Pencarian

Raja Pedang 9

Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


Dengan hati puas melihat para kaki tangan pemerintah penjajah itu marah-marah dan tertipu, Beng San diam-diam meninggalkan tempat pengintaiannya dan di dalam gelap dia melihat seorang pengemis tua terbongkok-bongkok dari depan menghampirinya.
"Kasihanilah orang tua kelaparan, Kongcu (Tuan Muda)....." pengemis tua itu mengeluh.
Beng San menghela napas panjang. "Maafkan, Lopek. Aku sendiri tidak punya apa-apa, uang sepeser pun tidak punya, roti sekerat pun, tidak ada. Apa yang harus kuberikan kepadamu?"
"Kasihan, orang muda sengsara. Kalau begitu aku yang harus memberikan sesuatu kepadamu." la mengulur tangan dan memberikan sebuah benda kecil kepada Beng San. Sebelum hilang herannya, Beng San sudah menerima benda itu dan pengemis tua tadi sudah terbongkok-bongkok lagi pergi dari situ. Benda itu ternyata hanyalah selipat kertas. Dibawanya benda itu ke bawah lampu penerangan di pojok sebuah rumah dan dibacanya tulisan di atas kertas.
Adik Beng San, Aku dan kawan-kawan berada di perahu-perahu nelayan sebelah selatan kota.
Datanglah, kami mengharapkan bantuanmu.
Tertanda: TAN HOK Tan Hok di sini" Beng San tersenyum girang. Pantas saja serdadu-serdadu itu tertipu, kiranya pemuda raksasa yang kelihatan bodoh tapi ternyata cerdik sekali itu berada di sini memimpin para pejuang! Ia menjadi makin kagum akan kecerdikan Tan Hok dan kawan-kawannya yang ternyata segera dapat mengenalnya setelah berpisahan selama delapan tahun. Surat itu diremasnya hancur lalu dia menyelinap di antara kegelapan malam menuju ke arah selatan. Setelah dia tiba di sebelah selatan kota yang sunyi, dia melihat banyak perahu nelayan di pinggir sungai dan tak seorang pun manusia tampak. Selagi dia kebingungan, tak tahu di mana adanya Tan Hok dan kawan-kawannya, dia melihat bayangan orang yang dengan cepatnya berkelebat di dekat kumpulan perahu. Biarpun bayangan itu berkelebat cepat luar biasa, namun mata Beng San yang tajam masih dapat melihat jelas bahwa bayangan itu adalah tubuh seorang yang langsing seperti tubuh seorang wanita, dan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi. la segera berjalan seperti biasa agar orang itu tidak akan tahu bahwa dia pun tadi mempergunakan ilmu lari cepat. Di tempat seperti ini yang penuh rahasia, penuh pertentangan dan dalam keadaan perang, dia harus berlaku hati-hati agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan dan karenanya tanpa disengaja merugikan Tan Hok dan kawan-kawannya. Bayangan itu dalam sekejap mata saja lenyap.
Tak lama kemudian, muncul bayangan orang bongkok dari kumpulan perahu, yang berjalan menghampirinya.
"Kasihanilah orang tua kelaparan, Kongcu....." bayangan ini berkata.
Beng San berdebar jantungnya. Inilah pengemis tua yang tadi memberi surat kepadanya. Tanpa ragu-ragu lagi mendekati, "Lopek, di mana Tan-twako?" ia bertanya langsung.
"Kakek pengemis" itu memberi isyarat dengan tangan supaya Beng San mengikutinya dan..... ternyata kakek ini sama sekali tidak bongkok, malah kini dapat berjalan cepat dan tangkas. Kakek itu tidak membawanya ke tempat di mana perahu-perahu berkumpul, melainkan sebaliknya, menuju ke sebuah hutan kecil di tepi sungai! Dan di tengah-tengah hutan itulah Tan Hok dan belasan orang temannya berkelompok, duduk bercakap-cakap dengan suara bisik-bisik. Mereka bersikap amat hati-hati, bahkan api unggun saja mereka tidak berani bikin, padahal malam itu dingin sekali dan di hutan itu banyak nyamuknya. Hanya sebuah lampu yang dikerodong kertas merah dinyalakan orang, cukup menerangi wajah mereka yang duduk di dekat lampu. Di antara orang-orang itu, Beng San melihat wajah Tan Hok. Masih seperti dulu, delapan tahun yang lalu. Masih tampan, gagah, dan tinggi besar seperti raksasa.
Tubuhnya yang tinggi besar itu menjulang satu kaki lebih di atas kepala teman-temannya.
"Tan-twako.....!" Beng San segera maju memberi hormat.
"Ha..ha..ha, Adik Beng San, kau sudah dewasa sekarang!" Tan Hok melompat bangun dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya. Dua pasang tangan saling berpegang erat dan keduanya tersenyum girang.
"Tan-twako, harap kau dan teman-teman yang lain hati-hati. Tadi aku melihat bayangan orang menyelinap di antara perahu-perahu," bisik Beng San.
Tan Hok menoleh kepada kakek yang tadi menyambut Beng San. "Betulkah itu? Ciu-siok (Paman Ciu)?"
Kakek itu berkata dengan suara menghibur, "Aku hanya melihat kedatangan saudara Beng San seorang. Tidak ada bayangan orang lain. Kalau pun ada dan aku sendiri tidak melihat, dia takkan dapat terlepas dari penjagaan teman-teman kita."
Tan Hok kembali menghadapi Beng San. "Jangan kau khawatir, Adik Beng San.
Kami sudah menaruh penjaga-penjaga di setiap sudut daerah ini. Apabila betul ada orang mengintai tempat ini, pasti akan diketahui oleh para penjaga kami itu." la tertawa lagi dan memandang kepada Beng San dengan kagum.
Diam-diam Beng San tidak membenarkan pendapat ini. Orang tadi terlalu cepat gerak-geriknya, mungkin sekali takkan dapat terlihat oleh para penjaga pikirnya.
Akan tetapi, tentu saja dia merasa tidak enak kalau menyatakan pikiran ini dengan kata-kata,, khawatir kalau-kalau disangka meremehkan para penjaga. Maka dia diam saja.
"Adik Beng San. Perbuatanmu di dalam kelenteng tadi hebat. Ternyata kepandaianmu sudah maju pesat. Sayang kau tidak membalas anjing-anjing Mongol yang hendak menangkapmu itu dengan pukulan mematikan."
Beng San kaget. Kiranya Tan Hok sudah memasang mata-mata di mana-mana sampai tahu pula tentang kejadian di dalam kelenteng tua di mana dia hendak ditangkap oleh para serdadu Mongol yang menyamar sebagai kaum jembel. Akan tetapi hatinya lega mendengar kata-kata Tan Hok yang menyatakan bahwa orang raksasa ini masih belum tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian yang tinggi.
"Ah, Tan-twako, kiranya kau sudah mengetahui pula hal itu. Aku hanya merasa kaget dan juga penasaran mengapa aku yang tidak punya kesalahan hendak ditangkap.
Maka setelah berhasil meloloskan diri, aku lalu lari pergi. Kau menyuruh orang memanggilku dan mengirim surat mengharapkan bantuanku, sebetulnya bantuan apakah yang dapat kulakukan untukmu?"
"Sebelum kau mendengar tentang bantuan yang dapat kaulakukan untuk kami, lebih dulu akan kujelaskan kepadamu tentang keadaan-keadaan selama ini. Adik Beng San, selama bertahun-tahun ini, ke mana saja kau pergi dan apakah kau sudah mengetahui tentang keadaan perjuangan?"
Beng San menggeleng kepala, wajahnya berubah sedikit karena dia merasa jengah dan malu. "Aku..... aku bekerja membantu seorang nelayan, dan baru saja aku memasuki dunia ramai, aku tidaK tahu apa-apa, Twako."
"Nah, kaudengar baik-baik penuturanku." Dengan panjang lebar Tan Hok lalu menceritakan keadaan pemberontakan yang makin lama makin hebat itu.
Menceritakan pula betapa rakyat yang dipimpin oleh pendekar-pendekar besar melakukan perlawanan terhadap pemerintah Mongol dan sedikit demi sedikit sudah memperoleh kemajuan dan kemenangan. Tan Hok sendiri dengan teman-temannya, para anggota Pek-lian-pai yang dia pimpin, sekarang bekerja langsung di bawah pemimpin besar pemberontak, Ciu Goan Ciang! Malah pemuda raksasa ini mendapat kepercayaan dari Ciu Goan Ciang dan melatihnya dengan beberapa macam ilmu silat tinggi. Kemudian Tan Hok menceritakan tentang keadaan para partai -besar persilatan. Ketika dia bercerita tentang Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai, Beng San mendengarkan penuh gairah. Di antara para partai persilatan, hanya dua partai besar ini pernah dia ketahui, bahkan secara langsung dia pernah berhubungan dengan kedua partai itu. la pernah berdiam di Hoa-san, mengenal ketuanya, mengenal pula murid-muridnya, yaitu Hoa-san Sie-eng dan cucu-cucu muridnya, Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok. Adapun tentang Kun-lun pai, biar dia tidak mempunyai hubungan langsung, namun dia pernah membela murid Kun-lun yang bernama Pek-lek-jiu Kwee Sin. Pernah pula dia melihat dua orang Kun-lun, Bun Si Teng dan Bun Si Liong, tewas di depan kakinya dan menerima pesan Bun Si Teng agar dia membela dan melindungi anak jago Kun-lun ini yang bernama Bun Lim Kwi. Semua ini masih terbayang di depan matanya seakan-akan baru terjadi kemarin hari. Maka, tidak aneh kalau sekarang dia mendengarkan penuturan Tan Hok dengan penuh perhatian.
Tan Hok menarik napas panjang. "Sayang" ia melanjutkan ceritanya, karena yang dilancarkan oleh Ngo-lian-kauw siasat liclk dan penuh Kecurangan dari ketua Ngolian-kauw, dua partai besar itu. Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, dapat diadu domba dan terpecah-belah, menjadi dua partai yang selalu bermusuhan Padahal dulu partai itu kalau dapat membantu perjuangan rakyat menumbangkan kekuasaan penjajah, kedudukan para pejuang akan menjadi lebih kuat lagi. Semua ini adalah gara-gara,kelemahan hati jago muda Kwee Sin....." Kembah Tan Hok menarik napas panjang.
"Bagaimana dengan dia" setelah dia dulu dilarikan oleh Hek-hwa Kui-bo I Beng San tak sabar lagi bertanya.
"Kau tahu tentang itu?" Tan Hok bertanya heran, tapi lalu disambungnya, "Kau memang anak aneh, ini sudah kuketahui semenjak pertemuan kita yang pertama. Kau tanya tentang Kwee Sin" 3usteru dia itulah yang menjadi biang keladi semua pertentangan, karena hatinya yang lemah, mudah roboh menghadapi bujuk rayu dan kecantikan ketua Ngo-lian-pai. Pek-lek-jiu Kwee Sin, jago yang berkepandaian tinggi itu setelah dilarikan pihak Ngo-lian-pai, menjadi makin binal dan tergila-gila kepada ketua Ngo-lian-pai yang berjuluk Kim-thouw Thian-li. Hanya beberapa bulan setelah dua orang suhengnya, yaitu dua saudara Bun tewas dalam pertempuran di Hoa-san menghadapi murid-murid Hoa-san-pai, Kwee Sin bersama kekasihnya, ketua Ngolian-pai dan beberapa orang tokoh Ngo-lian-kauw, bahkan diam-diam dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo, menyerbu Hoa-san, berhasil melukai Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, malah berhasil membunuh Thio Wan It dan Kui Keng. Mereka meninggalkan yang luka dan menyatakan bahwa mereka membunuh dua orang tokoh Hoa-san itu untuk menebus kematian dua saudara Bun dari Kun-lun-pai."
Beng San membelalakkan matanya "Hebat.....!" Dan hatinya terasa perih penuh kasihan ketika dia teringat kepada Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok yang kematian ayah mereka. "Bagaimana dengan ketua Hoa-san-pai, apakah dia tidak membantu murid-muridnya?"
"Tentu saja Lian Bu Tojin turun tangan, akan tetapi dengan adanya Hek-hwa Kui-bo, dia tidak berdaya banyak. Semenjak itu, permusuhan selalu terjadi antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai."
"Kenapa Kun-lun-pai terbawa-bawa dalam hal ini" Bukankah Kwee Sin menyerbu Hoa-san-pai atas kehendaknya sendiri dan bersama orang-orang Ngo-lian-kauw, tidak atas kehendak Kun-lun-pai?"
"Hoa-san-pai rupa-rupanya tidak mau tahu akan hal ini, karena ke mana mereka harus mencari Kwee Sin" Kwee Sin semenjak itu lenyap bersama Ngo-lian-kauw dan celakanya, secara rahasia Kwee Sin membanui Ngo-lian-kauw memusuhi partai-partai yang membantu para pejuang! Kalau dulu kedua partai besar itu, baik Hoa-san-pai maupun Kun-lun-pai, hidup tenang dan damai, sekarang keduanya mengumpulkan bekas-bekas murid mereka dan membentuk kekuatan yang terdiri dari murid-murid yang pandai, selalu siap untuk saling gempur."
Beng San mendengarkan dengan kening berkerut. "Sayang sekali....." hanya demikian komentarnya. la benar-benar merasa menyesal sekali mengapa permusuhan yang terang-terangan disebabkan oleh Ngo-lian-kauw itu bisa sampai demikian berlarut-larut. Akhirnya, rasa penasaran membuat dia berkata, "Kalau kedua partai sudah tahu bahwa permusuhan itu disebabkan oleh tipu muslihat ketua Ngo-lian-kauw, kenapa mereka tidak memusuhi Ngo-lian-kauw saja?"
"Mereka pun kedua pihak sudah mulai melakukan permusuhan dengan Ngo-lian-kauw, akan tetapi dendam di antara Hoa-san dan Kun-lun agaknya lebih parah dan mendalam."
Dengan panjang lebar Tan Hok menuturkan semua kejadian yang diketahuinya dan diam-diam Beng San girang sekali bahwa dia bertemu dengan raksasa ini karena ternyata pengetahuan Tan Hok, tentang dunia kang-ouw dan semua peristiwa yang terjadi, amat luas. Sekarang menjadi jelas bagi Beng San apa yang telah terjadi selagi dia pergi menyembunyikan diri sebagai nelayan. Betapapuh luas pengetahuan Tan Hok tentang dunia kang-ouw, ketika ditanya tentang Song-bun-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan lain-lain tokoh sakti itu, Tan Hok menggeleng-geleng kepalanya. "Orang-orang seperti mereka itu bukan manusia biasa lagi. Tentu saja mereka tidak peduli tentang perjuangan, karena mereka termasuk orang-orang aneh yang selalu berbeda dengan manusia biasa. Bagaimana bisa mengikuti jejak mereka" Andaikata mereka ikut pula mencampuri urusan perjuangan, baik yang membela pejuang maupun yang membela Kerajaan Goan, tentu mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi."
