Pencarian

Pisau Terbang Li 7

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Bagian 7


608 Ia tersenyum, sambungnya, "Sebetulnya, mati itu sangat
mudah. Namun untuk mengakui kekalahan demi
membantu orang lain, itu adalah kakrakter seorang
pahlawan, seorang laki-laki sejati!"
Kata Li Sun-Hoan, "Kau"."
Ia merasakan kehangatan dalam hatinya, dan ia tidak
sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Kata Kwe ko-yang, "Aku mengerti mengapa kau tidak
dapat melawanku. Kau tidak boleh mati sekarang, karena
masih ada orang yang hidupnya bergantung padamu."
Li Sun-Hoan masih tidak bisa bicara, namun air mata
bahagia hampir menetes dari matanya.
Kadang kala, sahabat karibmulah yang akan jadi musuh
terbesarmu. Namun kadang kala, musuh yang paling kau
takutilah yang paling mengerti tentang dirimu.
Karena hanya lawan yang sepadan, yang pantas menjadi
sahabatmu. Karena hanya lawan yang sepadan, yang sungguhsungguh
mengerti apa yang kau rasakan.
Li Sun-Hoan tidak tahu apakah ia harus merasa gembira,
sedih, atau berterima kasih.
Kwe ko-yang kemudian berkata, "Tapi hari ini kita tetap
harus bertempur!" 609 Li Sun-Hoan terperanjat, "Mengapa?"
Kwe ko-yang tersenyum. "Ada berapa banyak Li Sun-
Hoan di dunia ini" Jika hari ini kita tidak bertempur,
kapan lagi aku akan bertemu dengan lawan yang
sepadan?" Sahut Li Sun-Hoan, "Waktu aku sudah menyelesaikan
tanggung jawabku, aku akan melawanmu kapan pun kau
inginkan." Kwe ko-yang menggelengkan kepalanya. "Sayangnya,
jika saat itu tiba, mungkin kita tak akan bisa bertempur
lagi." Tanya Li Sun-Hoan, "Mengapa?"
Mata Kwe ko-yang melayang ke kejauhan, lalu dengan
perlahan dan pasti ia berkata, "Saat itu, mungkin kita
sudah menjadi sahabat."
Li Sun-Hoan berpikir cukup lama. "Kau lebih suka jadi
musuhku daripada jadi sahabatku?"
Wajah Kwe ko-yang menegang, lalu ia berseru, "Aku
telah mendedikasikan seluruh hidupku untuk pedangku.
Kapan aku punya waktu untuk berteman" Lagi pula"."
Suaranya menjadi lembut saat ia meneruskan
kalimatnya, "Mudah sekali untuk menemukan sahabat.
Namun hampir tidak mungkin untuk bertemu seorang
lawan yang tenggang rasa dan penuh perhatian."
610 "Tenggang rasa dan penuh perhatian" adalah kata-kata
yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan seorang
sahabat. Kwe ko-yang menggunakan kata-kata ini untuk
menggambarkan seorang lawan. Sungguh janggal.
Namun Li Sun-Hoan mengerti.
Kata Kwe ko-yang, "Kau bukanlah satu-satunya orang di
dunia ini yang merupakan lawan setandingku dalam hal
ilmu silat. Namun walaupun ada seseorang yang sepuluh
kali lebih hebat daripada aku, aku tetap tidak akan terlalu
menghargai dia dan aku rasa aku tidak akan mungkin
merasa bahagia mati di tangannya."
Sahut Li Sun-Hoan, "Kau memang benar. Tidak mudah
bertemu dengan lawan yang tenggang rasa dan penuh
perhatian." Kata Kwe ko-yang, "Oleh sebab itu kita harus bertempur
hari ini. Walaupun aku mati di tanganmu, sedikit pun aku
tidak akan menyesal."
Sanggah Li Sun-Hoan, "Tapi aku"."
Kwe ko-yang langsung memotongnya. "Aku mengerti
perasaanmu. Jika kau mati di tanganku hari ini, aku akan
menyelesaikan kewajibanmu. Aku akan menjaga siapa
saja yang ingin kaujaga."
Li Sun-Hoan memandang ke tanah. Lalu berkata, "Kalau
begitu, aku bisa mati dengan tenang". Terima kasih."
611 Ia hampir tidak mengatakan "terima kasih" dalam
hidupnya. Kata "terima kasih" ini diucapkannya dari
hatinya yang terdalam. Kata Kwe ko-yang, "Terima kasih kau bersedia berduel
denganku. Mari mulai!"
Sahut Li Sun-Hoan, "Mari mulai!"
Jika sahabatmu memperhatikan engkau, itu hal yang
biasa. Namun jika musuhmu memperhatikan engkau,
rasanya lebih dalam, lebih mengharukan.
Sayangnya, perasaan ini takkan mungkin dirasakan oleh
orang lain! Angin bertiup membawa daun-daun kering beterbangan
ke antara mereka. Suasana penuh dengan hawa pembunuhan.
Kwe ko-yang perlahan-lahan menghunus pedangnya dan
memegangnya di depan dadanya. Pandangannya tidak
pernah lepas dari tangan Li Sun-Hoan.
Tangan yang sungguh menakutkan.
Li Sun-Hoan seakan-akan telah berubah menjadi orang
lain. Rambutnya masih acak-acakan, jubahnya masih
kusut, namun ia tidak lagi tampak lemah.
Wajahnya telah berubah sama sekali!
612 Dua tahun terakhir ini, hidup Li Sun-Hoan bagaikan
sebilah pedang dalam sarungnya. Menunggu waktunya,
belum menunjukkan potensi yang sebenarnya, karakter
yang sesungguhnya. Namun saat ini, pedang itu telah keluar!
Diangkatnya tangannya. Sebilah pisau telah tergenggam
di dalamnya. Sebilah pisau yang dapat menembus tenggorokan,
sebilah pisau yang tidak pernah luput, Pisau Kilat si Li!
Pedang Besi Kwe ko-yang mengikuti gerakan angin.
Selintas cahaya hitam melaju cepat ke arah leher Li Sun-
Hoan. Gulungan angin telah mendahului pedang itu dan
menghancurkan segala sesuatu yang merintangi
jalannya. Li Sun-Hoan melangkah ke belakang dengan ringan.
Dengan satu hentakan saja, tubuhnya telah bergeser
sepuluh meter lebih. Sebatang pohon kini tepat berada di
belakang punggungnya. Pedang Kwe ko-yang pun berganti arah mengikuti
langkah Li Sun-Hoan dalam jarak dekat.
Li Sun-Hoan sudah tidak bisa mundur lagi. Namun kini
tubuhnya mencelat naik ke atas pohon.
Kwe ko-yang ikut mengejar naik dan pedangnya terus
mengikuti Li Sun-Hoan, bercahaya bagai pelangi.
613 Tubuh dan pedang telah menjadi satu.
Gulungan angin pedang itu membabat habis seluruh
daun di pohon itu. Pemandangan saat itu sungguh menakjubkan!
Li Sun-Hoan terus melayang di atas gulungan angin
pedang itu, mengikuti daun-daun merah yang
berhamburan dan kemudian perlahan-lahan melayang ke
bawah. Kwe ko-yang bersalto di udara dan menggerakkan
pedangnya sedemikian sampai terlihat tabir hitam putih
yang memburu ke arah Li Sun-Hoan.
Kekuatan serangan ini tidak diragukan lagi.
Bahkan dalam jarak beberapa meter di depannya, Li Sun-
Hoan dapat merasakan hebatnya tekanan gulungan
angin pedang itu. Ke mana pun ia menghindar, ia akan
terhempas juga. Lalu terdengar bunyi "Tring", dan terlihat percikan bunga
api. Pisau Li Sun-Hoan tepat mengenai ujung pedang itu.
Gulungan angin pedang itu langsung lenyap, dan
suasana tiba-tiba hening. Kwe ko-yang berdiri mematung
di situ, memegang pedangnya.
614 Li Sun-Hoan pun masih memegang pisaunya. Hanya kini,
ujungnya sudah gompal. Ia menatap Kwe ko-yang tanpa suara, Kwe ko-yang
menatapnya tanpa suara. Wajah keduanya tidak berekspresi apa-apa.
Mereka berdua tahu, pisau Li Sun-Hoan kini tak dapat
meninggalkan tangannya lagi.
Pisau Kilat si Li, cepatnya bagai kilat. Namun setelah
digunakan untuk menghancurkan gulungan angin pedang
tadi, ujungnya sudah patah, sehingga kalau disambitkan,
kecepatannya akan jauh berkurang.
Walaupun pisau itu lepas dari tangannya, pisau itu tidak
akan membahayakan siapa pun lagi!
Pisau yang tidak pernah luput, kini harus menelan
kekalahannya. Li Sun-Hoan menurunkan tangannya.
Seiring dengan gugurnya daun yang terakhir ke tanah,
suasana hutan pun kembali sunyi senyap.
Sesunyi kematian itu sendiri.
Walaupun wajahnya tetap kosong, mata Kwe ko-yang
berbinar sedikit, lalu katanya, "Aku sudah kalah!"
Kata Li Sun-Hoan, "Siapa bilang kau yang kalah?"
615 Sahut Kwe ko-yang, "Aku yang bilang."
Ia terkekeh. Sambungnya, "Sebelum ini, kupikir aku lebih
baik mati daripada mengatakannya. Namun kini, aku
telah mengatakannya, dan aku merasa lega, sangat
lega"." Ia menengadah ke langit dan tertawa terbahak-bahak.
Sambil masih tertawa, ia membalikkan badannya dan
pergi berjalan ke luar hutan.
Li Sun-Hoan memandangi punggungnya sampai hilang
dari pandangan, lalu mulai terbatuk-batuk.
Saat itu, seseorang tiba-tiba muncul dan bertepuk
tangan. "Sungguh hebat. Luar biasa. Sangat luar
biasa"." Suara itu bening dan renyah.
Li Sun-Hoan mengangkat kepalanya dan ternyata suara
itu adalah milik cucu perempuan si orang tua tukang
cerita. Matanya yang besar dan jernih penuh dengan senyum
yang lugu. Katanya, "Setelah menyaksikan pertempuran
hari ini, bahkan aku pun dapat mati dengan tenang."
Mungkin perasaan Li Sun-Hoan masih begitu tegang,
sehingga ia tidak menjawab apa-apa.
616 Si gadis berkuncir pun berkata, "Pada suatu hari, Tuan
Lan Da dan Xiao Sun berduel di punak Gunung Tai.
Senjata Tuan Lan Da adalah Palu Besi yang beratnya 50
kg, sedangkan Xiao Sun hanya menggunakan sabuk
sutra. Ia menggunakan kelembutan untuk mengatasi
kekerasan. Mereka bertarung sepanjang malam. Bahkan
ada yang bilang mereka mengubah langit malam menjadi
siang." Si gadis terkekeh dan bertanya, "Menurutmu,
pertarungan itu seru atau tidak?"
Li Sun-Hoan tersenyum. "Dengan kehebatan nona muda
bercerita, aku merasa seolah-olah sedang berada di
puncak Gunung Tai, menyaksikan secara langsung duel
antara Xiao Sun dan Tuan Lan Da."
Si gadis berkuncir komat-kamit. "Aku tak menyangka
bahwa mulutmu lebih hebat daripada pisaumu."
Kata Li Sun-Hoan, "Masa iya?"
Sahut si gadis berkuncir, "Pisaumu dapat mengambil
nyawa orang, namun kata-katamu dapat mengambil hati
seorang wanita. Bukankah lebih sulit mendapatkan hati
seorang wanita daripada nyawa manusia?"
Matanya yang besar menatap Li Sun-Hoan. Li Sun-Hoan
mau tidak mau merasa tertarik padanya. Ia tidak pernah
menyangka bahwa gadis semuda ini bisa begitu
memikat. 617 Tapi si gadis kembali bertanya, "Jadi, menurutmu,
apakah pertarungan tadi menarik?"
Li Sun-Hoan tidak lagi berani menjawab panjang lebar. Ia
hanya tersenyum dan mengangguk. "Sepertinya cukup
menarik." Sahut si gadis berkuncir, "Walaupun pertarungan itu
sangat terkenal dan telah menjadi legenda, pertarungan
itu tidak ada artinya dibandingkan dengan pertarungan
yang baru saja berakhir."
Li Sun-Hoan terkekeh. "Walaupun aku bukan orang yang
suka menyombongkan diri, aku pun bukan orang yang
rendah hati. Dalam hal ini, nona terlalu melebihlebihkan."
Si gadis berkuncir menjawab dengan tegas, "Aku hanya
menyatakan fakta. Kau punya tiga kesempatan untuk
membunuhnya, namun dalam tiga kesempatan itu kau
tidak melakukannya. Akhirnya, kau pun kehilangan nafsu
membunuh, dan juga ujung pisaumu. Pada saat itu, Kwe
ko-yang dapat membunuhmu, namun ia malah mengaku
kalah"." Ia mendesah dan melanjutkan, "Orang-orang seperti
kalianlah yang disebut pria sejati. Jika kau
membunuhnya atau ia membunuhmu, sehebat apapun
ilmu silat kalian, sedikit pun aku tidak akan terkesan."
Kata Li Sun-Hoan, "Kau benar. Kwe ko-yang memang
pahlawan sejati." 618 "Dan kau?" Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya. "Aku" Aku
bukan apa-apa." Si gadi berkuncir berkata, "Kalau begitu, aku mau
bertanya. Jurus apa yang pertama kali dilancarkannya?"


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sahut Li Sun-Hoan, "Hong-kui-liu-in,Angin Berhembus
Memutar Awan." Si gadis berkuncir bertanya lagi, "Lalu jurus keduanya?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Liu-sing-tui-goat, Bintang Jatuh
Mengikuti Bulan." Dan si gadis pun bertanya lagi, "Sewaktu berubah dari
jurus "Hong-kui-liu-in" ke jurus "Liu-sing-tui-goat", ia
melakukannya terlalu cepat, sehingga dirinya terbuka
untuk serangan. Jika pada saat itu, kau sambitkan
pisaumu bukankah kau dapat membunuhnya?"
Li Sun-Hoan tidak bisa berkutik.
Bab 33. Percakapan yang Mengejutkan
Kata si gadis berkuncir, "Itu adalah kesempatan pertama
yang tidak kau pergunakan untuk membunuhnya. Kau
ingin aku melanjutkan lagi?"
Li Sun-Hoan hanya bisa terkekeh."Tidak perlulah."
619 Si gadis berkuncir pun berkata lagi, "Orang-orang bilang
kau adalah pria sejati, tapi menurutku kau sebenarnya
agak feminin." Seumur hidupnya, Li Sun-Hoan telah mengalami berbagai
macam hinaan. Namun ini adalah pertama kalinya ia
dituduh sebagai seorang "feminin". Ia tidak tahu harus
tertawa atau menangis mendengarnya.
Si gadis berkuncir masih menatapnya dengan matanya
yang besar dan jernih. "Jika kau tidak tahu harus bilang
apa, mengapa kau tidak mulai batuk-batuk?"
Li Sun-Hoan mendesah. "Mata Nona Muda sangat tajam.
Rasanya kau adalah seorang penting. Maafkan kalau aku
tidak mengenalimu." Si gadis segera menyergah, "Tidak usah memuji-muji.
Aku bukan siapa-siapa."
Kini Li Sun-Hoan benar-benar mulai terbatuk-batuk.
Si gadis pun berkata dengan manis, "Aku tahu kau tidak
pernah menyombongkan diri dan suka sekali memuji
orang lain. Ini adalah sifatmu yang terbaik, tapi juga
yang terburuk. Seseorang tidak boleh terlalu
merendahkan dirinya."
Sahut Li Sun-Hoan, "Nona Muda"."
Si gadis langsung memotongnya cepat, "Sheku bukan
"Nona" dan Cayhe bukan "Muda". Mengapa kau terusterusan
memanggilku "Nona Muda?""
620 Li Sun-Hoan tersenyum. Kini ia merasa, gadis ini
memang sungguh menarik. Si gadis berkuncir menambahkan, "Sheku adalah Sun,
dan nama lengkapku Sun Sio-ang. "Ang" yang berarti
warna merah." Kata Li Sun-Hoan, "Cayhe Li"."
Si gadis kembali memotongnya, "Aku sudah tahu
namamu sejak lama. Sekarang aku menantangmu
berduel!" Li Sun-Hoan terperanjat, tanyanya, "Duel apa?"
Sun Sio-ang pun cekikikan. "Yang pasti bukan duel
silat.Walaupun aku berlatih seratus tahun lagi, aku tidak
akan mungkin mengalahkanmu. Aku ingin bertanding
minum denganmu. Waktu aku mendengar seseorang
lebih jago minum daripada aku, aku jadi jengkel."
Li Sun-Hoan tersenyum. "Aku tahu semua peminum
berpikiran seperti ini. Tak kusangka kau pun begitu."
Kata Sun Sio-ang, "Tapi jika kita bertanding sekarang,
aku sudah berada di atas angin."
