Pencarian

Pendekar Binal 13

Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 13


Maka sekali melangkah saja Siau-hi-ji sudah berada di luar. Ia pandang Thi Sim-lan, nona itu juga sedang memandangnya, matanya yang jeli itu entah betapa banyak mengandung perasaan yang ruwet dan kusut, rasanya siapa pun sukar menelaahnya dengan jelas.
Nona itu masih menggetarkan goloknya yang tipis lentik itu sehingga menerbitkan suara mendenging.
Angin malam meniup sepoi-sepoi dingin. Siau-hi-ji terus melangkah ke depan, sama sekali ia tidak menoleh kepada Hoa Bu-koat, tapi ia yakin pemuda itu pasti berada tidak jauh di belakangnya, ia pikir menoleh juga tiada gunanya.
Begitulah dengan berlenggang bebas ia berjalan lewat di samping Thi Sim-lan.
Sekonyong-konyong sinar golok berkelebat, Liu-yap-to, golok sempit tipis laksana daun pohon Liu yang dipegang Thi Sim-lan itu mendadak membacok ke belakang Siau-hi-ji.
Sudah tentu Siau-hi-ji tahu serangan itu ditujukan kepada Hoa Bu-koat.
Biarpun kepandaian Hoa Bu-koat setinggi langit juga mesti menghindar dulu serangan ini. Maklumlah, betapa pun ilmu golok Thi Sim-lan juga tergolong kelas tinggi.
Pada saat sinar golok berkelebat itulah Siau-hi-ji lantas melompat ke depan.
Didengarnya Thi Sim-lan berseru, "Tangkap ini ...."
Kiranya bacokannya baru mencapai setengah jalan, mendadak arahnya berubah, Liu-yap-to tiba-tiba dilemparkan kepada Siau-hi-ji. Dan bila anak muda itu sampai memegang senjata, maka kisah membunuh diri di Go-bi-san tempo hari itu tentu dapat berulang pula.
Tak tersangka, selagi golok itu melayang di udara, sekonyong-konyong terdengar suara "tring", sisa Liu-yap-to ini secara ajaib mendadak juga patah menjadi dua dan jatuh ke tanah.
Dalam pada itu Hoa Bu-koat tahu-tahu sudah berada pula di belakang Siauhi-ji, katanya tenang-tenang seperti tidak terjadi apa-apa, "Apakah kau masih hendak berjalan lebih jauh lagi?"
Kalau orang tidak menyaksikan permusuhan mereka dan cuma mendengar ucapan Hoa Bu-koat saja, pasti orang akan menyangka mereka adalah sahabat karib yang akan pergi melancong. Betapa tidak, Hoa Bu-koat tetap ramah tamah, tetap tersenyum simpul, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu persoalan di antara mereka. Malahan ia pun tidak menoleh, tidak memandang Thi Sim-lan barang sekejap saja.
Ia tahu, bilamana ia memandang Thi Sim-lan, maka nona itu pasti akan malu dan tiada muka lagi buat bertemu dengan dia. Selama hidup Hoa Bu-koat tidak pernah menyinggung perasaan anak perempuan mana pun juga, apalagi anak perempuan ini ialah Thi Sim-lan.
Diam-diam Siau-hi-ji mengeluh, terpaksa ia berjalan terus ke depan.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba ia berkata dengan gegetun, "Tampaknya kau sangat baik terhadap anak perempuan."
"Ya, itu sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil," jawab Bu-koat dengan tertawa, "Kebiasaan kan sukar diubah bukan?"
"Tapi kalau anak perempuan bermuka sangat jelek, lalu bagaimana?"
"Asalkan anak perempuan, mukanya baik atau jelek kukira sama saja."
"Haha, aku menjadi ingin mencarikan seorang anak perempuan yang bermuka sangat buruk, ya botak, ya kudisan, ya pesek, ya sumbing, ya pincang, ya ... ya ... ya burik .... Nah, akan kulihat cara bagaimana kau akan bersikap baik padanya?"
"O, sungguh menyesal, mungkin kau tidak mempunyai kesempatan begitu lagi," kata Hoa Bu-koat.
Tiba-tiba Siau-hi-ji menghela napas dan berkata pula, "Sungguh fantastis dan sukar dibayangkan bahwa selagi kau hendak membunuh seseorang, tapi tanpa gugup tanpa gelisah kau masih dapat mengajak berkelakar dan mengobrol dengan dia, ini benar-benar sukar dibayangkan."
"Mengobrol dan membunuh adalah ...."
"Adalah dua persoalan yang berlainan, begitu bukan maksudmu"
"Betul, aku sendiri ingin mengobrol denganmu, tapi perintah yang kuterima mengharuskan diriku membunuhmu. Makanya kedua soal ini sama sekali berlainan dan tiada sangkut-pautnya satu sama lain."
"Sungguh aku tidak paham, cara bagaimana kau dapat memisahkan persoalan ini?"
"Inilah ajaran yang kuperoleh sejak kecil."
"Ai, kau benar-benar anak yang baik dan penurut."
Hoa Bu-koat tertawa, katanya kemudian, "Kau hendak berjalan pula ke depan?"
"Ya, sebenarnya aku ingin berjalan terus ke depan, bahkan berjalan semakin jauh," jawab Siau-hi-ji dengan tersenyum getir. "Tapi soalnya kau yang hendak membunuhku dan bukan aku yang ingin membunuhmu, pada hakikatnya kau tidak perlu meminta pendapatku."
"O, jika begitu ... jika begitu boleh berhenti saja di sini," kata Hoa Bu-koat dengan perlahan dan rikuh.
Siau-hi-ji memandang sekelilingnya, di bawah cahaya bintang yang kelap-kelip redup tertampak bayangan pegunungan Ku-san yang besar di kejauhan, daun pepohonan yang berdekatan tampak sudah mulai layu dan rontok. ...
Malam di musim rontok sudah jauh larut ....
Siau-hi-ji bergumam, "Sungguh aneh, musim rontok di daerah Kang-lam mengapa begini dini datangnya dan aku Kang Hi, Kang Siau-hi mengapa pula harus mati sedini dan semuda ini" ...."
***** Setelah Hoa Bu-koat bertiga pergi jauh barulah Kang Giok-long melompat bangun.
Kang Piat-ho berbangkit, dengan tertawa ia pandang putranya itu, katanya,
"Tak tersangka caramu mencari akal pada saat gawat ternyata jauh lebih pintar daripadaku."
Giok-long menunduk, jawabnya, "Ah, mana anak dapat dibandingkan dengan ayah, anak hanya ...."
"Di depan ayahmu sendiri tidak perlu banyak pikir," ucap Kang Piat-ho.
"Seumpama kau memang lebih cerdik dan pintar daripadaku juga aku merasa bersyukur, masakah aku sampai berbuat sesuatu yang tidak pantas padamu?"
Giok-long menunduk dan mengiakan.
Kang Piat-ho meraba-raba botol kecil porselen Hoa Bu-koat itu, katanya kemudian sambil berkerut kening, "Siau-cu-hiang dan Soh-li-tan ... sungguh tidak nyana bocah she Hoa itu adalah anak murid Ih-hoa-kiong. Munculnya bocah ini di dunia Kangouw membuatku mau tak mau harus hati-hati."
"Meski ilmu silatnya amat tinggi, tapi dia sama sekali tidak paham seluk-beluk orang hidup, kenapa mesti dikhawatirkan?" ujar Giok-long.
"Orang ini tampaknya hijau dan bodoh, tapi sesungguhnya mahapintar, mana kau dapat menjajaki pribadinya yang sesungguhnya?" kata Kang Piat-ho gegetun.
"Nona she Thi itu memang betul rada-rada mirip orang pintar yang tampaknya bodoh seperti ucapan ayah," kata Giok-long dengan tertawa. "Cuma ... seperti apa yang dikatakannya tadi, apakah ayahnya benar-benar tidak pernah datang ke sini" Betulkah ayah tidak pernah membunuhnya?"
Kang Piat-ho menjengek, katanya, "Walaupun aku belum pernah melihat Thi Cian si Singa Gila, tapi anak perempuan seperti nona Thi tadi, biasanya apa yang dikatakannya pasti tidak dusta."
"Jika dia tidak berdusta dan membual, sedangkan engkau orang tua juga tidak pernah melihat datangnya si Singa Gila Thi Cian, lalu, bagaimana duduknya perkara sehingga nona Thi itu mencari ayahnya ke tempat kita ini?"
kata Giok-long dengan mengernyit dahi.
"Ya, itu berarti bahwa si singa gila Thi Cian pasti pernah meninggalkan jejak di sini, bisa jadi kedatangannya dalam penyamaran, dan karena kelengahanku sehingga tak dapat kukenali dia."
"Tapi ... tapi nona itu pun menyatakan bahwa setelah ayahnya datang ke tempat kita ini, lalu ... lalu tak pernah lagi pergi dari sini," ujar Kang Giok-long.
"Betul, kukira saat ini dia mungkin masih berada di sini," ucap Kang Piat-ho dengan tenang-tenang saja.
"Masih berada di sini?" Giok-long menegas dengan rada melengak.
Kang Piat-ho mendengus, lalu berdiri, katanya pula dengan dingin, "Kau jangan lupa bahwa yang berada di sini selain kita ayah beranak, kan masih ada lagi satu orang"!"
"Hah, maksud ayah si bisu-tuli itu?" seru Giok-long.
"Bisu-tuli kenapa" Memangnya orang tak dapat berlagak bisu-tuli?"
"Tapi ... tapi ayah pernah mencoba dengan merunduk dari belakang dan mendadak membunyikan gembreng besar di tepi telinganya, waktu itu kupandang dari depan dan jelas dia sama sekali tidak mendengar bunyi gembreng yang keras itu, bahkan berkedip saja tidak."
"Orang yang memiliki kekuatan batin, biarpun gunung longsor di depan matanya juga takkan membuatnya gugup, apalagi mata berkedip?"
Segera Kang Giok-long berkata pula dengan suara tertahan, "Apakah ayah tahu saat ini dia berada di mana" Bisa jadi sudah kabur lebih dulu."
Tapi Kang Piat-ho sengaja membesarkan suaranya, katanya dengan bengis,
"Dia menyangka aku takkan mencurigai dia, maka saat ini dia pasti berada di sini. Pokoknya bila sebentar kita pergoki dia, seketika juga kita binasakan dia dan jangan memberi kesempatan padanya untuk bicara. Lebih baik kita salah membunuh seratus orang daripada seorang mata-mata terlolos. Nah, camkan dan ingat baik-baik petuahku ini."
Kalau Kang Giok-long khawatir pembicaraan mereka didengar oleh orang, makanya dia berkata dengan suara tertahan, tak tahunya sang ayah justru sengaja bicara dengan suara keras, tentu saja ia merasa bingung dan heran.
Apabila si kakek memang benar tidak bisu dan tuli, bukankah akan segera kabur bila mendengar ucapannya" Tapi setelah dipikir lagi, segera ia pun paham maksud kehendak sang ayah. Pikirnya, "Bisa jadi ayah sudah tahu kakek bisu tuli itu berada di sekitar sini, maka ayah sengaja bicara keras-keras, jika dia melarikan diri ketakutan, ini akan lebih terbukti bahwa dia memang betul si Singa Gila Thi Cian, tatkala mana belum lagi terlambat untuk mengejarnya."
Dalam pada itu Kang Piat-ho lantas melangkah ke sana, "blang", mendadak ia menolak daun pintu sekeras-kerasnya.
Di luar sana adalah serambi yang panjang, pada ujung serambi sana ada sebuah rumah kecil, di dalam rumah sana tampak cahaya api, yaitu api tungku yang sedang berkobar, si kakek bisu-tuli itu tampak berjongkok di tepi tungku lagi masak air.
Tanpa bergerak sedikit pun kakek itu berjongkok di situ, tenang dan tenteram dia menantikan mendidihnya air yang dimasaknya.
Selama hidupnya dia sudah biasa "menunggu" dan entah sudah berapa lama dia akan "menunggu" lagi" Terhadap soal "menunggu" sudah tentu dia jauh lebih paham dan lebih bersabar daripada orang muda. Walaupun ia menyadari bahwa manusia yang sebaya dengan usianya sekarang, selain
"mati" kiranya tiada sesuatu lagi yang perlu ditunggu dan tentu juga tiada sesuatu yang dapat diharapkan pula.
