Pencarian

Pedang Angin Berbisik 6

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 6


Ding Tao punya perasaan, bahkan perasaannya peka dan halus. Ding Tao juga tahu arti kata setia. Jadi apa yang hendak
dia lakukan" Apakah dia akan menerima undangan Murong Yun Hua atau tidak"
Mungkin itu sebabnya banyak lelaki lebih memilih untuk jadi tidak berperasaan atau tidak setia. Memilih keduanya
mengundang rasa tersiksa dalam hati. Tapi saat ini yang ada di hadapan Ding Tao adalah Murong Yun Hua dengan wajah
yang sendu, senyumnya yang tadi membuat dunia tampak ikut bersinar. Sekarang senyumnya terlihat seperti bunga indah
yang kesepian sendirian, sementara awan kelabu bergayut di atasnya.
"Nona Murong, jangan berkata bodoh, hanya orang yang buta dan tuli yang akan mengatakan nona membosankan. Nona
begitu cantik, hanya memandangi nona pun orang akan merasa bahagia, suara nona begitu lembut dan halus,
mendengarnya seperti mendengar nyanyian merdu bidadari.", ujar Ding Tao berusaha menghibur hati gadis itu.
"Wah wah wah, lihat di sini, ada seorang tukang rayu ulung rupanya.", tiba-tiba dari belakang mereka terdengar suara nakal menggoda.
Tidak perlu menoleh, Ding Tao sudah tahu siapa yang ada di belakangnya, siapa lagi jika bukan gadis berjubah musim
gugur itu. Merona merah wajah pemuda itu, dalam hati dia memaki mulutnya, mengapa bisa mengeluarkan kata-kata
seperti itu. "Bukan, bukan, bukan maksudku merayu.", ujarnya dengan susah hati.
"Bukan, bukan, bukan, bukankah tidak salah perkataanku, baru kutinggal berdua beberapa lama, kau sudah mencoba
merayu ciciku.", tiru gadis nakal itu dengan memutar mata.
Melihat wajah Ding Tao yang memelas, pecahlah tawa Murong Yun Hua yang pipinya merona merah kena goda adiknya,
"Saudara Ding, sudahlah jangan terlalu dipikirkan, adikku ini memang suka menggoda. Sudahlah, bagaimana dengan
tawaranku tadi?" "Ya, benar, jangan cuma merayu saja. Kau bilang tidak bermaksud merayu, kalau benar, buktikan, jangan tolak tawaran
cici, apakah kau sengaja membuat malu dirinya?", desak gadis berjubah musim gugur.
"Baiklah, baik, tapi aku tidak bisa berlama-lama, sebenarnya ada urusan penting yang harus dikerjakan.", jawab Ding Tao menyerah.
"Hmmm" aku sedang berpikir, untuk menata taman kami seperti idemu tadi, bagaimana kalau Saudara Ding, tinggal di sini,
sampai perubahan itu selesai dikerjakan" Paling satu atau dua hari sudah selesai. Apa urusanmu itu, kira-kira bisa ditunda barang 2 hari?", tanya Murong Yun Hua dengan wajah yang cerah.
Melihat wajah gadis itu yang begitu cerah, mana tega Ding Tao untuk menawar apalagi menolak.
"Dua hari, ya dua hari tidak masalah, baiklah aku akan merepotkan nona sekalian selama dua hari ini.", jawab Ding Tao
dengan pasrah. "Nah, bagus kalau begitu, ayo sekarang kita ke ruang latihan, kau dikejar-kejar sepasang iblis itu tentu kau termasuk orang persilatan juga. Aku sudah lama tidak berlatih tanding dengan siapapun.", gadis berjubah musim gugur dengan senang
menggandeng tangan Ding Tao dan menyeretnya pergi.
"Eh, bagaimana dengan cicimu?", tanya Ding Tao sambil menoleh ke arah Murong Yun Hua.
"Kenapa memang dengan ciciku" Tuh dia di situ, jangan seperti anak kecil ditinggal ibunya, apa kau takut berdua
denganku" Memangnya kaupikir aku mau menggigitmu?", jawab gadis nakal itu dalam rentetan kata-kata.
Murong Yun Hua berlari kecil menyusul mereka, "Eh, jangan ditinggal, aku juga mau lihat kalian berlatih."
Sambil tertawa geli dia menambahkan, "Saudara Ding, sebaiknya kau ikuti saja kemauannya. Sudah lama dia mengeluh
karena tidak ada yang bisa diajak bertanding."
Sambil menggaruk kepala Ding Tao hanya bisa mengangguk, mengiyakan, sambil menyengir kuda.
Gadis berjubah musim gugur itu sudah melepas jubahnya. Saat ini dia mengenakan pakaian ringkas yang cocok untuk
berlatih silat. Di tangannya dia membawa dua bilah pedang. Tanpa jubah, gadis ini terlihat semakin menarik, mungkin dia kalah cantik dengan Murong Yun Hua, tapi tubuhnya justru lebih padat berisi dengan lekuk-lekuk yang indah di tempat yang tepat.
Kalau kecantikan Murong Yun Hua seperti embun pagi yang sejuk, kecantikan gadis berjubah musim gugur ini, lebih mirip
arak yang memabokkan. Apalagi jika ditambah dengan sifatnya yang nakal dan suka menggoda orang.
Tanpa jubah musim gugurnya, rasanya aneh jika kita masih memanggil dia gadis berjubah musim gugur, beruntung Murong
Yun Hua dengan cepat memperkenalkan nama gadis itu pada Ding Tao
"Oh ya, nama anak nakal ini, Murong Huolin, lidahnya tajam tapi hatinya baik. Kau tidak perlu risaukan perkataannya."
Keceriaan Murong Huolin menular juga pada Murong Yun Hua, Ding Tao jadi tidak menyesal sudah menerima tawarannya.
Hatinya ikut senang melihat wajah yang cantik itu nampak berseri. Dalam waktu yang singkat mereka sudah sampai di
sebuah ruangan yang cukup luas.
Rak-rak senjata ada di ke-empat sisinya. Macam-macam senjata ada di sana.
"Kulihat kau membawa-bawa pedang, jadi kau pilih saja salah satu pedang kayu yang ada di sana. Aku sudah terbiasa
memakai sepasang pedang. Kalau sudah siap kita langsung saja. Tidak usah banyak basa-basi, ya.", Murong Huolin
mendorong Ding Tao ke arah salah satu rak senjata yang berisi bermacam jenis pedang kayu dengan macam-macam
ukuran dan bentuk. Ding Tao melihat-lihat, kemudian memilih satu pedang kayu yang mirip sekali dengan Pedang Angin Berbisik. Ditimang-
timangnya pedang itu di tangan, kekaguman muncul di hatinya, tidak salah lagi, pembuat pedang kayu ini, tidak kalah
ahlinya dengan pembuat Pedang Angin Berbisik.
Diamat-amatinya pedang itu dengan lebih teliti, diangkatnya mata pedang setinggi mata dan ditelusurinya mata pedang
yang diraut dengan halusnya. Ditimang-timangnya dalam genggaman, merasakan keseimbangan antara mata pedang dan
pegangannya. Kemudian diayunkannya pedang itu dan dimainkannya beberapa jurus. Dalam hati jadi timbul rasa sayang
untuk menggunakan pedang itu dalam latihan.
Sementara itu Murong Huolin sudah menanti dengan tidak sabar, kakinya mengetuk-ngetuk lantai yang terbuat dari papan-
papan kayu yang sudah diserut halus.
"Ayo cepat! Mau tunggu sampai aku beruban?", omel gadis itu memecahkan lamunan Ding Tao.
Sambil menyengir Ding Tao buru-buru berjalan ke tengah arena dan bersiap untuk melayani Murong Huolin yang sudah
bersiap, mengambil kuda-kuda dengan dua pedang siap di tangan. Yang sebilah teracung ke atas, yang sebilah lagi
melintang di depan dada. Melihat kuda-kuda gadis itu Ding Tao jadi tertarik, dia ingin melihat serangan seperti apa yang akan dilontarkan gadis itu.
"Nona Huolin, silahkan kau duluan yang memulai.", ujarnya sopan.
"Hmph! Baiklah, awas serangan!"
Begitu menyerang, lenyap sudah kilatan nakal di mata gadis itu, serangannya cepat dan telengas. Bilah pedang yang
teracung ke atas dengan cepat menyambar ke arah ubun-ubun Ding Tao. Menyurut mundur Ding Tao ke belakang. Murong
Huolin pun dengan cepatnya maju ke depan, bilah pedang yang melintang di dada, sudah menyambar pula ke arah Ding
Tao, menabas cepat, dalam gerakan yang akan memotong tubuhnya menjadi dua.
Sekali lagi Ding Tao menyurut mundur, tapi bilah pedang yang lain ternyata sudah siap untuk menyerang ubun-ubunnya
sekali lagi. Dalam sekejapan sudah 10 kali gadis itu menyerang dan 10 kali pula Ding Tao menyurut mundur ke belakang. Dengan
cepat pemuda itu sudah hampir keluar dari arena pertandingan. Sebenarnya Ding Tao sedang menanti serangan yang
berikutnya, tapi tiba-tiba Murong Huolin, berhenti menyerang an membanting kaki, "Mundur dan mundur terus! Apa kau
sebangsa undur-undur?"
Melengong Ding Tao melihat gadis itu marah-marah, tapi segera saja rasa bingungnya berubah menjadi geli, "Sabar dulu
Nona Huolin, aku baru saja mau mencoba ganti menyerangmu pada serangan berikutnya."
Alis Murong Huolin terangkat, wajahnya menunjukkan eskpresi tidak mau percaya, "Hmm" apa benar" Jangan-jangan ilmu
andalanmu hanya jurus langkah seribu saja."
"Tidak-tidak, aku tadi baru mengamati serangan nona yang gencar. Tapi berikutnya tentu nona akan lihat kalau aku ada
jalan keluar.", jawab Ding Tao dengan sabar, sedikit demi sedikit dia sudah mulai terbiasa dengan tingkah Murong Huolin yang sedikit mirip Huang Ying Ying, meskipun Huang Ying Ying tidaklah setajam gadis ini.
"Baiklah, ayo kita ulangi lagi. Aneh-aneh saja, berkelahi kok seperi undur-undur.", gerutu gadis itu sambil melangkah
kembali ke tengah ruangan.
"Saudara Ding, jangan sungkan-sungkan, kau beri saja adikku itu sedikit hajaran.", teriak Murong Yun Hua dari pinggir
arena sambil tertawa geli.
Murong Huolin membalas dengan meleletkan lidahnya, "Tak usah yaa" Ding yang satu ini cuma kencang bunyinya, belum
ada buktinya." Dengan nakal gadis itu memelesetkan nama marga Ding Tao dengan kata berbunyi sama, Ding, tapi ding yang artinya suara
gemerincing seperti bel. Tapi Ding Tao tidak menjadi marah, justru ikut tertawa geli, meskipun dia yang dijadikan bahan lelucon. Sikap Ding Tao ini membuat Murong Huolin senang, dengan gaya yang tidak merendahkan dia bersiap kembali.
"Ayo, kita mulai lagi."
"Baik" "Awas serangan!"
Sekali lagi jurus serangan yang sama digunakan oleh Murong Huolin, sepasang pedang menyerang bergantian tanpa jeda,
setiap kali satu serangan selesai, bilah pedang yang lain sudah sampai di posisi awal dan ganti menyerang.
Sekali lagi Ding Tao mundur ke belakang dan ke belakang tapi pada serangan yang ketiga, Ding Tao berkelit, bergerak
memutar dan posisinya tiba di belakang Murong Huolin dan dengan ringan pedang kayu di tangannya menepuk pundak
gadis itu. "Kena kau Adik Huolin.", sambil tertawa Murong Yun Hua meneriaki adiknya yang masih berdiri tidak percaya dengan apa
yang baru saja terjadi. "Eh, bagaimana bisa begitu mudah?", seru gadis nakal itu.
Dengan sebelah tangan di pinggang dia berbalik menghadapi Ding Tao, "Eh Kakak Ding, kenapa bisa begitu mudah" Kulihat
gerakanmu tidak begitu cepat. Seranganku juga kuyakin tidaklah lambat, jurus ini sudah kulatih selama beberapa bulan,
kupikir sudah cukup sempurna. Ternyata?"
Melihat wajah sedih Murong Huolin, Ding Tao jadi kasihan, "Nona Huolin, jurusmu sebenarnya cukup hebat, tidak mudah
untuk lolos dari jurus itu. Serangan dari atas, jika ditangkis akan membuka lubang di bagian tubuh, dan serangan yang
mendatar akan memanfaatkan lubang itu. Demikian juga serangan yang mendatar jika ditangkis, maka pedang akan
tertahan dan lubang pertahanan dari atas akan terbuka."
"Begitu juga jika lawan bergerak menghindar, serangan dari atas, jika dikelit ke samping tentu serangan yang mendatar
akan segera menyusul, menutup jalan mundur lawan. Jika dikelit mundur, maka sambil memburu maju serangan yang
mendatar akan mendesak lawan, sementara pedang yang satu kembali mengambil posisi untuk menyerang dari atas.
Dengan bergantian begini, asalkan dalam hal kecepatan bisa dipertahankan, meskipun belum bisa memenangkan lawan tapi
bisa mendesak mundur lawan."
"Eh kau ini memuji saja, lalu kalau memang begitu bagus, kenapa begitu mudah dikelit?", tanya Murong Huolin sambil
cemberut. "Masalahnya nona kurang pandai dalam mengatur irama serangan. Kecepatan gerakan nona dari awal hingga akhir tetap
sama. Setelah menghadapi serangan yang sama beberapa kali segera saja iramanya ketahuan. Maka dengan mudah saya
menyesuaikan diri dengan irama serangan nona dan mengambil kesempatan untuk berkelit di saat jeda antara dua
serangan.", jawab Ding Tao dengan sabar menjelaskan.
"Ah, itu berarti aku masih kurang cepat" Tapi tanganku sudah sampai pegal berlatih supaya bisa melancarkan serangan itu secepat mungkin.", keluh Murong Huolin.
"Tidak juga, seharusnya nona mengubah-ubah kecepatan serangan nona, sehingga lawan susah menangkap iramanya.
Secepat apapun, pasti akan ada jedanya antara serangan yang satu dengan serangan yang selanjutnya. Tapi bila antara
serangan ada serangan tipuan dan serangan sungguhan, maka lawan jadi lebih sulit menebak.", ujar Ding Tao coba
menerangkan. "Hmm.. aku mengerti, serangan bisa saja dengan sengaja dibuat lambat, jika lawan terpancing baru bergerak cepat. Lawan
yang tidak menduga aku bisa menyerang secepat itu akan terkena serangan."
"Ya, bisa juga seperti itu, tapi bisa juga cepat-lambat-lambat dan cepat, dengan irama yang sedikit tidak beraturan, lawan pun akan kesulitan untuk mengikuti. Bayangkan jika serangan nona berubah dari cepat ke lambat, lawan mungkin sudah
bergeser padahal serangan nona masih belum sepenuhnya dikembangkan. Nona bisa dengan mudah mengganti arah
serangan dan lawan yang terlanjur bergerak justru masuk dalam perangkap.", sambil menjelaskan Ding Tao memperagakan
jurus yang sama dengan irama yang berubah-ubah, sesuai dengan penjelasan yang dia berikan.