Agak kecewa hati Beng San karena sebenarnya maksud pertanyaannya tentang orang-orang sakti itu ditujukan untuk mengetahui berita tentang seorang anak perempuan gagu!
"Twako, setelah kauceritakan semua itu kepadaku, agaknya tidak ada sesuatu yang mendorong kau membutuhkan bantuanku. Kalau yang kaumaksudkan dengan bantuan itu adalah permintaan seperti dahulu agar aku masuk menggabungkan diri dengan Pek-lian-pai, terpaksa aku tak dapat memenuhi permintaanmu. Aku suka membantu perjuangan Pek-lian-pai, akan tetapi tidak suka terikat oleh sesuatu perkumpulan kemudian terlibat ke dalam permusuhan-permusuhan yang saling mendendam."
"Aku mengerti pendirianmu, Beng San. Tidak, pertolongan yang kubutuhkan dari-mu ini lebih bersifat pribadi. Ketahuilah, aku telah diserahi tugas yang amat penting oleh pemimpin kami, Ciu Goan Ciang taihiap. Dan sekarang, selagi aku bingung bagaimana akan dapat melakukan tugas ini dengan sempurna, aku bertemu dengan kau. Hatiku yakin bahwa hanya kau seoranglah yang tepat untuk melaksanakan tugas ini."
Berdebar hati Beng San. Tugas dari pemimpin besar Ciu Goan Ciang" Bukan main!
la merasa terhormat dan bangga sekali. Akan tetapi mukanya yang tampan tidak membayangkan sesuatu.
"Pendekar besar Ciu Goan Ciang merasa amat menyesal dengan adanya gontok-gontokan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. la pun maklum apa yang menyebabkan permusuhan antara dua golongan itu, bukan lain adalah karena siasat pemerintah Mongol yang mempergunakan Ngo-lian-kauw. Bulan depan Hoa-san-pai diadakan pesta perayaan hari ulang tahun ke seratus dari Hoa-san pai. Tentu banyak sekali tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw hadir. Menurut penyelidikan Pek-lian-pai, pada kesempatan ini Kun-lun-pai akan datang lagi untuk membuat perhitungan. Karena permusuhan itu berlarut-larut, muncul sahabat-sahabat dan musuh-musuh baru bagi kedua pihak. Ada golongan-golongan yang membantu Hoa-san-pai, sebaliknya banyak pula yang pro kepada Kun-lun-pai. Dapat diramalkan bahwa akan terjadi sesuatu yang hebat di puncak Hoa-san nanti. Nah, pemimpin kami tidak setuju dengan adanya perpecahan di kalangan kita sendiri, maka dia mempercayakan kepadaku untuk berusaha mendamaikan mereka. Aku membawa surat bagi kedua ketua perkumpulan Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Akan tetapi, mudah saja diduga bahwa di dalam pertemuan besar itu, pasti di sana akan penuh dengan orang-orang pihak Ngolian-kauw dan pihak pemerintah pasti akan menyebar mata-matanya. Aku, sedikit banyak, sudah terkenal di antara mereka, maka pasti mereka itu akan menghalangiku sebelum aku sempat melakukan sesuatu untuk mendamaikan Kun-lun-pai dan Hoasan-pai. Juga orang-orangku sebagian besar sudah dikenal. Karena itu, Adik Beng San, kaulah orangnya yang paling tepat untuk mewakiliku melakukan tugas ini.
Sanggupkah kau?" Beng San mengangguk-angguk. Tugas itu adalah tugas mulia. Tugas mencegah perpecahan antara bangsa sendiri, antara kedua partai besar yang memiliki nama harum. Apalagi kalau diingat bahwa di dalam Hoa-san-pai terdapat orang-orang yang di waktu kecil sudah dia kenal baik, terutama Kwa Hong. Adapun di pihak Kun-lun-pai terdapat cucu murid yang dia harus bela, yaitu Bun Lim Kwi putera mendiang Bun Si Teng yang sudah meninggalkan pesan terakhir kepadanya dan yang harus ia hormati.
"Baiklah, Twako. Aku akan berusaha melakukan tugasmu itu sebaiknya."
Tan Hok nampak girang sekali, akan tetapi tiba-tiba Beng San menggunakan kedua kakinya menginjak lampu merah yang diletakkan di tanah. Lampu seketika padam.
Terdengar jerit kesakitan dan robohnya tubuh orang-orang tak jauh dari situ. Disusul pula mendesingnya senjata-senjata rahasia yang menghujani tempat perundingan ini.
Tan Hok sudah cepat memberi aba-aba kepada kawan-kawannya. Senjata dicabut dan mereka melesat ke kanan kiri mencari berkelebat bayangan putih yang makin lama makin banyak sekali. Kiranya tempat itu sudah dikurung, puluhan orang banyaknya yang mengurung. Beberapa orang anggota Pek-lian-pai yang bertugas menjaga di luar tadi sudah dirobohkan musuh.
"Pemberontak-pemberontak Pek-lian-pai, lebih baik kalian menyerah!" terdengar bentakan kasar seorang yang bertubuh tinggi besar. Tan Hok melihat orang ini lalu meloncat dari tempat persembunyiannya dan di lain saat dua orang yang sama-sama tinggi besar tubuhnya telah berperang tanding dengan hebatnya. Bunga api muncrat berhamburan ketika pedang di tangan Tan Hok bertemu dengan golok lawannya itu.
Agaknya keduanya adalah ahli-ahli gwakang yang memiliki tenaga seperti kerbau jantan kuatnya. Nyaring bunyi pertemuan senjata itu dan kedua orang raksasa ini merasa betapa telapak tangan mereka pedas dan sakit.
Beng San yang masih duduk di tempat tadi karena tiba-tiba semua anggota Pek-lian-pai sudah menghilang, melihat empat orang lain maju dari belakang Tan Hok, siap dengan rantai-rantai besi dan rupa-rupanya hendak menawan Tan Hok dalam keadaan hidup. Sekali menggerakkan kakinya pemuda ini telah melesat ke depan. Kaki tangannya bekerja seperti kilat dan tanpa mengerti mengapa, empat orang itu sudah terlempar dan terjengkang ke belakang tanpa dapat bangun lagi karena kaki tangan mereka patah tulangnya! Setelah melihat bahwa para penyerang yang datang menyerbu itu adalah pengemis-pengemis dibantu oleh serdadu Mongol, tahulah Beng San bahwa dia harus membantu para anggota Pek-lian-pai. Tubuhnya bergerak ke sana ke mari untuk membantu teman-temannya yang terdesak. Untuk sementara ia meninggalkan Tan Hok karena dari gerakan raksasa itu menghadapi lawannya, dia maklum bahwa Tan Hok akan dapat menang. la lebih mementingkan membantu mereka yang terdesak.
Akan tetapi segera dia mendapat kenyataan betapa sia-sia kalau melakukan perlawanan secara nekat. Jumlah lawan amat banyak, ada puluhan orang, malah mungkin tidak kurang dari seratus orang. Sedangkan di pihak Pek-lian-pai hanya ada tujuh belas orang termasuk dia sendiri. Dan pertandingan dilakukan di dalam gelap, kacau-balau! Memang dengan amat mudahnya Beng San dapat merobohkan belasan orang lawan tanpa membunuh mereka yang merupakan pantangan baginya, akan tetapi juga di antara para anggota Pek-lian-pai, sedikitnya sudah roboh lima enam orang.
Sementara itu, tepat seperti yang diduga oleh Beng San, Tan Hok dapat mendesak lawannya. Pada suatu saat, ketika lawannya sudah terdesak hebat, perwira Mongol itu secara nekat tanpa mempedulikan datangnya hantaman dari tangan kiri Tan Hok, membacok pundak Tan Hok sekuat tenaga dengan goloknya. Andaikata Tan Hok melanjutkan pukulannya yang pasti mengenai dada lawan, tak dapat dicegah lagi golok itu pasti akan membabat putus pundaknya. Tan Hok tentu saja tidak mau menukarkan pundaknya dengan sebuah pukulannya, cepat dia menarik tangan kiri dan menggerakkan pedang sekuat tenaga menangkis.
"Krakkk!" Dua senjata itu bertemu, api berbunga berhamburan dan kedua senjata itu patah! Sambil menggeram marah kedua orang yang bertubuh raksasa ini melempar gagang senjata ke bawah, lalu melanjutkan perkelahian mereka mempergunakan sepasang kepalan tangan yang sebesar kepala orang berikutisepasang kaki yang kokoh kuat. Hebat sekali pertandingan ini. Terdengar suara bak-bik-buk ketika kepalan-kepalan itu mengenai sasaran, namun keduanya ternyata amat kuat tubuhnya, tidak roboh oleh pukulan, hanya terengah-engah dan mendesis-desis, memaki-maki.
Akhirnya, dengan sebuah tendangan yang tepat mengenai lambung lawan, disusul dua kali pukulan pada leher dan ulu hati, Tan Hok berhasil membuat lawannya roboh berdebuk seperti pohon tumbang.
Tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali ke arah Tan Hok. Pemuda raksasa ini mengangkat tangan kanan menangkis datangnya pukulan yang amat kuat dan cepat, namun lebih cepat lagi pukulan itu ditarik kembali dan sebuah pukulan lain secara gelap telah menghantamnya dari samping, tepat mengenai rusuknya. Tan Hok mengeluh dan roboh tergelimpang, muntah-muntah darah!
Beng San mendengar keluhan Tan Hok, cepat melompat mendekati. Kaget melihat temannya itu sudah roboh terlentang. Segera dia mengempit tubuh yang tinggi besar itu dengan tangan kirinya.
"Saudara-saudara, lari.....!" serunya. Cepat dengan suara yang amat nyaring sehingga mengagetkan kedua pihak yang bertempur. Para anggota Pek-lian-pai yang hanya tinggal beberapa orang dan mempertahankan diri dengan gigih datl nekat, melihat Tan Hok sudah roboh, menjadi kendor semangatnya. Apalagi ketika mendengar seruan Beng San, mereka lalu mencari kesempatan untuk mundur. Beng San sendiri mengamuk.
Dengan sebelah tangan menghadapi puluhan orang lawan, tangan kiri mengempit tubuh Tan Hok, dia menahan serbuan orang-orang itu yang hendak mengejar larinya sisa anggota Pek-lian-pai. Tak lama kemudian setelah melihat bahwa di situ tidak ada lagi anggota Pek-lian-pai, Beng San lalu meloncat ke belakang dan dengan beberapa loncatan lagi dia telah dapat meninggalkan semua pengeroyoknya. Cepat dia berlari ke dalam hutan, menyelinap di antara pohon-pohon besar dan gelap.
Tiba-tiba dari balik pohon muncul bayangan orang yang bertubuh langsing. Tanpa berkata apa-apa orang itu melayangkan pukulan ke arah Beng San. Pukulan yang dilakukan perlahan saja, namun memiliki kecepatan dan kekuatan yang amat hebat.
Terkejut juga Beng San ketika merasa betapa angin pukulan ini tajam bagaikan mata pedang, maka maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh.
Namun, dia merasa bukan waktunya untuk melakukan pertandingan. Luka Tan Hok harus diperiksa dan diobati, apalagi dengan mengempit tubuh Tan Hok, biarpun dia tidak takut menghadapi lawan itu, akan tetapi amat berbahaya bagi keselamatan Tan Hok sendiri. la mengerahkan tenaga di lengan kanan lalu menangkis pukulan itu.
Penyerang itu mengeluarkan seruan kaget, juga Beng San karena pemuda ini merasa betapa lengannya bertemu dengan tenaga yang lunak halus dan mengandung hawa mujijat, membuat lengannya tergetar. Sementara itu, orang tadi sudah menyerang lagi dengan dua kali pukulan. Kembali Beng San menangkis, kini dia menggabung tenaga Im dan Yang di tubuhnya sehingga keadaan lengannya dijalari tenaga yang tiada bandingnya. Penyerangnya terpental ke belakang, mengeluarkan seruan tertahan lalu melesat pergi, lenyap ditelan kegelapan malam. Beng San tidak peduli, hanya sedetik dia mengenal potongan tubuh orang itu. Tak salah lagi, penyerangnya adalah orang yang dia lihat bayangannya malam tadi ketika dia mencari tempat persembunyian Tan Hok. Dan lengan itu begitu halus dan lunak. Hanya ada dua macam keterangan untuk ini, pertama, pemilik lengan itu seorang laki-laki yang sudah memiliki Iweekang yang amat tinggi, ke dua, pemilik lengan itu adalah seorang wanita!
Menjelang fajar dia berhenti dan menurunkan tubuh Tan Hok di atas rumput. la memeriksa luka pada tulang rusuk setelah membuka baju pemuda raksasa itu. Beng San mengerutkan kening. "Kejam....." katanya perlahan. Dua batang tulang rusuk patah dan kulitnya menghitam. la maklum bahwa hawa pukulan yang melukai Tan Hok mengandung tenaga Yang. Cepat dia menempelkan telapak tangan kirinya ke tulang rusuk yang sebelah lagi, mengerahkan tenaga Im di tubuhnya dan dengan cara menyalurkan hawa di dalam tubuh, dia mengobati luka Tan Hok. Tentu saja tidak dapat sekaligus sembuh, akan tetapi sejam kemudian dia merasa yakin bahwa Tan Hok tertolong nyawanya. Racun hawa pukulan telah dia basmi dengan tenaga Im tadi.
Tan Hok mengeluh, membuka mata. Ketika melihat Beng San di sisinya, dia tersenyum!
"Kau hebat, Adik Beng San..... sudah kuduga..... kau lihai sekali....."
"Kau yang hebat, Twako. Dua tulang rusukmu patah, masih bisa tersenyum," kata Beng San, benar-benar bangga dan kagum. Bangga karena Tan Hok adalah seorang yang sama nama keturunannya dengan dia. Bukankah dia, seingatnya, juga bernama keluarga Tan" Pantas saja dia dahulu begitu bertemu sudah merasa amat suka kepada Tan Hok dan sekarang dia merasa bangga mempunyai sahabat satu nama keturunan, yang demikian gagahnya.
Sambil meringis menahan rasa nyeri Tan Hok menggerakkan tangannya merogoh saku, mengeluarkan dua lipat kertas. "Inilah dua surat itu, satu untuk ketua Hoa-sanpai, satu untuk ketua Kun-lun-pai. Lekas, adikku, pergilah kau ke Hoa-san, hadiri perayaan itu dan berikan ini kepada mereka. Jaga agar jangan sampai terjadi pertandingan hebat....."
"Tapi kau...., Twako.....?"
"Aku tidak apa-apa, kurasa tidak terluka sebelah dalam. Tidak merasa apa-apa, hanya tulang rusuk, mudah..... yang penting adalah kehadiranmu di sana dan surat-surat ini."
