao. Jika ada
pihak ketiga yang mengambil keuntungan habislah dia.
Dan seperti kita tahu, memang demikianlah keadaannya. Sepasang laki-laki dan perempuan yang menyamar itu tiba-tiba
bangkit berdiri dan melemparkan sepasang pisau terbang ke kusen pintu masuk rumah makan. Pisau itu bentuknya biasa
saja, tetapi di gagangnya bergantung sebuah medali dari giok berbentuk tengkorak.
Bisik-bisik pun terdengar dari pengunjung rumah makan yang masih bertahan, "Sepasang iblis berwajah giok?"
Dengan terkekeh-kekeh menyeramkan, pasangan laki-laki dan perempuan yang berjuluk Sepasang Iblis berwajah giok itu
berujar, "Yang tahu diri, sebaiknya segera menyingkir dan tidak perlu ikut campur urusan."
Dalam sekejap mata, rumah makan itupun bersih dari pengunjung. Tinggal Ding Tao, Xiang Long dan anak buahnya serta
sepasang iblis itu. Xiang Long tentu saja ikut mendengar gertakan sepasang iblis itu, tapi keadaannya sekarang sudah terjepit, tidak ada
bedanya dengan keadaan Fu Tsun tadi, mundur salah, majupun salah. Baru saja dia hendak berpikir, sudah terdengar
jeritan meregang nyawa dari dua orang anak buahnya.
Dalam keadaan yang berbahaya itu, tiba-tiba Xiang Long dikejutkan oleh tindakan Ding Tao. Sebuah serangan pedang yang
membadai dikeluarkan oleh pemuda itu hingga kepungan pun tersibak, tapi bukannya mengambil kesempatan untuk
menyerang, pemuda itu menggunakan kesempatan itu untuk melompat gesit dan menyerang ke arah iblis wanita bermuka
giok sambil berseru, "Xiang Long, bantu aku, urusan kita bisa diselesaikan belakangan!"
Wajah Xiang Long yang tadinya sudah putus asa menjadi cerah kembali, dari jalan kematian tiba-tiba dilihatnya kesempatan untuk hidup.
Inilah puncak dari rencana Ding Tao semalam. Bagian awal dari rencana Ding Tao adalah menantang kelompok yang
terlemah dari 3 kelompok tersebut, yaitu kelompok Fu Tsun. Dengan sengaja dia memojokkan Fu Tsun, sehingga Fu Tsun
tidak ada jalan lain kecuali bertarung dengannya.
Dalam pertarungan itu dengan sengaja Ding Tao menahan diri dan tidak mengeluarkan segenap kemampuannya. Inilah
bagian kedua dari rencananya, yaitu untuk menarik Xiang Long terjun dalam pertempuran. Membantunya menghabisi
kelompok pertama dari tiga kelompok yang mengintainya.
Sudah lama Ding Tao curiga bahwa sepasang laki-laki dan perempuan itu adalah yang terkuat, karena dengan percaya
dirinya mereka bersiap untuk ikut berebut meskipun mereka hanya berdua dan lawan mereka adalah dua kelompok yang
cukup besar. Dan inilah penutup dari rencana Ding Tao, yaitu ketika sepasang laki-laki dan perempuan itu sudah mulai bergerak.
Membuat Xiang Long menghadapi jalan buntu. Maka Ding Tao akan bergerak menarik Xiang Long menjadi sekutunya untuk
melawan sepasang laki-laki dan perempuan misterius itu.
Yang paling terkejut adalah Sepasang Iblis berwajah giok itu. Disangkanya mereka akan menikmati mangsa mudah seperti
yang dilakukan Xiang Long terhadap Fu Tsun, siapa sangka keadaan jadi berbalik, dengan satu serangan Ding Tao ganti
merekalah yang menghadapi kepungan lawan.
Meski demikian tidak memalukan mereka memiliki nama besar yang ditakuti lawan dan kawan, mereka masih bisa
bertarung dengan tenang bahkan sambil terkekeh menyeramkan iblis jantan bermuka giok berkata, "Ding Tao sungguh
pintar akalmu, tapi jangan harap kau bisa selamat dari cengekeraman kami hari ini."
Suara tertawa mereka membuat bulu kuduk yang mendengar jadi berdiri. Entah sejak kapan, tiba-tiba sepasang cakar besi
sudah ada di tangan mereka masing-masing. Meskipun sudah dikepung tapi mereka justru mampu mendesak Ding Tao,
Xiang Long dan kawan-kawan.
Satu dua orang mulai terluka dan tiap kali serangan mereka berhasil, sepasang iblis itu akan tertawa mengikik dengan
seramnya. Anak buah Xiang Long adalah orang-orang kasar yang masih percaya tahayul, suara setan dari sepasang laki-laki dan perempuan misterius itu sangat mengganggu permainan pedang mereka.
Untung bagi mereka ada Ding Tao di situ, seperti yang sudah sering disebutkan, bakat Ding Tao dalam mempelajari ilmu
bela diri termasuk satu orang dalam satu generasi. Menarik dari pengalamannya menghadapi kepungan Fu Tsun, sebuah
pemahaman tentang membentuk barisan sudah mulai terbentuk dalam benak pemuda itu.
Sekarang sebagai bagian dari kelompok yang mengepung sepasang iblis itu, Ding Tao bukan hanya ikut mengepung dan
menyerang dengan jurus sendiri saja, tapi pengamatannya lebih luas dari itu. Bak seorang jendral, Ding Tao mulai
mempelajari serangan-serangan lawan yang aneh, setelah beberapa puluh jurus lewat, mulailah Ding Tao tidak hanya
menyerang tapi juga memberikan komando pada yang lain.
"Sisi barat, menyerang atas! Sisi timur melindungi barat! Sisi utara dan selatan tahan serangan!"
"Semuanya bergerak ke barat! Xiang Long serang yang jantan!"
Dan berbagai komando perintah lainnya, mulai mengubah arah jalannya pertarungan.
Jika sebelumnya sudah mulai ada tiga orang yang tewas dan beberapa terluka. Setelah Ding Tao mulai memberikan
perintah serta bergerak untuk menutupi kelemahan yang lain, ganti sepasang iblis bermuka giok itu yang berada di bawah
angin. Untuk beberapa puluh jurus berikutnya sepasang iblis bermuka giok itu menghadapi tekanan yang kuat. Semangat anak
buah Xiang Long jadi timbul melihat perintah-perintah Ding Tao mampu mengimbangi jurus-jurus sepasang iblis bermuka
giok yang aneh itu. Tapi pengalaman sepasang iblis bermuka giok itu jauh lebih banyak dari Ding Tao. Setelah beberapa puluh jurus itu lewat, iblis jantan mendapatkan pemikiran yang jitu, dengan terkekeh panjang dia berteriak pada pasangannya "Iblis betina, dua iblis berpisah! Timur dan barat mandi darah!"
Sudah berpasangan selama belasan tahun, di antara keduanya sudah terjalin saling pengertian yang sangat kuat, apalagi
dalam hal bertarung secara berpasangan. Tawa seram mengikuti jurus-jurus serangan yang mereka lontarkan, untuk
beberapa saat kepungan terpecah dan saat yang singkat itu digunakan keduanya untuk berpencar berjauhan.
Karena keduanya berjauhan, kepungan pun terpisah menjadi dua kelompok. Kelompok yang satu dipimpin Ding Tao sedang
kelompok yang lain dipimpin Xiang Long. Tidak sampai lewat sepuluh jurus, satu orang dari kelompok Xiang Long tewas
dengan dada berlubang terkena cengkeraman cakar besi dari Iblis jantan.
Sementara Iblis betina harus bersusah payah untuk bertahan menghadapi serangan yang dipimpin Ding Tao, jeritan-jeritan
menyayat hati terdengar dari kelompok Xiang Long.
Ding Tao pun mengakui kecerdikan lawan, tidak mungkin dirinya mengamati kedua iblis itu sekaligus. Seandainya bisa pun, bagaimana dia memberi komando kepada dua kelompok yang berbeda dengan efektif" Jika Ding Tao meninggalkan
kelompoknya untuk sepenuhnya mengamati jalannya pertarungan dan memberikan komando, maka kelompok yang
melawan iblis betina akan kehilangan orang kuat di dalamnya dan di kelompok itulah yang akan jatuh korban.
Satu-satunya harapan Ding Tao adalah secepat mungkin mematahkan perlawanan Iblis betina agar dengan demikian,
mereka akan bisa memfokuskan serangan pada Iblis jantan setelah berhasil menghabisi iblis betina.
Tapi sepasang iblis itu memang tokoh yang kosen, pertahanan yang dibangun iblis betina sangatlah kuat. Tidak seorang pun yang dapat menandingi tenaga dalamnya. Sementara Ding Tao tidak bisa pula dengan leluasa menggunakan himpunan
hawa murninya. Hawa dari pukulan Tinju 7 Luka masih mengeram dan mengancam untuk bangkit tidur dan dengan liar
merusak tubuhnya dari dalam.
Xiang Long bukannya orang bodoh, satu per satu orangnya mati oleh cakar besi Iblis jantan, sekilas dia sempat menengok
keadaan Ding Tao dan kelompoknya. Sadarlah Xiang Long bahwa bahkan dengan menyatukan tenagapun, dirinya dan Ding
Tao tidak akan mampu menghadapi sepasang iblis itu.
Xiang Long belum ingin mati hari itu, dengan satu emposan tenaga dia menyambitkan pedangnya ke arah iblis jantan,
memaksa iblis jantan untuk mundur beberapa langkah. Kesempatan itu digunakan Xiang Long untuk memperbesar jarak di
antara mereka dengan ikut melompat mundur ke belakang.
"Hentikan! Iblis tua, aku menyerah! Biarkan aku pergi dan aku bersumah tidak akan ikut campur urusan Pedang Angin
Berbisik lagi!", teriak Xiang Long sambil melompat mundur, keluar dari rumah makan itu.
Mendengar teriakan Xiang Long, pucatlah wajah Ding Tao. Apalagi ketika anak buah Xiang Long pun ikut berlompatan keluar dari rumah makan. Sepasang iblis muka giok, tidak mengejar, hanya terkekeh-kekeh dengan seram.
Dikepung dari dua arah, Ding Tao mati kutu.
"Hikhikhikhik, anak muda", bagaimana, apa kau mau menyerah sekarang?", ejek iblis jantan sambil perlahan mendekat.
Ding Tao pun menggeser kedudukannya untuk menyesuaikan dengan pergerakan Iblis jantan dan posisi iblis betina.
Dari arah lain iblis betina ikut bergerak, menutup arah lari Ding Tao,"Anak muda, kulihat kau tidak bertarung dengan
leluasa. Saat kuserang, dapat kurasakan dari pertahananmu seberapa besar dan mantap dasar-dasar himpunan hawa
murnimu. Tapi hawa murni yang kaupakai untuk menyerang, paling banter hanya 1 bagian dari yang seharusnya bisa
kaugunakan. Apakah kau sedang terluka dalam?"
"Hohohohoho, apa benar kau sedang terluka" Tapi kau masih bisa mempermainkan kami sampai sedemikian rupa".
mengerikan, masih muda tapi sudah sehebat itu.", ujar iblis jantan sambil menggeser kedudukannya.
"Kau masih muda, apa tidak sayang nyawa" Kaupun terluka, apa lagi gunanya pedang itu bagimu.", ujar iblis betina
menimpali dari arah sebaliknya.
Melihat bahwa keadaannya sudah terlihat dengan jelas oleh lawan, Ding Tao sadar tidak mungkin melawan lebih lanjut.
Ketika beramai bersama dengan Xiang Long dan anak buahnyapun dia tidak bisa menang. Apalagi sekarang ketika dia
tinggal sendiri harus melawan sepasang iblis itu.
Tapi Ding Tao tidak berani mengendurkan pertahanannya, sambil mengawasi kedua iblis itu dia menjawab, "Kalian memang
hebat, aku pun bukan orang bodoh, sudah jelas tidak ada kemungkinan bagiku untuk menang. Jangankan untuk menang
untuk laripun aku tidak ada kesempatan dan aku bukan termasuk orang yang mau mengorbankan nyawa dengan sia-sia,
sebutkan apa keinginan kalian."
"Hehehe, baru saja kita melihat hasil dari kecerdikanmu, kurasa tidak perlu aku bilang, orang cerdik macam dirimu sudah tahu apa yang kami mau.", ujar Iblis jantan muka giok.
"Pedang Angin Berbisik, tapi seperti yang kau lihat, aku tidak membawa-bawa pedang itu denganku saat ini.", jawab Ding
Tao. "Hehe, tapi tentu kau tahu ada di mana pedang itu saat ini."
"Ya, tapi jika kau membunuhku, maka rahasia itu akan terkubur bersama dengan kematianku."
"Tidak, kami tidak ingin membunuhmu, kau menyerah saja dan jadi tawanan kami baik-baik, begitu kami mendapatkan
pedang itu, kami akan membebaskanmu."
"Hmm" dan apa jaminannya bahwa kau akan membiarkanku hidup setelah kamu mendapatkan pedang itu?"
"Hehehehe, jaminannya adalah perkataanku, apa itu tidak cukup?", terkekeh seram Iblis jantan menjawab, senyumnya
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sinis sudah mengatakan kenyataannya akan berbeda ari jawabannya.
"Heh, kita sama-sama tahu, begitu pedang ada di tanganmu, nyawaku pun tidak ada artinya bagimu.", dengus Ding Tao
dengan dingin. Sepasang iblis muka giok itu tertawa berkakakan, puas tertawa mereka memandang tajam pada pemuda itu, "Melawan pun
percuma, kalau kau menyerah baik-baik, mungkin kami masih akan bermurah hati. Tapi jika kau melawan, kupastikan kami
akan menyiksamu hingga kau berharap lebih baik mati daripada hidup."
"Jangan harap aku menyerah tanpa perlawanan. Tapi apa kalian tidak takut pertarungan kita hanya akan memberi
keuntungan pada orang ketiga?", tanya Ding Tao dengan tenang.
Meskipun mereka bercakap-cakap dengan damai, bukan berarti mereka berhenti saling mencari kelemahan. Tubuh mereka
tidak diam di satu posisi, melainkan terus bergerak, bergerak untuk mencari kelemahan lawan dan bergerak untuk menutup
lubang pertahanan. Sekiranya ada sedikit saja lubang kelemahan dalam pertahanan Ding Tao yang dapat diserang, tentu
sepasang iblis itu akan memanfaatkan kelemahan itu. Salah satu keuntungan Ding Tao adalah sepasang iblis itu tidak ingin membunuhnya sekarang. Mereka perlu menangkap Ding Tao hidup-hidup.
"Memangnya siapa yang berani ikut campur dalam urusan kita ini?", dengus iblis betina dingin.
"Jika aku berhasil sedikit saja mengimbangi serangan kalian, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang akan coba
mengambil keuntungan. Orang-orang yang tidak berani berlawanan dengan kalian sendirian, tapi menyimpan keinginan
untuk itu.", Ding Tao terus berusaha mendorong lawan untuk membatalkan pertarungan itu.
"Heh.. anak muda, apa kau bermimpi" Ilmumu memang boleh juga, tapi masih jauh untuk dapat mengimbangi kami.",
gertak iblis jantan. Ganti Ding Tao yang tertawa berkakakan, "Hahahaha, jangan bercanda, apa kalian ingin aku percaya bahwa sedari tadi ini, kalian sedang bermurah hati dengan tidak menyerangku, padahal kalian memilki banyak kesempatan untuk itu?"
"Anak muda tidak tahu diuntung! HAH!!", dengan satu bentakan yang keras sepasang iblis muka giok itu menyerang
berbareng. Ding Tao sudah berwaspada sejak tadi, maka dengan gesit dia bergerak melompat ke arah iblis betina dan melontarkan
jurus serangan yang terhebat yang dia miliki. Jurus pamungkas keluarga Huang yang pernah dia pakai saat bertarung
melawan Zhang Zhiyi. Sewaktu melawan Zhang Zhiyi pedang digerakkan tanpa menggunakan hawa murni untuk
memperkuat serangan. Sekarang yang dihadapi adalah sepasang iblis, dengan menggunakan hawa murni dalam
serangannya, hawa pedang jadi semakin menggiriskan.
Kegesitan Ding Tao dalam bereaksi terlalu cepat bagi Iblis betina muka giok, serangannya sendiri belum sempat
dikembangkan, serangan Ding Tao sudah datang menekan. Hawa pedang Ding Tao menekan jurus serangannya dan
berbalik dari menyerang ganti dia yang diserang.
Kejadian ini bukan suatu kebetulan, bukan pula karena Ding Tao jauh lebih hebat dari sepasang iblis itu. Melainkan karena Ding Tao sudah sempat mengamat-amati gaya permainan mereka sementara mereka belum sempat mengenali gaya
permainan Ding Tao. Sewaktu Ding Tao melawan mereka dibantu Xiang Long dan kawan-kawan, pemuda itu memiliki cukup
banyak keleluasaan untuk mengamati jurus-jurus dan terutama watak dari gaya permainan lawan.
Salah satu ciri yang melekat pada permainan sepasang iblis itu adalah, serangan selalu diawali oleh Iblis jantan muka giok, serangannya keras, kejam dan bertenaga, jurus-jurus yang dilontarkan semuanya mengincar tempat yang mematikan, bila
lawan sampai terkena maka tiada jalan bagi lawan kecuali kematian.
Serangan Iblis betina datang sepersekian detik lebih lambat dari serangan pasangannya, disesuaikan dengan reaksi lawan
menghadapi serangan Iblis jantan. Sifat serangan dari Iblis betina adalah, licin, tidak bertenaga, tetapi mengincar bagian manapun yang terbuka. Tujuannya adalah melukai lawan, atau menolong Iblis jantan lepas dari serangan lawan, tergantung
keadaan saat itu. Inilah kerja sama yang apik dari sepasang iblis muka giok itu, yang sering terjadi adalah lawan terpengaruh oleh serangan yang mematikan dari Iblis jantan, jika lawan kurang hebat, maka matilah dia di bawah serangan Iblis jantan. Jika lawan
cukup berilmu, maka kehebatan serangan Iblis jantan, menutupi serangan licik yang lembut dari Iblis betina. Meskipun
serangan iblis betina tidak mematikan, tapi luka-luka yang ditimbulkan perlahan-lahan akan melemahkan kekuatan lawan.
Hingga satu saat di mana lawan tidak akan bisa lagi menahan serangan yang mematikan dari Iblis jantan muka giok.
Lewat cara ini entah sudah berapa banyak lawan mati di tangan mereka, bahkan tokoh-tokoh yang secara perorangan bisa
dikatakan lebih kuat dari sepasang iblis itu.
Meskipun Ding Tao belum dapat sepenuhnya memecahkan rahasia ilmu dari lawannya, tapi setidaknya dengan memegang
ciri tersebut, Ding Tao memiliki akal untuk memecahkan kerja sama mereka. Langkah awalnya adalah dengan
menempatkan dirinya tepat berada di tengah di antara sepasang iblis itu. Begitu Iblis jantan bergerak untuk menyerang,
Ding Tao bergerak menyerang ke arah Iblis betina yang berada di arah yang berlawanan. Dengan demikian Ding Tao bisa
menghindari serangan Iblis Jantan berbareng dengan menekan Iblis betina mundur.
Tentu saja ada resikonya, bila Iblis betina mampu menahan serangan Ding Tao, maka gerakan mundur Ding Tao untuk
menghindari serangan Iblis Jantan pun akan terhenti dan terhimpit di antara dua serangan.
Ibaratnya bermain judi, seluruh taruhan diletakkan di atas meja, tidak ada lagi modal yang disisakan di kantung. Jika gagal menekan Iblis betina muka giok, maka kekalahan Ding Tao akan terjadi dalam satu gebrakan. Jika berhasil maka kerja
sama yang rapi di antara kedua iblis itu pun akan terhenti. Bagi Ding Tao saat itu, perjudian ini tidak merugikan dirinya.
Jalan lain dia tidak menemukan, tanpa jalan ini kekalahannya sudah pasti. Dengan jalan ini setidaknya masih ada
kemungkinan untuk menang, setidaknya bertahan.
Kalaupun dia gagal dalam pertaruhannya, maka Ding Tao bersandar pada keyakinan bahwa sepasang iblis itu tidak
menghendaki pula kematiannya. Meskipun menjadi tawanan dari sepasang iblis itu lebih menderita dibanding mati.
Gerakan pedang Ding Tao bagaikan jaring keadilan dari langit, begitu rapat hingga Iblis betina tidak mampu menemukan
celah untuk balik menyerang. Hanya menghindar dan menghindar. Ding Tao terus saja mendesak lawan, jalan mundur Iblis
betina ke arah mana, Ding Tao lah yang menentukan.