Mendengar penjelasan Ding Tao, sambil melihat cara pemuda itu memainkan jurus yang sederhana namun keras itu,
Murong Huolin jadi makin paham akan penerapan jurus itu dalam pertarungan. Gadis itu pun bertepuk tangan sambil
melompat kegirangan. "Wah hebat-hebat. Ding Tao ternyata kau seorang ahli pedang.", pujinya dengan wajah ceria.
Sambil tersipu malu Ding Tao menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tidak juga, mungkin hanya sedikit lebih menang
pengalaman dari Nona Huolin."
"Hmmm" tidak perlu berpura-pura malu begitu, kau pintar main siasat, jangan-jangan lidahmu pun pandai berputar,
memuji dan menyanjung orang, padahal ada maunya.", goda Murong Huolin sambil melirik penuh arti ke arah Murong Yun
Hua yang berjalan mendekat.
"Ah, tidak-tidak, mana berani saya berpikir yang tidak-tidak.", jawab Ding Tao sambil menggelengkan kepala.
Murong Yun Hua yang ikut mendengar ucapan Murong Huolin ikut tersipu malu, sambil mencubit adiknya itu dia mengomel,
"Ih, anak nakal, harusnya kau berterima kasih bukannya malah menggoda."
"Aduh, aduh, cici, kalau godaanku benar apakah cici tidak merasa senang?", ujar Murong Huolin sambil berkelit lari dari cubitan cicinya, bersembunyi di belakang Ding Tao yang wajahnya merah padam.
"Eh anak nakal, apa maksudmu?", tanya Murong Yun Hua dengan alis terangkat dan wajah tersipu malu.
Dikejarnya Murong Huolin yang bersembunyi di belakang Ding Tao, tapi Huolin yang lebih gesit dengan cepat bergerak
memutar, menjadikan Ding Tao sebagai perisai di antara dirinya dan Murong Yun Hua. Ding Tao yang dikelilingi dua gadis
cantik, mati kutu tidak berani bergerak sedikit pun.
Setelah beberapa kali berputaran, akhirnya Murong Huolin berlari pergi meninggalkan ruangan, tertawa geli, sambil
berteriak minta ampun pada cicinya. Murong Yun Hua hanya bisa memandangi saja dengan nafas yang sedikit tersengal.
Saat dia menoleh ke arah Ding Tao, wajahnya pun tersipu malu, "Saudara Ding, kau jangan dengarkan perkataan gadis
nakal itu." Ding Tao hanya bisa menyengir kuda sambil mengangguk, dalam hati ada juga terselip rasa senang. Kepalanya masih
berdenyut karena tadi darahnya ikut juga berputaran dengan kencang, saat dia dikelilingi kedua gadis cantik itu. Bau harum tubuh mereka masih tersisa di rongga hidungnya, juga singgungan-singgungan kecil dengan tubuh keduanya masih terasa
hangatnya. "Hari sudah siang, bibi tentu sudah menyiapkan makan siang, mari ikut aku ke ruang makan.", ajak Murong Yun Hua sambil
tersenyum manis. Sambil berjalan ke arah bangunan utama, menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok membelah taman, mereka berdua
bercakap-cakap. Sedikit banyak Ding Tao mulai mengenal keadaan tuan rumahnya.
Dari keluarga Murong ini, hanya tinggal kedua gadis itu yang masih hidup. Kedua orangtua mereka sudah meninggal saat
mereka masih remaja. Tapi mereka tidak tinggal sendirian, masih ada belasan pengikut setia yang ikut menjaga dan
memelihara rumah itu. Harta yang diwariskan sendiri masih cukup untuk beberapa turunan. Sementara untuk kebutuhan
hidup sehari-hari, mengandalkan dari kebun dan sawah yang mereka miliki. Dengan menjaga pengeluaran sehari-harinya,
dapatlah keluarga ini bertahan hidup tanpa banyak menggunakan harta peninggalan orang tua Murong Yun Hua dan Murong
Huolin. Pengurus lama yang setia banyak berperan dalam hal ini.
Murong Yun Hua dan Murong Huolin bukanlah saudara kandung, mereka adalah saudara sepupu. Bagaimana meninggalnya
kedua orang tua mereka, gadis itu tidak mau menjelaskan. Ding Tao pun tidak tega untuk bertanya lebih lanjut.
Makan siang berjalan dengan baik, masakan yang dihidangkan bukan masakan yang mewah, namun itu justru mencocoki
selera Ding Tao. Karena sikap tuan rumah yang ramah, obrolan mereka berjalan seperti tak ada habisnya. Tanpa terasa
Ding Tao pun bercerita tentang keadaannya yang sedang terluka dalam. Perihal Pedang Angin Berbisik masih disimpannya
erat-erat, bukan karena mencurigai tuan rumah, melainkan karena khawatir hal itu akan membuat keluarga yang terlihat
hidup damai ini jadi tersangkut paut dengan urusan berdarah.
Memikirkan hal itu Ding Tao merasa resah karena sudah setuju untuk tinggal selama beberapa hari di rumah Murong. Ada
rasa khawatir bahwa jejaknya akan tercium hingga kemari, menyebabkan masalah datang ke dalam keluarga ini. Tergerak
oleh kebaikan tuan rumah, dalam hati pemuda itu berjanji, jika sampai hal itu terjadi, dia akan bertarung sampai darah
penghabisan. Malam itu saat Ding Tao sudah terbaring di tempat tidur, pikirannya mulai melayang ke mana-mana. Dikenangnya apa-apa
saja yang terjadi sepanjang hari itu. Siasatnya yang berjalan dengan baik, telah menelan belasan korban. Ketika teringat hal itu, Ding Tao mengerutkan alis dan menghela nafas panjang.
Sejenak dia mengatupkan mata dan berdoa, bagi arwah mereka yang mati terbunuh hari itu. Jika memikirkan betapa lebih
banyak lagi korban yang harus mati di tangannya, entah lewat pertarungan atau lewat siasat seperti yang baru saja dia
lakukan hari ini. Tapi hal itu tidak bisa dia hindari, setelah lukanya sembuh dia masih harus merebut kembali Pedang Angin Berbisik dari Tiong Fa, sudah tentu Tiong Fa tidak akan berdiam diri begitu saja. Belum dihitung jika nanti ternyata Tiong Fa memiliki pula anak buah. Berapa orang lagi harus mati di tangannya"
Setelah berhasil merebut pedang itupun bukan berarti sudah tidak ada lagi pertarungan lain yang harus dijalani. Pertemuan 5 tahunan itu masih kira-kira satu setengah tahun dari sekarang. Sepanjang masa itu, entah berapa banyak pendekar yang
akan mencoba menantangnya secara terang-terangan demi mendapat pedang. Atau lewat siasat licik seperti yang terjadi
pada pemilik pedang sebelumnya.
Jika dia berhasil mempertahankan pedang itu sampai saatnya di pertemuan 5 tahunan, masih ada Ren Zuocan. Bilai dia
mengikuti uraian gurunya, maka itu berarti satu-satunya jalan yang terbaik adalah membunuh Ren Zuocan. Entah dia
mampu atau tidak, tapi setidaknya dia akan maju bertanding dengan membawa niat membunuh sejak awal.
Pemuda itu menghela nafas panjang-panjang, terkenang pertandingan persahabatan yang dilakukan melawan keluarga
Huang, dia mengeluh, seandainya saja semua pertarungan seperti itu. Menjadi ajang menguji diri, menjadi ajang berlatih, tidak perlu terlalu berpikir keras tentang kalah atau menang. Dan yang terpenting, tidak perlu ada pembunuhan, selesai
bertanding justru menjadi sahabat. Teringat Tiong Fa pemuda itu mengerenyitkan alis, tapi yang dikira sahabatpun ternyata bisa jadi menyimpan sakit hati.
Memikirkan hal ini Ding Tao jadi menyesal telah mempelajari ilmu pedang.
Menggelengkan kepala Ding Tao berusaha mengusir semua pikiran yang menyusahkan dirinya itu jauh-jauh.
"Lebih baik memikirkan sesuatu yang menyenangkan", pikir pemuda itu dalam hati, "Seperti " ah seperti pertemuanku Nona
Murong Yun Hua dan Murong Huolin."
Memikirkan kedua gadis itu, tiba-tiba jantung Ding Tao berdebar, ada satu perasaan muncul dari hatinya. Perasaan yang dia kenal baik, karena belasan tahun lamanya dia memendam perasaan yang sama terhadap seorang gadis. Pikiran itu
menyadarkan Ding Tao, buru-buru pemuda itu mengalihkan pikirannya pada hal lain sambil memaki diri sendiri.
"Ah" bodoh" bodoh" gila", kenapa bisa begini" Apa aku ini termasuk laki-laki mata keranjang?", pikir pemuda itu dengan
rasa malu dan kecewa pada diri sendiri yang amat sangat.
Malam itu Ding Tao baru tertidur setelah lewat larut malam, pikirannya dipenuhi dengan tiga orang gadis cantik.
-------------------- o --------------------
Dua hari berlalu dengan cepat, kekhawatiran Ding Tao tidak menjadi kenyataan. Dua hari itu berjalan tanpa ada gangguan
dari luar. Setelah beberapa hari terus menerus dalam keadaan harus berwaspada, dua hari ini merupakan kelegaan yang
besar. Ding Tao menyibukkan diri dengan ikut menata taman bersama pekerja-pekerja keluarga Murong. Setiap siang dan
sore hari, Murong Huolin akan mengajaknya berlatih tanding. Jika tidak sedang berada di kebun atau berlatih tanding
dengan Murong Huolin, Ding Tao menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan Murong Yun Hua. Dari gadis itu Ding Tao
belajar mengenal karya-karya sastrawan besar di masa lalu, mengenal kisah-kisah kepahlawanan dari buku-buku
bersejarah. Gadis itu memiliki banyak hal untuk diceritakan membuat Ding Tao tidak pernah bosan bersamanya. Keluarga Murong
memiliki satu kamar yang khusus digunakan untuk menyimpan berbagai macam buku dan tulisan. Seni lukis dan ukiran. Di
bangunan yang sedikit terpisah terdapat pula satu tempat kerja berisi peralatan pandai besi, tukang kayu, pembakaran
tembikar dan lain lain. Murong Yun Hua bersama adiknya Murong Huolin menemani Ding Tao melihat-lihat.
Waktu yang dua hari itu dengan cepat berlalu, otak Ding Tao yang haus dengan segala macam pengetahuan seperti
menemukan mata air yang tidak ada habisnya. Ada rasa lega bercampur segan, dengan datangnya hari kedua. Lega karena
akhirnya bisa melanjutkan lagi perjalanannya, bercampur sayang dan segan untuk meninggalkan tempat itu.
Ding Tao dan Murong Yun Hua sedang melihat-lihat taman yang sudah selesai disesuaikan dengan saran Ding Tao. Bawaan
Ding Tao sudah disiapkan dalam satu buntalan, uang, pedang, semuanya sudah dibawa.
Hari itu Murong Huolin tidak terlihat sama sekali, hanya Murong Yun Hua yang menemani Ding Tao. Wajah gadis itu tampak
sedikit murung, tapi setiap kali Ding Tao melihat ke arahnya, senyumnya mengembang meskipun tampak dipaksa.
"Saudara Ding, perkataanmu tempo hari ada benarnya. Lihat taman ini jadi lebih menarik.", ujar Murong Yun Hua.
"Ya, pekerjamu melakukannya dengan baik sekali, di beberapa bagian, mereka justru yang mengubahnya.", jawab Ding Tao
merendah. "Ya, mungkin saja itu benar, mereka memang dipilih dan dilatih sendiri oleh ayah, dalam hal seni dan tanaman. Tapi sudah bertahun-tahun sejak kematian orang tua kami, tidak ada keinginan untuk mengubah segala sesuatunya. Selama bertahun-tahun, sepertinya kami berhenti hidup.", Murong Yun Hua terdiam mengenangkan masa yang lewat.
"Kedatanganmu, benar-benar membawa angin segar bagi rumah kami. Terima kasih Saudara Ding.", ujarnya sambil
tersenyum pada Ding Tao. "Sama-sama, kalian yang terlebih dahulu menolongku waktu itu. Aku berhutang nyawa pada kalian.", jawab Ding Tao
tersipu. "Jadi", apakah kau akan pergi sekarang juga?"
"Ya" keadaanku saat ini", ah", sudahlah. Maaf aku sudah banyak merepotkan kalian. Lagipula, aku memang ada keperluan
yang sangat penting.", mendesah panjang Ding Tao siap-siap berpamitan.
"Nona Yun Hua, sebaiknya aku pergi sebelum hari bertambah siang?"
Mendongak ke atas, melihat ke arah langit yang cerah, Murong Yun Hua dengan segan menganggukkan kepala, "Ya, hari
cerah, sebentar siang tentu akan sangat panas. Saudara Ding, berhati-hatilah di jalan?"
"Sampaikan salamku pada Nona Huolin.", sambil memberi hormat pada Murong Yun Hua, Ding Tao mulai membalikkan
badan lalu melangkah. "Tunggu sebentar?", tiba-tiba Murong Yun Hua mengejar dari belakang, membuat langkah Ding tao terhenti.
"Ada apa Nona Yun Hua?"
"Sebenarnya", sebenarnya engkau hendak pergi ke mana?"
"Ke Biara Shaolin.", tanpa pikir panjang Ding Tao menjawab, dalam 2 hari ini hubungan mereka sudah seperti sahabat yang kenal bertahun-tahun lamanya.
"Shaolin" Jangan-jangan" Saudara Ding apa kau hendak menjadi biksu?", tanya Murong Yun Hua dengan ekspresi wajah
terkejut, kaget dan was-was.
Melihat ekspresinya Ding Tao jadi tertawa geli, "Tidak, tidak, bukan begitu, aku sedang menderita luka dan menurut tabib yang memeriksaku, hanya Biksu Khongzhe atau Pendeta Chongxan yang bisa menyembuhkan lukaku itu."
"Ah syukurlah, eh maksudku", maksudmu, kau sedang terluka saat ini" Tapi mengapa Biksu Khongzhe dan Pendeta
Chongxan" Mereka bukan orang yang ahli dalam hal pengobatan. Dan kau tidak terlihat sakit" Ding Tao apa kau sedang
coba menipuku?" "Tidak tentu saja aku sedang tidak membohong. Dari luar sepertinya aku baik-baik saja, tapi di dalam tubuhku ini
mengeram hawa liar dari Tinju 7 Luka, selama aku tidak mencoba mengerahkan hawa murniku terlalu banyak, hawa liar itu
tertidur dan tidak terjadi apa-apa. Tapi saat aku coba menggunakan hawa murniku terlalu banyak, hawa liar itu bangkit dan menimbulkan pergolakan dalam tubuhku ini.", ujar Ding Tao coba menjelaskan.
"Apakah Saudara Ding ingin jadi pendekar nomor satu di dunia" Untuk apa gelaran macam itu" Ataukah masalah dendam"
Apa pentingnya mengingat dendam dan menyimpan benci" Asalkan Saudara Ding tidak ikut campur dalam urusan dunia


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan, tinggal di suatu tempat yang tenang, menghabiskan hidup dalam kedamaian hingga usia tua?", ujar Murong Yun
Hua dengan nada sendu dan kepala tertunduk.
Berdebar hati Ding Tao, meraba-raba maksud dari perkataan nona itu. Memandang ke arah kediaman keluarga Murong,
terbayang kehidupan penuh kedamaian, jauh dari intrik-intrik keji dunia persilatan, jauh dari pertarungan berdarah.
Memandang ke arah sebaliknya, ke arah jalan pergi dari kediaman keluarga Murong, terbayang perjuangan berat dan
berliku, tapi di ujung sana ada Huang Ying Ying yang menanti.