"Baiklah, Twako," kata Beng San menerima surat-surat itu dan menyimpannya, "jaga baik-baik dirimu. Aku akan pergi ke Hoa-san, bukan sebagai seorang Pek-lian-pai, tapi....."
"Hal itu bukan soal yang penting asal kau bisa mencegah agar kedua partai itu tidak saling bermusuhan, dapat insyaf dan kalau mungkin membantu perjuangan kita."
Setelah memesan banyak-banyak, kedua orang sahabat itu berpisah. Tan Hok yang gagah perkasa itu biarpun menanggung nyeri hebat, masih dapat berjalan ccpat untuk menjauhkan diri dari bahaya pengejaran pasukan Mongol. Adapun Beng San juga cepat menuju ke Hoa-san. la ingin datang di Hoa-san sebelum perayaan hari ulang tahun diadakan. Terus terang saja dia ingin sekali bertemu dengan "anak-anak" itu, terutama sekali si "kuntilanak"!
* * * Baru kurang lebih dua li Beng San berjalan di tengah hutan, menikmati keindahan suara burung-burung pagi yang mulai bernyanyi-nyanyi di antara daun-daun pohon, tiba-tiba dia berhenti, memandang tajam ke kiri. Serentak bermunculan lima orang dari balik batang pohon besar. Kiranya mereka adalah sisa-sisa anggota Pek-lian-pai, nampak sedih dan lelah, dipimpin oleh "pengemis" tua yang dahulu menyambut Beng San. Kakek pengemis ini pun terluka lengannya, berdarah dan dibalut. Begitu melihat Beng San mereka lalu maju mendekat.
"Di mana Tan-hiante?" tanya penge-mis tua itu, sekarang tidak berpura-pura lagi minta sedekah seperti dulu.
"Dia selamat, minta kutinggalkan di tengah hutan, kurang lebih dua li dari sini. Harap kalian lekas menyusulnya dan merawat lukanya. Dua buah tulang rusuknya patah-patah. Akan tetapi keselamatan nyawanya tidak terancam," kata Beng San.
Kakek itu mengangguk-angguk dan melihat Beng San dengan kagum. "Kau masih muda, sudah begitu lihai. Pantas Tan-hiante mempercayaimu. Kalau tidak ada kau, kiranya kami semua sudah tewas. Hanya kami berlima, berenam dengan Tan-hiante yang masih hidup. Orang muda, tentu kau sudah menerima tugas dari Tan-hiante pergi ke Hoa-san, bukan?"
Beng San mengangguk. Kakek itu memandangnya dari kepala sampai ke kaki penuh perhatian. "Tak baik.,..., pakaianmu itu. Seperti petani muda. Padahal setiap orang petani sekarang dicurigai. Kau bawa bekal uang?"
Beng San kali ini menggeleng kepala.
"Lebih tak baik lagi. Tanpa uang akan mudah dicap pemberontak. Orang muda yang gagah, kauterimalah beberapa stel pakaian ini dan sedikit uang untuk bekal. Tak boleh kautolak karena kau juga telah membantu perjuangan kami."
Tak enak hati Beng San untuk menolak karena dia sudah dapat menyelami watak orang-orang ini. Ia menerima sebungkus besar pakaian dan sekantung uang perak, lalu menghaturkan terima kasih. Kemudian mereka berpisah.
Setelah di situ sunyi, Beng San hendak mentaati pesan kakek pengemis yang dia percaya sudah luas pengalamannya itu. Ia menanggalkan pakaiannya dan mengenakan satu stel pakaian pemberian mereka. Ternyata pas betul dan dia kini berubah sebagai seorang muda yang tampan dan pantas, mirip seorang pemuda terpelajar!
Memandangi pakaiannya, Beng San merasa malu sendiri. Baru bisa berpakaian pantas kalau sudah diberi orang lain, pikirnya. Pemuda macam apa aku ini! Betapapun juga, dengan pakaian bersih menutupi tubuhnya, bahkan masih ada beberapa stel lagi digendong di punggungnya, mengantongi bekal yang lumayan, dia merasa lebih lega.
Semua ini akan melancarkan perjalananku, pikirnya. Dengan hati ringan dia lalu menyusuri tepi Sungai Yang-ce menuju ke Hoa-san.
Jalan yang dilaluinya makin sunyi. Bukan merupakan jalan umum lagi. Jalan setapak yang liar dan makin jauh ke utara, makin sunyi dan dia harus membuka jalan di antara tetumbuhan liar pinggir sungai. la harus menyeberang dan "alangkah sukarnya menyeberangi sungai yang luar biasa lebarnya ini tanpa perahu. Tak mungkin itu. la berhenti di pinggir sungai, memandang ke sana ke mari, mengharapkan adanya perahu agar dapat menyeberangkannya ke depan.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara orang bernyanyi. Suara wanita, tak salah lagi, merdu dan nyaring. Makin lama suara itu makin jelas terdengar, Beng San berdiri terkesima ketika dia melihat seorang gadis berpakaian serba hijau mendayung perahu kecil di tengah sungai Mendayung perlahan tapi sengaja menimpakan. dayung ke air sehingga menimbulkan suara yang berirama, yang mengikuti irama lagunya. Merdu dan indah sekali bunyi dayung menimpa air memercik ke atas ini mengikuti suara nyanyiannya, indah dan aneh. Mulut yang kecil mungil dain berbibir merah itu bergerak-gerak menyanyi. Wajahnya manis sekali, dengan sepasang mata yang lebar dan hidung kecil mancung, sepasang pipi kemerahan dan rambut yang dibiarkan terurai kacau ke kanan kiri itu menambah kemanisannya.
"Malam purnama sudah lalu,
bunga seruni sudah rontok,
aku yang merana seorang diri
kenapa belum mendapatkan yang kucari?"
Hanya demikian kata-kata yang dinyanyikan, diulang-ulang lagi, tapi tidak membosankan. Beng San yang mendengarkan dengan teliti dapat menangkap hal-hal yang mengharukan hatinya. Di dalam nyanyian itu dia dapat membayangkan perasaan yang penuh harapan, penuh kemarahan, penuh sesal, penuh semangat dan juga penuh rahasia. Agaknya sudah lama nona itu mencari sesuatu. Apakah sesuatu itu"
Orangkah" Bendakah" Dia sudah mulai merasa habis sabar dan jengkel, juga berduka.
Namun, masih sangat mengharapkan untuk dapat menemukan yang ia cari-cari.
Siapakah nona itu" Demikianlah Beng San berpikir Siapapun juga dia, bukankah dia memiliki perahu yang akan dapat menolongku menyeberang" Boleh kucoba.
"Eh, Nona yang berperahu.....". la memanggil.
Kalau saja Beng San menjadi dewasa di kota, tentu dia sekali-kali tidak berani memanggil seorang gadis yang berperahu seorang diri seperti ini. la tidak pernah bergaul dengan wanita, tidak mengerti pula akan tata cara kesopanan kota maka sikapnya terbuka dan jujur, sama sekali tidak mengerti bahwa sikap ini bisa dianggap kurang ajar atau ceriwis.
Nona berbaju hijau itu kaget mendengar teguran Beng San dan cepat menengok.
Sepasang mata yang bersorot tajam dan galak menatap wajah Beng San yang memaksa diri tersenyum, biarpun hanya merasa tidak enak karena sikap nona itu seakan-akan hendak marah. la mengulangi kata-katanya.
"Nona berperahu yang baik hati. Tolonglah aku seorang pelancong menyeberang ke sana dengan perahu," la mengatur kata-katanya supaya terdengar halus. Sejenak nona baju hijau itu tidak menjawab, hanya sepasang matanya menatap tajam tak pernah berkedip sehingga Beng San merasa tidak makin tidak enak hatinya.
"Kuharap saja aku tidak terlalu mengganggumu dengan permintaan tolong ini,"
katanya lagi. "Mengganggu katamu?" Bibir merah itu cemberut tapi tambah manisnya. "Kau laki-laki ceriwis! Laki-laki lancang mulut!"
Beng San menengok ke kanan kiri, mengira bahwa ada orang laki-laki lain yang bersikap kurang ajar berdiri di situ dan dimaki oleh nona baju hijau ini. Tapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berada di situ hanya dia seorang bersama bayangannya, dia mulai percaya bahwa dialah yang dimaki.
"Ceriwis" Apa ceriwis itu" Bermulut lancang" Aku.....?" la bertanya penuh keheranan.
"Ya, kau kurang ajar dan bermulut lancang! Berani memanggil-manggil seorang wanita yang tak kaukenal!"
Beng San melengak, makin terheran. la memang ahli fiisafat, maka mendengar ucapan yang menyerangnya ini segera dia tangkis dengan kata-kata filsafat yang sifatnya berkelakar, "Kalau orang yang saling tak mengenal semua berdiam diri tak berani memanggil, alangkah akan sunyinya dunia ini! Kalau tadinya tidak mengenal, setelah dipanggil bukankah jadi kenal?"
"Kurang ajar kau ". Gadis baju hijau itu makin marah.
"Kenapa kurang ajar" Aku minta tolong supaya diseberangkan ke sana. Aku butuh menyeberang, kau memiliki perahu, bukankah itu sudah cocok?"
"Kaukira aku ini gadis tukang menyeberangkan orang" Kaukira aku mencari nafkah dengan menyeberangkan segala orang?"
"Pakai biaya pun aku sanggup bayar, aku punya uang," jawab Beng San sejujurnya dan salah mengartikan kata-kata orang.
Sepasang mata itu berkilat-kilat, bibir yang tadinya cemberut agak tersenyum, seakan-akan ia mulai mengerti bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang tolol. Atau setidaknya, wajah yang tampan itu dan bentuk tubuh yang tegap, menimbulkan simpatinya.
"Kau bawa uang banyak?"
"Banyak sih tidak, kiranya kalau hanya seratus tail perak ada."
Dara baju hijau itu mengeluarkan suara mendengus seperti mengejek, lalu dengan dua kali mendayung saja perahunya meluncur seperti anak panah ke pinggir! Beng San diam-diam kaget sekali. Itulah gerakan tangan yang amat kuatnya, gerakan seorang ahli ilmu silat tinggi. Apalagi setelah dia melihat sebatang pedang dengan gagang dan sarungnya yang terukir indah menggeletak di perahu, tahulah dia bahwa dara baju hijau itu bukanlah orang sembarangan.
"Kau mau menyeberang" Nah, kau loncatlah ke perahu!"
Jarak antara perahu itu dengan tanah yang diinjak Beng San masih ada satu meter jauhnya, sedangkan tempat itu agak tinggi, ada dua meter. Beng San hendak menyembunyikan kepandaiannya, maka dia berpura-pura tidak berani dan berkata.
"Tolong dekatkan perahu sampai ke sini, agar mudah aku turun. Meloncat dan sini, setinggi ini, mana aku berani?" la sengaja memperlihatkan muka ketakutan.
Gadis itu tertawa kecil. Deretan gigi yang putih mengkilap menyilaukan mata Beng San. Silau dia akan kemanisan muka gadis ini.
"Hi..hi-hi, kau ini laki-laki atau perempuan?"
Beng San mempunyai dasar watak nakal di waktu kecilnya, biarpun dia sekarang sudah dewasa, kenakalan kanak-kanak masih ada padanya. la mendongkol mendengar kata-kata itu dan dengan suara merajuk dia menjawab.
"Kau melihat sendiri bagaimana" Laki-laki atau perempuan?" Ia cemberut.
Dara baju hijau itu tertawa lagi, sekarang agak lebar sehingga dari atas terlihat dalam mulutnya yang merah dan sepasang lesung pipit di kedua pipinya. Manis benar!
"Masa seorang laki-laki takut meloncat dari tempat itu ke sini" Seorang perempuan pun akan berani. Kau tak patut menjadi laki-laki atau perempuan, kiraku kau banci."
Panas perut Beng San rasanya. Ia mengukur dengan pandang matanya dan akhirnya harus mengakui bahwa permainan sandiwaranya memang agak keterlaluan. Setiap orang laki-laki yang tidak mengerti ilmu silat, asal dia tidak terlalu penakut, tentu akan dapat meloncat ke perahu itu.
"Tentu saja aku laki-laki sejati!" katanya mendongkol. "Tidak seperti kau, perempuan tukang merengek, belum bisa mendapatkan yang dicari-cari, sudah mulai mengeluh panjang pendek. Tentu saja aku berani meloncat ke situ!"
Dara itu seketika hilang senyumnya, kembali memandang tajam dan berkata, suaranya terdengar ganjil, "Kalau begitu, kau loncatlah!"
Beng San beraksi seperti orang yang menghadapi pekerjaan berat. Kantong uang dia masukkan ke saku bajunya yang lebar, sedangkan bungkusan pakaian dia ikatkan pada lengannya. Kemudian dia mengambil posisi dan meloncat ke bawah. Alangkah kagetnya ketika dia melihat gadis itu tiba-tiba mendayung perahunya ke depan sehingga perahu itu seolah-olah mengelak dari loncatannya! Tentu saja, dengan kepandaiannya meringankan tubuh Beng San dengan mudah sekali akan dapat bersalto ke arah perahu, akan tetapi dia memang sudah mengambil keputusan untuk menyembunyikan kepandaiannya. Apa boleh buat, dia melanjutkan loncatannya dan tentu saja ke..... air. Sebelum tubuhnya menimpa air dia sempat memaki.
"Siauw-kwi (Setan cilik)....!" Ia hanya mendengar suara ketawa nyaring dan air muncrat tinggi, tubuhnya terus tenggelam.
Biarpun berusaha menyembunyikan kepandaiannya, kiranya Beng San takkan begitu sembrono untuk membiarkan dirinya tenggelam dan terancam bahaya kalau saja dia tidak memiliki kepandaian bermain di dalam air. Baginya, permainan di dalam air bukanlah apa-apa lagi setelah delapan tahun dia bekerja sebagai nelayan, setiap hari hanya bermain dengan ikan dan air. la sengaja mengorbankan dirinya menjadi basah kuyup, tidak saja untuk menyembunyikan kepandaian, akan tetapi juga ingin membalas kenakalan gadis itu. Dengan enak, seperti seekor ikan besar, dia menyelam terus ke bawah perahu gadis tadi dengan maksud hendak menggulingkan perahu dari bawah agar gadis itu pun menjadi basah kuyup.
Tiba-tiba dia melihat seekor ikan yang sepaha besarnya, ikan yang gemuk dan sebagai bekas nelayan dia mengenal ikan ini sebagai ikan yang amat enak dagingnya, gemuk dan tidak berduri kecil. Cepat tangannya meraih dan ikan itu sudah dia tangkap, kepalanya dia masukkan ke dalam bungkusan pakaian sehingga tak dapat bergerak melepaskan diri lagi. Kemudian dia hendak menangkap dasar perahu untuk digulingkan. Tapi gerakan ini dia tahan ketika dia mendengar air di atas memercik dan sebuah benda kehijauan menyelam. Ternyata dara baju hijau itu telah meloncat ke air dan menyelam dengan gerakan seorang ahli dalam air!