Dengan cara ini, terjadilah semacam kejar-kejaran di antara mereka bertiga. Iblis jantan mengejar Ding Tao dan Ding Tao mengejar Iblis betina. Gerakan mereka sama cepatnya, tinggal siapa yang memiliki stamina lebih kuat dia yang akan
memenangkan pertarungan. Bukan main geramnya sepasang Iblis itu, apa yang berhasil dilakukan Ding Tao berada di luar dugaan mereka. Belum
pernah mereka menghadapi perlawanan semacam ini. Melihat pertarungan yang tidak nampak kapan akan berakhir,
sepasang Iblis itu pun memutuskan untuk berganti strategi, mengepung Ding Tao dari dua arah yang berlawanan justru
berhasil dimanfaatkan Ding Tao untuk mencegah kerja sama yang apik di antara sepasang iblis itu.
Iblis jantan berupaya untuk mengubah posisi mereka menjadi segitiga, dengan dirinya dan Iblis betina menyerang dari arah yang sama. Tapi seperti sudah dikatakan sebelumnya, Ding Tao yang sedang berada di atas angin mampu memaksa iblis
betina untuk bergerak ke arah yang dia inginkan.
Permainan taktik dalam jurus-jurus yang dilancarkan kini berubah bentuknya. Ding Tao yang berusaha mempertahankan
kedudukan mereka dan sepasang Iblis itu yang berusaha mengubah posisi.
Serangan Iblis jantan pun berubah sifatnya, tidak lagi serangannya ditujukan untuk menyerang titik kematian Ding Tao,
melainkan lebih berfokus untuk menggempur kedudukan pemuda itu, berusaha memaksa Ding Tao untuk melepaskan
tekanannya atas iblis betina.
Sepasang iblis itu menang pengalaman dibanding Ding Tao, iblis jantan pun menang tenaga dibanding pemuda itu. Apalagi
dengan kondisi Ding Tao yang tidak bisa mengerahkan hawa murni dengan leluasa.
Perlahan-lahan taktik Ding Tao mulai dipatahkan dan kedudukan mereka pun mulai berubah. Hati sepasang iblis itu pun
menjadi semakin girang melihat arah perkembangan pertarungan itu.
Pada satu serangan yang terencana Iblis jantan akhirnya berhasil mendesak Ding Tao keluar dari garis lurus antara dirinya dan pasangannya. Iblis betina pun dengan cepat mengubah kedudukan dan merapat pada Iblis Jantan.
Tanpa terasa sepasang iblis itu pun bersorak, "Nah, kena kau!"
Betapa kaget hati mereka ketika Ding Tao tidak terlihat cemas dengan perkembangan itu, sebaliknya pemuda itu
melepaskan serangan yang hebat, memaksa keduanya mundur setengah langkah, kemudian dengan gerakan yang gesit
pemuda itu melemparkan dirinya bergulingan keluar dari rumah makan.
"Selamat tinggal iblis jelek!!!", seru pemuda itu sambil tertawa terbahak-bahak.
Barulah keduanya sadar, sudah salah mengambil keputusan. Dengan mengubah posisi mereka menjadi sejajar, bersama-
sama menghadapi Ding Tao dalam satu sisi yang sama, memang pertahanan dan serangan mereka bisa menjadi lebih kuat.
Iblis jantan akan lebih mudah untuk membantu iblis betina, tatkala pasangannya itu didesak oleh serangan-serangan Ding
Tao. Tapi pada saat yang sama, pergerakan mereka itu akan membuka celah bagi Ding Tao untuk melarikan diri. Dan dengan
cerdiknya pemuda itu sengaja menunggu hingga dirinya berada di dekat pintu keluar rumah makan, sebelum dia berpura-
pura kalah dalam perebutan kedudukan.
Pucatlah wajah keduanya, dari bergirang karena merasa berhasil memaksa Ding Tao membatalkan taktik bertarungnya,
berubah menjadi rasa kaget dan sesal.
Setelah pulih dari rasa kagetnya, bergegas keduanya memburu keluar, berusaha mengejar Ding Tao yang sudah sempat
berlari dan bersembunyi dalam kerumunan orang di luar.
Untung mereka cukup cepat dalam bergerak, meskipun sudah berada cukup jauh, tapi kepala Ding Tao yang menyembul di
antara kepala-kepala yang lain masih sempat terlihat. Kedua iblis itu pun segera mengemposkan semangat dan bergerak
mengejar. Ding Tao yang sempat menoleh, melihat sepasang Iblis itu bergerak ke arahnya dengan kecepatan yang tinggi. Sambil
berlari, matanya tak henti-hentinya melihat berkeliling, setiap ada simpangan atau keramaian Ding Tao akan bergerak ke
arah tersebut. Ding Tao yang masih belum paham betul jalan-jalan di kota ini, bergerak tanpa memilih tujuan. Semakin ramai dan semakin tajam dan rumit simpangan-simpangan yang ada, semakin baik, itu saja yang ada dalam pikirannya. Beruntung jarak antara
Ding Tao dan sepasang iblis itu cukup jauh, memanfaatkan kekagetan sepasang iblis itu sebelumnya. Tapi sayang, ilmu
meringankan diri Ding Tao masih dua usap di bawah sepasang Iblis itu.
Beberapa kali Ding Tao sempat lenyap dari pandangan mereka, memanfaatkan jalan sempit dan tikungan-tikungan yang
ada. Sayangnya Ding Tao tidak tahu, bagian mana dari kota yang akan menguntungkan dirinya untuk menghilangkan jejak.
Beberapa kali pula dia salah memilih tikungan dan sampai di jalan utama yang lebar dan lurus, membuat dia lebih mudah diikuti.
Sementara jarak di antara mereka, sedikit demi sedikit semakin mengecil. Pemuda yang banyak akal itu pun memutar
otaknya keras. Satu tipuan yang cerdik sempat dia lakukan, ketika sampai di sebuah perempatan yang cukup ramai. Ding
Tao berlari cepat berbelok ke simpangan ke arah kanan, kemudian setelah tikungan itu menutupi dirinya dari pandangan
mata sepasang iblis itu, dia merendahkan tubuhnya dan berlari secepat-cepatnya menuju ke simpangan yang berlawanan
arah. Nekat memang, tapi kenekatannya membuahkan hasil, meskipun jantungnya sempat hampir melompat keluar saat mereka
berpapasan. Untung sepasang iblis itu tidak melihat dirinya yang sedang berlari sambil merunduk-runduk di balik gerobak penjual mie yang sedang berjualan.
Jarak di antara mereka pun mulai membesar, karena mereka berlari ke arah yang berlawanan. Sayang nasib Ding Tao
kurang begitu baik, saat menoleh untuk melihat posisi sepasang Iblis itu, Ding Tao menabrak orang dengan tidak sengaja.
"He keparat! Kau taruh di mana matamu!?", maki orang itu dengan kesal.
Ding Tao yang sedang terburu-buru tidak ingin terjebak dengan hal yang tidak perlu, cepat-cepat meminta maaf sambil
terus berlari. Tapi orang yang ditabraknya tidak dengan mudah memberi maaf, berbagai maki-makian dilemparkan ke arah
Ding Tao dengan suara keras, menarik perhatian sepasang iblis untuk menengok ke belakang.
Kejar-kejaran itu pun kembali berlangsung dengan sengitnya.
Nafas Ding Tao sudah mulai memburu, seluruh tubuhnya basah oleh keringat, pemuda itu hampir putus asa dan berniat
untuk membalik badan lalu menerjang. Meskipun dia tahu bahwa dia belum mampu menang melawan sepasang iblis itu.
Dalam keadaan yang hampir putus asa itu tiba-tiba, sebuah kereta menghadang jalan Ding Tao.
Ding Tao yang sedang berlari kencang hampir saja menabrak kereta itu.
Baru saja pemuda itu hendak berbalik arah, pintu kerete terbuka dan satu suara yang halus dan lembut memanggilnya,
"Sstt" cepat masuk ke mari."
Tertegun Ding Tao, membeku di tempat, matanya memandang dengan rasa tidak percaya. Di dalam kereta ada dua orang
gadis berpakaian sutra halus yang mewah. Yang seorang bajunya berwarna merah, mengenakan jubah sutra dengan
sulaman warna-warni yang mengingatkan pada warna daun di musim gugur, diikat dengan ikat pinggang dari kain sutra
berwarna merah menyala. Matanya yang lincah berkilat nakal, bibirnya tipis dengan senyum setengah mengejek
tersungging di sana. Gadis yang seorang lagi mengenakan jubah sutra berwarna putih, baju dan ikat pinggangnya juga
berwarna putih, di tangannya ada kipas gading yang dibuka, menutupi sebagian wajahnya, hingga yang terlihat hanyalah
sepasang matanya yang jeli, dihiasi sepasang alis dan bulu mata yang lentik.
Tidak sabar menunggu Ding Tao, gadis berjubah musim gugur, menjulurkan tangannya dan menarik Ding Tao ke dalam
kereta. Tenaga gadis itu jauh di bawah Ding Tao, tapi masih tertegun dengan kejadian yang mengejutkan itu, terlena oleh
kecantikan kedua gadis itu dan merasa tidak ada jalan lain untuk lepas dari pengejaran sepasang Iblis muka giok, Ding Tao mandah saja saat ditarik masuk ke dalam kereta.
Begitu Ding Tao masuk, dengan cepat pintu kereta ditutup, dari balik tirai Ding Tao masih sempat melihat sepasang iblis itu muncul dari sebuah tikungan.
Kereta tidak dipacu untuk berjalan cepat, kereta itu berjalan saja dengan wajar seperti dua-tiga kereta lain yang kebetulan ada di jalan. Sepasang iblis itu belum sadar bahwa hilangnya Ding Tao dari jalan adalah karena pemuda itu mendapatkan
tumpangan kereta. Disangkanya Ding Tao menghilang lagi di salah satu tikungan yang ada di jalan itu. Ketika mereka
memeriksa tiap-tiap tikungan yang ada, dengan lenggang kangkung, kereta itu pergi meninggalkan kota.
Yang pertama dirasakan Ding Tao saat masuk ke dalam kereta adalah bau harum dan segar yang memenuhi kereta itu.
Mencium bau itu, Ding Tao jadi teringat dengan dirinya yang berkeringat dan berbau apek setelah berlarian menyusuri jalan.
Dengan wajah bersemu, pemuda itu mengucapkan terima kasih, "Terima kasih atas pertolongan nona-nona sekalian."
"Tidak perlu sungkan, kami kenal dua orang yang sedang mengejarmu. Sepasang iblis yang kejam. Siapa pun yang dikejar
mereka, sudah tentu orang yang patut ditolong.", jawab gadis berbaju putih, suaranya lembut selembut kelopak bunga
peoni. "Sudah ditolong kenapa tidak cepat-cepat memperkenalkan nama dan apa urusannya hingga dirimu dikejar sepasang iblis
itu?", dengan lirikan nakal, gadis berjubah musim gugur mencela.
Ding Tao memang paling gampang dipermainkan dan digoda, dia bukan pemuda yang lincah dengan kata-kata. Mukanya
yang sudah merona merah, makin terasa panas karena malu, "Ya, ya, maafkan aku lupa memperkenalkan diri, namaku
Ding Tao. Dua orang itu mengejarku karena mereka menginginkan sesuatu dariku."
"Oh, namamu Ding Tao, tapi kenapa berputar-putar menjelaskan. Kalau mereka mengejarmu, sudah tentu karena
menginginkan sesuatu darimu. Tapi apa yang mereka inginkan darimu" Apakah kepalamu, atau peta harta karun atau
mungkin kau menyimpan kitab rahasia. Yang pasti jangan bilang, kalau iblis betina menginginkan cintamu dan iblis jantan yang cemburu menginginkan nyawamu, meskipun wajahmu lumayan menarik untuk dilihat tapi sepasang iblis itu biarpun
berwatak iblis, tapi cukup mengenal arti kata setia.", cerocos gadis berjubah musim gugur.
"Itu.. itu", tak dapat dengan bebas kukatakan. Masalahnya cukup pelik dan menyangkut masalah yang berbahaya. Lebih
baik jika nona-nona tidak tahu apa-apa mengenainya", jawab Ding Tao dengan terbata-bata.
"Astaga", cici dengar itu" Sudah ditolong tidak tahu pula berterima kasih, beraninya dia menaruh curiga pada kita.", omel gadis berjubah musim gugur.
"Bukan begitu maksudku?", ujar Ding Tao dengan memelas, sungguh dia tidak habis pikir bagaimana harus menjawab.
Pemuda yang baru saja berhasil menipu dan mengadu domba, jagoan-jagoan yang sudah kenyang makan asam garamnya
dunia persilatan, sekarang mati kutu di hadapan seorang gadis muda. Memang terkadang berurusan dengan pedang lebih
mudah daripada menghadapi lidah tajam seorang gadis yang cantik nan menawan.
Gadis berbaju putih, melepit pula kipasnya, kemudian mengetuk tangan gadis berjubah musim gugur menggunakan kipas
itu sambil menegur, "Cobalah kau diam, orang tidak mau kau tahu urusan, mengapa kau harus usil?"
Kipas dilepit, wajah yang tadi tertutup sekarang jadi terlihat, Huang Ying Ying adalah seorang gadis yang cantik, gadis berjubah musim gugur itu pun seorang gadis yang cantik. Tapi gadis berbaju putih ini, jauh lebih cantik, kecantikannya
begitu anggun dan mempesona. Ekspresinya anggun dan tenang, memancarkan kedamaian, memandang gadis itu Ding Tao
jadi teringat kisah-kisah tentang Chang"e, dewi bulan.
Melihat mata Ding Tao yang terpesona memandangi kakak perempuannya, jelas saja si gadis berjubah musim gugur tidak
tinggal diam, "O la la, cici coba lihat, matanya tidak berkedip memandangmu. Aku tahu memang aku tidak secantik dirimu, tapi baru kali ini kulihat seorang pemuda dengan terang-terangan tidak mengacuhkan diriku."
Mulut Ding Tao pun menganga hendak menjawab, tapi tak bisa juga hendak menjawab apa. Melihat wajah pemuda itu
sekarang ini sungguh-sungguh memelaskan hati.
"Wah, mengapa kau membuka mulutmu seperti itu" Apakah sedang menanti aku menghadiahimu manisan?", buru gadis
berjubah musim gugur. Dengan muka yang sudah merah padam Ding Tao cepat-cepat mengatupkan mulutnya. Dengan menundukkan kepala dia
berusaha meminta maaf, "Maaf, maaf, sikapku kurang sopan. Terima kasih banyak atas pertolongan nona-nona sekalian,
tapi keadaan sudah aman, mungkin sebaiknya aku turun di sini saja."
"Tidak perlu", kata gadis berbaju putih dengan lembut, tangannya bergerak menahan tubuh Ding Tao yang sudah beringsut
hendak melompat keluar dari kereta.
Baru memandang saja Ding Tao sudah terpesona, saat tangan gadis itu menyentuh pundaknya dengan lembut, bau harum
bunga menyebar keluar dari arah gadis itu, jari-jari yang lentik terasa menyentuh ringan pundaknya. Jantung Ding Tao jadi berdebaran, ingatannya berkelebat pada Huang Ying Ying yang menantinya di Wuling, hatinya merasa bersalah dan malu.
Inginnya dia segera melompat keluar dan melupakan kejadian hari itu. Tapi jari yang lentik itu seperti memilki mantra yang membuat Ding Tao diam menurut dan tidak bisa melompat pergi.
"Jangan pergi dulu, tidak usah kau dengarkan perkataan adikku, dia memang nakal. Sebaiknya kau ikut sampai kediaman
kami di luar kota, di sana lebih aman dan jauh dari sepasang iblis itu."
Ah, betapa lemah hati seorang pahlawan, ketika berhadapan dengan gadis cantik. Meskipun wanita sering menginginkan
lelaki yang halus perasaannya, tapi Lelaki yang tidak berperasaan mungkin lebih setia daripada lelaki yang terlalu halus perasaannya. Tak tega menolak, Ding Tao mengangguk diam.
Gadis berjubah musim gugur, tidak berani mengeluarkan kata-kata, tapi dia masih berani meleletkan lidahnya dan
mengerling menggoda, saat kakak perempuannya tidak melihat.
Perjalanan dilalui dengan diam, sejak teringat dengan Huang Ying Ying, Ding Tao tidak lagi berani menengadahkan
kepalanya. Pemuda itu takut terpikat lebih jauh lagi dengan gadis berbaju putih, lebih takut lagi digoda oleh gadis berjubah musim gugur. Sebenarnya ada rasa penasaran, ingin tahu lebih jauh siapakah kedua gadis itu. Keduanya tidak mengenalkan
nama, meskipun Ding Tao sudah mengenalkan namanya.
Ding Tao tidak berani bertanya, kalau bertanya, cari mati namanya, lidah tajam gadis berjubah musim gugur tentu sudah
siap dengan godaan yang lain. Masih bagus sekarang dia tidak berani menggoda Ding Tao setelah ditegur oleh kakak
perempuannya. Tapi apakah mereka benar saudara sekandung" Atau ada hubungan keluarga yang berbeda" Gadis berjubah musim gugur
itu memang cantik, tapi gadis berbaju putih itu terlampau jauh lebih cantik. Meskipun sama-sama cantik tapi keduanya
tidaklah mirip. Mungkin saudara satu ayah lain ibu, atau saudara sepupu dan banyak atau lainnya. Sementara Ding Tao sedang mereka-
reka, mulutnya terkunci rapat. Gadis berbaju putih tidak menanyakan apa-apa padanya, yang berjubah musim gugur pun
sekarang lebih sibuk melihat-lihat keluar daripada berbicara. Waktu dilalui dengan diam, kereta bergerak dengan malasnya menuju keluar kota, melintasi sungai kecil dan sebuah desa yang cukup ramai. Kereta baru berhenti saat tib di pinggir
sebuah mata air yang jernih, airnya mengalir jauh dan berhenti di sebuah danau kecil.
Di pantai danau kecil itu ada sebuah bangunan besar dengan bentuk yang sederhana, dikelilingi taman bunga dan berbagai
macam tanaman obat-obatan.
Di depan bangunan itulah kereta berhenti, gadis berjubah musim gugur membuka pintu kereta lalu melompat keluar, "Ah
akhirnya kita sampai juga cici. Lihat, bunga peoni yang kau tanam sudah mekar dengan indahnya."
"Bibi, bibi, kami sudah sampai.", kicau gadis itu, berlari sambil melambaikan tangan, meninggalkan Ding Tao dan gadis
berbaju putih sendirian dalam kereta.
Sejenak mereka berpandangan, saat pandang mata mereka bertemu, jantung Ding Tao berdebaran. Sadar bahwa mereka
sudah sampai di tempat tujuan, cepat-cepat Ding Tao turun dari kereta.
Sambil menunggu gadis berbaju putih turun dari kereta, Ding Tao berjalan lambat sambil melihat ke sekelilingnya. Sebagai bekas tukang kebun di kediaman Tuan besar Huang Jin, Ding Tao adalah seorang yang mencintai keindahan, perasaannya
yang halus dan peka terhadap segala sesuatu yang cantik. Dengan cepat perhatiannya ditarik oleh keindahan taman yang
ada di sekelilingnya. Tidak jemu-jemunya dia memandangi pohon dan bunga-bungaan, yang ditata apik dan rapi.
Ketika dilihatnya sesuatu yang kurang pas menurut perasaannya, tanpa sadar dia bergumam, "Ah, bunga itu seharusnya
dipindahkan, sedikit digeser mundur, sementara jalan setapak dibuat sedikit berkelok. Lalu bukit kecil yang di bagian sana, tentu lebih indah lagi kalau tanah di depannya sedikit direndahkan."
Tidak sadar bahwa gadis berbaju putih sudah ada di sampingnya dan sedang mendengarkan dengan seksama.
"Menurut Saudara Ding, itu akan membuat taman ini jadi lebih indah?", tegurnya bertanya.
Tersadar dari lamunannya Ding Tao menengok ke samping dan meminta maaf, "Ah, tidak juga, tidak juga, cuma sempat
lewat dalam benak saya. Tapi taman ini sungguh sangat indah, saya sendiri belum tentu mampu menata yang seperti ini."
Terdiam Ding Tao tidak tahu harus berkata apa, gadis berbaju putih mengitarkan pandangannya ke sekeliling taman.
Merenung. Ding Tao-lah yang akhirnya memecahkan kebisuan itu, "Nona, kukira sudah saatnya aku berpamitan. Budi baik nona akan
selalu kuingat, bila nona tidak keberatan, bolehkah aku tahu siapa nama nona?"
"Namaku?", gadis itu menoleh dan bertanya balik.
Matanya yang bulat jeli, seakan bertanya, apa ada maksud lain dibalik pertanyaanmu"
"Ya, nama nona, itu jika nona tidak berkeberatan. Rasanya aneh jika saya sampai tidak tahu nama penolong saya sendiri.", jawab Ding Tao cepat-cepat menjelaskan.