Dalam pada itu Kang Piat-ho sudah berada tidak jauh di belakang kakek loyo itu, mendadak ia membentak dengan bengis, "Bagus, mirip benar penyamaranmu, tapi betapa pun juga akhirnya toh konangan, sekarang serahkan jiwamu padaku!"
Habis berkata, secepat kilat ia melompat maju, telapak tangannya terus menghantam batok kepala kakek itu.
Tapi seperti tidak tahu apa-apa, kakek itu hanya menengadah saja dan tersenyum kepada sang majikan sambil menuding cerek air yang sedang dimasaknya, sikapnya seakan-akan hendak berkata, "Air sudah mendidih, segera akan kuseduhkan teh bagimu."
Telapak tangan Kang Piat-ho yang menghantam itu akhirnya jatuh perlahan di atas pundak si kakek. Betapa pun ia menjadi ragu-ragu pada detik terakhir.
Apabila si kakek dapat mendengar sepatah katanya saja, mustahil sikap dan senyumnya dapat begitu tenang dan wajar.
Sudah tentu Kang Piat-ho tidak tahu bahwa ada sementara orang terkadang memang dapat tersenyum dengan tenang dan wajar sekalipun menghadapi maut yang akan merenggut jiwanya.
Orang demikian memang jarang-jarang ada, satu di antaranya misalnya Siauhi-ji ....
***** Bintang berkelip-kelip dengan cahayanya yang suram menyinari wajah Hoa Bu-koat, wajah yang putih bersih tanpa cacat.
Sang pangeran yang didambakan setiap gadis di dunia ini mesti beginilah bentuknya. Hoa Bu-koat, model pemuda yang paling sempurna di kolong langit ini.
Sambil memandangi seterunya itu, tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa dan berkata,
"Tahukah bahwa namamu 'Bu-koat' sungguh sangat bagus dan tepat, memang betul kau tiada sesuatu kekurangan, tiada cacat ... kau berasal dari tempat yang diagungkan dunia persilatan, yang namanya paling termasyhur dan disegani. Kau muda dan cakap, segala keperluanmu serba kecukupan, tidak pernah khawatir kekurangan uang. Ilmu silatmu dapat membuat setiap orang Kangouw tunduk dan menghormat padamu. Kecakapanmu, tutur katamu dan sikapmu yang menarik dapat pula membuat setiap gadis di dunia ini tergila-gila padamu. Namun juga suci bersih tanpa cela, bahkan di belakangmu juga orang lain tiada alasan buat menista dirimu."
Siau-hi-ji menggeleng-geleng, lalu menambahkan dengan tertawa, "Jika di dunia ini ada manusia yang sempurna tanpa cacat, maka orang itu ialah dirimu."
"Terima kasih banyak-banyak atas pujianmu," ucap Hoa Bu-koat dengan tersenyum.
"Akan tetapi sekarang tiba-tiba kutemukan sesuatu, sesuatu atas dirimu, bahwa kau ternyata juga ada sesuatu kekurangan," sambung Siau-hi-ji dengan perlahan.
"O, apa itu?" tanya Hoa Bu-koat, seperti acuh tak acuh.
"Perasaan!" jawab Siau-hi-ji. "Kekuranganmu adalah perasaan, ya, perasaan.
Dari ubun-ubun sampai ujung jari kakimu sudah kulihat bahwa kekuranganmu hanyalah perasaan, kau ini manusia sempurna yang minus perasaan. Darah yang mengalir di tubuhmu mungkin adalah darah dingin."
"O, begitukah?" Hoa Bu-koat hanya tersenyum hambar saja.
"Tentunya kau tidak dapat menerima tuduhanku ini, bukan?" tanya Siau-hi-ji.
"Baik, coba jawab, apakah kau benar-benar paham artinya cinta" Tahukah apa itu benci atau dendam" Pernahkah kau rasakan bagaimana rasanya cinta dan bagaimana rasanya benci?"
Ia melangkah terus ke depan sambil menyambung pula, "Kuyakin, bahkan kekesalan dan kerisauan juga tak pernah kau rasakan. Umpamanya sakit, ketuaan, masygul, kemiskinan, kecewa, berduka, malu, gusar ... semua ini adalah penderitaan yang tak dapat dihindari oleh manusia umumnya, akan tetapi, kau tidak kenal semua itu, tiada satu pun yang pernah kau rasakan, semua itu tiada terdapat dalam kamus hidupmu .... Coba, seorang yang sama sekali tidak kenal apa artinya siksa derita, cara bagaimana pula dapat mengetahui betapa rasanya bahagia?"
Setelah menghela napas, perlahan-lahan Siau-hi-ji menyambung lagi, "Kalau toh kau tidak pernah mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh dan juga tidak pernah membenci atau dendam pada seseorang, kau tidak memiliki kesukaran, tidak tahu penderitaan dan juga tidak paham kebahagiaan ...
orang lain mungkin akan kagum padamu, tapi aku justru berpendapat manusia hidup seperti dirimu ini pada hakikatnya tidak ada artinya."
Hoa Bu-koat termenung sejenak, sikapnya masih tetap tenang-tenang saja tanpa memperlihatkan sesuatu perubahan perasaan, dia cuma tersenyum hambar saja, katanya kemudian, "Mungkin apa yang kau katakan ini memang betul, bisa jadi pengaruh lingkungan yang membuat diriku menjadi begini."
"Betul," ucap Siau-hi-ji dengan tersenyum getir, "Hanya Ih-hoa-kiong saja yang dapat menciptakan manusia seperti dirimu dan menjadikanmu manusia patung, patung hidup. Meski kau senantiasa ramah tamah dan sopan santun terhadap siapa pun juga, tapi dalam hati pasti tidak pernah menganggap mereka pantas dihormati, biarpun kau selalu bersikap halus kepada setiap anak perempuan, tapi kau pun pasti tidak benar-benar menyukai mereka."
Lalu ia menghela napas panjang, kemudian melanjutkan, "Seumpama kau hendak membunuh orang, dalam hatimu juga belum pasti menganggap orang itu memang harus dibunuh."
"Ya, semua ini memang harus disesalkan," ujar Hoa Bu-koat.
"Baiklah, ucapanku sudah habis, silakan mulai turun tangan saja," kata Siauhi-ji akhirnya sambil menengadah dan tertawa. "Aku pun ingin tahu sesungguhnya kau dapat membunuhku dalam berapa jurus serangan."
"Apakah kau ingin memakai senjata?" tanya Bu-koat.
"Aku tidak membawa senjata," jawab Siau-hi-ji.
"Jika kau ingin memakai senjata dapat kutemani kau pergi ke tempat yang terdapat senjata dan nanti boleh kau pilih sesukamu," kata Bu-koat.
"Sudah terang kau tahu sekali-kali aku bukan tandinganmu sekali pun aku memakai senjata, sudah jelas kau hendak membunuhku, tapi sikapmu masih begini halus dan begini sopan padaku," ujar Siau-hi-ji tersenyum getir "Jika dilihat orang lain, tentu kau dianggap keji dan culas. Akan tetapi aku cukup kenal dirimu, aku tahu pasti engkau bukan manusia yang demikian itu, sebab pada hakikatnya kau tidak kenal apa artinya pura-pura, apa artinya munafik, sebab kau memang tidak perlu munafik dan apalagi berpura-pura."
"Sesungguhnya kau sangat memahami diriku," ucap Bu-koat.
"Makanya mungkin sangat sulit jika kau ingin mencari lagi seorang yang dapat memahami dirimu seperti aku ini," kata Siau-hi-ji.
"Ya, memang betul," tukas Bu-koat dengan gegetun.
Siau-hi-ji mengusap bibirnya yang terasa kering itu, katanya pula, "Rasanya aku tidak perlu menggunakan senjata, silakan saja kau turun tangan sekarang."
Hoa Bu-koat menengadah memandang angkasa raya yang kelam itu, angin musim rontok meniup berdesir membawa daun kering yang rontok, cahaya bintang semakin redup, jagat raya ini serasa diliputi kesunyian yang mencekam. Dengan rasa hampa ia bergumam, "Hawa begini ...."
"Hawa begini memang sangat cocok untuk membunuh orang," tukas Siau-hi-ji.
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara Thi Sim-lan menyambung, "Hawa begini sungguh membuatku menggigil kedinginan ...."
tahu-tahu nona itu telah muncul di antara mereka dalam keadaan luar biasa
... dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai benang pun di tubuhnya.
Cahaya bintang yang redup itu dengan halus menyinari sekujur badan Thi Sim-lan.
Tubuh yang putih bersih mulus itu tampaknya seperti ukiran gading karya ahli pahat yang tiada taranya.
Rasanya di dunia ini sukar dicari tubuh gadis telanjang yang semulus, seindah dan secemerlang ini, sungguh membuat orang sesak napas melihat tubuh yang mulus ini.
Seketika napas Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat juga seakan-akan berhenti.
Dengan terputus-putus Hoa Bu-koat berkata, "Kau ... kenapa kau ...."
Thi Sim-lan berpaling menghadapi Hoa Bu-koat, katanya dengan hampa,
"Bagus tidak tubuhku ini?" Dada yang montok itu tampak bergerak naik turun, di bawah cahaya bintang yang redup itu tampaknya sedemikian menggiurkan, mustahil laki-laki di dunia ini takkan menelan air liur bila melihat tubuh yang mulus begitu.
Tanpa terasa Hoa Bu-koat memejamkan matanya, katanya dengan gemetar,
"Kau ... kau ...."
Mendadak Thi Sim-lan menubruk maju dan merangkul Hoa Bu-koat erat-erat.
Seketika anak muda itu merasakan sesosok tubuh yang halus licin dan dingin memeluknya, jantungnya berdebar-debar hebat sehingga tangan pun terasa gemetar dan lemas.
Selama hidup Hoa Bu-koat belum pernah timbul perasaan membara begini, seakan-akan pingsan rasanya dia, jantung seperti mau meledak dan ...
hakikatnya dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Orang mampus ... ken ... kenapa kau masih berdiri di situ?" omel Thi Sim-lan dengan suara gemetar, ucapannya itu tertuju kepada Siau-hi-ji.
Ternyata Siau-hi-ji juga berdiri mematung di tempatnya dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
"Aku ... aku bertindak begini dan kau ... kau malah tidak mau lekas pergi?"
jerit Thi Sim-lan dengan suara serak.
Tiba-tiba air mata menetes dari mata Siau-hi-ji.
Untuk pertama kalinya selama hidup Siau-hi-ji mencucurkan air mata, ia pun tidak tahu air mata ini air mata terharu, air mata berterima kasih atau air mata berdukacita atau air mata murka atau air mata malu diri"
Pada hakikatnya tangan Hoa Bu-koat tidak berani bergerak, apalagi untuk menyentuh tubuh Thi Sim-lan, karena itu, dengan sendirinya ia tak dapat meronta dan melepaskan diri dari rangkulan si nona. Dahinya sudah berkeringat dan mata masih terpejam, ia hanya dapat berseru berulang-ulang,
"Lepaskan ... lepaskan ...."
Air mata pun tampak membasahi wajah Thi Sim-lan, dilihatnya Siau-hi-ji masih tetap mematung di situ, dengan dongkol ia berteriak pula, "Jika ... jika kau tidak mau pergi, biar kumati di ... di hadapanmu saja!"
"Aku ... aku. ..." sungguh Siau-hi-ji tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Akhirnya dia memandang Thi Sim-lan sekejap, pandangan yang paling berarti
... tubuh yang suci bersih dan mulus ini dengan air mata yang membasahi wajah yang cantik itu, semua ini pasti akan tetap terukir di dalam sanubarinya dan takkan dilupakannya selama hidup.
Mendadak Siau-hi-ji meraung keras-keras satu kali, seperti orang gila ia terus membalik tubuh dan berlari pergi laksana orang kesurupan.
***** Bintang-bintang di langit semakin jarang-jarang, jagat raya ini semakin sunyi.
Seperti seekor binatang yang terluka Siau-hi-ji berlari-lari terus tanpa arah tujuan, sampai sekian lamanya ia lari di tengah malam senyap di ladang belukar, dia tidak tahu sudah berapa jauh berlari-lari dan entah sudah berlari sampai di mana"
Ia tidak menangis lagi, air matanya sudah kering, hatinya kusut, sekusut rambutnya. Selama hidupnya tak pernah dia menderita seperti sekarang ini, belum pernah bingung dan risau seperti ini.