Beng San tersenyum nakal. Baiknya dia belum menggulingkan perahu, pikirnya.
Kiranya bocah nakal ini masih berhati emas, kini berusaha menolongnya. Benar saja dugaannya, ketika dia meronta-ronta dan beraksi seperti orang yang tak pandai berenang, tenggelam dan akan hanyut, tiba-tiba tangan gadis itu meraihnya dan rambutnya telah kena dijambak dan ditarik ke atas! Mendongkol lagi hati Beng San yang tadinya sudah dingin. Ikatan rambutnya sampai terlepas dan dengan rambut awut-awutan dia ditarik oleh dara itu seperti orang menarik ekor ikan besar.
"Laki-laki apa kau ini" Berenang pun tak pandai!" kata gadis itu mencemooh ketika sudah timbul ke permukaan air. "Hayo pegang pinggiran perahu dan naik,"
perintahnya sedangkan dia sendiri dengan loncatan indah naik ke perahu.
"Aku..... aku tidak bisa..... tolonglah....." Beng San berpura-pura, kini sudah panas lagi perutnya dan otaknya diputar untuk membalas dendam. Gadis itu bersungut-sungut menghina, akan tetapi la ulurkan tangan juga mencengkeram pundak Beng San dan menarik pemuda itu ke atas perahu. Beng San terseret naik, dengan canggungnya dia mencoba melompat, tapi terhuyung-huyung dan akan jatuh menubruk gadis itu.
Bungkusan pakaiannya melayang ke depan dan otomatis ikan besar itu pun melayang dengan ekornya yang panjang menampar pipi gadis baju hijau.
"liiiihhhhh...,., apa ini.....?" teriak gadis itu kaget sambil menangkis. Pipinya tidak terkena tamparan ekor ikan, akan tetapi air dan lendir ikan dari ekor itu melayang dan tak dapat dicegah lagi membasahi mukanya. Lendir ikan yang manis itu memasuki mulut dan hidungnya yang mancung.
"Uiuhhhhh....." Gadis itu hampir muntah dan meludah-ludah, kemudian cepat mencelupkan mukanya dan kepalanya ke dalam air dari pinggir perahu sehingga untuk ke dua kalinya kepalanya basah kuyup. Beng San menahan ketawanya, perutnya terasa kaku saking geli hatinya.
Dara baju hijau itu menarik kembali kepalanya dari air, mengusap air dari muka.
Mukanya basah kuyup, pipinya makin kemerahan, rambutnya basah awut-awutan.
Tapi aneh, makin manis saja dia! Matanya memperlihatkan kemarahan k-tika ia memandang ke arah ikan sebesar paha yang kepalanya berada dalam bungkusan pakaian.
"Dari mana ikan itu?" bentaknya.
"Tentu saja dari air, masa ikan dari gunung?" Beng San menggoda.
"Jangan main-main! Kau yang hampir mati tenggelam, bagaimana bisa mendapatkan ikan di air?" Gadis itu memandang penuh curiga.
Ah, bodoh aku, celaka kali ini, pikir Beng San. Akan tetapi otaknya cepat bekerja.
"Entah, aku tadi tenggelam, dalam bingungku aku menggerak-gerakkan tangan dan tahu-tahu aku merasa bungkusan menjadi berat. Agaknya ikan bodoh ini terjerat oleh tali bungkusan pakaianku dan tak dapat terlepas lagi."
Gadis itu memperhatikan muka Beng San yang berlagak bodoh, lalu berkata marah,
"Memang ikan bodoh, seperti kau, laki-laki goblok."
Beng San tunduk, agak lega hatinya. Untuk melenyapkan sama sekali kecurigaan gadis itu, dia mengangguk dan berkata perlahan, "Memang dia bodoh seperti aku."
"Air ikan itu tadi mengotori mukaku, sekarang kau harus membayar. Nah, kau makan ikan ini mentah-mentah!"
Beng San membelalakkan matanya. Seharusnya dia marah kepada gadis nakal ini, akan tetapi aneh, muka yang manis ini tidak patut dimarahi. Sukar baginya untuk bisa marah, malah dia menganggap sikap gadis ini lucu sekali. la sama sekali tidak dapat melihat sinar jahat dalam pandang mata yang bening itu.
"Ah, mana bisa ikan dimakan mentah" " Ikan ini enak sekali dagingnya, kalau dipanggang. Aku sudah biasa memanggang ikan seperti ini. Apalagi daging di kepala dan ekornya, waaah, gurih dan sedap. Perutku lapar, apakah kau tidak lapar" Kalau ada api di sini, aku bisa memanggang ikan ini, lumayan untuk kita berdua, bisa melegakan perut lapar." Beng San terus saja bicara tentang kelezatan daging ikan itu.
Si gadis mendengarkan dan akhirnya tertarik juga.
la mengangguk dan berkata, suaranya masih aja ketus, "Kau boleh panggang, tapi awas, kalau kau bohong, kalau ikan itu tidak enak, kau harus makan sendiri sampai habis dengan tulang-tulangnya. Tahu?" Gadis itu lalu memasuki kepala perahu yang dipasangi bilik bambu. Tak lama kemudian ia sudah keluar lagi dan alangkah mendongkol dan iri hati rasanya hati Beng San ketika melihat bahwa gadis itu sudah bertukar pakaian baru yang kering dan enak! Juga pakaian yang dipakainya kini terbuat dari sutera hijau.
"Eh, kenapa kau masih belum memanggang ikan itu?" bentaknya melihat Beng San masih duduk terlongong.
"Bagaimana aku bisa memanggang ikan?" Beng San tidak dapat menyembunyikan suaranya yang mendongkol karena melihat gadis itu sudah bertukar pakaian kering sedangkan dia sendiri masih basah kuyup. "Kulihat ada tempat api di perahu ini, tapi tidak ada apinya. Dan ikan ini harus dibuang sisiknya, harus dipotong-potong. Kau kerjakanlah itu, nanti aku yang memanggang."
"Cih, tak bermalu! Kau bersihkan dan potong-potong sendiri."
"Biasanya yang mengerjakan adalah wanita. Tentu kau menyimpan pisau dapur.
Kulihat kau menyediakan tempat masak, biasanya tentu masak sendiri.
"Aku tidak punya pisau. Hayolah, lekas kerjakan, jangan bikin aku habis-sabar!"
Beng San makin mendongkol. Gadis itu tadi memasuki kamar tanpa membawa pedangnya yang menggeletak di perahu, itu saja sudah menandakan bahwa gadis ini amat memandang rendah kepadanya. Tentu dipikirnya orang laki-laki selemah dia ini, biarpun ada pedang, akan bisa berbuat apakah terhadap dia" Dengan bersungut-sungut dia meraba pedang di lantai perahu itu. Bagaimana isinya" Apakah seindah gagang dan sarungnya" Siapa tahu" Hatinya berdebar. Jangan-jangan sebuah di antara Liong-cu Siang-kiam!
Tapi sebelum dia dapat menyentuhnya, gadis itu sudah bergerak dan tahu-tahiu pedang sudah di tangannya, "Mau apa kau dengan pedang ini?" bentaknya.
"Pisau dapurmu memang aneh, terlalu panjang! Mau apa katamu" Tentu saja untuk membersihkan ikan dan memotong-motongnya."
"Edan! Mana ada orang membersihkan ikan memakai pedang?"
"Habis apa gunanya benda tajam ini di sini" Tentu kaupergunakan untuk alat dapur, bukan?" Beng San berpura-pura tolol.
"Bodoh! Agaknya matamu sudah penuh oleh tinta dan huruf, sampai-sampai tidak mengerti gunanya pedang." Setelah berkata demikian gadis itu menggerakkan tangannya dan "srattt!" sebuah pedang yang putih berkilauan saking tajamnya telah tercabut dari sarungnya.
"Aduh tajamnya! Berbahaya sekali untuk pisau dapur, bisa-bisa makan jarimu yang kecil halus itu!" Ucapan tentang jari ini sama sekali bukan dia sengaja untuk memuji, akan tetapi tiba-tiba gadis itu menjadi agak lunak sikapnya.
"Benarkah jari tanganku kecil dan halus?" la mengulur tangan kirinya kepada Beng San. Beng San memegang tangan itu, membelai-belai jari tangannya seperti orang memeriksa dan menaksir.
"Memang kecil, halus, berkuku bagus, bersih, lunak dan hangat."
Tiba-tiba wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya., "Cih, tak tahu malu!" katanya, akan tetapi nada kata-kata ini sama sekali tidak marah, malahan bibir yang manis itu tersenyum. "Nih, kali boleh pakai untuk memotong ikan, biar nanti aku yang memanggangnya."
Beng San menerima pedang itu dan dengan canggung sekali dia memegang gagangnya, lalu mengerik sisik ikan dengan hati-hati, takut kalau-kalau jari tangannya terluka oleh pedang. Dara baju hijau itu menonton saja sambil tertawa-tawa geli melihat kecanggungan Beng San. Kadang-kadang gadis itu termenung dan menatap wajah Beng San yang tampan, seperti orang melamun. Kalau tanpa sengaja Beng San menengok, dua pasang mata bertemu pandang. Mata gadis itu setengah dikatupkan, bibirnya merekah dan barulah dia sadar dan menjadi kemerah-merahan mukanya kalau sadar bahwa sudah lama mereka bertemu pandang, membuang muka dan pada sudut bibirnya membayangkan senyum. Beng San juga diam saja, hatinya penuh keheranan. Tidak mengerti dia akan sikap wanita, sama sekali dia tidak dapat menerka apa gerangan yang berkecamuk dalam lubuk hati gadis baju hijau ini.
"Ampun...... ada orang begini canggungnya. Ke sinikan, biar aku yang membersihkan ikan!" Akhirnya gadis itu berkata sambil menahan ketawanya.
Beng San memberikan ikan dan pedangnya. Dengan cekatan gadis baju hijau itu mengerik sisik ikan, memotong-motongnya dan membuang isi perutnya. Jari-jarinya yang kecil lentik itu cekatan sekali, membuat Beng San sekarang yang mendapat giliran menonton menjadi kagum.
"Pakaianmu basah kuyup, tidak dinginkah" Kenapa tidak bertukar pakaian?" Sambil memotong ikan itu, gadis baju hijau bertanya.
Beng San cemberut. "Semua pakaianku basah, bagaimana bisa bertukar" Sama saja, penggantinya juga basah. Gara-gara kau ....".
Gadis itu tertawa lagi, matanya berseri-seri ketika ia mengangkat muka memandang pemuda itu. "Kau kan sudah membalas?"
Beng San tercengang, mengira bahwa perbuatannya menyerang dengan ekor ikan tadi diketahui. Tapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya, "Membalas apa" Kaumajukan perahu, aku tenggelam hampir mampus!"
"Kau tadi sudah memaki-maki aku sebagai setan cilik, bukankah itu sudah merupakan balasan" Bodoh, pakaianmu basah, kenapa tidak diperas dan dijemur"
Sebentar juga kering dan dapat dibuat pengganti."
Beng San baru sadar. Benar juga, matahari sudah mulai naik, pakaian dalam buntalan itu basah semua, kalau tidak diperas dan dijemur, kapan keringnya" Tanpa menjawab, dia lalu membuka buntalan pakaiannya, memeras pakaian itu sata demi satu lalu menjemurnya di atas atap kamar perahu. Baru sekarang dia melihat pakaiannya ini yang dia terima dari orang-orang Pek-lian-pai, semua pakaian itu masih baik sekali, dari kain sutera dengan warna biru dan kuning.
"Heee, aku yang mengganti kau memotong ikan, kenapa sekarang kau tidak membantu" Hayo buat api."
"Bagaimana" Mana batu apinya?"
Gadis itu nampak gemas. "Benar-benar kau canggung. Lihat, pedangku tidak hanya dapat dipakai untuk memotong ikan." Sekali pedangnya terayun, ujungnya menyentuh sebuah batu yang sengaja ditaruh di pinggir perahu. Bunga api berpijar besar menyambar daun yang sudah beri minyak, menyala. Beng San berseru girang dan kagum, lalu mengambil daun itu, ditaruh di dalam anglo (tempat perapian) dan membuat api unggun dengan kayu ranting dan daun kering yang juga sudah tersedia di situ, dalam sebuah keranjang.
Tak lama kemudian, bau daging ikan dipanggang menusuk hidung. Sedap dan gurih.
Untungnya di situ memang sudah tersedia bumbu-bumbu, maka mudah bagi Beng San untuk membuat ikan panggang yang dibumbui lengkap. Hidung yang kecil mancung dari nona baju hijau itu berkembang-kempis.
"Aduh, bukan main sedap baunya....."
"Itu baru baunya, belum rasanya!" . Beng San membangga. "Sekali kau mencicipi, aku khawatir takkan kebagian."
"Idih sombongnya!" Gadis itu sudah mulai jenaka dan Beng San girang sekali bahwa tafsirannya dalam hati tentang gadis ini ternyata cocok. la tadi sudah menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai hati yang baik, jenaka, gembira dan kadang-kadang saja galak. Sedikit banyak dia sudah dapat menduga karena dia teringat akan watak dan sikap Kwa Hong dahulu.
Ketika panggang daging ikan matang, pakaian sutera tipis yang dijemur pun sudah kering. Beng San bingung. "Aku hendak berganti pakaian, tapi di mana" Boleh aku memasuki kamarmu?"
"Jangan!" Gadis itu membentak. "Biar aku yang sembunyi di dalam dan kau bisa bertukar pakaian di sini."
Ketika gadis itu menyelinap masuk ke dalam kamarnya yang kecil di atas perahu, Beng San membelakangi kamar itu, lalu menanggalkan pakaiannya yang juga sudah hampir kering, itu, menukarnya dengan pakaian pengganti yang sudah kering betul.
Setelah menyimpan pakaian-pakaiannya, dibungkus kembali, dia berjongkok memeriksa panggang ikannya yang sudah matang.
"Heee, Nona! Keluarlah, aku sudah selesai!" teriaknya. Akan tetapi ketika dia menengok, dia merasa betapa tiada gunanya dia berteriak-teriak memanggil karena nona itu sudah berdiri di belakangnya!
"Tak usah berteriak-teriak, aku sudah tahu!" jawab si nona.
"Bagaimana kau bisa tahu aku sudah selesai berpakaian?" tanya Beng San, pertanyaan sewajarnya tidak mengandung maksud apa-apa. Akan tetapi nona itu menjadi merah sekali mukanya dan ia memalingkan muka ke kiri. Tanpa memandang pemuda itu ia berkata.
"Lancang! Kaukira aku...........mengintaimu?"
Beng San tertawa dan tiba-tiba mukanya sendiri menjadi merah saking jengah. "Ah, aku sama sekali tidak menyangka yang bukan-bukan, Nona. Daging ini sudah cukup matang, boleh dimakan. Silakan."