"Tidak, gelar pendekar nomor satu tidak kuinginkan. Dendam aku juga tak punya. Akupun ingin hidup damai, jauh dari
urusan dunia persilatan, tapi?", berat hati Ding Tao, tapi dia tidak bisa melupakan kekasih yang menanti, juga pesan dan tugas gurunya.
"Tapi apa" Apakah Kakak Ding tidak ingin tinggal lebih lama di sini" Apakah tempat kami kurang menyenangkan" Adakah
aku dan Adik Huolin begitu membosankan" Tidak tahukah Kakak Ding, jika Adik Huolin semalaman menangis, karena Kakak
Ding hendak pergi hari ini?", dua tetes air mata yang bening mengalir dari sepasang mata yang jeli, memalingkan muka
Murong Yun Hua, menyembunyikan air matanya, namun Ding Tao masih sempat melihatnya.
Pedih hati Ding Tao, dalam hati dia mengeluh, menyesal telah bersedia untuk tinggal selama dua hari di tempat ini.
Seandainya saja dia lebih teguh hati, mungkin dia tidak akan terjerat dalam perasaan bersalah seperti saat ini.
"Bukan begitu Nona Yun Hua, tapi demi menjalankan tugas dan pesan guruku, lagipula tugas ini berkaitan dengan
kewajibanku sebagai seorang laki-laki terhadap negaranya."
"Kakak Ding, aku tidak mengerti, tugas apa yang dibebankan gurumu sebenarnya?"
"Nona Yun Hua, pernahkah nona mendengar tentang pertemuan lima tahunan antara tokoh-tokoh persilatan" Pernahkah
nona mendengar tentang ambisi Ketua Sekte Matahari dan Bulan, Ren Zuocan?", tanya Ding Tao.
Raut wajah Murong Yun Hua berubah jadi serius, matanya mengawasi Ding Tao dengan pandangan menyelidik, "Ya, aku
tahu tentang hal itu, bahkan mengetahuinya dengan cukup jelas. Ambisi Ketua Ren Zuocan untuk menguasai dunia
persilatan kita, ancaman dari luar perbatasan jika dia berhasil melakukannya."
"Syukurlah kalau nona tahu akan hal itu, tugas dari guruku adalah agar aku berusaha untuk membendung ambisi Ren
Zuocan." "Saudara Ding, bukannya aku hendak meremehkanmu, melihatmu berlatih tanding dengan Adik Huolin, aku tahu kau punya
bakat yang luar biasa. Tapi tingkatan Ren Zuocan jauh di atasmu, bahkan tanpa luka dalam tubuhmu kurasa kau masih
beberapa tingkat berada di bawahnya."
Sejenak Murong Yun Hua berhenti berbicara, pandang matanya tajam, menyelidik raut wajah Ding Tao, kemudian dengan
suara bergetar dia lanjut bertanya, "Apakah" kau punya satu andalan yang lain?"
Untuk beberapa lama Ding Tao merasa ragu, tapi saat memandang Murong Yun Hua muncul perasaan bersalah karena
masih menyimpan rahasia dari mereka, seakan mereka orang-orang yang patut dicurigai. Padahal selama dua hari ini
mereka memperlakukannya dengan sangat baik, tidak ubahnya keluarga sendiri. Akhirnya dia memutuskan untuk
menceritakan tentang bagaimana dia mendapatkan Pedang Angin Berbisik, tugas yang dibebankan gurunya padanya dan
bagaimana dia bisa kehilangan pedang itu.
Mendengar kisah Ding Tao, wajah Murong Yun Hua berubah pucat, tiba-tiba dua tangannya mencengkeram lengan baju
Ding Tao. Menggelengkan kepala seakan tak percaya, dipandanginya wajah pemuda itu dengan mata yang basah oleh air
mata. "Kakak Ding" Kakak Ding" akhirnya doaku terjawab sudah?"
Menghadapi sikap Murong Yun Hua yang demikian tiba-tiba, Ding Tao jadi gelagapan. Bukan hanya Ding Tao saja, sikap
Murong Yun Hua yang mengejutkan itu juga menarik perhatian mereka yang sedang bekerja. Mereka semua berdiri tertegun, tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang sudah dilakukan pemuda itu hingga Murong Yun Hua bersikap aneh"
Perlahan-lahan kesadaran Murong Yun Hua pun kembali, cengkeramannya pada lengan baju Ding Tao dilepaskan,
dipandangnya wajah pemuda itu.
"Kakak Ding, maafkan sikapku barusan. Tapi benarkah kau sempat memiliki Pedang Angin Berbisik dan meskipun saat ini
pedang itu tidak ada padamu, tapi kau tahu di mana pedang itu saat ini?"
"Ya, memang benar begitu, setidaknya aku pikir aku tahu di mana aku harus mencari dan merebut kembali pedang itu. Tapi
sebelum itu, aku harus berhasil menyembuhkan terlebih dahulu luka dalam yang kuderita.", jawab Ding Tao, dpandanginya
wajah Murong Yun Hua, pemuda itu khawatir Murong Yun Hua kembali bersikap histeris.
"Ada sesuatu tentang keluargaku yang kau belum tahu. Jika Kakak Ding tidak keberatan, maukah kau mendengarkan sedikit
kisahku" Kita bisa mencari tempat yang teduh untuk bercakap-cakap sejenak", tanya Murong Yun Hua, pandang matanya
terarah pada satu gubuk tempat di bawah pohon yang rindang, di sana ada beberapa potongan batu besar diletakkan dan
ditata sebagai tempat duduk.
"Baiklah, mari.", ujar Ding Tao dengan hati mulai tertarik.
Setelah mereka sampai di tempat yang dituju, Murong Yun Hua tidak segera bercerita. Ding Tao menunggu dengan sabar,
meskipun dalam hati ingin segera mendengar kisah gadis itu.
"Kakak Ding, tahukah kau siapa pembuat Pedang Angin Berbisik?", tanya Murong Yun Hua, membuka percakapan.
Pertanyaan itu hanya dijawab dengan gelengan kepala, karena jawabannya pasti akan segera menyusul. Timbul pula satu
tebakan dalam pikiran Ding Tao, mengingat pedang kayu, replika Pedang Angin Berbisik yang ada di ruang latihan keluarga Murong. Tapi dia tidak mau mengatakan tebakannya itu, ditunggunya saja Murong Yun Hua memberikan jawaban yang
pasti. Murong Yun Hua mendesah panjang, seakan melepaskan beban di hati, sebelum kemudian menjawab, "Ayahkulah yang
membuat Pedang Angin Berbisik, hal ini memang tidak diketahui oleh banyak orang dalam dunia persilatan."
Ding Tao mengangguk perlahan, "Ah, ayah nona pastilah seorang yang mahir dalam pembuatan pedang."
"Bukan hanya dalam hal pembuatan pedang, ayahku seorang yang mahir dalam banyak hal, kesukaannya berkeksperimen
dengan apa saja yang terpegang oleh tangannya. Mempelajari setiap buku yang bisa dia dapatkan. Pedang Angin Berbisik
hanyalah satu dari sekian banyak hasil pekerjaan tangannya. Lalu Kakak Ding, tahukah kau siapa isteri dari Pendekar Jin Yong, pemilik pertama dari Pedang Angin Berbisik?"
Sekali lagi Ding Tao menggelengkan kepalanya, meskipun dalam benaknya dia mulai menebak-nebak. Apakah Pendekar Jin
Yong masih terikat dengan hubungan keluarga dengan keluarga Murong" Apakah Murong Yun Hua adalah isteri Pendekar Jin
Yong" Ah, tidak mungkin, Murong Yun Hua masih begitu muda, sedangkan sekitar 12 tahun yang lalu, Pendekar Jin Yong
sudah berumur 20-an. Cukup lama sebelum Murong Yun Hua menjawa pertanyaannya sendiri dengan suara yang lirih, "Akulah isteri dari Pendekar
Jin Yong?" Meskipun tebakan itu sempat lewat dalam benaknya, tidak urung Ding Tao terkejut dan bergumam tanpa sadar, "Ah, tapi
itu tidak mungkin?" Menaikkan alis kepala Murong Yun Hua bertanya, "Mengapa tidak mungkin?"
Ditanya demikian, Ding Tao jadi tersipu, "Ehm, maksudku, umur" umur" nona.. eh nyonya, kukira masih lebih muda
dariku." Mendengar jawaban Ding Tao wajah Murong Yun Hua yang sedari tadi tampak murung jadi berseri, sambil menahan tawa
dia bertanya, "Oh, memang umur Kakak Ding sekarang berapa?"
"Umurku" umurku tahun ini genap 20 tahun.", jawab Ding Tao menahan malu, entah mengapa membicarakan umur
Murong Yun Hua membuatnya merasa malu.
Sambil tersipu Murong Yun Hua berkata, "Umurku tahun ini menginjak 28 tahun, aku menikah dengan Pendekar Jin Yong
sejak berusia 15 tahun. Kakak Ding" ataukah aku seharusnya memanggilmu Adik Ding?"
"Eh" ya, sungguh kupikir, nona, nyonya, masih berumur 19 atau 20-an, benar, aku tidak membohong. Maafkan aku kalau
bersikap kurang sopan.", ujar Ding Tao merasa jengah, sudah bersikap layaknya teman, tanpa tahu jika Murong Yun Hua
sudah berumur jauh lebih tua dari dirinya.
Mendesah sedih Murong Yun Hua menjawab, "Adik Ding" ah" sebenarnya aku justru merasa senang dengan sikapmu
selama ini. Tapi biarlah aku memanggilmu Adik Ding tapi sebaliknya kau panggil aku kakak, jangan nona, bisa?"
"Oh, tentu" tapi itu jika nona, tidak keberatan."
Wajah Murong Yun Hua pun menjadi cerah kembali, ajaib memang begitu mudah raut wajah seseorang berubah-ubah dalam
satu percakapan, "Tentu saja aku tidak keberatan dan anggap saja kau tidak tahu umurku yang sebenarnya. Benarkah aku
masih kelihatan begitu muda?"
Melihat Murong Yun Hua menjadi gembira, hati Ding Tao pun ikut terhibur, "Ya, itu benar-benar yang sesungguhnya, selama ini kukira umur Kakak Yun Hua tidak lebih tua dari umurku. Eh, lalu umur Nona Huolin berapa ya?"
"Umur Adik Huolin" Nah, nah, kenapa bertanya" Apakah kau tertarik padanya?", goda Murong Yun Hua yang hatinya sedang
senang. "Bukan begitu, cuma, kukira umurnya tidak jauh berbeda dengan umurku, tapi siapa tahu kau salah lagi.", jawab Ding Tao
cepat-cepat. "Hmmm, soal itu aku tak tahu, apa harus kukatakan padamu atau tidak.", jawab Murong Yun Hua dengan pandang mata
menggoda. "Eh, tidak dikatakan pun tak apa.", jawab Ding Tao cepat.
Sambil tersenyum Murong Yun Hua menyudahi godaannya, "Adik Huolin, tahun ini tepat berumur 17."
Tapi senyumnya dengan cepat menghilang, menghitung umut Murong Huolin, gadis itu jadi teringat masa-masa suram bagi
keluarga Murong, dengan sedih dia berujar, "Kasihan Adik Huolin, ayah bundanya meninggalkan dia di usia yang sangat
muda." "Kakak, jika aku boleh bertanya, apakah yang ingin nona bicarakan ada hubungannya dengan", dengan kematian" suami
Kakak Yun Hua?", Ding Tao bertanya dengan hati-hati.
Raut wajah Murong Yun Hua memang sendu tapi juga ada ketegasan di sana, "Ya, 12 tahun yang lalu, dalam usaha merebut
Pedang Angin Berbisik, beberapa orang bertopeng telah menyerang keluarga kami, setelah sebelumnya mereka
menyusupkan racun ke dalam persediaan makanan kami."
"Ah, jadi benar rumor yang mengatakan Pendekar Jin Yong mati karena diracun orang?"
"Tidak juga, lebih tepat jika dikatakan mati dalam pertarungan, hanya saja sebelumnya tubuh mereka menjadi lemah akibat racun itu.", rasa sakit hati dan penasaran terbayang di wajah Murong Yun Hua.
"Tapi, tidak pernah kudengar tentang keluarga kakak.", ujar Ding Tao dengan agak segan.
"Ya, ayahku tidak menginginkan nama besar dalam dunia persilatan. Beliau lebih suka menyendiri bersama dengan buku-
buku kesayangannya. Hampir tidak ada seorangpun yang tahu mengenai keluarga kami."
"Apakah Kakak Yun Hua tahu identitas dari penyerang bertopeng itu" Atau setidaknya pernah menyelidikinya?"
Murong Yun Hua menggelengkan kepala perlahan, "Tidak, sebelum meninggal, ayah berpesan untuk melupakan dendam.
Orang-orang bertopeng itu tentunya punya nama dalam dunia persilatan. Kakak Jin Yong dengan Pedang Angin Berbisik di
tangan bukan tokoh yang mudah dihadapi, meskipun kondisinya kurang begitu baik. Begitu juga ayah dan ibu serta paman
dan bibi." "Ayah kakak bisa membuat pedang semacam Pedang Angin Berbisik, tentunya orang yang sangat cerdas. Jika belajar silat
tentu mencapai tingkatan yang tinggi. Orang-orang bertopeng itu tentu bukan orang sembarangan.", desah Ding Tao yang
sedang membayangkan kejadian hari itu.
Termenung mereka berdua, kemudian Murong Yun Hua menggelengkan kepala perlahan, "Entahlah, dulu kupikir juga
begitu. Tapi kenyataannya meskipun cerdas, ayah terlalu banyak mempelajari segala hal, akhirnya tidak ada fokus tertentu dalam mempelajari sesuatu. Meskipun pengetahuannya luas, dalam pertarungan yang sesungguhnya, hari itu, mungkin
hanya Kakak Jin Yong yang benar-benar perlu diperhitungkan."
Ding Tao diam termenung, beberapa hal yang masih belum dia ketahui dari keluarga Murong, sudah diketahuinya hari ini.
Tapi mengapa Murong Yun Hua baru menceritakannya sekarang" Tentu ada hubungannya dengan dirinya dan Pedang Angin
Berbisik, karena sebelum dia bercerita tentang tugasnya dan hubungannya dengan pedang itu, Murong Yun Hua masih
menyimpan rapat-rapat masalah ini.
"Adik Ding, ayah memang melarang kami untuk mencari musuh dan membalas dendam, tapi ayah juga memberi tugas pada
kami untuk sebisa mungkin mendapatkan kembali Pedang Angin Berbisik. Di tangan yang salah, pedang itu menjadi pedang
yang berbahaya. Ayah tidak ingin, ciptaannya meninggalkan noda kelam dalam dunia ini."
"Ahh", paman sungguh bijaksana.", berpikir sebentar pemuda itu pun melanjutkan, "Kakak Yun Hua, jika masalah itu yang
ingin kakak bicarakan. Jangan kuatir, selekasnya aku mendapatkan kembali pedang itu, akan kukembalikan pedang itu pada
keluarga kakak." "Lalu bagaimana dengan tugas yang dibebankan gurumu untuk membendung ambisi Ren Zuocan" Apakah menurutmu, kau
bisa menandinginya tanpa dibantu Pedang Angin Berbisik?", tanya Murong Yun Hua, pandang matanya melekat ke arah Ding
Tao. "Sesungguhnya, aku pun ragu. Tapi sejak memberikan tugas itu, secara tersirat guru sudah memberikan nasihat, bahwa
yang terpenting adalah menyelamatkan dunia persilatan kita dari ancaman Ren Zuocan. Apakah dengan menggunakan
Pedang Angin Berbisik atau tidak, guru tampaknya menyerahkannya pada keputusanku sendiri. Bukan hanya pada hitungan
untung dan rugi, mampu atau tidak, tapi juga menurut hati nurani sebagai seorang manusia.", jawab Ding Tao menjelaskan
sambil tersenyum. "Apakah Adik Ding sama sekali tidak ada rasa kuatir?", tanya Murong Yun Hua dengan nada tidak percaya.