Tertampak petak-petak sawah membentang luas, tanaman padi sudah membutir, batang padi bergoyang-goyang tertiup angin malam laksana gelombang samudera raya.
Tanpa pikir Siau-hi-ji berlari dan menyusup ke tengah-tengah sepetak sawah, di bawah cahaya bintang yang remang-remang ia terus merebahkan diri.
Air lumpur membenam sebagian tubuhnya, sinar bintang yang berkedip-kedip itu tampaknya semakin jauh dipandang dari rumpun batang padi yang lebat, tampaknya semakin kabur dan sukar diraba.
Ia menggigit bibir sendiri, bibir sudah pecah-pecah tergigit, tapi sama sekali tak terasa olehnya, maklumlah, derita batinnya jauh lebih sakit daripada sakit lahiriahnya, berpuluh kali lebih menderita.
Ia coba bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, "Apakah aku dapat dianggap sebagai manusia?"
Kuanggap diriku manusia super, siapa pun tak dapat membandingi diriku, kupandang rendah orang lain, tapi bilamana orang hendak membunuhku, nyatanya sedikit pun aku tak berdaya, tak mampu melawan.
Kupandang rendah perempuan, lebih-lebih Thi Sim-lan, lantaran kutahu dia mencintai diriku, makanya aku sengaja menggoda dia, menyiksa dia, sedapatnya aku berusaha membuatnya menderita, melukai hatinya. Tapi akhirnya, akhirnya aku harus menerima pengorbanannya untuk menyelamatkan diriku!
Selamanya kuanggap diriku ini manusia mahapintar, manusia paling cerdik di dunia ini, tapi sekarang aku seperti seekor anjing budukan yang diusir dan dikejar orang, aku lari seperti anjing mencawat ekor.
Biarpun sekali ini aku dapat kabur dengan selamat, tapi selama hidupku masakah harus berlari-lari seperti ini" Apakah selama hidupku ini harus selalu memohon pertolongan orang untuk menyelamatkan jiwaku"
Memang betul, tipu akal Hoa Bu-koat tidak selihai aku, tapi orang seperti dia itu buat apa mesti memakai tipu akal" Soalnya dia memiliki kepandaian sejati, kepandaian asli.
Sedangkan aku" .... Aku hanya mengandalkan nasib belaka ... seseorang kalau cuma pintar saja tanpa memiliki kepandaian sejati, lalu apa gunanya"
"Selalu kuanggap tokoh-tokoh di Ok-jin-kok itu sama takut padaku, makanya aku menjadi sok, kuangggap diriku ini mahahebat, tak tahunya bahwa sebabnya mereka itu takut padaku hanyalah serupa ayah-ibu yang memanjakan anaknya yang binal, kalau benar-benar bergebrak, memangnya aku dapat mengalahkan To Kiau-kiau" Atau Toh Sat, atau ...."
Begitulah Siau-hi-ji berbaring di tengah sawah dan merenungkan kepribadiannya, ia pikir dan menimbang bolak-balik.
Tanpa terasa fajar sudah menyingsing, sang surya sudah mengintip di ufuk timur, tidak jauh di persawahan itu sudah terdengar suara gonggong anjing dan suara orang.
Tapi Siau-hi-ji masih saja berbaring di situ tanpa bergerak, matanya masih terpentang lebar walaupun semalam suntuk dia tak tidur.
Pagi berganti siang dan siang berganti malam, hari sudah gelap pula, angin yang mendesir sayup-sayup itu membawa bau sedap kukus nasi.
Akhirnya Siau-hi-ji merangkak bangun, tubuhnya penuh berlumuran lumpur, mukanya juga berlepot lumpur kotor, tapi ia tak peduli, ia terus melangkah ke depan menyusuri pematang sawah.
Dari kejauhan dilihatnya di depan sana ada kelip bintik-bintik cahaya api, agaknya di depan sana adalah sebuah kota.
Benar juga, memang sebuah kota, kota yang kecil, walaupun sudah malam, tapi jalan kota masih cukup ramai, terdengar suara tambur dan gembreng ditabuh bertalu-talu, ada lampu berkerudung kertas merah yang menyinari tengah kalangan.
Rupanya ada sebuah rombongan pemain akrobat yang sedang mengadakan pertunjukan, pada umumnya rombongan pemain akrobat begini adalah kaum pengembara yang terdapat di mana-mana.
Dalam keadaan limbung Siau-hi-ji terus menerobos ke tengah-tengah kerumunan penonton. Melihat keadaannya yang kotor penuh lumpur itu, tentu saja para penonton yang dijubel oleh Siau-hi-ji sama mengumpat, tapi mau tak mau juga sama menyingkir memberi jalan.
Siau-hi-ji langsung maju ke bagian paling depan, di situlah dia berjongkok menyaksikan permainan akrobat. Dilihatnya seorang anak perempuan berbaju merah dengan rambut berkepang menjadi dua kuncir kecil sedang main berjalan di atas tali. Anak perempuan ini bermata besar dan berwajah lumayan.
Selain anak perempuan yang sedang main berjalan di atas tali itu, ada pula beberapa orang lagi tua dan muda yang sedang main senjata, ada pula yang sedang berjumpalitan, sebagian lagi sibuk menabuh dan memukul bereng-bereng atau bende.
Siau-hi-ji hanya berjongkok saja di situ, pada hakikatnya ia tidak tahu pertunjukan apa yang sedang berlangsung di depannya, dia hanya merasa hampa, merasa sunyi dan ingin melihat wajah orang yang mengulum senyum.
Entah sudah berapa lama ia berjongkok di situ, samar-samar ia merasa ada orang bersorak-sorai, ada orang berkeplok dan berjingkrak, ada pula suara gemerencingnya mata uang yang dilemparkan orang ke tengah kalangan.
Kemudian kerumunan penonton pun bubar, rombongan pemain akrobat itu pun sibuk berbenah dan mengukuti alat perabotnya. Si gadis cilik berbaju merah yang main tali tadi tidak bekerja seperti lain-lainnya, bagai seorang tuan saja ia duduk di samping sana dan sedang minum.
Melihat Siau-hi-ji berjongkok di situ, nona cilik itu memandang sekejap sambil mengernyitkan dahi, matanya yang besar itu tampak gemerlap, mendadak ia merogoh sebuah mata uang terus dilemparkan ke depan Siau-hi-ji, habis itu ia lantas melengos lagi ke sana.
Siau-hi-ji masih dalam keadaan limbung, pada hakikatnya ia tidak tahu apa yang dilemparkan si nona cilik itu, maka ia pun tidak memungutnya.
Kemudian rombongan pemain akrobat itu pun berlalu. Dengan tegak si nona cilik baju merah berjalan lewat di samping Siau-hi-ji, seperti tidak sengaja, dengan kakinya ia menyepak mata uang tadi ke sebelah kaki Siau-hi-ji, maksudnya agar dapat dicapai tangan anak muda itu dan mengambilnya.
Itulah hati nurani manusia sejati, manusia yang pada dasarnya berhati bajik, manusia yang melihat kesukaran dan kemiskinan orang lain lantas melupakan keadaan sendiri.
Rombongan pemain akrobat itu sedang bicara dan tertawa, sedang berunding acara pertunjukan mereka dan menghitung hasil usaha sehari ini cukup makan apa dan dapat membeli berapa kati arak. Mengenai esok, esok adalah urusan esok, mereka tidak perlu merisaukan urusan esok, sekalipun esok akan terjadi sesuatu yang malang, biarpun esok tak dapat makan, biarlah dirisaukan saja esok, yang penting adalah hari kini, asalkan hari kini dapat makan enak dan minum arak dan habis perkara.
Itulah kehidupan praktis manusia yang berhati lapang, apa yang dipikirkan dan diharapkan Siau-hi-ji saat ini justru adalah kehidupan yang cuma ada
"hari kini" dan tiada "hari esok" begini.
Segera ia pungut mata uang tadi dan ikut di belakang rombongan pemain akrobat itu. Tidak jauh di depan sana adalah sebuah sungai, di tepi sungai sana tertambat sebuah kapal, di dekat haluan kapal menanti seorang kakek kekar, agaknya kakek itulah pemimpin mereka.
Usianya sudah di atas enam puluh, tapi tubuhnya masih kekar seperti orang muda, biarpun kehidupannya mengembara kian kemari tidak menentu, tapi tidak mengurangi gairah hidupnya yang menyala.
Mendadak Siau-hi-ji memburu maju, dengan sangat hormat dia menjura, katanya, "Loyacu, bolehkah aku ikut 'Cau-kang-ouw' (mengembara) bersamamu?"
Kakek itu menoleh dan memandang anak muda itu sekejap, jawabnya sambil menggeleng, "Anak muda, Cau-kang-ouw bukanlah pekerjaan yang enak, untuk itu diperlukan suatu kepandaian, juga harus berani menderita."
"Aku berani menderita, aku sudah biasa hidup sengsara," ucap Siau-hi-ji.
"Tapi apakah kau mempunyai sesuatu kepandaian yang dapat dipertontonkan kepada orang?" tanya si kakek.
Siau-hi-ji terdiam sejenak, setelah berpikir barulah ia berkata, "Aku dapat main berjumpalitan."
"Berjumpalitan?" si kakek tertawa geli. "Haha, berjumpalitan adalah permainan yang paling sederhana, orang bekerja seperti kita ini setiap orang pun bisa. Hai, Gudel, coba pertunjukkan padanya caramu berjumpalitan."
Seorang anak muda bertubuh kekar kuat, mata besar dan alis tebal lantas tampil ke muka dengan cengar-cengir, mungkin karena tubuhnya yang kekar itulah, maka dia mendapat nama poyokan si "Gudel" (anak kerbau).
Setelah menyingsing lengan baju, tanpa pasang kuda-kuda, sekaligus si Gudel lantas berjumpalitan belasan kali.
Siau-hi-ji berkedip-kedip, tanyanya kemudian kepada si Gudel, "Paling banyak kau dapat berjumpalitan berapa kali?"
"Mungkin bisa mencapai dua puluh atau tiga puluh kali," jawab si Gudel tertawa.
"Tapi sekaligus aku sanggup berjumpalitan seratus atau dua ratus kali," kata Siau-hi-ji.
"Hah, apa betul?" si kakek ragu-ragu. "Dapat sekaligus berjumpalitan delapan puluh kali memang pernah kulihat waktu aku masih jejaka, yaitu Li-lotoa dari Li-keh-pan (rombongan keluarga Li), tapi sejak dia terluka dibacok orang, selama ini belum pernah ada lagi."
"Kalau delapan puluh kali saja bukan apa-apa bagiku, sekaligus aku sanggup berjumpalitan seratus enam puluh kali," ujar Siau-hi-ji.
"Jika betul kau dapat berjumpalitan seratus enam puluh kali ... tidak, cukup asalkan delapan puluh kali saja, maka selama hidup ini rasanya kau tidak akan kelaparan, meski tidak dapat makan enak, namun daging dan arak kukira pasti ada."
Belum habis si kakek berucap, tahu-tahu Siau-hi-ji sudah mulai main akrobat.
Dasar seluruh badan Siau-hi-ji memang sudah tergembleng sehingga menyerupai otot kawat tulang besi, biarpun ilmu silatnya belum setingkat jago terkemuka, dalam hal berjumpalitan boleh dikatakan bukan soal baginya, lebih mudah daripada makan kacang goreng misalnya.
Ketika dia berjumpalitan hingga tiga puluh kali, sementara itu orang banyak sudah berkerumun, tatkala berjumpalitan hingga enam puluh kali, serentak semua orang bersorak memuji.
Waktu dia berjumpalitan sampai delapan puluh kali, semua orang menjadi lupa bersorak melainkan melotot kesima. Dan kalau ada yang bergirang, maka si nona cilik berbaju merah bermata besar itulah yang paling gembira.
Siau-hi-ji terus berjumpalitan hingga lebih seratus kali, lalu ia berhenti, katanya dengan tertawa, "Cukup tidak?"
"Cukup, cukup, sangat cukup ...." ucap si kakek sambil berkeplok tertawa.
"Ayo lekas, lekas ikut si Gudel ke atas kapal, cuci muka dulu dan ganti pakaian, sebentar kita makan malam. Mulai sekarang kau adalah anggota Hay-keh-pan (group keluarga Hay) kita."