Gadis berbaju putih itu tersenyum dan jika saat diam dia sudah nampak cantik dan anggun, saat tersenyum, senyumnya
membawa rasa hangat di dadamu. Senyum yang seakan berkata, aku tahu dirimu dan apa yang kulihat dalam dirimu, aku
menyukainya. "Namaku Murong Yun Hua dan Saudara Ding kuharap kau mau menginap di kediaman kami beberapa hari lamanya. Sudah
lama tidak ada tamu yang berkunjung. Melihat orang yang sama setiap hari, meski kau sangat menyukai orang itu, lama-
lama timbul juga rasa sebal dalam hati. Sesekali bertemu orang yang berbeda, seperti membuka jendela di pagi hari dan
merasakan angin yang sejuk menerpa wajahmu."
"Tapi, apakah tidak merepotkan?", jawab Ding Tao dengan sedikit segan.
Ding Tao punya banyak alasan untuk merasa segan, pertama dia bukan sedang dalam perjalanan tamasya, ada tugas yang
dia sandang di pundaknya. Lalu hawa murni Tinju 7 Luka yang masih mengeram dalam tubuhnya, sehari hawa murni itu
masih mengeram di sana, sehari pula dia tidur dengan rasa was-was. Pertarungannya dengan Sepasang Iblis Muka Giok,
membuktikan bahwa kekhawatirannya punya alasan yang kuat.
Dan satu alasan lagi, Murong Yun Hua terlalu cantik, jika dia berlama-lama dekat gadis itu, Ding Tao khawatir hatinya akan berubah. Jika itu terjadi, lalu bagaimana dengan Huang Ying Ying yang menanti dirinya dengan setia"
"Apakah kau keberatan" Apakah tingkah nakal adikku sudah mengesalkanmu?", tanya Murong Yun Hua dengan wajah sedih.
"Jangan salah paham Nona Murong, bukan begitu, adik nona memang nakal, tapi aku tahu hatinya baik. Tidak nanti aku
memendam rasa kesal padanya.", jawab Ding Tao dengan rasa bersalah.
Sambil memalingkan wajah gadis itu menyambung dengan sendu, "Ya, kutahu, tentu bukan karena adikku sifatku memang
buruk, sering adikku bilang, aku terlalu pendiam dan membosankan. Saudara Ding, maafkan aku sudah berusaha
menahanmu di sini, padahal kau tentu ada keperluan yang lebih penting di tempat lain."
Caranya mengatakan keperluan yang lebih penting seakan mengatakan, tentu ada orang lain yang sudah menarik hatimu di
tempat lain. Apalah artinya diriku ini" Lalu bukankah tidak salah juga kalau dikatakan demikian, bukankah ada Huang Ying Ying di Wuling" Murong Yun Hua sudah tidak menahan dirinya untuk menginap, lalu mengapa Ding Tao tidak juga pergi"
Jika Ding Tao laki-laki yang tidak berperasaan, sudah tentu dia akan pergi. Jika Ding Tao laki-laki yang tidak mengenal arti kesetiaan, sudah tentu sejak tadi undangan untuk menginap diterimanya.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 1 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Kisah Si Rase Terbang 13
diracun orang" Seharusnya ku pun lebih berhati-hati dalam soal makan dan minum. Kejadian yang menimpa Pendekar Jin
Yong dan pengalamanku kemarin malam, harus jadi pelajaran yang berharga."
Demikian pemuda itu berpikir dan berpikir.
Semakin lama dia berpikir, semakin kuat keyakinannya bahwa untuk sementara ini lebih baik dia tidak berusaha untuk
mendapatkan kembali Pedang Angin Berbisik.
"Biarlah tersimpan di sini, jika kami berusaha untuk mendapatkan kembali pedang itu tapi gagal. Tetua Tiong bisa saja
menghilang bersama dengan pedang itu dan makin sulit lagi bagi kami untuk mendapatkannya kembali. Biarlah Tetua Tiong
menyimpannya untuk sekarang ini, dalam keadaanku yang sekarang, kesempatan Tetua Tiong untuk berhasil menghadapi
Ren Zuocan dengan menggunakan pedang itu lebih besar daripada kesempatanku."
Jika bukan Ding Tao, siapa lagi yang bisa berpikir seperti itu"
Betapa banyak jago dunia persilatan yang rela mati untuk mendapatkan pedang itu, tapi Ding Tao bisa melepaskannya
tanpa sesal. Bukan berarti dia sudah melupakan pesan gurunya, tapi dia memahami semangat yang terkandung dalam
pesan gurunya itu. Bukan masalah kepemilikan pedang yang penting, melainkan usahanya untuk meredam ambisi Ren
Zuocan yang membahayakan negara.
Setelah mencapai satu keputusan, Ding Tao pun menjadi lebih tenang. Memejamkan mata, pemuda itu membiarkan rasa
lelah dan kantuk menguasai dirinya, memberikan waktu bagi tubuhnya untuk menyembuhkan diri.
Ketika semua orang sudah terlelap tidur, justru ke empat pimpinan dalam keluarga Huang sedang melakukan pertemuan
rahasia. "Tabib keparat !! Bagaimana bisa dia berani-beraninya menghubungi Adik Ying, jika bukan gara-gara dia, masalah tentu
tidak jadi serumit ini.", geram Huang Ren Fang.
Tiong Fa yang sedari tadi menundukkan kepala, menghela nafas, "Sudahlah, kali ini aku yang salah. Segala sesuatunya
berjalan tidak sesuai rencana. Dimulai dari kegigihan Ding Tao mempertahankan pedang itu dan kemudian berlanjut dengan
kekalahan demi kekalahan, pada puncaknya kekalahanku dalam pertandingan."
Menggeleng perlahan, Tiong Fa berdiri lalu berjalan hilir mudik di dalam ruangan itu, "Kegagalan yang berturut-turut itu, ditambah lagi oleh ketidak mampuanku dalam menerima kenyataan akan bakat Ding Tao yang melebihi dugaanku,
membuatku berbuat terlalu sembrono."
"Apa maksudmu?", tanya Tuan besar Huang Jin dengan dingin.
Tiong Fa menoleh ke arahnya dan maklum, pernyataannya tadi bisa juga dianggap sebagai satu sindiran, karena pada
akhirnya Tuan besar Huang Jin-lah yang membuat rencana untuk mengambil pedang Ding Tao malam itu juga. Malam yang
di mana kehidupan Zhang Zhiyi diakhiri.
"Tidak perlu gusar begitu Adik Jin, kalau kita mau berpikir lebih jernih, bukankah memang terlalu terburu-buru apa yang kita lakukan malam itu" Pertama Ding Tao masih beberapa hari tinggal di rumah kita, ada banyak waktu untuk membuat
rencana yang lebih matang. Tapi yang lebih penting lagi adalah, pun seandainya semuanya berjalan sesuai rencana,
bagaimana kita akan menjelaskan munculnya Pedang Angin Berbisik di tangan keluarga Huang?"
"Hampir semua orang penting dalam keluarga kita sudah mengetahui bahwa Ding Tao memilikinya, jika tiba-tiba pedang itu
jatuh ke tangan kita, bukankah dengan mudah bisa ditebak bahwa kita telah merampas pedang itu secara paksa" Pada
akhirnya masalah yang mirip meskipun tidak sama persis dengan masalah yang kita hadapi sekarang akan muncul. Yaitu
retakan-retakan dalam keluarga kita sendiri, yang akan melemahkan kedudukan kita."
"Kita semua berbuat kesalahan, terlalu terburu nafsu melihat pedang ada di depan mata. Tapi aku akui kesalahan terbesar ada padaku. Sejak kegagalanku untuk mendapatkan pedang itu dengan cara damai sampai dengan kegagalanku untuk
membungkam Ding Tao untuk selamanya. Kegagalanku yang berulang-ulang ini yang menempatkan kita pada posisi yang
sekarang ini." Huang Yunshu menatap sosok Tiong Fa dengan matanya yang tajam, meskipun keriput sudah menggariskan guratan waktu
di wajahnya yang tua, "Kau berbicara dengan cukup lancar, menganalisa kesalahan-kesalahan kita. Aku yakin, saat ini juga kau sudah memiliki jalan keluarnya."
"Benarkah itu Kakak Tiong?", tanya Tuan besar Huang Jin dengan raut wajah yang dingin.
Meskipun dia bisa menerima penjelasan Tiong Fa, hatinya masih panas mengingat kekacauan yang terjadi dan saat ini
kekesalannya itu tertumpah pada Tiong Fa. Tiong Fa bukan Tiong Fa namanya jika gugup atau marah melihat pandang ,ata
Huang Jin yang dingin. Di hadapan orang lain, wajahnya selalu terlihat tenang, tidak ada yang bisa tahu gejolak perasaan dalam hatinya.
"Sebenarnyalah demikian, sejak aku terpaksa membunuh Zhang Zhiyi, aku sudah sadar, terlalu banyak lubang dalam
pekerjaanku malam itu. Kecuali jika ada dewa-dewa yang menolongku, hampir sudah bisa dipastikan cepat atau lambat
akan ada orang-orang yang menyadari keterlibatanku, setidaknya mencurigai keterlibatanku. Jadi aku pun mulai membuat
rencana untuk membebaskan kita dari permasalahan itu."
"Jadi apa rencanamu itu?"
Dengan senyum tipis Tiong Fa menjawab, "Kita berikan saja apa yang mereka inginkan. Pada waktunya, kau berhasil
mengungkapkan bukti-bukti pengkhianatanku. Sayang aku terlalu cepat mencium hal itu dan berhasil melarikan diri."
Berkilat mata Huang Jin, "Dan apa yang akan kau lakukan setelah berhasil melarikan diri?"
"Hmm" beberapa orang dari keluarga Huang ternyata sudah lama beralih kesetiaannya padaku, dengan sendirinya mereka
itu pun ikut menghilang bersamaan dengan menghilangnya diriku. Tidak jelas apa yang terjadi, tapi jika ada kejahatan di luar yang dilakukan Tiong Fa, hal itu tidak ada hubungannya dengan keluarga Huang.", selesai mengucapkan hal itu Tiong
Fa kembali duduk di kursinya, dan dengan tenang menatap ke arah Huang Jin, menunggu keputusannya.
"Hmm" dengan jalan itu, maka nama keluarga Huang pun bisa dibersihkan dari keterlibatanmu dalam masalah Ding Tao
dan pedangnya. Meski sepertinya kekuatan keluarga Huang terpecah, tapi sebenarnya tidak, karena kau dan pengikutmu
tetap bekerja bagi keluarga. Justru pengaturan ini membuat kedudukan keluarga Huang semakin aman. Kami yang berdiri
dalam terang dan kau yang bekerja dalam gelap. Tapi apa keuntungannya bagimu" Pengaturan ini memang sangat
menguntungkan keluarga Huang, tapi bagaimana dengan dirimu?"
Tiong Fa menegakkan badannya dan menampilkan wajah sedih untuk beberapa saat lamanya, "Aku akan meninggalkan
keluargaku, mereka tidak ada sangkut pautnya dengan pengkhianatanku, dengan sendirinya keluarga Huang akan berdiri
untuk melindungi mereka. Kemurahan hati Tuan besar Huang Jin tiada bandingan, putera Tiong Fa si pengkhianat bahkan
diangkat anak." Melihat Tuan besar Huang Jin tidak mengatakan apa-apa, Tiong Fa melanjutkan uraiannya, "Dengan demikian, pekerjaanku
dalam gelap yang mendukung gerakan keluarga Huang untuk tampil ke depan dalam dunia persilatan, sama juga artinya
aku sedang bekerja demi anak keturunanku sendiri."
Kemudian dengan seringai di wajahnya dia menambahkan, "Lagipula, menikmati uang dan kekuasaan, entah itu dalam
kegelapan atau di bawah terangnya matahari, sama sekali tidak ada bedanya bagiku. Semua tetap sama, semakin keluarga
Huang berkuasa semakin besar pula kuasaku."
Dengan dingin Tuan besar Huang Jin menambahkan, "Pengaturan ini pun, justru semakin memperbesar kebebasanmu untuk
menggunakan kekuatan yang ada di tanganmu, demi tujuanmu sendiri."
Tiong Fa tidak merasa perlu untuk menutupi apapun dari saudara iparnya ini, kepercayaan mereka sejak lama dibangun
atas dasar saling membutuhkan, "Ya, tapi kaupun tahu, aku cukup bijak untuk mengetahui, bahwa lebih baik aku
bersungguh-sungguh bekerja demi keluarga Huang daripada mengkhianatinya. Kerajaan yang terpecah hanya akan menjadi
lemah dan menjadi mangsa empuk bagi lawan-lawannya."
"Hmm", lalu bagaimana dengan Pedang Angin Berbisik?", tanya Tuan besar Huang Jin.
Tiong Fa yang sudah memikirkan hal itu menjawab dengan ringan, "Sebaiknya untuk sementara pedang itu aku yang
membawa." Tuan besar Huang Jin tidak mengatakan apa-apa, hanya alis matanya saja yang terangkat, meminta penjelasan lebih lanjut.
Perasaannya sudah jauh lebih tenang, rencana Tiong Fa tampaknya akan membereskan semua kekacauan yang terlanjur
terjadi. "Hanya sampai aku berhasil membunuh Ding Tao, setelah itu, kita bisa mengatur siasat agar terjadi bentrokan antara
keluarga Huang dengan sekelompok pengkhianat. Hasil dari pertempuran itu, meskipun tokoh utamanya, yaitu aku, berhasil
lolos. Tapi Pedang Angin Berbisik jatuh ke tangan keluarga Huang.", jawab Tiong Fa, menjelaskan rencananya mengenai
Pedang Angin Berbisik. "Kurasa tidak perlu sejauh itu, Pedang Angin Berbisik, sebaiknya disimpan di sini, daripada Paman Tiong membawa-
bawanya keluar. Tentu saja kita tidak akan mempergunakannya, sampai Ding Tao mati dan rencana penyerangan ke sarang
Paman Tiong Fa terjadi.", ujar Huang Ren Fang.
Tajam mata Tiong Fa melirik ke keponakannya, kemudian dengan tersenyum dingin dia menjawab, "Tentu saja, tidak
masalah, meskipun membuat pekerjaan kita sedikit lebih banyak, karena jika pedang itu memang ada di tanganku, tentu
lebih mudah untuk menunjukkan hal itu, bahwa memang akulah yang malam itu menyatroni kamar Ding Tao."
"Ya paman benar, tapi kurasa paman cukup cerdik untuk mengerjakan itu semua tanpa benar-benar memiliki pedang itu di
tangan. Bahkan untuk sementara kita bisa menyebar desas-desus di luaran bahwa Ding Tao masih memiliki pedang itu dan
mempercepat matinya pemuda itu. Kalaupun dia lolos dari pelacakan kita, akan banyak orang di luar sana yang
mengendus-endus keberadaannya."
Kesal hati Tiong Fa, tapi dia tidak mau memperpanjang masalah itu, "Hmm, sudah kukatakan tadi, tidak ada masalah. Kalau menurutmu itu lebih baik, tapi tentu saja keputusan tetap ada di tangan ayahmu."
Huang Jin tersenyum dingin, "Kalau Kakak Tiong, tidak ada masalah, akupun tidak ada masalah. Jadi biar saja pedang itu
disimpan di sini." Tuan besar Huang Jin mengangguk-angguk puas, semua masalah sudah berhasil dipecahkan. Tidak ada kerugian berarti,
hanya seorang Zhang Zhiyi.
---------------------------- o --------------------------
Pagi hari datang memberikan kesegaran, untuk sesaat lamanya benak mereka yang baru saja terbangun setelah semalam
tertidur lelap, menikmati kesegaran yang dirasakan. Sebelum masalah-masalah yang kemarin dan kekuatiran tentang masa
depan, menyergap dan menarik kembali mereka pada kenyataan hidup yang seringkali tidak menyenangkan.
Bahagianya orang yang setelah bangun lalu sadar akan apa yang telah terjadi dan membayangkan apa yang di depan nanti,
justru tersenyum dan tertawa, lalu bangkit dengan sepenuh semangat menyambut hari yang baru.
Ding Tao dan Huang Ying Ying, Tiong Fa dan Tuan besar Huang Jin, hari itu mereka bangun pagi dengan semangat yang
menyala. Tersenyum mengenang hal-hal yang terjadi semalam dan dengan perasaan yang segar, menanti-nanti hal baik
yang akan terjadi hari ini.
Jika Ding Tao dan Huang Ying Ying ikut mendengar pembicaraan Tiong Fan dan Tuan besar Huang Jin semalam, tentu
berbeda lagi perasaan mereka. Demikian juga sebaliknya, jika saja Tuan besar Huang Jin ikut menyaksikan kejadian
semalam di kamar Huang Ying Ying, mungkin dia tidak akan tersenyum selebar sekarang.
Apakah ada yang menangisi matinya Zhang Zhiyi" Sayangnya pemuda itu belum berkeluarga, meskipun kematiannya masih
jadi bahan pembicaraan di hari yang ketiga ini, tapi tidak ada yang menangisi kepergiannya.
Saat Huang Ying Ying membuka pintu lemari, Ding Tao masih tertidur lelap. Perlahan gadis itu mengambil pakaian yang
hendak dipakainya. Lalu berlutut di depan pemuda itu dan untuk beberapa lama dia hanya diam mengamati wajah
kekasihnya. Dengan wajah bersemu merah, gadis itu melompat berdiri dan pergi untuk mandi.
Ding Tao terbangun oleh suara gemericik dari arah kamar mandi, sejenak dia tercenung dan mengingat-ingat di mana dia
berada sekarang. Ketika ingatannya sudah terkumpul, pemuda itu pun bangkit dan duduk bersila. Hatinya terasa ringan,
masalah pedang sudah tidak lagi membebani dirinya. Perasaan yang lama terpendam sudah diungkapkan dan mendapat
sambutan baik. Hari ini adalah hari terbaik buat dia. Dengan mudah pemuda itu menyatukan pikirannya dan mulai melatih himpunan hawa
murninya. Hawa liar dari Tinju 7 luka, masih bersembunyi dalam tubuhnya, tapi pemuda itu sudah mulai mengenali sifat-
sifat dari hawa murni asing dalam tubuhnya itu.
Meskipun dia belum bisa mengendalikan atau membebaskan diri darinya, tapi setidaknya dia bisa membuat hawa asing itu
tertidur dan tidak mengganggu saat Ding Tao sedikit demi sedikit berusaha menggunakan hawa murni miliknya untuk
membantu tubuhnya menyembuhkan diri dari luka.
Suara gemericik air sudah lama berhenti, langkah kaki terdengar mendekat ke arah lemari, kemudian terdengar suara
Huang Ying Ying berbisik, "Kakak Ding, aku mau pergi keluar untuk makan pagi bersama, kakak tunggu sebentar ya, nanti
aku bawakan sarapan untuk kakak."
Istirahat yang cukup dan hawa murni yang mulai terhimpun lagi, membuat tubuh Ding Tao terasa jauh lebih segar daripada
kemarin. Selama Huang Ying Ying berada di luar, Ding Tao menyibukkan dirinya dengan latihan tenaga dalam, menghimpun
hawa murni dan perlahan mencoba menyalurkannya ke bagian-bagian tubuh yang diinginkan.
Masih banyak jalur yang belum berhasil ditembus dan dengan adanya hawa murni asing dalam tubuhnya, Ding Tao tidak
bisa seleluasa sebelumnya dalam menggunakan hawa murni. Setiap kali dirasanya hawa murni yang asing itu ikut
bergejolak, maka ditahannya penggunaan hawa murni dalam tubuh. Menunggu hawa pukulan Tinju 7 Luka, kembali
tertidur. Cemas juga hati Ding Tao mengamati pergolakan yang terjadi dalam tubuhnya. Hawa pukulan Tinju 7 Luka, membuat dia
tidak bisa dengan leluasa mempergunakan himpunan hawa murni yang dia miliki.
Terbayang dalam benaknya, apa yang terjadi dalam sebuah pertarungan bila penggunaan hawa murni harus dibatasi.
Menghadapi lawan yang belum sampai pada taraf menggunakan hawa murni dalam bertarung, tidak akan menjadi masalah,
tapi lawan-lawan yang ada di hadapannya sekarang bukanlah anak-anak kemarin sore.
Dalam hati diulanginya keterangan Tabib Shao yang disampaikan oleh Huang Ying Ying.
Biksu Khongzhe dan Pendeta Chong Xan, dua orang sakti yang mungkin bisa menyembuhkan lukanya.
Ada juga Perguruan Kongtong, tapi jika orang yang menyerangnya masih ada hubungan dengan Perguruan Kongtong, pergi
ke sana, akan jadi perjalanan bunuh diri.