"Tentu saja ada juga rasa khawatir, tapi asalkan sudah berupaya sekeras mungkin, asalkan umur masih ada, tentu ada
jalan. Kalau kakak tidak keberatan pada saatnya pertemuan lima tahunan nanti, apa boleh aku pinjam pedang itu?", jawab
Ding Tao cengar-cengir. Murong Yun Hua tertawa geli melihat jawaban Ding Tao, "Adik Ding sebenarnya, yang ingin aku bicarakan bukan meminta
pedang itu darimu. Tapi?"
"Tapi apa Kakak Yun Hua" Jika ada permintaan katakan saja, apakah kakak mengharap aku untuk mencari pelaku
pembunuhan waktu itu dan membalaskan dendam keluarga Murong" Meskipun aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, jika
memang mereka terbukti orang-orang yag perlu dibasmi dari muka bumi ini, tanpa kakak minta pun aku tidak akan segan
untuk melakukannya."
Sejenak Murong Yun Hua termenung, dicobanya untuk merangkaikan kata-kata, tapi apa yang hendak diungkapkan terlalu
sulit baginya untuk dikatakan. Ding Tao dengan sabar menunggu penjelasan dari Murong Yun Hua.
"Adik Ding, sebelum aku mengatakan apa syaratnya ada satu hal lagi yang kau perlu tahu. Di dalam kediaman kami ada
satu ruangan, penuh berisi buku-buku dan tulisan yang menjadi koleksi ayahku. Salah satu bagian memuat berbagai tulisan mengenai ilmu-ilmu silat yang ada di daratan ini. Beberapa di antaranya bahkan memuat ilmu-ilmu rahasia dari perguruan
yang ada." "Dari mana" dari mana paman mendapatkannya?", tanya Ding Tao dengan terbata, matanya memandang Murong Yun Hua
dengan perasaan tidak menentu.
Ding Tao khawatir Murong Yun Hua akan menjadi marah karena pertanyaannya, tapi dia tidak bisa diam saja. Ilmu rahasia,
sudah tentu dikatakan rahasia karena perguruan tersebut merahasiakannya dari orang luar. Jika ketahuan seorang murid
mengajarkan ilmu rahasia pada orang di luar perguruan, hukumannya cukup berat. Lagipula membuka rahasia perguruan
terhadap orang luar, sama saja mencari mati buat diri sendiri. Sebuah ilmu menjadi berbahaya, karena orang tidak tahu
dengan pasti bagaimana jurus itu dilakukan, sehingga sulit pula untuk memikirkan pemecahannya. Tapi jika kunci dari ilmu itu ketahuan, maka bukan saja orang bisa mempelajarinya tapi juga orang bisa memikirkan cara memecahkannya.
Ilmu tidak ubahnya benda pusaka, mencuri belajar ilmu dipandang rendah oleh kalangan dunia persilatan. Itu sebabnya
Ding Tao merasa ragu mendengar penjelasan Murong Yun Hua.
Wajah Murong Yun Hua sedikit memerah, tentu saja dia mengerti pula hal ini. Tapi sebagai seorang anak, orang tua adalah segalanya. Apalagi Murong Yun Hua ditinggal kedua orang tuanya sejak umurnya masih muda.
"Bagaimana ayahku mendapatkannya, soal itu akupun tidak jelas. Tapi Adik Ding, bukankah satu pengetahuan seharusnya
jadi milik semua orang" Dengan demikian, barulah pengetahuan bisa berkembang. Jika setiap orang menyembunyikan apa
yang dia ketahui, lalu menyimpan yang penting-penting bagi dirinya sendiri, bukankah ilmu itu makin lama akan makin
surut?", jawab Murong Yun Hua membela ayahnya.
Gu Tong Dang sendiri memiliki pendapat yang hampir sama. Kebiasaan seorang guru menyimpan ilmu rahasia, bahkan dari
muridnya sendiri adalah satu kebiasaan yang tidak bisa diterima oleh Gu Tong Dang. Sebagai seorang guru, dalam hal
inipun Gu Tong Dang menjelaskan pada Ding Tao mengapa dia berpendapat demikian.
"Ayah yang mencintai pengetahuan, dengan sengaja mengkoleksi setiap hasil karya seorang pandai. Entah itu dalam hal
silat, ketrampilan, pembuatan alat-alat, obat-obatan atau cara menenun dan mewarna. Hampir setiap karya orang pandai,
ayahku berusaha untuk mengumpulkannya dan keinginannya adalah agar pengetahuan itu tidak hilang begitu saja, karena
kelemahan pribadi pewarisnya. Melainkan bisa disumbangkan pada kepentingan yang lebih luas tanpa memandang
golongan. Adik Ding, coba katakan apakah itu salah?"
Ding Tao jadi serba salah, jika hendak jujur, dia berpendapat bahwa ayah Murong Yun Hua sudah melakukan kesalahan. Di
pihak lain, dia tidak ingin memojokkan Murong Yun Hua lagipula alasan Murong Yun Hua ada benarnya juga dan bersesuaian
dengan pandangan gurunya. Meskipun Gu Tong Dang tidak melangkah sejauh itu sampai mencuri belajar ilmu orang lain
dan lebih menerapkan hal itu pada diri sendiri.
"Kakak Yun Hua, soal itu", bagaimanapun juga mencuri belajar, bukan sesuatu yang dapat diterima.", jawab Ding Tao
dengan susah payah dan mengerahkan segenap keberaniannya.
"Adik Ding, tahukah kau tentang orang yang berjuluk Tabib Dewa" Ilmu pengobatannya begitu temahsyur dan banyak orang
yang sembuh oleh ilmunya itu. Bayangkan jika dia mau membagikan ilmunya itu kepada banyak orang. Berapa banyak
orang yang bisa diselamatkan" Tapi karena dia menyimpan ilmu itu sendiri, semantara dia bukan dewa yang bisa berada di
mana saja. Entah berapa orang yang mati karena terlambat mendapatkan pertolongan."
"Atau tahukah kau dengan perusahaan peralatan dari logam, Tie Jiang Hua" Hanya orang-orang yang mempunyai uang
banyak bisa menikmati hasil karya mereka. Rahasia mereka dalam mengolah logam disimpan sendiri. Bisakah kau
bayangkan, jika pengetahuan itu dibagikan, akan ada banyak petani miskin yang bisa berkurang beban hidupnya dengan
peralatan yang lebih baik dan tidak mudah rusak."
"Tapi Kakak Yun Hua, para guru memiliki alasannya sendiri untuk tidak mengajarkan ilmu-ilmu itu, karena jika orang yang salah mempelajarinya, bukankah akan jadi berbahaya?", tanya Ding Tao mencoba bertahan.
"Adik Ding, kenyataannya selalu saja ada orang yang menyalah gunakan ilmunya. Katakan coba, apakah ada satu
perguruan saja, yang tidak pernah menelurkan seorang penjahat dalam dunia persilatan" Tidak, tidak ada satupun, bahkan
Shaolin yang besar pun, memiliki noda hitamnya. Tapi bayangkan jika ilmu itu diberikan secara bebas kepada umum, maka
setiap orang yang mau belajar dan berlatih akan tahu bagaimana melindungi dirinya sendiri. Dengan sendirinya orang yang memiliki niat jahat tidak dengan mudah bisa melakukannya."
"Kurasa Kakak Yun Hua ada benarnya, namun tatanan yang ada tidak baik jika dilanggar begitu saja. Adalah sesuatu yang
bijak jika seorang guru mau dengan murah hati menyebarkan ilmunya, tapi jika dia tidak berkenan, rasanya tidak tepat pula jika kita mencurinya.", jawab Ding Tao dengan segan.
"Adik Ding, suatu tatanan diterima dalam masyarakat bukanlah satu hukum langit yang tidak boleh dilanggar.
Kenyataannya dari masa ke masa, nilai-nilai itu berubah. Nilai itu berubah menyesuaikan dengan keadaan dan karena
manusianya mencari bentuk yang terbaik. Jika satu nilai ternyata kurang baik, maka perlu diubah dan harus ada orang yang berani untuk mengubahnya. Jika tidak maka seluruh umat manusia akan terjebak pada tatanan lama yang tidak
menguntungkan." Mendengar pembelaan Murong Yun Hua yang berapi-api, Ding Tao tidak bisa menjawab. Dia hanya mengangguk-angguk
dengan terpaksa. Mendesah Murong Yun Hua melihat itu, "Adik Ding, setidaknya, pikirkan hal ini, dengan tulisan-tulisan
yang ada di ruangan itu, mungkin kau bisa menemukan cara untuk menyembuhkan dirimu, tanpa tergantung dari bantuan
orang lain." "Tapi" Kakak Yun Hua, rasanya sedikit aneh jika aku mencuri belajar ilmu dari perguruan lain.", jawab Ding Tao dengan
enggan. "Hahhh" dasar keras kepala?", mendesah kesal Murong Yun Hua bangkit berdiri.
Gadis itu tidak habis pikir, orang lain mungkin akan melompat kegirangan bila ditawarkan hal yang sama. Tapi Ding Tao
justru merasa enggan untuk mengambil keuntungan. Dengan hampir putus asa, gadis itu berbalik menghadap Ding Tao.
"Adik Ding, setidaknya maukah kau mencoba melihat ke dalam ruangan itu" Tidak semuanya adalah hasil mencuri belajar
dari perguruan yang ada. Ada pula, tulisan-tulisan yang pemiliknya atau penulisnya sudah lama wafat dan hilang begitu saja dari peredaran. Bagaimana apakah kau masih merasa bersalah untuk mempelajarinya, bukankah justru kasihan jika ilmu itu
hilang begitu saja?", tanya Murong Yun Hua dengan harap-harap cemas.
"Benarkah ada yang demikian?", tanya Ding Tao dengan rasa tertarik.
Melihat ketertarikan Ding Tao, Murong Yun Hua merasa mendapat angin, "Tentu saja ada, tidak banyak memang, tapi
terkadang ilmu yang hilang itu justru merupakan dasar dari ilmu yang kemudian dikembangkan menjadi ilmu rahasia yang
ada sekarang. Nah, apakah kau tertarik untuk mempelajarinya?"
"Hmmm, tentu saja akan sangat menarik untuk mempelajarinya. Tapi apakah memang akan berguna
untukmenyembuhkanku dari bekas pukulan Tinju 7 Luka, ilmu apapun yang dapat kupelajari saat ini, jika hawa murni tidak
bisa digunakan dengan leluasa, akan berkurang artinya.", jawab Ding Tao yang mulai tertarik, namun masih ragu-ragu
untuk meng-iyakan. "Adik Ding, meskipun aku sendiri tidak pernah mempelajari bagian dari ilmu silat karena aku tidak tertarik, namun pernah kubaca sekilas sebuah buku mengenai tenaga dalam, dari pengantar yang dituliskan ayah, ilmu ini adalah dasar dari ilmu
Tinju 7 Luka dari perguruan Kongtong."
"Apakah itu bukan miliki perguruan Kongtong?", tanya Ding Tao.
"Bukan, ayah dengan jelas menuliskan hal itu, akan tetapi salah seorang yang memiliki ilmu itu mengembangkannya dan
kemudia mewariskannya pada pendiri Perguruan Kongtong. Tentu saja akan ada perbedaan, tapi kukira secara mendasar
kau bisa meraba-raba dan mungkin menemukan cara untuk menyembuhkan lukamu. Bagaimana?", mata Murong Yun Hua
memandang penuh harap pada Ding Tao.
Saat dia melihat Ding Tao masih ragu, dia cepat-cepat menambahkan, "Adik Ding, pernahkah kau berpikir, apakah Biksu
Khongzhe akan mau menerimamu begitu saja" Meskipun dikatakan sebuah biara, namun Shaolin bukan biara biasa.
Jangankan Shaolin yang begitu besar, biara yang biasa-biasa pun, tidak gampang jika kau ingin bertemu dengan biksu
kepalanya. Bisakah kau bayangkan jika kau, tanpa nama, tanpa surat pengantar, datang ke sana dan meminta untuk
bertemu dengan Biksu Shaolin, Biksu kepala dari Biara Shaolin yang besar?"
Ding Tao pun menggigit bibir membayangkan hal itu, ya dia bukan siapa-siapa, tidak pula dia membawa surat pengantar
dari orang yang kenal baik dengan ketua Shaolin tersebut.
"Adik Ding, bukannya aku mengatakan bahwa Biksu Khongzhe seorang yang sombong. Tapi sebagai kepala dan pemimpin
dari sebuah biara yang begitu besar, tentu dia akan sibuk dengan banyak tugas. Bisakah kau bayangkan, jika setiap orang, tanpa memandang tinggi dan rendah derajatnya, tanpa memandang penting tidak urusannya, diperbolehkan menemuinya?"
Akhirnya Ding Tao pun menyerah, kata-kata Murong Yun Hua bisa diterimanya. Selama ini dia belum pernah memikirkan
apa yang akan dia lakukan setelah sampai di Shaolin nanti. Dalam benaknya, setelah sampai di sana dia akan menceritakan apa adanya dan menanti keputusan mereka. Tapi setelah mendengarkan uraian Murong Yun Hua, terbayanglah di benak
pemuda itu, betapa sulitnya untuk menemui Biksu Khongzhe dengan keadaannya saat ini. Bisa jadi dia harus menunggu
berbulan-bulan lamanya, itu jika dia masih beruntung mendapatkan jawaban.
"Kakak Yun Hua, aku memang bodoh, tidak pernah terpikir sejauh itu. Jika kakak memang mengijinkan aku untuk melihat
tulisan itu, tentu akan sangat membantu.", ujarnya dengan pasrah.
Senyumpun mengembang di wajah Murong Yun Hua, "Baguslah kalau begitu, tapi Adik Ding, tulisan dalam ruangan itu tidak
boleh dibawa keluar, kau hanya boleh mempelajarinya di sana."
"Tentu saja, apapun peraturannya aku akan mengikut saja.", jawab Ding Tao.
"Tapi setelah kau mendapatkan ijin untuk memasukinya, segala tulisan yang ada di sana boleh kau baca. Mengertikah kau
maksudku?", tanya Murong Yun Hua untuk menegaskan.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, ya, kukira aku mengerti, Kakak Yun Hua, kau sungguh baik sekali terhadapku.", ujar Ding Tai terharu.
"Dan ada satu hal lagi Adik Ding?", kata Murong Yun Hua tersendat sulit untuk melanjutkan.
"Ya, katakan saja kakak, jika ada satu tugas, tentu aku tidak akan lari darinya.", jawab Ding Tao dengan tulus.
?" hal itu bisa terjadi, hanya jika kau" kau" bersedia untuk menjadi penerus keluarga Murong. Dengan begitu tentu saja, baik ruangan itu, maupun Pedang Angin Berbisik sudah menjadi hakmu. Bahkan gedung bangunan dan segala isinya akan
jadi milikmu.", setelah mengatakan itu, wajah Murong Yun Hua bersemu merah dan dia menundukkan kepala, tidak berani
memandang Ding Tao. "M.. maksud kakak, mm" apakah aku harus mengganti marga" Atau " mengangkat ayah kakak sebagai ayah angkatku?",
tanya Ding Tao dengan hati berdebar, entah mengapa melihat cara Murong Yun Hua mengatakannya, ada satu
kemungkinan yang tidak berani dia pikirkan.