Tapi Siau-hi-ji lantas menunduk dan menjawab, "Ayah-bundaku meninggal belum lama berselang, aku masih berkabung, di depan makam mereka aku telah bersumpah akan berkabung selama tiga tahun dan selama tiga tahun ini tidak akan cuci muka."
"O, anak yang malang," kata si kakek dengan gegetun, "tak tersangka kau adalah anak yang berbakti. Oya, anak-anak sama memanggilku Si-tia, maka selanjutnya kau pun boleh memanggilku demikian."
***** Begitulah Siau-hi-ji lantas mulai kehidupannya ikut Cau-kang-ouw dan main akrobat di rombongan. "Hay-keh-pan" ini. Setiap hari kerjanya cuma akrobat, main berjumpalitan.
Kini dapat diketahuinya bahwa hampir seluruh anggota Hay-keh-pan ini adalah putra-putri Hay Si-tia, kalau bukan putra-putrinya tentu adalah keponakan atau sanak keluarganya, si Gudel adalah putranya yang keenam, anggota pemain yang paling cekatan dan memiliki Kungfu paling bagus.
Si nona cilik baju merah itu adalah bintang panggung rombongan mereka, namanya Hay Ang-cu, si mutiara merah. Dia adalah putri bungsu Hay Si-tia yang dilahirkan pada waktu sang ayah merayakan ulang tahun setengah abad.
Selain itu tidak banyak lagi yang diketahui Siau-hi-ji.
Kecuali main akrobat, urusan apa pun Siau-hi-ji tidak ambil pusing, setiap hari selain makan tidur dan main akrobat, selebihnya adalah duduk termenung, duduk ngelamun.
Sudah tentu tiada seorang pun yang tahu waktu ngelamun itulah sebenarnya Siau-hi-ji sedang merenungkan kunci yang paling penting daripada ilmu silat yang paling tinggi, di dunia ini boleh dikatakan tidak seberapa banyak orang yang menguasai kunci ilmu silat yang paling tinggi itu.
Bu-kang-pit-kip (kitab pusaka ilmu silat) yang telah banyak mengambil korban jiwa manusia dan pernah dimiliki Siau-hi-ji bersama Kang Giok-long itu sudah dibacanya sehingga hafal betul di luar kepala, maka dengan mudah ia dapat mengingatnya kembali segala isi kitab yang telah dibacanya itu.
Bila ada satu bagian berhasil dipecahkannya, malamnya bila orang lain sudah sama tidur, diam-diam ia lantas menuju ke tempat yang sepi di tepi sungai untuk melatihnya. Karena orang lain menganggapnya rada sinting, linglung, meski tindak tanduknya terkadang juga rada aneh, tapi tiada orang yang mau memperhatikannya.
Permainan akrobatnya sangat menarik penonton, pula ia tidak rewel dalam hal bagi rezeki, maka orang lain juga dapat memaafkan dia dan membiarkan tingkah-ulah sesukanya.
Kini Siau-hi-ji bukan lagi orang terpintar nomor satu di dunia.
Sekarang orang lain memanggilnya dengan nama poyokan "Hay Siau-ngay", di tolol kecil she Hay, sebab dia sudah dianggap satu bagian daripada group keluarga Hay.
Kaum musafir sepanjang tahun selalu dalam pengembaraan dari sungai sini menghilir ke sana, dari timur pindah ke barat dan dari barat mudik lagi ke hulu. Siau-hi-ji sendiri pun tidak tahu jelas tempat mana saja yang pernah dijelajahinya.
Suatu hari, perahu mereka berlabuh pula, Siau-hi-ji lagi duduk di geladak perahu dan sedang cuci kaki. Tiba-tiba dari belakang terjulur sebuah tangan yang putih, tangan yang kecil itu menyodorkan sebuah jeruk padanya.
Tanpa menoleh Siau-hi-ji terima jeruk itu terus dikuliti dan dimakan.
Hay Ang-cu masih berdiri di belakangnya, tunggu punya tunggu, sampai sekian lamanya Siau-hi-ji tetap tidak menoleh. Terpaksa Ang-cu menggeser ke samping dan duduk di sebelahnya, ia pun membuka sepatu dan berendam kaki di air sungai.
Kaki yang putih, kaki yang kecil, sambil mengaduk air, mendadak air disepak dan muncrat membasahi tubuh Siau-hi-ji. Namun anak muda itu tetap tidak bergerak sedikit pun, juga tidak bersuara.
Hay Ang-cu meliriknya sekejap, tiba-tiba ia tertawa ngikik, katanya, "Kau tidak sudi menggubris diriku, mengapa pula kau makan jerukku?"
"Aku tak dapat bicara," kata Siau-hi-ji.
"Kau tak dapat bicara" Memangnya bisu?" ujar Hay Ang-cu dengan tertawa.
"Aku tidak sesuai untuk bicara denganmu," jawab Siau-hi-ji dingin.
"Tidak sesuai" Siapa bilang kau tidak sesuai" ...." mata yang jeli itu mengerling lincah, tiba-tiba ia mengikik tawa pula dan menambahkan, "Orang lain sama memanggilmu Siau-ngay, tapi aku tahu kau adalah orang pintar.
Bukan saja pintar, bahkan jauh lebih pintar daripada orang lain, betul tidak?"
Risi rasa hati Siau-hi-ji, yang saling ditakutinya sekarang justru adalah pujian orang lain yang menyatakan dia mahapintar.
Maka ia mengernyit dahi dan berdiri, ia membalik tubuh terus hendak melangkah pergi. Tapi mendadak dilihatnya di depan sana ada serombongan orang, seketika ia melengak dan mematung di tempatnya, kedua kakinya terasa terpaku di situ dan tak dapat bergerak lagi.
Kiranya di tepi sungai sana ada satu rombongan orang sedang bersenda-gurau sambil berjalan kemari di atas tanah berumput hijau. Sementara itu sudah musim semi, jagat raya ini penuh diliputi suasana hidup dengan hawa yang harum menyegarkan.
Pakaian orang-orang di rombongan itu tampak beraneka warna, ringan dan halus, wajah mereka sedemikian cerah penuh kegembiraan, angin musim semi sepoi-sepoi mengusap baju halus mereka, cahaya matahari juga sedemikian hangat, serasi benar dengan usia mereka yang masih muda.
Celakanya di antara rombongan muda-mudi yang bergembira ria itu justru terdapat orang-orang yang paling tidak suka dilihat oleh Siau-hi-ji, mereka ialah Hoa Bu-koat, Thi Sim-lan, Buyung Kiu dan Kang Giok-long.
Bahwa Kang Giok-long juga berada di tengah-tengah Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan, hal ini benar-benar luar biasa dan sukar dimengerti.
Tatkala mana beberapa orang yang berpakaian perlente tampak sedang mengerumuni Hoa Bu-koat dengan sikap yang menyanjung puji, tak perlu disangsikan lagi, jelas Hoa Bu-koat adalah pusat perhatian dari seluruh anggota rombongan itu.
Hoa Bu-koat sedang tertawa, tapi tertawanya itu lebih banyak ditujukan kepada kedua gadis jelita yang berada di sebelahnya, yaitu Thi Sim-lan dan Buyung Kiu.
Thi Sim-lan juga sedang tertawa, wajahnya tampak cerah, seperti penuh bercahaya kebahagiaan.
Mereka memang benar beruntung dan bahagia, pantaslah jika mereka tertawa gembira.
Tapi keberuntungan mereka justru semakin menonjolkan kemalangan Siauhi-ji, kegembiraan mereka justru semakin menunjukkan dukacita Siau-hi-ji.
Hati Siau-hi-ji menjadi panas serasa terbakar.
Untuk pertama kalinya selama hidup ini ia benar-benar tahu rasanya iri, baru sekarang dia merasakan penderitaan yang begini hebat, hatinya seakan-akan hancur luluh.
Dengan terheran-heran Hay Ang-cu memandang Siau-hi-ji, lalu ia pandang pula rombongan muda-mudi itu, seakan-akan ia pun merasakan duka-derita Siau-hi-ji itu, dengan sayu ia berkata, "Kutahu riwayat hidupmu pasti banyak rahasianya, betul tidak?"
Pada hakikatnya Siau-hi-ji tidak mendengar apa yang diucapkan nona itu, ia memandang kesima ke arah rombongan yang asyik beriang gembira itu.
Sekarang ia lihat lagi seorang, seorang pemuda yang berpakaian hijau pupus, itulah Pek Leng-siau.
Pek Leng-siau juga sedang bersenda gurau dengan Hoa Bu-koat, tertawanya sangat gembira seperti dua sahabat kenalan lama.
Sungguh aneh, mengapa Hoa Bu-koat dapat bergaul dengan orang begituan"
Tapi, ai, Hoa Bu-koat memang dapat bergaul dengan siapa pun juga, pada hakikatnya dia tidak mengambil pusing kepada orang lain, baginya setiap manusia di dunia ini tidak banyak bedanya, bahkan sama saja, dia tidak perlu gusar dan dendam pada mereka.
Dengan menggigit bibir Hay Ang-cu berkata pula dengan lirih, "Apakah kau kenal dengan mereka" .... Kutahu, asalnya engkau memang satu golongan dengan rombongan mereka itu dan sekali-kali tidak mungkin segolongan dengan kami .... Ya, pada hakikatnya kami ini cuma rombongan manusia yang hina dan patut dikasihani."
Siau-hi-ji mundur-mundur perlahan dan akhirnya berada di titian emper kapal.
Tiba-tiba ia merasa Thi Sim-lan seperti sedang memandang padanya.
Tapi pandangan itu hanya pandangan sepintas lalu saja, mana mungkin si nona memperhatikan benar-benar seorang pemuda dekil dan hina ini.
Akan tetapi mau tak mau Siau-hi-ji terus mengawasi nona itu, tampaknya Thi Sim-lan sudah meningkat lebih dewasa, laksana sekuntum bunga Bo-tan yang sedang mekar, anggun dan cantik penuh gairah.
Sedangkan Buyung Kiu kelihatan lebih kurus, begitu kurus sehingga mirip setangkai bunga seruni, walaupun tidak secantik bunga Bo-tan, tapi memiliki sejenis bau harum semerbak yang memabukkan orang.
Mata Buyung Kiu juga semakin besar tampaknya, tapi sudah kehilangan sorot mata yang tajam itu, sebagai gantinya adalah sinar mata sayu, sinar mata yang sedih. Apa sih yang membuatnya sedih"
Perlahan Hay Ang-cu mendekati Siau-hi-ji, sorot matanya yang sayu seperti Buyung Kiu, dengan rawan ia pandang Siau-hi-ji, katanya dengan lirih, "Baru sekarang kutahu apa sebabnya kau tidak gubris diriku, soalnya aku tidak sesuai untuk berbicara denganmu, betul tidak" Memangnya aku mana dapat membandingi kedua anak perempuan itu, mereka cantik dan anggun, sedangkan aku ...."
Angin meniup sepoi-sepoi, di bawah titian kapal itu pun rada suram ....


Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji menarik Hay Ang-cu terus dirangkulnya erat-erat, bibirnya yang panas itu dengan bernafsu terus melengket di bibir si nona. Darah anak muda itu bergolak, ia memerlukan pelampiasan!
Sesaat itu Hay Ang-cu merasa langit dan bumi ini seperti berputar dan mendadak dunia ini laksana kiamat.
Ia memejamkan matanya, segala apa pun tak terasakan lagi. Ia merasa dirinya seperti terjerumus ke dalam bara yang sedang berkobar, sekujur badannya serasa ikut terbakar, seluruh raganya seakan-akan lumer, sukmanya juga sudah meleleh.
Hanya sedetik itu, seluruh kehidupannya telah berubah.
Akan tetapi bagi pandangan orang lain hal ini seakan-akan soal sepele yang tak ada nilainya untuk diperhatikan, orang-orang yang sedang bersenda gurau tadi sudah mulai pergi menjauh.
Mendadak Siau-hi-ji mendorong minggir Hay Ang-cu terus melompat turun ke bawah geladak kapal.
Hay Ang-cu berdiri termangu-mangu seperti patung, rasanya tak sanggup bergerak lagi untuk selamanya. Angin masih meniup hangat, namun hatinya telah mulai membeku sedikit demi sedikit.