"Kenapa?" Sahut Sun Sio-ang dengan serius, "Setelah pertempuran
tadi, tubuhmu sudah lelah dan toleransimu terhadap
alkohol sudah menurun. Pertandingan minum sama
seperti pertandingan silat. Kau harus berada di tempat
621 yang tepat, waktu yang tepat, dan kondisi yang prima
untuk bisa menang. Jika salah satu dari faktor ini hilang,
kesempatanmu akan berkurang drastis."
Kata Li Sun-Hoan, "Dari jawabanmu ini, aku tahu pasti
bahwa kau memang jago minum. Kalau bisa berduel
dengan jago minum seperti itu, mabuk berat pun tidak
jadi masalah." Mata Sun Sio-ang yang besar dan jeli itu pun makin
bersinar, menyiratkan kegembiran, menggambarkan
kekaguman. Namun wajahnya masih tetap serius. "Kalau
begitu". karena aku sudah mendapatkan keuntungan
dari segi waktu, sekarang kau yang pilih tempatnya."
Li Sun-Hoan tidak dapat menahan tawanya. "Kalau
begitu, mari ikut aku."
Sahut Sun Sio-ang, "Silakan duluan."
Beberapa jam sebelum magrib adalah waktu yang tersepi
bagi warung arak. Si Bungkuk Sun sedang duduk di depan pintu
memandangi matahari yang mulai memerah.
Saat itu, datanglah Li Sun-Hoan bersama Sun Sio-ang. Si
Bungkuk Sun tak dapat mempercayai matanya.
Bagaimana kedua orang ini bisa datang bersama"
Memang aneh bahwa kedua orang ini bisa menjadi
sahabat. 622 Li Sun-Hoan tidak melihat perubahan wajah Si Bungkuk
Sun, namun ia memang menganggap keadaan ini
sungguh lucu. Gadis kecil ini tidak pernah berhenti bicara. Sekali
mulutnya terbuka, ia akan berkicau tak henti-hentinya.
Sampai-sampai sulit untuk membalas percakapannya.
Li Sun-Hoan paling sebal dengan dua hal dalam hidup ini.
Yang pertama adalah waktu ia tahu bahwa ternyata
orang yang duduk makan bersamanya, satu pun tidak
ada yang minum arak. Yang kedua adalah waktu bertemu dengan seorang
wanita yang cerewet. Ia merasa, hal yang kedua itu sepuluh kali lebih
menyebalkan daripada yang pertama.
Tapi anehnya, saat menghadapi gadis ini, ia tidak merasa
sakit kepala sama sekali mendengar ocehannya, bahkan
merasa lebih segar. Jika seorang wanita itu pandai, cantik, dan jago minum,
walaupun ia cerewet, seorang laki-laki tentu akan suka
padanya"..tapi kalau tidak, seorang wanita lebih baik
bicara seperlunya saja. Selama perjalanan, Li Sun-Hoan mendengarkan gadis ini
berbicara mengenai macam-macam hal. Orang tua itu di
panggil Si Rambut Putih Sun. Ia adalah kakek Sun Sioang.
Orang tua gadis ini sudah meninggal dan ia sudah
623 bersama dengan kakeknya sejak kecil. Mereka hampirhampir
tidak pernah berpisah. Oleh sebab itu ia tidak bisa tidak bertanya, "Lalu
mengapa sekarang kakekmu tidak bersama dengan
engkau?" Sun Sio-ang menjawab pendek, "Ia sedang ke luar kota
mengantarkan seseorang."
Li Sun-Hoan ingin mendesak, "Mengapa ia harus
mengantar orang sampai ke luar kota?"
"Siapa yang diantarkannya?"
"Mengapa kau tidak ikut dengannya?"
Namun Li Sun-Hoan tidak pernah banyak bicara. Lagi
pula, dengan Sun Sio-ang di depannya, ia tidak akan
punya kesempatan bicara. Seakan-akan, ia memang tidak ingin membiarkan Li Sun-
Hoan menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu. Ia malah
balas memberondongnya dengan segudang pertanyaan.
"Bagaimana kau mempelajari ilmu pisaumu yang
legendaris itu?" "Kudengar kau pernah punya sahabat bernama A Fei.
Kecepatannya bisa dibilang setanding denganmu.
Tahukah kau dimana ia sekarang berada?"
624 "Kau menghilang selama dua tahun. Tidak seorang pun
tahu bahwa kau bersembunyi di penginapan milik Si
Bungkuk Sun. Mengapa kau bersembunyi di situ?"
"Sekarang, setelah semua orang tahu di mana kau
berada, apa yang akan kau lakukan?"
"Siapakah sebenarnya Bwe-hoa-cat ?"
"Jika ia sudah tertangkap, apakah kau yang
menangkapnya?" Li Sun-Hoan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Sebagian karena ia tidak ingin menjawabnya, sebagian
lagi karena ia tidak tahu jawabannya.
Ia tahu bahwa Lim Sian-ji adalah Bwe-hoa-cat .
Ia tahu bahwa A Fei tidak akan tega membunuh Lim
Sian-ji. Ia tahu bahwa A Fei telah membawa pergi Lim Sian-ji.
Tapi ke mana" Apakah kini Lim Sian-ji telah berubah menjadi wanita
baik-baik" Apakah Lim Sian-ji mencintai A Fei"
Waktu ia memikirkan ini, ia hanya dapat menghela nafas.
625 Ia pun tidak tahu apa yang akan dilakukannya di
kemudian hari. Mata Sun Sio-ang tidak pernah lepas dari dirinya.
Tatapan matanya bukan saja penuh dengan kekaguman,
namun juga penuh pengertian.
Li Sun-Hoan mengangkat kepalanya dan menyambut
tatapan matanya. Hatinya jadi berdebar-debar.
Sun Sio-ang berkata, "Kita mulai bertanding sekarang?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Mari."
Mata Sun Sio-ang berputar. "Bagus. Mari kita bicarakan
cara pertandingannya."
Li Sun-Hoan bertanya, "Memang ada berapa cara
bertanding minum arak?"
Sahut Sun Sio-ang, "Tentu saja ada banyak cara. Masa
kau tidak tahu?" Kata Li Sun-Hoan, "Aku cuma tahu satu cara, yaitu tiaptiap
orang harus minum sebanyak-banyaknya. Siapa
yang muntah duluan, dia yang kalah."
Sun Sio-ang terkekeh dan menggelengkan kepalanya.
"Kelihatannya ilmu minummu masih agak rendah."
"O ya?" 626 Kata Sun Sio-ang, "Kalau bicara soal bertanding minum
arak, secara garis besar ada dua cara. Satu: cara brutal,
dua: cara terpelajar."
Tanya Li Sun-Hoan, "Bagaimana itu cara brutal, dan
bagaimana cara terpelajar?"
Sahut Sun Sio-ang, "Cara yang baru saja kau sebutkan
itu adalah cara brutal. Hanya asal masuk saja."
"Asal masuk?" Jawab Sun Sio-ang, "Tentu saja. Bisa disebut apa lagi,
jika orang hanya memasukkan arak sebanyak-banyaknya
ke dalam mulutnya." Kata Li Sun-Hoan, "Apa lagi yang bisa dilakukan" Apa
harus dimasukkan lewat telinga?"
Sun Sio-ang tersenyum manis. "Jika kau bisa minum
lewat telingamu, aku mengaku kalah sekarang juga.
Sudah pasti aku tidak bisa."
Sahut Li Sun-Hoan, "Terlalu lama kalau minum lewat
telinga. Aku tidak sabar."
Kata Sun Sio-ang, "Aku kan hanya seorang gadis kecil,
bagaimana mungkin aku bertanding dengan cara brutal
itu" Akan tetapi, cara terpelajar pun ada beberapa jenis."
"Bagaimana?" 627 Sahut Sun Sio-ang, "Kau bisa menebak angka, bertepuk
tangan, tapi cara-cara itu terlalu biasa. Bagaimana
mungkin orang seperti kita bertanding dengan cara itu?"
Tanya Li Sun-Hoan, "Lalu bagaimana?"
Jawab Sun Sio-ang, "Ada satu cara lagi."
Li Sun-Hoan tidak bisa menahan tawa. Sun Sio-ang pun
tertawa. "Akan tetapi, cara terakhir ini bukan saja sangat
unik, tapi juga sangat menarik. Walaupun ada seribu
satu cara, kita akan tetap menggunakan cara ini."
Kata Li Sun-Hoan, "Arak sudah tersedia di meja, dan aku
sudah tidak tahan ingin minum. Jadi, ayo pilih cara yang
kau inginkan." Kata Sun Sio-ang, "Dengarkan baik-baik. Cara ini
sebenarnya cukup mudah."
Li Sun-Hoan hanya dapat bersabar dan mendengarkan.
Lanjut Sun Sio-ang, "Aku akan bertanya. Jika kau dapat
menjawab, kau menang dan aku harus minum secawan."
Kata Li Sun-Hoan, "Kalau aku tidak bisa menjawab" Aku
kalah?" Jawab Sun Sio-ang, "Belum tentu. Tapi jika aku dapat
menjawab pertanyaanku sendiri, barulah kau kalah."
Tanya Li Sun-Hoan, "Kalau aku kalah, lalu aku boleh
bertanya, bukan?" 628 Sun Sio-ang menggelengkan kepalanya. "Tidak begitu.
Yang menang boleh terus bertanya sampai dia kalah."
Kata Li Sun-Hoan, "Jika kau bertanya pertanyaan pribadi
yang hanya diketahui olehmu, kau pasti akan menang
terus, bukan?" Sun Sio-ang tersenyum. "Sudah pasti kita tidak boleh
bertanya pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Jika aku
bertanya siapa nama ibuku, berapakah kakak adikku,
berapakah umurku".pasti kau tidak tahu."
Tanya Li Sun-Hoan, "Jadi pertanyaan seperti apa yang
akan kau tanyakan?" Sahut Sun Sio-ang, "Kau akan tahu segera setelah kita
mulai." Li Sun-Hoan terkekeh. "Baiklah. Aku sudah siap untuk
kalah." Sung Sio-ang tersenyum dan berkata, "Siap" Ini
pertanyaan pertama."


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senyumnya menghilang, matanya menatap tajam pada Li
Sun-Hoan. "Tahukah kau siapa penulis surat itu?"
Pertanyaan yang sungguh mengejutkan!
Mata Li Sun-Hoan berbinar. Dengan terbata-bata ia
menjawab, "Aku tidak tahu". Kau tahu?"
629 Sun Sio-ang menjawab dengan kalem, "Kalau aku tidak
tahu, buat apa aku bertanya" Orang itu adalah"."
Sun Sio-ang sengaja mengulur waktu. Lalu
disambungnya, ?".Lim Sian-ji!"
Jawabannya ternyata lebih mengejutkan lagi! Li Sun-
Hoan termasuk orang yang tenang, namun ia merinding
mendengar jawaban itu. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Kata Sun Sio-ang, "Ini bukan giliranmu bertanya. Ayo
minum secawan sebelum kita lanjutkan lagi."
Segera Li Sun-Hoan menghabiskan cawan arak yang
pertama. Tanya Sun Sio-ang yang kedua kali, "Tahukah kau
bagaimana keadaan A Fei?"
Li Sun-Hoan harus menjawab, "Tidak."
Sahut Sun Sio-ang, "Walaupun ia tinggal bersama
dengan Lim Sian-ji, ia tidak tahu apa yang sebenarnya
dilakukan Lim Sian-ji."
Segera Li Sun-Hoan bertanya, "Di mana dia sekarang?"
Sun Sio-ang menggelengkan kepalanya. "Mengapa kau
begitu tidak sabar. Tunggu sampai kau menang, baru
bertanya." Li Sun-Hoan hanya dapat menghabiskan cawannya yang
kedua. Cawan ini lebih besar daripada mangkuk sup,
630 namun ia menghabiskannya lebih cepat daripada
biasanya. Karena ia ingin sekali mendengar pertanyaan
yang ketiga. Tanya Sun Sio-ang untuk yang ketiga kali, "Tahukah kau
mengapa Lim Sian-ji menulis surat itu?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Tidak."
Walaupun sebenarnya ia telah menduga-duga, ia tidak
tahu pasti. Kata Sun Sio-ang, "Karena ia tahu bahwa jika ada orang
yang akan mengganggu Lim Si-im, kau pasti akan
muncul. Ia ingin kau muncul, sehingga ia bisa mengirim
orang untuk membunuhmu. Kau adalah musuh
terbesarnya di dunia ini. Ia takut setengah mati
terhadapmu. Selama kau masih hidup, ia tidak akan
mungkin hidup bebas."
Li Sun-Hoan mendesah. Ia minum cawan yang ketiga.
Sun Sio-ang bertanya, "Tahukah kau siapa orang
pertama yang menginginkan kematianmu?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Aku sudah terlalu banyak
membunuh dalam hidup ini. Bagaimana mungkin aku
tahu yang mana yang menginginkan nyawaku?"
Sahut Sun Sio-ang, "Hanya dua atau tiga orang dalam
dunia ini yang sanggup membunuhmu. Yang pertama
adalah Siangkoan Kim-hong!"
631 Li Sun-Hoan tidak kaget mendengarnya. Ia minum cawan
yang keempat, namun tidak tahan untuk tidak bertanya,
"Apakah ia ada di sini sekarang?"
Bab 34. Berita yang Mengejutkan
Sun Sio-ang menggelengkan kepalanya dan tersenyum.
"Lihat, kau terus saja berbuat kesalahan. Tunggu sampai
giliranmu." Lalu ia menambahkan, "Kau pasti tahu perangai
Siangkoan Kim-hong. Harta karun biasa tidak akan
menggerakkan hatinya. Tahukah kau apa yang
diinginkannya?" Jawab Li Sun-Hoan, "Tidak."
Kata Sun Sio-ang, "Karena ia mendengar bahwa dulu
ayahnya bersahabat akrab dengan pesilat nomor satu
dunia, Sim Long." [Sim Long adalah nama karakter utama dalam novel Gu
Liong yang berjudul "Pendekar Baja"]
Kata Li Sun-Hoan, "Sim Long memang sahabat karib
ayahku. Namun ia sudah lama mengundurkan diri dan
hidup di pulau terpencil. Lalu apa hubungannya dengan
peristiwa ini?" Sun Sio-ang tersenyum. "Kelihatannya, kalau kau tidak
diberi kesempatan bertanya, kau bisa jadi gila. Baiklah,
tapi kau harus minum tiga cawan terlebih dulu."
632 Sepertinya, ia memang ingin Li Sun-Hoan jadi mabuk.
Hanya saja, pertanyaannya sungguh mengejutkan dan
jawabannya lebih mengejutkan lagi. Walaupun Li Sun-
Hoan tahu apa yang diinginkannya, ia terus saja minum.
Lalu Sun Sio-ang pun melanjutkan, "Karena, ia
mendengar bahwa sebelum Sim Long mengundurkan
diri, ia memberikan dua kitab pusaka silat kepada
ayahmu. Dengan belajar dari salah satu kitab itu saja,
ilmu pisaumu sudah tidak ada tandingannya di dunia
persilatan. Jika seseorang bisa belajar dari keduanya,
bayangkan betapa hebat jadinya orang itu! Jadi bahkan
Siangkoan Kim-hong sekalipun tak bisa melewatkannya."
Li Sun-Hoan terdiam sejenak sebelum menjawab, "Jika
ini memang benar, mengapa aku sendiri tidak tahu?"
Kata Sun Sio-ang, "Ini hanyalah kabar burung yang
disiarkan oleh Lim Sian-ji. Sim Long kan orang yang
sangat pandai. Mengapa ia sengaja meninggalkan kitab
pusaka itu untuk dijadikan rebutan orang banyak?"
Ia tersenyum dan melanjutkan, "Sekalipun ia
meninggalkan kitab pusaka, ia tidak akan
meninggalkannya di rumahmu. Mengapa ia membawa
kesulitan bagi sahabatnya?"
Li Sun-Hoan mendesah. "Betul juga."
Sun Sio-ang mengejapkan matanya, lalu bertanya, "Aku
ingin memberi kesempatan padamu untuk mengajukan
pertanyaan. Oleh sebab ini, kau pasti bisa menjawab
pertanyaanku yang satu ini."
633 Matanya memandang Li Sun-Hoan dengan polos.
"Apakah ia masih satu-satunya wanita dalam hatimu"
Apakah kau masih rela mati baginya" Aku tahu kau pasti
paham siapakah "ia" yang kumaksudkan."
Li Sun-Hoan terdiam. Ia tidak pernah menyangka Sun Sio-ang akan
mengajukan pertanyaan ini.
Siapapun yang menanyakannya, ia tidak akan
menjawabnya. Ini adalah rahasianya yang paling pahit,
sakit hatinya yang paling dalam.
Mendengar pertanyaan ini sama dengan ditusuk dengan
sembilu. Ia tidak mengerti mengapa Sun Sio-ang harus
menanyakannya. Gadis-gadis muda memang selalu ingin tahu. Apakah itu
alasannya" Ia pasti tidak ingin menyakiti Li Sun-Hoan. Jika itu
maksudnya, ia tidak mungkin memberitahukan padanya
semua rahasia yang barusan diceritakannya itu.