Murong Yun Hua menggeleng perlahan, lama tidak ada yang berbicara. Tidak Murong Yun Hua, tidak pula Ding Tao.
Kemudian dengan tersendat-sendat Murong Yun Hua menjelaskan.
"Sebelum meninggal ayah berpesan, karena tidak ada lagi keturunan laki-laki dalam keluarga Murong, jika aku atau Adik
Huolin menemukan lelaki yang berkepribadian baik dan berbakat bagus. Maka hendaknya kami menikahinya. Kemudian satu
putra dariku akan melanjutkan garis keturunan ayah, satu putra dari Adik Huolin melanjutkan garis keturunan dari paman.
Keduanya akan memakai nama marga Murong, tapi keturunan laki-laki selanjutnya bolehlah menggunakan nama marga
laki-laki itu. Sebagai gantinya, seluruh harta warisan keluarga Murong akan diberikan pada laki-laki itu."
Selesai menjelaskan, Murong Yun Hua tidak punya lagi kekuatan untuk mengangkat kepalanya. Wajahnya terasa panas
karena malu, bahkan hingga leher dan pundaknya yang terlihat oleh Ding Tao pun bersemu merah. Ding Tao sendiri merasa
dunianya berputar-putar, tangannya bergerak memijit dahinya yang tiba-tiba terasa pusing.
Pemuda itu sadar, butuh keberanian yang besar bagi Murong Yun Hua untuk mengatakan itu semua. Betapa akan hancur
harga diri gadis itu jika sampai Ding Tao menolaknya. Tapi jika Ding Tao menerimanya, bagaimana pula dengan perasaan
Huang Ying Ying yang saat ini sedang menantinya" Jika hendak ditimbang-timbang, bisa juga Ding Tao beralasan, bahwa
dia menerima tawaran Murong Yun Hua demi kewajibannya untuk menyelesaikan tugas yang sudah dipercayakan
kepadanya. Tapi apakah Ding Tao bisa mengatakan itu dengan hati nurani yang jujur"
Jika Murong Yun Hua dan Murong Huolin adalah sepasang gadis yang buruk rupa, mungkin akan lebih mudah bagi Ding Tao
untuk memutuskan. Bahwa ini adalah pengorbanannya demi menyelesaikan tugas yang menyangkut kepentingan yang lebih
luas dari kepentingan pribadi. Ding Tao rela mati demi Huang Ying Ying, tapi demi kewajibannya dia rela mengorbankan
cinta antara dirinya dengan Huang Ying Ying. Berdasarkan pemikiran ini tentu saja berarti Ding Tao sebaiknya menerima
tawaran Murong Yun Hua. Sayang Ding Tao masih jujur pada nuraninya sendiri, adakah dia memandang ini sebagai
pengorbanan atau kesempatan" Bukankah dalam hati kecilnya dia pun memiliki keinginan untuk memiliki kedua gadis yang
cantik itu" Demikian benak pemuda itu dipenuhi berbagai macam pemikiran. Seperti dalam sebuah sidang di mana hakim, jaksa
penuntut dan pembela saling mengemukakan pendapatnya masing-masing. Bedanya dalam pengadilan mereka punya
waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari sebelum mengambil keputusan, namun Ding Tao tidak memiliki waktu selama itu.
Murong Yun Hua menanti jawaban Ding Tao dengan hati yang berdebar, ada harap ada pula cemas, ada rasa malu dan ada
rasa was-was. Detik demi detik berlalu terasa begitu lambat, hanya bisa menanti dan menanti.
"Adik Ding, aku sudah mengamat-amati dirimu selama dua hari ini, aku yakin kau orang yang tepat dan sedikit keraguan
yang ada, terhapus sudah saat kau mengatakan kau pernah mendapatkan Pedang Angin Berbisik, ini sungguh pertanda
yang baik. Adik Ding kau berjodoh dengan Pedang Angin Berbisik, sekian tahun aku meragu pada siapa bisa kupercayakan
amanat ayah ini, tapi sekarang aku tidak ragu lagi. Adik Ding dalam pandanganku engkaulah orang yang dikirimkan oleh
ayah dan paman, untuk menolong kami keluar dari kesusahan ini.", ujar Murong Yun Hua berusaha membujuk pemuda itu
untuk kesekian kalinya. Perlahan Ding Tao membuka mulutnya, bibirnya bergetar. Apakah jawaban Ding Tao"
Pada saat yang sama, di sebuah tempat yang jauh, kejadian yang tidak kalah pentingya sedang terjadi.
---------------------------- o -------------------------------
Tiong Fa sedang duduk termenung, menghadapi sebuah lilin kecil yang menyala menerangi ruangan kecil miliknya. Sebuah
ruangan pribadi, satu-satunya tempat di mana dirinya bisa merasa benar-benar aman.
Di luar dua orang kepercayaannya berjaga.
Di bawah tempat dia duduk ada sebuah lorong rahasia, lantai tempat kursinya berada dapat terbuka dengan cepat saat dia
menekan salah satu tuas rahasia yang ada di balik mejanya. Mejanya sendiri penuh dengan alat-alat pelontar senjata
rahasia. Dalam ruangan yang kecil ini, Tiong Fa merasa aman.
Sudah dua minggu berlalu sejak sandiwara yang dia sarankan pada Tuan besar Huang Jin akhirnya dilaksanakan. Sejak dua
minggu yang lalu, Tiong Fa bukan lagi seorang penasihat dalam keluarga Huang. Sudah dua minggu, Tiong Fa menjadi
orang buangan. Tapi selama dua minggu itu pula Tiong Fa merasakan yang namanya kekuasaan penuh.
Jauh sebelum peristiwa Ding Tao terjadi, Tiong Fa yang bertugas membentuk jaringan mata-mata bagi keluarga Huang,
sudah memiliki jaringan sendiri. Ruangan ini adalah salah satu tempat Tiong Fa mengadakan pertemuan dengan
bawahannya di luaran. Akibat kejadian dengan Ding Tao, Tiong Fa yang "terbuang" dari keluarga Huang, sekarang ruangan
ini pun berubah menjadi rumah bagi Tiong Fa.
Ruangan ini dibangun di sebuah kompleks pelacuran yang cukup terkenal di Luo Yang. Sebagai ibu kota kerajaaan banyak
pendekar-pendekar dari perguruan besar mencoba mencari nama atau mencari penghidupan di sini. Segala macam
golongan bisa ditemui di Luo Yang.
Sebuah tempat yang cocok bagi Tiong Fa untuk mengerjakan tugasnya, mengumpulkan data dan mencuri rahasia-rahasia
ilmu perguruan di dunia persilatan.
Menjadi jagoan silat, tidak serta merta memberikan penghasilan. Menjadi jagoan mungkin mimpi yang menarik, tapi
kenyataannya jagoan silat pun butuh makan. Ilmu silat bukanlah ilmu yang bisa dipelajari dengan setengah-setengah,
mempelajari ilmu silat membutuhkan fokus dan komitmen yang tinggi. Setelah berhasil melatih ilmunya, seorang jagoan
silat yang baru terjun dalam dunia nyata, barulah sadar bila dia tidak memiliki ketrampilan lain di luar berkelahi, tidaklah mudah untuk mencari penghasilan untuk hidup.
Melihat jagoan silat berjalan dengan gagah, senjata terselip di pinggang atau di punggung, baju yang mewah dan jubah dari sutra. Makan di rumah makan yang mewah, bersenang-senang di tempat perjudian dan pelacuran kelas tinggi. Memancing
orang-orang muda untuk menikmati kesuksesan yang sama, tidak pernah terpikir, dari mana mereka mendapatkan uang
untuk memenuhi segala kesenangan itu. Yang mereka tahu hanya belajar silat, berusaha menjadi tenar dengan keahlian
mereka mengayun-ayunkan pedang, dan mereka pikir uang akan datang dengan sendirinya.
Kenyataannya tentu saja jauh dari itu. Pertama, untuk menjadi jagoan ternama bukanlah hal yang mudah, dengan
banyaknya yang tertarik untuk mempelajari ilmu silat, tentu saja tidak gampang untuk menjadi yang terbaik. Yang kedua,
mempunyai nama tidak mendatangkan uang. Jika ingin uang tentu harus "menjual" keahlian itu, entah menjadi guru,
menjadi pengawal atau jual jasa lainnya. Singkatnya setinggi apapun ilmu silatmu, akhirnya kau Cuma jadi anjing penjaga untuk mereka yag punya uang dan kekuasaan.
Mereka yang memiliki gengsi tinggi dan segan untuk bekerja bagi orang lain, tidak jarang berakhir memilih jalan hitam.
Sebagian besar yang lain memilih untuk bekerja sebagai pengawal pejabat dan orang kaya, pada perusahaan pengantaran
barang, sebagai guru silat atau menjual kepandaian di pinggir jalan.
Di tengah sulitnya hidup berbekal ilmu silat inilah, Tiong Fa memanfaatkan kekayaan keluarga Huang untuk menarik jago-
jago yang sedang kesulitan keuangan ke dalam pengaruhnya.
Beberapa puluh tahun yang lalu Tiong Fa muda dan Huang Jin muda, menjadi jagoan di daerah sendiri, memiliki mimpi
untuk menjagoi dunia persilatan. Kemenangan-kemenangan mereka dalam pertandingn yang ada membuat mereka
memiliki keyakinan untuk bermimpi. Lupa pada nasihat kakek Huang Jin yang melarang keturunannya untuk terlalu dalam
berkecimpung dalam dunia persilatan dan lebih baik menekuni urusan perdagangan.
Memiliki impian yang sama keduanya mulai bekerja sama. Paman Huang Jin, Huang Yunshu memiliki pendapat yang
bersesuaian dengan Huang Jin, meskipun selama Ayah Huang Jin hidup dia tidak berani mengemukakan pendapatnya
tersebut, tapi saat kepemimpinan pindah ke tangan Huang Jin, dengan bersemangat jagoan tua itu mendukung keinginan
Huang Jin. Tapi itu puluhan tahun yang lalu. Puluhan tahun sudah lewat dan jalan untuk menguasai dunia persilatn masih jauh dari
tercapai. Tiong Fa yang semakin kenyang dengan pengalaman, sudah lama membuang impian itu. Sejak itu, diam-diam
jalan Tiong Fa dan jalan Huang Jin tidak lagi searah.
Tiong Fa yang dalam kerjanya, lebih banyak berhubungan dengan dunia luas terbuka matanya. Dunia persilatan lebih luas
daripada yang mereka bayangkan dahulu. Nama besar seperti Shaolin, Wudang, Hoasan, Kunlun, Kongtong, Emei dan
Kaipang bukanlah nama kosong belaka. Meskipun sebagian besar dari mereka sedang dalam masa penurunan bukan berarti
keluarga Huang akan dengan mudah maju ke depan.
Huang Jin juga lebih realistis dalam menggapai mimpinya. Bila dulu dia bayangkan dapat menggapai puncak itu dalam
masanya sendiri, sekarang Tuan besar Huang Jin lebih berkonsentrasi dalam menyiapkan putra sulungnya untuk menggapai
mimpi itu sementara dirinya berusaha membangun dasar yang kuat bagi putranya.
Namun hal itu tidak menarik bagi Tiong Fa, apa keuntungan bagi dirinya jika dia harus bekerja keras demi kesuksesan
keturunan Huang Jin"
Memang di depan Huang Jin dia pernah berkata, bahwa mengusahakan kesuksesan putra Huang Jin sama artinya dengan
mengusahakan masa depan yang baik bagi keturunannya yang ada dalam keluarga Huang. Tapi di balik itu, tersembunyi
ketidak puasan, karena Tiong Fa tidak peduli dengan anak keturunannya. Yang dia inginkan adalah kekuasaan, nama,
kesenangan bagi dirinya sendiri. Tiong Fa tidak ambil peduli dengan anak yang dia dapatkan dari isterinya. Dia menikah
dengan isterinya yang sekarang, hanya agar dia bisa masuk menjadi anggota inti keluarga Huang.
Sudah cukup lama Tiong Fa merasa ragu dengan posisinya dalam keluarga Huang, bersama dengan berjalannya waktu,
Tiong Fa pun makin ragu apakah dia akan berhasil menggapai keinginan pribadinya dengan tetap bersama keluarga Huang.
Kekalahannya dari Ding Tao yang memicu Tuan besar Huang Jin untuk mengirim dirinya merebut Pedang Angin Berbisik dari
Ding Tao secara paksa, membuka kesempatan yang baik baginya untuk keluar dari keluarga Huang tanpa kehilangan
keuntungan yang didapatnya dari keluarga Huang.
Itu sebabnya Tiong Fa yang berotak licin bisa jatuh dalam keadaan yang kacau balau. Inilah kehebatan Tiong Fa, dia sudah bisa melihat lubang-lubang dalam rencana Tuan besar Huang Jin yang terlalu terburu-buru. Dengan cerdik dia membiarkan
rencana itu terus berjalan dan dalam benaknya, jauh sebelum terjadi Tabib Shao Yong membongkar kelemahan itu, dia
sudah menyiapkan "jalan keluar" bagi Tuan besar Huang Jin, tentunya "jalan keluar" yang menguntungkan dirinya.
Sayangnya dia gagal membujuk Tuan besar Huang Jin untuk membiarkan dia membawa Pedang Angin Berbisik bersama
dirinya. Tapi hal itu tidak terlalu membebani pikiran Tiong Fa. Tanpa Pedang Angin Berbisik pun apa yang dia dapatkan kali ini
cukuplah besar. Modal dari keluarga Huang dia gunakan untuk membiayai organisasi rahasia bentukannya.
Dalam waktu yang terhitung singkat Tiong Fa sudah menguasai beberapa usaha perjudian dan pelacuran yang cukup besar
sebagai sumber dana. Jagoan-jagoan silat pun dengan mudah dia dapatkan, karena sudah bertahun-tahun lamanya dia
membangung jaringan. Bahkan bersama dengan dirinya, ikut pula beberapa orang jagoan dari dalam keluarga Huang
sendiri. Orang-orang yang sudah lama dia bina, untuk lebih setia pada dirinya daripada keluarga Huang. Ya, cerita karangan Tiong Fa, bukan cerita karangan belaka, karena kenyataannya memang Tiong Fa dengan diam-diam mulai membangun
kekuatan sendiri, lepas dari keluarga Huang.
Demi mempertahankan aliran modal dari keluarga Huang, Tiong Fa tidak terburu-buru membuka topengnya. Selama sapi itu
masih diperah susunya, Tiong Fa akan memerahnya.
Selama dua minggu ini, duduk di dalam ruangan kecilnya, dia merasa dirinya menjadi raja.
Tapi tidak malam ini, malam ini dia sedang menerima seorang tamu dalam ruang kecilnya. Malam ini, duduk di atas kursi
kerajaannya, Tiong Fa tidak merasa aman. Bahkan dibalik sekian senjata rahasia dan pengamanan, Tiong Fa tidak bisa
duduk tanpa merasa terancam bahaya, menghadapi tamunya malam ini.
Berdiri di depannya adalah ketua partai Kongtong generasi saat ini, Ketua Zong Weixia , tatapan matanya tajam dan liar.