Ia tetap memejamkan mata, ia tidak berani membuka mata, ia khawatir impian yang telah membuatnya mabuk kepayang itu akan hancur di depan matanya sekarang, bulu matanya yang panjang itu mulai mengalir setitik air mata.
***** Malam sudah tiba, siapa pun tidak tahu bilakah malam telah tiba.
Sudah tentu Hay Ang-cu juga tidak tahu, bahkan apa pun ia tidak tahu.
Lampu berkerudung telah dinyalakan pula, penonton juga sudah berkerumun, Hay Si-tia sebagai pembawa acara pertunjukan telah mulai memberi komentar panjang lebar dengan ucapannya yang menarik.
Betapa pun perubahan yang terjadi atas diri Hay Ang-cu, tapi kehidupan harus berlangsung terus.
Manusia dapat berubah dalam waktu sekejap, tapi hidup tidak mungkin berubah dalam waktu sesingkat itu, manusia yang hina tetap harus melewatkan hari-harinya yang hina, hal ini tak dapat dihindarinya.
Itulah hidup manusia, itulah kehidupan, kehidupan yang tragis.
Maka Hay Ang-cu kembali naik tali lagi, ia mulai bermain jalan di atas tali pula.
Dengan kaku ia berjalan di atas tali. Penonton sedang tertawa dan bertepuk tangan, akan tetapi semua itu dirasakan oleh Hay Ang-cu seperti jauh sekali jaraknya, jauh sekali ... sebab hatinya juga telah terbang ke tempat yang amat jauh.
Cahaya gemilang menyinari tempat yang jauh itu, di tempat itu orang akan senantiasa berdampingan dengan kekasih yang dicintainya dan tidak perlu selalu memperlihatkan senyum yang hina.
Siau-hi-ji berjongkok di belakang rak senjata, hatinya juga sudah terbang ke tempat yang jauh, apa yang terjadi di depan matanya pada hakikatnya tidak terlihat olehnya ....
Sekonyong-konyong, di tengah sorak-sorai penonton telah berubah menjadi jeritan kaget. Tahu-tahu Hay Ang-cu terjatuh dari atas tali yang cukup tinggi.
Air muka Hay Si-tia dan si Gudel berubah pucat, tapi mereka tetap memperlihatkan senyum tak acuh dan berseru, "Ah, manusia bisa terpeleset, kuda pun terkadang kesandung, inilah kejadian biasa, bukan soal ... nona cilik, lekas bangun dan perlihatkan pula beberapa gayamu yang menarik!"
Akan tetapi suara jerit kaget para penonton tadi telah berubah menjadi tertawa mengejek, ada sementara berteriak, "Menarik apalagi" Tampaknya anak perempuan ini sedang melamun memikirkan lelaki, makanya jatuh terpeleset!"
"He, nona cilik, siapa yang kau pikirkan, apakah diriku?" demikian seorang lagi berseloroh.
Maka tertawa para penonton bertambah riuh, ocehan mereka pun tampak tidak senonoh.
Darah Siau-hi-ji mulai panas dan bergolak lagi.
Tapi pada saat itu, di tengah penonton yang berjubel itu seorang pemuda baju hijau telah melompat maju, segera Siau-hi-ji mengenalnya sebagai Pek Leng-siau.
Dengan sorot mata yang bengis Pek Leng-siau menyapu pandang para penonton, lalu berteriak, "Siapa di antara kalian berani bicara tidak sopan terhadap nona ini, segera lidahnya akan kupotong."
"Ya, dan matanya pasti akan kukorek!" sambung seorang pula dengan suara galak. Segera pula orang ini melompat ke tengah kalangan, dia adalah si baju merah bergolok emas Li Beng-sing.
Seketika penonton cep-klakep, tiada seorang pun berani bersuara lagi. Orang jahat, memang selalu ditakuti orang.
Hay Si-tia lantas mendekati kedua pemuda itu, ia memberi hormat dan berkata, "Terima kasih banyak-banyak atas pertolongan tuan-tuan."
"Ah, bukan soal," Pek Leng-siau dengan lagak seperti di dunia ini dia paling kuasa. Dari sakunya ia lantas mengeluarkan sepotong uang perak dan dilemparkan ke tanah, lalu berkata pula, "Kulihat pertunjukan kalian malam ini hanya sia-sia belaka tanpa hasil, biarlah kupersen kalian untuk makan dan minum."
"Sedikitnya cukup untuk beli sepuluh guci arak dan makan lima hari bagi kalian," sambung Li Beng-sing dengan suara keras. "Nah, apa sebabnya tuan besar mau memberi persen padamu, tentunya kau sudah tahu sendiri."
Air muka Hay Si-tia tampak berubah serba susah, tapi segera ia pun tertawa dan berseru, "Budak Ang, ayo lekas mengaturkan terima kasih!"
Dengan kepala tertunduk Hay Ang-cu lantas melangkah maju, mukanya merah, katanya dengan perlahan, "Terima kasih tuan-tuan ...."
"Bicara saja seperti bunyi nyamuk, memangnya siapa bisa dengar apa yang kau katakan?" omel Hay Si-tia.
Wajah Pek Leng-siau terunjuk senyuman, katanya, "Ah, tak apa, tak apa, memangnya anak perempuan harus bicara dengan lemah lembut."
"Haha, memang betul, tuan-tuan justru suka pada cara begitu," seru Li Beng-sing dengan tertawa. Mendadak ia tarik tangan Hay Ang-cu dan menegurnya dengan memicingkan mata, "Toako kami suka padamu, ayolah menemani dia minum arak."
Muka Hay Ang-cu menjadi pucat, sekujur badan jadi gemetar.
Dengan menyengir Hay Si-tia lantas menyela, "Anak dara ini masih terlalu kecil, biarlah dua tahun lagi pasti dia akan menemani tuan-tuan minum arak."
"Persetan! Siapa sabar menunggu dua tahun lagi?" semprot Li Beng-sing dengan kurang senang.
Mendadak si Gudel memburu maju dan berteriak, "Lepaskan dia!"
Belum habis ucapannya, tahu-tahu tangan Li Beng-sing telah melayang ke mukanya, "plak", kontan ia ditempeleng hingga sebelah pipinya merah bengap, bahkan orangnya juga lantas terlempar jatuh.
"Apakah kalian tidak ingin diperlakukan halus dan minta dipaksa?" bentak Li Beng-sing dengan bengis.
Pek Leng-siau juga menyeringai dan berkata, "Kukira lebih baik kau ikut saja dengan baik-baik." Habis ini mendadak ia mencolek pipi Hay Ang-cu.
Keruan nona cilik itu ketakutan dan menangis.
Pada saat itulah tiba-tiba seorang tampil ke muka dan berkata dengan sekata demi sekata, "Siapa pun dilarang membawanya pergi!"
Seketika mata Hay Ang-cu berbinar, akhirnya Siau-hi-ji tampil ke muka juga.
Anak muda ini sudi membelanya, sekali pun mati juga dia rela.
Tentu saja Li Beng-sing sangat murka, alisnya menegak, dampratnya dengan menyeringai, "Hm, kau anak dekil ini, apa kau cari mampus"!" Kontan sebelah tangannya hendak menggampar lagi.
Akan tetapi pukulannya ini selamanya takkan mampu mengenai Siau-hi-ji, sebaliknya entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu tangannya malah sudah terpegang oleh Siau-hi-ji, seketika ia kesakitan setengah mati, rasanya seperti dijepit tanggam, tulang pun serasa hendak patah, saking kesakitan air mata pun bercucuran.
"Enyahlah kau!" bentak Siau-hi-ji. Berbareng tangannya terus mengipat, tubuh Li Beng-sing yang ratusan kati bobotnya itu kontan terlempar pergi dan jatuh beberapa depa jauhnya, sekalipun tidak binasa, sedikitnya juga sekarat.
Serentak para penonton menjerit kaget, air muka Pek Leng-siau berubah pucat, segera ia melolos pedangnya, "creng", kontan ia menusuk ke dada Siau-hi-ji.
Sedikit mengegos dapatlah Siau-hi-ji mengelakkan serangan itu, bahkan ia terus menyelinap maju, sekali hantam dengan tepat dada Pek Leng-siau kena ditonjoknya.
Pukulan Siau-hi-ji ini sebenarnya belum menggunakan seluruh tenaganya, akan tetapi Pek Leng-siau ternyata tidak tahan, sambil menjerit ngeri, darah terus menyembur dari mulutnya, tubuhnya lantas terkulai. Bajunya yang berwarna hijau pupus itu berlepotan darah sehingga menyerupai lukisan bunga mawar merah.
Seketika para penonton menjadi panik, beramai-ramai mereka menjerit dan berlari serabutan.
Siau-hi-ji sendiri juga melenggong, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa ilmu silat sendiri ternyata maju sepesat ini, hanya sekali pukul saja dapat membuat Pek Leng-siau terkapar. Tapi suara jeritan orang ramai telah menyadarkannya.
Ia merasa rahasia dirinya pasti akan terbongkar dengan segera, tempat ini bukan lagi tempat sembunyinya yang baik. Segera ia memutar tubuh terus lari pergi.
Cepat Hay Ang-cu meronta dan berlari-lari menyusulnya sambil berteriak,
"Siau-ngay ... Siau-ngay ... tunggu ... tunggu ...."
Akan tetapi Siau-hi-ji tidak berpaling lagi, hanya sekejap saja sudah menghilang di kejauhan.
Dengan terhuyung-huyung Hay Ang-cu mengejar pula, akhirnya ia jatuh bangun, air mata sudah memenuhi wajahnya, ratapnya sambil menangis, "Dia
... dia sudah pergi ... kutahu dia takkan ... takkan kembali lagi untuk selamanya."
Hay Si-tia telah menyusul tiba dan membangunkan gadisnya itu. Orang tua itu sudah kenyang asam garamnya kehidupan manusia, wajahnya yang rada keriput itu pun penuh menampilkan perasaan yang ruwet, entah kejut, girang atau dukacita yang sukar dihindari lagi.
Perlahan ia membelai rambut putri kesayangan, katanya dengan setengah bergumam, "Meski dia takkan kembali lagi, tapi apa daya .... Memangnya dia bukan orang segolongan kita, mana dapat kau menahannya di sini ...."
"Tapi ... tapi aku tak dapat ... tak dapat ... kumohon engkau ...." demikian Ang-cu meratap dengan sedihnya.
"Sabarlah, nak," ucap Hay Si-tia sambil menghela napas panjang. "Orang seperti dia, bukan saja ayahmu tidak mampu menahannya di sini, bahkan di dunia ini mungkin juga ... juga tiada seorang pun yang dapat mengikatnya ...
Mungkin untuk seterusnya kau takkan bertemu pula dengan dia."
Sekonyong-konyong Hay Ang-cu jatuh pingsan dalam pelukan pangkuan sang ayah. Selamanya tak dapat bertemu lagi dengan orang yang dicintainya, siapa pun tak tahan menghadapi pukulan ini. Apalagi Hay Ang-cu, remaja yang baru meningkat dewasa, bunga yang baru mulai mekar.
Tapi apakah betul selamanya dia tak dapat lagi bertemu dengan Siau-hi-ji"
Rasanya tiada seorang pun yang berani memberi jawaban positif. Urusan di dunia ini tiada yang dapat menduganya dengan pasti.
***** Sekaligus Siau-hi-ji berlari-lari hingga beberapa li jauhnya, akhirnya ia membaringkan diri di tepi sungai yang sepi.
Malam ini, kembali cakrawala penuh dengan kerlipan bintang-bintang.
Setelah melakukan perbuatan tadi, betapa pun ia merasa lega, tekanan batinnya seperti rada longgar. akan tetapi terasa pula bertambah oleh semacam beban berat yang lain.
Ia tahu, setelah kepergiannya ini, hati Hay Ang-cu pasti remuk redam, sesungguhnya dia tidak sengaja hendak melukai hati anak perempuan yang suci murni itu, akan tetapi ia benar-benar telah melukainya.
Ia menengadah dan tertawa, gumamnya, "Janganlah kau menyalahkan diriku, apa yang kulakukan itu adalah terpaksa ... meski aku tinggal pergi, namun jejakku sudah konangan, betapa pun aku tak dapat berdiam lagi di tempatmu itu."