Tapi siapakah sebenarnya dia"
Bagaimana ia bisa tahu begitu banyak"
634 Kakeknya sudah pasti orang yang sangat berpengaruh. Si
Rambut Putih Sun, pasti bukan namanya yang
sesungguhnya. Siapakah dia sebenarnya"
Siapa yang ditemuinya di luar kota" Apakah Siangkoan
Kim-hong" Di manakah A Fei dan Lim Sian-ji bersembunyi"
Li Sun-Hoan rela berbuat apa saja untuk mengetahui
jawaban dari rahasia-rahasia ini!
Li Sun-Hoan duduk di situ sampai sekian lama, lalu
menghela nagas panjang. "Ketika sepertinya tidak ada
lagi cinta, ternyata cinta masih ada. Ketika cinta menjadi
dalam, ternyata ia berubah dangkal". Kejam" Atau
sentimental" Siapa yang dapat menghakimi" Siapa yang
dapat"." Suaranya makin lama makin halus, sampai tidak
terdengar lagi. Sun Sio-ang mendesah dan berkata dengan lembut,
"Mengapa kau lakukan ini pada dirimu
sendiri"...Mengapa?"
Mereka terdiam cukup lama, lalu tiba-tiba Sun Sio-ang
mengambil cawan arak dan meneguk isinya sampai
habis. Ia tersenyum sambil berkata, "Baiklah, aku kalah
kali ini. Kau boleh bertanya lagi."
Wajah Li Sun-Hoan kini sungguh serius, dan ia bertanya,
"Di manakah A Fei saat ini?"
635 Sun Sio-ang tersenyum. "Aku tahu, kau pasti akan
menanyakannya. Selain dari si "dia", mungkin ia adalah
orang yang paling kau sayangi."
Kata Li Sun-Hoan, "Tentu saja. Siapa pun yang
mempunyai sahabat seperti dia, pasti akan menguatirkan
keadaannya." Sahut Sun Sio-ang, "Jika seseorang dapat mempunyai
sahabat seperti dirimu, bukankah mereka juga pasti akan
menguatirkan keadaanmu?"
Lalu ia tersenyum penuh rahasia dan mengeluarkan
sepucuk surat. "Ini adalah tempat di mana A Fei kini
tinggal. Ikuti saja peta ini dan kau pasti akan
menemukan dia." Kata Li Sun-Hoan, "Terima kasih."
Ini adalah kali kedua ia mengucapkan "terima kasih"
sepanjang hari ini. Sun Sio-ang menatapnya. "Kau tidak mengucapkan
terima kasih waktu kuberitahukan padamu rahasia yang
terbesar. Kau tidak mengucapkan terima kasih ketika
kuberitahukan siapa yang ingin membunuhmu. Mengapa
sekarang kau berterima kasih?"
Li Sun-Hoan diam saja. Kata Sun Sio-ang lagi, "Aku tahu jawabannya walaupun
kau tidak memberi tahu. Alasannya adalah bahwa
dengan peta ini kau dapat menemukan A Fei. Hanya
636 dengan cara itu kau dapat menyelamatkannya. Kau
dapat menasihatinya untuk tidak mencintai orang yang
tidak pantas dicintai dan merusak dirinya sendiri. Kau
berterima kasih padaku demi dia."
Lanjutnya, "Alasan ini jugalah yang membuat kau
berterima kasih pada Kwe ko-yang. Demi Lim Si-im".
Pernahkah kau berterima kasih pada seseorang demi
dirimu sendiri?" Li Sun-Hoan masih diam saja.
Sun Sio-ang hanya bisa mengeluh. "Kakekku pernah
bilang, jika seseorang tidak pernah hidup untuk dirinya
sendiri, hidup orang itu sungguhlah menyedihkan."
Kini Sun Sio-ang pun berhenti bicara. Wajahnya tampak
muram. Setelah sekian lama, terbayang senyuman di
bibirnya. "Namun jika seseorang hanya hidup untuk dirinya
sendiri, betapa membosankannya hidupnya itu!"
Li Sun-Hoan minum secawan lagi, lalu bertanya,
"Kakekmu sedang mengantar siapa?"
Sahut Sun Sio-ang, "Siangkoan Kim-hong."
Jawaban ini sungguh membuat Li Sun-Hoan terhenyak.
Ia tidak tahan untuk tidak bertanya, "Siangkoan Kimhong
belum masuk ke dalam kota. Mengapa dia sudah
akan pergi lagi?" 637 Jawab Sun Sio-ang, "Karena kakek secara khusus ingin
mengantarkan dia pergi. Bagaimana mungkin ia bisa
menolak?" Kata Li Sun-Hoan, "Maksudmu, kakekmu adalah"."
Sampai di sini, ia mulai terbatuk-batuk lagi.
Ia membungkukkan badannya dan merasa kepalanya
berkunang-kunang. Si Bungkuk Sun sejak lama berdiri di sudut yang jauh,
namun kini ia datang mendekati mereka. Katanya pada Li
Sun-Hoan, "Kau sudah minum terlalu banyak hari ini, dan
juga terlalu cepat. Lanjutkanlah permainan ini esok hari
saja." Li Sun-Hoan malah bertanya kepadanya, "Kau tahu di
mana Siangkoan Kim-hong?"
Jawab Si Bungkuk Sun, "Aku tidak tahu. Kelihatannya
aku harus minum satu cawan arak juga."
Li Sun-Hoan tertawa terbahak-bahak. "Tidak perlu. Kau
kan tidak ikut dalam pertandingan ini. Kau tidak perlu
mengikuti aturannya."
Si Bungkuk Sun memandang Li Sun-Hoan dengan aneh,
seakan-akan belum pernah kenal dengan orang ini
sebelumnya. Kata Li Sun-Hoan lagi, "Tapi aku tahu jawabannya.
Siangkoan Kim-hong menganggap dirinya sebagai pesilat
638 nomor satu di dunia. Ia sangat angkuh dan tidak
memandang sebelah mata pada siapa pun juga. Namun
kali ini, ia malah mau menuruti Si Tua Sun. Kau tahu
kenapa?" Jawab Si Bungkuk Sun, "Tidak."
Kata Li Sun-Hoan, "Aku juga tidak tahu. Oleh sebab
itulah aku harus bertanya, karena aku ingin tahu
jawabannya." Kata Si Bungkuk Sun, "Kau bertanya terlalu banyak.
Pantas saja kau mabuk."
Li Sun-Hoan mengangkat cawan araknya dan bertanya
pada Sun Sio-ang, "Nona Sun, siapakah sebenarnya Si
Tua Sun?" Sun Sio-ang tersenyum dan menjawab, "Si Tua Sun
adalah ayah dari ayahku. Kakek kandungku."
Li Sun-Hoan terbahak-bahak. "Betul. Betul. Kau memang
betul sekali." Ia minum secawan penuh.

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah menghabiskannya, pandangannya menjadi
kabur. Katanya, "Aku punya pertanyaan lagi."
Mata Sun Sio-ang malah menjadi semakin terang. Ia
terkekeh. "Tanyakanlah sebelum kau benar-benar
mabuk." 639 Tanya Li Sun-Hoan, "Aku bertanya. Mengapa kau ingin
aku mabuk" Mengapa"."
Sun Sio-ang mengisi cawan Li Sun-Hoan dengan arak,
lalu menjawabnya dengan senyum lebar, "Karena kita
sedang melangsungkan pertandingan minum arak.
Bukankah tujuannya adalah membuat lawan mabuk
terlebih dahulu" Semua peminum suka melihat orang lain
mabuk lebih dulu. Betul kan?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Itu betul, betul, betul"."
Kali ini, ia benar-benar mabuk berat.
Si Bungkuk Sun maupun Sun Sio-ang tidak bersuara.
Mereka berdua hanya menatap Li Sun-Hoan. Mereka
tidak yakin apakah dia memang benar-benar mabuk atau
hanya pura-pura. Malam pun tibalah. Si Bungkuk Sun menyalakan lilin. Ia berkata, "Sudah
waktunya makan malam. Mungkin akan ada pelanggan
yang lain." Sambil berbicara, ia melangkah cepat ke arah pintu dan
menguncinya. Seakan-akan ingin menahan Sun Sio-ang
di situ. Sun Sio-ang tidak merasa keberatan.
Kunci itu sangat besar. Biasanya perlu waktu cukup lama
bagi Si Bungkuk Sun untuk mengancingkannya di pintu.
640 Namun hari ini, kelihatannya ia tiba-tiba menjadi kuat
dan mengangkat kunci besar itu bagai mengangkat bulu
ayam saja. Sun Sio-ang tiba-tiba tersenyum. "Orang bilang Jicek
(paman Kedua) bertenaga sangat besar. Sayang aku
baru tahu sekarang."
Si Bungkuk Sun memutar badannya. Ia mengangkat
alisnya dan bertanya, "Siapa Jicekkmu" Apa kau juga
sudah mabuk?" Kata Sun Sio-ang, "Aktingmu memang sangat bagus.
Tapi apakah kau ingin terus berakting sampai sekarang?"
Si Bungkuk Sun hanya menatapnya. Namun tatapannya
sedingin es. Bagaimana mungkin Si Bungkuk Sun bisa menatap
seperti ini" Jika Li Sun-Hoan melihat kedua mata ini, ia pasti akan
merasa bangga, sebab ia tidak pernah melihatnya
menatap orang seperti ini dalam dua tahun mereka
bersama-sama. Sayang sekali Li Sun-Hoan tidak bisa melihat apa-apa
sekarang. Kata Sun Sio-ang, "Aku yakin hari ini dia benar-benar
mabuk, bukan cuma pura-pura."
641 Kata Si Bungkuk Sun, "Tahukah kau berapa besar
ketahanannya terhadap alkohol" Bagaimana mungkin ia
bisa mabuk secepat itu?"
Sahut Sun Sio-ang, "Kalau seseorang sedang jengkel,
ditambah dengan tubuh yang lelah, bagaimana pun
besarnya kekuatan minumnya, ia pasti cepat mabuk."
Si Bungkuk Sun pun bertanya, "Mengapa kau ingin
membuatnya mabuk?" Sahut Sun Sio-ang, "Kau tidak tahu" Inilah yang
diinginkan kakek." "O ya?" "Sekarang orang sudah tahu di mana ia berada. Mereka
pasti akan segera datang mencarinya. Itulah sebabnya
mengapa kakek ingin menyembunyikan dia untuk
sementara waktu." Sun Sio-ang menghela nafas dan melanjutkan, "Namun
kau pasti tahu sifatnya. Bagaimana mungkin kita
membawanya pergi kalau ia tidak mabuk?"
Si Bungkuk Sun berkata, "Sejujurnya, aku tidak mengerti
sama sekali pikiran kekekmu."
Tanya Sun Sio-ang, "Apa yang tidak kau mengerti?"
Kata Si Bungkuk Sun, "Waktu Li Sun-Hoan sendiri ingin
bersembunyi, kakekmu terus mendorong dia untuk
642 muncul kembali. Sekarang, waktu dia sudah muncul,
kakekmu ingin menyembunyikan dia."
Sun Sio-ang menggelengkan kepalanya. "Inilah
kesalahanmu. Kakek hanya akan menyembunyikannya
untuk sementara waktu."
Lalu ia menatap Li Sun-Hoan yang tidak sadarkan diri
dan tersenyum. "Tahukah kau mengapa begitu banyak
orang yang menginginkan kepalanya?"
Si Bungkuk Sun tertawa dingin. "Siapa yang peduli"
Selain Siangkoan Kim-hong, siapakah yang harus
ditakutinya?" Sahut Sun Sio-ang, "Kau salah lagi. Setiap orang yang
menginginkan kepalanya pasti tahu apa yang mereka
perbuat." Tanya Si Bungkuk Sun, "Apa benar" Coba kau sebutkan
siapa saja mereka itu."
Jawab Sun Sio-ang, "Lupakan dulu yang pria, mari kita
mulai dengan yang wanita. Ada Si Budha Perempuan
Mahagembira dan Na Kiat-cu"."
Sewaktu nama-nama ini disebutkan, Si Bungkuk Sun
mengangkat alisnya. Lanjut Sio-ang, "Pek-hiau-sing berat sebelah terhadap
kaum pria, sehingga Kitab Persenjataannya tidak
menyebutkan para wanita. Tapi aku yakin kau pasti tahu
kedua iblis wanita ini, bukan?"
643 Si Bungkuk Sun mengangguk.
Kata Sun Sio-ang, "Na Kiat-cu adalah kekasih Si Setan
Hijau. Si Budha Perempuan Mahagembira adalah ibu
angkat Ngo-tok-tongcu. Mereka telah mencari-cari Li
Sun-Hoan sekian lama. Kalau mereka tahu ia ada di sini,
mereka pasti akan langsung datang."
Ia mendesah, lanjutnya, "Walaupun hanya salah satu
dari mereka yang datang, Li Sun-Hoan pasti akan
kerepotan." Si Bungkuk Sun mengambil lapnya dan mulai
memebersihkan meja. Setiap kali ia merasa kesal, ia berlaku seperti ini.
Kata Sun Sio-ang, "Sekarang mari kita menyebutkan
yang pria." Ia memejamkan matanya dan mengacungkan jarinya.
Katanya, "Siangkoan Kim-hong, Lu Hong-sian, Hing Bubing,
dan".kau pasti tahu yang terakhir."
[Bu-bing artinya Tidak Ada Kehidupan]
Si Bungkuk Sun terus membersihkan meja, mengangkat
wajah pun tidak. Ia bertanya singkat, "Siapa?"
Sahut Sun Sio-ang, "Oh Put-kiu."
644 Si Bungkuk Sun berhenti mengelap dan mengangkat
wajahnya melongo. Tanyanya, "Oh Put-kiu" Kau maksud
Oh si gila?" Kata Sun Sio-ang, "Betul sekali. Orang ini memang
tampak gila. Senjatanya adalah pedang bambu.
Kudengar ilmu pedangnya segila orangnya. Kadangkadang
tampak hebat, kadang-kadang tidak karuan,
tidak pantas dilihat. Oleh sebab itu, Pek-hiau-sing tidak
mengikutsertakannya dalam Kitab Persenjataan."
Si Bungkuk Sun menjawab, "Bagian yang payah itu cuma
pura-pura, bagian yang hebat itu yang sesungguhnya."
Setelah berpikir beberapa saat ia bertanya, "Tapi orang
ini selalu menyendiri. Mengapa tiba-tiba ia ingin
mengganggu Li Sun-Hoan?"
Kata Sun Sio-ang, "Kudengar, Liong Siau-hun yang
memintanya. Oh si gila berhutang budi pada guru Liong
Siau-hun." Kata Si Bungkuk Sun, "Sulit untuk menemukan orang
seperti dia. Hebat juga Liong Siau-hun bisa
menemukannya." Sahut Sun Sio-ang, "Itulah sebabnya mengapa Liong
Siau-hun pergi dari rumahnya selama dua tahun ini."
Tanya Si Bungkuk Sun, "Apakah Lu Hong-sian yang tadi
kau sebutkan adalah yang berada di urutan nomor lima
Kitab Persenjataan?"
645 Sahut Sun Sio-ang, "Betul. Ia telah mempelajari ilmu silat
yang aneh akhir-akhir ini. Dan ia ingin bertarung dengan
semua pesilat yang urutannya berada di atas dia."
Tanya Si Bungkuk Sun lagi, "Bagaimana dengan
Hing"..Hing"."
"Hing Bu-bing" Hing Bu-bing adalah pesilat yang paling
tangguh di bawah naungan Siangkoan Kim-hong."
Si Bungkuk Sun mengerutkan keningnya. "Mengapa aku
belum pernah mendengar namanya?"
Sahut Sun Sio-ang, "Ia baru muncul dua tahun terakhir
ini. Menurut kakek, di antara pesilat-pesilat muda, ia dan
A Fei adalah yang terbaik."
"O ya?" Kata Sun Sio-ang, "Ia juga menggunakan pedang, dan
seperti A Fei, pedangnya pun luar biasa cepat, tepat dan
mematikan! Selain itu, dia punya satu sifat lagi yang
sungguh berbahaya." Si Bungkuk Sun terus menyimak dengan serius.
Lanjut Sun Sio-ang, "Ia jarang bertempur, namun sekali
bertempur, ia seakan-akan tidak peduli lagi akan
hidupnya sendiri. Tiap serangan adalah serangan berani
mati. Karena ia disebut "Tidak Ada Kehidupan", sudah
tentu ia tidak peduli akan hidupnya."
646 Si Bungkuk Sun hanya terdiam. Lalu ia bertanya, "Di
mana kakekmu?" Jawab Sun Sio-ang, "Kami berjanji bertemu di luar
kota?" Ia tersenyum penuh kemenangan. "Kakek tahu aku akan
menemukan cara untuk membawa Li Sun-Hoan ke sana."
Si Bungkuk Sun hanya tersenyum dan menggelengkan
kepalanya. "Kau memang betul-betul gadis kecil yang
penuh akal bulus." Sun Sio-ang memonyongkan mulutnya. "Aku sudah
hampir dua puluh tahun. Mengapa kau masih
memanggilku gadis kecil?"
Bab 35. Manusia Pemakan Kalajengking
Si Bungkuk Sun mendesah dan berkata, "Kau betul-betul
sudah dewasa kini. Terakhir aku melihatmu, kau baru
berumur lima tahun?"
Lalu ia kembali mengelap meja.