Nona baju hijau itu tanpa sungkan-sungkan lagi lalu duduk di atas lantai perahu menghadapi Beng San setelah mengeluarkan sebuah guci terisi air teh dan keduanya lalu makan daging yang memang sedap dan gurih itu. Selama makan dan minum teh itu keduanya tidak berkata-kata, hanya kadang-kadang sinar mata mereka saling sambar tanpa maksud tertentu. Kenyang juga perut mereka setelah daging ikan sebesar paha itu amblas ke dalam perut, tinggal tulang-tulang ikan saja yang berserakan di lantai. Setelah mencuci bibir dan mulut, baru Beng San berkata.
"Kau baik sekali, Nona, sudah suka menolongku. Sayang kau mempunyai ganjalan hati, belum terdapat apa yang kau cari-cari. Kalau saja kau suka memberi tahu kepadaku apa atau siapa yang kaucari, aku berjanji akan membantumu."
Tiba-tiba gadis baju hijau itu membelalakkan kedua matanya yang bagus, dan di lain saat tangannya sudah mencengkeram pundak Beng San. Cengkeraman yang amat kuat dan pemuda ini maklum bahwa seorang pemuda biasa saja tentu akan remuk tulang pundaknya kalau gadis ini menggunakan tenaganya meremas. la kagum dan juga makin kaget melihat sikap ini.
"Kau she (bernama keturunan) Bun?" Gadis itu membentak, matanya berapi.
"Bukan, aku she Tan."
"Sayang....." Gadis itu melepaskan cekalannya pada pundak, meraba-raba gagang pedang dan memandang ke air di pinggir perahu seperti orang melamun. Kekecewaan dan kemurungan kembali membayang di antara seri wajahnya yang manis.
Beng San terheran, juga hatinya berdebar. Ketika gadis tadi menggerakkan tangan mencengkeram pundaknya, dia teringat bahwa dia pernah melihat gerakan ini, pernah merasai serangan seperti ini dan tiba-tiba dia teringat bahwa bayangan yang langsing malam tadi, yang menyerangnya ketika dia membawa lari Tan Hok, amat boleh jadi adalah gadis baju hijau inilah! Apakah dia tidak mengenalku" Akan tetapi dia tetap bersikap tenang, mengambil keputusan untuk terus bersandiwara, berpura-pura bodoh.
"Andaikata aku orang she Bun, mengapa?" tanyanya ingin tahu. Gadis itu tiba-tiba mencabut pedangnya dan "srrrattt!" pedang sudah menyambar ke permukaan air dekat perahu dan..... seekor ikan sebesar lengan yang tadi berenang di pinggir perahu telah terpotong menjadi dua, tepat di antara kepala dan badan. Dua potong tubuh ikan itu mengambang di air, hanyut perlahan terbawa saluran air.
"Kalau kau orang she Bun, akan menjadi seperti itulah....." Gadis itu berkata lagi tanpa menengok. Beng San memandang ke arah ikan yang terbacok tadi. Bergidik.
Gadis begini manis mengapa bisa begitu kejam" Tentu mengandung penasaran yang mendalam, pikirnya. Memang aneh watak nona ini. Baik hati karena mau membawanya ke perahu, akan tetapi kadang-kadang kejam seperti tadi ketika sengaja menggerakkan perahu agar dia jatuh ke air. Tapi kembali berbaik hati karena terjun dan menyelam untuk menolongnya. Gadis yang jenaka, lucu, manis, galak dan kadang-kadang kejam. Ada titik persamaan antara gadis baju hijau ini dengan Kwa Hong..... eh, ya. Dia kan sedang menuju ke Hoa-san" Kenapa sekarang mengobrol dengan gadis baju hijau ini" Beng San memandang ke depan dan kaget melihat bahwa tanpa dia sadar lagi perahu itu telah meluncur sejak tadi, jauh meninggalkan tempat di mana dia hendak menyeberang.
la melirik gadis itu yang masih duduk termenung, kelihatan berduka dan bersunyi. la merasa kasihan. Tentu gadis ini sudah lama sekali mencari orang she Bun?"" yang agaknya musuh besarnya. "Sayang aku bukan she Bun," dia mencoba menghibur.
Gadis itu menoleh kepadanya dan perlahan-lahan kemurungannya buyar.
"Kaumaksudkan sayang bahwa kau orang yang ber-she Tan tidak pandai silat."
Beng San tidak mau orang bicara tentang dirinya. yang hendak dia sembunyikan keadaannya, maka dia segera berkata, "Eh, kenapa perahu ini tidak menyeberang"
Aku sampai lupa. Nona, tolong seberangkan aku ke sana."
Dara berpakaian hijau itu tersenyum. "Aku pun lupa." la segera mendayung, perlahan tapi perahu itu meluncur cepat seperti ikan hiu, sebentar saja dengan melawan arus air sudah sampai ke seberang. la menancapkan dayung di tanah dan mengikat perahu dengan dayung itu yang sekarang dipergunakan sebagai patok. Mereka saling pandang merasa bahwa saat perpisahan tiba.
Beng San menggendong buntalan pakaiannya, lalu menoleh kepada nona yang masih duduk di lantai perahu. "Nona, aku berterima kasih sekali atas semua pertolonganmu.
Pertolongan menyeberangkan aku dari terutama sekali..... pertolongan yang kauberikan ketika aku tenggelam. Nona, keadaan sedang kacau-balau, dalam perjalananku aku melihat perang dan maut merajalela. Kau kenapa seorang diri di sini berperahu" Di mana orang tuamu" Kurasa bagi seorang dara remaja seperti engkau ini, amat berbahaya hidup seorang diri di sini, lebih baik kau pulang dan berdiam di rumah dengan ayah bundamu....." Ucapan yang keluar dari hati yang tulus dari Beng San ini terdengar nyata, dengan suara yang mengandung penuh kejujuran seperti nasihat seorang yang lebih tua kepada orang muda.
Mendengar ini, sesaat gadis itu bengong, memandang kepada Beng San dengan muka menengadah, sayu, kemudian tiba-tiba air matanya bercucuran dan la menangis terisak-isak, menelungkup di atas papan perahu Beng San terkejut sekaii, tidak jadi melangkah keluar perahu, lalu berlutut di depan gadis itu. Suaranya tergetar penuh keharuan ketika la berhasil membuka mulut.
"Nona..... kau kenapakah....." Jangan menangis, ahhh..... maafkan kalau tadi aku berkata lancang menyinggung perasaanmu....."
Tangis dara itu makin menjadi, sampai bergoyang-goyang pundaknya, sedih sekali ia menangis tersedu-sedan. Saking besarnya rasa haru dan kasihan, tanpa disadari lagi Beng San mengelus-elus kepala dara itu, mengeluarkan kata-kata menghibur.
"Aku sebatangkara..... ah, nasibku sengsara....." Gadis itu bangun duduk, dan di lain saat la telah menjatuhkan diri di atas dada Beng San yang terpaksa memeluknya dengan bingung.
"Tenanglah..,.. diamlah..... Nona, jangan menangis. Ah, kau membuat aku ikut bersedih....." la tak dapat melanjutkan kata-katanya, kerongkongannya serasa tersumbat. Memang pada dasarnya Beng San berwatak mulia, mudah menaruh kasihan kepada lain orang.
Sambil menangis di atas dada Beng San, gadis itu berkata lirih, terputus-putus, ".....
ibuku sudah meninggal..... ayah terbunuh orang..... aku yatim piatu, sebatangkara.....
tiada orang tiada tempat tinggal..... selalu menerima hinaan orang..... baru kau..... baru kau seorang yang baik kepadaku....."
"Hemmm, kasihan....." dan tiba-tiba Beng San menjadi begitu sedih sampai titik air mata membasahi pipinya sendiri. la teringat akan keadaan diri sendiri, yang juga sebatangkara, tidak tahu di mana adanya orang tuanya. "Sabarlah, Nona. Tidak hanya kau seorang di dunia ini yang bernasib seperti ini. Aku pun sebatangkara, aku pun hidup seorang diri di dunia yang luas ini."
Keduanya saling peluk, gadis itu masih terisak-isak dan Beng San mengelus-elus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu. Hatinya tidak karuan rasanya. Baru kali ini dia mengalami keadaan seperti ini yang amat membingungkan, yang membuat jantungnya berloncatan tidak menentu.
"Kau baik sekali..... kau baik sekali....." berkali-kali gadis itu berbisik.
"Kau pun orang yang baik, Nona. Kau baik dan patut dikasihani. Aku takkan melupakanmu selama hidupku. Siapakah namamu, Nona" Biarlah nama itu akan selalu berada di ingatanku dan aku berjanji akan membantumu mencari orang she Bun itu asal kau suka memberi tahu nama lengkapnya dan bagaimana orangnya."
Tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukan Beng San, duduk menjauhi dan mengusap air matanya. Matanya yang bagus itu menjadi kemerahan, pipinya lebih merah lagi.
"Aku tidak tanya namamu, kau pun tak usah tahu namaku....."
"Bagaimana ini" Kau tentu punya nama, bukan?"
"Panggil saja aku Eng..... sudahlah, kaukenal aku sebagai dara baju hijau bernama Eng yang sengsara, sebatangkara. Aku mengenal engkau sebagai orang she Tan yang baik hati, dan..... alangkah sayangnya..... orang she Tan yang baik hati tapi yang lemah..... ah, kalau saja kau pandai silat..... pergilah, pergilah tinggalkan aku seorang.
diri....." la menangis lagi.
Beng San bangkit berdiri, menarik napas panjang. "Baiklah, Nona Eng. Ataukah lebih tepat kusebut Adik Eng" Aku pergi, selamat tinggal dan mudah-mudahan kita akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik." la keluar dari perahu itu dan tak lama kemudian Beng San sudah berjalan pergi, tidak tahu betapa gadis baju hijau itu sudah duduk memandangnya dari jauh dengan mata sayu.
Dengan bekal pakaian dan uang pemberian orang-orang Pek-lian-pai kepadanya, Beng San dapat melakukan perjalanan sebagai seorang pelancong yang pantas. Benar saja, dengan pakaian seperti seorang pemuda terpelajar, dia tidak mengalami gangguan-gangguan di tengah perjalanan. Lima belas hari kemudian dia telah tiba di daerah Hoa-san dan beberapa hari mendaki pegunungan, dia akhirnya tiba di puncak Hoa-san yang dijadikan pusat dari perkumpulan Hoa-san-pai. Hatinya berdebar ketika dia melihat tempat yang sudah dikenalnya baik ketika delapan tahun yang lalu itu.
Dari jauh dia melihat betapa tempat itu sudah mulai dihias. Banyak sekali tosu mendirikan bangunan darurat yang besar. Ramai orang bekerja. Beng San sengaja mengambil jalan memutar. la hendak memasuki Hoa-san-pai dari belakang, menuju ke taman bunga di mana dahulu dia bermain-main dengan Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok. Apa-kah mereka berada pula di sini" Dan bagaimana dengan ketua Hoa-san-pai" Ah, di antara Hoa-san Sie-eng, hanya tinggal dua orang yang hidup, yaitu ayah Kwa Hong, Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa. Bagaimana nanti sikap mereka kalau mereka melihat aku" Bermacam pikiran dan dugaan mengamuk dalam pikiran Beng San, membuat hatinya berdebar tegang ketika dia mendekati taman bunga di belakang kelenteng Hoa-san-pai.
Tiba-tiba Beng San melompat ke belakang pohon lalu menyelinap menyem-bunyikan diri. Dengan gerakan yang tak menimbulkan suara sama sekali dia pindah bersembunyi ke dalam sebatang pohon besar yang amat lebat daunnya. la bukan seorang yang suka mengintai orang lain, akan tetapi apa yang terlihat oleh matanya yang tajam luar biasa itu memaksa dia bersembunyi dan mengintai. Di tengah taman yang sunyi dia melihat seorang gadis yang cantik sekali tengah duduk di atas bangku dekat kolam ikan yang penuh teratai merah di depannya berdiri seorang pemuda tampan yang menundukkan mukanya. Gadis itu kelihatan cerah mukanya, bibirnya tersenyum akan tetapi sepasang matanya bergerak-gerak setengah marah. Yang membuat Beng San terheran-heran dan cepat bersembunyi sambil berwaspada adalah ketika matanya yang tajam dapat melihat adanya seorang gadis lain yang juga berada di taman itu, akan tetapi gadis ini kelakuannya amat mencurigakan, yaitu ia sedang mengintai sepasang muda-mudi itu dari balik rumpun kembang dan batu penghias taman!
Diam-diam Beng San memperhatikan tiga orang itu. Si pemuda adalah seorang pemuda yang wajahnya tampan, matanya tajam dan mukanya membayangkan keangkuhan dan kegembiraan sekaligus, pakaiannya indah akan tetapi serba putih seperti orang berkabung. Bentuk tubuhnya sedang dan dia nampak gagah dengan topi bulu di kepala dan sebatang pedang tergantung di pinggang. Adapun dara jelita yang dihadapinya itu adalah seorang dara yang memiliki bentuk tubuh langsing tinggi gerakannya lemah gemulai namun mengandung kegesitan dan kekuatan yang tidak terlepas dari pandang mata seorang ahli. Mukanya bulat telur, kulitnya putih sekali, putih kemerahan dan halus terpelihara, sepasang matanya seperti mata burung hong yang kadang-kadang dapat menyinarkan kemesraan dan kehalusan akan tetapi kadang-kadang nampak tajam menusuk dan galak. Pakaiannya berkembang indah, akan tetapi dasarnya merah sehingga mudah diduga bahwa dia memang menyukai warna merah. Juga gadis cantik jelita ini membawa pedang yang dipasang dibelakang punggungnya sehingga di balik segala kecantik jelitaannya ini membayang keangkeran dan kegagahan. Setelah melihat dengan teliti, hampir Beng San tak dapat menahan ketawanya. Mudah saja dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Kui Lok. Telinganya yang lebar itu takkan dia lupakan. Dan gadis cantik jelita yang nampak manja ini siapa lagi kalau bukan si kuntilanak" Kwa Hong, tak bisa lain orang. Mana ada lain orang memiliki mata seperti itu"
Juga gadis ke dua yang bersembunyi sambil mengintai, yang tadinya menimbulkan kecurigaan di hati Beng San, setelah dia pandang dengan teliti, dia merasa yakin bahwa gadis ini tentulah Thio Bwee. Gadis ini juga memiliki bentuk tubuh yang padat langsing, kulitnya halus dan tidak seputih Kwa Hong, namun tak dapat dikatakan hitam. Kulit berwarna kegelapan yang malah menambah kemanisannya. Wajahnya juga cantik sekali, hidungnya membayangkan hati yang keras. Seperti Kui Lok, gadis ini juga berpakaian serba putih, namun tidak putih polos, melainkan putih berkembang. Di punggungnya, seperti juga Kwa Hong, ia membawa sebatang pedang yang dironce putih pula.
