Pencarian

Pedang Angin Berbisik 7

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 7


rasa haus. Setelah yakin tempat itu cukup aman dari ular berbisa, Ding Tao mulai mencari dan menyiapkan lokasi yang
tepat untuk dia menghabiskan malam.
Matahari sudah condong ke barat saat akhirnya Ding Tao selesai dengan persiapannya. Seonggok besar kayu kering sudah
dia siapkan untuk dipakai selama beberapa hari. Bekal makanan yang dia bawa, dihitung dan dijatahnya baik-baik. Sebisa
mungkin Ding Tao ingin menghabiskan beberapa hari ke depan tanpa memusingkan soal makanan dan kebutuhan hidup
lainnya, hanya mencurahkan waktu dan pikirannya untuk mempelajari kitab yang dipinjamkan Murong Yun Hua padanya.
Tiga hari lamanya Ding Tao dengan tekun membaca kitab itu dari awal hingga habis. Selama tiga hari itu Ding Tao makan
dalam jumlah yang sangat terbatas, saat lapar dia meminum banyak-banyak air yang melimpah di tempat dia tinggal. Kitab
itu tidak terlalu tebal, tapi Ding Tao membaca dengan sangat berhati-hati, dia akan mengulang-ulang tiap bait, hingga dia merasa bahwa dia dapat meresapi maksud dan maknanya, sebelum dia berpindah ke bait selanjutnya.
Tidak mudah untuk dapat mengerti dan memahami apa yang dimaksud penulisnya, tidak ada orang yang membimbingnya
untuk mengartikan maksud dari kalimat-kalimat yang ada.
Tiga hari lewat, Ding Tao sudah membaca habis seluruh kitab itu beberapa kali.
Sungguh sebuah tantangan yang sangat sulit bagi Ding Tao, terkadang saat dia merasa sudah dapat mengerti makna dari
satu bait, saat dia mulai melanjutkan membaca beberapa bait selanjutnya barulah terasa ada ketidak sesuaian. Jika
menemukan demikian, maka terpaksalah Ding Tao kembali lagi merenungkan ulang bait-bait yang telah dia baca.
Demikian tiga hari lewat dan meskipun sudah beberapa kali membaca kita itu dari awal hingga akhir, pemahamannya akan
isi kitab itu masihlah samar-samar.
Hari keempat Ding Tao bangun dari tidurnya dengan rasa kecewa mengingat tiga hari lewat tanpa hasil yang cukup berarti.
Sementara waktu terus berjalan dan tidak menanti Ding Tao menyelesaikan usahanya mempelajari kitab itu. Isi kitab itu
berkaitan erat dengan pengolahan tenaga dan pengerahannya menggunakan pukulan tangan. Dari apa yang dia tangkap,
samar-samar Ding Tao merasakan adanya kesesuaian antara isi kitab itu dengan sifat-sifat hawa pukulan Tinju 7 Luka yang mengeram dalam tubuhnya.
Hari itu Ding Tao memutuskan untuk berhenti sejenak, lagipula persediaan makanan sudah menipis. Sepanjang hari Ding
Tao menjelajahi hutan, mengumpulkan akar-akaran, buah dan jamur liar yang bisa dimakan. Pengetahuan yang dia
dapatkan selama membantu Tabib Shao Yong membantunya menghindari jamur atau buah beracun.
Baru menjelang matahari terbenam pemuda itu berhenti mengumpulkan persediaan makanan dan kembali ke tempat dia
berlatih. Setelah beristirahat sejenak, Ding Tao tidak membuka-buka kitab atau berlatih, pemuda itu menyibukkan diri dengan
memastikan makanan yang sudah dia kumpulkan tersimpan dengan baik untuk beberapa hari ke depan, sebelum dia
beristirahat tanpa memikirkan sedikitpun isi kitab itu.
Keesokan harinya dengan tubuh dan pikiran yang segar, barulah Ding Tao mulai lagi mempelajari isi kitab itu, kali ini dia mencurahkan lebih banyak lagi perhatian pada tiap-tiap bagian. Seharian dia membaca dan sedikit sekali kemajuannya. Di
akhir hari itu, Ding Tao menghempaskan diri ke tanah dan mendesah.
Jika saja waktu tidak begitu mendesak, Ding Tao merasa senang bisa mempelajari isi kitab yang begitu rumit dan
memusingkan itu. Tapi Ding Tao mulai menyadari dunia persilatan yang sepertinya tenang ini, sungguh sedang
bergelombang hebat di balik permukaan. Pengkhianatan Tiong Fa hanyalah satu pucuk gunung es yang tampak di
permukaan. Tapi sejak kejadian di rumah keluarga Huang itu, Ding Tao merasakan semacam pertanda akan adanya badai
melanda dunia persilatan. Perasaan ini membuat Ding Tao merasa sedang berada dalam sebuah pertandingan lari dengan
musuh yang tidak terlihat. Lima hari tanpa kemajuan yang berarti membuat Ding Tao merasa jauh tertinggal dari bayangan
musuh yang tidak terlihat ini.
Dengan perasaan segan, pemuda ini membuka kantung obat yang diberikan oleh Murong Yun Hua, dibacanya sekali lagi
surat Murong Yun Hua dan petunjuk penggunaan Obat Dewa Pengetahuan.
Menurut keterangannya obat itu harus diminum 3 hari sekali, setelah 2 bulan mengkonsumsi obat itu obat diminum 3 hari
dua kali dan 2 bulan berikutnya obat diminum 1 kali sehari. 6 bulan lamanya konsumsi obat tidak boleh dihentikan, bila
aturan ini dilanggar ada kemungkinan akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi tubuh.
Ding Tao tidak suka menyandarkan dirinya pada hal-hal di luar dirinya sendiri. Entah itu berupa senjata seperti Pedang
Angin Berbisik, ataupun seperti Obat Dewa Pengetahuan yang diberikan oleh Murong Yun Hua ini.
Ding Tao tahu, untuk melatih beberapa ilmu terkadang ada obat yang harus diminum selama latihan. Entah itu untuk
membantu tubuh untuk menerima ilmu itu atau sekedar melindungi organ-organ tubuh dari luka atau cedera yang
ditimbulkan oleh latihan yang berat. Ding Tao bisa menerima hal-hal itu sebagai sesuatu yang perlu tapi dia tidak
menyukainya. Itu sebabnya sampai saat ini dia tidak meminum obat pemberian Murong Yun Hua.
Tapi Ding Tao menghadapi tembok yang tinggi dan waktu terus berpacu dengan dirinya. Menyerah pada keadaan Ding Tao
memutuskan untuk meminum obat itu besok pagi sebelum memulai kegiatannya, sesuai dengan anjuran yang tertulis.
Dengan keputusa itu Ding Tao menutup kembali kitab yang dipinjamkan Murong Yun Hua dan mulai latihan-latihan yang
biasa dia lakukan sebelum beristirahat.
Hari ke-enam, Ding Tao mengawalinya dengan meminum obat yang diberikan Murong Yun Hua. Setelah itu dia diam
mengatur nafas, merasakan aliran hawa murni dalam tubuhnya, memberikan kesempatan bagi obat itu untuk bekerja. Kerja
obat itu pada awalnya tidak terasa oleh Ding Tao, tapi bersama dengan berjalannya waktu, Ding Tao mulai merasakan
khasiat dari Obat Dewa Pengetahuan. Ingatannya bekerja jauh lebih baik, panca inderanya menajam beberapa kali lipat,
satu tingkat kesadaran dan kewaspadaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Sebenarnya ada perasaan ragu akan khasiat obat itu, tapi sekarang Ding Tao mulai menyesal mengapa dia tidak menuruti
saja nasihat Murong Yun Hua sejak awal. Ding Tao belum mulai mempelajari kitab itu lagi, tapi dari apa yang dia rasakan Ding Tao memiliki keyakinan bahwa hari ini dia akan mendapatkan banyak kemajuan.
Tetap dalam posisi duduk bersila dan mata terpejam, Ding Tao mulai menggali ingatannya. Tanpa perlu membuka kitab itu,
Ding Tao bisa mengingat dengan jelas setiap detail dari apa yang pernah dia baca. Penemuan ini membuat semangat Ding
Tao berkobar. Dengan tekun dalam posisi yang sama pemuda itu mulai mempelajari, merenungkan dan menelusuri apa yang telah dia
baca selama beberapa hari ini.
Begitu tenggelam Ding Tao dalam mempelajari ilmu itu, hingga jalannya waktu tidak lagi dia rasakan. Tanpa terasa hari
sudah mulai mendekati malam, tubuhnya terasa lemas dan Ding Tao pun tersadar bahwa dia sudah lupa akan waktu.
Perlahan pemuda itu menenangkan semangatnya dan membuka mata. Kakinya sudah lama mati rasa dan perutnya
sekarang terasa lapar, tapi hal itu tidak dapat membuat Ding Tao kehilangan semangatnya.
Kemajuan yang dia capai dalam satu hari ini jauh melebihi apa yang dia capai selama lima hari sebelumnya. Dengan fisik
lemah tapi semangat berkobar pemuda itu memnuhi kebutuhan fisiknya untuk makan dan beristirahat.
Tidak berani dia untuk meneruskan pembelajarannya, dipaksanya untuk menutup mata dan beristirahat. Lama kemudian
baru Ding Tao bisa tertidur, meskipun sudah biasa melatih agar pikirannya tunduk pada kehendaknya. Khasiat obat itu
membuat pikirannya bekerja dengan energi yang melonjak-lonjak. Ditambah lagi dengan semangatnya yang bangkit setelah
mendapat kemajuan yang berarti.
Keesokan harinya Ding Tao tidak sabar untuk segera mulai merenungkan isi kitab itu. Tapi kali ini dia tidak sampai lupa dengan kebutuhan fisiknya.
Demikian berlanjut hingga 4 hari lamanya, pada hari ke-11 Ding Tao sudah berhasil memahami isi kitab itu. Memang benar
kata-kata ayah Murong Yun Hua, dengan mengamati sifat hawa liar Tinju 7 Luka yang mengeram di tubuhnya dan
pemahamannya akan isi kitab itu, Ding Tao menemukan kecocokan di antara keduanya. Sehingga pemuda itu yakin bahwa
benar kitab ini adalah sumber dari ilmu Tinju 7 Luka milik perguruan Kongtong.
Hanya dalam pengembangannya sifat merusak dan liar dari hawa pukulan itu dikembangkan jauh lebih hebat. Ketika Ding
Tao berhasil mempelajari isi kitab itu, dalam hati dia merasa ngeri melihat arah yang diambil oleh pendiri perguruan
Kongtong dalam mengembangkan ilmu itu.
Karena sifat perusak yang begitu dahsyat dan ganas dari Tinju 7 Luka, diiringi dengan timbulnya sifat liar dari hawa murni yang dilatih. Sifat-sifat ini bukan saja membahayakan korban dari Tinju 7 Luka tapi juga membahayakan pemiliknya sendiri.
Memiliki ilmu Tinju 7 Luka, tidak ubahnya memelihara harimau untuk menerkam lawan. Jika tidak hati-hati bukan tidak
mungkin harimau itu akan berbalik menyerang pemiliknya.
Beruntung Ding Tao mendapatkan kesempatan mempelajari ilmu dari kitab itu, lewat pemahamannya dan hasil
renungannya Ding Tao sudah memiliki pegangan tentang bagaimana dia harus menjinakkan hawa liar dalam tubuhnya.
Dengan apa yang sudah dipahaminya mulailah Ding Tao berlatih sesuai jalan yang dia dapatkan. Pertama-tama Ding Tao
mulai menghimpun hawa murni mengikuti petunjuk dari kitab yang dia baca. Menghimpun dan perlahan-lahan
menyatukannya dengan himpunan hawa murni yang sudah dia miliki sebelumnya. Meskipun berbeda sifat dan dasar, tapi
karena cara pengolahan dan penghimpunan hawa murni mengikuti petunjuk kitab itu tidaklah liar dan seganas hawa murni
Tinju 7 Luka, Ding Tao tidak mengalami kesulitan untuk menyatukannya dengan himpunan hawa murni yang sudah dia
miliki sebelumnya. Karena sudah memiliki dasar yang baik, dalam 1 bulan, latihan yang dilakukan menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Apalagi dalam menjalani latihan itu, Ding Tao hanya mengkonsumsi buah-buahan, akar-akaran dan jamur-jamur liar.
Tubuhnya dipenuhi energi yang lebih murni daripada energi yang dihasilkan dari makanan berjiwa. Hal ini sangat
menunjang dalam latihan tenaga dalam Inti Bumi yang dia lakukan.
Setelah merasa himpunan hawa murni dari tenaga inti bumi cukup berimbang dengan himpunan hawa murni yang telah dia
miliki sebelumnya, mulailah Ding Tao berlatih untuk menggunakan kedua hawa murni yang berlainan sifat itu dalam jurus-
jurus yang sudah dia miliki sebelumnya.
Tenaga inti bumi, berbeda dengan Tinju 7 Luka hasil pengembangannya, bersifat melumpuhkan tapi tidak melukai.
Sementara hawa murni yang dimiliki Ding Tao sebelumnya memiliki sifat yang ulet dan liat, sesuai untuk bertahan,
memperpanjang stamina dan menguatkan tubuh. Dengan dua jenis hawa murni yang berlainan sifat tapi dikombinasikan
penggunaannya dengan indah, jurus-jurus serangan dan pertahanan Ding Tao berkali-kali lipat lebih kuat dan berbahaya.
Menggunakan dua hawa murni yang berbeda sifat tentu bukan hal yang mudah, tapi obat pemberian Murong Yun Hua
meningkatkan kemampuan otak dan syaraf Ding Tao, ditunjang dengan dasar dan bakat yang baik. Apa yang seharusnya
butuh waktu bertahun-tahun dapat dikuasai Ding Tao dalam hitungan bulan. Tiga bulan lamanya Ding Tao dengan tekun
mematangkan penguasaannya terhadap dua macam hawa murni yang sekarang ada dalam tubuhnya itu.
Setelah berhasil meyakinkan penguasaannya, butuh 1 bulan lagi lamanya bagi Ding Tao untuk sedikit demi sedikit,
membangkitkan hawa liar Tinju 7 Luka yang tertidur dalam tubuhnya dan dengan usaha yang tekun Ding Tao berhasil
mengubah sifat liar dan ganas dari hawa liar Tinju 7 Luka, karena pada dasarnya Tinju 7 Luka adalah Tenaga Inti Bumi yang keganasan dan sifat merusaknya diperkuat, maka dengan mempelajari Tenaga Inti Bumi, Ding Tao memiliki jalan untuk
mengolah hawa liar Tinju 7 Luka dalam tubuhnya menjadi Tenaga Inti Bumi untuk disatukan dengan hawa murni Tenaga
Inti Bumi yang sudah dia himpun sebelumnya.
Demikianlah setelah kurang lebih 4 bulan setengah, Ding Tao terbebaskan dari gangguan yang diakibatkan oleh Tinju 7
Luka. Bukan hanya itu, dalam waktu yang singkat itu, Ding Tao mengalami peningkatan yang tidak sedikit dalam hal imu
silat. Meskipun jurus-jurus yang dimiliki tidak bertambah, namun dari pengalaman dan dari segi pengendalian tenaga, Ding Tao mengalami peningkatan yang sangat pesat.