Sun Sio-ang menundukkan kepalanya. Katanya, "Jicek,
kau tidak pernah pulang ke rumah selama berapa, tiga
belas atau empat belas tahun?"
Si Bungkuk Sun mengangguk. "Ya. Empat belas tahun.
Beberapa hari lagi, akan genap empat belas tahun."
647 Tanya Sun Sio-ang, "Mengapa kau tidak pernah pulang
dan menjenguk kami?"
Si Bungkuk Sun menggebrak meja dan berseru dengan
lantang, "Aku sudah berjanji akan melindungi sebuah
keluarga selama lima belas tahun. Kau boleh bertaruh
bahwa aku akan melakukannya sampai genap!"
Kata Sun Sio-ang, "Oh begitu."
Setelah sekian lama, Si Bungkuk Sun kembali mengelap
meja. Ketika ia mulai mengelap, matanya yang tajam dan
bersinar terang itu langsung menghilang.
Inilah yang akan terjadi jika seseorang harus mengelap
meja selama empat belas tahun.
Si Bungkuk Sun lalu bertanya pelan, "Bagaimana kabar
yang lain?" Sun Sio-ang tersenyum. "Mereka semua baik. Bibi
Pertama dan Bibi Ketiga melahirkan tahun ini. Bibi
Keempat punya anak kembar. Tahun Baru ini pasti
sangat ramai." Dari sudut matanya, Sun Sio-ang bisa melihat mata Si
Bungkuk Sun yang tampak sedih. Ia langsung berhenti
bicara. Lalu dengan cepat ia menambahkan, "Semuanya
berharap kau bisa pulang juga."
648 Si Bungkuk Sun memaksakan seulas senyum dan
berkata, "Sampaikan pada mereka semua bahwa aku
pasti pulang Tahun Baru berikutnya."
Sun Sio-ang langsung bertepuk tangan. Katanya, "Bagus
sekali. Aku ingat kaulah yang paling hebat membuat
kembang api." Sahut Si Bungkuk Sun, "Aku pasti akan membuatnya
untukmu tahun depan. Sekarang, kau lebih baik pergi
cepat-cepat. Kakekmu akan merasa kuatir."
Lalu ia memandang Li Sun-Hoan dan bertanya,
"Bagaimana kau akan membawanya pergi?"
Sahut Sun Sio-ang, "Aku akan menggendongnya."
Ia lalu bangkit berdiri dan terdengarlah seseorang
membentak dengan bengis, "Kau boleh pergi, tapi si
pemabuk ini harus tinggal!"
Suara ini adalah suara seorang wanita.
Si Bungkuk Sun dan Sun Sio-ang telah mengawasi pintu
depan dari tadi, namun suara ini terdengar dari arah
belakang. Tidak ada yang tahu kapan wanita ini masuk.
Wajah Si Bungkuk Sun langsung tertekuk.
Dilemparkannya lapnya. Ia sudah mengelap meja selama empat belas tahun. Jika
tiap hari ia mengelap dua puluh kali, maka dalam
setahun ia sudah mengelap 7300 kali, atau 102.200 kali
649 dalam empat belas tahun. Siapapun yang telah mengelap


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meja sebanyak ini, pasti mempunyai kekuatan yang
besar. Lagi pula, Cakar Elang Si Bungkuk Sun sudah malang
melintang di dunia persilatan sejak lama. Waktu ia
melemparkan lapnya, tenaganya tidak kurang daripada
seorang pesilat yang melemparkan senjata rahasia.
Terdengar suara "Pang", dan debu pun beterbangan ke
seluruh ruangan. Lap itu membuat lubang besar di
dinding belakang, namun orang yang berdiri di depan
pintu tidak terluka sedikitpun.
Kelihatannya ia tidak bergerak. Namun jika ia benarbenar
tidak bergerak, lap itu pasti sudah melubangi
perutnya. Entah bagaimana, lap itu bisa luput.
Mungkin karena pinggangnya sangat ramping sehingga
mudah baginya untuk menghindar.
Yang membuat wanita ini sangat memikat bukan hanya
pinggangnya yang ramping.
Kakinya panjang dan lurus. Dan bagian tubuhnya yang
seharusnya berisi, memang tidak kurus, dan bagian yang
seharusnya langsing, memang tidak gemuk.
Matanya panjang dan menawan, namun mulutnya besar
dan bibirnya sangat tebal.
650 Kulitnya putih mulus, namun kelihatan bersisik dan
penuh bulu. Ia tidak bisa dibilang wanita yang cantik, namun ia
mempunyai pesona tersendiri.
Si Bungkuk Sun memutar badannya dan
memandanginya. Ia pun menatap Si Bungkuk Sun. Dari ekspresi wajahnya,
seakan-akan ia menganggap Si Bungkuk Sun sebagai
laki-laki tergagah dan paling ganteng sedunia. Seakanakan
ia sedang memandangi kekasihnya.
Namun ketika matanya sampai pada Sun Sio-ang,
tatapannya menjadi sedingin es.
Ia membenci semua wanita begitu rupa.
Si Bungkuk Sun terbatuk dua kali sebelum bertanya, "Na
Kiat-cu (Si Kalajengking Biru)?"
Na Kiat-cu tertawa. Waktu tertawa, matanya menjadi makin panjang dan
sipit, seperti seutas benang yang panjang.
Katanya sambil tersenyum, "Kau memang orang yang
berpengetahuan luas. Aku suka laki-laki seperti itu."
Si Bungkuk Sun tetap bermuka masam dan tidak
menjawab. 651 Ia tidak suka berdebat dengan wanita, karena ia tidak
tahu caranya. Kata Na Kiat-cu, "Aku pun berpengetahuan cukup luas.
Aku tahu siapa dirimu."
Suara Si Bungkuk Sun menggelegar. "Jika kau tahu,
mengapa masih bercokol di sini?"
Na Kiat-cu mendesah dan berkata, "Aku tahu kau tak
akan membiarkan aku membawanya pergi begitu saja.
Namun aku juga tidak ingin bertempur denganmu. Lalu
bagaimana baiknya kita menyelesaikan persoalan ini?"
Tiba-tiba wanita itu melambaikan tangannya ke belakang
dan berkata dengan tenang, "Ke sini."
Si Bungkuk Sun melihat sesosok bayangan lain datang
dari arah belakang. Seorang lelaki bertubuh besar. Ketika Na Kiat-cu
melambaikan tangannya, ia masuk ke dalam.
Pakaian laki-laki ini sangat apik dan kumisnya yang
kemilau tercukur rapi. Di pinggangnya terselip sebilah
golok bercincin sembilan yang mentereng.
Na Kiat-cu bertanya, "Tahukah kau siapa dia?"
Si Bungkuk Sun diam saja, namun Sun Sio-ang
menjawab, "Aku tahu."
652 Na Kiat-cu sedikit heran. "Kau benar-benar tahu siapa
dia?" Jawab Sun Sio-ang, "Namanya Coh Siang-ih. Julukannya
Hoat-pah-ong (Si Raja Perkasa)."
Na Kiat-cu memandang pada Hoat-pah-ong dan berkata,
"Ternyata kau cukup terkenal juga. Gadis kecil pun
mengenal engkau." Wajah Hoat-pah-ong terlihat sombong.
Kata Sun Sio-ang, "Aku tahu hampir semua orang
terkenal dalam dunia persilatan. Yang aku tidak tahu
adalah apa yang dikerjakannya dengan wanita seperti
engkau." Na Kiat-cu tersenyum dan berkata, "Ia merayuku dalam
perjalanan ke sini."
Sun Sio-ang pun tersenyumdan berkata, "Apakah dia
yang merayumu" Atau sebaliknya?"
Sahut Na Kiat-cu, "Sudah pasti dia yang merayuku.
Walaupun kau tahu bahwa ia terkenal dan ilmu silatnya
pun cukup tinggi, mungkin kau tidak tahu bahwa ia juga
pandai merayu wanita."
Si Bungkuk Sun mulai kelihatan gelisah. Ia lalu bertanya,
"Mengapa kau membawanya kemari?"
Sahut Na Kiat-cu, "Coh Siang-ih adalah pesilat yang
cukup tangguh. Ketika ia menggunakan jurus "Delapan
653 Puluh Satu Tangan Golok Bercincin", sebagian besar
orang tidak dapat medekatinya."
Si Bungkuk Sun hanya mendengus. "Hmmmh."
Kata Na Kiat-cu lagi, "Jika aku bilang bahwa aku dapat
membunuhnya dalam satu jurus, kau percaya atau
tidak?" Coh Siang-ih yang dari tadi berdiri dengan pongah
menjadi terperanjat. "Apa katamu?"
Si Kalajengking Britu berkata dengan lembut, "Bukan
masalah besar. Aku cuma bilang bahwa aku akan
mengambil nyawamu." Wajah Coh Siang-ih langsung memucat. Setelah raguragu
sesaat, ia pun berkata, "Ah, kau bercanda saja."
Na Kiat-cu mendesah lagi dan berkata, "Hanya karena
kita melewatkan satu malam bersama, kau tidak percaya
aku akan membunuhmu?"
Sahut Coh Siang-ih, "Bagaimana mungkin aku bisa begini
buta" Di tempat tinggalku ada banyak kalajengking."
Tanya Na Kiat-cu, "Dan kau pasti tahu kebiasaan unik
kelajengking betina."
Coh Siang-ih memaksakan untuk tersenyum, "Tapi kau
kan bukan kalajengking."
654 Kata Na Kiat-cu, "Kata siapa" Aku memang adalah
kalajengking. Kau tidak tahu?"
Coh Siang-ih cepat melompat mundur, dan
menjungkirbalikkan meja di belakangnya. Namun
keseimbangannya cukup baik, sehingga ia sendiri masih
bisa berdiri. Ia menghunus Golok Sembilan Cincinnya.
Ia sangat berpengalaman di dunia persilatan, jadi sudah
pasti ia tahu siapakah Na Kiat-cu ini. Akan tetapi, ia tidak
bisa percaya bahwa seorang wanita yang begitu mudah
kena rayuannya adalah Na Kiat-cu sendiri.
Na Kiat-cu masih berkata dengan kalem, "Aku punya
beberapa nasihat. Lain kali kalau kau merayu wanita,
selidiki dulu latar belakangnya. Sayangnya"."
Ia mendesah lagi dan berjalan ke arah Coh Siang-ih.
"Sayangnya tidak ada lain kali."
Coh Siang-ih berteriak, "Stop! Jika kau mendekat lagi,
akan kubunuh kau!" Kata Na Kiat-cu sinis, "Baiklah. Bunuh saja aku. Aku
sungguh berharap bisa mati di tanganmu."
Coh Siang-ih menjerit keras, dan Golok Sembilan
Cincinnya menebas dengan cepat.
Angin dari golok itu menderu seperti auman harimau.
Tebasannya sungguh bertenaga kuat.
655 Namun inilah gerakannya satu-satunya.
Terlihat kilau biru, Lintasan cahaya berwarna hijau pupus
yang dingin melesat di depan mata. Coh Siang-ih rubuh.
Bahkan jeritannya yang terakhir, terpotong setengah.
Tidak ada luka yang terlihat di tubuhnya, hanya dua titik
darah di lehernya. Seakan-akan ia baru saja disengat
kalajengking. Si Bungkuk Sun dan Sun Sio-ang menyaksikan peristiwa
itu tanpa suara. Keduanya tidak berusaha menengahi,
karena memang tidak berniat untuk ikut campur.
Siapapun yang merayu wanita di tengah jalan, pasti
bukan orang baik-baik. Na Kiat-cu terus memandangi tubuh Coh Siang-ih.
Ia memandanginya cukup lama, seakan-akan sedang
mengagumi hasil karyanya sendiri.
Lalu ia tertawa. Sambil tertawa ia berkata, "Aku sudah bilang, aku hanya
perlu satu gerakan saja. Sekarang kau percaya, bukan?"
Tidak ada yang menjawab. Lanjutnya lagi, "Ilmu silatku cukup lumayan, bukan?"
Masih tidak ada jawaban. 656 Na Kiat-cu pun berkata lagi, "Jing-mo-jiu (Tangan Setan
Hijau) In Gok berada di urutan ke sembilan dalam Kitab
Persenjataan. Kalau Pek-hiau-sing memasukkan aku
dalam kitabnya, ia pasti jatuh paling tidak ke nomor
sepuluh." Itu benar, karena ia memang menyerang lebih cepat dan
lebih mematikan daripada In Gok!
Na Kiat-cu memandang Si Bungkuk Sun, lalu berkata,
"Kelihatannya ilmu silatku cukup untuk membawa si
pemabuk ini pergi bersamaku, bukan?"
Si Bungkuk Sun menjawab dengan dingin, "TIDAK!"
Na Kiat-cu mengeluh. "Lalu aku harus berbuat apa untuk
membawa pergi si pemabuk ini" Tidur denganmu?"
Si Bungkuk Sun berteriak keras dan kedua tangannya
melesat ke depan. Tangan kanannya menyerang seperti cakar dan tangan
kirinya seperti tinju. Tinju kirinya penuh dengan tenaga
halilintar. Cakarnya tampak seperti kait dan mengandung
ribuan gerak tipu. Walaupun hanya dengan tangan
kosong, kekuatannya sepuluh kali lebih besar
dibandingkan dengan golok Coh Siang-ih.
Na Kiat-cu meliukkan pinggangnya dan tiba-tiba lenyap.
Ketika Si Bungkuk Sun menyerang, ia segera berpindah
ke belakangnya. 657 Untungnya, Si Bungkuk Sun adalah pesilat kelas atas. Ia
segera menarik tangannya kembali, menarik balik
kekuatan tinju dan cakarnya.
Salah satu hal yang paling sulit dilakukan dalam
bertempur adalah membatalkan serangan. Karena
kecepatan dan kekuatan tiap serangan, sulit untuk
menghentikannya setengah jalan.
Namun Si Bungkuk Sun dapat melakukannya dengan
mulus. Jika itu orang lain, kemungkinan ia sudah terjengkang ke
belakang, langsung ke dalam tangan Na Kiat-cu.
Untungnya Si Bungkuk Sun adalah seorang bungkuk. Jadi
waktu ia menarik balik serangannya, semua kekuatannya
terserap oleh punuknya. Ia mengerutkan pundaknya dan menerjang ke belakang
dengan punuknya. Ini adalah jurusnya yang terkenal itu. Ia telah berlatih
keras, sehingga punuknya telah menjadi sekeras baja.
Dan terjangannya itu membawa tenaga yang sangat
kuat. Na Kiat-cu tahu benar jurus ini. Ia kembali meliukkan
pinggangnya dan jubahnya yang panjang menari-nari di
udara. Sekejap saja ia sudah kembali ke depan Si
Bungkuk Sun. Lalu ia berkata, "Bukan saja kau
berpengetahuan luas, ilmu silatmu pun luar biasa.
658 Katakan saja, dan aku akan mengikut engkau ke mana
pun engkau pergi." Si Bungkuk Sun pun berteriak, "Pergi saja ke neraka!"
Na Kiat-cu tersenyum manis dan berkata, "Jika aku mati,
aku harus mati di atas ranjang!"
Di depan wanita seperti ini, setelah melihat senyum
manisnya, seorang pria akan sulit mengerahkan seluruh
tenaganya. Ketika lawannya sulit mengerahkan seluruh tenaganya,
tidak demikian halnya dengan dirinya sendiri. Oleh sebab
itulah, dalam sepuluh tahun ini, entah berapa laki-laki
mati di tangannya. Sayangnya, hari ini lawannya adalah Si Bungkuk Sun. Si
Bungkuk Sun tidak tertarik lagi pada wanita.
Seiring dengan teriakannya, Cakar Besi Si Bungkuk Sun
pun melejit ke depan. Na Kiat-cu mengibaskan lengan bajunya dan mundur
beberapa langkah. Lalu berkata, "Tunggu sebentar."
Si Bungkuk Sun menarik kembali serangannya dan
bertanya, "Tunggu apa lagi?"
Kata Na Kiat-cu, "Karena kita akan bertempur, paling
tidak kau harus melihat senjataku terlebih dulu."
659 Sebelum kalimatnya selesai, selintas cahaya biru
terpancar dari lengan bajunya, menyerang ke arah Si
Bungkuk Sun. Si Bungkuk Sun mengangkat tangannya, hendak
menangkap cahaya biru itu.
Ia selalu ingin menyelesaikan pertempuran secepatnya.
Jadi, walaupun ia tahu kehebatan senjata Na Kiat-cu, ia
masih berusaha menangkapnya. Si Bungkuk Sun yakin
bahwa latihan Cakar Elangnya selama empat puluh tahun
akan dapat mengalahkan senjata Na Kiat-cu. Lalu ia akan
dapat mengalahkan wanita itu dengan hanya sekali


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukul! Namun mungkin ia sedikit terlalu percaya diri.
Sun Sio-ang berdiri di situ tanpa suara. Matanya tidak
pernah lepas dari lengan baju Na Kiat-cu.
Matanya sangat tajam. Ketika Lintasan cahaya biru itu berkelebat, ia segera tahu
apa itu. Ia belum pernah melihat senjata seaneh ini sebelumnya.
