Pencarian

Pedang Angin Berbisik 9

Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 9


Dalam hati terbetiklah pertanyaan, "Apakah dia juga", jangan-jangan Pendeta Liu menghadapi hal yang serupa. Itu
sebabnya dia jadi begitu dingin dan sinis dalam menilai polah laku orang-orang dalam dunia persilatan."
Perlahan Ding Tao menggelengkan kepala, diapun tidak bisa menjawab dengan tegas untuk hal yang terakhir itu, "Entahlah
paman, tapi sekali memutuskan sebuah jalan, maka segala pahit manisnya harus diterima. Seorang diri siauwtee bisa
menjawab dengan yakin bahwa ancaman terhadap diriku akan siauwtee hadapi dengan dada tengadah?"
"Aku mengerti?", sahut Liu Chun Cao tersenyum pahit.
"Ding Tao, bukan berarti kau tidak mampu berbuat apa-apa untuk membasmi yang jahat, menolong yang lemah,
menegakkan kebenaran dan berlaku sesuai kehormatan dirimu. Hanya saja seberapa jauh kau bisa melangkah, akhirnya
akan tergantung pada seberapa besar kekuatanmu, baik sendiri maupun dilihat dari jumlah pendukungmu", ujar Wang
Xiaho, tidak ingin Ding Tao terpengaruh oleh pandangan Liu Chun Cao yang cenderung pesimis memandang hidup ini.
Merenungi perkataan Wang Xiaho, Ding Tao jadi mengerti apakah yang menjadi keberatan Liu Chun Cao. Otaknya cukup
encer untuk melihat hubungan antara satu hal dengan hal yang lain. Jika seseorang terobsesi untuk melakukan perubahan
dan menyadari bahwa dirinya membutuhkan kekuasaan untuk melakukan perubahan, maka bukan tidak mungkin orang
tersebut akan terjerumus dalam pengejaran akan kekuasaan, hingga lupa akan motivasinya yang mula-mula. Bahaya yang
kedua datang adalah ketika dia berhasil mendapatkan kekuasaan yang besar, yang dia butuhkan untuk melakukan
perubahan, akankah dia tetap teguh pada pendiriannya yang semula" Apakah dia tidak akan tergoda untuk memanfaatkan
kekuasaan itu demi kepentingannya sendiri"
Ding Tao juga mengerti pengharapan yang diletakkan oleh Wang Xiaho pada pundaknya. Ding Tao merasa sangat berterima
kasih oleh penghargaan dan kepercayaan yang diberikan Wang Xiaho pada dirinya. Tapi secara logika Ding Tao justru lebih setuju pada Liu Chun Cao.
Sambil menghela nafas pemuda itu akhirnya berkata, "Paman Wang, Pendeta Liu, kurasa siauwtee sudah mengerti
sekarang. Entah siauwtee menjadi Wulin Mengzhu atau tidak. Entah siauwtee menjadi yang terkuat atau tidak. Satu hal
siauwtee bisa katakan, siauwtee berjanji untuk berdiri teguh di atas dasar kebenaran dan kehormatan."
Menoleh pada Liu Chun Cao, sambil membungkuk memberi hormat dia berkata, "Pendeta Liu, terima kasih sudah
mengingatkan siauwtee pada prioritas utama dalam hidup seorang manusia."
Liu Chun Cao mengangguk puas. Wang Xiaho sebaliknya merasa sedikit kuatir dan cepat-cepat menambahkan, "Ding Tao
bukan berarti kau boleh asal-asalan dalam berusaha mendapatkan gelar Wulin Mengzhu."
"Ya siauwtee mengerti, siauwtee akan berusaha sekuatnya untuk mencapai kekuatan dan kekuasaan yang diperlukan untuk
mengadakan perubahan. Di saat yang sama akan selalu mengingat apa yang mendasari pengejaran itu. Tapi ketika
pengejaran itu mengarah pada hal-hal yang menyalahi prinsip-prinsip yang justru sedang diperjuangkan, itu artinya sudah waktunya untuk berhenti dan mencari jalan yang lain."
Wang Xiaho awalnya merasa tidak puas dengan jawaban Ding Tao, berbeda dengan Liu Chun Cao yang semakin mantap
untuk mendukung Ding Tao. Tapi ketika Wang Xiaho merenungkan lebih jauh lagi jawaban Ding Tao itu, pada akhirnya
Wang Xiaho pun mengangguk setuju. Karena apa artinya dia mendukung Ding Tao menjadi Wuling Mengzhu, jika pada
akhirnya Ding Tao tidak membawa perbaikan, jika Ding Tao berubah menjadi seorang munafik, seorang egois dan licik yang
bertopengkan kehormatan" Lebih penting dari apa yang dapat dicapai pemuda itu, adalah keteguhan dari wataknya.
"Ya, akhirnya aku pun bisa mengerti?" ujar Wang Xiaho sambil memandang Ding Tao dan Liu Chun Cao dengan senyum
arif. Liu Chun Cao merasa puas dengan perbincangan mereka itu, semangatnya yang dulu sempat layu selama bertahun-tahun,
kini bangkit kembali. "Ding Tao, aku tidak malu untuk mengatakan, bahwa selama ini kemajuan ilmuku tidak ubahnya berjalan di tempat saja.
Tapi sejak pertarungan di antara kita, baru mataku mulai terbuka, jika kau tidak keberatan, bantu aku untuk menguraikan ilmuku lebih jauh lagi.", ujarnya penuh semangat.
"Heh, aku juga. Ding Tao bagaimana jika kita isi hari ini dengan diskusi tentang ilmu kami masing-masing?", sambung Wang Xiaho.
"Baik, bagaimana kalau kita kembali ke pelataran belakang?", jawab Ding Tao dengan bersemangat, terbawa oleh semangat
kedua orang di depannya. Sepanjang hari itu, ketiganya larut dalam pembahasan mengenai ilmu mereka dan kemungkinan-kemungkinan
pengembangannya. Baik yang masih harus dilatih lebih jauh, tapi juga yang bisa segera digunakan. Bagi Wang Xiaho dan
Liu Chun Cao, mereka merasa disegarkan kembali, sudah bertahun-tahun lamanya bagi mereka latihan-latihan yang
dilakukan menjadi rutinitas yang mati. Dengan terbukanya pikiran mereka oleh masukan-masukan Ding Tao, maka
kegairahan yang dulu mereka rasakan saat mulai mempelajari ilmu silat kembali lagi.
Bagi Ding Tao sendiri, dengan keterbukaan Wang Xiaho dan Liu Chun Cao terhadap ilmu mereka, membantunya untuk
menyelami lebih dalam lagi makna dan hakekat dari jurus-jurus milik kedua orang tersebut, membantunya dalam melihat
kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Ketika keesokan harinya mereka memasuki Kota Wuling, ketiganya mengawali perjalanan dengan semangat yang tinggi.
Sebuah tujuan terbentuk dalam benak ketiganya. Bukan berarti Ding Tao tidak merasakan kekuatiran akan nasib Huang
Ying Ying dan keluarga Huang yang lain. Tapi Ding Tao akhirnya menemukan satu pegangan, apapun hasil penyelidikan
mereka hari ini, Ding Tao sudah punya satu tujuan, yaitu bekerja untuk menempatkan dirinya pada posisi di mana dia bisa memastikan tidak ada kejadian seperti yang menimpa pada keluarga Huang. Jika hal itu sudah terjadi, maka diapun ingin
berada pada posisi di mana dia bisa memberikan keadilan pada korban dan meluruskan pelakunya.
Dalam semangat yang meluap ini, Ding Tao jadi semakin paham pula apa yang menyebabkan Liu Chun Cao tidak setuju
dengan Wang Xiaho mengenai pemilihan Wulin Mengzhu. Semakin pula pemuda itu berhati-hati dalam setiap dia berlaku
dan berpikir. Ding Tao berniat untuk menyisakan waktu di setiap harinya untuk kembali merenungi apa-apa yang sudah dia
lakukan dan putuskan, agar jangan sampai dia terjebak pada kehinaan.
Tidak butuh lama bagi mereka bertiga untuk menemukan pengikut keluarga Huang yang berhasil lolos dari bencana. Liu
Chun Cao yang sudah pernah menemukan mereka sebelumnya dengan mudah menemukan mereka kembali. Beberapa di
antara mereka menetap di tempat yang sama, yang sudah berpindah pun, setidaknya Liu Chun Cao sudah memiliki
pegangan di mana harus mulai mencari jejak mereka. Pertemuan yang mengharukan terjadi saat mereka bertemu dengan
Ding Tao. Setelah menghadapi bencana yang mencengkam jantung mereka dan meninggalkan mereka dalam ketakutan. Bertemu
dengan Ding Tao yang mereka kenal selama bertahun-tahun membuat mereka merasakan sedikit kelegaan. Apalagi ketika
Wang Xiaho menceritakan akan kehebatan Ding Tao sekarang ini. Mereka yang merasakan seluruh sendi-sendi kehidupan
mereka runtuh bersamaan dengan runtuhnya keluarga Huang, mendapatkan kekuatan baru.
Perlahan-lahan rombongan Ding Tao menjadi semakin besar, belasan orang sisa keluarga Huang yang mereka temui,
memilih untuk menyertai Ding Tao dalam perjalanannya. Ding Tao merasakan keharuan melihat sikap mereka, seperti anak-
anak ayam yang kehilangan induknya. Tapi hatinya juga semakin kuatir akan nasib Huang Ying Ying dan Huang Ren Fu,
karena sejauh ini mereka yang dia temui tidak ada yang tahu pasti nasib kedua orang itu.
"Tinggal dua orang lagi.", kata Liu Chun Cao.
Ding Tao hanya mengangguk saja tanpa mengatakan apa-apa, jantungnya berdebaran. Apakah akan ada berita yang jelas
dari dua orang yang tersisa ini"
"Inilah tempatnya, jika mereka masih belum pindah tempat.", ujar Liu Chun Cao sambil menunjuk sebuah gang kecil di
samping kedai minuman. "Silahkan paman berjalan lebih dulu.", jawab Ding Tao.
Dengan Liu Chun Cao di depan, rombongan kecil itu bergerak melewati gang-gang yang sempit dan rumah yang
berdesakan. Saat mereka melihat seorang laki-laki sedang duduk berjemur sambil mengurut kaki, merekapun tahu
pencarian mereka hari ini sudah berakhir. Karena wajah orang itu sudah mereka kenal baik. Ding Tao buru-buru maju dan
menyapa orang yang ada di depan.
"Tabib Shao Yong, apa kabar?"
"Ding Tao, engkaukah itu?", ujar laki-laki tua itu sambil bangkit berdiri, cepat-cepat menyambut kedatangan Ding Tao.
"Tabib Shao, syukurlah kaupun lepas dari bencana.", jawab Ding Tao.
"Astaga, Chu Xiang, A Tong, Lu Feng, kalian juga selamat.", ujar Tabib Shao Yong sambil mengucurkan air mata penuh
haru, satu per satu disapanya mereka yang datang bersama Ding Tao.
Belasan anggota keluarga Huang yang selamat dan berketetapan untuk mengikut Ding Tao, disapanya satu per satu. Rumah
yang kecil itu dengan cepat menjadi sesak.
Ding Tao menunggu sampai mereka selesai menumpahkan perasaan mereka yang tertekan selama berhari-hari sejak
kehancuran keluarga Huang. Beberapa kali Ding Tao menghembuskan nafas panjang-panjang, berusaha mengurangi
ketegangan yang menghimpit dadanya. Salah seorang dari mereka melihat itu dan menggamit lengan temannya yang masih
saja bicara. Sebentar saja mereka semua terdiam dan menunduk. Mengikuti pandangan mata mereka, Tabib Shao Yong
berbalik ke arah Ding Tao.
"Anak Ding, apa ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?", tanya Tabib Shao Yong dengan lembut.
"Oh, Tabib Shao", tahukah kau bagaimana dengan keadaan adik"maksudku Nona muda Huang?", terbata Ding Tao
bertanya. Tabib Shao Yong terdiam, dipandanginya wajah Ding Tao lama-lama. Lidahnya terasa kelu. Dengan berat hati dia
mengerahkan tenaga untuk menjawab pendek, ?"sudah meninggal."
Pendek saja apa yang diucapkan Tabib Shao Yong, tapi besar akibatnya. Sebelum tiba di tempat Tabib Shao Yong
menyembunyikan diri, Ding Tao sudah bertemu dan bertanya hal yang sama pada setiap sisa anggota keluarga Huang yang
dia temui. Saat Ding Tao bertanya, mau tidak mau, mereka yang mengikutinya ikut berdebar menunggu jawaban.
Sulit dibayangkan, bagaimana rasanya, dalam sehari harus berulang kali menanyakan satu pertanyaan yang membuat beku
perasaan setiap saat menunggu jawabnya. Saat akhirnya jawaban itu didengar, yang mereka dengar justru jawaban yang
paling dia takutkan. Semua orang diam, semua orang ikut merasakan, ada keinginan untuk menghibur Ding Tao, tapi lidah
mereka pun jadi kelu saat melihat kepedihan yang terpancar dari wajah pemuda itu.
Sakitnya perasaan Ding Tao tidak bisa dibayangkan oleh siapapun saat itu. Bukan hanya sakitnya karena kehilangan gadis
yang dia kasihi. Ding Tao juga dikejar perasaan bersalah, terbayang saat dirinya bersama dengan Murong Yun Hua, di saat Huang Ying Ying dan keluarganya menghadapi bencana, dia justru sedang bersenang-senang, mengkhianati janji setianya.
Tidak ada yang tahu akan hal itu, kecuali diri Ding Tao sendiri.
Angin berhembus meniup debu-debu, berputaran di antara jalan-jalan yang sepi. Di pelataran belasan laki-laki berdiri
termangu, membeku dengan perasaannya sendiri-sendiri. Wajah Ding Tao menyiratkan penderitaan yang tak terkatakan,
Liu Chun Cao, Wang Xiaho dan Tabib Shao Yong tidak mampu mengeluarkan kata-kata untuk menghibur hati pemuda ini.
Setiap dari mereka berpikir akan kesetiaan hati pemuda ini dan betapa dalam kasihnya pada Huang Ying Ying. Sekilas
pandang Ding Tao dapat menangkap apa yang tersirat dari pandang mata mereka, dan hatinya yang pedih semakin pedih,
karena dia bukan seorang kekasih yang sungguh-sungguh setia. Hatinya sudah mendua, ingin dia berteriak mengakui apa
yang telah dia lakukan. Tapi tidak sampai hati dia jika dia harus merusak nama Murong Yun Hua hanya untuk membuat
hatinya sedikit lebih lega.
Seulas senyum pahit berkembang di wajahnya, mungkin ini hukuman yang harus dia pikul, untuk pengkhianatan yang telah
dia lakukan pada Huang Ying Ying. Sekarang, seumur hidup dia akan terus menanggung beban dosa ini dalam hati.
Ding Tao menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan air mata yang sudah hendak tumpah. Dia memejamkan mata dan
mengatur nafas. Perasaannya yang galau ditekannya kuat-kuat.
Perlahan-lahan Ding Tao membuka matanya dan bertanya, "Tabib Shao Yong, bisakah kau ceritakan kejadiannya?"
Tabib Shao Yong terdiam, ragu-ragu, apakah harus dia ceritakan atau tidak. Liu Chun Cao lah yang kemudian berkata,
"Tabib Shao, lebih baik diceritakan saja, apa yang sudah Tabib lihat. Biarlah Ding Tao menilai sendiri keadaannya. Apakah nasib Nona muda Huang sudah dapat dipastikan atau tidak, berdasarkan cerita Tabib Shao."