Bintang bertaburan di langit, bintang-bintang itu seperti mata Hay Ang-cu, setiap biji mata itu seakan sedang menitikkan air mata terhadap Siau-hi-ji, akan tetapi anak muda itu telah memejamkan matanya.
Bagi Siau-hi-ji, apa yang terjadi ini tidak lebih suatu selingan kecil dalam hidupnya, akan tetapi bagi Hay Ang-cu, apa yang diperbuat Siau-hi-ji itu bisa jadi telah mengubah seluruh kehidupannya.
Bukankah hidup manusia ini memang tidak adil"
Waktu fajar tiba, sementara itu Siau-hi-ji sudah jauh meninggalkan tempat semula, ia terus berjalan ke depan tanpa tujuan, tambah miskin, tambah kotor, semuanya tak terpikirkan olehnya.
Suatu hari, sampailah dia di suatu kota yang tidak terlalu kecil. Besar atau kecilnya sesuatu kota sebenarnya juga tidak berkepentingan baginya, pada hakikatnya ia sudah jauh meninggalkan khalayak ramai.
Ia tidak menyusuri jalan raya melainkan menerobos ke jalan-jalan kecil dan gang-gang sempit, gang-gang sempit itu lebih banyak bau sedap yang menariknya, sebab di gang-gang yang sempit itu kebanyakan terletak dapur rumah di bagian depan. Dari jendela setiap dapur itu teruar bau kukus nasi yang sedap.
Tanpa terasa ia berhenti di pintu belakang sebuah dapur, bagi Siau-hi-ji, ini benar-benar suatu ironi. Santapan lezat apa yang tak pernah dirasakannya, segala macam daharan enak juga takkan menggoyahkan hatinya, tapi sekarang bau yang paling sepele, paling biasa, justru telah merangsang seleranya. Mungkin ini pun terhitung semacam drama dalam kehidupan manusia.
Dapur ini sangat besar, bau sedap itu pun paling kental, Siau-hi-ji berdiri termangu-mangu di situ. Entah sudah selang berapa lama, sekonyong-konyong satu baskom air cucian tertuang dari dalam sehingga sekujur badannya basah kuyup.
Siau-hi-ji tidak menjadi marah dan juga tidak bergerak. Kini ia sudah paham urusan apa yang pantas membuatnya marah, kejadian seperti sekarang ini, biarpun kau mohon dia marah juga takkan membuatnya marah lagi.
Dari balik pintu dapur tiba-tiba menongol keluar sebuah wajah bundar dengan pipi yang tembem, katanya dengan tertawa, "Maaf, aku tidak melihat kau berdiri di situ."
"O, tak apa-apa," jawab Siau-hi-ji dengan menyengir.
Wajah yang tembem itu tertawa pula, lalu mengkeret ke dalam. Selang tak lama, kembali muka tembem itu melongok keluar, melihat Siau-hi-ji masih tetap berdiri di situ, dengan tertawa ia mengundang, "Di dalam sini masih ada sedikit nasi, jika kau suka boleh masuk sini dan makanlah."
"Baik, terima kasih," sahut Siau-hi-ji tertawa.
Ia tidak merasa rikuh dan juga tidak merasa sungkan, segera ia masuk ke dalam sana terus makan apa yang disuguhkan padanya, sekaligus ia menghabiskan delapan mangkuk nasi, habis makan ia lantas berbangkit dan mengucapkan terima kasih dengan tertawa.
Muka yang tembem itu terus mengawasi dari samping seakan-akan merasa anak muda ini sangat menarik.
Ketika Siau-hi-ji memberi hormat dan mau pergi, muka tembem itu tertawa dan berkata, "Di sini masih kurang satu tenaga cuci mangkuk piring, jika kau sudi, rasanya setiap hari takkan kekurangan makan bagimu."
Siau-hi-ji berpikir sejenak, jawabnya kemudian dengan tertawa, "Tapi takaranku makan sangat banyak."
"Orang buka rumah makan masakah takut si perut gentong?" ucap si muka tembem.
Tanpa pikir lagi Siau-hi-ji terus meraih ember dan baskom, katanya, "Di mana mangkuk piring yang harus kucuci?"
***** Esoknya barulah Siau-hi-ji tahu bahwa tempatnya bekerja adalah dapur restoran "Su-hay-jun", sebuah restoran cukup besar. Si muka tembem adalah kokinya, bernama Thio Tiang-kui.
Maka mulailah Siau-hi-ji bekerja sebagai pencuci mangkuk piring, diketahuinya bahwa setiap orang kalau bersembunyi di dapur sebuah restoran, maka siapa pun sukar menemukannya, apalagi mengenalnya.
Soalnya dapur sesuatu restoran pada hakikatnya ada dunianya tersendiri.
Selain Thi Tiang-kui, setiap hari hampir tidak pernah bertemu pula dengan orang lain. Kalau Thio Tiang-kui sudah selesai membuat sesuatu santapan yang dipesan tamu, segera Siau-hi-ji mengantar masakan itu ke mulut sebuah jendela kecil, pelayan yang menunggu di luar akan meneruskan santapan itu kepada tetamu. Bila tiada keperluan khusus, siapa yang mau masuk ke dapur"
Restoran ini tidak begitu laku, tamunya jarang-jarang, maka tidak terlalu malam restoran lantas tutup pintu. Jika sudah menganggur begitu, sering kali Thio Tiang-kui mengajak Siau-hi-ji menemaninya minum arak dan mengobrol iseng.
Meski arak yang diminum tidaklah sedikit, tapi ucapan yang keluar dari mulut Siau-hi-ji pasti tidak lebih dari dua-tiga kalimat alias banyak makan minum dan sedikit bicara.
Pada suatu hari, ketika Thio Tiang-kui bersiap-siap masak, wajan sudah dituangi minyak, tapi mendadak sang koki mules perut, saking tak tahan, cepat ia taruh serok wajan dan lari ke kakus.
Agar tetamu tidak menunggu terlalu lama, tanpa pikir Siau-hi-ji mewakilkan Thio Tiang-kui menggoreng beberapa macam hidangan.
Setelah Thio Tiang-kui kembali dari buang air, ia menjadi rada-rada khawatir kalau menu yang diolah Siau-hi-ji tidak memenuhi selera yang dikehendaki tetamu.
Ia tidak tahu bahwa koki nomor satu di dunia juga berada di Ok-jin-kok, sejak kecil Siau-hi-ji sudah banyak belajar pada koki nomor wahid itu. Anak muda macam Siau-hi-ji, urusan apa tak dapat dipelajarinya"
Tidak lama setelah menu yang diolah Siau-hi-ji dibawa keluar, tiba-tiba pelayan di luar berseru, "Goreng babat dan ayam asam tadi masing-masing tambah satu porsi lagi!"
Dengan sendirinya sekali ini Thio Tiang-kui tidak membiarkan Siau-hi-ji turun tangan lagi, ia sendiri yang mengolah pesanan itu.
Tapi selang sejenak pula, tiba-tiba Pang-lopan, juragan restoran Su-hay-jun itu, masuk ke dapur, katanya dengan melotot, "Siapa yang membuat goreng babat dan ayam asam tadi"!"
Bahwa sang juragan sendiri sampai masuk ke dapur, hal ini sudah membuat hati Thio Tiang-kui kebat-kebit. Terpaksa ia menjawab, "Dengan sendirinya aku yang membuatnya."
"Tidak, rasanya tidak betul, jelas bukan karya tanganmu," kata sang juragan.
Terpaksa Thio Tiang-kui bicara terus terang apa yang terjadi.
Pang-lopan mendekati Siau-hi-ji, dipandangnya dari kanan ke kiri dan dari atas ke bawah sampai sekian lamanya, habis itu mendadak ia mengacungkan ibu jari dan berkata dengan tertawa, "Kagum, sungguh kagum, tidak nyana usia semuda kau ini sudah mahir mengolah santapan sehebat itu, sampai Him-loya juga berteriak memuji kelezatannya, maka mulai saat ini silakan kau yang memegang kunci dapur."
"Ah, mana aku sanggup," ucap Siau-hi-ji.
Perlahan Pang-lopan menepuk bahu Siau-hi-ji, katanya dengan suara halus,
"Harap kau bantu, selanjutnya Su-hay-jun harus mengandalkan dirimu."
***** Orang yang punya kemahiran, bekerja apa pun juga tetap menonjol, seperti sebatang obeng berujung runcing yang tersimpan di dalam karung, mau tak mau ujung itu pasti akan membobol dinding karung.
Setelah Siau-hi-ji diangkat menjadi koki, secara ajaib, restoran Su-hay-jun terus berkembang dengan pesat, tamu-tamu yang bertempat tinggal beratus Li jauhnya juga mendengar bahwa di Su-hay-jun terdapat seorang koki yang mahir.
Pang-lopan mulai memperluas usahanya, ruangan di kanan kiri sudah dibelinya, beberapa ruangan "VIP" telah dibangun dan dengan sendirinya di bagian dapur juga telah bertambah tenaga. Kini Siau-hi-ji cukup main serok wajan saja dan segala apa pun beres.
Malahan waktu dia mengolah santapan, pikirannya tetap pada isi kitab pusaka ilmu silat itu, seperti pemuda yang sedang sakit rindu, siang dan malam ia terus peras otak merenungkan ilmu silat yang pernah dibacanya itu.
Kini, orang lain sama memanggilnya Ji-toasuhu, sang guru besar Ji, dengan sendirinya guru besar dalam bidang memasak.
Apa yang diucapkannya adalah peraturan, dia melarang orang yang tak berkepentingan masuk ke dapur, bahkan sang juragan Pang sendiri tidak berani masuk ke situ.
Tapi pada suatu hari sang juragan toh masuk juga ke sana, dengan bersemangat kegirangan ia berkata kepada Siau-hi-ji dengan tertawa sambil gosok-gosok kedua tangannya, "Ji-laute, hari ini kau harus bekerja lebih tekun. Coba terka, siapakah tamu kita hari ini?"
"Siapa?" tanya Siau-hi-ji tak acuh.
"Tokoh utama, ksatria terbesar di daerah Oh-lam dan Oh-pak sini hari ini ternyata sudi berkunjung kemari, ini berarti suatu kehormatan besar bagiku, bahkan suatu kehormatan bagimu, Ji-laute."
Tergerak hati Siau-hi-ji, segera ia bertanya, "Siapakah beliau?"
Pang-lopan mengacungkan jempolnya dan menjawab, "Thi Bu-siang, Thi-loyacu, orang Kangouw menyebut beliau dengan julukan 'Ay-cay ji-beng'
(sayang pada orang berbakat laksana sayang pada jiwa sendiri). Setiap orang di daerah kita ini pasti kenal nama beliau."
"O, begitukah?" ucap Siau-hi-ji, sikapnya tetap acuh tak acuh seakan-akan betapa hebatnya tokoh itu toh tiada sangkut-pautnya dengan dirinya.
Tetapi setelah selesai mengolah makanan, diam-diam ia keluar, untuk pertama kalinya dia keluar dari dapur.
Ketua perserikatan dunia persilatan daerah Oh-lam dan Oh-pak, "Ay-cay-ji-beng" Thi Bu-siang. Nama ini sungguh menarik baginya, dia ingin tahu bagaimana macamnya tokoh yang sayang kepada orang yang berbakat ini hingga orang jahat seperti Li Toa-jui juga dipungutnya menjadi menantu.
Bahwa ada seorang tokoh yang berani menyerahkan putri kesayangannya untuk diperistri oleh Li Toa-jui, betapa pun orang begini sangat dikagumi Siauhi-ji.
Di sebuah ruangan "VIP", ruangan khusus untuk tokoh penting, yang dipajang indah dan teraling-aling oleh pintu angin, dari sela-sela pintu angin itulah Siau-hi-ji mengintip. Dilihatnya seorang kakek berwajah merah bercahaya, berjenggot putih dan berjubah merah, duduk di kursi utama pada meja perjamuan itu.
Meski tersenyum simpul, tampaknya ramah tamah, tapi sikapnya kereng berwibawa, jelas itulah gaya seorang yang biasa memerintah dan berkuasa, sikap demikian ini sukar ditiru oleh orang biasa.
Hanya memandang sekejap saja Siau-hi-ji lantas yakin orang tua inilah pasti Thi Bu-siang adanya.
Di sebelah kanan Thi Bu-siang duduk seorang lelaki setengah baya, bertulang pipi menonjol dan berhidung besar seperti paruh elang. Sorot matanya yang tajam memang mirip mata elang yang jelalatan.