Kesempatan paling baik adalah pergi ke Shaolin atau ke Wudang. Menyadari situasinya yang sekarang kurang
menguntungkan bagi Huang Ying Ying, pemuda itu memutuskan, semakin cepat dia pergi, semakin baik. Sewaktu Huang
Ying Ying kembali ke kamarnya, Ding Tao sudah mengambil keputusan, untuk pergi malam itu juga.
Huang Ying Ying kembali ke kamarnya, diikuti oleh kakaknya Huang Ren Fu. Huang Ren Fu semalaman susah tidur,
membayangkan keadaan adik perempuannya yang "memasukkan" laki-laki ke dalam kamar. Ketika mereka bertemu pagi
itu, ingin rasanya dia menginterogasi Huang Ying Ying, tapi rasa sayangnya mencegah dia untuk bertanya. Dia hanya bisa
berharap dalam hati, kedua pasangan itu mampu menahan diri.
Tapi ketika Huang Ying Ying hendak kembali ke kamar, tanpa banyak omong, cepat-cepat pemuda itu menjajarinya. Huang
Ying Ying tentu saja bisa mengerti, dia tidak sekeras malam sebelumnya. Kejadian semalam menyadarkan dia, bahwa
godaan itu sedemikian besar, malah ada rasa bersyukur bahwa Huang Ren Fu mengikutinya. Sambil berjalan mengikuti
Huang Ying Ying, Huang Ren Fu masih menyempatkan diri untuk mencomot 3 buah bakpau daging. Dia lihat Huang Ying
Ying hanya sempat membawa sepotong kue dan beberapa macam buah-buahan.
Buat anggota keluarga yang lain, kedekatan dua bersaudara itu tidaklah terlalu mengundang pertanyaan. Mereka berdua
memang dikenal saling menyayangi.
Sesampainya di kamar, mereka terlebih dahulu memastikan bahwa tidak banyak orang lalu lalang di luar. Huang Ren Fu
memilih duduk di dekat jendela yang sengaja dia buka, sehingga dia dapat dengan mudah mengamati keadaan di luar.
Setelah dia yakin keadaan cukup aman, Huang Ren Fu mengangguk perlahan pada Huang Ying Ying.
Hati kedua bersaudara itu tidaklah tenang, di siang hari begini, tentu akan ada saja orang yang lewat.
"Kakak Ding, kami membawa sedikit makanan untukmu", bisik Huang Ying Ying sambil membuka pintu lemari, tidak lebar-
lebar, hanya setengah terbuka.
Ding Tao yang sudah menyelesaikan latihannya, menyambut Huang Ying Ying dengan senyuman. Ketika dilihatnya Huang
Ren Fu duduk di pinggir jendela, pemuda itu pun mengangguk dengan sopan.
"Terima kasih Adik Ying, terima kasih Saudara Fu."
"Ini, makanlah saja dulu, tidak banyak yang bisa kubawa, tapi Kakak Ren Fu juga sempat mengambil 3 potong bakpau
buatmu.", dengan lembut Huang Ying Ying meremas tangan pemuda itu, lalu pergi ikut berduduk dengan Huang Ren Fu di
pinggir jendela. Huang Ren Fu sudah mengambil papan catur dan sedang mengaturnya di atas meja kecil yang ada. Dua bersaudara itu
dengan cepat mulai memainkan permainan catur sambil mengobrol, seakan-akan tidak terjadi sesuatu yang berbeda dari
hari biasanya. Dengan penuh syukur Ding Tao menikmati makanan yang mereka bawakan. Pemuda itu mengunyah makanannya perlahan-
lahan, sesekali dia mencuri pandang pada dua bersaudara yang sedang bermain catur. Terkadang dia sempat bertemu
pandang dengan Huang Ying Ying yang sedang melihat ke arah dirinya.
Sorot pandang keduanya, tentu saja tidak lepas dari pengamatan Huang Ren Fu. Dalam hati pemuda itu mengeluh, apakah
sepasang kekasih ini bisa bertahan melawan godaan, jika berhari-hari setiap malam mereka tinggal berdua dalam satu
kamar" Jangankan berhari-hari, baru satu malam saja, hubungan mereka sudah terlihat jauh melangkah. Mungkin mereka sendiri
tidak merasa, tapi Huang Ren Fu bisa melihat dengan jelas, perbedaan mereka berdua, hari ini dan hari-hari sebelumnya.
Sebagai seorang kakak, meskipun dia ikut berbahagia untuk adiknya, tidak urung terselip juga rasa khawatir dan dorongan untuk melindungi adiknya dari tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. Otaknya pun berputar keras, mencari cara untuk
mengeluarkan Ding Tao dari kamar Huang Ying Ying adiknya.
Tidak sabar rasanya pemuda ini menanti Ding Tao selesai bersantap, sebuah rencana sudah mulai terbentuk dalam
benaknya. Ingin dia segera mengajukan rencana itu pada Ding Tao, tapi Ding Tao justru makan dengan begitu lambatnya.
Dua kali permainan sudah Huang Ren Fu memenangkan permainan catur itu dan satu kali Huang Ying Ying
memenangkannya, sebelum Ding Tao selesai menyantap habis seluruh makanan yang dibawa.
Tiga kali sudah, ada pelayan yang datang dan pintu lemari pakaian harus terburu-buru ditutup sementara makanan
dipindahkan dulu ke meja. Sudah tentu perasaan ketiga orang itu sangat tegang dan tidak nyaman dan berharap malam
segera tiba kembali. Terkecuali Huang Ren Fu yang tidak tahu, haruskah dia merasa senang bila malam tiba. Rahasia
keberadaan Ding Tao di kamar Huang Ying Ying akan lebih aman, tapi justru "keamanan" adiknya yang akan membuat dia
susah tidur. Karena itu ketika dia melihat Ding Tao selesai bersantap, segera saja Huang Ren Fu mengajak pemuda itu berbicara, "Ding Tao, bagaimana keadaanmu hari ini?"
"Sudah lumayan baik Saudara Fu, kukira hari ini juga aku sudah bisa meninggalkan rumah kalian."
"Meninggalkan rumah kami?", Huang Ren Fu menegas, meskipun dia tidak ingin Ding Tao berlama-lama di kamar Huang
Ying Ying, tapi perkataan Ding Tao itu jauh di luar dugaannya.
Apalagi bagi Huang Ying Ying, bukan main kagetnya, dengan suara tercekat dia bertanya, "Kakak Ding, apa kakak sedang
bercanda" Kondisi kakak belum pulih benar, mengapa hendak cepat-cepat pergi" Apakah Kakak Ding merasa sakit hati pada
keluarga kami?" "Adik Ying benar Saudara Ding, apakah kondisimu sudah benar-benar pulih, jika belum sebaiknya kau bersabar dulu.",
tambah Huang Ren Fu yang merasa lega sekaligus khawatir.
Lega bagi adiknya tapi khawatir bagi Ding Tao, seperti sebagian besar dari anak muda yang menyaksikan pertandingan
antara Ding Tao dan keluarga Huang, pertandingan itu telah menimbulkan kekaguman dan rasa simpati dalam hatinya.
"Adik Ying, jangan berpikir yang tidak-tidak. Tidak sedikitpun aku menyimpan rasa sakit hati pada keluarga kalian.", ujar Ding Tao berusaha menenangkan hati Huang Ying Ying.
"Saudara Fu, Kondisiku sudah jauh lebih baik dan kurasa istirahat lebih banyak tidak akan membuatnya jadi lebih baik lagi.
Apalagi situasi sekarang tidak begitu nyaman untuk kita semua, karena itu setelah memikirkannya, aku memutuskan untuk
berusaha keluar dari rumah kalian malam ini juga."
Memerah wajah Huang Ying Ying mendengar penjelasan Ding Tao, tentu saja dia mengerti apa yang dimaksudkan dengan
situasi yang kurang nyaman, tapi hatinya masih berat untuk melepaskan pemuda itu.
Sambil menggigit bibir dia bertanya dengan lemah, "Tapi, bagaimana dengan urusan pedangmu" Apakah kau tidak
menginginkannya kembali?"
Ding Tao menggeleng, "Tidak, hal itu sudah kupikirkan pula baik-baik tadi malam. Dalam keadaanku sekarang ini, dengan
cara apa hendak merebut kembali pedang itu" Kalaupun kemudian aku berhasil mencuri kembali Pedang Angin Berbisik
dengan bantuan kalian, besar kemungkinan aku tidak akan berhasil mempertahankan pedang itu di luaran. Bukan tidak
mungkin pedang itu justru akan jatuh ke tangan antek-anteknya Ren Zuocan. Lebih baik pedang itu ada dalam tangan
Tetua Tiong daripada jatuh ke tangan mereka."
Sambil menggelengkan kepalanya sekali lagi dia menegaskan, "Tidak, sudah kupikirkan baik-baik dan menurutku untuk
sementara ini aku tidak akan melibatkan diri dengan masalah pedang itu."
"Saudara Ding, baik sekali pemikiranmu, tapi jika demikian apa yang akan kau lakukan dengan pesan Pelatih Gu
untukmu?", tanya Huang Ren Fu.
"Pesan guru yang utama, adalah menggunakan bekal yang akan kumiliki untuk membantu dunia persilatan kita
membendung ambisi Ren Zuocan dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhinya, dengan atau tanpa Pedang
Angin Berbisik. Menimbang keadaanku saat ini, maka yang terpenting adalah menyembuhkan luka dalam tubuhku terlebih
dahulu. Mungkin aku akan mencoba pergi ke Shaolin dan memohon kebaikan hati Biksu Khongzhe.", jawab Ding Tao dengan
suara yang wajar, tanpa menyembunyikan apa pun.
Huang Ren Fu semakin kagum pada pemuda itu, pada ketenangannya dan juga pada kebesaran hatinya.
"Saudara Ding, sungguh aku merasa kagum padamu. Jika kau mengijinkan aku memanggilmu sebagai sahabat, aku akan
sangat merasa berbahagia.", ujar Huang Ren Fu dengan tulus.
Wajah Ding Tao pun memerah karena malu, "Saudara Fu terlampau tinggi memuji, tentu saja aku akan dengan senang hati
menjadi sahabatmu." Tertawa bergelak Huang Ren Fu bergerak melompat, dalam satu lompatan yang ringan dia sudah sampai di depan Ding Tao,
tangannya terulur menawarkan persahabatan. Ding Tao pun dengan senang menerima uluran tangan itu. Jabatan tangan
yang hangat mewakili perasaan dalam hati.
"Sahabat.", ujar Huang Ren Fu pendek.
"Sahabat.", jawab Ding Tao tidak kalah pendeknya.
Tapi yang singkat itu membawa seribu arti, jauh lebih dalam daripada sebuah upacara mengikat sumpah setia sebagai
saudara. Huang Ying Ying tentu saja merasa ikut senang dengan hal itu. Yang satu adalah pemuda yang dia kasihi, yang
seorang lagi adalah kakak yang dia sayangi. Melihat mereka bersahabat demikian akrab, hatinya jadi terhibur.
Dengan manja dia pun mengeluh,"Huuh" dasar anak laki-laki, ketemu teman, lupa dengan saudara sendiri."
Ding Tao dan Huang Ren Fu tertawa mendengar keluhan Huang Ying Ying.
Tiba-tiba gadis itu berbisik, "Ssstt.. ada yang mau lewat."
Dengan cepat Huang Ren Fu kembali ke tempat duduknya, berpura-pura sedang berpikir untuk mengalahkan adiknya dalam
permainan catur. Ding Tao dengan cepat menutup kembali pintu lemari. Menunggu sampai keadaan aman, barulah mereka
kembali bercakap-cakap.
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saudara Ding, apakah sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu untuk meninggalkan rumah kami malam nanti"
Seperti kata Adik Ying, kiranya keputusan itu janganlah karena terdorong oleh rasa sakit hati, jangan pula kau terlalu
mengkhawatirkan situasimu saat ini yang terpaksa bersembunyi di dalam kamar Adik Ying. Karena kupikir, aku sudah
menemukan jalan untuk memindahkanmu dari kamar ini ke kamarku.", ujar Huang Ren Fu.
Mendengar itu Ding Tao jadi berpikir pula sejenak, memang alasan utama dari keputusannya untuk keluar malam itu juga,
adalah untuk mejaga kehormatan gadis yang dikasihinya. Dengan hati berdebar, Huang Ying Ying menunggu jawaban dari
Ding Tao. Sesaat kemudian Ding Tao menegakkan kepala dan menjawab, "Ya, sudah kupikirkan matang-matang, rasanya ini
keputusan yang terbaik, jika orang-orang sudah selesai memeriksa segenap penjuru kota, tentu mereka akan berpikir ulang dan sadar bahwa kemungkinan terbesar justru aku masih bersembunyi di sini. Pada saat itu, untuk meloloskan diri akan jadi semakin sulit."
"Hemm" benar juga pemikiranmu, semakin lama berada di sini keadaanmu justru semakin berbahaya.", gumam Huang Ren
Fu. Huang Ying Ying mendesah sedih, sadar bahwa alasan Ding Tao cukup kuat, gadis ini tidak dapat lagi menahan Ding Tao
lebih lama. Perpisahan dengan Ding Tao akan menyedihkan hatinya, tapi dia tidak ingin Ding Tao terancam bahaya hanya
untuk menyenangkan dirinya.
"Kakak Ding, jika demikian, aku akan menyiapkan bekal bagimu.", sambil berbangkit berdiri dan menyembunyikan mata
yang mulai membasah, Huang Ying Ying cepat-cepat meninggalkan kamar.
Pandang mata Huang Ren Fu dan Ding Tao mengikuti kepergian gadis itu. Huang Ren Fu mendesah, dia sadar akan
perasaan Huang Ying Ying pada Ding Tao. Diapun berdiri hendak meninggalkan kamar itu, "Saudara Ding aku pun akan
berusaha menyiapkan kepergianmu, akan coba kuatur penjagaan di sekitar rumah ini, supaya ada celah bagimu untuk
keluar." "Terima kasih, dan jika Saudara Fu punya cara untuk memindahkan aku secara diam-diam ke kamarmu, kupikir lebih baik
jika aku berusaha meloloskan diri dari sana."
Sambil mengangguk, tanpa menoleh ke arah lemari yang sudah tertutup lagi, Huang Ren Fu mengiyakan, "Tentu,
selekasnya aku akan kembali lagi untuk memberimu kabar, tentang hal itu, sebaiknya dilakukan lewat malam pula."
Kamar itu pun kembali lenggang, dalam lemari tinggal Ding Tao sendiri yang dengan hati berdebar, menunggu malam tiba.
Keputusan sudah dibuat dengan tekad yang bulat, tapi tak urung hatinya berdebar, apakah dia akan berhasil lolos ataukah mati di ujung pedang. Jika dia harus mati malam ini, betapa dia akan penasaran, tugas dari gurunya belum juga berhasil dia selesaikan. Dalam hidup juga dia merasa belum melakukan sesuatu yang berarti, jika harus mati betapa sia-sia dia
dilahirkan. Beberapa kali Huang Ying Ying kembali ke kamarnya, tapi tidak berlama-lama di sana, hanya sekedar meninggalkan
makanan dan beberapa pesan dari Huang Ren Fu untuk Ding Tao.
Ding Tao menggunakan waktu yang ada, untuk menenggelamkan dirinya dalam latihan tenaga dalam. Tidak ada lagi yang
bisa dia lakukan sekarang, kecuali menunggu, dan Ding Tao bukanlah orang yang suka membuang waktu dengan percuma.
Baru setelah matahari tenggelam dan rumah kediaman keluarga Huang hanya diterangi cahaya dari lampu-lampu yang
dipasang, Huang Ying Ying kembali ke dalam kamarnya. Lama sebelum dia memberanikan diri untuk mengajak bicara Ding
Tao. "Kakak Ding, apakah kakak sudah bersiap?"
Perlahan pintu lemari membuka, Ding Tao sudah bersiap sejak tadi. Hatinya yang sudah dikuat-kuatkan sekarang terasa
berat, saat Huang Ying Ying ada di hadapannya. Lidahnya terasa kelu, tidak tahu hendak berkata apa. Wajah gadis itu
terlihat begitu sedih, hingga Ding Tao rasanya ingin menangis saja.
Melihat Ding Tao, Huang Ying Ying mencoba tersenyum meskipun pahit dalam hati, "Kakak Ding, berhati-hatilah."
Ding Tao hanya bisa mengangguk, tidak bisa berkata apa-apa. Sesuai dengan pesan Huang Ren Fu, Ding Tao akan
berpindah dari kamar Huang Ying Ying menuju ke kamar Huang Ren Fu melewati langit-langit rumah, kedua kamar itu
masih terhubung lewat langit-langit rumah yang sama. Dengan ringan Ding Tao melompat ke atas lemari pakaian Huang
Ying Ying, dan dari situ baru dia membuka salah satu papan yang ada.
Terlihat lubang gelap menganga, dengan mudah Ding Tao mengangkat tubuhnya menghilang ke dalam lubang itu.
Saat Huang Ying Ying melihat dia menghilang, tak kuasa menahan dia berseru tertahan, "Kakak Ding?"
Mendengar panggilan Huang Ying Ying, Ding Tao menjenguk kembali ke bawah. Hatinya semakin berat untuk meninggalkan
Huang Ying Ying sendiri. "Adik Ying", aku harus pergi.", ujarnya dengan sedih.
Huang Ying Ying mengangguk dengan mata yang basah, "Ya aku tahu", Kakak Ding, jangan lupa, aku akan selalu
menunggumu." Ding Tao mengangguk, tidak tahan menahan tangis, Huang Ying Ying mendorong pemuda itu untuk selekasnya pergi
dengan senyum yang dipaksakan, "Pergilah cepat. Kakak Fu sudah menunggumu."
Kali itu Ding Tao benar-benar pergi, sekali lagi dia menghilang ditelan lubang yang gelap, papanpun digeser kembali ke
tempatnya. Air mata yang tadi ditahan-tahan, akhirnya tercurah juga. Di atas sana, Ding Tao masih sempat mendengar
sayup-sayup isak tangis Huang Ying Ying, tapi pemuda itu mengeraskan hati dan terus berjalan.
Tidak sulit untuk menemukan kamar Huang Ren Fu, karena Huang Ren Fu sudah terlebih dahulu menggeser salah satu
papan penutup langit-langit kamarnya. Dari kegelapan tempat Ding Tao berada, lubang itu tampak begitu mencolok.
Sesampainya di lobang itu Ding Tao melongokkan kepalanya, Huang Ren Fu sudah menanti di sana.
"Saudara Ding, keadaan aman, cepatlah turun."
Tanpa banyak suara, Ding Tao melompat ke bawah dengan ringan. Tidak banyak kata diucapkan di antara mereka, bekal
berupa buntalan pakaian, sejumlah uang dan sebilah pedang sudah disiapkan.
"Saudara Ding, berita tentang dirimu dan Pedang Angin Berbisik sudah mulai menyebar dalam dunia persilatan, sebisa
mungkin sebaiknya dirimu berpergian dengan menyamar. Ini ada sedikit uang, bisa kau gunakan untuk menyewa tandu
atau keperluan yang lain. Besok pagi, aku dan beberapa orang akan pergi ke gerbang timur kota. Jangan sampai terlambat
di sana, jika ada orang-orang dari keluarga Huang atau orang-orang dunia persilatan yang berusaha menunggumu di sana,
kami yang akan mengalihkan perhatian mereka."
"Saudara Fu, terima kasih banyak.", ujar Ding Tao dengan suara tercekat karena haru.
Sambil menepuk pundak Ding Tao, Huang Ren Fu menjawab, "Tidak usah banyak kaupikirkan, hanya satu pintaku, jika
suatu hari nanti keluarga kami berbuat salah padamu. Moga-moga kau tidak lupa, di sini ada orang-orang yang sudah
dengan tulus berusaha membantumu."
"Tentu, hutang budi harus dibalas, lepas dari itu, kau adalah sahabatku. Seandainya ada kejadian aku bentrok dengan
keluarga kalian, mengingat persahabatan kita, sebisa mungkin aku akan mengalah.", jawab Ding Tao dengan tulus.
Tidak banyak lagi yang bisa dikatakan, sebentar kemudian Ding Tao sudah lenyap dalam gelapnya malam. Di pesannya
siang tadi Huang Ren Fu sudah menjelaskan jalan-jalan yang aman untuk dilalui sampai keluar dari kediaman keluarga
Huang. Tidak sulit untuk mengatur hal itu bersama dengan mereka, yang mengikat sumpah untuk mempertahankan
keluarga Huang dari kelicikan Tiong Fa.
Dalam gelapnya malam, Ding Tao berhasil keluar dari rumah kediaman keluarga Huang tanpa banyak mengalami gangguan.
Keesokan harinya, seperti yang sudah dijanjikan Huang Ren Fu bersama beberapa orang yang lain pergi ke gerbang timur
kota. Huang Ren Fu tidak bisa melihat Ding Tao ada di sana, tapi setelah beberapa lama menunggu, Huang Ren Fu
memutuskan untuk memulai kericuhan kecil. Sebuah perkelahian pura-pura, antara Huang Ren Fu dan kelompoknya,
melawan beberapa orang dari mereka yang menyamar.