Liu Chun Cao berpendapat, inilah ujian terakhir bagi Ding Tao, sejak Wang Xiaho berhasil meyakinkan dirinya, Liu Chun Cao menaruh harapan yang besar pada Ding Tao. Tapi inilah saat yang mendebarkan bagi Liu Chun Cao, ujian terakhir bagi Ding Tao, layakkah dia untuk didukung menjadi seorang Wuling Mengzhu. Karena sebagai pimpinan, bukan hanya dibutuhkan
orang yang berperasaan halus, sehingga bisa bersimpati pada mereka yang dipimpinnya, tapi ada saatnya pula seorang
pimpinan harus menunjukkan keteguhan hatinya. Jika seorang pimpinan hanya dipermainkan perasaan, tanpa memiliki
keteguhan hati untuk mengambil keputusan, maka kacaulah barisan.
Tabib Shao Yong memandang Ding Tao, lalu beralih memandang Liu Chun Cao dan Wang Xiaho. Dua orang yang belum dia
kenal, tapi dia lihat cukup akrab dan memperhatikan keadaan Ding Tao. Liu Chun Cao sekali lagi menganggukkan kepala,
mendorong Tabib Shao untuk menceritakan saja apa yang sudah dia lihat.
Akhirnya dengan suara serak, tercekat oleh kesedihan, Tabib Shao mulai bercerita.
Hari itu tidak ada seorangpun dalam keluarga Huang yang menyadari adanya bahaya sedang mengintai keluarga mereka.
Kejutan yang ditimbulkan oleh pengkhianatan Tiong Fa sudah mulai memudar. Kegiatan berlanjut seperti biasa.
Saat malam tiba, penjagaan pun sudah tidak seketat beberapa minggu sebelumnya. Tabib Shao Yong baru saja hendak
beristirahat ketika mulai terdengar jeritan suara disusul bel tanda alarm dipukul bertalu-talu. Mulai dari sejak itu, kekacauan pun meningkat dengan cepat. Rupanya lawan sudah masuk ke dalam kediaman keluarga Huang melalui jalan rahasia. Jalan
rahasia yang seharusnya hanya diketahui oleh orang-orang penting dalam keluarga Huang.
Secara diam-diam, pembunuh-pembunuh ini pun menyebar dan mulai melumpuhkan para penjaga. Saat ada penjaga yang
berhasil melawan sebelum terbunuh dan sempat berteriak mengingatkan penjaga yang lain, lawan sudah berhasil menyebar
ke seluruh penjuru kediaman keluarga Huang.
Sesuai dengan cerita belasan orang sebelumnya, jumlah lawan tidaklah terlalu besar, kira-kira 20-30 orang, mereka terbagi menjadi 6 kelompok.
Salah satunya dipimpin oleh Tiong Fa.
"Tiong Fa" Tabib Shao apa kau yakin Tiong Fa adalah salah satu yang ikut dalam penyerangan malam itu?", tanya Ding Tao
dengan wajah kelam dan tersisip nada bengis penuh amarah dalam pertanyaannya.
Bulu kuduk Tabib Shao Yong mengkirik, mendengar nada suara Ding Tao. Sudah belasan tahun dia mengenal pemuda itu,
sejak pemuda itu masih kanak-kanak hingga dia dewasa, belum pernah Tabib Shao Yong mendengar kemarahan dalam
nada suaranya. Sambil menelan ludah tabib tua itu mengangguk, "Ya", saat itu aku sedang bersembunyi di dekat gedung utama keluarga
Huang. Dekat gedung tempat beristirahat Tuan besar Huang Jin sekeluarga."
"Saat mendengar ada penyerangan, sebisa mungkin aku hendak pergi ke tempat Tuan Besar huang Jin, melihat apakah ada
yang harus kukerjakan di sana sebagai tabib keluarga Huang. Sambil bersembunyi aku perlahan-lahan mencari jalan. Saat
itu aku sedang lewat dekat kamar Nona muda Huang Ying Ying, bersembunyi di taman, di depan kamarnya?", lanjut Tabib
Shao Yong. Untuk sesaat Tabib Shao Yong terdiam, tangannya telrihat sedikit gemetar, terkenang oleh peristiwa malam itu.
"Dan kulihat" Tiong Fa keluar dari kamar Tuan muda Huang Ren Fu yang tidak jauh dari situ, sambil menenteng pedang
yang berlumuran darah. Kemudian muncul seorang tokoh bertopeng yang bertanya pada Tiong Fa.", lanjut Tabib Shao Yong
sambil menutup mata. "Orang bertopeng itu badannya tinggi besar, rambutnya panjang lebat terurai lepas tanpa diikat. Suaranya berat
mengguruh saat dia bertanya pada Tiong Fa.
----------------------------------------
"Sudahkah kau bunuh anak-anak Huang Jin yang menjadi bagianmu?", tanya orang itu.
"Sudah, kecuali yang sulung tidak bisa kutemukan di kamarnya", jawab Tiong Fa.
"Hmph, anaknya yang sulung sedang bertarung bersama beberapa anak buahnya, menghadapi pimpinan pertama. Kau
selesaikan pekerjaanmu di sini. Aku akan pergi membantu mereka.", ujar orang itu.
-----------------------------------------
"Kemudian dengan gerakan yang cepat dan langkah kaki panjang-panjang, orang itu meninggalkan tempat, menuju ke
tempat suara pertarungan yang sedang terjadi dengan sengit. Sesaat kemudian Tiong Fa dan anak buahnya membakar
gedung utama. Aku" aku" tidak berani beranjak dari tempatku bersembunyi. Lama" lama setelah mereka pergi baru aku
berani keluar. Aku pergi membongkar puing-puing yang tersisa" dari setiap kamar kutemukan mayat-mayat yang
terbakar".", Tabib Shao Yong bercerita dengan suara tersendat-sendat, air mata mengembeng di pelupuk matanya.
"Maafkan aku Ding Tao" aku tidak punya keberanian" hanya setelah mereka pergi baru aku berani keluar" terlalu lambat
untuk menolong seorang pun. Mereka semua sudah hangus terbakar?", dengan suara lirih Tabib Tua itu jatuh bersimpuh di
depan Ding Tao, air matanya mengalir tanpa bisa dibendung lagi. Ding Tao berlutut di sebelahnya, menepuk-nepuk pundak
Tabib Shao Yong, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Apa artinya kata-kata penghiburan, saat kesedihan datang, saat hati dipenuhi beban"
Belasan orang laki-laki dewasa yang pantang meneteskan air mata, tapi kali ini, tenggorokan mereka pun tercekat, ingin
menangis, ikut merasakan kesedihan yang ada, meski mata mereka tetap kering dan pandang mata mereka dingin tanpa
menyiratkan perasaan apa pun.
Cukup lama mereka terdiam dan hanya terdengar isakan Tabib Shao Yong yang meratapi ketidak mampuannya. Tentu saja
tidak ada seorangpun dari mereka yang menyalahkan tabib itu. Pada dasarnya Tabib Shao Yong memang bukan orang
persilatan, Tabib Shao Yong hanya seorang tabib. Beda dengan Tabib Dewa yang selain pandai ilmu pengobatan, ahli juga
dalam ilmu silat. Saat isak tangis Tabib Shao Yong berkurang, Ding Tao berkata, "Tabib Shao, kami semua mengerti keadaanmu, tidak ada
yang menyalahkanmu. Karena itu, jangan pula hatimu menuduh diri sendiri terus menerus."
Tersenyum lemah Tabib Shao menjawab, "Aku mengerti, tapi tetap saja hati ini merasa malu dan sedih. Pikiranku
mengatakan hal yang sama, sudah pasti dengan kemampuanku dalam ilmu bela diri, tidak ada yang dapat kulakukan
kecuali bersembunyi. Tapi hati ini tidak bisa menipu, ketakutan yang mencengkam, ketakutan yang timbul karena
keegoisan"." Ding Tao tersenyum balik dan menjawab, "Kita semua pernah berbuat salah. Tapi siauwtee bersyukur Tabib Shao masih
hidup sampai sekarang. Tabib Shao, siauwtee mau bertanya, dari cerita Tabib Shao, Tabib Shao tidak melihat sendiri
terbunuhnya anak-anak Tuan besar Huang Jin, melainkan hanya mendengar dari perkataan Tiong Fa semata. Benarkah
demikian?" Tabib Shao Yong berpikir sejenak sambil mengusap bekas-bekas air mata di pipinya dengan lengan baju, "Setelah semua
berakhir, aku masih menyempatkan diri bersama dengan beberapa warga dan aparat di kota Wuling, menyingkirkan puing-
puing rumah yang terbakar dan mencari-cari orang di bawahnya.
"Di kamar Nona muda Huang, kutemukan sesosok tubuh wanita seumuran dengan Nona muda Huang, wajahnya tidak bisa
dikenali lagi karena sudah hangus terbakar. Tapi perawakannya sungguh mirip dengan Nona muda Huang. Demikian juga di
tiap-tiap kamar yang lain. Memang keadaan mayat mereka sudah hangus terbakar hingga sulit dipastikan. Namun jika
seluruh potongan disatukan, aku sampai pada kesimpulan bahwa memang demikianlah keadaannya."
Ding Tao menghela nafas, dipalingkannya wajah ke luar, berpikir, adakah kemungkinan bahwa Huang Ying Ying masih
hidup" Ataukah dia hanya mempermainkan diri sendiri dengan mengangankan hal itu"
"Tabib Shao" setelah kejadian ini, apa rencana Tabib Shao untuk kehidupan Tabib Shao selanjutnya?", tanya Ding Tao,
mengalihkan pikirannya dari ingatan akan Huang Ying Ying dan nasib keluarga Huang.
Tabib Shao Yong menoleh pada mereka yang mengikuti Ding Tao, "Kalian, bagaimana dengan kalian, apa rencana kalian?"
Mereka yang ditanya saling berpandangan, lalu dengan sedikit ragu-ragu salah seorang dari mereka menjawab, "Rencana
kami sebenarnya adalah mengikuti Ding Tao, kami dengar dari Tuan Wang Xiaho dan Pendeta Liu Chun Cao, Ding Tao
berniat untuk ikut maju dalam pemilihan Wulin Mengzhu. Kami ingin menyumbangkan sedikit yang kami bisa untuk
mendukung Ding Tao dalam usahanya."
Terkejut Tabib Shao Yong berbalik melihat Ding Tao, "Anak Ding, benarkah itu?"
Ding Tao tersipu malu mendengar pertanyaan itu, tapi hendak menghindar juga tidak bisa, dia sudah menyanggupi
permintaan Wang Xiaho dan Liu Chun Cao. Untuk berbohong tentu saja dia tidak bisa. Dengan berat hati dia pun
menganggukkan kepala. "Anak Ding", bagaimana dengan luka dalam tubuhmu?"
"Sudah sembuh Tabib Shao."
"Benarkah" Bagaimanakah terjadinya?", tanya Tabib Shao dengan heran.
Sesaat lamanya Ding Tao tidak tahu harus menjawab apa, dia melihat berkeliling dan sadar bahwa belasan orang bekas
pengikut keluarga Huang sedang melihat ke arahnya, tertarik untuk mendengar penjelasannya. Sadar bahwa dia tidak bisa
mengelak, akhirnya Ding Tao menceritakan dengan singkat, bagaimana dia mendapatkan pinjaman sebuah kitab dari
keluarga Murong. Usahanya untuk mempelajari isi kitab itu yang berujung pada penguasaannya akan dua jenis hawa murni
dalam tubuhnya. Meskipun Ding Tao hanya menceritakan garis besar dari pengalamannya saja, itu pun sudah mengundang decak kagum dari
mereka yang mendengarnya. Belasan orang yang berkeinginan menjadi pengikut Ding Tao, semakin yakin dengan
keputusan mereka itu. Selain itu sekilas mereka menangkap ada sesuatu yang disembunyikan Ding Tao tentang hubungannya dengan keluarga
Murong. Satu kitab yang penting, mengapa bisa dipinjamkan dengan mudah pada seseorang yang baru dikenal" Tentu ada
sesuatu dibalik itu, namun melihat Ding Tao tidak bersedia menceritakannya, mereka pun tidak mendesak. Apalagi keluarga Murong terdiri dari dua orang gadis muda.
Mereka yang ada di sana, semuanya laki-laki, sehingga dengan mudah menerima kemungkinan adanya hubungan antara
Ding Tao dengan salah seorang gadis dari keluarga Murong, apalagi Ding Tao adalah pemuda yang belum menikah. Memang
samar-samar Ding Tao menyinggung akan hubungannya dengan Huang Ying Ying, tapi mereka hanya bisa menggelengkan
kepala dalam hati, betapa pusingnya berurusan dengan cinta. Ada pula yang diam-diam justru ingin pula bisa merasakan
keberuntungan Ding Tao, bisa mendapatkan hati beberapa orang gadis.
"Jika begitu Anak Ding Tao, jika kau mengijinkan, biarlah aku ikut membantumu pula dalam usahamu itu. Sedikit
kebisaanku dalam pengobatan, tentu akan dapat terpakai pula.", ujar Tabib Shao Yong setelah mendengarkan cerita Ding
Tao. Ucapan Tabib Shao Yong, disambut dengan sorakan dari belasan orang yang sudah lebih dahulu menyatakan akan menjadi
pengikut Ding Tao. "Bagus Tabib Shao !"
"Haha, begini baru seru!"
"Tabib Shao, kami mengandalkanmu!"
Ding Tao tersenyum, meskipun senyuman itu terasa dipaksakan. Saat sorakan sudah mulai mereda dengan bersungguh-
sungguh Ding Tao bertanya pada Tabib Shao Yong, pertanyaan yang sama yang dia ajukan pada sisa-sisa anggota keluarga
Huang yang lain. "Tabib Shao, apakah kau sudah pikirkan baik-baik keputusanmu itu" Kau tahu, tidak seperti keluarga Huang, aku tidak
memiliki apa-apa kecuali sedikit kemampuan untuk bermain pedang. Bagaimana dengan penghidupan kalian nantinya?"
Dengan cepat Tabib Shao Yong menjawab, "Hal itu sudah kupikirkan pula Anak Ding, sebagai seorang tabib, aku justru bisa membantumu pula dalam hal itu, aku bisa membuka praktek pengobatan yang penghasilannya dipakai untuk membiayai
hidup kita semua. Dengan belasan orang yang ada di sini, kita juga bisa memulai mengumpulkan tanaman obat-obatan lalu
sekaligus membuka toko obat-obatan."
Mendengar rencana Tabib Shao Yong, mereka jadi bersemangat, kenyataannya memang pertanyaan Ding Tao cukup


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghantui mereka, karena meskipun pertanyaan Ding Tao tidak mempengaruhi keinginan mereka untuk menjadi pengikut
Ding Tao, tapi pertanyaan Ding Tao adalah pertanyaan yang tidak bisa dihindari. Meskipun mungkin pada awal-awalnya
mereka bisa saja mendapat bantuan dari pendukung Ding Tao yang sudah mapan seperti Wang Xiaho atau Chen Wuxi,
tentu tidak mungkin jika untuk seterusnya mereka menumpang pada orang lain. Wang Xiaho sudah menawarkan mereka
untuk ikut bergabung dalam biro pengawalan miliknya, namun tetap saja bukan keputusan yang bisa diterima dengan hati
yang lapang, dalam hati kecil mereka ingin membentuk satu kelompok yang mandiri.