"Hemmm, seperti menonton sandiwara " Wayang saja," pikir Beng San geli, apakah yang sedang terjadi dengan anak-anak yang dulu nakal-nakal ini?" Teringat dia bahwa dia sendiri pun memperlihatkan kenakalannya, buktinya dia mengintai seperti yang dilakukan oleh Thio Bwee. Tak terasa lagi mengingat ini, Beng San tertawa lebar tanpa mengeluarkan bunyi, sambil menekan perutnya.
Kui Lok mengangkat mukanya yang tampan dan mulutnya yang selalu tersenyum mengejek itu berkata, "Hong-moi, sekali lagi kutegaskan bahwa semenjak dulu aku selalu mencintamu, bukan sebagai saudara seperguruan, bukan sebagai kakak beradik, melainkan sebagai seorang pria terhadap seorang wanita pujaan hatinya. Hong-moi, aku cinta ...."
"Sudahlah, Lok-ko, jangan diulang-ulang lagi," Kwa Hong berkata sambil memandang tajam, kemudian tiba-tiba matanya bersinar nakal ketika ia berkata, "Tak enak bicara begini, kau berdiri dan aku duduk. Kau duduklah di rumput supaya aku tidak selalu berdongak kalau bicara denganmu."
Kui Lok memandang ke bawah. Tidak bersih tanah itu, biarpun ditumbuhi rumput hijau, tentu akan mengotorkan pakaiannya. Akan tetapi tanpa ragu-ragu dia menjatuhkan diri duduk di depan Kwa Hong, di atas tanah. Karena dara itu duduk di depannya dan dia duduk di tanah, kelihatan dia seperti berlutut di, depan orang yang lebih tinggi tingkatnya! Wajah Kwa Hong yang jelita itu nampak berseri ketika memandang ke bawah, kepada muka yang tampan dan penuh penyerahan, penuh harapan dan penuh ketaatan itu. Sebaliknya Kui Lok sekarang menengadah memandang wajah cantik jelita di sebelah atasnya.
"Lok-ko," kata Kwa Hong sambil tersenyum semanis-manisnya, "aku tidak suka kalau kau setiap kali bertemu selalu menyatakan rasa cinta kasihmu. Aku jadi bosan mendengarnya. Sudah kukatakan kepadamu, sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk memikirkan soal itu. Kau bersabarlah karena aku belum dapat memastikan siapa yang akan kupilih kelak. Kau sendiri tahu, ayahku bermaksud menjodohkan aku dengan Ki-ko, itu pun kutolak mentah-mentah. Aku akan memilih sendiri, tapi kelak!"


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah, Moi-moi (Adinda), baiklah. Aku takkan mengulang lagi, tapi perbolehkan aku memujamu..... alangkah cantik jelitanya engkau, Hong-moi. Kupandang dari bawah, wajahmu mengalahkan kecemerlangan matahari di waktu pagi atau bulan di waktu senja. Aku sudah akan merasa hidup ini bahagia kalau dapat memandangi mukamu yang indah, mendengar suaramu yang merdu bagaikan....."
"Sssttttt...... ada orang.....!" Kwa Hong yang amat tajam pendengarannya itu bangkit berdiri dari duduknya. Sebetulnya dalam hal ini Kui Lok takkan kalah olehnya, akan tetapi karena pemuda itu tadi baru mabuk asmara, maka menjadi kurang hati-hati.
Mereka berdua meloncat ke satu arah, yaitu arah gerombolan kembang dan sempat melihat tubuh Thio Bwee berlari pergi sambil menutupkan kedua tangan di depan muka. Keduanya berdiri bengong, dan keduanya memerah muka.
"Celaka, Enci Bwee melihat dan mendengar semua tadi!" Kwa Hong membanting-banting kaki kanannya. "Semua ini salahmu, Lok-ko! Kau tentu tahu betapa dia mencintamu dan sekarang kau suguhi ia adegan seperti ini. Bukankah ini berarti kau menyiksa batinnya?"
Kui Lok tunduk dan berkata membela diri, "Apa dayaku, Hong-moi" Apa dayaku kalau tidak ada wanita lain di dunia ini yang merobohkan hatiku?"
"Bodoh kau! Enci Bwee cantik manis, lihai ilmu silatnya, sungguh amat cocok menjadi... eh...... menjadi jodohmu."
"Tapi kau lebih cantik, Hong-moi. Kau lebih....."
Kembali Kwa Hong membanting kakinya dengan gemas. "Sudah cukup! Kau pergilah dari sini, Lok-ko. Setelah Enci Bwee melihatnya, apa kau ingin lain orang melihat sikapmu yang memalukan tadi" Sudah cukup kataku!"
Kui Lok menarik napas panjang, berkata lemah, "Aku hanya mengharapkan belas kasihanmu....." lalu pergi dari situ dengan tubuh lemas. Kwa Hong juga menarik napas panjang, kelihatan tak senang dan duduknya gelisah.
Semua ini dilihat dan didengar oieh Beng San yang menghadapi semua ini dengan hati tidak karuan rasanya. Ia merasa geli dan ingin tertawa keras-keras, akan tetapi juga merasa terharu dan khawatir. la yang selama hidupnya belum pernah mimpi tentang cinta kasih orang muda, sekarang dihadapkan dengan pemandangan yang amat mengharukan hatinya. Ah, betapa membingungkan, pikirnya tanpa bergerak di tempat duduknya, di atas cabang dalam pohon itu. Kui Lok dicintai Thio Bwee, sebaliknya pemuda ini mencinta Kwa Hong yang agaknya tidak menerimanya! Dan menurut pendengarannya tadi, ayah Kwa Hong malah bermaksud menjodohkan Kwa Hong dengan Thio Ki. Alangkah berbelit-belit asmara menggoda hati muda. Selagi dia berpikir bagaimana dia harus berbuat selanjutnya di tempat itu, dia mendengar suara orang mendatangi. Hampir meledak ketawanya ketika dari jauh dia melihat masuknya seorang pemuda dengan tergesa-gesa ke taman itu. Pemuda ini tinggi kurus, wajahnya tampan dan membayangkan kekerasaan dan keangkuhan hati, di pinggangnya tergantung pedang dan pakalannya juga serba putih seperti yang dipakai Kui Lok dan Thio Bwee tadi. Sekali pandang saja, Beng San mengenalnya sebagai Thio Ki.
"Aduh, akan ramai kali ini....." Beng San tersenyum.
Sementara itu, Thio Ki tergesa-gesa menuju ke tempat duduk Kwa Hong, setelah menengok ke kanan kiri dengan hati-hati, pemuda ini segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kwa Hong! Gadis itu membelalakkan kedua matanya memandang pemuda yang tak mengucapkan sepatah pun kata di depannya itu.
"Eh, eh...... apa-apa kau ini, Ki-ko (Kakak Ki)?"
"Kwa Hong-moi, jangan kau menyiksa hati kami kakak beradik yang sudah tak berayah lagi."
Kwa Hong mengerutkan keningnya. Aihhh..... apa maksudmu, Ki-ko" Apakah kesalahanku terhadap kau atau terhadap enci Bwee?"
Dengan muka membayangkan kekerasan hatinya, biarpun dia sedang berlutut, Thio Ki memandang tajam kepada gadis itu. "Kau tahu betapa aku mencintamu dan bahwa Kwa-supek juga sudah setuju akan perjodohan antara kan dan aku. Dan kau pun tahu bahwa adikku Bwee-moi mencinta Lok-te (adik Lok)."
Kwa Hong tersenyum mengejek, keningnya masih berkerut. "Hemmm, habis mengapa" Suaranya penuh tantangan.
"Janganlah kau merusak hatiku dan hati adikku dengan bermain cinta dengan Kui Lok."
Kwa Hong menjadi marah, berdiri dan membanting kakinya. Agaknya kebiasaan di waktu kecil ini, yaitu membanting kaki kalau marah, masih melekat pada diri Kwa Hong. "Ah, enci Bwee setelah tak tahu malu mengintai orang, lalu lari merengek-rengek kepadamu minta bantuan?"
Thio Ki juga bangun berdiri, menghadapi gadis itu. Sikapnya keras akan tetapi suaranya mengandung kasih sayang, "Hong-moi, adikku sudah tak berayah lagi, aku sebagai kakaknya menjadi pengganti ayah."
"Hemmm, apa saja yang ia ceritakan padamu?"
"la melihat Kui Lok menyatakan cintanya kepadamu di sini. Betulkah itu" Ingatlah, Hong-moi. Aku mencintamu sepenuh jiwaku dan adikku mencinta Kui Lok dengan sepenuh hatinya pula. Bukankah sudah tepat sekali kalau di antara kita cucu murid Hoa-san-pai terjalin ikatan ini" Kau dengan aku dan Kui Lok dengan adik Bwee"
Bukankah ikatan ini akan memperkuat kedudukan Hoa-san-pai yang selalu diganggu musuh?"
"Ki-ko! Enak saja kau bicara. Urusan perjodohan mana ada aturannya main paksa"
Kalian semua goblok dan yang dipikir hanya urusan asmara saja. Aku..... seujung rambut pun tak pernah memikirkan urusan itu. Aku lebih suka memikirkan pembasmian musuh-musuh besar kita. Cih, sungguh tidak tahu pribudi kalian bertiga!"
"Hong-moi..... katakanlah sejujurnya..... apakah kau mencinta Lok-te?"
"Kalau aku mencinta siapapun juga, kau dan semua orang peduli apa?" Kwa Hong membentak dengan kedua pipi merah dan dua titik air mata membasahi pipinya itu.
"Akan tetapi aku tidak mencinta siapa-siapa! Lok-ko boleh datang di sini seperti gila menyatakan cinta, apakah itu salahku" Aku sendiri tidak mencinta siapa-siapa, kau pun tidak, Lok-ko pun tidak. Nah, jelaskah sekarang?"
Thio Ki menjadi agak pucat mukanya. "Begitukah" jadi kalau begitu, Kui Lok yang merusakkan semua ini. Aku harus mencarinya memberi hajaran kepadanya!" Dengan sigap Thio Ki membalikkan tubuh dan pergi dari situ meninggalkan Kwa Hong.
Untuk beberapa saat Kwa Hong berdiri melongo, matanya bergerak liar dan mukanya menjadi agak pucat, kemudian gadis ini pun berlari meninggalkan taman bunga.
Tinggal Beng San yang kini termenung seorang diri di atas pohon. la masih merasakan ketegangan semua yang telah dia dengar dan lihat dari tempat persembunyiannya. Hebat, pikirnya. Urusan orang-orang muda ini bisa mengakibatkan hal yang amat hebat! Mengingat akan sikap Thio Ki yang keras hati itu, mudah diduga bahwa tentu akan terjadi pertempuran antara saudara seperguruan sendiri, antara Thio Ki dan Kui Lok yang secara kasarnya memperebutkan Kwa Hong! Masih ada kemungkinan buruk lagi, yaitu bukan hal yang aneh kalau Thio Bwee memusuhi Kwa Hong pula karena dianggap merampas laki-laki yang dicintainya. Berkali-kali Beng San menarik napas panjang dan berkata kepada diri sendiri.
"Nah, kau tahu sekarang" Hatimu mudah tertarik wajah cantik. Baru saja turun gunung sudah terpikat oleh gadis yang bernama Eng itu, sekarang melihat Kwa Hong dan Thio Bwee hatimu berdebar dan amat tertarik. Kaulihat kesengsaraan mereka itu"
Lihat Thio Ki dan Kui Lok, dua orang muda gagah perkasa, tidak kekurangan sesuatu, sekarang sebagai saudara seperguruan menjadi saling bermusuhan. Gara-gara hati lemah menghadapi wajah cantik."
Akan tetapi perhatiannya segera tertarik oleh bergeraknya daun-daun di pohon-pohon. Pergerakan bukan oleh meniupnya angin biasa, melainkan tiupan angin yang ditimbulkan oleh kepandaian seseorang yang bergerak cepat sekali, melintas tak jauh dari depannya. Sekali lagi dia dikejutkan oleh kepandaian yang tinggi dari orang baru ini. Ah, sudah banyak dia melihat orang-orang muda berkepandaian tinggi. Pertama kali nona Eng, kedua kalinya orang muda yang sekarang lewat ini. la juga karena merasa pernah melihat orang muda ini, entah di mana. Seorang pemuda yang bertubuh kecil berwajah tampan sekali, kulit mukanya pucat putih, pakaiannya kuning. Muka yang pucat itu, mata yang selalu memandang rendah, mulut yang tak pernah berhenti tersenyum lebar, angkuh dan sombong. Di mana dia pernah melihat orang ini"
Dengan hati penuh kecurigaan, Beng San lalu melesat, diam-diam mengikuti bayangan orang itu yang berlari cepat ke depan. la mengikuti terus orang muda yang berjalan cepat itu, setelah keluar dari taman lalu membelok ke kanan dan menuju ke sebuah lereng yang sunyi. Lereng ini indah sekali, penuh dengan padang rumput menghijau dan di sana-sini terdapat pohon yang kembangnya berwarna kuning dan merah. Inilah sebuah taman alam yang luas dan sunyi, bagi Beng San bahkan lebih indah daripada taman bunga yang baru ditinggalkannya tadi. Dengan hati-hati dia terus mengikuti orang itu. Di tempat yang agak terbuka ini ia harus berhati-hati karena yang diikuti adalah orang yang berkepandaian tinggi. Ia mengikuti dari jauh dan terpaksa berhenti untuk menyelinap di belakang pohon apabila yang diikutinya itu melintasi tempat yang terbuka. Akhirnya dia melihat orang itu berhenti di tempat yang penuh pohon kembang dan orang itu mengintai. Beng San cepat menyelinap mendekati dan kini dia pun dapat melihat apa yang diintai oleh pemuda yang di depannya itu.
Ternyata bahwa Thio Bwee, gadis yang tadi mendengarkan percakapan antara Kui Lok dan Kwa Hong, duduk di atas sebuah batu besar hitam di tempat sunyi itu da.nmenangis terisak-isak dengan amat sedihnya. Beng San menjadi terharu juga. la telah mengenal thio Bwee ketika kecil, malah pernah dia menggendong Thio Bwee dan Kwa Hong ketika terculik oleh orang jahat. la maklum sedalamnya apa yang dirisaukan oleh hati gadis muda itu. Siapa orangnya takkan merasa sedih dan malu kalau melihat laki-laki yang dicintainya berlutut memohon cinta kasih seorang gadis lain"
"Nona yang baik, harap kau jangan menangis, jangan bersedih. Dunia bukan hanya setelapak tangan lebarnya dan tidak kurang banyaknya pria yang baik dan setia, lebih baik dari orang she Ku itu....."
Mendengar suara ini, tangis Thio Bwee makin menjadi, akan tetapi tiba-tiba gadis itu mengangkat muka dengan kaget, memandang pemuda yang sudah muncul di depannya. Ia meloncat berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka orang sambil membentak.