Akhirnya Ding Tao mengakhiri latihannya, pagi hari itu Ding Tao mandi berendam di kolam yang ada. Pada awalnya
tubuhnya mengerut merasakan dinginnya air, rasa kantuk yang tersisa langsung terusir jauh-jauh. Dinginnya air tidak
mampu memadamkan semangat Ding Tao yang menyala-nyala, pemuda itu bahkan berendam hingga seluruh tubuhnya
masuk ke dalam air. Setelah beberapa saat tubuhnya mulai beradaptasi dan rasa dingin yang tadi menyerang, sekarang
berubah menjadi kawan. Ding Tao memejamkan matanya, menikmati dinginnya air yang menyegarkan.
Dengan batu-batuan yang ada digosoknya segala daki dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Tidak lupa dia mencuci
rambutnya sampai seluruh kulit kepalanya terasa seperti mau tercabut.
Keluar dari kolam Ding Tao sungguh-sungguh merasa sudah menjadi manusia yang baru. Pakaian yang selama ini
dipakainya dibakar habis. Sudah berbulan-bulan Ding Tao tidak pernah berganti pakaian. Ada untungnya juga karena
sekarang Ding Tao jadi memiliki 2 setel pakaian bersih tanpa perlu mencuci pakaian.
Memakai mata pedang yang tajam, dengan hati-hati Ding Tao mencukur bulu-bulu rambut pendek di wajahnya.
Ketika Ding Tao melangkahkan kakinya keluar dari hutan, dia sudah terlihat segar, rapi dan tampan. Meskipun tubuhnya
sedikit lebih kurus namun dengan langkah kakinya yang makin ringan dan mantap, dan sorot matanya makin tajam, Ding
Tao jadi nampak lebih berwibawa dan meyakinkan.
Ada saatnya Ding Tao merasa ragu akan arah tujuannya hari ini, tapi sudah cukup lama dia memikirkannya dan dia
memutuskan untuk segera mengembalikan kitab Tenaga Inti Bumi pada Murong Yun Hua. Ding Tao yakin setelah Murong
Yun Hua mendengar penjelasannya gadis itu tentu tidak akan mendesaknya lagi tentang menjadi pewaris keluarga Murong.
Ding Tao juga masih teringat dengan pertemuan mereka yang terakhir, pemuda itu sudah berjanji untuk mengingat
kenangan yang manis bersama Murong Yun Hua dan melupakan kejadian yang memalukan di hari dia berpamitan pada
Murong Yun Hua. Ding Tao sudah berjanji tentu akan dia tepati. Jika hari ini ada keraguan untuk berkunjung, bukankah itu artinya Ding Tao tidak benar-benar melupakan kejadian itu" Lagipula Ding Tao merasa tidak enak menyimpan kitab yang
bukan miliknya. Hatinya pun sedang dalam suasana yang riang, setelah berhasil menyembuhkan dirinya dari bekas Tinju 7 Luka. Betapapun
Murong Yun Hua dan Murong Huolin mendapatkan tempat yang khusus dalam hatinya, dan di saat dia merasa sangat
berbahagia ini dia ingin sekali membagikannya pada orang-orang yang dia kasihi.
Setengah berlari pemuda itu pergi menyusuri jalan, menuju ke kediaman keluarga Murong. Dalam waktu yang singkat, dari
kejauhan Ding Tao sudah bisa melihat bangunan rumah keluarga Murong. Tak urung jantungnya sedikit berdebar-debar,
meskipun tidak seluruhnya adalah debar-debar kecemasan. Sulit untuk menghindaro kenyataan bahwa meskipun dia
menolak tapi dirinya menikmati juga apa yang dilakukan oleh Murong Yun Hua.
Tapi sebelum dia sampai di sana tiba-tiba nalurinya merasakan adanya bahaya. Di luar sadarnya saraf-saraf di tubuhnya
menegang, satu hawa membunuh bisa dirasakannya menanti beberapa langkah di depan.
Ding Tao pun berhenti melangkah, ditajamkannya telinga dan mata, diamatinya keadaan di sekelilingnya. Matanya yang
tajam akhirnya menangkap sosok seseorang yang berbaju hijau daun sedang bersembunyi di gerumbulan dedaunan di atas
sebuah pohon, tidak jauh lagi dari dirinya. Tangannya bergerak meraih pedang yang tergantung di pinggang.
Dengan pedang terhunus, dia menunjuk sosok yang sedang bersembunyi itu, "Hei, sahabat yang ada di sana, mengapa
tidak memunculkan diri saja?"
Terdengar tertawa mengikik mendirikan bulu roma, "Hihihihi Ding Tao" Ding Tao" lama dicari tidak tahunya bersembunyi di hutan. Kenapa keluar, apakah kau kangen denganku?"
Mendengar suara itu Ding Tao segera mengenalnya, siapa lagi jika bukan Sepasang Iblis Muka Giok. Tapi kali ini Ding Tao tidak gentar menghadapi mereka. Dengan kondisinya saat ini dia punya keyakinan untuk melawan sepasang Iblis itu.
Dengan senyum tawar dia menjawab, "Memang benar, aku sudah kangen, kangen, tidak tahan ingin memberi hajaran pada
pantat kalian yang bau itu."
Dengan suitan nyaring sepasang Iblis itu melompat keluar dari tempat mereka bersembunyi. Kali ini sepasang Iblis itu
rupanya sedang ingin menakut-nakuti orang. Karena dandanan mereka benar-benar cocok jika dikatakan sebagai setan.
Wajah mereka diwarna hingga tampak pucat kehijauan, rambut digerai ke belakang dan bibir merah seperti darah.
Iblis jantan dengan mata menyala memandangi Ding Tao yang berdiri dengan tenangnya. Melihat sorot mata Ding Tao yang
makin tajam, gerak-geriknya yang makin ringan dan mantap, Iblis itu merasa terkejut, tidak disangkanya dalam waktu yang hanya beberapa bulan sudah terjadi perubahan yang begitu besar dalam diri pemuda itu.
"Hmmm" rupanya kondisimu membaik sejak pertemuan terakhir kita, bahkan ilmumu pun sepertinya mengalami
peningkatan. Tidak heran sikapmu begitu sombong. Tapi anak muda, tempo hari pun kami tidak berani menggempurmu
dengan sungguh-sungguh, karena kami masih menyayangkan nyawamu.", ancam Iblis jantan dengan wajah dingin.
"Hahaha, Iblis jantan, jangan bilang bahwa sekarang kau sudah tidak tertarik lagi dengan Pedang Angin Berbisik, karena
jika kau masih tertarik, tentu kau harus berhati-hati agar jangan sampai nyawaku melayang dan rahasia tentang di mana
Pedang Angin Berbisik itu tersimpan, terkubur bersama dengan kematianku.", tawa Ding Tao membuat hati Iblis jantan
seperti dikili-kili. "Setan Alas! Siluman keparat!"
"Eh, mengapa kau memanggil temanmu kemari" Apa sepasang iblis masih kurang untuk mengeroyokku hingga kau ingin
pula menambah beberapa setan dan siluman untuk membantumu?", ejek Ding Tao sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau yang setan! Tutup mulutmu keparat!", bentak Iblis jantan yang dengan marah langsung menerjang, mengirimkan
serangan maut ke arah Ding Tao.
Serangan yang dilancarkan dengan pertimbangan yang terburu-buru itu dengan mudah dielakkan Ding Tao. Memanfaatkan
kemarahan Iblis Jantan dengan cepat Ding Tao menggeser posisinya ke arah yang menguntungkan, dari sudut itu posisi
Iblis jantan terbuka lebar. Sebuah serangan segera dilancarkan Ding Tao dari sana, beruntung bagi Iblis jantan karena Iblis betina tidak terlambat untuk menolong.
Dalam waktu yang singkat, ketiga orang itu terlibat dalam pertarungan yang seru. Belajar dari pengalaman mereka yang
sebelumnya, Iblis jantan dan Iblis betina bekerja sama dengan rapat. Tidak lagi mereka mengepung Ding Tao dari dua arah, yang memberi kesempatan pada Ding Tao untuk memecahkan kerja sama mereka.
Ding Tao pun kali ini tidak memiliki keinginan untuk melarikan diri, kedatangan sepasang Iblis itu dipandangnya sebagai kesempatan yang baik untuk menguji apa yang baru dia mantapkan.
Puluan jurus sudah lewat, namun perlawanan mereka masih berimbang. Beberapa tempat di lengan dan kaki Ding Tao
sudah tergores senjata lawan. Tapi sepasang Iblis itu juga tidak lepas dari luka-luka. Sebuah goresan memanjang menghiasi pipi Iblis jantan, menambah seram wajah setannya. Sementara iblis betina telah terluka di pundaknya, meskipun hanya luka gores yang tidak membahayakan dan mengganggu keganasannya.
Menghadapi kenyataan bahwa Ding Tao mampu mengimbangi mereka, Iblis jantan mulai habis kesabarannya, dia sadar jika
dia masih menahan-nahan serangan untuk menangkap Ding Tao hidup-hidup, yang terjadi justru Ding Tao akan
memanfaatkan kelemahan itu. Bersuit panjang, Iblis jantan memberikan kode pada Iblis betina untuk mengubah taktik
serangan mereka. Hilang sudah keinginan Iblis jantan untuk menangkap Ding Tao hidup-hidup.
Jika itu berhasil dilakukannya maka itu satu keuntungan, tapi jika Ding Tao sampai mati di tangannya pun, Iblis jantan tidak akan menyesal.
Gerakan sepasang iblis itu berubah makin ganas, menghadapi sepasang Iblis yang kini mengincar kemenangan dalam
bentuk apapun, membuat Ding Tao makin terdesak. Baru sekarang matanya terbuka akan betapa berbahayanya sepasang
iblis itu. Sepasang iblis itupun baru mulai terbuka matanya akan kedalaman tingkat Ding Tao setelah mereka bersungguh-sungguh
berusaha menang dengan segala cara tanpa mempedulikan apakah Ding Tao akan tertangkap hidup-hidup atau terkapar di
tanah tanpa kepala. Sebelumnya mereka selalu berpikir pemuda itu masih mampu bertahan karena mereka belum
mengerahkan segenap kemampuan mereka. Tapi sekarang setelah mereka mengerahkan segenap kemampuan pun,
kemenangan masih jauh dari mata. Benar mereka berhasil mendesak Ding Tao, tapi pertahanan pemuda itu sendiri tidak
sampai melemah. Sesekali Ding Tao masih sempat menyerang dan memaksa mereka mengendurkan serangan.
Hampir seratus jurus berlalu ketiga orang itu masih bertempur dengan serunya, muka Iblis betina yang didandani dengan
warna pucat, semakin pucat, nafasnya mulai tersengal-sengal. Keringat sudah membasahi tubuh ketiganya tapi di antara
mereka bertiga Iblis betinalah yang terlemah. Sepasang Iblis itu pun mulai merasa putus asa, perlawanan Ding Tao
bukannya melemah, justru kedudukannya semakin lama semakin mantap.
Inilah sisi yang paling mengerikan bagi lawan-lawan Ding Tao, kemampuannya untuk membaca pola serangan lawan,
menganalisa dan mencari jalan untuk memecahkan serangan dan pertahanan lawan, sambil terus bertarung. Inilah yang
paling mengerikan dari Ding Tao.
Bertarung dengannya seperti sedang mengejar fatamorgana, sesaat tampaknya dekat, tapi setelah sekian lama kita berlari
mendekat, tidak juga bayang yang kita kejar itu menjadi semakin dekat. Bayang-bayang yang kita kejar justru makin
menjauh, hingga saatnya kita mulai kehabisan nafas dan bayang-bayang itupun menghilang.
Demikian juga bertarung dengan Ding Tao, saat mulai bertarung dengannya, perhitungan mereka adalah pada jurus ke
sekian, pada saat menggunakan jurus tertentu untuk memojokkannya, pada saat penggunaan hawa murni ditingkatkan
sampai tahapan ke sekian, dsb, pada saat itu tentu akan tercapai kemenangan. Kenyataannya saat mereka sudah mencapai
titik itu, ternyata kedudukan mereka dan Ding Tao tidak berubah banyak. Semakin lama bertarung, sementara himpunan
tenaga mereka semakin melemah, lawan masih melawan dengan perlawanan yang sama kuatnya jika bukan semakin kuat.
Hingga satu titik di mana Ding Tao berada dalam kedudukan untuk mendikte permainan mereka, saat rasa-rasanya palu
pengadilan sudah diketukkan dan sudah diputuskan pada siapa kemenangan akan diberikan.
Bila seseorang menganalisa jurus-jurus lawan, setelah pertarungan berakhir, kemudian berusaha menciptakan cara untuk
mengalahkannya. Ini adalah hal yang biasa, tapi melakukan hal seperti itu dalam pertarungan itu sendiri, dengan hasil yang sedemikian akurat, inilah yang tidak biasa. Inilah yang dimiliki oleh Ding Tao seorang di jamannya.
Permainan jurus Ding Tao mungkin tidak terlihat ganas, menakjubkan atau mengagumkan. Fokus anak muda itu pertama-
tama adalah pada pertahanan yang kuat dan tidak bisa ditembus. Jika dia tidak yakin bisa menghancurkan atau mendikte
permainan lawan, Ding Tao tidak akan buru-buru menyerang. Seragan-serangan yang dia lakukan terukur tenaganya dan
berfungsi untuk menguji lawan dan sebagai bagian dari pertahanan. Perlahan-lahan saat dia mulai mengenali permainan
lawan, menemukan pemecahannya, barulah dia menerapkannya. Pada saat dia sudah mulai melakukan itu, kecuali lawan
ternyata masih memiliki simpanan lain, pada saat itu sudah bisa ditentukan pada siapa kemenangan akan jatuh. Tapi jika
lawan ternyata memiliki simpanan, hal yang sama akan berulang Ding Tao akan kembali pada sikapnya yang memberatkan
pertahanan dan menganalisa permainan lawan.
Itu sebabnya mereka yang hanya menonton dari pinggir arena tidak mudah merasa kagum pada pemuda itu, kecuali jika
tingkatan mereka berada di bawah lawan Ding Tao. Tapi jika tingkatan mereka lebih tinggi dari lawan Ding Tao, maka
penilaian yang umumnya mereka berikan tentang kemampuan Ding Tao lebih sering salah daripada benar.
Mereka akan merasa bisa mengalahkan pemuda itu, jika saja mereka yang menghadapinya. Baru setelah mereka
berhadapan, barulah mereka akan merasakan betapa mengerikannya bertarung dengan pemuda ini.
Sepasang Iblis muka giok, mulai merasa putus asa, dengan melemahnya Iblis betina, Iblis Jantan harus mencurahkan
sebagian dari perhatiannya untuk melindunginya. Mata pedang Ding Tao tidak membeda-bedakan lelaki dan perempuan,
artinya jika Iblis jantan melupakan pertahanan sendiri mata pedang Ding Tao akan mampir di tubuhnya.
Melewati jurus ke 120, Sepasang Iblis Muka Giok perlahan-lahan semakin jarang menyerang, mereka dipaksa untuk
bertahan dan bertahan. Nasib sepasang iblis itu kini berada di tangan Ding Tao. Sudah banyak orang mati di tangan sepasang iblis ini, dosa mereka sudah bertumpuk-tumpuk. Seandainya Ding Tao membunuh mereka hari ini, nama dan kisah kepahlawanannya akan makin
melambung tinggi. Sudah bisa dipastikan akan banyak orang yang simpati pada perjuangan anak muda ini, karena tidak
sedikit keluarga dan sahabat dari korban sepasang iblis ini, mendendam tapi tidak ada kemampuan untuk melampiaskan
sakit hati. Kematian mereka akan disambut dengan sorak sorai.