"Tabib Shao, itu sungguh rencana yang bagus. Mengapa tidak kaulakukan saja bersama dengan saudara-saudara yang lain
saja" Kalian tidak perlu menjadi pengikutku. Bukankah rencana itu lebih baik daripada kalian ikut terjun dalam carut
marutnya dunia persilatan" Mulailah hidup yang baru dan tenang", bujuk Ding Tao yang tiba-tiba melihat jalan yang lebih baik bagi mereka, lebih baik daripada mengikuti dirinya yang tidak bisa memberikan apa-apa bagi mereka.
"Anak Ding?", menghela nafas Tabib Shao berusaha merangkum apa yang dia rasakan, "Anak Ding, mengertilah,
mengikutimu adalah satu-satunya jalan bagiku untuk memberi ketenangan pada hati nuraniku. Hatiku merasa bersalah,
setiap kali teringat betapa aku tidak bisa berbuat apa-apa saat seluruh isi keluarga Huang dibantai orang. Selama ini aku mendapat penghidupan dari keluarga Huang, tapi saat bencana datang ternyata aku tidak dapat berbuat apa-apa."
Mengambil nafas sejenak dia melanjutkan, "Aku percaya jika engkau berhasil menjadi Wulin Mengzhu, bukan hanya engkau
akan mengusahakan keadilan bagi keluarga Huang tapi juga kau akan mengusahakan dunia persilatan yang lebih baik.
Dengan membantumu, dengan menjadi pengikutmu, aku ingin ikut ambil bagian dalam semuanya itu. Menebus kediamanku
saat terjadinya pembantaian di depan mataku tanpa aku dapat berbuat apa-apa."
Ketika dia melihat Ding Tao hendak menjawab, cepat-cepat Tabib Shao Yong menambahkan, "Jangan cegah aku lagi Anak
Ding, tekadku sudah bulat. Tidak tahukah dirimu, setiap malam kuhabiskan, berpikir untuk membunuh diri oleh karena rasa malu. Memang saat melihat pembunuhan-pembunuhan itu, tubuhku dicengkam oleh rasa takut. Tapi setelah akhirnya rasa
takut itu hilang, tinggallah rasa malu, malu karena tidak berbuat sesuatu."
Seorang yang lain menyahuti, "Itu benar sekali Ding Tao, hal itu juga aku rasakan dan kurasa setiap saudara yang ada di sini merasakannya pula. Itu sebabnya kami berketetapan hati untuk menjadi pengikutmu. Jika kami harus kehilangan
nyawa oleh karena keputusan ini, maka kami dapat mati dengan senyum lega. Setidaknya kami mati dalam melakukan
sesuatu yang baik daripada kami hidup diliputi rasa malu karena tidak bisa membalas budi keluarga Huang terhadap diri
kami." Gumaman membenarkan pernyataan kedua orang itu pun bersahut-sahutan terdengar dari belasan orang yang lain.
Mendengar itu tentu saja Ding Tao tidak sampai hati untuk menolak keinginan mereka.
Menghela nafas dia bertanya, "Bagaimana dengan anak cabang keluarga Huang yang ada di kota lain?"
Salah seorang di antara mereka mendengus dengan marah, "Huh! Berita ini tersebar sudah begitu lama dan sampai
sekarang tidak ada seorangpun di antara mereka yang muncul untuk menengok keadaan kita. Kaulah yang lebih dahulu
datang Ding Tao dan setelah mendengar ceritamu, kami pun bisa mengerti mengapa kedatanganmu tertunda. Bukan karena
kau tidak peduli atau takut, tapi karena memang kau belum mendengar berita itu."
"Ya benar, jika mereka yang di cabang masih peduli dengan keadaan keluarga Huang yang menjadi tempat mereka
bergantung selama ini, tentu sudah ada yang menengok. Kenyataannya tidak seorang pun ada yang datang."
Alis Ding Tao berkerut, "Apakah terjadi sesuatu juga dengan anak cabang keluarga Huang?"
Liu Chun Cao menggeleng dan menjawab, "Tidak kami dengar sedikitpu tentang hal itu. Jika memang ada kejadian
demikian, tentu beritanya akan menyebar cukup cepat, menilik pusat keluarga Huang baru saja diserang habis. Serangan
susulan tentu akan menarik perhatian orang banyak. Sebenarnya aku sendiri juga cukup heran dengan kejadian ini."
"Tidak ada yang perlu diherankan, kukira mereka semua lupa daratan dan tiba-tiba menjadi raja kecil di tempatnya masing-masing", desis seseorang dengan kesal.
"Hmmm" kukira tentang hal itu perlu dipastikan lebih dulu.", ujar Ding Tao perlahan.
Menoleh pada Liu Chun Cao dia bertanya, "Pendeta Liu, tinggal satu orang terakhir, apakah sebaiknya kita pergi ke sana
hari ini juga?" "Kukira lebih baik begitu, dengan demikian malam ini tidak ada lagi ganjalan dan kita secepatnya bisa mulai membuat
rencana, apa yang akan kita lakukan berikutnya", jawab Liu Chun Cao.
"Baiklah, mari, silahkan Pendeta Liu yang menunjukkan jalan. Saudara-saudara yang lain boleh ikut atau mungkin hendak
menunggu di sini?", kata Ding Tao sambil menengok ke belasan pengikutnya yang baru.
"Kami akan ikut denganmu Anak Ding, kurasa kami semua ingin melihat saudara lain yang berhasil selamat dari
pembantaian malam itu.", ujar Tabib Shao Yong mewakili teman-teman yang lain, didukung dengan anggukan kepala oleh
mereka semua. "Baiklah, kita pergi beramai-ramai.", jawab Ding Tao pendek.
Hari sudah siang, matahari sudah mulai condong ke barat. Perut beberapa orang sudah mulai lapar, tapi semangat mereka
masih berkobar, meskipun matahati panas membakar. Melewati gang-gang sempit Liu Chun Cao memimpin mereka menuju
keluar kota Wuling, ke sebuah desa kecil di barat kota Wuling.
"Pendeta Liu, apakah dia tinggal di luar kota?", tanya Ding Tao.
"Ya, saat itu kebetulan saja aku menemukannya. Baru saja selesai menyelidiki urusan di Wuling, aku dan Saudara Tong Fu
ingin mengambil jalan sedikit memutar. Saat kami beristirahat di sebuah kedai teh kecil, kami bertemu dengannya. Saudara Tong Fu yang melihat bekas luka terbakar di lengan orang itu bertanya sambil lalu. Ketika dia nampak ketakutan, kami pun mulai bertanya lebih teliti. Mungkin karena baru saja mengadakan penyelidikan di Wuling hingga pikiran kami jadi lebih
mudah curiga daripada biasanya.", jawab Liu Chun Cao menceritakan pertemuannya dengan orang terakhir yang akan
mereka temui hari ini. "Ah.. paman berdua sungguh teliti.", puji Ding Tao.
"Jika mereka tidak terkenal dengan ketelitiannya tentu Guru Chen tidak akan meminta bantuan mereka berdua untuk
mencari informasi ke kota Wuling", sahut Wang Xiaho.
"Hmph, jangan terlalu memuji, aku tahu kau dari tadi mengincar arak simpananku", sahut Liu Chun Cao sambil mengerling
ke arah Wang Xiaho, disambut tawa oleh yang bersangkutan.
Ding Tao tersenyum melihat tingkah laku kedua orang tua itu. Sesungguhnya mereka semua mengkhawatirkan keadaan
Ding Tao. Pukulan yang dirasakannya akibat bencana yang menimpa Huang Ying Ying tentu tidaklah kecil. Cerita Tabib Shao Yong semakin membuat mereka yakin bahwa nona muda itu tidak selamat dari pembantaian yang terjadi malam itu.
Pertemuan dengan orang terakhir yang mungkin bisa memberikan mereka informasi lebih tentang nasib nona muda itu,
terasa seperti menunggu ketukan palu dari hakim, setelah sebelumnya sang hakim menyatakan keputusannya.
Itu sebabnya sepanjang perjalanan, ada saja yang mencoba membuat suasana jadi lebih ringan.
Mendekati kedai kecil tempat Liu Chun Cao menemukan orang yang mereka cari, Liu Chun Cao bertanya pada Ding Tao,
"Hari sudah siang, bagaimana kalau kita beristirahat sebentar dan mengisi perut sejenak?"
Menengok ke arah yang lain Ding Tao jatuh kasihan dan menjawab, "Baiklah, mari kita beristirahat sebentar."
Kedai kecil itu segera saja jadi penuh oleh kedatangan mereka, beberapa orang tidak mendapatkan tempat duduk dan
memilih untuk mencari tempat yang teduh di luar sambil menunggu mie dan the pesanan mereka. Ding Tao melihat
semuanya itu dengan hati yang tidak enak. Ingin rasanya dia ikut duduk di luar, tapi dia sadar bahwa tindakannya itu justru akan membuat yang berada di dalam merasa sungkan. Bisa-bisa mereka semua akan duduk di luar, bahkan Tabib Shao
Yong yang tertua dan terlemah di antara mereka.
Oleh karenanya dengan mengeraskan hati dia duduk juga di dalam. Setelah itu pun, persoalan belum selesai. Hendak
makan dan minum tentu harus membayar, bagusnya selama dalam perjalanannya Ding Tao hidup berhemat, bekal uang
yang didapatnya dari Huang Ren Fu hampir-hampir tak tersentuh.
Tapi untuk memastikan bahwa uangnya cukup, diam-diam Ding Tao membuka kantung uangnya dan menghitung.
Gerakan Ding Tao itu tentu tidak lepas dari mata Wang Xiaho dan juga yang lain. Wang Xiaho pelan-pelan menepuk pundak
pemuda itu dan sambil tersenyum berbisik, "Hee" makan kita kali ini, biar aku saja yang membayar."
Tersipu malu Ding Tao sadar perbuatannya diperhatikan orang, cepat-cepat dia menjawab, "Ah, jangan paman, bukankah
mereka sudah menjadi pengikutku, biarlah aku yang membayar makanan kali ini. Masih ada cukup uang untuk membayar,
tidak ada masalah. Sungguh tidak ada masalah."
Wang Xiaho hendak membujuk pemuda itu untuk menerima saja pemberiannya, namun pengikut baru Ding Tao rupanya
cukup cepat tanggap pula. Ketika ada yang melihat perbuatan Ding Tao memeriksa kantung uangnya, orang itu dengan
cepat menggamit bahu temannya lalu berbisik. Tidak lama kemudian, beberapa orang di sekitarnya mengumpulkan uang
masing-masing. Uang yang terkumpul itu dibawanya pada Ding Tao.
"Ding Tao, kita sudah berniat untuk bersumpah janji menjadi satu saudara, segolongan satu perkumpulan. Soal makan dan
minum, soal penghidupan tentu kita tanggung bersama pula, ini, ambillah saat ini kita hanya mengumpulkan seadanya saja.
Untuk selanjutnya mungkin kau perlu memilih seseorang untuk menjadi bendahara dan mengurus soal keuangan kita.",
ujarnya sambil mengulurkan sekantung kecil penuh uang.
Tentu saja berat bagi Ding Tao untuk menerima uang itu, tapi ketika dia membuka mulut hendak mengucap, cepat Wang
Xiaho memotong, "Ding Tao, jangan kau tolak pemberian itu. Jika kau menolak, sama saja kau meragukan kesungguhan
mereka, meragukan kehormatan mereka, dan itu akan menyakitkan hati mereka."
Akhirnya dengan terharu Ding Tao berdiri lalu membungkuk pada semua orang yang mengikutinya itu, "Terima kasih
saudara sekalian, paman sekalian, kepercayaan kalian padaku tidak akan aku sia-siakan. Masalah keuangan biarlah
kuserahkan pada Tabib Shao Yong saja. Tabib Shao, tolong kau pegang uang kas kita ini."
Ding Tao pun mengulurkan kantung uang itu dan kantung uangnya sendiri pada Tabib Shao Yong. Tabib Shao Yong yang
tidak menduga jadi tergopoh-gopoh menerimanya.
"Wah, apakah tidak sebaiknya kau simpan sendiri saja Ding Tao?"
"Tidak Tabib Shao, lebih baik Tabib Shao Yong yang memegangnya, bukankah tadi pun Tabib Shao sudah memiliki rencana
untuk membuka usaha yang nantinya akan jadi sumber pemasukan kita" Nah, kukira sudah jelas di antara kita semua Tabib
Shao Yong yang paling tepat untuk mengurus soal keuangan perkumpulan kita ini", ujar Ding Tao sambil kembali
mengangsurkan kantung-kantung uang tersebut.
"Hmm" baiklah kalau begitu, aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk mengatur keuangan kita.", ujar Tabib Shao sambil
menghembuskan nafas panjang-panjang.
Beberapa orang yang berada di dekat Tabib Shao menepuk-nepuk pundaknya memberi selamat.
Melihat suasana yang baik, Wang Xiaho mengambil keputusan, dia berdiri dan mengangsurkan kantung uangnya pada Tabib
Shao Yong yang dengan heran menerima uang itu.
"Ketua Wang apakah ini maksudnya?", tanya Tabib Shao Yong.
"Paman Wang Xiaho, jangan begitu, paman membuatku merasa semakin sungkan saja. Persahabatan paman jauh lebih
penting dari uang itu", ujar Ding Tao berusaha mengembalikan uang itu.
Tapi Wang Xiaho mengulapkan tangan, memberi tanda pada Tabib Shao Yong agar uang itu tetap dia pegang. Kemudian
dengan bersungguh-sungguh dia berbalik lalu membungkuk hormat pada Ding Tao.
"Sudah sejak melihat kemampuanmu yang mampu mengalahkan aku dan Guru Chen bersama dua orang muridnya dengan
satu jurus saja, aku memiliki keinginan untuk mendukung dirimu menjadi Wulin Mengzhu. Hari ini aku melihat ada belasan
orang yang memiliki keinginan yang sama, telah mengambil keputusan untuk bersumpah setia, mendirikan satu
perkumpulan di bawah pimpinanmu. Aku Wang Xiaho, jika kau tidak memandang rendah diriku, ingin memohon agar boleh
diterima pula dalam perkumpulanmu.", ujar tokoh tua itu sambil membungkuk hormat, setelah selesai berkata-kata tidak
juga dia menegakkan badannya melainkan menunggu jawaban dari Ding Tao.
Sebelum Ding Tao sempat menjawab, kejutan lain sudah menunggu dirinya. Liu Chun Cao yang sejak tadi diam saja, tiba-
tiba ikut berdiri dan membungkuk hormat pada Ding Tao, "Orang she Liu merasa ketua Ding memegang nilai-nilai yang
sejalan, memiliki keinginan yang sama. Dan akan bersumpah setia, selama Ketua Ding tetap teguh dalam kebenaran dan
kehormatan." Melihat itu, belasan orang yang lainnya bersama-sama dengan bersungguh-sungguh mengucapkan sumpah yang serupa.
Ding Tao berdiri di tengah-tengah mereka, merasa canggung dengan keadaan saat itu, namun meresapi kesungguhan
mereka, pemuda itu merasa terharu.
"Ding Tao tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan kalian semua. Aku menerima keinginan kalian dan berjanji akan
berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengecewakan harapan kalian."