Tiong Fa merasa seperti sedang berhadapan dengan seekor harimau buas. Tidak salah jika orang mengatakan lebih baik
duduk di atas punggung harimau daripada berurusan dengan Zong Weixia.
Berpakaian serba hijau model pelajar, dengan ukuran baju yang longgar, rambut dan kumis tertata rapi, jika tidak melihat sepasang mata Zong Weixia yang liar dan tajam mungkin orang akan mengira dia seorang pelajar eksentrik yang tidak
berbahaya. Tapi bahkan tanpa melihat sepasang mata Zong Weixia pun Tiong Fa yang sudah mengenal reputasi dari Ketua perguruan
Kongtong ini tahu betapa berbahayanya orang di hadapannya ini, Bajunya yang longgar menyembunyikan senjatanya yang
aneh bentuknya. Sepasang roda bergerigi yang dipasang pada seutas rantai besi.
Tidak ada yang tahu seberapa panjang jangkauan senjatanya dan bagaimana persisnya Zong Weixia menggunakan
senjatanya itu. Karena setiap kali bertarung, Zong Weixia tidak pernah membiarkan lawannya hidup.
Dua cawan arak yang sudah disajikan, tidak ada yang menyentuhnya. Sejak dari arak itu masih baru dihangatkan dan
mengepulkan uap yang tipis, hingga arak itu menjadi dingin.
Keringat dingin perlahan-lahan menetes dari dahi Tiong Fa, keheningan yang mencekam memenuhi ruangan itu. Tanpa
diundang Zong Weixia datang dengan langkah penuh keyakinan mendatangi rumah pelacuran miliknya itu, tanpa banyak
bicara, tokoh itu berjalan menuju ke ruangan tempat Tiong Fa berada.
Salah seorang jagoan Tiong Fa yang tidak mengenalnya, berusaha menahan Zong Weixia, tapi dengan satu serangan yang
mematikan, belum sampai satu jurus lewat dia sudah tewas.
Itulah gaya serangan Zong Weixia, keji, tanpa kembangan, tapi cepat dan tepat, selalu dikerahkan dengan tenaga
sepenuhnya. Seakan-akan menang atau kalah harus ditentukan dalam satu jurus itu.
Hampir mirip dengan Ding Tao, Zong Weixia mendalami satu jurus selama bertahun-tahun. Bedanya Zong Weixia lebih
berfokus pada jurus serangan yang paling keji, paling ganas dan paling cepat. Dilatihnya jurus-jurus itu dengan ketekunan yang mengerikan, hingga dia mampu meyakinkan kecepatan, kekuatan dan ketepatan setiap serangan.
Laporan dengan cepat sampai ke telinga Tiong Fa, tidak ingin memancing kemarahan Zong Weixia yang angin-anginan,
cepat Tiong Fa memerintahkan orang-orangnya untuk memberi jalan pada ketua perguruan Kongtong itu. Tiong Fa yakin
dibalik gayanya yang angin-anginan, tidak mungkin Zong Weixia melakukan sesuatu tanpa perhitungan. Orang yang benar-
benar angin-anginan dan melakukan sesuatu tanpa perhitungan yang jelas, tidak akan bertahan dalam dunia persilatan
yang kejam. Tapi sekarang saat akhirnya dia berhadapan dengan Zong Weixia, Tiong Fa mulai merasa menyesali keputusannya.
Zong Weixia membiarkan saja Tiong Fa tertekan oleh keberadaannya, satu kepuasan bagi Zong Weixia saat dia melihat
orang lain menjadi gugup berada di dekatnya. Semakin mereka ketakutan, semakin dia senang. Apalagi jika orang itu,
orang semacam Tiong Fa, seorang yang memiliki kuasa, punya otak dan nyali, tapi tak urung gemetar di bawah pandangan
matanya yang liar dan ganas. Kepuasannya pun jadi berlipat ganda.
"Hmmm" kudengar kau memisahkan diri dari keluarga Huang, apakah itu benar?", akhirnya Zong Weixia memecahkan
keheningan itu. Sudah sejak tadi Tiong Fa berpikir, bagaimana dia harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan Zong Weixia dan dia
memutuskan untuk menjawab dengan jujur. Jika Zhong Weixia bisa tahu di mana dia berada, bahkan tahu ruangan rahasia
tempat dia berdiam, maka itu berarti sudah ada kebocoran di dalam.
Tiong Fa tidak mau berjudi dengan nyawanya, dia tidak tahu sebanyak apa Zong Weixia sudah mengetahui rahasianya dan
dia tidak mau mempertaruhkan nyawa dengan menceritakan kebohongan. Lebih baik bersikap jujur sekarang, perlahan
menyaring kembali orang kepercayaannya menjadi satu lingkaran yang lebih kecil lagi. Kemudian baru menyiapkan satu
atau dua kartu As yang dirahasiakan sebagai persiapan untuk menghadapi Zong Weixia di kemudian hari.
"Ya, itu benar, dari mana Tetua Zong mendengar hal itu?", jawab Tiong Fa sambil bertanya balik.
"Aku tahu dari mana, itu urusanku, sekarang ini aku yang bertanya dan kau cukup menjawab.", jawab Zong Weixia sambil
menyeringai. Menelan ludah, Tiong Fa dengan hati kesal tapi wajah ketakutan, mengangguk.
"Apakah benar urusan keluarnya dirimu dari keluarga Huang, ada hubungannya dengan Pedang Angin Berbisik?", sekali lagi
Zong Weixia bertanya. "Ya, benar.", kali ini singkat saja jawaban Tiong Fa.
"Tapi benarkah jika aku mengatakan bahwa berita di luaran yang mengatakan bahwa dirimu telah menyerang seorang
pemuda bernama Ding Tao dan mengambil Pedang Angin Berbisik darinya hanyalah berita bohong saja?"
"Tidak juga, berita itu ada benarnya. Memang aku telah menyerang dan mengambil Pedang Angin Berbisik dari pemuda itu.
Tapi itu kulakukan atas perintah Tuan besar Huang Jin dan pedang itupun saat ini ada di tangannya."
"Apa bisa kupegang perkataanmu?"
"Tentu saja, aku tahu tidak ada gunanya aku membohong pada Tetua."
"Apakah kau yakin bahwa pedang itu adalah Pedang Angin Berbisik?"
"Yakin." "Apakah kau tahu di mana Huang Jin menyimpannya saat ini?"
"Tidak, tapi aku yakin pedang itu masih ada dalam rumahnya."
Sejenak lamanya, pandang mata tajam dari Zong Weixia menyelidiki raut wajah Tiong Fa, mencari adakah jejak
kebohongan di sana. Wajah Tiong Fa tidak ubahnya warna kulit seekor bunglon, bisa berubah sesuai kebutuhan, sedangkan
apa yang ada dalam hatinya tidak ada yang tahu. Zong Weixia tahu persis orang sejenis Tiong Fa, tapi semua
keterangannya masuk akal dan sesuai dengan berita yang dia dapatkan sebelumnya.
"Orang she Tiong, jika kau berbohong, kemanapun engkau bersembunyi, meskipun kau membuat sarang di bawah tanah.
Aku akan mencarimu, membeset kulitmu, menjemurmu di bawah matahari, mencungkil matamu, memotong lidahmu dan
memotong kemaluanmu sebelum aku tinggalkan dirimu untuk mati. Kau mengerti maksudku?"
"Ya, aku mengerti."
"Apakah ada keterangan yang ingin kau ubah?"
"Tidak, semua keterangan yang kuberikan, memang demikian adanya."
"Bagus, semoga saja begitu, demi kebaikanmu sendiri.", dengan kata-kata itu Zong Weixia mengakhiri interogasinya.
Cawan arak tidak disentuhnya sedikitpun, dia bangkit berdiri tanpa mengucapkan sepatah katapun. Seperti sewaktu dia
datang, demikian juga waktu pergi. Dia tidak menunggu diundang dan diantar, keluar pergi semaunya, seakan-akan sedang
masuk rumah sendiri. Zong Weixia baru mencapai pintu ketika Tiong Fa tiba-tiba bertanya, "Apakah tetua bekerja sendiri" Atau ada orang lain
bekerja sama dengan tetua?"
Zong Weixia berbalik, sebelah alisnya diangkat, bertanya.
"Tetua tahu sekarang aku bekerja sendiri, lepas dari keluarga Huang, tapi Tiong Fa bukan orang bodoh, Tiong Fa tahu
kekuatannya sendiri, tanpa sandaran yang kuat tidak mungkin bisa bertahan lama. Sekiranya Tetua mau bermurah hati?",
membungkuk hormat Tiong Fa mengutarakan apa yang ada dalam kepalanya.
Zong Weixia tercenung sejenak, seringai kejam tidak meninggalkan wajahnya. Bagi Tiong Fa, yg sejenak itu terasa lama,
karena Zong Weixia seperti sedang berpikir, dengan cara apa dia hendak menyiksa dan membunuh Tiong Fa. Ketika
akhirnya Zong Weixia menjawab hatinya merasa lega.
"Heh", kau punya kemampuan yang bisa dipakai. Jika aku ada perlu, aku akan datang padamu.", jawab Zong Weixia.
Setelah menjawab Zong Weixia berbalik dan pergi, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Darah dari orang Tiong Fa yang
tewas di tangannya masih membasahi dinding dan lantai. Sedikitpun Zong Weixia tidak melirik.
Dia juga tidak menoleh, jadi dia tidak melihat seringai mengejek yang terbentuk di wajah Tiong Fa. Zong Weixia tidak bisa memberikan keputusan. Itu yang bisa ditarik Tiong Fa dari reaksi Zong Weixia terhadap pertanyaannya. Meskipun Zong
Weixia menjawab seakan-akan dia bisa memutuskan, hanya saja saat ini dia tidak ingin memutuskan. Tapi bagi Tiong Fa
masalahnya jelas, Zong Weixia tidak tahu apakah harus menerimanya atau tidak.
Itu berarti di atas Zong Weixia masih ada orang lain yang bermain. Hal ini membuat Tiong Fa merasa bersemangat, tapi
juga berdebar di saat yang sama. Jika ada orang yang bisa menyuruh-nyuruh ketua dari perguruan Kong Tong, tentu orang
ini bukan orang sembarangan. Apakah tangan Ren Zuocan ada di balik Zong Weixia" Jika bukan Ren Zuocan, adakah tokoh
lain yang memiliki kekuasaan yang cukup mengerikan hingga bisa menggunakan orang semacam Zong Weixia sebagai anak
buah" Masih adakah tokoh misterius yang bergerak dalam kelamnya malam di dunia persilatan ini" Jika ya, lalu apa
motivasinya" Bisakah dirinya Tiong Fa memanfaatkan tokoh misterius ini demi keuntungannya pribadi"
Masalah kedua yang harus dia pikirkan adalah, siapa orang dalam yang sudah membocorkan rahasianya" Tapi itu urusan
kecil dan Tiong Fa tidak ingin terlalu lama memikirkannya. Bekerja dengan banyak orang, kebocoran pastilah ada. Yang
penting dia harus memiliki kartu As yang tidak diketahui siapapun juga.
Memandang berkeliling, Tiong Fa menyumpah-nyumpah dalam hati. Segala kerjanya untuk membangun ruangan ini
sekarang tidak ada gunanya. Tiong Fa perlu memikirkan tempat yang baru, setidaknya dalam waktu beberapa bukan ke
depan. Berdiri mematung untuk beberapa lama, pikiran Tiong Fa bekerja dengan keras. Tapi dia belum bisa menemukan siapa
dalang di balik kunjungan Zhong Weixia. Satu hal yang pasti keluarga Huang akan dengan segera mendapatkan kunjungan
yang sama. Tiong Fa tidak ambil peduli, tidak terpikir sama sekali untuk mengirimkan pesan agar Tuan besar Huang Jin
bersiap-siap mendapatkan kunjungan persahabatan.
Yang sekarang ada di benak Tiong Fa saat ini adalah dia perlu melenyapkan kekesalan di hatinya.
"Yan De !!! Yan De !!! Kemari kau bangsat!"
"Baik tuan, baik", seorang kakek tua berpakaian merah muda berlari-lari masuk ke dalam ruangan Tiong Fa sambil
terbungkuk-bungkuk. "Ada apa tuan?", tanyanya masih membungkuk hormat.
"Kudengar kau ada gadis baru yang belum siap untuk menerima tamu?"
"Ya tuan, barusan ada tiga orang gadis baru dari desa."
"Apakah mereka cantik-cantik?"
"Lumayan tuan, tidak terlalu buruk, cuma masih perlu banyak dididik."
"Apa sudah ada yang memberi didikan?"
"Belum tuan, hehe, apakah tuan mau bermurah hati memberi mereka sedikit didikan?", tanya kakek tua itu dengan senyum
nakal, sekarang dia sudah tahu untuk apa dia dipanggil Tiong Fa.
"Jangan cengar-cengir, kau antar mereka ke sini dan beri tahu Hong Wan dan Hong Wei jangan ada yang boleh
mengganggu." Kakek tua itu pun pergi cepat-cepat. Tidak perlu lagi diceritakan apa yang terjadi di ruangan itu kemudian.
Tapi yang perlu diperhatikan adalah apa yang dilakukan oleh Zong Weixia. Ketua perguruan Kongtong itu pergi ke sebuah
penginapan lalu memesan sebuah kamar dengan sebuah jendela yang menghadap ke arah jalan. Segera setelah memasuki
kamarnya, Zong Weixia mengeluarkan sebuah bendera kecil. Bendera kecil itu ditancapkannya ke daun jendela.
Setiap orang yang lewat tentu akan dapat melihat tanda itu, meskipun mereka tidak akan tahu apa maksudnya.


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Larut malam, satu sosok bayangan berkelebat memasuki penginapan itu dengan diam-diam. Berturut-turut 3 orang masuk
dengan cara yang sama rahasianya. Sejenak kemudian, Zong Weixia membuka jendela dan mencabut bendera kecil yang
dipasangnya. Beberapa lamanya tidak terjadi apa-apa, kemudian ke-4 orang yang masuk ke dalam penginapan dengan
diam-diam itu pun keluar dengan cara yang sama seperti saat mereka masuk sebelumnya.
Ketegangan yang dirasakan Ding Tao saat ini, melebihi apa yang pernah dia rasakan sebelumnya. Bahkan lebih menakutkan
dan menegangkan dibanding saat-saat nyawanya ada di ujung tanduk.
"Enci Yun Hua", kurasa, aku bukan orang yang pantas untuk menerima tawaranmu. Maafkan aku?", terbata Ding Tao
menolak tawaean Murong Yun Hua.
Wajah yang menunduk itupun menjadi pucat pasi, badannya bergetar, menahan malu, menahan marah atau entah
perasaan apa lagi. Ding Tao dengan ragu bangkit berdiri, ingin dia menghibur Murong Yun Hua, tapi dia tahu apa yang dia lakukan tentu sangat menyakiti hati gadis itu. Hatinya ikut merasa hancur, melihat keadaan Murong Yun Hua saat itu. Ding Tao berdiri termangu beberapa lama, sebelum dengan langkah yang berat dia berbalik dan hendak berjalan pergi
meninggalkan Murong Yun Hua.
"Ding Tao" tunggu?", tiba-tiba Murong Yun Hua memanggil, menghentikan langkah kaki Ding Tao.
Langkah Ding Tao pun terhenti, hatinya tidak cukup kuat untuk meninggalkan tempat itu, meskipun otaknya mengatakan
bahwa terlalu lama berada di sana hanya akan memperburuk keadaan.
"Enci Yun Hua" aku?", kata-kata Ding Tao terhenti saat Murong Yun Hua meletakkan jarinya di bibir Ding Tao.