Dalam kisah kepahlawanan yang sering dia dengar di masa kecil dan remajanya, Ding Tao ikut bersorak bersama pendengar
dan penonton yang lain, saat sang jagoan berhasil membinasakan iblis yang jahat, pembesar yang korup dan penjahat-
penjahat jenis lainnya. Tapi pengalamannya saat bertarung melawan Fu Tsun, Xiang Long dan sepasang iblis ini beberapa bulan yang lalu,
memberikan kesan tersendiri dalam hati dan benak Ding Tao. Erangan kematian, kengerian tang menyorot di mata mereka.
Entah kejahatan apa saja yang mereka lakukan di kehidupan mereka sebelumnya, seandainya Ding Tao tahu mungkin tidak
akan timbul rasa belas kasihan dalam hatinya.
Namun Ding Tao bahkan tidak mengenal mereka sebelumnya, bagi Ding Tao saat itu mereka hanyalah orang-orang, manusia yang tak ada bedanya dengan dirinya. Yang hanyut dalam permainan kekuasaan segelintir orang, saling bentrok,
saling bunuh demi sebatang pedang.
Betapa sia-sianya kematian mereka.
Sekarang pemuda ini kembali dihadapkan pada keadaan yang serupa. Apakah dia akan membunuh sepasang iblis itu" Tiba-
tiba hati Ding Tao melemah, beberapa kali dia melihat hubungan yang dalam antara sepasang iblis itu, saat ada serangan


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mematikan yang mengarah pada pasangannya, tanpa segan-segan mereka membahayakan diri sendiri demi
menyelamatkan pasangannya. Akibatnya tubuh sepasang iblis itu pun dihiasi dengan lebih banyak luka.
Tindakan itu tentu saja merugikan mereka, karena serangan Ding Tao itu membuka pertahanan dirinya, alangkah lebih baik
jika mereka memanfaatkan lobang pertahanan yang terbuka untuk mengirimkan serangan yang mematikan pada Ding Tao.
Tapi rupanya sepasang iblis itu sudah mulai jeri terhadap Ding Tao, mereka tidak berani mengambil resiko. Ada ketakutan bahwa Ding Tao akan mencoba mengajak mereka mati bersama. Sehingga Ding Tao akan tetap melanjutkan serangannya
meskipun itu mungkin berarti kematian, tapi kematiannya akan diiringi pula dengan kematian seorang dari iblis itu.
Pada awalnya Ding Tao yang melihat hal itu, memanfaatkannya untuk melakukan serangan-serangan tipuan. Menyerang
Iblis betina padahal yang dia incar adalah Iblis jantan, demikian juga sebaliknya.
Tapi lambat laun, kesetiaan pasangan itu, yang rela mati demi kekasihnya menggerakkan hati pemuda ini. Rasa belas
kasihannya timbul, tidak tega dia mendesak terus keduanya. Tenaganya tidaklah jauh melebihi keduanya, saat ini Ding Tao sudah mulai kelelahan. Jika ada sedikit kelebihan itu karena Ding Tao lebih pandai mengatur tenaga.
Jika dia mau memenangkan pertarungan, maka tidak ada jalan lain kecuali membunuh salah satu dari sepasang iblis itu.
Tapi hatinya tidak tega, beberapa kali Ding Tao melepaskan kesempatan yang baik, karena tertahan oleh belas kasihan.
"Tahan, mari kita bicara!", pada saat sepasang iblis itu sudah di ambang pintu keputus asaan, tiba-tiba Ding Tao berteriak sambil melompat mundur beberapa langkah jauhnya dari sepasang iblis itu.
Sama sekali tidak terpikir di benak sepasang iblis itu untuk mengejar mundurnya Ding Tao. Dari tenaga yang digunakan
pemuda itu untuk melompat ke belakang, mereka bisa membanding-bandingkan keadaan mereka dan keadaan pemuda itu.
Sepasang iblis itu pun cepat-cepat menggunakan jeda yang ada untuk mengatur nafas.
Iblis jantan yang masih lebih segar dari pasangannya membuka mulutnya, "Ding Tao apa maumu" Apa kau sudah yakin
akan memenangkan pertarungan ini" Dan sekarang kau ingin coba memeras kami" Atau mungkin kau ingin
menyombongkan kehebatanmu di depan kami?"
Perlahan Ding Tao maju mendekat sambil menggelengkan kepala, sepasang iblis itu tanpa sadar menegang, tapi Ding Tao
tidak menyerang dia hanya bergerak mendekat, meskipun pedangnya masih terhunus dan siap digunakan. Melihat Ding Tao
tidak berniat berbuat curang, sepasang iblis itu sedikit mengendorkan ketegangan mereka.
Dengan jarak yang tidak terlalu dekat tapi juga tidak terlalu jauh, Ding Tao menjawab, "Tidak, tidak ada maksud untuk
memeras kalian ataupun menyombongkan diriku. Meskipun kurasa jika kalian mau jujur, bukanlah satu kesombongan jika
kukatakan aku akan bisa mengalahkan kalian dalam beberapa belas jurus lagi."
"Kami masih punya ilmu simpanan", ujar iblis jantan pendek, berusaha menyembunyikan kenyataan.
Sebelah alis Ding Tao terangkat, ia memandang Iblis jantan dengan sorot mata yang tajam. Di bawah pandangan mata Ding
Tao, iblis jantan tiba-tiba merasa gentar.
"Terserahlah apa katamu, yang pasti menurut kataku, dalam belasan jurus satu di antara kalian akan mati.", ujar Ding Tao akhirnya, setelah beberapa lama memandang tajam ke arah Iblis jantan, berharap dia mau jujur akan keadaannya.
Iblis betina yang sudah mulai teratur kembali nafasnya menjawab dengan sengit, "Mati ya mati, lalu apa maumu" Ternyata
kau hanya hendak menyombongkan dirimu saja!"
Ding Tao menggelengkan kepala, "Bukan itu maksudku, aku hanya ingin kita sepakat akan keadaan kita saat ini. Aku bisa
menang dan hanya bisa menang jika aku membunuh salah satu dari kalian."
Untuk beberapa saat Ding Tao diam menunggu saat dilihatnya sepasang iblis itu tidak menyangkal, dia melanjutkan, "Tapi
aku tidak ingin membunuh kalian?"
"Hmm" apa yang kau mau sebagai gantinya?", desis iblis jantan.
"Satu hal saja, jangan ganggu aku lagi.", jawab Ding Tao.
Kemudian dia buru-buru menambahkan, ?" dan kalau kalian tidak keberatan sebisa mungkin hentikan saja tingkah kalian
yang kesetan-setanan itu. Aku tahu kalian pandai menyamar, kalian bisa dengan mudah memulai hidup baru."
Melongo sepasang iblis itu, jawaban Ding Tao di luar dugaan mereka, bukan hanya jawabannya tapi juga cara pemuda itu
menyampaikannya. Biasanya jika seorang biksu atau pendeta yang taat beragama berhasil menaklukkan kawanan penjahat
lalu mengkhotbahi mereka agar kembali ke jalan yang benar, tentu tidak seperti lagak Ding Tao saat ini.
Masa untuk itu pun pemuda itu menambahkan, "kalau kalian tidak keberatan"
"Heh" heh.. hehehehe" hahah hahahaha.", Iblis jantan tertawa berkakakan, tapi di antara tawanya terdengar kepahitan.
"Anak muda kau ini aneh sekali. Tidak tahukan kau siapa kami ini" Kami ini Sepasang Iblis Muka Giok, tangan kami sudah
berlumuran darah dan kau dengan ringannya mengatakan, jika kami tidak keberatan, baiknya kami memulai hidup baru.",
pandang mata iblis jantan saat itu tidak nampak seperti setan, tapi nampak penuh kesedihan.
Ding Tao tentu saja merasa kejut dan heran, dia tidak akan heran jika iblis jantan memakinya atau menyumpahinya atau
bahkan dengan licik coba menyerangnya. Tapi sorot mata yang penuh kesedihan, sangat tidak sesuai untuk seorang iblis
seperti dia. Belum habis keterkejutannya, dia mendengar isak tangis tertahan, saat dia menengok untuk melihat sumber
suara itu, ternyata iblis betina sedang meneteskan air mata dan menangis tanpa suara.
"Ini" ini" kalian ini kenapakah?", antara merasa lega dan bingung Ding Tao tidak tahu harus mengatakan apa atau berbuat apa.
Jika mereka main curang, justru dia tahu apa yang harus dia lakukan. Jika mereka menyerangnya dengan jurus mereka
yang paling keji, dia sudah melihatnya dan tahu cara memunahkannya. Tapi sekarang mereka menangis, lalu apa yang
harus dia lakukan" "Sudahlah, hanya cerita lama yang tidak ingin kukenang.", jawab Iblis jantan dengan singkat.
"Apakah kalian ada kesulitan tertentu hingga terpaksa menjalani hidup sebagai sepasang iblis?", tanya Ding Tao dengan
nada bersimpati. Iblis jantan menatap tajam wajah Ding Tao, jika orang lain yang bertanya mungkin dia akan naik darah dan kembali
mengajak adu nyawa, tapi wajah pemuda itu begitu tulus. Selain memang Ding Tao tidak bersalah, karena tidak banyak
yang tahu kisah kelam mereka. Pemuda itu juga menumbuhkan perasaan suka dalam hati si iblis jantan.
Dunia persilatan penuh kepalsuan, tidak seperti kisah kepahlawanan yang menceritakan persahabatan sejati. Pahlawan-
pahlawan dalam dunia persilatan, tidak jarang adalah orang-orang yang paling munafik dan tidak mengenal kata
persahabatan. Iblis jantan sudah merasakan pahitnya ditinggalkan orang-orang yang memanggilnya sahabat. Dalam waktu
sekejap, yang beberapa hari sebelumnya masih minum arak bersama, tiba-tiba memandang dia seperti memandang
seonggok sampah. Bagi mereka yang sedang menikmati hasil jerih payahnya lewat bermacam intrik dan penipuan, Ding Tao tidak lebih dari
anak mudah bodoh yang menyebalkan. Tapi bagi orang-orang yang tersisih dan dikecewakan, watak Ding Tao yang lugu,
terbuka dan santun, membawa kesegaran.
"Seandainya saja dulu kami sempat mengenalnya, mungkin kami tidak akan memilih jalan seperti ini", pikir sepasang iblis itu.
Tapi semuanya sudah terlanjur basah, kejahatan mereka sudah bertumpuk-tumpuk seperti gunung. Mengajak Ding Tao
bersahabat sekarang ini, sama saja artinya menghancurkan kehidupan pemuda itu. Mereka tahu rasanya dimanfaatkan lalu
dicampakkan, mereka tidak mau melakukan hal yang sama, hanya demi perasaan pribadi menghancurkan kehidupan orang
yang mereka panggil sahabat. Sepasang iblis itu sudah bersama-sama sekian lamanya, mereka sudah sehati dan sepikir.
"Soal itu kau tak perlu tahu, sudahlah, kami sudah kalah. Kau melepaskan kami itu adalah hutang budi yang tidak akan
kami lupakan. Pedang itu memang sepantasnya jadi milikmu.", ujar iblis jantan menjawab tawaran Ding Tao.
Sesaat lamanya dia termangu, kemudian sebelum berbalik dia berpesan, "Hanya satu pesanku, hati-hati dalam
pengembaraanmu di dunia persilatan. Banyak serigala menyamar menjadi domba. Bakatmu sungguh luar biasa, dengan
pengalaman yang cukup, mungkin kau akan jadi jagoan nomor satu. Satu permohonanku, sebelum hari itu tiba jangan mati
dulu." Dengan pesan itu, sepasang iblis itu membalikkan badan kemudian melompat, berlari dengan cepat, menghilang dalam
lebatnya hutan. Ding Tao memandangi mereka dengan perasaan hangat. Ya, tiba-tiba saja dada pemuda itu dipenuhi
dengan kehangatan. Sepasang iblis tidak perlu mengangkat persahabatan dengan Ding Tao. Hati Ding Tao yang peka dapat
merasakan pancaran persahabatan yang muncul dari sorot mata mereka. Penemuan yang baru ini membuat Ding Tao
berpikir panjang, merenungi apa yang baru saja terjadi.
Sepasang iblis itu, meskipun banyak melakukan kejahatan, ternyata sangatlah berperasaan. Jika demikian lalu mengapa
mereka sampai menjadi sepasang iblis yang ditakuti banyak orang"
Meskipun iblis jantan tidak mau menceritakan apa-apa, dari sikap mereka Ding Tao bisa menduga-duga. Tentu ada kejadian
pahit di masa lalu mereka, mungkin pengkhianatan sahabat atau bahkan saudara. Sesuatu yang berhubungan dengan orang
ternama atau setidaknya dikenal sebagai orang yang lurus, tapi ternyata menyimpan kejahatan dalam hati. Pesannya yang
mengingatkan Ding Tao bahwa banyak serigala berbulu domba mengesankan hal itu. Apa pun yang terjadi, hal itu
mendorong mereka untuk mengambil jalan yang sesat ini.
Lama pemuda itu tercenung di sana, tentang pembunuhan yang dilakukan sepasang iblis itu, bukankah dia pun pernah
membunuh orang" Hubungan dalam dunia persilatan terkadang begitu rumit. Orang membunuh belum tentu karena dia
ingin membunuh. Hari ini Ding Tao melihat sesuatu yang berbeda dalam pandangannya terhadap ilmu pedang. Teringat pula akan
pertandingan persahabatan melawan Feng Xiaohong, Zhu Lizhi dan yang lain. Ilmu pedang ternyata tidak selalu berarti
kematian, selama ini orang menggunakan pedang sebagai senjata untuk membawa kematian. Tapi nyatanya baik ilmu
pedang maupun pedang, keduanya adalah alat yang mati, dirinya sebagai pemilik dari ilmu dan pedang. Dia berkuasa untuk
menentukan, apa yang hendak dia lakukan dengan ilmu dan pedang yang dia miliki.
Dipandanginya pedang yang ada di tangan, dipandangnya dengan cara pandang yang berbeda. Pedang yang selama ini dia
pandang sebagai senjata pembunuh, pembasmi iblis, setidaknya sebagai alat untuk membela diri. Ternyata bukan hanya
bisa membunuh iblis, pedangnya berhasil menari keluar sisi kemanusiaan dari sepasang iblis.
Penemuan ini membuatnya bahagia dan bersemangat, lebih daripada saat dia berhasil mempelajari kitab Tenaga Inti Bumi.
Mendongakkan kepala, memandang langit yang bersih, semangatnya terbang hingga ke puncak. Satu perasaan euforia yang
tak tertahankan. Dengan satu lompatan tinggi ke angkasa, Ding Tao berteriak nyaring dan mengerahkan segenap
tenaganya, menyalurkan semangatnya yang berapi-api. Kumpulan jurus dan ingatan yang mengendap dalam hati dan
benaknya, tiba-tiba saja membentuk satu gerakan yang muncul dengan wajar dari dalam hati.
Dalam sekejapan cahaya pedang seakan memenuhi langit, hawa pedang terasa tajam, meluas sampai beberapa langkah di
sekeliling pemuda itu, tapi tidak ada hawa membunuh yang biasanya menyertai hawa pedang.
Bagaikan jaring keadilan penuh kemurahan datang dari langit memenuhi bumi. Menebar tanpa meninggalkan tempat untuk
mengelak, tiap hawa pedang tidak mengandung hawa pembunuhan tapi berat menekan lawan.