Seusai mengucapkan itu, Ding Tao membungkuk dengan hormat ke empat penjuru, mengangkat cangkir teh di tangannya
kemudian dengan hikmat meminumnya, diikuti oleh yang lainnya. Meskipun hanya dengan teh dan diadakan di sebuah
kedai kecil di pinggir jalan, tanpa upacara dan kata pengantar yang panjang, segala sesuatunya berjalan dengan khidmat
dan sungguh-sungguh. "Saudara-saudara, silahkan duduk semua.", ujar Ding Tao dengan perlahan namun tegas, menutup mata terhadap pemilik
kedai yang menyaksikan tingkah laku mereka dengan mulut terbuka.
Sesuatu yang tidak pada tempatnya sudah sewajarnya bila jadi terasa lucu dan konyol. Namun melihat kesungguhan
mereka, mau tidak mau pemilik kedai teh itu pun jadi terdiam.
Sudah kepalang basah, Ding Tao sadar saat ini sudah tidak mungkin lagi mundur dari jalan yang dipilih bagi dirinya oleh orang-orang di sekitarnya. Jika dia harus menjadi ketua dari sebuah perkumpulan, maka dia berniat untuk melakukannya
dengan sebaik mungkin. Pekerjaan yang setengah-setengah hanya akan mempersulit banyak pihak.
Ketika beberapa orang yang tidak mendapatkan tempat duduk hendak kembali keluar, Ding Tao cepat-cepat mencegah
mereka, "Jangan terlalu jauh, yang tidak mendapat tempat duduk, untuk sementara bisa berdiri di dalam."
Mendengar itu serentak mereka bergerak mendekat dan perhatian pun tertuju pada Ding Tao. Ketika Ding Tao melihat ke
sekelilingnya dan mendapati wajah-wajah yang serius dan bersemangat, semangatnya jadi ikut bangkit. Meskipun bayangan
kesedihan masih ada dalam hatinya, namun kesedihan itu tidak sampai membuat dirinya beku, tidak mampu untuk berpikir
dan bertindak. Sejenak dia berpikir, kemudian dia pun menyampaikan apa yang ada dalam benaknya.
"Saudara sekalian, kita sudah sepenuh hati untuk membentuk satu perkumpulan. Sebuah organisasi, tentunya harus
memiliki satu tujuan dan satu semangat yang sama jika kita menginginkan organisasi itu menjadi organisasi yang kuat. Jika sebuah organisasi tidak memiliki tujuan yang jelas, hanya berdasarkan pada arahan pemimpinnya, maka akan ada
kecenderungan organisasi itu semata-mata menjadi perpanjangan tangan dari ambisi pribadi dari ketuanya.", ujar Ding Tao membuka penjelasannya.
"Dan siauwtee tidak menginginkan organisasi semacam itu. Di saat yang sama, siauwtee juga tidak menginginkan untuk
menjadi ketua dari satu organisasi yang tujuannya tidak sejalan dengan pendirianku pribadi."
Ding Tao berhenti sejenak dan melihat ke sekelilingnya, mencoba meraba reaksi mereka yang mendengarkan. Ketika dilihat
setiap orang masih mendengarkan dengan seksama, kalaupun ada beberapa yang nampak sedikit bingung ke mana arah
pembicaraan Ding Tao, tapi tidak ada tanda-tanda ketidak sukaan.
"Karena itu pada awal pendirian organisasi baru kita, yang pertama hendak aku tegaskan adalah pendirianku, prinsip dasar dari organisasi yang kita bentuk dan tujuannya. Bila nanti ada yang merasa tidak setuju pada prinsip dasar dan tujuan dari organisasi ini, janganlah malu atau segan untuk mengundurkan diri. Hal itu lebih baik daripada disimpan dalam hati,
kemudian menjadi batu sandungan di kemudian hari."
Beberapa wajah yang tadi tampak ragu dan bingung, sekarang mengangguk-anggukkan kepala. Tapi justru setelah mereka
paham maksud perkataan Ding Tao, baru mulailah muncul pertanyaan dan keraguan dalam hati mereka.
Apa yang ada dalam pikiran Ding Tao saat ini" Tujuan dan prinsip dasar apa yang hendak ia bangun di atas organisasi yang baru mereka dirikan ini" Bagaimana jika apa yang diserukan Ding Tao nanti tidak sesuai dengan keinginan mereka"
"Yang pertama, organisasi ini didirikan dengan tujuan untuk menciptakan keadaan yang damai dalam dunia persilatan. Hal
ini dilakukan dengan cara, melindungi yang lemah, menegakkan kebenaran dan memberikan perlindungan bagi yang
membutuhkan. Prinsip dasarnya adalah pengampunan, kebenaran dan kehormatan, dalam upayanya mencapai tujuan,
prinsip-prinsip dasar ini tidak boleh dilanggar."
Pada awalnya ucapan Ding Tao itu dianggap biasa. Tidak ada yang aneh atau berbeda dengan ucapan-ucapan tokoh dunia
persilatan pada umumnya. Tapi setelah kata-kata itu mulai meresap, baru muncul pertanyaan-pertanyaan dalam benak
pendengarnya. Hanya Liu Chun Cao dan Tabib Shao Yong yang tampaknya mampu menangkap maksud Ding Tao dan
menyetujuinya sepenuh hati.
Wang Xiaho sedikit banyak menangkap maksud Ding Tao, namun dia merasakan sedikit ganjalan dalam penerimaannya.
Meskipun dalam hatinya, sebagai orang yang sudah berumur dia dapat menerima pemikiran Ding Tao itu. Hanya saja,
tampaknya akan ada perbedaan antara jalan yang dipilih Ding Tao dengan jalan yang biasa diambil oleh orang-orang dalam
dunia persilatan. Ketika Wang Xiaho melihat beberapa orang yang lain juga merasakan ganjalan terhadap pernyataan Ding Tao itu, Wang
Xiaho memutuskan untuk menjadi perantara bagi mereka, "Ding Tao, kukira secara umum, kita semua setuju dan sejalan
dengan apa yang kau ungkapkan. Hanya saja, kata pengampunan mungkin terasa sedikit janggal bagi kita orang persilatan.
Apakah maksudmu para pembuat onar akan diberikan kesempatan kedua" Bagaimana dengan pelaku kejahatan besar
seperti, pembantaian atas keluarga Huang?"
Ding Tao menghela nafas, dia sadar saat itu setiap orang di dalam kedai makan itu sedang menantikan jawaban darinya.
Pada dasarnya Ding Tao tidak menginginkan kedudukan, oleh kerenanya tidak berat beban dalam diri Ding Tao untuk
mengatakan apa yang ada dalam hatinya.
"Memang itu yang ada dalam pikiran siauwtee, tapi tentu saja, berat ringannya kejahatan, latar belakang, alasan mereka
melakukan kejahatan, semuanya harus ikut menjadi bahan pertimbangan. Bila pelaku pembunuhan keluarga Huang
misalnya, melakukan pembantaian itu karena tekanan dari pihak lain. Tentu hukuman yang diberikan akan berbeda dengan
apabila dia melakukannya hanya karena keserakahan semata", jawab Ding Tao atas pertanyaan Wang Xiaho.
Mendengar jawaban Ding Tao mulailah terdengar bisik-bisik tidak puas di antara mereka yang tadinya dengan bersemangat
bersumpah setia untuk mengikut dan mendukung Ding Tao.
Wang Xiaho melirik ke arah Liu Chun Cao, dilihatnya pendeta itu sedikit mengangguk saat dia melihat Wang Xiaho melirik ke arah dirinya.
Wang Xiaho pun kembali bertanya pada Ding Tao, "Ding Tao, jika seseorang membunuh, bukankah adil jika kita balas
membunuhnya?" "Jika kemudian, saudara atau sahabat dari orang yang kita bunuh menggunakan penalaran yang sama, maka sampai kapan
bunuh membunuh itu akan berakhir?", jawab Ding Tao.
"Jika demikian di manakah letaknya keadilan?", tanya Wang Xiaho.
"Jika berbicara keadilan, maka pertanyaannya, siapakah yang berhak mengadili" Adakah di antara kita yang tidak pernah
berbuat kesalahan" Dalam dunia di mana kekerasan sudah menjadi bagian dari kehidupan kita, ada berapa orang yang
tangannya bersih dari kekerasan" Yang pasti bukanlah diriku, baru beberapa bulan yang lalu belasan nyawa orang melayang karena ulahku."
Mereka sudah mendengar tentang pertarungan Ding Tao dengan kelompok Fu Tsun dan Laba-laba kaki tujuh beberapa
bulan yang lalu, sehingga cepat saja salah seorang dari mereka menjawab, "Tidak bisa disamakan, waktu itu kau
membunuh dalam upaya membela diri."
Ding Tao tersenyum, "Setiap pembunuhan apapun alasannya, adalah tindakan yang menghilangkan nyawa sesama.
Siauwtee masih muda, harus mengakui bahwa tentang kebenaran, kehormatan, keadilan, banyak hal yang tidak bisa
kupahami. Namun dari sekilas pengalaman yang sudah siauwtee rasakan, ada satu keinginan untuk melihat dunia persilatan
yang berbeda, bukan tempat yang dibayangi dendam dan kekerasan."
"Karena itu, dirimu memilih untuk memberi kelonggaran pada bakal lawanmu?"
"Kurang lebih begitu, selain itu terkadang siauwtee merasa, banyak kejadian di mana, seandainya saja situasinya sedikit berbeda. Seandainya saja ada orang yang mau mencoba mengerti. Kebanyakan dari mereka yang kita katakan sebagai iblis,
mungkin tidak sampai menjadi iblis", seulas senyuman mekar di wajah Ding Tao, teringat percakapannya Sepasang Iblis
Muka Giok. Ding Tao mengedarkan pandangan matanya ke orang-orang yang ada di sekitarnya, dia melihat ada beberapa orang yang
tampak tidak puas dengan pandangannya, sebagian yang lain ada yang termenung memikirkan ucapannya, ada pula yang
nampak mendukung pandangannya. Di antara mereka yang mendukung pandangannya adalah Tabib Shao Yong, Liu Chun
Cao dan Wang Xiaho. Melihat mereka mendukung dirinya Ding Tao merasa berbesar hati.
Sekali lagi dia mengedarkan pandangan, ditatapnya tiap-tiap orang, kemudian dia berkata, "Apa artinya kemenangan, apa
artinya kemuliaan, jika kita harus hidup saling membenci, dihantui dendam yang berlanjut sampai keturunan-keturunan
yang berikutnya?" "Kehormatan, keadilan, kebenaran, adalah nilai-nilai yang patut diperjuangkan demi menciptakan tatanan masyarakat yang
harmonis, penuh kedamaian, kuat dan maju. Suatu masa depan yang lebih baik bagi generasi yang selanjutnya. Tapi jika
atas nama kehormatan, keadilan dan kebenaran kemudian manusia saling bunuh, menanamkan dendam turun temurun.
Bukankah perlu dipertanyakan, apakah tidak terjadi kesalahan dalam mengartikan nilai-nilai yang sedang diperjuangkan?"
Ding Tao memandangi mereka yang sedang mendengarkan uraiannya, "Memang benar, akan ada pihak-pihak yang tidak
bersandar pada kebenaran dan kehormatan. Dan adalah tugas seorang pendekar untuk menentang kejahatan mereka. Tapi
tujuannya adalah menghentikan proses perusakan tatanan masyarakat yang ada, bukan justru menambah kekacauan
dengan tindakan balas dendam."
"Lalu sakit hati ini, apakah tidak akan dibalaskan?", tanya seseorang dengan nada sengit.
"Seseorang bisa dikatakan pahlawan jika tindakannya bukan semata-mata untuk memuaskan keinginan hatinya sendiri,
melainkan untuk mencapai tujuan yang lebih besar bagi kemaslahatan banyak orang."
Orang yang bertanya itu berdiri dari tempat duduknya, pandang matanya menyorotkan kekesalan, bahkan mungkin
kebencian, dengan kemarahan yang ditekan dia berkata, "Hmph" perkataanmu terlampau tinggi, kukira aku tidak sesuai
berada di sini. Maafkan aku Ding Tao, kukira kau tak ada bedanya dengan orang-orang di anak cabang keluarga Huang."
"Kau hanya bisa menutupi kepengecutanmu dengan kata-kata yang indah! Aku pergi!"
Selesai bicara, tanpa menunggu jawaban dari Ding Tao, orang itu pergi meninggalkan kedai teh itu, berjalan kembali ke
arah kota Wuling. Mengikuti kepergian orang itu, beberapa orang yang lain ikut berdiri, ada yang dengan ragu-ragu, tapi ada pula yang bersikap ketus seperti dia. Dalam waktu yang singkat, hanya tinggal 7 orang tersisa, 4 di antaranya adalah Ding Tao, Wang Xiaho, Liu Chun Cao dan Tabib Shao Yong. Tiga orang yang lain adalah seorang tua bernama Li Yan Mao,
seorang berumur pertengahan tiga puluhan bernama Tang Xiong dan seorang muda yang bahkan lebih muda dari Ding Tao
bernama Qin Bai Yu. Li Yan Mao, mungkin adalah orang tertua yang bekerja pada keluarga Huang, umurnya sedikit lebih tua dari Huang Yun Shu, paman Tuan besar Huang Jin. Seorang yang pendiam dan jarang berbicara, lebih suka menyendiri, mengerjakan tugasnya
tanpa banyak berbicara. Bukan berarti Li Yan Mao seorang yang sombong karena Li Yan Mao suka sekali tertawa bahkan
pada orang yang baru dikenalnya. Jika tertawa maka terlihatlah giginya yang sudah hampir habis. Anak-anak kecil,
termasuk Ding Tao sewaktu masih kecil, suka menjulukinya Kakek berlidah ? cun, karena saking pendiamnya dia.
Tang Xiong adalah sahabat dekat Wang Sanbo, jagoan tua yang pernah bertanding melawan Ding Tao. Seperti juga Wang
Sanbo, Tang Xiong sering dikirim untuk menagih hutang. Tang Xiong lebih mirip juru bicara Wang Sanbo yang dingin dan
pendiam jika mereka sedang bertugas bersama. Perawakannya sedang dengan wajah yang menyenangkan, seperti bumi
dan langit dibandingkan Wang Sanbo yang terlihat galak. Jika dikatakan ada ciri-ciri yang menonjol dari Tang Xiong, maka itu adalah tidak adanya ciri-ciri yang menonjol. Perawakannya sedang, wajahnya tidak buruk tidak pula tampan. Dengan
sedikit mengubah penampilan Tang Xiong bisa berubah menjadi orang yang berbeda dalam sekejap saja.
Qin Bai Yu, anak muda ini mulai tinggal dalam kediaman keluarga Huang sejak ujian ilmu silat, di mana Ding Tao lulus
sebagai peserta terbaik. Karena itu Ding Tao tidak begitu mengenal pemuda ini, hanya kenal nama dan tidak lebih dari itu.
Wajahnya tampan, gerak-geriknya halus, tubuhnya sedikit mungil buat ukuran seorang anak laki-laki, ditambah lagi dengan kulit yang putih, jika didandani dengan baju perempuan, mungkin orang akan salah mengenalinya.
Ding Tao mengedarkan pandangan pada enam orang yang tertinggal, lalu dengan senyum kecut dia bertanya, "Bagaimana
dengan kalian" Apakah kalian tidak ingin pergi juga?"