Hingga akhir perkelahian sandiwara itu berakhir, Huang Ren Fu dan teman-temannya tidak melihat Ding Tao keluar dari
gerbang kota. Mereka hanya bisa berharap, kericuhan itu sudah cukup untuk menarik perhatian, dan memberi kesempatan
bagi Ding Tao untuk keluar dari kota dengan selamat, tanpa ada orang yang berhasil mengenalinya.
Sebenarnyalah demikian, Ding Tao mungkin seorang yang lugu, tapi dia bukan seorang yang bodoh.
Ding Tao menyamar dengan mengenakan sehelai jubah panjang dan buntalan baju diselipkan di baliknya, lalu berjalan
dengan setengah berjongkok. Sebuah topi anyaman, menutupi wajahnya. Bagi orang yang melihat, dia terlihat seperti
seorang gendut dan pendek, dengan jubah yang sedikit kepanjangan. Salah satu ciri yang paling menonjol dari Ding Tao
adalah tinggi badannya yang di atas rata-rata. Dengan sedikit penyamaran itu, Ding Tao berhasil mengelabui orang-orang
yang berusaha mencarinya.
Berjalan dengan cara demikian tentu sangat melelahkan, segera setelah melewati gerbang kota dan berada di tempat yang
jauh dari pandang mata orang, pemuda itu melepas lelah, duduk bersandar di sebuah pohon besar.
Menatap lama ke arah kota, Ding Tao mengenang segala kebaikan keluarga Huang padanya. Dalam hati dia berharap, suatu
saat dia bisa kembali ke sana dengan kepala tegak. Ya, suatu saat nanti, setelah tugas yang dipercayakan gurunya selesai dilaksanakan.
Selama beberapa hari perjalanan Ding Tao menuju Bukit Songshan berjalan tanpa banyak halangan. Setiap kali melewati
kota atau desa kecil, atau berjalan bersama-rombongan lain, Ding Tao tetap dengan penyamaran yang sama. Hanya saat
berjalan sendirian, dia berjalan seperti biasa.
Tapi salah jika Ding Tao mengira dirinya sudah aman dengan penyamaran yang sederhana itu. Penyamaran Ding Tao
mungkin bisa menipu mereka yang belum berpengalaman. Tapi mata awas mereka yang sudah kenyang makan asam
garamnya dunia persilatan, bisa mengendus penyamaran Ding Tao yang sederhana itu.
Ding Tao yang cermat dalam bekerja tidak mudah terbuai dengan keadaan yang tenang itu. Meskipun Ding Tao kurang
dalam pengalaman, tapi sifatnya yang cermat membuat pemuda itu tidak lalai dalam mengamati keadaan di
sekelilingnya, serta orang-orang yang dia temui sepanjang perjalanan. Setelah berjalan beberapa hari dan melewati dua tiga kota, Ding Tao mulai sadar bahwa dirinya sedang diikuti orang. Pemikiran itu mulai timbul ketika dia menyadari bahwa ada orang-orang yang sama, yang pernah dia temui beberapa hari sebelumnya, secara mengherankan muncul kembali di
kota dia berada. Padahal mereka sudah dia tinggalkan beberapa hari sebelumnya.
Sejak itu pengamatannya ditingkatkan, terutama terhadap orang-orang yang dia curigai itu. Dengan sengaja Ding Tao
mengambil jalan memutar, pemuda itu tidak mengambil jalan yang akan langsung mengantarnya menuju ke pusat Biara
Shaolin. Sedikit menyimpang, Ding Tao melewati terlebih dahulu beberapa kota kecil.
Otaknya yang cerdas, matanya yang awas dan sifatnya yang tekun, bekerja keras. Satu hari, Ding Tao dengan sengaja
berlama-lama, melepas lelah di sebuah penginapan. Dari hasil pengamatannya ada tiga kelompok berbeda yang sedang
mengikuti dirinya. Kelompok pertama, terdiri dari sekitar 11 orang, bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara bergantian.
Terkadang dua orang akan mengikuti Ding Tao dari dekat, sampai dia beristirahat di kota tertentu. Kemudian untuk
menyamarkan pengintaian mereka, kelompok yang berbeda akan ganti mengikuti Ding Tao. Menurut perkiraan Ding Tao,
tentu kelompok-kelompok kecil yang lain, mengikuti dari jarak yang lebih jauh, di mana Ding Tao tidak melihat mereka,
namun mereka masih bisa berhubungan lewat kode ataupun tanda yang ditinggalkan.
Dengan cara mengintai bergantian ini, Ding Tao tidak merasa sedang diikuti, sampai kelompok yang sama kembali bertugas
mengikuti dirinya. Jika saja Ding Tao tidak dengan cermat selalu mengamati orang-orang yang dia temui, tentu muslihat
mereka ini tidak akan diketahuinya.
Inilah salah satu kesalahan banyak orang dalam menilai Ding Tao. Seringkali orang mengartikan kejujuran Ding Tao sebagai kebodohan. Ding Tao jujur dan sering mudah ditipu karena kejujurannya, tapi dia bukan bodoh. Apalagi dia baru saja kena dikelabui oleh Tiong Fa, seorang tetua yang menimbulkan kekaguman dalam hatinya, ternyata seorang pengkhianat yang
bermuka dua. Ding Tao yang jujur jadi lebih berhati-hati dalam bertindak, apalagi menghadapi orang yang tidak dia kenal.
Kelompok kedua, adalah sepadang laki-laki dan perempuan yang ahli menyamar. Pada satu hari mereka akan berjalan di
dekat Ding Tao sebagai sepasang pedagang, yang perempuan pun menyamar jadi laki-laki. Kemudian setelah sampai di
kota, mereka berganti samaran pula menjadi sepasang kakek dan nenek. Pernah juga mereka menyamar sebagai seorang
ayah dengan anak perempuannya.
Penyamaran mereka sungguh bagus. Jika saja Ding Tao tidak menjadi lebih waspada setelah terbongkarnya muslihat dari kelompok yang pertama, mungkin dia tidak akan pernah menyadari muslihat sepasang laki-laki dan perempuan ini.
Semenjak Ding Tao curiga dirinya sedang diikuti, maka pengamatannya terhadap rekan-rekan seperjalanannya semakin
dipertinggi. Ketika Ding Tao sadar, dalam perjalanannya, kapanpun itu, setiap saat, setidaknya selalu ada dua orang dengan tinggi badan yang sama, yang berada dalam jarak jangkauan untuk mengikuti dirinya. Timbul pula rasa curiganya.
Tinggi kedua orang itu jadi makin nampak, karena keduanya selalu bersama. Tentu saja Ding Tao sadar, bisa jadi perasaan itu timbul karena ketakutannya. Sudah hal yang jamak, ketika seorang pencuri mau beraksi, seakan-akan jalan dipenuhi
polisi. Atau ketika seorang pasangan suami istri menginginkan keturunan, tiba-tiba jalanan sepertinya dipenuhi dengan ibu yang sedang hamil. Ding Tao sadar, pengamatannya pun tentu dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya yang merasa
terancam oleh tersebarnya berita bahwa dirinya memiliki Pedang Angin Berbisik.
Oleh karena itu Ding Tao pun menyiapkan satu ujian. Dengan sengaja dia berpura-pura sudah beristirahat di dalam kamar,
padahal dari celah kecil di jendela dia mengamati pasangan yang dia curigai itu. Ketika mereka berlalu, maka ganti Ding Tao yang dengan diam-diam mengikuti mereka. Sampai didapatnya keterangan di mana pasangan itu menginap dan di kamar
nomor berapa. Keesokan paginya, pagi-pagi buta, Ding Tao sudah pergi untuk mengawasi kamar tempat pasangan itu menginap dan benar
juga pasangan yang berbeda muncul dari kamar itu.
Belum puas, Ding Tao pun mengikuti pasangan itu diam-diam dan benar juga, pasangan itu menunggu di tempat yang
strategis, mengintai, siap untuk mengikuti Ding Tao kembali di hari itu. Tidak ingin orang tahu bahwa muslihatnya sudah terbongkar, Ding Tao masuk kembali ke penginapannya kewat pintu belakang dan baru setelah matahari terbit cukup lama
dia melanjutkan perjalanan.
Kelompok pengintai ketiga, terbongkar secara tidak sengaja. Ding Tao yang sedang menikmati indahnya alam dan
mengawasi langit yang cerah, secara tidak sengaja melihat seekor burung merpati pos terbang menuju ke arah kota yang
dia tuju. Merpati pos memang sering digunakan, tapi sekali lagi bagi orang dalam situasi seperti Ding Tao, setiap hal bisa menjadi sebuah tanda dari satu ancaman terhadap dirinya.
Seandainya saja pemuda ini bukan seseorang yang berkarakter kuat, mungkin syarafnya sudah terlalu tegang dan jadi gila.
Atau jadi terhimpit ketakutan, putus asa lalu bunuh diri.
Tapi Ding Tao dengan cermat dan tenang menguji setiap keanehan yang dia tangkap. Maka melihat hal itu, timbul
pertanyaan apakah burung merpati itu terbang untuk memberi tanda pada orang di kota tujuan dia berikutnya bahwa dia
sedang mengarah ke sana"
Maka dengan sengaja Ding Tao berbalik arah, masuk kembali ke dalam kota yang baru saja dia tinggalkan. Matanya yang
awas mengamati sekelilingnya, benar saja, seekor merpati pos kembali dilepaskan.
Keesokan paginya Ding Tao berpura-pura hendak melanjutkan perjalanan, matanya dengan awas mengamati hingga
dilihatnya orang yang kemarin melepaskan merpati pos, ternyata sudah siap lagi di sana. Dengan tenang Ding Tao berjalan ke arah orang itu. Orang itu terlihat sedikit gugup, namun berpura-pura sedang sibuk dengan peliharaannya. Ding Tao tidak menegur orang itu, tapi dia lewat cukup dekat untuk mengamati lebih jelas orang tersebut.
Setiap ciri yang tidak wajar, terekan di benaknya. Hari itu Ding Tao kembali tidak melanjutkan perjalanan.
Keesokan paginya Ding Tao memilih tujuan yang berbeda, dan keluar dari gerbang lain kota itu. Matanya sekali lagi
mengawasi di sekitar jalan keluar dari kota dan benar saja, ada yang siap melepaskan merpati. Berlagak sedang
menanyakan jalan, Ding Tao pergi untuk menegur orang itu, bertanya macam-macam tentang jalan yang hendak dia
tempuh. Setelah puas bertanya-tanya, Ding Tao pun mengambil jalan itu dan seekor merpati dilepaskan mengarah ke
sebuah persimpangan yang akan dia lewati.
Tapi satu hal membuat DIng Tao tersenyum, dua orang yang berbeda, sama-sama membawa merpati pos dan di
pergelangan tangan mereka, terdapat sebuah tatoo yang sama. Sebuah tatoo berbentuk laba-laba berkaki tujuh.
Demikianlah setiap kecurigaan dia uji dan akhirnya setelah puas menguji Ding Tao sampai pada kesimpulan bahwa ada 3
kelompok berbeda yang sedang mengikuti dirinya. Setelah sampai pada kesimpulan itu, Ding Tao pun beristirahat dambil
memikirkan langkah apa yang harus dia lakukan.
Beberapa pertanyaan dia ajukan pada dirinya sendiri.
Apa tujuan dari mereka mengikutinya" Pertanyaan ini cukup mudah untuk dijawab, jawabannya adalah Pedang Angin
Berbisik. Jika demikian, bukankah dia bisa membebaskan diri dari ancaman bahaya dengan mengungkapkan kebenarannya, bahwa
pedang itu sudah dicuri oleh Tiong Fa" Sambil menggeleng-geleng pemuda itu mengenyahkan ide itu dari benaknya. Yang
pertama, hal itu akan menyusahkan keluarga Huang, meski Tiong Fa yang dituju, tapi hingga saat ini Tiong Fa masih
menjadi bagian dari keluarga Huang.
Yang kedua, semakin sedikit orang yang tahu bahwa pedang itu ada dalam genggaman Tiong Fa, semakin besar
kesempatan bagi dirinya untuk merebut kembali pedang itu dari tangan Tiong Fa.
Dan yang ketiga, tidak ada jaminan bahwa mereka akan membiarkan dia hidup setelah dia mengungkap keberadaan Pedang
Angin Berbisik yang sebenarnya. Yang lebih mungkin adalah, mereka akan membungkam mulutnya untuk selamanya agar
sesedikit mungkin orang yang tahu jejak terakhir dari Pedang Angin Berbisik.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa mereka tidak juga bergerak untuk menangkap dirinya, merebut pedang itu. Atau kalau
mereka dapatkan Ding Tao tidak membawa pedang itu, setidaknya berusaha mengorek keberadaan pedang itu dari dirinya,
mengapa" Ding Tao berpikir untuk beberapa lama sebelum dia menjawab. Jawabannya adalah karena ketiga kelompok itu
sadar bahwa ada kelompok lain yang juga mengikuti dirinya. Tentunya saat yang satu bergerak yang lain tidak akan diam
saja. Lalu jika benar demikian, apa yang akan mereka lakukan"
Menghela nafas Ding Tao berusaha membayangkan dirinya sedang berada dalam situasi yang dihadapi oleh pengintai-
pengintainya itu. Yang pertama, dia akan menunggu, jika dua pihak bertempur memperebutkan dirinya, maka pihak ketiga
dapat mengambil keuntungan. Tapi hal itu pula yang menyebabkan ketiganya saling menunggu sampai sekarang. Tentunya
harus ada langkah lain yang diambil.
Hanya ada satu langkah lagi, yaitu, ketiga kelompok itu akan berusaha memperkuat kedudukannya sebelum berusaha
menangkap Ding Tao. Dan itu berarti, jika Ding Tao larut dalam permainan mereka, maka suatu saat, salah satu dari ketiga kelompok itu akan
sampai pada kedudukan yang cukup kuat. Pada saat itu, nasib Ding Tao akan ditentukan, tapi siapapun yang menang, Ding
Tao lah yang merugi. Dia sadar akan kondisi tubuhnya saat ini, dengan hawa murni Tinju 7 Luka yang masih mengeram di
dalam tubuhnya, dia menjadi mangsa empuk bagi orang-orang dunia persilatan.
Jika nasibnya baik, maka keseimbangan di antara ketiga penguntit itu akan terus terjaga sampai dia mencapai Shaolin. Tapi semakin dekat dia dengan tujuan, akan semakin mudah untuk menebak bahwa Ding Tao berencana untuk pergi ke Shaolin
dan ketiga kelompok itu tentu tidak akan mengijinkan hal itu terjadi.
Ding Tao mulai memikirkan rencana untuk menggerakkan permainan ke arah yang menguntungkan dirinya. Setiap ingatan
digali, setiap informasi dikumpulkan, setiap kemungkinan dijajagi. Mungkin agak aneh bagi pembaca yang mengikuti
keadaan pemuda ini, seulas senyum berkembang di mulut pemuda ini. Apa artinya ini" Bukankah hidupnya dalam ancaman
bahaya" Apakah senyum ini hanyalah sebuah senyum palsu, tapi jika palsu siapa yang hendak ditipu" Bukankah dia sedang
sendirian di dalam kamar"
Masalahnya Ding Tao, mulai terjangkit penyakit yang sama dengan orang-orang berwatak kuat dan berotak encer lainnya.
Ketika menemui masalah yang menantang otaknya untuk bekerja keras, mereka cenderung memandangnya sebagai sebuah
tantangan yang mengasyikkan.
Seperti ilmuwan yang mengotak-atik satu formula hingga lupa makan dan lupa waktu. Atau seperti detektif ulung yang
dengan asyiknya berusaha mengungkap satu kejahatan.
Semakin sering mereka berhasil memecahkan masalah dengan sel abu-abunya itu, semakin haus pula mereka pada
tantangan untuk otak mereka. Ding Tao sudah menggumuli permasalahan jurus-jurus silat dan berhasil memecahkannya.
Sudah beberapa kali pula dia bertempur dengan tipe-tipe yang berbeda dan dia berhasil menghadapi setiap tantangan itu
bukan melulu bersandar pada kekuatan atau kecepatan, tapi juga dengan menggunakan pemikiran yang cerdas.
Kelemahannya saat ini, situasinya saat ini, jadi satu tantangan baru bagi Ding Tao. Tantangan yang lebih menantang,
ibaratnya sudah biasa menang berkelahi dengan dua tangan, kemudian dengan sengaja mengikat satu tangan untuk
membuat perkelahian jadi lebih menantang.
Dengan kondisinya yang tidak memungkinkan dia untuk lolos dengan mengandalkan permainan pedang, Ding Tao jadi
tertantang untuk mengandalkan kecerdikannya untuk lolos dari situasi yang membahayakan jiwanya ini. Apakah dia tidak
takut mati" Tentu saja Ding Tao pun takut mati, tapi jika dia masih bisa tersenyum saat ini, setidaknya ada dua alasan yang bisa dikatakan.
Yang pertama, orang muda memang cenderung untuk kurang menyadari betapa pendeknya hidup. Lihat saja dari mereka
yang suka menyerempet bahaya, sebagian besar berumur muda. Semakin muda umurnya, semakin mereka tidak
menyadari akan kematian yang bisa menjemput kapan saja.
Yang kedua, kalau seseorang sudah kecanduan pada sesuatu, kenikmatan dari memenuhi kecanduan ini tidak jarang
melampaui ketakutan mereka pada kematian. Itu sebabnya tidak sedikit orang yang memiliki hobby yang menyerempet
bahaya. Sedikit demi sedikit, sebuah rencana mulai terbentuk dalam benak Ding Tao. Menjelang tengah malam, pemuda itu sudah
memiliki keputusan yang mantap. Dengan tubuh dan pikiran yang lelah, tapi hati tenang, pemuda itu memejamkan mata
dan tidur dengan nyenyak.
Keesokan paginya, ketiga kelompok penguntit itu mendapat kejutan besar. Sedikit lebih siang dari biasanya, Ding Tao
keluar dari penginapan tanpa penyamaran. Dengan pakaian ringkas dan pedang di tangan, wajah penuh semangat dan
senyum dikulum. Semalam dia sudah beristirahat baik-baik, setelah bangun pemuda itu tidak lupa untuk melatih hawa murninya dan berlatih jurus-jurus yang dia miliki. Kemudian dia mandi air hangat dan sekarang dalam keadaan segar dan siaga, pemuda itu
melangkah menuju ke sebuah rumah makan. Setelah selesai makan pun dia tidak terburu-buru bangun dari kursinya,
dibiarkannya tubuhnya mencerna makanan itu dengan sebaik-baiknya. Tubuh segar, tenaga terkumpul, hati tenang, perut
kenyang. Sambil bangkit berdiri Ding Tao merenggangkan otot-ototnya, senyum dikulum tak pernah lepas dari wajahnya. Pandang
matanya tajam menyorot ke sekeliling ruangan. Ketiga kelompok yang menguntit dirinya berada pula di sana, buru-buru
mereka mengalihkan pandangan pada makanan masing-masing. Benak mereka penuh dengan pertanyaan, menebak-nebak,
apa isi otak Ding Tao saat ini.
Dengan tenang Ding Tao melangkah ke arah salah satu dari kelompok penguntit itu. Hati setiap orang pun mulai berdebar-
debar, terutama mereka yang didekati oleh Ding Tao. Tangan-tanganpun mulai bergerak memegang gagang senjata.
Semakin dekat Ding Tao melangkah, tanpa terasa gagang senjata pun semakin erat digenggam. Saat Ding Tao sampai di
hadapan mereka, buku-buku jari mereka sudah memutih saking eratnya mereka menggenggam senjata. Berbalik 180
derajat keadaannya dengan Ding Tao, pembawaannya tenang, tubuhnya berdiri dengan rileks, wajahnya terang. Sambil
membawa pedang yang masih tersimpan aman dalam sarungnya, pemuda itu memberi hormat dan menyapa dengan sopan.
"Apa kabar" Kalau tidak salah, paman ini Paman Fu Tsun. Bagaimana kabarnya Wang Chen Jin" Kuharap dia tidak dihukum
terlalu berat oleh Paman Wang Dou karena menghilangkan Pedang Angin Berbisik."
Ya, salah satu dari 3 kelompok yang menguntit Ding Tao, adalah anak buah Wang Dou. Sejak kehilangan Pedang Angin
Berbisik, Wang Dou menanamkan beberapa orang kepercayaannya untuk mengawasi keluarga Huang. Dengan sendirinya
mengenai kedatangan Ding Tao mereka termasuk yang pertama mengendus berita itu.
Hanya sayang sumber kekuatan mereka jauh berada di utara, sehingga mereka sedikit terlambat bertindak dan saat sudah
bergerak pun, kekuatan mereka tidak sebesar kelompok lain yang sudah ikut bergerak.