Ketika hawa pedang lenyap, terlihat Ding Tao berdiri tegak, tangan kiri menyilang di depan dada, tangan kanan
menggenggam pedang berada di belakang punggung. Di sekitarnya tanah dipenuhi gurat-gurat garis halus bekas sentuhan
hawa pedang di atas permukaan tanah.
Lama pemuda itu berdiri tegak, tak bergerak, mengendapkan ledakan semangat yang tadi dia rasakan. Saat dia kembali
melangkah menuju kediaman Murong Yun Hua, senyum bahagia tidak juga hilang dari wajahnya.
Sejak dia mendapatkan Pedang Angin Berbisik dan dipaksa untuk mencapai ilmu pedang tertinggi, hawa pembunuhan
seakan menyertai setiap langkah kaki, setiap desiran darah dalam tubuh dan setiap detak denyut jantungnya. Bayangan
pembunuhan seperti arwah gentayangan, tidak terlihat namun bisa dirasakan keberadaannya. Dalam setiap perenungannya
akan ilmu pedang, pokok yang terpenting adalah mengalahkan lawan. Dalam memikirkan tugas yang dibebankan gurunya,
yang dipikirkan adalah bagaimana caranya dia membunuh Ren Zuocan. Dalam kepercayaan yang diberikan gurunya,
sebagai pemilik paling tepat bagi Pedang Angin Berbisik, Ding Tao merasakan anyirnya darah yang akan terus mengikutinya kemanapun dia pergi.
Bayangan itu tidak sesuai dengan wataknya yang halus dan menyukai keindahan, hangatnya matahari pagi, sejuknya
embun pagi dankelembutan cahaya rembulan.
Ding Tao mempelajari ilmu pedang, dia terpikat oleh kerumitan dan keindahannya, dia dibebani oleh kewajiban dan
tanggung jawabnya. Namun dia juga dihantui oleh sifat pembunuh yang terkandung di dalamnya.
Tapi hari ini Ding Tao melihat kemungkinan yang lain dalam ilmu yang dia pelajari. Dia melihat kemungkinan yang lain dari tugas yang diberikan gurunya. Hatinya jadi tenang, sebelumnya dia bagaikan sedang berdebat dan bertarung dengan
dirinya sendiri. Prinsip-prinsip hidup yang dia anut dan perasaan hati nuraninya menghadapi pertentangan yang tidak bisa dia pecahkan. Hari ini pertentangan itu sudah dapat dia perdamaikan. Kedamaian yang tiba-tiba dia rasakan, sulit
dikatakan. Dengan langkah penuh keyakinan Ding Tao melanjutkan perjalanannya ke arah kediaman keluarga Murong. Di luar tahunya
diam-diam ada 2 pasang mata yang mengikuti pemuda itu.
"Benar-benar pemuda berbakat?", desis seorang dari antara mereka.
"Benar, tapi bukankah kakak juga berbakat dalam hal ilmu pedang" Apakah menurut kakak dia lebih berbakat dari kakak?",
tanya yang seorang lagi, seakan kurang rela jika ada yang melebihi bakat rekannya.
"Ahh" orang bilang aku berbakat, kukira diriku berbakat, tapi kalaupun benar demikian antara bakat dan bakat, nyata
bermacam-macam pula tingkatannya. Jangan kau bandingkan diriku dengan pemuda itu. Itu ibaratnya membandingkan
tingginya bumi dengan tingginya langit."
"Benarkah sehebat itu?"
"Hmm" masa kau pikir aku mengada-ada" Apakah pernah aku membual?"
"Tidak, kakak tidak pernah membual. Aku tak tahu soal bakat, tapi hati kakak aku tahu benar.", jawab yang seorang lagi
dengan lembut. Tertawa di dada pasangannya mendengar pujian itu, "Heheheh, adik kalau kau begitu mengenal hatiku, coba kau katakan
apa yang kupikirkan."
Tertawa mengikik dengan lembut yang seorang menjawab, "Itu mudah saja, melihat bakat dan kepribadiannya, timbul rasa
suka dan simpati dalam hati kakak. Melihat jalan di depannya yang penuh dengan halangan dan jebakan, hati kakak pun
jadi tak tega. Karenanya kakak ingin kita mengikutinya secara diam-diam, bersiap memberikan bantuan saat diberikan tapi di saat yang sama janganlah sampai orang menganggap kita ini punya hubungan baik dengan dirinya."
"Hahaha, nyata benar kau memang bisa membaca hatiku seperti membaca sebuah buku. Apakah kau setuju dengan
pikiranku?" Sosok yang satu menggelendot manja mendengar pertanyaan itu, dengan suara lembut menggoda dia menjawab, "Tentu
saja aku setuju, kita sudah sehati sepikiran, apa perlunya kakak bertanya. Hanya saja, apa kakak tidak takut aku jatuh
cinta padanya nanti?"
"Hahaha, kau tahu hatiku, masa aku tidak bisa membaca pula hatimu. Baiklah kalau begitu kita harus mengikutinya diam-
diam. Melihat arahnya tentu dia pergi ke arah kediaman nona-nona cantik itu. Hmmm benar-benar bernasib pahlawan,
bukan hanya berbakat dan jalannya penuh rintangan. Kehidupan cintanya pun diwarnai gadis-gadis cantik."
Mendengar ucapan orang, sekali lagi pasangannya tertawa manja, "Hohoho, apa kau juga tertarik pada kedua gadis
bermarga Murong itu" Kutahu kau beberapa kali kau menyelidik rumah mereka secara diam-diam saat mencari jejak Ding
Tao. Tentu kau sempat pula mengintip dua orang gadis itu."
"Hahahaha, cintaku padamu tak perlu kau ragukan. Lagipula gadis-gadis Murong itu tidak sesuai dengan seleraku."
"Ah, kalau hanya omong saja semua orang tentu bisa, tapi aku perlu bukti.", dengan suara yang semakin manja
pasangannya berkata. "Hahaha, kutahu bukti apa yang kau mau, sudah jelas kau bukan menyuruhku membunuh orang. Kukira soal bukti, tinggal
satu saja yang bisa kuberikan."
Pasangannya tiba-tiba memekik tertahan dan tertawa kegelian. Setelah itu tidak ada suara apa-apa, hanya dengusan nafas
yang memburu dan erangan perlahan. Selain anak di bawah umur, yang lain tentu tahu apa artinya suara-suara itu. Siapa
lagi pasangan kekasih yang berniat mengintil Ding Tao" Sudah jelas mereka itu adalah sepasang iblis yang dari lawan
berubah jadi kawan. Karena merasa sudah tahu arah perjalanan Ding Tao, mereka tidak terlalu terburu-buru untuk
mengikutinya. ----------------------- o -----------------------
Pertarungan antara Ding Tao dan sepasang iblis muka giok memakan cukup banyak waktu. Saat Ding Tao sampai di
kediaman, matahari berada di tengah-tengah. Pekerja-pekerja yang biasanya terlihat rajin bekerja, sedang beristirahat dan memakan bekal mereka sambil bersenda gurau.
Ketika mereka melihat Ding Tao berjalan ke arah mereka, mereka pun terdiam. Satu per satu bangkit berdiri dan
membungkuk dengan hormat ke arah Ding Tao yang masih beberapa langkah jauhnya dari mereka. Ding Tao tentu saja jadi
terkejut dan tidak enak hati, cepat-cepat dia balas membungkuk hormat pada mereka. Sejak kecil dia diajarkan untuk
menghormati orang yang lebih tua. Sebagai seorang pelayan, tentu tidak ada yang mengajarkan untuk membeda-bedakan
kelas, karena kelas dari golongan Ding Tao adalah kelas yang terendah. Itu sebabnya hingga sekarang pun, setiap orang
yang lebih tua dari dirinya akan dia perlakukan dengan sopan. Entah itu seorang tuan besar atau "sesama" pelayan. Kecuali jika berhadapan dengan lawan, maka yang mengambil alih adalah kisah-kisah pertarungan dalam cerita kepahlawanan.
Tidak peduli siapa lawan, apakah orang kaya atau miskin, seorang pelayan atau seorang bangsawan, tidak nanti Ding Tao
menunduk-nunduk meminta maaf.
"Paman-paman sekalian, selamat siang, harap jangan terlalu sungkan begini. Lanjutkan saja istirahat kalian. Apakah Nona Yun Hua ada di rumah?", ujar pemuda itu dengan perasaan serba salah.
Seorang dari antara mereka menjawab, sementara yang lain masih berdiri menunggu sampai Ding Tao berlalu dari tempat
itu, "Tuan muda, kebetulan sekali Nona Yun Hua dan Nona Huolin ada di dalam sedang makan siang. Mari saya antarkan
tuan ke sana." "Ah, baiklah, terima kasih banyak paman.", jawab Ding Tao dengan sopan.
Sepanjang perjalanan keduanya terdiam, Ding Tao menjadi serba salah karena perlakuan mereka yang terlampau sopan
baginya, sementara yang mengantar tidak ingin dianggap tidak sopan dengan berbicara sebelum diajak berbicara. Ketika
akhirnya mereka sampai di ruang makan, Ding Tao menghembuskan nafas lega diam-diam.
Sekali lagi keduanya saling membungkuk hormat saat pekerja yang mengantarkan Ding Tao berpamitan hendak kembali
beristirahat. Murong Yun Hua dan Murong Huolin tentu saja sangat kaget dan gembira melihat kedatangan Ding Tao, bergegas Murong
Yun Hua datang menyambutnya.
Dengan wajah berseri, Murong Yun Hua tanpa ragu-ragu menggandeng Ding Tao dan menariknya ke meja makan,
serentetan pertanyaan pun dilontarkan, "Adik Ding" ah, senang sekali hatiku melihatmu mau berkunjung lagi kemari.
Selama beberapa bulan ini kau di mana saja" Mengapa badanmu jadi tambah kurus begini" Apakah kau terus menerus
berlatih" Tentu kehidupanmu selama beberapa bulan ini sangat berat, sekarang kau harus banyak2 makan."
Senyum mengembang di wajah Ding Tao, "Enci Yun Hua, kau tampak cantik sekali hari ini, sepertinya bau masakan hari ini
sangat lezat, apakah kau yang memasaknya Enci Yun Hua?"
"Hei, bukan cuma aku yang masak hari ini, Adik Huolin pun ikut membantu.", jawab Murong Yun Hua sambil mengisi sebuah
mangkok dengan nasi dan menyerahkannya pada Ding Tao.
"Benarkah" Wah rupanya sekarang Adik Huolin tertarik pula untuk melihat dapur, bukan hanya memainkan pedang saja,
tapi masakannya aman buat dimakan kan?", goda Ding Tao.
Tidak seperti biasanya Murong Huolin yang biasanya jahil hari ini lidahnya lebih jinak daripada biasanya, mendengar godaan Ding Tao pipinya bersemu merah sambil memonyongkan mulut, "Huuh" kalau tidak suka tidak usah dimakan."
Ding Tao dan Murong Yun Hua tertawa tergelak melihat Murong Huolin yang tersipu malu. Entah sejak kapan Ding Tao
merasa nyaman berada dalam keluarga ini. Mungkin dimulai saat dia berlatih tanding dengan Murong Huolin atau sejak
Murong Yun Hua mendengarkan dengan sungguh-sungguh pendapatnya tentang taman mereka. Yang pasti lepas dari apa
yang terjadi saat dia berpamitan beberapa bulan yang lalu. Ding Tao merasa seperti berada di rumah sendiri.
Suasana makan siang jadi gembira, Ding Tao menceritakan tentang keberhasilannya menguasai ilmu dalam kitab yang
dipinjamkan. Murong Yun Hua menyambut berita itu dengan penuh semangat, pandang matanya menyiratkan kebanggaan
atas keberhasilan pemuda itu. Sementara Murong Huolin semakin mengagumi Ding Tao.
Setelah makan siang selesai, Ding Tao mengeluarkan kitab Tenaga Inti Bumi dari buntalannya dan mengembalikannya pada
Murong Yun Hua. "Enci Yun Hua, berkat kitab dan obat pemberianmu, akhirnya aku berhasil membebaskan diri dari pengaruh Tinju 7 Luka,
terima kasih banyak.", ujar Ding Tao sambil mengembalikan keduanya.
"Sama-sama Adik Ding, berapa lama kau akan tinggal di sini?", tanya Murong Yun Hua.
"Sebenarnya aku berencana untuk memuli perjalanan kembali secepatnya. Semakin lama aku menunggu, hati ini jadi tak
tenang. Apakah enci mendengar satu berita dari dunia persilatan?"
Wajah cantik Murong Yun Hua jadi kembali mendung, "Sayangnya tidak sudah lama kami tidak ikut campur urusan dunia
persilatan. Adik Ding, aku tidak bisa menutupi perasaanku padamu. Aku coba mengerti keadaanmu, tapi itu berat sekali
bagiku?" Murong Huolin yang jengah mendengar ke arah mana percakapan itu mengarah, dengan suara tak jelas berpamitan keluar.
Ding Tao memandang kepergian Murong Huolin, dia melihat bagaimana gadis itu berubah sikapnya. Hatinya merasa sedikit
sedih karena hubungannya dengan kakak beradik ini menjadi rumit dikarenakan masalah cinta.
Menghembuskan nafas panjang-panjang Ding Tao berusaha meringankan beban di dada, "Enci Yun Hua, apakah Adik Huolin
masih marah padaku" Kulihat sikapnya tidak sebebas biasanya."
"Marah padamu" Kenapa kau sampai berpikir seperti itu?", Murong Yun Hua bertanya balik.
"Ya" biasanya dia nakal dan suka menggoda, tapi sejak kepergianku yang kurang mengenakkan itu, pertarungan di antara
kami, lalu sekarang terlihat dia jadi lebih pendiam. Entahlah, kurasakan sikapnya berbeda, lebih dingin dan tertutup."
Senyum geli dan sayang menghiasi wajah Murong Yun Hua, "Ah, bocah tolol, tidak tahukah kau dia menaruh hati padamu"
Ini pertama kalinya dia jatuh cinta, itu sebabnya dia sendiri masih bingung dengan perasaannya dan bersikap malu-malu.
Apalagi?" Dengan nada yang sedikit sedih dia melanjutkan, ?" apalagi, Adik Ding sudah memiliki tambatan hati ?"
"Itu" ah" apakah Enci Yun hua tidak salah duga?", sekarang Ding Tao menjadi merasa semakin bersalah saja pada dua
kakak beradik ini. "Tidak, sudah tentu tidak, saat kau berpamitan untuk pergi, dia tidak kelihatan di mana-mana dan tidak ikut mengantarmu.
Tahukah dirimu, dia sedang mengurung diri di kamar, menangisi kepergianmu. Begitulah sifat Huolin, tertawa lepas jika
senang, menangis dan menutup diri saat sedih."
Melihat wajah Ding Tao yang bersusah hati, Murong Yun Hua menggenggam tangan pemuda itu dan menenangkannya,
"Adik Ding", janganlah terlalu dipikirkan. Usianya masih muda, masa depannya masih terbentang luas. Setelah beberapa
lama, tentu dia akan menerima keadaanmu apa adanya."
"Ya, Adik Huolin seorang gadis yang sangat baik, aku berharap dia bertemu dengan orang yang pantas dan bisa
membahagiakannya" Begitu juga dengan Enci Yun Hua?", ujar Ding Tao dengan setulusnya.
Murong Yun Hua tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk saja.