Wang Xiaho tertawa dan menjawab, "Banyak orang bilang aku ini orang keras kepala, jika aku sudah memutuskan sesuatu
jangan harap bisa mengubah keputusanku."
Liu Chun Cao menghirup tehnya perlahan-lahan sebelum menjawab, "Hmm" kukira keberadaanku di sini sudah menjadi
jawaban buatmu." Tabib Shao Yong mengangguk-angguk mendengar perkataan dua orang itu dan berkata, "Pekerjaanku adalah seorang tabib,
seorang tabib berusaha menyembuhkan manusia. Seorang tabib berusaha menyelamatkan jiwa manusia. Pandanganmu
justru sangat mencocoki hatiku."


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Li Yan Mao tersenyum lebar, mempertontonkan giginya yang sudah jarang-jarang, "Heh, sebenarnya ada sedikit kesamaan
antara apa yang kau utarakan dengan pandangan pendiri keluarga Huang. Itu salah satu sebab mengapa dia berpesan agar
keluarga Huang lebih baik memilih penghidupan sebagai pedagang dan tidak terlalu banyak berurusan dengan dunia
persilatan. Ayah tuan besar Huang Jin sangat patuh pada ayahnya dan tidak pernah melupakan pesan itu."
Giliran berikutnya adalah Tang Xiong, "Mungkin Ding Tao dan yang lain juga tahu, aku ini sahabat dekat Wang Sanbo. Sejak pertandingan persahabatan melawan Ding Tao, Wang Sanbo jatuh hati pada sikap Ding Tao yang sederhana dan tulus.
Tidak henti-hentinya dia memuji-muji dirimu saat kami sedang mengobrol. Hari ini kulihat kenyataannya, memang kau
seorang pemuda yang memiliki sifat yang unik tapi terpuji."
Terdiam sejenak, mengenangkan sahabatnya yang sudah mendahului dia, Tang Xiong melanjutkan, "Sebagai sahabat Wang
Sanbo, aku bisa merasakan, bahwa jika saat ini dia yang berada di sini, dia akan berdiri di pihak Ding Tao. Sebagai
sahabatnya, aku ingin mewakili dirinya mendukung Ding Tao mencapai cita-citanya."
Pandangan semua orang akhirnya tertuju pada Qin Bai Yu, Qin Bai Yu masih sangat muda dibandingkan yang lain,
sebenarnya dia tidak ada cukup keberanian untuk ikut bicara, namun sekarang semua orang menanti perkataannya dengan
terbata-bata akhirnya dia menjawab, "Sejak melihat Kakak Ding Tao bertarung pada ujian kelulusan beberapa tahun yang
lampau. Siauwtee sudah merasa sangat kagum."
Sesaat lamanya dia terdiam, tapi melihat yang lain masih menunggu dia melanjutkan jawabannya akhirnya dia berkata,
"Asalku dari kota Lu Jiang, di salah satu kantor cabang keluarga Huang, lulus dari ujian aku terpilih untuk meneruskan
pelajaranku di bawah salah satu anggota keluarga Huang. Orang tua dan keluargaku masih ada di Lu Jiang. Aku tahu
banyak yang penasaran karena tidak ada satu pun orang-orang dari anak cabang yang muncul."
"Banyak yang curiga dan segera menghakimi mereka. Tapi kakak Ding Tao tidak bersikap demikian. Kupikir, alangkah
baiknya jika dunia persilatan seperti dalam bayangan Kakak Ding Tao, di mana orang tidak dengan mudahnya menghakimi
orang lain dan darah bertumpahan hanya karena salah paham atau terlalu kukuh terhadap prinsip sendiri tanpa memandang
kesulitan orang lain."
Liu Chun Cao mengangguk-angguk lalu bangkit berdiri dan menepuk pundak anak muda itu. Menoleh pada Ding Tao dia
bertanya, "Anak muda ini benar, urusan cabang-cabang keluarga Huang memang terasa janggal. Bagaimana dengan
rencanamu, apakah kita akan ikut campur tangan untuk menyelidiki keadaan di tiap-tiap anak cabang?"
Ding Tao menjawab, "Ya, siauwtee kira sebaiknya begitu. Masalah itu sudah bisa dipastikan menyimpan satu rahasia. Tidak mungkin seluruh anak cabang lupa diri seperti yang disangka beberapa saudara yang lain. Tapi sebelumnya kita selesaikan dulu urusan di Wuling ini."
Kebetulan saat itu pemilik kedai sedang mengangkat beberapa mangkok mie, mengantarkan pesanan mereka. Liu Chun Cao
menoleh dan menjawab, "Ya, segera setelah kita makan, kita akan pergi ke sana. Lebih baik memikirkan urusan penting
dengan perut kenyang."
Pemilik kedai yang menyajikan mie bawaannya, sebelum kembali ke dapur tiba-tiba berkata, "Perkataan Pahlawan muda ini
benar, aku bukan orang dunia persilatan, tapi kupikir jika pahlawan muda ini berhasil, kehidupan banyak orang pun akan
merasakan perubahan yang baik."
Sekali lagi dia mengangguk hormat pada Ding Tao, lalu pada enam orang yang lain, kemudian pergi berlalu untuk kembali
ke dapur. "Hmm" jika orang awam bisa berkata demikian, kukira kita tidak perlu ragu, bahwa yang kita lakukan itu benar adanya. ", ujar Liu Chun Cao sambil memandangi punggung pemilik kedai itu.
Mereka berenam melanjutkan makan dan minum mereka dalam diam. Masing-masing sedang merenungkan keputusan yang
telah mereka ambil. Tidak perlu diragukan lagi, meskipun akan ada yang mendukung, akan ada banyak pula yang akan
memandang rendah mereka. Setelah mereka selesai makan, Tabib Shao Yong berdiri hendak memanggil pemilik kedai teh dan membayar. Namun Ding
Tao yang merasa sebagai yang lebih muda, buru-buru menahannya dan pergi untuk membayar biaya makan dan minum
mereka. Karena pemilik kedai tidak kunjung keluar dari dapur, Ding Tao pergi menyusulnya.
Ding Tao melongokkan kepala ke dalam dapur dan melihat pemilik kedai sedang berdiri menunggu kedatangannya. Pemilik
kedai itu menggamit Ding Tao untuk masuk ke dalam dapur, jauh dari pandangan mata orang lain. Dengan suara berbisik,
pemilik kedai itu memperkenalkan dirinya dan membungkuk hormat pada Ding Tao.
"Tuan Ding Tao, perkenalkan namaku Song Luo, orang biasa memanggilku si tua Song. Sebelum membuka kedai teh ini aku
hanya seorang pelayan di dapur sebuah rumah makan di kota Wuling. Suatu hari seorang yang tidak kukenal menawariku
modal untuk membuka kedai di pinggir jalan ini, dengan satu syarat, yaitu agar aku selalu memperhatikan orang yang
mampir dan lewat di jalan ini. Sesekali orang itu akan datang dan menanyakan sesuatu padaku."
Menelan ludah membasahi tenggorokan, si tua Song kembali bercerita, "Dalam hati sebenarnya ada perasaan bersalah,
karena aku pun tidak tahu, informasi yang kusampaikan itu apakah digunakan untuk mencelakai orang atau untuk
kebaikan. Namun untuk menolak aku pun gentar jika memikirkan nasibku dan keluarga. Hari ini aku mendengar perkataan
Tuan, hatiku jadi tergerak. Jika tuan bersedia, aku akan berhenti bekerja untuk orang itu, biarlah aku bekerja untuk tuan, menjadi mata dan telinga tuan di kedai ini. Meskipun tiada kepandaian, biarlah orang tua ini ikut pula menyumbang sedikit yang ada untuk menciptakan keadaan yang seperti tuan impikan."
Ding Tao merasa terkejut mendengar pengakuan si tua Song, sekaligus merasa terharu bahwasannya orang tua yang tidak
bisa bersilat ini memiliki keberanian untuk menentukan sikap, meskipun maut ancamannya.
"Bapak tua, sungguh bapak seorang yang pemberani", ujar Ding Tao dengan spontan.
Setelah berpikir sejenak, Ding Tao pun berkata, "Bapak, apa yang bapak tawarkan sangatlah berharga. Memang, jika
hendak melakukan pekerjaan besar, seseorang harus punya banyak mata dan telinga. Namun akupun tidak ingin bapak
mengambil resiko yang terlalu besar. Dengarlah, aku ada akal yang baik. Biarlah bapak tetap memberikan informasi pada
orang itu jika dia memintanya. Namun di saat yang sama, jika dia datang pada bapak dan menanyakan sesuatu, atau ada
kejadian lain yang bapak rasa menarik segera bapak laporkan hal itu padaku juga."
Wajah pemilik kedai itu menjadi cerah, sebelumnya dia sudah membayangkan akan menyongsong kematian demi
melakukan sesuatu yang akan membersihkan hati nuraninya dari perasaan bersalah. Tapi apa yang diajukan Ding Tao,
memberikan dia harapan bahwa dia bisa melakukannya tanpa terancam oleh kematian.
"Ah, terima kasih banyak atas perhatian tuan. Tapi dengan cara bagaimana saya menghubungi tuan?", tanyanya.
"Untuk masalah itu, biarlah siauwtee pikirkan lebih dahulu. Jika siauwtee mendapat cara yang baik, siauwtee akan
menghubungi bapak", jawab Ding Tao sambil menepuk pundak pemilik kedai tersebut.
"Baiklah, aku akan menunggu kabar dari tuan", jawab pemilik kedai itu, lalu setelah meragu sejenak dia menambahkan,
"Tuan, jika bisa biarlah hal ini menjadi rahasia antara tuan dan saya, setidaknya pada orang-orang yang benar-benar bisa tuan percaya. Dari enam orang yang ada di luar, tampaknya ada beberapa yang baru hari ini menyatakan kesetiaan pada
tuan. Saya harap tuan sadar ada kemungkinan orang yang jahat menyusup juga dalam organisasi bentukan tuan."
Ding Tao mengangguk, "Ya.. siauwtee juga sadar akan hal itu, meskipun siauwtee berharap bisa mempercayai setiap orang
dalam organisasi ini nanti, tapi kemungkinan seperti itu tetap saja ada. Bapak jangan kuatir, sebelum siauwtee bisa percaya penuh pada seseorang, tidak akan siauwtee membocorkan rahasia yang menyangkut keselamatan orang lain."
"Terima kasih tuan, semoga apa yang tuan cita-citakan bisa berhasil. Dahulu banyak kisah tentang pahlawan yang berjuang dan berkorban demi kepentingan orang banyak. Hari ini banyak orang yang mengaku pahlawan, namun menindas yang
lemah demi kepentingannya sendiri. Sungguh baik cita-cita tuan, orang seperti tuan dan mereka yang bersumpah setia
pada tuan hari inilah yang sesungguhnya pantas disebut pahlawan", ujar pemilik kedai itu dengan nada prihatin.
Muka Ding Tao jadi memerah karena malu, "Sudahlah paman, aku pun hanya orang biasa, bukan pahlawan. Ini pembayaran
untuk makanan dan minuman yang kami habiskan."
"Eh, tidak perlu tuan, jangan, bukankah mulai hari ini, saya pun sudah termasuk menjadi pengikut tuan?", ujar pemilik
kedai itu sambil berusaha mengembalikan uang yang diberikan Ding Tao.
"Ah kalau benar begitu, tentu bapak harus menurut pada keputusanku dan inilah keputusanku, bapak harus menerima
pembayaran ini. Anggap saja, ini biaya bagi bapak untuk terus membuka kedai serta menyerap informasi bagiku", balas
Ding Tao sambil tertawa. Setelah beberapa kali didesak Ding Tao, akhirnya pemilik kedai itupun mau menerima uang yang diberikan Ding Tao. Ketika Ding Tao kembali ke mejanya, Wang Xiaho bertanya pula, "Eh, kenapa begitu lama hanya untuk membayar makan dan
minum" Apakah dia mempersulit kita?"
"Bukan-bukan, justru dia hendak menolak pembayaran. Itu sebabnya siauwtee agak lama di sana, karena harus mendesak-
desaknya lebih dahulu. Dia berkeras untuk memberi kita makan dan minum gratis, karena merasa bersimpati pada
perjuangan kita", jawab Ding Tao dengan cerdik tanpa menceritakan alasan yang sesungguhnya.
"Hehe, kalau di setiap kedai dan rumah makan ada kejadian yang sama, boleh juga kita terima kebaikan mereka", sahut Li
Yan Mao sambil tertawa. Tawa Li Yan Mao menular pada yang lain, sambil tertawa bergelak mereka meninggakan kedai makan itu, mengikuti Liu
Chun Cao yang memimpin di depan. Untuk sementara kabut yang membayang tersapu bersih dari hati dan pikiran, oleh
tawa lepas yang mengiringi langkah kaki mereka.
Liu Chun Cao mengetuk pintu rumah tempat persembunyian orang yang mereka cari. Beberapa kali dia mengetuk namun
tidak ada jawaban. "Apakah dia sedang tidak ada di rumah?", tebak Qin Bai Yu.
Liu Chun Chao mengerutkan alisnya, "Hmm" cobalah kau pergi tanyakan pada tetangga sebelah."
Qin Bai Yu mengangguk, Li Yan Mao mengikut di belakangnya sambil berkata, "Mari kutemani engkau bertanya-tanya ke
sekitar." Ding Tao berlima sedang menunggu Qin Bai Yu dan Li Yan Mao, ketika seseorang berjalan melewati mereka. Lima orang
asing berkerumun di depan pintu rumah, tentu saja menarik perhatian. Orang itu menengok kemudian berhenti, sepertinya
seikit ragu, tapi akhirnya dia menyapa dan bertanya, "Apakah kalian sedang mencari Mao Bin?"
Ding Tao berlima menoleh ke belakang, ke arah suara yang menyapa mereka. Penampilan orang itu sedikit aneh,
pakaiannya sedikit compang camping tapi dipakai dengan sangat rapi. Orang itu berdiri dengan bersandar pada sebuah
tongkat yang dia bawa-bawa. Meskipun tertutup oleh bajunya, tapi dari postur tubuhnya, terlihat salah satu kakinya lebih pendek dari kaki yang sebelah. Menilik pakaian yang dimiliki, tempat dia tinggal dan cacat di tubuhnya, wajarnya orang
demikian tentu seorang yang rendah diri. Tapi orang ini justru tampi percaya diri bahkan cenderung bersikap seperti
menantang orang lain untuk menghina dirinya. Pakaiannya yang sederhana dan sedikit compang camping dipakai dengan
rapi dan teliti. Rambutnya disisir dan digelung dengan rapi, meskipun tali pengikatnya sudah pudar warnanya dan terlihat rapuh dimakan usia.
Dengan alis terangkat, Wang Xiaho menjawab, "Ya, kami sedang mencari Mao Bin, apa kau tahu dia sedang ada di mana"
Ini benar rumahnya kan" Beberapa kali kami mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban."
"Ya memang benar ini rumahnya, aku pun tidak tahu dia ada di mana, tapi pagi tadi ada pula orang yang mencari dia dan
bertanya di mana rumah Mao Bin. Mungkin mereka sedang ada di luar, entahlah.", jawab orang itu.
"Boleh kami tahu, seperti apa ciri-ciri orang itu?", tanya Liu Chun Cao.
Orang yang ditanya memandang mereka dengan tatapan ingin tahu, sejenak kemudian dia menjawab.