Senjata itu tampak seperti ekor kalajengking raksasa,
panjang dan melingkar. Seakan lembut namun keras dan
dapat meliuk dengan mudah.
Tentu saja Sun Sio-ang sangat yakin pada Cakar Elang
pamannya. Namun ia pun tahu, jika tangannya kena
660 senjata ini, pamannya akan dimakan hidup-hidup oleh si
pemakan kalajengking ini.
Namun karena kecepatan serangan Na Kiat-cu, Sun Sioang
tahu, ia tidak mungkin menghalanginya. Ia hanya
tidak bisa percaya, mengapa pamannya begitu gegabah
hendak memegang senjata itu langsung dengan tangan
kosong. Yang tidak disadari Sun Sio-ang adalah bahwa setelah
empat belas tahun mengelap meja, Si Bungkuk Sun
sudah gatal ingin bertempur. Kini kesempatan sudah
terbuka, dan Si Bungkuk Sun pun tidak bisa bertempur
setengah-setengah. Ia ingin meraih kemenangan
secepatnya. Sun Sio-ang menjerit. Namun tangan itu bergerak lebih cepat daripada
jeritannya. Ketika ia masih berteriak, tangan itu telah
menangkap tangan Na Kiat-cu.
Terdengar bunyi berdentang dan cahaya biru itu pun
terkulai ke tanah. Ketika cahaya biru itu jatuh ke tanah, Si Kalajegking Biru
pun mundur beberapa langkah. Ia bergerak mundur
terlalu cepat, sehingga keseimbangannya hilang dan ia
membentur dinding belakang.
Ruangan itu menjadi sunyi senyap seperti kuburan.
Semua orang hanya berdiri mematung.
661 Semuanya memandangi tangan itu. Mata Na Kiat-cu
bukan hanya kaget, namun juga penuh rasa nyeri yang
hebat. Tangannya telah patah! Ia menarik tangannya kembali perlahan-lahan.
Saat itu seseorang bangkit berdiri dengan malasmalasan.
Orang ini adalah orang yang sudah mabuk
berat itu, Li Sun-Hoan! Dengan rasa gembira dan terkejut. Sun Sio-ang berseru,
"Ternyata kau tidak mabuk!"
Li Sun-Hoan terkekeh dan berkata, "Aku tahu aku
memang sedang bersedih, dan tubuhku memang letih.
Namun aku memang sangat tahan minum arak."
Sun Sio-ang menatapnya dengan perasaan campur aduk
dalam hatinya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu perasaan
apa saja yang ada di sana. Mungkin kaget" Atau
gembira" Atau kagum" Atau mungkin penyesalan"
Ternyata ia sudah gagal membuat Li Sun-Hoan mabuk.
Na Kiat-cu menatap Li Sun-Hoan dengan penuh rasa
takut. Karena dilihatnya pisau di tangan Li Sun-Hoan.
Pisau Kilat si Li! 662 Pisau itu menjadi sangat mengerikan selama masih
berada di tangan Li Sun-Hoan. Karena setelah pisau itu
tidak ada lagi di sana, sang lawan tidak sempat lagi
merasa ngeri. Orang mati tidak lagi bisa merasa takut.
Satu-satunya suara yang terdengar di sana, adalah
helaan nafas orang. Bab 36. Perasaan yang Aneh
Keringat membasahi kening Na Kiat-cu.
Ia terus menerus gemetar sambil berteriak, "Ayo cepat
sambitkan pisaumu! Segera bunuhlah aku!"
Kata Li Sun-Hoan, "Karena kau ingin membalaskan
dendam In Gok, sudah tentu kau sangat mencintainya.
Kini ia telah mati, kau pasti sangat menderita".."
Ia memandang pisau di tangannya, lalu berkata dengan
tenang, "Aku mengerti kesedihanmu. Aku sungguh
mengerti". Aku hanya ingin memberi tahu bahwa rasa
sakit di hatimu tidak akan berkurang walaupun kau
membunuh orang. Berapa orang pun yang kau bunuh,
kesedihan itu akan tetap ada."
Pisau itu berkilat dan melesat ke depan.
Menghunjam dinding tepat di samping Na Kiat-cu.
Kata Li Sun-Hoan, "Kau boleh pergi sekarang."
663 Na Kiat-cu hanya mematung di situ.
Setelah sekian lama, akhirnya ia bertanya, "Kalau begitu,
bagaimana aku caranya mengurangi kepedihan hatiku?"
Li Sun-Hoan mendesah, lalu menjawab, "Aku tidak tahu
jawabannya. Mungkin".. Mungkin jika kau dapat
menemukan penggantinya, itu bisa menolong. Aku
berharap kau bisa bertemu dengan orang itu."
Na Kiat-cu menatapnya. Air mata bergulir satu per satu
di pipinya. Sun Sio-ang juga menatap Li Sun-Hoan.
Ia belum pernah bertemu dengan pria seperti ini dalam
hidupnya. Ia tidak pernah menyangka bahwa ada orang
seperti ini. Ia memandangi tubuh Li Sun-Hoan lekatlekat,
berusaha menembus dadanya dan melihat hatinya.
Na Kiat-cu pergi. Ia pergi dengan tangis.
Pikiran Li Sun-Hoan melayang jauh sebelum akhirnya
tersenyum. Katanya, "Kau pasti heran kenapa aku tidak
membunuhnya." Sun Sio-ang diam saja. Si Bungkuk Sun pun hanya menatap senjata aneh yang
tergeletak di lantai. Ia pun diam saja.
Kata Li Sun-Hoan, "Menurutku, jika seseorang masih
dapat menangis, artinya orang itu belum pantas mati."
664 Tiba-tiba Sun Sio-ang tersenyum. Katanya, "Aku tahu kau
tidak suka membunuh orang, jadi aku tidak begitu heran
waktu kau melepaskannya. Yang ingin aku tahu, kalau
kau tidak mabuk, kenapa pura-pura mabuk?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Kau kan ahli minum. Kau pasti tahu
bahwa pura-pura mabuk lebih menyenangkan daripada
benar-benar mabuk. Jika aku benar-benar mabuk, bukan
hanya aku tidak akan menikmati acara ini, namun sakit
kepala esok harinya pun sangat menyakitkan."
Sahut Sun Sio-ang, "Mmm, masuk akal juga."
Kata Li Sun-Hoan, "Tapi orang yang minum arak, suatu
saat akan mabuk juga. Jadi kalau kau ingin melihat aku
mabuk, akan ada banyak kesempatan di kemudian hari."
Sun Sio-ang mendesah, lalu berkata, "Tapi aku tahu,
karena aku melewatkan kesempatan ini, aku tak akan
pernah bisa membuatmu mabuk lagi."
Kata Li Sun-Hoan, "Sesungguhnya aku?"
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, ia melihat Si
Bungkuk Sun berjalan ke balik meja dan mulai
menenggak arak langsung dari guci.
Ia telah minum lebih dari setengah, sebelum Sun Sio-ang
berhasil merebut guci arak itu dari tangannya. Gadis itu
menghentakkan kakinya dan berkata, "Dia saja lebih
suka pura-pura mabuk daripada benar-benar mabuk.
Mengapa engkau dengan sengaja ingin mabuk?"
665 Si Bungkuk Sun menjawab terpatah-patah, "Mabuk bisa
melenyapkan sejuta kekuatiran. Sungguh" Sungguh
lebih baik mabuk." Tanya Sun Sio-ang, "Kenapa?"
Si Bungkuk Sun pun berteriak kesal, "Kau mau tahu
kenapa" Mari kuberi tahu. Karena aku tidak mau
berhutang budi pada siapa pun! Lebih baik dia
menusukku daripada menolongku!"
Lalu ia terkulai di kursi dan menutup wajahnya dengan
kedua tangannya. "Li Sun-Hoan, oh Li Sun-Hoan.
Mengapa kau menolongku" Tidakkah kau tahu bahwa
dulu nyawaku pun pernah diselamatkan orang" Tahukah
kau mengapa aku berada di sini bertahun-tahun ini?"
Li Sun-Hoan ingin sekali bertanya, "Siapakah orang yang
menyelamatkanmu dulu?"
"Mengapa kau mau berjaga di sini selama lima belas
tahun?" "Apa yang sebenarnya kau jaga?"
Namun suara Si Bungkuk Sun makin lama makin lemah.
Apakah dia sudah mabuk" Atau ia sudah mulai terlelap"
Li Sun-Hoan memandang Sun Sio-ang. Ia pun ingin
menanyakan pada gadis itu pertanyaan yang sama.
Namun ketika dilihatnya matanya yang begitu
bersemangat, begitu terang, begitu hitam berkilau, ia
mengurungkan niatnya. 666 Ia tahu ia tidak mungkin mendapatkan informasi dari
gadis seperti itu. Li Sun-Hoan hanya dapat menghela nafas panjang, lalu
ia berkata, "Pamanmu memang adalah seorang pria
sejati." Sun Sio-ang meliriknya dari sudut matanya. Ia tersenyum
dan berkata, "Maksudmu, hanya seorang pria sejatilah
yang dapat menjadi mabuk begini cepat?"
Kata Li Sun-Hoan, "Maksudku, hanya seorang pria
sejatilah yang dapat menepati janjinya, apapun
keadaannya. Hanya seorang pria sejati, yang tidak sudi
menerima bantuan, yang mengorbankan dirinya demi
kepentingan orang lain."
Sun Sio-ang memutar matanya. Katanya, "Jadi itulah
sebabnya kau juga berada di sini. Untuk melindungi
seseorang, bukan?" Li Sun-Hoan diam saja. Kata Sun Sio-ang lagi, "Apapun yang terjadi, kau pun
tidak akan pergi, bukan?"
Li Sun-Hoan tetap diam. Sun Sio-ang pun berkata, "Apakah kau masih peduli pada
A Fei" Apakah kau ingin menjumpainya" Bukankah ia
sahabatmu?" 667 Li Sun-Hoan tetap diam sampai cukup lama. Akhirnya ia
menjawab, "Setidaknya ia dapat menjaga dirinya
sendiri." Kata Sun Sio-ang, "Aku sudah sering mendengar bahwa
Lim Sian-ji berwajah bagaikan malaikat, namun
kehebatannya adalah menyeret laki-laki ke neraka."
Lalu ia melanjutkan perlahan-lahan, "Apakah kau tidak
kuatir bahwa ia akan menyeret sahabatmu ke neraka?"
Li Sun-Hoan mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Sun Sio-ang mendesah. Lalu katanya, "Aku tahu kau
tidak akan pergi. Demi "dia", kau dapat melupakan
apapun juga. Apapun!"
Lalu matanya penuh dengan kelembutan dan
kehangatan, memandangi Li Sun-Hoan. Tanyanya,
"Mengapa kau tidak berusaha mencari penggantinya?"
Tubuh Li Sun-Hoan gemetar hebat dan ia pun mulai
terbatuk-batuk lagi. Kata Sun Sio-ang, "Jika kau tidak mau, aku tidak akan
memaksamu untuk pergi. Namun setidaknya kau harus
menemui kakekku." Di sela-sela batuknya Li Sun-Hoan bertanya, "Di"Di
manakah beliau?" Sahut Sun Sio-ang, "Ia berada di Tiangting (paviliun
panjang) di luar kota."
668 Tanya Li Sun-Hoan, "Kenapa beliau ada di sana?"
Jawab Sun Sio-ang, "Karena Siangkoan Kim-hong akan
lewat di sana." Kata Li Sun-Hoan, "Walaupun Siangkoan Kim-hong lewat
di sana, belum tentu kakekmu dapat bertemu
dengannya." Sahut Sun Sio-ang, "Ah, sudah pasti mereka akan
bertemu, karena Siangkoan Kim-hong tidak pernah naik
kuda atau naik kereta. Ia sering berkata bahwa manusia
punya kaki, oleh sebab itu mereka seharusnya berjalan."
Li Sun-Hoan terkekeh, katanya, "Kau memang serba
tahu." Sun Sio-ang membalasnya dengan senyuman. Lalu
katanya, "Memang."
Kata Siangkoan Kim-hong, "Kau bukan hanya tahu
bahwa Siangkoan Kim-hong akan datang, namun kau
juga tahu jalan mana yang akan dilaluinya. Kau bukan
hanya tahu bahwa Lim Sian-jilah yang menulis surat itu,
namun kau juga tahu di mana ia bersembunyi"."
Ia menatap mata gadis itu dalam-dalam, lalu bertanya,
"Bagaimana kau bisa tahu semuanya ini?"
Sun Sio-ang menggigit bibirnya. Lalu ia tersenyum dan
menjawab, "Aku punya cara tersendiri. Tapi aku takkan
memberitahukannya padamu!"
669 *** Malam yang gelap gulita. Langkah Sun Sio-ang ringan dan cepat, seakan-akan ia
tidak mengenal kata lelah. Ia tertarik pada segala
sesuatu di dunia ini. Ia sungguh-sungguh penuh dengan semangat hidup.
Ia masih muda belia. Li Sun-Hoan merasa ia sangat berbeda dengan orang
yang berdiri di sampingnya, bagai langit dengan bumi.
Ia kagum pada gadis ini, mungkin sedikit iri hati. Waktu
ia menyadari perasaan ini, ia jadi kaget sendiri.
Apakah betul aku sudah setua ini"
Ia tahu hanya seorang tua yang cemburu pada kebeliaan


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang muda. Katanya dengan tersenyum, "Jika aku berusia sepuluh
tahun lebih muda, aku tidak akan berjalan begini dekat
denganmu." Tanya Sun Sio-ang, "Kenapa?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Semua orang bilang aku laki-laki
mata keranjang. Jika aku begini dekat dengan seorang
gadis, orang-orang pasti akan berpikiran macammacam."
670 Ia terkekeh sebelum melanjutkan lagi, "Untungnya, kini
aku sudah tua bangka. Jika seseorang melihat kita, ia
akan menyangka bahwa kita adalah ayah dan anak."
Sun Sio-ang cemberut dan berseru, "Ayahku" Kau pikir
kau setua itu?" "Tentu saja." Tiba-tiba Sun Sio-ang tertawa terbahak-bahak.
Tanya Li Sun-Hoan, "Mengapa kau tertawa?"
Sahut Sun Sio-ang, "Aku menertawaimu."
"Kenapa?" Jawab gadis itu, "Karena aku tahu sekarang bahwa kau
takut padaku!" Kata Li Sun-Hoan, "Apa" Takut padamu?"
Mata Sun Sio-ang bersinar terang bagai bintang di langit.
Ia tertawa polos dan berkata, "Kau berkata begitu karena
kau takut padaku. Kau kuatir bahwa kau akan".akan
baik padaku".Karena itu kau bilang bahwa kau adalah
laki-laki tua bangka."
Li Sun-Hoan hanya dapat tertawa getir.
Kata Sun Sio-ang lagi, "Sebenarnya, jika kau adalah lelaki
tua bangka, aku pun adalah wanita tua bangka."
671 Ia tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berkata pada
Li Sun-Hoan dengan halus, "Ketika orang merasa dirinya
tua, maka saat itulah ia benar-benar menjadi tua.
Kakekku tidak pernah menganggap dirinya tua. Dan kau
pun belum tua. Jadi jangan pernah berpikir seperti itu
lagi." Li Sun-Hoan menatap matanya yang jernih. Tiba-tiba ia
teringat pada Lim Si-im sepuluh tahun yang lalu.
Saat itu Lim Si-im pun sangat muda dan bersemangat.
Tapi sekarang" Li Sun-Hoan mengeluh dan menghindari tatapan gadis
itu. Ia memandang ke kegelapan yang tidak berujung,
lalu berkata, "Tiangting itu ada di depan sana, bukan"
Ayo kita cepat ke sana."
Dalam kegelapan malam, secercah cahaya lilin tampak
dari paviliun itu. Samar-samar terlihat bayangan orang di
dekat cahaya lilin itu. Tanya Sun Sio-ang, "Kau lihat lilin itu?"
"Ya." Kata Sun Sio-ang sambil tersenyum, "Kau tahu apa itu"
Kalau kau tahu, aku akan benar-benar kagum padamu."
Sahut Li Sun-Hoan, "Itu kakekmu sedang mengisap
pipanya." 672 Kata Sun Sio-ang, "Wah! Kau memang jenius!"
Li Sun-Hoan terkekeh. Entah mengapa, di depan gadis ini
ia jadi lebih banyak tersenyum dan lebih sedikit batuk.
Kata Sun Sio-ang, "Siangkoan Kim-hong sudah datang
belum ya" Atau kakek sudah mengantarkannya pergi?"
Ia jadi agak gugup dan menambahkan, "Ayo kita segera
ke sana, supaya kita bisa"."
Sebelum kalimatnya selesai, Li Sun-Hoan telah menarik
tangannya. Hati Sun Sio-ang berdebar cepat, mukanya merah
jengah. Ia berusaha mencuri pandang ke arah wajah Li Sun-
Hoan, dan terlihat olehnya wajah yang sangat tegang.
Matanya terpaku pada sesuatu di kejauhan.
Dua titik sinar samar-samar terlihat.
Dua lentera. Lentera itu berwarna keemasan dan tergantung di ujung
tongkat bambu yang kurus panjang.