"Siapa kau....." Kurang ajar, berani lancang mulut" Pergi dari sini!" la mengusir pemuda tampan yang bermuka pucat dan tersenyum-senyum itu.
"Kita orang segolongan, Nona Thio, jangan kau menyangka yang bukan-bukan. Aku pun bukan orang sembarangan. Kalau kau adalah cucu murid Hoa-san-pai, aku pun murid seorang sakti. Namaku Giam Kin, dan nama guruku kiranya tak kalah besarnya oleh nama kakek gurumu, Lian Bu Tojin." Pemuda tampan pucat itu berkata sambil tersenyum memikat. "Aku datang dengan hati suci, tidak bermaksud jahat, hanya kasihan melihat nasibmu dan ingin menghibur hatimu, nona manis. Percayalah, aku akan menjadi sahabat yang lebih baik dan lebih setia dalam cinta daripada Kui Lok....."
"Tutup mulut! Pergi kau dari sini, kalau tidak jangan anggap aku keterlaluan. Daerah ini termasuk wilayah kekuasaan kami dari Hoa-san-pai, kau masuk tanpa ijin.
Pergilah sebelum pedangku bicara!" Mendadak Thio Bwee bersikap gagah dan dengan gerakan yang sebat sekali tahu-tahu pedangnya telah terhunus dan berada di tangan kanannya, sikapnya angkuh dan galak, namun gagah berani.
Adapun Beng San yang sejak tadi diam saja, tercengang ketika mendengar pemuda itu menyebutkan namanya. Giam Kin" Pernah dia mendengar nama ini dan pernah pula dia melihat muka yang pucat itu, tapi bila dan di mana" la memandang terus, siap untuk menolong Thio Bwee yang dia duga tentu berada dalam bahaya berhadapan dengan pemuda seperti itu. Akan tetapi dia pun ingin menyaksikan sampai di mana kepandaian Thio Bwee dan terutama kepandaian pemuda aneh itu.
Melihat Thio Bwee menghunus pedang, Giam Kin tertawa mengejek. "Bagus sekali!
Memang betapapun cantik jelitanya seorang dara, dia tidak berharga menjadi sahabat baikku kalau tidak pandai mainkan pedang. Nona Thio yang manis, biarlah kita main-main sebentar. Hendak kulihat sampai di mana kelincahanmu bermain pedang, apakah cocok dengan keindahan wajahmu yang manis itu....."
"Keparat, lihat pedang!" Begitu teriakan keluar dari mulut Thio Bwee segulung sinar putih menyambar ke arah dada Giam Kin. Diam-diam Beng San kaget dan kagum juga. Ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat yang dimainkan oleh nona ini betul-betul tak boleh dipandang ringan. Demikian pula agaknya pendapat Giam Kin karena pemuda ini cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali. Setelah terhindar dari ancaman pedang dan dapat berdiri tegak, wajah yang pucat itu kelihatan makin pucat.
. "Bagus! Kau benar-benar nona manis berkepandaian lihai. Pantas kulayani dengan senjata pula!" Sambil berkata demikian pemuda itu meraba pinggangnya dan mengeluarkan sebatang benda yang aneh. Benda ini tak salah lagi tentu sebuah suling karena ada lubang-lubangnya, juga ada tempat peniupnya, akan tetapi bentuknya seperti ular! Giam Kin memegang di bagian yang runcing, yaitu bagian ekormular dengan cara memegang gagang pedang.
"Ah, diakah.....?"" Beng San tiba-tiba teringat. Terbayanglah dia akan ratusan ekor ular yang datang mengeroyok dia dan Tan Hok ketika seorang bocah bermuka pucat meniup sulingnya. Inilah dia, Giam Kin bocah yang dulu pernah dia pukul, bocah yang mengerikan, pandai memanggil datang ratusan ekor ular berbisa. Seketika kebenciannya timbul. Inilah musuh besarnya! Di waktu kecil pun sudah amat jahat, dengan ular-ularnya membunuh para petani kelaparan secara kejam sekali. Apalagi sekarang. Orang macam ini harus menjadi musuhnya. Akan tetapi Beng San tidak mau lancang turun tangan. la melihat bahwa Thio Bwee bukanlah seorang yang lemah. Berarti memandang rendah kalau dia turun tangan sekarang. Apalagi, bukankah dia berusaha menyembunyikan kepandaiannya" la dengan tenang menonton pertandingan antara Thio Bwee dan Giam Kin itu, akan tetapi selalu siap menolong apabila gadis itu terancam bahaya. Betapapun juga dia merasa yakin bahwa tak mungkin Giam Kin mau mencelakai gadis ini, apalagi membunuhnya. Dari sikapnya tadi jelas bahwa Giam Kin tergila-gila akan kecantikan Thio Bwee, mana dia mau melukai atau membunuhnya"
Pedang di tangan Thio Bwee lihai sekali. Gerakannya cepat dan ganas dan teringatlah Beng San ketika dia melihat gadis ini di waktu kecilnya sudah memperlihatkan bakat ilmu pedangnya. Akan tetapi kalau gadis itu lihai, ternyata Giam Kin lebih lihai lagi.
Suling berbentuk ular yang dimainkan sebagai pedang itu benar-benar hebat dan aneh gerakan-gerakannya, penuh dengar gerak tipu yang sukar dijaga. Tidak mengherankan apabila Thio Bwee perlahan-lahan terdesak hebat, terkurung oleh gulungan sinar yang diakibatkan oleh gerakan suling ular. Betul saja dugaan Beng San. Giam Kin tidak bermaksud merobohkan Thio Bwee. Kalau dia kehendaki, kiranya sudah sejak tadi dia dapat merobohkan gadis itu. Sebaliknya, dia hanya main-main dan mulutnya tiada hentinya tersenyum sambil mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda.
"Kaulihat, nona manis. Bukankah aku cukup lihai untuk menjadi sahabat baikmu.
Simpanlah pedangmu dan aku Giam Kin bersedia mengaku kalah, bahkan aku suka berlutut asal kau mau menjadi sahabat baikku....." Mendengar ini, Beng San diam-diam merasa geli. Alangkah lucunya kalau laki-laki sudah jatuh oleh kecantikan wajah seorang wanita. Lucu dan tidak waras lagi otaknya, patut disebut edan! Beng San masih terlalu hijau untuk mengenal watak laki-laki seperti Giam Kin. Dikiranya bahwa Giam Kin juga jatuh hati dan mencinta Thio Bwee, sama sekali tidak tahu bahwa memang pemuda muka pucat itu berwatak mata keranjang dan tentu akan
"mencinta" setiap orang wanita yang cantik dan manis, apalagi seperti Thio Bwee!
Kalau ucapan Giam Kin itu menggelikan hati Beng San, sebaliknya amat memanaskan hati Thio Bwee. Biarpun ia terdesak hebat, gadis ini mengertak giginya, menggenggam gagang pedang dengan lebih erat lalu menyerang nekat sambil membentak.
"Murid Hoa-san-pai pantang mengaku kalah sebelum putus lehernya!"
Pedang di tangannya meluncur cepat ke depan, tergetar sukar diketahui bagian tubuh lawan yang mana hendak ditusuknya, dada ataukah leher. Terkesiap juga Giam Kin menghadapi jurus ini. Inilah jurus Poa-san Kiam-hoat yang disebut jurus Kwan-kong-sia-ciok (Kwan Kong Menahan Batu). Ujung pedang di tangan Thio Bwee tergetar dan agaknya kali ini ia akan berhasil kalau saja tidak menghadapi lawan yang demikian lihainya seperti Giam Kin. Sebagaimana telah kita ketahui, Giam Kin adalah murid dari Siauw-ong-kwi, itu orang sakti dan jagoan nomor satu dari daerah utara. Tidaklah mengherankan apabila Giam Kin memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Menghadapi serangan jurus Kwan-kong-sia-ciok tadi, hanya sedetik dia terkesiap dan kaget, akan tetapi ia segera dapat menenangkan hatinya dan sempat menggulingkan tubuh ke belakang. Tubuhnya menggelundung terus ke sana ke mari seperti seekor binatang trenggiling dan dengan akal seperti ini, jurus Kwan-kong-sia-ciok yang dimainkan Thio Bwee menjadi gagal sama sekali. Tiba-tiba tubuh Giam Kin itu menggelundung ke arah lawannya dan suling ularnya bergerak menyambar-nyambar dari bawah mengarah kaki Thio Bwee. Serangan dari bawah ini berbahaya sekali, terpaksa Thio Bwee harus meloncat-loncat ke atas. Giam Kin tertawa-tawa dan menyerang terus, kadang-kadang menyerang kaki, kadang-kadang meloncat ke atas menyerang pundak. Thio Bwee menjadi makin terdesak dan kewalahan. Jalan satu-satunya baginya hanya mengeluarkan jurus ilmu pedangnya yang khusus untuk mempertahankan diri, yaitu jurus Tian-mo-po-in (Payung Kilat Sapu Awan). Dengan jurus ini sinar pedangnya berkelebatan merupakan segulungan cahaya yang melindungi seluruh tubuhnya.
"Ha..ha..ha, nona manis. Mana aku tega memutuskan lehermu" Memutuskan sehelai rambut pun aku tidak mau, apalagi lehermu. Lebih baik kita sudahi saja main-main ini dan kau suka menerima aku menjadi sahabatmu, bukanlah itu baik sekali?" Sambil berkata demikian, dengan gerakan aneh sekali suling itu dapat menahan pedang Thio Bwee, dan kedua buah senjata ini saling tempel tak dapat terlepas lagi! Thio Bwee mengerahkan tenaga dan berusaha membetot pedangnya, namun sia-sia, pedangnya seperti berakar pada senjata lawan. Diam-diam Beng San yang menonton pertempuran ini mengangguk-angguk maklum dan kagum akan kehebatan Iweekang dari pemuda pucat itu.
"Ha, nona jelita. Kaulihat, sedangkan senjata-senjata kita begini rukun, saling melekat tak mau lepas. Bukankah baik sekali kalau kita meniru mereka......?" kata pula Giam Kin dengan nada suara ceriwis sekali. Tangan kirinya bergerak dari secara kurang ajar dia mengelus-elus lengan kanan Thio Bwee yang berkulit halus!
Gadis itu marah, membentak keras dan memukulkan tangan kirinya. Namun ia memang sudah kalah tenaga, begitu mengeluarkan bentakan tiba-tiba pedangnya terbetot oteh lawan dan terlepas dari tangannya. Betapapun juga, murid Hoa-san-pai ini tidak mau menyerah begitu saja. la menubruk maju mengirim pukulan-pukulan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya merampas pedangnya kembali.
Memang hebat Thio Bwee, dalam keadaan demikian ia masih mampu memperbaiki kedudukannya yang sudah hampir kalah. Kenekatannya ini sama sekali tak pernah terduga oleh Giam Kin yang memandang rendah, maka begitu melihat datangnya pukulan-pukulan yang amat berbahaya, terpaksa ia melangkah mundur dan pedang rampasannya dapat dirampas kembali oleh Thio Bwee.
"Pada saat itu berkelebat dua sosok bayangan dan terdengar bentakan.
"Siapa berani bermain gila di Hoa-san?"
Giam Kin melangkah mundur dua tindak dan mengangkat kepala, tersenyum nakal memandang kepada dua orang yang baru datang. Yang seorang adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, sikapnya keren sekali, biarpun sudah lebih empat puluh tahun usianya, namun masih nampak muda dan gagah. Yang seorang wanita, belum tiga puluh tahun, cantik berpakaian sederhana, juga wajah yang cantik ini keren dan berpengaruh. Sekali pandang saja Beng San dengan girang mengenal bahwa laki-laki itu adalah Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong sedangkan yang wanita adalah Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa, dua orang dari Hoa-san Sie-eng yang tersohor.
Yang tadi membentak adalah Liem Sian Hwa yang terkenal keras wataknya.
Sebaliknya Kwa Tin Siong bermata tajam, dapat melihat bahwa orang muda itu biarpun mukanya pucat dan tersenyum-senyum selalu, bukanlah orang sembarangan.
Di lain pihak Giam Kin memperhatikan dua orang itu, lalu tertawa dan berkata seenaknya, "Siapa berani main gila" Tidak ada yang bermain gila kecuali orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Suhengnya gagah perkasa dan tampan, sumoinya cantik jelita dan lihai, benar-benar mengagumkan....." Ia tertawa lagi dan aneh sekali, wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi merah ketika mereka saling lirik. Kwa Tin Siong maju menghampiri Giam Kin dan berkata.
"Sahabat di depan siapakah, dari partai mana dan apa alasannya bermain-main senjata dengan murid keponakanku?"
Kini Giam Kin mengangkat kedua tangan menghormat, namun sikapnya masih penuh sifat main-main dan mengejek. "Aku yang muda bernama Giam. Aku memenuhi pesanan suhu untuk menghadiri ulang tahun Hoa-san-pai dan melihat-lihat. Siapa tahu sampai di sini belum ada apa-apa. Kebetulan bertemu dengan nona cilik murid Hoasan-pai, ingin berkenalan secara baik-baik....."
Liem Sian Hwa sudah marah sekali, akan tetapi Kwa Tin Siong memberi tanda dengan kedipan mata, lalu berkata lagi, "Orang muda she Giam, siapakah nama gurumu yang mulia?"
"Ha..ha..ha, orang-orang Hoa-san-pai, kalian bermata tajam. Memang guruku orang mulia, kecil-kecil dia masih raja di utara..... ha..ha..ha....."
Kalau Liem Sian Hwa menjadi makin mendongkol, adalah Kwa Tin Siong yang menjadi kaget betul. Cepat dia menjura, memberi hormat sambil berkata, "Apakah yang dijuluki orang Siauw-ong-kwi.....?"
Giam Kin tersenyum lagi sambil memutar-mutar biji matanya. "Kau juga berani menyebut suhuku Setan Kecil" Awas kau, Hoa-san It-kiam, kalau guruku mendengar kau takkan berkepala lagi!"
Kwa Tin Siong tersenyum masam. "Kurasa Siauw-ong-kwi locianpwe takkan berpemandangan sesingkat kau, orang muda. Kau datang terlampau pagi, perayaan akan diadakan sepekan lagi. Harap kau datang pada waktunya dan sementara itu harap jangan main-main dan bikin takut kepada anak-anak murid Hoa-san-pai. Bukankah kau datang dengan maksud baik?"
"Baik sekali, tentu, maksudku baik sekali. Sayang terlampau pagi, biarlah sepekan kemudian aku datang lagi. Sampai berjumpa kembali, nona manis." Giam Kin lalu membalikkan tubuhnya, meniup sulingnya secara aneh. Tiba-tiba Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa, dan Thio Bwee membelalakkan mata saking kagetnya ketika dari mana-mana datang ular-ular besar kecil mengikuti di belakang pemuda aneh itu.