Wajah yang cantik itu sudah basah oleh air mata, tapi air mata tidak membuatnya tampak buruk. Sepasang mata yang
bening berkilauan oleh air mata yang mengembeng di sana. Pipi putih halus bagai pualam, dibasahi oleh dua jalur air mata.
Ding Tao tidak mampu beranjak pergi dari sana. Murong Yun Hua, memegang erat tangan pemuda itu, lalu tanpa malu lagi
menjatuhkan dirinya ke atas dada Ding Tao yang bidang.
Wajahnya menengadah, memohon, "Ding Tao", apakah kau kira, harta kekayaan keluarga Murong, hanyalah bangunan
kecil dan sepetak kebun" Tidak Adik Ding, ada banyak, jauh lebih banyak dari yang sudah kau lihat. Berbagai macam
perhiasan dan barang seni yang tak terkira harganya tersimpan dalam ruangan rahasia keluarga kami. Itu semua akan jadi
milikmu bila kau mau membantu keluarga ini. Bayangkan apa yang dapat kau lakukan dengan semua harta itu Adik Ding.
Kau bahkan bisa menggunakannya untuk kepentingan umum jika kau mau."
Ding Tao menggeleng dengan sedih, "Tidak enci, aku tidak menginginkannya, sungguh jika aku menolak bukanlah karena
hal itu, enci aku ini bukan siapa-siapa, aku?"
"Adik Ding, bukankah kau suka mempelajari sesuatu yang baru" Lihatlah perpustakaan milik ayahku, beliau sama
sepertimu, mencintai pengetahuan, haus pengetahuan, segala macam kitab yang ada di sana, tidak akan habis kau baca
seumur hidupmu. Jika kau ingin melakukan percobaan, mencoba sesuatu yang baru, apa saja yang kau butuhkan bisa kami
dapatkan." "Enci" maafkan aku, sungguh ini pun sulit bagiku. Hatiku ikut sakit melihat enci sedih seperti sekarang."
"Adik Ding" apakah aku kurang cantik bagimu" Apakah karena aku seorang janda" Lihat, lihat?", dengan berani Murong
Yun Hua membuka jubah suteranya.
Leher yang jenjang tanpa kerut dan cela, di atas pundak yang putih halus. Belahan dada yang terlihat, menjanjikan
sepasang dada yang membukit di balik baju dalam Murong Yun Hua. Ding Tao terkesiap, jantungnya berdebaran, cepat dia
memalingkan muka. "Enci" jangan?"
Air mata Murong Yun hua bercucuran, Ding Tao beribu kali lebih baik mati dirajam pedang daripada melihatnya seperti itu.
Putus asa dengan jawaban Ding Tao, Murong Yun Hua mendorong pemuda itu hingga jatuh ke atas tanah. Diraihnya tangan
pemuda itu dan diletakkan tangan Ding Tao di atas dadanya. Terkejut, Ding Tao menarik tangannya, tapi Murong Yun Hua
justru meraihnya kembali dan menarik tangannya ke bawah, ditempelkan ke miliknya yang paling pribadi. Pinggulnya
bergerak menggosok-gosokkan miliknya yang paling berharga ke tubuh Ding Tao.
"Adik Ding" tubuh ini, semuanya yang paling berharga, kuberikan padamu, kumohon" jangan" jangan tolak diriku?",
sambil menangis mencucurkan air mata Murong Yun Hua menindih, menciumi Ding Tao dan bergerak-gerak memberikan
seluruh tubuhnya bagi Ding Tao dengan keputus asa-an yang mematahkan hati.
Ding Tao hanya laki-laki biasa, tubuhnya mau tidak mau bereaksi terhadap perlakuan Murong Yun Hua, namun di saat yang
sama, dia sadar keadaan mereka yang berada di ruang terbuka. Teringat pula akan Huang Ying Ying, pada janji yang dia
ucapkan diam-dian dalam hati.
Tubuh Murong Yun Hua tidaklah gemuk tetapi langsing dengan lekak-lekuk yang menggiurkan, cukup dengan sebelah
tangan Ding Tao dapat melemparkannya sampai terguling-guling. Namun tenaga Ding Tao seperti menghilang entah ke
mana. Hanya dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemauan, barulah Ding Tao dapat mendorong mundur Murong Yun
Hua. "Enci, maafkan aku?", ujarnya sambil mendorong Murong Yun Hua menjauh.
Secepatnya Ding Tao melompat menjauhkan diri, kakinya terasa lemas hingga dia hampir terjatuh, tapi begitu dia
mendapatkan keseimbangannya, pemuda itu lari secepat dia bisa. Lari, meninggalkan Murong Yun Hua terpekur, terbaring
di tanah, menggerung dan menangis, dengan rambut terurai dan baju yang terbuka di sana-sini.
Ding Tao lari dan lari, melupakan pedang, buntalan pakaian dan bekal yang tertinggal.
Yang ada di kepalanya hanyalah lari sejauh mungkin dari Murong Yun Hua, dari tangisannya yang memilukan hati, dari
tubuhnya yang menyalakan nafsu dalam dada Ding Tao. Dia lari, hingga kakinya lemas dan tak ada kekuatan lagi yang
tersisa. Jatuh terduduk di jalan kecil yang sepi, dua tetes air mata mengalir membasahi pipi pemuda itu.
Dengan suara lirih dia berbisik, "Enci Yun Hua" maafkan aku?"
Lama Ding Tao tidak mampu berpikir, hanya duduk termenung dengan dada serasa tertindih batu ribuan kati. Akhirnya
dengan mengeraskan hati, pemuda itu bangkit berdiri. Dengan langkah gontai pemuda itu mengarahkan pandangannya ke
jalan yang ada di hadapannya. Ding Tao tidak tahu jalan itu menuju ke mana, saat lari tadi, tidak terpikir untuk memilih jalan. Untuk berbalik kembali dia juga tidak punya keberanian, terpaksa dia berjalan ke depan, berharap bertemu dengan
orang yang bisa ditanya. Sudah cukup jauh dia berjalan, tidak juga dia menemui satu orang pun, ketika tiba-tiba terdengar deap kuda dari arah
belakangnya, Ding Tao berbalik penuh harap. Dinantinya hingga penunggang kuda itu datang mendekat. Saat dia melihat
siapa penungggan kuda itu, sudah terlambat baginya untuk bersembunyi.
Murong Huolin dengan mata yang menyala-nyala dan wajah kemerahan berderap, memacu kudanya ke arah Ding Tao. Ding
Tao berdiri di tempatnya, pasrah dengan apa yang akan terjadi.
"Keparat!!! Tidak tahu terima kasih!!", Murong Huolin berteriak mencaci, sebelum kudanya sampai dia sudah melompat ke
arah Ding Tao dengan pedang terhunus.
Kilau pedang berkelebatan, baju Huolin berkibaran, dalam keadaan marah tidak membuatnya tampak buruk, Murong Huolin
justru tampak makin memikat. Sungguh gadis itu mirip seorang dewi yang turun dari kahyangan untuk membasmi kaum
iblis. Hanya saja sekarang Ding Tao-lah yang jadi iblisnya. Pemuda itu hanya bisa mengeluh dalam hati. Dengan mudah dia bergerak ke sana ke mari, menghindari serangan-serangan Murong Huolin. Tidak sekalipun dia bergerak untuk membalas,
hanya menghindar dan sesekali menepis serangan Murong Huolin yang menyerang dengan membabi buta.
Tingkatan Murong Huolin terpaut terlampau jauh di bawah Ding Tao. Meskipun beberapa kali sempat juga pedangnya
merobek baju Ding Tao, tapi tidak sampai menggoreskan luka sedikitpun di tubuh Ding Tao.
Jika Ding Tao mau, sudah sejak tadi dia bisa melumpuhkan gadis itu. Ding Tao memilih untuk tidak melawan dan
membiarkan saja gadis itu kehabisan tenaga.
Nafas Murong Huolin mulai tersengal, hatinya yang panas semakin panas, karena sedikitpun dia tidak berhasil melukai Ding Tao. Sebuah derap kuda yang lain tiba-tiba terdengar, mendengar suara derap kuda, Murong Huolin menghentikan
serangan. Berdiri menunggu jantung keduanya berdebaran saat melihat siapa yang datang. Murong Yun Hua memacu kudanya
berderap, saat dilihatnya Ding Tao dan Murong Huolin tidak bertarung, ditahannya kekang kuda, dengan berderap perlahan
dia mendekat. Rambutnya sudah ditata ulang, meski terlihat helai-helai yang masih lepas dari ikatan. Bajunya sudah dirapikan, wajahnya terlihat tenang dengan isak tangis tersimpan jauh di dalam dada. Ding Tao menundukkan wajahnya, tidak berani
memandang ke arah Murong Yun Hua. Murong Huolin berdiri dengan tegang, apakah kakaknya marah terhadap dirinya"
Dengan tidak yakinm gadis itu berdiri mematung.
Suara Murong Yun Hua terdengar dingin saat dia bertanya pada Murong Huolin, "Adik Huolin, apa yang sedang kaulakukan
di sini, mengapa kau menghunus pedang seperti itu?"
"Kakak" aku.. aku hendak mencincang " mencincang pemuda tidak tahu terima kasih ini!", jawabnya dengan pedang
teracung ke arah Ding Tao.
Wajah Murong Yun Hua memucat mendengar jawaban Murong Huolin, tapi dengan kemauan yang keras, dia berusaha
bersikap tetap tenang, "Boleh aku tahu mengapa kau hendak mencincang Saudara Ding Tao?"
"Dia" dia", dia sudah menghina kakak?", jawab Murong Huolin dengan suara lemah.
Sebenarnya gadis ini tidak benar-benar tahu apa yang terjadi, hanya dia tahu keduanya sempat bercakap-cakap sebelum
Ding Tao pergi meninggalkan Murong Yun Hua menangis dalam keadaan tidak keruan.
Menggigit bibir Murong Yun Hua berusaha menahan isak yang hendak melompat keluar.
"Gadis bodoh, dia tidak melakukan apa-apa padaku?", katanya dengan mata kembali membasah.
"Tapi, kulihat dia berlari dan kakak?", terbata Murong Huolin berusaha membela diri.
"Jangan memutuskan sesuatu jika kau belum tahu dengan jelas. Yang terjadi adalah" aku" aku" menawarkan warisan
keluarga Huang pada Saudara Ding Tao dan dia menolaknya.", jawab Murong Yun Hua dengan isak tangis tertahan di antara
kata-katanya. Membelalak terkejut wajah Murong Huolin, wajahnya bersemu merah, apa arti kata Murong Yun Hua dia mengerti dengan
jelas apa maksudnya. "Kakak" itu" ah?", gadis itu menutup wajahnya dengan rasa malu yang tak tertahan.
Murong Huolin tidak dapat melanjutkan perkataannya, pedangnya lepas dan jatuh ke atas tanah, gadis itu berlari kecil
bersembunyi di belakang tubuh Murong Yun Hua. Murong Yun Hua menatap tajam ke arah Ding Tao yang menunduk diam.
"Saudara Ding, sudah tidak ada lagi yang kusembunyikan darimu", mungkin aku memang tidak berharga di matamu,
seorang janda muda yang sudah tidak suci lagi. Tapi tidakkah hatimu sedikitpun tergerak bagi Adik Huolin?"
"Enci Yun Hua, sungguh bila aku menolak, hal itu bukan karena aku tidak memiliki perasaan pada kalian berdua.
Masalahnya adalah aku sudah memiliki seorang kekasih.", jawab Ding Tao memohon pengertian Murong Yun Hua.
Murong Huolin yang bersembunyi di belakang tubuhnya, entah mengapa merasa hatinya sakit. Saat mendengar Murong Yun
Hua hendak menyerahkan warisan keluarga Murong pada Ding Tao ada perasaan senang dalam hatinya. Itu sebabnya dia
merasa malu, merasa malu karena hatinya gembira mendengar dirinya hendak diberikan pada Ding Tao. Sekarang saat dia
mendengar Ding Tao menolak tawaran itu karena dia sudah memiliki kekasih, timbul perasaan sedih dalam hatinya.
Murong Yun Hua terdiam sejenak, "Ding Tao jangan membuat alasan yang mengada-ada, benarkah engkau sudah memiliki
kekasih. Kalaupun iya, lalu apa salahnya menerima tawaranku" Bukan suatu hal yang aneh jika seorang laki-laki memiliki
lebih dari 1 isteri."
Ding Tao menggelengkan kepala perlahan, "Mungkin itu hal yang umum, tapi dalam hati, sejak aku menyatakan rasa
cintaku padanya, aku sudha berjanji akan setia pada cintaku itu, seumur hidupku, hanya mencinta dia seorang."
Ding Tao sedang menundukkan kepala dan Murong Huolin yang berdiri di belakang Murong Yun Hua sedang sibuk dengan
perasaannya sendiri. Ada rasa benci dan kesal, tapi juga rasa kagum dan cinta, jawaban Ding Tao membuatnya kecewa dan
kagum pada saat yang bersamaan.
Terbata Murong Yun Hua bertanya, "Apakah" apakah dia seorang gadis yang sangat cantik" Seorang yang ahli di bidang
seni" Ahli silat" Atau" keluarganya" kekayaan keluarganya mampu menandingi kekayaan keluarga Murong?"
Ding Tao menggelengkan kepala, sedari tadi dia terus menunduk, dia tidak memiliki keberanian untuk mengangkat wajah
dan memandang ke arah Murong Yun Hua, "Tidak, dia memang gadis yang cantik, tapi tidak secantik Enci Yun Hua atau
Adik Huolin. Dia bukan ahli seni atau ahli silat, namun dia gadis yang berhati baik. Sejak kecil dia sudah baik terhadapku.
Aku juga tidak peduli dengan kekayaan keluarganya, aku masih bisa mencari makan dengan kedua tanganku sendiri. Hanya
satu hal yang kutahu, aku mencintainya dan dia mencintaiku. Kami sudah berjanji untuk saling setia."
Murong Huolin memaki dirinya sendiri dalam hati, entah mengapa semakin Ding Tao berkeras, justru dia semakin bersimpati pada pemuda itu, semakin dia ingin bisa membahagiakan pemuda itu, menyerahkan", mukanya menjadi panas. Gadis itu
menggigit bibirnya keras-keras.
Dengan nada sendu Murong Yun Hua bertanya, "Bolehkah aku tahu siapa gadis itu?"
Dua pasang telinga dipasang baik-baik, ingin tahu apa jawaban Ding Tao. Yang sepasang tentunya milik Murong Yun Hua
dan sepasang lainnya adalah sepasang telinga milik Murong Huolin. Ini pertama kalinya Murong Huolin mengerti rasanya
jatuh cinta. Begitu sengsara, begitu memabukkan, menyakitkan tapi tidak bisa dilupakan.
"Huang Ying Ying, puteri dari Tuan besar Huang Jin, sejak kecil dia sudah baik pada diriku. Bahkan ketika aku hanya
seorang pelayan di sana."
Selesai menjelaskan panjang dan lebar, setelah semuanya dibuka, entah dari mana ada rasa lega timbul dalam hati Ding
Tao. Pemuda itu akhirnya menengadahkan wajahnya, menatap langsung pada Murong Yun Hua, bukan pandangan
menghina, tapi pandangan penuh pengertian, seakan berkata, aku bisa merasakan kepedihanmu, jika aku menyakitimu, hal
itu pun meyakitiku berkali-kali lipat.
Ditatap Ding Tao seperti itu Murong Yun Hua memalingkan wajahnya, tiba-tiba dia berjalan ke arah kudanya tertambat.