Entah mengapa, lentera itu tampak misterius, tampak
mengerikan. Sekejap saja, Li Sun-Hoan telah membawa Sun Sio-ang
bersembunyi di balik sebatang pohon dekat situ.
673 Sun Sio-ang berbisik, "Kim-ci-pang (Partai Uang Emas)?"
Li Sun-Hoan mengangguk. Kata Sun Sio-ang, "Kelihatannya Siangkoan Kim-hong
baru datang. Mungkinkah mereka menemui persoalan di
tengah jalan?" Sahut Li Sun-Hoan, "Mungkin karena dia hanya punya
sepasang kaki, jadi ia tidak bisa jalan begitu cepat."
Di belakang dua lentera itu, dua lentera lagi datang
menyusul. Di antaranya tampak dua sosok manusia.
Keduanya tinggi besar. Keduanya mengenakan jubah
berwarna kuning. Jubah orang yang di depan sangat
panjang, hampir menyentuh tanah, namun sama sekali
tidak memperlambat langkahnya.
Jubah orang yang di belakang sangat pendek, hampirhampir
tidak menutupi lututnya. Orang yang di depan bertangan kosong, sepertinya ia
tidak membawa senjata apapun.
Orang yang dibelakang membawa pedang, yang terselip
di pinggangnya. Li Sun-Hoan melihat bahwa gaya orang itu menyelipkan
pedangnya sangat mirip dengan A Fei. Hanya saja A Fei
674 menyelipkan pedangnya di tengah, dan pegangannya
menghadap ke kanan. Pedang orang ini terselip di sebelah kanan pinggangnya
dan pegangannya menghadap ke kiri.
Mungkinkah orang ini kidal"
Li Sun-Hoan mengangkat alisnya.
Ia tidak suka bertarung dengan orang yang kidal. Jurus
pedang orang itu berlawanan dengan orang yang normal,
sehingga lebih sulit menghadapinya.
Lagi pula, sekali pedang itu keluar dari sarungnya,
kecepatannya pasti luar biasa.
Li Sun-Hoan mengetahuinya karena begitu banyak
pengalamannya di dunia persilatan. Ia tahu bahwa orang
ini pasti adalah lawan yang sulit dikalahkan!
Bab 37. Si Orang Tua Selagi perhatian Li Sun-Hoan tercurah pada jago pedang
kidal itu, perhatian Sun Sio-ang tercurah pada sesuatu
yang lain. Kedua orang ini berjalan perlahan-lahan dan langkah
mereka lebar-lebar. Sekilas, langkah mereka seperti biasa
saja. Namun Sun Sio-ang merasa ada sesuatu yang
janggal. 675 Setelah beberapa saat, barulah ia menyadari
kejanggalannya. Biasanya, dua orang yang berjalan bersama-sama akan
mempunyai langkah-langkah yang seirama.
Namun kedua orang ini berbeda. Waktu kaki orang yang
pertama menginjak tanah, kaki orang kedua terangkat ke
atas, tepat di tengah-tengah jejak orang yang pertama.
Jadi jejak mereka tampak seperti jejak satu orang saja.
Orang pertama melangkah pertama, lalu orang kedua
melangkah kedua. Orang pertama melangkah ketiga, dan
orang kedua pun melangkah keempat. Seluruhnya dalam
irama yang sama. Sun Sio-ang belum pernah melihat dua orang berjalan
seperti ini. Ia sungguh tertarik.
Sebaliknya Li Sun-Hoan sama sekali tidak tertarik.
Ia merasa gentar. Langkah mereka yang seirama, menandakan pikiran
mereka yang seirama pula.
Kalau mereka bersama-sama menghadapi musuh,
gerakan mereka akan melengkapi satu dengan yang lain
dengan sempurna. 676 Siangkoan Kim-hong sendirian adalah salah satu pesilat
terbaik di dunia. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya jika
Hing Bu-bing bertarung bersama-sama dengan dia.
Hati Li Sun-Hoan merosot.
Ia tidak dapat menemukan kelemahan serangan
gabungan dua orang ini. Ia juga tidak dapat menemukan cara bagaimana si orang
tua di paviliun itu dapat mengantarkan dua orang ini
pergi. Tiba-tiba cahaya dalam paviliun itu menjadi sangat
terang, bagaikan cahaya lentera.
Li Sun-Hoan belum pernah melihat seseorang dapat
membuat cahaya seterang itu dengan pipanya.
Siangkoan Kim-hong pun melihat cahaya itu. Langkahnya
terhenti. Lalu cahaya dalam paviliun itu lenyap.
Setelah berhenti sekian lama, akhirnya Siangkoan Kimhong
mulai melangkah lagi. Kini ia menuju ke paviliun
itu, ke depan si orang tua.
Ke mana pun ia melangkah, Hing Bu-bing mengikut di
belakangnya. Seolah-olah ia adalah bayangan Siangkoan Kim-hong.
677 Lentera itu pun kini masuk ke dalam paviliun dan
menerangi tempat itu. Siangkoan Kim-hong tidak bersuara. Ia menundukkan
kepalanya, seakan-akan ia tidak ingin orang melihat
wajahnya. Namun matanya menatap lekat pada tangan si orang
tua, mengawasi setiap inci gerakannya.
Si orang tua mengambil tembakau dan menaruhnya pada
pipanya. Lalu ia mengambil batu pemantik.
Gerakannya perlahan tapi pasti.
Tiba-tiba Siangkoan Kim-hong menghampiri si orang tua
dan memungut kertas api dari meja batu di situ.
Ia meneliti kertas itu baik-baik, lalu meletakkannya di
dekat batu pemantik. Kertas itu segera terbakar.
Siangkoan Kim-hong meletakkan kertas itu di dalam pipa.
Walaupun Li Sun-Hoan dan Sun Sio-ang bersembunyi
cukup jauh dari paviliun itu, mereka melihat setiap
gerakan di sana dengan jelas.
Tanya Li Sun-Hoan, "Haruskah kita pergi ke sana?"
Sun Sio-ang menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak
perlu. Kakekku pasti bisa membuat mereka pergi."
678 Suaranya penuh keyakinan, namun Li Sun-Hoan
merasakan tangan gadis itu begitu dingin, sepertinya ia
berkeringat dingin. Ia tahu mengapa gadis ini sangat kuatir.
Pipa itu tidak panjang. Siangkoan Kim-hong dapat
menggunakan kesempatan itu untuk menutup Hiat-to
(jalan darah) si orang tua.
Tapi ia tidak melakukannya. Apakah ia menunggu
kesempatan yang lebih baik"
Si orang tua mengisap pipanya.
Namun karena suatu hal, mungkin karena tembakaunya
terlalu lembab atau terlalu padat, pipa itu tidak mau
menyala. Kertas api itu hampir terbakar habis.
Siangkoan Kim-hong memegang kertas itu dengan ibu
jari dan telunjuknya. Tiga jari yang lain, melingkar ke
belakang. Jari manis si orang tua hanya beberapa inci saja dari
pergelangan tangan Siangkoan Kim-hong.
Api sudah membakar jari-jari Siangkoan Kim-hong.
Tapi Siangkoan Kim-hong seperti tidak merasa.
Saat itu, "Puff", pipa pun menyala.
679 Sekelebat terlihat tiga jari Siangkoan Kim-hong yang
bebas bergerak sedikit. Demikian pula jari manis dan
keLingking si orang tua. Semua gerakan itu sangat cepat
dan sangat ringan. Lalu Siangkoan Kim-hong mundur beberapa langkah.
Si orang tua pun terus mengisap pipanya.
Selama itu, kedua orang itu tidak pernah saling pandang.
Saat itu juga, Li Sun-Hoan menghela nafas lega.
Dari pandangan orang awam, kejadian ini hanyalah soal
menyalakan pipa. Namun dari mata Li Sun-Hoan, ia tahu
bahwa pertarungan sengit telah terjadi!
Siangkoan Kim-hong terus menunggu kesempatan.
Menunggu kelengahan si orang tua, menunggu
kesempatan untuk menyerang.
Namun kesempatan itu tidak pernah datang.
Akhirnya ia tidak tahan lagi dan menyerang dengan tiga
jarinya yang bebas. Namun serangannya segera dipunahkan oleh jari manis
dan keLingking si orang tua.
Pertarungan seperti inilah yang mengesankan bagi Li
Sun-Hoan. Di dalamnya terkandung seni yang tertinggi
dari ilmu silat. 680 Di balik gerakan jari yang sederhana, tersimpan gerak
tipu yang tidak terbatas.
Kini bahaya sudah berlalu.
Siangkoan Kim-hong sudah mundur tiga langkah, kembali
pada posisi awalnya. Si orang tua tersenyum, lalu berkata, "Kau di sini?"
Sahut Siangkoan Kim-hong pendek, "Ya."
Kata si orang tua, "Kau terlambat!"
Sahut Siangkoan Kim-hong, "Kau sudah menunggu di
sini. Apakah kau tahu aku akan lewat sini?"
Kata si orang tua, "Aku berharap kau tidak datang."
Tanya Siangkoan Kim-hong, "Mengapa?"
Sahut si orang tua, "Karena walaupun datang, kau harus


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi secepatnya." Siangkoan Kim-hong menarik nafas panjang. Katanya,
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
Sahut si orang tua tenang, "Aku tahu, kau akan pergi."
Siangkoan Kim-hong mengepalkan tangannya.
Hawa membunuh melingkupi seluruh paviliun.
681 Si orang tua mengisap pipanya lagi dan menghembuskan
asapnya. Asap itu keluar seperti garis lurus.
Lalu di udara, asap itu berbelok, melayang ke arah wajah
Siangkoan Kim-hong. Siangkoan Kim-hong terperanjat.
Asap itu pun segera lenyap.
Siangkoan Kim-hong membungkukkan badannya dan
berkata, "Luar biasa."
Kata si orang tua, "Kau berlebihan."
Kata Siangkoan Kim-hong, "Sudah dua puluh tujuh tahun
sejak pertemuan kita sebelumnya. Aku tidak tahu kapan
kita akan bertemu lagi."
Sahut si orang tua, "Kita tidak perlu bertemu lagi."
Siangkoan Kim-hong berpikir sejenak. Sebenarnya ia
ingin mengatakan sesuatu, namun ia diam saja.
Si orang tua kembali mengisap pipanya.
Siangkoan Kim-hong memutar badannya dan pergi dari
situ. Hing Bu-bing mengikutinya bagai bayang-bayang.
682 Li Sun-Hoan masih menatap paviliun itu sambil berpikir.
Sebelum Siangkoan Kim-hong pergi, ia memandang
sekilas ke tempat Li Sun-Hoan bersembunyi. Ini adalah
pertama kalinya Li Sun-Hoan beradu pandang dengan
mata Siangkoan Kim-hong. Dari tatapan matanya, Li Sun-Hoan tahu bahwa tenaga
dalam orang ini sungguh besar, bahkan lebih daripada
yang diceritakan orang-orang!
Namun yang lebih mengerikan adalah mata Hing Bubing.
Siapapun yang memandang mata ini akan merasa tidak
enak, bahkan mungkin merasa jijik.
Karena mata itu bukan seperti mata manusia, bukan pula
mata mata binatang. Sepasang mata itu seperti mata yang mayat hidup!
Tidak berperasaan, tidak ada kehidupan.
Sun Sio-ang tidak melihat semua ini, karena matanya
menatap ke arah Li Sun-Hoan.
Inilah pertama kalinya ia melihat Li Sun-Hoan dari jarak
sangat dekat. Bahkan dalam kegelapan, ia dapat melihat profil wajah Li
Sun-Hoan, terutama mata dan hidungnya.
683 Matanya besar dan bercahaya, memancarkan
kepandaiannya. Tatapannya terlihat agak lelah, sedikit
ragu, namun penuh dengan kasih sayang.
Hidungnya tinggi dan lurus, seperti pikirannya, penuh
kebenaran. Di sudut matanya terlihat kerut-kerut, membuat ia
tampak dewasa, menawan, dan memberikan keteduhan
bagi orang lain. Ia tampak seperti orang yang bisa
dipercaya untuk menjaga nyawamu.
Ia adalah sosok laki-laki yang diimpikan setiap wanita
dalam tidurnya. Keduanya tidak menyadari bahwa si orang tua sedang
berjalan menghampiri mereka dengan senyum kepuasan.
Ia memandang mereka berdua sampai cukup lama
sebelum bertanya, "Maukah kalian berdua mengobrol
dengan seorang tua?"
*** Bulan telah naik ke atas.
Si orang tua dan Li Sun-Hoan berjalan di depan. Sun Sioang
mengikuti mereka dari belakang.
Ia tidak bicara apa-apa, namun hatinya ingin memekik
bahagia. Karena ia hanya cukup memandang ke depan
untuk melihat orang yang paling dikaguminya dan orang
yang dipujanya. 684 Hatinya berbunga-bunga. Kata si orang tua, "Aku telah mendengar tentang engkau
sejak lama. Aku pun sudah lama ingin mengundangmu
minum. Dan kini setelah kita berjumpa, aku senang
sekali berbincang-bincang denganmu."
Li Sun-Hoan tersenyum. Demikian pula Sun Sio-ang yang
terus menyela, "Padahal dia cuma bilang "Halo"."
Kata si orang tua, "Itulah hebatnya dia. Dia tidak pernah
menanyakan hal-hal yang tidak perlu. Orang lain pasti
akan bertanya tentang identitasku."
Kata Li Sun-Hoan, "Mungkin karena aku sudah tahu
identitasmu." "O ya?" Kata Li Sun-Hoan, "Tidak banyak orang di dunia ini yang
dapat mengintimidasi Siangkoan Kim-hong."
Sahut si orang tua, "Jika kau pikir aku dapat
mengintimidasi Siangkoan Kim-hong, kau salah besar."
Sebelum Li Sun-Hoan sempat menyahut, ia sudah
melanjutkan lagi, "Kau pasti sudah dapat meraba
kelihaian Siangkoan Kim-hong, juga anak muda yang
mengikutinya. Kalau mereka bahu-membahu, tidak ada
seorang pun di dunia ini yang dapat menahan lebih dari
300 jurus mereka, apalagi mengalahkan mereka."
685 Mata Li Sun-Hoan berkilat, lalu bertanya, "Tidak juga
engkau?" Kata si orang tua, "Tidak juga aku."
Kata Li Sun-Hoan, "Tapi mereka pergi."
Sahut si orang tua, "Mungkin karena mereka belum mau
membunuhku. Atau mungkin juga, mereka tahu kau ada
di situ dan mereka tidak yakin dapat mengalahkan kita
berdua." Sun Sio-ang tidak tahan untuk tidak menyela, "Walaupun
mereka tahu ada seseorang yang bersembunyi di balik
pohon, bagaimana mereka tahu bahwa orang itu adalah
Li"Li Tamhoa?" Sahut si orang tua, "Karena jika seorang pesilat tangguh
seperti Li Tamhoa merasa bermusuhan dengan
seseorang, ia akan memancarkan hawa membunuh."
Tanya Sun Sio-ang, "Hawa membunuh?"
Jawab si orang tua, "Benar. Namun hanya pesilat
tangguh macam Siangkoan Kim-hong pulalah yang dapat
merasakannya." Sun Sio-ang mendesah, lalu berkata, "Kau terlalu
berbelit-belit. Aku tidak mengerti sedikitpun."
Kata si orang tua, "Ilmu silat memang berbelit-belit.
Hanya sedikit orang yang dapat mengerti."
686 Kata Li Sun-Hoan, "Apapun alasan mereka pergi, aku
tetap berterima kasih atas bantuanmu."
Si orang tua berkata sambil tersenyum, "Aku hanya ingin
orang-orang seperti dirimu terus hidup, karena tidak
cukup banyak orang seperti engkau di dunia ini."
Li Sun-Hoan hanya tersenyum tanpa kata-kata.
Kata si orang tua lagi, "Walaupun kita baru saja bertemu,
aku tahu sifat-sifatmu. Jadi aku tidak akan memaksa
engkau untuk pergi."
Ia memandang Li Sun-Hoan dalam-dalam dan berkata,
"Namun aku ingin kau menyadari satu hal."
Kata Li Sun-Hoan, "Silakan katakan."
Kata si orang tua, "Lim Si-im tidak memerlukan
perlindunganmu. Kau hanya dapat membantunya jika
kau pergi." Li Sun-Hoan bergidik. Lanjut si orang tua, "Tidak ada seorang pun yang ingin
menyakiti Lim Si-im. Jika mereka ingin menyakitinya, itu
sebenarnya karena engkau, karena engkau menjaganya.
Jika kau meninggalkannya, tidak ada alasan untuk
menyakitinya." Li Sun-Hoan merasa seperti dicambuk dengan cambuk.
Seluruh tubuhnya merasa kesakitan.
687 Namun sepertinya si orang tua tidak memahami
kesakitannya. Ia melanjutkan, "Jika kau kuatir ia akan
kesepian, kau tidak perlu kuatir lagi. Liong Siau-hun
sudah kembali. Kau hanya akan memperkeruh suasana
jika kau tetap tinggal di situ."
Li Sun-Hoan menengadah ke langit malam yang gelap
gulita. Ia berpikir sampai lama, lalu menghela nafas. Ia
berkata, "Aku salah, lagi-lagi salah"."