Untuk sejenak lamanya mereka duduk dalam diam, entah pikiran apa saja yang lewat dalam benak mereka. Ding Tao yang
lebih dahulu memecahkan keheningan itu. Suaranya lembut hampir berbisik, "Enci Yun Hua, kita sudah aku kembalikan,
kukira sudah saatnya aku melanjutkan perjalanan" sekali lagi aku ucapkan terima kasih yang tak terkira" budi baikmu
tidak akan pernah bisa kubalas di kehidupan ini?"
Murong Yun Hua hanya mengangguk sambil menggigit bibir, air matanya kembali merebak dengan senyum dipaksakan.
Ding Tao tidak tahan melihat Murong Yun Hua dalam keadaan seperti itu, perlahan dia bangkit berdiri dan sekali lagi dia mengangguk berpamitan.
Murong Yun Hua sudah mengangguk membalas anggukan Ding Tao, merelakan kepergiannya, tapi tiba-tiba sebelum Ding
Tao sempat beranjak tangannya menggenggam tangan Ding Tao dan menahannya.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adik Ding"ah" kutahu kau harus segera pergi, hanya saja ini berat sekali bagiku. Adik Ding maukah kau menjawab
pertanyaanku?" Ding Tao menghela nafas panjang, "Tentu Enci" bertanyalah apa saja, aku akan menjawab dengan sejujurnya."
"Ding Tao" apakah" apakah kau tidak merasa tertarik sedikitpun padaku" Awalnya kukira, aku melihat itu di matamu, itu
sebabnya aku sampai nekat melemparkan diriku padamu, tidak kusangka?"
"Enci", ya sejujurnya aku, ya aku merasakan hal itu, Enci, Enci adalah seorang wanita yang cantik luar biasa dan baik hati."
"Apakah" seandainya, ya seandainya kau belum bertemu Huang Ying Ying, mungkinkah kau mencintaiku?"
Ding Tao tidak bisa menjawab, lidahnya terasa kelu, tapi dia masih bisa menganggukkan kepalanya. Melihat anggukan
kepala Ding Tao Murong Yun Hua tersenyum untuk sesaat lamanya.
"Ding Tao" katakan sejujurnya, adakah sedikit saja rasa cinta bagiku di hatimu?"
Terpandang wajah Murong Yun Hua, teringat kejadian yang lalu, bagaimana hancurnya hati Murong Yun Hua, dilihatnya jauh
ke dalam hatinya sendiri dan Ding Tao tahu apa jawabannya. Meskipun dia pun tidak mengerti lagi, apa itu cinta" Bisakah seorang laki-laki mencintai lebih dari satu orang wanita" Jika ya, apakah itu masih cinta namanya" Dia tahu dia
menginginkan wanita di hadapannya ini, lebih dari sebelumnya, tubuhnya menginginkan wanita di hadapannya ini.
Ding Tao menelan ludah beberapa kali, dengan suara parau dia menjawab, "Entahlah cici" aku tidak tahu lagi apa itu
cinta?" Murong Yun hua menatap dalam-dalam mata pemuda yang jujur itu, "Ding Tao kau bilang kau tidak tahu lagi apa arti kata
cinta, kenapa?" Sejak pertama kali bertemu Murong Yun Hua, pertanyaan ini sudah muncul dalam benaknya. Sekarang Murong Yun Hua
bertanya padanya, saat dia tenggelam dalam mempelajari Tenaga Inti Bumi, pikiran itu tidak teringat, tapi sekarang oleh pertanyaan Murong Yun Hua, Ding Tao kembali menelusuri pemikirannya.
"Enci Yun Hua, orang bilang saat jatuh cinta, ada rasa bahagia saat bersama dengan orang yang kau cinta itu, ada debaran-debaran dalam jantungmu, saat tidak bertemu orang itu yang ada dalam benakmu dan sebagainya. Menurut cici apakah
benar demikian?", tanya Ding Tao berusaha menjelaskan yang dia rasakan.
"Ya, begitulah yang kurasakan dahulu sewaktu baru bertemu dengan Kakak Yong dan" dan " saat bertemu denganmu?",
jawab Murong Yun Hua tersipu malu.
Ding Tao merasakan wajahnya memerah, tapi dia berusaha tetap fokus pada penjelasannya. Karena hal ini terasa penting
juga baginya, satu pikiran yang sangat mengganggu dirinya. Perasaan terhadap Murong Yun Hua dan Murong Huolin yang
dia pendam, membuat dia merasa risau. Bisa jadi dia tidak melakukan apa-apa yang mengkhianati cinta Huang Ying Ying,
tapi dalam hatinya dia sudah menduakan gadis itu.
Ding Tao tidak tahu, apakah yang dia lakukan ini sudah bijaksana, tapi dia percaya penuh pada Murong Yun Hua. Gadis itu begitu baik pada dirinya an Murong Yun Hua sudah lebih berpengalaman dalam hal ini. Selain itu Ding Tao berharap Murong Yun Hua tidak terlalu bersedih atau malu bila teringat kejadian beberapa bulan yang lalu. Dia ingin gadis itu mengerti, bahwa sebenarnya perasaannya bukanlah bertepuk sebelah tangan. Hanya saja, apa daya, Ding Tao sudah terlebih dahulu
mencintai Huang Ying Ying.
Dengan pemikiran seperti itulah akhirnya Ding Tao mengakui perasaannya, "Dan itulah yang membuatku ragu Enci Yun
Hua, karena perasaan yang pernah kurasakan terhadap Huang Ying Ying, kurasakan pula saat aku bertemu dengan Enci Yun
Hua dan Adik Huolin. Mungkinkah cinta terbagi-bagi" Jika setiap kali aku bertemu gadis yang menarik, lalu aku jatuh cinta, orang macam apakah aku ini" Atau mungkin sebenarnya bukan itu yang namanya cinta" Sungguh aku tidak mengerti?"
Murong Yun Hua ikut termenung memikirkan curahan hati Ding Tao, dalam hati ada rasa senang dan bahagia, karena
pemuda itu sama saja sudah mengakui bahwa diapun ada rasa terhadap dirinya. Meskipun juga di saat yang sama Ding Tao
mengakui dia pun ada rasa dengan dua orang wanita lain. Tiba-tiba Murong Yun Hua jadi tidak tahu harus merasa senang
atau kesal, dan dengan gemas Murong Yun Hua mencubit tangan Ding Tao keras-keras.
"Aduh" aduh" Enci Yun Hua kenapa tiba-tiba aku dicubit?", tanya Ding Tao yang terkejut, tidak menyangka Murong Yun
Hua akan mencubitnya. Sambil memonyongkan bibir dengan manja Murong Yun Hua menjawab, "Hmm, di sana ada kekasih, di sini ada pula, lelaki
macam dirimu ini kalau tidak dicubit mesti bagaimana lagi?"
Mendengar itu wajah Ding Tao jadi memerah, malu dan juga kecewa pada diri sendiri, "Itulah Enci Yun Hua, dalam hal ini, aku merasa sangat bersalah. Pada kalian semua, entahlah?"
Melihat Ding Tao begitu tulus merasa bersalah, Murong Yun Hua jadi ingin menghiburnya, "Jangan terlalu kaupikirkan,
bukankah aku mencubitmu tapi tidak sungguh-sungguh marah padamu. Jika aku benar-benar marah padamu, aku justru
tidak akan mencubitmu. Aku tidak akan mau mengenalmu sama sekali. Kurasa, apa salahnya jika seseorang mencintai lebih
dari satu orang" Apalagi bila itu seorang lelaki, bukankah hal itu sudah umum terjadi?"
Ding Tao tidak bisa menerima penjelasan seperti itu, "Tidak benar, pendapat umum tidak selamanya benar, bagaimana
dengan asas keadilan" Jika lelaki boleh beristeri lebih dari satu tapi wanita dipandang hina jika memiliki kekasih lebih dari satu, di mana keadilannya" Seorang suami tentu mengharap isterinya hanya untuk dirinya sendiri. Bila dia mengharap
demikian tentu isterinya pun berharap bahwa suaminya hanya untuk dirinya sendiri."
"Aku tidak mengerti tentang keadilan Adik Ding, tapi apakah keadilan hanya bisa dipahami seperti yang baru saja kau
katakan" Jika seorang suami beristeri tiga, tapi dia mampu membuat ketiga-tiganya merasa bahagia apakah itu tidak baik"
Jika dia memilih beristeri satu, tapi karena pilihannya itu ada dua wanita yang hancur hatinya, apakah itu adil?", tanya Murong Yun Hua.
"Entahlah Enci Yun Hua, sudah kukatakan, akupun bingung dengan hal ini. Jika aku mau menuruti kesenangan saja, sudah
tentu aku memilih untuk memiliki kalian bertiga. Jika memang itu yang paling adil, lalu mengapa aku merasa bersalah saat memikirkannya" Kenapa hati nuraniku berontak?", jawab Ding Tao menyanggah.
Mendengar sanggahan Ding Tao, Murong Yun Hua semakin tertarik pada pemuda itu. Perlahan Murong Yun Hua berdiri lalu
duduk di pangkuan Ding Tao dan menyandar di tubuh pemuda itu, "Mungkin kau benar Adik Ding" alangkah indahnya jika
setiap lelaki berpandangan sama denganmu..."
Tangannya bergerak memeluk Ding Tao, dengan suara yang lembut dia berbisik dekat telinga pemuda itu, "Adik Ding, aku
tidak akan mengungkit-ungkit lagi masalah pewaris keluarga Murong, hanya saja pintaku, tinggallah semalam lagi di sini.
Kau benar, tidak baik jika kau menduakan Nona Huang Ying Ying" Aku rela dia memilikimu sepanjang sisa hidupmu, aku
hanya minta dirimu, malam ini saja" Semalam saja Adik Ding?"
Di ruangan tidak ada orang lain, hanya mereka berdua. Ding Tao seorang laki-laki dan Murong Yun Hua seorang wanita,
wanita yang kecantikannya sulit dicari tandingannya di masa itu. Jika pada jaman tiga kerajaan ada Diao Chan, pada
masanya Ding Tao ada Murong Yun Hua.
"Aku", meskipun demikian, " bagaimana perasaan Adik Ying Ying jika dia tahu?", dengan suara bergetar Ding Tao masih
coba bertahan, tapi antara tubuhnya dengan otaknya sudah tidak sejalan.
"Jika kau tidak mengatakannya dan aku tidak mengatakannya, darimana dia bisa tahu?", bisik Murong Yun Hua.
"Tapi dalam hati ini, hati nuraniku akan terus menuntut kejujuran dariku. Menyalahkanku karena telah bertindak tidak adil terhadap Adik Ying. Aku bisa bersembunyi dari manusia, tapi tidak dari hatiku sendiri.", jawab Ding Tao mengeluh.
"Adik Ding, pikirkanlah dia mencintaimu, akupun mencintaimu dan kau mencintai kami berdua. Hanya karena permainan
nasib, kau bertemu dengannya terlebih dahulu. Di mana letak keadilannya" Kau mengatakan hatimu akan tersiksa, tapi
bagaimana dengan hatiku?""
Meskipun di mulut dia hendak menolak, tapi tubuhnya tidak kuasa untuk mendorong Murong Yun Hua pergi. Jangan lupa
juga, khasiat dari Obat Dewa Pengetahuan, obat ini berkhasiat meningkatkan kerja otak dan susunan syaraf. Berkat obat itu panca indera Ding Tao menajam, kepekaannya meningkat dan otaknya bekerja menerima masukan dari luar dengan lebih
terperinci. Jadi bayangkan saja, jika sebelumnya sewaktu Murong Yun Hua hendak memaksa Ding Tao menerima warisan keluarga
Murong, Ding Tao sudah mengalami kesulitan untuk menolaknya. Apalagi sekarang, ditambah lagi dengan jaminan bahwa
Murong Yun Hua tidak akan menuntut apa-apa darinya.
"Enci, apakah ini cinta namanya" Apakah ini bukannya nafsu belaka?", ujar Ding Tao dengan memejamkan mata, berusaha
untuk bertahan dari rangsangan yang dia rasakan.
"Akupun tak tahu, apakah ini cinta atau nafsu, yang aku tahu, jika kau melakukannya aku akan sangat berbahagia.
Sepanjang sisa hidupku, dengan mengenangkan malam ini, aku akan mendapatkan kekuatan untuk hidup berjauhan
darimu?" Dan tanpa menunggu jawaban dari Ding Tao, Murong Yun Hua mencium bibir pemuda itu. Ciuman itu hanya sekilas saja,
bibir mereka bersentuhan dengan lembut untuk sesaat lamanya lalu berpisah. Tapi sentuhan yang perlahan itu membuat
kepala Ding Tao terasa ringan melayang.
Ding Tao sudah pernah berciuman dengan Murong Yun Hua sebelumnya, tapi pada saat itu Murong Yun Hua memaksakan
dirinya pada Ding Tao. Ciuman yang berikutnya, berbeda dengan yang pernah Ding Tao rasakan sebelumnya. Ciuman ini
milik bersama, ciuman yang diinginkan kedua pihak, seperti yang dia lakukan bersama Huang Ying Ying. Tapi saat itu
keduanya sama-sama belum berpengalaman. Saat Ding Tao mencium Murong Yun Hua, bibirnya sedikit terbuka, dan dia
merasakan lidah Murong Yun Hua menyusup ke dalam, menyapu bibirnya dan menyentuh ujung lidahnya.
Kepala Ding Tao berdenyut keras, tiba-tiba muncul keinginan untuk menyusupkan lidahnya ke dalam mulut Murong Yun
Hua, memeluk tubuhnya, merasakan kulit mereka bersentuhan, menyatukan tubuhnya dan tubuh Murong Yun Hua. Sesaat
lamanya mereka berciuman dengan hangat, Murong Yun Hua tiba-tiba mundur, mendorong Ding Tao untuk menjauh. Ketika
Murong Yun Hua mundur menjauh, Ding Tao berusaha mendekat. Tapi jari Murong Yun Hua yang lentik menyentuh bibir
Ding Tao, menghentikannya, dengan suara berbisik penuh gairah dan nafas sedikit terengah dia berkata, "Jangan di sini,
mari, kita ke kamarku."
Wajahnya yang cantik bersemu merah, beberapa helai rambutnya lepas dari ikatan, jubah luarnya sedikit tersingkap,
memamerkan pundak yang putih halus. Meskipun tampak acak-acakan, hal itu hanya membuat Murong Yun Hua tampak
semakin cantik. Seperti kerbau dicocok hidungnya, Ding Tao mengikuti Murong Yun Hua.
Ketika pintu kamar sudah ditutup, tiba-tiba Ding Tao berdiri termangu, meragu. Ragu akan apa yang harus dia lakukan,
namun tangan Murong Yun Hua menyentuh pipinya, dengan lembut dia menarik Ding Tao ke arah dirinya dan mereka
kembali berciuman. Kali ini Ding Tao tidak menunggu, saat dia merasakan bibir Murong Yun Hua terbuka, lidahnya
menyelusup ke dalam bertemu dengan lidah Murong Yun Hua. Dengan lembut ditariknya Murong Yun Hua ke dalam
pelukannya. Tubuh Murong Yun Hua terasa begitu lembut dan rapuh dalam pelukannya.