Kelompok kedua adalah sebuah persekutuan rahasia yang kekuatannya menyebar cukup merata di Selatan. Meskipun
secara orang per orangan, 7 pimpinan Persekutuan Laba-Laba Kaki Tujuh ini bisa dikatakan berimbang dengan jagoan-
jagoan dari kelompok Wang Dou, namun jumlah dan luas jaringan mereka jauh lebih di atas kelompok Wang Dou.
Meskipun di atas dan di dalam air kelompok Wang Dou bisa dikatakan sebagai rajanya di Sungai Yangtze.
Sapaan Ding Tao itu mengundang reaksi yang berbeda-beda dari mereka yang mendengar.
Orang-orang dunia persilatan yang mendengar perkataan Ding Tao, memasang telinga baik-baik, tertarik oleh berita yang
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka dengar ini dan ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
3 orang yang dipimpin Fu Tsun saat itu saling berpandangan. Ini baru berita bagi mereka, ternyata Pedang Angin Berbisik sudah terlebih dahulu jatuh di tangan Wang Dou sebelum pedang itu dihilangkan Wang Chen Jin dan jatuh ke tangan Ding
Tao. Ada perasaan kecewa karena Wang Dou menyembunyikan hal itu dari mereka, juga ada perasaan penasaran, mengapa
Wang Chen Jin sampai menghilangkannya.
Beberapa pertanyaan yang jadi misteri bagi mereka, mendapatkan jawaban dari keterangan Ding Tao barusan.
Fu Tsun tentu saja merasa darahnya naik sampai ke ubun-ubun kepala. Meskipun biasanya dia tenang dan cermat dalam
menghadapi masalah tapi apa yang dilakukan Ding Tao saat ini jauh di luar dugaannya dan terlampau banyak mengundang
kenangan yang pahit. Dengan senyum masam dia menjawab, "Hemm.., aku tidak mengerti apa maksudmu. Tapi jika kau mengira bahwa
keberadaan kami di sini ada hubungannya dengan Pedang Angin Berbisik yang ada di tanganmu, kau tidak salah."
"Hehehe, tentunya paman tidak membayangkan aku berjalan kian kemari dengan membawa pedang itu kan?", sahut Ding
Tao dengan tenang dan gaya sedikit mengejek.
Mata Fu Tsun mendelik, "Keparat, kalaupun kau tidak membawanya, akan kuperas keterangan itu darimu."
Pengunjung yang lain sudah mulai merasakan gelagat yang tidak baik, satu per satu mereka pergi keluar dari rumah makan
itu. Bahkan ada juga yang ambil kesempatan untuk makan tanpa bayar, sementara para pelayan dan pemilik rumah
makanhanya bisa bergemetaran dan berdoa pada dewa-dewa supaya tidak terjadi kerugian yang parah.
Rumah makan tidak sepenuhnya jadi kosong, masih ada orang-orang dari persekutuan Laba-Laba Kaki 7, ada pula sepasang
pendekar lelaki dan perempuan itu, ada pula beberapa rombongan lain yang sebenarnya hanya secara kebetulan berada di
sana. Meskipun tidak ada kekuatan dan persiapan untuk ikut berebut Pedang Angin Berbisik, kesempatan untuk menambah
pengalaman dan mendapat berita tidak mereka lewatkan. Dengan wajah tertarik mereka menyaksikan peristiwa di depan
mereka. Jika memungkinkan, siap untuk menarik keuntungan dari peristiwa itu.
Fu Tsun merasa terdesak oleh keadaan, tidak disangka Ding Tao yang dipandang remeh, berhasil membongkar penyamaran
mereka. Jika ia mundur sekarang, nama kelompok Wang Dou bisa hancur, jadi bahan tertawaan di dunia persilatan dan bagi
kelompok seperti mereka, reputasi adalah hal yang penting.
"Kepung dan tangkap pemuda sombong ini!", perintahnya singkat pada ketiga orang pembantunya.
Dalam waktu singkat 4 orang mengepung Ding Tao, tanpa banyak memberi peringatan sepasang golok Fu Tsun sudah
menggunting tubuh Ding Tao. Tapi Ding Tao tidak kalah cepat dalam bertindak, tubuhnya mendoyong ke belakang untuk
menghindari serangan Fu Tsun, kakinya cepat menendang meja ke arah dua orang di sisi seberang.
Dengan gerakan yang indah dia berkelit dari serangan orang ke-empat, lalu menggunakan lubang yang terbuka saat dua
orang yang lain menghindari meja, dia menggebrak ke arah terlontarnya meja, mendesak dua orang yang lain untuk
mundur lebih jauh dan kepungan pun jadi terpecah.
Dengan cerdik Ding Tao terus bergerak, tidak mau terjebak dalam kepungan ke-empat orang itu.
Dalam waktu singkat, kursi dan meja berserakan, terbalik dan patah-patah, mangkok dan piring berceceran di lantai. Isteri pemilik rumah makan sudah pingsan sejak tadi dan cepat-cepat diungsikan ke rumah tetangga.
Melawan 4 orang Ding Tao menunjukkan kebolehannya, meskipun tidak dengan mudah memenangkannya, tapi ke empat
orang itu pun tidak bisa mendesaknya.
Gerakannya lincah dan pedangnya menyambar bagai kilat di antara sinar golok dan pedang lawan. Beberapa luka mulai
nampak menghiasi tubuh anak buah Fu Tsun. Jika keadaan terus berlanjut seperti demikian maka dalam beberapa puluh
jurus ke depan Ding Tao tentu akan berhasil menjatuhkan mereka satu per satu.
Golongan Laba-laba Kaki 7 yang bersaing dengan kelompok Wang Dou tidak segan-segan memberi dukungan pada Ding
Tao, setiap kali Ding Tao berhasil meloloskan diri dari serangan lawan, mereka berteriak, "Luput! Luput!"
Atau kata ejekan, "Orang buta pun bisa menghindarinya dengan gampang!"
Dan jika serangan Ding Tao kena, mereka pun akan berteriak, "Kena! Kena! Satu anjing kena tusuk!"
Jelas saja sorakan mereka itu membuat tekanan darah Fu Tsun dan anak buahnya semakin tinggi, salah seorang dari
mereka yang kurang bisa menahan marah menyerang Ding Tao dengan tenaga yang berlebihan. Tanpa menyia-nyiakan
kesempatan Ding Tao menyusup maju, memasuki lubang pertahanan yang tercipta. Dengan sebuah tusukan pedang yang
tepat dan efektif, sebatang pedang segera saja menghiasi tenggorokan orang tersebut.
Ding Tao tidak mau membuang waktu dengan mencabut pedangnya yang menancap kuat di leher orang tersebut.
Sebaliknya dengan sebuah gerakan yang indah dia merebut pedang di tangan orang tersebut.
Semuanya dilakukan dalam sebuah rangkaian gerakan yang mengalir.
Mereka yang menyaksikan mau tak mau merasa kagum pada kebolehan pemuda itu memainkan pedang. Bahkan Fu Tsun
dan anak buahnya pun terkesiap melihat kebolehan pemuda itu dan untuk beberapa saat tertegun di tempatnya masing-
masing. Kesempatan yang hanya sesaat itu tidak disia-siakan Ding Tao, hampir saja Fu Tsun kehilangan satu orang lagi pembantu
ketika serangan Ding Tao datang bagaikan kilat, beruntung orang itu masih sempat melemparkan tubuhnya ke belakang
dan Fu Tsun bersama seorang yang lain cepat-cepat menyerang Ding Tao dari kiri dan kanan secara berbareng, sehingga
Ding Tao terpaksa tidak melanjutkan jurus serangannya.
Tak urung sebuah luka memanjang dari pundak kanan ke dada kiri, menghiasi tubuhnya.
Sorakan dari Laba-laba Kaki 7 semakin membahana, di saat yang kritis bagi Fu Tsun dan kelompoknya, tiba-tiba
berloncatan dari luar 6 orang untuk membantu mereka. Rupanya kelompok Wang Dou yang lain sudah mendengar kabar
perkelahian itu. Melawan 9 orang ganti Ding Tao yang mulai terdesak, keganasannya jadi berkurang karena harus lebih banyak
memperhatikan pertahanan sendiri.
Tidak lama kemudian 3 orang ikut masuk ke dalam arena pertarungan dan keadaan Ding Tao pun jadi semakin terdesak.
Mereka tidak menyerang secara serampangan, meskipun tidak pernah berlatih dalam barisan tertentu, tapi mereka ini
adalah orang-orang yang sudah punya pengalaman bekerja sama dalam membegal dan merampok selama bertahun-tahun.
Mereka pandai membagi diri menjadi beberapa lapis, orang-orang yang terkuat menghadapi Ding Tao secara langsung, yang
lain ikut mengepung dalam lingkaran yang lebih luas, tugas mereka ini adalah menutup jalan lari Ding Tao dan membantu
pertahanan rekan-rekan yang ada di depan. Sesekali mereka ikut pula melontarkan serangan melalui celah-celah yang ada,
meskipun bukan serangan yang berbahaya, tetapi cukup mengganggu konsentrasi Ding Tao.
Melihat keadaan Ding Tao yang memburuk, orang-orang dari kelompok Laba-laba Kaki 7, mulai berunding. Jika dibiarkan
saja, lama kelamaan Ding Tao pasti akan kalah, sementara di pihak Fu Tsun baru kehilangan 1 orang mati dan 1 orang luka parah. Jika menunggu Fu Tsun dan kelompoknya menangkap Ding Tao baru bergerak, korban dari pihak mereka pasti cukup
besar. Sebaliknya jika sekarang mereka membantu Ding Tao, menyerang dengan membokong orang-orang Fu Tsun dari
belakang, mereka akan dapat menghabisi kelompok Fu Tsun dengan mudah.
Baru kemudian mereka mengikuti cara Fu Tsun dan anak buahnya untuk mengepung dan menangkap Ding Tao.
Rencana itu terdengar bagus dan dengat cepat keputusan pun dibuat, sambil berteriak-teriak menyatakan ketidak puasan
mereka melihat Fu Tsun bermain keroyokan, pedang-pedang merekapun ikut berbicara.
Dalam satu serangan bokongan itu 5 orang Fu Tsun mati tanpa pernah melihat siapa yang telah membunuhnya. Fu Tsun
yang melihat itu mencaci maki sepenuh hati, "Anjing kurap, keparat! Pembokong! Pengecut tak tahu malu!"
Pemimpin dari kelompok Laba-laba Kaki 7, tertawa terbahak-bahak dengan suaranya yang mirip gagak, "Hakhakhakhak, Fu
Tsun, hari ini waktunya kau bertemu dengan raja neraka, sebaiknya kau jaga mulutmu baik-baik supaya tidak menambah
dosa, hakhakhakhak."
2 orang lagi dari kelompok Fu Tsun jatuh jadi korban, satu dari serangan Ding Tao dan satu lagi tertusuk 3 belah pedang sekaligus dikeroyok oleh orang-orang Laba-laba Kaki Tujuh.
Fu Tsun meneteskan keringat dingin, keadaannya sungguh runyam, Ding Tao adalah lawan yang berat dan tidak bisa dibuat
main-main, jika dia lengah maka pedang Ding Tao akan mengancam. Tapi jika mereka terus berfokus pada Ding Tao maka,
orang-orang Laba-laba Kaki Tujuh akan dengan mudah membabat mereka, membokong dari belakang.
Putus asa menyelimuti Fu Tsun sekalian, Fu Tsun sebagai pemimpin kehilangan pegangan dan tak mampu mengambil
keputusan. Anak buahnya tidak ubahnya seperti ular tanpa kepala, satu per satu, mereka dihabisi tanpa ampun.
Melihat ini Ding Tao yang sudah merencanakan semua inipun jadi tidak tega. Ding Tao hanya bertahan tanpa banyak
menyerang, tekanan dari Ding Tao banyak berkurang sehingga Fu Tsun dan anak buahnya bisa lebih banyak membagi
perhatian untuk bertahan dari serangan bokongan. Tapi kekuatan mereka sudah terlalu jauh berkurang, sementara lawan
masih segar bugar. Pada saat-saat terakhir bahkan terjadi tidak seorangpun yang menyerang Ding Tao, dua kelompok yang saling bersaing
untuk mendapatkan Pedang Angin Berbisik itu saling bertarung mati-matian, membiarkan Ding Tao berdiri dengan pedang
di tangan dengan tenangnya.
Menyaksikan pembantaian itu, hati Ding Tao jadi tergetar, hati kecilnya merasa bersalah. Siasat ini, sesungguhnya dia yang membuatnya, meskipun lebih banyak darah tertumpah dan nyawa yang melayang oleh tangan orang-orang Labah-Labah
Kaki Tujuh, tetap saja Ding Tao melihat betapa ini akibat dari siasat yang dibuatnya. Mungkin hanya 2 orang yang terbunuh oleh tangannya, tapi pada hakekatnya belasan orang yang sekarang bakal meregang nyawa, semuanya terbunuh olehnya.
Setidaknya itulah kata hati pemuda ini.
Fu Tsun sudah terluka di puluhan tempat, tidak ada sejengkal pun dari tubuhnya yang tidak berwarna merah. Tenaganya
pun akhirnya hilang, sepasang golok masih tergenggam di tangan, tapi tangan itu sudah lunglai tergantung tanpa daya.
Pemimpin dari kelompok Laba-Laba Kaki Tujuh mendekatinya dengan raut wajah serius, tidak seperti sebelumnya yang
penuh ejekan. Nasib yang sama bisa saja terjadi padanya, pada saat-saat terakhir ini, timbul juga rasa simpatinya.
"Fu Tsun, jangan salahkan aku tidak memberimu ampun. Selama kau masih hidup, tentu tidurku tidak akan pernah tenang."
Fu Tsun hanya diam menatapnya dengan sorot mata dingin tanpa arti.
"Selamat tinggal Fu Tsun!", dengan sebuah tebasan pedang, kepala Fu Tsun terbelah dari kiri atas kepala hingga ke leher.
Sejenak setiap orang berdiri diam di tempatnya masing-masing. Para pelayan dan pemilik rumah makan sudah lama
menghilang, sejak darah mulai bercurahan dan bercipratan ke segenap penjuru ruangan. Orang-orang yang masih duduk di
sana, sudah jelas tidak aka pergi hanya karena melihat kucuran darah. Pandang mata mereka jatuh pada Ding Tao yang
berdiri dengan tenang. Entah sejak kapan, dia sudah memungut pedangnya sendiri. Bahkan sempat pula membersihkan
pedang itu dari noda-noda darah yang melekat.
Tampilannya yang penuh percaya diri tapi dibarengi sorot mata yang penuh kesedihan, memberi kesan yang tidak mudah
dilupakan. "Ding Tao, namaku Xiang Long, pimpinan utama kelompok Laba-Laba Berkaki Tujuh. Kau bisa pegang ucapanku, menyerah
dengan damai dan aku tidak akan menyakitimu sedikitpun.", ujar pemimpin dari Kelompok Laba-Laba Berkaki Tujuh itu,
yang rupanya bernama Xiang Long.
Ding Tao tersenyum dingin, hatinya kelu menyaksikan kekejaman orang di hadapannya itu, meskipun hal itu sudah dia
perhitungkan sebelumnya. Menyaksikan kejadian itu secara langsung ternyata menyisakan kesan yang berbeda
dibandingkan memikirkannya saat rencana masih merupakan rencana saja.
"Hmmm" Saudara Xiang Long, sebaiknya kau yang menyerah saja, dan aku Ding Tao akan menganggap urusan ini selesai
hari ini juga." Melotot mata Xiang Long mendengar jawaban Ding Tao, "Anak bau kencur, jangan sombong, selagi aku sudah membunuh
orang, mulutmu masih bau tetek ibumu!"
"Hmm" selagi aku masih menetek pada ibuku, otakku sudah jauh lebih terang daripada otakmu.", jawab Ding Tao dengan
senyum mengejek. "Keparat! Serbu!", bentak Xiang Long dengan penuh kemarahan.
Sekali lagi peristiwa yang sama terjadi, Ding Tao dikepung dari segenap jurusan dengan serangan dan pertahanan
kepungan lawan yang berlapis. Menilik cara Ding Tao saat bertahan melawan Fu Tsun dan kelompoknya, sebenarnya Xiang
Long sudah berhitung bahwa dia akan mampu menundukkan pemuda itu.
Sebagian besar orang-orang yang dibawanya memiliki kemampuan setara di atas orang-orang yang dibawa Fu Tsun. Tiga
atau empat orang, lima termasuk dirinya memiliki kemampuan di atas orang-orangnya Fu Tsun, dengan jumlah yang lebih
banyak dari orang-orang Fu Tsun, disangkanya Ding Tao akan bisa ditundukkan.
Betapa kaget dia, ketika mendapati Ding Tao mampu mengimbangi kepungan mereka. Pedangnya berkelebatan dengan
cepat, membentuk perisai di sekeliling tubuhnya.
Jika tadi Ding Tao bertarung menggunakan pedang yang tidak disaluri hawa murni, berbeda dengan keadaan saat ini.
Pedangnya yang sudah disaluri hawa murni, mengaung-ngaung, senjata lawan yang berbenturan dengan pedangnya akan
terpental bahkan rompal sebagian.
Gerakan Ding Tao bukan saja hanya lincah tapi juga bertenaga. Bukan hanya mengandalkan kelihaian jurus dan kecekatan,
tapi pemuda ini berani pula mengadu tenaga. Xiang Long yang tadinya berpikirm nasib yang dialami Fu Tsun tidak akan
dialaminya, karena dia memiliki lebih banyak orang, sekarang meneteskan keringat dingin karena keadaaannya sama saja
dengan keadaan Fu Tsun tadi.
Segenap perhatian dan kekuatan orang-orangnya terserap untuk menyerang dan bertahan melawan Ding Tao. Jika ada
pihak ketiga yang mengambil keuntungan habislah dia.
Dan seperti kita tahu, memang demikianlah keadaannya. Sepasang laki-laki dan perempuan yang menyamar itu tiba-tiba
bangkit berdiri dan melemparkan sepasang pisau terbang ke kusen pintu masuk rumah makan. Pisau itu bentuknya biasa
saja, tetapi di gagangnya bergantung sebuah medali dari giok berbentuk tengkorak.
Bisik-bisik pun terdengar dari pengunjung rumah makan yang masih bertahan, "Sepasang iblis berwajah giok?"
Dengan terkekeh-kekeh menyeramkan, pasangan laki-laki dan perempuan yang berjuluk Sepasang Iblis berwajah giok itu
berujar, "Yang tahu diri, sebaiknya segera menyingkir dan tidak perlu ikut campur urusan."
Dalam sekejap mata, rumah makan itupun bersih dari pengunjung. Tinggal Ding Tao, Xiang Long dan anak buahnya serta
sepasang iblis itu. Xiang Long tentu saja ikut mendengar gertakan sepasang iblis itu, tapi keadaannya sekarang sudah terjepit, tidak ada
bedanya dengan keadaan Fu Tsun tadi, mundur salah, majupun salah. Baru saja dia hendak berpikir, sudah terdengar
jeritan meregang nyawa dari dua orang anak buahnya.
Dalam keadaan yang berbahaya itu, tiba-tiba Xiang Long dikejutkan oleh tindakan Ding Tao. Sebuah serangan pedang yang
membadai dikeluarkan oleh pemuda itu hingga kepungan pun tersibak, tapi bukannya mengambil kesempatan untuk
menyerang, pemuda itu menggunakan kesempatan itu untuk melompat gesit dan menyerang ke arah iblis wanita bermuka
giok sambil berseru, "Xiang Long, bantu aku, urusan kita bisa diselesaikan belakangan!"
Wajah Xiang Long yang tadinya sudah putus asa menjadi cerah kembali, dari jalan kematian tiba-tiba dilihatnya kesempatan untuk hidup.
Inilah puncak dari rencana Ding Tao semalam. Bagian awal dari rencana Ding Tao adalah menantang kelompok yang
terlemah dari 3 kelompok tersebut, yaitu kelompok Fu Tsun. Dengan sengaja dia memojokkan Fu Tsun, sehingga Fu Tsun
tidak ada jalan lain kecuali bertarung dengannya.
Dalam pertarungan itu dengan sengaja Ding Tao menahan diri dan tidak mengeluarkan segenap kemampuannya. Inilah
bagian kedua dari rencananya, yaitu untuk menarik Xiang Long terjun dalam pertempuran. Membantunya menghabisi
kelompok pertama dari tiga kelompok yang mengintainya.
Sudah lama Ding Tao curiga bahwa sepasang laki-laki dan perempuan itu adalah yang terkuat, karena dengan percaya
dirinya mereka bersiap untuk ikut berebut meskipun mereka hanya berdua dan lawan mereka adalah dua kelompok yang
cukup besar. Dan inilah penutup dari rencana Ding Tao, yaitu ketika sepasang laki-laki dan perempuan itu sudah mulai bergerak.