Dan di sebelah kiri Thi Bu-siang ternyata duduk Tio Coan-hay, itu Congpiauthau dari gabungan tujuh belas Piaukiok atau perusahaan pengawalan yang terkenal dengan "Kepalan besi menggetar Kangouw" itu.
Melihat Tio Coan-hay, Siau-hi-ji jadi teringat kepada peristiwa mencari harta karun di gua belakang Go-bi-san dahulu, waktu itu tokoh besar dunia pengawalan ini munduk-munduk dan menyebut Locianpwe padanya dengan sangat menghormat, sikapnya yang lucu itu sungguh menggelikan bila teringat sekarang.
Selain ketiga orang itu, hadir pula pada perjamuan malam ini delapan atau sembilan lelaki gagah kekar dengan pakaian mentereng, tampaknya juga tokoh terkemuka dunia Kangouw.
Cuma ada juga di antara hadirin itu yang menarik perhatian Siau-hi-ji, yakni dua pemuda baju ungu yang berdiri di belakang Thi Bu-siang, usia kedua pemuda ini baru likuran, sikap mereka sangat menghormat terhadap tokoh-tokoh yang hadir dalam perjamuan ini. Tapi bagi pandangan Siau-hi-ji, sekali lihat saja lantas tahu kedua anak muda ini jauh lebih lihai daripada orang-orang yang dijamu itu.
Pemuda baju ungu yang sebelah kiri beralis tebal dan bermata besar, mukanya kehitam-hitaman sehingga menyerupai seekor harimau kumbang, seluruh badannya penuh kekuatan, sekali turun tangan pasti mengejutkan orang.
Sedangkan pemuda baju ungu sebelah kanan bermuka putih bersih, sopan santun, tampaknya seperti anak pelajar dari keluarga terhormat yang lemah lembut, tapi sekilas melirik, segera kelihatan sorot matanya yang tajam.
Kedua anak muda itu memegang poci arak dan mewakilkan Thi Bu-siang menuangkan arak bagi hadirin, agaknya mereka kalau bukan anak keponakan Thi Bu-siang tentu juga muridnya.
Setelah hadirin menghabiskan tiga cawan arak, mendadak Tio Coan-hay berdiri, ia menjura sekeliling kepada hadirin, ia menegak habis dulu isi cawannya, setelah berdehem, lalu berseru, "Hari ini Cayhe memenuhi undangan Thi-locianpwe, sepantasnya Cayhe makan minum hingga mabuk dan kemudian pulang, tapi sebelum mabuk rasanya mau tak mau Cayhe harus mengutarakan beberapa patah kata isi hatiku."
Thi Bu-siang mengelus jenggotnya, katanya dengan tertawa, "Katakan saja, kalau tidak bicara, mana dapat minum arak dengan leluasa."
Lelaki yang bertulang pipi menonjol dan berhidung besar juga berkata, "Tio-congpiauthau ingin bicara sesuatu, sudah tentu Cayhe siap mendengarkan."
Dengan mata melotot Tio Coan-hay lantas berteriak, "Bahwasanya Toan Hap-pui hendak mengirim satu partai barangnya ke Kwan-gwa, untuk ini kami pihak 'Liang-ho-piau-lian' (gabungan perusahaan pengawalan propinsi Holam dan Hopak) telah mengirim utusan untuk berunding dengan Toan Hap-pui, kejadian ini kiranya cukup diketahui oleh kawan-kawan dunia Kangouw."
"Betul, Cayhe juga pernah mendengar berita ini," ucap si lelaki hidung besar dengan tersenyum.
"Jika Le-congpiauthau sudah mengetahui urusan ini, sepantasnya tidak lagi mengirim orang menghubungi Toan Hap-pui dan merampas pekerjaan yang telah diserahkan pada kami," seru Tio Coan-hay dengan bengis. "Sudah lama kudengar 'Heng-san-eng' (elang dari gunung Heng) Le Hong adalah ksatria berbudi dan setia kawan, tak tahunya ... hm!"
"Prak", mendadak cawan arak yang digenggamnya teremas hancur.
Heng-san-eng Le Hong si hidung besar, tetap tenang saja, jawabnya dengan tersenyum hambar, "Orang dagang mengutamakan kualitas dan kepercayaan, semua ini tiada sangkut-paut dengan setia kawan dunia Kangouw segala, bahwa Toan Hap-pui lebih suka mendatangi 'Sam-siang-piau-lian', betapa pun kami kan tak dapat menolaknya."
"O, jika begitu, maksudmu 'Liang-ho-piau-lian' kami tak dapat membandingi
'Sam-siang-piau-lian' kalian"!" tanya Tio Coan-hay dengan gusar.
"Cayhe tidak pernah berkata demikian, untuk ini terserah kepada pandangan masing-masing," jawab Le Hong.
Dada Tio Coan-hay tampak berombak menahan gusar, katanya dengan menggereget, "Hm, bagus ... bagus sekali ...." mendadak ia berpaling ke arah Thi Bu-siang, katanya sambil memberi hormat, "Meski kedatanganku ini atas undangan, tapi Cayhe juga tahu Thi-loyacu mempunyai hubungan erat dengan Sam-siang-piau-lian, karena itu Cayhe tidak bermaksud minta keadilan kepada Thi-loyacu, hanya saja ...." mendadak ia gebrak meja, lalu membentak, "Hanya saja Sam-siang-piau-lian sedemikian menghina Liang-ho-piau-lian, betapa pun kami harus menguji kesanggupannya, terutama orang she Le ...."
"Memangnya orang she Le kenapa?" jengek Le Hong.
"Boleh kita lihat saja," bentak Tio Coan-hay.
Sekonyong-konyong Thi Bu-siang berbangkit dan terbahak-bahak, katanya sambil angkat cawan, "Tio-laute, marilah kusuguh engkau satu cawan dulu!"
Tanpa pikir Tio Coan-hay angkat cawannya dan menenggaknya hingga kering, katanya, "Maksud Thi-loyacu ...."
"Ucapan Tio-laute memang tidak salah," potong Thi Bu-sing dengan tertawa,
"turun temurun Lohu (aku yang tua) bertempat tinggal di sini, setiap orang persilatan di wilayah Sam-siang boleh dikatakan mempunyai hubungan erat dengan diriku, kalau dihitung Le Hong juga masih murid keponakanku. Jika demikian, kalau sekarang Tio-laute sampai pergi dengan menanggung dendam, kukira percumalah selama berpuluh tahun aku berkecimpung di dunia Kangouw."
Air muka Tio Coan-hay tampak rada berubah, ia menegas, "Jadi maksud Thi-loyacu ...."
"Masakan kau belum paham maksudku?" teriak Thi Bu-siang.
Tanpa terasa Tio Coan-hay meraba goloknya, empat lelaki di sebelahnya juga serentak berbangkit. Sebaliknya Le Hong menyeringai saja, sorot matanya setajam sembilu menatap lawan.
"Apakah maksud Thi-loyacu hendak menahan diriku di sini?" tanya Tio Coan-hay kemudian dengan sekata demi sekata.
Thi Bu-siang tergelak-gelak, katanya, "Betul, memang hendak kutahan kau di sini untuk mendengarkan beberapa patah kataku." Mendadak ia menarik muka, sorot matanya beralih ke arah Le Hong, lalu berkata dengan suara berat, "Jika aku menghendaki menyerahkan pekerjaanmu itu kepada Liang-ho-piau-lian, lalu bagaimana pikiranmu?"
Seketika air muka Le Hong berubah hebat, jawabnya dengan tergagap, "Ini ...
ini ...." "Tidak perlu ini dan itu, aku tidak ingin memaksa kehendakmu," ucap Thi Bu-siang. "Urusan ini sudah kuselidiki dengan jelas dan memang kesalahan berada pada pihakmu, sekarang kalau kau mau menerima usulku, maka sebagai imbalannya akan kuserahkan kebun teh milikku di Heng-san itu sebagai milik perusahaan Sam-siang-piau-lian. Sebagai sesama orang Kangouw, hendaklah lebih mengutamakan rasa setia kawan, untuk ini harus kau camkan lebih jauh."
Le Hong terdiam sejenak, kemudian menghela napas, katanya sambil tunduk kepala, "Ucapan Loyacu mana berani Tecu membantahnya, cuma kebun teh itu adalah sisa harta benda Loyacu yang tinggal sedikit itu, Tecu mana berani menerimanya ...."
Thi Bu-siang tertawa, katanya, "Asalkan kau tidak melupakan setia kawan sesama kaum persilatan dan tidak membuat anak murid golongan kita dicaci maki orang, maka sedikit harta milik itu apa artinya bagiku"!"
Tio Coan-hay juga terdiam sekian lamanya, air mukanya tampak merasa malu diri, katanya kemudian sambil menunduk, "Thi-loyacu ternyata berbudi luhur, sebaliknya Tecu ... Tecu sungguh merasa malu, biarlah pekerjaan ini tetap diurus saja oleh Sam-siang-piau-lian."
"Ah, Cayhe mana berani," ujar Le Hong sambil tertawa. "Pekerjaan ini sudah diterima lebih dulu oleh Liang-ho-piau-lian, dengan sendirinya kami harus mengundurkan diri. Jika Tio-congpiauthau masih merendah diri, tentu kami akan semakin tidak enak hati."
Kalau tadi dua orang bertengkar dan ngotot memperebutkan rezeki yang bakal diterima, sekarang mereka justru saling mengalah dengan rendah hati.
Diam-diam Siau-hi-ji juga terharu menyaksikan semua itu di luar, pikirnya,
"Hebat benar Thi Bu-siang dan tidak malu sebagai tokoh pimpinan dunia persilatan, bukan saja suatu persengketaan sengit dan hampir mengakibatkan adu nyawa itu dapat dibuyarkan, bahkan kedua orang yang saling ngotot itu dapat diakurkan hingga saling mengalah."
"Jika kalian berdua sama-sama mengalah, maka bolehlah pekerjaan itu dilakukan bersama oleh Liang-ho dan Sam-siang, dengan demikian kedua pihak jadi sama-sama bergembira," ucapan Thi Bu-siang dengan tertawa.
Serentak semua orang bertepuk tangan menyatakan setuju. Maka suatu persengketaan segera berubah menjadi damai dan Siau-hi-ji pun hendak tinggal pergi.
Tak tahunya pada saat itu juga Tio Coan-hay yang sedang angkat cawan dan mengajak minum bersama Le Hong sebagai tanda berkawan, sekonyong-konyong mukanya berkerut kejang, tangan juga gemetar sehingga arak dalam cawannya muncrat membasahi tubuhnya.
Belum lagi selesai dari berbasa-basi, tiba-tiba kakinya seperti menginjak bara, dia melonjak dan terdengarlah suara gemuruh, mangkuk piring di atas meja sama tersapu jatuh, menyusul Tio Coan-hay sendiri juga lantas roboh terjungkal.
Seketika perjamuan itu menjadi kacau-balau, empat lelaki kekar pengiring Tio Coan-hay itu ada yang menjerit kaget, ada yang memburu maju hendak membangunkan sang pemimpin, tapi segera mereka pun menjerit kaget, "He, celaka, Cong ... Congpiauthau keracunan!"
Seketika air muka Thi Bu-siang juga berubah, teriaknya bingung, "Ken ...
kenapa jadi begini?"
"Kenapa jadi begini" Pertanyaan ini harus diajukan padamu"!" teriak salah seorang pengiring Tio Coan-hay itu.
Le Hong menggebrak meja dengan gusar, teriaknya, "Apa maksudmu"
Hidangan dan arak yang dia makan juga sama-sama kami makan, masakah
...." Belum habis ucapannya, mendadak ia pun kejang seperti Tio Coan-hay tadi, tiba-tiba ia pun melonjak ke atas, lalu jatuh terkapar, rupanya ia pun keracunan serupa Tio Coan-hay.
Keruan semua orang tambah bingung dan ketakutan, setiap orang sama khawatir kalau diri mereka pun ikut keracunan, sebab semuanya juga makan minum hidangan di atas meja itu.