Makin lama makin banyak sehingga Giam Kin diikuti puluhan ekor ular seperti bebek-bebek mengikut penggembalanya!
"Hebat..... berbahaya sekali dia ...." terpaksa Sian Hwa mengakui.
Kwa Tin Siong menarik napas panjang. "Sudah lama aku mendengar nama gurunya, Siauw-ong-kwi. Baru muridnya saja sudah demikian lihai, apalagi gurunya. Apa sih kehendak Setan Raja Kecil dari utara itu dengan mengirim mundnya ke sini?"
Kemudian dia menoleh kepada Thio Bwee yang berdiri dengan muka pucat. "Bwee-ji, kau seorang diri di sini sedang mengerjakan apa" Bagaimana bisa bertempur dengan dia?" Di dalam suara Kwa Tin Siong terkandung kasih sayang dan perhatian, biarpun terdengarnya keren dan galak.
"Aku..... aku sedang berlatih, Supek. Dia datang dan bicaranya kurang ajar, ingin belajar kenal. Aku..... aku lalu menyerangnya."
Hemmm, pikir Beng San yang mendengar jawaban ini. Urusan asmara memang runyam! Sampai-sampai Thio Bwee berani membohong kepada supeknya. Setelah berpikir demikian tubuhnya melesat pergi mengejar Giam Kin yang sudah tidak kelihatan lagi, hanya suara sulingnya yang aneh itu masih terdengar sayup sampai.
Giam Kin berjalan seenaknya sambil meniup suling. Hatinya senang. la telah melihat Kwa Hong dan Thio Bwee. Cantik-cantik dan manis-manis cucu murid Hoa-san-pai, pikirnya. Apalagi Kwa Hong! Tidak rugi aku mewakili suhu ke Hoa-san. Seorang di antara mereka harus kudapatkan. Tiba-tiba pemuda ini menunda sulingnya, lalu menari-nari dan berloncat-loncatan di antara ular-ular yang kini menjadi bingung dan lari ke sana ke mari. Anehnya, ular-ular itu yang terinjak-injak, bahkan ada yang terinjak sampai mati sekalipun, tidak ada yang berani menggigit Giam Kin. Seperti orang gila pemuda tampan bermuka pucat ini nenari-nari dan tertawa-tawa, pasti akan menimbulkan serem dan ngeri pada yang melihatnya. Siapa takkan merasa serem melihat seorang pemuda yang mukanya pucat seperti muka mayat itu menan-nari di antara ular-ular yang buas dan tertawa-tawa seperti setan"
"Giam Kin, kau benar-benar sudah gila!" terdengar suara teguran, suara yang besar dan bergema di seluruh tempat itu.
Giam Kin terkejut, menghentikan tariannya dan menengok ke arah suara. Matanya terbelalak kaget dan mulutnya ternganga ketika dia melihat seorang laki-laki berdiri tak jauh dari situ dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang, Yang membuat dia kaget setengah mati adalah muka orang itu, muka yang hitam seperti pantat kwali, tidak kelihatan apa-apanya kecuali sepasang matanya yang tajam seperti mata iblis!
"Ssseeeee.... tan,,,, kau, setan....." Giam Kin tergagap.
Laki-laki itu tertawa. "Kau dan perkatanmu yang patut disebut setan!"
Dalam kaget dan gugupnya, Giam Kin lalu meniup sulingnya. Ular-ular yang tadinya kacau-balau, mendadak menjadi marah dan menyerbu ke arah laki-laki bermuka hitam itu. Ular besar kecil, sebagian besar ular-ular berbisa yang amat berbahaya, mendesis-desis dan berlenggak-lenggok menyerbu. Laki-laki muka hitam itu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke depan dan..... seperti daun-daun kering disapu ular-ular itu bergulung-gulung menjadi satu dan terlempar ke belakang, seekor pun tidak ada yang dapat mendekatinya! Giam Kin mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya melayang ke depan, sekaligus pemuda murid Siauw-ong-kwi ini mengirim serangan maut dengan suling ularnya, berturut-turut menikam leher dan menotok ulu hati.
"Heh..heh..heh, bocah nakal dan gila, jangan kau berani lagi mengacau di sini."
Orang itu berkata perlahan, dengan sekali tangkis saja dia membuat suling itu menyeleweng dan tubuh Giam Kin terhuyung-huyung. Sebelum Giam sempat mempertahankan diri, tangan kira orang itu melayang dan "plak" pipi kanan Giam Kin sudah ditamparnya. Giam Kin menjerit, merasa pipinya seperti terbakar dan pada pipi itu tampak jelas membayang bekas jari tangan menghitam! Sambil memaki-maki dan menjerit-jerit Giam Kin lalu meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi, diikuti suara ketawa orang bermuka hitam yang menyeramkan tadi.
Setelah Giam Kin pergi jauh, muka yang tadinya hitam seperti pantat kwali itu perlahan-lahan berubah menjadi putih dan biasa kembali. Beng San tersenyum seorang diri. la tadi memang sengaja menggunakan hawa dalam tubuhnya yang mengandung Yang-kang untuk mendatangkan warna hitam pada mukanya agar tidak dikenal oleh Giam Kin dan sengaja dia menakut-nakuti pemuda edan itu agar tidak berani lagi mengganggu Thio Bwee. Setelah melihat Giam Kin pergi, diapun meloncat dan tubuhnya melesat ke arah puncak Hoa-san.
Di lain bagian dari puncak itu,dua orang pemuda saling berhadapan dengan muka merah. Mereka ini adalah Thio Ki dan Kui Lok. Thio Ki yang memiliki watak keras hati itu setelah pertemuannya dengan Kwa Hong di dalam taman, langsung mengejar dan mencari Kui Lok. Dua orang jago muda Hoa-san-pai ini sekarang berhadapan muka di tempat sunyi, sikap mereka mengancam.
"Thio-heng (kakak Thio), apakah keperluanmu mencari aku ke sini hanya untuk menegur yang bukan-bukan itu?" Kui Lok bertanya dengan nada suara penuh ejekan.
"Sudah tentu!" jawab thio Ki marah. "Kui-te (adik Kui), kita masih terhitung saudara seperguruan dan karena aku lebih tua, maka sudah sepatutnya kalau aku yang memberi peringatan apabila kau menyeleweng dari kebenaran! Sungguh tak patut apabila kau mencoba untuk membujuk dan menggoda hati Hong-moi, tak pantas sekali hal ini dilakukan oleh seorang murid Hoa-san-pai!"
Kui Lok tersenyum mengejek, sengaja tertawa masam. "Heh..heh..heh, bagus sekali ucapanmu, Suhengl Di dunia mi, mana ada orang berhak melarangku bersikap manis kepada Hong-moi" Ha..ha..ha, kau sendiri pun selalu bermuka-muka dan bersikap manis bukan main terhadap Kwa Hong. Mengapa aku tidak boleh?" Kui Lok menantang.
"Aku lain?" bentak Thio Ki. "Aku cinta kepadanya dan..... dan..... Kwa supek agaknya setuju kalau aku berjodoh dengan Hong-moi"
Kui Lok tertawa mengejek. Apa hanya engkau seorang di dunia ini yang boleh mencinta" Tentang persetujuan Kwa-supek, hemmm..... kita lihat dulu nanti, Suheng.
Kurasa Hong-moi sendiri belum tentu setuju, dan kau belum bertunangan secara resmi."
Thio Ki yang berwatak keras itu tak dapat lagi mengendalikan kemarahan hatinya yang dibangkitkan oleh rasa cemburu, "Kui Lok! Pendeknya mulai sekarang aku melarang kau mengaku mencinta Hong-moi, kularang kau bersikap terlalu manis!"
Kui Lok adalah seorang anak yang biasanya nakal dan gembira. Akan tetapi dalam persoalan ini dia pun tidak mau mengalah dan sudah menjadi marah. "Thio-heng, kau keterlaluan sekali. Ada hak apakah kau melarang aku" Kau adalah suheng dari Hong-moi, aku pun demikian. Harapan kita masih setengah-setengah. Marilah kita berlumba secara jujur, siapa yang akhirnya bisa menjatuhkan hati Hong-moi, dialah yang beruntung. Kenapa kau bersikap begini kasar dan hendak main menang sendiri?"
"Cukup! Di sana ada Bwee-moi yang mengharapkanmu, kau malah mengganggu orang yang menjadi cahaya harapanku. Pendeknya, aku melarang kau mendekati Kwa Hong"
"Eh..eh..eh, enaknya bicara! Kalau aku tetap mendekatinya, kau mau apa?"
Thio Ki mencabut pedangnya. "Terpaksa aku melupakan persaudaraan!"
"Bagus! Orang she Thio, kaukira aku takut padamu?" Kui Lok juga sudah mencabut pedang dengan tangan kirinya. Dua orang muda ifu sudah saling berhadapan dengan pedang terhunus, siap untuk saling serbu, saling tikam dan saling bunuh. Beginilah orang-orang muda kalau sudah dimabuk cinta. Lupa persaudaraan, lupa kewaspadaan dan tak tahu malu. Ya, tak tahu malu. Bukankah terang-terangan Kwa Hong menyatakan bahwa gadis ini tidak memilih seorang di antara mereka" Namun, tetap saja mereka memperebutkannya dengan persiapan mengorbankan nyawa.
"Bagus...... bagus..... Saudara Thio Ki dan Kui Lok, lekaslah kalian bertari pedang biarkan aku menontonnya, tentu indah dilihat" Beng San muncul dari balik sebatang-pohon sambil bertepuk tangan dan tertawa-tawa.
Kui Lok dan Thio Ki yang tadinya sudah tegang dan siap untuk saling serang, menjadi kaget dan menengok. Mereka melihat seorang pemuda tampan berpakaian sutera biru seperti seorang pemuda pelajar. Tentu saja mereka tidak mengenal Beng San yang dulu mereka kenal sebagai seorang anak yang berpakaian seperti jembel.
Namun karena mereka ini memang jago-jago muda Hoa-san-pai yang berwatak angkuh dan merasa diri sendiri paling gagah dan paling lihai, mereka segera merasa tak senang dengan datangnya seorang asing ini.
"Kau siapa" Mau apa lancang masuk ke sini?" tanya Thio Ki mengerutkan keningnya. juga Kui Lok memandang tajam dengan mata dipelototkan untuk memperlihatkan ketidaksenangan hatinya.
Beng San tertawa, wajahnya berseri-seri. "Saudara-saudara Thio dan Kui agaknya sudah lupa lagi kepadaku. Padahal belum ada sepuluh tahun kita berpisah. Aku Beng San."
Thio Ki dan Kui Lok saling pandang, untuk detik itu lenyap permusuhan di antara mereka. Terang bahwa mereka heran melihat Beng San yang sekarang sudah berubah menjadi seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan.
"Uuuhhhhh...... Beng San.....?" Thio Ki berkata dengan suara menghina.
"Hemmm, kau di sini" Mau apa kau ke sini" Kau mengintai kami, ya?" kata Kui Lok, mengancam.
"Ah, tidak. Aku datang dan melihat kalian hendak bermain pedang, sungguh aku ingin melihatnya. Dahulu pun kalian amat pandai, apalagi sekarang, tentu indah permainan pedang kalian."
Kembali Kui Lok dan Thio Ki saling pandang dan keduanya menjadi curiga. Tentu Beng San sudah mendengar pertengkaran mereka tadi!
"Kau tadi sudah lama mengintai kami" Mendengar apa yang kami bicakan?" Thio Ki menuntut.
Beng San tersenyum. "Tidak tahu, agaknya kalian bicara tentang angin atau burung."
la sengaja mengatakan demikian tanpa menyinggung nama Kwa Hong, sedangkan kata-kata Hong dapat diartikan angin atau juga nama burung hong!
Thio Ki yang keras hati itu timbul keangkuhannya. "Beng San, kau kurang ajar sekali. Orang macam kau ini mengapa berani muncul di sini tanpa ijin" Kau patut dipukul".
"Benar, Suheng. Kita pukul saja jembel ini biar minggat dari sini!" kata Kui lok yang teringat betapa dahulu bersama Thio Ki dia pernah memukuli Beng San. Dua orang pemuda itu melangkah maju dan tangan mereka melayang untuk menampar pipi dan memukul pundak. Betapapun juga, sebagai jago-jago muda dari Hoa-san mereka tidak sudi membunuh orang yang lemah, hanya memukul untuk memberi hajaran saja dan untuk mengusir Beng San.
"Eh, eh, eh..... kenapa main pukul" Aku tidak bersalah apa-apa....." Beng San terhyyung-huyung ke belakang setelah terkena gamparan dan pukulan. Tentu saja serangan-serangan yang dilakukan tidak untuk membunuhnya ini sama sekali tidak dia rasakan, akan tetapi dia pura-pura kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang.
Thio Ki dan Kui Lok tidak peduli, mendesak terus hendak memukuli Beng San sampai pemuda itu melarikan diri. Beng San pura-pura mengangkat kedua tangan melindungi kepala dan mukanya sambil berteriak-teriak, "Jangan pukul...... jangan pukul!"
"Ki-ko dan Lok-ko, siapa yang kalian pukuli itu?" Tiba-tiba Kwa Hong sudah berdiri di situ. Wajah dara ini agak pucat, apalagi ketika ia melihat bahwa di tangan Thio Ki dan Kui Lok masih memegang pedang terhunus. Memang ketika memukuli Beng San, Kui Lok masih memegang pedang dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan Thio Ki juga masih memegang pedang. Kedatangan Kwa Hong itu sebetulnya karena ia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau dua orang pemuda itu mengadu nyawa, maka melihat mereka memegang pedang, ia menjadi khawatir sekali. Hanya ia merasa terheran-heran mengapa dua orang pemuda itu malah memukuli seorang pemuda yang kelihatan lemah dan tidak pandai ilmu silat.
Thio Ki dan Kui Lok dengan muka merah karena jengah lalu meloncat mundur.
Setelah dua orang pemuda yang keranjingan itu mundur, baru Beng San berani menurunkan kedua tangan dari mukanya. la memandang Kwa Hong, sebaliknya gadis itu memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, dari pihak Beng San penuh kekaguman. Sekarang dia dapat melihat jelas keadaan Kwa Hong. Benar-benar melebihi yang sering kali dia bayangkan. Cantik molek dan gagah perkasa. Sepasang mata yang melebihi beningnya mata ikan emas, rambut yang hitam mengkilap, alis yang panjang kecil dan hitam sekali di atas kulit muka yang putih kemerahan, hidung yang kecil, mulut yang manis, ah ... bukan main, sekarang Kwa Hong si kuntilanak itu telah berubah menjadi seorang dara yang jelita. Di pihak Kwa Hong, sinar mata gadis ini perlahan-lahan berseri-seri, mulutnya tersenyum lucu ketika ia mengenal Beng San, lalu terbukalah bibirnya berkata setengah tertawa.
Hina Kelana 38 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bara Diatas Singgasana 14
^