Membuat Xiang Long menghadapi jalan buntu. Maka Ding Tao akan bergerak menarik Xiang Long menjadi sekutunya untuk
melawan sepasang laki-laki dan perempuan misterius itu.
Yang paling terkejut adalah Sepasang Iblis berwajah giok itu. Disangkanya mereka akan menikmati mangsa mudah seperti
yang dilakukan Xiang Long terhadap Fu Tsun, siapa sangka keadaan jadi berbalik, dengan satu serangan Ding Tao ganti
merekalah yang menghadapi kepungan lawan.
Meski demikian tidak memalukan mereka memiliki nama besar yang ditakuti lawan dan kawan, mereka masih bisa
bertarung dengan tenang bahkan sambil terkekeh menyeramkan iblis jantan bermuka giok berkata, "Ding Tao sungguh
pintar akalmu, tapi jangan harap kau bisa selamat dari cengekeraman kami hari ini."
Suara tertawa mereka membuat bulu kuduk yang mendengar jadi berdiri. Entah sejak kapan, tiba-tiba sepasang cakar besi
sudah ada di tangan mereka masing-masing. Meskipun sudah dikepung tapi mereka justru mampu mendesak Ding Tao,
Xiang Long dan kawan-kawan.
Satu dua orang mulai terluka dan tiap kali serangan mereka berhasil, sepasang iblis itu akan tertawa mengikik dengan
seramnya. Anak buah Xiang Long adalah orang-orang kasar yang masih percaya tahayul, suara setan dari sepasang laki-laki dan perempuan misterius itu sangat mengganggu permainan pedang mereka.
Untung bagi mereka ada Ding Tao di situ, seperti yang sudah sering disebutkan, bakat Ding Tao dalam mempelajari ilmu
bela diri termasuk satu orang dalam satu generasi. Menarik dari pengalamannya menghadapi kepungan Fu Tsun, sebuah
pemahaman tentang membentuk barisan sudah mulai terbentuk dalam benak pemuda itu.
Sekarang sebagai bagian dari kelompok yang mengepung sepasang iblis itu, Ding Tao bukan hanya ikut mengepung dan
menyerang dengan jurus sendiri saja, tapi pengamatannya lebih luas dari itu. Bak seorang jendral, Ding Tao mulai
mempelajari serangan-serangan lawan yang aneh, setelah beberapa puluh jurus lewat, mulailah Ding Tao tidak hanya
menyerang tapi juga memberikan komando pada yang lain.
"Sisi barat, menyerang atas! Sisi timur melindungi barat! Sisi utara dan selatan tahan serangan!"
"Semuanya bergerak ke barat! Xiang Long serang yang jantan!"
Dan berbagai komando perintah lainnya, mulai mengubah arah jalannya pertarungan.
Jika sebelumnya sudah mulai ada tiga orang yang tewas dan beberapa terluka. Setelah Ding Tao mulai memberikan
perintah serta bergerak untuk menutupi kelemahan yang lain, ganti sepasang iblis bermuka giok itu yang berada di bawah
angin. Untuk beberapa puluh jurus berikutnya sepasang iblis bermuka giok itu menghadapi tekanan yang kuat. Semangat anak
buah Xiang Long jadi timbul melihat perintah-perintah Ding Tao mampu mengimbangi jurus-jurus sepasang iblis bermuka
giok yang aneh itu. Tapi pengalaman sepasang iblis bermuka giok itu jauh lebih banyak dari Ding Tao. Setelah beberapa puluh jurus itu lewat, iblis jantan mendapatkan pemikiran yang jitu, dengan terkekeh panjang dia berteriak pada pasangannya "Iblis betina, dua iblis berpisah! Timur dan barat mandi darah!"
Sudah berpasangan selama belasan tahun, di antara keduanya sudah terjalin saling pengertian yang sangat kuat, apalagi
dalam hal bertarung secara berpasangan. Tawa seram mengikuti jurus-jurus serangan yang mereka lontarkan, untuk
beberapa saat kepungan terpecah dan saat yang singkat itu digunakan keduanya untuk berpencar berjauhan.
Karena keduanya berjauhan, kepungan pun terpisah menjadi dua kelompok. Kelompok yang satu dipimpin Ding Tao sedang
kelompok yang lain dipimpin Xiang Long. Tidak sampai lewat sepuluh jurus, satu orang dari kelompok Xiang Long tewas
dengan dada berlubang terkena cengkeraman cakar besi dari Iblis jantan.
Sementara Iblis betina harus bersusah payah untuk bertahan menghadapi serangan yang dipimpin Ding Tao, jeritan-jeritan
menyayat hati terdengar dari kelompok Xiang Long.
Ding Tao pun mengakui kecerdikan lawan, tidak mungkin dirinya mengamati kedua iblis itu sekaligus. Seandainya bisa pun, bagaimana dia memberi komando kepada dua kelompok yang berbeda dengan efektif" Jika Ding Tao meninggalkan
kelompoknya untuk sepenuhnya mengamati jalannya pertarungan dan memberikan komando, maka kelompok yang
melawan iblis betina akan kehilangan orang kuat di dalamnya dan di kelompok itulah yang akan jatuh korban.
Satu-satunya harapan Ding Tao adalah secepat mungkin mematahkan perlawanan Iblis betina agar dengan demikian,
mereka akan bisa memfokuskan serangan pada Iblis jantan setelah berhasil menghabisi iblis betina.
Tapi sepasang iblis itu memang tokoh yang kosen, pertahanan yang dibangun iblis betina sangatlah kuat. Tidak seorang pun yang dapat menandingi tenaga dalamnya. Sementara Ding Tao tidak bisa pula dengan leluasa menggunakan himpunan
hawa murninya. Hawa dari pukulan Tinju 7 Luka masih mengeram dan mengancam untuk bangkit tidur dan dengan liar
merusak tubuhnya dari dalam.
Xiang Long bukannya orang bodoh, satu per satu orangnya mati oleh cakar besi Iblis jantan, sekilas dia sempat menengok
keadaan Ding Tao dan kelompoknya. Sadarlah Xiang Long bahwa bahkan dengan menyatukan tenagapun, dirinya dan Ding
Tao tidak akan mampu menghadapi sepasang iblis itu.
Xiang Long belum ingin mati hari itu, dengan satu emposan tenaga dia menyambitkan pedangnya ke arah iblis jantan,
memaksa iblis jantan untuk mundur beberapa langkah. Kesempatan itu digunakan Xiang Long untuk memperbesar jarak di
antara mereka dengan ikut melompat mundur ke belakang.
"Hentikan! Iblis tua, aku menyerah! Biarkan aku pergi dan aku bersumah tidak akan ikut campur urusan Pedang Angin
Berbisik lagi!", teriak Xiang Long sambil melompat mundur, keluar dari rumah makan itu.
Mendengar teriakan Xiang Long, pucatlah wajah Ding Tao. Apalagi ketika anak buah Xiang Long pun ikut berlompatan keluar dari rumah makan. Sepasang iblis muka giok, tidak mengejar, hanya terkekeh-kekeh dengan seram.
Dikepung dari dua arah, Ding Tao mati kutu.
"Hikhikhikhik, anak muda", bagaimana, apa kau mau menyerah sekarang?", ejek iblis jantan sambil perlahan mendekat.
Ding Tao pun menggeser kedudukannya untuk menyesuaikan dengan pergerakan Iblis jantan dan posisi iblis betina.
Dari arah lain iblis betina ikut bergerak, menutup arah lari Ding Tao,"Anak muda, kulihat kau tidak bertarung dengan
leluasa. Saat kuserang, dapat kurasakan dari pertahananmu seberapa besar dan mantap dasar-dasar himpunan hawa
murnimu. Tapi hawa murni yang kaupakai untuk menyerang, paling banter hanya 1 bagian dari yang seharusnya bisa
kaugunakan. Apakah kau sedang terluka dalam?"
"Hohohohoho, apa benar kau sedang terluka" Tapi kau masih bisa mempermainkan kami sampai sedemikian rupa".
mengerikan, masih muda tapi sudah sehebat itu.", ujar iblis jantan sambil menggeser kedudukannya.
"Kau masih muda, apa tidak sayang nyawa" Kaupun terluka, apa lagi gunanya pedang itu bagimu.", ujar iblis betina
menimpali dari arah sebaliknya.
Melihat bahwa keadaannya sudah terlihat dengan jelas oleh lawan, Ding Tao sadar tidak mungkin melawan lebih lanjut.
Ketika beramai bersama dengan Xiang Long dan anak buahnyapun dia tidak bisa menang. Apalagi sekarang ketika dia
tinggal sendiri harus melawan sepasang iblis itu.
Tapi Ding Tao tidak berani mengendurkan pertahanannya, sambil mengawasi kedua iblis itu dia menjawab, "Kalian memang
hebat, aku pun bukan orang bodoh, sudah jelas tidak ada kemungkinan bagiku untuk menang. Jangankan untuk menang
untuk laripun aku tidak ada kesempatan dan aku bukan termasuk orang yang mau mengorbankan nyawa dengan sia-sia,
sebutkan apa keinginan kalian."
"Hehehe, baru saja kita melihat hasil dari kecerdikanmu, kurasa tidak perlu aku bilang, orang cerdik macam dirimu sudah tahu apa yang kami mau.", ujar Iblis jantan muka giok.
"Pedang Angin Berbisik, tapi seperti yang kau lihat, aku tidak membawa-bawa pedang itu denganku saat ini.", jawab Ding
Tao. "Hehe, tapi tentu kau tahu ada di mana pedang itu saat ini."
"Ya, tapi jika kau membunuhku, maka rahasia itu akan terkubur bersama dengan kematianku."
"Tidak, kami tidak ingin membunuhmu, kau menyerah saja dan jadi tawanan kami baik-baik, begitu kami mendapatkan
pedang itu, kami akan membebaskanmu."
"Hmm" dan apa jaminannya bahwa kau akan membiarkanku hidup setelah kamu mendapatkan pedang itu?"
"Hehehehe, jaminannya adalah perkataanku, apa itu tidak cukup?", terkekeh seram Iblis jantan menjawab, senyumnya
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sinis sudah mengatakan kenyataannya akan berbeda ari jawabannya.
"Heh, kita sama-sama tahu, begitu pedang ada di tanganmu, nyawaku pun tidak ada artinya bagimu.", dengus Ding Tao
dengan dingin. Sepasang iblis muka giok itu tertawa berkakakan, puas tertawa mereka memandang tajam pada pemuda itu, "Melawan pun
percuma, kalau kau menyerah baik-baik, mungkin kami masih akan bermurah hati. Tapi jika kau melawan, kupastikan kami
akan menyiksamu hingga kau berharap lebih baik mati daripada hidup."
"Jangan harap aku menyerah tanpa perlawanan. Tapi apa kalian tidak takut pertarungan kita hanya akan memberi
keuntungan pada orang ketiga?", tanya Ding Tao dengan tenang.
Meskipun mereka bercakap-cakap dengan damai, bukan berarti mereka berhenti saling mencari kelemahan. Tubuh mereka
tidak diam di satu posisi, melainkan terus bergerak, bergerak untuk mencari kelemahan lawan dan bergerak untuk menutup
lubang pertahanan. Sekiranya ada sedikit saja lubang kelemahan dalam pertahanan Ding Tao yang dapat diserang, tentu
sepasang iblis itu akan memanfaatkan kelemahan itu. Salah satu keuntungan Ding Tao adalah sepasang iblis itu tidak ingin membunuhnya sekarang. Mereka perlu menangkap Ding Tao hidup-hidup.
"Memangnya siapa yang berani ikut campur dalam urusan kita ini?", dengus iblis betina dingin.
"Jika aku berhasil sedikit saja mengimbangi serangan kalian, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang akan coba
mengambil keuntungan. Orang-orang yang tidak berani berlawanan dengan kalian sendirian, tapi menyimpan keinginan
untuk itu.", Ding Tao terus berusaha mendorong lawan untuk membatalkan pertarungan itu.
"Heh.. anak muda, apa kau bermimpi" Ilmumu memang boleh juga, tapi masih jauh untuk dapat mengimbangi kami.",
gertak iblis jantan. Ganti Ding Tao yang tertawa berkakakan, "Hahahaha, jangan bercanda, apa kalian ingin aku percaya bahwa sedari tadi ini, kalian sedang bermurah hati dengan tidak menyerangku, padahal kalian memilki banyak kesempatan untuk itu?"
"Anak muda tidak tahu diuntung! HAH!!", dengan satu bentakan yang keras sepasang iblis muka giok itu menyerang
berbareng. Ding Tao sudah berwaspada sejak tadi, maka dengan gesit dia bergerak melompat ke arah iblis betina dan melontarkan
jurus serangan yang terhebat yang dia miliki. Jurus pamungkas keluarga Huang yang pernah dia pakai saat bertarung
melawan Zhang Zhiyi. Sewaktu melawan Zhang Zhiyi pedang digerakkan tanpa menggunakan hawa murni untuk
memperkuat serangan. Sekarang yang dihadapi adalah sepasang iblis, dengan menggunakan hawa murni dalam
serangannya, hawa pedang jadi semakin menggiriskan.
Kegesitan Ding Tao dalam bereaksi terlalu cepat bagi Iblis betina muka giok, serangannya sendiri belum sempat
dikembangkan, serangan Ding Tao sudah datang menekan. Hawa pedang Ding Tao menekan jurus serangannya dan
berbalik dari menyerang ganti dia yang diserang.
Kejadian ini bukan suatu kebetulan, bukan pula karena Ding Tao jauh lebih hebat dari sepasang iblis itu. Melainkan karena Ding Tao sudah sempat mengamat-amati gaya permainan mereka sementara mereka belum sempat mengenali gaya
permainan Ding Tao. Sewaktu Ding Tao melawan mereka dibantu Xiang Long dan kawan-kawan, pemuda itu memiliki cukup
banyak keleluasaan untuk mengamati jurus-jurus dan terutama watak dari gaya permainan lawan.
Salah satu ciri yang melekat pada permainan sepasang iblis itu adalah, serangan selalu diawali oleh Iblis jantan muka giok, serangannya keras, kejam dan bertenaga, jurus-jurus yang dilontarkan semuanya mengincar tempat yang mematikan, bila
lawan sampai terkena maka tiada jalan bagi lawan kecuali kematian.
Serangan Iblis betina datang sepersekian detik lebih lambat dari serangan pasangannya, disesuaikan dengan reaksi lawan
menghadapi serangan Iblis jantan. Sifat serangan dari Iblis betina adalah, licin, tidak bertenaga, tetapi mengincar bagian manapun yang terbuka. Tujuannya adalah melukai lawan, atau menolong Iblis jantan lepas dari serangan lawan, tergantung
keadaan saat itu. Inilah kerja sama yang apik dari sepasang iblis muka giok itu, yang sering terjadi adalah lawan terpengaruh oleh serangan yang mematikan dari Iblis jantan, jika lawan kurang hebat, maka matilah dia di bawah serangan Iblis jantan. Jika lawan
cukup berilmu, maka kehebatan serangan Iblis jantan, menutupi serangan licik yang lembut dari Iblis betina. Meskipun
serangan iblis betina tidak mematikan, tapi luka-luka yang ditimbulkan perlahan-lahan akan melemahkan kekuatan lawan.
Hingga satu saat di mana lawan tidak akan bisa lagi menahan serangan yang mematikan dari Iblis jantan muka giok.
Lewat cara ini entah sudah berapa banyak lawan mati di tangan mereka, bahkan tokoh-tokoh yang secara perorangan bisa
dikatakan lebih kuat dari sepasang iblis itu.
Meskipun Ding Tao belum dapat sepenuhnya memecahkan rahasia ilmu dari lawannya, tapi setidaknya dengan memegang
ciri tersebut, Ding Tao memiliki akal untuk memecahkan kerja sama mereka. Langkah awalnya adalah dengan
menempatkan dirinya tepat berada di tengah di antara sepasang iblis itu. Begitu Iblis jantan bergerak untuk menyerang,
Ding Tao bergerak menyerang ke arah Iblis betina yang berada di arah yang berlawanan. Dengan demikian Ding Tao bisa
menghindari serangan Iblis Jantan berbareng dengan menekan Iblis betina mundur.
Tentu saja ada resikonya, bila Iblis betina mampu menahan serangan Ding Tao, maka gerakan mundur Ding Tao untuk
menghindari serangan Iblis Jantan pun akan terhenti dan terhimpit di antara dua serangan.
Ibaratnya bermain judi, seluruh taruhan diletakkan di atas meja, tidak ada lagi modal yang disisakan di kantung. Jika gagal menekan Iblis betina muka giok, maka kekalahan Ding Tao akan terjadi dalam satu gebrakan. Jika berhasil maka kerja
sama yang rapi di antara kedua iblis itu pun akan terhenti. Bagi Ding Tao saat itu, perjudian ini tidak merugikan dirinya.
Jalan lain dia tidak menemukan, tanpa jalan ini kekalahannya sudah pasti. Dengan jalan ini setidaknya masih ada
kemungkinan untuk menang, setidaknya bertahan.
Kalaupun dia gagal dalam pertaruhannya, maka Ding Tao bersandar pada keyakinan bahwa sepasang iblis itu tidak
menghendaki pula kematiannya. Meskipun menjadi tawanan dari sepasang iblis itu lebih menderita dibanding mati.
Gerakan pedang Ding Tao bagaikan jaring keadilan dari langit, begitu rapat hingga Iblis betina tidak mampu menemukan
celah untuk balik menyerang. Hanya menghindar dan menghindar. Ding Tao terus saja mendesak lawan, jalan mundur Iblis
betina ke arah mana, Ding Tao lah yang menentukan.
Dengan cara ini, terjadilah semacam kejar-kejaran di antara mereka bertiga. Iblis jantan mengejar Ding Tao dan Ding Tao mengejar Iblis betina. Gerakan mereka sama cepatnya, tinggal siapa yang memiliki stamina lebih kuat dia yang akan
memenangkan pertarungan. Bukan main geramnya sepasang Iblis itu, apa yang berhasil dilakukan Ding Tao berada di luar dugaan mereka. Belum
pernah mereka menghadapi perlawanan semacam ini. Melihat pertarungan yang tidak nampak kapan akan berakhir,
sepasang Iblis itu pun memutuskan untuk berganti strategi, mengepung Ding Tao dari dua arah yang berlawanan justru
berhasil dimanfaatkan Ding Tao untuk mencegah kerja sama yang apik di antara sepasang iblis itu.
Iblis jantan berupaya untuk mengubah posisi mereka menjadi segitiga, dengan dirinya dan Iblis betina menyerang dari arah yang sama. Tapi seperti sudah dikatakan sebelumnya, Ding Tao yang sedang berada di atas angin mampu memaksa iblis
betina untuk bergerak ke arah yang dia inginkan.
Permainan taktik dalam jurus-jurus yang dilancarkan kini berubah bentuknya. Ding Tao yang berusaha mempertahankan
kedudukan mereka dan sepasang Iblis itu yang berusaha mengubah posisi.
Serangan Iblis jantan pun berubah sifatnya, tidak lagi serangannya ditujukan untuk menyerang titik kematian Ding Tao,
melainkan lebih berfokus untuk menggempur kedudukan pemuda itu, berusaha memaksa Ding Tao untuk melepaskan
tekanannya atas iblis betina.
Sepasang iblis itu menang pengalaman dibanding Ding Tao, iblis jantan pun menang tenaga dibanding pemuda itu. Apalagi
dengan kondisi Ding Tao yang tidak bisa mengerahkan hawa murni dengan leluasa.
Perlahan-lahan taktik Ding Tao mulai dipatahkan dan kedudukan mereka pun mulai berubah. Hati sepasang iblis itu pun
menjadi semakin girang melihat arah perkembangan pertarungan itu.
Pada satu serangan yang terencana Iblis jantan akhirnya berhasil mendesak Ding Tao keluar dari garis lurus antara dirinya dan pasangannya. Iblis betina pun dengan cepat mengubah kedudukan dan merapat pada Iblis Jantan.
Tanpa terasa sepasang iblis itu pun bersorak, "Nah, kena kau!"
Betapa kaget hati mereka ketika Ding Tao tidak terlihat cemas dengan perkembangan itu, sebaliknya pemuda itu
melepaskan serangan yang hebat, memaksa keduanya mundur setengah langkah, kemudian dengan gerakan yang gesit
pemuda itu melemparkan dirinya bergulingan keluar dari rumah makan.
"Selamat tinggal iblis jelek!!!", seru pemuda itu sambil tertawa terbahak-bahak.
Barulah keduanya sadar, sudah salah mengambil keputusan. Dengan mengubah posisi mereka menjadi sejajar, bersama-
sama menghadapi Ding Tao dalam satu sisi yang sama, memang pertahanan dan serangan mereka bisa menjadi lebih kuat.