Ia membungkuk, karena ia tidak bisa lagi berdiri tegak.
Sun Sio-ang hanya dapat memandangnya dari belakang.
Hatinya penuh rasa kasihan, rasa kasih sayang.
Ia tahu kakeknya sedang berusaha membangkitkan
perasaan Li Sun-Hoan, membangkitkan sakit hatinya. Ia
juga tahu bahwa hal ini baik untuk Li Sun-Hoan, namun
tetap saja berat baginya menyaksikan laki-laki ini
menderita begitu rupa. Kata si orang tua lagi, "Liong Siau-hun akhirnya pulang
karena ia telah menemukan seseorang untuk
membunuhmu." Kata Li Sun-Hoan, "Mengapa dia berbuat begitu" Aku
masih menganggap dia sahabat."
Sahut si orang tua, "Tapi ia tidak berpikir demikian.
Tahukah kau siapa yang ditemukannya?"
Kata Li Sun-Hoan, "Oh Put-kiu?"
688 Sahut si orang tua, "Betul. Orang gila itu."
Sun Sio-ang menyela, "Apakah ilmu silat orang gila itu
benar-benar tinggi?"
Jawab si orang tua, "Ada dua orang di dunia ini yang aku
tidak bisa mengukur secara pasti seberapa tinggi ilmu
silat mereka." Tanya Sun Sio-ang, "Siapakah dua orang itu?"
"Satu adalah Li Tamhoa, yang satu lagi adalah Oh si
gila." Kata Li Sun-Hoan, "Cianpwe, kau berlebihan. Ilmu silat A
Fei sama tingkatannya dengan aku. Lalu ada Hing Bubing"."
Si orang tua memotong cepat, "Tapi A Fei dan Hing Bubing
itu setali tiga uang. Mereka termasuk golongan yang
tidak mengerti seni ilmu silat."
Li Sun-Hoan terhenyak. "Kau bilang mereka tidak tahu
seni ilmu silat?" Sahut si orang tua, "Benar sekali. Bukan hanya itu,
mereka sama sekali tidak pantas bicara tentang seni ilmu
silat. Mereka hanya membunuh orang. Mereka hanya tahu
bagaimana membunuh orang."
689 Kata Li Sun-Hoan, "Namun A Fei berbeda dari Hing Bubing."
"Apa bedanya?" Sahut Li Sun-Hoan, "Cara mereka membunuh mungkin
hampir sama, tapi tujuan mereka membunuh sudah pasti
berbeda." "O ya?" Kata Li Sun-Hoan, "A Fei hanya membunuh jika terpaksa.
Hing Bu-bing membunuh karena nafsu membunuh."
Li Sun-Hoan menundukkan kepalanya, dan
menambahkan, "Aku"."
Si orang tua menyergah, "Jika kau ingin menemuinya,
masih ada kesempatan sekarang. Atau kau akan
terlambat!" Li Sun-Hoan bangkit berdiri lalu berkata, "Kalau begitu,
aku pergi sekarang untuk menemuinya."
Si orang tua tersenyum. "Kau tahu di mana ia tinggal?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Aku tahu."
Sun Sio-ang tiba-tiba berjalan ke depan Li Sun-Hoan dan
berkata, "Tapi mungkin kau tidak bisa menemukan
tempatnya. Mari kuantarkan ke sana."
690 Sebelum Li Sun-Hoan menjawab, si orang tua berkata
dingin pada gadis itu, "Kau masih ada tugas lain. Lagi
pula, ia tidak perlu bantuanmu."
Wajah Sun Sio-ang seperti ingin menangis.
Li Sun-Hoan segera berkata, "Selamat tinggal."
Ia ingin bicara lebih banyak, tapi akhirnya hanya itu yang
diucapkannya. Si orang tua mengacungkan jempolnya. Katanya, "Bagus
sekali. Pergi jika kau ingin pergi. Itulah yang diperbuat
pria sejati." Li Sun-Hoan segera pergi. Ia bahkan tidak menoleh lagi.
Sun Sio-ang hanya mengawasi kepergiannya. Kini
matanya merah. Si orang tua menepuk bahunya. "Apakah kau merasa
sedih?" Sahut Sun Sio-ang, "Tidak."
Si orang tua terkekeh. Suaranya lembut dan
menenangkan hati. Katanya, "Gadis bodoh. Kau pikir
kakekmu tidak mengerti isi hatimu?"
Sun Sio-ang menggigit bibirnya. Ia tidak bisa menahan
rasa ingin tahunya, "Kalau kakek tahu, mengapa kakek
memisahkan kami?" 691 Sahut si orang tua, "Kau harus menyadari, tidak mudah
mendapatkan laki-laki seperti Li Sun-Hoan. Jika kau
menginginkannya, kau harus berjuang untuk merebut
hatinya. Itu bukan pekerjaan mudah. Kau harus
melakukannya perlahan-lahan. Kalau tidak ia malah akan
segera lari ketakutan."
Walaupun sepertinya Li Sun-Hoan berkeputusan bulat
untuk pergi, dalam hatinya rasa sakit masih bergelora.
Ia tidak tahu kapan ia dapat bertemu lagi dengan Lim Siim.
Sangat menyakitkan untuk bertemu dengannya, sangat
menyakitkan untuk meninggalkannya.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, ia hanya bertemu


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengannya tiga kali. Ketiga kali itu, ia hanya
memandangnya sepintas, bahkan ada kali ketika ia tidak
berbicara padanya sama sekali. Tapi ada benang yang
mengikat hati Li Sun-Hoan. Dan Lim Si-imlah yang
memegang benang itu. Jika ia dapat memandangnya,
jika ia tahu dia dekat, ia sudah sangat puas.
Bab 38. Nenek dan Cucunya
Angin musim gugur menerpa wajahnya. Cuaca sudah
seperti musim dingin. Sisa-sisa musim gugur hanya terasa sedikit saja.
Hati Li Sun-Hoan pun seperti musim gugur, sedikit demi
sedikit layu. 692 "Kau hanya memperkeruh suasana jika kau tinggal"."
Kata-kata si orang tua terus berdengung di telinganya.
Ia menyadari bahwa ia tidak hanya tak boleh
menemuinya lagi, ia tak boleh berpikir tentang Lim Si-im.
Si orang tua adalah orang yang sungguh bijaksana. Ia
juga seorang yang misterius. Seorang pesilat tangguh. Ia
pun tahu segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.
Tapi siapakah dia sebenarnya" Apakah yang
disembunyikannya" Li Sun-Hoan mengagumi Si Bungkuk Sun.
Siapa saja yang bersedia mengelap meja selama lima
belas tahun untuk membalas budi, ia patut dikagumi.
Tapi apakah yang sebenarnya dikerjakannya"
Apa yang dijaganya" Dan tentang Sun Sio-ang". Bagaimana mungkin ia tidak
tahu perasaan gadis itu"
Namun ia tidak dapat menerimanya. Ia takut untuk
menerimanya. Satu keluarga ini sungguh penuh dengan misteri. Penuh
rahasia sampai terasa menakutkan".
*** 693 Sebuah desa di atas gunung.
Di kaki gunung itu ada sebuah warung arak.
Araknya tidak lezat, namun sangat menyegarkan. Pasti
dibuat dengan air dari sumber mata air dekat situ.
Mata air itu ada di balik gunung, sangat jernih. Li Sun-
Hoan tahu, jika ia mengikuti aliran air itu, ia akan sampai
di sebuah rumah kayu di dalam hutan.
A Fei dan Lim Sian-ji tinggal di rumah itu.
Muka Li Sun-Hoan berseri-seri saat ia membayangkan
wajah A Fei yang rupawan. Matanya yang tajam Tan
Okkspresi wajahnya gagah.
Dan yang lebih tak terlupakan adalah senyumannya yang
jarang terlihat, kehangatan yang tersembunyi di balik
sikapnya yang dingin. Ia tidak tahu seberapa banyak A Fei sudah berubah
dalam dua tahun ini. Ia tidak tahu bagaimana Lim Sian-ji telah
memperlakukan A Fei. Walaupun wajahnya bagaikan malaikat, ia hanya tahu
cara menarik laki-laki ke lembah neraka yang paling
dalam. Jadi apakah kini A Fei sudah jatuh ke neraka"
694 Li Sun-Hoan tidak ingin memikirkan hal itu, karena ia
memahami A Fei. Ia tahu bahwa A Fei tidak akan
keberatan hidup di neraka demi cintanya.
Hari telah mulai senja. Li Sun-Hoan duduk di sudut gelap warung arak itu.
Ini sudah menjadi kebiasaannya, karena dari situ ia
dapat melihat dengan jelas siapa yang masuk, namun
orang lain tidak dapat melihatnya dengan jelas.
Ia tidak dapat mempercayai matanya, sebab yang
pertama masuk adalah Siangkoan Hui.
Ia duduk di meja yang paling dekat dengan pintu.
Matanya menatap ke luar, sepertinya ia sedang
menunggu seseorang. Ia menunggu dengan tidak sabar.
Ini sungguh berbeda dari penampilannya yang dingin dan
tenang saat terakhir kali Li Sun-Hoan melihatnya.
Kelihatannya ia akan menemui seseorang yang cukup
penting. Ia juga datang sendiri, tanpa satu orang pun
pelayan, yang artinya, pertemuan ini adalah pertemuan
yang rahasia. Sepertinya tidak ada orang yang begitu penting yang
tinggal di tempat terpencil seperti ini.
Lalu siapakah yang dinanti-nantikannya"
Apakah ada hubungannya dengan A Fei dan Lim Sian-ji"
695 Li Sun-Hoan menangkupkan tangan menutupi wajahnya.
Sebenarnya itu tidak perlu, karena mata Siangkoan Hui
tidak pernah lepas dari pintu itu.
Akhirnya si penjaga warung menyalakan lilin.
Sikap Siangkoan Hui makin tidak sabar, semakin tampak
kesal. Saat itulah, dua buah tandu muncul di depan pintu.
Orang-orang yang mengangkat tandu itu adalah
beberapa pemuda gagah. Seorang gadis yang berusia 13 atau 14 tahun yang
sangat menarik turun dari tandu yang pertama. Ia
mengenakan jubah berwarna merah.
Siangkoan Hui baru saja mengangkat cawannya, lalu
segera diletakkannya kembali.
Gadis muda ini berjalan menuju Siangkoan Hui dan
berkata, "Maaf, sudah membiarkan kau menunggu."
Mata Siangkoan Hui berputar. Ia bertanya, "Di manakah
dia" Apakah ia tidak bisa datang?"
Si gadis berjubah merah tersenyum dan menjawab,
"Jangan kuatir. Mari ikut aku."
Siangkoan Hui keluar dari warung itu dan naik ke tandu
yang kedua. Li Sun-Hoan mengawasi kepergian mereka
dan merasa ada sesuatu yang aneh.
696 Pemuda-pemuda pengangkat tandu itu berbadan kekar.
Mereka tidak kesulitan sama sekali mengangkat tandu
yang pertama. Namun para pemikul tandu yang kedua sangat bersusahpayah
mengangkat tandu itu. Li Sun-Hoan segera membayar dan pergi.
Biasanya ia tidak suka ikut campur urusan orang, namun
kali ini ia merasa perlu untuk membuntuti Siangkoan Hui,
untuk mengetahui siapakah yang akan ditemuinya.
Perasaan Li Sun-Hoan, ini pasti ada hubungannya
dengan A Fei. Tandu-tandu itu masuk ke dalam hutan maple.
Tiba-tiba terdengar suara tawa dari tandu itu.
Suara tawa itu sangat halus dan merdu. Setiap laki-laki
yang mendengarnya pasti akan tergerak hatinya.
Jika orang yang berada di dalam tandu adalah Siangkoan
Hui, mengapa suara tawa yang terdengar adalah suara
tawa seorang wanita"
Selang sejenak, kembali tersiar suara genit yang
menggetar sukma, "Jangan, Hui cilik ... jangan begini ...
tidak boleh di sini ...."
Lalu terdengar suara Siangkoan Hui dengan napas
terengah, "Sungguh aku tidak tahan lagi, aku ... aku
697 tidak sanggup menunggu, kau tahu betapa kurindukan
dirimu?" "Kiranya kau pun serupa lelaki lain, merindukan diriku
adalah karena ingin menganiaya diriku."
"Betul juga ucapanmu, aku justru ingin menganiaya
dirimu, sebab kutahu kau suka dianiaya lelaki, betul tidak
... betul ...." Sengal napas bertambah keras, tapi suara ucapannya
tambah rendah, "Ya, ya, boleh ... boleh kau aniaya diriku
...." Suara itu terdengar makin lama makin halus, sampai Li
Sun-Hoan tidak dapat mendengarnya lagi.
Tandu itu sampai di puncak bukit.
Li Sun-Hoan mendesah. Jadi ada dua orang dalam tandu itu.
Yang satu adalah Siangkoan Hui.
Tapi siapakah sang wanita"
Ia cukup berpengalaman dalam hal wanita. Ia tahu
banyak wanita yang suka bicara, namun hanya sedikit
yang dapat merayu pria dengan cara itu.
Ia hampir dapat meneriakkan nama wanita dalam tandu
itu. 698 Namun sekarang belum bisa, karena ia belum begitu
yakin. Ia memang tidak pernah gegabah, karena ia tidak ingin
membuat keputusan yang salah lagi. Satu saja keputusan
yang salah rasanya sudah terlalu banyak.
Satu keputusannya yang salah, dan ia telah merusak
hidupnya, dan hidup orang lain juga.
Tandu itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah
kecil. Pemuda-pemuda pengangkat tandu yang kedua,
menyeka keringat yang membasahi wajah mereka.
Gadis muda dari tandu yang pertama turun dan berjalan
ke arah pintu rumah itu. Tok, tok, tok. Ia mengetuk tiga kali dan pintu itu pun
dibuka. Seseorang turun dari tandu yang kedua.
Seorang wanita. Li Sun-Hoan tidak dapat melihat wajahnya, namun
pakaian dan rambut wanita itu kusut. Tubuhnya sungguh
elok dan gerakannya gemulai.
Sepertinya Li Sun-Hoan kenal dengan wanita ini.
Ia berjalan ke arah pintu, lalu melambai ke arah
Siangkoan Hui yang masih berada di tandu sebelum
masuk ke dalam rumah itu.
699 Li Sun-Hoan melihat separuh dari wajah itu.
Kini dia yakin siapa wanita ini.
Memang betul, dia adalah Lim Sian-ji!
Kalau Lim Sian-ji tinggal di sini, di manakah A Fei"
Li Sun-Hoan ingin segera memburu dan menanyakannya,
namun ia menahan diri. Ia bukan laki-laki yang baik, namun ia akan melakukan
apa yang tidak akan atau tidak ingin dilakukan oleh "lelaki
baik-baik". Caranya menghadapi masalah kadang-kadang tidak
dapat dimengerti banyak orang.
Walaupun banyak orang di dunia ini yang menginginkan
kematiannya, tidak sedikit pula orang yang bersedia
kehilangan nyawa mereka untuk menyelamatkannya.
Kini hari sudah gelap. Li Sun-Hoan masih menanti di luar.
Selama menunggu, ia berpikir akan banyak hal.
Ia teringat saat pertama berjumpa dengan A Fei.
Ia tidak kesepian saat itu karena Thi Toan-kah ada
bersama dengan dia. 700 Lalu ia pun teringat pada Thi Toan-kah. Wajahnya yang
begitu setia dan lembut hati, juga tubuhnya yang sekuat
baja". Sayangnya, walaupun dadanya sekuat baja, hatinya
begitu lembut, begitu mudah tersentuh. Oleh sebab
itulah, ia lebih sering merasa sedih daripada bahagia.
Selagi berpikir dan berpikir, Li Sun-Hoan tiba-tiba ingin
minum arak lagi. Ia mengeluarkan botol araknya dan minum sampai habis.
Lalu ia mulai terbatuk-batuk.
Saat itu pintu rumah terbuka lagi. Siangkoan Hui keluar
dengan wajah berseri-seri bahagia, namun tampak agak
lelah. Sebuah tangan keluar dan menggapai tangan Siangkoan
Hui. Terdengar suara berbisik-bisik, mungkin bisikan selamat
tinggal. Sampai cukup lama, akhirnya kedua tangan yang bertaut
itu pun terlepas. Siangkoan Hui berjalan perlahan-lahan, sebentarsebentar
menoleh ke belakang. Sepertinya ia tidak rela
pergi dari situ. Pintu pun tertutup. 701 Siangkoan Hui menengadah menatap langit. Langkahnya
menjadi semakin cepat, wajahnya terlihat aneh, kadang
tersenyum, kadang mengeluh.
Apakah ia pun sudah jatuh ke neraka"
Cahaya dalam rumah remang-remang, membuat jendela
kertas berwarna kemerahan.
Akhirnya Siangkoan Hui pergi dari situ. Li Sun-Hoan
merasa sangat prihatin terhadap pemuda ini.
Li Sun-Hoan menghela nafas dan berjalan ke arah rumah
itu. Tok. Li Sun-Hoan mengetuk sekali. Tok,tok, lalu ia
mengetuk lagi dua kali berturut-turut, sama seperti cara
gadis berjubah merah tadi mengetuk pintu.