Baju sutranya berdesir lembut saat Ding Tao memeluk sambil membelai punggungnya, menyentuh pinggulnya, meremas
lembut pantatnya. Mendesah Murong Yun Hua membelai lengan dan punggung Ding Tao, merasakan otot-ototnya yang
keras dan bertonjolan. Perlahan tangan Murong Yun Hua merengkuh kepala Ding Tao dengan kedua tangannya, lalu dengan lembut
mengarahkannya ke arah lehernya yang jenjang. Saat bibir Ding Tao mengecup lehernya, tanpa bisa ditahan Murong Yun
Hua mengerang nikmat. Erangan Murong Yun Hua membuat Ding Tao merasa bergairah, bibirnya menciumi leher Murong Yun Hua, mendengarkan
erangan Murong Yun Hua lembut penuh kenikmatan, ciumannya merayap semakin ke bawah hingga sampai di pundak
Murong Yun Hua yang tertutup jubah luarnya.
Murong Yun Hua mendekap kepala Ding Tao ke dadanya, jantungnya yang berdenyut-denyut terasa nyaman dengan kepala
Ding Tao menyandar di sana. Sesaat kemudian Ding Tao merasa tangan Murong Yun Hua melepaskan kepalanya, saat dia
menengadahkan kepalanya, dilihatnya Murong Yun Hua memandang dirinya mesra, tangannya sedang melepaskan ikat
pinggang yang mengikat jubah luarnya. Tidak lama kemudian jubah itu sudah terlepas, dengan pandang mata penuh gairah
Ding Tao memandanginya, kedua pundak Murong Yun Hua yang putih halus dan belahan dadanya.
Ding Tao kembali menundukkan kepala, menciumi kedua pundak Murong Yun Hua yang halus. Di tengah erangan Murong
Yun Hua, terdengar desir kain yang jatuh ke lantai dan tangan Murong Yun Hua menarik tangannya, meletakkannya ke
sepasang dadanya yang sudah terbuka tidak ditutupi selembar kainpun.
Ding Tao mengangkat kepalanya, memandangi Murong Yun Hua yang sudah telanjang tanpa ada satupun bagian dari
tubuhnya yang ditutupi kain.
Tersipu malu Murong Yun Hua bertanya, "Apakah kau menyukainya?"" Buah dadaku" buah dadaku terlalu kecil?"
Ding Tao menggelengkan kepala, seakan pikiran itu sangat tidak masuk akal, "Payudaramu indah sekali" tubuhmu"
sempurna?" "Benarkah ?", Murong Yun Hua merasa terbuai oleh jawaban Ding Tao.
Dan sebagai jawaban Ding Tao merengkuh buah dada Murong Yun Hua. Jari-jari Ding Tao menelusuri setiap jengkal buah
dada Murong Yun Hua, kemudian dengan lembut dia meremasnya.
"Perlahan?", desis Murong Yun Hua saat Ding Tao mulai membelai kedua payudaranya.
Dan dengan lembut Ding Tao mengecup pucuk dada Murong Yun Hua dan Murong Yun Hua pun mengerang dan mengejang
oleh rasa nikmat. Erangan Murong Yun Hua menyulut gairah Ding Tao, dengan lembut dia menciumi kedua payudara
Murong Yun Hua, tangannya menjelajahi lekak-lekuk tubuh Murong Yun Hua. Sensasi yang dirasakan Murong Yun Hua tak
tertahankan, gairahnya menyala-nyala, bagian bawah tubuhnya, miliknya yang paling pribadi berdenyut-denyut
menginginkan Ding Tao, merasakan Ding Tao menyatu dengannya.
Dengan suara parau, Murong Yun Hua meminta, "Buka bajumu" aku ingin merasakan tubuhmu?"
Ding Tao melucuti pakaiannya dengan cepat, melepaskan sepatunya kemudian celananya. Kemudian direngkuhnya Murong
Yun Hua dan didukungnya ke atas pembaringan. Tubuhnya tegap dengan otot bertonjolan. Segera setelah tubuh Murong
Yun Hua terbaring di atas pembaringan, Ding Tao kembali menciumi dan menjelajahi tubuh Murong Yun Hua dengan kedua
tangannya. Gairah Murong Yun Hua yang sempat mereda, kembali menyala, seluruh tubuhnya berdenyut menginginkan Ding Tao.
Tangannya menelusuri garis tubuh Ding Tao, dengan lembut menyapu perut Ding Tao, menyusup ke bawah dan
menemukan kejantanannya yang menegang keras, panas.
Dibelainya batang kejantanan Ding Tao beberapa saat, pemuda itu melenguh nikmat. Kemudian dengan hati-hati Murong
Yun Hua mengarahkan kejantanan Ding Tao ke daerah kewanitaannya. Ding Tao berhenti bergerak dan menatap mata
Murong Yun Hua dengan lembut dan penuh cinta, menanti jawaban. Murong Yun Hua tersenyum dan memejamkan
matanya. Sesaat kemudian Murong Yun Hua merasakan Ding Tao perlahan memasukinya, tanpa bisa dicegah dia melenguh nikmat,
didekapnya pemuda itu kuat-kuat saat dirasakannya tubuh Ding Tao menindih dirinya, dan bergerak perlahan, berirama.
Tubuh Ding Tao yang menindihnya rapat, menekan buah dadanya dan setiap kali dia bergerak, sekujur tubuh Murong Yun
Hua dijalari kenikmatan, dari daerah kewanitaannya, dari dadanya yang sensitif. Kamar itupun dipenuhi suara erangan
penuh kenikmatan. Setiap kali keduanya bersatu, dalam tiap erangannya Murong Yun Hua menyebut-nyebut nama Ding Tao.
Berat bagi Ding Tao untuk meninggalkan kediaman keluarga Murong setelah apa yang terjadi di malam sebelumnya. Pagi
itu, Ding Tao dan Murong Yun Hua bercinta sekali lagi. Ding Tao meninggalkan kediaman Murong saat matahari sudah tinggi di langit.
Selain memberikan bekal makanan dan pakaian, Murong Yun Hua memberikan lagi sejumlah pil Obat Dewa Pengetahuan
untuk dibawa Ding Tao, karena obat itu tidak boleh dihentikan penggunaannya dengan tiba-tiba, melainkan harus dikurangi secara bertahap. Murong Yun Hua juga coba memberikan sejumlah uang pada Ding Tao, namun pemuda itu menolak
dengan keras. Langkah kakinya berat melangkah menyusuri jalan, padahal baru kemarin dia menyusuri jalan yang sama dengan semangat
berkobar. Tidak heran jika banyak dari mereka yang menekuni jalan pedang memilih untuk tidak terikat dengan cinta. Tapi sejak awal Ding Tao sudah terlanjur jatuh dalam jerat cinta dan sekarang benang-benang cinta yang menjeratnya semakin
rumit dengan kehadiran Murong Yun Hua. Perjalanannya kembali ke Wuling ini justru berjalan dengan lancar. Setidaknya
ada dua sebab, yang pertama, sejak pertarungan Ding Tao dengan kelompok Fu Tsun, Xiang Long dan akhirnya Sepasang
Iblis muka Giok, nama Ding Tao mulai dikenal orang sebagai seorang jagoan muda yang berbakat.
Gerombolan bandit seperti gerombolan Laba-laba kaki tujuh atau gerombolan Wang Dou, merasa jerih terhadap pemuda ini.
Sebab kedua, yang lebih penting adalah, banyak yang meragukan rumor tentang Ding Tao memiliki Pedang Angin Berbisik.
Kenyataannya Ding Tao tidak menggunakan pedang itu, bahkan ketika dia harus bertarung mempertaruhkan nyawa
melawan Sepasang Iblis Muka Giok. Apalagi ketika berita tentang pecahnya hubungan antara keluarga Huang dengan salah
seorang kepercayaan mereka, Tiong Fa, karena Tiong Fa lah yang malam itu melakukan kejahatan di kediaman keluarga
Huang. Menghubung-hubungkan kedua berita ini, dugaan orang, tentang siapa pemilik Pedang Angin Berbisik saat ini,
segera tertuju pada Tiong Fa. Maka mempertimbangkan dua hal itu, banyak yang merasa suatu kebodohan untuk
mengambil resiko dengan menanam bibit permusuhan dengan Ding Tao, sementara kemungkinan besar Pedang Angin
Berbisik yang diincar justru berada di tangan Tiong Fa.
Itu sebabnya perjalanan kembali ke Wuling dilalui dengan lancar, meskipun Ding Tao melakukan perjalanan tanpa
penyamaran. Benak pemuda itu lebih banyak terikat pada apa yang sudah dia lakukan dengan Murong Yun Hua dan apakah
dia akan mengatakan sejujurnya pada Huang Ying Ying atau menyimpan rahasia itu.
Dan di luar sepentetahuan pemuda itu, Sepasang Iblis Muka Giok, mengikuti dirinya, sebelum Ding Tao memasuki kota,
maka mereka akan mendahului pemuda itu dan meninggalkan pesan disertai lambang pengenal mereka pada orang-orang
yang kemungkinan besar akan menyusahkan pemuda itu.
Tapi kisah pertarungan Ding Tao telah mengundang perhatian dalam bentuk yang berbeda. Meskipun tanpa penyamaran,
Ding Tao memilih berjalan bersama rombongan pedagang yang hendak pergi ke kota Wu Ling. Selain mendapatkan teman
di sepanjang perjalanan, Ding Tao mendapatkan sedikit yang dengan janji untuk ikut membantu mengawal barang mereka
sepanjang perjalanan nanti. Sesampainya mereka di kota Jiang Ling, Ding Tao pun berpamitan. Kepala dari pengawalan
yang sebenarnya, seorang berumur 50 tahunan, dengan sebelah daun telinga terpotong setengah, bernama Wang Xiaho,
menghitung sejumlah yang dan menyerahkannya pada Ding Tao.
"Terimalah ini adik kecil, 10 keping, tidak buruk heh?", ujarnya sambil tersenyum, memamerkan beberap giginya yang
hilang. Ding Tao mengangguk sambil tersenyum sopan, "Ya, lumayan, terima kasih banyak paman."
"He, kau tahu tidak, dua hari lagi rombongan ini akan kembali ke membawa barang dagangan dan hasil penjualan mereka
di sini ke Xiang Yang. Jika kau mau, kau bisa kembali ikut bersamaku. Orangku tidak terlalu banyak dan perjalanan ke Xiang Yang melewati beberapa tempat yang sedikit lebih rawan, aku akan senang mendapat bantuan tenaga beberapa orang
lagi.", ujar pengawal tua itu dengan sungguh-sungguh.
"Maaf paman, tapi aku harus pergi ke Wuling, ada urusan yang harus kuselesaikan di sana."
"Hmm" dari caramu bergerak dan berlatih dengan tekun, kutahu kau pasti keluaran dari perguruan ternama. Mungkin kau
merasa malu untuk mengikut denganku, bagaimana kalau kau kuanggap sebagai rekanan saja?"
"Ah, bukan itu paman, menjadi anak buahmupun tak apa. Hanya saja aku memang ada urusan penting di Wuling."
"Benar begitu" Ya sudahlah kalau begitu, he tapi kalau urusanmu di Wuling sudah selesai dan kau butuh pekerjaan, datang saja ke kantor pusat biro pengawalanku. Kau masih ingat kan?"
"Ya, tentu saja aku ingat paman, Biro Pengawalan Golok Emas di kota Yong An.", jawab Ding Tao sambil tersenyum sopan,
selama perjalanan, dia belajar untuk menyukai paman tua ini dengan kisah-kisahnya.
"Hehehe, baguslah kalau begitu, biro pengawalanku memang bukan biro pengawalan besar, tapi aku tidak pernah menerima
barang kawalan dari pejabat korup atau tuan tanah yang kejam. Ingat itu baik-baik. Lagipula aku tidak menawarimu untuk
jadi orangku, aku menawarimu untuk jadi rekananku.", ujar pengawal tua itu dengan senyum gigi ompongnya yang
membuat dia terlihat lucu danramah.
"Tentu paman, aku akan ingat hal itu.", jawab Ding Tao sambil tertawa.
"Baiklah, kita berpisah sampai di sini, aku masih harus mengawal mereka sampai di penginapan. Ingat jangan lupa,
kalaupun kau dapat tawaran yg lebih bagus, sekali-sekali mampirlah.", ujar pengawal tua itu sambil berlalu pergi.
Ding Tao melambaikan tangannya pada pengawal tua dan rombongannya. Mereka membalas dengan bersahabat, Ding Tao
teman seperjalanan yang menyenangkan, tidak pernah rewel dengan pembagian tugas sehari-hari, bahkan seringkali dia
menawarkan bantuan tanpa diminta.
Jauh dari jangkauan pendengaran Ding Tao sekelompok kecil pengawal itu membicarakan Ding Tao.
"Ketua Wang, bukankah menurutmu setidaknya kita akan berjumpa dua atau tiga kali dengan kelompok begal di sepanjang
perjalanan?", tanya anggota termuda dari biro pengawalan Golok Emas.
"Ketua Wang benar, kita sudah melalui jalur itu beberapa kali dan setidaknya ada tiga kelompok begal yang berkuasa di
sepanjang jalur itu. Tapi besaran tarif pajaknya kita juga sudah tahu and Ketua Wang sudah menyiapkannya.", jawab
seorang di antara mereka.
"Kakak Ho, kalau begitu kenapa kali ini tidak satupun yang kita jumpai" Apakah menurut Kakak Ho itu ada hubungannya
dengan Ding Tao berjalan bersama kita?"
"Entahlah, bisa jadi kelompok begal itu sedang punya masalah dalam kelompok mereka. Tapi kukira kemungkinan paling
besar, hal itu ada hubungannya dengan Ding Tao, karena untuk mengawasi jalan dan menarik pajak, paling hanya butuh 2-
3 orang. Jika ada yang menolak, biasanya mereka tidak langsung bertindak, tapi kembali untuk menghubungi ketuanya, lalu beramai-ramai menyerang kita."
"Tapi tidak kulihat ada yang istimewa dengan Ding Tao, memang badannya tinggi dan berotot, tapi umurnya kurasa tidak
jauh berbeda dariku. Aku juga belum pernah mendengar namanya disebut-sebut."
"Hmmm" memang aneh jika 3 kelompok begal takut dengan orang yang tidak bernama. Tubuh tinggi berotot jelas tidak
akan menakuti mereka. Biasanya jika mereka tidak berani mengganggu itu karena orang itu memiliki nama besar. Menurut
Ketua Wang bagaimana?"
"Kukira, Ding Tao sedikit banyak tentu sudah membuat nama. Melihat umurnya, kejadian itu mungkin baru-baru ini saja
terjadi. Cukup lama kita tidak pergi ke daerah selatan, sehingga berita itu belum sampai ke telinga kita. Dengar, setelah selesai mengantar kita mampir ke rumah Guru Chen Wuxi, dia sahabat baikku yang membuka perguruan di kota ini.
Telinganya cukup panjang, jika dugaanku benar, tentu dia sudah mendengar sedikit tentang Ding Tao.", jawab Ketua Wang
yang tampaknya cukup penasaran juga dengan Ding Tao.
Begitu urusan mereka dengan rombongan pedagang yang menyewa jasa mereka selesai. Anggota yang termuda dari Biro
Pengawalan Golok Emas, mengingatkan Wang Xiaho, "Ketua Wang, kita pergi ke rumah Guru Chen sekarang?"
Pertanyaannya itu disambut tertawa keras oleh anggota yang lain, "Hehehehe, A Sau, kau sudah tidak sabar rupanya."