"Orang itu cukup tinggi, lebih tinggi daripada kebanyakan orang. Meskipun tidak setinggi tuan muda yang di sana. ", katanya sambil menunjuk pada Ding Tao.
"Kupikir agak aneh menemukan orang seperti itu di daerah seperti ini. Kulitnya putih, alis berbentuk golok, kumisnya yang tipis dicukur dengan rapi. Giginya terlihat putih bersih. Meskipun potongan pakaiannya sederhana tapi kulihat terbuat dari bahan yang baik, lagipula terlihat bersih."
"Apa ada ciri-ciri yang tidak umum?", tanya Wang Xiaho.
"Ciri-ciri yang tidak umum" Hmm.. entahlah, aku tidak yakin, wajahnya tidak ada ciri khusus, tapi kupikir orang ini adalah seorang kidal yang sudah berlatih menggunakan tangan kanannya dengan baik."
"Hmm" dari mana kau bisa berpendapat demikian?", tanya Liu Chun Cao sambil memandang orang itu penuh selidik.
Sekilas mata orang itu berkilat nakal, jawabnya, "Orang itu menenteng-nenteng pedang dan dari penampilannya sudah jelas dia orang yang memiliki cukup harta. Dia memakai pakaian yang sederhana jelas maksudnya hendak menutupi
identitasnya. Namun orang itu juga terlalu yakin pada diri sendiri sehingga tidak mau bersusah payah untuk
menyembunyikan wajahnya atau sedikit mengotori tangan dan tubuhnya."
"Tentu saja, hatiku jadi tertarik. Tanpa sengaja saat dia hendak berpamitan, tanganku hendak menggaruk punggungku
yang gatal, tanpa sengaja menyenggol topi bambuku dan menyebabkannya terjatuh. Secara refleks orang itu membungkuk
hendak mengambil topiku dengan tangan kirinya, terlihat dari tubuh sebelah kiri lebih condong ke depan, tapi teringat
tangan kirinya membawa pedang, dengan cepat tangan kanannya bergerak untuk menangkap topiku yang jatuh itu."
Mata Liu Chun Cao berkilat, dia mengamati orang yang di depannya itu dengan penuh rasa tertarik, "Menarik sekali" lalu
apa kesimpulanmu?" Bukan hanya Liu Chun Cao yang tertarik mendengar pengamatan orang itu, yang lain pun demikian juga. Tidak disangka
hari ini mereka bertemu orang-orang yang menarik. Pertama pemiliki kedai yang tiba-tiba ikut berbicara memuji pandangan Ding Tao tentang dunia persilatan. Lalu sekarang, mereka bertemu orang yang punya pengamatan yang tajam dan rasa
ingin tahu yang besar. "Menurutku orang itu adalah seorang pendekar yang cukup punya nama dari sebuah perguruan atau kalangan yang
terhormat. Terlihat dia berusaha menolong menangkap topiku yang jatuh. Dia hendak melakukan sesuatu yang tidak boleh
diketahui orang lain, itu sebabnya dia menyamar. Tapi dia begitu yakin dengan kemampuannya sendiri sehingga dia pun
tidak takut bila sampai ketahuan."
Selesai menguraikan kesimpulannya orang itu pun menatap mata mereka berlima dengan membusungkan dada. Tabib Shao
Yong dan Liu Chun Cao mengamati orang di depannya itu dengan wajah heran dan tertarik. Sementara Wang Xiaho merasa
sedikit kesal dengan sikap sombong orang itu tapi masih bisa menahan diri.
Adalah Tang Xiong yang membuka mulut lebih dulu, "Sahabat, sungguh pandai benar dirimu. Membuat orang jadi heran,
mengapa orang macam dirimu bisa tinggal di tempat kumuh seperti ini" Apakah kau ini seorang sastrawan yang gagal lulus
ujian kenegaraan?" Kata-kata Tang Xiong dikeluarkan begitu saja tanpa pikir panjang, dimaksudkan untuk menyindir. Siapa tahu justru kata-
kata itu kena tepat pada sasaran, wajah orang itu berubah dan dengan ketus dia menjawab, "Hmph! Apakah yang bodoh
menguji yang lebih pandai" Apakah yang korup menghakimi yang benar" Siapa sudi ambil pusing pada hasil ujian negara?"
Mendengar jawaban orang itu tentu saja, mereka langsung tahu bahwa kata-kata Tang Xiong justru menebak dengan tepat
keadaan orang itu saat ini. Tang Xiong baru saja hendak membuka mulut dan membalas dengan pedas sikap sombong
orang itu ketika dia merasakan tangan Ding Tao menggamitnya mundur ke belakang. Tang Xiong terkejut dan cepat-cepat
menutup mulutnya yang usilan saat dia melihat Ding Tao membungkuk hormat pada orang cacat yang sombong di hadapan
mereka itu. "Ah, harap tuan memaafkan kami, tadinya sikap tuan yang sombong membuat kami merasa penasaran, tapi sebenarnya
kalau dipikir, pengamatan tuan sungguh tajam. Tuan sombong bukan tanpa alasan yang jelas, tidak banyak orang dapat
berpikir secerdik tuan ini. Bolehkah aku tahu nama tuan?"
Sejak bertemu dan bercakap-cakap dengan pemillik kedai yang ternyata juga bertugas sebagai mata-mata seorang
misterius, Ding Tao mulai sadar bahwa lawan-lawannya tidak bisa dikalahkan hanya dengan kepandaian ilmu silat saja. Dia bukan sedang berhadapan dengan satu atau beberapa orang lawan saja, yang menjadi lawannya adalah sebuah organisasi
yang besar. Jika dia hendak mendirikan organisasinya sendiri, dia memerlukan orang dengan berbagai macam kepandaian
dan bakat. Termasuk orang dengan kepandaian seperti orang yang ada di hadapannya saat ini.
Sikap Ding Tao yang demikian tiba-tiba mengejutkan banyak orang, termasuk pelajar cacat yang disapanya. Untuk sesaat
sikap sombong yang dia tampilkan tampak goyah, tapi cepat dia pulih dari rasa kagetnya dan dengan nade sinis bertanya,
"Hmm" jika seseorang bersikap sopan padaku, biasanya itu karena dia ingin memanfaatkanku. Anak muda bukankah benar
demikian?" Tang Xiong yang merasa kesal Ding Tao diperlakukan demikian sudah membuka mulut untuk menyergah, namun Liu Chun
Cao cepat menggamit tangannya dan memberi tanda agar dia diam. Dengan terpaksa Tang Xiong hanya bisa memelototi
orang yang sombong tersebut. Berbeda dengan Tang Xiong, Ding Tao justru bisa tertawa sopan mendapat dampratan dari
orang tersebut, kemudian dia mengangguk membenarkan.
"Tidak bisa siauwtee pungkiri, kenyataannya memang siauwtee memerlukan bakat dan lemampuan tuan. Apakah siauwtee
boleh tahu siapa nama tuan?", untuk kedua kalinya Ding Tao menanyakan nama pelajar cacat itu.
"Hmm" kau ini punya impian setinggi langit, tapi mengapa mandah saja aku hina?"
"Siauwtee punya cita-cita yang tinggi, tuan punya kemampuan yang bisa membantu siauwtee meraih cita-cita itu, sedikit
penghinaan, adalah harga yang murah."
"Jika aku memintamu untuk berlutut dan menghormat tiga kali sebelum aku mau membantumu apa yang akan kau
lakukan?" Kali ini Ding Tao tidak memberikan jawaban dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan, tanpa ragu pemuda itu
berlutut dan hendak menghormat pada pelajar cacad yang sombong itu. Tapi segera saja pelajar itu menahan pundak Ding
Tao dan dengan susah payah berlutut di depan pemuda itu lalu balik menghormatnya.
Ujar pelajar cacat itu, "Bertahun-tahun belajar, tidak ada yang menghargai jerih payah dan segenap pengetahuan yang
siauwtee kumpulkan, hari ini bisa bertemu dengan tuan sungguh merupakan keberuntungan. Sedikit yang siauwtee miliki,
biarlah jadi kayu bakar bagi perjuangan tuan."
Perubahan sikap yang demikian tiba-tiba tentu saja membuat orang jadi melengak keheranan.
"Nama siauwtee adalah Chou Liang, ayah siauwtee pernah menjabat sebagai pejabat militer dan berharap agar siauwtee
mengikuti jejaknya mengabdi pada negara. Sayang saat masih kecil siauwtee terkena penyakit aneh, sehingga sebelah kaki
siauwtee tidak tumbuh dengan semestinya. Untuk memenuhi harapan ayah, maka siauwtee menghabiskan waktu untuk
mempelajari tulisan-tulisan orang bijak di masa lampau dan berniat untuk mengikuti ujian negara dalam bidang sastra."
"Tunggu, mari bangunlah, jangan berlutut seperti itu.", ujar Ding Tao sambil menarik berdiri pelajar cacat tersebut.
Tang Xiong yang tadinya ingin mendamprat dan mengolok-olok pelajar cacat itu, sekarang setelah terbukti perkataannya
tepat mengena justru berdiam diri dan dalam hati menyesal sudah mengeluarkan kata-kata tersebut. Menanti pelajar cacat
itu berdiri dan membenahi pakaiannya, barulah Ding Tao bertanya lebih lanjut.
"Saudara, silahkan lanjutkan ceritamu. O ya sebelumnya, perkenalkan nama siauwtee?"
"Nama tuan adalah Ding Tao, lahir dan dibesarkan dalam keluarga Huang, kurang lebih 2.5 tahun yang lalu menghilang
secara diam-diam bersamaan dengan menghilangnya salah seorang pelatih silat keluarga Huang, Gu Tong Dang. Saudara
yang lain, bernama Tang Xiong, Tabib Shao Yong, dan Pendeta Liu Chun Cao. Yang seorang lagi sepertinya baru kali ini
datang ke Wuling karena aku tidak mengenalnya.", ujar Chou Liang memotong perkataan Ding Tao
"Heheh, namaku Wang Xiaho", jawab Wang Xiaho sambil sedikit membungkuk memberi hormat.
"Siauwtee Chou Liang", ujar Chou Liang, membungkuk membalas salam dari Wang Xiaho, sekalian dia memberi hormat
juga pada yang lain. "Kira-kira 6 bulan yang lalu, Tuan Ding Tao, kembali pula ke kota Wuling dan mengunjungi keluarga Huang. Kunjungan kali ini membawa bencana, setidaknya satu orang meninggal dan tuanpun terpaksa harus melarikan diri secara diam-diam.
Kemungkinan besar dalam keadaan terluka. Sekarang tuan kembali untuk menyelesaikan urusan, entah apapun urusan itu,
tapi di luar dugaan sebelum kedatangan tuan, justru keluarga Huang tertimpa bencana besar dan tuan pun berkeinginan
untuk menyelidikinya", dengan lancar dia mengemukakan apa yang berhasil dia ketahui mengenai Ding Tao.
"Kurang lebih itulah yang siauwtee mengerti, tentu jika tuan berkenan untuk bercerita lebih lanjut, siauwtee akan bisa
mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan bisa memberikan pandangan-pandangan yang mungkin membantu tuan",
ujarnya mengakhiri uraian yang cukup panjang.
Ding Tao berlima tentu saja merasa kagum dengan uraian itu.
Liu Chun Cao bahkan merasa sedikit curiga dan bertanya, "Saudara, kau sepertinya tahu banyak hal tentang dunia
persilatan, apakah semua yang kau ceritakan itu hasil pengamatanmu semata?"
"Ah, jika harus berbicara sejujurnya, nama Ding Tao sudah kudengar bertahun-tahun sebelumnya. Sejak gagal dalam ujian
negara, sifatku menjadi sinis terhadap setiap orang, terutama pejabat negara. Siauwtee merasa jauh lebih pandai dari
mereka semua dan ingin membuktikan hal itu. Itu sebabnya setiap ada kejadian yang janggal dalam kota, apapun itu,
siauwtee pasti berusaha mencari tahu dan memecahkannya. Diminta atau tidak. Tapi meskipun berhasil memecahkan
banyak kasus, siauwtee tidak menyiarkan penemuan siauwtee, hanya merasa puas karena berhasil membuktikan pada diri
siauwtee sendiri bahwa kenyataannya siauwtee masih lebih pandai dari mereka."
"Wah, orang ini benar-benar sombong", umpat Tang Xiong dengan berbisik.
Jika Ding Tao suka tersipu malu saat memamerkan kepandaiannya, seratus delapan puluh derajat bedanya dengan Chou
Liang. Saat menceritakan kesuksesannya itupun dia menampilkan ekspresi seakan apa yang dia lakukan itu adalah satu hal
yang remeh. Tang Xiong yang tadinya menyesal sudah mengingatkan Chou Liang pada kegagalannya dalam ujian negara
jadi gatal-gatal untuk memaki orang tersebut.
Chou Liang rupanya mendengar pula umpatan Tang Xiong itu, dengan senyum mengejek dia memainkan matanya ke arah
Tang Xiong, "Ya memang demikianlah perasaan orang yang berotak dangkal ketika bertemu orang lain yang berotak encer."
"Apa" Apa katamu" Wah, rupanya kau ini perlu dihajar supaya mengerti sopan santun", ujar Tang Xiong dengan muka
merah padam. Yang lain tertawa bergelak melihat Tang Xiong ketemu batunya, Ding Tao menepuk-nepuk pundaknya berusaha
menenangkan jagoan yang lagi marah tersebut, "Sudahlah jangan marah Paman Tang Xiong, Saudara Cou Liang sudah
menyatakan keinginannya untuk bergabung, berarti sejak hari ini diapun sudha menjadi saudara kita. Di antara saudara
sedikit perkataan menggoda tidak perlu dimasukkan dalam hati."
Karena Ding Tao sudah menengahi, Chou Liang pun tidak melanjutkan gurauannya, hanya sedikit memutar mata sambil
tersenyum pada Tang Xiong. Kata-kata Ding Tao juga cukup menyadarkan Tang Xiong, Tang Xiong pun teringat bahwa
sebelumnya dia juga sempat mengeluarkan kata-kata yang tentu menyakitkan Chou Liang.
Sambil menghela nafas jagoan itu pun ikut tersenyum saja, "Ya sudahlah, anggap saja otakku memang dangkal. Tapi sikap
sombongmu itu suatu hari tentu akan menyebabkan orang datang untuk menghajarmu."
"Hehe, kalau ada orang datang untuk menghajarku, bukankah aku masih bisa lari untuk minta perlindungan dari Kakak
Tang Xiong", jawab Chou Liang
"Dan akan aku biarkan dia memberi satu dua pukulan sebelum aku ikut campur, biar jadi pelajaran buat dirimu", jawab
Tang Xiong pula. "Wah, wah rupanya otak Kakak Tang Xiong tidak sedangkal yang kuduga, bisa pula memiliki siasat meminjam pedang orang
untuk menghajar lawan", jawab Chou Liang sambil mengacungkan jempolnya disambut tawa oleh yang lain.
Menunggu tawa mereka mereda, Chou Liang berbalik pada Ding Tao dan bertanya dengan nada yang serius, "Tuan Ding
Tao, meskipun sedikit banyak siauwtee sudah punya gambaran tentang apa yang terjadi, sekiranya tuan berkenan untuk
menceritakan pengalaman tuan saat berada dalam kediaman keluarga Huang, siauwtee rasa segalanya bisa jadi lebih jelas."
"Baiklah, akan aku ceritakan, tapi pertama-tama kuharap Saudara Chou Liang jangan terus menerus memanggilku tuan,
panggil saja Saudara Ding Tao.", jawab Ding Tao pada Chou Liang.