Jika demikian, lalu siapakah yang menaruh racunnya"
Bahwa Le Hong juga keracunan, dengan sendirinya bukan dia yang menaruh racun andaikan dia hendak membinasakan Tio Coan-hay. Thi Bu-siang juga tidak, habis siapakah yang menaruh racun jika bukan kedua pihak yang bersengketa itu"
Biasanya pihak penonton adalah yang paling jelas mengikuti sesuatu, tapi sekarang Siau-hi-ji juga bingung dan tidak tahu mengapa bisa terjadi begitu"
Di tengah keributan itu tiba-tiba Siau-hi-ji melihat si pemuda bermuka pucat berbaju ungu itu diam-diam mengeluyur keluar. Cepat Siau-hi-ji juga menyelinap kembali ke dapur.
Sementara itu orang-orang di bagian dapur juga ikut gempar dan sama keluar ingin tahu apa yang terjadi sehingga tiada orang lain di situ. Baru saja Siau-hi-ji sampai di dapur, tahu-tahu pemuda baju ungu itu pun menyusup ke sana.
Padahal di luar sedang terjadi keributan, untuk apa dia masuk ke dapur malah"
Cepat Siau-hi-ji berjongkok pura-pura sedang menambah kayu bakar di tungku.
Pada hakikatnya pemuda baju ungu itu tidak memperhatikan Siau-hi-ji.
Maklumlah, tokoh persilatan seperti itu mana bisa menaruh perhatian terhadap seorang koki yang tiada artinya itu.
Dengan tergesa-gesa pemuda baju ungu itu menyusup ke pintu belakang dapur, terdengar dia berseru dengan suara tertahan, "Awan buyar ...."
"Angin meniup!" demikian seorang menyahut di luar pintu.
Sekilas Siau-hi-ji melirik, dilihatnya pemuda muka pucat itu sedang mundur ke dalam dapur, berbareng itu sesosok bayangan menerobos masuk, orang ini berpakaian hitam mulus, pakai kedok hitam pula, dengan suara serak bertanya, "Berhasil tidak?"
"Berhasil!" jawab si pemuda muka pucat.
"Bagus!" kata si baju hitam.
Total jenderal ucapan orang berkedok hanya tiga kalimat saja, tapi kata-katanya cukup menggetarkan hati Siau-hi-ji. Ia merasa sudah kenal betul dengan suara orang ini. Maka dia sengaja menunduk lebih rendah sehingga kepalanya seakan-akan hendak dimasukkan ke lubang tungku.
Namun begitu si baju hitam tetap melihat kehadirannya di situ, dengan suara tertahan ia tanya kawannya, "Siapa dia?"
"Hanya seorang koki," jawab si pemuda muka pucat.
"Tidak boleh dibiarkan!" kata si baju hitam.
Serentak kedua orang menubruk maju bersama, si baju hitam menutuk Sin-ki-hiat di punggung Siau-hi-ji, Hiat-to ini termasuk salah satu Hiat-to mematikan di tubuh manusia.
Tapi Siau-hi-ji sama sekali tidak menghindar, hanya diam-diam ia mengerahkan tenaga murni, titik Hiat-to itu mendadak ia geser sedikit ke samping, yang digunakan adalah "Ih-hiat-tay-hoat", ilmu mukjizat memindahkan tempat Hiat-to, ilmu yang paling tinggi dalam ilmu silat.
Walaupun belum sempurna dilatihnya, tapi sudah jauh daripada cukup bagi Siau-hi-ji untuk menghadapi keadaan begini.
Dengan tepat tutukan si baju hitam mengenai sasarannya, tertampak jelas Siau-hi-ji roboh tanpa bersuara, ia yakin orang pasti binasa. Maka sambil mendengus ia mengomel, "Siapa suruh kau berdiam di sini, kau sendiri yang cari mampus, bukan salahku!"
"Cara bagaimana matinya saja dia tidak tahu, mana koki tolol ini dapat menyalahkanmu?" ujar si pemuda muka pucat dengan tertawa.
"Jaga dirimu dengan baik agar tidak dikenal orang," kata si baju hitam dengan suara tertahan.
"Ya, aku tahu," jawab si pemuda muka pucat.
"Lekas keluar sana, jangan sampai menimbulkan curiga orang," pesan pula si baju hitam.
Pemuda muka pucat mengiakan. Segera ia lari kembali ke ruangan depan.
Sudah tentu mereka tidak menyangka seorang koki ternyata memiliki ilmu silat mukjizat, mereka mengira apa yang telah dilakukannya pasti di luar tahu siapa pun juga, maka "mayat" Siau-hi-ji sama sekali tidak diliriknya mana pula diperhatikan.
Siau-hi-ji masih mendekam di lantai tanpa bergerak dan berlagak mati, tapi pikirannya terus bekerja merenungkan semua peristiwa yang dilihatnya ini.
Yang paling menarik baginya adalah suara si baju hitam tadi, rasanya mirip benar dengan suara Kang Giok-long. Apabila orang itu benar Kang Giok-long adanya, lalu apa hubungannya anak murid Thi Bu-siang dengan Giok-long"
Muslihat keji apa pula yang sedang mereka kerjakan"
Segera teringat pula oleh Siau-hi-ji apa yang dilihatnya di kamar rahasia Kang Piat-ho tempo hari, antara lain ditemukannya botol-botol kecil racun yang sukar dicari yang tersimpan dalam "kotak buku" itu.
Walaupun waktu itu cuma melihatnya sepintas lalu saja, tapi setiap malam racun di botol-botol kecil itu tidak pernah terhindar dari pandangannya, sampai kini dia masih ingat dengan jelas racun-racun itu antara, lain terdiri
"Siau-hun-san" (puyer penghapus sukma), "Bi-jin-lui" (air mata si cantik),
"San-hui-cui" (air pembuyar sukma), "Swat-pek-cing" (air salju pencabut nyawa) dan macam-macam lagi.
"Swat-pek-cing!" seru Siau-hi-ji tanpa terasa sambil melonjak, "Ya, betul, pasti inilah racunnya! Dari keadaan Tio Coan-hay setelah keracunan itu, bukankah kulit dagingnya kejang mirip orang kaku terbeku?"
Segera ia merobek serbet dan menuliskan resep dengan arang di atas serbet itu. Anak yang dibesarkan di Ok-jin-kok memang serba tahu dan banyak pengetahuannya. Sedikitnya ia pasti tahu cara bagaimana menawarkan macam-macam racun di dunia ini.
Racun, benda ini bagi pandangan anak yang dibesarkan di Ok-jin-kok adalah jamak dan sederhana seperti gula pasir saja.
Sementara itu air muka Tio Coan-hay dan Le Hong sudah berubah menjadi warna kelabu aneh, tubuh mereka yang semula gemetar kejang kini sudah tak dapat bergerak lagi.
Tubuh orang lain juga sama gemetar, entah ketakutan kalau-kalau dirinya keracunan, apalagi sukar diketahui bilakah kadar racunnya baru mulai bekerja. Mereka menjadi kebat-kebit seperti orang hukuman yang tunggu keputusan hakim, duduk tidak enak, lari juga tidak berani. Soalnya mereka pun tahu bilamana mereka lari, maka racun akan bekerja terlebih cepat.
Wajah tersenyum simpul Thi Bu-siang tadi kini pun sudah lenyap, dia hanya mondar-mandir kian kemari sambil gosok-gosok tangan, tokoh Kangouw yang pernah malang melintang selama berpuluh tahun kini pun kehilangan akal.
Tiba-tiba Thi Bu-siang menengadah dan menghela napas panjang, gumamnya, "Racun apakah ini" Siapakah gerangan yang menaruh racun"!"
Dalam pada itu pemuda baju ungu bermuka pucat tadi sudah berdiri pula di belakang Thi Bu-siang, tiba-tiba ia berkata, "Jangan-jangan orang di restoran ini" ...."
"Jika dalam hidangan ditaruh racun, justru aku yang paling banyak makan minum, tentu racun akan bekerja lebih cepat dan keras, apalagi restoran sekecil ini mana ada racun selihai ini?" ucap Thi Bu-siang.
"Betul," tukas si pemuda bermata besar dan alis tebal. "Racun ini tanpa bau tak berwarna, sampai engkau orang tua juga tak dapat melihatnya ...."
"Menurut pendapatku, racun ini pasti bukan berasal dari negeri sini, kalau tidak, mustahil selama berpuluh tahun aku berkecimpung di dunia Kangouw tak dapat mengenalnya" Rasanya kalau tidak salah dugaanku, racun ini mungkin ...."
"Dugaanmu memang tidak salah!" tiba-tiba seseorang menyambung sebelum habis ucapan Thi Bu-siang. "Racun ini memang bukan berasal dari negeri sini melainkan 'Swat-pek-cing' dari Thian-san."
Di tengah suaranya, mendadak seorang melayang lewat pintu angin, ketika tubuh terapung di udara, tahu-tahu sepotong barang dilempar sambil berseru,
"Resep yang tertulis di atas kain itu dapat menawarkan racun Swat-pek-cing, lekas dibelikan di toko obat, tentu dapat tertolong."
Ucapannya sangat cepat, gerak tubuhnya terlebih cepat lagi, baru setengah ucapannya bayangannya sudah tak kelihatan lagi sehingga dua kalimat terakhir itu berkumandang dari kejauhan.
Keruan semua orang menjadi panik, ingin mengejar juga tidak keburu lagi.
"Cepat amat gerak tubuhnya!" puji Thi Bu-siang dan serentak ia pun menangkap benda yang dilemparkan oleh orang itu. Dilihatnya memang betul sepotong serbet yang berlepotan minyak, di atas kain serbet itu memang betul tertulis resep obat yang aneh.
"Swat-pek-cing!" Thi Bu-siang bergumam setelah membaca resep itu.
"Kiranya memang betul Swat-pek-cing ... masakah aku sendiri tak dapat menerkanya"!"
Seketika semua orang merasa girang dan berseru, "Jika demikian Congpiauthau kan dapat tertolong!"
Si pemuda muka pucat tadi tampaknya rada kikuk, tiba-tiba ia mendengus,
"Hm, bukan mustahil ini pun tipu muslihat orang jahat itu."
Ada seorang di antaranya coba memegang tangan Tio Coan-hay, lalu katanya, "Betul, keparat itu pasti sengaja hendak mencelakai orang lain.
Biasanya orang yang terkena Swat-pek-cing akan mati kaku kedinginan, tapi
... tapi tubuh orang she Tio ini ternyata panas seperti dibakar."


Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thi Bu-siang menanggapi, "Apakah kau tahu bahwa orang yang mati beku, sebelum ajalnya justru tidak merasa dingin, sebaliknya malah terasa panas seperti dibakar. Perasaan demikian kalau tidak mengalami sendiri tentu sukar dipercaya oleh siapa pun juga."
"Engkau orang tua dari mana pula mengetahuinya?" tiba-tiba si pemuda baju ungu bermuka pucat bertanya.
"Soalnya aku sendiri juga mengalami dan hampir mati beku," jawab Thi Bu-siang dengan tenang.
Pemuda baju ungu itu lantas menunduk dan tidak berani bicara lagi. Namun matanya tetap melirik ke arah serbet yang tertulis resep obat itu.
Sementara itu Siau-hi-ji sudah berada, di luar kota. Dengan sendirinya ia menyadari restoran Su-hay-jun itu bukan lagi tempat sembunyinya yang baik, namun ia pun tidak ingin memperlihatkan diri, ia hendak menunggu lagi. Ia ingin menunggu pada saat yang tepat, sekali muncul pasti akan menggemparkan dunia Kangouw. Dengan begitu supaya orang lain akan tahu Kang Hi, Kang Siau-hi-ji sesungguhnya orang macam apa!
Tapi sekarang ia tetap tidak ingin ikut campur urusan orang lain, sekalipun diketahui peristiwa ajaib di Su-hay-jun itu pasti akan menjadi teka-teki yang menggemparkan dunia Kangouw. Sebab ia tahu dengan tenaganya sendiri sekarang belum cukup kuat untuk mengurus kejadian itu, malahan bukan mustahil jiwa sendiri yang akan melayang malah.
Jika demikian, lalu dia harus ke mana sekarang"
Begitulah tanpa tujuan dia terus melangkah ke depan, tetap dalam keadaan dekil dan rudin. Tapi kini, baik pikiran maupun ilmu silatnya sudah jauh berbeda daripada masa sebelumnya.
Pahlawan tiada tara, ksatria sejati, akhirnya akan lahir!
- Tamat Seri 1 - Wanita Iblis 20 Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Prabarini 3
^