"Hah, tertawa saja semau kalian, aku memang sudah tidak sabar. Bayangkan saja kalau dugaan Ketua Wang benar, Ding
Tao umurnya tidak jauh berbeda denganku. Kalau dugaan Ketua Wang benar, wah itu hebat sekali. Apakah kalian tahu,
sepanjang perjalanan Ding Tao sempat memberi beberapa petunjuk padaku dan A Chu.", jawab A Sau sambil
memonyongkan mulutnya. "Hahaha, asal kau jangan bermimpi jadi jagoan saja, jagoan pedang sering-sering berumur pendek, kau tahu itu" Ibumu
bisa marah-marah kalau kau berpikir begitu.", jawab Wang Xiaho.
"Iya A Sau, lagipula jadi jagoan pedang tidak gampang, butuh guru yang baik, bakat yang baik dan ketekunan."
"Ah kalian ini, jangan dikira aku ini bodoh, aku juga tahu. Akupun tidak bermimpi jadi jagoan pedang, nanti kalau upahku sudah terkumpul aku akan membeli tanah dan bertani.", jawab A Sau.
"Hmm", itu rencana yang bagus, akupun kalau sudah mulai berumur akan jadi petani saja. Sayang upahku lebih sering
kuhabiskan di pelacuran.", ujar salah seorang yang agak tua.
Ucapan itu tentu saja disambut tertawa oleh yang lain.
"Heheheheh, dasar kau Xiang Lo, ya, ya, pada akhirnya kalian semua nanti akan meninggalkan aku menjalankan biro
pengawalan ini sendirian.", ujar Wang Xiaho sambil tertawa.
"Ketua Wang, apa tidak punya rencana untuk pensiun juga?", tanya A Sau.
"Tidak, tidak. Aku tidak punya keahlian apa-apa kecuali berkelahi. Sejak kecil aku sudah belajar ilmu silat dan aku tidak tahu tentang hal yang lain.", jawab Wang Xiaho dengan wajah sedikit suram.
Yang lain jadi tidak berani bertanya lebih lanjut, karena melihat ekspresi sedih dari Wang Xiaho. Salah satu dari mereka tiba-tiba berkata, "Ketua Wang Xiaho tidak akan sendirian, aku pun tidak ingin ganti pekerjaan, sama seperti Ketua Wang."
"Ah Beng, kaukah itu" Hehe, umurmu masih muda, tunggu saja sampai kau bertemu seorang gadis. Mungkin kau akan
berubah pikiran.", jawab Wang Xiaho dengan tertawa, wajahnya sudah kembali seperti semula.
"He, itu benar, kalau ada yang mau bekerja dengan Ketua Wang sampai mati, itu tentunya aku. Sudah setua ini aku belum
juga berkeluarga.", ujar Xiang Lo.
"Hahaha, makanya jangan terlalu sering main ke pelacuran.", ujar Wang Xiaho sambil tertawa terbahak-bahak.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Susul menyusul, satu per satu, anggota biro pengawalan itu menyampaikan keinginan mereka untuk terus mengikut Wang
Xiaho. Wang Xiaho adalah seorang pimpinan yang mampu menumbuhkan rasa setia dari pengikutnya. Sambil bercakap-
cakap, Wang Xiaho membawa mereka untuk bertemu dengan Guru Chen. Chen Wuxi seorang ahli silat jurus bangau,
perguruan yang dia buka tidak terlalu besar, tapi Chen Wuxi memiliki banyak kenalan di dunia persilatan. Sifatnya terbuka dan murah hati, tidak ragu untuk membantu teman yang sedang kesusahan. Melihat Wang Xiaho datang bersama
rombongan, cepat Guru tua ini memerintahkan muridnya untuk menyiapkan hidangan dan minuman.
Tubuhnya kurus kering tidak mengesankan sebagai seorang ahli silat, Chen Wuxi lebih menekankan pada penggunaan
tenaga lembut daripada tenaga keras.
Setelah berbasa-basi Wang Xiaho pun bercerita tentang Ding Tao, "Jadi Saudara Chen, melihat keadaan pemuda ini, aku
jadi penasaran, masa dia belum punya nama di dunia persilatan. Kukira karena umurnya yang masih muda, bisa jadi dia
baru-baru ini saja membuat berita. Karena aku sudah cukup lama tidak berjalan-jalan ke selatan aku tidak sempat
mendengar namanya. Tapi aku yakin kau pasti tahu tentang kabar-kabar terbaru di selatan sini."
"Hmm" kau bilang dia bernama Ding Tao, badan tinggi besar, wajah lebar cerah dengan garis rahang yang tegas dan mata
tajam. Hmm .. Hmm" sulit juga kalau tidak lihat orangnya langsung, tapi kukira Ding Tao yang kau ceritakan ini adalah
Ding Tao yag baru saja bikin geger di kota Wuling dan di sebuah kota kecil di sebelah barat Chai Sang", ujar Chen Wuxi
sambil meniup-niup tehnya yang masih panas.
"Ah, jadi benar di usia begitu muda, dia sudah bikin nama di dunia persilatan. Bisakah Saudara Chen cerita sedikit tentang dia?", tanya Wang Xiaho dengan hati tertarik.
Anak buahnya yang ikut mendengarkan tidak bisa menyembunyikan rasa tertarik mereka, meskipun mereka tidak berani
ikut buka mulut. Hanya bisa memasang telinga baik-baik sambil menikmati penganan kecil yang disediakan.
Mata Chen Wuxi yang tajam tentu saja melihat rasa tertarik mereka, dengan sengaja berlambat-lambat dia meniup-niup
tehnya, menyeruputnya sedikit demi sedikit. Ketika dilihatnya rasa penasaran mereka sudah mencapai puncaknya, mulailah
dia membuka mulutnya. "Orang bilang dia dulunya adalah tukang kebun di kediaman keluarga Huang?", demikian Chen Wuxi mulai membuka cerita
tentang Ding Tao. Chen Wuxi adalah seorang yang pandai bercerita, saat bercerita tangan dan wajahnya akan ikut bercerita, dengan ahli
mengatur irama cerita, kapan dia harus berhenti untuk menyeruput tehnya, kapan dia bercerita dengan lambat atau dengan
bersemangat. Chen Wuxi selalu saja membuat perhatian pendengarnya terpaku padanya. Ini adalah salah satu sebab orang
suka bertandang ke rumah Chen Wuxi, sebagai guru silat dia biasa-biasa saja, tapi sebagai pendongeng bisa dikatakan dia ini Biksu Khongzhe-nya dari pendongeng.
Tanpa terasa ada pendengarnya yang sebegitu tegangnya sampai tidak menyentuh sama sekali makanan dan minuman
yang dihidangkan. Tapi ada juga pendengarnya yang saking tegangnya, sampai tanpa terasa menghabiskan makanan kecil
yang dihidangkan. Melihat anak buahnya terpukau mendengarkan cerita Chen Wuxi, Wang Xiaho tertawa terkekeh-kekeh, "A Sau, lihat-lihat
kalau makan, masa jatah saudaramu kau habiskan juga, hehehehe."
Gurauan Wang Xiaho disambut tawa semua yang ada dalam ruangan, A Sau yang jadi pusat perhatian hanya bisa
menyengir sambil garuk-garuk kepala, tidak berani menjawab.
Setelah kenyang tertawa Chen Wuxi dengan nada yang serius bertanya pada Wang Xiaho, "Saudara Wang, kau bilang Ding
Tao ini, berkata hendak pergi ke Wuling?"
"Ya, begitulah yang dia katakan, melihat sifatnya yang jujur dan terbuka, kukira dia tidak berbohong. Mendengar ceritamu, kupikir dia hendak kembali menemui keluarga Huang, mungkin hendak meluruskan salah paham yang terjadi."
"Hmm", kalau begitu dia akan menemukan kejutan yang tidak menyenangkan.", ujar Chen Wuxi dengan ekspresi serius,
tangannya mengelus-elus janggut panjang yang hanya beberapa helai saja.
"Saudara Chen, apa maksudmu dengan kejutan yang tidak menyenangkan, apa kau mendengar berita baru dari Wuling
yang menyulitkan Ding Tao" Kukira tadi kau mengatakan, permasalahannya sudah jelas dengan pemberontakan Tiong Fa
beberapa bulan yang lalu. Apakah berita itu kauragukan kebenarannya?"
"Hmm", berita itu sudah kudengar dari beberapa saudara yang berbeda, jadi kuyakin berita itu sudah benar. Tapi ada
berita terbaru yang sedikit tidak jelas?"
"Apa maksud Saudara Chen dengan tidak jelas" Berita apa?"
Mengembuskan nafas panjang Chen Wuxi memandangi tamunya, "Hahhh" bagaimana ya, aku sendiri masih agak ragu
dengan berita yang terbaru ini, jika dikatakan mungkin hanya membuat orang berkuatir tanpa alasan. Tapi kalau sampai
benar, lebih baik Ding Tao tahu sebelum dia sampai ke Wuling."
"Saudara Chen, jangan bicara berputar-putar lagi, katakan saja berita yang kau dengar itu.", ujar Wang Xiaho tidak sabar, entah kenapa jagoan tua ini menyukai kesederhanaan Ding Tao dan ikut berkuatir dengan nasib pemuda itu.
"Nah, akan kukatakan berita itu, tapi sekali lagi kuingatkan, aku sendiri belum yakin dengan kebenarannya."
"Ya, ya, ya, sudah berkali-kali kau katakan itu, sekarang katakan saja apa beritanya.", ujar Wang Xiaho tidak sabar.
Dasar bawaan dari orok suka mendongeng, Chen Wuxi tidak langsung mengatakannya, tapi dengan pandang mata misterius
dia memandangi wajah-wajah menanti di sekelilingnya, kemudian dengan suara rendah berbisik yang membuat setiap
orang merasa tegang, dia berkata, "Berita yang kudengar?"
Sekali lagi dia menunggu saat yang tepat, ?" ada yang menyerang dan membunuh seluruh anggota keluarga Huang yang
ada di Wuling dalam semalam."
"Apa?" Saudara Chen kau jangan bercanda, Wuling adalah pusat kekuatan keluarga Huang, setidaknya ada seratusan orang
laki-laki yang terlatih dan tiga ratusan bila dihitung dengan anak-anak dan wanita. Kaubilang ada yang membunuh mereka
semua dalam waktu semalam" Apa kau gila?"
"Nah, nah, bukankah sudah kubilang berita ini sulit dipercaya.", jawab Chen Wuxi menegakkan badan sambil pura-pura
marah. "Hehehe, kawan lama, jangan mudah marah begitu. Tapi dari berita yang berhasil kau dengar kira-kira berapa bagian kau
yakin akan kebenaran berita ini?", Wang Xiaho bertanya.
"Hmmm" memang sejak timbul kabar ditemukannya lagi jejak Pedang Angin Berbisik, banyak orang sudah merasakan
bakal ada mala petaka lagi yang menimpa dunia persilatan kita. Jika kabar-kabar itu dikaitkan dengan orang-orang yang
berhubungan dengan keluarga Huang, mulai dari Ding Tao, lalu Tiong Fa. Tidak aneh jika kemudian ada orang coba
menyatroni rumah keluarga Huang.", dengan alis berkerut Chen Wuxi berusaha menimbang-nimbang.
"Mungkin saja ada orang menyelusup masuk untuk mencari tahu, tapi dari kabarnya bukankah yang mereka cari harusnya
adalah Tiong Fa?", Wang Xiaho ikut berpikir.
"Tapi coba pikirkan lagi, ketika Tiong Fa ditemukan berkhianat, keluarga Huang mengumpulkan orang-orangnya untuk
membersihkan rumah. Meskipun Tiong Fa lolos, ada kemungkinan Pedang Angin Berbisik, lepas dari tangannya. Bukan tidak
mungkin justru karena pedang itu dianggap lebih penting dari Tiong Fa, makanya Tiong Fa bisa lolos dari sergapan keluarga Huang."
"Ah, ya, benar, benar, Saudara Chen, uraianmu sungguh masuk akal. Tapi tetap saja, kalaupun keluarga Huang menyimpan
pedang itu. Bila ada yang berusaha mencuri masih bisa kuterima dengan akal sehat. Tapi jika kau bilang, ada yang
membasmi habis seluruh isi rumah dalam semalam" hee" bukan saja terlampau kejam, tapi terlampau sulit untuk
dilakukan.", ujar Wang Xiaho sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka yang mendengar cerita Chen Wuxi ikut larut dalam kesedihan, membayangkan perasaan Ding Tao jika cerita itu
benar. "Saudara Wang, soal kejam, kukira ada banyak tokoh yang cukup kejam untuk melakukannya. Orang-orang yang sudah
terlampau sering melihat darah, hingga nyawa orang tidak ada bedanya dengan harga seekor ayam. Cuma soal terlampau
sulit, justru itu yang membut orang berpikir keras dan bergidik. Coba kau katakan, dari organisasi yang kau tahu,
menurutmu ada berapa yang mungkin melakukannya?", tanya Chen Wuxi pada Wang Xiaho.
"Hmm" kukira Kunlun, Hoasan, Shaolin dan Wudang tidak mungkin terlibat urusan busuk macam begini. Kongtong lebih
mungkin, tapi Kongtong yang sekarang tidak punya kekuatan sebesar itu. Kalau mereka mengerahkan seluruh kekuatannya
pun, kukira keluarga Huang masih mampu menandinginya, apa lagi keluarga Huang berada di kandang sendiri. Apakah
mungkin Tiong Fa sendiri yang menyerang?"
"Tiong Fa bisa saja bekas orang dalam keluarga Huang dan tahu banyak kelemahan mereka. Tapi dia baru saja terusir dari
keluarga Huang dan harus memupuk kekuatan dari bawah, mana mungkin dia bisa" Jangan lupa juga, kediaman keluarga
Huang ada di tengah kota."
"Ya", lalu organisasi apa yang cukup kuat dan gila untuk melakukan pembasmian di tengah kota semacam itu?"
"Dari beberapa orang yang kuajak bicara, ada kekuatiran yang sama?", ujar Chen Wuxi sambil mengamat-amati Wang
Xiaho dengan pandangan yang seakan berkata, ayolah pikirkan lagi, harusnya kau bisa menebaknya.
Melihat pandang mata Chen Wuxi, Wang Xiaho berpikir lebih keras sampai tiba-tiba satu pikiran melintas, "Astaga" apakah mungkin benar kabar angin yang mengatakan bahwa Ren Zuocan berhasil melebarkan sayapnya ke dalam perbatasan
secara diam-diam?" Chen Wuxi menganggukkan kepala, "Justru itu kekuatiran yang kami rasakan saat ini. Sekte Matahari dan Bulan menyimpan
jagoan-jagoan kelas satu.Menurut kabar angin ada banyak organisasi dan perguruan yang diam-diam sudah bersumpah
setia pada Ren Zuocan. Dari segi harta kekayaan Sekte Matahari dan Bulang memiliki harta yang tak terhitung jumlahnya.
Pejabat bisa disuap, soal suap-menyuap, meskipun keluarga Huang sangat kaya, tidak mungkin keluarga Huang bisa
menandingi Ren Zuocan."
"Ren Zuocan tidak perlu mengirim banyak orang, cukup kirim 4 atau 5 jagoan kepercayaannya. Kemudian sebagian besar
justru orang-orang dari dalam perbatasan, dia bisa memakai orang-orang dari dalam perbatasan sendiri. Bukan tidak
mungkin sejak berita tentang Pedang Angin Berbisik tercium, dia sudah mulai menanamkan orangnya di sekitar kota
Wuling. Begitu dia mendapat kepastian, saat itu juga mereka bergerak."