"Mana bisa begitu" Jika perkumpulan sudah didirikan, meskipun didasarkan pada persaudaraan, kedudukan haruslah jelas
dari awal, jika tidak maka organisasi bisa menjadi kacau, jika keberatan dipanggil tuan, setidaknya dipanggil sebagai ketua.
Urutan dan jalur otoritas haruslah jelas, baru sebuah perkumpulan bisa berjalan dengan efektif, karenanya tidak boleh ada kata sungkan dalam hal ini. Ketua Ding Tao harus bisa melupakan masalah umur dan kedudukan yang lampau jika mau
perkumpulan yang didirikan menjadi kuat. Bukan tanpa alasan jika ada peribahasa, tidak boleh ada dua matahari di atas
langit." Perkataan Chou Liang ikut menyadarkan yang lain. Wang Xiaho yang sering memandang Ding Tao yang jauh lebih muda,
seperti anak atau keponakan sendiri. Liu Chun Cao yang merasa lebih banyak makan asam garam dibanding Ding Tao.
Tabib Shao Yong dan Tang Xiong yang belum sepenuhnya melupakan kedudukan Ding Tao sebagai tukang kebun di masa
lalu. Wang Xiaho menepuk pundak Ding Tao perlahan, "Ketua Ding Tao , perkataannya itu masuk akal dan baik untuk diikuti."
"Wah paman, kenapa jadi ikut-ikutan?", ujar Ding Tao merasa serba salah.
Liu Chun Cao menyahut, "Ketua Ding Tao, tidak boleh merasa sungkan, sejak hari ini, harus sadar dengan kedudukan,
bukan berarti melupakan persahabatan. Tapi segala sesuatu memang harus ada pengaturannya."


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tabib Shao Yong ikut pula menguatkan pendapat mereka, "Benar sekali Ketua Ding Tao, jangan merasa bersalah menerima
panggilan itu, apalah artinya perubahan panggilan, yang terpenting adalah hatimu sendiri. Jika kau tetap menghargai kami yang lebih tua, bagaimanapun caranya kami memanggil dirimu tentu tidak akan menjadi ganjalan."
"Ketua Ding Tao, jangan sungkan-sungkan lagi, memang sudah nasibmu harus memikul tanggung jawab ini, masakan
sekarang hendak llari hanya karena kami memanggilmu ketua?", ujar Tang Xiong sambil memutar-mutar matanya dan
tersenyum lebar. "Ah" kalau kalian semua berkata begitu, aku bisa berkata apa lagi. Terserah kalian sajalah", ujar Ding Tao menyerah.
Kemudian mulailah Ding Tao menceritakan kejadian yang dia alami beberapa bulan sebelumnya saat dia kembali ke
kediaman keluarga Huang setelah dua tahun menghilang. Diceritakannya sejak dari awal pertemuan, sikap dan kebaikan
keluarga Huang. Pertandingan persahabatan memperbutkan Pedang Angin Berbisik, sampai pada malam di mana Pedang
Angin Berbisik direbut dari tangannya dan bagaimana dia akhirnya bisa lepas berkata bantuan Huang Ren Fu dan Huang
Ying Ying. Saat Ding Tao sedang bercerita Li Yan Mao dan Qin Bai Yu sudah kembali, namun melihat Ding Tao sedang bercerita mereka
tidak berani mengganggu, diam-diam keduanya berkumpul kembali dengan yang lain.
Dengan berbisik Li Yan Mao bertanya pada Tang Xiong sambil menggerakkan kepala ke arah Chou Liang, "Siapa itu?"
Dengan singkat Tang Xiong menjelaskan, Li Yan Mao dan Qin Bai Yu mengangguk-angguk mendengar penjelasan Tang
Xiong. Ding Tao menjelaskan dengan sedetail-detailnya tanpa menceritakan hal-hal yang sifatnya pribadi. Karena kejadian itu terjadinya sudah cukup lama, beberapa kali Ding Tao harus berhenti untuk mengingat kejadian itu dengan jelas. Ding
Tao berbuat demikian karena dia yakin Chou Liang, menanyakan hal itu tentu dengan maksud yang tulus hendak
membantu. Selesai Ding Tao bercerita, Chou Liang menghela nafas, "Ketua Ding Tao, rasa-rasanya dugaanku sembilan dari sepuluh
bagian sudah cukup tepat, hanya saja apakah Ketua Ding Tao akan senang mendengarnya atau tidak aku tidak tahu."
Berkerut alis Ding Tao, "Saudara Chou Liang, jika punya pendapat atau pandangan, utarakan saja. Aku percaya maksudmu
baik dan tulus, tentang apakah aku bisa menerimanya atau tidak, itu masalah yang berbeda. Sebisa mungkin aku akan
menelaah masukan dari tiap orang tanpa tergantung padanya."
Chou Liang sejenak merenungi jawaban Ding Tao kemudian mengangguk puas, "Baiklah, kalau begitu aku akan
mengemukakan pendapatku, apakah ada gunanya atau tidak, kita lihat nanti."
"Aku yakin peristiwa di mana Ketua Ding Tao hampir mati kena serangan gelap saat ada dua orang bertopeng mencuri
pedangnya, hal itu bisa jadi memang dilakukan Tiong Fa tapi yang memerintahkan adalah Tuan besar Huang Jin sendiri."
"Jangan bicara sembarangan !", sergah Qin Bai Yu sambil tangannya meraba pedang, tapi Li Yan Mao yang berada di
dekatnya cepat menahan tangan pemuda itu.
"Jangan" dengarkan dulu", ucapnya dengan sabar, wajahnya yang biasa tertawa, terlihat begitu serius sehingga Qin Bai Yu jadi terdiam.
Chou Liang diam menunggu, memandangi wajah-wajah yang tegang di sekelilingnya, baru setelah dia melihat Ding Tao
mengangguk ke arahnya dia baru melanjutkan penuturannya, "Ada beberapa dasar mengapa aku berpendapat demikian.
Yang pertama, kejadian itu terjadi dalam kediaman keluarga Huang, jika Tiong Fa memang bekerja sendiri, apa salahnya
menunggu waktu 2-3 hari" Dari reputasi yang kudengar, Tiong Fa adalah orang yang berpikir panjang tentu saja ada kurang lebihnya dalam rencana untuk menunggu sampai Ding Tao berada di luar wilayah keluarga Huang. Tapi dari segi keamanan
jauh lebih mendukung."
"Yang kedua, rencana itu sendiri baru menjadi rencana baik, dikarenakan Ketua Ding Tao meminum obat yang membantu
dia untuk tidur. Tapi dari penuturan Ketua Ding Tao, sejak kapan dia terserang rasa kantuk" Sebelum atau sesudah Nona
muda Huang memberikan obat itu" Bukankah dari saat sebelum meminum obat buatan Nona muda Huang, Ketua Ding Tao
sudah merasakan kantuk" Jadi kapan Ketua Ding Tao meminum obat itu?"
Perlahan Chou Liang mengedarkan pandangan ke para pendengarnya. Adalah Liu Chun Cao yang menjawab dengan suara
perlahan, "Tuan besar Huang Jin, sudah meracuninya pada saat dia mengajak Ding Tao bersulang"."
Memerah wajah-wajah bekas pengikut keluarga Huang, termasuk Ding Tao sendiri juga merasakan wajahnya memanas,
"Lalu mengapa Adik Huang Ying Ying, memberikan pula obat yang memulihkan tenagaku dan membantu menghimpun hawa
murni yang membuyar" Bukankah lebih baik jika aku tertidur dalam keadaan lemah?"
Chou Liang menjawab dengan nada prihatin, "Ketua Ding Tao, kurasa selain Tuan besar Huang Jin dan beberapa orang
kepercayannya, tidak ada yang lain yang mengerti tentang rencana itu. Bagaimana pun juga hal ini menyangkut nama baik
keluarga Huang. Nona muda Huang, kurasa menaruh kasih padamu dan dengan inisiatifnya sendiri memberikan obat itu, di
luar perintah ayahnya."
Tabib Shao Yong mendesah, teringat dengan peristiwa malam itu yang tepat sesuai uraian Chou Liang. Meskipun berat
hatinya untuk memburukkan nama keluarga Huang, namun demi meluruskan segala permasalahan dia pun membenarkan
perkataan Chou Liang, "Sesungguhnya, apa yang dituturkan oleh Saudara Chou Liang tidak jauh dari kenyataan
sebenarnya. Malam itu Nona muda mendapat pesan dari Tuan besar Huang Jin untuk mengambil obat yang akan membantu
Ketua Ding Tao tertidur pulas, ada secarik surat pendek yang ditanda-tangani oleh Tuan besar Huang Jin sebagai
pengantarnya. Sedangkan tentang obat pemulih tenaga, adalah inisiatif Nona muda Huang sendiri. Sebenarnya obat itu
termasuk obat simpanan keluarga Huang, namun karena yang meminta adalah Nona muda Huang sendiri dan menimbang
hubungan baik di masa lalu, aku pun memberikannya pada Nona muda Huang."
Qin Bai Yu mendesis, "Tidak mungkin?"
Li Yan Mao hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan sedihnya. Tang Xiong yang mendengar cerita dari Wang Sanbo
tentang pertandingan persahabatan demi merebut Pedang Angin Berbisik dari tangan Ding Tao terdiam dan merenungi
kembali satu per satu percakapan mereka mengenai hal itu.
Melihat perkataannya, meskipun dengan berat hati, sudah mulai diterima oleh bekas pengikut keluarga Huang, Chou Liang
melanjutkan penuturannya, "Yang ketiga adalah sikap Tuan besar Huang Jin sendiri saat Tiong Fa mengajukan usul untuk
mengadakan pertandingan persahabatan demi menentukan siapa yang layak untuk menyimpan Pedang Angin Berbisik. Kita
semua sudah cukup dewasa di sini, sudah cukup bisa belajar menimbang apa yang ada dibalik perkataan seseorang. Banyak
alasan bisa diajukan ketika seseorang menginginkan sesuatu. Alasan untuk membenarkan keinginannya, untuk
menenangkan hati nuraninya yang berontak."
"Bukankah sepanjang malam itu Tuan besar Huang Jin berdiam diri, mendengarkan berbagai alasan yang diajukan Tiong
Fa" Jika dia tidak setuju, tentu dia sudah menghentikan Tiong Fa. Kalau melihat dari kejadiannya, justru kurasa Tiong Fa maju sebagai perisai dari Tuan besar Huang Jin."
Ding Tao terdiam dan berpikir, "Apakah sudah sebegitu liciknya manusia" Ataukah dirinya saja yang terlalu bodoh dan
mudah ditipu?" "Ketua Ding Tao tidak perlu berkecil hati, Ketua Ding Tao tumbuh dan besar di sana, setiap hari Ketua Ding Tao belajar
untuk percaya bahwa Tuan besar Huang Jin dan orang-orang kepercayaannya sebagai orang yang terhormat. Jangankan
Ketua Ding Tao, bahkan putera dan puterinya pun tentu berpikir demikian. Selain segelintir orang dalam pertemuan malam
itu, aku yakin yang lainnya berpikir sama seperti Ketua Ding Tao.", ucap Chou Liang yang melihat Ding Tao termenung.
Qin Bai Yu masih menggeleng-gelengkan kepala, menolak untuk mempercayai perkataan Chou Liang. Li Yan Mao tampak
tertunduk dengan mata membasah. Tabib Shao Yong hanya bisa terdiam dengan mulut kelu, terbayang bagaimana dia
justru mengharap keselamatan dari Tuan besar Huang Jin. Terbayang juga dua orang muda yang berperan paling besar
dalam keselamatannya justru ikut mati terbakar dan dia tidak mampu berbuat apa-apa. Tang Xiong menggeram,
menghilangkan kesesakan di hatinya.
Wang Xiaho dan Liu Chun Cao sebagai orang luar, tidak bisa mengucapkan apa-apa. Dalam hati mereka bisa ikut merasakan
goncangan yang dirasakan oleh mereka. Chou Liang sebagai orang yang menyampaikan kebenaran ini pada mereka pun,
ikut larut dalam kesedihan, kesombongan yang dijadikan topeng untuk menyembunyikan kekecewaan dan perasaan rendah
dirinya ikut larut dalam kediaman itu.
Ding Tao bertanya pada Chou Liang dengan suara sedikit serak, "Saudara Chou Liang, apakah kau yakin dengan uraianmu?"
Chou Liang yang kepalanya tertunduk cepat-cepat menengadahkan kepala dan menjawab, "Sembilan dari sepuluh bagian,
aku pun bukan dewa dan tidak bisa memberikan kepastian 100%. Namun jika keluarga Huang tulus ingin mengamankan
pedang dan bukan memilikinya, mereka toh bisa membiarkan pedang tetap berada di tangan Ketua dan sebaliknya
menyediakan perlindungan bagi Ketua Ding Tao sekaligus pedangnya. Bukankah tidak ada bedanya?"
Li Yan Mao yang sejak tadi diam perlahan berkata, "Sejak meninggalnya ayah dari Tuan besar Huang Jin, ambisinya untuk
ikut berusaha merajai dunia persilatan mulai nampak. Berdua bersama dengan Tiong Fa mereka memupuk kekuatan.
Kenyataan ini berat untuk diterima, tapi jika kita mau maju ke masa depan yang lebih baik. Tidak ada jalan lain kecuali harus menerima dan belajar dari kesalahan di masa lalu."
Semua perlahan-lahan mengangguk, membenarkan perkatan Li Yan Mao. Meskipun berat dan pahit, kenyataan itu harus
mereka terima dan akui. "Paman Li, jika demikian, apakah yang sedang kulakukan ini bukannya sama saja dengan apa yang hendak dilakukan Tuan
besar Huang Jin?", tanya Ding Tao pada orang tua itu.
"Tentu saja tidak, tujuanmu yang mula-mula adalah menjadi pelindung, baik bagi negara maupun bagi sesama. Impianmu
adalah mengarahkan pergerakan dunia persilatan ke arah yang lebih manusiawi. Mengurangi kekerasan dan kekejaman
dalam dunia persilatan. Mengenalkan satu pandangan baru bagi jalan pedang. Menjadi Wulin Mengzhu hanyalah salah satu
jalannya. Itu yang harus kau ingat-ingat selalu, sehingga ketika jalan tidak lagi sesuai dengan tujuan yang mendasarinya, jalan itupun harus ditinggalkan", ujar Li Yan Mao menjawab pertanyaan Ding Tao.
"Ding Tao, bukankah kita sudah pernah membahas hal ini" Dan saat itu, kaupun sudah sampai pada kesimpulan yang
sama" Mengapa sekarang hatimu meragu kembali" Teguhkan niatmu, perketat pengawasanmu terhadap gejolak akal dan
rasa", timpal Liu Chun Cao.
Ding Tao memandangi kedua orang itu, kemudian mengitarkan pandangan pada orang-orang yang berkumpul di sekitarnya.
Dari Liu Chun Cao dan Li Yan Mao dia mendapati kebijakan. Dari Wang Xiaho, Tang Xiong dan Qin Bai Yu dia mendapatkan
persahabatan yang tidak tergoyahkan. Dari Tabib Shao Yong dia mendapati terpancar kelembutan. Dan dari Chou Liang dia
mendapati seorang penasihat yang cerdik dan banyak akal. Tiba-tiba beban berat di pundaknya terasa ringan, dia tahu dia tidak sendirian.