Pintu memang dibuka. Seseorang berkata, "Kau"."
Ia hanya mengatakan sepatah kata itu sebelum melihat
Li Sun-Hoan. Lalu ia segera berusaha menutup pintu itu
kembali. Namun Li Sun-Hoan telah menghalangi pintu itu.
Orang yang membuka pintu bukanlah Lim Sian-ji, bukan
juga si gadis berjubah merah, namun seorang nenek
berambut putih. 702 Ia memandang Li Sun-Hoan dengan ketakutan dan
bertanya, "Si"Siapakah engkau" Apa yang kau kerjakan
di sini?" Sahut Li Sun-Hoan, "Aku datang untuk bertemu teman
lama."

Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si nenek bertanya, "Teman lama" Siapakah teman
lamamu?" Li Sun-Hoan tersenyum dan menjawab, "Ia akan tahu
kalau ia melihatku."
Seraya berbicara, ia masuk ke dalam kamar.
Si nenek takut menghalanginya, namun ia berteriak,
"Tidak ada temanmu di sini. Yang ada di sini hanya aku
dan cucuku." Ada tiga kamar di rumah itu,. Lim Sian-ji tidak tampak di
ketiga kamar itu. Si gadis berjubah merah menggigil ketakutan dan
wajahnya pucat seperti kertas. Ia berseru, "Nenek"
Apakah dia perampok?"
Si nenek pun sangat ketakutan dan tidak bisa menjawab.
Li Sun-Hoan tidak tahu apakah ia harus tertawa atau
menangis. Ia akhirnya bertanya, "Apakah aku kelihatan
seperti seorang perampok?"
703 Si gadis menggigit bibirnya dan berkata, "Kalau kau
bukan perampok, mengapa kau memaksa masuk rumah
kami malam-malam buta seperti ini?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Aku datang untuk menemui Nona
Lim." Setelah melihat Li Sun-Hoan bicara baik-baik, si gadis
pun berkurang ketakutannya. Ia mengejapkan matanya
dan berkata, "Tidak ada Nona Lim di sini. Yang ada Nona
Ciu." Apakah itu nama samaran Lim Sian-ji"
Li Sun-Hoan segera bertanya, "Di manakah Nona Ciu?"
Si gadis menuding hidungnya sendiri dan berkata, "She
ku Ciu. Maka sudah tentu akulah Nona Ciu."
Li Sun-Hoan pun tersenyum.
Ia merasa seperti orang tolol.
Si gadis pun kelihatannya menikmati pertunjukan ini.
Katanya lagi, "Namun aku tidak mengenalmu sama
sekali. Mengapa kau datang untuk mencariku?"
Li Sun-Hoan tersenyum getir, katanya, "Aku mencari
seorang gadis dewasa, bukan gadis kecil."
Sahut si gadis, "Tidak ada gadis dewasa di sini."
704 Tanya Li Sun-Hoan, "Maksudmu tidak ada orang yang
baru saja datang ke rumah ini?"
Kata si gadis, "Tentu saja, ada beberapa orang pernah
datang"." Li Sun-Hoan langsung memotong, "Siapa?"
Sahut si gadis, "Nenek dan aku. Kami baru saja kembali
dari kota." Si gadis memutar matanya, dan menambahkan, "Hanya
kami berdua yang tinggal di sini. Aku adalah yang kecil,
nenek adalah yang dewasa. Namun sudah lama nenek
bukan gadis lagi. Jadi kau tak mungkin mencari beliau
bukan?" Li Sun-Hoan tersenyum lagi.
Ia merasa, ia banyak tersenyum kalau ia merasa tolol.
Ia merasa yakin bahwa Lim Sian-ji masuk ke rumah itu.
Apakah ia hanya bermimpi"
Apakah wanita dalam tandu itu adalah si nenek ini"
Si nenek tiba-tiba berlutut dan memohon-mohon, "Kami
hanya orang miskin dan tidak ada barang berharga di
sini. Jika kau menginginkan sesuatu, cepat ambillah dan
tinggalkan kami." Sahut Li Sun-Hoan, "Baik."
705 Ada sebotol arak di atas meja.
Disambarnya botol itu dan segera melangkah ke luar.
Terdengar suara gadis itu menggumam, "Oh, jadi dia
memang bukan perampok. Hanya seorang pemabuk."
Bab 39. A Fei Bulan masih tergantung di langit malam.
Air terjun di bawah sinar bulan tampak berkilauan
bagaikan perak. Li Sun-Hoan mengikuti aliran air, berjalan perlahanlahan.
Ia tidak ingin sampai di rumah A Fei sebelum
fajar, supaya tidak mengganggu tidurnya.
Ia tidak suka mengganggu orang lain.
Namun siapapun boleh mengganggunya, setiap saat. Ia
tidak akan marah. Si nenek tidak mungkin adalah Lim Sian-ji yang
menyamar. Jadi di manakah Lim Sian-ji"
Li Sun-Hoan mengucek-ucek matanya, "Apakah aku
sudah gila?" Akhirnya matahari pun terbit di ufuk timur. Musim gugur
sudah hampir berlalu, dan bunga Bwe mulai bermekaran.
706 Jauh di dalam hutan itu terdapat sebuah rumah kayu.
Li Sun-Hoan memandangi hutan itu seperti orang tolol.
Dekat pohon-pohon Bwe itulah sumber mata air sungai
itu. Air itu mengalir dari atas gunung, melewati hutan itu.
Pemandangan itu tampak seperti lukisan.
Dalam lukisan itu tampak sosok seseorang.
Li Sun-Hoan tidak dapat melihat wajah orang itu, namun
terlihat ia berpakaian rapi. Ia mengenakan jubah baru
berwarna hijau dan rambutnya pun tersisir rapi.
Ia memikul ember berisi air dari dalam hutan ke dalam
rumah kayu itu. Bentuk tubuh orang itu serupa dengan A Fei, namun Li
Sun-Hoan tidak yakin betul bahwa orang itu adalah A Fei.
Ia segera bergegas menuju rumah itu.
Pintunya terbuka dan di dalamnya tidak ada suatu
kemewahan sama sekali. Namun segala sesuatu bersih
mengkilap. Terlihat sebuah meja persegi model lama untuk makan 8
orang. Si pemuda berjubah hijau itu mengambil lap dari
embernya dan mulai menggosok meja.
707 Ia menggosok meja itu lebih perlahan dan lebih telaten
daripada Si Bungkuk Sun. Seolah-olah ia tidak ingin ada
sebutir debu pun yang menempel di situ.
Li Sun-Hoan berjalan menghampirinya dari belakang.
Punggung orang itu serupa benar dengan punggung A
Fei. Tapi ia tidak mungkin A Fei.
Li Sun-Hoan sama sekali tidak bisa membayangkan A Fei
menggosok meja. Ia hanya ingin bertanya kepada orang
ini di manakah A Fei. Li Sun berdehem, dan berharap orang ini menoleh.
Gerak refleks orang ini sangat lamban, tapi akhirnya ia
menoleh juga. Li Sun-Hoan terhenyak. Orang yang tidak mungkin A Fei ini ternyata".adalah A
Fei. Wajah A Fei tidak berubah. Matanya masih besar,
hidungnya masih lurus. Ia masih terlihat tampan, bahkan
lebih tampan dari sebelumnya.
Namun ekspresinya telah berubah. Berubah sama sekali.
Ia telah kehilangan daya tariknya, kegagahannya,
kemurungannya. Ia kini tampak lemah, tampak kaku.
708 Ia mungkin terlihat lebih tampan dan lebih resik
sekarang, namun karismanya sudah lenyap tak berbekas.
Apakah orang ini betul-betul A Fei"
Li Sun-Hoan tidak bisa terima, sungguh tidak bisa terima
bahwa pemuda rapi dengan lap itu adalah A Fei yang
dikenalnya! A Fei juga melihat Li Sun-Hoan.
Sepertinya ia tidak mengharapkan orang yang datang itu
adalah Li Sun-Hoan. Mukanya mengejang. Perlahanlahan
ia tersenyum"..untungnya senyumnya belum
berubah. Li Sun-Hoan pun tersenyum.
Walaupun wajahnya tersenyum, hatinya merosot ke
bawah. Mereka hanya saling pandang sambil tersenyum. Tidak
ada yang bergerak atau bicara, namun mata mereka
mulai basah dan memerah". Setelah sekian lama,
akhirnya A Fei berkata, "Ternyata kau."
Kata Li Sun-Hoan, "Ya, ini aku."
"Kau akhirnya datang."
"Ya, akhirnya aku datang."
"Aku tahu kau akan datang."
709 Mereka berbicara perlahan-lahan dengan suara serak.
Sampai di situ, keduanya kembali terdiam.
Namun saat itu, A Fei menghambur ke luar dan Li Sun-
Hoan menghambur ke dalam. Kedua orang ini bertemu di
tengah, hampir bertabrakan. Mereka berjabat tangan
dengan hangat. Keduanya hampir berhenti bernafas. Lalu Li Sun-Hoan
berkata, "Apa kabarmu dua tahun ini?"
A Fei mengangguk-anggukkan kepalanya dan menjawab,
"A".Aku baik. Kau bagaimana?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Aku" Ah, sama saja."
Ia mengambil botol arak dan tersenyum sambil berkata,
"Lihat, aku masih saja minum. Bahkan sepertinya
batukku sudah habis tersapu oleh arak yang kuminum.
Kau"." Sebelum ia bisa meneruskan, Li Sun-Hoan sudah
terbatuk-batuk lagi. A Fei hanya memandangnya tanpa suara. Setitik air mata
mengambang di sudut matanya.
Tiba-tiba terdengar suara, "Hei, mengapa kau tidak
persilakan Li-heng duduk" Tidak sopan mengajak tamu
mengobrol sambil berdiri."
Akhirnya Lim Sian-ji muncul.
710 Ia pun sama sekali tidak berubah.
Ia masih tetap begitu muda, begitu cantik. Senyumnya
masih sangat menawan, sangat manis. Matanya masih
bercahaya bagai bintang di langit.
Ia berdiri di situ menatap Li Sun-Hoan dengan hangat.
Lalu ia berkata dengan lembut, "Sudah hampir dua
tahun. Mengapa kau tidak datang lebih cepat" Apakah
kau sudah lupa akan kami?"
Ia berbicara seakan-akan Li Sun-Hoan sudah tahu lama
tentang tempat ini, hanya belum punya waktu untuk
berkunjung. Li Sun-Hoan tersenyum dan menyahut, "Bagaimana aku
bisa datang jika kau tidak menyiapkan tandu untuk
mengantarku ke sini?"
Lim Sian-ji mengejapkan matanya dan berkata, "Kini kau
bicara tentang tandu. Aku jadi ingin naik tandu suatu hari
nanti. Hanya ingin tahu bagaimana rasanya."
Mata Li Sun-Hoan bersinar, tanyanya, "Kau belum pernah
naik tandu?" Lim Sian-ji menunduk dan berbisik, "Bagaimana mungkin
orang seperti aku sanggup membayar kemewahan
macam itu?" Kata Li Sun-Hoan, "Namun aku melihat seseorang naik
tandu semalam. Orang itu mirip benar denganmu."
711 Matanya menatap Lim Sian-ji lekat-lekat.
Sedikit pun Lim Sian-ji tidak menunjukkan rasa panik. Ia
hanya tersenyum. "Kalau begitu pasti aku ngeLimdur
semalam".ya kan?"
Pertanyaan ini ditujukan pada A Fei.
A Fei langsung berkata, "Ia selalu tidur awal setiap
malam. Ia tidak pernah keluar setelah hari gelap."
Li Sun-Hoan merasa hatinya dipeLimtir.
Ia tahu bahwa A Fei tidak akan berbohong padanya.
Namun jika Lim Sian-ji memang ada di rumah, siapakah
wanita dalam tandu itu"
Lim Sian-ji berjalan ke sisi A Fei dan merapikan
jubahnya. Dengan hangat ia bertanya, "Apakah nyenyak
tidurmu semalam?" A Fei hanya mengangguk. Lim Sian-ji berkata lagi, "Ajaklah Li-heng jalan-jalan
sementara aku memasak."
Lim Sian-ji memandang Li Sun-Hoan dan berkata, "Bunga
Bwe sudah mulai bermekaran. Aku tahu bunga Bwe
adalah kesukaan Li-heng , bukan?"
*** Cara berjalan A Fei pun sudah berubah.
712 Dulu tubuhnya selalu tegak dan otot-ototnya rileks.
Orang lain menganggap berjalan adalah suatu beban,
namun bagi A Fei adalah relaksasi.
Tapi kini tubuhnya tidak lagi tegak. Pikirannya seperti
ada pada hal lain yang membuatnya merasa gelisah.
Jadi otot-ototnya pun tidak bisa rileks.
Setelah berjalan beberapa lama, Li Sun-Hoan tetap diam.
Ia tidak tahu harus bicara apa.
Ia ingin sekali bertanya pada A Fei, "Mengapa kau
datang ke sini" Apakah Lim Sian-ji telah mengubah
kebiasaannya" Apa jadinya dengan harta yang
dirampoknya?" Namun satu pertanyaan pun tidak diucapkannya.
Ia tidak ingin membangkitkan kenangan lama A Fei.
Setelah sekian lama, akhirnya A Fei bicara. "Aku minta
maaf." Li Sun-Hoan mendesah dan berkata, "Kau berpura-pura
menjadi Bwe-hoa-cat untuk menyelamatkan aku. Kau
bersedia mengorbankan hidupmu demi aku. Mengapa
kau minta maaf?" A Fei tidak menggubris. Ia hanya melanjutkan,
"Seharusnya aku berpamitan sebelum pergi."
713 Sahut Li Sun-Hoan, "Aku tahu kau pasti punya alasannya.
Aku tidak menyalahkanmu."


Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata A Fei, "Aku tahu aku sudah berbuat kesalahan,
namun aku sungguh tidak dapat membunuhnya. A"Aku
tidak dapat meninggalkannya."
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, "Cinta adalah
kodrat manusia. Tidak ada yang salah dengan cinta.
Mengapa kau menyalahkan dirimu sendiri karena kau
jatuh cinta?" Sahut A Fei, "Ta"..Tapi"."
Tiba-tiba ia menjadi sangat emosional dan berseru, "Tapi
aku merasa telah bersalah padamu dan juga pada para
korban Bwe-hoa-cat ."
Li Sun-Hoan terdiam sejenak, lalu bertanya dengan
curiga, "Tapi ia sudah berubah, bukan?"
Sahut A Fei, "Sebelum kami pergi, ia telah
mengembalikan semua hasil rampokannya kepada
pemiliknya yang sah."
Kata Li Sun-Hoan, "Lalu apa lagi yang salah" Tiap orang
berhak mendapat kesempatan kedua."
Li Sun-Hoan tidak ingin melanjutkan topik ini lagi,
sehingga ia berkata, "Lihat, bunga Bwe sudah mulai
bermekaran." Sahut A Fei pendek, "Ya."
714 Li Sun-Hoan bertanya, "Kau tahu ada berapa banyak
bunga di pohon itu?"
"Tujuh belas." Maka wajah Li Sun-Hoan pun menjadi murung, sama
seperti hatinya. Dulu ia pun pernah menghitung bunga-bunga Bwe.
Hanya orang yang sangat kesepian yang menghitung
bunga-bunga Bwe. A Fei mengangkat kepalanya dan berkata, "Lihat, ada
satu lagi yang mulai mekar. Mengapa mereka mekar
begitu cepat" Lebih cepat mereka mekar, lebih cepat
mereka mati." *** Rumah kayu itu mempunyai lima kamar. Satu ruang
duduk, satu gudang, satu dapur dan dua kamar dengan
tempat tidur. Kamar tidur yang besar berdekorasi sangat anggun. Di
dalamnya terdapat meja rias yang cukup besar.
Kata A Fei, "Lim Sian-ji tidur di sini."
Kamar yang kecil juga sangat bersih, namun begitu
sederhana. Kata A Fei, "Ini kamarku."
715 Li Sun-Hoan terkejut dalam hatinya.
Ia baru tahu bahwa selama dua tahun ini, A Fei dan Lim
Sian-ji tidur di kamar yang terpisah. Dan A Fei adalah
pemuda normal. Ia sungguh terkejut, namun ia sangat mengagumi A Fei.
A Fei tersenyum dan berkata, "Kau pasti heran kalau
mendengar bahwa aku tidur sangat banyak dalam dua
tahun ini." "O ya?" Kata A Fei, "Aku selalu pergi tidur tepat setelah hari
mulai gelap, dan tidurku nyenyak sekali sampai keesokan
paginya. Aku tidak pernah terjaga sedikit pun di tengah
malam." Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, "Kalau hidupmu
teratur, tidak heran kau bisa tidur nyenyak."
Bab 40. Tidak Setia Kata A Fei, "Aku sudah hidup damai sejahtera dua tahun
ini". Aku belum pernah merasa sedamai ini. Ia". Ia
begitu baik padaku."
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, "Aku gembira
mendengarnya. Aku sungguh gembira"."
716 Ia tidak ingin A Fei merasa bahwa senyumnya tidak
Hong Lui Bun 4 Golok Sakti Karya Chin Yung Dendam Empu Bharada 7
^