Wang Xiaho merasa tenggorokannya kering, ketika dia mengangkat cangkir the untuk diminum, baru dia sadar, bahwa
tangannya gemetaran. Melihat tangannya gemetaran, cepat-cepat diletakkannya cangkir kembali ke meja, sambil
menunggu hatinya tenang. Chen Wuxi berpura-pura tidak melihatnya, dia bisa membayangkan perasaaan Wang Xiaho saat
itu. Dirinya pun sampai sekarang masih susah makan dan tidur bila teringat penyerangan atas keluarga Huang.
"Saudara Wang, sudah beberapa hari ini, sejak mendengar kabar itu dan mencapai kesimpulan yang sama, tidak bisa tidur
nyenyak dan makan dengan nikmat. Meskipun bukti-buktinya belum cukup kuat, tapi jika berita pembasmian keluarga
Huang itu benar, berarti Ren Zuocan sudah masuk dalam rumah kita, bukan hanya sekedar menunggu di depan halaman."
Wang Xiaho yang sudah bisa menenangkan diri, perlahan menyeruput the yang dihidangkan, "Saudara Chen, berita itu
sendiri apakah tidak ada yang coba memastikan?"
"Berita itu pertama kali, aku dengar dari salah seorang saudara seperguruanku, Wang Ming, dia mendengar kabar itu dari
salah seorang rekannya. Beberapa hari kemudian, beberapa saudara yang lain tanpa sengaja berkumpul di sini karena
mendengar berita yang sama. Kesimpulan kami sama seperti kesimpulanmu barusan. Untuk meyakinkan, dua dari mereka
bersedia pergi ke Wuling untuk memastikan kabar. Harusnya dalam 2-3 hari ini mereka akan mampir ke mari untuk
menyampaikan hasil penyelidikan mereka."
"Siapa yang pergi ke Wuling?", tanya Wang Xiaho, teh hangat yang manis tidak lagi terasa nikmat, meskipun hatinya sudah jauh lebih tenang tapi perasaan akan adanya bahaya yang datang mengancam tidak juga hilang.
"Fu Tong si tongkat besi dan Pendeta Tao pengelana, Liu Chuncao."
"Hmm, mereka orang-orang yang teliti, kukira, kabar yang nanti kita dapatkan, tentu akan lebih cermat lagi."
"Saudara Wang, bagaimana kalau kalian menginap saja di sini sambil menunggu kedatangan mereka" Aku pun rasanya
tidak bisa tenang memikirkan hal ini sendirian.", Chen Wuxi dengan ramah menawarkan.
Wang Xiaho berpikir sebentar kemudian menggelengkan kepala, "Berita ini benar-benar membuat hati orang jadi tidak
tenang. Kupikir biarlah aku sendiri dan dua-tiga orang kepercayaanku ikut menunggu berita itu. Sisanya akan kukirim
pulang untuk meningkatkan kewaspadaan."
"Hee, bukankah kau berencana untuk mengawal barang lagi dua-tiga hari ke depan?", tanya Chen Wuxi.
"Tadinya begitu, tapi mendengar kabar ini, seleraku jadi hilang. Saudara Chen, jujur saja, tiba-tiba aku merasa ketakutan.
Kupikir sebaiknya segenap orangku berkumpul saja di pusat biro pengawalan kami. Segera setelah medengar kepastiannya
dari Fu Tong dan Liu Chuncao, akupun akan kembali ke markas dan mengambil keputusan."
"Hmm" aku mengerti, aku sendiri sudah memulangkan beberapa muridku yang kunilai belum siap untuk ambil urusan di
luaran. Murid baru aku tidak terima, sedangkan murid yang sudah lama belajar dan sedang berada di luaran, aku undang
untuk datang kemari.", ujar Chen Wuxi sambil menghela nafas.
"Ya" badai mau datang, rumah-rumah baiknya diperkuat.", ikut-ikut menghela nafas, Wang Xiaho kemudian memandang
anak buahnya. "Kalian mengerti maksudku?", tanyanya pada mereka.
Dengan jantung berdebaran mereka mengangguk. Beberapa yang masih muda justru perasaannya bercampur antara cemas
dan bergairah. Yang lebih tua apalagi yang berkeluarga, pikirannya lebih tenang dan bisa menimbang dengan baik, mereka
lebih berpikir untuk menghindar, hanya saja untuk meninggalkan Wang Xiaho sendirian mereka tidak tega.
Melihat kecemasan di wajah pengikutnya Wang Xiaho menjadi jatuh kasihan, "Kalian tidak perlu terlalu kuatir, biro
pengawalan kita, bisa dibilang hanya lalat kecil saja di depan orang-orang macam mereka. Tidak nanti mereka mengganggu
kita, setelah aku mendapatkan kepastian, aku akan memutuskan. Kukira tidak ada salahnya Biro Pengawalan Golok Emas,
dibubarkan untuk sementara waktu."
Mendengar perkataan Wang Xiaho beberapa orang terlihat akan mendebat keputusannya, tapi Wang Xiaho cepat
mengangkat tangan, memberi tanda agar mereka tidak berbicara, "Dengar, mungkin kalian tidak ingin membubarkan Biro
Pengawalan yang sudah kita rintis selama bertahun-tahun. Tapi sebaiknya kita tahu diri, jika badai itu benar-benar datang, apalah artinya kita ini" Aku tidak ingin di antara kalian ada yang jatuh korban sia-sia. Biarlah kita menunggu keadaan
tenang, baru kita pikirkan kemudian."
"Bagaimana dengan Ketua Wang sendiri?", tanya A Sau.
Lama Wang Xiaho tidak menjawab, "Hmm" aku sudah tua, tidak ada anak, tidak ada isteri, orang tua sudah lama
meninggal, saudara sudah lama tidak berjumpa. Kalau aku ada sedikit tenaga untuk disumbangkan pada negara, apalah
artinya Wang Xiaho, tidak mati oleh pedangpun, paling-paling umurku tinggal beberapa tahun saja."
Anggota Biro Pengawalan Golok Emas yang mendengar hal itu, menundukkan kepala dengan susah hati. Beberapa orang
yang sama seperti Wang Xiaho, tidak ada keluarga yang menjadi tanggungan, dalam hati sudah membuat keputusan, ke
mana Wang Xiaho pergi, mereka akan mengikut ketua mereka itu.
Suasana di ruangan itu pun menjadi sendu, meskipun belum berpisah, tapi rasanya perpisahan itu sudah tidak bisa dihindari lagi. Beberapa anggota yang muda, lebih-lebih lagi merasa demikian, karena sebagian besar dari mereka, mempelajari ilmu silat dari Wang Xiaho. Bagi mereka Wang Xiaho bukan hanya seorang pimpinan tapi juga guru. Chen Wuxi hanya bisa
menghela nafas, perguruannya sendiri pun menghadapi persoalan yang sama. Anak isterinya sudah dia ungsikan ke rumah
mertua. Di perguruan hanya tinggal mereka yang sudah kenyang asam garamnya dunia persilatan.
"Saudara Wang, tadi kaubilang Ding Tao ada di kota ini, menurutmu apakah baiknya kita undang dia kemari?", ujar Chen
Wuxi memecahkan keheningan.
"Apa" Oh ya, benar, ah semakin tua aku jadi semakin pikun. Kenapa sampai lupa dengan pemuda itu, berita ini entah benar entah tidak, sebaiknya dia ikut tahu. Bukan tidak mungkin orang-orang Ren Zuocan masih ada yang berkeliaran di Wuling.
Bila tidak berhati-hati nasibnya bisa jadi sama seperti Pendekar besar Jin Yong.", sambil menepuk kepala Wang Xiaho
memaki dirinya sendiri. "A Sau, kau dan A Chu, cepat cari Ding Tao, kalau ketemu ajak dia kemari.", perintahnya pada dua anggota termuda dalam
kelompoknya, karena persamaan umur, keduanya yang paling akrab dengan Ding Tao selama perjalanan.
Bergegas dua orang pemuda itu berpamitan lalu pergi mencari Ding Tao di kota.
------------------------------ o ------------------------------
Ding Tao sedang makan di sebuah rumah makan kecil di kota Jiang Ling, bekal uangnya masih cukup, tapi pemuda itu tidak
suka menghamburkan uang. Membantu Wang Xiaho mengawal barang, pemuda itu justru jadi berminat untuk
mengumpulkan uang sebisa mungkin. Tawaran Wang Xiaho membekas kuat dalam benak pemuda itu.
Dia pun sudah membayangkan akan mengembangkan Biro Pengawalan Golok Emas milik Wang Xiaho. Selama ini dia belum
pernah berpikir, apa yang akan dia kerjakan selain berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Gu Tong Dang. Tapi
setelah berkelana beberapa lamanya, melihat penghidupan yang ada, apalagi setelah hubungannya dengan Huang Ying Ying
berkembang, pemuda inipun mulai memikirkan akan penghidupannya di masa depan.
Tidak pernah lewat dalam benak pemuda ini untuk mendompleng kekayaan keluarga Huang, ataupun memanfaatkan
kekayaan keluarga Murong. Ding Tao punya harga diri, sebagai laki-laki dia ingin bisa berdiri di atas kedua kakinya sendiri, bukan bersandar pada kesuksesan orang lain.
Itu sebabnya pemuda ini berniat untuk berhemat dan mengumpulkan uang dalam perjalanannya. Supaya nanti jika dia
datang untuk memenuhi tawaran Wang Xiaho, dia tidak datang dengan tangan kosong, sekedar memanfaatkan kebaikan
orang. Tidak terpikir oleh Ding Tao, betapa besar artinya ilmu silat yang dia miliki bagi Biro Pengawalan Golok Emas milik Wang Xiaho, berkali-kali lipat dari uang yang berhasil dia kumpulkan.
Ding Tao sedang menikmati semangkuk mie, ketika A Sau dan A Chu menemukannya. Sudah cukup lama mereka berputar-
putar di kota, keringat sudah membasahi baju mereka dan tenggorokan mereka sudah mulai merasa haus. Ding Tao yang
duduk menghadap jalan, melihat mereka lebih dahulu. Keduanya sudah menjadi teman akrab buat Ding Tao, karenanya
tanpa banyak berpikir Ding Tao menghampiri mereka.
"Hei, A Sau, A Chu, sedang mencari siapakah?", panggil Ding Tao sambil melambaikan tangan dari pintu rumah makan.
Mendengar panggilan Ding Tao, keduanya dengan perasaan senang bergegas menemui pemuda itu.
"Saudara Ding, akh, akhirnya ketemu juga.", sapa A Sau sambil menepuk bahu Ding Tao.
"Saudara Ding, Ketua Wang meminta kami untuk mencarimu ada hal penting yang perlu disampaikan.", sambung A Chu.
"Ah, ada urusan apa ya?", tanya Ding Tao sedikit heran.
Raut wajah A Sau dan A Chu jadi sedikit berubah, diingatkan kembali tentang urusan pelik yang mereka hadapi.
"Sebaiknya Ketua Wang saja yang bicara Ding Tao, daripada kami kesalahan bicara.", jawab A Sau dengan serius.
Melihat keseriusan wajah A Sau, Ding Tao merasakan bahwa urusan yang akan dibicarakan tentu bukan masalah kecil. Tapi
melihat keduanya basah oleh keringat, hatinya jadi tak tega.
"He, aku sedang makan waktu melihat kalian, bagaimana kalau kuselesaikan makanku dulu, sembari kalian memesan
minuman?" "Wah, boleh juga, sudah sejak tadi kami berputar-putar mencarimu, tenggorokan kami sampai terasa kering.", ujar A Chu
yang kemudian tanpa sungkan-sungkan memanggil pelayan dan memesan minuman.
"Dasar gembul, kau pesan minuman apa kau bawa uang?", tanya A Sau.
Diingatkan A Sau, A Chu pun jadi teringat, keduanya tidak membawa uang sedikitpun. Dengan pandangan bersusah hati A
Chu menoleh pada Ding Tao, "Ya" "
Ding Tao tertawa melihat pandangan mata A Chu yang memelas, "He, hari ini aku yang bayari minuman kalian. Ketua Wang
membayarku cukup banyak. Ayo tidak usah sungkan."
"Nah itu baru saudara yang baik.", ujar A Chu sambil cengengesan.
"Jangan banyak-banyak, perutmu nanti kembung.", sahut A Sau sambil menendang pantat A Chu.
Melihat tingkah mereka berdua Ding Tao tertawa geli, sebenarnya mie yang sudah dia pesan sudah hampur habis, tapi
dimakannya perlahan-lahan sambil menunggu sampai minuman yang dipesan datang.
"Eh, apakah kalian mau makan mie juga?", tawar Ding Tao.
Cepat-cepat A Sau membuka mulut sebelum A Chu sempat menjawab, "Sudah-sudah, kami sudah makan di tempat orang
tadi. Cuma sedikit haus saja karena berkeliling mencari dirimu. Kalau kau sudah selesai makan, baiknya kita cepat-cepat kembali."
A Chu sudah membuka mulutnya untuk protes, tapi lirikan dari A Sau membuat dia tidak jadi berkata apa-apa. Cepat-cepat
minuman yang sudah disediakan diminum oleh A Chu, pikirnya, lebih cepat kembali ke rumah Guru Chen, lebih baik karena
lebih banyak hidangan di sana.
Dalam waktu singkat ketiga pemuda dengan umur yang hampir sama itu sudah berjalan menuju ke rumah Chen Wuxi. Di
jalan A Sau dan A Chu tidak henti-hentinya bertanya tentang pengalaman Ding Tao sebelum bertemu mereka. Benarkah
Ding Tao pernah bertarung dengan Sepasang Iblis muka Giok" Seperti apa bentuknya Pedang Angin Berbisik itu" Apa benar
ada yang merebut Pedang Angin Berbisik dari Ding Tao" Apakah sekarang Ding Tao pergi ke Wuling untuk merebut kembali
pedang itu" Mengapa sebelumnya Ding Tao pergi dari Wuling" Dsb.
Ding Tao pun jadi kerepotan menjawab pertanyaan mereka. Pada dasarnya dia tidak pandai menyembunyikan sesuatu,
apalagi di hadapan mereka yang dipandangnya sebagai sahabat. Meskipun Ding Tao berusaha menutupi sebagian dari
kisahnya, sedikit banyak gambaran yang lebih jelas terbentuk dalam angan-angan A Sau dan A Chu. Menimbulkan
kekaguman yang lebih mendalam di hati kedua pemuda itu.
Sambil bercakap-cakap, perjalanan jadi terasa singkat. Tiba-tiba mereka sudah sampai di gerbang rumah Peguruan Bangau
Putih milik Chen Wuxi. Kedatangan mereka segera disambut oleh beberapa orang murid Perguruan Bangau Putih dan orang Biro Pengawalan Golok
Emas. "He, A Sau lama sekali kau pergi, ayo cepat masuk ke dalam, Ketua Wang sudah menunggu lama.", ujar salah seorang dari
mereka. "Ya, ya, kau kira gampang mencari orang di kota sebesar ini.", sahut A Sau, "Ayo Ding Tao, kita masuk ke dalam."
Ding Tao mengangguk sopan pada setiap orang yang dia temui. Bagi anak-anak murid perguruan Bangau Putih, kesan yang
diperlihatkan Ding Tao membuat mereka ragu, apakah ini Ding Tao yang sama dengan Ding Tao yang diceritakan guru
mereka. Penampilan Ding Tao memang tidak terlampau meyakinkan untuk disebut sebagai jago pedang. Tubuh tinggi dan
Pendekar Sakti Suling Pualam 20 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Bende Mataram 22
^