Ding Tao tersenyum memandang mereka semua, kemudian pandangannya beralih pada Qin Bai Yu dan Li Yan Mao,
"Bagaimana, ada kabar mengenai Mao Bin?"
Qin Bai Yu menengok ke arah Li Yan Mao, baru setelah Li Yan Mao memberi tanda agar dia yang menyampaikan laporan,
Qin Bai Yu menjawab pertanyaan Ding Tao, "Kami sudah berkeliling ke sekitar tempat ini, bertanya pada orang-orang yang
ada. Dari apa yang kami kumpulkan, sepertinya Mao Bin tidak pernah keluar dari rumahnya sejak pagi hari ini."
"Jangan-jangan ada yang mencelakai dia?", ujar Liu Chun Cao.
Mendengar itu wajah Ding Tao memucat, "Paman kalau begitu, cepat dobrak pintunya."
"Tahan dulu", ucap Chou Liang menahan Wang Xiaho yang sudah bergerak hendak mendobrak pintu.
Mendengar teriakan Chou Liang otomatis gerakan itu terhenti dan berbalik dia menanya pada Chou Liang, "Kenapa ?"
"Soal Mao Bin dicelakai orang sudah hampir pasti itu memang benar terjadi dan kukira yang mencelakai tentu orang yang
mencarinya tadi pagi. Kejadiannya sudah cukup lama, menilik situasinya, kukira sudah tidak ada yang bisa kita lakukan
untuk menolong Mao Bin.", ucap Chou Liang dengan santai.
"Ho.. lalu maksudmu kita diam saja?", tanya Wang Xiaho.
"Bukan begitu, hanya saja, daripada kita mendobrak masuk, lalu menjadi tersangka, lebih baik kita menghubungi dulu
kepala perkampungan ini dan menyampaikan kecurigaan kita, biar kita bersama orang-orang beramai-ramai mendobraknya.
Aku tahu bagi kalian urusan pemerintahan bukan masalah penting, tapi jika bisa menghindari kesulitan, mengapa harus
mencarinya.", jawab Chou Liang dengan enteng.
"Baiklah, kalau begitu Saudara Chou Liang dan disertai dua tiga orang, biarlah mencari kepala perkampungan di sini. Aku dan sisanya akan menunggu dan berjaga jangan sampai ada orang menyatroni rumah ini.", ujar Ding Tao dengan tenang,
dia dapat menerima alasan Chou Liang dan mengambil keputusan yang terbaik.
"Baiklah, biarkan aku, Pendeta Liu Chun Cao dan Saudara Wang Xiaho pergi menemui kepala perkampungan. Ayolah?", ujar
Chou Liang sambil menggamit Wang Xiaho yang berada di dekatnya.
Bertiga mereka pergi meninggalkan Ding Tao bersama empat orang yang lain. Selama menunggu kedatangan Chou Liang
bersama kepala perkampungan, kelima orang itu tidak dapat berdiri dengan tenang. Ding Tao beberapa kali menggertakkan
gigi. Akhirnya ketika dia tidak tahan lagi, dia menoleh pada empat orang yang lain dan bertanya, "Menurut kalian, bagaimana
dengan saudara-saudara yang memisahkan diri dari kita tadi?"
"Maksud Ketua Ding Tao, saudara-saudara yang tidak setuju dengan pandangan Ketua Ding Tao?", tanya Li Yan Mao
menegas. "Ya, maksudku mereka."
"Jika benar ada yang mencelakai Mao Bin, maka ada kemungkinan mereka pun terancam bahaya. Tapi kita tidak bisa pula
meninggalkan tempat ini sebelum ada kepastian.", jawab Li Yan Mao.
"Bagaimana kalau kita berpencar, sebagian menunggu di sini, sebagian lagi menyusul dan memperingatkan saudara-
saudara yang lain?", tanya Qin Bai Yu ikut memberikan pendapat.
Tang Xiong berpandangan untuk sejenak lamanya dengan Li Yan Mao, kemudian menjawab, "Sayangnya orang yang
berpencar dari Ketua Ding Taolah yang akan terancam bahaya. Bicara terus terang, untuk saat ini hanya Ketua Ding Tao
saja yang ilmu silatnya bisa diandalkan."
Kemudian diceritakannya uraian Chou Liang tentang orang misterius yang menanyakan kediaman Mao Bin sebelum mereka
datang. Dari reaksi Ding Tao yang berdiam diri dan tidak menyetujui pendapat Qin Bai Yu, bisa diperkirakan jika Ding Tao pun memiliki pemikiran yang sama dan tidak tega untuk meninggalkan ke-empat orang yang lain.
"Apakah sehebat itu?", tanya Qin Bai Yu setengah tak percaya.
"Hmm" ini kebetulan saja, tapi di malam penyerangan itu, aku sempat bertarung bersama-sama saudara yang lain
mempertahankan bangunan utama. Di pihak kita pertahanan dipimpin oleh Tuan besar Huang Jin sendiri, Tetua Huang
Yunshu dan Tuan muda Huang Ren Jin. Kehebatan ilmu mereka jauh di atas dugaanku. Beberapa kali mereka mengeluarkan
ilmu yang jelas-jelas bukan milik keluarga Huang. Pada saat-saat terakhir bahkan kulihat Tuan muda Huang Ren Jin
mengeluarkan sebuah pedang pusaka.", ujar Tang Xiong bercerita.
"Apakah itu Pedang Angin Berbisik?", tanya Qin Bai Yu setengah berbisik.
Mata Tang Xiong menerawang ke langit sambil bercerita, mengenangkan kejadian malam itu, "Kukira demikian, pedang
lawan hampir terpapas kutung oleh pedang pusaka itu. Namun ketiga lawan mereka, masih berada di atas angin. Bisa
dikatakan mereka bertiga sama sekali tidak memiliki kesempatan, padahal sesekali kami-kami inipun masih sempat
memberikan bantuan."
"Apakah paman melihat dengan cara apa mereka dikalahkan?", tanya Qin Bai Yu dengan mata terbelalak lebar.
"Tidak, sebuah pukulan lawan membuatku terlempar dan terjatuh tidak sadarkan diri", jawab Tang Xiong.
"Siapa yang memukul paman hingga jatuh pingsan itu" Apakah salah satu dari ketiga orang jagoan dari pihak lawan itu?",
tanya Qin Bai Yu. "Bukan, bukan mereka bertiga, saat itu meskipun keadaan Tuan besar Huang Jin bertiga semakin memburuk, tapi keadaan
kami yang lain justru perlahan-lahan mulai membaik. Segera setelah selesai menghabiskan lawan, tentu kami bisa
menolong mereka bertiga, setidaknya meringankan tekanan atas mereka. Tapi tiba-tiba saja datang seorang lagi yang
berkepandaian tinggi, gerakannya sangat cepat dan tangkas. Barisan pertahanan yang mulai merapat mengepung lawan,
tiba-tiba buyar diterjang olehnya.", jawab TangXiong sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Geramnya, "Kalau teringat peristiwa malam itu, mau tidak mau hati ini jadi penasaran sekali."
"Tidak perlu disesali, justru karena pukulan itu, dirimu tidak sampai mati.", kata Li Yan Mao sambil tertawa.
Jika orang lain yang tertawa mungkin akan membuat Tang Xiong naik darah, tapi tawa Li Yan Mao bukan tawa menghina,
ada ketulusan dan juga terasa kesedihan dan kepahitan di sana. Tentu saja nasib Li Yan Mao tidak jauh berbeda dengan
nasih dirinya dan beberapa orang lain yang selamat.
Qin Bai Yu termenung kemudian berkata, "Setidaknya paman masih sempat bertarung dan melawan. Aku justru tidak
sadarkan diri karena tertimpa runtuhan bangunan yang terbakar. Belum sempat menarik pedang sedikit pun."
"Heh, kalau mau adu kebodohan, akulah juaranya, aku Cuma bersembunyi sementara kalian semua berusaha sekuat tenaga
untuk melawan.", ujar Tabib Shao Yong dengan jenaka berusaha menghibur Qin Bai Yu.
"Apa pun yang terjadi, aku bersyukur hal itu membuat kalian semua selamat, sehingga hari ini aku masih bisa berbicara
dengan kalian. Hargailah hidup kalian, jangan sia-siakan dengan tindakan yang terburu nafsu. Guru Gu Tong Dang pernah
berkata padaku, dalam keadaan terjepit, sebisa mungkin lebih baik aku mundur melarikan diri.", ujar Ding Tao berusaha
menghibur mereka semua. "Hah, si tua Gu Tong Dang, ingin aku berjumpa lagi dengannya, biar kumaki dia sudah mengajari muridnya jadi penakut.",
ujar Tang Xiong sambil tertawa, jelas tidak ada maksud menghina di dalam perkataannya yang pedas.
Tabib Shao Yong mengangguk-angguk katanya, "Ding Tao, di manakah Pelatih Gu Tong Dang sekarang" Aku pun ingin juga
bertemu lagi dengan orang tua itu."
Ding Tao menggelengkan kepala, "Terus terang aku pun tidak tahu, di mana guru tinggal sekarang ini. Dia sudah
menjelaskan rencananya, begitu aku memulai perjalanan kembali ke kota Wuling, dia akan menghilangkan jejak dan pergi
merantau." "Hmmm" benar-benar orang tua yang panjang akal. Ketua Ding Tao, budi baiknya padamu demikian dalam, jika
kedudukanmu sudah mapan, seharusnyalah kita mencarinya sampai dapat.", ucap Tang Xiong, diikuti dengan anggukan
kepala oleh Ding Tao. "Akupun berniat demikian."
"Paman Tang, mengapakah Pelatih Gu harus menghilangkan jejak?", tanya Qin Bai Yu yang maish muda.
"He, Ketua Ding Tao pergi berkelana membawa pedang, jika kau tidak bisa mengalahkan Ketua Ding Tao, tentu saja,
sasaran selanjutnya adalah titik lemah dari Ketua Ding Tao. Dalam hal ini Pelatih Gu Tong Dang, memandang dirinya
sebagai titik lemah, jika musuh berhasil menawan dirinya, mau tidak mau Ketua Ding Tao akan dengan terpaksa
menyerahkan Pedang Angin Berbisik.", ujar Tang Xiong menerangkan.
"Ya kira-kira demikianlah penjelasan guru. Sungguh sayang, Pedang Angin Berbisik tetap saja hilang dari tanganku.
Sungguh aku malu sudah menyia-nyiakan kepercayaan guru.", desah Ding Tao teringat tugas yang dibebankan Gu Tong
Dang pada dirinya. "Hmm" selama masih hidup, kesempatan masih ada. Lagipula, Ketua Ding Tao kehilangan pedang tapi sebaliknya berhasil
mengumpulkan sahabat dan membentuk satu perkumpulan. Aku yakin dengan bantuan saudara sekalian kita akan bisa
membentuk perkumpulan yang cukup besar pula.", hibur Li Yan Mao.
"Ya aku mengandalkan bantuan kalian semua untuk dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan guru", jawab DingTao
dengan senyum cerah. "Lihat itu mereka datang", ujar Tang Xiong menunjuk ke arah Chou Liang bertiga, yang datang bersama beberapa orang
penduduk kampung situ. Dengang singkat rumah Mao Bin dibuka dengan paksa, disaksikan beberapa penduduk kampung itu yang ikut datang
bersama kepala perkampungan dan benar saja di dalam rumah mereka menemukan Mao Bin dalam keadaan tak bernyawa.
"Astaga" aku harus melaporkan hal ini pada Hakim Huo di kota Wuling, kalian?", kepala perkampungan itu ragu harus
memerintahkan apa pada Ding Tao dan teman-temannya.
Jelas-jelas mereka orang persilatan, mau datang dan pergi dia tidak akan mampu berbuat apa-apa. Lebih-lebih sudah jelas bukan mereka pelakunya, untuk apa dia memaksakan diri untuk menahan mereka" Namun untuk membiarkan mereka
begitu saja, bisa-bisa dia kena damprat Hakim Huo.
Melihat kepala kampung itu ragu-ragu, Chou Liang cepat memberikan jalan, "Sudah jelas kami tidak ada urusannya dengan
pembunuhan ini, kalau kami diam dan kalian diam toh tidak ada yang perlu tahu. Kalau kalian ada yang berani buka mulut, itulah cari mati sendiri.Ular diam mengapa harus kau ganggu, benar kan?"
Beberapa orang penduduk kampung yang ikut menjadi saksi dan kepala kampung itu pun mengangguk-angguk.
"Nah, kalian cepat saja pergi memberi laporan, biarkan kami di sini sebentar untuk menyelidiki keadaan, demi kepentingan kami sendiri. Kalau ada yang ditanyakan Hakim Huo, bilang saja kalian cepat-cepat melapor, sehingga lupa tidak
menyiapkan orang berjaga di sini. Apa yang terjadi saat kalian pergi tentu tidak ada yang tahu. Aku tanggung saat Hakim Huo tiba, kami sudah menghilang dari tempat ini", ujar Chou Liang.
Kepala kampung masih berdiri ragu, meskipun hatinya condong untuk mengikuti anjuran Chou Liang.
"Ayo cepat sana melapor, mau tunggu apa lagi?", ujar Chou Liang.
"Ah iya, iya, apa kau yakin kalian semua sudah menghilang saat aku kembali bersama Hakim Huo?", tanyanya sekali lagi
sebelum meninggalkan rumah.
"Iya, iya, sana kalian semua pergi sana.", ujar Chou Liang sambil mengibas-kibaskan tangannya.
Bergegas Kepala kampung dan beberapa orang yang mengikut pergi meninggalkan Ding Tao dan kelompoknya sendirian.
"Sekarang bagaimana?", tanya Qin Bai Yu setelah semua orang itu pergi meninggalkan mereka.
"Buka mata, masing-masing memeriksa salah satu bagian dari rumah ini. Rumah ini tidak terlalu besar, kurasa sebentar
saja pemeriksaan kita selesai.", ujar Chou Liang.
Dalam waktu singkat setiap orang sudah memilih bagiannya sendiri-sendiri, memeriksa setiap sudut rumah, melihat-lihat
bila bisa ditemukan petunjuk tentang pembunuhan itu. Tinggal Ding Tao, Tabib Shao Yong dan Chou Liang berdiri di dekat
Mao Bin dan mengamati luka yang membunuh Mao Bin. Sebuah luka tepat di tengah pelipis Mao Bin, menembus lurus
hingga ke belakang kepala, cairan otak dan darah, meleleh keluar membasahi lantai.
"Apakah menurutmu luka itu yang membunuhnya?", tanya Ding Tao pada Chou Liang.
Perlahan-lahan Chou Liang menggelengkan kepala dengan ragu-ragu, kemudian menoleh pada Tabib Shao Yong, "Entahlah,
luka itu tentu luka yang mematikan, tapi lihat ceceran darah yang memanjang ini, sepertinya dia masih sempat menyeret
dirinya bergerak sebelum akhirnya mati, menurut Tabib Shao Yong bagaimana?"
"Ya, luka di kepala hingga menembus ke belakang, sudah tentu menyebabkan kerusakan otak yang parah, tetapi tidak
menyebabkan kematian secara langsung. Jika diobati dengan benar, masih ada kesempatan untuk hidup meskipun mungkin
dia akan jadi manusia yang tidak berguna?", jawab Tabib Shao Yong sambil memandangi mayat di depannya itu.
Kehidupan Para Pendekar 1 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Panji Sakti 8
^