Iblis jantan akan lebih mudah untuk membantu iblis betina, tatkala pasangannya itu didesak oleh serangan-serangan Ding
Tao. Tapi pada saat yang sama, pergerakan mereka itu akan membuka celah bagi Ding Tao untuk melarikan diri. Dan dengan
cerdiknya pemuda itu sengaja menunggu hingga dirinya berada di dekat pintu keluar rumah makan, sebelum dia berpura-
pura kalah dalam perebutan kedudukan.
Pucatlah wajah keduanya, dari bergirang karena merasa berhasil memaksa Ding Tao membatalkan taktik bertarungnya,
berubah menjadi rasa kaget dan sesal.
Setelah pulih dari rasa kagetnya, bergegas keduanya memburu keluar, berusaha mengejar Ding Tao yang sudah sempat
berlari dan bersembunyi dalam kerumunan orang di luar.
Untung mereka cukup cepat dalam bergerak, meskipun sudah berada cukup jauh, tapi kepala Ding Tao yang menyembul di
antara kepala-kepala yang lain masih sempat terlihat. Kedua iblis itu pun segera mengemposkan semangat dan bergerak
mengejar. Ding Tao yang sempat menoleh, melihat sepasang Iblis itu bergerak ke arahnya dengan kecepatan yang tinggi. Sambil
berlari, matanya tak henti-hentinya melihat berkeliling, setiap ada simpangan atau keramaian Ding Tao akan bergerak ke
arah tersebut. Ding Tao yang masih belum paham betul jalan-jalan di kota ini, bergerak tanpa memilih tujuan. Semakin ramai dan semakin tajam dan rumit simpangan-simpangan yang ada, semakin baik, itu saja yang ada dalam pikirannya. Beruntung jarak antara
Ding Tao dan sepasang iblis itu cukup jauh, memanfaatkan kekagetan sepasang iblis itu sebelumnya. Tapi sayang, ilmu
meringankan diri Ding Tao masih dua usap di bawah sepasang Iblis itu.
Beberapa kali Ding Tao sempat lenyap dari pandangan mereka, memanfaatkan jalan sempit dan tikungan-tikungan yang
ada. Sayangnya Ding Tao tidak tahu, bagian mana dari kota yang akan menguntungkan dirinya untuk menghilangkan jejak.
Beberapa kali pula dia salah memilih tikungan dan sampai di jalan utama yang lebar dan lurus, membuat dia lebih mudah diikuti.
Sementara jarak di antara mereka, sedikit demi sedikit semakin mengecil. Pemuda yang banyak akal itu pun memutar
otaknya keras. Satu tipuan yang cerdik sempat dia lakukan, ketika sampai di sebuah perempatan yang cukup ramai. Ding
Tao berlari cepat berbelok ke simpangan ke arah kanan, kemudian setelah tikungan itu menutupi dirinya dari pandangan
mata sepasang iblis itu, dia merendahkan tubuhnya dan berlari secepat-cepatnya menuju ke simpangan yang berlawanan
arah. Nekat memang, tapi kenekatannya membuahkan hasil, meskipun jantungnya sempat hampir melompat keluar saat mereka
berpapasan. Untung sepasang iblis itu tidak melihat dirinya yang sedang berlari sambil merunduk-runduk di balik gerobak penjual mie yang sedang berjualan.
Jarak di antara mereka pun mulai membesar, karena mereka berlari ke arah yang berlawanan. Sayang nasib Ding Tao
kurang begitu baik, saat menoleh untuk melihat posisi sepasang Iblis itu, Ding Tao menabrak orang dengan tidak sengaja.
"He keparat! Kau taruh di mana matamu!?", maki orang itu dengan kesal.
Ding Tao yang sedang terburu-buru tidak ingin terjebak dengan hal yang tidak perlu, cepat-cepat meminta maaf sambil
terus berlari. Tapi orang yang ditabraknya tidak dengan mudah memberi maaf, berbagai maki-makian dilemparkan ke arah
Ding Tao dengan suara keras, menarik perhatian sepasang iblis untuk menengok ke belakang.
Kejar-kejaran itu pun kembali berlangsung dengan sengitnya.
Nafas Ding Tao sudah mulai memburu, seluruh tubuhnya basah oleh keringat, pemuda itu hampir putus asa dan berniat
untuk membalik badan lalu menerjang. Meskipun dia tahu bahwa dia belum mampu menang melawan sepasang iblis itu.
Dalam keadaan yang hampir putus asa itu tiba-tiba, sebuah kereta menghadang jalan Ding Tao.
Ding Tao yang sedang berlari kencang hampir saja menabrak kereta itu.
Baru saja pemuda itu hendak berbalik arah, pintu kerete terbuka dan satu suara yang halus dan lembut memanggilnya,
"Sstt" cepat masuk ke mari."
Tertegun Ding Tao, membeku di tempat, matanya memandang dengan rasa tidak percaya. Di dalam kereta ada dua orang
gadis berpakaian sutra halus yang mewah. Yang seorang bajunya berwarna merah, mengenakan jubah sutra dengan
sulaman warna-warni yang mengingatkan pada warna daun di musim gugur, diikat dengan ikat pinggang dari kain sutra
berwarna merah menyala. Matanya yang lincah berkilat nakal, bibirnya tipis dengan senyum setengah mengejek
tersungging di sana. Gadis yang seorang lagi mengenakan jubah sutra berwarna putih, baju dan ikat pinggangnya juga
berwarna putih, di tangannya ada kipas gading yang dibuka, menutupi sebagian wajahnya, hingga yang terlihat hanyalah
sepasang matanya yang jeli, dihiasi sepasang alis dan bulu mata yang lentik.
Tidak sabar menunggu Ding Tao, gadis berjubah musim gugur, menjulurkan tangannya dan menarik Ding Tao ke dalam
kereta. Tenaga gadis itu jauh di bawah Ding Tao, tapi masih tertegun dengan kejadian yang mengejutkan itu, terlena oleh
kecantikan kedua gadis itu dan merasa tidak ada jalan lain untuk lepas dari pengejaran sepasang Iblis muka giok, Ding Tao mandah saja saat ditarik masuk ke dalam kereta.
Begitu Ding Tao masuk, dengan cepat pintu kereta ditutup, dari balik tirai Ding Tao masih sempat melihat sepasang iblis itu muncul dari sebuah tikungan.
Kereta tidak dipacu untuk berjalan cepat, kereta itu berjalan saja dengan wajar seperti dua-tiga kereta lain yang kebetulan ada di jalan. Sepasang iblis itu belum sadar bahwa hilangnya Ding Tao dari jalan adalah karena pemuda itu mendapatkan
tumpangan kereta. Disangkanya Ding Tao menghilang lagi di salah satu tikungan yang ada di jalan itu. Ketika mereka
memeriksa tiap-tiap tikungan yang ada, dengan lenggang kangkung, kereta itu pergi meninggalkan kota.
Yang pertama dirasakan Ding Tao saat masuk ke dalam kereta adalah bau harum dan segar yang memenuhi kereta itu.
Mencium bau itu, Ding Tao jadi teringat dengan dirinya yang berkeringat dan berbau apek setelah berlarian menyusuri jalan.
Dengan wajah bersemu, pemuda itu mengucapkan terima kasih, "Terima kasih atas pertolongan nona-nona sekalian."
"Tidak perlu sungkan, kami kenal dua orang yang sedang mengejarmu. Sepasang iblis yang kejam. Siapa pun yang dikejar
mereka, sudah tentu orang yang patut ditolong.", jawab gadis berbaju putih, suaranya lembut selembut kelopak bunga
peoni. "Sudah ditolong kenapa tidak cepat-cepat memperkenalkan nama dan apa urusannya hingga dirimu dikejar sepasang iblis
itu?", dengan lirikan nakal, gadis berjubah musim gugur mencela.
Ding Tao memang paling gampang dipermainkan dan digoda, dia bukan pemuda yang lincah dengan kata-kata. Mukanya
yang sudah merona merah, makin terasa panas karena malu, "Ya, ya, maafkan aku lupa memperkenalkan diri, namaku
Ding Tao. Dua orang itu mengejarku karena mereka menginginkan sesuatu dariku."
"Oh, namamu Ding Tao, tapi kenapa berputar-putar menjelaskan. Kalau mereka mengejarmu, sudah tentu karena
menginginkan sesuatu darimu. Tapi apa yang mereka inginkan darimu" Apakah kepalamu, atau peta harta karun atau
mungkin kau menyimpan kitab rahasia. Yang pasti jangan bilang, kalau iblis betina menginginkan cintamu dan iblis jantan yang cemburu menginginkan nyawamu, meskipun wajahmu lumayan menarik untuk dilihat tapi sepasang iblis itu biarpun
berwatak iblis, tapi cukup mengenal arti kata setia.", cerocos gadis berjubah musim gugur.
"Itu.. itu", tak dapat dengan bebas kukatakan. Masalahnya cukup pelik dan menyangkut masalah yang berbahaya. Lebih
baik jika nona-nona tidak tahu apa-apa mengenainya", jawab Ding Tao dengan terbata-bata.
"Astaga", cici dengar itu" Sudah ditolong tidak tahu pula berterima kasih, beraninya dia menaruh curiga pada kita.", omel gadis berjubah musim gugur.
"Bukan begitu maksudku?", ujar Ding Tao dengan memelas, sungguh dia tidak habis pikir bagaimana harus menjawab.
Pemuda yang baru saja berhasil menipu dan mengadu domba, jagoan-jagoan yang sudah kenyang makan asam garamnya
dunia persilatan, sekarang mati kutu di hadapan seorang gadis muda. Memang terkadang berurusan dengan pedang lebih
mudah daripada menghadapi lidah tajam seorang gadis yang cantik nan menawan.
Gadis berbaju putih, melepit pula kipasnya, kemudian mengetuk tangan gadis berjubah musim gugur menggunakan kipas
itu sambil menegur, "Cobalah kau diam, orang tidak mau kau tahu urusan, mengapa kau harus usil?"
Kipas dilepit, wajah yang tadi tertutup sekarang jadi terlihat, Huang Ying Ying adalah seorang gadis yang cantik, gadis berjubah musim gugur itu pun seorang gadis yang cantik. Tapi gadis berbaju putih ini, jauh lebih cantik, kecantikannya
begitu anggun dan mempesona. Ekspresinya anggun dan tenang, memancarkan kedamaian, memandang gadis itu Ding Tao
jadi teringat kisah-kisah tentang Chang"e, dewi bulan.
Melihat mata Ding Tao yang terpesona memandangi kakak perempuannya, jelas saja si gadis berjubah musim gugur tidak
tinggal diam, "O la la, cici coba lihat, matanya tidak berkedip memandangmu. Aku tahu memang aku tidak secantik dirimu, tapi baru kali ini kulihat seorang pemuda dengan terang-terangan tidak mengacuhkan diriku."
Mulut Ding Tao pun menganga hendak menjawab, tapi tak bisa juga hendak menjawab apa. Melihat wajah pemuda itu
sekarang ini sungguh-sungguh memelaskan hati.
"Wah, mengapa kau membuka mulutmu seperti itu" Apakah sedang menanti aku menghadiahimu manisan?", buru gadis
berjubah musim gugur. Dengan muka yang sudah merah padam Ding Tao cepat-cepat mengatupkan mulutnya. Dengan menundukkan kepala dia
berusaha meminta maaf, "Maaf, maaf, sikapku kurang sopan. Terima kasih banyak atas pertolongan nona-nona sekalian,
tapi keadaan sudah aman, mungkin sebaiknya aku turun di sini saja."
"Tidak perlu", kata gadis berbaju putih dengan lembut, tangannya bergerak menahan tubuh Ding Tao yang sudah beringsut
hendak melompat keluar dari kereta.
Baru memandang saja Ding Tao sudah terpesona, saat tangan gadis itu menyentuh pundaknya dengan lembut, bau harum
bunga menyebar keluar dari arah gadis itu, jari-jari yang lentik terasa menyentuh ringan pundaknya. Jantung Ding Tao jadi berdebaran, ingatannya berkelebat pada Huang Ying Ying yang menantinya di Wuling, hatinya merasa bersalah dan malu.
Inginnya dia segera melompat keluar dan melupakan kejadian hari itu. Tapi jari yang lentik itu seperti memilki mantra yang membuat Ding Tao diam menurut dan tidak bisa melompat pergi.
"Jangan pergi dulu, tidak usah kau dengarkan perkataan adikku, dia memang nakal. Sebaiknya kau ikut sampai kediaman
kami di luar kota, di sana lebih aman dan jauh dari sepasang iblis itu."
Ah, betapa lemah hati seorang pahlawan, ketika berhadapan dengan gadis cantik. Meskipun wanita sering menginginkan
lelaki yang halus perasaannya, tapi Lelaki yang tidak berperasaan mungkin lebih setia daripada lelaki yang terlalu halus perasaannya. Tak tega menolak, Ding Tao mengangguk diam.
Gadis berjubah musim gugur, tidak berani mengeluarkan kata-kata, tapi dia masih berani meleletkan lidahnya dan
mengerling menggoda, saat kakak perempuannya tidak melihat.
Perjalanan dilalui dengan diam, sejak teringat dengan Huang Ying Ying, Ding Tao tidak lagi berani menengadahkan
kepalanya. Pemuda itu takut terpikat lebih jauh lagi dengan gadis berbaju putih, lebih takut lagi digoda oleh gadis berjubah musim gugur. Sebenarnya ada rasa penasaran, ingin tahu lebih jauh siapakah kedua gadis itu. Keduanya tidak mengenalkan
nama, meskipun Ding Tao sudah mengenalkan namanya.
Ding Tao tidak berani bertanya, kalau bertanya, cari mati namanya, lidah tajam gadis berjubah musim gugur tentu sudah
siap dengan godaan yang lain. Masih bagus sekarang dia tidak berani menggoda Ding Tao setelah ditegur oleh kakak
perempuannya. Tapi apakah mereka benar saudara sekandung" Atau ada hubungan keluarga yang berbeda" Gadis berjubah musim gugur
itu memang cantik, tapi gadis berbaju putih itu terlampau jauh lebih cantik. Meskipun sama-sama cantik tapi keduanya
tidaklah mirip. Mungkin saudara satu ayah lain ibu, atau saudara sepupu dan banyak atau lainnya. Sementara Ding Tao sedang mereka-
reka, mulutnya terkunci rapat. Gadis berbaju putih tidak menanyakan apa-apa padanya, yang berjubah musim gugur pun
sekarang lebih sibuk melihat-lihat keluar daripada berbicara. Waktu dilalui dengan diam, kereta bergerak dengan malasnya menuju keluar kota, melintasi sungai kecil dan sebuah desa yang cukup ramai. Kereta baru berhenti saat tib di pinggir
sebuah mata air yang jernih, airnya mengalir jauh dan berhenti di sebuah danau kecil.
Di pantai danau kecil itu ada sebuah bangunan besar dengan bentuk yang sederhana, dikelilingi taman bunga dan berbagai
macam tanaman obat-obatan.
Di depan bangunan itulah kereta berhenti, gadis berjubah musim gugur membuka pintu kereta lalu melompat keluar, "Ah
akhirnya kita sampai juga cici. Lihat, bunga peoni yang kau tanam sudah mekar dengan indahnya."
"Bibi, bibi, kami sudah sampai.", kicau gadis itu, berlari sambil melambaikan tangan, meninggalkan Ding Tao dan gadis
berbaju putih sendirian dalam kereta.
Sejenak mereka berpandangan, saat pandang mata mereka bertemu, jantung Ding Tao berdebaran. Sadar bahwa mereka
sudah sampai di tempat tujuan, cepat-cepat Ding Tao turun dari kereta.
Sambil menunggu gadis berbaju putih turun dari kereta, Ding Tao berjalan lambat sambil melihat ke sekelilingnya. Sebagai bekas tukang kebun di kediaman Tuan besar Huang Jin, Ding Tao adalah seorang yang mencintai keindahan, perasaannya
yang halus dan peka terhadap segala sesuatu yang cantik. Dengan cepat perhatiannya ditarik oleh keindahan taman yang
ada di sekelilingnya. Tidak jemu-jemunya dia memandangi pohon dan bunga-bungaan, yang ditata apik dan rapi.
Ketika dilihatnya sesuatu yang kurang pas menurut perasaannya, tanpa sadar dia bergumam, "Ah, bunga itu seharusnya
dipindahkan, sedikit digeser mundur, sementara jalan setapak dibuat sedikit berkelok. Lalu bukit kecil yang di bagian sana, tentu lebih indah lagi kalau tanah di depannya sedikit direndahkan."
Tidak sadar bahwa gadis berbaju putih sudah ada di sampingnya dan sedang mendengarkan dengan seksama.
"Menurut Saudara Ding, itu akan membuat taman ini jadi lebih indah?", tegurnya bertanya.
Tersadar dari lamunannya Ding Tao menengok ke samping dan meminta maaf, "Ah, tidak juga, tidak juga, cuma sempat
lewat dalam benak saya. Tapi taman ini sungguh sangat indah, saya sendiri belum tentu mampu menata yang seperti ini."
Terdiam Ding Tao tidak tahu harus berkata apa, gadis berbaju putih mengitarkan pandangannya ke sekeliling taman.
Merenung. Ding Tao-lah yang akhirnya memecahkan kebisuan itu, "Nona, kukira sudah saatnya aku berpamitan. Budi baik nona akan
selalu kuingat, bila nona tidak keberatan, bolehkah aku tahu siapa nama nona?"
"Namaku?", gadis itu menoleh dan bertanya balik.
Matanya yang bulat jeli, seakan bertanya, apa ada maksud lain dibalik pertanyaanmu"
"Ya, nama nona, itu jika nona tidak berkeberatan. Rasanya aneh jika saya sampai tidak tahu nama penolong saya sendiri.", jawab Ding Tao cepat-cepat menjelaskan.
Gadis berbaju putih itu tersenyum dan jika saat diam dia sudah nampak cantik dan anggun, saat tersenyum, senyumnya
membawa rasa hangat di dadamu. Senyum yang seakan berkata, aku tahu dirimu dan apa yang kulihat dalam dirimu, aku
menyukainya. "Namaku Murong Yun Hua dan Saudara Ding kuharap kau mau menginap di kediaman kami beberapa hari lamanya. Sudah
lama tidak ada tamu yang berkunjung. Melihat orang yang sama setiap hari, meski kau sangat menyukai orang itu, lama-
lama timbul juga rasa sebal dalam hati. Sesekali bertemu orang yang berbeda, seperti membuka jendela di pagi hari dan
merasakan angin yang sejuk menerpa wajahmu."
"Tapi, apakah tidak merepotkan?", jawab Ding Tao dengan sedikit segan.
Ding Tao punya banyak alasan untuk merasa segan, pertama dia bukan sedang dalam perjalanan tamasya, ada tugas yang
dia sandang di pundaknya. Lalu hawa murni Tinju 7 Luka yang masih mengeram dalam tubuhnya, sehari hawa murni itu
masih mengeram di sana, sehari pula dia tidur dengan rasa was-was. Pertarungannya dengan Sepasang Iblis Muka Giok,
membuktikan bahwa kekhawatirannya punya alasan yang kuat.
Dan satu alasan lagi, Murong Yun Hua terlalu cantik, jika dia berlama-lama dekat gadis itu, Ding Tao khawatir hatinya akan berubah. Jika itu terjadi, lalu bagaimana dengan Huang Ying Ying yang menanti dirinya dengan setia"
"Apakah kau keberatan" Apakah tingkah nakal adikku sudah mengesalkanmu?", tanya Murong Yun Hua dengan wajah sedih.
"Jangan salah paham Nona Murong, bukan begitu, adik nona memang nakal, tapi aku tahu hatinya baik. Tidak nanti aku
memendam rasa kesal padanya.", jawab Ding Tao dengan rasa bersalah.
Sambil memalingkan wajah gadis itu menyambung dengan sendu, "Ya, kutahu, tentu bukan karena adikku sifatku memang
buruk, sering adikku bilang, aku terlalu pendiam dan membosankan. Saudara Ding, maafkan aku sudah berusaha
menahanmu di sini, padahal kau tentu ada keperluan yang lebih penting di tempat lain."
Caranya mengatakan keperluan yang lebih penting seakan mengatakan, tentu ada orang lain yang sudah menarik hatimu di
tempat lain. Apalah artinya diriku ini" Lalu bukankah tidak salah juga kalau dikatakan demikian, bukankah ada Huang Ying Ying di Wuling" Murong Yun Hua sudah tidak menahan dirinya untuk menginap, lalu mengapa Ding Tao tidak juga pergi"
Jika Ding Tao laki-laki yang tidak berperasaan, sudah tentu dia akan pergi. Jika Ding Tao laki-laki yang tidak mengenal arti kesetiaan, sudah tentu sejak tadi undangan untuk menginap diterimanya.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 1 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Kisah Si Rase Terbang 13