Diambilnya buntalan pakaian Ding Tao, pedang dan bekalnya di kantong yang terikat di sana. Dengan membawa itu semua
dia berjalan ke arah Ding Tao.
Suaranya lirih saat dia berkata, "Ini barangmu ada yang tertinggal, pergilah, kuharap kau tidak mengingat-ingat dengan
buruk apa yang terjadi hari ini. Pergilah, tapi ingatlah, kapanpun kau datang, rumah kami terbuka bagimu."
Menerima barang-barang itu dari Murong Yun Hua, Ding Tao mengangguk terharu, "Aku mengerti Enci Yun Hua, terima
kasih." Kepalanya tertunduk, malu, Murong Yun Hua ragu-ragu dan tangannya sedikit gemetar, saat dia perlahan meraih tangan
Ding Tao dan menggenggamnya, "Adik Ding", berjanjilah, kau tidak mengingatku dengan buruk" apa yang kulakukan
tadi?" Ding Tao meremas tangan Murong Yun Hua dengan hangat, "Aku akan selalu mengingatmu sebagai seorang enci yang baik,
Enci Yun Hua." Murong Yun Hua menengadahkan kepala dan pandang mata mereka bertemu. Hati Ding Tao tergetar, melihat pandang
mata Murong Yun Hua yang penuh kesedihan, cinta dan gairah yang tertahan. Tiba-tiba di luar dugaannya, Murong Yun Hua
mencondongkan tubuh ke arahnya, berjinjit dan bibirnya yang merah basah itu tiba-tiba sudah bertemu dengan bibirnya.
Dengan bibir sedikit terbuka, Ding Tao bisa merasakan lidah Murong Yun Hua menyapu bibirnya. Ding Tao bereaksi sebelum
dia dapat berpikir, sejak awal bertemu dia sudah terpesona pada kecantikan Murong Yun Hua. Sebagai laki-laki, lepas dari komitmennya untuk memberikan hatinya hanya bagi Huang Ying Ying, keinginan itu ada dalam dirinya. Seandainya tidak
ada Huang Ying Ying, tanpa ragu lagi dia akan menerima cinta Murong Yun Hua. Masih teringat di benaknya betapa hancur
hati Murong Yun Hua oleh penolakannya, terlihat di matanya gairah dan cinta yang membara dan memuja dalam tatapan
mata Murong Yun Hua, tidak ada lain yang bisa dilakukan Ding Tao.
Untuk sesaat Huang Ying Ying hilang dari ingatan dan hatinya, dengan sepenuh hati dibalasnya ciuman Murong Yun Hua
dengan gairah yang sama. Sesaat lamanya tubuh mereka merapat, sebelum dengan lembut dan nafas terengah Murong Yun Hua menjauhkan diri.
Debaran yang sama, gairah yang sama, dengan wanita yang berbeda, sebagian kecil dari dirinya mencela apa yang dia
rasakan saat itu. Tapi Ding Tao tidak menyesali apa yang sudah dia lakukan saat dia melihat seulas senyum di wajah
Murong Yun Hua yang sendu.
"Terima kasih" ingatlah aku seperti ini?", bisik Murong Yun Hua.
Berpaling cepat-cepat Murong Yun Hua menggamit Murong Huolin dan dengan gesit menaiki kudanya, "Adik Huolin mari
pulang." Murong Huolin menengok sekejap ke arah Ding Tao, saat mata mereka bertemu, hatinya berdebaran kencang, dengan
muka tersipu gadis itu berlari dan menaiki kudanya. Hati gadis ini meronta-ronta tanpa dapat dia mengerti. Dia tahu Ding Tao sudah menjadi milik orang lain, tapi saat dia melihat Ding Tao berciuman dengan Murong Yun Hua, ingin rasanya dia
menjatuhkan diri di dada Ding Tao yang bidang dan melakukan hal yang sama. Tanpa menunggu Murong Yun Hua, dengan
hati yang kacau balau, dia memacu kudanya pulang ke rumah.
Murong Yun Hua segera mengikuti adiknya, namun baru beberapa langkah kudanya berjalan gadis itu berpaling ke arah
Ding Tao yang masih berdiri menunggu.
"Adik Ding, salahkah aku jika terus menantimu" Salahkah aku jika aku mencintaimu?", tanpa menunggu jawaban dari Ding
Tao dia pergi, memacu kudanya menyusul Murong Huolin yang sudah jauh di depan.
Ding Tao berdiri termangu, hatinya meragu, adakah dia sudah mengambil keputusan yang benar" Sudah hal yang umum
jika seorang laki-laki memiliki lebih dari 1 isteri, mengapa dia tidak bisa menerima cinta Murong Yun Hua dan Huang Ying Ying bersamaan. Gairahnya menyala membayangkan hal itu, kepalanya menggeleng cepat, karena apa artinya cinta dan
kesetiaan jika lelaki bisa membagi cintanya sesuka hatinya"
Menutup mata Ding Tao mengenangkan cinta Huang Ying Ying pada dirinya yang sepenuh hati tanpa terbagi. Dikenangnya
rasa bahagia yang dia rasakan saat dia akhirnya mengerti isi hati Huang Ying Ying. Dengan menggertakkan rahangnya Ding
Tao menetapkan hati. Memikirkan keputusan yang sudah diambilnya, hatinya berbisik, jika demikian tidak seharusnya dia membalas ciuman
Murong Yun Hua. Tapi yang sudah terjadi tidak bisa diubah, andainya hal itu bisa diulangnya, apakah dia akan melakukan
yang berbeda" Menggelengkan kepala, menyerah, Ding Tao memilih untuk melupakan segala urusan cinta dan kembali
berjalan ke depan. Dia sampai lupa untuk bertanya, ke arah mana jalan ini menuju.
Hingga matahari terbenam, Ding Tao belum menemui seorang pun di jalan ini. Sudah berjam-jam lamanya dia berjalan
tanpa henti, kakinya sudah merasa lelah, beberapa bagian tertentu telapak kakinya terkelupas, bukan hanya kakinya yang
lelah, pundaknya pun sudah terasa pegal memanggul buntalan yang tidak terlalu berat.
Ketika dia menemukan sebuah ceruk yang terlihat nyaman, Ding Tao memutuskan untuk beristirahat di pinggir jalan.
Dipastikannya tidak ada binatang yang berbahaya di sekitar tempat itu, sebelum dia menghempaskan tubuhnya ke tanah
yang berumput tebal. Baru setelah beristirahat, perutnya terasa lapar. Dengan kemalasan, dia bangkit berdiri. Dikumpulkannya beberapa kayu
kering untuk dibuat api unggun. Kemudian di sekitar tempat dia hendak membuat api unggun, dia bersihkan dari rumput-
rumput kering. Tidak lama kemudian sebuah api unggun kecil menyala-nyala. Dengan puas Ding Tao duduk dan membuka
buntalan yang dia bawa. Pagi ini Murong Yun Hua sudah membungkuskan beberapa roti kering, sebotl arak dan daging
kering. Apa yang dia lihat membuatnya terkejut, di dalam buntalan bukan saja ada pakaian dan makanan kering, tapi dilihatnya
sekantung obat dan sejilid kitab.
Secarik surat diselipkan di antara halaman kitab itu, sedikit gemetar, Ding Tao membuka surat itu. Nyala api unggun
bergoyang-goyang, terkena angin, membuat bayang-bayang lucu di sekitarnya. Dengan tangan gemetar dia membuka surat
itu. Adik Ding, rasa malu dan sedihku tidak akan pernah bisa kau bayangkan.
Tapi aku tidak menyesal, aku tidak menyesal telah jatuh hati padamu.
Aku tidak menyesal menunjukkan betapa aku menginginkanmu.
Aku hanya menyesal, tidak berhasil menahanmu untuk tinggal.
Tapi apapun keputusanmu, aku tidak dapat menipu hatiku.
Kupinjamkan kitab yang aku ceritakan sebelumnya.
Di dalamnya bisa kau pelajari apa yang kau perlukan untuk kesembuhanmu.
Aku tidak bisa banyak membantu, karena aku tidak ada di sampingmu.
Beserta kitab ini, kusertakan obat-obatan yang sering dipakai ayahku.
Obat ini mampu menambah kecerdasan orang yang meminumnya.
Membantu lancarnya peredaran darah ke otak,
serta merangsang kerjanya syaraf dlm tubuh.
Ilmu dalam kitab ini tentu tidak mudah dipelajari dalam waktu yang singkat.
Meskipun kau berbakat, tapi obat ini kurasa bisa membantumu.
Jika aku boleh memberi saran, tidak perlu adik pergi ke Shaolin atau Wudang.
Berurusan dengan perguruan besar, tentu akan rumit dan merepotkan.
Padahal waktumu tidaklah banyak, baiknya cari tempat yang baik
dan fokuskan pikiranmu untuk mempelajari isi kitab ini.
Semoga segala tujuanmu bisa tercapai, doaku untukmu selalu.
Jangan lupa, kembalikan kitab ini setelah kau tidak memerlukannya lagi.
Aku akan sabar menanti kedatanganmu dengan penuh harap.
Murong Yun Hua Dengan penuh haru Ding Tao membuka-buka kitab itu. Pada sampul buku tertulis Ilmu Tenaga Dalam Inti Bumi. Dibacanya
buku itu sekilas, halaman demi halaman. Kemudian disimpannya baik-baik buku itu kembali dalam buntalan. Kemudian
bungkusan obat dia buka, di dalamnya ada secarik kertas yang menuliskan nama dan aturan minum obat tersebut. Nama
obat itu, Obat Dewa Pengetahuan.
Puas dengan apa yang dia amati, dia menyimpan semuanya baik-baik dalam lipatan pakaian bersih sebelum kembali
dibuntal menjadi satu. Ding Tao memikirkan nasihat Murong Yun Hua, nasihat itu diberikan dengan maksud yang baik.
Teringat pula keadaannya saat harus bertarung dengan Sepasang Iblis muka Giok. Hari itu dia beruntung bertemu dengan
Murong Yun Hua dan Murong Huolin. Jika tidak ada mereka, saat ini dia sudah tertawan sepasang iblis itu dan nasibnya
akan jauh lebih buruk daripada mati di tangan mereka.
Teringat pula Ding Tao pada taktik yang dia gunakan dan bagaimana belasan orang mati oleh karenanya. Bergidik pemuda
itu menyesali apa yang sudah dia lakukan. Seandainya saja tubuhnya tidak menyimpan hawa liar Tinju 7 Luka, mungkin dia
masih bisa memikirkan siasat yang lain, yang tidak mengorbankan nyawa begitu banyak.
Mengingat itu semua Ding Tao memutuskan untuk menerima saran Murong Yun Hua. Bila dia tetap memaksa untuk pergi ke
Shaolin dalam keadaannya yang sekarang, akan banyak lagi bahaya yang harus dia hadapi, lebih banyak pertarungan dan
lebih banyak korban. Berpikir demikian, hilang sudah keinginannya untuk melanjutkan perjalanan. Ding Tao bangkit berdiri buntalan bekal
disandangnya di pundak. Ding Tao berjalan mengitari tempat itu, dia tidak pergi terlalu jauh karena hari semakin malam
dan dia tidak bisa melihat dengan jelas keadaan di sekelilingnya. Dicobanya berjalan-jalan sambil menajamkan telinga,
mencari apakah ada suara aliran air di dekatnya. Tapi tidak ada hasil sedikitpun, akhirnya Ding Tao kembali. Memilih sebuah lokasi yang sedikit jauh dari tempat dia membuat api unggun.
Bersandar pada sebuah pohon, Ding Tao berusaha beristirahat sebisanya. Pemuda itu tidak berani terlalu lepas saat
beristirahat. Meskipun matanya terpejam, inderanya tetap bekerja sebisa mungkin menyadari keadaan di sekitarnya. Karena lelah beberapa kali Ding Tao kehilangan kesadaran dan tertidur untuk beberapa saat. Tapi tidak pernah dia tidur dengan


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulas. Keesokan paginya Ding Tao bangun dengan tubuh pegal-pegal dan kepala terasa berat. Melihat langit sudah mulai berubah
warna, pemuda itu dengan rajin, mulai berlatih. Berlatih menghimpun hawa murni dan melatih ulang juga setiap jurus yang sudah pernah dia pelajari.
Tidak pernah bosan dia mengulang-ulang apa yang sudah pernah dia pelajari, merenungkannya dan memikirkan
pengembangannya. Ketika dia selesai berlatih, langit sudah terang, keringat membasahi tubuhnya tapi tubuhnya terasa
segar. Ding Tao mulai berpikir ke arah mana dia hendak pergi, setelah mendapatkan kitab dan obat dari Murong Yun Hua,
pemuda ini tidak lagi ingin pergi ke kota terdekat. Sebaliknya dia ingin mencari tempat yang memungkinkan dia untuk
berlatih dengan tenang. Sayangnya mencari tempat seperti itu tidaklah mudah. Di dalam hutan terkadang lebih sulit mencari air daripada mencari
makan. Karena itu yang pertama dia lakukan adalah menjelajahi hutan yang mengapit jalan kecil itu, mencari tanda-tanda
adanya air. Hutan itu tidak terlalu lebat, dengan mudah dia bergerak, sebisa mungkin Ding Tao tidak menggunakan pedangnya untuk
membuka jalan. Selain untuk menghemat tenaga, pemuda itu juga tidak ingin meninggalkan jejak. Sempat terpikir untuk
kembali ke kediaman Murong Yun Hua, di sana tentu dengan mudah dia dapat berlatih. Tidak perlu mencari persediaan
makan, tidak perlu memusingkan di mana dia harus tidur. Sayang sekarang ada ganjalan antara dirinya dengan Murong Yun
Hua dan Murong Huolin, ada kalanya juga Ding Tao tergoda untuk menerima tawaran mereka. Tapi pemuda ini begitu
mengagungkan nilai-nilai luhur yang dia dengar dari orang-orang tua. Pada cerita-cerita kepahlawanan di masa lalu.
Bukan hanya terpikat pada cerita kepahlawanan, pemuda ini juga terpikat dengan kisah-kisah cinta, tentang sepasang
kekasih yang setia hingga ajal menjemput.
Hampir setengah harian pemuda itu menjelajahi hutan dan mengamat-amati keadaan di sekelilingnya sebelum dia
menemukan tanda-tanda akan adanya sumber air. Saat itu dia sudah semakin jauh masuk ke dalam hutan, pepohonan
semakin lebat dan suasana menjadi sedikit remang-remang karena sinar matahari tidak mudah menembus lebatnya
dedaunan. Pemuda itu menemukan jalan-jalan setapak, bukan oleh manusia, tapi terbentuk karena sudah menjadi jalur dari beberapa
hewan liar yang berulang kali melewati jalur itu. Dengan semangat yang meninggi mulailah dia mengikuti jalur itu, sesekali jejak yang ada terputus dan dia harus berkeliling mencari-cari tanda-tanda lainnya, hingga akhirnya Ding Tao sampai di
sebuah air mata kecil yang membentuk sebuah kolam jernih yang tidak seberapa besar.
Dengan hati-hati Ding Tao memeriksa keadaan di sekitar kolam kecil itu. Dari bekas-bekas yang ada, dia yakin tempat itu jarang sekali dikunjungi manusia. Beberapa hewan tampaknya menggunakan kolam itu sebagai tempat mereka melepas
Dendam Empu Bharada 39 Pusaka Tongkat Sakti Karya Tjoe Beng Siang Istana Kumala Putih 9
^